Kitab tentang Nikah
أَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى النِّكَاحَ نَصًّا فِي كِتَابِهِ وَصَرِيحًا فِي سُنَّةِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وانعقد بها سالف إجماع الأمة وتأكد بها سَالِفُ الْعِتْرَةِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أيُّها النَّاسُ النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً) {النساء: 1) قَوْلُهُ: ” مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ” يعني آدم.
Allah Ta‘ala telah membolehkan nikah secara tegas dalam Kitab-Nya dan secara jelas dalam sunnah Nabi-Nya –shallallāhu ‘alaihi wa sallam–, dan telah terwujud ijmā‘ umat terdahulu atasnya, serta telah dikuatkan pula oleh Ahlul Bait terdahulu. Allah Ta‘ala berfirman: {Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa dan darinya Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak} (an-Nisā’: 1). Firman-Nya: “dari satu jiwa” maksudnya adalah Adam.
” وخلق منها زوجها ” يَعْنِي حَوَّاءَ؛ لِأَنَّهَا خُلِقَتْ مِنْ حَيٍّ وَقِيلَ: لِأَنَّهَا مِنْ ضِلْعٍ أَيْسَرَ.
“Dan darinya Dia menciptakan pasangannya” maksudnya adalah Hawa, karena ia diciptakan dari makhluk yang hidup; dan ada yang mengatakan: karena ia diciptakan dari tulang rusuk kiri.
وَقَالَ الضَّحَّاكُ: خَلَقَهَا مِنْ ضِلْعِ الْخَلْفِ وَهُوَ مِنْ أَسْفَلِ الْأَضْلَاعِ وَلِذَلِكَ قِيلَ لِلْمَرْأَةِ: ضِلْعٌ أَعْوَجُ فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” خُلِقَتِ الْمَرْأَةُ مِنَ الرَّجُلِ فَهَمُّهَا فِي الرَّجُلِ وَخُلِقَ الرَّجُلُ مِنَ التُّرَابِ فَهَمُّهُ فِي التُّرَابِ “.
Adh-Dhahhak berkata: Allah menciptakannya dari tulang rusuk bagian belakang, yaitu dari tulang rusuk paling bawah. Oleh karena itu, perempuan disebut “tulang rusuk yang bengkok”. Ketika ayat ini turun, Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Perempuan diciptakan dari laki-laki, maka kecenderungannya kepada laki-laki, dan laki-laki diciptakan dari tanah, maka kecenderungannya kepada tanah.”
{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً) {الروم: 21) فيه تَأْوِيلَانِ:
{Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri} (ar-Rūm: 21). Dalam ayat ini terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا حَوَّاءُ خَلَقَهَا مِنْ ضِلْعِ آدَمَ.
Pertama: bahwa yang dimaksud adalah Hawa, yang diciptakan dari tulang rusuk Adam.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ خَلَقَ سَائِرَ الْأَزْوَاجِ مِنْ أمثالهم من الرجال والنساء ليستأنسوا إليها؛ لِأَنَّهُ جَعَلَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ مِنَ الْأَنَسَةِ مَا لم يجعل من غيرهما.
Kedua: bahwa Allah menciptakan seluruh pasangan dari jenis mereka, laki-laki dan perempuan, agar mereka merasa tenteram kepadanya; karena Allah telah menjadikan antara suami istri rasa ketenteraman yang tidak dijadikan pada selain mereka.
{وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً) {الروم: 21) فيهما تأويلان:
{Dan Dia menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang} (ar-Rūm: 21). Dalam ayat ini terdapat dua tafsiran:
أحدهما: أنها المودة والمحبة والرحمة والشفقة قاله السدي.
Pertama: bahwa yang dimaksud adalah kasih sayang, cinta, rahmat, dan belas kasih, sebagaimana dikatakan oleh as-Suddi.
والثاني: أن المودة الجماع الرحمة الولد قَالَهُ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَقَالَ تَعَالَى: {وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَراً فَجَعَلَهُ نَسَباً وَصِهْراً) {الفرقان: 54) يعني: الماء النطفة، والبشر الإنسان.
Kedua: bahwa “mawaddah” adalah hubungan suami istri (jima‘), sedangkan “rahmah” adalah anak, sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan Dialah yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu mempunyai keturunan dan hubungan pernikahan} (al-Furqān: 54). Maksudnya: air adalah air mani, dan “basyar” adalah manusia.
والنسب: من تناسب بِوَالِدٍ وَوَلَدٍ وَكُلُّ شَيْءٍ أَضَفْتَهُ إِلَى شَيْءٍ عَرَفْتَهُ بِهِ فَهُوَ مُنَاسَبُهُ، وَفِي الصِّهْرِ هَاهُنَا تَأْوِيلَانِ.
Nasab: adalah hubungan kekerabatan melalui orang tua dan anak, dan segala sesuatu yang kamu sandarkan kepada sesuatu lalu kamu mengenalnya dengannya, maka itu adalah nasabnya. Adapun tentang “shihri” (hubungan pernikahan) di sini terdapat dua tafsiran.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الرَّضَاعُ قَالَهُ طَاوُسٌ.
Pertama: bahwa yang dimaksud adalah hubungan karena persusuan, sebagaimana dikatakan oleh Thawus.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ الْمَنَاكِحُ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَأَصْلُ الصِّهْرِ الِاخْتِلَاطُ فَسُمِّيَتِ الْمَنَاكِحُ صِهْرًا لِاخْتِلَاطِ النَّاسِ بِهَا وَقَالَ تَعَالَى: {وَانْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ) {النور: 32) الْآيَةَ وَالْأَيَامَى جَمْعُ أَيِّمٍ وَهِيَ الَّتِي لَا زَوْجَ لَهَا، وَمِنْهُ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْأَيْمَةِ يَعْنِي الْعُزْبَةَ وَفِي هَذَا الْخِطَابِ قَوْلَانِ:
Kedua: bahwa yang dimaksud adalah hubungan pernikahan, dan ini adalah pendapat jumhur. Asal kata “shihri” adalah percampuran, maka hubungan pernikahan disebut “shihri” karena adanya percampuran manusia di dalamnya. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian} (an-Nūr: 32). “Al-ayāmā” adalah jamak dari “ayyim”, yaitu perempuan yang tidak memiliki suami. Dari sini pula diriwayatkan dari Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau melarang “al-aymah” yaitu hidup membujang. Dalam ayat ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ خِطَابٌ لِلْأَوْلِيَاءِ أَنْ يُنْكِحُوا أَيَامَاهُنَّ مِنْ أَكْفَائِهِنَّ إِذَا دَعَوْنَ إِلَيْهِ.
Pertama: bahwa ayat ini adalah seruan kepada para wali agar menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya dengan laki-laki yang sekufu‘ apabila mereka menginginkannya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ خِطَابٌ لِلْأَزْوَاجِ أَنْ يَتَزَوَّجُوا الأيامى عند الحاجة، وفي قوله ” إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ” تَأْوِيلَانِ:
Kedua: bahwa ayat ini adalah seruan kepada para laki-laki agar menikahi perempuan-perempuan yang sendirian ketika membutuhkan. Dalam firman-Nya “Jika mereka miskin Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya” terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ إِلَى النِّكَاحِ يُغْنِهِمُ اللَّهُ بِهِ عَنِ السِّفَاحِ.
Pertama: jika mereka miskin terhadap nikah, Allah akan mencukupi mereka dengannya dari perbuatan zina.
وَالثَّانِي: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ إِلَى الْمَالِ يُغْنِهِمُ اللَّهُ إِمَّا بقناعة الصالحين، وإما باجتماع الرِّزْقَيْنِ إِلَيْهِ.
Kedua: jika mereka miskin terhadap harta, Allah akan mencukupi mereka, baik dengan sifat qana‘ah orang-orang saleh, maupun dengan terkumpulnya dua rezeki atas mereka.
رَوَى عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ دَاوُدَ: أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” اطْلُبُوا الْغِنَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ: {إنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمِ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ) {النور: 32) قال تعالى: {وَإِنْ خِفْتُمْ أَنْ لا تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ) {النساء: 3) وَفِي هَذَا الشَّرْطِ أَرْبَعُ تَأْوِيلَاتٍ:
Abdul ‘Aziz bin Dawud meriwayatkan bahwa Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Carilah kecukupan dalam ayat ini: {Jika mereka miskin Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya} (an-Nūr: 32). Allah Ta‘ala berfirman: {Dan jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita yang kalian sukai: dua, tiga, atau empat} (an-Nisā’: 3). Dalam syarat ini terdapat empat tafsiran:
أَحَدُهَا: يَعْنِي إِنْ خفتم أن لا تعدلوا في نكاح اليتامى ولا تخافون أن لا تَعْدِلُوا فِي النِّسَاءِ فَقَالَ: كَمَا خِفْتُمْ أَنْ لَا تَعْدِلُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى فَهَكَذَا خَافُوا أَنْ لَا تَعْدِلُوا فِي النِّسَاءِ، وَهَذَا قَوْلُ سعيد بن جبير.
Pertama: maksudnya, jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil dalam menikahi anak-anak yatim, dan kalian tidak khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap wanita, maka sebagaimana kalian khawatir tidak adil dalam harta anak yatim, demikian pula hendaknya kalian khawatir tidak adil terhadap wanita. Ini adalah pendapat Sa‘id bin Jubair.
الثاني: يَعْنِي إِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فِي نِكَاحِ اليتامى فانكحوا ما حل لكم من غيرهن من النساء. وهو قول عائشة رضي الله عنها.
Kedua: maksudnya, jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil dalam menikahi anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita lain yang halal bagi kalian selain mereka. Ini adalah pendapat ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُمْ كَانُوا يَتَوَقُّونَ أَمْوَالَ الْأَيْتَامِ وَلَا يَتَوَقُّونَ الزِّنَا فَقَالَ: كَمَا خِفْتُمْ فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى فَخَافُوا الزِّنَا وَانْكِحُوا مَا حَلَّ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ، فَهَذَا قَوْلُ مُجَاهِدٍ.
Ketiga: Mereka berhati-hati terhadap harta anak yatim, namun tidak berhati-hati terhadap zina. Maka Allah berfirman: Sebagaimana kalian takut terhadap harta anak yatim, maka takutlah juga terhadap zina, dan nikahilah wanita yang halal bagi kalian. Ini adalah pendapat Mujāhid.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ سَبَبَ نُزُولِهَا أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تُكْثِرُ التَّزْوِيجَ بِغَيْرِ عَدَدٍ مَحْصُورٍ فَإِذَا كَثُرَ على الواحد منهم مؤن زوجاته وقل ما بيده مد يَدَهُ إِلَى مَا عِنْدَهُ مِنَ الْأَمْوَالِ لِلْأَيْتَامِ فَقَدَّرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَذِهِ الْآيَةِ عَدَدَ الْمَنْكُوحَاتِ حَتَّى لَا يَتَجَاوَزَهُ فَيَحْتَاجُ إِلَى التَّعَدِّي فِي أَمْوَالِ الْأَيْتَامِ، وَهَذَا قَوْلُ عِكْرِمَةَ، وَفِي قَوْلِهِ: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ} قَوْلَانِ:
Keempat: Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Quraisy pada masa jahiliah sering menikah tanpa batasan jumlah tertentu. Jika beban nafkah istri-istri mereka menjadi berat dan harta yang mereka miliki sedikit, mereka pun mengulurkan tangan kepada harta anak yatim yang ada pada mereka. Maka Allah Ta‘ālā menetapkan dengan ayat ini jumlah wanita yang boleh dinikahi agar tidak melampaui batas tersebut sehingga tidak perlu melanggar terhadap harta anak yatim. Ini adalah pendapat ‘Ikrimah. Dalam firman-Nya: {maka nikahilah wanita yang baik bagi kalian} terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَائِدٌ إِلَى النِّكَاحِ، وتقديره: فانكحوا النساء نكاحاً طيباً يعني حلالاً، وَهَذَا قَوْلُ مُجَاهِدٍ.
Salah satunya: Kembali kepada pernikahan, maksudnya: nikahilah wanita dengan pernikahan yang baik, yaitu yang halal. Ini adalah pendapat Mujāhid.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَائِدٌ إِلَى النساء، وتقديره: فانكحوا من النساء مَا حَلَّ، وَهَذَا قَوْلُ الْفَرَّاءِ فَهَذَا مِنْ كتاب الله تعالى ودال عَلَى إِبَاحَةِ النِّكَاحِ.
Yang kedua: Kembali kepada wanita, maksudnya: nikahilah dari wanita apa yang halal. Ini adalah pendapat al-Farrā’. Maka ini berasal dari Kitab Allah Ta‘ālā dan menunjukkan kebolehan menikah.
أَمَّا السُّنَّةُ فَرَوَى ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وجاءٌ “.
Adapun dari sunnah, Ibnu Mas‘ūd meriwayatkan bahwa Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka hendaklah ia menikah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena itu adalah pengekang baginya.”
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” تنكاحوا تكاثروا فَإِنِّي أُبَاهِي بِكُمُ الْأُمَمَ حَتَى بِالسَّقْطِ “.
Diriwayatkan bahwa Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Menikahlah kalian dan perbanyaklah keturunan, karena aku akan membanggakan jumlah kalian di hadapan umat-umat lain, bahkan dengan anak yang keguguran sekalipun.”
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” من أحب فطرتي فليستسن بسنتي ألا وهي النِّكَاحِ “.
Diriwayatkan bahwa Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Barang siapa mencintai fitrahku, maka hendaklah ia mengikuti sunnahku, dan sunnahku itu adalah menikah.”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال لعكاف بن وداعة الهلالي: أتزوجت، قال: لا، قال أمن إخوان الشياطين أنت إن كنت من رهبان النصارى فالحق بهم، وإن كنت منا فمن سنتنا النكاح.
Diriwayatkan dari Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau berkata kepada ‘Ukāf bin Wada‘ah al-Hilālī: “Apakah engkau sudah menikah?” Ia menjawab: “Belum.” Beliau bersabda: “Apakah engkau termasuk saudara-saudara setan? Jika engkau termasuk rahib Nasrani, maka bergabunglah dengan mereka. Namun jika engkau termasuk golongan kami, maka menikah adalah sunnah kami.”
ووري أَنَّ جَمَاعَةً مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَزَمُوا عَلَى جَبِّ أَنْفُسِهِمْ وَالتَّخَلِّي لِعِبَادَةِ رَبِّهِمْ فبلغ ذلك رسول الله فَنَهَاهُمْ وَقَالَ: لَا زِمَامَ وَلَا خِزَامَ وَلَا رَهْبَانِيَّةَ وَلَا سِيَاحَةَ وَلَا تَبَتُّلَ فِي الْإِسْلَامِ.
Diriwayatkan bahwa sekelompok sahabat Rasulullah –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bertekad untuk mengebiri diri mereka dan mengkhususkan diri untuk beribadah kepada Rabb mereka. Ketika hal itu sampai kepada Rasulullah, beliau melarang mereka dan bersabda: “Tidak ada pengekangan, tidak ada pengikatan, tidak ada rahbaniyyah, tidak ada pengembaraan, dan tidak ada tabattul (hidup membujang) dalam Islam.”
أَمَّا الزِّمَامُ وَالْخِزَامُ فَهُوَ مَا كَانَ عَلَيْهِ بنو إسرائيل من زم الأنوف، وخزم الترابي وأما الرهبانية فهو اجتناب النساء وترك اللحم.
Adapun pengekangan dan pengikatan adalah apa yang dilakukan Bani Israil berupa mengikat hidung dan menusuk hidung. Adapun rahbaniyyah adalah menjauhi wanita dan meninggalkan daging.
وأما السياحة فهو تَرْكُ الْأَمْصَارِ وَلُزُومُ الصَّحَارِي.
Adapun pengembaraan adalah meninggalkan negeri-negeri dan menetap di padang pasir.
وَأَمَّا التَّبَتُّلُ فَهُوَ الْوَحْدَةُ وَالِانْقِطَاعُ عَنِ النَّاسِ؛ وَلِأَنَّ سَائِرَ الْأُمَمِ عَلَيْهِ مُجْمِعَةٌ وَالضَّرُورَةُ إِلَيْهِ دَاعِيَةٌ لِمَا فِيهِ مِنْ غَضِّ الطَّرْفِ وَتَحْصِينِ الْفَرَجِ وَبَقَاءِ النَّسْلِ وَحِفْظِ النَّسَبِ.
Adapun tabattul adalah hidup menyendiri dan memutuskan diri dari manusia. Seluruh umat telah berijmā‘ atasnya dan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak, karena di dalamnya terdapat penundukan pandangan, penjagaan kemaluan, kelangsungan keturunan, dan penjagaan nasab.
وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَتْ مَنَاكِحُ الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ: نِكَاحُ الرَّايَاتِ، وَنِكَاحُ الرَّهْطِ وَنِكَاحُ الِاسْتِنْجَادِ وَنِكَاحُ الْوِلَادَةِ.
Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah bahwa ia berkata: “Pernikahan pada masa jahiliah ada empat macam: nikah ar-rāyāt, nikah ar-rahṭ, nikah al-istinjād, dan nikah al-wilādah.”
فَأَمَّا نِكَاحُ الرَّايَاتِ فَهُوَ أَنَّ الْعَاهِرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ كَانَتْ تَنْصِبُ عَلَى بَابِهَا رَايَةً لِيَعْلَمَ المار بها عهرها فيزني بها فقد قِيلَ فِي قَوْله تَعَالَى: {وَذَرُوا ظَاهِرَ الإِثْمِ وبَاطِنَهُ) {الأنعام: 120) تأويلين:
Adapun nikah ar-rāyāt adalah bahwa pezina pada masa jahiliah memasang bendera di pintu rumahnya agar orang yang lewat mengetahui bahwa ia adalah pezina, sehingga mereka berzina dengannya. Maka dikatakan tentang firman Allah Ta‘ālā: {dan tinggalkanlah dosa yang tampak maupun yang tersembunyi} (al-An‘ām: 120) terdapat dua tafsiran:
أحدهما: أن ظاهر الإثم أولات الرايات من الزواني وباطنه ذوات الأخذان (لأنهن كن يستحللنه سراً) وَهُوَ قَوْلُ السُّدِّيِّ وَالضَّحَّاكِ.
Salah satunya: Dosa yang tampak adalah para wanita pezina yang memasang bendera, sedangkan yang tersembunyi adalah para wanita yang memiliki kekasih gelap (karena mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi). Ini adalah pendapat as-Suddī dan adh-Dhahhāk.
وَالثَّانِي: أَنَّ ظَاهِرَهُ مَا حُظِرَ مِنْ نِكَاحِ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ، وَبَاطِنَهُ الزِّنَا، وَهُوَ قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ.
Yang kedua: Dosa yang tampak adalah apa yang diharamkan berupa menikahi wanita mahram, sedangkan yang tersembunyi adalah zina. Ini adalah pendapat Sa‘īd bin Jubair.
وَأَمَّا نكاح الرهط فهو أن الْقَبِيلَةَ أَوِ الْقَبَائِلَ كَانُوا يَشْتَرِكُونَ فِي إِصَابَةِ الْمَرْأَةِ فَإِذَا جَاءَتْ بِوَلَدٍ أُلْحِقَ بِأَشْبَهِهِمْ بِهِ.
Adapun nikah ar-rahṭ adalah suatu keadaan di mana satu kabilah atau beberapa kabilah bersama-sama menggauli seorang wanita. Jika wanita itu melahirkan anak, maka anak itu dinisbatkan kepada laki-laki yang paling mirip dengannya.
وأما النكاح الِاسْتِنْجَادِ فَهُوَ أَنَّ الْمَرْأَةَ كَانَتْ إِذَا أَرَادَتْ ولداً نجداً تحسباً، بذلت نفسها لتجيب كل قبيلة وسيدها فلا تلد إلا تحسباً بِأَيِّهِمْ شَاءَتْ.
Adapun nikah al-istinjād adalah seorang wanita, jika ia menginginkan anak yang kuat, ia menawarkan dirinya kepada setiap kabilah dan pemimpinnya, lalu ia tidak melahirkan kecuali dari laki-laki yang ia pilih di antara mereka.
وَأَمَّا نِكَاحُ الْوِلَادَةِ فَهُوَ النِّكَاحُ الصَّحِيحُ الْمَقْصُودُ لِلتَّنَاسُلِ الَّذِي قَالَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وُلِدْتُ مِنْ نِكَاحٍ لَا مِنْ سفاحٍ ” فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَزَلْ يَنْقُلُ نَبِيَّهُ عَلَيْهِ السلام من الأصلاب الذاكية إِلَى الْأَرْحَامِ الطَّاهِرَةِ، وَقَدْ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فِي قَوْله تَعَالَى: {وَتَقَلُّبكَ فِي السَّاجِدِينَ) {الشعراء: 219) قَالَ مِنْ نَبِيٍّ إِلَى نَبِيٍّ حَتَّى جَعَلَكَ نبياً وكان نور النبوة في أيامه ظَاهِرًا، حَتَّى حُكِيَ أَنَّ كَاهِنَةً بِمَكَّةَ يُقَالُ لها فاطمة بنت الهرم قَرَأَتِ الْكُتُبَ فَمَرَّ بِهَا عَبْدُ الْمُطَّلِبِ وَمَعَهُ ابْنُهُ عَبْدُ اللَّهِ يُرِيدُ أَنْ يُزَوِّجَهُ آمِنَةَ بِنْتَ وَهْبٍ فَرَأَتْ نُورَ النُّبُوَّةِ فِي وَجْهِ عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَتْ: هَلْ لَكَ أَنْ تَغْشَانِي وتأخذ مثل الإبل فقال عبد الله.
Adapun nikah al-wilādah adalah nikah yang sah yang memang dimaksudkan untuk keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Aku dilahirkan dari pernikahan, bukan dari perzinaan.” Sesungguhnya Allah Ta‘ālā senantiasa memindahkan Nabi-Nya ‘alaihis salām dari sulbi-sulbi yang suci ke rahim-rahim yang bersih. Ibnu ‘Abbās berkata tentang firman Allah Ta‘ālā: {dan perputaranmu di antara orang-orang yang bersujud} (asy-Syu‘arā’: 219), beliau berkata: dari seorang nabi ke nabi berikutnya hingga Allah menjadikanmu sebagai nabi. Dan cahaya kenabian pada masa itu tampak jelas, sampai-sampai diriwayatkan bahwa seorang dukun wanita di Makkah bernama Fāṭimah binti al-Haram membaca kitab-kitab, lalu ‘Abdul Muṭṭalib melewatinya bersama putranya, ‘Abdullāh, yang hendak dinikahkan dengan Āminah binti Wahb. Ia melihat cahaya kenabian di wajah ‘Abdullāh, lalu berkata: “Maukah engkau mendatangiku dan aku akan memberimu unta seperti yang kau inginkan?” Maka ‘Abdullāh menjawab…
(أما الحرامُ فلممات دُونَهُ … وَالْحِلُّ لَا حِلَّ فَاسْتَبِينُهُ)
(Adapun yang haram, maka kematian lebih baik darinya … dan yang halal, tidak ada yang halal kecuali yang jelas kehalalannya)
(فَكَيْفَ بِالْأَمْرِ الَّذِي تَبْغِينَهُ … يَحْمِي الْكَرِيمُ عِرْضَهُ وَدِينَهُ؟ !)
(Bagaimana dengan perkara yang engkau inginkan itu … orang mulia menjaga kehormatan dan agamanya?!)
فَلَمَّا تَزَوَّجَ آمِنَةَ وَحَمَلَتْ مِنْهُ بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَرَّ فِي عَوْدِهِ بِفَاطِمَةَ فَقَالَ: هَلْ لَكِ فيما قلت: قد كان مرة فاليوم لا، فإذا سبعت فَقَالَ: زَوَّجَنِي أَبِي بِآمِنَةَ بِنْتِ وَهْبٍ الزُّهْرِيَّةِ، فَقَالَتْ: قَدْ أَخَذَتِ النُّورَ الَّذِي قَدْ كَانَ فِي وَجْهِكَ وَأَنْشَأَتْ تَقُولُ:
Ketika ia menikahi Āminah dan Āminah mengandung Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam-, dalam perjalanan pulangnya ia melewati Fāṭimah, maka Fāṭimah berkata: “Bagaimana dengan tawaranku tadi?” Ia menjawab: “Itu pernah terjadi sekali, tapi hari ini tidak.” Ketika ia telah menikah, ia berkata: “Ayahku telah menikahkanku dengan Āminah binti Wahb az-Zuhriyyah.” Maka Fāṭimah berkata: “Sungguh wanita Zuhriyah itu telah mengambil cahaya yang dulu ada di wajahmu.” Lalu ia bersyair:
(إِنِّي رَأَيْتُ مَخِيلَةً نشأت … فتلألأت بحناتم القطر)
(Sungguh aku melihat pertanda yang muncul … lalu bersinar di puncak-puncak awan)
(فلمحتها نوراً يضيء به … ما حوله كإضاءة الفجر)
(Aku melihatnya sebagai cahaya yang menerangi … sekelilingnya seperti cahaya fajar)
(ورأيت سقياها حيا بلد … وقعت به وعمارة القفر)
(Aku melihat airnya menghidupkan negeri … yang didatanginya dan memakmurkan tanah gersang)
(ورأيته شرفا أبوه به … مَا كُلُّ قَادِحِ زَنْدِهِ يُورِي)
(Aku melihatnya sebagai kemuliaan yang diwarisi ayahnya … tidak setiap orang yang menggosok batu api akan menyalakan api)
(لِلَّهِ مَا زهرية سلبت … منك الذي اسْتَلَبَتْ وَمَا تَدْرِي)
(Demi Allah, wanita Zuhriyah itu telah mengambil darimu … apa yang telah diambilnya, dan engkau tidak mengetahuinya)
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا اسْمُ النِّكَاحِ فهو حقيقة في العقد فجاز فِي الْوَطْءِ عِنْدَنَا.
Adapun istilah “nikah”, secara hakiki bermakna akad, sehingga boleh digunakan untuk makna hubungan suami istri menurut kami.
وَقَالَ أبو حنيفة: هُوَ حقيقة في الوطء فجاز فِي الْعَقْدِ، وَتَأْثِيرُ هَذَا الْخِلَافِ أَنَّ مَنْ جعل اسم النكاح حقيقة الْوَطْءِ حَرَّمَ بِوَطْءِ الزِّنَا مَا حُرِّمَ بِالنِّكَاحِ، وَمَنْ جَعَلَهُ حَقِيقَةً فِي الْعَقْدِ لَمْ يُحَرِّمْ بِوَطْءِ الزِّنَا مَا حُرِّمَ بِالنِّكَاحِ عَلَى مَا سَيَأْتِي شَرْحُهُ وَدَلِيلُهُ، لَكِنَّ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى أنه حقيقة في الْعَقْدِ أَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى النِّكَاحَ فِي كِتَابِهِ، فَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ الْعَقْدَ دُونَ الْوَطْءِ؛ وَلِأَنَّ التَّزْوِيجَ لَمَّا كَانَ بِالْإِجْمَاعِ اسْمًا لِلْعَقْدِ حَقِيقَةً كَانَ النِّكَاحُ بِمَثَابَتِهِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْمَعْنَى، وَلِأَنَّ اسْتِعْمَالَ النِّكَاحِ فِي الْعَقْدِ أَكْثَرُ، وَهُوَ بِهِ أَخَصُّ وَأَشْهَرُ وَهُوَ فِي أَشْعَارِ الْعَرَبِ أَظْهَرُ قَالَ الشَّاعِرُ:
Abu Ḥanīfah berkata: “Nikah” secara hakiki bermakna hubungan suami istri, sehingga boleh digunakan untuk makna akad. Pengaruh perbedaan pendapat ini adalah bahwa siapa yang menganggap istilah nikah bermakna hakiki pada hubungan suami istri, maka ia mengharamkan dengan perbuatan zina apa yang diharamkan dengan pernikahan. Sedangkan siapa yang menganggapnya bermakna hakiki pada akad, maka ia tidak mengharamkan dengan perbuatan zina apa yang diharamkan dengan pernikahan, sebagaimana akan dijelaskan penjelasan dan dalilnya. Namun, di antara dalil bahwa nikah bermakna hakiki pada akad adalah bahwa setiap tempat Allah Ta‘ālā menyebut nikah dalam Kitab-Nya, yang dimaksud adalah akad, bukan hubungan suami istri; dan karena “tazwij” (pernikahan) menurut ijmā‘ adalah istilah hakiki untuk akad, maka “nikah” pun demikian karena keduanya memiliki makna yang sama. Selain itu, penggunaan istilah nikah untuk akad lebih banyak, lebih khusus, dan lebih masyhur, serta dalam syair-syair Arab pun lebih jelas. Seorang penyair berkata:
(بَنُو دارمٍ أكفاؤهم آل مسمعٍ … وتنكح في أكفائها الخطبات)
(Bani Dārim setara dengan keluarga Masma‘ … dan para wanita dinikahkan dengan laki-laki yang setara dengannya)
بَابُ مَا جَاءَ فِي أَمْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وأزواجه
Bab tentang apa yang datang mengenai urusan Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- dan para istrinya
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله: ” إن الله تبارك وتعالى لما خص بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ وَحْيِهِ وَأَبَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ بِمَا فَرَضَ عَلَيْهِمْ مِنْ طَاعَتِهِ افْتَرَضَ عَلَيْهِ أَشْيَاءَ خَفَّفَهَا عَنْ خَلْقِهِ لِيَزِيدَهُ بِهَا إِنْ شَاءَ الله قربةً وَأَبَاحَ لَهُ أَشْيَاءَ حَظَرَهَا عَلَى خَلْقِهِ زِيَادَةً في كرامته وتبييناً لفضيلته “.
Asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Sesungguhnya Allah Tabāraka wa Ta‘ālā, ketika mengkhususkan Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- dengan wahyu-Nya dan membedakannya dari makhluk-Nya dengan apa yang diwajibkan atas mereka berupa ketaatan kepadanya, Allah mewajibkan atas beliau beberapa hal yang diringankan dari makhluk-Nya agar Allah menambahkannya, jika Dia menghendaki, sebagai bentuk kedekatan, dan Allah membolehkan baginya beberapa hal yang diharamkan atas makhluk-Nya sebagai tambahan kemuliaan dan penjelasan keutamaannya.”
قال الماوردي: وهذا فَصْلٌ نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ مَعَ بَقِيَّةِ الْبَابِ مِنْ ” أَحْكَامِ الْقُرْآنِ ” لِلشَّافِعِيِّ فَأَنْكَرَ بَعْضُ الْمُعْتَرِضِينَ عَلَيْهِ إِيرَادَ ذَلِكَ فِي مُخْتَصَرِهِ لِسُقُوطِ التَّكْلِيفِ عَنَّا فيما خص به الرسول من تخفيف وَلِوَفَاةِ زَوْجَاتِهِ الْمَخْصُوصَاتِ بِالْأَحْكَامِ فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ إِلَّا التَّشَاغُلُ بِمَا لَا يَلْزَمُ عَمَّا يَجِبُ وَيَلْزَمُ، فَصَوَّبَ أَصْحَابُنَا مَا أَوْرَدَهُ الْمُزَنِيُّ وَرَدُّوا على هذا المعترض بما ذكروه من فرض الْمُزَنِيِّ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: “Ini adalah fasal yang dinukil oleh al-Muzanī beserta sisa bab dari ‘Aḥkām al-Qur’ān’ karya asy-Syāfi‘ī. Sebagian pihak yang keberatan mengingkari penyebutan hal itu dalam mukhtasharnya, karena tidak adanya taklif atas kita dalam hal-hal yang dikhususkan untuk Rasulullah berupa keringanan, dan karena wafatnya para istri beliau yang dikhususkan dengan hukum-hukum tersebut, sehingga tidak ada di dalamnya kecuali menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak wajib dan tidak perlu. Maka para sahabat kami membenarkan apa yang dinukil oleh al-Muzanī dan membantah pihak yang keberatan itu dengan apa yang mereka sebutkan dari pendalilan al-Muzanī dari dua sisi:”
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدَّمَ مَنَاكِحَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تبركاً بها وَالتَّبَرُّكُ فِي الْمَنَاكَحِ مَقْصُودٌ كَالتَّبَرُّكِ فِيهَا بِالْخُطَبِ.
Salah satu alasannya: bahwa ia mendahulukan pembahasan tentang pernikahan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – sebagai bentuk tabarruk (mengharap keberkahan) dengannya, dan tabarruk dalam masalah pernikahan adalah sesuatu yang dimaksudkan sebagaimana tabarruk dalam khutbah-khutbahnya.
والثاني: أن سبق العلم بأن الأمة لا تساوي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في مناكحته وَإِنْ سَاوَتْهُ فِي غَيْرِهَا مِنَ الْأَحْكَامِ حَتَّى لَا يَقْدَمَ أَحَدٌ عَلَى مَا حُظِرَ عَلَيْهِ، ابتدأ به.
Alasan kedua: karena telah diketahui sebelumnya bahwa umat tidaklah setara dengan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dalam hukum pernikahannya, meskipun mereka setara dengannya dalam hukum-hukum lain, agar tidak ada seorang pun yang melakukan sesuatu yang diharamkan baginya, maka pembahasan ini didahulukan.
فصل
Fasal
فأما قَوْلُ الشَّافِعِيِّ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لِمَا خَصَّ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ وَحْيِهِ فَفِيهِ رِوَايَتَانِ:
Adapun pendapat asy-Syafi‘i bahwa Allah Ta‘ala mengkhususkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dengan wahyu-Nya, maka dalam hal ini terdapat dua riwayat:
إِحْدَاهُمَا: لِمَا خَصَّ بِكَسْرِ اللَّامِ وَتَخْفِيفِ الْمِيمِ وَالْأُخْرَى لَمَّا خَصَّ: بِفَتْحِ اللَّامِ وَتَشْدِيدِ الْمِيمِ، فَمَنْ رَوَى بِكَسْرِ اللَّامِ وَتَخْفِيفِ الْمِيمِ حَمَلَهَا عَلَى مَعْنَى الشَّرْطِ، وَجَعَلَ ” مَا ” بِمَعْنَى الَّذِي، وَاللَّامَ قَبْلَهَا لِلْإِضَافَةِ، فَيَكُونُ تَقْدِيرُهُ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لِأَجْلِ الَّذِي خص بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ وَحْيِهِ وَمَنْ رَوَى بِفَتْحِ اللَّامِ وَتَشْدِيدِ الْمِيمِ حَمَلَهَا عَلَى مَعْنَى الْخَبَرِ وَجَعَلَ ” مَا ” بِمَعْنَى بَعْدَ فَيَكُونُ تَقْدِيرُهُ: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خص بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ وَحْيِهِ، وَكِلَا الرِّوَايَتَيْنِ جَائِزَةٌ وَالْأُولَى أَظْهَرُ وَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ جَعَلَ الشَّافِعِيُّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَخْصُوصًا بِالْوَحْيِ وَقَدْ أَوْحَى اللَّهُ تَعَالَى إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {إِنَّا أوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ) {النساء: 163) فَعَنْ ذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:
Salah satunya: dengan membaca “lammā” dengan kasrah pada huruf lam dan meringankan mim, dan yang lainnya dengan membaca “lammā” dengan fathah pada huruf lam dan men-syaddah-kan mim. Barang siapa yang meriwayatkan dengan kasrah lam dan meringankan mim, maka ia memaknainya sebagai syarat, dan menjadikan “mā” bermakna “yang”, dan lam sebelumnya sebagai lam idhafah, sehingga maknanya adalah: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala karena sesuatu yang Dia khususkan kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berupa wahyu-Nya.” Dan barang siapa yang meriwayatkan dengan fathah lam dan men-syaddah-kan mim, maka ia memaknainya sebagai berita dan menjadikan “mā” bermakna “setelah”, sehingga maknanya adalah: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala mengkhususkan kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berupa wahyu-Nya.” Kedua riwayat tersebut boleh digunakan, namun yang pertama lebih jelas. Jika ada yang bertanya: Bagaimana asy-Syafi‘i menjadikan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – sebagai yang dikhususkan dengan wahyu, padahal Allah Ta‘ala juga mewahyukan kepada nabi-nabi selain beliau? Allah Ta‘ala berfirman: {Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya} (an-Nisā’: 163). Maka dalam hal ini ada tiga jawaban:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ خُصَّ بِالْوَحْيِ مِنْ بَيْنِ أَهْلِ عَصْرِهِ حَتَّى بُعِثَ رَسُولًا إِلَى جَمِيعِهِمْ فَكَانَ مَخْصُوصًا بِالْوَحْيِ مِنْ بَيْنِهِمْ.
Salah satunya: bahwa beliau dikhususkan dengan wahyu di antara orang-orang pada zamannya, hingga beliau diutus sebagai rasul kepada seluruh mereka, maka beliau menjadi yang dikhususkan dengan wahyu di antara mereka.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ خُصَّ بِانْتِهَاءِ الْوَحْيِ وَخَتْمِ النُّبُوَّةَ حَتَّى لَا يَنْزِلَ بَعْدَهُ وَحَيٌّ وَلَا يُبْعَثَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ فَصَارَ خَاتَمًا لِلنُّبُوَّةِ مَبْعُوثًا إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً حَتَّى بُعِثَ إِلَى الْإِنْسِ وَالْجِنِّ، وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” بعثت إلى الأحمر والأسود ” وفيه تأويلان: أحدهما: إِلَى الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ. وَالثَّانِي: إِلَى الْإِنْسِ وَالْجِنِّ.
Kedua: bahwa beliau dikhususkan dengan berakhirnya wahyu dan penutupan kenabian, sehingga setelah beliau tidak akan turun wahyu lagi dan tidak akan diutus nabi setelahnya, maka beliau menjadi penutup para nabi yang diutus kepada seluruh makhluk, hingga diutus kepada manusia dan jin. Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Aku diutus kepada yang merah dan yang hitam.” Dalam hal ini ada dua penafsiran: pertama, kepada bangsa Arab dan non-Arab; kedua, kepada manusia dan jin.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ خُصَّ بِالْوَحْيِ الَّذِي هُوَ الْقُرْآنُ الْمُعْجِزُ الَّذِي يَبْقَى إِعْجَازُهُ إِلَى آخِرِ الدَّهْرِ ويعجز عن معارضته أهل كل عصره، وَلَيْسَ فِيمَا أُوحِيَ إِلَى مَنْ قَبْلِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ إِعْجَازٌ يَبْقَى فَصَارَ بِهَذَا الْوَحْيِ مَخْصُوصًا.
Ketiga: bahwa beliau dikhususkan dengan wahyu berupa al-Qur’an yang bersifat mu‘jiz (mukjizat) yang keajaibannya akan tetap ada hingga akhir zaman dan seluruh manusia pada setiap masa tidak mampu menandinginya. Sementara pada wahyu yang diberikan kepada nabi-nabi sebelum beliau tidak ada mu‘jizat yang tetap abadi, maka dengan wahyu ini beliau menjadi yang dikhususkan.
فصل
Fasal
وَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: ” وَأَبَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ بما فرض عليهم من طاعته ” وطاعة أولي الأمر واجبة لوجوب طاعته قال الله تعالى: {يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُواْ اللهَ وَأَطِيعُوا , الرَّسُولَ وَأُوُلِي الأَمْرِ مِنْكُمْ) {النساء: 59) وَفِي أُولِي الْأَمْرِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ: أَحَدُهَا: أَنَّهُمُ الْأُمَرَاءُ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ. وَالثَّانِي: هُمُ الْعُلَمَاءُ، وَهُوَ قَوْلُ جَابِرٍ.
Adapun perkataan asy-Syafi‘i: “Dan Allah membedakan antara beliau dan makhluk-Nya dengan apa yang Dia wajibkan atas mereka berupa ketaatan kepadanya.” Ketaatan kepada ulil amri (pemimpin) adalah wajib karena wajibnya ketaatan kepada beliau. Allah Ta‘ala berfirman: {Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kalian} (an-Nisā’: 59). Tentang makna ulil amri terdapat tiga pendapat: pertama, mereka adalah para pemimpin, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas; kedua, mereka adalah para ulama, dan ini adalah pendapat Jabir.
وَالثَّالِثُ: هُمْ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ، فَأَوْجَبَ طَاعَةَ أُولِي الْأَمْرِ كَمَا أَوْجَبَ طَاعَةَ الرَّسُولِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَيْنَ مَوْضِعُ الْإِبَانَةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ بِمَا فَرَضَ عَلَيْهِمْ مِنْ طَاعَتِهِ؟ وَعَنْ ذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:
Ketiga, mereka adalah para sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan ini adalah pendapat Mujahid. Maka Allah mewajibkan ketaatan kepada ulil amri sebagaimana mewajibkan ketaatan kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Lalu di mana letak perbedaan antara beliau dan makhluk-Nya dalam hal kewajiban taat kepada beliau? Dalam hal ini ada tiga jawaban:
أَحَدُهَا: أَنَّ طَاعَةَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْ طَاعَةِ الرَّسُولِ لِتَبَايُنِهِمْ عَنْهُ، وَقِيَامِهِمْ مَقَامَهُ فَصَارَ هُوَ الْمَخْصُوصَ بِهَا دُونَهُمْ.
Salah satunya: bahwa ketaatan kepada ulil amri merupakan bagian dari ketaatan kepada Rasul karena mereka menggantikan posisi beliau, sehingga beliau menjadi yang dikhususkan dengan ketaatan tersebut, bukan mereka.
وَالثَّانِي: أَنَّ طَاعَةَ الرَّسُولِ وَاجِبَةٌ فِي أُمُورِ الدِّينِ وَالدُّنْيَا وَطَاعَةُ أُولِي الْأَمْرِ مُخْتَصَّةٌ بِأُمُورِ الدُّنْيَا دُونَ الدِّينِ فَتَمَيَّزَ عَنْهُمْ بِوُجُوبِ الطَّاعَةِ.
Kedua: Bahwa ketaatan kepada Rasul adalah wajib dalam urusan agama dan dunia, sedangkan ketaatan kepada ulil amri khusus dalam urusan dunia saja, tidak dalam urusan agama. Maka, Rasul pun menjadi berbeda dari mereka dengan kewajiban ditaati.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ طَاعَةَ الرَّسُولِ بَاقِيَةٌ فِي أَوَامِرِهِ وَنَوَاهِيهِ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ وَطَاعَةَ أُولِي الْأَمْرِ مُخْتَصَّةٌ بِمُدَّةِ حَيَاتِهِمْ وَبَقَاءِ نَظَرِهِمْ، فَكَانَ هَذَا مَوْضِعَ الْإِبَانَةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ.
Ketiga: Bahwa ketaatan kepada Rasul tetap berlaku dalam perintah dan larangannya hingga hari kiamat, sedangkan ketaatan kepada ulil amri terbatas pada masa hidup mereka dan selama mereka masih memegang kekuasaan. Maka inilah letak penjelasan perbedaan antara beliau dan mereka.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: ” افْتَرَضَ عَلَيْهِ أَشْيَاءَ خَفَّفَهَا عَنْ خَلْقِهِ لِيَزِيدَهُ بِهَا إِنْ شاء الله تعالى قربة وَأَبَاحَ لَهُ أَشْيَاءَ حَظَرَهَا عَلَى خَلْقِهِ زِيَادَةً فِي كَرَامَتِهِ وَتَبْيِينًا لِفَضِيلَتِهِ “.
Adapun perkataan asy-Syafi‘i: “Allah mewajibkan atasnya beberapa hal yang diringankan dari makhluk-Nya agar Allah menambahkannya, insya Allah, sebagai bentuk kedekatan, dan Allah membolehkan baginya beberapa hal yang diharamkan atas makhluk-Nya sebagai tambahan kemuliaan dan penjelasan keutamaannya.”
وَهَذَا صَحِيحٌ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَصَّ رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالرِّسَالَةِ وَفَرَضَ الطَّاعَةَ حَتَّى يُمَيَّزَ بِهِمَا عَلَى جميع المخلوقات وميزه عَنْهُمْ فِي أَحْكَامِ الدِّينِ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: تَغْلِيظٌ. وَالْآخَرُ: تَخْفِيفٌ.
Ini benar, bahwa Allah Ta‘ala mengkhususkan Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dengan risalah dan mewajibkan ketaatan kepadanya agar beliau dibedakan dengan dua hal itu dari seluruh makhluk, dan Allah membedakannya dari mereka dalam hukum-hukum agama dari dua sisi: yang pertama, pengetatan; dan yang kedua, keringanan.
فَأَمَّا التَّغْلِيظُ فَهُوَ أَنْ فَرْضُ عَلَيْهِ أَشْيَاءَ خَفَّفَهَا عَنْ خَلْقِهِ، وَذَلِكَ لأمرين: أَحَدُهُمَا: لِعِلْمِهِ بِأَنَّهُ أَقْوَمُ بِهَا مِنْهُمْ وَأَصْبِرُ عَلَيْهَا مِنْهُمْ. وَالثَّانِي: لِيَجْعَلَ أَجْرَهُ بِهَا أَعْظَمَ مِنْ أُجُورِهِمْ وَقُرْبَهُ بِهَا أَزْيَدَ مِنْ قُرْبِهِمْ.
Adapun pengetatan adalah bahwa Allah mewajibkan atasnya beberapa hal yang diringankan dari makhluk-Nya, dan itu karena dua hal: Pertama, karena Allah mengetahui bahwa beliau lebih mampu melaksanakannya daripada mereka dan lebih sabar atasnya daripada mereka. Kedua, agar Allah menjadikan pahalanya dengan hal itu lebih besar daripada pahala mereka dan kedekatannya dengan hal itu lebih banyak daripada kedekatan mereka.
وَأَمَّا التَّخْفِيفُ فَهُوَ أَنَّهُ أَبَاحَهُ أَشْيَاءَ حَظَرَهَا عَلَيْهِمْ، وَذَلِكَ لِأَمْرَيْنِ:
Adapun keringanan adalah bahwa Allah membolehkan baginya beberapa hal yang diharamkan atas mereka, dan itu karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: لِتَظْهَرَ بِهَا كَرَامَتُهُ وتبين بِهَا اخْتِصَاصُهُ وَمَنْزِلَتُهُ.
Pertama: Agar tampak dengannya kemuliaannya dan agar jelas dengannya kekhususan dan kedudukannya.
وَالثَّانِي: لِعِلْمِهِ بِأَنَّ مَا خصه مِنَ الْإِبَاحَةِ لَا يُلْهِيهِ عَنْ طَاعَتِهِ، وَإِنْ أَلْهَاهُمْ وَلَا يُعْجِزُهُ عَنِ الْقِيَامِ بِحَقِّهِ، وَإِنْ أَعْجَزَهُمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّهُ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى أَقْدَرُ وَبِحَقِّهِ أَقُومُ فَإِنْ قِيلَ: فَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ ” لِيَزِيدَهُ بِهَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى قُرْبَةً إليه ” كان على شك فيه حتى استثنى بمشيئة اللَّهِ تَعَالَى.
Kedua: Karena Allah mengetahui bahwa apa yang dikhususkan baginya berupa kebolehan itu tidak akan melalaikannya dari ketaatan kepada-Nya, meskipun hal itu melalaikan mereka, dan tidak melemahkannya dari menunaikan hak-Nya, meskipun hal itu melemahkan mereka, agar mereka mengetahui bahwa beliau lebih mampu dalam ketaatan kepada Allah Ta‘ala dan lebih tegak dalam menunaikan hak-Nya. Jika dikatakan: Maka perkataan asy-Syafi‘i “agar Allah menambahkannya, insya Allah, sebagai bentuk kedekatan kepada-Nya” seakan-akan menunjukkan keraguan hingga beliau menyertakan pengecualian dengan kehendak Allah Ta‘ala.
قِيلَ: لَيْسَتْ شَكًّا وَفِيهَا لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
Dijawab: Itu bukanlah keraguan, dan dalam hal ini menurut ulama kami ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَحْقِيقٌ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {سَتَجِدُنِي إنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِينَ} (الصافات: 102) .
Pertama: Bahwa itu adalah bentuk penegasan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Engkau akan mendapatiku, insya Allah, termasuk orang-orang yang sabar} (ash-Shaffat: 102).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا بِمَعْنَى إِذَا شَاءَ اللَّهُ، وَتَكُونُ بمعنى، إذ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إنْ شَاءَ اللهُ آمِنينَ) {الفتح: 27) .
Pendapat kedua: Bahwa itu bermakna “jika Allah menghendaki”, dan bermakna sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Sungguh kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah, dalam keadaan aman} (al-Fath: 27).
مسألة
Masalah
” فَمِنْ ذَلِكَ أَنَّ كُلَّ مَنْ مَلَكَ زَوْجَةً فليس عليه تخييرها وأمر عليه الصلاة والسلام أَنْ يُخَيِّرَ نَسَاءَهُ فَاخْتَرْنَهُ “.
Di antara hal itu adalah bahwa setiap orang yang memiliki istri tidak wajib memberikan pilihan kepada istrinya, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk memberikan pilihan kepada para istrinya, lalu mereka memilih beliau.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ مَا خُصَّ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي مَنَاكِحِهِ دُونَ غَيْرِهِ لِأَمْرَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Ini benar, asy-Syafi‘i menyebutkan apa yang dikhususkan bagi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dalam pernikahannya, tidak pada selainnya, karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كِتَابُ النِّكَاحِ فَأَوْرَدَ مَا اخْتُصَّ بِالنِّكَاحِ.
Pertama: Karena ini adalah kitab nikah, maka beliau menyebutkan apa yang khusus dalam masalah nikah.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَنْقُولٌ عَنْهُ مِنْ ” أَحْكَامِ الْقُرْآنِ ” فَأَوْرَدَ مِنْهُ مَا نَصَّ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ فِي الْقُرْآنِ، فَمِنْ ذَلِكَ وَهُوَ مَا خُصَّ بِهِ تَغْلِيظًا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ عَلَيْهِ تَخْيِيرَ نِسَائِهِ وَلَمْ يُوجِبْ ذَلِكَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ خلقه، فقال تعالى: {يَأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ إنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاً، وَإنْ كُنْتُنَّ تُرْدْنَّ اللهَ وَرَسُولََهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ فإنَّ اللهَ أَعَدَّ للْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْراً عَظِيماً) {الأحزاب: 28، 29) ، فَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيمَا خَيَّرَهُنَّ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِيهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Kedua: Karena itu dinukil darinya dari “Ahkam al-Qur’an”, maka beliau menyebutkan darinya apa yang Allah Ta‘ala tegaskan dalam al-Qur’an. Di antara hal itu, yang merupakan kekhususan dalam bentuk pengetatan, adalah bahwa Allah Ta‘ala mewajibkan atas beliau untuk memberikan pilihan kepada para istrinya dan tidak mewajibkan hal itu kepada seorang pun dari makhluk-Nya. Allah Ta‘ala berfirman: {Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan berikan kepada kalian mut‘ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kalian menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi orang-orang yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar} (al-Ahzab: 28-29). Maka para ulama berbeda pendapat mengenai hal apa yang Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– memberikan pilihan kepada mereka, menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ خَيَّرَهُنَّ بَيْنَ اخْتِيَارِ الدُّنْيَا فَيُفَارِقُهُنَّ وَبَيْنَ اخْتِيَارِ الْآخِرَةِ فَيُمْسِكُهُنَّ، ولم يخيرهن الطَّلَاقَ، وَهَذَا قَوْلُ الْحَسَنِ وَقَتَادَةَ.
Salah satunya: bahwa beliau memberi pilihan kepada mereka antara memilih dunia, maka beliau akan menceraikan mereka, atau memilih akhirat, maka beliau akan mempertahankan mereka. Beliau tidak memberi pilihan berupa talak. Ini adalah pendapat al-Hasan dan Qatadah.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ خيرهن بين الطلاق أو المقام، وَهَذَا قَوْلُ عَائِشَةَ، وَمُجَاهِدٍ، وَهُوَ الْأَشْبَهُ بِقَوْلِ الشَّافِعِيِّ.
Yang kedua: bahwa beliau memberi pilihan kepada mereka antara talak atau tetap tinggal (bersama beliau). Ini adalah pendapat ‘Aisyah dan Mujahid, dan ini lebih mendekati pendapat asy-Syafi‘i.
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي سَبَبِ هَذَا التَّخْيِيرِ عَلَى خَمْسَةِ أَقَاوِيلَ:
Para ahli ilmu berbeda pendapat mengenai sebab adanya pilihan ini menjadi lima pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّ نِسَاءَهُ تَغَايَرْنَ عَلَيْهِ فَحَلَفَ أَنْ لَا يُكَلِّمَهُنَّ شَهْرًا فَأُمِرَ بِتَخْيِيرِهِنَّ، وَهَذَا قَوْلُ عَائِشَةَ.
Salah satunya: bahwa istri-istri beliau saling cemburu terhadap beliau, lalu beliau bersumpah tidak akan berbicara dengan mereka selama sebulan, kemudian beliau diperintahkan untuk memberi mereka pilihan. Ini adalah pendapat ‘Aisyah.
وَالثَّانِي: أَنَّهُنَّ اجْتَمَعْنَ يَوْمًا وَقُلْنَ: نُرِيدُ ما تريد النِّسَاءَ مِنَ الثِّيَابِ وَالْحُلِيِّ وَطَالَبْنَهُ وَكَانَ غَيْرَ مستطيع فأمر بتخييرهن (حكاه النقاش) .
Yang kedua: bahwa pada suatu hari mereka berkumpul dan berkata, “Kami menginginkan apa yang diinginkan para wanita berupa pakaian dan perhiasan,” lalu mereka menuntutnya, sedangkan beliau tidak mampu memenuhinya, maka beliau diperintahkan untuk memberi mereka pilihan (sebagaimana dikisahkan oleh an-Naqqasy).
وَالثَّالِثُ: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَرَادَ امْتِحَانَ قُلُوبِهِنَّ لِيَرْتَضِيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَيْرَ نِسَاءِ خَلْقِهِ، فَخَيَّرَهُنَّ. وَالرَّابِعُ: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى صَانَ خَلْوَةَ نَبِيِّهِ، فَخَيَّرَهُنَّ عَلَى أَنْ لَا يَتَزَوَّجْنَ بَعْدَهُ فَلَمَّا أَجَبْنَ إِلَى ذَلِكَ أَمْسَكَهُنَّ، وَهَذَا قَوْلُ مُقَاتِلٍ.
Yang ketiga: bahwa Allah Ta‘ala menghendaki untuk menguji hati mereka agar Rasulullah ﷺ memilih istri terbaik dari makhluk-Nya, maka beliau memberi mereka pilihan. Yang keempat: bahwa Allah Ta‘ala menjaga kehormatan Nabi-Nya, maka beliau memberi mereka pilihan dengan syarat mereka tidak menikah lagi setelah beliau. Ketika mereka menerima hal itu, beliau mempertahankan mereka. Ini adalah pendapat Muqatil.
وَالْخَامِسُ: أَنَّ اللَّهَ تعالى خير نبيه بين الغنى وبين الفقر، فَنَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُقْرِئُكَ السَّلَامَ، وَيَقُولُ: إِنْ شِئْتَ يَا مُحَمَّدُ جعلت لك جبالاً ذَهَبًا فَقَالَ صِفْ لِي الدُّنْيَا فَقَالَ حَلَالُهَا حِسَابٌ، وَحَرَامُهَا عَذَابٌ، فَاخْتَارَ الْفَقْرَ عَلَى الْغِنَى وَالْآخِرَةَ عَلَى الدُّنْيَا، وَقَالَ: لِأَنْ أَجُوعَ يَوْمًا فأحبروأشبع يَوْمًا فَأَشْكُرُ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ فَحِينَئِذٍ أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِتَخْيِيرِ نِسَائِهِ، لِمَا فِي طِبَاعِ النِّسَاءِ مِنْ حُبِّ الدُّنْيَا فَلَمَّا نَزَلَ عَلَيْهِ التَّخْيِيرُ بَدَأَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِعَائِشَةَ وَكَانَتْ أَحَبَّ نِسَائِهِ إِلَيْهِ وَأَحْدَثَهُنَّ سِنًّا – فتلا عليها آية التخيير – حتى تستأمري أَبَوَيْكِ -، لِأَنَّهُ خَافَ مَعَ حُبِّهِ لَهَا أَنْ تُعَجِّلَ لِحَدَاثَةِ سِنِّهَا فَتَخْتَارُ الدُّنْيَا، فَقَالَتْ: أَفَيَكَ يا رسول الله استأمر أبويّ، قَدِ اخْتَرْتُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ وَسَأَلَتْهُ أَنْ يَكْتُمَ عَلَيْهَا اخْتِيَارَهَا عِنْدَ أَزْوَاجِهِ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ما كان النبي أَنْ يَغُلَّ، ثُمَّ دَخَلَ عَلَى أَزْوَاجِهِ فَكَانَ إِذَا دَخَلَ عَلَى وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ تَلَا عَلَيْهَا الْآيَةَ تَقُولُ: مَا اخْتَارَتْ عَائِشَةُ، فَيَقُولُ: اخْتَارَتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ الضَّحَّاكِ الْكِلَابِيَّةِ وَكَانَتْ مِنْ أَزْوَاجِهِ فَلَمَّا تَلَا عَلَيْهَا الْآيَةَ فَقَالَتْ: قَدِ اخْتَرْتُ الحياة الدنيا وزينتها فَسَرَّحَهَا فَلَمَّا كَانَ فِي زَمَنِ عُمَرَ وُجِدَتْ تَلْقُطُ الْبَعْرَ وَهِيَ تَقُولُ اخْتَرْتُ الدُّنْيَا عَلَى الآخرة فلا دنيا ولا أخرة.
Yang kelima: bahwa Allah Ta‘ala memberi pilihan kepada Nabi-Nya antara kekayaan dan kemiskinan. Maka turunlah Jibril dan berkata, “Sesungguhnya Allah Ta‘ala menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Jika engkau mau, wahai Muhammad, Aku akan menjadikan untukmu gunung-gunung emas.” Beliau pun bertanya, “Jelaskanlah kepadaku tentang dunia.” Jibril menjawab, “Yang halal darinya akan dihisab, dan yang haram darinya adalah azab.” Maka beliau memilih kemiskinan daripada kekayaan, dan akhirat daripada dunia, serta berkata, “Lebih baik aku lapar sehari lalu aku bersabar, dan kenyang sehari lalu aku bersyukur, itu lebih baik daripada dunia dan seisinya. Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku dalam kelompok orang-orang miskin.” Saat itulah Allah Ta‘ala memerintahkan beliau untuk memberi pilihan kepada istri-istrinya, karena dalam tabiat wanita terdapat kecintaan kepada dunia. Ketika ayat pilihan itu turun kepada beliau, Rasulullah ﷺ memulai dari ‘Aisyah, yang merupakan istri yang paling beliau cintai dan yang paling muda usianya. Beliau membacakan ayat pilihan kepadanya, “Agar engkau bermusyawarah dengan kedua orang tuamu,” karena beliau khawatir, dengan kecintaannya kepada ‘Aisyah dan karena usianya yang masih muda, ia akan tergesa-gesa memilih dunia. Maka ‘Aisyah berkata, “Apakah aku perlu bermusyawarah dengan kedua orang tuaku dalam urusanmu, wahai Rasulullah? Aku telah memilih Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat.” Ia meminta kepada beliau agar merahasiakan pilihannya dari istri-istri yang lain. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah pantas bagi seorang nabi untuk berkhianat.” Kemudian beliau masuk menemui istri-istrinya satu per satu. Setiap kali beliau masuk kepada salah satu dari mereka, beliau membacakan ayat itu, dan mereka berkata, “Apa yang dipilih oleh ‘Aisyah?” Beliau menjawab, “Ia memilih Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat.” Hingga beliau masuk kepada Fathimah binti adh-Dhahak al-Kilabiyyah, salah satu istrinya. Ketika beliau membacakan ayat itu kepadanya, ia berkata, “Aku memilih kehidupan dunia dan perhiasannya.” Maka beliau menceraikannya. Pada masa pemerintahan ‘Umar, ia ditemukan sedang memungut kotoran sambil berkata, “Aku memilih dunia daripada akhirat, maka aku tidak mendapatkan dunia maupun akhirat.”
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ تَخْيِيرِهِنَّ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى حُكْمِ الِاخْتِيَارِ.
Setelah jelas apa yang telah kami uraikan tentang pemberian pilihan kepada mereka, maka pembahasan berlanjut kepada hukum dari pilihan tersebut.
فَإِنْ قِيلَ: عَلَيْهِ السَّلَامُ خَيَّرَهُنَّ بَيْنَ اخْتِيَارِ الدُّنْيَا فَيُفَارِقُهُنَّ وَبَيْنَ اخْتِيَارِ الْآخِرَةِ فَيُمْسِكُهُنَّ لَمْ يَقَعْ بِهَذَا الِاخْتِيَارِ طَلَاقٌ حَتَّى يُطَلِّقَهُنَّ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُطَلِّقَهُنَّ إِنِ اخْتَرْنَ الدُّنْيَا كَمَا طَلَّقَ فَاطِمَةَ بِنْتَ الضَّحَّاكِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاً) {الأحزاب: 28) . والسراح الجميل يحتمل ثلاث تَأْوِيلَاتٍ:
Jika dikatakan: Nabi ﷺ memberi mereka pilihan antara memilih dunia, maka beliau akan menceraikan mereka, atau memilih akhirat, maka beliau akan mempertahankan mereka. Dengan pilihan ini belum terjadi talak sampai beliau benar-benar menceraikan mereka. Dan beliau wajib menceraikan mereka jika mereka memilih dunia, sebagaimana beliau menceraikan Fathimah binti adh-Dhahak, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, akan aku berikan kepada kalian mut‘ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik} (al-Ahzab: 28). Dan “cara yang baik” (saraahan jamiilan) itu memiliki tiga penafsiran:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ الصَّرِيحُ مِنَ الطَّلَاقِ دُونَ الْكِنَايَةِ لِئَلَّا يُرَاعَى فِيهِ النِّيَّةُ.
Salah satunya: bahwa itu adalah talak yang jelas (sharih), bukan dengan sindiran (kinayah), agar tidak perlu memperhatikan niat di dalamnya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أقل من ثلاث لتمكن فيه الرجعة.
Dan yang kedua: Bahwa jumlahnya kurang dari tiga agar masih dimungkinkan rujuk.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يُوَفِّيَ فِيهِ الصَّدَاقَ وَيَدْفَعَ فِيهِ الْمُتْعَةَ فَإِنْ طَلَّقَ الْمُخْتَارَةَ مِنْهُنَّ أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ فَهَلْ يَقَعُ طَلَاقُهَا بَائِنًا لَا يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dan yang ketiga: Hendaknya ia menyempurnakan pembayaran mahar dan memberikan mut‘ah. Jika ia menceraikan salah satu dari mereka yang memilihnya dengan talak kurang dari tiga, apakah talaknya menjadi talak bain yang tidak dapat dirujuk lagi atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ كَطَلَاقِ غَيْرِهِ مِنْ أُمَّتِهِ رَجْعِيًّا وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونَ بَائِنًا لَا رَجْعَةَ فِيهِ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى غَلَّظَ عَلَيْهِ فِي التَّخْيِيرِ فَيُغَلَّظُ عَلَيْهِ الطَّلَاقُ، وَفِي تَحْرِيمِهِنَّ بِذَلِكَ عَلَى التَّأْبِيدِ وَجْهَانِ:
Salah satunya: Bahwa talaknya seperti talak terhadap selain mereka dari umatnya, yaitu talak raj‘i. Pendapat kedua: Bahwa talaknya menjadi bain yang tidak dapat dirujuk, karena Allah Ta‘ala telah memberatkan dalam masalah takhyīr, maka talaknya pun diperberat. Dan dalam hal pengharaman mereka secara abadi, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَحْرُمْنَ عَلَى التأبيد يكون سَرَاحًا جَمِيلًا.
Salah satunya: Tidak menjadi haram secara abadi, melainkan menjadi perpisahan yang baik.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَدْ حَرُمْنَ عَلَى الْأَبَدِ، لِأَنَّهُنَّ اخْتَرْنَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ فَلَمْ يَكُنَّ مِنْ أَزْوَاجِهِ فِي الْآخِرَةِ فَهَذَا حُكْمُهُنَّ إِذَا قِيلَ إِنَّ تَخْيِيرَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّمَا كَانَ تَخْيِيرًا بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَأَمَّا إِذَا قِيلَ وَهُوَ الْأَظْهَرُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ إِنَّهُ خيرهن بين الطلاق أو المقام فَتَخْيِيرُ غَيْرِهِ مَنْ أُمَّتِهِ يَكُونُ كِنَايَةً يَرْجِعُ فِيهِ إِلَى نِيَّةِ الزَّوْجِ فِي تَخْيِيرِهَا وَإِلَى نية الزوجة في اختيارها.
Dan pendapat kedua: Mereka menjadi haram untuk selama-lamanya, karena mereka memilih dunia daripada akhirat, sehingga mereka tidak menjadi istri-istrinya di akhirat. Inilah hukum mereka jika dikatakan bahwa takhyīr Nabi ﷺ hanyalah pilihan antara dunia dan akhirat. Adapun jika dikatakan—dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat—bahwa beliau memberi pilihan antara talak atau tetap bersama, maka takhyīr terhadap selain beliau dari umatnya dianggap sebagai kinayah yang kembali kepada niat suami dalam memberi pilihan dan niat istri dalam memilih.
وقال مالك: وهو صَرِيحٌ، فَإِنْ لَمْ تَخْتَرْ نَفْسَهَا كَانَ صَرِيحًا في طلقه بائن.
Malik berkata: Itu adalah sharih (jelas), maka jika ia tidak memilih dirinya sendiri, maka itu adalah sharih dalam talak bain.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ لَمْ تَخْتَرْ نَفْسَهَا لَمْ تُطَلَّقْ وَإِنِ اخْتَارَتْ نَفْسَهَا كَانَ صَرِيحًا في طلقه بائن لا يرجع فيه إلى نية أحد منهما، وللكلام عليهما مَوْضِعٌ يَأْتِي.
Abu Hanifah berkata: Jika ia tidak memilih dirinya sendiri, maka tidak terjadi talak. Namun jika ia memilih dirinya sendiri, maka itu adalah sharih dalam talak bain yang tidak kembali kepada niat salah satu dari keduanya, dan pembahasan tentang keduanya akan dijelaskan pada tempatnya.
وَأَمَّا تَخْيِيرُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ففيه وجهان:
Adapun takhyīr Nabi ﷺ, maka terdapat dua pendapat:
أحدهما: أنه كناية لتخيير غَيْرِهِ يَرْجِعُ فِيهِ إِلَى نِيَّتِهِمَا.
Salah satunya: Bahwa itu adalah kinayah seperti takhyīr selain beliau, yang kembali kepada niat keduanya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أنه صريح في الطلاق لا يُرَاعَى فِيهِ النِّيَّةُ لِخُرُوجِهِ مَخْرَجَ التَّغْلِيظِ عَلَى نَبِيِّهِ ثُمَّ هَلْ يَكُونُ بَائِنًا يُوجِبُ تَحْرِيمَ الأبد أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ، ثم تخيير غيره من أمته يراعى في اختيار الزوجة على الفور فمتى تَرَاخَى اخْتِيَارُهَا بَطُلَ، لِأَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْهِبَةِ فِي تَعْجِيلِ قَبُولِهَا عَلَى الْفَوْرِ، فَأَمَّا تَخْيِيرُ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَهُنَّ فِي هَذِهِ الْحَالِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: Bahwa itu adalah sharih dalam talak, tidak memperhatikan niat karena keluar dalam bentuk pemberatan terhadap Nabi-Nya. Kemudian, apakah itu menjadi talak bain yang menyebabkan keharaman abadi atau tidak? Sebagaimana telah disebutkan dua pendapat sebelumnya. Kemudian, takhyīr selain beliau dari umatnya, dalam memilih istri harus segera dilakukan; jika ia menunda pilihannya, maka batal, karena hal itu serupa dengan hibah yang harus segera diterima. Adapun takhyīr Nabi ﷺ kepada mereka dalam keadaan ini, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُرَاعَى فِيهِ تَعْجِيلُ الِاخْتِيَارِ عَلَى الْفَوْرِ، فَإِنْ تراخى بطل حكمه، لما ذكرنا من اعتبار بِقَبُولِ الْهِبَةِ الَّتِي هُوَ وَغَيْرُهُ مِنْ أُمَّتِهِ فِيهَا سَوَاءٌ.
Salah satunya: Harus segera memilih, jika ditunda maka batal hukumnya, sebagaimana telah disebutkan terkait penerimaan hibah, di mana beliau dan selain beliau dari umatnya sama dalam hal ini.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ اخْتِيَارَهُنَّ عَلَى التراخي لما اختصصن به من النَّظَرِ لِأَنْفُسِهِنَّ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِعَائِشَةَ: – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – حِينَ خَيَّرَهَا: ” اسْتَأْمِرِي أَبَوَيْكِ ” فَلَوْلَا أَنَّهُ عَلَى التَّرَاخِي لَكَانَ بالاستئمار يبطل الاختيار.
Pendapat kedua: Pilihan mereka boleh ditunda, karena mereka memiliki kekhususan untuk mempertimbangkan diri mereka antara dunia dan akhirat. Dan karena Nabi ﷺ berkata kepada ‘Aisyah—raḍiyallāhu ‘anhā—ketika memberi pilihan: “Mintalah pendapat kedua orang tuamu.” Kalau bukan karena boleh ditunda, tentu dengan meminta pendapat itu akan membatalkan pilihan.
فصل
Fasal
فأما أَنَّهُ التَّخْيِيرُ فَفِيهَا دَلَائِلُ عَلَى خَمْسَةِ أَحْكَامٍ: أَحَدُهَا: أَنَّ الزَّوْجَ إِذَا أُعْسِرَ بِنَفَقَةِ زَوْجَتِهِ فَلَهَا خِيَارُ الْفَسْخِ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُتْعَةَ تَجِبُ لِلْمَدْخُولِ بِهَا إِذَا طُلِّقَتْ. وَالثَّالِثُ: جَوَازُ تَعْجِيلِهَا قَبْلَ الطَّلَاقِ وَكَذَلِكَ تَعْجِيلُ حُقُوقِ الْأَمْوَالِ قَبْلَ الْوُجُوبِ. وَالرَّابِعُ: أَنَّ السَّرَاحَ صَرِيحٌ فِي الطَّلَاقِ. وَالْخَامِسُ: أَنَّ الْمُتْعَةَ غَيْرُ مُقَدَّرَةٍ شَرْعًا، وَاللَّهُ أعلم.
Adapun tentang takhyīr, di dalamnya terdapat dalil atas lima hukum: Pertama, bahwa suami jika tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya, maka istri berhak memilih untuk fasakh (membatalkan pernikahan). Kedua, bahwa mut‘ah wajib diberikan kepada istri yang telah digauli jika dicerai. Ketiga, bolehnya mempercepat pemberian mut‘ah sebelum talak, demikian pula mempercepat hak-hak harta sebelum wajib. Keempat, bahwa sarāḥ adalah sharih dalam talak. Kelima, bahwa mut‘ah tidak ditentukan kadarnya secara syar‘i. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فقال تَعَالَى: {لاَ يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ} (الأحزاب: 52) “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Allah Ta‘ala berfirman: {Tidak halal bagimu menikahi perempuan-perempuan lain sesudah itu} (Al-Ahzab: 52).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا أَوْجَبَ عَلَى نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَخْيِيرَ نِسَائِهِ فَاخْتَرْنَهُ حَظَرَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ طَلَاقَهُنَّ وَحَظَرَ عَلَيْهِ أَنْ يَتَزَوَّجَ عَلَيْهِنَّ اسْتِبْدَالًا بِهِنَّ فَخَصَّهُ بِتَحْرِيمِ طَلَاقِهِنَّ وَتَحْرِيمِ التَّزْوِيجِ عَلَيْهِنَّ تَغْلِيظًا عَلَيْهِ، وَمُكَافَأَةً لَهُنَّ عَلَى صَبْرِهِنَّ مَعَهُ عَلَى مَا كَانَ فِيهِ مِنْ ضِيقٍ وَشِدَّةٍ، فقال سبحانه تَعَالَى: {لاَ يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ ولاَ أَنْ تَبَدّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ} لا يحل لك النساء من بعد نساءك اللَّاتِي خَيَّرْتَهُنَّ فَاخْتَرْنَ اللَّهَ وِرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ وَهُنَّ التِّسْعُ اللَّاتِي مَاتَ عَنْهُنَّ بَعْدَ الْعَاشِرَةِ الَّتِي فَارَقَهَا فَصَارَ مَقْصُورًا عَلَيْهِنَّ وَمَمْنُوعًا مِنْ غَيْرِهِنَّ وَإِنَّ أَعْجَبَهُ حُسْنُهُنَّ.
Al-Mawardi berkata: Hal itu karena Allah Ta‘ala, ketika mewajibkan kepada Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – untuk memberikan pilihan kepada para istrinya, lalu mereka memilih beliau, maka Allah Ta‘ala melarang beliau menceraikan mereka dan melarang beliau menikahi wanita lain sebagai pengganti mereka. Maka Allah mengkhususkan beliau dengan pengharaman menceraikan mereka dan pengharaman menikahi wanita lain di atas mereka, sebagai bentuk penegasan (pembebanan) kepada beliau dan sebagai balasan bagi mereka atas kesabaran mereka bersama beliau dalam kondisi sempit dan sulit. Allah Ta‘ala berfirman: {Tidak halal bagimu wanita-wanita setelah itu, dan tidak (pula) boleh mengganti mereka dengan istri-istri lain, meskipun kecantikan mereka menarik hatimu} (QS. Al-Ahzab: 52). Maksudnya, tidak halal bagimu wanita-wanita setelah istri-istrimu yang telah engkau beri pilihan lalu mereka memilih Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat, yaitu sembilan istri yang beliau wafat meninggalkan mereka, setelah yang kesepuluh yang telah beliau ceraikan. Maka beliau terbatas hanya pada mereka dan terlarang dari selain mereka, meskipun beliau tertarik pada kecantikan wanita lain.
وَقِيلَ: إِنَّ الَّتِي أَعْجَبَهُ حُسْنُهَا أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ بَعْدَ قَتْلِ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَنْهَا فَجَازَاهُنَّ اللَّهُ تَعَالَى فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ طَلَاقِهِنَّ وَالتَّزْوِيجِ عَلَيْهِنَّ، لأنه أحب الأشياء إلى النساء إذا اخترنا أزواجهن أن جازاهن بالجنة في الآخرة لقول الله تَعَالَى: {وَإنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ فَإنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْراً عَظِيماً) {الأحزاب: 29) .
Ada pula yang mengatakan: Wanita yang kecantikannya menarik hati beliau adalah Asma’ binti Umais setelah terbunuhnya Ja‘far bin Abi Thalib. Maka Allah Ta‘ala membalas para istri Nabi di dunia dengan mengharamkan perceraian dan pernikahan di atas mereka, karena hal yang paling dicintai wanita adalah jika mereka memilih suaminya, maka Allah membalas mereka dengan surga di akhirat, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kalian menghendaki Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar} (QS. Al-Ahzab: 29).
وَالْمُحْسِنَاتُ هُنَّ الْمُخْتَارَاتُ لِرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – والأجر العظيم هي الجنة، وأن اللَّهَ تَعَالَى أَكْرَمَهُنِ فِي الدُّنْيَا وَفَضَّلَهُنَّ عَلَى غَيْرِهِنَّ مِنَ النِّسَاءِ بِتِسْعِ خصالٍ نَذْكُرُ تَفْصِيلَهَا مِنْ بَعْدُ مَشْرُوحَةً إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى.
Wanita-wanita yang berbuat baik itu adalah mereka yang memilih Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan pahala yang besar itu adalah surga. Allah Ta‘ala telah memuliakan mereka di dunia dan melebihkan mereka atas wanita-wanita lain dengan sembilan keutamaan yang akan kami sebutkan rinciannya setelah ini, insya Allah Ta‘ala.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” قالت عائشة رضي الله عنها مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حَتَى أُحِلَّ لَهُ النِّسَاءُ قَالَ كَأَنَّهَا تَعْنِي اللَّاتِي حَظَرَهُنَّ عَلَيْهِ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak wafat hingga dihalalkan bagi beliau wanita-wanita (lain).’ Seolah-olah ia maksudkan wanita-wanita yang sebelumnya diharamkan atas beliau.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرَنَا في حظر اللَّهُ عَلَى نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في طَلَاقِ نِسَائِهِ بَعْدَ تَخْيِيرِهِنَّ وَتَحْرِيمِ نِكَاحِ النِّسَاءِ عَلَيْهِنَّ، فَأَمَّا تَحْرِيمُ طَلَاقِهِنَّ فَقَدْ كَانَ بَاقِيًا عَلَيْهِ إِلَى أَنْ قَبَضَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَيْهِ، وما كان من طلاقه لحفصة واسترجاعها وَإِزْمَاعِهِ طَلَاقُ سَوْدَةَ حَتَّى وَهَبَتْ يَوْمَهَا لِعَائِشَةَ، فإنما كان قبل التخيير، وإنما تَحْرِيمُ النِّكَاحِ فَقَدِ اخْتُلِفَ فِي ثُبُوتِ حُكْمِهِ ونسخه، فكعم بَعْضُ أَهْلِ الْعِرَاقِ: أَنَّ تَحْرِيمَ النِّكَاحِ عَلَيْهِ كَانَ ثَابِتًا إِلَى أَنْ قَبَضَهُ اللَّهُ تَعَالَى إليه بدلالة أشياء.
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan tentang larangan Allah atas Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dalam menceraikan istri-istrinya setelah memberi mereka pilihan, dan pengharaman menikahi wanita lain di atas mereka. Adapun pengharaman menceraikan mereka, maka itu tetap berlaku hingga Allah Ta‘ala mewafatkan beliau. Adapun perceraian beliau terhadap Hafshah dan kemudian mengambilnya kembali, serta niat beliau untuk menceraikan Saudah hingga Saudah menyerahkan gilirannya kepada Aisyah, semua itu terjadi sebelum peristiwa pemilihan (takhyir). Adapun pengharaman menikahi wanita lain, maka terdapat perbedaan pendapat mengenai keberlakuan dan penghapusannya. Sebagian ahli Irak berpendapat bahwa pengharaman menikahi wanita lain atas beliau tetap berlaku hingga Allah Ta‘ala mewafatkan beliau, berdasarkan beberapa dalil.
أحدهما: قَوْله تَعَالَى: {لاَ يَحِلُّ لَكَ النّسَاءَ مِنْ بَعْدُ) {الأحزاب: 52) ، وكان هَذَا عَلَى الْأَبَدِ.
Pertama: Firman Allah Ta‘ala: {Tidak halal bagimu wanita-wanita setelah itu} (QS. Al-Ahzab: 52), dan ini berlaku selamanya.
وَالثَّانِي: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَهُ مُقَابَلَةً عَلَى اخْتِيَارِهِنَّ عَلَى طَرِيقِ الْجَزَاءِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَعَقَّبَهُ رُجُوعٌ.
Kedua: Allah Ta‘ala menjadikannya sebagai balasan atas pilihan mereka, sehingga tidak boleh ada pembatalan setelahnya.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ تَحْرِيمُ طَلَاقِهِنَّ بَاقِيًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَحْرِيمُ النِّكَاحِ عَلَيْهِنَّ بَاقِيًا، لِأَنَّهُمَا جَمِيعًا جَزَاءٌ.
Ketiga: Karena pengharaman menceraikan mereka tetap berlaku, maka pengharaman menikahi wanita lain di atas mereka pun harus tetap berlaku, karena keduanya merupakan balasan.
وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ تَحْرِيمَ النِّكَاحِ عليهن نسخ حِينَ اتَّسَعَتِ الْفُتُوحُ، فَإِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا مَاتَ حَتَّى أُحِلَّ لَهُ النِّسَاءُ، وَهَذَا قول عائشة وأبي بن كعب، والدليل قوله تعالى: {يَأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أزْوَاجِكَ اللاَّتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللهُ عَلَيْكَ} الآية (الأحزاب: 50) .
Sedangkan Asy-Syafi‘i berpendapat bahwa pengharaman menikahi wanita lain atas mereka telah dihapuskan ketika wilayah-wilayah Islam telah meluas. Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak wafat kecuali telah dihalalkan bagi beliau wanita-wanita (lain). Ini adalah pendapat Aisyah dan Ubay bin Ka‘b. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maharnya dan hamba sahaya yang engkau miliki dari apa yang Allah anugerahkan kepadamu} (QS. Al-Ahzab: 50).
والإحلال يقضي عدم الْحَظْرِ، وَلَمْ يُحْظَرْ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – النِّكَاحُ قَبْلَ التَّخْيِيرِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْإِحْلَالَ والإباحة بعد حظر التخيير.
Penghalalan itu menunjukkan tidak adanya larangan. Tidak pernah diharamkan atas Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – untuk menikah sebelum peristiwa pemilihan, maka ini menunjukkan bahwa penghalalan dan kebolehan itu datang setelah adanya larangan akibat peristiwa pemilihan.
فإن قيل: فإن الإحلال إنما يوجه إلى نسائه اللاتي خيرهن واخترنه وهذا قول مجاهد قيل: لَا يَصِحُّ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Jika dikatakan: Sesungguhnya penghalalan itu hanya ditujukan kepada istri-istrinya yang telah beliau beri pilihan dan mereka memilih beliau—dan ini adalah pendapat Mujahid—maka dijawab: Itu tidak sah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُنَّ قَدْ كن حلاله قبل نزول هذه الآية بإحلالهن.
Pertama: Mereka sudah halal baginya sebelum turunnya ayat ini karena mereka telah memilih beliau.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَالَ فِيهَا: {وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ) {الأحزاب: 50) ولم يكن في نسائه المتخيرات أَحَدٌ مِنْ بَنَاتِ عَمِّهِ وَلَا مِنْ بَنَاتِ عماته.
Kedua: Dalam ayat tersebut disebutkan: {dan putri-putri pamanmu dari pihak ayah, dan putri-putri pamanmu dari pihak ibu} (al-Ahzab: 50), padahal di antara istri-istri beliau yang telah diberi pilihan tidak ada seorang pun dari putri-putri paman beliau dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
فإن قيل؛ فهذه الآية متقدمة على التلاوة على قوله تعالى: {لاَ تَحِلُّ لَكَ النِّسَاء مِنْ بَعْدُ} وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُتَقَدِّمُ نَاسِخًا لِلْمُتَأَخِّرِ، قِيلَ هِيَ وَإِنْ كَانَتْ مُتَقَدِّمَةً فِي التِّلَاوَةِ فهي متأخرة في التنزيل، فجاز النسخ بِهَا كَمَا أَنَّ قَوْله تَعَالَى: {وَالّذِينَ يُتَوَفَوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أشْهُرٍ وَعَشْراً) {البقرة: 234) نَاسِخٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالّذِينَ يَتَوَفَّوْنَ وَيَذَرُونَ أزْوَاجاً وَصِيةً لأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعاً إِلَى الْحَولِ) {البقرة: 240) وَهِيَ مُتَقَدِّمَةٌ فِي التِّلَاوَةِ لَكِنَّهَا مُتَأَخِّرَةٌ فِي التَّنْزِيلِ.
Jika dikatakan: Maka ayat ini secara urutan bacaan lebih dahulu daripada firman Allah Ta‘ala: {Tidak halal bagimu perempuan-perempuan sesudah itu} dan tidak boleh yang lebih dahulu menjadi nasikh (penghapus) bagi yang lebih akhir, maka dijawab: Meskipun ayat ini lebih dahulu dalam urutan bacaan, namun ia turun belakangan, sehingga boleh terjadi nasakh (penghapusan hukum) dengannya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka menunggu (iddah) selama empat bulan sepuluh hari} (al-Baqarah: 234) adalah nasikh bagi firman-Nya: {Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka memberi wasiat kepada istri-istri mereka, yaitu diberi nafkah sampai setahun} (al-Baqarah: 240), padahal ayat yang kedua lebih dahulu dalam urutan bacaan, namun turun belakangan.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا قُدِّمَتْ تِلَاوَةُ ما تأخر تنزيله؟
Jika dikatakan: Mengapa tidak didahulukan bacaan terhadap apa yang turun belakangan?
قيل: لأن جبريل عليه السلام كان إذا نَزَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِآيَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَمْرَهُ أَنْ يَضَعَهَا فِي موضع كذا فإن قيل: فلما أمره بتقديم تلاوة ما تأخر تنزيله قيل: لسبق الْقَارِئُ إِلَى مَعْرِفَةِ حُكْمِهِ حَتَّى إِنْ لَمْ يعرف حكم ما بعده من المنسوخ أجزأه، وَيَدُلُّ عَلَى نَسْخِ الْحَظْرِ أَيْضًا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اصْطَفَى صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ مِنْ سَبْيِ خَيْبَرَ سَنَةَ ثمانٍ فَأَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا وَذَلِكَ بَعْدَ التَّخْيِيرِ فقد قَالَتْ عَائِشَةُ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ: مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حتى أبيح له النساء، وهما بذلك أعرف؛ وَلِأَنَّ عِلَّةَ الْحَظْرِ الضِّيقُ وَالشِّدَّةُ، فَإِذَا زَالَتْ زَالَ مُوجِبُهَا، وَقَدْ فَتَحَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى رَسُولِهِ حَتَّى وَسَّعَ عَلَى نِسَائِهِ، وَأَجْرَى لِكُلِّ واحد مِنْهُنَّ ثَمَانِينَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ وَأَرْبَعِينَ صَاعًا من شعير سوى الهدايا والألطاف وأما الاستدلال بالآية فقد ذكرنا وجه نسخها، وأما الجزاء وهو مَشْرُوطٌ بِحَالِ الضِّيقِ وَالشِّدَّةِ، وَأَمَّا الطَّلَاقُ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّزْوِيجِ عَلَيْهِنَّ أَنَّ فِي طَلَاقِهِنَّ قَطْعًا لِعِصْمَتِهِنَّ وَيَخْرُجْنَ بِهِ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَزْوَاجِهِ فِي الْآخِرَةِ وَلَيْسَ فِي التَّزْوِيجِ عَلَيْهِنَّ قطع لعصمتهن فافترقا والله أعلم.
Dijawab: Karena Jibril ‘alaihis salam, ketika turun kepada Rasulullah ﷺ dengan satu ayat dari al-Qur’an, beliau memerintahkan untuk meletakkannya di tempat tertentu. Jika ditanyakan: Mengapa beliau memerintahkan mendahulukan bacaan terhadap apa yang turun belakangan? Dijawab: Agar pembaca lebih dahulu mengetahui hukumnya, sehingga jika ia tidak mengetahui hukum setelahnya yang telah dinasakh, itu sudah mencukupi. Dan yang menunjukkan adanya nasakh terhadap larangan juga adalah bahwa Nabi ﷺ memilih Shafiyyah binti Huyay dari tawanan Khaibar pada tahun kedelapan, lalu beliau memerdekakannya dan menikahinya, dan itu terjadi setelah peristiwa pemilihan (takhyir). Aisyah dan Ubay bin Ka‘b berkata: Rasulullah ﷺ tidak wafat hingga dihalalkan baginya perempuan-perempuan, dan keduanya lebih mengetahui hal itu. Dan sebab larangan adalah karena kesempitan dan kesulitan, maka jika sebab itu hilang, hilang pula hukumnya. Allah Ta‘ala telah melapangkan rezeki Rasul-Nya hingga melapangkan pula bagi istri-istrinya, dan memberikan kepada masing-masing dari mereka delapan puluh sha‘ kurma dan empat puluh sha‘ gandum, di luar hadiah dan pemberian lainnya. Adapun dalil dengan ayat, telah kami sebutkan sisi nasakhnya. Adapun balasan, itu tergantung pada keadaan sempit dan sulit. Adapun perceraian, perbedaannya dengan menikahi perempuan lain atas mereka adalah bahwa dalam perceraian terdapat pemutusan ikatan mereka, sehingga mereka tidak lagi menjadi istri-istrinya di akhirat, sedangkan dalam menikahi perempuan lain atas mereka tidak ada pemutusan ikatan tersebut, maka keduanya berbeda. Allah Maha Mengetahui.
فإذا ثبت نسخ الحظر مما ذَكَرْنَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْإِبَاحَةِ هَلْ هِيَ عَامَّةٌ فِي جَمِيعِ النِّسَاءِ أَوْ مَقْصُورَةٌ عَلَى الْمُسَمَّيَاتِ فِي الْآيَةِ. إِذَا هَاجَرْنَ مَعَهُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika telah tetap adanya nasakh terhadap larangan sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenai kebolehan (ibahah) ini, apakah bersifat umum untuk seluruh perempuan atau terbatas pada yang disebutkan dalam ayat, yaitu jika mereka berhijrah bersamanya, menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْإِبَاحَةَ مَقْصُورَةٌ عَلَى المسميات مِنْ بَنَاتِ عَمِّهِ وَبَنَاتِ عَمَّاتِهِ وَبَنَاتِ خَالِهِ وَبَنَاتُ خَالَاتِهِ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَهُ، وَهَذَا قَوْلُ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ لِرِوَايَةِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أُمِّ هَانِئٍ، قَالَتْ: نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فَأَرَادَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن يتزوجني فنهي عَنِّي؛ لِأَنِّي لَمْ أُهَاجِرْ.
Pertama: Kebolehan itu terbatas pada yang disebutkan, yaitu putri-putri paman beliau dari pihak ayah, putri-putri paman beliau dari pihak ibu, putri-putri paman dari pihak ibu, dan putri-putri bibi beliau dari pihak ibu yang berhijrah bersamanya. Ini adalah pendapat Ubay bin Ka‘b berdasarkan riwayat Abu Shalih dari Ummu Hani’, ia berkata: Ayat ini turun, lalu Nabi ﷺ ingin menikahiku, namun aku dilarang karena aku tidak berhijrah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُهُمَا أَنَّ الْإِبَاحَةَ عَامَّةٌ فِي جَمِيعِ النِّسَاءِ؛ لِأَنَّهُ تَزَوَّجَ بَعْدَهَا صَفِيَّةَ، وَلَيْسَتْ مِنَ الْمُسَمَّيَاتِ فِيهَا، وَلِأَنَّ الْإِبَاحَةَ رَفَعَتْ مَا تَقَدَّمَهَا مِنَ الْحَظْرِ وَلِأَنَّهُ فِي اسْتِبَاحَةِ النِّسَاءِ أَوْسَعُ حُكْمًا مِنْ جَمِيعِ أُمَّتِهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَصِّرَ عنهم.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat, adalah bahwa kebolehan itu bersifat umum untuk seluruh perempuan, karena setelah itu beliau menikahi Shafiyyah, padahal ia tidak termasuk yang disebutkan dalam ayat tersebut. Juga karena kebolehan itu telah menghapus larangan sebelumnya, dan karena dalam hal kebolehan menikahi perempuan, beliau memiliki hukum yang lebih luas daripada seluruh umatnya, maka tidak boleh beliau lebih sempit dari mereka.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَها خَالِصةً لَكَ مِنْ دُونِ المُؤْمِنِينَ) {الأحزاب: 50) “.
Imam Syafi‘i berkata: Allah Ta‘ala berfirman: {dan perempuan mukminah, jika ia menyerahkan dirinya kepada Nabi, jika Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk orang-orang mukmin} (al-Ahzab: 50).
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مِمَّا خُصَّ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي النِّكَاحِ تَخْفِيفًا أَنْ يَنْكِحَ بِلَفْظِ الْهِبَةِ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ بَدَأَ بِذِكْرِ مَا خُصَّ بِهِ في النكاح تغليظاً، وذلك في ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini adalah di antara hal-hal yang dikhususkan bagi Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam masalah pernikahan sebagai keringanan, yaitu beliau boleh menikah dengan lafaz hibah (pemberian diri). Karena asy-Syafi‘i memulai dengan menyebutkan apa yang dikhususkan bagi beliau dalam pernikahan sebagai pengetatan, dan itu terdapat pada tiga hal.
وُجُوبُ التَّخْيِيرِ وَتَحْرِيمُ الطَّلَاقِ.
Kewajiban memberikan pilihan (takhyīr) dan pengharaman talak.
وَتَحْرِيمُ الِاسْتِبْدَالِ بِهِنَّ.
Dan pengharaman mengganti mereka (istri-istri beliau) dengan yang lain.
ثُمَّ عَقَّبَهُ بِذِكْرِ مَا خُصَّ بِهِ تَخْفِيفًا فَمِنْ ذَلِكَ أَنْ أَبَاحَهُ اللَّهُ تعالى أن يملكه نِكَاحَ الْحُرَّةِ بِلَفْظِ الْهِبَةِ مِنْ غَيْرِ بَدَلٍ يُذْكَرُ مَعَ الْعَقْدِ، وَلَا يَجِبُ مِنْ بَعْدُ فَيَكُونُ مَخْصُوصًا بِهِ مِنْ بَيْنِ أُمَّتِهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Kemudian beliau (asy-Syafi‘i) melanjutkan dengan menyebutkan apa yang dikhususkan sebagai keringanan, di antaranya adalah bahwa Allah Ta‘ala membolehkan beliau memiliki akad nikah dengan perempuan merdeka dengan lafaz hibah tanpa ada imbalan yang disebutkan dalam akad, dan tidak wajib setelahnya, sehingga hal ini menjadi kekhususan beliau di antara umatnya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَمْلِكَ نِكَاحَ الْحُرَّةِ بِلَفْظِ الْهِبَةِ وَلَا يَجُوزَ ذَلِكَ لِغَيْرِهِ مِنْ أُمَّتِهِ.
Pertama: Beliau boleh memiliki akad nikah dengan perempuan merdeka dengan lafaz hibah, dan hal itu tidak boleh bagi selain beliau dari umatnya.
والثاني: أن يسقط منه الْمَهْرُ ابْتِدَاءً مَعَ الْعَقْدِ وَانْتِهَاءً فِيمَا بَعْدَهُ وَغَيْرُهُ مِنْ أُمَّتِهِ يَلْزَمُهُ الْمَهْرُ فِيمَا بَعْدُ.
Kedua: Bahwa mahar gugur darinya sejak awal akad maupun setelahnya, sedangkan selain beliau dari umatnya tetap wajib membayar mahar setelahnya.
وقال أبو حنيفة: إنما اختص بسقوط الْمَهْرِ وَحْدَهُ، وَهُوَ وَأُمَّتُهُ سَوَاءٌ فِي جَوَازِ الْعَقْدِ بِلَفْظِ الْهِبَةِ.
Abu Hanifah berkata: Yang dikhususkan hanyalah gugurnya mahar saja, sedangkan beliau dan umatnya sama dalam kebolehan akad dengan lafaz hibah.
وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: إِنَّمَا خُصَّ بِسُقُوطِ الْمَهْرِ، وَلَيْسَ لَهُ وَلَا لِغَيْرِهِ مِنْ أُمَّتِهِ أَنْ يَعْقِدَ بِلَفْظِ الْهِبَةِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ، وَذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ، وَالدَّلِيلُ عَلَى تخصيصه بالأمرين، وإن كان للكلام مع أبو حنيفة موضع يأتي، وقوله تَعَالَى: {وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَها خَالِصةً لَكَ مِنْ دُونِ المُؤْمِنِينَ} (الأحزاب: 50) وَالْهِبَةُ تَتَمَيَّزُ بِلَفْظِهَا عقداً وَسُقُوطُ الْمَهْرِ فِيهَا بَدَلًا، وَقَدْ جَعَلَهَا خَالِصَةً لَهُ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ فَلَمْ يَجُزْ لِأَحَدٍ مِنْ أُمَّتِهِ أَنْ يُشَارِكَهُ فِي وَاحِدٍ مِنَ الحكمين.
Said bin al-Musayyab berkata: Yang dikhususkan hanyalah gugurnya mahar, dan tidak boleh bagi beliau maupun selain beliau dari umatnya untuk melakukan akad dengan lafaz hibah. Pendapat ini juga dikatakan oleh Anas bin Malik dari kalangan sahabat, dan sebagian pengikut asy-Syafi‘i juga berpendapat demikian. Dalil tentang kekhususan beliau pada dua hal tersebut—meskipun pembahasan dengan Abu Hanifah akan datang—adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk orang-orang mukmin} (al-Ahzab: 50). Hibah itu dibedakan dengan lafaznya sebagai akad, dan gugurnya mahar di dalamnya sebagai pengganti, dan Allah menjadikannya khusus untuk beliau, bukan untuk orang-orang mukmin, sehingga tidak boleh bagi siapa pun dari umatnya untuk menyamai beliau dalam salah satu dari dua hukum tersebut.
وفي الآية قراءتان:
Dalam ayat tersebut terdapat dua qira’ah (cara membaca):
أحدهما: ” إن وهبت ” بالفتح وهو خبر عما مضى، والقراءة الأخرى بالكسر، وهو شروط فِي الْمُسْتَقْبَلِ، فَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ هَلْ كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – امرأة وهبت له نَفْسَهَا بِحَسَبِ اخْتِلَافِهِمْ فِي هَاتَيْنِ الْقِرَاءَتَيْنِ، فَمَنْ قَرَأَ بِالْكَسْرِ وَجَعَلَهُ شَرْطًا فِي الْمُسْتَقْبَلِ قَالَ: لم يكن عِنْدَهُ امْرَأَةٌ مَوْهُوبَةٌ، وَبِهِ قَالَ مُجَاهِدٌ؛ وَمَنْ قرأ بالفتح جعله خَبَرًا عَنْ ماضٍ قَالَ: قَدْ كَانَتْ عِنْدَهُ امْرَأَةٌ وَهَبَتْ لَهُ نَفْسَهَا، وَاخْتَلَفُوا فِيهَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقَاوِيلَ:
Pertama: “in wahabat” dengan harakat fathah, yang merupakan pemberitaan tentang masa lalu. Qira’ah lainnya dengan harakat kasrah, yang merupakan syarat untuk masa depan. Para ulama pun berbeda pendapat, apakah di sisi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ada perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, sesuai perbedaan mereka dalam dua qira’ah ini. Barang siapa membaca dengan kasrah dan menjadikannya sebagai syarat di masa depan, ia berkata: Tidak pernah ada perempuan yang dihibahkan kepadanya. Inilah pendapat Mujahid. Sedangkan yang membaca dengan fathah dan menjadikannya sebagai pemberitaan tentang masa lalu, ia berkata: Pernah ada perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau. Mereka pun berbeda pendapat tentang siapa perempuan itu dalam empat pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّهَا أُمُّ شَرِيكٍ بِنْتُ جَابِرِ بْنِ ضَبَابٍ، وَكَانَتِ امْرَأَةً صَالِحَةً، وَهَذَا قَوْلُ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ.
Pertama: Ia adalah Ummu Syarik binti Jabir bin Dhabab, seorang perempuan saleh. Ini adalah pendapat ‘Urwah bin Zubair.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا خَوْلَةُ بِنْتُ حَكِيمٍ، وَهَذَا قَوْلُ عَائِشَةَ.
Kedua: Ia adalah Khawlah binti Hakim. Ini adalah pendapat ‘Aisyah.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا ميمونةبنت الْحَارِثِ، وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالرَّابِعُ: أَنَّهَا زَيْنَبُ بِنْتُ خُزَيْمَةَ أُمُّ الْمَسَاكِينِ امْرَأَةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، وَهَذَا قَوْلُ الشَّعْبِيِّ، وَإِذَا كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَنْ وَهَبَتْ لَهُ نَفْسَهَا، أَوْ شُرِطَ لَهُ في المستقبل أن تقبل من وهبت له نفسها خالصة مَنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ، كَانَ دَلِيلًا قَاطِعًا عَلَى من خالف.
Ketiga: Ia adalah Maimunah binti al-Harits. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas. Keempat: Ia adalah Zainab binti Khuzaymah, Ummul Masakin, seorang perempuan dari kalangan Anshar. Ini adalah pendapat asy-Sya‘bi. Jika memang di sisi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ada perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, atau disyaratkan untuk beliau di masa depan agar menerima perempuan yang menyerahkan dirinya secara khusus, bukan untuk orang-orang mukmin, maka itu adalah dalil yang tegas atas siapa pun yang menyelisihi.
وروي عَنْ سَهْلُ بْنُ سَعْدٍ السَّاعِدِيُّ: أَنَّ امْرَأَةً أَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِي منك، فقال: ” مالي فِي النِّسَاءِ مِنْ حاجةٍ ” فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَقْبَلَهَا لَأَنْكَرَ عَلَيْهَا هِبَتَهَا.
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa‘d as-Sa‘idi: Bahwa ada seorang perempuan datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah menyerahkan diriku kepadamu.” Maka beliau bersabda: “Aku tidak membutuhkan perempuan.” Seandainya beliau tidak boleh menerima perempuan tersebut, tentu beliau akan mengingkari hibah yang dilakukan perempuan itu.
فَصْلٌ: وَمِمَّا خُصَّ بِهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في مناكحه تخفيفان: أَنْ يَنْكِحَ أَيَّ عددٍ شَاءَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِغَيْرِهِ مِنْ أُمَّتِهِ أَنْ يَنْكِحَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعٍ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أزْوَاجِكَ اللاَّتِي آتَيْتَ أجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ} الآية (الأحزاب: 50) ، وأحل لَهُ مِنَ الْأَزْوَاجِ مَنْ أَتَاهَا أَجْرَهَا مِنْ غَيْرِ تَقْدِيرٍ بِعَدَدٍ ثُمَّ ذَكَرَ بَنَاتِ عَمِّهِ وعماته وخاله وخالاته مَنْ يَزِيدُ عَلَى الْأَرْبَعِ، فَدَلَّ عَلَى اخْتِصَاصِهِ بالإباحة مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ، وَقَدْ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ إِحْدَى عَشْرَةَ وَمَاتَ عَنْ تِسْعٍ وَكَانَ يَقْسِمُ لثمانٍ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْحُرُّ لِفَضْلِهِ على العبد يستبح من نكاح النساء أكثر مما يستبحه الْعَبْدُ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِفَضْلِهِ عَلَى جَمِيعِ الْأُمَّةِ يَسْتَبِيحُ مِنَ النِّسَاءِ أَكْثَرَ مِمَّا يَسْتَبِيحُهُ جَمِيعُ الْأُمَّةِ.
Fasal: Di antara kekhususan yang diberikan kepada Nabi ﷺ dalam pernikahan beliau adalah dua keringanan: Pertama, beliau boleh menikahi wanita sebanyak yang beliau kehendaki, meskipun tidak diperbolehkan bagi selain beliau dari umatnya untuk menikahi lebih dari empat wanita dalam satu akad, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maharnya dan hamba sahaya yang engkau miliki} (al-Ahzab: 50). Allah menghalalkan bagi beliau istri-istri yang telah beliau berikan maharnya tanpa batasan jumlah, kemudian Allah menyebutkan putri-putri paman beliau, bibi-bibi beliau dari pihak ayah dan ibu, yang jumlahnya melebihi empat, sehingga hal ini menunjukkan kekhususan beliau dalam kebolehan menikahi tanpa batasan jumlah. Rasulullah ﷺ pernah mengumpulkan sebelas istri dan wafat dalam keadaan memiliki sembilan istri, serta membagi giliran untuk delapan istri. Karena seorang merdeka, karena keutamaannya atas budak, diperbolehkan menikahi wanita lebih banyak daripada budak, maka sudah sepatutnya Nabi ﷺ, karena keutamaannya atas seluruh umat, diperbolehkan menikahi wanita lebih banyak daripada yang diperbolehkan bagi seluruh umat.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” حبب إليّ من دنياكم ثلاث النِّسَاءُ وَالطِّيبُ وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “.
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Dijadikan kecintaanku dari dunia kalian pada tiga hal: wanita, wewangian, dan dijadikan penyejuk mataku dalam salat.”
فاختلف أهل العلم في معنى تحبيب النساء إليه عَلَى قَوْلَيْنِ:
Para ulama berbeda pendapat tentang makna kecintaan beliau kepada wanita, menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ زِيَادَةٌ فِي الِابْتِلَاءِ وَالتَّكْلِيفِ حَتَّى لَا يَلْهُوَ بِمَا حُبِّبَ إِلَيْهِ من النساء عما كلف به مِنْ أَدَاءِ الرِّسَالَةِ وَلَا يَعْجَزَ عَنْ تَحَمُّلِ أثقال النبوة فيكون ذلك أكثر لمشاقه وأعظم لأجره.
Salah satunya: Bahwa hal itu merupakan tambahan ujian dan beban, agar beliau tidak terlena dengan apa yang dicintai dari wanita sehingga melalaikan tugas menyampaikan risalah, dan agar beliau tidak lemah dalam menanggung beban kenabian, sehingga hal itu menambah berat ujian dan memperbesar pahala beliau.
والقول الثاني: ليكون خَلْوَاتُهُ مَعَهُنَّ يُشَاهِدُهَا مِنْ نِسَائِهِ؛ فَيَزُولُ عَنْهُ مَا يَرْمِيهِ الْمُشْرِكُونَ بِهِ مِنْ أَنَّهُ سَاحِرٌ أَوْ شَاعِرٌ فَيَكُونُ تَحْبِيبُهُنَّ إِلَيْهِ عَلَى وَجْهِ اللُّطْفِ بِهِ، وَعَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ عَلَى وَجْهِ الابتلاء له، وَعَلَى أَيِّ الْقَوْلَيْنِ كَانَ فَهُوَ لَهُ فَضِيلَةٌ، وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِهِ نَقْصًا، وَهَذَا مِمَّا هو به مخصوص أيضاً.
Pendapat kedua: Agar khalwat beliau bersama para istrinya dapat disaksikan oleh mereka, sehingga hilanglah tuduhan orang-orang musyrik yang menuduh beliau sebagai tukang sihir atau penyair. Maka kecintaan kepada wanita itu merupakan bentuk kelembutan Allah kepada beliau, sedangkan menurut pendapat pertama sebagai bentuk ujian. Namun, menurut kedua pendapat tersebut, hal itu tetap merupakan keutamaan bagi beliau, meskipun pada selain beliau dianggap kekurangan. Ini juga merupakan kekhususan beliau.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: وقال تعالى: {يَا نِسَاءَ النَّبِيَّ لَسْتُنَّ كَأَحِدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنْ اتَّقَيْتُنَّ} (الأحزاب: 32) فأبانهن به مِنْ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ “.
Imam Syafi‘i berkata: Allah Ta‘ala berfirman: {Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti wanita-wanita yang lain jika kalian bertakwa} (al-Ahzab: 32), maka Allah membedakan mereka dari seluruh wanita di dunia.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا مِمَّا خَصَّ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ رَسُولَهُ مِنَ الْكَرَامَاتِ أَنْ فَضَّلَ نِسَاءَهُ عَلَى نِسَاءِ الْعَالَمِينَ، فَقَالَ تَعَالَى: {لَسْتُنَّ كَأَحِدٍ مِنَ النِّسَاءِ) {الأحزاب: 32) وَذَلِكَ لِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: أَحَدُهَا: لِمَا خَصَّهُنَّ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ خَلْوَةِ رَسُولِهِ وَنُزُولِ الْوَحْيِ بَيْنَهُنَّ. وَالثَّانِي: لِاصْطِفَائِهِنَّ لِرَسُولِهِ أَزْوَاجًا فِي الدُّنْيَا وَأَزْوَاجًا فِي الْآخِرَةِ. وَالثَّالِثُ: لِمَا ضَاعَفَهُ لَهُنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَاتِ وَعِقَابِ السَّيِّئَاتِ. وَالرَّابِعُ: لِمَا جَعَلَهُنَّ لِلْمُؤْمِنِينَ أُمَّهَاتٍ مُحَرَّمَاتٍ فَصِرْنَ بِذَلِكَ مِنْ أَفْضَلِ النِّسَاءِ، وَفِيهِ قَوْلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Ini termasuk keistimewaan yang Allah Ta‘ala khususkan bagi Rasul-Nya berupa kemuliaan, yaitu Allah memuliakan istri-istri beliau di atas seluruh wanita di dunia. Allah Ta‘ala berfirman: {Kalian tidaklah seperti wanita-wanita yang lain} (al-Ahzab: 32). Hal itu karena empat hal: Pertama, karena Allah Ta‘ala mengkhususkan mereka dengan kebersamaan Rasul-Nya dan turunnya wahyu di tengah-tengah mereka. Kedua, karena Allah memilih mereka sebagai istri Rasul-Nya di dunia dan di akhirat. Ketiga, karena Allah melipatgandakan pahala kebaikan dan hukuman atas keburukan bagi mereka. Keempat, karena Allah menjadikan mereka sebagai ibu-ibu kaum mukminin yang diharamkan (dinikahi), sehingga dengan itu mereka menjadi wanita-wanita paling utama. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: مِنْ أَفْضَلِ نِسَاءِ زَمَانِهِنَّ.
Salah satunya: Mereka adalah wanita-wanita paling utama di zaman mereka.
والثاني: أفضل النساء كلهن وفي قوله ” إن اتقيتن ” تَأْوِيلَانِ مُحْتَمَلَانِ:
Kedua: Mereka adalah wanita paling utama sepanjang masa. Adapun firman Allah “jika kalian bertakwa” memiliki dua kemungkinan tafsir:
أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهُ إِنِ اسْتَدَمْتُنَّ التَّقْوَى فَلَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ.
Salah satunya: Maksudnya, jika kalian terus-menerus bertakwa, maka kalian tidak seperti wanita-wanita yang lain.
وَالثَّانِي: مَعْنَاهُ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ فَكُنَّ أَخَصَّهُنَّ بِالتَّقْوَى، فَعَلَى التَّأْوِيلِ الْأَوَّلِ يَكُونُ مَعْنَاهُ مَعْنَى الشَّرْطِ، وَعَلَى التَّأْوِيلِ الثَّانِي مَعْنَاهُ مَعْنَى الْأَمْرِ ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: {فَلاَ تَخْضَعْنَّ بِالْقَولِ فَيَطْمَع الّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ) {الأحزاب: 32) وَفِي خُضُوعِهِنَّ بِالْقَوْلِ خَمْسَةُ تأويلات:
Kedua: Maksudnya, kalian tidak seperti wanita-wanita yang lain, maka jadilah kalian yang paling utama dalam ketakwaan. Menurut tafsir pertama, maknanya adalah syarat, sedangkan menurut tafsir kedua, maknanya adalah perintah. Kemudian Allah Ta‘ala berfirman: {Maka janganlah kalian berkata-kata dengan suara yang lembut sehingga orang yang di dalam hatinya ada penyakit akan berkeinginan} (al-Ahzab: 32). Tentang makna berbicara dengan suara lembut ini terdapat lima tafsir:
أحدها: فلا ترفعن بِالْقَوْلِ، وَهُوَ قَوْلُ السُّدِّيِّ.
Pertama: Janganlah kalian meninggikan suara dalam berbicara, ini adalah pendapat as-Suddi.
وَالثَّانِي: فَلَا تُرَخِّصْنَ بِالْقَوْلِ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.
Kedua: Janganlah kalian melunakkan suara dalam berbicara, ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.
وَالثَّالِثُ: فَلَا تكلمن بالرفث، وهو قول الحسن.
Ketiga: Janganlah kalian berbicara dengan kata-kata cabul, ini adalah pendapat al-Hasan.
والرابع: هو الْكَلَامُ الَّذِي فِيهِ مَا يَهْوَى الْمُرِيبُ، وَهُوَ قول الكلبي.
Keempat: Yaitu ucapan yang di dalamnya terdapat sesuatu yang diinginkan oleh orang yang berpenyakit hati, ini adalah pendapat al-Kalbi.
والخامس: هُوَ مَا يَدْخُلُ مِنْ قَوْلِ النِّسَاءِ فِي قُلُوبِ الرِّجَالِ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ زَيْدٍ، وَفِي قوله {فَيَطْمَع الّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ} تَأْوِيلَانِ:
Kelima: yaitu apa yang masuk ke dalam hati laki-laki dari perkataan perempuan, dan ini adalah pendapat Ibnu Zaid. Dalam firman-Nya {maka orang yang di dalam hatinya ada penyakit akan berambisi} terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الْفُجُورُ وَهُوَ قَوْلُ السُّدِّيِّ.
Salah satunya: bahwa yang dimaksud adalah kefajiran, dan ini adalah pendapat As-Suddi.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ النِّفَاقُ، وَهُوَ قَوْلُ قَتَادَةَ، وَكَانَ أكثر ما يُصِيبُ الْحُدُودَ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – المنافقون.
Dan yang kedua: bahwa yang dimaksud adalah kemunafikan, dan ini adalah pendapat Qatadah. Dan kebanyakan pelaku pelanggaran hukum pada masa Rasulullah ﷺ adalah orang-orang munafik.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وخصه بأن جعله عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ “.
Imam Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan Allah mengkhususkannya dengan menjadikan beliau ﷺ lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِمَا اختص اللَّهُ تَعَالَى رَسُولَهُ بِكَرَامَتِهِ وَفَضْلِهِ عَلَى جَمِيعِ خلقه أول بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَقَالَ تَعَالَى: {النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ} (الأحزاب: 6) وَقَرَأَ عِكْرِمَةُ وَهُوَ أَبُوهُمْ، وَقَرَأَ مُجَاهِدٌ وَهُوَ أَبٌ لَهُمْ، وَقِيلَ: إِنَّهَا قِرَاءَةُ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَفِيهِ أَرْبَعَةُ تَأْوِيلَاتٍ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena Allah Ta‘ala mengkhususkan Rasul-Nya dengan kemuliaan dan keutamaan atas seluruh makhluk-Nya, sehingga beliau lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Allah Ta‘ala berfirman: {Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri} (Al-Ahzab: 6). ‘Ikrimah membaca: “dan dia adalah ayah mereka”, dan Mujahid membaca: “dan dia adalah seorang ayah bagi mereka”, dan dikatakan bahwa ini adalah qira’ah Ubay bin Ka‘b. Dalam hal ini terdapat empat tafsiran:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ أَوْلَى بِهِمْ فِيمَا يَرَاهُ لَهُمْ مِنْهُمْ بِأَنْفُسِهِمْ، وَهَذَا قَوْلُ عِكْرِمَةَ.
Pertama: bahwa beliau lebih utama bagi mereka dalam hal yang beliau pandang baik untuk mereka daripada diri mereka sendiri, dan ini adalah pendapat ‘Ikrimah.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَوْلَى بِهِمْ فِيمَا يَأْمُرُهُمْ بِهِ مِنْ آبائهم وأمهاتهم.
Kedua: bahwa beliau lebih utama bagi mereka dalam hal yang beliau perintahkan kepada mereka daripada ayah dan ibu mereka.
والثالث: أنه أولى بهم من دِفَاعِهِمْ عَنْهُ، وَمَنْعِهِمْ مِنْهُ مِنْ دِفَاعِهِمْ عَنْ أَنْفُسِهِمْ حَتَّى لَوْ عَطِشَ وَرَأَى مَعَ عَطْشَانَ ما كَانَ أَحَقَّ بِهِ مِنْهُ، وَلَوْ رَأَوْا سُوءًا يَصِلُ إِلَيْهِ لَزِمَهُمْ أَنْ يَقُوهُ بِأَنْفُسِهِمْ كَمَا وَقَاهُ طَلْحَةُ بْنُ عَبِيدِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ يَوْمَ أحد.
Ketiga: bahwa beliau lebih utama bagi mereka dalam hal perlindungan mereka terhadap beliau dan pencegahan mereka atas bahaya yang menimpa beliau daripada perlindungan mereka terhadap diri mereka sendiri. Seandainya beliau kehausan dan melihat ada orang lain yang juga kehausan, maka beliau lebih berhak atas air itu daripada orang tersebut. Dan jika mereka melihat keburukan yang akan menimpa beliau, maka wajib bagi mereka melindungi beliau dengan diri mereka sendiri, sebagaimana Thalhah bin ‘Ubaidillah melindungi beliau dengan dirinya pada hari Uhud.
والرابع: أنه أولى بهم من قضاء ديونهم وإسعافهم في نوائبهم.
Keempat: bahwa beliau lebih utama bagi mereka dalam hal pelunasan utang mereka dan membantu mereka dalam kesulitan.
وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا مِنْ مؤمنٍ إِلَّا أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ” {النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أنْفُسِهِمْ) {الأحزاب: 6) فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ، وَمَنْ تَرَكَ ديناً أو ضياعاً فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلَاهُ فَكَانَ هَذَا مِمَّا خَصَّ الله تعالى رَسُولَهُ مِنَ الْكَرَامَاتِ، وَكَانَ مَا يَفْعَلُهُ مِنْ قَضَاءِ الدُّيُونِ تَفَضُّلًا مِنْهُ لَا وَاجِبًا عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ وَاجِبًا لَقَامَ بِهِ الْأَئِمَّةُ بَعْدَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ فيكون واجباً في سهم من الصدقات إن احتمله.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang mukmin pun kecuali aku adalah orang yang paling utama baginya di dunia dan akhirat. Bacalah jika kalian mau: {Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri} (Al-Ahzab: 6). Maka siapa saja mukmin yang meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya. Dan siapa yang meninggalkan utang atau tanggungan, maka hendaklah datang kepadaku, karena akulah penanggungnya.” Maka ini termasuk kemuliaan yang Allah Ta‘ala khususkan untuk Rasul-Nya. Adapun pelunasan utang yang beliau lakukan adalah sebagai bentuk kemurahan hati beliau, bukan kewajiban atas beliau. Sebab, jika itu merupakan kewajiban, tentu para imam setelah beliau akan melaksanakannya, kecuali jika itu termasuk dari bagian gharimīn, maka menjadi wajib pada bagian dari zakat jika memungkinkan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وأزواجه أمهاتهم قال أُمَّهَاتُهُمْ فِي مَعْنًى دُونَ مَعْنًى وَذَلِكَ أَنَّهُ لا يحل نكاحهن بحالٍ ولم تحرم بناتٌ لو كن لهن لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ زَوَّجَ بَنَاتِهِ وَهُنَّ أَخَوَاتُ الْمُؤْمِنِينَ “.
Imam Asy-Syafi‘i berkata: “Dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka, maksudnya adalah ibu-ibu mereka dalam satu sisi, bukan dalam semua sisi. Yaitu, tidak halal menikahi mereka dalam keadaan apa pun, dan tidak diharamkan anak-anak perempuan jika mereka memiliki anak, karena Nabi ﷺ telah menikahkan putri-putrinya, padahal mereka adalah saudari-saudari orang-orang mukmin.”
قَالَ الماوردي: وهذا مما خص به الله تعالى به رسوله مِنَ الْكَرَامَةِ، وَخَصَّ بِهِ أَزْوَاجَهُ مِنَ الْفَضِيلَةِ إن جعلهن أمهات المؤمنين، فقال عز وجل: {وَأَزْوَاجه أُمَهَاتِهِمْ) {الأحزاب: 6) يَعْنِي اللَّاتِي مَاتَ عَنْهُنَّ وهن تسع فيجري عليهم أَحْكَامُ الْأُمَّهَاتِ فِي شَيْئَيْنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا، وَثَالِثٍ مُخْتَلِفٍ فِيهِ، أَحَدُ الشَّيْئَيْنِ: تَعْظِيمُ حَقِّهِنَّ وَالِاعْتِرَافُ بفضلهن كما يلزم تعظيم حقوق الأمهات ولقوله تَعَالَى: {لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنْ النّسَاءِ) {الأحزاب: 32) .
Al-Mawardi berkata: Dan ini termasuk kemuliaan yang Allah Ta‘ala khususkan kepada Rasul-Nya, dan keutamaan yang Allah khususkan kepada istri-istri beliau dengan menjadikan mereka sebagai ibu-ibu orang-orang mukmin. Allah berfirman: {dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka} (Al-Ahzab: 6), maksudnya adalah istri-istri yang beliau wafat meninggalkan mereka, dan mereka berjumlah sembilan orang. Maka berlaku atas mereka hukum-hukum ibu dalam dua hal yang disepakati, dan satu hal yang diperselisihkan. Salah satu dari dua hal tersebut adalah: memuliakan hak mereka dan mengakui keutamaan mereka sebagaimana wajibnya memuliakan hak ibu, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Kalian tidak seperti perempuan-perempuan lain} (Al-Ahzab: 32).
وَالثَّانِي: تحريم نكاحهن حتى لا يحللن لأحد بعده مِنَ الْخَلْقِ كَمَا يَحْرُمُ نِكَاحُ الْأُمَّهَاتِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللهِ وَلاَ أَنْ تَنْكِحُواْ أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَداً) {الأحزاب: 53) وَسَبَبُ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ مَا حَكَاهُ السُّدِّيُّ أَنَّ رَجُلًا مِنْ قُرَيْشٍ قَالَ عِنْدَ نُزُولِ آيَةِ الْحِجَابِ أَيَحْجِبُنَا رَسُولُ اللَّهِ عن بنات عمنا ويتزوج نسائنا مِنْ بَعْدِنَا لَئِنْ حَدَثَ بِهِ حَدَثٌ لِنَتَزَوَّجُنَّ نِسَاءَهُ مِنْ بَعْدِهِ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ؛ وَلِأَنَّ حُكْمَ نِكَاحِهِنَّ لَا يَنْقَضِي بِمَوْتِهِ لِكَوْنِهِنَّ أَزْوَاجَهُ فِي الْآخِرَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَحْرِيمُهُنَّ بَعْدَ مَوْتِهِ كَتَحْرِيمِهِنَّ فِي حَيَاتِهِ.
Kedua: Diharamkannya menikahi mereka sehingga tidak halal bagi siapa pun setelah beliau dari seluruh makhluk, sebagaimana haramnya menikahi para ibu, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan tidaklah pantas bagi kalian menyakiti Rasulullah dan tidak (pula) menikahi istri-istrinya sesudahnya selama-lamanya} (al-Ahzab: 53). Adapun sebab turunnya ayat ini, sebagaimana dikisahkan oleh as-Suddi, adalah bahwa seorang laki-laki dari Quraisy berkata ketika turun ayat hijab: “Apakah Rasulullah akan menghalangi kita dari putri-putri paman kita, lalu beliau menikahi istri-istri kami setelah kami? Demi Allah, jika terjadi sesuatu pada beliau, sungguh kami akan menikahi istri-istrinya setelah beliau.” Maka turunlah ayat ini. Dan karena hukum pernikahan mereka tidak berakhir dengan wafatnya beliau, sebab mereka adalah istri-istri beliau di akhirat, maka wajib hukumnya pengharaman mereka setelah wafatnya beliau sebagaimana pengharaman mereka di masa hidupnya.
فَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّالِثُ: اختلف فِيهِ فَهُوَ الْمُحَرَّمُ هَلْ يَصِرْنَ كَالْأُمَّهَاتِ فِي المحرم حتى لا يحرم النظر إليهن على وجهين:
Adapun hukum ketiga: terjadi perbedaan pendapat di dalamnya, yaitu apakah mereka menjadi seperti ibu-ibu dalam hal maḥram sehingga haram memandang mereka, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهِنَّ لِتَحْرِيمِهِنَّ كَالْأُمَّهَاتِ نَسَبًا وَرَضَاعًا.
Pertama: Tidak haram memandang mereka karena pengharaman mereka seperti ibu-ibu karena nasab dan karena persusuan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهِنَّ حِفْظًا لِحُرْمَةِ رَسُولِهِ فِيهِنَّ، وَقَدْ كَانَتْ عَائِشَةُ إِذَا أَرَادَتْ دُخُولَ رَجُلٍ عَلَيْهَا أَمَرَتْ أُخْتَهَا أَسْمَاءَ أَنْ تُرْضِعَهُ حَتَّى يَصِيرَ ابْنَ أُخْتِهَا؛ فَيَصِيرُ مَحْرَمًا لَهَا وَلَا يَجْرِي عَلَيْهِنَّ أَحْكَامُ الأمهات في النفقة بالميراث؛ فلهذا قال الشافعي: ” أمهاتهم فِي مَعْنًى دُونَ مَعْنًى ” وَإِذَا كُنَّ أُمَّهَاتِ المؤمنين ففي كونهن أمهات المؤمنين وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: Haram memandang mereka demi menjaga kehormatan Rasulullah pada diri mereka. Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah, jika ada seorang laki-laki ingin masuk menemuinya, ia memerintahkan saudarinya, Asma’, untuk menyusuinya hingga ia menjadi anak saudara perempuannya, sehingga menjadi maḥram baginya. Tidak berlaku atas mereka hukum-hukum ibu dalam hal nafkah dan warisan. Oleh karena itu, asy-Syafi‘i berkata: “Mereka adalah ibu-ibu dalam satu makna, tetapi tidak dalam makna yang lain.” Dan jika mereka adalah Ummahatul Mu’minin (ibu-ibu orang beriman), maka dalam hal apakah mereka ibu bagi orang-orang beriman terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُنَّ أُمَّهَاتُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ تَعْظِيمًا لِحَقِّهِنَّ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ.
Pertama: Mereka adalah ibu bagi laki-laki dan perempuan mukmin, sebagai bentuk pengagungan hak mereka atas laki-laki dan perempuan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ حُكْمَ التَّحْرِيمِ مُخْتَصٌّ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ فَكُنَّ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ دُونَ الْمُؤْمِنَاتِ وَقَدْ رَوَى الشَّعْبِيُّ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ لَهَا: يَا أُمَّهْ، فَقَالَتْ: لَسْتُ لَكِ بِأُمٍّ وإنما أنا أم رجالكم.
Pendapat kedua: Hukum pengharaman itu khusus bagi laki-laki, tidak bagi perempuan, sehingga mereka adalah ibu bagi orang-orang mukmin laki-laki saja, bukan perempuan. Diriwayatkan dari asy-Sya‘bi dari Masruq dari ‘Aisyah, bahwa seorang wanita berkata kepadanya: “Wahai ibuku!” Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku bukan ibumu, aku hanyalah ibu bagi laki-laki kalian.”
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ الْعِدَّةِ عَلَيْهِنَّ بِوَفَاةِ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْهُنَّ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Para ulama kami berbeda pendapat tentang wajibnya ‘iddah atas mereka karena wafatnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari mereka, menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَيْسَ عَلَيْهِنَّ عِدَّةٌ لأنهن حُرِّمْنَ كَانَ كُلُّ زَمَانِهِنَّ عِدَّةً.
Pertama: Tidak wajib atas mereka ‘iddah, karena mereka telah diharamkan, sehingga seluruh masa mereka adalah ‘iddah.
وَالثَّانِي: يَجِبُ عليهن تعبداً أن يعتدون عِدَّةَ الْوَفَاةِ أَرْبَعَةَ أشهرٍ وَعَشْرًا، لِمَا فِي الْعِدَّةِ مِنَ الْإِحْدَادِ وَلُزُومِ الْمَنْزِلِ ثُمَّ نَفَقَاتُهُنَّ تَجِبُ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِي سَهْمِهِ مِنْ خُمْسِ الخمس من الْفَيْءِ، وَالْغَنِيمَةِ لِبَقَاءِ تَحْرِيمِهِنَّ وَقَدْ أَنْفَقَ عَلَيْهِنَّ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَجْرَى لَهُنَّ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَطَاءً فَائِضًا، فَهَذَا حُكْمُ مَنْ مَاتَ عَنْهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من زوجاته.
Kedua: Wajib atas mereka menjalani ‘iddah wafat selama empat bulan sepuluh hari sebagai bentuk ibadah, karena dalam ‘iddah terdapat masa berkabung dan tinggal di rumah. Kemudian nafkah mereka wajib diberikan setelah wafatnya beliau dari bagian beliau pada seperlima dari khumus fai’ dan ghanimah, karena tetapnya pengharaman mereka. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menafkahi mereka, dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memberikan mereka tunjangan yang berlimpah. Inilah hukum bagi istri-istri yang ditinggal wafat oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا اللَّاتِي فَارَقَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَيَاتِهِ فَلَيْسَ لَهُنَّ مِنْ حُرْمَةِ التَّعْظِيمِ مَا لِلْمُتَوَفَّى عَنْهُنَّ وَفِي تَحْرِيمِهِنَّ عَلَى الْأُمَّةِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
Adapun para istri yang dicerai oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- semasa hidupnya, maka mereka tidak memiliki kehormatan pengagungan sebagaimana yang dimiliki oleh para istri yang ditinggal wafat. Dalam hal pengharaman mereka atas umat terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا لَا يَحْرُمْنَ سَوَاءٌ دَخَلَ بِهِنَّ أَوْ لَمْ يِدْخُلْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاً) {الأحزاب: 28) وَإِرَادَةُ الدُّنْيَا مِنْهُنَّ هي طلب الأزواج لهن؛ لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” أَزْوَاجِي فِي الدُّنْيَا هُنَّ أَزْوَاجِي فِي الْآخِرَةِ ” وَلَيْسَ الْمُطَلَّقَاتُ مِنْ أَزْوَاجِهِ فِي الْآخِرَةِ.
Pertama: Mereka tidak diharamkan, baik beliau telah berhubungan dengan mereka maupun belum, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Jika kalian (para istri) menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, akan aku berikan mut‘ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik} (al-Ahzab: 28). Keinginan dunia dari mereka adalah mencari suami lain bagi mereka, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Istriku di dunia adalah istriku di akhirat.” Sedangkan para istri yang dicerai bukanlah istri beliau di akhirat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُنَّ يَحْرُمْنَ سَوَاءٌ دَخَلَ بِهِنَّ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهِنَّ تَعْظِيمًا لِحُرْمَةِ الرَّسُولِ فِيهِنَّ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” كُلُّ سَبَبٍ ونسبٍ يَنْقَطِعُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا سببي ونسبي ” وليحفظ اللَّهِ تَعَالَى مَحَبَّةَ رَسُولِهِ فِي قُلُوبِ أُمَّتِهِ، فَإِنَّ الْعَادَةَ أَنَّ زَوْجَ الْمَرْأَةِ يَبْغَضُ مِنْ تَقَدَّمَهُ مِنْ أَزْوَاجِهَا وَالتَّعَرُّضِ لِبُغْضِ الرَّسُولِ كفرٌ.
Pendapat kedua: Bahwa mereka (istri-istri Nabi) diharamkan (dinikahi orang lain) baik Nabi telah menggauli mereka maupun belum, sebagai bentuk pengagungan terhadap kehormatan Rasulullah pada diri mereka, berdasarkan sabda beliau -shallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Setiap hubungan dan nasab akan terputus pada hari kiamat kecuali hubunganku dan nasabku.” Dan agar Allah Ta‘ālā menjaga kecintaan kepada Rasul-Nya di dalam hati umatnya, karena biasanya seorang suami membenci suami-suami terdahulu dari istrinya, dan menimbulkan kebencian kepada Rasul adalah kekufuran.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الْأَصَحُّ، أَنَّهُ إِنْ لَمْ يَكُنْ دَخَلَ بِهِنَّ لَمْ يَحْرُمْنَ، وَإِنْ كَانَ دخل بهن حرمن صيانة لخلوة الرسول أن تبدوا، فإن من عادة المرأة إن تزوجت ثانياً بعد الأول أَنْ تَذُمَّ عِنْدَهُ الْأَوَّلَ إِنْ حَمِدَتْهُ، وَتَحْمَدُ عِنْدَهُ الْأَوَّلَ إِنْ ذَمَّتْهُ؛ وَلِأَنَّهُ كَالْإِجْمَاعِ مِنْ جِهَةِ الصَّحَابَةِ، رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَزَوَّجَ فِي سَنَةِ عَشْرٍ الَّتِي مَاتَ فِيهَا فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ قُتَيْلَةَ أُخْتَ الْأَشْعَثِ بن قيس الكندي، ولم يدخل بها فأوصى فِي مَرَضِهِ أَنْ تُخَيَّرَ إِنْ شَاءَتْ، وَأَنْ يضرب عليها الحجاب وتحرم على المؤمنين ويحرم عَلَيْهَا مَا يَجْرَي عَلَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ، وَإِنْ شَاءَتْ أَنْ تَنْكِحَ مَنْ شَاءَتْ نَكَحَتْ فَاخْتَارَتِ النِّكَاحَ فَتَزَوَّجَهَا عِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ بِحَضْرَمَوْتَ، فبلغ ذلك أبا بكر فقال هممت أن أحرق عليكما فَقَالَ عُمَرُ مَا هِيَ مِنْ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ مَا دَخَلَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلَا ضَرَبَ عَلَيْهَا حِجَابًا فَكَفَّ عَنْهَا أَبُو بَكْرٍ.
Pendapat ketiga, dan ini yang paling sahih: Jika Nabi belum menggauli mereka, maka mereka tidak diharamkan (untuk dinikahi orang lain); namun jika Nabi telah menggauli mereka, maka mereka diharamkan, demi menjaga agar privasi Rasulullah tidak terbuka. Sebab, biasanya seorang wanita jika menikah lagi setelah suami pertama, ia akan mencela suami pertama di hadapan suami kedua jika ia memujinya, dan memuji suami pertama di hadapan suami kedua jika ia mencelanya. Selain itu, hal ini juga hampir merupakan ijmā‘ dari kalangan sahabat. Diriwayatkan bahwa Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- menikahi pada tahun kesepuluh (Hijriah), tahun wafatnya beliau di bulan Rabi‘ul Awwal, Qutailah binti al-Asy‘ats bin Qais al-Kindi, namun beliau belum menggaulinya. Maka beliau berwasiat dalam sakitnya agar ia diberi pilihan: jika ia mau, ia tetap diperlakukan seperti istri Nabi, diberi hijab, diharamkan atas kaum mukminin, dan berlaku baginya hukum-hukum yang berlaku atas Ummahatul Mu’minin; namun jika ia ingin menikah dengan siapa pun, maka ia boleh menikah. Qutailah memilih untuk menikah, lalu dinikahi oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal di Hadramaut. Berita itu sampai kepada Abu Bakar, maka ia berkata, “Aku hampir saja membakar kalian berdua.” Umar berkata, “Ia bukan termasuk Ummahatul Mu’minin, karena Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- belum menggaulinya dan belum memerintahkannya berhijab.” Maka Abu Bakar pun membiarkannya.
وَرُوِيَ أَنَّ الْأَشْعَثَ بْنَ قَيْسٍ تَزَوُّجَ امْرَأَةً كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تزوجها وفارقها فهم عمر برجمه مما حَتَّى بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَكَفَّ عَنْهُمَا، فَصَارَ ذَلِكَ كَالْإِجْمَاعِ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهَا لَا تَحْرُمُ لَمْ تَجِبْ نَفَقَتُهَا، وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ، فَفِي وُجُوبِ نَفَقَتِهَا فِي سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ الْخُمُسِ وَجْهَانِ:
Diriwayatkan bahwa al-Asy‘ats bin Qais menikahi seorang wanita yang dahulu pernah dinikahi Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- lalu diceraikan, sehingga Umar hampir saja merajam mereka berdua, sampai ia mengetahui bahwa Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- belum menggaulinya, maka ia pun membiarkan mereka. Maka hal ini menjadi seperti ijmā‘. Jika dikatakan: “Ia tidak diharamkan,” maka tidak wajib dinafkahi. Namun jika dikatakan: “Ia diharamkan,” maka dalam kewajiban nafkahnya dari bagian Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- dari khumus, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: تَجِبُ كَمَا تَجِبُ نَفَقَاتُ مَنْ مَاتَ عَنْهُنَّ لِتَحْرِيمِهِنَّ.
Pertama: Nafkahnya wajib, sebagaimana wajibnya nafkah bagi istri-istri yang ditinggal wafat, karena keharaman mereka.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَجِبُ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَجِبْ قَبْلَ الْوَفَاةِ فَأَوْلَى أَنْ لَا تَجِبَ بَعْدَهَا، وَلِأَنَّهَا مَبْتُوتَةُ العصمة بالطلاق.
Pendapat kedua: Nafkahnya tidak wajib, karena sebelum wafat pun tidak wajib, maka lebih utama lagi tidak wajib setelah wafat, dan karena ikatan pernikahannya telah terputus dengan talak.
فصل
Fasal
فأما من وطئها من إمائه، فإن كانت بَاقِيَةً عَلَى مِلْكِهِ إِلَى حِينِ وَفَاتِهِ مِثْلُ مَارِيَةَ أُمِّ ابْنِهِ إِبْرَاهِيمَ حَرُمَ نِكَاحُهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ، وَإِنْ لَمْ تَصِرْ كَالزَّوْجَاتِ أَمًّا لِلْمُؤْمِنِينَ لنقصها بالرق، وإن كان قد باعها وملكها مشتريها بقي تَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ وَعَلَى جَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ وَجْهَانِ كَالْمُطَلَّقَةِ.
Adapun budak perempuan yang digauli Nabi, jika ia masih menjadi milik beliau hingga wafat, seperti Maria ibu putranya Ibrahim, maka haram dinikahi oleh kaum muslimin. Namun, ia tidak menjadi seperti para istri (Nabi) sebagai ibu orang-orang beriman karena kekurangannya akibat status budak. Jika Nabi telah menjualnya dan ia menjadi milik pembelinya, maka keharamannya atas pembeli dan seluruh kaum muslimin terdapat dua pendapat, seperti halnya wanita yang ditalak.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قد زوج بناته وهن أخوات المؤمنين وإنما أراد به الشافعي: أنهم وإن كن كالأمهات في تحريمهن فلسن كالأمهات في جميع أحكامهن إن لو كان كَذَلِكَ لَمَا زَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَحَدًا مِنْ بَنَاتِهِ مِنْهُنَّ؛ لِأَنَّهُنَّ أَخَوَاتُ الْمُؤْمِنِينَ، وَقَدْ زَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرْبَعًا مِنْ بَنَاتِهِ، فَزَوَّجَ قَبْلَ النُّبُوَّةِ: زَيْنَبَ بِأَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ، وَزَوَّجَ قَبْلَ النُّبُوَّةِ رقية بعتبة بن أبي لهب، وطلقها بعد النبوة فزوجها بعده عثمان بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمَكَّةَ، فَوَلَدَتْ لَهُ عَبْدَ اللَّهِ وَبَلَغَ سِتَّ سِنِينَ ثُمَّ مَاتَ هُوَ وَأُمُّهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِبَدْرٍ ثُمَّ زَوَّجَهُ بَعْدَهَا بِأُمِّ كُلْثُومَ، فَمَاتَتْ عِنْدَهُ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: لَوْ كَانَ لَنَا ثَالِثَةٌ لَزَوَّجْنَاكَ وَزَوَّجَ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَاطِمَةَ بَعْدَ الْهِجْرَةِ، فلما زوج رسول الله مَنْ ذَكَرْنَا مِنْ بَنَاتِهِ عُلِمَ اخْتِصَاصُ نِسَائِهِ مَنْ حُكْمِ الْأُمَّهَاتِ بِالتَّعْظِيمِ وَالتَّحْرِيمِ إِلَّا أَنَّ الْمُزَنِيَّ نَقَلَ عَنِ الشَّافِعِيِّ مَا زَوَّجَ بَنَاتِهِ وَهُنَّ أَخَوَاتُ الْمُؤْمِنِينَ فَذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ غلطٌ مِنْهُ فِي النَّقْلِ، وَأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ فِي أَحْكَامِ الْقُرْآنِ مِنَ الْأُمِّ: قَدْ زوج بناته وهن غير أَخَوَاتُ الْمُؤْمِنِينَ فَغَلِطَ فِي النَّقْلِ، وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى صِحَّةِ نَقْلِ الْمُزَنِيِّ، وَأَنَّهُ عَلَى مَعْنَى النَّفْيِ وَالتَّقْرِيرِ، وَيَكُونُ تَقْدِيرُهُ قَدْ زَوَّجَ بناته أو يخرجهن وَهُنَّ أَخَوَاتُ الْمُؤْمِنِينَ.
Adapun apa yang dinukil oleh al-Muzani bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menikahkan putri-putrinya, padahal mereka adalah saudari-saudari orang-orang mukmin, yang dimaksud oleh asy-Syafi‘i adalah: meskipun mereka seperti ibu-ibu dalam hal keharaman (menikahi mereka), namun mereka tidaklah sama dengan ibu-ibu dalam seluruh hukum-hukumnya. Jika memang demikian, niscaya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak akan menikahkan seorang pun dari putri-putrinya, karena mereka adalah saudari-saudari orang-orang mukmin. Padahal Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menikahkan empat orang putrinya. Sebelum kenabian, beliau menikahkan Zainab dengan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi‘, dan sebelum kenabian juga menikahkan Ruqayyah dengan ‘Utbah bin Abu Lahab, lalu setelah kenabian ia menceraikannya, kemudian beliau menikahkan Ruqayyah dengan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu di Makkah. Ruqayyah melahirkan anak untuknya bernama ‘Abdullah yang mencapai usia enam tahun, kemudian ia dan ibunya meninggal dunia, sementara Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sedang berada di Badar. Setelah itu, beliau menikahkan ‘Utsman dengan Ummu Kultsum, dan Ummu Kultsum wafat di sisi ‘Utsman pada masa hidup Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka beliau bersabda: “Seandainya kami masih memiliki putri ketiga, niscaya akan kami nikahkan juga denganmu.” Beliau juga menikahkan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dengan Fathimah setelah hijrah. Maka ketika Rasulullah menikahkan putri-putrinya yang telah disebutkan, diketahui bahwa istri-istri beliau memiliki kekhususan dalam hukum sebagai ibu-ibu (umat) dalam hal penghormatan dan keharaman (dinikahi), kecuali bahwa al-Muzani menukil dari asy-Syafi‘i bahwa beliau menikahkan putri-putrinya padahal mereka adalah saudari-saudari orang-orang mukmin. Maka mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa itu adalah kekeliruan dalam penukilan, dan bahwa asy-Syafi‘i berkata dalam Ahkam al-Qur’an dari al-Umm: “Beliau menikahkan putri-putrinya dan mereka bukanlah saudari-saudari orang-orang mukmin,” sehingga terjadi kekeliruan dalam penukilan. Namun sebagian sahabat kami berpendapat bahwa penukilan al-Muzani itu benar, dan maksudnya adalah penafian dan penetapan, sehingga maknanya: “Beliau menikahkan putri-putrinya atau mengeluarkan mereka, padahal mereka adalah saudari-saudari orang-orang mukmin.”
فَصْلٌ
Fasal
وَمِمَّا خَصَّ اللَّهُ تعالى به نساء رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تفضيلاً لَهُنَّ وَإِكْرَامًا لِرَسُولِهِ أَنْ ضَاعَفَ عَلَيْهِنَّ عِقَابَ السيئات، وضاعف عليهن ثَوَابَ الْحَسَنَاتِ، فَقَالَ تَعَالَى: {يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيَّنَةٍ يُضَاعَفُ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ) {الأحزاب: 30) وفي الفاحشة المبينة ها هنا تَأْوِيلَانِ:
Di antara kekhususan yang Allah Ta‘ala berikan kepada istri-istri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai bentuk keutamaan bagi mereka dan penghormatan kepada Rasul-Nya adalah Allah melipatgandakan hukuman atas mereka jika berbuat dosa, dan melipatgandakan pahala atas mereka jika berbuat kebaikan. Allah Ta‘ala berfirman: {Wahai istri-istri Nabi, barang siapa di antara kalian melakukan perbuatan keji yang nyata, maka akan dilipatgandakan baginya azab dua kali lipat} (al-Ahzab: 30). Dalam makna “perbuatan keji yang nyata” di sini terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: الزِّنَا، وَهُوَ قَوْلُ السُّدِّيِّ.
Pertama: zina, dan ini adalah pendapat as-Suddi.
وَالثَّانِي: النشور وَسُوءُ الْخُلُقِ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَفِي مضاعفة العذاب لهما ضِعْفَيْنِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ الْعِلْمِ:
Kedua: nusyuz (pembangkangan) dan buruk akhlak, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas. Dalam hal pelipatgandaan azab bagi mereka menjadi dua kali lipat, terdapat dua pendapat di kalangan ahli ilmu:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَذَابُ الدُّنْيَا وَعَذَابُ الْآخِرَةِ، وَهُوَ قَوْلُ قَتَادَةَ.
Pertama: bahwa itu adalah azab di dunia dan azab di akhirat, dan ini adalah pendapat Qatadah.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَذَابَانِ فِي الدُّنْيَا لِعِظَمِ جُرْمِهِنَّ بِأَذِيَّةِ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
Kedua: bahwa itu adalah dua azab di dunia, karena besarnya dosa mereka dalam menyakiti Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
قَالَ مُقَاتِلٌ: حَدَّانِ فِي الدُّنْيَا غَيْرُ السَّرِقَةِ.
Muqatil berkata: dua hukuman di dunia selain hukuman untuk pencurian.
وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ فَجُعِلَ عَذَابَهُنَّ ضِعْفَيْنِ وَعَلَى مَنْ قَذَفَهُنَّ الْحَدَّ ضِعْفَيْنِ، وَلَمْ أَرَ لِلشَّافِعِيِّ نَصًّا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ غَيْرَ أَنَّ الأشبه بظاهر كلامه إنما حدان في الدنيا، فإن قيل: في أمر مُضَاعَفَةِ الْحَدِّ عَلَيْهِنَّ مِنْ تَفْضِيلِهِنَّ.
Sa‘id bin Jubair berkata: maka dijadikan azab mereka dua kali lipat, dan bagi siapa yang menuduh mereka (istri Nabi) juga diberlakukan hukuman dua kali lipat. Aku tidak menemukan nash dari asy-Syafi‘i dalam salah satu dari dua pendapat tersebut, kecuali bahwa yang lebih sesuai dengan lahiriah perkataannya adalah bahwa itu adalah dua hukuman di dunia. Jika ada yang bertanya: Apakah pelipatgandaan hukuman bagi mereka itu termasuk keutamaan mereka?
قِيلَ: لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ حَدُّ الْعَبْدِ نِصْفَ حَدِّ الْحَرِّ لِنَقْصِهِ عَنْ كَمَالِ الْحُرِّ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مضاعفة الحد عليهن من تفضيلهن عَلَى غَيْرِهِنَّ ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: {وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلهِ وَرَسُولِهِ) {الأحزاب: 31) أي يطيع الله ورسوله والقنوت الطاعة ثم قال: {وَتَعْمَلُ صَالِحاً نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقاً كَرِيماً) {الأحزاب: 31) فَضُوعِفَ لَهُنَّ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ كَمَا ضُوعِفَ عَلَيْهِنَّ الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ فَصَارَ كِلَا الْأَمْرَيْنِ تَفْضِيلًا لَهُنَّ وَزِيَادَةً فِي كَرَامَتِهِنَّ، وَفِي ” أجرها مرتين ” قولان لأهل العلم:
Dijawab: Karena hukuman bagi seorang budak adalah setengah dari hukuman orang merdeka karena kekurangannya dari kesempurnaan orang merdeka, maka wajiblah bahwa pelipatgandaan hukuman atas mereka adalah bentuk keutamaan mereka atas selain mereka. Kemudian Allah Ta‘ala berfirman: {Dan barang siapa di antara kalian yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya} (al-Ahzab: 31), maksudnya adalah menaati Allah dan Rasul-Nya, dan “qunut” adalah ketaatan. Kemudian Allah berfirman: {dan beramal saleh, Kami akan memberinya pahala dua kali lipat dan Kami telah menyediakan baginya rezeki yang mulia} (al-Ahzab: 31). Maka dilipatgandakan bagi mereka pahala dua kali lipat sebagaimana dilipatgandakan azab atas mereka dua kali lipat. Maka kedua hal itu menjadi keutamaan bagi mereka dan tambahan dalam kemuliaan mereka. Dalam firman-Nya “pahalanya dua kali lipat” terdapat dua pendapat di kalangan ahli ilmu:
أحدها: أَنَّ كِلَا الْأَجْرَيْنِ فِي الْآخِرَةِ.
Pertama: bahwa kedua pahala itu di akhirat.
وَالثَّانِي: أَنَّ أَحَدَهُمَا فِي الدُّنْيَا وَالثَّانِي فِي الْآخِرَةِ، وَيُحْتَمَلُ قوله {وَاعْتَدْنَا لَهَا رِزْقاً كَرِيماً} تَأْوِيلَيْنِ:
Dan yang kedua: bahwa salah satunya di dunia dan yang kedua di akhirat. Adapun firman-Nya {dan Kami telah menyediakan baginya rezeki yang mulia} memiliki dua kemungkinan tafsir:
أَحَدُهُمَا: حَلَالًا فَقَدْ كَانَ رِزْقُهُنَّ مِنْ أجل الأرزاق.
Salah satunya: rezeki yang halal; sungguh rezeki mereka adalah di antara rezeki yang terbaik.
والثاني: واسعاً؛ فقد صار رِزْقُهُنَّ بَعْدَ وَفَاتِهِ وَفِي أَيَّامِ عُمَرَ مِنْ أَوْسَعِ الْأَرْزَاقِ.
Dan yang kedua: rezeki yang luas; sungguh rezeki mereka setelah wafatnya (Nabi) dan pada masa Umar adalah di antara rezeki yang paling luas.
فَصْلٌ
Fasal
وَصَارَ مَا خَصَّ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي مَنَاكِحِهِ، مِمَّا جَاءَ فِيهِ نَصٌّ، وَاتَّصَلَ بِهِ نَقْلٌ عَشْرُ خِصَالٍ، تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ منها ثلاثة خِصَالٍ تَغْلِيظٌ، وَثَلَاثُ خِصَالٍ تَخْفِيفٌ، وَأَرْبَعُ خِصَالٍ كَرَامَةٌ.
Adapun hal-hal khusus yang Allah Ta‘ala berikan kepada Rasul-Nya – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – dalam urusan pernikahan, yang terdapat nash dan riwayat yang bersambung tentangnya, ada sepuluh kekhususan yang terbagi menjadi tiga bagian: tiga kekhususan berupa pengetatan, tiga kekhususan berupa keringanan, dan empat kekhususan berupa kemuliaan.
فَأَمَّا الثَّلَاثُ التَّغْلِيظُ:
Adapun tiga kekhususan berupa pengetatan:
فَإِحْدَاهُنَّ: مَا أَوْجَبَهُ عليه من تخيير نسائه.
Salah satunya: kewajiban yang dibebankan kepadanya untuk memberi pilihan kepada istri-istrinya.
والثانية: ما حظر عَلَيْهِ مِنْ طَلَاقِهِنَّ.
Yang kedua: larangan atasnya untuk menceraikan mereka.
وَالثَّالِثَةُ: مَا مَنَعَهُ مِنَ الِاسْتِبْدَالِ بِهِنَّ.
Dan yang ketiga: larangan untuk mengganti mereka dengan yang lain.
وَأَمَّا الثَّلَاثُ التَّخْفِيفُ:
Adapun tiga kekhususan berupa keringanan:
فَإِحْدَاهُنَّ: مَا أباحه له من النكاح من غير تقدير مَحْصُورٍ.
Salah satunya: kebolehan baginya untuk menikah tanpa batasan jumlah tertentu.
وَالثَّانِيَةُ: أَنْ يَمْلِكَ النِّكَاحَ بِلَفْظِ الْهِبَةِ مِنْ غَيْرِ بَدَلٍ.
Yang kedua: boleh baginya melakukan akad nikah dengan lafaz hibah tanpa mahar.
وَالثَّالِثَةُ: أَنَّهُ إِذَا أَعْتَقَ أَمَةً عَلَى أَنْ يَتَزَوَّجَهَا كَانَ عِتْقُهَا نِكَاحًا عَلَيْهَا وَصَدَاقًا لَهَا؛ لِأَنَّهُ أَعْتَقَ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ، فَصَارَتْ بِالْعِتْقِ زَوْجَةً وَصَارَ الْعِتْقُ لَهَا صَدَاقًا.
Dan yang ketiga: jika beliau memerdekakan seorang budak perempuan dengan syarat akan menikahinya, maka kemerdekaan itu menjadi akad nikah dan mahar baginya; karena beliau telah memerdekakan Shafiyyah binti Huyay dengan syarat tersebut, sehingga dengan kemerdekaan itu ia menjadi istri dan kemerdekaan itu menjadi maharnya.
فَأَمَّا الْأَرْبَعُ الْكَرَامَةُ: فإحداهن: أنه فضل نسائه على نساء العالمين. والثانية: أنه جعلن أمهات المؤمنين. والثالثة: حرمهن على جميع المسلمين. والرابعة: ما ضاعف من ثوابهن وعقابهن.
Adapun empat kekhususan berupa kemuliaan: salah satunya, beliau memuliakan istri-istrinya di atas seluruh wanita dunia. Kedua, mereka dijadikan sebagai Ummahatul Mu’minin (Ibu orang-orang beriman). Ketiga, mereka diharamkan atas seluruh kaum muslimin. Keempat, pahala dan dosa mereka dilipatgandakan.
فصل
Fasal
وإذ قد مَضَى مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَخْصُوصًا بِهِ فِي مَنَاكِحِهِ نَصًّا؛ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ الِاجْتِهَادِ، فِيمَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَخْصُوصًا بِهِ فِي مَنَاكِحِهِ مِنْ طَرِيقِ الاجتهاد والنص، فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ يَمْتَنِعُ مِنْ جواز الاجتهاد لنقصه وَكَذَلِكَ فِي الْإِمَامَةِ؛ لِأَنَّ الِاجْتِهَادَ إِنَّمَا يَجُوزُ عِنْدَ الضَّرُورَةِ فِي النَّوَازِلِ الْحَادِثَةِ، وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى جَوَازِ الِاجْتِهَادِ فِي ذَلِكَ لِيُتَوَصَّلَ بِهِ إِلَى مَعْرِفَةِ الْأَحْكَامِ، وَإِنْ لَمْ تَدْعُ إِلَيْهَا ضَرُورَةٌ، كَمَا اجْتَهَدُوا فِيمَا لَمْ يَحْدُثْ مِنَ النَّوَازِلِ، فَاجْتَهَدُوا فِي سَبْعِ مَسَائِلَ أَفْضَى بهم الاجتهاد إلى الاختلاف فيها:
Setelah dijelaskan kekhususan Rasulullah – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – dalam urusan pernikahan secara nash, para ulama kami berbeda pendapat tentang kebolehan ijtihad dalam hal-hal yang mungkin menjadi kekhususan beliau dalam pernikahan melalui ijtihad dan nash. Abu ‘Ali bin Khairan berpendapat tidak bolehnya ijtihad karena kekurangannya, demikian pula dalam masalah imamah; karena ijtihad hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat pada peristiwa-peristiwa baru (nawāzil). Sedangkan mayoritas ulama kami membolehkan ijtihad dalam hal tersebut untuk mencapai pengetahuan tentang hukum-hukum, meskipun tidak ada kebutuhan darurat, sebagaimana mereka berijtihad dalam perkara-perkara yang belum terjadi dari nawāzil. Maka mereka berijtihad dalam tujuh permasalahan yang ijtihad di dalamnya menyebabkan perbedaan pendapat:
فأحدها: أن اختلفوا هَلْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَنْكِحَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَلَا شُهُودٍ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Salah satunya: mereka berbeda pendapat apakah Rasulullah – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – boleh menikah tanpa wali dan tanpa saksi? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَهُوَ وغيره سواء في أن يَنْكِحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” كل نكاح لم يحضره أربعة فهو سفاح “، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَوَجَّهَ ذَلِكَ إِلَى مَنَاكِحِهِ.
Salah satunya: tidak boleh baginya, dan beliau sama seperti yang lain dalam hal tidak boleh menikah kecuali dengan wali dan dua saksi, berdasarkan sabda beliau – shallallāhu ‘alaihi wa sallam –: “Setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat orang maka itu adalah zina,” sehingga tidak boleh hal itu diarahkan pada pernikahan beliau.
والوجه الثاني: أن يَجُوزَ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَلَا شاهدين؛ لقول الله تَعَالَى: {النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أنْفُسِهِمْ) {الأحزاب: 6) ؛ ولأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَطَبَ أُمَّ سَلَمَةَ فَقَالَتْ: مَا لِي وَلِيٌّ حَاضِرٌ فَقَالَ مَا يَكْرَهُنِي مِنْ أَوْلِيَائِكِ حَاضِرٌ وَلَا غَائِبٌ ثُمَّ قَالَ لِابْنِهَا عُمَرَ وَكَانَ غَيْرَ بَالِغٍ قُمْ زَوِّجْ أُمَّكَ وَقَدْ أَنْكَرَ أحمد بن حنبل على من قال غَيْرَ بَالِغٍ وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ وَلِأَنَّ الْوَلِيَّ إِنَّمَا يُرَادُ لِالْتِمَاسِ الْأَكْفَاءِ وَالرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَفْضَلُ الْأَكْفَاءِ، وَالشُّهُودُ إِنَّمَا يُرَادُونَ حَذَرَ التَّنَاكُرِ، وهذا غير مرهوم في الرسول – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَكُونَ مِنْهُ أَوْ لَهُ فَلِذَلِكَ لَمْ يَفْتَقِرْ نِكَاحُهُ إِلَى وَلِيٍّ وَلَا شُهُودٍ.
Pendapat kedua: boleh baginya menikah tanpa wali dan tanpa dua saksi; berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri} (al-Ahzab: 6); dan karena Nabi – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – melamar Ummu Salamah, lalu ia berkata: “Aku tidak memiliki wali yang hadir.” Beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun dari para walimu, baik yang hadir maupun yang tidak, yang membenciku.” Kemudian beliau berkata kepada putranya, Umar, yang saat itu belum baligh: “Bangunlah, nikahkan ibumu.” Ahmad bin Hanbal mengingkari orang yang mengatakan “belum baligh”, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Karena wali itu diperlukan untuk mencari pasangan yang sepadan, sedangkan Rasulullah – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – adalah yang paling utama di antara yang sepadan. Saksi diperlukan untuk menghindari pengingkaran, dan hal ini tidak mungkin terjadi pada Rasulullah – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – baik dari beliau sendiri maupun untuk beliau. Oleh karena itu, pernikahan beliau tidak membutuhkan wali dan saksi.
فَصْلٌ
Fasal
وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ أَنِ اخْتَلَفُوا هَلْ لَهُ نِكَاحُ الْكِتَابِيَّةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Permasalahan kedua, mereka berbeda pendapat apakah beliau boleh menikahi wanita ahli kitab atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتُهُمْ) {الأحزاب: 6) وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَزْوَاجِي فِي الدُّنْيَا هُنَّ أَزْوَاجِي فِي الْآخِرَةِ ” وهذان الأمران منتفيان عَنْ غَيْرِ الْمُسْلِمَاتِ؛ وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى شَرَطَ فيما أَبَاحَهُ لِرَسُولِهِ مِنْ بَنَاتِ عَمِّهِ، وَعَمَّاتِهِ الْهِجْرَةَ فَقَالَ {اللاَّتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ) {الأحزاب: 50) فَلَمَّا حُظِرَ عَلَيْهِ مِنَ الْمُسْلِمَاتِ مَنْ لَمْ تُهَاجِرْ فَكَيْفَ يَسْتَبِيحُ مَنْ لَمْ تُسْلِمْ وَلَمْ تُهَاجِرْ؟
Salah satu pendapat: Beliau tidak memiliki hal tersebut, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka} (al-Ahzab: 6), dan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Istri-istriku di dunia adalah istri-istriku di akhirat.” Kedua hal ini tidak berlaku bagi selain wanita-wanita muslimah; dan karena Allah Ta‘ala mensyaratkan hijrah pada apa yang dihalalkan-Nya bagi Rasul-Nya dari putri-putri paman dan bibi-bibinya, sebagaimana firman-Nya: {yang berhijrah bersamamu} (al-Ahzab: 50). Maka ketika diharamkan atas beliau dari kalangan wanita muslimah yang tidak berhijrah, bagaimana mungkin beliau menghalalkan wanita yang tidak masuk Islam dan tidak berhijrah?
وَالْوَجْهُ الثاني: تحل لَهُ نِكَاحُ الْكِتَابِيَّةِ؛ لِأَنَّ حُكْمَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي النِّكَاحِ أَوْسَعُ مِنْ حُكْمِ أُمَّتِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْرُمَ عَلَيْهِ مَا يَحِلُّ لِأُمَّتِهِ، وَلِأَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اسْتَمْتَعَ بِأَمَتِهِ رَيْحَانَةَ بِنْتِ عَمْرٍو بِمِلْكِ يَمِينِهِ، وَكَانَتْ يَهُودِيَّةً مِنْ سَبْيِ بَنِي قُرَيْظَةَ، وَعَرَضَ عَلَيْهَا الْإِسْلَامَ فَأَبَتْ ثُمَّ أَسْلَمَتْ مِنْ بَعْدُ، فَلَمَّا بُشِّرَ بِإِسْلَامِهَا سُرَّ بِهِ، وَالْكُفْرُ فِي الْأَمَةِ أَغْلَظُ مِنْهُ فِي الْحُرَّةِ؛ لِأَنَّ نِكَاحَ الْأَمَةِ الْكِتَابِيَّةِ حَرَامٌ، وَنِكَاحَ الْحُرَّةِ الْكِتَابِيَّةِ مُبَاحٌ، فما لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ الْأَمَةُ الْكِتَابِيَّةُ فَأَوْلَى أَنْ لَا تَحْرُمَ عَلَيْهِ الْحُرَّةُ الْكِتَابِيَّةُ، فَعَلَى هَذَا إِذَا نَكَحَ الْكِتَابِيَّةَ فَهَلْ عَلَيْهِ تَخْيِيرُهَا أَنْ تُسْلِمَ فَيُمْسِكَهَا، أَوْ تُقِيمَ عَلَى دِينِهَا فَيُفَارِقَهَا؟ فِيهِ وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: Dihalalkan baginya menikahi wanita ahli kitab; karena hukum Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam pernikahan lebih luas daripada hukum umatnya, maka tidak boleh diharamkan atas beliau sesuatu yang dihalalkan bagi umatnya. Dan karena beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah menikmati budaknya, Rayhanah binti ‘Amr, dengan kepemilikan tangan kanannya, dan ia adalah seorang Yahudi dari tawanan Bani Quraizhah. Beliau menawarkan Islam kepadanya, namun ia menolak, lalu kemudian ia masuk Islam. Ketika beliau diberi kabar gembira tentang keislamannya, beliau pun bergembira. Kekufuran pada budak perempuan lebih berat daripada pada wanita merdeka; karena menikahi budak perempuan ahli kitab adalah haram, sedangkan menikahi wanita merdeka ahli kitab adalah mubah. Maka jika budak perempuan ahli kitab tidak diharamkan atas beliau, maka lebih utama lagi wanita merdeka ahli kitab tidak diharamkan atas beliau. Berdasarkan hal ini, jika beliau menikahi wanita ahli kitab, apakah wajib baginya untuk memberi pilihan kepada wanita itu: masuk Islam lalu tetap bersamanya, atau tetap pada agamanya lalu beliau menceraikannya? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ تَخْيِيرُهَا، فَإِنْ أَسْلَمَتْ ثَبَتَ نِكَاحُهَا، وَإِنْ أَقَامَتْ عَلَى دِينِهَا فَارَقَهَا لِيَصِحَّ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَزْوَاجِهِ فِي الْآخِرَةِ.
Salah satunya: Wajib baginya memberi pilihan kepada wanita itu; jika ia masuk Islam, maka pernikahannya tetap sah, dan jika ia tetap pada agamanya, maka beliau menceraikannya agar sah menjadi istrinya di akhirat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ ذَلِكَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مَا خَيَّرَ رَيْحَانَةَ، وَقَدْ عَرَضَ عَلَيْهَا الْإِسْلَامَ فَأَبَتْ وَأَقَامَ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، فَأَمَّا الْأَمَةُ فَلَمْ يَخْتَلِفْ أَصْحَابُنَا أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يتزوجها، وإن جاز أن يستمتع بها لملك يَمِينِهِ؛ لِأَنَّ نِكَاحَ الْأَمَةِ مَشْرُوطٌ بِخَوْفِ الْعَنَتِ، وهذا غير مجوز عليه.
Pendapat kedua: Tidak wajib baginya melakukan hal itu; karena beliau tidak memberi pilihan kepada Rayhanah, padahal beliau telah menawarkan Islam kepadanya namun ia menolak, dan beliau tetap menikmati dirinya. Adapun budak perempuan, para sahabat kami sepakat bahwa beliau tidak boleh menikahinya, meskipun boleh menikmati dirinya karena kepemilikan tangan kanannya; karena menikahi budak perempuan disyaratkan adanya kekhawatiran terjerumus dalam maksiat, dan hal ini tidak berlaku bagi beliau.
فصل
Fasal
والمسألة الثالثة: أن اخْتَلَفُوا هَلْ كَانَ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ فِي إِحْرَامِهِ، فَذَهَبَ أَبُو الطِّيبِ بْنُ سَلَمَةَ إِلَى جوازه له خُصُوصًا لِرِوَايَتِهِ أَنَّهُ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ مُحْرِمًا، وَذَهَبَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ النِّكَاحِ فِي الْإِحْرَامِ كَغَيْرِهِ مِنْ أُمَّتِهِ؛ لِأَنَّهُ وَإِيَّاهُمْ فِي مَحْظُورَاتِ الْإِحْرَامِ سَوَاءٌ وَمَا نَكَحَ مَيْمُونَةَ إلا حلالاً.
Masalah ketiga: Mereka berbeda pendapat apakah beliau boleh menikah dalam keadaan ihram. Abu Thayyib bin Salamah berpendapat bahwa hal itu khusus boleh bagi beliau, berdasarkan riwayat bahwa beliau menikahi Maimunah dalam keadaan ihram. Sedangkan mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa beliau dilarang menikah dalam keadaan ihram sebagaimana selain beliau dari umatnya; karena beliau dan mereka sama dalam larangan-larangan ihram, dan beliau tidak menikahi Maimunah kecuali dalam keadaan halal.
وَالْمَسْأَلَةُ الرَّابِعَةُ: إِنِ اخْتَلَفُوا فِي الَّتِي خَطَبَهَا هَلْ يَلْزَمُهَا إِجَابَتُهُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Masalah keempat: Mereka berbeda pendapat tentang wanita yang dilamar oleh beliau, apakah wajib baginya untuk menerima lamarannya? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهَا إِجَابَتُهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {استَجِيبُوا للهِ وَلِلْرَسُولِ إذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْييكُمْ) {الأنفال: 24) .
Salah satunya: Wajib baginya menerima lamarannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila ia menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian} (al-Anfal: 24).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُهَا إِجَابَتُهُ كَمَا لَا يَلْزَمُهَا إِجَابَةُ غَيْرِهِ؛ لِأَنَّ عُقُودَ الْمَنَاكِحِ لَا تَصِحُّ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ.
Pendapat kedua: Tidak wajib baginya menerima lamarannya, sebagaimana tidak wajib baginya menerima lamaran selain beliau; karena akad pernikahan tidak sah kecuali atas dasar kerelaan.
وَالْمَسْأَلَةُ الْخَامِسَةُ: إِنِ اخْتَلَفُوا فِيمَنْ لَمْ يُسَمِّ لَهَا فِي عَقْدِ نِكَاحِهَا مَهْرًا هَلْ يَلْزَمُهُ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Masalah kelima: Mereka berbeda pendapat tentang wanita yang tidak disebutkan mahar dalam akad nikahnya, apakah wajib baginya memberikan mahar mitsil? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يلزم كما يلزم غيره لقوله تعالى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا “.
Salah satunya: Wajib, sebagaimana wajib bagi selain beliau, berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Maka baginya mahar sesuai apa yang telah dihalalkan dari kemaluannya.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُهُ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ التَّوَصُّلُ إلى ثواب الله تعالى.
Pendapat kedua: Tidak wajib, karena tujuan dari pernikahan beliau adalah untuk meraih pahala dari Allah Ta‘ala.
والمسألة السادسة: أن اخْتَلَفُوا فِيمَا يَمْلِكُهُ مِنَ الطَّلَاقِ هَلْ هُوَ مَحْصُورٌ بِعَدَدٍ أَمْ مُرْسَلٌ بِغَيْرِ أَمَدٍ؟ عَلَى وجهين:
Masalah keenam: Mereka berbeda pendapat tentang hak talak yang beliau miliki, apakah terbatas pada jumlah tertentu atau tidak terbatas? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: مُرْسَلٌ بِغَيْرِ أَمَدٍ وَلَا مَحْصُورٍ بِعَدَدٍ وَمَهْمَا طَلَّقَ كَانَ لَهُ بَعْدَ الطَّلَاقِ أَنْ يراجع؛ لأنه لما م يَنْحَصِرْ عَدَدُ نِسَائِهِ لَمْ يَنْحَصِرْ طَلَاقُهُنَّ.
Salah satunya: talak yang dilepas tanpa batas waktu dan tidak terbatas jumlahnya, sehingga berapa pun ia menjatuhkan talak, setelah talak itu ia masih boleh merujukinya; karena ketika jumlah istrinya tidak terbatas, maka talak terhadap mereka pun tidak terbatas.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مَحْصُورٌ بِالثَّلَاثِ وَإِنْ لَمْ يَنْحَصِرْ عَدَدُ الْمَنْكُوحَاتِ؛ لِأَنَّ الْمَأْخُوذَ عَلَيْهِ مِنْ أَسْبَابِ التَّحْرِيمِ أَغْلَظُ؛ فَعَلَى هَذَا إِذَا اسْتَكْمَلَ طَلَاقَ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا هَلْ تَحِلُّ لَهُ بَعْدَ زَوْجٍ أَمْ لَا.
Pendapat kedua: talak itu dibatasi dengan tiga kali, meskipun jumlah istri yang dinikahi tidak terbatas; karena ketentuan yang diambil dari sebab-sebab keharaman di sini lebih berat. Maka, menurut pendapat ini, jika ia telah menyempurnakan talak tiga kali terhadap salah satu dari mereka, apakah ia boleh kembali kepadanya setelah wanita itu menikah dengan suami lain atau tidak?
عَلَى وَجْهَيْنِ:
Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: تَحِلُّ لِمَا خُصَّ بِهِ مِنْ تَحْرِيمِ نِسَائِهِ عَلَى غَيْرِهِ.
Salah satunya: ia boleh kembali, karena kekhususan yang ada padanya berupa keharaman istri-istrinya atas selain dirinya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَحِلُّ لَهُ أَبَدًا لِمَا عَلَيْهِ مِنَ التَّغْلِيظِ فِي أَسْبَابِ التَّحْرِيمِ.
Pendapat kedua: ia tidak boleh kembali kepadanya selamanya, karena adanya penegasan dalam sebab-sebab keharaman.
وَالْمَسْأَلَةُ السَّابِعَةُ: إِنِ اخْتَلَفُوا فِي وُجُوبِ الْقَسْمِ عليه بين أزواجه، على وجهين:
Masalah ketujuh: Jika mereka berbeda pendapat tentang kewajiban pembagian giliran di antara istri-istrinya, terdapat dua pendapat:
أحدهما: كَانَ وَاجِبًا عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَهُنَّ، وَيَقُولُ ” اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تؤاخذني فيما لا أملك يعني: قلبه وطيفه عَلَى نِسَائِهِ مَحْمُولًا فِي مَرَضِهِ حَتَّى حَلَلْنَهُ فِي الْمُقَامِ عِنْدَ عَائِشَةَ.
Salah satunya: pembagian giliran itu wajib baginya; karena beliau dahulu membagi giliran di antara mereka, dan beliau bersabda, “Ya Allah, inilah pembagianku dalam hal yang aku miliki, maka janganlah Engkau mencelaku dalam hal yang tidak aku miliki,” yang dimaksud adalah hati dan kecenderungannya. Beliau pernah dibawa ke istri-istrinya dalam keadaan sakit hingga kami menempatkannya di tempat tinggal ‘Aisyah.
وَهَمَّ بِطَلَاقِ سَوْدَةَ، فَقَالَتْ؛ قَدْ أَحْبَبْتُ أَنْ أُحْشَرَ فِي جُمْلَةِ نِسَائِكَ، وَقَدْ وَهَبْتُ يَوْمِي مِنْكَ لِعَائِشَةَ فَكَفَّ عَنْ طَلَاقِهَا وَكَانَ يَقْسِمُ لِنِسَائِهِ يَوْمًا يَوِمًا، ولعائشة يومين، يومها، ويوم سودة، وقيل: فِي ذَلِكَ نَزَلَ قَوْله تَعَالَى: {وَإنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ عَلَى بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إعْرَاضاً فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ) {النساء: 128) وهو قول السدي.
Beliau pernah berniat menceraikan Saudah, lalu Saudah berkata, “Aku ingin dihimpun bersama istri-istrimu (di akhirat), dan aku telah menghadiahkan hariku untukmu kepada ‘Aisyah.” Maka beliau pun tidak jadi menceraikannya, dan beliau membagi giliran kepada istri-istrinya satu hari satu hari, sedangkan untuk ‘Aisyah dua hari, yaitu hari miliknya dan hari milik Saudah. Dikatakan: tentang hal itu turun firman Allah Ta‘ala: {Dan jika seorang wanita khawatir suaminya akan berlaku nusyuz atau berpaling darinya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang baik di antara mereka, dan perdamaian itu lebih baik} (an-Nisā’: 128), dan ini adalah pendapat as-Suddī.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَسْمَ بَيْنَهُنَّ لَمْ يَكُنْ وَاجِبًا وَإِنَّمَا كَانَ يَتَطَوَّعُ بِهِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ وَطَائِفَةٍ لِمَا فِي وُجُوبِهِ عَلَيْهِ مِنَ التَّشَاغُلِ عَنْ لَوَازِمَ الرِّسَالَةِ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {تُرْجِي مَنْ تَشَاءَ مِنْهُنَّ وَتُؤْوِي إلَيْكَ مَنْ تَشَاء) {الأحزاب: 51) وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Pendapat kedua: pembagian giliran di antara mereka tidaklah wajib, melainkan beliau melakukannya sebagai bentuk kebaikan, dan ini adalah pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan sekelompok ulama, karena jika diwajibkan atas beliau, maka akan menyibukkan beliau dari kewajiban risalah. Dan berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Engkau boleh menangguhkan siapa yang engkau kehendaki di antara mereka dan engkau boleh mendekatkan kepada dirimu siapa yang engkau kehendaki} (al-Aḥzāb: 51), dan dalam ayat ini terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهُ تَعْزِلُ مَنْ شِئْتَ مِنْ أَزْوَاجِكَ فَلَا تَأْتِيهَا وَتَأْتِي مَنْ شِئْتَ مِنْ أَزْوَاجِكَ فَلَا تَعْزِلُهَا، وَهَذَا قَوْلُ مُجَاهِدٍ.
Salah satunya: maksudnya, engkau boleh memisahkan siapa saja dari istri-istrimu yang engkau kehendaki sehingga tidak engkau datangi, dan engkau boleh mendatangi siapa saja dari istri-istrimu yang engkau kehendaki sehingga tidak engkau pisahkan, dan ini adalah pendapat Mujāhid.
وَالثَّانِي: مَعْنَاهُ تُؤَخِّرُ مَنْ شِئْتَ مِنْ أَزْوَاجِكَ وَتَضُمَّ إِلَيْكَ مَنْ تَشَاءُ من أزواجك، وهذا قول قتادة {وَمَنِ ابْتَغَيْتَ مِمَّنْ عَزَلْتَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكَ) {الأحزاب: 51) أي من ابتغيت فآويته إليك ممن عزلت أن تؤويه إليك، ” فلا جناح عليك ” فيه تأويلان:
Yang kedua: maksudnya, engkau boleh menunda siapa saja dari istri-istrimu yang engkau kehendaki dan engkau boleh mendekatkan kepada dirimu siapa saja yang engkau kehendaki dari istri-istrimu, dan ini adalah pendapat Qatādah. {Dan siapa pun yang engkau kehendaki dari mereka yang telah engkau pisahkan, maka tidak ada dosa bagimu} (al-Aḥzāb: 51), maksudnya siapa pun yang engkau kehendaki lalu engkau dekatkan kepadamu dari yang telah engkau pisahkan, maka tidak ada dosa bagimu. Dalam hal ini terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكَ فِيمَنِ ابْتَغَيْتَ وَفِيمَنْ عَزَلْتَ: وَهُوَ قَوْلُ يَحْيَى بْنِ سَلَامٍ.
Salah satunya: tidak ada dosa bagimu terhadap siapa yang engkau kehendaki dan siapa yang engkau pisahkan; dan ini adalah pendapat Yahyā bin Sallām.
وَالثَّانِي: فلا جناح عليك فيمن عزلت أن تؤيه إليك، وهو قول مجاهد. {وَذَلِكَ أدْنَى أَنْ تَقَرَّ أَعْيُنُهُنَّ وَلاَ يَحْزَنَّ وَيَرْضَيْنَ بِمَا آتَيْتَهُنَّ كُلُّهُنَّ) {الأحزاب: 51)
Yang kedua: tidak ada dosa bagimu terhadap siapa yang engkau pisahkan lalu engkau dekatkan kepadamu, dan ini adalah pendapat Mujāhid. {Yang demikian itu lebih dekat agar mereka merasa tenang dan tidak bersedih hati, serta mereka rela dengan apa yang engkau berikan kepada mereka semuanya} (al-Aḥzāb: 51)
أَحَدُهُمَا: إِذَا عَلِمْنَ أَنَّ لَهُ رَدَّهُنَّ إِلَى فراشه إذا اعتزلهن قرت أعينهن فلم يحزن وفيه تأويلان: وَهَذَا قَوْلُ مُجَاهِدٍ.
Salah satunya: jika mereka mengetahui bahwa beliau dapat mengembalikan mereka ke tempat tidurnya setelah memisahkan mereka, maka hati mereka menjadi tenang dan mereka tidak bersedih. Dalam hal ini terdapat dua tafsiran, dan ini adalah pendapat Mujāhid.
وَالثَّانِي: إِذَا عَلِمْنَ أَنَّ هَذَا مِنْ حُكْمِ اللَّهِ تَعَالَى فِيهِنَّ قَرَّتْ أَعْيُنُهُنَّ وَلَمْ يَحْزَنَّ، وَهَذَا قَوْلُ قَتَادَةَ، فَاخْتَلَفُوا هَلْ أَرْجَأَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بعد نزول هذه الآية أحداً من نسائه أَمْ لَا؟ فَالَّذِي عَلَيْهِ الْأَكْثَرُونَ أَنَّهُ لَمْ يُرْجِ مِنْهُنَّ أَحَدًا وَأَنَّهُ مَاتَ عَنْ تِسْعٍ فكان يَقْسِمُ مِنْهُنَّ لثمانٍ، لِأَنَّ سَوْدَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا لعائشة، روى منصور عن ابن رُزَيْنٍ قَالَ: بَلَغَ بَعْضَ نِسْوَةِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُخَلِّيَ سَبِيلَهُنَّ فَأَتَيْنَهُ فَقُلْنَ: لا تخل سبيلنا وأنت في حل فيما بَيْنَنَا وَبَيْنَكَ، فَأَرْجَأَ مِنْهُنَّ نِسْوَةً وَآوَى نِسْوَةً، فَكَانَ مِمَّنْ أَرْجَأَ مَيْمُونَةُ وَجُوَيْرِيَةُ وَأُمُّ حَبِيبَةَ وَصْفِيَّةُ وَسَوْدَةُ، وَكَانَ يَقْسِمُ بَيْنَهُنَّ مِنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ مَا شَاءَ، وَكَانَ مِمَّنْ آوَى عَائِشَةُ وَأُمُّ سَلَمَةَ وَزَيْنَبُ وَحَفْصَةُ فَكَانَ قَسْمُهُ مِنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ فِيهِنَّ سَوَاءً، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan yang kedua: Jika mereka mengetahui bahwa hal itu adalah ketetapan Allah Ta‘ala atas mereka, maka hati mereka menjadi tenteram dan mereka tidak bersedih. Ini adalah pendapat Qatadah. Para ulama berbeda pendapat, apakah Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– setelah turunnya ayat ini masih menangguhkan (arjā’a) salah satu dari istri-istrinya atau tidak? Mayoritas ulama berpendapat bahwa beliau tidak menangguhkan seorang pun dari mereka dan beliau wafat dalam keadaan memiliki sembilan istri, dan beliau membagi giliran di antara delapan dari mereka, karena Saudah telah memberikan gilirannya kepada ‘Aisyah. Manshur meriwayatkan dari Ibnu Ruzain, ia berkata: Sebagian istri Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– mendengar bahwa beliau ingin menceraikan mereka, maka mereka mendatangi beliau dan berkata: “Janganlah engkau menceraikan kami, dan engkau bebas dalam urusan antara kami dan engkau.” Maka beliau menangguhkan (arjā’a) sebagian dari mereka dan menampung (āwā) sebagian yang lain. Di antara yang beliau tangguhkan adalah Maimunah, Juwayriyyah, Ummu Habibah, Shafiyyah, dan Saudah. Beliau membagi kepada mereka dari diri dan hartanya sesuai kehendaknya. Sedangkan yang beliau tampung adalah ‘Aisyah, Ummu Salamah, Zainab, dan Hafshah, dan pembagian beliau kepada mereka dari diri dan hartanya adalah sama. Dan Allah lebih mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
وإذا قد مضى ما قد خص بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي مَنَاكِحِهِ نَصًّا وَاجْتِهَادًا وَمَا خُصَّ بِهِ أزواجه تفضيلاً وَحُكْمًا
Dan setelah selesai pembahasan tentang kekhususan Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– dalam pernikahan-pernikahannya, baik secara nash maupun ijtihad, serta kekhususan istri-istrinya dalam keutamaan dan hukum,
فَلَا بُدَّ مِنْ ذِكْرِ أَزْوَاجِهِ لِيَعْلَمَ ما يميز مِنْ نِسَاءِ الْأُمَّةِ بِهَذِهِ الْأَحْكَامِ الْمَخْصُوصَةِ، وَهُنَّ ثَلَاثٌ وَعِشْرُونَ امْرَأَةً مِنْهُنَّ سِتٌّ مِتْنَ قَبْلَهُ وتسع مات قبلهن وثمانٍ فارقهن، فأما الست اللَّاتِي مِتْنَ قَبْلَهُ فَإِحْدَاهُنَّ خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَهِيَ أَوَّلُ امْرَأَةٍ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ النُّبُوَّةِ عِنْدَ مَرْجِعِهِ مِنَ الشَّامِ، وَهِيَ أُمُّ بَنِيهِ وَبَنَاتِهِ إِلَّا إِبْرَاهِيمَ فَإِنَّهُ مِنْ مَارِيَةَ الْقِبْطِيَّةَ كَانَ الْمُقَوْقِسُ أَهْدَاهَا إِلَيْهِ وَلَمْ يَتَزَوَّجْ عَلَى خَدِيجَةَ أحداً حتى ماتت.
maka perlu disebutkan nama-nama istri beliau agar diketahui apa yang membedakan mereka dari wanita-wanita umat ini dengan hukum-hukum khusus tersebut. Mereka berjumlah dua puluh tiga wanita: enam di antaranya wafat sebelum beliau, sembilan beliau wafati mereka, dan delapan beliau ceraikan. Adapun enam yang wafat sebelum beliau, salah satunya adalah Khadijah binti Khuwailid, ia adalah wanita pertama yang dinikahinya sebelum kenabian, sepulangnya dari Syam. Ia adalah ibu dari anak-anak laki-laki dan perempuan beliau kecuali Ibrahim, karena Ibrahim dari Maria al-Qibthiyyah, yang dihadiahkan oleh Muqawqis kepada beliau. Beliau tidak menikahi wanita lain selama Khadijah masih hidup hingga ia wafat.
والثانية: زينبت بنت خزيمة الهلالية أم المساكين ودخل بِهَا وَأَقَامَتْ عِنْدَهُ شُهُورًا ثُمَّ مَاتَتْ وَكَانَتْ أخت ميمونة من أمها.
Yang kedua: Zainab binti Khuzaymah al-Hilaliyyah, Ummul Masakin. Beliau telah menggaulinya dan ia tinggal bersama beliau beberapa bulan, kemudian ia wafat. Ia adalah saudari Maimunah dari ibu yang sama.
والثالثة: سنا بِنْتُ الصَّلْتِ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَصِلَ إِلَيْهِ.
Yang ketiga: Sanaa binti Shalt, ia wafat sebelum sampai kepada beliau.
والرابعة: شراق أُخْتُ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَصِلَ إِلَيْهِ.
Yang keempat: Sharaq, saudari Dihyah al-Kalbi, ia wafat sebelum sampai kepada beliau.
وَالْخَامِسَةُ: خَوْلَةُ بِنْتُ الْهُذَيْلِ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَصِلَ إِلَيْهِ.
Yang kelima: Khawlah binti al-Hudzail, ia wafat sebelum sampai kepada beliau.
وَالسَّادِسَةُ: خَوْلَةُ بِنْتُ حَكِيمٍ السُّلَمِيَّةُ مَاتَتْ قَبْلَ دُخُولِهِ بِهَا وَقِيلَ: إِنَّهَا هِيَ الَّتِي وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فهؤلاء ست متن قبله دخلن مِنْهُنَّ بِاثْنَتَيْنِ وَلَمْ يَدْخُلْ بِأَرْبَعٍ.
Yang keenam: Khawlah binti Hakim as-Sulamiyyah, ia wafat sebelum beliau menggaulinya. Ada yang mengatakan: dialah wanita yang menghadiahkan dirinya kepada Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam–. Maka inilah enam wanita yang wafat sebelum beliau; beliau telah menggauli dua di antaranya dan belum menggauli empat lainnya.
وَأَمَّا التِّسْعُ اللَّاتِي مَاتَ عَنْهُنَّ فَإِحْدَاهُنَّ عَائِشَةُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ، وَهِيَ أَوَّلُ امْرَأَةٍ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ مَوْتِ خَدِيجَةَ وَلَمْ يَتَزَوَّجْ بِكْرًا غَيْرَهَا، عَقَدَ عَلَيْهَا بِمَكَّةَ وَهِيَ ابْنَةُ سَبْعٍ، وَدَخَلَ بِهَا بِالْمَدِينَةِ وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ ابْنَةُ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ.
Adapun sembilan wanita yang beliau wafat meninggalkan mereka, salah satunya adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar. Ia adalah wanita pertama yang dinikahi beliau setelah wafatnya Khadijah, dan beliau tidak menikahi gadis selainnya. Beliau menikahinya di Makkah saat ia berusia tujuh tahun, dan menggaulinya di Madinah saat ia berusia sembilan tahun, dan beliau wafat meninggalkannya saat ia berusia delapan belas tahun.
وَالثَّانِيَةُ: سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ عَائِشَةَ، وَكَانَتْ أُمَّ خَمْسِ صِبْيَةٍ فَلَمَّا عَرَفَ أَخُوهَا عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ أَنَّهَا تَزَوَّجَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حثى التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهِ، فَلَمَّا أَسْلَمَ قَالَ: إِنِّي لِسَفِيهٌ لَمَّا حَثَوْتُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِي، حِينَ تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أختي.
Yang kedua: Saudah binti Zam‘ah, beliau menikahinya setelah ‘Aisyah. Ia adalah ibu dari lima anak. Ketika saudaranya, ‘Abdu bin Zam‘ah, mengetahui bahwa ia telah dinikahi Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam–, ia menaburkan tanah ke kepalanya. Namun setelah ia masuk Islam, ia berkata: “Sungguh aku benar-benar bodoh ketika menaburkan tanah ke kepalaku saat Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– menikahi saudariku.”
والثالثة: حفصة بِنْتُ عُمَرَ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ سَوْدَةَ، وَكَانَ عُثْمَانُ قَدْ خَطَبَهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَلَّا أَدُلُّكَ عَلَى مَنْ هُوَ خَيْرٌ لَهَا مِنْ عُثْمَانَ وَأَدُلُّ عُثْمَانَ عَلَى مَنْ هُوَ خير لها مِنْهَا، فَتَزَوَّجَهَا، وَزَوَّجَ بِنْتَهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِعُثْمَانَ.
Yang ketiga: Hafshah binti ‘Umar, beliau menikahinya setelah Saudah. Dahulu ‘Utsman telah melamarnya, maka Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Maukah aku tunjukkan kepadamu seseorang yang lebih baik baginya daripada ‘Utsman, dan aku tunjukkan kepada ‘Utsman seseorang yang lebih baik baginya daripada dia?” Maka beliau menikahinya, dan menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, dengan ‘Utsman.
وَالرَّابِعَةُ: أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، وَقِيلَ: إِنَّهُ نَزَلَ فِي تَزْوِيجِهَا {عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً) {الممتحنة: 7) وَلَمَّا تَنَازَعَ أَزْوَاجِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَضَانَةِ ابْنِهِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: ادْفَعُوهُ إِلَى أم حبيبة فإنها أقربهن منه رَحِمًا.
Keempat: Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Dikatakan bahwa ayat {Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kamu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka} (Al-Mumtahanah: 7) turun berkenaan dengan pernikahannya. Ketika para istri Rasulullah ﷺ berselisih mengenai hak asuh putranya, Ibrahim, beliau bersabda: “Serahkanlah dia kepada Ummu Habibah, karena ia yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengannya.”
وَالْخَامِسَةُ: أُمُّ سَلَمَةَ بِنْتُ أَبِي أُمَّيَّةَ.
Kelima: Ummu Salamah binti Abu Umayyah.
وَالسَّادِسَةُ: زَيْنَبُ، بِنْتُ جَحْشٍ، نَزَلَ عَنْهَا زَيْدُ بن حارثة فتزوجها، وَفِيهَا نَزَلَ قَوْله تَعَالَى: {فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا) {الأحزاب: 37) وَكَانَتْ بِنْتَ عَمَّةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأُمُّهَا أُمَيْمَةُ بِنْتُ عَبْدِ الْمَطَّلِبَ.
Keenam: Zainab binti Jahsy, yang diceraikan oleh Zaid bin Haritsah lalu dinikahi oleh Nabi. Mengenai dirinya turun firman Allah Ta‘ala: {Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengannya} (Al-Ahzab: 37). Ia adalah putri bibi Rasulullah ﷺ, dan ibunya adalah Umayyah binti Abdul Muththalib.
وَالسَّابِعَةُ: مَيْمُونَةُ بنت الحارث، وكان بالمدينة فوكل أم رافع في تزويجه بها وبقي بِمَكَّةَ، وَدَخْلٍ بِهَا عَامَ الْفَتْحِ بِسَرِفَ، وَقَضَى الله تعالى أَنْ مَاتَتْ بَعْدَ ذَلِكَ بِسَرِفَ.
Ketujuh: Maimunah binti Al-Harits. Saat itu Nabi berada di Madinah, lalu beliau mewakilkan urusan pernikahannya kepada Ummu Rafi‘ dan tetap tinggal di Makkah. Nabi masuk ke rumah Maimunah pada tahun penaklukan (Fathu Makkah) di daerah Sarif, dan Allah Ta‘ala menakdirkan ia wafat setelah itu di Sarif.
وَالثَّامِنَةُ: جُوَيْرِيَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ مَنْ بَنِي الْمُصْطَلِقِ مِنْ خُزَاعَةَ سَبَاهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في غزوة الْمُرَيْسِيعِ الَّتِي هَدَمَ فِيهَا مَنَاةَ، ثُمَّ أَعْتَقَهَا وتزوجها.
Kedelapan: Juwayriyah binti Al-Harits dari Bani Al-Musthaliq, dari Khuza‘ah. Rasulullah ﷺ menawannya dalam Perang Muraisi‘, perang di mana beliau menghancurkan berhala Manat. Kemudian beliau memerdekakannya dan menikahinya.
وقال الشَّعْبِيُّ: وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا، فَلَمَّا فَعَلَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ما بقي أحد من المسلمين عبداً مِنْ قَوْمِهَا إِلَّا أَعْتَقُهُ لِمَكَانَتِهَا، فَقِيلَ: إِنَّهَا كَانَتْ أَبْرَكَ امْرَأَةٍ عَلَى قَوْمِهَا.
Asy-Sya‘bi berkata: Nabi menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya. Ketika Rasulullah ﷺ melakukan hal itu, tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang masih menahan budak dari kaumnya kecuali mereka memerdekakannya karena kedudukan Juwayriyah. Maka dikatakan: Ia adalah wanita yang paling membawa berkah bagi kaumnya.
وَالتَّاسِعَةُ: صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ بْنِ أَخْطَبَ اصْطَفَاهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – من سبي النَّضِيرِ، ثُمَّ أَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا، وَهِيَ الَّتِي أَهْدَتْ إِلَيْهَا زَيْنَبُ بِنْتُ الْحَارِثِ الْيَهُودِيَّةُ شَاةً مَسْمُومَةً فَأَكَلَ مِنْهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَهَؤُلَاءِ تِسَعٌ مَاتَ عَنْهُنَّ، وَكَانَ يَقْسِمُ لِثَمَانٍ منهن.
Kesembilan: Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Rasulullah ﷺ memilihnya dari tawanan Bani Nadhir, lalu memerdekakannya dan menikahinya, serta menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya. Ia adalah wanita yang pernah dihadiahi oleh Zainab binti Al-Harits, seorang Yahudi, seekor kambing yang telah diberi racun. Rasulullah ﷺ memakan sebagian darinya. Inilah sembilan istri yang Nabi wafat dalam keadaan masih berstatus istri beliau, dan beliau membagi giliran untuk delapan di antara mereka.
وأما الثماني اللَّاتِي فَارَقَهُنَّ فِي حَيَاتِهِ.
Adapun delapan wanita yang dicerai oleh Nabi ﷺ semasa hidupnya.
فَإِحْدَاهُنَّ أَسْمَاءُ بِنْتُ النعمان النكدية، دخل عليهان فَقَالَ لَهَا: تَعَالَيْ، فَقَالَتْ: إِنَّا مِنْ قَوْمٍ نُؤْتَى وَلَا نَأْتِي، فَقَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا، فقال: ملكة تحت سوقةٍ، فَغَضِبَ وَقَالَ: لَوْ رَضِيَكِ اللَّهُ لِي لأمسكتك وطلقها.
Salah satunya adalah Asma’ binti An-Nu‘man An-Nakdiyyah. Nabi masuk menemuinya dan berkata kepadanya: “Mendekatlah.” Ia menjawab: “Kami berasal dari kaum yang didatangi (oleh laki-laki), bukan yang mendatangi.” Nabi pun mendekatinya dan memegang tangannya, lalu berkata: “Ratu di bawah orang biasa.” Nabi pun marah dan berkata: “Seandainya Allah meridhaimu untukku, niscaya aku akan menahanmu,” lalu beliau menceraikannya.
والثانية: ليلى بنت الحطيم أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهُوَ غَافِلٌ فَضَرَبَتْ ظَهْرَهُ، فَقَالَ: مَنْ هَذَا؟ أَكَلَهُ الْأُسُودُ فَقَالَتْ: أَنَا لَيْلَى قَدْ جِئْتُكَ أَعْرِضُ نَفْسِي عَلَيْكَ، فَقَالَ: قَدْ قَبِلْتُكِ ثم علمت كثرة ضرائرها فاستقالته فأقلها، قد خلت حَائِطًا بِالْمَدِينَةِ فَأَكَلَهَا الذِّئْبُ.
Kedua: Laila binti Al-Hutaim. Ia datang kepada Rasulullah ﷺ saat beliau sedang lengah, lalu memukul punggung beliau. Nabi bertanya: “Siapa ini? Apakah ia dimakan singa?” Ia menjawab: “Aku Laila, aku datang menawarkan diriku kepadamu.” Nabi berkata: “Aku telah menerimamu.” Namun setelah mengetahui banyaknya madunya, ia meminta untuk dibebaskan dari pernikahan itu, lalu Nabi mengabulkannya. Ia pernah melewati sebuah kebun di Madinah, lalu dimakan serigala.
وَالثَّالِثَةُ: عَمْرَةُ بِنْتُ يَزِيدَ الْكِلَابِيَّةُ دَخَلَ بِهَا ثُمَّ رَآهَا تَتَطَلَّعُ فَطَلَّقَهَا.
Ketiga: ‘Amrah binti Yazid Al-Kilabiyyah. Nabi telah masuk menemuinya, lalu melihatnya menampakkan keengganan, maka beliau menceraikannya.
وَالرَّابِعَةُ: الْعَالِيَةُ بِنْتُ ظَبْيَانَ، دَخَلَ بِهَا ومكثت عنده ماشاء اللَّهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا.
Keempat: Al-‘Aliyah binti Zabyan. Nabi telah masuk menemuinya dan ia tinggal bersama beliau selama yang Allah kehendaki, kemudian beliau menceraikannya.
وَالْخَامِسَةُ: فَاطِمَةُ بِنْتُ الضَّحَّاكِ الكلابية، لما خير الرسول – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نِسَاءَهُ اخْتَارَتْ فِرَاقَهُ فَفَارَقَهَا بَعْدَ دُخُولِهِ بِهَا.
Kelima: Fatimah binti Adh-Dhahak Al-Kilabiyyah. Ketika Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepada para istrinya, ia memilih berpisah, maka beliau pun menceraikannya setelah sempat masuk menemuinya.
وَالسَّادِسَةُ: قُتَيْلَةُ بِنْتُ قَيْسٍ أُخْتُ الْأَشْعَثِ وَصَّى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِتَخْيِيرِهَا فِي مَرَضِهِ فَاخْتَارَتْ فِرَاقَهُ فَفَارَقَهَا قَبْلَ الدخول.
Keenam: Qutailah binti Qais, saudari Al-Asy‘ats. Rasulullah ﷺ berwasiat agar ia diberi pilihan saat beliau sakit, lalu ia memilih berpisah, maka Nabi menceraikannya sebelum sempat masuk menemuinya.
والسابعة: مليكة بنت كعب الليثية كانت مذكورة بالجمال فدخلت عليها عائشة، فقالت: ألا تستحين أن تَتَزَوَّجِينَ قَاتِلَ أَبِيكِ يَوْمَ الْفَتْحِ فَاسْتَعِيذِي مِنْهُ فَإِنَّهُ يُعِيذُكِ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ، فَأَعْرَضَ عَنْهَا، وَقَالَ: قَدْ أَعَاذَكِ اللَّهُ مِنِّي وَطَلَّقَهَا.
Ketujuh: Malikah binti Ka‘b Al-Laitsiyyah. Ia dikenal akan kecantikannya. Aisyah masuk menemuinya dan berkata: “Tidakkah kau malu menikahi pembunuh ayahmu pada hari penaklukan? Mintalah perlindungan darinya, karena ia pasti akan melindungimu.” Ketika Rasulullah ﷺ masuk menemuinya, ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Maka Nabi berpaling darinya dan berkata: “Allah telah melindungimu dariku,” lalu beliau menceraikannya.
وَالثَّامِنَةُ: امْرَأَةٌ من عفان تزوجها ورأى بكشحها لَطْخًا فَقَالَ: ضُمِّي إِلَيْكِ ثِيَابَكِ وَالْحَقِي بِأَهْلِكِ فَهَؤُلَاءِ ثمانٍ فَارَقَهُنَّ فِي حَيَاتِهِ دَخْلَ مِنْهُنَّ بثلاث والله أعلم.
Kedelapan: Seorang wanita dari (keluarga) ‘Affan yang dinikahinya, lalu ia melihat ada noda di bagian pinggangnya, maka beliau berkata: “Kenakanlah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu.” Maka mereka inilah delapan wanita yang dicerainya pada masa hidupnya, dan beliau telah bercampur dengan tiga di antara mereka. Allah-lah yang lebih mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذْ قَدْ مَضَى مَا خُصَّ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في مناكحه فالكلام فيما خُصَّ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في غير مناكحه وهو يَنْقَسِمُ خَمْسَةَ أقسامٍ: أَحَدُهَا: مَا خُصَّ بِهِ مِنْ فَرْضٍ. وَالثَّانِي: مَا خُصَّ بِهِ مِنْ حَظْرٍ. وَالثَّالِثُ: مَا خُصَّ بِهِ مِنْ إِبَاحَةٍ. وَالرَّابِعُ: مَا خُصَّ بِهِ مِنْ مَعُونَةٍ. وَالْخَامِسُ: مَا خُصَّ بِهِ مِنْ كَرَامَةٍ.
Setelah selesai pembahasan tentang kekhususan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dalam masalah pernikahan, maka kini pembahasan tentang kekhususan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– di luar masalah pernikahan. Kekhususan tersebut terbagi menjadi lima bagian: Pertama, kekhususan dalam hal kewajiban. Kedua, kekhususan dalam hal larangan. Ketiga, kekhususan dalam hal kebolehan. Keempat, kekhususan dalam hal pertolongan. Kelima, kekhususan dalam hal kemuliaan.
فَأَمَّا مَا خُصَّ بِهِ مِنْ فَرْضٍ فَثَمَانِي خِصَالٍ: مِنْهَا قَوْلُهُ: ” فُرِضَ عَلَيَّ الْوِتَرُ وَلَمْ يُفْرَضْ عَلَيْكُمْ “.
Adapun kekhususan beliau dalam hal kewajiban, maka ada delapan perkara, di antaranya sabda beliau: “Telah diwajibkan kepadaku shalat witir dan tidak diwajibkan atas kalian.”
وَمِنْهَا قَوْلُهُ: ” فُرِضَ عَلَيَّ السِّوَاكُ وَلَمْ يُفْرَضْ عليكم “.
Dan di antaranya sabda beliau: “Telah diwajibkan kepadaku bersiwak dan tidak diwajibkan atas kalian.”
ومنها قوله: ” فُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُضْحِيَّةُ وَلَمْ تُفْرَضْ عَلَيْكُمْ “.
Dan di antaranya sabda beliau: “Telah diwajibkan kepadaku berkurban dan tidak diwajibkan atas kalian.”
وَمِنْهَا: أَنَّ فَرْضَهُ فِي الصَّلَاةِ كَامِلٌ لَا خَلَلَ فِيهِ.
Dan di antaranya: Bahwa kewajiban beliau dalam shalat adalah sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya.
وَمِنْهَا: مَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ مِنْ قِيَامِ اللَّيْلِ، هَلْ كَانَ مَخْصُوصًا بِهِ؟ عَلَى وجهين.
Dan di antaranya: Apa yang diperselisihkan oleh para sahabat kami tentang qiyām al-lail, apakah itu merupakan kekhususan bagi beliau? Ada dua pendapat.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ إِذَا لَبِسَ لَأْمَةَ سِلَاحِهِ فَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ قَبْلَ لِقَاءِ عَدُوِّهِ.
Dan di antaranya: Jika beliau telah mengenakan perlengkapan perang, maka tidak boleh baginya untuk kembali sebelum bertemu dengan musuhnya.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ كان إذا بارز في الحرب رجلاً لم ينكف عنه حتى يقتله.
Dan di antaranya: Jika beliau berduel dengan seseorang dalam peperangan, beliau tidak mundur darinya hingga membunuhnya.
ومنها: أنه لا يفر من الزحف ويقف بارزاً عدوه وإن كثروا.
Dan di antaranya: Bahwa beliau tidak lari dari medan perang dan tetap berdiri menghadapi musuhnya meskipun mereka banyak.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا مَا خُصَّ بِهِ مِنْ حَظْرٍ فخمسة خِصَالٍ:
Adapun kekhususan beliau dalam hal larangan, maka ada lima perkara:
مِنْهَا: قَوْلُ الشِّعْرِ وَرِوَايَتُهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ) (يس: 69) .
Di antaranya: Mengucapkan dan meriwayatkan syair, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya dan tidaklah pantas baginya} (Yasin: 69).
وَمِنْهَا الْكِتَابَةُ وَالْقِرَاءَةُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ تُخُطُهُ بِيَمِينِكَ إِذاً لارْتَابَ المُبْطِلُونَ) {العنكبوت: 49) .
Dan di antaranya: Menulis dan membaca, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya suatu kitab pun dan tidak (pula) menulisnya dengan tangan kananmu; andai demikian, niscaya ragu orang-orang yang mengingkari (kebenaranmu)} (al-‘Ankabut: 49).
ومنها: أن لَيْسَ لَهُ خَائِنَةُ الْأَعْيُنِ. لِأَنَّهُ لَمَّا أَمَرَ عَامَ الْفَتْحِ بِقَتْلِ سِتَّةٍ وَإِنْ تَعَلَّقُوا بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ أَتَاهُ عُثْمَانُ بِأَحَدِهِمْ وَكَانَ قَرِيبَهُ لِيَأْخُذَ لَهُ أَمَانًا مِنْهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ عَاوَدَهُ فأمنه، فلما ولي قال: لمن حضر من أصحابه هلا قتلتموه، قال: هلا أومأت إلينا بعينيك فَقَالَ مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ خَائِنَةُ الْأَعْيُنِ.
Dan di antaranya: Tidak boleh melakukan khā’inat al-a‘yūn (isyarat mata untuk berkhianat). Karena ketika pada tahun penaklukan (Makkah) beliau memerintahkan untuk membunuh enam orang meskipun mereka berlindung di tirai Ka‘bah, lalu ‘Utsman membawakan salah satu dari mereka yang merupakan kerabatnya untuk meminta jaminan keamanan dari beliau, maka beliau berpaling darinya, kemudian ‘Utsman mengulangi permintaannya, lalu beliau memberinya jaminan. Setelah ‘Utsman pergi, beliau berkata kepada para sahabat yang hadir: “Mengapa kalian tidak membunuhnya?” Mereka berkata: “Mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami dengan matamu?” Beliau bersabda: “Tidak pantas bagi seorang nabi untuk melakukan khā’inat al-a‘yūn.”
وَمِنْهَا: مَنْعُهُ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
Dan di antaranya: Larangan bagi beliau menerima sedekah.
وَمِنْهَا مَنْعُهُ مِنْ أَكْلِ مَا تُؤْذِي رَائِحَتُهُ مِنَ الْبُقُولِ لِهُبُوطِ الوحي عليه.
Dan di antaranya: Larangan bagi beliau memakan sayuran yang baunya mengganggu, karena turunnya wahyu kepadanya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا مَا خُصَّ بِهِ مِنْ إِبَاحَةٍ فَأَرْبَعُ خِصَالٍ:
Adapun kekhususan beliau dalam hal kebolehan, maka ada empat perkara:
مِنْهَا الْوِصَالُ بَيْنَ صَوْمِ الْيَوْمَيْنِ بِالْإِمْسَاكِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا نَهَى عَنِ الْوِصَالِ وَوَاصَلَ قَالَ ” إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ إِنِّي أَظَلُّ عِنْدَ ربي فيطعمني وَيَسْقِينِي “.
Di antaranya: Melakukan wisāl (menyambung puasa dua hari berturut-turut tanpa berbuka), karena ketika beliau melarang wisāl namun beliau sendiri melakukannya, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak seperti kalian, aku bermalam di sisi Tuhanku, lalu Dia memberiku makan dan minum.”
وَمِنْهَا: الصَّفِيُّ يَصْطَفِي مِنَ الْمَغَانِمِ مَا شَاءَ.
Dan di antaranya: Al-shafiy, yaitu beliau boleh memilih dari harta rampasan perang apa yang beliau kehendaki.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ يُحْيِي نَفْسَهُ بِمَالِ غَيْرِهِ وَنَفْسِهِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ ضَرُورَتِهِ.
Dan di antaranya: Bahwa beliau boleh menghidupi dirinya dengan harta orang lain dan hartanya sendiri, meskipun orang lain itu dalam keadaan sangat membutuhkan.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ خُصَّ بِحِمَى الْمَوَاتِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.
Dan di antaranya: Bahwa beliau dikhususkan dengan hak menghidupkan tanah mati menurut salah satu dari dua pendapat.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا مَا خُصَّ بِهِ مِنْ مَعُونَةٍ فَسَبْعُ خِصَالٍ:
Adapun kekhususan beliau dalam hal pertolongan, maka ada tujuh perkara:
مِنْهَا: مَا جَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنَائِمِ.
Di antaranya: Apa yang Allah Ta‘ala jadikan untuk beliau berupa seperlima dari seperlima harta fai’ dan ghanimah.
وَمِنْهَا: مَا مَلَّكَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِيَّاهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ.
Dan di antaranya: Apa yang Allah Ta‘ala berikan kepadanya berupa empat perlima harta fai’.
وَمِنْهَا: أَنْ لَا يُقِرَّهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى خَطَأٍ.
Dan di antaranya: Bahwa Allah Ta‘ala tidak membiarkan beliau tetap dalam kesalahan.
وَمِنْهَا: مَا أَمَدَّهُ به من ملائكة.
Dan di antaranya: Pertolongan yang diberikan kepadanya berupa para malaikat.
وَمِنْهَا: مَا تَكَفَّلَ بِهِ مِنْ عِصْمَتِهِ فِي قوله: ” والله يعصمك من الناس “.
Dan di antaranya: Jaminan perlindungan yang diberikan kepadanya, sebagaimana firman-Nya: “Dan Allah akan memelihara engkau dari (gangguan) manusia.”
ومنها: ما وعده به من نصرته.
Dan di antaranya: Janji Allah untuk menolong beliau.
وَمِنْهَا: مَا أَلْقَاهُ فِي قُلُوبِ الْمُشْرِكِينَ مِنْ رهبته حتى قال ” نصرت بالرعب “.
Dan di antaranya: Apa yang Allah tanamkan dalam hati orang-orang musyrik berupa rasa takut terhadap beliau, sehingga beliau bersabda: “Aku ditolong dengan rasa takut (yang ditanamkan pada musuh).”
فصل
Fasal
فأما مَا خُصَّ بِهِ مِنْ كَرَامَةٍ فَعَشْرُ خِصَالٍ:
Adapun kekhususan beliau dalam hal kemuliaan, maka ada sepuluh perkara:
مِنْهَا: أَنْ بَعَثَهُ إِلَى كَافَّةِ الْخَلْقِ.
Di antaranya: Bahwa beliau diutus kepada seluruh makhluk.
وَمِنْهَا: أَنْ جَعَلَهُ خَاتَمَ الْأَنْبِيَاءِ.
Dan di antaranya: Bahwa beliau dijadikan sebagai penutup para nabi.
وَمِنْهَا: أَنْ جَعَلَهُ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ.
Dan di antaranya: Bahwa beliau dijadikan lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri.
وَمِنْهَا: أَنْ جَعَلَ أُمَّتَهُ خَيْرَ الْأُمَمِ.
Dan di antaranya: Bahwa umat beliau dijadikan sebagai sebaik-baik umat.
وَمِنْهَا أَنْ تَنَامَ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامَ قَلْبُهُ.
Di antaranya adalah bahwa kedua matanya tidur, tetapi hatinya tidak tidur.
وَمِنْهَا: أَنْ يَرَى مَنْ وَرَائَهُ كَمَا يَرَى مَنْ أَمَامَهُ.
Di antaranya: ia dapat melihat orang yang berada di belakangnya sebagaimana ia melihat orang yang ada di depannya.
وَمِنْهَا: أَنْ يبلغ السلام بعد الموت.
Di antaranya: salam kepadanya sampai setelah wafat.
ومنها: أنه مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الْأَرْضُ.
Di antaranya: ialah orang yang bumi terbelah untuknya.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ.
Di antaranya: ia adalah orang pertama yang masuk surga.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَشْهَدُ لِجَمِيعِ النَّبِيِّينَ بِالْأَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Di antaranya: ia memberikan kesaksian bagi seluruh nabi atas penyampaian (risalah) pada hari kiamat.
الترغيب في النكاح وغيره من الجامع ومن كتاب النكاح جديدٌ وقديمٌ ومن الإملاء على مسائل مالكٍ
Anjuran untuk menikah dan selainnya dari kitab al-Jāmi‘ dan dari Kitab Nikah, baik yang baru maupun lama, serta dari catatan pelajaran atas masalah-masalah Mālik.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَأُحِبُّ لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ أن يتزوجها إِذَا تَاقَتْ أَنْفُسُهُمَا إِلَيْهِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أمر به ورضيه وندب إليه وبلغنا أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” تَنَاكَحُوا تَكْثُرُوا فَإِنِّي أُبَاهِي بِكُمُ الْأُمَمَ حتى بالسقط ” وأنه قال: ” من أحب فطرتي فليستن بسنتي ومن سنتي النكاح ” ويقال إن الرجل ليرفع فدعاء ولده من بعده “.
Imam Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: Aku menyukai bagi laki-laki dan perempuan untuk menikah jika keduanya merasakan keinginan, karena Allah Ta‘ālā memerintahkannya, meridhainya, dan menganjurkannya. Telah sampai kepada kami bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Menikahlah kalian, maka kalian akan menjadi banyak, karena aku akan berbangga dengan kalian di hadapan umat-umat lain, bahkan dengan janin yang keguguran sekalipun.” Dan beliau juga bersabda: “Barang siapa mencintai fitrahku, hendaklah ia mengikuti sunnahku, dan di antara sunnahku adalah menikah.” Dikatakan pula bahwa seorang laki-laki akan diangkat derajatnya karena doa anaknya setelah ia wafat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ النِّكَاحُ مُبَاحٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa nikah itu mubah (boleh) dan tidak wajib.
وَقَالَ دَاوُدُ: النِّكَاحُ وَاجِبٌ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ} (النساء: 3) وهذا أمر وبقوله عليه السلام: ” تَنَاكَحُوا تَكْثُرُوا ” قَالَ: وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعٌ بِقَوْلِ صَحَابِيَّيْنِ لَمْ يَظْهَرْ خِلَافُهُمَا:
Dāwud berkata: Nikah itu wajib, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Maka nikahilah wanita-wanita yang baik bagi kalian} (an-Nisā’: 3), dan ini adalah perintah. Juga berdasarkan sabda beliau: “Menikahlah kalian, maka kalian akan menjadi banyak.” Ia berkata: Dan karena ini merupakan ijmā‘ berdasarkan perkataan dua sahabat yang tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka:
أَحَدُهُمَا: قَوْلُ عُمَرَ لِأَبِي الزَّوَائِدِ لَا يَمْنَعُكَ مِنَ النِّكَاحِ إِلَّا عَجْزٌ أَوْ فُجُورٌ.
Salah satunya: perkataan ‘Umar kepada Abū az-Zawā’id, “Tidak ada yang menghalangimu dari menikah kecuali kelemahan atau kefasikan.”
وَالثَّانِي: قَوْلُ مُعَاذٍ فِي مَرَضِهِ: زوجوي لا ألقى الله عزباً؛ لأن فِي النِّكَاحِ مِنْ تَحْصِينِ النَّفْسِ مِثْلَ مَا فِي الْغِذَاءِ، فَلَمَّا لَزِمَ تَحْصِينُهَا بِالْغِذَاءِ لَزِمَ تَحْصِينُهَا بِالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَزِمَهُ إِعْفَافُ أَبِيهِ كَانَ إِعْفَافُ نَفْسِهِ أَوْلَى.
Dan yang kedua: perkataan Mu‘ādz saat sakitnya, “Nikahkanlah aku, agar aku tidak bertemu Allah dalam keadaan membujang; karena dalam pernikahan terdapat penjagaan diri sebagaimana dalam makanan, maka sebagaimana wajib menjaga diri dengan makanan, wajib pula menjaga diri dengan pernikahan. Dan karena jika ia wajib menafkahi ayahnya, maka menafkahi dirinya sendiri lebih utama.”
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثَلاثَ وَرُبَاعَ فَإنْ خِفْتُمْ ألاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ) {النساء: 3) وَمِنْهُ دَلِيلَانِ:
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Maka nikahilah wanita-wanita yang baik bagi kalian, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil, maka satu saja, atau budak yang kalian miliki} (an-Nisā’: 3). Dari ayat ini terdapat dua dalil:
أحدهما: أنه علق بطيب النفس، ولو كان لازماً واجباً للزم بِكُلِّ حَالٍ.
Pertama: Allah mengaitkan (perintah menikah) dengan kerelaan jiwa, dan jika itu wajib, tentu diwajibkan dalam segala keadaan.
وَالثَّانِي: قَوْلُهُ: ” فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا ملكت أيمانكم ” فَخَيَّرَهُ بَيْنَ النِّكَاحِ وَمِلْكِ الْيَمِينِ وَالتَّخْيِيرُ بَيْنَ أَمْرَيْنِ يَقْتَضِي تَسَاوِي حُكْمِهِمَا، فَلَمَّا كَانَ مِلْكُ الْيَمِينِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ كَانَ النِّكَاحُ بِمَثَابَتِهِ وَقَالَ تعالى: {ذَلِكَ مَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُواْ خَيْرٌ لَكُمْ} فَأَبَاحَ نِكَاحَ الْأَمَةِ لِمَنْ خَشِيَ الزِّنَا وَجَعَلَ الصبر خير لَهُ، وَلَوْ كَانَ وَاجِبًا، لَكَانَ الصَّبْرُ شَرًّا لَهُ.
Kedua: firman-Nya: “Tetapi jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil, maka satu saja, atau budak yang kalian miliki.” Maka Allah memberikan pilihan antara menikah dan memiliki budak, dan pilihan antara dua perkara menunjukkan kesamaan hukum keduanya. Karena kepemilikan budak tidak wajib, maka menikah pun demikian. Allah Ta‘ālā juga berfirman: {Itu bagi siapa yang khawatir berbuat zina di antara kalian, dan bersabar itu lebih baik bagi kalian}. Allah membolehkan menikahi budak perempuan bagi yang khawatir berzina, dan menjadikan sabar lebih baik baginya. Jika menikah itu wajib, tentu bersabar menjadi buruk baginya.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” خياركم بعد المأتين كُلُّ خَفِيفٍ حَاذٍّ قِيلَ: وَمَنِ الْخَفِيفُ الْحَاذُّ، قَالَ: الَّذِي لَا أَهْلَ لَهُ وَلَا وَلَدَ “.
Diriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Sebaik-baik kalian setelah dua ratus tahun adalah setiap orang yang ringan dan cerdik.” Ditanyakan: “Siapakah yang ringan dan cerdik itu?” Beliau menjawab: “Yaitu yang tidak memiliki keluarga dan tidak memiliki anak.”
وروي عنه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: الصَّبْرُ عَنِ النِّسَاءِ خَيْرٌ مِنَ الصَّبْرِ عَلَيْهِنَّ، وَالصَّبْرُ عَلَيْهِنَّ خَيْرٌ مِنَ الصَّبْرِ عَلَى النَّارِ.
Dan diriwayatkan dari beliau -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Bersabar untuk tidak menikahi wanita lebih baik daripada bersabar menghadapi mereka, dan bersabar menghadapi mereka lebih baik daripada bersabar menghadapi api neraka.”
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: مِسْكِينٌ مِسْكِينٌ رَجُلٌ لَا امْرَأَةَ لَهُ وَمِسْكِينَةٌ مِسْكِينَةٌ امْرَأَةٌ لَا رَجُلَ لَهَا فَأَخْرَجَ ذَلِكَ مَخْرَجَ الرَّحْمَةِ، وَتَارِكُ الْوَاجِبِ لَا يحرم؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجِبْ مَقْصُودُ النِّكَاحِ وَهُوَ الْوَطْءُ كَانَ النِّكَاحُ بِأَنْ لَا يَجِبَ أَوْلَى؛ وَلِأَنَّهُ لَيْسَ فِي النِّكَاحِ أَكْثَرُ مِنْ نَيْلِ شَهْوَةٍ، وَإِدْرَاكِ لَذَّةٍ وَلَيْسَ ذَلِكَ بِوَاجِبٍ كَسَائِرِ الشَّهَوَاتِ؛ وَلِأَنَّهُ لَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ قَطْعُ شَهْوَتِهِ بِالنِّكَاحِ لَوَجَبَ قَطْعُهَا عِنْدَ الْعَجْزِ عَنْهُ بِمَا قَامَ مَقَامَهُ مِنْ دَوَاءٍ وَعِلَاجٍ، وَلِأَنَّ مَا دَعَتْ إِلَيْهِ الشَّهَوَاتُ خَارِجٌ مِنْ جُمْلَةِ الْوَاجِبَاتِ؛ لأن من صفات الواجبات تكلف المشاق فيها وَتَحَمَّلُ الْأَثْقَالِ لَهَا فَأَمَّا الْآيَةُ فَقَدْ جَعَلْنَاهَا دَلِيلًا.
Diriwayatkan dari beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Miskin, miskinlah seorang laki-laki yang tidak memiliki istri, dan miskin, miskinlah seorang perempuan yang tidak memiliki suami.” Maka hal itu beliau sampaikan dalam konteks kasih sayang, dan orang yang meninggalkan kewajiban tidaklah diharamkan; karena tujuan utama dari nikah, yaitu hubungan suami istri, tidaklah diwajibkan, maka nikah itu sendiri lebih utama untuk tidak diwajibkan; dan karena dalam nikah tidak ada selain pemenuhan syahwat dan perolehan kenikmatan, dan itu bukanlah sesuatu yang wajib sebagaimana syahwat-syahwat lainnya; dan seandainya diwajibkan baginya untuk memutuskan syahwatnya dengan menikah, niscaya diwajibkan pula memutuskan syahwat itu ketika tidak mampu menikah dengan cara lain yang dapat menggantikannya, seperti obat-obatan dan pengobatan. Dan karena apa yang didorong oleh syahwat itu berada di luar kelompok kewajiban; sebab di antara sifat kewajiban adalah adanya beban dan kesulitan di dalamnya. Adapun ayat (yang disebutkan sebelumnya), maka kami telah menjadikannya sebagai dalil.
وَأَمَّا الْخَبَرُ فَهُوَ أَمْرٌ بِالنِّكَاحِ لِلْمُكَاثَرَةِ بِالْأَوْلَادِ؛ لِأَنَّهُ قَالَ ” تَنَاكَحُوا تَكْثُرُوا فَإِنِّي أُبَاهِي بِكُمُ الْأُمَمَ حَتَّى بِالسَّقْطِ ” وَلَيْسَتِ الْمُكَاثَرَةُ وَاجِبَةً، وكذلك ما جعل طريقاً إليها.
Adapun hadis, maka itu adalah perintah untuk menikah dalam rangka memperbanyak keturunan; karena beliau bersabda, “Menikahlah kalian agar kalian menjadi banyak, karena aku akan membanggakan kalian di hadapan umat-umat lain, bahkan dengan anak yang keguguran sekalipun.” Dan memperbanyak keturunan itu bukanlah sesuatu yang wajib, demikian pula segala sesuatu yang menjadi jalan menuju ke sana.
أما قَوْلُهُ: أَنَّ فِيهِ تَحْصِينَ النَّفْسِ، فَإِنَّمَا يَجِبُ مِنْ تَحْصِينِ النَّفْسِ مَا خِيفَ مِنْهُ التَّلَفُ، وَلَيْسَ فِي تَرْكِ النِّكَاحِ خَوْفُ التَّلَفِ.
Adapun ucapannya bahwa dalam nikah terdapat penjagaan diri, maka yang wajib dari penjagaan diri hanyalah jika dikhawatirkan terjadi kebinasaan, dan dalam meninggalkan nikah tidak ada kekhawatiran akan kebinasaan.
وَأَمَّا قوله لما لزمه إِعْفَافُ أَبِيهِ لَزِمَهُ إِعْفَافُ نَفْسِهِ فَقَدْ كَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ يَقُولُ: إِنَّ إِعْفَافَ أمته لَا يَجِبُ عَلَيْهِ كَمَا لَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِعْفَافُ ابْنِهِ، وَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ وُجُوبُهُ وَلَا يَجُبْ عليه في نفسه كما يلزمه فِي حَقِّ أَبِيهِ الْقِيَامُ بِكِفَايَتِهِ مِنَ الْقُوتِ والكسوة ولا يلزمه ذلك في حق نفسه، فكذلك النكاح.
Adapun ucapannya bahwa sebagaimana ia wajib menjaga kehormatan ayahnya maka ia juga wajib menjaga kehormatan dirinya sendiri, maka Abu ‘Ali bin Khairan pernah berkata: Sesungguhnya menjaga kehormatan budaknya tidak wajib baginya, sebagaimana tidak wajib baginya menjaga kehormatan anaknya. Dan pendapat yang tampak dalam mazhab adalah wajib, namun tidak wajib atas dirinya sendiri sebagaimana ia wajib memenuhi kebutuhan ayahnya berupa makanan pokok dan pakaian, dan tidak wajib atas dirinya sendiri. Maka demikian pula halnya dengan nikah.
فأما قول عمر لأبي الزوائد: ما منعك مِنَ النِّكَاحِ إِلَّا عَجْزٌ أَوْ فُجُورٌ، فَهُوَ عَلَى طَرِيقِ التَّرْغِيبِ دُونَ الْوُجُوبِ، وَلَوْ كَانَ واجباً لزمه وَأَمَّا قَوْلُ مُعَاذٍ: زَوِّجُونِي لَا أَلْقَى اللَّهَ عَزَبًا، فَقَدْ قِيلَ: إِنَّهُ كَانَ ذَا أولادٍ ويجوز أن يكون اختار ذلك ندباً.
Adapun ucapan Umar kepada Abu Zawaid: “Tidak ada yang menghalangimu dari menikah kecuali kelemahan atau kefasikan,” maka itu dalam rangka anjuran, bukan kewajiban. Seandainya itu wajib, tentu ia akan melakukannya. Adapun ucapan Mu‘adz: “Nikahkanlah aku, agar aku tidak menghadap Allah dalam keadaan membujang,” telah dikatakan bahwa ia memiliki anak-anak, dan boleh jadi ia memilih hal itu sebagai anjuran (bukan kewajiban).
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَمَنْ لَمْ تَتُقْ نَفْسُهُ إِلَى ذَلِكَ فَأَحَبُّ إلي أن يتخلى لعبادة الله تعالى (قال) وقد ذكر الله تعالى {وَالقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء) {النور: 60) وذكر عبداً أكرمه فقال ” سيداً وحصوراً ” والحصور الذي لا يأتي النساء ولم يندبهن إلى النكاح فدل أن المندوب إليه من يحتاج إليه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Barang siapa yang jiwanya tidak cenderung kepada hal itu (nikah), maka aku lebih suka ia menyibukkan diri untuk beribadah kepada Allah Ta‘ala.” (Beliau berkata) Dan Allah Ta‘ala telah menyebutkan {dan para perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan kehamilan)} (an-Nur: 60), dan menyebutkan seorang hamba yang dimuliakan-Nya, seraya berfirman: “seorang pemimpin dan penjaga diri,” dan yang dimaksud dengan penjaga diri adalah yang tidak mendatangi perempuan, dan Allah tidak menganjurkan mereka untuk menikah. Maka ini menunjukkan bahwa yang dianjurkan menikah adalah orang yang membutuhkannya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ الْإِنْسَانِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Kesimpulannya, keadaan manusia tidak lepas dari tiga kategori:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ تَائِقَ النَّفْسِ إِلَى النِّكَاحِ شَدِيدَ الشهوة له تنازعه نفسه إليه وإن لم يُحَدِّثْهَا بِهِ فَهَذَا مَنْدُوبٌ إِلَى النِّكَاحِ وَمَأْمُورٌ بِهِ، وَنِكَاحُهُ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ؛ لِئَلَّا تَدْعُوَهُ شدة الشهوة إلى مُوَاقَعَةَ الْفُجُورِ، وَفِي مِثْلِهِ وَرَدَتْ أَخْبَارُ النَّدْبِ.
Pertama: Orang yang sangat menginginkan nikah, syahwatnya sangat kuat, jiwanya selalu terdorong untuk menikah, meskipun ia tidak mengungkapkannya. Maka orang seperti ini dianjurkan menikah dan diperintahkan untuk itu, dan menikah baginya lebih utama daripada meninggalkannya, agar syahwat yang kuat itu tidak mendorongnya kepada perbuatan keji. Dalam kasus seperti ini, terdapat hadis-hadis anjuran menikah.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَصْرُوفَ الشَّهْوَةِ عَنْهُ غَيْرَ تَائِقٍ إِلَيْهِ، وَمَتَى حَدَّثَ نَفْسَهُ بِهِ لَمْ تُرِدْهُ، فَالْأَفْضَلُ لِمِثْلِ هَذَا أَنْ لَا يَتَعَرَّضَ لَهُ وَتَرَكُهُ أَفْضَلُ لَهُ مِنْ فِعْلِهِ، لِئَلَّا يَدْعُوَهُ الدُّخُولُ فِيهِ إِلَى الْعَجْزِ عَمَّا يَلْزَمُهُ مِنْ حُقُوقٍ، وَفِي مِثْلِهِ وَرَدَتْ أَخْبَارُ الْكَرَاهَةِ، وَقَدْ أَثْنَى اللَّهُ تَعَالَى عَلَى يَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّا فِي تَرْكِ النِّسَاءِ فَقَالَ {وَسَيِّداً وَحَصُوراً) {آل عمران: 39) وَفِيهِ تأويلان:
Kategori kedua: Orang yang syahwatnya telah berpaling darinya, tidak ada keinginan untuk menikah, dan ketika ia membayangkan pernikahan pun, dirinya tidak menginginkannya. Maka yang lebih utama bagi orang seperti ini adalah tidak menikah, dan meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya, agar ia tidak terbebani dengan hak-hak yang harus ia tunaikan. Dalam kasus seperti ini, terdapat hadis-hadis yang menunjukkan makruh. Allah Ta‘ala juga memuji Yahya bin Zakariya karena tidak menikahi perempuan, sebagaimana firman-Nya: {dan seorang pemimpin dan penjaga diri} (Ali Imran: 39), dan mengenai hal ini ada dua tafsiran:
أحدهما: أن السيد الخليفة وَالْحَصُورُ الَّذِي لَا يَأْتِي النِّسَاءَ، وَهَذَا قَوْلُ قَتَادَةَ.
Pertama: Yang dimaksud dengan “sayyid” adalah pemimpin, dan “ḥaṣūr” adalah orang yang tidak mendatangi perempuan. Ini adalah pendapat Qatadah.
وَالثَّانِي: أَنَّ السَّيِّدَ الْفَقِيهُ، وَالْحَصُورَ الَّذِي لَا يَقْدِرُ عَلَى إِتْيَانِ النِّسَاءِ، وَهَذَا قَوْلُ سعيد بن المسيب وذكر الله تعالى: {وَالقَوَاعِدِ مِنَ النَّسَاءِ اللاَّتِي لاَ يَرْجُونَ نِكَاحاً} (النور: 60) وَالْقَوَاعِدُ: هُنَّ اللَّاتِي قَعَدْنَ بِالْكِبَرِ عَنِ الْحَيْضِ وَالْحَمْلِ فَلَا يُرِدْنَ الرِّجَالَ وَلَا يُرِيدُهُنَّ الرِّجَالُ.
Dan yang kedua: bahwa seorang tuan yang faqīh, serta seorang yang hasūr (tidak mampu mendatangi wanita), dan ini adalah pendapat Sa‘īd bin al-Musayyab. Allah Ta‘ala berfirman: {dan para perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan kehamilan) yang tidak lagi mengharapkan pernikahan} (an-Nūr: 60). Al-qawā‘id adalah para wanita yang telah tua sehingga berhenti dari haid dan kehamilan, sehingga mereka tidak lagi menginginkan laki-laki dan laki-laki pun tidak menginginkan mereka.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مُعْتَدِلَ الشَّهْوَةِ إِنْ صبرت نفسه عنه صبر، وإن حدثها به فسدت فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Dan bagian yang ketiga: yaitu seseorang yang syahwatnya sedang-sedang saja; jika dirinya mampu bersabar, ia akan bersabar, namun jika dirinya tergerak oleh syahwat, ia akan rusak. Maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أن يكون مشتغلاً بالطاعة أو مشتغلاً بالدنيا، فَإِنْ كَانَ مُشْتَغِلًا بِطَاعَةٍ مِنْ عِبَادَةٍ أَوْ عِلْمٍ فَتَرْكُهُ لِلنِّكَاحِ تَشَاغُلًا بِالطَّاعَةِ أَفْضَلُ لَهُ وأولى به، وإن كان متشاغلاً بالدنيا فالنكاح أولى به من تركه لأمرين:
Pertama, ia sibuk dengan ketaatan atau sibuk dengan urusan dunia. Jika ia sibuk dengan ketaatan berupa ibadah atau ilmu, maka meninggalkan pernikahan demi menyibukkan diri dengan ketaatan adalah lebih utama dan lebih baik baginya. Namun jika ia sibuk dengan urusan dunia, maka menikah lebih utama baginya daripada meninggalkannya karena dua alasan:
أحدهما: للتشاغل بِهِ عَنِ الْحِرْصِ فِي الدُّنْيَا.
Pertama: agar ia tersibukkan dengan pernikahan sehingga tidak terlalu rakus terhadap dunia.
وَالثَّانِي: لِطَلَبِ الْوَلَدِ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ ” إِنَّ الرَّجُلَ لَيُرْفَعُ بِدُعَاءِ وَلَدِهِ مِنْ بَعْدِهِ.
Dan yang kedua: demi mendapatkan keturunan. Telah diriwayatkan dari Nabi –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Sungguh, seorang laki-laki diangkat derajatnya karena doa anaknya setelah ia meninggal.”
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: سبع يجري على الْعَبْدُ أَجْرُهُنَّ بَعْدَ مَوْتِهِ مَنْ كَرَى نَهْرًا أو حفر بئراً أو وقف وقفاً أو ورق مُصْحَفًا أَوْ بَنَى مَسْجِدًا أَوْ عَلَّمَ عِلْمًا أَوْ خَلَّفَ وَلَدًا صَالِحًا يَدْعُو لَهُ وَاللَّهُ أعلم.
Dan diriwayatkan dari beliau –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Ada tujuh perkara yang pahalanya terus mengalir kepada seorang hamba setelah kematiannya: siapa yang menggali sungai, atau menggali sumur, atau mewakafkan sesuatu, atau mewariskan mushaf, atau membangun masjid, atau mengajarkan ilmu, atau meninggalkan anak saleh yang mendoakannya.” Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإذا أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْمَرْأَةَ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا حَاسِرَةً وَيَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا وهي متغطيةٌ بإذنها وبغير إذنها قال الله تَعَالَى: {وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا) {النور: 31) قال الوجه والكفان “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang ingin menikahi seorang wanita, maka tidak boleh baginya melihat wanita itu dalam keadaan terbuka (aurat), dan ia hanya boleh melihat wajah dan kedua telapak tangannya, baik dengan izin wanita itu maupun tanpa izinnya, selama wanita itu tetap tertutup. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak darinya} (an-Nūr: 31). Yang dimaksud adalah wajah dan kedua telapak tangan.”
قال الماوردي: قد مضى الكلام أَنَّ وَجْهَ الْمَرْأَةِ وَكَفَّيْهَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ فِي كِتَابِ الصَّلَاةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظََهَرَ مِنْهَا) {النور: 31) .
Al-Māwardī berkata: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat dalam bab shalat, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: {Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak darinya} (an-Nūr: 31).
قَالَ الشَّافِعِيُّ: الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَعَطَاءٍ.
Imam Syafi‘i berkata: Wajah dan kedua telapak tangan, dan ini juga merupakan pendapat al-Hasan, Sa‘īd bin Jubayr, dan ‘Aṭā’.
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَالْمِسْوَرُ بْنُ مخرمة: هو الكحل، والخاتم عبارة عَنِ الْوَجْهِ بِالْكُحْلِ وَعَنِ الْيَدَيْنِ بِالْخَاتَمِ، فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْمَرْأَةَ جَازَ لَهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا لَا غَيْرُ.
Ibn ‘Abbās dan al-Miswar bin Makhramah berkata: yang dimaksud adalah celak pada mata dan cincin, yaitu perhiasan pada wajah dengan celak dan pada tangan dengan cincin. Maka jika seorang laki-laki ingin menikahi seorang wanita, boleh baginya melihat wajah dan kedua telapak tangannya saja, tidak lebih.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَنْظُرُ مَعَ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ إِلَى رُبُعِ السَّاقِ.
Abu Hanifah berkata: Boleh melihat, selain wajah dan kedua telapak tangan, juga seperempat betis.
وَقَالَ دَاوُدُ: يَنْظُرُ مِنْهَا إِلَى مَا يَنْظُرُ من الأمة إذا أراد شرائها، ورواه الأشهب عن مالك.
Dāwud berkata: Boleh melihat dari wanita itu sebagaimana yang boleh dilihat dari seorang budak perempuan ketika hendak membelinya. Pendapat ini juga diriwayatkan al-Ashhab dari Mālik.
وروي عن الْأَشْهَبِ مِثْلُ قَوْلِنَا.
Dan diriwayatkan dari al-Ashhab pendapat yang serupa dengan pendapat kami.
وَقَالَ الْمَغْرِبِيُّ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى شَيْءٍ مِنْهَا، فَأَمَّا أبو حنيفة فإنه اعتبر القدمين بالكفين، لأنه أحد الطرفين، فلم يجعلها عَوْرَةً، وَالْكَلَامُ مَعَهُ فِي حَدِّ الْعَوْرَةِ قَدْ مَضَى، وَأَمَّا دَاوُدُ: فَاسْتَدَلَّ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ فليولج بصره فيها فإنما هو مسر. وَأَمَّا الْمَغْرِبِيُّ فَإِنَّهُ اسْتَدَلَّ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ الْأُولَى لَكَ وَالثَّانِيَةَ عَلَيْكَ.
Al-Maghribī berkata: Tidak boleh melihat sedikit pun dari wanita itu. Adapun Abu Hanifah, ia menyamakan kedua kaki dengan kedua telapak tangan, karena keduanya merupakan bagian ujung tubuh, sehingga ia tidak menganggapnya sebagai aurat. Pembahasan tentang batasan aurat bersama beliau telah dijelaskan sebelumnya. Adapun Dāwud, ia berdalil dengan riwayat dari Nabi –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Jika salah seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, hendaklah ia memperhatikan (melihat) wanita itu, karena sesungguhnya itu lebih menenangkan.” Adapun al-Maghribī, ia berdalil dengan riwayat dari Nabi –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Wahai ‘Alī, janganlah engkau mengikuti pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena yang pertama bagimu, sedangkan yang kedua atasmu (dosa).”
وَدَلِيلُنَا عَلَى أبي حنيفة قَوْله تَعَالَى: {وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يَخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ) {النور: 31) يَعْنِي السَّاقَيْنِ.
Dalil kami terhadap pendapat Abu Hanifah adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah mereka menghentakkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan} (an-Nūr: 31), yang dimaksud adalah kedua betis.
وَدَلِيلُنَا عَلَى دَاوُدَ قَوْله تَعَالَى: {وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا} يعني الوجه والكفين، ويدل عليها مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن أسماء دخلت على عائشة، وعليها ثوب رقيق، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَمَا عَلِمْتِ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا حَاضَتْ حَرُمَ كُلُّ شيءٍ مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ “.
Dalil kami terhadap pendapat Dāwud adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak darinya}, maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan. Hal ini juga didukung oleh riwayat dari Nabi –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bahwa Asmā’ masuk menemui ‘Ā’isyah dengan mengenakan pakaian tipis, lalu Nabi –ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam– bersabda kepadanya: “Tidakkah engkau tahu bahwa jika seorang wanita telah haid, maka haram seluruh tubuhnya (terlihat) kecuali ini dan ini,” seraya beliau menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangannya.
وَدَلِيلُنَا عَلَى الْمَغْرِبِيِّ رِوَايَةُ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ فَلْيَنْظُرْ إِلَى وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، أَوْ قَالَ: سُوءًا.
Dalil kami mengenai pendapat al-Maghribi adalah riwayat dari Jabir bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian ingin meminang seorang perempuan, maka hendaklah ia melihat wajah dan kedua telapak tangannya, karena pada mata-mata kaum Anshar terdapat sesuatu, atau beliau bersabda: keburukan.”
وَرَوَى أَبُو الدَّرْدَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا قَذَفَ اللَّهُ فِي قَلْبِ أَحَدِكُمْ خطبة امرأةٍ فليتأمل خلقتها “.
Dan diriwayatkan dari Abu Darda’ bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Apabila Allah menanamkan keinginan dalam hati salah seorang dari kalian untuk meminang seorang perempuan, maka hendaklah ia memperhatikan bentuk tubuhnya.”
وَرَوَى أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا النِّسَاءُ لُعَبٌ فَإِذَا اتَّخَذَ أَحَدُكُمْ لُعْبَةً فَلْيَسْتَحْسِنْهَا “.
Dan diriwayatkan dari Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya perempuan itu adalah permainan, maka apabila salah seorang dari kalian mengambil permainan, hendaklah ia memilih yang terbaik.”
وَرَوَى بَكْرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اذْهَبْ فَانْظُرَ إِلَيْهَا فَإِنَهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بينكما “.
Dan diriwayatkan dari Bakr bin Abdullah dari al-Mughirah bin Syu‘bah bahwa ia pernah meminang seorang perempuan dari kalangan Anshar, lalu Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Pergilah dan lihatlah kepadanya, karena itu lebih memungkinkan terciptanya kecocokan di antara kalian berdua.”
وَفِي يُؤْدَمُ قَوْلَانِ:
Terdapat dua pendapat mengenai makna “yu’damu”:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِ الحديث: أنه يعني يَدُومُ فَقَدَّمَ الْوَاوَ عَلَى الدَّالِ كَمَا قَالَ في ثمر الأراكة: ” كلوا منه الأسود فإنه أطيب ” بِمَعْنَى أَطْيَبَ فَيَكُونُ مَأْخُوذًا مِنَ الدَّوَامِ.
Salah satunya, yaitu pendapat para ahli hadis: maksudnya adalah “berlangsung lama”, sehingga huruf waw didahulukan atas dal, sebagaimana dalam buah arak: “Makanlah yang hitam darinya, karena itu lebih baik,” maksudnya lebih baik, sehingga diambil dari kata “dawam” (berlangsung lama).
وَالْقَوْلُ الثاني: – وهو قول أهل اللغة – أنه المحابة وإن لا يتنافروا مأخوذاً من إدام الطعام، لأنه يطيب به فيكون مأخوذاً من إدام لا من الدوام، ثم من مر الدليل على جواز أن ينظر المعقود عليه أبلغ في صحة العقد من فَقْدِهِ فَاقْتَصَرَ عَلَى نَظَرِ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ لِخُرُوجِهِمَا عَنْ حُكْمِ الْعَوْرَةِ وَإِنَّ فِي الْوَجْهِ مَا يُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى الْجَمَالِ، وَفِي الْكَفَّيْنِ مَا يستدل به على خصب البدن ونعمته فَأَغْنَاهُ ذَلِكَ عَنِ النَّظَرِ إِلَى غَيْرِهِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat ahli bahasa: maksudnya adalah “terciptanya rasa saling mencintai dan tidak saling membenci”, diambil dari kata “idam” (lauk-pauk), karena dengannya makanan menjadi lezat, sehingga diambil dari “idam” bukan dari “dawam”. Kemudian, dalil yang membolehkan melihat perempuan yang telah diakadkan lebih kuat dalam menguatkan akad daripada tidak melihatnya, maka cukup dengan melihat wajah dan kedua telapak tangan karena keduanya bukan termasuk aurat. Pada wajah terdapat tanda-tanda kecantikan, dan pada kedua telapak tangan terdapat tanda-tanda kesuburan dan kelembutan tubuh, sehingga itu sudah cukup tanpa harus melihat selainnya.
فَصْلٌ
Fasal
[الْقَوْلُ فِي النَّظَرِ إِلَى الْمَرْأَةِ بِلَا إِذْنٍ]
[Penjelasan tentang melihat perempuan tanpa izin]
فَإِذَا ثَبَتَ ذَلِكَ جَازَ نَظَرُهُ بِإِذْنِهَا وَغَيْرِ إِذْنِهَا.
Jika hal itu telah tetap, maka boleh baginya melihat (calon istri) baik dengan izinnya maupun tanpa izinnya.
وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَّا بِإِذْنِهَا وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إن خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ ” قَالَ: فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا، وَلِأَنَّهُ إِنْ كَانَ النَّظَرُ مُبَاحًا لَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى إِذْنٍ، وَإِنْ كَانَ مَحْظُورًا لَمْ يُسْتَبَحْ بِالْإِذْنِ.
Malik berkata: Tidak boleh melihat kecuali dengan izinnya. Dalil kami adalah riwayat Jabir, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang dari kalian meminang seorang perempuan, maka jika ia mampu melihat sesuatu yang mendorongnya untuk menikahinya, hendaklah ia lakukan.” Jabir berkata: Maka aku meminang seorang gadis, lalu aku bersembunyi untuk melihatnya hingga aku melihat sesuatu yang mendorongku untuk menikahinya. Dan karena jika melihat itu dibolehkan, maka tidak membutuhkan izin; dan jika terlarang, maka tidak menjadi boleh hanya dengan izin.
فَصْلٌ
Fasal
[الْقَوْلُ في حالات جواز النظر إلى الأجنبية]
[Penjelasan tentang keadaan-keadaan diperbolehkannya melihat perempuan ajnabiyah]
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا لَمْ يَخْلُ نَظَرُ الرَّجُلِ الْأَجْنَبِيِّ إِلَى الْمَرْأَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ مِنْ أَحَدِ أمرين: إما أَنْ يَكُونَ لِسَبَبٍ أَوْ لِغَيْرِ سَبَبٍ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ سَبَبٍ مُنِعَ مِنْهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أبْصَارِِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ) {النور: 31) . وَمُنِعَتْ مِنَ النَّظَرِ إِلَيْهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ) {النور: 31) ، وَلِأَنَّ نَظَرَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَى صاحبه داعية إلى الافتتان به رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَرَفَ وَجْهَ الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ وَكَانَ رَدِيفَهُ بِمِنَى عَنِ النَّظَرِ إِلَى الْخَثْعَمِيَّةِ، وَكَانَتْ ذَاتَ جَمَالٍ وَقَالَ: شَابٌّ وَشَابَّةٌ، وَأَخَافُ أَنْ يَدْخُلَ الشَّيْطَانُ بَيْنَهُمَا.
Jika telah jelas apa yang kami sebutkan, maka pandangan laki-laki ajnabi kepada perempuan ajnabiyah tidak lepas dari dua keadaan: bisa karena ada sebab atau tanpa sebab. Jika tanpa sebab, maka dilarang, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Katakanlah kepada orang-orang mukmin agar mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka} (an-Nur: 31). Dan perempuan juga dilarang memandang laki-laki, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman agar mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka} (an-Nur: 31). Karena pandangan masing-masing dari mereka kepada lawan jenisnya dapat menimbulkan fitnah. Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memalingkan wajah al-Fadhl bin Abbas, yang saat itu membonceng beliau di Mina, dari memandang perempuan Khats‘amiyah yang cantik, dan beliau bersabda: “Laki-laki muda dan perempuan muda, aku khawatir setan masuk di antara mereka.”
فَإِنْ نَظَرَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَى عَوْرَةِ صَاحِبِهِ كَانَ حَرَامًا، وَإِنْ نَظَرَ إلى عورة غيره كَانَ مَكْرُوهًا، فَإِنْ كَانَ النَّظَرُ لِسَبَبٍ فَضَرْبَانِ: محظور ومباح، فالمحظور كالنظر بمعصية وَفُجُورٍ فَهُوَ أَغْلَظُ تَحْرِيمًا، وَأَشَدُّ مَأْثَمًا مِنَ النَّظَرِ بِغَيْرِ سَبَبٍ، وَالْمُبَاحُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Jika masing-masing dari mereka memandang aurat lawan jenisnya, maka hukumnya haram. Jika memandang aurat orang lain (sesama jenis), maka hukumnya makruh. Jika pandangan itu karena sebab, maka terbagi menjadi dua: terlarang dan diperbolehkan. Yang terlarang seperti memandang dengan niat maksiat dan kefajiran, maka itu lebih berat keharamannya dan lebih besar dosanya daripada memandang tanpa sebab. Adapun yang diperbolehkan terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ لِضَرُورَةٍ كَالطَّبِيبِ يُعَالِجُ مَوْضِعًا مِنْ جَسَدِ الْمَرْأَةِ، فَيَجُوزُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى ما دعت إليه الْحَاجَةُ إِلَى عِلَاجِهِ مِنْ عَوْرَةٍ وَغَيْرِهَا، إِذَا أَمِنَ الِافْتِتَانَ بِهَا وَلَا يَتَعَدَّى بِنَظَرِهِ إِلَى مَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى عِلَاجِهِ.
Salah satunya: jika karena suatu kebutuhan mendesak, seperti seorang dokter yang mengobati bagian tubuh perempuan, maka diperbolehkan baginya untuk melihat bagian aurat atau selainnya yang diperlukan untuk pengobatan, selama ia merasa aman dari fitnah (godaan) terhadapnya dan tidak melampaui pandangannya kepada bagian yang tidak perlu diobati.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِتَحَمُّلِ شَهَادَةٍ أَوْ حُدُوثِ مُعَامَلَةٍ فَيَجُوزُ أَنْ يَعْمِدَ النَّظَرَ إِلَى وَجْهِهَا دُونَ كَفَّيْهَا، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ شَاهِدًا فَلْيَعْرِفْهَا فِي تَحَمُّلِ الشَّهَادَةِ عَنْهَا، وَفِي أَدَائِهَا عليها، وإن كان مبايعاً فَلْيَعْرِفْ مَنْ يُعَاقِدُهُ.
Bagian kedua: jika untuk keperluan memberikan kesaksian atau terjadinya suatu transaksi, maka diperbolehkan untuk sengaja melihat wajahnya saja, tidak kedua telapak tangannya. Karena jika ia sebagai saksi, hendaknya ia mengenali perempuan tersebut dalam menerima dan menyampaikan kesaksian tentangnya, dan jika ia sebagai pihak yang bertransaksi, hendaknya ia mengenali siapa yang melakukan akad dengannya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُرِيدَ خطبتها فهو الذي جوزنا له تعمد النَّظَرَ إِلَى وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا بِإِذْنِهَا وَغَيْرِ إِذْنِهَا، وَلَا يَتَجَاوَزُ النَّظَرَ إِلَى مَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ جَسَدِهَا، وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.
Bagian ketiga: jika ia ingin meminangnya, maka inilah yang kami perbolehkan baginya untuk sengaja melihat wajah dan kedua telapak tangannya, baik dengan izinnya maupun tanpa izinnya, dan tidak boleh melampaui pandangan kepada selain itu dari tubuhnya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.
بَابُ مَا عَلَى الْأَوْلِيَاءِ وَإِنْكَاحُ الْأَبِ الْبِكْرَ بغير إذنها ووجه النكاح والرجل يتزوج أمته ويجعل عتقها صداقها من جامع كتاب النكاح وأحكام القرآن وكتاب النكاح إملاءً على مسائل مالكٍ، واختلاف الحديث والرسالة
Bab tentang kewajiban para wali dan pernikahan ayah terhadap anak perempuannya yang masih perawan tanpa izinnya, serta bentuk pernikahan, dan seorang laki-laki menikahi budaknya dan menjadikan pembebasannya sebagai mahar, dari kumpulan kitab nikah, Ahkam al-Qur’an, dan kitab nikah yang ditulis berdasarkan permasalahan Malik, perbedaan hadis, dan risalah.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: فدل كتاب الله عز وجل وسنة نبيه عليه الصلاة والسلام على أن حقا عَلَى الْأَوْلِيَاءِ أَنْ يُزَوِّجُوا الْحَرَائِرَ الْبَوَالِغَ إِذَا أردن النكاح ودعون إلى رضا قال الله تَعَالَى: {وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ) {قال) وهذه أبين آيةٍ في كتاب الله تعالى دلالةً على أن ليس للمرأة أن تتزوج بغير ولي (قال) وقال بعض أهل العلم نزلت في معقل بن يسار رضي الله عنه وذلك أنه زوج أخته رجلاً فطلقها فانقضت عدتها ثم طلب نكاحها وطلبته فقال زوجتك أختي دون غيرك ثم طلقتها لا أنكحكها أبداً فنزلت هذه الآية “
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Maka Kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa merupakan hak para wali untuk menikahkan perempuan-perempuan merdeka yang telah baligh jika mereka menginginkan pernikahan dan mengajak kepada kerelaan. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan apabila kamu menceraikan perempuan-perempuan (istrimu), lalu mereka telah habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah dengan calon suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang baik} (al-Baqarah: 232). (Beliau berkata:) Ini adalah ayat yang paling jelas dalam Kitab Allah Ta‘ala yang menunjukkan bahwa perempuan tidak boleh menikah tanpa wali. (Beliau berkata:) Sebagian ahli ilmu mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan Ma‘qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, yaitu bahwa ia menikahkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu menceraikannya, kemudian masa iddahnya selesai, lalu laki-laki itu ingin menikahinya kembali dan perempuan itu pun menginginkannya. Ma‘qil berkata, “Aku telah menikahkanmu dengan saudariku, lalu engkau menceraikannya, maka aku tidak akan menikahkannya lagi denganmu selamanya.” Maka turunlah ayat ini.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: بَدَأَ الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا الْفَصْلِ بِمَا عَلَى الْأَوْلِيَاءِ مِنْ نِكَاحِ الْأَيَامَى إِذَا دعون إلى رضى ووجوبه على الأولياء معتبر بخمس شرائط، وهو أَنْ تَكُونَ حُرَّةً بَالِغَةً عَاقِلَةً تَدْعُو إِلَى كُفْءٍ عَنْ تَرَاضٍ فَيَلْزَمُهُ إِنْكَاحُهَا وَلَا يُسَوَّغُ لَهُ مَنْعُهَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ) {البقرة: 232) وَفِي الْعَضْلِ قَوْلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Imam Syafi‘i memulai pada bagian ini dengan membahas kewajiban para wali untuk menikahkan perempuan-perempuan yang tidak bersuami jika mereka mengajak kepada kerelaan. Kewajiban ini bagi para wali dipertimbangkan dengan lima syarat, yaitu: perempuan tersebut harus merdeka, baligh, berakal, mengajukan permintaan kepada laki-laki yang sekufu’ (sepadan) secara suka sama suka, maka wajib bagi wali menikahkannya dan tidak diperbolehkan baginya untuk menghalanginya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah dengan calon suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang baik} (al-Baqarah: 232). Dalam hal ‘adl (menghalangi) terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الْمَنْعُ وَمِنْهُ قولهم: داء عضال إذا امتنع من أن يداوى وفلان عضلة أي داهية لأنه امْتَنَعَ بِدَهَائِهِ.
Salah satunya: bahwa ‘adl adalah pencegahan, seperti ucapan mereka: penyakit ‘adhāl (kronis) jika ia menolak untuk diobati, dan seseorang disebut ‘adhlah (berbahaya) karena ia menolak dengan kecerdikannya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ الضَّيِّقُ، وَمِنْهُ قَوْلُهُمْ قَدْ أَعْضَلَ بِالْجَيْشِ الْفَضَاءُ إِذَا ضَاقَ بِهِمْ وَقَوْلُ عُمَرَ قَدْ أُعْضِلَ بِي أَهْلُ الْعِرَاقِ لَا يَرْضَوْنَ عَنْ والٍ وَلَا يَرْضَى عَنْهُمْ والٍ، وفي قوله: {إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ} تأويلان:
Yang kedua: bahwa ‘adl adalah penyempitan, seperti ucapan mereka: “telah menyempitkan pasukan padang luas itu” jika padang itu menjadi sempit bagi mereka, dan ucapan Umar: “Penduduk Irak telah menyulitkanku, mereka tidak pernah ridha kepada seorang pemimpin dan pemimpin pun tidak pernah ridha kepada mereka.” Dalam firman-Nya: {apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang baik} terdapat dua tafsiran:
أحدهما: إذا تراضا الزَّوْجَانِ بِالْمَهْرِ.
Salah satunya: jika kedua mempelai telah sepakat mengenai mahar.
وَالثَّانِي: إِذَا رَضِيَتِ الْمَرْأَةُ بِالزَّوَاجِ المكافئ، وفيمن نزلت هذه الآية قَوْلَانِ:
Yang kedua: jika perempuan ridha menikah dengan laki-laki yang sekufu’. Adapun mengenai siapa yang dimaksud dalam ayat ini, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهَا: – وَهُوَ الْأَشْهَرُ – أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ زَوَّجَ أُخْتَهُ رَجُلًا ثُمَّ طَلَّقَهَا وَتَرَاضَيَا بَعْدَ الْعِدَّةِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فَعَضَلَهَا وَحَلَفَ أَنْ لَا يُزَوِّجَهَا فَنَهَاهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ عَضَلِهَا، وَأَمْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا فَفَعَلَ، وَهَذَا قَوْلُ الْحَسَنِ وَمُجَاهِدٍ، وَقَتَادَةَ وَالشَّافِعِيِّ.
Salah satunya – dan ini yang paling masyhur – bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ma‘qil bin Yasar yang menikahkan saudarinya dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu menceraikannya, kemudian setelah masa iddah mereka berdua sepakat untuk menikah kembali, namun Ma‘qil menghalanginya dan bersumpah tidak akan menikahkannya lagi, maka Allah Ta‘ala melarangnya menghalangi dan memerintahkannya untuk menikahkan, lalu ia pun melakukannya. Ini adalah pendapat al-Hasan, Mujahid, Qatadah, dan asy-Syafi‘i.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ مَعَ بِنْتِ عَمٍّ لَهُ وَقَدْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا ثُمَّ خَطَبَهَا فَعَضَلَهَا وَهَذَا قَوْلُ السُّدِّيِّ.
Yang kedua: bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Jabir bin Abdullah bersama putri pamannya, yang telah dicerai oleh suaminya, kemudian Jabir melamarnya namun ia menghalanginya. Ini adalah pendapat as-Suddi.
فصل
Fasal
[القول في اشتراط الولي في عقد النكاح]
[Pembahasan tentang syarat wali dalam akad nikah]
فإن أَرَادَتِ الْمَرْأَةُ أَنْ تَنْفَرِدَ بِالْعَقْدِ عَلَى نَفْسِهَا مِنْ غَيْرِ وَلِيٍّ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهِ على ستة مذاهب.
Jika seorang perempuan ingin melakukan akad nikah sendiri atas dirinya tanpa wali, maka para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini menjadi enam mazhab.
مذهب الشافعي منها: أَنَّ الْوَلِيَّ شَرْطٌ فِي نِكَاحِهَا لَا يَصِحُّ الْعَقْدُ إِلَّا بِهِ وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَنْفَرِدَ بالعقد على نفسها، وإن أذن لها وليها سَوَاءٌ كَانَتْ صَغِيرَةً أَوْ كَبِيرَةً، شَرِيفَةً أَوْ دنية، بِكْرًا أَوْ ثَيِّبًا.
Mazhab al-Syafi‘i berpendapat: wali adalah syarat dalam pernikahan perempuan, akad tidak sah kecuali dengan adanya wali, dan perempuan tidak berhak melakukan akad sendiri atas dirinya, baik walinya mengizinkan atau tidak, baik ia masih kecil atau sudah dewasa, dari kalangan terhormat atau biasa, perawan atau janda.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ، وَعَلِيٌّ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَابْنُ عُمَرَ، وَعَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.
Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat: ‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan ‘Aisyah – semoga Allah meridhai mereka.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: الْحَسَنُ، وَابْنُ الْمُسَيَّبِ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزَ، وَشُرَيْحٌ، وَالنَّخَعِيُّ، ومن الفقهاء: الأوزاعي، والثوري، ابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ.
Dan dari kalangan tabi‘in: al-Hasan, Ibnu al-Musayyab, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Syuraih, al-Nakha‘i; dan dari para fuqaha: al-Awza‘i, al-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ahmad, dan Ishaq.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا فِي مَالِهَا وِلَايَةٌ لِبُلُوغِهَا وَعَقْلِهَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا فِي نِكَاحِهَا وِلَايَةٌ، وَجَازَ أَنْ تَنْفَرِدَ بِالْعَقْدِ عَلَى نفسها وترده إلى من شَاءَتْ مِنْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ وَلَا اعْتِرَاضَ عليها من الوالي إِلَّا أَنْ تَضَعَ نَفْسَهَا فِي غَيْرِ كُفْءٍ، وَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا فِي مَالِهَا وِلَايَةٌ لِجُنُونٍ أَوْ صِغَرٍ لَمْ تَنْكِحْ نَفْسَهَا إِلَّا بِوَلِيٍّ.
Abu Hanifah berkata: Jika seorang perempuan tidak berada di bawah perwalian dalam hartanya karena telah baligh dan berakal, maka tidak ada pula perwalian atasnya dalam pernikahan, dan ia boleh melakukan akad sendiri atas dirinya dan menyerahkannya kepada siapa saja yang ia kehendaki, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak ada keberatan dari wali kecuali jika ia menikahkan dirinya dengan laki-laki yang tidak sekufu‘. Namun, jika ia masih berada di bawah perwalian dalam hartanya karena gila atau masih kecil, maka ia tidak boleh menikahkan dirinya kecuali dengan wali.
قال مَالِكٌ: إِنْ كَانَتْ ذَاتَ شَرَفٍ أَوْ جَمَالٍ أو مال صَحَّ نِكَاحُهَا بِغَيْرِ وَلِيٍّ.
Malik berkata: Jika perempuan itu memiliki kehormatan, kecantikan, atau harta, maka sah pernikahannya tanpa wali.
وَقَالَ دَاوُدُ: إِنْ كَانَتْ بِكْرًا لَمْ يَصِحَّ نِكَاحُهَا إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا صَحَّ بِغَيْرِ وَلِيٍّ.
Dawud berkata: Jika ia masih perawan, tidak sah pernikahannya kecuali dengan wali; jika ia janda, sah tanpa wali.
وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: إِنْ أَذِنَ لَهَا وَلِيُّهَا جَازَ أَنْ تَعْقِدَ عَلَى نَفْسِهَا، وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهَا لَمْ يَجُزْ.
Abu Tsaur berkata: Jika walinya mengizinkan, maka boleh ia menikahkan dirinya sendiri; jika tidak diizinkan, maka tidak boleh.
وَقَالَ أبو يوسف: تَأْذَنُ لِمَنْ شَاءَتْ مِنَ الرِّجَالِ فِي تَزْوِيجِهَا دُونَ النِّسَاءِ وَيَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى إِجَازَةِ وَلِيِّهَا.
Abu Yusuf berkata: Ia boleh mengizinkan siapa saja dari kalangan laki-laki untuk menikahkannya, tidak untuk perempuan, dan akad tersebut bergantung pada persetujuan walinya.
فَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ) {البقرة: 234) فَنَسَبَ النِّكَاحَ إِلَيْهِنَّ وَرَفْعَ الِاعْتِرَاضَ عَنْهُنَّ، وَبِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال ” الأيم أحق بنفسها من وليه، والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها “.
Adapun Abu Hanifah berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Maka tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka secara patut} (al-Baqarah: 234), maka Allah menisbatkan pernikahan kepada mereka dan menghilangkan keberatan atas mereka. Juga dengan riwayat Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan perawan dimintai izinnya atas dirinya, dan izinnya adalah diamnya.”
وبرواية نافع بن جبير وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” ليس لولي مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ “.
Dan dengan riwayat Nafi‘ bin Jubair dan Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Tidak ada hak bagi wali terhadap janda.”
وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ: إِنْ أَبِي وَنِعْمَ الْأَبُ هُوَ زَوَّجَنِي بِابْنِ أَخٍ لَهُ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ فَرَدَّ نِكَاحَهَا.
Dan dengan riwayat bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – lalu berkata: “Sesungguhnya ayahku – dan ia adalah ayah yang baik – menikahkanku dengan anak saudaranya agar ia dapat mengangkat derajatnya melalui diriku,” maka Nabi menolak pernikahannya.
فَقَالَتْ قَدِ اخْتَرْتُ مَا فَعَلَ أَبِي، وَإِنَّمَا أَرَدْتُ لِيَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ إِلَى الْآبَاءِ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي مَالِهِ جَازَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي نِكَاحِهِ كَالرَّجُلِ طَرْدًا وَالصَّغِيرِ عَكْسًا، ولأنه عقد يجوز أن يتصرف فيه الرجل فجاز أن تتصرف فيه المرأة كالبيع، ولأنه عقد على منفعة فجاز أن تتولاه المرأة كالإجارة، ولأن لما جاز تصرفها في المهر وهو بدل من العقد جاز تصرفها في العقد.
Perempuan itu berkata: “Aku telah memilih apa yang dilakukan ayahku, hanya saja aku ingin agar para perempuan mengetahui bahwa tidak ada hak bagi para ayah dalam urusan ini.” Dan karena siapa saja yang boleh bertindak atas hartanya, maka boleh pula bertindak atas pernikahannya, sebagaimana laki-laki secara langsung dan anak kecil secara kebalikan. Karena akad ini boleh dilakukan oleh laki-laki, maka boleh juga dilakukan oleh perempuan seperti jual beli; dan karena akad ini atas suatu manfaat, maka boleh juga perempuan melakukannya seperti akad ijarah; dan karena perempuan boleh bertindak atas mahar yang merupakan pengganti akad, maka boleh pula bertindak atas akadnya.
وتحريره: أن من جاز تصرفه في البدل جاز تصرفه في المبدل كالبالغ في الأموال طرداً وكالصغير عَكْسًا.
Penjelasannya: Siapa yang boleh bertindak atas pengganti, maka boleh pula bertindak atas yang diganti, seperti orang dewasa dalam urusan harta secara langsung dan anak kecil secara kebalikan.
وَالدَّلَالَةُ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ قَوْله تَعَالَى: {فَلاَ تَعْضِلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ) {البقرة: 232) فَدَلَّتِ الْآيَةُ عَلَى ثُبُوتِ الْوِلَايَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dalil bagi kelompok yang lain adalah firman Allah Ta‘ala: {Maka janganlah kalian menghalangi mereka untuk menikah dengan suami-suami mereka apabila mereka telah saling rela di antara mereka dengan cara yang patut} (al-Baqarah: 232). Ayat ini menunjukkan adanya perwalian dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: نَهْيُ الْأَوْلِيَاءِ عَنْ عَضْلِهِنَّ، والعضل المنع في أحد التأويلين، والتضييق فِي التَّأْوِيلِ الْآخَرِ، فَلَوْ جَازَ لَهُنَّ التَّفَرُّدُ بِالْعَقْدِ لَمَا أَثَّرَ عَضْلُ الْأَوْلِيَاءِ وَلَمَا تَوَجَّهَ إِلَيْهِمْ نَهْيٌ.
Pertama: Larangan para wali untuk menghalangi mereka, dan al-‘adhl (menghalangi) menurut salah satu tafsir adalah mencegah, dan menurut tafsir lain adalah mempersempit. Jika perempuan boleh melakukan akad sendiri, maka penghalangan para wali tidak akan berpengaruh dan tidak akan ada larangan yang ditujukan kepada mereka.
وَالثَّانِي: قَوْلُهُ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ: {إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ) {البقرة: 232) . وَالْمَعْرُوفُ مَا تناوله العرف بِالِاخْتِيَارِ وَهُوَ الْوَلِيُّ وَشَاهِدَانِ.
Kedua: Firman Allah dalam lanjutan ayat: {apabila mereka telah saling rela di antara mereka dengan cara yang patut} (al-Baqarah: 232). Yang dimaksud dengan “cara yang patut” adalah apa yang dikenal dalam adat sebagai pilihan, yaitu adanya wali dan dua saksi.
فَإِنْ قِيلَ: فَالْمَنْعُ من العضل إنما توجه إلى الأزواج لتقديم ذِكْرِهِمْ دُونَ الْأَوْلِيَاءِ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآية ذكر، فمن ذلك جوابان:
Jika dikatakan: Larangan dari menghalangi itu sebenarnya ditujukan kepada para suami karena mereka disebutkan lebih dahulu, bukan kepada para wali yang tidak disebutkan dalam ayat, maka jawabannya ada dua:
أحدهما: أنه لا يجوز توجيه النَّهْيِ إِلَى الْأَزْوَاجِ، لِأَنَّهُ إِنْ عَضَلَ الزَّوْجُ قَبْلَ الْعِدَّةِ فَحَقٌّ لَا يَجُوزُ أَنْ يُنْهَى عَنْهُ، وَإِنْ عَضَلَ بَعْدَ الْعِدَّةِ فَهُوَ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ.
Pertama: Tidak boleh mengarahkan larangan kepada para suami, karena jika suami melakukan ‘adhl (menghalangi) sebelum masa ‘iddah, maka itu adalah hak yang tidak boleh dilarang darinya, dan jika ia melakukan ‘adhl setelah masa ‘iddah, maka itu tidak berpengaruh.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا رُوِيَ مِنْ سَبَبِ نُزُولِهَا فِي مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ فِي أَشْهَرِ القولين أو جابر في أضعفهما يوجب حمله عَلَى الْأَوْلِيَاءِ دُونَ الْأَزْوَاجِ، وَلَيْسَ يُنْكَرُ أَنْ يَعُودَ الْخِطَابُ إِلَيْهِمْ وَإِنْ لَمْ يَتَقَدَّمْ لَهُمْ ذِكْرٌ إِذًا دَلَّ الْخِطَابُ عَلَيْهِ كَمَا قَالَ: {إِنَّ الإنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ وَإنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ) {العاديات: 6، 7) يَعْنِي اللَّهَ تَعَالَى: {وَإنَّهُ لِحُبِّ الخَيْرِ لَشَدِيدٌ) {العاديات: 8) . يَعْنِي الْإِنْسَانَ وَقَالَ تَعَالَى: {فَأَنْكِحُوهٌنَّ بِإِذْنِ أهْلِهِنَّ) {النساء: 25) أَيْ أَوْلِيَائِهِنَّ، فَجَعَلَ إِذَنَ الْأَوْلِيَاءِ شَرْطًا فِي نِكَاحِهِنَّ، فَدَلَّ عَلَى بُطْلَانِهِ لِعَدَمِهِ.
Kedua: Riwayat yang menyebutkan sebab turunnya ayat ini pada Ma‘qil bin Yasar menurut pendapat yang paling masyhur, atau pada Jabir menurut pendapat yang paling lemah, mewajibkan untuk memahaminya bahwa larangan itu ditujukan kepada para wali, bukan kepada para suami. Tidaklah aneh jika khithab (redaksi ayat) kembali kepada mereka meskipun sebelumnya tidak disebutkan, selama khithab menunjukkan hal itu, sebagaimana firman Allah: {Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar kepada Tuhannya, dan sesungguhnya dia sendiri menjadi saksi atas yang demikian itu} (al-‘Adiyat: 6-7), maksudnya adalah manusia. Dan firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahkanlah mereka dengan izin keluarga mereka} (an-Nisa’: 25), yakni para wali mereka. Maka Allah menjadikan izin para wali sebagai syarat dalam pernikahan mereka, sehingga menunjukkan batalnya pernikahan jika syarat itu tidak terpenuhi.
وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَابْنُ عُمَرَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَعَائِشَةُ، وَأَنَسٌ، وَعِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ، وَأَبُو مُوسَى، وَأَثْبَتُ الرِّوَايَاتِ رِوَايَةُ أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ “.
Hal ini juga didukung oleh sunnah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Anas, ‘Imran bin Hushain, dan Abu Musa. Riwayat yang paling kuat adalah riwayat Abu Musa, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عدلٍ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي كُلِّ نكاح من صغيره وكبيره وشريفة ودنية وَبِكْرٍ وَثَيِّبٍ.
Ibnu ‘Abbas meriwayatkan: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” Maka hadits ini berlaku umum pada setiap pernikahan, baik yang masih kecil maupun dewasa, yang terhormat maupun yang rendah, perawan maupun janda.
فَإِنْ قَالُوا: نَحْنُ نَقُولُ بِمُوجِبِهِ، لِأَنَّ الْمَرْأَةَ وَلِيَّةُ نَفْسِهَا فَإِذَا زَوَّجَتْ نَفْسَهَا كان نكاحها بولي.
Jika mereka berkata: Kami juga berpendapat demikian, karena perempuan adalah wali atas dirinya sendiri, maka jika ia menikahkan dirinya sendiri, pernikahannya tetap dengan wali.
فعن ذلك جوابان أَنَّهُ خِطَابٌ لَا يُفِيدُ، لِعِلْمِنَا أَنَّهُ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِمَنْكُوحَةٍ وَلَا يَتَمَيَّزُ عَنْ سَائِرِ الْعُقُودِ، وَقَدْ خُصَّ النِّكَاحُ بِهِ.
Terhadap hal itu ada dua jawaban: Pertama, bahwa khithab ini tidak memberikan faedah, karena kita mengetahui bahwa tidak ada nikah kecuali dengan mempelai wanita, dan hal ini tidak membedakannya dari akad-akad lainnya, padahal nikah telah dikhususkan dengan syarat wali.
وَالثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ ” يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ رَجُلًا، وَلَوْ كَانَتْ هِيَ الْمُرَادُ لَقَالَ: لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيَّةٍ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ خَالِدِ الزَّنْجِيِّ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، وَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا – أَوْ قَالَ: اخْتَلَفُوا – فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ.
Kedua: Sabda Nabi: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” mengharuskan bahwa wali itu adalah laki-laki. Seandainya yang dimaksud adalah perempuan itu sendiri, tentu beliau akan mengatakan: “Tidak ada nikah kecuali dengan waliyyah.” Hal ini juga didukung oleh riwayat yang diriwayatkan asy-Syafi‘i dari Muslim bin Khalid az-Zanji, dari Ibnu Juraij, dari Sulaiman bin Musa, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Siapa saja perempuan yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika ia telah digauli, maka baginya mahar atas apa yang telah dihalalkan dari kemaluannya. Jika para wali berselisih—atau beliau bersabda: berbeda pendapat—maka penguasa adalah wali bagi siapa saja yang tidak memiliki wali.”
وَهَذَا نَصٌّ فِي إِبْطَالِ النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ وَلَا تَمْيِيزٍ، واعترضوا عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ بِثَلَاثَةِ أَسْئِلَةٍ:
Ini adalah nash (teks) yang jelas dalam membatalkan pernikahan tanpa wali, tanpa pengecualian dan tanpa pembedaan. Mereka mengkritik hadits ini dengan tiga pertanyaan:
أَحَدُهَا: أَنْ قَالُوا: مَدَارُ هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى رِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ وَقَدْ رَوَى ابْنُ عُلَيَّةَ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ أنه قال لقيت الزهري فسألته عنه قال: لَا أَعْرِفُهُ وَعَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:
Pertama: Mereka berkata, hadits ini berporos pada riwayat az-Zuhri, dan Ibnu ‘Ulayyah meriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata: Aku bertemu az-Zuhri lalu menanyakan hadits ini kepadanya, maka ia berkata: Aku tidak mengenalnya. Terhadap hal ini ada tiga jawaban:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ قَدْ رَوَاهُ عَنِ الزَّهْرِيِّ أَرْبَعَةٌ: سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى، وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، وَجَعْفَرُ بْنُ رَبِيعَةَ، وَالْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ، وَرَوَاهُ عَنْ عُرْوَةَ ثَلَاثَةٌ: الزُّهْرِيُّ وَهُشَامُ بْنُ عُرْوَةَ وَأَبُو الْغُصْنِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ فَلَمْ يَصِحَّ إِضَافَةُ إِنْكَارِهِ إِلَى الزهري مع العدد الذي رووه عنه، ولو صح إنكاره له لما أثر فيه من رِوَايَةِ غَيْرِ الزُّهْرِيِّ لَهُ عَنْ عُرْوَةَ.
Pertama: Hadits ini telah diriwayatkan dari az-Zuhri oleh empat orang: Sulaiman bin Musa, Muhammad bin Ishaq, Ja‘far bin Rabi‘ah, dan al-Hajjaj bin Artha’ah. Dan dari ‘Urwah, hadits ini juga diriwayatkan oleh tiga orang: az-Zuhri, Hisyam bin ‘Urwah, dan Abu al-Ghushn Tsabit bin Qais. Maka tidak sah mengaitkan pengingkaran hadits ini kepada az-Zuhri dengan jumlah perawi yang meriwayatkannya darinya. Kalaupun benar ia mengingkarinya, hal itu tidak berpengaruh karena hadits ini juga diriwayatkan dari ‘Urwah oleh selain az-Zuhri.
وَالثَّانِي: مَا قَالَهُ بَعْضُ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ: أَنَّ الزُّهْرِيَّ أَنْكَرَ سُلَيْمَانَ بْنَ مُوسَى وَقَالَ لَا أَعْرِفُهُ وَإِلَّا فَالْحَدِيثُ أَشْهَرُ مِنْ أَنْ يُنْكِرَهُ الزُّهْرِيُّ وَلَا يَعْرِفَهُ وَلَيْسَ جَهْلُ الْمُحَدِّثِ بِالرَّاوِي عَنْهُ مَانِعًا مِنْ قَبُولِ رِوَايَتِهِ عَنْهُ، وَلَا مَعْرِفَتُهُ شَرْطًا فِي صِحَّةِ حَدِيثِهِ.
Kedua: Sebagaimana dikatakan sebagian ahli hadits, bahwa az-Zuhri mengingkari Sulaiman bin Musa dan berkata: Aku tidak mengenalnya. Padahal hadits ini lebih masyhur daripada yang bisa diingkari oleh az-Zuhri atau tidak dikenalnya. Tidak dikenalnya seorang perawi oleh seorang muhaddits tidaklah menghalangi diterimanya riwayat darinya, dan tidak pula pengetahuannya menjadi syarat sahnya hadits tersebut.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا اعْتِبَارَ بِإِنْكَارِ الْمُحَدِّثِ لِلْحَدِيثِ بَعْدَ رِوَايَتِهِ عَنْهُ، وليس استدامة ذكر المحدث شَرْطًا فِي صِحَّةِ حَدِيثِهِ فَإِنَّ رَبِيعَةَ رَوَى عَنْ سهيلٍ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” قَضَى بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ ” ثُمَّ نَسِيَ سهيلٌ الْحَدِيثَ فَحَدَّثَ بِهِ رَبِيعَةَ، وَكَانَ سُهَيْلٌ إِذَا حدث به قال: أخبرني علي عَنْ أَبِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” قَضَى بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ “.
Ketiga: Bahwa tidak dianggap penolakan seorang muḥaddits terhadap hadis setelah ia meriwayatkannya darinya, dan tidak disyaratkan muḥaddits terus-menerus mengingat hadisnya agar hadis tersebut sahih. Sebab, Rabi‘ah meriwayatkan dari Suhail bin Abī Ṣāliḥ, dari ayahnya, dari Abū Hurairah, bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- “memutuskan dengan sumpah bersama seorang saksi”, kemudian Suhail lupa terhadap hadis tersebut, lalu Rabi‘ah menceritakannya. Dan biasanya, jika Suhail meriwayatkan hadis itu, ia berkata: “Ali memberitahuku, dari ayahku, dari Abū Hurairah, bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- ‘memutuskan dengan sumpah bersama seorang saksi’.”
السُّؤَالُ الثَّانِي: أَنْ قَالُوا: هَذَا الْحَدِيثُ لَا يَصِحُّ عَنْ عَائِشَةَ فقد رَوَيْتُمُوهُ عَنْهَا، لِأَنَّهَا زَوَّجَتْ بِنْتَ أَخِيهَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَكَانَ غَائِبًا بِالشَّامِ، فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ: أمثلي يقتات عليه في بناته فأمضى النكاح. وقيل إن ما روته مِنَ الْحَدِيثِ أَثْبَتُ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، مِمَّا رُوِيَ عَنْهَا مِنْ نكاحٍ ابْنَةِ أَخِيهَا، وَقَدْ ذَكَرَ الدَّارَقُطْنِيُّ لِإِبْطَالِهِ وُجُوهًا عَلَى أَنَّ الشَّافِعِيَّ: قَدْ أَفْرَدَ لِلْجَوَابِ عَنْهُ بَابًا فَنَحْنُ نَذْكُرُهُ فِيهِ.
Pertanyaan kedua: Mereka berkata, “Hadis ini tidak sahih dari ‘Ā’isyah, padahal kalian meriwayatkannya darinya, karena ia menikahkan putri saudaranya, ‘Abd al-Raḥmān, sementara ia sedang berada di Syam. Ketika ia kembali, ia berkata: ‘Apakah orang sepertiku diperlakukan seperti ini dalam urusan putri-putriku?’ Lalu ia membiarkan pernikahan itu tetap berlaku.” Ada pula yang mengatakan bahwa riwayat hadis yang dibawakan oleh ‘Ā’isyah lebih kuat menurut para ahli hadis, dibandingkan riwayat tentang pernikahan putri saudaranya. Al-Dāraquthnī telah menyebutkan beberapa alasan untuk membatalkannya, dan al-Syāfi‘ī telah mengkhususkan satu bab untuk menjawabnya, yang akan kami sebutkan di sini.
السُّؤَالُ الثَّالِثُ: أَنْ قَالُوا: هُوَ مَحْمُولٌ عَلَى مَنْ عَلَيْهَا مِنَ النِّسَاءِ وِلَايَةٌ بِصِغَرٍ أَوْ رقٍ وَتِلْكَ لَا يَجُوزُ نِكَاحُهَا إِلَّا بولي، وقد روي في الخبر: أن امرأة نكحت بغير إذن مواليها، فنكاحها باطل، فَاقْتَضَى صَرِيحُ هَذِهِ الرِّوَايَةِ حَمْلَهَا عَلَى الْأَمَةِ، ودليل تلك آكد وأن حمله عَلَى الصَّغِيرَةِ وَخَرَجَتِ الْحُرَّةُ الْكَبِيرَةُ فِي الرِّوَايَتَيْنِ، وَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Pertanyaan ketiga: Mereka berkata, “Hadis ini dimaksudkan untuk perempuan yang berada di bawah perwalian karena masih kecil atau karena status budak, dan perempuan seperti itu tidak boleh dinikahkan kecuali oleh wali. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang perempuan menikah tanpa izin para walinya, maka nikahnya batal. Maka, makna jelas dari riwayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah budak perempuan, dan dalil tersebut lebih kuat, serta bahwa hadis ini berlaku untuk anak perempuan yang masih kecil, sedangkan perempuan merdeka yang sudah dewasa tidak termasuk dalam kedua riwayat tersebut.” Jawaban atas hal ini ada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَى جَمِيعِ النِّسَاءِ فِي النِّكَاحِ وِلَايَةً، لِجَوَازِ اعْتِرَاضِ الْأَوْلِيَاءِ عَلَى جَمِيعِهِنَّ.
Pertama: Bahwa seluruh perempuan dalam pernikahan berada di bawah perwalian, karena para wali berhak mengajukan keberatan terhadap pernikahan mereka semua.
وَالثَّانِي: أَنَّ حَمْلَهُ عَلَى الصَّغِيرِ لَا يَجُوزُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Kedua: Menafsirkan hadis tersebut hanya untuk anak kecil tidak dibenarkan dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: لِاسْتِوَاءِ الصغير والصغيرة فيه، ولانتفاء تخصيص النِّسَاءِ بِالذِّكْرِ تَأْثِيرٌ
Pertama: Karena anak laki-laki dan anak perempuan sama dalam hal ini, dan tidak ada pengkhususan perempuan dengan penyebutan secara khusus yang berpengaruh.
وَالثَّانِي: لِاسْتِوَاءِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ مِنَ الْعُقُودِ فَلَا يَبْقَى لِتَخْصِيصِ النِّكَاحِ بِالذِّكْرِ تَأْثِيرٌ وَحَمْلُهُ عَلَى الْأَمَةِ لَا يَجُوزُ مِنْ وجهين.
Kedua: Karena pernikahan dan akad-akad lainnya sama, sehingga tidak ada pengaruh pengkhususan pernikahan dengan penyebutan secara khusus. Dan menafsirkannya hanya untuk budak perempuan juga tidak dibenarkan dari dua sisi.
أحدهما: لاستواء العبد والأمة فيه لم يَكُنْ لِتَخْصِيصِ الْأَمَةِ تَأْثِيرٌ.
Pertama: Karena budak laki-laki dan budak perempuan sama dalam hal ini, sehingga tidak ada pengaruh pengkhususan budak perempuan.
وَالثَّانِي: لِقَوْلِهِ فِي آخِرِ الْخَبَرِ: ” فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلَيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ” وَالسُّلْطَانُ لَا يَكُونُ وَلِيًّا للأمة، وإن عضلها مواليها، وروايتهم أَنَّهُ قَالَ: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ “. وَالْمَوْلَى يَنْطْلِقُ عَلَى الْوَلِيِّ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَإنِّي خِفْتُ المَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي) {مريم: 5) . يَعْنِي الْأَوْلِيَاءَ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ رِقٌّ فَيَكُونُ لَهُ مَوْلَى، عَلَى أَنَّنَا نَسْتَعْمِلُ الرِّوَايَتَيْنِ فَتَكُونُ رِوَايَتُنَا مُسْتَعْمَلَةً فِي الْحُرَّةِ، وَرِوَايَتُهُمْ مُسْتَعْمَلَةً فِي الْأَمَةِ فَلَا يَتَعَارَضَانِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا رَوَاهُ ابْنُ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ المرأةَ وَلَا تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا ” وَالَّتِي تُنْكِحُ نَفْسَهَا هِيَ الزَّانِيَةُ
Kedua: Karena dalam akhir hadis disebutkan: “Jika mereka berselisih, maka penguasa adalah wali bagi siapa yang tidak memiliki wali.” Padahal penguasa tidak menjadi wali bagi budak perempuan, meskipun para walinya menghalanginya. Adapun riwayat mereka yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda: “Siapa saja perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal.” Kata “mawlā” (wali) juga digunakan untuk makna wali, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {Dan aku khawatir terhadap para mawlā sepeninggalku} (Maryam: 5), yang dimaksud adalah para wali, karena ia (‘Īmran) tidak dalam keadaan budak sehingga memiliki mawlā. Dengan demikian, kami menggunakan kedua riwayat tersebut: riwayat kami berlaku untuk perempuan merdeka, dan riwayat mereka berlaku untuk budak perempuan, sehingga keduanya tidak bertentangan. Hal ini juga didukung oleh riwayat Ibn Sīrīn dari Abū Hurairah bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain, dan perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.” Perempuan yang menikahkan dirinya sendiri adalah pezina.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: كُلُّ نِكَاحٍ لَمْ يَحْضُرْهُ أَرْبَعَةٌ فَهُوَ سِفَاحٌ: الزَّوْجُ، وَالْوَلِيُّ، وَشَاهِدَانِ، وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ لِأَنَّهُ قَوْلُ مِنْ ذَكَرْنَا مِنَ الرُّوَاةِ الثَّمَانِيَةِ، وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ عُمَرَ، وَعَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَمَّا عَلَيٌّ فَرُوِيَ عَنِ الشَّعْبِيِّ أَنَّهُ قَالَ: لَمْ يَكُنْ فِي الصَّحَابَةِ أَشَدُّ فِي النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ مِنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَأَمَّا عُمَرُ فَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهَا أَوْ ذِي الرَّأْيِ مِنْ أَهْلِهَا أَوِ السُّلْطَانِ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat orang maka itu adalah zina: suami, wali, dan dua orang saksi.” Hal ini juga merupakan ijmā‘ para sahabat, karena ini adalah pendapat dari para perawi yang telah kami sebutkan dari delapan orang, dan juga diriwayatkan dari ‘Umar dan ‘Ali radhiyallāhu ‘anhumā. Adapun ‘Ali, diriwayatkan dari asy-Sya‘bi bahwa ia berkata: “Tidak ada di antara para sahabat yang lebih keras dalam masalah pernikahan tanpa wali daripada ‘Ali bin Abi Thalib.” Adapun ‘Umar, diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Seorang wanita tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izin walinya, atau orang yang berakal dari keluarganya, atau penguasa.” Dalam hal ini terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهَا إِنْ كَانَ وَاحِدًا، أَوْ ذِي الرَّأْيِ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ كَانُوا جَمَاعَةً، أَوِ السُّلْطَانِ إِنْ لَمْ يكن لها ولي.
Pertama: Tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izin walinya jika hanya satu orang, atau dengan izin orang yang berakal dari keluarganya jika mereka adalah sekelompok orang, atau oleh penguasa jika ia tidak memiliki wali.
الثاني: بإذن وليها إن لم كان لها ولي، فإن كان لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلِيٌّ زَوَّجَهَا السُّلْطَانُ بِمَشُورَةِ ذي الرأي من أهلها وذوي أَرْحَامِهَا، فَهَذَا قَوْلُ مَنْ ذَكَرْنَا مِنَ الصَّحَابَةِ، وَلَيْسَ فِي التَّابِعَيْنِ مُخَالِفٌ فَثَبَتَ أَنَّهُ إِجْمَاعٌ.
Kedua: Dengan izin walinya jika ia memiliki wali, dan jika tidak memiliki wali maka penguasa yang menikahkannya dengan musyawarah bersama orang yang berakal dari keluarganya dan kerabatnya. Inilah pendapat para sahabat yang telah kami sebutkan, dan tidak ada seorang pun dari kalangan tabi‘in yang menentang, sehingga hal ini menjadi ijmā‘.
ويدل على ذلك من القياس هو أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ زَوَائِدِ عَقْدِ النِّكَاحِ كَانَ شَرْطًا فِيهِ كَالشُّهُودِ، وَلِأَنَّ مَا اخْتُصَّ مِنْ بَيْنِ جِنْسِهِ بِزِيَادَةِ عَدَدٍ كَانَتِ الزِّيَادَةُ شَرْطًا فِيهِ كَالشَّهَادَةِ فِي الزِّنَا، وَلِأَنَّ كُلَّ عَقْدٍ صَارَتْ بِهِ الْمَرْأَةُ فِرَاشًا لَمْ يملكه الْمُفْتَرَشَةَ كَالْأَمَةِ، وَلِأَنَّ مَنْ عَقَدَ عَلَى نَفْسِهِ وَاعْتَرَضَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ فِي فَسْخِهِ دَلَّ عَلَى فَسَادِ عَقْدِهِ كَالْأَمَةِ وَالْعَبْدِ إِذَا زَوَّجَا أَنْفُسَهُمَا، ولأن من منع من الوفاء معقود العقد خرج من العقد كالمحجور عليه، ولأنه أَحَدُ طَرَفَيِ الِاسْتِبَاحَةِ فِلَمْ تَمْلِكُهُ الْمَرْأَةُ كَالطَّلَاقِ، ولأن لولي المرأة قبل بلوغها حقين: حقاً في طلب الكفاءة، وحقاً في طلب الْعَقْدِ، فَلَمَّا كَانَ بُلُوغُهَا غَيْرَ مُسْقِطٍ لِحَقِّهِ فِي طَلَبِ الْكَفَاءَةِ كَانَ غَيْرَ مُسْقِطٍ لِحَقِّهِ فِي مُبَاشَرَةِ الْعَقْدِ.
Yang menunjukkan hal itu dari qiyās adalah bahwa setiap hal yang merupakan tambahan dalam akad nikah menjadi syarat di dalamnya, seperti saksi. Dan karena sesuatu yang dikhususkan dari jenisnya dengan penambahan jumlah, maka penambahan itu menjadi syarat di dalamnya, seperti persaksian dalam kasus zina. Dan karena setiap akad yang menjadikan seorang wanita menjadi tempat tidur (istri) tidak dimiliki oleh yang dijadikan tempat tidur, seperti budak perempuan. Dan karena siapa pun yang menikahkan dirinya sendiri lalu ada pihak lain yang menentang dan membatalkannya, maka itu menunjukkan rusaknya akadnya, seperti budak perempuan dan budak laki-laki jika mereka menikahkan diri mereka sendiri. Dan karena siapa pun yang dicegah untuk memenuhi akad yang telah dibuat, maka ia keluar dari akad tersebut seperti orang yang berada dalam perwalian. Dan karena wali adalah salah satu dari dua pihak yang membolehkan (pernikahan), maka wanita tidak memilikinya sendiri, seperti halnya talak. Dan karena wali wanita sebelum ia baligh memiliki dua hak: hak untuk menuntut kecocokan (kafā’ah), dan hak untuk menuntut akad. Maka ketika balighnya tidak menggugurkan haknya dalam menuntut kecocokan, maka balighnya juga tidak menggugurkan haknya dalam melangsungkan akad.
وَيَتَحَرَّرُ مِنَ اعْتِلَالِهِ قِيَاسَانِ:
Dari alasan ini dapat disimpulkan dua qiyās:
أحدها: أنه أحد حقي الولي فلم يسقط بلوغها كَطَلَبِ الْكَفَاءَةِ.
Pertama: Bahwa itu adalah salah satu dari dua hak wali, maka tidak gugur dengan balighnya wanita, seperti hak menuntut kecocokan.
وَالثَّانِي: أَنَّ كُلَّ مِنْ ثَبَتَ عَلَيْهَا حَقُّ الْوَلِيِّ فِي طَلَبِ الْكَفَاءَةِ ثَبَتَ عليه حَقُّهُ فِي مُبَاشَرَةِ الْعَقْدِ كَالصَّغِيرَةِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Kedua: Bahwa setiap orang yang tetap atasnya hak wali dalam menuntut kecocokan, maka tetap pula haknya dalam melangsungkan akad, seperti anak perempuan yang masih kecil. Adapun jawaban atas dalil mereka dengan ayat (Al-Qur’an) adalah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُرَادَ بِرَفْعِ الْجَنَاحِ عَنْهُنَّ أَنْ لَا يُمْنَعْنَ من النكاح فإذا أَرَدْنَهُ، فَلَا يَدُلُّ عَلَى تَفَرُّدِهِنَّ بِغَيْرِ وَلِيٍّ كما لم يَدُلَّ عَلَى تَفَرُّدِهِنَّ بِغَيْرِ شُهُودٍ.
Pertama: Bahwa yang dimaksud dengan “tidak ada dosa atas mereka” adalah agar mereka tidak dicegah dari menikah jika mereka menginginkannya, maka itu tidak menunjukkan bahwa mereka boleh menikah sendiri tanpa wali, sebagaimana tidak menunjukkan bahwa mereka boleh menikah tanpa saksi.
وَالثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ: {فِيمَا فَعَلْنَ فِي أنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ) {البقرة: 234) . يقتضي فِعْلُهُ عَلَى مَا جَرَى بِهِ الْعُرْفُ مِنَ الْمَعْرُوفِ الْحَسَنِ، وَلَيْسَ مِنَ الْمَعْرُوفِ الْحَسَنِ أَنْ تُنْكِحَ نَفْسَهَا بِغَيْرِ وَلِيٍّ.
Kedua: Bahwa firman Allah: {dalam apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka secara patut} (al-Baqarah: 234), menuntut bahwa perbuatan itu sesuai dengan adat kebiasaan yang baik, dan bukan termasuk kebiasaan yang baik jika seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali.
وَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ” فَقَدْ مَرَّ الْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ لِأَهْلِ اللُّغَةِ فِي الْأَيِّمِ قولين:
Adapun sabda Nabi ﷺ: “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya,” maka telah dijelaskan jawabannya bahwa menurut ahli bahasa, terdapat dua pendapat tentang makna al-ayim:
أحدهما: الَّتِي لَا زَوْجَ لَهَا بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا، وَإِنْ لَمْ تُنْكَحْ قَطُّ يُقَالُ: امْرَأَةٌ أَيِّمٌ، إِذَا كَانَتْ خَلِيَّةً مِنْ زَوْجٍ وَرَجُلٌ أَيِّمٌ إِذَا كَانَ خَلِيًّا مِنْ زَوْجَةٍ.
Pertama: Yaitu wanita yang tidak memiliki suami, baik masih perawan maupun janda, meskipun belum pernah menikah sama sekali. Dikatakan: wanita ayim jika ia tidak bersuami, dan laki-laki ayim jika ia tidak beristri.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا يُقَالُ لَهَا أَيِّمٌ إِلَّا إِذَا نَكَحَتْ ثُمَّ حَلَّتْ بِمَوْتٍ أَوْ طَلَاقٍ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Pendapat kedua: Bahwa tidak disebut ayim kecuali jika ia pernah menikah lalu menjadi sendiri karena ditinggal mati atau ditalak, baik masih perawan maupun janda. Seperti dalam syair:
(فإن تنكحي أنكح وإن تتأيمي … يدا الدهر ما لم تنكحي أَتَأَيَّمِ)
(Jika engkau menikah, aku pun menikah. Namun jika engkau menjadi ayim, maka tangan zaman akan tetap membuatmu ayim selama engkau tidak menikah.)
فَأَمَّا الْأَيِّمُ فِي هَذَا الْخَبَرِ فَالْمُرَادُ بِهَا الثَّيِّبُ مِنَ الْخَالِيَاتِ الْأَيَامَى دُونَ الْأَبْكَارِ لِأَمْرَيْنِ:
Adapun ayim dalam hadis ini yang dimaksud adalah janda dari kalangan wanita yang tidak bersuami, bukan para perawan, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ: ” الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا “.
Salah satunya: Telah diriwayatkan: “Wanita yang sudah pernah menikah (tsayyib) lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya.”
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا قَابَلَ الْأَيِّمَ بِالْبِكْرِ اقْتَضَى أَنْ تَكُونَ الْبِكْرُ غَيْرَ الْأَيِّمِ، لِأَنَّ الْمَعْطُوفَ غَيْرُ الْمَعْطُوفِ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ غَيْرُ الْبِكْرِ إِلَّا الثَّيِّبُ فَلِهَذَا عَدَلَ بِالْأَيِّمِ عَنْ حَقِيقَةِ اللُّغَةِ إِلَى مُوجِبِ الْخَبَرِ.
Dan yang kedua: Ketika lafaz al-ayim dipertentangkan dengan al-bikr, maka hal itu menunjukkan bahwa al-bikr bukanlah al-ayim, karena sesuatu yang di-‘athaf-kan pasti berbeda dengan yang di-‘athaf-kan kepadanya. Dan yang dimaksud bukan al-bikr hanyalah tsayyib. Oleh karena itu, makna al-ayim dialihkan dari makna bahasa aslinya kepada makna yang ditunjukkan oleh hadis.
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ فَعَنِ الْخَبَرِ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:
Setelah penjelasan pendahuluan ini, maka terhadap hadis tersebut terdapat tiga jawaban:
أحدها: أنها أحق بنفسها فِي أَنَّهَا لَا تُجْبَرُ إِنْ أَبَتْ وَلَا تمنع إن طلبت تدل تَفَرُّدَهَا بِالْعَقْدِ مِنْ غَيْرِ شُهُودٍ.
Salah satunya: Bahwa ia lebih berhak atas dirinya sendiri, maksudnya ia tidak boleh dipaksa jika menolak dan tidak boleh dihalangi jika menginginkan, namun hal itu tidak menunjukkan bahwa ia boleh melakukan akad sendiri tanpa saksi.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَعَلَ لَهَا وَلِيًّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي جَعَلَهَا أحق بنفسها موجب أن لا يسقط وِلَايَتُهُ عَنْ عَقْدِهَا لِيَكُونَ حَقُّهَا فِي نَفْسِهَا وَحَقُّ الْوَلِيِّ فِي عَقْدِهَا فَيَجْمَعُ بَيْنَ هَذَا الْخَبَرِ وَبَيْنَ قَوْلِهِ ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ ” فِي الْعَقْدِ.
Yang kedua: Bahwa Allah menetapkan adanya wali baginya pada tempat di mana ia lebih berhak atas dirinya sendiri, yang berarti tidak menggugurkan kewalian dari akadnya. Dengan demikian, haknya adalah atas dirinya sendiri dan hak wali adalah pada akadnya, sehingga dapat menggabungkan antara hadis ini dengan sabdanya “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” dalam hal akad.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ لَفْظَةَ ” أَحَقُّ ” مَوْضُوعَةٌ فِي اللُّغَةِ لِلِاشْتِرَاكِ فِي الْمُسْتَحَقِّ إِذَا كَانَ حق أحدها فِيهِ أَغْلَبَ كَمَا يُقَالُ زَيْدٌ أَعْلَمُ مِنْ عَمْرٍو إِذَا كَانَا عَالِمَيْنِ، وَأَحَدُهُمَا أَفْضَلُ وَأَعْلَمُ، وَلَوْ كَانَ زَيْدٌ عَالِمًا، وَعَمْرٌو جَاهِلًا لَكَانَ كلاماً مردوداً، لأنه لا يَصِيرُ بِمَثَابَةِ قَوْلِهِ الْعَالِمُ أَعْلَمُ مِنَ الْجَاهِلِ، وهذا الفرد إذا كان ذلك موجباً لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَقٌّ وَحَقُّ الثَّيِّبِ أَغْلَبُ، فَالْأَغْلَبُ أَنْ يَكُونَ مِنْ جِهَتِهَا الْإِذْنُ وَالِاخْتِيَارُ من جهة قَبُولِ الْإِذْنِ فِي مُبَاشَرَةِ الْعَقْدِ.
Yang ketiga: Kata “lebih berhak” (‘ahaqqu) dalam bahasa digunakan untuk menunjukkan adanya hak bersama pada sesuatu jika salah satunya lebih kuat haknya, sebagaimana dikatakan “Zaid lebih alim daripada Amr” jika keduanya sama-sama alim, namun salah satunya lebih utama dan lebih alim. Jika Zaid alim dan Amr bodoh, maka ungkapan itu tertolak, karena tidak sama dengan ucapan “orang alim lebih alim dari orang bodoh”. Dalam kasus ini, jika masing-masing memiliki hak, namun hak tsayyib lebih kuat, maka yang lebih kuat adalah dari sisi izinnya dan pilihannya, sedangkan dari sisi penerimaan izin dalam pelaksanaan akad.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: ” لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ “.
Adapun sabdanya: “Wali tidak memiliki urusan apa pun bersama wanita yang sudah pernah menikah (tsayyib).”
فَالْأَمْرُ هُوَ الْإِجْبَارُ وَالْإِلْزَامُ وَلَيْسَ لِلْوَلِيِّ إِجْبَارُ الثيب وإلزامها ولا يقتضي ذلك أن ينفرد بِالْعَقْدِ دُونَ وَلِيِّهَا كَمَا لَا تَنْفَرِدُ بِهِ دون الشهود.
Yang dimaksud dengan “urusan” di sini adalah pemaksaan dan keharusan. Wali tidak berhak memaksa atau mewajibkan wanita tsayyib, namun hal itu tidak berarti ia boleh melakukan akad sendiri tanpa walinya, sebagaimana ia juga tidak boleh melakukannya tanpa saksi.
فأما حَدِيثُ الْمَرْأَةِ الَّتِي زَوَّجَهَا أَبُوهَا، فَرِوَايَةُ عِكْرِمَةَ بْنِ فُلَانٍ، فَإِنْ كَانَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَهُوَ مُرْسَلُ الْحَدِيثِ، لِأَنَّهُ تَابِعِيٌّ وَلَمْ يُسْنِدْهُ وَالْمُرْسَلُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ وَإِنْ كَانَ غَيْرُهُ فَهُوَ مَجْهُولٌ وَجَهَالَةُ الرَّاوِي تَمْنَعُ مِنْ قَبُولِ حَدِيثِهِ ثُمَّ لَا حُجَّةَ فِيهِ لَوْ صَحَّ، لِأَنَّهُ رد [نكاحاً انفرد بِهِ الْوَلِيُّ، وَإِنَّمَا يَكُونُ حُجَّةً لَوْ أَجَازَ نكاحاً] تفردت به المرأة.
Adapun hadis tentang wanita yang dinikahkan oleh ayahnya, riwayat Ikrimah bin Fulan, jika ia adalah maula Ibnu Abbas maka itu adalah hadis mursal, karena ia seorang tabi’in dan tidak menyandarkannya (kepada Nabi), dan hadis mursal bukanlah hujjah. Jika selainnya, maka ia adalah perawi yang majhul (tidak dikenal), dan ketidakjelasan perawi menghalangi diterimanya hadisnya. Kemudian, hadis itu pun tidak menjadi hujjah seandainya sahih, karena ia menolak pernikahan yang dilakukan sendiri oleh wali, dan baru menjadi hujjah jika membolehkan pernikahan yang dilakukan sendiri oleh wanita.
وأما قياسهم عَلَى الرَّجُلِ فَالْمَعْنَى فِي الرَّجُلِ، أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلْوَلِيِّ عَلَيْهِ اعْتِرَاضٌ فِي الْكَفَاءَةِ لم يكن له في العقد عليه ولاية، ولما كان للولي على المرأة اعتراض في الكفاءة لم تكن له في العقد عليها ولاية، وكذا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى عَقْدِ الْإِجَارَةِ أَنَّهُ لَيْسَ لِلْوَلِيِّ اعْتِرَاضٌ فِيهِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ وِلَايَةٌ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ عَقْدُ نِكَاحِهَا.
Adapun qiyās mereka terhadap laki-laki, maka maksudnya pada laki-laki adalah karena wali tidak memiliki hak keberatan dalam hal kafa’ah (kesepadanan), maka wali tidak memiliki kewenangan dalam akad atasnya. Sedangkan pada wanita, karena wali memiliki hak keberatan dalam hal kafa’ah, maka wali juga tidak memiliki kewenangan dalam akad atasnya. Demikian pula jawaban atas qiyās dengan akad ijarah (sewa-menyewa), bahwa wali tidak memiliki hak keberatan di dalamnya, maka ia tidak memiliki kewenangan atasnya, dan tidak demikian halnya dengan akad nikahnya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْمَهْرِ فَعِنْدَهُمْ أَنَّ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَعْتَرِضَ عَلَيْهَا فِيهِ وَيَمْنَعَهَا بِأَنْ تَتَزَوَّجَ بِأَقَلَّ من مهرها ثم هو منتقض بقطع الأطراف فِي إِبْدَالِهَا مِنَ الدِّيَةِ، وَلَا يَتَصَرَّفُ فِيهَا بِالْقَطْعِ وَالْإِبَاحَةِ.
Adapun qiyās dengan mahar, menurut mereka wali berhak mengajukan keberatan terhadapnya dan mencegahnya menikah dengan mahar di bawah mahar yang semestinya. Namun qiyās ini batal dengan kasus pemotongan anggota tubuh dalam penggantian diyat, karena wali tidak berhak bertindak dalam hal pemotongan dan pembolehan.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا مَالِكٌ فَفَرَّقَ بَيْنَ الشريفة والدنية بِأَنَّ الْوَلِيَّ يُرَادُ لِحِفْظِ الْمَرْأَةِ أَنْ تَضَعَ نفسها في غير كفء والدنية مُكَافِئَةٌ لِكُلِّ الْأَدْنِيَاءِ فَلَمْ يَبْقَ لِوَلِيِّهَا نَظَرٌ وَاحْتِيَاطٌ فِي طَلَبِ الْأَكْفَاءِ فَجَازَ عَقْدُهَا بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَلَمْ يَجُزْ عَقْدُ الشَّرِيفَةِ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَهَذَا الْقَوْلُ غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ دَنِيَّةٍ إِلَّا وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِي الرِّجَالِ مَنْ هُوَ أَدْنَى مِنْهَا فَاحْتِيجَ إِلَى احْتِيَاطِ الْوَلِيِّ فِيهَا، ثُمَّ لَوْ غَلَبَ عَلَيْهِ فرقة فقبل الشَّرِيفَةُ يَمْنَعُهَا كَرَمُ أَصْلِهَا مِنْ وَضْعِ نَفْسِهَا في غير كفء فلم يحتج إلى احتياط الولي، والدنية يمنعها لُؤْمُ أَصْلِهَا عَلَى وَضْعِ نَفْسِهَا فِي غَيْرِ كُفْءٍ لَكَانَ مُسَاوِيًا لِقَوْلِهِ، فَوَجَبَ إِسْقَاطُ الْفَرْقِ بينهما، ثم يقال له لما لم يكن هذا الفرق مَانِعًا مِنِ اسْتِوَائِهِمَا فِي الشَّهَادَةِ فَهَلَّا كَانَ غير مانع من استوائهما فِي الْوَلِيِّ مَعَ كَوْنِ النُّصُوصِ فِي الْوَلِيِّ عَامَّةً لَا تُخَصُّ بِمِثْلِ هَذَا الْفَرْقِ.
Adapun Mālik, beliau membedakan antara perempuan yang mulia (asy-syarīfah) dan yang rendah (ad-daniyyah), dengan alasan bahwa wali dibutuhkan untuk menjaga perempuan agar tidak menempatkan dirinya pada laki-laki yang tidak sekufu. Perempuan yang rendah dianggap setara dengan semua laki-laki yang rendah pula, sehingga wali tidak lagi memiliki kepentingan dan kehati-hatian dalam mencari pasangan yang sekufu, maka sah akad nikahnya tanpa wali. Sedangkan perempuan yang mulia tidak sah akadnya kecuali dengan wali. Pendapat ini tidak benar, karena tidak ada perempuan rendah kecuali mungkin saja di antara laki-laki ada yang lebih rendah darinya, sehingga tetap dibutuhkan kehati-hatian wali dalam hal ini. Kemudian, seandainya alasan perbedaan ini diterapkan, maka perempuan mulia akan dicegah oleh kemuliaan asal-usulnya untuk menempatkan dirinya pada laki-laki yang tidak sekufu, sehingga tidak membutuhkan kehati-hatian wali. Sedangkan perempuan rendah akan dicegah oleh kehinaan asal-usulnya untuk menempatkan dirinya pada laki-laki yang tidak sekufu, maka hal ini setara dengan pendapatnya. Maka wajib menghapus perbedaan antara keduanya. Kemudian dikatakan kepadanya: ketika perbedaan ini tidak menjadi penghalang kesetaraan keduanya dalam hal kesaksian, mengapa tidak juga menjadi penghalang kesetaraan keduanya dalam hal wali, padahal nash-nash tentang wali bersifat umum dan tidak dikhususkan dengan perbedaan seperti ini.
فَصْلٌ
Fashl (Pasal)
وأما دَاوُدُ فَخَصَّ الثَّيِّبَ بِالْوِلَايَةِ دُونَ الْبِكْرِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ ” لِيُطَابِقَ بَيْنَ الإخبار في الاستعمال، وقد قدمنا وجه استعمالهما وَأَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا وَاقِعٌ فِي الْأَخْبَارِ فَكَانَ جَوَابًا، ثُمَّ فَرَّقَ دَاوُدُ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ بِأَنَّ الثَّيِّبَ قَدْ خَبَرَتِ الرِّجَالَ فَاكْتَفَتْ بِخِبْرَتِهَا عن اختيار وليها والبكر لم تخبر فَافْتَقَرَتْ إِلَى اخْتِيَارِ وَلِيِّهَا وَهَذَا فَرْقٌ فَاسِدٌ وَعَكْسُهُ عَلَيْهِ أَوْلَى، لِأَنَّ خِبْرَةَ الثَّيِّبِ بِالرِّجَالِ تَبْعَثُهَا عَلَى فَرْطِ الشَّهْوَةِ فِي وَضْعِ نَفْسِهَا، فمن قَوِيَتْ فِيهِ شَهْوَتُهَا وَالْبِكْرُ لِعَدَمِ الْخِبْرَةِ أَقَلُّ شَهْوَةً فَكَانَتْ لِنَفْسِهَا أَحْفَظَ عَلَى أَنَّ الشَّهْوَةَ مذكورة فِي طِبَاعِ النِّسَاءِ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” خلقت المرأة من الرجل فهما فِي الرَّجُلِ ” فَغَلَبَ حُكْمُ الشَّهْوَةِ فِي جميعهن ثيباً وأبكاراً حتى يمنعن مِنَ الْعَقْدِ إِلَّا بِوَلِيٍّ يُحْتَاطُ لِئَلَّا تَغْلِبَهَا فَرْطُ الشَّهْوَةِ عَلَى وَضْعِ نَفْسِهَا فِي غَيْرِ كُفْءٍ فَيَدْخُلُ بِهِ الْعَارُ عَلَى أَهْلِهَا.
Adapun Dāwud, ia mengkhususkan perlunya wali bagi perempuan janda (ats-tsayyib) dan tidak bagi perempuan perawan (al-bikr), berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada urusan bagi wali terhadap perempuan janda.” Hal ini untuk menyesuaikan antara pemberitaan dalam penggunaan istilah. Kami telah menjelaskan sebelumnya alasan penggunaan keduanya dan bahwa perbedaan antara keduanya memang terdapat dalam riwayat, sehingga menjadi jawaban. Kemudian Dāwud membedakan antara perawan dan janda dengan alasan bahwa janda telah berpengalaman dengan laki-laki sehingga cukup dengan pengalamannya sendiri dalam memilih, sedangkan perawan belum berpengalaman sehingga membutuhkan pilihan dari walinya. Ini adalah perbedaan yang rusak, bahkan kebalikannya lebih utama, karena pengalaman janda dengan laki-laki justru mendorongnya pada syahwat yang berlebihan untuk menempatkan dirinya, sehingga yang syahwatnya kuat lebih berpotensi demikian. Sedangkan perawan, karena belum berpengalaman, syahwatnya lebih sedikit sehingga lebih menjaga dirinya. Selain itu, syahwat memang sudah disebutkan sebagai tabiat perempuan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Perempuan diciptakan dari laki-laki, maka keduanya ada pada laki-laki.” Maka hukum syahwat berlaku pada semua perempuan, baik janda maupun perawan, sehingga mereka semua dicegah dari akad nikah kecuali dengan wali, sebagai bentuk kehati-hatian agar syahwat yang berlebihan tidak menguasai mereka untuk menempatkan diri pada laki-laki yang tidak sekufu, yang dapat menimbulkan aib bagi keluarganya.
فَصْلٌ
Fashl (Pasal)
وَأَمَّا أَبُو ثَوْرٍ: فَرَاعَى إِذْنَ الْوَلِيِّ دُونَ عقدة لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ” فَكَمَا يُرَاعَى فِي نِكَاحِ السَّفِيهِ إِذْنُ الْوَلِيِّ دُونَ عَقْدِهِ كَذَلِكَ هَذَا، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ صَرِيحَ الْخَبَرِ يَقْتَضِي بُطْلَانَ النِّكَاحِ لِعَدَمِ إذنه ودليل خطأئه نقيض صِحَّةِ النِّكَاحِ بِوُجُودِ إِذْنِهِ، وَهُوَ مَتْرُوكٌ لِأَمْرَيْنِ:
Adapun Abū Tsaūr, ia mensyaratkan izin wali tanpa mensyaratkan akad dari wali, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Perempuan mana saja yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal.” Maka sebagaimana dalam pernikahan orang safih (tidak cakap), yang diperhatikan adalah izin wali tanpa akadnya, demikian pula dalam hal ini. Namun ini adalah kekeliruan, karena redaksi hadis secara jelas menunjukkan batalnya nikah karena tidak ada izin wali, dan dalil kesalahannya adalah lawan dari sahnya nikah hanya dengan adanya izin wali, dan ini telah ditinggalkan karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: لِمَا رَوَاهُ مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ عَنِ ابن جريج بإسناده المتقدم ذِكْرُهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال لهما: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا وَلِيُّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ “.
Pertama: Berdasarkan riwayat Mu‘ādz bin Mu‘ādz dari Ibnu Jurayj dengan sanad yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada keduanya: “Perempuan mana saja yang tidak dinikahkan oleh walinya, maka nikahnya batal.”
وَالثَّانِي: أَنَّ إِذْنَ الْوَلِيِّ الَّذِي يَصِحُّ بِهِ النكاح هو إذن لِمَنْ يَنُوبُ عَنْهُ، وَهُوَ الْوَكِيلُ، وَالْمَرْأَةُ لَا تصح أَنْ تَكُونَ نَائِبًا عَنْهُ، لِأَنَّ الْحَقَّ عَلَيْهَا فلم تكن هي النائبة فيه لاختلاف القرضين فَجَرَى مَجْرَى الْوَكِيلِ فِي الْبَيْعِ الَّذِي لَا يجوز أن يبيع على نفسه لاختلاف عرضه وعرض مُوَكِّلِهِ وَلَيْسَ لِاعْتِبَارِهِ بِالْإِذْنِ لِلسَّفِيهِ وَجْهٌ، لِأَنَّ الْحَجْرَ عَلَى السَّفِيهِ فِي حُقِّ نَفْسِهِ، وَالْحَجْرَ عَلَى الْمَرْأَةِ فِي حُقُوقِ الْأَوْلِيَاءِ فَافْتَرَقَا.
Kedua: Izin wali yang sah untuk pernikahan adalah izin kepada orang yang mewakilinya, yaitu wakil, sedangkan perempuan tidak sah menjadi wakil bagi wali, karena hak itu atas dirinya, maka ia tidak bisa menjadi wakil dalam hal itu karena perbedaan kepentingan. Hal ini seperti wakil dalam jual beli yang tidak boleh menjual kepada dirinya sendiri karena perbedaan kepentingan antara dirinya dan pihak yang mewakilkan. Tidak tepat membandingkan dengan izin bagi orang safih, karena larangan atas orang safih terkait hak dirinya sendiri, sedangkan larangan atas perempuan terkait hak para wali, sehingga keduanya berbeda.
فَصْلٌ
Fashl (Pasal)
وأما أبو يوسف فاعتبر أن يعقد رَجُلٌ عَنْ إِذْنِهَا لِقُصُورِهَا عَنْ مُبَاشَرَةِ الْعَقْدَ بِنَفْسِهَا وَجَعَلَهُ مَوْقُوفًا عَلَى إِجَازَةِ وَلِيِّهَا لِمَا فِيهِ مِنْ حَقِّهِ فِي طَلَبِ الْأَكْفَاءِ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun Abu Yusuf berpendapat bahwa akad harus dilakukan oleh seorang laki-laki atas izin perempuan tersebut karena kekurangmampuannya untuk langsung melakukan akad sendiri, dan ia menjadikan akad tersebut bergantung pada persetujuan walinya karena wali memiliki hak untuk mencari pasangan yang sekufu (setara). Pendapat ini rusak dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: هُوَ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مَالِكَةً لِلْعَقْدِ لَمْ تَحْتَجْ إِلَى الِاسْتِنَابَةِ، وإن كانت غير مالكة لم يصح مِنْهَا الِاسْتِنَابَةُ.
Pertama: Jika perempuan itu memiliki hak untuk melakukan akad, maka ia tidak membutuhkan perwakilan. Namun jika ia tidak memiliki hak tersebut, maka tidak sah baginya untuk mewakilkan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ إِنْ كَانَتِ الِاسْتِنَابَةُ شَرْطًا لَمْ تَحْتَجْ إِلَى إِجَازَةٍ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ شَرْطًا لَمْ تَحْتَجْ إِلَيْهَا فَصَارَ مَذْهَبُهُ فاسد من هذين الوجهين.
Kedua: Jika perwakilan merupakan syarat, maka tidak diperlukan persetujuan (wali). Namun jika bukan syarat, maka tidak dibutuhkan pula. Maka pendapatnya menjadi rusak dari dua sisi ini.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَيُّمَا امرأةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا باطلٌ ثَلَاثًا فَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا أَوْ قَالَ اخْتَلَفُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ له (قال) وفي ذلك دلالات. منها أن للولي شركاً فِي بُضْعِهَا لَا يَتِمُّ النِّكَاحُ إِلَّا بِهِ ما لم يعضلها ولا نجد لشركه في بضعها معنىً إلا فضل نظره لحياطة الموضع أن ينالها من لا يكافئها نسبه وفي ذلك عارٌ عليه وأن العقد بغير ولي باطلٌ لا يجوز بإجازته وأن الإصابة إذا كانت بشبهةٍ ففيها المهر ودرئ الحد “.
Imam Syafi‘i berkata: “Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Siapa saja perempuan yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, batal, batal. Jika ia telah digauli, maka baginya mahar atas apa yang telah dihalalkan dari kemaluannya. Jika mereka berselisih atau berbeda pendapat, maka penguasa adalah wali bagi siapa yang tidak memiliki wali.’ (Beliau berkata:) Dalam hal ini terdapat beberapa petunjuk. Di antaranya bahwa wali memiliki andil dalam urusan kemaluan perempuan tersebut sehingga pernikahan tidak sah kecuali dengan keikutsertaannya, selama tidak menzalimi perempuan itu. Dan kami tidak menemukan makna lain dari keikutsertaan wali dalam urusan kemaluan perempuan itu kecuali karena keutamaan pandangannya dalam menjaga agar perempuan tersebut tidak dinikahi oleh orang yang tidak sekufu dengannya, karena hal itu merupakan aib baginya. Dan bahwa akad tanpa wali adalah batal dan tidak sah meskipun disetujui kemudian. Dan jika terjadi hubungan suami istri karena syubhat, maka tetap wajib membayar mahar dan gugur hukuman had.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ بَعْدَ اسْتِدْلَالِهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ مَا تَضَمَّنَهُ وَدَلَّ عَلَيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ والأحكام نصاً واستنباطاً منها في قوله: ” أيما امرأة ” فَذَكَرَ خَمْسَةَ أَحْكَامٍ وَذَكَرَ أَصْحَابُهُ ثَلَاثِينَ حُكْمًا سِوَاهَا فَصَارَتْ خَمْسَةً وَثَلَاثِينَ حُكْمًا أَخَذَتْ دَلَائِلَهَا مِنَ الْخَبَرِ بِنَصٍّ وَاسْتِنْبَاطٍ.
Al-Mawardi berkata: Imam Syafi‘i setelah berdalil dengan hadis ini, menyebutkan kandungan dan petunjuk yang terdapat di dalamnya, baik berupa faedah maupun hukum, secara nash maupun istinbath. Di antaranya dalam ucapannya: “Siapa saja perempuan…” Beliau menyebutkan lima hukum, sedangkan para sahabatnya menyebutkan tiga puluh hukum selain itu, sehingga menjadi tiga puluh lima hukum yang dalilnya diambil dari hadis ini, baik secara nash maupun istinbath.
منها في قوله: ” أيما امرأة ” أربعة دَلَائِلَ:
Di antaranya dalam ucapannya: “Siapa saja perempuan…” terdapat empat petunjuk:
أَحَدُهَا: أَنَّ ” أَيُّ ” لَفْظَةُ عُمُومٍ، لَهُ صِيغَةٌ لِتَنَاوُلِهِ جَمِيعَ مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ فَخَالَفَ قَوْلَ دَاوُدَ أَنَّهُ لَا صِيغَةَ لِلْعُمُومِ.
Pertama: Bahwa kata “ayy” (siapa saja) adalah lafaz umum, yang memiliki bentuk untuk mencakup seluruh yang termasuk di dalamnya. Ini berbeda dengan pendapat Dawud yang mengatakan tidak ada lafaz umum.
وَالثَّانِي: أَنْ ” مَا ” الْمُتَّصِلَةَ بِأَيِّ صِلَةٌ زَائِدَةٌ، لِأَنَّهَا لو حذفت فقيل: أي امرأة صح، مثله قَوْله تَعَالَى: {فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ) {آل عمران: 159) . أَيْ فَبِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ الصِّلَةِ الزَّائِدَةِ فِي الْكَلَامِ وَإِنْ تَعَلَّقَتْ بِهِ أَحْكَامٌ.
Kedua: Bahwa “ma” yang tersambung dengan “ayy” adalah tambahan, karena jika dihilangkan dan dikatakan “ayy imra’ah” (siapa saja perempuan), tetap sah. Seperti firman Allah Ta‘ala: {فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ} (Ali Imran: 159), yakni “fabirahmatin minallah”. Ini menunjukkan bolehnya tambahan kata penghubung dalam kalimat meskipun berkaitan dengan hukum.
وَالثَّالِثُ: اشْتِمَالُهُ عَلَى جَمِيعِ النِّسَاءِ مِنْ صَغِيرَةٍ وَكَبِيرَةٍ يُخَالِفُ قَوْلَ أبي حنيفة، وشريفة ودنية يُخَالِفُ قَوْلَ مَالِكٍ، وَبِكْرٍ وَثَيِّبٍ يُخَالِفُ قَوْلَ دَاوُدَ.
Ketiga: Bahwa lafaz tersebut mencakup seluruh perempuan, baik yang masih kecil maupun dewasa, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah; baik yang mulia maupun yang rendah, berbeda dengan pendapat Malik; baik perawan maupun janda, berbeda dengan pendapat Dawud.
وَالرَّابِعُ: خُرُوجُ الرِّجَالِ عَنْ حُكْمِ النِّسَاءِ فِي وِلَايَةِ النِّكَاحِ لِتَخْصِيصِهِمْ بِالذِّكْرِ.
Keempat: Bahwa laki-laki tidak termasuk dalam hukum perempuan dalam hal kewalian nikah, karena mereka dikhususkan dengan penyebutan.
وَمِنْهَا فِي قوله: ” نكحت بغير إذن ولها ” خمسة دَلَائِلَ:
Di antaranya dalam ucapannya: “dinikahkan tanpa izin walinya” terdapat lima petunjuk:
أَحَدُهَا: أَنَّ اسْمَ النِّكَاحِ حَقِيقَةٌ فِي الْعَقْدِ مَجَازٌ فِي الْوَطْءِ فَخَالَفَ قَوْلَ أبي حنيفة.
Pertama: Bahwa istilah “nikah” secara hakiki bermakna akad, sedangkan makna hubungan badan adalah majazi. Ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah.
وَالثَّانِي: ثُبُوتُ الْوِلَايَةِ عَلَى جَمِيعِ النِّسَاءِ في نكاحهن قَوْلُ مَنْ قَدَّمْنَا خِلَافَهُ.
Kedua: Penetapan kewalian atas seluruh perempuan dalam pernikahan mereka, sebagaimana pendapat yang telah kami sebutkan perbedaannya.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ لِلْوَلِيِّ أَنْ يُوكِّلَ، لِأَنَّ إِذْنَهُ لَا يَصِحُّ إِلَّا لوكيل ينوب عنه.
Ketiga: Bahwa wali boleh mewakilkan, karena izinnya tidak sah kecuali kepada wakil yang mewakilinya.
والرابع: أن لَا وِلَايَةَ لِوَصِيٍّ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِوَلِيٍّ وَلَا نَائِبٍ عَمَّنْ هُوَ فِي الْحَالِ وَلِيٌّ.
Keempat: Bahwa washi (pelaksana wasiat) tidak memiliki kewalian, karena ia bukan wali dan bukan pula wakil dari orang yang pada saat itu adalah wali.
وَالْخَامِسُ: أن العقد فاسد قَدْ يُضَافُ إِلَى عَاقِدِهِ وَإِنْ لَمْ يَلْزَمْهُ.
Kelima: Bahwa akad yang fasid (rusak) bisa disandarkan kepada pelakunya meskipun tidak mengikatnya.
وَمِنْهَا فِي قَوْلِهِ: ” فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ “، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فنكاحها باطل ستة دَلَائِلَ:
Di antaranya dalam ucapannya: “maka nikahnya batal, batal, batal” terdapat enam petunjuk:
أَحَدُهَا: بُطْلَانُ النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ بِخِلَافِ قول من أجازه بغير ولي.
Pertama: Batalnya nikah tanpa wali, berbeda dengan pendapat yang membolehkannya tanpa wali.
والثاني: لَا يَكُونُ إِذَا بَطَلَ مَوْقُوفًا عَلَى إِجَازَةِ الْوَلِيِّ بِخِلَافِ قَوْلِ أبي حنيفة.
Kedua: Jika nikah itu batal, maka tidak bergantung pada persetujuan wali, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ النكاح الفاسد لا يفسخ بطلقه إن كَانَ مُخْتَلِفًا فِيهِ بِخِلَافِ قَوْلِ مَالِكٍ.
Ketiga: Bahwa nikah fasid tidak menjadi batal dengan talak jika terjadi perbedaan pendapat, berbeda dengan pendapat Malik.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ النِّكَاحَ الْفَاسِدَ يُسَمَّى نِكَاحًا.
Keempat: Bahwa nikah fasid tetap disebut sebagai nikah.
وَالْخَامِسُ: أَنَّ الْإِضَافَةَ قَدْ تَكُونُ حَقِيقَةً، وَمَجَازًا.
Kelima: Bahwa penisbatan (penyandaran) bisa bermakna hakiki maupun majazi.
وَالسَّادِسُ: جَوَازُ تكرار اللفظ وزيادة في البيان وتوكيد للحكم، لِأَنَّهُ قَالَ: فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثًا.
Keenam: Bolehnya pengulangan lafaz dan penambahan dalam penjelasan serta penegasan hukum, karena beliau bersabda: “maka nikahnya batal, batal, batal.”
وَمِنْهَا فِي قوله: ” وَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا ” خَمْسَةَ عَشَرَ دَلِيلًا.
Di antaranya, dalam ucapannya: “Dan jika ia telah menyentuhnya, maka baginya mahar karena apa yang telah dihalalkan dari kemaluannya,” terdapat lima belas dalil.
أَحَدُهَا: أَنَّ الْمَسِيسَ عِبَارَةٌ عَنِ الْوَطْءِ.
Pertama: Bahwa “al-masīs” (menyentuh) adalah ungkapan untuk hubungan badan (jima‘).
وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَطْءَ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ مُوجِبٌ لِلْمَهْرِ.
Kedua: Bahwa hubungan badan dalam pernikahan yang fasid (rusak/tidak sah) mewajibkan mahar.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يُوجِبُ الْحَدَّ مَعَ الْعِلْمِ وَالْجَهْلِ.
Ketiga: Bahwa hal itu tidak mewajibkan hukuman had baik dengan pengetahuan maupun ketidaktahuan.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ النكاح الفاسد إذا خلا من الإنابة لَمْ يَجِبْ فِيهِ الْمَهْرُ.
Keempat: Bahwa pernikahan fasid jika tidak disertai dengan hubungan badan, maka tidak wajib mahar di dalamnya.
وَالْخَامِسُ: أَنَّ الْخَلْوَةَ لا تكمل بِهَا الْمَهْرُ بِخِلَافِ قَوْلِ أبي حنيفة.
Kelima: Bahwa khalwat (berduaan) tidak menyempurnakan kewajiban mahar, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah.
وَالسَّادِسُ: أَنَّ الْمُسْتَكْرَهَةَ عَلَى الزِّنَا يَجِبُ لَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا بِخِلَافِ قَوْلِ أبي حنيفة.
Keenam: Bahwa perempuan yang dipaksa berzina wajib baginya mahar karena apa yang telah dihalalkan dari kemaluannya, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah.
وَالسَّابِعُ: أَنَّ الْإِصَابَةَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْفَرْجَيْنِ مِنْ قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ يُوجِبُ الْمَهْرَ، لِأَنَّهُ فَرْجٌ.
Ketujuh: Bahwa persetubuhan pada salah satu dari dua kemaluan, baik depan maupun belakang, mewajibkan mahar, karena itu adalah farj (kemaluan).
وَالثَّامِنُ: أَنَّ ذَاتَ الزَّوْجِ إِذَا أُصِيبَتْ بِشُبْهَةٍ فَلَهَا الْمَهْرُ دُونَ الزَّوْجِ بِخِلَافِ قَوْلِ مَنْ جَعَلَهُ لِلزَّوْجِ.
Kedelapan: Bahwa istri jika digauli karena syubhat (keraguan) maka baginya mahar, bukan bagi suami, berbeda dengan pendapat yang menjadikannya untuk suami.
وَالتَّاسِعُ: أن الموطوءة بشبهة يكون لها المهر لَا فِي بَيْتِ الْمَالِ بِخِلَافِ قَوْلِ مَنْ جَعَلَهُ لِبَيْتِ الْمَالِ.
Kesembilan: Bahwa perempuan yang digauli karena syubhat berhak atas mahar, bukan untuk baitul mal, berbeda dengan pendapat yang menjadikannya untuk baitul mal.
وَالْعَاشِرُ: أَنَّ تَكْرَارَ الْوَطْءِ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ لَا يَجِبُ بِهِ إِلَّا مهر واحدة ما لم تغرم المهر عما تقدم به.
Kesepuluh: Bahwa pengulangan hubungan badan dalam pernikahan fasid tidak mewajibkan kecuali satu mahar saja, selama belum diganti mahar atas yang telah lalu.
وَالْحَادِيَ عَشَرَ: أَنَّ الْإِصَابَةَ دُونَ الْفَرْجِ لَا تُوجِبُ الْمَهْرَ.
Kesebelas: Bahwa persetubuhan selain pada kemaluan tidak mewajibkan mahar.
وَالثَّانِي عَشَرَ: أَنَّ الْغَارَّةَ لِلزَّوْجِ يسقط عنه مهره بالغرور.
Kedua belas: Bahwa penipuan terhadap suami menggugurkan haknya atas mahar karena tertipu.
والثالث عشر: أن الموطوءة في العدة بِشُبْهَةٍ أَوْ فِي نِكَاحٍ فَاسِدٍ كَالْمَوْطُوءَةِ فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ فِي لُحُوقِ النَّسَبِ وَوُجُوبِ الْعِدَّةِ وتحريم المصاهرة لاستوائهما في وجوب المهر ولحوق النسب والعدة وتحريم المصاهرة.
Ketiga belas: Bahwa perempuan yang digauli dalam masa iddah karena syubhat atau dalam pernikahan fasid, hukumnya seperti perempuan yang digauli dalam pernikahan sah dalam hal penetapan nasab, kewajiban iddah, dan keharaman musaharah, karena keduanya sama dalam kewajiban mahar, penetapan nasab, iddah, dan keharaman musaharah.
وَالْخَامِسَ عَشَرَ: أَنَّ الْمَهْرَ إِذَا اسْتُحِقَّ بِالْإِصَابَةِ فِي نِكَاحٍ فَاسِدٍ فَهُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى سَوَاءٌ كَانَ أَقَلَّ مِنْهُ أَوْ أَكْثَرَ، بِخِلَافِ قَوْلِ أبي حنيفة: أَنَّهُ يُوجِبُ أقل الأمرين من مهر المثل أو المسمى.
Kelima belas: Bahwa mahar yang menjadi hak karena persetubuhan dalam pernikahan fasid adalah mahar mitsil (mahar yang sepadan), bukan mahar yang disebutkan, baik lebih sedikit maupun lebih banyak, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang mewajibkan yang lebih sedikit antara mahar mitsil dan mahar yang disebutkan.
وأما قَوْلِهِ: ” فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ” خَمْسَةُ دَلَائِلَ:
Adapun ucapannya: “Jika mereka berselisih, maka penguasa adalah wali bagi yang tidak memiliki wali,” terdapat lima dalil:
أَحَدُهَا: أَنَّ الْعَصَبَةَ أحق بالولاية عليها من السلطان.
Pertama: Bahwa para ‘ashabah (kerabat laki-laki dari pihak ayah) lebih berhak menjadi wali atasnya daripada penguasa.
والثانية: أنهم إذا عدموا انتقلت الولاية عليها إِلَى السُّلْطَانِ.
Kedua: Jika mereka tidak ada, maka kewalian berpindah kepada penguasa.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْأَقْرَبَ مِنْ عَصَبَتِهَا أَوْلَى مِنَ الْأَبْعَدِ، كَمَا أَنَّ الْعَصَبَةَ لِقُرْبِهِمْ أَوْلَى مِنَ السُّلْطَانِ.
Ketiga: Bahwa yang lebih dekat dari ‘ashabah lebih berhak daripada yang lebih jauh, sebagaimana ‘ashabah yang lebih dekat lebih berhak daripada penguasa.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ الْأَوْلِيَاءَ إِذَا كَانُوا فِي دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ يَكُنْ أَحَدُهُمْ إِذَا اشْتَجَرُوا أَحَقَّ مِنَ الْبَاقِينَ إِلَّا بِقُرْعَةٍ أو لتسليم.
Keempat: Bahwa para wali jika berada pada satu derajat, maka tidak ada satu pun dari mereka yang lebih berhak jika mereka berselisih, kecuali dengan undian atau penyerahan.
والخامس: أنهم إذا اشتركوا فِي نِكَاحِهَا عَضْلًا لَهَا لَا تَنَازُعًا فِيهَا زَوَّجَهَا السُّلْطَانُ.
Kelima: Jika mereka bersama-sama dalam menikahkannya dengan maksud menghalangi (tidak karena perselisihan), maka penguasa yang menikahkannya.
وَالِاشْتِجَارُ عَضْلًا: أَنْ يَقُولَ كُلُّ واحد منهما زوجها أنت ليصيروا جميعاً عضلة فزوجها السلطان. والاشتجار إذا تَنَازَعًا أَنْ يَقُولَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ: أَنَا أزوجها فلا تنقل الولاية إلى السلطان، لأنهم غيرة عضلة بل يفرع بَيْنَهُمْ وَيُزَوِّجُهَا مِنْ قُرِعِ مِنْهُمْ.
Adapun “berselisih karena menghalangi” adalah: setiap dari mereka berkata, “Nikahkan dia denganku,” sehingga mereka semua menjadi penghalang, maka penguasa yang menikahkannya. Sedangkan “berselisih karena perselisihan” adalah: setiap dari mereka berkata, “Aku yang menikahkannya,” maka kewalian tidak berpindah kepada penguasa, karena mereka bukan penghalang, melainkan diundi di antara mereka dan dinikahkan kepada yang keluar undiannya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah.
قَالَ الشافعي: ” وَجَمَعَتِ الطَّرِيقُ رُفْقَةً فِيهِمُ امْرَأَةٌ ثيبٌ فَوَلَّتْ أمرها رجلاً منهم فزوجها فجلد عمر بن الخطاب رضي الله عنه الناكح والمنكح ورد نكاحهما “.
Imam Syafi‘i berkata: “Suatu rombongan melakukan perjalanan bersama, di antara mereka terdapat seorang wanita janda, lalu ia menyerahkan urusannya kepada salah seorang dari mereka, kemudian orang itu menikahkannya, maka Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mencambuk laki-laki yang menikahi dan yang menikahkan, serta membatalkan pernikahan mereka.”
قال الماوردي: وهذا الأمر المروي عن عمر وَإِنْ كَانَ دَلِيلًا عَلَى إِبْطَالِ النِّكَاحِ بِغَيْرِ ولي فالمقصود به يَتَعَلَّقُ عَلَى الْمُتَنَاكِحَيْنِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ مِنَ الْأَحْكَامِ، فَإِذَا تَنَاكَحَ الزَّوْجَانِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمَا مِنْ أَنْ يَتَرَافَعَا فِيهِ إِلَى حاكمٍ أَمْ لَا فَإِنْ تَرَافَعَا فِيهِ إِلَى حَاكِمٍ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْحَاكِمِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ شَافِعِيًّا يَرَى إِبْطَالَ النِّكَاحِ بغير ولي، أو يكون حنيفاً يَرَى جَوَازَ النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ، فَإِنْ كَانَ شَافِعِيًّا يَرَى إِبْطَالَ النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ، حَكَمَ بإبطاله وفرق بينهما فإن اجتمعا حكم فيه بمذهبه، وقضى بينهما، عَلَى الْإِصَابَةِ بَعْدَ تَفْرِيقِ الْحَاكِمِ بَيْنَهُمَا كَانَا زَانِيَيْنِ عَلَيْهِمَا الْحَدُّ، لِأَنَّ شُبْهَةَ الْعَقْدِ قَدِ ارْتَفَعَتْ بِحُكْمِ الْحَاكِمِ بَيْنَهُمَا بِالْفُرْقَةِ، فَلَوْ تَرَافَعَا بعد إبطال الحاكم الشافعي إِلَى حَاكِمٍ حَنَفِيٍّ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يحكم بجوازه لنفوذ الحكم بإبطاله وإن كان فِي الِابْتِدَاءِ قَدْ تَرَافَعَا إِلَى حَاكِمٍ حَنَفِيٍّ يَرَى صِحَّةَ النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَحَكَمَ بَيْنَهُمَا بصحته، وأذن لهما بالاجتماع فيه فلم يَكُنْ عَلَيْهِمَا فِي الْإِصَابَةِ حَدٌّ لِنُفُوذِ الْحُكْمِ بالإباحة، فلو ترافعا بعد حكم الحنفي بصحة إِلَى حَاكِمٍ شَافِعِيٍّ فَهَلْ لَهُ أَنْ يَحْكُمَ بِإِبْطَالِهِ وَيَنْقُضَ حَكَمَ الْحَنَفِيِّ بِصِحَّتِهِ وَإِمْضَائِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Perkara yang diriwayatkan dari ‘Umar ini, meskipun menjadi dalil atas batalnya nikah tanpa wali, maka yang dimaksud darinya berkaitan dengan hukum-hukum yang berlaku atas dua orang yang menikah tanpa wali. Apabila kedua mempelai menikah tanpa wali, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah mereka membawa perkara itu kepada seorang hakim atau tidak. Jika mereka membawa perkara itu kepada hakim, maka keadaan hakim tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia seorang Syafi‘i yang berpendapat batalnya nikah tanpa wali, atau seorang Hanafi yang membolehkan nikah tanpa wali. Jika hakim itu seorang Syafi‘i yang berpendapat batalnya nikah tanpa wali, maka ia memutuskan pembatalan nikah dan memisahkan keduanya. Jika keduanya kemudian berhubungan setelah dipisahkan oleh hakim, maka keduanya dianggap berzina dan dikenakan had, karena syubhat akad telah hilang dengan keputusan hakim yang memisahkan mereka. Jika setelah hakim Syafi‘i membatalkan nikah, mereka membawa perkara itu kepada hakim Hanafi, maka hakim Hanafi tidak boleh memutuskan kebolehan nikah tersebut karena keputusan pembatalan telah berlaku, meskipun pada awalnya jika mereka membawa perkara itu kepada hakim Hanafi yang membenarkan sahnya nikah tanpa wali, lalu ia memutuskan sahnya nikah dan mengizinkan mereka untuk hidup bersama, maka tidak ada had atas mereka dalam hubungan tersebut karena keputusan kebolehan telah berlaku. Jika setelah keputusan hakim Hanafi tentang keabsahan nikah, mereka membawa perkara itu kepada hakim Syafi‘i, apakah hakim Syafi‘i boleh memutuskan pembatalan nikah dan membatalkan keputusan hakim Hanafi tentang keabsahan dan pelaksanaannya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهُ الْحُكْمُ بِإِبْطَالِهِ وَنَقْضِ حُكْمِ الْحَنَفِيِّ بِإِمْضَائِهِ، لِمَا فِيهِ مِنْ مُخَالَفَةِ النَّصِّ فِي قَوْلِهِ: ” فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ” ثَلَاثًا.
Pertama: Hakim Syafi‘i boleh memutuskan pembatalan nikah dan membatalkan keputusan hakim Hanafi tentang pelaksanaannya, karena di dalamnya terdapat penyelisihan terhadap nash dalam sabda Nabi: “Maka nikahnya batal” sebanyak tiga kali.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْقُضَ حُكْمًا قَدْ نَفَذَ بِاجْتِهَادٍ، وَالنَّصُّ فِيهِ مِنْ أَخْبَارِ الْآحَادِ.
Pendapat kedua: Hakim Syafi‘i tidak boleh membatalkan keputusan yang telah berlaku berdasarkan ijtihad, sedangkan nash dalam masalah ini adalah dari khabar ahad.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا لَمْ يَتَرَافَعَا فِيهِ إِلَى حَاكِمٍ وَلَا حُكِمَ فِيهِ بِأَحَدِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ صِحَّةٍ أَوْ إِبْطَالٍ، فَإِنْ لَمْ يَجْتَمِعَا فِيهِ عَلَى الْإِصَابَةِ حَتَّى افْتَرَقَا فَلَا عِدَّةَ عليهما، وَلَا مَهْرَ لَهَا، وَإِنْ مَاتَ أَحَدُهُمَا لَمْ يتوارثا وإن اجتمعا فيه على الْإِصَابَةِ لَمْ تَخْلُ حَالُهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Jika kedua mempelai tidak membawa perkara itu kepada hakim dan tidak ada keputusan mengenai sah atau batalnya nikah, maka jika mereka tidak berhubungan hingga berpisah, tidak ada masa iddah atas mereka, dan tidak ada mahar baginya (istri), dan jika salah satu dari mereka meninggal, maka tidak saling mewarisi. Namun, jika mereka berhubungan dalam pernikahan tersebut, maka keadaan mereka tidak lepas dari tiga bagian:
أحدهما: أَنْ يَعْتَقِدَا الْإِبَاحَةَ.
Pertama: Keduanya meyakini kebolehan (nikah tersebut).
وَالثَّانِي: أَنْ يَعْتَقِدَا تَحْرِيمَهُ.
Kedua: Keduanya meyakini keharamannya.
والثالث: أن يجهلا حكمه، فإن اعتقدا الإباحة لِاعْتِقَادِهِمَا مَذْهَبَ أبي حنيفة فِيهِ فَلَا حَدَّ عليهما، لاستباحتهما له من اجْتِهَادٍ مُسَوَّغٍ، فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيِسَ لَوْ شَرِبَ النَّبِيذَ مَنِ اعْتَقَدَ مَذْهَبَ أبي حنيفة فِي إِبَاحَتِهِ حَدَدْتُمُوهُ، فَهَلَّا حَدَدْتُمْ هَذَا مَعَ اعْتِقَادِهِ إِبَاحَتَهُ. قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Ketiga: Keduanya tidak mengetahui hukumnya. Jika keduanya meyakini kebolehan karena mengikuti mazhab Abu Hanifah dalam hal ini, maka tidak ada had atas mereka, karena mereka menghalalkannya berdasarkan ijtihad yang dibenarkan. Jika dikatakan: Bukankah jika seseorang meminum nabidz (minuman memabukkan) karena meyakini mazhab Abu Hanifah yang membolehkannya, kalian tetap menjatuhkan had atasnya? Mengapa kalian tidak menjatuhkan had dalam kasus ini padahal mereka meyakini kebolehannya? Maka dijawab: Perbedaannya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشُّبْهَةُ فِي النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ أَقْوَى لِتَرَدُّدِهِ بَيْنَ أَصْلَيْ حَظْرٍ مِنْ زِنَا وَإِبَاحَةٍ مِنْ نكاح، وإباحة الشبهة في النبيذ الذي لا يرجع إلا إِلَى أَصْلٍ وَاحِدٍ فِي الْحَظْرِ وَالتَّحْرِيمِ، وَهُوَ الخمر.
Pertama: Syubhat dalam nikah tanpa wali lebih kuat karena berada di antara dua asal, yaitu larangan (zina) dan kebolehan (nikah), sedangkan syubhat dalam nabidz hanya kembali pada satu asal, yaitu larangan dan keharaman, yaitu khamar.
والثاني: أن النكاح الذي عقده وَلِيٍّ قَدْ جُعِلَ لَهُ سَبِيلٌ إِلَى اسْتِبَاحَتِهِ بِوَلِيٍّ فَاقْتُصِرَ فِي الزَّجْرِ عَنْهُ عَلَى مُجَرَّدِ النَّهْيِ، وَلَيْسَ كَالنَّبِيذِ الَّذِي لَا سَبِيلَ إِلَى اسْتِبَاحَتِهِ فَلَمْ يَقْتَصِرْ فِي الزَّجْرِ عَنْهُ عَلَى مجرد النهي حتى يضم إليه حكم هُوَ أَبْلَغُ فِي الزَّجْرِ، لِيَكُونَ أَمْنَعَ مِنَ الإقدام عليه.
Kedua: Nikah yang dilakukan dengan wali telah ditetapkan jalan untuk menghalalkannya melalui wali, sehingga larangan terhadapnya cukup dengan sekadar larangan, berbeda dengan nabidz yang tidak ada jalan untuk menghalalkannya, sehingga larangan terhadapnya tidak cukup hanya dengan larangan, tetapi harus disertai dengan hukuman yang lebih tegas agar lebih mencegah orang untuk melakukannya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَا جَاهِلَيْنِ بِتَحْرِيمِ النِّكَاحِ بِغَيْرِ ولي فلا حد عليهما، لِأَنَّ الْجَهْلَ بِالتَّحْرِيمِ أَقْوَى شُبْهَةً، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ادرأوا الحدود بالشبهات “، ولأن من جهل تحريم الزنا لحدوث إسلامه لم يجد فكان هذا بدرء الحد أولى، ألا ترى أن قول عُثْمَانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي أَمَةٍ أَقَرَّتْ بِالزِّنَا إِقْرَارَ جَاهِلٍ بِتَحْرِيمِهِ أَرَاهَا تَشْهَدُ بِهِ كَأَنَّهَا لَمْ تَعْلَمْ، وَإِنَّمَا الْحَدُّ عَلَى مَنْ علم.
Dan apabila keduanya tidak mengetahui haramnya pernikahan tanpa wali, maka tidak dikenakan hudud atas mereka berdua, karena ketidaktahuan terhadap keharaman adalah syubhat yang paling kuat. Nabi ﷺ bersabda: “Tolaklah hudud karena adanya syubhat.” Selain itu, orang yang tidak mengetahui haramnya zina karena baru masuk Islam tidak dikenakan hudud, maka dalam kasus ini lebih utama untuk menolak hudud. Tidakkah engkau melihat bahwa pendapat ‘Utsman ra. tentang seorang budak perempuan yang mengakui zina dengan pengakuan orang yang tidak tahu keharamannya, beliau menganggapnya sebagai kesaksian, seolah-olah ia tidak tahu, dan sesungguhnya hudud hanya dikenakan kepada orang yang mengetahui.
ثم يتعلق عَلَى هَذِهِ الْإِصَابَةِ مِنَ الْأَحْكَامِ مَا يَتَعَلَّقُ عَلَى النِّكَاحِ الصَّحِيحِ إِلَّا فِي الْمُقَامِ عَلَيْهِ فيوجب العدة، ويلحق بالنسب، وَيَثْبُتُ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ وَلَكِنْ فِي ثُبُوتِ الْمَحْرَمِيَّةِ بِهَا وَجْهَانِ:
Kemudian, pada hubungan (persetubuhan) ini berlaku hukum-hukum yang berlaku pada pernikahan yang sah, kecuali dalam hal melanjutkan hubungan tersebut. Maka wajib menjalani masa iddah, nasab anak diakui, dan berlaku pula keharaman karena mushāharah (hubungan pernikahan), namun dalam penetapan mahramiyah (kemahraman) melalui hubungan ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: تَثْبُتُ بِهَا الْمَحْرَمُ كَمَا تَثْبُتُ بِهَا تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ فَلَا تُحْجَبُ عن أبيه وابنه ولا تحجب عنه أمها وبنتها.
Salah satunya: mahramiyah ditetapkan sebagaimana keharaman mushāharah juga ditetapkan, sehingga ia tidak terhalang dari ayah atau anaknya, dan ia tidak menghalangi ibunya atau anak perempuannya darinya.
والوجه الثاني: أن يثبت المحرم وإن ثبت به تحريم المصاهرة، لأننا أثبتنا تحريم المصاهرة تغليظاً فاقتضى أن ينتفي عَنْهُ ثُبُوتُ الْمَحْرَمِ تَغْلِيظًا.
Pendapat kedua: mahramiyah tidak ditetapkan meskipun keharaman mushāharah ditetapkan, karena kami menetapkan keharaman mushāharah sebagai bentuk penegasan (penguatan larangan), sehingga meniadakan penetapan mahramiyah juga sebagai bentuk penegasan (penguatan larangan).
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ كَانَا مُعْتَقِدَيْنِ لِتَحْرِيمِهِ يَرَيَانِ فِيهِ مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ مِنْ إبطال النكاح بغير ولي فمحظور عليهما الإصابة فإن اجتمعا عليها وَوَطِئَهَا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ لَا حد عليهما وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصَّيْرَفِيُّ – مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ – وهو مذهب الزهري، وأبي ثور: الحد عَلَيْهِمَا وَاجِبٌ لِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” البغي من نكحت بغير ولي “.
Dan jika keduanya meyakini keharamannya, serta mengikuti mazhab asy-Syafi‘i yang membatalkan pernikahan tanpa wali, maka haram bagi mereka melakukan hubungan. Jika mereka tetap melakukannya dan terjadi persetubuhan, maka menurut mazhab asy-Syafi‘i dan jumhur fuqaha tidak dikenakan hudud atas mereka. Namun Abu Bakar ash-Shayrafi—dari kalangan pengikut asy-Syafi‘i—dan ini juga mazhab az-Zuhri dan Abu Tsaur, berpendapat bahwa hudud wajib atas mereka, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Wanita pezina adalah yang menikah tanpa wali.”
والأثر المروي عن عمر في المرأة والرجل جَمَعَتْهُمَا رُفْقَةٌ فَوَلَّتْ أَمْرَهَا رَجُلًا مِنْهُمْ فَزَوَّجَهَا فَجَلَدَ النَّاكِحَ وَالْمُنْكَحَ.
Dan atsar yang diriwayatkan dari ‘Umar tentang seorang wanita dan laki-laki yang bersama dalam satu rombongan, lalu wanita itu menyerahkan urusannya kepada salah satu laki-laki di antara mereka, kemudian ia menikahkannya, maka ‘Umar mencambuk laki-laki yang menikahi dan yang menikahkan.
وَالدَّلِيلُ عَلَى سُقُوطِ الْحَدِّ قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْخَبَرِ الْمَاضِي: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ” فَأَبْطَلَ النِّكَاحَ وَأَوْجَبَ المهر دون الْحَدَّ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” ادرأوا الْحُدُودَ بِالشُّبُهَاتِ ” وَأَقْوَى الشُّبَهَاتِ عَقْدٌ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي إِبَاحَتِهِ فَكَانَ بِإِدْرَاءِ الْحَدِّ أَوْلَى. فَأَمَّا قَوْلُهُ: ” الْبَغِيُّ مَنْ نَكَحَتْ بِغَيْرِ وَلِيٍّ ” فَهِيَ لَا تَكُونُ بَغِيًّا بِالنِّكَاحِ إِجْمَاعًا، وَإِنَّمَا يَقُولُ مَنْ يُوجِبُ الْحَدَّ، إِنَّهَا تَكُونُ بِالْوَطْءِ بَغِيًّا فَلَمْ يَكُنْ فِي التَّعَلُّقِ بِهِ دَلِيلٌ، ثُمَّ يحمل على أنه يتعلق عليها بعض الأحكام الْبَغِيِّ وَهُوَ تَحْرِيمُ الْوَطْءِ، وَلَا يُمْتَنَعُ أَنْ يُسَمَّى بَعْضُ أَحْكَامِ الْبَغْيِ بَغْيًا كَمَا قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مِنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ فَقَدْ كَفَرَ ” فَسَمَّاهُ بِبَعْضِ أَحْكَامِ الْكُفْرِ كَافِرًا، وَأَمَّا الْأَثَرُ عَنْ عُمَرَ فَالْجَلْدُ فِيهِ عِبَارَةٌ عَنِ التَّعْزِيرِ أَلَّا تَرَاهُ جَلَدَ النَّاكِحَ وَالْمُنْكَحَ وَالْحَدُّ لَا يَجِبُ عَلَى الْمُنْكِحِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ عَزَّرَهُمَا.
Adapun dalil gugurnya hudud adalah sabda Nabi ﷺ dalam hadis terdahulu: “Siapa saja wanita yang dinikahkan tanpa izin walinya maka nikahnya batal.” Maka beliau membatalkan nikahnya dan mewajibkan mahar, bukan hudud, karena Nabi ﷺ bersabda: “Tolaklah hudud karena adanya syubhat.” Dan syubhat yang paling kuat adalah akad yang diperselisihkan oleh para fuqaha tentang kebolehannya, maka lebih utama untuk menolak hudud. Adapun sabdanya: “Pezina adalah wanita yang menikah tanpa wali,” maka ia tidak disebut pezina karena pernikahan menurut ijma‘, dan yang mewajibkan hudud berpendapat bahwa ia menjadi pezina karena persetubuhan, sehingga tidak ada dalil dalam hal ini. Kemudian, bisa jadi yang dimaksud adalah sebagian hukum pezina, yaitu haramnya hubungan (persetubuhan), dan tidaklah mustahil sebagian hukum pezina disebut sebagai zina, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Siapa yang meninggalkan shalat maka ia telah kafir,” maka beliau menyebutnya kafir dengan sebagian hukum kekafiran. Adapun atsar dari ‘Umar, maka cambukan di situ adalah sebagai bentuk ta‘zir, tidakkah engkau lihat bahwa ia mencambuk laki-laki yang menikahi dan yang menikahkan, padahal hudud tidak wajib atas yang menikahkan, maka ini menunjukkan bahwa itu adalah ta‘zir bagi keduanya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا تَنَاكَحَ الزَّوْجَانِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ ثُمَّ طلقها ثلاثاً ففي حكم طلاقه وحكم تحريمها عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:
Apabila sepasang suami istri menikah tanpa wali, kemudian suami mentalaknya tiga kali, maka dalam hukum talaknya dan hukum keharaman istrinya baginya sampai ia menikah dengan laki-laki lain, terdapat dua pendapat di kalangan ulama kami:
أحدهما: يجز عَلَيْهِ حُكْمَ الطَّلَاقِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، وَأَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ اعْتِبَارًا بِأَغْلَظِ الْأَمْرَيْنِ.
Salah satunya: berlaku atasnya hukum talak, sehingga istrinya tidak halal baginya sampai menikah dengan suami lain. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, Abu Sa‘id al-Istakhri, dan Abu Hamid al-Marwazi, dengan pertimbangan mengambil yang paling berat di antara dua perkara.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ وَمَنْ عَاضَدَهُ مِنَ الْمُتَأَخِّرِينَ، وَرُبَّمَا كَانَ لَهُمْ فيه سَلَفٌ إنَّ حُكْمَ الطَّلَاقِ لَا يَجْرِي عَلَيْهِ للحكم بإبطاله وإنما تَحِلُّ لَهُ قَبْلَ زَوْجٍ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ إِلَّا فِي نِكَاحٍ، وَقَدْ بَطَلَ أَنْ يَكُونَ نِكَاحًا.
Pendapat kedua: yaitu pendapat Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī dan para pendukungnya dari kalangan ulama muta’akhkhirīn, dan mungkin saja mereka memiliki pendahulu dalam hal ini, yaitu bahwa hukum talak tidak berlaku atasnya untuk menetapkan pembatalannya, melainkan ia menjadi halal baginya sebelum menikah dengan suami lain; karena talak itu tidak terjadi kecuali dalam pernikahan, sedangkan pernikahan itu telah batal sehingga tidak lagi dianggap sebagai pernikahan.
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْوَجْهَانِ، فَإِنْ قِيلَ بِهَذَا الْوَجْهِ إِنَّهُ إِذَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ أَنْ يَنْكِحَهَا، قَبْلَ زَوْجٍ، فَإِنَّهُ إِذَا أَصَابَهَا لَمْ تَحِلَّ بِإِصَابَتِهِ لَهَا للزوج إن كان طَلَّقَهَا قَبْلَهُ ثَلَاثًا.
Setelah dua pendapat ini dijelaskan, maka jika dikatakan menurut pendapat ini bahwa jika ia mentalaknya tiga kali, maka ia tidak menjadi haram baginya untuk menikahinya kembali sebelum menikah dengan suami lain, maka jika suami lain telah menggaulinya, ia tidak menjadi halal bagi suami pertama karena persetubuhan suami kedua tersebut, jika suami pertama telah mentalaknya tiga kali sebelumnya.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ بِطَلَاقِهِ لَهَا ثَلَاثًا حَتَّى تَنْكِحَ زوجاً غيره فهل تحل بإصابته لها الزوج إِنْ كَانَ قَدْ طَلَّقَهَا قَبْلَهُ ثَلَاثًا أَمْ لَا فِيهِ وَجْهَانِ:
Dan jika dikatakan: bahwa ia telah menjadi haram bagi suami pertama karena ditalak tiga kali hingga ia menikah dengan suami lain, maka apakah ia menjadi halal bagi suami pertama karena telah digauli oleh suami kedua jika suami pertama telah mentalaknya tiga kali sebelumnya atau tidak, dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: تَحِلُّ لَهُ لِإِجْرَائِنَا عَلَى طَلَاقِهِ حُكْمَ الطَّلَاقِ فِي النِّكَاحِ الصَّحِيحِ.
Salah satunya: ia menjadi halal bagi suami pertama karena kita memberlakukan hukum talak atasnya sebagaimana hukum talak dalam pernikahan yang sah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَحِلُّ لَهُ لِأَنَّنَا ألزمناه حكم طلاقه تغليظاً عليهما فَكَانَ مِنَ التَّغْلِيظِ أَنْ لَا تَحِلَّ لِغَيْرِهِ بإصابته.
Pendapat kedua: ia tidak menjadi halal bagi suami pertama karena kita mewajibkan hukum talak atasnya sebagai bentuk penegasan (penguatan) terhadap keduanya, sehingga termasuk bentuk penegasan itu adalah ia tidak menjadi halal bagi selain suami kedua karena telah digauli.
فصل
Fasal
وإذا عدمت المرأة ولياً مناسباً وكانت فِي بَلَدٍ لَا حَاكِمَ فِيهِ وَأَرَادَتْ نِكَاحَ زَوْجٍ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Jika seorang perempuan tidak memiliki wali yang sesuai dan ia berada di negeri yang tidak ada hakim di dalamnya, lalu ia ingin menikah dengan seorang suami, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهَا أَنْ تنكح حتى تجد ولياً بحكم أو بنسب كَمَا عَدِمَتِ الشُّهُودَ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَتَزَوَّجَ حتى تجد الشهود.
Salah satunya: ia tidak boleh menikah hingga ia mendapatkan wali baik karena hukum atau nasab, sebagaimana jika ia tidak mendapatkan saksi maka tidak boleh menikah hingga ia mendapatkan saksi.
والوجه الثاني: أن يَجُوزَ لِلضَّرُورَةِ أَنْ تَتَزَوَّجَ، لِأَنَّ الْوَلِيَّ يُرَادُ لِنَفْيِ الْعَارِ عَنْهُ بِتَزْوِيجِ غَيْرِ الْكُفْءِ فَإِذَا عدم زال معناه وخالف الشهود المعقود بِهِمُ الِاسْتِيثَاقَ لِحِفْظِ الْأَنْسَابِ، فَعَلَى هَذَا إِذَا جَوَّزَ لَهَا التَّزْوِيجَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: boleh baginya menikah karena darurat, karena wali itu dimaksudkan untuk menghindari aib baginya akibat menikahkan dengan selain yang sekufu’, maka jika wali tidak ada, hilanglah maksud tersebut. Berbeda dengan saksi, karena akad dengan saksi dimaksudkan untuk menjaga nasab. Berdasarkan pendapat ini, jika dibolehkan baginya menikah, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَتَوَلَّاهُ بِنَفْسِهَا؛ لِأَنَّ فَقْدَ الْوَلِيِّ قَدْ أَسْقَطَ حُكْمَهُ.
Salah satunya: ia sendiri yang melangsungkan akad nikahnya, karena ketiadaan wali telah menggugurkan hukumnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُوَلِّي أَمْرَهَا رَجُلًا يَكُونُ بَدَلًا مِنْ وَلِيِّهَا حَتَّى لَا يَخْلُوَ الْعَقْدُ مَنْ عَدَدِهِ، وَيُحْتَمَلُ تَخْرِيجُ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْخَصْمَيْنِ إِذَا حَكَّمَا رَجُلًا هَلْ يَلْزَمُهُمَا حُكْمُهُ كَلُزُومِ الْحَاكِمِ وَاللَّهُ أعلم.
Pendapat kedua: ia menyerahkan urusannya kepada seorang laki-laki yang menjadi pengganti walinya agar akad tidak kosong dari jumlah wali, dan kemungkinan dua pendapat ini diambil dari perbedaan dua pendapat Imam Syafi’i dalam perkara dua orang yang bersengketa jika keduanya menunjuk seorang laki-laki sebagai hakim, apakah keputusan hakim itu mengikat keduanya seperti keputusan hakim resmi atau tidak. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَا وِلَايَةَ لِوَصِيٍّ لِأَنَّ عَارَهَا لَا يَلْحَقُهُ “.
Imam Syafi’i berkata: “Tidak ada kewalian bagi washi (wali wasiat), karena aibnya tidak menimpa dirinya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ:
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan:
إذا وصى الْأَبُ بِتَزْوِيجِ بِنْتِهِ لَمْ يَكُنْ لِوَصِيِّهِ أَنْ يزوجها صغيرة كانت أم كَبِيرَةً عُيِّنَ لَهُ عَلَى الزَّوْجِ أَوْ لَمْ يعين وَلَا يُزَوِّجْهَا إِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً إِلَّا أَنْ يُعَيَّنَ لَهُ عَلَى الزَّوْجِ.
Jika seorang ayah berwasiat agar anak perempuannya dinikahkan, maka washi (wali wasiat) tidak berhak menikahkannya, baik anak itu masih kecil maupun sudah dewasa, baik telah ditentukan calon suaminya atau belum, dan ia tidak boleh menikahkannya jika anak itu masih kecil kecuali jika telah ditentukan calon suaminya.
وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: يُزَوِّجُهَا الْوَصِيُّ بِكُلِّ حَالٍ اسْتِدْلَالًا عَلَى ذَلِكَ بِأَمْرَيْنِ:
Abū Ṯawr berkata: Wasi (wali wasiat) boleh menikahkannya dalam segala keadaan, dengan dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ لِلْأَبِ وِلَايَةً عَلَى مَالِهَا وَنِكَاحِهَا فَلَمَّا جَازَ أَنْ يُوصِيَ بِالْوِلَايَةِ عَلَى مَالِهَا جَازَ أَنْ يُوصِيَ بِالْوِلَايَةِ عَلَى نِكَاحِهَا.
Salah satunya: bahwa ayah memiliki kewalian atas hartanya dan pernikahannya, maka ketika boleh berwasiat tentang kewalian atas hartanya, boleh pula berwasiat tentang kewalian atas pernikahannya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ لِلْأَبِ أَنْ يستنيب في حياته وكيلاً جاز له أن يستنيب بعد مَوْتِهِ وَصِيًّا كَالْمَالِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِقَوْلِهِ عليه السلام: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ ” وَلَيْسَ الْوَصِيُّ وَلِيًّا، وَلِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: زَوَّجَنِي خَالِيَ قُدَامَةُ بْنُ مَظْعُونٍ بِابْنَةِ أَخِيهِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ فَمَضَى الْمُغِيرَةُ إِلَى أُمِّهَا وَأَرْغَبَهَا فِي الْمَالِ فَمَالَتْ إِلَيْهِ، وَزَهِدَتْ فِيَّ فَأَتَى قدامة النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ أَنَا عَمُّهَا وَوَصِيُّ أَبِيهَا وَمَا نَقَمُوا مِنِ ابْنِ عُمَرَ إِلَّا أَنَّهُ لَا مَالَ لَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّهَا يَتِيمَةٌ وَإِنَّهَا لَا تُنْكَحُ إِلَّا بِإِذْنِهَا ” فَرَدَّ نِكَاحَهُ مَعَ كَوْنِهِ وَصِيًّا مِنْ غَيْرِ أن يستبرئ حال صغرها وكبرها ولا هل عين الأب على الزوج أم لا؟ فدل على أن النكاح إنما يجاز له؛ لِأَنَّ الْوَصِيَّ لَا وِلَايَةَ لَهُ، وَلِأَنَّ وِلَايَةَ النكاح قد انتقلت بِمَوْتِ الْأَبِ إِلَى مَنْ يَسْتَحِقُّهَا بِنَفْسِهِ مِنَ الْعَصَبَاتِ فَصَارَ مُوصِيًا فِيمَا غَيْرُهُ أَحَقُّ بِهِ فكان مردود الوصية كما وَصَّى بِالْوِلَايَةِ عَلَى مَالِ أَطْفَالِهِ وَلَهُمْ جَدٌّ إِلَى غَيْرِهِ بَطَلَتْ وَصِيَّتُهُ، كَذَلِكَ هَذَا.
Kedua: Bahwa sebagaimana ayah boleh menunjuk wakil dalam hidupnya, maka boleh pula baginya menunjuk washi (pelaksana wasiat) setelah wafatnya, sebagaimana dalam urusan harta. Namun, hal ini tidak benar, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali,” dan washi bukanlah wali. Juga berdasarkan riwayat Abdullah bin Umar, ia berkata: Pamanku, Qudamah bin Mazh‘un, menikahkanku dengan putri saudaranya, Utsman bin Mazh‘un. Kemudian Mughirah mendatangi ibunya dan membujuknya dengan harta, sehingga ia condong kepadanya dan berpaling dariku. Maka Qudamah mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: “Aku pamannya dan washi ayahnya. Mereka tidak menyukai Ibnu Umar kecuali karena ia tidak berharta.” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Dia adalah yatim, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya.” Maka Nabi menolak pernikahan itu, padahal Qudamah adalah washi, tanpa meneliti apakah ia masih kecil atau sudah dewasa, dan tanpa menanyakan apakah ayahnya telah menunjuk suami atau tidak. Ini menunjukkan bahwa pernikahan hanya boleh dilakukan oleh wali, karena washi tidak memiliki wilayah (hak perwalian). Sebab, wilayah nikah telah berpindah dengan wafatnya ayah kepada orang yang berhak atasnya dari kalangan ‘ashabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah), sehingga washi menjadi berwasiat dalam perkara yang orang lain lebih berhak atasnya. Maka wasiatnya tertolak, sebagaimana jika ia berwasiat tentang wilayah atas harta anak-anaknya padahal mereka masih memiliki kakek, lalu ia mewasiatkan kepada selain kakek, maka wasiatnya batal. Demikian pula dalam hal ini.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّهَا وِلَايَةٌ قَدِ انْتَقَلَتْ مِنْ غَيْرِ تَوْلِيَةٍ فَلَمْ يَجُزْ نَقْلُهَا بِالْوَصِيَّةِ كَالْوِلَايَةِ عَلَى الْمَالِ مَعَ وُجُودِ الْجَدِّ، وَفِي هَذَا انْفِصَالٌ عَمَّا ذَكَرَهُ مِنَ الْوَصِيَّةِ بِالْمَالِ؛ وَلِأَنَّ الْعَصَبَةَ إِنَّمَا اخْتُصُّوا بِالْوِلَايَةِ فِي نِكَاحِهَا لِمَا يَلْحَقُهُمْ مِنْ عَارِهَا بِنِكَاحِهَا غَيْرَ كُفْءٍ فَصَارَ حَقُّ الولاية بينهم مشتركاً لرفع الْعَارِ عَنْهُمْ وَعَنْهَا، وَهَذَا الْمَعْنَى مَعْدُومٌ فِي الوصي الذي لا يلحقه عارها فلم نثبت وِلَايَتَهُ لِفَقْدِ مَعْنَاهَا، وَلَيْسَ كَالْوَكِيلِ الَّذِي هُوَ نائب غير مُسْتَحِقٍّ لَهَا وَهُوَ مِنْ وَرَائِهِ مُرَاعٍ لِنَفْيِ العار عنه وعنها.
Penjelasannya secara qiyās: Bahwa ini adalah wilayah yang telah berpindah tanpa penunjukan, maka tidak boleh dialihkan melalui wasiat, sebagaimana wilayah atas harta dengan adanya kakek. Dalam hal ini berbeda dengan apa yang disebutkan tentang wasiat dalam harta. Karena ‘ashabah diberi kekhususan wilayah dalam pernikahan karena mereka akan menanggung aib jika menikahkan dengan yang tidak sekufu (sepadan), sehingga hak wilayah di antara mereka menjadi hak bersama untuk menghilangkan aib dari mereka dan dari perempuan tersebut. Makna ini tidak ada pada washi yang tidak menanggung aibnya, maka tidak ditetapkan wilayah baginya karena hilangnya makna tersebut. Wasi tidak seperti wakil, karena wakil adalah pengganti yang tidak berhak atas wilayah itu, dan di belakangnya ada yang mengawasi untuk menghilangkan aib dari dirinya dan dari perempuan itu.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَفِي قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صِمَاتُهَا ” دَلَّالَةٌ عَلَى الْفَرْقِ بين الثيب والبكر فِي أَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ إِذْنَ الْبِكْرِ الصَّمْتُ والتي تخالفها الْكَلَامُ وَالْآخَرُ أَنَّ أَمْرَهُمَا فِي وِلَايَةِ أَنْفُسِهِمَا مختلفٌ فَوِلَايَةُ الثَّيِّبِ أَنَّهَا أَحَقٌ مِنَ الْوَلِيِّ وَالْوَلِيُّ ههنا الْأَبُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ دُونَ الْأَوْلِيَاءِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dalam sabda Nabi ﷺ: ‘Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan gadis dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah diamnya,’ terdapat dalil adanya perbedaan antara janda dan gadis dalam dua hal. Pertama, bahwa izin gadis adalah diam, sedangkan yang berbeda darinya adalah dengan ucapan. Kedua, bahwa urusan mereka dalam wilayah atas diri mereka berbeda, maka wilayah janda adalah ia lebih berhak daripada wali, dan wali di sini adalah ayah—wallahu a‘lam—bukan para wali lainnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمُرَادَ بالأيم هاهنا الثيب لما قدمنا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدِ اسْتَدَلَّ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا الْخَبَرِ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ فِي كلمتين:
Telah kami sebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ayyim” di sini adalah janda, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya. Jika demikian, maka Imam Syafi‘i telah berdalil dengan hadis ini tentang perbedaan antara gadis dan janda dalam dua hal:
إحداهما: الفرق بينهما في صفة الإذن.
Pertama: Perbedaan antara keduanya dalam sifat izin.
والثاني: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي الْإِجْبَارِ عَلَى الْعَقْدِ، وَنَحْنُ نُقَدِّمُ الْكَلَامَ فِي الْإِجْبَارِ عَلَى الْعَقْدِ لِأَنَّهُ أصل لم يعقبه بِصِفَةِ الْإِذْنِ فِي مَوْضِعِهِ، فَنَقُولُ: النِّسَاءُ ضَرْبَانِ: أَبْكَارٌ، وَثَيِّبٌ.
Kedua: Perbedaan antara keduanya dalam hal pemaksaan terhadap akad. Kami akan mendahulukan pembahasan tentang pemaksaan terhadap akad karena hal itu merupakan pokok yang tidak diikuti oleh sifat izin pada tempatnya. Maka kami katakan: Perempuan terbagi menjadi dua: gadis dan janda.
فَأَمَّا الثَّيِّبُ فَيَأْتِي حُكْمُهُنَّ.
Adapun janda, maka akan dijelaskan hukumnya.
وَأَمَّا الْأَبْكَارُ فَلَهُنَّ حَالَتَانِ حَالَةٌ مَعَ الْآبَاءِ، وَحَالَةٌ مع غيرهم من الأولياء.
Adapun para gadis, maka mereka memiliki dua keadaan: keadaan bersama ayah, dan keadaan bersama selain ayah dari para wali.
فما حالهن مع الآباء فهن ضَرْبَانِ: صِغَارٌ، وَكِبَارٌ.
Adapun keadaan mereka bersama ayah, maka mereka terbagi menjadi dua: yang masih kecil dan yang sudah dewasa.
فَأَمَّا صِغَارُ الْأَبْكَارِ فَلِلْآبَاءِ إِجْبَارُهُنَّ عَلَى النِّكَاحِ فَيُزَوِّجُ الْأَبُ ابْنَتَهُ الْبِكْرَ الصَّغِيرَةَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُرَاعِيَ فِيهِ اخْتِيَارَهَا وَيَكُونُ الْعَقْدُ لَازِمًا لَهَا فِي صِغَرِهَا وَبَعْدَ كِبَرِهَا، وَكَذَلِكَ الْجَدُّ وَإِنْ عَلَا يَقُومُ فِي تَزْوِيجِ الْبِكْرِ الصَّغِيرَةِ مَقَامَ الْأَبِ إِذَا فُقِدَ الْأَبُ.
Adapun gadis-gadis kecil, maka ayah berhak memaksa mereka untuk menikah, sehingga ayah boleh menikahkan putrinya yang masih gadis dan kecil tanpa memperhatikan pilihannya, dan akad tersebut menjadi mengikat baginya baik saat kecil maupun setelah dewasa. Demikian pula kakek, meskipun lebih tinggi (garis keturunannya), menempati posisi ayah dalam menikahkan gadis kecil jika ayah tidak ada.
وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ وِفَاقًا قَوْله تَعَالَى: {وَاللاَّئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاَثَةُ أَشْهُرٍ وَاللاَّتِي لَمْ يَحِضْنَ) {الطلاق: 4) يَعْنِي الصِّغَارَ، وَالصَّغِيرَةُ تَجِبُ الْعِدَّةُ عَلَيْهَا مِنْ طَلَاقِ الزَّوْجِ، فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ الْعَقْدِ عَلَيْهَا فِي الصِّغَرِ.
Dan dalil atas hal itu, meskipun berupa kesesuaian, adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan di antara kalian yang telah putus haidnya, jika kalian ragu, maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan demikian pula perempuan-perempuan yang belum haid} (QS. ath-Thalaq: 4), maksudnya adalah anak-anak kecil. Maka anak perempuan kecil wajib menjalani iddah karena talak dari suaminya, sehingga hal ini menunjukkan bolehnya akad (nikah) atas dirinya ketika masih kecil.
وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَأَنَا ابْنَةُ سَبْعٍ، وَدَخَلَ بِي وَأَنَا ابْنَةُ تسع، ومات عني، وأنا ابنة ثماني عشر.
Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ menikahiku saat aku berumur tujuh tahun, dan beliau menggauliku saat aku berumur sembilan tahun, dan beliau wafat saat aku berumur delapan belas tahun.
فصل
Fasal
وأما البكر الكبيرة فللأب أو للجد عِنْدَ فَقْدِ الْأَبِ أَنْ يُزَوِّجَهَا جَبْرًا كَالصَّغِيرَةِ، وَإِنَّمَا يَسْتَأْذِنُهَا عَلَى اسْتِطَابَةِ النَّفْسِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا فِي جَوَازِ الْعَقْدِ. وَبِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ.
Adapun perawan yang sudah dewasa, maka ayah atau kakeknya—jika ayahnya tidak ada—boleh menikahkannya secara paksa seperti halnya anak kecil. Hanya saja, ia diminta izinnya sekadar untuk menyenangkan hatinya, tanpa menjadi syarat sahnya akad. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Laila, Ahmad, dan Ishaq.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ لِلْأَبِ إِجْبَارُ الْبِكْرِ الْبَالِغِ على العقد إِلَّا عَنْ إِذْنٍ.
Abu Hanifah berkata: Ayah tidak berhak memaksa perawan yang sudah baligh untuk menikah kecuali dengan izinnya.
وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ، فجعل الإجبار معتبراً بالصغيرة دون البكارة، وجعل الشافعي الإجبار معتبراً بالبكارة دون الصغر، واستدل من نص قَوْلَ أبي حنيفة بِرِوَايَةِ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ أن رجلاً زوج ابنته وهي بكر فمات فَفَرَّقَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَهُمَا، وَبِرِوَايَةِ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” اسْتَأْمِرُوا النِّسَاءَ فِي أَبْضَاعِهِنَّ ” فَكَانَ عَلَى عمومه، ولأنها متصرفة في مالها فلا يجوز إِجْبَارُهَا عَلَى النِّكَاحِ كَالثَّيِّبِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ زال عنه الحجر فِي مَالِهِ زَالَ عَنْهُ الْحَجْرُ فِي نِكَاحِهِ كالرجل.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh al-Auza‘i dan ats-Tsauri, sehingga mereka menjadikan pemaksaan (ijbar) berlaku pada anak kecil, bukan pada status perawan. Sedangkan asy-Syafi‘i menjadikan ijbar berlaku pada status perawan, bukan pada usia kecil. Dalil dari nash pendapat Abu Hanifah adalah riwayat ‘Atha’ dari Jabir bahwa seorang laki-laki menikahkan putrinya yang masih perawan, lalu ia meninggal dunia, maka Rasulullah ﷺ memisahkan keduanya. Juga riwayat dari ‘Aisyah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Mintalah pendapat perempuan dalam urusan kemaluan mereka.” Maka hadits ini berlaku umum. Karena ia dapat mengelola hartanya sendiri, maka tidak boleh dipaksa menikah seperti janda. Dan setiap orang yang telah hilang status perwaliannya dalam urusan harta, maka hilang pula status perwaliannya dalam urusan nikahnya, seperti laki-laki.
ودليلنا رواية الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ نَافِعِ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا، وَإِذْنُهَا صِمَاتُهَا ” فَلَمَّا جَعَلَ الثيب أحق بنفسها من وليها علم أَنَّ وَلِيَّ الْبِكْرِ أَحَقُّ بِهَا مِنْ نَفْسِهَا ويكون قوله: ” والبكر تستأذن في نفسه ” مَحْمُولًا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ دُونَ الْوُجُوبِ اسْتِطَابَةً لِلنَّفْسِ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مَحْمُولًا عَلَى الْوُجُوبِ لَصَارَتْ أَحَقَّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا كَالثَّيِّبِ.
Dalil kami adalah riwayat asy-Syafi‘i dari Malik dari Abdullah bin al-Fadhl dari Nafi‘ bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan perawan dimintai izinnya atas dirinya, dan izinnya adalah diamnya.” Maka ketika janda dijadikan lebih berhak atas dirinya daripada walinya, diketahui bahwa wali perawan lebih berhak atas dirinya daripada dirinya sendiri. Dan sabda beliau: “Dan perawan dimintai izinnya atas dirinya” ditafsirkan sebagai anjuran, bukan kewajiban, sekadar untuk menyenangkan hatinya. Karena jika itu diwajibkan, maka ia akan lebih berhak atas dirinya daripada walinya seperti janda.
وَمِنَ الْقِيَاسِ: أَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ لَهُ قبض صداقها بعد رضاعها جَازَ لَهُ عَقْدُ نِكَاحِهَا بِغَيْرِ رِضَاهَا كَالْأَمَةِ وَكَالْبِكْرِ الصَّغِيرَةِ؛ وَلِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّ بِالْوِلَايَةِ فِي نِكَاحِ الصَّغِيرَةِ اسْتُحِقَّ بِالْوِلَايَةِ فِي نِكَاحِ الْكَبِيرَةِ قِيَاسًا عَلَى طَلَبِ الْكَفَاءَةِ، وَلِمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ أَنَّهُ: لَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَزْوِيجُهَا جَبْرًا فِي الْكِبَرِ لَمَا كَانَ لَهُ تَفْوِيتُ بُضْعِهَا فِي الصِّغَرِ كَالطِّفْلِ يُقْتَلُ أَبُوهُ لَمَّا لم يكن لولي تفويت خياره عليه في القود والدية بعد البلوغ لم يكن له تفويته عَلَيْهِ قَبْلَ الْبُلُوغِ، وَكَانَ الْقَاتِلُ مَحْبُوسًا حَتَّى يَبْلُغَ فَيَخْتَارُ أَحَدَ الْأَمْرَيْنِ.
Dan dari qiyās: setiap orang yang boleh menerima maharnya setelah ia disapih, maka boleh pula menikahkannya tanpa persetujuannya, seperti budak perempuan dan perawan kecil. Dan apa yang diperoleh melalui kewalian dalam pernikahan anak kecil, juga diperoleh melalui kewalian dalam pernikahan perempuan dewasa, dengan qiyās atas pencarian kafa’ah. Dan sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syafi‘i, bahwa: jika tidak boleh menikahkannya secara paksa saat dewasa, maka tidak boleh pula menghilangkan haknya saat kecil, seperti anak kecil yang ayahnya dibunuh; ketika wali tidak boleh menghilangkan hak pilihnya dalam qishash dan diyat setelah baligh, maka tidak boleh pula menghilangkannya sebelum baligh, dan si pembunuh ditahan hingga ia baligh lalu memilih salah satu dari dua perkara.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا يَبْطُلُ بِالصَّبِيِّ فَإِنَّ لِلْأَبِ أَنْ يُجْبِرَهُ عَلَى النِّكَاحِ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَلَيْسَ لَهُ إِجْبَارُهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ.
Jika dikatakan: Hal ini batal dengan kasus anak laki-laki, karena ayah boleh memaksanya menikah sebelum baligh, namun tidak boleh memaksanya setelah baligh.
قُلْنَا: لَيْسَ فِي تَزْوِيجِ الِابْنِ تَفْوِيتٌ لِمَا يَقْدِرُ عَلَى اسْتِدْرَاكِهِ؛ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى الطَّلَاقِ إِنْ شَاءَ، وَلَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ غَيْرَهَا مِنَ النِّسَاءِ، وَالثَّيِّبُ لَا تَقْدِرُ عَلَى خَلَاصِ نفسها من عقد الأب إن لم يشاء. وَأَمَّا خَبَرُ عَائِشَةَ فَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى الثَّيِّبِ دُونَ الْبِكْرِ تَخْصِيصًا بِمَا ذَكَرْنَاهُ.
Kami katakan: Dalam pernikahan anak laki-laki tidak ada penghilangan hak atas sesuatu yang bisa ia perbaiki; karena ia bisa menceraikan istrinya jika mau, dan ia bisa menikahi perempuan lain. Sedangkan janda tidak mampu membebaskan dirinya dari akad ayahnya jika ayahnya tidak menghendakinya. Adapun hadits ‘Aisyah, maka itu ditafsirkan khusus untuk janda, bukan perawan, sebagaimana telah kami sebutkan.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الثَّيِّبِ فَالْمَعْنَى فِيهَا؛ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ لِلْأَبِ قَبْضُ صَدَاقِهَا إِلَّا بِإِذْنِهَا لَمْ يَجُزْ لَهُ عَقْدُ نِكَاحِهَا إِلَّا بِإِذْنِهَا، وَلَمَّا جَازَ لِلْأَبِ قَبْضُ صَدَاقِ الْبِكْرِ بِغَيْرِ رِضَاهَا عِنْدَ أبي حنيفة وَهُوَ أَحَدُ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ جاز له أن يعقد نكاحا بغير رضاها، لأن التصرف في المبدل معتبر بالتصرف فِي الْبَدَلِ.
Adapun qiyās mereka terhadap perempuan yang sudah pernah menikah, maksudnya adalah: ketika ayah tidak boleh mengambil mahar perempuan tersebut kecuali dengan izinnya, maka ayah juga tidak boleh menikahkan dia kecuali dengan izinnya. Dan ketika ayah boleh mengambil mahar perempuan perawan tanpa kerelaannya menurut pendapat Abu Hanifah—dan ini adalah salah satu dari dua pendapat asy-Syāfi‘ī—maka ayah boleh menikahkan dia tanpa kerelaannya, karena tindakan terhadap pengganti (mahar) dipertimbangkan sama dengan tindakan terhadap yang digantikan (perempuan).
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرَّجُلِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلْأَبِ أَنْ يَعْتَرِضَ عَلَيْهِ فِي نِكَاحِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُجْبِرَهُ عَلَيْهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْبِكْرُ.
Adapun qiyās mereka terhadap laki-laki, maksudnya adalah: ketika ayah tidak berhak menghalangi laki-laki dalam pernikahannya, maka ayah juga tidak berhak memaksanya untuk menikah, dan hal ini tidak berlaku pada perempuan perawan.
فَصْلٌ
Fasal
فإذا ثَبَتَ أَنَّ لِلْأَبِ إِجْبَارَ الْبِكْرِ عَلَى النِّكَاحِ صغيرة أو كبيرة، وكذلك الْجَدُّ وَإِنْ عَلَا وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ لَيْسَ الْإِجْبَارُ إِلَّا لِلْأَبِ دُونَ الْجَدِّ.
Jika telah tetap bahwa ayah berhak memaksa perempuan perawan untuk menikah, baik masih kecil maupun sudah dewasa, demikian pula kakek, meskipun lebih tinggi (garis keturunannya). Ibn Abī Laylā dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa hak pemaksaan hanya dimiliki oleh ayah, tidak oleh kakek.
وَقَالَ مَالِكٌ: لِلْجَدِّ إِجْبَارُ الصَّغِيرَةِ كَالْأَبِ وَلَيْسَ لَهُ إِجْبَارُ الْكَبِيرَةِ بِخِلَافِ الْأَبِ وَفَرَّقَا بَيْنَ الْأَبِ وَالْجَدِّ، بِأَنَّ الْجَدَّ يَمْلِكُ الْوِلَايَةَ بِوَسِيطٍ كَالْإِخْوَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {مِلَة أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ) {الحج: 78) فَسَمَّاهُ أَبًا إجراءً لحكم الْأَبِ عَلَيْهِ، وَإِنْ خَالَفَهُ فِي الِاسْمِ، وَلِأَنَّهُ لما ثبت ولاية الجد على الأب فأولى أن يثبت عَلَى مَنْ يَلِي عَلَيْهِ الْأَبُ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا سَاوَى الْجَدُّ الْأَبَ فِي الْوِلَايَةِ عَلَى مَالِهَا سَاوَاهُ فِي الْوِلَايَةِ عَلَى نِكَاحِهَا وَبِهَذَا فَرَّقَ بينه وبين سائر الْعَصَبَاتِ.
Mālik berkata: Kakek berhak memaksa anak perempuan yang masih kecil sebagaimana ayah, tetapi tidak berhak memaksa yang sudah dewasa, berbeda dengan ayah. Ia membedakan antara ayah dan kakek, karena kakek memiliki wilayah (wilāyah) melalui perantara seperti saudara-saudara, dan ini adalah kekeliruan berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {agama bapakmu Ibrahim} (al-Hajj: 78), maka Allah menyebutnya sebagai ayah, sehingga hukum ayah berlaku padanya, meskipun berbeda dalam penamaan. Dan karena ketika telah tetap wilayah kakek atas ayah, maka lebih utama lagi wilayah itu tetap atas orang yang di bawah ayah. Dan karena ketika kakek disamakan dengan ayah dalam wilayah atas hartanya, maka ia juga disamakan dalam wilayah atas pernikahannya. Dengan ini, kakek dibedakan dari para ‘ashabah lainnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا حَالُ الْبِكْرِ مَعَ غَيْرِ الْأَبِ وَالْجَدِّ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ كَالْإِخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ فَلَا تَخْلُو حَالُهَا مَعَهُمْ مِنْ أَنْ تَكُونَ صَغِيرَةً أَوْ كَبِيرَةً، فَإِنْ كَانَتْ كَبِيرَةً لَمْ يَكُنْ لَهُمْ إِجْبَارُهَا إِجْمَاعًا، وَلَيْسَ لَهُمْ تَزْوِيجُهَا إِلَّا بِإِذْنِهَا.
Adapun keadaan perempuan perawan dengan wali selain ayah dan kakek, seperti saudara dan paman, maka keadaannya bersama mereka tidak lepas dari dua kemungkinan: masih kecil atau sudah dewasa. Jika sudah dewasa, maka mereka tidak berhak memaksanya menurut ijmā‘, dan mereka tidak boleh menikahkannya kecuali dengan izinnya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْآبَاءِ، وَالْعَصَبَاتِ؛ أَنَّ فِي الْآبَاءِ بَعْضِيَّةً لَيْسَتْ فِي الْعَصَبَاتِ فَقَوِيَتْ بِهَا وِلَايَتُهُمْ حَتَّى تَجَاوَزَتْ وِلَايَةَ النِّكَاحِ إِلَى وِلَايَةِ المال فصاروا بذلك أعجز، ولأنه مِنَ الْعَصَبَاتِ، وَإِنْ كَانَتِ الْبِكْرُ صَغِيرَةً فَلَيْسَ لِأَحَدٍ مِنَ الْعَصَبَاتِ تَزْوِيجُهَا بِحَالٍ.
Perbedaan antara para ayah dan para ‘ashabah adalah bahwa pada ayah terdapat unsur kebapakan yang tidak ada pada ‘ashabah, sehingga wilayah mereka menjadi lebih kuat hingga melampaui wilayah pernikahan kepada wilayah harta, sehingga mereka (para ‘ashabah) menjadi lebih lemah. Dan karena mereka termasuk ‘ashabah. Jika perempuan perawan masih kecil, maka tidak ada seorang pun dari ‘ashabah yang boleh menikahkannya dalam keadaan apa pun.
وَقَالَ أبو حنيفة: لِجَمِيعِ الْعَصَبَاتِ تَزْوِيجُهَا صَغِيرَةً كَالْأَبِ وَلَهَا الْخِيَارُ إِذَا بَلَغَتْ بِخِلَافِهَا مَعَ الْأَبِ.
Abu Hanifah berkata: Seluruh ‘ashabah boleh menikahkan perempuan perawan yang masih kecil sebagaimana ayah, dan ia berhak memilih (melanjutkan atau membatalkan) ketika telah dewasa, berbeda dengan (pernikahan) oleh ayah.
وَقَالَ أبو يوسف: لَهُمْ تَزْوِيجُهَا وَلَا خِيَارَ لَهَا كَهِيَ مَعَ الْأَبِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ) {النساء: 127) .
Abu Yusuf berkata: Mereka boleh menikahkannya dan tidak ada hak memilih baginya, sebagaimana jika bersama ayah, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: {Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para perempuan} hingga firman-Nya: {dan kamu ingin menikahi mereka} (an-Nisā’: 127).
قَالَ: وَالْيَتِيمَةُ مَنْ لَا أَبَ لَهَا مِنَ الصِّغَارِ وَالَّذِي كُتِبَ لَهَا صَدَاقُهَا فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ نِكَاحِ غَيْرِ الْأَبِ لَهَا، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ لَهُ تَزْوِيجُهَا فِي الْكِبَرِ جَازَ لَهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِتَزْوِيجِهَا فِي الصِّغَرِ كَالْأَبِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى الْآبَاءُ وَالْعَصَبَاتُ فِي إِنْكَاحِ الثَّيِّبِ وَجَبَ أَنْ يَسْتَوُوا فِي إِنْكَاحِ الْبِكْرِ وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ قُدَامَةَ بْنِ مَظْعُونٍ أَنَّهُ زَوَّجَ ابنة أخيه بعبد الله بن عمر فَرَدَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نِكَاحَهُ فَقَالَ إِنَّنِي عَمُّهَا وَوَصِيُّ أَبِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إنها يتيمة وإنها لا تتزوج إِلَّا بِإِذْنِهَا ” فَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ تَزْوِيجَهَا إِلَّا بَعْدَ الْبُلُوغِ.
Ia berkata: Anak yatim adalah anak kecil yang tidak memiliki ayah, dan yang telah dituliskan maharnya, maka ini menunjukkan bolehnya pernikahan oleh selain ayah baginya. Dan karena siapa saja yang boleh menikahkannya ketika dewasa, maka boleh pula menikahkannya ketika kecil secara mandiri seperti ayah. Dan karena ketika para ayah dan ‘ashabah setara dalam menikahkan perempuan yang sudah pernah menikah, maka harus pula mereka setara dalam menikahkan perempuan perawan. Dalil kami adalah hadis Qudāmah bin Maz‘ūn bahwa ia menikahkan putri saudaranya dengan ‘Abdullāh bin ‘Umar, lalu Rasulullah ﷺ menolak pernikahannya. Ia berkata: “Aku adalah pamannya dan wasiat ayahnya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Dia adalah anak yatim, dan dia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya.” Maka beliau tidak membolehkannya menikahkan kecuali setelah baligh.
وَمِنَ الْقِيَاسِ: أَنَّ كُلَّ مَنْ لم يَمْلِكْ قَبْضَ صَدَاقِهَا لَمْ يَمْلِكْ عَقْدَ نِكَاحِهَا كالعم مع الثيب طرداً، أو كالسيد مع أمته عكساً، ولأنها ثبتت لِلْأَبِ فِي الصَّغِيرَةِ مِنْ غَيْرِ تَوْلِيَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يُخْتَصَّ بِهَا مِنْ بَيْنِ الْعَصَبَاتِ كَوِلَايَةِ المال، ولأن النكاح إذا لم ينعقد لأن ما كَانَ فَاسِدًا كَالْمَنْكُوحَةِ فِي الْعِدَّةِ وَلِأَنَّ النِّكَاحَ لَا يَنْعَقِدُ بِخِيَارِ التَّحَكُّمِ وَالِاقْتِرَاعِ قِيَاسًا عَلَى خِيَارِ الثَّيِّبِ.
Dan di antara bentuk qiyās: bahwa setiap orang yang tidak memiliki hak untuk menerima mahar istrinya, maka ia juga tidak berhak melakukan akad nikah atasnya, seperti paman dengan perempuan janda secara langsung, atau seperti tuan dengan budaknya secara kebalikan. Dan karena hak ini ditetapkan bagi ayah pada anak perempuan yang masih kecil tanpa adanya pelimpahan, maka wajib dihususkan baginya di antara para ‘ashabah, sebagaimana wilayah atas harta. Dan karena pernikahan tidak sah jika terjadi pada sesuatu yang rusak, seperti perempuan yang dinikahi saat masa ‘iddah. Dan juga karena pernikahan tidak sah dengan adanya hak memilih (khiyār) secara mutlak atau dengan undian, berdasarkan qiyās atas khiyār pada perempuan janda.
فَأَمَّا الْآيَةُ فَتُحْمَلُ عَلَى إِنْكَاحِهَا قبل اليتم أو على إنكاح الجد، لِأَنَّ الْيُتْمَ يَكُونُ بِمَوْتِ الْأَبِ، وَإِنْ كَانَ الْجَدُّ بَاقِيًا وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْأَبِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي الْوِلَايَةِ مَا قَدَّمْنَاهُ فِي الْإِجْبَارِ، وَأَمَّا جَمْعُهُمْ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ فَمَرْدُودٌ بِافْتِرَاقِهِمَا فِي قَبْضِ الصَّدَاقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun ayat tersebut dapat dipahami sebagai pernikahan yang dilakukan sebelum anak yatim, atau pernikahan yang dilakukan oleh kakek, karena status yatim terjadi dengan wafatnya ayah, meskipun kakek masih ada. Adapun qiyās mereka terhadap ayah, maka perbedaannya dalam wilayah telah kami jelaskan sebelumnya pada pembahasan ijbār. Adapun penggabungan mereka antara perempuan perawan dan janda, maka tertolak karena perbedaan keduanya dalam hal menerima mahar. Dan Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” ومثل هذا حديث خنساء زَوَّجَهَا أَبُوهَا وَهِيَ ثيبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَرَدَّ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نِكَاحَهُ وَفِي تَرْكِهِ أَنْ يَقُولَ لِخَنْسَاءَ ” إِلَّا أَنْ تَشَائِي أَنْ تُجِيزِي مَا فَعَلَ أَبُوكِ ” دلالةٌ عَلَى أَنَّهَا لَوْ أَجَازَتْهُ مَا جَازَ والبكر مخالفةٌ لها لاختلافهما في لفظ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ولو كانا سواء كان لفظ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنهما أحق بأنفسهما. وقالت عائشة رضي الله عنها تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وأذا، ابنة سبع سنين ودخل بي وأنا ابنة تسع وهي لا أمر لها وكذلك إذا بلغت ولو كانت أحق بنفسها أشبه أن لا يجوز ذلك عليها قبل بلوغها كما قلنا في المولود يقتل أبوه ويحبس قاتله حتى يبلغ فيقتل أو يعفو “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan seperti ini adalah hadis tentang Khansa’, yang dinikahkan oleh ayahnya padahal ia sudah janda, lalu ia tidak menyukainya, maka Rasulullah ﷺ membatalkan pernikahannya. Dan dengan tidak dikatakannya oleh Nabi kepada Khansa’, ‘kecuali jika engkau menghendaki untuk membolehkan apa yang dilakukan ayahmu’, menunjukkan bahwa jika ia membolehkannya pun, tidak sah. Adapun perempuan perawan berbeda dengannya karena perbedaan lafaz Nabi ﷺ. Jika keduanya sama, tentu lafaz Nabi ﷺ adalah bahwa keduanya lebih berhak atas diri mereka sendiri. Aisyah ra berkata: ‘Rasulullah ﷺ menikahiku saat aku berumur tujuh tahun dan beliau menggauliku saat aku berumur sembilan tahun, dan aku tidak memiliki hak dalam urusan itu.’ Demikian pula jika ia telah baligh. Jika ia lebih berhak atas dirinya sendiri, maka seharusnya tidak sah pernikahan atasnya sebelum ia baligh, sebagaimana yang kami katakan pada anak yang ayahnya dibunuh, maka pembunuhnya ditahan hingga anak itu baligh, lalu ia boleh membunuh atau memaafkan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: النِّكَاحُ الْمَوْقُوفُ لَا يَصْحُ وَلَا يَقَعُ إِلَّا عَلَى إِحْدَى حَالَتَيْنِ مِنْ صِحَّةٍ أَوْ فَسَادٍ، سَوَاءً كَانَ موقوفاً على إجازة الزوجة، أو الزوج أَوِ الْوَلِيِّ، وَكَذَلِكَ الْبَيْعُ لَا يَصِحُّ أَنْ يُعْقَدَ مَوْقُوفًا عَلَى إِجَازَةِ الْبَائِعِ أَوِ الْمُشْتَرِي.
Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan: pernikahan yang tergantung (mauquf) tidak sah dan tidak terjadi kecuali dalam dua keadaan, yaitu sah atau batal, baik tergantung pada persetujuan istri, suami, atau wali. Demikian pula jual beli, tidak sah jika diakadkan secara tergantung pada persetujuan penjual atau pembeli.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَصِحُّ النِّكَاحُ الْمَوْقُوفُ عَلَى إجازة الزوجة، أو الزوج، أو الولي، وَيَصِحُّ الْبَيْعُ الْمَوْقُوفُ عَلَى إِجَازَةِ الْبَائِعِ دُونَ الْمُشْتَرِي، وَاسْتَدَلَّ بِمَا رُوِيَ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّ أَبِي وَنِعْمَ الْأَبُ هُوَ زَوَّجَنِي بِابْنِ أَخٍ لَهُ أَرَادَ أَنْ يَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ فَخَيَّرَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ: قَدِ اخْتَرْتُ مَا فَعَلَ أَبِي وَإِنَّمَا أردت لتعلم النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ إِلَى الْآبَاءِ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ، فَلَمَّا خَيَّرَهَا وَالْخِيَارُ لَا يَثْبُتُ فِي اللَّازِمِ وَلَا فِي الْفَاسِدِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ كان موقوفاً على خيارها وإجازتها قال: لأنه لَمَّا جَازَ أَنْ تَكُونَ الْوَصِيَّةُ بِمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ مَوْقُوفَةً عَلَى إِجَازَةِ الْوَارِثِ، وَاللُّقَطَةُ إِذَا تَصَدَّقَ بِهَا الْوَاحِدُ مَوْقُوفَةً عَلَى إِجَازَةِ الْمَالِكِ لِكَوْنِ الْمُجِيزِ لَهُمَا مَوْجُودًا جَازَ أَنْ يَكُونَ النِّكَاحُ مَوْقُوفًا عَلَى إِجَازَةِ مَنْ يَكُونُ فِي حَالِ الْوَقْفِ مَوْجُودًا.
Abu Hanifah berkata: Sah pernikahan yang tergantung pada persetujuan istri, suami, atau wali, dan sah pula jual beli yang tergantung pada persetujuan penjual, tidak pada pembeli. Ia berdalil dengan riwayat bahwa ada seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku—dan ia adalah ayah yang baik—menikahkanku dengan anak saudaranya, ia ingin mengangkat derajatnya melalui diriku.” Maka Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepadanya. Wanita itu berkata: “Aku memilih apa yang dilakukan ayahku, hanya saja aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa tidak ada urusan bagi para ayah dalam hal ini.” Maka ketika Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepadanya, padahal pilihan (khiyār) tidak berlaku dalam akad yang lazim maupun yang batal, hal itu menunjukkan bahwa akad tersebut tergantung pada pilihannya dan persetujuannya. Ia berkata: Karena ketika wasiat atas lebih dari sepertiga harta boleh tergantung pada persetujuan ahli waris, dan barang temuan (luqathah) jika disedekahkan oleh seseorang tergantung pada persetujuan pemilik, maka selama pihak yang berhak memberi persetujuan itu ada, boleh saja pernikahan tergantung pada persetujuan orang yang pada saat akad tergantung itu masih ada.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّ كُلَّ مَا كَانَ مُجِيزُهُ مَوْجُودًا جَازَ أَنْ يَكُونَ عَلَى إِجَازَتِهِ مَوْقُوفًا كَاللُّقَطَةِ، وَالْوَصِيَّةِ.
Dan penjelasannya secara qiyās: bahwa setiap perkara yang pihak pemberi persetujuannya masih ada, maka boleh akad itu tergantung pada persetujuannya, seperti pada barang temuan (luqathah) dan wasiat.
قَالَ: وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى الْفَسْخِ جَازَ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى الْإِجَازَةِ.
Ia berkata: Dan karena jika boleh akad tergantung pada pembatalan, maka boleh pula tergantung pada persetujuan.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ الِاخْتِيَارِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ الْعَقْدُ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ كَالْفَسْخِ قَالَ: وَلِأَنَّ حَالَ الْعَقْدِ بَعْدَ كَمَالِهِ أَقْوَى مِنْ حَالِهِ قَبْلَ كَمَالِهِ فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَكُونَ قبل كماله موقوفاً بعد البذل عَلَى إِجَازَةِ الْقَبُولِ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ بَعْدَ كَمَالِهِ مَوْقُوفًا عَلَى الْإِجَازَةِ. وَتَحْرِيرُهُ: أَنَّهُ أَحَدُ حالتي الْعَقْدِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى الْإِجَازَةِ كَالْحَالِ الْأُولَى.
Penjelasannya secara qiyās: bahwa ini adalah salah satu dari dua jenis pilihan, sehingga boleh saja akad itu digantungkan padanya, seperti halnya pembatalan (fasakh). Ia berkata: Dan karena keadaan akad setelah sempurna lebih kuat daripada keadaannya sebelum sempurna. Maka ketika boleh akad sebelum sempurna digantungkan setelah adanya penawaran pada persetujuan penerimaan, maka lebih utama lagi jika setelah sempurna digantungkan pada persetujuan. Penjelasannya: bahwa ini adalah salah satu dari dua keadaan akad, sehingga boleh saja digantungkan pada persetujuan, sebagaimana keadaan yang pertama.
وَدَلِيلُنَا: حَدِيثُ عَائِشَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا باطل فَلَوْ صَحَّ بِالْإِجَازَةِ لَوَقَفَهُ عَلَى إِجَازَةِ الْوَلِيِّ، ولما حكم بإبطاله؛ حدث خَنْسَاءَ بِنْتِ خِدَامٍ أَنْ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ فَرَدَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نكاحها ولم يقل إلا أن تشاء أَنْ تُجِيزِي مَا فَعَلَ أَبُوكِ مَعَ حَثِّهِ عَلَى طَاعَةِ الْآبَاءِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا لَوْ أجازته لَمْ يَجُزْ؛ وَلِأَنَّ عَقْدَ الْمَنْكُوحَةِ إِذَا لَمْ تَصِرِ الْمَرْأَةُ بِهِ فِرَاشًا كَانَ فَاسِدًا كَالْمَنْكُوحَةِ في ردة أو عدة.
Dalil kami: Hadis ‘Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Siapa saja perempuan yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal.” Maka jika sah dengan persetujuan, tentu akan digantungkan pada persetujuan wali, dan tidak akan langsung dihukumi batal. Diriwayatkan dari Khansa’ binti Khidam bahwa ayahnya menikahkannya padahal ia sudah janda, lalu ia tidak suka, maka Rasulullah ﷺ membatalkan nikahnya dan tidak berkata, “kecuali jika engkau ingin menyetujui apa yang dilakukan ayahmu,” padahal beliau menganjurkan untuk taat kepada orang tua. Maka ini menunjukkan bahwa jika ia menyetujuinya pun, tidak menjadi sah. Dan karena akad nikah seorang perempuan, jika tidak menjadikannya sebagai istri (tempat tidur) maka akad itu rusak, seperti perempuan yang dinikahi dalam keadaan murtad atau dalam masa iddah.
وقال أبو حنيفة: إِنَّهَا لَوْ جَاءَتْ فِي النِّكَاحِ الْمَوْقُوفِ بِوَلَدٍ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ لَمِ يَلْحَقْ بِهِ؛ وَلِأَنَّ مَا انْتَفَتْ عَنْهُ أَحْكَامُ النِّكَاحِ مِنَ الطلاق، والظهار، وَالتَّوَارُثِ لَمْ يَكُنْ نِكَاحًا كَالْمُتْعَةِ.
Abu Hanifah berkata: Jika dalam pernikahan yang digantungkan (mauquf) itu perempuan melahirkan anak setelah enam bulan, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya. Dan karena sesuatu yang tidak berlaku padanya hukum-hukum nikah seperti talak, zihar, dan waris-mewarisi, maka itu bukanlah pernikahan, seperti nikah mut‘ah.
وَقَدْ قَالَ أبو حنيفة: إِنَّهُ لَا يَلْحَقُهَا فِي زَمَانِ الْوَقْفِ طَلَاقٌ، وَلَا ظِهَارٌ، وَلَا تَوَارُثٌ؛ وَلِأَنَّ ما افتقر إليه عقد النكاح كان تأخره عن العقد مبطلاً للنكاح كالشهادة؛ ولأن اشترط لُزُومِ النِّكَاحِ إِلَى مُدَّةٍ أَقْوَى مِنِ اشْتِرَاطِ لُزُومِهِ بَعْدَ مُدَّةٍ؛ لِأَنَّ مِنَ الْعُقُودِ مَا يَنْعَقِدُ إِلَى مُدَّةٍ كَالْإِجَارَةِ، وَلَيْسَ مِنْهَا مَا يَنْعَقِدُ بَعْدَ مُدَّةٍ، فَلَمَّا بَطَلَ بِاشْتِرَاطِ لُزُومِهِ بعد مد كقوله: تزوجتها شَهْرًا كَانَ أَوْلَى أَنْ يَبْطُلَ بِاشْتِرَاطِ لُزُومِهِ كقوله تزوجتها عَلَى إِجَازَتِهَا؛ لِأَنَّهُ إِذَا بَطَلَ بِمَا لَهُ فِي الصِّحَّةِ نَظِيرٌ فَأَوْلَى أَنْ يَبْطُلَ بِمَا ليس له في الصحة نظير؛ لأن النِّكَاحَ إِذَا اعْتُبِرَ لُزُومُهُ بِشَرْطٍ مُتَيَقَّنٍ بَعْدَ الْعَقْدِ كَانَ أَقْوَى وَأَوْكَدَ مِنِ اعْتِبَارِ لُزُومِهِ بشرط مجوز بَعْدَ الْعَقْدِ، وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ قَالَ: قد تَزَوَّجْتُكِ الْآنَ إِذَا أَهَلَّ شَهْرُ رَمَضَانَ كَانَ الْعَقْدُ فَاسِدًا فَأَوْلَى إِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى مُدَّةِ إجازتها أن يكون فاسداً إلا أن إِذَا بَطَلَ فِي أَقْوَى الْحَالَيْنِ كَانَ بُطْلَانُهُ فِي أَضْعَفِهِمَا أَوْلَى.
Dan Abu Hanifah berkata: Tidak berlaku padanya talak, zihar, dan waris-mewarisi selama masa penangguhan (waqf). Dan karena sesuatu yang menjadi syarat sahnya akad nikah, jika tertunda dari akad maka membatalkan nikah, seperti persaksian. Dan karena mensyaratkan keharusan nikah sampai waktu tertentu lebih kuat daripada mensyaratkan keharusan nikah setelah waktu tertentu; karena ada akad-akad yang sah sampai waktu tertentu seperti ijarah (sewa-menyewa), namun tidak ada akad yang sah setelah waktu tertentu. Maka ketika batal dengan mensyaratkan keharusan setelah waktu tertentu, seperti ucapan: “Aku menikahimu selama sebulan,” maka lebih utama batal pula dengan mensyaratkan keharusan seperti ucapan: “Aku menikahimu atas persetujuanmu.” Karena jika batal dengan sesuatu yang ada padanya padanan dalam keabsahan, maka lebih utama batal dengan sesuatu yang tidak ada padanannya dalam keabsahan. Karena jika nikah dipertimbangkan keharusannya dengan syarat yang pasti setelah akad, itu lebih kuat dan lebih kokoh daripada mempertimbangkan keharusannya dengan syarat yang mungkin setelah akad. Dan telah tetap bahwa jika ia berkata: “Aku menikahimu sekarang jika bulan Ramadan telah tiba,” maka akadnya rusak, maka lebih utama lagi jika menikahinya dengan syarat menunggu persetujuannya, akad itu menjadi rusak, kecuali jika batal pada keadaan yang lebih kuat, maka batal pula pada keadaan yang lebih lemah.
فَأَمَّا الْخَبَرُ الَّذِي اسْتَدَلُّوا به فضعيف، والمشهور من الرواية أنه رد نِكَاحَهَا وَلَمْ يُخَيِّرْهَا، وَلَوْ سَلَّمَنَا أَنَّهُ خَيَّرَهَا لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى وَقْتِ الْفَسْخِ لَا وَقْتَ الْإِمْضَاءِ؛ لِأَنَّ أَبَاهَا قَدْ كَانَ زَوَّجَهَا بِغَيْرِ كُفْءٍ.
Adapun hadis yang mereka jadikan dalil itu lemah, dan riwayat yang masyhur adalah bahwa Nabi menolak nikahnya dan tidak memberikan pilihan kepadanya. Dan seandainya kami terima bahwa beliau memberinya pilihan, maka itu ditafsirkan pada saat pembatalan, bukan pada saat pengesahan; karena ayahnya telah menikahkannya dengan orang yang tidak sekufu’.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِوَقْفِ الْوَصِيَّةِ، وَالتَّصَدُّقِ بِاللُّقَطَةِ، فَالْوَصِيَّةُ يَجُوزُ وَقْفُهَا لِجَوَازِهَا بِالْمَجْهُولِ وَالْمَعْدُومِ وَلَيْسَ كَالنِّكَاحِ وَالْبَيْعِ الْبَاطِلَيْنِ عَلَى الْمَجْهُولِ وَالْمَعْدُومِ، وَأَمَّا التَّصَدُّقُ بِاللُّقَطَةِ فَلَا يَجُوزُ وَقْفُهُ بَلْ إِنْ لَمْ يَتَمَلَّكِ اللُّقَطَةَ كَانَتْ فِي يَدِهِ أَمَانَةً لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهَا، وَإِنْ تَمَلَّكَهَا فتصدق بها كانت عن نفسه وإذا لم يعلم الأجل بَطَلَ الْقِيَاسُ.
Adapun dalil mereka dengan penangguhan wasiat dan sedekah atas barang temuan (luqathah), maka wasiat boleh digantungkan karena boleh dilakukan untuk sesuatu yang belum diketahui atau belum ada, dan ini tidak sama dengan nikah dan jual beli yang batal atas sesuatu yang belum diketahui atau belum ada. Adapun sedekah atas barang temuan, maka tidak boleh digantungkan, bahkan jika belum memilikinya maka barang itu di tangannya hanyalah amanah, tidak boleh disedekahkan, dan jika sudah memilikinya lalu disedekahkan maka itu atas nama dirinya sendiri. Dan jika batas waktunya tidak diketahui, maka batal qiyās-nya.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِجَوَازِ وَقْفِ النِّكَاحِ على الفسخ فكذلك على الإجازة باطل؛ لِأَنَّ الْمَوْقُوفَ عَلَى الْفَسْخِ قَدْ تَعَلَّقَتْ عَلَيْهِ أحكام النكاح فصح الموقوف على الإجازة وقد انْتَفَتْ عَنْهُ أَحْكَامُ النِّكَاحِ فَبَطَلَ.
Adapun dalil mereka dengan bolehnya penangguhan nikah atas pembatalan, maka demikian pula atas persetujuan adalah batil; karena akad yang digantungkan pada pembatalan telah berlaku padanya hukum-hukum nikah sehingga sah, sedangkan yang digantungkan pada persetujuan telah hilang darinya hukum-hukum nikah sehingga batal.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِوَقْفِهِ بَعْدَ الْبَذْلِ وَقَبْلَ الْقَبُولِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّا نَمْنَعُ مِنْ وَقْفِ الْعَقْدِ، وَهُوَ قَبْلَ تَمَامِهِ بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ لَيْسَ بِعَقْدٍ، فَلَمْ يَجُزْ أن يستدل بوقف ما ليس يَلْزَمُ عَلَى وَقْفِ عَقْدٍ يَلْزَمُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun dalil mereka dengan penghentian (waqf) setelah penawaran dan sebelum penerimaan, maka itu tidak benar, karena kami menolak adanya penghentian akad. Sebab, sebelum akad itu sempurna dengan adanya penawaran dan penerimaan, ia belum dianggap sebagai akad. Maka, tidak boleh berdalil dengan penghentian sesuatu yang belum mengikat atas penghentian akad yang mengikat. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” والاستئمار للبكر على استطابة النفس قَالَ اللَّهِ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – {وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ} لَا عَلَى أَنَّ لِأَحَدٍ رَدَّ مَا رَأَى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ولكن لاستطابة أنفسهم وليقتدي بسنته فيهم وقد أمر نعيماً أن يؤامر أم بنته “.
Imam Syafi‘i berkata: “Permintaan persetujuan (isti’mār) kepada perempuan perawan adalah untuk memperoleh kerelaan hatinya. Allah Ta‘ala berfirman kepada Nabi-Nya –shallallāhu ‘alaihi wa sallam–: {Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu} (QS. Ali ‘Imran: 159), bukan karena seseorang berhak menolak apa yang diputuskan Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam–, melainkan agar hati mereka merasa lapang dan agar mereka meneladani sunnah beliau di antara mereka. Nabi juga memerintahkan Nu‘aim untuk meminta persetujuan ibu dari putrinya.”
قال الماوردي: أما الثَّيِّبُ فَاسْتِئْذَانُهَا وَاجِبٌ، لِأَنَّهَا أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وليها وإذنها يكون بالقول الصَّرِيحِ وَأَمَّا الْبِكْرُ فَيَلْزَمُ غَيْرَ الْأَبِ وَالْجَدِّ أن يستأذنها سَوَاءً كَانَتْ صَغِيرَةً أَوْ كَبِيرَةً؛ لِأَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ إِجْبَارُهَا.
Al-Mawardi berkata: Adapun perempuan janda, maka meminta izinnya adalah wajib, karena ia lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan izinnya harus dengan ucapan yang jelas. Adapun perempuan perawan, maka selain ayah dan kakek wajib meminta izinnya, baik ia masih kecil maupun sudah dewasa, karena wali selain ayah dan kakek boleh memaksanya.
وَقَالَ أبو حنيفة، وداود: يلزمه اسْتِئْذَانُهَا اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صِمَاتُهَا “.
Abu Hanifah dan Dawud berkata: Wali wajib meminta izin kepada perempuan perawan, berdalil dengan sabda Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam–: “Perempuan perawan dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah diamnya.”
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ اسْتِئْذَانَ الْأَبِ لَهَا لَا يَجِبُ وَإِنَّمَا يُسْتَحَبُّ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ جَوَازِ إِجْبَارِهَا عَلَى النِّكَاحِ صَغِيرَةً وَكَبِيرَةً؛ وَمَا رَوَاهُ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ ” لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ “، وَالْيَتِيمَةُ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا فَلَمَّا خَصَّ الْيَتِيمَةَ بِالِاسْتِئْمَارِ وَهِيَ الَّتِي لَا أَبَ لَهَا دَلَّ عَلَى أَنَّ ذَاتَ الْأَبِ لَا يَلْزَمُ اسْتِئْمَارَهَا.
Dalil bahwa ayah tidak wajib meminta izin kepada anak perempuannya, melainkan hanya dianjurkan, adalah sebagaimana telah kami sebutkan tentang bolehnya ayah memaksa anak perempuannya menikah, baik masih kecil maupun sudah dewasa. Juga berdasarkan riwayat dari Shalih bin Kaisan, dari Nafi‘, dari Ibnu Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Wali tidak memiliki wewenang terhadap perempuan janda.” Adapun anak yatim, diamnya adalah tanda persetujuannya. Ketika Nabi mengkhususkan anak yatim dengan permintaan persetujuan, yaitu yang tidak memiliki ayah, maka hal itu menunjukkan bahwa bagi yang masih memiliki ayah tidak wajib dimintai persetujuannya.
فَأَمَّا قَوْلُهُ: ” والبكر تُسْتَأْمَرُ فِي نَفْسِهَا ” فَيُحْمَلُ مَعَ غَيْرِ الْأَبِ عَلَى الْإِيجَابِ وَمَعَ الْأَبِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى نَبِيَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِمُشَاوَرَةِ أُمَّتِهِ فَقَالَ تَعَالَى: {وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ) {آل عمران: 159) لَا عَلَى أَنَّ لِأَحَدٍ رَدَّ مَا رَأَى رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
Adapun sabda Nabi: “Perempuan perawan dimintai persetujuan atas dirinya,” maka itu berlaku wajib bagi selain ayah, dan berlaku anjuran bagi ayah, sebagaimana Allah Ta‘ala memerintahkan Nabi-Nya –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– untuk bermusyawarah dengan umatnya, sebagaimana firman-Nya: {Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu} (QS. Ali ‘Imran: 159), bukan karena seseorang berhak menolak keputusan Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam–.
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَكِنْ عَلَى اسْتِطَابَةِ أَنْفُسِهِمْ وَلِيَقْتَدُوا بِسُنَّتِهِ فِيهِمْ وَاخْتُلِفَ فِيمَا أُمِرَ بِمُشَاوَرَتِهِمْ فِيهِ فقال قوم: في الحرب ومكائد الْعَدُوِّ خَاصَّةً.
Imam Syafi‘i berkata: Namun, hal itu bertujuan untuk memperoleh kerelaan hati mereka dan agar mereka meneladani sunnah beliau di antara mereka. Terdapat perbedaan pendapat mengenai perkara apa yang diperintahkan untuk dimusyawarahkan. Sebagian ulama berkata: Dalam urusan perang dan tipu daya terhadap musuh saja.
وَقَالَ آخَرُونَ: فِي أُمُورِ الدُّنْيَا دُونَ الدِّينِ.
Sebagian yang lain berkata: Dalam urusan dunia, bukan urusan agama.
وَقَالَ آخَرُونَ: فِي أُمُورِ الدِّينِ تَنْبِيهًا لَهُمْ عَلَى عِلَلِ الْأَحْكَامِ وَطَرِيقِ الِاجْتِهَادِ وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَمَرَ نُعَيْمًا أَنْ يُؤَامِرَ أُمَّ ابْنَتِهِ، وَقَالَ: وأمروا الأمهات فِي بَنَاتِهِنَّ ” وَإِنَّمَا ذَلِكَ عَلَى اسْتِطَابَةِ أَنْفُسِهِنَّ لا على وجوب استئمارهن، وكذلك استئمار الأب للبكر على استطابة النفس لَا عَلَى الْوُجُوبِ.
Sebagian yang lain berkata: Dalam urusan agama, sebagai penjelasan kepada mereka tentang sebab-sebab hukum dan cara berijtihad. Diriwayatkan bahwa Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– memerintahkan Nu‘aim untuk meminta persetujuan ibu dari putrinya, dan beliau bersabda: “Mintalah pendapat para ibu dalam urusan anak-anak perempuan mereka.” Hal itu bertujuan untuk memperoleh kerelaan hati mereka, bukan karena wajib meminta persetujuan mereka. Demikian pula permintaan persetujuan ayah kepada anak perempuan perawan bertujuan untuk memperoleh kerelaan hati, bukan kewajiban.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ اسْتِئْمَارَ الْأَبِ لِابْنَتِهِ الْبِكْرِ اسْتِحْبَابًا فَإِذْنُهَا يَكُونُ بِالصَّمْتِ دُونَ النُّطْقِ بِخِلَافِ الثَّيِّبِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وصمتها إِقْرَارُهَا “.
Jika telah tetap bahwa permintaan persetujuan ayah kepada anak perempuan perawan hukumnya anjuran, maka izinnya cukup dengan diam, tidak harus dengan ucapan, berbeda dengan perempuan janda, berdasarkan sabda Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam–: “Dan diamnya adalah tanda persetujuannya.”
وَرَوَى ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا خُطِبَ إِلَيْهِ إِحْدَى بَنَاتِهِ دَنَا مِنَ الْخُدُورِ وَقَالَ: إِنَّ فُلَانًا خَطَبَ فُلَانَةَ فَإِنْ هِيَ رَضِيَتْ سَكَتَتْ فَكَانَ سُكُوتُهَا رِضَاهَا، وَإِنْ هِيَ أَنْكَرَتْ طَعَنَتْ فِي الْخِدْرِ فَكَانَ ذلك منها إنكاراً فلا يزوجها، ولا البكر أكثر خفراً وَتَحَذُّرًا مِنَ الثَّيِّبِ فَهِيَ تَسْتَحِي مِمَّا لَا تَسْتَحِي مِنْهُ الثَّيِّبُ مِنَ التَّصْرِيحِ بِالرَّغْبَةِ فِي الْأَزْوَاجِ فَجُعِلَ سُكُوتُهَا إِذْنًا وَرِضًا وَلَمْ يُجْعَلْ إِذْنُ الثَّيِّبِ إِلَّا نُطْقًا، فَأَمَّا مَنْ عَدَا الْآبَاءَ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ مَعَ الْبِكْرِ فَعَلَيْهِمُ اسْتِئْمَارُهَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُمْ إِجْبَارُهَا وَإِذْنُهَا مَعَهُمُ الصَّمْتُ كَإِذْنِهَا مَعَ الْأَبِ.
Diriwayatkan oleh Tsabit al-Bunani dari Anas bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– apabila ada seseorang yang melamar salah satu putrinya, beliau mendekat ke balik tirai dan berkata: “Sesungguhnya si Fulan melamar Fulanah. Jika ia ridha, ia akan diam.” Maka diamnya adalah tanda keridhaannya. Namun jika ia menolak, ia akan mengetuk-ngetuk tirai, maka itu adalah tanda penolakannya sehingga beliau tidak menikahkannya. Tidak ada gadis yang lebih pemalu dan lebih berhati-hati dibandingkan janda; gadis sangat malu untuk menyatakan keinginannya terhadap pernikahan secara terang-terangan, berbeda dengan janda. Oleh karena itu, diamnya gadis dijadikan sebagai izin dan keridhaan, sedangkan izin janda hanya sah jika diucapkan secara lisan. Adapun selain ayah dari para wali dalam hal perwalian terhadap gadis, maka mereka wajib meminta persetujuannya, karena mereka tidak boleh memaksanya. Izin gadis bersama mereka adalah dengan diam, sebagaimana izinnya bersama ayah.
وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إذنها معهم بِالنُّطْقِ الصَّرِيحِ كَالثَّيِّبِ بِخِلَافِهَا مَعَ الْأَبِ؛ لِأَنَّهَا لَمَّا كَانَتْ مَعَهُمْ فِي وُجُوبِ الِاسْتِئْمَارِ كَالثَّيِّبِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِذْنُهَا نُطْقًا صَرِيحًا كَالثَّيِّبِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ عُمُومِ الْأَخْبَارِ، ولما ذَكَرْنَاهُ مِنْ كَثْرَةِ الِاسْتِحْيَاءِ وَلَعَلَّ حَيَاءَهَا مَعَ غير الأب أكثر لقلة مخالطته فكان إذنها معهم بأن يكون صمتها أَوْلَى، وَهَكَذَا السُّلْطَانُ مَعَ الْبِكْرِ كَالْعَصَبَاتِ إِذَا فقدوا لا يزوجوها إِلَّا بَعْدَ بُلُوغِهَا بِإِذْنِهَا وَإِذْنُهَا مَعَهُ الصَّمْتُ وَسَوَاءً كَانَتِ الْبِكْرُ مِمَّنْ قَدْ تَزَوَّجَتْ مَرَّةً وَطُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ، أَوْ لَمْ تَتَزَوَّجْ قَطُّ إذا كانت البكارة باقية في أن حكمها ما ذكرنا مع الأب والعصبات. الْقَوْلُ فِي الشَّهَادَةِ فِي النِّكَاحِ
Sebagian ulama kami berkata: Izin gadis bersama para wali selain ayah harus dengan ucapan yang jelas, seperti halnya janda, berbeda dengan izin bersama ayah. Karena ketika bersama mereka (para wali selain ayah) dalam kewajiban meminta persetujuan seperti halnya janda, maka izinnya pun harus dengan ucapan yang jelas seperti janda. Pendapat ini keliru, sebagaimana telah kami jelaskan berdasarkan keumuman hadis-hadis, dan sebagaimana telah kami sebutkan tentang besarnya rasa malu gadis, bahkan bisa jadi rasa malunya lebih besar terhadap selain ayah karena jarang berinteraksi dengannya, sehingga izinnya bersama mereka lebih utama dengan diam. Demikian pula halnya sultan (penguasa) dengan gadis, seperti halnya para kerabat laki-laki (ashabah) jika mereka tidak ada, maka tidak boleh menikahkannya kecuali setelah ia baligh dan dengan izinnya, dan izinnya bersama sultan adalah dengan diam. Sama saja apakah gadis tersebut pernah menikah lalu dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri, atau belum pernah menikah sama sekali selama keperawanannya masih ada, maka hukumnya tetap seperti yang telah kami sebutkan bersama ayah dan para kerabat laki-laki. Pembahasan tentang persaksian dalam pernikahan.
مَسْأَلَةٌ (قَالَ المزني) رحمه الله وروى الشافعي عَنِ الْحَسَنُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عدلٍ ” ورواه غير الشافعي في عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: “.
Masalah: (Imam al-Muzani) rahimahullah berkata, dan Imam asy-Syafi‘i meriwayatkan dari al-Hasan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– beliau bersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” Riwayat serupa juga diriwayatkan selain dari asy-Syafi‘i, dari ‘Imran bin Hushain dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam–.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، الشَّهَادَةُ فِي النِّكَاحِ واجبة وقال داود غَيْرُ وَاجِبَةٍ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طالب وعبد الله بن الزبير، وعمر، وعبد الله بن عباس.
Al-Mawardi berkata: Ini adalah pendapat yang benar, bahwa persaksian dalam pernikahan adalah wajib. Namun Dawud berpendapat tidak wajib, dan demikian pula pendapat dari kalangan sahabat seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin az-Zubair, Umar, dan Abdullah bin ‘Abbas.
وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، والنخعي.
Dan dari kalangan tabi‘in: Sa‘id bin al-Musayyab, al-Hasan al-Bashri, dan an-Nakha‘i.
ومن الفقهاء: أبو حنيفة، والثوري، وأحمد بن حنبل ومالك وَأَبُو ثَوْرٍ غَيْرَ أَنَّ مَالِكًا جَعَلَ الْإِشْهَادَ به وترك التراخي بِكَتْمِهِ شَرْطًا فِي صِحَّتِهِ، وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاء) {النساء: 3) فكان على عمومه وكما رَوَاهُ عَبَّادُ بْنُ سِنَانٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ألا أنكحك آمنة بنت ربيعة بن الحارث قال: بلى، قد أنكحتها ولم يشهد، ولما رُوِيَ أَنَّ عَلِيًّا زَوَّجَ بِنْتَهُ أُمَّ كُلْثُومٍ من عمر ولم يشهد.
Dan dari kalangan fuqaha: Abu Hanifah, ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, Malik, dan Abu Tsaur. Hanya saja Malik mensyaratkan adanya penyaksian dan tidak menunda-nunda dengan menyembunyikannya sebagai syarat sahnya pernikahan. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi} (an-Nisa: 3), sehingga ayat ini berlaku umum. Juga sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abbad bin Sinan bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Maukah engkau aku nikahkan dengan Aminah binti Rabi‘ah bin al-Harits?” Ia menjawab: “Ya.” Lalu beliau menikahkannya tanpa ada saksi. Dan juga diriwayatkan bahwa ‘Ali menikahkan putrinya Ummu Kultsum dengan Umar tanpa ada saksi.
قالوا: وَلِأَنَّ الْعُقُودَ نَوْعَانِ: عَقْدٌ عَلَى عَيْنٍ كَالْبَيْعِ، وَعَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ كَالْإِجَارَةِ وَلَيْسَتِ الشَّهَادَةُ شَرْطًا فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَكَانَ النِّكَاحُ مُلْحَقًا بِأَحَدِهِمَا.
Mereka berkata: Karena akad itu ada dua jenis: akad atas barang (‘ain) seperti jual beli, dan akad atas manfaat seperti ijarah (sewa-menyewa), dan dalam kedua akad tersebut persaksian bukanlah syarat, maka pernikahan pun disamakan dengan salah satu dari keduanya.
وَاسْتَدَلَّ مَالِكٌ خُصُوصًا فِي وُجُوبِ الْإِشْهَادِ بِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ “، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنْ نِكَاحِ السِّرِّ.
Malik secara khusus berdalil tentang wajibnya penyaksian dengan riwayat bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Umumkanlah pernikahan ini dan tabuhlah rebana untuknya.” Dan juga dengan riwayat bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– melarang nikah secara sembunyi-sembunyi (nikah sirri).
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الْحَسَنُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ ” وروى ابن مسعود عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ “.
Dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Hasan dari ‘Imran bin Hushain dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi.” Dan juga riwayat dari Ibnu Mas‘ud dari Anas dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi.”
وروى هشام بن عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا بُدَّ فِي النِّكَاحِ مِنْ أَرْبَعَةٍ: زَوْجٍ وَوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ “، وَلِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ لَمَّا خَالَفَ سَائِرَ الْعُقُودِ فِي تَجَاوُزِهِ عَنِ الْمُتَعَاقِدِينَ إِلَى ثَالِثٍ هُوَ الْوَلَدُ الَّذِي يَلْزَمُ حفظ نسبه خالفها فِي وُجُوبِ الشَّهَادَةِ عَلَيْهِ حِفْظًا لِنَسَبِ الْوَلَدِ الغائب لئلا يبطل نسبه فيجاهد الزَّوْجَيْنِ، وَفِي هَذَا انْفِصَالٌ عَمَّا ذَكَرُوهُ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ فِي إِلْحَاقِهِ إِمَّا بِعُقُودِ الْأَعْيَانِ، أَوْ بعقود المنافع.
Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah dari ‘Aisyah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Dalam pernikahan harus ada empat unsur: suami, wali, dan dua saksi yang adil.” Karena akad nikah berbeda dengan akad-akad lainnya dalam hal keterlibatannya yang melampaui kedua pihak yang berakad, yaitu kepada pihak ketiga, yakni anak yang harus dijaga nasabnya, maka akad nikah pun berbeda dengan akad-akad lain dalam kewajiban adanya kesaksian demi menjaga nasab anak yang tidak hadir, agar nasabnya tidak batal sehingga kedua pasangan harus berjuang. Dalam hal ini terdapat perbedaan dari apa yang mereka sebutkan dalam argumentasi untuk menyamakannya, baik dengan akad benda (‘uqūd al-a‘yān) maupun dengan akad manfaat (‘uqūd al-manāfi‘).
فأما الجواب عن الأول: فهو أن المقصود بها من يستباح من المنكوحات ولم يرد فِي صِفَاتِ النِّكَاحِ.
Adapun jawaban atas yang pertama: maksudnya adalah siapa saja yang boleh dinikahi, dan tidak dimaksudkan untuk membahas sifat-sifat nikah.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ تَزْوِيجِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – آمنة بنت ربيعة ولم يشهد وتزوج عَلِيٍّ بِنْتَهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ولم يشهد فهذا جَوَابٌ وَاحِدٌ وَهُوَ أَنَّهُ حَضَرَ الْعَقْدَ شُهُودٌ لَمْ يَقُلْ لَهُمُ اشْهَدُوا إِذْ يَبْعُدُ أَنْ يَخْلُوَ مَجْلِسُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَالِ بُرُوزِهِ مِنْ حُضُورِ نَفْسَيْنِ فَصَاعِدًا وَكَذَلِكَ حَالُ عُمَرَ مَعَ عَلَيٍّ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ لَا يَخْلُو أَنْ يَحْضُرَهُ نَفْسَانِ، وَإِذَا حَضَرَ الْعَقْدَ شَاهِدَانِ بِقَصْدٍ أَوِ اتِّفَاقٍ صَحَّ الْعَقْدُ بِهِمَا وَإِنْ لَمْ يُقَلْ لَهُمَا اشْهَدَا فَلَمْ يَكُنْ فِي الْخَبَرِ دَلِيلٌ؛ لِأَنَّ قَوْلَ الرَّاوِي: وَلَمْ يُشْهِدْ، أَيْ لَمْ يَقُلْ لِمَنْ حَضَرَ اشهدوا وَكَيْفَ يَصِحُّ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ رَدَّ نِكَاحًا حَضَرَهُ رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فقال هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ، وَلَوْ تَقَدَّمْتُ في لَرَجَمْتُ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Adapun jawaban atas pernikahan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dengan Aminah binti Rabi‘ah tanpa saksi, dan pernikahan ‘Ali yang menikahkan putrinya Ummu Kultsum dengan ‘Umar bin al-Khattab tanpa saksi, maka jawabannya satu, yaitu bahwa pada saat akad tersebut hadir para saksi, hanya saja beliau tidak mengatakan kepada mereka: “Saksikanlah!” Karena sangat kecil kemungkinan majelis Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– saat beliau tampil hanya dihadiri oleh dua orang atau lebih, demikian pula keadaan ‘Umar bersama ‘Ali –‘alaihimā as-salām– tidak mungkin hanya dihadiri oleh dua orang. Jika akad dihadiri oleh dua saksi, baik dengan sengaja maupun kebetulan, maka akad itu sah dengan kehadiran mereka meskipun tidak dikatakan kepada mereka: “Saksikanlah!” Maka tidak ada dalil dalam riwayat tersebut; karena ucapan perawi: “dan beliau tidak menghadirkan saksi,” maksudnya adalah beliau tidak mengatakan kepada yang hadir: “Saksikanlah!” Bagaimana mungkin hal itu benar dari ‘Umar, padahal diriwayatkan darinya bahwa ia pernah menolak pernikahan yang hanya dihadiri oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu ia berkata: “Ini adalah nikah sirri dan aku tidak mengakuinya. Seandainya aku mendahuluinya, niscaya aku akan merajam.” Dalam hal ini ada dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: يَعْنِي لَوْ تَقَدَّمْتُ فِيهِ فَخُولِفْتُ.
Pertama: maksudnya, seandainya aku mendahului dalam hal itu lalu aku diselisihi.
وَالثَّانِي: يَعْنِي لَوْ تَقَدَّمْتُ بِالْوَاجِبِ وَتَعَدَّيْتُ إِلَى مَا لَيْسَ بِجَائِزٍ لَرُجِمْتُ.
Kedua: maksudnya, seandainya aku mendahului dengan yang wajib lalu melampaui kepada yang tidak boleh, niscaya aku akan dirajam.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُ مَالِكٍ بِقَوْلِهِ عليه السلام: ” وأعلنوا هذا النكاح واضربوا عليه بالدف ” ففيه جوابان:
Adapun istidlal (argumentasi) Malik dengan sabda beliau –‘alaihis salam–: “Umumkanlah pernikahan ini dan tabuhlah rebana untuknya,” maka ada dua jawaban:
أحدهما: أن إعلانه يكون بالشهادة وكيف يكون مكتوماً ما شهده الشُّهُودُ أَمْ كَيْفَ يَكُونُ مُعْلَنًا مَا خَلَا من بينة وشهود.
Pertama: bahwa pengumuman itu dilakukan dengan kesaksian. Bagaimana mungkin sesuatu yang disaksikan oleh para saksi dianggap tersembunyi, atau bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada bukti dan saksi dianggap diumumkan.
والجواب الثاني: أن يُحْمَلَ إِعْلَانُهُ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ كَمَا حَصَلَ ضَرْبُ الدُّفِّ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ دُونَ الْإِيجَابِ لِمَنْ كَانَ فِي ذَلِكَ الْعَصْرِ، وَإِنْ كَانَ فِي عَصْرِنَا غَيْرَ مَحْمُولٍ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَلَا عَلَى الْإِيجَابِ وَأَمَّا نَهْيُهُ عَنْ نِكَاحِ السِّرِّ فَهُوَ النِّكَاحُ الَّذِي لَمْ يَشْهَدُهُ الشُّهُودُ، أَلَّا تَرَى أَنَّ عُمَرَ رَدَّ نِكَاحًا حَضَرَهُ رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، وَقَالَ: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ. وَقَالَ الشَّاعِرُ:
Jawaban kedua: bahwa pengumuman itu dimaknai sebagai anjuran (istihbāb), sebagaimana menabuh rebana juga dianjurkan dan bukan diwajibkan pada masa itu. Adapun pada masa kita sekarang, hal itu tidak lagi dianggap sebagai anjuran maupun kewajiban. Adapun larangan beliau terhadap nikah sirri adalah pernikahan yang tidak dihadiri oleh para saksi. Tidakkah engkau melihat bahwa ‘Umar menolak pernikahan yang hanya dihadiri oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu ia berkata: “Ini adalah nikah sirri dan aku tidak mengakuinya.” Penyair berkata:
(وسرك ما كان عند أمري … وسر الثلاثة غير الخفي)
(Rahasiamu adalah apa yang hanya ada padamu sendiri … Dan rahasia tiga orang bukanlah rahasia lagi)
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الشَّهَادَةِ فِي النِّكَاحِ وَأَنَّهَا شَرْطٌ فِي صِحَّتِهِ فَلَا يَنْعَقِدُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ وَلَا يَنْعَقِدُ بِشَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ.
Jika telah tetap kewajiban adanya kesaksian dalam pernikahan dan bahwa ia merupakan syarat sahnya, maka pernikahan tidak sah kecuali dengan dua orang saksi laki-laki, dan tidak sah dengan satu saksi laki-laki dan dua perempuan.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَنْعَقِدُ بِشَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأتَانِ) {البقرة: 282) فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ؛ وَلِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ فَصَحَّ بِشَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ كَسَائِرِ الْعُقُودِ.
Abu Hanifah berkata: Sah dengan satu saksi laki-laki dan dua perempuan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika tidak ada dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua perempuan} (al-Baqarah: 282), sehingga ayat itu berlaku umum; dan karena ini adalah akad mu‘āwadah (pertukaran) maka sah dengan satu saksi laki-laki dan dua perempuan sebagaimana akad-akad lainnya.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَأَشْهِدُوا ذَوِي عَدْلٍ مِنْكُمْ) {الطلاق: 2) فلما أمر بالرجعة بِشَاهِدِينَ وَهِيَ أَخَفُّ حَالًا مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ كَانَ ذَلِكَ فِي النِّكَاحِ أَوْلَى.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kalian} (ath-Thalaq: 2). Ketika Allah memerintahkan adanya dua saksi dalam rujuk, padahal rujuk itu lebih ringan keadaannya daripada akad nikah, maka dalam nikah lebih utama lagi.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ “.
Diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi.”
فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا جُمِعَ بَيْنَ الْمُذَكَّرِ وَالْمُؤَنَّثِ غلب في اللغة اللفظ الْمُذَكَّرُ عَلَى الْمُؤَنَّثِ فَلَمْ يَمْنَعْ جَمْعُ الشَّاهِدَيْنَ من أن يكون شاهداً وامرأتين.
Jika dikatakan: Jika dalam bahasa, ketika digabungkan antara bentuk laki-laki dan perempuan, maka lafaz laki-laki lebih dominan daripada perempuan, sehingga penggunaan kata “dua saksi” tidak mencegah untuk dimaksudkan satu laki-laki dan dua perempuan.
قيل: وهذا وإن صح في الجمع؛ لأن المذكر والمؤنث بلفظ التَّثْنِيَةِ يُمْنَعُ مَنْ حَمْلِهِ عَلَى الْجَمْعِ، لِأَنَّ مِنْ أَهْلِ اللُّغَةِ مَنْ يَحْمِلُ الْجَمْعَ عَلَى التَّثْنِيَةِ، وَلَيْسَ فِيهِمْ وَلَا فِي الْفُقَهَاءِ مَنْ يَحْمِلُ التَّثْنِيَةَ عَلَى الْجَمْعِ فَإِنْ حَمْلَهُ عَلَى شَاهِدٍ وَامْرَأَةٍ خَالَفَ مَذْهَبَهُ، وَقَوْلَ الْأُمَّةِ، وَإِنْ حَمْلَهُ عَلَى شَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ خَالَفَ لَفْظَ التَّثْنِيَةِ إِلَى الْجَمْعِ، وَلَوْ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: رَأَيْتُ رَجُلَيْنِ وَقَدْ رَأَى رَجُلًا وَامْرَأَتَيْنِ لَمْ يُصَدَّقْ في خبره فبطل ما تأولوه.
Dikatakan: Hal ini, meskipun benar dalam kasus jamak; karena bentuk mudzakkar dan muannats dalam lafaz tatsniyah (dua) tidak dapat dibawa kepada makna jamak, sebab di antara ahli bahasa ada yang membawa jamak kepada tatsniyah, namun tidak ada di antara mereka, juga tidak di kalangan para fuqaha, yang membawa tatsniyah kepada jamak. Jika ia membawanya kepada satu saksi laki-laki dan satu perempuan, maka itu bertentangan dengan mazhabnya dan pendapat umat. Jika ia membawanya kepada satu saksi laki-laki dan dua perempuan, maka itu menyelisihi lafaz tatsniyah kepada jamak. Seandainya seseorang berkata, “Aku melihat dua laki-laki,” padahal ia melihat satu laki-laki dan dua perempuan, maka ia tidak akan dipercaya dalam beritanya. Maka batalah apa yang mereka takwilkan.
من القياس: أن الفروج لا يسوغ فيها البذل وَالْإِبَاحَةُ فَلَمْ يُسْتَبَحْ بِشَهَادَةِ النِّسَاءِ كَالْقَصَاصِ، وَلِأَنَّ مَا خُصَّ مِنْ بَيْنِ جِنْسِهِ بشاهدين لم يجز أن يكون وَلَا أَحَدُهُمَا امْرَأَةً كَالشَّهَادَةِ عَلَى الزِّنَا، وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يَكُونُوا مِنْ شُهُودِ النِّكَاحِ بِانْفِرَادِهِمْ لَمْ يَكُونُوا مِنْ شُهُودِهِ مَعَ غَيْرِهِمْ كَالْعَبِيدِ والكفار.
Menurut qiyās: kemaluan (perkara kehormatan) tidak boleh diberikan dan dihalalkan secara sembarangan, maka tidak boleh dihalalkan hanya dengan kesaksian perempuan, sebagaimana dalam kasus qishāsh. Dan karena perkara yang dikhususkan di antara jenisnya dengan dua saksi laki-laki, tidak boleh salah satunya adalah perempuan, seperti kesaksian atas zina. Dan karena orang yang tidak diterima sebagai saksi nikah secara sendiri-sendiri, maka tidak diterima pula sebagai saksi bersama selainnya, seperti budak dan orang kafir.
فأما الْآيَةُ فَمَحْمُولَةٌ عَلَى الْأَمْوَالِ لِتَقَدُّمِ ذِكْرِهَا وَلِتَخْصِيصِ عمومها بما ذكرناه فأما القياس على سائر العقود فمردودة بِمَا فَرَّقَ الشَّرْعُ بَيْنَهُمَا فِي وُجُوبِ الشَّهَادَةِ والله أعلم.
Adapun ayat tersebut dimaknai berkaitan dengan harta karena telah disebutkan sebelumnya dan karena keumumannya telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan. Adapun qiyās dengan akad-akad lainnya, maka tertolak karena syariat telah membedakan antara keduanya dalam kewajiban kesaksian. Allah Maha Mengetahui.
فصل
Fasal
فإذا تقرر أن النِّكَاحِ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ مِنَ الرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ فَلَا يَصِحُّ حَتَّى يَكُونَا عَدْلَيْنِ.
Jika telah dipastikan bahwa nikah tidak sah kecuali dengan dua saksi laki-laki tanpa perempuan, maka tidak sah pula kecuali keduanya adalah orang yang adil.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَصِحُّ بِفَاسِقَيْنِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ حضورهما للعقد إنما هو حال فحمل الشَّهَادَةِ وَعَدَالَةُ الشُّهُودِ إِنَّمَا يُرَاعَى وَقْتَ الْأَدَاءِ لا وقت التحمل، ألا ترى لو تحمل شهادة صَبِيٌّ ثُمَّ بَلَغَ أَوْ عَبَدٌ ثُمَّ أُعْتِقَ، أو كافراً ثُمَّ أَسْلَمَ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُمُ اعْتِبَارًا بِحَالِهِمْ وَقْتَ الْأَدَاءِ لَا وَقْتَ التَّحَمُّلِ كَذَلِكَ شَهَادَةُ الْفَاسِقِينَ في النكاح.
Abu Hanifah berkata: Nikah sah dengan dua orang fasik, dengan alasan bahwa kehadiran mereka dalam akad hanyalah pada saat itu saja, sedangkan kesaksian dan keadilan para saksi hanya diperhatikan pada saat penyampaian (kesaksian), bukan pada saat menerima (kesaksian). Bukankah kamu lihat, jika seorang anak kecil menerima kesaksian lalu ia baligh, atau seorang budak lalu ia merdeka, atau seorang kafir lalu ia masuk Islam, maka kesaksian mereka diterima dengan mempertimbangkan keadaan mereka saat penyampaian, bukan saat menerima kesaksian. Begitu pula kesaksian orang fasik dalam nikah.
وَتَحْرِيرُهُ: أَنَّهُ تَحَمَّلَ شَهَادَةً عَلَى عَقْدٍ فَجَازَ أن يصح من الفاسقين قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْعُقُودِ؛ وَلِأَنَّ مَنْ كَانَ شَرْطًا فِي عَقْدِ النِّكَاحِ لَمْ يُرَاعَ فِيهِ العدالة كالزوجين، ولأنه لم يصح النِّكَاحِ بِشَهَادَةِ عَدُوَّيْنِ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمَا عَلَى الزوجين صح أن تنعقد بِشَهَادَةِ فَاسِقِينَ.
Penjelasannya: bahwa ia menerima kesaksian atas suatu akad, maka boleh saja sah dari dua orang fasik dengan qiyās kepada akad-akad lainnya; dan karena sesuatu yang menjadi syarat dalam akad nikah tidak disyaratkan padanya keadilan, seperti kedua mempelai. Dan karena nikah tidak sah dengan kesaksian dua orang yang bermusuhan yang kesaksiannya tidak diterima atas kedua mempelai, maka sah jika akad dilakukan dengan kesaksian dua orang fasik.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُواْ ذَوَي عَدْلٍ) {الطلاق: 2) فَلَمَّا شَرَطَ الْعَدَالَةَ فِي الشَّهَادَةِ عَلَى الرَّجْعَةِ وَهِيَ أَخَفُّ كَانَ اشْتِرَاطُهَا فِي النِّكَاحِ المغلط أَوْلَى وَرَوَى الْحَسَنُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ ” وَرَوَاهُ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةُ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ وَجَبَتْ فِيهِ الشَّهَادَةُ اعْتُبِرَتْ فِيهِ الْعَدَالَةُ كَالْحُقُوقِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ نَقْصٍ يَمْنَعُ مِنَ الشَّهَادَةِ فِي الْأَدَاءِ وَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ انْعِقَادُ النِّكَاحِ بِهَا كَالرِّقِّ وَالْكُفْرِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَثْبُتْ بِشَهَادَةِ الْعَبْدَيْنِ لَمْ يَثْبُتْ بِشَهَادَةِ الْفَاسِقَيْنِ كَالْأَدَاءِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Tahanlah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik, dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kalian} (ath-Thalaq: 2). Ketika Allah mensyaratkan keadilan dalam kesaksian atas rujuk, padahal itu lebih ringan, maka mensyaratkannya dalam nikah yang lebih berat tentu lebih utama. Al-Hasan meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah. Dan setiap tempat yang diwajibkan adanya kesaksian, maka disyaratkan pula keadilan di dalamnya, seperti dalam perkara hak-hak. Dan setiap kekurangan yang menghalangi kesaksian dalam penyampaian, maka harus pula menghalangi terjadinya akad nikah dengannya, seperti perbudakan dan kekufuran. Dan setiap perkara yang tidak dapat dibuktikan dengan kesaksian dua budak, maka tidak dapat pula dibuktikan dengan kesaksian dua orang fasik, sebagaimana dalam penyampaian.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ حُضُورَ الْعَقْدِ حَالُ تَحَمُّلٍ لَا يُرَاعَى فِيهِ الْعَدَالَةُ فَخَطَأٌ، لِأَنَّ الشَّهَادَةَ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ إِنْ كَانَتْ تَحَمُّلًا فَهِيَ تَجْرِي مَجْرَى الْأَدَاءِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun dalilnya bahwa kehadiran dalam akad adalah saat menerima (kesaksian) yang tidak diperhatikan keadilannya, maka itu keliru. Karena kesaksian dalam akad nikah, jika dianggap sebagai penerimaan, maka ia berlaku seperti penyampaian dalam dua hal:
أَحَدُهُمَا: وَجُوبُهَا في العقد كوجوبها في الأداء.
Pertama: kewajibannya dalam akad sebagaimana kewajibannya dalam penyampaian.
والثاني: أن يُرَاعَى فِيهِ حُرِّيَّةُ الشُّهُودِ وَإِسْلَامُهُمْ وَبُلُوغُهُمْ كَمَا يراعى في الأداء وإن لم تراع فِي تَحَمُّلِ غَيْرِهِ مِنَ الشَّهَادَاتِ، فَكَذَلِكَ الْفِسْقُ.
Kedua: harus diperhatikan kebebasan para saksi, keislaman mereka, dan kedewasaan mereka sebagaimana diperhatikan dalam penyampaian, meskipun tidak diperhatikan dalam penerimaan kesaksian lainnya. Maka demikian pula halnya dengan kefasikan.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى فِسْقِ الزَّوْجَيْنِ فَهُوَ أَنَّ الْعَدَالَةَ تُرَاعَى فِي الشَّاهِدَيْنِ، وَإِنْ لَمْ تُرَاعَ فِي الْعَاقِدَيْنِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا رُوعِيَ حُرِّيَّةُ الشَّاهِدَيْنِ وَإِنْ لَمْ يُرَاعَ حُرِّيَّةُ الزَّوْجَيْنِ كَذَلِكَ فِسْقُ الشَّاهِدِينَ وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى شَهَادَةِ الْعَدُوَّيْنِ فَمَذْهَبُنَا فِي انْعِقَادِ النِّكَاحِ بِهِمَا مَا نذكره من اعتداد حالهما، فإن كانا عدوي لِأَحَدِ الزَّوْجَيْنِ دُونَ الْآخَرِ انْعَقَدَ النِّكَاحُ بِهِمَا؛ لأن شهادتهما فِي الْأَدَاءِ قَدْ تُقْبِلُ عَلَى مَنْ لَيْسَ له عدوين خالفاً الْفَاسِقَيْنَ إِذْ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمَا لِأَحَدِ الزَّوْجَيْنِ بحال، وإن كَانَا عَدُوَّيْنِ لِلزَّوْجَيْنِ مَعًا فَفِي انْعِقَادِ النِّكَاحِ بهما وجهان لأصحابنا:
Adapun jawaban atas qiyās yang menyamakan dengan kefasikan kedua mempelai adalah bahwa keadilan diperhatikan pada kedua saksi, meskipun tidak diperhatikan pada kedua pihak yang melakukan akad. Dan karena kebebasan kedua saksi diperhatikan, meskipun kebebasan kedua mempelai tidak diperhatikan, demikian pula kefasikan kedua saksi. Adapun qiyās yang menyamakannya dengan kesaksian dua orang yang saling bermusuhan, maka mazhab kami dalam sahnya akad nikah dengan keduanya adalah sebagaimana yang kami sebutkan terkait memperhatikan keadaan mereka; jika keduanya adalah musuh bagi salah satu dari kedua mempelai saja, maka akad nikah sah dengan keduanya, karena kesaksian mereka dalam penyampaian dapat diterima terhadap pihak yang bukan musuh mereka, berbeda dengan dua orang fāsiq, karena kesaksian mereka tidak diterima untuk salah satu dari kedua mempelai dalam keadaan apapun. Jika keduanya adalah musuh bagi kedua mempelai sekaligus, maka dalam sahnya akad nikah dengan keduanya terdapat dua pendapat di kalangan ulama kami:
أحدهما: لا تنعقد كَالْفَاسِقَيْنِ، لِأَنَّ الْأَدَاءَ لَا يَصِحُّ مِنْهُمَا عَلَى أحد الزوجين بحال.
Salah satunya: tidak sah, seperti halnya dua orang fāsiq, karena penyampaian (kesaksian) tidak sah dari keduanya untuk salah satu dari kedua mempelai dalam keadaan apapun.
والوجه الثاني: هو ظَاهِرُ مَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ إِنَّ النكاح بهما منعقد وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُمَا أَدَاؤُهُ بِخِلَافِ الْفَاسِقَيْنِ.
Pendapat kedua: ini adalah pendapat yang zahir dari apa yang dinyatakan oleh asy-Syāfi‘ī dalam kitab al-Umm, bahwa nikah dengan keduanya tetap sah meskipun penyampaian (kesaksian) dari keduanya tidak sah, berbeda dengan dua orang fāsiq.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْفَاسِقَيْنِ لَا يَصِحُّ مِنْهُمَا أداء هذه الشهادة صح منهما أداء غيرها من الشهادات، وهذا لو كان الشاهدان ابْنَيِ الزَّوْجَيْنِ كَانَا كَالْعَدُوَّيْنِ، لَأَنَّ شَهَادَةَ الْوَلَدِ لِوَالِدِهِ مَرْدُودَةٌ، كَمَا أَنَّ شَهَادَةَ الْعَدُوِّ عَلَى عَدُوِّهِ مَرْدُودَةٌ، فَإِنْ كَانَا ابْنِي أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ انْعَقَدَ النِّكَاحُ بِهِمَا لِإِمْكَانِ أَدَاءِ الشَّهَادَةِ لِأَحَدِهِمَا وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا ابْنَ الزَّوْجِ وَالْآخَرُ ابْنَ الزَّوْجَةِ فَفِي انْعِقَادِ النِّكَاحِ بِهِمَا الْوَجْهَانِ الْمَاضِيَانِ، ومن أصحابنا مع منع من انعقاد النكاح بِكُلِّ حَالٍ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْعَدُوَّيْنِ بِأَنَّ فيما بغضية لَا تَزُولُ، وَلَيْسَتْ كَالْعَدَاوَةِ الَّتِي قَدْ تَزُولُ والله أعلم بالصواب.
Perbedaan antara keduanya adalah: bahwa dua orang fāsiq tidak sah menyampaikan kesaksian ini, namun sah bagi mereka menyampaikan kesaksian selainnya. Adapun jika kedua saksi adalah anak dari kedua mempelai, maka keduanya seperti dua orang yang saling bermusuhan, karena kesaksian anak untuk orang tuanya ditolak, sebagaimana kesaksian musuh atas musuhnya juga ditolak. Jika keduanya adalah anak dari salah satu mempelai, maka akad nikah sah dengan keduanya karena memungkinkan penyampaian kesaksian untuk salah satunya. Jika salah satunya adalah anak suami dan yang lain anak istri, maka dalam sahnya akad nikah dengan keduanya terdapat dua pendapat yang telah lalu. Sebagian ulama kami berpendapat tidak sahnya akad nikah dalam setiap keadaan, dan membedakan antara keduanya dengan dua orang yang saling bermusuhan, karena kebencian di antara mereka tidak akan hilang, berbeda dengan permusuhan yang bisa saja hilang. Allah lebih mengetahui mana yang benar.
مسألة
Masalah
(وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ) بِابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ ” لَا نكاح إلا بولي مرشدٍ وشاهدي عدلٍ ” وأن عمر رد نكاحاً لم يشهد عليه إلا رجل وامرأةٌ فقال ” هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ تَقَدَّمْتُ فيه لرجمت ” وقال عمر رضي الله عنه ” لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهَا أَوْ ذي الرأي من أهلها أو السلطان ” (قال الشافعي) والنساء محرمات الفروج فلا يحللن إلا بما بَيَّنَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فبين ” وليا وشهوداً وإقرار المنكوحة الثيب وصمت البكر “.
(Asy-Syāfi‘ī berdalil) dengan perkataan Ibnu ‘Abbās bahwa ia berkata, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali yang bijak dan dua saksi yang adil.” Dan Umar pernah menolak suatu pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu beliau berkata, “Ini adalah nikah sirri, dan aku tidak mengizinkannya. Jika aku telah menetapkan hukumnya, niscaya aku akan merajamnya.” Umar radhiyallāhu ‘anhu juga berkata, “Seorang wanita tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izin walinya, atau orang yang berakal dari keluarganya, atau penguasa.” (Asy-Syāfi‘ī berkata) dan para wanita diharamkan kehormatannya, maka tidak halal kecuali dengan apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ, yaitu dengan adanya wali, saksi-saksi, pengakuan dari wanita yang sudah pernah menikah, dan diamnya wanita yang masih gadis.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ رُشْدُ الْوَلِيِّ فِي النِّكَاحِ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ عَقْدِهِ، فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ فَاسِقًا بَطَلَ عَقْدُهُ عَلَى الظَّاهِرِ من مذهب الشافعي، والمشهور من قوله سواء كَانَ الْوَلِيُّ مِمَّنْ يُجْبِرُ عَلَى النِّكَاحِ كَالْأَبِ أَوْ مِمَّنْ لَا يُجْبِرُ كَالْعَصِبَاتِ.
Al-Māwardī berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa kebijaksanaan wali dalam pernikahan adalah syarat sahnya akad. Jika wali tersebut fāsiq, maka batal akadnya menurut pendapat yang zahir dari mazhab asy-Syāfi‘ī dan pendapat yang masyhur dari beliau, baik wali tersebut termasuk yang berhak memaksa dalam pernikahan seperti ayah, maupun yang tidak berhak memaksa seperti para ‘ashabah.
وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: إِنْ كَانَ الْوَلِيُّ مِمَّنْ يُجْبِرُ كَالْأَبِ بَطَلَ عَقْدُهُ بِالْفِسْقِ وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يُجْبِرُ كَالْعَصِبَاتِ لَمْ يَبْطُلْ عَقْدُهُ بِالْفِسْقِ لأنه يكون مأموراً كالوكيل.
Abu Ishāq al-Marwazī berkata: Jika wali termasuk yang berhak memaksa seperti ayah, maka batal akadnya karena kefasikan. Namun jika termasuk yang tidak berhak memaksa seperti para ‘ashabah, maka akadnya tidak batal karena kefasikan, karena ia hanya bertindak sebagai perantara seperti wakil.
وقال أَبُو حَنِيفَةَ: فِسْقُ الْوَالِي لَا يُبْطِلُ عَقْدَهُ وَبِهِ قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَحَكَاهُ قَوْلًا عَنْهُ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَأَنْكِحُواْ الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمائِكُمْ) {النور: 32) وَلِأَنَّ من تعين في عقد النكاح لم يعتبر فِيهِ الْعَدَالَةُ كَالزَّوْجِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ أَنْ يَقْبَلَ النِّكَاحَ لِنَفْسِهِ جَازَ أَنْ يَلِيَ عَلَى النِّكَاحِ غَيْرَهُ كَالْعَدْلِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ لِلْفَاسِقِ تَزْوِيجُ أَمَتِهِ جَازَ لَهُ تَزْوِيجُ وَلِيَّتِهِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَكُونَ الْكَافِرُ وَلِيًّا فِي نِكَاحِ ابْنَتِهِ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ الْفَاسِقُ وَلِيًّا فِي نِكَاحِ ابْنَتِهِ.
Abu Hanīfah berkata: Kefasikan wali tidak membatalkan akadnya, demikian pula sebagian ulama asy-Syāfi‘iyyah, dan hal ini juga dinukil sebagai salah satu pendapat dari asy-Syāfi‘ī, dengan dalil keumuman firman Allah Ta‘ālā: {Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan} (an-Nūr: 32). Dan karena siapa pun yang ditetapkan sebagai pihak dalam akad nikah tidak disyaratkan keadilannya, seperti halnya suami. Dan karena setiap orang yang boleh menerima nikah untuk dirinya sendiri, boleh juga menjadi wali nikah untuk orang lain, seperti orang yang adil. Dan karena jika seorang fāsiq boleh menikahkan budaknya, maka ia juga boleh menikahkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Dan karena jika orang kafir boleh menjadi wali dalam pernikahan anak perempuannya, maka lebih utama lagi jika seorang fāsiq boleh menjadi wali dalam pernikahan anak perempuannya.
وَدَلِيلُنَا: مَا رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ ” وأيما امرأة أنكحها ولي مسخوط عليه فنكاحها باطل.
Dan dalil kami adalah: Riwayat dari Sa‘īd bin Jubair dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali yang mursyid dan dua saksi yang adil.” Dan wanita mana pun yang dinikahkan oleh wali yang dimurkai atasnya, maka nikahnya batal.
ورواه عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ.
Dan riwayat ini juga dinukil dari Ibnu ‘Abbās secara mauqūf padanya.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَوْلُهُ: ” مُرْشِدٍ ” وَلَمْ يَقُلْ رَشِيدٍ يَقْتَضِي أَنْ يُوجَدَ مِنْهُ فِعْلُ الرُّشْدِ فِي غَيْرِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَوْجُودٍ فِي نَفْسِهِ، وَهُوَ إِذَا زَوَّجَهَا بِكُفْءٍ كَانَ مُرْشِدًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ رَشِيدًا.
Jika dikatakan: Sabdanya “mursyid” dan bukan “rasyīd” mengharuskan adanya perbuatan irsyād (bimbingan) darinya terhadap orang lain, meskipun tidak terdapat sifat tersebut pada dirinya sendiri. Maka jika ia menikahkan dengan pasangan yang sekufu’, ia disebut mursyid meskipun ia sendiri bukan rasyd.
قِيلَ: هَذَا تَأْوِيلٌ يَفْسَدُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dijawab: Ini adalah takwil yang rusak dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أنه صفة مدح تتعدى عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ وَمَنْ لَيْسَ بِرَشِيدٍ لَا يتوجه إليه مذمة وَلَا يَتَعَدَّى عَنْهُ رُشْدٌ.
Pertama: Bahwa itu adalah sifat pujian yang berpindah darinya kepada orang lain, dan siapa yang bukan rasyd tidak layak mendapat celaan, dan tidak berpindah darinya sifat irsyād.
وَالثَّانِي: أَنَّ فِي الخبر الآخر في قوله: وأيما امرأة أنكحها وَلِيٌّ مَسْخُوطٌ عَلَيْهِ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، مَا يُبْطِلُ هَذَا التَّأْوِيلَ، وَلِأَنَّهُ نَقْصٌ يَمْنَعُ مِنَ الشَّهَادَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَمْنَعَ مِنَ الْوِلَايَةِ كَالرِّقِّ؛ وَلِأَنَّهَا ولاية تمنع مِنْهَا الرِّقَّ فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهَا الْفِسْقُ كَالْوِلَايَةِ عَلَى الْمَالِ؛ وَلِأَنَّ مَنْ تَوَلَّى عَقْدَ النِّكَاحِ فِي حَقِّ غَيْرِهِ مُنِعَ الْفِسْقُ مَنْ عقده كالحاكم.
Kedua: Dalam hadis lain disebutkan: “Wanita mana pun yang dinikahkan oleh wali yang dimurkai atasnya, maka nikahnya batal.” Ini membatalkan takwil tersebut. Dan karena kekurangan (pada wali) itu mencegah diterimanya kesaksian, maka wajib juga mencegahnya dari kewalian, sebagaimana budak; dan karena ini adalah kewalian yang budak tidak boleh melakukannya, maka kefasikan juga harus mencegahnya sebagaimana kewalian atas harta; dan karena siapa yang melaksanakan akad nikah untuk orang lain, kefasikan mencegahnya sebagaimana pada hakim.
فأما الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ: أَنَّهَا خِطَابٌ إِمَّا لِلْأَزْوَاجِ فَلَا يَكُونُ فِيهَا دَلِيلٌ، أَوْ لِلْأَوْلِيَاءِ وَلَيْسَ الْفَاسِقُ بِوَلِيٍّ.
Adapun jawaban atas ayat (yang dijadikan dalil), maka ayat itu adalah khitab (seruan) kepada para suami, sehingga tidak ada dalil di dalamnya, atau kepada para wali, sedangkan orang fāsiq bukanlah wali.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الزَّوْجِ فالمعنى في الزوج: أنه يتولى فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ رُشْدُهُ كَمَا لم تعتبر حُرِّيَّتُهُ وَإِسْلَامُهُ وَالْوَلِيُّ يَتَوَلَّاهُ فِي حَقِّ غَيْرِهِ فَاعْتُبِرَ رُشْدُهُ كَمَا اعْتُبِرَتْ حُرِّيَّتُهُ وَإِسْلَامُهُ وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْعَدْلِ فَالْمَعْنَى فِي الْعَدْلِ: أَنَّهُ لَمَّا صَحَّتْ وِلَايَتُهُ عَلَى الْمَالِ صَحَّتْ وِلَايَتُهُ على النكاح والفاسق لما بطلت ولايته على المال بطلت وِلَايَتُهُ عَلَى النِّكَاحِ وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِعَقْدِ الْفَاسِقِ عَلَى أَمَتِهِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ يَعْقِدُهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ أَلَا تَرَاهُ يَمْلِكُ الْمَهْرَ دُونَهَا فَلَمْ تُعْتَبَرْ فِيهِ الْعَدَالَةُ كَالزَّوْجَيْنِ وَالْوَلِيُّ يَعْقِدُهُ في حق غيره فاعتبرت فيه العدالة كالحاكم.
Adapun qiyās kepada suami, maka maknanya pada suami adalah: ia melaksanakan akad untuk dirinya sendiri, sehingga tidak disyaratkan adanya sifat rusyd padanya, sebagaimana tidak disyaratkan kebebasan dan keislamannya. Sedangkan wali melaksanakan akad untuk orang lain, maka disyaratkan adanya sifat rusyd padanya sebagaimana disyaratkan kebebasan dan keislamannya. Adapun qiyās kepada orang adil, maka maknanya pada orang adil adalah: ketika sah kewaliannya atas harta, maka sah pula kewaliannya atas nikah. Sedangkan orang fāsiq, ketika batal kewaliannya atas harta, maka batal pula kewaliannya atas nikah. Adapun dalil mereka dengan akad fāsiq atas budaknya, maka maknanya adalah ia melakukannya untuk dirinya sendiri. Bukankah engkau lihat ia berhak atas mahar, bukan budaknya? Maka tidak disyaratkan keadilan di situ sebagaimana pada kedua mempelai. Sedangkan wali melaksanakan akad untuk orang lain, maka disyaratkan keadilan padanya sebagaimana pada hakim.
وَأَمَّا وِلَايَةُ الْكَافِرِ فَلِأَنَّهُ عَدْلٌ فِي دِينِهِ وَلَوْ كَانَ فَاسِقًا فِي دِينِهِ وَبَيْنَ أَهْلِ ملة أبطلنا ولايته وكذا كالفاسق في ديننا.
Adapun kewalian orang kafir, maka karena ia dianggap adil dalam agamanya. Namun jika ia fāsiq dalam agamanya dan di antara sesama pemeluk agamanya, maka kami batalkan kewaliannya, sebagaimana fāsiq dalam agama kita.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ وِلَايَةَ الْفَاسِقِ فِي النكاح باطلة، فالولاية تنقل عنه إلى ما هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُ فَإِنْ زَالَ فِسْقُهُ عَادَتِ الْوِلَايَةُ إِلَيْهِ وَانْتَقَلَتْ عَمَّنْ هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُ، فلو زوجها الأبعد يعد عَدَالَةِ الْأَقْرَبِ، فَإِنْ كَانَ عَالِمًا بِعَدَالَةِ الْأَقْرَبِ أَوْ عَلِمَتِ الزَّوْجَةُ بِهَا أَوِ الزَّوْجُ كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا، وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ وَاحِدٌ مِنْهُمْ بِعَدَالَةِ الْآخَرِ حَتَّى عُقِدَ الْعَقْدُ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Jika telah tetap bahwa kewalian fāsiq dalam nikah adalah batal, maka kewalian berpindah darinya kepada yang lebih jauh darinya. Jika kefasikannya hilang, maka kewalian kembali kepadanya dan berpindah dari yang lebih jauh darinya. Jika yang lebih jauh menikahkan setelah yang lebih dekat menjadi adil, maka jika ia mengetahui keadilan yang lebih dekat, atau istri atau suami mengetahuinya, maka nikahnya batal. Namun jika tidak seorang pun dari mereka mengetahui keadilan yang lain hingga akad telah dilangsungkan, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Pertama: Batal.
وَالثَّانِي: جَائِزٌ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الْوَكِيلِ إِذَا عَقَدَ بَعْدَ عَزْلِ موكله قبل علمه.
Kedua: Sah, berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam masalah wakil jika ia melakukan akad setelah pemilik kuasa mencabut kuasanya sebelum ia mengetahuinya.
فَصْلٌ
Fasal
فَلَوْ أَنَّ هَذَا الْوَلِيَّ الْفَاسِقَ وَكَّلَ وكيلاً عدلاً كانت وكالته باطلة؛ لأن الفسق قد زالت عنه الولاية فلم يصح مِنْهُ الْوَكَالَةُ وَلَكِنْ لَوْ كَانَ الْوَلِيُّ عَدْلًا فَوَكَّلَ وَكِيلًا فَاسِقًا فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
Jika wali yang fāsiq mewakilkan kepada wakil yang adil, maka perwakilannya batal; karena kefasikan telah menghilangkan kewaliannya sehingga tidak sah baginya melakukan perwakilan. Namun jika wali itu adil lalu mewakilkan kepada wakil yang fāsiq, maka ada tiga pendapat:
أَحَدُهَا: لَا يَجُوزُ، لِأَنَّهُ لَمَّا أَبْطَلَ الْفِسْقُ وِلَايَةَ الْوَلِيِّ مَعَ قُوَّتِهَا كَانَ أَوْلَى أَنْ يُبْطِلَ وِلَايَةَ الْوَكِيلِ مَعَ ضَعْفِهَا.
Pertama: Tidak sah; karena ketika kefasikan membatalkan kewalian wali padahal ia kuat, maka lebih utama lagi membatalkan kewalian wakil yang lebih lemah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ وَيَصِحُّ عَقْدُهُ؛ لِأَنَّهُ مَأْمُورٌ وَالْوَلِيُّ مِنْ وَرَائِهِ لاستدراك ذلك.
Pendapat kedua: Sah dan akadnya valid; karena ia hanya menjalankan perintah dan wali tetap berada di belakangnya untuk mengoreksi hal itu.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ إِنْ كَانَ وَكِيلًا لِوَلِيِّ غيرها عَلَى النِّكَاحِ كَالْأَبِ بَطَلَتْ وَكَالَتُهُ بِفِسْقِهِ، لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ اسْتِئْذَانُهَا فَصَارَتْ وِلَايَةَ تَفْوِيضٍ، وَإِنْ كَانَ وَكِيلًا لِمَنْ لَا يُجْبِرُهَا عَلَى النِّكَاحِ صَحَّتْ وَكَالَتُهُ لِأَنَّهُ لَا يَعْقِدُ إِلَّا عَنِ اسْتِئْذَانِهَا.
Pendapat ketiga: Jika ia adalah wakil dari wali selain dirinya atas pernikahan, seperti ayah, maka batallah kewakilannya karena kefasikannya, sebab ia tidak wajib meminta izin darinya sehingga menjadi wilayah tafwīḍ. Namun, jika ia adalah wakil dari orang yang tidak berhak memaksanya untuk menikah, maka kewakilannya sah karena ia tidak melakukan akad kecuali dengan izinnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَلَوْ كَانَ الْوَلِيُّ أَعْمَى فَفِي صِحَّةِ وِلَايَتِهِ وَجَوَازِ عَقْدِهِ وَجْهَانِ:
Jika wali itu buta, maka dalam keabsahan wilayahnya dan kebolehan akadnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا تَصِحُّ وِلَايَتُهُ؛ لِأَنَّ الْعَمَى يَمْنَعُهُ مِنْ طَلَبِ الْحَظِّ لِوَلِيَّتِهِ.
Salah satunya, yaitu pendapat Ibn Abī Hurairah, wilayahnya tidak sah; karena kebutaan menghalanginya untuk mencari kemaslahatan bagi perempuan yang berada di bawah perwaliannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ وِلَايَتَهُ ثَابِتَةٌ وَعَقْدَهُ صَحِيحٌ، لأن شعيب زَوَّجَ مُوسَى بِابْنَتِهِ، وَكَانَ ضَرِيرًا وَلِأَنَّهُ قَدْ يصل إلى معرفة الحظ بالبحث والسؤال لأن معرفة الحظ لا توصل إِلَيْهِ بِالْمُشَاهَدَةِ وَالْعِيَانِ.
Pendapat kedua: Wilayahnya tetap dan akadnya sah, karena Syu‘aib menikahkan Musa dengan putrinya, padahal ia buta. Selain itu, bisa saja ia mengetahui kemaslahatan dengan cara meneliti dan bertanya, sebab mengetahui kemaslahatan tidak hanya bisa dicapai dengan penglihatan langsung.
فَإِنْ قِيلَ بِهَذَا الْوَجْهِ صَحَّ عَقْدُهُ وَتَوْكِيلُهُ.
Jika mengikuti pendapat ini, maka akad dan kewakilannya sah.
وَإِنْ قِيلَ بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ: أَنَّهُ لَا يَصِحُّ عَقْدُهُ فَهَلْ يَصِحُّ تَوْكِيلُهُ فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Namun jika mengikuti pendapat pertama, bahwa akadnya tidak sah, maka apakah sah baginya untuk mewakilkan dalam hal ini atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ توكيله؛ لأنه لما لم تصح مِنْهُ مُبَاشَرَتُهُ كَانَ بِأَنْ لَا تَصِحَّ عَنْهُ الاستنابة أَوْلَى.
Salah satunya: Tidak sah mewakilkannya; karena ketika tidak sah baginya untuk melakukannya secara langsung, maka lebih utama lagi tidak sah baginya untuk menunjuk wakil.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَصِحُّ مِنْهُ التَّوْكِيلُ فِيهِ وَإِنْ لَمْ تَصِحَّ مِنْهُ الْمُبَاشَرَةُ لَهُ بِنَفْسِهِ كَبَيْعِهِ وَشِرَائِهِ لَا يَصِحُّ مِنْهُ أَنْ يَتَوَلَّاهُ بنفسه ويصح أن يوكل فيه.
Pendapat kedua: Sah baginya untuk mewakilkan dalam hal ini meskipun tidak sah baginya untuk melakukannya sendiri, seperti dalam jual beli, ia tidak sah melakukannya sendiri namun sah baginya menunjuk wakil.
فصل
Fasal
ولو كَانَ الْوَلِيُّ أَخَرَسًا فَفِي صِحَّةِ وِلَايَتِهِ وَجَوَازِ عَقْدِهِ وَجْهَانِ:
Jika wali itu bisu, maka dalam keabsahan wilayahnya dan kebolehan akadnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ وِلَايَتَهُ بَاقِيَةٌ وَعَقْدَهُ صَحِيحٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَصِلُ إِلَى مَعْرِفَةِ الْحَظِّ وَقَدْ تَقُومُ إِشَارَتُهُ فِيهِ مَقَامَ النُّطْقِ كَمَا يَقُومُ مَقَامُهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ، فَعَلَى هَذَا يَصِحُّ مِنْهُ أَنْ يَتَوَلَّاهُ بِنَفْسِهِ وَأَنْ يُوكِّلَ.
Salah satunya: Wilayahnya tetap dan akadnya sah; karena ia bisa mengetahui kemaslahatan dan isyaratnya dapat menggantikan ucapan, sebagaimana isyarat itu berlaku untuk dirinya sendiri. Maka berdasarkan ini, sah baginya untuk melakukannya sendiri maupun mewakilkan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَصِحُّ مِنْهُ الْعَقْدُ؛ لِأَنَّ إِشَارَتَهُ مُحْتَمَلَةٌ، وَإِذَا أُقِيمَتْ فِي حَقِّ نَفْسِهِ لضرورة مَقَامَ نُطْقِهِ لَمْ تَدْعُ الضَّرُورَةُ إِلَى ذَلِكَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ فَعَلَى هَذَا لَا يَصِحُّ مِنْهُ التَّوْكِيلُ وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ الْمَعْنَى فِي احتمال الإشارة موجود في توكيله لوجوده فِي عَقْدِهِ فَلَمْ يَصِحَّا مِنْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua: Tidak sah baginya melakukan akad; karena isyaratnya mengandung kemungkinan (tidak pasti), dan jika isyarat itu dibolehkan untuk dirinya sendiri karena darurat sebagai pengganti ucapan, maka tidak ada kebutuhan darurat seperti itu untuk orang lain. Maka berdasarkan ini, tidak sah baginya untuk mewakilkan menurut satu pendapat; karena alasan kemungkinan dalam isyarat juga terdapat dalam kewakilannya sebagaimana terdapat dalam akadnya, sehingga keduanya tidak sah darinya. Wallāhu a‘lam.
فصل
Fasal
فأما إن كان الولي عدواً للزوجة، أو الزوج، أَوْ لَهُمَا فَهُوَ عَلَى وِلَايَتِهِ وَعَقْدُهُ صَحِيحٌ بِخِلَافِ الشُّهُودِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْوَلِيِّ مُبَاشَرَةُ الْعَقْدِ وَمِنَ الشُّهُودِ الْأَدَاءُ، وَالْعَدَاوَةُ تَمْنَعُ مِنَ الْأَدَاءِ وَلَا تَمْنَعُ مِنَ العقد.
Adapun jika wali itu adalah musuh bagi istri, atau suami, atau keduanya, maka ia tetap pada wilayahnya dan akadnya sah, berbeda dengan saksi dalam salah satu dari dua pendapat; karena tujuan dari wali adalah melangsungkan akad, sedangkan tujuan dari saksi adalah menyampaikan (kesaksian), dan permusuhan menghalangi penyampaian, namun tidak menghalangi akad.
فإن قيل: فإذا كان عدواً لهما وَضَعَهَا فِي غَيْرِ كفءٍ.
Jika dikatakan: Jika ia musuh bagi keduanya, ia akan menempatkannya pada pasangan yang tidak sekufu’.
قِيلَ: رُشْدُهُ وَمَا يخافه من لحوق العار به يمنع من هذا التوهم.
Dijawab: Kewarasan dan rasa takutnya terhadap aib yang akan menimpanya mencegah terjadinya hal tersebut.
فصل
Fasal
فإذا كَانَ الْوَلِيُّ مَحْجُورًا عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ.
Jika wali itu sedang dalam keadaan mahjūr ‘alaih (dilarang mengelola harta) karena pailit.
فَإِنْ قِيلَ: إن حجره جاري مجرى الْمَرَضِ كَانَ عَلَى وِلَايَتِهِ.
Jika dikatakan: Bahwa larangan tersebut seperti halnya penyakit, maka ia tetap pada wilayahnya.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى حَجْرِ السَّفَهِ، فَفِي وِلَايَتِهِ وَجْهَانِ:
Namun jika dikatakan: Bahwa larangan itu seperti larangan karena safah (ketidakdewasaan/boros), maka dalam wilayahnya ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا وِلَايَةَ لَهُ كَالسَّفِيهِ.
Salah satunya: Ia tidak memiliki wilayah seperti orang safīh.
وَالثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهُ عَلَى وِلَايَتِهِ، لأن حجره وإن جرى مجرى حجر السفه في ماله لم يجز مجراة في عدالته والله أعلم.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, ia tetap pada wilayahnya, karena larangan tersebut meskipun serupa dengan larangan safah dalam urusan hartanya, tidaklah serupa dalam hal keadilannya. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” والشهود عَلَى الْعَدْلِ حَتَّى يُعْلَمَ الْجَرْحُ يَوْمَ وَقْعِ النِّكَاحِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Para saksi itu dianggap adil sampai diketahui adanya cela pada hari terjadinya akad nikah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْعَدَالَةُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي شُهُودِ النِّكَاحِ عِنْدَ عَقْدِهِ هِيَ عَدَالَةُ الظَّاهِرِ بِخِلَافِ الشَّهَادَةِ فِي إِثْبَاتِ الْحُقُوقِ عِنْدَ الْحَاكِمِ الَّتِي يُرَاعَى فِيهَا عَدَالَةُ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ.
Al-Māwardī berkata: Keadilan yang diperhitungkan pada saksi nikah saat akad adalah keadilan lahiriah, berbeda dengan kesaksian dalam penetapan hak di hadapan hakim yang memperhatikan keadilan lahir dan batin.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ فِي إِثْبَاتِ الْحُقُوقِ عند الحاكم خَصْمًا جَاحِدًا فَاسْتُكْشِفَ لِأَجْلِهِ عَنْ عَدَالَةِ الْبَاطِنِ، وَلَيْسَ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ هَذَا الْمَعْنَى فَلَمْ تُعْتَبَرْ إِلَّا عَدَالَةُ الظَّاهِرَ.
Salah satunya: Dalam penetapan hak di hadapan hakim terdapat pihak yang mengingkari, sehingga diperlukan pemeriksaan keadilan batin, sedangkan dalam akad nikah tidak ada hal demikian, sehingga hanya diperhatikan keadilan lahiriah.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَاكِمَ يقدر من استبرأ العدالة في الباطن مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ الزَّوْجَانِ فَسَقَطَ اعْتِبَارُ ذَلِكَ عَنْهُمَا وَإِنْ لَمْ يَسْقُطْ عَنِ الْحَاكِمِ، وإذا كان ذلك فَعَدَالَةُ الظَّاهِرِ اجْتِنَابُ الْكَبَائِرِ، وَالْإِقْلَالُ مِنَ الصَّغَائِرِ فإن عَقَدَ الزَّوْجَانِ نِكَاحًا بِشَاهِدِينَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Kedua: Bahwa hakim dapat menyelidiki keadilan secara batiniah dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh kedua mempelai, sehingga pertimbangan tersebut gugur dari keduanya meskipun tidak gugur dari hakim. Jika demikian, maka keadilan lahiriah adalah menjauhi dosa-dosa besar dan mengurangi dosa-dosa kecil. Jika kedua mempelai melangsungkan akad nikah dengan dua orang saksi, maka keadaan keduanya tidak lepas dari empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا عَدْلَيْنِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ فَعَقْدُ النِّكَاحِ بِهِمَا صَحِيحٌ لِعَدَالَةِ ظَاهِرِهِمَا وَإِثْبَاتُهُ عِنْدَ الْحُكَّامِ جَائِزٌ لِعَدَالَةِ بَاطِنِهِمَا.
Pertama: Kedua saksi tersebut adil secara lahir dan batin, maka akad nikah dengan keduanya sah karena keadilan lahiriah mereka, dan penetapannya di hadapan para hakim diperbolehkan karena keadilan batiniah mereka.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَا عَدْلَيْنِ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ فَعَقْدُ النِّكَاحِ بِهِمَا صَحِيحٌ لعدالة ظاهرهما لكن إثباته عِنْدَ الْحُكَّامِ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِاسْتِبْرَاءِ عَدَالَةِ بَاطِنِهِمَا فَيَكْشِفُ عَنْ عَدَالَةِ الْبَاطِنِ وَقْتَ الْأَدَاءِ لَا وَقْتَ الْعَقْدِ، فَإِنْ صَحَّتْ لِلْحَاكِمِ حَكَمَ بِشَهَادَتِهِمَا فِي الْأَدَاءِ، وَإِنْ لَمْ تَصِحَّ لَمْ يَحْكُمْ بِشَهَادَتِهِمَا فِي الْأَدَاءِ، وَالنِّكَاحُ عَلَى حَالِهِ من الصِّحَّةِ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمَا تَقَدُّمُ الْفِسْقِ.
Bagian kedua: Kedua saksi tersebut adil secara lahiriah namun tidak secara batiniah, maka akad nikah dengan keduanya sah karena keadilan lahiriah mereka, tetapi penetapannya di hadapan para hakim tidak sah kecuali setelah menyelidiki keadilan batiniah mereka. Maka hakim akan meneliti keadilan batiniah pada saat pelaksanaan (persaksian), bukan pada saat akad. Jika keadilan batiniah mereka terbukti bagi hakim, maka hakim memutuskan dengan persaksian mereka dalam pelaksanaan. Jika tidak terbukti, maka hakim tidak memutuskan dengan persaksian mereka dalam pelaksanaan, dan akad nikah tetap sah selama tidak tampak dari keduanya adanya kefasikan sebelumnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَا فَاسِقَيْنِ فَالْعَقْدُ بَاطِلٌ، فَلَوْ ظَهَرَتْ عَدَالَتُهُمَا بَعْدَ الْعَقْدِ مَعَ تَقَدُّمِ الفسق وقت العقد كَانَ الْعَقْدُ عَلَى فَسَادِهِ.
Bagian ketiga: Kedua saksi tersebut fasiq, maka akadnya batal. Jika setelah akad ternyata keduanya menjadi adil, namun sebelumnya pada saat akad telah diketahui kefasikan mereka, maka akad tetap dalam status rusak (batal).
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَا مَجْهُولَيِ الْحَالِ لَا يُعْرَفُ فِيهِمَا عَدَالَةٌ وَلَا فِسْقٌ فَهُمَا عَلَى ظَاهِرِ الْعَدَالَةِ وَالنِّكَاحُ بِهِمَا جَائِزٌ، لِأَنَّ الْأَصْلَ الْعَدَالَةُ وَالْفِسْقُ طَارِئٌ، وهو معنى قول الشافعي: والشهود على العدل حتى يعلم الحرج يَوْمَ وَقْعِ النِّكَاحِ وَإِذَا صَحَّ الْعَقْدُ بِهِمَا مَعَ الْجَهَالَةِ بِحَالِهِمَا لَمْ يَحْكُمِ الْحَاكِمُ بِهِمَا من إِثْبَاتِ الْعَقْدِ عِنْدَهُ إِلَّا بَعْدَ اسْتِبْرَاءِ حَالِهِمَا في الظاهر والباطن فإذا استبرأهما لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ مِنْ ثَلَاثَةِ أقسام:
Bagian keempat: Kedua saksi tersebut tidak diketahui keadaannya, tidak diketahui apakah mereka adil atau fasiq, maka mereka dianggap berdasarkan lahirnya sebagai orang yang adil dan akad nikah dengan keduanya diperbolehkan, karena asalnya adalah keadilan dan kefasikan adalah sesuatu yang datang kemudian. Ini adalah makna perkataan asy-Syafi‘i: “Para saksi dianggap adil sampai diketahui adanya cacat pada hari terjadinya akad nikah.” Jika akad sah dengan keduanya meskipun tidak diketahui keadaan mereka, maka hakim tidak memutuskan penetapan akad di hadapannya kecuali setelah menyelidiki keadaan mereka secara lahir dan batin. Setelah diselidiki, keadaan mereka tidak lepas dari tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ عَدَالَةُ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا فيحكم بها فِي صِحَّةِ الْعَقْدِ وَفِي ثُبُوتِهِ.
Pertama: Ternyata bagi hakim keadilan lahir dan batin mereka, maka hakim memutuskan dengan keadilan tersebut dalam sahnya akad dan penetapannya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ عَدَالَةُ ظَاهِرِهِمَا دُونَ بَاطِنِهِمَا فَلَا يَحْكُمُ بِهِمَا فِي ثُبُوتِ الْعَقْدِ فَإِنْ شهد بعقد النكاح بهما شاهدا عدل حينئذٍ بِثُبُوتِ الْعَقْدِ وَصِحَّتِهِ فَيَكُونُ صِحَّةُ الْعَقْدِ بِهِمَا بِعَدَالَةِ ظَاهِرِهِمَا وَثُبُوتُهُ بِشَهَادَةِ غَيْرِهِمَا.
Bagian kedua: Ternyata bagi hakim keadilan lahiriah mereka saja, bukan batiniahnya, maka hakim tidak memutuskan dengan keduanya dalam penetapan akad. Jika kemudian ada dua saksi adil lain yang bersaksi atas akad nikah dengan keduanya, maka penetapan dan keabsahan akad didasarkan pada keadilan lahiriah mereka dan penetapannya dengan persaksian selain mereka.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ فِسْقُهُمَا فَلَا يَخْلُو حال الفسق من ثلاثة أقسام:
Bagian ketiga: Ternyata bagi hakim bahwa keduanya fasiq, maka keadaan kefasikan tidak lepas dari tiga bagian:
أحدهما: أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ وُجُودُ الْفِسْقِ وَقْتَ الْعَقْدِ فالنكاح باطل.
Pertama: Ternyata bagi hakim adanya kefasikan pada saat akad, maka nikahnya batal.
والقسم الثاني: أن يتبن لَهُ حُدُوثُ الْفِسْقِ بَعْدَ الْعَقْدِ فَالْعَقْدُ عَلَى الصِّحَّةِ وَلَا يَفْسُدُ بِحُدُوثِ فِسْقِهِمَا لَكِنْ لَا يَحْكُمُ بِثُبُوتِهِ عِنْدَهُ إِلَّا أَنْ يَشْهَدَ بِهِ عدلان أنه عقد بهما فيحكم حينئذ ثبوته.
Bagian kedua: Ternyata bagi hakim kefasikan terjadi setelah akad, maka akad tetap sah dan tidak batal karena terjadinya kefasikan mereka, namun tidak diputuskan penetapannya di hadapan hakim kecuali jika ada dua saksi adil yang bersaksi bahwa akad dilakukan dengan keduanya, maka saat itu diputuskan penetapannya.
فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يَشْهَدُ بِعَقْدِ النِّكَاحِ بِهِمَا عدلان غيرهما؟ ولو حضره عدلان غيرهما لاستغى بِهِمَا عَنْ غَيْرِهِمَا.
Jika dikatakan: Bagaimana dua saksi adil selain mereka dapat bersaksi atas akad nikah dengan keduanya? Padahal jika ada dua saksi adil lain yang hadir, tentu sudah cukup dengan mereka tanpa membutuhkan selain mereka.
قِيلَ: قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُقِرَّ الزَّوْجَانِ عِنْدَ عَدْلَيْنِ أَنَّهُمَا عَقَدَا النِّكَاحَ بِهَذَيْنِ.
Dijawab: Bisa jadi kedua mempelai mengakui di hadapan dua saksi adil bahwa mereka telah melangsungkan akad nikah dengan dua saksi tersebut.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ فِسْقُهُمَا فِي الْحَالِ وَلَا يَعْلَمُ تَقَدُّمَهُ وَلَا حُدُوثَهُ والنكاح عَلَى الصِّحَّةِ لَا يَحْكُمُ بِفَسَادِهِ لِجَوَازِ حُدُوثِ الْفِسْقِ مَعَ سَلَامَةِ الظَّاهِرِ وَقْتَ الْعَقْدِ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ ” حَتَّى يُعْلَمَ الْجَرْحُ وَقْتَ الْعَقْدِ ” وَإِذَا لَمْ يَحْكُمُ بِفَسَادِهِ لَمْ يَحْكُمْ بإثباته إِلَّا بِشَهَادَةِ غَيْرِهِمَا.
Bagian ketiga: Ternyata bagi hakim bahwa keduanya fasiq saat ini, namun tidak diketahui apakah kefasikan itu sudah ada sebelumnya atau baru terjadi, maka akad nikah tetap sah dan tidak diputuskan batalnya karena dimungkinkan kefasikan itu terjadi setelah akad dengan tetapnya keadilan lahiriah pada saat akad. Inilah makna perkataan asy-Syafi‘i: “Sampai diketahui adanya cacat pada saat akad.” Jika tidak diputuskan batalnya, maka tidak pula diputuskan penetapannya kecuali dengan persaksian selain mereka.
فَصْلٌ
Fashal
فَإِذَا أَقَرَّ الزَّوْجَانِ عِنْدَ الْحَاكِمِ أَنَّهُمَا عَقَدَا النِّكَاحَ بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ وشاهدي عدل حكم عليهما بصحة النكاح بناء على إقرارهما وَلَمْ يَسْأَلْ عَنْ عَدَالَةِ الشَّاهِدِينَ وَرُشْدِ الْوَلِيِّ فلو تناكر الزوجان من بعد أو ادَّعَى أَحَدُهُمَا سَفَهَ الْوَلِيِّ وَفِسْقَ الشَّاهِدِينَ أَلْزَمَهُ صِحَّةُ النِّكَاحِ بِسَابِقِ إِقْرَارِهِ وَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ حُدُوثُ إِنْكَارِهِ فَلَوْ قَالَ: أَنَا أُقِيمُ الْبَيِّنَةَ بما ادعيت من سفه الولي وفسق الشاهدين لم يسمعهما منه؛ لأن إِقْرَارَهُ عَلَى نَفْسِهِ أَوْلَى مِنْ بَيِّنَةٍ أُكَذِّبُهَا بِهِ.
Apabila kedua mempelai mengakui di hadapan hakim bahwa mereka telah melangsungkan akad nikah dengan wali yang cakap dan dua saksi yang adil, maka hakim memutuskan keabsahan nikah atas dasar pengakuan mereka, tanpa menanyakan keadilan kedua saksi dan kecakapan wali. Jika kemudian kedua mempelai saling mengingkari, atau salah satu dari mereka mengklaim bahwa wali tidak cakap atau saksi tidak adil, maka mereka tetap terikat pada keabsahan nikah berdasarkan pengakuan sebelumnya, dan pengingkaran yang terjadi setelahnya tidak berpengaruh. Jika salah satu berkata, “Saya akan menghadirkan bukti atas klaim saya bahwa wali tidak cakap dan saksi tidak adil,” maka hal itu tidak diterima darinya; karena pengakuannya atas dirinya sendiri lebih kuat daripada bukti yang bertentangan dengan pengakuan tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا تَصَادَقَ الزَّوْجَانِ أَنَّهُمَا عَقَدَاهُ بَوْلِيٍّ وَشَاهِدِي عَدْلٍ، وَقَالَ الشَّاهِدَانِ بَلْ كُنَّا وَقْتَ الْعَقْدِ فَاسْقِينَ حَكَمَ بِصِحَّةِ النِّكَاحِ بِإِقْرَارِ الزوجين ولم يلتفت إلى قول الشاهدين فلو اختلف الزوجان فقالت الزوجة: عقدناه بشاهدين فاسقين، وَقَالَ الزَّوْجُ: عَقَدْنَاهُ بِشَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Apabila kedua mempelai sepakat bahwa mereka telah melangsungkan akad dengan wali dan dua saksi yang adil, lalu kedua saksi berkata, “Pada saat akad kami adalah orang fasik,” maka nikah tetap sah berdasarkan pengakuan kedua mempelai dan tidak memperhatikan ucapan kedua saksi. Namun, jika kedua mempelai berselisih, misalnya istri berkata, “Kami menikah dengan dua saksi yang fasik,” sedangkan suami berkata, “Kami menikah dengan dua saksi yang adil,” maka para ulama kami berbeda pendapat dalam dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وهو قول الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ أَنَّهُمَا عَدْلَانِ وَالنِّكَاحُ صَحِيحٌ؛ لِأَنَّهُ مُسْتَصْحِبٌ لِظَاهِرِ الْعَدَالَةِ.
Pendapat pertama, yaitu pendapat ulama Baghdad, bahwa yang dipegang adalah ucapan suami bahwa kedua saksi itu adil dan nikahnya sah; karena ia berpegang pada zahir keadilan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجَةِ إِنَّهُمَا فَاسِقَانِ وَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّهَا مُسْتَصْحِبَةٌ أَنْ لَا نِكَاحَ بَيْنَهُمَا، وَلَوْ قَالَ الزَّوْجُ: كَانَ الشَّاهِدَانِ فَاسِقِينَ وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: كَانَا عَدْلَيْنِ، فَالنِّكَاحُ قَدِ ارْتَفَعَ بَيْنَهُمَا بِإِقْرَارِ الزَّوْجِ وَلَكِنْ فِي سُقُوطِ الْمَهْرِ وجهان:
Pendapat kedua, bahwa yang dipegang adalah ucapan istri bahwa kedua saksi itu fasik dan nikahnya batal; karena ia berpegang pada anggapan bahwa tidak ada nikah di antara mereka. Jika suami berkata, “Kedua saksi itu fasik,” dan istri berkata, “Keduanya adil,” maka nikah telah gugur di antara mereka berdasarkan pengakuan suami, namun dalam hal gugurnya mahar terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَهْرَ لَا يَسْقُطُ تَغْلِيبًا لِقَوْلِ الزوجة لاستصحابها ظاهر العدالة.
Pendapat pertama, mahar tidak gugur dengan menguatkan ucapan istri karena ia berpegang pada zahir keadilan.
والوجه الثاني: قد سقط الْمَهْرُ تَغْلِيبًا لِقَوْلِ الزَّوْجِ لِاسْتِصْحَابِهِ أَنْ لَا عقد بينهما والله أعلم.
Pendapat kedua, mahar telah gugur dengan menguatkan ucapan suami karena ia berpegang pada anggapan tidak adanya akad di antara mereka. Wallāhu a‘lam.
فصل
Fasal
فإذا تَصَادَقَ الزَّوْجَانِ أَنَّهُمَا تَنَاكَحَا بِوِلَايَةِ الْأَبِ وَأَنَّ الْأَبَ زَوَّجَهَا مِنْهُ وَأَنْكَرَ الْأَبُ أَنْ يَكُونَ زَوَّجَهَا فَالنِّكَاحُ ثَابِتٌ بِتَصَادُقِهِمَا وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ إِنْكَارُ الْأَبِ أَنَّهُ مَا عَقَدَ بَيْنَهُمَا؛ لِأَنَّ الْحَقَّ لَهُمَا لَا لِلْأَبِ فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ إِنْكَارُ الْأَبِ، وَهَكَذَا لَوْ تَصَادَقَا أَنَّهُمَا عَقَدَاهُ بِشَاهِدَيْنِ هُمَا زَيْدٌ وَعَمْرٌو، فَأَنْكَرَ زَيْدٌ وَعَمْرٌو أَنْ يَكُونَا حَضَرَاهُ فَالنِّكَاحُ ثَابِتٌ بِتَصَادُقِ الزَّوْجَيْنِ وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ إِنْكَارُ الشَّاهِدِينَ، لِأَنَّ الْحَقَّ فِيهِ لِلزَّوْجَيْنِ دُونَ الشَّاهِدَيْنِ.
Apabila kedua mempelai sepakat bahwa mereka menikah dengan wali ayah, dan ayah telah menikahkan putrinya dengan suaminya, lalu ayah mengingkari bahwa ia telah menikahkan, maka nikah tetap sah berdasarkan kesepakatan keduanya dan pengingkaran ayah tidak berpengaruh; karena hak itu milik kedua mempelai, bukan milik ayah, sehingga pengingkaran ayah tidak berpengaruh. Demikian pula, jika keduanya sepakat bahwa mereka menikah dengan dua saksi, yaitu Zaid dan Amr, lalu Zaid dan Amr mengingkari bahwa mereka hadir pada akad tersebut, maka nikah tetap sah berdasarkan kesepakatan kedua mempelai dan pengingkaran kedua saksi tidak berpengaruh, karena hak dalam hal ini milik kedua mempelai, bukan milik para saksi.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَا يَصِحُّ النِّكَاحُ بِحُضُورِ الشَّاهِدِينَ حَتَّى يَسْمَعَا لَفْظَ الْوَلِيِّ بِالْبَذْلِ وَلَفْظَ الزَّوْجِ بِالْقَبُولِ فَيَصِحُّ الْعَقْدُ فَإِنْ سَمِعَا مَعَ الْبَذْلِ وَالْقَبُولِ ذِكْرَ الصَّدَاقِ شَهِدَا بِهِ وَبِالْعَقْدِ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعَا ذِكْرَ الصَّدَاقِ شَهِدَا بِالْعَقْدِ دُونَ الصَّدَاقِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَشْهَدَا بِالصَّدَاقِ بِظَاهِرِ الْأَخْبَارِ فِي مَجْلِسِ الْعَقْدِ.
Nikah tidak sah dengan kehadiran dua saksi kecuali keduanya mendengar ucapan wali dalam ijab dan ucapan suami dalam kabul, sehingga akad menjadi sah. Jika keduanya mendengar bersama ijab dan kabul serta disebutkan mahar, maka keduanya bersaksi atas mahar dan akad. Jika keduanya tidak mendengar penyebutan mahar, maka keduanya hanya bersaksi atas akad tanpa mahar. Tidak boleh bagi keduanya untuk bersaksi atas mahar hanya berdasarkan dugaan dari berita yang didengar di majelis akad.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولو كَانَتْ صَغِيرَةً ثَيِّبًا أُصِيْبَتْ بنكاحٍ أَوْ غَيْرِهِ فَلَا تُزَوَّجُ إِلَّا بِإِذْنِهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang perempuan kecil sudah pernah menikah dan telah digauli, baik melalui pernikahan atau selainnya, maka ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. وَالنِّسَّاءُ ضَرْبَانِ: أَبْكَارٌ، وَثَيِّبٌ.
Al-Mawardi berkata: “Ini benar. Perempuan ada dua jenis: perawan dan janda.”
فَأَمَّا الْأَبْكَارُ فَقَدْ مَضَى حُكْمُهُنَّ وَسَنَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ.
Adapun perawan, telah dijelaskan hukumnya dan akan disebutkan kembali setelah ini.
وَأَمَّا الثَّيِّبُ فَضَرْبَانِ: عَاقِلَةٌ، وَمَجْنُونَةٌ.
Adapun janda, terbagi dua: yang berakal dan yang tidak berakal.
فَأَمَّا الْعَاقِلَةُ فَضَرْبَانِ: صَغِيرَةٌ وَكَبِيرَةٌ فَأَمَّا الْكَبِيرَةُ فَلَا يَجُوزُ إِجْبَارُهَا وَلَا تَزْوِيجُهَا إِلَّا بِاخْتِيَارِهَا وَعَنْ إِذْنِهَا سَوَاءً كَانَ وَلِيِّهُا أَبًا أَوْ عُصْبَةً، وَإِذْنُهَا النُّطْقُ الصَّرِيحُ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Adapun janda yang berakal, terbagi dua: yang masih kecil dan yang sudah dewasa. Adapun yang sudah dewasa, tidak boleh dipaksa dan tidak boleh dinikahkan kecuali atas pilihannya dan dengan izinnya, baik walinya adalah ayah maupun kerabat laki-laki. Izinnya adalah dengan ucapan yang jelas, dan ini disepakati para ulama.
وَأَمَّا الثَّيِّبُ الصَّغِيرَةُ فَلَيْسَ لِأَحَدٍ مِنْ أَوْلِيَائِهَا أَبًا كَانَ أَوْ غَيْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا إِلَّا بَعْدَ بُلُوغِهَا وَإِذْنِهَا، فَإِنْ زَوَّجَهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ بِإِذْنٍ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنٍ كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا.
Adapun wanita tsayyib yang masih kecil, maka tidak ada seorang pun dari para walinya, baik ayah maupun selainnya, yang boleh menikahkannya kecuali setelah ia baligh dan mendapat izinnya. Jika ia dinikahkan sebelum baligh, baik dengan izin maupun tanpa izin, maka pernikahannya batal.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ أَنْ يُزَوِّجَهَا جَمِيعُ أَوْلِيَائِهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ فَإِنْ زَوَّجَهَا أَبُوهَا فَلَا خِيَارَ لَهَا إِذَا بَلَغَتْ وَإِنْ زَوَّجَهَا غَيْرُ أَبِيهَا مِنَ الْعَصَبَاتِ كانت بالخيار إذا بلغت بين المقام والفسخ. وَقَالَ أبو يوسف: لَا خِيَارَ لَهَا فِي تَزْوِيجِ الْعَصَبَاتِ كَمَا لَمْ يَكُنْ لَهَا الْخِيَارُ فِي تَزْوِيجِ الْأَبِ وَاسْتَدَلُّوا عَلَى جَوَازِ تَزْوِيجِهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ) {النور: 32) وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ ثَبَتَتْ عَلَيْهِ الْوِلَايَةُ فِي مَالِهِ جَازَ إِجْبَارُهُ عَلَى النِّكَاحِ كَالْبِكْرِ الصَّغِيرَةِ وَكَالْغُلَامِ وَلِأَنَّ لَهَا مَنْفَعَتَيْنِ اسْتِخْدَامٌ، واستمتاع، فلما كان لولي العقد على استخدام منفعتها بالإجازة جَازِ لَهُ الْعَقْدُ عَلَى مَنْفَعَةِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا بالنكاح.
Abu Hanifah berpendapat: Semua walinya boleh menikahkannya sebelum baligh. Jika ayahnya yang menikahkannya, maka ia tidak memiliki hak memilih (khiyar) ketika sudah baligh. Namun jika yang menikahkannya adalah selain ayahnya dari kalangan ‘ashabah, maka ia berhak memilih antara melanjutkan atau membatalkan pernikahan ketika sudah baligh. Abu Yusuf berkata: Ia tidak memiliki hak memilih dalam pernikahan yang dilakukan oleh ‘ashabah, sebagaimana ia juga tidak memiliki hak memilih dalam pernikahan yang dilakukan oleh ayah. Mereka berdalil atas bolehnya menikahkan sebelum baligh dengan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu} (an-Nur: 32), dan karena siapa saja yang telah tetap kewalian atas hartanya, boleh dipaksa untuk menikah seperti perawan kecil dan anak laki-laki. Juga karena ia memiliki dua manfaat: bisa digunakan (istikhdam) dan dinikmati (istimta‘). Maka ketika wali boleh melakukan akad atas manfaat penggunaan dengan ijazah, maka boleh pula baginya melakukan akad atas manfaat istimta‘ melalui pernikahan.
وتحريره: أنها إحدى منفعتيها فجاز العقد عليها قبل بلوغها كالإجازة.
Penjelasannya: Bahwa itu adalah salah satu dari dua manfaatnya, maka boleh dilakukan akad atasnya sebelum ia baligh sebagaimana ijazah.
ودليلنا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مَنْ وَلِيِّهَا، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ إِجْبَارُهَا لِأَنَّهُ يَصِيرُ أَحَقَّ بِهَا مِنْ نفسها، وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الصَّغِيرَةِ وَالْكَبِيرَةِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ صِفَةٍ خرج بها الولي عن كمال الولاية قبل البلوغ قِيَاسًا عَلَى عِتْقِ الْأَمَةِ لَمَّا كَانَ حُدُوثُهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ مَانِعًا مِنْ إِجْبَارِهَا عَلَى النِّكَاحِ كَانَ حُدُوثُهُ قبل البلوغ مانعاً من إجبارها وعليه، ولأنها حرة سليمة ذهبت عدتها بِجِمَاعٍ فَلَمْ يَجُزْ إِجْبَارُهَا عَلَى النِّكَاحِ كَالْكَبِيرَةِ.
Dalil kami adalah sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Wanita tsayyib lebih berhak atas dirinya daripada walinya.” Maka tidak boleh wali memaksanya, karena itu berarti wali lebih berhak atas dirinya daripada dirinya sendiri. Dan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Tidak ada urusan bagi wali bersama wanita tsayyib.” Maka ini berlaku umum, baik untuk yang kecil maupun yang besar. Dan setiap sifat yang menyebabkan wali kehilangan kesempurnaan kewalian sebelum baligh, berdasarkan qiyās atas pembebasan budak perempuan, ketika pembebasan itu terjadi setelah baligh menjadi penghalang untuk memaksanya menikah, maka jika terjadi sebelum baligh juga menjadi penghalang untuk memaksanya. Dan karena ia adalah perempuan merdeka yang sehat, masa iddahnya telah habis karena jima‘, maka tidak boleh dipaksa menikah sebagaimana wanita dewasa.
فَأَمَّا الْآيَةُ إِنْ حُمِلَتْ عَلَى الْأَوْلِيَاءِ فَمَخْصُوصَةٌ بِمَا ذَكَرْنَا.
Adapun ayat tersebut, jika dipahami mengenai para wali, maka telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْبِكْرِ وَالْغُلَامَ اعْتِبَارًا بِالْوِلَايَةِ عَلَى الْمَالِ فَلَا يَجُوزُ اعْتِبَارُ الولاية بِالْوِلَايَةِ عَلَى النِّكَاحِ؛ لِأَنَّ وِلَايَةَ الْمَالِ أَوْسَعُ لِثُبُوتِهَا لِلْوَصِيِّ الَّذِي لَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَى النِّكَاحِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْبِكْرِ وَالْغُلَامِ أَنَّهُ لما لم يثبت لهما خيار جاز إجبارهم وَلَيْسَ كَالثَّيِّبِ لِثُبُوتِ الْخِيَارِ لَهَا عندهم وَأَمَّا استدلالهم بمنفعة الاستخدام فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الِاسْتِمْتَاعِ أَنْ مُدَّةَ الِاسْتِخْدَامِ مقررة بِأَمَدٍ يَنْقَضِي يَصِلُ إِلَى مِثْلِ ذَلِكَ الْعَقْدِ بَعْدَ بُلُوغِهَا وَمُدَّةُ الِاسْتِمْتَاعِ مُؤَيَّدَةٌ وَهِيَ لَا تَصِلُ إِلَى مِثْلِ ذَلِكَ الْعَقْدِ بَعْدَ بُلُوغِهَا فافترقا.
Adapun qiyās mereka terhadap perawan dan anak laki-laki dengan mempertimbangkan kewalian atas harta, maka tidak boleh menyamakan kewalian atas harta dengan kewalian atas pernikahan; karena kewalian atas harta lebih luas, sebab tetapnya kewalian itu bagi washi yang tidak memiliki kewalian atas pernikahan. Kemudian, alasan pada perawan dan anak laki-laki adalah karena tidak adanya hak memilih bagi mereka, maka boleh dipaksa. Sedangkan wanita tsayyib tidak demikian, karena ia memiliki hak memilih menurut mereka. Adapun dalil mereka tentang manfaat penggunaan, maka perbedaannya dengan manfaat istimta‘ adalah bahwa masa penggunaan ditentukan dengan waktu tertentu yang akan berakhir, dan bisa sampai pada akad semacam itu setelah ia baligh. Sedangkan masa istimta‘ bersifat terus-menerus, dan tidak bisa sampai pada akad semacam itu setelah ia baligh, maka keduanya berbeda.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الثَّيِّبُ الْمَجْنُونَةُ فَلَهَا حَالَتَانِ: صَغِيرَةٌ، وَكَبِيرَةٌ، فَإِنْ كَانَتْ كَبِيرَةً جَازَ لِأَبِيهَا إِجْبَارُهَا عَلَى النِّكَاحِ لِلْإِيَاسِ مِنْ صِحَّةِ إِذْنِهَا إِلَّا أن يكون مِمَّنْ تُجَنُّ فِي زَمَانٍ وَتُفِيقُ فِي زَمَانٍ فَلَا يَجُوزُ إِجْبَارُهَا لِإِمْكَانِ اسْتِئْذَانِهَا فِي زَمَانِ إفاقتها وإنما يجوز إجبارها إذا طبق الْجُنُونُ بِهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِهَذِهِ أَبٌ زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ، وَلَا يَكُونُ لِأَحَدٍ مِنْ عَصَبَتِهَا تَزْوِيجُهَا؛ لِأَنَّهَا مُلْحَقَةٌ بِوِلَايَةِ الْمَالِ الثَّابِتَةِ بَعْدَ الأب والجد وللحاكم دُونَ الْعَصَبَةِ، فَإِنْ كَانَتِ الثَّيِّبُ الْمَجْنُونَةُ صَغِيرَةً لَمْ يَجُزْ لِغَيْرِ الْأَبِ وَالْجَدِّ إِجْبَارُهَا مِنْ حَاكِمٍ وَلَا عَصَبَةٍ، وَهَلْ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ إِجْبَارُهَا إذا كان ما يؤس الْبُرْءُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun wanita tsayyib yang gila, maka ada dua keadaan: masih kecil dan sudah dewasa. Jika ia sudah dewasa, maka ayahnya boleh memaksanya menikah karena tidak ada harapan untuk sahnya izinnya, kecuali jika ia termasuk orang yang kadang gila dan kadang sadar, maka tidak boleh dipaksa menikah karena masih memungkinkan untuk meminta izinnya ketika ia sadar. Pemaksaan hanya boleh dilakukan jika kegilaannya terus-menerus. Jika ia tidak memiliki ayah, maka hakim yang menikahkannya, dan tidak boleh seorang pun dari ‘ashabah menikahkannya; karena ia disamakan dengan kewalian atas harta yang tetap setelah ayah dan kakek, yaitu bagi hakim, bukan ‘ashabah. Jika wanita tsayyib yang gila itu masih kecil, maka selain ayah dan kakek tidak boleh memaksanya, baik hakim maupun ‘ashabah. Adapun apakah ayah dan kakek boleh memaksanya jika tidak ada harapan sembuh? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهُ إِجْبَارُهَا قِيَاسًا عَلَى مَا بَعْدَ الْبُلُوغِ وَإِنَّهُ رُبَّمَا كَانَ لها الزَّوْجِ عَفَافٌ وَشِفَاءٌ.
Pertama: Boleh memaksanya, qiyās dengan keadaan setelah baligh, karena mungkin saja suami menjadi penjaga kehormatan dan penyembuh baginya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ إِجْبَارُهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ وَإِنْ جَازَ لَهُ إِجْبَارُهَا بعد البلوغ لأن برئها قبل البلوغ إرجاء وَالْإِيَاسُ مِنْهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ أَقْوَى فَمُنِعَ مِنْ إِجْبَارِهَا لِيَقَعَ الْإِيَاسُ مِنْ بُرْئِهَا.
Pendapat kedua: Tidak boleh baginya memaksa (anak perempuannya) sebelum baligh, meskipun boleh baginya memaksa setelah baligh, karena kemungkinan sembuhnya sebelum baligh masih ada, sedangkan keputusasaan dari sembuhnya setelah baligh lebih kuat. Maka ia dilarang memaksanya agar benar-benar terjadi keputusasaan dari kemungkinan sembuhnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ حُكْمِ الثَّيِّبِ وَأَنَّهَا مُفَارَقَةٌ لِلْبِكْرِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Jika telah tetap apa yang kami sebutkan tentang hukum wanita thayyib, dan bahwa ia berbeda dengan perawan dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبِكْرَ تجبر والثيب لا تجبر.
Pertama: Bahwa perawan boleh dipaksa, sedangkan thayyib tidak boleh dipaksa.
والثاني: أَنَّ إِذَنَ الْبِكْرِ الصَّمْتُ، وَإِذْنَ الثَّيِّبِ النُّطْقُ وجب أن نصف الثَّيِّبَ بِمَا تَمْتَازُ بِهِ عَنِ الْبِكْرِ. وَالثَّيِّبُ: هِيَ الَّتِي زَالَتْ عُذْرَتُهَا، وَزَوَالُ الْعُذْرَةِ عَلَى ثلاثة أقسام:
Kedua: Bahwa izin perawan adalah dengan diam, sedangkan izin thayyib adalah dengan ucapan. Maka wajib bagi kita untuk menjelaskan thayyib dengan apa yang membedakannya dari perawan. Thayyib adalah wanita yang telah hilang keperawanannya, dan hilangnya keperawanan itu ada tiga macam:
أحدها: أن يزول بوطء.
Pertama: Hilang karena jima‘ (hubungan badan).
والثاني: أن تزول بظفرة أَوْ جِنَايَةٍ.
Kedua: Hilang karena kuku atau karena suatu tindak kejahatan.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تَزُولَ خِلْقَةً وَهِيَ أَنَّ تُخْلَقَ لَا عُذْرَةَ لَهَا.
Ketiga: Hilang secara bawaan, yaitu diciptakan tanpa memiliki keperawanan.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ تَزُولَ عُذْرَتُهَا بِوَطْءٍ، فَالْوَطْءُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Adapun bagian pertama, yaitu hilangnya keperawanan karena jima‘, maka jima‘ itu ada tiga macam:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ حَلَالًا إِمَّا فِي عَقْدِ نِكَاحٍ، أَوْ بِمِلْكِ يَمِينٍ.
Pertama: Jima‘ yang halal, baik dalam akad nikah maupun karena kepemilikan budak.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ شُبْهَةً.
Kedua: Jima‘ karena syubhat (keraguan hukum).
وَالثَّالِثُ: أن يكون زنى حراماً وجميع ذلك يزول به الْبِكَارَةِ سَوَاءً كَانَ الْوَطْءُ بِنِكَاحٍ، أَوْ سِفَاحٍ وَيَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ الثَّيِّبِ.
Ketiga: Jima‘ karena zina yang haram. Semua itu menghilangkan keperawanan, baik jima‘ itu melalui pernikahan maupun perzinaan, dan berlaku atasnya hukum thayyib.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا زَالَتْ عُذْرَتُهَا بِزِنًا كَانَتْ فِي حُكْمِ البِكْر إِلَّا أَنْ يَتَكَرَّرَ مِنْهَا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الزَّانِيَةَ إِذَا تَذَكَّرَتْ مَا فَعَلَتْ مِنَ الزِّنَا خجلت واستحييت مِنَ التَّصْرِيحِ بِطَلَبِ الْأَزْوَاجِ فَكَانَ حَالُهَا أَسْوَأَ حَالًا مِنَ الْبِكْرِ، وَلِأَنَّ كُلَّ وَطْءٍ لَا يُبِيحُ الرَّجْعَةَ لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ لَمْ يَزُلْ بِهِ حُكْمُ الْبَكَارَةِ كَالْوَطْءِ فِي غَيْرِ الْقُبُلِ.
Abu Hanifah berkata: Jika keperawanannya hilang karena zina, maka ia tetap dalam hukum perawan kecuali jika perzinaan itu berulang, dengan alasan bahwa wanita pezina jika mengingat apa yang telah ia lakukan berupa zina, ia akan malu dan segan untuk secara terang-terangan meminta suami, sehingga keadaannya lebih buruk daripada perawan. Dan karena setiap jima‘ yang tidak membolehkan rujuk kepada suami pertama, tidak menghilangkan hukum keperawanan, seperti jima‘ bukan pada kemaluan.
وَدَلِيلُنَا قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّ بَكَارَتَهَا زَالَتْ بِوَطْءٍ فَوَجَبَ أَنْ تكون في حكم الثيب كالموطؤة فِي نِكَاحٍ، وَلِأَنَّ كُلَّ وَطْءٍ زَالَتْ بِهِ الْبَكَارَةُ إِذَا كَانَ حَلَالًا زَالَتْ بِهِ الْبَكَارَةُ، وَإِنْ كَانَ مَحْظُورًا كَوَطْءِ الشُّبْهَةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ وَطْءٍ زَالَتْ بِهِ الْبَكَارَةُ إِذَا تَكَرَّرَ زَالَتْ بِهِ الْبَكَارَةُ وَإِنْ لَمْ يَتَكَرَّرْ كَالْمَنْكُوحَةِ، وَقَدْ قال: إنه لو تكرر منها الزنا صارت ثيباً وكذلك إِذَا لَمْ يَتَكَرَّرُ وَلِأَنَّ صَمْتَ الْبِكْرِ إِنَّمَا صار إذناً لاستحيائها بدوام الخفر وقلة اختيارها لِلرِّجَالِ فَتَمَيَّزَتْ عَنِ الثَّيِّبِ الَّتِي قَدْ ظَهَرَ خفرها وخبرت الرِّجَالَ فَصَارَتْ أَقَلَّ حَيَاءً مِنَ الْبِكْرِ وَالزَّانِيَةُ لَمْ تُقْدِمْ عَلَى الزِّنَا إِلَّا لِزَوَالِ الْحَيَاءِ وَارْتِفَاعِ الْخَفْرِ فَصَارَتْ أَجْرَأَ عَلَى الْقَوْلِ وَأَخْبَرَ بالرجال من ذات الزَّوْجِ، وَفِي هَذَا الِاسْتِدْلَالِ انْفِصَالٌ عَمَّا أَوْرَدَهُ فأما قِيَاسُهُ مَعَ انْتِقَاضِهِ بِتَكْرَارِ الزِّنَا فَالْمَعْنَى فِي الوطء في غير القبل بقاء العذرة مفارق الزنا الذي زالت به العذرة في الوطء في غير القبل.
Dalil kami adalah sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Wali tidak punya hak dalam urusan wanita thayyib.” Maka ini berlaku secara umum. Dan karena keperawanannya telah hilang dengan jima‘, maka wajib ia masuk dalam hukum thayyib seperti wanita yang telah digauli dalam pernikahan. Dan setiap jima‘ yang menghilangkan keperawanan, jika halal maka hilanglah keperawanan, dan jika terlarang seperti jima‘ syubhat, juga demikian. Dan setiap jima‘ yang menghilangkan keperawanan, jika berulang maka keperawanan hilang, dan jika tidak berulang seperti wanita yang dinikahi, juga demikian. Ia (Abu Hanifah) berkata: Jika perzinaan itu berulang, maka ia menjadi thayyib, demikian pula jika tidak berulang. Dan diamnya perawan dijadikan sebagai izin karena rasa malunya yang terus-menerus dan sedikitnya keinginan terhadap laki-laki, sehingga ia berbeda dengan thayyib yang telah hilang rasa malunya dan telah mengenal laki-laki, sehingga ia lebih sedikit rasa malunya daripada perawan. Sedangkan wanita pezina, ia tidak melakukan zina kecuali karena hilangnya rasa malu dan lenyapnya kehormatan, sehingga ia lebih berani berbicara dan lebih mengenal laki-laki daripada wanita yang pernah bersuami. Dalam istidlal ini terdapat penjelasan yang memisahkan dari apa yang ia kemukakan. Adapun qiyās-nya, dengan adanya bantahan pada perulangan zina, maka maknanya pada jima‘ bukan pada kemaluan adalah tetapnya keperawanan, berbeda dengan zina yang menghilangkan keperawanan pada jima‘ bukan pada kemaluan.
فصل
Fasal
وأما زَوَالُ الْعُذْرَةِ بِإِصْبَعٍ أَوْ ظُفْرَةٍ أَوْ جِنَايَةٍ غَيْرِ الْوَطْءِ، فَقَدْ ذَهَبَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خيران من أصحابنا إلى أنه رُفِعَ حُكْمُ الْبَكَارَةِ اسْتِدْلَالًا بِمَذْهَبٍ وَحِجَاجٍ.
Adapun hilangnya keperawanan karena jari, kuku, atau suatu tindak kejahatan selain jima‘, maka Abu ‘Ali bin Khairan dari kalangan ulama kami berpendapat bahwa hukum keperawanan telah terangkat, berdasarkan pada mazhab dan istidlal.
فَالْمَذْهَبُ أن الشافعي قال: أصيبت بنكاح أو غيره.
Adapun mazhabnya, bahwa asy-Syafi‘i berkata: “Ia kehilangan keperawanan karena nikah atau sebab lain.”
وَأَمَّا الْحِجَاجُ فَهُوَ: أَنَّ الْحُكْمَ تَابِعٌ لِلِاسْمِ فَلِمَّا زَالَ بِذَلِكَ اسْمُ الْبَكَارَةِ وَجَبَ أَنْ يَزُولَ بِهِ حُكْمُ الْبَكَارَةِ وَهَذَا خَطَأٌ بَلْ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ أَصْحَابِهِ أَنَّ حُكْمِ الْبَكَارَةِ جَارٍ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ صَمْتَ الْبِكْرِ إِنَّمَا كَانَ نطقاً لما هي عَلَيْهِ مِنَ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْخِبْرَةِ بِالرِّجَالِ وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي هَذِهِ الَّتِي زَالَتْ عُذْرَتُهَا بِغَيْرِ وَطْءٍ فَلَمَّا وُجِدَ مَعْنَى الْبِكْرِ فِيهَا وَجَبَ أَنْ يُعَلَّقَ بِهَا حُكْمُ الْبِكْرِ، وَتَعْلِيقُ أَحْكَامُ الْبِكْرِ بِمَعَانِي الْأَسْمَاءِ أَوْلَى مِنْ تَعْلِيقِهَا بِمُجَرَّدِ الْأَسْمَاءِ، وَفِيهِ انْفِصَالٌ، وَمَا ادَّعَاهُ مِنَ المذهب فقد زال فِيهِ، لِأَنَّ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ: ” أُصِيبَتْ بِنِكَاحٍ أَوْ غَيْرِهِ ” يَعْنِي أَوْ غَيْرِ نِكَاحٍ مِنْ شُبْهَةٍ، أَوْ زِنًا وَقَدْ صَرَّحَ بِذَلِكَ فِي كِتَابِ ” الأم “.
Adapun argumentasi yang dikemukakan adalah: bahwa hukum itu mengikuti nama, maka ketika nama “perawan” (al-bikru) hilang karena sebab tersebut, wajib pula hilang hukum keperawanan bersamanya. Ini adalah kekeliruan. Bahkan, mazhab asy-Syafi‘i dan seluruh pengikutnya berpendapat bahwa hukum keperawanan tetap berlaku atasnya; karena diamnya seorang perawan (bikr) dianggap sebagai persetujuan, disebabkan oleh rasa malu dan kurangnya pengalaman dengan laki-laki. Makna ini juga terdapat pada perempuan yang hilang keperawanannya bukan karena persetubuhan. Maka, ketika makna keperawanan masih ada padanya, wajib pula hukum keperawanan diterapkan kepadanya. Mengaitkan hukum-hukum keperawanan dengan makna-makna nama lebih utama daripada mengaitkannya hanya dengan sekadar nama. Dalam hal ini terdapat penjelasan, dan apa yang diklaim sebagai mazhab telah hilang di sini, karena perkataan asy-Syafi‘i: “Dihilangkan (keperawanannya) karena pernikahan atau selainnya,” maksudnya selain pernikahan, baik karena syubhat atau zina, dan beliau telah menegaskan hal itu dalam kitab “al-Umm”.
وأما التي زالت عُذْرَتُهَا خِلْقَةً فَلَا خِلَافَ أَنَّهَا فِي حُكْمِ الْبِكْرِ وَهَذَا مِمَّا يُوَضِّحُ فَسَادَ قَوْلِ ابْنِ خَيْرَانَ حَيْثُ اعْتَبَرَ الْحُكْمَ بِمُجَرَّدِ الِاسْمِ.
Adapun perempuan yang kehilangan keperawanannya karena bawaan lahir, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa ia dalam hukum perawan. Hal ini memperjelas rusaknya pendapat Ibnu Khairan yang menetapkan hukum hanya berdasarkan nama semata.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا وَأَرَادَ الْوَلِيُّ نكاح الْمَرْأَةِ فَذَكَرَتْ أَنَّهَا بِكْرٌ قَبِلَ قَوْلَهَا مَا لَمْ يَعْلَمْ خِلَافَهُ وَأَجْرَى عَلَيْهَا حُكْمَ الْبِكْرِ، فَإِنْ قَالَتْ: أَنَا ثَيِّبٌ قَبِلَ قَوْلَهَا، وَإِنْ لم يعلم لها زوج تقدم ولم يسأل عَنِ الْوَطْءِ الَّذِي صَارَتْ بِهِ ثَيِّبًا وَأَجْرَى عَلَيْهَا حُكْمَ الثَّيِّبِ، فَلَوْ زَوَّجَهَا الْأَبُ بِغَيْرِ إِذَنٍ لِاعْتِقَادِهِ أَنَّهَا بِكْرٌ فَادَّعَتْ بَعْدَ عَقْدِهِ أَنَّهَا ثَيِّبٌ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِي إِبْطَالِ النِّكَاحِ بَعْدَ وُقُوعِهِ عَلَى ظَاهِرِ الصِّحَّةِ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهَا الْبَكَارَةُ، فَإِنْ أَقَامَتْ أَرْبَعَ نِسْوَةٍ شهدن لها أنهن شاهدنها قبل النكاح ثيباً لم يبطل العقد إمضاء لجواز أن تكون عذرتهازالت بظفرة، أو اصبع، أو حلقة.
Jika telah tetap apa yang kami jelaskan, dan wali ingin menikahkan seorang perempuan, lalu ia menyatakan bahwa dirinya perawan, maka perkataannya diterima selama tidak diketahui sebaliknya, dan hukum perawan diberlakukan atasnya. Jika ia berkata: “Aku janda,” maka perkataannya diterima, meskipun tidak diketahui pernah bersuami sebelumnya dan tidak ditanya tentang persetubuhan yang menjadikannya janda, dan hukum janda diberlakukan atasnya. Jika ayah menikahkannya tanpa izinnya karena mengira ia perawan, lalu setelah akad ia mengaku bahwa dirinya janda, maka pengakuannya tidak diterima untuk membatalkan pernikahan setelah terjadi dengan tampak sah; karena asalnya ia adalah perawan. Jika ia mendatangkan empat orang perempuan yang bersaksi bahwa mereka melihatnya sebelum menikah sudah janda, maka akad tidak batal, karena mungkin saja keperawanannya hilang karena kuku, jari, atau cincin.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولا يزوج البكر بغير إذنها ولا يزوج الصَّغِيرَةُ إِلَّا أَبُوهَا أَوْ جَدُّهَا بَعْدَ مَوْتِ أَبِيهَا “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak boleh menikahkan perawan tanpa izinnya, dan tidak boleh menikahkan anak perempuan kecil kecuali oleh ayahnya atau kakeknya setelah ayahnya wafat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ نِكَاحَ الْبِكْرِ مُعْتَبَرٌ بِأَوْلِيَائِهَا وَنِكَاحَ الثَّيِّبِ مُعْتَبَرٌ بِنَفْسِهَا؛ لِأَنَّ الثيب لا تزوج مع الْأَوْلِيَاءِ إِلَّا بِإِذْنِهَا وَالْبِكْرَ يُجْبِرُهَا عَلَيْهِ بَعْضُ أوليائها، وإن كانت كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ وَلِيُّ الْبِكْرِ مِنْ أَنْ يَكُونَ أَبًا أَوْ عَصَبَةً فَإِنْ كَانَ وَلَيُّهَا أباً وزوجها جبراً سواء كانت صغيرة أو كبيرة أو عَاقِلَةً أَوْ مَجْنُونَةً، وَهَكَذَا الْجَدُّ بَعْدَ مَوْتِ الْأَبِ يَقُومُ فِي إِجْبَارِهَا مَقَامَ الْأَبِ لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ قَامَ مَقَامَ الْأَبِ لِأَنَّهُ مشارك له في اسم الأب، أو لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى الْأَبِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pernikahan perawan dipertimbangkan dengan walinya, sedangkan pernikahan janda dipertimbangkan dengan dirinya sendiri; karena janda tidak dinikahkan oleh wali kecuali dengan izinnya, sedangkan perawan dapat dipaksa menikah oleh sebagian walinya. Jika demikian, wali perawan tidak lepas dari dua kemungkinan: ayah atau ‘ashabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah). Jika walinya adalah ayah dan menikahkannya secara paksa, baik ia masih kecil atau sudah dewasa, berakal atau tidak, demikian pula kakek setelah ayah wafat menempati posisi ayah dalam memaksanya. Namun, para ulama kami berbeda pendapat: apakah kakek menempati posisi ayah karena ia juga disebut “ayah”, atau karena ia bermakna seperti ayah? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لِأَنَّهُ مُشَارِكٌ لَهُ فِي الِاسْمِ؛ لِأَنَّهُمَا يُسَمَّيَانِ أَبًا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {مِلَةَ أَبِيكُمْ إبْرَاهِيمَ) {الحج: 78) .
Pertama: Karena ia juga disebut “ayah”; karena keduanya sama-sama dinamakan ayah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {agama ayah kalian Ibrahim} (QS. al-Hajj: 78).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى الْأَبِ وَإِنْ لَمْ يُشَارِكْهُ فِي الِاسْمِ لِمَا فِيهِ من صفتي الأب التي تميز بها عن سائر الأولياء، وهما الولادة، والتعصب، فبالولادة تميز عن الإخوة، وبالتعصب تَمَيَّزَ عَنِ الْجَدِّ لِلْأُمِّ، وَإِنْ كَانَ وَلِيُّ الْبِكْرِ عَصَبَةً رُوعِيَ حَالُهَا حينئذٍ، فَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً لَمْ يَكُنْ لِأَحَدٍ مِنْ عَصَابِتِهَا تَزْوِيجُهَا سواء كانت عاقلة أو مجنونة وإن كانت كبيرة زوجها أقرب عصبتها إِنْ كَانَتْ عَاقِلَةً بِاخْتِيَارِهَا وَعَنْ إِذْنِهَا وَإِنْ كانت مجنونة لم يزوجوها؛ لِأَنَّ تَزْوِيجَهَا فِي الْجُنُونِ مُعْتَبَرٌ بِالنَّظَرِ فِي مصالحها ولا نظر للعصبات في مصالحها، وَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ وِلَايَةٌ فِي حَالِهَا وَإِنْ كَانَ وَلِيُّ الْبِكْرِ الْحَاكِمَ، فَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً لَمْ يَكُنْ لَهُ تَزْوِيجُهَا عَاقِلَةً كَانَتْ أَوْ مَجْنُونَةً؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ أَهْلِ الْمَنَاكِحِ فَتُزَوَّجُ وَلَا مِنْ أَهْلِ الِاخْتِيَارِ فَتُسْتَأْذَنُ، وَإِنْ كَانَتْ كَبِيرَةً نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ عَاقِلَةً لَمْ يَكُنْ لِلْحَاكِمِ تَزْوِيجُهَا إِلَّا بِإِذْنِهَا، وَإِنْ كَانَتْ مَجْنُونَةً زَوَّجَهَا إِذَا رَأَى ذَلِكَ صَلَاحًا لَهَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْعَصَبَةِ تَزْوِيجُهَا فِي حَالِ جنونها.
Pendapat kedua: Karena ia berada dalam makna ayah meskipun tidak menyertainya dalam penamaan, sebab padanya terdapat dua sifat ayah yang membedakannya dari para wali lainnya, yaitu kelahiran dan kekerabatan nasab (‘aṣabah). Dengan kelahiran ia berbeda dari saudara-saudara, dan dengan kekerabatan nasab ia berbeda dari kakek dari pihak ibu. Jika wali seorang perempuan perawan adalah ‘aṣabah, maka keadaannya diperhatikan saat itu. Jika ia masih kecil, maka tidak seorang pun dari ‘aṣabah-nya berhak menikahkannya, baik ia berakal maupun tidak waras. Jika ia sudah dewasa, maka yang menikahkannya adalah ‘aṣabah terdekatnya, jika ia berakal, dengan pilihannya dan izinnya. Jika ia tidak waras, maka mereka tidak menikahkannya, karena pernikahan dalam keadaan gila dipertimbangkan dengan melihat kemaslahatannya, dan tidak ada pertimbangan bagi ‘aṣabah dalam kemaslahatannya. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki kewalian dalam keadaannya. Jika wali perempuan perawan adalah hakim, maka jika ia masih kecil, hakim tidak berhak menikahkannya, baik ia berakal maupun tidak waras, karena ia bukan termasuk orang yang layak untuk menikah sehingga bisa dinikahkan, dan bukan pula termasuk orang yang layak memilih sehingga bisa dimintai izinnya. Jika ia sudah dewasa, maka dilihat lagi: jika ia berakal, hakim tidak boleh menikahkannya kecuali dengan izinnya. Jika ia tidak waras, hakim boleh menikahkannya jika ia memandang hal itu sebagai kemaslahatan baginya. Dan ‘aṣabah tidak berhak menikahkannya dalam keadaan gilanya.
والفرق بينها: أن للحاكم نظر في مصالحها شارك به الأب وفارق به العصبة ولذلك ولي على مالها، وإن لم يَلِيَ عَلَيْهِ الْعَصَبَةُ.
Perbedaannya adalah: bahwa hakim memiliki pertimbangan dalam kemaslahatannya, yang dengannya ia menyamai ayah dan berbeda dengan ‘aṣabah. Oleh karena itu, ia menjadi wali atas hartanya, sedangkan ‘aṣabah tidak menjadi wali atas hartanya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَ لِرَجُلٍ ابن ابن وله بنت ابن آخر فأراد أن يزوج ابن ابنه بنت ابْنِهِ فَإِنْ كَانَ أَبَوَاهُمَا بَاقِيَيْنِ لَمْ يَكُنْ له تزويجهما لِأَنَّهُ لَا وِلَايَةَ لِلْجَدِّ مَعَ بَقَاءِ الْأَبِ وإن كان أبواها مَيِّتَيْنِ فَإِنْ كَانَ ابْنُ ابْنِهِ بَالِغًا فَلَيْسَ لَهُ إِجْبَارُهُ عَلَى النِّكَاحِ فَإِنْ كَانَتْ بِنْتُ ابْنِهِ ثَيِّبًا فَلَيْسَ لَهُ إِجْبَارُهَا عَلَى النِّكَاحِ، وإن كان ابن ابنه صغيراً أو بنت ابْنِهِ بِكْرًا فَلَهُ إِجْبَارُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى الِانْفِرَادِ فَإِنْ أَرَادَ تَزْوِيجَ أَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ، فَفِي جَوَازِهِ جَبْرًا وَجْهَانِ:
Jika seorang laki-laki memiliki cucu laki-laki dari anak laki-lakinya dan memiliki cucu perempuan dari anak laki-lakinya yang lain, lalu ia ingin menikahkan cucu laki-lakinya dengan cucu perempuannya, maka jika kedua orang tua mereka masih hidup, ia tidak berhak menikahkan mereka, karena kakek tidak memiliki kewalian selama ayah masih ada. Jika kedua orang tua mereka telah meninggal, dan cucu laki-lakinya sudah baligh, maka ia tidak berhak memaksanya untuk menikah. Jika cucu perempuannya adalah seorang janda, maka ia juga tidak berhak memaksanya untuk menikah. Namun, jika cucu laki-lakinya masih kecil atau cucu perempuannya masih perawan, maka ia berhak memaksa masing-masing dari mereka secara terpisah. Jika ia ingin menikahkan salah satu dari mereka dengan yang lain, maka dalam kebolehan menikahkan secara paksa terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ تَزْوِيجُ أَحَدِهِمَا حَتَّى يَبْلُغَ الِابْنُ فَيَكُونُ هُوَ الْقَابِلَ لِنَفْسِهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” كل نكاح لم يحضره أربع فهو سفاح ” ولأن لا يَتَوَلَّى الْعَقْدَ مِنْ طَرَفَيْهِ كَمَا لَا يَجُوزُ لابن العم أن يزوج موليته، لأن لا يَصِيرَ مُتَوَلِّيًا لِلْعَقْدِ مِنْ طَرَفَيْهِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ الْقَاصِّ وَطَائِفَةٍ.
Salah satunya: Tidak boleh menikahkan salah satu dari mereka sampai si cucu laki-laki baligh, sehingga ia sendiri yang menerima akad untuk dirinya; karena Nabi ﷺ bersabda: “Setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat orang maka itu adalah zina.” Dan juga agar tidak terjadi satu orang yang melakukan akad dari kedua pihak, sebagaimana tidak boleh bagi anak paman (sepupu laki-laki) untuk menikahkan perempuan yang berada dalam kewaliannya, agar tidak menjadi orang yang melakukan akad dari kedua pihak. Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas ibn al-Qāṣṣ dan sekelompok ulama.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لِلْجَدِّ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ وَيَتَوَلَّى الْعَقْدَ من طرفيه كما يجوز له فيما ينفق من مال عَلَى ابْنِ ابْنِهِ إِذَا كَانَ وَالِيًا عَلَيْهِ أَنْ يَتَوَلَّى الْعَقْدَ مِنْ طَرَفَيْهِ وَخَالَفَ ابْنُ العم في تزويجه ابنة عمه إِذَا كَانَ وَالِيًا عَلَيْهَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: Boleh bagi kakek untuk melakukan hal itu dan melangsungkan akad dari kedua pihak, sebagaimana ia boleh melakukannya dalam membelanjakan harta untuk cucu laki-lakinya jika ia menjadi wali atasnya, maka ia boleh melangsungkan akad dari kedua pihak. Hal ini berbeda dengan anak paman yang menikahkan anak perempuan pamannya jika ia menjadi wali atasnya, dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أن وِلَايَةُ الْجَدِّ تُوجِبُ الْإِجْبَارَ لِقُوَّتِهَا وَوِلَايَةُ ابْنِ الْعَمِّ تُمْنَعُ مِنَ الْإِجْبَارِ لِضَعْفِهَا.
Pertama: Kewalian kakek mewajibkan adanya pemaksaan karena kekuatannya, sedangkan kewalian anak paman tidak membolehkan pemaksaan karena kelemahannya.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْجَدَّ فِي الطَّرَفَيْنِ عَاقِدٌ لِغَيْرِهِ وَابْنُ الْعَمِّ أَحَدُ الطَّرَفَيْنِ عَاقِدٌ لِنَفْسِهِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْحَدَّادِ الْمِصْرِيِّ وَطَائِفَةٍ، فَعَلَى هَذَا لَا بُدَّ لِلْجَدِّ مِنْ أَنْ يَتَلَفَّظَ فِي عقد نكاحها بالإيجاب فيقول: قد زوجت ابن ابني ببنت ابْنِي وَهَلْ يَحْتَاجُ فِيهِ الْقَبُولَ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Kedua: Kakek di kedua pihak adalah pelaku akad untuk orang lain, sedangkan anak paman di salah satu pihak adalah pelaku akad untuk dirinya sendiri. Ini adalah pendapat Abu Bakr ibn al-Ḥaddād al-Miṣrī dan sekelompok ulama. Berdasarkan hal ini, kakek harus mengucapkan dalam akad nikahnya dengan lafaz ijab, misalnya: “Aku nikahkan cucu laki-lakiku dengan cucu perempuanku.” Apakah dalam hal ini diperlukan juga lafaz kabul atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا بُدَّ مِنْ أَنْ بتلفظ فيه القبول فَيَقُولُ: وَقَبِلْتُ نِكَاحَهَا لَهُ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي بكر ابن الحداد، ولأنه يَتَوَلَّى ذَلِكَ بِوِلَايَتَيْنِ فَقَامَ فِيهِ مَقَامَ وَلِيَّيْنِ فلم يكن بد فيه من لفظتين:
Salah satunya: Harus ada lafaz kabul, yaitu ia berkata: “Aku terima pernikahannya untuknya.” Ini adalah pendapat Abu Bakr ibn al-Ḥaddād, karena ia melakukan itu dengan dua kewalian, sehingga ia menempati posisi dua wali, maka harus ada dua lafaz:
أَحَدُهُمَا: إِيجَابٌ، وَالْآخَرُ قَبُولٌ.
Salah satunya: Ijab, dan yang lainnya kabul.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يحتاج أن يتلفظ فيه بالقبول، وهذا قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الْقَفَّالِ؛ لِأَنَّ الْجَدَّ يَقُومُ مَقَامَ وَلِيَّيْنِ فَقَامَ لَفْظُهُ مَقَامَ لَفْظَيْنِ.
Pendapat kedua: Tidak perlu mengucapkan kabul, dan ini adalah pendapat Abu Bakr al-Qaffāl; karena kakek menempati posisi dua wali, maka satu lafaznya sudah cukup untuk menggantikan dua lafaz.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ كَانَ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ يَحْتَاجُ إِلَى النِّكَاحِ زَوَّجَهُ وَلِيُّهُ فَإِنْ أَذِنَ لَهُ فَجَاوَزَ مَهْرَ مثلها رد الفضل “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika orang yang berada di bawah perwalian membutuhkan pernikahan, maka walinya boleh menikahkannya. Jika ia mengizinkannya lalu ia melebihi mahar sepadan, maka kelebihan itu dikembalikan.”
قال الماوردي: المولى عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ مَمْنُوعٌ مِنَ التَّزْوِيجِ إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهِ، لِأَنَّ الْحَجْرَ يَمْنَعُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي الْعُقُودِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ إِلَى النِّكَاحِ حَاجَةٌ لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ وَلَا لِوَلِيِّهِ أَنْ يُزَوِّجَهُ لِمَا فِيهِ مِنَ الْتِزَامِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ، وَإِنْ كَانَ بِهِ إِلَى النِّكَاحِ حَاجَةٌ، إِمَّا بِأَنْ يُرَى يَتَوَثَّبُ عَلَى النِّسَاءِ لِفَرْطِ الشَّهْوَةِ وَإِمَّا بِأَنْ يَحْتَاجَ إلى خادم وخدمة النساء له أرفق به فيجوز لوليه أَنْ يُزَوِّجَهُ؛ لِأَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَى الْقِيَامِ بِمَصَالِحِهِ التي هذا منها وليصده بذلك عن مواقعة الزنا الموجب للحد وَالْمَأْثَمَ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَوَلِيُّهُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُزَوِّجَهُ بِنَفْسِهِ وَبَيْنَ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي التَّزْوِيجِ فَإِنْ زَوَّجَهُ الْوَلِيُّ جَازَ أَنْ يَعْقِدَ لَهُ النِّكَاحَ عَلَى مَنْ يَخْتَارُهَا لَهُ من الأكفاء وَلَا يَلْزَمُهُ اسْتِئْذَانُهُ فِيهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ جُمْلَةِ مَصَالِحِهِ الَّتِي لَا تَقِفُ عَلَى إِذْنِهِ كما لا تقف على إذن مَا عَقَدَهُ مِنْ بَيْعٍ وَشِرَاءٍ، وَلَا يَزِيدُ الْمَنْكُوحَةَ عَلَى مَهْرِ مِثْلِهَا كَمَا لَا يَزِيدُ في عقود أمواله على أَعْوَاضِ أَمْثَالِهَا، فَإِنْ زَوَّجَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ المثل كانت الزيادة مردودة ولا تَجُبْ فِي مَالِ السَّفِيهِ وَلَا عَلَى وَلِيِّهِ وَإِنْ أَذِنَ لَهُ الْوَلِيُّ فِي التَّزْوِيجِ لِيَتَوَلَّاهُ السفيه بنفسه جاز.
Al-Mawardi berkata: Orang yang berada di bawah perwalian karena safih (tidak cakap mengelola harta) dilarang menikah kecuali dengan izin walinya, karena status hajr (pembatasan hak) mencegahnya melakukan transaksi dalam akad-akad. Jika ia tidak membutuhkan pernikahan, maka tidak boleh baginya menikah dan tidak boleh pula bagi walinya menikahkannya, karena hal itu mengharuskannya menanggung mahar dan nafkah tanpa kebutuhan. Namun jika ia membutuhkan pernikahan, baik karena terlihat sangat bernafsu hingga dikhawatirkan terjerumus pada perempuan, atau karena ia membutuhkan pelayan dan pelayanan perempuan lebih cocok baginya, maka boleh bagi walinya menikahkannya; karena hal itu termasuk anjuran untuk memenuhi kemaslahatannya, yang di antaranya adalah mencegahnya dari perbuatan zina yang mewajibkan had dan dosa. Dalam hal ini, walinya memiliki pilihan antara menikahkannya sendiri atau mengizinkannya untuk menikah sendiri. Jika walinya menikahkannya, maka boleh baginya untuk mengakadkan nikah dengan perempuan yang dipilihkan dari kalangan yang sekufu, dan tidak wajib meminta izinnya dalam hal itu; karena hal tersebut termasuk kemaslahatan yang tidak bergantung pada izinnya, sebagaimana tidak bergantung pada izinnya dalam akad jual beli dan pembelian yang dilakukan untuknya. Tidak boleh pula memberikan mahar kepada perempuan yang dinikahi melebihi mahar sepadannya, sebagaimana tidak boleh dalam akad-akad hartanya melebihi nilai sepadan. Jika ia dinikahkan dengan mahar lebih dari mahar sepadan, maka kelebihannya dikembalikan dan tidak wajib diambil dari harta safih maupun dari walinya. Jika walinya mengizinkannya menikah agar ia sendiri yang melangsungkan akad, maka hal itu boleh.
فإن قبل فَهَلَّا مُنِعَ مِنْ مُبَاشَرَةِ الْعَقْدِ بِنَفْسِهِ وَلَمْ يصح منه مع إذن وليه كما لم يَصِحَّ مِنْهُ عَقْدُ الْبَيْعِ، وَإِنْ أَذِنَ فِيهِ وَلِيُّهُ؟ .
Jika demikian, apakah ia tetap dilarang untuk langsung melakukan akad sendiri dan tidak sah akadnya meski dengan izin walinya, sebagaimana tidak sah akad jual belinya meski dengan izin walinya?
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَ النِّكَاحِ حَيْثُ صَحَّ مِنْهُ أَنْ يَعْقِدَهُ بِإِذْنِ الْوَلِيِّ وَبَيْنَ الْبَيْعِ حَيْثُ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ أَنْ يَعْقِدَهُ، وَإِنْ أذن فيه الولي من وجهين:
Dikatakan: Perbedaan antara nikah, di mana sah baginya untuk mengakadkan sendiri dengan izin wali, dan jual beli, di mana tidak sah baginya untuk mengakadkan, meski dengan izin wali, terdapat pada dua sisi:
أحدهما: إن الْمَقْصُودَ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ حِفْظُ الْمَالِ دُونَ النِّكَاحِ فَذَلِكَ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ الْعَقْدُ فِي الْمَالِ وَصَحَّ مِنْهُ الْعَقْدُ فِي النِّكَاحِ.
Pertama: Tujuan dari hajr (pembatasan hak) atasnya adalah menjaga harta, bukan pernikahan. Oleh karena itu, tidak sah baginya melakukan akad dalam harta, namun sah baginya melakukan akad dalam pernikahan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا صَحَّ مِنْهُ رَفَعُ النِّكَاحِ بِالْخُلْعِ وَالطَّلَاقِ مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ فَأَوْلَى أَنْ يَصِحَّ مِنْهُ عَقْدُ النِّكَاحِ بِإِذْنٍ وَلَمَّا لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ إنزاله مِلْكَهُ عَنِ الْأَقْوَالِ بِالْعِتْقِ وَالْهِبَةِ بِإِذْنٍ وَلَا غَيْرِ إِذْنٍ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ عُقُودُ الْأَمْوَالِ كُلِّهَا بِإِذْنٍ وَلَا غَيْرِ إِذْنٍ.
Kedua: Karena sah baginya untuk mengakhiri pernikahan dengan khulu‘ dan talak tanpa izin, maka lebih utama lagi sah baginya melakukan akad nikah dengan izin. Dan karena tidak sah baginya melepaskan kepemilikan harta dengan ucapan seperti memerdekakan budak atau hibah, baik dengan izin maupun tanpa izin, maka tidak sah baginya melakukan seluruh akad harta, baik dengan izin maupun tanpa izin.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثبت أن يَجُوزَ أَنْ يَتَوَلَّى عَقْدَ النِّكَاحِ بِنَفْسِهِ بِإِذْنِ وَلِيِّهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ على وليه عند إذنه لَهُ فِي النِّكَاحِ أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ عَلَى الْمَنْكُوحَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Jika telah tetap bahwa boleh baginya untuk melangsungkan akad nikah sendiri dengan izin walinya, maka para ulama kami berbeda pendapat: Apakah wajib bagi walinya, ketika mengizinkannya menikah, untuk menentukan perempuan yang akan dinikahi atau tidak? Ada tiga pendapat:
أَحَدُهَا: يَلْزَمُهُ أَنْ يُعَيِّنَ لَهُ عَلَى الْمَنْكُوحَةِ لِيَقْطَعَ اجْتِهَادَهُ فِي الْعَقْدِ حَتَّى لَا ينكح من يعظم مهرها.
Pertama: Wajib baginya untuk menentukan perempuan yang akan dinikahi, agar ia tidak berijtihad sendiri dalam akad hingga tidak menikahi perempuan yang maharnya besar.
والثاني: عليه أن يعين له على الْقَبِيلَةِ أَوِ الْعَشِيرَةِ حَتَّى لَا يَنْكِحَ مِنْ ذوي الأنساب الذي يَعَظُمُ مُهُورُ نِسَائِهِمْ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يُعِيِّنَ له على المرأة من نساء القبيلة لأن يَقِفُ عَلَى اخْتِيَارِ النُّفُوسِ.
Kedua: Wajib baginya untuk menentukan suku atau kabilahnya saja, agar ia tidak menikahi perempuan dari keluarga yang mahar perempuannya besar, dan tidak wajib baginya menentukan perempuan tertentu dari suku tersebut, karena hal itu bergantung pada pilihan pribadi.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ أَنْ يُعَيِّنَ الْمَنْكُوحَةَ وَلَا عَلَى قَبِيلَتِهَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِأَسْوَأَ حَالًا مِنَ الْعَبْدِ الَّذِي يَجُوزُ إِذَا أَذِنَ السَّيِّدُ لَهُ فِي النكاح أن لا يعين له عَلَى الْمَنْكُوحَةِ وَلَا عَلَى قَوْمِهَا فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ السَّفِيهُ مِثْلَهُ فِي الْإِذْنِ فَإِذَا نَكَحَ السفيه بمقتضى الْإِذْنِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَمَا دُونَ لَزَمَهُ الْمَهْرُ والنفقة في ماله أن ينكح بِأَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ صَحَّ النِّكَاحُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ وَكَانَتِ الزِّيَادَةُ مَرْدُودَةً لَا تَلْزَمُهُ فِي وَقْتِ الْحَجْرِ وَلَا بَعْدَ فَكِّهِ عَنْهُ وَخَالَفَ الْعَبْدَ الَّذِي إِذَا نَكَحَ بِإِذْنِ السَّيِّدِ وَزَادَ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ كَانَتِ الزِّيَادَةُ فِي ذِمَّتِهِ يؤديها بعد عتقه والرفق بَيْنَهُمَا أَنَّ الْحَجْرَ عَلَى السَّفِيهِ لِحِفْظِ مَالِهِ عَلَيْهِ فَلَوْ لَزِمَتْهُ الزِّيَادَةُ بَعْدَ فَكِّ الْحَجَرِ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ مَالُهُ مَحْفُوظًا عَلَيْهِ وَالْعَبْدُ إنما حجر عَلَيْهِ لِأَجْلِ سَيِّدِهِ، وَحِفْظِ مَا يَسْتَحِقُّهُ السَّيِّدُ مِنْ كَسْبِهِ فَإِذَا لَزِمَتْهُ الزِّيَادَةُ بَعْدَ عِتْقِهِ سَلَّمَ حَقَّ السَّيِّدِ وَصَارَ مَالُهُ مَحْفُوظًا عَلَيْهِ.
Penjelasan ketiga: Tidak wajib baginya untuk menentukan wanita yang dinikahi maupun kabilahnya; karena keadaannya tidak lebih buruk daripada seorang budak yang, apabila tuannya mengizinkannya menikah, tidak diharuskan menentukan wanita yang dinikahi maupun kaumnya. Maka lebih utama lagi jika seorang safīh (orang yang kurang cakap mengelola harta) diperlakukan sama dalam hal izin. Jika safīh menikah berdasarkan izin dengan mahar yang setara (mahr al-mithl) atau kurang dari itu, maka ia wajib membayar mahar dan nafkah dari hartanya. Namun jika ia menikah dengan mahar lebih dari mahr al-mithl, maka akad nikahnya sah dengan mahr al-mithl dan kelebihan mahar tersebut dikembalikan, tidak wajib baginya baik saat masih dalam status hajr (pembatasan hak mengelola harta) maupun setelah hajr dicabut darinya. Hal ini berbeda dengan budak, yang jika menikah dengan izin tuannya dan memberikan mahar lebih dari mahr al-mithl, maka kelebihan tersebut menjadi tanggungannya dan harus dibayar setelah ia merdeka. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa hajr atas safīh bertujuan untuk menjaga hartanya, sehingga jika ia tetap diwajibkan membayar kelebihan mahar setelah hajr dicabut, maka hartanya tidak lagi terjaga. Adapun budak, ia dikenai hajr demi kepentingan tuannya dan untuk menjaga hak tuan atas hasil kerjanya. Maka jika ia wajib membayar kelebihan mahar setelah merdeka, hak tuan tetap terjaga dan hartanya pun tetap terlindungi.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا نَكَحَ السَّفِيهُ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun jika safīh menikah tanpa izin walinya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ أَعْلَمَهُ وَلِيُّهُ، وَلَا اسْتَأْذَنَهُ فَمَنَعَهُ فَنِكَاحُهُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ ثُبُوتَ الحجر يمنع من جواز التصرف في العقد، فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَإِنْ دَخَلَ بِهَا فرق بينهما ثم ينظر فإن كَانَتْ عَالِمَةً بِحَجْرِهِ فَلَا مَهْرَ عَلَيْهِ فِي حال الحجر ولا بعد فك الحجر وتصير كالمبرئة مِنْهُ لِعِلْمِهَا بِحَجْرِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ عَالِمَةً بِحَجْرِهِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ فِي حَالِ الْحَجْرِ دَفْعُ الْمَهْرِ، لِأَنَّهُ تَصَرُّفٌ مَنَعَ الْحَجْرُ مِنْهُ وَفِي لُزُومِهِ لَهُ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ عَنْهُ وَجْهَانِ:
Pertama: Walinya tidak memberitahunya, dan ia juga tidak meminta izin kepada walinya lalu ditolak. Maka nikahnya batal; karena keberadaan hajr mencegah sahnya tindakan dalam akad. Dalam hal ini, jika belum terjadi hubungan suami istri, maka keduanya dipisahkan dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Jika sudah terjadi hubungan suami istri, maka keduanya dipisahkan, lalu dilihat: jika wanita tersebut mengetahui status hajr-nya, maka tidak ada mahar yang wajib dibayar baik selama masa hajr maupun setelah hajr dicabut, dan ia dianggap seperti orang yang telah membebaskan haknya karena mengetahui status hajr-nya. Namun jika wanita tersebut tidak mengetahui status hajr-nya, maka tidak wajib baginya membayar mahar selama masa hajr, karena itu merupakan tindakan yang dilarang oleh hajr. Adapun kewajiban membayar mahar setelah hajr dicabut, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ دَفْعُهُ بَعْدَ فَكِّ حَجَرِهِ لِئَلَّا يصير ممتنعاً بِبَعْضِهَا مِنْ غَيْرِ بَدَلٍ.
Pertama: Ia wajib membayarnya setelah hajr dicabut agar tidak terjadi kerugian pada pihak wanita tanpa adanya kompensasi.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يلزمه دفعه بعد فكاك الحجر عنه كما لم يلزمه قبل فكه عنه ليكون ماله بالحجر محفوظاً عليه كَمَا لَمْ تَلْزَمْهُ الزِّيَادَةُ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ لِهَذَا الْمَعْنَى، وَلَيْسَ جَهْلُهَا بِحَالِهِ عُذْرًا لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يُمْكِنُهَا أَنْ تَسْتَعْلِمَ فَتَعْلَمُ.
Pendapat kedua: Ia tidak wajib membayarnya setelah hajr dicabut, sebagaimana tidak wajib membayarnya sebelum hajr dicabut, agar hartanya tetap terjaga dengan adanya hajr, sebagaimana ia juga tidak wajib membayar kelebihan atas mahr al-mithl karena alasan ini. Ketidaktahuan wanita terhadap statusnya bukanlah alasan, karena ia sebenarnya bisa mencari tahu dan mengetahuinya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ السَّفِيهُ قَدْ سَأَلَ وَلِيَّهُ النِّكَاحَ فَمَنَعَهُ وَاسْتَأْذَنَهُ فَلَمْ يَأْذَنْ لَهُ فَفِي نِكَاحِهِ وَجْهَانِ:
Keadaan kedua: Safīh telah meminta kepada walinya untuk menikah, namun ditolak atau telah meminta izin namun tidak diizinkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِتَأْثِيرِ الْحَجْرِ فِي عُقُودِهِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْكَلَامُ فِي الْمَهْرِ عَلَى مَا مَضَى.
Pertama: Nikahnya batal karena pengaruh hajr terhadap akad-akadnya. Dalam hal ini, pembahasan tentang mahar sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ النِّكَاحَ جَائِزٌ، لِأَنَّهُ حَقٌّ عَلَى الْوَلِيِّ فَإِذَا مَنَعَهُ مِنْهُ جَازَ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ بِنَفْسِهِ كَالدَّيْنِ إِذَا مُنِعَ صَاحِبُهُ مِنْهُ جَازَ أَنَّ يَسْتَوْفِيَهُ بِنَفْسِهِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ النِّكَاحُ كَالْمَأْذُونِ فِيهِ وَيَدْفَعُ مهر المثل والنفقة من ماله.
Pendapat kedua: Nikahnya sah, karena itu merupakan hak bagi wali, sehingga jika wali menghalanginya, maka ia boleh mengambil haknya sendiri, seperti halnya utang, jika pemiliknya dihalangi, maka ia boleh mengambilnya sendiri. Dalam hal ini, nikahnya dianggap seperti nikah yang diizinkan, dan ia wajib membayar mahr al-mithl dan nafkah dari hartanya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْمَجْنُونُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun orang gila, maka terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُسْتَدَامَ الْجُنُونِ لَا يُفِيقُ فِي شَيْءٍ من زمانه، فهذا ينظر في حاله، وإن لَمْ يَكُنْ بِهِ إِلَى النِّكَاحِ حَاجَةٌ لَمْ يَكُنْ لِوَلِيِّهِ أَنْ يُزَوِّجَهُ وَلَا أَنْ يُوجِبَ في ماله غرم النفقة والمهر مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ، وَإِنْ كَانَ بِهِ إِلَى النكاح حاجة، وذلك في أحد الحالين:
Pertama: Gila yang terus-menerus, tidak pernah sadar dalam waktu apa pun. Dalam hal ini, dilihat keadaannya: jika tidak ada kebutuhan untuk menikah, maka walinya tidak boleh menikahkannya dan tidak boleh membebankan nafkah dan mahar dari hartanya tanpa kebutuhan. Namun jika ada kebutuhan untuk menikah, maka hal itu terjadi dalam salah satu dari dua keadaan:
إِمَّا أَنْ يُرَى يَتَوَثَّبُ عَلَى النِّسَاءِ لِفَرْطِ شهوة، وَإِمَّا أَنْ يَحْتَاجَ إِلَى خِدْمَةِ النِّسَاءِ، وَالزَّوْجَةُ أَرْفَقُ بِهِ فَيَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يُزَوِّجَهُ بِنَفْسِهِ وَلَا يَجُوزُ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَرُدَّ الْعَقْدَ إِلَيْهِ لِيَتَزَوَّجَ بِنَفْسِهِ بِخِلَافِ السَّفِيهِ، لِأَنَّ السَّفِيهَ مُكَلَّفٌ يتعلق بقوله حكم، والمجنون غير مكلف لا يتعلق بكلامه حُكْمٌ.
Bisa jadi seseorang terlihat sangat bernafsu terhadap perempuan karena dorongan syahwat yang sangat kuat, atau ia membutuhkan pelayanan perempuan, dan istrinya lebih mampu merawatnya. Maka wali boleh menikahkannya sendiri, dan tidak boleh bagi wali untuk menyerahkan akad kepadanya agar ia menikah sendiri, berbeda dengan orang safih (bodoh/tidak cakap), karena safih adalah mukallaf yang ucapannya memiliki konsekuensi hukum, sedangkan orang gila bukan mukallaf sehingga ucapannya tidak memiliki konsekuensi hukum.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمَجْنُونُ مِمَّنْ يُجَنُّ فِي زَمَانٍ وَيَفِيقُ فِي زَمَانٍ فَهَذَا عَلَى أَضْرُبٍ:
Jenis kedua: yaitu orang gila yang mengalami kegilaan pada suatu waktu dan sadar pada waktu lain. Maka ini terbagi menjadi beberapa keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ زَمَانُ جُنُونِهِ أَكْثَرَ مِنْ زَمَانِ إِفَاقَتِهِ فَيَجُوزُ لِوَلِيِّهِ إِذَا رَآهُ مُحْتَاجًا إِلَى النِّكَاحِ أَنْ يُزَوِّجَهُ فِي زَمَانِ جُنُونِهِ، وَلَا يَرُدَّ الْعَقْدَ إِلَيْهِ كَالَّذِي طبق بِهِ الْجُنُونُ، وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَهُ فِي زَمَانِ إِفَاقَتِهِ وَأَنْ يَرُدَّ الْعَقْدَ إِلَيْهِ كَالسَّفِيهِ، لأن الحجر عليه قبل زَمَانِ إِفَاقَتِهِ لَا يَرْتَفِعُ لَكِنْ يَكُونُ حُكْمُهُ فِي زَمَانِ الْجُنُونِ حُكْمَ الْحَجْرِ بِالْجُنُونِ، وَفِي زَمَانِ الْإِفَاقَةِ حُكْمَ الْحَجْرِ بِالسَّفَهِ.
Pertama: Jika masa gilanya lebih banyak daripada masa sadarnya, maka wali boleh menikahkannya saat ia sedang gila jika melihatnya membutuhkan pernikahan, dan tidak boleh menyerahkan akad kepadanya sebagaimana orang yang seluruh waktunya diliputi kegilaan. Namun, wali juga boleh menikahkannya saat ia sadar dan menyerahkan akad kepadanya seperti orang safih, karena status pembatasan (hajr) atasnya sebelum masa sadarnya tidak hilang, hanya saja hukumnya pada masa kegilaan seperti hajr karena gila, dan pada masa sadar seperti hajr karena safih.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ زَمَانُ إِفَاقَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ زَمَنِ جُنُونِهِ، فَالْحَجْرُ يَرْتَفِعُ فِي زَمَانِ الْإِفَاقَةِ وَلَا يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يُزَوِّجَهُ في حال جنونه لما يرجى إفاقته ويجوز له أن يزوج بنفسه فِي زَمَانِ إِفَاقَتِهِ مِنْ غَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ وَلَا يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يُزَوِّجَهُ فِي إِفَاقَتِهِ لِارْتِفَاعِ حَجْرِهِ.
Jenis kedua: Jika masa sadarnya lebih banyak daripada masa gilanya, maka hajr (pembatasan hukum) terangkat pada masa sadar, dan tidak boleh bagi walinya menikahkannya saat ia gila karena diharapkan ia akan sadar. Ia boleh menikah sendiri pada masa sadar tanpa izin walinya, dan tidak boleh bagi walinya menikahkannya pada masa sadar karena hajr telah terangkat.
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَسَاوَى زَمَانُ جنونه وزمان إفاقته، ففي أغلبها حُكْمًا وَجْهَانِ:
Jenis ketiga: Jika masa kegilaannya dan masa sadarnya sama, maka dalam kebanyakan kasus ada dua pendapat hukum:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ حُكْمَ الْجُنُونِ أَغْلَبُ تغليباً لحكم ثبوت الْحَجْرِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حُكْمُهُ كَالضَّرْبِ الْأَوَّلِ فِيمَنْ كَثُرَ زَمَانُ جُنُونِهِ وَقَلَّ زَمَانُ إِفَاقَتِهِ.
Pertama: Hukum kegilaan lebih dominan, dengan mengutamakan hukum tetapnya hajr. Dengan demikian, hukumnya seperti pada jenis pertama, yaitu yang lebih banyak masa kegilaannya dan sedikit masa sadarnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ حُكْمَ الْإِفَاقَةِ أَغْلَبُ تَغْلِيبًا لِأَصْلِ السَّلَامَةِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حُكْمُهُ كَالضَّرْبِ الثَّانِي فِيمَنْ كَثُرَ زَمَانُ إِفَاقَتِهِ وَقَلَّ زَمَانُ جنونه.
Pendapat kedua: Hukum kesadaran lebih dominan, dengan mengutamakan asas keselamatan. Dengan demikian, hukumnya seperti pada jenis kedua, yaitu yang lebih banyak masa sadarnya dan sedikit masa kegilaannya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولو أَذِنَ لِعَبْدِهِ فَتَزَوَّجَ كَانَ لَهَا الْفَضْلُ مَتَى عَتَقَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika tuannya mengizinkan budaknya lalu budak itu menikah, maka ia (istri budak) memiliki keutamaan (hak) jika budak itu dimerdekakan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لَيْسَ لِلْعَبْدِ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ لِرِوَايَةِ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَيُّمَا عَبْدٍ نَكَحَ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهِ فهو عاهر “.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Budak tidak boleh menikah tanpa izin tuannya, berdasarkan riwayat ‘Atha’ dari Jabir bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Siapa saja budak yang menikah tanpa izin tuannya, maka ia adalah pezina.”
والعاهر: الزاني فشبه بِالزَّانِي لِتَحْرِيمِ عَقْدِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ زَانِيًا فِي الْحُكْمِ؛ وَلِأَنَّ السَّيِّدَ مَالِكٌ لِمَنَافِعِهِ وَأَكْسَابِهِ فلم يكن له تفويتها بِتَزْوِيجِهِ، فَإِنْ تَزَوُّجَ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ كَانَ النِّكَاحُ جَائِزًا، لِأَنَّ مُسْتَحِقَّ الْحَجْرِ قَدْ رَفَعَهُ بِإِذْنِهِ فَعَادَ إِلَى جَوَازِ تَصَرُّفِهِ وَإِنْ تَزَوَّجَ بِغَيْرِ إِذَنْ سَيِّدِهِ كَانَ نِكَاحُهُ بَاطِلًا.
Kata “pezina” di sini maksudnya adalah disamakan dengan pezina karena akadnya haram, meskipun secara hukum ia bukan pezina; dan karena tuan adalah pemilik manfaat dan hasil kerja budak, maka budak tidak berhak menghilangkan manfaat itu dengan menikah. Jika ia menikah dengan izin tuannya, maka nikahnya sah, karena orang yang berhak dikenai hajr telah diangkat hajr-nya dengan izin tuannya, sehingga kembali boleh melakukan transaksi. Namun jika menikah tanpa izin tuannya, maka nikahnya batal.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى إِجَازَةِ السَّيِّدِ وَقَالَ مَالِكٌ: نِكَاحُهُ جَائِزٌ وَلِلسَّيِّدِ فَسْخُهُ عَلَيْهِ.
Abu Hanifah berkata: Nikahnya tergantung pada persetujuan tuannya. Malik berkata: Nikahnya sah, namun tuan berhak membatalkannya.
وَالدَّلِيلُ عليها رواية نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا نَكَحَ الْعَبْدُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَنِكَاحُهُ بَاطِلٌ “، وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْخَبَرَ مَوْقُوفًا عَلَى ابْنِ عُمَرَ وَلِأَنَّ الْحَجْرَ الْمَانِعَ مِنْ جواز المناكح يمنع من صحتها كالجنون.
Dalilnya adalah riwayat Nafi‘ dari Abdullah bin ‘Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika budak menikah tanpa izin tuannya, maka nikahnya batal.” Riwayat ini juga dinukil secara mauquf dari Ibnu ‘Umar. Dan karena hajr yang mencegah sahnya pernikahan juga mencegah keabsahannya, seperti pada kasus kegilaan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ نِكَاحَ الْعَبْدِ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ بَاطِلٌ، وَبِإِذْنِهِ جَائِزٌ فَلِلسَّيِّدِ إِذَا إذن لعبده في النكاح حالتان:
Jika telah dipastikan bahwa pernikahan budak tanpa izin tuannya batal, dan dengan izin tuannya sah, maka jika tuan mengizinkan budaknya menikah, ada dua keadaan:
إحداهما: أن يعين عَلَى الْمَنْكُوحَةِ فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَجَاوَزَهَا فَإِنْ نَكَحَ غَيْرَهَا كَانَ نِكَاحًا بِغَيْرِ إِذْنٍ.
Pertama: Jika tuan menentukan perempuan yang akan dinikahi, maka budak tidak boleh menikahi selainnya. Jika ia menikahi perempuan lain, maka pernikahannya dianggap tanpa izin.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يُعَيِّنَ لَهُ عَلَى الْمَنْكُوحَةِ وَيَكُونُ إِذْنُهُ مُطْلَقًا فَيَجُوزُ بِخِلَافِ السَّفِيهِ الذي يلزم الولي أن يعين عَلَى الْمَنْكُوحَةِ.
Keadaan kedua: yaitu apabila tuannya tidak menentukan wanita tertentu untuk dinikahi oleh budaknya dan izinnya bersifat mutlak, maka hal itu diperbolehkan. Berbeda dengan kasus safīh, di mana wali wajib menentukan wanita yang akan dinikahi.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْعَبْدَ مَنْ أَهْلِ الِاخْتِيَارِ وَالتَّصَرُّفِ فِي الْعُقُودِ وَلَيْسَ السَّفِيهُ مِنْ أَهْلِ الِاخْتِيَارِ وَالتَّصَرُّفِ فِي الْعُقُودِ فَإِذَا صَحَّ نِكَاحُ الْعَبْدِ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ نَظَرَ فِي الْمَهْرِ فَإِنْ كَانَ قَدْرَ مَهْرِ الْمِثْلِ كَانَ فِي كَسْبِهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ لَزِمَ قَدْرَ مَهْرِ المثل في كسبه ونالت الزِّيَادَةَ فِي ذِمَّتِهِ حَتَّى يُعْتَقَ فَيُؤَدِّي وَفَارَقَ السَّفِيهَ فِي إِبْطَالِ الزِّيَادَةِ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ بِالْمَعْنَى الَّذِي قَدَّمْنَاهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Perbedaan antara keduanya adalah: budak termasuk orang yang memiliki kemampuan memilih dan bertindak dalam akad, sedangkan safīh bukan termasuk orang yang memiliki kemampuan memilih dan bertindak dalam akad. Jika akad nikah budak sah dengan izin tuannya, maka dilihat dari maharnya: jika sebesar mahar mitsil, maka diambil dari hasil usahanya sebagaimana akan dijelaskan; jika lebih dari mahar mitsil, maka yang wajib hanya sebesar mahar mitsil dari hasil usahanya, sedangkan kelebihan dari itu menjadi tanggungan budak sampai ia merdeka, lalu ia membayarnya. Hal ini berbeda dengan safīh, di mana kelebihan atas mahar mitsil dibatalkan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Allah Maha Mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا سَأَلَ الْعَبْدُ سَيِّدَهُ أَنْ يُزَوِّجَهُ فَعَضَلَهُ وَمَنَعُهُ نُظِرَ فِي الْعَبْدِ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ بَالِغٍ لَمْ يُجْبِرِ السَّيِّدَ عَلَى تَزْوِيجِهِ، لِأَنَّهُ قَبْلَ الْبُلُوغِ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى النِّكَاحِ وَإِنْ كَانَ بَالِغًا فَهَلْ يُجْبِرُ السَّيِّدَ عَلَى تَزْوِيجِهِ إِنْ أَقَامَ عَلَى عَضْلِهِ وَمَنْعِهِ زَوَّجَهُ الْحَاكِمُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Adapun jika budak meminta kepada tuannya agar menikahkannya, namun tuannya menghalangi dan melarangnya, maka dilihat keadaan budak tersebut: jika ia belum baligh, maka tuan tidak dipaksa untuk menikahkannya, karena sebelum baligh ia belum membutuhkan pernikahan. Namun jika ia sudah baligh, apakah tuan dipaksa untuk menikahkannya jika ia terus-menerus menghalangi dan melarangnya, lalu hakim menikahkannya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَشَارَ إِلَيْهِ في كتاب التعرض بالخطبة أن السيد بجبر على تزويج العبد لِمَا يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ حَاجَتِهِ وَكَمَالِ مَصْلَحَتِهِ وَسُكُونِ نَفْسِهِ فَشَابَهَ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ تَمَامِ قُوَّتِهِ وَكَمَالِ كِسْوَتِهِ.
Salah satunya, sebagaimana disebutkan dalam Kitab al-Ta‘arrud bi al-Khitbah, bahwa tuan dipaksa untuk menikahkan budaknya karena kebutuhan dan kemaslahatan budak tersebut, serta untuk menenangkan jiwanya, sehingga hal itu serupa dengan kebutuhan budak terhadap kekuatan fisik dan pakaian yang sempurna.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ، وَالْجَدِيدِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ أَنَّ السَّيِّدَ لَا يُجْبَرُ عَلَى تَزْوِيجِ عَبْدِهِ، لِأَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْمَلَاذِ وَالشَّهَوَاتِ وَلَا يَلْزَمُ السَّيِّدَ تَمْكِينُ عَبْدِهِ مِنْ مَلَاذِهِ وَشَهَوَاتِهِ، فَعَلَى تَقْدِيرِ القولين لو كان السيد مولى عليه لصغره أَوْ سَفَهٍ أَوْ جُنُونٍ.
Pendapat kedua, sebagaimana dinyatakan dalam pendapat lama dan baru, dan ini yang benar, bahwa tuan tidak dipaksa untuk menikahkan budaknya, karena pernikahan termasuk dalam kategori kenikmatan dan syahwat, dan tuan tidak wajib memberikan kenikmatan dan syahwat kepada budaknya. Berdasarkan dua pendapat ini, jika tuan berada di bawah perwalian karena masih kecil, safīh, atau gila,
فَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ: أَنَّ السَّيِّدَ يُجْبَرُ عَلَى نِكَاحِ عَبْدِهِ لَزِمَ وَلِيَّ السَّيِّدِ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ أَنْ يُزَوِّجَ عَبْدَهُ إِذَا طَلَبَ النِّكَاحَ وَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي أَنَّ السَّيِّدَ لَا يُجْبَرُ عَلَى تَزْوِيجِهِ لَمْ يَكُنْ لِوَلِيِّهِ أَنْ يُزَوِّجَهُ.
Jika mengikuti pendapat pertama bahwa tuan dipaksa untuk menikahkan budaknya, maka wali dari tuan yang berada di bawah perwalian wajib menikahkan budak tersebut jika ia meminta pernikahan. Namun jika mengikuti pendapat kedua bahwa tuan tidak dipaksa untuk menikahkannya, maka wali tidak berhak menikahkan budak tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ السَّيِّدُ أَنْ يُجْبِرَ عَبْدَهُ عَلَى التَّزْوِيجِ فَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ صَغِيرًا كَانَ لِسَيِّدِهِ إجباره على النكاح، ولأنه لَمَّا كَانَ لَهُ إِجْبَارُ وَلَدِهِ فِي صِغَرِهِ الَّذِي لَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَيْهِ بَعْدَ بُلُوغِهِ فَإِجْبَارُ عَبْدِهِ فِي صِغَرِهِ أَوْلَى، وَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ بَالِغًا فَهَلْ لِلسَّيِّدِ إِجْبَارُهُ عَلَى النِّكَاحِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Adapun jika tuan ingin memaksa budaknya untuk menikah, maka jika budak tersebut masih kecil, tuan berhak memaksanya menikah. Karena sebagaimana tuan berhak memaksa anaknya menikah saat masih kecil, di mana setelah baligh tidak lagi memiliki hak perwalian atasnya, maka memaksa budaknya menikah saat masih kecil lebih utama. Namun jika budak tersebut sudah baligh, apakah tuan berhak memaksanya menikah atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ لَهُ إِجْبَارُ عَبْدِهِ عَلَى النِّكَاحِ لأنه لما ملك العقد، على منافعه ورقيته جَبْرًا كَانَ النِّكَاحُ مُلْحَقًا بِأَحَدِهِمَا فِي عَقْدِهِ عَلَيْهِ جَبْرًا.
Salah satunya, yaitu pendapat lama, bahwa tuan berhak memaksa budaknya menikah, karena ketika ia memiliki kekuasaan atas akad, manfaat, dan kepemilikan budaknya secara paksa, maka pernikahan disamakan dengan salah satu dari keduanya dalam hal akad secara paksa.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ لَيْسَ لِلسَّيِّدِ إِجْبَارُ عَبْدِهِ عَلَى النِّكَاحِ، لِأَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الْمَلَاذِ وَالشَّهَوَاتِ الَّتِي ليس للسيد إجبار عبده عليها، ولأن معقود الْوَطْءَ الَّذِي لَا يَجُوزُ لِلسَّيِّدِ إِجْبَارُ عَبْدِهِ عَلَيْهِ فَكَانَ النِّكَاحُ بِمَثَابَتِهِ، وَعَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا لو كان السيد مولى عليه لصغر أو سَفَهٍ لَمْ يَكُنْ لِوَلِيِّهِ إِجْبَارُ عَبْدِهِ عَلَى النِّكَاحِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِمَا فِي إِجْبَارِهِ مِنْ إِخْرَاجِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ مِنْ كَسْبِهِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat baru, bahwa tuan tidak berhak memaksa budaknya menikah, karena pernikahan termasuk dalam kategori kenikmatan dan syahwat yang tidak boleh dipaksakan oleh tuan kepada budaknya. Selain itu, akad hubungan badan yang tidak boleh dipaksakan oleh tuan kepada budaknya, maka pernikahan pun demikian hukumnya. Berdasarkan kedua pendapat ini, jika tuan berada di bawah perwalian karena masih kecil atau safīh, maka wali tidak berhak memaksa budaknya menikah menurut satu pendapat, karena dalam pemaksaan itu terdapat pengeluaran mahar dan nafkah dari hasil usaha budak.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْمُدَبَّرُ فَهُوَ كَالْعَبْدِ فِي إِجْبَارِ السَّيِّدِ لَهُ عَلَى النِّكَاحِ، وَفِي إِجْبَارِ السَّيِّدِ على تزويجه إذا ادعى إِلَى النِّكَاحِ.
Adapun mudabbar, maka hukumnya sama seperti budak dalam hal tuan memaksanya menikah, dan dalam hal tuan dipaksa untuk menikahkannya jika ia meminta pernikahan.
وَأَمَّا الْمُكَاتَبُ فَلَيْسَ لِسَيِّدِهِ إِجْبَارُهُ عَلَى النِّكَاحِ، لِمَا فِيهِ مِنْ إِلْزَامِهِ الْمَهْرَ والنفقة في كسبه، وأما إذا دعى سَيِّدَهُ إِلَى النِّكَاحِ، فَهَلْ يُجْبَرُ السَّيِّدُ عَلَيْهِ إن قيل إِنَّهُ يُجْبَرُ عَلَى تَزْوِيجِ عَبْدِهِ فَأَوْلَى أَنْ يُجْبَرَ عَلَى تَزْوِيجِ مُكَاتَبِهِ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ لَا يُجْبَرُ عَلَى تَزْوِيجِ عَبْدِهِ فَفِي إِجْبَارِهِ عَلَى تَزْوِيجِ مُكَاتَبِهِ وَجْهَانِ:
Adapun mukatab, maka tuannya tidak berhak memaksanya untuk menikah, karena di dalamnya terdapat unsur mewajibkan mahar dan nafkah dari hasil usahanya. Adapun jika mukatab meminta tuannya untuk menikahkannya, maka apakah tuan wajib memenuhi permintaan itu? Jika dikatakan bahwa tuan wajib menikahkan hambanya, maka lebih utama lagi ia wajib menikahkan mukatabnya. Namun jika dikatakan bahwa tuan tidak wajib menikahkan hambanya, maka dalam hal kewajiban menikahkan mukatabnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يُجْبَرُ عَلَيْهِ كَمَا لَا يُجْبَرُ عَلَى تَزْوِيجِ عَبْدِهِ.
Pertama: Tuan tidak wajib menikahkan mukatabnya, sebagaimana ia tidak wajib menikahkan hambanya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُجْبَرُ عَلَى تَزْوِيجِ مُكَاتَبِهِ، وَإِنْ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى تَزْوِيجِ عَبْدِهِ.
Pendapat kedua: Tuan wajib menikahkan mukatabnya, meskipun ia tidak wajib menikahkan hambanya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ اكْتِسَابَ الْعَبْدِ لِسَيِّدِهِ فَلَمْ يُجْبَرْ عَلَى تَزْوِيجِهِ لِمَا يَلْحَقُهُ مِنَ الْتِزَامِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ، وَاكْتِسَابِ الْمُكَاتَبِ لِنَفْسِهِ فَأُجْبِرَ السَّيِّدُ عَلَى تَزْوِيجِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَؤُولُ إِلَى الْتِزَامِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ.
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa hasil usaha hamba adalah milik tuannya, sehingga tuan tidak diwajibkan menikahkannya karena akan menimbulkan kewajiban mahar dan nafkah. Sedangkan hasil usaha mukatab adalah milik dirinya sendiri, sehingga tuan diwajibkan menikahkannya, karena hal itu tidak berujung pada kewajiban mahar dan nafkah bagi tuan.
فَصْلٌ
Fashal
فَأَمَّا الْعَبْدُ إِذَا كَانَ بَيْنَ شريكين وليس لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِإِذْنِ أَحَدِهِمَا حَتَّى يَأْذَنَا لهما جَمِيعًا فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى تَزْوِيجِهِ فَهَلْ لَهُمَا إِجْبَارُهُ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنْ دَعَاهُمَا إِلَى النِّكَاحِ فَهَلْ يُجْبَرَانِ عَلَى تَزْوِيجِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَأَمَّا إِنْ كَانَ نِصْفُ الْعَبْدِ حُرًّا وَنِصْفُهُ مَمْلُوكًا فَلَيْسَ لِسَيِّدِهِ أَنْ يُجْبِرَهُ عَلَى النِّكَاحِ؛ لِأَنَّ فِيهِ حُرِّيَّةً لا ولاية عليه فيها، وإن دَعَا سَيِّدَهُ إِلَى النِّكَاحِ فَفِي إِجْبَارِهِ قَوْلَانِ.
Adapun seorang hamba yang dimiliki oleh dua orang yang berserikat, maka ia tidak boleh menikah hanya dengan izin salah satu dari keduanya, hingga keduanya mengizinkan bersama-sama. Jika keduanya sepakat untuk menikahkannya, maka apakah mereka berdua boleh memaksanya untuk menikah atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Jika hamba tersebut meminta keduanya untuk menikahkannya, apakah keduanya wajib menikahkannya atau tidak? Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat. Adapun jika setengah dari hamba itu adalah merdeka dan setengahnya lagi adalah milik, maka tuannya tidak boleh memaksanya untuk menikah, karena pada bagian yang merdeka tidak ada kekuasaan atasnya. Jika ia meminta tuannya untuk menikahkannya, maka dalam hal kewajiban menikahkannya terdapat dua pendapat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَفِي إِذْنِهِ لِعَبْدِهِ بِاكْتِسَابِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ إِذَا وجبت عليه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan dalam hal izin tuan kepada hambanya untuk memperoleh mahar dan nafkah apabila telah menjadi kewajibannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا أَذِنَ السَّيِّدُ لِعَبْدِهِ فِي النِّكَاحِ فَنَكَحَ، فَقَدْ وَجَبَ الْمَهْرُ بِالْعَقْدِ، وَالنَّفَقَةُ بالتمكين، ولوجوبها مَحَلٌّ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْعَبْدِ وَلِلْعَبْدِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
Al-Mawardi berkata: Jika tuan mengizinkan hambanya untuk menikah, lalu ia menikah, maka mahar menjadi wajib dengan akad, dan nafkah menjadi wajib dengan adanya penyerahan diri (istri kepada suami). Kewajiban ini memiliki tempat yang bergantung pada keadaan hamba, dan bagi hamba terdapat tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مُكْتَسِبًا.
Pertama: Hamba tersebut adalah seorang yang berpenghasilan.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ.
Kedua: Hamba tersebut diizinkan berdagang.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُكْتَسِبٍ وَلَا مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ، فَإِنْ كَانَ مُكْتَسِبًا فَالْمَهْرُ وَالنَّفَقَةُ فِي كَسْبِهِ؛ لأن الإذن بالنكاح إذن به وبموجبه وأولى مَا تَعَلَّقَ ذَلِكَ بِكَسْبِهِ، لِأَنَّهُ مِنْهُ وَإِلَيْهِ فإن قيل: أفليس لو أَذِنَ لِعَبْدِهِ فِي التِّجَارَةِ فَلَزِمَهُ فِيهَا دَيْنٌ زَادَ عَلَى مَا بِيَدِهِ كَانَ فِي ذِمَّةِ الْعَبْدِ يُؤَدِّيْهِ بَعْدَ عِتْقِهِ فَهَلَّا اسْتَوَيَا؟ .
Ketiga: Hamba tersebut tidak berpenghasilan dan tidak diizinkan berdagang. Jika ia berpenghasilan, maka mahar dan nafkah diambil dari hasil usahanya, karena izin menikah berarti izin untuk menikah dan konsekuensinya, dan yang paling utama terkait dengan hasil usahanya, karena itu berasal darinya dan kembali kepadanya. Jika ada yang bertanya: Bukankah jika tuan mengizinkan hambanya berdagang lalu ia berutang dalam perdagangan melebihi apa yang dimilikinya, maka utang itu menjadi tanggungan hamba dan dibayarkan setelah ia merdeka? Mengapa tidak disamakan saja?
قِيلَ: الفرق بينها: أن الإذن بالتجارة معقود بالاكتساب، وَالدَّيْنَ ضِدَّ الِاكْتِسَابِ فَصَارَ غَيْرَ مَأْذُونٍ فِيهِ فَلِذَلِكَ تَعَلَّقَ بِذِمَّتِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ وَالْإِذْنُ بِالنِّكَاحِ معقودة الِاسْتِمْتَاعُ الْمُوجِبُ لِلْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ فَصَارَ الْمَهْرُ وَالنَّفَقَةُ مِنْ مُوجِبَاتِ إِذْنِهِ فَلِذَلِكَ تَعَلَّقَ بِكَسْبِهِ دُونَ ذِمَّتِهِ.
Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa izin berdagang berkaitan dengan penghasilan, sedangkan utang adalah lawan dari penghasilan, sehingga menjadi sesuatu yang tidak diizinkan, maka utang itu menjadi tanggungan hamba setelah ia merdeka. Sedangkan izin menikah berkaitan dengan kenikmatan yang menimbulkan kewajiban mahar dan nafkah, sehingga mahar dan nafkah menjadi konsekuensi dari izin tersebut, dan karena itu diambil dari hasil usahanya, bukan dari tanggungannya.
فَصْلٌ
Fashal
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ فِي كَسْبِهِ فَالْمَهْرُ يُسْتَحَقُّ فِي كَسْبِهِ بَعْدَ عتقه، والنفقة تستحق من كسبه بعد تمكنه من الاستمتاع؛ لأنهما يُسْتَحَقَّانِ فِي الْكَسْبِ الْحَادِثِ بَعْدَ وجوبها ولا يستحقان في كسب تقدمها؛ لأن الكسب لم يتعلق به إذن فصار خالصاً لسببه فَلَوْ كَانَ الْعَقْدُ بِمَهْرٍ مُؤَجَّلٍ اسْتُحِقَّ ذَلِكَ فِي الْكَسْبِ الْحَادِثِ بَعْدَ حُلُولِ الْأَجَلِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ قِيلَ لِلسَّيِّدِ: عَلَيْكَ أَنْ تُخَلِّيَ سَبِيلَ عَبْدِكَ وَتَرْفَعَ عَنْهُ يَدَكَ لَيْلًا وَنَهَارًا، أما النهار فللاكتساب الكسب وَالنَّفَقَةِ، وَأَمَّا اللَّيْلُ فَلِلِاسْتِمْتَاعِ بِالزَّوْجَةِ ثُمَّ لَا سَبِيلَ لَكَ إِلَى إِبْطَالِ حَقِّهِ مِنْ تَمْكِينِهِ لَيْلًا مِنْ نَفْسِهِ وَلَكَ السَّبِيلُ إِلَى مَنْعِهِ نَهَارًا مِنْ نَفْسِهِ بِالْتِزَامِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ، لِأَنَّ حَقَّهُ فِي اسْتِمْتَاعِهِ لَيْلًا لَا بَدَلَ لَهُ فَلَمْ يَسْقُطْ وَلِحَقِّهِ مِنَ اكْتِسَابِ النَّهَارِ بَدَلٌ يلتزمه السيد فقط ثم لا يخلو حال كسبه إذا مكن مِنْهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Apabila telah tetap kewajiban mahar dan nafkah dari hasil usahanya, maka mahar menjadi hak dari hasil usahanya setelah ia merdeka, dan nafkah menjadi hak dari hasil usahanya setelah ia mampu melakukan hubungan suami istri; karena keduanya menjadi hak atas hasil usaha yang baru setelah kewajibannya, dan tidak menjadi hak atas hasil usaha yang didapat sebelumnya; sebab hasil usaha tersebut belum terkait dengan izin (untuk menikah), sehingga menjadi murni untuk sebabnya. Maka jika akad dilakukan dengan mahar yang ditangguhkan, maka mahar itu menjadi hak atas hasil usaha yang baru setelah jatuh tempo. Jika demikian, dikatakan kepada tuannya: “Engkau wajib membebaskan jalan bagi hambamu dan melepaskan kendali atasnya siang dan malam.” Adapun siang hari untuk mencari nafkah dan menafkahi, sedangkan malam hari untuk menikmati istrinya. Kemudian, engkau tidak berhak membatalkan haknya untuk dapat menikmati dirinya sendiri pada malam hari, dan engkau berhak mencegahnya pada siang hari dari dirinya sendiri dengan menanggung mahar dan nafkah, karena haknya untuk menikmati pada malam hari tidak ada penggantinya sehingga tidak gugur, sedangkan haknya untuk mencari nafkah pada siang hari ada penggantinya yang ditanggung oleh tuan saja. Kemudian, keadaan hasil usahanya jika ia diberi kesempatan, tidak lepas dari tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بِقَدْرِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ فَلَا حَقَّ فِيهِ لِلسَّيِّدِ وَلَا عَلَيْهِ وَقَدْ خَلَصَ جَمِيعُ كَسْبِهِ لَهُ فِي نَفَقَتِهِ وَنَفَقَةِ زَوْجَتِهِ وَكِسْوَتِهَا وَمَهْرِهَا.
Pertama: Hasil usahanya sepadan dengan mahar dan nafkah, tanpa kelebihan dan tanpa kekurangan, maka tidak ada hak bagi tuan atasnya dan tidak pula kewajiban atasnya, dan seluruh hasil usahanya menjadi miliknya untuk nafkah dirinya, nafkah istrinya, pakaian istrinya, dan maharnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ كَسْبُهُ أَكْثَرَ مِنَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ فَلِلسَّيِّدِ الْفَاضِلِ مِنْهُمَا.
Bagian kedua: Jika hasil usahanya lebih banyak dari mahar dan nafkah, maka kelebihan dari keduanya menjadi hak tuan.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْمَهْرُ وَالنَّفَقَةُ أَكْثَرَ مِنْ كَسْبِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُخَلِّيَ عليه جَمِيعَ كَسْبِهِ لِيَصْرِفَهُ فِي الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ، وَيَكُونُ حَالُهُ فِي الْبَاقِي عَلَيْهِ مِنَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ كَحَالَ مَنْ لَا كَسْبَ لَهُ وَلَا هُوَ مَأْذُونٌ لَهُ فِي التِّجَارَةِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ بَعْدُ.
Bagian ketiga: Jika mahar dan nafkah lebih banyak dari hasil usahanya, maka ia wajib menyerahkan seluruh hasil usahanya untuk digunakan pada mahar dan nafkah, dan keadaannya dalam sisa mahar dan nafkah yang masih menjadi tanggungannya seperti keadaan orang yang tidak memiliki hasil usaha dan tidak diizinkan berdagang, sebagaimana akan kami sebutkan nanti.
فَصْلٌ
Fasal
فَلَوْ أَنَّ سَيِّدَ هَذَا الْعَبْدِ المكتسب إذا استخدمه نهاراً لزمه جَمِيعُ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ لَهُ وَلِزَوْجَتِهِ سَوَاءً كَانَ كسبه مساوياً لهما أو مقصوراً عَنْهُمَا؛ لِأَنَّهُ بِالِاسْتِخْدَامِ كَالضَّامِنِ لَهُمَا وَلَوْ أَنَّ سيده لم يستخدمه ولكن حبسه في زمان كسبه لَزِمَهُ غُرْمُ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ وَلَوْ حَبَسَهُ غَيْرُ سَيِّدِهِ لَزِمَهُ أُجْرَةُ مِثْلِهِ.
Jika tuan dari hamba yang bekerja ini mempekerjakannya pada siang hari, maka ia wajib menanggung seluruh mahar dan nafkah untuknya dan untuk istrinya, baik hasil usahanya sepadan dengan keduanya atau kurang dari keduanya; karena dengan mempekerjakannya, ia seperti penjamin bagi keduanya. Jika tuannya tidak mempekerjakannya, tetapi menahannya pada waktu ia bisa bekerja, maka tuan wajib menanggung kerugian mahar dan nafkah. Jika yang menahannya adalah selain tuannya, maka orang itu wajib membayar upah sepadan dengannya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ السَّيِّدَ يَلْتَزِمُ ذَلِكَ فِي حَقِّ عَبْدِهِ فَلَزِمَهُ مَا يَسْتَحِقُّهُ الْعَبْدُ مِنْ مَهْرِ زَوْجَتِهِ وَنَفَقَتِهَا، وَالْأَجْنَبِيُّ يَضْمَنُ ذَلِكَ فِي حَقِّ السَّيِّدِ فَلَزِمَهُ قيمة ما استهلكه من منافعه.
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa tuan menanggung hal itu dalam hak hambanya, sehingga ia wajib menanggung apa yang menjadi hak hamba berupa mahar istrinya dan nafkahnya, sedangkan orang lain menanggung hal itu dalam hak tuan, sehingga ia wajib membayar nilai manfaat yang telah ia konsumsi.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنْ كَانَ مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ أَعْطَى مِمَّا فِي يَدَيْهِ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia diizinkan berdagang, maka ia memberikan dari apa yang ada di tangannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الْقِسْمُ الثَّانِي مِنْ أَحْوَالِ الْعَبْدِ أَنْ يَكُونَ مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ فَيَكُونُ مَا لَزِمَهُ مِنَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ مُتَعَلِّقًا بِمَالِ التِّجَارَةِ؛ لِأَنَّ هَذَا الْمَالَ فِي حَقِّ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ كَمَالِ الْكَسْبِ فِي حَقِّ الْمُكْتَسِبِ لِكَوْنِهِمَا مِلْكًا للسيد الآذن لكن اختلف أصحابنا في المال هاهنا يقول الشَّافِعِيُّ: أَعْطَى مِمَّا فِي يَدَيْهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أوجه:
Al-Mawardi berkata: Ini adalah bagian kedua dari keadaan hamba, yaitu diizinkan berdagang, maka apa yang menjadi kewajibannya berupa mahar dan nafkah terkait dengan harta perdagangan; karena harta ini bagi yang diizinkan berdagang seperti hasil usaha bagi yang bekerja, karena keduanya adalah milik tuan yang memberi izin. Namun, para sahabat kami berbeda pendapat tentang harta di sini. Imam Syafi‘i berkata: Ia memberikan dari apa yang ada di tangannya dalam tiga pendapat:
أحدها: أن يُعْطِيَهُ مِنْ مَالِ الرِّبْحِ الْمُسْتَفَادِ بَعْدَ وُجُوبِهِ فَيُعْطِي الْمَهْرَ مِنَ الرِّبْحِ الْمُسْتَفَادِ بَعْدَ الْعَقْدِ وَالنَّفَقَةَ مِنَ الرِّبْحِ الْمُسْتَفَادِ بَعْدَ التَّمْكِينِ كَمَا قلنا في المكتسب إنه يعطيهما مِنْ كَسْبِ الْمُسْتَفَادِ بَعْدَ وُجُوبِهِمَا.
Pertama: Ia memberikannya dari keuntungan yang diperoleh setelah kewajiban itu ada, maka ia memberikan mahar dari keuntungan yang diperoleh setelah akad, dan nafkah dari keuntungan yang diperoleh setelah ia mampu (berhubungan), sebagaimana telah kami katakan pada yang bekerja, bahwa ia memberikan keduanya dari hasil usaha yang diperoleh setelah keduanya wajib.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أن يُعْطِيهِمَا مِنْ جَمِيعِ مَا بِيَدِهِ مِنَ الرِّبْحِ الْمُسْتَفَادِ قَبْلَ الْوُجُوبِ وَبَعْدَهُ وَلَا يُعْطِيهِمَا مِنْ أصل المال؛ لأن جميعهما نماء المال، وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْكَسْبِ، وَالرِّبْحِ أَنَّ كَسْبَ الْعَمَلِ حَادِثٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْسَ كَسْبُ التِّجَارَةِ حَادِثًا فِي كُلِّ يَوْمٍ.
Pendapat kedua: Ia memberikannya dari seluruh keuntungan yang ada di tangannya, baik yang diperoleh sebelum maupun sesudah kewajiban itu ada, dan tidak memberikannya dari pokok modal; karena semuanya adalah pertumbuhan dari modal. Perbedaan antara hasil usaha dan keuntungan adalah bahwa hasil usaha dari pekerjaan terjadi setiap hari, sedangkan hasil usaha dari perdagangan tidak terjadi setiap hari.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يُعْطِيهِمَا مِنْ جَمِيعِ مَا بِيَدِهِ مِنْ مَالِ التِّجَارَةِ مِنْ رِبْحٍ وَأَصْلٍ، لِأَنَّ جَمِيعَ ذَلِكَ مِلْكٌ لِلسَّيِّدِ وَقَدْ صَارَ بالإذن كالمأمور يدفعهما فتعلق الإذن لجميع مَا بِيَدِهِ كَالدَّيْنِ، فَلَوْ أَنَّ السَّيِّدَ دَفَعَ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ مَالِ التِّجَارَةِ خَلَصَ مَالُ التِّجَارَةِ وَرِبْحُهُ لِلسَّيِّدِ.
Pendapat ketiga: bahwa ia memberikan kepada keduanya dari seluruh harta perdagangan yang ada di tangannya, baik berupa keuntungan maupun pokok modal, karena seluruh itu adalah milik tuan, dan dengan adanya izin, ia menjadi seperti orang yang diperintah untuk memberikannya kepada keduanya, sehingga izin tersebut berkaitan dengan seluruh yang ada di tangannya seperti halnya utang. Maka, jika tuan memberikan hal itu dari selain harta perdagangan, maka harta perdagangan dan keuntungannya menjadi murni milik tuan.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: مِنْ أَحْوَالِ الْعَبْدِ فَهُوَ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُكْتَسِبٍ وَلَا مَأْذُونٍ لَهُ فِي التِّجَارَةِ إِمَّا لِأَنَّهُ زَمِنٌ لَا يَقْدِرُ عَلَى عَمَلٍ وَإِمَّا لأنه محارف محروم لا يقدر شيئاً، وَإِنْ عَمِلَ فَهُمَا سَوَاءٌ، وَعَلَى السَّيِّدِ الْتِزَامُ نَفَقَتِهِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ الْتِزَامُ نَفَقَةِ زَوْجَتِهِ، وَيُقَالُ لها زوجك معتبر بِنَفَقَتِكِ وَأَنْتِ بِالْخِيَارِ فِي الصَّبْرِ مَعَهُ عَلَى إِعْسَارِهِ أَوْ فَسْخِ نِكَاحِهِ فَأَمَّا الْمَهْرُ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Adapun bagian ketiga dari keadaan seorang budak adalah ketika ia tidak berpenghasilan dan tidak diizinkan untuk berdagang, baik karena ia cacat sehingga tidak mampu bekerja, atau karena ia adalah budak yang terhalang rezekinya sehingga tidak mampu melakukan apa pun. Jika pun ia bekerja, kedudukannya tetap sama. Kewajiban nafkah ada pada tuan, namun tidak ada kewajiban nafkah untuk istrinya. Kepadanya dikatakan: “Suamimu itu diukur berdasarkan nafkahmu, dan engkau berhak memilih antara bersabar bersamanya dalam kesulitannya atau membatalkan pernikahan.” Adapun mengenai mahar, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فِي ذِمَّةِ الْعَبْدِ يُؤَدِّيهِ بَعْدَ عِتْقِهِ وَلَا يؤخذ السَّيِّدُ بِهِ، لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ الْبُضْعِ الَّذِي قَدْ صَارَ مِلْكًا لِلْعَبْدِ دُونَ السَّيِّدِ وَمَنْ مَلَكَ ذَا بَدَلٍ مُلِّكَ عَلَيْهِ ذَلِكَ الْبَدَلُ، وَهَذَا أَشْهَرُ الْقَوْلَيْنِ وَأَظْهَرُهُمَا.
Salah satunya: bahwa mahar itu menjadi tanggungan budak, yang akan ia bayarkan setelah ia merdeka, dan tuan tidak dibebani kewajiban tersebut, karena mahar itu sebagai imbalan atas kemaluan yang telah menjadi milik budak, bukan milik tuan. Barang siapa memiliki sesuatu yang harus diganti, maka ia wajib menanggung pengganti tersebut. Ini adalah pendapat yang paling masyhur dan paling kuat di antara dua pendapat.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا فِي ذِمَّةِ سَيِّدِهِ، لِأَنَّ إِذْنَهُ بِالنِّكَاحِ الَّذِي لَا يَنْفَكُّ مِنَ الْتِزَامِ الْمَهْرِ مُوجِبٌ لِالْتِزَامِ ذَلِكَ الْمَهْرِ كَالدُّيُونِ.
Pendapat kedua: bahwa mahar itu menjadi tanggungan tuannya, karena izinnya untuk menikah yang tidak terlepas dari kewajiban mahar mewajibkan pula tanggungan mahar tersebut, sebagaimana utang-utang.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَنِكَاحُهُ بَاطِلٌ فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَلَا مَهْرَ وَلَا نَفَقَةَ لِأَنَّ فَسَادَ الْعَقْدِ قد أسقط ما تَضَمَّنَهُ مِنَ الْعِوَضِ، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَكَانَ لَهَا بِالدُّخُولِ مَهْرُ مِثْلِهَا لِوَطْءِ الشبهة لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا ” وَأَيْنَ يَكُونُ الْمَهْرُ فِيهِ قَوْلَانِ:
Adapun jika budak menikah tanpa izin tuannya, maka pernikahannya batal. Jika ia belum berhubungan dengannya, maka keduanya dipisahkan dan tidak ada mahar maupun nafkah, karena rusaknya akad telah menggugurkan segala konsekuensi imbalannya. Namun jika ia telah berhubungan, maka keduanya dipisahkan dan perempuan itu berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang sepadan) karena hubungan tersebut dianggap sebagai hubungan syubhat, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Jika ia telah menyentuhnya, maka baginya mahar atas apa yang telah ia halalkan dari kemaluannya.” Mengenai di mana mahar itu dibebankan, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ أَنْ يَكُونَ فِي ذِمَّةِ الْعَبْدِ يُؤَدِّيهِ بَعْدَ عِتْقِهِ، لِأَنَّهُ حق وجب برضى مُسْتَحِقِّهِ فَأَشْبَهَ الدُّيُونَ.
Salah satunya, yang dinyatakan dalam pendapat lama dan baru, bahwa mahar itu menjadi tanggungan budak dan akan ia bayarkan setelah ia merdeka, karena itu adalah hak yang wajib dengan kerelaan pemilik hak, sehingga menyerupai utang.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: خَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا مِنْ كَلَامٍ أَشَارَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ يَكُونُ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ يُبَاعُ فِيهِ إلا أن يفديه به سَيِّدُهُ؛ لِأَنَّهُ وَجَبَ بِالْوَطْءِ الَّذِي هُوَ إِتْلَافٌ فَأَشْبَهَ الْجِنَايَةَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua, yang dikemukakan oleh para ulama kami dari pernyataan yang disinggung oleh asy-Syafi‘i dalam pendapat lamanya, bahwa mahar itu menjadi tanggungan tubuh budak, sehingga ia dapat dijual untuk menutupi mahar tersebut, kecuali jika tuannya menebusnya dengan membayar mahar itu; karena mahar itu wajib akibat hubungan badan yang merupakan bentuk perusakan, sehingga menyerupai jinayah (tindak pidana), dan Allah lebih mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا أَذِنَ السيد لعبده في نكاح فَنَكَحَ نِكَاحًا فَاسِدًا، فَفِي دُخُولِهِ فِي إِذْنِ السيد: قَوْلَانِ:
Jika tuan mengizinkan budaknya untuk menikah, lalu ia menikah dengan pernikahan yang fasid (rusak/tidak sah), maka dalam hal masuknya pernikahan itu dalam izin tuan terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ دَاخِلًا فِي حُكْمِ إذن لِانْطِلَاقِ الِاسْمِ عَلَى فَاسِدِهِ كَانْطِلَاقِهِ عَلَى صَحِيحِهِ وَلِوُجُوبِ الْمَهْرِ فِي فَاسِدِهِ كَوُجُوبِهِ فِي صَحِيحِهِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مَحَلَّ الْمَهْرِ كَمَحَلِّهِ فِي النكاح الصحيح إن كان مكتسباً ففي كسبه وَإِنْ كَانَ مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ كَانَ فيها بِيَدِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُكْتَسِبٍ وَلَا مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ كَانَ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ:
Salah satunya: bahwa pernikahan itu termasuk dalam hukum izin, karena nama pernikahan berlaku baik pada yang fasid maupun yang sah, dan karena kewajiban mahar pada pernikahan fasid sama dengan pada pernikahan sah. Maka, dalam hal ini, tempat mahar sama dengan tempatnya pada pernikahan yang sah: jika budak berpenghasilan, maka dari penghasilannya; jika ia diizinkan berdagang, maka dari harta perdagangan yang ada di tangannya; dan jika ia tidak berpenghasilan dan tidak diizinkan berdagang, maka berlaku dua pendapat sebelumnya:
أَحَدُهُمَا: فِي ذِمَّةِ الْعَبْدِ.
Salah satunya: menjadi tanggungan budak.
وَالثَّانِي: فِي ذِمَّةِ سَيِّدِهِ.
Yang kedua: menjadi tanggungan tuannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ إِنَّ النِّكَاحَ الْفَاسِدَ لَا يَكُونُ دَاخِلًا فِي جملة إذنه، لأن إطلاق الْأَمْرِ يَقْتَضِي حَمْلَهُ عَلَى مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ، وَلِأَنَّ هَذَا الْمَهْرَ مَا وَجَبَ بِالْعَقْدِ؛ وَإِنَّمَا وَجَبَ بِالْوَطْءِ الَّذِي لَمْ يَكُنْ فِيهِ إذن، فعلى هذا في محل هذا المهر الْقَوْلَانِ الْمَاضِيَانِ:
Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, bahwa pernikahan fasid tidak termasuk dalam cakupan izin tuan, karena perintah yang bersifat umum harus dibawa kepada apa yang sesuai dengan syariat, dan karena mahar ini tidak wajib karena akad, melainkan karena hubungan badan yang tidak ada izinnya. Maka, dalam hal ini, tempat mahar mengikuti dua pendapat yang telah lalu:
أَحَدُهُمَا: فِي ذِمَّةِ الْعَبْدِ.
Salah satunya: menjadi tanggungan budak.
وَالثَّانِي: فِي رَقَبَتِهِ.
Yang kedua: menjadi tanggungan tubuh budak (yakni budak dapat dijual untuk menutupi mahar).
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا زَوَّجَ الرَّجُلُ عَبْدَهُ بِأَمَتِهِ فَلَيْسَ عَلَى الْعَبْدِ مَهْرٌ وَلَا نَفَقَةٌ؛ لِأَنَّهُمَا لَوْ وَجَبَا لَكَانَا لِلسَّيِّدِ وَلَا يَثْبُتُ لِلسَّيِّدِ عَلَى عَبْدِهِ مَالٌ لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْمَهْرِ، هَلْ وَجَبَ بِالْعَقْدِ ثُمَّ سَقَطَ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Apabila seorang laki-laki menikahkan budaknya dengan budak perempuannya sendiri, maka tidak ada kewajiban mahar maupun nafkah atas budak laki-laki tersebut; karena jika keduanya diwajibkan, maka keduanya menjadi milik tuan, dan tidaklah tetap bagi tuan suatu harta atas budaknya. Namun, para ulama kami berbeda pendapat mengenai mahar, apakah mahar itu wajib dengan akad lalu gugur? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ وَجَبَ بِالْعَقْدِ ثُمَّ سَقَطَ لِئَلَّا يَكُونَ كَالْمَوْهُوبَةِ الَّتِي جُعِلَتْ خَالِصَةً لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ.
Pertama: Bahwa mahar itu wajib dengan akad lalu gugur, agar tidak seperti wanita yang dihibahkan yang dijadikan khusus untuk Rasulullah ﷺ dan tidak untuk orang-orang mukmin lainnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَمْ يَجِبْ أَصْلًا، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ مِلْكُ السَّيِّدِ مَانِعًا مِنَ اسْتِدَامَةِ اسْتِحْقَاقِهَ كَانَ مَانِعًا مِنَ ابْتِدَاءِ اسْتِحْقَاقِهِ، أَلَّا تَرَاهُ لَوْ أَتْلَفَ مَالَ سَيِّدِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ غُرْمُهُ لَا فِي الِابْتِدَاءِ وَلَا فِي الِاسْتِدَامَةِ كَذَلِكَ الْمَهْرُ، وَلِمَنْ قَالَ بِالْأَوَّلِ أَنْ يَنْفَصِلَ عَنْهُ بِأَنَّ الْأَمْوَالَ قَدْ تجوز أَنْ تُمَلَّكَ بِغَيْرِ بَدَلٍ وَالْبُضْعُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُمَلَّكَ إِلَّا بِبَدَلٍ، فَلَوْ أَنَّ السَّيِّدَ بَعْدَ تَزْوِيجِ عَبْدِهِ بِأَمَتِهِ أَعْتَقَهُمَا مَعًا لَمْ يَكُنْ لَهُ مُطَالَبَةُ عَبْدِهِ بِالْمَهْرِ بَعْدَ عِتْقِهِ؛ لِأَنَّهُ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ بِالْعَقْدِ وَلَا لِلْأَمَةِ بعد عتقها مطالبة الزوج ولا السيد بِمَهْرِهَا؛ لِأَنَّهُ مَا وَجَبَ لَهَا بِالْعَقْدِ.
Pendapat kedua: Bahwa mahar itu sama sekali tidak wajib, karena kepemilikan tuan menjadi penghalang dari kelangsungan hak, maka ia juga menjadi penghalang dari awal timbulnya hak. Bukankah engkau melihat, jika budak itu merusak harta tuannya, ia tidak wajib menggantinya, baik pada permulaan maupun kelangsungannya? Demikian pula dengan mahar. Dan bagi yang berpendapat pendapat pertama, dapat membedakan bahwa harta bisa dimiliki tanpa ganti, sedangkan kemaluan (hak pernikahan) tidak boleh dimiliki kecuali dengan ganti. Jika tuan setelah menikahkan budaknya dengan budak perempuannya lalu memerdekakan keduanya sekaligus, maka ia tidak berhak menuntut mahar dari budaknya setelah dimerdekakan; karena mahar itu tidak wajib atasnya dengan akad, dan budak perempuan pun setelah dimerdekakan tidak berhak menuntut mahar dari suaminya maupun dari tuan, karena mahar itu tidak wajib baginya dengan akad.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا زَوَّجَ السَّيِّدُ أَمَتَهُ بِعَبْدِ غَيْرِهِ وَلَمْ تقبض مهرها مِنْهُ حَتَّى اشْتَرَاهُ، فَإِنْ كَانَ بِيَدِ الْعَبْدِ مِنْ كَسْبِهِ قَبْلَ الشِّرَاءِ وَبَعْدَ النِّكَاحِ شَيْءٌ فَهُوَ لِلْمُشْتَرِي يَأْخُذُهُ مِنْ مَهْرِ أَمَتِهِ، وَلَيْسَ لِلْبَائِعِ فِيهِ حَقٌّ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِيَدِ الْعَبْدِ مَنْ كَسْبِهِ قَبْلَ الشِّرَاءِ شَيْءٌ فَلَا مُطَالَبَةَ لِمُشْتَرِيهِ بِمَهْرِ أَمَتِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ عَبْدَهُ وَلَا حَقَّ لِلسَّيِّدِ عَلَى عَبْدِهِ.
Apabila seorang tuan menikahkan budak perempuannya dengan budak milik orang lain, dan budak perempuan itu belum menerima maharnya hingga tuan tersebut membeli budak laki-laki itu, maka jika di tangan budak tersebut terdapat sesuatu dari hasil usahanya sebelum dibeli dan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik pembeli (tuan baru), dan ia boleh mengambilnya sebagai mahar untuk budak perempuannya, dan penjual tidak memiliki hak atasnya. Namun jika di tangan budak tersebut tidak ada hasil usaha sebelum dibeli, maka pembelinya tidak berhak menuntut mahar untuk budak perempuannya, karena budak itu telah menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi tuan atas budaknya.
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ هَذَا الشِّرَاءُ أَسْقَطَ الْمَهْرَ أَوْ مَنَعَ مِنَ الْمُطَالَبَةِ مَعَ بَقَاءِ الْمَهْرِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Para ulama kami berbeda pendapat, apakah pembelian ini menggugurkan mahar atau hanya mencegah penuntutan dengan tetap adanya mahar? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ أَسْقَطَ الْمَهْرَ، لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْمِلْكُ مَانِعًا مِنَ ابْتِدَاءِ اسْتِحْقَاقِهِ كَانَ مَانِعًا مِنْ بَقَاءِ اسْتِحْقَاقِهِ.
Pertama: Bahwa pembelian itu telah menggugurkan mahar, karena kepemilikan menjadi penghalang dari awal timbulnya hak, maka ia juga menjadi penghalang dari tetapnya hak.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ مَنَعَ مِنَ الْمُطَالَبَةِ بِالْمَهْرِ وَلَمْ يسقطه؛ لأن الحقوق ثابتة في الذمم لا تسقط إلا بالأداء أو الإبراء، وَلَيْسَ الشِّرَاءُ وَاحِدًا مِنْهُمَا، وَتَأْثِيرُ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ يَكُونُ بِعِتْقِ الْعَبْدِ أَوْ بَيْعِهِ.
Pendapat kedua: Bahwa pembelian itu hanya mencegah penuntutan mahar dan tidak menggugurkannya; karena hak-hak tetap ada dalam tanggungan dan tidak gugur kecuali dengan pelunasan atau penghapusan, sedangkan pembelian bukan salah satu dari keduanya. Pengaruh dari dua pendapat ini akan tampak ketika budak itu dimerdekakan atau dijual.
فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الشِّرَاءَ قَدْ أَسْقَطَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْمَهْرِ لَمْ يَكُنْ لِلسَّيِّدِ مُطَالَبَةُ الْعَبْدِ بَعْدَ عتقه أو بيعه.
Jika dikatakan bahwa pembelian telah menggugurkan kewajiban mahar atasnya, maka tuan tidak berhak menuntut budak tersebut setelah ia dimerdekakan atau dijual.
فإن قيل: إنه مَنَعَ مِنَ الْمُطَالَبَةِ بِهِ وَلَمْ يُسْقِطْهُ كَانَ لِلسَّيِّدِ مُطَالَبَتُهُ بَعْدَ عِتْقِهِ أَوْ بَيْعِهِ.
Namun jika dikatakan bahwa pembelian hanya mencegah penuntutan dan tidak menggugurkannya, maka tuan berhak menuntutnya setelah budak itu dimerdekakan atau dijual.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا زَوَّجَ الرَّجُلُ عَبْدَهُ بِأَمَةِ غَيْرِهِ ثُمَّ اشْتَرَاهَا السَّيِّدُ كَانَ النِّكَاحُ بِحَالِهِ وَمَهْرُهَا مُسْتَحَقٌّ لِبَائِعِهَا لِوُجُوبِهِ فِي مِلْكِهِ، وَلَوْ كَانَ السَّيِّدُ قَدْ أَمَرَ عَبْدَهُ بِشِرَاءِ زَوْجَتِهِ، فَإِنْ أمره أن يشتريها لسيده فالنكاح بِحَالِهِ وَإِنْ أَمَرَهُ أَنْ يَشْتَرِيَهَا لِنَفْسِهِ لِتُكُونَ أمة لبعد لا للسيد ففيه قولان:
Apabila seseorang menikahkan budaknya dengan budak perempuan milik orang lain, kemudian tuan membeli budak perempuan itu, maka akad nikah tetap berlaku dan maharnya menjadi hak penjual karena kewajiban mahar itu terjadi saat budak perempuan masih dalam kepemilikannya. Jika tuan memerintahkan budaknya untuk membeli istrinya, maka jika ia memerintahkannya untuk membeli bagi tuannya, maka akad nikah tetap berlaku. Namun jika ia memerintahkannya untuk membeli bagi dirinya sendiri agar budak perempuan itu menjadi milik budak laki-laki, bukan milik tuan, maka ada dua pendapat:
أحدهما: بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْعَبْدِ هَلْ يَمْلِكُ إِذَا مَلَكَ أَمْ لَا؟ فَعَلَى قَوْلِهِ في الْقَدِيمِ أَنَّهُ يُمَلَّكُ إِذَا مَلَكَ فَالشِّرَاءُ لِلْعَبْدِ وَقَدْ بَطَلَ النِّكَاحُ، لِأَنَّ مَنْ مَلَكَ زَوْجَتَهُ بطل نكاحها وعلى القول الْجَدِيدِ: إِنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ فَيَكُونُ الشِّرَاءُ لِلسَّيِّدِ وَالنِّكَاحُ بِحَالِهِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.
Pertama: Berdasarkan perbedaan pendapat tentang budak, apakah ia memiliki (harta) jika ia diberi kepemilikan atau tidak? Menurut pendapat lama, jika budak diberi kepemilikan maka pembelian itu untuk budak dan akad nikahnya batal, karena siapa yang memiliki istrinya maka batal akad nikahnya. Sedangkan menurut pendapat baru: budak tidak memiliki jika diberi kepemilikan, maka pembelian itu untuk tuan dan akad nikah tetap berlaku – dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوَ ضَمِنَ لَهَا السَّيَدُ مَهْرَهَا وَهَوَ ألفٌ عَنِ الْعَبْدِ لَزِمَهُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika tuan menjamin mahar untuk budak perempuannya, dan mahar itu seribu (dirham) atas nama budak laki-laki, maka wajib atasnya (tuan).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أَذِنَ السَّيِّدُ لِعَبْدِهِ أَنْ يَتَزَوَّجَ حُرَّةً فَتَزَوُّجَهَا عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ ثُمَّ إِنَّ السَّيِّدَ ضَمِنَ لها ألف عَنْ عَبْدِهِ صَحَّ الضَّمَانُ لِوُجُوبِهِ كَالدُّيُونِ وَيَكُونُ الألف كَسْبَ عَبْدِهِ بِالْعَقْدِ، وَفِي ذِمَّةِ سَيِّدِهِ بِالضَّمَانِ وَهِيَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تُطَالِبَ الْعَبْدَ بِهَا من كسبه بحكم عقده أو تُطَالِبَ السَّيِّدَ بِهَا بِحُكْمِ ضَمَانِهِ، فَإِنْ دَفْعَهَا الْعَبْدُ مِنْ كَسْبِهِ بَرِئَ السَّيِّدُ مِنْ ضَمَانِهَا، وَإِنْ دَفْعَهَا السَّيِّدُ مِنْ مَالِهِ بَرِئَ الْعَبْدُ مِنْهَا وَلَمْ يَرْجِعِ السَّيِّدُ بِهَا عَلَى عَبْدِهِ، لِأَنَّ السَّيِّدَ لَا يَثْبُتُ لَهُ فِي ذِمَّةِ عَبْدِهِ مَالٌ فَلَوْ طَلَّقَ هَذَا الْعَبْدُ زَوْجَتَهُ نُظِرَ فِي طَلَاقِهِ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ بِهَا فَقَدِ اسْتَكْمَلَتْهُ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا مَلَكَ بِالطَّلَاقِ نِصْفَ الصَّدَاقِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنِ الزَّوْجَةُ قَبَضَتْ صَدَاقَهَا بَرِئَ الزَّوْجُ مِنْ نصف وَبَرِئَ السَّيِّدُ مِنْ ضَمَانِ هَذَا النِّصْفِ، لِأَنَّ براءة المضمون عنه توجب المرأة الضَّامِنِ وَبَقِيَ لِلزَّوْجَةِ نِصْفُ الصَّدَاقِ عَلَى الْعَبْدِ وَعَلَى السَّيِّدِ ضَمَانُهُ، وَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الزَّوْجَةُ المطلقة قبل الدخول قد قبضت صدقها رَجَعَ عَلَيْهَا نِصْفُهُ، ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الْمُطَلِّقِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana ia berkata: Jika seorang tuan mengizinkan budaknya untuk menikahi seorang perempuan merdeka, lalu budak itu menikahinya dengan mahar seribu, kemudian tuan tersebut menjamin kepada perempuan itu seribu atas nama budaknya, maka jaminan itu sah karena kewajibannya seperti utang-utang, dan seribu itu menjadi hasil usaha budaknya berdasarkan akad, serta menjadi tanggungan tuannya karena jaminan tersebut. Perempuan itu berhak memilih antara menuntut budak dari hasil usahanya berdasarkan akad, atau menuntut tuan berdasarkan jaminannya. Jika budak membayarnya dari hasil usahanya, maka tuan bebas dari jaminannya. Jika tuan membayarnya dari hartanya, maka budak bebas darinya dan tuan tidak boleh menuntut kembali kepada budaknya, karena tuan tidak memiliki hak harta atas tanggungan budaknya. Jika budak ini menceraikan istrinya, maka dilihat pada talaknya: jika setelah berhubungan, maka perempuan itu berhak atas seluruh mahar; jika sebelum berhubungan, maka dengan talak itu ia berhak atas setengah mahar. Jika istri belum menerima maharnya, maka suami bebas dari setengahnya dan tuan bebas dari jaminan atas setengah itu, karena bebasnya pihak yang dijamin darinya membebaskan penjamin, dan yang tersisa bagi istri adalah setengah mahar atas budak dan atas tuan sebagai penjaminnya. Jika istri yang dicerai sebelum berhubungan telah menerima maharnya, maka setengahnya dikembalikan kepadanya. Kemudian, keadaan si penceraian tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِ سَيِّدِهِ عِنْدَ طَلَاقِهِ أَوْ قَدْ زَالَ مِلْكُهُ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِهِ فَالسَّيِّدُ هُوَ الرَّاجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الصَّدَاقِ لِأَنَّه مِنْ كَسْبِ عَبْدِهِ بِالطَّلَاقِ وَاكْتِسَابِ العبد لسيده، وإن كَانَ مِلْكُ السَّيِّدِ قَدْ زَالَ عَنْهُ بعتقٍ أَوْ بَيْعٍ فَفِي مُسْتَحِقِّ هَذَا النِّصْفِ مِنَ الصَّدَاقِ وَجْهَانِ:
Yaitu, apakah budak itu masih dalam kepemilikan tuannya saat menceraikan ataukah kepemilikannya telah hilang darinya. Jika masih dalam kepemilikan tuannya, maka tuanlah yang berhak mengambil kembali setengah mahar dari istri, karena itu merupakan hasil usaha budaknya melalui talak, dan hasil usaha budak adalah milik tuannya. Namun jika kepemilikan tuan telah hilang darinya karena dimerdekakan atau dijual, maka dalam hal siapa yang berhak atas setengah mahar ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ إِنَّهُ يَسْتَحِقُّهُ الْعَبْدُ إِنْ كَانَ قَدْ أُعْتِقَ أَوْ مُشْتَرِيهِ إِنْ كَانَ قَدْ بِيعَ وَلَا حق فيه لسيده الدافع له، لأن نصف الصداق كسب ما مَلَكِ بِالطَّلَاقِ وَالطَّلَاقُ لَمْ يَكُنْ فِي مِلْكِ السيد فلم يستحق ما ملك بِهِ بَعْدَ زَوَالِ مِلْكِهِ وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى الْأَبِ يُزَوِّجُ ابْنَهُ الصَّغِيرَ عَلَى صَدَاقٍ يَدْفَعُهُ الْأَبُ مِنْ مَالِهِ ثُمَّ يُطَلِّقُ الِابْنُ عِنْدَ الْبُلُوغِ قَبْلَ الدُّخُولِ بِزَوْجَتِهِ فَيَمْلِكُ الِابْنُ نِصْفَ الصَّدَاقِ، وَلَا يَعُودُ إِلَى الْأَبِ وَإِنْ دَفْعَهُ مِنْ مَالِهِ.
Pendapat pertama, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, bahwa yang berhak atasnya adalah budak jika ia telah dimerdekakan, atau pembelinya jika ia telah dijual, dan tuan yang telah membayarnya tidak memiliki hak atasnya. Karena setengah mahar itu adalah hasil yang diperoleh melalui talak, dan talak itu terjadi bukan dalam kepemilikan tuan, maka ia tidak berhak atas apa yang diperoleh melalui talak setelah kepemilikannya hilang. Hal ini seperti ayah yang menikahkan anak kecilnya dengan mahar yang dibayarkan dari harta ayah, lalu anak itu menceraikan istrinya setelah baligh sebelum berhubungan, maka anak itu berhak atas setengah mahar, dan tidak kembali kepada ayah meskipun ayah yang membayarnya dari hartanya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – قَالَهُ أَبُو بَكْرِ بن الحداد في ” فروعه ” – أنه يَكُونُ لِلسَّيِّدِ، لِأَنَّ الصَّدَاقَ مَالُهُ فَمَا رَجَعَ مِنْهُ بِالطَّلَاقِ عَادَ إِلَيْهِ وَإِنْ زَالَ مُلْكُهُ عن العبد.
Pendapat kedua, sebagaimana dikatakan Abu Bakr bin al-Haddad dalam kitab “Furu’”-nya, bahwa setengah mahar itu menjadi milik tuan, karena mahar itu adalah hartanya, maka apa yang kembali darinya karena talak kembali kepadanya meskipun kepemilikannya atas budak telah hilang.
وَذَهَبَ إِلَى هَذَا بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَيْضًا، وَفُرِّقَ بَيْنَ الْأَبِ إِذَا دَفَعَ الصَّدَاقَ عَنِ ابْنِهِ وَبَيْنَ السَّيِّدِ إِذَا دَفَعَهُ عَنْ عبده، بأن الابن يملك فكان دفع الأب تمليك له ثم قضاء لِلصَّدَاقِ عَنْهُ فَإِذَا طَلَّقَ الِابْنُ قَبْلَ الدُّخُولِ عَادَ نِصْفُ الصَّدَاقِ إِلَيْهِ لِسَابِقِ مِلْكِهِ وَلَيْسَ كَالْعَبْدِ، لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ فَلَمْ يَكُنْ دَفْعُ الصَّدَاقِ عَنْهُ تَمْلِيكًا لَهُ فَإِذَا طَلَّقَ قَبْلَ الدُّخُولِ لَمْ يَمْلِكْ مَا لَمْ يُجْبَرْ لَهُ عَلَيْهِ مِلْكٌ وَسَوَاءً دَفَعَ السَّيِّدُ الصَّدَاقَ مِنْ مَالِهِ أَوْ دَفَعَهُ الْعَبْدُ مِنْ كَسْبِهِ، لِأَنَّ كَسْبَهُ مَالٌ لِسَيِّدِهِ، وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ الْوَجْهَيْنِ وَأَوْلَاهُمَا.
Sebagian ulama muta’akhkhirīn dari kalangan mazhab kami juga berpendapat demikian, dan membedakan antara ayah yang membayar mahar untuk anaknya dan tuan yang membayar untuk budaknya, bahwa anak memiliki hak milik sehingga pembayaran ayah adalah pemberian kepemilikan kepadanya, lalu pembayaran mahar untuknya. Maka jika anak menceraikan sebelum berhubungan, setengah mahar kembali kepadanya karena sebelumnya ia telah memilikinya, berbeda dengan budak karena ia tidak memiliki, sehingga pembayaran mahar untuknya bukan pemberian kepemilikan. Maka jika ia menceraikan sebelum berhubungan, ia tidak memiliki apa pun kecuali jika dipaksakan kepemilikan untuknya. Sama saja apakah tuan membayar mahar dari hartanya atau budak membayarnya dari hasil usahanya, karena hasil usahanya adalah harta milik tuannya. Pendapat pertama adalah yang lebih sahih dan lebih utama dari dua pendapat tersebut.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ بَاعَهَا زَوْجُهَا قَبْلَ الدُّخُولِ بِتِلْكَ الْأَلْفِ بعينها فالبيع باطلٌ من قبل أن عُقْدَةَ الْبَيْعِ وَالْفَسْخِ وَقَعَا مَعًا “.
Imam Syafi’i berkata: “Jika suaminya menjualnya (istrinya) sebelum berhubungan dengan mahar seribu itu secara tunai, maka jual beli itu batal, karena akad jual beli dan pembatalan terjadi bersamaan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا ضَمِنَ السَّيِّدُ عَنْ عَبْدِهِ صَدَاقَ زَوْجَتِهِ وَهُوَ أَلْفٌ ثُمَّ إِنَّهَا ابْتَاعَتْ زَوْجَهَا مِنْ سَيِّدِهِ بِأَلْفٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana ia berkata, jika tuan menjamin mahar istri budaknya, yaitu seribu, kemudian istri itu membeli suaminya dari tuannya dengan seribu, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَبْتَاعَهُ بألفٍ فِي ذِمَّتِهَا.
Salah satunya: ia membelinya dengan harga seribu yang menjadi tanggungannya.
وَالثَّانِي: أَنْ تَبْتَاعَهُ بِالْأَلْفِ الَّتِي هِيَ صَدَاقُهَا فإن ابتاعته بألف فِي ذِمَّتِهَا فَقَدْ ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ بَعْدُ، وإن ابتاعه بِالْأَلْفِ الَّتِي هِيَ صَدَاقُهَا كَأَنَّهَا قَالَتْ لِلسَّيِّدِ بِعْنِي زَوْجِي بِالْأَلْفِ الَّتِي ضَمِنْتَهَا مِنْ صَدَاقِي، فللجواب عَنْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مُقَدِّمَتَانِ نَذْكُرُهُمَا، ثُمَّ نَبْنِي الْجَوَابَ عَلَيْهِمَا.
Dan yang kedua: ia membelinya dengan seribu yang merupakan maharnya. Jika ia membelinya dengan seribu yang menjadi tanggungannya, hal ini telah disebutkan oleh asy-Syafi‘i kemudian. Dan jika ia membelinya dengan seribu yang merupakan maharnya, seolah-olah ia berkata kepada tuannya: “Jualah aku kepada suamiku dengan seribu yang telah aku jamin dari maharku.” Maka untuk menjawab permasalahan ini, ada dua mukadimah yang akan kami sebutkan, kemudian kami akan membangun jawaban di atas keduanya.
إِحْدَى الْمُقَدِّمَتَيْنِ: أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا مَلَكَتْ زَوْجَهَا بَطَلَ نِكَاحُهَا، وَإِنَّمَا بَطَلَ، لِأَنَّ أَحْكَامَ النِّكَاحِ وَمِلْكَ الْيَمِينِ مُتَضَادَّةٌ، لِأَنَّهُ كَانَ مالكاً لبعضها فصارت مالكة لرقبته، وصار مُسْتَحِقَّ الْحَجْرِ عَلَيْهَا بِالزَّوْجِيَّةِ فَصَارَتْ تَسْتَحِقُّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ بِالرِّقِّ وَكَانَتْ نَفَقَتُهَا عَلَيْهِ فَصَارَتْ نَفَقَتُهُ عَلَيْهَا وَإِذَا تَضَادَّتْ أَحْكَامُهَا مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ ثبت أقواهما وانتفى أضعفها، وَمِلْكُ الْيَمِينِ أَقْوَى مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ، لِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ يُخْتَصُّ بِمِلْكِ الْبُضْعِ، وَمِلْكُ الْيَمِينِ يَسْتَوْعِبُ مِلْكَ الرَّقَبَةِ كُلِّهَا فَلِذَلِكَ ثَبَتَ مِلْكُ الْيَمِينِ وَبَطَلَ عَقْدُ النِّكَاحِ.
Salah satu dari dua mukadimah tersebut: bahwa apabila seorang perempuan memiliki suaminya (sebagai budak), maka batal akad nikahnya. Dan batalnya itu karena hukum-hukum nikah dan kepemilikan budak (milk al-yamīn) saling bertentangan. Karena sebelumnya ia (suami) adalah pemilik sebagian dirinya (istri), lalu ia (istri) menjadi pemilik penuh atas dirinya (suami) sebagai budak. Ia (suami) sebelumnya berhak membatasi istrinya karena status sebagai suami, lalu ia (istri) menjadi berhak membatasi suaminya karena status sebagai budak. Nafkahnya sebelumnya ditanggung oleh suami, lalu berubah menjadi nafkah suami ditanggung olehnya. Ketika hukum-hukum tersebut saling bertentangan dari sisi-sisi ini, maka yang lebih kuatlah yang berlaku dan yang lebih lemah gugur. Kepemilikan budak (milk al-yamīn) lebih kuat daripada akad nikah, karena akad nikah hanya khusus pada kepemilikan hubungan badan, sedangkan milk al-yamīn mencakup kepemilikan penuh atas diri budak. Oleh karena itu, milk al-yamīn yang berlaku dan akad nikah menjadi batal.
وَالْمُقَدِّمَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّ فَسْخَ النِّكَاحِ قَبْلَ الدُّخُولِ إِنْ كَانَ مِنْ قِبَلِ الزَّوْجَةِ أَسْقَطَ جَمِيعَ صَدَاقِهَا كَمَا لَوِ ارْتَدَّتْ وَإِنْ كَانَ مِنْ قِبَلِ الزَّوْجِ لَمْ يسقط الصداق إلا نصفه كما لو ارتد، وَهُوَ هَاهُنَا مِنْ قِبَلِ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّهُ وَقَعَ بابتياعها له.
Mukadimah kedua: bahwa pembatalan akad nikah sebelum terjadi hubungan suami istri, jika berasal dari pihak istri, maka gugurlah seluruh maharnya, sebagaimana jika ia murtad. Namun jika berasal dari pihak suami, maka yang gugur hanya setengah maharnya, sebagaimana jika ia murtad. Dalam kasus ini, pembatalan berasal dari pihak istri, karena terjadi melalui pembelian suaminya olehnya.
فإن قيل الفسخ هَاهُنَا إِنَّمَا وَقَعَ بِالِابْتِيَاعِ الَّذِي هُوَ مِنْهُمَا وَالْفَسْخُ إِذَا وَقَعَ بِسَبَبٍ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَيْنِ غَلَبَ فِيهِ حُكْمُ الزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ كَالْخُلْعِ.
Jika dikatakan: Pembatalan di sini terjadi karena pembelian yang berasal dari keduanya, dan jika pembatalan terjadi karena sebab yang berasal dari kedua belah pihak, maka yang lebih dominan adalah hukum suami, bukan istri, seperti dalam kasus khulu‘.
قِيلَ: قَدْ قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا هَذَا، فَأَخْطَأَ فيه، مَذْهَبًا، وَحِجَاجًا.
Dijawab: Sebagian ulama kami memang berpendapat demikian, namun ia keliru baik dari sisi mazhab maupun argumentasi.
أَمَّا الْمَذْهَبُ فَهُوَ أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ نَصَّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ عَلَى خِلَافِهِ، وَجَعَلَ الْفَسْخَ مُضَافًا إِلَى الزَّوْجَةِ فِي إِسْقَاطِ جَمِيعِ صَدَاقِهَا.
Adapun dari sisi mazhab, asy-Syafi‘i telah secara tegas menyatakan dalam masalah ini kebalikannya, dan menjadikan pembatalan itu dinisbatkan kepada istri dalam menggugurkan seluruh maharnya.
وَأَمَّا الْحِجَاجُ فَهُوَ الْفَرْقُ الْوَاقِعُ بَيْنَ الِابْتِيَاعِ وَالْخَلْعِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun dari sisi argumentasi, terdapat perbedaan nyata antara pembelian (suami oleh istri) dan khulu‘ dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الِابْتِيَاعَ إِنَّمَا كَانَ بَيْنَ السَّيِّدِ والزوجة من غير أن يكون للزوج فيه صنع ولا اختبار فلم يجز أن يضاف إليه الخلع، وإنما كَانَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فَجَازَ لِاخْتِصَاصِ الزَّوْجِ بِالْفُرْقَةِ أَنْ يُضَافَ الْفَسْخُ إِلَيْهِ.
Salah satunya: bahwa pembelian itu terjadi antara tuan dan istri, tanpa ada campur tangan atau pilihan dari suami, sehingga tidak bisa disamakan dengan khulu‘. Adapun khulu‘ terjadi antara suami istri, sehingga karena suami yang memiliki hak memutuskan, pembatalan dinisbatkan kepadanya.
وَالثَّانِي: أَنَّ الزَّوْجَ فِي الْخُلْعِ أَزَالَ مِلْكَهُ عَنِ الْبُضْعِ إِلَى غير مالك كالعتق الذي يزيل بِهِ الْمُعَتِقُ مِلْكَهُ عَنْ رَقَبَةِ الْعَبْدِ إِلَى غَيْرِ مَالِكٍ فَغَلَبَ فِيهِ حُكْمُ الزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ وَالِابْتِيَاعُ قَدْ زَالَ بِهِ مِلْكُ الْبَائِعِ وَانْتَقَلَ إِلَى مِلْكِ الْمُشْتَرِي فَغَلَبَ فِيهِ حُكْمُ الزَّوْجَةِ لِانْتِقَالِ الْمِلْكِ إِلَيْهَا دُونَ الزَّوْجِ.
Yang kedua: bahwa dalam khulu‘, suami melepaskan kepemilikannya atas hubungan badan kepada pihak yang bukan pemilik, seperti pembebasan budak yang dilakukan oleh tuannya, di mana kepemilikan atas budak berpindah kepada bukan pemilik. Maka dalam hal ini, hukum suami lebih dominan daripada istri. Sedangkan dalam pembelian, kepemilikan penjual hilang dan berpindah kepada pembeli, sehingga hukum istri lebih dominan karena kepemilikan berpindah kepadanya, bukan kepada suami.
فَصْلٌ
Fashl (Pasal)
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَاتَانِ الْمُقَدِّمَتَانِ وَابْتَاعَتْ زَوْجَهَا بِالْأَلْفِ الَّذِي ضَمِنَهُ السَّيِّدُ مِنْ صَدَاقِهَا لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ قَدْ دَخَلَ بِهَا قَبْلَ الِابْتِيَاعِ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ، فَإِنِ ابْتَاعَتْهُ بعد دخوله بها كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا لِابْتِيَاعِهَا إِيَّاهُ مِنْ مَالِكِهِ بثمن قد استحقته ذِمَّتِهِ لِاسْتِكْمَالِهَا لِلصَّدَاقِ بِالدُّخُولِ فَصَارَ كَابْتِيَاعِهَا إِيَّاهُ بِدَيْنٍ عَلَى سَيِّدِهِ وَإِذَا صَحَّ الْبَيْعُ بَطَلَ النِّكَاحُ، لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّ الزَّوْجَةَ إِذَا مَلَكَتْ زَوْجَهَا بَطَلَ نِكَاحُهَا، وَبَرِئَتِ الزَّوْجَةُ مِنَ الثَّمَنِ لِكَوْنِهِ صَدَاقًا، وَبَرِئَ السَّيِّدُ مِنْ ضَمَانِ الصَّدَاقِ لِكَوْنِهِ ثَمَنًا وَلَمْ يَبْقَ لَهَا عَلَى زَوْجِهَا صَدَاقٌ، لِأَنَّهَا قَدِ اسْتَوْفَتْهُ مِنْ ضَامِنِهِ، وَلَمْ يَكُنْ لِلسَّيِّدِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى عَبْدِهِ بما غرمه عنه من ضمانه، لِأَنَّهُ ضَمِنَهُ عَنْهُ فِي حَالِ مِلْكِهِ.
Jika kedua premis ini telah ditetapkan, lalu istri membeli suaminya dengan seribu (dirham) yang dijamin oleh tuannya dari mahar miliknya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah suami telah berhubungan dengannya sebelum pembelian atau belum. Jika ia membelinya setelah suaminya telah berhubungan dengannya, maka jual beli itu sah, karena ia membeli suaminya dari pemiliknya dengan harga yang telah menjadi hak tanggungannya, sebab ia telah menyempurnakan mahar dengan terjadinya hubungan (suami istri). Maka hal itu seperti ia membeli suaminya dengan utang atas tuannya. Dan jika jual beli itu sah, maka pernikahan menjadi batal, sebagaimana telah kami sebutkan bahwa jika seorang istri memiliki suaminya, maka pernikahannya batal. Istri pun bebas dari kewajiban membayar harga karena harga itu adalah mahar, dan tuan pun bebas dari jaminan mahar karena mahar itu telah menjadi harga, dan tidak tersisa lagi hak mahar bagi istri atas suaminya, karena ia telah mengambilnya dari penjaminnya. Dan tuan tidak berhak menuntut kembali kepada hambanya atas apa yang telah ia bayarkan dari jaminannya, karena ia telah menjaminnya atas nama hamba itu pada saat ia masih menjadi miliknya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنِ ابْتَاعَتْهُ بِصَدَاقِهَا قَبْلَ دُخُولِهِ بِهَا فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَالْبَيْعُ يَكُونُ بَاطِلًا، وَتَعْلِيلُ بُطْلَانِهِ قَدْ أَجْمَلَهُ الشَّافِعِيُّ فَقَالَ: ” لِأَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ وَالْفَسْخِ وَقَعَا مَعًا “.
Jika ia membelinya dengan maharnya sebelum suaminya berhubungan dengannya, maka inilah masalah yang disebutkan dalam kitab, yaitu jual belinya menjadi batal. Alasan pembatalannya telah diringkas oleh asy-Syafi‘i, beliau berkata: “Karena akad jual beli dan pembatalan (nikah) terjadi bersamaan.”
وَبَيَانُهُ: أَنَّ فِي إِثْبَاتِ البيع إبطال النكاح، وَذَلِكَ أَنَّ الْبَيْعَ إِذَا صَحَّ بَطَلَ النِّكَاحُ، وَإِذَا بَطَلَ النِّكَاحُ مِنْ قِبَلِ الزَّوْجَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ سَقَطَ صَدَاقُهَا وَإِذَا سَقَطَ الصَّدَاقُ بَطَلَ ضَمَانُهُ، لِأَنَّ بَقَاءَ الضَّمَانِ يَكُونُ لِبَقَاءِ الْحَقِّ الْمَضْمُونِ، وَإِذَا بَطَلَ الضَّمَانُ بَطَلَ الثَّمَنُ، لِأَنَّ الثَّمَنَ هُوَ الصَّدَاقُ الْمَضْمُونُ، وَإِذَا بَطَلَ الثَّمَنُ بَطَلَ الْبَيْعُ، لِأَنَّ الْبَيْعَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِثَمَنٍ، فَلَمَّا أَدَّى إِثْبَاتُ الْبَيْعِ إِلَى إِبْطَالِ النِّكَاحِ وَالْبَيْعِ حُكِمَ بِإِبْطَالِ الْبَيْعِ وَبَقَاءِ النِّكَاحِ عَلَى ثُبُوتِهِ، لِأَنَّ مَا أَدَّى ثُبُوتُهُ إِلَى إِسْقَاطِهِ وَإِسْقَاطِ غَيْرِهِ حُكِمَ فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ بِإِسْقَاطِهِ وَثُبُوتِ غَيْرِهِ لِيُدْفَعَ بِأَقَلِّ الضَّرَرَيْنِ أَكْبَرُهُمَا، وَلِذَلِكَ نَظَائِرُ.
Penjelasannya: bahwa dengan menetapkan jual beli berarti membatalkan pernikahan. Hal itu karena jika jual beli sah, maka pernikahan batal. Dan jika pernikahan batal dari pihak istri sebelum terjadi hubungan, maka maharnya gugur. Jika maharnya gugur, maka jaminannya juga batal, karena keberlangsungan jaminan itu bergantung pada keberadaan hak yang dijamin. Jika jaminan batal, maka harga pun batal, karena harga itu adalah mahar yang dijamin. Jika harga batal, maka jual beli pun batal, karena jual beli tidak sah kecuali dengan adanya harga. Maka, ketika penetapan jual beli mengakibatkan pembatalan nikah dan jual beli sekaligus, maka diputuskan untuk membatalkan jual beli dan tetapnya pernikahan, karena sesuatu yang penetapannya menyebabkan pembatalan dirinya dan pembatalan yang lain, maka pada awalnya diputuskan untuk membatalkannya dan menetapkan yang lain, agar dapat menolak kerugian yang lebih besar dengan yang lebih kecil. Dan untuk hal ini terdapat beberapa contoh serupa.
فَمِنْهَا: أَنَّ مَنْ مَاتَ وَتَرَكَ أخاً وَارِثَ لَهُ سِوَاهُ، فَأَقَرَّ الْأَخُ بِابْنٍ لِلْمَيِّتِ ثَبَتَ نَسَبُ الِابْنِ وَلَمْ يَرِثْ، لِأَنَّهُ لَوْ ورث لحجب الْأَخَ فَلَمْ يَرِثْ، وَإِذَا لَمْ يَرِثِ الْأَخُ بَطَلَ إِقْرَارُهُ بِالنَّسَبِ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يُقِرَّ بِالنَّسَبِ مَنْ لَيْسَ بِوَارِثٍ، وَإِذَا بَطَلَ إِقْرَارُهُ بِالنَّسَبِ لَمْ يَثْبُتِ النَّسَبُ، فَلَمَّا كَانَ تَوْرِيثُ هَذَا الِابْنِ مُؤَدِّيًا إِلَى إِبْطَالِ نَسَبِهِ وَمِيرَاثِهِ ثَبَتَ نَسَبُهُ وَبَطَلَ مِيرَاثُهُ.
Di antaranya: seseorang yang meninggal dunia dan meninggalkan seorang saudara laki-laki sebagai ahli waris selain dirinya, lalu saudara tersebut mengakui adanya seorang anak bagi si mayit, maka nasab anak itu ditetapkan tetapi ia tidak mewarisi, karena jika ia mewarisi maka ia akan menutup hak waris saudara tersebut sehingga saudara itu tidak mendapat warisan. Jika saudara itu tidak mewarisi, maka pengakuannya atas nasab menjadi batal, karena tidak sah seseorang yang bukan ahli waris mengakui nasab. Jika pengakuan nasabnya batal, maka nasab anak itu tidak ditetapkan. Maka, ketika pewarisan anak ini menyebabkan pembatalan nasab dan warisannya, maka nasabnya ditetapkan dan warisannya dibatalkan.
وَمِنْهَا: أَنَّ مَنِ اشْتَرَى أَبَاهُ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ عَتَقَ وَلَمْ يَرِثْ، لِأَنَّ عِتْقَهُ فِي الْمَرَضِ كَالْوَصِيَّةِ لَهُ فِي اعْتِبَارِهِ مِنَ الثُّلُثِ، فَلَوْ وَرِثَ لمنع الوصية، لأنه لا وصية لوارث وإن مُنِعَ الْوَصِيَّةَ بَطَلَ الْعِتْقُ، وَإِذَا بَطَلَ الْعِتْقُ سَقَطَ الْمِيرَاثُ، فَلَمَّا كَانَ تَوْرِيثُهُ مُؤَدِّيًا إِلَى إِبْطَالِ عِتْقِهِ وَمِيرَاثِهِ ثَبَتَ عِتْقُهُ وَسَقَطَ مِيرَاثُهُ. ومنها: أن يوصي لرجل بابن له مملوكه فمات قبل الوصية، وخلف أَخًا هُوَ وَارِثُهُ فَيَقْبَلُ الْأَخُ الْوَصِيَّةَ لِأَخِيهِ بِابْنِهِ فَإِنَّ الِابْنَ يَعْتِقُ وَلَا يَرِثُ، لِأَنَّهُ لو ورث لحجب الْأَخَ، وَإِذَا حَجَبَهُ بَطَلَ قَبُولُهُ لِلْوَصِيَّةِ وَإِذَا بَطَلَ قَبُولُهُ بَطَلَ عِتْقُ الِابْنِ وَإِذَا بَطَلَ عِتْقُهُ سَقَطَ مِيرَاثُهُ فَلَمَّا أَدَّى ثُبُوتُ مِيرَاثِهِ إلى سقوط عتقه وبطلانه ثبت العتق وسقط الْمِيرَاثُ.
Di antaranya: seseorang yang membeli ayahnya dalam keadaan sakit menjelang wafat, maka ayahnya merdeka dan ia tidak mewarisi, karena memerdekakan dalam keadaan sakit seperti wasiat yang diperhitungkan dari sepertiga harta. Jika ia mewarisi, maka wasiat menjadi terhalang, karena tidak ada wasiat bagi ahli waris. Jika wasiat terhalang, maka kemerdekaan batal, dan jika kemerdekaan batal, maka warisan gugur. Maka, ketika pewarisan menyebabkan pembatalan kemerdekaan dan warisannya, maka kemerdekaan ditetapkan dan warisan gugur. Di antaranya juga: seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki dengan anaknya yang merupakan budaknya, lalu ia meninggal sebelum wasiat itu dilaksanakan dan meninggalkan seorang saudara laki-laki sebagai ahli warisnya, maka saudara itu menerima wasiat untuk saudaranya dengan anaknya, sehingga anak itu merdeka dan tidak mewarisi, karena jika ia mewarisi maka ia akan menutup hak waris saudara tersebut. Jika ia menutup hak warisnya, maka penerimaan wasiat menjadi batal, dan jika penerimaan wasiat batal, maka kemerdekaan anak itu batal, dan jika kemerdekaannya batal, maka warisannya gugur. Maka, ketika penetapan warisannya menyebabkan gugurnya kemerdekaan dan pembatalannya, maka kemerdekaan ditetapkan dan warisan gugur.
وَمِنْهَا: أَنْ يَدَّعِيَ عَبْدَانِ عَلَى سَيِّدِهِمَا العتق، وهو منكر فيشهد لَهُمَا شَاهِدَانِ بِالْعِتْقِ فَيُحْكَمُ بِعِتْقِهِمَا ثُمَّ يَشْهَدُ الْمُعَتَقَانِ بِجَرْحِ الشَّاهِدِينَ فَإِنَّ شَهَادَتَهُمَا بِالْجَرْحِ مَرْدُودَةٌ، لِأَنَّهَا لَوْ قُبِلَتْ فِي الْجَرْحِ رَدَّتْ شَهَادَةَ الشَّاهِدِينَ بِالْعِتْقِ، وَصَارَ الْمُعَتَقَانِ عَبْدَيْنِ مَرْدُودِيِ الشَّهَادَةِ، فَلَمَّا أَدَّى قَبُولُ شَهَادَتِهِمَا إِلَى رَدِّهَا وَإِبْطَالِ الْعِتْقِ رُدَّتْ شَهَادَتُهُمَا وَثَبَتَ الْعِتْقُ وَلِذَلِكَ مِنَ النَّظَائِرِ مَا يَطُولُ ذِكْرُهُ، وَإِنَّمَا ذَكَرْنَا أَمْثِلَةً يُؤَدِّي دَوْرُهَا إِذَا ثَبَتَ إِلَى سُقُوطِهَا فَلَمْ يثبت – وبالله التوفيق -.
Di antaranya: Jika dua budak mengklaim kepada tuannya bahwa mereka telah dimerdekakan, sementara tuannya mengingkari, lalu ada dua saksi yang bersaksi atas kemerdekaan mereka, maka diputuskan bahwa keduanya merdeka. Kemudian, kedua mantan budak itu bersaksi untuk mencacatkan para saksi tersebut. Maka, kesaksian mereka dalam mencacatkan itu ditolak, karena jika diterima dalam pencacatan, maka akan membatalkan kesaksian para saksi atas kemerdekaan, sehingga kedua mantan budak itu kembali menjadi budak yang kesaksiannya tidak diterima. Karena penerimaan kesaksian mereka akan berujung pada penolakan kesaksian itu sendiri dan pembatalan kemerdekaan, maka kesaksian mereka ditolak dan kemerdekaan tetap berlaku. Dan dalam masalah-masalah serupa masih banyak lagi yang terlalu panjang untuk disebutkan. Kami hanya menyebutkan beberapa contoh yang jika terbukti akan berujung pada gugurnya, maka tidaklah tetap—dan hanya kepada Allah-lah taufik.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوَ بَاعَهَا إِيِّاهُ بألفٍ لَا بِعَيْنِهَا كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا وَعَلَيْهَا الثَّمَنُ وَالنِّكَاحُ مفسوخٌ مِنْ قبلها وقبل السيد “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia (budak perempuan) membelinya (suaminya) dengan harga seribu, bukan dengan barang tertentu, maka jual belinya sah dan ia wajib membayar harga tersebut, serta pernikahan menjadi batal baik dari pihaknya maupun dari pihak tuannya.”
قال الماوردي: وهذه المسألة الثانيةمن ابتياعها لزوجها إن ابتاعته بِأَلْفٍ فِي ذِمَّتِهَا فَالْبَيْعُ صَحِيحٌ لِانْعِقَادِهِ بِثَمَنٍ مَعْلُومٍ، وَالنِّكَاحُ قَدْ بَطَلَ، لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّ النِّكَاحَ وَمِلْكَ الْيَمِينِ لَا يَجْتَمِعَانِ لِتَنَافِي أَحْكَامِهِمَا فَأُثْبِتُ أَقْوَاهُمَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Ini adalah masalah kedua dari pembelian budak perempuan terhadap suaminya. Jika ia membelinya dengan harga seribu yang menjadi tanggungannya, maka jual belinya sah karena terjadi dengan harga yang jelas, dan pernikahan telah batal, sebagaimana telah kami sebutkan bahwa pernikahan dan kepemilikan budak tidak dapat bersatu karena hukum keduanya saling bertentangan, sehingga yang lebih kuatlah yang ditetapkan. Dalam hal ini, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ قَدْ دَخَلَ بِهَا قَبْلَ ابْتِيَاعِهَا لَهُ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ دَخَلَ بِهَا فَصَدَاقُهَا قَدْ سَقَطَ لِانْفِسَاخِ النِّكَاحِ مِنْ جِهَتِهَا قَبْلَ الدُّخُولِ وَإِذَا سَقَطَ الصَّدَاقُ بَطَلَ ضَمَانُ السَّيِّدِ لَهُ، لِأَنَّ الضَّمَانَ فَرْعٌ لِأَصْلٍ قَدْ بَرِئَ مِنْهُ الْمَضْمُونُ فَبَرِئَ الضَّامِنُ مِنْهُ وَلِلسَّيِّدِ عَلَيْهَا الْأَلْفُ الَّذِي اشترت بها زوجها ولا مطالبة لها بصداقها.
Pertama, suami telah berhubungan dengannya sebelum ia membeli suaminya, atau belum berhubungan. Jika belum berhubungan, maka maskawinnya gugur karena pernikahan batal dari pihaknya sebelum terjadi hubungan. Jika maskawin gugur, maka jaminan dari tuan atas maskawin itu juga batal, karena jaminan adalah cabang dari pokok yang telah bebas darinya, sehingga penjamin pun bebas darinya. Dan tuan berhak menuntutnya atas seribu yang digunakan untuk membeli suaminya, dan ia tidak berhak menuntut maskawinnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا قَبْلَ ابْتِيَاعِهَا لَهُ، فَقَدِ اسْتَقَرَّ لَهَا الصَّدَاقُ كَامِلًا بالدخول على الزوج قد ملكته فصار عبداً لها، قبل تبرأ الزوج منه بحدوث ملكها أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika suami telah berhubungan dengannya sebelum ia membeli suaminya, maka maskawin menjadi haknya secara penuh karena telah terjadi hubungan, dan suami telah memilikinya, lalu ia menjadi budaknya. Apakah suami terbebas dari kewajiban maskawin karena kepemilikan istrinya atas dirinya atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قَدْ بَرِئَ مِنْهُ، لِأَنَّ السَّيِّدَ لَا يَصِحُّ أَنَّ يَثْبُتَ لَهُ فِي ذِمَّةِ عَبْدِهِ مَالٌ فَعَلَى هَذَا قَدْ بَرِئَ السَّيِّدُ مِنْ ضَمَانِهِ لِبَرَاءَةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ، وَلِلسَّيِّدِ مُطَالَبَتُهَا بِالْأَلْفِ الَّذِي هُوَ ثَمَنٌ.
Pertama: Suami terbebas dari kewajiban itu, karena tidak sah bagi tuan untuk memiliki harta dalam tanggungan budaknya. Dengan demikian, tuan terbebas dari jaminan karena yang dijamin telah bebas darinya, dan tuan berhak menuntutnya atas seribu yang merupakan harga.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الزَّوْجَ لَا يَبْرَأُ مِنْ صَدَاقِهَا، وَإِنْ صَارَ عَبْدًا لَهَا لِاسْتِقْرَارِهِ عَلَيْهِ قَبْلَ مِلْكِهَا لَهُ فَلَمْ يَسْقُطْ إِلَّا بِأَدَاءٍ أَوْ إِبْرَاءٍ، وَإِنْ صَارَ لَهَا عَبْدًا، وَإِنَّمَا لَا يَثْبُتُ لَهَا ابْتِدَاءً فِي ذِمَّتِهِ مَالٌ بَعْدَ أَنْ صَارَ لَهَا عَبْدًا، فَأَمَّا أَنَّ يكون الحق ثابتاً فلا يُمْتَنَعُ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الْمِلْكِ بَاقِيًا فَعَلَى هَذَا لَهَا عَلَى السَّيِّدِ الْأَلْفُ الَّذِي هُوَ صداقها، وللسيد عليها الألف التي هي ثمن زوجها، فإن كانت الألفان من نقدين مختلفين لم يصر قصاصاً، وَكَانَ عَلَيْهَا أَنْ تُؤَدِّيَ إِلَى السَّيِّدِ الْأَلْفَ التي هي ثَمَنُ زَوْجِهَا وَعَلَى السَّيِّدِ أَنْ يُؤَدِّيَ إِلَيْهَا الْأَلْفَ الَّذي هِوَ صَدَاقُهَا.
Pendapat kedua: Suami tidak terbebas dari kewajiban maskawin, meskipun ia telah menjadi budaknya, karena maskawin itu telah tetap menjadi haknya sebelum ia memiliki suaminya, sehingga tidak gugur kecuali dengan pembayaran atau pembebasan, meskipun suami telah menjadi budaknya. Hanya saja, tidak sah baginya untuk memiliki harta dalam tanggungan suaminya setelah menjadi budaknya. Adapun jika hak itu telah tetap sebelumnya, maka tidak terhalang untuk tetap ada setelah kepemilikan. Dengan demikian, ia berhak menuntut tuan atas seribu yang merupakan maskawinnya, dan tuan berhak menuntutnya atas seribu yang merupakan harga suaminya. Jika kedua seribu itu dari mata uang yang berbeda, maka tidak menjadi saling hapus, dan ia wajib membayar kepada tuan seribu yang merupakan harga suaminya, dan tuan wajib membayar kepadanya seribu yang merupakan maskawinnya.
فَإِنْ قَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَا أَدْفَعُ مَا عَلَيَّ حَتَّى أقبض مالي لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُ، لِأَنَّهُ لَا تَعَلُّقَ لأحد المالين بالآخر، فأيهما بَدَأَ بِالْمُطَالَبَةِ قُضِيَ لَهُ عَلَى صَاحِبِهِ بِالدَّفْعِ فإن تبارءا من الْأَلْفَيْنِ صَحَّ الْإِبْرَاءُ، فَلَوْ قَالَ: كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ قَدْ أَبْرَأْتُكَ إِنْ أَبْرَأْتَنِي لَمْ يَصِحَّ لِمَا فِيهِ مِنْ تَقْيِيدِ الْبَرَاءَةِ بِشَرْطٍ، وَلَوْ قَالَ: قَدْ أَبْرَأْتُكَ فَأَبْرِئْنِي فَهُوَ مُبَرِّئٌ مِنْ حَقِّهِ بِغَيْرِ شَرْطٍ فَصَحَّتْ بَرَاءَتُهُ وَطَلَبَ إِلَى الْآخَرِ أَنْ يُبَرِّئَهُ وَكَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أن يبرئه أو لا يبرئه، وإن كانت الْأَلْفَانِ مَنْ نَقْدٍ وَاحِدٍ لَا يَخْتَلِفُ فَكَانَتِ الْأَلْفُ الثَّمَنُ مِنْ جِنْسِ الْأَلْفِ الصَّدَاقِ، وَعَلَى صِفَتِهَا فَهَلْ يَصِيرُ ذَلِكَ قَصَاصًا أَمْ لَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقَاوِيلَ:
Jika masing-masing dari keduanya berkata, “Aku tidak akan membayar kewajibanku sampai aku menerima hakku,” maka hal itu tidak dibenarkan, karena tidak ada keterkaitan antara kedua harta tersebut. Maka siapa saja di antara keduanya yang lebih dahulu menuntut, diputuskan untuknya agar pihak lain membayar. Jika keduanya saling membebaskan dari dua ribu itu, maka pembebasan itu sah. Namun jika masing-masing berkata kepada yang lain, “Aku membebaskanmu jika engkau membebaskanku,” maka itu tidak sah karena pembebasan tersebut dikaitkan dengan syarat. Tetapi jika salah satu berkata, “Aku telah membebaskanmu, maka bebaskanlah aku,” maka ia telah membebaskan haknya tanpa syarat, sehingga pembebasannya sah dan ia meminta kepada yang lain agar membebaskannya, dan yang lain berhak memilih untuk membebaskan atau tidak membebaskannya. Jika dua ribu itu berupa satu jenis mata uang yang sama, sehingga seribu sebagai harga berasal dari jenis seribu sebagai mahar dan dengan sifat yang sama, maka apakah hal itu menjadi qishāsh (kompensasi saling hapus) atau tidak, terdapat empat pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّ يَصِيرَ قَصَاصًا اخْتَارَا أَوْ لَمْ يَخْتَارَا فَعَلَى هَذَا قَدْ بَرِئَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ حَقِّ صَاحِبِهِ.
Pertama: Bahwa hal itu menjadi qishāsh, baik keduanya memilih atau tidak memilih, sehingga dengan demikian masing-masing telah bebas dari hak pihak lain.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْه يَصِيرَ قَصَاصًا إِنِ اخْتَارَا أو أحدهما ولا تصير قَصَاصًا إِنْ لَمْ يَخْتَرْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا.
Pendapat kedua: Bahwa hal itu menjadi qishāsh jika keduanya atau salah satu dari keduanya memilih, dan tidak menjadi qishāsh jika tidak ada satu pun yang memilihnya.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَصِيرُ قَصَاصًا إِنِ اخْتَارَاهُ مَعًا وَلَا يكون قصاصاً إن اختاره أحدهما.
Ketiga: Bahwa hal itu menjadi qishāsh jika keduanya bersama-sama memilihnya, dan tidak menjadi qishāsh jika hanya salah satu yang memilihnya.
والرابع: – وَهُوَ مُخَرَّجٌ – أَنَّهُ لَا يَصِيرَ قَصَاصًا بِحَالٍ وَإِنِ اخْتَارَاهُ، وَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يُؤْدِيَ إِلَى صَاحِبِهِ مَالَهُ وَيَسْتَوْفِيَ مِنْهُ مَا عَلَيْهِ.
Keempat: — dan ini merupakan pendapat yang dikembangkan — bahwa hal itu tidak menjadi qishāsh dalam keadaan apa pun, meskipun keduanya memilihnya, dan masing-masing tetap wajib membayar hak pihak lain dan menagih apa yang menjadi haknya.
وَوَجْهُ هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ يُذْكَرُ فِي مَوْضِعِهِ من كتاب المكاتب إن شاء الله.
Penjelasan tentang dasar pendapat-pendapat ini akan disebutkan pada tempatnya dalam Kitab al-Mukātib, insya Allah.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَهُ أَنْ يُسَافِرَ بِعَبْدِهِ وَيَمْنَعَهُ مِنَ الْخُرُوجِ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ وَفِي مِصْرِهِ إِلَّا فِي الْحِينِ الَّذِي لَا خِدْمَةَ لَهُ فِيهِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan tuan berhak bepergian dengan hambanya dan melarangnya keluar dari rumahnya menuju istrinya, baik di dalam kotanya sendiri kecuali pada waktu di mana ia tidak membutuhkan pelayanannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِلسَّيِّدِ إِذَا أَذِنَ لعبده في النكاح فعلى حالتين:
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa jika tuan mengizinkan hambanya menikah, maka ada dua keadaan:
إحداها: أَنْ يَلْتَزِمَ لِزَوْجَتِهِ الْمَهْرَ وَالنَّفَقَةَ.
Pertama: Tuan berkomitmen untuk menanggung mahar dan nafkah istrinya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَلْتَزِمَ فَإِنْ لَمْ يَلْتَزِمْ لَهَا الْمَهْرَ وَالنَّفَقَةَ فَعَلَيْهِ أَنْ يُمَكِّنَ عَبْدَهُ مِنَ اكْتِسَابِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ نَهَارًا وَيُخَلِّيَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ لَيْلًا فَيَكُونُ تَخْلِيَتُهُ نَهَارًا لِلِاكْتِسَابِ وَلَيْلًا لِلِاسْتِمْتَاعِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ زَوْجَتُهُ فِي مَنْزِلِ سَيِّدِهِ فَلَا يَلْزَمُهُ تَخْلِيَتُهُ لَيْلًا لِوُصُولِهِ إِلَى الِاسْتِمْتَاعِ مَعَ سَيِّدِهِ فَلَوْ أَرَادَ السَّيِّدُ أَنَّ يُسَافِرَ بِعَبْدِهِ هَذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ لما فيه من منعه من الِاكْتِسَابِ، فَإِنْ قَهَرَهُ عَلَى نَفْسِهِ، قَالَ أَبُو حامد الإسفراييني: يَضْمَنُ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ أُجْرَةِ مِثْلِهِ أَوْ نَفَقَةِ زَوْجَتِهِ، لِأَنَّ أُجْرَتَهُ إِنْ زَادَتْ كَانَ لَهُ أَخْذُ الزِّيَادَةِ، وَإِنْ نَقَصَتْ لَمْ يَلْزَمْهُ إِتْمَامُ النَّفَقَةِ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ عِنْدِي لَيْسَ بِصَحِيحٍ بَلْ يَضْمَنُ لَهَا النَّفَقَةَ وَلَا يَضْمَنُ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ لِأَمْرَيْنِ:
Kedua: Tuan tidak berkomitmen. Jika ia tidak menanggung mahar dan nafkah istrinya, maka ia wajib membiarkan hambanya mencari mahar dan nafkah pada siang hari dan membiarkannya bersama istrinya pada malam hari. Maka, pembebasan pada siang hari untuk mencari nafkah dan pada malam hari untuk menikmati istrinya, kecuali jika istrinya tinggal di rumah tuannya, maka tidak wajib membebaskannya pada malam hari karena ia tetap dapat menikmati istrinya bersama tuannya. Jika tuan ingin bepergian dengan hambanya ini, maka itu tidak dibenarkan karena akan menghalanginya dari mencari nafkah. Jika tuan memaksanya untuk tetap bersamanya, Abu Hamid al-Isfirayini berkata: Tuan wajib menanggung yang lebih kecil dari dua hal, yaitu upah sepadan atau nafkah istrinya, karena jika upahnya lebih besar, ia berhak mengambil kelebihannya, dan jika lebih kecil, ia tidak wajib menambah kekurangan nafkah. Namun menurut saya, pendapat ini tidak benar, bahkan tuan wajib menanggung nafkah istrinya dan tidak menanggung yang lebih kecil dari dua hal tersebut karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَضْمَنُ ذَلِكَ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ لَا فِي حَقِّ الْعَبْدِ فَلَزِمَتْهُ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ وَلَمْ تَلْزَمْهُ أُجْرَةُ الْعَبْدِ.
Pertama: Tanggung jawab itu berkaitan dengan hak istri, bukan hak hamba, sehingga yang wajib ditanggung adalah nafkah istri, bukan upah hamba.
وَالثَّانِي: أَنَّ حَالَ إِجْبَارِهِ أَعْظَمُ مِنْ حَالِ خِيَارِهِ فَلَمَّا لَزِمَهُ فِي حَالِ الِاخْتِيَارِ ضَمَانُ النفقة فَأَوْلَى أَنْ يَلْزَمَهُ فِي حَالِ الْإِجْبَارِ ضَمَانُ النفقة فما إِذَا قَهَرَهُ عَلَى نَفْسِهِ لَيْلًا وَأَرْسَلَهُ نَهَارًا فقد تعدى كتعديه ولو قَهَرَهُ نَهَارًا غَيْرَ أَنَّهُ يَضْمَنُ زَمَانَ نَهَارِهِ وَلَا يَضْمَنُ زَمَانَ لَيْلِهِ.
Kedua: Keadaan pemaksaan lebih berat daripada keadaan pilihan. Jika dalam keadaan pilihan saja wajib menanggung nafkah, maka dalam keadaan pemaksaan lebih utama lagi wajib menanggung nafkah. Adapun jika tuan memaksanya untuk tetap bersamanya pada malam hari dan membebaskannya pada siang hari, maka ia telah berbuat melampaui batas sebagaimana jika ia melampaui batas pada siang hari, hanya saja ia wajib menanggung waktu siang harinya dan tidak wajib menanggung waktu malamnya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ زَمَانَ لَيْلِهِ مُسْتَحَقُّ الِاسْتِمْتَاعِ الَّذِي لَا يُقَابِلُهُ عِوَضٌ فَلَمْ يُضْمَنْ، وَزَمَانُ نَهَارِهِ مُسْتَحَقٌّ لِلْكَسْبِ الذي يقابله عوض ضمن.
Perbedaannya adalah bahwa waktu malam merupakan hak untuk menikmati istri yang tidak ada kompensasinya, sehingga tidak wajib ditanggung, sedangkan waktu siang merupakan hak untuk mencari nafkah yang ada kompensasinya, sehingga wajib ditanggung.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنِ الْتَزَمَ السَّيِّدُ لَهَا الْمَهْرَ وَالنَّفَقَةَ فَلَهُ أَنْ يَسْتَخْدِمَهُ فِي مِصْرِهِ، وَلَهُ أَنْ يُسَافِرَ بِهِ لِأَمْرَيْنِ:
Jika tuannya telah berkomitmen untuk memberikan mahar dan nafkah kepadanya, maka ia berhak menggunakan budaknya itu di negerinya, dan ia juga berhak bepergian bersamanya karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ السَّيِّدَ إِذَا التزم له المهر والنفقة سقط عنه ما لزمه بِالزَّوْجِيَّةِ فَعَادَ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ قَبْلُ، وَقَدْ كَانَ لَهُ أَنْ يَسْتَخْدِمَهُ فِي الْحَضَرِ وَالسِّفْرِ فَكَذَلِكَ الْآنَ.
Pertama: Jika tuan telah berkomitmen memberikan mahar dan nafkah kepadanya, maka gugurlah kewajiban yang dibebankan kepadanya karena pernikahan, sehingga kembali kepada keadaan semula. Dahulu, ia berhak menggunakan budaknya itu baik di tempat tinggal maupun dalam perjalanan, maka demikian pula sekarang.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَنْزِلَةَ السَّيِّدِ مَعَ عَبْدِهِ كَمَنْزِلَةِ الْحُرِّ فِي نَفْسِهِ فَكُلُّ مَا جَازَ لِلْحُرِّ أَنْ يَفْعَلَهُ مَعَ زَوْجَتِهِ مِنْ تَصَرُّفٍ فِي الْحَضَرِ وَتَقَلُّبٍ فِي السَّفَرِ جَازَ لِلسَّيِّدِ أَنْ يَفْعَلَهُ مَعَ عَبْدِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلِلسَّيِّدِ حَالَتَانِ:
Kedua: Kedudukan tuan terhadap budaknya seperti kedudukan orang merdeka terhadap dirinya sendiri. Maka segala sesuatu yang boleh dilakukan orang merdeka terhadap istrinya, baik berupa pengelolaan di tempat tinggal maupun bepergian dalam perjalanan, juga boleh dilakukan tuan terhadap budaknya. Dengan demikian, ada dua keadaan bagi tuan:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَسْتَخْدِمَهُ فِي مِصْرِهِ فَلَهُ أَنْ يَسْتَخْدِمَهُ نَهَارًا وَعَلَيْهِ أَنْ يُرْسِلَهُ لِلِاسْتِمْتَاعِ بِزَوْجَتِهِ لَيْلًا، لِأَنَّ زمان الاستخدام هو النهار فيعلق حَقُّ السَّيِّدِ بِهِ دُونَ اللَّيْلِ وَزَمَانُ الِاسْتِمْتَاعِ هو الليل فيعلق حق العبد به دون النهار.
Pertama: Ia menggunakan budaknya di negerinya, maka ia boleh menggunakannya pada siang hari dan wajib membiarkannya pergi untuk menikmati istrinya pada malam hari. Sebab waktu penggunaan adalah siang hari, sehingga hak tuan terkait dengannya, bukan malam hari. Sedangkan waktu menikmati adalah malam hari, sehingga hak budak terkait dengannya, bukan siang hari.
والحال الثالثة: أَنْ يُسَافِرَ بِهِ، فَلَهُ أَنْ يُسَافِرَ بِهِ وَيَقْطَعَهُ عَنْ زَوْجَتِهِ لَيْلًا وَنَهَارًا.
Keadaan ketiga: Ia bepergian bersama budaknya, maka ia boleh bepergian bersamanya dan memisahkannya dari istrinya baik siang maupun malam.
فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ اللَّيْلُ فِي الْحَضَرِ مُسْتَثْنَى مَنْ حَقِّ السَّيِّدِ فَهَلَّا كَانَ فِي السَّفَرِ كَذَلِكَ، قِيلَ: لِأَنَّ السَّيِّدَ فِي الْحَضَرِ قَدْ يَصِلُ إِلَى حقه من استخدام النهار وإذا أَرْسَلَهُ لَيْلًا لِلِاسْتِمْتَاعِ وَلَا يَصِلُ فِي السَّفَرِ إِلَى حَقِّهِ مِنَ اسْتِخْدَامِ النَّهَارِ إِذَا أَرْسَلَهُ ليلاً للاستمتاع فكذلك صار زمان الليل مستثنى في حال السيد في الحضر وغير مستثنى من السَّفَرِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ مُسَافِرَةً مَعَ الْعَبْدِ فَيَسْتَوِي حُكْمُ الْحَضَرِ وَالسِّفْرِ فِي اسْتِثْنَاءِ الليل منها، فأما إِنْ كَانَ السَّيِّدُ مِمَّنْ عَمَلُهُ وَاسْتِخْدَامُهُ فِي الليل دون النهار كالبزارين والرياحين وَالْحَدَّادِينَ، صَارَ اللَّيْلُ زَمَانَ اسْتِخْدَامِهِ لِعَبْدِهِ، وَالنَّهَارُ زَمَانَ إِرْسَالِهِ لِلِاسْتِمْتَاعِ بِزَوْجَتِهِ وَلَا يَنْبَغِي لِلسَّيِّدِ أَنْ يُسَافِرَ بِعَبْدِهِ عِنْدَ اسْتِغْنَائِهِ عَنْهُ قَصْدًا لِلْإِضْرَارِ بِهِ وَبِزَوْجَتِهِ، وَكَذَلِكَ فِي مِصْرِهِ، فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: ” وَلَهُ أَنْ يُسَافِرَ بِعَبْدِهِ ” فَقَدْ ذكرنا جوازه وقوله: ” وَيَمْنَعَهُ مِنَ الْخُرُوجِ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ وَفِي مِصْرِهِ ” فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Jika ada yang bertanya: Bukankah malam hari di tempat tinggal dikecualikan dari hak tuan, lalu mengapa tidak demikian pula dalam perjalanan? Maka dijawab: Karena di tempat tinggal, tuan masih bisa mendapatkan haknya untuk menggunakan budak pada siang hari, dan jika ia membiarkannya pergi pada malam hari untuk menikmati istrinya. Namun dalam perjalanan, tuan tidak bisa mendapatkan haknya untuk menggunakan budak pada siang hari jika ia membiarkannya pergi pada malam hari untuk menikmati istrinya. Oleh karena itu, waktu malam dikecualikan dalam keadaan tuan di tempat tinggal, dan tidak dikecualikan dalam perjalanan, kecuali jika istri ikut bepergian bersama budak tersebut, maka hukum pengecualian malam hari sama antara tempat tinggal dan perjalanan. Adapun jika tuan adalah orang yang pekerjaannya dan penggunaan budaknya dilakukan pada malam hari, bukan siang hari, seperti para pedagang, penjual bunga, dan pandai besi, maka malam hari menjadi waktu penggunaan budaknya, dan siang hari menjadi waktu membiarkannya pergi untuk menikmati istrinya. Tidak sepantasnya bagi tuan untuk bepergian bersama budaknya jika ia tidak membutuhkannya, dengan tujuan untuk menyulitkan budak dan istrinya, demikian pula di negerinya. Adapun pendapat asy-Syafi‘i: “Ia boleh bepergian bersama budaknya,” telah kami sebutkan kebolehannya. Dan pendapatnya: “Ia boleh melarang budaknya keluar dari rumahnya menuju istrinya di negerinya,” terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ أَبُو حَامِدٍ أَنَّهُ يَمْنَعُهُ مِنَ الْخُرُوجِ مِنْ بَيْتِهِ إذا كانت امرأته فيه، وإن كَانَتْ خَارِجَةً مِنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُهُ مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْهَا.
Pertama: Abu Hamid berkata, ia boleh melarang budaknya keluar dari rumahnya jika istrinya ada di dalam rumah itu. Namun jika istrinya berada di luar rumah, maka ia tidak boleh melarang budaknya keluar untuk menemui istrinya.
وَالثَّانِي: – وَهُوَ أَشْبَهُ التَّأْوِيلَيْنِ عِنْدِي – أَنَّهُ يَمْنَعُهُ مِنَ الْخُرُوجِ مِنْ بَيْتِهِ نهاراً، لأن زَمَانُ الِاسْتِخْدَامِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنَ الْخُرُوجِ لَيْلًا فِي زَمَانِ الِاسْتِمْتَاعِ أَلَّا تَرَى الشَّافِعِيَّ قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ: ” إِلَّا فِي الْحِينِ الَّذِي لَا خِدْمَةَ لَهُ فِيهِ ” يَعْنِي اللَّيْلَ.
Kedua—dan ini penafsiran yang lebih kuat menurutku—ia boleh melarang budaknya keluar dari rumahnya pada siang hari, karena itu adalah waktu penggunaan, dan ia tidak boleh melarangnya keluar pada malam hari, yaitu waktu untuk menikmati istrinya. Tidakkah engkau melihat asy-Syafi‘i berkata setelah itu: “Kecuali pada waktu yang tidak ada pelayanan di dalamnya,” maksudnya malam hari.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله: ” ولو قالت له أَمَتُهُ اعْتِقْنِي عَلَى أَنْ أَنْكِحَكَ وَصَدَاقِي عِتْقِي فَأَعْتَقَهَا عَلَى ذَلِكَ فَلَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَنْكِحَ أَوْ تَدَعَ وَيَرْجِعَ عَلَيْهَا بِقِيمَتِهَا فَإِنْ نكحته ورضي بالقيمة التي عَلَيْهَا فَلَا بَأْسَ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) يَنْبَغِي فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ أَنْ لَا يُجِيزَ هَذَا الْمَهْرَ حَتَى يَعْرِفَ قِيمَةَ الْأَمَةِ حِينَ أَعْتَقَهَا فَيَكُونُ الْمَهْرُ مَعْلُومًا لِأَنَّهُ لَا يُجِيزُ الْمَهْرَ غَيْرَ معلومٍ (قال المزني) سألت الشافعي رحمه الله عن حديث صفية رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أعتقها وجعل عتقها صداقها فقال للنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في النكاح أشياء ليست لغيره “.
Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang budak perempuan berkata kepada tuannya, ‘Merdekakanlah aku dengan syarat aku menikahimu dan maharku adalah kemerdekaanku,’ lalu tuannya memerdekakannya dengan syarat tersebut, maka ia (budak perempuan) memiliki hak memilih untuk menikah atau tidak, dan tuannya boleh menuntut kembali nilai budak tersebut. Jika ia menikahinya dan ridha dengan nilai yang harus dibayarkan, maka tidak mengapa.” (Al-Muzani berkata) “Menurut qiyās pendapatnya, seharusnya tidak membolehkan mahar ini kecuali telah diketahui nilai budak perempuan saat ia dimerdekakan, agar maharnya jelas, karena ia tidak membolehkan mahar yang tidak diketahui.” (Al-Muzani berkata) “Aku bertanya kepada asy-Syafi‘i rahimahullah tentang hadis Shafiyyah radhiyallāhu ‘anhā bahwa Nabi ﷺ memerdekakannya dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya, maka beliau ﷺ dalam pernikahan memiliki hal-hal yang tidak berlaku bagi selain beliau.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا أَعْتَقَ السَّيِّدُ أَمَتَهُ عَلَى أَنْ تَتَزَوَّجَ بِهِ وَيَكُونَ عِتْقُهَا صَدَاقَهَا، إِمَّا أَنِ ابْتَدَأهَا بِذَلِكَ أَوْ سَأَلَتْهُ فَأَجَابَهَا إِلَى ذلك فقد عتقت، وهي بالخيار في الحالين بَيْنَ أَنْ تَتَزَوَّجَ بِهِ أَوْ لَا تَتَزَوَّجَ.
Al-Mawardi berkata: Jika seorang tuan memerdekakan budak perempuannya dengan syarat agar ia menikah dengannya dan kemerdekaannya dijadikan sebagai maharnya, baik inisiatif itu berasal dari tuan maupun permintaan dari budak perempuan yang kemudian dikabulkan, maka budak tersebut telah merdeka, dan dalam kedua keadaan itu ia berhak memilih antara menikah dengan tuannya atau tidak menikah.
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: قَدْ صَارَتْ لَهُ بِهَذَا الْعِتْقِ زَوْجَةً مِنْ غَيْرِ عَقْدٍ.
Ahmad bin Hanbal berkata: Dengan kemerdekaan tersebut, ia telah menjadi istrinya tanpa akad (nikah) baru.
وَقَالَ الأوزاعي: لا تصير زوجة بالعتق ولكن تخير عَلَى أَنْ تَتَزَوَّجَ بِهِ بِعَقْدٍ مُسْتَجَدٍّ.
Al-Awza‘i berkata: Ia tidak menjadi istri dengan sebab kemerdekaan, namun ia diberi pilihan untuk menikah dengannya dengan akad baru.
وَاسْتَدَلَّ أَحْمَدُ بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَعْتَقَ صَفِيَّةَ، وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا ” وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ عَقَدَ بَعْدَ الْعِتْقِ عَلَيْهَا ثُمَّ دَخَلَ بها.
Ahmad berdalil bahwa Rasulullah ﷺ “memerdekakan Shafiyyah dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya,” dan tidak diriwayatkan bahwa beliau melakukan akad nikah setelah kemerdekaan lalu menggaulinya.
وَاسْتَدَلَّ الْأَوْزَاعِيُّ بِأَنَّهُ لَوْ أَعْتَقَهَا عَلَى مَعْلُومٍ من خدمته أَوْ عَمَلٍ أُخِذَتْ بِهِ جَبْرًا فَكَذَلِكَ عَلَى التَّزْوِيجِ.
Al-Awza‘i berdalil bahwa jika seseorang memerdekakan budaknya dengan syarat tertentu berupa pelayanan atau pekerjaan yang harus dilakukan secara paksa, maka demikian pula halnya dengan pernikahan.
وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ بَدَلَ الْعِوَضِ عَلَى نِكَاحٍ فِي الذِّمَّةِ لَا يَصِحُّ كَمَا لَوْ أَعْطَاهَا أَلْفًا عَلَى أَنْ تَتَزَوَّجَ بِهِ بَعْدَ يَوْمٍ لَمْ يَصِحَّ كَذَلِكَ هَذَا، وَلِأَنَّ الذِّمَّةَ إِنَّمَا ثَبَتَتْ فِيهَا الْأَمْوَالُ، وَالْأَعْمَالُ، فَالْأَمْوَالُ كَالْقَرْضِ، وَالسَّلَمِ، وَالْأَعْمَالُ كَالْبِنَاءِ وَالْخِيَاطَةِ، فَأَمَّا الْعُقُودُ فَلَا يثبت فِي الذِّمَّةِ كَمَا لَوْ أَعْطَاهُ ثَوْبًا عَلَى أن تبيعه داراً، أو يؤجره عَبْدًا لَمْ يَصِحَّ كَذَلِكَ النِّكَاحُ لَا يَثْبُتُ في الذمة بما نفذ مِنَ الْعِتْقِ، وَفِي هَذَا الِاسْتِدْلَالِ انْفِصَالٌ عَمَّا استدل به الأوزاعي، لأن قطع الخيار قبل ما يملك به استحقاق الْخِيَارِ لَا يَصِحُّ كَمَا لَوْ أُسْقِطَ الشَّفِيعُ خِيَارَهُ فِي أَخْذِ الشُّفْعَةِ قَبْلَ الْبَيْعِ، لَمْ يَسْقُطِ الْخِيَارُ بَعْدَ الْبَيْعِ كَذَلِكَ خِيَارُ الْمُعْتَقَةِ فِي التَّزْوِيجِ يَكُونُ بَعْدَ الْعِتْقِ فَلَا يَصِحُّ إِسْقَاطُهُ قَبْلَ الْعِتْقِ وَيَدُلُّ عَلَى أَحْمَدَ خُصُوصًا أَنَّ الْعِتْقَ مُزِيلٌ لِمِلْكِ الْمُعَتِقِ عَنِ الرَّقَبَةِ وَالْمَنْفَعَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَثْبُتَ بِهِ عَقْدُ النِّكَاحِ الَّذِي هُوَ بَعْضُ تِلْكَ الْمَنْفَعَةِ، لِأَنَّ مَا أَوْجَبَ نَفْيَ شَيْءٍ اسْتَحَالَ أَنْ يُوجِبَ إثباته وإثبات بعضه لكونهما ضدين متنافيين.
Dalil kami: Bahwa penggantian imbalan atas pernikahan yang masih dalam tanggungan (dzimmah) tidak sah, sebagaimana jika seseorang memberikan seribu (dirham) kepada seorang wanita dengan syarat agar ia menikah dengannya setelah sehari, maka itu tidak sah, demikian pula hal ini. Karena dalam dzimmah hanya sah harta dan pekerjaan; harta seperti pinjaman dan salam, pekerjaan seperti membangun dan menjahit. Adapun akad, tidak sah dalam dzimmah, sebagaimana jika seseorang memberikan baju dengan syarat agar dijualkan rumah, atau menyewakan budak, maka itu tidak sah. Demikian pula pernikahan tidak sah dalam dzimmah dengan sebab kemerdekaan yang telah dilaksanakan. Dalam pendalilan ini terdapat perbedaan dengan dalil al-Awza‘i, karena menggugurkan hak memilih sebelum memiliki hak tersebut tidak sah, sebagaimana jika seorang syafi‘ (pemilik hak syuf‘ah) menggugurkan hak syuf‘ah sebelum terjadi jual beli, maka hak tersebut tidak gugur setelah jual beli. Demikian pula hak memilih bagi budak perempuan yang dimerdekakan dalam pernikahan, baru ada setelah kemerdekaan, sehingga tidak sah digugurkan sebelum kemerdekaan. Dan yang menunjukkan kekhususan pendapat Ahmad adalah bahwa kemerdekaan menghilangkan kepemilikan mu‘tiq (orang yang memerdekakan) atas budak dan manfaatnya, sehingga tidak boleh dengan kemerdekaan itu ditetapkan akad nikah yang merupakan sebagian dari manfaat tersebut. Karena sesuatu yang menyebabkan hilangnya sesuatu, mustahil menyebabkan penetapan atau sebagian penetapan atas sesuatu itu, karena keduanya adalah dua hal yang saling bertentangan.
فأما اسْتِدْلَالُ أَحْمَدَ بِحَدِيثِ صَفِيَّةَ فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
Adapun pendalilan Ahmad dengan hadits Shafiyyah, maka ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَبَطَلَ اسْتِدْلَالُهُ بِهِ.
Pertama: Telah diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memerdekakan dan menikahinya, sehingga batal pendalilannya dengan hadits tersebut.
وَالثَّانِي: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَخْصُوصٌ فِي مَنَاكِحِهِ بِمَا لَيْسَ لِغَيْرِهِ.
Kedua: Nabi ﷺ memiliki kekhususan dalam urusan pernikahan yang tidak dimiliki oleh selain beliau.
قَالَ الْمُزَنِيُّ: سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنْ حَدِيثِ صَفِيَّةَ فَقَالَ إِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْتَقَهَا وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا.
Al-Muzani berkata: Aku bertanya kepada asy-Syafi‘i tentang hadits Shafiyyah, maka beliau menjawab: Sesungguhnya Nabi ﷺ memerdekakannya dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
Asy-Syafi‘i berkata: Itu khusus bagi Nabi ﷺ.
قَالَ الْمُزَنِيُّ: كَأَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ مَخْصُوصٌ للنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا خُصَّ بِهِ فِي أَمْرِ صَفِيَّةَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:
Al-Muzani berkata: Seolah-olah beliau berpendapat bahwa itu adalah kekhususan bagi Nabi ﷺ. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang kekhususan Nabi ﷺ dalam perkara Shafiyyah menjadi empat pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ خُصَّ بِأَنْ صَارَ عِتْقُهَا نِكَاحَهَا وَلَا يَصِيرُ عِتْقُ غَيْرِهِ مَنْ أُمَّتِهِ نِكَاحًا.
Pertama: Bahwa beliau dikhususkan dengan kemerdekaan Shafiyyah yang sekaligus menjadi pernikahannya, sedangkan kemerdekaan selain beliau terhadap budak perempuannya tidak menjadi pernikahan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ خُصَّ بِأَنْ وَجَبَ عَلَيْهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ بِهِ وَلَا يجب على غيرها أن تتزوج بغيره.
Kedua: Bahwa beliau dikhususkan dengan kewajiban bagi Shafiyyah untuk menikah dengannya, sedangkan selainnya tidak wajib menikah dengan selain Nabi.
والثالث: أنه خُصَّ بِأَنْ لَمْ يَلْزَمْهُ لَهَا صَدَاقٌ وَغَيْرُهُ يَلْزَمُهُ الصَّدَاقُ.
Ketiga: Bahwa beliau dikhususkan dengan tidak wajib memberikan mahar kepada Shafiyyah, sedangkan selain beliau wajib memberikan mahar.
وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ خُصَّ بِأَنْ صَارَتْ قِيمَتُهَا وَإِنْ جَهِلَتْ صَدَاقًا مِنْهُ وَلَا تَكُونُ الْقِيمَةُ إِذَا جَهِلَتْ صَدَاقًا مِنْ غَيْرِهِ.
Keempat: Bahwa beliau dikhususkan dengan nilai (harga) Shafiyyah yang walaupun tidak diketahui dijadikan sebagai mahar dari beliau, sedangkan nilai yang tidak diketahui tidak bisa dijadikan mahar dari selain beliau.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا لَا تُجْبَرُ عَلَى نِكَاحِهِ إِذَا أَبَتْ فَكَذَلِكَ لَوْ بَذَلَتْ لَهُ نَفْسَهَا لَمْ يُجْبَرْ عَلَى نِكَاحِهَا إِذَا أَبَى لَأَنَّ الشَّرْطَ إِذَا لَمْ يُوجِبْ إِجْبَارَهَا لَمْ يُوجِبْ إِجْبَارَهُ، وَكَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى خِيَارِهِ، وإذا كانا كذلك فلها حَالَتَانِ.
Maka apabila telah tetap bahwa ia (perempuan) tidak dipaksa untuk menikah dengannya jika ia menolak, demikian pula jika ia (perempuan) menawarkan dirinya kepadanya (laki-laki), maka ia (laki-laki) pun tidak dipaksa untuk menikahinya jika ia menolak. Karena syarat itu, jika tidak mewajibkan pemaksaan terhadapnya (perempuan), maka tidak pula mewajibkan pemaksaan terhadapnya (laki-laki), dan masing-masing dari keduanya berada pada pilihannya sendiri. Jika demikian, maka perempuan itu memiliki dua keadaan.
إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَتَنَاكَحَا.
Pertama: Keduanya menikah.
وَالثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَتَنَاكَحَا.
Kedua: Keduanya tidak menikah.
فَإِنْ لَمْ يَتَنَاكَحَا إِمَّا لِامْتِنَاعِهِ أَوِ امْتِنَاعِهَا فَلَهُ عَلَيْهَا قِيمَتُهَا وَإِنَّمَا وَجَبَتْ لَهُ عَلَيْهَا قِيمَتُهَا، لِأَنَّهُ أَعْتَقَهَا عَلَى شَرْطِ مَنَعَ الشَّرْعُ مِنْ لُزُومِهِ، فَإِذَا فَاتَهُ الرُّجُوعُ بِرَقَبَتِهَا لِنُفُوذِ الْعِتْقِ رَجَعَ بِقِيمَتِهَا كَمَا لَوْ أَعْتَقَهَا على حمى أو حرى تَجِبُ لَهُ الْقِيمَةُ يَوْمَ الْعِتْقِ لَا يَوْمَ الرُّجُوعِ بِالْقِيمَةِ، لِأَنَّ بِالْعِتْقِ وَقَعَ الِاسْتِهْلَاكُ الْمُوجِبُ لِلْقِيْمَةِ، وَهَكَذَا لَوْ أَعْتَقَ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ أُمَّ وَلَدِهِ أَوْ مُكَاتَبَتَهُ أَوْ مُدَبَّرَتَهُ لَمْ يَلْزَمْهُنَّ أَنْ يَتَزَوَّجْنَ بِهِ وَكَانَ لَهُ عَلَى كل واحدة منهن لأنهن سواء في تفارقهن فَتَسَاوَيْنَ فِي عِتْقِهِنَّ، وَهَكَذَا لَوْ أَعْتَقَهُنَّ عَلَى أَنْ يَتَزَوَّجَ بِهِنَّ، وَلَمْ يَقُلْ عَلَى أَنَّ عِتْقَهُنَّ صَدَاقَهُنَّ كَانَ الْعِتْقُ نَافِذًا وَلَهُ عَلَيْهِنَّ قيمتهن، لأن الشرط الذي فِي مُقَابَلَةِ عِتْقِهِنَّ لَمْ يَلْزَمْهُنَّ فَوَجَبَ الْعُدُولُ عنه إلى قيمتهن.
Jika keduanya tidak menikah, baik karena penolakan laki-laki atau penolakan perempuan, maka ia (laki-laki) berhak atas nilai (harga) dirinya (perempuan). Kewajiban nilai itu atasnya (perempuan) karena ia (laki-laki) telah memerdekakannya dengan syarat yang dilarang oleh syariat untuk diwajibkan. Maka, ketika ia kehilangan hak untuk kembali memperbudaknya karena kemerdekaan telah sah, ia berhak menuntut nilainya, sebagaimana jika ia memerdekakannya dengan syarat tertentu atau syarat bebas, maka ia berhak atas nilai dirinya pada hari kemerdekaan, bukan pada hari penuntutan nilai, karena dengan kemerdekaan telah terjadi pemanfaatan yang mewajibkan adanya nilai. Demikian pula, jika ia memerdekakan ummu walad-nya, mukatabah-nya, atau mudabbarah-nya dengan syarat seperti ini, maka mereka tidak wajib menikah dengannya, dan ia berhak atas nilai masing-masing dari mereka, karena mereka sama dalam hal perpisahan, maka mereka juga sama dalam hal kemerdekaan. Demikian pula, jika ia memerdekakan mereka dengan syarat agar menikah dengannya, dan tidak mengatakan bahwa kemerdekaan mereka adalah mahar mereka, maka kemerdekaan itu sah dan ia berhak atas nilai mereka, karena syarat yang menjadi imbalan kemerdekaan mereka tidak wajib atas mereka, sehingga harus dialihkan kepada nilai mereka.
فصل
Fasal
فإذا اتفقا على أن نكحها فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Jika keduanya sepakat untuk menikah, maka ada tiga bentuk:
أَحَدُهَا: أَنْ يَنْكِحَهَا عَلَى صداق معلوم معيناً أو في الذمة فالنكاح بلا صداق جائز وَلَهُ عَلَيْهَا قِيمَتُهَا وَلَهَا عَلَيْهِ صَدَاقُهَا، فَإِنْ كَانَ الصَّدَاقُ مُعَيَّنًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ قِصَاصًا وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ فِي الذِّمَّةِ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْقِيمَةِ لَمْ يَكُنْ قِصَاصًا أَيْضًا، وإن كان في الذمة مَنْ جِنْسِ الْقِيمَةِ فَهَلْ يَكُونُ قِصَاصًا أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَقَاوِيلِ الْأَرْبَعَةِ.
Pertama: Ia menikahinya dengan mahar tertentu yang telah diketahui, baik secara tunai maupun dalam tanggungan. Maka nikah tanpa mahar adalah sah, dan ia (laki-laki) berhak atas nilai dirinya (perempuan), dan ia (perempuan) berhak atas maharnya. Jika maharnya telah ditentukan, maka tidak boleh dijadikan sebagai kompensasi (qishash), demikian pula jika dalam tanggungan namun bukan dari jenis nilai, maka juga tidak bisa menjadi kompensasi. Namun jika dalam tanggungan dan dari jenis nilai, apakah bisa menjadi kompensasi atau tidak? Hal ini sesuai dengan empat pendapat yang telah kami sebutkan.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَنْكِحَهَا عَلَى أَنْ يَكُونَ عِتْقُهَا صَدَاقَهَا وَالنِّكَاحُ جَائِزٌ وَالصَّدَاقُ بَاطِلٌ وَقَالَ أبو حنيفة: الصَّدَاقُ جَائِزٌ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الْعِتْقَ لَيْسَ بِمَالٍ وَلَا عَمَلٍ يُعْتَاضُ عَلَيْهِ بمال فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا وَصَحَّ النِّكَاحُ، لِأَنَّ بُطْلَانَ الصَّدَاقِ لَا يُوجِبُ فَسَادَ النِّكَاحِ فَتَكُونُ لَهَا عَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا كَمَا لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقٍ فَاسِدٍ مِنْ حَرَامٍ أَوْ مجهول ويكون له عليهما قيمتها فإن كانت القيمة مهر الْمِثْلِ مِنْ جِنْسَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ لَمْ يَكُونَا قِصَاصًا، وَإِنْ كَانَا مَنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ فَهَلْ يَكُونَا قِصَاصًا أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَقَاوِيلِ.
Kedua: Ia menikahinya dengan syarat bahwa kemerdekaannya adalah maharnya. Maka nikahnya sah, namun maharnya batal. Abu Hanifah berpendapat maharnya sah, namun ini adalah kesalahan, karena kemerdekaan bukanlah harta dan bukan pula pekerjaan yang dapat dijadikan imbalan dengan harta, sehingga tidak sah dijadikan mahar. Namun, nikahnya tetap sah, karena batalnya mahar tidak menyebabkan rusaknya akad nikah. Maka ia (perempuan) berhak atas mahar mitsil (mahar yang sepadan), sebagaimana jika ia menikahinya dengan mahar yang batil, baik karena haram atau tidak diketahui, dan ia (laki-laki) berhak atas nilai dirinya (perempuan). Jika nilai itu dan mahar mitsil berasal dari dua jenis yang berbeda, maka keduanya tidak bisa menjadi kompensasi. Namun jika dari satu jenis, apakah bisa menjadi kompensasi atau tidak? Hal ini sesuai dengan pendapat-pendapat yang telah kami sebutkan.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَنْكِحَهَا عَلَى أَنْ تكون قيمتها صداقاً فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Ketiga: Ia menikahinya dengan syarat bahwa nilai dirinya (perempuan) menjadi maharnya. Hal ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَا عَالِمَيْنِ بِقَدْرِ الْقِيمَةِ فَيَكُونُ النِّكَاحُ وَالصَّدَاقُ جَائِزَيْنِ، لِأَنَّهُ تزوجها على معلوم في ذمتها فعاد كَمَا لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى دَيْنٍ فِي ذِمَّتِهَا من ثمن أو قرض وتبرأ من قيمتها بالصداق، ويبرأ مِنْ صَدَاقِهَا بِالْقِيمَةِ.
Pertama: Keduanya mengetahui besaran nilai tersebut, maka nikah dan maharnya sah, karena ia menikahinya dengan sesuatu yang diketahui dalam tanggungannya, sehingga seperti menikahinya dengan utang dalam tanggungannya, baik berupa harga atau pinjaman, dan ia bebas dari nilai dirinya dengan mahar tersebut, dan ia bebas dari maharnya dengan nilai tersebut.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَا جاهلين بقدر القيمة أو أحدها، فَالنِّكَاحُ جَائِزٌ وَفِي بُطْلَانِ الصَّدَاقِ قَوْلَانِ:
Kedua: Keduanya tidak mengetahui besaran nilai tersebut, atau salah satunya tidak mengetahui, maka nikahnya sah, namun dalam batalnya mahar terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ، وَأَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ، أَنَّ الصَّدَاقَ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ الْجَهَالَةَ تَمْنَعُ مِنْ صِحَّتِهِ كَمَا لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى عقد غَيْرِ مَوْصُوفٍ وَلَا مُعَيَّنٍ.
Pertama: — dan ini adalah pendapat dalam qaul jadid, yang dipilih oleh al-Muzani dan Abu Ishaq al-Marwazi — bahwa maharnya batal, karena ketidakjelasan (jahalah) menghalangi keabsahannya, sebagaimana jika ia menikahinya dengan akad yang tidak dijelaskan dan tidak ditentukan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ، وَاخْتَارَهُ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ، وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ الصَّدَاقَ جَائِزٌ بِنَاءً عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ أَنَّ الصَّدَاقَ الْمُعَيَّنَ إِذَا بَطَلَ وَجَبَ الرُّجُوعُ بِقِيمَتِهِ لا بمهر المثل، فتصح هَاهُنَا، لِأَنَّ قِيمَةَ الصَّدَاقِ هِيَ الْقِيمَةُ الْمُسْتَحَقَّةُ.
Pendapat kedua: Ini adalah pendapat Imam Syafi‘i dalam qaul qadim, dan dipilih oleh Abu ‘Ali bin Khairan serta Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa mahar itu sah berdasarkan pendapat beliau dalam qaul qadim bahwa mahar yang telah ditentukan jika batal maka wajib diganti dengan nilainya, bukan dengan mahar mitsil. Maka sah di sini, karena nilai mahar itulah nilai yang menjadi hak.
فَصْلٌ
Fashal
فَإِذَا أَرَادَ سَيِّدُ الْأَمَةِ أَنْ يَتَوَصَّلَ إِلَى عِتْقِهَا وَنِكَاحِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ لَهَا خِيَارٌ فِي الِامْتِنَاعِ بَعْدَ الْعِتْقِ، فَقَدْ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ: إِنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى التَّوَصُّلِ إِلَى ذَلِكَ بِأَنْ يَقُولَ لَهَا: إِنْ تَزَوَّجْتُكِ فِي غدٍ فَأَنْتِ الْيَوْمَ حُرَّةٌ، فَهِيَ مَا لَمْ يَتَزَوَّجْهَا فِي غَدٍ بَاقِيَةٌ عَلَى الرِّقِّ، لَا خِيَارَ لَهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذَا تَزَوَّجَهَا أَوْجَبَ التَّزْوِيجُ تَقَدُّمَ عِتْقِهَا، وَبَانَ أَنَّ الْعَقْدَ وَقَعَ عَلَيْهَا وَهِيَ حُرَّةٌ قَبْلَهُ بِيَوْمٍ فَصَحَّ.
Apabila seorang tuan budak perempuan ingin mendapatkan jalan untuk memerdekakan dan menikahinya tanpa memberi pilihan kepada budak tersebut untuk menolak setelah dimerdekakan, maka Abu ‘Ali bin Khairan berkata: Ia dapat melakukannya dengan mengatakan kepada budak itu, “Jika aku menikahimu besok, maka hari ini engkau merdeka.” Maka selama ia belum menikahinya pada hari esok, budak itu tetap dalam status budak, dan tidak memiliki pilihan atas dirinya. Jika ia menikahinya, maka pernikahan itu menyebabkan kemerdekaannya terjadi lebih dahulu, dan jelas bahwa akad terjadi atas dirinya dalam keadaan ia telah merdeka sehari sebelumnya, sehingga akad itu sah.
وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا: هَذَا خَطَأٌ، وَالنِّكَاحُ فَاسِدٌ، لِأَنَّ الْعِتْقَ لَا يَقَعُ إِلَّا بَعْدَ تَمَامِ الْعَقْدِ، فَصَارَ الْعَقْدُ وَاقِعًا فِي حَالِ الرِّقِّ، وَلَا يَصِحُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَنْكِحَ أَمَتَهُ فَبَطَلَ الْعَقْدُ وَإِذَا لَمْ يَقَعِ الْعِتْقُ، لأن الْعِتْقُ إِذَا عُلِّقَ بِعَقْدٍ تَعَلَّقَ بِصَحِيحِهِ دُونَ فَاسِدِهِ.
Dan seluruh sahabat kami berkata: Ini adalah kesalahan, dan nikahnya fasid, karena kemerdekaan tidak terjadi kecuali setelah sempurnanya akad, sehingga akad terjadi dalam keadaan budak, dan tidak sah bagi seseorang menikahi budaknya sendiri, maka batal akadnya jika kemerdekaan tidak terjadi. Karena kemerdekaan jika digantungkan pada akad, maka hanya berlaku pada akad yang sah, bukan pada akad yang fasid.
فَصْلٌ
Fashal
وَإِذَا قَالَتِ الْمَرْأَةُ لِعَبْدِهَا: قَدْ أَعْتَقْتُكَ عَلَى أَنْ تَتَزَوَّجَ بِي أَوِ ابْتَدَأَهَا الْعَبْدُ فَقَالَ اعْتِقِينِي عَلَى أَنْ أَتَزَوَّجَ بِكِ فَأَعْتَقَتْهُ عَتَقَ فِي الْحَالَيْنِ وَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِهَا وَلَا يَلْزَمْهَا إِنْ رَضِيَ أَنْ تَتَزَوَّجَ بِهِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ وَلَا قِيمَةَ لَهَا عَلَى عَبْدِهَا بِخِلَافِ عِتْقِ السَّيِّدِ لِأَمَتِهِ عَلَى هذا الشَّرْطِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ مَا أَوْجَبَهُ عَقْدُ النِّكَاحِ مِنَ التَّمْلِيكِ يَسْتَحِقُّهُ الزَّوْجُ دُونَ الزَّوْجَةِ، فَإِذَا شَرَطَهُ السَّيِّدُ عَلَى أَمَتِهِ كَانَ شَرْطًا له، فإذا فاته رجع ببذل كما لو أعتقها على مال يأخذه استحقه عليها، وإذا شرطت الْمَرْأَةُ عَلَى عَبْدِهَا كَانَ شَرْطًا عَلَيْهَا فَلَمْ يكن سقوطه عنها موجباً لرجوعها بِبَدَلِهِ وَصَارَ كَمَا لَوْ أَعْتَقَهُ عَلَى مَالٍ يَدْفَعُهُ إِلَيْهَا لَمْ يَلْزَمْهَا دَفْعُ الْمَالِ إِلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهَا عَلَيْهِ شَيْءٌ.
Jika seorang wanita berkata kepada budaknya: “Aku telah memerdekakanmu dengan syarat engkau menikahiku,” atau budak itu yang memulai dengan berkata: “Merdekakanlah aku dengan syarat aku menikahimu,” lalu wanita itu memerdekakannya, maka dalam kedua keadaan budak itu menjadi merdeka, dan tidak wajib baginya untuk menikahi wanita itu, dan tidak wajib pula bagi wanita itu untuk menikah dengannya jika ia rela, sebagaimana telah kami jelaskan. Dan wanita itu tidak berhak menuntut nilai apa pun dari budaknya, berbeda dengan kasus tuan yang memerdekakan budak perempuannya dengan syarat seperti ini. Perbedaannya adalah: apa yang menjadi hak milik karena akad nikah, itu menjadi hak suami, bukan istri. Maka jika syarat itu ditetapkan oleh tuan kepada budak perempuannya, syarat itu menjadi hak tuan; jika syarat itu tidak terpenuhi, ia berhak menuntut ganti, sebagaimana jika ia memerdekakannya dengan imbalan harta yang diambilnya, maka ia berhak atas harta itu. Namun jika wanita yang menetapkan syarat kepada budaknya, syarat itu menjadi tanggung jawab wanita itu, sehingga gugurnya syarat itu tidak menyebabkan ia berhak menuntut ganti, dan keadaannya seperti jika ia memerdekakannya dengan imbalan harta yang harus diberikan kepadanya, maka wanita itu tidak wajib memberikan harta itu kepadanya, dan ia tidak berhak menuntut apa pun darinya.
فَصْلٌ
Fashal
وَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِسَيِّدِ عَبْدٍ أَعْتِقْ عَبْدَكَ عَلَى أَنْ أُزَوِّجَكَ بِنْتِي فَأَعْتَقَهُ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ بعد العتق، لم يَلْزَمْهُ تَزْوِيجُ بِنْتِهِ بِهِ، لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ لَا يَصِحُّ فِيهِ السَّلَفُ وَلَا يَثْبُتُ فِي الذِّمَّةِ ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ كان قال له: أعتق عبدي عَنِّي عَلَى أَنْ أُزَوِّجَكَ بِنْتِي كَانَ الْعِتْقُ وَاقِعًا عَلَى الْبَاذِلِ لِلنِّكَاحِ دُونَ السَّيِّدِ، وَكَانَ لِلسَّيِّدِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ بِقِيمَةِ عَبْدِهِ، لِأَنَّهُ أعتقه عنه على بذل لم يحصل، وإن قال له: أعتقه من نفسك عَلَى أَنْ أُزَوِّجَكَ بِنْتِي فَفِي وُجُوبِ قِيمَةِ العبد على وجهان من اختلاف قوليه فيمن قال لعبده: أعتق عبدك على نَفْسِكَ عَلَى أَلْفٍ لَكَ عَلَيَّ فَفِي وُجُوبِ الْأَلْفِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
Jika seorang laki-laki berkata kepada tuan seorang budak: “Merdekakanlah budakmu dengan syarat aku akan menikahkanmu dengan putriku,” lalu tuan itu memerdekakannya dengan syarat tersebut, maka setelah kemerdekaan, laki-laki itu tidak wajib menikahkan putrinya dengannya, sebagaimana telah kami sebutkan bahwa akad nikah tidak sah dilakukan secara salaf (utang) dan tidak dapat ditetapkan dalam tanggungan. Kemudian, jika ia berkata: “Merdekakanlah budakku untukku dengan syarat aku akan menikahkanmu dengan putriku,” maka kemerdekaan itu terjadi atas orang yang menawarkan nikah, bukan atas tuan budak, dan tuan budak berhak menuntut nilai budaknya, karena ia telah memerdekakannya untuk orang lain dengan imbalan yang tidak didapatkannya. Jika ia berkata: “Merdekakanlah budakmu sendiri dengan syarat aku akan menikahkanmu dengan putriku,” maka dalam hal kewajiban membayar nilai budak ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat dalam kasus seseorang berkata kepada budaknya: “Merdekakanlah budakmu sendiri dengan syarat seribu untukmu dariku,” maka dalam kewajiban membayar seribu itu ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجِبُ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَعُدْ عَلَيْهِ فِي مُقَابَلَةِ ذَلِكَ نفع، فعلى هذا لا يجب عليه هاهنا قيمة.
Salah satunya: Tidak wajib membayarnya, karena tidak ada manfaat yang kembali kepadanya sebagai imbalan, maka menurut pendapat ini tidak wajib membayar nilai di sini.
والقول الثاني: تجب عَلَيْهِ الْقِيمَةُ الْأَلْفُ، كَمَا لَوْ قَالَ: طَلِّقْ زوجتك على ألف لك علي لزمه الْأَلْفُ كَذَلِكَ فِي الْعِتْقِ، فَعَلَى هَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ هَاهُنَا الْقِيمَةُ.
Pendapat kedua: Wajib membayar nilai, yaitu seribu, sebagaimana jika ia berkata: “Ceraikanlah istrimu dengan seribu untukmu dariku,” maka ia wajib membayar seribu itu; demikian pula dalam masalah kemerdekaan, maka menurut pendapat ini wajib membayar nilai di sini.
فَصْلٌ
Fashal
وَإِذَا أَعْتَقَ الرَّجُلُ في أَمَتَهُ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ وَهِيَ تَخْرُجُ مِنْ ثُلُثِ مَالِهِ فِي حَالِ عِتْقِهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا فَفِي النِّكَاحِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا في العتق هل وقع بإجزاء فِي الظَّاهِرِ أَوْ مَوْقُوفًا.
Jika seorang laki-laki memerdekakan budak perempuannya dalam keadaan sakit menjelang wafat, dan kemerdekaannya itu cukup dari sepertiga hartanya pada saat ia memerdekakannya, kemudian ia menikahinya, maka dalam masalah keabsahan nikah terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat para sahabat kami dalam masalah kemerdekaan: apakah kemerdekaan itu terjadi secara sempurna secara lahir atau masih tergantung (belum pasti).
فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ وَقَعَ بإجزاء فِي الظَّاهِرِ لِخُرُوجِهَا مِنَ الثُّلُثِ فِي حَالِ الْعِتْقِ فَإِنْ صَحَّ مِنْ مَرَضِهِ أَوْ مَاتَ وَهِيَ خَارِجَةٌ مِنْ ثُلُثِهِ اسْتَقَرَّ الْعِتْقُ مِنْ وَقْتِ التَّلَفُّظِ بِهِ، فَإِنْ تَلَفَ مَالُهُ ثُمَّ مَاتَ فَلَمْ يَخْرُجْ مِنْ ثُلُثِهِ أُبْطِلَ الْعِتْقُ الواقع في الظاهر بما تجدد من السبب الْمَانِعِ.
Salah satu pendapat—yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj—menyatakan bahwa pembebasan budak tersebut dianggap sah secara lahiriah karena ia telah keluar dari sepertiga harta pada saat pembebasan. Jika tuannya sembuh dari sakitnya atau meninggal dunia sementara budak itu masih berada di luar sepertiga hartanya, maka pembebasan itu tetap berlaku sejak waktu pengucapan. Namun, jika harta tuannya habis lalu ia meninggal dunia sehingga pembebasan itu tidak lagi keluar dari sepertiga hartanya, maka pembebasan yang sebelumnya dianggap sah secara lahiriah menjadi batal karena adanya sebab penghalang yang baru.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ الْحَدَّادِ وَبَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّ الْعِتْقَ مَوْقُوفٌ عَلَى مَا يَكُونُ مِنْ مَوْتِ السَّيِّدِ أَوْ صِحَّتِهِ وَلَا يحكم في المال بِصِحَّةٍ وَلَا فَسَادٍ، فَإِنْ صَحَّ أَوْ مَاتَ وَهِيَ خَارِجَةٌ مِنْ ثُلُثِهِ بَانَ أَنَّ الْعِتْقَ كَانَ وَاقِعًا بِاللَّفْظِ، فَإِنْ مَاتَ وَهِيَ غَيْرُ خارجة من الثلث أو أتلف مَالُهُ أَوْ حُدُوثُ دَيْنٍ أَحَاطَ بِجَمِيعِهِ بَانَ أَنَّ الْعِتْقَ لَمْ يَقَعْ، لِأَنَّ مَا تَرَدَّدَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ لَمْ يُقْطَعْ بِأَحَدِهِمَا وَوَجَبَ أَنْ يكون موقوفاً على ما يستقر منهما.
Pendapat kedua—yaitu pendapat Ibn al-Haddad dan sebagian ulama muta’akhkhirīn—menyatakan bahwa pembebasan budak itu bergantung pada apa yang terjadi setelah kematian atau kesembuhan tuannya, dan tidak boleh diputuskan sah atau batalnya terhadap harta tersebut. Jika tuannya sembuh atau meninggal dunia sementara budak itu masih keluar dari sepertiga hartanya, maka jelaslah bahwa pembebasan itu telah terjadi dengan ucapan. Namun, jika tuannya meninggal dunia sementara budak itu tidak keluar dari sepertiga harta, atau hartanya habis, atau muncul utang yang meliputi seluruh hartanya, maka jelaslah bahwa pembebasan itu tidak terjadi. Sebab, sesuatu yang masih tergantung antara dua kemungkinan tidak boleh diputuskan salah satunya, dan wajib untuk digantungkan pada apa yang benar-benar terjadi di antara keduanya.
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْوَجْهَانِ تَفَرَّعَ النِّكَاحُ وَغَيْرُهُ من الأحكام عليها فَإِذَا قِيلَ بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ أَنَّ الْعِتْقَ وَقَعَ نَاجِزًا فِي الظَّاهِرِ جَازَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، وَأَنْ يُزَوِّجَهَا بِغَيْرِهِ وَجَازَ لَوْ وَهَبَهَا وَلَمْ يُعْتِقْهَا أَنْ يَطَأَهَا الْمَوْهُوبَةُ لَهُ وَقُبِلَتْ شَهَادَتُهُمَا وَحُدَّ قَاذِفُهَا وَإِنْ قُذِفَتْ أُكْمِلَ حَدُّهَا وَتَرِثُ وَتُورَّثُ.
Setelah dua pendapat ini dijelaskan, maka hukum-hukum lain seperti pernikahan dan selainnya bercabang dari keduanya. Jika mengikuti pendapat pertama bahwa pembebasan budak terjadi secara langsung secara lahiriah, maka tuannya boleh menikahinya, atau menikahkannya dengan orang lain, dan jika ia dihibahkan kepada orang lain dan belum dibebaskan, maka orang yang menerima hibah boleh menggaulinya. Kesaksian mereka berdua diterima, pelaku qazaf terhadapnya dijatuhi had, dan jika ia difitnah, had-nya disempurnakan, ia dapat mewarisi dan diwarisi.
وَإِذَا قِيلَ بِالْوَجْهِ الثَّانِي: إِنَّ الْعِتْقَ مَوْقُوفٌ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، وَلَا أَنْ يُزَوِّجَهَا، وَكَانَ النِّكَاحُ إِنْ تَزَوَّجَهَا أَوْ زَوَّجَهَا بَاطِلًا، لِأَنَّ النِّكَاحَ لَا يَنْعَقِدُ مَوْقُوفًا وَلَمْ يَجُزْ إِنْ وُهِبَتْ وَلَمْ يُعْتِقْ أن يطأها الموهوبة له ولا أن يَتَصَرَّفُ فِيهَا، لِأَنَّهُ كَمَا يَكُونُ الْعِتْقُ مَوْقُوفًا فكذلك الهبة تكون موقوفة، ولا تقبل شهادتها، وَلَا يُحَدُّ قَاذِفُهُا، وَإِنْ قُذِفَتْ لَمْ يُكْمَلْ حدها ويقف ميراثها على ما يتبين مِنْ أَمْرِهَا.
Namun jika mengikuti pendapat kedua bahwa pembebasan budak itu masih tergantung, maka tidak boleh menikahinya atau menikahkannya, dan jika pernikahan terjadi, maka pernikahan itu batal karena pernikahan tidak bisa digantungkan statusnya. Jika ia dihibahkan dan belum dibebaskan, maka orang yang menerima hibah tidak boleh menggaulinya atau melakukan transaksi apapun terhadapnya, karena sebagaimana pembebasan budak itu tergantung, demikian pula hibahnya tergantung. Kesaksiannya tidak diterima, pelaku qazaf terhadapnya tidak dijatuhi had, dan jika ia difitnah, had-nya tidak disempurnakan, dan hak warisnya tergantung pada kejelasan statusnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا وَضَحَ مَا وَصَفْنَا فسد حُكْمُ النِّكَاحِ إِنْ صَحَّ أَوْ فَسَدَ.
Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka hukum pernikahan menjadi batal baik pernikahan itu sah maupun batal.
فَإِذَا قِيلَ إِنِ النِّكَاحَ بَاطِلٌ فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا السَّيِّدُ حَتَّى مَاتَ فَلَا مَهْرَ لَهَا وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا، وَهِيَ حُرَّةٌ إِنْ خَرَجَتْ مِنَ الثُّلْثِ وَقْتَ الْوَفَاةِ، فَإِنْ عَجْزَ الثُّلْثُ عَنْهَا عَتَقَ مِنْهَا قَدْرُ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ وَرَقَّ بَاقِيهَا إِنْ لَمْ يُمْضِ الْوَرَثَةُ عِتْقَهَا.
Jika dikatakan bahwa pernikahan itu batal, maka jika tuannya belum menggaulinya hingga ia meninggal dunia, maka ia tidak berhak atas mahar dan tidak wajib menjalani masa iddah. Ia menjadi merdeka jika nilainya keluar dari sepertiga harta pada saat wafat. Jika sepertiga harta tidak mencukupi untuk membebaskannya, maka yang terbebaskan hanyalah sebesar yang mampu ditanggung oleh sepertiga harta, sebagaimana akan kami jelaskan, dan sisanya tetap menjadi budak kecuali jika para ahli waris menyetujui pembebasannya.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ النِّكَاحَ صَحِيحٌ وَمَاتَ، وَالثُّلُثُ يَحْتَمِلُ جَمِيعَ قِيمَتِهَا اسْتَقَرَّ عتقها وعليها عدة الوفاة ودخل بِهَا السَّيِّدُ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ، وَلَا مِيرَاثَ لَهَا، لِأَنَّ ثُبُوتَ الْمِيرَاثِ يُؤَدِّي إِلَى سُقُوطِهِ، لِأَنَّ عِتْقَهَا فِي الْمَرَضِ وَصِيَّةٌ لَهَا، وَإِذَا ورثت منعت الوصي، وَإِذَا مُنِعَتِ الْوَصِيَّةُ بَطَلَ الْعِتْقُ، وَإِذَا بَطَلَ الْعِتْقُ بَطَلَ النِّكَاحُ، وَإِذَا بَطَلَ النِّكَاحُ سَقَطَ الْمِيرَاثُ وَمَا أَدَّى ثُبُوتُهُ إِلَى نَفْيِهِ لَمْ يَثْبُتْ.
Jika dikatakan bahwa pernikahan itu sah dan tuannya meninggal dunia, dan sepertiga harta cukup untuk menanggung seluruh nilainya, maka ia benar-benar merdeka dan wajib menjalani masa iddah wafat, baik tuannya telah menggaulinya maupun belum. Namun, ia tidak berhak mewarisi, karena jika ia berhak mewarisi maka wasiatnya gugur. Sebab, pembebasannya saat sakit adalah wasiat baginya, dan jika ia mewarisi maka wasiat terhalang, dan jika wasiat terhalang maka pembebasan batal, jika pembebasan batal maka pernikahan batal, dan jika pernikahan batal maka hak waris pun gugur. Sesuatu yang keberadaannya menyebabkan ketiadaannya, maka tidak dapat ditetapkan.
فَأَمَّا الْمَهْرُ فَإِنْ كَانَ بِقَدْرِ مَهْرِ الْمِثْلِ فَمَا دُونَ أَخَذَتْهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، وإن كان أكثر من مهل الْمِثْلِ كَانَ قَدْرَ مَهْرِ الْمِثْلِ مِنْ رَأْسِ المال، وكانت الزيادة عليه وصية لها تعطاها مِنَ الثُّلُثِ إِنِ احْتَمَلَهَا، لِأَنَّهَا غَيْرُ وَارِثَةٍ فلو كانت قيمتها تخرج من الثلث وقت الْعِتْقِ وَلَا تَخْرُجُ مِنَ الثُّلُثِ وَقْتَ الْمَوْتِ نظر في الورثة فإن يُجِيزُوا مَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ أُعْتِقَ مِنْهَا قدر ما احتمله الثُّلُثُ وَيُرَقُّ الْبَاقِي وَكَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا عَلَى الوجهين معا، فإن لم يدخل بها فلا مَهْرَ لَهَا، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا كَانَ لَهَا مَهْرِ الْمِثْلِ بِقَدْرِ مَا عَتَقَ مِنْهَا وَسَقَطَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا رَقَّ وَإِنْ أَجَازَ الْوَرَثَةُ الْعِتْقَ عَتَقَ جَمِيعُهَا.
Adapun mahar, jika sebesar atau kurang dari mahar mitsil, maka ia berhak mengambilnya dari harta pokok. Jika lebih dari mahar mitsil, maka sebesar mahar mitsil diambil dari harta pokok, dan kelebihannya menjadi wasiat baginya yang diberikan dari sepertiga harta jika mampu menanggungnya, karena ia bukan ahli waris. Jika nilainya keluar dari sepertiga harta pada saat pembebasan namun tidak keluar dari sepertiga harta pada saat kematian, maka dilihat kepada para ahli waris: jika mereka menyetujui kelebihan atas sepertiga harta, maka yang terbebaskan hanyalah sebesar yang mampu ditanggung oleh sepertiga harta, sisanya tetap menjadi budak, dan pernikahan menjadi batal menurut kedua pendapat. Jika belum digauli, maka ia tidak berhak atas mahar; jika telah digauli, maka ia berhak atas mahar mitsil sebesar bagian yang terbebaskan, dan bagian yang masih menjadi budak gugur hak maharnya. Jika para ahli waris menyetujui pembebasan, maka seluruhnya menjadi merdeka.
فَأَمَّا النِّكَاحُ فَعَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي إِجَازَةِ الْوَرَثَةِ هَلْ هِيَ تَنْفِيذٌ لِلْوَصِيَّةِ أَوِ ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ، فَإِنْ قِيلَ إنما تنفيذ ما فعله كَانَ النِّكَاحُ جَائِزًا، وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ مِنْهُمْ كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا، فَلَوْ كَانَتْ قِيمَتُهَا تَخْرُجُ مِنَ الثُّلْثِ وَقْتَ الْعِتْقِ وَوَقْتَ الموت وكان المهر إن دفع نقص من الثُّلْثُ عَنْ قِيمَتِهَا نُظِرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ دَخَلَ بِهَا فَلَا مَهْرَ لَهَا وَالْعِتْقُ فِي جَمِيعِهَا نَافِذٌ، وَالنِّكَاحُ عَلَى قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ جَائِزٌ، لِأَنَّ ثُبُوتَ الْمَهْرِ يُؤَدِّي إِلَى سُقُوطِهِ لِعَجْزِ الثُّلُثِ عَنْ قِيمَتِهَا وَعَجْزِهِ يُؤَدِّي إِلَى رِقِّ بَعْضِهَا وَرِقُّ بَعْضِهَا يُؤَدِّي إِلَى بُطْلَانِ نِكَاحِهَا وَسُقُوطِ مَهْرِهَا، وَمَا أَدَّى ثُبُوتُهُ إلى سقوط لَمْ يَثْبُتْ، وَإِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا فَقَدِ اسْتَحَقَّتْ بِالدُّخُولِ مَهْرَ الْمِثْلِ، فَإِنْ أَبْرَأَتْ مِنْهُ اتَّسَعَ الثُّلُثُ لِقِيمَتِهَا فَنَفَذَ عِتْقُهَا وَصَحَّ نِكَاحُهَا، وَإِنْ طَالَبَتْ بِهِ اسْتَحَقَّتْ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا تَحَرَّرَ مِنْ عِتْقِهَا وَكَانَ نِكَاحُهَا بَاطِلًا وَسَقَطَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا رَقَّ مِنْهَا وَدَخَلَهُ الدُّوْرُ وَسَنَذْكُرُ مِنْ طَرِيقِ الْعَمَلِ مَا يُعْلَمُ بِهِ قَدْرُ مَا تَتَحَرَّرُ مِنَ الْعِتْقِ عَلَى حقيقة – والله أعلم.
Adapun mengenai pernikahan, maka terdapat perbedaan dua pendapat Imam asy-Syafi‘i tentang persetujuan para ahli waris: apakah persetujuan itu merupakan pelaksanaan wasiat ataukah permulaan pemberian baru dari mereka. Jika dikatakan bahwa itu hanyalah pelaksanaan atas apa yang telah dilakukan (oleh pewaris), maka pernikahan tersebut sah. Namun jika dikatakan bahwa itu adalah permulaan pemberian baru dari mereka, maka pernikahan tersebut batal. Jika nilai budak perempuan itu dapat diambil dari sepertiga harta pada saat pembebasan dan pada saat kematian, dan jika mahar yang diberikan menyebabkan sepertiga harta menjadi kurang dari nilai budak tersebut, maka perlu diperhatikan: jika suami belum berhubungan dengannya, maka ia tidak berhak atas mahar dan pembebasan budak berlaku sepenuhnya, serta pernikahan menurut pendapat Abu al-‘Abbas adalah sah. Sebab, penetapan mahar akan menyebabkan gugurnya mahar itu sendiri karena sepertiga harta tidak mencukupi untuk menutupi nilainya, dan ketidakcukupan itu menyebabkan sebagian dirinya tetap berstatus budak, dan jika sebagian dirinya masih budak maka pernikahannya batal dan maharnya gugur. Sesuatu yang penetapannya menyebabkan gugurnya, maka tidak dapat ditetapkan. Namun jika suami sudah berhubungan dengannya, maka ia berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang sepadan). Jika ia membebaskan suaminya dari kewajiban mahar, maka sepertiga harta cukup untuk menutupi nilainya, sehingga pembebasannya sah dan pernikahannya pun sah. Namun jika ia menuntut mahar, maka ia hanya berhak atas bagian yang sesuai dengan bagian dirinya yang telah merdeka, dan pernikahannya menjadi batal, serta bagian mahar yang sesuai dengan bagian dirinya yang masih budak menjadi gugur, dan masuklah perkara ini ke dalam lingkaran (perhitungan yang rumit). Kami akan sebutkan cara praktis untuk mengetahui kadar bagian yang merdeka dari pembebasan secara pasti—dan Allah Maha Mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
فَنَقُولُ: إِذَا أَعْتَقَ فِي مَرَضِهِ أَمَةً لَهُ قِيمَتُهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ لَا مَالَ لَهُ غَيْرَهَا وَتَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقٍ مِائَةِ دِرْهَمٍ وَمَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسُونَ دِرْهَمًا فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ عَلَى الْوَجْهَيْنِ معا، فإن لم يَدْخُلُ بِهَا فَلَا مَهْرَ لَهَا وَعَتَقَ ثُلُثُهَا إِنْ لَمْ يُجِزِ الْوَرَثَةُ عِتْقَ جَمِيعِهَا، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا، فَإِنْ أَبْرَأَتْ مِنَ الْمَهْرِ عَتَقَ مِنْهَا الثُّلْثُ وَرَقَّ الثُّلْثَانِ، وَإِنْ طَالَبَتْ بِمَا تستحقه من مهر مثلها داخلة الدور وبان العمل فيه من طريق الخبر أن يقول: لِلْأَمَةِ بِالْعِتْقِ شَيْءٌ وَلَهَا بِالْمَهْرِ نِصْفُ شَيْءٍ، لِأَنَّ مَهْرَ مِثْلِهَا نِصْفُ قِيمَتِهَا وَلِلْوَرَثَةِ شَيْئَانِ مثلاً مما يخرج بالعتق، ويصير الْجَمِيعُ ثَلَاثَةَ أَشْيَاءَ وَنِصْفَ شَيْءٍ فَاضْرِبُهَا فِي مَخْرَجِ الْكَسْرِ الَّذِي هُوَ النِّصْفُ، وَذَلِكَ اثْنَانِ تكن سبعة أشياء للعتق منها سهمان سبعاها وذلك ثمانية وعشرين دِرْهَمًا وَأَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ وَلِلْمَهْرِ سَهْمٌ هُوَ سبعها وقيمة أَرْبَعَةَ عَشَرَ دِرْهَمًا، وَسُبْعَانِ وَذَلِكَ سُبْعَا مَهْرِ مثلها وهو قدر مَهْرِ مَا عَتَقَ مِنْهَا وَيَرِقُّ لِلْوَرَثَةِ أَرْبَعَةُ أسباعها وذلك بسبعة وخمسين دِرْهَمًا وَسُبْعُ دِرْهَمٍ، وَهُوَ مَثَلًا مَا عَتَقَ منها ما يُقَالُ لِلْوَرَثَةِ: إِنْ دَفَعْتُمْ قِيمَةَ السُّبْعِ الْمُسْتَحَقِّ في المهر صار لكن خمسة أسباعها، وإن لم تدفعوه بيع ودفع ثمنه إليها.
Kami katakan: Jika seseorang dalam keadaan sakit membebaskan budak perempuannya yang nilainya seratus dirham, dan ia tidak memiliki harta lain selain itu, lalu ia menikahinya dengan mahar seratus dirham, sedangkan mahar mitsil (mahar yang sepadan) untuknya adalah lima puluh dirham, maka pernikahan itu batal menurut kedua pendapat. Jika suami belum berhubungan dengannya, maka ia tidak berhak atas mahar dan yang merdeka dari dirinya hanya sepertiga, kecuali jika para ahli waris menyetujui pembebasan seluruhnya. Namun jika suami telah berhubungan dengannya, lalu ia membebaskan suaminya dari kewajiban mahar, maka yang merdeka dari dirinya adalah sepertiga dan dua pertiganya tetap berstatus budak. Jika ia menuntut mahar mitsil yang menjadi haknya, maka perkara ini masuk ke dalam lingkaran (perhitungan yang rumit). Cara menghitungnya menurut riwayat adalah: budak perempuan itu mendapatkan satu bagian karena pembebasan, dan mendapatkan setengah bagian karena mahar, sebab mahar mitsilnya adalah setengah dari nilainya, dan para ahli waris mendapatkan dua bagian dari apa yang keluar karena pembebasan. Maka totalnya menjadi tiga setengah bagian. Kalikan dengan penyebut pecahan, yaitu setengah, sehingga menjadi dua; maka totalnya menjadi tujuh bagian. Dari bagian pembebasan, ia mendapatkan dua dari tujuh bagian, yaitu dua per tujuh dari seratus dirham, yakni dua puluh delapan dirham dan empat per tujuh dirham. Untuk mahar, ia mendapatkan satu dari tujuh bagian, yaitu empat belas dua per tujuh dirham, dan itu adalah dua per tujuh dari mahar mitsilnya, yaitu sebesar mahar bagian dirinya yang merdeka. Sisanya, empat dari tujuh bagian, menjadi milik para ahli waris, yaitu lima puluh tujuh satu per tujuh dirham, dan itu adalah bagian dari dirinya yang masih budak. Maka dikatakan kepada para ahli waris: Jika kalian membayar nilai dua per tujuh bagian yang menjadi haknya dalam mahar, maka kalian memiliki lima per tujuh bagian darinya. Jika tidak, maka bagian itu dijual dan hasil penjualannya diberikan kepadanya.
فصل
Fasal
وإذا أعتق في مرضه أمته قِيمَتُهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ وَتَزَوُّجَهَا عَلَى صَدَاقِ مِائَةِ دِرْهَمٍ وَمَهْرُ مَثْلِهَا خَمْسُونَ دِرْهَمًا وَمَاتَ وَخَلَّفَ مَعَهَا مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَقِيمَتُهَا تَخْرُجُ مِنَ الثُّلُثِ فَيَكُونُ النِّكَاحُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika seseorang dalam keadaan sakit membebaskan budak perempuannya yang nilainya seratus dirham, lalu menikahinya dengan mahar seratus dirham, sedangkan mahar mitsilnya lima puluh dirham, kemudian ia meninggal dunia dan meninggalkan dua ratus dirham bersama budak tersebut, maka nilai budak itu dapat diambil dari sepertiga harta. Maka pernikahan itu memiliki dua kemungkinan:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ الْحَدَّادِ، وَمَنْ تَابَعَهُ -، أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ، فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا مَهْرَ لَهَا وَقَدْ عَتَقَ جَمِيعُهَا، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَإِنْ أَبْرَأَتْ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا، عَتَقَ جَمِيعَهَا أَيْضًا، وَإِنْ لَمْ تَبْرَأْ مِنْهُ وَطَلَبَتْهُ رَقَّ مِنْهَا بِقَدْرِ مَا عَجَزَ بِهِ الثُّلُثُ عن قيمتها بالخارج من مهرها وبابه من طريق الخبر ما قدمناه. وهو أن يقول له: بِالْعِتْقِ شَيْءٌ وَبِالْمَهْرِ نِصْفُ شَيْءٍ وَلِلْوَرَثَةِ شَيْئَانِ، ويصير الجميع ثلاثة أشياء ونصف شيء، أخبر بها في مخرج النصف، وهو اثنان تكن سبعة أشياء فيعتق منها سهمين بسهمين سُبْعَا التَّرِكَةِ وَذَلِكَ سِتَّةُ أَسْبَاعِ رَقَبَتِهَا، لِأَنَّ التركة ثلثمائة وقيمتها مائة فتكون قيمة ستة أسباعها خمسة وثمانين درهماً أو خمسة أسباع درهم ويكون لها مهر سِتَّةِ أَسْبَاعِهَا اثْنَيْنِ وَأَرْبَعِينَ دِرْهَمًا وَسِتَّةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ وَيَكُونُ لِلْوَرَثَةِ أَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ التَّرِكَةِ وَهُوَ مائة واحد وَسَبْعُونَ دِرْهَمًا وَثَلَاثَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ وَهُوَ قَدْرُ السبع الموقوف منها والباقي من التركة يعد مهرها، لأن قيمة سبعها أربعة عشر دِرْهَمًا وَسُبْعَانِ وَالْبَاقِي مِنَ الْمِائَتَيْنِ بَعْدَ الْخَارِجِ من مهرها مائة درهم وسبعة وخمسون درهماً.
Salah satu pendapat—yaitu pendapat Ibnu al-Haddād dan para pengikutnya—menyatakan bahwa akad nikah tersebut batal. Berdasarkan pendapat ini, jika suami belum berhubungan dengannya maka ia tidak berhak atas mahar dan seluruh dirinya telah merdeka. Namun jika sudah berhubungan, lalu ia membebaskan haknya atas mahar yang sepadan, maka seluruh dirinya juga merdeka. Jika ia tidak membebaskan haknya dan menuntut mahar, maka ia tetap menjadi budak sesuai kadar kekurangan sepertiga dari nilainya yang tidak tertutupi oleh mahar. Penjelasan tentang hal ini telah kami sampaikan sebelumnya berdasarkan riwayat, yaitu dengan mengatakan: untuk kemerdekaan satu bagian, untuk mahar setengah bagian, dan untuk ahli waris dua bagian. Maka keseluruhan menjadi tiga setengah bagian. Jika dijelaskan dalam bentuk setengah, maka menjadi dua sehingga jumlahnya tujuh bagian. Maka ia merdeka dua bagian dari tujuh bagian warisan, yaitu enam per tujuh dari dirinya, karena warisan berjumlah tiga ratus dan nilainya seratus, sehingga nilai enam per tujuhnya adalah delapan puluh lima dirham atau lima per tujuh dirham. Mahar yang menjadi haknya adalah enam per tujuhnya, yaitu dua puluh dua dirham dan enam per tujuh dirham. Sedangkan untuk ahli waris adalah empat per tujuh warisan, yaitu seratus tujuh puluh satu dirham dan tiga per tujuh dirham, yang merupakan kadar satu per tujuh yang tertahan darinya, dan sisanya dari warisan dihitung sebagai maharnya, karena nilai satu per tujuhnya adalah empat belas dirham dan dua per tujuh, dan sisa dari dua ratus setelah dikurangi maharnya adalah seratus lima puluh tujuh dirham.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ – أَنَّ النِّكَاحَ جَائِزٌ فَعَلَى هَذَا إِنْ لم يدخل بها فلا لها وعتق جميعها نافذ بخروج جَمِيعِ قِيمَتِهَا مِنَ الثُّلُثِ وَسَقَطَ الْمَهْرُ، لِأَنَّ ثُبُوتَهُ يُؤَدِّي إِلَى سُقُوطِهِ لِنُقْصَانِ الثُّلُثِ بِهِ فَلَمْ يَثْبُتْ، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَإِنْ أَبْرَأَتْ مِنْ مَهْرِهَا نَفَذَ الْعِتْقُ فِي جَمِيعِهَا، وَإِنْ طَلَبَتْهُ بَطَلَ النِّكَاحُ لِنُقْصَانِ الثُّلُثِ عَنْ قِيمَتِهَا وَحُكِمَ لَهَا بِقَدْرِ مَا تَسْتَحِقُّهُ مِنْ مَهْرِ المثل دون المسمى، لأن بِفَسَادِ النِّكَاحِ يَبْطُلُ الْمُسَمَّى وَكَانَ وَجْهُ الْعَمَلِ فيه من طريق الخبر ما ذكرنا، وَالْقَدْرُ الَّذِي يَتَحَرَّرُ مِنْ عِتْقِهَا مَا وَصَفْنَا – وبالله التوفيق -.
Pendapat kedua—yaitu pendapat Abu al-‘Abbās Ibn Surayj—menyatakan bahwa akad nikah tersebut sah. Berdasarkan pendapat ini, jika suami belum berhubungan dengannya maka ia tidak berhak atas mahar dan seluruh dirinya merdeka karena seluruh nilainya keluar dari sepertiga harta warisan, dan mahar gugur, karena jika mahar ditetapkan akan menyebabkan tidak cukupnya sepertiga harta, sehingga tidak ditetapkan. Jika sudah berhubungan, lalu ia membebaskan haknya atas mahar, maka kemerdekaan berlaku untuk seluruh dirinya. Namun jika ia menuntut mahar, maka akad nikah batal karena sepertiga harta tidak mencukupi nilainya, dan ia berhak atas mahar mitsil (mahar sepadan) bukan mahar yang telah disebutkan, karena dengan rusaknya akad nikah maka mahar yang disebutkan batal. Cara perhitungannya sebagaimana telah kami sebutkan berdasarkan riwayat, dan kadar yang merdeka dari dirinya adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan—dan hanya kepada Allah-lah taufik.
بَابُ اجْتِمَاعِ الْوُلَاةِ وَأَوْلَاهُمْ وَتَفَرُّقِهِمْ وَتَزْوِيجِ الْمَغْلُوبِينَ على عقولهم والصبيان من الجامع من كتاب ما يحرم الجمع بينه من النكاح القديم وإنكاح أمة المأذون له، وغير ذلك
Bab tentang berkumpulnya para wali dan urutan keutamaan mereka, perbedaan mereka, serta pernikahan bagi orang yang tidak berakal dan anak-anak, dari kitab al-Jāmi‘ dalam pembahasan tentang siapa saja yang haram digabungkan dalam pernikahan menurut fiqh klasik, serta pernikahan budak perempuan milik orang yang diberi izin, dan lain sebagainya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَا وِلَايَةَ لأحدٍ مَعَ الْأَبِ فَإِنْ مَاتَ فَالْجَدُّ ثُمَّ أَبُو الْجَدِّ ثُمَّ أَبُو أَبِي الجد كذلك لأن كلهم أبٌ فِي الثِّيِّبِ وَالْبِكْرِ سواءٌ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Tidak ada kewalian bagi siapa pun selama masih ada ayah. Jika ayah meninggal, maka kakek, kemudian ayah dari kakek, kemudian ayah dari ayah kakek, demikian seterusnya, karena mereka semua adalah ayah, baik dalam hal perempuan yang sudah pernah menikah maupun yang masih perawan, kedudukannya sama.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ أَقْرَبُ أَوْلِيَاءِ الْمَرْأَةِ إِلَيْهَا وَأَحَقُّهُمْ بنكاحها الأب، لأنها بعضه وَهِيَ مِنْهُ بِمَثَابَةِ نَفْسِهِ.
Al-Māwardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa wali perempuan yang paling dekat dan paling berhak menikahkannya adalah ayah, karena ia adalah bagian dari dirinya dan kedudukan perempuan itu seperti dirinya sendiri.
رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” فَاطِمَةُ بِضْعَةٌ مِنِّي يُرِيبُنِي مَا يريبها “.
Diriwayatkan dari Nabi—shallallāhu ‘alaihi wa sallam—bahwa beliau bersabda: “Fāṭimah adalah bagian dariku, apa yang menyakitinya juga menyakitiku.”
وقد قيل في قَوْله تَعَالَى: {كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسَكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنَ وَالأَقْرَبِينَ) {النساء: 135) . أَنَّ الْأَنْفُسَ هَاهُنَا الْأَوْلَادُ، وَلِأَنَّ الْأَبَ أَكْثَرُ العصبات شفقة وحباً وأعظمهم رفقة وحنواً وصار بها أمس ويطلب الْحَظَّ لَهَا أَخَصَّ، وَلِذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الولد مبخلة مجبنة مجهلة محزنة ” وَلِأَنَّ سَائِرَ الْعَصَبَاتِ بِهِ يَدُلُّونَ وَإِلَيْهِ يَنْتَسِبُونَ وَالَمُدَلَّى بِهِ أَقْوَى مِنَ الْمُدَلِي، وَلِأَنَّهُ يَلِي عَلَى الْمَالِ وَالنِّكَاحِ أَقْوَى مِمَّنْ تَفَرَّدَ بِالْوِلَايَةِ عَلَى النِّكَاحِ فَصَارَ الْأَبُ بِهَذِهِ الْمَعَانِي الْأَرْبَعَةِ أَوْلَى بِالْوِلَايَةِ فِي النِّكَاحِ مِنْ سَائِرِ الْعَصَبَةِ.
Ada pula yang mengatakan tentang firman Allah Ta‘ālā: {Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu} (an-Nisā’: 135), bahwa yang dimaksud dengan ‘diri’ di sini adalah anak-anak. Karena ayah adalah kerabat laki-laki yang paling besar kasih sayang dan cintanya, paling besar perhatian dan kelembutannya, serta paling dekat hubungannya, dan ia paling menginginkan kebaikan bagi anaknya. Oleh karena itu Nabi—shallallāhu ‘alaihi wa sallam—bersabda: “Anak itu menjadi sebab seseorang menjadi kikir, penakut, bodoh, dan bersedih.” Dan karena seluruh kerabat laki-laki lainnya bersandar kepadanya dan menisbatkan diri kepadanya, dan yang menjadi sandaran lebih kuat daripada yang bersandar. Juga karena ia berwenang atas harta dan pernikahan lebih kuat daripada yang hanya berwenang atas pernikahan saja. Maka dengan empat alasan ini, ayah lebih berhak menjadi wali dalam pernikahan dibandingkan kerabat laki-laki lainnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنْ مَاتَ الْأَبُ أَوْ بَطَلَتْ وِلَايَتُهُ بِكُفْرٍ، أَوْ رِقٍّ، أَوْ جُنُونٍ، أَوْ فِسْقٍ، فَالْجَدُّ أَبُو الْأَبِ أَحَقُّ الْعَصَبَاتِ بِالْوِلَايَةِ بَعْدَ الْأَبِ.
Jika ayah meninggal atau kewaliannya gugur karena kafir, atau karena status budak, atau gila, atau fasik, maka kakek dari pihak ayah adalah kerabat laki-laki yang paling berhak menjadi wali setelah ayah.
وَقَالَ مَالِكٌ الْأَخُ بَعْدَ الْأَبِ أَحَقُّ بِالْوِلَايَةِ مِنَ الْجَدِّ، لِأَنَّ الْأَخَ ابْنُ الْأَبِ والجد أبو أب الْأَبِ وَالِابْنُ أَقْوَى تَعْصِيبًا مِنَ الْأَبِ، وَهَذَا خطأ، لأن في الجد بعضية ليست في الأخ فصار بها متشابهاً لِلْأَبِ، وَلِأَنَّ لِلْجَدِّ وِلَايَةً عَلَى الْمَالِ وَالنِّكَاحِ فَكَانَ أَوْلَى مِنَ الْأَخِ الَّذِي تَخْتَصُّ وِلَايَتُهُ بِالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّ الْجَدَّ كَانَتْ لَهُ وِلَايَةٌ عَلَى الْأَبِ فَكَانَ بَعْدَهُ أَوْلَى مِنَ الْأَخِ الَّذِي قَدْ كَانَ تَحْتَ وِلَايَةِ الْأَبِ.
Malik berkata: “Saudara laki-laki setelah ayah lebih berhak menjadi wali daripada kakek, karena saudara laki-laki adalah anak dari ayah, sedangkan kakek adalah ayah dari ayah, dan anak lebih kuat dalam hal ‘ashabah (hubungan kekerabatan laki-laki) daripada ayah.” Namun, ini adalah kekeliruan, karena pada kakek terdapat unsur “bagian dari” (ba‘ḍiyyah) yang tidak terdapat pada saudara, sehingga kakek menjadi serupa dengan ayah. Selain itu, kakek memiliki kewenangan (wilayah) atas harta dan pernikahan, sehingga ia lebih berhak daripada saudara yang kewenangannya hanya terbatas pada pernikahan. Dan karena kakek pernah memiliki kewenangan atas ayah, maka setelah ayah, kakek lebih berhak daripada saudara yang sebelumnya berada di bawah kewenangan ayah.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ الْأَخَ ابْنُ الْأَبِ فَكَانَ أَوْلَى مِنْ أبيه ففاسد من وجهين بابن المرأة وأبيها.
Adapun argumentasinya bahwa saudara laki-laki adalah anak dari ayah sehingga lebih berhak daripada kakek, maka ini rusak dari dua sisi: dari sisi anak perempuan dan ayahnya.
فَصْلٌ
Fashl (Pembahasan)
فَإِنْ مَاتَ الْجَدُّ أَوْ بَطَلَتْ وِلَايَتُهُ بِكُفْرٍ، أَوْ رِقٍّ، أَوْ جُنُونٍ، أَوْ فِسْقٍ قالوا: فالولاية بعده لأبيه ثم تنتقل عنه إلى من فوقه مِنَ الْآبَاءِ كُلَّمَا عُدِمَ الْأَقْرَبُ كَانَتِ الْوِلَايَةُ بَعْدَهُ لِمَنْ هُوَ أَبْعَدُ حَتَّى يَنْفَذَ جَمِيعُ الْآبَاءِ فَيَكُونُ الْجَدُّ الْأَبْعَدُ بِمَا فِيهِ مِنَ الولاية والبعضية أَحَقَّ بِالْوِلَايَةِ مِنَ الْأَخِ وَإِنْ قَرُبَ وَيَكُونُ حكم الْأَجْدَادُ وَإِنْ بَعُدُوا فِي إِجْبَارِ الْبِكْرِ وَاسْتِئْمَارِ الثيب كالأب.
Jika kakek meninggal dunia atau kewenangannya batal karena kafir, budak, gila, atau fasik, maka mereka berkata: kewenangan setelahnya berpindah kepada ayahnya, lalu berpindah kepada yang di atasnya dari para ayah; setiap kali yang lebih dekat tidak ada, maka kewenangan berpindah kepada yang lebih jauh, hingga seluruh ayah habis, sehingga kakek yang lebih jauh, karena memiliki kewenangan dan unsur “bagian dari”, lebih berhak menjadi wali daripada saudara, meskipun saudara itu lebih dekat. Hukum para kakek, meskipun jauh, dalam memaksa perawan dan meminta pendapat janda adalah seperti ayah.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولا ولاية بعدهم لأحدٍ مَعَ الْإِخْوَةِ ثُمَّ الْأَقْرَبُ فَالْأَقْرَبُ مِنَ الْعَصَبَةِ (قال المزني) واختلف قوله في الإخوة (فَقَالَ) فِي الْجَدِيدِ مَنِ انْفَرَدَ فِي درجةٍ بَأُمٍّ كَانَ أَوْلَى (وَقَالَ) فِي الْقَدِيمِ هُمَا سواءٌ (قال المزني) قد جعل الأخ للأب والأم في الصلاة على الميت أولى من الأخ للأب وجعله في الميراث أولى من الأخ للأب وجعله في كتاب الوصايا الذي وَضَعَهُ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ إِذَا أوصى لأقربهم به رحماً أنه أولى من الأخ للأب (قال المزني) وقياس قوله أنه أولى بإنكاح الأخت من الأخ للأب “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Tidak ada kewenangan setelah mereka bagi siapa pun bersama saudara-saudara, kemudian yang paling dekat dari para ‘ashabah, lalu yang lebih dekat.” (Al-Muzani berkata:) Pendapat beliau berbeda mengenai saudara-saudara. (Beliau berkata) dalam pendapat baru: siapa yang sendirian dalam satu derajat, baik dari ibu maupun ayah, maka ia lebih berhak. (Dan beliau berkata) dalam pendapat lama: keduanya sama. (Al-Muzani berkata:) Beliau menjadikan saudara seayah-seibu dalam shalat jenazah lebih utama daripada saudara seayah, dan menjadikannya dalam warisan lebih utama daripada saudara seayah, dan dalam kitab wasiat yang beliau tulis dengan tangannya, saya tidak mengetahui bahwa itu didengar darinya, jika berwasiat kepada kerabat terdekat, maka ia lebih utama daripada saudara seayah. (Al-Muzani berkata:) Dan qiyas pendapat beliau, bahwa ia lebih utama menikahkan saudari daripada saudara seayah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْوِلَايَةَ فِي النِّكَاحِ تَكُونُ لِلْأَبِ ثُمَّ لِمَنْ نَاسَبَ الْأَبَ وَلَا يستحقها بالنسب من لم يرجع بالنسب إِلَى الْأَبِ فَيَكُونُ الْأَبُ أَصْلًا يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلُّ مَنِ اسْتَحَقَّ الْوِلَايَةَ بِالنَّسَبِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْآبَاءُ مِنْ جُمْلَةِ الْعَصَبَاتِ عَمُودٌ يَسْتَحِقُّ الولاية منهم الأقرب فالأقرب ومن هم من العصبات درج مرتبته تخرج مِنْ كُلِّ دَرَجَةٍ عَمُودٌ وَكُلُّ دَرَجَةٍ تَتَقَدَّمُ بِعَمُودِهَا عَلَى مَا بَعْدَهَا وَتَتَأَخَّرُ بِعَمُودِهَا قَبْلَهَا فَإِذَا انْقَرَضَ عَمُودُ الْآبَاءِ كَانَتِ الدَّرَجَةُ الْأُولَى بني الْأَبِ وَهُمُ الْإِخْوَةُ وَعَمُودُهَا بَنُوهُمْ، وَإِنْ سَفَلُوا، وَالدَّرَجَةُ الثَّانِيَةُ بَنُو الْجَدِّ وَهُمُ الْأَعْمَامُ وَعَمُودُهَا بَنُوهُمْ، وَإِنْ سَفَلُوا وَالدَّرَجَةُ الثَّالِثَةُ بَنُو أَبِي الْجَدِّ وَهُمْ أَعْمَامُ الْأَبِ وَعَمُودُهَا بَنُوهُمْ وَإِنْ سفلوا وكذلك بَنُو أَبٍ بَعْدَ أَبٍ حَتَّى يَنْقَرِضَ بَنُو جَمِيعِ الْآبَاءِ فَيَصِيرُ أَحَقَّ الْعَصَبَاتِ بِالْوِلَايَةِ بَعْدَ الْآبَاءِ الْإِخْوَةُ وَبَنُوهُمْ وَإِنْ سَفَلُوا ثُمَّ الْأَعْمَامُ وَبَنُوهُمْ وَإِنْ سَفَلُوا ثُمَّ أَعْمَامُ الْأَبِ وَبَنُوهُمْ وِإنْ سَفَلُوا ثُمَّ أَعْمَامُ الْجَدِّ وَبَنُوهُمْ وَإِنْ سَفَلُوا ثُمَّ أَعْمَامُ جد الجد وبنوهم وإن سفلوا كَذَلِكَ أَبَدًا حَتَّى يَنْقَرِضَ بَنُو الْآبَاءِ كلهم فلا يبقى بعدهم ولي مناسب فينتقل حينئذ الولاية على الْمُنَاسِبِينَ إِلَى غَيْرِهِمْ مِنَ الْمَوَالِي الْمُعْتِقِينَ ثُمَّ إِلَى عَصَبَتِهِمْ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، ثُمَّ إِلَى السُّلْطَانِ فَهُوَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa kewenangan (wilayah) dalam pernikahan adalah milik ayah, kemudian bagi yang memiliki hubungan kekerabatan dengan ayah, dan tidak berhak atasnya karena nasab siapa pun yang tidak kembali nasabnya kepada ayah. Maka ayah adalah asal, semua yang berhak atas kewenangan karena nasab kembali kepadanya. Jika demikian, maka para ayah termasuk dalam kelompok ‘ashabah, merupakan jalur utama, yang paling dekat di antara mereka yang berhak atas kewenangan, lalu yang lebih dekat lagi. Dari kalangan ‘ashabah, setiap derajat keluar satu jalur utama, dan setiap derajat didahulukan dengan jalur utamanya atas yang setelahnya, dan diakhirkan dengan jalur utamanya sebelum yang sebelumnya. Jika jalur para ayah telah habis, maka derajat pertama adalah anak-anak ayah, yaitu para saudara, dan jalur utamanya adalah anak-anak mereka, meskipun ke bawah. Derajat kedua adalah anak-anak kakek, yaitu para paman, dan jalur utamanya adalah anak-anak mereka, meskipun ke bawah. Derajat ketiga adalah anak-anak ayah dari kakek, yaitu paman ayah, dan jalur utamanya adalah anak-anak mereka, meskipun ke bawah. Demikian pula anak-anak ayah setelah ayah, hingga anak-anak seluruh ayah habis, maka yang paling berhak dari para ‘ashabah setelah para ayah adalah saudara-saudara dan anak-anak mereka, meskipun ke bawah, kemudian para paman dan anak-anak mereka, meskipun ke bawah, kemudian paman ayah dan anak-anak mereka, meskipun ke bawah, kemudian paman kakek dan anak-anak mereka, meskipun ke bawah, kemudian paman kakek dari pihak ayah dan anak-anak mereka, meskipun ke bawah, demikian seterusnya hingga anak-anak seluruh ayah habis, maka tidak tersisa wali yang memiliki hubungan kekerabatan, maka saat itu kewenangan berpindah dari para kerabat kepada selain mereka dari para mawali mu‘tiq (mantan budak yang memerdekakan), lalu kepada para ‘ashabah mereka, sebagaimana akan kami sebutkan, kemudian kepada penguasa, maka dialah wali bagi siapa yang tidak memiliki wali.
فَصْلٌ
Fashl (Pembahasan)
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْقَاعِدَةُ فِي تَرْتِيبِ العصبات لاستحقاق الولاية فأول درجة ينتقل إِلَيْهَا الْوِلَايَةُ بَعْدَ الْآبَاءِ الْأُخْوَةُ، وَالْأُخْوَةُ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ: إِخْوَةٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَإِخْوَةٌ لِأَبٍ، وَإِخْوَةٌ لِأُمٍّ.
Jika kaidah ini telah ditetapkan dalam urutan para ‘ashabah untuk berhak atas kewenangan, maka derajat pertama yang berpindah kepadanya kewenangan setelah para ayah adalah para saudara. Para saudara terbagi menjadi tiga kelompok: saudara seayah-seibu, saudara seayah, dan saudara seibu.
فَأَمَّا الْأُخْوَةُ لِلْأُمِّ فَلَا وِلَايَةَ لَهُمْ سَوَاءً اجْتَمَعُوا مَعَ غَيْرِهِمْ مِنَ الْعَصَبَاتِ أَوِ انْفَرَدُوا، لِأَنَّهُمْ لَمَّا أُدْلُوْا بِالْأُمِّ وَلَمْ يَرْجِعُوا بنسبهم إِلَى الْأَبِ خَرَجُوا مِنْ جُمْلَةِ الْعَصَبَاتِ الْمُنَاسِبِينَ فَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ وِلَايَةٌ.
Adapun saudara seibu, maka mereka tidak memiliki wilayah, baik mereka berkumpul dengan selain mereka dari kalangan ‘ashabah maupun sendirian, karena mereka ketika bersandar kepada ibu dan tidak kembali nasabnya kepada ayah, maka mereka keluar dari golongan ‘ashabah yang memiliki hubungan nasab, sehingga mereka tidak memiliki wilayah.
وَأَمَّا الْأُخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَالْأُخْوَةُ لِلْأَبِ فَلَهُمُ الْوِلَايَةُ فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ انْفَرَدَ كَانَ وَلِيًّا فَإِنِ انْفَرَدَ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ كَانَتِ الْوِلَايَةُ لَهُ، وَإِنِ انْفَرَدَ الْأَخُ لِلْأَبِ كَانَتِ الْوِلَايَةُ لَهُ وَإِنِ اجْتَمَعَا فَفِيهِ قولان:
Adapun saudara seayah dan seibu serta saudara seayah, maka mereka memiliki wilayah. Maka kelompok mana pun yang sendirian, dialah wali. Jika yang sendirian adalah saudara seayah dan seibu, maka wilayah menjadi miliknya. Jika yang sendirian adalah saudara seayah, maka wilayah menjadi miliknya. Jika keduanya berkumpul, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مالك، وأبي ثور – أنهم سَوَاءٌ وَلَا يُقَدَّمُ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ عَلَى الْأَخِ لِلْأَبِ فِي الْوِلَايَةِ عَلَى النِّكَاحِ وَإِنْ قُدِّمَ عَلَيْهِ فِي الْمِيرَاثِ لِأَمْرَيْنِ:
Salah satunya—dan ini adalah pendapat dalam qaul qadim, juga merupakan mazhab Malik dan Abu Tsaur—bahwa keduanya sama, dan tidak didahulukan saudara seayah dan seibu atas saudara seayah dalam wilayah pernikahan, meskipun didahulukan dalam warisan, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأُمَّ لَا مَدْخَلَ لَهَا فِي وِلَايَةِ النِّكَاحِ فَلَمْ يَتَرَجَّحْ مَنْ أَدْلَى بِهَا، لِأَنَّ الْمُدَلَّى بِهِ أَقْوَى مِنَ الْمُدَلِّي وَلَيْسَ كَالْمِيرَاثِ الَّذِي يُقَدَّمُ فِيهِ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ عَلَى الْأَخِ للأب، لأن للأم في الميراث مدخل فَلِذَلِكَ يُرَجَّحُ مَنْ أُدْلَى بِهَا.
Pertama: Bahwa ibu tidak memiliki peran dalam wilayah pernikahan, sehingga tidak diunggulkan siapa yang bersandar kepadanya, karena yang menjadi sandaran lebih kuat daripada yang bersandar, dan ini tidak seperti warisan, di mana saudara seayah dan seibu didahulukan atas saudara seayah, karena ibu memiliki peran dalam warisan, sehingga yang bersandar kepadanya diunggulkan.
وَالثَّانِي: أَنَّ ولاية النكاح تختص بِهَا الذُّكُورُ فَلَمْ يَتَرَجَّحْ فِيهَا مَنْ أَدْلَى بِالْإِنَاثِ كَتَحَمُّلِ الْعَقْلِ.
Kedua: Bahwa wilayah pernikahan khusus bagi laki-laki, sehingga tidak diunggulkan di dalamnya siapa yang bersandar kepada perempuan, sebagaimana dalam tanggungan ‘aqilah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ، وَهُوَ مَذْهَبُ أبي حنيفة -، إِنَّ الْأَخَ للأب والأم أَحَقُّ بِالْوِلَايَةِ مِنَ الْأَخِ لِلْأَبِ لِأَمْرَيْنِ:
Pendapat kedua—disebutkan dalam qaul jadid, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah—bahwa saudara seayah dan seibu lebih berhak atas wilayah daripada saudara seayah, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْإِدْلَاءَ بِالْأُمِّ كَالتَّقَدُّمِ بِدَرَجَةٍ بِدَلِيلَيْنِ:
Pertama: Bahwa bersandar kepada ibu seperti mendapatkan satu derajat keutamaan, berdasarkan dua dalil:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَخَ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ يَحْجُبُ الْأَخَ لِلْأَبِ كما يحجب ابن الأخ.
Pertama: Bahwa saudara seayah dan seibu menghalangi saudara seayah sebagaimana anak saudara menghalangi.
والثاني: للأخت مع الأب من الأم وَالْأُمِّ السُّدُسُ كَمَا يَكُونُ لِبِنْتِ الِابْنِ مَعَ بِنْتِ الصُّلْبِ وَإِذَا كَانَ الْإِدْلَاءُ بِالْأُمِّ كَالتَّقَدُّمِ بدرجة بهذين البلدين وَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَوْلَى بِالْوِلَايَةِ، وَقَدْ عَبَّرَ الْمُزَنِيُّ عَنْ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ بِأَنَّ الْمُدْلِيَ بِالْأَبَوَيْنِ أقرب من أدلى بأحدهما استشهاداً بِالْوَصَايَا فِيمَنْ وَصَّى بِثُلُثِ مَالِهِ لِأَقْرَبِ النَّاسِ بِهِ وَتَرَكَ أَخَوَيْنِ أَحَدُهُمَا لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَالْآخَرُ لِأَبٍ أَنَّهُ يَكُونُ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ اتِّفَاقًا لِاخْتِصَاصِهِ بِالْقُرْبِ، فَكَذَلِكَ وِلَايَةُ النِّكَاحِ فَهَذَا وَجْهٌ.
Kedua: Untuk saudari seayah dari ibu dan ibu mendapat sepertiga, sebagaimana anak perempuan dari anak laki-laki bersama anak perempuan kandung. Jika bersandar kepada ibu seperti mendapatkan satu derajat keutamaan dengan dua alasan ini, maka wajib ia lebih berhak atas wilayah. Al-Muzani mengekspresikan istidlal ini dengan mengatakan bahwa yang bersandar kepada kedua orang tua lebih dekat daripada yang bersandar kepada salah satunya, dengan mengambil dalil dari wasiat, yaitu jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya kepada kerabat terdekat, lalu meninggalkan dua saudara, salah satunya seayah dan seibu, dan yang lain seayah, maka yang seayah dan seibu yang mendapatkannya secara sepakat karena kekhususan kedekatannya. Demikian pula wilayah pernikahan, inilah alasannya.
والثاني: أن الأخ للأب والأم ادلائه بالسببين واشتراكهما فِي الرَّحِمَيْنِ أَكْثَرُ إِشْفَاقًا وَحُبًّا مِمَّنْ تَفَرَّدَ بِأَحَدِهِمَا فَصَارَ بِمَعْنَى الْوِلَايَةِ أَخَصَّ وَبِطْلَبِ الْحَظِّ فِيهَا أَمَسَّ كَمَا كَانَ الْأَبُ لِاخْتِصَاصِهِ بِهَذَا الْمَعْنَى أَحَقَّ بِهَا مِنْ سَائِرِ الْعَصَبَاتِ وَهَكَذَا الصَّلَاةُ عَلَى الْمَيِّتِ فِي أَحَقِّهِمَا بِهَا قَوْلَانِ وَهَكَذَا فِي تَحَمُّلِ الْعَاقِلَةِ لِلدَّيَةِ إِذَا كَانَ فِيهَا أَخٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأَخٌ لِأَبٍ قَوْلَانِ فَتَكُونُ هَذِهِ الْمَسَائِلُ الثَّلَاثُ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Kedua: Bahwa saudara seayah dan seibu, karena bersandar pada dua sebab dan keduanya berbagi dua rahim, lebih besar kasih sayang dan cinta dibandingkan yang hanya bersandar pada salah satunya. Maka dalam makna wilayah, ia lebih khusus dan dalam tuntutan maslahat di dalamnya lebih kuat, sebagaimana ayah karena kekhususannya dengan makna ini lebih berhak atas wilayah daripada seluruh ‘ashabah. Demikian pula dalam shalat jenazah, dalam siapa yang lebih berhak terdapat dua pendapat, demikian pula dalam tanggungan ‘aqilah untuk diyat jika terdapat saudara seayah dan seibu serta saudara seayah, maka ada dua pendapat. Maka tiga masalah ini berada pada dua pendapat.
فَأَمَّا في الميراث، وَالْوَصِيَّةِ لِلْأَقْرَبِ فَالْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فِي هَذِهِ المسائل الثلاث أحق من الأخ للأب.
Adapun dalam warisan dan wasiat kepada kerabat terdekat, maka saudara seayah dan seibu dalam tiga masalah ini lebih berhak daripada saudara seayah.
فَصْلٌ
Fashl (Bagian)
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ فِي الْأَخَوَيْنِ فَهَكَذَا بَنُوهُمَا فَيَكُونُ ابْنُ أَخٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَابْنُ أَخٍ لِأَبٍ فِي أَحَقِّهِمَا بِالْوِلَايَةِ قَوْلَانِ وهكذا بنو أبي الأخوين وإن سفلوا وإن اسْتَوَوْا فِي الدَّرَجِ، فَإِنِ اخْتَلَفَ دَرْجُهُمْ قُدِّمَ الأقرب إن كان للأب فَيَكُونُ الْأَخُ لِلْأَبِ أَوْلَى مِنَ ابْنِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَكَذَلِكَ مَنْ بَعْدَهُ، وَهَكَذَا الْأَعْمَامُ وبنوهم الإخوة وبنيهم فالعم للأم لا ولاية له لخروجه من العصبات وإن تَفَرَّدَ بِهَا عَمٌّ لِأَبٍ وَأُمٍّ كَانَتِ الْوِلَايَةُ له، وَإِنِ اجْتَمَعَا فَعَلَى الْقَوْلَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ.
Jika dua pendapat ini telah ditetapkan pada dua saudara, maka demikian pula pada anak-anak mereka. Maka anak saudara seayah dan seibu dan anak saudara seayah, dalam siapa yang lebih berhak atas wilayah, terdapat dua pendapat. Demikian pula anak-anak paman dari kedua saudara, meskipun mereka turun derajat dan setara dalam derajat. Jika derajat mereka berbeda, maka yang lebih dekat didahulukan jika dari pihak ayah, maka saudara seayah lebih utama daripada anak saudara seayah dan seibu, demikian pula yang setelahnya. Demikian pula para paman dan anak-anak mereka, saudara dan anak-anak mereka. Maka paman seibu tidak memiliki wilayah karena keluar dari ‘ashabah, dan jika hanya ada paman seayah dan seibu, maka wilayah menjadi miliknya. Jika keduanya berkumpul, maka mengikuti dua pendapat yang telah lalu.
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ الْقَدِيمُ – أَنَّهُمَا سَوَاءٌ.
Salah satunya—dan ini adalah qaul qadim—bahwa keduanya sama.
والثاني: – وهو الجديد – أن العم للأب والأم أَوْلَى، وَهَكَذَا بَنُو هَذَيْنِ الْعَمَّيْنِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ فَإِنِ اخْتَلَفَ الدَّرَجُ قُدِّمَ الْأَقْرَبُ، وَإِنْ كَانَ لِأَبٍ فَيَكُونُ الْعَمُّ لِلْأَبِ أَوْلَى مِنَ ابْنِ الْعَمِّ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَهَكَذَا الْكَلَامُ فِي أَعْمَامِ الآباء والأجداد وبنيهم.
Kedua: – dan ini adalah pendapat baru – bahwa paman dari pihak ayah dan ibu lebih didahulukan, demikian pula anak-anak dari kedua paman ini menurut dua pendapat tersebut. Jika tingkatannya berbeda, maka yang lebih dekat didahulukan. Jika dari pihak ayah, maka paman dari pihak ayah lebih didahulukan daripada anak paman dari pihak ayah dan ibu. Demikian pula pembicaraan ini berlaku pada paman-paman dari ayah, kakek, dan anak-anak mereka.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَ لِلْمَرْأَةِ أَبْنَاءُ عَمٍّ أَحَدُهُمَا أَخٌ لِأُمٍّ فَفِيهَا قَوْلَانِ كَالْأَخِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ وَالْأَخِ مِنَ الْأَبِ.
Jika seorang wanita memiliki anak-anak paman, salah satunya adalah saudara seibu, maka dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana pada saudara dari ayah dan ibu serta saudara dari ayah.
فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُمَا سَوَاءٌ كَانَ أَبْنَاءُ الْعَمِّ سَوَاءً، وَإِنْ كَانَ أحدهما أخاً لأم.
Jika dikatakan bahwa keduanya sama, maka anak-anak paman pun sama, meskipun salah satunya adalah saudara seibu.
وإن قِيلَ: إِنَّ الْأَخَ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ أَوْلَى كَانَ ابْنُ الْعَمِّ الَّذِي هُوَ أَخٌ لِأُمٍّ أَوْلَى لِفَضْلِ إِدْلَائِهِ بِالْأُمِّ، فَأَمَّا الْعَمَّانِ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا خَالًا فَهُمَا سَوَاءٌ، لِأَنَّ الْخَالَ لَا يَرِثُ فَلَمْ يَتَرَجَّحْ بِهِ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ – والله أعلم -.
Dan jika dikatakan bahwa saudara dari ayah dan ibu lebih didahulukan, maka anak paman yang merupakan saudara seibu lebih didahulukan karena keutamaannya melalui ibu. Adapun dua paman, jika salah satunya adalah paman dari pihak ibu (khal), maka keduanya sama, karena paman dari pihak ibu tidak mewarisi, sehingga tidak ada salah satu yang lebih diutamakan dari yang lain – dan Allah lebih mengetahui -.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَا يُزَوِّجُ الْمَرْأَةَ ابْنُهَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَصَبَةً لَهَا “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Seorang anak laki-laki tidak menikahkan ibunya kecuali jika ia adalah ‘ashabah baginya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا وِلَايَةَ لِلِابْنِ عَلَى أُمِّهِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِالْبُنُوَّةِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, tidak ada kewalian bagi anak laki-laki atas ibunya dan ia tidak boleh menikahkan ibunya hanya karena hubungan anak.
وَقَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة، وَصَاحِبُهُ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ: يَجُوزُ لِلِابْنِ أَنْ يُزَوِّجَ أُمَّهُ، وَاخْتَلَفُوا فِي تَرْتِيبِهِ مَعَ الْأَبِ.
Malik, Abu Hanifah, sahabatnya, Ahmad, dan Ishaq berkata: Boleh bagi anak laki-laki menikahkan ibunya, namun mereka berbeda pendapat dalam urutan antara dia dan ayah.
فَقَالَ مَالِكٌ، وأبو يوسف، وَإِسْحَاقُ: الِابْنُ أَوْلَى بِنِكَاحِهَا مِنَ الْأَبِ.
Malik, Abu Yusuf, dan Ishaq berkata: Anak laki-laki lebih didahulukan dalam menikahkan ibunya daripada ayah.
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، ومحمد بن الحسن: الْأَبُ أَوْلَى ثُمَّ الِابْنُ وَقَالَ أبو حنيفة: هُمَا سَوَاءٌ وَلَيْسَ أَحَدُهُمَا بِأَوْلَى مِنَ الْآخَرِ فَأَيُّهُمَا زَوَّجَهَا جَازَ.
Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin al-Hasan berkata: Ayah lebih didahulukan, kemudian anak laki-laki. Abu Hanifah berkata: Keduanya sama, tidak ada yang lebih didahulukan dari yang lain. Siapa pun di antara keduanya yang menikahkan, maka sah.
وَاسْتَدَلُّوا جَمِيعًا عَلَى ثُبُوتِ وِلَايَةِ الِابْنِ عَلَيْهَا: بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا خَطَبَ أُمَّ سَلَمَةَ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لِي وَلِيٌّ حَاضِرٌ، فَقَالَ مَا لك ولي حاضر ولا غائب لا يرضاني. ثُمَّ قَالَ لِابْنِهَا عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ: ” قم يا غلام فزوج أمك ” فهذا نص.
Mereka semua berdalil atas tetapnya kewalian anak laki-laki atas ibunya: Bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika melamar Ummu Salamah, beliau berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki wali yang hadir.” Maka beliau bersabda: “Tidak ada walimu yang hadir maupun yang tidak hadir yang tidak meridhaiku.” Kemudian beliau berkata kepada anaknya, ‘Umar bin Abi Salamah: “Berdirilah wahai anak muda, dan nikahkanlah ibumu.” Ini adalah nash (teks yang jelas).
قَالُوا: وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ زَوَّجَ أُمَّهُ أُمَّ سُلَيْمٍ مِنِ عَمِّهِ أَبِي طَلْحَةَ فَلَمْ يُنْكِرْهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَلِأَنَّ ابْنَ الْمَرْأَةِ عَصَبَةٌ لَهَا فَجَازَ أَنْ يَكُونَ وَلِيًّا فِي نِكَاحِهَا كَالْأَبِ، وَلِأَنَّ تَعْصِيبَ الابن أقوى من تعصيب الأب، لأنهما إن اجْتَمَعَا سَقَطَ بِالِابْنِ تَعْصِيبُ الْأَبِ، وَصَارَ مَعَهُ ذَا فَرْضٍ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ أَوْلَى بِتَزْوِيجِهَا مِنَ الْأَبِ وَلِأَنَّ الْوَلِيَّ إِنَّمَا يُرَادُ لِحِفْظِ الْمَنْكُوحَةِ مِنْ تَزْوِيجِ مَنْ لَا يُكَافِئُهَا فَيَدْخُلُ العار على أهلها والابن رافع لِلْعَارِ عَنْهَا وَعَنْ نَفْسِهِ مِنْ سَائِرِ الْأَوْلِيَاءِ لِكَثْرَةِ أَنَفَتِهِ وَعِظَمِ حَمِيَّتِهِ فَكَانَ أَحَقَّ بِنِكَاحِهَا.
Mereka berkata: Dan telah diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menikahkan ibunya, Ummu Sulaim, dengan pamannya, Abu Thalhah, dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak mengingkarinya. Dan karena anak perempuan adalah ‘ashabah bagi ibunya, maka boleh menjadi wali dalam pernikahannya sebagaimana ayah. Dan karena ke‘ashabahan anak lebih kuat daripada ke‘ashabahan ayah, karena jika keduanya berkumpul maka ke‘ashabahan ayah gugur oleh anak, dan ayah menjadi ahli waris bagian saja, sehingga anak lebih berhak menikahkan ibunya daripada ayah. Dan karena wali itu dimaksudkan untuk menjaga wanita yang dinikahkan dari pernikahan dengan orang yang tidak sepadan, sehingga aib menimpa keluarganya, sedangkan anak dapat mengangkat aib dari ibunya dan dirinya sendiri dibanding para wali lainnya, karena besarnya rasa malu dan kuatnya kecemburuan anak, maka ia lebih berhak menikahkan ibunya.
وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ كُلَّ نَسَبٍ لَا يَمْلِكُ به أو المنتسب الولاية لم يملك به المنتسب بالولاية كالأخ من الأم طرداً أو كالأخ مِنَ الْأَبِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ كُلَّ ذِي نَسَبٍ أَدْلَى بِمَنْ لَا يَمْلِكُ الْإِجْبَارَ عَلَى النِّكَاحِ لَمْ يَكُنْ وَلِيًّا فِي النِّكَاحِ كَابْنِ الْأُخْتِ طَرْدًا، وَكَابْنِ الْأَخِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يَجْمَعْهُمَا نَسَبٌ لَمْ يَثْبُتْ بَيْنَهُمَا وِلَايَةُ النَّسَبَ كَالِابْنِ مِنَ الرَّضَاعِ.
Dalil kami: Bahwa setiap nasab yang tidak memberikan hak kewalian, maka yang memiliki hubungan nasab tersebut juga tidak memiliki hak kewalian, seperti saudara seibu secara konsisten, atau seperti saudara seayah secara sebaliknya. Dan setiap orang yang memiliki hubungan nasab melalui orang yang tidak berhak memaksa dalam pernikahan, maka ia tidak menjadi wali dalam pernikahan, seperti anak saudari secara konsisten, dan seperti anak saudara secara sebaliknya. Dan siapa yang tidak memiliki hubungan nasab yang menyatukan keduanya, maka tidak tetap di antara mereka kewalian nasab, seperti anak dari hubungan persusuan.
فَإِنْ قِيلَ: فَالِابْنُ مُنَاسِبٌ وَالْمُرْتَضِعُ غَيْرُ مُنَاسِبٍ قِيلَ الِابْنُ غَيْرُ مُنَاسِبٍ لأمه، لأنه يرجع بنسبه إلى أبيه لا إليها أَلَّا تَرَى أَنَّ ابْنَ الْعَرَبِيَّةِ مِنَ النَّبَطِيِّ نَبَطِيٌّ، وَابْنَ النَّبَطِيَّةِ مِنَ الْعَرَبِيِّ عَرَبِيٌّ، وَلِأَنَّ وَلِيَّ الْأُخْتَيْنِ الْمُتَنَاسِبَتَيْنِ وَاحِدٌ وَوِلَايَةُ الْأَخَوَيْنِ الْمُتَنَاسِبَيْنِ وَاحِدَةٌ، فَلَمَّا لَمْ يَمْلِكِ الِابْنُ تَزْوِيجَ خَالَتِهِ لَمْ يَمْلِكْ تَزْوِيجَ أُمِّهِ وَلَمَّا لَمْ يَمْلِكْ أَخُوهُ لِأَبِيهِ تَزْوِيجَ أُمِّهِ لَمْ يَمْلِكْ هُوَ تَزْوِيجَ أُمَّهُ.
Jika dikatakan: Anak laki-laki adalah pihak yang memiliki hubungan kekerabatan yang sesuai (munāsib), sedangkan anak susuan (al-murtaḍi‘) tidak memiliki hubungan yang sesuai, maka dijawab: Anak laki-laki bukanlah pihak yang sesuai (munāsib) bagi ibunya, karena nasabnya kembali kepada ayahnya, bukan kepada ibunya. Tidakkah engkau melihat bahwa anak perempuan Arab dari laki-laki Nabath adalah Nabath, dan anak perempuan Nabath dari laki-laki Arab adalah Arab? Dan karena wali bagi dua saudari yang memiliki hubungan kekerabatan yang sesuai adalah satu orang, demikian pula wali bagi dua saudara laki-laki yang memiliki hubungan kekerabatan yang sesuai adalah satu orang. Maka ketika anak laki-laki tidak berhak menikahkan bibinya (saudari ibunya), ia juga tidak berhak menikahkan ibunya. Dan ketika saudara laki-lakinya dari pihak ayah tidak berhak menikahkan ibunya, maka ia pun tidak berhak menikahkan ibunya.
وَيَتَحَرَّرُ مِنْ هَذَا الِاعْتِلَالِ: قِيَاسَانِ:
Dari alasan ini, terdapat dua bentuk qiyās:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَنْ لَمْ يَمْلِكْ تَزْوِيجَ امْرَأَةٍ لَمْ يَمْلِكْ تَزْوِيجَ أُخْتِهَا الْمُنَاسِبَةِ لَهَا قِيَاسًا عَلَى ابْنِ الْبِنْتِ طَرْدًا، وَعَلَى ابْنِ الْعَمِّ عَكْسًا.
Pertama: Bahwa siapa yang tidak berhak menikahkan seorang perempuan, maka ia juga tidak berhak menikahkan saudari perempuan tersebut yang memiliki hubungan kekerabatan yang sesuai dengannya, berdasarkan qiyās terhadap anak perempuan dari anak perempuan (ibn al-bint) secara paralel, dan terhadap anak laki-laki dari paman (ibn al-‘amm) secara kebalikan.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا امْرَأَةٌ لَا تَمْلِكُ إخُوة الْمُنَاسِبُ لَهُ تَزْوِيجَهَا فَلَمْ يَمْلِكْ هُوَ تَزْوِيجَهَا كالخالة طرداً وكالعمة عكساً، ولأن كل مَوْضِعِ الْوِلَايَةِ بِالنَّسَبِ أَنْ يَكُونَ عَلَى الْوَلَدِ فلم يجز أن يصير للولد قِيَاسًا عَلَى وِلَايَةِ الْمَالِ، وَلِأَنَّ وِلَايَتَهُ عَلَى نكاحها لا يخلو أن يكون لإدِلَائه بِهَا أَوْ بِأَبِيهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يكون لإدِلَائه بِأَبِيهِ، لِأَنَّ أَبَاهُ أَجْنَبِيٌّ مِنْهَا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَكُونَ لإدِلَائه بِهَا لِأَنَّهُ لَا وِلَايَةَ لَهَا عَلَى نَفْسِهَا فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ لها وِلَايَةٌ لِمَنْ أَدْلَى بِهَا، وَإِذَا بَطَلَ الْإِدْلَاءُ بالسببين بطلت الولاية.
Kedua: Bahwa ia adalah seorang perempuan yang tidak dapat dinikahkan oleh saudara-saudaranya yang memiliki hubungan kekerabatan yang sesuai dengannya, maka ia pun tidak berhak menikahkan perempuan itu, seperti halnya bibi dari pihak ibu (khālah) secara paralel dan bibi dari pihak ayah (‘ammah) secara kebalikan. Dan karena setiap tempat wilayah (kewalian) berdasarkan nasab adalah atas anak, maka tidak boleh wilayah itu menjadi milik anak, berdasarkan qiyās terhadap wilayah dalam urusan harta. Dan karena kewaliannya atas pernikahan perempuan itu tidak lepas dari dua kemungkinan: karena ia memiliki hubungan dengan perempuan itu atau dengan ayahnya. Maka tidak boleh karena hubungannya dengan ayahnya, karena ayahnya adalah orang asing baginya. Dan tidak boleh pula karena hubungannya dengan perempuan itu, karena perempuan itu tidak memiliki wilayah atas dirinya sendiri, maka lebih utama lagi ia tidak memiliki wilayah atas orang yang memiliki hubungan dengannya. Jika kedua sebab tersebut batal, maka batal pula wilayahnya.
فإن قيل: فغير مُنْكَرٍ أَنْ يَكُونَ لِمَنْ أَدْلَى بِهَا مِنْ وِلَايَةِ النِّكَاحِ مَا لَيْسَ لَهَا كَالْأَبِ يُزَوِّجُ أمة بنته إدلاء بها وَلَيْسَ لِلْبِنْتِ تَزْوِيجُهَا.
Jika dikatakan: Tidak mustahil orang yang memiliki hubungan dengan perempuan itu memiliki wilayah pernikahan yang tidak dimiliki oleh perempuan itu sendiri, seperti ayah yang menikahkan budak perempuan milik anak perempuannya karena hubungan dengan anak perempuan itu, padahal anak perempuan itu sendiri tidak berhak menikahkan budaknya.
قِيلَ: لَمْ يُزَوِّجْهَا الْأَبُ إِدْلَاءً بِالْبِنْتِ لِأَنَّ الْإِدْلَاءَ إِنَّمَا يَكُونُ مِنَ الْأَسْفَلِ إِلَى الْأَعْلَى وَلَا يَكُونُ مِنَ الْأَعْلَى بالأسفل وَإِنَّمَا زَوَّجَهَا لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ وَلِيًّا عَلَى بِنْتِهِ فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ وَلِيًّا عَلَى أَمَةِ بنته، لأن الولاية إذا أثبتت عَلَى الْأَقْوَى فَأَوْلَى أَنْ تَثْبُتَ عَلَى الْأَضْعَفِ.
Dijawab: Ayah tidak menikahkan budak perempuan itu karena hubungan dengan anak perempuan, karena hubungan itu hanya terjadi dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah. Ia menikahkan budak perempuan itu karena ketika ia menjadi wali atas anak perempuannya, maka lebih utama lagi ia menjadi wali atas budak perempuan milik anak perempuannya. Karena jika wilayah ditetapkan atas yang lebih kuat, maka lebih utama lagi ditetapkan atas yang lebih lemah.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ تَزْوِيجِ أُمِّ سَلَمَةَ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Adapun jawaban tentang pernikahan Ummu Salamah, maka ada tiga sisi:
أَحَدُهَا: أَنَّ ابْنَهَا زَوَّجَهَا، لِأَنَّهُ كَانَ مَعَ الْبُنُوَّةِ مُنَاسِبًا لَهَا، لِأَنَّ عُمَرَ بن أبي سلمة بن عبد الأسد بْنِ هِلَالٍ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بن مخزوم فَكَانَ مِنْ بَنِي عَمِّهَا يَجْتَمِعَانِ فِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ مَخْزُومٍ.
Pertama: Bahwa anaknya menikahkan ibunya, karena selain sebagai anak, ia juga memiliki hubungan kekerabatan yang sesuai dengannya. Karena ‘Umar bin Abi Salamah bin ‘Abd al-Asad bin Hilāl bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzūm adalah dari Bani ‘Amminya, mereka bertemu pada ‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzūm.
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: فَكَانَ أَقْرَبَ عَصَبَاتِهَا الْحَاضِرِينَ فَزَوَّجَهَا بِتَعْصِيبِ النَّسَبِ لَا بِالْبُنُوَّةِ.
Ahmad bin Hanbal berkata: Maka ia adalah kerabat laki-laki terdekat yang hadir, lalu ia menikahkan Ummu Salamah berdasarkan hubungan kekerabatan (ta‘ṣīb al-nasab), bukan karena status sebagai anak.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: إِنَّ قَوْلَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” قم فَزَوِّجْ أُمَّكَ ” أَيْ فَجِئْنِي بِمَنْ يُزَوِّجُ أُمَّكَ لِأَمْرَيْنِ:
Jawaban kedua: Sabda Nabi ﷺ: “Berdirilah dan nikahkanlah ibumu,” maksudnya adalah: “Datangkanlah kepadaku orang yang akan menikahkan ibumu,” karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لِي وَلِيٌّ حَاضِرٌ فَأَقَرَّهَا عَلَى هَذَا الْقَوْلِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَمَ لكن وَلِيًّا.
Pertama: Ummu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki wali yang hadir.” Maka Nabi membenarkan perkataannya itu, yang menunjukkan bahwa ia (anaknya) bukanlah wali.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ كَانَ غَيْرَ بَالِغٍ قِيلَ إِنَّهُ كَانَ ابْنُ سِتِّ سِنِينَ وَقِيلَ ابْنَ سَبْعِ سِنِينَ فَدَلَّ بِهَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ عَلَى أَنَّ أَمْرَهُ بِالتَّزْوِيجِ إِنَّمَا كَانَ أَمْرًا بِإِحْضَارِ مَنْ يَتَوَلَّى التَّزْوِيجَ.
Kedua: Ia (anaknya) masih belum baligh. Dikatakan bahwa ia berumur enam tahun, dan ada yang mengatakan tujuh tahun. Maka dengan dua alasan ini, perintah Nabi agar ia menikahkan ibunya hanyalah perintah untuk menghadirkan orang yang akan menjadi wali pernikahan.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَخْصُوصٌ فِي مَنَاكِحِهِ بِأَنْ يَتَزَوَّجَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فأمر ابنها بِذَلِكَ اسْتِطَابَةً لِنَفْسِهِ لَا تَصْحِيحًا لِلْعَقْدِ عَلَى أَنَّ رَاوِيَ هَذَا اللَّفْظِ إِنَّمَا هُوَ ثَابِتٌ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ وَثَابِتٌ لَمْ يَلْقَ عُمَرَ فَكَانَ مُنْقَطِعًا.
Jawaban ketiga: Bahwa Nabi ﷺ memiliki kekhususan dalam pernikahan, yaitu beliau boleh menikah tanpa wali. Maka perintah beliau kepada anaknya hanyalah untuk menyenangkan hati anaknya, bukan untuk mensahkan akad nikah. Selain itu, riwayat lafaz ini hanya berasal dari Tsabit dari ‘Umar bin Abi Salamah, sedangkan Tsabit tidak pernah bertemu dengan ‘Umar, sehingga sanadnya terputus.
وَأَمَّا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَكَانَ مِنْ عَصَبَاتِ أُمِّهِ فَزَوَّجْهَا بِتَعْصِيبِ النسب لا بالبنوة.
Adapun Anas bin Malik, maka ia adalah kerabat laki-laki dari pihak ayah (ashabah) bagi ibunya, sehingga ia menikahkan ibunya berdasarkan hubungan kekerabatan (ta‘ṣīb al-nasab), bukan karena status sebagai anak.
وأما الجواب عن قياسه بِأَنَّهُ عَصَبَةٌ كَالْأَبِ فَهُوَ أَنَّ الِابْنَ عَصَبَةٌ في الميراث ليس بِعَصَبَةٍ فِي وِلَايَةِ النِّكَاحِ، لِأَنَّ وِلَايَةَ النِّكَاحِ يَسْتَحِقُّهَا مَنْ عَلَا مِنَ الْعَصَبَاتِ وَالْمِيرَاثُ يَسْتَحِقُّهُ مَنْ عَلَا وَسَفَلَ مِنَ الْعَصَبَاتِ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْأَبِ لَمَّا كَانَ أَبُوهُ وَهُوَ الْجَدُّ وَلِيًّا لَهَا كَانَ الْأَبُ وَلِيًّا وَلَمَّا كَانَ أَبُو الِابْنِ وَهُوَ الزَّوْجُ غَيْرَ وَلِيٍّ لَهَا لَمْ يَكُنِ الِابْنُ وَلِيًّا.
Adapun jawaban atas qiyās yang menyatakan bahwa anak laki-laki adalah ‘aṣabah seperti ayah, maka anak laki-laki memang ‘aṣabah dalam warisan, tetapi bukan ‘aṣabah dalam wilayah perwalian nikah. Sebab, wilayah nikah itu menjadi hak bagi ‘aṣabah yang lebih tinggi (derajatnya), sedangkan warisan menjadi hak bagi ‘aṣabah yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Selanjutnya, makna pada ayah adalah, ketika ayahnya (dari perempuan itu), yaitu kakeknya, menjadi wali baginya, maka ayahnya pun menjadi wali. Namun, ketika ayah dari anak laki-laki (yaitu suaminya) bukan wali baginya, maka anak laki-laki pun tidak menjadi wali.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ تَعْصِيبَ الِابْنِ أَقْوَى مِنْ تَعْصِيبِ الْأَبِ فَهُوَ أَنَّهُ أَقْوَى مِنْهُ فِي الْمِيرَاثِ باستحقاق الولاية في النكاح، لَا فِي وِلَايَةِ النِّكَاحِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يعتبر قوة التعصيب في الميراث لِأَنَّ الصَّغِيرَ وَالْمَجْنُونَ مِنَ الْأَبْنَاءِ يُسْقِطُ فِي الْمِيرَاثِ تَعْصِيبَ الْآبَاءِ، وَإِنْ خَرَجَ مِنْ وِلَايَةِ النكاح عن حكم الأب.
Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa ke-‘aṣabah-an anak laki-laki lebih kuat daripada ke-‘aṣabah-an ayah, maka itu benar, tetapi hanya dalam hal warisan, bukan dalam wilayah perwalian nikah. Tidak boleh mempertimbangkan kekuatan ke-‘aṣabah-an dalam warisan, karena anak yang masih kecil dan anak yang gila dari kalangan anak-anak dapat menggugurkan ke-‘aṣabah-an para ayah dalam warisan, meskipun mereka keluar dari wilayah perwalian nikah menurut hukum ayah.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهُ أَعْظَمُ حَمِيَّةً وَأَكْثَرُ أَنَفَةً فِي مَنْعِهَا مِنْ غَيْرِ الْأَكْفَاءِ فهذا المعنى هو الذي أبطل ولايته به وَبِهِ اسْتَدَلَّ الشَّافِعِيُّ فَقَالَ: ” لِأَنَّهُ يَرَى نِكَاحَهَا عار ” يَعْنِي أَنَّهُ يَدْفَعُ عَنْ تَزْوِيجِهَا وَيَرَاهُ عَارًا فَهُوَ لَا يَطْلُبُ الْحَظَّ لَهَا فِي نِكَاحِ كُفْئِهَا وَالْوَلِيُّ مَنْدُوبٌ لِطَلَبِ الْحَظِّ لَهَا فَلِذَلِكَ خَرَجَ الِابْنُ عَنْ مَعْنَى الْأَوْلِيَاءِ.
Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa anak laki-laki lebih besar semangatnya dan lebih tinggi kehormatannya dalam mencegah perempuan dari menikah dengan yang tidak sekufu’, maka makna inilah yang justru membatalkan kewaliannya. Dengan alasan ini pula Imam Syafi‘i berdalil, beliau berkata: “Karena ia (anak laki-laki) memandang pernikahan ibunya sebagai aib,” maksudnya ia menolak menikahkan ibunya dan menganggapnya sebagai aib, sehingga ia tidak mencari kemaslahatan untuk ibunya dalam menikah dengan yang sekufu’. Padahal wali itu ditugaskan untuk mencari kemaslahatan bagi perempuan yang dinikahkan. Oleh karena itu, anak laki-laki keluar dari makna para wali.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنْ لَيْسَ لِلِابْنِ تَزْوِيجَ أُمِّهِ بِالْبُنُوَّةِ فَلَهُ تَزْوِيجُهَا بِأَحَدِ أَرْبَعَةِ أَسْبَابٍ:
Jika telah dipastikan bahwa anak laki-laki tidak berhak menikahkan ibunya karena hubungan anak, maka ia boleh menikahkan ibunya karena salah satu dari empat sebab:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ عَصَبَةً لَهَا مِنَ النَّسَبِ بِأَنْ يَكُونَ ابْنَ ابْنِ عَمِّهَا وَلَيْسَ لَهَا مَنْ هُوَ أَقْرَبُ مِنْهُ فَيُزَوِّجُهَا، لِأَنَّ بُنُوَّتَهُ إِنْ لَمْ تَزِدْهُ قُوَّةً لَمْ تَزِدْهُ ضَعْفًا، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ لَهَا ابْنَا ابْنِ عَمٍّ أَحَدُهُمَا ابْنُهَا فَعَلَى قِيَاسِ قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ هُمَا سَوَاءٌ كَالْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ مَعَ الْأَخِ لِلْأَبِ، وعلى قياسه قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ ابْنُهَا أَوْلَى لِفَضْلِ إِدْلَائِهِ بها.
Pertama: Ia menjadi ‘aṣabah bagi ibunya karena nasab, yaitu jika ia adalah anak dari anak paman ibunya dan tidak ada yang lebih dekat darinya, maka ia boleh menikahkan ibunya. Karena status anaknya, jika tidak menambah kekuatan, juga tidak menambah kelemahan. Berdasarkan hal ini, jika ada dua anak dari anak paman, salah satunya adalah anaknya sendiri, maka menurut qawl qadim (pendapat lama), keduanya sama seperti saudara seayah-seibu dengan saudara seayah, sedangkan menurut qawl jadid (pendapat baru), anaknya lebih utama karena lebih dekat hubungan nasabnya.
والسبب الثاني: أن يكون موالٍ لها يزوجها بولاية الولاء، فلو كان لها ابنا مَوْلًى أَحَدُهُمَا ابْنُهَا فَعَلَى قَوْلَيْنِ كَالْأَخَوَيْنِ أَحَدُهُمَا لِأَبٍ وَأُمٍّ وَالْآخِرُ لِأَبٍ:
Sebab kedua: Ia adalah mawlā bagi ibunya, sehingga ia menikahkan ibunya dengan wilayah al-walā’. Jika ada dua anak mawlā, salah satunya adalah anaknya sendiri, maka ada dua pendapat, seperti dua saudara, salah satunya seayah-seibu dan satunya lagi seayah.
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ أنهما سواء.
Salah satunya, yaitu qawl qadim, keduanya sama.
والثاني: وهو الجديد أن ابنها يفضل إِدْلَائه بِهَا أَوْلَى.
Yang kedua, yaitu qawl jadid, anaknya lebih utama karena lebih dekat hubungan nasabnya.
وَالسَّبَبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ ابْنُهَا قَاضِيًا وَلَيْسَ لَهَا عَصَبَةٌ مُنَاسِبُ فَيَجُوزُ لابنه أَنْ يُزَوِّجَهَا بِوِلَايَةِ الْحُكْمِ.
Sebab ketiga: Anaknya menjadi qāḍī (hakim) dan tidak ada ‘aṣabah yang sesuai, maka boleh bagi anaknya untuk menikahkan ibunya dengan wilayah al-ḥukm (kekuasaan hakim).
وَالسَّبَبُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا لِوَلِيِّهَا الْمُنَاسِبِ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا نِيَابَةً عَنْهُ كَمَا يُزَوِّجُهَا الْمُسْتَنَابُ مِنَ الأجانب.
Sebab keempat: Ia menjadi wakil dari wali yang sesuai, maka boleh baginya menikahkan ibunya sebagai perwakilan dari wali tersebut, sebagaimana orang lain yang diangkat sebagai wakil dari kalangan non-mahram.
فصل
Fasal
فإذا أعتقت المرأة أمة لها وَأَرَادَتْ تَزْوِيجَهَا وَكَانَ لَهَا أَبٌ وَابْنٌ فَأَبَوْهَا أَوْلَى بِتَزْوِيجِ الْمُعَتَقَةِ مِنَ ابْنِهَا فَلَوْ مَاتَتِ السَّيِّدَةُ الْمُعْتِقَةُ وَخَلَّفَتْ أَبَاهَا وَابْنَهَا فَوَلَاءُ أَمَتِهَا التي أعتقها لِلِابْنِ دُونَ الْأَبِ وَفَى أحَقِّهِمَا بِنِكَاحِهَا وَجْهَانِ:
Jika seorang perempuan memerdekakan budak perempuannya dan ingin menikahkannya, sedangkan budak itu memiliki ayah dan anak laki-laki, maka ayahnya lebih berhak menikahkan budak yang dimerdekakan daripada anaknya. Jika sang tuan perempuan yang memerdekakan meninggal dunia dan meninggalkan ayah dan anaknya, maka wilayah budak perempuannya yang telah dimerdekakan menjadi milik anaknya, bukan ayahnya. Dalam hal siapa yang lebih berhak menikahkan budak tersebut, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَبَ أَوْلَى بِوِلَايَةِ نِكَاحِهَا مِنَ الِابْنِ كَمَا كَانَ أَوْلَى بِذَلِكَ فِي حَيَاةِ سيدها.
Salah satunya: Ayah lebih berhak menjadi wali nikahnya daripada anak, sebagaimana ia lebih berhak dalam hal itu semasa hidup tuannya.
والوجه الثاني: أن الابن بعد موت السيد أَوْلَى بِنِكَاحِ الْمُعَتَقَةِ مِنَ الْأَبِ، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بَعْدَ الْمَوْتِ أَمْلَكَ بِالْوَلَاءِ مِنَ الْأَبِ فَصَارَ أَمْلَكَ بِوِلَايَةِ النِّكَاحِ مِنَ الْأَبِ – وَاللَّهُ أعلم -.
Pendapat kedua: Setelah tuannya meninggal, anak lebih berhak menikahkan budak yang dimerdekakan daripada ayah, karena setelah kematian tuan, anak menjadi lebih berhak atas wilayah al-walā’ daripada ayah, sehingga ia pun lebih berhak atas wilayah nikah daripada ayah – dan Allah lebih mengetahui –.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولا ولاية بعد النسب إلا للمعتق ثُمَّ أَقْرَبِ النَّاسِ بِعَصَبَةِ مُعْتِقِهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Tidak ada wilayah setelah nasab kecuali bagi mu‘tiq (orang yang memerdekakan), kemudian yang paling dekat dari kalangan ‘aṣabah mu‘tiq-nya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ أَحَقَّ النَّاسِ بِنِكَاحِ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ الْمُنَاسِبُونَ لَهَا مِنَ الْعَصَبَاتِ يَتَرَتَّبُونَ بِالْقُرْبِ إِلَيْهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَمَتَى وُجِدَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ، وَإِنْ بَعُدَ فَهُوَ أَحَقُّ النَّاسِ بِنِكَاحِهَا وَإِنْ عَدِمُوا جَمِيعًا قَامَ الْمَوْلَى المعتق في نكاحها مقام الأولياء المناسبين من عصبتها لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْوَلَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ ” وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أيما امرأة نكحت بغير إذن مواليها فنكاحها بَاطِلٌ “، وَلِأَنَّ الْمَوْلَى الْمُعْتِقَ قَدْ أَفَادَهَا بِالْعِتْقِ مَا أَفَادَهَا الْأَبُ الْحُرُّ مِنْ زَوَالِ الرِّقِّ حَتَّى صَارَتْ مَالِكَةً وَوَارِثَةً وَمَوْرُوثَةً وَمَعْقُولًا عَنْهَا فاقتضى أن تحل مَحَلَّ الْأَبِ وَالْعَصَبَاتِ فِي وِلَايَةِ نِكَاحِهَا، فَمَتَى وُجِدَ الْمَوْلَى الْمُعْتِقُ بَعْدَ فَقْدِ الْعَصَبَاتِ كَانَ أَحَقَّ النَّاسِ بِنِكَاحِهَا فَإِنْ عُدِمَ فَعَصَبَةُ الْمَوْلَى يَتَرَتَّبُونَ فِي وِلَايَةِ نِكَاحِهَا عَلَى مِثْلِ مَا يَتَرَتَّبُونَ عَلَيْهِ فِي اسْتِحْقَاقِ وَلَائِهَا وَمِيرَاثِهَا فَيَكُونُ ابْنُ الْمَوْلَى ثُمَّ بَنَوْهُ أَحَقَّ بِوَلَائِهَا وَوِلَايَةِ نِكَاحِهَا مِنَ الْأَبِ، ثُمَّ الْأَبُ بَعْدَ الْبَنِينَ وَبَنِيهِمْ ثُمَّ فِيمَنْ يَسْتَحِقُّهُ بَعْدَ الْأَبِ مِنْ أَهْلِ الدَّرَجَةِ الثَّانِيَةِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ: أَحَدُهَا: الْأُخْوَةُ، ثُمَّ بَنُوهُمْ وَإِنْ سَفَلُوا، ثُمَّ الْجَدُّ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Telah kami sebutkan bahwa orang yang paling berhak menikahkan perempuan merdeka adalah para kerabat laki-lakinya dari jalur ‘ashabah yang memiliki hubungan paling dekat dengannya, sebagaimana telah kami jelaskan. Maka kapan pun ditemukan salah satu dari mereka, meskipun jauh hubungannya, dialah yang paling berhak menikahkannya. Jika semua mereka tidak ada, maka maula mu‘tiq (bekas tuan yang memerdekakan) menempati posisi para wali yang sesuai dari ‘ashabah-nya dalam pernikahan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Al-walā’ adalah ikatan seperti ikatan nasab,” dan sabdanya ﷺ: “Siapa saja perempuan yang menikah tanpa izin para maulanya, maka nikahnya batal.” Karena maula mu‘tiq telah memberikan manfaat kepadanya melalui pembebasan sebagaimana ayah yang merdeka memberikan manfaat berupa hilangnya status budak, sehingga ia menjadi pemilik, pewaris, dan dapat diwarisi, serta dapat bertindak atas namanya. Maka hal ini menuntut agar maula mu‘tiq menempati posisi ayah dan ‘ashabah dalam wilayah pernikahannya. Maka kapan pun maula mu‘tiq ditemukan setelah tidak adanya ‘ashabah, dialah yang paling berhak menikahkannya. Jika tidak ada, maka ‘ashabah dari maula berurutan dalam wilayah pernikahan sebagaimana urutan mereka dalam hak mendapatkan walā’ dan warisannya. Maka anak laki-laki maula, kemudian anak-anaknya, lebih berhak atas walā’ dan wilayah pernikahannya daripada ayah maula, lalu ayah maula setelah anak-anak laki-laki dan cucunya, kemudian dalam hal siapa yang berhak setelah ayah dari kalangan derajat kedua, terdapat tiga pendapat: Pertama, saudara laki-laki, lalu anak-anak mereka meskipun ke bawah, kemudian kakek.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: الْجَدُّ، ثُمَّ الْأُخْوَةُ، ثُمَّ بَنُوهُمْ وَإِنْ سَفَلُوا.
Pendapat kedua: Kakek, kemudian saudara laki-laki, lalu anak-anak mereka meskipun ke bawah.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: الْأُخْوَةُ، ثُمَّ الْجَدُّ، ثُمَّ بنو الإخوة، ثم فيمن يستحقها من الدَّرَجَةِ الثَّالِثَةِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
Pendapat ketiga: Saudara laki-laki, kemudian kakek, lalu anak-anak saudara laki-laki, kemudian dalam hal siapa yang berhak dari derajat ketiga, terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا: الْأَعْمَامُ، ثُمَّ بَنُوهُمْ، وَإِنْ سَفَلُوا، ثُمَّ أَبُو الْجَدِّ.
Pertama: Paman, lalu anak-anak mereka meskipun ke bawah, kemudian ayah dari kakek.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَبُو الْجَدِّ، ثُمَّ الْأَعْمَامِ، ثُمَّ بَنُوهُمْ وَإِنْ سَفَلُوا.
Pendapat kedua: Ayah dari kakek, kemudian paman, lalu anak-anak mereka meskipun ke bawah.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: الْأَعْمَامُ ثُمَّ أَبُو الْجَدِّ، ثُمَّ بَنُو الْأَعْمَامِ وَإِنْ سَفَلُوا ثُمَّ يَتَرَتَّبُونَ فِي الدَّرَجَةِ الرَّابِعَةِ وَمَا بَعْدَهَا عَلَى ما ذكرنا حتى جَمِيعِ عَصَبَاتِ الْمَوْلَى، فَإِنْ عُدِمُوا فَمَوْلَى الْمَوْلَى ثُمَّ عَصَبَتُهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الْمَوَالِي الْمُعْتِقِينَ وَعَصِبَاتِهِمْ أَحَدٌ وَكَانَتِ المرأة العادمة للعصبات حرة ولا وَلَاءَ عَلَيْهَا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ وَهُوَ النَّاظِرُ فِي الْأَحْكَامِ فَتَكُونُ لَهُ الْوِلَايَةُ عَلَى الْأَرَامِلِ وَالْأَيْتَامِ.
Pendapat ketiga: Paman, kemudian ayah dari kakek, lalu anak-anak paman meskipun ke bawah. Kemudian mereka berurutan dalam derajat keempat dan seterusnya sebagaimana telah kami sebutkan hingga seluruh ‘ashabah maula. Jika mereka semua tidak ada, maka maula dari maula, lalu ‘ashabahnya sebagaimana telah kami sebutkan. Jika tidak tersisa seorang pun dari para maula mu‘tiq dan ‘ashabah mereka, sementara perempuan tersebut tidak memiliki ‘ashabah, ia adalah perempuan merdeka dan tidak ada walā’ atasnya, maka sultan (penguasa) menjadi wali bagi siapa saja yang tidak memiliki wali, dan dialah yang mengurus urusan hukum, sehingga ia memiliki wilayah atas para janda dan anak yatim.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَ للمعتقة ابنا مَوْلًى اسْتَوَيَا فِي وِلَايَةِ نِكَاحِهَا فَأَيُّهُمَا زَوَّجَهَا جاز ولو كان لها موليان معتقان ولم يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ أَحَدُهُمَا بِنِكَاحِهَا حَتَّى يَجْتَمِعَا عَلَيْهِ أَوْ يَأْذَنَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ فَإِنْ تَفَرَّدَ أَحَدُهُمَا بِنِكَاحِهَا مِنْ غَيْرِ إِذْنِ الْآخَرِ كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا.
Jika seorang perempuan yang dimerdekakan memiliki anak laki-laki dan maula, keduanya setara dalam wilayah pernikahannya. Siapa pun di antara mereka yang menikahkannya, maka sah. Jika ia memiliki dua maula mu‘tiq, tidak boleh salah satu dari mereka menikahkannya sendirian sampai keduanya sepakat atau salah satu mengizinkan yang lain. Jika salah satu dari mereka menikahkannya tanpa izin yang lain, maka nikahnya batal.
وَقَالَ أبو حنيفة: أَيُّهُمَا انْفَرَدَ بِنِكَاحِهَا مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ صَحَّ وَأَجْرَاهُمَا مَجْرَى أخوي الحرة وَابْنِيْ مَوْلَى الْمُعَتَقَةِ، وَهَذَا الْجَمْعُ خَطَأٌ لِظُهُورِ الفرق بينهما، وهو أن كلاً مِنَ الْأَخَوَيْنِ وَابْنَيِ الْمَوْلَى مِمَّنْ يَسْتَحِقُّ كُلَّ الْوِلَايَةِ وَالْوَلَاءِ لِانْتِقَالِ حَقِّ الْمَيِّتِ مِنْهُمَا إِلَى الباقي ولي كل واحد من المعتقين ممن يسحق كُلَّ الْوِلَايَةِ وَالْوَلَاءِ، لِأَنَّ مَنْ مَاتَ مِنْهُمَا انْتَقَلَ حَقُّهُ إِلَى الْبَاقِي فَمَنَعَ هَذَا الْفَرْقُ من صحة الجميع.
Abu Hanifah berkata: Siapa pun di antara mereka yang menikahkannya tanpa izin, maka sah, dan beliau menyamakan keduanya dengan dua saudara perempuan merdeka dan dua anak laki-laki maula dari perempuan yang dimerdekakan. Penyamaan ini adalah keliru karena jelas adanya perbedaan antara keduanya, yaitu bahwa masing-masing dari dua saudara dan dua anak laki-laki maula adalah pihak yang berhak penuh atas wilayah dan walā’, karena hak orang yang wafat di antara mereka berpindah kepada yang masih hidup. Setiap maula mu‘tiq juga merupakan pihak yang berhak penuh atas wilayah dan walā’, karena jika salah satu dari mereka wafat, haknya berpindah kepada yang masih hidup. Maka perbedaan ini mencegah keabsahan penyamaan tersebut.
فلو مات أحد المعتقين وترك اثنين فَزَوَّجَهَا الْمُعْتِقُ الْبَاقِي بِأَحَدِ ابْنِيِ الْمُعْتِقِ الْمَيِّتِ جاز، ولو زوجها ابنا الْمَيِّتِ دُونَ الْمُعَتِقِ الْبَاقِي لَمْ يَجُزْ لِمَا بَيَّنَّا مِنَ التَّعْلِيلِ، وَلَوْ أَعْتَقَ رَجُلَانِ عَبْدًا أو أعتق الْعَبْدُ أَمَةً وَمَاتَ الْعَبْدُ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِ معتقيه تَزْوِيجُ الْأَمَةِ حَتَّى يَجْتَمِعَا عَلَى نِكَاحِهَا، لِأَنَّ الَّذِي يَمْلِكُهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ الْوَلَاءِ فإن تفرد أحدهما بنكاحها بطل وإن عَضَلَ أَحَدُ الْمُعْتِقَيْنَ الْأَمَةَ، أَوْ غَابَ، أَوْ مَاتَ وَلَمْ يَتْرُكْ عَصَبَةً زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ وَالْمُعَتِقُ الْبَاقِي لِيَنُوبَ الْحَاكِمُ عَمَّنْ مَاتَ، أَوْ عَضَلَ، فَإِنْ تَفَرَّدَ الْحَاكِمُ بِتَزْوِيجِهَا دُونَ الْمُعَتِقِ أَوْ تَفَرَّدَ بِهِ الْمُعَتِقُ دُونَ الْحَاكِمِ كَانَ بَاطِلًا، لِأَنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدِهِمَا إِلَّا نِصْفُ الْوِلَايَةِ.
Jika salah satu dari dua orang yang memerdekakan (mukattib) meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak, lalu mukattib yang masih hidup menikahkan budak perempuan itu dengan salah satu dari kedua anak mukattib yang telah meninggal, maka hal itu sah. Namun jika yang menikahkan adalah kedua anak dari mukattib yang telah meninggal tanpa melibatkan mukattib yang masih hidup, maka tidak sah, sebagaimana telah dijelaskan alasannya. Dan jika dua orang memerdekakan seorang budak, atau seorang budak memerdekakan seorang budak perempuan lalu budak itu meninggal, maka tidak ada hak bagi salah satu dari orang yang memerdekakan untuk menikahkan budak perempuan itu kecuali keduanya sepakat atas pernikahannya, karena masing-masing dari mereka hanya memiliki setengah hak wala’. Jika salah satu dari mereka menikahkan sendiri, maka batal. Jika salah satu dari dua orang yang memerdekakan menghalangi (budak perempuan itu menikah), atau pergi, atau meninggal dunia dan tidak meninggalkan ‘ashabah, maka hakim dan mukattib yang masih hidup yang menikahkan, agar hakim mewakili yang telah meninggal atau yang menghalangi. Jika hakim menikahkan sendiri tanpa mukattib, atau mukattib menikahkan sendiri tanpa hakim, maka pernikahan itu batal, karena masing-masing dari mereka hanya memiliki setengah hak perwalian.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنِ اسْتَوَتِ الْوُلَاةُ فَزَوَّجَهَا بَإِذْنِهَا دُونَ أَسَنِّهِمْ وأفضلهم كفؤاً جَازَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika para wali setara, lalu salah satu dari mereka menikahkan (perempuan itu) dengan izinnya tanpa yang paling tua atau yang paling utama dalam hal kecocokan, maka sah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا كَانَ لِلْمَرْأَةِ جَمَاعَةُ أولياء يساوي الأخوال فِي التَّعْصِيبِ وَالْقُرْبِ كَالْإِخْوَةِ وَبَنِيهِمْ وَالْأَعْمَامِ وَبَنِيهِمْ، فَإِنَّهُمْ فِي الْوِلَايَةِ سَوَاءٌ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ لَوِ انْفَرَدَ بِهَا لَاسْتَحَقَّهَا، فَإِذَا شَارَكَ غَيْرَهُ لَمْ يَخْرُجْ مِنْهَا، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له ” فجعلهم عند الاشتجار سواء، ولم يعدم منهم مع التكافئ أحداً، وإذا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمْ مِنْ أَنْ يَتَشَاجَرُوا أَوْ لَا يَتَشَاجَرُوا، فَإِنْ لَمْ يَتَشَاجَرُوا: فالأولى أن يتولى العقد منهم أفضلهم مشياً وديناً وعلماً، أما المشي فلأنه أخبر بِالْأُمُورِ لِكَثْرَةِ تَجْرِبَتِهِ، وَأَمَّا الدِّينُ فَإِنَّهُ يُسَارِعُ إِلَى مَا نُدِبَ إِلَيْهِ مِنْ طَلَبِ الْحَظِّ لوليته، وأما العلم فَلِأَنَّهُ يَعْرِفُ شُرُوطَ الْعَقْدِ فِي صِحَّتِهِ وَفَسَادِهِ، فَإِذَا تَوَلَّاهُ مَنْ تَكَامَلَتْ فِيهِ هَذِهِ الْأَوْصَافُ كان أولى وأفضل وإن تولاه منهم من خالفهم فكان أصغرهم سناً وأقلهم علماً أو ديناً لكن كان بالغاً عدلاً بالنكاح جاز؛ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ سِوَاهُ لَصَحَّ عَقْدُهُ وَلَمْ يَكُنْ لِمَا أَخَلَّ بِهِ مِنْ زِيَادَةِ الْفَضْلِ تَأْثِيرٌ، فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ مَعَ غَيْرِهِ.
Al-Mawardi berkata: Jika seorang perempuan memiliki sekelompok wali yang setara dalam ‘ashabah dan kedekatan, seperti saudara laki-laki dan anak-anak mereka, paman dan anak-anak mereka, maka mereka dalam perwalian adalah sama, karena masing-masing dari mereka jika sendirian berhak menjadi wali, maka jika bersama yang lain tidak keluar dari hak itu. Nabi ﷺ bersabda: “Jika mereka berselisih, maka penguasa adalah wali bagi yang tidak memiliki wali.” Maka beliau menjadikan mereka setara ketika terjadi perselisihan, dan tidak mengeluarkan salah satu dari mereka selama mereka setara. Jika demikian, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan: mereka berselisih atau tidak. Jika tidak berselisih, maka yang lebih utama adalah yang paling utama di antara mereka dalam hal pengalaman, agama, dan ilmu. Adapun pengalaman, karena ia lebih mengetahui urusan karena banyaknya pengalaman; adapun agama, karena ia lebih bersegera melakukan apa yang dianjurkan untuk mencari maslahat bagi kerabatnya; dan adapun ilmu, karena ia mengetahui syarat-syarat sah dan batalnya akad. Jika yang melaksanakan akad adalah yang memiliki sifat-sifat ini, maka ia lebih utama dan lebih baik. Namun jika yang melaksanakan akad adalah yang berbeda, misalnya yang paling muda atau paling sedikit ilmunya atau agamanya, tetapi ia sudah baligh dan adil, maka pernikahan itu sah; karena jika hanya dia sendiri, akadnya sah, dan kekurangan keutamaan tidak berpengaruh, demikian pula jika bersama yang lain.
فصل
Fasal
فإن تشاجروا، أو طلب كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمُتَوَلِّيَ لِلْعَقْدِ لَمْ يَتَرَجَّحْ مِنْهُمْ عِنْدَ التَّشَاجُرِ بِالسِّنِّ وَالْعِلْمِ أَحَدٌ، وَكَانُوا مَعَ اخْتِلَافِهِمْ فِي ذَلِكَ سَوَاءً، لِأَنَّ كُلَّ صِفَةٍ لَمْ تَكُنْ شَرْطًا فِي الْوِلَايَةِ مَعَ الِانْفِرَادِ لَمْ يَتَرَجَّحْ بِهَا أَحَدُهُمْ عِنْدَ الِاجْتِمَاعِ كَالْمُخَالَطَةِ وَالْجِوَارِ طَرْدًا وَكَالْعَدَالَةِ عكساً، وإذا كان كذلك وجب الإقراع بينهم ليتميز بالقرعة أحدهم، ولأن مَا اشْتَرَكَتِ الْجَمَاعَةُ فِي مُوجِبِهِ وَلَمْ يَكُنِ اشتراكهم في حكمه تميزاً فِيهِ بِالْقُرْعَةِ، كَمَا يُقْرَعُ بَيْنَ أَوْلِيَاءِ الْقِصَاصِ فِيمَنْ يَتَوَلَّاهُ مِنْهُمْ وَبَيْنَ أَوْلِيَاءِ الطِّفْلِ فِيمَنْ يكفله من بينهم، فإذا قرع بَيْنَهُمْ كَانَ مَنْ قُرِعَ مِنْهُمْ أَوْلَاهُمْ بِالْعَقْدِ أو يتولاه أو أَنْ يَأْذَنَ لِغَيْرِهِ فِيهِ، وَهَلْ يَصِيرُ أَوْلَى بِهِ اسْتِحْقَاقًا أَوِ اخْتِيَارًا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika mereka berselisih, atau masing-masing dari mereka ingin menjadi wali yang melaksanakan akad, maka dalam perselisihan itu tidak ada yang lebih utama karena usia atau ilmu, dan mereka tetap setara meskipun berbeda dalam hal tersebut, karena setiap sifat yang bukan syarat dalam perwalian ketika sendirian, tidak menjadikan salah satu lebih utama ketika bersama-sama, seperti kedekatan atau bertetangga secara mutlak, dan seperti keadilan secara sebaliknya. Jika demikian, maka harus dilakukan undian (qur‘ah) di antara mereka agar salah satu dari mereka terpilih melalui undian. Karena setiap perkara yang melibatkan banyak orang dalam sebabnya dan tidak ada perbedaan dalam hukumnya, maka dipilih dengan undian, sebagaimana dilakukan undian di antara para wali qishāsh untuk menentukan siapa yang melaksanakannya, dan di antara para wali anak kecil untuk menentukan siapa yang mengasuhnya. Jika telah dilakukan undian di antara mereka, maka yang terpilih melalui undian adalah yang paling berhak melaksanakan akad, atau ia boleh melaksanakannya sendiri atau mengizinkan yang lain. Apakah ia menjadi lebih berhak karena hak atau karena pilihan? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَصِيرُ أَوْلَى بِهِ مِنْ طَرِيقِ الِاسْتِحْقَاقِ لِتَرَجُّحِهِ بِالْقُرْعَةِ عَلَى مَنْ سِوَاهُ، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَذِنَ لِغَيْرِهِ فِيهِ كَانَ نَائِبًا عَنْهُ، وَإِنْ تَوَلَّاهُ غَيْرُهُ مِنَ الْجَمَاعَةِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا.
Pertama: Ia menjadi lebih berhak karena hak, sebab ia terpilih melalui undian dibandingkan yang lain. Maka, jika ia mengizinkan yang lain, maka yang lain itu menjadi wakil darinya. Namun jika yang lain dari kelompok itu melaksanakan akad tanpa izinnya, maka pernikahan itu batal.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ أولى به من طريق الاختيار ليكافئ الْجَمَاعَةَ فِي الِاسْتِحْقَاقِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَذِنَ لِغَيْرِهِ فِيهِ كَانَ تَارِكًا لِحَقِّهِ وَالْمُتَوَلَّى لَهُ قَائِمٌ فِيهِ بِحَقِّ نَفْسِهِ وَإِنْ تَوَلَّاهُ غَيْرُهُ من الجماعة بغير إذنه كالنكاح كان جائزاً.
Pendapat kedua: Bahwa ia lebih berhak secara pilihan agar sepadan dengan jamaah dalam hal hak, maka berdasarkan hal ini, jika ia mengizinkan orang lain untuk melakukannya, berarti ia telah meninggalkan haknya, dan orang yang melaksanakan tugas itu melakukannya atas hak dirinya sendiri. Namun jika yang melaksanakannya adalah orang lain dari kelompok tersebut tanpa izinnya, seperti dalam pernikahan, maka hal itu diperbolehkan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن كَانَ غَيْرَ كفؤٍ لَمْ يَثْبُتْ إِلَّا بِاجْتِمَاعِهِمْ قَبْلَ إِنْكَاحِهِ فَيَكُونُ حَقًّا لَهُمْ تَرَكُوهُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika bukan seorang yang sekufu’, maka tidak sah kecuali dengan berkumpulnya mereka sebelum menikahkannya, sehingga itu menjadi hak mereka yang mereka tinggalkan.”
قَالَ الماوردي: وإذا رضيت المرأة لنفسها رجلاً ودعت أوليائها إلى تزويجها به لم يخل حال الرجل من أن يكون كفؤاً لها وغير كفءٍ، فإن كان كفء لَزِمَهُمْ تَزْوِيجُهَا بِهِ، فَإِنْ قَالُوا نُرِيدُ مَنْ هو أكفأ منه لم يكن لهم ذاك، لِأَنَّ طَلَبَ الزِّيَادَةِ عَلَى الْكَفَاءَةِ خُرُوجٌ عَنِ الشَّرْطِ الْمُعْتَبَرِ إِلَى مَا لَا يَتَنَاهَى فَسَقَطَ، وكانوا عَلَى هَذَا الْقَوْلِ عَضْلَةً يُزَوِّجُهَا الْحَاكِمُ دُونَهُمْ.
Al-Mawardi berkata: Jika seorang wanita merelakan untuk dirinya seorang laki-laki dan mengajak para walinya untuk menikahkannya dengan laki-laki itu, maka keadaan laki-laki tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan: sekufu’ atau tidak sekufu’. Jika ia sekufu’, maka wajib bagi para wali menikahkannya dengan laki-laki itu. Jika mereka berkata, “Kami menginginkan yang lebih sekufu’ darinya,” maka mereka tidak berhak atas hal itu, karena permintaan untuk melebihi sekufu’ adalah keluar dari syarat yang dianggap dalam syariat menuju sesuatu yang tidak terbatas, sehingga gugur. Dalam keadaan seperti ini, mereka dianggap sebagai penghalang (‘adhl), sehingga hakimlah yang menikahkan wanita itu tanpa mereka.
وَإِنْ كَانَ غَيْرَ كُفْءٍ كَانَ لَهُمْ أَنْ يَمْتَنِعُوا مِنْ تَزْوِيجِهَا لِئَلَّا يَدْخُلَ عَلَيْهِمُ عَارٌ مقض فَلَوْ رَضُوا بِهِ إِلَّا وَاحِدٌ كَانَ لِلْوَاحِدِ منعها منه لما يلحقه من عار وَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى أَوْلِيَاءِ الْمَيِّتِ الْمَقْذُوفِ إِذَا أعفوا عن القاذف إلا واحد كان الواحد أن يجده لما يلحقه من معرة القذف، فلو بادر أَحَدُ أَوْلِيَائِهَا بِغَيْرِ عِلْمِ الْبَاقِينَ وَرِضَاهُمْ فَزَوَّجَهَا بهذا الذي ليس كفءً لَهَا فَظَاهِرُ مَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا وَفِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” إنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ قَالَ: لَمْ يَثْبُتْ إِلَّا بِاجْتِمَاعِهِمْ قَبْلَ إِنْكَاحِهِ فَيَكُونُ حقاً لهم، وَقَالَ فِي كِتَابِ ” الْإِمْلَاءِ “: فَإِنْ زَوَّجَهَا مِنْ غَيْرِ كفءٍ كَانَ لَهُمُ الرَّدُّ، فَظَاهِرُ هَذَا جَوَازُ النِّكَاحِ وَلِلْأَوْلِيَاءِ خِيَارُ الْفَسْخِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى مَذْهَبَيْنِ:
Jika laki-laki itu tidak sekufu’, maka para wali berhak menolak menikahkannya agar mereka tidak mendapatkan aib yang memalukan. Jika mereka semua rela kecuali satu orang, maka satu orang itu berhak mencegahnya karena ia akan terkena aib. Hal ini seperti kasus para wali ahli waris orang yang mati terbunuh karena qazaf (tuduhan zina), jika mereka semua memaafkan pelaku kecuali satu orang, maka satu orang itu berhak menuntut karena terkena aib qazaf. Jika salah satu wali menikahkan wanita itu dengan laki-laki yang tidak sekufu’ tanpa sepengetahuan dan kerelaan wali-wali lainnya, maka menurut pendapat yang jelas dari Imam Syafi‘i di sini dan dalam kitab “al-Umm”, pernikahan itu batal, karena beliau berkata: “Tidak sah kecuali dengan berkumpulnya mereka sebelum menikahkannya, sehingga itu menjadi hak mereka.” Dan beliau berkata dalam kitab “al-Imla’”: “Jika ia menikahkannya dengan laki-laki yang tidak sekufu’, maka para wali berhak membatalkannya.” Maka, dari sini tampak bahwa pernikahan itu sah dan para wali memiliki hak memilih untuk membatalkannya. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua mazhab:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ اخْتِلَافَ الْجَوَابِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:
Salah satunya: Bahwa perbedaan jawaban dalam dua tempat tersebut didasarkan pada perbedaan dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: – وهو ظاهر نص فِي الْإِمْلَاءِ أَنَّ النِّكَاحَ جَائِزٌ، وَلِلْأَوْلِيَاءِ خِيَارُ الْفَسْخِ لِأَنَّ عَدَمَ الْكَفَاءَةِ نَقْصٌ يَجْرِي مَجْرَى العيوب في النكاح والبيع تُوجِبُ خِيَارَ الْفَسْخِ مَعَ صِحَّةِ الْعَقْدِ.
Salah satunya—dan ini adalah pendapat yang jelas dalam “al-Imla’”—bahwa pernikahan itu sah, dan para wali memiliki hak memilih untuk membatalkannya, karena ketidaksekufuan adalah kekurangan yang setara dengan cacat dalam pernikahan dan jual beli, yang menyebabkan adanya hak memilih untuk membatalkan akad meskipun akadnya sah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – وَهُوَ ظَاهِرِ مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، وَفِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” – أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ، لِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ لَا يَقَعُ مَوْقُوفًا على الإجازة فإذا لم ينعقد لأن ما كان باطلاً، ولأن غير الكفؤ غَيْرُ مَأْذُونٍ فِيهِ فِي حَقِّ مَنْ لَهُ الْإِذْنُ فَكَانَ الْعَقْدُ فِيهِ بَاطِلًا كَمَنْ عُقِدَ عَلَى غَيْرِهِ بَيْعًا أَوْ نِكَاحًا بِغَيْرِ أَمْرِهِ فَهَذَا أَحَدُ مَذْهَبَيْ أَصْحَابِنَا، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَطَائِفَةٍ.
Pendapat kedua—dan ini adalah pendapat yang jelas yang beliau tegaskan di tempat ini dan dalam kitab “al-Umm”—bahwa pernikahan itu batal, karena akad nikah tidak bisa digantungkan pada persetujuan (ijazah), maka jika tidak sah sejak awal, berarti batal. Dan karena laki-laki yang tidak sekufu’ tidak diizinkan oleh yang berhak memberikan izin, maka akadnya batal, seperti akad jual beli atau nikah yang dilakukan atas nama orang lain tanpa izinnya. Inilah salah satu dari dua mazhab ulama kami, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan sekelompok ulama.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّ اخْتِلَافَ الْجَوَابَيْنَ عَلَى اخْتِلَافُ حَالَيْنِ وَلَيْسَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ، والذي يقتضيه نصبه في هذا الموضع من إطلاق النِّكَاحِ، هُوَ إِذَا كَانَ الْوَلِيُّ الْعَاقِدُ عَالِمًا بِأَنَّ الزَّوْجَ غَيْرُ كفءٍ قَبْلَ الْعَقْدِ، وَالَّذِي يَقْتَضِيهِ نَصُّهُ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” مِنْ جَوَازِ النِّكَاحِ وثبوت خيار الْفَسْخِ فِيهِ لِبَاقِي الْأَوْلِيَاءِ، هُوَ إِذَا لَمْ يعلم الولي ذلك إِلَّا بَعْدَ الْعَقْدِ، وَهَذَا أَصَحُّ الْمَذْهَبَيْنِ وَأَوْلَى الطرفين، لِأَنَّهُ مَعَ الْعِلْمِ مُخَالِفٌ وَمَعَ التَّدْلِيسِ مَغْرُورٌ فجرى مجرى الوكيل وإذا اشْتَرَى لِمُوَكِّلِهِ مَا يَعْلَمُ بِعَيْبِهِ لَمْ يَصِحَّ عَقْدُهُ، وَلَوِ اشْتَرَى لَهُ مَا لَا يَعْلَمُ بعيبه صح عقده وثبت فِيهِ الْخِيَارُ.
Mazhab kedua: Bahwa perbedaan dua jawaban itu didasarkan pada perbedaan dua keadaan, bukan perbedaan dua pendapat. Yang ditunjukkan oleh nash beliau di tempat ini tentang kebolehan nikah adalah jika wali yang menikahkan mengetahui bahwa suami tidak sekufu’ sebelum akad. Sedangkan yang ditunjukkan oleh nash beliau dalam “al-Imla’” tentang bolehnya nikah dan adanya hak memilih untuk membatalkannya bagi wali-wali lain adalah jika wali baru mengetahui ketidaksekufuan itu setelah akad. Inilah pendapat yang paling shahih dan paling utama di antara dua pendapat, karena jika dengan pengetahuan (sebelum akad) berarti menyalahi (syarat), sedangkan jika karena tertipu (tidak tahu sebelum akad) maka ia tertipu, sehingga hukumnya seperti wakil yang membeli untuk muwakilnya barang yang ia tahu cacatnya, maka akadnya tidak sah. Namun jika ia membeli barang yang ia tidak tahu cacatnya, maka akadnya sah dan tetap ada hak memilih untuk membatalkan.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَ الْأَقْرَبُ مِنْ أوليائها واحد فَرِضِيَ وَرَضِيَتْ بِغَيْرِ كفءٍ فَزَوَّجَهَا بِهِ وَأَنْكَرَهُ بَاقِي الْأَوْلِيَاءِ فَلَا اعْتِرَاضَ لَهُمْ وَالنِّكَاحُ مَاضٍ، لِأَنَّ الْأَقْرَبَ قَدْ حَجَبَ الْأَبَاعِدَ عَنِ الْوِلَايَةِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُمُ اعْتِرَاضٌ كَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ وِلَايَةٌ، وَلَوْ كَانَ الْأَقْرَبُ هُوَ الْمُمْتَنِعَ والأباعد الراضون فمنع الأقرب أولى من رضا الأبلعد، وإن كثروا، لأن حجبهم عن الولاية لا يعتبر فيهم منع ولا رضى.
Jika kerabat terdekat dari para wali hanya satu orang, lalu ia rela dan perempuan itu juga rela menikah dengan laki-laki yang bukan sekufu, kemudian ia menikahkan perempuan itu dengannya, sementara para wali lainnya menolak, maka mereka tidak berhak mengajukan keberatan dan pernikahan itu tetap sah. Sebab, kerabat terdekat telah menutup jalan bagi kerabat yang lebih jauh untuk menjadi wali, sehingga mereka tidak memiliki hak keberatan sebagaimana mereka juga tidak memiliki hak kewalian. Namun, jika kerabat terdekat justru menolak dan kerabat yang lebih jauh setuju, maka penolakan kerabat terdekat lebih diutamakan daripada persetujuan kerabat yang lebih jauh, meskipun jumlah mereka banyak, karena terhalangnya mereka dari kewalian tidak menjadikan penolakan atau persetujuan mereka dianggap.
القول في الكفاءة بين الزوجين
Pembahasan tentang kafa’ah (kesetaraan) antara suami istri
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَيْسَ نِكَاحُ غَيْرِ الكفؤ بمحرمٍ فأرده بكل حالٍ إنما هو تقصيرٌ عن المزوجة والولاة “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Pernikahan dengan selain yang sekufu tidaklah haram sehingga harus dibatalkan dalam segala keadaan, melainkan hanya merupakan kekurangan terhadap perempuan yang dinikahkan dan para walinya.”
قال الماوردي: وأما الْكَفَاءَةُ فِي النِّكَاحِ فَمُعْتَبِرَةٌ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فِي لحوق الزَّوْجَةِ وَالْأَوْلِيَاءِ لِرِوَايَةِ عَطَاءٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا تنكحوا النساء إلا الأكفاء ولا تزوجهن إِلَّا الْأَوْلِيَاءُ “.
Al-Mawardi berkata: Adapun kafa’ah dalam pernikahan, maka ia diperhitungkan antara kedua mempelai dalam hal keterikatan istri dan para wali, berdasarkan riwayat ‘Atha’ dari ‘Amr bin Dinar dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian menikahkan para wanita kecuali dengan yang sekufu, dan janganlah menikahkan mereka kecuali oleh para wali.”
وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ وَأنْكِحُوا الْأَكْفَاءَ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ “.
Diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Pilihlah tempat benih (pasangan) kalian, dan nikahkanlah dengan yang sekufu, serta nikahkanlah mereka dengan yang sekufu.”
وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” ثلاثة لا تؤخرهم الصَّلَاةُ إِذَا أَتَتْ، وَالْجِنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ، وَالْأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ كُفُؤًا “، وَلِأَنَّ فِي نِكَاحِ غَيْرِ الكفء عار يدخل على الزوجة والأولياء وعضاضة تدخل على الأولاد يتعدى إليهم نقصاً فكان لها وللأولياء دفعة عنهم وعنها.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Thalib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tiga perkara yang tidak boleh ditunda: shalat apabila telah tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, dan perempuan yang tidak bersuami apabila telah mendapatkan yang sekufu.” Karena dalam pernikahan dengan selain yang sekufu terdapat aib yang menimpa istri dan para wali, serta mudarat yang menimpa anak-anak yang akan berpengaruh buruk kepada mereka, maka bagi istri dan para wali berhak menolaknya demi menjaga diri mereka dan dirinya.
فصل: الْقَوْلُ فِي تَفْسِيرِ الْكَفَاءَةِ وَالْأَصْلُ فِيهَا وَشَرَائِطُهَا
Fasal: Pembahasan tentang definisi kafa’ah, asal-usulnya, dan syarat-syaratnya
فإذا ثبت اعتبار الكفاءة فهي المساواة مأخوذ مَنْ كَفَّتَيِ الْمِيزَانِ لِتَكَافُئِهِمَا وَهِيَ مُعْتَبِرَةٌ بِشَرَائِطَ نذكرها.
Jika telah tetap bahwa kafa’ah itu diperhitungkan, maka ia adalah kesetaraan yang diambil dari dua sisi timbangan yang seimbang, dan ia diperhitungkan dengan syarat-syarat yang akan kami sebutkan.
أصلها ما رواه سعيد بن أبي شعبة عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا، وَحَسَبِهَا، وَدِينِهَا، وَجِمَالِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “.
Asal-usulnya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sa‘id bin Abi Syaibah dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Perempuan dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, agamanya, dan kecantikannya. Maka pilihlah yang beragama, niscaya engkau beruntung.”
يُقَالُ: تَرِبَ الرَّجُلُ إِذَا افْتَقَرَ وَأَتْرَبَ إِذَا اسْتَغْنَى، وَفِي هَذَا الْقَوْلِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – له ثلاثة تأويلات:
Dikatakan: “Taribat ar-rajulu” jika ia menjadi miskin, dan “atraba” jika ia menjadi kaya. Dalam sabda Rasulullah ﷺ ini terdapat tiga penafsiran:
أحدها: أن ترتب هَاهُنَا بِمَعْنَى اسْتَغْنَتْ، وَإِنْ كَانَ فِي اللُّغَةِ بِمَعْنَى افْتَقَرَتْ فَتَصِيرُ مِنْ أَسْمَاءِ الْأَضْدَادِ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَا يَجُوزُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى مَنْ لَمْ يخالف له أمراً مع أن دعاءه مَقْرُونٌ بِالْإِجَابَةِ.
Pertama: bahwa “taribat” di sini bermakna menjadi kaya, meskipun dalam bahasa artinya menjadi miskin, sehingga ia termasuk kata yang bermakna ganda (antonim), karena Rasulullah ﷺ tidak mungkin mendoakan keburukan bagi orang yang tidak menyalahi perintahnya, apalagi doa beliau pasti dikabulkan.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَعْنَاهُ تَرِبَتْ يَدَاكَ إِنْ لَمْ تَظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، لِأَنَّ مَنْ لم يظفر بذات الدين سلبت الْبَرَكَةُ فَافْتَقَرَتْ يَدَاهُ.
Kedua: maknanya adalah “taribat yadaak” (semoga tanganmu berdebu/miskin) jika engkau tidak mendapatkan perempuan yang beragama, karena siapa yang tidak mendapatkannya akan dicabut keberkahannya sehingga tangannya menjadi miskin.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا كَلِمَةٌ تَخِفُّ على ألسنة العرب في خواتيم الكلام ولا يُرِيدُونَ بِهَا دُعَاءً وَلَا ذَمًّا، كَقَوْلِهِمْ مَا أَشْعَرَهُ قَاتَلَهُ اللَّهُ، وَمَا أَرْمَاهُ شُلَّتْ يَدَاهُ.
Ketiga: bahwa itu adalah ungkapan yang ringan di lisan orang Arab pada akhir pembicaraan, dan mereka tidak bermaksud doa atau celaan, seperti ucapan mereka: “Betapa puitisnya dia, semoga Allah membinasakannya,” dan “Betapa mahirnya dia, semoga tangannya lumpuh.”
فإذا ثبت هذا فالشروط الَّتِي تُعْتَبِرُ بِهَا الْكَفَاءَةُ سَبْعَةٌ وَهِيَ: الدِّينُ، والنسب، والحرية، والمكسب، والمال، والبشر، وَالسَّلَامَةُ مِنَ الْعُيُوبِ.
Jika telah tetap demikian, maka syarat-syarat yang diperhitungkan dalam kafa’ah ada tujuh, yaitu: agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan, harta, fisik, dan bebas dari cacat.
وَقَالَ مَالِكٌ: الْكَفَاءَةُ مُعْتَبَرَةٌ بالدين وحده.
Imam Malik berkata: Kafa’ah hanya diperhitungkan pada agama saja.
وقال ابن أبي ليلى: مُعْتَبِرَةٌ بِشَرْطَيْنِ: الدِّينِ وَالنَّسَبِ.
Ibnu Abi Laila berkata: Diperhitungkan pada dua syarat: agama dan nasab.
وَقَالَ الثَّوْرِيُّ: هِيَ مُعْتَبِرَةٌ بِثَلَاثِ شَرَائِطَ: الدِّينِ، وَالنَّسَبِ، وَالْمَالِ، وَهِيَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أبي حنيفة.
Ats-Tsauri berkata: Diperhitungkan pada tiga syarat: agama, nasab, dan harta, dan ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Abu Hanifah.
وَقَالَ أبو يوسف: هِيَ مُعْتَبِرَةٌ بِأَرْبَعِ شَرَائِطَ: الدِّينِ، وَالنَّسَبِ، والمال، والمكسب.
Abu Yusuf berkata: Diperhitungkan pada empat syarat: agama, nasab, harta, dan pekerjaan.
الرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ: عَنْ أبي حنيفة.
Riwayat kedua dari Abu Hanifah.
وَنَحْنُ نَدُلُّ على كل شرط منها وَنُبَيِّنُ حُكْمَهُ.
Dan kami akan menunjukkan dalil untuk setiap syarat tersebut dan menjelaskan hukumnya.
الشَّرْطُ الْأَوَّلُ فِي الْكَفَاءَةِ وَهُوَ الدِّينُ
Syarat pertama dalam kafa’ah adalah agama.
أَمَّا الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ الدِّينُ فَإِنَّ اختلافهما فِي الْإِسْلَامِ وَالْكُفْرِ كَانَ شَرْطًا مُعْتَبَرًا بِالْإِجْمَاعِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ يَسْتَوِي أصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الجَنَّةِ) {الحشر: 20) . وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ مَعَ مُشْرِكٍ “.
Adapun syarat pertama, yaitu agama, maka perbedaan antara keduanya dalam Islam dan kekufuran merupakan syarat yang diperhitungkan berdasarkan ijmā‘, karena firman Allah Ta‘ala: “Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga.” (al-Hasyr: 20). Dan sabda Nabi ﷺ: “Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang bersama dengan musyrik.”
وإن كان اختلافهما في الصفات والفجور مع اتفاقهما في الإسلام فَعِنْدَ محمد بن الحسن أَنَّهُ لَيْسَ بِشَرْطٍ معتبر، وعند الجماعة عنه: أَنَّهُ شَرْطٌ مُعْتَبَرٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إلاَّ زَانٍ أوْ مُشْرِكٍ) {النور: 3) . وَقَالَ تَعَالَى: {أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِناً كَمَنْ كَانَ فَاسِقاً لاَ يَسْتَوُونَ) {السجدة: 18) .
Jika perbedaan keduanya terletak pada sifat dan kefasikan, sementara keduanya sama-sama Muslim, menurut Muhammad bin al-Hasan hal itu bukanlah syarat yang diperhitungkan. Namun menurut jumhur ulama dari beliau, hal itu adalah syarat yang diperhitungkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Laki-laki pezina tidak menikahi kecuali perempuan pezina atau musyrik, dan perempuan pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik.” (an-Nur: 3). Dan firman-Nya: “Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik? Mereka tidaklah sama.” (as-Sajdah: 18).
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كره منها خلقاً رضي منها خلقاً “.
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Seorang mukmin tidak boleh membenci seorang mukminah; jika ia tidak menyukai salah satu akhlaknya, ia akan ridha dengan akhlak yang lain.”
فَأَمَّا الْمُسْلِمَانِ إِذَا كَانَ أَبَوَا أَحَدِهِمَا مُسْلِمَيْنِ وأبوا الأخير كافرين فإنهما يكونا كفئين.
Adapun dua orang Muslim, jika kedua orang tua salah satunya adalah Muslim dan kedua orang tua yang lain adalah kafir, maka keduanya tetap dianggap sekufu.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا تَكَافُؤَ بَيْنَهُمَا لِأَنَّهُ لما لم يتكافئ الآباء لم يتكافئ الْأَبْنَاءُ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ فَضْلَ النَّسَبِ يَتَعَدَّى وَفَضْلَ الدِّينِ لَا يَتَعَدَّى، لِأَنَّ النَّسَبَ لَا يَحْصُلُ لِلْأَبْنَاءِ إِلَّا مِنَ الْآبَاءِ فَتَعَدَّى فَضْلُهُ إِلَى الْأَبْنَاءِ، وَالدِّينُ قَدْ يَحْصُلُ لِلْأَبْنَاءِ بِأَنْفُسِهِمْ مِنْ غَيْرِ الْآبَاءِ فَلَمْ يَتَعَدَّ فَضْلُهُ إِلَى الأبناء.
Abu Hanifah berkata: Tidak ada kesetaraan antara keduanya, karena jika orang tua tidak sekufu maka anak-anak pun tidak sekufu. Ini adalah kekeliruan, sebab keutamaan nasab dapat diwariskan, sedangkan keutamaan agama tidak dapat diwariskan. Karena nasab hanya bisa diperoleh anak dari orang tua, sehingga keutamaannya berpindah kepada anak, sedangkan agama bisa saja diperoleh anak dengan dirinya sendiri tanpa melalui orang tua, sehingga keutamaannya tidak berpindah kepada anak.
فصل: الشرط الثاني وهو النسب
Fasal: Syarat kedua, yaitu nasab
فأما الشَّرْطُ الثَّانِي: وَهُوَ ” النَّسَبُ ” فَمُعْتَبَرٌ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَحَسَبِهَا ” يَعْنِي بِالْحَسَبِ النَّسَبِ “.
Adapun syarat kedua, yaitu “nasab”, maka hal ini diperhitungkan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Perempuan dinikahi karena empat perkara: karena hartanya dan karena keturunannya.” Yang dimaksud dengan keturunan di sini adalah nasab.
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” إياكم وخضراء الدمن ” وما خضراء الدمن قال ذلك مثل المرأة الْحَسْنَاءِ مِنْ أَصْلٍ خَبِيثٍ “، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالنَّاسُ يَتَرَتَّبُونَ فِي أَصْلِ الْأَنْسَابِ ثَلَاثَ مَرَاتِبَ: قُرَيْش، ثُمَّ سَائِرَ الْعَرَبِ، ثُمَّ الْعَجَمَ.
Diriwayatkan pula dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jauhilah kalian dari ‘khadhrā’ ad-diman’.” Apa itu ‘khadhrā’ ad-diman’? Beliau menjawab: “Itu adalah wanita cantik dari asal-usul yang buruk.” Dengan demikian, manusia dalam hal asal-usul nasab terbagi menjadi tiga tingkatan: Quraisy, kemudian seluruh bangsa Arab, lalu bangsa ‘ajam (non-Arab).
فَأَمَّا قُرَيْشٌ فَهِيَ أَشْرَفُ الْأُمَمِ لِمَا خَصَّهُمُ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ مِنْ رِسَالَتِهِ وَفَضَّلَهُمْ بِهِ مِنْ نبوته ولقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” قَدِّمُوا قُرَيْشًا وَلَا تَقَدَّمُوهَا، وَتَعَلَّمُوا مِنْ قُرَيْشٍ وَلَا تُعَلِّمُوهَا ” فَلَا يُكَافِئُ قُرَيْشِيًّا أَحَدٌ مِنَ العرب والعجم.
Adapun Quraisy, mereka adalah bangsa yang paling mulia karena Allah Ta‘ala telah mengkhususkan mereka dengan risalah-Nya dan memuliakan mereka dengan kenabian-Nya. Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Dahulukanlah Quraisy dan jangan kalian mendahului mereka, dan belajarlah dari Quraisy dan jangan kalian mengajari mereka.” Maka tidak ada seorang pun dari bangsa Arab maupun ‘ajam yang sekufu dengan orang Quraisy.
واختلف أصحابنا هل تكون قريشاً كُلُّهُمْ أَكْفَاءً فِي النِّكَاحِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Para ulama kami berbeda pendapat, apakah seluruh Quraisy itu sekufu dalam pernikahan, menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ مَذْهَبُ الْبَصْرِيِّينَ مِنْ أَصْحَابِنَا، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة -: أَنَّ جَمِيعَ قُرَيْشٍ أَكْفَاءٌ فِي النِّكَاحِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ ” فَلَمَّا كَانَ جَمِيعُ قُرَيْشٍ فِي الْإِمَامَةِ أَكْفَاءً، فَأَوْلَى أَنْ يَكُونُوا فِي النِّكَاحِ أَكْفَاءً “.
Pendapat pertama, yaitu mazhab ulama Basrah dari kalangan kami, dan ini juga pendapat Abu Hanifah: Bahwa seluruh Quraisy adalah sekufu dalam pernikahan, karena Nabi ﷺ bersabda: “Para imam itu dari Quraisy.” Ketika seluruh Quraisy sekufu dalam hal kepemimpinan, maka lebih utama lagi mereka sekufu dalam pernikahan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ مَذْهَبُ الْبَغْدَادِيِّينَ مِنْ أَصْحَابِنَا – أَنَّ قُرَيْشًا يَتَفَاضَلُونَ بِقُرْبِهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ولا يتكافؤن، لرواية عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” نَزَلَ عَلَيَّ جِبْرِيلُ فَقَالَ لي: قلبت مشاق الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا فَلَمْ أَرَ أَفْضَلَ مِنْ مُحَمَّدٍ وَقَلَّبْتُ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا فَلَمْ أَرَ أَفْضَلَ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ وَلِأَنَّ قُرَيْشًا لَمَّا شَرُفَتْ برسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى سَائِرِ الْعَرَبِ كَانَ أَقْرَبُهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَشْرَفَ مِنْ سَائِرِ قُرَيْشٍ، وَلِأَنَّهُمْ لَمَّا تَرَتَّبُوا فِي الدِّيوَانِ بِالْقُرْبِ حَتَّى صَارُوا فِيهِ عَلَى عَشْرِ مَرَاتِبَ دَلَّ عَلَى تَمْيِيزِهِمْ بِذَلِكَ فِي الْكَفَاءَةِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَجَمِيعُ بَنِي هَاشِمٍ، وبني الْمُطَّلِبِ أَكْفَاءٌ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جمع بينهم في سهم ذوي القربى، وجمع عمر رضي الله تعالى عنه بَيْنَهُمْ فِي الدِّيوَانِ، ثُمَّ يَلِيهِمْ سَائِرُ بَنِي عبد مناف، وبني زهرة، ولا يفضل بني عَبْدِ شَمْسٍ فِي كَفَاءَةِ النِّكَاحِ عَلَى بَنِي نوفل، ولا بَنِي عَبْدِ الْعُزَّى عَلَى بَنِي عَبْدِ الدَّارِ وَلَا بني عَبْدِ مَنَافٍ عَلَى بَنِي زُهْرَةَ، وَإِنْ فَعَلْنَا ذلك في وضع الديوان لأمرين:
Pendapat kedua—dan inilah mazhab para ulama Baghdad dari kalangan mazhab kami—bahwa Quraisy memiliki keutamaan satu sama lain berdasarkan kedekatan mereka dengan Rasulullah ﷺ, dan mereka tidak setara satu sama lain. Hal ini berdasarkan riwayat ‘Aisyah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jibril turun kepadaku dan berkata: Aku telah membolak-balikkan timur dan barat bumi, namun aku tidak melihat yang lebih utama dari Muhammad, dan aku telah membolak-balikkan timur dan barat bumi, namun aku tidak melihat yang lebih utama dari Bani Hasyim.” Dan karena Quraisy menjadi mulia dengan adanya Rasulullah ﷺ di antara mereka dibandingkan seluruh bangsa Arab, maka yang paling dekat dengan Rasulullah ﷺ di antara mereka adalah yang paling mulia di antara Quraisy. Juga, ketika mereka diurutkan dalam diwan (catatan administrasi negara) berdasarkan kedekatan, hingga mereka terbagi dalam sepuluh tingkatan, hal itu menunjukkan adanya pembedaan dalam hal kafa’ah (kesetaraan) berdasarkan kedekatan tersebut. Jika demikian, maka seluruh Bani Hasyim dan Bani Muththalib adalah setara (kafa’ah), karena Nabi ﷺ menggabungkan mereka dalam bagian (harta) dzawil qurba, dan Umar ra juga menggabungkan mereka dalam diwan. Setelah mereka, berikutnya adalah seluruh Bani Abdu Manaf dan Bani Zuhrah. Tidak ada keutamaan Bani Abdu Syams dalam kafa’ah pernikahan atas Bani Naufal, begitu pula Bani Abdu al-‘Uzza atas Bani Abdu ad-Dar, dan tidak pula Bani Abdu Manaf atas Bani Zuhrah, meskipun kami melakukan hal itu dalam penempatan diwan karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُشَقُّ اعْتِبَارُهُ فِي كَفَاءَةِ النِّكَاحِ ولا تشق اعْتِبَارُهُ فِي وَضْعِ الدِّيوَانِ.
Pertama: Karena sulit mempertimbangkan hal itu dalam kafa’ah pernikahan, sedangkan dalam penempatan diwan tidaklah sulit.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْكَفَاءَةَ معتبرة في البطون الجامعة لا فِي الْأَفْخَاذِ الْمُتَفَرِّقَةِ، لِأَنَّنَا إِنْ لَمْ نَعُدْ إِلَى بَنِي أَبٍ أَبْعَدَ صَارَتِ الْمَنَاكِحُ مَقْصُورَةً عَلَى بَنِي الْأَبِ الْأَقْرَبِ فَضَاقَتْ، ثُمَّ جَمَعْنَا بَيْنَ بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ وَبَنِي زُهْرَةَ فِي كفاءة النكاح، وإن لم يكونا بطناً واحدة لِرِوَايَةِ الْأَوْزَاعِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” صريح قريش ابناً كالأب ” يَعْنِي بَنِي قُصَيٍّ، وَبَنِي زُهْرَةَ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يرجع على قُصَيٍّ بِأَبِيهِ وَإِلَى زُهْرَةَ بِأُمِّهِ فَتَقَارَبَا فِي الكفاءة بأبويه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ثم يلي عبد مناف وبني زهرة سائر قريش فيكونوا جَمِيعًا أَكْفَاءً، فَلَوْ كَانَ فِيهِمْ بَنُو أَبٍ له سابقة في الإسلام فهل تكافئهم الْبَاقُونَ مِنْ قَوْمِهِمْ كَبَنِي أَبِي بَكْرٍ هَلْ يُكَافِئُهُمْ قَوْمُهُمْ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ، وَكَبَنِي عُمَرَ هل يكافئهم قومهم من بني عدي يتحمل وجهين:
Kedua: Karena kafa’ah dipertimbangkan pada kelompok besar (batn) yang menyatukan, bukan pada cabang-cabang kecil (fakhz) yang terpisah, sebab jika kita tidak kembali kepada Bani ayah yang lebih jauh, maka pernikahan hanya akan terbatas pada Bani ayah yang terdekat sehingga menjadi sempit. Kemudian, kami menggabungkan antara Bani Abdu Manaf dan Bani Zuhrah dalam kafa’ah pernikahan, meskipun keduanya bukan satu batn, berdasarkan riwayat al-Auza‘i bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Quraisy yang murni, anaknya seperti ayahnya,” maksudnya Bani Qushay dan Bani Zuhrah. Dan karena Nabi ﷺ kembali kepada Qushay dari jalur ayahnya dan kepada Zuhrah dari jalur ibunya, maka keduanya menjadi setara dalam kafa’ah melalui kedua orang tua beliau ﷺ. Setelah Abdu Manaf dan Bani Zuhrah, berikutnya adalah seluruh Quraisy, sehingga mereka semua menjadi setara (kafa’ah). Jika di antara mereka terdapat Bani ayah yang memiliki keutamaan dalam Islam, apakah yang lain dari kaumnya setara dengan mereka, seperti Bani Abu Bakar, apakah kaumnya dari Bani Tamim setara dengan mereka? Dan seperti Bani Umar, apakah kaumnya dari Bani ‘Adi setara dengan mereka? Hal ini memiliki dua pendapat:
أحدهما: أن يكونوا أكفاءهم بجدتهم قَدْ كَانُوا قَبْلَ الْكَثْرَةِ وَالْقُدْرَةِ عَلَى إِنْكَاحِ بني أبينهم أَكْفَاءً لِعَشَائِرِهِمْ، فَكَذَلِكَ بَعْدَ الْكَثْرَةِ وَالْقُدْرَةِ.
Pertama: Mereka adalah setara (kafa’ah) dengan kaumnya karena sebelumnya, sebelum jumlah mereka banyak dan sebelum mampu menikahkan Bani ayah mereka, mereka adalah setara dengan kabilahnya. Maka demikian pula setelah jumlah mereka banyak dan memiliki kemampuan.
وَالْوَجْهُ الثاني: لا يكونوا أكفاءهم لما قد تميزوا مِنْ فَضْلِ الشَّرَفِ وَالسَّابِقَةِ وَلَا يُمْتَنَعُ أَنْ يَكُونُوا قَبْلَ الْكَثْرَةِ أَكْفَاءً غَيْرَ مُتَمَيِّزِينَ، وَبَعْدَ الْكَثْرَةِ مُتَمَيِّزِينَ كَمَا تَمَيَّزَتْ بَنُو هَاشِمٍ بَعْدَ الْكَثْرَةِ وَإِنْ لَمْ يَتَمَيَّزُوا قَبْلَ الْكَثْرَةِ، ثُمَّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَوَالِي قُرَيْشٍ هَلْ يَكُونُوا أكفاء فِي النِّكَاحِ عَلَى وَجْهَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ من مَوَالِي ذَوِي الْقُرْبَى هَلْ يُشَارِكُونَهُمْ فِي سَهْمِهِمْ مِنَ الْخُمُسِ؟ فَهَذَا الْكَلَامُ فِي قُرَيْشٍ.
Pendapat kedua: Mereka tidak setara karena telah memiliki keutamaan dalam kemuliaan dan keutamaan terdahulu. Tidak mustahil sebelumnya, sebelum jumlah mereka banyak, mereka adalah setara tanpa keistimewaan, namun setelah jumlah mereka banyak, mereka menjadi istimewa, sebagaimana Bani Hasyim menjadi istimewa setelah jumlah mereka banyak, meskipun sebelumnya tidak istimewa. Kemudian, para ulama kami berbeda pendapat mengenai mawali Quraisy, apakah mereka setara dalam pernikahan? Hal ini juga memiliki dua pendapat, sebagaimana perbedaan pendapat tentang mawali dzawil qurba, apakah mereka mendapat bagian dari khumus bersama mereka? Demikianlah pembahasan mengenai Quraisy.
فَأَمَّا سَائِرُ الْعَرَبِ سِوَى قُرَيْشٍ فَهُمْ عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي قُرَيْشٍ، فَعَلَى قِيَاسِ قَوْلِ الْبَصْرِيِّينَ أَنْ جَمِيعَهُمْ أَكْفَاءٌ مِنْ عَدْنَانَ وَقَحْطَانَ، لِأَنَّ فِي عَدْنَانَ سَابِقَةَ الْمُهَاجِرِينَ، وَفِي قَحْطَانَ سَابِقَةَ الْأَنْصَارِ وَعَلَى قِيَاسِ قَوْلِ الْبَغْدَادِيِّينَ: إِنَّهُمْ يَتَفَاضَلُونَ ولا يتكافؤون فَتُفَضَّلُ مُضَرُ فِي الْكَفَاءَةِ عَلَى رَبِيعَةَ، وَيُفَضَّلُ عَدْنَانُ عَلَى قَحْطَانَ اعْتِبَارًا بِالْقُرْبِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَقَدْ سَمِعَ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَجُلًا يَنْشُدُ.
Adapun seluruh bangsa Arab selain Quraisy, maka mereka mengikuti perbedaan pendapat para sahabat kami mengenai Quraisy. Berdasarkan qiyās pendapat ulama Basrah, seluruh mereka adalah setara (kafā’ah) baik dari keturunan Adnan maupun Qahtan, karena pada Adnan terdapat keutamaan kaum Muhajirin, dan pada Qahtan terdapat keutamaan kaum Anshar. Sedangkan menurut qiyās pendapat ulama Baghdad: mereka saling memiliki keutamaan dan tidak setara, sehingga Mudar lebih utama dalam hal kafā’ah dibandingkan Rabi‘ah, dan Adnan lebih utama daripada Qahtan dengan pertimbangan kedekatan dengan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mendengar seorang laki-laki bersyair:
(إِنِّي امرؤ حميري حين تسبني … لَا مِنْ رَبِيعَةَ آبَائِي وَلَا مُضَرَ)
(Sesungguhnya aku adalah seorang laki-laki dari Himyar, ketika engkau mencelaku… Bukan dari Rabi‘ah nenek moyangku, dan bukan pula dari Mudar)
فَقَالَ عليه الصلاة والسلام: ذَاكَ أَهْوَنُ لِقَدْرِكَ وَأَبْعَدُ لَكَ مِنَ اللَّهِ، فَلَوْ تَقَدَّمَتْ قَبِيلَةٌ مِنَ العرب على غيرها نظر، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ لمأثرةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَوْ لِكَثْرَةِ عَدَدٍ كَانُوا وَغَيْرُهُمْ مِنَ الْعَرَبِ أَكْفَاءً، وإن كَانَ لِسَابِقَةٍ فِي الْإِسْلَامِ كَانَ عَلَى الْوَجْهَيْنِ المحتملين وأما سائر العجم، فَعَلَى قِيَاسِ قَوْلِ الْبَصْرِيِّينَ أَنْ جَمِيعَهُمْ أَكْفَاءٌ للفرس مِنْهُمْ، وَالنَّبَط، وَالتُّرْكِ، وَالْقِبْطِ، وَعَلَى قِيَاسِ قَوْلِ الْبَغْدَادِيِّينَ إِنَّهُمْ يَتَفَاضَلُونَ فِي الْكَفَاءَةِ، فَالْفُرْسُ أَفْضَلُ مِنَ النَّبَطِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لو كان الدين معلق بِالثُّرَيَّا لَتَنَاوَلَهُ قَوْمٌ مِنْ أَبْنَاءِ فَارِسَ “.
Maka beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Itu lebih merendahkan derajatmu dan semakin menjauhkanmu dari Allah.” Maka jika ada suatu kabilah dari bangsa Arab lebih unggul dari yang lain, perlu dilihat: jika keunggulan itu karena keutamaan di masa jahiliah atau karena jumlah yang banyak, maka mereka dan selain mereka dari bangsa Arab adalah setara (kafā’ah). Namun jika karena keutamaan dalam Islam, maka berlaku dua kemungkinan yang telah disebutkan. Adapun selain bangsa Arab, menurut qiyās pendapat ulama Basrah, seluruh mereka adalah setara: bangsa Persia di antara mereka, Nabath, Turki, dan Qibthi. Sedangkan menurut qiyās pendapat ulama Baghdad, mereka saling memiliki keutamaan dalam hal kafā’ah; bangsa Persia lebih utama daripada Nabath, berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Seandainya agama itu tergantung di bintang Tsurayya, niscaya akan diraih oleh kaum dari keturunan Persia.”
وَبَنُو إسرائيل أفضل من القبض الَّذِينَ سَلَفَهُمْ وكَثْرَةِ الْأَنْبِيَاءِ فِيهِمْ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ لِقَوْمٍ مِنَ الْفُرْسِ شَرَفٌ عَلَى غَيْرِهِمْ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ لِمُلْكٍ قَبْلَ الْإِسْلَامِ أَوْ مَأْثَرَةٍ تَقَدَّمَتْ لَمْ يَتَقَدَّمُوا بِهِ فِي الْكَفَاءَةِ عَلَى غَيْرِهِمْ، وَإِنْ كَانَ لِسَابِقَةٍ فِي الْإِسْلَامِ احْتَمَلَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ الْمُحْتَمَلَيْنِ.
Dan Bani Israil lebih utama daripada Qibthi yang telah mendahului mereka, karena banyaknya nabi di kalangan mereka. Berdasarkan hal ini, jika suatu kaum dari bangsa Persia memiliki keutamaan atas selain mereka, maka perlu dilihat: jika keutamaan itu karena kekuasaan sebelum Islam atau keutamaan yang telah lalu, maka mereka tidak lebih utama dalam hal kafā’ah atas selain mereka. Namun jika karena keutamaan dalam Islam, maka berlaku dua kemungkinan yang telah kami sebutkan.
فصل: الشرط الثالث وهو الحرية
Fasal: Syarat ketiga, yaitu kemerdekaan
وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّالِثُ: وَهُوِ الْحُرِّيَّةُ فَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً عَبْداً مَمْلُوكاً لاَ يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَمَنْ رَزَقْنَاهُ مِنَّا حَسَناً فَهُوَ يُنْفِقُ مٍِنْهُ سِرّاً وَجَهْراً هَلْ يَسْتَوُونَ الْحَمْدُ للهِ بِلْ أكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ) {النحل: 75) . فَمَنَعَ مِنَ الْمُسَاوَاةِ بَيْنَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ، ولأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” المؤمنون تتكافئ دماءهم وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ ” يَعْنِي عَبِيدَهُمْ، فَجَعَلَ الْعَبِيدَ أَدْنَى مِنَ الْأَحْرَارِ، وَلِأَنَّ الرِّقَّ يَمْنَعُ مِنَ الملك وكمال التصرف، ويرفع الحجر للسيد فكان النَّقْصُ بِهِ أَعْظَمَ مِنْ نَقْصِ النَّسَبِ، وَإِذَا كان كذلك لم يكن العبد كفء الحرة ولا الأمة كفء الحر، وَكَذَلِكَ لَا يَكُونُ الْمُدَبَّرُ، وَلَا الْمَكَاتَبُ، وَلَا المعتق نصفه، ولا من جزء من الرق، وإن قل كفء الحرة ولا تكون المدبرة والمكاتبة وَلَا أُمُّ الْوَلَدِ وَلَا الْمُعْتَقَةُ نِصْفُهَا، وَلَا مَنْ فِيهَا جُزْءٌ مِنَ الرِّقِّ، وَإِنْ قَلَّ كفء الحر واختلف أصحابنا هل يكون العبد كفء لمن عتق نصفها ورق بعضها، أو تكون الأمة كفؤاً لِمَنْ عَتَقَ بَعْضُهُ وَرَقَّ بَعْضُهُ أَمْ لَا؟ على وجهين:
Adapun syarat ketiga, yaitu kemerdekaan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Allah membuat perumpamaan: seorang hamba sahaya yang dimiliki, yang tidak berkuasa atas sesuatu pun, dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik dari Kami, lalu dia menginfakkan sebagian darinya secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Apakah mereka sama? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui} (an-Nahl: 75). Maka Allah melarang penyamaan antara orang merdeka dan hamba sahaya. Dan karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Darah kaum mukminin setara, dan perlindungan mereka dijamin oleh yang paling rendah di antara mereka,” maksudnya adalah para hamba sahaya mereka. Maka beliau menjadikan hamba sahaya lebih rendah daripada orang merdeka. Dan karena status budak menghalangi kepemilikan dan kesempurnaan dalam bertindak, serta mengangkat larangan bagi tuannya, maka kekurangan karena hal itu lebih besar daripada kekurangan nasab. Jika demikian, maka budak tidak sepadan (kafā’ah) dengan perempuan merdeka, dan budak perempuan tidak sepadan dengan laki-laki merdeka. Demikian pula, tidak sepadan: budak mudabbar, mukatab, budak yang baru dimerdekakan setengahnya, atau yang masih ada bagian perbudakan walaupun sedikit, dengan perempuan merdeka. Demikian pula, budak perempuan mudabbirah, mukatabah, umm walad, yang baru dimerdekakan setengahnya, atau yang masih ada bagian perbudakan walaupun sedikit, tidak sepadan dengan laki-laki merdeka. Para sahabat kami berbeda pendapat, apakah budak sepadan dengan perempuan yang telah merdeka setengahnya dan masih ada bagian perbudakan, atau budak perempuan sepadan dengan laki-laki yang telah merdeka sebagian dan masih ada bagian perbudakan, atau tidak? Ada dua pendapat:
أحدهما: لا تكون كفؤاً لِأَنَّ لِبَعْضِ الْحُرِّيَّةِ فَضْلًا.
Pertama: Tidak sepadan, karena sebagian kemerdekaan memiliki keutamaan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تَكُونُ كفؤاً، لِأَنَّ مَنْ لَمْ تَكْمُلْ حُرِّيَّتُهُ فَأَحْكَامُ الرِّقِّ عَلَيْهِ أَغْلَبُ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ مَنْ عتق بعضه كفؤاً للحر تغليباً للرق صار كفء العبد، فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ لَا يَكُونُ مَنْ ثُلُثِهِ حر لمن نصفه حر حتى تساوا مَا فِيهِمَا مِنْ حُرِّيَّةٍ وَرِقٍّ، وَعَلَى الْوَجْهِ الثاني يكونان كفؤاً وإن تفاضل بَاقِيهُمَا مِنْ حُرِّيَّةٍ وَرِقٍّ، فَأَمَّا الْمَوْلَى فَإِنْ كَانَ قَدْ جَرَى عَلَيْهِ رِقٌّ قَبْلَ الْعِتْقِ لم يكن كفء فالحرة الأصل، وإن لم يكن يجري عليه رق لكونه ابن عتق من رق فهل يكون كفء الحرة الْأَصْلِ عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي موالي كل قبيلة هل يكونوا أكفائها في النكاح، فإن قيل يكونوا أكفائها صار المولي كفؤاً للحرة الأصل، وإن قيل لا يكونوا أكفاء لم يصر المولي كفؤاً لِلْحُرَّةِ الْأَصْلِ، وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا مَوْلَى لِعَرَبِيٍّ وَالْآخَرُ مَوْلَى لِنَبَطِيٍّ، فَإِنْ قيل مولى القبيلة كفءٌ لَهَا فِي النِّكَاحِ لَمْ يَكُنْ مَوْلَى النَّبَطِيِّ كفؤاً لمولى العربي، وإن قيل لا يكون كفئاً لها كان مولى النبطي كفئاً لمولى العربي.
Pendapat kedua: Ia dianggap setara (kafā’ah), karena siapa yang belum sempurna kemerdekaannya maka hukum-hukum perbudakan lebih dominan atasnya. Dan karena ketika seseorang yang baru merdeka sebagian tidak dianggap setara dengan orang merdeka penuh, dengan mengutamakan status budak, maka ia menjadi setara dengan budak. Maka menurut pendapat pertama, seseorang yang sepertiga dirinya merdeka tidak dianggap setara dengan yang setengahnya merdeka, sampai keduanya sama dalam kadar kemerdekaan dan perbudakan yang ada pada mereka. Sedangkan menurut pendapat kedua, keduanya dianggap setara meskipun sisa kemerdekaan dan perbudakan pada masing-masing berbeda. Adapun mawla (bekas budak), jika ia pernah mengalami status budak sebelum dimerdekakan, maka ia tidak setara dengan perempuan merdeka asli. Namun jika ia tidak pernah mengalami status budak karena ia adalah anak dari orang yang dimerdekakan dari perbudakan, maka apakah ia dianggap setara dengan perempuan merdeka asli? Dalam hal ini ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan dua pendapat tentang mawali setiap kabilah, apakah mereka setara dalam pernikahan. Jika dikatakan mereka setara, maka mawla menjadi setara dengan perempuan merdeka asli. Jika dikatakan mereka tidak setara, maka mawla tidak menjadi setara dengan perempuan merdeka asli. Berdasarkan dua pendapat ini pula, jika salah satu dari mereka adalah mawla dari orang Arab dan yang lain mawla dari Nabathiy, maka jika dikatakan mawla kabilah setara dengannya dalam pernikahan, maka mawla Nabathiy tidak setara dengan mawla Arab. Namun jika dikatakan tidak setara, maka mawla Nabathiy menjadi setara dengan mawla Arab.
فصل: الشرط الرابع وهو الكسب
Fasal: Syarat keempat, yaitu penghasilan (kekayaan hasil usaha)
فأما الشرط الرابع: وهو الكسب فَإِنَّ النَّاسَ يَتَفَاضَلُونَ بِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَاللهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ) {النحل: 71) . فيه تَأْوِيلَانِ:
Adapun syarat keempat, yaitu penghasilan, maka manusia saling berbeda dalam hal ini. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki} (an-Nahl: 71). Dalam hal ini terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فَضَّلَ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي قَدْرِ الرِّزْقِ فَبَعْضُهُمْ مُوَسَّعٌ عَلَيْهِ، وَبَعْضُهُمْ مُضَيَّقٌ عَلَيْهِ.
Pertama: Bahwa Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam kadar rezeki; sebagian mereka dilapangkan rezekinya, dan sebagian yang lain disempitkan rezekinya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ فَضَّلَ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي أَسْبَابِ الرِّزْقِ فَبَعْضُهُمْ يَصِلُ إِلَيْهِ لعز وَدَعَةٍ وَبَعْضُهُمْ يَصِلُ إِلَيْهِ بَذْلٌ وَمَشَقَّةٌ، وَفِي قَوْله تَعَالَى: {فَإنْ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً) {طه: 124) . ثلاثة تَأْوِيلَاتٍ:
Kedua: Bahwa Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam sebab-sebab rezeki; sebagian mereka memperoleh rezeki dengan kemuliaan dan ketenangan, dan sebagian yang lain memperolehnya dengan usaha keras dan kesulitan. Dan dalam firman-Nya Ta‘ala: {maka baginya kehidupan yang sempit} (Thaha: 124), terdapat tiga tafsiran:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ الرِّزْقُ الضَّيِّقُ.
Pertama: Bahwa itu adalah rezeki yang sempit.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ الكسب الحرام.
Kedua: Bahwa itu adalah penghasilan yang haram.
والثالث: أنه إنفاق من لَا يُوقِنُ بِالْخَلَفِ، وَالْمَكَاسِبُ تَكُونُ فِي الْعُرْفِ الْمَأْلُوفِ مِنْ أَرْبَعِ جِهَاتٍ بِالزِّرَاعَاتِ وَالتِّجَارَاتِ، وَالصِّنَاعَاتِ، والحمايات، ولكل واحد منها رتب متفاضلة وكل واحد منها يفضل بعضها على غيره بحسب اختلاف البلدان والأزمان، وإن في بعض البلدان التجارات، وَفِي بَعْضِها الزِّرَاعَاتِ أَفْضَلُ، وَفِي بَعْضِ الْأَزْمَانِ حُمَاةُ الْأَجْنَادِ أَفْضَلُ، وَفِي بَعْضِهَا أَقَلُّ فَلِأَجْلِ ذَلِكَ لَمْ يُمْكِنْ أَنْ يُفَضَّلَ بَعْضُهَا فِي عُمُومِ الْبُلْدَانِ وَالْأَزْمَانِ، وَإِنَّمَا يُرَاعَى فِيهَا الْعُرْفُ وَالْعَادَةُ، وَالْأَفْضَلُ مِنْهَا فِي الْجُمْلَةِ مَا انْحَفَظَتْ به أربعة شروط، أن لا تكون مترذل الصناعة كَالْحَائِكِ، وَلَا مُسْتَخْبَثَ الْكَسْبِ كَالْحَجَّامِ، وَلَا سَاقِطَ المروءة كالحمال ولا مبتذلاً كالأجير فَمَنِ انْحَفَظَتْ عَلَيْهِ فِي مَكَاسِبِهِ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ لَمْ يُكَافِئْهُ فِي النِّكَاحِ مَنْ أَخَلَّ بها من حجام وكناس قيم وحائك فالعرق في اعتبار هذه الشروط الأربعة هو المحكم.
Ketiga: Bahwa itu adalah pengeluaran dari orang yang tidak yakin akan adanya pengganti (balasan dari Allah). Penghasilan dalam adat kebiasaan yang dikenal berasal dari empat sumber: pertanian, perdagangan, kerajinan, dan perlindungan (keamanan). Masing-masing memiliki tingkatan yang berbeda-beda, dan masing-masing di antara mereka lebih utama dari yang lain tergantung perbedaan negeri dan zaman. Di sebagian negeri, perdagangan lebih utama, di sebagian lain pertanian lebih utama, di sebagian zaman para penjaga pasukan lebih utama, dan di sebagian lain kurang utama. Oleh karena itu, tidak mungkin mengutamakan salah satu di antara mereka secara umum di seluruh negeri dan zaman, melainkan yang dijadikan acuan adalah adat dan kebiasaan. Yang paling utama secara umum adalah yang memenuhi empat syarat: tidak termasuk pekerjaan yang hina seperti penenun, tidak termasuk penghasilan yang dianggap buruk seperti tukang bekam, tidak termasuk pekerjaan yang menjatuhkan martabat seperti kuli angkut, dan tidak termasuk pekerjaan yang terlalu rendah seperti buruh harian. Maka siapa yang penghasilannya memenuhi keempat syarat ini, tidak dapat disetarakan dalam pernikahan dengan orang yang melalaikan syarat-syarat tersebut, seperti tukang bekam, penyapu, penjaga, dan penenun. Maka dalam mempertimbangkan keempat syarat ini, adat kebiasaanlah yang menjadi patokan.
فصل: الشرط الخامس: المال
Fasal: Syarat kelima: harta
وَأَمَّا الشَّرْطُ الْخَامِسُ: وَهُوَ الْمَالُ فَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا “.
Adapun syarat kelima, yaitu harta, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Perempuan dinikahi karena empat hal, karena hartanya…”
وَلِمَا رُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّ أَحْسَابَ أَهْلِ الدُّنْيَا هَذَا الْمَالُ “.
Dan berdasarkan riwayat dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya kehormatan (status sosial) penduduk dunia itu adalah harta ini.”
وَقَدْ قِيلَ فِي تَأْوِيلِ قَوْله تَعَالَى: {وَإنَّهُ لِحُبِّ الخَيْرِ لَشَدِيد) {العاديات: 8) . يَعْنِي الْمَالَ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ كَانُوا مِنْ أَهْلِ الْأَمْصَارِ الَّذِينَ يَتَفَاخَرُونَ وَيَتَكَاثَرُونَ بِالْأَمْوَالِ دُونَ الأنساب فالمال فيهم معتبر في شرط الْكَفَاءَةِ، وَإِنْ كَانُوا مِنَ الْبَوَادِي وَعَشَائِرُ الْقُرَى يَتَفَاخَرُونَ وَيَتَكَاثَرُونَ بِالْأَنْسَابِ دُونَ الْأَمْوَالِ فَفِي اعْتِبَارِ المال في شرط الْكَفَاءَةِ بَيْنَهُمْ وَجْهَانِ:
Telah dikatakan dalam tafsir firman-Nya Ta‘ala: {Dan sesungguhnya dia sangat cinta kepada kebaikan (harta)} (al-‘Adiyat: 8), maksudnya adalah harta. Jika demikian, maka jika mereka termasuk penduduk kota yang saling membanggakan dan berlomba-lomba dalam harta, bukan dalam nasab, maka harta menjadi pertimbangan dalam syarat kafā’ah. Namun jika mereka termasuk penduduk pedalaman dan kabilah-kabilah desa yang saling membanggakan dan berlomba-lomba dalam nasab, bukan dalam harta, maka dalam mempertimbangkan harta sebagai syarat kafā’ah di antara mereka terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ شَرْطٌ مُعْتَبَرٌ كَأَهْلِ الْأَمْصَارِ، لِمَا فِيهِ مِنَ الْقُدْرَةِ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا.
Pertama: Bahwa harta adalah syarat yang dianggap seperti halnya pada penduduk kota, karena di dalamnya terdapat kemampuan dalam urusan dunia.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ بِشَرْطٍ مُعْتَبَرٍ، لِأَنَّهُ يَزُولُ فَيَفْتَقِرُ الْغَنِيُّ وَيَسْتَغْنِي الْفَقِيرُ وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” خير الناس مؤمن فقير يعطي جهده ” يَعْنِي مُقِلًّا لَيْسَ لَهُ إِلَّا مَا يَزْهَدُ فِيهِ لِقِلَّتِهِ.
Pendapat kedua: Bahwa hal itu bukanlah syarat yang dianggap, karena kekayaan bisa hilang sehingga orang kaya menjadi membutuhkan dan orang miskin menjadi berkecukupan. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah mukmin yang miskin yang memberikan sesuai kemampuannya,” maksudnya adalah orang yang memiliki sedikit harta, yang tidak memiliki kecuali sesuatu yang orang lain pun tidak menginginkannya karena sedikitnya.
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” خَيْرُ أُمَّتَيِ الَّذِينَ لَمْ يُوَسَّعْ عَلَيْهِمْ حَتَّى يَبْطَرُوا وَلَمْ يُقَتَّرْ عَلَيْهِمْ حَتَّى يَسْأَلُوا “، ثُمَّ إِذَا جُعِلَ الْمَالُ شَرْطًا فِي الكفاءة ليس التماثل في قدره معتبراً حتى لا يتكافئ مَنْ مَلَكَ أَلْفَ دِينَارٍ إِلَّا مَنْ مَلَكَ مِثْلَهَا وَلَكِنْ أَنْ يَكُونَا مَوْصُوفَيْنِ بِالْغِنَى فَيَصِيرَا كفئين، وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا أَكْثَرَ مَالًا، وَلَا يُعْتَبَرُ فِيهِ أَيْضًا التَّمَاثُلُ فِي أَجْنَاسِ الْمَالِ بَلْ إذا كان مال أحدهما دنانير، ومال الآخر عقاراً أو عروضاً كانا كفئين.
Diriwayatkan pula dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sebaik-baik umatku adalah mereka yang tidak dilapangkan rezekinya hingga menjadi sombong, dan tidak pula disempitkan hingga mereka meminta-minta.” Kemudian, jika harta dijadikan syarat dalam kafa’ah, maka kesetaraan dalam jumlah harta tidaklah dianggap, sehingga tidak disyaratkan orang yang memiliki seribu dinar hanya setara dengan yang memiliki jumlah yang sama, melainkan cukup keduanya sama-sama berstatus kaya maka keduanya menjadi setara, meskipun salah satunya lebih banyak hartanya. Tidak pula disyaratkan kesamaan dalam jenis harta, sehingga jika salah satu memiliki harta berupa dinar, dan yang lain berupa tanah atau barang dagangan, keduanya tetap dianggap setara.
فصل: الشرط السادس: السن
Fasal: Syarat keenam: Usia
وأما الشرط السادس: هو السن مما لَمْ يَخْتَلِفَا فِي طَرَفَيْهِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي الْكَفَاءَةِ فَيَكُونُ الْحَدَثُ كُفُؤًا لِلشَّابِّ وَالشَّابِّ كُفُؤًا لِلْكَاهِلِ، وَالْكَهْلُ كُفُؤًا لِلشَّيْخِ، وَلَكِنْ إِذَا اختلفا في طرفيه فكان أحدهما في أول سنه كالغلام والجارية، والأخرى فِي غَايَةِ سِنِّهِ كَالشَّيْخِ وَالْعَجُوزِ فَفِي اعْتِبَارِهِ فِي الْكَفَاءَةِ وَجْهَانِ:
Adapun syarat keenam adalah usia. Selama keduanya tidak berbeda pada kedua ujung usia, maka usia tidak dianggap dalam kafa’ah. Maka, anak muda setara dengan pemuda, pemuda setara dengan orang dewasa, dan orang dewasa setara dengan orang tua. Namun, jika keduanya berbeda pada kedua ujung usia, seperti salah satunya masih di awal usia seperti anak laki-laki atau perempuan, sedangkan yang lain sudah di akhir usia seperti orang tua laki-laki atau perempuan tua, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat mengenai pertimbangan usia dalam kafa’ah:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ شَرْطٌ مُعْتَبَرٌ فَلَا يَكُونُ الشَّيْخُ كُفُؤًا لِلطِّفْلَةِ وَلَا الْعَجُوزُ كفؤاً للطفل لما بينهما من التنافي التباين، وإن مَعَ غَايَاتِ السِّنَّ تَقِلُّ الرَّغْبَةُ وَيُعْدَمُ الْمَقْصُودُ بالزوجية.
Salah satunya: Bahwa usia adalah syarat yang dianggap, sehingga orang tua laki-laki tidak setara dengan anak perempuan kecil, dan perempuan tua tidak setara dengan anak laki-laki kecil, karena adanya perbedaan dan pertentangan di antara keduanya. Selain itu, pada usia yang sangat tua, keinginan untuk menikah berkurang dan tujuan dari pernikahan pun tidak tercapai.
والوجه الثاني: غَيْرُ مُعْتَبَرٍ، لِأَنَّهُ قَدْ يَطُولُ عُمُرُ الْكَبِيرِ وَيَقْصُرُ عُمُرُ الصَّغِيرِ، وَرُبَّمَا قَدَرَ الْكَبِيرُ مِنْ مَقْصُودِ النِّكَاحِ عَلَى مَا يَعْجِزُ عَنْهُ الصَّغِيرُ، ولأن مع نقص الكبير فضلاً لا يوجد في الصغير.
Pendapat kedua: Tidak dianggap, karena bisa jadi umur orang tua lebih panjang dan umur anak lebih pendek, dan bisa jadi orang tua mampu memenuhi tujuan pernikahan yang tidak mampu dilakukan oleh anak, serta pada orang tua terdapat keutamaan yang tidak ada pada anak.
فصل: الشرط السابع: السلامة من العيوب
Fasal: Syarat ketujuh: Bebas dari cacat
فأما الشرط السابع: هو السلامة من العيوب، فهي العيوب التي رد بها عقد النكاح وهي خمسة تشترك الرجال والنساء منها فِي ثَلَاثَةٍ: وَهِيَ الْجُنُونُ، وَالْجُذَامُ، وَالْبَرَصُ.
Adapun syarat ketujuh adalah bebas dari cacat, yaitu cacat-cacat yang menyebabkan akad nikah dapat dibatalkan. Cacat-cacat ini ada lima, yang tiga di antaranya sama-sama berlaku bagi laki-laki dan perempuan, yaitu: gila, kusta, dan belang (vitiligo).
وَيَخْتَصُّ الرجال منها اثنتين هما: الجب والخصاء، وفي مقابلتهما من النساء القرن والرتق وإنما اعتبرت هَذِهِ الْعُيُوبُ الْخَمْسَةُ فِي الْكَفَاءَةِ، لِأَنَّهُ لَمَّا أوجبت وجودها فسخ النكاح الذي لا يوجبه نَقْصُ النِّسَبِ فَأَوْلَى أَنْ تَكُونَ مُعْتَبَرَةً فِي الكفاءة كالنسب.
Adapun yang khusus bagi laki-laki ada dua, yaitu: impoten dan dikebiri, sedangkan pada perempuan yang sepadan dengannya adalah vagina tertutup (qaran) dan vagina tertutup rapat (ratq). Cacat-cacat lima ini dianggap dalam kafa’ah, karena jika keberadaannya menyebabkan pembatalan nikah—yang tidak disebabkan oleh kekurangan nasab—maka lebih utama untuk dianggap dalam kafa’ah sebagaimana nasab.
فأما العيوب التي لا توجب وَتَنْفِرُ مِنْهَا النَّفْسُ كَالْعَمَى وَالْقَطْعِ، وَالزَّمَانَةِ وَتَشْوِيهِ الصُّورَةِ، فَفِي اعْتِبَارِهَا فِي الْكَفَاءَةِ وَجْهَانِ:
Adapun cacat-cacat yang tidak menyebabkan pembatalan nikah namun membuat orang enggan, seperti buta, putus anggota badan, lumpuh, atau cacat rupa, maka dalam pertimbangannya dalam kafa’ah terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يعتبر لعدم تأثيرها في عقود المناكح.
Salah satunya: Tidak dianggap karena tidak berpengaruh pada akad pernikahan.
والثاني: يعتبر لِنُفُورِ النَّفْسِ مِنْهَا وَلِحُصُولِ الْمَعَرَّةِ بِهَا، وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِزَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ: ” أَتَزَوَّجْتَ يَا زَيْدُ “، قال: لا، قال ” تزوج فتستعف مَعَ عِفَّتِكَ، وَلَا تَزَوَّجْ مِنَ النِّسَاءِ خَمْسًا “، قَالَ: وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: ” لَا تَزَوَّجْ شَهْبَرَةً وَلَا لَهْبَرَةً وَلَا نَهْبَرَةً ولا هدرة وَلَا لَفُوتًا “، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: لَا أَعْرِفُ مِمَّا قُلْتَ شَيْئًا. فَقَالَ: ” أَمَّا الشَّهْبَرَةُ: فالزرقاء البذية، وَأَمَّا اللَّهْبَرَةُ: فَالطَّوِيلَةُ الْمَهْزُولَةُ، وَأَمَّا النَّهْبَرَةُ: فَالْعَجُوزُ المدبرة، وأما الهبدرة: فالقصيرة الدميمة، وأما اللفوت: فذات الولد من غيرك، لو لم يكن لهذه الأحوال ونظائرنا أثراً في الكفاءة لما أمر بالتحرز منها “.
Pendapat kedua: Dianggap, karena membuat orang enggan dan menimbulkan aib. Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ berkata kepada Zaid bin Haritsah: “Apakah engkau sudah menikah, wahai Zaid?” Ia menjawab: “Belum.” Beliau bersabda: “Menikahlah agar engkau menjaga kehormatanmu, dan jangan menikahi lima jenis perempuan.” Ia bertanya: “Siapa saja mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Jangan menikahi syahbarah, lahbarah, nahbarah, hadrah, dan lafut.” Ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak tahu apa yang engkau maksud.” Beliau bersabda: “Adapun syahbarah adalah perempuan bermata biru yang buruk rupa, lahbarah adalah perempuan tinggi kurus, nahbarah adalah perempuan tua renta, hadrah adalah perempuan pendek buruk rupa, dan lafut adalah perempuan yang memiliki anak dari selainmu. Jika keadaan-keadaan ini dan yang semisalnya tidak berpengaruh dalam kafa’ah, niscaya beliau tidak akan memerintahkan untuk menghindarinya.”
فصل: الْقَوْلُ فِيمَا إِذَا تَزَوَّجَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ غَيْرِ كفء
Fasal: Pembahasan tentang jika seorang perempuan menikah dengan selain yang sekufu’
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ شُرُوطِ الْكَفَاءَةِ وَنَكَحَتِ الْمَرْأَةُ غَيْرَ كفءٍ لَمْ يَخْلُ نِكَاحُهَا من ثلاثة أقسام:
Setelah dijelaskan syarat-syarat kafa’ah, apabila seorang perempuan menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu’, maka pernikahannya tidak lepas dari tiga keadaan:
أحدهما: إن يكون قَدْ رَضِيَتْهُ الزَّوْجَةُ وَكَرِهَهُ الْأَوْلِيَاءُ، فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ اعْتِبَارًا بِحُقُوقِ الْأَوْلِيَاءِ فِيهِ.
Pertama: Jika istri ridha sementara para wali tidak ridha, maka pernikahan itu batal sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan mempertimbangkan hak-hak para wali di dalamnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ رَضِيَهُ الْأَوْلِيَاءُ وَكَرِهَتْهُ الزَّوْجَةُ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ اعْتِبَارًا لِحَقِّهَا فِيهِ حَتَّى لَا يَعِرَّهَا مَنْ لَا يُكَافِئُهَا.
Bagian kedua: Jika para wali telah meridhainya namun istri membencinya, maka pernikahan itu batal dengan mempertimbangkan hak istri di dalamnya, agar tidak dinikahkan dengan orang yang tidak sepadan dengannya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ رَضِيَتْهُ الزَّوْجَةُ وَالْأَوْلِيَاءُ فالنكاح جائز.
Bagian ketiga: Jika istri dan para wali telah meridhainya, maka pernikahan itu sah.
وقال مالك، وعبد الله بْنُ الْمَاجِشُونَ: النِّكَاحُ بَاطِلٌ.
Malik dan Abdullah bin al-Majisyun berkata: Pernikahan itu batal.
وَقَالَ الثَّوْرِيُّ يُفْسَخُ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا وَلَا يُفَرَّقُ، وَحُكِيَ نَحْوُهُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ إِلَّا الْأَكْفَاءَ وَلَا يُزَوِّجُهُنَّ إِلَّا الْأَوْلِيَاءُ “. فَلَمَّا مَنَعَ مِنْ إنكاح غير الكفء كما منع من نكاح غَيْرِ الْوَلِيِّ دَلَّ عَلَى بُطْلَانِهِ لِغَيْرِ الْكُفْءِ كَمَا بَطَلَ بِغَيْرِ الْوَلِيِّ؛ وَبِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تعالى عنه أنه قال: ” لا يملك الإيضاح إلى الْأَكْفَاءُ “.
Ats-Tsauri berkata: Pernikahan antara keduanya dibatalkan, namun tidak dipisahkan, dan pendapat serupa juga dinukil dari Ahmad bin Hanbal, dengan berdalil pada riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Janganlah kalian menikahkan perempuan kecuali dengan yang sepadan, dan tidak boleh menikahkan mereka kecuali para wali.” Maka, ketika beliau melarang menikahkan dengan yang tidak sepadan sebagaimana melarang menikahkan tanpa wali, hal itu menunjukkan batalnya pernikahan dengan yang tidak sepadan sebagaimana batalnya pernikahan tanpa wali; dan juga berdasarkan riwayat dari Umar bin al-Khattab ra. bahwa ia berkata: “Tidak berhak menjelaskan kecuali kepada yang sepadan.”
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ) {النساء آية: 3) ولأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قد زوج بناته ولا كفء لهن مِنْ قَرِيبٍ وَلَا بَعِيدٍ؛ لِأَنَّهُنَّ أَصْلُ الشَّرَفِ، وقد زوج فاطمة بعلي، وزوج أم كثلوم وَرُقَيَّةَ بِعُثْمَانَ، وَزَوَّجَ زَيْنَبَ بِأَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ، وَقَدْ رُوِيَ أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ الْمَخْزُومِيَّةِ وَهِيَ بِنْتُ عَمَّتِهِ وَقَدْ خَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ وَأَبُو جَهْمٍ انْكَحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ صَلِيبَةِ قُرَيْشٍ بنت عمته بأسامة بن زيد وهو مولاه وزوج أبا زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ بِزَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَهِيَ بنت عمته أميمة بنت عبد المطلب.
Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta’ala: {Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi} (an-Nisa: 3), dan karena Nabi ﷺ telah menikahkan putri-putrinya, padahal tidak ada yang sepadan dengan mereka baik dari kerabat dekat maupun jauh; karena mereka adalah sumber kemuliaan. Beliau telah menikahkan Fathimah dengan Ali, menikahkan Ummu Kultsum dan Ruqayyah dengan Utsman, dan menikahkan Zainab dengan Abu al-Ash bin ar-Rabi’. Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ berkata kepada Fathimah binti Qais al-Makhzumiyah, yang merupakan putri bibinya, ketika dilamar oleh Muawiyah dan Abu Jahm: “Menikahlah dengan Usamah bin Zaid,” padahal ia adalah wanita murni dari Quraisy, putri bibinya, dengan Usamah bin Zaid yang merupakan maulanya. Beliau juga menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy, yang merupakan putri bibinya, Ummimah binti Abdul Muthalib.
ثم نزل عليها بَعْدَهُ، وَزَوَّجَ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْكِنْدِيَّ بِضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبَدِ الْمُطَّلِبِ.
Kemudian setelah itu beliau menikahkan al-Miqdad bin al-Aswad al-Kindi dengan Duba’ah binti az-Zubair bin Abdul Muthalib.
وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا زَوَّجْتُ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ بِزَيْنَبَ بِنْتِ جحش، والمقداد بن الأسود ضباعة بِنْتَ الزُّبَيْرِ لِتَعْلَمُوا أَنَّ أَشْرَفَ الشَّرَفِ الْإِسْلَامُ “، وقد زوج أبو بكر الصديق بنت الأشعث بْنِ قَيْسٍ فَصَارَ سِلْفَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَهَمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنْ يُزَوِّجَ بِنْتَهُ سَلْمَانَ الْفَارِسِيَّ فَكَرِهَ ابْنُهُ عَبْدُ اللَّهِ ذَلِكَ، وَلَقِيَ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ فَشَكَا إِلَيْهِ، فَقَالَ: سَأَكْفِيكَ، وَلَقِيَ سَلْمَانَ، فَقَالَ: هَنِيئًا لَكَ: إِنْ أمير المؤمنين قد عزم أن يزوجك كريمته ليتواضع بك فقال: إني متواضع والله لأتزوجها؛ وَلِأَنَّ الْكَفَاءَةَ مُعْتَبَرَةٌ فِي الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فَلَمَّا صَحَّ النِّكَاحُ إِذَا تَزَوَّجَ الرَّجُلُ بِامْرَأَةٍ لَا تُكَافِئُهُ صَحَّ النِّكَاحُ إِذَا تَزَوَّجَتِ الْمَرْأَةُ بِرَجُلٍ لَا يُكَافِئُهَا.
Dan beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy, dan al-Miqdad bin al-Aswad dengan Duba’ah binti az-Zubair agar kalian mengetahui bahwa kemuliaan tertinggi adalah Islam.” Abu Bakar ash-Shiddiq juga menikahkan putri al-Asy’ats bin Qais sehingga menjadi besan Rasulullah ﷺ. Umar bin al-Khattab pernah berniat menikahkan putrinya dengan Salman al-Farisi, namun putranya, Abdullah, tidak menyukai hal itu. Ia bertemu dengan Amr bin al-Ash dan mengadukan hal tersebut, lalu Amr berkata: “Aku akan mengurusnya untukmu.” Ia lalu menemui Salman dan berkata: “Selamat untukmu! Amirul Mukminin telah berniat menikahkanmu dengan putrinya agar ia bisa merendahkan diri bersamamu.” Salman menjawab: “Aku memang rendah hati, demi Allah aku tidak akan menikahinya.” Karena kafa’ah (kesepadanan) itu diperhitungkan baik pada laki-laki maupun perempuan, maka jika sah pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sepadan dengannya, maka sah pula pernikahan seorang perempuan dengan laki-laki yang tidak sepadan dengannya.
فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْخَبَرِ وَالْأَثَرِ فَمَحْمُولَانِ على أحد الوجهين: أَمَّا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ دُونَ الْإِيجَابِ، أَوْ يُحْمَلُ عَلَى نِكَاحِ الْأَبِ لِلْبِكْرِ الَّتِي يُجْبِرُهَا وَاللَّهُ أعلم بالصواب.
Adapun dalil dari hadis dan atsar, maka keduanya dapat dimaknai dengan dua cara: Pertama, dimaknai sebagai anjuran (istihbab) bukan kewajiban (ijab), atau dimaknai pada pernikahan ayah terhadap anak perempuannya yang masih perawan yang dapat ia paksa. Allah lebih mengetahui kebenaran.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَيْسَ نَقْصُ الْمَهْرِ نَقْصًا فِي النَّسَبِ وَالْمَهْرُ لَهَا دُونَهُمْ فَهِيَ أَوْلَى بِهِ مِنْهُمْ “.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Kurangnya mahar bukanlah kekurangan dalam nasab, dan mahar itu haknya (perempuan) bukan hak mereka (wali), maka ia lebih berhak atasnya daripada mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.
إِذَا رَضِيَتِ الْمَرْأَةُ أَنْ تَنْكِحَ نَفْسَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا لَمْ يَكُنْ لِلْأَوْلِيَاءِ أَنْ يَعْتَرِضُوا عَلَيْهَا فِيهِ، وَلَا أَنْ يَمْنَعُوهَا مِنَ النِّكَاحِ لِنَقْصِهِ، فَإِنْ مَنَعُوهَا صار المانع لها فاصلاً وَزَوَّجَهَا الْحَاكِمُ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَأَبُو يُوسُفَ، وَمُحَمَّدٌ.
Jika seorang perempuan rela menikahkan dirinya dengan mahar yang lebih sedikit dari mahar perempuan sepadannya, maka para wali tidak berhak menghalanginya dalam hal itu, dan tidak boleh mencegahnya menikah karena kekurangan tersebut. Jika mereka menghalanginya, maka yang menghalangi itu menjadi penghalang baginya, dan hakimlah yang menikahkannya. Pendapat ini juga dikatakan oleh Malik, Abu Yusuf, dan Muhammad.
وَقَالَ أبو حنيفة: لِلْأَوْلِيَاءِ الِاعْتِرَاضُ عَلَيْهَا في نقص المهر ولا يصيروا عَضْلَةً بِمَنْعِهَا مِنْهُ، وَإِنْ نَكَحَتْ فَلَهُمْ فَسْخُ نِكَاحِهَا إِلَّا أَنْ يُكْمِلَ لَهَا مَهْرَ مِثْلِهَا استدلالاً بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أدوا العلائق قيل: يا رسول، وما العلائق: قال ما ترضى بِهِ الْأَهْلُونَ ” فَلَمَّا كَانَ قَوْلُهُ: ” أَدَّوُا الْعَلَائِقَ ” خطاباً للأزواج كان قوله: ” ما ترضى به الأهلون ” إشارة على الْأَوْلِيَاءِ، وَلِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ يَشْتَمِلُ عَلَى بَدَلَيْنِ، هُمَا: الْبُضْعُ، وَالْمَهْرُ، فَلَمَّا كَانَ لِلْأَوْلِيَاءِ الِاعْتِرَاضُ فِي بُضْعِهَا أَنْ تَضَعَهُ فِي غَيْرِ كفءٍ كَانَ لَهُمُ الِاعْتِرَاضُ فِي مَهْرِهَا أَنْ يَنْكِحَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ وَيَتَحَرَّرَ مِنْهُ قِيَاسَانِ:
Abu Hanifah berkata: Para wali berhak mengajukan keberatan terhadapnya dalam hal kekurangan mahar, namun mereka tidak boleh menjadi penghalang dengan mencegahnya dari mahar tersebut. Jika ia telah menikah, maka para wali berhak membatalkan akad nikahnya, kecuali jika suaminya menyempurnakan mahar sesuai mahar mitsilnya, berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Tunaikanlah al-‘ala’iq.” Ditanyakan: Wahai Rasulullah, apa itu al-‘ala’iq? Beliau menjawab: “Yaitu apa yang diridhai oleh keluarga.” Maka, ketika sabda beliau: “Tunaikanlah al-‘ala’iq” ditujukan kepada para suami, sabda beliau: “apa yang diridhai oleh keluarga” merupakan isyarat kepada para wali. Karena akad nikah mengandung dua pengganti, yaitu: al-bud‘ (bagian tubuh perempuan/kehormatan) dan mahar. Ketika para wali berhak mengajukan keberatan dalam hal al-bud‘ jika diletakkan pada selain yang sekufu’, maka mereka juga berhak mengajukan keberatan dalam hal maharnya jika ia menikah dengan mahar yang kurang dari mahar mitsil. Dari sini lahir dua qiyās:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَحَدُ بَدَلَيْ عَقْدِ النِّكَاحِ فَجَازَ لِلْأَوْلِيَاءِ الِاعْتِرَاضُ فِيهِ كَالْبُضْعِ.
Pertama: Bahwa mahar adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad nikah, maka para wali boleh mengajukan keberatan padanya sebagaimana pada al-bud‘.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا اعْتَرَضَ بِهِ الْأَوْلِيَاءُ فِي نِكَاحِ الصَّغِيرَةِ اعْتَرَضُوا به في نكاح الكبيرة كالكفاءة، وَلِأَنَّ فِي بَعْضِ الْمَهْرِ عَارًا عَلَى الْأَهْلِ بجهرهم بِكَثِيرِهِ وَإِخْفَائِهِمْ لِقَلِيلِهِ فَصَارَ دُخُولُ الْعَارِ عَلَيْهِمْ فِي نُقْصَانِهِ كَدُخُولِهِ عَلَيْهِمْ فِي نكاحٍ غَيْرِ كفوءٍ، فكان لهم رفع هَذَا الْعَارِ عَنْهُمْ بِالْمَنْعِ مِنْهُ؛ وَلِأَنَّ فِي نقصان مهرها ضرراً لاحقاً بنساء أهلها غير اعتبار مهر أَمْثَالِهِنَّ بِهَا، وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “.
Kedua: Apa yang dipermasalahkan para wali dalam pernikahan anak perempuan yang masih kecil, juga mereka permasalahkan dalam pernikahan perempuan dewasa, seperti soal kafa’ah (kesetaraan). Karena dalam sebagian mahar terdapat aib bagi keluarga, dengan mereka menampakkan yang banyak dan menyembunyikan yang sedikit, sehingga masuknya aib kepada mereka karena kekurangan mahar sama seperti masuknya aib kepada mereka karena menikahkan dengan yang tidak sekufu’. Maka mereka berhak menghilangkan aib ini dari mereka dengan mencegahnya. Selain itu, kekurangan mahar juga menimbulkan mudarat bagi perempuan-perempuan dari keluarga tersebut, karena mahar mereka akan diukur dengan mahar kerabatnya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.”
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ امْرَأَةً تزوجت على نعلين فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أرضيت من نفسك وما لك بهاتين النعلين ” قالت نعم ” فأجاز ” وَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلَانِ:
Dalil kami adalah riwayat ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari Abdullah bin ‘Amir bin Rabi‘ah dari ayahnya, bahwa ada seorang perempuan menikah dengan mahar dua sandal. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Apakah engkau rela terhadap dirimu dan hartamu dengan dua sandal ini?” Ia menjawab: “Ya.” Maka beliau membolehkannya. Dari hadis ini terdapat dua dalil:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ اعْتَبَرَ رضاها به دون الأولياء.
Pertama: Bahwa beliau memperhatikan kerelaan perempuan itu sendiri, bukan kerelaan para wali.
والثاني: أنه لَمْ يَسْأَلْ هَلْ ذَلِكَ مَهْرُ مِثْلِهَا؟ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ نُقْصَانَ الْمَهْرِ وَرِضَا الْأَوْلِيَاءِ غَيْرُ مُعْتَبَرَيْنِ وَلِأَنَّ مَا مَلَكَتِ الْإِبْرَاءَ مِنْهُ مَلَكَتِ تَقْدِيرَهُ كَالْأَثْمَانِ، وَلِأَنَّ مَا ثَبَتَ لَهَا فِي الأثمان ثبت لها في المهور كالإبراء؛ وَلِأَنَّ ثُبُوتَ الْوِلَايَةِ عَلَيْهَا فِي بُضْعٍ لَا يُوجِبُ ثُبُوتَ الْوِلَايَةِ عَلَيْهَا فِي بَدَلٍ.
Kedua: Beliau tidak bertanya, apakah itu mahar mitsilnya? Maka ini menunjukkan bahwa kekurangan mahar dan kerelaan para wali tidak dianggap. Karena apa yang ia miliki hak untuk membebaskan (menggugurkan) darinya, ia juga berhak menentukan nilainya, sebagaimana dalam hal harga (uang). Dan apa yang telah tetap baginya dalam hal harga, juga tetap baginya dalam hal mahar, seperti dalam hal pembebasan (ibra’). Selain itu, keberadaan wilayah (kewalian) atasnya dalam hal al-bud‘ tidak mengharuskan adanya wilayah atasnya dalam hal pengganti (mahar).
أَصْلُهُ: مهر أمثالها؛ وَلِأَنَّ لَهَا مَنْفَعَتَيْنِ: مَنْفَعَةَ اسْتِخْدَامٍ؛ وَمَنْفَعَةَ اسْتِمْتَاعٍ، فَلَمَّا لَمْ يَمْلِكِ الْأَوْلِيَاءُ الِاعْتِرَاضَ عَلَيْهَا فِي الِاسْتِخْدَامِ إِذَا أَجَّرَّتْ نَفْسَهَا بِأَقَلَّ مِنْ أُجْرَةِ مِثْلِهَا لَمْ يَمْلِكُوا الِاعْتِرَاضَ فِي الِاسْتِمْتَاعِ إِذَا زَوَّجَتْ نَفْسَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا.
Dasarnya adalah: mahar mitsilnya. Karena ia memiliki dua manfaat: manfaat penggunaan (istikhdam) dan manfaat kenikmatan (istimta‘). Ketika para wali tidak berhak mengajukan keberatan jika ia menyewakan dirinya dengan upah kurang dari upah mitsilnya, maka para wali juga tidak berhak mengajukan keberatan dalam hal kenikmatan (istimta‘) jika ia menikahkan dirinya dengan mahar kurang dari mahar mitsilnya.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّهُ أَحَدُ الْمَنْفَعَتَيْنِ فَلَمْ يَمْلِكْ أَوْلِيَاؤُهَا مَعَ جَوَازِ أَمْرِهَا الِاعْتِرَاضَ عَلَيْهَا فِي بَدَلِهِ كَالْإِجَارَةِ؛ وَلِأَنَّ وُجُوبَ الْمَهْرِ قَدْ يَكُونُ تَارَةً عَنِ اخْتِيَارٍ وَمُرَاضَاةٍ وَذَلِكَ فِي الْعُقُودِ، وَتَارَةً عَنْ غَيْرِ اخْتِيَارٍ وَمُرَاضَاةٍ وَذَلِكَ فِي إِصَابَةِ الشبهة وما شاكله فلما ملكت فحقيقة إِذَا وَجَبَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهَا فَأَوْلَى أَنْ تَمْلِكَ بحقيقة إِذَا وَجَبَ بِاخْتِيَارِهَا؛ لِأَنَّهُ مَعَ الِاخْتِيَارِ أَخَفُّ وَمَعَ عَدَمِهِ أَغْلَظُ، وَلِأَنَّ يَلْحَقُ الْأَوْلِيَاءَ مِنَ الْعَارِ إِذَا نَكَحَتْ بِأَخَسِّ الْأَمْوَالِ جِنْسًا كَالنَّوَى وقشور الرمان أكثر ما يَلْحَقُهُمْ إِذَا نَكَحَتْ بِأَقَلِّ الْمُهُورِ قَدْرًا، فَلَمَّا لَمْ يَكُنِ لِلْأَوْلِيَاءِ الِاعْتِرَاضُ عَلَيْهَا فِي خِسَّةِ الْجِنْسِ لَمْ يَكُنْ لَهُمُ الِاعْتِرَاضُ عَلَيْهَا فِي نُقْصَانِ الْقَدْرِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَدَّوُا الْعَلَائِقَ ” فَهُوَ أَنَّهُ أَمَرَ الْأَزْوَاجَ بِأَدَاءِ الْعَلَائِقِ وَقَوْلُهُ: ” إِنَّ العلائق ما تراضى به الأهلون ” يعني أهلي الْعَلَائِقِ، وَأَهْلُوهَا هُمُ الزَّوْجَاتُ دُونَ الْأَوْلِيَاءِ فَكَانَ الْخَبَرُ دَلِيلًا عَلَى أبي حنيفة لَا لَهُ.
Dan penjelasannya secara qiyās: bahwa ia adalah salah satu dari dua manfaat, maka para walinya tidak memiliki hak untuk menolak terhadapnya dalam hal penggantiannya, sebagaimana dalam ijarah; dan karena kewajiban mahar terkadang terjadi atas dasar pilihan dan kerelaan, yaitu dalam akad-akad, dan terkadang terjadi tanpa pilihan dan kerelaan, yaitu dalam kasus persetubuhan syubhat dan yang semisalnya. Maka ketika ia berhak memilikinya dalam kenyataan apabila mahar itu wajib tanpa pilihannya, maka lebih utama lagi ia berhak memilikinya dalam kenyataan apabila mahar itu wajib dengan pilihannya; karena dengan adanya pilihan itu lebih ringan, sedangkan tanpa pilihan itu lebih berat. Dan karena aib yang menimpa para wali jika ia menikah dengan mahar dari jenis harta yang paling rendah seperti biji kurma dan kulit delima, lebih besar daripada aib yang menimpa mereka jika ia menikah dengan mahar yang paling sedikit nilainya. Maka ketika para wali tidak memiliki hak untuk menolak dalam hal rendahnya jenis mahar, maka mereka juga tidak memiliki hak untuk menolak dalam hal sedikitnya kadar mahar. Adapun jawaban atas sabda Nabi ﷺ: “Tunaikanlah al-‘alā’iq,” maka maksudnya adalah beliau memerintahkan para suami untuk menunaikan al-‘alā’iq. Dan sabdanya: “Sesungguhnya al-‘alā’iq adalah apa yang disepakati oleh keluarga,” maksudnya adalah keluarga dari pihak al-‘alā’iq, dan yang dimaksud dengan keluarganya adalah para istri, bukan para wali. Maka hadis ini menjadi dalil bagi pendapat Abu Hanifah, bukan dalil bagi yang menentangnya.
وأما قياسه على البشع فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْأَوْلِيَاءَ إِنَّمَا مَلَكُوا الِاعْتِرَاضَ فِيهِ لِمَا فِيهِ مِنْ نَقْصِ النِّسَبِ وَدُخُولِ الْعَارِ عَلَى الْأَهْلِ وَالْوَلَدِ وَلَيْسَ فِي تَخْفِيفِ الْمَهْرِ عَارٌ كَمَا لَمْ يَكُنْ فِي إِسْقَاطِهِ عَارٌ وَهُوَ دَلِيلُ الشَّافِعِيِّ، وَفِي جَوَابٍ عَنِ استدلال، وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِدُخُولِ الضَّرَرِ عَلَى نِسَاءِ الْعَصَبَاتِ فلو كان لهذا المعنى بمستحق الاعتراض فيه لا تستحقه النساء اللائي يَدْخُلُ عَلَيْهِنَّ الضَّرَرُ دُونَ الْأَوْلِيَاءِ وَلَاشْتَرَكَ فِيهِ القريب والبعيد ولا اعتراض عليهن في الجنس كالاعتراض في القدر، وكانت مَمْنُوعَةً مِنَ الزِّيَادَةِ فِيهِ كَمَا مُنِعَتْ مِنَ النُّقْصَانِ مِنْهُ فَلَمَّا فَسَدَ الِاعْتِرَاضُ بِهَذِهِ الْمَعَانِي كان بالنقصان أفسد.
Adapun qiyās-nya dengan al-bash‘ (pernikahan yang buruk), maka jawabannya adalah bahwa para wali hanya memiliki hak untuk menolak dalam hal itu karena adanya cacat pada nasab dan masuknya aib kepada keluarga dan anak-anak. Sedangkan dalam pengurangan mahar tidak ada aib, sebagaimana tidak ada aib dalam penggugurannya, dan ini adalah dalil bagi asy-Syāfi‘ī. Dan sebagai jawaban atas istidlāl, adapun dalil dengan masuknya mudarat kepada para wanita dari kalangan ‘ashabah, maka jika makna ini menjadi alasan yang berhak untuk dijadikan dasar penolakan, tentu wanita-wanita yang terkena mudarat tanpa para wali juga berhak menolaknya, dan tentu yang dekat dan yang jauh akan sama-sama berhak menolaknya, dan tidak ada penolakan terhadap mereka dalam hal jenis mahar sebagaimana penolakan dalam hal kadar mahar. Dan tentu mereka juga dilarang menambahkannya sebagaimana mereka dilarang menguranginya. Maka ketika penolakan dengan alasan-alasan ini rusak, maka penolakan karena pengurangan mahar lebih rusak lagi.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا وِلَايَةَ لأحدٍ مِنْهُمْ وَثَمَّ أَوْلَى مِنْهُ “.
Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Tidak ada hak perwalian bagi seseorang dari mereka sementara ada yang lebih berhak darinya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar.
قَدْ ذَكَرْنَا بِأَنَّ أَقْرَبَ الْعَصَبَاتِ أَحَقُّ بِالْوِلَايَةِ مِنَ الْأَبْعَدِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ التَّرْتِيبِ.
Telah kami sebutkan bahwa ‘ashabah yang paling dekat lebih berhak menjadi wali daripada yang lebih jauh, sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan sebelumnya.
وَقَالَ مَالِكٌ إِذَا كَانَ الْأَبْعَدُ سَيِّدَ الْعَشِيرَةِ كَانَ أَحَقَّ مِنَ الْأَقْرَبِ كَالَّتِي لَهَا عَمٌّ هُوَ سَيِّدُ عَشِيرَتِهِ وَلَهَا إِخْوَةٌ فَالْعَمُّ أَحَقُّ بِنِكَاحِهَا مِنَ الْإِخْوَةِ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:
Imam Mālik berkata: Jika yang lebih jauh adalah pemimpin kabilah, maka ia lebih berhak daripada yang lebih dekat, seperti seorang wanita yang memiliki paman yang merupakan pemimpin kabilahnya dan ia juga memiliki saudara-saudara laki-laki, maka pamannya lebih berhak menikahkannya daripada saudara-saudaranya, dengan berdalil pada dua hal:
أَحَدُهُمَا: مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهَا أَوْ ذِي الرَّأْيِ مِنْ أَهْلِهَا، أو السلطان ” فحمل ذي الرَّأْيِ مُقَدَّما.
Pertama: Riwayat dari ‘Umar radhiyallāhu ta‘ālā ‘anhu bahwa ia berkata: “Seorang wanita tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izin walinya atau orang yang berakal dari keluarganya, atau penguasa.” Maka orang yang berakal dari keluarganya didahulukan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ بِفَضْلِ رِئَاسَتِهِ أَقْدَرُ عَلَى تَخَيُّرِ الْأَكْفَاءِ وَلِلرَّغْبَةِ فِيهِ تَعْدِلُ إِلَيْهِ الزُّعَمَاءُ وَهَذَا خَطَأٌ، وَاسْتِحْقَاقُ الْوِلَايَةِ بِالْقُرْبِ أَوْلَى مِنَ اسْتِحْقَاقِهَا بِالرِّئَاسَةِ مَعَ الْبُعْدِ لِأُمُورٍ.
Kedua: Karena dengan keutamaan kepemimpinannya, ia lebih mampu memilih pasangan yang sekufu, dan karena keinginan terhadapnya, para pemimpin akan condong kepadanya. Namun ini adalah kekeliruan, dan hak perwalian karena kedekatan lebih utama daripada hak perwalian karena kepemimpinan dengan jarak yang lebih jauh, karena beberapa alasan.
مِنْهَا: أن الرئاسة الْأَبْعَدَ لَمَّا لَمْ يَسْتَحِقُّ بِهَا الْوِلَايَةَ مَعَ الأب فكذلك مع كل عصبة هو الأقرب، وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَقَدَّمُ بِالرِّئَاسَةِ فِي الْوِلَايَةِ عَلَى الْمَالِ لَمْ يَتَقَدَّمْ بِالرِّئَاسَةِ فِي الْوِلَايَةِ على النكاح، ولأن ما استحق بالتسليم يؤثر فيه الرياضة كالميراث.
Di antaranya: Bahwa kepemimpinan orang yang lebih jauh tidak menjadikannya berhak atas perwalian bersama ayah, maka demikian pula dengan setiap ‘ashabah yang lebih dekat. Dan karena kepemimpinan tidak mendahulukan dalam perwalian atas harta, maka tidak pula mendahulukan dalam perwalian atas nikah. Dan karena apa yang diperoleh dengan penyerahan berpengaruh padanya seperti warisan.
فأما الأثر عن عمر رضي الله تعالى عَنْهُ فَهُوَ دَلِيلُنَا؛ لِأَنَّهُ قَدَّمَ الْوَلِيَّ عَلَى ذِي الرَّأْيِ مِنَ الْأَهْلِ، وَأَمَّا قُدْرَتُهُ عَلَى تخير الأكفاء وما يتوجه إليه من تخير الأكفاء فَهَذَا الْمَعْنَى لَا يَزُولُ إِذَا بَاشَرَ عَقْدَهَا من هو أقرب منه.
Adapun atsar dari ‘Umar radhiyallāhu ta‘ālā ‘anhu, maka itu adalah dalil bagi kami; karena ia mendahulukan wali atas orang yang berakal dari keluarganya. Adapun kemampuannya dalam memilih pasangan yang sekufu dan apa yang terkait dengannya, maka makna ini tidak hilang jika akadnya dilakukan oleh yang lebih dekat darinya.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” فَإِنْ كَانَ أَوْلَاهُمْ بِهَا مَفْقُودًا أَوْ غَائِبًا بعيدهً كانت غيبته أم قَرِيبَةً زَوَّجَهَا السُّلْطَانُ بَعْدَ أَنْ يَرْضَى الْخَاطِبُ وَيَحْضُرَ أَقْرَبُ وُلَاتِهَا وَأَهْلُ الْحَزْمِ مِنْ أَهْلِهَا ويقول هَلْ تَنْقِمُونَ شَيْئًا؟ فَإِنْ ذَكَرُوهُ نُظِرَ فِيهِ “.
Imam asy-Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: “Jika wali yang paling berhak itu hilang atau sedang tidak ada, baik ketidakhadirannya itu jauh maupun dekat, maka penguasa (sulṭān) yang menikahkan setelah calon suami setuju dan wali terdekat serta orang-orang yang bijaksana dari keluarganya hadir, lalu penguasa berkata: ‘Apakah kalian menolak sesuatu?’ Jika mereka menyebutkan sesuatu, maka akan dipertimbangkan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Māwardī berkata: “Dan ini benar.”
إِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْوِلَايَةَ يَسْتَحِقُّهَا الْأَقْرَبُ دُونَ الأبعد فكان الأقرب مفقوداً أو غائباً لم ينتقل الولاية عنه إلى ما هُوَ أَبْعَدُ.
Apabila telah tetap bahwa hak perwalian itu dimiliki oleh yang terdekat, bukan yang lebih jauh, maka jika yang terdekat itu hilang atau tidak ada, hak perwalian tidak berpindah darinya kepada yang lebih jauh.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ كَانَ الْأَقْرَبُ مَفْقُودًا انْتَقَلَتِ الْوِلَايَةُ إِلَى مَنْ هُوَ أبعد وإن كان غائباً معروف المكان وإن كانت غيبته منقطعة انْتَقَلَتِ الْوِلَايَةُ إِلَى الْأَبْعَدِ، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُنْقَطِعَةٍ لَمْ تَنْتَقِلْ.
Abū Ḥanīfah berkata: Jika yang terdekat itu hilang, maka hak perwalian berpindah kepada yang lebih jauh. Jika ia tidak ada namun diketahui tempatnya, dan jika ketidakhadirannya terputus (tidak ada kabar sama sekali), maka hak perwalian berpindah kepada yang lebih jauh. Namun jika ketidakhadirannya tidak terputus, maka tidak berpindah.
قَالَ محمد بن الحسن: وَالْغَيْبَةُ الْمُنْقَطِعَةُ مِنَ ” الْكُوفَةِ ” إِلَى ” الرِّقَّةِ ” وَغَيْرُ الْمُنْقَطِعَةِ مِنَ ” الْكُوفَةِ ” إِلَى ” بَغْدَادَ “.
Muḥammad bin al-Ḥasan berkata: Ketidakhadiran yang terputus itu misalnya dari Kufah ke ar-Raqqah, sedangkan yang tidak terputus itu dari Kufah ke Baghdad.
وَاسْتَدَلَّ عَلَى انتقالها بالغيبة إلى الأبعد بأنه قد يتعذر منه تزويجها بالغيبة كما لا يتعذر منه بالجنون، والرق، فلما انتقلت بِجُنُونِهِ وَرِقِّهِ انْتَقَلَتْ عَنْهُ بِغَيْبَتِهِ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لأنها ولاية لا تنتقل بغيبة منقطعة كَالْوِلَايَةِ عَلَى الْمَالِ وَلِأَنَّهَا غيبة لا ينقطع بها ولاء المال فوجب أن لا تنتقل بِهَا وِلَايَةُ النِّكَاحِ كَالْغَيْبَةِ الَّتِي لَيْسَتْ مُنْقَطِعَةً، وَلِأَنَّ الْغَيْبَةَ لَا تُزِيلُ وِلَايَتَهُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ زَوَّجَهَا فِي غَيْبَتِهِ صَحَّ، وَلَوْ وَكَّلَ فِي تزويجها جاز وإذا لم يزل عَنْهُ لَمْ تُنْتقَلْ إِلَى مَنْ هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُ كَالْحَاضِرِ.
Dan mereka berdalil tentang berpindahnya hak perwalian karena ketidakhadiran kepada yang lebih jauh dengan alasan bahwa terkadang pernikahan tidak dapat dilakukan karena ketidakhadiran, sebagaimana tidak dapat dilakukan karena gila atau perbudakan. Maka sebagaimana hak perwalian berpindah karena gila atau perbudakan, maka berpindah pula karena ketidakhadiran. Ini adalah kekeliruan; karena ini adalah hak perwalian yang tidak berpindah karena ketidakhadiran yang terputus, seperti halnya perwalian atas harta. Dan karena ketidakhadiran itu tidak memutuskan hubungan kepemilikan harta, maka seharusnya tidak berpindah pula hak perwalian nikah karenanya, sebagaimana ketidakhadiran yang tidak terputus. Dan karena ketidakhadiran tidak menghilangkan hak perwaliannya; sebab jika ia menikahkan dalam ketidakhadirannya, maka sah, dan jika ia mewakilkan untuk menikahkan juga diperbolehkan. Maka jika hak perwaliannya tidak hilang, tidak berpindah kepada yang lebih jauh darinya, sebagaimana halnya jika ia hadir.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِتَعَذُّرِ النِّكَاحِ مِنْهُ فَلَيْسَ تَعَذُّرُهُ مَعَ بَقَاءِ الْوِلَايَةِ يُوجِبُ انْتِقَالَهَا عنه كالعضل.
Adapun dalil mereka tentang sulitnya menikah dari wali yang tidak hadir, maka kesulitan tersebut dengan tetapnya hak perwalian tidak menyebabkan berpindahnya hak perwalian darinya, sebagaimana dalam kasus ‘aḍl (wali menghalangi pernikahan).
فَصْلٌ
Fashl (Bagian)
فَإِذَا صَحَّ أَنَّ الْوِلَايَةَ لَا تَنْتَقِلُ عَنْهُ بِالْفَقْدِ وَالْغَيْبَةِ إِلَى مَنْ هُوَ أَبْعَدُ لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ مَفْقُودًا أَوْ غَائِبًا، فَإِنْ كَانَ مَفْقُودًا لَا يُعْرَفُ مَكَانُهُ وَلَا يُعْلَمُ خَبَرُهُ زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ النَّائِبُ عَنِ الْغَيْبِ فِي حُقُوقِهِمْ كَمَا زَوَّجَهَا عَنْهُ إِذَا عَضَلَ.
Jika telah sah bahwa hak perwalian tidak berpindah darinya karena hilang atau tidak hadir kepada yang lebih jauh, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: hilang atau tidak hadir. Jika ia hilang, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui beritanya, maka hakim yang mewakili orang-orang yang tidak hadir dalam hak-hak mereka yang menikahkan, sebagaimana hakim menikahkan atas nama wali jika wali melakukan ‘aḍl.
وإن كان غائباً لم تخل المسافة غَيْبَتِهِ أَنْ تَكُونَ قَرِيبَةً أَوْ بَعِيدَةً فَإِنْ كَانَتْ بَعِيدَةً وَهُوَ أَنْ يَكُونَ عَلَى أَكْثَرِ مِنْ مَسَافَةِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ اسْتِئْذَانِهِ فِيهِ، لِأَنَّ اسْتِئْذَانَهُ مَعَ بُعْدِ الْغَيْبَةِ شَاقٌّ؛ وَلِأَنَّ طُولَ الزَّمَانِ فِي بعد المسافة ففوت عَلَى الزَّوْجَةِ حَقَّهَا مِنَ الْعَقْدِ، وَإِنْ كَانَتْ غيبته قريبة وهو أن يكون أقل من مسافة يوم وليلة وقد اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ تَزْوِيجِ الْحَاكِمِ لَهَا بِغَيْرِ إِذْنِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika ia tidak hadir, maka jarak ketidakhadirannya tidak lepas dari dua kemungkinan: dekat atau jauh. Jika jauh, yaitu lebih dari jarak perjalanan sehari semalam, maka hakim menikahkan atas namanya tanpa meminta izinnya, karena meminta izinnya dengan jauhnya jarak sangat memberatkan; dan karena lamanya waktu akibat jauhnya jarak dapat menyebabkan istri kehilangan haknya untuk segera menikah. Jika ketidakhadirannya dekat, yaitu kurang dari jarak perjalanan sehari semalam, maka ulama kami berbeda pendapat tentang bolehnya hakim menikahkan tanpa izinnya dalam dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُزَوِّجُهَا الْحَاكِمُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ لِلْمَعْنَيَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّهُ قَالَ: بَعِيدَةً كَانَتْ غَيْبَتُهُ أَوْ قَرِيبَةً.
Pertama: Hakim boleh menikahkan tanpa izinnya karena dua alasan yang telah disebutkan sebelumnya, dan ini adalah pendapat yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i, karena beliau berkata: “Baik ketidakhadirannya jauh maupun dekat.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ تَزْوِيجُهَا إِلَّا بِإِذْنِهِ؛ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْحَاضِرِ إِذْ لَيْسَ لَهُ التَّرَخُّصُ بِأَحْكَامِ السَّفَرِ، وَتَأَوَّلَ قَائِلُ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلَامَ الشَّافِعِيِّ ” بعيدة كانت غيبته أم قريبة ” على قرب الزمان كقرب الْمَكَانِ كَأَنَّهُ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ قَدْ سَافَرَ مِنْ زَمَانٍ قَرِيبٍ أَوْ مِنْ زَمَانٍ بَعِيدٍ وَإِنْ فَرَّقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ سَفَرُهُ إِلَى مَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ مَكَانٍ بَعِيدٍ.
Pendapat kedua: Tidak boleh bagi hakim menikahkan kecuali dengan izinnya; karena ia dalam hukum orang yang hadir, sebab ia tidak mendapatkan keringanan hukum safar. Orang yang berpendapat ini dari kalangan ulama kami menafsirkan perkataan asy-Syafi‘i “baik ketidakhadirannya jauh maupun dekat” sebagai kedekatan waktu sebagaimana kedekatan tempat, seakan-akan beliau tidak membedakan antara bepergian dalam waktu yang dekat atau waktu yang lama, meskipun beliau membedakan antara bepergian ke tempat yang dekat atau tempat yang jauh.
فصل
Fashl (Bagian)
إذا أراد الحاكم تزويجها بفقد الْوَلِيِّ وَغَيْبَتِهِ عَلَى مَا وَصَفْنَا فَقَدِ اخْتَارَ الشَّافِعِيُّ لَهُ إِحْضَارَ أَهْلِهَا مِمَّنْ لَهُ وِلَايَةٌ كَالْعَصَبَاتِ أَوْ لَا وِلَايَةَ لَهُ كَالْأَخْوَالِ لِيُشَاوِرَهُمْ في تزويجها وليسألهم عَنْ كَفَاءَةِ زَوْجِهَا اسْتِطَابَةً لِنُفُوسِهِمْ كَمَا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نعيماً أن يشاور ابنته إن لَمْ يَكُنْ لَهَا فِي الْوِلَايَةِ حَقٌّ، وَلِأَنَّهُمْ أَعْرَفُ بِحَالِهَا وَحَالِ الزَّوْجِ لِمَكَانِ اخْتِصَاصِهِمْ وَكَثْرَةِ فَرَاغِهِمْ مِنَ الْحَاكِمِ فَإِذَا أَحْضَرَهُمُ الْحَاكِمُ لِلْمُشَاوَرَةِ فِي نِكَاحِهَا كَانَ مَعَهُمْ فِيهِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ: أَنْ يَقُولَ لَهُمُ اخْتَارُوا زَوْجًا، فَإِذَا اخْتَارُوا نَظَرَ الْحَاكِمُ فِي كَفَاءَتِهِ فَإِنْ كَانَ كفء زوجها عَنْ إِذْنِهَا وَإِنْ كَانَ غَيْرَ كُفْءٍ لَمْ يُزَوِّجْهَا بِهِ وَإِنْ أَذِنَتْ فِيهِ وَرَضِيَهُ أَهْلُهَا؛ لأن للغائب حقاً في طلب الأكفاء لها، وبين أن يختار الحاكم لها كفء ثُمَّ يَسْأَلُ الْأَوْلِيَاءَ عَنْهُ بَعْدَ إِذْنِ الزَّوْجَةِ فِيهِ فَإِنْ لَمْ يَقْدَحُوا فِي كَفَاءَتِهِ زَوَّجَهَا بِهِ سَوَاءً أَرَادُوهُ أَوْ لَمْ يُرِيدُوهُ، فَإِنْ قَدَحُوا فِيهِ نَظَرَ الْحَاكِمُ فِيمَا ذَكَرُوهُ مِنَ الْقَدْحِ فَإِنْ كَانَ مَانِعًا مِنَ الْكَفَاءَةِ لَمْ يزوجها به والتمس لها غيره، وإن كان غير مَانِعٍ مِنَ الْكَفَاءَةِ زَوَّجَهَا بِهِ وَإِنْ كَرِهُوهُ؛ لأن المعتبر رضى الْمَنْكُوحَةِ دُونَهُمْ وَإِنَّمَا يُعْتَبَرُ مِنْهُمُ اخْتِيَارُ الْأَكْفَاءِ وَيُسْتَحَبُّ لِلْحَاكِمِ إِذَا تَعَذَّرَ تَزْوِيجُهَا بِمَنْ يَقَعُ عَلَيْهِ الِاخْتِيَارُ أَنْ يَرُدَّ الْعَقْدَ إِلَى الْحَاضِرِ دمن أَوْلِيَائِهَا لِيُكُونَ عَقْدُهُ مُتَّفَقًا عَلَى صِحَّتِهِ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ وَتَفَرَّدَ بِالْعَقْدِ مِنْ غَيْرِ مُشَاوَرَتِهِمْ جاز والله أعلم.
Jika hakim ingin menikahkan seorang perempuan karena tidak adanya wali dan ketiadaannya sebagaimana telah kami jelaskan, maka Imam Syafi‘i memilih agar hakim menghadirkan keluarganya, baik yang memiliki hak wilayah seperti para ‘ashabah, maupun yang tidak memiliki hak wilayah seperti para paman dari pihak ibu, untuk bermusyawarah dengan mereka dalam pernikahan tersebut dan untuk menanyakan kepada mereka tentang kecocokan (kafā’ah) calon suaminya, sebagai bentuk mencari kerelaan hati mereka, sebagaimana Rasulullah ﷺ memerintahkan Nu‘aym untuk bermusyawarah dengan putrinya jika ia tidak memiliki hak wilayah. Hal ini karena mereka lebih mengetahui keadaan perempuan itu dan keadaan calon suaminya, mengingat kedekatan hubungan mereka dan waktu luang mereka yang lebih banyak dibandingkan hakim. Apabila hakim telah menghadirkan mereka untuk bermusyawarah dalam pernikahan tersebut, maka hakim memiliki dua pilihan: Pertama, hakim berkata kepada mereka, “Pilihlah seorang suami.” Jika mereka telah memilih, maka hakim meneliti kecocokan (kafā’ah) calon tersebut; jika ia memang sekufu’, maka hakim menikahkannya atas izin perempuan itu. Namun jika ia tidak sekufu’, maka hakim tidak menikahkannya dengannya, meskipun perempuan itu mengizinkan dan keluarganya meridhainya; karena wali yang tidak hadir tetap memiliki hak untuk memilihkan yang sekufu’ baginya. Kedua, hakim memilihkan seorang yang sekufu’ untuknya, kemudian bertanya kepada para wali tentang calon tersebut setelah mendapat izin dari perempuan itu. Jika para wali tidak menolak kecocokan calon tersebut, maka hakim menikahkannya, baik mereka menginginkannya maupun tidak. Jika mereka menolak, maka hakim meneliti alasan penolakan mereka; jika alasan tersebut memang menghalangi kecocokan, maka hakim tidak menikahkannya dan mencari calon lain untuknya. Namun jika alasan tersebut tidak menghalangi kecocokan, maka hakim menikahkannya meskipun mereka tidak menyukainya; karena yang menjadi pertimbangan adalah kerelaan perempuan yang dinikahkan, bukan kerelaan mereka. Dari mereka hanya dipertimbangkan dalam hal memilihkan yang sekufu’. Dianjurkan bagi hakim, jika tidak memungkinkan menikahkannya dengan orang yang dipilih, agar mengembalikan akad kepada wali yang hadir dari kalangan keluarganya, agar akad tersebut disepakati keabsahannya. Jika tidak dilakukan dan hakim sendiri yang melangsungkan akad tanpa bermusyawarah dengan mereka, maka hal itu tetap sah. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ عَضَلَهَا الْوَلِيُّ زَوَّجَهَا السُّلْطَانُ وَالْعَضْلُ أَنْ تَدْعُوَ إِلَى مِثْلِهَا فَيَمْتَنِعَ “.
Imam Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Jika wali menghalangi (perempuan) untuk menikah, maka penguasa (sulṭān) yang menikahkannya. ‘Aḍl adalah ketika perempuan meminta dinikahkan dengan orang yang sekufu’ dengannya, namun wali menolak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar.
إِذَا دَعَتِ الْمَرْأَةُ وَلِيَّهَا إِلَى تَزْوِيجِهَا فَعَلَيْهِ إِجَابَتُهَا وَهُوَ حَرِجٌ إِنِ امْتَنَعَ قَصْدًا لِلْإِضْرَارِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَلاَ تَعْضِلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ) {البقرة: 232) فَإِنْ عَضَلَهَا لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ فِي دَرَجَتِهِ مِنَ الْعَصَبَاتِ غَيْرُهُ أَمْ لا فإن كان في درجة غيره كأنه وَاحِدٌ مِنْ إِخْوَتِهَا، أَوْ وَاحِدٌ مِنْ بَنِي عَمِّهَا عَدَلَتْ عَنْهُ إِلَى مَنْ فِي دَرَجَتِهِ من أخوتها، أو بني عمتها، وَلَيْسَ لِلْحَاكِمِ مَعَهُمْ مَدْخَلٌ إِذَا زَوَّجَهَا غَيْرُ العاضل من تساوا به فِي النَّسَبِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي دَرَجَتِهِ من الأولياء أحد وكانوا أبعد منه تساو عدلت عن الفاضل إِلَى الْحَاكِمِ وَلَمْ تَعْدِلْ إِلَى الْبَعِيدِ فِي النَّسَبِ؛ لِأَنَّ عَضْلَهُ لَا يُزِيلُ وِلَايَتَهُ، وَعَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يُحْضِرَهُ، وَيَسْأَلَهُ عَنْ سَبَبِ عَضْلِهِ؛ فإن كان الزَّوْجُ الَّذِي دَعَتْ إِلَيْهِ غَيْرَ كُفْءٍ لَمْ يَكُنْ عَاضِلًا؛ لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ نِكَاحِ غَيْرِ الْكُفْءِ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْحَاكِمِ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِهِ.
Jika seorang perempuan meminta walinya untuk menikahkannya, maka wajib bagi wali untuk memenuhi permintaannya. Ia berdosa jika menolak dengan sengaja untuk menyusahkannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Maka janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah dengan suami-suami mereka} (al-Baqarah: 232). Jika wali menghalanginya, maka tidak lepas dari dua keadaan: ada wali lain yang setingkat dengannya dari kalangan ‘ashabah atau tidak ada. Jika ada yang setingkat dengannya, seperti salah satu dari saudara laki-lakinya, atau salah satu dari anak paman laki-lakinya, maka perempuan itu berpindah kepada yang setingkat dengannya dari saudara-saudaranya atau anak paman perempuannya. Hakim tidak berwenang jika pernikahan dilakukan oleh selain wali yang menghalangi dari kalangan yang setingkat dalam nasab. Jika tidak ada yang setingkat dengannya dari para wali dan yang ada lebih jauh dalam hubungan nasab, maka perempuan itu berpindah dari wali yang menghalangi kepada hakim, dan tidak berpindah kepada wali yang lebih jauh dalam nasab; karena penghalangan wali tidak menghilangkan hak wilayahnya. Hakim wajib menghadirkannya dan menanyakan alasan penghalangannya; jika calon suami yang diminta perempuan itu tidak sekufu’, maka wali tidak dianggap menghalangi, karena ia berhak mencegah perempuan dari menikah dengan yang tidak sekufu’, dan hakim tidak berwenang menikahkannya dengan calon tersebut.
وَقَالَ لَهَا: إِنْ أَرَدْتِ زَوْجًا فَالْتَمِسِي غَيْرَهُ مِنَ الْأَكْفَاءِ وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ الذي دعت إليه المرأة كفء وكان امتناع الولي لِكَرَاهَتِهِ وَبُغْضِهِ لَا لِعَدَمِ كَفَاءتِهِ صَارَ الْوَلِيُّ حِينَئِذٍ عَاضِلًا.
Dan hakim berkata kepada perempuan itu: “Jika engkau menginginkan suami, maka carilah selain dia dari kalangan yang sekufu’.” Jika calon suami yang diminta perempuan itu sekufu’ dan penolakan wali hanya karena tidak suka atau benci, bukan karena tidak sekufu’, maka saat itu wali dianggap menghalangi.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَالْعَضْلُ أَنْ تَدْعُوَ إِلَى مِثْلِهَا فَيَمْتَنِعُ ” فَحِينَئِذٍ يَأْمُرُهُ الْحَاكِمُ بِتَزْوِيجِهَا ولا يتولاه الحاكم ما لم يتم الْوَلِيُّ عَلَى الِامْتِنَاعِ فَإِذَا أَجَابَ وَزَوَّجَ بَعْدَ الِامْتِنَاعِ زَالَتْ يَدُ الْحَاكِمِ عَنِ الْعَقْدِ، وَإِنْ أَقَامَ عَلَى الِامْتِنَاعِ زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ حينئذٍ عَنْهُ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَإِنِ اشْتَجَرُوا أَوْ قَالَ: اخْتَلَفُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “؛ وَلِأَنَّ تَزْوِيجَهَا حَقٌّ عَلَى وَلِيِّهَا وَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ حَقٌّ فَامْتَنَعَ مِنْهُ أَخَذَهُ الْحَاكِمُ بِهِ جَبْرًا فَقَامَ مَقَامَهُ في إدائه كقضاء الديون من ماله.
Imam asy-Syafi‘i berkata: “Al-‘adl (menghalangi) adalah ketika wali mengajak kepada laki-laki yang sepadan dengannya (perempuan), namun ia menolak.” Pada saat itu, hakim memerintahkan wali untuk menikahkan perempuan tersebut. Hakim tidak langsung menikahkan selama wali belum benar-benar menetap dalam penolakannya. Jika kemudian wali menerima dan menikahkan setelah sebelumnya menolak, maka wewenang hakim atas akad tersebut hilang. Namun jika wali tetap bersikeras menolak, maka hakimlah yang menikahkan perempuan itu atas nama wali, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Jika mereka berselisih atau berbeda pendapat, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” Karena menikahkan perempuan adalah hak wali, dan siapa yang wajib menunaikan suatu hak lalu ia menolak, maka hakim memaksanya untuk melaksanakan hak tersebut, sehingga hakim menggantikan posisinya dalam menunaikannya, sebagaimana pelunasan utang dari hartanya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَوَكِيلُ الْوَلِيِّ يَقُومُ مَقَامَهُ فَإِنْ زَوَّجَهَا غَيْرَ كفؤٍ لَمْ يَجُزْ “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Wakil wali menempati posisinya. Jika ia menikahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu‘ (sepadan), maka tidak sah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْوَكَالَةُ فِي التَّزْوِيجِ جَائِزَةٌ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa perwakilan (wakalah) dalam pernikahan adalah boleh.
وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: لا يجوز اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْوَلِيَّ لَمَّا لَمْ يَكُنْ لَهُ أن يرضى بِالْوِلَايَةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهَا؛ وَلِأَنَّ الْوَلِيَّ نَائِبٌ فَلَمْ يَكُنْ أَنْ يُوَكِّلَ من ينوب عنه كالوكيل الذي يَجُوزُ أَنْ يُوكِّلَ غَيْرَهُ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ” وَإِذْنُ الْوَلِيِّ إِنَّمَا صَحَّ فِي الْوَكَالَةِ لَا لِلْمَنْكُوحَةِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَكَّلَّ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ فِي تَزْوِيجِ أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ فأصدقها النجاشي عنه أَرْبَعَمِائَةَ دِينَارٍ: فَجَعَلَ عَبْدُ الْمَلِكَ بْنُ مَرْوَانَ ذَلِكَ حَدَّ الصَّدَاقِ لِلشَّرِيفَاتِ مِنْ قَوْمِهُ، وَوَكَّلَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَا رَافِعٍ فِي تَزْوِيجِ مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ الْهِلَالِيَّةِ بِمَكَّةَ سَنَةَ سَبْعٍ فَرَدَّتْ أَمْرَهَا إِلَى الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَزَوَّجَهَا بِهِ، وَكَانَ الْعَبَّاسُ زَوْجَ أُخْتِهَا أُمِّ الْفَضْلِ، فَإِنْ قِيلَ: فهذا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ أَنَّ تَعْقِدَ عَلَى نَفْسِهَا؛ لِأَنَّهَا رَدَّتْ أَمْرَهَا إِلَى الْعَبَّاسِ، وَلَمْ يَكُنْ وَلِيًّا لَهَا فَعَنْ هَذَا أَرْبَعَةُ أَجْوِبَةٍ:
Abu Tsaur berkata: Tidak boleh, dengan alasan bahwa wali, ketika ia sendiri tidak berhak menerima perwalian, maka ia juga tidak berhak mewakilkan dalam perwalian itu. Karena wali adalah perwakilan, maka tidak boleh ia mewakilkan kepada orang lain yang juga menjadi perwakilan, berbeda dengan wakil yang boleh mewakilkan kepada selainnya. Ini adalah kekeliruan, karena sabda Nabi ﷺ: “Siapa saja perempuan yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal.” Dan izin wali itu sah dalam perwakilan, bukan untuk perempuan yang dinikahkan. Juga karena Nabi ﷺ pernah mewakilkan ‘Amr bin Umayyah adl-Dlamri dalam pernikahan Ummu Habibah binti Abu Sufyan di negeri Habasyah, lalu Najasyi memberikan mahar atas nama beliau sebanyak empat ratus dinar. Maka Abdul Malik bin Marwan menjadikan jumlah itu sebagai batas mahar bagi para wanita mulia dari kaumnya. Rasulullah ﷺ juga mewakilkan Abu Rafi‘ dalam pernikahan Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyyah di Makkah pada tahun ketujuh, lalu Maimunah menyerahkan urusannya kepada al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muththalib, kemudian al-‘Abbas menikahkannya dengan Nabi. Al-‘Abbas adalah suami dari saudara perempuan Maimunah, yaitu Ummul Fadhl. Jika ada yang berkata: Ini menunjukkan bahwa perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, karena ia menyerahkan urusannya kepada al-‘Abbas, padahal al-‘Abbas bukan walinya, maka atas hal ini terdapat empat jawaban:
أَحَدُهَا: أَنَّ هَذَا كَانَ قَبْلَ اسْتِقْرَارِ الشَّرْعِ في عقود المناكح واشتراط الولي.
Pertama: Hal itu terjadi sebelum syariat menetapkan aturan tetap dalam akad pernikahan dan syarat adanya wali.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ تَزْوِيجُهُ لَهَا بِأَنْ كَانَ سَفِيرًا فِي الْعَقْدِ وَمُشِيرًا.
Kedua: Bisa jadi pernikahan itu dilakukan karena al-‘Abbas berperan sebagai utusan dan penasehat dalam akad.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَلَيُّهَا رَدَّ ذَلِكَ إِلَيْهِ فَزَوَّجَهَا.
Ketiga: Bisa jadi walinya telah menyerahkan urusan itu kepada al-‘Abbas, lalu al-‘Abbas menikahkannya.
وَالرَّابِعُ: قَالَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَخْصُوصٌ أَنْ يَنْكِحَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ.
Keempat: Sebagian ulama kami berkata, Nabi ﷺ memiliki kekhususan boleh menikah tanpa wali.
وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْوَكَالَةِ أَنَّ النِّكَاحَ عَقْدٌ يُقْصَدُ فِيهِ الْمُعَاوَضَةُ فَصَحَّتْ فِيهِ الْوَكَالَةُ كَالْبُيُوعِ، فَأَمَّا الْوَصِيَّةُ به فإنها لم تصح لانقطاع ولايته بموته فصار موجباً فِي حَقِّ غَيْرِهِ وَهُوَ فِي الْوَكَالَةِ مُوَكِّلٌ مَعَ بَقَاءِ حَقِّهِ فَصَحَّتْ وَكَالَتُهُ، وَإِنْ لَمْ تَصِحَّ وَصِيتُهُ، وَأَمَّا الْوَكِيلُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُوَكِّلَ؛ لِأَنَّهُ مُسْتَنَابٌ بِعَقْدٍ، وَالْوَلِيُّ يَجُوزُ أَنْ يوكل؛ لأنه مالك بالشرع فافترقا.
Yang menunjukkan bolehnya wakalah (perwakilan) adalah bahwa akad nikah merupakan akad yang bertujuan tukar-menukar (mu‘awadhah), sehingga sah di dalamnya perwakilan sebagaimana dalam jual beli. Adapun wasiat dalam pernikahan tidak sah, karena perwalian terputus dengan kematian, sehingga menjadi kewajiban bagi selain dirinya. Dalam wakalah, ia adalah pemberi kuasa selama haknya masih ada, sehingga sah perwakilannya meskipun wasiatnya tidak sah. Adapun wakil, tidak boleh mewakilkan lagi, karena ia adalah perwakilan berdasarkan akad, sedangkan wali boleh mewakilkan karena ia memiliki hak secara syar‘i, maka keduanya berbeda.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ جَوَازُ الْوَكَالَةِ فِي النِّكَاحِ جَازَ أَنْ يُوَكِّلَ الْوَلِيَّ وَالزَّوْجَ، وَلَمْ يَجُزْ أن يوكل الزَّوْجَةَ، لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لِلزَّوْجَةِ فِي مُبَاشَرَةِ الْعَقْدِ فَلَمْ يَصِحَّ مِنْهَا التَّوْكِيلُ فِيهِ، وَإِذَا كان كذلك فحكم الوكالة فيه يتعلق بِفَصْلَيْنِ:
Jika telah tetap bolehnya wakalah dalam pernikahan, maka boleh bagi wali dan suami untuk mewakilkan, namun tidak boleh bagi istri untuk mewakilkan, karena istri tidak memiliki hak dalam langsung melakukan akad, sehingga tidak sah baginya mewakilkan dalam hal itu. Dengan demikian, hukum wakalah dalam pernikahan terbagi menjadi dua bagian:
أَحَدُهُمَا: فِي تَوْكِيلِ الْوَلِيِّ.
Pertama: Dalam hal wakalah oleh wali.
وَالثَّانِي: فِي تَوْكِيلِ الزَّوْجِ.
Kedua: Dalam hal wakalah oleh suami.
فَأَمَّا تَوْكِيلُ الْوَلِيِّ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهِ إِلَّا مَنْ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ وَلِيًّا فِيهِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا بالغاً حراً مسلماً رشيداً فإذا اجتمعت هَذِهِ الْأَوْصَافُ السِّتَّةُ صَحَّ تَوْكِيلُهُ كَمَا تَصِحُّ تَصِحُّ وِلَايَتُهُ، وَإِنْ أَخَلَّ بِأَحَدِ هَذِهِ الْأَوْصَافِ فَوَكَّلَ امْرَأَةً، أَوْ صَغِيرًا، أَوْ مَجْنُونًا، أَوْ عَبْدًا، أَوْ كَافِرًا، أَوْ سَفِيهًا لَمْ يَجُزْ وَكَانَتِ الْوَكَالَةُ بَاطِلَةً، فَإِنْ عَقَدَ بِهَا كَانَ الْعَقْدُ فَاسِدًا فَإِذَا تَكَامَلَتْ فِي الْوَكِيلِ هَذِهِ الشروط الست لم يحل حَالُ الْوَلِيِّ الْمُوَكِّلِ لَهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Adapun perwakilan (tawkil) oleh wali, maka tidak boleh ia mewakilkan (urusan perwalian) kecuali kepada orang yang sah menjadi wali dalam perkara tersebut, yaitu harus laki-laki, baligh, merdeka, muslim, dan berakal sehat (rasyid). Jika keenam sifat ini terkumpul pada seseorang, maka sah perwakilannya sebagaimana sah pula kewaliannya. Namun jika salah satu sifat ini tidak terpenuhi—misalnya ia mewakilkan kepada perempuan, anak kecil, orang gila, budak, kafir, atau orang safih (tidak cakap)—maka tidak boleh dan perwakilan itu batal. Jika akad dilakukan dengan perwakilan tersebut, maka akadnya fasid (rusak). Apabila keenam syarat ini telah sempurna pada wakil, maka keadaan wali yang mewakilkan kepadanya tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يُجْبِرُ عَلَى النِّكَاحِ كَالْأَبِ وَالْجَدِّ مَعَ الْبِكْرِ، أَوْ مِمَّنْ لَا يُجْبِرُ عَلَيْهِ كَسَائِرِ الْأَوْلِيَاءِ مَعَ الثَّيِّبِ، أَوْ كَغَيْرِ الْأَبِ وَالْجَدِّ مَعَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ، فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ مِمَّنْ يُجْبِرُ عَلَى النِّكَاحِ كَالْأَبِ والجد مع البكر فإن لَهُ أَنْ يُوكِّلَ بِإِذْنِهَا وَغَيْرِ إِذْنِهَا كَمَا يَجُوزُ لَهُ تَزْوِيجُهَا بِإِذْنِهَا وَغَيْرِ إِذْنِهَا لَكِنْ هَلْ يَلْزَمُهُ أَنْ يُعَيِّنَ لِوَكِيلِهِ عَلَى الزَّوْجِ أَوْ يَرُدَّهُ إِلَى اخْتِيَارِهِ فِيهِ قَوْلَانِ:
Pertama, ia termasuk wali yang berhak memaksa dalam pernikahan seperti ayah dan kakek terhadap gadis, atau ia termasuk wali yang tidak berhak memaksa seperti wali-wali lain terhadap janda, atau selain ayah dan kakek terhadap gadis maupun janda. Jika wali tersebut termasuk yang berhak memaksa dalam pernikahan seperti ayah dan kakek terhadap gadis, maka ia boleh mewakilkan dengan izin gadis tersebut maupun tanpa izinnya, sebagaimana ia boleh menikahkan gadis itu dengan izin maupun tanpa izinnya. Namun, apakah wajib baginya untuk menentukan calon suami kepada wakilnya atau menyerahkan pilihan kepada wakilnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يَرُدَّهُ إِلَى اخْتِيَارِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَقَامَهُ بِالتَّوْكِيلِ مَقَامَ نَفْسِهِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ التَّعْيِينُ كَالتَّوْكِيلِ فِي الْأَمْوَالِ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ أَنْ يختار لها كفء، والأولى به إذا أراد تزويجها بمن قد اخْتَارَهُ لَهَا أَنْ يَسْتَأْذِنَهَا فِيهِ وَإِذْنُهَا مَعَهُ الصَّمْتُ كَإِذْنِهَا مَعَ الْأَبِ فَإِنْ زَوَّجَهَا بِهِ مِنْ غَيْرِ اسْتِئْذَانِهِ صَحَّ النِّكَاحُ كَالْأَبِ إِذَا زَوَّجَ بِغَيْرِ إِذْنٍ، فَلَوْ أَنَّ الْوَلِيَّ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ عَيَّنَ لِوَكِيلِهِ عَلَى الزَّوْجِ سَقَطَ اخْتِيَارُ الْوَكِيلِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ تَزْوِيجُهَا بِغَيْرِ مَنْ عُيِّنَ لَهُ عَلَيْهِ كَالْوَكِيلِ فِي الشِّرَاءِ إذا عين عَلَى مَا يَشْتَرِيهِ.
Salah satunya: Boleh menyerahkan pilihan kepada wakilnya, karena dengan perwakilan itu ia telah menempatkan wakil pada posisinya sendiri, sehingga tidak wajib menentukan (calon suami), sebagaimana dalam perwakilan urusan harta. Dengan demikian, wajib bagi wakil untuk memilihkan pasangan yang sekufu (sepadan) untuknya. Namun yang lebih utama, jika ia ingin menikahkan gadis itu dengan seseorang yang telah ia pilihkan, hendaknya ia meminta izin gadis tersebut. Izin gadis itu cukup dengan diam, sebagaimana izinnya kepada ayah. Jika ia menikahkan tanpa meminta izin, maka pernikahan tetap sah seperti halnya ayah yang menikahkan tanpa izin. Jika wali dalam pendapat ini telah menentukan calon suami kepada wakilnya, maka hak memilih bagi wakil gugur dan ia tidak boleh menikahkan selain dengan orang yang telah ditentukan, sebagaimana wakil dalam jual beli jika telah ditentukan barang yang akan dibeli.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ عَلَى الْوَلِيِّ أَنْ يُعَيِّنَ لِوَكِيلِهِ فِي عَقْدِ الْوَكَالَةِ على الزوج الذي زوجها به ولا يرد ذلك إلى خياره؛ لأن معنى الولي في لحوق عارها معقود فِي وَكِيلِهِ فَلَمْ يَقُمِ اخْتِيَارُ الْوَكِيلِ مَقَامَ اخْتِيَارِهِ، وَفَارَقَ التَّوْكِيلَ فِي الْأَمْوَالِ الَّتِي لَا يُرَاعَى فِي اخْتِيَارِهَا لُحَوْقُ الْعَارِ.
Pendapat kedua: Wali wajib menentukan calon suami kepada wakilnya dalam akad perwakilan, yaitu pada laki-laki yang akan dinikahkan dengannya, dan tidak boleh menyerahkan hal itu kepada pilihan wakilnya. Sebab, makna kewalian terkait dengan kemungkinan tercemarnya kehormatan (aib) tetap melekat pada wakilnya, sehingga pilihan wakil tidak bisa menggantikan pilihan wali. Ini berbeda dengan perwakilan dalam urusan harta, di mana dalam memilih harta tidak dipertimbangkan soal kehormatan.
فَعَلَى هَذَا متى زوجها الوكيل بكفء وغير كفء كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا لِفَسَادِ الْوَكَالَةِ، فَلَوْ عُيِّنَ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِأَحَدِ رَجُلَيْنِ نَظَرَ، فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ قَدِ اخْتَارَهُمَا وَرَدَّ الْعَقْدَ عَلَى أحدهما إلى خيار وكيله جَازَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنَ الْوَلِيِّ اخْتِيَارٌ بَلْ رَدَّ ذَلِكَ إِلَى اخْتِيَارِ وَكِيلِهِ وَخِيَارِهِ، ثُمَّ الِاعْتِبَارُ بِأَنْ لَا يَكُونَ لِلْوَلِيِّ خِيَارٌ.
Berdasarkan pendapat ini, jika wakil menikahkan dengan laki-laki yang sekufu maupun yang tidak sekufu, maka pernikahan batal karena rusaknya perwakilan. Jika ditentukan agar ia menikahkan dengan salah satu dari dua laki-laki, maka dilihat: jika wali telah memilih keduanya dan menyerahkan akad kepada pilihan wakilnya atas salah satu dari keduanya, maka itu boleh. Namun jika tidak ada pilihan dari wali, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada pilihan wakilnya, maka yang menjadi acuan adalah bahwa wali tidak memiliki hak memilih.
فصل
Fasal
وإذا كَانَ الْوَلِيُّ مِمَّنْ لَا يُجْبِرُ عَلَى النِّكَاحِ فهل يلزم اسْتِئْذَانُهَا فِي عَقْدِ النِّكَاحِ أَمْ لَا؟ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ خَرَّجَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Jika wali termasuk yang tidak berhak memaksa dalam pernikahan, apakah wajib meminta izin perempuan dalam akad nikah atau tidak? Ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat, dan sebagian mereka mengaitkannya dengan dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ تَوْكِيلُهُ إلا بإذنها؛ لأنه نائب عنها وأشبه الْوَكِيلَ الَّذِي لَا يَجُوزُ لَهُ أَنَّ يُوَكِّلَ فيما هو وكل فِيهِ إِلَّا عَنْ إِذْنِ مُوَكِّلِهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يَسْتَأْذِنْهَا الْوَلِيُّ فِي تَوْكِيلِهِ فَزَوَّجَهَا الْوَكِيلُ بِإِذْنِهَا أَوْ غَيْرِ إِذْنِهَا كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا لِفَسَادِ الْوَكَالَةِ، وَلَوِ اسْتَأْذَنَهَا الْوَلِيُّ فِيهِ بَعْدَ عَقْدِ الْوَكَالَةِ لَمْ تَصِحَّ الْوَكَالَةُ حَتَّى يستأذنها الْوَلِيُّ بَعْدَ إِذْنِهَا فِي تَوْكِيلِهِ، فَإِذَا وَكَّلَهُ بعد إذنها وكان وَكِيلًا لَهُمَا جَمِيعًا فَإِنْ رَجَعَتْ فِي تَوْكِيلِهِ بَطَلَتِ الْوَكَالَةُ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَزُوج.
Salah satunya, dan ini adalah pilihan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa tidak sah perwakilan wali kecuali dengan izin perempuan tersebut, karena ia adalah wakil darinya dan menyerupai wakil yang tidak boleh mewakilkan urusan yang ia wakili kecuali dengan izin dari pihak yang mewakilkan. Berdasarkan pendapat ini, jika wali tidak meminta izin perempuan dalam mewakilkan, lalu wakil menikahkan dengan izin atau tanpa izinnya, maka pernikahan batal karena rusaknya perwakilan. Jika wali meminta izin perempuan setelah akad perwakilan, maka perwakilan tidak sah sampai wali meminta izin perempuan setelah ia mengizinkan perwakilan. Jika wali mewakilkan setelah mendapat izin perempuan dan ia menjadi wakil bagi keduanya, lalu perempuan itu menarik kembali izinnya, maka perwakilan batal dan ia tidak boleh menikahkan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ الْوَكَالَةُ جَائِزَةٌ وَإِنْ لَمْ يَسْتَأْذِنْهَا الْوَلِيُّ فِي عَقْدِهَا؛ لِأَنَّهُ مُوَكَّلٌ فِي حَقِّ نَفْسِهِ الَّذِي ثبت به بِالشَّرْعِ لَا بِالِاسْتِنَابَةِ فَأَشْبَهَ الْأَبَ وَخَالَفَ الْوَكِيلَ الْمُسْتَنَابَ، فَعَلَى هَذَا تَصِحُّ الْوَكَالَةُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَأْذِنِ الْمَرْأَةَ فِي عَقْدِهَا وَيَكُونُ هُوَ وَكِيلًا لِلْوَلِيِّ وَحْدَهُ وَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ مَنْعُهَا، لَكِنْ لَيْسَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُزَوِّجَهَا إِلَّا بِإِذْنِهَا كَمَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِوَلِيِّهَا الْمُوَكِّلِ، فَإِنْ زَوَّجَهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا سَوَاءً زَوَّجَهَا بِكُفْءٍ أَوْ غَيْرِ كُفْءٍ، وَلَوْ زَوَّجَهَا الْوَكِيلُ بِإِذْنِهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا سواء أجازه الولي أو لم يجيزه.
Pendapat kedua, yang merupakan pilihan Abū Isḥāq al-Marwazī, adalah bahwa wakālah (perwakilan) itu sah meskipun wali tidak meminta izin darinya dalam akad tersebut; karena ia (wali) adalah orang yang diberi kuasa dalam hak dirinya sendiri yang telah ditetapkan oleh syariat, bukan karena pengangkatan (dari orang lain), sehingga ia serupa dengan ayah dan berbeda dengan wakil yang diangkat. Berdasarkan hal ini, wakālah tetap sah meskipun perempuan tidak dimintai izinnya dalam akad tersebut, dan ia (wakil) menjadi wakil bagi wali saja, serta penolakan dari perempuan tidak berpengaruh padanya. Namun, wakil tidak boleh menikahkan perempuan tersebut kecuali dengan izinnya, sebagaimana wali yang mewakilkan juga tidak boleh melakukannya tanpa izin. Jika ia menikahkan tanpa izin perempuan, maka nikahnya batal, baik ia menikahkan dengan yang sekufu (sepadan) maupun tidak sekufu. Dan jika wakil menikahkan dengan izin perempuan dari selain yang sekufu, maka nikahnya batal, baik wali menyetujuinya maupun tidak.
فصل
Fasal
وأما توكيل الزوج وإن كَانَ فِي تَزْوِيجِ امْرَأَةٍ بِعَيْنِهَا جَازَ أَنْ يوكل كل من صح منه قبول النكاح في نفسه وَهُوَ مَنِ اجْتَمَعَتْ فِيهِ ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ.
Adapun suami yang mewakilkan (wakālah) dalam menikahi seorang perempuan tertentu, maka boleh baginya mewakilkan kepada siapa saja yang sah menerima akad nikah untuk dirinya sendiri, yaitu orang yang memenuhi tiga syarat.
أَنْ يكون ذكراً بالغاً عاقلاً، وسواء كَانَ حُرًّا أَوْ عَبْدًا رَشِيدًا أَوْ سَفِيهًا لأن العبد السفيه يَجُوزُ أَنْ يَقْبَلَا عَقْدَ النِّكَاحِ لِأَنْفُسِهِمَا فَصَحَّ أَنْ يَقْبَلَاهُ لِغَيْرِهِمَا، فَأَمَّا تَوْكِيلُ الْمَرْأَةِ، وَالصَّبِيِّ، وَالْمَجْنُونِ فَلَا يَصِحُّ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَصِحَّ منهم قبوله لأنفسهم لم يصح منهم قبولهم لِغَيْرِهِمْ.
Yaitu harus laki-laki, baligh, dan berakal, baik ia merdeka maupun budak, baik ia cerdas maupun safīh (tidak cakap), karena budak yang safīh boleh menerima akad nikah untuk dirinya sendiri, maka sah pula baginya menerima akad nikah untuk orang lain. Adapun mewakilkan perempuan, anak kecil, dan orang gila, maka tidak sah, karena mereka tidak sah menerima akad nikah untuk diri mereka sendiri, maka tidak sah pula menerima akad nikah untuk orang lain.
فَأَمَّا إِنْ كَانَ تَوْكِيلُ الزَّوْجِ فِي تزويج امرأة غير معينة ليختار الْوَكِيلُ فَهَلْ يَلْزَمُ أَنْ يَنْضَمَّ إِلَى الشُّرُوطِ الثَّلَاثَةِ فِي الْوَكِيلِ أَنْ يَكُونَ رَشِيدًا غَيْرَ مُوْلًى عَلَيْهِ بِسَفَهٍ أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أوجه:
Adapun jika suami mewakilkan dalam menikahi seorang perempuan yang tidak ditentukan agar wakil memilihkan, maka apakah harus ditambahkan pada tiga syarat pada wakil itu syarat harus rasyīd (cerdas, tidak berada di bawah perwalian karena safīh) atau tidak? Dalam hal ini ada tiga pendapat:
أحدها: يلزم أن يكون رشيداً يقبل نكاح نفسه، فإن كان سفيهاً لم يجز لقصوره على التَّصَرُّفِ فِي نِكَاحِ نَفْسِهِ.
Pertama: Harus rasyīd, yaitu orang yang sah menikah untuk dirinya sendiri; jika ia safīh, maka tidak sah karena ia tidak cakap dalam mengatur urusan nikah untuk dirinya sendiri.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ رَشِيدًا، لِأَنَّهُ يَقْبَلُهُ عَنْ إذن ويصح منه أن يقبل نكاح نفسه عَنْ إِذْنِ وَلِيِّهِ.
Pendapat kedua: Tidak harus rasyīd, karena ia menerima (akad) atas izin, dan sah baginya menerima akad nikah untuk dirinya sendiri atas izin walinya.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: إِنْ عَيَّنَ لوكيله على القبيلة وإن لم يعين عَلَى الْمَنْكُوحَةِ جَازَ أَنْ يَكُونَ وَكَيْلُهُ فِيهِ سفيهاً وإن لَمْ يُعَيِّنْ عَلَى الْقَبِيلَةِ وَلَا عَلَى الْمَنْكُوحَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْوَكِيلُ فِيهِ إِلَّا رَشِيدًا، وَهَذِهِ الْأَوْجُهُ الثَّلَاثَةُ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الأوجه في إذن وليه أَنْ يَعْقِدَ لِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ تَعْيِينٍ وَاللَّهُ أعلم بالصواب.
Pendapat ketiga: Jika ia menentukan wakilnya untuk menikahi dari suatu kabilah, meskipun tidak menentukan siapa perempuan yang dinikahi, maka boleh wakilnya adalah orang safīh. Namun, jika tidak menentukan baik kabilah maupun perempuan yang dinikahi, maka tidak boleh wakilnya kecuali orang yang rasyīd. Tiga pendapat ini didasarkan pada perbedaan pendapat tentang izin wali untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa penentuan, dan Allah lebih mengetahui mana yang benar.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَوَلِيُّ الْكَافِرَةِ كافرٌ وَلَا يَكُونُ الْمُسْلِمُ وَلِيًّا لكافرةٍ لقطع الله الولاية بينهما بالدين إلا على أمته وإنما صار ذلك له لأن النكاح له تزوج – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أم حبيبة وولى عقدة نكاحها ابن سعيد بن العاص وهو مسلمٌ وأبو سفيان حي وكان وكيل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عمرو ابن أمية الضمري (قال المزني) ليس هذا حجةً في إنكاح الأمة ويشبه أن يكون أراد أن لا معنى لكافرٍ في مسليمةٍ فكان ابن سعيدٍ ووكيله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مسلمين ولم يكن لأبيها معنىً في ولاية مسلمةٍ إذا كان كافراً “.
Imam Syāfi‘ī berkata: “Wali bagi perempuan kafir adalah orang kafir, dan seorang muslim tidak boleh menjadi wali bagi perempuan kafir, karena Allah telah memutus hubungan kewalian antara mereka berdasarkan agama, kecuali atas budaknya. Hal itu menjadi hak baginya karena nikah itu untuk kepentingannya; Nabi ﷺ menikahi Ummu Ḥabībah dan yang menjadi wali akad nikahnya adalah Ibn Sa‘īd bin al-‘Āṣ yang seorang muslim, sedangkan Abū Sufyān masih hidup, dan yang menjadi wakil Nabi ﷺ adalah ‘Amr bin Umayyah al-Ḍamrī.” (Al-Muzanī berkata:) “Ini bukanlah hujjah dalam menikahkan budak perempuan, dan tampaknya yang dimaksud adalah bahwa tidak ada makna bagi orang kafir dalam perwalian atas perempuan muslimah, sehingga Ibn Sa‘īd dan wakil Nabi ﷺ adalah muslim, dan ayahnya tidak memiliki makna dalam perwalian atas perempuan muslimah jika ia kafir.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ ذَلِكَ أَنَّ اتِّفَاقَ الدِّينِ شَرْطٌ فِي ثُبُوتِ الْوِلَايَةِ عَلَى الْمَنْكُوحَةِ فَلَا يَكُونُ الْكَافِرُ وَلِيًّا لِمُسْلِمَةٍ وَلَا الْمُسْلِمُ وَلِيًّا لِكَافِرَةٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَنْ يَجْعِلِ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى المُؤْمِنِينَ سَبِيلاً) {النساء: 141) وقوله أيضاً: {لاَ تَتَّخِذُوا اليَهُودَ وَالنَّصَارَى أوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ) {المائدة: 51) فَدَلَّتْ هَاتَانِ الْآيَتَانِ عَلَى أَنْ له وِلَايَةَ لِكَافِرٍ عَلَى مُسْلِمَةٍ وَقَالَ تَعَالَى: {وَالْمُؤْمِنُونَ وَالمُؤْمِنَاتُ بَعْضَهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ) {التوبة: 71) فَدَلَّ عَلَى أَنْ لَا وِلَايَةَ لِمُسْلِمٍ عَلَى كَافِرَةٍ وَلِأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ أبي سفيان وَكَانَ أَبُوهَا وَإِخْوَتُهَا كُفَّارًا وَهِيَ مُسْلِمَةٌ مُهَاجِرَةٌ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ تَزَوَّجَهَا مِنْ أَقْرَبِ عَصَبَاتِهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَهُوَ خَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ فَدَلَّ عَلَى انْتِقَالِ الْوِلَايَةِ بِالْكُفْرِ عَمَّنْ هُوَ أَقْرَبُ إِلَى مَنْ سَاوَاهَا فِي الْإِسْلَامِ، وَإِنْ كان أبعد فلأن اللَّهَ تَعَالَى قَدْ قَطَعَ الْمُوَالَاةَ بِاخْتِلَافِ الدِّينِ فلم يثبت الولاية معه كما لم تثبت الميراث، وإنما الْوِلَايَةُ إِنَّمَا شُرِعَتْ لِطَلَبِ الْحَظِّ لَهَا وَدَفْعِ الْعَارِ عَنْهَا وَاخْتِلَافُ الدِّينِ يَصُدُّ عَنْ هَذَا أو يمنع مِنْهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {لاَ يَرْقَبُونَ فِي مُؤْمِنٍ إِلاَّ وَلاَ ذِمَّةً) {التوبة: 10) .
Al-Mawardi berkata: Dasar dari hal ini adalah bahwa kesamaan agama merupakan syarat dalam penetapan wilāyah atas perempuan yang dinikahi, sehingga orang kafir tidak dapat menjadi wali bagi perempuan Muslimah, dan orang Muslim tidak dapat menjadi wali bagi perempuan kafir, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (an-Nisā’: 141) dan juga firman-Nya: “Janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali; sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (al-Mā’idah: 51). Kedua ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada wilāyah bagi orang kafir atas perempuan Muslimah. Allah Ta‘ala juga berfirman: “Dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (at-Taubah: 71), yang menunjukkan bahwa tidak ada wilāyah bagi orang Muslim atas perempuan kafir. Selain itu, ketika Nabi ﷺ hendak menikahi Ummu Habibah binti Abu Sufyan, sementara ayah dan saudara-saudaranya masih kafir, sedangkan ia adalah Muslimah yang berhijrah ke negeri Habasyah, maka Nabi menikahinya dengan wali dari kerabat terdekatnya yang Muslim, yaitu Khalid bin Sa‘id bin al-‘Āsh. Hal ini menunjukkan bahwa wilāyah berpindah karena kekufuran dari kerabat terdekat kepada kerabat yang seagama dalam Islam, meskipun lebih jauh kekerabatannya, karena Allah Ta‘ala telah memutus hubungan perwalian karena perbedaan agama, sehingga wilāyah tidak tetap bersamanya, sebagaimana warisan juga tidak tetap. Wilāyah itu sendiri disyariatkan untuk menjaga kemaslahatan dan kehormatan perempuan, sedangkan perbedaan agama menghalangi atau mencegah hal tersebut, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan dan perjanjian apa pun terhadap orang mukmin.” (at-Taubah: 10).
فصل
Fasal
فإذا تقرر هذا فلا يثبت للكافر ولاية على مسلمة لا نسب ولا حكم ولا ملك، وَلَا يُزَوِّجُهَا مِنْ عَصَبَاتِهَا إِلَّا مُسْلِمٌ قَدْ جمع شرطين: النسب، والدين، فأما الْكَافِرَةُ فَالْوِلَايَةُ عَلَيْهَا تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ وِلَايَةٌ بنسب، وَوِلَايَةٌ بِحُكْمٍ، وَوِلَايَةٌ بِمِلْكٍ.
Dengan demikian, tidak tetap bagi orang kafir wilāyah atas perempuan Muslimah, baik karena nasab, hukum, maupun kepemilikan. Tidak boleh pula menikahkan perempuan Muslimah kecuali oleh seorang Muslim yang memenuhi dua syarat: nasab dan agama. Adapun terhadap perempuan kafir, wilāyah atasnya terbagi menjadi tiga jenis: wilāyah karena nasab, wilāyah karena hukum, dan wilāyah karena kepemilikan.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ الْوِلَايَةُ بِالنَّسَبِ فَلَا يَثْبُتُ عَلَيْهَا إِلَّا لِمَنْ إِذَا شَارَكَهَا فِي النِّسَبِ سَاوَاهَا فِي الدِّينِ، وَيُرَاعَى أَنْ يَكُونَ رَشِيدًا فِي دِينِهِ كَمَا يُرَاعَى رُشْدُ الْوَلِيِّ الْمُسْلِمِ فَلَوْ كَانَتِ الكافرة نصرانية وكان لها أخ نصراني، وأخ مسلم، وأخ يهودي وأخ مجوسي ولا ولاية عليها للمسلم ويكون النصراني واليهودي والمجوسي في الولاية عليها سواء كما يشاركون في ميراثها، ولا يختص بها النَّصْرَانِيُّ مِنْهُمْ؛ لِأَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ، فَلَوْ كَانَ فِي إِخْوَتِهَا مُرْتَدٌّ عَنِ الْإِسْلَامِ فَلَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَيْهَا كَمَا لَا مِيرَاثَ لَهُ مِنْهَا، وَلِأَنَّ الْمُرْتَدَّ مُوْلًى عَلَيْهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ وَلِيًّا، فَلَوْ كَانَتِ الْمَرْأَةُ مُرْتَدَّةً، وَكَانَ لَهَا أَخٌ مُسْلِمٌ، وَأَخٌ مُرْتَدٌّ وَأَخٌ نَصْرَانِيٌّ فَلَا وِلَايَةَ عَلَيْهَا لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ كَمَا لَا يَرِثُهَا وَاحِدٌ مِنْهُمْ، وَلَا يَجُوزُ أن يتزوج بِمُسْلِمٍ وَلَا كَافِرٍ وَلَا مُرْتَدٍّ، لِأَنَّ الرِّدَّةَ مانعة من استباحة نكاحها.
Adapun jenis pertama, yaitu wilāyah karena nasab, maka tidak tetap atasnya kecuali bagi orang yang jika ia memiliki hubungan nasab dengannya, maka ia juga seagama dengannya. Syaratnya juga harus orang yang berakal dan cakap dalam agamanya, sebagaimana syarat kecakapan wali Muslim. Jika perempuan kafir itu Nasrani dan ia memiliki saudara laki-laki Nasrani, saudara laki-laki Muslim, saudara laki-laki Yahudi, dan saudara laki-laki Majusi, maka tidak ada wilāyah atasnya bagi yang Muslim, dan Nasrani, Yahudi, serta Majusi sama kedudukannya dalam wilāyah atasnya, sebagaimana mereka juga sama dalam warisannya. Tidak ada kekhususan bagi yang Nasrani di antara mereka, karena seluruh kekufuran adalah satu golongan. Jika di antara saudara-saudaranya terdapat yang murtad dari Islam, maka tidak ada wilāyah baginya atas perempuan itu, sebagaimana ia juga tidak berhak mewarisinya, karena orang murtad adalah orang yang berada di bawah perlindungan (wilāyah) pihak lain, sehingga tidak sah baginya menjadi wali. Jika perempuan itu murtad, dan ia memiliki saudara laki-laki Muslim, saudara laki-laki murtad, dan saudara laki-laki Nasrani, maka tidak ada wilāyah atasnya bagi siapa pun di antara mereka, sebagaimana tidak ada yang berhak mewarisinya. Tidak boleh pula ia dinikahi oleh Muslim, kafir, maupun murtad, karena riddah (kemurtadan) menghalangi keabsahan pernikahannya.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ الْوِلَايَةُ بِالْحُكْمِ فَيَثْبُتُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى الْكَافِرَةِ؛ لِأَنَّهَا لَا تَسْتَحِقُّ بِالْمُوَالَاةِ بالنسب فيمتنع اخْتِلَافُ الدِّينِ مِنْهَا؛ وَإِنَّمَا تَسْتَحِقُّ بِالْوِلَايَةِ الَّتِي تَثْبُتُ عَلَى الْكَافِرِ كَثُبُوتِهَا عَلَى الْمُسْلِمِ، فَإِذَا عدمت الكافرة منها شيئاً من عصبتها الكفار زوجها حاكم المسلمين بكف مِنَ الْكُفَّارِ، أَوِ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ دَعَتْ إِلَى زوج مسلم وَجَبَ عَلَى الْحَاكِمِ تَزْوِيجُهَا بِهِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا تقاضى إِلَى حَاكِمِ الْمُسْلِمِينَ مُسْلِمٌ وَكَافِرٌ لَزِمَهُ الْحُكْمُ بينهما، وإن دعت إلى زوج كافر فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْعَهْدِ كَانَ حَاكِمُ المسلمين بالخيار بين أن يزوجها بِهِ أَوِ الْإِعْرَاضِ عَنْهَا كَمَا يَكُونُ بِالْخِيَارِ فِي الْحُكْمِ بَيْنَهُمَا إِذَا تَقَاضَيَا إِلَيْهِ، وَإِنْ كَانَا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَهَلْ يَلْزَمُ الْحَاكِمَ تزويجها أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي وُجُوبِ الْحُكْمِ بَيْنَهُمَا عِنْدَ التَّرَافُعِ إِلَيْهِ فإن زوجها لم يعقد نكاحها إلا شاهدين مسلمين ولا يجوز أن يعقده به أهل دِينِهَا؛ لِأَنَّ الْإِسْلَامَ وَالْعَدَالَةَ شَرْطٌ فِي الشَّهَادَةِ.
Adapun bagian kedua, yaitu wilāyah dengan hukum, maka hal itu tetap dimiliki oleh seorang Muslim atas perempuan kafir; karena ia tidak berhak mendapatkannya melalui hubungan kekerabatan nasab sehingga perbedaan agama tidak menjadi penghalang darinya. Ia hanya berhak mendapatkannya melalui wilāyah yang berlaku atas orang kafir sebagaimana berlakunya atas orang Muslim. Maka, jika perempuan kafir tersebut tidak memiliki seorang pun dari kerabat laki-lakinya yang kafir, maka hakim Muslim menikahkannya dengan seorang laki-laki dari kalangan kafir atau Muslim. Jika ia meminta untuk dinikahkan dengan seorang Muslim, maka wajib bagi hakim untuk menikahkannya dengannya; karena jika seorang Muslim dan seorang kafir bersengketa di hadapan hakim Muslim, maka hakim wajib memutuskan perkara di antara mereka. Jika ia meminta untuk dinikahkan dengan seorang kafir, maka jika ia dari kalangan ahl al-‘ahd, hakim Muslim boleh memilih antara menikahkannya dengannya atau menolak permintaannya, sebagaimana hakim juga boleh memilih dalam memutuskan perkara di antara mereka jika mereka bersengketa di hadapannya. Jika keduanya dari kalangan ahl al-dhimmah, apakah hakim wajib menikahkannya atau tidak? Ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang kewajiban memutuskan perkara di antara mereka ketika mereka bersengketa di hadapan hakim. Jika hakim menikahkannya, maka akad nikahnya tidak sah kecuali dengan dua orang saksi Muslim, dan tidak boleh orang-orang seagama dengannya yang menikahkan; karena Islam dan keadilan adalah syarat dalam kesaksian.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الْوِلَايَةُ بِالْمِلْكِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ثُبُوتِهَا لِلسَّيِّدِ الْمُسْلِمِ عَلَى أَمَتِهِ الْكَافِرَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun bagian ketiga, yaitu wilāyah karena kepemilikan, para ulama kami berbeda pendapat tentang tetapnya hak tersebut bagi tuan Muslim atas budak perempuannya yang kafir, menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَأَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنَّهُ يجوز للسيد الْمُسْلِمِ تَزْوِيجُ أَمَتِهِ الْكَافِرَةِ وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الشافعي؛ لِأَنَّهُ قَالَ: ” وَلَا يَكُونُ الْمُسْلِمُ وَلِيًّا لِكَافِرَةٍ إلا على أمته ” ووجه شيئان:
Salah satunya, yaitu pendapat Abū Ishāq al-Marwazī dan Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa tuan Muslim boleh menikahkan budak perempuannya yang kafir, dan ini adalah zahir dari perkataan al-Syāfi‘ī; karena beliau berkata: “Dan tidaklah seorang Muslim menjadi wali bagi perempuan kafir kecuali atas budaknya.” Dalilnya ada dua:
أحدهما: أنه ولاية لَمْ تُسْتَحَقَّ بِمُوَالَاةِ النِّسَبِ فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهَا اخْتِلَافُ الدِّينِ كَالْوِلَايَةِ بِالْحُكْمِ.
Pertama, bahwa ini adalah wilāyah yang tidak didapatkan melalui hubungan kekerabatan nasab, sehingga perbedaan agama tidak berpengaruh di dalamnya, sebagaimana wilāyah dengan hukum.
وَالثَّانِي: أَنَّ السَّيِّدَ يتوصل إِلَى الْكَسْبِ فَلَمْ يُؤَثِّرِ اخْتِلَافُ الدِّينِ كَمَا لم يؤثر الفسق.
Kedua, bahwa tuan bertujuan untuk memperoleh penghasilan, sehingga perbedaan agama tidak berpengaruh sebagaimana kefasikan juga tidak berpengaruh.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيِّ، وَأَبِي الْقَاسِمِ الدَّارَكِيِّ وَطَائِفَةٍ، إنَّ إِسْلَامَ السَّيِّدِ يَمْنَعُهُ مِنْ تَزْوِيجِ أَمَتِهِ الْكَافِرَةِ كَمَا يَمْنَعُهُ مِنْ تَزْوِيجِ ابنته وَحَمَلَ غَيْرُ الْمُزَنِيِّ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ ” إِلَّا عَلَى أَمَتِهِ ” عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا حِكَايَةٌ عَنْ مَذْهَبِ غَيْرِهِ، وَإِمَّا عَلَى أَمَتِهِ فِي عَقْدِ الْإِجَارَةِ عَلَى مَنَافِعِهَا دُونَ بُضْعِهَا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ فِي تَزْوِيجِهِ لَهَا تَغْلِيبًا لِوِلَايَةِ النِّكَاحِ دُونَ الْكَسْبِ، لِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تُزَوِّجُ أَمَتَهَا وَإِنْ مَلَكَتْ عَقْدَ اكْتِسَابِهَا فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ: فَإِنَّهُ اعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِيمَا نَقَلَهُ من استدلاله له بحديث أم حبيبة وتوهم أَنَّهُ اسْتَدَلَّ بِهِ فِي تَزْوِيجِ الْمُسْلِمِ لِأَمَتِهِ الْكَافِرَةِ وَهَذَا خَطَأٌ فِي التَّوَهُّمِ؛ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ إِنَّمَا اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ الْكَافِرَ لَا يُزَوِّجُ بِنْتَهُ الْمُسَلِّمَةَ، وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَيْهِ وَبِاللَّهِ التوفيق.
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abū Ibrāhīm al-Muzanī, Abū al-Qāsim al-Dārakī, dan sekelompok ulama, bahwa keislaman tuan menghalanginya untuk menikahkan budak perempuannya yang kafir sebagaimana ia juga terhalang untuk menikahkan putrinya. Adapun selain al-Muzanī, mereka menafsirkan perkataan al-Syāfi‘ī “kecuali atas budaknya” dengan dua kemungkinan: bisa jadi itu adalah riwayat dari mazhab selain beliau, atau maksudnya adalah atas budaknya dalam akad ijarah (sewa) atas manfaatnya, bukan atas kemaluannya, dengan dalil bahwa dalam menikahkannya terdapat penguatan pada wilāyah nikah, bukan pada penghasilan; karena seorang perempuan tidak boleh menikahkan budak perempuannya meskipun ia memiliki akad penghasilannya. Adapun al-Muzanī, ia membantah al-Syāfi‘ī—semoga Allah meridhainya—dalam apa yang ia nukil dari istidlal beliau dengan hadits Ummu Habibah dan mengira bahwa beliau berdalil dengannya dalam menikahkan Muslim dengan budak perempuannya yang kafir, dan ini adalah kekeliruan dalam memahami; karena al-Syāfi‘ī hanya berdalil dengannya bahwa orang kafir tidak boleh menikahkan putrinya yang Muslimah, dan itu adalah dalil baginya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا غَيْرَ عالم بموضع الحظ أو سفيماً مُؤْلِمًا أَوْ بِهِ علةٌ تُخْرِجُهُ مِنَ الْوِلَايَةِ فهو كمن مات فإذا صلح صار ولياً “.
Al-Syāfi‘ī berkata: “Jika wali itu safīh (bodoh), atau lemah, tidak mengetahui letak kemaslahatan, atau sakit parah yang menyakitkan, atau memiliki cacat yang mengeluarkannya dari kewalian, maka ia seperti orang yang telah meninggal dunia. Jika ia telah layak, maka ia menjadi wali.”
قال الماوردي: وهذا صحيح وذكر الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْأَسْبَابَ الْمَانِعَةَ مِنْ وِلَايَةِ النِّكَاحِ، فَقَالَ: ” فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ سَفِيهًا ” وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Al-Māwardī berkata: Ini benar. Al-Syāfi‘ī—semoga Allah meridhainya—menyebutkan sebab-sebab yang menghalangi dari kewalian nikah, beliau berkata: “Jika wali itu safīh,” dan dalam hal ini ada dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الْمَجْنُونُ، لِأَنَّهُ سَفِيهُ الْعَقْلِ.
Pertama, bahwa yang dimaksud adalah orang gila, karena ia adalah orang yang bodoh akalnya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ الْمُفْسِدُ لِمَالِهِ وَدِينِهِ؛ لِأَنَّهُ سَفِيهُ الرَّأْيِ.
Kedua, bahwa yang dimaksud adalah orang yang merusak harta dan agamanya, karena ia adalah orang yang bodoh dalam berpikir.
فَأَمَّا الْمَجْنُونُ فَلَا وِلَايَةَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا أَزَالَ الْجُنُونُ وِلَايَتَهُ عَلَى نَفْسِهِ فَأَوْلَى أَنْ يُزِيلَ وِلَايَتَهُ عَلَى غَيْرِهِ، فَلَوْ كَانَ يُجَنُّ فِي زَمَانٍ وَيُفِيقُ فِي زَمَانٍ فَلَا وِلَايَةَ لَهُ فِي زَمَانِ جُنُونِهِ، فَأَمَّا زَمَانُ إِفَاقَتِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun orang gila, maka ia tidak memiliki wilayah; karena ketika kegilaan telah menghilangkan kewenangannya atas dirinya sendiri, maka lebih utama lagi jika kegilaan itu menghilangkan kewenangannya atas orang lain. Jika seseorang mengalami kegilaan pada suatu waktu dan sadar pada waktu yang lain, maka ia tidak memiliki wilayah pada masa kegilaannya. Adapun pada masa kesadarannya, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فيه بليداً مغموراً فلا يَصِحُّ فِكْرُهُ وَلَا يَسْلَمُ تَمْيِيزُهُ فَلَا وِلَايَةَ لَهُ فِي زَمَانِ إِفَاقَتِهِ كَمَا لَا وِلَايَةَ لَهُ فِي زَمَانِ جُنُونِهِ.
Pertama: ia dalam keadaan tumpul dan tertutup pikirannya, sehingga pikirannya tidak sah dan tidak sempurna kemampuannya membedakan, maka ia tidak memiliki wilayah pada masa kesadarannya sebagaimana ia tidak memiliki wilayah pada masa kegilaannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِيهِ سَلِيمَ الْفِكْرِ صَحِيحَ التَّمْيِيزِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Keadaan kedua: ia dalam keadaan sehat pikiran dan benar kemampuannya membedakan, maka ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ زَمَانُ إِفَاقَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ زَمَانِ جُنُونِهِ فَلَهُ الْوِلَايَةُ فِي زَمَانِ الْإِفَاقَةِ.
Pertama: masa kesadarannya lebih banyak daripada masa kegilaannya, maka ia memiliki wilayah pada masa kesadarannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ زَمَانُ إِفَاقَتِهِ أَقَلَّ مِنْ زَمَانِ جُنُونِهِ فَفِي عَوْدِ الْوِلَايَةِ إِلَيْهِ فِي زَمَانِ الْإِفَاقَةِ وَجْهَانِ:
Kedua: masa kesadarannya lebih sedikit daripada masa kegilaannya, maka dalam hal kembalinya wilayah kepadanya pada masa kesadarannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يعود إِلَيْهِ لِعَدَمِ مَا يَمْنَعُ مِنْهَا.
Pertama: wilayah itu kembali kepadanya karena tidak ada yang menghalangi hal tersebut.
والوجه الثاني: لا يعود إليه اعتباراً بحكم الأغلب من زمانيه.
Pendapat kedua: wilayah itu tidak kembali kepadanya dengan mempertimbangkan hukum yang lebih dominan dari kedua masanya.
فأما السفيه فله حالتان:
Adapun orang safih (bodoh/ceroboh) maka ia memiliki dua keadaan:
أحدهما: أن يكون محجورً عليه بالسفه فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Pertama: ia berada dalam status mahjur ‘alaih (dikenai pembatasan hukum) karena sifat safih, dan ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ حُجِرَ عَلَيْهِ لَا يَعْرِفُ مَوْضِعَ الْحَظِّ لِنَفْسِهِ فَهَذَا لَا وِلَايَةَ لَهُ؛ لِأَنَّ مَنْ لَا يَعْرِفُ حَظَّ نَفْسِهِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَعْرِفَ حَظَّ غَيْرِهِ.
Pertama: ia dikenai pembatasan hukum karena tidak mengetahui letak kemaslahatan bagi dirinya sendiri, maka ia tidak memiliki wilayah; karena siapa yang tidak mengetahui kemaslahatan dirinya sendiri, maka lebih utama lagi ia tidak mengetahui kemaslahatan orang lain.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ حُجِرَ عليه لتبذيره لماله مع معرفته لحظ نَفْسِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Kedua: ia dikenai pembatasan hukum karena pemborosan hartanya meskipun ia mengetahui kemaslahatan dirinya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا لَا وِلَايَةَ لَهُ فِي النِّكَاحِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا زَالَتْ وِلَايَتُهُ عَنْ نَفْسِهِ فَأَوْلَى أَنْ تَزُولَ وِلَايَتُهُ عَلَى غَيْرِهِ.
Pertama: menurut jumhur (mayoritas) ulama mazhab kami, ia tidak memiliki wilayah dalam pernikahan; karena ketika kewenangannya atas dirinya telah hilang, maka lebih utama lagi kewenangannya atas orang lain juga hilang.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سريج هو عَلَى وِلَايَتِهِ وَلَهُ تَزْوِيجُ وَلِيَّتِهِ لِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّ بِه الْحَجْرِ لِحِفْظِ الْمَالِ غَيْرُ مَقْصُودٍ فِي وِلَايَةِ النِّكَاحِ فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِي إِسْقَاطِهَا، فَإِنْ كَانَ السَّفِيهُ غَيْرَ مَحْجُورٍ عَلَيْهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: menurut Abu al-‘Abbas bin Suraij, ia tetap memiliki wilayah dan boleh menikahkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya, karena sebab diberlakukannya pembatasan hukum adalah untuk menjaga harta, sedangkan hal itu tidak dimaksudkan dalam wilayah pernikahan, sehingga tidak berpengaruh dalam menggugurkannya. Jika orang safih tersebut tidak dikenai pembatasan hukum, maka terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إنَّهُ كَالْمَحْجُورِ عَلَيْهِ لَا وِلَايَةَ لَهُ لِوُجُودِ مَعْنَى الْحَجْرِ فِيهِ.
Pertama: menurut Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, ia seperti orang yang dikenai pembatasan hukum, sehingga tidak memiliki wilayah karena terdapat makna pembatasan hukum pada dirinya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ عَلَى وِلَايَتِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ قَبْلَ الْحَجْرِ بَاقِيَ الْوِلَايَةِ عَلَى نَفْسِهِ كَانَ بَاقِيَ الولاية على غيره.
Pendapat kedua: ia tetap memiliki wilayah; karena sebelum dikenai pembatasan hukum, ia masih memiliki wilayah atas dirinya, maka ia juga masih memiliki wilayah atas orang lain.
فَصْلٌ
Fasal
ثُمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ” أَوْ ضَعِيفًا ” وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Kemudian Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “atau lemah”, dan dalam hal ini terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الصَّغِيرُ الضعيف البدن.
Pertama: yang dimaksud adalah anak kecil yang lemah fisiknya.
والثاني: الضعيف الرأي إِمَّا لعتهٍ وبلهٍ وَإِمَّا لِكِبَرٍ وَهَرَمٍ، فَأَمَّا الصَّغِيرُ فَلَا وِلَايَةَ لَهُ؛ لأَنَّهُ مُوَلَّى عَلَيْهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ وَالِيًّا؛ وأَمَّا الْمَعْتُوهُ وَالْأَبْلَهُ فَلَا وِلَايَةَ لَهُ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ تمييزه فلم يعرف حَظَّ نَفْسِهِ وَحَظَّ غَيْرِهِ، وَأَمَّا الشَّيْخُ الْهَرِمُ الذي قد صار بهرمه خرقاً لَا يَعْرِفُ مَوْضِعَ الْحَظِّ فَلَا وِلَايَةَ لَهُ لفقده تمييزه.
Kedua: yang dimaksud adalah lemah akal, baik karena kebodohan, ketololan, atau karena usia tua dan pikun. Adapun anak kecil, maka ia tidak memiliki wilayah; karena ia berada di bawah perwalian, sehingga tidak sah baginya menjadi wali. Adapun orang yang dungu dan tolol, maka ia tidak memiliki wilayah, karena ia tidak sah dalam membedakan sehingga tidak mengetahui kemaslahatan dirinya maupun orang lain. Adapun orang tua renta yang karena kepikunannya menjadi linglung dan tidak mengetahui letak kemaslahatan, maka ia tidak memiliki wilayah karena kehilangan kemampuannya membedakan.
فَصْلٌ
Fasal
ثُمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ” أو سقيماً ” وفيه روايتان:
Kemudian Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “atau sakit”, dan dalam hal ini terdapat dua riwayat:
أحدهما: مؤطاً يَعْنِي ذَا الْمَرَضِ الْمُؤْلِمِ.
Pertama: maksudnya adalah orang yang sakit parah dan menyakitkan.
وَالرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ: مُوَلِّيًا يعني ذا المرض المولي عليه لِفَقْدِ تَمْيِيزِهِ كَالْبِرْسَامِ وَإِنْ كَانَ مَرَضُهُ مُؤْلِمًا نُظِرَ فِي أَلَمِهِ، فَإِنْ كَانَ يَسِيرًا لَا يَمْنَعُهُ مِنَ الْفِكْرِ وَالنَّظَرِ كَانَ عَلَى وِلَايَتِهِ وَإِنْ كَانَ أَلَمُهُ عَظِيمًا قَدْ قَطَعَهُ عَنِ الْفِكْرِ وَصَرَفَهُ عَنِ الْحَظِّ وَالصَّلَاحِ فَلَا وِلَايَةَ له لفقد المقصود بها منه، ون كان مرضه مولياً عليه كإفاء الْمُبَرْسَمِ فَلَا يَصِحُّ مِنْهُ أَنْ يُزَوِّجَ مِنْهُ فِي حَالِ إِغْمَائِهِ، وَفِي بُطْلَانِ وِلَايَتِهِ وَجْهَانِ:
Riwayat kedua: maksudnya adalah orang yang sakit sehingga berada di bawah perwalian karena kehilangan kemampuannya membedakan, seperti orang yang terkena bresam (radang otak). Jika sakitnya hanya menyakitkan, maka dilihat tingkat rasa sakitnya; jika sakitnya ringan dan tidak menghalanginya untuk berpikir dan mempertimbangkan, maka ia tetap memiliki wilayah. Namun jika sakitnya berat hingga memutuskan kemampuannya berpikir dan menghalanginya dari kemaslahatan dan kebaikan, maka ia tidak memiliki wilayah karena kehilangan tujuan dari wilayah tersebut. Jika sakitnya menyebabkan ia berada di bawah perwalian seperti pingsannya orang yang terkena bresam, maka tidak sah baginya menikahkan orang lain dalam keadaan pingsan. Dalam batalnya wilayahnya terdapat dua pendapat:
أحدهما: قد بطلت لزوال عقله بالجنون، فَعَلَى هَذَا تَنْتَقِلُ الْوِلَايَةُ إِلَى مَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ.
Pertama: wilayahnya telah batal karena hilangnya akal akibat kegilaan, maka dalam hal ini wilayah berpindah kepada wali berikutnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَبْطُلُ؛ لِأَنَّ إعفاء المريض استراحة بالنوم، وَبِهَذَا الْمَعْنَى فَرَّقْنَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَرَضِ الْمُؤْلِمِ الَّذِي لَيْسَ بِاسْتِرَاحَةٍ فِي إِبْطَالِ الْوِلَايَةِ، فَعَلَى هَذَا يَنُوبُ عَنْهُ الْحَاكِمُ فِي التَّزْوِيجِ وَلَا تَنْتَقِلُ إِلَى مَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua: Tidak batal; karena pengecualian bagi orang sakit adalah untuk memberikan istirahat melalui tidur, dan dengan makna inilah kami membedakan antara hal itu dengan penyakit yang menyakitkan yang bukan merupakan istirahat dalam membatalkan wilayah (kewalian). Maka, dalam hal ini, hakim yang mewakilinya dalam pernikahan dan tidak berpindah kepada wali berikutnya. Allah Maha Mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
ثُمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ ” أَوْ بِهِ عِلَّةٌ تُخَرِجُهُ مِنَ الْوِلَايَةِ ” وَفِيهَا تَأْوِيلَانِ:
Kemudian asy-Syafi‘i berkata: “Atau karena adanya ‘illat (penyebab) yang mengeluarkannya dari wilayah,” dan dalam hal ini terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ الْأَمْرَاضَ الْمَانِعَةَ مِنَ الْوِلَايَةِ فَمِنْهَا مَا آلَمَ كَقَطْعِ الْأَعْضَاءِ، وَمِنْهَا مَا أَثَرُهُ فِي التَّمْيِيزِ كَالْأَعْمَى، وَفِي إِضَافَةِ الْعَمَى والخرس إليهما وجهان:
Salah satunya: Bahwa yang dimaksud adalah penyakit-penyakit yang menghalangi dari wilayah, di antaranya ada yang menyakitkan seperti terpotongnya anggota tubuh, dan di antaranya ada yang berpengaruh pada kemampuan membedakan seperti buta. Dalam menambahkan buta dan bisu kepada keduanya terdapat dua pendapat:
التأويل الثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ الْأَسْبَابَ الْمَانِعَةَ مِنَ الْوِلَايَةِ كَالْكُفْرِ، وَالرِّقِّ، وَالرِّدَّةِ.
Penafsiran kedua: Bahwa yang dimaksud adalah sebab-sebab yang menghalangi dari wilayah seperti kekufuran, perbudakan, dan riddah (keluar dari Islam).
فَأَمَّا الْفِسْقُ فَفِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ:
Adapun kefasikan, maka dalam hal ini terdapat empat pendapat:
أَحَدُهَا: وَهُوَ الْأَظْهَرُ أَنَّهُ مَانِعٌ مِنْ وِلَايَةِ النِّكَاحِ بِكُلِ حالٍ.
Salah satunya, dan ini yang paling kuat, bahwa kefasikan adalah penghalang dari wilayah nikah dalam segala keadaan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ لا يمنع منه بِحَالٍ.
Pendapat kedua, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah, bahwa kefasikan tidak menghalangi wilayah dalam keadaan apapun.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أنه لم إِنْ كُانْ مِمَّنْ يُجْبِرُ كَالْأَبِ بَطَلَتْ وِلَايَتُهُ بِالْفِسْقِ وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يُجْبِرُ كَالْأَخِ لَمْ تَبْطُلْ وِلَايَتُهُ بِالْفِسْقِ.
Pendapat ketiga, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa jika ia termasuk yang memiliki hak memaksa seperti ayah, maka wilayahnya batal karena kefasikan; dan jika ia bukan termasuk yang memiliki hak memaksa seperti saudara laki-laki, maka wilayahnya tidak batal karena kefasikan.
وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ الْبَصْرِيِّينَ إنَّهُ إِنْ كَانَ الْفِسْقُ موجباً للحجر بَطَلَتْ بِهِ الْوِلَايَةُ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُوجِبٍ له لَمْ تَبْطُلْ بِهِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ تَوْجِيهُ هَذِهِ الْأَوْجُهِ، فَأَمَّا الْخُنْثَى فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا عَلَى إشكاله فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Pendapat keempat, dan ini adalah pendapat sebagian ulama Bashrah, bahwa jika kefasikan menyebabkan seseorang menjadi mahjur (terhalang haknya), maka wilayahnya batal; dan jika tidak menyebabkan demikian, maka wilayahnya tidak batal. Penjelasan tentang pendapat-pendapat ini telah disebutkan sebelumnya. Adapun tentang khuntsa (interseks), jika statusnya masih samar, maka terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ زَوَالُهُ بِقَوْلِهِ؛ كَإِخْبَارِهِ عَنْ نَفْسِهِ بِأَنَّ طَبْعَهُ يَمِيلُ إلى الرجال حتى زوج امرأة ولا وِلَايَةَ لَهُ؛ لِأَنَّ قَوْلَهُ وَإِنْ قِيلَ عَلَى نَفْسِهِ فَهُوَ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَى غَيْرِهِ.
Salah satunya: Jika hilangnya (status wilayah) itu berdasarkan pengakuannya sendiri, seperti ia mengabarkan bahwa kecenderungan tabiatnya kepada laki-laki sehingga ia menikahkan seorang perempuan, maka ia tidak memiliki wilayah; karena pengakuannya, meskipun atas dirinya sendiri, tidak diterima untuk orang lain.
وَالضَّرْبُ الثاني: أن يكون قد زال تعيناً لإمارة لَا يُرْتَابُ بِهَا فَلَهُ الْوِلَايَةُ لِاعْتِبَارِ حُكْمِهِ بالرجال في جميع الأحوال.
Keadaan kedua: Jika telah hilang secara pasti karena tanda yang tidak diragukan lagi, maka ia memiliki wilayah karena dianggap sebagai laki-laki dalam seluruh keadaan.
فأما الْإِحْرَامُ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ فَمَانَعٌ مِنَ الْوِلَايَةِ سواء كَانَ صَحِيحًا أَوْ فَاسِدًا لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْمُضِيِّ فِيهِمَا وَلَا تَبْطُلُ بِهِ الْوِلَايَةُ، لِأَنَّهُ يَصِيرُ بِإِحْرَامِهِ كَالْعَاضِلِ فَيُزَوِّجُهَا الْحَاكِمُ عَنْهُ وَلَا تَنْتَقِلُ الْوِلَايَةُ عَنْهُ إِلَى مَا بَعْدَهُ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ.
Adapun ihram haji atau umrah, maka itu menjadi penghalang wilayah, baik ihramnya sah maupun rusak, karena keduanya sama-sama harus dilanjutkan. Namun wilayah tidak batal karenanya, karena dengan ihramnya ia seperti ‘adhl (wali yang menghalangi), sehingga hakim yang menikahkan atas namanya dan wilayah tidak berpindah darinya kepada wali berikutnya.
فصل
Fasal
إذا ثبت ما وصفنا من الأسباب المشكلة لِوِلَايَةِ النِّكَاحِ انْتَقَلَتِ الْوِلَايَةُ بِهَا إِلَى مَنْ هو أبعد بخلاف الغيبة التي لا تُوجِبُ انْتِقَالَ الْوِلَايَةِ؛ لِأَنَّ الْغَائِبَ يَصِحُّ مِنْهُ التَّزْوِيجُ وَلَا يَصِحُّ مِنْ هَؤُلَاءِ فَلَوْ زَالَتِ الْأَسْبَابُ الْمُبَطِلَةُ لِلْوِلَايَةِ بِأَنْ أَسْلَمَ الْكَافِرُ وَأُعْتِقَ الْعَبْدُ وَأَفَّاقَ الْمَجْنُونُ وَرَشَدَ السَّفِيهُ عَادُوا إِلَى الْوِلَايَةِ وَانْتَقَلَتْ عَمَّنْ هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُمْ فَلَوْ كان الأبعد قد زوج في جنون القريب وَسَفَهِهِ صَحَّ نِكَاحُهُ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْأَقْرَبِ بَعْدَ الإفاقة والرشد اعتراض عليه، ولو كان الأبعد قد زوج فعد إِفَاقَةِ الْأَقْرَبِ وَرُشْدِهِ كَانَ نِكَاحُهُ بَاطِلًا سَوَاءً عَلِمَ بِإِفَاقَتِهِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ، فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ وَكِيلُ الْوَلِيِّ إِذَا زَوَّجَ بَعْدَ رُجُوعِ الْوَلِيِّ فِي الْوَكَالَةِ قَبْلَ عِلْمِهِ بِرُجُوعِهِ كَانَ فِي نِكَاحِهِ قَوْلَانِ: فَهَلَّا كَانَ نِكَاحُ الْأَبْعَدِ مِثْلُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Apabila telah tetap apa yang kami sebutkan tentang sebab-sebab yang membatalkan wilayah nikah, maka wilayah berpindah karenanya kepada yang lebih jauh, berbeda dengan kasus ghaib (wali yang tidak hadir) yang tidak menyebabkan perpindahan wilayah; karena wali yang ghaib masih sah melakukan pernikahan, sedangkan pada mereka (yang terhalang) tidak sah. Jika sebab-sebab yang membatalkan wilayah itu hilang, seperti kafir masuk Islam, budak dimerdekakan, orang gila sembuh, dan orang safih (bodoh) menjadi cerdas, maka mereka kembali mendapatkan wilayah dan wilayah berpindah dari yang lebih jauh kepada mereka. Jika yang lebih jauh telah menikahkan saat kerabat yang lebih dekat dalam keadaan gila atau safih, maka nikahnya sah, dan kerabat yang lebih dekat setelah sembuh atau cerdas tidak berhak membatalkannya. Namun jika yang lebih jauh menikahkan setelah kerabat yang lebih dekat sembuh atau cerdas, maka nikahnya batal, baik ia mengetahui kesembuhan itu atau tidak. Jika dikatakan: Bukankah wakil wali jika menikahkan setelah wali mencabut kuasa sebelum ia mengetahui pencabutan itu, dalam masalah nikahnya ada dua pendapat? Maka mengapa nikah yang dilakukan oleh wali yang lebih jauh tidak demikian, yakni ada dua pendapat juga?
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْوَكِيلَ مُسْتَنَابٌ يُضَافُ عَقْدُهُ إِلَى مُوَكِّلِهِ فَكَانَ عَقْدُهُ أَمْضَى مِنْ عَقْدِ الْأَبْعَدِ الَّذِي لَيْسَ بِنَائِبٍ عَنِ الْأَقْرَبِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ زَوَّجَهَا الْأَبْعَدُ ثُمَّ اخْتَلَفَ هُوَ وَالْأَقْرَبُ فَقَالَ الْأَبْعَدُ زوجها قَبْلَ إِفَاقَتِكَ فَالنِّكَاحُ مَاضٍ، وَقَالَ الْأَقْرَبُ بَلْ زَوَّجْتَهَا بَعْدَ إِفَاقَتِي، فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ وَلَا اعْتِبَارَ باختلافهما ولا رجوع فيسأل قَوْلُ الزَّوْجَيْنِ؛ لِأَنَّ الْعَقْدَ حَقٌّ لَهُمَا فَلَمْ ينفذ فيه قول غيرهما.
Dikatakan: Perbedaan antara keduanya adalah bahwa wakil adalah orang yang diberi kuasa, sehingga akadnya dinisbatkan kepada pihak yang mewakilkannya. Maka akadnya lebih kuat daripada akad wali yang lebih jauh yang bukan merupakan wakil dari wali yang lebih dekat. Berdasarkan hal ini, jika wali yang lebih jauh menikahkan (perempuan itu) kemudian terjadi perselisihan antara dia dan wali yang lebih dekat, lalu wali yang lebih jauh berkata, “Aku telah menikahkannya sebelum engkau sadar (dari sakit atau hilang akal), maka nikahnya sah.” Sedangkan wali yang lebih dekat berkata, “Bahkan aku telah menikahkannya setelah engkau sadar,” maka nikahnya batal dan tidak dianggap perselisihan di antara keduanya serta tidak kembali kepada pendapat mereka, melainkan yang ditanyakan adalah pendapat kedua mempelai; karena akad itu adalah hak mereka berdua, sehingga tidak berlaku pendapat selain mereka dalam hal ini.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَوْ قَالَتْ قَدْ أَذِنْتُ فِي فلانٍ فَأَيُّ وُلَاتِي زَوَّجَنِي فَهُوَ جائزٌ فَأَيُّهُمْ زَوَّجَهَا جَازَ وإن تَشَاحُّوا أَقْرَعَ بَيْنَهُمُ السُّلْطَانِ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika perempuan itu berkata, ‘Aku telah mengizinkan kepada si fulan, maka siapa pun dari para waliku yang menikahkanku, maka itu sah.’ Maka siapa pun dari mereka yang menikahkannya, maka sah, dan jika mereka berselisih, maka penguasa melakukan undian di antara mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.
إِذَا كَانَ لِلْمَرْأَةِ جَمَاعَةُ أَوْلِيَاءَ فِي دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ كَالْإِخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ فَيَنْبَغِي لَهَا ولهم أن يردوا عقد نكاحها إلي أسنهم وأعلموا وَأَوْرَعِهِمْ؛ لِأَنَّ ذَا السِّنِّ قَدْ جَرَّبَ الْأُمُورَ وَذَا الْعِلْمِ أَعْرَفُ بِأَحْكَامِ الْعُقُودِ وَذَا الْوَرَعِ أَسْلَمُ اخْتِيَارًا وَأَكْثَرُ احْتِيَاطًا، فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا اشْتَرَكُوا فِي عَقْدِ نِكَاحِهَا وَلَمْ يَنْفَرِدْ بِهِ أحدهم كما لو اشتركوا في رق جارية اشتركوا في تزوجيها لِتُسَاوِيهِمْ كَالشُّرَكَاءِ فِي مِلْكٍ إِذَا أَرَادُوا بَيْعَهُ أو إجارته اشتركوا في العقد عَلَيْهِ وَلَمْ يَنْفَرِدْ بِهِ أَحَدُهُمْ لِتَسَاوِيهِمْ فِيهِ.
Jika seorang perempuan memiliki sekelompok wali yang berada pada satu derajat, seperti saudara-saudara laki-laki dan paman-paman, maka sebaiknya ia dan mereka menyerahkan akad nikahnya kepada yang paling tua, paling berilmu, dan paling wara‘ di antara mereka; karena yang tua telah berpengalaman dalam urusan, yang berilmu lebih mengetahui hukum-hukum akad, dan yang wara‘ lebih selamat dalam memilih dan lebih berhati-hati. Jika dikatakan: Mengapa mereka tidak bersama-sama dalam akad nikahnya dan tidak hanya salah satu dari mereka saja, sebagaimana jika mereka bersama-sama memiliki budak perempuan, mereka juga bersama-sama menikahkannya, karena kedudukan mereka sama seperti para sekutu dalam kepemilikan barang, jika mereka ingin menjual atau menyewakannya, mereka bersama-sama dalam akadnya dan tidak hanya salah satu dari mereka saja karena kedudukan mereka yang setara di dalamnya.
قيل الفرق بينهما أن المعقود في الأملاك يتبعض وَلَوْ أَرَادَ أَحَدُهُمْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالْعَقْدِ عَلَى قَدْرِ حِصَّتِهِ جَازَ فَلِذَلِكَ جَازَ إِذَا اجْتَمَعُوا أَنْ يَشْتَرِكُوا فِي الْعَقْدِ عَلَى الْجَمِيعِ وَلَيْسَ كذلك عقد النكاح؛ لأنه يَتَبَعَّضُ وَلَا يَجُوزُ الْعَقْدُ عَلَى بَعْضِ امْرَأَةٍ فَلِذَلِكَ إِذَا اجْتَمَعَ الْأَوْلِيَاءُ لَمْ يَشْتَرِكُوا فِيهِ ويفرد بالعقد أحدهم.
Dikatakan, perbedaannya adalah bahwa akad dalam kepemilikan dapat dibagi-bagi, dan jika salah satu dari mereka ingin melakukan akad hanya atas bagian miliknya saja, maka itu boleh. Oleh karena itu, jika mereka berkumpul, boleh bagi mereka untuk bersama-sama dalam akad atas seluruhnya. Tidak demikian halnya dengan akad nikah; karena nikah tidak dapat dibagi-bagi dan tidak boleh akad atas sebagian perempuan saja. Oleh karena itu, jika para wali berkumpul, mereka tidak bersama-sama dalam akad, melainkan hanya salah satu dari mereka yang melakukannya.
فصل
Fasal
فإذا تقرر هذا فللمرأة المخطوبة حالتان:
Jika hal ini telah dijelaskan, maka perempuan yang dilamar memiliki dua keadaan:
أحدهما: أَنْ تَأْذَنَ لِأَحَدِهِمْ بِعَيْنِهِ فِي الْعَقْدِ عَلَيْهَا.
Pertama: Ia mengizinkan salah satu dari mereka secara spesifik untuk melakukan akad atas dirinya.
والثاني: أن لا تعين فإن عينت، فَقَالَتْ: قَدْ أَذِنْتُ لِفُلَانٍ مِنْ إِخْوَتِي أَوْ من أعمامي أن يزوجني لفلان أَوْ بِمَنْ يَخْتَارُهُ لِي مِنَ الْأَكْفَاءِ فَيَكُونُ الْمَأْذُونُ لَهُ مِنْهُمْ أَحَقَّ بِعَقْدِ نِكَاحِهَا مِنْ جَمَاعَتِهِمْ، فَإِنْ زَوَّجَهَا غَيْرُهُ مِنْهُمْ كَانَ نِكَاحُهَا بَاطِلًا سَوَاءً كَانَتْ قَدْ عَيَّنَتْ عَلَى الزَّوْجِ أَوْ لَمْ تُعَيِّنْ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَأْذَنْ لَهُ فَصَارَ عَاقِدًا بِغَيْرِ إِذَنٍ فَبَطَلَ عَقْدُهُ.
Kedua: Ia tidak menentukan. Jika ia menentukan, lalu berkata: “Aku telah mengizinkan kepada fulan dari saudara-saudaraku atau dari pamanku untuk menikahkanku dengan fulan, atau dengan siapa pun yang ia pilihkan untukku dari kalangan yang sekufu,” maka orang yang diberi izin dari mereka lebih berhak untuk melakukan akad nikahnya daripada yang lain. Jika yang menikahkannya adalah selain orang yang diberi izin dari mereka, maka nikahnya batal, baik ia telah menentukan calon suami maupun tidak; karena ia tidak mengizinkan kepadanya, sehingga ia menjadi pelaku akad tanpa izin, maka batal akadnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ لَمْ تُعَيِّنْ عَلَى أَحَدِ الْأَوْلِيَاءِ بَلْ قالت يزوجني أحدكم وأيكم يزوجني فَهُوَ بِإِذْنِي وَرِضَايَ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمْ حينئذٍ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Jika ia tidak menentukan salah satu dari para wali, melainkan berkata, “Silakan salah satu dari kalian menikahkanku, dan siapa pun di antara kalian yang menikahkanku, maka itu dengan izin dan kerelaanku,” maka keadaan mereka saat itu tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَتَنَازَعُوا فِي تزوجيها، أو لم يَتَنَازَعُوا، فَإِنْ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي تَزْوِيجِهَا وَسَلَّمُوهُ لِأَحَدِهِمْ زَوَّجَهَا مَنْ سَلَّمُوا إِلَيْهِ الْعَقْدَ مِنْهُمْ وَسَوَاءً كَانَ أَفْضَلَهُمْ أَوْ أَنْقَصَهُمْ إِذَا لَمْ يكن به سَبَبٌ يَمْنَعُهُ مِنَ الْوِلَايَةِ لِأَنَّهُ لَوْ تَفَرَّدَ لَكَانَ وَلِيًّا فَكَذَلِكَ إِذَا شَارَكَ وَإِنْ تَنَازَعُوا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Pertama, mereka berselisih dalam menikahkannya, atau tidak berselisih. Jika mereka tidak berselisih dalam menikahkannya dan menyerahkannya kepada salah satu dari mereka, maka yang menikahkannya adalah orang yang mereka serahkan akad kepadanya, baik ia yang paling utama maupun yang kurang utama di antara mereka, selama tidak ada sebab yang menghalanginya dari kewalian; karena jika ia sendirian, maka ia adalah wali, demikian pula jika ia bersama-sama. Jika mereka berselisih, maka ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ نِزَاعُهُمْ فِي تَوَلِّي الْعَقْدِ مَعَ اتِّفَاقِهِمْ عَلَى الزَّوْجِ كَأَنَّهُمُ اتفقوا على أن يزوجوها يزيد بْنِ عَبْدِ اللَّهِ لَكِنْ قَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ: أَنَا أُزَوِّجُهَا بِهِ فَهَؤُلَاءِ لَا حَقَّ لِلسُّلْطَانِ مَعَهُمْ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِمْ عَاضِلٌ لَكِنْ يُقْرَعُ بَيْنَهُمْ فَأَيُّهُمْ قُرِعَ كَانَ أَوْلَى بِنِكَاحِهَا مِنْ جَمَاعَتِهِمْ، فَإِنْ زَوَّجَهَا مَنْ لَمْ تَخْرُجْ لَهُ الْقَرْعَةُ مِنْهُمْ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ الْقُرْعَةِ كَانَ نِكَاحُهُ جَائِزًا لِكَوْنِهِ وَلِيًّا، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْقُرْعَةِ فَفِي صِحَّةِ نِكَاحِهِ وَجْهَانِ:
Pertama: Perselisihan mereka dalam memegang akad dengan kesepakatan mereka atas calon suami, seperti mereka sepakat untuk menikahkannya dengan Yazid bin Abdullah, tetapi masing-masing dari mereka berkata, “Aku yang akan menikahkannya dengannya.” Maka dalam hal ini, penguasa tidak berhak ikut campur; karena tidak ada yang menahan (menghalangi) di antara mereka, tetapi dilakukan undian di antara mereka, siapa yang keluar namanya dalam undian, maka ia lebih berhak menikahkannya daripada yang lain. Jika yang menikahkannya adalah selain yang keluar namanya dalam undian, maka dilihat: jika itu terjadi sebelum undian, maka nikahnya sah karena ia adalah wali; namun jika setelah undian, maka dalam keabsahan nikahnya ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ لِكَوْنِهِ وَلِيًّا.
Salah satunya: sah karena dia adalah wali.
وَالثَّانِي: بَاطِلٌ لِأَنَّ الْقُرْعَةَ قَدْ مَيَّزَتْ حَقَّ الْوِلَايَةِ لِغَيْرِهِ.
Dan yang kedua: batal karena undian telah membedakan hak kewalian untuk selainnya.
فَصْلٌ: وَالضَّرْبُ الثَّانِي
Fashal: Jenis yang kedua
: أَنْ يَكُونَ نِزَاعُهُمْ فِي غير الزَّوْجِ وَفِي تَوَلِّي الْعَقْدِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمْ: أَنَا أُزَوِّجُهَا بِزَيْدٍ وَلَا أُزَوِّجُهَا بِعَمْرٍو، وَيَقُولُ الْآخَرُ: بِخِلَافِ ذَلِكَ فَيُرْجَعُ إِلَى الزَّوْجَةِ فَإِنْ رَضِيَتْ أَحَدَ الزَّوْجَيْنِ دُونَ الْآخَرِ كَانَ مَنْ رَضِيَتْهُ الزَّوْجَةُ أَحَقَّ وَمَنْ دُعِيَ إِلَى تَزْوِيجِهَا بِهِ أَوْلَى فَإِنْ قَالَتْ: هُمَا عِنْدِي سَوَاءٌ فَزَوَّجُونِي بأحدهما فلا قرعة هاهنا؛ لأنه يصير قراعاً بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَالْقُرْعَةُ لَا تُمَيِّزُ الْمَعْقُودَ عَلَيْهِ، وإنما يتعين بالرضى وَالِاخْتِيَارِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ صَارَ الْأَوْلِيَاءُ عَضْلَةً؛ لأن كل واحد منهم يمتنع من رَضِيَهُ الْآخَرُ فَوَجَبَ أَنْ يُرْجَعَ فِي تَزْوِيجِهَا إِلَى السُّلْطَانِ كَمَا لَوْ صَرَّحُوا بِالْعَضْلِ حَتَّى زوجها بِمَنْ يَخْتَارُهُ لَهَا مِنَ الزَّوْجَيْنِ الْمُخْتَلَفُ فِيهِمَا والله أعلم.
Yaitu jika perselisihan mereka bukan pada calon suami, melainkan dalam pelaksanaan akad, misalnya salah satu dari mereka berkata: “Aku menikahkannya dengan Zaid dan tidak menikahkannya dengan ‘Amr,” dan yang lain berkata sebaliknya. Maka dikembalikan kepada pihak istri; jika ia ridha kepada salah satu dari kedua calon suami dan tidak kepada yang lain, maka yang diridhai oleh istri lebih berhak, dan wali yang diminta untuk menikahkannya dengan calon tersebut lebih utama. Jika ia berkata: “Keduanya sama saja bagiku, maka nikahkanlah aku dengan salah satu dari keduanya,” maka tidak ada undian di sini; karena hal itu berarti undian antara kedua calon suami, sedangkan undian tidak dapat menentukan siapa yang menjadi pihak akad, melainkan harus ditentukan dengan kerelaan dan pilihan. Jika demikian, para wali menjadi penghalang, karena masing-masing menolak yang diridhai oleh yang lain. Maka wajib dikembalikan urusan pernikahannya kepada sultan, sebagaimana jika mereka secara tegas menghalangi, sehingga sultan menikahkannya dengan salah satu dari kedua calon yang diperselisihkan, sesuai pilihan sultan untuknya. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولو أَذِنَتْ لِكُلِّ واحدٍ أَنْ يُزَوِّجَهَا لَا فِي رجلٍ بِعَيْنِهِ فَزَوَّجَهَا كُلُّ واحدٍ رَجُلًا فَقَدْ قال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إذا أنكح الوليان فالأول أحق ” فإن لم تثبت الشهود أيهما أول فالنكاح مفسوخٌ ولا شيء لها وإن دخل بها أحدهما على هذا كان لها مهر مثلها وهما يقران أنها لا تعلم مثل أن تكون غائبةً عن النكاح ولو ادعيا عليها أنها تعلم أحلفت ما تعلم وإن أقرت لأحدهما لزمها “.
Imam Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Jika ia mengizinkan kepada masing-masing wali untuk menikahkannya, bukan dengan seorang laki-laki tertentu, lalu masing-masing wali menikahkannya dengan seorang laki-laki, maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika dua wali menikahkan, maka yang pertama lebih berhak.’ Jika para saksi tidak dapat memastikan siapa yang lebih dahulu, maka nikahnya batal dan ia tidak berhak apa-apa. Jika salah satu dari kedua laki-laki telah menggaulinya dalam keadaan seperti ini, maka ia berhak mendapatkan mahar mitsil, dan keduanya mengakui bahwa ia tidak mengetahui, misalnya karena ia sedang tidak hadir saat akad nikah. Jika keduanya mengklaim bahwa ia mengetahui, maka ia harus bersumpah bahwa ia tidak tahu. Jika ia mengakui kepada salah satu dari keduanya, maka itu yang berlaku baginya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي امْرَأَةٍ لَهَا وَلِيَّانِ أَذِنَتْ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يُزَوِّجَهَا برجلٍ لَا بِعَيْنِهِ يَخْتَارُهُ لَهَا مِنْ أَكْفَائِهَا، فَزَوَّجَهَا كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْوَلِيَّيْنِ بِرَجُلٍ غَيْرَ الَّذِي زَوَّجَهَا بِهِ الْآخَرُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الزَّوْجَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Māwardī berkata: “Gambaran kasusnya adalah: seorang wanita memiliki dua wali, ia mengizinkan masing-masing dari keduanya untuk menikahkannya dengan seorang laki-laki, bukan dengan laki-laki tertentu, yang dipilihkan dari kalangan yang sekufu dengannya. Lalu masing-masing wali menikahkannya dengan laki-laki yang berbeda dari yang dipilih oleh wali lainnya. Maka keadaan kedua calon suami tidak lepas dari tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا مَعًا غير كفئين فَنِكَاحُهُمَا بَاطِلٌ فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا وَاحِدٌ منهما فلا شيء عليهما فإن دَخْلَ بِهَا أَحَدُهُمَا كَانَ عَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا دُونَ الْمُسَمَّى وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ غَيْرُ كفءٍ؛ لِأَنَّ مِنَ الْفُقَهَاءِ مَنْ يُوقِفُ نِكَاحَهُ عَلَى الْإِجَازَةِ فَكَانَ ذَلِكَ شُبْهَةً يُدْرَأُ بِهَا الْحَدُّ.
Pertama: Jika keduanya sama-sama tidak sekufu, maka pernikahan keduanya batal. Jika tidak ada yang menggaulinya, maka tidak ada kewajiban apa pun atas keduanya. Jika salah satu dari mereka telah menggaulinya, maka ia wajib membayar mahar mitsil, bukan mahar yang disebutkan, dan tidak dikenakan had atasnya, meskipun ia tahu bahwa ia bukan sekufu; karena di antara para fuqahā’ ada yang menggantungkan sahnya nikah pada izin, sehingga hal itu menjadi syubhat yang menggugurkan had.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ أحد الزوجين كفئاً، وَالْآخَرُ غَيْرَ كفءٍ فَنِكَاحُ غَيْرِ الْكُفْءِ بَاطِلٌ وَنِكَاحُ الْكُفْءِ جَائِزٌ سَوَاءً تَقَدَّمَ نِكَاحُهُ أَوْ تأخر، فإن دخل بها غير كفء فَعَلَيْهِ مَهْرُ الْمِثْلِ ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ نكاحه قد تقدم فلا أحد عَلَيْهِ سَوَاءً عَلِمَ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ وَعَلَيْهَا أن تفتدي من إِصَابَتِهِ وَإِنْ كَانَ نِكَاحُهُ قَدْ تَأَخَّرَ فَإِنْ عَلِمَ بِالْحَالِ فَعَلَيْهِ الْحَدُّ لِارْتِفَاعِ الشُّبْهَةِ وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهَا لَوْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِهِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لَحِقَ بِهِ وَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَى الْكُفْءِ فِي زَمَانِ عِدَّتِهَا مِنْ غَيْرِ الْكُفْءِ.
Bagian kedua: Jika salah satu dari kedua calon suami sekufu dan yang lain tidak sekufu, maka pernikahan yang tidak sekufu batal dan pernikahan yang sekufu sah, baik yang sekufu lebih dahulu atau belakangan. Jika yang tidak sekufu telah menggaulinya, maka ia wajib membayar mahar mitsil, kemudian dilihat: jika pernikahannya lebih dahulu, maka tidak ada had atasnya, baik ia tahu atau tidak, dan ia (istri) harus menebus diri dari hubungan tersebut. Jika pernikahannya belakangan, dan ia tahu keadaannya, maka ia dikenakan had karena hilangnya syubhat, dan tidak ada masa iddah baginya; karena jika ia melahirkan anak, anak itu tidak dinasabkan kepadanya. Jika ia tidak tahu, maka tidak ada had atasnya, dan ia wajib menjalani iddah, dan jika ia melahirkan anak, anak itu dinasabkan kepadanya. Ia haram dinikahi oleh yang sekufu selama masa iddahnya dari yang tidak sekufu.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أن يكون الزوجان معاً كفئين فلا يخلو حال نكاحهما من خمسة أَقْسَامٍ:
Bagian ketiga: Jika kedua calon suami sama-sama sekufu, maka keadaan pernikahan mereka tidak lepas dari lima bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَسْبِقَ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ وَيُعْلَمَ أَيُّهُمَا هُوَ السَّابِقُ.
Pertama: Salah satu dari mereka lebih dahulu dari yang lain dan diketahui siapa yang lebih dahulu.
وَالثَّانِي: أَنْ يَقَعَ النِّكَاحَانِ مَعًا وَلَا يَسْبِقُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ.
Kedua: Kedua akad nikah terjadi bersamaan dan tidak ada yang mendahului yang lain.
وَالثَّالِثُ: أن يَشُكَّ هَلْ وَقَعَ النِّكَاحَانِ مَعًا أَوْ سَبَقَ أحدهما الآخر.
Ketiga: Ragu apakah kedua akad nikah terjadi bersamaan atau salah satunya lebih dahulu.
والرابع: أن يشك أيهما هو السابق.
Keempat: Ragu siapa yang lebih dahulu.
والخامس: أَنْ يَسْبِقَ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ وَيَدَّعِيَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ أَنَّهُ هُوَ السَّابِقُ.
Kelima: Salah satu dari mereka lebih dahulu dari yang lain, dan masing-masing dari kedua calon suami mengklaim bahwa dialah yang lebih dahulu.
فَصْلٌ
Fashal
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ: أَنْ يَسْبِقَ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ ويعلم أيهما هو السابق بالنكاح لأسبق الزوجين عقداً والنكاح الثَّانِيَ الْمَسْبُوقُ بَاطِلٌ سَوَاءً دَخَلَ هَذَا الثَّانِي بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ.
Adapun bagian pertama, yaitu: salah satu dari keduanya mendahului yang lain dan diketahui siapa yang lebih dahulu melakukan akad nikah, maka istri itu menjadi milik suami yang lebih dahulu akadnya. Nikah yang kedua, yang didahului, adalah batal, baik suami kedua itu telah berhubungan dengannya maupun belum.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ.
Pendapat ini dipegang oleh sahabat: ‘Ali bin Abi Thalib.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: شُرَيْحٌ، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ.
Dan dari kalangan tabi‘in: Syuraih, dan al-Hasan al-Bashri.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: أبو حنيفة، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.
Dan dari para fuqaha: Abu Hanifah, al-Auza‘i, Ahmad, dan Ishaq.
وَقَالَ مَالِكٌ: النِّكَاحُ لِلْأَوَّلِ إِلَّا أَنْ يَدْخُلَ بِهَا الثَّانِي وَهُوَ لَا يَعْلَمُ بِنِكَاحِ الْأَوَّلِ فَيَكُونُ النِّكَاحُ لِلثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ.
Sedangkan Malik berpendapat: Nikah itu untuk yang pertama, kecuali jika suami kedua telah berhubungan dengannya dan ia tidak mengetahui adanya akad nikah pertama, maka nikah itu menjadi milik suami kedua, bukan yang pertama. Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat: ‘Umar bin al-Khaththab.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: عَطَاءٌ.
Dan dari kalangan tabi‘in: ‘Atha’.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: الزُّهْرِيُّ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ مُوسَى بْنَ طَلْحَةَ بن عبيد الله زوج أخته بيزيد بْنِ مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ وَزَوَّجَهَا أَخُوهَا يَعْقُوبُ بْنُ طَلْحَةَ بِالْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بِالْمَدِينَةِ فَدَخَلَ بِهَا الْحَسَنُ، وَهُوَ الثَّانِي مِنَ الزَّوْجَيْنِ وَلَمْ يَعْلَمْ بما تقدم من نكاح بيزيد فَقَضَى مُعَاوِيَةُ بِنِكَاحِهَا لِلْحَسْنِ بَعْدَ أَنْ أَجْمَعَ مَعَهُ فُقَهَاءُ الْمَدِينَةِ فَصَارَ مَنْ سِوَاهُمْ مَحْجُوبًا بإجماعهم؛ ولأنه قد تساوا العقدان في أن يفرد كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلِيَ مَأْذُونٌ لَهُ وِيَرْجِعُ الثاني أيما تَعَلَّقَ عَلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ النِّكَاحِ بِالدُّخُولِ مِنْ وُجُوبِ الْمَهْرِ وَالْعِدَّةِ وَلُحُوقِ النَّسَبِ فَصَارَ أَوْلَى وَأَثْبَتَ مِنَ الْأَوَّلِ، وَلِأَنَّ الْمُتَنَازِعَيْنِ فِي الْمِلْكِ إِذَا انْفَرَدَ أَحَدُهُمَا بِتَصَرُّفٍ وَيَدٍ كَانَ أَوْلَى كذلك الزوجات
Dan dari para fuqaha: az-Zuhri, dengan berdalil pada riwayat bahwa Musa bin Thalhah bin ‘Ubaidillah menikahkan saudara perempuannya dengan Yazid bin Mu‘awiyah di Syam, lalu saudaranya, Ya‘qub bin Thalhah, menikahkannya dengan al-Hasan bin ‘Ali di Madinah, lalu al-Hasan, yang merupakan suami kedua, telah berhubungan dengannya tanpa mengetahui adanya akad nikah sebelumnya dengan Yazid. Maka Mu‘awiyah memutuskan bahwa nikah itu untuk al-Hasan setelah para fuqaha Madinah sepakat dengannya, sehingga selain mereka tertutup oleh ijmā‘ mereka; karena kedua akad itu sama-sama dilakukan oleh wali yang sah, dan suami kedua berhak mendapatkan segala ketentuan hukum nikah karena telah terjadi hubungan, seperti wajibnya mahar, masa ‘iddah, dan nasab yang sah, sehingga ia lebih utama dan lebih kuat daripada yang pertama. Juga karena dalam perkara kepemilikan yang diperselisihkan, jika salah satu pihak telah melakukan tindakan dan memegangnya, maka ia lebih berhak, demikian pula dalam kasus istri.
ودليلنا قوله تعالى: {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَهَاتِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَالمُحْصِنَاتُ مِنَ النَّسَاءِ} (النساء: 24) يَعْنِي ذَوَاتَ الْأَزْوَاجِ فَنَصَّ عَلَى تَحْرِيمِهَا كَالْأُمِّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَحِلَّ بِالدُّخُولِ كَمَا لَا يَحِلُّ غَيْرُهَا مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian} hingga firman-Nya: {dan wanita-wanita yang bersuami} (an-Nisa: 24), maksudnya adalah wanita yang telah bersuami. Maka Allah secara tegas mengharamkannya seperti ibu, sehingga tidak boleh menjadi halal dengan adanya hubungan, sebagaimana wanita-wanita haram lainnya juga tidak menjadi halal.
وَرَوَى قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ زَوَّجَهَا وَلِيَّانِ فَهِيَ لِلْأَوَّلِ مِنْهُمَا ” ذَكَرَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ.
Qatadah meriwayatkan dari al-Hasan dari Samurah bahwa Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua wali, maka ia menjadi milik wali yang pertama di antara keduanya.” Hadis ini disebutkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya.
وروى الشافعي بإسناد رفعه لعقبة بْنِ عَامِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا نَكَحَ الْوَلِيَّانِ فَالْأَوَّلُ أَحَقُّ “.
Imam Syafi‘i meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa Nabi –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Jika dua wali menikahkan, maka yang pertama lebih berhak.”
وَرَوَى أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ: أَنَّ امْرَأَةً ذَاتَ وَلِيَّيْنِ زوجها أحدهما بعبد الله بن الحسن الحنفي وَزَوَّجَهَا الْآخَرُ بِعَبِيدِ اللَّهِ بْنِ الْحَسَنِ الْحَنَفِيِّ فدخل بها عبيد الله وَهُوَ الثَّانِي وَتَقَاضَيَا إِلَى عَلَيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَقَضَى بِالنِّكَاحِ لِلْأَوَّلِ مِنْهُمَا، وَهُوَ عَبْدُ اللَّهِ، وَأَبْطَلَ نِكَاحَ عَبِيدِ اللَّهِ مَعَ دُخُولِهِ، وَقَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا نَكَحَ الْوَلِيَّانِ فَالْأَوَّلُ أَحَقُّ “.
Abu Musa al-Asy‘ari meriwayatkan: Ada seorang wanita yang memiliki dua wali, salah satunya menikahkannya dengan ‘Abdullah bin al-Hasan al-Hanafi, dan yang lain menikahkannya dengan ‘Ubaidullah bin al-Hasan al-Hanafi. Lalu ‘Ubaidullah, yang merupakan suami kedua, telah berhubungan dengannya. Mereka berdua mengadukan perkara itu kepada ‘Ali bin Abi Thalib, maka beliau memutuskan nikah itu untuk yang pertama di antara keduanya, yaitu ‘Abdullah, dan membatalkan nikah ‘Ubaidullah meskipun sudah terjadi hubungan, dan berkata: Rasulullah –shallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Jika dua wali menikahkan, maka yang pertama lebih berhak.”
وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الِاعْتِبَارِ أَنَّ كُلَّ نِكَاحٍ لَا يصح إذا عرى عن الوطء لم يصح إِذَا اتَّصَلَ بِالْوَطْءِ كَالنِّكَاحِ فِي الْعِدَّةِ، وَلِإِجْمَاعِنَا إِنَّ رَجُلًا لَوْ وَكَّلَ وَكِيلَيْنِ فِي أَنْ يُزَوِّجَهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا امرأةٍ فَزَوَّجَاهُ بِأُخْتَيْنِ أو وكل كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يُزَوِّجَهُ بِأَرْبَعِ نِسْوَةٍ فَزَوَّجَهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَرْبَعًا أَنْ نِكَاحَ الْأَوَّلِ مِنْهُمَا أَصَحُّ مِنْ نِكَاحِ الثَّانِي وَإِنِ اقترن به دخول، فكذلك ولياً المرأة يحب أَنْ يَكُونَ نِكَاحُ الْأَوَّلِ مِنْهُمَا أَصَحَّ وَإِنِ اقترن الثاني دُخُولٌ.
Dan hal ini juga dapat dipahami secara qiyās, bahwa setiap akad nikah yang tidak sah jika tanpa adanya hubungan, maka tidak sah pula jika telah terjadi hubungan, seperti nikah dalam masa ‘iddah. Dan berdasarkan ijmā‘ kami, jika seseorang mewakilkan kepada dua orang untuk menikahkannya dengan masing-masing seorang wanita, lalu keduanya menikahkannya dengan dua saudari, atau mewakilkan kepada masing-masing untuk menikahkannya dengan empat wanita, lalu masing-masing menikahkannya dengan empat wanita, maka nikah yang pertama di antara keduanya lebih sah daripada yang kedua, meskipun yang kedua telah terjadi hubungan. Maka demikian pula dalam kasus dua wali wanita, hendaknya nikah yang pertama di antara keduanya lebih sah, meskipun pada yang kedua telah terjadi hubungan.
وَتَحْرِيرُهُ: أَنَّ بُطْلَانَ نِكَاحِ الثَّانِي إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ دُخُولٌ لَا يُوجِبُ تَصْحِيحَهُ، فَإِذَا اقْتَرَنَ بِهِ دُخُولٌ لَا يُوجِبُ تَصْحِيحَهُ كَوَكِيلَيِ الزَّوْجِ فِي أُخْتَيْنِ أَوْ أَرْبَعٍ بَعْدَ أَرْبَعٍ، وَلِأَنَّ الدُّخُولَ فِي النِّكَاحِ جَارٍ مَجْرَى القبض في البيع ثم ثبت أن الوكيلين فِي بَيْعِ عَبْدٍ لَوْ بَاعَهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَأَقْبَضَهُ الثَّانِي أَنَّ الْبَيْعَ لِلْأَوَّلِ وَإِنْ قَبْضَ الثَّانِي كَذَلِكَ الْوَلِيَّانِ فِي النِّكَاحِ.
Penjelasannya: Bahwa batalnya akad nikah kedua jika tidak disertai dengan terjadinya hubungan (dukhūl) tidak menyebabkan akad tersebut menjadi sah. Jika disertai dengan terjadinya hubungan pun, tidak menyebabkan akad tersebut menjadi sah, seperti dua orang wakil suami yang menikahkan dengan dua saudari atau menikahkan empat perempuan setelah empat perempuan lainnya. Sebab, terjadinya hubungan dalam akad nikah kedudukannya seperti qabdhu (pengambilan) dalam jual beli. Kemudian telah tetap dalam fiqh bahwa jika dua orang wakil dalam jual beli budak, masing-masing menjual dan yang kedua menyerahkan budak tersebut, maka jual beli itu milik yang pertama, meskipun yang menyerahkan adalah yang kedua. Demikian pula halnya dengan dua wali dalam pernikahan.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِنِكَاحِ الْحَسَنِ وَيَزِيدَ فَهُوَ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُعَاوِيَةُ اسْتَنْزَلَ يَزِيدَ عَنْ نِكَاحِهَا وَاسْتَأْنَفَ عَقْدَ الْحَسَنِ عَلَيْهَا. . وَأَمَّا استدلالهم بأن الثاني قد ترجع بِمَا تَعَلَّقَ عَلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ النِّكَاحِ فَفَاسِدٌ، لِأَنَّ الْمُتَعَلِّقَ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْوَطْءِ بِشُبْهَةٍ وَلَمْ يَتَعَلَّقْ عَلَيْهِ أَحْكَامُ النِّكَاحِ، ثُمَّ هُوَ بَاطِلٌ بِالزَّوْجِ إِذَا زَوَّجَهُ وَكِيلَاهُ بِأُخْتَيْنِ فَإِنَّ النِّكَاحَ لِلْأُولَى وَإِنْ دَخْلَ بِالثَّانِيَةِ.
Adapun jawaban atas dalil mereka dengan pernikahan Hasan dan Yazid adalah bahwa mungkin saja Muawiyah telah meminta Yazid untuk melepaskan pernikahannya, lalu Hasan mengadakan akad baru atas wanita tersebut. Adapun dalil mereka bahwa pada nikah kedua dapat berlaku hukum-hukum nikah, maka itu tidak benar, karena yang berlaku padanya adalah hukum-hukum wath’i (hubungan) karena syubhat, dan tidak berlaku hukum-hukum nikah. Kemudian, hal ini juga batal berdasarkan kasus seorang suami yang dinikahkan oleh dua orang wakilnya dengan dua saudari, maka nikah itu untuk yang pertama, meskipun ia telah melakukan hubungan dengan yang kedua.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ المتنازعين تُقَدَّمُ صَاحِبُ الْيَدِ وَالتَّصَرُّفِ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ فَلَيْسَ لِلْيَدِ فِي النِّكَاحِ تَأْثِيرٌ وَكَذَلِكَ فِي الأملاك إذا كانت معروفة، والأسباب، ثُمَّ هُوَ فَاسِدٌ بِنِكَاحِ الْأُخْتَيْنِ.
Adapun dalil mereka bahwa pada dua pihak yang bersengketa didahulukan yang memegang dan yang telah melakukan tasharruf (tindakan) atas yang lain, maka dalam nikah tidak ada pengaruh kepemilikan (yad), demikian pula dalam kepemilikan jika sudah jelas, dan juga pada sebab-sebabnya. Kemudian, dalil ini juga rusak dalam kasus pernikahan dua saudari.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا القسم الثاني وهو أن يقع النكاح معاولاً يَسْبِقُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ، فَالنِّكَاحَانِ بَاطِلَانِ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ ذَاتَ زَوْجَيْنِ وَإِنْ جاز أن يكون الرجل ذا زوجتين؛ لأن اشتراك الزوجين في نكاح امرأة يقضي إِلَى اخْتِلَاطِ الْمِيَاهِ وَفَسَادِ الْأَنْسَابِ وَلَيْسَ هَذَا المعنى موجود فِي الزَّوْجِ إِذَا جَمَعَ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَإِذَا لَمْ يَصِحَّ اجْتِمَاعُ النِّكَاحَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ تَصْحِيحُ أحدهما أولى من فساده وجب أن يكون باطلين، فإذا بَطَلَ النِّكَاحُ بِمَا ذَكَرْنَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الزوجين من ثلاثة أحوال:
Adapun bagian kedua, yaitu jika akad nikah terjadi secara bersamaan, salah satunya mendahului yang lain, maka kedua akad nikah tersebut batal. Karena tidak boleh seorang perempuan memiliki dua suami, meskipun seorang laki-laki boleh memiliki dua istri. Sebab, jika dua suami berbagi dalam pernikahan seorang perempuan, hal itu akan menyebabkan tercampurnya nasab dan kerusakan keturunan, dan makna ini tidak terdapat pada laki-laki yang mengumpulkan dua perempuan. Jika tidak sah berkumpulnya dua akad nikah dan tidak ada yang lebih berhak untuk disahkan di antara keduanya, maka keduanya wajib dibatalkan. Jika nikah batal sebagaimana yang telah disebutkan, maka keadaan kedua suami tidak lepas dari tiga keadaan:
إحداها: أن لا يكون قد دخل وَاحِدٌ مِنْهُمَا فَهِيَ خَلِيَّةٌ وَلَا مَهْرَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِفَسَادِ عَقْدِهِ وَعَدَمِ إِصَابَتِهِ وَلِأَيِّهِمَا شَاءَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْعَقْدَ عَلَيْهَا.
Pertama: Tidak ada salah satu dari keduanya yang telah melakukan hubungan, maka perempuan itu bebas, dan tidak ada mahar atas salah satu dari keduanya karena rusaknya akad dan tidak terjadi hubungan, dan keduanya boleh mengadakan akad baru atas perempuan itu jika mereka menghendaki.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أن يكون قد دخل بها أحدهما ودون الْآخَرِ فَمَذْهَبُ مَالِكٍ: أَنَّ النِّكَاحَ يَصِحُّ لِلدَّاخِلِ بها وما قد مَضَى مِنَ الدَّلِيلِ عَلَيْهِ فِي تِلْكَ الْمَسْأَلَةِ كَافٍ فِي هَذِهِ وَيَكُونُ نِكَاحُ الدَّاخِلِ بِهَا بَاطِلًا كَغَيْرِ الدَّاخِلِ؛ لِأَنَّ الدَّاخِلَ بِهَا عَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا بِالْإِصَابَةِ وَعَلَيْهَا مِنْهُ الْعِدَّةُ وَلَهُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ نِكَاحَهَا فِي زَمَانِ عِدَّتِهَا مِنْهُ وَلَيْسَ عَلَى غَيْرِ الدَّاخِلِ بِهَا مَهْرٌ وَلَا لَهُ الْعَقْدُ عَلَيْهَا إِلَّا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ.
Keadaan kedua: Salah satu dari keduanya telah melakukan hubungan, sedangkan yang lain belum, maka menurut mazhab Malik, nikah itu sah bagi yang telah melakukan hubungan dengannya, dan dalil yang telah lalu dalam masalah tersebut cukup juga untuk masalah ini. Namun, nikah yang telah melakukan hubungan itu batal seperti yang tidak melakukan hubungan; karena yang telah melakukan hubungan wajib membayar mahar mitsil karena telah melakukan hubungan, dan perempuan itu wajib menjalani masa iddah darinya, dan ia boleh mengadakan akad nikah baru dengannya selama masa iddahnya dari suami tersebut. Sedangkan yang tidak melakukan hubungan, tidak wajib membayar mahar dan tidak boleh mengadakan akad nikah baru dengannya kecuali setelah selesai masa iddah.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَدْخُلَ بِهَا الزَّوْجَانِ مَعًا فَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَهْرُ الْمِثْلِ بِالْإِصَابَةِ وعليها لكل واحد منهما العدة بدأ بَعْدَ أَسْبَقِهِمَا إِصَابَةً، وَلَيْسَ لَهُ اسْتِئْنَافُ نِكَاحِهَا إِلَّا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّتَيْنِ؛ لِأَنَّهُ يَتَعَقَّبُ عِدَّتَهَا مِنْهُ عِدَّةٌ مِنْ غَيْرِهِ فَحَرُمَتْ عَلَيْهِ فِي الْعِدَّتَيْنِ مَعًا، فَأَمَّا الثَّانِي مِنْهُمَا إِصَابَةً فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِي عِدَّةِ الْأَوَّلِ وَلَهُ أن يتزوجها في عدة الثَّانِي.
Keadaan ketiga: Kedua suami telah melakukan hubungan dengannya secara bersamaan, maka masing-masing dari keduanya wajib membayar mahar mitsil karena telah melakukan hubungan, dan perempuan itu wajib menjalani masa iddah untuk masing-masing dari mereka, dimulai dari yang lebih dahulu melakukan hubungan. Tidak boleh mengadakan akad nikah baru dengannya kecuali setelah selesai dua masa iddah, karena setelah masa iddah dari yang pertama, masih ada masa iddah dari yang kedua, sehingga perempuan itu haram dinikahi selama dua masa iddah tersebut. Adapun yang kedua melakukan hubungan, maka ia tidak boleh menikahinya selama masa iddah dari yang pertama, dan boleh menikahinya pada masa iddah dari yang kedua.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ
Fasal: Adapun bagian ketiga
: وَهُوَ أَنْ يَشُكَّ هَلْ وَقَعَ النِّكَاحَانِ مَعًا أَوْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا الْآخَرُ فَالنِّكَاحَانِ بَاطِلَانِ؛ لِأَنَّ الْعَقْدَ إِذَا تَرَدَّدَ بَيْنَ حَالِيْ صحةٍ وَفَسَادٍ حُمِلَ عَلَى الْفَسَادِ دُونَ الصِّحَّةِ اعْتِبَارًا بِالْأَصْلِ أَنْ لَا عقد حتى يعلم يقين صحته، فإذا كَانَ كَذَلِكَ فَالْحُكْمُ فِيهِمَا كَمَا لَوْ وَقَعَا مَعًا فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنْ وُجُودِ الدُّخُولِ وَعَدَمِهِ.
Yaitu jika terjadi keraguan, apakah kedua akad nikah itu terjadi bersamaan atau salah satunya mendahului yang lain, maka kedua akad nikah itu batal. Karena jika akad itu masih ragu antara sah dan batal, maka dihukumi batal, bukan sah, berdasarkan asal hukum bahwa tidak ada akad sampai diketahui secara yakin keabsahannya. Jika demikian, maka hukumnya sama seperti jika kedua akad nikah itu terjadi bersamaan, sehingga berlaku hukum yang telah lalu terkait ada atau tidaknya hubungan.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ
Bagian: Adapun bagian keempat
: وَهُوَ أن يسبق أحدهما الآخر ويشك أيهما هو السابق فهو على ضربين:
Yaitu apabila salah satu dari keduanya mendahului yang lain dan terjadi keraguan siapa yang lebih dahulu, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أحدهما: أن يصير الشك بَعْدَ تَقَدُّمِ الْيَقِينِ فَيَكُونُ النِّكَاحَانِ مَوْقُوفَيْنِ عَلَى ما يرجى من زوال الشك يعود الْيَقِينِ؛ لِأَنَّ طُرُوءَ الشَّكِّ بَعْدَ تَقَدُّمِ الْيَقِينِ يَجُوزُ أَنَّ يَتَعَقَّبَهُ يَقِينٌ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ ذات زوج قد جهل عينه فتمتع مِنَ الْأَزْوَاجِ وَلَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا إِصَابَتُهَا إِلَّا بَعْدَ الْيَقِينِ بِأَنَّهُ الْأَسْبَقُ نِكَاحًا.
Pertama: Keraguan itu muncul setelah sebelumnya ada keyakinan, maka kedua akad nikah tersebut statusnya ditangguhkan hingga diharapkan keraguan itu hilang dan keyakinan kembali; karena munculnya keraguan setelah adanya keyakinan memungkinkan setelahnya muncul kembali keyakinan. Dalam hal ini, seorang perempuan menjadi istri dari salah satu suami yang tidak diketahui secara pasti siapa orangnya, sehingga ia tidak boleh digauli oleh salah satu dari kedua suami tersebut kecuali setelah ada keyakinan siapa yang lebih dahulu akad nikahnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الشَّكُّ مُقَارِنًا لِلْعَقْدِ لَمْ يَتَقَدَّمْهُ يَقِينٌ فَلَا يَكُونُ النِّكَاحُ مَوْقُوفًا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ يُتَوَقَّعُ زَوَالُ الشَّكِّ بِعَوْدِ الْيَقِينِ، وَإِذَا امْتَنَعَ وَقَفُ النِّكَاحَيْنِ كَانَا بَاطِلَيْنِ وَهَلْ يَفْتَقِرُ بُطْلَانُهُمَا إِلَى فَسْخِ الْحَاكِمِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:؛
Keadaan kedua: Keraguan itu muncul bersamaan dengan akad, tidak didahului oleh keyakinan, maka akad nikah tidak berstatus ditangguhkan; karena tidak diharapkan keraguan itu hilang dengan kembalinya keyakinan. Jika tidak mungkin menangguhkan kedua akad nikah tersebut, maka keduanya batal. Apakah kebatalan keduanya memerlukan pembatalan dari hakim atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَفْتَقِرُ إِلَى فَسْخِ الْحَاكِمِ وَيَكُونُ الجهل على المتقدم فسخاً؛ لأن الجهل بعين الْأَسْبَقِ هُوَ الْمَانِعُ مِنْ تَعْيِينِ الْأَصَحِّ فَاقْتَضَى أن يقع به الفسخ.
Pertama: Tidak memerlukan pembatalan dari hakim dan ketidaktahuan terhadap yang lebih dahulu dianggap sebagai pembatalan; karena ketidaktahuan terhadap siapa yang lebih dahulu menjadi penghalang untuk menentukan mana yang sah, sehingga hal itu menuntut terjadinya pembatalan.
والوجه الثاني: إِنَّهُ لَا يَقَعُ الْفَسْخُ إِلَّا بِحُكْمِ الْحَاكِمِ لِأَنَّنَا نَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَهُمَا زَوْجٌ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ أَيُّهُمَا الزَّوْجُ فَلَمْ يَنْفَسِخْ نِكَاحُهُ إِلَّا بِحُكْمِ الحاكم الذي له مدخل في الفسخ الْمَنَاكِحِ فَإِنْ قِيلَ: بِوُقُوعِ الْفَسْخِ بِالْجَهْلِ دُونَ الْحُكْمِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ كَانَ فَسْخًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ كَمَا يُمْنَعُ التَّوَارُثُ بَيْنَ الْغَرْقَى فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ عَنْ إِشْكَالِ التَّقَدُّمِ، وَإِنْ قِيلَ بِوُقُوعِ الْفَسْخِ بِحُكْمِ الْحَاكِمِ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي: فَهَلْ يَقَعُ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: Tidak terjadi pembatalan kecuali dengan keputusan hakim, karena kita mengetahui bahwa salah satu dari keduanya adalah suami, meskipun tidak diketahui siapa di antara mereka, sehingga akad nikahnya tidak batal kecuali dengan keputusan hakim yang berwenang dalam pembatalan pernikahan. Jika dikatakan bahwa pembatalan terjadi karena ketidaktahuan tanpa keputusan hakim menurut pendapat pertama, maka pembatalan itu berlaku secara lahir dan batin, sebagaimana dilarang adanya warisan antara korban tenggelam secara lahir dan batin karena adanya kerancuan siapa yang lebih dahulu meninggal. Namun jika dikatakan bahwa pembatalan terjadi dengan keputusan hakim menurut pendapat kedua, maka apakah pembatalan itu berlaku secara lahir dan batin atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فَسْخٌ فِي الظَّاهِرِ وَالزَّوْجِيَّةُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْأَوَّلِ مِنْهُمَا بَاقِيَةٌ فِي الْبَاطِنِ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ لَا يُحِيلُ الْأُمُورَ عَمَّا هِيَ عَلَيْهِ.
Pertama: Pembatalan itu berlaku secara lahir saja, sedangkan status pernikahan antara perempuan tersebut dan suami yang pertama masih ada secara batin; karena keputusan hakim tidak mengubah hakikat sesuatu dari kenyataannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ الْفَسْخَ يَقَعُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا؛ لِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَمَّا لَمْ يَحْصُلُ لَهَا الْعِوَضُ عَادَ إِلَيْهَا الْمُعَوَّضُ كَالْبَائِعِ إذا أفلس المشتري بثمن سلعة عَادَتْ إِلَيْهِ بِفَسْخِ الْحَاكِمِ مِلْكًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat: Pembatalan itu berlaku secara lahir dan batin; karena ketika perempuan tersebut tidak mendapatkan kompensasi, maka hak yang diberikan kepadanya kembali seperti penjual yang pembelinya bangkrut dan tidak membayar harga barang, maka barang itu kembali menjadi miliknya dengan keputusan hakim, baik secara lahir maupun batin.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الْخَامِسُ
Bagian: Adapun bagian kelima
: وَهُوَ أَنْ يَسْبِقَ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ وَيَدَّعِيَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ أَنَّهُ هُوَ السَّابِقُ فَإِنْ كَانَ لِأَحَدِهِمَا بَيِّنَةٌ عُمِلَ عَلَيْهَا وَحُكِمَ بِهَا، فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ الْعَاقِدُ أَحَدَ الشَّاهِدَيْنِ لَمْ تُقْبَلْ؛ لِأَنَّهُ شَهِدَ عَلَى فِعْلِ نَفْسِهِ وَلَوْ كَانَ وَلِيُّ الْعَقْدِ الْآخَرِ شَاهِدًا فِي هَذَا الْعَقْدِ قُبِلَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ بينة فلا حَالُهُمَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
Yaitu apabila salah satu dari keduanya mendahului yang lain dan masing-masing dari kedua suami mengaku bahwa dialah yang lebih dahulu, maka jika salah satu dari mereka memiliki bukti, maka diputuskan berdasarkan bukti tersebut. Jika wali yang menikahkan adalah salah satu dari dua saksi, maka kesaksiannya tidak diterima; karena ia bersaksi atas perbuatannya sendiri. Namun jika wali akad yang lain menjadi saksi dalam akad ini, maka kesaksiannya diterima. Jika tidak ada bukti dari masing-masing suami, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَدَّعِيَا علمهما بأسبقهما عقداً، أو لا يدعياه لغيبتهما عن العقد وجهلهما بِالْأَسْبَقِ تَحَالَفَ الزَّوْجَانِ دُونَ الْوَلِيَّيْنِ؛ لِأَنَّهُمَا الْمُتَدَاعِيَانِ وَلَا يُرَاعَى تَصْدِيقُ الْوَلِيَّيْنِ، فَإِنْ حَلَفَ الزَّوْجَانِ انفسخ النكاحان وهل ينفسخ بنفس التحالف أو بفسخ الْحَاكِمِ بَيْنَهُمَا عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا فِي الْبُيُوعِ، وَإِنْ نَكَلَ الزَّوْجَانِ عَنِ الْيَمِينِ فَسَخَ الْحَاكِمُ نكاحهما وَلَمْ يَنْفَسِخْ إِلَّا بِحُكْمِهِ وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ نُكُولَ النَّاكِلِ لَا يَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ مُحِقًّا في دعواه فلم يمنع بِنُكُولِهِ فَسْخٌ حَتَّى يَحْكُمَ بِهِ الْحَاكِمُ فَإِنْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا وَنَكَلَ الْآخَرُ قَضَى بِالنِّكَاحِ لِلْحَالِفِ مِنْهُمَا دُونَ النَّاكِلِ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا النَّاكِلُ نُظِرَ حَالُ دُخُولِهِ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ نُكُولِهِ أو يمين صاحبه فهو زان بحد ولا يلحق به الولد ولا تجب عليها العدة.
Yaitu keduanya mengaku mengetahui siapa yang lebih dahulu akadnya, atau keduanya tidak mengaku karena tidak hadir saat akad dan tidak mengetahui siapa yang lebih dahulu, maka kedua suami saling bersumpah, bukan kedua wali; karena kedua suami itulah yang saling mengklaim, dan tidak diperhatikan pembenaran dari kedua wali. Jika kedua suami bersumpah, maka kedua akad nikah itu batal. Apakah batalnya itu terjadi dengan sumpah itu sendiri atau dengan keputusan hakim di antara mereka, ada dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan dalam bab jual beli. Jika kedua suami enggan bersumpah, maka hakim membatalkan akad nikah mereka dan tidak batal kecuali dengan keputusannya, menurut satu pendapat; karena keengganan salah satu pihak untuk bersumpah tidak menafikan kemungkinan ia benar dalam klaimnya, sehingga tidak cukup dengan keengganannya untuk membatalkan kecuali setelah diputuskan oleh hakim. Jika salah satu dari keduanya bersumpah dan yang lain enggan, maka diputuskan akad nikah untuk yang bersumpah di antara mereka, bukan untuk yang enggan. Jika yang enggan telah menggauli perempuan tersebut, maka dilihat keadaan saat ia menggauli: jika setelah keengganannya atau setelah sumpah lawannya, maka ia dianggap berzina dan dikenai hukuman had, anak yang lahir tidak dinasabkan kepadanya, dan perempuan tersebut tidak wajib menjalani masa iddah.
أما الْمَرْأَةُ فَإِنْ عَلِمَتْ بِحَالِ النَّاكِلِ عِنْدَ تَمْكِينِهِ مِنْ نَفْسِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ تُحَدُّ وَلَا مَهْرَ لَهَا وَإِنْ لَمْ تَعْلَمْ فَلَا حَدَّ عَلَيْهَا وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَإِنْ كَانَ النَّاكِلُ قَدْ دخل بها قبل نكوله ويمين صَاحِبِهِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَلَا عَلَيْهَا لِبَقَاءِ شُبْهَتِهِ فِي النِّكَاحِ وَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ، وَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لَحِقَ بِهِ وَهِيَ محرمة على المحالف حتى تقضي عِدَّةَ النَّاكِلِ، وَلَا نَفَقَةَ لَهَا فِي زَمَانِ الْعِدَّةِ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا، أَمَا الْحَالِفُ فَلِأَنَّهَا محرمة عليه وإن كانت زَوْجَتُهُ لِاعْتِدَادِهَا مِنْ غَيْرِهِ، وَأَمَّا النَّاكِلُ فَلِأَنَّهَا لَيْسَتْ زَوْجَتَهُ وَإِنْ كَانَتْ مُعْتَدَّةً مِنْهُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ حَامِلًا فَهَلْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهَا أَمْ لا على قولين.
Adapun perempuan, jika ia mengetahui keadaan orang yang menolak (yakni suaminya) ketika ia membiarkan dirinya dikuasai olehnya, maka ia adalah pezina yang dikenai hudud dan tidak berhak atas mahar. Namun jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada hudud atasnya dan ia berhak atas mahar mitsil (mahar yang sepadan dengannya). Jika orang yang menolak itu telah menggaulinya sebelum ia menolak dan sebelum sumpah pasangannya, maka tidak ada hudud atas keduanya karena masih adanya syubhat dalam pernikahan, dan ia wajib memberikan mahar mitsil serta perempuan tersebut wajib menjalani masa iddah. Jika perempuan itu melahirkan anak, maka anak itu dinasabkan kepadanya (suami yang menolak), dan ia haram bagi suami yang bersumpah sampai selesai iddah dari suami yang menolak. Tidak ada nafkah baginya selama masa iddah dari keduanya. Adapun suami yang bersumpah, karena ia haram baginya walaupun ia istrinya, sebab ia sedang menjalani iddah dari selainnya. Adapun suami yang menolak, karena ia bukan lagi istrinya meskipun ia menjalani iddah darinya, kecuali jika ia hamil, maka apakah wajib atasnya memberi nafkah atau tidak, terdapat dua pendapat.
فصل
Fasal
فإن ادعت عِلْمَهَا فِي الِابْتِدَاءِ، وَأَنَّهَا تَعْرِفُ أَسْبَقَهُمَا نِكَاحًا، فلها حالتان: حالة نعترف بالعلم، وحالة لا تعترف به، فإن لم تعترف وقالت لست أعلم أَيُّهُمَا أَسْبَقُ بِالْعَقْدِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا وَإِنَّمَا لَزِمَهَا الْيَمِينُ؛ لِأَنَّهَا لَوْ أَقَرَّتْ بَعْدَ الْإِنْكَارِ كَانَ قَوْلُهَا فِي نِكَاحِ مَنْ قَدَّمَتْهُ مَقْبُولًا فَإِنْ حَلَفَتْ أَنَّهَا لَا تَعْلَمُ أَيُّهُمَا أَسْبَقُ بِالْعَقْدِ، فَالنِّكَاحَانِ بَاطِلَانِ، وَهَلْ يَبْطُلُ بِمُجَرَّدِ يمينها أو فسخ الحاكم على وجهين إن قيل قد بطل يَمِينُهَا نِكَاحَ الزَّوْجَيْنِ وَهِيَ مُعْتَرِفَةٌ أَنَّ أَحَدَهُمَا زَوْجٌ، وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ لَهَا، قِيلَ لِأَنَّ يمينها يسقط عَنْهَا تَمْكِينَ نَفْسِهَا مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَإِذَا مَنَعَهَا الشَّرْعُ مِنْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَطَلَ نكاحها، وَإِنْ نَكَلَتْ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الزوجين، فإن حلفا بطل نكاحهما، وَإِنْ نَكَلَا فُسِخَ نِكَاحُهُمَا، وَإِنْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا وَنَكَلَ الْآخَرُ قُضِيَ بِنِكَاحِهَا لِلْحَالِفِ مِنْهُمَا دون الناكل وإن اعترفت، وقالت: أعلم السابق بالعقد منهما وهو زَيْدٌ دُونَ عَمْرٍو فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا وَهِيَ زَوْجَةٌ للمصدق؛ لأنها مَالِكَةٌ بُضْعَهَا فَقُبِلَ قَوْلُهَا فِي تَصْدِيقِ مَنْ ملكه عنهما كَمَا يُقْبَلُ قَوْلُهَا فِي سَائِرِ أَمْلَاكِهَا، وَهَلْ عَلَيْهَا الْيَمِينُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Jika perempuan itu mengaku mengetahui sejak awal, dan ia mengetahui siapa di antara keduanya yang lebih dahulu menikahinya, maka ada dua keadaan: keadaan ia mengakui pengetahuan itu, dan keadaan ia tidak mengakuinya. Jika ia tidak mengakui dan berkata, “Saya tidak tahu siapa di antara keduanya yang lebih dahulu melakukan akad,” maka perkataannya diterima dengan sumpahnya. Sumpah diwajibkan atasnya karena jika ia mengaku setelah sebelumnya mengingkari, maka perkataannya tentang pernikahan siapa yang ia dahulukan tetap diterima. Jika ia bersumpah bahwa ia tidak mengetahui siapa di antara keduanya yang lebih dahulu melakukan akad, maka kedua pernikahan itu batal. Apakah batal hanya dengan sumpahnya atau harus dengan pembatalan hakim, terdapat dua pendapat. Jika dikatakan batal, maka sumpahnya membatalkan pernikahan kedua suaminya, padahal ia mengakui bahwa salah satu dari keduanya adalah suaminya, meskipun ia tidak dapat memastikan siapa. Dikatakan bahwa sumpahnya menggugurkan kewajiban menyerahkan diri kepada masing-masing dari keduanya, dan jika syariat melarangnya dari salah satu dari keduanya, maka batal pernikahannya. Jika ia menolak bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada kedua suaminya. Jika keduanya bersumpah, maka pernikahan mereka batal. Jika keduanya menolak bersumpah, maka pernikahan mereka dibatalkan. Jika salah satu bersumpah dan yang lain menolak, maka diputuskan bahwa ia menjadi istri dari yang bersumpah di antara keduanya, bukan dari yang menolak. Jika ia mengakui dan berkata, “Saya tahu siapa yang lebih dahulu melakukan akad di antara keduanya, yaitu Zaid, bukan Amr,” maka perkataannya diterima dan ia menjadi istri dari yang dibenarkan, karena ia adalah pemilik dirinya, sehingga perkataannya diterima dalam membenarkan siapa yang memiliki dirinya di antara keduanya, sebagaimana perkataannya diterima dalam kepemilikan lainnya. Apakah ia wajib bersumpah atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَمِينَ عَلَيْهَا لِأَمْرَيْنِ:
Salah satunya: Tidak wajib bersumpah atasnya karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا لَوْ رَجَعَتْ عَنْهُ لَمْ تُقْبَلْ.
Pertama: Jika ia menarik kembali pengakuannya, maka tidak diterima.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ بَيِّنَةٌ كَالشَّاهِدِينَ وَهَذَا قَوْلُهُ: فِي ” الْأُمِّ “.
Kedua: Pengakuannya adalah sebagai bukti seperti dua orang saksi, dan ini adalah pendapatnya dalam “al-Umm”.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْيَمِينَ عَلَيْهَا وَاجِبَةٌ لِأَمْرَيْنِ:
Pendapat kedua: Sumpah wajib atasnya karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمُكَذِّبَ مُدَّعٍ فَلَمْ يَدْفَعْ مُجَرَّدُ الْإِنْكَارِ إِلَّا مَعَ يَمِينٍ.
Pertama: Pihak yang mendustakan adalah penggugat, sehingga penolakan semata tidak cukup kecuali dengan sumpah.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ يَتَعَلَّقُ بِرُجُوعِهَا أَنْ لَوْ صَدَّقَتْهُ غُرِّمَ فَلَزِمَتِ الْيَمِينُ، وَهَذَا قَوْلُهُ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” وَمِثْلُ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ فِي الرَّاهِنِ إِذَا صَدَقَ أَحَدُ الْمُرْتَهِنَيْنِ هَلْ يَحْلِفُ للمكذب أم لا على قولين ويشبه أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُ قَوْلَيْهِ فِي يَمِينِ الزَّوْجَةِ مبنيً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي تَصْدِيقِهَا لِلْمُكَذِّبِ هَلْ يُوجِبُ عَلَيْهَا مَهْرَ الْمِثَلِ أَمْ لَا؟ فَإِنْ قِيلَ يُوجِبُ التَّصْدِيقُ عَلَيْهَا مَهْرَ الْمِثْلِ حَلَفَتْ على التكذيب، وإن قيل لم يَجِبْ لَمْ تَحْلِفْ.
Kedua: Bisa jadi terkait dengan penarikannya, bahwa jika ia membenarkan pihak yang mendustakan, maka ia menanggung kerugian, sehingga wajib bersumpah. Ini adalah pendapatnya dalam “al-Imla’”. Dua pendapat ini juga terdapat dalam kasus rahin (penjamin) jika salah satu dari dua murtahin (penerima gadai) dibenarkan, apakah ia harus bersumpah kepada yang mendustakan atau tidak, ada dua pendapat. Tampaknya perbedaan dua pendapat ini dalam sumpah istri dibangun atas perbedaan dua pendapat dalam membenarkan pihak yang mendustakan, apakah mewajibkan mahar mitsil atasnya atau tidak. Jika dikatakan bahwa membenarkan mewajibkan mahar mitsil atasnya, maka ia bersumpah untuk mendustakan. Jika dikatakan tidak wajib, maka ia tidak bersumpah.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ وَبِنَاؤُهُمَا فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ لَا يَمِينَ عَلَيْهَا أَوْ عَلَيْهَا الْيَمِينُ فَحَلَفَتْ ثَبَتَ النِّكَاحُ لِلْمُصَدِّقِ، وَكَانَ نِكَاحُ الْمُكَذِّبِ مَرْدُودًا، وَإِنْ قِيلَ عَلَيْهَا الْيَمِينُ فَنَكَلَتْ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا فِي النُّكُولِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
Jika telah jelas penjelasan dua pendapat dan dasar keduanya, maka jika dikatakan bahwa tidak ada sumpah atasnya, atau sumpah wajib atasnya lalu ia bersumpah, maka pernikahan tetap untuk pihak yang dibenarkan, dan pernikahan pihak yang didustakan ditolak. Jika dikatakan bahwa sumpah wajib atasnya lalu ia menolak bersumpah, maka keadaannya dalam penolakan tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ الاعتراف بالثاني أو بغير اعْتِرَافٍ بِهِ فَإِنْ كَانَ نُكُولُهَا اعْتِرَافًا لِلثَّانِي يتقدم نِكَاحُهُ لَمْ يُرَدَّ الْيَمِينُ عَلَى أَحَدٍ وَقَدْ صَارَتْ مُقِرَّةً لِلْأَوَّلِ ثُمَّ عَدَلَتْ عَنْهُ إِلَى إِقْرَارِهَا لِلثَّانِي، فَثَبَتَ نِكَاحُهَا لِلْأَوَّلِ بِإِقْرَارِهَا، وَلَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُهَا عَنْهُ إِلَى الثَّانِي، وَجَرَى مَجْرَى قولها في الابتداء بسبق هذا لأجل هذا فتكون زوجة للأول بإقرارها دُونَ الثَّانِي كَمَنْ بِيَدِهِ دَارٌ فَقَالَ هِيَ لزيد لا بل لعمرو وكانت لزيد المقر له أولاً دون عمرو وإذا كَانَتْ بِمَا سَبَقَ مِنَ الْإِقْرَارِ زَوْجَةً لِلْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي، فَهَلْ يَلْزَمُهَا أَنْ تَغْرَمَ لِلثَّانِي مَهْرَ مِثْلِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: كَمَنْ قال: هذه الدار لزيد بل لعمرو وكانت لِزَيْدٍ، وَهَلْ يُغَرَّمُ قِيمَتَهَا لِعَمْرٍو أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Bisa jadi pengakuan itu kepada yang kedua, atau tanpa pengakuan kepadanya. Jika penolakannya merupakan pengakuan kepada yang kedua yang pernikahannya lebih dahulu, maka sumpah tidak dikembalikan kepada siapa pun, dan ia telah menjadi pengaku kepada yang pertama, lalu ia beralih dari pengakuan kepada yang pertama ke pengakuan kepada yang kedua. Maka pernikahannya dengan yang pertama tetap sah karena pengakuannya, dan tidak diterima rujuknya dari yang pertama ke yang kedua. Hal ini seperti ucapannya sejak awal bahwa yang ini lebih dahulu karena yang itu, sehingga ia menjadi istri yang pertama berdasarkan pengakuannya, bukan yang kedua, seperti seseorang yang memiliki sebuah rumah lalu berkata, “Ini milik Zaid, tidak, tapi milik Amr,” dan ternyata rumah itu milik Zaid yang pertama kali diakui, bukan Amr. Jika dengan pengakuan sebelumnya ia menjadi istri yang pertama, bukan yang kedua, maka apakah ia wajib mengganti mahar yang setara kepada yang kedua atau tidak? Ada dua pendapat: seperti orang yang berkata, “Rumah ini milik Zaid, tidak, tapi milik Amr,” dan ternyata milik Zaid, apakah ia wajib mengganti nilainya kepada Amr atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُهُا غُرْمُ الْمَهْرِ لاعترافهما بما لزمهما.
Salah satunya: Ia tidak wajib mengganti mahar karena keduanya telah mengakui apa yang menjadi kewajiban mereka.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَلْزَمُهُا غُرْمُ مَهْرِ مِثْلِهَا لِلثَّانِي؛ لِأَنَّهَا قَدْ فَوَّتَتْ نَفْسَهَا عَلَيْهِ بِإِقْرَارِهَا لِلْأَوَّلِ فَعَلَى هَذَا لَوْ مَاتَ الْأَوَّلُ صَارَتْ بَعْدَ مَوْتِهِ زَوْجَةً لِلثَّانِي بِإِقْرَارِهَا الْمُتَقَدِّمِ كَمَنْ أَقَرَّ بِدَارٍ لِزَيْدٍ ثُمَّ أَقَرَّ بِهَا لِعَمْرٍو كَانَتْ لِزَيْدٍ الْمُقَرِّ لَهُ أَوَّلًا فَلَوْ عَادَتِ الدَّارُ إلى المقر بابتياع أَوْ هِبَةٍ أَوْ مِيرَاثٍ، صَارَتْ لِعَمْرٍو بِالْإِقْرَارِ السابق الْمُتَقَدِّمِ فَكَذَلِكَ هَذِهِ فِي مَصِيرِهَا زَوْجَةً لِلثَّانِي، وَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ مِنَ الْأَوَّلِ وَإِنْ كَانَ لم يصيبها بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ وَإِنْ كَانَ قَدْ أَصَابَهَا بأكثر الأجلين من أربعة أشهر وعشر عدة الوفاة أو ثلاثة أقراء عدة الْوَطْءِ وَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَى الثَّانِي فِي زَمَانِ عَدَّتِهَا مِنَ الْأَوَّلِ، وَإِنْ كَانَتْ زَوْجَتَهُ وَإِنْ كَانَ نُكُولُهَا لِغَيْرِ اعْتِرَافٍ بَلْ كَانَتْ عَلَى تَكْذِيبِ الثَّانِي، وَتَصْدِيقِ الْأَوَّلِ رُدَّ الْيَمِينُ بَعْدَ نُكُولِهَا عَلَى الْمُكَذِّبِ فَإِنْ نَكَلَ الْمُكَذِّبُ عَنْهَا اسْتَقَرَّ نِكَاحُ الْأَوَّلِ وَإِنْ حَلَفَ فَقَدْ قَابَلَ تصديق الأول يمين الكذب فيكون يمين الْمُدَّعِي بَعْدَ نُكُولِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي يَمِينِ الْمُدَّعِي بَعْدَ نُكُولِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ هل يقول مقام البينة أم مَقَامَ الْإِقْرَارِ عَلَى قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَقُومُ مقام البينة فعلى هذا تكون زوجة الثاني وَيَزُولُ عَنْهَا نِكَاحُ الْأَوَّلِ؛ كَمَا لَوْ أَقَامَ الثَّانِي بَيِّنَةً بَعْدَ تَصْدِيقِهَا لِلْأَوَّلِ، وَهَذَا مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ مَعَ بُعْدِهِ.
Pendapat kedua: Ia wajib mengganti mahar yang setara kepada yang kedua; karena ia telah menghalangi dirinya dari yang kedua dengan pengakuannya kepada yang pertama. Berdasarkan ini, jika yang pertama meninggal, maka setelah kematiannya ia menjadi istri yang kedua berdasarkan pengakuan sebelumnya, seperti orang yang mengakui sebuah rumah milik Zaid, lalu mengakuinya untuk Amr, dan ternyata milik Zaid yang pertama kali diakui. Jika rumah itu kembali kepada yang mengakui dengan cara membeli, hibah, atau warisan, maka rumah itu menjadi milik Amr berdasarkan pengakuan sebelumnya. Demikian pula halnya dalam kasus ini, ia menjadi istri yang kedua, dan ia wajib menjalani masa iddah dari yang pertama meskipun belum digauli, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Jika telah digauli, maka masa iddahnya adalah yang lebih lama antara empat bulan sepuluh hari masa iddah wafat atau tiga kali suci masa iddah karena hubungan, dan ia haram bagi yang kedua selama masa iddah dari yang pertama, meskipun ia adalah istrinya. Jika penolakannya bukan karena pengakuan, melainkan karena mendustakan yang kedua dan membenarkan yang pertama, maka sumpah dikembalikan setelah penolakannya kepada yang mendustakan. Jika yang mendustakan juga menolak bersumpah, maka pernikahan dengan yang pertama tetap sah. Jika ia bersumpah, maka pembenaran kepada yang pertama dihadapkan dengan sumpah dusta, sehingga sumpah penggugat setelah penolakan tergugat. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi‘i mengenai sumpah penggugat setelah penolakan tergugat, apakah kedudukannya seperti bukti atau seperti pengakuan. Ada dua pendapat: salah satunya, bahwa sumpah itu berkedudukan seperti bukti, sehingga ia menjadi istri yang kedua dan pernikahan dengan yang pertama batal, sebagaimana jika yang kedua mendatangkan bukti setelah ia membenarkan yang pertama. Ini dinukil dari Abu ‘Ali bin Khairan meskipun pendapat ini lemah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ الْإِقْرَارِ، فَعَلَى هَذَا قَدْ كَانَ مَعَ الْأَوَّلِ إِقْرَارٌ مِنْهَا وَقَدْ صَارَ مَعَ الثَّانِي إِقْرَارٌ قَدْ لَزِمَ عَنْهَا فَصَارَ إِقْرَارَيْنِ، وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِمَا هَلْ يَكُونُ حُكْمُهُمَا حُكْمَ إِقْرَارَيْنِ وَقَعَا مَعًا، لِأَنَّ يَمِينَ الثَّانِي أَوْجَبَهَا نُكُولُهَا عَنِ الْيَمِينِ الْمُسْتَحَقَّةِ بِالْإِقْرَارِ الْأَوَّلِ فَلَمْ يَتَقَدَّمْ حُكْمُ أَحَدِ الْإِقْرَارَيْنِ عَلَى الْآخَرِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ النِّكَاحَانِ مَعًا؛ كَمَا لَوْ أَقَرَّتْ لَهُمَا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ.
Pendapat kedua: Bahwa sumpah itu berkedudukan seperti pengakuan. Berdasarkan ini, sebelumnya telah ada pengakuan darinya kepada yang pertama, dan telah ada pula pengakuan yang mengikat kepada yang kedua, sehingga menjadi dua pengakuan. Para ulama kami berbeda pendapat tentang keduanya, apakah hukumnya seperti dua pengakuan yang terjadi bersamaan, karena sumpah yang kedua disebabkan penolakannya dari sumpah yang wajib karena pengakuan pertama, sehingga tidak ada salah satu pengakuan yang lebih dahulu dari yang lain. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi. Berdasarkan ini, kedua pernikahan batal bersamaan, sebagaimana jika ia mengakui keduanya dalam satu waktu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا فِي حُكْمِ إِقْرَارَيْنِ مُتَرَتِّبَيْنِ وَقَعَ أَحَدُهُمَا بَعْدَ الْآخَرِ، لِأَنَّ يَمِينَ الثَّانِي جَعَلَتْهُ فِي حُكْمِ الْمُقَرِّ لَهُ وَهِيَ مُتَأَخِّرَةٌ، فَصَارَ الإقرار له متأخر عَنِ الْإِقْرَارِ الْأَوَّلِ، وَهَذَا قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا فَعَلَى هَذَا تَكُونُ زَوْجَةً لِلْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي كما لو أقرت لثاني بعد أول، وَهَلْ يَرْجِعُ الثَّانِي عَلَيْهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ طَلَبَ الثَّانِي فِي هَذِهِ الْحَالِ إِحْلَافَ الْأَوَّلِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: Keduanya berada dalam status seperti dua pengakuan yang berurutan, di mana salah satunya terjadi setelah yang lain. Sebab sumpah yang kedua menempatkannya dalam posisi sebagai orang yang diakui haknya, dan sumpah itu datang belakangan. Maka pengakuan untuknya menjadi terlambat dibandingkan pengakuan yang pertama. Ini adalah pendapat mayoritas ulama mazhab kami. Berdasarkan hal ini, ia menjadi istri bagi yang pertama dan bukan bagi yang kedua, sebagaimana jika ia mengakui kepada yang kedua setelah yang pertama. Apakah yang kedua berhak menuntut mahar mitsil darinya atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu. Jika yang kedua dalam keadaan ini meminta agar yang pertama disumpah, maka terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ إِحْلَافُهُ؛ لِأَنَّ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ غَيْرُهُ وَلَوْ مَاتَ لَمْ تَصِرْ زَوْجَةً لِلثَّانِي، لِأَنَّهَا مُنْكِرَةٌ وَإِنْ نَزَلَتْ فِي بَعْضِ أَحْوَالِهَا مَنْزِلَةَ الْمُقِرَّةِ.
Salah satunya: Ia tidak berhak meminta sumpah darinya, karena yang dituduh bukan dirinya. Seandainya yang pertama meninggal, ia tidak menjadi istri bagi yang kedua, karena ia mengingkari, meskipun dalam beberapa keadaan ia menempati posisi sebagai orang yang mengakui.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ إحلافها ولو نزل عنها فحكم بها زوجة للثاني لأجرينا عَلَيْهَا أَحْكَامَ الْمُقِرَّةِ مِنْ غَيْرِ تَبْعِيضٍ فَهَذَا حكم المسألة وما انتهت إليها أَقْسَامُهَا وَأَحْكَامُهَا.
Pendapat kedua: Ia berhak meminta sumpah darinya, dan jika ia melepaskan haknya lalu diputuskan sebagai istri bagi yang kedua, maka akan diberlakukan atasnya hukum-hukum bagi orang yang mengakui secara penuh tanpa pengecualian. Inilah hukum masalah ini beserta rincian dan ketentuannya.
فَصْلٌ
Fasal
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يُوَكِّلَ الرَّجُلُ وَكِيلَيْنِ فِي أَنْ يُزَوِّجَاهُ فزوجاه بِامْرَأَتَيْنِ فِي عَقْدَيْنِ لَزِمَهُ الْعِقْدَانِ وَصَحَّ نِكَاحُهُمَا لَهُ بِخِلَافِ الْمَرْأَةِ إِذَا زَوَّجَهَا وَلِيَّانِ، لِأَنَّ الرَّجُلَ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ ذَا زَوْجَتَيْنِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ ذَاتَ زَوْجَيْنِ، فَلَوْ قَالَ أَحَدُ الْوَكِيلَيْنِ زَوَّجْتُكَ مِنْ زَيْنَبَ وَزَوَّجَكَ صاحبي من هند، وقال الآخر أنا زَوَّجْتُكَ بِزَيْنَبَ وَزَوَّجَكَ صَاحِبِي مِنْ هِنْدٍ فَلَا تَأْثِيرَ لِهَذَا الِاخْتِلَافِ وَالنِّكَاحَانِ عَلَى الصِّحَّةِ، فَلَوْ زَوَّجَهُ الْوَكِيلَانِ بِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ فِي عَقْدَيْنِ صَحَّ نِكَاحُهُ عَلَيْهَا، وَالْأَوَّلُ مِنْهُمَا لَهُ الْحَكَمُ وَالْمَهْرُ دُونَ الثَّانِي، فَإِنْ وَقَعَ الْعَقْدَانِ فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ مِنْ وَلِيَّيْنِ صَحَّ النِّكَاحُ أَيْضًا، فَإِنِ اختلف المهران لم يحكم بواحد مِنْهُمَا وَكَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، فَلَوِ ادَّعَتِ الزَّوْجَةُ تَقَدُّمَ أَكْثَرِ الْعَقْدَيْنِ مَهْرًا وَادَّعَى الزَّوْجُ تَقَدُّمَ أَقَلِّهِمَا مَهْرًا وَلَا بَيِّنَةَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا تَحَالَفَا وَحُكِمَ لَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ وَلَا تُقْبَلُ شهادة الوكيلين.
Turunan dari masalah ini adalah jika seorang laki-laki mewakilkan dua orang wakil untuk menikahkannya, lalu keduanya menikahkannya dengan dua wanita dalam dua akad, maka kedua akad itu berlaku baginya dan sah pernikahan keduanya untuknya. Berbeda dengan wanita, jika ia dinikahkan oleh dua wali, karena laki-laki boleh memiliki dua istri, sedangkan wanita tidak boleh memiliki dua suami. Jika salah satu dari dua wakil berkata, “Aku menikahkanmu dengan Zainab dan temanku menikahkanmu dengan Hindun,” dan yang lain berkata, “Aku menikahkanmu dengan Zainab dan temanku menikahkanmu dengan Hindun,” maka perbedaan ini tidak berpengaruh dan kedua pernikahan itu tetap sah. Jika kedua wakil menikahkannya dengan satu wanita dalam dua akad, maka pernikahannya sah, dan akad yang pertama yang berlaku beserta maharnya, bukan yang kedua. Jika kedua akad terjadi secara bersamaan dari dua wali, maka pernikahan juga sah. Jika kedua mahar berbeda, tidak diputuskan salah satunya, dan wanita itu berhak atas mahar mitsil. Jika istri mengklaim bahwa akad dengan mahar lebih besar yang lebih dahulu, dan suami mengklaim bahwa akad dengan mahar lebih kecil yang lebih dahulu, sementara tidak ada bukti dari keduanya, maka keduanya saling bersumpah dan diputuskan untuknya mahar mitsil, dan kesaksian kedua wakil tidak diterima.
فَلَوْ عَقَدَ الْوَكِيلُ عَلَى امْرَأَةٍ غَيْرِ الْمُوَكَّلِ عَلَيْهَا، أَوْ لَمْ يُعَيَّنْ ثُمَّ اخْتَلَفَا، فَقَالَ الْوَكِيلُ: قَبِلَتِ الْعَقْدَ عَلَيْهَا لِنَفْسِي وَقَالَ الْمُوَكِّلُ: بَلْ قَبِلْتُهُ لِي فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَكِيلِ، لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ.
Jika wakil melakukan akad atas wanita yang bukan yang diwakilkan kepadanya, atau tidak ditentukan, kemudian terjadi perselisihan, lalu wakil berkata, “Aku menerima akad itu untuk diriku sendiri,” dan yang mewakilkan berkata, “Justru aku yang menerimanya untuk diriku,” maka yang dipegang adalah pernyataan wakil, karena ia berhak melakukan hal itu.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا قَالَ رَجُلٌ لِامْرَأَةٍ أَنْتِ زَوْجَتِي فَصَدَّقَتْهُ ثَبَتَ حُكْمُ نكاحهما بِالتَّصَادُقِ عَلَيْهِ وَقَالَ مَالِكٌ لَا يَثْبُتُ نِكَاحُهُمَا بِالتَّصَادُقِ حَتَّى يُرَى دَاخِلًا عَلَيْهَا وَخَارِجًا مِنْ عِنْدِهَا إِلَّا أَنْ يَكُونَا فِي سَفَرٍ.
Jika seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita, “Engkau adalah istriku,” lalu wanita itu membenarkannya, maka hukum pernikahan mereka ditetapkan berdasarkan saling membenarkan. Malik berpendapat, pernikahan mereka tidak ditetapkan hanya dengan saling membenarkan sampai terlihat laki-laki itu masuk ke rumah wanita tersebut dan keluar dari sisinya, kecuali jika keduanya sedang dalam perjalanan.
وَحُكِيَ هَذَا عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ، وَمَذْهَبُهُ فِي الْجَدِيدِ أَصَحُّ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ ظُهُورُ الدُّخُولِ وَالْخُرُوجِ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْعَقْدِ فَلَمْ يَكُنْ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الِاعْتِرَافِ، وَإِذَا صَحَّ النِّكَاحُ بِهَذَا التَّصَادُقِ عَلَيْهِ فَأَيُّهُمَا مَاتَ وِرِثَهُ صَاحِبُهُ وَلَكِنْ لَوْ قَالَ الرَّجُلُ هَذِهِ زَوْجَتِي وَلَمْ يَكُنْ مِنْهَا تَصْدِيقٌ وَلَا تَكْذِيبٌ فَإِنْ مَاتَ وَرِثَتْهُ وَإِنْ مَاتَتْ لَمْ يَرِثْهَا نَصَّ عَلَيْه الشَّافِعِيُّ في ” الأم ” لا أنه اعترف لها بما لم يعترف له بمثله فورثه وَلَمْ يَرِثْهَا وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَتِ الْمَرْأَةُ: هَذَا زَوْجِي وَلَمْ يَكُنْ مِنْهُ تَصْدِيقٌ وَلَا تَكْذِيبٌ وَرِثَهَا إِنْ مَاتَتْ وَلَمْ تَرِثْهُ إِنْ مات للمعنى الذي ذكرنا نص عليه في الإملاء، قال فِيهِ وَلَوْ تَزَوَّجَّ رِجْلٌ امْرَأَةً مِنْ وَلِيِّهَا ثُمَّ مَاتَ عَنْهَا، فَقَالَ وَارِثُهُ زَوْجُكِ وَلِيُّكِ بِغَيْرِ إِذْنِكِ فَنِكَاحُكِ بَاطِلٌ وَلَا مِيرَاثَ لَكِ، وَقَالَتْ: بَلْ زَوَّجَنِي بِإِذْنِي فَلِي الْمِيرَاثُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا لِأَنَّ إِذْنَهَا لَا يُعْلَمُ إلا منها والله أعلم.
Pendapat ini dinukil dari asy-Syafi‘i dalam pendapat lama beliau, namun mazhab beliau dalam pendapat baru lebih sahih; karena tampaknya masuk dan keluar (yakni kehadiran fisik) bukanlah syarat sahnya akad, maka tidak pula menjadi syarat sahnya pengakuan. Jika akad nikah sah dengan saling mengakui demikian, maka siapa pun di antara keduanya yang meninggal, pasangannya berhak mewarisinya. Namun, jika seorang laki-laki berkata, “Ini istriku,” dan dari pihak perempuan tidak ada pembenaran maupun penolakan, lalu si laki-laki meninggal, maka perempuan itu mewarisinya. Tetapi jika perempuan itu yang meninggal, laki-laki itu tidak mewarisinya. Hal ini dinyatakan secara tegas oleh asy-Syafi‘i dalam kitab “al-Umm”, bukan karena ia mengakui hak waris untuk perempuan tanpa timbal balik, sehingga perempuan itu mewarisinya dan ia tidak mewarisi perempuan itu. Berdasarkan hal ini, jika perempuan berkata, “Ini suamiku,” dan dari pihak laki-laki tidak ada pembenaran maupun penolakan, maka laki-laki itu mewarisinya jika perempuan itu meninggal, dan perempuan itu tidak mewarisi laki-laki itu jika laki-laki itu meninggal, karena alasan yang telah kami sebutkan. Hal ini juga dinyatakan secara tegas dalam kitab “al-Imla’”. Dalam kitab tersebut disebutkan: “Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan melalui walinya, lalu ia meninggal dunia, kemudian ahli warisnya berkata, ‘Suamimu adalah walimu tanpa izinku, maka nikahmu batal dan tidak ada hak waris bagimu.’ Namun perempuan itu berkata, ‘Justru ia menikahkanku dengan izinku, maka aku berhak mendapat warisan.’ Maka pendapat yang diterima adalah pendapat perempuan itu dengan sumpahnya, karena izinnya tidak diketahui kecuali darinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولو زَوَّجَهَا الْوَلِيُّ بِأَمْرِهَا مِنْ نَفْسِهِ لَمْ يَجُزْ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْ نَفْسِهِ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika wali menikahkan perempuan atas perintahnya dengan dirinya sendiri, maka tidak sah, sebagaimana tidak sah jika ia membeli sesuatu dari dirinya sendiri.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا كَانَ لِلْمَرْأَةِ وَلِيٌّ يَحِلُّ لَهُ نِكَاحُهَا كَابْنِ عَمٍّ أَوْ مَوْلَى مُعْتَقٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بِنَفْسِهِ وَوِلَايَتِهِ حَتَّى يُزَوِّجَهُ الْحَاكِمُ بِهَا.
Al-Mawardi berkata: Jika seorang perempuan memiliki wali yang halal menikahinya, seperti sepupu atau maula mu‘taq (bekas budak yang telah dimerdekakan), maka tidak sah baginya menikahi perempuan itu dengan dirinya sendiri dan kekuasaannya, kecuali hakim yang menikahkannya.
وَقَالَ مَالِكٌ، وأبو حنيفة: يجوز أن يتزوجها مِنْ نَفْسِهِ بَعْدَ إِذْنِهَا لَهُ.
Malik dan Abu Hanifah berkata: Boleh bagi wali tersebut menikahi perempuan itu dengan dirinya sendiri setelah mendapat izinnya.
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: يَأْذَنُ لِأَجْنَبِيٍّ حَتَّى يُزَوِّجَهُ بِهَا وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَجَازَهُ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُل اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونهُنَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أنْ تَنْكِحُوهُنَّ) {النساء: 127) قَالَتْ عَائِشَةُ: نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي شَأْنِ يَتِيمَةٍ فِي حجر وليها رغب في مالها وجمالها لمي سقط لها في صداقها مهراً أن تنكحوا أو تقسطوا لَهُنَّ فِي صَدَاقِهِنَّ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ لِلْوَلِيِّ أن يتزوجها ولم يقسط في صداقها، ويقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ ” وَهَذَا نِكَاحٌ قَدْ عَقَدَهُ وَلِيٌّ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَعْتَقَ صَفِيَّةَ وَتَزَوَّجَهَا وَلَمْ يَكُنْ لَهَا وَلِيٌّ سِوَاهُ؛ وَلِأَنَّهُ نِكَاحٌ بِوَلِيٍّ فَجَازَ ثُبُوتُهُ كَمَا لو زوجها من غيره، ولأن الولي إنما يراد لأن لا تَضَعَ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا فِي غَيْرِ كُفْءٍ وَوَلِيُّهَا كفء لها.
Ahmad bin Hanbal berkata: Wali harus meminta izin kepada orang lain (ajnadzabi) agar orang itu menikahkannya. Adapun dalil yang membolehkan hal ini adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para perempuan. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Kitab tentang anak-anak yatim perempuan yang tidak kalian berikan kepada mereka apa yang telah ditetapkan Allah untuk mereka, sedangkan kalian ingin menikahi mereka…} (an-Nisa’: 127). ‘Aisyah berkata: Ayat ini turun mengenai seorang anak yatim perempuan yang berada dalam asuhan walinya, lalu wali tersebut tertarik pada harta dan kecantikannya, sehingga ia tidak memberikan mahar yang layak kepadanya. Maka, ayat ini menunjukkan bahwa wali boleh menikahinya meskipun tidak memberikan mahar yang layak. Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali,” dan ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali. Nabi ﷺ juga memerdekakan Shafiyyah dan menikahinya, padahal ia tidak memiliki wali selain beliau. Karena ini adalah pernikahan dengan wali, maka sah sebagaimana jika wali menikahkannya dengan orang lain. Selain itu, tujuan adanya wali adalah agar perempuan tidak menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang tidak sekufu’, sedangkan walinya adalah sekufu’ baginya.
ودليلنا مَا رَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” كل نكاح لم يحضره أربعة فهو سِفَاحٌ خَاطِبٌ، وَوَلِيٌّ وَشَاهِدَا عَدْلٍ ” فَاعْتَبَرَ فِي صِحَّتِهِ حُضُورَ أَرْبَعَةٍ وَجَعَلَ الْخَاطِبَ مِنْهُمْ غَيْرَ الوالي فَلَمْ يُجِزْ أَنْ يَصِحَّ بِثَلَاثَةٍ يَكُونُ الْوَلِيُّ مِنْهُمْ خَاطِبًا كَمَا لَمْ يُجِزْ أَنْ يَكُونَ الشَّاهِدُ مِنْهُمْ خَاطِبًا.
Dalil kami adalah riwayat dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat orang maka itu adalah perzinaan: yaitu calon suami, wali, dan dua orang saksi yang adil.” Maka, dalam hadis ini disyaratkan kehadiran empat orang untuk sahnya pernikahan, dan menjadikan calon suami di antara mereka selain wali. Maka, tidak sah jika hanya tiga orang, di mana wali merangkap sebagai calon suami, sebagaimana tidak sah jika saksi merangkap sebagai calon suami.
وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَتَزَوَّجُ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ حَتَّى يكون الولي غيره ولا يشتري الوالي شَيْئًا مِنَ الْغَنِيمَةِ وَلَا الْوَصِيُّ شَيْئًا مِنَ الميراث “، وهذا نص مرسل سعيد عند الشافعي حجة؛ لأنه عقد لم يملك فيه البدل إلا بإذن فلمن يُمْلَكْ فِيهِ الْقَبُولُ كَالْوَكِيلِ فِي الْبَيْعِ لَمَّا ملك فيه البدل بِإِذْنِ مُوَكِّلِهِ لَمْ يَمْلِكْ فِيهِ الْقَبُولَ فِي شِرَائِهِ لِنَفْسِهِ وَهِيَ دَلَالَةُ الشَّافِعِيِّ، وَلَا يَدْخُلُ في هَذَا الْقِيَاسِ ابْتِيَاعُ الْأَبِ مَالَ ابْنِهِ الصَّغِيرِ بنفسه حيث صار فيه مالكاً للبدل والقبول؛ لأن الأب يملك البدل بِنَفْسِهِ لَا بِإِذْنِ غَيْرِهِ فَجَازَ أَنْ يَمْلِكَ فِيهِ الْقَبُولَ وَخَالَفَ الْوَلِيَّ فِي النِّكَاحِ كَمَا خَالَفَ الْوَكِيلَ فِي الْبَيْعِ وَلِأَنَّهُ ذِكْرٌ اعْتُبِرَ في النِّكَاحِ احْتِيَاطًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ زَوْجًا كَالشَّاهِدِ؛ وَلِأَنَّ الْوَلِيَّ مَنْدُوبٌ لِطَلَبِ الْحَظِّ لَهَا فِي الْتِمَاسِ مَنْ هُوَ أَكْفَأُ وَأَغْنَى فَإِذَا صَارَ زَوْجًا انْصَرَفَ نَظَرُهُ إِلَى حَظِّ نَفْسِهِ دُونَهَا فَعُدِمَ فِي عَقْدِهِ مَعْنَى الْوِلَايَةِ فَصَارَ ممنوعاً منه. من غيره وليس الآية دليل على ما اختلفا فِيهِ مِنْ جَوَازِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بِنَفْسِهِ.
Said bin al-Musayyab meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Seorang laki-laki tidak boleh menikahi seorang perempuan hingga walinya adalah orang lain, dan penguasa tidak boleh membeli sesuatu dari harta rampasan perang, serta wasiat tidak boleh membeli sesuatu dari warisan.” Ini adalah nash mursal Said yang menurut asy-Syafi‘i menjadi hujjah; karena ini adalah akad di mana ia tidak memiliki hak atas imbalan kecuali dengan izin, maka bagi siapa yang kepadanya diberikan hak menerima, seperti wakil dalam jual beli, ketika ia memiliki hak atas imbalan dengan izin dari yang mewakilkan, ia tidak memiliki hak menerima dalam pembelian untuk dirinya sendiri. Inilah dalil asy-Syafi‘i. Tidak termasuk dalam qiyās ini adalah pembelian ayah atas harta anaknya yang masih kecil untuk dirinya sendiri, karena dalam hal ini ia menjadi pemilik imbalan dan penerimaan; sebab ayah memiliki hak atas imbalan dengan dirinya sendiri, bukan dengan izin orang lain, sehingga boleh baginya memiliki hak penerimaan, berbeda dengan wali dalam pernikahan sebagaimana berbeda pula dengan wakil dalam jual beli. Karena wali adalah pihak yang dipertimbangkan dalam pernikahan sebagai bentuk kehati-hatian, maka tidak boleh ia menjadi suami sebagaimana saksi; dan karena wali ditugaskan untuk mencari maslahat bagi perempuan dalam mencari pasangan yang lebih sepadan dan lebih kaya, maka jika ia menjadi suami, perhatiannya akan beralih kepada kepentingan dirinya sendiri, bukan kepentingan perempuan tersebut, sehingga dalam akadnya hilang makna kewalian, maka ia menjadi terlarang melakukannya. Ayat tersebut bukanlah dalil atas perbedaan pendapat tentang bolehnya ia menikahi perempuan itu untuk dirinya sendiri.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ ” فَهُوَ أنَّ هَذَا فِي حَالِ تزويجه بِهَا قَدْ خَرَجَ أَنْ يَكُونَ وَلِيًّا لَهَا لما ذَكَرْنَا مِنَ انْصِرَافِهِ عَمَّا وُضِعَ لَهُ الْوَلِيُّ مِنْ طَلَبِ الْحَظِّ لَهَا إِلَى طَلَبِ الْحَظِّ لنفسه.
Adapun jawaban atas sabda beliau ﷺ: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali,” maka maksudnya adalah bahwa dalam keadaan ia menikahi perempuan itu, ia telah keluar dari status sebagai wali baginya, sebagaimana telah kami sebutkan, yaitu karena perhatiannya telah beralih dari tujuan wali untuk mencari maslahat bagi perempuan kepada mencari maslahat bagi dirinya sendiri.
فأما الجواب عن حديث سعيد فَهُوَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَخْصُوصٌ بِجَوَازِ النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَصْحَابِنَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْتَبَرَ بِهِ حَالُ غَيْرِهِ.
Adapun jawaban atas hadis Said adalah bahwa Nabi ﷺ dikhususkan dengan bolehnya menikah tanpa wali menurut banyak dari kalangan sahabat kami, sehingga tidak bisa dijadikan dasar bagi selain beliau.
فَأَمَّا عَلَى قَوْلِ مَنِ اعْتَبَرَ الولي في نكاحه فيقول لَمْ يَكُنْ لِصَفِيَّةَ وَلِيٌّ غَيْرُهُ فَصَارَ فِي عَقْدِهِ عَلَيْهَا كَالْإِمَامِ إِذَا لَمْ يَجِدْ لِوَلِيَّتِهِ ولياً سواه يزوجها مِنْهُ فَيَكُونُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.
Adapun menurut pendapat yang mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan beliau, dikatakan bahwa Shafiyyah tidak memiliki wali selain beliau, sehingga dalam akad beliau atas dirinya, beliau seperti imam apabila tidak menemukan wali lain bagi perempuan yang menjadi tanggung jawabnya, maka ia menikahkannya dengan dirinya sendiri, sebagaimana akan kami sebutkan.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ أَنَّهُ نِكَاحٌ بِوَلِيٍّ فَلَا نُسَلِّمُ أنه يكون ولياً لها إذا تزوجها لما ذَكَرْنَا مِنْ زَوَالِ مَعْنَى الْوِلَايَةِ عَنْهُ، ثُمَّ المعنى في الأصل أن الباذل غير العائل.
Adapun jawaban atas qiyās mereka bahwa ini adalah pernikahan dengan wali, maka kami tidak menerima bahwa ia menjadi wali bagi perempuan itu ketika menikahinya, karena sebagaimana telah kami sebutkan, makna kewalian telah hilang darinya. Selain itu, makna asalnya adalah bahwa yang memberikan (akad) berbeda dengan yang menerima.
وأما الجواب عن استدلالهم بأنه كفء لها لِمُنَاسَبَتِهِ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى وَلِيٍّ يَلْتَمِسُ الْكَفَاءَةَ وهي لَيْسَتْ مُعْتَبَرَةٌ بِالنَّسَبِ وَحْدَهُ وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ لَا يُكَافِئَهَا فِيمَا سِوَى النَّسَبِ مِنْ مَالٍ وعفاف.
Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa ia adalah sekufu (sepadan) bagi perempuan itu karena kesesuaian, sehingga tidak membutuhkan wali yang mencari kesepadanan, maka kesepadanan tidak hanya dipertimbangkan dari nasab saja, dan bisa jadi ia tidak sekufu dalam hal lain selain nasab, seperti harta dan kehormatan.
فصل
Fashal (Bagian)
فإذا ثبت أن لَيْسَ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بِنَفْسِهِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ فِي دَرَجَتِهِ مِنْ أَوْلِيَائِهَا أَحَدٌ جَازَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا مِنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لها وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا إِلَّا مَنْ هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُ لَمْ تَنْتَقِلِ الْوِلَايَةُ إِلَى الْبَعِيدِ، وَزَوَّجَهُ الْحَاكِمُ بِهَا.
Jika telah tetap bahwa wali tidak boleh menikahi perempuan itu untuk dirinya sendiri, maka dilihat: jika ada orang lain dari para walinya yang setingkat dengannya, maka boleh baginya menikahi perempuan itu melalui wali tersebut. Namun jika tidak ada, dan jika tidak ada wali lain kecuali yang lebih jauh darinya, maka kewalian tidak berpindah kepada yang lebih jauh, dan hakimlah yang menikahkannya.
وَقَالَ قَتَادَةُ وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَسَنِ: تَنْتَقِلُ الْوِلَايَةُ إِلَى مَنْ هُوَ أبعد فيزوجها مِنْهُ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ وِلَايَتَهُ لَمْ تَبْطُلْ بهذا القصد فلم ينتقل عَنْهُ إِلَى الْأَبْعَدِ وَصَارَ بِخِطْبَتِهَا كَالْعَاضِلِ فَيُزَوِّجُهَا الْحَاكِمُ فَلَوْ كَانَ هَذَا الْوَلِيُّ هُوَ الحاكم لم يجز له أن يتزوجها بِوِلَايَةِ النَّسَبِ وَعَدَلَ إِلَى الْإِمَامِ أَوْ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْحُكَّامِ حَتَّى يُزَوِّجَهُ بِهَا، فَلَوْ كَانَ هَذَا الْوَلِيُّ هُوَ الْإِمَامَ الْأَعْظَمَ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
Qatadah dan ‘Ubaidullah bin al-Hasan berkata: Kewalian berpindah kepada yang lebih jauh, lalu ia menikahkannya. Ini adalah kesalahan; karena kewaliannya tidak gugur hanya karena niat tersebut, sehingga tidak berpindah darinya kepada yang lebih jauh. Dengan lamarannya, ia menjadi seperti ‘ādhil (wali yang menghalangi), maka hakimlah yang menikahkannya. Jika wali tersebut adalah hakim, maka tidak boleh baginya menikahi perempuan itu dengan kewalian nasab, melainkan berpindah kepada imam atau hakim lain hingga menikahkannya. Jika wali tersebut adalah imam a‘zham, maka menurut sahabat-sahabat kami ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يتزوجها بنفسه لعموم ولايته وأن الْحُكَّامَ كُلَّهُمْ مِنْ قَبْلِهِ كَمَا تَزَوَّجَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَفِيَّةَ بِنَفْسِهِ لِهَذَا الْمَعْنَى.
Pertama: Boleh baginya menikahi perempuan itu untuk dirinya sendiri karena keumuman kewaliannya, dan seluruh hakim berada di bawah kekuasaannya, sebagaimana Nabi ﷺ menikahi Shafiyyah untuk dirinya sendiri karena alasan ini.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يتزوجها من حكام الوقت لولايتهم، وإن كانت منه فهم بخلاف وكلائه، ولأنه نَائِبٌ عَنْ كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ فِي تَقْلِيدِ الْحُكَّامِ وَنَائِبٌ عَنْ نَفْسِهِ فِي تَقْلِيدِ الْوُكَلَاءِ، أَلَا تراه لو مات بطلت ولاية وكلائه ولن تَبْطُلَ وِلَايَةُ حُكَّامِهِ، وَلِذَلِكَ تَحَاكَمَ عُمَرُ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَحَاكَمَ عَلِيٌّ يَهُودِيًّا إِلَى شُرَيْحٍ.
Pendapat kedua: Yaitu jika ia menikahkannya melalui para hakim pada masa itu karena mereka memiliki kewenangan, dan jika pernikahan itu dilakukan oleh hakim maka kedudukan mereka berbeda dengan para wakilnya. Sebab, hakim adalah wakil dari seluruh kaum Muslimin dalam pengangkatan para hakim, sedangkan ia adalah wakil dari dirinya sendiri dalam pengangkatan para wakil. Tidakkah engkau lihat, jika ia meninggal dunia maka kewenangan para wakilnya batal, sedangkan kewenangan para hakimnya tidak batal. Oleh karena itu, Umar dan Ubay bin Ka‘b pernah mengadukan perkara kepada Zaid bin Tsabit, dan Ali pernah mengadukan perkara seorang Yahudi kepada Syuraih.
فَصْلٌ
Fashal
وَلَوْ أَرَادَ الْوَلِيُّ أَنْ يُزَوِّجَ وَلِيَّتَهُ بِابْنِهِ كَوَلِيٍّ هُوَ عَمٌّ فَأَرَادَ أَنْ يُزَوِّجَ بِنْتَ أَخِيهِ بِابْنِهِ فَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّ الصَّغِيرَةَ لَا يُزَوِّجُهَا غَيْرُ أَبِيهَا أَوْ جَدِّهَا، وَإِنْ كَانَتْ كَبِيرَةً وَابْنُهُ صَغِيرٌ لَمْ يَجُزْ أَنْ يزوجها بِهَا؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ بَاذِلًا لِلنِّكَاحِ عَنْهَا وَقَابِلًا لَهُ عَنِ ابْنِهِ فَاجْتَمَعَ الْبَذْلُ وَالْقَبُولُ مِنْ جِهَتِهِ فَلَمْ يَصِحَّ، كَمَا لَمْ يَصِحَّ أَنْ يتزوجها لنفسه لحصول البذل والقبول منه مِنْ جِهَتِهِ وَإِنْ كَانَ ابْنُهُ كَبِيرًا فَفِي جَوَازِ تَزْوِيجِهِ بِهَا وَجْهَانِ:
Jika seorang wali ingin menikahkan anak perempuan yang berada dalam perwaliannya dengan anak laki-lakinya, misalnya seorang paman ingin menikahkan putri saudaranya dengan anak laki-lakinya, maka jika perempuan itu masih kecil, tidak boleh dilakukan, karena anak perempuan yang masih kecil tidak boleh dinikahkan kecuali oleh ayah atau kakeknya. Jika perempuan itu sudah dewasa namun anak laki-lakinya masih kecil, maka tidak boleh menikahkannya dengan anaknya; karena ia menjadi pihak yang menawarkan pernikahan atas nama perempuan itu sekaligus menjadi pihak yang menerima atas nama anak laki-lakinya, sehingga tawaran dan penerimaan datang dari satu pihak, maka pernikahan tidak sah, sebagaimana tidak sah jika ia menikahkannya untuk dirinya sendiri karena tawaran dan penerimaan berasal dari satu pihak. Namun jika anak laki-lakinya sudah dewasa, maka dalam kebolehan menikahkannya dengan perempuan itu terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ بَاذِلًا فَالْقَابِلُ غَيْرُهُ وَهُوَ الِابْنُ فَلَمْ يَجْتَمِعِ الْبَذْلُ وَالْقَبُولُ مِنْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ.
Pendapat pertama: Boleh, karena meskipun ia yang menawarkan, namun yang menerima adalah orang lain, yaitu anak laki-lakinya, sehingga tawaran dan penerimaan tidak berasal dari satu pihak.
والوجه الثاني: لا يجوز أن يزوجه بها؛ لِأَنَّهُ يَمِيلُ بِالطَّبْعِ إِلَى طَلَبِ الْحَظِّ لِابْنِهِ دونها كما لم يجز أن يتزوجها بنفسه لِهَذَا الْمَعْنَى.
Pendapat kedua: Tidak boleh ia menikahkan perempuan itu dengan anaknya; karena secara naluri ia cenderung mengutamakan kepentingan anak laki-lakinya daripada perempuan itu, sebagaimana tidak boleh ia menikahkannya untuk dirinya sendiri karena alasan ini.
فَأَمَّا الْجَدُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُزَوِّجَ بِنْتَ ابْنِهِ بِابْنِ ابْنٍ لَهُ آخَرَ فَإِنْ كَانَا كَبِيرَيْنِ جَازَ لِاعْتِدَالِ السَّبَبَيْنِ فِي ميله إليهما وطلب الحظ لهما وإن كان صَغِيرَيْنِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا:
Adapun jika seorang kakek ingin menikahkan putri dari anak laki-lakinya dengan cucu laki-lakinya yang lain, maka jika keduanya sudah dewasa, boleh dilakukan karena sebab-sebab kecenderungan dan keinginan untuk memberikan kebaikan kepada keduanya seimbang. Namun jika keduanya masih kecil, maka terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِهَذَا المعنى.
Pendapat pertama: Boleh karena alasan tersebut.
والثاني: لا يجوز لاجتماع البذل والقبول من جهته.
Pendapat kedua: Tidak boleh karena tawaran dan penerimaan berasal dari satu pihak.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ويزوج الْأَبُ أَوِ الْجَدُّ الِابْنَةَ الَّتِي يُؤْيَسُ مِنْ عَقْلِهَا لِأَنَّ لَهَا فِيهِ عَفَافًا وَغِنًى وَرُبَّمَا كَانَ شِفَاءً وسواءٌ كَانَتْ بِكْرًا أَوْ ثَيِّبًا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Ayah atau kakek boleh menikahkan anak perempuan yang sudah tidak diharapkan lagi kesembuhan akalnya, karena dalam pernikahan itu terdapat penjagaan kehormatan, kecukupan, dan mungkin saja menjadi sebab kesembuhan, baik ia masih perawan maupun sudah janda.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ قَدْ مَضَتْ فِيمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ التَّقْسِيمِ فَإِذَا كَانَتْ مَجْنُونَةً لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah kami bahas dalam pembagian yang telah kami sampaikan sebelumnya. Jika perempuan itu gila, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ تَكُونَ بِكْرًا أَوْ ثَيِّبًا، فَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا زَوَّجَهَا أَبُوهَا أَوْ جَدُّهَا صَغِيرَةً كَانَتْ أَوْ كَبِيرَةً لِأَنَّ لِلْأَبِ إِجْبَارَ الْبِكْرِ فِي حَالِ الْعَقْلِ، فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يُجْبِرَهَا فِي حَالِ الْجُنُونِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا أَبٌ وَلَا جَدٌّ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً لَمْ يَكُنْ لأحد أوليائها ولا الحاكم أَنْ يُزَوِّجَهَا حَتَّى تَبْلُغَ، فَإِذَا بَلَغَتْ زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ دُونَ عَصَبَتِهَا الْمُنَاسِبِينَ لِاخْتِصَاصِهِ بِفَضْلِ النَّظَرِ في الولاية على مالها فإن كَانَتْ ثَيِّبًا نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ كَبِيرَةً زَوَّجَهَا أَبُوهَا أَوْ جَدُّهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا أب ولا جَدٌّ زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ دُونَ سَائِرِ الْعَصَبَاتِ، وَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً ثَيِّبًا فَلَيْسَ لِغَيْرِ الْأَبِ والْجَدِّ تَزْوِيجُهَا حَتَّى تَبْلُغَ، وَهَلْ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ تَزْوِيجُهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ أَمْ لَا؟
Yaitu apakah ia masih perawan atau sudah janda. Jika ia masih perawan, maka ayah atau kakeknya boleh menikahkannya, baik ia masih kecil maupun sudah dewasa, karena ayah berhak memaksa anak perempuan perawan untuk menikah saat ia berakal, maka lebih utama lagi ia boleh memaksanya saat gila. Jika ia tidak memiliki ayah atau kakek, maka dilihat keadaannya: jika ia masih kecil, maka tidak boleh bagi wali-walinya yang lain maupun hakim untuk menikahkannya sampai ia baligh. Jika sudah baligh, maka hakim yang menikahkannya, bukan para kerabat laki-lakinya yang lain, karena hakim memiliki keistimewaan dalam mengurus harta dan perwalian atas dirinya. Jika ia sudah janda, maka dilihat lagi: jika ia sudah dewasa, maka ayah atau kakeknya boleh menikahkannya. Jika tidak ada ayah atau kakek, maka hakim yang menikahkannya, bukan kerabat laki-laki yang lain. Jika ia masih kecil dan sudah janda, maka selain ayah dan kakek tidak boleh menikahkannya sampai ia baligh. Adapun apakah ayah dan kakek boleh menikahkannya sebelum baligh atau tidak,
عَلَى وَجْهَيْنِ:
terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ حَتَّى تَبْلُغَ، لِأَنَّهُ لَا حَاجَةَ بها إلى الزوج قَبْلَ الْبُلُوغِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ.
Pendapat pertama: Tidak boleh sampai ia baligh, karena ia tidak membutuhkan suami sebelum baligh. Ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah.
والوجه الثاني: أنه يجوز تَزْوِيجُهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ بِخِلَافِ الْعَاقِلَةِ الَّتِي يَرجْى صحة إذنها بالبلوغ ولا يجرى صِحَّةُ إِذْنِ الْمَجْنُونَةِ بَعْدَ الْبُلُوغِ فَافْتَرَقَا، فَأَمَّا قَوْلُهُ فَإِنَّ لَهَا فِيهِ عَفَافًا وَغِنًى وَرُبَّمَا كان شفاء، فهذا تعليل بجواز تَزْوِيجِ الْبَالِغِ الْمَجْنُونَةَ، فَأَمَّا الْعَفَافُ فَيُرِيدُ بِهِ من الزنا، وأما الغنى فتغنى بِاكْتِسَابِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ، وَأَمَّا الشِّفَاءُ فَرُبَّمَا كَانَ من شدة المانخوليا وَقُوَّةِ الشَّبَقِ فَتَبْرَأُ إِنْ جُومِعَتْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua: Boleh menikahkannya sebelum baligh, berbeda dengan perempuan berakal yang diharapkan dapat memberikan izin setelah baligh, sedangkan izin perempuan gila tidak dianggap sah setelah baligh, sehingga keduanya berbeda. Adapun pernyataan bahwa dalam pernikahan itu terdapat penjagaan kehormatan, kecukupan, dan mungkin saja menjadi sebab kesembuhan, maka ini adalah alasan bolehnya menikahkan perempuan gila yang sudah baligh. Adapun penjagaan kehormatan maksudnya adalah dari perbuatan zina, kecukupan maksudnya adalah dengan memperoleh mahar dan nafkah, dan kesembuhan maksudnya adalah terkadang penyakit mankholia dan dorongan syahwat yang kuat dapat sembuh jika ia digauli. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَيُزَوِّجُ الْمَغْلُوبَ عَلَى عَقْلِهِ أَبُوهُ إِذَا كَانَتْ به إلى ذلك حاجةٌ وابنه الصغير فإن كان مجنوناً ولا مَخْبُولًا كَانَ النِّكَاحُ مَرْدُودًا لِأَنَّهُ لَا حَاجَةَ بِهِ إِلَيْهِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Ayah boleh menikahkan anak yang hilang akal (tidak sadar) jika ada kebutuhan untuk itu, demikian pula anaknya yang masih kecil. Namun, jika ia gila dan bukan sekadar kurang waras, maka pernikahan itu batal karena ia tidak membutuhkan pernikahan tersebut.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لَا يَخْلُو حَالُ الِابْنِ إِذَا أَرَادَ الْأَبُ أَنْ يُزَوِّجَهُ مِنْ أَحَدِ حَالَيْنِ، إِمَّا أَنْ كون عَاقِلًا أَوْ مَجْنُونًا، فَإِنْ كَانَ عَاقِلًا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ بَالِغًا أَوْ صَغِيرًا، فَإِنْ كَانَ بَالِغًا فَلَا وِلَايَةَ عَلَيْهِ لِلْأَبِ فِي نِكَاحِهِ، فَإِنْ زَوَّجَهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا حَتَّى يَكُونَ هُوَ الْمُتَوَلِّيَ لِلْعَقْدِ أَوِ الْإِذْنِ فِيهِ وَإِنْ كَانَ صَغِيرًا جَازَ لِلْأَبِ تَزْوِيجُهُ فِي صِغَرِهِ فَإِنَّ ابْنَ عُمَرَ زَوَّجَ ابْنًا لَهُ وَهُوَ صَغِيرٌ؛ وَلِأَنَّهُ مُحْتَاجٌ إِلَيْهِ فِي الْأَغْلَبِ إِذَا بَلَغَ فَعَجَّلَ الْأَبُ لَهُ ذَلِكَ لِيَأْلَفَ صِيَانَةَ الْفَرْجِ، وَرُبَّمَا رَغِبَ النَّاسُ فِيهِ لِكَفَالَةِ الْأَبِ فَإِنْ زَوَّجَهُ وَاحِدَةً لَزِمَهُ نِكَاحُهَا وَلَيْسَ لَهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ خِيَارٌ، فَإِنْ أَرَادَ الْفِرَاقَ فَبِالطَّلَاقِ، وَإِنْ أَرَادَ الْأَبُ تَزْوِيجَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ وَاحِدَةٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Keadaan anak jika ayah ingin menikahkannya tidak lepas dari dua keadaan, yaitu: anak itu berakal atau gila. Jika ia berakal, maka keadaannya tidak lepas dari sudah baligh atau masih kecil. Jika sudah baligh, maka ayah tidak memiliki kewenangan (wilayah) atasnya dalam pernikahan. Jika ayah menikahkannya tanpa izinnya, maka pernikahan itu batal sampai anak itu sendiri yang melakukan akad atau memberikan izin. Jika masih kecil, maka ayah boleh menikahkannya saat masih kecil, karena Ibnu ‘Umar pernah menikahkan anaknya yang masih kecil; dan karena pada umumnya anak membutuhkan pernikahan ketika dewasa, sehingga ayah mempercepat pernikahan itu agar anak terbiasa menjaga kehormatan diri, dan terkadang orang-orang berminat menikahkannya karena jaminan dari ayahnya. Jika ayah menikahkannya dengan satu perempuan, maka pernikahan itu tetap berlaku baginya dan setelah baligh ia tidak memiliki hak memilih (khiyar); jika ingin berpisah maka dengan talak. Jika ayah ingin menikahkannya dengan lebih dari satu perempuan, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ لَهُ فِي الْوَاحِدَةِ غناء.
Pertama: Tidak boleh, karena satu istri sudah mencukupi kebutuhannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَقَدْ حُكِيَ عَنِ الشَّافِعِيِ نَصًّا أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُزَوِّجَهُ تَمَامَ أَرْبَعٍ، لِأَنَّ مَعْنَى الْوَاحِدَةِ مَوْجُودٌ فِيهِنَّ، وَإِنْ كَانَ الِابْنُ مَجْنُونًا فَلَهُ حَالَتَانِ: صَغِيرٌ، وَكَبِيرٌ، فَإِنْ كَانَ صَغِيرًا لَمْ يَكُنْ لِلْأَبِ تَزْوِيجُهُ لِعَدَمِ حَاجَتِهِ بِاجْتِمَاعِ جُنُونِهِ مَعَ صِغَرِهِ، وَإِنْ كَانَ لِلْأَبِ تَزْوِيجُ بِنْتِهِ الصَّغِيرَةِ الْمَجْنُونَةِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْبِنْتَ قَدْ تَكْتَسِبُ بِالتَّزْوِيجِ الْمَهْرَ وَالنَّفَقَةَ، وَالِابْنُ ملتزمهما، وَإِنْ كَانَ الِابْنُ بَالِغًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ إِلَى التَّزْوِيجِ حَاجَةٌ لَمْ يُزَوِّجْهُ وَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا وَحَاجَتُهُ تَكُونُ مِنْ أَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا أَنْ يُرَى مُتَوَثِّبًا عَلَى النِّسَاءِ لِكَثْرَةِ شَهْوَتِهِ وَقُوَّةِ شَبَقِهِ، وَإِمَّا أَنْ يَحْتَاجَ إِلَى خَادِمٍ وَخِدْمَةُ الزَّوْجَةِ أَرْفَقُ بِهِ لِفَضْلِ حُنُوِّهَا وَكَثْرَةِ شَفَقَتِهَا فَيَجُوزُ لَهُ حِينَئِذٍ تَزْوِيجُهُ بِوَاحِدَةٍ لا يزيده عليها؛ لأن له فيها غناء، فَإِنْ أَفَاقَ مِنْ جُنُونِهِ كَانَ النِّكَاحُ عَلَى لزومه.
Pendapat kedua: Dan telah dinukil dari Imam Syafi‘i secara nash bahwa boleh menikahkannya hingga empat orang, karena makna kebutuhan yang ada pada satu istri juga terdapat pada yang lainnya. Jika anak itu gila, maka ada dua keadaan: masih kecil atau sudah dewasa. Jika masih kecil, ayah tidak boleh menikahkannya karena tidak ada kebutuhan dengan berkumpulnya kegilaan dan usia kecil, berbeda dengan ayah yang boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan gila. Perbedaannya, anak perempuan bisa memperoleh mahar dan nafkah dengan pernikahan, sedangkan anak laki-laki justru yang menanggungnya. Jika anak laki-laki itu sudah dewasa, maka jika tidak ada kebutuhan untuk menikahkannya, ayah tidak boleh menikahkannya. Namun jika ada kebutuhan, dan kebutuhannya itu bisa karena dua hal: pertama, terlihat sangat bernafsu kepada perempuan karena syahwatnya yang besar dan hasratnya yang kuat; kedua, membutuhkan pelayan dan pelayanan istri lebih cocok baginya karena kelembutan dan kasih sayang istri yang lebih besar. Maka dalam keadaan ini, ayah boleh menikahkannya dengan satu perempuan saja, tidak boleh lebih, karena satu istri sudah mencukupi kebutuhannya. Jika ia sembuh dari kegilaannya, maka pernikahan itu tetap berlaku.
فأما المعنى عَلَيْهِ فَلَا يَجُوزُ لِلْأَبِ تَزْوِيجُهُ، لِأَنَّ الْإِغْمَاءَ مَرَضٌ يُرْجَى سُرْعَةُ زَوَالِهِ بِخِلَافِ الْجُنُونِ فَأَمَّا الَّذِي يُجَنُّ فِي زَمَانٍ وَيُفِيقُ فِي زَمَانٍ فَلَيْسَ لِلْأَبِ تَزْوِيجُهُ لَا سِيَّمَا إِنْ كَانَ زَمَانُ إِفَاقَتِهِ أَكْثَرَ، لِأَنَّهُ قَدْ يَقْدِرُ عَلَى العقد في زمان الإفاقة.
Adapun orang yang pingsan, maka ayah tidak boleh menikahkannya, karena pingsan adalah penyakit yang diharapkan segera sembuh, berbeda dengan kegilaan. Adapun orang yang kadang gila dan kadang sadar, maka ayah tidak boleh menikahkannya, terutama jika masa sadarnya lebih banyak, karena ia mungkin mampu melakukan akad sendiri saat sadar.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وليس لأب الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Ayah tidak boleh melakukan khulu‘ (perceraian dengan tebusan) atas nama anaknya yang hilang akal.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا زَوَّجَ الْأَبُ ابْنَهُ الْمَجْنُونَ أَوْ تَزَوَّجَ الِابْنُ وَهُوَ عَاقِلٌ ثُمَّ جُنَّ فَلَيْسَ لِلْأَبِ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهُ، لِأَنَّ الْخُلْعَ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالطَّلَاقِ وَالطَّلَاقُ لَا يَقَعُ إِلَّا مِنَ الْأَزْوَاجِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika ayah menikahkan anaknya yang gila atau anak itu menikah saat berakal lalu kemudian menjadi gila, maka ayah tidak boleh melakukan khulu‘ atas namanya, karena khulu‘ tidak sah kecuali dengan talak, dan talak hanya bisa dilakukan oleh suami.
رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنِّي زَوَّجْتُ عَبْدِيَ امرأة وأريد أَنْ أُطَلِّقَهَا مِنْهُ فَقَالَ: ” لَيْسَ لَكَ طَلَاقُهَا، إِنَّمَا الطَّلَاقُ لِمَنْ أُخِذَ بِالسَّاقِ ” وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ إِزَالَةُ مِلْكٍ يَقِفُ عَلَى شَهَوَاتِ النُّفُوسِ لَا يُرَاعَى فِيهِ الْأَصْلَحُ وَالْأَوْلَى، لِأَنَّهُ قَدْ يُطَلِّقُ العفيفة والجميلة وَيُمْسِكُ الْفَاجِرَةَ الْقَبِيحَةَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُرَاعَى فيه شهوة غير المالك، لأن تَصَرُّفَ الْوَلِيِّ فِي حَقِّ غَيْرِهِ يُعْتَبَرُ فِيهِ الْمَصْلَحَةُ دُونَ الشَّهْوَةِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِلْوَلِيِّ أَنْ يُطَلِّقَ عَلَى الْمُوَلَّى عَلَيْهِ وَجَازَ أَنْ يَبِيعَ مَالَهُ عَلَيْهِ اعْتِبَارًا بِالْمَصْلَحَةِ فِيهِ فَافْتَرَقَا، وإذا لَمْ يَكُنْ لِلْأَبِ أَنْ يُطَلِّقَ عَلَى ابْنِهِ الصَّغِيرِ أَوِ الْمَجْنُونِ فَكَذَلِكَ الْعَبْدُ لَا يَجُوزُ أن يخالع عنه، لأنه معاونه عَلَى طَلَاقٍ لَا يَصِحَّ مِنْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahkan budakku dengan seorang wanita dan aku ingin menceraikannya dari budakku itu.” Maka beliau bersabda, “Engkau tidak berhak menceraikannya, sesungguhnya talak itu hanya milik orang yang memegang kendali (pernikahan).” Karena talak adalah penghilangan kepemilikan yang bergantung pada syahwat jiwa, tidak dipertimbangkan di dalamnya mana yang lebih maslahat dan utama. Sebab, bisa saja seseorang menceraikan wanita yang suci dan cantik, namun tetap mempertahankan wanita yang fajirah dan buruk rupa. Maka tidak boleh dipertimbangkan syahwat selain pemilik (hak), karena tindakan wali atas hak orang lain harus mempertimbangkan maslahat, bukan syahwat. Oleh karena itu, wali tidak berhak menceraikan atas orang yang berada di bawah perwaliannya, namun boleh menjual hartanya demi kemaslahatan. Maka keduanya berbeda. Jika ayah tidak boleh menceraikan atas anaknya yang masih kecil atau gila, demikian pula budak tidak boleh dikhulu‘kan atas namanya, karena itu berarti membantu terjadinya talak yang tidak sah darinya. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَا يَضْرِبُ لِامْرَأَتِهِ أَجَلَ الْعِنِّينِ لِأَنَّهَا إِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ أَوْ بِكْرًا لَمْ يُعْقَلْ أَنْ يَدْفَعَهَا عَنْ نَفْسِهِ بِالْقَوْلِ إنَّهَا تمتنع مِنْهُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Tidak ditetapkan tenggat waktu bagi suami yang impoten atas istrinya, karena jika istrinya adalah janda maka perkataannya yang diterima, atau jika masih perawan, tidak masuk akal jika ia menolaknya dari dirinya hanya dengan ucapan bahwa ia menolak berhubungan dengannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا ادَّعَتِ امرأة المجنون عليه العنة لم تسمع دَعْوَاهَا عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَا حُكْمَ لِقَوْلِهِ وَلَا عَلَى وَلِيِّهِ لِأَنَّ ثُبُوتَهُ يُوجِبُ حَقًّا عَلَى غيره؛ ولأن صَدَّقَهَا الْوَلِيُّ عَلَى عِنَّتِهِ جَازَ أَنْ يَضْرِبَ لَهَا أَجَلَ الْعُنَّةِ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ عَاقِلًا جاز أَنْ يُنْكِرَهَا، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الزَّوْجُ عَاقِلًا فَيَضْرِبُ لَهَا أَجَلَ الْعُنَّةِ، ثُمَّ جُنَّ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ لَمْ يَجُزْ إِذَا انْقَضَّتِ الْمُدَّةُ وَهُوَ عَلَى جُنُونِهِ أَنْ يُخَيَّرَ فِي فَسْخِ نِكَاحِهِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ عَاقِلًا لَجَازَ أَنْ يدعي وطئها إن كان ثَيِّبًا وَمَنْعَهَا إِنْ كَانَتْ بِكْرًا فَيَكُونُ الْقَوْلُ قوله في الحالين.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika seorang wanita mengaku bahwa suaminya yang gila mengalami impotensi, maka pengakuannya tidak didengar; karena tidak ada pertimbangan pada ucapannya, dan tidak juga pada walinya, karena penetapannya akan menimbulkan hak atas orang lain. Dan jika wali membenarkan pengakuan wanita atas impotensinya, maka boleh ditetapkan tenggat waktu impotensi baginya, karena jika ia berakal, boleh saja ia mengingkarinya. Demikian pula jika suami berakal, maka boleh ditetapkan tenggat waktu impotensi baginya, kemudian ia menjadi gila sebelum masa itu habis, maka tidak boleh ketika masa itu habis sementara ia masih dalam keadaan gila, untuk diberi pilihan memutuskan nikahnya; karena jika ia berakal, boleh saja ia mengaku telah menggaulinya jika istrinya janda, atau menolaknya jika istrinya perawan, sehingga dalam kedua keadaan, perkataannya yang diterima.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَا يُخَالِعُ عَنِ الْمَعْتُوهَةِ وَلَا يُبَرِّئُ زَوْجَهَا مِنْ درهمٍ مِنْ مَالِهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Tidak boleh khulu‘ atas nama perempuan yang kurang akal (ma‘tuhah), dan tidak boleh membebaskan suaminya dari satu dirham pun dari hartanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لَا يَجُوزُ لِلْأَبِ أَنْ يُخَالِعَ عَنْ بِنْتِهِ الْمَجْنُونَةِ مِنْ مَالِهَا لِأَمْرَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, tidak boleh bagi ayah untuk melakukan khulu‘ atas nama putrinya yang gila dari hartanya karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَأْمُورٌ بِحِفْظِ مَالِهَا وَهَذَا اسْتِهْلَاكٌ.
Pertama: Ia diperintahkan untuk menjaga hartanya, sedangkan ini adalah tindakan menghabiskan harta.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَى طَلَبِ الزِّيَادَةِ فِي كَسْبِهَا لَا إِلَى إِسْقَاطِهِ، وَهَذَا يُسْقِطُ نَفَقَتَهَا وَمَهْرَهَا إِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَأَمَّا إِنْ خَالَعَ الْأَبُ عَنْهَا مِنْ مَالِ نَفْسِهِ جَازَ خُلْعُهُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ خَالَعَ عَنْ أَجْنَبِيَّةٍ عَاقِلَةٍ بِمَالِ نَفْسِهِ وَهِيَ غَيْرُ عَالِمَةٍ وَلَا مُرِيدَةٍ صَحَّ خُلْعُهُ فَعَنْ بِنْتِهِ الْمَجْنُونَةِ أَوْلَى.
Kedua: Ia dianjurkan untuk mencari tambahan dalam pengelolaan hartanya, bukan untuk menghilangkannya. Dan ini akan menghilangkan nafkah dan maharnya jika belum digauli. Adapun jika ayah melakukan khulu‘ atas nama putrinya dari hartanya sendiri, maka khulu‘nya sah; karena jika ia melakukan khulu‘ atas nama wanita lain yang berakal dengan hartanya sendiri, sementara wanita itu tidak tahu dan tidak menghendakinya, maka khulu‘nya sah, maka atas nama putrinya yang gila tentu lebih utama.
فَصْلٌ
Fasal
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَلَا يُبَرِّئُ زَوْجَهَا مِنْ دِرْهَمٍ مِنْ مَالِهَا ” وَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Imam Syafi‘i berkata: “Tidak boleh membebaskan suaminya dari satu dirham pun dari hartanya.” Dan ini ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِ الصَّدَاقِ فَلَا يَجُوزُ لِلْأَبِ أن يبرئ منه.
Pertama: Jika bukan dari mahar, maka tidak boleh bagi ayah untuk membebaskannya.
والثاني: صَدَاقًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Kedua: Jika berupa mahar, maka ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ دخل لها فَلَا يَجُوزُ لِلْأَبِ أَنْ يُبَرِّئَ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ كَسَائِرِ أَمْوَالِهَا.
Pertama: Jika sudah digauli, maka tidak boleh bagi ayah untuk membebaskannya; karena itu seperti harta-harta lainnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِهَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Bentuk kedua: Jika belum digauli, maka ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَلَى الزَّوْجِيَّةِ لَمْ يُطَلِّقْ فَلَا يَجُوزُ لِلْأَبِ أَنْ يُبَرِّئَ مِنْهُ.
Pertama: Jika masih dalam status pernikahan dan belum ditalak, maka tidak boleh bagi ayah untuk membebaskannya.
وَالثَّانِي: أن يكون قَدْ طُلِّقَتْ فَفِي جَوَازِ إِبْرَاءِ الْأَبِ مِنْهُ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ:
Kedua: Jika sudah ditalak, maka dalam kebolehan ayah membebaskannya ada dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan pendapat mengenai siapa yang memegang akad nikah:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، وَبِهِ قَالَ مالك أن الْأَبُ، فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ دُونَ غيرهما من الأولياء أن يبرأ مِنْ صَدَاقِهَا.
Pertama: — dan ini adalah pendapat beliau dalam qaul qadim, dan juga pendapat Malik — bahwa ayah, dan atas dasar ini, boleh bagi ayah dan kakek, tidak bagi wali selain keduanya, untuk membebaskan dari maharnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة: إِنَّهُ الزَّوْجُ، فَعَلَى هذا لا يجوز للأب والجد أن يبرئا مِنْهُ كَمَا لَا يَجُوزُ لِغَيْرِهِمَا مِنَ الْأَوْلِيَاءِ أن يبرئا شيء من صداقها كما لم يجز لا أن يبرأ مِنْ غَيْرِ الصَّدَاقِ مِنْ سَائِرِ أَمْوَالِهَا، فَأَمَّا الْخُلْعُ فَعَلَى ظَاهِرِ قَوْلِهِ إِنَّهُ لَا يَجُوزُ، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يُخْرِجُ مِنْ هَذَا الْقَوْلِ وَجْهًا آخَرَ أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْأَبِ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهَا بِصَدَاقِهَا؛ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ الْإِبْرَاءُ مِنْهُ عَلَى غَيْرِ بَدَلٍ كَانَ جَوَازُهُ عَلَى بَدَلٍ أولى وهذا جَمْعٌ فَاسِدٌ.
Pendapat kedua: — Ini dinyatakan dalam pendapat al-jadīd, dan demikian pula pendapat Abū Ḥanīfah: bahwa yang dimaksud adalah suami. Maka berdasarkan pendapat ini, ayah dan kakek tidak boleh membebaskan (memaafkan) mahar tersebut, sebagaimana wali selain keduanya juga tidak boleh membebaskan sebagian dari maharnya, sebagaimana mereka juga tidak boleh membebaskan selain mahar dari harta-harta lainnya. Adapun mengenai khulu‘, maka menurut zahir pendapat beliau, hal itu tidak diperbolehkan. Namun sebagian sahabat kami mengeluarkan dari pendapat ini satu wajah lain, yaitu bahwa ayah boleh melakukan khulu‘ atas nama putrinya dengan maharnya; karena ketika diperbolehkan membebaskan tanpa adanya pengganti, maka membolehkannya dengan adanya pengganti lebih utama. Namun ini adalah penggabungan yang rusak (tidak benar).
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الإبراء مجوز بعد الطلاق وفي الخلع يكون مبرأ مِنْهُ قَبْلَ الطَّلَاقِ.
Pertama: Bahwa pembebasan (ibra’) diperbolehkan setelah terjadi talak, sedangkan dalam khulu‘, pembebasan terjadi sebelum talak.
وَالثَّانِي: أنَّ فِي الْإِبْرَاءِ تَرْغِيبًا لِلْأَزْوَاجِ فِيهَا وَفِي الْخُلْعِ تَزْهِيدًا فِيهَا فَاخْتَلَفَ الْمَعْنَى فِيهِمَا فَافْتَرَقَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Kedua: Dalam ibra’ terdapat unsur mendorong suami untuk tetap mempertahankan istri, sedangkan dalam khulu‘ terdapat unsur membuat suami tidak berminat lagi terhadap istri, sehingga maknanya berbeda dan keduanya pun berbeda hukum. Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِنْ هَرَبَتْ وَامْتَنَعَتْ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا “.
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika istri melarikan diri dan menolak (untuk kembali), maka tidak ada nafkah baginya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.
إِذَا هَرَبَتْ بِالْجُنُونِ مِنْ زَوْجِهَا وَمَنَعَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا صَارَتْ نَاشِزًا وَسَقَطَتْ نَفَقَتُهَا؛ لِأَنَّ النَّفَقَةَ عِوَضٌ فِي مُقَابَلَةِ تَمْكِينٍ، فَإِذَا لَمْ يُوجَدِ التَّمْكِينُ الَّذِي هُوَ مُعَوَّضٌ بَطَلَ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ النَّفَقَةِ الَّتِي عوض كالسلعة إذا بلغت فِي يَدِ الْبَائِعِ بَطَلَ مَا فِي مُقَابَلَتِهَا مِنَ الثَّمَنِ فَإِنْ قِيلَ فَالْجُنُونُ عُذْرٌ، وَلَيْسَتْ فِيهِ عَاصِيَةٌ فَهَلَّا كَانَتْ نَفَقَتُهَا مَعَ تَعَذُّرِ الِاسْتِمْتَاعِ بَاقِيَةً كَمَا لَوْ مرضت أو صلت أو صامت؟ قيل: حقوق الأموال بين الآدميين تستوي في وجوبها سقوطها حُكْمُ الْمُطِيعِ وَالْعَاصِي وَالْمَعْذُورِ وَغَيْرِ الْمَعْذُورِ أَلَّا تَرَى أَنَّ الْبَائِعَ لَوْ تَلَفَتِ السِّلْعَةُ فِي يده لجائحة سمائية فهو معذور مطيع وقد سقط فِي مُقَابَلَتِهَا مِنَ الثَّمَنِ كَمَا لَوِ اسْتَهْلَكَهَا بِنَفْسِهِ فَصَارَ عَاصِيًا غَيْرَ مَعْذُورٍ كَمَا أَنَّ الزَّوْجَةَ لَوْ سَافَرَتْ فِي الْحَجِّ سَقَطَتْ نَفَقَتُهَا وَإِنْ كَانَتْ مُطِيعَةً كَمَا لَوْ هَرَبَتْ نَاشِزًا فِي مَعْصِيَةٍ فَكَذَلِكَ حَالُ الْمَجْنُونَةِ.
Jika ia melarikan diri karena gila dari suaminya dan menolak untuk menyerahkan dirinya, maka ia menjadi nasyiz (durhaka) dan gugurlah nafkahnya; karena nafkah adalah sebagai ganti dari penyerahan diri, maka jika tidak ada penyerahan diri yang menjadi imbalan, maka gugurlah nafkah yang merupakan kompensasinya, sebagaimana barang dagangan jika telah kembali ke tangan penjual, maka gugurlah harga yang menjadi imbalannya. Jika dikatakan: Bukankah kegilaan adalah udzur, dan ia tidak berdosa karenanya, lalu mengapa nafkahnya tidak tetap ada meskipun tidak dapat dinikmati, sebagaimana jika ia sakit, shalat, atau berpuasa? Maka dijawab: Hak-hak harta di antara manusia sama dalam hal wajib dan gugurnya, baik bagi yang taat, yang durhaka, yang berudzur, maupun yang tidak berudzur. Tidakkah engkau melihat bahwa penjual, jika barang dagangannya rusak di tangannya karena bencana alam, maka ia berudzur dan taat, namun tetap gugur harga yang menjadi imbalannya, sebagaimana jika ia sendiri yang merusaknya sehingga ia menjadi durhaka dan tidak berudzur. Demikian pula, jika istri bepergian untuk haji, maka gugur nafkahnya meskipun ia taat, sebagaimana jika ia melarikan diri karena durhaka dalam kemaksiatan. Maka demikian pula keadaan wanita yang gila.
فَأَمَّا الْمَرِيضَةُ فهي غير ممتنعة منه وَإِنَّمَا الْمَرَضُ مَنْعَهُ مِنْهَا كَمَا يَمْنَعُ الْحَيْضُ، ولو منعته فِي الْمَرَضِ مَا أَمْكَنَ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهِ من المريضة من نظر وقبلة ولمس وسقطت نَفَقَتُهَا فَأَمَّا مَا وَجَبَ مِنْ صَلَاةٍ وَصِيَامٍ فَالشَّرْعُ قَدِ اسْتَثْنَى زَمَانَهُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ كَمَا أَنَّ زَمَانَ النَّوْمِ مُسْتَثْنَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun wanita yang sakit, ia tidak menolak suaminya, dan penyakit hanyalah yang menghalangi suami darinya, sebagaimana haid juga menghalangi. Jika ia menolak suaminya dalam keadaan sakit pada hal-hal yang masih mungkin dinikmati dari wanita sakit, seperti memandang, mencium, dan menyentuh, maka gugurlah nafkahnya. Adapun kewajiban shalat dan puasa, syariat telah mengecualikan waktu tersebut dari kenikmatan, sebagaimana waktu tidur juga dikecualikan. Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَلَا إِيلَاءَ عَلَيْهِ فِيهَا وَقِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ فِيهَا فِءْ أَوْ طَلِّقْ “.
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak ada hukum ila’ atasnya, dan dikatakan kepadanya: Bertakwalah kepada Allah terhadap istrimu, rujuklah atau ceraikanlah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا قَوْلُهُ: ” لَا إِيلَاءَ عَلَيْهِ ” فَلَمْ يُرِدْ أنه لا يصح منه الإيلاء فيهما؛ لأن الإيلاء يمين يصح مِنَ الزَّوْجِ فِي الْعَاقِلَةِ فَصَحَّتْ مِنْهُ فِي المجنونة، وَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ أَنْ لَا يَطْالُبَ بِحُكْمِ إيلائه فيهما وإن صح إيلاؤه منهما وإذا مضى عَلَى الزَّوْجِ مُدَّةُ الْإِيلَاءِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَهِيَ عَلَى جُنُونِهَا أَوْ آلَى مِنْهَا وَهِيَ عَاقِلَةٌ فانقضت مدة الإيلاء وقد جنت، فَالْحُكْمُ فِيهِمَا سَوَاءٌ وَلَيْسَ لِلْوَلِيِّ مُطَالَبَةُ الزَّوْجِ بفيئه ولا طلاق؛ لأن المطالبة حق لها يرجع فيها إلى شهرتها فِي الْعَفْوِ عَنْهُ أَوِ الْمُطَالَبَةِ بِهِ وَلَا يَصِحُّ مِنْهَا مَعَ الْجُنُونِ مطالبةٌ وَلَا لِلْوَلِيِّ فِيهِ مُدْخَلٌ فَيُطَالِبُ لَكِنْ يُقَالُ لِلزَّوْجِ يَنْبَغِي لَكَ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْكَ الْمُطَالَبَةُ بِحَقِّهَا أَنْ تَتَّقِيَ اللَّهَ تَعَالَى فِيهَا فَتَفِيءُ أَوْ تطلق ليكون خَارِجًا مِنْ حَقِّ الْإِيلَاءِ أَنْ لَوْ كَانَتْ مطالبته حتى لا تكون مرتهناً بحق بقدر عَلَى الْخُرُوجِ مِنْهُ قَبْلَ الْمُطَالَبَةِ بِهِ.
Al-Māwardī berkata: Adapun perkataannya, “tidak ada ila’ atasnya”, bukan maksudnya tidak sah ila’ darinya, karena ila’ adalah sumpah yang sah dari suami terhadap istri yang berakal, maka sah pula terhadap istri yang gila. Namun maksudnya adalah tidak dituntut hukum ila’ atas keduanya, meskipun ila’ itu sah darinya. Jika telah berlalu masa ila’ selama empat bulan atas suami, sementara istrinya dalam keadaan gila, atau ia ber-ila’ atas istrinya yang berakal lalu masa ila’ berakhir dan istrinya menjadi gila, maka hukumnya sama saja. Wali tidak berhak menuntut suami untuk rujuk atau menceraikan, karena tuntutan itu adalah hak istri yang kembali pada kehendaknya untuk memaafkan atau menuntut, dan tidak sah tuntutan darinya dalam keadaan gila, serta wali tidak memiliki peran dalam hal ini untuk menuntut. Namun, dikatakan kepada suami: “Selayaknya engkau, meskipun tidak wajib menuntut hak istrimu, bertakwa kepada Allah terhadap istrimu, lalu rujuklah atau ceraikanlah, agar engkau keluar dari hak ila’ seandainya tuntutan itu ada, sehingga engkau tidak tergantung pada hak yang mungkin bisa engkau lepaskan sebelum adanya tuntutan.”
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فإن قذفها أو انتفى من ولدها قيل له إن أردت أن تنفي وَلَدِهَا فَالْتَعِنْ فَإِذَا الْتَعَنَ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ وَنُفِيَ عنه الولد فإن أكذب نفسه لحق به الولد ولم يعزر “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia menuduh istrinya berzina atau menolak anaknya, dikatakan kepadanya: Jika engkau ingin menolak anaknya, maka lakukanlah li‘ān. Jika ia telah melakukan li‘ān, maka terjadilah perpisahan dan anak itu tidak dinisbatkan kepadanya. Namun jika ia mencabut tuduhannya, maka anak itu tetap dinisbatkan kepadanya dan ia tidak dikenai ta‘zīr.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.
إِذَا قَذَفَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ الْمَجْنُونَةَ بِالزِّنَا فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ المُحْصِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةٍ) {النور: 4) وَالْمُحْصَنَةُ الْكَامِلَةُ بِالْعَقْلِ وَالْعَفَافِ؛ ولأن حد القذف يجب للحوق المعرة بالمقذوفة، وَالْمَجْنُونَةُ لَا يَلْحَقُهَا بِالزِّنَا عَارٌ؛ لِأَنَّهَا لَا تفرق بين القبيح والحسن ولا بين المبارح والمحذور؛ وَلِأَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ عَلَى الْقَاذِفِ فِي مُقَابَلَةِ حَدِّ الزِّنَا عَلَى الْمَقْذُوفِ، وَالْمَجْنُونَةُ لَوْ ثَبَتَ زِنَاهَا لَمْ تُحَدَّ فَلَمْ يَجِبْ عَلَى قَاذِفِهَا حد فإن لم يرد الزوج، أم يُلَاعِنَ فَلَا يُقَالُ وَإِنْ أَرَادَ اللِّعَانَ لَمْ يَخْلُ حَالُ زَوْجَتِهِ الْمَجْنُونَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Jika seorang laki-laki menuduh istrinya yang gila berzina, maka tidak ada hukuman had atasnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terjaga (dari zina), kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali} (an-Nur: 4). Wanita yang terjaga (muḥṣanah) adalah yang sempurna akal dan kehormatannya; karena hukuman had qadzaf (tuduhan zina) ditetapkan untuk menjaga kehormatan yang dituduh, sedangkan wanita gila tidak terkena aib zina, karena ia tidak dapat membedakan antara yang buruk dan yang baik, serta antara yang diperbolehkan dan yang dilarang; dan karena hukuman had qadzaf atas penuduh adalah sebagai balasan atas hukuman had zina atas yang dituduh, sedangkan wanita gila jika terbukti berzina tidak dikenai hukuman had, maka penuduhnya pun tidak dikenai hukuman had. Jika suami tidak ingin melakukan li‘ān, maka tidak dikatakan apa-apa. Namun jika ia ingin melakukan li‘ān, maka keadaan istrinya yang gila tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ تَكُونَ ذَاتَ وَلَدٍ أَوْ خَلِيَّةً مَنْ وَلَدٍ، فَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ وَلَدٍ كَانَ له أن يلاعن منها ليبقى بِاللِّعَانِ وَلَدَهَا فَإِذَا لَاعَنَ انْتَفَى عَنْهُ الْوَلَدُ ووقعت الفرقة بينهما على التأييد، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَفِي جَوَازِ اللعان فيما وجهان:
Pertama, ia memiliki anak atau tidak memiliki anak. Jika ia memiliki anak, maka suaminya boleh melakukan li‘ān agar anak itu tidak dinisbatkan kepadanya melalui li‘ān. Jika ia telah melakukan li‘ān, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya dan terjadi perpisahan antara keduanya untuk selamanya. Jika istrinya tidak memiliki anak, maka dalam kebolehan li‘ān terdapat dua pendapat:
أحدهما: يلاعن لتستفيد بِلِعَانِهِ تَحْرِيمَ التَّأْبِيدِ.
Pendapat pertama: Boleh melakukan li‘ān agar dengan li‘ān itu terjadi pengharaman menikah selamanya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أن يلاعن؛ لأن معقود اللِّعَانِ دَرَأُ الْحَدِّ وَنَفِيُ الْوَلَدِ الَّذِي لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ بِغَيْرِ اللِّعَانِ وَقَدْ عَدَمَ الْوَلَدَ وَلَيْسَ يَجِبُ عَلَيْهِ بِقَذْفِهَا حَدٌّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُلَاعِنَ فَلَوْ عَادَ هَذَا الزَّوْجُ بَعْدَ نَفْيِ الْوَلَدِ بِلِعَانِهِ فَأَكْذَبَ نَفْسَهُ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَلَمْ يَزَلِ التَّحْرِيمُ الْمُؤَبَّدُ، لِأَنَّ لُحُوقَ الْوَلَدِ حَقٌّ عَلَيْهِ وَزَوَالَ التَّحْرِيمِ حَقٌّ لَهُ ومن أقر بما عليه لزمه ومه أقر بماله لم يقبل منه، فأما تعزيره بَعْدَ رُجُوعِهِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا: لَمْ يُعَزَّرْ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ يُعَزَّرُ وَلَيْسَ هذا على اختلاف قولين، وَإِنَّمَا التَّعْزِيرُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Pendapat kedua, dan ini yang lebih shahih: Tidak boleh melakukan li‘ān; karena tujuan li‘ān adalah untuk menolak hukuman had dan menolak anak yang tidak dapat dilakukan kecuali dengan li‘ān, sedangkan di sini tidak ada anak dan tidak wajib atasnya hukuman had karena menuduh istrinya, maka tidak boleh melakukan li‘ān. Jika suami tersebut kembali setelah menolak anak melalui li‘ān, lalu ia mencabut tuduhannya, maka anak itu kembali dinisbatkan kepadanya, namun pengharaman menikah selamanya tetap berlaku, karena penetapan nasab anak adalah hak atasnya, sedangkan penghapusan pengharaman adalah hak baginya. Barang siapa mengakui hak atas dirinya, maka itu wajib baginya, dan barang siapa mengakui hak untuk dirinya, maka tidak diterima darinya. Adapun mengenai ta‘zīr setelah ia mencabut tuduhannya, Imam asy-Syafi‘i berkata di sini: Tidak dikenai ta‘zīr, dan di tempat lain beliau berkata: Dikenai ta‘zīr. Ini bukan perbedaan pendapat, melainkan ta‘zīr ada dua macam:
أَحَدُهُمَا: تَعْزِيرُ قَذْفٍ.
Pertama: Ta‘zīr karena qadzaf (tuduhan zina).
وَالثَّانِي: تَعْزِيرُ أَذَى.
Kedua: Ta‘zīr karena menyakiti (menyakiti orang lain).
فَأَمَّا تَعْزِيرُ الْقَذْفِ: فَهُوَ في قذف من لم تكمل حَالُهُ مِنَ الْمُكَلَّفِينَ كَالْكُفَّارِ وَالْعَبِيدِ فَلَا يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ الْحُرِّ فِي قَذْفِهِمْ حَدٌّ لَكِنْ يَجِبُ فِيهِ التَّعْزِيرُ بَدَلًا مِنَ الْحَدِّ وَيَكُونُ حقاً للمقذوف يرجع إلى خياره في استيفائه أَوِ الْعَفْوِ عَنْهُ.
Adapun ta‘zīr karena qadzaf: yaitu dalam menuduh orang yang belum sempurna statusnya dari kalangan mukallaf seperti orang kafir dan budak, maka tidak wajib atas Muslim merdeka hukuman had karena menuduh mereka, tetapi wajib dikenai ta‘zīr sebagai pengganti had, dan itu menjadi hak bagi yang dituduh, yang kembali pada pilihannya untuk menuntut atau memaafkan.
وَأَمَّا تَعْزِيرُ الْأَذَى: فَهُوَ فِي قَذْفِ غَيْرِ الْمُكَلَّفِينَ مِنَ الصِّغَارِ وَالْمَجَانِينِ فَهَذَا التَّعْزِيرُ فِيهِ لِمَكَانِ الْأَذَى يَسْتَوْفِيهِ الْإِمَامُ إِنْ رَأَى، وَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ تَعْزِيرِ الْقَذْفِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun ta‘zīr karena menyakiti: yaitu dalam menuduh selain mukallaf seperti anak kecil dan orang gila, maka ta‘zīr ini karena unsur menyakiti, yang pelaksanaannya diserahkan kepada imam jika ia memandang perlu. Perbedaan antara ta‘zīr ini dan ta‘zīr karena qadzaf ada dua hal:
أَحَدُهُمَا: وُجُوبُ هَذَا وَإِبَاحَةُ ذَاكَ.
Pertama: Ta‘zīr ini wajib, sedangkan yang itu (ta‘zīr qadzaf) boleh dilakukan atau tidak.
وَالثَّانِي: رَدُّ هَذَا إِلَى خِيَارِ الْمَقْذُوفِ، ورد ذاك إِلَى الْإِمَامِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ كَانَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَاهُنَا لَمْ يُعَزَّرْ مَحْمُولًا على تعزير الأذى والله أعلم.
Kedua: Ta‘zīr ini dikembalikan kepada pilihan yang dituduh, sedangkan yang itu dikembalikan kepada imam. Dengan demikian, perkataan asy-Syafi‘i di sini bahwa tidak dikenai ta‘zīr, dimaksudkan pada ta‘zīr karena menyakiti. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَ ابْنَتَهُ الصَّبِيَّةَ عَبْدًا ولا غير كفؤٍ وَلَا مَجْنُونًا وَلَا مَخْبُولًا وَلَا مَجْذُومًا وَلَا أبرص ولا مجبوناً “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak boleh bagi seorang wali menikahkan putrinya yang masih kecil dengan seorang budak, atau dengan laki-laki yang tidak sekufu, atau dengan orang gila, orang yang terganggu pikirannya, orang yang terkena lepra, orang yang terkena penyakit kulit putih (barash), atau dengan orang yang pengecut.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.
عَلَى الْأَبِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُزَوِّجَ بِنْتَهُ أَنْ يَطْلُبَ الْحَظَّ لَهَا فِي اخْتِيَارِ الْأَزْوَاجِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَ بِنْتَهُ الصَّغِيرَةَ عَبْدًا، وَلَا مُدَبَّرًا، وَلَا مُكَاتَبًا، وَلَا مَنْ فيه جزء من الرق وإن قل لنقصهم بالرق عن حال الأحرار، ولا يزوجها عبر كفء لما يحلقها مِنَ الْعَارِ وَلَا يُزَوِّجَهَا مَجْنُونًا؛ لِأَنَّهُ لَا يُؤَدِّي حَقَّهَا، وَلَا يُؤْمَنُ عَلَيْهَا وَلَا يُزَوِّجَهَا مَخْبُولًا، وَالْمَخْبُولُ هُوَ الزَّائِلُ الْعَقْلِ كَالْمَجْنُونِ إِلَّا أن المجنون هو المجند الذي لا يؤمن عداؤه والمخبول هو السَّاكِنُ الْمَأْمُونُ الْعَدْوَى، وَلَا يُزَوِّجَهَا مَجْذُومًا، وَلَا أَبْرَصَ؛ لِأَنَّ النَّفْسَ تَعَافُهُمَا وَرُبَّمَا حَدَثَ مِنْهُمَا عَدْوَى إِلَيْهَا وَإِلَى الْوَلَدِ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” فِرُّوا مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكُمْ مِنَ الْأَسَدِ “.
Seorang ayah, apabila hendak menikahkan putrinya, wajib mencari kebaikan baginya dalam memilih calon suami. Oleh karena itu, ia tidak boleh menikahkan putrinya yang masih kecil dengan seorang budak, atau seorang mudabbar, atau seorang mukatab, atau seseorang yang di dalam dirinya terdapat bagian dari status perbudakan, meskipun sedikit, karena kekurangan mereka dibandingkan orang merdeka. Ia juga tidak boleh menikahkannya dengan orang yang tidak sekufu, karena hal itu dapat menimbulkan aib baginya. Ia juga tidak boleh menikahkannya dengan orang gila, karena orang gila tidak dapat menunaikan haknya dan tidak dapat dipercaya atas dirinya. Ia juga tidak boleh menikahkannya dengan orang yang menderita gangguan jiwa (mukhbūl), yaitu orang yang hilang akalnya seperti orang gila, kecuali bahwa orang gila adalah yang liar dan tidak dapat dipercaya, sedangkan mukhbūl adalah yang tenang dan tidak berbahaya. Ia juga tidak boleh menikahkannya dengan penderita lepra (majdzūm) atau penyakit belang (barash), karena jiwa merasa jijik terhadap mereka dan mungkin saja terjadi penularan kepada dirinya atau kepada anaknya. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Larilah kalian dari penderita lepra sebagaimana kalian lari dari singa.”
وَلَا يُزَوِّجَهَا خَصِيًّا وَلَا مَجْبُوبًا لِنَقْصِهِمَا بالخصا، وَالْجَبِّ عَنْ كَمَالِ الِاسْتِمْتَاعِ.
Ia juga tidak boleh menikahkannya dengan orang kasim (khasī) atau orang yang terpotong kemaluannya (majbūb), karena kekurangan mereka dalam hal kemampuan seksual akibat kastrasi dan pemotongan.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا تَزْوِيجُ بِنْتِهِ الْكَبِيرَةِ بِأَحَدِ هَؤُلَاءِ فَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَيَجِبُ اسْتِئْذَانُهَا فَإِنِ اسْتَأْذَنَهَا فِيهِمْ وَأَعْلَمَهَا بِهِمْ جَازَ وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا لَا يَلْزَمُهُ اسْتِئْذَانُهَا، فَإِنْ لَمْ يَسْتَأْذِنْهَا فِيهِمْ لَمْ يَجُزْ وَإِنِ اسْتَأْذَنَهَا فِيهِمْ فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun menikahkan putrinya yang sudah dewasa dengan salah satu dari mereka, jika ia adalah seorang janda (tsayyib), maka wajib meminta izinnya. Jika ia telah meminta izin kepadanya dan memberitahukan tentang mereka, maka boleh. Jika ia seorang perawan (bikr), tidak wajib meminta izinnya. Namun, jika ia tidak meminta izin kepadanya mengenai mereka, maka tidak boleh. Jika ia meminta izin kepadanya mengenai mereka, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ، لِأَنَّهُ عَنْ إِذْنٍ كَالثَّيِّبِ.
Pertama: Boleh, karena telah mendapat izin seperti halnya janda.
وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ استئذانها يجب وأشبهت الصَّغِيرَةَ.
Kedua: Tidak boleh, karena meminta izinnya adalah wajib dan ia disamakan dengan anak kecil.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنْ زَوَّجَ بِنْتَهُ بِمَنْ فِيهِ أَحَدُ هَذِهِ الْعُيُوبِ، وَكَانَتْ هِيَ مِنْ ذَوَاتِ هذه العيوب فعلى ضربين:
Jika ia menikahkan putrinya dengan seseorang yang memiliki salah satu cacat ini, dan putrinya juga termasuk orang yang memiliki cacat tersebut, maka ada dua keadaan:
أحدهما: أن يختلف عيبهما أن يكون الزوج مجذوماً وهي برصاء. أو مجنوناً وهي رتقاء فلم يجز.
Pertama: Cacat keduanya berbeda, misalnya suaminya penderita lepra sedangkan istrinya berpenyakit belang, atau suaminya gila sedangkan istrinya mengalami kelainan alat kelamin (ratq), maka tidak boleh.
والضرب الثاني: أن يتماثل عيبهما فَيَكُونَا مَجْنُونَيْنِ أَوْ أَبْرَصِيْنِ، فَعَلَى وَجْهَيْنِ:
Kedua: Cacat keduanya sama, misalnya keduanya sama-sama gila atau sama-sama berpenyakit belang, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَجُوزُ لِتَكَافُئِهِمَا.
Pertama: Menurut pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah, boleh karena keduanya setara.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ قَدْ يَعَافُ مِنْ غَيْرِهِ مَا لَا يَعَافُ مِنْ نَفْسِهِ، وَقَدْ يُؤَمَنُ الْمَجْنُونُ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا يُؤَمَنُ عَلَى غَيْرِهِ.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih shahih, tidak boleh; karena seseorang mungkin merasa jijik terhadap orang lain atas sesuatu yang tidak ia jijikkan pada dirinya sendiri, dan orang gila mungkin aman terhadap dirinya sendiri namun tidak aman terhadap orang lain.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا وَزَوَّجَ بِنْتَهُ بِمَنْ لَا يَجُوزُ أَنَّ يُزَوِّجَهَا بِهِ مِنْ أَصْحَابِ هَذِهِ الْعُيُوبِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Apabila telah jelas sebagaimana yang telah kami jelaskan, lalu ia menikahkan putrinya dengan seseorang yang tidak boleh ia nikahkan dari kalangan orang-orang yang memiliki cacat ini, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُزَوِّجَهَا بِهِمْ عَالِمًا بِعُيُوبِهِمْ فَالنِّكَاحُ باطل، لأنه أقدم على عقد هو مَمْنُوعٌ مِنْهُ.
Pertama: Ia menikahkannya dengan mereka dalam keadaan mengetahui cacat mereka, maka nikahnya batal, karena ia telah melakukan akad yang dilarang baginya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ عَالِمٍ بِعُيُوبِهِمْ وَنَقْصِهِمْ فَفِي الْعَقْدِ قَوْلَانِ:
Kedua: Ia tidak mengetahui cacat dan kekurangan mereka, maka dalam akad tersebut terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: باطل لما ذكرنا.
Pertama: Batal, sebagaimana yang telah disebutkan.
والثاني: جائز ويستحق فيه خِيَارُ الْفَسْخِ، لِأَنَّ شِرَاءَ الْوَكِيلِ مَا يَرَاهُ مَعِيبًا بَعْدَ الْعَقْدِ لَا يُوجِبُ فَسَادَ الْعَقْدِ ولكن يوجب خيار الفسخ، فعلى هذا يَجِبُ عَلَى الْأَبِ فَسْخُ الْعَقْدِ فِي الْحَالِ أَوْ يَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى خِيَارِهَا إِذَا بَلَغَتْ، فِيهِ وَجْهَانِ:
Kedua: Sah, namun berhak mendapatkan khiyār al-faskh (hak membatalkan akad), karena seperti halnya seorang wakil yang membeli barang yang ternyata cacat setelah akad, tidak menyebabkan batalnya akad, tetapi memberikan hak khiyar al-faskh. Maka dalam hal ini, ayah wajib membatalkan akad saat itu juga, atau akad tersebut bergantung pada hak pilih putrinya ketika ia telah dewasa. Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَفْسَخَ لِيَسْتَدْرِكَ بِالْفَسْخِ مَا كَانَ مَمْنُوعًا مِنْهُ فِي وَقْتِ الْعَقْدِ.
Pertama: Ayah wajib membatalkan akad agar dapat memperbaiki apa yang dilarang baginya pada saat akad.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْفَسْخُ موقوفاً على خيارها إذا بلغت فيه؛ لِأَنَّ لَهَا فِي الْعَقْدِ حَقًا فَلَمْ يَكُنْ للأب تفويته عليها بفسخه.
Kedua: Pembatalan akad bergantung pada hak pilih putrinya ketika ia telah dewasa, karena ia memiliki hak dalam akad tersebut sehingga ayah tidak berhak menggugurkan haknya dengan membatalkan akad.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُكْرِهَ أَمَتَهُ عَلَى واحدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ بنكاحٍ “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tidak boleh memaksa budaknya perempuan untuk menikah dengan salah satu dari mereka melalui akad nikah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: لِلسَّيِّدِ أَنْ يُجْبِرَ أَمَتَهُ عَلَى النِّكَاحِ لِيَكْتَسِبَ بِذَلِكَ الْمَهْرَ، وَالنَّفَقَةَ، وَلَا يُجْبَرُ السَّيِّدُ عَلَى نِكَاحِهَا إِذَا طَلَبَتْ؛ لِأَنَّهَا فِرَاشٌ لَهُ وَإِذَا كَانَ لِلسَّيِّدِ إِجْبَارُهَا فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُكْرِهَهَا عَلَى نِكَاحِ مَجْنُونٍ، وَلَا مَجْذُومٍ وَلَا أَبْرَصَ، وَلَا مَجْبُوبٍ؛ لِأَنَّهَا تَمْلِكُ فِي حَقِّ النِّكَاحِ حق الِاسْتِمْتَاعِ بِدَلِيلِ أَنَّ لَهَا الْمُطَالَبَةَ بِحَقِّ الْإِيلَاءِ وَالْعُنَّةِ دُونَ السَّيِّدِ، وَاسْتِمْتَاعُهَا بِمَنْ ذَكَرْنَا مِنْ ذَوِي النَّقْصِ وَالْعُيُوبِ لَا يَكْمُلُ لِنُفُورِ النَّفْسِ عَنْهُمْ فَمُنِعَ السَّيِّدُ مِنْ تَزْوِيجِهَا بِهِمْ، فَأَمَّا الْعَبْدُ فَلَهُ تَزْوِيجُهَا بِهِ وَكَذَلِكَ بِمَنْ لَا يُكَافِئُ الْحُرَّةَ فِي حَالٍ أَوْ نَسَبٍ لِكَمَالِ استمتاعها بهم مع كونهم أكفأها فَإِنْ خَالَفَ السَّيِّدُ وَزَوَّجَهَا بِمَنْ ذَكَرْنَا مِنْ ذَوِي النَّقْصِ وَالْعُيُوبِ فَفِي النِّكَاحِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى:
Al-Mawardi berkata: Ini benar, bahwa tuan berhak memaksa budak perempuannya untuk menikah agar memperoleh mahar dan nafkah dari pernikahan itu. Namun, tuan tidak dapat dipaksa untuk menikahkan budak perempuannya jika ia (budak perempuan) yang menginginkannya, karena ia adalah milik tuannya. Jika tuan memiliki hak untuk memaksanya, maka ia tidak boleh memaksanya menikah dengan orang gila, penderita kusta, penderita lepra, atau orang yang dikebiri, karena dalam hal pernikahan, budak perempuan memiliki hak untuk menikmati hubungan suami istri. Hal ini dibuktikan dengan haknya untuk menuntut terkait masalah ila’ dan ‘innah, yang tidak dimiliki oleh tuan. Kenikmatan yang didapatkan dari orang-orang yang memiliki kekurangan dan cacat tersebut tidak sempurna karena adanya rasa enggan secara naluri terhadap mereka, sehingga tuan dilarang menikahkannya dengan mereka. Adapun menikahkan dengan budak laki-laki, maka itu boleh, demikian pula dengan orang yang tidak sekufu dengan perempuan merdeka dalam hal status atau nasab, karena budak perempuan tetap dapat menikmati hubungan dengan mereka dan mereka adalah sekufu baginya. Jika tuan melanggar dan menikahkannya dengan orang-orang yang disebutkan tadi yang memiliki kekurangan dan cacat, maka dalam akad nikahnya terdapat dua pendapat sebagaimana telah lalu:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Salah satunya: batal.
وَالثَّانِي: جَائِزٌ وَيُسْتَحَقُّ فِيهِ الْفَسْخُ، وَفِيهِ وَجْهَانِ:
Yang kedua: sah, namun berhak untuk dibatalkan (fasakh), dan dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: عَلَى السَّيِّدِ أَنْ يَفْسَخَ.
Salah satunya: tuan wajib membatalkannya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَرْدُودٌ إِلَى خِيَارِهَا فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ السَّيِّدُ بَيْعَهَا عَلَى مَجْنُونٍ ومجذوم وأبرص ومجبوب فله ذاك وَلَيْسَ لَهَا الِامْتِنَاعُ.
Yang kedua: dikembalikan kepada pilihan budak perempuan tersebut. Adapun jika tuan ingin menjualnya kepada orang gila, penderita kusta, penderita lepra, atau orang yang dikebiri, maka itu boleh dan budak perempuan tidak berhak menolak.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ النِّكَاحِ، وَالْبَيْعِ: أَنَّ مَقْصُودَ النِّكَاحِ الِاسْتِمْتَاعُ فَأَثَّرَ فِيهِ مَا مَنَعَ مِنْهُ وَلِذَلِكَ لَمْ يَصِحَّ نِكَاحُ مَنْ لَا يَحِلُّ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا مِنَ الْأَخَوَاتِ وَالْعَمَّاتِ، وَلَيْسَ الْمَقْصُودُ فِي الْبَيْعِ إِلَّا الْمِلْكُ دُونَ الاستمتاع ولذلك جاز ملك من لا يحل مِنَ الْأَخَوَاتِ وَالْعَمَّاتِ فَجَازَ لَهُ بَيْعُهَا عَلَى من لا يقدر على الاستمتاع بها كَمَا يَجُوزُ لَهُ بَيْعُهَا عَلَى امْرَأَةٍ وَلِهَذَا المعنى قلنا في الأمة إن لهذا الْقَسْمَ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ عَلَى الزَّوْجِ وَلَيْسَ لَهَا فِي الْمَالِ قَسَمٌ عَلَى السَّيِّدِ.
Perbedaan antara nikah dan jual beli adalah: tujuan dari nikah adalah untuk mendapatkan kenikmatan (hubungan suami istri), sehingga hal-hal yang menghalangi tujuan tersebut berpengaruh pada keabsahan nikah. Oleh karena itu, tidak sah menikahi perempuan yang haram untuk dinikmati seperti saudara perempuan atau bibi. Sedangkan tujuan dari jual beli hanyalah kepemilikan, bukan kenikmatan, sehingga boleh memiliki (membeli) perempuan yang haram dinikahi seperti saudara perempuan atau bibi. Maka, tuan boleh menjual budak perempuannya kepada orang yang tidak mampu menikmati hubungan dengannya, sebagaimana ia boleh menjualnya kepada perempuan. Karena alasan inilah kami katakan bahwa budak perempuan memiliki hak bagian dalam akad nikah terhadap suaminya, namun tidak memiliki hak bagian dalam harta terhadap tuannya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَا يُزَوِّجَ أحدٌ أَحَدًا مِمَّنْ بِهِ إِحْدَى هَذِهِ الْعِلَلِ وَلَا مَنْ لَا يُطَاقُ جِمَاعُهَا وَلَا أَمَةٌ لِأَنَّهُ مِمَنْ لَا يَخَافُ الْعَنَتَ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Tidak boleh seseorang menikahkan orang lain yang memiliki salah satu dari cacat ini, atau yang tidak mampu melakukan hubungan suami istri, atau menikahkan budak perempuan, karena mereka termasuk orang yang tidak dikhawatirkan akan terjerumus dalam perbuatan maksiat (al-‘anat).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لِمَا ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ مَنْعَ الْأَبِ وَالسَّيِّدِ مِنْ تَزْوِيجِ بِنْتِهِ وأمته بمن ذكرنا عيبه يمنع السيد أَنْ يُزَوِّجَ ابْنَهُ وَعَبْدَهُ بِهِمْ، فَلَا يَجُوزُ لِلْأَبِ أَنْ يُزَوِّجَ ابْنَهُ الصَّغِيرَ بِمَجْنُونَةٍ وَلَا من بِهِ الْعُيُوبُ الَّتِي ذَكَرْنَا لِتَعَذُّرِ اسْتِمْتَاعِهِ بِهِنَّ وَعَدَمِ الْحَظِّ لَهُ فِي نِكَاحِهِنَّ، وَكَذَلِكَ لَا يُزَوِّجُهُ بِأَمَةٍ يَسْتَرِقُّ وَلَدُهُ مِنْهَا؛ لِأَنَّهَا لَا تَحِلُّ إِلَّا لِخَوْفِ الْعَنَتِ وَهُوَ مَأْمُونٌ فِي الصَّغِيرِ فَإِنْ زَوَّجَهُ بِوَاحِدَةٍ مِنْ هَؤُلَاءِ، فَفِي النِّكَاحِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى:
Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan (oleh asy-Syafi‘i), karena asy-Syafi‘i menyebutkan larangan bagi ayah dan tuan untuk menikahkan putrinya atau budak perempuannya dengan orang yang memiliki cacat yang telah kami sebutkan, maka demikian pula tuan dilarang menikahkan anak laki-lakinya atau budaknya dengan mereka. Maka tidak boleh bagi ayah menikahkan anak laki-lakinya yang masih kecil dengan perempuan gila atau yang memiliki cacat-cacat yang telah kami sebutkan, karena tidak mungkin ia dapat menikmati hubungan dengan mereka dan tidak ada maslahat baginya dalam pernikahan tersebut. Demikian pula, tidak boleh menikahkannya dengan budak perempuan yang anaknya akan menjadi budak, karena budak perempuan hanya halal dinikahi jika dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan maksiat, sedangkan anak kecil tidak dikhawatirkan demikian. Jika ayah menikahkannya dengan salah satu dari mereka, maka dalam akad nikahnya terdapat dua pendapat sebagaimana telah lalu:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Salah satunya: batal.
وَالثَّانِي: جَائِزٌ.
Yang kedua: sah.
وَفِي الْفَسْخِ وَجْهَانِ:
Dalam hal pembatalan (fasakh) ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَى الْأَبِ تَعْجِيلَهُ.
Salah satunya: ayah wajib segera membatalkannya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ موقوف على اختيار الِابْنِ إِذَا بَلَغَ.
Yang kedua: tergantung pada pilihan anak laki-laki tersebut ketika ia telah baligh.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْعَبْدُ فَهَلْ لِلسَّيِّدِ إِجْبَارُهُ عَلَى النِّكَاحِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Adapun budak laki-laki, apakah tuan berhak memaksanya untuk menikah atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهُ إِجْبَاره؛ لِأَنَّهُ مِنْ مَلَاذِهِ وَشَهَوَاتِهِ.
Salah satunya: tuan tidak berhak memaksanya, karena pernikahan termasuk kenikmatan dan syahwatnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ إِجْبَارُهُ كَمَا يُجْبِرُ أَمَتَهُ وَلِمَنْ قَالَ بِالْأَوَّلِ: أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ بِأَنَّ لَهُ فِي تَزْوِيجِ الْأَمَةِ اكْتِسَابَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ، وَعَلَيْهِ فِي تَزْوِيجِ العبد الترام الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ فَافْتَرَقَا، وَإِذَا جُوِّزَ لَهُ إِجْبَارُ عَبْدِهِ عَلَى النِّكَاحِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنَّ يُكْرِهَهُ عَلَى نِكَاحِ مَنْ بِهَا أَحَدُ هَذِهِ العيوب لنفور النفس عنهم وتعذر اسْتِمْتَاعِهِ بِهِنَّ وَلَهُ أَنْ يُزَوِّجَهُ بِالْأَمَةِ لِأَنَّهَا تُكَافِئُهُ، وَإِنَّهُ لَا يُعْتَبَرُ فِي نِكَاحِهِ بِهَا عيب ليس منه، وَهَلْ لِلْأَبِ وَالسَّيِّدِ إِذَا كَانَ فِي ابْنِهِ وَعَبْدِهِ أَحَدُ هَذِهِ الْعُيُوبِ أَنْ يُزَوِّجَهُ بِمَنْ يُسَاوِيهِ فِي الْعُيُوبِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ.
Pendapat kedua: Pemilik berhak memaksa budaknya laki-laki menikah sebagaimana ia berhak memaksa budak perempuannya. Bagi yang berpendapat seperti pendapat pertama, hendaknya membedakan antara budak laki-laki dan budak perempuan, yaitu bahwa dalam menikahkan budak perempuan, pemilik memperoleh mahar dan nafkah, sedangkan dalam menikahkan budak laki-laki, pemilik justru menanggung mahar dan nafkah, sehingga keduanya berbeda. Jika diperbolehkan bagi pemilik untuk memaksa budak laki-lakinya menikah, maka tidak boleh baginya memaksanya menikahi perempuan yang memiliki salah satu cacat ini, karena jiwa akan merasa enggan terhadap mereka dan sulit untuk menikmati mereka. Namun, pemilik boleh menikahkan budak laki-lakinya dengan budak perempuan karena keduanya setara, dan dalam pernikahan budak laki-laki dengan budak perempuan tidak dipertimbangkan cacat yang bukan berasal darinya. Apakah ayah dan tuan, jika pada anak atau budaknya terdapat salah satu cacat ini, boleh menikahkannya dengan yang setara dalam cacat, sesuai dengan dua pendapat yang telah lalu.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رضي الله عنه: ” وَيُنْكِحُ أَمَةَ الْمَرْأَةِ وَلَيُّهَا بِإِذْنِهَا “.
Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Wali perempuan boleh menikahkan budak perempuannya dengan izinnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ لِلْمَرْأَةِ أَمَةٌ لَمْ يَكُنْ لَهَا تَزْوِيجُ أَمَتِهَا بِنَفْسِهَا حَتَّى يأذن لوَلِيُّهَا فِي تَزْوِيجِهَا؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ لَهَا تَزْوِيجُ نَفْسِهَا فَأَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ لَهَا تَزْوِيجُ أَمَتِهَا وَجَوَّزَهُ أَبُو حَنِيفَةَ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ لَهَا تَزْوِيجَ نَفْسِهَا فَجَازَ لَهَا أَنْ تُزَوِّجَ أَمَتَهَا، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا مِنْ أحد أمرين:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika seorang perempuan memiliki budak perempuan, maka ia tidak boleh menikahkan budak perempuannya sendiri kecuali setelah wali perempuan itu mengizinkan pernikahannya; karena jika ia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, maka lebih utama lagi ia tidak boleh menikahkan budak perempuannya. Abu Hanifah membolehkannya berdasarkan pendapat asalnya bahwa perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, sehingga ia juga boleh menikahkan budak perempuannya. Telah dijelaskan pembahasan bersama beliau. Jika demikian, maka keadaan mereka berdua tidak lepas dari dua kemungkinan:
إما أن تكون بالغة، أَوْ صَغِيرَةً فَإِنْ كَانَتْ أَعْنِي هَذِهِ السَّيِّدَةَ بالغة رَشِيدَةً لَمْ يَكُنْ لِأَحَدٍ مِنْ أَوْلِيَائِهَا تَزْوِيجُ أَمَتِهَا إِلَّا بِإِذْنِهَا وَسَوَاءً كَانَتِ السَّيِّدَةُ بِكْرًا، أَوْ ثَيِّبًا، وَسَوَاءً كَانَ الْوَلِيُّ أَبًا أَوْ عَصَبَةً مِمَّنْ يُجْبِرُهَا عَلَى النِّكَاحِ أَمْ لَا؟ لأن هذا تصرف فِي مَالِهَا وَهِيَ رَشِيدَةٌ لَا يَجُوزُ التَّصَرُّفُ فِي مَالِهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا، فَإِذَا أَذِنَتْ لِوَلِيِّهَا الَّذِي هُوَ أَحَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِنِكَاحِهَا فِي تَزْوِيجِ أَمَتِهَا جَازَ لَهُ تَزْوِيجُهَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلِيٌّ مُنَاسِبٌ زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ بِإِذْنِهَا وَلَا يُرَاعَى إِذْنُ الْأَمَةِ مَعَ إِذْنِ السَّيِّدَةِ، لِأَنَّ الأمة تخبر عَلَى النِّكَاحِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِئْذَانُهَا فِيهِ.
Yaitu apakah perempuan itu sudah baligh atau masih kecil. Jika perempuan (tuan) itu sudah baligh dan berakal, maka tidak seorang pun dari para walinya boleh menikahkan budak perempuannya kecuali dengan izinnya, baik perempuan itu masih perawan maupun janda, baik walinya adalah ayah atau kerabat laki-laki yang berhak memaksanya menikah atau tidak. Karena ini adalah tindakan terhadap hartanya, dan ia sudah berakal, maka tidak boleh bertindak atas hartanya tanpa izinnya. Jika ia telah mengizinkan walinya yang paling berhak menikahkannya untuk menikahkan budak perempuannya, maka wali itu boleh menikahkannya. Jika ia tidak memiliki wali yang sesuai, maka hakim menikahkan budak perempuannya dengan izinnya. Tidak dipertimbangkan izin budak perempuan jika sudah ada izin dari tuannya, karena budak perempuan dipaksa untuk menikah sehingga tidak wajib meminta izinnya dalam hal ini.
فَصْلٌ
Fasal
فإن كَانَتِ السَّيِّدَةُ صَغِيرَةً غَيْرَ بَالِغَةٍ: لَمْ يَكُنْ لِأَحَدٍ مِنْ أَوْلِيَائِهَا سِوَى الْأَبِ وَالْجَدِّ تَزْوِيجُ أَمَتِهَا، وَفِي جَوَازِهِ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ وَجْهَانِ:
Jika perempuan (tuan) itu masih kecil dan belum baligh, maka tidak seorang pun dari para walinya selain ayah dan kakek yang boleh menikahkan budak perempuannya. Dalam kebolehan ayah dan kakek menikahkan budak perempuannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وأبي سعيد الْإِصْطَخْرِيِّ – يَجُوزُ لَهُمَا تَزْوِيجُهَا كَمَا يُزَوِّجَانِ سَيِّدَتَهَا مع ما فيه من اكتساب المهر لها وَالنَّفَقَةِ.
Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu Sa‘id al-Istakhri: Boleh bagi keduanya menikahkan budak perempuan itu sebagaimana mereka menikahkan tuannya, dengan pertimbangan adanya perolehan mahar dan nafkah untuk tuannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُمَا تَزْوِيجُهَا حَتَّى تُبَلَّغَ السَّيِّدَةُ فَتَأْذَنُ؛ لِأَنَّ تَزْوِيجَ الْأَمَةِ مُفْضٍ إِلَى نُقْصَانِ ثَمَنِهَا، وَرُبَّمَا أَدَّى الْحَبَلُ إِلَى تَلَفِهَا، وَذَلِكَ ضَرَرٌ يُمْنَعُ مِنْهُ، وَهَلْ لِلْأَبِ إِذَا كَانَ لِابْنِهِ الصَّغِيرِ أَمَةٌ أَنْ يُزَوِّجَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ اعتباراً بما ذكرنا من تعليلهما.
Pendapat kedua: Tidak boleh bagi keduanya menikahkan budak perempuan itu sampai tuannya baligh dan mengizinkan; karena menikahkan budak perempuan dapat menyebabkan berkurangnya harga budak tersebut, dan kehamilan bisa menyebabkan kerusakan padanya, dan itu adalah mudarat yang harus dihindari. Apakah ayah boleh menikahkan budak perempuan milik anak laki-lakinya yang masih kecil atau tidak? Hal ini juga diperselisihkan menurut dua pendapat di atas, sesuai dengan alasan yang telah disebutkan.
فصل
Fasal
فأما إِذَا كَانَ لَهُمَا عَبْدٌ فَأَذِنَتْ لَهُ فِي التَّزْوِيجِ فَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ صَغِيرًا لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ الصَّغِيرَ يُمْنَعُ مِنْ مُبَاشَرَةِ الْعَقْدِ، وَفِي الْمُتَوَلِّي لِتَزْوِيجِهِ وَجْهَانِ:
Adapun jika mereka berdua memiliki budak laki-laki dan tuannya mengizinkan untuk menikah, maka jika budak laki-laki itu masih kecil, tidak boleh dinikahkan; karena anak kecil dilarang melakukan akad sendiri. Dalam hal siapa yang menikahkan budak laki-laki itu terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَلِيُّهَا فِي النِّكَاحِ كَالْأَمَةِ.
Salah satunya: walinya dalam pernikahan sebagaimana pada budak perempuan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مَنْ تَأْذَنُ لَهُ مِنَ النَّاسِ؛ لِأَنَّ وَلِيَّ النِّكَاحِ يُرَاعَى فِي الزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ، وَإِنْ كان العبد بَالِغًا فَالصَّحِيحُ أَنَّ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِإِذْنِهَا وَحْدَهَا كَالسَّيِّدِ، وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَ حَتَّى يَأْذَنَ لَهُ وَلَيُّهَا فَيَجُوزُ لَهُ بِاجْتِمَاعِ الْإِذْنَيْنِ أَنْ يَتَزَوَّجَ؛ لِأَنَّ إِذْنَ الْمَرْأَةِ فِي النِّكَاحِ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْعَبْدَ مَمْنُوعٌ مِنَ النِّكَاحِ بِحَقِّ الْمِلْكِ فَاسْتَوَى إِذْنُ المالك والمالكة كسائر الأموال.
Pendapat kedua: siapa yang boleh memberi izin dari kalangan manusia; karena wali nikah diperhatikan pada pihak istri, bukan pada pihak suami. Jika seorang budak laki-laki sudah baligh, maka pendapat yang sahih adalah ia boleh menikah dengan izin dari pemiliknya saja, sebagaimana halnya tuan. Namun, ada pendapat lain dari sebagian ulama kami yang menyatakan bahwa tidak boleh menikah hingga wali perempuan juga mengizinkan, sehingga jika kedua izin itu terkumpul, maka ia boleh menikah; sebab izin perempuan dalam pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya wali. Namun, ini adalah kekeliruan; karena budak terhalang menikah karena hak kepemilikan, sehingga izin pemilik laki-laki maupun perempuan sama saja seperti pada harta benda lainnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَأَمَةُ الْعَبْدِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ ممنوعةٌ مِنَ السَّيِّدِ حَتَى يَقْضِيَ دَيْنًا إِنْ كَانَ عَلَيْهِ وَيَحْدُثَ لَهُ حَجْرًا ثُمَّ هِيَ أَمَتُهُ ولو أَرَادَ السَّيِّدُ أَنْ يُزَوِّجَهَا دُونَ الْعَبْدِ أَوِ الْعَبْدُ دُونَ السَّيِّدِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لواحدٍ مِنْهُمَا “.
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Budak perempuan milik budak yang diizinkan berdagang, tetap menjadi milik tuannya hingga ia melunasi utangnya jika ada, dan hingga terjadi pembatasan (hajr) atasnya. Setelah itu, ia menjadi budak miliknya. Jika tuan ingin menikahkan budak perempuan itu tanpa melibatkan budak laki-laki, atau budak laki-laki menikahkannya tanpa tuan, maka tidak sah bagi salah satu dari keduanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ مَا فِي يَدِ الْعَبْدِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ كَالْمَرْهُونِ عَلَى مَا فِي ذِمَّتِهِ مِنْ دُيُونِ مُعَامَلَاتِهِ لِضَعْفِ ذِمَّتِهِ بِالرِّقِّ، فَصَارَ مَا فِي يَدِهِ مستحقاً في ديونه، ولم اشْتَرَى أَمَةً مِنْ مَالِ التِّجَارَةِ لَمْ يَكُنْ للعبد وطئها بِحَالٍ؛ لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُهَا، فَأَمَّا السَّيِّدُ إذا أراد وطئها فَإِنْ كَانَ عَلَى الْعَبْدِ دَيْنٌ مِنْ مُعَامَلَاتِهِ فَالسَّيِّدُ مَمْنُوعٌ مِنْ وَطْئِهَا لِتَعَلُّقِ دَيْنِهِ بِهَا كَمَا يُمْنَعُ مِنْ وَطْءِ الْمَرْهُونَةِ لِمَا يُفْضِي إليها وطئها مِنَ الْإِحْبَالِ الَّذِي رُبَّمَا أَدَّى إِلَى التَّلَفِ وكذلك يمنع من تزويجها لإفضائه إِلَى نُقْصَانِ ثَمَنِهَا، وَسَوَاءً كَانَ الدَّيْنُ الْبَاقِي مِنْ ثَمَنِهَا أَوْ مِنْ ثَمَنِ غَيْرِهَا إِلَّا أن يكون من قيمة متلف فتعلق بِرَقَبَتِهِ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِمَا فِي يَدِهِ فَإِنْ قَضَى الْعَبْدُ جَمِيعَ دُيُونِهِ أَوْ قَضَاهَا السَّيِّدُ عنه فهذا على ضربين:
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa harta yang ada di tangan budak yang diizinkan berdagang itu seperti barang yang digadaikan atas utang-utang transaksi yang menjadi tanggungannya, karena lemahnya tanggungan budak akibat status perbudakan. Maka, harta yang ada di tangannya menjadi hak atas utang-utangnya. Jika ia membeli budak perempuan dari harta dagangannya, maka budak laki-laki tidak boleh menyetubuhinya dalam keadaan apa pun; sebab budak laki-laki tidak memilikinya. Adapun jika tuan ingin menyetubuhinya, maka jika budak laki-laki masih memiliki utang dari transaksi, tuan dilarang menyetubuhinya karena utang itu terkait dengan budak perempuan tersebut, sebagaimana tuan dilarang menyetubuhi barang gadai karena persetubuhan dapat menyebabkan kehamilan yang mungkin berujung pada kerusakan. Demikian pula, tuan dilarang menikahkannya karena hal itu dapat mengurangi harga budak perempuan tersebut, baik utang yang tersisa berasal dari harga budak perempuan itu sendiri maupun dari harga selainnya, kecuali jika berasal dari nilai barang yang rusak, maka utang itu terkait dengan dirinya (budak laki-laki) dan tidak terkait dengan harta yang di tangannya. Jika budak laki-laki melunasi seluruh utangnya atau tuan melunasinya untuknya, maka ada dua keadaan:
أحدهما: أن العبد السيد أن يعبد الْحَجْرَ عَلَيْهِ، وَيَمْنَعَهُ مِنَ التِّجَارَةِ فَيَجُوزُ لِلسَّيِّدِ حينئذٍ أَنْ يَطَأَ الْأَمَةَ الَّتِي اشْتَرَاهَا الْعَبْدُ، وَأَنْ يُزَوِّجَهَا إِنْ شَاءَ، وَلَيْسَ لِلْعَبْدِ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ، وَهَلْ يَجُوزُ لَهُ تَزْوِيجُهَا بِإِذْنِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pertama: Tuan membatasi (hajr) budak laki-laki dan melarangnya berdagang, maka pada saat itu tuan boleh menyetubuhi budak perempuan yang dibeli oleh budak laki-laki, dan boleh menikahkannya jika ia mau. Namun, budak laki-laki tidak boleh menikahkannya tanpa izin tuan. Apakah boleh baginya menikahkan budak perempuan itu dengan izin tuan atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الرِّقَّ يَمْنَعُ مِنْ وِلَايَةِ النِّكَاحِ.
Pertama: Tidak boleh; karena status perbudakan menghalangi kewenangan dalam perwalian nikah.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الرِّقَّ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِحْقَاقِ الْوِلَايَةِ بِنَفْسِهِ وَلَا يَمْنَعُ مِنَ النِّيَابَةِ عَنْ غَيْرِهِ كَسَائِرِ الْعُقُودِ.
Kedua: Boleh; karena status perbudakan hanya menghalangi hak perwalian secara mandiri, namun tidak menghalangi menjadi wakil dari orang lain, sebagaimana dalam akad-akad lainnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُعِيدَ الْحَجْرَ عَلَيْهِ بَعْدَ قَضَاءِ دَيْنِهِ ففي تزويج وَطْءِ السَّيِّدِ لَهَا وَتَزْوِيجِهِ إِيَّاهَا وَجْهَانِ:
Keadaan kedua: Jika tuan tidak kembali membatasi (hajr) budak laki-laki setelah utangnya lunas, maka dalam hal penyetubuhan tuan terhadap budak perempuan itu dan pernikahan yang dilakukan budak laki-laki terhadapnya, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ الْأَصَحُّ يَجُوزُ لَهُ لِزَوَالِ مَا تَعَلَّقَ بِهَا مِنْ حَقٍّ.
Pertama—dan ini yang paling sahih—boleh bagi tuan, karena telah hilang segala hak yang terkait dengannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ لِأَنَّهُ لَا يَؤمَنُ أَنْ يَغْتَرَّ النَّاسُ بِالْإِذْنِ الْمُتَقَدِّمِ فَيُعَامِلُونَهُ عَلَى مَا فِي يَدِهِ حَتَّى يتعلق الحجر ويظهر الرجوع.
Pendapat kedua: Tidak boleh, dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah; karena dikhawatirkan orang-orang tertipu dengan izin sebelumnya, lalu mereka bertransaksi dengan budak laki-laki atas harta yang di tangannya hingga terjadi pembatasan (hajr) dan tampak penarikan kembali izin tersebut.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا وِلَايَةَ لِلْعَبْدِ بحالًٍ وَلَوِ اجْتَمَعَا عَلَى تزويجها لم يجز “.
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Budak laki-laki tidak memiliki kewenangan perwalian dalam keadaan apa pun, dan jika keduanya (tuan dan budak) sepakat untuk menikahkannya, maka tidak sah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. لَا يَمْلِكُ الْعَبْدُ ولاية النكاح على أحد من مناسبيه لِنَقْصِهِ بِالرِّقِّ. فَإِنَّهُ لَا يَمْلِكُ وِلَايَةَ نَفْسِهِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَمْلِكَ الْوِلَايَةَ عَلَى غَيْرِهِ، وَكَذَلِكَ الْمُدْبِرُ، وَالْمُكَاتِبُ، وَمَنْ فِيهِ جُزْءٌ مِنَ الرِّقِّ وَإِنْ قَلَّ؛ لِأَنَّ أَحْكَامَ الرِّقِّ عليهم جارية وتنتقل الولاية عنه إِلَى مَنْ هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُمْ نَسَبًا مِنَ الْأَحْرَارِ، وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ وَمَنْ ذكرنا وَكِيلًا نَائِبًا فِي عَقْدِ النِّكَاحِ أَمْ لَا؟ وعلى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Seorang budak tidak memiliki kewenangan (wilāyah) perwalian nikah atas siapa pun dari kerabatnya karena kekurangannya akibat status perbudakan. Sebab ia tidak memiliki kewenangan atas dirinya sendiri, maka lebih utama lagi ia tidak memiliki kewenangan atas orang lain. Demikian pula halnya dengan mudabbar, mukatab, dan siapa saja yang masih terdapat bagian perbudakan pada dirinya, meskipun sedikit; karena hukum-hukum perbudakan masih berlaku atas mereka dan kewenangan perwalian berpindah dari mereka kepada kerabat yang lebih jauh dari kalangan orang merdeka. Adapun apakah boleh budak dan orang-orang yang telah disebutkan menjadi wakil (wakīl) atau pengganti dalam akad nikah atau tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا نائباً على الولي في البذل ومن الزَّوْجِ فِي الْقَبُولِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي الطِّيبِ بن سلمة.
Pertama: Boleh menjadi wakil sebagai pengganti wali dalam hal penyerahan (bādzl) dan dari pihak suami dalam hal penerimaan (qabūl), dan ini adalah pendapat Abu Thayyib bin Salamah.
والوجه الثاني: لَا يَجُوزُ أَنْ يَنُوبَ فِيهِ عَنِ الْوَلِيِّ الْبَذْلِ وَلَا عَنِ الزَّوْجِ فِي الْقَبُولِ، وَقَدْ مَضَى تَعْلِيلُ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ.
Pendapat kedua: Tidak boleh mewakili wali dalam penyerahan maupun mewakili suami dalam penerimaan, dan penjelasan alasan kedua pendapat ini telah disebutkan sebelumnya.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنُوبَ فِيهِ عَنِ الْوَلِيِّ في البذل، ويجوز أن ينوب فيه عَنِ الزَّوْجِ فِي الْقَبُولِ؛ لِأَنَّ النِّيَابَةَ مِنْ قِبَلِ الزَّوْجَةِ وِلَايَةٌ وَمِنْ قِبَلِ الزَّوْجِ وَكَالَةٌ، وَالْعَبْدُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَلِيًّا وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: ” وَلَوِ اجتمعا على تزوجها لَمْ يَجُزْ ” فَيَعْنِي أَنَّ السَّيِّدَ وَالْعَبْدَ لَوِ اجْتَمَعَا عَلَى تَزْوِيجِ الْأَمَةِ الَّتِي اشْتَرَاهَا الْعَبْدُ قَبْلَ قَضَاءِ دَيْنِهِ لَمْ يَجُزْ وَلَيْسَ لِاجْتِمَاعِ الْعَبْدِ مَعَ سَيِّدِهِ قُوَّةٌ يَسْتَحِقُّ بِهَا السَّيِّدُ تزويج الأمة ما لا يستحقه بانفراده.
Pendapat ketiga: Tidak boleh mewakili wali dalam penyerahan, namun boleh mewakili suami dalam penerimaan; karena perwakilan dari pihak istri adalah kewenangan (wilāyah), sedangkan dari pihak suami adalah perwakilan (wakālah). Budak tidak boleh menjadi wali, tetapi boleh menjadi wakil. Adapun pendapat asy-Syafi‘i: “Jika keduanya (tuan dan budak) sepakat untuk menikahkan budak perempuan, maka tidak sah,” maksudnya adalah jika tuan dan budak sepakat untuk menikahkan budak perempuan yang dibeli oleh budak sebelum ia melunasi hutangnya, maka tidak sah. Tidak ada kekuatan dalam kebersamaan antara budak dan tuannya yang membuat tuan berhak menikahkan budak perempuan dengan sesuatu yang tidak berhak ia lakukan sendirian.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” في باب الخيار من قبل النسب لو انتسب العبد لها أنه حر فَنَكَحَتْهُ وَقَدْ أَذِنَ لَهُ سَيِّدُهُ ثُمَّ عَلِمَتْ أنه عبدٌ أو انتسب إِلَى نسبٍ وُجِدَ دُونَهُ وَهِيَ فَوْقَهُ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا أَنَّ لَهَا الْخِيَارَ لِأَنَّهُ منكوحٌ بِعَيْنِهِ وَغَرَّرَ بشيءٍ وُجِدَ دُونَهُ. وَالثَّانِي: أَنَّ النِّكَاحَ مفسوخٌ كَمَا لَوْ أَذِنَتْ فِي رجلٍ بعينه فزوجت غيره (قال المزني) رحمه الله قد قطع أنه لو وجد دون ما انتسب إليه وهو كفؤٌ لم يكن لها ولا لوليها الخيار وفي ذلك إبطال أن يكون في معنى من أذنت له في رجلٍ بعينه فزوجت غيره فقد بطل الفسخ في قياس قوله وثبت لها الخيار “.
Asy-Syafi‘i ra. berkata: “Dalam bab khiyār (hak memilih) karena nasab, jika seorang budak mengaku kepada seorang wanita bahwa ia adalah orang merdeka, lalu wanita itu menikahinya dengan izin tuannya, kemudian diketahui bahwa ia adalah budak, atau ia mengaku memiliki nasab tertentu namun ternyata nasabnya lebih rendah sedangkan wanita itu lebih tinggi, maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, wanita tersebut memiliki hak khiyār karena ia menikah dengan orang yang sebenarnya dan telah tertipu dengan sesuatu yang ternyata lebih rendah. Kedua, nikahnya batal, sebagaimana jika ia mengizinkan menikah dengan seorang laki-laki tertentu namun ternyata dinikahkan dengan orang lain.” (Al-Muzani rahimahullah berkata: Telah dipastikan bahwa jika ditemukan nasabnya lebih rendah dari yang diakuinya namun ia tetap sekufu’, maka tidak ada hak khiyār bagi wanita maupun walinya. Dengan demikian, batal makna bahwa kasus ini seperti wanita yang mengizinkan menikah dengan laki-laki tertentu namun dinikahkan dengan orang lain, sehingga pembatalan nikah tidak berlaku menurut qiyās pendapat asy-Syafi‘i, dan yang tetap adalah hak khiyār bagi wanita tersebut.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي امْرَأَةٍ تَزَوَّجَتْ رَجَلًا على أنه حر فكان عبداً فإن نكاح بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ، وَإِنْ نَكَحَ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ نُظِرَ فِي الشَّرْطِ، فَإِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِالْعَقْدِ وَتَقَدَّمَ عَلَيْهِ أَوْ تَأَخَّرَ عَنْهُ فَالنِّكَاحُ جَائِزٌ، وَإِنِ اقْتَرَنَ بِالْعَقْدِ فَفِي بُطْلَانِ النِّكَاحِ قَوْلَانِ: وَهَكَذَا لَوْ تَزَوَّجَتْ عَلَى أَنَّهُ ذُو نَسَبٍ شَرِيفٍ كَهَاشِمِيٍّ، أَوْ قُرَشِيٍّ فَكَانَ غير ذي نسب أعجمياً أَوْ نَبَطِيًّا وَكَانَ الشَّرْطُ مُتَقَارِبًا لِلْعَقْدِ فَفِي النكاح قولان وهكذا لو تزوجه عَلَى أَنَّهُ شَابٌّ فَكَانَ شَيْخًا أَوْ عَلَى أَنَّهُ طَوِيلٌ فَكَانَ قَصِيرًا، أَوْ عَلَى أَنَّهُ جَمِيلٌ فَكَانَ قَبِيحًا، أَوْ عَلَى أَنَّهُ أَبْيَضُ فَكَانَ أَسْوَدَ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ غَنِيٌّ فَكَانَ فَقِيرًا، فَفِي النِّكَاحِ قَوْلَانِ، وَهَكَذَا لَوْ نَكَحَهَا عَلَى شَرْطٍ أَدْنَى فَكَانَ أَعْلَى، مِثْلُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهُ عَبَدٌ فَكَانَ حُرًّا أو على قبطي فَكَانَ عَرَبِيًّا، أَوْ عَلَى أَنَّهُ شَيْخٌ فَكَانَ شَابًّا، أَوْ عَلَى أَنَّهُ قَصِيرٌ فَكَانَ طَوِيلًا، أَوْ عَلَى أَنَّهُ قَبِيحٌ فَكَانَ جَمِيلًا، أَوْ عَلَى ضِدِّ مَا ذَكَرْنَا؛ فَفِي النِّكَاحِ قَوْلَانِ، وَحُكْمُ الشَّرْطِ إِذَا وُجِدَ زَائِدًا عَلَيْهِ كَحُكْمِهِ إِذَا وُجِدَ نَاقِصًا عَنْهُ، وَسَوَاءً كَانَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الْحُرِّيَّةِ أَوْ فِي النَّسَبِ أَوْ فِي الصفة أو في عَقْدِ النِّكَاحِ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki dengan anggapan bahwa ia merdeka, ternyata ia adalah budak. Jika pernikahan dilakukan tanpa izin tuannya, maka nikahnya batal. Jika menikah dengan izin tuannya, maka dilihat syaratnya: jika syarat tersebut tidak bersamaan dengan akad, baik mendahului maupun setelahnya, maka nikahnya sah. Namun jika syarat tersebut bersamaan dengan akad, maka dalam batalnya nikah ada dua pendapat. Demikian pula jika menikah dengan anggapan bahwa ia memiliki nasab mulia seperti Hasyimi atau Quraisy, ternyata ia bukan dari nasab tersebut, misalnya orang ‘ajam atau Nabathi, dan syarat tersebut berdekatan dengan akad, maka dalam nikahnya ada dua pendapat. Demikian pula jika menikah dengan anggapan ia masih muda ternyata sudah tua, atau dengan anggapan tinggi ternyata pendek, atau dengan anggapan tampan ternyata buruk rupa, atau dengan anggapan berkulit putih ternyata hitam, atau dengan anggapan kaya ternyata miskin, maka dalam nikahnya ada dua pendapat. Demikian pula jika menikah dengan syarat yang lebih rendah ternyata lebih tinggi, seperti menikah dengan anggapan ia budak ternyata merdeka, atau dengan anggapan ia Koptik ternyata Arab, atau dengan anggapan ia tua ternyata muda, atau dengan anggapan ia pendek ternyata tinggi, atau dengan anggapan ia buruk rupa ternyata tampan, atau sebaliknya dari yang telah disebutkan; maka dalam nikahnya ada dua pendapat. Hukum syarat jika ditemukan lebih dari yang disyaratkan sama dengan jika kurang dari yang disyaratkan. Baik perbedaan itu dalam hal kemerdekaan, nasab, sifat, atau dalam akad nikah, dalam semua keadaan ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ لِأَمْرَيْنِ:
Pertama: Nikahnya batal karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الصِّفَةَ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ تَجْرِي مَجْرَى الْعَيْنِ فِي عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ لِجَوَازِ الِاقْتِصَارِ عَلَيْهَا وَإِنْ لَمْ يُشَاهِدِ الْعَيْنَ، وَأنَّهُ لَا يَجُوزُ فِي عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ الِاقْتِصَارُ عَلَى صِفَةِ الْعَيْنِ حتى تشاهد تِلْكَ الْعَيْنُ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ خِلَافُ الصِّفَةِ فِي النِّكَاحِ، جارٍ فِي إِبْطَالِ النِّكَاحِ مَجْرَى خِلَافِ الْعَيْنِ فِي الْبَيْعِ فِي إِبْطَالِ الْبَيْعِ.
Pertama: Bahwa sifat (kriteria) dalam akad nikah diperlakukan seperti objek (‘ain) dalam akad-akad mu‘āwaḍah (pertukaran), karena bolehnya mencukupkan diri dengan sifat tersebut meskipun tidak melihat objeknya. Dan tidak boleh dalam akad-akad mu‘āwaḍah hanya mencukupkan pada sifat objek sampai objek itu sendiri disaksikan, sehingga perbedaan sifat dalam nikah mengharuskan perbedaan itu berlaku dalam pembatalan nikah sebagaimana perbedaan objek dalam jual beli berlaku dalam pembatalan jual beli.
وَالثَّانِي: أَنَّ إِذْنَ الْمَرْأَةَ فِي نِكَاحِهِ عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ فَتَكُونُ بِخِلَافِهَا فَجَرَى مَجْرَى إِذْنِهَا لوليها أن يزوجها من هو على هذه الصفة فيزوجها من هو على خلافها، ولو كان هكذا لكان النكاح باطلاً فكذلك في مسألتنا.
Kedua: Bahwa izin perempuan dalam menikahkannya berdasarkan sifat ini, lalu ternyata berbeda, maka hal itu seperti izinnya kepada walinya untuk menikahkannya dengan seseorang yang memiliki sifat tersebut, namun ternyata dinikahkan dengan orang yang berbeda sifatnya. Jika demikian, maka nikahnya batal, demikian pula dalam permasalahan kita.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَاخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ – أَنَّ النِّكَاحَ صَحِيحٌ، وَوَجْهُهُ شَيْئَانِ:
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Ḥanīfah dan pilihan al-Muzanī: bahwa nikahnya sah, dan alasannya ada dua:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا صِفَاتٌ لَا يَفْتَقِرُ صِحَّةُ النِّكَاحِ إِلَى ذِكْرِهَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَبْطُلَ النِّكَاحُ بِخِلَافِهَا كَالصَّدَاقِ إِذَا وُصِفَ فَكَانَ بِخِلَافِ صِفَتِهِ.
Pertama: Bahwa sifat-sifat tersebut tidak menjadi syarat sahnya nikah untuk disebutkan, sehingga tidak membatalkan nikah jika ternyata berbeda, sebagaimana mahar jika disebutkan sifatnya lalu ternyata berbeda sifatnya.
وَالثَّانِي: أنه منكوح بعينه وعزر بِشَيْءٍ وُجِدَ دُونَهُ فَصَارَ ذَلِكَ مِنْهُ تَدْلِيسًا يُنْقِصُ، وَتَدْلِيسُ الْعُيُوبِ فِي الْعُقُودِ يُوجِبُ الْخِيَارَ وَلَا يُوجِبُ الْفَسْخَ كَالْعُيُوبِ فِي الْبَيْعِ كَذَلِكَ النِّكَاحُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Kedua: Bahwa ia adalah orang yang dinikahi secara ‘ain (spesifik), lalu terdapat kekurangan dari sifat yang dijanjikan, maka hal itu merupakan bentuk tadlīs (penipuan) yang mengurangi (nilai), dan tadlīs ‘aib (cacat) dalam akad-akad memberikan hak khiyār (pilihan), tidak menyebabkan pembatalan, sebagaimana cacat dalam jual beli, demikian pula dalam nikah. Wallāhu a‘lam.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ قُلْنَا بالأول فإن النِّكَاحَ بَاطِلٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنِ الزَّوْجُ قَدْ دَخَلَ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كان قَدْ دَخَلَ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا لِمَكَانِ الشُّبْهَةِ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَالْوَلَدُ لا حق بِهِ وَإِنْ قُلْنَا بِالْقَوْلِ الثَّانِي: إِنِ النِّكَاحَ جائز فكان قد شَرَطَتْهُ حُرًّا فَكَانَ عَبْدًا فَلَهَا الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهِ سَوَاءً كَانَتْ حُرَّةً أَوْ أَمَةً لِنَقْصِهِ فِي النِّكَاحِ عَنْ أَحْكَامِ الْحُرِّ، لِأَنَّ اسْتِمْتَاعَهَا بِهِ غَيْرُ تَامٍّ لِخِدْمَةِ سَيِّدِهِ، وَنَفَقَتَهُ نفقة معتبر لأجل رقه، فإن أقامت عَلَى نِكَاحِهِ فَلَهَا الْمُسَمَّى، وَإِنْ فَسَخَتْ وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا مَهْرَ لَهَا وَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَعَلَيْهِ مَهْرُ الْمِثْلِ بِالْإِصَابَةِ دُونَ الْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ فَهَذَا حُكْمُ غُرُورِهِ لَهَا بِالْحُرِّيَّةِ، فَأَمَّا إِذَا غَرَّهَا بِالنَّسَبِ فَشَرَطَ لَهَا أَنَّهُ شريف النسب هاشمي، وقرشي فَبَانَ أَنَّهُ أَعْجَمِيٌّ أَوْ نَبَطِيٌّ نُظِرَ فِي نسبهما فَإِنْ كَانَتْ شَرِيفَةً مِثْلَ النَّسَبِ الَّذِي شَرَطَتْهُ فَلَهَا الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهِ، ثُمَّ الْكَلَامُ فِي الْمَهْرِ إِنْ أَقَامَتْ أَوْ فَسَخَتْ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ كَانَ دُونَ النَّسَبِ الَّذِي شَرَطَتْهُ وَمِثْلَ النَّسَبِ الَّذِي هِيَ عَلَيْهِ أَوْ دُونَهُ فَهَلْ لَهَا الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Setelah penjelasan argumentasi kedua pendapat, jika kita mengambil pendapat pertama maka nikahnya batal. Jika suami belum berhubungan dengannya, maka keduanya dipisahkan dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Jika sudah berhubungan, maka keduanya dipisahkan dan ia wajib membayar mahar mitsil karena adanya syubhat, tidak ada hukuman (ḥadd) atasnya, dan anak tetap dinasabkan kepadanya. Jika kita mengambil pendapat kedua, bahwa nikahnya sah, maka jika ia mensyaratkan suaminya merdeka, ternyata ia adalah budak, maka perempuan itu berhak memilih untuk membatalkan nikahnya, baik ia sendiri merdeka maupun budak, karena kekurangan dalam nikah dari hukum-hukum orang merdeka, sebab kenikmatannya tidak sempurna karena harus melayani tuannya, dan nafkahnya pun sesuai dengan status perbudakannya. Jika ia tetap melanjutkan nikahnya, maka ia berhak atas mahar yang telah ditentukan. Jika ia membatalkan dan belum digauli, maka tidak ada mahar baginya. Jika sudah digauli, maka ia berhak atas mahar mitsil karena telah terjadi hubungan, bukan mahar yang disebutkan dalam akad. Inilah hukum penipuan terhadapnya dalam hal kemerdekaan. Adapun jika ia ditipu dalam hal nasab, misalnya disyaratkan bahwa suaminya adalah orang yang mulia nasabnya, Hāsyimī atau Quraisy, ternyata ia adalah ‘ajamī (non-Arab) atau Nabathī, maka dilihat nasab keduanya. Jika perempuan itu mulia nasabnya seperti yang ia syaratkan, maka ia berhak memilih untuk membatalkan nikahnya, kemudian pembahasan tentang mahar jika ia tetap atau membatalkan mengikuti penjelasan sebelumnya. Jika nasab suaminya di bawah yang disyaratkan, dan sama dengan nasab perempuan itu atau di bawahnya, maka apakah ia berhak memilih membatalkan nikah atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهَا الْخِيَارُ لمكان الشرط وأن لها عوضاً في كون ولدها إذا نسب شريفاً.
Pertama: Ia berhak memilih karena adanya syarat, dan karena ia mendapatkan kompensasi jika anaknya dinasabkan sebagai orang mulia.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهَا؛ لِأَنَّ خِيَارَهَا يَثْبُتُ بِدُخُولِ النَّقْصِ عَلَيْهَا، وَهَذَا كُفْءٌ فِي النَّسَبِ فَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهَا بِهِ نَقْصٌ فَلَمْ يَثْبُتْ لَهَا فِيهِ خِيَارٌ.
Pendapat kedua: Ia tidak berhak memilih, karena hak pilih itu berlaku jika ada kekurangan yang menimpa dirinya, sedangkan suaminya sekufu dalam nasab, sehingga tidak ada kekurangan yang menimpanya, maka tidak ada hak pilih baginya.
فَأَمَّا إِذَا غَرَّهَا بما سوى ذلك من الشروط نظر، فإذا بان أنه على مِمَّا شَرَطَ فَلَا خِيَارَ لَهَا، لِأَنَّ الْخِيَارَ إِنَّمَا يُسْتَحَقُّ بِالنُّقْصَانِ دُونَ الزِّيَادَةِ، وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ أَنْقَصَ مِمَّا شَرَطَ فَفِي خِيَارِهَا وَجْهَانِ:
Adapun jika ia ditipu dalam hal selain itu dari syarat-syarat lainnya, maka dilihat: jika ternyata sesuai dengan syarat, maka tidak ada hak pilih baginya, karena hak pilih hanya berhak didapatkan karena kekurangan, bukan karena kelebihan. Jika ternyata lebih rendah dari yang disyaratkan, maka dalam hak pilihnya ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهَا الْخِيَارُ لِأَجْلِ الشَّرْطِ.
Pertama: Ia berhak memilih karena adanya syarat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لا خيار؛ لِأَنَّ النُّقْصَانَ لَا يَمْنَعُ مِنْ مَقْصُودِ الْعَقْدِ.
Pendapat kedua: Tidak ada hak pilih, karena kekurangan itu tidak menghalangi tujuan akad.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ مَنْ شَرَطَ هَذَا ” فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِهِ فَقَالَ: ” مَنْ أسقط خيارها ” معناه أنها ظلمت نفسها باشراط مَا لَمْ يَثْبُتْ لَهَا فِيهِ خِيَارٌ، وَقَدْ كانت تستغني بالمشاهدة على اشْتِرَاطِهِ وَقَالَ: ” مَنْ أَثْبَتَ خِيَارَهَا ” إنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الشُّرُوطِ النَّاقِصَةِ، وَإنَّهَا ظَلَمَتْ نَفْسَهَا بِمَا شَرَطَتْهُ مِنْ نُقْصَانِ أَحْوَالِهِ وَأَوْصَافِهِ.
Imam Syafi‘i berkata: “Sungguh telah menzalimi dirinya sendiri orang yang mensyaratkan hal ini.” Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkan ucapannya. Ada yang berkata: “Barang siapa yang menggugurkan hak khiyar-nya,” maksudnya adalah bahwa ia telah menzalimi dirinya sendiri dengan mensyaratkan sesuatu yang tidak tetap menjadi hak pilih baginya, padahal ia bisa mencukupkan diri dengan melihat (calon suami) tanpa mensyaratkan hal tersebut. Dan ada yang berkata: “Barang siapa yang menetapkan hak khiyar-nya,” maksudnya adalah bahwa ucapan tersebut berlaku pada syarat-syarat yang kurang, dan bahwa ia telah menzalimi dirinya sendiri dengan mensyaratkan kekurangan pada keadaan dan sifat-sifatnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا نَكَحَتْ نِكَاحًا مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ لَكِنِ اعْتَقَدَتْ فِيهِ كَمَالَ الْأَحْوَالِ فَبَانَ بِخِلَافِهَا مِنْ نُقْصَانِ الْأَحْوَالِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun jika ia menikah dengan akad nikah secara mutlak tanpa syarat, namun ia meyakini kesempurnaan keadaan (calon suami), lalu ternyata bertolak belakang dengan kenyataan berupa kekurangan keadaan, maka hal ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أن يكون نقصان أحواله غير كفء لها كأنها حُرَّةٌ وَهُوَ عَبْدٌ، أَوْ هَاشِمِيَّةٌ وَهُوَ نَبَطِيٌّ، أَوْ غَنِيَّةٌ وَهُوَ فَقِيرٌ فَلَهَا الْخِيَارُ؛ لِأَنَّ نكاح غير الكفء لا يلزم إلا بالمعلم وَالرِّضَا.
Pertama: Kekurangan keadaan tersebut menjadikannya tidak sekufu (sepadan) dengannya, seperti ia seorang wanita merdeka sementara suaminya seorang budak, atau ia seorang wanita dari Bani Hasyim sementara suaminya seorang Nabathi, atau ia seorang wanita kaya sementara suaminya miskin, maka ia berhak memilih (khiyar); karena pernikahan dengan yang tidak sekufu tidak menjadi wajib kecuali dengan pengetahuan dan kerelaan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَعَ نُقْصَانِ أحواله كفؤاً لَهَا فَلَا خِيَارَ لَهَا فِي غَيْرِ الرِّقِّ، وَهَلْ لَهَا الْخِيَارُ فِي رِقِّهِ إِذَا وَجَدَتْهُ عَبْدًا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Kedua: Kekurangan keadaan tersebut tetap menjadikannya sekufu dengannya, maka ia tidak memiliki hak khiyar kecuali dalam masalah perbudakan. Apakah ia berhak khiyar jika ternyata suaminya seorang budak atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لها؛ لأن كونه كفؤاً لها يمنع مِنْ دُخُولِ النَّقْصِ وَالْعَارِ عَلَيْهَا.
Pertama: Ia tidak berhak khiyar; karena kesekufuan suaminya mencegah masuknya kekurangan dan aib kepadanya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لها؛ لأن نقص الرق مؤتمر في حقوق النكاح بما لِسَيِّدِهِ مِنْ مَنْعِهِ مِنْهَا بِخِدْمَتِهِ وَإِخْرَاجِهِ فِي سفره وأنه لا يلزم لَهَا إِلَّا نَفَقَةُ مُعْسِرٍ فَاقْتَضَى أَنْ يَثْبُتَ لَهَا الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua: Ia berhak khiyar; karena kekurangan akibat status budak berpengaruh pada hak-hak pernikahan, seperti tuannya dapat melarangnya dari istrinya karena harus melayani tuannya, atau membawanya bepergian, dan bahwa ia hanya wajib memberikan nafkah seperti orang yang tidak mampu. Maka hal ini menuntut agar ia berhak khiyar untuk membatalkan pernikahan, dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ كَانَتْ هِيَ الَّتِي غَرَّتْهُ بنسبٍ فَوَجَدَهَا دونه ففيها قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا إِنْ شَاءَ فَسَخَ بِلَا مَهْرٍ وَلَا متعةٍ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْإِصَابَةِ فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَلَا نَفَقَةَ لَهَا فِي الْعِدَّةِ وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا. وَالثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهُ إِنْ كَانَتْ حُرَّةً لِأَنَّ بِيَدِهِ طَلَاقَهَا وَلَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْعَارِ مَا يَلْزَمُهَا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رحمه الله قد جعل له الخيار إذا غرته فوجدها أمةً كما جعل لها الخيار إذا غرها فوجدته عبداً فجعل معناهما في الخيار بالغرور واحداً ولم يلتفت إلى أن الطلاق إليه ولا إلى أن لا عار فيها عليه وكما جعل لها الخيار بالغرور في نقص النسب عنها وجعله لها في العبد فقياسه أن يجعل له الخيار بالغرور في نقص النسب عنه كما جعله له في الأمة “.
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika justru pihak perempuan yang menipunya dalam hal nasab, lalu ternyata ia lebih rendah, maka ada dua pendapat: Pertama, jika ia mau, ia boleh membatalkan pernikahan tanpa mahar dan tanpa mut‘ah, dan jika pembatalan terjadi setelah hubungan suami istri, maka ia berhak mendapatkan mahar mitsil (sepadan) dan tidak ada nafkah baginya selama masa iddah, meskipun ia sedang hamil. Kedua, ia tidak berhak khiyar jika perempuan itu merdeka, karena talak ada di tangannya, dan aib yang menimpa perempuan tidak sama dengan yang menimpa laki-laki.” (Imam Muzani rahimahullah berkata:) “Beliau telah memberikan hak khiyar kepada laki-laki jika ia tertipu dan ternyata istrinya seorang budak, sebagaimana ia memberikan hak khiyar kepada perempuan jika ia tertipu dan ternyata suaminya seorang budak. Maka makna keduanya dalam hak khiyar karena penipuan adalah sama, dan beliau tidak memperhatikan bahwa talak ada di tangan laki-laki atau bahwa tidak ada aib pada perempuan terhadap laki-laki. Sebagaimana beliau memberikan hak khiyar kepada perempuan karena penipuan dalam kekurangan nasab, dan memberikannya dalam kasus suami budak, maka secara qiyās, beliau juga memberikan hak khiyar kepada laki-laki karena penipuan dalam kekurangan nasab, sebagaimana beliau memberikannya dalam kasus istri budak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى غَرُورُ الزَّوْجِ لِلْمَرْأَةِ فَأَمَّا غَرُورُ الْمَرْأَةِ لِلزَّوْجِ فَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى شَرْطٍ فَيَكُونُ بِخِلَافِهِ فَيَنْقَسِمُ الشَّرْطُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan tentang penipuan suami terhadap istri. Adapun penipuan istri terhadap suami adalah ketika ia menikah dengan syarat tertentu, lalu ternyata tidak sesuai dengan syarat tersebut. Maka syarat itu terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ فِي الْحُرِّيَّةِ.
Pertama: Syarat dalam hal kemerdekaan.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي النَّسَبِ.
Kedua: Syarat dalam hal nasab.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ فِي الصِّفَةِ.
Ketiga: Syarat dalam hal sifat.
فَأَمَّا الشَّرْطُ فِي الْحُرِّيَّةِ فَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا حُرَّةٌ فَتَكُونُ أَمَةً، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun syarat dalam hal kemerdekaan adalah ketika ia menikahinya dengan anggapan bahwa ia seorang wanita merdeka, ternyata ia adalah seorang budak. Maka hal ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ ممن لَا يَحِلُّ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ بِأَنْ يَكُونَ وجداً لِلطَّوْلِ أَوْ غَيْرَ خَائِفٍ لَلَعَنَتِ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ؛ لأنه نِكَاحُ الْحُرِّ لِلْأَمَةِ لَا يَجُوزُ إِلَّا بِشَرْطَيْنِ عَدَمِ الطَّوْلِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.
Pertama: Suami termasuk orang yang tidak halal menikahi budak, yaitu ia mampu secara materi atau tidak khawatir terjerumus dalam maksiat, maka pernikahan tersebut batal; karena pernikahan laki-laki merdeka dengan budak tidak boleh kecuali dengan dua syarat: tidak mampu secara materi dan khawatir terjerumus dalam maksiat.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يكون الزوج ممن لا يَجُوزُ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ لِوُجُودِ الشَّرْطَيْنِ فِيهِ مِنْ عَدَمِ الطَّوْلِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ فَلَهَا حَالَتَانِ:
Kedua: Suami termasuk orang yang boleh menikahi budak karena terpenuhi dua syarat, yaitu tidak mampu secara materi dan khawatir terjerumus dalam maksiat, maka ada dua keadaan:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَكُونَ قَدْ نَكَحَتْهُ بِغَيْرِ إِذَنْ سيدها فالنكاح باطل.
Pertama: Ia menikahinya tanpa izin tuannya, maka pernikahan tersebut batal.
والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ تَنْكِحَهُ بِإِذْنِ سَيِّدِهَا، فَلِلشَّرْطِ حَالَتَانِ:
Kedua: Ia menikahinya dengan izin tuannya, maka syarat tersebut ada dua keadaan:
إحداهما: أن يكون مقارناً للعقد.
Pertama: Syarat tersebut bersamaan dengan akad.
والثاني: غَيْرَ مُقَارَنٍ.
Kedua: Tidak bersamaan dengan akad.
فَإِنْ لَمْ يُقَارِنِ الْعَقْدَ بَلْ تقدمه أم تَأَخَّرَ عَنْهُ فَلَا تَأْثِيرَ لَهُ وَالنِّكَاحُ جَائِزٌ، وَإِنِ اقْتَرَنَ بِالْعَقْدِ فَلَا يَخْلُو الْغَارُّ مِنْ أَنْ يَكُونَ هُوَ السَّيِّدَ أَوْ غَيْرَهُ، فَإِنْ كان الغار هو السيد فقال الزوج عند عقده: هي حرة قد عَتَقَتْ بِقَوْلِهِ هَذَا وَصَارَ الزَّوْجُ بِهَذَا الْغَرُورِ عَاقِدًا عَلَى حُرَّةٍ فَصَحَّ نِكَاحُهَا، وَهِيَ فِي جَمِيعِ أَحْكَامِهَا كَالْحُرَّةِ وَإِنْ كَانَ الْغَارُّ غَيْرَ السَّيِّدِ فَهِيَ حينئذٍ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فِي الْغَرُورِ بِاسْتِكْمَالِ مَا فَصَّلْنَا مِنَ الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ:
Jika akad tidak disertai (syarat tersebut), baik syarat itu mendahului maupun mengikuti akad, maka tidak berpengaruh dan pernikahan tetap sah. Namun jika syarat itu menyertai akad, maka pihak yang menipu (al-ghārr) tidak lepas dari dua kemungkinan: ia adalah tuan (pemilik budak) atau bukan. Jika yang menipu adalah tuan, lalu suami berkata saat akad: “Dia merdeka, telah merdeka dengan ucapanku ini,” maka dengan demikian budak itu menjadi merdeka dan suami dengan penipuan ini telah menikahi seorang wanita merdeka, sehingga pernikahannya sah dan ia dalam seluruh hukumnya seperti wanita merdeka. Namun jika yang menipu bukan tuan, maka ini adalah masalah yang telah dijelaskan dalam kitab mengenai penipuan, dengan terpenuhinya empat syarat yang telah kami rinci:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ مِمَّنْ يَجُوزُ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ.
Pertama: Suami adalah orang yang diperbolehkan menikahi budak perempuan.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ قَدْ نَكَحَتْ بِإِذْنِ سَيِّدِهَا.
Kedua: Budak perempuan itu dinikahi dengan izin tuannya.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الشَّرْطُ مُقَارِنًا لِلْعَقْدِ.
Ketiga: Syarat tersebut menyertai akad.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْغَارُّ غَيْرَ السَّيِّدِ فَيَكُونُ فِي النِّكَاحِ حينئذٍ قَوْلَانِ:
Keempat: Yang menipu bukanlah tuan, maka dalam pernikahan ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Salah satunya: batal.
وَالثَّانِي: جائز.
Dan yang kedua: sah.
وَتَوْجِيهُهُمَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ غَرُورِ الزَّوْجِ لِلزَّوْجَةِ.
Dasar kedua pendapat ini adalah apa yang telah kami sebutkan tentang penipuan suami terhadap istri.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا قُلْنَا بِبُطْلَانِ النِّكَاحِ، فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا الزَّوْجُ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَلَا مَهْرَ عَلَيْهِ وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا، وَلَا يَكُونُ لِلْعَقْدِ تَأْثِيرٌ فِي لُزُومِ شَيْءٍ مِنَ الْأَحْكَامِ، وَإِنْ دخل الزوج بها فرق بينهما لِفَسَادِ الْعَقْدِ، وَلَهَا حَالَتَانِ:
Jika kita berpendapat bahwa pernikahan itu batal, maka jika suami belum menggaulinya, keduanya dipisahkan dan tidak ada mahar baginya serta tidak ada masa iddah atas wanita tersebut, dan akad tidak berpengaruh dalam menetapkan kewajiban hukum apa pun. Namun jika suami telah menggaulinya, maka keduanya dipisahkan karena rusaknya akad, dan wanita tersebut memiliki dua keadaan:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ قد أحبلها.
Pertama: Suami telah menghamilinya.
والثاني: أَنْ تَكُونَ حَائِلًا لَمْ تَحْبَلْ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ أَحْبَلَهَا تَعَلَّقَ بِدُخُولِهِ بِهَا حُكْمَانِ:
Kedua: Wanita itu tidak hamil. Jika ia tidak hamil, maka dari hubungan suami istri tersebut timbul dua hukum:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَيْهِ لِلسَّيِّدِ مُهْرَ مِثْلِهَا بِالْإِصَابَةِ دُونَ الْمُسَمَّى، لِأَنَّ فَسَادَ الْعَقْدِ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِحْقَاقِ مَا سُمِّيَ فِيهِ فَصَارَ مُسْتَهْلِكًا لِبُضْعِهَا لشبهة فَلَزِمَهُ مَهْرُ الْمِثْلِ.
Pertama: Suami wajib membayar kepada tuan budak mahar mitsil (mahar sepadan) karena telah menggaulinya, bukan mahar yang telah disebutkan dalam akad, karena rusaknya akad menghalangi hak atas mahar yang disebutkan, sehingga ia dianggap telah menikmati kemaluannya karena syubhat, maka wajib baginya membayar mahar mitsil.
وَالثَّانِي: وُجُوبُ الْعِدَّةِ عَلَيْهَا؛ لأنها إصابة توجب لُحُوقَ النَّسَبِ فَأَوْجَبَتِ الْعِدَّةَ وَلَا نَفَقَةَ لَهَا فِي زَمَانِ الْعِدَّةِ لِارْتِفَاعِ الْعَقْدِ الَّذِي تَسْتَحِقُّ به النفقة؛ فإذا غرم الزَّوْجُ بِالْإِصَابَةِ مَهْرَ الْمِثْلِ، فَهَلْ يَرْجِعُ بِهِ عَلَى مَنْ غَرَّهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Kedua: Wajib atas wanita itu menjalani masa iddah, karena hubungan suami istri tersebut menyebabkan nasab anak menjadi sah, sehingga mewajibkan adanya iddah. Namun, ia tidak berhak atas nafkah selama masa iddah karena akad yang menjadi dasar hak nafkah telah gugur. Jika suami telah membayar mahar mitsil karena menggaulinya, maka apakah ia boleh menuntut kembali dari orang yang menipunya atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يَرْجِعُ بِهِ عَلَى الْغَارِّ؛ لِأَنَّهُ أَلْجَأَهُ إِلَى غُرْمِهِ فَصَارَ كَالشَّاهِدِ إِذَا أوْجَبَ بِشَهَادَتِهِ غُرْمًا ثُمَّ رَجَعَ عنها لزمه غرم أَغْرَمَ.
Salah satunya, yaitu pendapat dalam qaul qadim: suami boleh menuntut kembali kepada pihak yang menipunya, karena pihak tersebut telah menyebabkan ia harus membayar, sehingga keadaannya seperti saksi yang menyebabkan seseorang harus membayar dengan kesaksiannya, lalu ia menarik kembali kesaksiannya, maka ia wajib menanggung kerugian yang telah ditimbulkannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَى الْغَارِّ؛ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ اسْتِمْتَاعِهِ الَّذِي لَا يَنْفَكُّ مِنْ غُرْمٍ إِمَّا الْمُسَمَّى إِنْ صَحَّ الْعَقْدُ أَوْ مَهْرُ الْمِثْلِ إِنْ فَسَدَ، فَإِذَا قُلْنَا لَا رُجُوعَ لِلزَّوْجِ بِالْمَهْرِ عَلَى مَنْ غره تفرد بإلزامه لِلسَّيِّدِ، وَإِنْ قُلْنَا: يَرْجِعُ بِهِ عَلَى مَنْ غَرَّهُ وَلَمْ يَرْجِعْ بِهِ قَبْلَ غُرْمِهِ لِجَوَازِ أَنْ يُبَرِّئَهُ السَّيِّدُ مِنْهُ، فَإِنْ أَبْرَأَهُ مِنْهُ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ كَالضَّامِنِ إِذَا أُبْرِئُ مِنَ الضَّمَانِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَى الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِشَيْءٍ، وَإِنْ أَغْرَمَهُ السَّيِّدُ الْمَهْرَ رَجَعَ بِهِ الزَّوْجُ حينئذٍ على من غيره وَمَنْ يُؤَثِّرُ غُرُورُهُ اثْنَانِ الْأَمَةُ وَوَكِيلُ السَّيِّدِ؛ لِأَنَّ السَّيِّدَ لَوْ غَرَّهُ لَعَتَقَتْ وَإِنْ غَرَّهُ أَجْنَبِيٌّ لَمْ يَكُنْ لِقَوْلِهِ فِي الْعَقْدِ تأثيرٌ فَإِنْ كَانَتِ الْأَمَةُ هِيَ الْغَارَّةَ كَانَ الْغُرْمُ في ذمتها إذا أعتقت وأسرت إذنه وِإِنْ كَانَ الْوَكِيلُ هُوَ الْغَارَّ أُغْرِمَ فِي الحال إن كان موسراً وأنظر به إِلَى وَقْتِ يَسَارِهِ إِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَأَمَّا إِنْ كَانَ قَدْ أَحْبَلَهَا فَفِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ لَهَا مُدَّةَ حَمْلِهَا قَوْلَانِ:
Pendapat kedua: suami tidak boleh menuntut kembali kepada pihak yang menipunya, karena pembayaran itu sebagai imbalan atas kenikmatan yang tidak terlepas dari kewajiban membayar, baik berupa mahar yang disebutkan jika akad sah, maupun mahar mitsil jika akad rusak. Jika dikatakan suami tidak boleh menuntut kembali mahar kepada pihak yang menipunya, maka ia sendirilah yang wajib membayar kepada tuan budak. Namun jika dikatakan boleh menuntut kembali kepada pihak yang menipunya, dan ia belum menuntut sebelum membayar karena mungkin saja tuan budak membebaskannya dari kewajiban tersebut, maka jika tuan budak membebaskannya, suami tidak boleh menuntut kembali, seperti penjamin yang jika dibebaskan dari jaminan maka ia tidak boleh menuntut kepada pihak yang dijamin. Namun jika tuan budak menuntut pembayaran mahar, maka suami boleh menuntut kembali kepada pihak lain. Pihak yang penipuannya berpengaruh ada dua: budak perempuan itu sendiri dan wakil tuan budak; karena jika tuan budak yang menipu, maka budak itu menjadi merdeka, dan jika orang lain yang menipu, maka ucapannya tidak berpengaruh dalam akad. Jika budak perempuan itu sendiri yang menipu, maka kewajiban membayar ada pada dirinya jika ia telah merdeka dan telah mendapatkan izin. Jika wakil tuan budak yang menipu, maka ia wajib membayar saat itu juga jika ia mampu, dan ditangguhkan sampai ia mampu jika ia tidak mampu. Adapun jika suami telah menghamilinya, maka dalam kewajiban nafkah bagi wanita selama masa kehamilannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهَا النَّفَقَةُ إِذَا قيل: إن نفقة الحامل لحملها لَا لَهَا.
Salah satunya: wanita itu berhak mendapat nafkah jika dikatakan bahwa nafkah wanita hamil adalah untuk janinnya, bukan untuk dirinya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا نَفَقَةَ لَهَا إِذَا قِيلَ: إِنْ نَفَقَةَ الْحَامِلِ لَهَا لَا لحملها، فإذا وضعت تعلق بمولدها ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:
Pendapat kedua: wanita itu tidak berhak mendapat nafkah jika dikatakan bahwa nafkah wanita hamil adalah untuk dirinya, bukan untuk janinnya. Maka jika ia telah melahirkan, terkait dengan anak yang lahir darinya ada tiga hukum:
أَحَدُهَا: لُحُوقُهُ بِالزَّوْجِ لِشُبْهَةِ الْعَقْدِ.
Pertama: Anak tersebut dinisbatkan kepada suami karena adanya syubhat akad.
وَالثَّانِي: كَوْنُهُ حُرًّا مِنْ حِينِ عُلُوقِهِ؛ لِأَنَّ اشتراط حريتها يتضمن حرية ولدها، لأن الْحُرَّةَ لَا تَلِدُ إِلَّا حُرًّا.
Kedua: Anak tersebut berstatus merdeka sejak saat terjadinya kehamilan, karena syarat kemerdekaan ibu mencakup kemerdekaan anaknya, sebab seorang wanita merdeka tidak melahirkan kecuali anak yang merdeka.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تغرم للسيد قيمة ولدها يوم وضعته؛ لأن ولد الأمة مملوكاً لِسَيِّدِهَا وَقَدْ صَارَ الزَّوْجُ مُسْتَهْلَكًا لِرِقِّهِ بِمَا يَحْدُثُ مِنْ عِتْقِهِ فَلَزِمَهُ غُرْمُ قِيمَتِهِ وَاعْتَبَرْنَاهَا يَوْمَ وَضْعِهِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ عَتَقَ وَقْتَ علوقه؛ لأنه لا يقوم إِلَّا بَعْدَ الْوَضْعِ، فَإِذَا غَرِمَ الزَّوْجُ قِيمَةَ الولد رجع بها على من غيره قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ كَانَ فِي رُجُوعِهِ بِالْمَهْرِ قولان.
Ketiga: Wajib membayar kepada tuan (pemilik budak) sejumlah nilai anaknya pada hari dilahirkan; karena anak dari seorang budak perempuan adalah milik tuannya, dan suami telah “menghabiskan” hak perbudakan itu dengan terjadinya kemerdekaan anak tersebut, sehingga wajib baginya membayar nilai anak itu. Nilainya dihitung pada hari kelahirannya. Jika anak itu telah merdeka pada saat terjadi kehamilan—karena penilaian itu hanya dilakukan setelah kelahiran—maka apabila suami telah membayar nilai anak tersebut, ia dapat menuntut ganti rugi dari orang yang menipunya, menurut satu pendapat, meskipun dalam hal menuntut ganti rugi mahar terdapat dua pendapat.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْمَهْرَ مُسْتَحَقٌّ فِي نِكَاحِ الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ؛ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ الِاسْتِمْتَاعِ فَلِذَلِكَ لَمْ يُرْجَعُ بِهِ فِي الْغَرُورِ بِالْأَمَةِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ قِيمَةُ الْوَلَدِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ إِلَّا فِي وَلَدِ الْأَمَةِ دُونَ الْحُرَّةِ فَصَارَ الْغَرُورُ هُوَ الْمُوجِبَ لِغُرْمِهِ فَلِذَلِكَ رَجَعَ بِهِ عَلَى مَنْ غَرَّهُ قَوْلًا وَاحِدًا فصار وطئها وَإِحْبَالُهَا مُوجِبًا لِخَمْسَةِ أَحْكَامٍ:
Perbedaan antara keduanya: Mahar adalah hak yang wajib dalam pernikahan wanita merdeka maupun budak, karena mahar merupakan imbalan atas kenikmatan (hubungan suami-istri), sehingga dalam kasus penipuan pernikahan dengan budak, tidak dapat dituntut kembali menurut salah satu pendapat. Tidak demikian halnya dengan nilai anak, karena nilai anak hanya wajib pada anak budak, tidak pada anak wanita merdeka. Maka penipuanlah yang menyebabkan kewajiban membayar nilai anak, sehingga nilai itu dapat dituntut kembali dari pihak yang menipu, menurut satu pendapat. Maka, persetubuhan dan kehamilannya menimbulkan lima ketentuan hukum:
أَحَدُهَا: مَهْرُ الْمِثْلِ.
Pertama: Mahar yang setara (mahr al-mitsl).
وَالثَّانِي: الْعِدَّةُ.
Kedua: Masa iddah.
وَالثَّالِثُ: لُحُوقُ الْوَلَدِ.
Ketiga: Anak dinisbatkan (kepada suami).
وَالرَّابِعُ: حُرِّيَّتُهُ.
Keempat: Kemerdekaan anak.
والخامس: غرم قيمته.
Kelima: Kewajiban membayar nilai anak.
فهذا إذا قيل بطلان النِّكَاحِ.
Demikianlah jika dikatakan bahwa akad nikahnya batal.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا قُلْنَا بِصِحَّةِ النِّكَاحِ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي، فَهَلْ لِلزَّوْجِ فِيهِ خِيَارُ الْفَسْخِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Adapun jika kita berpendapat bahwa akad nikahnya sah menurut pendapat kedua, maka apakah suami memiliki hak memilih untuk membatalkan (fasakh) atau tidak? Ada dua pendapat:
حَكَاهُمَا الْمُزَنِيُّ، ولم يحك القولين في أصل النكاح بل اكتفى بما حكاه في غرور النكاح:
Kedua pendapat ini diriwayatkan oleh al-Muzani, dan ia tidak meriwayatkan dua pendapat dalam pokok masalah nikah, melainkan cukup dengan apa yang ia riwayatkan dalam masalah penipuan dalam nikah.
أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهُ بِالْغَرُورِ وَإِنْ ثَبَتَ لِلزَّوْجَةِ الْخِيَارُ بِالْغَرُورِ؛ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى طَلَاقِهَا ولا يلحق مِنَ الْعَارِ مَا يَلْحَقُهَا.
Salah satunya: Suami tidak memiliki hak memilih karena penipuan, meskipun istri memiliki hak memilih karena penipuan; sebab suami dapat menceraikannya dan tidak terkena aib sebagaimana yang menimpa istri.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ الْخِيَارُ لِإِحْدَى عِلَّتَيْنِ:
Pendapat kedua: Suami memiliki hak memilih karena salah satu dari dua alasan:
إِحْدَاهُمَا: أَنَّ مَا أَوْجَبَ لِلزَّوْجَةِ خِيَارَ الْفَسْخِ أَوْجَبَهُ لِلزَّوْجِ كَعُيُوبِ الْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بِيَدِهِ فَكَذَلِكَ فِي الْغَرُورِ.
Pertama: Apa yang menyebabkan istri berhak memilih untuk membatalkan (fasakh), juga menyebabkan suami berhak memilih, seperti cacat gila, kusta, dan belang, meskipun talak berada di tangan suami. Demikian pula dalam kasus penipuan.
وَالْعِلَّةُ الثَّانِيَةُ: مَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ من نقص استرقاق وَلَدِهِ وَنُقْصَانِ اسْتِمْتَاعِهِ، فَإِذَا قُلْنَا لَهُ الْخِيَارُ فِي الْفَسْخِ فَاخْتَارَ الْفَسْخَ كَانَ حُكْمُهُ بَعْدَ الْفَسْخِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا وَإِذَا قِيلَ بِفَسَادِ الْعَقْدِ فِي أَنَّهُ إِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَإِنْ دَخَلَ بِهَا وَلَمْ يُحَبِّلْهَا تَعَلَّقَ بِدُخُولِهِ حُكْمَانِ: مَهْرُ الْمِثْلِ، وَالْعِدَّةُ، وَإِنْ أَحَبَلَهَا تَعَلَّقَ بِإِحْبَالِهِ لَهَا مَعَ حُكْمَيِ الدُّخُولِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ: لُحُوقُ الْوَلَدِ، وَحُرِّيَّتُهُ، وَغُرْمُ قِيمَتِهِ وَيَرْجِعُ بِمَا غَرِمَهُ مِنْ قِيمَتِهِ، وَفِي رجوعه بما غرمه مِنَ الْمَهْرِ قَوْلَانِ، وَإِنْ أَقَامَ عَلَى النِّكَاحِ وَلَمْ يَخْتَرِ الْفَسْخَ، وَقُلْنَا: لَيْسَ لَهُ خِيَارٌ فَالْحُكْمُ فِيهِمَا سَوَاءٌ، وَلَهَا الْمَهْرُ الْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ، وَيَكُونُ أَوْلَادُهُ الَّذِينَ عَلَقَتْ بِهِمْ قَبْلَ عِلْمِهِ بِرِقِّهَا أَحْرَارًا، وَعَلَيْهِ قِيمَتُهُمْ، وَمَنْ عَلَقَتْ بِهِمْ بَعْدَ عِلْمِهِ بِرِقِّهَا مَمَالِيكُ لِلسَّيِّدِ إِنْ لَمْ يَكُنِ الزَّوْجُ عَرَبِيًّا وَإِنْ كَانَ عَرَبِيًّا، فَعَلَى قَوْلَيْنِ:
Alasan kedua: Karena suami dapat mengalami kerugian berupa perbudakan anaknya dan berkurangnya kenikmatan (dari istrinya). Jika kita berpendapat bahwa suami memiliki hak memilih untuk membatalkan dan ia memilih fasakh, maka hukum setelah fasakh sebagaimana yang telah disebutkan. Jika dikatakan bahwa akadnya fasid (rusak), maka jika ia belum berhubungan, tidak ada kewajiban apapun atasnya. Jika telah berhubungan namun belum menghamilinya, maka dengan terjadinya hubungan itu timbul dua hukum: mahar yang setara dan iddah. Jika ia menghamilinya, maka dengan kehamilan itu, selain dua hukum di atas, timbul tiga hukum lagi: anak dinisbatkan (kepada suami), kemerdekaan anak, dan kewajiban membayar nilai anak. Ia dapat menuntut kembali apa yang telah dibayarkan sebagai nilai anak, dan dalam hal menuntut kembali mahar terdapat dua pendapat. Jika ia tetap melanjutkan pernikahan dan tidak memilih fasakh, dan kita berpendapat bahwa ia tidak memiliki hak memilih, maka hukumnya sama saja. Istri berhak mendapatkan mahar yang disebutkan dalam akad, dan anak-anak yang lahir sebelum suami mengetahui status budak istrinya adalah merdeka, dan ia wajib membayar nilai mereka. Sedangkan anak-anak yang lahir setelah ia mengetahui status budak istrinya adalah budak milik tuan, kecuali jika suami adalah orang Arab, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ – يكونون أَحْرَارًا وَعَلَيْهِ قِيمَتُهُمْ، وَمَنْ عَلَقَتْ بِهِمْ بَعْدَ علمه برقها مماليك للسيد؛ لأن لا يَجْرِيَ عَلَى عَرَبِيٍّ صَغَارٌ، وَالرِّقُّ أَعْظَمُ صَغَارٍ.
Salah satunya—dan ini adalah pendapat lama Imam Syafi’i—anak-anak tersebut adalah merdeka dan ia wajib membayar nilai mereka, sedangkan anak-anak yang lahir setelah ia mengetahui status budak istrinya adalah budak milik tuan; karena tidak pantas anak-anak orang Arab menjadi budak, dan perbudakan adalah kehinaan terbesar.
والقول الثاني: يكونون مماليكاً لِلسَّيِّدِ؛ لِأَنَّ حُكْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْجَمِيعِ واحد وتميز من علقت به قبل العلم برقها معتبر بمدة الوضع، فمن وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَقْتِ علمه فالعلوق بِهِ قَبْلَ الْعِلْمِ فَيَكُونُ حُرًّا، وَمَنْ وَضَعَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا فَالْعُلُوقُ بِهِ فِي الظَّاهِرِ بَعْدَ الْعِلْمِ اعْتِبَارًا بِأَقَلِّ الْحَمْلِ فَيَكُونُ مَمْلُوكًا عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ وَهُوَ غَرُورُ الزَّوْجِ بِالْحُرِّيَّةِ.
Pendapat kedua: Anak-anak tersebut menjadi budak milik tuan, karena hukum Allah Ta‘ala atas semuanya adalah satu, dan perbedaan pada siapa yang status budaknya diketahui sebelum diketahui keadaannya, dihitung berdasarkan masa kelahiran. Maka, siapa yang melahirkan anak kurang dari enam bulan sejak waktu diketahuinya status budak, maka keterkaitan anak itu terjadi sebelum diketahui, sehingga anak itu menjadi merdeka. Dan siapa yang melahirkan anak enam bulan atau lebih, maka keterkaitan anak itu secara lahiriah terjadi setelah diketahui, dengan mempertimbangkan masa kehamilan paling singkat, sehingga anak itu menjadi budak sebagaimana telah kami sebutkan. Inilah hukum bagian pertama, yaitu penipuan suami dalam masalah status kemerdekaan.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ في غرور الزوج بالنسب
Fasal: Pembahasan tentang penipuan suami dalam masalah nasab
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ غَرُورُ الزَّوْجِ بِالنَّسَبِ فَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا هَاشِمِيَّةٌ فَتَكُونُ عَرَبِيَّةً، أَوْ عَلَى أَنَّهَا عَرَبِيَّةٌ فَتَكُونُ نَبَطِيَّةً أَوْ أَعْجَمِيَّةً، فَفِي النِّكَاحِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى:
Adapun bagian kedua, yaitu penipuan suami dalam masalah nasab, yaitu ketika seseorang menikahi seorang wanita dengan anggapan bahwa ia adalah seorang Hasyimiyah, ternyata ia adalah wanita Arab biasa; atau dengan anggapan bahwa ia wanita Arab, ternyata ia adalah Nabathiyah atau non-Arab. Dalam hal ini terdapat dua pendapat mengenai keabsahan akad nikah, sebagaimana telah lalu:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Salah satunya: batal.
وَالثَّانِي: جَائِزٌ.
Dan yang kedua: sah.
فَإِذَا قِيلَ بِبُطْلَانِ النِّكَاحِ إِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَلَا يَكُونُ لِلْعَقْدِ تَأْثِيرٌ، وَإِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا فَعَلَيْهِ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، وَهَلْ يَرْجِعُ به على من غره م لا؟ على قولين.
Apabila dikatakan bahwa akad nikahnya batal, jika belum terjadi hubungan suami istri maka keduanya dipisahkan dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya, serta akad tersebut tidak berpengaruh. Namun jika sudah terjadi hubungan suami istri, maka ia wajib memberikan mahar mitsil (mahar yang sepadan) kepada wanita itu, bukan mahar yang telah disebutkan dalam akad. Apakah ia boleh menuntut kembali mahar tersebut dari pihak yang menipunya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أحدهما: يَرْجِعُ بِهِ، لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ اسْتِمْتَاعِهِ.
Salah satunya: ia boleh menuntut kembali, karena mahar itu sebagai imbalan atas kenikmatan yang telah ia peroleh.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَرْجِعُ بِهِ عَلَى مَنْ غَرَّهُ وَهُوَ أحد ثلاثة: إِمَّا الْوَلِيُّ، أَوْ وَكِيلُهُ، أَوِ الزَّوْجَةُ فَإِنْ كان الولي أو وكيله هو الغار رجع عليه بعد الغرم لجميع الْمَهْرِ، وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ هِيَ الْغَارَّةَ فَفِيهِ وجهان:
Pendapat kedua: ia menuntut kembali dari pihak yang menipunya, dan pihak tersebut salah satu dari tiga: wali, wakilnya, atau istrinya sendiri. Jika yang menipu adalah wali atau wakilnya, maka ia menuntut kembali setelah membayar seluruh mahar. Jika yang menipu adalah istrinya sendiri, maka ada dua pendapat:
أحدهما: يرجع عليهما بِجَمِيعِهِ أَيْضًا كَمَا يَرْجِعُ عَلَى الْوَلِيِّ وَالْوَكِيلِ.
Salah satunya: ia menuntut kembali seluruhnya juga, sebagaimana ia menuntut kepada wali dan wakil.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَتْرُكُ عَلَيْهَا مِنْهُ يَسِيرًا، وأقله أَقَلُّ مَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَهْرًا، وَيَرْجِعُ عَلَيْهَا بِبَاقِيهِ لِئَلَّا يَصِيرَ مُسْتَبِيحًا لِبُضْعِهَا بِغَيْرِ بَذْلٍ.
Pendapat kedua: ia membiarkan sebagian kecil dari mahar itu pada istrinya, dan yang paling sedikit adalah jumlah minimal yang sah sebagai mahar, dan ia menuntut sisanya agar tidak menjadi orang yang menikmati kehormatan istrinya tanpa memberikan imbalan.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ كَانَ قَدْ رجع المهر إليهما رَجَعَ عَلَيْهَا بِجَمِيعِهِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ وَتَرَكَ عليهما مِنْهُ قَدْرَ أَقَلِّ الْمُهُورِ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي، وَإِنْ كَانَ مَا دَفَعَ الْمَهْرَ إِلَيْهَا فَلَا مَعْنَى، لِأَنْ يَدْفَعَ الْمَهْرَ إِلَيْهَا ثُمَّ يَسْتَرْجِعُهُ فَلَا يَدْفَعُ إِلَيْهَا عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ شَيْئًا وَيَدْفَعُ إِلَيْهَا عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي قَدْرَ أَقَلِّ الْمُهُورِ، وَسَوَاءً فِي إِصَابَةِ هَذِهِ الْغَارَّةِ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَحْبَلَهَا أَوْ لَمْ يُحَبِلْهَا فِي أن ولدها إذا ألحق به لم يلزمه غرم، لأنه لم يجز عَلَيْهِ رِقٌّ.
Jika demikian, apabila mahar telah kembali kepada keduanya, maka ia menuntut seluruhnya dari istrinya menurut pendapat pertama, dan membiarkan pada keduanya sebesar mahar paling sedikit menurut pendapat kedua. Jika ia belum membayarkan mahar kepada istrinya, maka tidak ada gunanya membayar mahar lalu menuntut kembali, sehingga ia tidak membayar apa pun menurut pendapat pertama, dan membayar sebesar mahar paling sedikit menurut pendapat kedua. Sama saja, baik ia telah menghamili istrinya yang menipunya atau belum, jika anaknya dinisbatkan kepadanya, maka ia tidak wajib menanggung kerugian, karena anak itu tidak boleh dijadikan budak atasnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ قِيلَ إِنَّ النِّكَاحَ صَحِيحٌ نُظِرَ فِي نَسَبِ الزَّوْجِ فَإِنْ كَانَ مِثْلَ نَسَبِهَا الَّذِي ظَهَرَ لَهَا فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الْفَسْخِ، لِأَنَّهُ لَا عَارَ عَلَيْهِ وَلَا مَعَرَّةَ تَلْحَقُهُ وَإِنْ كَانَ كَالنَّسَبِ الَّذِي شرطه وأعلا مِنَ النَّسَبِ الَّذِي ظَهَرَ لَهَا فَخِيَارُهُ فِي فسخه معتبر بخياره في غروره بالرق به وبالحرية وَتَعْلِيلِ اسْتِحْقَاقِهِ.
Jika dikatakan bahwa akad nikahnya sah, maka dilihat pada nasab suami. Jika nasab suami setara dengan nasab istrinya yang ternyata, maka suami tidak memiliki hak khiyar (memilih) untuk membatalkan akad, karena tidak ada aib atau cela yang menimpanya. Namun jika nasab suami sesuai dengan yang disyaratkan atau lebih tinggi dari nasab istrinya yang ternyata, maka hak khiyar untuk membatalkan akad dihukumi sebagaimana khiyar dalam penipuan terkait status budak atau merdeka, dan alasan berhaknya pun sama.
فَإِنْ قِيلَ: لَا خِيَارَ لَهُ إِذَا كَانَ مَغْرُورًا بِالْحُرِّيَّةِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ الْخِيَارُ إِذَا كَانَ مَغْرُورًا بِالنَّسَبِ، وَإِنْ قِيلَ: لَهُ الْخِيَارُ إِذَا كَانَ مَغْرُورًا بِالْحُرِّيَّةِ فَهَلْ لَهُ الْخِيَارُ إِذَا كَانَ مَغْرُورًا بِالنَّسَبِ، مُعْتَبَرٌ بِاخْتِلَافِ الْعِلَّةِ إِذَا كَانَ مَغْرُورًا بِالْحُرِّيَّةِ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْعِلَّةَ فِي خِيَارِهِ إذا غر بالحرية أن يثبت له خِيَارُ الْفَسْخِ مِثْلَ مَا ثَبَتَ لِلزَّوْجَةِ فَلَهُ فِي غَرُورِ النَّسَبِ خِيَارُ الْفَسْخِ كَمَا كَانَ للزوجة وإن قيل: إن العلة في الغروي بِالْحُرِّيَّةِ دُخُولُ النَّقْصِ عَلَيْهِ فِي اسْتِرْقَاقِ وَلَدِهِ وَنُقْصَانِ اسْتِمْتَاعِهِ فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الْغُرُورِ بِالنَّسَبِ، لِأَنَّهُ لَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ نَقْصٌ فِي الِاسْتِمْتَاعِ وَلَا فِي الْوَلَدِ لِأَنَّ وَلَدَهُ يَرْجِعُ إليه في نسبه لا إليهما، لِأَنَّ وَلَدَ الْعَرَبِيِّ مِنَ الْعَجَمِيَّةِ عَرَبِيٌّ، وَوَلَدَ الْعَجَمِيِّ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ عَجَمِيٌّ، وَفِي كَشْفِ هَذَا التَّعْلِيلِ وَحَمْلِ الْجَوَابِ عَلَيْهِ فِي اسْتِحْقَاقِ الْخِيَارِ مُقْنِعٌ لِمَا أَوْرَدَهُ الْمُزَنِيُّ، فَأَمَّا إِذَا غَرَّتْهُ بنسب فوجده، أَعْلَى مِنْهُ نُظِرَ فَإِنْ شَرَطَتْ أَنَّهَا عَرَبِيَّةٌ فَكَانَتْ هَاشِمِيَّةً فَالنِّكَاحُ جَائِزٌ وَلَا خِيَارَ لِأَنَّ الْهَاشِمِيَّةَ عَرَبِيَّةٌ وَإِنِ ازْدَادَتْ شَرَفًا فَلَمْ تَكُنِ الصِّفَةُ الْمَشْرُوطَةُ مُخَالِفَةً، وَإِنْ شَرَطَتْ أَنَّهَا نَبَطِيَّةٌ أو عجمية فكانت هاشمية أو عربية فالصفة مخالفة للشرط فَيَكُونُ النِّكَاحُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Jika dikatakan: Tidak ada hak khiyār baginya apabila ia tertipu dalam hal status kebebasan, maka lebih utama lagi ia tidak memiliki hak khiyār apabila ia tertipu dalam hal nasab. Dan jika dikatakan: Ia memiliki hak khiyār apabila ia tertipu dalam hal status kebebasan, maka apakah ia juga memiliki hak khiyār apabila ia tertipu dalam hal nasab? Hal ini dipertimbangkan berdasarkan perbedaan ‘illat (alasan hukum) jika ia tertipu dalam hal kebebasan. Jika dikatakan: Sesungguhnya ‘illat dalam hak khiyār ketika tertipu dalam kebebasan adalah agar ia mendapatkan hak khiyār fasakh sebagaimana yang diberikan kepada istri, maka dalam penipuan nasab pun ia berhak atas khiyār fasakh sebagaimana istri. Namun jika dikatakan: ‘Illat dalam penipuan kebebasan adalah masuknya kekurangan pada dirinya berupa perbudakan anaknya dan berkurangnya kenikmatan, maka tidak ada hak khiyār baginya dalam penipuan nasab, karena tidak ada kekurangan yang masuk padanya baik dalam kenikmatan maupun dalam anak, sebab anaknya tetap kembali kepadanya dalam nasab, bukan kepada keduanya. Karena anak laki-laki Arab dari wanita ‘ajam (non-Arab) tetap dihukumi Arab, dan anak laki-laki ‘ajam dari wanita Arab tetap dihukumi ‘ajam. Penjelasan tentang alasan ini dan penyesuaian jawaban atasnya dalam hal hak khiyār sudah memadai untuk apa yang dikemukakan oleh al-Muzani. Adapun jika ia ditipu dalam nasab lalu ternyata nasabnya lebih tinggi, maka dilihat: jika disyaratkan bahwa ia Arab, lalu ternyata ia Hasyimiyah, maka nikahnya sah dan tidak ada hak khiyār, karena Hasyimiyah adalah Arab, dan meskipun derajatnya lebih mulia, sifat yang disyaratkan tidak bertentangan. Namun jika disyaratkan bahwa ia Nabathiyah atau ‘ajamiyah, lalu ternyata ia Hasyimiyah atau Arab, maka sifatnya bertentangan dengan syarat, sehingga dalam hal ini ada dua pendapat tentang status nikah:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Salah satunya: batal.
وَالثَّانِي: جائز فلا خِيَارَ لَهُ.
Dan yang kedua: sah, sehingga tidak ada hak khiyār baginya.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي غَرُورِ الزَّوْجِ بالصفة
Fashal: Pembahasan tentang penipuan suami dalam sifat
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ غَرُورُ الزَّوْجِ بِالصِّفَةِ فَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا بِكْرٌ فَتَكُونُ ثَيِّبًا أَوْ عَلَى أَنَّهَا شَابَّةٌ فَتَكُونُ عَجُوزًا، أَوْ عَلَى أَنَّهَا جَمِيلَةٌ فَتَكُونُ قَبِيحَةً إِلَى مَا جَرَى هَذَا الْمَجْرَى مِنَ الصِّفَاتِ، فَفِي النكاح قولان:
Adapun bagian ketiga, yaitu penipuan suami dalam sifat, yaitu ia menikahinya dengan anggapan bahwa ia masih perawan, ternyata sudah janda; atau dengan anggapan bahwa ia masih muda, ternyata sudah tua; atau dengan anggapan bahwa ia cantik, ternyata buruk rupa; dan sifat-sifat lain yang serupa, maka dalam pernikahan ini terdapat dua pendapat:
أحدهما: باطل، وإن لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا، وَفِي رُجُوعِهِ بِهِ عَلَى مَنْ غَرَّهُ قَوْلَانِ عَلَى مَا مضى في غرور النسب من اعتبار حال مَنْ غَرَّهُ.
Salah satunya: batal. Jika belum digauli, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Namun jika sudah digauli, maka wajib membayar mahar yang sepadan dengannya. Adapun apakah ia boleh menuntut kembali mahar tersebut kepada pihak yang menipunya, terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan dalam penipuan nasab, yaitu mempertimbangkan keadaan pihak yang menipunya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إنَّ النِّكَاحَ صَحِيحٌ، فعلى هذا يكون خياره في غرورهما معتبر بِخِيَارِهَا فِي غَرُورِهِ، وَفِي خِيَارِهَا لَوْ غَرَّهَا الزَّوْجُ فِي هَذِهِ الصِّفَاتِ وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: Nikahnya sah. Maka dalam hal ini, hak khiyār suami karena penipuannya dipertimbangkan sebagaimana hak khiyār istri jika ia tertipu oleh suami. Dalam hak khiyār istri jika suami menipunya dalam sifat-sifat ini terdapat dua wajah (pendapat):
أَحَدُهُمَا: لَا خيار لها، فعلى هذا أولى أن يَكُونَ لَهُ خِيَارٌ.
Salah satunya: Tidak ada hak khiyār baginya. Maka dalam hal ini, lebih utama lagi suami tidak memiliki hak khiyār.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهَا الْخِيَارُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مُعْتَبَرًا بِخِيَارِهِ إِذَا كَانَ مَغْرُورًا بِالْحُرِّيَّةِ وَفِيهِ قَوْلَانِ:
Wajah kedua: Istri memiliki hak khiyār. Maka dalam hal ini, dipertimbangkan sebagaimana hak khiyār suami jika ia tertipu dalam hal kebebasan, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهُ فِيهِ، فَعَلَى هَذَا أَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ خِيَارٌ إِذَا غُرَّ بِهَذِهِ الصِّفَاتِ.
Salah satunya: Tidak ada hak khiyār baginya. Maka dalam hal ini, lebih utama lagi suami tidak memiliki hak khiyār jika tertipu dalam sifat-sifat ini.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ الْخِيَارُ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مُعْتَبَرًا بِعِلَّةِ الْخِيَارِ فِي هَذَا الْقَوْلِ، فَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا فِي مُقَابَلَةِ خِيَارِ الزَّوْجَةِ فَلَهُ الْخِيَارُ فِي نُقْصَانِ هَذِهِ الصِّفَاتِ كَمَا كَانَ للزوجة على هذا الوجه، وإن قيل: إنها تدخل النَّقْصَ عَلَيْهِ فِي رِقِّ الْوَلَدِ وَنُقْصَانِ الِاسْتِمْتَاعِ فلا خيار له هاهنا لعدم النقص فيهما، فأما إذا تزوجها على شرط فكان أَعْلَى مِنْهُ مِثْلُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا ثَيِّبٌ فَتَكُونُ بِكْرًا، أَوْ عَلَى أَنَّهَا عَجُوزٌ فَتَكُونُ شَابَّةً، أَوْ عَلَى أَنَّهَا قَصِيرَةٌ فَتَكُونُ طَوِيلَةً، أَوْ عَلَى أَنَّهَا قَبِيحَةٌ فَتَكُونُ جَمِيلَةً وما شاء كُلُّ هَذِهِ الصِّفَاتِ فَفِي النِّكَاحِ أَيْضًا قَوْلَانِ:
Pendapat kedua: Ia memiliki hak khiyār. Maka dalam hal ini, dipertimbangkan berdasarkan ‘illat hak khiyār dalam pendapat ini. Jika dikatakan bahwa ‘illatnya adalah sebagai timbal balik dari hak khiyār istri, maka suami juga berhak atas khiyār dalam kekurangan sifat-sifat ini sebagaimana istri menurut pendapat tersebut. Namun jika dikatakan bahwa kekurangan itu masuk padanya dalam bentuk perbudakan anak dan berkurangnya kenikmatan, maka tidak ada hak khiyār baginya di sini karena tidak ada kekurangan dalam kedua hal tersebut. Adapun jika ia menikahinya dengan syarat tertentu, lalu ternyata lebih tinggi, seperti menikahinya dengan syarat ia janda, ternyata perawan; atau dengan syarat ia tua, ternyata muda; atau dengan syarat ia pendek, ternyata tinggi; atau dengan syarat ia buruk rupa, ternyata cantik; dan sifat-sifat lain yang serupa, maka dalam pernikahan ini juga terdapat dua pendapat:
أحدها: باطل
Salah satunya: batal
وَالثَّانِي: جَائِزٌ وَلَا خِيَارَ لَهُ.
Dan yang kedua: sah dan tidak ada hak khiyār baginya.
فَصْلٌ
Fashal
فَأَمَّا إِذَا تَزَوَّجَهَا بِغَيْرِ شَرْطٍ فَظَنَّهَا عَلَى صِفَةٍ فكانت بِخِلَافِهَا فَالنِّكَاحُ صَحِيحٌ فِيمَا سِوَى الرِّقِّ وَالْكُفْرِ وَلَا خِيَارَ فِيهِ لِلزَّوْجِ فِيمَا سِوَى عُيُوبِ الْفَسْخِ مِنَ الْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَالْبَرَصِ وَالرَّتَقِ وَالْقَرَنِ، وأما الرق والكفر وهو أن يتزوجها ويظن أنها حرة فتكون أمة، ويظنها مسلمة فتكون كافرة، فإن كان مما لَا يَحِلُّ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ، لِأَنَّهُ وَاجِدٌ لِلطَّوْلِ، أَوْ غَيْرُ خَائِفٍ لَلَعَنَتِ، أَوْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا تَحِلُّ لِمُسْلِمٍ كَالْوَثَنِيَّةِ، فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ فِي الْأَمَةِ الْكَافِرَةِ لِتَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ يحل ممن لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ لِعَدَمِ الطَّوْلِ وَخَوْفِ الْعَنَتِ ويحل له نكاح هذه الكافرة، ولأنها كِتَابِيَّةٌ فَالنِّكَاحُ جَائِزٌ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ لَمْ يَشْتَرِطْ وَصْفًا فَوَجَدَ خِلَافَهُ، فَأَمَّا الْخِيَارُ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ: إِنَّهُ لَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِهِ، وَقَالَ فِي نِكَاحِ الْكِتَابِيَّةِ إنَّ لَهُ الْخِيَارَ فِي فَسْخِهِ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى طَرِيقَيْنِ:
Adapun jika seseorang menikahi seorang wanita tanpa syarat tertentu, lalu ia menyangka wanita itu memiliki suatu sifat, ternyata kenyataannya berbeda, maka akad nikahnya tetap sah kecuali dalam hal perbudakan dan kekufuran. Tidak ada hak khiyar (pilihan membatalkan akad) bagi suami kecuali pada cacat-cacat yang membolehkan fasakh seperti kegilaan, kusta, belang, tertutupnya kemaluan (ratq), dan penis yang tidak bisa menembus (qarn). Adapun perbudakan dan kekufuran, yaitu jika ia menikahi seorang wanita dengan menyangka ia merdeka, ternyata ia seorang budak; atau menyangka ia muslimah, ternyata ia kafir, maka jika ia termasuk orang yang tidak halal menikahi budak—karena ia mampu menikahi wanita merdeka atau tidak khawatir terjerumus dalam maksiat—atau wanita itu termasuk yang tidak halal dinikahi muslim seperti wanita musyrik penyembah berhala, maka nikahnya batal jika wanita itu adalah budak kafir karena keharamannya atasnya. Namun, jika ia termasuk yang halal menikahi budak karena tidak mampu menikahi wanita merdeka dan khawatir terjerumus maksiat, dan halal pula menikahi wanita kafir tersebut karena ia ahli kitab, maka nikahnya sah menurut satu pendapat, karena ia tidak mensyaratkan sifat tertentu lalu mendapati yang berbeda. Adapun mengenai hak khiyar, Imam asy-Syafi‘i berkata dalam nikah dengan budak: tidak ada hak khiyar baginya untuk membatalkan akad; dan dalam nikah dengan wanita ahli kitab, ia memiliki hak khiyar untuk membatalkan akad. Para ulama kami berbeda pendapat dalam dua metode:
أَحَدُهُمَا: نَقَلَ جَوَابَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى وتخريجهما عَلَى قَوْلَيْنِ:
Pertama: Mereka memindahkan jawaban masing-masing dari dua permasalahan tersebut kepada yang lain, dan men-takhrij keduanya atas dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهُ فِي فسخ نكاح الأمة والكتابية على ما نص عليه، لِأَنَّ الْكِتَابِيَّةَ أَحْسَنُ حَالًا مِنَ الْأَمَةِ الَّتِي يسترق ولدها.
Salah satunya: Tidak ada hak khiyar baginya untuk membatalkan nikah dengan budak maupun wanita ahli kitab sebagaimana yang dinyatakan, karena wanita ahli kitab keadaannya lebih baik daripada budak yang anaknya menjadi budak pula.
والقول الثاني: أنه لَهُ الْخِيَارَ فِي فَسْخِ نِكَاحِ الْأَمَةِ وَالْكِتَابِيَّةِ عَلَى مَا نُصَّ عَلَيْهِ فِي الْكِتَابِيَّةِ، لِأَنَّ الْأَمَةَ أَغْلَظُ حَالًا بِاسْتِرْقَاقِ وَلَدِهَا.
Pendapat kedua: Ia memiliki hak khiyar untuk membatalkan nikah dengan budak maupun wanita ahli kitab sebagaimana yang dinyatakan dalam kasus wanita ahli kitab, karena budak keadaannya lebih berat akibat anaknya menjadi budak.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ لِأَصْحَابِنَا أَنْ حَمَلُوا جَوَابَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ عَلَى ظَاهِرِهِ فَلَمْ يَجْعَلُوا لَهُ فِي نكاح الأمة خياراً أو جعلوا لَهُ فِي نِكَاحِ الْكِتَابِيَّةِ خِيَارًا وَفَرَّقُوا بَيْنَهُمَا بأن لأهل الذمة غياراً يميزون به عن المسلمين فإذا خالوا صَارَ غَرُورًا فَثَبَتَ الْخِيَارُ فِي نِكَاحِهِمْ وَلَيْسَ للمملوكين خيار يتميزون به فلزمهم غُرُورٌ يَثْبُتُ بِهِ الْخِيَارُ فِي مَنَاكِحِهِمْ – وَاللَّهُ أعلم -.
Metode kedua dari para ulama kami adalah mereka memahami jawaban masing-masing dari dua permasalahan tersebut sesuai zahirnya, sehingga mereka tidak memberikan hak khiyar dalam nikah dengan budak, atau memberikan hak khiyar dalam nikah dengan wanita ahli kitab, dan membedakan antara keduanya dengan alasan bahwa ahli dzimmah memiliki tanda khusus yang membedakan mereka dari kaum muslimin, sehingga jika terjadi kekeliruan maka itu menjadi bentuk penipuan yang menetapkan hak khiyar dalam pernikahan mereka. Sedangkan para budak tidak memiliki tanda khusus yang membedakan, sehingga penipuan yang terjadi menetapkan hak khiyar dalam pernikahan mereka. — Wallāhu a‘lam.
Bab: Wanita Tidak Berwenang Melangsungkan Akad Nikah
قال الشافعي رحمه الله: ” قل بعض الناس زوجت عائشة ابنة عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ وَهُوَ غَائِبٌ بالشام فقال عبد الرحمن ِأمثلي يُفْتَاتُ عَلَيْهِ فِي بَنَاتِهِ؟ (قَالَ) فَهَذَا يدل على أنها زوجتها بغير أمره قيل فكيف يكون أن عبد الرحمن وكل عائشة لفضل نظرها إن حدث حدثٌ أو رأت في مغيبه لابنته حظاً أن تزوجها احتياطاً ولم ير أنها تأمر بتزويجها إلا بعد مؤامرته ولكن تواطئ وتكتب إليه فلما فعلت قال هذا وإن كنت قد فوضت إليك فقد كان ينبغي أن لا تفتاتي علي وقد يجوز أن يقول زوجي أي وكلي من يزوج فوكلت قال فليس لها هذا لي الخبر قيل لا ولكن لا يشبه غيره لأنها روت أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جعل النكاح بغير ولي باطلاً أو كان يجوز لها أن تزوج بكراً وأبوها غائبٌ دون أخوتها أو السلطان (قال المزني رحمه الله) معنى تأويله فيما روت عائشة عندي غلطٌ وذلك أنه لا يجوز عنده إنكاح المرأة ووكيلها مثلها فكيف يعقل بأن توكل وهي عنده لا يجوز إنكاحها ولو قال إنه أمر من ينفذ رأي عائشة فأمرته فنكح خرج كلامه صحيحاً لأن التوكيل للأب حينئذٍ والطاعة لعائشة فيصح وجه الخبر على تأويله الذي يجوز عندي لا أن الوكيل وكيلٌ لعائشة رضي الله عنها ولكنه وكيلٌ له فهذا تأويله “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Sebagian orang berkata, ‘Aisyah menikahkan putri ‘Abdurrahman bin Abu Bakar sementara ayahnya sedang berada di Syam. Maka Abdurrahman berkata, ‘Apakah orang seperti saya bisa didahului dalam urusan putri-putrinya?’ (Beliau berkata) Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah menikahkan tanpa seizinnya. Ada yang bertanya, bagaimana jika Abdurrahman mewakilkan kepada ‘Aisyah karena keutamaan pandangannya, jika terjadi sesuatu atau ia melihat ada maslahat bagi putrinya saat ayahnya tidak ada, maka ia menikahkannya sebagai bentuk kehati-hatian, namun ia tidak berpendapat bahwa ‘Aisyah boleh menikahkan kecuali setelah bermusyawarah dengannya, melainkan hanya bersepakat dan menulis surat kepadanya. Maka ketika ‘Aisyah melakukannya, ia berkata demikian, ‘Walaupun aku telah menyerahkan urusan kepadamu, seharusnya engkau tidak mendahuluiku.’ Bisa juga ia berkata, ‘Nikahkanlah,’ maksudnya, ‘Wakilkanlah kepada seseorang untuk menikahkan.’ Maka ‘Aisyah pun mewakilkan. Beliau berkata, ‘Ini bukan haknya menurut riwayat tersebut.’ Ada yang bertanya, ‘Tidak, tetapi ini tidak seperti yang lain, karena ia meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ menjadikan nikah tanpa wali itu batal, atau bolehkah ia menikahkan gadis sementara ayahnya tidak ada tanpa saudara-saudara laki-lakinya atau tanpa sultan?’ (Al-Muzani rahimahullāh berkata) Makna penakwilannya terhadap riwayat ‘Aisyah menurut saya keliru, karena menurut beliau tidak boleh wanita menikahkan dirinya sendiri, begitu pula wakilnya yang sesama wanita. Bagaimana mungkin ia mewakilkan, sementara menurut beliau tidak boleh wanita menikahkan dirinya sendiri? Jika dikatakan bahwa ia memerintahkan seseorang untuk melaksanakan pendapat ‘Aisyah, lalu orang itu menikahkan, maka perkataannya benar, karena wakilnya adalah ayah, dan ketaatan kepada ‘Aisyah. Maka makna riwayat itu sesuai dengan penakwilan yang menurut saya dibenarkan, bukan karena wakil itu adalah wakil ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, tetapi ia adalah wakil ayahnya. Inilah penjelasannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَنَّ النِّكَاحَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِوَلِيٍّ ذَكَرٍ، وَأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا يَجُوزُ أَنْ تَعْقِدَ نِكَاحَ نَفْسِهَا، فَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ أَنْ تَلِيَ نِكَاحَ غَيْرِهَا لَا بِوِلَايَةٍ وَلَا بِوَكَالَةٍ، وَلَا يَصِحُّ مِنْهَا فِيهِ بذلٌ وَلَا قبولٌ.
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nikah tidak sah kecuali dengan wali laki-laki, dan wanita tidak boleh melangsungkan akad nikah untuk dirinya sendiri. Demikian pula, tidak boleh ia melangsungkan akad nikah untuk orang lain, baik sebagai wali maupun sebagai wakil, dan tidak sah darinya dalam hal ini penyerahan maupun penerimaan.
وَقَالَ أبو حنيفة: يجوز أن يتولاه لِنَفْسِهَا وَلِغَيْرِهَا نِيَابَةً وَوَكَالَةً تَكُونُ فِيهِ بَاذِلَةً أَوْ قَابِلَةً، فَأَمَّا نِكَاحُ نَفْسِهَا قَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِيهِ، وَأَمَّا نِكَاحُ غَيْرِهَا نِيَابَةً. وَوَكَالَةً فَاسْتَدَلَّ عَلَى جَوَازِ أَنْ تَتَوَكَّلَ فِيهِ وتباشر غيره بما روي أن عائشة زَوَّجَتْ بِنْتَ أَخِيهَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ وَكَانَ غَائِبًا بِالشَّامِ بِمُنْذِرِ بْنِ الزُّبَيْرِ فَلَمَّا قَدِمَ، قَالَ: أَمِثْلِي يُفْتَاتُ عَلَيْهِ فِي بَنَاتِهِ؟ وَأَمْضَى النِّكَاحَ، قَالَ: وَلِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ فجاوز أَنْ تَتَوَلَّاهُ الْمَرْأَةُ كَالْبَيْعِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ الْبُضْعُ فَصَحَّ أَنْ تُبَاشِرَهُ الْمَرْأَةُ قِيَاسًا عَلَى شِرَاءِ الْأَمَةِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ فَجَازَ اشْتِرَاكُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فِيهِ كَالْإِجَارَةِ.
Abu Hanifah berkata: Boleh bagi seorang perempuan untuk menjadi wali bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, baik sebagai perwakilan maupun sebagai agen, baik dalam posisi memberi maupun menerima. Adapun mengenai pernikahan untuk dirinya sendiri, telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan mengenai pernikahan orang lain sebagai perwakilan atau agen, beliau berdalil atas bolehnya seorang perempuan menjadi wakil dan langsung melangsungkan pernikahan untuk orang lain dengan riwayat bahwa ‘Aisyah menikahkan putri saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar, yang saat itu sedang berada di Syam, dengan Mundzir bin Zubair. Ketika Abdurrahman kembali, ia berkata: “Apakah orang seperti saya bisa didahului dalam urusan anak-anak perempuannya?” Namun ia tetap membiarkan pernikahan itu berlangsung. Abu Hanifah berkata: Karena pernikahan adalah akad mu‘awadhah (pertukaran hak), maka boleh perempuan melakukannya sebagaimana jual beli. Karena pernikahan adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan badan, maka sah jika perempuan melangsungkannya, qiyās dengan pembelian budak perempuan. Dan karena pernikahan adalah akad atas suatu manfaat, maka boleh laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat di dalamnya sebagaimana akad ijarah (sewa-menyewa).
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” لا تنكح المرأة المرأة ولا تنكح الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا ” وَهَذَا نَصٌّ.
Dalil kami adalah riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain dan perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.” Ini adalah nash (teks yang jelas).
وَرَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بن القاسم عن أبيه أن عائشة كَانَ إِذَا هَوَى فَتًى مِنْ بَنِي أَخِيهَا فتاة من بنات أخيها أرسلت سراً وَقَعَدَتْ مِنْ وَرَائِهِ وَتَشَهَّدَتْ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ إِلَّا النِّكَاحُ قَالَتْ: يَا فُلَانُ أنْكِحْ وَلِيَّتَكَ فُلَانَةً فَإِنَّ النِّسَاءَ لَا يَنْكِحْنَ، وَهَذَا أمر مُنْتَشِرٌ فِي الصَّحَابَةِ لَا يُعْرَفُ فِيهِ مُخَالِفٌ، وَلِأَنَّ تَصَرُّفَ الْمَرْأَةِ فِي حَقِّ نَفْسِهَا أَقْوَى مِنْ تَصَرُّفِهَا فِي حَقِّ غَيْرِهَا، وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَى أَنَّهُ لَا وِلَايَةَ لَهَا فِي حَقِّ نَفْسِهَا، فَأَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ لَهَا وِلَايَةٌ فِي حَقِّ غَيْرِهَا، وَلِأَنَّ كُلَّ عَقْدٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَعْقِدَهُ الْمَرْأَةُ لِنَفْسِهَا لَمْ يَجُزْ أن تعقده لغيرها كعقد الإمامة.
Abdurrahman bin Al-Qasim meriwayatkan dari ayahnya bahwa ‘Aisyah, jika ada seorang pemuda dari anak-anak saudaranya menyukai seorang gadis dari anak-anak saudaranya yang lain, maka ia mengutus secara diam-diam dan duduk di belakang mereka serta menyaksikan akadnya. Ketika tidak tersisa kecuali akad nikah, ia berkata: “Wahai Fulan, nikahkanlah wali-mu Fulanah, karena perempuan tidak menikahkan (perempuan lain).” Hal ini adalah perkara yang masyhur di kalangan para sahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya. Karena tindakan perempuan dalam urusan dirinya sendiri lebih kuat daripada tindakannya dalam urusan orang lain, dan kami telah menunjukkan bahwa ia tidak memiliki wilayah (kewenangan) atas dirinya sendiri, maka lebih utama lagi ia tidak memiliki wilayah atas orang lain. Dan setiap akad yang tidak boleh dilakukan perempuan untuk dirinya sendiri, maka tidak boleh pula ia melakukannya untuk orang lain, seperti akad imamah (kepemimpinan).
فأما الجواب عن حديث عائشة فهو أنه لَا يُمْكِنُ اسْتِعْمَالُهُ عَلَى ظَاهِرِهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:
Adapun jawaban atas hadis ‘Aisyah adalah bahwa tidak mungkin memahaminya secara zahir (tekstual) dari empat sisi:
أَحَدُهَا: أَنَّهَا لَوْ زَوَّجَتْهَا بِوِلَايَةِ النَّسَبِ لكان بالمنكوحة مَنْ هُوَ أَحَقُّ بِالْوِلَايَةِ مِنْهَا مِنْ إِخْوَةٍ، وَأَعْمَامٍ، لِأَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ قَدْ كَانَ لَهُ أخوة وأولاد هم أَحَقُّ بِنِكَاحِهَا مِنْ عَائِشَةَ الَّتِي هِيَ أُخْتُهُ وعمة الْمَنْكُوحَةِ.
Pertama: Jika ‘Aisyah menikahkan dengan wilayah nasab, maka pada pihak perempuan yang dinikahkan terdapat orang yang lebih berhak menjadi wali daripada dirinya, yaitu saudara-saudara laki-laki dan paman-paman, karena Abdurrahman memiliki saudara dan anak-anak yang lebih berhak menikahkan putrinya daripada ‘Aisyah yang merupakan saudara perempuannya dan bibi dari pihak ayah bagi perempuan yang dinikahkan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ زَوَّجَتْهَا بِوَكَالَةِ أَبِيهَا عبد الرحمن لما افتاتت عَلَيْهِ فِي بَنَاتِهِ.
Kedua: Jika ‘Aisyah menikahkan dengan perwakilan dari ayahnya, Abdurrahman, maka ia tidak akan mendahului hak Abdurrahman atas anak-anak perempuannya.
وَالثَّالِثُ: إنَّهَا هِيَ الرَّاوِيَةُ عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” (أَيُّمَا امْرَأَةٍ) نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا باطل ” وهي لا تخالف ما روته.
Ketiga: Bahwa ‘Aisyah sendiri adalah perawi dari Nabi ﷺ: “Siapa saja perempuan yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal.” Dan ia tidak akan menyelisihi apa yang ia riwayatkan.
الرابع: أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا خَطَبَتْ فِي الْمَنَاكِحِ قَالَتْ: ” يَا فُلَانُ أنْكِحْ وَلِيَّتَكَ فَإِنَّ النِّسَاءَ لَا ينكحن ” وإذا لم يمكن حمله على ظاهره من هذه الوجوه الأربع وَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى مَا يُمْكِنُ فَيُحْمَلُ عَلَى أحد ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Keempat: Bahwa jika ‘Aisyah melamar dalam urusan pernikahan, ia berkata: “Wahai Fulan, nikahkanlah wali-mu, karena perempuan tidak menikahkan.” Dan jika tidak memungkinkan untuk memahami hadis tersebut secara zahir dari empat sisi ini, maka wajib memahaminya dengan makna yang mungkin, yaitu dengan salah satu dari tiga sisi:
أَحَدُهَا: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَدْ وَكَّلَ عَنْ نَفْسِهِ مَنْ يقوم بتزويج بنته وَأَمَرَهُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى رَأْيِ عَائِشَةَ فِي اخْتِيَارِ مَنْ يُزَوِّجُهَا بِهِ فَأَشَارَتْ عَلَيْهِ عَائِشَةُ بتزويج منذر بن الزبير.
Pertama: Bahwa Abdurrahman mungkin telah mewakilkan kepada seseorang untuk menikahkan putrinya dan memerintahkan agar merujuk kepada pendapat ‘Aisyah dalam memilih calon suami, lalu ‘Aisyah memberi saran untuk menikahkan dengan Mundzir bin Zubair.
فإن قيل: فلما أَنْكَرَ وَقَدْ وَكَّلَ.
Jika dikatakan: Lalu mengapa Abdurrahman mengingkari padahal ia telah mewakilkan?
قِيلَ: لِأَنَّ مُنْذِرًا قَدْ كَانَ خَطَبَ إِلَيْهِ فَكَرِهَهُ لِعُجْبٍ ذَكَرَهُ فِيهِ، فَأَحَبَّتْ عَائِشَةُ مَعَ مَا عَرَفَتْهُ مِنْ فَضْلِ منذر أنه يصل الرحم، وتزوج بِنْتَ أَخِيهَا بِابْنِ أُخْتِهَا، لِأَنَّ مُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ أَمُّهُ أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ.
Dijawab: Karena Mundzir sebelumnya pernah melamar kepada Abdurrahman, namun ia tidak menyukainya karena suatu kekaguman yang disebutkan tentangnya. Namun ‘Aisyah, dengan mengetahui keutamaan Mundzir, ingin agar ia tetap menyambung tali silaturahmi, sehingga ia menikahkan putri saudaranya dengan anak dari saudara perempuannya, karena ibu Mundzir bin Zubair adalah Asma’ binti Abu Bakar.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ عَائِشَةُ حِينَ اخْتَارَتْ مُنْذِرًا سَأَلَتِ السُّلْطَانَ أَنْ يُزَوِّجَهَا لِأَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بِغَيْبَتِهِ لَا تَزُولُ وِلَايَتُهُ وَيَنُوبُ السُّلْطَانُ عنه عندنا، وعند أبي حنيفة، وينوب عنه من بعده من الأولياء وعند مَالِكٍ فَكَرِهَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ إِنْ لَمْ يُسْتَأْذَنْ فِيهِ وَيُطَالِعْ بِهِ وَيَكُونُ إِضَافَةُ العقد إلى عائشة، وإن لم تكن العاقدة لِمَكَانِ اخْتِيَارِهَا وَسِفَارَتِهَا كَمَا يُضَافُ الْعَقْدُ إِلَى السَّفِيرِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فَيُقَالُ فُلَانَةُ الدَّلَّالَةُ قَدْ زَوَّجَتْ فُلَانًا بِفُلَانَةٍ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ قَدْ بَاشَرَتِ الْعَقْدَ وَتَوَلَّتْهُ.
Kedua: Boleh jadi Aisyah, ketika memilih Mundzir, meminta kepada penguasa agar menikahkannya, karena dengan ketidakhadiran Abdurrahman, kewaliannya tidak hilang, dan menurut kami serta menurut Abu Hanifah, penguasa dapat mewakilinya, dan setelahnya dapat diwakili oleh para wali berikutnya. Menurut Malik, Abdurrahman tidak menyukainya jika tidak dimintai izin dan tidak diberi tahu, dan akad dinisbatkan kepada Aisyah, meskipun ia bukan yang langsung melakukan akad, karena ia yang memilih dan menjadi perantara, sebagaimana akad dinisbatkan kepada perantara antara kedua mempelai, sehingga dikatakan: “Fulanah, mak comblang, telah menikahkan Fulan dengan Fulanah,” meskipun ia tidak langsung melakukan dan menangani akad tersebut.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَكَّلَ عَائِشَةَ فِي أَنْ تُوَكِّلَ عَنْهُ مَنْ يُزَوِّجُ بِنْتَهُ فَوَكَّلَتْ عَائِشَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حِينَ اسْتَقَرَّ رَأْيُهَا عَلَى تَزْوِيجِ مُنْذِرٍ مِنْ زَوَجِهَا عَنْهُ فَكَانَ الْوَكِيلُ الْمُتَوَلِّي لِلْعَقْدِ وَكِيلًا لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ لَا لِعَائِشَةَ كَمَا تَوَهَّمَ الْمُزَنِيُّ فَقَالَ: إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا أَنْ تُزَوِّجَ فَوَكِيلُهَا بِمَثَابَتِهَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَ، وَهِيَ لَمْ تُوكِّلْ عَنْ نفسها وإنما وكلت عن أخيها، وإنما يجوز أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ وَكِيلًا فِي تَوْكِيلِ مَنْ يزوج عَنِ الْمُوَكِّلِ.
Ketiga: Boleh jadi Abdurrahman telah mewakilkan kepada Aisyah untuk mewakilkan orang lain yang akan menikahkan putrinya, lalu Aisyah mewakilkan atas nama Abdurrahman, ketika ia telah mantap untuk menikahkan Mundzir, kepada orang yang menikahkan atas nama Abdurrahman. Maka, wakil yang menangani akad adalah wakil Abdurrahman, bukan wakil Aisyah sebagaimana yang disangka oleh al-Muzani, yang berkata: “Jika ia (Aisyah) tidak berhak menikahkan, maka wakilnya pun sama, tidak boleh menikahkan.” Padahal, ia (Aisyah) tidak mewakilkan atas nama dirinya, melainkan atas nama saudaranya. Maka, boleh saja seorang perempuan menjadi wakil dalam mewakilkan orang yang menikahkan atas nama pihak yang mewakilkan.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْأَقْيِسَةِ الثَّلَاثَةِ في الْبَيْعِ، وَالْإِجَارَةِ، وَشِرَاءِ الْأَمَةِ فَهُوَ أَنَّهَا عُقُودٌ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى وِلَايَةٍ فَجَازَ أَنْ تَتَوَلَّاهَا الْمَرْأَةُ بِخِلَافِ النِّكَاحِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun jawaban atas tiga analogi (qiyās) dalam jual beli, sewa-menyewa, dan pembelian budak perempuan adalah bahwa itu semua merupakan akad yang tidak memerlukan kewalian, sehingga boleh dilakukan oleh perempuan, berbeda dengan nikah. Wallāhu a‘lam.
بَابُ الْكَلَامِ الَّذِي يَنْعَقِدُ بِهِ النِّكَاحُ وَالْخِطْبَةُ قبل العقد من الجامع من كتاب التعريض بالخطبة، ومن كتاب ما يحرم الجمع بينه
Bab: Ucapan yang dengannya akad nikah menjadi sah dan khitbah sebelum akad, dari al-Jāmi‘, dari Kitab at-Ta‘rīdh bil-Khitbah, dan dari Kitab tentang apa yang diharamkan untuk digabungkan.
قال الشافعي رحمه الله: ” أسمى الله تبارك وتعالى النِّكَاحَ فِي كِتَابِهِ بِاسْمَيْنِ النِّكَاحُ وَالتَّزْوِيجُ وَدَلَّتِ السنة على أَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِمَا يُشْبِهُ الطَّلَاقَ وَلَمْ نجد في كتابٍ ولا سنةٍ إِحْلَالَ نكاحٍ إِلَّا بنكاحٍ أَوْ تزويجٍ وَالْهِبَةُ لرسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مجمعٌ أن ينعقد له بها النكاح بِأَنْ تَهَبَ نَفْسَهَا لَهُ بِلَا مهرٍ، وَفِي هذا دلالةٌ على أنه لا يجوز النكاح إلا باسم التزويج أو النكاح “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wa Ta‘ala menamai pernikahan dalam Kitab-Nya dengan dua nama: nikāḥ dan tazwīj. Sunnah menunjukkan bahwa talak jatuh dengan lafaz yang serupa dengan talak, dan kami tidak menemukan dalam Kitab maupun Sunnah adanya kehalalan pernikahan kecuali dengan lafaz nikāḥ atau tazwīj. Adapun hibah kepada Rasulullah ﷺ, telah menjadi ijmā‘ bahwa pernikahan beliau sah dengan cara seorang wanita menghadiahkan dirinya kepada beliau tanpa mahar. Dalam hal ini terdapat dalil bahwa tidak sah pernikahan kecuali dengan lafaz tazwīj atau nikāḥ.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ النِّكَاحُ لَا ينعقد إلا بصريح اللفظ دون كتابته، وَصَرِيحُهُ لَفْظَانِ: زَوَّجْتُكَ، وَأَنْكَحْتُكَ فَلَا يَنْعَقِدُ النِّكَاحُ إلا بهما سواء ذُكِرَ فِيهِ مَهْرًا أَوْ لَمْ يُذْكَرْ.
Al-Mawardi berkata: “Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa nikāḥ tidak sah kecuali dengan lafaz yang jelas (ṣarīḥ), bukan dengan tulisan. Lafaz ṣarīḥ itu ada dua: ‘zawwajtuka’ (aku nikahkan engkau) dan ‘ankahhtuka’ (aku kawinkan engkau). Maka, nikāḥ tidak sah kecuali dengan salah satu dari keduanya, baik disebutkan mahar di dalamnya maupun tidak.”
وَقَالَ أبو حنيفة: ينعقد النكاح بالكتابة كَانْعِقَادِهِ بِالصَّرِيحِ، فَجَوَّزَ انْعِقَادَهُ بِلَفْظِ الْبَيْعِ، وَالْهِبَةِ، والتمليك ولم يجزه بالإحلال والإباحة، واختلف الرواة عَنْهُ فِي جَوَازِهِ بِلَفْظِ الْإِجَارَةِ، وَسَوَاءً ذَكَرَ الْمَهْرَ أَوْ لَمْ يَذْكُرْهُ.
Abu Hanifah berkata: Nikāḥ sah dengan tulisan sebagaimana sah dengan lafaz ṣarīḥ. Ia membolehkan sahnya nikāḥ dengan lafaz jual beli, hibah, dan tamlīk (pengalihan kepemilikan), namun tidak membolehkannya dengan lafaz iḥlāl (menghalalkan) dan ibāhah (membolehkan). Para perawi berbeda pendapat tentang kebolehan dengan lafaz ijarah (sewa-menyewa), baik disebutkan mahar maupun tidak.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ ذكر مع هذه الكتابات الْمَهْرَ صَحَّ، وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْهُ لَمْ يَصِحَّ فاستدلوا على انعقاد النكاح بالكتابة بِرِوَايَةِ مَعْمَرٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ: أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَوَهَبَتْ نَفْسَهَا لَهُ فَصَمَتَ ثُمَّ عَرَضَتْ نَفْسَهَا عليه وَهُوَ صَامِتٌ فَقَامَ رَجُلٌ أَحْسَبُهُ قَالَ: مِنَ الْأَنْصَارِ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لم يكن لك بها حاجة فزوجينها؟ فَقَالَ: لَكَ شَيْءٌ؟ قَالَ (لَا) وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اذْهَبْ فَالْتَمِسْ شَيْئًا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: والله ما وجدت شيئاً إلى ثَوْبِي هَذَا، أَشُقُّهُ بَيْنِي وَبَيْنَهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” عليك، مَا فِي ثَوْبِكَ فضلٌ عَنْكَ، فَهَلْ تَقْرَأُ من القرآتن شيئاً فقال: نعم، قال: ماذا؟ قال: ماذا سورة كذا وكذا، قال: فقد أملكناكها بما معك من القرآن، قال: فلقد رَأَيْتُهُ يَمْضِي وَهِيَ تَتْبَعُهُ فَدَلَّ صَرِيحُ هَذَا الحديث على أن انْعِقَادَ النِّكَاحِ بِلَفْظِ التَّمْلِيكِ وَصَارَ حُكْمُ الْكِنَايَةِ فِي انْعِقَادِهِ 0 كَالصَّرِيحِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ يُقْصَدُ بِهِ التَّمْلِيكُ فَجَازَ أَنْ يَنْعَقِدَ بِلَفْظِ التَّمْلِيكِ كَالْبَيْعِ أَوْ لِأَنَّهُ عَقْدٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ الْبُضْعُ فَجَازَ أن يستفاد بلفظ الهبة كتمليك الْإِمَاءِ وَلِأَنَّ مَا انْعَقَدَ بِهِ نِكَاحُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – انْعَقَدَ بِهِ نِكَاحُ أُمَّتِهِ كَالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ طرفي النكاح فجاز أن يستفاد بالصريح والكتابة كالطلاق.
Malik berkata: Jika mahar disebutkan bersama tulisan-tulisan ini, maka sah; dan jika tidak disebutkan, maka tidak sah. Mereka berdalil atas terjadinya akad nikah dengan tulisan berdasarkan riwayat Ma‘mar dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa‘d as-Sa‘idi: Bahwa seorang wanita datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- lalu ia menghadiahkan dirinya kepada beliau. Maka beliau diam, kemudian wanita itu kembali menawarkan dirinya kepada beliau sementara beliau tetap diam. Lalu berdirilah seorang laki-laki—aku kira ia berkata: dari kalangan Anshar—seraya berkata: “Wahai Rasulullah, jika engkau tidak membutuhkan dia, nikahkanlah aku dengannya?” Beliau bertanya: “Apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dijadikan mahar)?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Pergilah, carilah sesuatu walaupun hanya cincin dari besi.” Ia pun pergi lalu kembali dan berkata: “Demi Allah, aku tidak mendapatkan apa-apa kecuali kainku ini, akan aku bagi antara aku dan dia.” Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Apa yang ada pada kainmu itu tidak lebih dari kebutuhanmu sendiri. Apakah engkau hafal sesuatu dari Al-Qur’an?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bertanya: “Apa?” Ia menjawab: “Surat ini dan itu.” Beliau bersabda: “Aku nikahkan engkau dengannya dengan apa yang engkau hafal dari Al-Qur’an.” Sahl berkata: “Maka aku melihatnya berjalan dan wanita itu mengikutinya.” Maka hadis ini secara jelas menunjukkan bahwa akad nikah dapat dilakukan dengan lafaz at-tamlīk, sehingga hukum kinayah dalam akad nikah menjadi seperti lafaz sharih (jelas). Karena ia adalah akad yang dimaksudkan untuk kepemilikan, maka boleh dilakukan dengan lafaz at-tamlīk seperti jual beli. Atau karena ia adalah akad yang dengannya dihalalkan hubungan badan, maka boleh juga menggunakan lafaz hibah seperti dalam kepemilikan budak perempuan. Dan karena apa yang menjadi dasar akad nikah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga menjadi dasar akad nikah umatnya, sebagaimana nikah itu sendiri. Dan karena ia merupakan salah satu dari dua pihak dalam nikah, maka boleh diambil dengan lafaz sharih maupun tulisan, sebagaimana talak.
وَلِأَنَّهُ يَنْعَقِدُ بِالْعَجَمِيَّةِ، لِأَنَّهَا فِي مَعْنَى الْعَرَبِيَّةِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الْعَقْدِ مَعْنَى اللفظ دُونَ اللَّفْظِ، وَالتَّمْلِيكُ فِي مَعْنَى النِّكَاحِ فَصَحَّ به العقد كالنكاح.
Dan karena akad nikah dapat dilakukan dengan bahasa non-Arab (‘ajamiyyah), karena maknanya sama dengan bahasa Arab, maka ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam akad adalah makna dari lafaz, bukan lafaz itu sendiri. Dan at-tamlīk bermakna sama dengan nikah, sehingga sah akad dengannya sebagaimana nikah.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَامْرَأةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحُهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ المُؤْمِنِينَ) {الأحزاب: 50) . فَجَعَلَ الله تعالى النكاح بلفظ الهبة خالصاً لرسوله دُونَ أُمَّتِهِ، فَإِنْ قِيلَ: فَالْآيَةُ تَدُلُّ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أراد أن يجعلها الله له خالصة مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ، وَلَيْسَ فِي الْآيَةِ أَمْرٌ من الله تعالى، وَلَا إِذْنٌ فِيهِ، فَلَمْ يَكُنْ فِي مُجَرَّدِ الطلب دليل على الإباحة.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk orang-orang mukmin} (Al-Ahzab: 50). Maka Allah Ta‘ala menjadikan nikah dengan lafaz hibah sebagai kekhususan bagi Rasul-Nya, tidak untuk umatnya. Jika dikatakan: Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menginginkan agar Allah menjadikannya khusus baginya, bukan untuk orang-orang mukmin, dan tidak ada dalam ayat ini perintah dari Allah Ta‘ala, juga tidak ada izin di dalamnya, maka sekadar permintaan saja tidak menjadi dalil atas kebolehan.
قِيلَ: قَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – امرأة وهبت نفسها منه فذهب جمهورهم إِلَى أَنَّهُ قَدْ كَانَ عِنْدَهُ امْرَأَةٌ وَهَبَتْ نفسها له واختلفوا فيه عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:
Dikatakan: Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan manusia, apakah di sisi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ada seorang wanita yang menghadiahkan dirinya kepada beliau. Mayoritas mereka berpendapat bahwa memang ada seorang wanita yang menghadiahkan dirinya kepada beliau, namun mereka berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّهَا أُمُّ شَرِيكٍ قَالَهُ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ.
Pertama: Bahwa dia adalah Ummu Syarik, sebagaimana dikatakan oleh ‘Urwah bin Az-Zubair.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا خَوْلَةُ بِنْتُ حَكِيمٍ، قَالَتْهُ عَائِشَةُ.
Kedua: Bahwa dia adalah Khaulah binti Hakim, sebagaimana dikatakan oleh ‘Aisyah.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا زَيْنَبُ بِنْتُ خُزَيْمَةَ أُمُّ الْمَسَاكِينِ، قَالَهُ الشَّعْبِيُّ.
Ketiga: Bahwa dia adalah Zainab binti Khuzaymah, Ummul Masakin, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Sya‘bi.
فَعَلَى هَذَا لَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الْآيَةِ دَلِيلٌ على الإباحة إلى ما شاء له مِنَ التَّخْصِيصِ لَكَانَ فِعْلُهُ دَلِيلًا عَلَيْهِ
Maka berdasarkan hal ini, seandainya tidak ada dalil dalam ayat tentang kebolehan kecuali apa yang dikhususkan untuk beliau, maka perbuatan beliau sudah menjadi dalil atas hal itu.
وَقَالَ آخَرُونَ: لَمْ يَكُنْ عِنْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – امْرَأَةٌ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَهُ، وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عباس ومجاهد [وتأويل من قرأ بالكسر ” إن وهَبَتْ “] محمول على المستقبل وَمَنْ قَالَ بِالْأَوَّلِ فَهُوَ بِقِرَاءَةِ مَنْ قَرَأَ بالفتح ” أن وهبت ” [على الماضي] ٍ وَتَأْوِيلُهُ عَلَى هَذَا أَنْ يَكُونَ سِيَاقُ الْآيَةِ دَلِيلًا عَلَى التَّخْصِيصِ لِأَنَّ قَوْلَهُ: {وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا للنَّبِيِّ) {الأحزاب: 50) . حِكَايَةٌ لِلْحَالِ وقوله: {إنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحُهَا} إِخْبَارٌ عَنْ حُكْمِ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ: {خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ المُؤْمِنِينَ} مواجهة من الله تعالى له بالحكمة من غير أن يكون من رسوله طَلَبٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا إِلَّا عَلَى ابْتِدَاءِ الْحُكْمِ وَبَيَانِ التَّخْصِيصِ.
Dan kelompok lain berkata: Tidak ada seorang pun wanita yang menyerahkan dirinya kepada Nabi ﷺ, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas dan Mujahid. Tafsir bagi yang membaca dengan kasrah “in wahabat” dibawa kepada makna masa depan, sedangkan yang berpendapat dengan pendapat pertama, maka itu berdasarkan bacaan siapa yang membaca dengan fathah “an wahabat” (dengan makna lampau). Penafsirannya dalam hal ini adalah bahwa susunan ayat menjadi dalil adanya pengkhususan, karena firman-Nya: {dan seorang perempuan mukmin jika ia menyerahkan dirinya kepada Nabi} (al-Ahzab: 50) adalah penggambaran keadaan, dan firman-Nya: {jika Nabi ingin menikahinya} adalah pemberitahuan tentang hukum Allah. Kemudian Allah berfirman: {khusus untukmu, bukan untuk orang-orang mukmin} sebagai penegasan dari Allah Ta‘ala kepadanya tentang hikmah (pengkhususan) tanpa ada permintaan dari Rasul-Nya. Maka tidak boleh dipahami kecuali sebagai permulaan hukum dan penjelasan pengkhususan.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا خُصَّ بِسُقُوطِ الْمَهْرِ لِيَكُونَ اخْتِصَاصُهُ بِهِ مُفِيدًا، وَلَمْ يُخَصَّ أَنْ يَعْقِدَ بِلَفْظِ الْهِبَةِ، لِأَنَّ اخْتِصَاصَهُ بِهِ غَيْرُ مُفِيدٍ قِيلَ: بَلْ هُوَ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِصَاصِهِ بِالْأَمْرَيْنِ اعْتِبَارًا بِعُمُومِ الآية وليكون اخْتِصَاصُهُ بِحُكْمِ اللَّفْظِ فِي سُقُوطِ الْمَهْرِ هُوَ الْمُفِيدُ لِاخْتِصَاصِهِ بِنَفْسِ اللَّفْظِ، لِأَنَّهُ لَوِ انْعَقَدَ نِكَاحُ غَيْرِهِ بِهَذَا اللَّفْظِ لَتَعَدَّى حُكْمُهُ إِلَى غَيْرِهِ فَيَبْطُلُ التَّخْصِيصُ، وَيَدُلُّ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ أَبُو شَيْبَةَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ: ” إِنَّ النِّسَاءَ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَا يَمْلِكْنَ مِنْ أُمُورِهِنَّ شَيْئًا إِنَّكُمْ إِنَّمَا أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكِتَابِ اللَّهِ، ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف، ولكن عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا، وَأَنْ لَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِأَحَدٍ تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَقَدْ حَلَّ لَكُمْ أَنْ تَضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ، قَالَ: اللَّهُمَّ فَاشْهَدْ “.
Jika dikatakan: Nabi hanya dikhususkan dengan gugurnya mahar agar pengkhususan itu menjadi bermakna, dan tidak dikhususkan dengan akad menggunakan lafaz hibah, karena pengkhususan dengan itu tidak bermakna, maka dijawab: Bahkan, hal itu dibawa pada pengkhususan beliau dalam kedua hal tersebut, berdasarkan keumuman ayat, dan agar pengkhususan beliau dengan hukum lafaz dalam gugurnya mahar itulah yang memberikan makna pengkhususan dengan lafaz itu sendiri. Sebab, jika akad nikah selain beliau dilakukan dengan lafaz ini, maka hukumnya akan berlaku juga pada selain beliau, sehingga pengkhususan menjadi batal. Dan yang menunjukkan apa yang kami sebutkan dari jalur sunnah adalah riwayat Abu Syaibah dari al-Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda dalam Haji Wada‘: “Sesungguhnya para wanita adalah tawanan di sisi kalian, mereka tidak memiliki sedikit pun urusan atas diri mereka. Kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kitab Allah. Dan bagi mereka atas kalian adalah rezeki dan pakaian mereka dengan cara yang baik. Namun, atas mereka adalah agar tidak membiarkan seorang pun menginjak tempat tidur kalian, dan tidak mengizinkan seorang pun masuk ke rumah kalian yang kalian benci. Jika mereka melakukan sesuatu dari hal itu, maka halal bagi kalian untuk memukul mereka dengan pukulan yang tidak membekas. Ingatlah, sudahkah aku sampaikan?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Allah.” Beliau bersabda: “Ya Allah, saksikanlah.”
فَمَوْضِعُ الدَّلِيلِ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ قَوْلُهُ: ” وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكِتَابِ اللَّهِ ” وَلَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِلَّا لَفْظُ النِّكَاحِ وَالتَّزْوِيجِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَسْتَحِلَّ الْفُرُوجَ إِلَّا بِهِمَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنَ الْقِيَاسِ: أَنَّهُ عقدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ لَمْ يَنْعَقِدْ بِلَفْظِ الْهِبَةِ كَالْإِجَارَةِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ فَلَمْ يَنْعَقِدْ بِلَفْظِ الْهِبَةِ كَالْبَيْعِ، وَلِأَنَّ لَفْظَ الْهِبَةِ مَوْضُوعٌ لِعَقْدٍ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْقَبْضِ فَلَمْ يَنْعَقِدْ بِهِ النِّكَاحُ كَالرَّهْنِ، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ طَرَفَيِ الْعَقْدِ فَلَمْ يَصِحَّ بِلَفْظِ الْهِبَةِ كَالطَّلَاقِ، وَلِأَنَّ مَا كَانَ صَرِيحًا فِي عَقْدٍ لَمْ يَكُنْ صَرِيحًا فِي غَيْرِهِ كَالْإِجَارَةِ وَالْبَيْعِ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَكُنْ صَرِيحًا فِي النِّكَاحِ لَمْ يَنْعَقِدْ بِهِ النِّكَاحُ كَالْإِبَاحَةِ وَالْإِحْلَالِ، وَلِأَنَّ هِبَةَ الْمَنَافِعِ إِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا عِوَضٌ فَهِيَ كالعارية، وإن كان معها عوض جرت مَجْرَى الْإِجَارَةِ عِنْدَهُمْ وَالنِّكَاحُ لَا يَنْعَقِدُ بِالْعَارِيَةِ، وَالْإِجَارَةِ، فَكَذَلِكَ بِمَا اقْتَضَاهُمَا مِنَ الْهِبَةِ، وَلِأَنَّ الْحَقِيقَةَ فِي عَقْدٍ لَوْ صَارَتْ حَقِيقَةً فِي غيره لبطلت حقائق العقود، لأن لفظ الكتابة تقوم مقام التصريح بالنية وهي مما لا يعلمها الشهود والمشروطون في النكاح إلا بالاختيار فَلَمْ يَنْعَقِدْ بِهِ النِّكَاحُ كَالْإِقْرَارِ، وَلِأَنَّ الْبَيْعَ وَالْهِبَةَ يُنَافِيَانِ النِّكَاحَ بِدَلِيلِ أَنَّ مَنْ تَزَوَّجَ أَمَةً ثُمَّ ابْتَاعَهَا أَوِ اسْتَوْهَبَهَا بَطَلَ نِكَاحُهَا وَمَا نَافَى النِّكَاحَ لَمْ يَنْعَقِدْ بِهِ النِّكَاحُ كَالطَّلَاقِ وَلِأَنَّهُ لَفْظٌ يُوضَعُ لِإِسْقَاطِ مَا فِي الذِّمَمِ فَلَمْ يَنْعَقِدْ بِهِ النِّكَاحُ كَالْإِبْرَاءِ، وَلِأَنَّهُ لو انعقد النكاح بلفظ البيع لانعقد البيع بلفظ النكاح، وفي امتناع هذا إجماعاً وامتناع ذَلِكَ حِجَاجا.
Maka letak dalil dari hadis ini adalah sabda beliau: “Dan kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan Kitab Allah.” Tidak terdapat dalam Kitab Allah kecuali lafaz nikah dan tazwij, sehingga hal ini menunjukkan bahwa tidak dihalalkan kemaluan kecuali dengan kedua lafaz tersebut. Dalil dari qiyās juga menunjukkan hal itu: bahwa ia adalah akad atas suatu manfaat yang tidak sah dengan lafaz hibah, seperti halnya ijarah; dan karena ia adalah akad mu‘āwadah (pertukaran) maka tidak sah dengan lafaz hibah, seperti halnya jual beli; dan karena lafaz hibah ditetapkan untuk akad yang tidak sempurna kecuali dengan qabd (penyerahan), maka nikah tidak sah dengan lafaz itu, seperti halnya rahn (gadai); dan karena ia adalah salah satu pihak dalam akad, maka tidak sah dengan lafaz hibah, seperti halnya talak; dan karena sesuatu yang jelas dalam satu akad tidaklah jelas dalam akad lain, seperti ijarah dan jual beli; dan karena sesuatu yang tidak jelas dalam nikah, maka nikah tidak sah dengannya, seperti ibāhah (pembolehan) dan iḥlāl (penghalalan); dan karena hibah manfaat jika tidak disertai ‘iwadh (imbalan) maka ia seperti ‘āriyah (pinjaman pakai), dan jika disertai ‘iwadh maka ia seperti ijarah menurut mereka, sedangkan nikah tidak sah dengan ‘āriyah dan ijarah, maka demikian pula dengan apa yang serupa dengannya dari hibah; dan karena hakikat dalam suatu akad jika menjadi hakikat dalam akad lain, maka akan rusaklah hakikat-hakikat akad, karena lafaz penulisan (kitabah) menempati posisi pernyataan niat secara jelas, yang mana hal itu tidak diketahui oleh para saksi dan yang disyaratkan dalam nikah kecuali dengan pilihan, maka nikah tidak sah dengannya, seperti halnya iqrar (pengakuan); dan karena jual beli dan hibah bertentangan dengan nikah, dengan dalil bahwa siapa yang menikahi seorang budak perempuan lalu membelinya atau memintanya sebagai hibah, maka batal nikahnya; dan apa yang bertentangan dengan nikah, maka nikah tidak sah dengannya, seperti talak; dan karena ia adalah lafaz yang digunakan untuk menggugurkan apa yang ada dalam tanggungan, maka nikah tidak sah dengannya, seperti ibra’ (pembebasan hutang); dan karena jika nikah sah dengan lafaz jual beli, niscaya jual beli pun sah dengan lafaz nikah, padahal tidak sah secara ijmā‘, dan ketidakabsahan itu menjadi hujjah.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: ” قَدْ ملكتها بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ” فَهُوَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيَّ قَالَ: وَهِمَ فِيهِ مَعْمَرٌ فَإِنَّهُ ما روى ” قد ملكتها ” إِلَّا مَعْمَرٌ عَنْ أَبِي حَازِمٍ، وَقَدْ رَوَى مَالِكٌ وَسُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، وَحَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، وعبد العزيز بن محمد الداراوردي، وَفُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرَآنِ ” وهذه الرواية أثبت لكثرة عدد الرواة، وإنهم خمسة علماء ثم تستعمل الروايتين فَتُحْمَلُ رِوَايَةُ مَنْ رَوَى قَدْ ” زَوَّجْتُكَهَا ” عَلَى حال العقد ومن روى قد ملكتها على الإخبار بعقد عَمَّا مَلَكَهُ بِالْعَقْدِ.
Adapun jawaban atas ucapannya: “Engkau telah memilikinya dengan apa yang ada padamu dari al-Qur’an,” maka Abu Bakr an-Naisaburi berkata: Ma‘mar telah keliru dalam hal ini, karena tidak ada yang meriwayatkan “engkau telah memilikinya” kecuali Ma‘mar dari Abu Hazim. Sedangkan Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, Hammad bin Zaid, ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad ad-Darawardi, dan Fudail bin Sulaiman meriwayatkan dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa‘d dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan apa yang ada padamu dari al-Qur’an.” Riwayat ini lebih kuat karena banyaknya perawi, yaitu lima orang ulama. Kemudian kedua riwayat itu digunakan, maka riwayat yang berbunyi “aku telah menikahkanmu dengannya” dibawa pada keadaan akad, sedangkan yang meriwayatkan “engkau telah memilikinya” diartikan sebagai pemberitahuan tentang kepemilikan melalui akad.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى أَحْكَامِ الْبَيْعِ بِأَنَّهُ عَقْدٌ يُقْصَدُ بِهِ التَّمْلِيكُ فَهُوَ أَنَّ لِأَصْحَابِنَا فِي عَقْدِ الْبَيْعِ بِلَفْظِ التَّمْلِيكِ وَجْهَانِ:
Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap hukum jual beli, bahwa ia adalah akad yang dimaksudkan untuk kepemilikan, maka menurut para ulama kami dalam akad jual beli dengan lafaz tamlik (kepemilikan) terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ، لِأَنَّ التمليك من أحكام البيع فلم به ينعقد الْبَيْعُ، فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ الْأَصْلُ.
Pertama: Tidak sah, karena tamlik adalah bagian dari hukum jual beli, maka jual beli tidak sah dengannya. Dengan demikian, asal (qiyās) tersebut batal.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْبَيْعَ يَنْعَقِدُ بِهِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمُعْتَبَرُ في انعقاد البيع بلفظ التمليك وجود التَّمْلِيكِ فِيهِ عَلَى عُمُومِهِ وَقُصُورُهُ فِي النِّكَاحِ عَلَى الْعُمُومِ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ كُلَّ الْمَبِيعِ وَلَا يَمْلِكُ مِنَ الْمَنْكُوحَةِ إِلَّا الِاسْتِمْتَاعَ، وَهَكَذَا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى شِرَاءِ الْإِمَاءِ، وَأَمَّا تَعْلِيلُهُمْ بنكاح النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
Kedua: Bahwa jual beli sah dengannya. Maka dalam hal ini yang menjadi pertimbangan dalam sahnya jual beli dengan lafaz tamlik adalah adanya unsur kepemilikan secara umum, sedangkan dalam nikah hanya terbatas, karena dalam jual beli seseorang memiliki seluruh barang yang dijual, sedangkan dalam nikah seseorang hanya memiliki hak istimta‘ (bersenang-senang). Demikian pula jawaban atas qiyās mereka terhadap pembelian budak perempuan. Adapun alasan mereka dengan pernikahan Nabi ﷺ, maka ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ تَعْلِيلٌ يَدْفَعُ النَّصَّ فَكَانَ مُطَّرِحًا.
Pertama: Bahwa alasan tersebut bertentangan dengan nash, maka harus ditinggalkan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا خص سقوط الْمَهْرِ جَازَ أَنْ يَكُونَ مَخْصُوصًا بِاللَّفْظِ الَّذِي يَقْتَضِي سُقُوطَ الْمَهْرِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي لَفْظِ النِّكَاحِ أَنَّهُ صَرِيحٌ فِيهِ، وَالْبَيْعُ وَالْهِبَةُ صَرِيحَانِ فِي غَيْرِهِ.
Kedua: Bahwa ketika khususnya gugurnya mahar, maka boleh jadi lafaz yang menyebabkan gugurnya mahar itu juga khusus. Kemudian makna dalam lafaz nikah adalah ia jelas untuk itu, sedangkan jual beli dan hibah jelas untuk selainnya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الطَّلَاقِ فِي وقوعه بالصريح والكناية، هو أَنَّ النِّكَاحَ قَدْ غَلُظَ بِشُرُوطٍ لَمْ تُعْتَبَرْ فِي الطَّلَاقِ فَلَمْ يَصِحَّ قِيَاسُهُ عَلَيْهِ فِي تخفيف شروطه على أن النِّكَاحَ شَهَادَةٌ مَشْرُوطَةٌ لَا تَتَحَقَّقُ فِي الْكِنَايَةِ فلم ينعقد بِالْكِنَايَةِ وَلَيْسَ فِي الطَّلَاقِ شَهَادَةٌ مَشْرُوطَةٌ فَوَقَعَ بالكناية.
Adapun qiyās mereka terhadap talak dalam hal jatuhnya dengan lafaz sharih dan kinayah, maka jawabannya adalah bahwa akad nikah telah dipersulit dengan syarat-syarat yang tidak dipertimbangkan dalam talak, sehingga tidak sah qiyās atasnya dalam meringankan syarat-syaratnya. Selain itu, nikah adalah suatu kesaksian yang disyaratkan, yang tidak dapat terwujud dalam kinayah, sehingga tidak sah dengan kinayah. Sedangkan dalam talak tidak ada kesaksian yang disyaratkan, sehingga talak dapat jatuh dengan kinayah.
وأما استدلالهم بعقده بالعجمية فشرح لمذهبنا فيه بيان للانفصال عنه وفيه لأصحابنا ثلاثة أوجه:
Adapun dalil mereka tentang sahnya akad dengan bahasa non-Arab, maka penjelasan terhadap mazhab kami di dalamnya merupakan penjelasan tentang perbedaan pendapat, dan dalam hal ini terdapat tiga pendapat di kalangan ulama kami:
أحدهما: – حكاه أبو حامد الإسفراييني، وَلَمْ يُتَابِعْهُ عَلَيْهِ أَحَدٌ – أَنَّهُ لَا يَنْعَقِدُ بِالْعَجَمِيَّةِ سَوَاءً كَانَ عَاقِدُهُ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ أَوْ لا يحسنها كما أن القراءة لا يجوز بِالْعَجَمِيَّةِ وَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ فَعَلَى هَذَا سَقَطَ السُّؤَالُ.
Pendapat pertama—yang diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini, dan tidak ada yang mengikutinya—bahwa akad tidak sah dengan bahasa non-Arab, baik pelakunya mampu berbahasa Arab maupun tidak, sebagaimana bacaan (Al-Qur’an) tidak boleh dengan bahasa non-Arab meskipun tidak mampu berbahasa Arab. Maka menurut pendapat ini, pertanyaan tersebut gugur.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ مَشْهُورٌ، قَالَهُ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا – أَنَّهُ يَنْعَقِدُ بِالْعَجَمِيَّةِ سَوَاءً كَانَ عَاقِدُهُ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ أَوْ لَا يُحْسِنُهَا، لِأَنَّ لَفْظَهُ بِالْعَجَمِيَّةِ صَرِيحٌ فَخَرَجَ عَنْ حُكْمِ الكناية بالعربية، لأن في كناية العربية احتمال وَلَيْسَ فِي صَرِيحِ الْعَجَمِيَّةِ احْتِمَالٌ، وَخَالَفَ الْقُرْآنَ المعجز، لأن إعجازه ونظمه، وَهَذَا الْمَعْنَى يَزُولُ عَنْهُ إِذَا عُدِلَ عَنْ لَفْظِهِ الْعَرَبِيِّ إِلَى الْكَلَامِ الْعَجَمِيِّ.
Pendapat kedua—yang masyhur dan dikatakan oleh mayoritas ulama kami—bahwa akad sah dengan bahasa non-Arab, baik pelakunya mampu berbahasa Arab maupun tidak, karena lafaznya dalam bahasa non-Arab adalah sharih, sehingga keluar dari hukum kinayah dalam bahasa Arab. Sebab, dalam kinayah bahasa Arab terdapat kemungkinan (makna lain), sedangkan dalam lafaz sharih bahasa non-Arab tidak ada kemungkinan (makna lain). Ini berbeda dengan Al-Qur’an yang bersifat mu‘jiz (mukjizat), karena kemukjizatannya terletak pada susunan dan bahasanya, dan makna ini hilang jika dialihkan dari lafaz Arab ke bahasa non-Arab.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ – أَنَّهُ إِنْ كَانَ عَاقِدُهُ يُحْسُنُ الْعَرَبِيَّةَ لَمْ يَنْعَقِدْ بِالْعَجَمِيَّةِ وَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ انْعَقَدَ بِالْعَجَمِيَّةِ كَأَذْكَارِ الصَّلَاةِ تُجْزِئُ بِالْعَجَمِيَّةِ لِمَنْ لَا يُحْسِنُ العربية، ولا تجزئ لمن يحسنها، فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَ حال القدوة والعجز، والعادل عن صريح النكاح إلى كتابته قادر والعادل عنه إلى العجمية عاجز فاقد.
Pendapat ketiga—yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri—bahwa jika pelakunya mampu berbahasa Arab, maka akad tidak sah dengan bahasa non-Arab. Namun jika tidak mampu berbahasa Arab, maka akad sah dengan bahasa non-Arab, sebagaimana zikir-zikir dalam shalat boleh dilakukan dengan bahasa non-Arab bagi yang tidak mampu berbahasa Arab, dan tidak sah bagi yang mampu. Maka menurut pendapat ini, tidak boleh menggabungkan antara keadaan mampu dan tidak mampu; orang yang berpaling dari lafaz sharih nikah ke penulisan (akad tertulis) adalah orang yang mampu, sedangkan yang berpaling ke bahasa non-Arab adalah orang yang tidak mampu.
فَإِذَا قِيلَ بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ: إنَّهُ لَا يَنْعَقِدُ بِالْعَجَمِيَّةِ مَعَ الْقُدْرَةِ وَالْعَجْزِ كَانَ عَاقِدُهُ إِذَا لَمْ يُحْسِنِ الْعَرَبِيَّةَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُوَكِّلَ عَرَبِيًّا فِي عَقْدِهِ، وَبَيْنَ أَنْ يَتَعَلَّمَ الْعَرَبِيَّةَ فيعقده بِنَفْسِهِ.
Jika dipilih pendapat pertama, yaitu bahwa akad tidak sah dengan bahasa non-Arab baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, maka pelaku akad jika tidak mampu berbahasa Arab, ia diberi pilihan antara mewakilkan kepada orang Arab untuk mengakadkan, atau belajar bahasa Arab lalu mengakadkan sendiri.
وَإِذَا قِيلَ بِالْوَجْهِ الثَّانِي: إنَّهُ يَنْعَقِدُ بِالْعَجَمِيَّةِ مَعَ الْقُدْرَةِ وَالْعَجْزِ كَانَ عَاقِدُهُ إِذَا لم يحسن العربية فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِذَا كَانَ يَحْسُنُ الْعَرَبِيَّةَ بَيْنَ أَنْ يَعْقِدَهُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَهُوَ أَوْلَى، لِأَنَّهُ لِسَانُ الشَّرِيعَةِ وَبَيْنَ أَنْ يَعْقِدَهُ بِالْفَارِسِيَّةِ وَبِأَيِّ اللِّسَانَيْنِ عَقَدَهُ فَلَا يَصِحُّ حَتَّى يَكُونَ شَاهِدًا عَقْدُهُ بعرفانه، فَإِنْ عَقَدَهُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَشَاهِدَاهُ عَجَمِيَّانِ، أَوْ عَقَدَهُ بِالْعَجَمِيَّةِ وَشَاهِدَاهُ عَرَبِيَّانِ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهُمَا إِذَا لَمْ يَعْرِفَا لِسَانَ الْعَقْدِ لَمْ يَشْهَدَا عَلَيْهِ إِلَّا بِالِاسْتِخْبَارِ عَنْهُ فَجَرَى بَيْنَهُمَا مَجْرَى الْكِنَايَةِ.
Jika dipilih pendapat kedua, yaitu bahwa akad sah dengan bahasa non-Arab baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu, maka pelaku akad jika tidak mampu berbahasa Arab, ia diberi pilihan—jika ia mampu berbahasa Arab—antara mengakadkan dengan bahasa Arab (dan itu lebih utama karena merupakan bahasa syariat), atau dengan bahasa Persia. Dengan bahasa mana pun ia mengakadkan, tidak sah kecuali para saksinya memahami akad tersebut. Jika akad dilakukan dengan bahasa Arab dan kedua saksinya orang non-Arab, atau dilakukan dengan bahasa non-Arab dan kedua saksinya orang Arab, maka tidak sah, karena jika keduanya tidak memahami bahasa akad, mereka hanya dapat bersaksi dengan bertanya tentangnya, sehingga kedudukannya sama dengan kinayah.
وإذا قيل بالقول الثَّالِثِ: إنَّهُ يَنْعَقِدُ بِالْعَجَمِيَّةِ مَعَ الْعَجْزِ وَلَا يَنْعَقِدُ بِهَا مَعَ الْقُدْرَةِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْوَلِيِّ الْبَاذِلِ وَالزَّوْجِ الْقَابِلِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:
Jika dipilih pendapat ketiga, yaitu bahwa akad sah dengan bahasa non-Arab hanya dalam keadaan tidak mampu, dan tidak sah dalam keadaan mampu, maka keadaan wali yang menikahkan dan suami yang menerima tidak lepas dari tiga kemungkinan:
إحداها: أَنْ يَكُونَا عَرَبِيَّيْنِ فَلَا يَنْعَقِدُ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْعَرَبِيَّةِ.
Pertama: Keduanya orang Arab, maka akad nikah di antara keduanya tidak sah kecuali dengan bahasa Arab.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَا عَجَمِيَّيْنِ فَلَا يَنْعَقِدُ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا إِنْ بَاشَرَاهُ بِأَنْفُسِهِمَا إِلَّا بِالْعَجَمِيَّةِ.
Kedua: Keduanya orang non-Arab, maka akad nikah di antara keduanya tidak sah jika dilakukan sendiri kecuali dengan bahasa non-Arab.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا عَرَبِيًّا وَالْآخَرُ أَعْجَمِيًّا فَلَا يَنْعَقِدُ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا بالعربية، لأن العجمية لا يحسنها ولا بالعجمية، لأن العربية لَا يُحْسِنُهَا فَكَانَا بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ أَنْ يُوَكِّلَا مَنْ يَعْرِفُ أَحَدَ اللِّسَانَيْنِ، وَبَيْنَ أَنْ يتعلم العجمي منهما العربية فيجتمعا عَلَى عَقْدِهِ بِهَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَعَلَّمَ العربي العربية لِيَجْتَمِعَا عَلَى عَقْدِهِ بِهَا، لِأَنَّ مَنْ أَحْسَنَ الْعَرَبِيَّةَ لَا يَجُوزُ لَهُ الْعَقْدُ بِالْعَجَمِيَّةِ، وَيَجُوزُ لمن يحسن العجمية أن يعقده بالعربية.
Keadaan ketiga: Jika salah satu dari keduanya adalah orang Arab dan yang lainnya adalah orang non-Arab, maka akad nikah di antara keduanya tidak sah dengan bahasa Arab, karena pihak non-Arab tidak menguasainya, dan tidak pula dengan bahasa non-Arab, karena pihak Arab tidak menguasainya. Maka keduanya memiliki dua pilihan: menunjuk wakil yang memahami salah satu dari kedua bahasa tersebut, atau pihak non-Arab di antara keduanya mempelajari bahasa Arab sehingga keduanya dapat melangsungkan akad dengan bahasa Arab. Tidak diperbolehkan bagi pihak Arab untuk mempelajari bahasa non-Arab agar keduanya dapat melangsungkan akad dengan bahasa non-Arab, karena siapa yang menguasai bahasa Arab tidak boleh melakukan akad dengan bahasa non-Arab, sedangkan bagi yang menguasai bahasa non-Arab, diperbolehkan melakukan akad dengan bahasa Arab.
فإن قيل فلها اخْتَصَّ الْعَرَبِيُّ فِيهِ بِاللَّفْظِ الْعَرَبِيِّ وَتَفَرَّدَ الْعَجَمِيُّ بِاللَّفْظِ الْعَجَمِيِّ.
Jika ada yang bertanya: Mengapa pihak Arab dikhususkan dengan lafaz Arab dan pihak non-Arab dengan lafaz non-Arab?
قِيلَ: لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَا يَعْرِفُ لَفْظَ صَاحِبِهِ فَيُقَابِلُهُ عليه – والله أعلم.
Dijawab: Tidak diperbolehkan, karena masing-masing dari keduanya tidak mengetahui lafaz pihak lainnya sehingga tidak dapat saling menanggapi dengannya – dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَالْفَرْجُ مُحَرَّمٌ قَبْلَ الْعَقْدِ فَلَا يَحِلُّ أَبَدًا إلا بأن يقول الولي قد زَوَّجْتُكَهَا أَوْ أَنْكَحْتُكَهَا وَيَقُولُ الْخَاطِبُ قَدْ قَبِلْتُ تَزْوِيجَهَا أَوْ نِكَاحَهَا أَوْ يَقُولُ الْخَاطِبُ زَوِّجْنِيهَا ويقول الْوَلِيُّ قَدْ زَوَّجْتُكَهَا فَلَا يَحْتَاجُ فِي هَذَا إلى أن يقول الزوج قد قبلت ولو قال قد ملكتك نكاحها أو نحو ذلك فقبل لم يكن نكاحاً وإذا كانت الهبة أو الصدقة تملك بها الأبدان والحرة لا تملك فكيف تجوز الهبة في النكاح؟ فإن قيل: معناها زوجتك قيل: فقوله قد أحللتها لك أقرب إلى زوجتكها وهو لا يجيزه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Kemaluan haram sebelum akad, maka tidak pernah halal kecuali dengan ucapan wali: ‘Aku telah menikahkanmu dengannya’ atau ‘Aku telah mengawinkanmu dengannya’, dan calon suami berkata: ‘Aku menerima pernikahannya’ atau ‘Aku menerima akad nikahnya’, atau calon suami berkata: ‘Nikahkanlah aku dengannya’, lalu wali berkata: ‘Aku telah menikahkanmu dengannya’. Dalam hal ini tidak perlu suami mengatakan: ‘Aku telah menerima’. Jika ia berkata: ‘Aku telah memiliki nikahnya’ atau semacamnya lalu diterima, maka itu bukanlah nikah. Jika hibah atau sedekah dapat menyebabkan kepemilikan badan, sedangkan perempuan merdeka tidak dapat dimiliki, maka bagaimana hibah dalam nikah bisa dibenarkan? Jika ada yang berkata: ‘Maksudnya aku menikahkanmu’, dijawab: Ucapannya ‘Aku telah menghalalkannya untukmu’ lebih dekat maknanya dengan ‘Aku telah menikahkanmu’, namun itu tidak dibolehkan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ. اعْلَمْ أَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ بَعْدَ حُضُورِ الْوَلِيِّ وَالشَّاهِدَيْنِ لَا يتميز إِلَّا بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Ketahuilah bahwa akad nikah setelah hadirnya wali dan dua saksi tidak dapat dibedakan kecuali dengan tiga syarat:
أَحَدُهَا: تَعْيِينُ الْمَنْكُوحَةِ.
Pertama: Penetapan (identifikasi) perempuan yang dinikahi.
وَالثَّانِي: تعيين اللفظ.
Kedua: Penetapan lafaz.
والثالث: صفة العقد.
Ketiga: Sifat akad.
القول في تعيين المنكوحة
Pembahasan tentang penetapan perempuan yang dinikahi
فَأَمَّا تَعْيِينُ الْمَنْكُوحَةِ فَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ بِمَا تَتَمَيَّزُ بِهِ عَنْ غَيْرِهَا وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: إِمَّا بِالْإِشَارَةِ، وَإِمَّا بِالِاسْمِ، وَإِمَّا بِالصِّفَةِ.
Adapun penetapan perempuan yang dinikahi, maka wajib dilakukan dengan sesuatu yang membedakannya dari selainnya, dan itu dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga hal: dengan isyarat, dengan nama, atau dengan sifat.
فَأَمَّا الْإِشَارَةُ فَلَا تَكُونُ إِلَّا إلى حاضرة فنقول: زَوَّجْتُكَ هَذِهِ الْمَرْأَةَ فَيَصِحُّ النِّكَاحُ عَلَيْهَا، وَإِنْ لم يذكر لها اسم ولها حالان: موافق، وتخالف فإن كان موافقاً فقد آكد بالإشارة بها قَرْنَهُ بِهَا مِنْ مُوَافَقَةِ الِاسْمِ، وَالنَّسَبِ، وَالصِّفَةِ، وَإِنْ كَانَ مُخَالِفًا بِأَنْ سَمَّاهَا حَفْصَةَ بِنْتَ زيد وهي عَمْرَةُ بِنْتُ بَكْرٍ، أَوْ وَصَفَهَا بِالطَّوِيلَةِ وَهِيَ قَصِيرَةٌ صَحَّ الْعَقْدُ بِالْإِشَارَةِ إِلَيْهَا وَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ مُخَالَفَةُ الِاسْمِ، وَالنَّسَبِ، وَالصِّفَةِ، لِأَنَّ الْإِشَارَةَ أبلغ في التعيين من كل اسم وصفة.
Adapun isyarat, maka itu hanya berlaku untuk perempuan yang hadir, misalnya dengan mengatakan: “Aku menikahkanmu dengan perempuan ini,” maka akad nikah sah atasnya, meskipun namanya tidak disebutkan. Dalam hal ini ada dua keadaan: sesuai dan tidak sesuai. Jika sesuai, maka isyarat tersebut semakin menegaskan dengan disertai kesesuaian nama, nasab, dan sifat. Jika tidak sesuai, misalnya ia menamainya Hafshah binti Zaid padahal sebenarnya Amrah binti Bakr, atau menyifatinya sebagai tinggi padahal pendek, maka akad tetap sah dengan isyarat kepadanya dan tidak berpengaruh perbedaan nama, nasab, dan sifat, karena isyarat lebih kuat dalam penetapan daripada nama dan sifat apa pun.
وأما الاسم فقد يتعين بِهِ الْغَائِبَةُ إِذَا لَمْ يُشَارِكْهَا فِيهِ غَيْرُهَا، وَهُوَ فِي الْأَغْلَبِ إِذَا انْفَرَدَ عَنْ نَسَبٍ لا يقع به التمني، فَإِنْ قُرِنَ بِهِ النَّسَبُ نُظِرَ، فَإِنْ لَمْ يُشَارِكْهَا فِيهِ غَيْرُهَا مِنَ النِّسَاءِ تَمَيَّزَتْ بِهِ وَصَحَّ الْعَقْدُ عَلَيْهَا بِمَا تَمَيَّزَتْ بِهِ مِنَ الِاسْمِ وَالنَّسَبِ، وَإِنْ لَمْ يَنْوِ الزَّوْجُ وَالْوَلِيُّ الْإِشَارَةَ إِلَى الْمَنْكُوحَةِ وإِنْ لَمْ يَتَمَيَّزِ الِاسْمُ والنسب عن غيرهما مِنَ النِّسَاءِ لِمُشَارَكَتِهَا فِيهِ لِغَيْرِهَا نُظِرَ، فَإِنْ نوى الزوج والولي في نفوسهما فالإشارة للمنكوحة صَحَّ الْعَقْدُ وَعَلَى هَذَا أَكْثَرُ عُقُودِ الْمَنَاكِحِ، وإن لم ينو لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ لِاشْتِبَاهِ الْمَنْكُوحَةِ بِغَيْرِهَا وَصَارَ بِمَثَابَةِ قَوْلِهِ: قَدْ زَوَّجْتُكَ امْرَأَةً، وَأَمَّا الصِّفَةُ فلا تكون بانفرادها مميزة للمنكوحة عن غَيْرِهَا لِاشْتِرَاكِ النَّاسِ فِي الصِّفَاتِ حَتَّى يَقْتَرِنَ بِهَا مَعَ مَا يَقَعُ بِهِ التَّمْيِيزُ مِنِ اسم، أو نسب، أو نية مثل سودة بنت زيد بن خالد وله بنات فيهن المنكوحة.
Adapun nama, maka dapat digunakan untuk menetapkan perempuan yang tidak hadir jika tidak ada orang lain yang menyandang nama tersebut. Hal ini umumnya terjadi jika nama tersebut tidak disertai nasab yang dapat menimbulkan kerancuan. Jika disertai nasab, maka perlu dilihat: jika tidak ada perempuan lain yang menyandang nama dan nasab tersebut, maka ia dapat dibedakan dan akad sah atasnya berdasarkan nama dan nasab yang membedakannya, meskipun suami dan wali tidak berniat menunjuk perempuan yang dinikahi. Jika nama dan nasab tidak membedakannya dari perempuan lain karena ada yang menyamainya, maka perlu dilihat: jika suami dan wali dalam hati mereka berniat menunjuk perempuan yang dinikahi, maka isyarat berlaku dan akad sah, dan inilah yang terjadi pada kebanyakan akad nikah. Namun jika tidak ada niat, maka akad tidak sah karena perempuan yang dinikahi menjadi samar dengan yang lain, dan keadaannya seperti ucapan: “Aku menikahkanmu dengan seorang perempuan.” Adapun sifat, maka tidak dapat membedakan perempuan yang dinikahi dari yang lain hanya dengan sifat, karena manusia banyak yang memiliki sifat yang sama, kecuali jika disertai dengan sesuatu yang dapat membedakan seperti nama, nasab, atau niat, misalnya: “Saudah binti Zaid bin Khalid,” padahal ia memiliki beberapa anak perempuan dan salah satunya adalah yang dinikahi.
لما الاسم إذا لم يشتركن فيه فنقول حَفْصَةُ، أَوْ عَمْرَةُ.
Karena nama, jika tidak ada yang menyamainya, maka dikatakan: Hafshah, atau Amrah.
وَإمَّا بِالصِّفَةِ، إِذَا لَمْ يَشْتَرِكْنَ فِيهَا فَيَقُولُ الطَّوِيلَةُ، أَوِ الْقَصِيرَةُ، أَوْ يَقُولُ: السَّوْدَاءُ أَوِ الْبَيْضَاءُ أَوْ يَقُولُ: الصَّغِيرَةُ أَوِ الْكَبِيرَةُ فَتَصِيرُ الصِّفَةُ مُمَيِّزَةً لِلْمَنْكُوحَةِ وَلَوْلَاهَا لاشتبهت وإذا كان كذلك فأراد أَنْ يُزَوِّجَ بِنْتَهُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إلا بنت جَازَ أَنْ يَقُولَ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي وَلَا يَذْكُرَ لها اسماً ولا صفة، لأنها قد تعنت فِي الْعَقْدِ فَصَحَّ فَإِنْ ذَكَرَ مَعَ ذَلِكَ اسْمًا أَوْ صِفَةً: فَقَالَ: بِنْتِي حَفْصَةَ أَوْ قَالَ: بِنْتِي الطَّوِيلَةَ فَقَدْ أَكَّدَ إِنْ وَافَقَ الاسم والصفة ولم يؤثر فِيهِ إِنْ خَالَفَ الِاسْمَ وَالصِّفَةَ قَوْلُهُ: عَمْرَةُ وَقَدْ سَمَّاهَا حَفْصَةَ وَكَانَتْ قَصِيرَةً وَقَدْ وَصَفَهَا طَوِيلَةً، لِأَنَّ الِاسْمَ قَدْ يَنْتَقِلُ، وَالْقَصِيرَةُ قَدْ تَكُونُ طَوِيلَةً بِالْإِضَافَةِ إِلَى مَنْ هِيَ أَقصْرُ مِنْهَا وَإِنْ كَانَ لِلْأَبِ الْمُزَوِّجِ عِدَّةُ بَنَاتٍ لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ بِأَنْ يَقُولَ: زَوَّجْتُكَ بِنْتِي حَتَّى يُمَيِّزَهَا عَنْ سَائِرِهِنَّ إِمَّا بِنْيَةٍ يَتَّفِقُ الْأَبُ وَالزَّوْجُ بِهَا عَلَى إِرَادَةِ إِحْدَاهُنَّ بِعَيْنِهَا.
Atau dengan sifat, jika tidak ada kesamaan dalam sifat tersebut, maka ia mengatakan: “yang tinggi”, atau “yang pendek”, atau ia mengatakan: “yang hitam” atau “yang putih”, atau ia mengatakan: “yang kecil” atau “yang besar”, sehingga sifat itu menjadi pembeda bagi perempuan yang dinikahi, dan tanpa sifat itu akan terjadi kesamaran. Jika demikian keadaannya, lalu seseorang ingin menikahkan putrinya, maka jika ia hanya memiliki satu orang putri, boleh baginya mengatakan: “Aku nikahkan engkau dengan putriku” tanpa menyebutkan nama atau sifat, karena ia sudah jelas dalam akad sehingga sah. Jika ia menyebutkan nama atau sifat bersamaan dengan itu, misalnya ia berkata: “Putriku Hafshah” atau ia berkata: “Putriku yang tinggi”, maka itu hanya menegaskan saja jika nama dan sifatnya sesuai, dan tidak berpengaruh jika nama dan sifatnya berbeda, misalnya ia berkata: “Amrah” padahal namanya Hafshah, atau ia berkata: “yang tinggi” padahal ia pendek, karena nama bisa berpindah, dan yang pendek bisa saja menjadi tinggi jika dibandingkan dengan yang lebih pendek darinya. Jika ayah yang menikahkan memiliki beberapa putri, maka tidak sah akad nikah hanya dengan mengatakan: “Aku nikahkan engkau dengan putriku” sampai ia membedakannya dari yang lain, baik dengan niat yang disepakati antara ayah dan calon suami untuk menginginkan salah satu di antara mereka secara spesifik.
وإما باسم، أو صفة، فيقول: بنتي حفصة فيصفها بالاسم من غير أن يَقُولَ بِنْتِي الصَّغِيرَةَ فَتَصِيرُ بِالصِّفَةِ مُتَمَيِّزَةً فَيَصِحُّ الْعَقْدُ حِينَئِذٍ عَلَيْهَا، فَإِنْ جَمَعَ بَيْنَ الِاسْمِ وَالصِّفَةِ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ:
Atau dengan nama, atau sifat, misalnya ia berkata: “Putriku Hafshah”, maka ia membedakan dengan nama tanpa mengatakan: “Putriku yang kecil”, sehingga dengan sifat itu menjadi pembeda, dan akad pun sah atasnya. Jika ia menggabungkan antara nama dan sifat, maka itu ada dua kemungkinan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُتَّفِقًا فَيَقُولُ: قَدْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي حَفْصَةَ الصَّغِيرَةَ، وَالصَّغِيرَةُ هي حفصة، والكبيرة هي عمرة، فيسم الْمَنْكُوحَةَ بِاسْمِهَا وَيَصِفُهَا بِصِفَتِهَا فَقَدْ أَكَّدَ الِاسْمَ بِالصِّفَةِ فَكَانَ أَبْلَغَ فِي التَّمْيِيزِ.
Pertama: Jika keduanya sesuai, misalnya ia berkata: “Aku nikahkan engkau dengan putriku Hafshah yang kecil”, dan yang kecil itu memang Hafshah, dan yang besar adalah Amrah, maka ia menyebut perempuan yang dinikahi dengan namanya dan menyifatinya dengan sifatnya, sehingga ia menegaskan nama dengan sifat, dan itu lebih kuat dalam membedakan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُخَالِفًا فَسَمَّى الْمَوْصُوفَةَ بِغَيْرِ اسْمِهَا وَوَصَفَ الْمُسَمَّاةَ بِغَيْرِ صِفَتِهَا، لِأَنَّ حَفْصَةَ هِيَ الْكَبِيرَةُ وَقَدْ وَصَفَهَا بِالصَّغِيرَةِ، وَعَمْرَةُ هِيَ الصَّغِيرَةُ وَقَدْ وَصَفَهَا بِالْكَبِيرَةِ فَيَكُونُ الْمُعَوَّلُ عَلَى الصِّفَةِ دُونَ الِاسْمِ، لِأَنَّ الصِّفَةَ لَازِمَةٌ وَالِاسْمَ مُنْتَقِلٌ فيقع العقد عَلَى الصَّغِيرَةِ الَّتِي اسْمُهَا عَمْرَةُ، وَإِنْ سَمَّى في العقد حفصة، فلو ميز المنكوحة في بناته بصفتهن فَقَالَ: زَوَّجْتُكَ بِنْتِي الصَّغِيرَةَ، الطَّوِيلَةَ، فَإِنْ وَافَقَتِ الصِّفَتَانِ فَقَدْ أَكَّدَ إِحْدَى الصِّفَتَيْنِ بِالْأُخْرَى فَكَانَ أبلغ في التمييز وإن خالفت الصفات فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ، لِأَنَّ كِلْتَا الصِّفَتَيْنِ لَازِمَتَانِ، وَلَيْسَ اعْتِبَارُ أَحَدِهِمَا فِي تَمْيِيزِ الْمَنْكُوحَةُ بِأَوْلَى مِنَ اعْتِبَارِ الْأُخْرَى فَصَارَتِ الْمَنْكُوحَةُ مِنْهُمَا مَجْهُولَةً، فَلِذَلِكَ بَطُلَ النِّكَاحُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Kedua: Jika berbeda, ia menamai yang disifati dengan nama selain namanya, dan menyifati yang dinamai dengan sifat selain sifatnya, misalnya Hafshah adalah yang besar namun ia menyifatinya dengan “yang kecil”, dan Amrah adalah yang kecil namun ia menyifatinya dengan “yang besar”, maka yang dijadikan patokan adalah sifat, bukan nama, karena sifat itu tetap sedangkan nama bisa berpindah. Maka akad jatuh pada yang kecil yang namanya Amrah, meskipun dalam akad disebut Hafshah. Jika ia membedakan perempuan yang dinikahi di antara putrinya dengan sifat-sifat mereka, misalnya ia berkata: “Aku nikahkan engkau dengan putriku yang kecil, yang tinggi”, maka jika kedua sifat itu sesuai, berarti ia menegaskan salah satu sifat dengan sifat lainnya, sehingga lebih kuat dalam membedakan. Namun jika sifat-sifat itu bertentangan, maka nikahnya batal, karena kedua sifat itu sama-sama tetap, dan tidak ada alasan untuk mengutamakan salah satunya dalam membedakan perempuan yang dinikahi daripada yang lain, sehingga perempuan yang dinikahi di antara mereka menjadi tidak diketahui, oleh karena itu nikahnya batal – dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّانِي
Fasal: Adapun syarat kedua
: وَهُوَ تَعْيِينُ اللَّفْظِ الَّذِي يَنْعَقِدُ بِهِ النِّكَاحُ فَلَفْظَتَانِ لَا يَنْعَقِدُ النِّكَاحُ إِلَّا بِهِمَا وَهُمَا النِّكَاحُ، وَالتَّزْوِيجُ، لِأَنَّ كِتَابَ اللَّهِ تعالى قد جاء بهما.
Yaitu penetapan lafaz yang dengannya akad nikah menjadi sah. Ada dua lafaz yang tidak sah nikah kecuali dengan keduanya, yaitu “nikah” dan “tazwij”, karena keduanya telah disebutkan dalam Kitab Allah Ta‘ala.
أما النكاح فبقوله سُبْحَانَهُ: {فَانْكِحُواْ مَا طَابَ لَكُمُ مِنَ النَِّسَاءِ) {النساء: 3) .
Adapun lafaz “nikah” berdasarkan firman-Nya Subhanahu: {Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi di antara mereka} (an-Nisā’: 3).
وأما التزويج بقوله سبحانه: {فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَها) {الأحزاب: 37) . لِأَنَّ مَعْنَاهُمَا فِي اللُّغَةِ مُتَشَابِهَانِ.
Adapun lafaz “tazwij” berdasarkan firman-Nya Subhanahu: {Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengannya} (al-Ahzāb: 37). Karena makna keduanya dalam bahasa adalah mirip.
أَمَّا التَّزْوِيجُ فَهُوَ ضَمُّ شَكْلٍ إِلَى شَكْلٍ، وَمِنْهُ قَوْلُهُمْ: أَحَدُ زَوْجَيِ الْخُفِّ وَأَحَدُ زَوْجَيِ الْحَمَامِ إِذَا أريد واحد من اثنين متشاكلين، فإن أريد مَعًا قِيلَ زَوْجُ الْخُفِّ وَزَوْجُ الْحَمَامِ، وَأَمَّا النِّكَاحُ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Adapun “tazwij” adalah menggabungkan satu bentuk dengan bentuk lainnya, seperti ucapan mereka: salah satu dari dua pasang khuf (sepatu kulit) atau salah satu dari dua pasang merpati, jika yang dimaksud adalah salah satu dari dua yang serupa. Jika dimaksudkan keduanya sekaligus, dikatakan: pasangan khuf dan pasangan merpati. Adapun “nikah”, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَالتَّزْوِيجِ ضَمُّ شكل إلى شكل، ومنه كقولهم: أنكحنا الفراء فسوق ترى أي جمعنا بين الحمار الوحش وايتانه فسترى ما يولد منهما.
Pertama: Bahwa ia seperti “tazwij”, yaitu menggabungkan satu bentuk dengan bentuk lainnya, seperti ucapan mereka: “Kami menikahkan keledai liar dengan betinanya, maka lihatlah apa yang akan lahir dari keduanya.”
قال عمر بن أبي ربيعة:
Dikatakan oleh ‘Umar bin Abi Rabi‘ah:
(أَيُّهَا الْمُنْكِحُ الثُّرَيَّا سُهَيْلًا … عَمْرَكَ اللَّهَ، كَيْفَ يَلْتَقَيَانِ)
(Wahai yang menikahkan Tsurayya dengan Suhail… Demi umurmu, bagaimana mungkin keduanya bertemu?)
(هِيَ شاميةٌ إِذَا مَا اسْتَقَلَّتْ … وسهيلُ إِذَا اسْتَقَلَّ يَمَانِ)
(Tsurayya berada di utara jika ia naik… dan Suhail jika naik berada di selatan)
أَيْ لَمَّا لَمْ يَكُنْ أَنْ يَجْتَمِعَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَنَاكَحَا.
Artinya: Ketika keduanya tidak mungkin berkumpul, maka tidak boleh pula keduanya menikah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لُزُومُ شَيْءٍ، وَمِنْهُ قَوْلُ ابْنِ الْمَاجِشُونِ اسْتَنْكَحَهُ الْمَدَنِيُّ أَيْ لَزِمَهُ فَسُمِّيَ النِّكَاحُ نِكَاحًا لِلُزُومِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ لِصَاحِبِهِ، وَلَيْسَ فِي مَعْنَى هَاتَيْنِ اللَّفْظَتَيْنِ غَيْرُهُمَا فَصَارَ تَعْلِيلُهُمَا غَيْرَ مُتَعَدٍّ لِلنَّصِّ عَلَيْهِمَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْوَلِيُّ وَالزَّوْجُ مُخَيَّرَانِ فِي أَنْ يَعْقِدَاهُ بِلَفْظِ التَّزْوِيجِ فَيَقُولُ الْوَلِيُّ: قَدْ زَوَّجْتُكَ، وَيَقُولُ الزَّوْجُ: قَدْ قَبِلْتُ تَزْوِيجَهَا أَوْ يَعْقِدَاهُ بِلَفْظِ النِّكَاحِ فَيَقُولُ الْوَلِيُّ: قَدْ أَنْكَحْتُكَ وَيَقُولُ الزَّوْجُ: قَدْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا، أَوْ يَعْقِدُهُ أَحَدُهُمَا بِلَفْظِ النِّكَاحِ وَالْآخَرُ بِلَفْظِ التَّزْوِيجِ، فَيَقُولُ الْوَلِيُّ: قَدْ زَوَّجْتُكَ، وَيَقُولُ الزَّوْجُ: قَدْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا فَيَكُونُ الْعَقْدُ بِأَيْ هَذِهِ الْأَلْفَاظِ عَقْدًا صَحِيحًا.
Pendapat kedua: bahwa maknanya adalah “keterikatan sesuatu”, dan di antaranya adalah perkataan Ibn al-Mājisyūn: “Orang Madinah menikahinya”, maksudnya ia telah terikat dengannya. Maka dinamakan nikah sebagai “nikah” karena keterikatan salah satu dari kedua pasangan dengan pasangannya. Tidak ada makna lain dalam kedua kata ini selain itu, sehingga penjelasan maknanya tidak keluar dari teks yang ada. Jika demikian, maka wali dan suami boleh memilih untuk melangsungkan akad dengan lafaz “tazwīj”, sehingga wali berkata: “Aku telah menikahkanmu”, dan suami berkata: “Aku menerima pernikahannya”, atau mereka melangsungkan akad dengan lafaz “nikāḥ”, sehingga wali berkata: “Aku telah menikahkanmu (dengan lafaz nikāḥ)”, dan suami berkata: “Aku menerima nikahnya”, atau salah satu dari keduanya menggunakan lafaz “nikāḥ” dan yang lain menggunakan lafaz “tazwīj”, misalnya wali berkata: “Aku telah menikahkanmu”, dan suami berkata: “Aku menerima nikahnya”. Maka akad dengan salah satu dari lafaz-lafaz ini adalah akad yang sah.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّالِثُ: وَهُوَ صِفَةُ الْعَقْدِ وَكَيْفِيَّتِهِ، فَقَدْ يَنْعَقِدُ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ إِمَّا بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ، وَإِمَّا بِالطَّلَبِ وَالْإِيجَابِ، وَلَهُمَا فِيهِ ثلاثة أقوال:
Adapun syarat ketiga, yaitu sifat dan tata cara akad, maka akad dapat dilangsungkan dengan dua cara: pertama dengan penawaran dan penerimaan, kedua dengan permintaan dan ijāb. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
أحدهما: أن يعقد له بِلَفْظِ الْمَاضِي.
Pertama: bahwa akad dilakukan dengan lafaz lampau (fi‘l māḍī).
وَالثَّانِي: بِلَفْظِ الْمُسْتَقْبَلِ.
Kedua: dengan lafaz masa depan (fi‘l mustaqbal).
وَالثَّالِثُ: بِلَفْظِ الْأَمْرِ.
Ketiga: dengan lafaz perintah (fi‘l amr).
فَإِنْ عَقَدَاهُ بِلَفْظِ الْمَاضِي فَضَرْبَانِ:
Jika akad dilakukan dengan lafaz lampau, maka ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْقِدَاهُ بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ.
Pertama: akad dilakukan dengan penawaran dan penerimaan.
وَالثَّانِي: بِالطَّلَبِ وَالْإِيجَابِ، فأما عقده بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ، فَهُوَ أَنْ يَبْدَأَ الْوَلِيُّ فَيَقُولُ: قَدْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى صَدَاقِ أَلْفِ دِرْهَمٍ، وَيَقُولُ الزَّوْجُ: قَدْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا عَلَى هَذَا الصداق فيكون قد ابْتَدَأَ بِهِ الْوَلِيُّ بَذْلًا، وَمَا أَجَابَهُ الزَّوْجُ قَبُولًا، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَلِلزَّوْجِ فِي قَبُولِهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
Kedua: dengan permintaan dan ijāb. Adapun akad dengan penawaran dan penerimaan, yaitu wali memulai dengan berkata: “Aku telah menikahkanmu dengan putriku dengan mahar seribu dirham”, lalu suami berkata: “Aku menerima nikahnya dengan mahar tersebut.” Maka wali memulai dengan penawaran, dan suami menjawab dengan penerimaan. Dalam hal ini, suami dalam penerimaannya memiliki tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَقُولَ: قَبِلْتُ نِكَاحَهَا عَلَى هَذَا الصَّدَاقِ.
Pertama: ia berkata, “Aku menerima nikahnya dengan mahar ini.”
وَالثَّانِي: أَنْ يَقُولَ: قَبِلْتُ وَلَا يَذْكُرُ الصَّدَاقَ.
Kedua: ia berkata, “Aku menerima,” tanpa menyebutkan mahar.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَقُولَ: قَبِلْتُ وَلَا يَذْكُرُ النِّكَاحَ وَلَا الصَّدَاقَ.
Ketiga: ia berkata, “Aku menerima,” tanpa menyebutkan nikah maupun mahar.
فَأَمَّا الْحَالُ الْأُولَى: وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَبِلْتُ نِكَاحَهَا عَلَى هَذَا الصَّدَاقِ فَقَدِ انْعَقَدَ النِّكَاحُ عَلَى الصَّدَاقِ الْمُسَمَّى إِذَا كَانَ قَبُولُ الزَّوْجِ عَلَى الْفَوْرِ مِنْ بَذَلِ الْوَلِيِّ، وَلَوْ قَالَ الزَّوْجُ: قَبِلْتُ نِكَاحَهَا عَلَى صَدَاقِ خَمْسِمِائَةٍ، وَقَدْ بَذَلَهَا الْوَلِيُّ له بصداق ألف انعقد الصداق ولم تلزم فِيهِ أَحَدُ الصَّدَاقَيْنِ وَكَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، لِأَنَّ الْأَلْفَ لَمْ يَقْبَلْهَا الزَّوْجُ وَالْخَمْسِمِائَةَ لَمْ يرض بها المولى.
Adapun keadaan pertama, yaitu ia berkata: “Aku menerima nikahnya dengan mahar ini,” maka nikah telah sah dengan mahar yang disebutkan, jika penerimaan suami dilakukan segera setelah penawaran wali. Jika suami berkata: “Aku menerima nikahnya dengan mahar lima ratus,” padahal wali telah menawarkan dengan mahar seribu, maka akad nikah tetap sah, namun tidak wajib salah satu dari kedua mahar tersebut, dan bagi istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang sepadan), karena seribu tidak diterima oleh suami dan lima ratus tidak diridhai oleh wali.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَنْعَقِدُ عَلَى صَدَاقِ خَمْسِمِائَةٍ، لِأَنَّهَا أَقَلُّ فَصَارَا مُجْتَمِعَيْنِ عَلَيْهَا، وَإِنْ تَفَرَّدَ الْوَلِيُّ بِالزِّيَادَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا ذَكَرْنَا.
Abu Hanifah berkata: Akad sah dengan mahar lima ratus, karena itu lebih sedikit sehingga keduanya sepakat atasnya, meskipun wali sendiri yang menambahkannya. Ini adalah kekeliruan sebagaimana telah dijelaskan.
وَأَمَّا الحالة الثَّانِيَةُ: وَهُوَ أَنْ يَقُولَ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَلَا يَذْكُرَ قَبُولَ الصَّدَاقِ فَيَصِحُّ النِّكَاحُ بِقَبُولِهِ وَلَا يلزم المسمى، لأنه لم يذكره في القبول وليكون لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ وَقَالَ أبو حنيفة: يَلْزَمُ فيه الصداق المسمى بقبول النكاح والذي يتضمنه كَالْبَيْعِ إِذَا قَالَ بِعْتُكَ عَبْدِي بِأَلْفٍ فَقَالَ الْمُشْتَرِي: قَبِلْتُ هَذَا الْبَيْعَ لَزِمَهُ ذَلِكَ الثَّمَنُ، وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحْ بِهِ فِي قَبُولِهِ كَذَلِكَ النكاح وهذا خطأ، لأن البيع لا ينعقد إِلَّا بِثَمَنٍ فَكَانَ قَبُولُهُ الْبَيْعَ قَبُولًا لِمَا تَضَمَّنَهُ مِنَ الثَّمَنِ وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحْ بِهِ فِي قَبُولِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ النِّكَاحُ، لِأَنَّهُ قَدْ يصح بغير الصداق فلم يكن قبوله لنكاح قبولاً لما يتضمنه مِنَ الصَّدَاقِ حَتَّى يُصَرِّحَ بِهِ فِي قَبُولِهِ.
Adapun keadaan kedua, yaitu suami berkata: “Aku menerima nikahnya,” tanpa menyebutkan penerimaan mahar, maka nikah sah dengan penerimaannya, namun mahar yang disebutkan tidak menjadi wajib, karena tidak disebutkan dalam penerimaan, sehingga istri berhak mendapatkan mahar mitsil. Abu Hanifah berkata: Mahar yang disebutkan menjadi wajib dengan penerimaan nikah, karena penerimaan itu mencakupnya, seperti dalam jual beli ketika seseorang berkata: “Aku jual budakku kepadamu seharga seribu,” lalu pembeli berkata: “Aku menerima jual beli ini,” maka harga tersebut menjadi wajib baginya meskipun tidak disebutkan dalam penerimaan. Begitu pula dalam nikah. Ini adalah kekeliruan, karena jual beli tidak sah kecuali dengan adanya harga, sehingga penerimaan jual beli berarti juga menerima harga yang terkandung di dalamnya meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam penerimaan. Tidak demikian halnya dengan nikah, karena nikah dapat sah tanpa mahar, sehingga penerimaan nikah tidak otomatis berarti menerima mahar kecuali jika disebutkan secara jelas dalam penerimaan.
وَأَمَّا الْحَالُ الثَّالِثَةُ: وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: قَبِلْتُ وَيُمْسِكُ فَلَا يَذْكُرُ النِّكَاحَ وَلَا الصَّدَاقَ فِي قبوله ففيه قولان، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِهِ هَاهُنَا، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ صَرِيحًا فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” وَرَوَاهُ الْبُوَيْطِيُّ وَقَالَهُ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ.
Adapun keadaan ketiga: yaitu ketika seseorang berkata, “Aku terima,” lalu diam tanpa menyebutkan nikah maupun mahar dalam penerimaannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Ini adalah pendapat yang tampak dari ucapannya di sini, dan beliau telah menegaskannya secara jelas dalam kitab “al-Umm” dan diriwayatkan oleh al-Buwaiti, serta merupakan pendapat mayoritas ulama kami bahwa akad nikah tersebut batal.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي كِتَابِ ” التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ مِنْ كُتُبِ الْأَمَالِي “: إِنَّ النِّكَاحَ صَحِيحٌ، وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:
Pendapat kedua: beliau sebutkan dalam kitab “at-Ta‘rīḍ bi al-Khiṭbah” dari kitab-kitab al-Amālī, bahwa nikah tersebut sah, dan ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah dengan dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُ: قَبِلْتُ إِنَّمَا هُوَ جَوَابٌ لِلْبَذْلِ الصَّرِيحِ وَجَوَابُ الصَّرِيحِ يَكُونُ صَرِيحًا كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا قَالُوا نَعَمْ) {الأعراف: 44) . أي نعم وجدناه، وَكَقَوْلِهِ: {أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى) {الأعراف: 172) . أَيْ: بَلَى أَنْتَ رَبُّنَا، وَكَمَا لَوِ ادَّعَى رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَسَأَلَهُ الْحَاكِمُ عَنْهَا، وقال أله عليك ألف، فقال: نعم، كان إقرار منه بالألف وجرى مجرى قوله: نعم له عَلَيَّ أَلْفٌ، فَكَذَلِكَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ فِي النِّكَاحِ قَدْ قَبِلْتُ بَعْدَ تَقَدُّمِ الْبَذْلِ الصَّرِيحِ قَبُولًا صَرِيحًا فَجَرَى مَجْرَى قَوْلِهِ: قَبِلْتُ نكاحها.
Pertama: bahwa ucapan “aku terima” pada dasarnya adalah jawaban atas penawaran yang jelas, dan jawaban atas penawaran yang jelas juga dianggap jelas, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Maka apakah kalian telah mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Tuhan kalian itu benar? Mereka menjawab: Ya} (al-A‘raf: 44), artinya: ya, kami telah mendapatkannya. Dan juga seperti firman-Nya: {Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul} (al-A‘raf: 172), artinya: betul, Engkaulah Tuhan kami. Dan sebagaimana jika seseorang menuntut orang lain seribu dirham, lalu hakim bertanya kepadanya tentang hal itu, dan berkata: Apakah kamu berutang seribu kepadanya? Ia menjawab: Ya, maka itu merupakan pengakuan atas seribu tersebut dan sama seperti ucapannya: Ya, aku berutang seribu kepadanya. Maka demikian pula seharusnya ucapan dalam nikah, “aku terima” setelah adanya penawaran yang jelas, dianggap sebagai penerimaan yang jelas, sehingga sama seperti ucapannya: “aku terima nikahnya.”
والثاني: إن البذل والقبول معتبر في عقد النكاح كاعتباره فِي عَقْدِ الْبَيْعِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ قَالَ الْبَائِعُ: بِعْتُكَ عَبْدِي هَذَا بِأَلْفٍ فَقَالَ الْمُشْتَرِيَ: قَبِلْتُ إِنَّ الْبَيْعَ قَدِ انْعَقَدَ وَجَرَى ذلك مجرى قوله قبلت هذا البيع، ويجب أن يكون النكاح بمثابته قد زوجكتها فقال الزوج قبلت أن ينعقد النكاح فجرى مَجْرَى قَوْلِهِ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ إذا جعلناه قبولاً صحيحاً يَكُونُ قَبُولًا لِلنِّكَاحِ وَالصَّدَاقِ جَمِيعًا، لِأَنَّ الْقَبُولَ مطلق فرجع إلى مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذِكْرِ النِّكَاحِ وَالصَّدَاقِ وَخَالَفَ قَوْلَهُ: قَبِلْتُ نِكَاحَهَا حَيْثُ جَعَلْنَاهُ رَاجِعًا إِلَى قَبُولِ النِّكَاحِ الَّذِي سَمَّاهُ دُونَ الصَّدَاقِ الَّذِي أغفله، لأن مع التسمية تصير تَخْصِيصًا وَمَعَ الْإِطْلَاقِ يَكُونُ عُمُومًا، وَإِذَا قِيلَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ إِنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ، وَهُوَ أَصَحُّ القولين فدليله ما قدمناه أَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِصَرِيحِ اللَّفْظِ دُونَ الْمَعْنَى، وَقَوْلُهُ: قَبِلْتُ فِيهِ مَعْنَى التصريح وليس بصريح فينعقد بِهِ النِّكَاحُ وَجَازَ أَنْ يَنْعَقِدَ بِهِ الْبَيْعُ، لِأَنَّهُ يَتِمُّ بِالصَّرِيحِ وَبِمَعْنَى الصَّرِيحِ بِخِلَافِ النِّكَاحِ، وَلَيْسَ إِطْلَاقُ جَوَابِ الصَّرِيحِ يَكُونُ صَرِيحًا فِي جَمِيعِ الْأَحْوَالِ أَلَا تَرَى لَوْ قَالَتِ امْرَأَةٌ لِزَوْجِهَا: طَلِّقْنِي ثَلَاثًا، فَقَالَ: نَعَمْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ صَرِيحًا فِي طَلَاقِهَا، وَإِنْ كَانَ جَوَابًا، ولو قال: نعم أنت طالق لم تكن ثَلَاثًا، وَإِنْ سَأَلَتْهُ ثَلَاثًا فَلَمْ يَسْلَمِ الِاسْتِدْلَالُ بالبيع لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا، وَلَا كَانَ إِطْلَاقُ الْجَوَابِ كَالصَّرِيحِ، لِمَا ذَكَرْنَا، فَأَمَّا إِذَا قرن النكاح بينهما بواسط مِنْ حَاكِمٍ أَوْ خَطِيبٍ فَقَالَ لِلْوَلِيِّ: زَوَّجْتَهُ فلانة، فقال: نعم، فقال الزوج: قَبِلْتُ نِكَاحَهَا، فَقَالَ: نَعَمْ لَمْ يَنْعَقِدِ النِّكَاحُ قولاً واحداً، لأن صريح اللفظ لم يؤخذ مِنْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا.
Kedua: bahwa penawaran dan penerimaan dianggap dalam akad nikah sebagaimana dianggap dalam akad jual beli. Jika penjual berkata: “Aku jual budakku ini kepadamu seharga seribu,” lalu pembeli berkata: “Aku terima,” maka jual beli telah sah dan itu sama seperti ucapannya: “Aku terima jual beli ini.” Maka seharusnya nikah juga demikian, ketika wali berkata: “Aku nikahkan dia denganmu,” lalu suami berkata: “Aku terima,” maka nikah pun sah, sehingga sama seperti ucapannya: “Aku terima nikahnya.” Berdasarkan pendapat ini, jika kita menganggapnya sebagai penerimaan yang sah, maka itu merupakan penerimaan untuk nikah dan mahar sekaligus, karena penerimaan tersebut bersifat mutlak sehingga kembali kepada apa yang telah disebutkan sebelumnya berupa nikah dan mahar. Ini berbeda dengan ucapannya: “Aku terima nikahnya,” yang kita anggap hanya kembali kepada penerimaan nikah yang disebutkan, tanpa mahar yang tidak disebutkan, karena dengan penyebutan menjadi khusus, sedangkan dengan keumuman menjadi umum. Jika mengikuti pendapat pertama bahwa nikahnya batal, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat, maka dalilnya adalah apa yang telah kami sebutkan bahwa akad nikah tidak sah kecuali dengan lafaz yang jelas, bukan hanya maknanya. Ucapan “aku terima” di sini bermakna penegasan, namun bukan lafaz yang jelas, sehingga nikah tidak sah dengannya, meskipun jual beli boleh sah dengannya, karena jual beli sah dengan lafaz yang jelas maupun maknanya, berbeda dengan nikah. Tidak setiap jawaban atas penawaran yang jelas dianggap sebagai lafaz yang jelas dalam semua keadaan. Tidakkah kamu lihat jika seorang istri berkata kepada suaminya: “Ceraikan aku tiga kali,” lalu suami berkata: “Ya,” maka itu tidak dianggap sebagai lafaz yang jelas untuk talak, meskipun itu adalah jawaban. Jika ia berkata: “Ya, kamu aku ceraikan,” maka itu pun tidak berarti tiga kali, meskipun ia diminta tiga kali. Maka tidak sah berdalil dengan jual beli karena adanya perbedaan antara keduanya, dan jawaban yang umum tidak sama dengan lafaz yang jelas, sebagaimana telah kami sebutkan. Adapun jika akad nikah dilakukan di hadapan hakim atau khatib, lalu hakim berkata kepada wali: “Aku nikahkan fulanah dengannya,” lalu wali berkata: “Ya,” kemudian suami berkata: “Aku terima nikahnya,” lalu hakim berkata: “Ya,” maka nikah tidak sah menurut satu pendapat, karena tidak ada satu pun dari mereka yang mengucapkan lafaz yang jelas.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَنْعَقِدُ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ وَاعْتِبَارًا بِالْبَيْعِ فِي أَنَّ رَجُلًا لَوْ قَالَ لِلْبَائِعِ بِعْتَهُ عَبْدَكَ هَذَا بألف فقال: نعم، وقال المشتري: اشتريته بالألف، فَقَالَ: نَعَمْ، إِنَّ الْبَيْعَ مُنْعَقِدٌ فَكَذَلِكَ النِّكَاحُ، وهذا خطأ لما ذكرنا مِنْ أَنَّ مَعْنَى الصَّرِيحِ لَا يَقُومُ فِي النِّكَاحِ مَقَامَ الصَّرِيحِ وَيَقُومُ فِي الْبَيْعِ مَقَامَ الصَّرِيحِ، وَلِأَنَّ النِّكَاحَ لَمَّا خَالَفَ الْبَيْعَ فِي تَغْلِيظِهِ بِالْوَلِيِّ والشاهدين خَالَفَهُ فِي تَغْلِيظِهِ بِصَرِيحِ اللَّفْظِ دُونَ مَعْنَاهُ، وَلِأَنَّ قَوْلَهُ نَعَمْ إِقْرَارٌ، وَبُضْعَ الْمَنْكُوحَةِ لَا يُمْلَكُ بِالْإِقْرَارِ فَهَذَا حُكْمُ عَقْدِ النِّكَاحِ بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ.
Abu Hanifah berkata: Akad (nikah) sah berdasarkan asalnya dan dengan mempertimbangkan (qiyās) pada jual beli, yaitu jika seseorang berkata kepada penjual, “Juallah budakmu ini kepadaku seharga seribu,” lalu penjual berkata, “Ya,” dan pembeli berkata, “Aku membelinya dengan harga seribu,” lalu penjual berkata, “Ya,” maka jual beli itu sah. Begitu pula (menurut Abu Hanifah) dalam nikah. Namun, ini adalah kekeliruan sebagaimana telah kami sebutkan, karena makna lafaz sharih (tegas) tidak dapat menggantikan posisi lafaz sharih dalam nikah, sedangkan dalam jual beli makna tersebut dapat menggantikan lafaz sharih. Selain itu, karena nikah berbeda dengan jual beli dalam hal penegasannya dengan syarat adanya wali dan dua saksi, maka ia juga berbeda dalam penegasannya dengan lafaz sharih, bukan hanya maknanya. Dan juga karena ucapan “ya” adalah sebuah pengakuan, sedangkan kemaluan perempuan yang dinikahi tidak dapat dimiliki hanya dengan pengakuan. Inilah hukum akad nikah dengan (lafaz) penawaran dan penerimaan.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا عَقْدُهُ بِالطَّلَبِ وَالْإِيجَابِ فَهُوَ أن يبدأ الزَّوْجُ فَيَقُولُ لِلْوَلِيِّ: زَوِّجْنِي بِنْتَكَ عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ فَيَقُولُ الْأَبُ: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا عَلَى هَذَا الصداق فيصح العقد ولا يحتاج الزوج إلى أن يعود فيقول: قد قبلت نكاحها ووافقه أبو حنيفة عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ فِي الْبَيْعِ إِذَا ابْتَدَأَ الْمُشْتَرِي فَقَالَ: بِعْنِي عَبْدَكَ بِأَلْفٍ، فَقَالَ: قَدْ بِعْتُكَ هَذَا الْعَبْدَ بِهَا صَحَّ الْبَيْعُ وَلَمْ يَحْتَجِ الْمُشْتَرِي أَنْ يَقُولَ بعده قد قبلت، وخالفه أبو حنيفة فِي الْبَيْعِ فَقَالَ: لَا يَصِحُّ حَتَّى يَعُودَ الْمُشْتَرِي فَيَقُولُ: قَدْ قَبِلْتُ بِخِلَافِ النِّكَاحِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ شُرُوطَ النِّكَاحِ أَغْلَظُ من شروط البيع، فكان ما يصح بِهِ النِّكَاحُ أَوْلَى أَنْ يَصِحَّ بِهِ الْبَيْعُ، فَإِذَا صَحَّ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَمَامِ الْعَقْدِ بالطلب والإيجاب كتمامه بالبذل والقبول كان الْبَذْلُ هُوَ مَا ابْتَدَأَ بِهِ الْوَلِيُّ، وَالْقَبُولُ ما أجاب به الزوج فإن الطَّلَبَ مَا ابْتَدَأَ بِهِ الزَّوْجُ، وَالْإِيجَابَ مَا أَجَابَ بِهِ الْوَلِيُّ فَيَكُونُ النِّكَاحُ مُنْعَقِدًا مِنْ جِهَةِ الْوَلِيِّ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ.
Adapun akad nikah dengan permintaan (thalab) dan ijab (penawaran), yaitu ketika suami memulai dengan berkata kepada wali, “Nikahkan aku dengan putrimu dengan mahar seribu,” lalu ayah (wali) berkata, “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan mahar tersebut,” maka akadnya sah dan suami tidak perlu mengulangi dengan berkata, “Aku menerima nikahnya.” Abu Hanifah sependapat dalam hal ini. Demikian pula dalam jual beli, jika pembeli memulai dengan berkata, “Juallah budakmu kepadaku seharga seribu,” lalu penjual berkata, “Aku telah menjual budak ini kepadamu dengan harga itu,” maka jual belinya sah dan pembeli tidak perlu mengatakan setelahnya, “Aku menerima.” Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat dalam jual beli, ia berkata: Tidak sah hingga pembeli kembali berkata, “Aku menerima,” berbeda dengan nikah. Ini adalah kekeliruan, karena syarat-syarat nikah lebih berat daripada syarat-syarat jual beli, maka apa yang sah untuk nikah lebih utama untuk sah dalam jual beli. Jika telah sah apa yang kami sebutkan tentang sempurnanya akad dengan permintaan dan ijab sebagaimana sempurnanya dengan penawaran dan penerimaan, maka penawaran adalah apa yang dimulai oleh wali, dan penerimaan adalah apa yang dijawab oleh suami. Adapun permintaan adalah apa yang dimulai oleh suami, dan ijab adalah apa yang dijawab oleh wali. Maka nikah menjadi sah dari pihak wali dengan salah satu dari dua cara.
إِمَّا بِالْبَذْلِ إن كان مبتدئاً أَوْ بِالْإِيجَابِ إِنْ كَانَ مُجِيبًا، وَمِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ مُنْعَقِدٌ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ: إِمَّا بِالطَّلَبِ إن كان مبتدأ، وبالقبول إِنْ كَانَ مُجِيبًا فَصَارَ طَلَبُ الزَّوْجِ فِي الِابْتِدَاءِ قَبُولًا فِي الِانْتِهَاءِ، وَقَبُولُهُ فِي الِانْتِهَاءِ طَلَبًا فِي الِابْتِدَاءِ، وَصَارَ بَذْلُ الْوَلِيِّ فِي الِابْتِدَاءِ إِيجَابًا فِي الِانْتِهَاءِ وَإِيجَابُهُ فِي الِانْتِهَاءِ بَذْلًا فِي الِابْتِدَاءِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ إِيجَابُ الْوَلِيِّ بَعْدَ طَلَبِ الزَّوْجِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ كَمَا ذَكَرْنَا فِي قَبُولِ الزَّوْجِ بعد بذل الولي:
Yaitu dengan penawaran jika ia yang memulai, atau dengan ijab jika ia yang menjawab. Dari pihak suami, akad menjadi sah dengan salah satu dari dua cara: dengan permintaan jika ia yang memulai, dan dengan penerimaan jika ia yang menjawab. Maka permintaan suami di awal menjadi penerimaan di akhir, dan penerimaannya di akhir menjadi permintaan di awal. Penawaran wali di awal menjadi ijab di akhir, dan ijabnya di akhir menjadi penawaran di awal. Jika demikian, maka ijab wali setelah permintaan suami tidak lepas dari tiga keadaan sebagaimana telah kami sebutkan dalam penerimaan suami setelah penawaran wali:
إحداها: أَنْ يَقُولَ: الْوَلِيُّ قَدْ زَوَّجْتُكَهَا عَلَى هَذَا الصَّدَاقِ الَّذِي بَذَلْتَهُ فَيَنْعَقِدُ النِّكَاحُ عَلَى الصَّدَاقِ والذي سَمَّاهُ الزَّوْجُ، وَهُوَ أَلْفٌ.
Pertama: Wali berkata, “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan mahar yang telah kamu tawarkan,” maka nikah sah dengan mahar yang disebutkan oleh suami, yaitu seribu.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنَّ يَقُولَ الْوَلِيُّ قَدْ زَوَّجْتُكَهَا وَلَا يَقُولَ عَلَى هَذَا الصَّدَاقِ فَيَصِحُّ الْعَقْدُ وَلَا يَلْزَمُ فِيهِ ذَلِكَ الْمُسَمَّى مِنَ الصَّدَاقِ، لِأَنَّ الْوَلِيَّ مَا صَرَّحَ بِالْإِجَابَةِ إِلَيْهِ، وَعِنْدَ أبي حنيفة يَكُونُ مُنْعَقِدًا عَلَى الصَّدَاقِ الْمَبْذُولِ وَإِذَا بَطَلَ الْمُسَمَّى عِنْدَنَا كَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ فَلَوْ كَانَ الأب، قال: زَوَّجْتُكَهَا عَلَى صَدَاقِ أَلْفَيْنِ لَمْ يَلْزَمْ وَاحِدٌ مِنَ الصَّدَاقَيْنِ، وَكَذَلِكَ عِنْدَ أبي حنيفة، وَيَكُونُ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، وَلَوْ كَانَ الْأَبُ قَالَ: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا عَلَى صَدَاقِ خَمْسِمِائَةٍ لَمْ يَلْزَمْ وَاحِدٌ مِنَ الصَّدَاقَيْنِ عِنْدَنَا.
Kedua: Wali berkata, “Aku telah menikahkanmu dengannya,” tanpa menyebutkan mahar tersebut, maka akad sah namun mahar yang disebutkan tidak wajib, karena wali tidak secara tegas menyatakan persetujuan terhadapnya. Menurut Abu Hanifah, akad menjadi sah dengan mahar yang ditawarkan. Jika mahar yang disebutkan batal menurut kami, maka perempuan itu berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang sepadan). Jika ayah berkata, “Aku menikahkanmu dengannya dengan mahar dua ribu,” maka tidak wajib salah satu dari dua mahar tersebut, demikian pula menurut Abu Hanifah, dan perempuan itu berhak mendapatkan mahar mitsil. Jika ayah berkata, “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan mahar lima ratus,” maka tidak wajib salah satu dari dua mahar menurut kami.
وَقَالَ أبو حنيفة: يلزم أقلهما ويصير الأب مبرئاً لَهُ مِنَ الزِّيَادَةِ.
Abu Hanifah berkata: Yang wajib adalah yang paling sedikit dari keduanya dan ayah menjadi terbebas dari kelebihan (mahar).
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَقُولَ الْوَلِيُّ بَعْدَ طَلَبِ الزَّوْجِ: قَدْ فَعَلْتُ، أَوْ يَقُولَ: قَدْ أَجَبْتُكَ وَلَا يَقُولُ: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا، فَلَا يَنْعَقِدُ النِّكَاحُ عِنْدَنَا قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي قَبُولِ الزَّوَجِ.
Ketiga: Wali berkata setelah permintaan suami, “Aku telah melakukannya,” atau berkata, “Aku telah menyetujui permintaanmu,” tanpa mengatakan, “Aku telah menikahkanmu dengannya,” maka nikah tidak sah menurut kami secara mutlak, berbeda dengan dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam penerimaan suami.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْوَلِيَّ هُوَ الْمُمَلِّكُ لِبُضْعِ الْمَنْكُوحَةِ وَالزَّوْجَ هُوَ الْمُتَمَلِّكُ فَكَانَ اعْتِبَارُ الصريح في لفظ المملك أَقْوَى مِنَ اعْتِبَارِهِ فِي لَفْظِ الْمُتَمَلِّكِ، وَعِنْدَ أبي حنيفة يَكُونُ النِّكَاحُ مُنْعَقِدًا عَلَى أَصْلِهِ.
Perbedaan antara keduanya adalah: wali adalah pihak yang memberikan hak atas tubuh perempuan yang dinikahkan, sedangkan suami adalah pihak yang menerima hak tersebut. Oleh karena itu, pertimbangan kejelasan (ṣarīḥ) dalam lafaz pihak yang memberikan (wali) lebih kuat daripada pertimbangan kejelasan dalam lafaz pihak yang menerima (suami). Menurut pendapat Abu Hanifah, akad nikah tetap sah sesuai asalnya.
فصل
Fasal
فأما إذا ابتدأ الولي فقال: زوجت بِنْتِي عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ، فَقَالَ الزَّوْجُ قَدْ تَزَوَّجْتُهَا عَلَى هَذَا الصَّدَاقِ لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ حَتَّى يَعُودَ الْوَلِيُّ فَيَقُولُ: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا، لِأَنَّ قوله في الابتداء زوجته بِنْتِي لَيْسَ بِبَذْلٍ مِنْهُ وَلَا إِجَابَةً، وَإِنَّمَا هُوَ اسْتِخْبَارٌ وَالنِّكَاحُ لَا يَنْعَقِدُ مِنْ جِهَةِ الولي إلا بالبذل إن كان مبتدئاً أو بالإيجاب إِنْ كَانَ مُجِيبًا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ صَارَ مَا ابْتَدَأَ بِهِ الْوَلِيُّ مِنَ الِاسْتِخْبَارِ غَيْرَ مؤثر في العقد، ويكون جواب الزوج طلباً فلذلك مَا افْتَقَرَ إِلَى إِيجَابِ الْوَلِيِّ، بِأَنْ يَعُودَ فيقول: قد زوجتك فيصير النكاح منعقد بِالطَّلَبِ وَالْإِيجَابِ، وَهَكَذَا لَوِ ابْتَدَأَ الزَّوْجُ، فَقَالَ للولي: زوجني بنتك فقال: قد زوجتكها لهم يَصِحُّ الْعَقْدُ، لِأَنَّ مَا ابْتَدَأَ بِهِ الزَّوْجُ اسْتِخْبَارٌ، وَالْعَقْدُ لَا يَتِمُّ مِنْ قِبَلِ الزَّوْجِ إلا بالطلب إن كان مبتدئاً، أَوْ بِالْقَبُولِ إِنْ كَانَ مُجِيبًا وَلَيْسَ اسْتِخْبَارُهُ طلباً ولا قبولاً، فإن عاد عَادَ الزَّوْجُ فَقَالَ: قَدْ قَبِلْتُ تَزْوِيجَهَا صَحَّ الْعَقْدُ حِينَئِذٍ بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ، فَهَذَا حُكْمُ الْعَقْدِ بِاللَّفْظِ الْمَاضِي فِي الْبَذْلِ وَالْقَبُولِ وَفِي الطَّلَبِ وَالْإِيجَابِ.
Adapun jika wali memulai dengan berkata: “Aku menikahkan putriku dengan mahar seribu,” lalu suami berkata: “Aku telah menikahinya dengan mahar tersebut,” maka akad belum sah hingga wali kembali berkata: “Aku telah menikahkanmu dengannya.” Karena ucapan wali pada awalnya “Aku menikahkan putriku” bukan merupakan penyerahan (bādzl) darinya dan bukan pula ijābah (penegasan), melainkan hanya pemberitahuan. Sedangkan akad nikah dari pihak wali tidak sah kecuali dengan penyerahan jika ia yang memulai, atau dengan ijābah jika ia yang menjawab. Jika demikian, maka apa yang diucapkan wali di awal berupa pemberitahuan tidak berpengaruh pada akad, dan jawaban suami hanyalah permintaan, sehingga tetap membutuhkan ijābah dari wali, yaitu dengan wali kembali berkata: “Aku telah menikahkanmu,” sehingga akad nikah menjadi sah dengan permintaan dan ijābah. Demikian pula jika suami yang memulai, lalu berkata kepada wali: “Nikahkan aku dengan putrimu,” lalu wali berkata: “Aku telah menikahkanmu dengannya,” maka akad sah, karena apa yang diucapkan suami di awal adalah pemberitahuan, dan akad dari pihak suami tidak sah kecuali dengan permintaan jika ia yang memulai, atau dengan kabul jika ia yang menjawab, dan pemberitahuannya bukanlah permintaan maupun kabul. Jika kemudian suami kembali berkata: “Aku menerima pernikahannya,” maka akad sah saat itu juga dengan penyerahan dan kabul. Inilah hukum akad dengan lafaz lampau dalam penyerahan dan kabul, serta dalam permintaan dan ijābah.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا عَقْدُهُ بِاللَّفْظِ الْمُسْتَقْبَلِ فَمِثَالُهُ: أَنَّ بَذْلَ الْوَلِيِّ أَنْ يَقُولَ: أُزَوِّجُكَ بِنْتِي فَيَقُولُ الزَّوْجُ: أَتَزَوَّجُهَا فَلَا يَصِحُّ الْعَقْدُ بِقَوْلِ الْوَلِيِّ وَلَا بِقَوْلِ الزَّوْجِ، لِأَنَّ قَوْلَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَعَدٌ بِالْعَقْدِ وَلَيْسَ بِعَقْدٍ، وَلَوْ كَانَ الزَّوْجُ قَالَ: قَدْ تَزَوَّجْتُهَا صَارَ قَوْلُهُ طَلَبًا، وَإِنْ كَانَ قَوْلُ الْوَلِيِّ وَعْدًا فَإِنْ عَادَ الْوَلِيُّ فَقَالَ: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا صَحَّ الْعَقْدُ بِالطَّلَبِ وَالْإِيجَابِ، وَلَوْ بَدَأَ الزَّوْجُ فَقَالَ لِلْوَلِيِّ: أَتَزَوَّجُ بِنْتَكَ فَقَالَ الْوَلِيُّ: أُزَوِّجُكَهَا لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ بِقَوْلٍ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، لِأَنَّ قَوْلَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَعَدٌ بِالْعَقْدِ وَلَيْسَ بِعَقْدٍ وَلَوْ كان الولي قال: قد زوجتكها صار قوله بَذْلًا فَإِنْ عَادَ الزَّوْجُ، فَقَالَ: قَدْ قَبِلْتُ تَزْوِيجَهَا صَحَّ الْعَقْدُ بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ، وَهَكَذَا إِنْ دَخَلَ عَلَى اللَّفْظِ الْمُسْتَقْبَلِ حَرْفُ الِاسْتِفْهَامِ فَقَالَ الولي: أأزوجك بنتي؟ أو قال: أأتزوج بِنْتَكَ؟ لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ بِوَاحِدٍ مِنَ اللَّفْظَيْنِ، لِأَنَّهُ اسْتِفْهَامٌ لِلْوَعْدِ فَكَانَ أَضْعَفَ مِنْ مُجَرَّدِ الْوَعْدِ فَإِنْ تَعَقَّبَهُ مِنْ أَحَدِهِمَا مَا يَكُونُ بَذْلًا أَوْ طَلَبًا رُوعِيَ فِي مُقَابَلَةِ الطَّلَبِ الْإِيجَابُ، وَفِي مُقَابَلَةِ الْبَذْلِ الْقَبُولُ.
Adapun akad dengan lafaz masa depan, contohnya adalah: penyerahan dari wali dengan berkata: “Aku akan menikahkanmu dengan putriku,” lalu suami berkata: “Aku akan menikahinya,” maka akad tidak sah dengan ucapan wali maupun ucapan suami, karena ucapan masing-masing dari keduanya adalah janji untuk akad, bukan akad itu sendiri. Jika suami berkata: “Aku telah menikahinya,” maka ucapannya menjadi permintaan, meskipun ucapan wali adalah janji. Jika kemudian wali kembali berkata: “Aku telah menikahkanmu dengannya,” maka akad sah dengan permintaan dan ijābah. Jika suami yang memulai lalu berkata kepada wali: “Bolehkah aku menikahi putrimu?” lalu wali berkata: “Aku akan menikahkanmu dengannya,” maka akad tidak sah dengan salah satu ucapan mereka, karena masing-masing hanyalah janji untuk akad, bukan akad itu sendiri. Jika wali berkata: “Aku telah menikahkanmu dengannya,” maka ucapannya menjadi penyerahan. Jika kemudian suami berkata: “Aku menerima pernikahannya,” maka akad sah dengan penyerahan dan kabul. Demikian pula jika dalam lafaz masa depan terdapat huruf istifham (pertanyaan), seperti wali berkata: “Apakah aku menikahkanmu dengan putriku?” atau suami berkata: “Apakah aku menikahi putrimu?” maka akad tidak sah dengan salah satu lafaz tersebut, karena itu adalah pertanyaan tentang janji, sehingga lebih lemah daripada sekadar janji. Jika setelah itu salah satu dari mereka mengucapkan sesuatu yang merupakan penyerahan atau permintaan, maka dalam menghadapi permintaan dipertimbangkan ijābah, dan dalam menghadapi penyerahan dipertimbangkan kabul.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا عَقْدُهُ بِلَفْظِ الْأَمْرِ فَمِثَالُهُ: إِنْ بَدَأَ الْوَلِيُّ أَنْ يَقُولَ لِلزَّوْجِ: تَزَوَّجْ بِنْتِي، فَيَقُولُ الزَّوْجُ: قَدْ تَزَوَّجْتُهَا فَلَا يَصِحُّ الْعَقْدُ حَتَّى يَعُودَ الْوَلِيُّ فَيَقُولُ قَدْ زَوَّجْتُكَهَا، وَلَوْ بَدَأَ الزَّوْجُ فَقَالَ لِلْوَلِيِّ: زَوِّجْنِي بِنْتَكَ، فَقَالَ: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا صح العقد ولم يحتج الزوج أن يعيده فيه قَبُولًا.
Adapun akad dengan lafaz perintah, contohnya: jika wali memulai dengan berkata kepada suami: “Nikahilah putriku,” lalu suami berkata: “Aku telah menikahinya,” maka akad belum sah hingga wali kembali berkata: “Aku telah menikahkanmu dengannya.” Namun jika suami yang memulai lalu berkata kepada wali: “Nikahkan aku dengan putrimu,” lalu wali berkata: “Aku telah menikahkanmu dengannya,” maka akad sah dan suami tidak perlu mengulanginya sebagai kabul.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ مَا ابْتَدَأَ بِهِ الْوَلِيُّ مَنْ لَفْظِ الْأَمْرِ أَنَّهُ لَا يَصِحٌّ بِهِ الْعَقْدُ، وَبَيْنَ مَا ابْتَدَأَ بِهِ الزَّوْجُ مِنْ لَفْظِ الْأَمْرِ أَنَّهُ يَصِحُّ بِهِ الْعَقْدُ، أَنَّ الْمُرَاعَى مِنْ جِهَةِ الْوَلِيِّ الْبَذْلُ إِنِ ابْتَدَأَ، وَالْإِيجَابُ إِنْ أَجَابَ، وَلَيْسَ فِي أَمْرِهِ بَذْلٌ وَلَا إِيجَابٌ فَلَمْ يَصِحَّ بِهِ الْعَقْدُ، وَالْمُرَاعَى مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ الطَّلَبُ إِنِ ابْتَدَأَ، وَالْقَبُولُ إن أجاب، وأمره تضمن الطَّلَبَ وَإِنْ لَمْ يَتَضَمَّنِ الْقَبُولَ فَصَحَّ بِهِ العقد وتم بالطلب والإيجاب.
Perbedaan antara penggunaan lafaz perintah yang diucapkan oleh wali pada awalnya dengan yang diucapkan oleh suami adalah: akad tidak sah jika dimulai dengan lafaz perintah oleh wali, sedangkan akad sah jika dimulai dengan lafaz perintah oleh suami. Hal ini karena yang menjadi pertimbangan dari pihak wali adalah penyerahan (bādzl) jika ia memulai, dan ijāb jika ia menjawab, sedangkan dalam perintahnya tidak terdapat unsur penyerahan maupun ijāb, sehingga akad tidak sah dengannya. Adapun yang menjadi pertimbangan dari pihak suami adalah permintaan (ṭalab) jika ia memulai, dan kabul jika ia menjawab, dan perintahnya mengandung permintaan meskipun tidak mengandung kabul, sehingga akad sah dengannya dan sempurna dengan permintaan dan ijāb.
فصل
Fasal
فإذا صح ما ذكرناه مِنْ صِفَةِ الْعَقْدِ وَكَيْفِيَّتِهِ فَلِتَمَامِهِ وَإِبْرَامِهِ ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ:
Apabila telah sah apa yang kami sebutkan mengenai sifat dan tata cara akad, maka untuk kesempurnaan dan penguatannya terdapat tiga syarat:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَبُولُ الزَّوْجِ عَلَى الْفَوْرِ مِنْ بَذْلِ الْوَلِيِّ، فَإِنْ تَرَاخَى مَا بينهما بسكوت وإن قل لم يصح العقد إلا أن يكون لبلع ريق أو انقطاع نفس فيصبح الْعَقْدُ وَإِنْ تَخَلَّلَتْهُ هَذِهِ السَّكْتَةُ، لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ مِنْهَا.
Pertama: Kabul dari suami harus dilakukan segera setelah penyerahan dari wali. Jika terdapat jeda di antara keduanya berupa diam, meskipun sebentar, maka akad tidak sah, kecuali jika diam itu untuk menelan ludah atau mengambil napas, maka akad tetap sah meskipun diselingi diam tersebut, karena tidak mungkin menghindarinya.
وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ بَيْنَ بَذْلِ الْوَلِيِّ وَقَبُولِ الزَّوْجِ كَلَامٌ ليس بذل وَلَا قَبُول فَإِنْ تَخَلَّلَ بَيْنَهُمَا كَلَامٌ لَيْسَ منهما لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ، لِأَنَّ خُرُوجَهُمَا إِلَى غَيْرِهِ من الكلام قطع لحكم مَا تَقَدَّمَ، وَلَكِنْ لَوْ قَالَ الْوَلِيُّ: قَدْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي فَاقْبَلِ النِّكَاحَ مِنِّي لَمْ يَكُنْ هَذَا قَطْعًا لِحُكْمِ بَذْلِهِ، لِأَنَّهُ حَثٌّ مِنْهُ على القبول، وهكذا لو قال: قد زَوَّجْتُكَ بِنْتِي فَقُلْ لِي قَدْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا لَمْ يَكُنْ قَطْعًا لِحُكْمِ بَذْلِهِ؛ لِأَنَّهُ تَفْسِيرٌ لِقَوْلِهِ ” فَاقْبَلِ النِّكَاحَ مِنِّي ” فَأَمَّا إِذَا قَالَ: قد زوجتك بنتي فأحسن إليها أو قال فاستوصي بِهَا خَيْرًا كَانَ هَذَا قَطْعًا لِبَذْلِهِ؛ لِأَنَّهَا وصية لَا تَتَعَلَّقُ بِالْبَذْلِ وَلَا بِالْقَبُولِ، وَلَكِنْ لَوْ قال: قد زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ مِنْ إِمْسَاكٍ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٍ بِإِحْسَانٍ صَحَّ الْعَقْدُ وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ قَطْعًا؛ لِأَنَّهُ وَإِنْ تضمن صفة الْوَصِيَّةِ فَهُوَ بَيَانٌ لِحُكْمِ الْبَذْلِ وَالْقَبُولِ.
Syarat kedua: Tidak boleh ada pembicaraan di antara penyerahan wali dan kabul suami yang bukan berupa penyerahan atau kabul. Jika di antara keduanya terdapat pembicaraan yang bukan dari keduanya, maka akad tidak sah, karena keluarnya mereka kepada pembicaraan lain memutuskan hukum dari apa yang telah lalu. Namun, jika wali berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku, maka terimalah nikah ini dariku,” hal ini tidak memutuskan hukum penyerahannya, karena itu adalah dorongan untuk menerima. Demikian pula jika ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku, maka katakanlah kepadaku, ‘Aku telah menerima nikahnya’,” hal ini juga tidak memutuskan hukum penyerahannya, karena itu adalah penjelasan dari ucapannya, “maka terimalah nikah ini dariku.” Adapun jika ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku, maka berbuatlah baik kepadanya,” atau berkata, “Maka perlakukanlah dia dengan baik,” maka ini memutuskan penyerahannya, karena itu adalah wasiat yang tidak berkaitan dengan penyerahan maupun kabul. Namun, jika ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengannya sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Ta‘ala, yaitu menahan dengan cara yang baik atau melepaskan dengan cara yang baik,” maka akad sah dan itu tidak memutuskan penyerahan, karena meskipun mengandung sifat wasiat, itu adalah penjelasan hukum penyerahan dan kabul.
وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ عِنْدَ قَبُولِ الزَّوْجِ مِنْ أَهْلِ الْعَقْدِ، فَإِنْ قَبِلَ الزَّوْجُ وَقَدْ مَاتَ الْوَلِيُّ أَوْ جُنَّ أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ لِبُطْلَانِ بَذْلِهِ بِخُرُوجِهِ مِنْ أَهْلِ الْعَقْدِ.
Syarat ketiga: Wali harus masih termasuk orang yang berhak melakukan akad pada saat kabul suami. Jika suami menerima sementara wali telah meninggal, gila, atau pingsan, maka akad tidak sah karena penyerahannya batal akibat keluarnya ia dari orang yang berhak melakukan akad.
فَإِذَا تَكَامَلَتْ شُرُوطُ الْعَقْدِ عَلَى ما وصفنا فقد انعقد بإجزاء لَا يَثْبُتُ فِيهِ لِوَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ خِيَارُ المجلس بالعقد ولا خيار الثلاث الشرط بِخِلَافِ الْبَيْعِ، لِأَنَّ الْخِيَارَ مَوْضُوعٌ لِاسْتِدْرَاكِ الْمُعَايِنَةِ فِي الْأَعْوَاضِ وَلَيْسَ النِّكَاحُ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ لِجَوَازِهِ مَعَ الْإِخْلَالِ بِذِكْرِ الْعِوَضِ مِنَ الصَّدَاقِ، فَإِنْ شُرِطَ فِيهِ خِيَارُ الثَّلَاثِ أَبْطَلَهُ.
Apabila seluruh syarat akad telah terpenuhi sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka akad telah terjalin secara sempurna dan tidak berlaku bagi salah satu dari kedua mempelai hak khiyār majelis dalam akad, maupun khiyār tiga hari sebagaimana pada jual beli. Karena khiyār ditetapkan untuk meninjau kembali barang dalam akad pertukaran, sedangkan nikah bukan termasuk akad pertukaran karena boleh dilakukan meskipun tanpa menyebutkan mahar sebagai imbalan. Jika disyaratkan di dalamnya khiyār tiga hari, maka akad menjadi batal.
وَقَالَ أبو حنيفة: يَبْطُلُ الْخِيَارُ وَلَا يَبْطُلُ النِّكَاحُ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الشُّرُوطَ الْمُنَافِيَةَ لِلْعُقُودِ تُبْطِلُهَا كالشروط في سائر العقود – والله أعلم.
Abu Hanifah berkata: Khiyār-nya batal, tetapi nikahnya tidak batal. Ini adalah kekeliruan, karena syarat-syarat yang bertentangan dengan akad membatalkannya, sebagaimana syarat dalam akad-akad lainnya – dan Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَأُحِبُّ أَنْ يُقَدِّمَ بَيْنَ يَدَيْ خُطْبَتِهِ وَكُلِّ أمرٍ طلبه سوى الخطبة حمد الله تعالى والثناء عليه والصلاة على رسوله عليه الصلاة والسلام والوصية بتقوى الله ثُمَّ يَخْطِبُ وَأُحِبُّ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَفْعَلَ مِثْلَ ذلك وأن يقول ما قَالَ ابْنُ عُمَرَ أَنْكَحْتُكَ عَلَى مَا أَمَرَ الله بِهِ مِنْ إِمْسَاكٍ بمعروفٍ أَوْ تسريحٍ بإحسانٍ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Aku menyukai agar sebelum khutbahnya dan setiap urusan yang dimintanya selain khutbah, dia mendahulukan pujian kepada Allah Ta‘ala, sanjungan kepada-Nya, salawat kepada Rasul-Nya ﷺ, dan wasiat untuk bertakwa kepada Allah, kemudian ia berkhutbah. Aku juga menyukai agar wali melakukan hal yang sama dan mengucapkan apa yang dikatakan oleh Ibnu Umar: ‘Aku nikahkan engkau sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah, yaitu menahan dengan cara yang baik atau melepaskan dengan cara yang baik.'”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ خُطْبَةَ النِّكَاحِ قَبْلَ الْخِطْبَةِ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةُ وَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa khutbah nikah sebelum akad adalah sunnah yang dianjurkan dan tidak wajib.
وَقَالَ أَبُو عُبَيْدٍ الْقَاسِمُ بْنُ سَلَامٍ، وَدَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ: خُطْبَةُ النِّكَاحِ وَاجِبَةٌ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ ” وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا عَقَدَ لِنَفْسِهِ نِكَاحًا إِلَّا بَعْدَ خُطْبَةٍ، فكان الخاطب في تزويجه خديجة عمه أبا طالب، وكان الخاطب بتزويجه بِعَائِشَةَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ، وَزَوَّجَ فَاطِمَةَ بِعَلِيٍّ فَخَطَبَا جَمِيعًا، وَلِأَنَّهُ عَمَلٌ مَقْبُولٌ قَدِ اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَهْلُ الْأَعْصَارِ فِي جَمِيعِ الْأَمْصَارِ فكان إجماعاً لا يسوغ خلافاً، وَلِأَنَّ مَا وَقَعَ بِهِ الْفَرْقُ بَيْنَ مَا يستبشر بِهِ مِنَ الزِّنَا وَيُعْلَنُ مِنَ النِّكَاحِ كَانَ وَاجِبًا فِي النِّكَاحِ كَالْوَلِيِّ وَالشُّهُودِ.
Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam dan Dawud bin ‘Ali berkata: Khutbah nikah itu wajib, dengan berdalil pada riwayat al-A‘raj dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Setiap urusan penting yang tidak diawali dengan pujian kepada Allah, maka ia terputus (kurang berkah).” Dan karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak pernah menikahkan dirinya kecuali setelah khutbah. Maka yang menjadi khatib dalam pernikahan beliau dengan Khadijah adalah pamannya, Abu Thalib. Sedangkan yang menjadi khatib dalam pernikahan beliau dengan ‘Aisyah adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dan beliau menikahkan Fathimah dengan ‘Ali, lalu keduanya berkhutbah. Dan karena ini adalah amalan yang diterima dan telah disepakati oleh seluruh umat di berbagai negeri sepanjang masa, maka itu merupakan ijmā‘ yang tidak boleh diselisihi. Dan karena sesuatu yang menjadi pembeda antara apa yang membawa kabar gembira dari zina dan yang diumumkan dari nikah adalah wajib dalam nikah, seperti wali dan saksi.
وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ مِنْ اسْتِحْبَابِهَا دُونَ وُجُوبِهَا هُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَانْكِحُوهُنَّ بِإذْنِ أَهْلِهِنَّ) {النساء: 25) . فَجُعِلَ الْإِذْنُ شَرْطًا دُونَ الْخُطْبَةِ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ زَوَّجَ الْوَاهِبَةَ لِنَفْسِهَا مِنْ خَاطِبِهَا قَالَ: قد زوجتكها بما معك من القرآن فلم يَخْطُبْ.
Dalil atas kebenaran pendapat kami tentang anjuran (sunnah) khutbah nikah, bukan kewajibannya, adalah pendapat jumhur fuqaha: Firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahkanlah mereka dengan izin keluarga mereka} (an-Nisa: 25). Maka izin dijadikan sebagai syarat, bukan khutbah. Dan karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– ketika menikahkan wanita yang menghadiahkan dirinya kepada beliau dengan pelamarnya, beliau bersabda: “Aku nikahkan engkau dengannya dengan apa yang ada padamu dari al-Qur’an,” dan beliau tidak berkhutbah.
وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ خَطَبَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أمامة بنت عبد المطلب فأنكحه وَلَمْ يَخْطُبْ.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Bani Sulaim melamar Ummamah binti ‘Abd al-Muththalib dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–, lalu beliau menikahkannya tanpa berkhutbah.
وَرُوِيَ أَنَّ الْحُسَيْنَ بْنَ عَلِيٍّ رضي الله عنها زَوَّجَ بَعْضَ بَنَاتِ أَخِيهِ الْحَسَنِ وَهُوَ يَتَعَرَّقُ عَظْمًا أَيْ لَمْ يَخْطُبْ تَشَاغُلًا بِهِ.
Diriwayatkan bahwa al-Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma menikahkan sebagian putri saudaranya, al-Hasan, sementara ia sedang menggerogoti tulang, yakni ia tidak berkhutbah karena sedang sibuk dengannya.
وَرُوِيَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ زَوَّجَ بِنْتَهُ فَمَا زَادَ على أن قال: قد زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ مِنْ إِمْسَاكٍ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٍ بِإِحْسَانٍ، وَلِأَنَّ الْخُطْبَةَ لَوْ وَجَبَتْ فِي النِّكَاحِ لَبَطَلَ بِتَرْكِهَا، وفي إجماعهم على صحة النكاح تَرَكُهَا دَلِيلٌ عَلَى اسْتِحْبَابِهَا دُونَ وُجُوبِهَا وَلِأَنَّ النِّكَاحَ عُقْدٌ فَلَمْ تَجِبْ فِيهِ الْخُطْبَةُ كَسَائِرِ الْعُقُودِ، فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْخَبَرِ فَلَمْ يَخْرُجْ مَخْرَجَ الْأَمْرِ فَيَلْزَمُ وَإِنَّمَا أَخْبَرَ أَنَّهُ أَبْتَرُ وَلَيْسَ فِي هَذَا الْقَوْلِ دَلِيلٌ عَلَى الْوُجُوبِ عَلَى أن للخبر سبب هو محمول عليه قَدْ ذَكَرْنَاهُ فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ.
Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar menikahkan putrinya, dan tidak menambah selain berkata: “Aku nikahkan engkau dengannya sesuai dengan apa yang Allah Ta‘ala perintahkan, yaitu menahan dengan cara yang baik atau melepaskan dengan cara yang baik.” Dan seandainya khutbah itu wajib dalam nikah, maka nikah akan batal jika ditinggalkan. Dan ijmā‘ mereka atas sahnya nikah tanpa khutbah adalah dalil bahwa khutbah itu dianjurkan, bukan wajib. Dan karena nikah adalah akad, maka khutbah tidak diwajibkan di dalamnya sebagaimana akad-akad lainnya. Adapun dalil dari hadis, maka hadis itu tidak dalam bentuk perintah yang mengharuskan, melainkan hanya mengabarkan bahwa ia terputus (kurang berkah), dan tidak ada dalam ucapan itu dalil atas kewajiban. Selain itu, hadis tersebut memiliki sebab tertentu yang telah kami sebutkan di awal kitab.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا عَقَدَ نِكَاحًا إِلَّا بَعْدَ خُطْبَةٍ فَقَدْ قِيلَ: إِنَّهُ نَكَحَ بَعْضَ نِسَائِهِ بِغَيْرِ خُطْبَةٍ وَقَدْ زَوَّجَ الْوَاهِبَةَ بِغَيْرِ خُطْبَةٍ وَلَيْسَ مَا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنَ الْعَمَلِ الْمَنْقُولِ إِجْمَاعًا لِمَا روينا من خِلَافِهِ فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ وَلَا فِي كَوْنِهَا فَرْقًا بَيْنَ الزِّنَا وَالنِّكَاحِ دَلِيلٌ عَلَى وجوبها كالولائم.
Adapun dalil mereka bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak pernah menikah kecuali setelah khutbah, maka telah dikatakan: Sesungguhnya beliau menikahi sebagian istrinya tanpa khutbah, dan beliau menikahkan wanita yang menghadiahkan dirinya tanpa khutbah. Dan amalan yang mereka jadikan dalil itu bukanlah ijmā‘, karena ada riwayat yang berbeda dengannya, sehingga tidak menjadi dalil. Demikian pula, tidak ada dalil dalam menjadikannya sebagai pembeda antara zina dan nikah atas kewajibannya, seperti halnya walimah.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ اسْتِحْبَابُ الْخُطْبَةِ فَهِيَ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى أَرْبَعَةِ فُصُولٍ:
Jika telah tetap bahwa khutbah itu dianjurkan, maka ia terdiri atas empat bagian:
أَحَدُهَا: حَمْدُ اللَّهِ، وَالثَّنَاءُ عَلَيْهِ.
Pertama: Memuji Allah dan menyanjung-Nya.
وَالثَّانِي: الصَّلَاةُ عَلَى نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
Kedua: Shalawat atas Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam–.
وَالثَّالِثُ: الْوَصِيَّةُ بِتَقْوَى اللَّهِ وَطَاعَتِهِ.
Ketiga: Wasiat untuk bertakwa kepada Allah dan menaati-Nya.
وَالرَّابِعُ: قِرَاءَةُ آيَةٍ، وَالْأَوْلَى أَنْ تَكُونَ مُخْتَصَّةً بِذِكْرِ النِّكَاحِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَانْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ) {النور: 32) . وَكَقَوْلِهِ: {وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ المَاءِ بَشَراً) {الفرقان: 54) . الآية، فَإِنْ قَرَأَ آيَةً لَا تَتَعَلَّقُ بِذِكْرِ النِّكَاحِ جَازَ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَا التَّبَرُّكُ بِكَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى.
Keempat: Membaca satu ayat, dan yang utama adalah ayat yang berkaitan dengan nikah, seperti firman-Nya Ta‘ala: {Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu} (an-Nur: 32), dan firman-Nya: {Dan Dialah yang menciptakan manusia dari air} (al-Furqan: 54). Jika membaca ayat yang tidak berkaitan dengan nikah, maka itu pun boleh, karena yang dimaksud adalah mengambil berkah dari kalam Allah Ta‘ala.
وَقَدْ رُوِيَتْ خُطْبَةُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِيهَا: الْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ ونستغفره ونستعينه ونستهديه وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورسوله {يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمُ) {الأحزاب: 70، 71) . الآية إلى آخرها.
Diriwayatkan bahwa khutbah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- beliau biasa mengucapkan di dalamnya: Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon ampun kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon petunjuk kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan dari keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. {Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian} (al-Ahzab: 70-71), hingga akhir ayat.
وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رِضْوَانُ اللَّهِ تعالى عليه – أنه خطب، فقال: المحمود لله وَالْمُصْطَفَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَخَيْرُ مَا افْتُتِحَ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ، قَالَ الله تعالى: {وَانْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُم} الْآيَةَ.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib -semoga Allah meridhainya- bahwa beliau berkhutbah dan berkata: Segala puji bagi Allah, dan yang terpilih adalah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sebaik-baik pembuka adalah Kitab Allah, Allah Ta‘ala berfirman: {Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian} (ayat).
وَرُوِيَ مِنْ خُطَبِ بَعْضِ السَّلَفِ الْحَمْدُ لِلَّهِ شُكْرًا لِأَنْعُمِهِ وَأَيَادِيهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ شَهَادَةً تَبْلُغُهُ وَتُرْضِيهِ، وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُزَلِّفُهُ وَتُحْظِيهِ، وَاجْتِمَاعُنَا هَذَا مِمَّا قَضَاهُ اللَّهُ وَأَذِنَ فِيهِ وَالنِّكَاحُ مِمَّا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ وَرَضِيَهُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَانْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُم) {النور: 32 الْآيَةَ) فَتَكُونُ الْخُطْبَةُ عَلَى مَا وَصَفْنَا
Diriwayatkan dari sebagian salaf dalam khutbah mereka: Segala puji bagi Allah sebagai bentuk syukur atas nikmat dan karunia-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, sebuah kesaksian yang sampai kepada-Nya dan membuat-Nya ridha. Semoga Allah mencurahkan shalawat kepada Muhammad, shalawat yang mendekatkannya dan memuliakannya. Berkumpulnya kita ini adalah bagian dari ketetapan Allah dan izin-Nya, dan pernikahan adalah sesuatu yang diperintahkan dan diridhai Allah. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian} (an-Nur: 32, ayat). Maka khutbah dilakukan sebagaimana yang telah kami jelaskan.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأُحِبُّ أَنْ يَقُولَ الْوَلِيُّ مِثْلَ مَا قَالَ ابْنُ عمر: قد أنكحتها عَلَى مَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ مِنْ إِمْسَاكٍ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٍ بِإِحْسَانٍ.
Asy-Syafi‘i berkata: Aku menyukai agar wali mengucapkan seperti yang diucapkan oleh Ibnu Umar: “Aku telah menikahkannya sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Ta‘ala, yaitu dengan memelihara dengan cara yang baik atau melepaskan dengan cara yang baik.”
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حَالِ الْخُطْبَةِ نُظِرَ فِي الْخَاطِبِ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ الْمُتَعَاقِدَيْنِ وَهُوَ ما عليه الناس في زماننا كان خُطْبَتُهُ نِيَابَةً عَنْهُمَا، وَإِنْ خَطَبَ أَحَدُ الْمُتَعَاقِدَيْنِ فَيُخْتَارُ أَنْ يَخْطُبَا مَعًا، لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَنْدُوبٌ إِلَى مِثْلِ مَا نُدِبَ إِلَيْهِ الْآخَرُ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا زَوَّجَ عَلِيًّا خَطَبَا جَمِيعًا.
Setelah jelas apa yang telah kami jelaskan mengenai keadaan khutbah, maka diperhatikan siapa yang berkhutbah. Jika yang berkhutbah bukan kedua pihak yang akan melakukan akad, sebagaimana kebiasaan masyarakat di zaman kita, maka khutbahnya mewakili keduanya. Jika salah satu dari kedua pihak yang akan melakukan akad yang berkhutbah, maka dianjurkan agar keduanya berkhutbah bersama, karena masing-masing dari keduanya dianjurkan untuk melakukan apa yang dianjurkan kepada yang lain. Dan karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika menikahkan Ali, keduanya berkhutbah bersama.
وَالْأَوْلَى أَنْ يَبْدَأَ الزَّوْجُ بِالْخُطْبَةِ ثُمَّ يَعْقُبُهُ الْوَلِيُّ بِخُطْبَتِهِ لِيَكُونَ الزَّوْجُ طَالِبًا وَيَكُونَ الْوَلِيُّ مُجِيبًا، فَإِنْ بَدَأَ الْوَلِيُّ بِالْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ الزَّوْجُ بَعْدَهُ جاز، فإن تقدمت خطبتهما قَبْلَ الْبَذْلِ وَالْقَبُولِ أَوْ قَبْلَ الطَّلَبِ وَالْإِيجَابِ ثم عقد النكاح بعد الخطبتين بالبذل أو بالقبول أو بالطلب والإيجاب.
Yang lebih utama adalah memulai khutbah oleh pihak suami, kemudian diikuti oleh wali dengan khutbahnya, agar suami menjadi pihak yang meminta dan wali menjadi pihak yang menjawab. Jika wali memulai khutbah lalu suami berkhutbah setelahnya, maka itu boleh. Jika khutbah keduanya dilakukan sebelum penyerahan dan penerimaan, atau sebelum permintaan dan ijab, lalu akad nikah dilakukan setelah kedua khutbah tersebut dengan penyerahan atau penerimaan atau permintaan dan ijab.
فقد قال أبو حامد الإسفراييني: إِنَّ الْعَقْدَ صَحِيحٌ، لِأَنَّ مَا تَخَلَّلَهُمَا مِنَ الْخُطْبَةِ الثَّانِيَةِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ فِي الْعَقْدِ فَلَمْ يَفْسَدْ بِهِ الْعَقْدُ، وَهَذَا خَطَأٌ، وَالصَّحِيحُ وَهُوَ الظاهر مِنْ قَوْلِ أَصْحَابِنَا كُلِّهِمْ أَنَّ الْعَقْدَ بَاطِلٌ لِأَمْرَيْنِ:
Abu Hamid al-Isfara’ini berkata: Sesungguhnya akadnya sah, karena khutbah kedua yang terjadi di antara keduanya adalah sesuatu yang dianjurkan dalam akad, sehingga tidak merusak akad. Namun ini adalah kekeliruan. Pendapat yang benar, dan ini yang tampak dari pendapat seluruh ulama mazhab kami, adalah bahwa akadnya batal karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: تَطَاوُلُ مَا بَيْنَ الْبَذْلِ وَالْقَبُولِ.
Pertama: Terlalu panjang jeda antara penyerahan dan penerimaan.
والثاني: أن أذكار الْخُطْبَةِ لَيْسَتْ مِنَ الْبَذْلِ وَلَا مِنَ الْقَبُولِ، وَمَا قَالَهُ مِنْ أَنَّ الْخُطْبَةَ الثَّانِيَةَ مَنْدُوبٌ إِلَيْهَا فِي الْعَقْدِ فَلَمْ يَفْسَدْ بِهَا الْعَقْدُ فَصَحِيحٌ إِذَا كَانَتْ فِي مَحِلِّهَا قَبْلَ الْعَقْدِ، فَأَمَّا فِي خِلَالِ الْعَقْدِ فَلَمْ يُنْدَبْ إِلَيْهَا فَجَازَ أَنْ يَفْسَدَ بِهَا الْعَقْدُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Kedua: Zikir-zikir dalam khutbah bukan bagian dari penyerahan maupun penerimaan. Apa yang dikatakan bahwa khutbah kedua dianjurkan dalam akad sehingga tidak merusak akad adalah benar jika khutbah itu pada tempatnya, yaitu sebelum akad. Adapun jika khutbah itu di tengah-tengah akad, maka tidak dianjurkan, sehingga bisa menyebabkan batalnya akad – wallahu a‘lam.
بَابُ مَا يَحِلُّ مِنَ الْحَرَائِرِ وَيَحْرُمُ وَلَا يتسرى العبد وغير ذلك مِنَ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ وَكِتَابِ ابْنِ أبي ليلى، والرجل يقتل أمته ولها زوج
Bab tentang wanita merdeka yang halal dan haram dinikahi, serta budak tidak boleh mengambil selir, dan hal-hal lain yang dikumpulkan dari Kitab an-Nikah dan Kitab Ibnu Abi Laila, serta tentang seorang laki-laki yang membunuh budaknya padahal budak itu memiliki suami.
قال الشافعي: ” انتهى الله تعالى بِالْحَرَائِرِ إِلَى أربعٍ تَحْرِيمًا لِئَلَّا يَجْمَعَ أحدٌ غير النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعٍ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Allah Ta‘ala membatasi jumlah wanita merdeka sampai empat, sebagai bentuk pengharaman agar tidak ada seorang pun selain Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang mengumpulkan lebih dari empat istri.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
Al-Mawardi berkata: Dan demikianlah sebagaimana yang beliau katakan.
أَكْثَرُ مَا يَحِلُّ لِلْحُرِّ نِكَاحُ أَرْبَعٍ لَا يَجُوزُ لَهُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِنَّ وَهُوَ قَوْلُ سَائِرِ الْفُقَهَاءِ، وَحُكِيَ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ إبراهيم ومن نسب إلى مقالته ما القاسمية وطائفة من الزائدية أنه يحل له نِكَاحُ تِسْعٍ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثَلاثَ وَرُبَاعَ} (النساء: 3) بِوَاوِ الْجَمْعِ، وَالْمَثْنَى مُبْدَلٌ مِنِ اثْنَيْنِ، وَالثُّلَاثُ مُبْدَلٌ مِنْ ثَلَاثٍ، وَالرُّبَاعُ مُبْدَلٌ مِنْ أَرْبَعٍ فَصَارَ مَجْمُوعُ الِاثْنَيْنِ وَالثَّلَاثِ وَالْأَرْبَعِ تِسْعًا، وَلِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَاتَ عَنْ تِسْعٍ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ) {الأحزاب: 21) . ولأنه لما سَاوَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” سائر أمته فيما يستبحه مِنَ الْإِمَاءِ وَجَبَ أَنْ يُسَاوِيَهُمْ فِي حَرَائِرِ النِّسَاءِ “.
Batas maksimal yang halal bagi laki-laki merdeka adalah menikahi empat perempuan; tidak boleh baginya menambah lebih dari itu. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha. Diriwayatkan dari al-Qasim bin Ibrahim dan mereka yang mengikuti pendapatnya, yaitu kelompok al-Qasimiyyah dan sebagian dari kelompok Zaidiyyah, bahwa halal baginya menikahi sembilan perempuan. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat} (an-Nisa: 3) dengan huruf waw jama‘ (dan), di mana “dua” menggantikan dari dua, “tiga” menggantikan dari tiga, dan “empat” menggantikan dari empat, sehingga jumlah dua, tiga, dan empat menjadi sembilan. Juga karena diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ wafat dalam keadaan memiliki sembilan istri, dan Allah Ta‘ala berfirman: {Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu} (al-Ahzab: 21). Dan karena ketika Rasulullah ﷺ disamakan dengan umatnya dalam hal yang dibolehkan dari budak perempuan, maka seharusnya beliau juga disamakan dengan mereka dalam hal perempuan merdeka.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ} (النساء: 3) . وفيه دليلان:
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat} (an-Nisa: 3). Dalam ayat ini terdapat dua dalil:
أحدهما: أنه مَا خَرَجَ هَذَا الْمَخْرَجَ مِنَ الْأَعْدَادِ كَانَ الْمُرَادُ بِهِ أَفْرَادَهَا دُونَ مَجْمُوعِهَا لِأَمْرَيْنِ:
Pertama: Bahwa bilangan yang disebutkan dengan cara seperti ini, maksudnya adalah satuan-satuannya, bukan jumlah keseluruhannya, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ فِي صِفَةِ الْمَلَائِكَةِ: {أُولِي أجْنحَةٍ مَثْنَى وَثَلاث وَرُباع) {فاطر: 1) . أفْرَادَ هَذِهِ الْأَعْدَادِ، وَأن مِنْهُمْ مَنْ لَهُ جناح، وإن منهم من له جناحان، ومنهم مَنْ لَهُ ثَلَاثَةٌ، وَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ أَرْبَعَةٌ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي عَدَدِ النِّكَاحِ كَذَلِكَ.
Pertama: Ketika Allah berfirman tentang sifat malaikat: {Yang mempunyai sayap, dua, tiga, dan empat} (Fathir: 1), yang dimaksud adalah satuan dari bilangan tersebut; di antara mereka ada yang memiliki satu sayap, ada yang dua, ada yang tiga, dan ada yang empat. Maka dalam jumlah istri dalam pernikahan pun demikian pula.
وَالثَّانِي: أَنَّ أَهْلَ اللُّغَةِ أَجْمَعُوا فِيمَنْ قَالَ: قد جَاءَنِي النَّاسُ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ أَنَّ مَفْهُومَ كلامه أنهم جاءوا على أفْرَادِ هَذِهِ الْأَعْدَادِ اثْنَيْنِ اثْنَيْنِ وَثَلَاثَةً ثَلَاثَةً وأربعة أربعة ولم يرد بمجموعها تسعة، فكذلك مَفْهُومُ الْآيَةِ.
Kedua: Para ahli bahasa sepakat bahwa jika seseorang berkata: “Orang-orang datang kepadaku dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat,” maka makna ucapannya adalah mereka datang dalam kelompok dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat, bukan maksudnya jumlah keseluruhannya sembilan. Maka demikian pula makna ayat tersebut.
وَالدَّلِيلُ الثَّانِي: من الْآيَةِ أَنَّ ” الْوَاوَ ” الَّتِي فِيهَا لَيْسَتْ وَاوَ جَمْعٍ وَإِنَّمَا هِيَ وَاوُ تَخْيِيرٍ بِمَعْنَى أَوْ، وَتَقْدِيرُ الْكَلَامِ مَثْنَى أَوْ ثُلَاثَ أَوْ رُبَاعَ وَإِنَّمَا كَانَ كذلك لأمرين:
Dalil kedua dari ayat tersebut adalah bahwa “waw” (dan) di dalamnya bukanlah waw jama‘ (dan yang bermakna penjumlahan), melainkan waw takhyir yang bermakna “atau”. Sehingga maksud kalimatnya adalah: dua atau tiga atau empat. Hal ini karena dua alasan:
أحدهما: أن ذكر التسعة بلفظهما أَبْلَغُ فِي الِاخْتِصَارِ وَأَقْرَبُ إِلَى الإفهام مِنْ ذِكْرِهَا بِهَذَا الْعَدَدِ الْمُشَكَلِ الَّذِي لَا يُفِيدُ تفريقه.
Pertama: Menyebutkan sembilan secara langsung lebih ringkas dan lebih mudah dipahami daripada menyebutkannya dengan bilangan yang membingungkan dan tidak memberikan penjelasan yang jelas.
وَالثَّانِي: قَوْلُهُ بَعْدَ ذَلِكَ {فَإنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةٌ أَوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُم} (النساء: 3) . ولو كان المرد تسعاً ولم يرد اثنين عَلَى الِانْفِرَادِ لَقَالَ: فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فثمان ليعدل عن التسع إلى أقرب الأعداد إليهما لا لبعده منهما، لأنه قد لا يقدر على العدل في تسع ويقدر على العدل في ثمان، ولو كَانَ عَلَى مَا قَالُوهُ لَكَانَ مَنْ عَجَزَ عَنِ الْعَدْلِ فِي تِسْعٍ حَرُمَ عَلَيْهِ أَنْ ينكح إلا واحدة ولما جاز لَهُ اثْنَانِ وَلَا ثَلَاثٌ وَلَا أَرْبَعٌ، وَهَذَا مَدْفُوعٌ بِالْإِجْمَاعِ ثُمَّ الدَّلِيلِ مَعَ نَصِّ السُّنَّةِ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ، ومَعَهُ عشر نسوة فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ ” وَأَسْلَمَ نَوْفَلُ بْنُ معاوية وأسلم معه خَمْسٌ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ وَاحِدَةً ” وَلِأَنَّهُ مَا جَمَعَ فِي الْإِسْلَامِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أحد تقييداً بِفِعْلِهِ بَيْنَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعٍ مَعَ رَغْبَتِهِمْ فِي الِاسْتِكْثَارِ وَحِرْصِهِمْ عَلَى طَلَبِ الْأَوْلَادِ، وَأَنَّهُمْ قَدِ اسْتَكْثَرُوا مِنَ الْإِمَاءِ وَاقْتَصَرُوا عَلَى أَرْبَعٍ مِنَ النِّسَاءِ، فَدَلَّ ذَلِكَ مِنْ إِجْمَاعِهِمْ عَلَى حَظْرِ مَا عَدَاهُ، فَأَمَّا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَدْ خُصَّ فِي النِّكَاحِ بِمَا حَرُمَ عَلَى سَائِرِ أُمَّتِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ أُبِيحَ لَهُ النِّسَاءُ مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مَحْصُورٍ، وَمَا أُبِيحَ لِلْأُمَّةِ إلا عدد محصور، وليس وإن مات من تسع يجب أن يكون هي العدد المحصور فقد جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ إِحْدَى عَشْرَةَ وَمَاتَ عَنْ تِسْعٍ، وَكَانَ يَقْسِمُ لِثَمَانٍ.
Kedua: Firman Allah setelah itu, “Maka jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja atau budak-budak perempuan yang kamu miliki” (an-Nisā’: 3). Seandainya yang dimaksud adalah sembilan dan bukan dua secara tersendiri, tentu Allah berfirman: “Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka delapan,” agar berpindah dari sembilan ke bilangan yang paling dekat dengannya, bukan yang jauh darinya. Sebab, bisa jadi seseorang tidak mampu berlaku adil pada sembilan, namun mampu berlaku adil pada delapan. Seandainya seperti yang mereka katakan, maka siapa yang tidak mampu berlaku adil pada sembilan, haram baginya menikahi kecuali satu saja, dan tidak boleh baginya dua, tiga, atau empat. Ini tertolak oleh ijmā‘. Kemudian, dalil bersama nash sunnah bahwa Ghaylān bin Salamah ats-Tsaqafī masuk Islam, dan bersamanya sepuluh istri. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Tahanlah empat dan ceraikan sisanya.” Dan Naufal bin Mu‘āwiyah masuk Islam, bersamanya lima istri. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Tahanlah empat dan ceraikan satu.” Dan tidak ada seorang pun setelah Rasulullah ﷺ dalam Islam yang mengumpulkan lebih dari empat istri, padahal mereka sangat ingin memperbanyak istri dan bersemangat mencari keturunan. Mereka memperbanyak budak perempuan dan membatasi diri pada empat istri saja. Maka hal itu menunjukkan ijmā‘ mereka atas larangan selain dari itu. Adapun Rasulullah ﷺ, beliau dikhususkan dalam pernikahan dengan apa yang diharamkan atas umatnya, karena beliau dihalalkan menikahi wanita tanpa batasan jumlah, sedangkan umatnya hanya dihalalkan jumlah yang terbatas. Dan meskipun beliau wafat dengan sembilan istri, tidak berarti itu adalah jumlah yang terbatas, karena Rasulullah ﷺ pernah mengumpulkan sebelas istri dan wafat dengan sembilan, dan beliau pernah membagi giliran untuk delapan istri.
وَأَمَّا الْإِمَاءُ فَلَمْ يُحْصَرْنَ بِعَدَدٍ ممكن عَلَى الْإِطْلَاقِ.
Adapun budak perempuan, maka tidak dibatasi dengan jumlah secara mutlak.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يَحِلُّ لِلْحُرِّ نِكَاحُ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعٍ فَنَكَحَ خَمْسًا نُظِرَ، فَإِنْ عَقَدَ عَلَيْهِنَّ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ بَطَلَ نِكَاحُ جَمِيعِهِنَّ، لِأَنَّ الْمُحَرَّمَةَ مِنَ الخمس غير متعينة فبطل نكاح الجميع وإن عَقَدَ عَلَيْهِنَّ مُنْفَرِدَاتٍ بَطَلَ نِكَاحُ الْخَامِسَةِ الْأَخِيرَةِ، وَصَحَّ نِكَاحُ مَنْ تَقَدَّمَهَا فَلَوْ تَزَوَّجَ ثَلَاثًا فِي عَقْدٍ وَاثْنَتَيْنِ فِي عَقْدٍ صَحَّ نِكَاحُ الثلاث لتقدمهن، وبطل نكاح الاثنتين لتأخرها، فلو أشكل المتقدم من العقد بَطَلَ نِكَاحُ الْخَمْسِ كُلِّهِنَّ فَلَوْ نَكَحَ ثَلَاثًا فِي عَقْدٍ وَاثْنَتَيْنِ فِي عَقْدٍ وَوَاحِدَةً فِي عَقْدٍ وَأُشْكِلَ الْمُتَقَدِّمَاتُ مِنْهُنَّ صَحَّ نِكَاحُ الْوَاحِدَةِ لِأَنَّهَا تَتَنَزَّلُ فِي أَحْوَالِهَا كُلِّهَا عَلَى الصِّحَّةِ، وبطل نكاح الثلاث والاثنين لنزولهن بَيْنَ حَالَتَيْ صِحَّةٍ وَفَسَادٍ، وَبَيَانُ تَنْزِيلِهِنَّ فِي الْأَحْوَالِ أَنَّهُ إِنْ كَانَ قَدْ تَقَدَّمَ نِكَاحُ الثلاث ثم الاثنين ثُمَّ الْوَاحِدَةِ صَحَّ نِكَاحُ الثَّلَاثِ وَالْوَاحِدَةِ وَبَطَلَ نِكَاحُ الِاثْنَتَيْنِ وَإِنْ كَانَ قَدْ تَقَدَّمَ نِكَاحُ الِاثْنَتَيْنِ ثُمَّ الثَّلَاثِ ثُمَّ الْوَاحِدَةِ صَحَّ نِكَاحُ الِاثْنَتَيْنِ وَالْوَاحِدَةِ وَبَطَلَ نِكَاحُ الثَّلَاثِ وَإِنْ تَقَدَّمَ نِكَاحُ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ الثَّلَاثِ ثُمَّ الِاثْنَتَيْنِ صَحَّ نكاح الواحدة والثلاث وبطل نكاح والاثنتين وَصَارَتِ الْوَاحِدَةُ ثَانِيَةً فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا فَصَحَّ نكاحها ولما رود كاح الثَّلَاثِ وَالِاثْنَتَيْنِ بَيْنَ حَالَتَيْ صِحَّةٍ وَفَسَادٍ بَطَلَ نكاحهن.
Jika telah tetap bahwa tidak halal bagi laki-laki merdeka menikahi lebih dari empat istri, lalu ia menikahi lima, maka dilihat: jika ia mengakadkan mereka dalam satu akad, maka batal nikah seluruhnya, karena yang haram dari lima itu tidak tertentu, sehingga batal nikah semuanya. Jika ia mengakadkan mereka satu per satu, maka batal nikah yang kelima (terakhir), dan sah nikah yang sebelumnya. Jika ia menikahi tiga dalam satu akad dan dua dalam satu akad, maka sah nikah yang tiga karena mendahului, dan batal nikah yang dua karena belakangan. Jika tidak diketahui mana akad yang lebih dahulu, maka batal nikah kelima semuanya. Jika ia menikahi tiga dalam satu akad, dua dalam satu akad, dan satu dalam satu akad, lalu tidak diketahui mana yang lebih dahulu, maka sah nikah yang satu, karena dalam seluruh kemungkinannya ia berada dalam keadaan sah, dan batal nikah yang tiga dan dua karena berada di antara dua keadaan: sah dan batal. Penjelasan penempatan mereka dalam keadaan-keadaan itu adalah: jika yang lebih dahulu adalah nikah tiga, lalu dua, lalu satu, maka sah nikah tiga dan satu, dan batal nikah dua. Jika yang lebih dahulu adalah nikah dua, lalu tiga, lalu satu, maka sah nikah dua dan satu, dan batal nikah tiga. Jika yang lebih dahulu adalah nikah satu, lalu tiga, lalu dua, maka sah nikah satu dan tiga, dan batal nikah dua. Maka yang satu menjadi kedua dalam seluruh keadaannya, sehingga sah nikahnya. Karena nikah tiga dan dua berada di antara dua keadaan: sah dan batal, maka batal nikah mereka.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” والآية تدل على أنها على الأحرار بقوله تعالى: {أَوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ} وَمِلْكُ الْيَمِينِ لَا يَكُونُ إِلَّا لِلْأَحْرَارِ الَّذِينَ يَمْلِكُونَ الْمَالَ وَالْعَبْدُ لَا يَمْلِكُ الْمَالَ “.
Imam asy-Syāfi‘ī berkata: “Ayat tersebut menunjukkan bahwa ketentuan itu berlaku bagi orang-orang merdeka, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: ‘atau budak-budak perempuan yang kamu miliki.’ Dan kepemilikan budak hanya berlaku bagi orang merdeka yang memiliki harta, sedangkan budak tidak memiliki harta.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. لَا يَحِلُّ لِلْعَبْدِ أَنْ يَنْكِحَ أَكْثَرَ مِنِ اثْنَتَيْنِ عَلَى الشَّطْرِ مِنَ اسْتِبَاحَةِ الْحُرِّ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Tidak halal bagi seorang budak untuk menikahi lebih dari dua orang perempuan, yaitu setengah dari kebolehan yang dimiliki orang merdeka. Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat: Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Umar.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَعَطَاءٌ.
Dan dari kalangan tabi’in: Al-Hasan Al-Bashri dan ‘Atha’.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: أبو حنيفة، وَأَهْلُ الْعِرَاقِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ وَقَالَ مَالِكٌ: الْعَبْدُ كَالْحُرِّ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ أَرْبَعٍ.
Dan dari kalangan fuqaha: Abu Hanifah, penduduk Irak, Ahmad, dan Ishaq. Malik berkata: Budak sama seperti orang merdeka dalam hal boleh mengumpulkan empat istri.
وَبِهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ، وَرَبِيعَةُ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَأَبُو ثَوْرٍ وَدَاوُدُ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثَلاثَ وَرُبَاع) {النساء: 3) . ولأنه لما كان لعان الحرائر أَرْبَعًا مُسَاوَاةً بِعَدَدِ مَنْ أُبِيحَ لَهُ مِنَ النِّسَاءِ، ثُمَّ كَانَ لِعَانُ الْعَبْدِ أَرْبَعًا كَالْحُرِّ وَجَبَ أَنْ يَسْتَبِيحَ أَرْبَعًا كَالْحُرِّ، وَلِأَنَّ نِكَاحَ العبد أوسع مِنْ نِكَاحِ الْحُرِّ، لِأَنَّهُ قَدْ يَنْكِحُ الْأَمَةَ على الحرة ويجمع بين أمتين بخلاف الحر فلم يجز هو أَوْسَعُ حُكْمًا أَنْ يَضِيقَ فِي الْعَدَدِ عَنْ حُكْمِ الْحُرِّ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْعَبْدُ مُسَاوِيًا لِلْحُرِّ فِي أَعْيَانِ الْمُحَرَّمَاتِ وَجَبَ أَنْ يُسَاوِيَهُ في أعداد المنكوحات.
Pendapat ini juga dikatakan oleh Az-Zuhri, Rabi‘ah, Al-Auza‘i, Abu Tsaur, dan Dawud, dengan berdalil pada keumuman firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat} (an-Nisa: 3). Dan karena li‘an bagi perempuan merdeka adalah empat, sesuai dengan jumlah perempuan yang dihalalkan baginya, maka li‘an bagi budak juga empat seperti orang merdeka, sehingga wajib baginya untuk dihalalkan menikahi empat perempuan seperti orang merdeka. Dan karena pernikahan budak lebih luas daripada pernikahan orang merdeka, karena budak boleh menikahi budak perempuan di atas perempuan merdeka dan boleh mengumpulkan dua budak perempuan, berbeda dengan orang merdeka, maka tidak mungkin hukum yang lebih luas menjadi lebih sempit dalam jumlah dibandingkan hukum orang merdeka. Dan karena budak telah disamakan dengan orang merdeka dalam hal jenis-jenis perempuan yang diharamkan, maka wajib pula disamakan dalam jumlah perempuan yang boleh dinikahi.
ودليلنا قَوْله تَعَالِيَ: {ضَرَبَ لَكُمْ مَثَلاً مِنْ أَنْفُسِكُمْ هَلْ لَكُمْ مِنْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ مِنْ شَرَكَاءَ فِي مَا رَزَقَنَاكُمْ فَأَنْتُمْ فِيهِ سَوَاءٌ) {الروم: 28) . فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْعَبْدَ غَيْرُ مساوٍ لِلْحُرِّ، وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dia membuat perumpamaan untuk kalian dari diri kalian sendiri. Apakah ada di antara budak-budak yang kalian miliki, yang menjadi sekutu dalam rezeki yang Kami berikan kepada kalian, sehingga kalian menjadi setara dalam hal itu?} (ar-Rum: 28). Maka ini menunjukkan bahwa budak tidak sama dengan orang merdeka. Dan juga karena ini merupakan ijmā‘ para sahabat dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عُمَرَ قَالَ يُطَلِّقُ الْعَبْدُ تَطْلِيقَتَيْنِ وَيَنْكِحُ اثْنَتَيْنِ وَتَعْتَدُّ الْأَمَةُ حَيْضَتَيْنِ، وَصَرَّحَ بِمِثْلِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ مَنْ ذَكَرْنَا، وَلَيْسَ فِيهِمْ مُخَالِفٌ.
Pertama: Bahwa Umar berkata, “Budak menjatuhkan talak dua kali, menikahi dua perempuan, dan masa iddah budak perempuan adalah dua kali haid.” Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh para sahabat yang telah kami sebutkan, dan tidak ada yang berbeda pendapat di antara mereka.
وَالثَّانِي: ما رواه الليث من أبي سليم عن الحكم بن عيينة قَالَ: أَجْمَعَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عليه أَنْ لَا يَنْكِحَ الْعَبْدُ أَكْثَرَ مِنِ اثْنَتَيْنِ، فَثَبَتَ بِهَذَيْنِ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، ولأن ما نقص في عدله ومعناه شاطر العبد فيه كالحر كَالْحُدُودِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا نَقَصَ الْأَحْرَارُ فِيمَا اسْتَبَاحُوهُ مِنَ الْعَدَدِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لبعضهم عَنْهُ وَجَبَ أَنْ يَنْقُصَ الْعَبْدُ فِيهِ عَنِ الْحُرِّ لِنَقْصِهِ عَنْهُ.
Kedua: Riwayat dari Al-Laits dari Abu Sulaim dari Al-Hakam bin ‘Uyainah, ia berkata: “Para sahabat Rasulullah ﷺ telah berijmā‘ bahwa budak tidak boleh menikahi lebih dari dua perempuan.” Maka dengan dua hal ini, tetaplah ijmā‘ para sahabat atas apa yang telah kami sebutkan. Dan karena apa yang berkurang dalam keadilan dan maknanya, budak setara dengan orang merdeka di dalamnya, seperti dalam hudud. Dan karena ketika orang merdeka berkurang dalam jumlah perempuan yang dihalalkan baginya dibanding Rasulullah ﷺ, maka wajib pula bagi budak untuk berkurang dari orang merdeka karena kekurangannya dibanding orang merdeka.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْآيَةِ فَسِيَاقُ الْكَلَامِ مِنْ أَوَّلِهِ إِلَى آخِرِهِ مُتَوَجِّهٌ إِلَى الأحرار دون العبيد، لأن قوله أوله: {فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسَطُوا فِي اليَتَامَى) {النساء: 3) . متوجه إِلَى الْأَحْرَارِ، لِأَنَّهُمْ يَكُونُونَ عَلَى الْأَيْتَامِ، وَقَوْلُهُ: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النَّسَاءِ) {النساء: 3) . مُتَوَجَّهٌ إِلَى الْأَحْرَارِ، لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ أَنْ يَنْكِحَ مَا طَابَ لِنَفْسِهِ، وَقَوْلُهُ: {فَإنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةٌ أوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ) {النساء: 3) . مُتَوَجَّهٌ إِلَى الْأَحْرَارِ، لِأَنَّ الْعَبْدَ لا يملك.
Adapun dalil mereka dengan ayat tersebut, maka konteks pembicaraan dari awal hingga akhir ditujukan kepada orang-orang merdeka, bukan kepada para budak. Karena firman-Nya di awal: {Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim} (an-Nisa: 3), ditujukan kepada orang-orang merdeka, karena merekalah yang menjadi wali anak yatim. Dan firman-Nya: {Maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi} (an-Nisa: 3), juga ditujukan kepada orang-orang merdeka, karena budak tidak memiliki hak untuk menikahi siapa yang ia kehendaki. Dan firman-Nya: {Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki} (an-Nisa: 3), juga ditujukan kepada orang-orang merdeka, karena budak tidak memiliki hak kepemilikan.
وما اسْتِدْلَالُهُمْ بِاللِّعَانِ فَهُوَ غَيْرُ مَوْضُوعٍ عَلَى التَّفَاضُلِ وَلَا هُوَ الْعِلَّةُ فِي عَدَدِ الْمَنْكُوحَاتِ وَإِنِ اتفقا، وإنما يجري مَجْرَى الْيَمِينِ عِنْدَنَا وَالْبَيِّنَةِ عِنْدَ غَيْرِنَا.
Adapun dalil mereka dengan li‘an, maka itu tidak berkaitan dengan perbedaan keutamaan dan bukan pula alasan dalam jumlah perempuan yang boleh dinikahi, meskipun keduanya sama. Li‘an hanya berlaku seperti sumpah menurut kami dan seperti bukti menurut selain kami.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ حُكْمَ الْعَبْدِ فِي النِّكَاحِ أَوْسَعُ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّهُ أَوْسَعُ حُكْمًا فِيمَا طَرِيقُهُ النَّقْصُ، وَأَضْيَقُ حُكْمًا فِيمَا طَرِيقُهُ الْكَمَالُ وَاسْتِبَاحَتُهُ لِلْأَمَةِ نَقْصٌ فَاتَّسَعَ حُكْمُهُ فِيهِ وَالْعَدَدُ كَمَالٌ فَضَاقَ حُكْمُهُ فِيهِ.
Adapun dalil mereka bahwa hukum budak dalam pernikahan lebih luas, maka jawabannya: Hukum itu lebih luas dalam hal yang jalannya adalah pengurangan, dan lebih sempit dalam hal yang jalannya adalah kesempurnaan. Kebolehan menikahi budak perempuan adalah kekurangan, maka hukum di situ menjadi lebih luas, sedangkan jumlah istri adalah kesempurnaan, maka hukum di situ menjadi lebih sempit.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُ لَمَّا سَاوَاهُ فِي أَعْيَانِ الْمُحَرَّمَاتِ سَاوَاهُ فِي عَدَدِ الْمَنْكُوحَاتِ فَبَاطِلٌ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يساوي الأمة في أعيان المحرمات ولا يساويه فِي عَدَدِ الْمَنْكُوحَاتِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيمَ متساو العدد متفاضلٍ، فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَنْكِحُ أكثر من اثنتين فحكمه إن نكح ثلاثاً كحم الْحُرِّ إِذَا نَكَحَ خَمْسًا عَلَى مَا بَيَّنَاهُ وكذلك المدبر والمكاتب، ومن رق بعضه – والله أعلم -.
Adapun dalil mereka bahwa ketika ia disamakan dalam hal-hal yang diharamkan, maka ia juga disamakan dalam jumlah istri yang boleh dinikahi, adalah batil. Sebab Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- disamakan dengan umatnya dalam hal-hal yang diharamkan, namun tidak disamakan dalam jumlah istri yang boleh dinikahi. Ini menunjukkan bahwa keharaman itu sama dalam jenisnya, namun berbeda dalam jumlahnya. Maka jika telah tetap bahwa seorang budak laki-laki tidak boleh menikahi lebih dari dua perempuan, maka hukumnya jika ia menikahi tiga adalah seperti hukum orang merdeka jika menikahi lima, sebagaimana telah kami jelaskan. Demikian pula halnya dengan budak mudabbar, mukatab, dan orang yang sebagian dirinya merdeka—wallahu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فإذا فَارَقَ الْأَرْبَعَ ثَلَاثًا تَزَوَّجَ مَكَانَهُنَّ فِي عِدَّتِهِنَّ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَحَلَّ لِمَنْ لَا امْرَأَةَ له أربعاً وقال بعض الناس لا ينكح أربعاً حتى تنقضي عدة الأربع لأني لا أجيز أن يجتمع ماؤه في خمسٍ أو في أختين (قلت) فأنت تزعم لو خلا بهن ولم يصبهن أن عليهن العدة فلم يجتمع فيهن ماؤه فأبيح له النكاح وقد فرق الله تعالى بين حكم الرجل والمرأة فجعل إليه الطلاق وعليها العدة فجعلته يعتد معها ثم ناقضت في العدة (قال) وأين؟ قلت: إذ جعلت عليه العدة كما جعلتها عليها أفيجتنب ما تجتنب المعتدة من الطيب والخروج من المنزل؟ قال لا، قل فلا جعلته في العدة بمعناها ولا فرقت بما فرق الله تعالى به بينه وبينها وقد جعلهن الله منه أبعد من الأجنبيات لأنهن لا يحللن له إلا بعد نكاح زوج وطلاقه أو موته وعدةٍ تكون بعده والأجنبيات يحللن له مِنْ سَاعَتِهِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia berpisah dari tiga dari empat istrinya, maka ia boleh menikahi pengganti mereka selama masa ‘iddah mereka, karena Allah Ta‘ala telah menghalalkan bagi orang yang tidak memiliki istri hingga empat orang. Sebagian orang berpendapat bahwa ia tidak boleh menikahi empat sampai selesai masa ‘iddah keempat-empatnya, karena aku tidak membolehkan air maninya berkumpul pada lima perempuan atau pada dua saudari sekaligus.” (Aku berkata:) “Lalu engkau menganggap bahwa jika ia hanya berduaan dengan mereka tanpa menggauli, maka mereka tetap wajib menjalani ‘iddah, sehingga air maninya tidak berkumpul pada mereka, maka nikah pun dibolehkan baginya. Allah Ta‘ala telah membedakan hukum antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki diberi hak talak dan perempuan wajib menjalani ‘iddah. Engkau menjadikannya harus menjalani ‘iddah bersama mereka, lalu engkau bertentangan dalam masalah ‘iddah.” (Ia berkata:) “Di mana letak pertentangannya?” Aku berkata: “Ketika engkau mewajibkan ‘iddah atasnya sebagaimana atas perempuan, apakah ia juga harus menghindari apa yang dihindari perempuan yang sedang ‘iddah, seperti memakai wewangian dan keluar rumah?” Ia menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Kalau begitu, engkau tidak menjadikannya dalam ‘iddah dalam makna sebenarnya, dan tidak membedakan sebagaimana Allah Ta‘ala membedakan antara dia dan perempuan. Allah telah menjadikan mereka (istri-istri yang ditalak) lebih jauh darinya daripada perempuan asing, karena mereka tidak halal baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain, lalu dicerai atau meninggal, dan menjalani ‘iddah setelahnya. Sedangkan perempuan asing halal baginya saat itu juga.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ لَهُ أَرْبَعُ زَوْجَاتٍ فَطَلَّقَهُنَّ وَأَرَادَ أَنْ يَعْقِدَ عَلَى أَرْبَعٍ سِوَاهُنَّ، أَوْ عَلَى أُخْتِ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ لَمْ يَخْلُ طَلَاقُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ جَازَ لَهُ عَقِيبَ طَلَاقِهِنَّ، سَوَاءً كَانَ طَلَاقُهُ ثَلَاثًا أَوْ دُونَهَا، وَإِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهِنَّ لَمْ يَخْلُ طَلَاقُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ بَائِنًا أَوْ رَجْعِيًّا، فَإِنْ كَانَ رَجْعِيًّا واحدة، أو اثنتين بغير عوض لمن يكن له العقد على أحد حتى ينقص عَدَدُهُنَّ، لِأَنَّهُنَّ مِنَ الزَّوْجَاتِ مَا كُنَّ فِي عَدَدِهِنَّ لِوُقُوعِ طَلَاقِهِ وَظِهَارِهِ عَلَيْهِنَّ، وَحُصُولِ التَّوَارُثِ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُنَّ، فَلَوِ انْقَضَتْ عِدَّةُ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ جَازِ الْعَقْدُ عَلَى أُخْتِهَا أَوْ عَلَى خامسةٍ غَيْرِهَا، وَلَوِ انْقَضَتْ عِدَّةُ اثْنَتَيْنِ جَازَ لَهُ الْعَقْدُ عَلَى اثْنَتَيْنِ، وَلَوِ انْقَضَتْ عِدَّةُ ثَلَاثٍ جَازَ لَهُ الْعَقْدُ عَلَى ثَلَاثٍ، وَلَوِ انْقَضَتْ عدة الأربع جاز له العقد على الأربع، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا إِمَّا أَنْ يَكُونَ ثَلَاثًا أَوْ دُونَهَا بِعِوَضٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ هَلْ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي عَدَدِهِنَّ بِأَرْبَعٍ سِوَاهُنَّ أَوْ بِأُخْتِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى جَوَازِهِ.
Al-Mawardi berkata: “Sebagaimana yang telah dikatakan: Jika seseorang memiliki empat istri, lalu ia menceraikan mereka dan ingin menikahi empat perempuan lain, atau ingin menikahi saudari salah satu dari mereka, maka perceraian itu tidak lepas dari dua kemungkinan: sebelum digauli atau sesudahnya. Jika sebelum digauli, maka boleh baginya menikahi segera setelah menceraikan mereka, baik talaknya tiga kali atau kurang. Jika ia telah menggauli mereka, maka perceraian itu tidak lepas dari dua kemungkinan: talak bain atau talak raj‘i. Jika talaknya raj‘i, satu atau dua kali tanpa kompensasi, maka tidak boleh baginya menikahi salah satu perempuan lain sampai jumlah istri yang dalam masa ‘iddahnya berkurang, karena mereka masih termasuk istri-istrinya selama masa ‘iddah, baik karena talak maupun zihar, dan masih ada hak waris antara dia dan mereka. Jika masa ‘iddah salah satu dari mereka selesai, maka boleh baginya menikahi saudari perempuan itu atau perempuan kelima selain mereka. Jika masa ‘iddah dua orang selesai, boleh menikahi dua orang, jika tiga, boleh menikahi tiga, dan jika keempat-empatnya selesai masa ‘iddah, boleh menikahi empat perempuan lain. Jika talaknya bain, baik tiga kali atau kurang dengan kompensasi, maka para fuqaha berbeda pendapat: apakah boleh baginya menikahi empat perempuan lain selama masa ‘iddah mereka, atau menikahi saudari masing-masing dari mereka? Imam Syafi‘i berpendapat hal itu boleh.”
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ.
Pendapat ini juga dikatakan oleh sahabat: Zaid bin Tsabit.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالزُّهْرِيُّ.
Dan dari kalangan tabi‘in: Sa‘id bin al-Musayyab dan az-Zuhri.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: مَالِكٌ.
Dan dari kalangan fuqaha: Malik.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يجوز إلا بعد انقضاء عدتهن.
Abu Hanifah berkata: Tidak boleh kecuali setelah selesai masa ‘iddah mereka.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيٌّ، وَابْنُ عَبَّاسٍ.
Pendapat ini juga dikatakan oleh sahabat: Ali dan Ibnu ‘Abbas.
ومن التابعين: سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ} وهذا نص لما به يعقد في أختين، ولأنها معتدة في حقه في مِنْ طَلَاقِهِ فَلَمْ يَحِلَّ لَهُ الْعَقْدُ عَلَى أختها كالرجعية، وَاحْتَرَزَ بِقَوْلِهِ: ” مِنْ حَقِّهِ ” مِنْ أَنْ يَدَّعِيَ الْمُطَلِّقُ انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا وَيُنْكِرَ، فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُطَلِّقِ فِي اسْتِبَاحَةِ عَقْدِهِ عَلَى أُخْتِهَا، وَالْقَوْلُ قولها في بقاء عدتها، ويكون مُعْتَدَّةً فِي حَقِّهَا لَا فِي حَقِّهِ، وَاحْتَرَزَ بقوله: ” من طلاقه ” من ردتها فإنه يجوز لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِأُخْتِهَا وَإِنْ كَانَتِ الْمُرْتَدَّةُ فِي عِدَّتِهَا وَمِنْ أَنْ يَطَأَ أَمَةً ثُمَّ يَبِيعُهَا فَيَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِأُخْتِهَا وَإِنْ كَانَتِ الْأَمَةُ تَسْتَبْرِئُ نَفْسَهَا مِنْ وَطْئِهِ، قَالَ: وَلِأَنَّ كل جمع منح مِنْهُ عَقْدُ النِّكَاحِ مُنِعَتْ مِنْهُ الْعِدَّةُ كَالْجَمْعِ بَيْنَ زَوْجَيْنِ، لِأَنَّ الْعَقْدَ قَدْ حَرَّمَ عَلَيْهَا نِكَاحَ غَيْرِهِ مِنَ الْأَزْوَاجِ كَمَا حَرَّمَ عَلَيْهِ نِكَاحَ أُخْتِهَا مِنَ النِّسَاءِ ثُمَّ كَانَ تَحْرِيمُ غَيْرِهِ بَاقِيًا عَلَيْهَا فِي الْعِدَّةِ، وَجَبَ أَنْ يكون تحريم أختها باقياً عليها في العدة.
Di antara para tabi’in adalah Sufyan ats-Tsauri, yang berpendapat dengan berdalil pada keumuman firman Allah Ta’ala: {Dan (diharamkan juga) mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu} (QS. an-Nisa: 23). Ini adalah nash (teks) yang menunjukkan larangan akad pada dua saudari. Sebab, perempuan yang masih dalam masa iddah akibat talaknya masih dianggap terkait dengannya, sehingga tidak halal baginya untuk mengakadkan diri dengan saudari perempuannya, sebagaimana halnya perempuan yang dalam masa iddah raj‘iyyah. Dengan ucapannya “dalam haknya”, ia mengecualikan jika seorang suami mengklaim bahwa iddah istrinya telah selesai dan ia mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami dalam hal kebolehan akad dengan saudari istrinya, dan ucapan istri dalam hal keberlangsungan iddahnya. Maka, perempuan itu menjadi mu‘taddah (perempuan dalam masa iddah) dalam hak dirinya, bukan dalam hak suaminya. Dengan ucapannya “dari talaknya”, ia mengecualikan kasus murtadnya istri, maka dalam hal ini suami boleh menikahi saudari istrinya meskipun istri yang murtad masih dalam masa iddahnya. Begitu juga jika ia menggauli seorang budak perempuan lalu menjualnya, maka ia boleh menikahi saudari budak tersebut meskipun budak itu masih dalam masa istibra’ (menunggu masa suci) dari hubungan dengannya. Ia berkata: Setiap pengumpulan yang dilarang karena akad nikah, maka dilarang pula karena iddah, sebagaimana pengumpulan antara dua istri. Karena akad telah mengharamkan atas perempuan itu untuk menikah dengan laki-laki lain, sebagaimana akad juga mengharamkan atas laki-laki itu untuk menikahi saudari perempuan tersebut. Maka, jika pengharaman menikah dengan laki-laki lain tetap berlaku atas perempuan itu selama masa iddah, maka pengharaman menikahi saudari perempuan itu pun harus tetap berlaku selama masa iddah.
ودليلنا في قوله تعالى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ) {النساء: 3) . وَقَدْ يَطِيبُ لَهُ نِكَاحُ أُخْتِهَا فِي عِدَّتِهَا وَلِأَنَّهُ جَمْعٌ حُرِّمَ عَلَى الزَّوْجِ بِالْعَقْدِ فَوَجَبَ أَنْ يَرْتَفِعَ بِالطَّلَاقِ كَالْمُطَلَّقَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ فَإِنْ قِيلَ فَالْمُطَلَّقَةُ قَبْلَ الدُّخُولِ لَمَّا لَمْ يحرم عليها نكاح غيره لم يحرم عَلَيْهِ، وَالْمُطَلَّقَةُ بَعْدَ الدُّخُولِ لَمَّا حَرُمَ عَلَيْهَا نِكَاحُ غَيْرِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ.
Adapun dalil kami adalah firman Allah Ta’ala: {Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu sukai} (QS. an-Nisa: 3). Bisa saja seseorang menyukai untuk menikahi saudari istrinya yang sedang dalam masa iddah. Dan karena pengumpulan yang diharamkan atas suami itu disebabkan oleh akad, maka pengharaman itu harus hilang dengan terjadinya talak, sebagaimana halnya perempuan yang ditalak sebelum terjadi hubungan (dimasuki), di mana jika dikatakan: Perempuan yang ditalak sebelum terjadi hubungan, karena tidak diharamkan menikah dengan laki-laki lain, maka tidak diharamkan pula atas mantan suaminya; dan perempuan yang ditalak setelah terjadi hubungan, karena diharamkan menikah dengan laki-laki lain, maka diharamkan pula atas mantan suaminya.
قِيلَ: إِنَّمَا حَرُمَ عَلَيْهَا بَعْدَ الدُّخُولِ نِكَاحُ غَيْرِهِ، لِأَنَّهَا مُعْتَدَّةٌ ولم يحرم عليه، لأنه غير معتد، ولأنها مبتوتة يحل لَهُ نِكَاحُ أُخْتِهَا بَعْدَ الْعِدَّةِ فَحَلَّ لَهُ نِكَاحُ أُخْتِهَا قَبْلَ الْعِدَّةِ كَالْمُخْبَرَةِ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، ولأنها فرقة يمنع من وقوع طلاقه فوجب أن يبيح مَا حَرُمَ مِنَ الْجَمْعِ بِعُقْدَةٍ كَالْوَفَاةِ، وَلِأَنَّهَا لَا تَحِلُّ لَهُ إِلَّا بِنِكَاحٍ جَدِيدٍ فَلَمْ يحرم عليه نكاح أُخْتِهَا لِأَجْلِهَا كَالْأَجْنَبِيَّةِ، وَلِأَنَّ الْمَبْتُوتَةَ مِنَ الْعِدَّةِ أَغْلَظُ تَحْرِيمًا عَلَيْهِ مِنَ الْأَجْنَبِيَّةِ، لِأَنَّ الْأَجْنَبِيَّةَ تَحِلُّ بِالْعَقْدِ فِي الْحَالِ، وَهَذِهِ لَا تَحِلُّ لَهُ إِلَّا بِعَقْدٍ بَعْدَ عِدَّتَيْنِ وَزَوْجٍ فَلَمْ يَجُزْ وَهِيَ أَغْلَظُ تَحْرِيمًا مِنَ الْأَجَانِبِ أَنْ يَحْرُمَ بِهَا مَا لَا يَحْرُمُ بِالْأَجَانِبِ وَلِأَنَّ الْعَدَّةَ تَخْتَصُّ بِالْمَرْأَةِ دُونَ الزَّوْجِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالمُطَلَّقَاتً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ) {البقرة: 228) . فَلَوْ مَنَعَتْ مِنَ النِّسَاءِ مَا مَنَعَتْ مِنَ الرِّجَالِ للزم من العدة كَمَا أُلْزِمَتْ وَلَوْ لَزِمَ مِنْ أَحْكَامِ العدة كما لزمها لزمه سائر أحكامها من تَحْرِيمِ الطِّيبِ وَالزِّينَةِ كَمَا لزمها وفي المنع من إبراء أَحْكَامِ الْعِدَّةِ عَلَيْهَا فِيمَا سِوَى النِّكَاحِ مَنْعٌ مِنْ إِجْرَاءِ حُكْمِهَا عَلَيْهِ فِي تَحْرِيمِ النِّكَاحِ.
Dijawab: Sesungguhnya perempuan yang ditalak setelah terjadi hubungan diharamkan menikah dengan laki-laki lain karena ia sedang dalam masa iddah, dan tidak diharamkan atas mantan suaminya, karena ia bukan orang yang dalam masa iddah. Dan karena perempuan yang ditalak ba’in (talak tiga) halal bagi mantan suaminya untuk menikahi saudari perempuannya setelah selesai iddah, maka halal pula baginya menikahi saudari perempuannya sebelum iddah, sebagaimana halnya jika diberitahu bahwa iddah telah selesai. Dan karena perceraian itu adalah pemisahan yang mencegah jatuhnya talak lagi, maka wajib membolehkan apa yang diharamkan dari pengumpulan melalui akad, sebagaimana halnya kematian. Dan karena perempuan yang ditalak ba’in tidak halal baginya kecuali dengan akad nikah baru, maka tidak diharamkan atas mantan suaminya untuk menikahi saudari perempuannya karena sebab dirinya, sebagaimana perempuan asing (ajnabiyyah). Dan karena perempuan yang ditalak ba’in dalam masa iddah lebih berat keharamannya atas mantan suaminya daripada perempuan asing, karena perempuan asing halal dinikahi dengan akad saat itu juga, sedangkan perempuan yang ditalak ba’in tidak halal baginya kecuali dengan akad baru setelah dua kali iddah dan menikah dengan suami lain, maka tidak boleh (dinikahi) padahal ia lebih berat keharamannya daripada perempuan asing, sehingga tidak boleh dengan sebab dirinya diharamkan sesuatu yang tidak diharamkan dengan perempuan asing. Dan karena iddah itu khusus berlaku bagi perempuan, tidak bagi suami, sebagaimana firman Allah Ta’ala: {Dan perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’} (QS. al-Baqarah: 228). Maka, jika iddah mencegah perempuan dari sesuatu yang tidak mencegah laki-laki, berarti iddah itu wajib atas perempuan sebagaimana telah diwajibkan, dan jika hukum-hukum iddah itu berlaku atas laki-laki sebagaimana berlaku atas perempuan, maka wajib pula atas laki-laki seluruh hukum iddah seperti larangan memakai wewangian dan berhias sebagaimana diwajibkan atas perempuan. Dalam larangan memberlakukan hukum-hukum iddah atas laki-laki selain dalam masalah nikah, terdapat larangan pula memberlakukan hukumnya atas laki-laki dalam hal pengharaman nikah.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ) {النساء: 23) . فَهُوَ أَنَّ الطَّلَاقَ مُفَرِّقٌ فَكَيْفَ يَصِيرُ بِهِ جَامِعًا، وَالْجَمْعُ مِنَ الِاجْتِمَاعِ، وَالْفُرْقَةُ ضِدَّ الِاجْتِمَاعِ.
Adapun jawaban atas firman Allah Ta’ala: {Dan (diharamkan juga) mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara} (QS. an-Nisa: 23), maka talak itu adalah pemisah, bagaimana mungkin dengan talak itu menjadi pengumpul? Sedangkan pengumpulan itu berasal dari makna berkumpul, dan perpisahan adalah lawan dari berkumpul.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرَّجْعِيَّةِ، فتلك زوجته يقع عليها طلاقه، وظهاره وتستحق بينهما التَّوَارُثَ وَهَذِهِ قَدْ صَارَتْ أَجْنَبِيَّةً، لِأَنَّهَا لَا يَلْحَقُهَا طَلَاقُهُ وَلَا ظِهَارُهُ وَلَا يَتَوَارَثَانِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فِي تَحْرِيمِ الْجَمْعِ كَمَا لَمْ يَجْمَعْ بَيْنَهُمَا فِي النِّكَاحِ وَالْعَقْدِ.
Adapun qiyās mereka terhadap perempuan dalam masa iddah raj‘iyyah, maka perempuan itu masih menjadi istrinya, berlaku atasnya talak, zhihar, dan berhak mendapatkan warisan di antara keduanya. Sedangkan perempuan yang ditalak ba’in telah menjadi ajnabiyyah (perempuan asing), karena tidak lagi berlaku talak, zhihar, dan tidak saling mewarisi, maka tidak boleh disamakan antara keduanya dalam keharaman pengumpulan, sebagaimana tidak disamakan pula dalam pernikahan dan akad.
وأما قياسهم عليها فالمعنى فيها أنها معتدة والمعتدة محرم عَلَيْهَا نِكَاحُ غَيْرِهِ لِئَلَّا يَخْتَلِطَ مَاؤُهُ بِمَاءِ غَيْرِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الرَّجُلُ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُعْتَدٍّ وليس في عقده على غيرها اختلاط مائين فَافْتَرَقَا.
Adapun qiyās mereka terhadapnya, makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa ia sedang menjalani masa ‘iddah, dan perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki lain agar air maninya tidak bercampur dengan air mani laki-laki lain. Sementara laki-laki tidak demikian, karena ia tidak menjalani masa ‘iddah, dan dalam akadnya dengan perempuan lain tidak terjadi percampuran dua air mani. Maka keduanya berbeda.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الشَّافِعِيُّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فَإِنَّهُ تَكَلَّمَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ عَلَى إِبْطَالِ مَذْهَبِهِمْ بِثَلَاثَةِ فُصُولٍ ذَكَرْنَا مِنْهَا فَصْلَيْنِ:
Adapun asy-Syāfi‘ī – semoga Allah meridhainya – beliau membahas dalam masalah ini tentang pembatalan mazhab mereka dengan tiga fasal, dua di antaranya telah kami sebutkan:
أَحَدُهُمَا: ما فيه مِنْ وُجُوبِ الْعِدَّةِ عَلَى الزَّوْجِ وَقَدْ أَوْجَبَهَا الله عَلَيْهَا دُونَهُ.
Pertama: bahwa di dalamnya terdapat kewajiban ‘iddah atas suami, padahal Allah telah mewajibkannya atas istri saja, bukan atas suami.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا بِالطَّلَاقِ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْأَجْنَبِيَّةِ فَكَيْفَ تَبْقَى عَلَى حُكْمِ الزَّوْجِيَّةِ.
Kedua: bahwa dengan terjadinya talak, keadaan istri lebih buruk daripada perempuan asing (ajnabiyyah), maka bagaimana mungkin ia tetap berada dalam hukum sebagai istri.
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ الَّذِي تَفَرَّدَ بِهِ الشافعي – رضي الله تعالى عنه – فتحرر كَلَامُهُ فِيهِ مِنْ مُقْتَضَاهُ أَنَّهُ لَا يَخْلُو تَحْرِيمُهُمْ لِنِكَاحِ أُخْتِهَا فِي عِدَّتِهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ لِعَقْدِ النِّكَاحِ، أَوْ لِئَلَّا يَجْتَمِعَ مَاؤُهُ فِي أُخْتَيْنِ.
Adapun fasal ketiga, yang merupakan pendapat khusus asy-Syāfi‘ī – semoga Allah Ta‘ala meridhainya – maka inti pembahasannya adalah bahwa pengharaman mereka terhadap menikahi saudara perempuannya selama masa ‘iddah tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah karena akad nikah, atau agar tidak bercampur air mani pada dua saudara perempuan.
فَإِنْ كَانَ لعقد النكاح فقد ارتفع بطلان الثَّلَاثِ، وَإِنْ كَانَ لِئَلَّا يَجْتَمِعَ مَاؤُهُ فِي أُخْتَيْنِ فَهُمْ يَقُولُونَ: إِنَّهُ لَوْ خَلَا بِهَا من طَلَّقَهَا حَرُمَ عَلَيْهِ نِكَاحُ أُخْتِهَا فِي عِدَّتِهَا، وَإِنْ لَمْ يَجْتَمِعْ مَاؤُهُ فِي أُخْتَيْنِ فَبَطَلَ التعليل بكلى الأمرين، واعترضوا عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْفَصْلِ بِالْفَسَادِ، فَقَالُوا: نحن حرمنا المدخول بها باجتماع المائين وتعلل غير المدخول بها من هَذَا الْحُكْمِ بِعِلَّةٍ أُخْرَى وَنَقْضُ الْعِلَّةِ أَنْ يَكُونَ بِوُجُودِهَا مَعَ عَدَمِ الْحُكْمِ وَلَا يَكُونُ النَّقْضُ بِوُجُودِ الْحُكْمِ مَعَ عَدَمِ الْعِلَّةِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ قَبِلَ تَعْلِيلًا بِالرِّدَّةِ كَانَ نَقْضُ الْعِلَّةِ بِأَنْ لَا تُقْبَلَ مَعَ وُجُودِ الرِّدَّةِ وَلَمْ يَكُنْ نَقْضُهَا بِأَنْ تُقْبَلَ مَعَ عدة الردة بقتل أو زنا، كذلك هاهنا يحرم المدخول بها لاجتماع المائين ولا ينقض هذا التَّعْلِيلُ لِتَحْرِيمِ غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا لِعِلَّةٍ أُخْرَى، وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا أَنَّ الْعِلَلَ ضَرْبَانِ:
Jika alasannya karena akad nikah, maka telah gugur pembatalan atas ketiga alasan tersebut. Namun jika alasannya agar tidak bercampur air mani pada dua saudara perempuan, mereka mengatakan: jika seorang laki-laki berkhalwat dengan perempuan yang telah ditalaknya, maka haram baginya menikahi saudara perempuannya selama masa ‘iddah, meskipun tidak terjadi percampuran air mani pada dua saudara perempuan. Maka batal pula alasan dengan kedua hal tersebut. Mereka pun membantah asy-Syāfi‘ī dalam fasal ini dengan mengatakan: Kami mengharamkan yang telah digauli karena percampuran dua air mani, dan mengaitkan pengharaman yang belum digauli dengan alasan lain. Pembatalan alasan adalah jika alasan itu ada namun hukum tidak berlaku, dan tidak disebut pembatalan jika hukum berlaku tanpa alasan. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang menerima alasan karena riddah (murtad), maka pembatalan alasan adalah dengan tidak diterimanya alasan tersebut meskipun ada riddah, dan tidak dibatalkan dengan diterimanya alasan tersebut pada masa ‘iddah riddah karena pembunuhan atau zina. Demikian pula di sini, diharamkan yang telah digauli karena percampuran dua air mani, dan tidak dibatalkan alasan ini untuk pengharaman yang belum digauli karena alasan lain. Jawaban atas hal ini adalah bahwa alasan itu ada dua macam:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ التَّعْلِيلُ عَامًّا لِجِنْسِ الْحُكْمِ.
Pertama: alasan yang bersifat umum untuk jenis hukum.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ خَاصًّا لِأَعْيَانِ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْحُكْمُ.
Kedua: alasan yang bersifat khusus untuk objek tertentu yang terkait dengan hukum.
فَإِنْ كَانَتِ الْعِلَّةُ لِجِنْسِ الْحُكْمِ كَتَعْلِيلِ الربا بأنه مطعومٍ انتقضت هذه العلة بوجوب الحكم ولا علة، كما تنقض بِوُجُودِ الْعِلَّةِ وَلَا حُكْمَ حَتَّى إِنْ وُجِدَ الربا فيما ليس بمطعوم كان نقضاً كما لو وجد مطعوماً لَيْسَ فِيهِ رِبًا كَانَ نَقْضًا وَإِنْ كَانَتِ الْعِلَّةُ لِأَعْيَانِ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْحُكْمُ كَتَعْلِيلِ الْبُرِّ بِأَنَّ فِيهِ الرِّبَا، لِأَنَّهُ مَطْعُومٌ انْتُقِضَتْ هَذِهِ الْعِلَّةُ بِوُجُودِهَا مَعَ عَدَمِ الْحُكْمِ حَتَّى إِنْ وُجِدَ مَطْعُومٌ لَا رِبًا فِيهِ كَانَ نقضاً ولم ينتقض بِوُجُودِ الْحُكْمِ، وَلَا عِلَّةَ حَتَّى إِذَا ثَبَتَ الرِّبَا فِي الذَّهَبِ وَالْوَرَقِ وَلَيْسَ بِمَطْعُومٍ لَمْ يَكُنْ نَقْضًا، وَمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ إِلْزَامِ النقض في تعليلهم باجتماع المائين إنما هو تعليل لجنس الْحُكْمِ الْعَامِّ فَانْتُقِضَ بِوُجُودِ الْحُكْمِ وَلَا عِلَّةَ كما ينتقض بوجود العلة ولا حكم.
Jika alasannya untuk jenis hukum, seperti alasan riba karena sesuatu itu makanan, maka alasan ini batal jika hukum berlaku tanpa alasan, sebagaimana batal pula jika alasan ada namun hukum tidak berlaku. Sehingga jika riba ditemukan pada sesuatu yang bukan makanan, itu disebut pembatalan, sebagaimana jika ditemukan makanan yang tidak ada ribanya, itu juga pembatalan. Namun jika alasannya untuk objek tertentu yang terkait dengan hukum, seperti alasan gandum karena di dalamnya ada riba karena ia makanan, maka alasan ini batal jika alasan ada namun hukum tidak berlaku. Sehingga jika ditemukan makanan yang tidak ada ribanya, itu pembatalan, dan tidak batal jika hukum berlaku tanpa alasan, sehingga jika riba berlaku pada emas dan perak yang bukan makanan, itu tidak disebut pembatalan. Apa yang disebutkan oleh asy-Syāfi‘ī tentang keharusan adanya pembatalan dalam alasan mereka dengan percampuran dua air mani, sesungguhnya itu adalah alasan untuk jenis hukum yang umum, maka batal jika hukum berlaku tanpa alasan, sebagaimana batal jika alasan ada namun hukum tidak berlaku.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ قَتَلَ الْمَوْلَى أَمَتَهُ أَوْ قَتَلَتْ نَفْسَهَا فَلَا مَهْرَ لَهَا “.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Jika tuan membunuh budaknya perempuan atau ia bunuh diri, maka tidak ada mahar baginya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الزَّوْجَةَ إِذَا هَلَكَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ بِهَا فَلَهَا جميع المهر، لأنها قد استهلكته بِالدُّخُولِ سَوَاءً مَاتَتْ أَوْ قُتِلَتْ وَسَوَاءً كَانَتْ حرة، أو أمة، فأما إذا هَلَكَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa jika istri meninggal setelah digauli, maka ia berhak atas seluruh mahar, karena ia telah memilikinya dengan terjadinya hubungan, baik ia meninggal atau dibunuh, baik ia merdeka maupun budak. Adapun jika ia meninggal sebelum digauli, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ هلاكها بالموت.
Pertama: kematiannya karena wafat.
والثاني: أن يكون هلاكها بِالْقَتْلِ فَإِنْ كَانَ هَلَاكُهَا بِالْمَوْتِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ أَنَّ لَهَا الْمَهْرَ سَوَاءً كَانَتْ حُرَّةً أَوْ أَمَةً، لِأَنَّ غَايَةَ النِّكَاحِ مُدَّةُ الْحَيَاةِ فَإِذَا حَدَثَ الْمَوْتُ فَقَدِ انْقَضَتْ مُدَّةُ الْعَقْدِ فَاسْتَحَقَّتْ بِهَا جَمِيعَ الْمَهْرِ.
Kedua: Jika kematiannya disebabkan oleh pembunuhan. Jika kematiannya karena wafat (alami), maka menurut mazhab Syafi‘i dan mayoritas pengikutnya, ia berhak mendapatkan mahar, baik ia seorang wanita merdeka maupun budak, karena tujuan dari pernikahan adalah selama masa hidup. Maka ketika terjadi kematian, masa akad telah berakhir, sehingga ia berhak atas seluruh mahar.
وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: إِنْ كَانَتْ حُرَّةً فَلَهَا جَمِيعُ الْمَهْرِ، وَإِنْ كَانَتْ أَمَةً فَلَا شَيْءَ لَهَا، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الْحُرَّةَ فِي قَبْضِ الزَّوْجِ، لأنها مخيرة عَلَى الْمُقَامِ مَعَهُ فَإِذَا مَاتَتِ اسْتَحَقَّتْ جَمِيعَ المهر، كالسلعة إذا تلفت بعض قبض المشتري لها استحق عليها ثَمَنُهَا، وَالْأَمَةُ قَبْلَ الدُّخُولِ فِي قَبْضِ السَّيِّدِ دون الزوج، لأنها لا تخير عَلَى الْمُقَامِ مَعَهُ إِلَّا بِاخْتِيَارِ السَّيِّدِ فَلَمْ تَسْتَحِقَّ بِالْمَوْتِ قَبْلَ الدُّخُولِ مَهْرًا كَالسِّلْعَةِ إِذَا بلغت فِي يَدِ بَائِعِهَا سَقَطَ عَنِ الْمُشْتَرِي ثَمَنُهَا.
Abu Sa‘id al-Istakhri berkata: Jika ia seorang wanita merdeka, maka ia berhak atas seluruh mahar, namun jika ia seorang budak, maka ia tidak berhak atas apa pun. Ia membedakan antara keduanya dengan alasan bahwa wanita merdeka berada dalam kekuasaan suami, karena ia memiliki pilihan untuk tetap bersamanya. Maka ketika ia wafat, ia berhak atas seluruh mahar, seperti barang dagangan yang rusak setelah sebagian diterima oleh pembeli, maka pembeli berhak atas harganya. Adapun budak, sebelum terjadi hubungan suami istri, ia masih dalam kekuasaan tuannya, bukan suaminya, karena ia tidak memiliki pilihan untuk tetap bersama suaminya kecuali dengan izin tuannya. Maka ia tidak berhak atas mahar jika wafat sebelum terjadi hubungan, seperti barang dagangan yang rusak di tangan penjualnya, maka gugurlah harga barang itu dari pembeli.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ كَانَ هَلَاكُهَا بِالْقَتْلِ دُونَ الْمَوْتِ، فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika kematiannya disebabkan oleh pembunuhan, bukan karena wafat (alami), maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ هِيَ الْقَاتِلَةَ.
Pertama: Jika ia sendiri yang menjadi pembunuh.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَقْتُلَهَا غَيْرُهَا، فَإِنْ قتلها غيرها فضربان:
Kedua: Jika ia dibunuh oleh orang lain. Jika ia dibunuh oleh orang lain, maka terbagi menjadi dua:
أحدهما: أَنْ يَقْتُلَهَا الزَّوْجُ فَعَلَيْهِ مَهْرُهَا حُرَّةً كَانَتْ أَوْ أَمَةً بِاتِّفَاقِ جَمِيعِ أَصْحَابِنَا، لِأَنَّ الْحُرَّةَ كَالْمَقْبُوضَةِ، وَالْأَمَةَ وَإِنْ كَانَتْ فِي حُكْمِ غَيْرِ الْمَقْبُوضَةِ فَقَدِ اسْتَهْلَكَهَا مُسْتَحِقُّ قَبْضِهَا فَلَزِمَهُ مَهْرُهَا كَمَا يَلْزَمُ مُشْتَرِيَ السِّلْعَةِ إِذَا اسْتَهْلَكَهَا فِي يَدِ بَائِعِهَا جَمِيعُ ثَمَنِهَا وَيَصِيرُ الِاسْتِهْلَاكُ قَبْضًا كَذَلِكَ الْقَتْلُ.
Pertama: Jika yang membunuhnya adalah suaminya, maka wajib atas suaminya membayar maharnya, baik ia wanita merdeka maupun budak, menurut kesepakatan seluruh ulama kami. Karena wanita merdeka dianggap telah diterima (oleh suami), dan budak meskipun secara hukum belum diterima, namun telah dimusnahkan oleh orang yang berhak menerimanya, maka wajib atasnya membayar maharnya, sebagaimana pembeli barang yang memusnahkan barang itu di tangan penjualnya, maka ia wajib membayar seluruh harganya, dan perbuatan memusnahkan itu dianggap sebagai penerimaan, demikian pula pembunuhan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَقْتُلَهَا أَجْنَبِيٌّ غَيْرَ الزَّوْجِ فَحُكْمُ قَتْلِهِ لَهَا فِي حَقِّ الزَّوْجِيَّةِ حُكْمُ الْمَوْتِ فَيَكُونُ لَهَا الْمَهْرُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ حُرَّةً كَانَتْ أَوْ أَمَةً، وَعَلَى مَذْهَبِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ يَكُونُ لَهَا الْمَهْرُ إِنْ كَانَتْ حُرَّةً وَلَا يَكُونُ لَهَا الْمَهْرُ إِنْ كَانَتْ أَمَةً، وَإِنْ كَانَتْ هِيَ الْقَاتِلَةَ لِنَفْسِهَا فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأَمَةِ: أَنْه لَا مَهْرَ لَهَا إِذَا قَتَلَتْ نَفْسَهَا أَوْ قَتَلَهَا غَيْرُهَا.
Kedua: Jika yang membunuhnya adalah orang lain selain suaminya, maka hukum pembunuhan terhadapnya dalam kaitan pernikahan sama dengan hukum kematian (alami), sehingga ia berhak atas mahar menurut mazhab Syafi‘i, baik ia wanita merdeka maupun budak. Dan menurut mazhab Abu Sa‘id al-Istakhri, ia berhak atas mahar jika ia wanita merdeka, dan tidak berhak atas mahar jika ia budak. Dan jika ia sendiri yang membunuh dirinya, maka Syafi‘i berkata dalam kasus budak: Tidak ada mahar baginya jika ia membunuh dirinya sendiri atau dibunuh oleh orang lain.
وَقَالَ فِي الْحُرَّةِ: إِنَّ لَهَا المهر إن قَتَلَتْ نَفْسَهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِاخْتِلَافِ النَّصِّ فِيهِمَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dan beliau berkata dalam kasus wanita merdeka: Ia berhak atas mahar jika ia membunuh dirinya sendiri. Maka para ulama kami berbeda pendapat karena perbedaan nash dalam dua kasus ini menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ – أَنَّ اخْتِلَافَ النَّصِّ فِي الْمَوْضِعَيْنِ يوجب حملهما على اختلاق قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا مَهْرَ لَهَا حُرَّةً كانت أو أمة لأن الفسخ جائز مِنْ قِبَلِهَا قَبْلَ الدُّخُولِ فَأُسْقِطَ مَهْرُهَا كَالرِّدَّةِ والرضاع.
Pertama: —dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj— bahwa perbedaan nash dalam dua tempat ini mengharuskan adanya dua pendapat: Pertama, bahwa tidak ada mahar baginya, baik ia wanita merdeka maupun budak, karena pembatalan akad boleh dilakukan dari pihaknya sebelum terjadi hubungan, maka gugurlah maharnya seperti dalam kasus riddah (murtad) dan radha‘ (persusuan).
وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة: لِأَنَّهَا فُرْقَةٌ وَقَعَتْ بالموت وَخَالَفَتِ الرَّضَاعَ وَالرِّدَّةَ لِمَا فِيهِمَا مِنَ التُّهْمَةِ لِاخْتِيَارِ الْفُرْقَةِ، وَأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْقَتْلِ تُهْمَةٌ بِاخْتِيَارِ الْفُرْقَةِ.
Dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah, karena ini adalah perpisahan yang terjadi karena kematian, dan berbeda dengan radha‘ dan riddah karena dalam kedua kasus itu terdapat unsur tuduhan memilih perpisahan, sedangkan dalam pembunuhan tidak ada tuduhan memilih perpisahan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَأَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ، وَأَبِي حَامِدٍ المروزي – أن الجواب على ظاهره فتكون لَهَا الْمَهْرُ إِنْ كَانَتْ حُرَّةً وَلَا يَكُونُ لَهَا الْمَهْرُ إِنْ كَانَتْ أَمَةً وَفَرَّقُوا بَيْنَ الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Pendapat kedua: —dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, Abu Sa‘id al-Istakhri, dan Abu Hamid al-Marwazi— bahwa jawaban nash diambil secara zahirnya, sehingga ia berhak atas mahar jika ia wanita merdeka, dan tidak berhak atas mahar jika ia budak. Mereka membedakan antara wanita merdeka dan budak dari tiga sisi:
أَحَدُهَا: مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ فَرْقِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنَّ الْحُرَّةَ فِي حُكْمِ الْمَقْبُوضَةِ لِأَنَّ الزَّوْجَ يَقْدِرُ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا مَتَى شَاءَ فَصَارَ التَّسْلِيمُ مِنْ جِهَتِهَا مَوْجُودًا فَاسْتَحَقَّتِ الْمَهْرَ بِحُدُوثِ التَّلَفِ وَالْأَمَةُ بِخِلَافِهَا، لِأَنَّ الزَّوْجَ لَا يَقْدِرُ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا إِذَا شَاءَ حَتَّى يَرْضَى السَّيِّدُ فَصَارَ التَّسْلِيمُ مِنْ جِهَتِهَا غَيْرَ مَوْجُودٍ فَسَقَطَ الْمَهْرُ.
Pertama: Sebagaimana telah kami sebutkan dari perbedaan Abu Sa‘id al-Istakhri, bahwa wanita merdeka secara hukum dianggap telah diterima, karena suami dapat menikmati dirinya kapan saja ia mau, sehingga penyerahan dari pihaknya telah terjadi, maka ia berhak atas mahar dengan terjadinya kerusakan (kematian). Sedangkan budak tidak demikian, karena suami tidak dapat menikmati dirinya kapan saja ia mau kecuali dengan kerelaan tuannya, sehingga penyerahan dari pihaknya belum terjadi, maka gugurlah maharnya.
وَالْفَرْقُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ نِكَاحِ الحرة الألفة والمواصلة دون الوطء لجواز عقده على من لا يمكن وطئها مِنْ صَغِيرَةٍ وَرَتْقَاءَ، وَذَلِكَ حَاصِلٌ قَبْلَ الدُّخُولِ فَثَبَتَ لَهَا الْمَهْرُ وَالْمَقْصُودُ مِنْ نِكَاحِ الْأَمَةِ الْوَطْءُ دُونَ الْمُوَاصَلَةِ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا إِلَّا مِنْ خَوْفِ الْعَنَتِ وَذَلِكَ غَيْرُ حَاصِلٍ لَهُ قَبْلَ الدُّخُولِ فَسَقَطَ الْمَهْرُ.
Perbedaan kedua: Bahwa tujuan dari pernikahan dengan perempuan merdeka adalah untuk membangun keakraban dan kesinambungan hubungan, bukan semata-mata untuk hubungan badan, karena dibolehkan akad nikah dengan perempuan yang tidak mungkin digauli, seperti yang masih kecil atau yang mengalami rintangan fisik (retqa’), dan tujuan tersebut sudah tercapai sebelum terjadinya hubungan badan, sehingga ia berhak atas mahar. Adapun tujuan dari pernikahan dengan budak perempuan adalah untuk hubungan badan, bukan untuk kesinambungan hubungan, karena tidak boleh menikahinya kecuali karena khawatir terjerumus dalam perbuatan maksiat, dan hal itu tidak akan tercapai sebelum terjadi hubungan badan, maka mahar pun gugur.
والفرق الثالث: أن الحرة قد تستنفد مِيرَاثَهَا فَجَازَ أَنْ يَغْرَمَ مَهْرَهَا وَالْأَمَةُ لَمْ تستنفد ميراثها فلم تغرم مهرها والله أعلم.
Perbedaan ketiga: Bahwa perempuan merdeka dapat menghabiskan hak warisnya, sehingga boleh saja ia menanggung mahar, sedangkan budak perempuan belum menghabiskan hak warisnya, maka ia tidak menanggung mahar. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ بَاعَهَا حَيْثُ لَا يَقْدِرُ عَلَيْهَا فَلَا مهر له حَتَّى يَدْفَعَهَا إِلَيْهِ “.
Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika ia menjualnya di tempat di mana ia tidak mampu menguasainya, maka tidak ada mahar baginya sampai ia menyerahkannya kepadanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا زَوَّجَ السَّيِّدُ أَمَتَهُ ثُمَّ بَاعَهَا صَحَّ الْبَيْعُ وَلَمْ يَبْطُلِ النِّكَاحُ لِأَمْرَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika tuan menikahkan budak perempuannya kemudian menjualnya, maka jual belinya sah dan pernikahannya tidak batal karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَائِشَةَ اشْتَرَتْ بَرِيْرَةَ، وَهِيَ ذَاتُ زَوْجٍ فَأَثْبَتَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – الشِّرَاءَ وَلَمْ يُبْطِلِ النِّكَاحَ وَخَيَّرَهَا بَعْدَ الْعِتْقِ بين المقام أو الفسخ.
Pertama: Bahwa ‘Aisyah membeli Barirah, sedangkan Barirah masih memiliki suami, lalu Nabi ﷺ menetapkan keabsahan jual beli tersebut dan tidak membatalkan pernikahan, serta memberikan pilihan kepada Barirah setelah dimerdekakan antara tetap bersama suaminya atau berpisah.
وَالثَّانِي: أَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ تَنَاوَلَ الِاسْتِمْتَاعَ وَعَقْدَ الْبَيْعِ تَنَاوَلَ الرَّقَبَةَ فَتَنَاوَلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَقْدَيْنِ غَيْرَ مَا تَنَاوَلَهُ الْآخَرُ فَصَحَّا مَعًا، كَمَا لَوْ آجَّرَهَا ثُمَّ بَاعَهَا فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيِسَ لَوْ آجَّرَهَا ثُمَّ بَاعَهَا كَانَ بَيْعُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
Kedua: Bahwa akad nikah mencakup hak menikmati (istri), sedangkan akad jual beli mencakup kepemilikan budak, sehingga masing-masing akad mencakup hal yang tidak dicakup oleh akad lainnya, maka keduanya sah secara bersamaan. Sebagaimana jika ia menyewakannya kemudian menjualnya, maka jika dikatakan: Bukankah jika ia menyewakannya lalu menjualnya, maka jual belinya menurut dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ، فَهَلَّا كَانَ بِيعُهَا بَعْدَ تَزْوِيجِهَا عَلَى قَوْلَيْنِ قُلْنَا: إِنَّ يَدَ الْمُسْتَأْجِرِ حَائِلَةٌ، لِأَنَّ السَّيِّدَ يُجْبَرُ عَلَى تَسْلِيمِهَا له فَجَازَ أَنْ يَبْطُلَ بَيْعُهَا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَيَدُ الزَّوْجِ غَيْرُ حَائِلَةٍ، لِأَنَّ السَّيِّدَ لَا يُجْبَرُ عَلَى تَسْلِيمِهَا إِلَيْهِ فَصَحَّ بَيْعُهَا قَوْلًا وَاحِدًا.
Salah satunya: batal. Lalu mengapa jual belinya setelah menikahkannya tidak juga menjadi dua pendapat? Kami katakan: Tangan penyewa adalah penghalang, karena tuan dipaksa untuk menyerahkannya kepada penyewa, sehingga boleh jadi jual belinya batal menurut salah satu pendapat. Sedangkan tangan suami bukanlah penghalang, karena tuan tidak dipaksa untuk menyerahkannya kepada suami, maka jual belinya sah menurut satu pendapat.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْبَيْعِ وَصِحَّةُ النِّكَاحِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika telah tetap bolehnya jual beli dan sahnya pernikahan, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْبَيْعُ بَعْدَ دُخُولِ الزَّوْجِ بها فقد استحق الزوج مَهْرَهَا سَوَاءً كَانَ مُسَمَّى فِي الْعَقْدِ أَوْ غَيْرَ مُسَمَّى لِاسْتِقْرَارِهِ بِالدُّخُولِ الْمَوْجُودِ فِي مِلْكِهِ.
Pertama: Jika jual beli terjadi setelah suami telah berhubungan dengannya, maka suami berhak atas maharnya, baik mahar itu telah disebutkan dalam akad maupun tidak, karena hak tersebut telah tetap dengan terjadinya hubungan badan yang terjadi dalam kepemilikannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْبَيْعُ قَبْلَ دُخُولِ الزوج بها فَالْمُشْتَرِي يَكُونُ بِمَنْزِلَةِ الْبَائِعِ لَا يُجْبَرُ عَلَى تَسْلِيمِهَا إِلَى الزَّوْجِ كَمَا لَا يُجْبَرُ عَلَيْهِ الْبَائِعُ فَإِنْ لَمْ يُسَلِّمْهَا الْمُشْتَرِي إِلَى الزَّوْجِ فَلَا مَهْرَ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لِلْبَائِعِ مُطَالَبَتُهُ، وَلَوْ كَانَ الْبَائِعُ قَدْ قَبَضَهُ مِنْهُ كَانَ لِلزَّوْجِ اسْتِرْجَاعُهُ فَإِنْ سَلَّمَهَا الْمُشْتَرِي إِلَى الزَّوْجِ حَتَّى دخل بها استقر الْمَهْرُ عَلَيْهِ حِينَئِذٍ، وَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Kedua: Jika jual beli terjadi sebelum suami berhubungan dengannya, maka pembeli berkedudukan seperti penjual, tidak wajib menyerahkannya kepada suami sebagaimana penjual juga tidak wajib menyerahkannya. Jika pembeli tidak menyerahkannya kepada suami, maka tidak ada mahar baginya, dan penjual tidak berhak menuntutnya. Jika penjual telah menerima mahar dari suami, maka suami berhak mengambilnya kembali. Jika pembeli menyerahkannya kepada suami hingga suami berhubungan dengannya, maka mahar menjadi tetap atas pembeli saat itu. Keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْمَهْرُ صَحِيحًا مُسَمًّى فِي الْعَقْدِ فَيَكُونُ مُسْتَحَقًّا لِلْبَائِعِ دُونَ الْمُشْتَرِي لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَهُ بِالْعَقْدِ الْمَوْجُودِ فِي مِلْكِهِ، فَصَارَ كَالْكَسْبِ الْمُتَقَدِّمِ عَلَى الْمَبِيعِ.
Pertama: Mahar yang sah telah disebutkan dalam akad, maka mahar itu menjadi hak penjual, bukan pembeli, karena hak tersebut diperoleh melalui akad yang terjadi dalam kepemilikannya, sehingga seperti hasil usaha yang diperoleh sebelum barang dijual.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْمَهْرُ فَاسِدًا مُسَمًّى فِي الْعَقْدِ فَيَحْكُمُ الْحَاكِمُ لَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَيَكُونُ مُسْتَحَقًّا لِلْبَائِعِ أَيْضًا دُونَ الْمُشْتَرِي؛ لِأَنَّ فَسَادَهُ مَعَ التَّسْمِيَةِ فِي الْعَقْدِ يُوجِبُ اسْتِحْقَاقَهُ بِالْعَقْدِ.
Kedua: Mahar yang rusak (tidak sah) telah disebutkan dalam akad, maka hakim menetapkan mahar mitsil (mahar yang sepadan) untuknya, dan itu juga menjadi hak penjual, bukan pembeli, karena kerusakannya dengan adanya penamaan dalam akad menyebabkan hak itu diperoleh melalui akad.
وَالْقِسْمُ الثالث: أن يكون عوضه لم يسم لها في العقد مهراً لَا صَحِيحَ وَلَا فَاسِدَ فَيَفْرِضُ الْحَاكِمُ لَهَا مَهْرَ الْمِثْلِ وَفِيهِ قَوْلَانِ:
Ketiga: Jika kompensasinya tidak disebutkan sebagai mahar dalam akad, baik yang sah maupun yang rusak, maka hakim menetapkan mahar mitsil untuknya, dan dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِالْعَقْدِ كَالْمُسَمَّى، لِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ لَا يُعَرَّى عَنْ مَهْرٍ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِلْبَائِعِ دُونَ الْمُشْتَرِي لِاسْتِحْقَاقِهِ بِالْعَقْدِ الْمَوْجُودِ فِي مِلْكِهِ.
Salah satunya: Bahwa mahar itu menjadi hak melalui akad seperti mahar yang disebutkan, karena akad nikah tidak pernah tanpa mahar, maka menurut pendapat ini, mahar itu menjadi hak penjual, bukan pembeli, karena hak itu diperoleh melalui akad yang terjadi dalam kepemilikannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِالدُّخُولِ دُونَ الْعَقْدِ، لِأَنَّهُ لو استق جَمِيعُهُ بِالْعَقْدِ بَعْدَ الدُّخُولِ لَاسْتُحِقَّ نِصْفُهُ قَبْلَ الدخول وهو لا يستحق قَبْلَ الدُّخُولِ شَيْئًا مِنْهُ، فَدَلَّ عَلَى اسْتِحْقَاقِهَا بِالدُّخُولِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمَهْرُ لِلْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ لِوُجُودِ الدُّخُولِ فِي مِلْكِهِ، وَإِنْ كَانَ الْعَقْدُ مَوْجُودًا فِي مِلْكِ الْبَائِعِ، وَمِثْلُ هَذَا إذا أعتق السَّيِّدُ أَمَتَهُ الْمُزَوَّجَةَ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَلَمْ يُسَمَّ لَهَا مَهْرًا وَدَخَلَ بِهَا الزَّوْجُ بَعْدَ الْعِتْقِ ثُمَّ فَرَضَ لَهَا الْمَهْرَ فَيَكُونُ مُسْتَحِقُّهُ عَلَى هذين القولين:
Pendapat kedua: bahwa mahar itu menjadi hak karena adanya hubungan (dukhūl), bukan karena akad. Sebab, jika seluruh mahar menjadi hak hanya dengan akad, maka setelah terjadi hubungan, setengahnya akan menjadi hak sebelum hubungan, padahal sebelum hubungan tidak ada satu pun bagian mahar yang menjadi hak. Hal ini menunjukkan bahwa hak atas mahar itu karena adanya hubungan. Berdasarkan hal ini, mahar menjadi milik pembeli, bukan penjual, karena hubungan terjadi dalam kepemilikannya, meskipun akad terjadi dalam kepemilikan penjual. Demikian pula jika seorang tuan memerdekakan budak perempuannya yang telah dinikahkan sebelum terjadi hubungan, dan belum disebutkan mahar untuknya, lalu suaminya menggaulinya setelah ia merdeka, kemudian menetapkan mahar untuknya, maka yang berhak atas mahar tersebut menurut dua pendapat ini:
أحدهما: السيد المعتق إذا قبل: إِنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِالْعَقْدِ.
Pertama: tuan yang memerdekakan, jika dikatakan bahwa mahar menjadi hak karena akad.
وَالثَّانِي: الزَّوْجَةُ الْمُعْتَقَةُ إِذَا قِيلَ: إِنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِالدُّخُولِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ -.
Kedua: istri yang telah dimerdekakan, jika dikatakan bahwa mahar menjadi hak karena adanya hubungan—dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن طَلَبَ أَنْ يُبَوِّئَهَا مَعَهُ بَيْتًا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عَلَى السَّيِّدِ “.
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika suami meminta agar ia (istri) tinggal bersamanya dalam satu rumah, maka hal itu tidak menjadi kewajiban tuan (bekas pemilik budak).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِذَا قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْمَهْرِ فَنَذْكُرُ الْكَلَامَ فِي النَّفَقَةِ، أَمَّا إِذَا كَانَ الزَّوْجُ غَيْرَ مُمَكَّنٍ من الدخول بها فَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ كَمَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ مَهْرٌ، وَإِنْ كَانَ مُمَكَّنًا مِنَ الدُّخُولِ بِهَا لم يجز أن يمنع بعد التمكين من زَمَانِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، وَزَمَانُ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا أَقَلُّ من زمان الاستماع بِالْحُرَّةِ؛ لِأَنَّ الْحُرَّةَ عَلَيْهَا تَمْكِينُ نَفْسِهَا مِنَ الزَّوْجِ لَيْلًا وَنَهَارًا وَالْأَمَةَ يَلْزَمُ تَمْكِينُهَا مِنَ الزَّوْجِ لَيْلًا وَلَا يَلْزَمُ تَمْكِينُهَا مِنْهُ نَهَارًا.
Al-Mawardi berkata: Setelah pembahasan mengenai mahar, maka kami sebutkan pembahasan mengenai nafkah. Adapun jika suami tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan dengannya, maka tidak ada kewajiban nafkah atasnya, sebagaimana tidak ada kewajiban mahar atasnya. Namun jika memungkinkan untuk melakukan hubungan dengannya, maka tidak boleh baginya (suami) menahan nafkah setelah adanya kemampuan untuk menikmati istrinya. Waktu menikmati budak perempuan lebih singkat daripada waktu menikmati perempuan merdeka; karena perempuan merdeka wajib memberikan dirinya kepada suami siang dan malam, sedangkan budak perempuan hanya wajib memberikan dirinya kepada suami pada malam hari dan tidak wajib pada siang hari.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْأَمَةَ قَدِ اسْتَحَقَّ السَّيِّدُ استخدامها والزوج الاستمتاع بها، ولذلك جاز للسيد بعد تزويجها أن يؤجرها، وليست الحرة مستحقة لخدمة نفسها، ولذلك لَمْ يَجُزْ لِلزَّوْجَةِ أَنْ تُؤَجِّرَ نَفْسَهَا، وَإِذَا اجْتَمَعَ فِي مَنْفَعَةِ الْأَمَةِ حَقَّانِ حَقُّ الِاسْتِخْدَامِ لِلسَّيِّدِ وَحَقُّ الِاسْتِمْتَاعِ لِلزَّوْجِ وَجَبَ أَنْ يُرَاعَى زَمَانُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَيَسْتَوْفِيهِ مُسْتَحِقُّهُ فَوَجَدْنَا الليل بالاستمتاع أحق مِنَ النَّهَارِ فَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِاسْتِمْتَاعِ الزَّوْجِ وَوَجَدْنَا النَّهَارَ بِالِاسْتِخْدَامِ أَخَصَّ مِنَ اللَّيْلِ، فَجَعَلَنَا النَّهَارَ لاستخدام السيد، ولو كان ما يستحقه مِنَ الِاسْتِخْدَامِ بِالنَّهَارِ يُمْكِنُ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ مِنْهَا، وَهِيَ عِنْدُ الزَّوْجِ كَالْغَزْلِ وَالنِّسَاجَةِ وَمَا جَرَى مَجْرَاهُمَا مِنْ صَنَائِعِ الْمَنَازِلِ، فَهَلْ يُجْبَرُ السَّيِّدُ إِذَا وَصَلَ إِلَى حَقِّهِ مِنَ الْمَنْفَعَةِ وَالِاسْتِخْدَامِ أَنْ يُسْكِنَهَا مَعَ الزَّوْجِ نَهَارًا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Perbedaan antara keduanya: budak perempuan berhak digunakan oleh tuannya dan dinikmati oleh suaminya. Oleh karena itu, setelah dinikahkan, tuan boleh menyewakannya. Sedangkan perempuan merdeka tidak wajib melayani dirinya sendiri, sehingga istri tidak boleh menyewakan dirinya. Jika dalam pemanfaatan budak perempuan terdapat dua hak, yaitu hak penggunaan bagi tuan dan hak kenikmatan bagi suami, maka harus diperhatikan waktu masing-masing hak agar yang berhak dapat mengambilnya. Kami dapati bahwa malam hari lebih layak untuk kenikmatan suami daripada siang hari, maka malam hari diberikan untuk kenikmatan suami. Kami dapati pula bahwa siang hari lebih khusus untuk penggunaan oleh tuan daripada malam hari, maka siang hari diberikan untuk penggunaan tuan. Jika hak penggunaan di siang hari dapat dipenuhi oleh budak perempuan ketika ia berada di rumah suami, seperti memintal, menenun, dan pekerjaan rumah tangga lainnya, maka apakah tuan wajib menempatkannya bersama suami di siang hari setelah mendapatkan haknya atas manfaat dan penggunaan? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ أبى إسحاق – يَلْزَمُهُ ذَلِكَ وَيُجْبَرُ عَلَيْهِ لِوُصُولِهِ إِلَى حَقِّهِ.
Pertama: —dan ini pendapat Abu Ishaq—tuan wajib melakukan itu dan dipaksa untuk melakukannya karena ia telah mendapatkan haknya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ – إِنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ ذَلِكَ، لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَعْدِلَ عَنْ هَذَا الِاسْتِخْدَامِ إِلَى غَيْرِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مَعَ الزَّوْجِ من ثلاثة أقسام:
Pendapat kedua: —dan ini pendapat Abu Hamid al-Isfarayini—tuan tidak wajib melakukan itu, karena ia boleh mengganti penggunaan tersebut dengan yang lain. Jika demikian, maka keadaan budak perempuan bersama suaminya tidak lepas dari tiga keadaan:
أحدها: أن يمكنه السيد مِنْهَا لَيْلًا وَنَهَارًا، فَعَلَى الزَّوْجِ نَفَقَتُهَا كَامِلَةً لكمال الاستمتاع.
Pertama: tuan membolehkan suami menikmatinya siang dan malam, maka suami wajib menanggung nafkahnya secara penuh karena kenikmatan yang sempurna.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْهَا لَيْلًا وَنَهَارًا فَلَيْسَ عَلَى الزَّوْجِ نَفَقَتُهَا وَلَا شَيْءٌ مِنْهَا لِفَوَاتِ اسْتِمْتَاعِهِ بِهَا.
Kedua: tuan melarang suami menikmatinya siang dan malam, maka suami tidak wajib menanggung nafkahnya sedikit pun karena hilangnya hak kenikmatan.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُمَكِّنَهُ مِنْهَا لَيْلًا فِي زَمَانِ الِاسْتِمْتَاعِ، وَيَمْنَعَهُ مِنْهَا نَهَارًا فِي زَمَانِ الِاسْتِخْدَامِ، فَفِي نَفَقَتِهَا وَجْهَانِ:
Ketiga: tuan membolehkan suami menikmatinya pada malam hari (waktu kenikmatan), dan melarangnya pada siang hari (waktu penggunaan), maka dalam hal nafkahnya ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ – إنه لَا نَفَقَةَ لَهَا عَلَى الزَّوْجِ وَيَلْتَزِمُهَا السَّيِّدُ، لِأَنَّ الزَّمَانَ الَّذِي يُسْتَحَقُّ بِهِ النَّفَقَةُ، وَهُوَ النَّهَارُ الَّذِي يَسْتَحِقُّهُ السَّيِّدُ.
Pertama: —dan ini pendapat Abu Ishaq al-Marwazi—tidak ada nafkah atas suami, dan nafkah menjadi tanggungan tuan, karena waktu yang menjadi dasar kewajiban nafkah adalah siang hari yang menjadi hak tuan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة – إن عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهَا بِقِسْطِ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فِي اللَّيْلِ وَعَلَى السَّيِّدِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهَا بِقِسْطِ مَا يَسْتَحِقُّهُ من الاستخدام لها في النهار، لأن لكل واحد من الزمانين حظاً في الحاجة إلى النفقة فلم يلزم السيد قسط الليل كما لم يلزم الزوج قسط النهار.
Pendapat kedua — yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah — adalah bahwa suami wajib menafkahi istrinya sesuai dengan bagian yang ia berhak dapatkan dari kenikmatan bersamanya di malam hari, dan tuan wajib menafkahi budaknya sesuai dengan bagian yang ia berhak dapatkan dari pemanfaatan budak tersebut di siang hari. Sebab, masing-masing dari dua waktu itu memiliki porsi kebutuhan terhadap nafkah, sehingga tuan tidak wajib menanggung bagian malam sebagaimana suami tidak wajib menanggung bagian siang.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ وَطِئَ رجلٌ جَارِيَةَ ابْنِهِ فَأَوْلَدَهَا كَانَ عليه مهرها وَقِيمَتُهَا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) قِيَاسُ قَوْلِهِ أَنْ لَا تكون ملكاً لأبيه ولم أم ولدٍ بِذَلِكَ وَقَدْ أَجَازَ أَنْ يُزَوِّجَهُ أَمَتَهُ فَيُولِدَهَا فإذا لم يكن له بأن يولدها من خلال أم ولدٍ بقيمةٍ فكيف بوطءٍ حرامٍ وليس بشريكٍ فيها فيكون في معنى من أعتق شركاً له في أمةٍ وهو لا يجعلها أم ولدٍ للشريك إذا أحبلها وهو معسر وهذا من ذلك أبعد (قال) وإن لم يحبلها فعليه عقرها وحرمت على الابن ولا قيمة له بأن حرمت عليه وقد ترضع امرأة الرجل بلبنه جاريته الصغيرة فتحرم عليه ولا قيمة له “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang laki-laki menyetubuhi budak milik anaknya lalu menghamilinya, maka ia wajib membayar mahar dan nilai budak tersebut.” (Al-Muzani berkata:) Qiyās dari pendapat beliau adalah bahwa budak itu tidak menjadi milik ayahnya dan tidak menjadi umm walad baginya karena hal itu. Dan beliau telah membolehkan seorang ayah menikahkan anaknya dengan budaknya lalu anak itu menghamilinya. Maka jika tidak sah baginya untuk menjadikan budak itu sebagai umm walad dengan nilai, bagaimana mungkin dengan persetubuhan yang haram, padahal ia bukan sekutu dalam kepemilikannya? Maka ini serupa dengan orang yang memerdekakan bagian miliknya dalam seorang budak perempuan, dan ia tidak menjadikannya umm walad bagi sekutunya jika ia menghamilinya sementara ia dalam keadaan tidak mampu, dan ini lebih jauh lagi dari itu. (Beliau berkata:) Jika tidak menghamilinya, maka ia wajib membayar denda (‘aqr) dan budak itu haram bagi anaknya, dan tidak ada nilai baginya karena telah menjadi haram atasnya. Seorang wanita juga bisa menyusui budak perempuan kecil milik suaminya dengan air susunya, sehingga budak itu menjadi haram baginya dan tidak ada nilai baginya.”
قال الماوردي: وصورتها في رجلٍ وطء جارية ابنه فقد أثم بوطئه لقول الله تعالى: {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلاَّ عَلَى أزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُهُمْ) {المؤمنون: 5، 6) . وَلَا مِلْكَ يَمِينٍ فَلَمْ يَحِلَّ لَهُ وَطِئُهَا، فإن قيل: فلو كان هذا الأب من يستحق على ابنه أن يعفه فكان لَهُ بِاسْتِحْقَاقِ الْإِعْفَافِ أَنْ يَطَأَ جَارِيَتَهُ إِذَا مَنَعَهُ مِنَ الْإِعْفَافِ كَمَا إِذَا مُنِعَ مِنْ حق أن يتوصل إلى استعفافه.
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang laki-laki menyetubuhi budak milik anaknya, maka ia berdosa karena perbuatannya itu, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki} (al-Mu’minun: 5-6). Dan budak itu bukan milik kanannya, maka tidak halal baginya untuk menyetubuhinya. Jika ada yang bertanya: Bagaimana jika ayah itu termasuk orang yang berhak atas anaknya untuk dijaga kehormatannya, maka apakah ia berhak menyetubuhi budak anaknya jika anaknya menolak untuk menjaga kehormatannya, sebagaimana jika ia terhalang dari haknya untuk menjaga kehormatannya?
قِيلَ: لَا يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ وَإِنْ مُنِعَ مِنَ الْإِعْفَافِ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ يَتَعَيَّنُ حَقُّ إِعْفَافِهِ فِي هَذِهِ الْأَمَةِ، وَإِنَّ لِلِابْنِ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى إِعْفَافِهِ بِغَيْرِهَا مِنَ الْإِمَاءِ أو النساء فلذلك صارت مع استحقاقه مُحَرَّمَةً، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ وَطْءُ الْأَبِ لَهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يحبلها، أو لا يحبلها فَالْكَلَامُ فِي وَطْئِهَا يَشْتَمِلُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَحْكَامٍ:
Dijawab: Tidak boleh baginya melakukan hal itu, meskipun ia terhalang dari penjagaan kehormatan setelah ia berhak mendapatkannya, karena hak penjagaan kehormatan itu tidak harus terpenuhi pada budak tersebut. Anak itu boleh memenuhi hak ayahnya dengan budak lain atau dengan perempuan lain, sehingga budak itu tetap haram baginya meskipun ia berhak atas penjagaan kehormatan. Dengan demikian, jika demikian keadaannya, maka persetubuhan ayah terhadap budak anaknya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia menghamilinya atau tidak. Maka pembahasan tentang persetubuhannya mencakup empat hukum:
أَحَدُهَا: فِي وُجُوبِ الْحَدِّ.
Pertama: Kewajiban hukuman had.
وَالثَّانِي: فِي وُجُوبِ الْمَهْرِ.
Kedua: Kewajiban membayar mahar.
وَالثَّالِثُ: فِي ثُبُوتِ التَّحْرِيمِ.
Ketiga: Penetapan keharaman.
وَالرَّابِعُ: فِي وُجُوبِ الْقِيمَةِ.
Keempat: Kewajiban membayar nilai budak.
الْقَوْلُ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ بِوَطْءِ جَارِيَةِ ابْنِهِ
Pembahasan tentang kewajiban hukuman had atas persetubuhan budak milik anaknya
فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ: فِي وُجُوبِ الْحَدِّ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْأَمَةِ الْمَوْطُوءَةِ مِنْ أَنْ يَكُونَ الِابْنُ قَدْ وَطِئَهَا قَبْلَ ذلك أو لم يطئها، فَإِنْ لَمْ يَكُنِ الِابْنُ قَدْ وَطِئَهَا فَلَا حَدَّ عَلَى الْأَبِ فَيَ وَطْئِهَا، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ، وَحُكِيَ عَنِ الزُّهْرِيِّ وَأَبِي ثَوْرٍ، وُجُوبُ الْحَدِّ عَلَيْهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ لَمَّا حُدَّ الابن بوطئه جارية الأب مع وجود الشبهة في ماله الذي يسقط بِهَا عَنْهُ قَطَعُ السَّرِقَةِ، وَجَبَ أَنْ يُحَدَّ الْأَبُ بِوَطْئِهِ جَارِيَةَ الِابْنِ، وَإِنْ كَانَتْ لَهُ شُبْهَةٌ فِي مَالِهِ يَسْقُطُ بِهَا عَنْهُ قَطْعُ السَّرِقَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ ” وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَوْلَادُكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ فَكُلُوا مِنْ طَيِّبِ كَسْبِكُمْ ” فَلَمَّا تَمَيَّزَ الْأَبُ فِي مَالِ الِابْنِ بِهَذَا الْحُكْمِ قَوِيَتْ شُبْهَتُهُ فِيهِ عَنْ شُبْهَةِ الِابْنِ فِي مَالِ الْأَبِ فَوَجَبَ لِقُوَّةِ شُبْهَتِهِ عَلَى شُبْهَةِ الِابْنِ أَنْ يُدْرَأَ بِهَا عَنْهُ الْحَدُّ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ادْرَءُوا الْحُدُودَ بِالشُّبَهَاتِ ” وَلِأَنَّهُ لَمَّا مَنَعَ الِابْنُ من نفس أبيه قوداًَ منع من حَدًّا، لِأَنَّ الْأَبَ لَوْ قَتَلَ ابْنَهُ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْهُ وَلَوْ قَذَفَهُ لَمْ يُحَدَّ بِهِ، ويقتل الابن بأبيه ويحد بقذفه فوجب أَنْ يَسْقُطَ الْحَدُّ عَنِ الْأَبِ بِوَطْئِهِ جَارِيَةَ الِابْنِ وَإنْ لَم يَسْقُطَ الْحَدُّ عَنِ الِابْنِ بِوَطْئِهِ جَارِيَةَ الْأَبِ لِأَنَّ الْحَدَّ إِنْ أُلْحِقَ بَحَدِّ الْقَذْفِ لَمْ يَجِبْ، وَإِنْ أُلْحِقَ بِالْقَوْدِ فِي النَّفْسِ لَمْ يَجِبْ، وَهَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ، وَلِأَنَّ عَلَى الِابْنِ إِعْفَافَ أَبِيهِ لَوِ احْتَاجَ وَلَيْسَ عَلَى الْأَبِ إِعْفَافُ ابْنِهِ إِذَا احْتَاجَ فَلَمَّا كَانَ الْوَطْءُ جِنْسًا يَجِبُ عَلَى الِابْنِ تَمْكِينُ أَبِيهِ مِنْهُ، وَلَمْ يَجِبْ عَلَى الْأَبِ تَمْكِينُ ابْنِهِ مِنْهُ وَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ الحد عن الأب، لأنه لَهُ حَقّا مِنْ جِنْسِهِ، وَلَا يَسْقُطُ عَنِ الِابْنِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ حَقٌّ مِنْ جِنْسِهِ وَهَذَا أَيْضًا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ.
Adapun bagian pertama: tentang kewajiban hudud, maka keadaan budak perempuan yang digauli tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah anak telah menggaulinya sebelumnya atau belum. Jika anak belum pernah menggaulinya, maka tidak ada hudud atas ayah karena menggaulinya, dan ini adalah pendapat mayoritas fuqaha. Diriwayatkan dari Az-Zuhri dan Abu Tsaur bahwa hudud wajib atasnya, dengan alasan bahwa ketika anak dikenai hudud karena menggauli budak ayahnya, padahal ada syubhat dalam harta yang dengannya gugur hukuman potong tangan atas pencurian, maka seharusnya ayah juga dikenai hudud karena menggauli budak anaknya, meskipun ia memiliki syubhat dalam harta yang dengannya gugur hukuman potong tangan atas pencurian. Ini adalah kekeliruan, karena sabda Nabi ﷺ: “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu,” dan sabdanya ﷺ: “Anak-anak kalian adalah hasil usaha kalian, maka makanlah dari hasil usaha kalian yang baik.” Ketika ayah memiliki kekhususan dalam harta anak dengan hukum ini, maka syubhatnya lebih kuat dibandingkan syubhat anak dalam harta ayah, sehingga karena kuatnya syubhat ayah atas syubhat anak, maka wajib untuk menggugurkan hudud dari ayah dengan syubhat tersebut, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tolaklah hudud dengan syubhat.” Dan karena anak tidak dapat menuntut qishash dari ayahnya, maka demikian pula tidak dapat menuntut hudud; sebab jika ayah membunuh anaknya, tidak dilakukan qishash atasnya, dan jika menuduh anaknya (dengan zina), tidak dikenai hudud. Sementara anak dibunuh karena membunuh ayahnya dan dikenai hudud jika menuduh ayahnya, maka wajib gugur hudud dari ayah karena menggauli budak anaknya, meskipun hudud tidak gugur dari anak karena menggauli budak ayahnya. Jika hudud disamakan dengan hudud qadzaf (tuduhan zina), maka tidak wajib, dan jika disamakan dengan qishash jiwa, juga tidak wajib. Ini adalah dalil dan pemisahan. Dan karena anak wajib menafkahi ayahnya jika membutuhkan, sedangkan ayah tidak wajib menafkahi anaknya jika membutuhkan, maka ketika hubungan seksual adalah jenis kebutuhan yang wajib bagi anak untuk memfasilitasi ayahnya, dan tidak wajib bagi ayah untuk memfasilitasi anaknya, maka wajib gugur hudud dari ayah, karena ia memiliki hak dari jenis itu, dan tidak gugur dari anak karena ia tidak memiliki hak dari jenis itu. Ini juga merupakan dalil dan pemisahan.
فَأَمَّا السَّرِقَةُ فَإِنَّمَا سقط القطع عن كل واحد منهما في مال الْآخَرِ لِتَسَاوِيهِمَا فِي شُبْهَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي مَالِ الْآخَرِ، لِأَنَّ نَفَقَةَ الِابْنِ قَدْ تَجِبُ فِي مَالِ الْأَبِ كَمَا تَجِبُ نَفَقَةُ الْأَبِ فِي مَالِ الِابْنِ فَاسْتَوَيَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَدُّ الْوَطْءِ لِاخْتِصَاصِ الْأَبِ فِيهِ بِالشُّبْهَةِ دُونَ الابن كما يَسْتَحِقُّهُ الْأَبُ عَلَى الِابْنِ مِنَ الْإِعْفَافِ وَلَا يَسْتَحِقُّهُ الِابْنُ عَلَى الْأَبِ فَافْتَرَقَا، فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَا حَدَّ عَلَيْهِ فَفِي تَعْزِيرِهِ وَجْهَانِ:
Adapun pencurian, maka hukuman potong tangan gugur dari masing-masing mereka dalam harta yang lain karena keduanya sama-sama memiliki syubhat dalam harta satu sama lain. Sebab, nafkah anak bisa saja wajib dari harta ayah sebagaimana nafkah ayah bisa saja wajib dari harta anak, sehingga keduanya setara. Tidak demikian halnya dengan hudud karena hubungan seksual, karena ayah memiliki kekhususan syubhat di dalamnya yang tidak dimiliki anak, sebagaimana ayah berhak atas bantuan seksual dari anaknya, sedangkan anak tidak berhak atas bantuan seksual dari ayahnya, sehingga keduanya berbeda. Jika telah tetap bahwa tidak ada hudud atasnya, maka dalam hal ta’zir terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُعَزَّرُ لِيَرْتَدِعَ هُوَ وَغَيْرُهُ عَنْ مِثْلِهِ.
Salah satunya: ia dikenai ta’zir agar ia dan orang lain jera dari perbuatan serupa.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُعَزَّرُ، لِأَنَّ التَّعْزِيرَ بَدَلٌ مِنَ الْحَدِّ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ حَدٌّ فَكَذَلِكَ لَيْسَ عَلَيْهِ تَعْزِيرٌ، فَهَذَا حُكْمُ وَطْءِ الْأَبِ لَهَا إِذَا لَمْ يَكُنِ الِابْنُ قَدْ وَطِئَهَا.
Pendapat kedua: tidak dikenai ta’zir, karena ta’zir adalah pengganti dari hudud, dan jika tidak ada hudud atasnya, maka demikian pula tidak ada ta’zir atasnya. Inilah hukum ayah yang menggauli budak anaknya jika anak belum pernah menggaulinya.
فَأَمَّا إِذَا كَانَ الِابْنُ قَدْ وَطِئَهَا ثُمَّ وَطِئَهَا الْأَبُ بَعْدَهُ فَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ وَجْهَانِ:
Adapun jika anak telah menggaulinya kemudian ayah menggaulinya setelah itu, maka dalam kewajiban hudud atas ayah terdapat dua pendapat:
أحدهما: عليه الحد، إذا علم بالتحريم إنها مِمَّنْ لَا تَحِلُّ لَهُ أَبَدًا بِخِلَافِ الَّتِي لَمْ يَطَأْهَا الِابْنُ فَصَارَتْ مِنْ حَلَائِلِ أَبْنَائِهِ فَلَزِمَهُ الْحَدُّ كَمَا يَلْزَمُهُ فِي وَطْءِ زَوْجَةِ ابْنِهِ.
Salah satunya: ayah dikenai hudud, jika ia mengetahui keharamannya, karena budak itu termasuk perempuan yang haram dinikahi selamanya, berbeda dengan budak yang belum pernah digauli anak, sehingga ia menjadi termasuk istri-istri anaknya, maka wajib atasnya hudud sebagaimana wajib atasnya jika menggauli istri anaknya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا حَدَّ عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا وإن وطئها فهي من جملة أمواله التي يتعلق بها شبهة أبيه ويشبه أَنْ يَكُونَ تَخْرِيجُ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ مِنَ اخْتِلَافِ قوليه في وجوب الحد على من وطء أخته من نسبٍ أو رضاع أو بملك اليمين
Pendapat kedua: tidak ada hudud atasnya, karena meskipun ia telah digauli, ia tetap termasuk bagian dari harta yang terkait dengan syubhat ayahnya. Dan dua pendapat ini mirip dengan perbedaan pendapat dalam kewajiban hudud atas orang yang menggauli saudara perempuannya, baik karena nasab, persusuan, atau kepemilikan budak.
فصل: القول في وجوب المهر على من وطئ جارية ابنه
Fasal: Pembahasan tentang kewajiban mahar atas orang yang menggauli budak anaknya.
وأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي: فِي وُجُوبِ الْمَهْرِ فَهُوَ معتبر بوجود الْحَدِّ وَسُقُوطِهِ، فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ لَا حَدَّ عَلَيْهِ فَعَلَيْهِ مَهْرُ الْمِثْلِ لِكَوْنِهِ وَطْءُ شُبْهَةٍ فِي حَقِّهِ، يُوجِبُ دَرْءَ الْحَدِّ فَاقْتَضَى لُزُومَ الْمَهْرِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا ” وَيَكُونُ الْمَهْرُ حَقًّا لِابْنِهِ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ مِنَ اكْتِسَابِ أَمَتِهِ، وَإِنْ قُلْنَا: إِنِ الْحَدَّ وَاجِبٌ عَلَيْهِ فَقَدْ سَقَطَتْ شُبْهَتُهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَيُنْظَرُ فِي شُبْهَةِ الْأَمَةِ، فَإِنْ كَانَتْ مُكْرَهَةً قَهْرَهَا الأب على نفسها ثبت شُبْهَتُهَا فِي سُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهَا، فَوَجَبَ الْمَهْرُ فِي وَطْئِهَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا شُبْهَةٌ فِي حَقِّ نَفْسِهَا، وَكَانَتْ مُطَاوِعَةً، فَلَوْ كَانَتْ حُرَّةً لَمَا وَجَبَ الْمَهْرُ وَإِذْ هِيَ أَمَةٌ، فَفِي وُجُوبِ الْمَهْرِ قَوْلَانِ:
Adapun bagian kedua: tentang kewajiban mahar, maka hal itu dipertimbangkan dengan ada atau tidaknya had (hukuman). Jika kita katakan bahwa tidak ada had atasnya, maka wajib atasnya membayar mahar mitsil karena perbuatannya merupakan wath’u syubhat (hubungan yang samar) menurutnya, yang menyebabkan gugurnya had sehingga menuntut adanya kewajiban mahar, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Maka baginya mahar karena telah dihalalkan kemaluannya.” Mahar itu menjadi hak anaknya atas dirinya, karena itu merupakan hasil dari budaknya. Namun jika kita katakan bahwa had wajib atasnya, maka syubhatnya telah gugur menurut dirinya, sehingga dilihat syubhat pada budak perempuan tersebut. Jika ia dipaksa, ayahnya memaksanya atas dirinya, maka tetaplah syubhatnya dalam menggugurkan had darinya, sehingga wajib mahar atas wath’i-nya, meskipun ia sendiri tidak memiliki syubhat menurut dirinya. Namun jika ia rela, maka seandainya ia seorang wanita merdeka, tidaklah wajib mahar. Karena ia adalah budak, maka dalam kewajiban mahar terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا مَهْرَ لها، لأنها بالمطاوعة قد صَارَتْ بَغِيا وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” عَنْ مَهْرِ الْبَغِيِّ ” وَهَذَا اخْتِيَارُ أَبِي إِسْحَاقَ المروزي.
Salah satunya: tidak ada mahar baginya, karena dengan kerelaannya ia telah menjadi pezina, dan Rasulullah ﷺ telah melarang “mahar bagi pezina”, dan ini adalah pilihan Abu Ishaq al-Marwazi.
والقول الثاني: لها المهر ويملكه الحد، لأنه من أكسابه فَلَمْ يَسْقُطْ بِمُطَاوَعَتِهَا وَخَالَفَتِ الْحُرَّةُ الَّتِي تَمْلِكُ مَا أَبَاحَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا وَلَا تَمْلِكُهُ الْأَمَةُ، أَلَّا تَرَى أَنَّ الْحُرَّةَ لَوْ بَذَلَتْ قُطِعَ طَرَفٌ مِنْ أَطْرَافِهَا لَمْ يَضْمَنْهُ الْقَاطِعُ، لِأَنَّ الْبَاذِلَ لَهُ مَالِكٌ، وَلَوْ بَذَلَتْهُ الْأَمَةُ ضمنه القاطع، لأن الباذل له غير مالك، وَهَذَا اخْتِيَارُ ابْنِ سُرَيْجٍ.
Pendapat kedua: baginya mahar dan yang memilikinya adalah tuannya, karena itu merupakan hasil usahanya, sehingga tidak gugur karena kerelaannya. Ia berbeda dengan wanita merdeka yang memiliki apa yang ia halalkan dari dirinya, sedangkan budak tidak memilikinya. Tidakkah engkau lihat bahwa jika wanita merdeka menawarkan (anggota tubuhnya) lalu terpotong salah satu anggota tubuhnya, maka pemotongnya tidak menanggung ganti rugi, karena yang menawarkan adalah pemiliknya. Namun jika budak yang menawarkan, maka pemotongnya menanggung ganti rugi, karena yang menawarkan bukanlah pemiliknya. Ini adalah pilihan Ibnu Surayj.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي تحريم الجارية بعد وطء أبيه
Bagian: Pembahasan tentang pengharaman budak perempuan setelah digauli oleh ayahnya
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ: وَهُوَ ثُبُوتُ التَّحْرِيمِ فَالتَّحْرِيمُ من وجهين:
Adapun bagian ketiga: yaitu tentang tetapnya pengharaman, maka pengharaman itu dari dua sisi:
أحدهما: تحريمها على الابن.
Pertama: pengharaman atas anak.
والثاني: تحريمها على الأب.
Kedua: pengharaman atas ayah.
فأما تحريمها عَلَى الِابْنِ فَمُعْتَبَرٌ بِوَطْءِ الْأَبِ، فَإِنْ كَانَ موجباً للحد لم يحرم بِهِ عَلَى الِابْنِ، لِأَنَّ الزِّنَا لَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُوجِبٍ لِلْحَدِّ حَرُمَتْ بِهِ عَلَى الِابْنِ لِأَنَّ الشُّبْهَةَ قَدْ صَرَفَتْهُ إلى حكم الوطء الحلال، وأما تحريمها عَلَى الْأَبِ إِنَّ حُكْمَهَا مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الِابْنِ، وإن كَانَ قَدْ وَطِئَهَا حَرُمَتْ عَلَى الْأَبِ كَزَوْجَةِ الِابْنِ إِذَا وَطِئَهَا الْأَبُ بِشُبْهَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِمَا معاً، وإن كان بحال الابن فإن وَطِئَهَا حَلَّتْ لِلْأَبِ أَنْ يَطَأَهَا بِحَقِّ مِلْكِهِ، فَلَوْ كَانَ الِابْنُ قَدْ قَبَّلَهَا أَوْ وَطِئَهَا دُونَ الْفَرْجِ فَفِي تَحْرِيمِهَا عَلَى الْأَبِ قَوْلَانِ.
Adapun pengharaman atas anak, maka dipertimbangkan dengan perbuatan ayah. Jika perbuatannya mewajibkan had, maka tidak haram atas anak, karena zina tidak mengharamkan yang halal. Namun jika tidak mewajibkan had, maka haram atas anak, karena syubhat telah menjadikannya seperti hukum wath’i yang halal. Adapun pengharaman atas ayah, hukumnya dipertimbangkan dengan keadaan anak. Jika anak telah menggaulinya, maka haram atas ayah seperti istri anak; jika ayah menggaulinya dengan syubhat, maka haram atas keduanya. Namun jika dilihat dari keadaan anak, jika anak telah menggaulinya, maka halal bagi ayah untuk menggaulinya karena hak miliknya. Jika anak hanya menciumnya atau menggaulinya tanpa sampai ke farji, maka dalam hal pengharaman atas ayah terdapat dua pendapat.
فصل: القول في وجوب قيمة الجارية
Bagian: Pembahasan tentang kewajiban membayar nilai budak perempuan
وَأَمَّا الْفَصْلُ الرَّابِعُ: وَهُوَ وُجُوبُ قِيمَتِهَا عَلَى الْأَبِ فَلَا يَجِبُ سَوَاءً حَرَّمَهَا عَلَى الِابْنِ أو لم يحرمها.
Adapun bagian keempat: yaitu kewajiban membayar nilai budak perempuan atas ayah, maka tidak wajib, baik ia menjadi haram atas anak atau tidak.
وقال الْعِرَاقِيُّونَ: إِنْ حَرَّمَهَا عَلَى الِابْنِ وَجَبَتْ قِيمَتُهَا عليه، هذا خَطَأٌ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُسْتَهْلَكَةٍ عَلَيْهِ بِالتَّحْرِيمِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَصِلُ إِلَى ثَمَنِهَا بِالْبَيْعِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ بالتحريم غُرْمٌ كَمَا لَوْ أَرْضَعَتْ زَوْجَةُ الرَّجُلِ أَمَتَهُ بِلَبَنِهِ حَرُمَتْ عَلَيْهِ وَلَمْ يَلْزَمْهَا غُرْمُ قِيمَتِهَا لوصوله إلى ثمنها، لكن لَوْ كَانَتْ بِكْرًا فَافْتَضَّهَا الْأَبُ لَزِمَهُ أَرْشُ بَكَارَتِهَا، لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَهْلَكَ عُضْوًا مِنْ بَدَنِهَا فَهَذَا مَا يَتَعَلَّقُ بِأَحْكَامِ وَطْئِهِ إِذَا لَمْ تحبل.
Orang-orang Irak berkata: Jika ia menjadi haram atas anak, maka wajib membayar nilainya. Ini adalah kesalahan, karena ia tidak menjadi musnah atasnya karena pengharaman, sebab ia masih bisa mendapatkan harganya melalui penjualan, sehingga tidak wajib membayar ganti rugi karena pengharaman, sebagaimana jika istri seseorang menyusui budaknya dengan air susunya, maka budak itu menjadi haram atasnya, namun ia tidak wajib membayar nilai budak itu karena ia masih bisa mendapatkan harganya. Namun, jika budak itu masih perawan lalu ayahnya merenggut keperawanannya, maka wajib membayar ganti rugi keperawanannya, karena ia telah menghilangkan salah satu anggota tubuhnya. Inilah hukum-hukum yang berkaitan dengan wath’i jika tidak menyebabkan kehamilan.
فَصْلٌ
Bagian
فَأَمَّا إِذَا أَحْبَلَهَا الْأَبُ بِوَطْئِهِ فَالْأَحْكَامُ الأربعة لازمة له، ويختص بإحباله لها أربعة أحكام:
Adapun jika ayah menyebabkan budak itu hamil dengan wath’i-nya, maka ada empat hukum yang berlaku atasnya, dan khusus dengan kehamilan itu ada empat hukum:
أحدها: لحوق الولد به.
Pertama: anak itu dinisbatkan kepadanya.
وَالثَّانِي: كَوْنُهَا أُمَّ وَلَدٍ.
Kedua: budak itu menjadi umm walad (ibu dari anak tuannya).
وَالثَّالِثُ: وُجُوبُ قِيمَتِهَا.
Ketiga: wajib membayar nilai budak perempuan tersebut.
وَالرَّابِعُ: وُجُوبُ قِيمَةِ الْوَلَدِ.
Keempat: wajib membayar nilai anak tersebut.
فَأَمَّا لُحُوقُ الْوَلَدِ به فإن وجب الحد عليه لم يحلق بِهِ الْوَلَدُ، لِأَنَّ وُجُوبَ الْحَدِّ لِارْتِفَاعِ الشُّبْهَةِ وَلُحُوقُ الْوَلَدِ يَكُونُ مَعَ وُجُودِ الشُّبْهَةِ فَتَنَافَيَا، وإذا كان كذلك ووجب الحد فصار زانياً، وولد الزنا لا يلحق الزَّانِي لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الولد للفراش وللعاهر الحجر ” ويكون الولد مرفوقاً لِلِابْنِ، وَإِنْ لَمْ يَجِبِ الْحَدُّ عَلَى الْأَبِ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، لِأَنَّ الشُّبْهَةَ فِي إِدْرَاءِ الحد موجبة للحوق الولد، وإذا لحق به الولد صَارَ حُرًّا لِأَنَّهُ مِنْ شُبْهَةِ مِلْكٍ فَكَانَ حُكْمُهُ كَحُكْمِ الْوَلَدِ مِنْ مِلْكٍ كَمَا أَنَّ الولد من شبهة نكاح في نكاح الولدين نكاح.
Adapun mengenai nasab anak kepadanya, jika ayahnya wajib dikenai had, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya. Sebab, kewajiban had itu karena hilangnya syubhat, sedangkan nasab anak itu terjadi ketika masih ada syubhat, sehingga keduanya saling bertentangan. Jika demikian, dan had telah dijatuhkan, maka ia menjadi pezina, dan anak hasil zina tidak dinasabkan kepada pezina, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Anak itu milik pemilik ranjang, dan bagi pezina hanya batu (kerugian).” Maka anak tersebut menjadi milik anak (pemilik ranjang). Namun, jika ayahnya tidak wajib dikenai had, maka anak itu dinasabkan kepadanya, karena adanya syubhat yang menggugurkan had juga menyebabkan nasab anak. Jika anak itu dinasabkan kepadanya, maka ia menjadi merdeka, karena ia berasal dari syubhat kepemilikan, sehingga hukumnya sama seperti anak yang berasal dari kepemilikan, sebagaimana anak yang berasal dari syubhat pernikahan dalam pernikahan dua budak juga dianggap pernikahan.
فصل
Fasal
وأما كَوْنُهَا أُمَّ وَلَدٍ فَمُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْوَلَدِ، فَإِنْ لم يلحق به لم تصر له أُمَّ وَلَدٍ، وَإِنْ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ فَهَلْ تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Adapun status perempuan tersebut sebagai umm walad, maka hal itu bergantung pada status anaknya. Jika anak itu tidak dinasabkan kepadanya, maka ia tidak menjadi umm walad baginya. Namun jika anak itu dinasabkan kepadanya, apakah ia menjadi umm walad atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أنها تعتبر لَهُ أُمَّ وَلَدٍ، وَبِهِ قَالَ الرَّبِيعُ.
Salah satunya—dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam masalah ini—bahwa ia dianggap sebagai umm walad baginya, dan pendapat ini dipegang oleh ar-Rabi‘.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي الدَّعْوَى وَالْبَيِّنَاتِ – إنها لا تصير أُمَّ وَلَدٍ، وَبِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ فَإِذَا قِيلَ: بِالْأَوَّلِ إِنَّهَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ، وَهُوَ اخْتِيَارُ الرَّبِيعِ، وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا، فَوَجْهُهُ هُوَ أَنَّهُ لَمَّا لحق به ولدها بشبهة الملك كلحوقه به في الْمَالِكِ وَجَبَ أَنْ تَصِيرَ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ بِشُبْهَةِ الْمِلْكِ كَمَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ بِالْمِلْكِ.
Pendapat kedua—dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam bab dakwaan dan pembuktian—bahwa ia tidak menjadi umm walad, dan pendapat ini dipegang oleh al-Muzani. Jika dikatakan dengan pendapat pertama bahwa ia menjadi umm walad, yang merupakan pilihan ar-Rabi‘ dan mayoritas ulama mazhab kami, alasannya adalah karena anaknya dinasabkan kepadanya dengan syubhat kepemilikan, sebagaimana nasab anak dalam kasus kepemilikan, maka wajib ia menjadi umm walad baginya karena syubhat kepemilikan, sebagaimana ia menjadi umm walad baginya karena kepemilikan.
وَإِذَا قِيلَ بِالثَّانِي: إِنَّهَا لَا تَصِيرُ أم ولد، وهو اختيار المزني فوجهه أَنَّهُ أَوْلَدَهَا فِي غَيْرِ مِلْكٍ فَلَمْ تَصِرْ به أم ولد وإن عتق الْوَلَدُ كَالْغَارَّةِ الَّتِي يَتَزَوَّجُهَا بِشَرْطِ الْحُرِّيَّةِ فَتَكُونُ أمة، فإن ولده منه حر ولا تصير له أم ولدٍ، فأما المزني فإنه استدل بصحة هَذَا الْقَوْلِ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:
Jika dikatakan dengan pendapat kedua bahwa ia tidak menjadi umm walad, yang merupakan pilihan al-Muzani, alasannya adalah karena ia melahirkan anak dari hubungan di luar kepemilikan, maka ia tidak menjadi umm walad baginya, meskipun anak itu merdeka, seperti seorang budak perempuan yang dinikahi dengan syarat kemerdekaan, maka ia tetap menjadi budak, dan jika ia melahirkan anak dari suaminya, anak itu merdeka namun ia tidak menjadi umm walad baginya. Adapun al-Muzani berdalil atas kebenaran pendapat ini dengan tiga hal:
أَحَدُهَا: إنْ قَالَ قَدْ أَجَازَ الشَّافِعِيُّ لِلِابْنِ أَنَّ يُزَوِّجَ أَبَاهُ بأمته، ولو أولدها هذا الوطء الحلال لم تصر به أُمَّ وَلَدٍ فَكَيْفَ تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ بِوَطْءٍ حَرَامٍ؟
Pertama: Ia berkata, Imam asy-Syafi‘i membolehkan seorang anak menikahkan ayahnya dengan budaknya. Jika ayahnya menggaulinya dengan cara yang halal ini dan ia melahirkan anak, maka ia tidak menjadi umm walad baginya. Lalu bagaimana mungkin ia menjadi umm walad dengan hubungan yang haram?
وَالثَّانِي: إنْ قَالَ: لَيْسَ الْأَبُ شَرِيكًا فِيهَا فَيَكُونُ كَوَطْءِ أَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ إِذَا كَانَ مُوسِرًا فَتَصِيرُ بِهِ إِذَا أَوْلَدَهَا أُمَّ وَلَدٍ، لأن الشريك مَلِكا، وَلَيْسَ لِلْأَبِ مِلْكٌ.
Kedua: Ia berkata, ayah bukanlah sekutu dalam kepemilikan budak tersebut, sehingga tidak sama dengan salah satu dari dua orang yang berserikat dalam kepemilikan budak, jika salah satunya mampu membebaskan dan ia menggaulinya hingga melahirkan anak, maka budak itu menjadi umm walad baginya, karena sekutu itu memiliki bagian kepemilikan, sedangkan ayah tidak memiliki kepemilikan sama sekali.
وَالثَّالِثُ: إنْ قَالَ لَمَّا لَمْ تَصِرْ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ لِلشَّرِيكِ إِذَا كَانَ مُعْسِرًا، وَلَهُ مِلْكُ فُلَأن لَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ لِلْأَبِ، وَلَيْسَ لَهُ مِلْكٌ أَوْلَى فَانْفَصَلَ أَصْحَابُنَا عَنِ اسْتِدْلَالِ الْمُزَنِيِّ ترجيحاً للقول الأول.
Ketiga: Ia berkata, ketika budak perempuan tidak menjadi umm walad bagi sekutunya yang tidak mampu membebaskan, padahal ia memiliki bagian kepemilikan, maka lebih utama lagi ia tidak menjadi umm walad bagi ayah yang sama sekali tidak memiliki kepemilikan. Maka para ulama mazhab kami membantah dalil al-Muzani ini dan lebih menguatkan pendapat pertama.
فإن قَالُوا: أَمَّا اسْتِدْلَالُهُ الْأَوَّلُ بِأَنَّ لِلِابْنِ أَنْ يُزَوِّجَ أَبَاهُ بِأَمَتِهِ وَلَا تَصِيرُ بِالْإِحْبَالِ أُمَّ وَلَدٍ فَمَدْفُوعٌ عَنْهُ، وَاخْتَلَفُوا فِي سَبَبِ دَفْعِهِ عنه فَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَأَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ ينسبان المزني إلى السهو والغفل في نقله، وإنه غلط في تزويجه لجارية أبيه إلى تزويجه لجارية ابْنِهِ وَمَنَعُوا أَنْ يَتَزَوَّجَ الْأَبُ بِجَارِيَةِ الِابْنِ، وَإِنْ حَلَّ لِلِابْنِ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِجَارِيَةِ الْأَبِ، وَإِنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ قَالَ ذَلِكَ نَصًّا فِي ” الدعوى والنيات ” لِأَنَّ عَلَى الِابْنِ أَنْ يَعِفَّ أَبَاهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَوِّجَهُ بِأَمَتِهِ وَلَيْسَ عَلَى الْأَبِ أَنْ يَعِفَّ ابْنَهُ فَجَازَ أَنْ يُزَوِّجَهُ بِأَمَتِهِ وَإِنَّمَا كَانَ وُجُوبُ إِعْفَافِهِ عَلَى الِابْنِ يَمْنَعُهُ مِنَ التَّزْوِيجِ بِأَمَةِ الِابْنِ، لِأَنَّ الْحُرَّ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ الْأَمَةَ إِلَّا بِشَرْطَيْنِ عَدَمِ الطَّوْلِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ، فَإِنْ كَانَ الْأَبُ مُوسِرًا لَمْ يَعْدَمِ الطَّوْلَ، وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا صَارَ بِوُجُوبِ إِعْفَافِهِ عَلَى الِابْنِ وَاجِدًا لِلطَّوْلِ، فَعَلَى هَذَا اسْتِدْلَالُهُ مَدْفُوعٌ بِغَلَطِهِ وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ نَقْلُ الْمُزَنِيِّ صَحِيحٌ فِي تَزْوِيجِ الْأَبِ بِجَارِيَةِ ابْنِهِ، ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي صِحَّةِ هَذَا النَّقْلِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika mereka berkata: Adapun dalil pertamanya bahwa anak laki-laki boleh menikahkan ayahnya dengan budak perempuannya dan budak tersebut tidak menjadi umm walad karena kehamilan, maka itu tertolak darinya. Mereka pun berbeda pendapat tentang alasan penolakannya; Abu al-‘Abbas Ibn Surayj dan Abu Ishaq al-Marwazi menisbatkan al-Muzani pada kekeliruan dan kelalaian dalam periwayatannya, dan bahwa ia keliru antara menikahkan ayahnya dengan budak ayahnya dan menikahkan ayahnya dengan budak anaknya. Mereka melarang ayah menikahi budak anaknya, meskipun anak boleh menikahi budak ayahnya. Imam al-Syafi‘i telah menyatakan hal itu secara tegas dalam kitab “al-Da‘wa wa al-Niyyat”, karena anak wajib menjaga kehormatan ayahnya, sehingga tidak boleh menikahkan ayahnya dengan budak miliknya. Sedangkan ayah tidak wajib menjaga kehormatan anaknya, sehingga boleh menikahkan anaknya dengan budak miliknya. Kewajiban menjaga kehormatan ayah atas anak itulah yang mencegahnya menikahi budak anaknya, karena seorang merdeka tidak boleh menikahi budak kecuali dengan dua syarat: tidak mampu (menikahi wanita merdeka) dan khawatir terjerumus dalam maksiat. Jika ayahnya kaya, maka ia tidak dianggap tidak mampu. Jika ayahnya miskin, maka dengan kewajiban menjaga kehormatan ayah atas anak, berarti ia dianggap mampu. Maka, berdasarkan hal ini, dalilnya tertolak karena kekeliruannya. Ada pula yang berpendapat: Justru riwayat al-Muzani benar dalam hal ayah menikahi budak anaknya. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang kebenaran riwayat ini dalam dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَامٌّ فِي جَوَازِ تَزْوِيجِهِ بِهَا، وَأَنَّهُ قَوْلٌ ثَانٍ للشافعي أَنَّهُ لَا يَلْزَمُ الِابْنَ إِعْفَافُ أَبِيهِ كَمَا لَا يَلْزَمُ الْأَبَ إِعْفَافُ ابْنِهِ.
Salah satunya: Bahwa itu bersifat umum dalam kebolehan menikahinya, dan itu merupakan pendapat kedua Imam al-Syafi‘i, yaitu bahwa anak tidak wajib menjaga kehormatan ayahnya sebagaimana ayah juga tidak wajib menjaga kehormatan anaknya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ جَوَّزَ تَزْوِيجَهُ بِهَا فِي مَوْضِعٍ مَخْصُوصٍ لَا عَلَى الْعُمُومِ، وَإِنْ كَانَ إِعْفَافُهُ عَلَى الِابْنِ وَاجِبًا، وَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا فِي مَوْضِعِ الْخُصُوصِ الَّذِي يَجُوزُ فِيهِ تَزْوِيجُهُ بِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: Bahwa ia membolehkan ayah menikahi budak anaknya dalam kondisi tertentu saja, tidak secara umum, meskipun menjaga kehormatan ayah tetap wajib atas anak. Dan mereka yang berpendapat demikian berbeda pendapat tentang kondisi khusus yang membolehkan ayah menikahi budak anaknya dalam dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَبَاهُ كَانَ مَمْلُوكًا فَزَوَّجَهُ بِأَمَتِهِ، لِأَنَّ إِعْفَافَهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ وَلَوْ كَانَ حُرًّا لَمْ يَجُزْ.
Salah satunya: Bahwa ayahnya adalah seorang budak, lalu anaknya menikahkan ayahnya dengan budak miliknya, karena menjaga kehormatan ayah tidak wajib atas anak. Jika ayahnya merdeka, maka tidak boleh.
وَالثَّانِي: أَنَّ الِابْنَ كَانَ مُعْسِرًا لَا يَمْلِكُ غَيْرَ الْأَمَةِ وهو إليها محتاج فزوجه بأمته، لأنه معسراً لَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِعْفَافُ أَبِيهِ، وَلَوْ كَانَ معسراًَ لَمْ يَجُزْ، فَعَلَى هَذَا إِذَا كَانَ لَهُ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ الْمَخْصُوصِ أَوْ عَلَى مَا تقدم من الوجه العام فتزويج أَبِيهِ بِأَمَتِهِ لَمْ تَصِرْ بِإِحْبَالِ الْأَبِ أُمَّ ولد فإن صَارَتْ بِإِحْبَالِهِ لَهَا فِي غَيْرِ نِكَاحٍ أُمَّ وَلَدٍ.
Yang kedua: Bahwa anaknya adalah orang miskin yang tidak memiliki selain budak perempuan itu dan ia sangat membutuhkannya, lalu ia menikahkan ayahnya dengan budak miliknya, karena ia miskin sehingga tidak wajib menjaga kehormatan ayahnya. Jika ia kaya, maka tidak boleh. Berdasarkan hal ini, jika dalam kondisi khusus ini atau menurut pendapat umum sebelumnya, ayah menikahi budak anaknya, maka budak tersebut tidak menjadi umm walad karena kehamilan dari ayah. Namun, jika ia menjadi umm walad karena kehamilan di luar pernikahan, maka statusnya adalah umm walad.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ إِذَا وَطِئَهَا بِشُبْهَةِ الْمِلْكِ مِنْ غَيْرِ نِكَاحٍ كَانَ الْوَلَدُ حُرًّا فانتشرت حرمته وتعدت إلى أمه فصارت به أُمَّ وَلَدٍ، وَإِذَا وَطِئَهَا فِي نِكَاحٍ كَانَ الولد مملوكً ليس له حرمة حرية تقعد إلى الأمم فَلَمْ تَصِرْ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ.
Perbedaan antara keduanya adalah: Jika ia digauli karena syubhat milik tanpa pernikahan, maka anak yang lahir adalah merdeka, sehingga keharamannya meluas dan menular kepada ibunya, sehingga ibunya menjadi umm walad. Namun jika digauli dalam pernikahan, maka anaknya adalah budak, tidak memiliki kehormatan kemerdekaan yang dapat menular ke ibunya, sehingga ibunya tidak menjadi umm walad karenanya.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ الثاني: في أنه ليس بمالك فخالف الشرك الْمَالِكَ فَهُوَ مَحْجُوجٌ بِهِ، لِأَنَّهُ لَمَّا صَارَتْ حصة غير الواطىء أم ولد للواطىء، وليست مِلْكًا لَهُ وَلَا لَهُ فِيهَا شُبْهَةُ مِلْكٍ فَلَأَنْ تَصِيرُ جَارِيَةُ الِابْنِ أُمَّ وَلَدٍ لِلْأَبِ، لِأَنَّ لَهُ فِيهَا شُبْهَةَ مِلْكٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهَا مِلْكٌ أَوْلَى.
Adapun dalil keduanya: Bahwa ia bukan pemilik, sehingga berbeda dengan syarik (sekutu) yang memiliki, maka ini adalah dalil yang dapat dipatahkan, karena ketika bagian selain yang menggauli menjadi umm walad bagi yang menggauli, padahal ia bukan pemilik dan tidak memiliki syubhat kepemilikan, maka lebih layak lagi budak anak menjadi umm walad bagi ayah, karena ayah memiliki syubhat kepemilikan atasnya meskipun tidak benar-benar memilikinya.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ الثَّالِثُ: بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَصِرْ حِصَّةُ الشَّرِيكِ بِاعْتِبَارِ الْوَاطِئِ أُمَّ وَلَدٍ لِلشَّرِيكِ الْوَاطِئِ وَلَهُ مِلْكٌ فَلَأَنْ لَا تَصِيرَ لِلْأَبِ الَّذِي لَيْسَ له ملك أولى، فهو خطأ، لأن إعسار الْأَبِ مُخَالِفٌ لِإِعْسَارِ الشَّرِيكِ، لِأَنَّ الْأَبَ يَقْوَي شُبْهَتُهُ بِإِعْسَارِهِ لِوُجُوبِ إِعْفَافِهِ وَالشَّرِيكُ تَضْعُفُ شُبْهَتُهُ بِإِعْسَارِهِ فِي أَنَّهُ لَا يَتَعَدَّى عِتْقُهُ إِلَى حِصَّةِ الشَّرِيكِ، ثُمَّ يَسَارُ الْأَبِ مُخَالِفٌ لِيَسَارِ الشريك، لأن الْأَبِ مُسَاوِيًا لِيَسَارِ الشَّرِيكِ لَا لِإِعْسَارِهِ، وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ يَسَارَهُ مُوجَبٌ لِكَوْنِهَا أُمَّ وَلَدٍ فكذلك الأب.
Adapun dalil ketiganya: bahwa ketika bagian milik seorang syarik (sekutu) tidak menjadi umm walad bagi syarik yang melakukan wath’i (hubungan), padahal ia memiliki kepemilikan, maka lebih utama lagi jika tidak menjadi umm walad bagi ayah yang tidak memiliki kepemilikan. Ini adalah kekeliruan, karena ketidakmampuan (‘isâr) ayah berbeda dengan ketidakmampuan syarik. Sebab, syubhat (keraguan hukum) pada ayah menjadi lebih kuat karena ketidakmampuannya, mengingat kewajiban untuk menjaga kehormatannya (‘iffah), sedangkan syubhat pada syarik menjadi lemah karena ketidakmampuannya, sebab kemerdekaan (pembebasan) yang dilakukan syarik tidak meluas ke bagian milik syarik lainnya. Kemudian, kemampuan (yisâr) ayah juga berbeda dengan kemampuan syarik, karena kemampuan ayah setara dengan kemampuan syarik, bukan dengan ketidakmampuannya. Dan telah tetap bahwa kemampuannya menjadi sebab statusnya sebagai umm walad, maka demikian pula ayah.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا وُجُوبُ قِيمَتِهَا عَلَى الْأَبِ فَعَلَى ضربين:
Adapun kewajiban membayar nilai (harga) budak perempuan kepada ayah, maka ada dua bentuk:
أحدهما: أن يلحق بها وَلَدُهَا.
Pertama: apabila anaknya dinasabkan (dihubungkan) kepada ayah.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَلْحَقَ بِهِ، فَإِنْ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ وَلَدُهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَمُوتَ بِالْوِلَادَةِ، أَوْ لَا تَمُوتَ، فَإِنْ لَمْ تَمُتْ بِالْوِلَادَةِ فليس عليها قِيمَتُهَا، لِأَنَّهَا بَاقِيَةٌ عَلَى رِقِّ الِابْنِ، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى بَيْعِهَا وَأَخْذِ ثَمَنِهَا وَإِنْ مَاتَتْ بِالْوِلَادَةِ فَفِي وُجُوبِ قِيمَتِهَا عَلَيْهِ لِأَجْلِ اسْتِهْلَاكِهِ لها لا أجل كَوْنِهَا أُمَّ وَلَدٍ قَوْلَانِ ذَكَرْنَاهُمَا فِي كِتَابِ ” الْغَصْبِ “.
Kedua: apabila anaknya tidak dinasabkan kepadanya. Jika anaknya tidak dinasabkan kepadanya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia meninggal karena melahirkan, atau tidak meninggal. Jika ia tidak meninggal karena melahirkan, maka tidak ada kewajiban membayar nilainya, karena ia tetap dalam status budak milik anak, dan anak tersebut berhak menjualnya dan mengambil harganya. Namun jika ia meninggal karena melahirkan, maka dalam hal kewajiban membayar nilainya kepada anak karena ia telah menghabiskannya, bukan karena statusnya sebagai umm walad, terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam Kitab “Al-Ghashb”.
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ غُرْمُ قِيمَتِهَا، لِتَلَفِهَا بِسَبَبٍ مِنْ جِهَتِهِ.
Salah satunya: ia wajib membayar ganti rugi sebesar nilainya, karena kerusakannya terjadi akibat perbuatannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُهُ غُرْمُ قِيمَتِهَا، لِأَنَّ نُشُوءَ الْوَلَدِ الَّذِي حَدَثَ بِهِ موتها ليس من فعله ولجواز أن يكون موتها بغيره، فعلى هذا إن قبل الأول إنَّهُ غَارِمٌ لِلْقِيمَةِ لَزِمَتْهُ قِيمَتُهَا أَكْثَرَ مَا كانت من وقت الوطئ المحبل، وإلى وَقْتِ التَّلَفِ، وَإِنْ نَقَصَتْهَا الْوِلَادَةُ وَلَمْ تَمُتْ ضِمْنَ نَقْصَ قِيمَتِهَا كَالْمَغْصُوبَةِ.
Pendapat kedua: ia tidak wajib membayar ganti rugi nilainya, karena kelahiran anak yang menyebabkan kematiannya bukanlah perbuatannya, dan mungkin saja kematiannya bukan karena hal itu. Berdasarkan pendapat ini, jika pendapat pertama diterima bahwa ia wajib membayar ganti rugi, maka ia wajib membayar nilai tertinggi sejak waktu wath’i yang menyebabkan kehamilan hingga waktu kematian. Jika persalinan menyebabkan penurunan nilai dan ia tidak meninggal, maka ia wajib mengganti penurunan nilai tersebut sebagaimana pada kasus barang yang digasb (dirampas).
وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي: لَا يَلْزَمُهُ ضَمَانُ قِيمَتِهَا وَلَا ضَمَانُ نَقْصِهَا، فَهَذَا حُكْمُ ضَمَانِهَا إِذَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ ولدها.
Menurut pendapat kedua: ia tidak wajib menanggung nilai maupun penurunan nilainya. Inilah hukum jaminan (tanggung jawab) jika anaknya tidak dinasabkan kepadanya.
فأما إذا لحق بها وَلَدُهَا، فَإِنْ جَعَلْنَاهَا لَهُ أُمَّ وَلَدٍ ضَمِنَ قِيمَتَهَا يَوْمَ الْعُلُوقِ، لِأَنَّهَا بِهِ صَارَتْ أُمَّ ولد، وسوء مَاتَتْ بِالْوِلَادَةِ أَوْ لَمْ تَمُتْ، وَسَوَاءً كَانَ الْأَبُ مُوسِرًا أَوْ مُعْسِرًا، وَلَا وَجْهَ لِمَا فَرَّقَ بِهِ بَعْضُ أَصْحَابِنَا بَيْنَ يَسَارِهِ وَإِعْسَارِهِ كَوَطْءِ أَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ لِأَنَّنَا جَعَلْنَاهَا أُمَّ وَلَدٍ لِلْأَبِ لِحُرْمَةِ الْوَلَدِ بِشُبْهَةِ الْمِلْكِ فَاسْتَوَتِ الْحَالُ في يساره وإعساره ولو جعلناها في اعتبار الْوَاطِئِ أُمَّ وَلَدٍ لَأَدْخَلْنَا على الشريك الضرر ولم ترفعه عنه، وإن لم يجعلها لِلْأَبِ أُمَّ وَلَدٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun jika anaknya dinasabkan kepadanya, maka jika kita menjadikannya sebagai umm walad baginya, ia wajib membayar nilai budak tersebut pada hari terjadinya kehamilan, karena dengan itu ia menjadi umm walad. Baik ia meninggal karena melahirkan atau tidak, baik ayahnya mampu ataupun tidak mampu, tidak ada alasan untuk membedakan antara keadaan mampu dan tidak mampu sebagaimana pada kasus wath’i salah satu dari dua syarik, karena kita menjadikannya umm walad bagi ayah demi menjaga kehormatan anak dengan adanya syubhat kepemilikan, sehingga keadaannya sama baik dalam keadaan mampu maupun tidak mampu. Jika kita menjadikannya sebagai umm walad bagi yang melakukan wath’i, maka kita akan menimbulkan mudarat bagi syarik dan tidak menghilangkannya. Jika tidak dijadikan umm walad bagi ayah, maka ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَمُوتَ بِالْوِلَادَةِ فَيَلْزَمُهُ غُرْمُ قِيمَتِهَا قَوْلًا وَاحِدًا بخلاف التي لم تلحق بِهِ وَلَدُهَا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، لِأَنَّ وَلَدَ هَذِهِ لَاحِقٌ بِهِ فَكَانَ سَبَبُ مَوْتِهَا مُتَّصِلًا بِهِ وَوَلَدُ تِلْكَ غَيْرُ لَاحِقٍ بِهِ فَكَانَ سَبَبُ مَوْتِهَا مُنْفَصِلًا عَنْهُ.
Pertama: jika ia meninggal karena melahirkan, maka ayah wajib membayar ganti rugi nilainya menurut satu pendapat, berbeda dengan budak yang anaknya tidak dinasabkan kepadanya dalam salah satu dari dua pendapat, karena anak dari budak ini dinasabkan kepadanya sehingga sebab kematiannya berkaitan dengannya, sedangkan anak dari budak yang lain tidak dinasabkan kepadanya sehingga sebab kematiannya terpisah darinya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لا تموت فلا يلزمها قيمتها مدة لَا فِي حَالِ الْحَمْلِ وَلَا بَعْدَ الْوَضْعِ وقال أبو حامد الإسفراييني: يُؤْخَذُ بِقِيمَتِهَا مُدَّةَ الْحَمْلِ إِلَى أَنْ تَضَعَ، فإذا وضعت استرجع القيمة، لأن لابن مَمْنُوعٌ مِنْ بَيْعِهَا بِإِحْبَالِ الْأَبِ لَهَا لِكَوْنِ وَلَدِهَا حُرًّا فَلَا يَصِحُّ بَيْعُهَا مَعَ الْوَلَدِ لِحُرِّيَّتِهِ، وَلَا يَجُوزُ اسْتِثْنَاءُ وَلَدِهَا فِي الْبَيْعِ، لِأَنَّ بَيْعَ الْحَامِلِ دُونَ وَلَدِهَا لَا يَصِحُّ، فَصَارَتْ مَمْنُوعَةً مِنْ تَصَرُّفِ الْمَالِكِ فَجَرَى عَلَيْهَا حُكْمُ الْمَغْصُوبَةِ إِذَا أَبِقَتْ يُؤْخَذُ الْغَاصِبُ بِقِيمَتِهَا حَتَّى إِذَا عَادَتْ رُدَّتِ الْقِيمَةُ كَذَلِكَ هَذِهِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الْقَيِّمَةَ إِنَّمَا تُسْتَحَقُّ عِنْدَ اسْتِهْلَاكِ الْعَيْنِ، وَتَعَذُّرِ الْقُدْرَةِ عَلَى التَّصَرُّفِ فِي الْمِلْكِ، وَالْعَيْنُ هَاهُنَا مَوْجُودَةٌ وَالتَّصَرُّفُ فِيهَا بِغَيْرِ الْبَيْعِ مُمْكِنٌ فَلَمْ يَجُزْ مَعَ بَقَائِهَا فِي يده وتصرفه فيها أن يجمع بينهما وبين قيمتها بخلاف المغصوبة إذا أبقت فلم يَكُنْ لَهُ عَلَيْهَا يَدٌ، وَلَا هُوَ عَلَى التَّصَرُّفِ فِي مَنَافِعِهَا قَادِرٌ وَلَيْسَ مَا اقْتَضَاهُ الشَّرْعُ مِنْ تَأْخِيرِ بَيْعِهَا إِلَى وَقْتِ الْوَضْعِ مُوجِبًا لِأَخْذِ الْقِيمَةِ، لِأَنَّهُ تَأْخِيرٌ يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى التَّسْلِيمِ كَالْمَغْصُوبَةِ إِذَا هَرَبَتْ إِلَى مَكَانٍ مَعْرُوفٍ يُؤْخَذُ الْغَاصِبُ بِرَدِّهَا وَلَا يُؤْخَذُ بِقِيمَتِهَا كذلك هذه في مدة حملها فهذه وجه لم يُفْسِدْ مَا قَالَهُ مِنْ وَجْهٍ ثَانٍ، وَهُوَ أَنَّ الْقِيمَةَ إِنَّمَا تُسْتَحَقُّ إِذَا مُلِكَتْ مِلْكًا مستقراً في الظاهر، لأن المقصود بِهِ إِذَا أَبِقَتْ يُحْكَمُ بِقِيمَتِهَا تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْفَوَاتِ وَهَذِهِ الْقِيمَةُ لَا تُمْلَكُ مِلْكًا مُسْتَقِرًّا وَإِنَّمَا تَصِيرُ فِي يَدِهِ إِمَّا كَالْعَارِيَةِ، وِإِمَّا كَالرَّهْنِ وَلَيْسَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِوَاجِبٍ فَلِمَاذَا يُحْكَمُ بِهَا غَيْرَ مَمْلُوكَةٍ وَلَا مُعَارَةٍ، وَلَا مَرْهُونَةٍ، يَفْسَدُ مِنْ وَجْهٍ ثَالِثٍ وَهُوَ أَنَّهُ يَصِيرُ جامعاً بين الرقبة والقيمة وأحدهما بدل من الآخر فلم يجز الجمع بينهما.
Jenis kedua: Jika ia (budak perempuan) tidak mati, maka tidak wajib membayar nilainya selama masa kehamilan maupun setelah melahirkan. Abu Hamid al-Isfara’ini berpendapat: Diambil nilainya selama masa kehamilan hingga ia melahirkan, kemudian setelah melahirkan nilai tersebut dikembalikan. Sebab, anak dari budak perempuan yang dihamili oleh ayahnya tidak boleh dijual karena anaknya adalah orang merdeka, sehingga tidak sah menjualnya bersama anaknya karena kemerdekaan anaknya, dan tidak boleh mengecualikan anaknya dalam penjualan, karena menjual budak hamil tanpa anaknya tidak sah. Maka, budak perempuan tersebut menjadi terlarang untuk ditransaksikan oleh pemiliknya, sehingga berlaku atasnya hukum barang yang digasap (maghsūbah): jika ia melarikan diri, maka yang menggasp harus membayar nilainya hingga jika ia kembali, nilai tersebut dikembalikan. Begitu pula halnya dalam kasus ini. Namun, ini adalah kekeliruan, karena nilai hanya wajib dibayarkan ketika barangnya telah habis (tidak ada), dan tidak mungkin lagi melakukan transaksi atas kepemilikan, sedangkan barangnya di sini masih ada dan transaksi selain penjualan masih mungkin dilakukan. Maka, tidak boleh menggabungkan antara barang dan nilainya selama barang tersebut masih berada di tangannya dan ia masih dapat melakukan transaksi atasnya, berbeda dengan barang maghsūbah yang jika melarikan diri maka tidak ada lagi kekuasaan atasnya dan tidak mampu memanfaatkan manfaatnya. Apa yang ditetapkan syariat berupa penundaan penjualan hingga waktu melahirkan tidak mewajibkan pengambilan nilai, karena itu adalah penundaan yang bertujuan untuk penyerahan, sebagaimana barang maghsūbah yang melarikan diri ke tempat yang diketahui, maka yang menggasp hanya diwajibkan mengembalikannya dan tidak diwajibkan membayar nilainya. Demikian pula halnya budak perempuan selama masa kehamilannya. Ini adalah satu sisi yang tidak merusak pendapat yang dikemukakan dari sisi kedua, yaitu bahwa nilai hanya wajib dibayarkan jika telah dimiliki secara tetap secara lahiriah, karena maksudnya jika budak maghsūbah melarikan diri maka diputuskan nilainya sebagai pengganti karena dianggap barang telah hilang, sedangkan nilai ini tidak dimiliki secara tetap, melainkan berada di tangannya seperti barang pinjaman (‘āriyah) atau seperti gadai (rahn), dan keduanya tidak wajib. Maka, mengapa diputuskan atasnya sesuatu yang bukan milik, bukan pinjaman, dan bukan gadai? Ini rusak dari sisi ketiga, yaitu bahwa hal itu menyebabkan penggabungan antara kepemilikan barang dan nilainya, padahal salah satunya adalah pengganti dari yang lain, sehingga tidak boleh digabungkan keduanya.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا وُجُوبُ قِيمَةِ الْوَلَدِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun kewajiban membayar nilai anak, maka hal itu terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَمْلُوكًا لَا يَلْحَقُ بِالْأَبِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ لِبَقَاءِ رِقِّهِ وَلَا يُعْتَقُ عَلَى الِابْنِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُنَاسِبٍ وَلَوْ نَاسَبَهُ لَنَاسَبَهُ بِالْأُخُوَّةِ.
Pertama: Jika anak tersebut adalah budak dan tidak mengikuti status ayahnya, maka tidak wajib membayar nilainya karena status perbudakannya masih tetap, dan tidak dimerdekakan karena anak, sebab tidak ada hubungan nasab. Jika pun ada hubungan nasab, maka itu hanya berupa persaudaraan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الولد حراً قد لحق بِالْأَبِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jenis kedua: Jika anak tersebut merdeka dan mengikuti status ayahnya, maka ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا تُجْعَلَ أُمُّهُ أُمَّ وَلَدٍ وَيَسْتَبْقِيهَا عَلَى رِقِّ الِابْنِ فَيَجِبُ عَلَى الْأَبِ غُرْمُ قِيمَتِهِ، لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَهْلَكَ رِقَّهُ بِالْحُرِّيَّةِ وَاعْتَبَرَ قِيمَتَهُ وَقْتَ الْوِلَادَةِ.
Pertama: Jika ibunya tidak dijadikan sebagai umm walad dan tetap dalam status budak anak, maka ayah wajib membayar ganti rugi nilai anaknya, karena ia telah menghilangkan status perbudakan anaknya dengan kemerdekaan, dan nilai anaknya dihitung pada saat kelahiran.
وَقَالَ أبو يوسف: وَقْتَ التَّرَافُعِ إِلَى الْقَاضِي وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِتَقَدُّمِ اسْتِهْلَاكِهِ بِالْحُرِّيَّةِ عَلَى وَقْتِ التَّرَافُعِ إِلَى الْقَاضِي؛ لِأَنَّهُ عَتَقَ وَقْتَ الْعُلُوقِ، وَلَكِنْ لَمْ يَتَمَكَّنِ الْوُصُولَ إِلَى قِيمَتِهِ إلا عند الولادة فلذلك اعْتَبَرْنَاهَا فِيهِ وَلَوْ أَمْكَنَ الْوُصُولُ إِلَى قِيمَتِهِ وقت العلوق لاعتبرناه.
Abu Yusuf berpendapat: Nilainya dihitung pada saat perkara diajukan ke qadhi. Ini adalah kekeliruan, karena penghilangan status perbudakan dengan kemerdekaan terjadi sebelum perkara diajukan ke qadhi, sebab anak tersebut telah merdeka sejak saat kehamilan, hanya saja tidak memungkinkan untuk mendapatkan nilai anak tersebut kecuali saat kelahiran. Oleh karena itu, kami menghitungnya pada saat itu. Jika memungkinkan untuk mendapatkan nilai anak pada saat kehamilan, tentu kami akan menghitungnya pada saat itu.
والضرب الثاني: أن يجعل أُمَّهُ أُمَّ وَلَدٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jenis kedua: Jika ibunya dijadikan sebagai umm walad, maka ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أن يضعه بَعْدَ دَفْعِ قِيمَتِهَا فَلَا يَلْزَمُ الْأَبَ قِيمَةُ وَلَدِهَا؛ لِأَنَّهَا بِدَفْعِ الْقِيمَةِ قَدِ اسْتَقَرَّتْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ فَصَارَتْ وَاضِعَةً لَهُ فِي مِلْكِهِ.
Pertama: Jika ia melahirkan setelah nilai ibunya dibayarkan, maka ayah tidak wajib membayar nilai anaknya, karena dengan pembayaran nilai, status umm walad telah tetap baginya, sehingga ia melahirkan anak dalam kepemilikannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَضَعَهُ قَبْلَ دَفْعِ قِيمَتِهَا، وفي وجوب قيمته قولان مبنيان على اختلاف قوليه مَتَى تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ فَأَصَحُّ قَوْلَيْهِ: أَنَّهَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ بِنَفْسِ الْعُلُوقِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَلْزَمُ قِيمَةُ الْوَلَدِ؛ لِأَنَّهَا تَضَعُهُ بَعْدَ كَوْنِهَا أُمَّ وَلَدٍ.
Jenis kedua: Jika ia melahirkan sebelum nilai ibunya dibayarkan, maka dalam hal kewajiban membayar nilai anak terdapat dua pendapat yang dibangun atas perbedaan pendapat tentang kapan seorang budak perempuan menjadi umm walad. Pendapat yang paling sahih: ia menjadi umm walad sejak terjadi kehamilan, sehingga dalam hal ini tidak wajib membayar nilai anak, karena ia melahirkan setelah menjadi umm walad.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ بِالْعُلُوقِ مَعَ دَفْعِ الْقِيمَةِ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُ قِيمَةُ الْوَلَدِ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَكُنْ وَقْتَ الْوِلَادَةِ أُمَّ وَلَدٍ فَهَذَا حُكْمُ وَطْءِ الأب جارية ابنه، وذلك لَوْ وَطِئَ جَارِيَةَ بِنْتِهِ، أَوْ بِنْتِ ابْنِهِ، أَوِ ابْنِ بِنْتِهِ، أَوْ مَنْ سَفَلَ مِنْ أولاده والله أعلم.
Pendapat kedua: Bahwa ia (budak perempuan) menjadi umm walad dengan terjadinya kehamilan disertai pembayaran nilai (budak tersebut). Maka berdasarkan pendapat ini, wajib membayar nilai anak tersebut; karena pada saat melahirkan ia belum menjadi umm walad. Inilah hukum seorang ayah yang menggauli budak perempuan milik anaknya. Demikian pula jika ia menggauli budak perempuan milik putrinya, atau cucunya dari anak laki-laki, atau cucunya dari anak perempuan, atau keturunan anak-anaknya yang lebih bawah. Allah lebih mengetahui.
فصل
Fasal
فأما إذا وطء الِابْنُ جَارِيَةَ أَبِيهِ فَهُوَ زَانٍ وَالْحَدُّ عَلَيْهِ وَاجِبٌ إِنْ لَمْ يَجْهَلِ التَّحْرِيمَ بِخِلَافِ الْأَبِ لما قدمناه من الفرق بينهما في التسمية فِي الْإِعْفَافِ، وَفِي الْحُرْمَةِ فِي الْقِصَاصِ فَيَجْرِي عليهم حُكْمُ الزِّنَا فِي وُجُوبِ الْحَدِّ وَاسْتِحْقَاقِ الْمَهْرِ إِنْ أَكْرَهَهَا وَفِيهِ إِنْ طَاوَعَتْهُ قَوْلَانِ: لَا يَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا وَلَا تَصِيرُ به أم ولد وفي وجوب قيمتها قَوْلَانِ: وَإِنْ كَانَ جَاهِلًا بِتَحْرِيمِهَا لِإِسْلَامِهِ حَدِيثًا أو قدومه من بادية صَارَ ذَلِكَ شُبْهَةً لَهُ يَسْقُطُ عَنْهُ الْحَدُّ وَوَجَبَ عَلَيْهِ الْمَهْرُ فِي الْإِكْرَاهِ وَالْمُطَاوَعَةِ وَلَحِقَ به الولد مملوكاً في حال العلوق؛ لأنه لَمْ يَكُنْ لَهُ شُبْهَةُ مِلْكٍ كَالْأَبِ وَلَا أعتقد حرية الْمَوْطُوءَةِ كَالْغَارَّةِ فَلِذَلِكَ كَانَ الْوَلَدُ فِي حَالِ الْعَلُوقِ مَمْلُوكًا لَكِنَّهُ يُعْتَقُ عَلَى الْأَبِ، لِأَنَّهُ ابْنُ ابْنِهِ، وَمَنْ مَلَكَ ابْنَ ابْنِهِ عَتَقَ عَلَيْهِ وَلَا يَرْجِعُ بِقِيمَتِهِ عَلَى الِابْنِ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْلِكْ رِقَّهُ لَمْ يَمْلِكْ قِيمَتَهُ ولا تصير الأمة أم الولد للابن فِي الْحَالِ وَلَا إِنْ مَلَكَهَا فِي ثَانِي حَالٍ لِأَنَّهَا مَا عَلَقَتْ مِنْهُ بِحُرٍّ وَإِنَّمَا صَارَ بَعْدَ الْوَضْعِ حُرًّا فَلَمْ يَتَعَدَّ إِلَيْهَا حَكَمُ حُرِّيَّتِهِ كَمَا لَوْ أَوْلَدَهَا مِنْ نِكَاحٍ ثُمَّ مَلَكَهَا لَمْ تَصِرْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ، لِأَنَّهَا عَلَقَتْ مِنْهُ بِمَمْلُوكٍ، هكذا حكم الابن إذا وطء جَارِيَةَ أَبِيهِ، أَوْ جَدِّهِ، أَوْ جَدَّتِهِ، أَوْ وطء الأخ جارية أخيه.
Adapun jika seorang anak laki-laki menggauli budak perempuan milik ayahnya, maka ia dihukumi sebagai pezina dan wajib dikenakan had atasnya jika ia tidak jahil terhadap keharamannya, berbeda dengan ayah sebagaimana telah dijelaskan perbedaan antara keduanya dalam penamaan terkait i‘faf (pemenuhan kebutuhan biologis), dan dalam keharaman pada qishāsh. Maka berlaku atasnya hukum zina dalam kewajiban had dan hak mahar jika ia memaksa budak tersebut, dan jika budak itu rela, terdapat dua pendapat: anak dari budak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya dan budak itu tidak menjadi umm walad baginya. Dalam kewajiban membayar nilai budak tersebut juga terdapat dua pendapat. Jika ia tidak mengetahui keharamannya karena baru masuk Islam atau baru datang dari pedalaman, maka hal itu menjadi syubhat baginya sehingga had tidak dijatuhkan atasnya, namun ia tetap wajib membayar mahar baik dalam keadaan memaksa maupun rela, dan anak dari budak tersebut menjadi miliknya sebagai budak pada saat kehamilan; karena ia tidak memiliki syubhat kepemilikan seperti ayah, dan tidak meyakini kebebasan budak yang digauli sebagaimana kasus ghārrah, sehingga anak tersebut pada saat kehamilan menjadi miliknya sebagai budak, namun ia dimerdekakan atas ayahnya, karena ia adalah cucunya, dan siapa yang memiliki cucunya maka cucunya itu merdeka atasnya, dan ia tidak boleh menuntut nilai anak tersebut kepada anaknya, karena ketika ia tidak memiliki hak perbudakan atasnya maka ia juga tidak berhak atas nilainya. Budak perempuan tersebut juga tidak menjadi umm walad bagi anak itu pada saat itu, maupun jika ia memilikinya di kemudian hari, karena ia tidak hamil darinya dalam keadaan merdeka, melainkan baru menjadi merdeka setelah melahirkan, sehingga hukum kemerdekaannya tidak berlaku atas budak tersebut, sebagaimana jika ia menghamili budak perempuan melalui pernikahan lalu memilikinya, maka budak itu tidak menjadi umm walad baginya, karena ia hamil darinya dalam keadaan budak. Demikianlah hukum anak laki-laki jika menggauli budak perempuan milik ayahnya, atau kakeknya, atau neneknya, atau saudara laki-laki yang menggauli budak perempuan milik saudaranya.
فصل 4: وإذ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي وَطْءِ الْأَبِ جَارِيَةَ ابنه ووطء الابن جارية أبيه قد ذكر مَا يَجِبُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ إِعْفَافِ صَاحِبِهِ.
Fasal 4: Setelah pembahasan mengenai ayah yang menggauli budak perempuan milik anaknya dan anak yang menggauli budak perempuan milik ayahnya, telah disebutkan apa yang wajib atas masing-masing dari keduanya dalam hal i‘faf terhadap pihak lainnya.
أَمَّا الِابْنُ فَلَا يَجِبُ عَلَى الْأَبِ إِعْفَافُهُ وَإِنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ؛ لِأَنَّ نفقة الابن بعد الكبر مستصحبة لحال الصِّغَرِ الَّتِي لَا يُرَاعَى فِيهَا الْإِعْفَافُ فَاسْتَقَرَّ فِيهِ حُكْمُ مَا بَعْدَ الْكِبَرِ اعْتِبَارًا بِحَالِ الصغر، فأما الْأَبُ فَوُجُوبُ إِعْفَافِهِ عَلَى الِابْنِ مُعْتَبَرٌ بِوُجُوبِ نَفَقَتِهِ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ الْأَبُ مُوسِرًا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ وَلَا إِعْفَافُهُ، وَإِنْ كَانَ معسراً نظر فَإِنْ كَانَ عَاجِزًا عَنِ الْكَسْبِ بِزَمَانَةٍ أَوْ هَرَمٍ وَجَبَتْ نَفَقَتُهُ وَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَيْهِ فَفِي وُجُوبِ نَفَقَتِهِ قَوْلَانِ:
Adapun anak, maka ayah tidak wajib memenuhi kebutuhan biologis anaknya (i‘faf), meskipun ia wajib menafkahinya; karena nafkah anak setelah dewasa mengikuti keadaan saat kecil yang pada masa itu tidak diperhatikan masalah i‘faf, sehingga tetap berlaku hukum setelah dewasa berdasarkan keadaan saat kecil. Adapun ayah, maka kewajiban i‘faf atas anaknya dipertimbangkan berdasarkan kewajiban nafkah atasnya. Jika ayah mampu, maka anak tidak wajib menafkahinya maupun memenuhi kebutuhan biologisnya. Namun jika ayah tidak mampu, maka dilihat: jika ia tidak mampu bekerja karena cacat atau usia lanjut, maka wajib atas anak menafkahinya. Jika ia mampu bekerja, maka dalam kewajiban nafkah atasnya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: تَجِبُ اعْتِبَارًا بِفَقْرِهِ.
Salah satunya: Wajib menafkahinya karena mempertimbangkan kemiskinannya.
وَالثَّانِي: لَا تَجِبُ اعْتِبَارًا بِقُدْرَتِهِ.
Dan yang kedua: Tidak wajib menafkahinya karena mempertimbangkan kemampuannya.
فَإِنْ لَمْ تَجِبْ نَفَقَةُ الْأَبِ لَمْ يَجِبْ إِعْفَافُهُ وإن وجبت نفقه، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ إِلَى الزَّوْجَةِ حَاجَةٌ لِضَعْفِ شَهْوَتِهِ لَمْ يَجِبْ عَلَى الِابْنِ تَزْوِيجُهُ وَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى النِّكَاحِ لِقُوَّةِ شَهْوَتِهِ فَفِي وُجُوبِ إِعْفَافِهِ عَلَى الِابْنِ قَوْلَانِ:
Jika nafkah ayah tidak wajib, maka tidak wajib pula memenuhi kebutuhan biologisnya (i‘faf). Namun jika nafkahnya wajib, maka jika ayah tidak membutuhkan istri karena lemah syahwat, anak tidak wajib menikahkannya. Tetapi jika ayah membutuhkan pernikahan karena kuat syahwatnya, maka dalam kewajiban i‘faf atas anak terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: نَقَلَهُ ابْنُ خَيْرَانَ وَتَأَوَّلَهُ غَيْرُهُ مِنْ كَلَامِ الْمُزَنِيِّ هَاهُنَا أَنَّهُ لَا يَجِبُ إِعْفَافُهُ وَإِنْ وَجَبَتْ نَفَقَتُهُ وَبِهِ قَالَ أبو حنيفة اعْتِبَارًا بِأَمْرَيْنِ:
Salah satunya: Diriwayatkan oleh Ibn Khairan dan ditakwil oleh selainnya dari perkataan al-Muzani di sini, bahwa tidak wajib memenuhi kebutuhan biologisnya (i‘faf), meskipun wajib menafkahinya. Pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah dengan mempertimbangkan dua hal:
أَحَدُهُمَا: بِالِابْنِ فِي أَنَّ وُجُوبَ نَفَقَتِهِ لَا تَقْتَضِي وُجُوبَ إِعْفَافِهِ لَوِ احْتَاجَ.
Pertama: Pada anak, bahwa kewajiban menafkahinya tidak mengharuskan kewajiban memenuhi kebutuhan biologisnya jika ia membutuhkan.
وَالثَّانِي: بالأم في أن وجوب نفقتها لا تقتضي وجوب إعفافها لو احتاجت، وإن كَانَ إِعْفَافُهُ مُعْتَبَرًا بِالطَّرَفِ الْأَدْنَى سَقَطَ بِالِابْنِ، وَإِنْ كَانَ مُعْتَبَرًا بِالطَّرَفِ الْأَعْلَى سَقَطَ بِالْأُمِّ.
Kedua: Pada ibu, bahwa kewajiban menafkahinya tidak mengharuskan kewajiban memenuhi kebutuhan biologisnya jika ia membutuhkan. Jika i‘faf dipertimbangkan pada pihak yang lebih rendah maka gugur pada anak, dan jika dipertimbangkan pada pihak yang lebih tinggi maka gugur pada ibu.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي ” الدَّعْوَى وَالْبَيِّنَاتِ ” وَهُوَ اخْتِيَارُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّ إِعْفَافَهُ وَاجِبٌ كَنَفَقَتِهِ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً) {لقمان: 15) وإنكاحه مِنَ الْمَعْرُوفِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا وُقِيَتْ نَفْسُ الْأَبِ بِنَفْسِ الِابْنِ فَلَمْ يُقْتَصَّ مِنَ الْأَبِ بِالِابْنِ فأولى إن توفى نفسه بِمَالِ الِابْنِ فِي وُجُوبِ إِعْفَافِهِ عَلَى الِابْنِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى فَرَّقْنَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الِابْنِ فِي الْإِعْفَافِ لِلِافْتِرَاقِ بَيْنَهُمَا فِي الْقِصَاصِ، فَأَمَّا الْفَرْقُ بَيْنَ الْأَبِ، وَالْأُمِّ فِي الْإِعْفَافِ هُوَ أَنَّ إعفاف الأب إلزام فَوَجَبَ عَلَى الِابْنِ وَإِعْفَافَ الْأُمِّ اكْتِسَابٌ فَلَمْ يجب على الابن.
Pendapat kedua: Telah dinyatakan secara eksplisit dalam kitab “al-Da‘wā wa al-Bayyinat” dan merupakan pilihan mayoritas ulama mazhab kami, bahwa memberikan ‘ifāf (pemeliharaan kehormatan) kepada ayah adalah wajib sebagaimana menafkahinya, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik} (Luqman: 15), dan menikahkan ayah termasuk dalam pergaulan yang baik. Karena ketika jiwa ayah dilindungi dengan jiwa anak sehingga tidak boleh dilakukan qishāsh terhadap ayah karena anak, maka lebih utama lagi jika jiwa ayah dipelihara dengan harta anak dalam kewajiban memberikan ‘ifāf kepadanya. Dengan makna ini pula kami membedakan antara ayah dan anak dalam hal ‘ifāf, karena keduanya berbeda dalam hukum qishāsh. Adapun perbedaan antara ayah dan ibu dalam hal ‘ifāf adalah bahwa ‘ifāf untuk ayah bersifat keharusan sehingga wajib atas anak, sedangkan ‘ifāf untuk ibu bersifat perolehan (bukan keharusan) sehingga tidak wajib atas anak.
فصل
Fasal
فإذا تقرر وجوب الْأَبِ عَلَى أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ فَالْكَلَامُ فِيهِ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:
Jika telah dipastikan kewajiban (memberikan ‘ifāf) kepada ayah menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat, maka pembahasan mengenai hal ini mencakup tiga fasal:
أَحَدُهَا: فِيمَنْ يَجِبُ إِعْفَافُهُ مِنَ الْآبَاءِ.
Pertama: Tentang siapa saja dari kalangan ayah yang wajib diberikan ‘ifāf.
وَالثَّانِي: فِيمَنْ يَجِبُ عَلَيْهِ الْإِعْفَافُ مِنَ الْأَبْنَاءِ.
Kedua: Tentang siapa saja dari kalangan anak yang wajib memberikan ‘ifāf.
وَالثَّالِثُ: فِيمَا يَكُونُ بِهِ الْإِعْفَافُ
Ketiga: Tentang hal-hal yang menjadi bentuk ‘ifāf.
القول فيمن يجب إعفافه من الآباء
Pembahasan tentang siapa saja dari kalangan ayah yang wajib diberikan ‘ifāf
فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِيمَنْ يَجِبُ إِعْفَافُهُ مِنَ الآباء فهو كل والد فيه بعضيه وإن علا وسواء كَانَ ذَا عَصَبَةٍ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ كَأَبِي الْأَبِ أَوْ كَانَ ذَا رَحِمٍ كَأَبِي الْأُمِّ وَهُمَا فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ وَالْإِعْفَافِ سَوَاءٌ، وَهَكَذَا أبو الأب وأبو الْأُمِّ، وَهَكَذَا أَبُو أُمِّ الْأَبِ وَأَبُو أُمِّ الأم هما سواء في الزوج وَسَوَاءٌ فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ وَالْإِعْفَافِ وَهَكَذَا لَوِ اخْتَلَفَ دَرْجُهُمَا فَكَانَ أَحَدُهُمَا أَبَا أَبٍ، وَالْآخَرُ أَبَا أُمٍّ وَجَبَتْ نَفَقَتُهَا وَإِعْفَافُهَا إِذَا أَمْكَنَ تَحَمُّلُ الْوَلَدِ لَهُمَا.
Adapun fasal pertama, yaitu tentang siapa saja dari kalangan ayah yang wajib diberikan ‘ifāf, maka itu mencakup setiap ayah, baik yang memiliki hubungan nasab dari pihak ayah seperti kakek dari ayah, maupun yang memiliki hubungan rahim seperti kakek dari ibu. Keduanya sama dalam kewajiban nafkah dan ‘ifāf, demikian pula kakek dari ayah dan kakek dari ibu, begitu juga kakek dari ibu ayah dan kakek dari ibu ibu, semuanya sama dalam hal hubungan pernikahan dan sama pula dalam kewajiban nafkah dan ‘ifāf. Demikian pula jika derajat mereka berbeda, misalnya salah satunya adalah kakek dari ayah dan yang lain adalah kakek dari ibu, maka keduanya tetap wajib dinafkahi dan diberikan ‘ifāf jika anak mampu menanggung keduanya.
فَأَمَّا إِذَا اجْتَمَعَ أَبَوَانِ وَضَاقَتْ حَالُ الِابْنِ عَنْ نَفَقَتِهِمَا وَإِعْفَافِهِمَا وَأَمْكَنَهُ الْقِيَامُ بِأَحَدِهِمَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun jika terdapat dua orang tua (kakek/nenek) dan keadaan anak tidak mampu menafkahi dan memberikan ‘ifāf kepada keduanya, namun ia mampu menanggung salah satunya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الدَّرَجِ.
Pertama: Keduanya berada pada derajat yang sama.
وَالثَّانِي: أَنْ يَتَفَاضَلَا.
Kedua: Keduanya berbeda derajat.
فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الدَّرَجِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika keduanya berada pada derajat yang sama, maka terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يكون أحدهما عصبة والآخر ذا رحم كأبي أب الأب وأبو أم الأم فالعصبة مِنْهُمَا أَحَقُّ بِتَحَمُّلِ نَفَقَتِهِ وَإِعْفَافِهِ مِنْ ذِي الرَّحِمِ لِقُوَّةِ سَبَبِهِ.
Pertama: Salah satunya adalah ‘ashabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah) dan yang lain adalah dzawī al-arhām (kerabat dari jalur ibu), seperti kakek dari ayah dan kakek dari ibu. Maka yang ‘ashabah di antara keduanya lebih berhak untuk dinafkahi dan diberikan ‘ifāf daripada yang dzawī al-arhām karena lebih kuat sebabnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَا جَمِيعًا ذَا رَحِمٍ كَأَبِي أُمِّ الْأَبِ وَأَبِي أب الْأُمِّ فَهُمَا سَوَاءٌ فِي الدَّرَجَةِ وَالرَّحِمِ وَلَيْسَ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَوِيَ أَبَوَانِ فِي الدَّرَجَةِ وَالتَّعْصِيبِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الدَّرَجَةِ وَالرَّحِمِ، وإذا كان كذلك وجب أن يسوي بينهما لاستوائهما في كَيْفِيَّةِ التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمَا إِذَا أَعْجَزَهُ الْقِيَامُ بِهِمَا وجهان:
Kedua: Keduanya sama-sama dzawī al-arhām, seperti kakek dari ibu ayah dan kakek dari ibu ibu, maka keduanya sama dalam derajat dan hubungan rahim. Tidak mungkin ada dua orang tua yang sama dalam derajat dan ‘ashabah, meskipun mungkin sama dalam derajat dan rahim. Jika demikian, maka wajib menyamakan keduanya karena kesamaan dalam derajat. Adapun cara menyamakan keduanya jika anak tidak mampu menanggung keduanya, terdapat dua pendapat:
أحدهما: يتفق عَلَى أَحَدِهِمَا يَوْمًا وَعَلَى الْآخَرِ يَوْمًا لِتَكْمُلَ نَفَقَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي يَوْمِهِ.
Pertama: Menafkahi salah satunya pada satu hari dan yang lain pada hari berikutnya, agar nafkah masing-masing sempurna pada harinya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ عِنْدِي أَصَحُّ يُنْفِقُ عَلَى كُلِّ واحد منهما في كل يوم نصف نفقته لِتَكُونَ النَّفَقَةُ فِي كُلِّ يَوْمٍ بَيْنَهُمَا، فَأَمَّا الْإِعْفَافُ فَلَا يَجِيءُ فِيهِ هَذَانِ الْوَجْهَانِ؛ لِأَنَّ المهاياة بينهما عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ لَا يُمْكِنُ، وَالْقِسْمَةَ بَيْنَهُمَا فِيهِ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي لَا يُمْكِنُ وَإِذَا لم يمكنا وجب مع استواء سيدهما أَنْ يَقْرَعَ بَيْنَهُمَا فِيهِ فَأَيُّهُمَا قُرِعَ كَانَ أَحَقَّ بِالْإِعْفَافِ مِنَ الْآخَرِ، وَأَمَّا إِنْ تَفَاضَلَا فِي الدَّرَجِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Pendapat kedua, yang menurut saya lebih sahih, adalah menafkahi masing-masing setengah nafkah setiap hari, sehingga nafkah setiap hari terbagi di antara keduanya. Adapun dalam hal ‘ifāf, kedua cara ini tidak dapat diterapkan; karena pembagian hari tidak mungkin dilakukan, dan pembagian ‘ifāf di antara keduanya juga tidak mungkin. Jika keduanya tidak memungkinkan, maka jika keduanya sama derajatnya, harus dilakukan undian di antara keduanya, siapa yang terpilih melalui undian, dialah yang lebih berhak mendapatkan ‘ifāf daripada yang lain. Adapun jika keduanya berbeda derajat, maka terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْأَقْرَبُ عَصَبَةً وَالْأَبْعَدُ ذَا رَحِمِ كَأَبِي الْأَبِ وَأَبِي أُمِّ الْأُمِّ فَيَكُونُ أَبُو الْأَبِ أَحَقَّ بِالنَّفَقَةِ وَالْإِعْفَافِ مِنْ أَبِي أم الأم لاختصاصه بسببي القربى والتعصيب.
Pertama: Yang lebih dekat adalah ‘ashabah dan yang lebih jauh adalah dzawī al-arhām, seperti kakek dari ayah dan kakek dari ibu ibu, maka kakek dari ayah lebih berhak mendapatkan nafkah dan ‘ifāf daripada kakek dari ibu ibu karena ia memiliki dua keistimewaan, yaitu lebih dekat dan merupakan ‘ashabah.
والضرب الثاني: أن يكونا لأقرب ذَا رَحِمٍ وَالْأَبْعَدُ عَصَبَةً كَأَبِي الْأُمِّ وَأَبِي أبي الأب فقد قال أبو حامد الإسفراييني: هُمَا سَوَاءٌ لِأَنَّ الْأَقْرَبَ مِنْهُمَا نَاقِصُ الرَّحِمِ وَالْأَبْعَدَ مِنْهُمَا زَائِدٌ بِالتَّعْصِيبِ فَتَقَابَلَ السَّبَبَانِ فَاسْتَوَيَا وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ عِنْدِي غَيْرُ صَحِيحٍ بَلِ الْأَقْرَبُ مِنْهُمَا أَحَقُّ، وَإِنْ كَانَ ذَا رَحِمٍ مِنَ الْأَبْعَدِ، وَإِنْ كَانَ ذَا تَعْصِيبٍ لِأَنَّ المعنى في استحقاق النفقة والإعفاف هو الولاية دون التعصيب فلما تَسَاوَتِ الدَّرَجُ وَقَوِيِ أَحَدُهُمَا بِالتَّعْصِيبِ كَانَ أَحَقَّ كأخوين أحدهم لأب وأم والآخر لأب.
Jenis kedua: yaitu apabila keduanya adalah kerabat dekat dari jalur rahim, sedangkan yang lebih jauh adalah ‘ashabah, seperti kakek dari pihak ibu dan kakek dari pihak ayah dari ayah. Abu Hamid al-Isfara’ini berkata: Keduanya sama saja, karena yang lebih dekat di antara keduanya adalah dzawur-rahim yang kurang, sedangkan yang lebih jauh di antara keduanya adalah tambahan karena ‘ashabah, sehingga kedua sebab ini saling berhadapan dan menjadi setara. Namun menurut saya, pendapat yang beliau sampaikan ini tidaklah benar, bahkan yang lebih dekat di antara keduanya lebih berhak, meskipun ia adalah dzawur-rahim dari yang lebih jauh, dan meskipun yang lebih jauh adalah ‘ashabah. Sebab, makna dalam istihqāq nafkah dan i‘faf adalah wilayah, bukan karena ‘ashabah. Maka, ketika derajatnya sama dan salah satunya lebih kuat karena ‘ashabah, maka ia lebih berhak, seperti dua saudara, salah satunya saudara seayah dan seibu, dan yang lain saudara seayah.
وإذا اختلف الدَّرَجُ كَانَ الْأَقْرَبُ أَحَقَّ وَإِنْ قَوِيَ الْآخَرُ لتعصيب كَأَخٍ لِأَبٍ وَابْنِ أَخٍ لِأَبٍ وَأُمٍّ.
Apabila derajatnya berbeda, maka yang lebih dekat lebih berhak, meskipun yang lain lebih kuat karena ‘ashabah, seperti saudara seayah dan anak saudara seayah dan ibu.
فَصْلٌ: القول فيمن يجب عليه الإعفاف
Fashal: Penjelasan tentang siapa yang wajib menanggung i‘faf
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي: فِيمَنْ يَجِبُ عَلَيْهِ الْإِعْفَافُ مِنَ الْأَبْنَاءِ فَهُمُ الْبَنُونَ، ثُمَّ الْبَنَاتُ، ثُمَّ بَنَوْهُمَا وَإِنْ بَعُدُوا فَيَجِبُ عَلَى الِابْنِ إِذَا كَانَ حُرًّا مُوسِرًا دُونَ الْبِنْتِ وَإِنْ كَانَتْ مُوسِرَةً كَمَا يَتَحَمَّلُ الْأَبُ نَفَقَةَ ابْنِهِ دُونَ الْأُمِّ فَإِنْ أُعْسِرَ بِهِ الِابْنُ تَحَمَّلَتْهُ الْبِنْتُ كَمَا لَوْ أُعْسِرَ الْأَبُ تَحَمَّلَتْها الْأُمُّ، فَلَوْ كَانَ لِلْأَبِ ابْنَانِ مُوسِرَانِ تَحَمَّلَا بَيْنَهُمَا نَفَقَتَهُ وَإِعْفَافَهُ فَيَحْمِلُ كُلُّ وَاحِدٍ نِصْفَ الْإِعْفَافِ وَفِي كَيْفِيَّةِ تَحَمُّلِهِ لِنِصْفِ النَّفَقَةِ وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى، فَلَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا مُوسِرًا وَالْآخَرُ مُعْسِرًا تَحَمَّلَ ذَلِكَ الْمُوسِرُ مِنْهُمَا دُونَ الْمُعْسِرِ فَلَوْ أُيْسِرَ الْمُعْسِرُ وَأُعْسِرَ الْمُوسِرِ تَحَوَّلْتِ النَّفَقَةُ مِنَ الْمُعْسِرِ إِلَى الْمُوسِرِ فَأَمَّا الْإِعْفَافُ فَإِنْ كَانَ قد عجز مَنْ أُعْسِرَ سَقَطَ عَمَّنْ أُيْسِرَ إِلَّا مَا يَسْتَحِقُّ بِالْإِعْفَافِ مِنْ نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ، وَإِنْ لَمْ يحمله من أعسر وجب أن يَلْتَزِمَهُ مَنْ أُيْسِرَ، فَلَوْ كَانَ لِلْأَبِ بِنْتٌ وَابْنُ ابْنٍ وَهُمَا مُوسِرَانِ كَانَ ابْنُ الِابْنِ أحق بتحملها مِنَ الْبِنْتِ كَمَا يَكُونُ الْجَدُّ أَحَقَّ بِتَحَمُّلِ النَّفَقَةِ مِنَ الْأُمِّ، فَلَوْ كَانَ لَهُ ابْنُ بِنْتٍ وَبِنْتُ ابْنٍ، فَفِي أَحَقِّهِمَا بِتَحَمُّلِ الْإِعْفَافِ وَالنَّفَقَةِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
Adapun fashal kedua: tentang siapa yang wajib menanggung i‘faf dari kalangan anak-anak, maka mereka adalah para putra, kemudian para putri, kemudian anak-anak mereka berdua meskipun jauh. Maka, wajib atas anak laki-laki jika ia merdeka dan mampu, bukan atas anak perempuan meskipun ia mampu, sebagaimana ayah menanggung nafkah anaknya, bukan ibu. Jika anak laki-laki tidak mampu, maka anak perempuan menanggungnya, sebagaimana jika ayah tidak mampu maka ibu menanggungnya. Jika seorang ayah memiliki dua anak laki-laki yang mampu, maka keduanya menanggung nafkah dan i‘faf ayahnya secara bersama, sehingga masing-masing menanggung setengah i‘faf. Dalam tata cara menanggung setengah nafkah, terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jika salah satu dari keduanya mampu dan yang lain tidak mampu, maka yang mampu menanggungnya, bukan yang tidak mampu. Jika kemudian yang tidak mampu menjadi mampu dan yang mampu menjadi tidak mampu, maka tanggungan nafkah berpindah dari yang tidak mampu kepada yang mampu. Adapun i‘faf, jika yang tidak mampu telah benar-benar tidak sanggup, maka gugurlah kewajiban dari yang mampu kecuali apa yang menjadi haknya dalam i‘faf berupa nafkah istri. Jika yang tidak mampu tidak menanggungnya, maka yang mampu wajib menanggungnya. Jika seorang ayah memiliki seorang anak perempuan dan seorang cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-lakinya), dan keduanya mampu, maka cucu laki-laki lebih berhak menanggungnya daripada anak perempuan, sebagaimana kakek lebih berhak menanggung nafkah daripada ibu. Jika ia memiliki cucu laki-laki dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki, maka dalam hal siapa yang lebih berhak menanggung i‘faf dan nafkah terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا: ابْنُ الْبِنْتِ؛ لِأَنَّهُ ذَكَرٌ.
Pertama: cucu laki-laki dari anak perempuan, karena ia laki-laki.
وَالثَّانِي: بِنْتُ الِابْنِ لِإِدْلَائِهَا بِذَكَرٍ.
Kedua: cucu perempuan dari anak laki-laki, karena ia berasal dari jalur laki-laki.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ؛ لِأَنَّ الذَّكَرَ يُدَلَى بِأُنْثَى وَالْأُنْثَى مُدْلِيَةٌ بِذَكَرٍ فَصَارَ فِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْجِهَتَيْنِ ذَكَرٌ وَأُنْثَى فَلَوْ أَعَفَّ الِابْنُ أَبَاهُ ثم أيسر الأب سقطت عن الابن نفته ونفقة مَنْ أَعَفَّهُ بِهَا مِنْ زَوْجَةٍ. أَوْ أَمَةٍ، وَلَمْ يَكُنْ لِلِابْنِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى أَبِيهِ بِالْأَمَةِ إِنْ كَانَ قَدْ أَعَفَّهُ بِهَا وَلَا بِصَدَاقِ الْحُرَّةِ إِنْ كَانَ قَدْ زَوَّجَهُ بِهَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَسْتَحِقُّهُ بِسَبَبٍ لَا يُعْتَبَرُ اسْتَدَامَتُهُ كَمَا لَا يُعْتَبَرُ اسْتِدَامَةُ عَدَمِ الطَّوْلِ، وَخَوْفِ العنت بعد نكاح الأمة.
Ketiga: keduanya sama, karena cucu laki-laki berasal dari perempuan dan cucu perempuan berasal dari laki-laki, sehingga pada masing-masing jalur terdapat unsur laki-laki dan perempuan. Jika anak laki-laki telah menanggung i‘faf ayahnya, kemudian ayah menjadi mampu, maka gugurlah kewajiban nafkah dari anak laki-laki, termasuk nafkah istri yang ia tanggungkan untuk ayahnya, baik istri merdeka maupun budak perempuan. Anak laki-laki tidak berhak meminta kembali budak perempuan jika ia telah menanggung i‘faf ayahnya dengannya, dan juga tidak berhak meminta kembali mahar istri merdeka jika ia telah menikahkan ayahnya dengannya, karena hak tersebut bisa didapatkan dengan sebab yang tidak disyaratkan untuk terus-menerus, sebagaimana tidak disyaratkan terus-menerusnya ketidakmampuan, dan juga karena kekhawatiran terjadinya kesulitan setelah menikahi budak perempuan.
فصل: القول فيما يكون به الإعفاف
Fashal: Penjelasan tentang apa yang menjadi sebab i‘faf
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ فِيمَا يَكُونُ بِهِ الْإِعْفَافُ فَهُوَ مَا خَصَّ الْفَرْجَ مِنَ اسْتِمْتَاعٍ بِحُرَّةٍ بزوجه بها أو تسري بأمة يملكها إياها والخيار سفيه بَيْنَ التَّزْوِيجِ وَالتَّسَرِّي إِلَى الِابْنِ دُونَ الْأَبِ، فإن أَرَادَ الِابْنُ أَنْ يُزَوِّجَهُ بِنَفْسِهِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ الْأَبَ رَشِيدٌ لَا يُوَلَّى عَلَيْهِ وَلَكِنْ يَتَزَوَّجُ الْأَبُ وَيَلْتَزِمُ الِابْنُ صَدَاقَ الزَّوْجَةِ ثُمَّ نَفَقَتَهَا وَكِسْوَتَهَا، وَلَيْسَ لِلْأَبِ أَنْ يُغَالِيَ فِي صَدَاقِ زَوْجَتِهِ، وَفِيمَا يَسْتَحِقُّهُ مِنْ ذَلِكَ وَجْهَانِ:
Adapun fashal ketiga tentang apa yang menjadi sebab i‘faf, maka itu adalah segala sesuatu yang khusus untuk kemaluan berupa kenikmatan dengan perempuan merdeka melalui pernikahan dengannya, atau dengan budak perempuan yang ia miliki untuknya. Pilihan antara menikahkan atau memberikan budak perempuan berada di tangan anak, bukan ayah. Jika anak ingin menikahkan ayahnya dengan dirinya sendiri, maka itu tidak boleh, karena ayah adalah orang yang cakap dan tidak boleh diwakilkan atas dirinya. Namun, ayah menikah sendiri dan anak menanggung mahar istrinya, kemudian nafkah dan pakaian istrinya. Ayah tidak boleh berlebihan dalam menentukan mahar istrinya. Dalam hal apa yang menjadi hak ayah dari hal tersebut terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَقَلُّ صَدَاقِ مَنْ تُكَافِئُهُ مِنَ النِّسَاءِ اعْتِبَارًا بِحَالِهِ.
Pertama: mahar paling sedikit dari perempuan yang sepadan dengannya, dengan mempertimbangkan keadaannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: مَنْ يَسْتَمْتِعُ بِهَا مِنْ جَمِيعِ النِّسَاءِ اعْتِبَارًا بِحَاجَتِهِ، وَلَيْسَ عَلَى الِابْنِ أَنْ يَحْمِلَهُ عَلَى تَزْوِيجِ مَنْ لَا مُتْعَةَ فِيهَا مِنَ الْأَطْفَالِ، وَعَجَائِزِ النِّسَاءِ، وَذَوَاتِ الْعُيُوبِ الَّتِي يُفْسَخُ بِهَا النِّكَاحُ وَمَنْ تَشَوَّهَ خلقها لنفور النفس عنها، وَتَعَذُّرِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهِنَّ لَكِنْ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمَةِ وَالذِّمِّيَّةِ، فَأَمَّا الْأَمَةُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُزَوِّجَهُ بِهَا؛ لِأَنَّ الْأَمَةَ لَا يَتَزَوَّجُهَا إِلَّا مَنْ عَدِمَ الطَّوْلَ وَهُوَ بِالِابْنِ وَاجِدٌّ لِلطَّوْلِ فهذا حكم إعفافه بالتزويج.
Pendapat kedua: Yaitu siapa saja yang dapat dinikmati dari seluruh perempuan dengan mempertimbangkan kebutuhannya, dan tidak wajib bagi anak untuk menikahkan ayahnya dengan perempuan yang tidak ada kenikmatan padanya seperti anak-anak, perempuan tua renta, perempuan yang memiliki cacat yang menyebabkan pembatalan nikah, atau yang bentuk fisiknya rusak sehingga jiwa merasa enggan terhadapnya, serta perempuan yang tidak mungkin dinikmati. Namun, tidak ada perbedaan antara perempuan muslimah dan dzimmiyah. Adapun budak perempuan, maka tidak boleh anak menikahkan ayahnya dengan budak perempuan; karena budak perempuan hanya boleh dinikahi oleh orang yang tidak mampu (menikahi perempuan merdeka), sedangkan anak mampu untuk itu. Inilah hukum memberi kecukupan kepada ayah dengan pernikahan.
فأما إعفافه بملك اليمين فَالِابْنُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَهَبَ لَهُ أَمَةً مِنْ إِمَائِهِ عَلَى الْوَصْفِ الَّذِي ذَكَرْنَا بِبَذْلٍ وَقَبُولٍ وَإِقْبَاضٍ؛ لِيَنْتَقِلَ بِصِحَّةِ الْهِبَةِ بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ واستقرارها بالقبض في مِلْكِ الِابْنِ إِلَى مِلْكِ الْأَبِ وَبَيْنَ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي ابْتِيَاعِ أَمَةٍ يَدْفَعُ عَنْهُ ثَمَنَهَا، فَإِنِ ابْتَاعَهَا الِابْنُ لَهُ نُظِرَ، فَإِنْ كان بإذنه صَحَّ الشِّرَاءُ لَهُ، وَجَازَ لَهُ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا لاستقرار حكمه فيها وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَالشِّرَاءُ لِلِابْنِ دُونَ الأب؛ لأن الشراء للرشيد بغير إذنه لا يَصِحُّ، فَإِنِ اسْتَأْنَفَ الِابْنُ هِبْتَهَا لَهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا صَارَتْ مِلْكًا لَهُ بِالْهِبَةِ دُونَ الشِّرَاءِ وَجَازَ لَهُ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا ثُمَّ عَلَى الِابْنِ الْتِزَامُ نَفَقَتِهَا وَكِسْوَتِهَا كَالْحُرَّةِ فَلَوْ أَذِنَ الِابْنُ لِأَبِيهِ فِي وَطْءِ أَمَةٍ لَهُ لَمْ يَهَبْهَا لَهُ لَمْ يَجُزْ لِلْأَبِ وَطْئُهَا لِأَنَّ الْأَمَةَ لَا يَجُوزُ وَطْئُهَا إِلَّا بِمِلْكِ يمين أو عقد نكاح، والأب لا يَمْلِكْهَا بِهَذَا الْإِذْنِ، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا لِوُجُودِ الطَّوْلِ، فَلَوْ زَوَّجَهُ الِابْنُ أَوْ سَرَّاهُ فَأَعْتَقَ الْأَبُ أَوْ طَلَّقَ لَمْ يَلْزَمِ الِابْنَ أن يزوجه ويسر به ثانية بعد طلاقه؛ لِأَنَّ الْأَبَ قَدِ اسْتَهْلَكَ بِنَفْسِهِ مَا اسْتَحَقَّهُ مِنْ ذَلِكَ، فَلَوْ أُلْزِمَ الِابْنُ مَثَلَهُ لِفَعَلَ الْأَبُ مِثْلَهُ فَأَدَّى إِلَى مَا لَا نِهَايَةَ لَهُ وَلَكِنْ لَوْ مَاتَتِ الزَّوْجَةُ أَوِ الْأَمَةُ حَتْفَ أَنْفِهَا، فَفِي وُجُوبِ إِعْفَافِهِ عَلَى الِابْنِ ثانية وجهان:
Adapun memberi kecukupan kepada ayah dengan milik yamin, maka anak memiliki pilihan antara memberikan kepada ayahnya seorang budak perempuan dari budak-budaknya dengan cara yang telah kami sebutkan, yaitu dengan penyerahan, penerimaan, dan penyerahan fisik; agar kepemilikan berpindah secara sah melalui penyerahan dan penerimaan, serta menjadi tetap dengan penyerahan fisik dari milik anak ke milik ayah. Atau anak mengizinkan ayahnya untuk membeli budak perempuan dan anak yang membayarkan harganya. Jika anak membelikan budak itu untuk ayahnya, maka dilihat: jika dengan izinnya, maka jual beli itu sah untuk ayah dan ayah boleh menikmatinya karena hukum kepemilikan telah tetap padanya. Namun jika tanpa izinnya, maka pembelian itu menjadi milik anak, bukan ayah; karena pembelian untuk orang yang sudah dewasa tanpa izinnya tidak sah. Jika kemudian anak menghadiahkannya kepada ayah sebagaimana telah kami sebutkan, maka budak itu menjadi milik ayah melalui hibah, bukan melalui pembelian, dan ayah boleh menikmatinya. Setelah itu, anak wajib menanggung nafkah dan pakaian budak itu sebagaimana terhadap perempuan merdeka. Jika anak hanya mengizinkan ayahnya untuk menyetubuhi budak milik anak tanpa memberikannya, maka tidak boleh bagi ayah untuk menyetubuhinya, karena budak perempuan tidak boleh disetubuhi kecuali dengan milik yamin atau akad nikah, dan ayah tidak memilikinya dengan izin semata, serta tidak sah menikahinya karena adanya kemampuan (menikahi perempuan merdeka). Jika anak menikahkan atau menyerahkan budak itu lalu ayah memerdekakan atau menceraikannya, maka anak tidak wajib menikahkan atau menyerahkan budak itu lagi setelah ayah menceraikannya; karena ayah telah menggunakan sendiri hak yang ia peroleh dari hal itu. Jika anak diwajibkan memberikannya lagi, maka ayah bisa melakukan hal yang sama terus-menerus sehingga tidak ada akhirnya. Namun, jika istri atau budak itu meninggal dunia secara alami, maka dalam kewajiban memberi kecukupan kepada ayah oleh anak untuk kedua kalinya terdapat dua pendapat:
أحدهما: يجب عليه لِبَقَاءِ السَّبَبِ الْمُوجِبِ لَهُ وَأَنَّهُ غَيْرُ مَنْسُوبٍ إِلَى تَفْوِيتِ حَقِّهِ مِنْهُ.
Salah satunya: Wajib atas anak karena sebab yang mewajibkan masih ada dan ayah tidak dianggap telah menyia-nyiakan haknya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ غَيْرُ الْأُولَى لِأَنَّهُ عَقْدٌ يُوضَعُ لِلتَّأْبِيدِ فِي الْأَغْلَبِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua: Tidak wajib atas anak selain yang pertama, karena akad itu pada umumnya ditetapkan untuk selamanya. Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وقال الله تعالى {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ} (المؤمنون: 5) الآية وفي ذلك دليلٌ على أن الله تبارك وتعالى أراد الأحرار لأن العبيد لا يملكون وقال عليه السلام ” مَنْ بَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مالٌ فَمَالُهُ لِلْبَائِعِ إلا أن يشترطه المبتاع ” فدل الكتاب والسنة أن العبد لا يملك مالاً بحالٍ وإنما يضاف إليه ماله كما يضاف إلى الفرس سرجه وإلى الراعي غنمه (فَإِنْ قِيلَ) فَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ العبد يتسرى (قيل) وقد روي خلافه قال ابن عمر رضي الله عنهما لا يطأ الرجل إلا وَلِيدَةً إِنْ شَاءَ بَاعَهَا وَإِنْ شَاءَ وَهَبَهَا وإن شاء صنع بها ما شاء “.
Imam Syafi‘i berkata: “Allah Ta‘ala berfirman: {Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya} (al-Mu’minūn: 5) dan seterusnya. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa Allah Tabāraka wa Ta‘ala menghendaki (ayat itu berlaku untuk) orang-orang merdeka, karena budak tidak memiliki (hak kepemilikan). Rasulullah saw. bersabda: ‘Barang siapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya untuk penjual kecuali jika pembeli mensyaratkannya.’ Maka dalil dari al-Qur’an dan sunnah menunjukkan bahwa budak tidak memiliki harta dalam keadaan apa pun, dan hartanya hanya dinisbatkan kepadanya sebagaimana pelana dinisbatkan kepada kuda, dan kambing kepada penggembalanya. (Jika dikatakan:) Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ra. bahwa budak boleh bersetubuh dengan budak perempuan (tasyarrī). (Dijawab:) Telah diriwayatkan pula sebaliknya, Ibnu ‘Umar ra. berkata: ‘Seseorang tidak boleh menyetubuhi budak perempuan kecuali yang ia miliki, jika ia mau ia jual, jika ia mau ia hibahkan, dan jika ia mau ia lakukan apa saja terhadapnya.’”
قال الماوردي: إنما أراد الشافعي بهذا هل للعبد أن يسري وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّ الْعَبْدِ هَلْ يَمْلِكُ إِذَا مَلَكَ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْتَلِفُ الْفُقَهَاءُ أَنَّهُ مَا لَمْ يَمْلِكْهُ السَّيِّدُ لَمْ يَمْلِكْ وَيَكُونُ جَمِيعُ مَا يَكْتَسِبُهُ مِنْ صَيْدٍ أَوْ إحشاش أو بصنعة أَوْ عَمَلٍ مِلْكًا لِسَيِّدِهِ دُونَهُ، وَإِنْ مَلَكَهُ السيد فهل يملك أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: Maksud Syafi‘i dengan hal ini adalah apakah budak boleh melakukan tasyarrī (bersetubuh dengan budak perempuan), dan hal ini tergantung pada apakah budak memiliki (harta) jika ia diberi kepemilikan atau tidak? Para fuqahā’ sepakat bahwa selama budak belum diberi kepemilikan oleh tuannya, maka ia tidak memiliki apa pun, dan seluruh hasil yang ia peroleh dari berburu, mengumpulkan kayu, bekerja, atau usaha lainnya adalah milik tuannya, bukan miliknya. Jika tuan telah memberinya kepemilikan, apakah ia menjadi pemilik atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهُ يَمْلِكُ إِذَا مَلَكَ.
Salah satunya, yaitu pendapat Syafi‘i dalam qaul qadīm: Budak menjadi pemilik jika telah diberi kepemilikan.
وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ، ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي حُكْمِ مِلْكِهِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ، فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يَكُونُ مِلْكًا ضَعِيفًا لَا يَتَحَكَّمُ فِيهِ إِلَّا بِإِذْنِ السَّيِّدِ وَلِلسَّيِّدِ اسْتِرْجَاعُهُ.
Pendapat ini juga dikatakan oleh Mālik dan Dāwūd. Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai status kepemilikan menurut pendapat ini. Menurut mazhab al-Syāfi‘ī, kepemilikannya dianggap lemah, sehingga ia tidak boleh bertindak atasnya kecuali dengan izin tuannya, dan tuan berhak untuk mengambilnya kembali.
وَقَالَ مَالِكٌ: هُوَ مِلْكٌ قَوِيٌّ يَتَحَكَّمُ فِيهِ كَيْفَ شَاءَ لَكِنْ للسيد استرجاعه.
Mālik berkata: Itu adalah kepemilikan yang kuat, sehingga ia boleh memperlakukannya sesuka hati, namun tuan tetap berhak mengambilnya kembali.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ لَا يَمْلِكُ إِذَا مُلِّكَ.
Pendapat kedua: Dikatakan oleh al-Syāfi‘ī dalam pendapat barunya bahwa ia tidak menjadi pemilik jika telah dimiliki.
وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَقَدْ مَضَى تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فِي كِتَابِ ” الْبُيُوعِ “.
Pendapat ini juga dikatakan oleh Abū Ḥanīfah, dan penjelasan kedua pendapat ini telah disebutkan dalam Kitab “al-Buyū‘”.
فَإِذَا تَقَرَّرَ الْقَوْلَانِ وَأَرَادَ الْعَبْدُ أَنْ يَتَسَرَّى بِأَمَةٍ فَإِنْ لَمْ يُمَلِّكْهُ السَّيِّدُ إِيَّاهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَطَأَهَا وَإِنْ أَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ فِيهِ، لِأَنَّهُ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أن يستبيح إلا وطء زوجة، وملك يَمِينٍ، وَلَيْسَتْ هَذِهِ الْأَمَةُ الْمَأْذُونُ لِلْعَبْدِ فِي وَطْئِهَا زَوْجَةً لَهُ، وَلَا مِلْكَ يَمِينٍ فَلَمْ يحل له وطئها؟ ؟ لمجرد الْإِذْنِ كَمَا لَا يَحِلُّ لِغَيْرِهِ مِنَ النَّاسِ أَنْ يَطَأَهَا بِإِذْنِ السَّيِّدِ وَإِنْ مَلَّكَهُ السَّيِّدُ إياها فعلى قوله في القديم يصير مالكاً لها وليس له أن يطأها متسرباً لَهَا مَا لَمْ يَأْذَنْ لَهُ السَّيِّدُ فِي وطئها وإن صار مالكاً لها؛ لأنه ملك ضَعِيفٌ، فَإِنْ أَذِنَ لَهُ فِي وَطْئِهَا جَازَ له حينئذ التسري بها لَمْ يَرْجِعِ السَّيِّدُ فِي مِلْكِهِ أَوْ إِذْنِهِ.
Setelah kedua pendapat ini dijelaskan, jika seorang budak ingin melakukan tasarrī dengan seorang ammah (budak perempuan), maka jika tuan tidak menyerahkan kepemilikan budak perempuan itu kepadanya, ia tidak boleh menggaulinya meskipun tuan telah mengizinkannya. Sebab, tidak halal bagi siapa pun untuk menghalalkan hubungan kecuali dengan istri atau milik yamin, dan budak perempuan yang diizinkan untuk digauli oleh budak ini bukanlah istrinya dan bukan pula milik yamin-nya, maka tidak halal baginya menggauli hanya karena izin, sebagaimana tidak halal pula bagi orang lain untuk menggaulinya dengan izin tuan. Jika tuan telah menyerahkan kepemilikan budak perempuan itu kepadanya, maka menurut pendapat lama, ia menjadi pemiliknya, namun ia tidak boleh menggaulinya secara tasarrī kecuali dengan izin tuan, meskipun ia telah menjadi pemiliknya; karena kepemilikannya lemah. Jika tuan mengizinkannya untuk menggauli, maka saat itu boleh baginya melakukan tasarrī, dan tuan tidak dapat menarik kembali kepemilikan atau izinnya.
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ أَجَازَ لِعِكْرِمَةَ أن يتسرى بها بِجَارِيَةٍ أَعْطَاهُ إِيَّاهَا وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أن العبد يتسرى وإن رجع السد في ملكه حرم على السيد أن يَتَسَرَّى بها لِزَوَالِ السَّبَبِ الَّذِي اسْتَبَاحَ بِهِ التَّسَرِّيَ فَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ قَدْ أَوْلَدَهَا صَارَتْ أم ولد له وحرم عليه بيعها فإن رجع السيد عليها بِهَا جَازَ لِلسَّيِّدِ بِيعُهَا؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ فِي حَقِّ الْعَبْدِ لَا فِي حَقِّ السَّيِّدِ هَذَا كُلُّهُ حُكْمُ قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ. فأما عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ فَلَا يَمْلِكُهَا الْعَبْدُ وإن ملكه السيد ولا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَسَرَّى بِهَا وَإِنْ أَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ، وَالْمَرْوِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ أَجَازَ لِعِكْرِمَةَ أَنْ يَتَسَرَّى بِجَارِيَةٍ أَعْطَاهُ إِيَّاهَا فَالْمَرْوِيُّ خِلَافُهُ وَهُوَ أَنَّهُ كَانَ قَدْ زَوَّجَهُ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا عِكْرِمَةُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَكَانَ ابن عباس رد طلاق لَا يَقَعُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَأَمَرَهُ بِالْمُقَامِ عَلَيْهَا فَكِرَهَ عِكْرِمَةُ ذَاكَ فَأَبَاحَهُ أَنْ يَتَسَرَّى بها تطيباً لنفسه ومعتقداً أن الإباحة لعقد النِّكَاحِ.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia membolehkan ‘Ikrimah melakukan tasarrī dengan seorang jāriyah yang diberikan kepadanya. Diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umar bahwa budak boleh melakukan tasarrī, dan jika tuan menarik kembali kepemilikannya, maka haram bagi tuan untuk melakukan tasarrī karena sebab yang membolehkan tasarrī telah hilang. Jika budak itu telah memiliki anak dari budak perempuan tersebut, maka ia menjadi umm walad baginya dan haram baginya menjualnya. Jika tuan mengambilnya kembali, maka boleh bagi tuan untuk menjualnya; karena ia menjadi umm walad dalam hak budak, bukan dalam hak tuan. Semua ini adalah hukum menurut pendapat lama. Adapun menurut pendapat barunya, maka budak tidak menjadi pemiliknya meskipun tuan telah menyerahkannya, dan tidak boleh baginya melakukan tasarrī meskipun tuan telah mengizinkannya. Adapun riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia membolehkan ‘Ikrimah melakukan tasarrī dengan seorang jāriyah yang diberikan kepadanya, maka riwayat yang benar adalah sebaliknya, yaitu bahwa ia telah menikahkannya dengan budak perempuan itu, kemudian ‘Ikrimah menceraikannya tanpa izin tuan, dan Ibnu ‘Abbās berpendapat bahwa talak tidak sah tanpa izin tuan, lalu ia memerintahkannya untuk tetap bersamanya. Namun ‘Ikrimah tidak menyukai hal itu, maka ia membolehkannya melakukan tasarrī untuk menyenangkan hatinya dan meyakini bahwa kebolehan itu karena akad nikah.
وَأَمَّا ابْنُ عُمَرَ فَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ خِلَافُ مَا ذُكِرَ قَالَ ابْنُ عُمَرَ لَا يطأ الرجل إلا وَلِيدَةً إِنْ شَاءَ بَاعَهَا وَإِنْ شَاءَ وَهَبَهَا وَإِنْ شَاءَ صَنَعَ بِهَا مَا شَاءَ يُرِيدُ بِذَلِكَ الْأَحْرَارَ دُونَ الْعَبِيدِ لَكِنْ إِنْ وَطِئَهَا الْعَبْدُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لمكان الشبهة.
Adapun Ibnu ‘Umar, diriwayatkan darinya pendapat yang berbeda dari yang disebutkan. Ibnu ‘Umar berkata: Seorang laki-laki tidak boleh menggauli kecuali seorang walīdah, jika ia mau ia boleh menjualnya, jika ia mau ia boleh memberikannya, dan jika ia mau ia boleh memperlakukannya sesuka hati. Yang dimaksudkannya adalah orang merdeka, bukan budak. Namun, jika budak menggaulinya menurut pendapat ini, maka tidak ada hukuman had atasnya karena adanya syubhat.
فَصْلٌ
Fashal
فَلَوْ زَوَّجَ الرَّجُلُ عَبْدَهُ بِأَمَتِهِ ثُمَّ باعها أو أحدهما أو وهبهما أَوْ أَحَدَهُمَا كَانَ النِّكَاحُ بِحَالِهِ وَلَوْ وَهَبَ الْعَبْدَ لِزَوْجَتِهِ وَأَقْبَضَهَا إِيَّاهُ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي القديم يملكه بِالْهِبَةِ وَيَبْطُلُ النِّكَاحُ؛ لِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا يَصِحُّ أن تملك زوجها فتكون بعد الملك زوجاً لها وهكذا لو وهبت الْأَمَةُ لِزَوْجِهَا مِلْكَهَا وَبَطَلَ نِكَاحُهَا وَعَلَى قَوْلِهِ في الجديد لا يصح الهبة ويكون النكاح بحاله.
Jika seorang laki-laki menikahkan budaknya dengan budak perempuannya, kemudian ia menjual salah satu atau keduanya, atau memberikannya sebagai hadiah salah satu atau keduanya, maka pernikahan tetap berlaku. Jika ia menghadiahkan budak laki-laki kepada istrinya dan menyerahkannya, maka menurut pendapat lama, budak itu menjadi milik istri melalui hibah dan pernikahan menjadi batal; karena seorang perempuan tidak sah memiliki suaminya sehingga setelah menjadi miliknya ia tetap menjadi istrinya. Demikian pula jika budak perempuan menghadiahkan dirinya kepada suaminya, maka kepemilikannya menjadi milik suaminya dan pernikahannya batal. Menurut pendapat barunya, hibah tidak sah dan pernikahan tetap berlaku.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” ولا يَحِلُّ أَنْ يَتَسَرَّى الْعَبْدُ وَلَا مَنْ لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ بحالٍ “.
Al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Tidak halal bagi budak maupun orang yang belum sempurna kemerdekaannya untuk melakukan tasarrī dalam keadaan apa pun.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا التَّسَرِّي فَهُوَ الِاسْتِمْتَاعُ بِالْأَمَةِ؛ لِأَنَّهَا تُسَمَّى إِذَا كانت من ذوات المتع سُرِّيَّةً وَفِي تَسْمِيَتِهَا بِذَلِكَ تَأْوِيلَانِ:
Al-Māwardī berkata: Adapun tasarrī adalah menikmati budak perempuan; karena jika ia termasuk perempuan yang boleh dinikmati, maka ia disebut surriyyah. Dalam penamaan ini terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَأْخُوذٌ مِنَ السُّرِّ وَهُوَ الْجِمَاعُ، لِأَنَّهُ الْمَقْصُودُ من الاستمتاع.
Pertama: Diambil dari kata “al-surr” yang berarti hubungan badan, karena itulah tujuan dari kenikmatan tersebut.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَأْخُوذٌ مِنَ السُّرُورِ، لِأَنَّهَا تُسِرُّ الْمُسْتَمْتِعَ بِهَا.
Yang kedua: bahwa istilah itu diambil dari kata “kesenangan”, karena ia membahagiakan orang yang menikmatinya.
فَأَمَّا تَسَرِّي الْعَبْدِ فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ، وَكَذَلِكَ حُكْمُ الْمُدَبَّرِ وَالْمُخَارِجِ وَالْمُعَتَقِ عَلَى صِفَةٍ لَمْ تُوجَدْ وَالْمُكَاتَبِ، فَأَمَّا مَنْ تَبَعَّضَتْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ وَالرِّقُّ فَكَانَ نِصْفُهُ حُرًّا ونصفه مملوكاً فهو يملك بعضه الْحُرَّ مِنْ إِكْسَابِهِ مِثْلَ مَا يَمْلِكُهُ السَّيِّدُ بِنِصْفِهِ الْمَمْلُوكِ فَإِنْ هَايَأَهُ السَّيِّدُ عَلَى يَوْمٍ وَيَوْمٍ كَانَ مَا كَسَبَهُ فِي يَوْمِهِ مِلْكًا لَهُ وَمَا كَسَبَهُ فِي يَوْمِ سَيِّدِهِ مِلْكًا لِسَيِّدِهِ، وَإِنْ لَمْ يُهَايِئْهُ كَانَ نِصْفُ مَا كَسَبَهُ الْعَبْدُ فِي كُلِّ يَوْمٍ مَلِكًا لِنَفْسِهِ ونصفه ملكاً للسيد فإذا اشترى بما ملكه مِنْ كَسْبِهِ أَمَةً مَلَكَهَا مِلْكًا مُسْتَقِرًّا؛ لِأَنَّهُ ملك بحريته بِتَمْلِيكِ سَيِّدِهِ لَكِنْ لَيْسَ لَهُ وَطْئُهَا بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ، وَإِنْ مَلَكَهَا لِأَمْرَيْنِ:
Adapun tentang tasarrī seorang budak laki-laki, telah dijelaskan sebelumnya, demikian pula hukum mudabbir, mukhāraj, dan budak yang dimerdekakan dengan syarat yang belum terpenuhi, serta mukātab. Adapun seseorang yang pada dirinya terdapat sebagian kebebasan dan sebagian perbudakan, sehingga separuh dirinya merdeka dan separuhnya lagi adalah budak, maka ia memiliki sebagian dari dirinya yang merdeka dari hasil usahanya, sebagaimana tuannya memiliki separuh yang menjadi miliknya. Jika tuannya membagi waktu antara dirinya dan budaknya, maka apa yang dihasilkan pada hari miliknya menjadi miliknya, dan apa yang dihasilkan pada hari milik tuannya menjadi milik tuannya. Jika tidak dibagi, maka separuh dari apa yang dihasilkan budak setiap hari menjadi miliknya sendiri dan separuhnya lagi menjadi milik tuannya. Jika ia membeli seorang budak perempuan dengan hasil usahanya yang menjadi miliknya, maka ia memilikinya secara tetap, karena ia memilikinya dengan kemerdekaannya melalui pemberian hak milik dari tuannya. Namun, ia tidak boleh menggaulinya tanpa izin tuannya, jika ia memilikinya karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَحْكَامَ الرِّقِّ عَلَيْهِ أَغْلَبُ فِي جَمِيعِ أَحْكَامِهِ فكذلك في تسريه.
Pertama: bahwa hukum-hukum perbudakan lebih dominan atas dirinya dalam seluruh ketentuannya, demikian pula dalam hal tasarrī.
والثاني: أَنَّ الْحُرِّيَّةَ لَا تَتَمَيَّزُ فِي أَعْضَائِهِ مِنَ الرِّقِّ فَكُلُّ عُضْوٍ مِنْهُ مُشْتَرَكُ الْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَطَأَ بِعُضْوٍ بَعْضُهُ مَرْقُوقٌ لِلسَّيِّدِ إِلَّا بِإِذْنِهِ كَمَا لَوْ كَانَ جَمِيعُهُ موقوفاً، فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَالشَّرْطُ فِي إِبَاحَةِ تَسَرِّيهِ إِذْنُ السَّيِّدِ دُونَ تَمْلِيكِهِ وَإِنِ افْتَقَرَ فِي العبد إلى تمليكه وإذنه، لأن هذا مالك فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى تَمْلِيكِهِ، وَالْعَبْدُ غَيْرُ مَالِكٍ فافتقر إلى تمليكه فإذا أَذِنَ لَهُ جَازَ تَسَرِّيهِ، فَإِنْ أَوْلَدَهَا صَارَتْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ وَحَرُمَ بَيْعُهَا بِكُلِّ حَالٍ؛ لِأَنَّهَا مُلِّكَتْ بَحْرِيَّتِهِ فَجَرَى عَلَيْهَا حُكْمُ أُمَّهَاتِ الأولاد، وَكَانَ أَوْلَادُهُ مِنْهَا أَحْرَارًا لِاخْتِصَاصِهِمْ بِحُرِّيَّتِهِ دُونَ رقه.
Yang kedua: bahwa kemerdekaan tidak dapat dibedakan pada anggota tubuhnya dari perbudakan, sehingga setiap anggota tubuhnya merupakan gabungan antara kemerdekaan dan perbudakan. Maka tidak boleh baginya menggauli dengan anggota tubuh yang sebagian masih menjadi milik tuannya kecuali dengan izinnya, sebagaimana jika seluruh dirinya masih tertahan (belum merdeka). Jika telah tetap demikian, maka syarat kebolehan tasarrī-nya adalah izin tuan, bukan pemberian hak milik, sedangkan pada budak laki-laki diperlukan pemberian hak milik dan izin. Karena yang ini adalah pemilik, maka tidak membutuhkan pemberian hak milik, sedangkan budak bukan pemilik sehingga membutuhkan pemberian hak milik. Jika tuannya telah mengizinkan, maka boleh baginya melakukan tasarrī. Jika ia mendapatkan anak dari budak perempuan itu, maka budak perempuan itu menjadi umm walad baginya dan haram dijual dalam keadaan apa pun, karena ia dimiliki melalui kemerdekaannya, sehingga berlaku atasnya hukum ummahāt al-awlād, dan anak-anaknya dari budak perempuan itu menjadi orang-orang merdeka karena mereka secara khusus mendapatkan kemerdekaan darinya, bukan perbudakan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَا يُفْسَخُ نِكَاحُ حاملٍ مِنْ زِنًا وَأُحِبُّ أن تمسك حتى تضع وقال رجل للنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِنَّ امْرَأَتِي لَا تَرُدُّ يَدَ لامسٍ قَالَ ” طلقها ” قال إني أحبها قال ” فأمسكها ” وضرب عمر بن الخطاب رضي الله عنه رجلاً وامرأةً في زناً وحرص أن يجمع بينهما فأبى الغلام “.
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Tidak dibatalkan akad nikah wanita hamil karena zina, dan aku lebih suka ia menahannya hingga melahirkan.” Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi ﷺ, “Istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya.” Beliau bersabda, “Ceraikan dia.” Ia berkata, “Aku mencintainya.” Beliau bersabda, “Pertahankan dia.” Umar bin Khattab ra. pernah memukul seorang laki-laki dan perempuan karena zina, dan ia berusaha menikahkan keduanya, namun pemuda itu menolak.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّنَا نَكْرَهُ لِلْعَفِيفِ أَنْ يتزوج بالزانية وَنَكْرَهُ لِلْعَفِيفَةِ أَنْ تَتَزَوَّجَ بِالزَّانِي لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا} الآية (النور: 3) وَلِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْكَلَامُ فِي نِكَاحِ الزَّانِيَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa kami memakruhkan bagi laki-laki yang ‘afīf (menjaga kehormatan) untuk menikahi wanita pezina, dan kami juga memakruhkan bagi wanita ‘afīfah untuk menikah dengan laki-laki pezina, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Laki-laki pezina tidak menikah kecuali dengan wanita pezina atau musyrik, dan wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik} (an-Nūr: 3), dan juga berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pilihlah wanita yang beragama, niscaya engkau beruntung.” Jika demikian, maka pembahasan tentang pernikahan wanita pezina mencakup tiga bagian:
أَحَدُهَا: فِي الرَّجُلِ إِذَا زَنَا بِامْرَأَةٍ هَلْ يَحِلُّ لَهُ نِكَاحُهَا أَمْ لَا؟
Pertama: tentang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, apakah halal baginya menikahi wanita itu atau tidak?
وَالْفَصْلُ الثَّانِي: فِي زَوْجَةِ الرَّجُلِ إِذَا زَنَتْ هَلْ يَبْطُلُ نِكَاحُهَا أَمْ لَا؟ .
Bagian kedua: tentang istri seorang laki-laki yang berzina, apakah pernikahannya menjadi batal atau tidak?
فأما الفصل الأول في الرجل إذا زنا بِامْرَأَةٍ فَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَهُوَ قَوْلُ جمهور الصحابة والفقهاء، وذكر عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّهَا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ أَبَدًا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بِحَالٍ.
Adapun bagian pertama, yaitu laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, maka halal baginya menikahi wanita itu. Ini adalah pendapat mayoritas sahabat dan para fuqahā’. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra. dan al-Hasan al-Bashri bahwa wanita itu telah haram baginya selamanya, sehingga tidak boleh baginya menikahi wanita itu dalam keadaan apa pun.
وَقَالَ أبو عبيدة وَقَتَادَةُ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ: إِنْ تَابَا مِنَ الزِّنَا حَلَّ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَإِنْ لَمْ يَتُوبَا لَمْ يَحِلَّ.
Abu ‘Ubaidah, Qatādah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq berkata: Jika keduanya telah bertobat dari zina, maka halal baginya menikahi wanita itu. Namun jika keduanya belum bertobat, maka tidak halal.
قَالُوا: وَالتَّوْبَةُ أَنْ يَخْلُوَ أَحَدُهُمَا بِصَاحِبِهِ فَلَا يَهُمُّ بِهِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أوْ مُشْرِكَةً والزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إلاَّ زَانٍ أوْ مُشْرِكٍ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى المُؤْمِنِينَ} (النور: 3) فَكَانَ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْمَنْعِ وَتَعَقَّبَ مِنَ التَّحْرِيمِ نَصًّا لَا يَجُوزُ خِلَافُهُ.
Mereka berkata: Taubat itu adalah ketika salah satu dari keduanya berduaan dengan pasangannya, maka ia tidak berniat berbuat zina dengannya, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Laki-laki pezina tidak menikahi kecuali perempuan pezina atau musyrik, dan perempuan pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman} (an-Nur: 3). Maka larangan yang telah disebutkan sebelumnya dan pengharaman yang datang setelahnya adalah nash yang tidak boleh diselisihi.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى بَعْدَ ذِكْرِ الْمُحَرَّمَاتِ مِنْ ذَوَاتِ الْأَنْسَابِ: {وَأَحَلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ) {النساء: 24) .
Adapun dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala setelah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi karena hubungan nasab: {Dan dihalalkan bagi kalian selain dari itu} (an-Nisa: 24).
فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْعَفِيفَةِ وَالزَّانِيَةِ.
Maka ayat itu berlaku umum, baik bagi perempuan yang menjaga kehormatan maupun perempuan pezina.
وَرَوَى ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ وَهَذَا نَصٌّ؛ ولأنه منتشر في الصحابة بالإجماع روي ذَلِكَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَجَابِرٍ فَرُوِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ؛ إِذَا زَنَى رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لَمْ يَحْرُمْ عَلَيْهِ نِكَاحُهَا.
Dan Ibnu Syihab meriwayatkan dari ‘Urwah dari ‘Aisyah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Yang haram tidak mengharamkan yang halal,” dan ini adalah nash; dan karena hal ini tersebar di kalangan para sahabat berdasarkan ijmā‘. Diriwayatkan hal itu dari Abu Bakar, Umar, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Jabir. Diriwayatkan dari Abu Bakar ra. bahwa beliau berkata: “Jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, maka tidak haram baginya untuk menikahinya.”
وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رجلاً تزوج امرأة وكان لها ابن عم مِنْ غَيْرِهَا وَلَهَا بِنْتٌ مِنْ غَيْرِهِ فَفَجَرَ الْغُلَامُ بِالْجَارِيَةِ وَظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ، فَلَمَّا قَدِمَ عُمَرُ مَكَّةَ رَفَعَ إِلَيْهِ فَسَأَلَهُمَا فَاعْتَرَفَا، فَجَلْدَهُمَا عمر الحد وعرض أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَأَبَى الْغُلَامُ.
Dan diriwayatkan dari Umar ra. bahwa ada seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang memiliki sepupu dari pihak lain, dan ia juga memiliki anak perempuan dari laki-laki lain. Lalu anak laki-laki itu berzina dengan anak perempuan tersebut hingga tampak kehamilan pada si perempuan. Ketika Umar datang ke Makkah, perkara itu diajukan kepadanya. Ia menanyai keduanya dan keduanya mengaku. Maka Umar menegakkan hukuman had kepada keduanya, lalu menawarkan untuk menikahkan keduanya, namun anak laki-laki itu menolak.
وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ لَهُ أمة وعبد فَظَهَرَ بِالْأَمَةِ حَمْلٌ فَاتَّهَمَ بِهَا الْغُلَامَ فَسَأَلَهُ فَأَنْكَرَ وَكَانَ لِلْغُلَامِ أصْبَعٌ زَائِدَةٌ، فَقَالَ: لَهُ إِنْ أَتَتْ بِوَلَدٍ لَهُ أصْبَعٌ زَائِدَةٌ جِلْدَتُكَ فقال: نعم، فَوَضَعَتْ وَلَدًا لَهُ أصْبَعٌ زَائِدَةٌ فَجَلَدَهُ ثُمَّ زَوَّجَهُ بِهَا.
Dan diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa ia memiliki seorang budak perempuan dan seorang budak laki-laki. Ternyata budak perempuan itu hamil, dan ia menuduh budak laki-laki itu sebagai pelakunya. Ia menanyainya, namun budak itu mengingkari. Budak laki-laki itu memiliki satu jari tambahan. Ia berkata kepadanya: “Jika budak perempuan itu melahirkan anak yang memiliki jari tambahan, aku akan mencambukmu.” Budak itu menjawab: “Ya.” Ternyata budak perempuan itu melahirkan anak dengan jari tambahan, maka ia mencambuk budak laki-laki itu, lalu menikahkannya dengan budak perempuan tersebut.
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّهُ سئل أيتزوج الزاني بالزانية، فقال: نعم، ولو سرق رجل من كرم عنباً لكان يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يَشْتَرِيَهُ فَهَذَا قَوْلُ مَنْ ذَكَرْنَا ولَمْ يَصِحَّ عَنْ غَيْرِهِمْ خِلَافُهُ فَصَارَ إِجْمَاعًا.
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia ditanya: “Bolehkah pezina menikahi pezina?” Ia menjawab: “Ya. Jika seorang laki-laki mencuri anggur dari kebun anggur, apakah ia menjadi haram membeli anggur itu?” Maka inilah pendapat orang-orang yang telah kami sebutkan, dan tidak ada riwayat yang sahih dari selain mereka yang menyelisihinya, sehingga hal itu menjadi ijmā‘.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْآيَةِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ التَّأْوِيلِ فِيهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:
Adapun dalil mereka dengan ayat tersebut, para ahli tafsir berbeda pendapat mengenainya menjadi tiga pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّهَا نَزَلَتْ مَخْصُوصَةً فِي رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَسْتَأْذِنَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في امرأة يقال لها أم مهزول مِنْ بَغَايَا الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ ذَوَاتِ الرَّايَاتِ، وَشَرَطَتْ له أن تنفق عليه فأنزل الله هذه الآية فيه وهذا قول عبد الله بن عمرو وَمُجَاهِدٍ.
Pertama: Ayat tersebut turun secara khusus mengenai seorang laki-laki dari kalangan Muslim yang meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk menikahi seorang perempuan yang dikenal dengan nama Ummu Mahzūl, salah satu pelacur masa jahiliyah yang memiliki bendera, dan perempuan itu mensyaratkan agar ia menafkahinya. Maka Allah menurunkan ayat ini tentangnya. Ini adalah pendapat Abdullah bin Amr dan Mujahid.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْمُرَادَ بِالْآيَةِ أَنَّ الزَّانِيَ لَا يَزْنِي إِلَّا بِزَانِيَةٍ وَالزَّانِيَةَ لَا يزني بها إلا زان، وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.
Pendapat kedua: Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa pezina tidak berzina kecuali dengan pezina juga, dan perempuan pezina tidak dizinai kecuali oleh pezina juga. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْوِلَايَةَ عَامَّةٌ فِي تَحْرِيمِ نِكَاحِ الزَّانِيَةِ عَلَى الْعَفِيفِ، وَنِكَاحِ الْعَفِيفَةِ عَلَى الزَّانِي ثُمَّ نَسَخَهُ قَوْله تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاء} وَهَذَا قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ.
Pendapat ketiga: Bahwa larangan tersebut bersifat umum dalam mengharamkan menikahi perempuan pezina bagi laki-laki yang menjaga kehormatan, dan menikahi perempuan yang menjaga kehormatan bagi laki-laki pezina, kemudian hal itu di-nasakh dengan firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang baik bagi kalian} dan ini adalah pendapat Sa‘id bin al-Musayyab.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي زَوْجَةِ الرَّجُلِ إِذَا زنت هل ينفسخ نِكَاحُهَا أَمْ لَا؟ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ، أن النكاح صحيح لا ينفسخ بزناها وَهُوَ قَوْلُ الصَّحَابَةِ إِلَّا حِكَايَةً عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَنَّ نِكَاحَهَا قَدْ بَطَلَ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ لتحريم اجتماع المائين في فرج.
Adapun fasal kedua tentang istri seorang laki-laki apabila ia berzina, apakah pernikahannya menjadi batal atau tidak? Maka menurut mazhab asy-Syafi‘i dan mayoritas fuqaha, pernikahan itu tetap sah dan tidak batal karena perzinaan istrinya. Ini adalah pendapat para sahabat, kecuali riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib ra. bahwa pernikahannya batal, dan ini adalah pendapat al-Hasan al-Bashri karena mengharamkan bercampurnya dua air mani dalam satu kemaluan.
وَدَلِيلُنَا مَعَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ مَا رَوَاهُ أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ إِنَّ امْرَأَتِي لَا تَرُدُّ يَدَ لَامِسٍ قَالَ: طَلِّقْهَا قَالَ: إِنِّي أُحِبُّهَا، قَالَ اسْتَمْتِعَ بِهَا، فَكَنَّى بِقَوْلِهِ: ” لَا تَرُدُّ يَدَ لَامَسٍ ” عَنِ الزِّنَا فَأَمَرَهُ بِطَلَاقِهَا وَلَوِ انْفَسَخَ نِكَاحُهَا بِالزِّنَا لَمَا احْتَاجَ إِلَى طَلَاقٍ ثُمَّ لَمَّا أخبره أنه يُحِبُّهَا أَذِنَ لَهُ فِي الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، وَلَوْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ لَنَهَاهُ عَنِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا وَلَأَعْلَمَهُ تَحْرِيمَهَا.
Dan dalil kami, selain yang telah kami kemukakan dari hadis ‘Aisyah, adalah riwayat Abu az-Zubair dari Jabir, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata, “Sesungguhnya istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya.” Beliau bersabda, “Ceraikanlah dia.” Ia berkata, “Aku mencintainya.” Beliau bersabda, “Nikmatilah dia.” Maka dengan ucapannya: “tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya” ia bermaksud menyamarkan perbuatan zina. Nabi memerintahkannya untuk menceraikannya, dan seandainya pernikahan itu batal karena zina, tentu tidak perlu ada perceraian. Kemudian, ketika ia memberitahu bahwa ia mencintainya, Nabi mengizinkannya untuk tetap menikmatinya. Seandainya istrinya menjadi haram baginya, tentu Nabi akan melarangnya untuk menikmatinya dan akan memberitahukan keharamannya.
فَإِنْ قِيلَ: فَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ ” لَا تَرُدُّ يَدَ لَامِسٍ ” أَنَّهَا لَا تَرُدُّ مُتَصَدِّقًا طَلَبَ مِنْهَا مَالَهُ.
Jika dikatakan: Yang dimaksud dengan ucapannya “tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya” adalah bahwa ia tidak menolak orang yang meminta sedekah yang meminta hartanya.
قِيلَ: هَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dijawab: Ini adalah kekeliruan dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ أَرَادَ هَذَا لَقَالَ لَا تَرُدُّ يَدَ مُلْتَمِسٍ لِأَنَّ الطَّالِبَ يَكُونُ مُلْتَمِسًا وَاللَّامِسَ يَكُونُ مُبَاشِرًا فَلَمَّا عَدَلَ إِلَى يَدِ لَامِسٍ خَرَجَ عَنْ هَذَا التَّأْوِيلِ.
Pertama: Seandainya yang dimaksud adalah itu, tentu ia akan berkata “tidak menolak tangan peminta”, karena orang yang meminta adalah peminta, sedangkan orang yang menyentuh adalah pelaku langsung. Maka ketika ia menggunakan ungkapan “tangan orang yang menyentuh”, itu keluar dari penafsiran tersebut.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا لَوْ كَانَتْ تَتَصَدَّقُ بِمَالِهِ لَمَا خَرَجَ قَوْلُهُ فيها مخرج الذم ولما أمر بِطَلَاقِهَا وَلَأَمَرَهُ بِإِحْرَازِ مَالِهِ مِنْهَا.
Kedua: Seandainya ia bersedekah dengan hartanya, maka ucapannya tentang istrinya tidak akan bermakna celaan, dan Nabi tidak akan memerintahkannya untuk menceraikannya, melainkan akan memerintahkannya untuk menjaga hartanya darinya.
وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَتِي وَلَدَتْ غُلَامًا أسوداً فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَعَلَّ عِرْقًا نَزعَهُ فَكَانَ ذَلِكَ مِنْهُ كِنَايَةً عن زناها بأسود فلم يحرمها عليه، وَلِأَنَّ الْعَجْلَانِيَّ أَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا فَلَاعَنَ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يَجْعَلْهَا بِالزِّنَا حَرَامًا.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, istriku melahirkan seorang anak laki-laki yang berkulit hitam.” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Barangkali ada garis keturunan yang menurun kepadanya.” Maka itu merupakan sindiran dari Nabi tentang kemungkinan istrinya berzina dengan laki-laki berkulit hitam, namun beliau tidak mengharamkannya atas suaminya. Dan karena al-‘Ajlānī memberitahu Rasulullah ﷺ bahwa ia mendapati istrinya bersama seorang laki-laki, maka Nabi melakukan li‘ān di antara keduanya dan tidak menjadikan istrinya haram atasnya karena zina.
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تَزْنُوا فَتَزْنِي نِسَاؤُكُمْ فَإِنَّ بَنِي فُلَانٍ زَنَوْا فَزَنَتْ نِسَاؤُهُمْ “
Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah kalian berzina, maka istri-istri kalian pun akan berzina. Sesungguhnya Bani Fulan berzina, maka istri-istri mereka pun berzina.”
فَدَلَّ هَذَا عَلَى بَقَائِهِمْ مَعَ الْأَزْوَاجِ بَعْدَ الزنا، فأما تحريم اجتماع المائين في فرج فنحن على تحريمهما وإذا اجتمعا ثبت حكم الحلال منهما، وَسَقَطَ حُكْمُ الْحَرَامِ.
Maka ini menunjukkan bahwa mereka tetap bersama pasangan mereka setelah berzina. Adapun pengharaman bercampurnya dua mani dalam satu farji, maka kami memang mengharamkannya, dan jika keduanya berkumpul, maka yang berlaku adalah hukum yang halal di antara keduanya, dan gugurlah hukum yang haram.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ في الزنا هل يتعلق عليه شيء من أَحْكَامِ النِّكَاحِ أَمْ لَا؟ فَالْكَلَامُ فِي هَذَا يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
Adapun fasal ketiga tentang zina, apakah ada hukum-hukum nikah yang berkaitan dengannya atau tidak? Pembahasan dalam hal ini mencakup dua fasal:
أَحَدُهُمَا: فِي الزِّنَا: هَلْ ينتشر عنه حرمته في تحريم المصاهرة حتى تحرم عَلَيْهِ أُمَّهَاتُهَا وَبَنَاتُهَا، وَيَحْرُمَ عَلَى آبَائِهِ وَأَبْنَائِهِ أم لا؟ والكلام فِي هَذَا بَابٌ مُفْرَدٌ يَأْتِي نَحْنُ نَذْكُرُهُ فيه.
Pertama: Dalam hal zina, apakah menimbulkan keharaman dalam hal mahram karena pernikahan, sehingga menjadi haram atasnya ibu-ibu dan anak-anak perempuannya, dan menjadi haram atas ayah dan anak-anak laki-lakinya atau tidak? Pembahasan tentang hal ini merupakan bab tersendiri yang akan kami sebutkan nanti.
الفصل الثاني: هل لما ذكرناه حُرْمَةٌ تَجِبُ بِهَا الْعِدَّةُ أَمْ لَا؟ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ لَا حُرْمَةَ لَهُ فِي وُجُوبِ الْعِدَّةِ مِنْهُ سَوَاءً كَانَتْ حَامِلًا مِنَ الزِّنَا أو حائلاً، وسواء كانت ذات زوج فيحل لِلزَّوْجِ أَنْ يَطَأَهَا فِي الْحَالِ أَوْ كَانَتْ خَلِيَّةً فَيَجُوزُ لِلزَّانِي وَغَيْرِهِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْعَقْدَ عَلَيْهَا فِي الْحَالِ حَامِلًا كَانَتْ أَوْ حَائِلًا غير أننا نكره له وطئها فِي حَالِ حَمْلِهَا حَتَّى تَضَعَ.
Fasal kedua: Apakah perbuatan yang telah kami sebutkan itu menimbulkan kewajiban ‘iddah atau tidak? Menurut mazhab asy-Syāfi‘ī: Tidak ada keharaman yang mewajibkan ‘iddah darinya, baik ia hamil karena zina atau tidak, dan baik ia berstatus istri orang lain sehingga suaminya boleh menggaulinya saat itu juga, atau ia wanita yang tidak bersuami sehingga si pezina atau selainnya boleh langsung menikahinya saat itu juga, baik ia hamil maupun tidak. Hanya saja kami memakruhkan menggaulinya saat ia hamil hingga ia melahirkan.
وَقَالَ مَالِكٌ وربيعة والثوري والأوزاعي وإسحاق: عليها العدة من وطء الزنا بالإقرار إن كانت حائلاً ووضع الحمل إن كان حَامِلًا، فَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ حَرُمَ عَلَيْهِ وطئها حتى تنقضي العدة بالإقرار أَوِ الْحَمْلِ وَإِنْ كَانَتْ خَلِيَّةً حَرُمَ عَلَى الناس كلهم نكاحها حتى تنقضي عدتها بالإقرار أو بالحمل.
Mālik, Rabi‘ah, ats-Tsaurī, al-Auzā‘ī, dan Ishāq berkata: Wajib atasnya menjalani ‘iddah karena persetubuhan zina dengan pengakuan jika ia tidak hamil, dan dengan melahirkan jika ia hamil. Jika ia berstatus istri orang lain, maka haram atas suaminya menggaulinya hingga selesai masa ‘iddahnya, baik dengan pengakuan maupun karena hamil. Jika ia wanita yang tidak bersuami, maka haram atas semua orang menikahinya hingga selesai masa ‘iddahnya, baik dengan pengakuan maupun karena hamil.
وَقَالَ ابْنُ شُبْرُمَةَ وأبو يوسف: إِنْ كَانَتْ حَامِلًا حَرُمَ نِكَاحُهَا حَتَّى تَضَعَ، وَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا لَمْ يَحْرُمْ نِكَاحُهَا وَلَمْ تَعْتَدَّ.
Ibnu Syubrumah dan Abu Yusuf berkata: Jika ia hamil, haram menikahinya hingga ia melahirkan. Jika ia tidak hamil, tidak haram menikahinya dan ia tidak perlu menjalani ‘iddah.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَا يَحْرُمُ نِكَاحُهَا حَامِلًا وَلَا حَائِلًا لَكِنْ إِنْ نَكَحَهَا حَامِلًا حَرُمَ عَلَيْهِ وطئها حتى تضع.
Abu Hanīfah berkata: Tidak haram menikahinya baik ia hamil maupun tidak, tetapi jika menikahinya dalam keadaan hamil, haram menggaulinya hingga ia melahirkan.
فأما مالك فَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرَ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ “.
Adapun Mālik berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: “Ketahuilah, tidak boleh digauli wanita hamil hingga ia melahirkan, dan tidak boleh digauli wanita yang tidak hamil hingga ia haid.”
وَأَمَّا أبو يوسف فَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَأُوْلاَتِ الأحْمَالِ أَجَلَهُنَّ أنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} .
Adapun Abu Yusuf berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya}.
وَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ “.
Adapun Abu Hanifah berdalil dengan sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Janganlah engkau siramkan air manimu pada tanaman milik orang lain.”
وَالدَّلِيلُ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ حَدِيثُ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ “، وَأَنَّ عُمَرَ حِينَ جَلَدَ الْغُلَامَ وَالْجَارِيَةَ حَرَصَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا مِنْ غَيْرِ اعْتِبَارِ عِدَّةٍ فَأَبَى الْغُلَامُ، وَلِأَنَّ وُجُوبَ الْعِدَّةِ مِنَ الْمَاءِ إِنَّمَا يَكُونُ لِحُرْمَتِهِ وَلُحُوْقِ النَّسَبِ بِهِ وَلَا حُرْمَةَ لِهَذَا الماء تقضي لحوق النسب، فلم تجب مِنْهُ الْعِدَّةُ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا انْتَفَى عَنِ الزِّنَا سَائِرُ أَحْكَامِ الْوَطْءِ الْحَلَّالِ مِنَ الْمَهْرِ وَالنَّسَبِ والإحسان وَالْإِحْلَالِ لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ انْتَفَى عَنْهُ حُكْمُهُ فِي العدة.
Dan dalil bagi kelompok mereka adalah hadis ‘Aisyah bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Yang haram tidak mengharamkan yang halal”, dan bahwa Umar ketika mencambuk seorang pemuda dan seorang budak perempuan, ia berkeinginan untuk menikahkan keduanya tanpa memperhatikan masa iddah, namun pemuda itu menolak. Dan karena kewajiban iddah dari air mani itu hanya berlaku karena kehormatannya dan keterkaitan nasab dengannya, sedangkan air mani ini tidak memiliki kehormatan yang menyebabkan keterkaitan nasab, maka tidak wajib iddah darinya. Dan karena ketika zina tidak memiliki seluruh hukum hubungan seksual yang halal seperti mahar, nasab, kebaikan, dan kehalalan bagi suami pertama, maka gugurlah pula hukumnya dalam hal iddah.
فأما استدلال مالك بقوله عليه السلام: ألا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ، فَهَذَا وَارِدٌ فِي سَبْيِ أَوْطَاسٍ وَكُنَّ منكوحاتٍ، وَلِلْإِمَاءِ حُكْمٌ يُخَالِفُ الْحَرَائِرَ فِي الِاسْتِبْرَاءِ.
Adapun dalil Malik dengan sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Ketahuilah, tidak boleh digauli perempuan hamil hingga ia melahirkan”, maka ini berkaitan dengan tawanan perang Autas dan mereka adalah perempuan-perempuan yang telah dinikahi, dan bagi budak perempuan terdapat hukum yang berbeda dengan perempuan merdeka dalam hal istibra’ (pengecekan rahim).
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُ أبي يوسف بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأُولاَتِ الأحْمَالِ أجَلَهُنَّ أنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} فَالْمُرَادُ بِهِ مِنَ الزَّوْجَاتِ الْمُطَلَّقَاتِ بِدَلِيلِ مَا فِي الْآيَةِ مِنْ وُجُوبِ نَفَقَاتِهِنَّ وَكِسْوَتِهِنَّ مِنْ قَوْلِهِ: {أسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجِدِكُمْ وَلاَ تُضَّارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإنْ كُنَّ أُوْلاَتِ حَمْلٍ فأَنْفِقُواْ عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ) {الطلاق: 6) .
Adapun dalil Abu Yusuf dengan firman-Nya Ta‘ala: {Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya}, maka yang dimaksud adalah para istri yang dicerai, berdasarkan dalil yang terdapat dalam ayat tentang kewajiban nafkah dan pakaian mereka dari firman-Nya: {Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka sedang hamil, berikanlah nafkah kepada mereka hingga mereka melahirkan kandungannya} (ath-Thalaq: 6).
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُ أبي حنيفة بِقَوْلِهِ: ” لَا تَسْقِ بمائك زرع غيرك ” فإنما أراد فرعاً يُنْسَبُ إِلَى غَيْرِهِ وَهُوَ الْحَلَالُ الَّذِي يَلْحَقُ بالواطء والحرام الذي يضاف إلى أحد فلم يتوجه النَّهْيُ عَلَى أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ وَارِدٌ فِي رجل يملك أمة وسأل هل يطأها فَقَالَ: لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ إِشَارَةً إِلَى مَاءِ الْبَائِعِ وَذَاكَ حَلَالٌ بِخِلَافِ الزِّنَا، والله أعلم.
Adapun dalil Abu Hanifah dengan sabdanya: “Janganlah engkau siramkan air manimu pada tanaman milik orang lain”, yang dimaksud adalah anak yang dinisbatkan kepada selainnya, yaitu yang halal yang dinisbatkan kepada orang yang menggauli, dan yang haram yang dinisbatkan kepada salah satu, maka larangan tidak berlaku. Adapun hadis ini berkaitan dengan seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan dan bertanya apakah ia boleh menggaulinya, maka beliau bersabda: “Janganlah engkau siramkan air manimu pada tanaman milik orang lain”, sebagai isyarat kepada air mani penjual, dan itu halal, berbeda dengan zina. Wallahu a‘lam.
نكاح العبد وطلاقه من الجامع من كتابٍ قديمٍ وكتابٍ جديدٍ، وكتاب التعريض
Nikah dan talak budak dari al-Jami‘, dari kitab lama dan kitab baru, serta Kitab at-Ta‘ridh.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَيَنْكِحُ الْعَبْدُ اثْنَتَيْنِ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِعُمَرَ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلِيُّ بْنِ أَبِي طالبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ “.
Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Budak laki-laki boleh menikahi dua perempuan, dan beliau berdalil dalam hal itu dengan (pendapat) Umar bin al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْعَبْدِ، وَأَنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ أَكْثَرَ مِنَ اثْنَتَيْنِ وَخَالَفَ مَالِكٌ فَيَجُوزُ لَهُ نِكَاحُ أَرْبَعٍ كَالْحُرِّ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ وَكَذَلِكَ الْمُدْبِرُ وَالْمُكَاتِبُ، وَمَنْ فِيهِ جُزْءٌ مِنَ الرِّقِّ وَإِنْ قَلَّ ما لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ، وَسَوَاءً جَمَعَ بَيْنَ حُرَّتَيْنِ أَوْ أَمَتَيْنِ أَوْ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ تَقَدَّمَتِ الْحُرَّةُ عَلَى الْأَمَةِ أَوْ تَأَخَّرَتْ.
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan pembahasan tentang budak, bahwa tidak halal baginya menikahi lebih dari dua perempuan. Malik berbeda pendapat, ia membolehkan budak menikahi empat perempuan seperti orang merdeka, dan telah dijelaskan pula pembahasan dengannya. Demikian pula budak mudabbir, mukatab, dan orang yang masih terdapat bagian perbudakan pada dirinya walaupun sedikit, selama belum sempurna kemerdekaannya. Baik ia mengumpulkan dua perempuan merdeka, dua budak perempuan, atau seorang perempuan merdeka dan seorang budak perempuan, baik perempuan merdeka lebih dahulu atau belakangan.
وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ لِلْعَبْدِ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْأَمَةَ عَلَى الْحُرَّةِ كَالْحُرِّ.
Abu Hanifah berkata: Tidak boleh bagi budak menikahi budak perempuan di atas perempuan merdeka seperti halnya orang merdeka.
وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْحُرَّ أَغْلَظُ حُكْمًا فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ لكماله ونقصهما مِنَ الْعَبْدِ الَّذِي قَدْ سَاوَى الْأَمَةَ فِي نَقْصِهَا، لِأَنَّ نِكَاحَ الْحُرِّ مَشْرُوطٌ بِخَوْفِ الْعَنَتِ وعدم الطول، فنكاح الْعَبْدِ غَيْرُ مَشْرُوطٍ بِخَوْفِ الْعَنَتِ، فَلَمْ يَكُنْ مشروطاً بعدم الطول.
Dan ini adalah kesalahan; karena orang merdeka lebih berat hukumnya dalam menikahi budak perempuan karena kesempurnaannya dan kekurangan keduanya dibandingkan dengan budak yang telah setara dengan budak perempuan dalam kekurangannya. Karena pernikahan orang merdeka disyaratkan dengan adanya kekhawatiran terjerumus dalam maksiat dan ketidakmampuan, sedangkan pernikahan budak tidak disyaratkan dengan kekhawatiran terjerumus dalam maksiat, maka tidak pula disyaratkan dengan ketidakmampuan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وقال عمر يطلق تطليقتين وتعتد الأمة حيضتين والتي لا تحيض شهرين أو شهراً ونصفاً وقال ابن عمر إذا طلق العبد امرأته اثنتين حرمت عليه حتى تنكح زوجاً غيره وعدة الحرة ثلاث حيضٍ والأمة حيضتان وسأل نفيعٌ عثمان وزيداً فقال طلقت امرأةً لي حرة تطليقتين فقالا حرمت عليك (قال الشافعي) وبهذا كله أقول “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Dan Umar berkata: Budak laki-laki mentalak dua kali dan masa iddah budak perempuan adalah dua kali haid, sedangkan yang tidak haid dua bulan atau satu bulan setengah. Ibnu Umar berkata: Jika budak laki-laki menceraikan istrinya dua kali, maka ia haram baginya hingga menikah dengan suami lain. Masa iddah perempuan merdeka adalah tiga kali haid, dan budak perempuan dua kali haid. Nafi‘ bertanya kepada Utsman dan Zaid, ia berkata: Aku menceraikan istriku yang merdeka dua kali, maka keduanya berkata: Ia telah haram bagimu. (Asy-Syafi‘i berkata): Dan dengan semua ini aku berpendapat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا يَمْلِكُ الْعَبْدُ مِنَ الطَّلَاقِ إِلَّا اثْنَتَيْنِ فِي الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ، وَيَمَلِكُ الْحُرُّ ثَلَاثًا فِي الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ، فَيَكُونُ الطَّلَاقُ مُعْتَبَرًا بِالزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ.
Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa seorang budak tidak memiliki hak talak kecuali dua kali talak terhadap perempuan merdeka maupun budak perempuan, sedangkan laki-laki merdeka memiliki tiga kali talak terhadap perempuan merdeka maupun budak perempuan. Maka talak itu dihitung berdasarkan suami, bukan istri.
وَقَالَ أبو حنيفة: الطَّلَاقُ مُعْتَبَرٌ بِالزَّوْجَاتِ دُونَ الْأَزْوَاجِ فيملك زوج الحرة ثلاث طلقات حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا وَزَوْجُ الْأَمَةِ تَطْلِيقَتَيْنِ حراً كان أو عبداً استدلالاً سنذكره من بعد مستوفاً لقول الله تعالى: {إذَا طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ) {الطلاق: 1) فَجُعِلَ الطَّلَاقُ مُعْتَبَرًا بِالْعِدَّةِ ثُمَّ كَانَتِ الْعِدَّةُ مُعْتَبَرَةً بِالنِّسَاءِ دُونَ الْأَزْوَاجِ، فَكَذَلِكَ الطَّلَاقُ.
Abu Hanifah berkata: Talak dihitung berdasarkan para istri, bukan para suami. Maka suami dari perempuan merdeka memiliki tiga kali talak, baik ia merdeka maupun budak, dan suami dari budak perempuan memiliki dua kali talak, baik ia merdeka maupun budak, dengan dalil yang akan kami sebutkan secara rinci kemudian, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Apabila kamu menceraikan perempuan-perempuan (istri-istrimu), maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya} (at-Talaq: 1). Maka talak dijadikan bergantung pada iddah, kemudian iddah itu bergantung pada perempuan, bukan pada suami, maka demikian pula talak.
وَلِمَا رَوَى عَطِيَّةُ الْعَوْفِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” طلاق الأمة اثنتان وحيضتها اثْنَتَانِ وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ ” فَجَعَلَ الطَّلَاقَ وَالْعِدَّةَ مُعْتَبَرًا بالمطلقة والمعتدة؛ ولأن الحر لما ملك اثنا عشر طَلْقَةً فِي الْحَرَائِرِ الْأَرْبَعِ وَجَبَ أَنْ يَمْلِكَ الْعَبْدُ سِتَّ طَلْقَاتٍ فِي الْحُرَّتَيْنِ لِيَكُونَ عَلَى النِّصْفِ فِي عَدَدِ الطَّلَقَاتِ كَمَا كَانَ عَلَى النِّصْفِ فِي عَدَدِ الزَّوْجَاتِ.
Dan berdasarkan riwayat dari ‘Aṭiyyah al-‘Awfi dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Talak bagi budak perempuan adalah dua kali, haidnya dua kali, dan masa iddahnya dua kali haid.” Maka talak dan iddah dijadikan bergantung pada perempuan yang ditalak dan yang menjalani iddah; dan karena laki-laki merdeka ketika memiliki dua belas kali talak pada empat perempuan merdeka, maka wajib bagi budak memiliki enam kali talak pada dua perempuan merdeka, agar jumlah talaknya menjadi setengah sebagaimana jumlah istrinya juga setengah.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {هَلْ لَكُمْ مِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانَكُمْ مِنْ شُرَكَاءَ فِيمَا رَزَقْنَاكُمْ فَأَنْتُمْ فِيهِ سَواءٌ) {الروم: 28) إنكار لتساويهما فِي شَيْءٍ مِنَ الْأَمْوَالِ، فَكَذَلِكَ فِي الطَّلَاقِ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنَ الْمِلْكِ.
Dalil kami adalah firman-Nya Ta‘ala: {Adakah di antara apa yang dimiliki oleh tangan kananmu itu sekutu-sekutu dalam rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sehingga kamu menjadi sama dalam hal itu?} (ar-Rum: 28), yaitu penolakan terhadap kesamaan mereka dalam hal apa pun dari harta, maka demikian pula dalam hal talak, karena talak adalah salah satu jenis kepemilikan.
وَرُوِيَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمْ طَلَاقُ الْعَبْدِ، فَقَالَ: طَلْقَتَانِ، قَالَتْ: وَعِدَّةُ الْأَمَةِ، قَالَ: حَيْضَتَانِ.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ia berkata: Wahai Rasulullah, berapa kali talak bagi budak? Beliau menjawab: Dua kali talak. Ia bertanya: Dan berapa masa iddah bagi budak perempuan? Beliau menjawab: Dua kali haid.
وَرَوَتْ عَائِشَةُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: يُطَلِّقُ الْعَبْدُ تَطْلِيقتَيْنِ وَتَعْتَدُّ الْأَمَةُ حَيْضَتَيْنِ، وَكَذَلِكَ قَالَ عُمَرُ خَاطِبًا عَلَى الْمِنْبَرِ.
Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: Budak laki-laki menalak dua kali, dan budak perempuan menjalani iddah dua kali haid. Demikian pula Umar berkata ketika berkhutbah di atas mimbar.
وَرَوَى يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ: حَدَّثَنِي نُفَيْعٌ أَنَّهُ كَانَ مَمْلُوكًا وَتَحْتَهُ حُرَّةٌ فَطَلَّقَهَا طَلْقَتَيْنِ، وَسَأَلَ عُثْمَانَ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَقَالَا: طَلَاقُكَ طَلَاقُ عَبْدٍ، وَعِدَّتُهَا عِدَّةُ حُرَّةٍ.
Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah, ia berkata: Nufai‘ telah menceritakan kepadaku bahwa ia adalah seorang budak dan istrinya adalah perempuan merdeka, lalu ia menalaknya dua kali. Ia bertanya kepada Utsman dan Zaid bin Tsabit, maka keduanya berkata: Talakmu adalah talak budak, dan masa iddahnya adalah masa iddah perempuan merdeka.
وَرُوِيَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ قال: قد حرمت عليك، وليس لمن ذكرنا فخالف مِنَ الصَّحَابَةِ فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّهُ لَمَّا مَلَكَ الْحُرُّ رَجْعَتَيْنِ وَجَبَ أَنْ يَمْلِكَ الْعَبْدُ رَجْعَةً وَاحِدَةً؛ لِأَنَّهُ فِيمَا يَمْلِكُ بِالنِّكَاحِ عَلَى النِّصْفِ مِنَ الْحُرِّ.
Diriwayatkan dari Abu Salamah dan Ibnu Abbas, ia berkata: “Ia telah haram bagimu,” dan tidak ada seorang pun dari sahabat yang kami sebutkan yang menyelisihi hal itu, maka itu menjadi ijmā‘. Dan karena ketika laki-laki merdeka memiliki dua kali rujuk, maka wajib bagi budak memiliki satu kali rujuk; karena dalam hal yang dimiliki melalui pernikahan, budak mendapatkan setengah dari laki-laki merdeka.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْآيَةِ فَالْمَقْصُودُ بِهَا وقوع الطلاق في العدة، لأنه في العدة مُعْتَبَرٌ بِالْعِدَّةِ. وَأَمَّا الْخَبَرُ فَمَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ كان زوجها عبداً؛ لأن الأغلب من الأزواج الْإِمَاءِ الْعَبِيدُ وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّهُ لَمَّا مَلَكَ الحر اثنتي عشر طَلْقَةً وَجَبَ أَنْ يَمْلِكَ الْعَبْدُ سِتَّ طَلْقَاتٍ فخطأ؛ لأن العبد يملك زوجتين والحر يملك في الزوجتين سِتَّ طَلْقَاتٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَاوِيَهُ الْعَبْدُ فِيهِنَّ وَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَالِكًا لِنِصْفِهِنَّ، وَكَانَ قِيَاسُهُ أَنْ يَمْلِكَ ثَلَاثَ طَلْقَاتٍ فِي الزَّوْجَتَيْنِ لَكِنِ لَمَّا لَمْ يَتَبَعَّضِ الطَّلَاقُ فَيَصِيرُ مَالِكًا لطلقة ونصف في كل واحدة كما الْكَسْر فَصَارَ مَالِكًا لِأَرْبَعِ طَلْقَاتٍ فِي الزَّوْجَتَيْنِ، فكان هذا استدلالاً بأن يكون لنا دليلٌ أشبه.
Adapun dalilnya dengan ayat tersebut, yang dimaksud adalah terjadinya talak dalam masa iddah, karena dalam masa iddah talak itu dihitung berdasarkan iddah. Adapun hadis tersebut, maka itu dimaknai bahwa suaminya adalah seorang budak; karena kebanyakan suami dari budak perempuan adalah budak juga. Adapun dalil bahwa ketika laki-laki merdeka memiliki dua belas kali talak maka budak harus memiliki enam kali talak, itu keliru; karena budak hanya boleh memiliki dua istri, dan laki-laki merdeka memiliki enam kali talak pada dua istri, maka tidak boleh budak disamakan dengannya dalam hal itu, dan wajib baginya memiliki setengah dari jumlah tersebut. Maka secara qiyās seharusnya budak memiliki tiga kali talak pada dua istri, tetapi karena talak tidak dapat dibagi-bagi sehingga menjadi satu setengah talak pada masing-masing istri seperti pecahan, maka budak memiliki empat kali talak pada dua istri. Maka ini adalah dalil bahwa kita harus mencari dalil yang lebih mendekati.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن تَزَوَّجَ عبدٌ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ فَالنِّكَاحُ فاسدٌ وَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا إِذَا عَتَقَ “
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang budak menikah tanpa izin tuannya, maka nikahnya fasid (rusak/tidak sah), dan ia wajib membayar mahar mitsil (mahar sepadan) jika ia telah merdeka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَنَّ لَيْسَ لِلْعَبْدِ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِغَيْرِ إِذَنْ سَيِّدِهِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أيما عبد تزوج بغير إذن مواليه فقد عَاهِرٌ ” فَإِنْ تَزَوُّجَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَقَدْ ذَكَرْنَا بُطْلَانَ نِكَاحِهِ، وَأنَّ أبا حنيفة جَعَلَهُ مَوْقُوفًا على إجازة سيده وملك إمضائه وَجَعَلَ لِسَيِّدِهِ اسْتِئْنَافَ فسخه، وذكرنا من حال المهر إن ينكح بِإِذْنِهِ وَغَيْرِ إِذْنِهِ مَا أَقْنَعَ، فَأَمَّا إِذَا دَعَا الْعَبْدُ سَيِّدَهُ إِلَى تَزْوِيجِهِ فَقَدْ ذَكَرْنَا في إجبار السيد على إنكاحه قولين.
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang budak tidak boleh menikah tanpa izin tuannya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Siapa saja budak yang menikah tanpa izin tuannya, maka ia adalah pezina.” Jika ia menikah tanpa izin tuannya, telah kami sebutkan batalnya pernikahannya. Abu Hanifah berpendapat bahwa pernikahan itu tergantung pada persetujuan tuannya dan menjadi hak tuannya untuk menetapkan atau membatalkannya, serta tuannya berhak memulai pembatalan pernikahan tersebut. Kami juga telah menjelaskan tentang status mahar, baik budak menikah dengan izin maupun tanpa izin tuannya, secara memadai. Adapun jika budak meminta tuannya untuk menikahkannya, telah kami sebutkan dua pendapat mengenai kewajiban tuan untuk menikahkannya.
فلو أَرَادَ السَّيِّدُ إِجْبَارَ عَبْدِهِ عَلَى التَّزْوِيجِ فَقَدْ ذكرناه على قولين.
Jika tuan ingin memaksa budaknya untuk menikah, maka telah kami sebutkan pula ada dua pendapat dalam hal ini.
فأما الأمة إِذَا أَرَادَ السَّيِّدُ إِجْبَارَهَا عَلَى التَّزْوِيجِ فَلَهُ ذَلِكَ قَوْلًا وَاحِدًا، وَلَوْ دَعَتِ الْأَمَةُ السَّيِّدَ إِلَى تَزْوِيجِهَا لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهِ إِذَا كَانَتْ تَحِلُّ لَهُ؛ لِأَنَّهَا فِرَاشٌ لَهُ لَوِ اسْتَمْتَعَ بِهَا، فَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا تَحِلُّ لَهُ لِكَوْنِهَا أُخْتَهُ أَوْ خَالَتَهُ أَوْ عَمَّتَهُ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ فَهَلْ يُجْبَرُ السَّيِّدُ عَلَى تَزْوِيجِهَا إِذَا دَعَتْهُ إِلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي إِجْبَارِهِ على تزويج العبد، وهكذا لَوْ كَانَتِ الْأَمَةُ مِلْكًا لِامْرَأَةٍ كَانَ فِي إجبارها على تزويجها وجهان.
Adapun untuk budak perempuan, jika tuan ingin memaksanya menikah, maka ia berhak melakukannya menurut satu pendapat. Namun jika budak perempuan meminta tuannya untuk menikahkannya, maka tuan tidak wajib memenuhi permintaan itu jika budak tersebut halal baginya, karena ia adalah milik tuannya dan bisa dinikmati oleh tuannya. Namun jika budak perempuan itu termasuk yang tidak halal bagi tuannya, seperti karena ia adalah saudara perempuan, bibi dari pihak ibu, atau bibi dari pihak ayah, baik karena nasab maupun karena persusuan, maka apakah tuan wajib menikahkannya jika ia memintanya? Dalam hal ini ada dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat mengenai kewajiban menikahkan budak laki-laki. Demikian pula, jika budak perempuan itu dimiliki oleh seorang wanita, maka dalam hal memaksanya menikah juga terdapat dua pendapat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ أَذِنَ لَهُ فَنَكَحَ نِكَاحًا فَاسِدًا فَفِيهَا قولان. أحدهما أنه كإذنه له بالتجارة فيعطي من مالٍ إن كان له وإلا فمتى عتق والآخر كالضمان عنه فيلزمه أن يبيعه فيه إلا أن يفديه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika tuan mengizinkan budaknya lalu budak itu menikah dengan pernikahan yang fasid (tidak sah), maka ada dua pendapat. Pertama, hal itu seperti izin tuan untuk berdagang, sehingga jika budak itu memiliki harta maka diambil dari hartanya, jika tidak maka diambil setelah ia merdeka. Pendapat kedua, seperti jaminan atas budak, sehingga tuan wajib menjual budak tersebut untuk menutupi (mahar), kecuali jika tuan menebusnya.”
قال الماوردي: وهذا مما قد ذكرناه، وأن الفاسد من مناكح العبد هل تدخل فِي مُطْلَقِ إِذْنِ السَّيِّدِ أَمْ لَا؟ عَلَى قولين، وذكرنا من التفريع عليهما مَا أَجْزَأَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Al-Mawardi berkata: Hal ini telah kami sebutkan, yaitu apakah pernikahan fasid yang dilakukan budak termasuk dalam izin umum dari tuan atau tidak, terdapat dua pendapat. Kami juga telah menjelaskan cabang-cabang hukumnya secara memadai. Allah lebih mengetahui kebenaran.
بَابُ مَا يَحْرُمُ وَمَا يَحِلُّ مِنْ نِكَاحِ الحرائر ومن الإماء والجمع بينهن وغير ذلك من الجامع من كتاب ما يحرم الجمع بينه ومن النكاح القديم ومن الإملاء ومن الرضاع
Bab tentang apa yang haram dan apa yang halal dari pernikahan perempuan merdeka, budak perempuan, penggabungan di antara mereka, dan hal-hal lain yang bersifat umum dari Kitab tentang apa yang haram digabungkan, dari pernikahan terdahulu, dari imla’, dan dari persusuan.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” أَصْلُ مَا يَحْرُمُ بِهِ النِّسَاءُ ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا بأنسابٍ، وَالْآخَرُ بأسبابٍ مِنْ حَادِثِ نكاحٍ أَوْ رضاعٍ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dasar keharaman wanita (untuk dinikahi) ada dua macam: Pertama, karena nasab; kedua, karena sebab yang timbul dari pernikahan atau persusuan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: المحرمات من النساء ضربان:
Al-Mawardi berkata: Wanita-wanita yang haram dinikahi terbagi menjadi dua kelompok:
أحدهما: ضرب حرمت أعيانهن على التأبيد، وضرب حرم تحريم جمع فأما الْمُحَرَّمَات الْأَعْيَانِ عَلَى التَّأْبِيدِ فَضَرْبَانِ:
Pertama: Kelompok yang keharamannya bersifat permanen, dan kelompok yang keharamannya karena penggabungan. Adapun kelompok yang keharamannya bersifat permanen, terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: بِأَنْسَابٍ.
Pertama: Karena nasab.
والثاني: بأسباب.
Kedua: Karena sebab-sebab tertentu.
فأما المحرمات بالأنساب فالتحريم طارئ عليهن، وقد نص الله عَلَيْهِمَا فِي كِتَابِهِ فَنَصَّ عَلَى تَحْرِيمِ أَرْبَعَ عشرة امرأةً: سبع منهن حرمن بأنساب، وسبع منهن حرمن بأسباب.
Adapun wanita yang haram dinikahi karena nasab, keharamannya bersifat tetap, dan Allah telah menyebutkan mereka dalam Kitab-Nya, yaitu empat belas wanita: tujuh di antaranya haram karena nasab, dan tujuh lainnya haram karena sebab-sebab tertentu.
فأما السبع المحرمات بالأنساب فضربان: ضرب حرمن برضاع وضرب حرمن بنكاح وَهُنَّ الْمَذْكُورَاتُ فِي قَوْله تَعَالَى: {وَأُمَّهَاتُكُمْ اللاَّتِي أرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتِكُمْ مِنَ الرِّضَاعَةِ} (النساء: 23) فَذَكَرَ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ بِالرَّضَاعِ اثْنَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ: {وَأُمَهَّاتِ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبِكُمْ الَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أبْنَاءكُمْ الَّذِينَ مِنْ أصْلاَبِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إلاَّ مَا قَدْ سَلَف} (النساء: 22) وَقَالَ فِي آيَةٍ أُخْرَى: {وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ) (النساء: 22) فذكر من المحرمات بالنكاح خمسا: أربع منهن تحريم تأبيد وخامسة تَحْرِيمَ جَمْعٍ، وَهُوَ الْجَمْعُ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ فَقَدَّمَ اللَّهُ تَعَالَى ذِكْرَ السَّبْعِ الْمُحَرَّمَاتِ بِالْأَنْسَابِ لِتَغْلِيظِ حُرْمَتِهِنَّ وَأَنَّ تَحْرِيمَهُنَّ لَمْ يَتَأَخَّرْ عَنْ وُجُودِهِنَّ، فأول من بدأ بذكرها الأم؛ لأنها أغلظ حرمة فحرمها بقوله: {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ} واختلف أصحابنا في هذا التحريم المنصوص عليه إلى ماذا توجه عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun tujuh wanita yang haram dinikahi karena nasab, terbagi menjadi dua: sebagian haram karena persusuan, sebagian lagi haram karena pernikahan. Mereka adalah yang disebutkan dalam firman Allah Ta‘ala: {Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudaramu sesusuan} (an-Nisa: 23), sehingga disebutkan dua wanita yang haram karena persusuan. Kemudian Allah berfirman: {Ibu-ibu istrimu, anak-anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari istri-istri yang telah kamu campuri, jika kamu belum mencampuri mereka maka tidak berdosa atasmu, dan istri-istri anak kandungmu, dan (diharamkan) menggabungkan dua saudara perempuan kecuali yang telah terjadi} (an-Nisa: 22). Dan dalam ayat lain: {Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali yang telah terjadi} (an-Nisa: 22). Maka disebutkan lima wanita yang haram karena pernikahan: empat di antaranya haram secara permanen, dan yang kelima haram karena penggabungan, yaitu menggabungkan dua saudara perempuan. Allah Ta‘ala mendahulukan penyebutan tujuh wanita yang haram karena nasab untuk menegaskan keharaman mereka dan bahwa keharaman mereka tidak tertunda sejak keberadaan mereka. Yang pertama disebut adalah ibu, karena keharamannya paling berat, sebagaimana firman-Nya: {Diharamkan atas kamu ibu-ibumu}. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai keharaman yang disebutkan secara eksplisit ini, kepada apa keharaman itu diarahkan, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ أَنَّهُ متوجه إلى العقد وَالْوَطْءِ مَعًا.
Pertama, dan ini pendapat mayoritas, bahwa keharaman itu mencakup akad dan hubungan badan sekaligus.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مُتَوَجَّهٌ إِلَى الْعَقْدِ.
Pendapat kedua, bahwa keharaman itu hanya tertuju pada akad.
فَأَمَّا الْوَطْءُ فَمُحَرَّمٌ بِالْعَقْلِ، وَالْأَوَّلُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ أَصَحُّ؛ لِأَنَّ الْعَقْلَ لَوْ أَوْجَبَ تَحْرِيمَ وطئها لما منع أن يكون الشرع وارد به ومؤكداً لَهُ، وَإِذَا حَرُمَتِ الْأُمُّ فَكَذَلِكَ أُمَّهَاتُهَا وَإِنْ علون من قبل الأم كأم الأم وجدتها، وَمِنْ قِبَلِ الْأَبِ كَأُمِّ الْأَبِ وَجَدَّاتِهِ لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ حَرُمْنَ بِالِاسْمِ أَوْ بِمَعْنَاهُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun persetubuhan, maka hukumnya haram menurut akal, dan pendapat pertama dari dua pendapat adalah yang lebih sahih; karena seandainya akal mewajibkan keharaman persetubuhan dengannya, tidaklah menghalangi syariat untuk menetapkan dan menegaskannya. Apabila ibu diharamkan, maka demikian pula para ibu dari pihak ibu, seperti nenek dari pihak ibu dan nenek buyutnya, dan dari pihak ayah seperti nenek dari pihak ayah dan nenek buyutnya. Namun, para ulama kami berbeda pendapat, apakah mereka diharamkan karena nama (ibu) atau karena maknanya, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: حَرُمْنَ بِالِاسْمِ قَالَ الشَّافِعِيُّ: لِأَنَّ كُلًّا تُسَمَّى أُمًّا.
Salah satunya: mereka diharamkan karena nama, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syafi‘i: karena masing-masing dari mereka disebut sebagai ibu.
فَعَلَى هَذَا يَكُونُ اسْمُ الْأُمِّ مُنْطَلِقًا عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ حَقِيقَةً لُغَةً وَشَرْعًا.
Menurut pendapat ini, nama “ibu” berlaku atas masing-masing dari mereka secara hakiki, baik secara bahasa maupun syariat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: حَرُمْنَ لِمَعْنَى الاسم وهو وجود الولادة والعصبة فِيهِنَّ فَحَرُمْنَ كَالْأُمِّ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْمَعْنَى دُونَ حَقِيقَةِ الِاسْمِ، وَيَكُونُ انْطِلَاقُ اسْمِ الْأُمِّ عَلَيْهِنَّ مَجَازًا فِي اللُّغَةِ وَحُكْمًا فِي الشَّرْعِ.
Pendapat kedua: mereka diharamkan karena makna nama, yaitu karena adanya kelahiran dan hubungan nasab pada mereka, sehingga mereka diharamkan seperti ibu karena kesamaan makna, bukan karena hakikat nama. Maka, penggunaan nama “ibu” atas mereka adalah secara majazi dalam bahasa dan secara hukum dalam syariat.
فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا وَطِئَ أُمَّهُ بِعَقْدٍ أَوْ غَيْرِ عَقْدٍ حُدَّ حَدَّ الزِّنَا وَقَالَ أبو حنيفة: لَا حَدَّ عَلَيْهِ وَجَعْلَ الْعَقْدَ شُبْهَةً فِي إِدْرَائِهِ عَنْهُ، وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ النَّصَّ الْمَقْطُوعَ به يمنع من دخول الشبهة عليه لا خروجه مِنْ أَنْ يُكُونَ نَصًّا قَاطِعًا.
Jika seorang laki-laki menyetubuhi ibunya, baik dengan akad maupun tanpa akad, maka ia dikenai had zina. Abu Hanifah berpendapat: tidak ada had atasnya dan menjadikan akad sebagai syubhat untuk menggugurkan had darinya. Ini adalah kesalahan, karena nash yang tegas mencegah adanya syubhat atasnya, bukan mengeluarkannya dari ketegasan nash.
وَالثَّانِي: مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ الْبَنَاتُ فَهُنَّ مُحْرِمَاتٌ عَلَى الْآبَاءِ وَهَلْ تناول النَّصُّ فِيهِنَّ تَحْرِيمَ الْعَقْدِ وَالْوَطْءِ مَعًا أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ ثُمَّ كَذَلِكَ بَنَاتُ الْبَنَاتِ وَالْأَبْنَاءِ وَإِنْ سَفَلْنَ ثُمَّ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ:
Kedua: dari golongan yang diharamkan adalah anak-anak perempuan, maka mereka haram atas para ayah. Apakah nash mencakup keharaman akad dan persetubuhan sekaligus atau tidak? Hal ini sebagaimana telah kami sebutkan dalam dua pendapat. Demikian pula cucu perempuan dari anak laki-laki maupun perempuan, meskipun lebih jauh ke bawah, juga sebagaimana telah kami sebutkan dalam dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: حَرُمْنَ بِالِاسْمِ قَالَ الشَّافِعِيُّ: لِأَنَّ كُلًّا يُسَمَّى بِنْتًا.
Salah satunya: mereka diharamkan karena nama, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syafi‘i: karena masing-masing disebut sebagai anak perempuan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: بِمَعْنَى الِاسْمِ مِنْ وُجُودِ الْوِلَادَةِ وَالْبَعْضِيَّةِ فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا وَطِئَ بِنْتَهُ بِعَقْدٍ أَوْ غَيْرِ عَقْدٍ حُدَّ، وَأَدْرَأَ أبو حنيفة عَنْهُ الْحَدَّ بِالْعَقْدِ.
Pendapat kedua: karena makna nama, yaitu adanya kelahiran dan sebagian keturunan. Jika seorang laki-laki menyetubuhi anak perempuannya, baik dengan akad maupun tanpa akad, maka ia dikenai had, dan Abu Hanifah menggugurkan had darinya karena adanya akad.
وَالثَّالِثُ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ: الْأَخَوَاتُ فنكاحهن حرام وسواء كَانَتْ أُخْتًا لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ أُخْتًا لِأَبٍ أو أختاً لأم وهي بَاسِمِ الْأَخَوَاتِ مُحَرَّمَاتٌ فَلَوْ وَطِئَ رِجْلٌ أُخْتَهُ نظر فإن كان يعقد نِكَاحٍ حُدَّ وَإِنْ كَانَ بِمِلْكِ يَمِينٍ فَفِي وُجُوبِ حَدِّهِ قَوْلَانِ:
Ketiga dari golongan yang diharamkan: saudari-saudari perempuan, maka menikahi mereka adalah haram, baik ia saudari seayah dan seibu, atau saudari seayah, atau saudari seibu. Mereka semua diharamkan dengan nama saudari. Jika seorang laki-laki menyetubuhi saudari perempuannya, maka dilihat: jika dengan akad nikah, maka ia dikenai had; jika dengan kepemilikan budak, maka dalam kewajiban had atasnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُحَدُّ كَالنِّكَاحِ.
Salah satunya: dikenai had seperti dalam pernikahan.
وَالثَّانِي: لا يحد لوطئه بالملك فإن حُدَّ لِوَطْئِهِ بِالنِّكَاحِ لِارْتِفَاعِ النِّكَاحِ فَزَالَتِ الشُّبْهَةُ والملك ثابت فيها فثبتت شبهته، والأم تحدّ فِي وَطْئِهَا بِنِكَاحٍ وَمِلْكٍ لِأَنَّ مِلْكَهَا يَزُولُ بِشِرَائِهَا وَمِلْكُ الْأُخْتِ لَا يَزُولُ، وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ عَلَيْهَا الْعَقْدُ وَيَلْحَقْ بِهِ وَلَدُهَا وَإِنْ ضر وَتَصِيرُ الْأُخْتُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَلَيْسَ يَلْحَقُ وَلَدٌ مَعَ وُجُوبِ الْحَدِّ إِلَّا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، وهذا إِذَا وَطِئَ أُخْتَهُ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ فإن وطئ الذمي مُسْلِمَةً عَلَى مِلْكِهِ كَانَ فِي حَدِّهِ قَوْلَانِ، والولد لا حق به على القولين.
Kedua: tidak dikenai had atas persetubuhannya melalui kepemilikan budak. Jika ia dikenai had karena persetubuhan melalui pernikahan, maka pernikahan telah batal sehingga hilanglah syubhat, sedangkan kepemilikan budak tetap ada sehingga syubhat tetap ada. Adapun ibu, maka ia dikenai had baik melalui pernikahan maupun kepemilikan budak, karena kepemilikan atasnya hilang dengan membelinya, sedangkan kepemilikan atas saudari tidak hilang, meskipun tidak ada akad atasnya, dan anaknya tetap dinisbatkan kepadanya meskipun ada mudarat, dan saudari menjadi ummu walad (budak yang melahirkan anak tuannya) karenanya. Tidak ada anak yang dinisbatkan bersamaan dengan kewajiban had kecuali dalam masalah ini. Ini jika ia menyetubuhi saudari kandung atau saudari sesusuan. Jika seorang dzimmi (non-Muslim) menyetubuhi wanita Muslimah yang dimilikinya, maka dalam kewajiban had atasnya terdapat dua pendapat, dan anaknya tidak dinisbatkan kepadanya menurut kedua pendapat tersebut.
والرابع من المحرمات: وهو أَخَوَاتُ الْأَبِ وَسَوَاءً كُنَّ لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لأب أو لأم وكلهن محرمات بالاسم ثم عَمَّاتُ الْأَبِ وَالْأُمِّ وَعَمَّاتُ الْأَجْدَادِ وَالْجَدَّاتِ كُلُّهُنَّ محرمات كالعمات، وهل حرمن بالاسم أو بمعناه، على وجهين فَإِنْ وَطِئَ إِحْدَاهُنَّ بِعَقْدِ نِكَاحٍ حُدَّ، وَإِنْ كَانَ بِمِلْكِ يَمِينٍ فَعَلَى الْقَوْلَيْنِ.
Keempat dari golongan yang diharamkan: yaitu saudari-saudari ayah, baik mereka saudari seayah dan seibu, atau saudari seayah, atau saudari seibu, dan semuanya diharamkan karena nama. Kemudian bibi-bibi dari pihak ayah dan ibu, serta bibi-bibi dari pihak kakek dan nenek, semuanya diharamkan seperti bibi-bibi. Apakah mereka diharamkan karena nama atau karena maknanya, terdapat dua pendapat. Jika salah satu dari mereka disetubuhi dengan akad nikah, maka dikenai had; jika dengan kepemilikan budak, maka menurut dua pendapat.
وَالْخَامِسُ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ: الْخَالَاتُ وَهُنَّ أَخَوَاتُ الْأُمِّ وَسَوَاءً كُنَّ لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لِأَبٍ أَوْ لِأُمٍّ وَكُلُّهُنَّ محرمات بالاسم خَالَاتُ الْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ خَالَاتُ الْأَجْدَادِ وَالْجَدَّاتِ كُلُّهُنَّ مُحرمَاتٌ كَالْخَالَاتِ وَهَلْ حَرُمْنَ بِالِاسْمِ أَوْ بمعناه على الوجهين فإن وطئ إحداهن بعقد نِكَاحٍ حُدَّ، وَإِنْ كَانَ بِمِلْكِ يَمِينٍ فَعَلَى الْقَوْلَيْنِ:
Kelima dari golongan yang diharamkan: para bibi dari pihak ibu, yaitu saudari-saudari ibu, baik mereka saudari seayah dan seibu, atau saudari seayah, atau saudari seibu, dan semuanya diharamkan karena nama. Bibi-bibi dari pihak ayah dan ibu, kemudian bibi-bibi dari pihak kakek dan nenek, semuanya diharamkan seperti bibi-bibi. Apakah mereka diharamkan karena nama atau karena maknanya, terdapat dua pendapat. Jika salah satu dari mereka disetubuhi dengan akad nikah, maka dikenai had; jika dengan kepemilikan budak, maka menurut dua pendapat.
وَالسَّادِسُ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ: بَنَاتُ الْإِخْوَةِ وَسَوَاءٌ كَانَ الْإِخْوَةُ لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لِأَبٍ أَوْ لِأُمٍّ وَكُلُّهُنَّ مُحَرَّمَاتٌ بِالِاسْمِ ثُمَّ بَنَاتُ بَنِي الْإِخْوَةِ وَبَنَاتُ بَنَاتِ الْإِخْوَةِ وَإِنْ سَفَلْنَ كُلُّهُنَّ مُحَرَّمَاتٌ كَبَنَاتِ الْإِخْوَةِ، وَهَلْ حَرُمْنَ بِالِاسْمِ أَوْ بِمَعْنَاهُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ، فَإِنْ وَطِئَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ بِعَقْدِ نِكَاحٍ حُدَّ، وَإِنْ كَانَ بِمِلْكِ يَمِينٍ فَعَلَى الْقَوْلَيْنِ:
Yang keenam dari perempuan-perempuan yang diharamkan adalah: anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, baik saudara laki-laki tersebut seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja; semuanya haram dinikahi secara langsung. Kemudian anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki, dan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, meskipun mereka berada di tingkat yang lebih bawah, semuanya haram seperti anak-anak perempuan dari saudara laki-laki. Apakah keharaman mereka itu karena nama (status kekerabatan) atau karena maknanya, terdapat dua pendapat. Jika seseorang menggauli salah satu dari mereka dengan akad nikah, maka ia dikenai had. Namun jika dengan kepemilikan budak, maka terdapat dua pendapat dalam hal ini.
وَالسَّابِعُ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ: بَنَاتُ الْأَخَوَاتِ سواء كانت الْأَخَوَاتُ لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لِأَبٍ أَوْ لِأُمٍّ وَكُلُّهُنَّ مُحَرَّمَاتٌ بِالِاسْمِ وَكَذَلِكَ بَنَاتُ بَنِي الْأَخَوَاتِ وَإِنْ سَفَلْنَ كُلُّهُنَّ مُحَرَّمَاتٌ كَبَنَاتِ الْأَخَوَاتِ وَهَلْ حَرُمْنَ بِالِاسْمِ أَوْ بِمَعْنَاهُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ، وَالْوَلَدُ يَلْحَقُ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ، إِذَا كَانَ الْوَاطئ بملك يمين.
Yang ketujuh dari perempuan-perempuan yang diharamkan adalah: anak-anak perempuan dari saudara perempuan, baik saudara perempuan tersebut seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja; semuanya haram dinikahi secara langsung. Demikian pula anak-anak laki-laki dari saudara perempuan, meskipun mereka berada di tingkat yang lebih bawah, semuanya haram seperti anak-anak perempuan dari saudara perempuan. Apakah keharaman mereka itu karena nama (status kekerabatan) atau karena maknanya, terdapat dua pendapat. Dan anak juga termasuk dalam hal ini, jika yang menggauli adalah dengan kepemilikan budak.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَمَا حَرُمَ مِنَ النَّسَبِ حَرُمَ مِنَ الرِّضَاعِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Apa yang diharamkan karena nasab, maka diharamkan pula karena persusuan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا الْمُحَرَّمَاتُ بِالرَّضَاعِ فَذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى اثْنَتَيْنِ الْأُمَّهَاتِ وَالْأَخَوَاتِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأُمَّهَاتُكُمْ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتِكُمْ مِنَ الرِّضَاعَةِ} فَاحْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ التَّحْرِيمُ بِالرَّضَاعِ مَقْصُورًا عَلَيْهِمَا كَمَا قَالَ دَاوُدُ وُقُوفًا عَلَى النَّصِّ وَاحْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ مُتَعَدِّيًا عَنْهُمَا إِلَى غَيْرِهِمَا كَذَوَاتِ الأنساب، ولما رَوَتْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قَالَ: ” يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلَادَةِ “
Al-Mawardi berkata: Adapun perempuan-perempuan yang diharamkan karena persusuan, Allah Ta‘ala menyebutkan dua golongan, yaitu ibu-ibu dan saudara-saudara perempuan, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: {Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuanmu dari persusuan}. Maka, ada kemungkinan bahwa keharaman karena persusuan itu terbatas pada keduanya saja, sebagaimana pendapat Dawud yang berpegang pada nash. Namun ada kemungkinan juga bahwa keharaman itu meluas kepada selain keduanya, seperti halnya perempuan-perempuan yang diharamkan karena nasab. Karena Aisyah meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Diharamkan karena persusuan apa yang diharamkan karena kelahiran.”
وَرُوِيَ غَيْرُهَا عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لأنه قَالَ: ” يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ ” وَجَبَ إِجْرَاءُ الرَّضَاعِ فِي التَّحْرِيمِ عَلَى حكم النسب فيحرم بالرضاع سَبْعٌ كَمَا يَحْرُمُ بِالنَّسَبِ الْأُمَّهَاتُ وَالْبَنَاتُ وَالْأَخَوَاتُ وَالْعَمَّاتُ وَالْخَالَاتُ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ.
Dan diriwayatkan pula selain Aisyah dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: “Diharamkan karena persusuan apa yang diharamkan karena nasab.” Maka wajib menetapkan hukum persusuan dalam keharaman sebagaimana hukum nasab. Maka diharamkan karena persusuan tujuh golongan sebagaimana diharamkan karena nasab: ibu-ibu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, bibi-bibi dari pihak ayah, bibi-bibi dari pihak ibu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan.
وَبَيَانُ ذَلِكَ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا أَرْضَعَتْ وَلَدًا بِلَبَنٍ مِنْ زَوْجٍ فَالْوَلَدُ الْمُرْضَعُ ابْنٌ لَهَا وَلِلزَّوْجِ لأن اللبن حادث عنها بسبب ينتسب إِلَى الزَّوْجِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْمُرْضَعُ ابْنًا لها كالمولود منهما، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ كَانَتِ الْمُرْضِعَةُ أُمًّا لَهُ وَكَانَ أُمَّهَاتُهَا جَدَّاتِهِ مِنْ أُمٍّ وَأَبَاؤُهَا أَجْدَادَهُ من أم وبناتها أخواتها من أم وأخوتها أَخْوَالَهُ مِنْ أُمٍّ وَأَخَوَاتُهَا خَالَاتِهِ مِنْ أُمٍّ وَكَانَ الزَّوْجُ أَبًا لَهُ وَآبَاؤُهُ أَجْدَادَهُ مِنْ أَبٍ وَأُمَّهَاتُهِ جَدَّاتِهِ مِنْ أَبٍ وَبَنُوهُ إِخْوَتَهُ مِنْ أَبٍ وَإِخْوَتُهُ أَعْمَامَهُ وَأَخَوَاتُهُ عَمَّاتِهِ كَذَلِكَ عَلَى تَرْتِيبِ الْأَنْسَابِ فَيَكُونُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَحْكَامِ فَتَصِيرُ الْمُحَرَّمَاتُ بِالرَّضَاعِ سَبْعًا كَمَا كَانَ الْمُحَرَّمَاتُ بِالْأَنْسَابِ سَبْعًا وَيَتَفَرَّعُ عَلَيْهِنَّ مَنْ ذَكَرْنَا مِنَ الْمُتَفَرِّعَاتِ عَلَى الْمُنَاسِبَاتِ، فيكون أخت الأب من الرضاع عمته محرمة سواء كانت أختا من نسب أو رضاع وكذلك أخت الجد من الرضاع وآبائه مُحَرَّمَة كَالْعَمَّةِ سَوَاءً كَانَتْ أُخْتًا مَنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ وَهَلْ يَحْرُمُ بِاسْمِ الْعَمَّةِ أَوْ بمعناها على ما ذكرنا من الوجهين ويكون أُخْتُ الْأُمِّ مِنَ الرَّضَاعِ خَالَةً مُحَرَّمَةً سَوَاءً كانت أختاً بنسب أو رضاع وكذلك أخت الجدة وأمها كَالْخَالَةِ فِي التَّحْرِيمِ سَوَاءً كَانَتْ أُخْتًا مِنْ نسب أو رضاع وهل يحرم بِاسْمِ الْخَالَةِ أَوْ بِمَعْنَاهَا عَلَى مَا مَضَى، من الوجهين وعلى هذا يكون حكم سائر الْقَرَابَاتِ مِنَ الرَّضَاعِ يُحْمَلُ عَلَى حُكْمِ الْقَرَابَاتِ مِنَ النَّسَبِ، فَلَوْ وَطِئَ الرَّجُلُ أُمَّهُ مِنَ الرَّضَاعِ بِعَقْدِ نِكَاحٍ حُد وَإِنْ كَانَ بِمِلْكِ يَمِينٍ فَعَلَى قَوْلَيْنِ وَفِي الْأُمِّ الْمُنَاسِبَةِ يُحَدُّ قولاً واحداً، وإن كان من مِلْكِهَا، لِأَنَّهَا تَعْتِقُ عَلَيْهِ بِالْمِلْكِ فَارْتَفَعَتْ شُبْهَتُهُ بِزَوَالِ الْمِلْكِ فَحُدَّ، وَالْأُمُّ الْمُرْضِعَةُ لَا تَعْتِقُ بِالْمِلْكِ فَكَانَتْ شُبْهَتُهُ بَاقِيَةً مَعَ بَقَاءِ الْمِلْكِ فَلَمْ يُحَدَّ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَهَكَذَا لَوْ وَطِئَ أُخْتَهُ مِنَ الرَّضَاعِ أَوْ خَالَتَهُ أَوْ عَمَّتَهُ مِنَ الرِّضَاعِ بِعَقْدٍ حُدَّ وَإِنْ كَانَ بملك يمين فعلى ضربين ما مضى من القولين، والولد يلحق إذا كان وطئه لواحدة من هؤلاء بملك يمين قَوْلًا وَاحِدًا.
Penjelasannya adalah bahwa apabila seorang wanita menyusui seorang anak dengan air susu yang berasal dari suaminya, maka anak yang disusui itu menjadi anak baginya dan bagi suaminya. Sebab, air susu itu berasal darinya karena sebab yang dinisbatkan kepada suami, sehingga mengharuskan anak yang disusui itu menjadi anak baginya seperti halnya anak yang lahir dari keduanya. Dengan demikian, wanita yang menyusui itu menjadi ibu bagi anak tersebut, dan ibu-ibu dari wanita itu menjadi nenek dari pihak ibu, ayah-ayahnya menjadi kakek dari pihak ibu, anak-anak perempuannya menjadi saudari seibu, saudara-saudaranya menjadi paman dari pihak ibu, dan saudari-saudaranya menjadi bibi dari pihak ibu. Suami wanita itu menjadi ayah bagi anak tersebut, ayah-ayahnya menjadi kakek dari pihak ayah, ibu-ibunya menjadi nenek dari pihak ayah, anak-anak laki-lakinya menjadi saudara seayah, saudara-saudaranya menjadi paman dari pihak ayah, dan saudari-saudaranya menjadi bibi dari pihak ayah, semuanya sesuai urutan nasab. Maka, berlaku atas mereka hukum-hukum yang telah kami sebutkan, sehingga wanita-wanita yang haram dinikahi karena sebab radā‘ (persusuan) menjadi tujuh, sebagaimana wanita-wanita yang haram dinikahi karena sebab nasab juga tujuh, dan cabang-cabang dari mereka yang telah kami sebutkan mengikuti hubungan-hubungan yang sesuai. Maka, misalnya, saudari ayah dari radā‘ adalah bibinya yang haram dinikahi, baik ia saudari dari nasab maupun dari radā‘, demikian pula saudari kakek dari radā‘ dan ayah-ayahnya adalah haram seperti bibi, baik ia saudari dari nasab maupun dari radā‘. Apakah keharamannya karena nama bibi atau karena maknanya, sebagaimana telah kami sebutkan dari dua sisi pendapat. Demikian pula, saudari ibu dari radā‘ adalah bibinya yang haram dinikahi, baik ia saudari dari nasab maupun dari radā‘, demikian pula saudari nenek dan ibunya adalah seperti bibi dalam keharaman, baik ia saudari dari nasab maupun dari radā‘. Apakah keharamannya karena nama bibi atau karena maknanya, sebagaimana telah lalu dari dua sisi pendapat. Berdasarkan hal ini, hukum seluruh kerabat dari radā‘ disamakan dengan hukum kerabat dari nasab. Maka, jika seorang laki-laki menggauli ibunya dari radā‘ dengan akad nikah, ia dikenai had, dan jika dengan kepemilikan budak, maka ada dua pendapat. Adapun pada ibu dari nasab, ia dikenai had menurut satu pendapat, meskipun ia adalah budaknya, karena ia menjadi merdeka atasnya dengan kepemilikan, sehingga hilanglah syubhat dengan hilangnya kepemilikan, maka ia dikenai had. Adapun ibu dari radā‘ tidak menjadi merdeka dengan kepemilikan, sehingga syubhatnya tetap ada selama kepemilikan masih ada, maka tidak dikenai had menurut salah satu dari dua pendapat. Demikian pula, jika ia menggauli saudari dari radā‘, atau bibinya dari radā‘, atau bibinya dari radā‘ dengan akad, maka ia dikenai had, dan jika dengan kepemilikan budak, maka ada dua pendapat sebagaimana yang telah lalu. Anak yang lahir tetap dinisbatkan kepadanya jika ia menggauli salah satu dari mereka dengan kepemilikan budak menurut satu pendapat.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَاهُ من تحريم الرضاع بعد ما قَدَّمْنَا مِنَ التَّحْرِيمِ بِالنَّسَبِ فَقَدْ مَضَى مِنَ المنصوص على تحريمهن في الآية تسع: سبع من النسب، واثنتان مِنَ الرَّضَاعِ، وَبَقِيَ مِنَ الْمَنْصُوصِ عَلَى تَحْرِيمِهِنَّ فِي الْآيَةِ خمْسٌ حَرَّمَهُنَّ اللَّهُ تَعَالَى تَحْرِيمَ مصاهرة بعقد نكاح إحداهن أم الزوجة بقوله: {وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ} .
Apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan tentang keharaman karena radā‘ setelah sebelumnya kami jelaskan keharaman karena nasab, maka telah berlalu dari yang disebutkan secara nash dalam ayat terdapat sembilan wanita yang haram dinikahi: tujuh karena nasab, dan dua karena radā‘. Masih tersisa dari yang dinyatakan secara nash dalam ayat tersebut lima wanita yang diharamkan Allah Ta‘ala karena hubungan musāharah (pernikahan), yaitu dengan akad nikah salah satu dari mereka, yaitu ibu mertua, sebagaimana firman-Nya: {dan ibu-ibu istri kalian}.
وَالثَّانِيَةُ: بِنْتُ الزَّوْجَةِ: وَهِيَ الرَّبِيبَةُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَرَبَائِبِكُمْ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نَسَائَكُمْ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونوُا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ} . وَالثَّالِثَةُ: زَوْجَةُ الِابْنِ وَهِيَ حَلِيلَتُهُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى {وحلائل أبنائكم الذين من أصلابكم}
Kedua: anak istri, yaitu rabībah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {dan anak-anak perempuan istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri-istri yang telah kalian campuri; tetapi jika kalian belum mencampuri mereka, maka tidak berdosa atas kalian}. Ketiga: istri anak, yaitu ḥalīlah-nya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {dan istri-istri anak kalian yang berasal dari tulang sulbi kalian}.
والرابعة: زوجة الأب بقوله تعالى فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى: {وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آباؤُكُمْ مِن النِّسَاءِ إلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ} وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Keempat: istri ayah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala dalam ayat lain: {dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu}. Dalam hal ini terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ بِالنِّكَاحِ الصَّحِيحِ إِلَّا مَا قد سلف بالزنا والسفاح فإن كَانَ نِكَاحُهُنَّ حَلَالًا لِأَنَّهُنَّ لَمْ يَكُنَّ حَلَائِلَ.
Pertama: Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian dengan nikah yang sah, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu berupa zina dan hubungan di luar nikah, maka jika pernikahan mereka halal karena mereka bukanlah istri yang sah.
وَالْخَامِسَةُ: الْجَمْعُ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ} فَهَؤُلَاءِ الْخَمْسُ حَرُمْنَ بِالْقُرْآنِ ثُمَّ جَاءَتِ السُّنَّةُ بِتَحْرِيمِ اثْنَتَيْنِ:
Kelima: mengumpulkan dua saudari dalam satu pernikahan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {dan (diharamkan juga) mengumpulkan dua saudari, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu}. Maka, lima wanita ini diharamkan oleh al-Qur’an, kemudian datanglah sunnah yang mengharamkan dua wanita lagi:
إِحْدَاهُمَا: تَحْرِيمُ الْجَمْعِ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وعمتها.
Pertama: larangan mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya (saudari ayahnya).
وَالثَّانِيَةُ: تَحْرِيمُ الْجَمْعِ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا.
Kedua: larangan mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya (saudari ibunya).
وَسَنَذْكُرُ السنة الواردة فَصَارَ الْمُحَرَّمَاتُ بِعَقْدِ النِّكَاحِ فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ سَبْعًا كَمَا كَانَ الْمُحَرَّمَاتُ بِالْأَنْسَابِ سَبْعًا، وَكَمَا صَارَ الْمُحَرَّمَات بِالرَّضَاعِ سَبْعًا، وَهَؤُلَاءِ السَّبْعُ الْمُحَرَّمَاتُ بعقد النكاح ينقسم حكمهن في التحريم ثَلَاثَة أَقْسَامٍ:
Dan kami akan menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan, sehingga wanita-wanita yang diharamkan karena akad nikah dalam al-Qur’an dan sunnah menjadi tujuh, sebagaimana wanita-wanita yang diharamkan karena nasab juga tujuh, dan sebagaimana wanita-wanita yang diharamkan karena sebab persusuan juga tujuh. Adapun tujuh wanita yang diharamkan karena akad nikah, hukum pengharamannya terbagi menjadi tiga bagian:
قِسْمٌ حَرُمْنَ بِالْعَقْدِ تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ.
Bagian pertama adalah wanita-wanita yang diharamkan karena akad dengan pengharaman selamanya (taḥrīm ta’bīd).
وَقِسْمٌ حَرُمْنَ بِالْعَقْدِ تَحْرِيمَ جَمْعٍ.
Bagian kedua adalah wanita-wanita yang diharamkan karena akad dengan pengharaman untuk digabungkan (taḥrīm jam‘).
وَقِسْمٌ حَرُمْنَ بِالْعَقْدِ تَحْرِيمَ جَمْعٍ وَبِالدُّخُولِ تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ.
Bagian ketiga adalah wanita-wanita yang diharamkan karena akad dengan pengharaman untuk digabungkan, dan dengan hubungan suami-istri menjadi pengharaman selamanya.
فَأَمَّا الْمُحَرَّمَاتُ بِالْعَقْدِ تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ فَهُنَّ ثَلَاثٌ:
Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena akad dengan pengharaman selamanya ada tiga:
إِحْدَاهُنَّ: أُمُّ الزَّوْجَةِ هِيَ حَرَامٌ عَلَيْهِ بِالْعَقْدِ عَلَى الْبِنْتِ سَوَاءً دَخَلَ بِالْبِنْتِ أَمْ لَا أَقَامَ مَعَهَا أَوْ فَارَقَهَا قَدْ صَارَتْ أُمُّهَا حَرَامًا عَلَيْهِ أَبَدًا وَكَذَلِكَ أَمُّ الْأُمِّ وَمَنْ عَلَا من جداتها حرمن عليه على التأبيد وهل يحرمن بِالِاسْمِ أَوْ بِمَعْنَاهُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ، فَإِنْ وَطِئَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ بِعَقْدٍ حُدَّ وَإِنْ كَانَ بِمِلْكِ يَمِينٍ فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ.
Pertama: Ibu mertua, yaitu haram bagi seorang laki-laki karena akad dengan putrinya, baik ia telah berhubungan dengan putrinya atau belum, baik ia masih bersamanya atau telah berpisah, maka ibunya menjadi haram atasnya untuk selamanya. Demikian pula ibu dari ibu (nenek) dan seterusnya ke atas dari jalur nenek-neneknya, semuanya haram atasnya untuk selamanya. Apakah mereka diharamkan karena nama (nasab) atau karena maknanya, sebagaimana telah dijelaskan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika ia berhubungan dengan salah satu dari mereka melalui akad, maka ia dikenai hukuman had; dan jika melalui kepemilikan budak, maka mengikuti dua pendapat yang telah lalu.
وَالثَّانِيَةُ: زَوْجَةُ الْأَبِ مُحَرَّمَةٌ عَلَى الِابْنِ بِعَقْدِ الْأَبِ عَلَيْهَا تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ سَوَاءً دَخَلَ الْأَبُ بِهَا أَمْ لَا وَكَذَلِكَ زَوْجَةُ الْجَدِّ وَمَنْ عَلَا مِنَ الْأَجْدَادِ مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ، وَهَلْ حَرُمْنَ بِالِاسْمِ أَوْ بِمَعْنَاهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ، فَإِنْ وَطِئَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ بِعَقْدٍ حُدَّ وَإِنْ كَانَ بِمِلْكِ يَمِينٍ فَعَلَى قَوْلَيْنِ.
Kedua: Istri ayah diharamkan atas anak laki-laki karena akad ayah dengannya dengan pengharaman selamanya, baik ayah telah berhubungan dengannya atau belum. Demikian pula istri kakek dan seterusnya ke atas dari jalur kakek-kakeknya, semuanya haram atasnya untuk selamanya. Apakah mereka diharamkan karena nama atau karena maknanya, sebagaimana telah disebutkan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika ia berhubungan dengan salah satu dari mereka melalui akad, maka ia dikenai hukuman had; dan jika melalui kepemilikan budak, maka mengikuti dua pendapat.
رَوَى عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ عن يزيد بن البراء عن عازب عن أبيه قل مر بي خالي ومعه لواء فقلت: يا خالي أَيْنَ تَذْهَبُ فَقَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيهِ آتِيهِ بِرَأْسِهِ.
Diriwayatkan dari ‘Adi bin Tsabit dari Yazid bin al-Bara’ dari ‘Azib dari ayahnya, ia berkata: Pamanku melewatiku sambil membawa bendera, lalu aku bertanya, “Wahai pamanku, ke mana engkau pergi?” Ia menjawab, “Rasulullah ﷺ mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi istri ayahnya, aku diperintahkan untuk membawa kepalanya.”
والثالثة: زوجة الابن محرمة على الأب لعقد الِابْنِ عَلَيْهَا تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ سَوَاءً دَخَلَ بِهَا الابن أم لا، وهي الحليلة واختلف في تسميها الحليلة عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Ketiga: Istri anak laki-laki diharamkan atas ayah karena akad anak atasnya dengan pengharaman selamanya, baik anak telah berhubungan dengannya atau belum. Ia disebut “ḥalīlah”, dan terdapat perbedaan pendapat mengenai penamaan ḥalīlah ini dalam tiga pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّهَا سُمِّيَتْ حَلِيلَةً لِأَنَّهَا تَحِلُّ لِلزَّوْجِ.
Pertama: Ia dinamakan ḥalīlah karena ia halal bagi suaminya.
وَالثَّانِي: لِأَنَّهَا تَحُلُّ فِي الْمَكَانِ الَّذِي يَحُلُّ بِهِ الزَّوْجُ.
Kedua: Karena ia menempati tempat yang juga ditempati oleh suaminya.
وَالثَّالِثُ: لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَحِلُّ إِزَارَ صَاحِبِهِ.
Ketiga: Karena masing-masing dari keduanya menghalalkan kain penutup pasangannya.
وَإِذَا حَرُمَتْ حَلِيلَةُ الِابْنِ فَكَذَلِكَ حَلِيلَةُ ابْنِ الِابْنِ وَإِنْ سَفَلَ تَحْرُمُ عَلَى الْأَبِ وَإِنْ عَلَا وَهَلْ تَحْرُمُ بِالِاسْمِ أَوْ بِمَعْنَاهُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ فَإِنْ وَطِئَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ بِعَقْدٍ حُدَّ وَإِنْ كَانَ بِمِلْكِ يَمِينٍ فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ.
Jika istri anak diharamkan, maka demikian pula istri cucu laki-laki ke bawah, semuanya haram atas ayah dan ke atas. Apakah mereka diharamkan karena nama atau karena maknanya, sebagaimana telah dijelaskan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika ia berhubungan dengan salah satu dari mereka melalui akad, maka ia dikenai hukuman had; dan jika melalui kepemilikan budak, maka mengikuti dua pendapat yang telah lalu.
فَإِنْ كَانَ الِابْنُ قد وطئها بملك اليمين والأب قد وَطِئَهَا بِالزَّوْجِيَّةِ حُدَّ قَوْلًا وَاحِدًا وَأَمَّا الْقَوْلَانِ إِذَا كَانَ الْأَبُ قَدْ وَطِئَهَا بِالزَّوْجِيَّةِ وَالِابْنُ قَدْ وَطِئَهَا بِمِلْكِ الْيَمِينِ فَيُصَوَّرُ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي الْحُكْمِ بِحَدِّهِ فَلَزِمَهُمَا فِي الْمَعْنَى.
Jika anak telah berhubungan dengannya melalui kepemilikan budak dan ayah telah berhubungan dengannya melalui pernikahan, maka keduanya dikenai hukuman had menurut satu pendapat. Adapun dua pendapat jika ayah telah berhubungan dengannya melalui pernikahan dan anak melalui kepemilikan budak, maka perbedaan hukum antara keduanya dapat digambarkan dalam penerapan hukuman had, sehingga keduanya sama dalam makna.
وأما المحرمات بالعقد تحريم جمع منهن ثلاث: إحداهن الجمع بين الأختين فَإِذَا عَقَدَ عَلَى امْرَأَةٍ حَرُمَ عَلَيْهِ أُخْتُهَا وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْأُخْتُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ أَوْ لِلْأَبِ أَوْ لِلْأُمِّ فَإِذَا فَارَقَ الَّتِي تَزَوَّجَهَا مِنْهُمَا حَلَّ لَهُ أُخْتُهَا.
Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena akad dengan pengharaman untuk digabungkan, di antara mereka ada tiga: Pertama, menggabungkan antara dua saudari. Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita, maka haram baginya menikahi saudari wanita itu, baik saudari seayah-seibu, seayah saja, atau seibu saja. Jika ia telah berpisah dengan salah satu dari keduanya, maka halal baginya menikahi saudari yang lain.
وَالثَّانِيَةُ: الْجَمْعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا كَالْجَمْعِ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ، وَكَذَلِكَ الْجَمْعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّةِ أَبِيهَا وَجَدِّهَا وَعَمَّةِ أُمِّهَا وَجَدَّتِهَا ثم على ما ذكرنا، ومن تحريمهما بالاسم أو بمعناهما.
Kedua: Menggabungkan antara seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah, sebagaimana menggabungkan antara dua saudari. Demikian pula menggabungkan antara seorang wanita dengan bibi ayahnya, bibi kakeknya, bibi ibunya, dan bibi neneknya, sebagaimana telah disebutkan. Dan mengenai pengharaman mereka, apakah karena nama atau maknanya.
والثالث: الْجَمْعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا وَكَذَلِكَ تَحْرِيمُ الْجَمْعِ بينهما وَبَيْنَ خَالَةِ أُمِّهَا وَجَدَّاتِهَا وَخَالَةِ أَبِيهَا وَأَجْدَادِهَا ثم على ما ذكرنا من تحريمهما بِالِاسْمِ أَوْ بِمَعْنَاهُ.
Ketiga: Menggabungkan antara seorang wanita dengan bibinya dari pihak ibu. Demikian pula haram menggabungkan antara seorang wanita dengan bibi ibu dan neneknya, serta bibi ayah dan kakeknya, sebagaimana telah disebutkan mengenai pengharaman mereka, apakah karena nama atau maknanya.
وَأَمَّا الْمُحَرَّمَاتُ بِالْعَقْدِ تَحْرِيمَ عقد وَبِالدُّخُولِ تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ فَجِنْسٌ وَاحِدٌ، وَهُنَّ الرَّبَائِبُ.
Adapun perempuan-perempuan yang diharamkan karena akad dengan pengharaman akad, dan dengan persetubuhan dengan pengharaman selama-lamanya, maka itu satu jenis saja, yaitu para rabībah.
وَالرَّبِيبَةُ بِنْتُ الزَّوْجَةِ فَإِذَا عَقَدَ عَلَى امْرَأَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ ابْنَتُهَا تَحْرِيمَ جَمْعٍ فَإِذَا دَخَلَ بِالْأُمِّ حَرُمَتْ عَلَيْهِ ابْنَتُهَا تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ وَكَذَلِكَ بِنْتُ بِنْتِهَا وَبِنْتُ ابْنِهَا وَإِنْ سَفُلَتْ تَحْرُمُ بالعقد تحريم جمع، وبالدخول تحريم تأبيد، ثُمَّ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَحْرِيمِهَا بِالِاسْمِ أو بمعناه.
Rabībah adalah anak perempuan dari istri. Jika seseorang menikahi seorang wanita, maka anak perempuan wanita itu menjadi haram baginya dengan pengharaman penggabungan. Jika ia telah berhubungan dengan sang ibu, maka anak perempuannya menjadi haram baginya dengan pengharaman selama-lamanya. Demikian pula cucu perempuan dari anak perempuan atau anak laki-laki wanita itu, meskipun jauh keturunannya, menjadi haram dengan akad sebagai pengharaman penggabungan, dan dengan persetubuhan sebagai pengharaman selama-lamanya, kemudian sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan mengenai pengharamannya secara nama atau maknanya.
فإن قيل: لماذا حرمتم بنت الربيبة كالربيبة؟ فَهَلَّا حَرَّمْتُمْ بِنْتَ حَلِيلَةِ الِابْنِ كَالْحَلِيلَةِ.
Jika ada yang bertanya: Mengapa kalian mengharamkan anak perempuan rabībah seperti rabībah itu sendiri? Mengapa kalian tidak mengharamkan anak perempuan istri anak sebagaimana istri anak?
قُلْنَا: لَا تَحْرُمُ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Kami jawab: Tidak diharamkan, dan perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أن بِنْتَ الرَّبِيبَةِ ينطْلقُ عَلَيْهَا اسْمُ الرَّبِيبَةِ فَحُرِّمَتْ كالربيبة وبنت الحليلة لا ينطلق عَلَيْهَا اسْمُ الْحَلِيلَةِ فَلَمْ تُحَرَّمْ.
Pertama: Anak perempuan rabībah disebut juga rabībah, sehingga diharamkan seperti rabībah. Sedangkan anak perempuan istri anak tidak disebut istri anak, maka tidak diharamkan.
وَالثَّانِي: هُوَ أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْمَعْنَى الْمُعْتَبَرِ فِي تَحْرِيمِ المصاهرة إنما هو يَصِير الزَّوْجُ الْوَاحِدُ قَدْ جَمَعَ بَيْنَ ذِي نَسَبَيْنِ كحليلة الابن مع الأب وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي بِنْتِ الرَّبِيبَةِ فَحُرِّمَتْ كَالرَّبِيبَةِ وَهُوَ غير موجود في بنت الحليلة، لأنه لم يَجْمَعِ الْوَاحِدُ ذَاتَ نَسَبَيْنِ وَلَا اجْتَمَعَ فِي الواحدة ذو نسبين فلم يحرم والله أعلم.
Kedua: Bahwa pada dasarnya, makna yang diperhitungkan dalam pengharaman karena mushāharah adalah ketika seorang suami mengumpulkan dua orang yang memiliki hubungan nasab, seperti istri anak dengan ayah. Makna ini terdapat pada anak perempuan rabībah, sehingga ia diharamkan seperti rabībah. Namun makna ini tidak terdapat pada anak perempuan istri anak, karena tidak ada satu orang pun yang mengumpulkan dua orang yang memiliki hubungan nasab, dan tidak pula berkumpul dalam satu orang dua hubungan nasab, maka tidak diharamkan. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وحرم الله تعالى الْجَمْعَ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan Allah Ta‘ala mengharamkan mengumpulkan dua saudara perempuan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْجَمْعُ بين الأختين فَحَرَامٌ بِنَصِّ الْكِتَابِ وَإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ وَأَمَّا الْجَمْعُ بينهما بملك اليمين وإن جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي الْمِلْكِ بِالشِّرَاءِ جَازَ، إِذَا لَمْ يَجْمَعْ بَيْنَهُمَا فِي الِاسْتِمْتَاعِ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بالملك التحول دُونَ الِاسْتِمْتَاعِ، وَلِذَلِكَ جَازَ أَنْ يَمْلِكَ مَنْ لَا يَحِلُّ لَهُ وطئها مِنْ أَخَوَاتِهِ وَعَمَّاتِهِ وَخَالَفَ عَقْدَ النِّكَاحِ الَّذِي مَقْصُودُهُ الِاسْتِمْتَاعُ وَلِذَلِكَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَزَوَّجَ مَنْ لَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ أُخْتٍ وَعَمَّةٍ فَلِذَلِكَ بَطَلَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي النِّكَاحِ وَلَمْ يَبْطُلِ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي الْمِلْكِ، فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ في الاستمتاع فَيَطَأَ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا لَمْ يَجُزْ وَهُوَ قَوْلُ عَامَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ.
Al-Māwardī berkata: Adapun mengumpulkan dua saudara perempuan maka hukumnya haram berdasarkan nash al-Qur’an dan ijmā‘ umat. Adapun mengumpulkan keduanya dengan kepemilikan budak, jika seseorang mengumpulkan keduanya dalam kepemilikan melalui pembelian, maka itu boleh, selama tidak mengumpulkan keduanya dalam pemanfaatan (seksual); karena tujuan dari kepemilikan adalah perpindahan hak, bukan pemanfaatan (seksual). Oleh karena itu, boleh memiliki budak perempuan yang tidak halal digauli dari kalangan saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu. Hal ini berbeda dengan akad nikah yang tujuannya adalah pemanfaatan (seksual), sehingga tidak boleh menikahi wanita yang tidak halal baginya dari kalangan saudara perempuan dan bibi, maka batal mengumpulkan keduanya dalam pernikahan, namun tidak batal mengumpulkan keduanya dalam kepemilikan. Adapun jika seseorang ingin mengumpulkan dua saudara perempuan dengan kepemilikan budak untuk dinikmati (disetubuhi) keduanya, maka tidak boleh, dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat, tābi‘īn, dan para fuqahā’.
وَقَالَ دَاوُدُ: يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فَيَ الِاسْتِمْتَاعِ وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَرُبَّمَا أضيف إلى عثمان بن عفان واستدلالاً بعموم قوله تعالى: {أَوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ} وَلَمْ يُشْتَرَطْ فِي مِلْكِ الْيَمِينِ تَحْرِيمُ الْجَمْعِ بَيْنَ أُخْتَيْنِ وَكَذَلِكَ فِي قَوْله تَعَالَى: {فَإِنْ خِفْتُمْ ألاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ) {النساء: 3) فأطلق ملك اليمين وكان عَلَى عُمُومِهِ ثُمَّ قَالَ؛ وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ النِّكَاحِ نَوْعَانِ: تَحْرِيمُ عَدَدٍ، وَتَحْرِيمُ جَمْعٍ.
Dawud berkata: Boleh mengumpulkan keduanya untuk dinikmati (disetubuhi), dan ini adalah salah satu riwayat dari Ibnu ‘Abbās, dan kadang-kadang dinisbatkan kepada ‘Utsmān bin ‘Affān, dengan berdalil pada keumuman firman Allah Ta‘ala: {atau apa yang dimiliki oleh tangan kananmu} dan tidak disyaratkan dalam kepemilikan budak pengharaman mengumpulkan dua saudara perempuan. Demikian pula dalam firman-Nya Ta‘ala: {Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja atau budak-budak yang kamu miliki} (an-Nisā’: 3), maka Allah membolehkan kepemilikan budak secara umum. Kemudian ia berkata: Karena pengharaman nikah itu ada dua jenis: pengharaman jumlah, dan pengharaman penggabungan.
فَأَمَّا الْعَدَدُ فَهُوَ تَحْرِيمُ الزِّيَادَةِ عَلَى الْأَرْبَعِ وَأَمَّا تَحْرِيمُ الجمع؛ فهو الجمع بين الأختين فلما لم يعتبر في ملك اليمين وتحريم العدد، جاز أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِأَيِّ عَدَدٍ شَاءَ مِنَ الْإِمَاءِ وَجَبَ أَنْ لَا يَعْتَبِرَ تَحْرِيمَ الْجَمْعِ، وَيَجُوزُ أن يستمتع بأختين.
Adapun pengharaman jumlah adalah larangan menikahi lebih dari empat orang. Adapun pengharaman penggabungan adalah mengumpulkan dua saudara perempuan. Karena dalam kepemilikan budak tidak diperhitungkan pengharaman jumlah, maka boleh menikmati budak perempuan sebanyak yang diinginkan, maka tidak perlu memperhitungkan pengharaman penggabungan, dan boleh menikmati dua saudara perempuan.
قال داود: ولأن الجمع بينهما في الاستمتاع غَيْرُ مُمْكِنٍ، لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ إِلَّا أَنْ يَطَأَ إِحْدَاهُمَا بَعْدَ الْأُخْرَى وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي النِّكَاحِ مُمْكِنٌ فَلِذَلِكَ حَلَّ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي الِاسْتِمْتَاعِ بِالْمِلْكِ لِتَعَذُّرِهِ، وَحَرُمَ فِي النِّكَاحِ لِإِمْكَانِهِ، وَهَذَا خَطَأٌ.
Dawud berkata: Karena mengumpulkan keduanya dalam pemanfaatan (seksual) tidak mungkin, karena seseorang tidak mampu kecuali menyetubuhi salah satunya setelah yang lain. Sedangkan mengumpulkan keduanya dalam pernikahan itu mungkin, maka karena itu dihalalkan mengumpulkan keduanya dalam pemanfaatan (seksual) melalui kepemilikan karena tidak mungkin dilakukan bersamaan, dan diharamkan dalam pernikahan karena memungkinkan dilakukan bersamaan. Ini adalah kekeliruan.
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ} وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ تَحْرِيمِهَا بِنِكَاحٍ أَوْ مِلْكٍ؛ وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا بِمِلْكِ الْيَمِينِ مُسْتَفِيضٌ في الصحابة كالإجماع.
Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {dan (diharamkan juga) mengumpulkan dua saudara perempuan, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu} dan tidak membedakan antara pengharaman karena nikah atau karena kepemilikan budak. Dan karena pengharaman mengumpulkan keduanya dengan kepemilikan budak telah masyhur di kalangan para sahabat seperti ijmā‘.
روى مَالِكٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ: أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَسَأَلَهُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ فَقَالَ عُثْمَانُ: أَحَلَّتْهُمَا آيَةٌ وَحَرَّمَتْهُمَا آيَةٌ، وَالتَّحْرِيمُ أَوْلَى فَخَرَجَ السَّائِلُ فَلَقِيَ رَجُلًا مِنَ الصَّحَابَةِ فسأله عن ذلك، فقال: لو كان من الأمر إلي شَيْءٌ ثُمَّ وَجَدْتُ رَجُلًا يَفْعَلُ هَذَا لَجَعَلْتُهُ نكالاً.
Malik meriwayatkan dari az-Zuhri dari Qabishah bin Dzu’aib: Bahwa seorang laki-laki masuk menemui Utsman bin Affan lalu bertanya kepadanya tentang mengumpulkan dua saudari perempuan dalam kepemilikan budak perempuan. Maka Utsman berkata: “Sebuah ayat menghalalkan keduanya dan sebuah ayat mengharamkan keduanya, dan pengharaman lebih utama.” Maka penanya itu keluar, lalu ia bertemu dengan seorang sahabat dan menanyakan hal itu kepadanya. Ia berkata: “Seandainya urusan ini ada padaku, kemudian aku mendapati seseorang melakukan hal ini, niscaya aku akan menjadikannya sebagai pelajaran (hukuman berat).”
قال مَالِكٌ: قَالَ الزُّهْرِيُّ أُرَاهُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ.
Malik berkata: Az-Zuhri berkata, “Aku kira dia adalah Ali bin Abi Thalib, semoga Allah meridhainya.”
وَقَدْ رُوِيَ مِثْلُ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ الزُّبَيْرِ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَعَائِشَةَ وَعَمَّارٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَظْهَرَ خِلَافٌ فَصَارَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ التَّحْرِيمَ ضَرْبَانِ: تَحْرِيمُ تَأْبِيدٍ كَتَحْرِيمِ أُمَّهَاتِ الْمَوْطُوءَةِ وَبَنَاتِهَا وَتَحْرِيمُ جَمْعٍ كَتَحْرِيمِ أَخَوَاتِ الْمَوْطُوءَةِ وَعَمَّاتِهَا، فَلَمَّا كَانَ تَحْرِيمُ التَّأْبِيدِ مُعْتَبَرًا فِي وَطْءِ الْإِمَاءِ كَالنِّكَاحِ وَجَبَ بِأَنْ يَكُونَ تَحْرِيمُ الْجَمْعِ مُعْتَبَرًا في وطئهن كَالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّ ثُبُوتَ الْفِرَاشِ بِالْوَطْءِ أَقْوَى مِنْ ثبوته بالعقد؛ لأنه يثبت في فاسد الوطئ إِذَا كَانَ عَنْ شُبْهَةٍ كَمَا ثَبَتَ فِي صَحِيحِهِ وَلَا يَثْبُتُ فِي فَاسِدِ الْعَقْدِ وَإِنْ ثَبَتَ فِي صَحِيحِهِ فَلَمَّا ثَبَتَ تَحْرِيمُ الْجَمْعِ فِي الْعَقْدِ كَانَ تَحْرِيمُهُ فِي الْوَطْءِ أَوْلَى؛ وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الْجَمْعِ فِي النِّكَاحِ إِنَّمَا كَانَ ليدفع به تواصل ذوي الأرحام فَلَا يَتَقَاطَعُونَ؛ لِأَنَّ الضَّرَائِرَ مِنَ النِّسَاءِ مُتَقَاطِعَاتٌ وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي الْأُخْتَيْنِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ كَوُجُودِهِ فِيهِمَا بِعَقْدِ النِّكَاحِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا في التحريم.
Dan telah diriwayatkan hal serupa dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu az-Zubair, Ibnu Mas’ud, Aisyah, dan Ammar tanpa tampak adanya perbedaan pendapat, sehingga hal itu menjadi ijmā‘. Karena pengharaman itu ada dua macam: pengharaman abadi seperti pengharaman ibu-ibu dari budak yang digauli dan anak-anak perempuannya, dan pengharaman pengumpulan seperti pengharaman saudari-saudari dari budak yang digauli dan bibi-bibinya. Maka ketika pengharaman abadi dianggap berlaku dalam menggauli budak perempuan sebagaimana dalam pernikahan, maka wajib pula pengharaman pengumpulan dianggap berlaku dalam menggauli mereka sebagaimana dalam pernikahan. Dan karena penetapan hak ranjang (hubungan) dengan persetubuhan lebih kuat daripada penetapannya dengan akad; sebab hak ranjang itu tetap ada pada persetubuhan yang rusak jika terjadi karena syubhat, sebagaimana tetap pada persetubuhan yang sah, dan tidak tetap pada akad yang rusak meskipun tetap pada akad yang sah. Maka ketika pengharaman pengumpulan telah tetap dalam akad, maka pengharamannya dalam persetubuhan lebih utama; dan karena pengharaman pengumpulan dalam pernikahan itu dimaksudkan untuk mencegah terputusnya hubungan kekerabatan agar mereka tidak saling memutuskan; karena para madunya dari kalangan perempuan saling memutuskan hubungan, dan makna ini juga terdapat pada dua saudari perempuan dalam kepemilikan budak sebagaimana terdapat pada keduanya dalam akad nikah, maka wajib keduanya disamakan dalam pengharaman.
فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِعُمُومِ الْآيَتَيْنِ فَقَدْ خَصَّهُ قَوْله تَعَالَى: {وَأنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ} (النساء: 23) وَأَمَّا قوله بأن تحريم العدد لما حرم بالنكاح كَذَلِكَ تَحْرِيمُ الْجَمْعِ.
Adapun istidlāl (pengambilan dalil) dengan keumuman dua ayat, maka telah dikhususkan oleh firman Allah Ta‘ala: {Dan (diharamkan juga) mengumpulkan dua saudari sekaligus} (an-Nisa: 23). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa pengharaman jumlah (istri) ketika diharamkan dalam pernikahan, demikian pula pengharaman pengumpulan.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ تَحْرِيمَ الْعَدَدِ إِنَّمَا ثَبَتَ فِي الزَّوْجَاتِ خَوْفًا مِنَ الجور فيما يجب لهم مِنَ النَّفَقَةِ وَالْكِسْوَةِ وَالْقَسْمِ وَهَذَا مَعْدُومٌ فِي الإماء، لأن نفقاتهن وكسوتهن في أكسابهن ولا قسم لهن فأمن الجور فَافْتَرَقَا فِي تَحْرِيمِ الْعَدَدِ وَهُمَا فِي الْمَعْنَى الذي أوجبت تحريم الجمع سواء؛ لأن خوف التقاطع والتباغض والتحاسر، وهذا مَوْجُودٌ فِي الْإِمَاءِ كَوُجُودِهِ فِي الزَّوْجَاتِ فَاسْتَوَيَا فِي تَحْرِيمِ الْجَمْعِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي مَعْنَاهُ وَإِنِ افْتَرَقَا فِي تَحْرِيمِ الْعَدَدِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي مَعْنَاهُ وَأَمَّا قَوْلُ دَاوُدَ: إِنَّ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا فِي الوطئ غَيْرُ مُمْكِنٍ، فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
Maka jawabannya adalah bahwa pengharaman jumlah itu hanya berlaku pada para istri karena khawatir terjadinya kezaliman dalam hal nafkah, pakaian, dan pembagian giliran yang wajib bagi mereka, dan hal ini tidak ada pada budak perempuan, karena nafkah dan pakaian mereka berasal dari penghasilan mereka sendiri dan tidak ada pembagian giliran bagi mereka, sehingga aman dari kezaliman. Maka keduanya berbeda dalam pengharaman jumlah, namun keduanya sama dalam makna yang menyebabkan pengharaman pengumpulan, karena kekhawatiran terputusnya hubungan, saling membenci, dan saling menyesal, dan ini terdapat pada budak perempuan sebagaimana terdapat pada para istri. Maka keduanya sama dalam pengharaman pengumpulan karena kesamaan maknanya, meskipun berbeda dalam pengharaman jumlah karena perbedaan maknanya. Adapun pendapat Dawud: bahwa mengumpulkan keduanya dalam persetubuhan tidak mungkin, maka ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ يُمْكِنُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي الِاسْتِمْتَاعِ بِأَنْ يُضَاجِعَهُمَا مَعًا وَيَلْمِسَهُمَا وَهَذَا مُحَرَّمٌ فِي الْأُخْتَيْنِ.
Pertama: Bahwa bisa saja mengumpulkan keduanya dalam kenikmatan, yaitu dengan menyetubuhi keduanya secara bersamaan dan menyentuh keduanya, dan ini diharamkan pada dua saudari perempuan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ يَنْطَلِقُ اسْمُ الْجَمْعِ عَلَى فِعْلِ الشَّيْءِ بَعْدَ الشَّيْءِ كَالْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ، كَذَلِكَ بين الوطئين فَيَكُونُ الْجَمْعُ جَمْعَيْنِ جَمْعَ مُتَابِعَةٍ وَجَمْعَ مُقَارَنَةٍ.
Kedua: Bahwa istilah “mengumpulkan” bisa digunakan untuk melakukan sesuatu secara berurutan, seperti mengumpulkan dua salat, demikian pula dalam dua persetubuhan, maka pengumpulan itu ada dua: pengumpulan secara berurutan dan pengumpulan secara bersamaan.
والثالث: أن الصحابة قد جعلته مِنْ مَعْنَى الْجَمْعِ مَا نَهَتْ عَنْهُ وَلَمْ تجعله مُسْتَحِيلًا.
Ketiga: Para sahabat telah menjadikan hal itu termasuk makna pengumpulan yang dilarang, dan mereka tidak menganggapnya mustahil.
فَصْلٌ
Fashl (Bagian)
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَحْرِيمُ الْجَمْعِ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ كَتَحْرِيمِهِ بِعَقْدِ النِّكَاحِ فَمَلَكَ أُخْتَيْنِ كَانَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِأَيّهِمَا شَاءَ فَإِذَا اسْتَمْتَعَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ الْأُخْرَى مَا كَانَ عَلَى اسْتِمْتَاعِهِ بِالْأُولَى حَتَّى يُحَرِّمَهَا عَلَيْهِ بِأَحَدِ خَمْسَةِ أَشْيَاءَ: إِمَّا أَنْ يَبِيعَهَا، وَإِمَّا أَنْ يَهَبَهَا، وَإِمَّا أَنْ يُعْتِقَهَا، وَإِمَّا أَنْ يُزَوِّجَهَا، وَإِمَّا أَنْ يُكَاتِبَهَا فَتَصِيرُ بِأَحَدِ هَذِهِ الْخَمْسَةِ الْأَشْيَاءِ مُحَرَّمَةً عَلَيْهِ فَيَحِلُّ لَهُ حينئذ أن يستمتع بها بِالثَّانِيَةِ وَتَصِيرُ الْأُولَى إِنْ عَادَتْ إِلَى إِبَاحَتِهِ مُحَرَّمَةً عَلَيْهِ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا حَتَّى تَحْرُمَ الثانية بأحد ما ذكرنا مِنَ الْأَشْيَاءِ الْخَمْسَةِ.
Apabila telah dipastikan keharaman mengumpulkan dua saudari dalam kepemilikan budak perempuan sebagaimana keharamannya dalam akad nikah, maka jika seseorang memiliki dua saudari, ia boleh menikmati salah satu dari keduanya yang ia kehendaki. Namun, apabila ia telah menikmati salah satunya, maka yang lainnya menjadi haram baginya selama ia masih menikmati yang pertama, hingga ia mengharamkan yang pertama atas dirinya dengan salah satu dari lima hal: yaitu dengan menjualnya, atau memberikannya sebagai hibah, atau memerdekakannya, atau menikahkannya, atau melakukan mukātabah dengannya. Maka dengan salah satu dari lima hal ini, perempuan tersebut menjadi haram baginya, sehingga pada saat itu halal baginya untuk menikmati yang kedua. Dan jika yang pertama kembali menjadi miliknya, maka tetap haram baginya untuk menikmatinya sampai yang kedua menjadi haram atasnya dengan salah satu dari lima hal yang telah disebutkan.
وَحُكِيَ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّهُ إذا عزم على أن يَطَأَ الَّتِي وَطِئَ حَلَّتْ لَهُ الْأُخْرَى، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ التَّحْرِيمَ يَقَعُ بِأَسْبَابِهِ لَا بِالْعَزْمِ عليه وقد يحرم عليه بسببين آخَرَيْنِ لَيْسَا مِنْ فِعْلِهِ وَهُمَا: الرَّضَاعُ وَالرِّدَّةُ، فأما التدبير: فلا يحرم ثم إذا أخرج الثَّانِيَةَ بِأَحَدِ مَا ذَكَرْنَا عَادَتِ الْأُولَى إِلَى إِبَاحَتِهَا وَحَلَّ لَهُ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا فَلَوْ أَنَّهُ حِينَ اسْتَمْتَعَ بِالْأُولَى اسْتَمْتَعَ بِالثَّانِيَةِ قَبْلَ تَحْرِيمِ الْأُولَى عَلَيْهِ كَانَ بِوَطْءِ الثَّانِيَةِ عَاصِيًا وَلَمْ تحرم الأولى عليه بمعصية لوطء الثانية قال الشافعي: وأحب أن يمسك عن وطأ الأولى حتى يستبرأ الثانية؛ لأن لا يُجْمَعَ مَاؤُهُ فِي أُخْتَيْنِ فَإِنْ وَطِئَهَا قَبْلَ استبراء الثانية جاز وإن أساء.
Diriwayatkan dari Qatādah bahwa jika seseorang berniat untuk menggauli yang telah digauli, maka yang lainnya menjadi halal baginya. Ini adalah kekeliruan, karena keharaman itu terjadi karena sebab-sebabnya, bukan karena niat semata. Bahkan, terkadang keharaman terjadi karena dua sebab lain yang bukan berasal dari perbuatannya, yaitu: karena penyusuan (raḍā‘) dan karena murtad (riddah). Adapun tadbīr (pembebasan budak setelah wafat), maka itu tidak menyebabkan keharaman. Kemudian, jika ia mengeluarkan yang kedua dengan salah satu dari hal-hal yang telah kami sebutkan, maka yang pertama kembali menjadi halal baginya dan ia boleh menikmatinya. Jika ketika ia menikmati yang pertama, ia juga menikmati yang kedua sebelum yang pertama menjadi haram baginya, maka dengan menggauli yang kedua ia berdosa, namun yang pertama tidak menjadi haram baginya hanya karena maksiat menggauli yang kedua. Imam Syāfi‘ī berkata: “Aku lebih suka ia menahan diri dari menggauli yang pertama sampai memastikan rahim yang kedua telah bersih, agar air maninya tidak terkumpul pada dua saudari. Namun jika ia menggaulinya sebelum memastikan rahim yang kedua bersih, maka itu boleh meskipun ia telah berbuat buruk.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا ونهى عمر رضي الله عنه عن الأم وابنتها من ملك اليمين، وقال ابن عمر وددت أن عمر كان في ذلك أشد مما هو ونهت عن ذلك عائشة وقال عثمان في جمع الأختين: أما أنا فلا أحب أن أصنع ذلك فقال رجلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَوْ كَانَ إِلَيَّ مِنَ الْأَمْرِ شيءٌ ثُمَّ وجدت رجلاً يفعل ذلك لجعلته نكالاً قَالَ الزُّهْرِيُّ أُرَاهُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طالبٍ “.
Imam Syāfi‘ī berkata: “Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- melarang menikahi seorang perempuan di atas bibinya atau di atas bibinya dari pihak ibu. Umar raḍiyallāhu ‘anhu juga melarang menikahi ibu dan anak perempuannya dari budak perempuan yang dimiliki. Ibnu Umar berkata, ‘Aku berharap Umar lebih keras dalam hal itu daripada yang telah ia lakukan.’ ‘Āisyah juga melarang hal tersebut. Utsmān, terkait pengumpulan dua saudari, berkata: ‘Adapun aku, aku tidak suka melakukannya.’ Seorang sahabat Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- berkata, ‘Seandainya urusan itu ada padaku, lalu aku mendapati seseorang melakukannya, niscaya aku akan menjadikannya sebagai pelajaran.’ Az-Zuhrī berkata, ‘Aku kira itu adalah ‘Alī bin Abī Ṭālib.'”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، الْجَمْعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَبَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا حَرَامٌ بِعَقْدِ النِّكَاحِ وَمِلْكِ الْيَمِينِ، كَالْجَمْعِ بَيْنَ أُخْتَيْنِ، وَهُوَ قول الجمهور، وحكي عن الخوارج وعثمان الْبَتِّيِّ أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي نِكَاحٍ وَلَا مِلْكِ يَمِينٍ، وَحَرَّمَ دَاوُدُ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا فِي النِّكَاحِ دُونَ مِلْكِ الْيَمِينِ، فَأَمَّا دَاوُدُ فَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي الْجَمْعِ بين الْأُخْتَيْنِ، وَأَمَّا الْبَتِّيُّ وَالْخَوَارِجُ فَاسْتَدَلُّوا بِأَنَّ تَحْرِيمَ المناكح مأخوذ مِنْ نَصِّ الْكِتَابِ دُونَ السُّنَّةِ وَلَمْ يَرِدِ الْكِتَابُ بِذَلِكَ فَلَمْ يَحْرُمْ وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ كُلَّ مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهِ كَمَا يُلْزَمُ بِمَا جَاءَ بِهِ الْكِتَابُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الهَوَى إنْ هُوَ إلاَّ وَحِيٌ يُوْحَى} (النجم: 3 و 4) وَقَدْ جَاءَتِ السُّنَّةُ بِمَا رَوَاهُ مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا “
Al-Māwardī berkata: “Sebagaimana yang telah disebutkan, mengumpulkan antara seorang perempuan dan bibinya, atau antara seorang perempuan dan bibinya dari pihak ibu, hukumnya haram baik melalui akad nikah maupun kepemilikan budak perempuan, sebagaimana haramnya mengumpulkan dua saudari. Ini adalah pendapat jumhur. Diriwayatkan dari kaum Khawārij dan Utsmān al-Battī bahwa tidak haram mengumpulkan keduanya baik dalam pernikahan maupun dalam kepemilikan budak perempuan. Dāwūd mengharamkan pengumpulan keduanya dalam pernikahan saja, tidak dalam kepemilikan budak perempuan. Adapun Dāwūd, telah dijelaskan pembahasannya dalam masalah pengumpulan dua saudari. Adapun al-Battī dan Khawārij berdalil bahwa keharaman hubungan pernikahan diambil dari nash al-Qur’an saja, bukan dari sunnah, dan tidak ada nash al-Qur’an tentang hal itu, maka tidaklah haram. Ini adalah kekeliruan, karena semua yang datang dari sunnah wajib diamalkan sebagaimana wajibnya mengamalkan apa yang datang dari al-Qur’an. Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan tidaklah ia berbicara menurut hawa nafsunya. Tidak lain (ucapannya) itu hanyalah wahyu yang diwahyukan} (an-Najm: 3-4). Dan telah datang sunnah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mālik dari Abū az-Zinād dari al-A‘raj dari Abū Hurairah bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Tidak boleh dikumpulkan antara seorang perempuan dan bibinya, dan tidak pula antara seorang perempuan dan bibinya dari pihak ibu.'”
وَرَوَى دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلَا الْعَمَّةُ عَلَى بِنْتِ أَخِيهَا، وَلَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا وَلَا الْخَالَةُ عَلَى بِنْتِ أُخْتِهَا ولا تنكح الصُّغْرَى عَلَى الْكُبْرَى وَلَا الْكُبْرَى عَلَى الصُّغْرَى ” وَهَذَانِ الْحَدِيثَانِ نَصٌّ وَالثَّانِي أَكْمَلُ، وَهُمَا وَإِنْ كَانَا خَبَرَيْ وَاحِدٍ فَقَدْ تَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ بِالْقَبُولِ وَعَمِلَ بِهِ الْجُمْهُورُ فَصَارَ بِأَخْبَارِ التَّوَاتُرِ أَشْبَهَ فلزم الخوارج العمل به، وإن لم يلتزموا أَخْبَار الْآحَادِ، وَلِأَنَّ الْأُخْتَيْنِ يَحْرَمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا؛ لِأَنَّ إِحْدَاهُمَا لَوْ كَانَ رَجُلًا حَرُمَ عَلَيْهِ نِكَاحُ أُخْتِهِ كَذَلِكَ الْمَرْأَةُ وَخَالَتُهَا وَعَمَّتُهَا يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ إِحْدَاهُمَا رَجُلًا حَرُمَ عَلَيْهِ نِكَاحُ عَمَّتِهِ وَخَالَتِهِ.
Diriwayatkan oleh Dawud bin Abi Hind dari Asy-Sya‘bi dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah seorang wanita dinikahi di atas bibinya (dari pihak ayah), dan jangan pula bibi (dari pihak ayah) dinikahi di atas keponakannya (putri saudara laki-lakinya); dan janganlah seorang wanita dinikahi di atas bibinya (dari pihak ibu), dan jangan pula bibi (dari pihak ibu) dinikahi di atas keponakannya (putri saudara perempuannya); dan jangan pula yang lebih muda dinikahi di atas yang lebih tua, dan jangan pula yang lebih tua di atas yang lebih muda.” Kedua hadis ini merupakan nash, dan yang kedua lebih lengkap. Meskipun keduanya adalah khabar ahad, umat telah menerimanya dengan baik dan mayoritas ulama mengamalkannya, sehingga kedudukannya menyerupai khabar mutawatir. Oleh karena itu, kaum Khawarij pun wajib mengamalkannya, meskipun mereka tidak berpegang pada khabar ahad. Dan karena dua saudari diharamkan untuk digabungkan dalam pernikahan; sebab jika salah satunya adalah laki-laki, maka haram baginya menikahi saudarinya. Demikian pula wanita dan bibinya (dari pihak ayah atau ibu) diharamkan untuk digabungkan; karena jika salah satunya adalah laki-laki, maka haram baginya menikahi bibinya dari pihak ayah maupun ibu.
فَأَمَّا الْجَمْعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَبَيْنَ بِنْتِ عَمَّتِهَا أَوْ بَيْنَهَا وبين بنت عمها فيجوز وكذلك الجمع بين المرأة وبنت خالتها أو بينهما وبين بنت خالها فَيَجُوزُ؛ لِأَنَّ إِحْدَاهُمَا لَوْ كَانَ رَجُلًا لَجَازَ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِنْتَ عَمِّهِ وَبِنْتَ عَمَّتِهِ وَبِنْتَ خاله وبنت خالته، وهذا هو أصل في تحريم الجمع وإخلاله بَيْنَ ذَوَاتِ الْأَنْسَابِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى حَرَّمْنَا عَلَيْهِ الجمع بين المرأة وعمة أبيهما وعمة أمها وبينهما وبين خالة أبيها وخالة أمها، لأن أحدهما لَوْ كَانَ رَجُلًا حَرُمَ عَلَيْهِ نِكَاحُ الْأُخْرَى، والله أعلم.
Adapun menggabungkan antara seorang wanita dengan putri bibinya (dari pihak ayah), atau antara wanita dengan putri pamannya (dari pihak ayah), maka itu diperbolehkan. Demikian pula menggabungkan antara wanita dengan putri bibinya (dari pihak ibu), atau antara mereka dengan putri pamannya (dari pihak ibu), maka itu juga diperbolehkan; karena jika salah satunya adalah laki-laki, maka boleh baginya menikahi putri pamannya, putri bibinya, putri paman dari pihak ibu, dan putri bibi dari pihak ibu. Inilah dasar dalam hukum pengharaman dan kebolehan menggabungkan wanita-wanita yang memiliki hubungan nasab. Dengan makna ini pula, kami mengharamkan menggabungkan antara seorang wanita dengan bibi ayahnya, bibi ibunya, atau antara mereka dengan bibi ayahnya dari pihak ibu dan bibi ibunya dari pihak ibu, karena jika salah satunya adalah laki-laki, maka haram baginya menikahi yang lainnya. Dan Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِذَا تَزَوَّجَ امْرَأَةً ثُمَّ تَزَوَّجَ عَلَيْهَا أُخْتَهَا أَوْ عَمَّتَهَا أَوْ خَالَتَهَا وَإِنْ بَعُدَتْ فَنِكَاحُهَا مفسوخُ دَخَلَ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ وَنِكَاحُ الْأُولَى ثابتٌ وتحل كل واحدةٍ منهما على الانفراد وإن نَكَحَهُمَا مَعًا فَالنِّكَاحُ مفسوخٌ “.
Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menikahi seorang wanita, kemudian menikahi pula saudari wanita itu, atau bibinya (dari pihak ayah), atau bibinya (dari pihak ibu), meskipun jauh (hubungan kekerabatannya), maka pernikahan dengan yang kedua batal, baik sudah terjadi hubungan suami istri maupun belum, dan pernikahan dengan yang pertama tetap sah. Masing-masing dari mereka halal dinikahi secara terpisah. Jika ia menikahi keduanya sekaligus, maka pernikahannya batal.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْجَمْعَ بَيْنَ مَنَاكِحِ ذَوَاتِ الْأَنْسَابِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ يُوجِبُ تَحْرِيمَ الْمُصَاهَرَةِ عَلَى التَّأْبِيدِ وَقِسْمٌ يُوجِبُ تَحْرِيمَ الْمُصَاهَرَةِ فِي الْجَمْعِ لَا عَلَى التَّأْبِيدِ، وَقِسْمُ إِبَاحَةٍ لَا يُوجِبُ تَحْرِيمَ التَّأْبِيدِ وَلَا تَحْرِيمَ الْجَمْعِ.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa penggabungan dalam pernikahan wanita-wanita yang memiliki hubungan nasab terbagi menjadi tiga bagian: Bagian yang menyebabkan haramnya pernikahan karena musaharah (hubungan pernikahan) untuk selamanya; bagian yang menyebabkan haramnya penggabungan dalam pernikahan, namun tidak untuk selamanya; dan bagian yang membolehkan, yaitu tidak menyebabkan keharaman selamanya maupun keharaman penggabungan.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ تَحْرِيمُ التَّأْبِيدِ، فَفِي أَنْسَابِ الْبَعْضِيَّةِ وَالْوِلَادَةِ كَالْمَرْأَةِ فِي تَحْرِيمِ أُمَّهَاتِهَا وَبَنَاتِهَا عَلَيْهِ يَحْرُمْنَ عَلَى الْأَبَدِ.
Adapun bagian pertama, yaitu keharaman selamanya, terdapat pada hubungan nasab langsung dan kelahiran, seperti wanita yang diharamkan menikahi ibu-ibunya dan anak-anak perempuannya; mereka haram dinikahi untuk selamanya.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ تَحْرِيمُ الْجَمْعِ فِي حال العقد ممن غَيْرِ تَحْرِيمٍ عَلَى التَّأْبِيدِ فَفِيمَا تَجَاوَزَ الْوِلَادَةَ، وَاتَّصَلَ بِهَا مِنْ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ كَالْجَمْعِ بَيْنَ الْأَخَوَاتِ وَالْخَالَاتِ وَالْعَمَّاتِ لَمَّا نَزَلْنَ عَنْ دَرَجَةِ الْأُمَّهَاتِ وَالْبَنَاتِ فِي التَّعْصِيبِ لَمْ يَحْرُمْنَ عَلَى التأبيد ولما شاركتهن في المحرم حُرِّمْنَ تَحْرِيمَ الْجَمْعِ.
Adapun bagian kedua, yaitu keharaman penggabungan dalam akad nikah tanpa keharaman selamanya, terdapat pada hubungan yang melebihi kelahiran dan berkaitan dengannya dari kalangan mahram, seperti menggabungkan antara para saudari, bibi dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ayah. Karena mereka berada di bawah derajat ibu dan anak perempuan dalam hal kekerabatan, maka mereka tidak haram dinikahi untuk selamanya. Namun karena mereka juga termasuk mahram, maka diharamkan penggabungan dalam pernikahan.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ مَنْ لَا يَحْرُمْنَ عَلَى التَّأْبِيدِ وَلَا عَلَى وجه الجمع فمن عدا الفرقين مِنْ بَنَاتِ الْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَبَنَاتِ الْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ لَمَّا نَزَلْنَ عَنِ الدَّرَجَتَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُنَّ بَعْضِيَّةُ الْأُمَّهَاتِ وَالْبَنَاتِ وَلَا مُحَرَّمُ الْعَمَّاتِ وَالْخَالَاتِ، لم يتعلق عليهن واحد من حكم التحريم لا التأبيد ولا الجمع وجاز للرجال أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعٍ مِنْهُنَّ وَإِنْ تَنَاسَبْنَ لِبُعْدِ النَّسَبِ وَخُلُوِّهِ مِنْ مَعْنَى أَحَدِ التَّحْرِيمَيْنِ.
Adapun bagian ketiga, yaitu wanita-wanita yang tidak haram dinikahi untuk selamanya maupun karena penggabungan, adalah selain dua kelompok di atas, seperti putri-putri paman dan bibi dari pihak ayah, serta putri-putri paman dan bibi dari pihak ibu. Karena mereka berada di bawah dua derajat tersebut dan tidak memiliki hubungan langsung seperti ibu dan anak perempuan, serta tidak termasuk keharaman bibi dari pihak ayah maupun ibu, maka tidak berlaku atas mereka salah satu dari dua hukum keharaman, baik keharaman selamanya maupun keharaman penggabungan. Maka boleh bagi laki-laki untuk menggabungkan empat wanita dari mereka sekaligus, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, karena jauhnya hubungan nasab dan tidak adanya makna dari salah satu keharaman tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ وَأَنَّ تَحْرِيمَ الجمع يختص به ذوات الْمَحَارِمِ مَنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ كَالْأَخَوَاتِ وَالْعَمَّاتِ وَالْخَالَاتِ فَنَكَحَ الرَّجُلُ أُخْتَيْنِ أَوِ امْرَأَةً وَخَالَتَهَا وعمتها فهذا على ضربين:
Jika telah dipahami pendahuluan ini, dan bahwa keharaman penggabungan hanya khusus bagi wanita-wanita mahram karena nasab atau karena persusuan, seperti para saudari, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu, maka jika seorang laki-laki menikahi dua saudari, atau seorang wanita dan bibinya dari pihak ibu atau bibinya dari pihak ayah, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أحدهما: أنه يعقد عليهما معاً في عقد واحد فنكاحها بَاطِلٌ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا حَرُمَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يتعين الْمُخْتَصَّةُ بِالصِّحَّةِ مِنْهُمَا وَجَبَ بُطْلَانُ الْعَقْدِ عَلَيْهِمَا لتساويهما وسواء دخل بأحدها أَوْ لَمِ يَدْخُلْ وَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يستأنف العقد على أيهما شَاءَ فَإِنْ عَقَدَ عَلَى الَّتِي دَخَلَ بِهَا سَقَطَ مَا عَلَيْهَا مِنْ عِدَّةِ أصَابَته وَإِنْ عَقَدَ عَلَى غَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا صَحَّ عَقْدُهُ، ويستبح أَنْ يُمْسِكَ عَنْ إِصَابَتِهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّةُ أُخْتِهَا مِنْ إِصَابَتِهِ لِئَلَّا يَجْتَمِعَ مَاؤُهُ فِي أُخْتَيْنِ.
Pertama: Jika ia mengakadkan keduanya sekaligus dalam satu akad, maka pernikahannya batal; karena ketika diharamkan mengumpulkan keduanya dan tidak dapat ditentukan mana yang sah di antara keduanya, maka wajib batal akad atas keduanya karena kedudukannya sama. Baik ia telah berhubungan dengan salah satunya atau belum, ia tetap berhak memilih untuk mengulangi akad pada siapa saja yang ia kehendaki. Jika ia mengakadkan pada yang telah digaulinya, maka gugurlah masa ‘iddah yang wajib atasnya karena telah digauli. Jika ia mengakadkan pada yang belum digauli, maka akadnya sah, namun ia harus menahan diri untuk tidak menggaulinya sampai selesai masa ‘iddah saudarinya yang telah digauli, agar air maninya tidak berkumpul pada dua saudari.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَعْقِدَ عَلَيْهِمَا ثَانِيَةً بَعْدَ أُولَى فَنِكَاحُ الْأُولَى ثَابِتٌ وَنِكَاحُ الثَّانِيَةِ بَاطِلٌ لِاسْتِقْرَارِ الْعَقْدِ عَلَى الْأُولَى قَبْلَ الْجَمْعِ فَلَوْ شَكَّ فِي أَيَّتِهِمَا نَكَحَ أَوَّلًا فَهَذَا على ضربين:
Jenis kedua: Jika ia mengakadkan pada keduanya secara terpisah, yang kedua setelah yang pertama, maka pernikahan yang pertama sah dan pernikahan yang kedua batal karena akad telah tetap pada yang pertama sebelum terjadi pengumpulan. Jika ia ragu mana yang dinikahi terlebih dahulu, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أحدهما: أن يطرأ الشَّكُّ بَعْدَ تَقَدُّمِ الْيَقِينِ فَنِكَاحُهُمَا مَوْقُوفٌ وَإِحْدَاهُمَا زَوْجَةٌ مَجْهُولَةُ الْعَيْنِ وَالْأُخْرَى أَجْنَبِيَّةٌ وَكُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مَمْنُوعَةٌ مِنْهُ وَمِنْ غَيْرِهِ مِنَ الْأَزْوَاجِ حَتَّى يَبِينَ أَمْرُهَا فَإِنْ صَرَّحَ بِطَلَاقِ إِحْدَاهُمَا حَلَّتْ لِغَيْرِهِ، وَكَانَ تَحْرِيمُهَا عَلَيْهِ بِحَالَةٍ، وَالْأُخْرَى عَلَى التَّحْرِيمِ فَإِنِ اسْتَأْنَفَ عَلَيْهَا عَقْدًا حَلَّتْ لَهُ.
Pertama: Jika keraguan muncul setelah sebelumnya ada keyakinan, maka pernikahan keduanya ditangguhkan, salah satunya adalah istri yang tidak diketahui siapa, dan yang lainnya adalah perempuan asing. Masing-masing dari keduanya terlarang baginya dan juga bagi laki-laki lain sampai jelas statusnya. Jika ia secara tegas menceraikan salah satunya, maka ia menjadi halal bagi laki-laki lain, dan tetap haram baginya dalam keadaan tersebut, sedangkan yang lain tetap dalam status haram. Jika ia mengulangi akad pada yang telah dicerai, maka ia menjadi halal baginya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الشَّكُّ مَعَ ابتداء العقد لم يتقدمه يقين فنكاحها بَاطِلٌ لَا يُوقَفُ عَلَى الْبَيَانِ لِعَدَمِهِ وَهَلْ يَفْتَقِرُ بُطْلَانُهُ إِلَى فَسْخِ الْحَاكِمِ أَمْ لَا؟ على وجهين:
Jenis kedua: Jika keraguan itu muncul bersamaan dengan awal akad tanpa didahului keyakinan, maka pernikahannya batal dan tidak perlu ditangguhkan sampai ada kejelasan karena memang tidak ada kejelasan. Apakah kebatalannya memerlukan pembatalan dari hakim atau tidak? Ada dua pendapat:
أحدهما: يفتقر ويكون الإشكال وَالِاشْتِبَاه بَاطِلًا؛ لِأَنَّ مَا لَمْ يَتَمَيَّزْ إِبَاحَتُهُ مِنَ الْحَظْرِ غَلَبَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْحَظْرِ.
Pertama: Memerlukan pembatalan dari hakim, dan kerancuan serta ketidakjelasan dianggap batal; karena sesuatu yang belum jelas kehalalannya dari keharamannya, maka hukum keharamannya lebih didahulukan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَنْفَسِخُ إِلَّا بِحُكْمِ حَاكِمٍ لِأَنَّ الْعِلْمَ مُحِيطٌ بِأَنَّ فِيهِمَا زَوْجَةً فَلَمْ يَكُنِ الْجَهْلُ بِهَا مُوجِبًا لِفَسْخِ نِكَاحِهَا حَتَّى يَتَوَلَّاهُ مَنْ لَهُ مَدْخَلٌ فِي فَسْخِ النِّكَاحِ وَهُوَ الْحَاكِمُ.
Pendapat kedua: Tidak batal kecuali dengan keputusan hakim, karena diketahui pasti bahwa di antara keduanya ada yang menjadi istri, sehingga ketidaktahuan tentangnya tidak menyebabkan pembatalan nikahnya kecuali dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam pembatalan nikah, yaitu hakim.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا عَقَدَ الرَّجُلُ عَلَى امْرَأَةٍ نِكَاحًا فَاسِدًا ثُمَّ تَزَوَّجَ عَلَيْهَا أُخْتَهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika seorang laki-laki mengakadkan pernikahan dengan seorang wanita dengan akad yang fasid (rusak), kemudian menikahi saudari wanita tersebut, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَعْلَمَ بِفَسَادِ الْعَقْدِ الْأَوَّلِ فَيَكُونُ نِكَاحُ الثَّانِيَةِ جَائِزًا سَوَاءٌ عَلِمَ أَنَّهَا أُخْتُ الْأُولَى وَقْتَ الْعَقْدِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ.
Pertama: Jika ia mengetahui kerusakan akad yang pertama, maka pernikahan dengan yang kedua sah, baik ia mengetahui bahwa yang kedua adalah saudari yang pertama pada saat akad atau tidak mengetahuinya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يعلم بفساد النكاح في حتى يعقد على انتهاء فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jenis kedua: Jika ia tidak mengetahui kerusakan pernikahan hingga ia mengakadkan dengan yang kedua, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَعْلَمَ وقت عقده على الثانية أنها أخت الأولى فَيَكُونُ نِكَاحُهَا جَائِزًا لِأَنَّهُ لَمْ يَقْتَرِنْ بِعَقْدِهِ مَنْعٌ.
Pertama: Jika ia tidak mengetahui pada saat akad dengan yang kedua bahwa ia adalah saudari yang pertama, maka pernikahannya sah karena tidak ada larangan yang menyertai akadnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَعْلَمَ وَقْتَ عَقْدِهِ على الثانية أيهما أُخْتُ الْأُولَى، وَلَا يَعْلَمُ بِفَسَادِ نِكَاحِ الْأُولَى حَتَّى يَعْقِدَ عَلَى الثَّانِيَةِ فَنِكَاحُ الثَّانِيَةِ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّهُ أَقْدَمَ عَلَى نِكَاحٍ هُوَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ في الظاهر فجرى عَلَيْهِ حُكْمُ الْحَظْرِ فِي الْفَسَادِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Jenis kedua: Jika ia mengetahui pada saat akad dengan yang kedua mana yang merupakan saudari yang pertama, namun tidak mengetahui kerusakan pernikahan dengan yang pertama hingga ia mengakadkan dengan yang kedua, maka pernikahan dengan yang kedua batal; karena ia telah melakukan pernikahan yang secara lahiriah dilarang, sehingga berlaku hukum keharaman dalam kerusakan tersebut. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا لَمْ تَحِلَّ لَهُ لِأَنَّهَا مبهمةٌ وحلت له ابنتها لأنها من الربائب وإن دَخَلَ بِهَا لَمْ تَحِلَّ لَهُ أُمُّهَا وَلَا ابْنَتُهَا أَبَدًا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menikahi seorang wanita lalu menceraikannya sebelum menggaulinya, maka wanita itu tidak halal baginya karena ia masih dalam status mubhamah (tidak jelas), dan anak perempuannya halal baginya karena ia termasuk rabībah. Namun jika ia telah menggaulinya, maka ibunya dan anak perempuannya tidak halal baginya selamanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الرَّبَائِبُ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُنَّ بَنَاتُ الزَّوْجَاتِ إِحْدَاهُنَّ رَبِيبَةٌ وَفِي تسميتها بذلك وجهان:
Al-Māwardī berkata: Adapun rabā’ib, telah kami sebutkan bahwa mereka adalah anak-anak perempuan dari para istri, salah satunya disebut rabībah, dan dalam penamaannya ada dua pendapat:
إحداهما: لأنه تَكُونُ فِي الْأَغْلَبِ فِي تَرْبِيَتِهِ وَكَفَالَتِهِ.
Pertama: Karena pada umumnya mereka berada dalam asuhan dan pemeliharaannya.
وَالثَّانِي: لِأَنَّهَا تَرُبُّ الدَّارَ أَيْ تُدَبِّرُهَا وَتُعْنَى بِهَا فَإِذَا تَزَوَّجَ الرَّجُلُ امْرَأَةً حَرُمَ عَلَيْهِ بِالْعَقْدِ عليها ثلاثة أصناف من مناسبها صِنْفٌ أَعْلَى وَهُنَّ الْأُمَّهَاتُ، وَصِنْفٌ أَدْنَى وَهُنَّ الْبَنَاتُ وَصِنْفٌ مُشَارِكَاتٌ وَهُنَّ الْأَخَوَاتُ وَالْعَمَّاتُ وَالْخَالَاتُ فَكُلُّهُنَّ مُحَرَّمَاتٌ عَلَيْهِ مَا كَانَ الْعَقْدُ عَلَيْهَا باقياً فإذا ارتفع عَنْهَا بِمَوْتٍ أَوْ طَلَاقٍ أَوْ فَسْخٍ انْقَسَمَتْ أَحْوَالُ هَؤُلَاءِ الْمُحَرَّمَاتِ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ.
Kedua: Karena ia mengurus rumah, yaitu mengelolanya dan memperhatikannya. Maka, apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, maka dengan akad atas perempuan itu, menjadi haram baginya tiga golongan kerabat dari pihak istrinya: golongan yang lebih tinggi, yaitu para ibu; golongan yang lebih rendah, yaitu para anak perempuan; dan golongan yang sederajat, yaitu para saudari, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu. Semuanya menjadi haram baginya selama akad atas istrinya masih berlangsung. Apabila akad tersebut berakhir karena kematian, perceraian, atau pembatalan, maka keadaan para perempuan yang diharamkan ini terbagi menjadi tiga bagian.
قِسْمٌ يَحْلِلْنَ لَهُ بَعْدَ ارْتِفَاعِ الْعَقْدِ عَنْ زَوْجَتِهِ سَوَاءٌ دَخَلَ بِهَا أَمْ لَا وَهُنَّ الْأَخَوَاتُ وَالْعَمَّاتُ وَالْخَالَاتُ، لِأَنَّ تَحْرِيمَهُنَّ تَحْرِيمُ جَمْعٍ لَا تَحْرِيمُ تَأْبِيدٍ.
Bagian pertama: mereka menjadi halal baginya setelah berakhirnya akad atas istrinya, baik ia telah berhubungan dengannya maupun belum, yaitu para saudari, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu, karena keharaman mereka adalah keharaman dalam hal penggabungan (jam‘), bukan keharaman selamanya (ta’bīd).
وَقِسْمٌ ثَانٍ لَا يَحْلِلْنَ لَهُ وَإِنِ ارْتَفَعَ الْعَقْدُ عَنْ زَوْجَتِهِ سَوَاءٌ دَخَلَ بِهَا أم لا، وهن الأمهات لأنهن يحرمن بِالْعَقْدِ تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ.
Bagian kedua: mereka tetap tidak halal baginya meskipun akad atas istrinya telah berakhir, baik ia telah berhubungan dengannya maupun belum, yaitu para ibu, karena mereka diharamkan dengan akad secara keharaman selamanya (ta’bīd).
وَقِسْمٌ ثَالِثٌ: يَحْلِلْنَ بَعْدَ ارْتِفَاعِ الْعَقْدِ عَنْ زَوْجَتِهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ دَخَلَ بِهَا وَيَحْرُمْنَ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا وَهُنَّ الْبَنَاتُ، لِأَنَّهُنَّ يَحْرُمْنَ بِالْعَقْدِ تَحْرِيمَ جَمْعٍ وَبِالدُّخُولِ تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ بِخِلَافِ الْأُمَّهَاتِ الْمُحَرَّمَاتِ بِالْعَقْدِ تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ، وَهُوَ قَوْلُ جمهور الصحابة والتابعين والفقهاء وحكي ذَلِكَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ وَمُجَاهِدٍ أَنَّ الْأُمَّهَاتِ كَالْبَنَاتِ الرَّبَائِبِ لَا يَحْرُمْنَ إِلَّا بِالدُّخُولِ، وَحُكِيَ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّهُ إِنْ طَلَّقَ الزَّوْجَةَ لَمْ تَحْرُمِ الْأُمُّ إِلَّا بِالدُّخُولِ كَالرَّبِيبَةِ، وَإِنْ مَاتَتْ حَرُمَتِ الْأُمُّ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا بِخِلَافِ الرَّبِيبَةِ، لِأَنَّ الْمَوْتَ فِي كَمَالِ المهر كالمدخول واستدلالاً في إلحاق ابنتها بالربائب في تحريمهن بالدخول بقوله تَعَالَى: {وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبِكُمْ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ) {النساء: 23) فَذَكَرَ جِنْسَيْنِ هُمَا الْأُمَّهَاتُ وَالرَّبَائِبُ ثُمَّ عَطَفَ عليهما اشتراط الدُّخُولِ فِي التَّحْرِيمِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ رَاجِعًا إِلَى الْمَذْكُورَيْنِ مَعًا وَلَا يَخْتَصُّ بِالرُّجُوعِ إِلَى أَحَدِهِمَا، وَهُوَ لِلشَّافِعِيِّ أَلْزَمُ، لِأَنَّهُ يَقُولُ: إِنَّ الشرط والكتابة والاستثناء إذا تعقب جملة رجع إلى جميعها ولم يختص بأقرب المذكورين منها كَمَا لَوْ قَالَ رَجُلٌ: امْرَأَتِي طَالِقٌ وَعَبْدِي حُرٌّ، وَاللَّهِ لَا دَخَلَتِ الدَّارَ إِنْ شَاءَ الله كان الاستثناء بمشيئة الله رَاجِعًا إِلَى الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ وَالْيَمِينِ وَلَمْ يَخْتَصَّ عِنْدَهُ بِرُجُوعِهِ إِلَى الْيَمِينِ كَذَلِكَ يَلْزَمُهُ أَنْ لَا يَجْعَلَ اشْتِرَاطَ الدُّخُولِ رَاجِعًا إِلَى الرَّبَائِبِ دُونَ الْأُمَّهَاتِ حَتَّى يَكُونَ رَاجِعًا إِلَيْهِمَا مَعًا.
Bagian ketiga: mereka menjadi halal setelah berakhirnya akad atas istrinya jika ia belum berhubungan dengannya, dan menjadi haram baginya jika ia telah berhubungan dengannya, yaitu para anak perempuan, karena mereka diharamkan dengan akad dalam hal penggabungan (jam‘), dan dengan hubungan suami-istri menjadi keharaman selamanya (ta’bīd), berbeda dengan para ibu yang diharamkan dengan akad secara keharaman selamanya. Ini adalah pendapat mayoritas sahabat, tabi‘in, dan para fuqaha, dan dinukil dari ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin az-Zubair, dan Mujahid bahwa para ibu seperti anak-anak perempuan tiri (rabā’ib), tidak menjadi haram kecuali dengan hubungan suami-istri. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa jika suami menceraikan istrinya, maka ibu tidak menjadi haram kecuali dengan hubungan suami-istri seperti rabībah, dan jika istrinya meninggal, maka ibu menjadi haram meskipun belum berhubungan dengannya, berbeda dengan rabībah, karena kematian dalam hal kesempurnaan mahar seperti yang telah digauli. Dalil dalam menyamakan anak perempuannya dengan rabā’ib dalam keharaman karena hubungan suami-istri adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan ibu-ibu istri kalian dan anak-anak tiri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri-istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum campur dengan mereka, maka tidak ada dosa atas kalian} (an-Nisā’: 23). Maka Allah menyebutkan dua jenis, yaitu para ibu dan rabā’ib, kemudian mengaitkan keduanya dengan syarat hubungan suami-istri dalam keharaman, sehingga menunjukkan bahwa syarat itu kembali kepada keduanya sekaligus, tidak khusus kepada salah satunya saja. Dan ini lebih mengikat bagi asy-Syāfi‘ī, karena ia berpendapat bahwa syarat, lafaz, dan pengecualian jika datang setelah satu rangkaian kalimat, maka kembali kepada semuanya, tidak hanya kepada yang terdekat saja, sebagaimana jika seseorang berkata: “Istriku tertalak dan budakku merdeka, demi Allah aku tidak masuk rumah jika Allah menghendaki,” maka pengecualian dengan kehendak Allah kembali kepada talak, pembebasan, dan sumpah, tidak khusus pada sumpah saja menurutnya. Demikian pula, ia wajib tidak menjadikan syarat hubungan suami-istri hanya kembali kepada rabā’ib tanpa para ibu, sehingga syarat itu kembali kepada keduanya sekaligus.
وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ وَالْجَمَاعَةُ مِنِ اشْتِرَاطِ الدُّخُولِ فِي الرَّبَائِبِ دُونَ الْأُمَّهَاتِ قوله تَعَالَى:: {وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبِكُمْ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ) {النساء: 23) فَكَانَ الدَّلِيلُ مِنْ هَذِهِ الْآيَةِ عَلَى أَنَّ شَرْطَ الدُّخُولِ عَائِدٌ إِلَى الرَّبَائِبِ دُونَ الْأُمَّهَاتِ مِنْ خَمْسَةِ أَوْجُهٍ:
Dalil atas kebenaran pendapat kami dan jumhur tentang pensyaratan hubungan suami-istri pada rabā’ib saja, tidak pada para ibu, adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan ibu-ibu istri kalian dan anak-anak tiri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri-istri yang telah kalian campuri} (an-Nisā’: 23). Maka dalil dari ayat ini bahwa syarat hubungan suami-istri kembali kepada rabā’ib saja, tidak kepada para ibu, terdapat pada lima sisi:
أَحَدُهَا: قَوْله تَعَالَى:: {وَرَبَائِبِكُمْ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ) {النساء: 23) وليست أم الزوجة منها وإنما الربيبة منها فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الدُّخُولَ مَشْرُوطٌ فِي الرَّبِيبَةِ لِأَنَّهَا مِنَ الزَّوْجَةِ دُونَ الْأُمِّ الَّتِي لَيْسَتْ من الزوجة.
Pertama: Firman Allah Ta‘ala: {dan anak-anak tiri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri-istri yang telah kalian campuri} (an-Nisā’: 23), dan ibu mertua tidak termasuk di dalamnya, melainkan rabībah-lah yang termasuk di dalamnya. Maka ini menunjukkan bahwa hubungan suami-istri disyaratkan pada rabībah karena ia berasal dari istri, tidak pada ibu yang bukan berasal dari istri.
والثاني: هو مَا ذَكَرَهُ سِيبَوَيْهِ أَنَّ الشَّرْطَ وَالِاسْتِثْنَاءَ إِنَّمَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى جَمِيعِ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ إِذَا حَسُنَ أَنْ يَعُودَ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى الِانْفِرَادِ وَإِنْ لَمْ يَحْسُنْ لَمْ يَعُدْ إِلَى الْأَقْرَبِ وَهُوَ لَوْ قَالَ: وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ لَمْ يُحْسِنْ فَلَمْ يَعُدْ إِلَيْهِ.
Kedua: adalah apa yang disebutkan oleh Sībawayh, bahwa syarat dan istisnā’ (pengecualian) hanya boleh kembali kepada seluruh hal yang telah disebutkan sebelumnya jika baik untuk dikembalikan kepada masing-masing dari keduanya secara terpisah. Jika tidak baik, maka tidak dikembalikan kepada yang terdekat. Contohnya, jika dikatakan: “Dan ibu-ibu istri kalian dari istri-istri kalian yang telah kalian campuri,” maka ini tidak baik, sehingga tidak dikembalikan kepadanya.
وَالثَّالِثُ: وَهُوَ مَا قَالَهُ الْمُبَرِّدُ: أَنَّهُ إِذَا اخْتَلَفَ الْعَامِلُ فِي إِعْرَابِ الْجُمْلَتَيْنِ لَمْ يَعُدِ الشَّرْطُ إِلَيْهِمَا، وَعَادَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا وَإِنْ لَمْ يَخْتَلِفِ الْعَامِلُ فِي إِعْرَابِهِمَا عَادَ إِلَيْهِمَا وَالْعَامِلُ هَاهُنَا فِي إِعْرَابِ الْجُمْلَتَيْنِ مُخْتَلِفٌ فَذِكْرُ النِّسَاءِ مَعَ الْأُمَّهَاتِ مجرور بالإضافة لقوله: {وَأُمَهّاتُ نِسَائِكُمْ} وذكر النساء من الربائب مجرور بِحَرْفِ الْجَرِّ وَهُوَ قَوْلُهُ:: {وَرَبَائِبِكُمْ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ} فِلَمَّا اخْتَلَفَ عَامِلُ الْجَرِّ فِي الْمَوْضِعَيْنِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَعُودَ الشَّرْطُ إِلَيْهِمَا وَعَادَ إِلَى أقربهما:
Ketiga: yaitu apa yang dikatakan oleh al-Mubarrid, bahwa jika ‘āmil (kata kerja atau penghubung gramatikal) dalam i‘rāb (struktur gramatikal) dua kalimat berbeda, maka syarat tidak kembali kepada keduanya, melainkan kembali kepada yang terdekat. Namun jika ‘āmil dalam i‘rāb keduanya tidak berbeda, maka syarat kembali kepada keduanya. Dalam hal ini, ‘āmil dalam i‘rāb dua kalimat tersebut berbeda: penyebutan “istri” bersama “ibu-ibu” dalam {wa ummahātu nisā’ikum} majrūr (dalam keadaan jar) karena idāfah (penyandaran), sedangkan penyebutan “istri” dalam konteks “rabīb” majrūr dengan huruf jar, yaitu dalam firman-Nya: {wa rabā’ibikum allātī fī hujūrikum min nisā’ikum}. Maka, ketika ‘āmil jar pada kedua tempat itu berbeda, tidak boleh syarat kembali kepada keduanya, melainkan kembali kepada yang terdekat.
الرابع: أن الأمر قَدْ تَقَدَّمَهَا مُطْلَقٌ وَتَعَقَّبَهَا مَشْرُوطٌ فَكَانَ إِلْحَاقُهَا بِالْمُطْلَقِ الْمُتَقَدِّمِ أَوْلَى مِنْ إِلْحَاقِهَا بِالْمَشْرُوطِ الْمُتَأَخِّرِ:
Keempat: bahwa perkara tersebut didahului oleh ketentuan yang bersifat mutlak dan diikuti oleh ketentuan yang bersyarat, maka mengaitkannya dengan yang mutlak yang terdahulu lebih utama daripada mengaitkannya dengan yang bersyarat yang belakangan.
وَالْخَامِسُ: أَنَّ الْمُطْلَقَ أَعَمُّ وَالْمَشْرُوطَ أَخَصُّ فَكَانَ إِلْحَاقُ الْمُبْهَمِ بِالْمُطْلَقِ الْأَعَمِّ أَوْلَى مِنْ إِلْحَاقِهِ بِالْمَشْرُوطِ الْأَخَصِّ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ الْمُثَنَّى بْنُ الصَّبَّاحِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جده عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا نَكَحَ الرَّجُلُ امْرَأَةً ثُمَّ طَلَّقَهَا قبل أن يدخل بِهَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَلَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ بنتها “
Kelima: bahwa yang mutlak lebih umum dan yang bersyarat lebih khusus, maka mengaitkan sesuatu yang samar dengan yang mutlak yang lebih umum lebih utama daripada mengaitkannya dengan yang bersyarat yang lebih khusus. Hal ini didukung oleh sunnah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Mutsannā bin ash-Shabbāh dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita lalu menceraikannya sebelum menggaulinya, maka ibunya menjadi haram baginya dan anak perempuannya tidak menjadi haram baginya.”
وروى الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” إذا تزوج الرجل المرأة ثم ماتت قبل أن يدخل بِهَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَلَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ بِنْتُهَا ” وَهَذَا نَصٌّ، وَلِأَنَّ فِي الْأُمَّهَاتِ مِنَ الرِّقَّةِ وَالْمَحَبَّةِ لِبَنَاتِهِنَّ مَا لَيْسَ فِي الْبَنَاتِ لأمهاتهن.
Dan diriwayatkan oleh al-Auzā‘ī dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita lalu wanita itu meninggal sebelum digauli, maka ibunya menjadi haram baginya dan anak perempuannya tidak menjadi haram baginya.” Ini adalah nash (teks yang jelas), dan karena pada ibu terdapat kelembutan dan kasih sayang kepada anak-anak perempuan mereka yang tidak terdapat pada anak-anak perempuan terhadap ibu-ibu mereka.
وَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عنه قال يا رسول الله ما لنا نَرِقُّ عَلَى أَوْلَادِنَا وَلَا يَرِقُّونَ عَلَيْنَا، قَالَ: لِأَنَّنَا وَلَدْنَاهُمْ وَلَمْ يَلِدُونَا فَلَمَّا كَانَتِ الْأُمُّ أَكْثَرَ رِقَّةً وَحُبًّا لَمْ تَنْفِسْ عَلَى بِنْتِهَا بِعُدُولِ الزَّوْجِ إِلَيْهَا، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ الدُّخُولُ بِالْأُمِّ مَشْرُوطًا فِي تَحْرِيمِ الْبِنْتِ لِأَنَّهَا رُبَّمَا رضيت بالزوج بعد دخوله بها ما لم تضمن بِهِ قَبْلَهُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْبِنْتُ؛ لِأَنَّهَا لَمَّا كَانَتْ أَقَلَّ رِقَّةً وَحُبًّا نَفِسَتْ عَلَى أُمِّهَا بِعُدُولِ الزَّوْجِ إِلَيْهَا فَأَفْضَى إِلَى الْقَطِيعَةِ وَالْعُقُوقِ قَبْلَ الدُّخُولِ كَإِفْضَائِهِ بَعْدَهُ فَلَمْ يَجْعَلِ الدُّخُولَ شَرْطًا.
Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khattāb ra berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa kami lebih lembut kepada anak-anak kami, sedangkan mereka tidak lembut kepada kami?” Beliau bersabda: “Karena kita yang melahirkan mereka, bukan mereka yang melahirkan kita.” Maka, ketika ibu lebih lembut dan lebih mencintai, ia tidak merasa iri kepada anak perempuannya jika suaminya beralih kepadanya. Oleh karena itu, boleh jadi persetubuhan dengan ibu dijadikan syarat dalam pengharaman anak perempuan, karena bisa jadi ia rela dengan suami setelah digauli, sesuatu yang tidak dijamin sebelum itu. Tidak demikian halnya dengan anak perempuan; karena ia lebih sedikit kelembutan dan cinta, ia merasa iri kepada ibunya jika suaminya beralih kepadanya, sehingga menyebabkan terjadinya permusuhan dan durhaka sebelum digauli sebagaimana setelahnya, maka tidak dijadikan persetubuhan sebagai syarat.
فَأَمَّا الْآيَةُ فَقَدْ ذَكَرْنَا وَجْهَ دَلَائِلِنَا مِنْهَا، وَإِنَّمَا الِاسْتِشْهَادُ بِعَوْدِ الِاسْتِثْنَاءِ إِلَى مَا تَقَدَّمَ مِنَ الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ وَالْيَمِينِ فَلِأَنَّهُ يَصِحُّ أَنْ يَرْجِعَ الِاسْتِثْنَاءُ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْجُمْلَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ فَجَازَ مَعَ الْإِطْلَاقِ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى جَمِيعِهَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ هَاهُنَا لِمَا بَيَّنَاهُ.
Adapun ayat, telah kami sebutkan sisi dalil kami darinya. Adapun istidlāl (pengambilan dalil) dengan kembalinya istisnā’ kepada apa yang telah lalu dari thalāq, ‘itq, dan yamīn, maka karena istisnā’ itu sah untuk kembali kepada masing-masing kalimat yang telah lalu, maka boleh jika secara mutlak dikembalikan kepada semuanya. Tidak demikian halnya di sini, sebagaimana telah kami jelaskan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ تَحْرِيمَ الْأُمِّ عَلَى الْإِطْلَاقِ وَتَحْرِيمَ الرَّبِيبَةِ مَشْرُوطٌ بِالدُّخُولِ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الدُّخُولِ الَّذِي تَحْرُمُ بِهِ الرَّبِيبَةُ.
Jika telah tetap bahwa pengharaman ibu berlaku secara mutlak dan pengharaman rabībah bersyarat dengan adanya persetubuhan, maka manusia berbeda pendapat tentang bentuk persetubuhan yang menyebabkan rabībah menjadi haram.
فَقَالَ أبو حنيفة: هُوَ النَّظَرُ إِلَى فَرْجِ الْأُمِّ بِشَهْوَةٍ فَتَحْرُمُ بِهِ الرَّبِيبَةُ، وَقَالَ عَطَاءٌ وحماد: هو التعيش والعقود بَيْنَ الرِّجْلَيْنِ.
Abu Hanifah berkata: Yang dimaksud adalah memandang kemaluan ibu dengan syahwat, maka dengan itu anak tiri menjadi haram. ‘Atha’ dan Hammad berkata: Yang dimaksud adalah bersenang-senang dan melakukan akad (nikah) di antara kedua paha.
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: إِنَّ الدُّخُولَ الَّذِي تَحْرُمُ بِهِ الرَّبِيبَةُ يَكُونُ بِالْمُبَاشِرَةِ وَلَهُ فِيهِ قولان:
Asy-Syafi‘i berkata: Sesungguhnya “dukhūl” (hubungan yang menyebabkan anak tiri menjadi haram) terjadi dengan adanya hubungan langsung (al-mubāsyarah), dan dalam hal ini ada dua pendapat:
أحدهما: أن الوطء في الفرج.
Pertama: Bahwa yang dimaksud adalah jima‘ di kemaluan.
والثاني: أنها الْقُبْلَةُ وَالْمُلَامَسَةُ بِشَهْوَةٍ وَإِنْ لَمْ يَطَأْ.
Kedua: Bahwa yang dimaksud adalah ciuman dan sentuhan dengan syahwat, walaupun tidak sampai jima‘.
وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة: بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ نَظَرَ إِلَى فَرْجِ امْرَأَةٍ وَابْنَتِهَا ” قَالَ وَلِأَنَّهُ تفرع اسْتِمْتَاع فَجَازَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ كالوطء.
Abu Hanifah berdalil dengan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Allah tidak akan memandang laki-laki yang memandang kemaluan seorang wanita dan anak perempuannya.” Ia berkata: Karena hal itu merupakan cabang dari kenikmatan, maka boleh jadi dengannya berlaku keharaman muṣāharah sebagaimana jima‘.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {مِنْ نِسَائِكُمْ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ} وَلَا ينطلقُ اسْمُ الدُّخُولِ إِلَّا عَلَى الْمُبَاشَرَةِ دُونَ النَّظَرِ؛ وَلِأَنَّهُ اسْتِمْتَاعٌ لَا يُوجِبُ الْغُسْلَ فَلَمْ يُوجِبْ تَحْرِيمَ الْمُصَاهَرَةِ كَالنَّظَرِ إِلَى وَجْهِهَا، وَلِأَنَّ النَّظَرَ إِلَى الْوَجْهِ وَالْبَدَنِ أَبْلَغُ فِي اللَّذَّةِ وَالِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النَّظَرِ إِلَى الْفَرْجِ فَإِذَا كان لَا يَحْرُمُ فَمَا دُونَهُ أَوْلَى فَأَمَّا الْخَبَرُ فَرِوَايَةُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ مَوْقُوفًا، وَعَلَى أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْوَطْءِ فَكَنَّى عَنْهُ بِالنَّظَرِ إِلَى الْفَرْجِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {dari istri-istri kalian yang telah kalian campuri}, dan istilah “dukhūl” (masuk) tidak berlaku kecuali pada hubungan langsung, bukan sekadar memandang; dan karena itu adalah kenikmatan yang tidak mewajibkan mandi junub, maka tidak menyebabkan keharaman muṣāharah, sebagaimana memandang wajahnya; dan karena memandang wajah dan badan lebih besar dalam hal kenikmatan dan bersenang-senang daripada memandang kemaluan, maka jika yang lebih besar saja tidak menyebabkan keharaman, apalagi yang di bawahnya. Adapun hadis tersebut adalah riwayat Hafsh bin Giyats dari Laits dari Hammad dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah secara mauqūf, dan itu pun ditafsirkan sebagai jima‘, hanya saja diungkapkan dengan istilah memandang kemaluan.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ فَمُنْتَقِضٌ بِالنَّظَرِ إِلَى الْوَجْهِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ أَنَّهُ يُوجِبُ الْغُسْلَ.
Adapun qiyās mereka, maka batal dengan memandang wajah; kemudian makna asalnya adalah bahwa hal itu mewajibkan mandi junub.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَحْرِيمُ الرَّبَائِبِ بِالدُّخُولِ عَلَى مَا وَصَفْنَا فَلَا فرق بين أن يكون فِي تَرْبِيَتِهِ وَحِجْرِهِ أَمْ لَا وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ.
Jika telah tetap bahwa keharaman anak tiri terjadi dengan “dukhūl” sebagaimana telah kami jelaskan, maka tidak ada perbedaan apakah anak tiri itu berada dalam asuhan dan pemeliharaannya atau tidak, dan ini adalah pendapat jumhur sahabat, tabi‘in, dan para fuqaha.
وَقَالَ دَاوُدُ: إنما تحرم عليه إذا كان في تربيته وحجره، وحكاه مالك عن أَوْسٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَرَبَائِبِكُمْ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ} فعلق تحريم الربائب بشرطين:
Dawud berkata: Anak tiri hanya menjadi haram baginya jika berada dalam asuhan dan pemeliharaannya. Malik meriwayatkan dari Aws dari ‘Ali bin Abi Thalib ra. sebagai dalil dengan firman Allah Ta‘ala: {dan anak-anak tiri kalian yang dalam asuhan kalian dari istri-istri kalian}, maka Allah menggantungkan keharaman anak tiri pada dua syarat:
أحدهما: أن يكون فِي حِجْرِهِ.
Pertama: Anak tiri itu berada dalam asuhannya.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بأمها فَوَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ فِي تَحْرِيمِهَا.
Kedua: Ia telah melakukan “dukhūl” (bercampur) dengan ibunya, sehingga harus dipertimbangkan dalam keharamannya.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ عِلَّةَ التَّحْرِيمِ هُوَ وُقُوعُ التَّنَافُسِ الْمُؤَدِّي إِلَى التَّقَاطُعِ وَالتَّبَاغُضِ وَلَيْسَ لِلْحِجْرِ فِي هَذَا المعنى تأثير فلم يكن له اعْتِبَارٌ، وَلِأَنَّ الْحِجْرَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي الشَّرْعِ فِي إِبَاحَةٍ وَلَا حَظْرٍ أَلَا تَرَاهُ غَيْرَ مُؤَثِّرٍ فِي تَحْرِيمِ حَلَائِلِ الْأَبْنَاءِ وَلَا فِي إِبَاحَةِ بَنَاتِ الْعَمِّ فَكَذَلِكَ فِي الرَّبَائِبِ وَلَيْسَ ذِكْرُ الْحَجْرِ فِي الرَّبَائِبِ شَرْطًا وَإِنَّمَا ذُكِرَ لأنه الأغلب في أَحْوَالِ الرَّبَائِبِ أنَّهُنَّ فِي حِجْرِ أَزْوَاجِ الْأُمَّهَاتِ فَصَارَ ذِكْرُهُ تَغْلِيبًا لِلصِّفَةِ لَا شَرْطًا فِي الحكم كما قال الله تَعَالَى: {وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ) {البقرة: 187) وَالصَّائِمُ لَا يَجُوزُ لَهُ وَطْءُ زَوْجَتِهِ وَإِنْ كَانَتْ فِي غَيْرِ مَسْجِدٍ، وَإِنَّمَا ذَكَرَ الْمَسْجِدَ عَلَى طَرِيقِ الْأَغْلَبِ مِنْ أَحْوَالِهِ.
Dalil kami adalah bahwa sebab keharaman itu adalah terjadinya persaingan yang menyebabkan permusuhan dan saling membenci, dan tidak ada pengaruh asuhan dalam makna ini, maka tidak perlu dipertimbangkan; dan karena asuhan tidak dianggap dalam syariat baik dalam hal kebolehan maupun larangan. Bukankah engkau melihat bahwa asuhan tidak berpengaruh dalam keharaman istri anak maupun dalam kebolehan menikahi anak perempuan paman, maka demikian pula dalam masalah anak tiri. Penyebutan asuhan pada anak tiri bukanlah syarat, melainkan disebutkan karena kebanyakan keadaan anak tiri memang berada dalam asuhan suami ibu mereka, sehingga penyebutannya hanya sebagai dominasi sifat, bukan sebagai syarat hukum, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {dan janganlah kalian menggauli mereka sedang kalian beri‘tikaf di masjid} (al-Baqarah: 187), padahal orang yang berpuasa tidak boleh menggauli istrinya walaupun tidak di masjid, dan penyebutan masjid hanya karena itu yang paling sering terjadi.
فَصْلٌ
Fasal
فأما قول الشافعي: ” لم تحل لها أُمُّهَا لِأَنَّهَا مُبْهَمَةٌ ” فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Adapun pendapat asy-Syafi‘i: “Ibunya tidak halal baginya karena ia (anak tiri) adalah mubhamah (umum/tidak dijelaskan),” maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَعْنِي مُرْسَلَةً بِغَيْرِ شَرْطٍ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ فِيهَا أَبْهِمُوا مَا أَبْهَمَ الْقُرْآنُ.
Pertama: Maksudnya adalah mursal (umum) tanpa syarat, dan telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata tentangnya: “Biarkanlah apa yang dibiarkan (tidak dijelaskan) oleh al-Qur’an.”
وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنِ الْمُبْهَمَةَ الْمُحَرَّمَةَ فِي كُلِّ أَحْوَالِهَا فَلَا يَكُونُ لَهَا إِلَّا حُكْمٌ وَاحِدٌ مِنْ قَوْلِهِمْ فَرَسٌ مُبْهَمٌ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِيَةٌ تُخَالِفُ شِيَةً، وَكَانَ بَعْضُ أهل اللغة يذهب إلى تأويل ثالث: هو أَنَّ الْمُبْهَمَةَ الْمُشْكِلَةُ، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ حكم الأم غير مشكل.
Takwilan kedua: Bahwa “mubhamah” yang diharamkan dalam seluruh keadaannya, maka ia hanya memiliki satu hukum saja, sebagaimana ucapan mereka “kuda mubham” jika tidak ada tanda yang membedakannya, dan sebagian ahli bahasa berpendapat pada takwilan ketiga: yaitu bahwa “mubhamah” adalah yang musykil (samar), dan ini tidak benar; karena hukum ibu tidaklah samar.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ وَطِئَ أَمَتَهُ لَمْ تَحِلَّ لَهُ أُمُّهَا وَلَا ابْنَتُهَا أَبَدًا وَلَا يَطَأُ أُخْتَهَا وَلَا عمتها وَلَا خَالَتَهَا حَتَّى يُحَرِّمَهَا “.
Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menyetubuhi budak perempuannya, maka ibunya dan anak perempuannya tidak halal baginya selamanya, dan ia tidak boleh menyetubuhi saudara perempuannya, juga tidak boleh menyetubuhi bibinya dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, hingga ia mengharamkannya (berhenti menyetubuhinya).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أن كل ما حرم عليه بِالْعَقْدِ عَلَى الزَّوْجَةِ حُرِّمَ بِوَطْءِ الْأَمَةِ لَا بِمِلْكِهَا؛ لِأَنَّ الْأَمَةَ لَا تَصِيرُ فِرَاشًا إِلَّا بِالْوَطْءِ دُونَ الْمِلْكِ فَإِذَا مَلَكَ أَمَةً لَمْ يَتَعَلَّقْ بِمِلْكِهَا تَحْرِيمُ أَحَدٍ مِنْ ذَوِي أَنْسَابِهَا فلم يحرم عَلَى أَحَدٍ مِنْ ذَوِي أَنْسَابِ سَيِّدِهَا فَإِذَا وَطِئَهَا تَعَلَّقَ بِوَطْئِهَا تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ كَمَا تَعَلَّقَ بِالْعَقْدِ عَلَى الزَّوْجَةِ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَأُمَّهَاتُ أمها من آبائها وإن علون ويحرم عليه بناتها وبنات أولادها وإن سفلن، ويحرم على ابنه وحده وَإِنْ عَلَا وَعَلَى ابْنِهِ وَابْنِ ابْنِهِ وَإِنْ سَفُلَ، وَهَذَا التَّحْرِيمُ فِي هَذِهِ الْوُجُوهِ الْأَرْبَعَةِ مؤبد ويحرم عليه أختها وخالتها وعمتها وَبِنْتُ أَخِيهَا وَبِنْتُ أُخْتِهَا وَهَذَا التَّحْرِيمُ فِي هَؤُلَاءِ الْخَمْسِ تَحْرِيمُ الْجَمْعِ لَا تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ ما كان على استمتاعه بأمته حَرَّمَهَا عَلَى نَفْسِهِ بِأَحَدِ مَا قَدَّمْنَا ذِكْرَهُ مِنَ الْأَشْيَاءِ الْخَمْسَةِ مِنْ بَيْعٍ أَوْ هِبَةٍ أَوْ تَزْوِيجٍ أَوْ عِتْقٍ أَوْ كِتَابَةٍ حَلَّ له حينئذ من شاء من هؤلاء الْخَمْسِ اللَّاتِي حُرِّمْنَ عَلَيْهِ تَحْرِيمَ جَمْعٍ أَنْ يَسْتَبِيحَهَا بِعَقْدِ نِكَاحٍ أَوْ مِلْكِ يَمِينٍ وَإِنِ استباحها قبل تحريم الأولى فَإِنْ كَانَ بِعَقْدِ نِكَاحٍ كَانَ بَاطِلًا وَحُدَّ إِنْ وَطِئَهَا عَالِمًا، وَإِنْ كَانَ بِمِلْكِ يَمِينٍ لَمْ يُحَدَّ وَإِنْ عَلِمَ.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang diharamkan karena akad pernikahan dengan istri, juga diharamkan karena menyetubuhi budak perempuan, bukan karena memilikinya; karena budak perempuan tidak menjadi “firāsy” (tempat tidur, yakni status hubungan khusus) kecuali dengan persetubuhan, bukan sekadar kepemilikan. Maka jika seseorang memiliki seorang budak perempuan, kepemilikan itu tidak menyebabkan pengharaman siapa pun dari kerabat-kerabatnya, sehingga tidak ada seorang pun dari kerabat tuannya yang diharamkan. Namun jika ia telah menyetubuhinya, maka dengan persetubuhan itu berlaku hukum pengharaman karena mushāharah (hubungan pernikahan/kemertuaan), sebagaimana berlaku pada akad pernikahan dengan istri. Maka haram baginya ibunya dan nenek-neneknya dari pihak ayah, meskipun ke atas, dan haram pula anak-anak perempuannya dan cucu-cucunya, meskipun ke bawah. Dan haram pula bagi anak laki-lakinya sendiri, meskipun ke atas, dan bagi anak laki-laki dari anak laki-lakinya, meskipun ke bawah. Pengharaman pada empat hal ini bersifat abadi. Dan haram pula baginya saudara perempuannya, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, anak perempuan saudara laki-lakinya, dan anak perempuan saudara perempuannya. Pengharaman pada lima orang ini adalah pengharaman karena penggabungan (taḥrīm al-jam‘), bukan pengharaman abadi. Apabila ia tidak lagi menikmati budak perempuannya karena salah satu dari lima sebab yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu penjualan, hibah, pernikahan, pembebasan, atau mukātabah (akad pembebasan dengan cicilan), maka saat itu halal baginya siapa saja dari lima perempuan yang sebelumnya diharamkan karena taḥrīm al-jam‘, baik melalui akad nikah maupun kepemilikan. Namun jika ia menikahi salah satu dari mereka sebelum mengharamkan yang pertama, maka jika dengan akad nikah, akadnya batal dan ia dikenai had jika menyetubuhinya dengan sadar; dan jika dengan kepemilikan, maka tidak dikenai had meskipun ia tahu.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الزوجة يستباح وطئها بِالْعَقْدِ وَقَدْ بَطَلَ فَوَجَبَ فِيهِ الْحَدُّ وَالْأَمَةُ يستباح وطئها بِالْمِلْكِ وَالْمِلْكُ لَمْ يَبْطُلْ فَلَمْ يَجِبْ بِالْوَطْءِ فيه حد، وخالف وطئ أُخْتِهِ بِالْمِلْكِ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى أَحَدِ القولين مع ثبوت الملك؛ لأن تحريم وطئ أخته مؤبد وتحريم وطئ أمته لعارض يزول ولا تأبد فافترق حكم تحريمها فلذلك افترق وجوب الحد فيهما هذا كله إذا كان قد وطئ أمته في الفرج فأما إن كان وَطْئِهَا دُونَ الْفَرْجِ أَوْ قَبلهَا أَوْ لَمَسَهَا فَهَلْ يَتَعَلَّقُ بِهِ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَحْرِيمِ المصاهرة أم لا؟ على قولين كَمَا ذَكَرْنَا فِي تَحْرِيمِ الرَّبِيبَةِ:
Perbedaan antara keduanya adalah: istri halal disetubuhi dengan akad, dan jika akadnya batal maka wajib dikenai had; sedangkan budak perempuan halal disetubuhi dengan kepemilikan, dan kepemilikan itu tidak batal, sehingga tidak wajib had karena persetubuhan tersebut. Berbeda dengan menyetubuhi saudara perempuannya melalui kepemilikan, dalam hal ini wajib had menurut salah satu dari dua pendapat, meskipun kepemilikan itu sah; karena pengharaman menyetubuhi saudara perempuan bersifat abadi, sedangkan pengharaman menyetubuhi budak perempuan karena suatu sebab yang bisa hilang dan tidak bersifat abadi, sehingga hukum pengharamannya berbeda, dan karena itu kewajiban had pun berbeda. Semua ini berlaku jika ia telah menyetubuhi budak perempuannya pada kemaluan. Adapun jika persetubuhannya di luar kemaluan, atau hanya menciumnya, atau menyentuhnya, maka apakah berlaku hukum pengharaman mushāharah sebagaimana yang telah kami sebutkan atau tidak? Ada dua pendapat, sebagaimana telah kami sebutkan dalam pengharaman rabībah (anak tiri perempuan):
أَحَدُهُمَا: لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ فَعَلَى هَذَا يَحِلُّ لَهُ أُمَّهَاتُهَا وَبَنَاتُهَا وَتَحِلُّ لِآبَائِهِ وَأَبْنَائِهِ.
Salah satunya: Tidak berlaku hukum pengharaman mushāharah, sehingga dalam hal ini halal baginya ibu dan anak-anak perempuannya, dan halal pula bagi ayah dan anak-anaknya.
وَالْقَوْلُ الثاني: قد تعلق به تحريم المصاهرة كما لو وطء فِي الْفَرْجِ فَعَلَى هَذَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ أُمَّهَاتُهَا وبناتها ويحرم عَلَى آبَائِهِ وَأَبْنَائِهِ.
Pendapat kedua: Berlaku hukum pengharaman mushāharah sebagaimana jika menyetubuhi pada kemaluan, sehingga dalam hal ini haram baginya ibu dan anak-anak perempuannya, dan haram pula bagi ayah dan anak-anaknya.
فَأَمَّا إِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا بِشَهْوَةٍ أَوْ لَمَسَهَا مِنْ وَرَاءِ ثَوْبٍ بِشَهْوَةٍ أَوْ غَيْرِ شَهْوَةٍ أَوْ ضَاجَعَهَا غَيْرَ مُبَاشِرٍ بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ إِلَى شَيْءٍ مِنْ جَسَدِهَا مُرِيدًا لِوَطْئِهَا أَوْ غَيْرَ مُرِيدٍ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِذَلِكَ تَحْرِيمٌ مَا لَمْ يَكُنْ أَفْضَى بِمُبَاشَرَةِ الجسدين، وَحُكِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ مَنْ جَرَّدَ أَمَتَهُ وَلَمْ يَطَأْهَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَبِنْتُهَا، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُ عَزَمَ وَالْعَزْمُ لَيْسَ بِفِعْلٍ فَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمُ الْفِعْلِ.
Adapun jika ia memandangnya dengan syahwat, atau menyentuhnya dari balik pakaian dengan syahwat atau tanpa syahwat, atau tidur bersamanya tanpa ada kontak langsung antara anggota tubuhnya dengan anggota tubuh budak perempuan itu, baik dengan niat menyetubuhinya atau tidak, maka hal itu tidak menyebabkan pengharaman selama belum terjadi kontak langsung antara kedua tubuh. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa siapa yang menelanjangi budak perempuannya namun tidak menyetubuhinya, maka haram baginya ibu dan anak perempuannya. Namun pendapat ini tidak benar, karena yang dilakukan hanyalah niat, dan niat bukanlah perbuatan, sehingga tidak berlaku hukum perbuatan atasnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا وَطِئَ الرَّجُلُ امْرَأَةً بِشُبْهَةِ نِكَاحٍ أَوْ مِلْكٍ ثَبَتَ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ فَحَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمَّهَاتُهَا وَبَنَاتُهَا وَحَرُمَتْ عَلَى آبَائِهِ وَأَبْنَائِهِ وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَخَوَاتُهَا وَعَمَّاتُهَا وَخَالَاتُهَا لأن تحريم أولئك تحريم تأبيد، وتحريم أولئك تَحْرِيمُ جَمْعٍ، وَالْمَوْطُوءَةُ بِشُبْهَةٍ مُحَرَّمَةٌ فَلَمْ يَحْصُلِ الْجَمْعُ، ثُمَّ هَلْ يَصِيرُ هَذَا الْوَطْءُ مُحَرَّمًا لأمهات هذه الموطوءة لبناتها وهل يصير آباؤه وأبناؤها محرَمًا لَهَا أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
Apabila seorang laki-laki menggauli seorang perempuan karena syubhat nikah atau syubhat kepemilikan, maka dengan sebab itu tetap berlaku keharaman muṣāharah (hubungan pernikahan karena persemendaan), sehingga haram atasnya ibu-ibu dan anak-anak perempuan dari perempuan tersebut, dan haram pula atas ayah dan anak-anaknya (laki-laki itu) terhadap perempuan tersebut. Namun, tidak haram atasnya saudari-saudari, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu perempuan tersebut, karena keharaman terhadap mereka adalah keharaman muabbad (selamanya), sedangkan keharaman terhadap yang lain adalah keharaman jam‘ (penggabungan). Adapun perempuan yang digauli karena syubhat adalah perempuan yang haram, sehingga tidak terjadi penggabungan. Kemudian, apakah persetubuhan ini menyebabkan ibu-ibu dari perempuan yang digauli tersebut menjadi maḥram bagi anak-anak perempuannya, dan apakah ayah serta anak-anak perempuan tersebut menjadi maḥram baginya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ يَثْبُتُ بِهِ الْمُحَرَّمُ كَمَا يَثْبُتُ بِهِ التَّحْرِيمُ.
Salah satunya, sebagaimana dikatakan dalam pendapat qadim, bahwa dengan sebab itu tetap berlaku status maḥram sebagaimana tetap berlaku keharaman.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ أَنَّهُ لَا يَثْبُتُ بِهِ الْمُحَرَّمُ، وَإِنْ ثَبَتَ بِهِ التَّحْرِيمُ، لِأَنَّهُ تَعَلَّقَ بِهِ التَّحْرِيمُ تَغْلِيظًا فَاقْتَضَى أَنْ يَنْفِيَ عنه المحرم تغليظاً.
Pendapat kedua, sebagaimana dinyatakan dalam al-Imlā’, bahwa dengan sebab itu tidak tetap berlaku status maḥram, meskipun keharaman tetap berlaku, karena keharaman tersebut berkaitan dengannya sebagai bentuk penegasan (penguatan), sehingga mengharuskan untuk meniadakan status maḥram darinya sebagai bentuk penegasan pula.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فإن وَطِئَ أُخْتَهَا قَبْلَ ذَلِكَ اجْتَنَبَ الَّتِي وَطِئَ آخرا وأحببت أن يجتنب الولي حتى يستبرئ الآخرة “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia menggauli saudari perempuan itu sebelumnya, maka ia harus menjauhi yang terakhir kali digauli, dan aku menyukai agar wali juga menjauhi hingga perempuan yang terakhir kali digauli itu menjalani istibra’ (masa tunggu untuk memastikan kosongnya rahim).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا وَطِئَ أَمَتَهُ ثُمَّ وَطِئَ أُخْتَهَا بِالْمِلْكِ قَبْلَ تَحْرِيمِ تِلْكَ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لَحِقَ بِهِ وَتَكُونُ الْأُولَى عَلَى إِبَاحَتِهَا، وَالثَّانِيَةُ على تحريمها؛ لأنه وطئها حراماً فلم تحل به الثانية ولم تحرم به الْأُولَى وَعَلَيْهِ أَنْ يَجْتَنِبَ الثَّانِيَةَ لِتَحْرِيمِهَا وَيُسْتَحَبُّ أن يجتنب الأولى حتى تستبرئ الثَّانِيَة نَفْسَهَا لِئَلَّا يَجْتَمِعَ مَاؤُهُ فِي أُخْتَيْنِ وبالله التوفيق.
Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang beliau katakan, yaitu jika seseorang menggauli budaknya, lalu menggauli saudari budaknya itu dengan kepemilikan sebelum yang pertama diharamkan, maka tidak ada had atasnya, dan jika dari hubungan itu lahir anak, maka anak tersebut dinasabkan kepadanya. Budak yang pertama tetap halal baginya, sedangkan yang kedua menjadi haram, karena ia menggaulinya secara haram, sehingga yang kedua tidak menjadi halal baginya dan yang pertama tidak menjadi haram. Maka ia wajib menjauhi yang kedua karena keharamannya, dan disunnahkan untuk menjauhi yang pertama hingga yang kedua menjalani istibra’ (masa tunggu), agar air maninya tidak berkumpul pada dua saudari. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فإذا اجْتَمَعَ النِّكَاحُ وَمِلْكُ الْيَمِينِ فِي أُخْتَيْنِ أَوْ أمةٍ وَعَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا فَالنِّكَاحُ ثابتٌ لَا يَفْسَخُهُ مِلْكُ الْيَمِينِ كَانَ قَبْلُ أَوْ بَعْدُ وحرم بملك الْيَمِينِ لِأَنَّ النِّكَاحَ يُثْبِتُ حُقُوقًا لَهُ وَعَلَيْهِ وَلَوْ نَكَحَهُمَا مَعًا انْفَسَخَ نِكَاحُهُمَا وَلَوِ اشْتَرَاهُمَا مَعًا ثَبَتَ مِلْكُهُمَا وَلَا يَنْكِحُ أُخْتَ امْرَأَتِهِ وَيَشْتَرِيهَا عَلَى امْرَأَتِهِ وَلَا يُمَلِّكُ امْرَأَتَهُ غَيْرَهُ وَيُمَلِّكُ أَمَتَهُ غَيْرَهُ فَهَذَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Apabila berkumpul antara akad nikah dan kepemilikan budak pada dua saudari, atau pada seorang budak dan bibinya dari pihak ayah atau ibu, maka akad nikah tetap sah dan tidak dibatalkan oleh kepemilikan budak, baik kepemilikan itu terjadi sebelum atau sesudah akad. Namun, haram menggauli dengan sebab kepemilikan budak, karena akad nikah menetapkan hak-hak baginya dan atasnya. Jika menikahi keduanya sekaligus, maka akad nikah keduanya batal. Jika membeli keduanya sekaligus, maka kepemilikan atas keduanya tetap sah. Ia tidak boleh menikahi saudari istrinya, namun boleh membelinya sebagai budak di atas istrinya. Ia tidak boleh menjadikan istrinya milik orang lain, tetapi boleh menjadikan budaknya milik orang lain. Inilah perbedaan antara keduanya.”
قال الماوردي: قد مضى الكلام في الجمع بين أختين بعد نكاح في الجمع بينهما بملك اليمين فَأَمَّا إِنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي أَنْ عَقَدَ على أحدهما نكاحاً واستمتع بالأخرى بملك اليمين فَهُوَ حَرَامٌ؛ لِأَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ أُخْتَيْنِ، وَإِنِ اخْتَلَفَ سَبَبُ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا؛ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَتَقَدَّمَ عَقْدُ النِّكَاحِ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ أَوْ يَتَأَخَّرَ عَنْهُ فإن عقد النكاح ثُمَّ اسْتَمْتَعَ بِهَا بَعْدَهُ فَالْحُكْمُ في الحالين سواء إذا كان الاستمتاع بعد عقد النِّكَاحِ سَوَاءٌ تَقَدَّمَ الْمِلْكُ قَبْلَ الْعَقْدِ أَوْ تَجَدَّدَ بَعْدَهُ فَالنِّكَاحُ ثَابِتٌ وَوَطْؤُهُ لِلْأُخْتِ مُحَرَّمٌ، وَلَا تَأْثِيرَ لَهُ فِي الْعَقْدِ الْمُتَقَدِّمِ لِاسْتِقْرَارِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ الْمُحَرَّمِ، وَإِنْ تَقَدَّمَ الِاسْتِمْتَاعُ عَلَى النكاح كأن ملك أمة استمتع بِهَا ثُمَّ تَزَوَّجَ عَلَيْهَا أُخْتَهَا قَبْلَ تَحْرِيمِهَا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ النِّكَاحَ ثَابِتٌ وَإِنْ تَأَخَّرَ كثبوته لو تقدم ويحرم به الموطؤة بملك اليمين، وقال مالك النكاح باطل، والموطؤة بملك اليمين حلالاً اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْأَمَةَ قَدْ صَارَتْ بِالْوَطْءِ فراشاًَ كما تصير بعد النِّكَاحِ فِرَاشًا وَحَرُمَ دُخُولُ أُخْتِهَا عَلَيْهَا فِي الْحَالَيْنِ فَلَمَّا كَانَ لَوْ صَارَتْ فِرَاشًا بِالْعَقْدِ بطل نكاح أختها عليها ووجب إذا جاءت فِرَاشًا بِالْمِلْكِ أَنْ يَبْطُلَ نِكَاحُ أُخْتِهَا عَلَيْهَا لِكَوْنِهَا فِي الْحَالَيْنِ فِرَاشًا.
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang mengumpulkan dua saudari setelah akad nikah, dalam hal mengumpulkan keduanya dengan kepemilikan budak. Adapun jika ia mengumpulkan keduanya dengan cara menikahi salah satunya dan menikmati yang lainnya dengan kepemilikan budak, maka hal itu haram, karena ia telah mengumpulkan dua saudari, meskipun sebab pengumpulannya berbeda. Dalam hal ini, tidak lepas dari dua kemungkinan: akad nikah mendahului hubungan dengan kepemilikan budak, atau sebaliknya. Jika akad nikah dilakukan terlebih dahulu, lalu ia menikmati yang lain dengan kepemilikan budak setelahnya, maka hukumnya sama dalam kedua keadaan, yaitu jika hubungan terjadi setelah akad nikah, baik kepemilikan budak itu terjadi sebelum akad atau setelahnya, maka akad nikah tetap sah dan menggauli saudari (istri) dengan kepemilikan budak adalah haram, dan tidak berpengaruh terhadap akad yang telah ada karena telah tetap sebelum terjadinya hubungan yang haram. Namun, jika hubungan dengan kepemilikan budak terjadi sebelum akad nikah, seperti ia memiliki seorang budak lalu menikahi saudari budaknya sebelum budak itu diharamkan, maka menurut mazhab Syafi‘i: akad nikah tetap sah meskipun terjadi setelahnya, dan budak yang digauli dengan kepemilikan budak menjadi haram. Malik berpendapat bahwa akad nikahnya batal, dan budak yang digauli dengan kepemilikan budak tetap halal, dengan alasan bahwa budak itu telah menjadi firāsy (tempat tidur/suami-istri) dengan hubungan badan, sebagaimana menjadi firāsy setelah akad nikah, dan haram memasukkan saudari budaknya atasnya dalam kedua keadaan. Maka, ketika jika telah menjadi firāsy dengan akad, maka akad nikah saudari budaknya batal atasnya, dan wajib pula jika telah menjadi firāsy dengan kepemilikan budak, maka akad nikah saudari budaknya juga batal atasnya, karena dalam kedua keadaan sama-sama menjadi firāsy.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الْفِرَاشَ بِعَقْدِ النِّكَاحِ أَقْوَى مِنْهُ بِمِلْكِ الْيَمِينِ لأربعة معانٍ:
Dan dalil kami adalah bahwa status firāsy (hubungan suami-istri) dengan akad nikah lebih kuat daripada dengan kepemilikan budak karena empat alasan:
أحدها: أن فراش المنكوحة ثبت بِثُبُوتِ الْعَقْدِ وَلَا يَثْبُتُ فِرَاشُ الْأَمَةِ بِثُبُوتِ الملك، والملك قَدْ يَرْتَفِعُ فِرَاشُ الْأَمَةِ بِاسْتِبْرَائِهَا مَعَ بَقَاءِ الْمِلْكِ وَلَا يَرْتَفِعُ فِرَاشُ الْمَنْكُوحَةِ مَعَ بَقَاءِ العدة.
Pertama: Bahwa status “firas” (hak hubungan suami-istri) pada istri yang dinikahi ditetapkan dengan adanya akad, sedangkan firas pada budak perempuan tidak ditetapkan hanya dengan kepemilikan. Kepemilikan bisa saja tetap ada sementara firas budak perempuan hilang karena istibra’ (masa penantian untuk memastikan tidak ada kehamilan), sedangkan firas istri yang dinikahi tidak hilang selama masa iddah masih berlangsung.
والثالث: أن فراش المنكوحة ثبت حقاً لها، وعليها مِنْ طَلَاقٍ وَظِهَارٍ وَإِيلَاءٍ وَلِعَانٍ، وَلَا يُثْبِتُهَا فِرَاشُ الْمِلْكِ.
Ketiga: Bahwa firas pada istri yang dinikahi ditetapkan sebagai hak baginya, dan atasnya berlaku hukum-hukum seperti talak, zihar, ila’, dan li’an, sedangkan firas karena kepemilikan tidak menetapkan hukum-hukum tersebut.
وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ قَدْ يَصِحُّ أَنْ يُمَلِّكَ أَمَتَهُ غَيْرَهُ، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يُمَلِّكَ زَوْجَتَهُ غَيْرَهُ، وَإِذَا كَانَ فِرَاشُ النِّكَاحِ أَقْوَى من فراش الملك بما ذَكَرْنَا مِنْ هَذِهِ الْمَعَانِي الْأَرْبَعَةِ وَجَبَ إِذَا اجْتَمَعَ الْأَقْوَى وَالْأَضْعَفُ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْأَقْوَى أَثْبَتَ سَوَاءٌ تَقَدَّمَ أَوْ تَأَخَّرَ كَمَا لَوِ اجْتَمَعَ عَقْدُ نِكَاحٍ وَعَقْدُ مِلْكٍ بِأَنْ تَزَوَّجَ ثم اشتراها بطل عقد النكاح بعد الْمِلْكِ؛ لِأَنَّ عَقْدَ الْمِلْكِ أَقْوَى مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ، وَإِنْ كَانَ فِرَاشُ النِّكَاحِ أَقَوَى مِنْ فِرَاشِ الْمِلْكِ؛ لِأَنَّ عَقْدَ الْمِلْكِ عَلَى الْمَنْفَعَةِ وَالرَّقَبَةِ، وَعَقْدَ النِّكَاحِ عَلَى الْمَنْفَعَةِ دُونَ الرَّقَبَةِ، فَلَمَّا غَلَبَ فِي الْعَقْدَيْنِ أَقْوَاهُمَا وَهُوَ الْمِلْكُ وَجَبَ أَنْ يَغْلِبَ فِي الْفِرَاشَيْنَ أَقْوَاهُمَا، وَهُوَ النِّكَاحُ، وَإِنَّمَا يُرَاعَى الْأَسْبَقُ فِيمَا اسْتَوَتْ قُوَّتُهُ وَضَعْفُهُ كَعَقْدَيْ نِكَاحٍ أَوْ فِرَاشَيْ مِلْكٍ فَبَطَلَ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ مَالِكٌ.
Keempat: Bahwa boleh saja seseorang memindahkan kepemilikan budak perempuannya kepada orang lain, namun tidak sah memindahkan istrinya kepada orang lain. Jika firas karena nikah lebih kuat daripada firas karena kepemilikan berdasarkan empat makna yang telah disebutkan, maka apabila yang kuat dan yang lemah berkumpul, hukum yang kuatlah yang harus diutamakan, baik yang kuat itu lebih dahulu maupun belakangan. Sebagaimana jika akad nikah dan akad kepemilikan berkumpul, yaitu seseorang menikahi lalu membelinya, maka akad nikah setelah kepemilikan menjadi batal, karena akad kepemilikan lebih kuat daripada akad nikah, meskipun firas nikah lebih kuat daripada firas kepemilikan. Sebab, akad kepemilikan mencakup manfaat dan zat (badan) budak, sedangkan akad nikah hanya mencakup manfaat tanpa zatnya. Maka, ketika dalam dua akad yang lebih kuat adalah kepemilikan, wajib pula dalam dua firas yang lebih kuat adalah nikah. Adapun yang didahulukan hanyalah pada perkara yang kekuatan dan kelemahannya sama, seperti dua akad nikah atau dua firas kepemilikan, sehingga batal apa yang dijadikan dalil oleh Malik.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ النِّكَاحِ حَرُمَتِ الْمَوْطُوءَةُ بِمِلْكِ الْيَمِينِ، وَجَازَ لَهُ وَطْءُ هَذِهِ الْمَنْكُوحَةِ وَقَالَ أبو حنيفة لا يحل له المنكوحة حتى تحرم الموطوءة بملك اليمين بِحُدُوثِ الْعَقْدِ عَلَى مَنْ لَا يَجُوزُ أَنْ تجمع معها كما لو تزوجها وتزوج أُخْتَهَا، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْجَمْعَ إِذَا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ صِحَّةِ الْعَقْدِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ جَوَازِ الِاسْتِمْتَاعِ قِيَاسًا فِي الطَّرْدِ عَلَى مَنْ نَكَحَ حُرَّةً بَعْدَ نِكَاحِ أَمَةٍ وَفِي الْعَكْسِ عَلَى مَنْ نَكَحَ أَمَةً بَعْدَ نِكَاحِ حُرَّةٍ، وفي هذا الدليل انفصال.
Apabila telah tetap bolehnya pernikahan, maka haram bagi laki-laki tersebut menggauli perempuan yang dimilikinya dengan hak milik (budak), dan boleh baginya menggauli istri yang dinikahinya ini. Abu Hanifah berkata: Tidak halal baginya menggauli istri yang dinikahi hingga haram menggauli budak yang dimiliki dengan terjadinya akad atas perempuan yang tidak boleh digabungkan dengannya, sebagaimana jika ia menikahi seorang perempuan lalu menikahi saudara perempuannya. Ini adalah kekeliruan, karena penggabungan (antara dua perempuan) jika tidak menghalangi sahnya akad, maka tidak menghalangi bolehnya istimta’ (hubungan suami-istri), berdasarkan qiyās secara konsisten pada orang yang menikahi perempuan merdeka setelah menikahi budak, dan sebaliknya pada orang yang menikahi budak setelah menikahi perempuan merdeka. Dalam dalil ini terdapat perincian.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ الرَّجُلُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وزوجة أبيها وبين امرأة الرجل وابنة امْرَأَتِهِ إِذَا كَانَتْ مِنْ غَيْرِهَا لِأَنَّهُ لَا نسب بينهن “.
Imam Syafi’i berkata: “Tidak mengapa seorang laki-laki mengumpulkan antara seorang perempuan dan istri ayahnya, serta antara seorang perempuan dan anak perempuan dari istri laki-laki tersebut jika anak perempuan itu bukan dari dirinya, karena tidak ada hubungan nasab di antara mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ الرَّجُلُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَزَوْجَةِ أَبِيهَا وَزَوْجَةِ ابْنِهَا، وَهَذَا قَوْلُ جُمْهُورِ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَّا ابْنَ أَبِي لَيْلَى فَإِنَّهُ مَنَعَ مِنْهُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُمَا امرأتان لَوْ كَانَ إِحْدَاهُمَا رَجُلًا حَرُمَ عَلَيْهِ نِكَاحُ الْأُخْرَى لِأَنَّهَا تَكُونُ امْرَأَةَ أَبِيهِ أَوْ حَلِيلَةَ ابْنِهِ فَحَرَّمَ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا، كَمَا حُرِّمَ الْجَمْعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا لِلْمَعْنَى الْمَذْكُورِ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ صَفْوَانَ بْنِ أُمَّيَّةَ جَمَعَ كَلُّ وَاحِدٍ منهما بين امرأة رجل وبنته من غيره فلم ينكر ذاك أحد من علماء عصره، فَكَانَ إِجْمَاعًا؛ وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الْجَمْعِ إِنَّمَا يَثْبُتُ بَيْنَ ذَوِي الْأَنْسَابِ حِفْظًا لِصِلَةِ الْأَرْحَامِ، وَأَنْ لا يتقاطعن بالتباغض وَالْعُقُوقِ، وَلَيْسَ بَيْنَ هَاتَيْنِ نَسَبٌ وَلَا رَضَاعٌ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ النَّسَبِ فَلَمْ يَحْرُمِ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا كَسَائِرِ الْأَجَانِبِ، وَخَالَفَ ذَوِي الْأَنْسَابِ.
Al-Mawardi berkata: Ini benar, boleh bagi seorang laki-laki mengumpulkan antara seorang perempuan dan istri ayahnya serta istri anaknya. Ini adalah pendapat jumhur ulama kecuali Ibnu Abi Laila, yang melarangnya dengan alasan bahwa keduanya adalah dua perempuan yang jika salah satunya laki-laki, maka haram menikahi yang lain karena ia menjadi istri ayahnya atau istri anaknya, sehingga ia mengharamkan penggabungan antara keduanya, sebagaimana diharamkan penggabungan antara seorang perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu karena alasan yang telah disebutkan. Ini adalah kekeliruan, karena telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Shafwan bin Umayyah, masing-masing dari mereka mengumpulkan antara seorang perempuan dan anak perempuan dari laki-laki lain, dan tidak ada seorang pun dari ulama pada zamannya yang mengingkari hal itu, sehingga ini menjadi ijmā‘. Selain itu, pengharaman penggabungan hanya berlaku di antara orang-orang yang memiliki hubungan nasab demi menjaga silaturahmi dan agar tidak terputus karena permusuhan dan durhaka, sedangkan antara kedua perempuan ini tidak ada hubungan nasab maupun hubungan persusuan yang berlaku hukum nasab, sehingga tidak diharamkan penggabungan antara keduanya sebagaimana perempuan-perempuan lain yang bukan mahram, berbeda dengan yang memiliki hubungan nasab.
فَصْلٌ
Fasal
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَبَيْنَ امْرَأَةِ الرَّجُلِ وَبَنَتِ امْرَأَتِهِ إِذَا كَانَتْ مِنْ غَيْرِهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: هَذَا سَهْوٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ فِي نَقْلِهِ، لِأَنَّهُ كَرَّرَ الْمَسْأَلَةَ وَأَعَادَهَا بِعِبَارَةٍ أُخْرَى؛ لِأَنَّ زَوْجَةَ الرَّجُلِ وَبِنْتَ امْرَأَتِهِ من غيرها هي المرأة وزوجة ابنها وقال آخرون: بل نقل المزني صحيح، وهذا الْمَسْأَلَةُ غَيْرُ الْأَوْلَى؛ لِأَنَّ الْأَوْلَى أَنْ يَجْمَعَ بين بنت زَيْدٍ وَامْرَأَةِ زَيْدٍ، وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ امْرَأَةِ زَيْدٍ وَبِنْتِ امْرَأَةٍ لَهُ أُخْرَى من غيره، وهذا لدينا يَجُوزُ لِعَدَمِ التَّنَاسُبِ بَيْنَهُمَا.
Imam Syafi‘i berkata: Antara istri seorang laki-laki dan putri dari istri laki-laki tersebut apabila berasal dari wanita lain, para sahabat kami berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian mereka berkata: Ini adalah kekeliruan dari al-Muzani dalam meriwayatkannya, karena ia mengulang masalah ini dan menyampaikannya dengan ungkapan lain; sebab istri seorang laki-laki dan putri dari istrinya yang bukan anaknya adalah wanita itu sendiri dan istri dari anaknya. Sementara yang lain berkata: Justru riwayat al-Muzani benar, dan masalah ini berbeda dengan yang pertama; karena pada masalah pertama adalah mengumpulkan antara putri Zaid dan istri Zaid, sedangkan pada masalah ini adalah mengumpulkan antara istri Zaid dan putri dari istri lain yang dinikahi Zaid, yang bukan anak Zaid. Menurut kami, hal ini boleh karena tidak ada hubungan kekerabatan di antara keduanya.
فَصْلٌ
Fasal
لَا بَأْسَ أن يتزوج الرجل بالمرأة وَيَتَزَوَّجَ ابْنُهُ بِابْنَتِهَا، أَوْ يَتَزَوَّجَ الْأَبُ امْرَأَةً وَيَتَزَوَّجَ الِابْنُ بِأُمِّهَا، وَهُوَ قَوْلُ الْجَمَاعَةِ، وَمَنَعَ طَاوُسٌ إِذَا تَزَوَّجَ الْأَبُ بِامْرَأَةٍ أَنْ يَتَزَوَّجَ الِابْنُ بِابْنَتِهَا إِذَا وُلِدَتْ بَعْدَ وَطْءِ الْأَبِ لِأُمِّهَا، فَإِنْ كَانَتْ قَدْ وُلِدَتْ قَبْلَ وَطْئِهِ لَمْ يَمْنَعْ وَحُكِيَ نَحْوُهُ عَنْ مُجَاهِدٍ، وَهَذَا خطأ، لأن تحريم الربيبة على الأب يساوى حكمه في وِلَادَتِهَا قَبْلَ وَطْئِهِ وَبَعْدَهُ فَاقْتَضَى أَنْ يَتَسَاوَى حُكْمُ إِبَاحَتِهَا لِلِابْنِ فِي وِلَادَتِهَا قَبْلَ وَطْءِ الْأَبِ وَبَعْدَهُ، وَقَدْ حَرَصَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عنه في الغلام الذي زنا ببنت امرأة أبيه فجلده، وأن يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا، فَأَبَى الْغُلَامُ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعْتَبَرَ فِيهِ حَالُ الْوِلَادَةِ والله أعلم.
Tidak mengapa seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan anak laki-lakinya menikahi putri wanita tersebut, atau seorang ayah menikahi seorang wanita dan anaknya menikahi ibu wanita itu. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Namun, Thawus melarang apabila seorang ayah menikahi seorang wanita, maka anaknya tidak boleh menikahi putri wanita tersebut jika putri itu lahir setelah ayahnya menggauli ibunya. Jika putri itu lahir sebelum ayahnya menggauli ibunya, maka Thawus tidak melarang. Riwayat serupa juga dinukil dari Mujahid. Namun, ini adalah kekeliruan, karena pengharaman rabībah (anak tiri perempuan) atas ayah itu sama hukumnya baik ia lahir sebelum maupun setelah ayah menggauli ibunya. Maka, seharusnya hukum kebolehan bagi anak laki-laki juga sama, baik ia lahir sebelum maupun setelah ayah menggauli ibunya. Umar radhiyallāhu ‘anhu pernah bersikap tegas terhadap seorang pemuda yang berzina dengan putri istri ayahnya, lalu ia mencambuk pemuda itu dan melarang mereka berdua untuk menikah, namun pemuda itu menolak, yang menunjukkan bolehnya menikah tanpa memperhatikan keadaan kelahiran. Wallāhu a‘lam.
بَابُ مَا جَاءَ فِي الزِّنَا لَا يُحَرِّمُ الحلال من الجامع ومن اليمين مع الشاهد
Bab tentang apa yang datang mengenai zina tidak mengharamkan yang halal, baik dari hubungan suami istri maupun dari budak dengan saksi.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” الزِّنَا لَا يُحَرِّمُ الحلال وقاله ابْنُ عَبَّاسٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : لِأَنَّ الْحَرَامَ ضِدُّ الْحَلَالِ فَلَا يُقَاسُ شيءٌ عَلَى ضِدِّهِ قَالَ لِي قائلٌ يَقُولُ لَوْ قَبَّلَتِ امْرَأَته ابْنَهُ بشهوةٍ حَرُمَتْ عَلَى زَوْجِهَا أَبَدًا لِمَ قُلْتَ لا يحرم الحرام الحلال؟ قلت مِنْ قِبَلِ أنَّ اللَّهَ تَعَالَى إنما حَرَّمَ أمهات نسائكم ونحوها بِالنِّكَاحِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَاسَ الْحَرَامُ بِالْحَلَالِ فقال أجد جماعاً وجماعاً قلت جماعاً حُمِدت بِهِ وَجِمَاعًا رُجِمت بِهِ وَأَحَدُهُمَا نعمةٌ وجعله الله نسباً وصهراً وأوجب حقوقاً وجعلك محرماً به لأم امرأتك ولابنتها تُسَافِرُ بِهِمَا وَجَعَلَ الزِّنَا نِقْمَةً فِي الدُّنْيَا بالحد وفي الآخرة بالنار إلا أن يعفو أفتقيس الحرام الذي هو نقمة على الحلال الذي هو نعمةٌ؟ وقلت له فلو قَالَ لَكَ قائلٌ وَجَدْتُ الْمُطَلَّقَةَ ثَلَاثًا تَحِلُّ بجماع زوجٍ فأحلها بالزنا لأنه جماعٌ كجماع كَمَا حَرَّمْتُ بِهِ الْحَلَالَ لِأَنَّهُ جِمَاعٌ وجماعٌ قَالَ إِذًا تُخْطِئُ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَحَلَّهَا بإصابة زوجٍ قيل وكذلك ما حرم الله تعالى في كتابه بنكاح زوجٍ وإصابة زوجٍ قال أفيكون شيءٌ يحرمه الحلال ولا يحرمه الحرام فأقول به؟ قلت نَعَمْ يَنْكِحُ أَرْبَعًا فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يَنْكِحَ من النساء خامسةً أفيحرم عَلَيْهِ إِذَا زَنَى بأربعٍ شيءٌ مِنَ النِّسَاءِ قال لا يمنعه الحرام مما يمنعه الحلال (قال) وقد ترتد فتحرم على زوجها؟ قلت نعم وعلى جميع الخلق وأقتلها وأجعل مالها فيئاً (قال) فقد أوجدتك الحرام يحرم الحلال قلت أما في مثل ما اختلفنا فيه من أمر النساء فلا (قال المزني) رحمه الله تركت ذلك لكثرته وأنه ليس بشيءٍ “.
Imam Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Zina tidak mengharamkan yang halal.” Demikian pula pendapat Ibn ‘Abbās. (Imam Syafi‘i berkata): Karena yang haram adalah lawan dari yang halal, maka tidak boleh qiyās sesuatu atas lawannya. Seseorang berkata kepadaku: Jika seorang istri mencium anaknya dengan syahwat, maka ia haram selamanya atas suaminya. Mengapa engkau berkata bahwa yang haram tidak mengharamkan yang halal? Aku menjawab: Karena Allah Ta‘ālā hanya mengharamkan ibu-ibu istri kalian dan yang semisalnya melalui akad nikah, maka tidak boleh qiyās antara yang haram dengan yang halal. Ia berkata: Aku menemukan ada dua bentuk hubungan suami istri. Aku berkata: Ada hubungan yang dipuji dan ada hubungan yang dilempari (hukuman). Salah satunya adalah nikmat, Allah menjadikannya sebagai nasab dan hubungan kekeluargaan, mewajibkan hak-hak, dan menjadikanmu mahram bagi ibu istrimu dan putrinya sehingga engkau boleh bepergian bersama mereka. Sedangkan zina adalah azab di dunia dengan had dan di akhirat dengan neraka kecuali jika diampuni. Apakah engkau mengqiyaskan yang haram yang merupakan azab dengan yang halal yang merupakan nikmat? Aku berkata kepadanya: Jika seseorang berkata kepadamu, aku menemukan wanita yang ditalak tiga menjadi halal dengan hubungan suami istri, maka aku menghalalkannya dengan zina karena sama-sama hubungan badan, sebagaimana aku mengharamkan yang halal karena hubungan badan. Ia berkata: Jika demikian, engkau keliru, karena Allah Ta‘ālā menghalalkannya dengan hubungan suami istri yang sah. Dikatakan pula, demikian pula apa yang Allah haramkan dalam kitab-Nya dengan akad nikah dan hubungan suami istri yang sah. Ia berkata: Apakah ada sesuatu yang diharamkan oleh yang halal tetapi tidak diharamkan oleh yang haram, lalu aku berpendapat demikian? Aku menjawab: Ya, seorang laki-laki boleh menikahi empat wanita, maka haram baginya menikahi wanita kelima. Apakah menjadi haram baginya jika ia berzina dengan empat wanita, sehingga ada wanita yang menjadi haram baginya? Ia menjawab: Tidak, yang haram tidak mencegahnya sebagaimana yang halal mencegahnya. (Imam Syafi‘i berkata): Seseorang bisa murtad sehingga ia haram atas suaminya? Aku menjawab: Ya, dan atas seluruh manusia, aku membunuhnya dan hartanya menjadi fai’. (Ia berkata): Aku telah mendapati bahwa yang haram bisa mengharamkan yang halal. Aku berkata: Adapun dalam hal yang kita perselisihkan terkait masalah wanita, maka tidak. (Al-Muzani berkata) rahimahullāh: Aku tinggalkan pembahasan ini karena panjang dan tidak ada nilainya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي تَحْرِيمِ المصاهرة بعقد النِّكَاحِ وَفِي تَحْرِيمِهَا بِوَطْءِ الْإِمَاءِ، كَذَلِكَ الْوَطْءُ بِالشُّبْهَةِ يُوجِبُ مِنْ تَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ مِثْلَ مَا يوجبه الوطء الحلال في عقد نكاح أو ملك يمين؛ لأنه لما ساماه فِي سُقُوطِ الْحَدِّ وَلُحُوقِ النَّسَبِ سَاوَاهُ فِي تَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ.
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang pengharaman muṣāharah (hubungan kekeluargaan karena pernikahan) melalui akad nikah dan pengharamannya melalui hubungan dengan budak perempuan. Demikian pula, hubungan badan karena syubhat menyebabkan pengharaman muṣāharah sebagaimana yang ditimbulkan oleh hubungan badan yang halal melalui akad nikah atau kepemilikan budak, karena keduanya sama dalam menggugurkan had dan penetapan nasab, maka sama pula dalam pengharaman muṣāharah.
فَأَمَّا وَطْءُ الزِّنَا فَلَا يَتَعَلَّقُ به تحريم المصاهرة بحال، فإذا زنا الرَّجُلُ بِامْرَأَةٍ لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَلَا بنتها ولم يحرم عَلَى أَبِيهِ وَلَا عَلَى ابْنِهِ.
Adapun hubungan badan melalui zina, maka tidak ada kaitannya dengan pengharaman muṣāharah dalam keadaan apa pun. Jika seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, maka ibu wanita itu dan putrinya tidak menjadi haram baginya, begitu pula tidak menjadi haram atas ayah atau anak laki-lakinya.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ.
Dan pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat: ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ وَالزُّهْرِيُّ.
Dan dari kalangan tabi‘in: Sa‘id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, dan az-Zuhri.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: مَالِكٌ، وَرَبِيعَةُ، وَأَبُو ثَوْرٍ.
Dan dari kalangan fuqaha: Malik, Rabi‘ah, dan Abu Tsaur.
وَقَالَ أبو حنيفة: الزِّنَا كَالْحَلَالِ فِي تحريم المصاهرة، فإذا زنا بِامْرَأَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَبِنْتُهَا، وَحَرُمَتْ عَلَى أبيه وابنه، ولو زنا بِامْرَأَةِ أَبِيهِ أَوِ ابْنِهِ بَطَلَ نِكَاحُهَا، وَكَذَلِكَ لَوْ قَبَّلَهَا، أَوْ لَمَسَهَا، أَوْ تَعَمَّدَ النَّظَرَ إلى فرجها بشهوة بطل نكاحها على أبيه وابنه، وحرم عليها أُمُّهَا وَبِنْتُهَا، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ وحكي نحوه عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ، وَزَادَ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ: إِذَا تَلَوَّطَ الرَّجُلُ بِغُلَامٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهُ وَبِنْتُهُ، وَحَرُمَ عَلَى الْغُلَامِ أُمُّهُ وَبِنْتُهُ، وَاسْتَدَلُّوا جَمِيعًا بِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ) {النساء: 22) وَالنِّكَاحُ حَقِيقَةٌ فِي الْوَطْءِ، فَاقْتَضَى عُمُومُ الْوَطْءِ تَحْرِيمَ الَّتِي وَطِئَهَا الْأَبُ.
Abu Hanifah berkata: Zina diperlakukan seperti pernikahan yang sah dalam hal pengharaman karena mushaharah (hubungan pernikahan), sehingga jika seseorang berzina dengan seorang wanita, maka ibu dan anak perempuannya menjadi haram baginya, dan wanita itu juga menjadi haram bagi ayah dan anak laki-lakinya. Jika ia berzina dengan istri ayah atau anaknya, maka pernikahan wanita itu batal. Demikian pula jika ia menciumnya, atau menyentuhnya, atau dengan sengaja memandang kemaluannya dengan syahwat, maka pernikahan wanita itu dengan ayah atau anaknya batal, dan menjadi haram atas wanita itu ibu dan anak perempuannya. Ini juga merupakan pendapat ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq, serta dinukil yang serupa dari ‘Imran bin al-Hushain. Al-Auza‘i menambahkan: Jika seorang laki-laki melakukan liwath (hubungan homoseksual) dengan seorang anak laki-laki, maka ibu dan anak perempuan anak laki-laki itu menjadi haram baginya, dan bagi anak laki-laki itu juga menjadi haram ibu dan anak perempuannya. Mereka semua berdalil dengan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayahmu} (an-Nisa’: 22), dan nikah secara hakikat adalah hubungan seksual, maka keumuman hubungan seksual meniscayakan keharaman wanita yang telah digauli oleh ayah.
قَالُوا: وَقَدْ رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قل: ” لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ نَظَرَ إِلَى فَرْجِ امْرَأَةٍ وَبِنْتِهَا ” فَاقْتَضَى إِذَا نَظَرَ إِلَى فَرْجِ امْرَأَةٍ فِي الزِّنَا أَنْ لَا يَنْظُرَ إلى فرج ابنتها فِي النِّكَاحِ.
Mereka berkata: Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Allah tidak akan memandang laki-laki yang memandang kemaluan seorang wanita dan anak perempuannya.” Maka hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang memandang kemaluan seorang wanita dalam perzinaan, maka ia tidak boleh memandang kemaluan anak perempuannya dalam pernikahan.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ كَشَفَ خِمَارَ امْرَأَةٍ حَرُمَ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَبِنْتُهَا ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي كَشْفِ الْخِمَارِ لِنِكَاحٍ أَوْ زِنًا، قَالُوا: وَلِأَنَّهُ وَطْءٌ مَقْصُودٌ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ كَالنِّكَاحِ، وَلِأَنَّهُ تَحْرِيمٌ يَتَعَلَّقُ بِالْوَطْءِ الْمُبَاحِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِالْوَطْءِ الْمَحْظُورِ قِيَاسًا عَلَى وَطْءِ الشُّبْهَةِ؛ وَلِأَنَّهُ فِعْلٌ يَتَعَلَّقُ بِهِ التَّحْرِيمُ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُ مَحْظُورِهِ وَمُبَاحِهِ كَالرَّضَاعِ.
Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang membuka kerudung seorang wanita, maka haram baginya ibu dan anak perempuannya.” Maka keumuman ini berlaku baik dalam membuka kerudung karena pernikahan maupun karena zina. Mereka berkata: Karena itu adalah hubungan seksual yang disengaja, maka wajib dikaitkan dengannya keharaman mushaharah sebagaimana dalam pernikahan. Dan karena keharaman itu berkaitan dengan hubungan seksual yang mubah, maka wajib pula dikaitkan dengan hubungan seksual yang terlarang dengan qiyās atas hubungan seksual karena syubhat. Dan karena itu adalah perbuatan yang menyebabkan keharaman, maka wajib disamakan hukum antara yang terlarang dan yang mubah sebagaimana dalam kasus radha‘ (persusuan).
ودليلنا قَوْله تَعَالَى: {وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ المَاءِ بَشَراً فَجَعَلَهُ نَسَباً وَصِهْراً} (الفرقان: 54) فجمع بين المائين الصِّهْر، وَالنَّسَب، فَلَمَّا انْتَفَى عَنِ الزِّنَا حُكْمُ النَّسَبِ انْتَفَى عَنْهُ حُكْمُ الْمُصَاهَرَةِ وَرَوَى نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” الحرام لا يحرم الحلال “.
Dalil kami adalah firman-Nya Ta‘ala: {Dan Dialah yang menciptakan manusia dari air, lalu menjadikannya (memiliki) hubungan nasab dan mushaharah} (al-Furqan: 54). Maka Allah menggabungkan dua hubungan, yaitu mushaharah dan nasab. Ketika zina tidak menimbulkan hukum nasab, maka tidak pula menimbulkan hukum mushaharah. Dan telah diriwayatkan dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Yang haram tidak mengharamkan yang halal.”
وروي عن الزُّهْرِيِّ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الرَّجُلِ يَنْكِحُ الْمَرْأَةَ حَرَامًا أَيَنْكِحُ ابْنَتَهَا أَوْ يَنْكِحُ الْبِنْتَ حَرَامًا أَيَنْكِحُ أُمَّهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ، إِنَّمَا يُحَرِّمُ مَا كَانَ بِنِكَاحٍ حَلَالٍ ” وَهَذَا نَصٌّ لَا يَجُوزُ خلافه.
Dan diriwayatkan dari az-Zuhri dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita secara haram, apakah ia boleh menikahi anak perempuannya? Atau menikahi seorang anak perempuan secara haram, apakah ia boleh menikahi ibunya? Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Yang haram tidak mengharamkan yang halal, yang mengharamkan hanyalah apa yang terjadi dengan pernikahan yang halal.” Dan ini adalah nash yang tidak boleh diselisihi.
ومن طريق القياس أنه وطء تمحض تحريمه فلم يتعلق به تحرم الْمُصَاهَرَةِ كَوَطْءِ الصَّغِيرَةِ الَّتِي لَا تُشْتَهَى، وَلِأَنَّهُ وَطْءٌ لَا يُوجِبُ الْعِدَّةَ فَلَمْ يُوجِبْ تَحْرِيمَ الْمُصَاهَرَةِ كَوَطْءِ الصَّغِيرَةِ وَالْمَيِّتَةِ، وَلِأَنَّهُ تَحْرِيمُ نِكَاحٍ يَتَعَلَّقُ بِالْوَطْءِ الصَّحِيحِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنِ الزِّنَا الصَّرِيحِ قِيَاسًا عَلَى تَحْرِيمِ الْعِدَّةِ، وَلِأَنَّهُ وطء لا يتعلق به التحريم المؤقت فوجب أن يتعلق به التحريم المؤبد كاللواط، ولأنه مَا أَوْجَبَ تَحْرِيمَ الْمُصَاهَرَةِ افْتَرَقَ حُكْمُ حَلَالِهِ وحرامه كالعقد، ولأن المواصلة التي ثبت فِي الْوَطْءِ بِالنِّكَاحِ تَنْتَفِي عَنِ الْوَطْءِ بِالزِّنَا قياساً على مُوَاصَلَةِ النَّسَبِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا انْتَفَى عَنْ وَطْءِ الزِّنَا مَا يَتَعَلَّقُ بِوَطْءِ النِّكَاحِ مِنَ الْإِحْصَانِ، وَالْإِحْلَالِ، وَالْعِدَّةِ، وَالنَّسَبِ انْتَفَى عَنْهُ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ تَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ وَلِأَنَّهُ لَوْ ثَبَتَ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ بِمَا حَرُمَ مِنَ الْوَطْءِ، وَالْقُبْلَةِ، والملامسة بشهوة لما شاءت المرأة أَنْ تُفَارِقَ زَوْجَهَا إِذَا كَرِهَتْهُ إِذَا قَدَرَتْ عَلَى فِرَاقِهِ بِتَقْبِيلِ ابْنِهِ فَيَصِيرُ الْفِرَاقُ بِيَدِهَا، وَقَدْ جَعَلَهُ اللَّهُ بِيَدِ الزَّوْجِ دُونَهَا وَلَا يبطل هذا بالردة؛ لأنه مَا يَلْزَمُهَا مِنَ الْقَتْلِ بِالرِّدَّةِ أَعْظَمُ مِمَّا تستفيده من الفرقة فلم تخلص لها الفرقة بالردة وخلصت لها بالقبلة.
Dan berdasarkan qiyās, bahwa itu adalah persetubuhan yang sepenuhnya haram sehingga tidak menimbulkan keharaman karena muṣāharah, seperti persetubuhan dengan anak kecil yang tidak diinginkan secara syahwat. Dan karena itu adalah persetubuhan yang tidak mewajibkan ‘iddah, maka tidak menyebabkan keharaman muṣāharah, seperti persetubuhan dengan anak kecil dan mayat. Dan karena keharaman pernikahan itu berkaitan dengan persetubuhan yang sah, maka harus ditiadakan dari zina yang nyata, sebagaimana keharaman ‘iddah. Dan karena itu adalah persetubuhan yang tidak berkaitan dengan keharaman sementara, maka harus berkaitan dengan keharaman selamanya seperti liwāṭ. Dan karena apa yang menyebabkan keharaman muṣāharah, hukum halal dan haramnya berbeda seperti akad. Dan karena hubungan yang tetap dalam persetubuhan melalui nikah tidak ada pada persetubuhan melalui zina, qiyās dengan hubungan nasab. Dan karena ketika pada persetubuhan zina tidak ada hal-hal yang berkaitan dengan persetubuhan nikah seperti iḥṣān, iḥlāl, ‘iddah, dan nasab, maka tidak ada pula padanya hal-hal yang berkaitan dengan keharaman muṣāharah. Dan seandainya keharaman muṣāharah itu tetap dengan sebab persetubuhan yang haram, ciuman, dan sentuhan dengan syahwat, niscaya seorang wanita bisa berpisah dari suaminya jika ia membencinya, jika ia mampu berpisah darinya dengan mencium anaknya, sehingga perceraian berada di tangannya, padahal Allah telah menjadikannya di tangan suami, bukan di tangannya. Dan hal ini tidak batal dengan riddah; karena hukuman mati yang wajib baginya akibat riddah lebih besar daripada manfaat yang ia peroleh dari perpisahan, sehingga perpisahan tidak menjadi haknya karena riddah, tetapi menjadi haknya karena ciuman.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آباؤُكُمْ) {النساء: 2) فَهُوَ أَنَّ النِّكَاحَ حقيقة في العقد فجاز فِي الْوَطْءِ، أَلَا تَرَى إِلَى قَوْله تَعَالَى: {يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إذَا نَكَحْتُمْ المُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَقْتُمُوهَنَّ مِنْ قَبْلِ أنْ تَمَسُوهُنَّ) {الأحزاب: 49) وقَوْله تَعَالَى: {وَأَنكِحُواْ الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ) {النور: 32) يُرِيدُ بِهِ الْعَقْدَ دُونَ الْوَطْءِ ثُمَّ لَوْ تَنَاوَلَ الْوَطْءَ مَجَازًا عِنْدَنَا وَحَقِيقَةً عِنْدَهُمْ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى حَلَالِهِ مَخْصُوصًا فِي حَرَامِهِ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَا.
Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayahmu} (an-Nisā’: 22), maka sesungguhnya nikah secara hakikat adalah akad, sehingga boleh digunakan untuk persetubuhan. Tidakkah engkau melihat firman Allah Ta‘ala: {Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka} (al-Aḥzāb: 49), dan firman-Nya: {Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan hamba-hamba sahayamu yang saleh} (an-Nūr: 32), yang dimaksud adalah akad, bukan persetubuhan. Kemudian, seandainya lafaz tersebut mencakup persetubuhan secara majazi menurut kami dan secara hakiki menurut mereka, maka boleh saja lafaz itu dibatasi pada yang halal saja, tidak pada yang haram, berdasarkan dalil yang telah kami sebutkan.
وَأَمَّا احْتِجَاجُهُمْ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ نَظَرَ إِلَى فَرْجِ امْرَأَةٍ وَبِنْتِهَا ” فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
Adapun dalil mereka dengan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Allah tidak akan memandang laki-laki yang memandang kemaluan seorang wanita dan anak perempuannya,” maka ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَرْوِيٌّ عَنْ وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ أنه مكتوب في التوراة فلم يلزمنا لنسخها بِالْقُرْآنِ.
Pertama: Bahwa itu diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih bahwa itu tertulis dalam Taurat, sehingga tidak wajib bagi kita mengikutinya karena telah di-nasakh oleh al-Qur’an.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا تَضَمَّنَهُ مِنَ الْوَعِيدِ مُتَوَجِّهٌ إِلَيْهِ فِي الْحَرَامِ دُونَ الْحَلَالِ؛ لِأَنَّ أَحَدَهُمَا لَا مَحَالَةَ حَرَامٌ.
Kedua: Bahwa ancaman yang terkandung di dalamnya ditujukan pada perbuatan haram, bukan pada yang halal; karena salah satunya pasti haram.
وَأَمَّا احْتِجَاجُهُمْ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ كَشَفَ خِمَارَ امْرَأَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وبنتها ” فلا دليل في ظاهره فعمل بِمُوجَبِهِ؛ لِأَنَّ كَشْفَ الْخِمَارِ لَا يُحَرِّمُ عَلَيْهِ أُمَّهَا وَلَا بِنْتَهَا فَإِنْ عَدَلُوا بِهِ عَنْ ظَاهِرِهِ إِلَى الْوَطْءِ، عَدَلْنَا بِهِ إِلَى حَلَالِ الْوَطْءِ أَوْ شُبْهَتِهِ.
Adapun dalil mereka dengan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa membuka kerudung seorang wanita, maka haram atasnya ibu dan anak perempuannya,” maka tidak ada dalil pada zahirnya, sehingga kita beramal sesuai maknanya; karena membuka kerudung tidak menyebabkan haramnya ibu dan anak perempuan wanita itu baginya. Jika mereka mengalihkan maknanya dari zahir kepada persetubuhan, maka kita pun mengalihkannya kepada persetubuhan yang halal atau syubhatnya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ بِأَنَّهُ وَطْءٌ مَقْصُودٌ كَالنِّكَاحِ، فَلَيْسَ لِقَوْلِهِمْ وَطْءٌ مَقْصُودٌ تَأْثِيرٌ فِي الْحُكْمِ، لِأَنَّ وَطْءَ الْعَجُوزِ الشَّوْهَاءِ غَيْرُ مَقْصُودٍ، وَهُوَ فِي تَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ كَوَطْءِ الشَّابَّةِ الْحَسْنَاءِ، وَإِذَا سَقَطَ اعْتِبَارُهُ لِعَدَمِ تَأْثِيرِهِ انْتُقِضَ بِوَطْءِ الْمَيِّتَةِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي النِّكَاحِ أَنَّهُ أوجب لحوق النَّسَبِ فَلِذَلِكَ أَوْجَبَ تَحْرِيمَ الْمُصَاهَرَةِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الزِّنَا، وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى وَطْءِ الشُّبْهَةِ.
Adapun qiyās mereka bahwa itu adalah persetubuhan yang dimaksudkan seperti nikah, maka perkataan mereka “persetubuhan yang dimaksudkan” tidak berpengaruh dalam hukum, karena persetubuhan dengan wanita tua yang buruk rupa tidak dimaksudkan, namun dalam hal keharaman muṣāharah sama dengan persetubuhan dengan wanita muda yang cantik. Jika pertimbangan itu gugur karena tidak berpengaruh, maka batal pula dengan persetubuhan dengan mayat. Kemudian, makna dalam nikah adalah bahwa ia menyebabkan nasab, karena itu ia mewajibkan keharaman muṣāharah, sedangkan zina tidak demikian. Demikian pula jawaban atas qiyās mereka dengan persetubuhan syubhat.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الرَّضَاعِ بِعِلَّةِ أَنَّهُ فِعْلٌ يَتَعَلَّقُ بِهِ التَّحْرِيمُ فَمُنْتَقِضٌ بِالْعَقْدِ يَفْتَرِقُ حكم محظوره الفاسد ومباحه الصحيح.
Adapun qiyās mereka dengan raḍā‘ah dengan alasan bahwa itu adalah perbuatan yang menimbulkan keharaman, maka itu batal dengan akad, karena hukum antara akad yang rusak dan yang sah berbeda.
وإن قِيلَ: فَالْعَقْدُ قَوْلٌ، وَلَيْسَ بِفِعْلٍ.
Jika dikatakan: Akad itu adalah ucapan, bukan perbuatan.
قِيلَ؛ الْقَوْلُ فِعْلٌ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الرَّضَاعِ أَنَّهُ لَمَّا تعلق لمحظوره شابه أحكام المباح لم يتَعَلَّق بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ.
Dijawab: Ucapan itu adalah perbuatan. Kemudian, makna dalam masalah radha‘ adalah bahwa ketika ia berkaitan dengan sesuatu yang dilarang, maka ia menyerupai hukum-hukum yang mubah sehingga tidak terkait padanya pengharaman karena mushaharah.
فصل
Fasal
فأما الشافعي: فإنه حكى مناظرة بينه وبين العراقيين في هذه المسألة، اختلف أصحابنا فيه.
Adapun asy-Syafi‘i: beliau meriwayatkan adanya perdebatan antara dirinya dan orang-orang Irak dalam masalah ini, yang para sahabat kami berbeda pendapat di dalamnya.
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ محمد بن الحسن.
Sebagian mereka berkata: Dia adalah Muhammad bin al-Hasan.
وَقَالَ آخَرُونَ: هُوَ بشر المريسي فَقَالَ الشَّافِعِيُّ: قَالَ لي قائل، يقول: لو قبلت امرأة ابنه لشهوة حَرُمَتْ عَلَى زَوْجِهَا أَبَدًا لِمَ قُلْتَ هَذَا، فهذا سؤال أورده عليه، فالمخالف، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: قَدْ أَخْطَأَ الْمُزَنِيُّ فِي نَقْلِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِمَ لَا، قُلْتُ هَذَا، فَحَذَفَ لَا وَقَالَ لِمَ قُلْتُ هَذَا سَهْوًا مِنْهُ، وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ نَقْلُ الْمُزَنِيِّ صَحِيحٌ، لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ ذَكَرَ مَذْهَبَهُ فِي أَنَّ الحرام لا يحرم الحلال وطأً كان أَوْ لَمْسًا، فَقَالَ لَهُ الْمُخَالِفُ أَنَا أَقُولُ: لو قبلت امرأة ابنه بشهوة حَرُمَتْ عَلَيْهِ أَبَدًا لِمَ قُلْتَ هَذَا الَّذِي تَقَدَّمَ مِنْكَ فِي أَنَّ الْحَرَامَ لَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ.
Dan yang lain berkata: Dia adalah Bisyr al-Mirisi. Maka asy-Syafi‘i berkata: Ada seseorang berkata kepadaku, ia berkata: “Seandainya seorang wanita mencium anaknya karena syahwat, maka ia haram selamanya atas suaminya. Mengapa engkau mengatakan hal ini?” Ini adalah pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh pihak yang berbeda pendapat. Maka di antara sahabat kami ada yang berkata: Al-Muzani telah keliru dalam riwayatnya, sebenarnya yang benar adalah “Mengapa tidak engkau katakan hal ini?”, lalu ia menghilangkan kata “tidak” dan berkata “Mengapa engkau katakan hal ini?” karena kelalaiannya. Dan yang lain berkata: Bahkan riwayat al-Muzani benar, karena asy-Syafi‘i telah menyebutkan mazhabnya bahwa yang haram tidak mengharamkan yang halal, baik berupa hubungan badan maupun sentuhan. Maka lawan debatnya berkata: Aku berpendapat, seandainya seorang wanita mencium anaknya karena syahwat, maka ia haram selamanya atas suaminya. Mengapa engkau mengatakan hal ini, padahal engkau telah menyatakan sebelumnya bahwa yang haram tidak mengharamkan yang halal?
فَأَجَابَ الشَّافِعِيُّ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ مِنْ قبل: إن الله تعالى حَرَّمَ أُمَّهَاتِ نِسَائِكُمْ، وَهَذَا بِالنِّكَاحِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَاسَ الْحَرَامُ بِالْحَلَالِ يَعْنِي أَنَّهُ لَمَّا كَانَ النَّصُّ وَارِدًا فِي النِّكَاحِ كَانَ الْحُكْمُ مَقْصُورًا عَلَيْهِ وَلَمْ يَكُنِ الْحَرَامُ مُلْحَقًا بِهِ لِأَنَّ حُكْمَ الْحَرَامِ مُخَالِفٌ لِحُكْمِ الْحَلَالِ، ثُمَّ قال الشافعي وقوله تعالى حاكياً عن هذا القائل فقال لي أحدهما جِمَاعًا وَجِمَاعًا، يَعْنِي أَنَّ وَطْءَ الزِّنَا جِمَاعٌ ووطء النكاح جماع فاقتضى لتساويهما أن يستوي حُكْمُهُمَا فَأَجَابَهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ هَذَا بِأَنْ فَرَّقَ بين الجماعين في الحكم فقال: جماعاً حمدت به، وجماعاً رجعت به، وأحدهما نعمة وجعلته نَسَبًا وَصِهْرًا، وَأَوْجَبَ بِهِ حُقُوقًا وَجَعَلَكَ مَحْرَمًا لِأُمِّ امْرَأَتِكَ وَابْنَتِهَا تُسَافِرُ بِهِمَا وَجَعَلَ الزِّنَا نِقْمَةً فِي الدُّنْيَا بِالْحُدُودِ، وَفِي الْآخِرَةِ بِالنَّارِ إلا أن يعفو الله، أفتقيس الحرام الذي هو نقمة على الحلال الذي هو نعمة.
Maka asy-Syafi‘i menjawab hal itu dan berkata sebelumnya: Sesungguhnya Allah Ta‘ala mengharamkan ibu-ibu istri kalian, dan itu melalui pernikahan, maka tidak boleh qiyās antara yang haram dengan yang halal. Maksudnya, ketika nash datang dalam konteks pernikahan, maka hukum itu terbatas padanya dan yang haram tidak bisa disamakan dengannya, karena hukum yang haram berbeda dengan hukum yang halal. Kemudian asy-Syafi‘i berkata, dan firman Allah Ta‘ala yang mengisahkan tentang orang yang berkata kepadanya: “Keduanya adalah jima‘, keduanya adalah jima‘,” maksudnya bahwa hubungan badan zina adalah jima‘ dan hubungan badan pernikahan juga jima‘, sehingga karena kesamaan keduanya, maka hukumnya pun harus sama. Maka asy-Syafi‘i menjawabnya dengan membedakan antara dua jima‘ tersebut dalam hukum, beliau berkata: “Jima‘ yang aku puji, dan jima‘ yang aku sesali. Salah satunya adalah nikmat dan aku jadikan sebagai nasab dan mushaharah, dan aku wajibkan dengannya hak-hak, dan aku jadikan engkau mahram bagi ibu istrimu dan anak perempuannya, sehingga engkau boleh bepergian bersama keduanya. Sedangkan zina adalah azab di dunia dengan hudud, dan di akhirat dengan neraka kecuali Allah mengampuni. Apakah engkau menyamakan yang haram yang merupakan azab dengan yang halal yang merupakan nikmat?”
فَبَيَّنَ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّ الْجِمَاعَيْنِ لَمَّا افْتَرَقَا فِي هذه الْأَحْكَامِ الَّتِي أَجْمَعْنَا عَلَيْهَا وَجَبَ أَنْ يَفْتَرِقَا فِي تَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ الَّتِي اخْتَلَفْنَا فِيهَا ثُمَّ أن الشافعي استأنف سؤالاً على هذه المناظرة له فَقَالَ: إِنْ قَالَ لَكَ قَائِلٌ: وَجَدْتُ الْمُطَلَّقَةَ ثَلَاثًا تَحِلُّ بِجِمَاعِ الزَّوْجِ فَأُحِلُّهَا بِالزِّنَا؛ لِأَنَّهُ جماع كجماع كما حرمت به الحلال، ولأنه جِمَاعٌ وَجِمَاعٌ، فَأَجَابَهُ هَذَا الْمُنَاظِرُ بِأَنْ قَالَ: إِذًا تُخْطِئُ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَحَلَّهَا بِإِصَابَةِ زَوْجٍ، فَقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَكَذَلِكَ مَا حَرَّمَ فِي كِتَابِهِ بِنِكَاحِ زَوْجٍ وَإِصَابَةِ زَوْجٍ فَأَوْرَدَ أَوَّلَ السؤال نقصاً ثُمَّ بَيَّنَ أَنَّهُمْ قَدْ جَعَلُوا بَيْنَ الْجِمَاعَيْنِ فَرْقًا لِأَنَّهُ أَلْحَقَ الْجِمَاعَ الْحَرَامَ بِالْجِمَاعِ الْحَلَّالِ من حيث جمعهما بالاسم فَعَارَضَهُ بِتَحْلِيلِهَا لِلزَّوْجِ بِالْجِمَاعِ الْحَرَامٍ قِيَاسًا عَلَى الْجِمَاعِ الْحَلَالِ لِاجْتِمَاعِهِمَا فِي الِاسْمِ، فَأَقَرَّ بِتَخْطِئَةِ قَائِلِهِ فَصَارَ نَقْضًا وَاعْتِرَافًا بِأَنَّ اجْتِمَاعَهُمَا فِي الِاسْمِ لَيْسَ بِعِلَّةٍ فِي الْحُكْمِ، ثُمَّ حَكَى الشَّافِعِيُّ: سُؤَالًا اسْتَأْنَفَهُ مَنَاظِرُهُ.
Maka asy-Syafi‘i menjelaskan bahwa ketika dua jima‘ itu berbeda dalam hukum-hukum yang telah kita sepakati, maka wajib pula keduanya berbeda dalam pengharaman mushaharah yang kita perselisihkan. Kemudian asy-Syafi‘i memulai pertanyaan baru dalam perdebatan ini, beliau berkata: Jika ada yang berkata kepadamu: “Aku mendapati wanita yang ditalak tiga menjadi halal dengan jima‘ suami (baru), maka aku halalkan juga dengan zina, karena itu juga jima‘ sebagaimana engkau mengharamkan yang halal dengannya, dan karena itu jima‘ dan jima‘.” Maka penanya ini dijawab oleh lawan debatnya: “Kalau begitu engkau keliru, karena Allah Ta‘ala menghalalkannya dengan persetubuhan suami (baru).” Maka asy-Syafi‘i berkata: “Demikian pula apa yang Allah haramkan dalam kitab-Nya dengan pernikahan suami dan persetubuhan suami.” Maka ia mengajukan pertanyaan pertama dengan kekurangan, kemudian menjelaskan bahwa mereka telah membedakan antara dua jima‘, karena ia menyamakan jima‘ haram dengan jima‘ halal hanya karena keduanya sama-sama disebut jima‘. Maka ia membantahnya dengan menghalalkan wanita itu bagi suaminya dengan jima‘ haram melalui qiyās kepada jima‘ halal karena keduanya sama dalam nama, lalu ia mengakui kesalahan orang yang berkata demikian. Maka itu menjadi pembatalan dan pengakuan bahwa kesamaan dalam nama bukanlah sebab (‘illah) dalam hukum. Kemudian asy-Syafi‘i meriwayatkan pertanyaan yang diajukan kembali oleh lawan debatnya.
فَقَالَ: قَالَ لِي أفيكون شَيْءٌ يُحَرِّمُهُ الْحَلَالُ لَا يُحَرِّمُهُ الْحَرَامُ أَقُولُ بِهِ.
Ia berkata: “Ada sesuatu yang diharamkan oleh yang halal, namun tidak diharamkan oleh yang haram, apakah engkau berpendapat demikian?”
فَأَجَابَهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ هَذَا بِأَنْ قَالَ نَعَمْ يَنْكِحُ أَرْبَعًا فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يَنْكِحَ من النساء خامسة فيحرم عليه إذا زنا بأربع شيء من النساء.
Maka asy-Syafi‘i menjawabnya: “Ya, seseorang boleh menikahi empat wanita, maka haram baginya menikahi wanita kelima, lalu apakah jika ia berzina dengan empat wanita, ada sesuatu dari wanita yang menjadi haram baginya?”
قال المناظر: لَا يَمْنَعُهُ الْحَرَامُ مَا مَنَعَهُ الْحَلَالُ، فَكَانَ هذا منه زيادة اعتراف تفرق مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ ثُمَّ إِنَّ الشَّافِعِيَّ حكي عَنْهُ اسْتِئْنَاف سُؤَالٍ يَدُلُّ بِهِ عَلَى أَنَّ الْحَرَامَ قَدْ يُحَرِّمُ الْحَلَالَ وَهُوَ أَنْ تَرْتَدَّ الْمَرْأَةُ فَتَحْرُمُ بِالرِّدَّةِ عَلَى زَوْجِهَا، فَلَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَكُونَ الْحَرَامُ مُحَرِّمًا لِلْحَلَالِ.
Sang penantang berkata: Sesuatu yang diharamkan tidak mencegah apa yang telah dicegah oleh yang halal, maka ini darinya merupakan tambahan pengakuan adanya perbedaan antara yang halal dan yang haram. Kemudian, dari Imam Syafi‘i diriwayatkan adanya pertanyaan lanjutan yang menunjukkan bahwa yang haram bisa mengharamkan yang halal, yaitu apabila seorang wanita murtad, maka ia menjadi haram bagi suaminya karena kemurtadannya. Maka tidak mustahil bahwa yang haram dapat mengharamkan yang halal.
فَأَجَابَهُ الشافعي رضي الله عنه بِأَنْ قَالَ: نَعَمْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ، وَعَلَى جَمِيعِ النَّاسِ، وَاقْتُلهَا وَاجْعَل مَالَهَا فَيْئًا يُرِيدُ بِذَلِكَ أن تحرم الردة عام، ولا يَخْتَصُّ بِتَحْرِيمِ النِّكَاحِ، وَإِنَّمَا دَخَلَ فِيهِ تَحْرِيمُ النِّكَاحِ تَبَعًا فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مُخَالِفًا لِحُكْمِ مَا يَخْتَصُّ بِتَحْرِيمِ النِّكَاحِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Imam Syafi‘i ra. menjawabnya dengan berkata: “Ya, ia menjadi haram baginya, dan bagi seluruh manusia, dan bunuhlah dia serta jadikan hartanya sebagai fai’.” Yang dimaksud dengan itu adalah bahwa keharaman karena murtad bersifat umum, tidak khusus pada pengharaman nikah saja, dan pengharaman nikah masuk di dalamnya secara ikut-ikutan. Maka boleh jadi hukumnya berbeda dengan hukum yang khusus pada pengharaman nikah. Dan Allah Maha Mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
فإذ تقرر ما وصفنا من الزِّنَا لَا يَحْرُمُ النِّكَاحُ فَجَاءَتِ الزَّانِيَةُ بِوَلَدٍ مِنْ زِنًا كَانَ وَلَدُ الزَّانِيَةِ دُونَ الزَّانِي لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الولد للفراش وللعاهر الحجر ” وإنما لحق بها دونه؛ لأنه مخلوق منهما عِيَانًا، وَمِنَ الْأَبِ ظَنًّا فَلَحِقَ بِهَا وَلَدُ الزنا والنكاح لمعاينة وضعهما لَهُمَا، وَلَحِقَ بِالْأَبِ وَلَدُ النِّكَاحِ دُونَ الزِّنَا لِغَلَبَةِ الظَّنِّ بِالْفِرَاشِ فِي النِّكَاحِ دُونَ الزِّنَا، وَإِذَا لَمْ يَلْحَقْ وَلَدُ الزِّنَا بِالزَّانِي وَكَانَتْ ثيباً جَازَ لِلزَّانِي أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ، وَإِنْ كره له أن يتزوجها، واختلف أصحابنا في معنى الكراهية.
Setelah dipastikan sebagaimana telah kami uraikan bahwa zina tidak mengharamkan pernikahan, maka apabila seorang pezina perempuan melahirkan anak dari hasil zina, maka anak tersebut dinisbatkan kepada perempuan pezina, bukan kepada laki-laki pezina, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Anak itu milik pemilik ranjang, dan bagi pezina adalah batu.” Anak itu dinisbatkan kepadanya (perempuan) bukan kepada laki-laki, karena secara nyata ia diciptakan dari keduanya, sedangkan dari pihak ayah hanya berdasarkan dugaan. Maka anak zina dan anak dari pernikahan dinisbatkan kepada ibu karena nyata-nyata ia melahirkan keduanya, sedangkan anak dari pernikahan dinisbatkan kepada ayah karena kuatnya dugaan melalui hubungan pernikahan, tidak demikian pada zina. Jika anak zina tidak dinisbatkan kepada laki-laki pezina dan perempuan itu adalah janda, maka menurut Imam Syafi‘i, laki-laki pezina boleh menikahinya, meskipun makruh baginya untuk menikahinya. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai makna kemakruhan tersebut.
فقال بعضهم: لاختلاف الفقهاء في إباحتها، وكره اسْتِبَاحَتِهِ مُخْتَلَفٌ فِيهَا.
Sebagian dari mereka berkata: Karena perbedaan pendapat para fuqaha dalam membolehkannya, dan beliau memakruhkan menikahinya karena statusnya yang diperselisihkan.
وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ كَرِهَ نكاحها لجواز أن يكون مَخْلُوقَةً مِنْ مَائِهِ.
Yang lain berkata: Bahkan beliau memakruhkan menikahinya karena kemungkinan perempuan itu diciptakan dari air maninya.
وَقَالَ أبو حنيفة: قَدْ حَرُمَ عَلَى الزَّانِي نِكَاحُهَا، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُهُ فِي مَعْنَى تَحْرِيمِهَا فَقَالَ مُتَقَدِّمُوهُمْ: لِأَنَّهَا بَنَتُ امْرَأَةٍ قَدْ زَنَى بِهَا فَتَعَدَّى تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ إِلَيْهَا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فَرْعًا عَلَى الْخِلَافِ الْمَاضِي.
Abu Hanifah berkata: Telah haram bagi laki-laki pezina untuk menikahinya. Para pengikutnya berbeda pendapat tentang makna pengharamannya. Ulama terdahulu dari mereka berkata: Karena dia adalah anak perempuan dari seorang wanita yang telah dizinai olehnya, sehingga pengharaman karena mushaharah (hubungan pernikahan) meluas kepadanya. Maka menurut pendapat ini, masalah ini merupakan cabang dari perbedaan pendapat yang telah lalu.
وقال متأخروهم: بل حرمت؛ لأنها بنته مَخْلُوقَةٌ مِنْ مَائِهِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ خِلَافًا مُسْتَأْنَفًا وَاسْتَدَلُّوا فِيهِ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {حُرِّمَتْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ) {النساء: 23) وَهَذِهِ بِنْتُهُ، لِأَنَّ الْعَرَبَ تُسَمِّيهَا بِنْتًا، وَلَا يُعْتَبَرُ عَقْدُ النِّكَاحِ.
Ulama muta’akhkhir dari mereka berkata: Bahkan ia diharamkan karena ia adalah anak perempuannya yang diciptakan dari air maninya. Maka menurut pendapat ini, perbedaan pendapatnya adalah perbedaan yang baru. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian dan anak-anak perempuan kalian} (an-Nisa: 23), dan ini adalah anak perempuannya, karena orang Arab menyebutnya anak perempuan, dan tidak disyaratkan adanya akad nikah.
قَالُوا: وَلِأَنَّهَا مَخْلُوقَةٌ مِنْ مِائِهِ فِي الظَّاهِرِ، فَوَجَبَ أَنْ تَحْرُمَ عَلَيْهِ كَالْمَوْلُودَةِ مِنْ زَوْجة أَوْ أمة؛ وَلِأَنَّ وَلَدَ الزِّنَا مَخْلُوقٌ مِنْ مَاءِ الرجل الزَّانِي وَالزَّانِيَةِ، فَلَمَّا حَرُمَ وَلَدُ الزِّنَا عَلَى الزَّانِيَةِ وَجَبَ أَنْ يَحْرُمَ عَلَى الزَّانِي قِيَاسًا عَلَى وَلَدِ الشُّبْهَةِ.
Mereka berkata: Karena ia diciptakan dari air maninya secara lahiriah, maka wajib diharamkan atasnya seperti anak yang lahir dari istri atau budak perempuannya. Dan karena anak zina diciptakan dari air mani laki-laki pezina dan perempuan pezina, maka ketika anak zina diharamkan atas perempuan pezina, wajib juga diharamkan atas laki-laki pezina dengan qiyās kepada anak syubhat.
وَلِأَنَّهَا مَخْلُوقَةٌ مِنْ مِائِهِ فلم يكن نفيها عنه يمانع مِنْ تَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ قِيَاسًا عَلَى وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ.
Dan karena ia diciptakan dari air maninya, maka penafian nasab darinya tidak menghalangi pengharamannya atasnya, dengan qiyās kepada anak hasil li‘ān.
وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ تَحْرِيمَ الْوَلَدِ حُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ النَّسَبِ، فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنْ مَاءِ الزاني كَالْمِيرَاثِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ لُحُوقُ النَّسَبِ بِالزَّانِيَةِ يُوجِبُ أَنْ يَتْبَعَهُ التَّحْرِيمُ كَمَا تَبِعَهُ الْمِيرَاثُ وَجَبَ إِذَا انْتَفَى النَّسَبُ عَنِ الزَّانِي أَنْ يَتْبَعَهُ التَّحْرِيمُ كَمَا تَبِعَهُ الْمِيرَاثُ، وَقَدْ يَتَحَرَّرُ مِنْ هَذَا الِاعْتِلَالِ قِيَاسَانِ:
Dalil kami: Bahwa pengharaman anak adalah hukum dari hukum-hukum nasab, maka wajib tidak berlaku pada air mani laki-laki pezina sebagaimana dalam warisan. Dan karena ketika nasab dinisbatkan kepada perempuan pezina menyebabkan adanya pengharaman sebagaimana warisan, maka jika nasab tidak dinisbatkan kepada laki-laki pezina, wajib pula pengharaman tidak berlaku sebagaimana warisan. Dari alasan ini dapat diambil dua qiyās:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ تَحْرِيمُ نَسَبٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَابِعًا لِلنَّسَبِ كَاتِّبَاعِهِ فِي حَقِّ الْأُمِّ.
Pertama: Bahwa ini adalah pengharaman karena nasab, maka wajib mengikuti nasab sebagaimana dalam hak ibu.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ تَابِعٌ لِلنَّسَبِ فِي الثُّبُوتِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَابِعًا لَهُ فِي النَّفْيِ كَالْمِيرَاثِ، وَلَا مدخل على هذا ولد الملاعنة لما سَنَذْكُرُهُ؛ وَلِأَنَّ وَلَدَ الزِّنَا لَوْ حَرُمَتْ عَلَى الزَّانِي بِالْبُنُوَّةِ لَحَرُمَتْ عَلَى أَبِيهِ وَابْنِهِ بِحُكْمِ الْبُنُوَّةِ وَالْأُخُوَّةِ، وَفِي إِبَاحَتِهَا لَهُمَا دَلِيلٌ عَلَى إِبَاحَتِهَا لِلزَّانِي.
Kedua: Bahwa ia mengikuti nasab dalam penetapan, maka wajib pula mengikutinya dalam penafian, sebagaimana warisan. Tidak termasuk dalam hal ini anak hasil li‘ān, sebagaimana akan kami sebutkan. Dan karena jika anak zina diharamkan atas laki-laki pezina karena status anak, niscaya ia juga diharamkan atas ayah dan anak laki-lakinya berdasarkan hukum anak dan saudara, padahal dibolehkannya bagi keduanya menunjukkan bolehnya bagi laki-laki pezina.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْآيَةِ فَلَيْسَتْ هَذِهِ مِنْ بَنَاتِهِ فَتَدْخُلُ فِي آيَةِ التَّحْرِيمِ كَمَا لَمْ تَكُنْ مِنْ بَنَاتِهِ فِي آيَةِ الْمَوَارِيثِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يُوصيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ للذَّكَرِ) {النساء: 11) الْآيَةَ.
Adapun dalil mereka dengan ayat tersebut, maka perempuan ini bukanlah anak-anak perempuannya sehingga termasuk dalam ayat pengharaman, sebagaimana ia juga bukan anak-anak perempuannya dalam ayat warisan berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu; bagian seorang anak laki-laki…} (an-Nisā’: 11) dan seterusnya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ أَنَّهَا مَخْلُوقَةٌ مِنْ مَائِهِ، فَهَذَا غَيْرُ مَعْلُومٍ فَلَمْ يَسْلَمْ، ثُمَّ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ خَلْقُهَا مِنْ مَائِهِ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ بِهِ نَسَبٌ وَلَا مِيرَاثٌ لَمْ يمنع أن يَتَعَلَّقَ بِهِ تَحْرِيمٌ.
Adapun qiyās mereka bahwa ia diciptakan dari air mani laki-laki, hal ini tidak dapat dipastikan sehingga tidak dapat diterima. Kemudian, ketika penciptaannya dari air mani tidak mencegah untuk tidak adanya hubungan nasab dan warisan, maka tidak pula mencegah untuk adanya pengharaman.
فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى وَلَدِ الشُّبْهَةِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ لَمَّا ثَبَتَ نَسَبُهُ وَمِيرَاثُهُ ثَبَتَ تَحْرِيمُهُ وَوَلَدُ الزِّنَا بِخِلَافِهِ.
Adapun qiyās mereka terhadap anak syubhat, maka maksudnya adalah: ketika nasab dan warisannya telah tetap, maka keharamannya pun tetap, sedangkan anak zina tidak demikian.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ فَالْحُكْمُ فِي وَلَدِ الملاعنة أنه إِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِأُمِّهَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ أَبَدًا؛ لِأَنَّهَا بَنَتُ امْرَأَةٍ قَدْ دَخَلَ بِهَا، وَإِنْ كَانَ مَا دَخَلَ بِهَا فَفِي تَحْرِيمِهَا عَلَيْهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ:
Adapun qiyās mereka terhadap anak li‘ān, maka hukum pada anak li‘ān adalah: jika sang ayah telah berhubungan dengan ibunya, maka anak itu haram dinikahi selamanya; karena ia adalah anak perempuan dari seorang wanita yang telah digauli. Namun jika belum digauli, maka dalam keharamannya terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Abu Ḥāmid al-Isfirā’īnī:
أَحَدُهُمَا: لَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ كَوَلَدِ الزِّنَا فَعَلَى هَذَا بطل الْقِيَاسُ.
Salah satunya: tidak haram baginya seperti anak zina, maka dengan demikian batal qiyās tersebut.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لو اعترف بها بعد الزنا لَحِقَتْ، وَوَلَدُ الزِّنَا لَوِ اعْتَرَفَ بِهِ لَمْ يلحق فصار وَلَد الزِّنَا مُؤَبَّدًا وَنَفْيُ وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ غَيْرُ مُؤَبَّدٍ فَافْتَرَقَا فِي النَّفْيِ، فَكَذَلِكَ مَا افْتَرَقَا في الحكم.
Pendapat kedua: ia haram baginya; karena jika ia mengakuinya setelah berzina, maka nasabnya tetap, sedangkan anak zina jika diakui tidak tetap nasabnya. Maka anak zina terputus selamanya, sedangkan penafian anak li‘ān tidak bersifat abadi, sehingga keduanya berbeda dalam penafian, demikian pula berbeda dalam hukum.
بَابُ نِكَاحِ حَرَائِرِ أَهْلِ الْكِتَابِ وَإِمَائِهِمْ وَإِمَاءِ المسلمين من الجامع ومن كتاب ما يحرم الجمع بينه، وغير ذلك
Bab Pernikahan Perempuan Merdeka dari Ahlul Kitab dan Budak Perempuan Mereka serta Budak Perempuan Muslimin, dari al-Jāmi‘ dan dari Kitab tentang apa yang haram digabungkan, dan lain-lain.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَأَهْلُ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَحِلُّ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمُ الْيَهُودُ والنصارى دون المجوس والصابئون وَالسَّامِرَة مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ أنهم يخلفونهم فِي أَصْلِ مَا يُحِلُّونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيُحَرِّمُونَ فيحرمون كالمجوس وإن كانوا يخالفونهم عَلَيْهِ وَيَتَأَوَّلُونَ فَيَخْتَلِفُونَ فَلَا يُحَرَّمُونَ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ahlul Kitab yang halal dinikahi perempuan merdekanya adalah Yahudi dan Nasrani, tidak termasuk Majusi, Shabi’in, dan Samirah dari kalangan Yahudi dan Nasrani, kecuali diketahui bahwa mereka menyelisihi pokok ajaran yang membolehkan dari kitab dan mengharamkan, maka mereka diharamkan seperti Majusi. Namun jika mereka hanya berbeda dalam penafsiran dan berselisih, maka tidak diharamkan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: قِسْمٌ هُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَقِسْمٌ لَيْسَ لَهُمْ كِتَابٌ، وَقِسْمٌ لَهُمْ شُبْهَةُ كِتَابٍ.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa kaum musyrik terbagi menjadi tiga golongan: golongan yang merupakan ahlul kitab, golongan yang tidak memiliki kitab, dan golongan yang memiliki syubhat kitab.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَهُمُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَكِتَابُ الْيَهُودِ التَّوْرَاةُ وَنَبِيُّهُمْ مُوسَى وَكِتَابُ النَّصَارَى الْإِنْجِيلُ وَنَبِيُّهُمْ عِيسَى، وَكِلَا الْكِتَابَيْنِ كَلَامُ اللَّهِ وَمُنَزَّلٌ مِنْ عِنْدِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإِنْجِيلَ مِنْ قَبْلُ هُدَىً للنَّاسِ) {آل عمران: 3 – 4) قد نُسِخَ الْكِتَابَانِ وَالشَّرِيعَتَانِ أَمَّا الْإِنْجِيلُ فَمَنْسُوخٌ بِالْقُرْآنِ، وَالنَّصْرَانِيَّةُ مَنْسُوخَةٌ بِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ، وَأَمَّا التَّوْرَاةُ وَدِينُ اليهودية فقد اختلف أصحابنا بماذا نسخ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun golongan pertama, yaitu ahlul kitab, mereka adalah Yahudi dan Nasrani. Kitab Yahudi adalah Taurat dan nabi mereka adalah Musa, sedangkan kitab Nasrani adalah Injil dan nabi mereka adalah Isa. Kedua kitab tersebut adalah kalam Allah dan diturunkan dari sisi-Nya. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan Dia menurunkan Taurat dan Injil sebelumnya sebagai petunjuk bagi manusia} (Ali ‘Imran: 3-4). Kedua kitab dan syariat tersebut telah dinasakh. Adapun Injil dinasakh dengan al-Qur’an dan agama Nasrani dinasakh dengan syariat Islam. Adapun Taurat dan agama Yahudi, para ulama kami berbeda pendapat tentang dengan apa keduanya dinasakh, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ التَّوْرَاةَ مَنْسُوخَةٌ بِالْإِنْجِيلِ وَالْيَهُودِيَّةَ مَنْسُوخَةٌ بِالنَّصْرَانِيَّةِ ثُمَّ نَسَخَ الْقُرْآنُ الْإِنْجِيلَ، وَنَسَخَ الْإِسْلَامُ النَّصْرَانِيَّةَ، وَهَذَا أَظْهَرُ الْوَجْهَيْنِ؛ لِأَنَّ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ قَدْ دَعَا الْيَهُودَ إِلَى دِينِهِ وَاحْتَجَّ عَلَيْهِمْ بِإِنْجِيلِهِ فَلَوْ لَمْ يَنْسَخْ دينهم بدينه وكتابهم بكتابه لأقرهم ولدعى غَيْرَهُمْ.
Salah satunya: bahwa Taurat dinasakh dengan Injil dan agama Yahudi dinasakh dengan agama Nasrani, kemudian al-Qur’an menasakh Injil dan Islam menasakh agama Nasrani. Ini adalah pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat tersebut; karena Isa ‘alaihis salam telah mengajak kaum Yahudi kepada agamanya dan berhujah kepada mereka dengan Injilnya. Seandainya agamanya dan kitabnya tidak menasakh agama dan kitab mereka, tentu ia akan membiarkan mereka dan mengajak selain mereka.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ التَّوْرَاةَ مَنْسُوخَةٌ بِالْقُرْآنِ وَالْيَهُودِيَّةَ مَنْسُوخَةٌ بِالْإِسْلَامِ، وَأَنَّ مَا لَمْ يُغَيَّرْ من التوراة قبل القرآن حق، وما تغير مِنَ الْيَهُودِيَّةِ قَبْلَ الْإِسْلَامِ حَقٌّ وَأَنَّ عِيسَى إنما دعى الْيَهُودَ؛ لِأَنَّهُمْ غَيَّرُوا كِتَابَهُمْ وَبَدَّلُوا دِينَهُمْ فَنَسَخَ بِالْإِنْجِيلِ مَا غَيَّرُوهُ مِنْ تَوْرَاتِهِمْ وَبِالنَّصْرَانِيَّةِ مَا بَدَّلُوهُ مِنْ يَهُودِيَّتِهِمْ، ثُمَّ نَسَخَ الْقُرْآنُ حينئذٍ جَمِيعَ تَوْرَاتِهِمْ، وَنَسَخَ الْإِسْلَامُ جَمِيعَ يَهُودِيَّتِهِمْ لِأَنَّ الأنبياء قد كانوا يحفظون من الشرائع التبديل، وينسخون منها مَا تَقْتَضِيهِ الْمَصْلَحَةُ، كَمَا نَسَخَ الْإِسْلَامُ فِي آخِرِ الْوَحْيِ خَاصًّا مِنْ أَوَّلِهِ فَأَمَّا نَسْخُ الشرائع المتقدمة على العموم فلم يكن إلا بالإسلام الذي هو خاتمة الشرائع، بالقرآن الَّذِي هُوَ خَاتِمَةُ الْكُتُبِ، فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يكون الداخل في اليهودية بعد عيسى على بَاطِل، وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي عَلَى حَقٍّ مَا لَمْ يَكُنْ مِمَّنْ غَيَّرَ وَبَدَّلَ، فَأَمَّا بَعْدَ الإسلام فالداخل في اليهودية والنصرانية على باطل.
Penjelasan kedua: Sesungguhnya Taurat telah di-nasakh oleh al-Qur’an dan agama Yahudi telah di-nasakh oleh Islam. Apa yang belum diubah dari Taurat sebelum al-Qur’an adalah kebenaran, dan apa yang telah diubah dari agama Yahudi sebelum Islam juga merupakan kebenaran. Isa (‘alaihis salam) hanya menyeru kaum Yahudi karena mereka telah mengubah kitab mereka dan mengganti agama mereka, maka Injil menasakh apa yang telah mereka ubah dari Taurat mereka, dan agama Nasrani menasakh apa yang telah mereka ganti dari agama Yahudi mereka. Kemudian al-Qur’an menasakh seluruh Taurat mereka, dan Islam menasakh seluruh agama Yahudi mereka. Para nabi memang menjaga syariat-syariat dari perubahan, dan mereka menasakh darinya apa yang dituntut oleh kemaslahatan, sebagaimana Islam menasakh pada akhir wahyu sebagian hukum yang khusus dari awalnya. Adapun nasakh syariat-syariat terdahulu secara umum, maka itu hanya terjadi dengan Islam yang merupakan penutup syariat, dengan al-Qur’an yang merupakan penutup kitab-kitab. Maka menurut penjelasan pertama, orang yang masuk agama Yahudi setelah Isa berada dalam kebatilan, dan menurut penjelasan kedua, ia berada dalam kebenaran selama bukan termasuk orang yang mengubah dan mengganti. Adapun setelah datangnya Islam, maka orang yang masuk agama Yahudi atau Nasrani adalah berada dalam kebatilan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ قَدْ كَانُوا عَلَى دِينٍ حَقٍّ ثُمَّ نُسِخَ فَيَجُوزُ لِحُرْمَةِ كتابهم أن يقروا على دينهم بالجزية أي يزكوا وَتُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ وَتُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ فَأَمَّا إِقْرَارُهُمْ بِالْجِزْيَةِ وأكل ذبائحهم فمجمع عليه بالنص الْوَارِدِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فِيهِ، أَمَّا الْجِزْيَةُ فَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {حَتَّى يُعْطُوا الجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ) {التوبة: 29) فأما أكل الذبائح فقوله تَعَالَى: {وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ) {المائدة: 5) أما نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ فَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ غير الْإِمَامِيَّةِ مِنَ الشِّيعَةِ، أَنَّهُمْ مَنَعُوا مِنْ نِكَاحِ حَرَائِرِهِمْ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى نِكَاحِ الْمُسْلِمَاتِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الكَوَافِرِ) {الممتحنة: 10) وقوله تَعَالَى: {لاَ تَتَّخِذُوا اليَهُودَ والنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ} (المائدة: 51) الآية قالوا: ولأن بغضهم يمنع من نكاح نسائهم كعبدة الْأَوْثَانِ قَالُوا: وَلِأَنَّهُمْ وَإِنْ كَانُوا أَهْلَ كِتَابٍ منزلٍ فكتابهم مغير مَنْسُوخٌ وَمَا نَسَخَهُ اللَّهُ تَعَالَى ارْتَفَعَ حُكْمُهُ فَلَمْ يُفَرَّقْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَا لَمْ يَكُنْ، فَكَذَلِكَ صَارُوا بَعْدَ نَسْخِهِ فِي حُكْمِ مَنْ لَا كِتَابَ لَهُ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالمُحْصَنَاتُ مِنَ المُؤْمِنَاتِ وَالمُحْصِنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ) {المائدة: 5) فَجَمَعَ بَيْنَ نِكَاحِهِنَّ وَنِكَاحِ الْمُؤْمِنَاتِ فَدَلَّ عَلَى إِبَاحَتِهِ.
Jika telah tetap apa yang kami jelaskan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani dari Ahlul Kitab dahulunya berada di atas agama yang benar lalu kemudian di-nasakh, maka demi penghormatan terhadap kitab mereka, boleh membiarkan mereka tetap di atas agama mereka dengan membayar jizyah, yaitu mereka membayar zakat, dan sembelihan mereka boleh dimakan, serta wanita-wanita mereka boleh dinikahi. Adapun membiarkan mereka dengan jizyah dan memakan sembelihan mereka adalah ijmā‘ berdasarkan nash yang terdapat dalam Kitab Allah Ta‘ala. Adapun jizyah, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: {hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka} (at-Taubah: 29). Adapun memakan sembelihan mereka, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: {Dan makanan orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagi kalian} (al-Mā’idah: 5). Adapun menikahi wanita merdeka mereka, maka pendapat mayoritas sahabat dan tabi‘in selain kelompok Imamiyah dari Syiah, mereka melarang menikahi wanita merdeka mereka jika mampu menikahi wanita muslimah, dengan berdalil pada firman-Nya Ta‘ala: {Dan janganlah kalian mempertahankan ikatan dengan perempuan kafir} (al-Mumtahanah: 10) dan firman-Nya Ta‘ala: {Janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai wali} (al-Mā’idah: 51) dan seterusnya. Mereka berkata: Karena membenci mereka menghalangi untuk menikahi wanita-wanita mereka seperti halnya penyembah berhala. Mereka juga berkata: Meskipun mereka adalah Ahlul Kitab yang diturunkan kitab, kitab mereka telah diubah dan di-nasakh, dan apa yang telah di-nasakh oleh Allah Ta‘ala maka hukumnya telah diangkat, sehingga tidak dibedakan antara itu dan yang tidak ada sebelumnya. Maka demikian pula, setelah di-nasakh, mereka dalam hukum seperti orang yang tidak memiliki kitab. Ini adalah kesalahan, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: {Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kalian, apabila kalian memberikan mahar kepada mereka} (al-Mā’idah: 5). Maka Allah menggabungkan antara bolehnya menikahi mereka dan menikahi wanita mukminah, sehingga menunjukkan kebolehannya.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا مَنْسُوخٌ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تُنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ} (البقرة: 221) متقدمة، لأنها من سورة البقرة، وَقَوْلَهُ: {وَالمُحْصَنَاتِ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ} متأخرة؛ لأنها من سورة المائدة وهي مِنْ آخِرِ مَا نَزَلَ مِنَ الْقُرْآنِ، وَالْمُتَأَخِّرُ هو الناسخ للتقدم وَلَيْسَ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُتَقَدِّمُ نَاسِخًا لِلْمُتَأَخِّرِ، فَعَلَى هَذَا الْجَوَابِ يَكُونُ قَوْلُهُ: {وَلاَ تَنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ} مَنْسُوخًا بِقَوْلِهِ: {وَالمُحْصِنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ) {المائدة: 5) وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.
Jika dikatakan: Ini telah di-nasakh oleh firman-Nya Ta‘ala: {Dan janganlah kalian menikahi wanita musyrik sampai mereka beriman} (al-Baqarah: 221) yang lebih dahulu, karena ayat ini dari surat al-Baqarah, sedangkan firman-Nya: {Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kalian} lebih akhir, karena dari surat al-Mā’idah yang merupakan salah satu ayat terakhir yang turun dari al-Qur’an. Yang lebih akhir adalah yang menasakh yang lebih awal, dan tidak boleh yang lebih awal menasakh yang lebih akhir. Maka menurut jawaban ini, firman-Nya: {Dan janganlah kalian menikahi wanita musyrik sampai mereka beriman} telah di-nasakh oleh firman-Nya: {Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kalian} (al-Mā’idah: 5). Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.
والجواب الثاني: أن قوله: {لاَ تُنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ) {البقرة: 221) عَامٌ وَقَوْلَهُ: {وَالمُحْصِنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ} خَاصٌّ، وَالْخَاصُّ مِنْ حُكْمِهِ أَنْ يَكُونَ قَاضِيًا عَلَى الْعَامِ وَمُخَصَّصًا لَهُ سَوَاءٌ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ أَوْ تَأَخَّرَ عَنْهُ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ قَوْلُهُ: {ولاَ تُنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ) {البقرة: 221) مخصوصا بِقَوْلِهِ: {وَالمُحْصِنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ) {المائدة: 5) وَهَذَا هُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشافعي، وَأَنَّ اسْمَ الشِّرْكِ ينطلقُ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ، وَذَهَبَ غَيْرُهُ مِنَ الفقهاء: إلى أن أهل الكتاب ينطلق على اسم الكفر ولا ينطلق عليه اسْمُ الشِّرْكِ، وَأَنَّ اسْمَ الشِّرْكِ ينطلقُ عَلَى مَنْ لَمْ يُوَحِّدِ اللَّهَ تَعَالَى وَأَشْرَكَ بِهِ غَيْرَهُ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ يَكُونُ قَوْلُهُ: {ولاَ تُنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ} مخصُوصًا وَلَا مَنْسُوخًا ثُمَّ حُكْمُهُ ثَابِتٌ عَلَى عمومه.
Jawaban kedua: Bahwa firman Allah: {Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman} (al-Baqarah: 221) adalah ayat yang bersifat umum, sedangkan firman-Nya: {dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu} adalah ayat yang bersifat khusus. Hukum ayat yang khusus adalah mengalahkan dan mengkhususkan ayat yang umum, baik ayat khusus itu datang sebelum maupun sesudah ayat umum. Maka berdasarkan hal ini, firman-Nya: {Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman} (al-Baqarah: 221) menjadi dikhususkan oleh firman-Nya: {dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu} (al-Ma’idah: 5). Inilah yang tampak dari mazhab al-Syafi‘i, bahwa istilah “syirik” berlaku untuk Ahlul Kitab dan juga selain mereka dari para penyembah berhala. Sementara sebagian fuqaha berpendapat bahwa Ahlul Kitab disebut dengan istilah “kafir” dan tidak disebut dengan istilah “musyrik”, dan bahwa istilah “syirik” berlaku bagi siapa saja yang tidak mentauhidkan Allah Ta‘ala dan mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya dari kalangan penyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, firman-Nya: {Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman} menjadi ayat yang dikhususkan, bukan dimansukh, sehingga hukumnya tetap berlaku secara umum.
ثم يدل على جوازه نِكَاحهمْ مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَلَكَ رَيْحَانَةَ وَكَانَتْ يَهُودِيَّةً وَاسْتَمْتَعَ بِهَا بِمِلْكِ الْيَمِينِ ” ثُمَّ أَسْلَمَتْ فَبُشِّرْ بِإِسْلَامِهَا فَسُرَّ بِهِ، ولو منع الدين منها لما استمتع بها كَمَا لَمْ يَسْتَمْتِعْ بِوَثَنِيَّةٍ وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، رُوِيَ عَنْ عُمَرَ جَوَازُهُ، وَعَنْ عُثْمَانَ أَنَّهُ نكح نَصْرَانِيَّةً وَعَنْ طَلْحَةَ أَنَّهُ تَزَوَّجَ نَصْرَانِيَّةً، وَعَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ تَزَوَّجَ يَهُودِيَّةً، وَعَنْ جَابِرٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: ” نَكَحْنَاهُنَّ بِالْكُوفَةِ عَامَ الْفَتْحِ مَعَ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ ” وَنَحْنُ لَا نَكَادُ نَجِدُ الْمُسْلِمَاتِ كَثِيرًا فَلَمَّا انْصَرَفْنَا من العراق طلقناهن، تحل لنا نساؤهم ولا تحل لَهُمْ نِسَاؤُنَا، فَكَانَ هَذَا الْقَوْلُ مِنْ جَابِرٍ إخباراً عن أحوال جماعة المسلمين الذين مَعَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَغَيْرِهِمْ فَصَارَ إِجْمَاعًا مُنْتَشِرًا.
Kemudian, yang menunjukkan bolehnya menikahi mereka adalah riwayat bahwa Nabi ﷺ “memiliki Rayhanah, dan ia adalah seorang wanita Yahudi, dan beliau menikmatinya sebagai budak milik kanan,” kemudian ia masuk Islam, lalu Nabi diberi kabar gembira atas keislamannya dan beliau pun bergembira karenanya. Seandainya agama menjadi penghalang, tentu beliau tidak akan menikmatinya, sebagaimana beliau tidak menikmati wanita penyembah berhala. Selain itu, hal ini merupakan ijmā‘ para sahabat. Diriwayatkan dari ‘Umar tentang kebolehan hal tersebut, dari ‘Utsman bahwa beliau menikahi wanita Nasrani, dari Thalhah bahwa beliau menikahi wanita Nasrani, dari Hudzaifah bahwa beliau menikahi wanita Yahudi, dan dari Jabir bahwa ia ditanya tentang hal itu, lalu ia berkata: “Kami menikahi mereka di Kufah pada tahun penaklukan bersama Sa‘d bin Abi Waqqash, dan saat itu kami hampir tidak menemukan banyak wanita Muslimah. Ketika kami kembali dari Irak, kami menceraikan mereka. Wanita-wanita mereka halal bagi kami, sedangkan wanita-wanita kami tidak halal bagi mereka.” Maka ucapan Jabir ini merupakan pemberitaan tentang keadaan sekelompok kaum Muslimin yang bersamanya dari kalangan sahabat dan selain mereka, sehingga menjadi ijmā‘ yang tersebar.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ خَالَفَ ابْنُ عُمَرَ.
Jika dikatakan: Bukankah Ibnu ‘Umar berbeda pendapat?
قِيلَ: ابْنُ عُمَرَ كَرِهَ وَلَمْ يُحَرِّمْ، فَلَمْ يَصِرْ مُخَالِفًا؛ وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَنْزَلَ كِتَابًا مِنْ كَلَامِهِ، وَبَعَثَ إِلَيْهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْبِيَائِهِ كَانُوا فِي التَّمَسُّكِ بِهِ عَلَى حَقٍّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَاوُوا فِي الشِّرْكِ مَنْ لَمْ يكن من عبدة الأوثان على حق معه، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ لِحُرْمَةِ كِتَابِهِمْ، وَمَا تَقَدَّمَ مِنْ صِحَّةِ دِينِهِمْ أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فِي حَقْنِ دِمَائِهِمْ بِالْجِزْيَةِ، وَأَكْلِ ذبائحهم جاز أن تفرق بَيْنَهُمْ فِي نِكَاحِ نِسَائِهِمْ فَأَمَّا الْآيَةُ فَقَدْ مَضَى الْجَوَابُ عَنْهَا.
Dijawab: Ibnu ‘Umar hanya memakruhkan, tidak mengharamkan, sehingga ia tidak dianggap menyelisihi; dan karena Allah Ta‘ala telah menurunkan Kitab dari firman-Nya dan mengutus kepada mereka seorang rasul dari para nabi-Nya, sehingga selama mereka berpegang teguh pada ajaran tersebut, mereka berada di atas kebenaran. Maka tidak boleh disamakan dalam hal syirik antara mereka yang bukan penyembah berhala dan tidak memiliki kebenaran bersama mereka. Dan karena ketika diperbolehkan, itu karena kehormatan Kitab mereka dan kebenaran agama mereka sebelumnya, sehingga dibedakan antara mereka dan para penyembah berhala dalam hal perlindungan darah mereka dengan jizyah dan bolehnya memakan sembelihan mereka, maka demikian pula boleh dibedakan dalam hal menikahi wanita-wanita mereka. Adapun ayat, telah dijelaskan jawabannya.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: {وَلاَ تُمْسِكُواْ بِعِصَمِ الكَوَافِرِ) {الممتحنة: آية: 10) فمخصوص بعبدة الْأَوْثَانِ.
Adapun firman-Nya: {Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir} (al-Mumtahanah: 10), maka ini dikhususkan untuk para penyembah berhala.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَمَمْنُوعٌ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا فِي قَبُولِ الْجِزْيَةِ، وَأَكْلِ الذَّبَائِحِ.
Adapun qiyās mereka terhadap para penyembah berhala, maka itu tertolak dengan apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan antara keduanya dalam hal diterimanya jizyah dan bolehnya memakan sembelihan mereka.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ كِتَابَهُمْ منسوخ فهو كما لو لَمْ يَكُنْ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ مَا نُسِخَ حكمه لا يوجب أن لا يُنْسَخَ حُرْمَتُهُ أَلَا تَرَى أَنَّ مَا نُسِخَ من القرآن ثَابِتُ الْحُرْمَةِ، وَإِنْ كَانَ مَنْسُوخَ الْحُكْمِ كَذَلِكَ نَسْخُ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ.
Adapun ucapan mereka bahwa Kitab mereka telah mansukh, maka itu sama saja seakan-akan tidak ada. Jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah mansukh hukumnya tidak mengharuskan hilangnya kehormatannya. Tidakkah engkau melihat bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh hukumnya tetap memiliki kehormatan, meskipun telah mansukh hukumnya? Demikian pula halnya dengan nasakh Taurat dan Injil.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَهْلُ كِتَابٍ يَحِلُّ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ فَهُمْ ضَرْبَانِ.
Jika telah tetap bahwa Yahudi dan Nasrani adalah Ahlul Kitab yang halal dinikahi wanita-wanita merdeka mereka, maka mereka terbagi menjadi dua golongan.
بَنُو إِسْرَائِيلَ، وَغَيْرُ بَنِي إِسْرَائِيلَ فَأَمَّا بَنُو إِسْرَائِيلَ وَهُوَ يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِمْ السَّلَامُ فَجَمِيعُ بَنِيهِ الَّذِينَ دَخَلُوا فِي دِينِ مُوسَى حِينَ دَعَاهُمْ، دَخَلَ مِنْهُمْ فِي دِينِ عِيسَى مَنْ دَخَلَ مِنْهُمْ فَقَدْ كَانُوا عَلَى دِينِ حَقٍّ دَخَلُوا فِيهِ قَبْلَ تَبْدِيلِهِ، فَيَجُوزُ إِقْرَارُهُمْ بِالْجِزْيَةِ وَأَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ.
Bani Israil dan selain Bani Israil. Adapun Bani Israil, yaitu Ya‘qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘alaihim as-salām, maka seluruh anak-anaknya yang masuk ke dalam agama Musa ketika beliau mengajak mereka, kemudian di antara mereka ada yang masuk ke dalam agama ‘Isa, maka mereka telah berada di atas agama yang benar yang mereka masuki sebelum terjadi perubahan (agama tersebut). Maka boleh membiarkan mereka dengan membayar jizyah, memakan sembelihan mereka, dan menikahi wanita merdeka mereka.
وَأَمَّا غَيْرُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِمَّنْ دخل في اليهودية من النصرانية من العرب والعجم والترك فَهُمْ ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ:
Adapun selain Bani Israil, yaitu orang-orang yang masuk ke dalam agama Yahudi atau Nasrani dari kalangan Arab, non-Arab, dan Turki, maka mereka terbagi menjadi tiga golongan:
صِنْفٌ دَخَلُوا فِيهِ قَبْلَ التبديل كالروم حين دخلوا النَّصْرَانِيَّة، فَهَؤُلَاءِ كَبَنِي إِسْرَائِيلَ فِي إِقْرَارِهِمْ بِالْجِزْيَةِ وَأَكْلِ ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحِ حَرَائِرِهِمْ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كتب إلى قيصر الروم كتاباً قَالَ فِيهِ: {قُلْ يَا أَهْلَ الكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إلاَّ اللهَ) {آل عمران: 64) الْآيَةَ فَجَعَلَهُمْ أَهْلَ الْكِتَابِ؛ وَلِأَنَّ الحرمة للدين والكتاب لا للنسب؛ فلذلك مَا اسْتَوَى حُكْمُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَغَيْرِهِمْ فِيهِ.
Golongan pertama adalah mereka yang masuk ke dalam agama tersebut sebelum terjadi perubahan, seperti bangsa Romawi ketika mereka masuk agama Nasrani. Maka mereka ini sama seperti Bani Israil dalam hal boleh dibiarkan dengan membayar jizyah, memakan sembelihan mereka, dan menikahi wanita merdeka mereka; karena Nabi ﷺ pernah menulis surat kepada Kaisar Romawi yang di dalamnya beliau berkata: {Katakanlah: Wahai Ahli Kitab, marilah kepada satu kalimat yang sama antara kami dan kalian, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah} (Ali ‘Imran: 64) dan seterusnya. Maka beliau menjadikan mereka sebagai Ahli Kitab. Dan karena kehormatan itu terkait dengan agama dan kitab, bukan dengan nasab; oleh sebab itu, hukum Bani Israil dan selain mereka sama dalam hal ini.
وَالصِّنْفُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونُوا قَدْ دَخَلُوا فِيهِ بَعْدَ التَّبْدِيلِ فَهَؤُلَاءِ لَمْ يَكُونُوا عَلَى حَقٍّ ولا تمسكوا بكتاب صحيح، فصاروا إن لم يكن لهم حرمة كَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فِي، أَنْ لَا تُقْبَلَ لَهُمْ جزية، ولا يؤكل لَهُمْ ذَبِيحَةٌ، وَلَا تُنْكَحُ مِنْهُمُ امْرَأَةٌ.
Golongan kedua: mereka yang masuk ke dalam agama tersebut setelah terjadi perubahan, maka mereka ini tidak berada di atas kebenaran dan tidak berpegang pada kitab yang sahih. Maka mereka, jika tidak memiliki kehormatan, seperti para penyembah berhala, yaitu tidak diterima dari mereka jizyah, tidak boleh memakan sembelihan mereka, dan tidak boleh menikahi wanita dari mereka.
وَالصِّنْفُ الثَّالِثُ: أَنْ يُشَكَّ فِيهِمْ هَلْ دَخَلُوا فِيهِ قبل التبديل أو بعده كنصارى العرب كوج وفهر وَتَغْلِبَ فَهَؤُلَاءِ شَكَّ فِيهِمْ عُمَرُ فَشَاوَرَ فِيهِمُ الصَّحَابَةَ، فَاتَّفَقُوا عَلَى إِقْرَارِهِمْ بِالْجِزْيَةِ حَقْنًا لِدِمَائِهِمْ؛ وَأَنْ لَا تُؤْكَلَ ذَبَائِحُهُمْ وَلَا تُنْكَحَ نِسَاؤُهُمْ؛ لِأَنَّ الدِّمَاءَ مَحْقُونَةٌ فَلَا تُبَاحُ بِالشَّكِّ وَالْفُرُوجَ محظورة لا تُسْتَبَاحُ بِالشَّكِّ، فَهَذَا حُكْمُ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنَ اليهود والنصارى.
Golongan ketiga: yaitu yang diragukan apakah mereka masuk ke dalam agama tersebut sebelum perubahan atau sesudahnya, seperti kaum Nasrani Arab dari Kauj, Fahr, dan Taghlib. Maka Umar ragu terhadap mereka, lalu beliau bermusyawarah dengan para sahabat, dan mereka sepakat untuk membiarkan mereka dengan membayar jizyah demi menjaga darah mereka; namun tidak boleh memakan sembelihan mereka dan tidak boleh menikahi wanita mereka; karena darah mereka dijaga sehingga tidak boleh dihalalkan dengan keraguan, dan kemaluan itu terlarang sehingga tidak boleh dihalalkan dengan keraguan. Inilah hukum Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
فصل
Fasal
وأما القسم الثاني: هم غير أهل الكتاب كعبدة الأوثان وعبدة الشمس والنيران وعبدة ما استحسن من حمار أو حيوان، أو قل بِتَدْبِيرِ الطَّبَائِعِ وَبَقَاءِ الْعَالَمِ، أَوْ قَالَ بِتَدْبِيرِ الْكَوَاكِبِ فِي الْأَكْوَانِ وَالْأَدْوَارِ، فَلَمْ يُصَدِّقْ نَبِيًّا وَلَا آمَنَ بِكِتَابٍ، فَهَؤُلَاءِ كُلُّهُمْ مُشْرِكُونَ لَا يُقْبَلُ لَهُمْ جِزْيَةٌ، وَلَا تُؤْكَلُ لَهُمْ ذَبِيحَةٌ، وَلَا تُنْكَحُ مِنْهُمُ امْرَأَةٌ وَلَا يُحْكَمُ فِيهِمْ إِذَا امْتَنَعُوا مِنَ الْإِسْلَامِ إِلَّا بِالسَّيْفِ إِذَا قُدِرَ عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنْ يُؤَمَّنُوا مُدَّةً أَكْثَرُهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ يُرَاعَى انْقِضَاؤُهَا فِيهِمْ ثُمَّ هُمْ بَعْدَ انْقِضَاءِ مُدَّةِ أَمَانِهِمْ حَرْبٌ، وَسَوَاءٌ أَقَرُّوا بأن لا إله إلا الله أو أَشْرَكُوا بِهِ غَيْرَهُ، أَوْ جَحَدُوهُ وَلَمْ يُقِرُّوا به آله ولا خالق فِي أَنَّ حُكْمَ جَمِيعِهِمْ سَوَاءٌ، لَا يُقْبَلُ لَهُمْ جِزْيَةٌ وَلَا تُؤْكَلُ لَهُمْ ذَبِيحَةٌ وَلَا تُنْكَحُ مِنْهُمُ امْرَأَةٌ.
Adapun golongan kedua: mereka adalah selain Ahli Kitab seperti para penyembah berhala, penyembah matahari dan api, penyembah apa saja yang dianggap baik seperti keledai atau binatang, atau yang mengatakan bahwa alam diatur oleh tabiat dan dunia ini kekal, atau yang mengatakan bahwa bintang-bintang mengatur alam dan peredaran, maka mereka tidak membenarkan seorang nabi pun dan tidak beriman kepada kitab apa pun, maka mereka semua adalah musyrik, tidak diterima dari mereka jizyah, tidak boleh memakan sembelihan mereka, tidak boleh menikahi wanita dari mereka, dan tidak diberlakukan hukum terhadap mereka jika mereka menolak Islam kecuali dengan pedang jika mampu atas mereka, kecuali jika mereka diberi jaminan keamanan untuk waktu tertentu, paling lama empat bulan, yang harus diperhatikan masa berakhirnya pada mereka, kemudian setelah masa jaminan mereka berakhir, mereka menjadi musuh. Sama saja apakah mereka mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah atau mereka mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya, atau mereka mengingkari-Nya dan tidak mengakui adanya Tuhan atau Pencipta, maka hukum semua mereka sama, tidak diterima dari mereka jizyah, tidak boleh memakan sembelihan mereka, dan tidak boleh menikahi wanita dari mereka.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وهم مَنْ لَهُ شُبْهَةُ كِتَابٍ فَهُمْ ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ: الصابئون، والسامرية، والمجوس.
Adapun golongan ketiga: mereka adalah orang-orang yang memiliki syubhat (kemiripan) dengan Ahli Kitab, yaitu tiga golongan: Shabi’in, Samirah, dan Majusi.
فأما السامرة: فهم صنف الْيَهُودِ الَّذِينَ عَبَدُوا الْعِجْلَ حِينَ غَابَ عَنْهُمْ مُوسَى مُدَّةَ عَشَرَةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الثَّلَاثِينَ، وَاتَّبَعُوا السَّامِرِيَّ فَرَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ فَأَنْكَرَ عَلَيْهِمْ عِبَادَةَ الْعِجْلِ، وَأَمْرَهُمْ بِالتَّوْبَةِ، وَقَتْلِ أَنْفُسِهِمْ فَمِنْهُمْ من قتل.
Adapun Samirah: mereka adalah golongan Yahudi yang menyembah anak sapi ketika Musa tidak berada di tengah mereka selama sepuluh hari setelah tiga puluh hari, dan mereka mengikuti Samiri. Maka ketika Musa kembali kepada kaumnya, beliau mengingkari penyembahan anak sapi tersebut dan memerintahkan mereka untuk bertobat dan membunuh diri mereka sendiri, maka sebagian dari mereka melakukannya.
وَأَمَّا الصَّابِئُونَ فَهُمْ صِنْفٌ مِنَ النَّصَارَى وَافَقُوهُمْ عَلَى بَعْضِ دِينِهِمْ وَخَالَفُوهُمْ فِي بَعْضِهِ، وَقَدْ يسمى باسمهم ويضاف إِلَيْهِمْ قَوْمٌ يَعْبُدُونَ الْكَوَاكِبَ وَيَعْتَقِدُونَ أَنَّهَا صَانِعَةً مُدَبِّرَةً فَنَظَرَ الشَّافِعِيُّ فِي دِينِ الصَّابِئِينَ وَالسَّامِرَةِ: فَوَجَدَهُ مُشْتَبِهًا فَعَلَّقَ الْقَوْلَ فِيهِمْ لِاشْتِبَاهِ أَمْرِهِمْ فقال هاهنا: أنه مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ أَنَّهُمْ يخالفوهم فِي أَصْلِ مَا يُحِلُّونَ وَيُحَرِّمُونَ فَيُحَرَّمُونَ وَقَطَعَ في موضع آخر أنه مِنْهُمْ، وَتَوَقَّفَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ فِيهِمْ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِاخْتِلَافِ قَوْلِهِ وَلَكِنْ لَا يَخْلُو حَالُهُمْ من ثلاثة أقسام: فقال إن وافقوا اليهود والنصارى في أصل معتقدهم ويخالفوهم في فروعه فيقر السَّامِرَةُ بِمُوسَى وَالتَّوْرَاةِ، وَيُقِرُّ الصَّابِئُونَ بِعِيسَى وَالْإِنْجِيلِ، فَهَؤُلَاءِ كَالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فِي قَبُولِ جِزْيَتِهِمْ، وَأَكْلِ ذبائحهم، ونكاح نِسَائِهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ إِذَا جَمَعَهُمْ أَصْلُ الْمُعْتَقَدِ لَمْ يكن خلافهم في فروعه مؤثر كما يختلف المسلمون مع اتفاقهم على أصل الدِّينِ فِي فُرُوعٍ لَا تُوجِبُ تَبَايُنَهُمْ وَلَا خروجهم عن الملة.
Adapun kaum Shabi’in, mereka adalah suatu golongan dari Nasrani yang sepakat dengan mereka dalam sebagian ajaran agama dan berbeda dalam sebagian lainnya. Kadang-kadang, nama mereka juga digunakan untuk menyebut suatu kaum yang menyembah bintang-bintang dan meyakini bahwa bintang-bintang itu adalah pencipta dan pengatur alam. Imam al-Syafi‘i meneliti agama Shabi’in dan Samirah, lalu mendapati bahwa ajaran mereka samar, sehingga beliau menangguhkan pendapat tentang mereka karena ketidakjelasan urusan mereka. Maka beliau berkata di sini: mereka termasuk Yahudi dan Nasrani, kecuali jika diketahui bahwa mereka berbeda dengan Yahudi dan Nasrani dalam pokok hal yang mereka halalkan dan haramkan, maka mereka diharamkan. Di tempat lain, beliau menegaskan bahwa mereka termasuk Yahudi dan Nasrani, dan di tempat lain lagi beliau berhenti (tidak memberi keputusan) tentang mereka. Hal itu bukan karena perbedaan pendapat beliau, melainkan karena keadaan mereka tidak lepas dari tiga kategori: beliau berkata, jika mereka sepakat dengan Yahudi dan Nasrani dalam pokok keyakinan dan berbeda dalam cabang-cabangnya, seperti Samirah mengakui Musa dan Taurat, dan Shabi’in mengakui Isa dan Injil, maka mereka seperti Yahudi dan Nasrani dalam hal diterimanya jizyah dari mereka, boleh memakan sembelihan mereka, dan menikahi perempuan mereka; karena jika mereka disatukan oleh pokok keyakinan, maka perbedaan mereka dalam cabang-cabangnya tidak berpengaruh, sebagaimana kaum Muslimin yang berbeda dalam cabang-cabang fiqh namun sepakat dalam pokok agama, sehingga perbedaan itu tidak menyebabkan perpecahan atau keluarnya mereka dari agama.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُخَالِفُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فِي أصول معتقدهم، وأن يوافقوهم فِي فُرُوعِهِ وَيُكَذِّبَ السَّامِرَةُ بِمُوسَى وَالتَّوْرَاةِ، وَيُكَذِّبَ الصَّابِئُونَ بِعِيسَى وَالْإِنْجِيلِ، فَهَؤُلَاءِ كَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ لَا يقبل لهم جزية، ولا يؤكل لَهُمْ ذَبِيحَةٌ، وَلَا تُنْكَحُ مِنْهُمُ امْرَأَةٌ؛ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا عَلَى حَقٍّ فَيُرَاعَى فِيهِمْ، وَلَا تَمَسَّكُوا بِكِتَابٍ فَيُحْفَظَ عَلَيْهِمْ حُرْمَتُهُ فَيُؤْخَذُوا بِالْإِسْلَامِ أو بالسيف، وَحُكِيَ أَنَّ الْقَاهِرَ اسْتَفْتَى أَبَا سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيَّ فِيهِمْ فَأَفْتَاهُ أَنْ يَقْتُلَهُمْ؛ لِأَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّ الْفَلَكَ هُوَ حَيٌّ نَاطِقٌ، وَإِنَّ الْكَوَاكِبَ السَّبْعَةَ آلهة مُدَبِّرَةٌ فَهَمَّ بِقَتْلِهِمْ، فَبَذَلُوا لَهُ مَالًا فَكَفَّ عَنْهُمْ.
Adapun kategori kedua: yaitu mereka yang berbeda dengan Yahudi dan Nasrani dalam pokok keyakinan, namun sepakat dalam cabang-cabangnya; seperti Samirah yang mengingkari Musa dan Taurat, dan Shabi’in yang mengingkari Isa dan Injil. Maka mereka seperti para penyembah berhala, tidak diterima jizyah dari mereka, tidak boleh memakan sembelihan mereka, dan tidak boleh menikahi perempuan mereka; karena mereka tidak berada di atas kebenaran yang harus diperhatikan, dan tidak berpegang pada kitab suci sehingga kehormatannya dijaga. Maka mereka harus memilih antara masuk Islam atau diperangi. Diriwayatkan bahwa al-Qahir pernah meminta fatwa kepada Abu Sa‘id al-Istakhri tentang mereka, lalu beliau memfatwakan agar mereka dibunuh; karena mereka berkeyakinan bahwa falak (langit) itu hidup dan berbicara, dan bahwa tujuh bintang adalah tuhan-tuhan yang mengatur. Maka al-Qahir hendak membunuh mereka, namun mereka memberikan harta kepadanya sehingga ia membiarkan mereka.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُشَكَّ فِيهِمْ فَلَا يُعْلَمُ هَلْ وَافَقُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فِي الْأُصُولِ دُونَ الْفُرُوعِ، أَوْ فِي الْفُرُوعِ دُونَ الْأُصُولِ فَهَؤُلَاءِ كَمَنْ شُكَّ فِي دُخُولِهِ فِي الْيَهُودِيَّةِ وَالنَّصْرَانِيَّةِ هَلْ كَانَ قَبْلَ التَّبْدِيلِ أَوْ بَعْدَهُ فَيُقِرُّونَ بِالْجِزْيَةِ حَقْنًا لِدِمَائِهِمْ، وَلَا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ وَلَا تُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ.
Adapun kategori ketiga: yaitu jika keberadaan mereka diragukan, sehingga tidak diketahui apakah mereka sepakat dengan Yahudi dan Nasrani dalam pokok keyakinan tanpa cabang-cabangnya, atau dalam cabang-cabangnya tanpa pokoknya. Maka mereka seperti orang yang diragukan ke-Yahudi-an atau ke-Nasrani-annya, apakah ia sebelum atau sesudah perubahan (ajaran). Maka mereka diterima jizyahnya demi menjaga darah mereka, namun tidak boleh memakan sembelihan mereka dan tidak boleh menikahi perempuan mereka.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْمَجُوسُ فَقَدِ اختلف الناس فيهم هل هم أهل الكتاب أَمْ لَا؟ وَعَلَّقَ الشَّافِعِيُّ الْقَوْلَ فِيهِمْ، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ: هُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَقَالَ فِي موضع لَيْسُوا أَهْلَ كِتَابٍ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِاخْتِلَافِ قَوْلِ الشافعي فَكَانَ بَعْضُهُمْ يُخْرِجُهُ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:
Adapun kaum Majusi, para ulama berbeda pendapat tentang mereka, apakah mereka termasuk Ahlul Kitab atau tidak. Imam al-Syafi‘i menangguhkan pendapat tentang mereka; beliau berkata di suatu tempat: mereka adalah Ahlul Kitab, dan di tempat lain: mereka bukan Ahlul Kitab. Maka para pengikut kami pun berbeda pendapat karena perbedaan pendapat Imam al-Syafi‘i, sehingga sebagian mereka mengeluarkan dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أنه لا كتاب لهم لقوله تعالى: {إنَّمَا أَنْزَلَ الكِتَابِ عَلَى طَائِفَتَيْنِ} (الأنعام: 156) يَعْنِي الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا كِتَابَ لِغَيْرِهِمَا؛ وَلِأَنَّ عُمْرَ لَمَّا أَشْكَلَ عَلَيْهِ أَمْرُهُمْ سَأَلَ الصَّحَابَةَ عَنْهُمْ فَرَوَى لَهُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” سنوا بهم سنة أهل الْكِتَابِ ” فَلَمَّا أَمَرَ بِإِجْرَائِهِمْ مَجْرَى أَهْلِ الْكِتَابِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لَهُمْ كِتَابٌ فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ يَجُوزُ قَبُولُ جِزْيَتِهِمْ لِهَذَا الْحَدِيثِ، وَأَنَّ عُمَرَ أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْهُمْ بِالْعِرَاقِ وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ ” فَأَمَّا أَكْلُ ذَبَائِحِهمْ وَنِكَاحُ نِسَائِهِمْ فَلَا يَجُوزُ لِعَدَمِ الْكِتَابِ فيهم.
Salah satunya: bahwa mereka tidak memiliki kitab, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya Kami hanya menurunkan kitab kepada dua golongan} (al-An‘am: 156), yaitu Yahudi dan Nasrani, sehingga menunjukkan bahwa tidak ada kitab selain kepada keduanya. Dan karena Umar, ketika merasa bingung tentang urusan mereka, bertanya kepada para sahabat tentang mereka, lalu ‘Abdurrahman bin ‘Auf meriwayatkan kepadanya bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Perlakukanlah mereka sebagaimana Ahlul Kitab.” Maka ketika beliau memerintahkan agar mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab, itu menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak memiliki kitab. Berdasarkan pendapat ini, boleh menerima jizyah dari mereka karena hadits ini, dan karena Umar mengambil jizyah dari mereka di Irak. Diriwayatkan pula bahwa Nabi ﷺ mengambil jizyah dari Majusi Hajar. Adapun memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka, maka tidak boleh karena mereka tidak memiliki kitab.
والقول الثاني فيهم: أَنَّهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {مِنَ الَّذِينَ أُوْتُوا الكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ) {التوبة: 29) وَقَدْ ثَبَتَ أَخْذُ الْجِزْيَةِ مِنْهُمْ فدل على أنهم من أهل الكتاب وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَالَ: وكانوا أهل كتاب ” وَإِنَّ مَلِكَهُمْ سَكِرَ فَوَقَعَ عَلَى ابْنَتِهِ أَوْ أُخْتِهِ فَاطَّلَعَ عَلَيْهِ بَعْضُ أَهْلِ مَمْلَكَتِهِ فَلَمَّا صحا جاؤا يقيمون عليه الحد فامتنع منهم فدعا آل مملكته فقال: ” تعلمون ديناً خيراً من دين آدم فقد كان آدم ينكح بنيه من بناته فأنا على دين آدم ما يرغب بكم عن دينه فبايعوه وخالفوا الدين وَقَاتَلُوا الَّذِينَ خَالَفُوهُمْ حَتَّى قَتَلُوهُمْ فَأَصْبَحُوا وَقَدْ أُسْرِيَ عَلَى كِتَابِهِمْ فَرُفِعَ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِهِمْ وذهب العلم الذي في صدورهم وهم أَهْلُ كِتَابٍ وَقَدْ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وأبو بكر وعمر رضي الله تعالى عنهما منهم الجزية “.
Pendapat kedua tentang mereka adalah: bahwa mereka adalah Ahlul Kitab; karena Allah Ta‘ala berfirman: {dari orang-orang yang telah diberi Kitab hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka} (at-Taubah: 29), dan telah tetap pengambilan jizyah dari mereka, maka ini menunjukkan bahwa mereka termasuk Ahlul Kitab. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwa ia berkata: “Mereka dulunya adalah Ahlul Kitab. Raja mereka pernah mabuk lalu berhubungan dengan putrinya atau saudarinya, lalu sebagian rakyat kerajaannya mengetahuinya. Ketika ia sadar, mereka datang hendak menegakkan hudud atasnya, namun ia menolak. Ia lalu memanggil rakyat kerajaannya dan berkata: ‘Apakah kalian mengetahui agama yang lebih baik dari agama Adam? Bukankah Adam menikahkan anak-anak lelakinya dengan anak-anak perempuannya? Maka aku mengikuti agama Adam, tidak ada yang lebih baik dari agamanya.’ Maka mereka membaiatnya, menyelisihi agama (yang benar), dan memerangi orang-orang yang menentang mereka hingga membunuh mereka. Lalu pada pagi harinya, kitab mereka telah diangkat dari tengah-tengah mereka dan ilmu yang ada di dada mereka pun hilang, padahal mereka adalah Ahlul Kitab. Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma telah mengambil jizyah dari mereka.”
فَنَكَحَ الْمِلْكُ أُخْتَهُ، وَأَمْسَكُوا عَنِ الْإِنْكَارِ عَلَيْهِ، إِمَّا مُتَابَعَةً لِرَأْيِهِ، وَإِمَّا خَوْفًا مِنْ سَطْوَتِهِ فَأَصْبَحُوا وَقَدْ أُسْرِيَ بِكِتَابِهِمْ، فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ يَجُوزُ إِقْرَارُهُمْ بِالْجِزْيَةِ؛ وَهَلْ يَجُوزُ أَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحُ نِسَائِهِمْ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Maka sang raja menikahi saudarinya, dan mereka tidak mengingkarinya, baik karena mengikuti pendapatnya maupun karena takut akan kekuasaannya. Lalu pada pagi harinya, kitab mereka telah diangkat. Berdasarkan pendapat ini, boleh membiarkan mereka dengan jizyah; namun apakah boleh memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِإِجْرَاءِ حُكْمِ الْكِتَابِ عَلَيْهِمْ.
Pertama: Boleh, karena hukum Kitab berlaku atas mereka.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ طَرِيقُ كِتَابِهِمُ الِاجْتِهَادَ دُونَ النَّصِّ فَقَصَرَ حُكْمُهُ عَنْ حُكْمِ النَّصِّ.
Pendapat kedua: Tidak boleh; karena sumber Kitab mereka adalah ijtihad, bukan nash, sehingga hukumnya tidak setara dengan hukum nash.
وَقَالَ آخرون من أصحابنا: ليس ما اختلف نص الشافعي عليه اختلاف قوليه فيه إِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ، فَالْمَوْضِعُ الَّذِي قَالَ إِنَّهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ يَعْنِي فِي قَبُولِ الْجِزْيَةِ وَحْدَهَا حَقْنًا لِدِمَائِهِمْ أَنْ لَا تُسْتَبَاحَ بِالشَّكِّ، وَالْمَوْضِعُ الَّذِي قَالَ: إِنَّهُمْ غَيْرُ أَهْلِ الْكِتَابِ يَعْنِي فِي أَنْ لَا تُؤْكَلَ ذَبَائِحُهُمْ وَلَا تُنْكَحَ نِسَاؤُهُمْ، وَهَذَا قَوْلُ سَائِرِ الصَّحَابَةِ، وَالتَّابِعِينَ، وَالْفُقَهَاءِ، وَخَالَفَ أَبُو ثَوْرٍ فَجَوَّزَ أَكْلَ ذَبَائِحِهِمْ، وَنِكَاحَ نِسَائِهِمْ وَرَوَى إِبْرَاهِيمُ الْحَرْبِيُّ: تَحْرِيمَ ذَلِكَ عَنْ سَبْعَةَ عَشَرَ صَحَابِيًّا؛ وَقَالَ: مَا كُنَّا نَعْرِفُ خِلَافًا فِيهِ حَتَّى جَاءَنَا خلافاً من الكرخ يَعْنِي خِلَافَ أَبِي ثَوْرٍ؛ لِأَنَّهُ كَانَ يَسْكُنُ كَرْخَ بَغْدَادَ وَاسْتَدَلَّ أَبُو ثَوْرٍ عَلَى أَكْلِ ذبائحهم، وجواز مناكحتهم بِحَدِيثِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ ” قَالَ: وَقَدْ تَزَوَّجَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ مَجُوسِيَّةً بِالْعِرَاقِ فاستنزله عنها عمر فطلقها، فلو لم يجز لأنكر عَلَيْهِ وَلفَرَّقَ بَيْنَهُمَا مِنْ غَيْرِ طَلَاقٍ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ صنفٍ جَازَ قَبُولُ جِزْيَتِهِمْ جَازَ أَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحُ نِسَائِهِمْ كَالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، قَالُوا: وَلِأَنَّ كِتَابَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى نُسِخَ وَكِتَابَ الْمَجُوسِ رُفِعَ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ حُكْمِ الْمَنْسُوخِ وَالْمَرْفُوعِ؛ فَلَمَّا لَمْ يَمْنَعْ نَسْخُ كِتَابَيِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى مِنْ أَكْلِ ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحِ نِسَائِهِمْ لَمْ يَمْنَعْ رَفْعُ كِتَابِ الْمَجُوسِ مِنْ ذَلِكَ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ إِبْرَاهِيمَ الْحَرْبِيَّ. رَوَاهُ عَنْ سَبْعَةَ عَشَرَ صَحَابِيًّا لا يعرف لهم مخالفاً فصار إجماعاً؛ لأن مَنْ لَمْ يَتَمَسَّكْ بِكِتَابٍ لَمْ تَحِلَّ ذَبَائِحُهُمْ ونسائهم كَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ، وَلَيْسَ لِلْمَجُوسِ كِتَابٌ يَتَمَسَّكُونَ بِهِ كَمَا يَتَمَسَّكُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى بِالتَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ فَوَجَبَ أن يكون حكمهم مُخَالِفًا لِحُكْمِهِمْ وَلِأَنَّ نِكَاحَ الْمُشْرِكَاتِ مَحْظُورٌ بِعُمُومِ النص فلم يجز أن يستباح باحتمال؛ وَلِأَنَّ عُمْرَ مَعَ الصَّحَابَةِ تَوَافَقُوا فِي قَبُولِ جِزْيَتِهِمْ لِلشَّكِّ فِيهِمْ فَكَيْفَ يَجُوزُ مَعَ هَذَا الشك أن يستبيح أكل ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحَ نِسَائِهِمْ.
Dan sebagian lain dari kalangan sahabat kami berkata: Perbedaan nash dari asy-Syafi‘i dalam masalah ini bukanlah perbedaan dua pendapat beliau, melainkan karena perbedaan dua keadaan. Maka, dalam konteks di mana beliau mengatakan bahwa mereka (Majusi) adalah Ahlul Kitab, maksudnya adalah dalam hal diterimanya jizyah saja, sebagai bentuk perlindungan darah mereka agar tidak dihalalkan hanya karena keraguan. Sedangkan dalam konteks di mana beliau mengatakan bahwa mereka bukan Ahlul Kitab, maksudnya adalah bahwa sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan perempuan mereka tidak boleh dinikahi. Inilah pendapat mayoritas sahabat, tabi‘in, dan para fuqaha. Namun Abu Tsaur berbeda pendapat, ia membolehkan memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka. Ibrahim al-Harbi meriwayatkan adanya pengharaman hal tersebut dari tujuh belas sahabat; ia berkata: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini hingga datang kepada kami perbedaan dari al-Karkh,” maksudnya adalah perbedaan pendapat Abu Tsaur, karena ia tinggal di Karkh Baghdad. Abu Tsaur berdalil atas bolehnya memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka dengan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Perlakukanlah mereka seperti Ahlul Kitab.” Ia juga berkata: Hudzaifah bin al-Yaman pernah menikahi perempuan Majusi di Irak, lalu Umar memintanya untuk menceraikannya, maka ia pun menceraikannya. Seandainya hal itu tidak boleh, tentu Umar akan mengingkarinya dan memisahkan mereka tanpa perceraian. Dan karena setiap golongan yang boleh diterima jizyahnya, maka boleh pula memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka, seperti Yahudi dan Nasrani. Mereka juga berpendapat: Kitab Yahudi dan Nasrani telah dinasakh, dan kitab Majusi telah dihapus, dan tidak ada perbedaan antara hukum yang dinasakh dan yang dihapus; maka ketika penghapusan kitab Yahudi dan Nasrani tidak menghalangi bolehnya memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka, maka penghapusan kitab Majusi pun tidak menghalangi hal itu. Namun ini adalah kekeliruan; karena Ibrahim al-Harbi meriwayatkannya dari tujuh belas sahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka, sehingga menjadi ijmā‘; sebab siapa yang tidak berpegang pada kitab, maka sembelihan dan perempuan mereka tidak halal, seperti para penyembah berhala. Dan Majusi tidak memiliki kitab yang mereka pegang sebagaimana Yahudi dan Nasrani berpegang pada Taurat dan Injil, maka wajib hukumnya bahwa hukum mereka berbeda dengan hukum Yahudi dan Nasrani. Dan karena menikahi perempuan musyrik dilarang secara umum oleh nash, maka tidak boleh dihalalkan hanya karena kemungkinan. Dan karena Umar bersama para sahabat telah sepakat menerima jizyah dari mereka karena adanya keraguan terhadap status mereka, maka bagaimana mungkin dengan adanya keraguan ini dibolehkan memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka.
وَقَدْ كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عبد العزيز إلى الحسن البصري يسأله كَيْفَ أَخَذَ النَّاسُ الْجِزْيَةَ مِنَ الْمَجُوسِ وَأَقَرُّوهُمْ عَلَى عِبَادَةِ النِّيرَانِ، وَهُمْ كَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَكَتَبَ إِلَيْهِ الْحَسَنُ، إِنَّمَا أَخَذُوا مِنْهُمُ الْجِزْيَةَ، لِأَنَّ الْعَلَاءَ بْنَ الْحَضْرَمِيِّ، وَكَانَ خَلِيفَةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى الْبَحْرَيْنِ أَخَذَهَا مِنْهُمْ، وَأَقَرَّهُمْ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ أُفْرِدُوا مِنْ أهل الكتاب بأخذ الجزية وحدها فلذلك خصهما عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بِالسُّؤَالِ وَالْإِنْكَارِ، فَأَمَّا استدلاله بِقَوْلِهِ: ” سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ ” فَيَعْنِي بِهِ فِي أَخْذِ الْجِزْيَةِ لِأَمْرَيْنِ:
Dan Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat kepada al-Hasan al-Bashri menanyakan bagaimana orang-orang mengambil jizyah dari Majusi dan membiarkan mereka tetap menyembah api, padahal mereka seperti para penyembah berhala. Maka al-Hasan menulis kepadanya: “Mereka hanya mengambil jizyah dari mereka karena al-‘Ala’ bin al-Hadhrami, yang merupakan gubernur Rasulullah ﷺ di Bahrain, telah mengambil jizyah dari mereka dan membiarkan mereka.” Hal ini menunjukkan bahwa mereka diperlakukan berbeda dari Ahlul Kitab, yakni hanya diambil jizyahnya saja. Karena itu, Umar bin Abdul Aziz secara khusus menanyakan dan mengingkari hal tersebut. Adapun dalil yang digunakan dengan sabda Nabi: “Perlakukanlah mereka seperti Ahlul Kitab,” maka maksudnya adalah dalam hal pengambilan jizyah karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ رَوَى ذَلِكَ عِنْدَ الشَّكِّ فِي قَبُولِ جِزْيَتِهِمْ.
Pertama: Hadits tersebut diriwayatkan dalam kondisi adanya keraguan tentang diterimanya jizyah dari mereka.
والثاني: أن الصحابة أثبتوا هذا الحديث في قَبُول جِزْيَتِهِمْ وَلَمْ يُجَوِّزُوا بِهِ أَكْلَ ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحَ نِسَائِهِمْ.
Kedua: Para sahabat menetapkan hadits ini dalam hal diterimanya jizyah dari mereka, dan tidak membolehkannya untuk memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka.
وَأَمَّا تَزْوِيجُ حُذَيْفَةَ بِمَجُوسِيَّةٍ فَالْمَرْوِيُّ أَنَّهَا كَانَتْ يَهُودِيَّةً، وَلَوْ كَانَتْ مَجُوسِيَّةً فَقَدِ اسْتَنْزَلَهُ عَنْهَا عُمرُ فَنَزَلَ، وَلَوْ كَانَتْ تَحِلُّ لَهُ لَمَا اسْتَنْزَلَهُ عَنْهَا عُمرُ وَلَمَا نَزَلَ عَنْهَا حُذَيْفَةُ وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَالْمَعْنَى فِيهِمْ تَمَسُّكُهُمْ بِكِتَابِهِمْ فَثَبَتَ حُرْمَتُهُ فِيهِمْ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَجُوسُ.
Adapun pernikahan Hudzaifah dengan seorang wanita Majusi, riwayat yang ada menyebutkan bahwa ia adalah seorang Yahudi. Seandainya ia benar-benar seorang Majusi, maka Umar telah memintanya untuk menceraikannya, lalu Hudzaifah pun menceraikannya. Jika memang wanita Majusi itu halal baginya, tentu Umar tidak akan memintanya untuk menceraikannya, dan Hudzaifah pun tidak akan menceraikannya. Adapun qiyās yang menyamakan wanita Majusi dengan Yahudi dan Nasrani, maka alasan kebolehan menikahi wanita Yahudi dan Nasrani adalah karena mereka berpegang pada kitab mereka, sehingga keharaman menikahi mereka tetap berlaku. Sementara Majusi tidak demikian keadaannya.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ حُكْمَ الْمَرْفُوعِ وَالْمَنْسُوخِ سَوَاءٌ، فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ الْمَنْسُوخَ باقي التلاوة فنفيت حرمته فيهم، وليس كذلك المجوسي، وَأَمَا الْمَرْفُوعُ مَرْفُوعُ التِّلَاوَةِ فَارْتَفَعَتْ حُرْمَتُهُ هَذَا الكلام فيمن له شبهة بكتاب مِنَ الصَّابِئِينَ، وَالسَّامِرَةِ، وَالْمَجُوسِ.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum ayat yang dihapus (mansūkh) dan yang diangkat (marfū‘) itu sama, maka itu tidak benar. Karena mansūkh masih tersisa bacaannya, sehingga keharamannya tetap ditiadakan pada mereka, dan tidak demikian halnya dengan Majusi. Adapun marfū‘, yaitu yang diangkat bacaannya, maka keharamannya pun terangkat. Pembahasan ini berkaitan dengan orang yang memiliki syubhat dengan kitab dari kalangan Shabi’in, Samirah, dan Majusi.
فَأَمَّا مَنْ تَمَسَّكَ بِصُحُفِ شِيثٍ أَوْ زَبُورِ دَاوُدَ، أَوْ شَيْءٍ مِنَ الصُّحُفِ الْأُولَى، أَوْ مِنْ زُبُرِ الْأَوَّلِينَ فلا يجري عليه حكم أهل الكتاب، ويكونوا كَمَنْ لَا كِتَابَ لَهُ فَلَا تُقْبَلُ لَهُمْ جِزْيَةٌ وَلَا تُؤْكَلُ لَهُمْ ذَبِيحَةٌ وَلَا تُنْكَحُ فِيهِمُ امْرَأَةٌ لِأَمْرَيْنِ:
Adapun orang yang berpegang pada suhuf Syits, atau Zabur Daud, atau sesuatu dari suhuf terdahulu, atau dari kitab-kitab orang-orang terdahulu, maka tidak berlaku atas mereka hukum ahl al-kitāb. Mereka dianggap seperti orang yang tidak memiliki kitab, sehingga tidak diterima jizyah dari mereka, tidak boleh memakan sembelihan mereka, dan tidak boleh menikahi wanita mereka, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ هَذِهِ الْكُتُبَ مَوَاعِظُ وَوَصَايَا، وَلَيْسَ فِيهَا أَحْكَامٌ وَفُرُوضٌ فَخَالَفَتِ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ.
Pertama: Kitab-kitab tersebut hanyalah berisi nasihat dan wasiat, tidak mengandung hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban, sehingga berbeda dengan Taurat dan Injil.
وَالثَّانِي: لَيْسَتْ كَلَامَ اللَّهِ، وَإِنَّمَا هِيَ وَحْيٌ مِنْهُ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي، أَوْ مَنْ تَبِعَنِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ “، فَكَانَ ذَلِكَ وَحْيًا مِنَ اللَّهِ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ كَلَامِهِ، فَخَرَجَ عَنْ حُكْمِ الْقُرْآنِ الَّذِي تَكَلَّمَ بِهِ كَذَلِكَ هَذِهِ الْكُتُبُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Kedua: Kitab-kitab itu bukanlah kalam Allah, melainkan hanya wahyu dari-Nya, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Jibril datang kepadaku dan memerintahkanku agar memerintahkan para sahabatku, atau orang-orang yang mengikutiku, untuk mengeraskan suara mereka dalam talbiyah.” Maka itu adalah wahyu dari Allah, namun bukan kalam-Nya, sehingga tidak termasuk dalam hukum al-Qur’an yang merupakan kalam Allah. Demikian pula kitab-kitab tersebut. Allah Maha Mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِذَا نَكَحَهَا فَهِيَ كَالْمُسْلِمَةِ فِيمَا لَهَا وَعَلَيْهَا إِلَّا أَنَّهُمَا لَا يَتَوَارَثَانِ وَالْحَدُّ فِي قَذْفِهَا التَّعْزِيرُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang Muslim menikahi wanita ahl al-kitāb, maka hak dan kewajibannya sama seperti wanita Muslimah, kecuali bahwa keduanya tidak saling mewarisi, dan jika ia menuduh istrinya berzina, maka hukumannya adalah ta‘zīr.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أنكح المسلم كتابية، فمالها وَعَلَيْهَا مِنْ حُقُوقِ الْعَقْدِ كَالْمُسْلِمَةِ، لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ} (البقرة: 238) ؛ وَلِأَنَّهُ عَقَدُ مُعَاوَضَةٍ فَاسْتَوَى فِيهِ الْمُسْلِمُ، وَأَهْلُ الذِّمَّةِ كَالْإِجَارَاتِ، وَالْبُيُوعِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالَّذِي لَهَا عَلَيْهِ مِنَ الْحُقُوقِ الْمَهْرُ، وَالنَّفَقَةُ، وَالْكِسْوَةُ، وَالسُّكْنَى، وَالْقَسْمُ، وَالَّذِي لَهُ عَلَيْهَا مِنَ الْحُقُوقِ تَمْكِينُهُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ، وَأَنْ لَا تَخْرُجَ مِنْ مَنْزِلِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَهَذِهِ هِيَ حُقُوقُ الزَّوْجِيَّةِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ، وَكَذَلِكَ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيَّةِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika seorang Muslim menikahi wanita ahl al-kitāb, maka hak dan kewajiban dalam akad pernikahan sama seperti wanita Muslimah, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf} (al-Baqarah: 238); dan karena akad pernikahan adalah akad mu‘āwadah (timbal balik), maka dalam hal ini Muslim dan ahl al-dhimmah sama, sebagaimana dalam akad sewa-menyewa dan jual beli. Dengan demikian, hak-hak yang wajib diberikan kepada istri adalah mahar, nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan pembagian giliran; sedangkan hak suami atas istri adalah mendapatkan pelayanan (hubungan suami istri), dan istri tidak boleh keluar dari rumah suami kecuali dengan izinnya. Inilah hak-hak pernikahan di antara kaum Muslimin, demikian pula antara Muslim dan wanita ahl al-kitāb.
فَأَمَّا أَحْكَامُ الْعَقْدِ فَهِيَ الطَّلَاقُ، وَالظِّهَارُ، وَالْإِيلَاءُ، وَاللِّعَانُ، وَالتَّوَارُثُ، وَكُلُّ هَذِهِ الأحكام في العقد على الذمية كما فِي الْعَقْدِ عَلَى الْمُسْلِمَةِ إِلَّا فِي شَيْئَيْنِ:
Adapun hukum-hukum akad pernikahan adalah talak, zhihār, ila’, li‘ān, waris-mewarisi, dan seluruh hukum ini berlaku dalam akad dengan wanita ahl al-kitāb sebagaimana dalam akad dengan wanita Muslimah, kecuali dalam dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمَا لَا يَتَوَارَثَانِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ “.
Pertama: Keduanya tidak saling mewarisi, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi Muslim.”
والقول الثاني: أَنَّ الْحَدَّ فِي قَذْفِهَا التَّعْزِيرُ؛ لِأَنَّ الْإِسْلَامَ شرط في حصانة القذف بِرِوَايَةِ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ فَلَيْسَ بِمُحْصَنٍ ” فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُلَاعِنَ لِيُسْقِطَ بِهِ هَذَا التَّعْزِيرَ جاز؛ لأن التعزير ضربان:
Kedua: Hukum bagi orang yang menuduh istrinya (ahl al-kitāb) berzina adalah ta‘zīr; karena Islam adalah syarat untuk mendapatkan perlindungan dari hukuman qadzaf, sebagaimana riwayat Nafi‘ dari Ibnu Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa mempersekutukan Allah, maka ia tidak mendapatkan perlindungan (dari hukuman qadzaf).” Jika suami ingin melakukan li‘ān untuk menggugurkan hukuman ta‘zīr ini, maka itu diperbolehkan; karena ta‘zīr ada dua macam:
الأول: تعزير أذى لا يجب.
Pertama: Ta‘zīr karena gangguan yang tidak wajib.
الثاني: وتعزير قذف يجب.
Kedua: Ta‘zīr karena tuduhan zina yang wajib dijatuhkan.
فتعزير الأذى يكون فِي قَذْفِ مَنْ لَا يَصِحُّ مِنْهَا الزِّنَا كَالصَّغِيرَةِ وَالْمَجْنُونَةِ، فَلَا يَجِبُ وَلَا يَجُوزُ فِيهِ اللِّعَانُ، وَتَعْزِيرُ الْقَذْفِ يَكُونُ فِي قَذْفِ مَنْ يَصِحُّ مِنْهَا الزِّنَا، وَلَمْ تَكْمُلْ حَصَانَتُهَا كَالْأَمَةِ والكافرة فيجب ويجوز فِيهِ اللِّعَانُ، فَأَمَّا مَا سِوَى هَذَيْنِ الْحُكْمَيْنِ مِنَ الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ وَالْإِيلَاءِ وَالرَّجْعَةِ فَهِيَ فِي جميعه كالمسلمة.
Maka ta‘zīr atas perbuatan menyakiti berlaku dalam kasus menuduh zina terhadap orang yang tidak mungkin darinya terjadi zina, seperti anak kecil dan orang gila; maka tidak wajib dan tidak boleh dilakukan li‘ān dalam hal ini. Sedangkan ta‘zīr atas tuduhan zina berlaku dalam kasus menuduh zina terhadap orang yang mungkin darinya terjadi zina, namun belum sempurna ḥiṣānah-nya, seperti budak perempuan dan wanita kafir; maka wajib dan boleh dilakukan li‘ān dalam hal ini. Adapun selain dua hukum ini, seperti talak, ẓihār, īlā’, dan ruju‘, maka dalam semua hal tersebut kedudukannya sama seperti wanita muslimah.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَيُجْبِرُهَا عَلَى الْغُسْلِ مِنَ الْحَيْضِ وَالْجَنَابَةِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan ia (suami) boleh memaksa istrinya untuk mandi dari haid dan janabah.”
قَالَ الماوردي: وأما إِجْبَارُ الذِّمِّيَّةِ عَلَى الْغُسْلِ مِنَ الْحَيْضِ فَهُوَ مِنْ حُقُوقِ الزَّوْجِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَرَّمَ وطء الحائض حتى تغتسل بقوله تعالى: {لاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهَرْنَ فَإذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثِ أَمَرَكُمُ اللهُ) {البقرة: 222) وكان لِلزَّوْجِ إِذَا مَنَعَهُ الْحَيْضُ مِنْ وَطْئِهَا أَنْ يجبرها عليه ليصل إلى حقه منه.
Al-Māwardī berkata: Adapun memaksa wanita dzimmīyah untuk mandi dari haid, maka itu termasuk hak-hak suami; karena Allah Ta‘ala mengharamkan menyetubuhi wanita haid hingga ia mandi, sebagaimana firman-Nya: {Janganlah kalian mendekati mereka hingga mereka suci, maka apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka sesuai dengan yang diperintahkan Allah kepadamu} (al-Baqarah: 222). Maka bagi suami, jika haid menghalanginya untuk menyetubuhi istrinya, ia boleh memaksanya mandi agar ia dapat memperoleh haknya.
فإن قيل: الغسل عندكم لا يصح إلا منه، وَلَا فَرْقَ عِنْدَكُمْ بَيْنَ مَنْ لَمْ يَنْوِ ومن لم يغتسل، مع الكفر والإجبار لا تصح مِنْهَا نِيَّةٌ.
Jika dikatakan: Menurut kalian, mandi tidak sah kecuali dengan niat, dan tidak ada perbedaan menurut kalian antara orang yang tidak berniat dan yang tidak mandi, sedangkan dalam keadaan kafir dan dipaksa, tidak sah niat darinya.
قِيلَ: فِي غُسْلِهَا مِنَ الْحَيْضِ حَقَّانِ:
Dijawab: Dalam mandi dari haid terdapat dua hak:
أَحَدُهُمَا: لِلَّهِ تَعَالَى لَا يَصِحُّ إِلَّا بنية.
Pertama: Hak Allah Ta‘ala yang tidak sah kecuali dengan niat.
وَالْآخَرُ: لِلزَّوْجِ يَصِحُّ بِغَيْرِ نِيَّةٍ فَكَانَ لَهُ إِجْبَارُهَا فِي حَقِّ نَفْسِهِ لَا فِي حَقِّ اللَّهِ تعالى فلذلك أجزى بِغَيْرِ نِيَّةٍ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ يُجْبِرُ زَوْجَتَهُ الْمَجْنُونَةَ عَلَى الْغُسْلِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَإِنْ لم يكن عليها في ق اللَّهِ تَعَالَى غسلٌ، وَغَيْرُ ذَاتِ الزَّوْجِ تَغْتَسِلُ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ للزوج عليها حق، وكذلك نجبر الذِّمِّيَّةَ عَلَى الْغُسْلِ مِنَ النِّفَاسِ؛ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ من الوطء كالحائض، فَأَمَّا إِجْبَارُ الذِّمِّيَّةِ عَلَى الْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Kedua: Hak suami yang sah tanpa niat, maka suami boleh memaksanya mandi untuk hak dirinya, bukan untuk hak Allah Ta‘ala. Karena itu, mandi tanpa niat dianggap sah. Bukankah engkau melihat bahwa suami boleh memaksa istrinya yang gila untuk mandi demi hak dirinya, meskipun tidak wajib atasnya mandi untuk hak Allah Ta‘ala, dan selain istri (orang lain) mandi untuk hak Allah Ta‘ala, meskipun suami tidak memiliki hak atasnya. Demikian pula, kita memaksa wanita dzimmīyah untuk mandi dari nifas, karena nifas juga menghalangi hubungan suami-istri seperti haid. Adapun memaksa wanita dzimmīyah untuk mandi dari janabah, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يُجْبِرُهَا عَلَيْهِ بِخِلَافِ الْحَيْضِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَسْتَبِيحُ وَطْءَ الْجُنُبِ، وَلَا يستبيح وطء الحائض فافترقا في الإجبار.
Pertama: Tidak boleh memaksanya mandi dari janabah, berbeda dengan haid; karena suami mungkin saja membolehkan menyetubuhi wanita yang junub, sedangkan menyetubuhi wanita haid tidak dibolehkan, sehingga keduanya berbeda dalam hal pemaksaan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُجْبِرُهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ جَازَ وطئها مَعَ بَقَائِهِ؛ لِأَنَّ نَفْسَ الْمُسْلِمِ قَدْ تَعَافُ وَطْءَ مَنْ لَا تَغْتَسِلُ مِنْ جَنَابَةٍ، فَكَانَ لَهُ إِجْبَارُهَا عَلَيْهِ لِيَسْتَكْمِلَ بِهِ الِاسْتِمْتَاعَ، وَإِنْ كَانَ الِاسْتِمْتَاعُ مُمْكِنًا فَأَمَّا الْوُضُوءُ مِنَ الْحَدَثِ فَلَيْسَ لَهُ إِجْبَارُهَا عَلَيْهِ قَوْلًا وَاحِدًا لِكَثْرَتِهِ وَأَنَّ النُّفُوسَ لَا تَعَافُهُ، وَإِنَّهُ لَيْسَ يَصِلُ إِلَى وَطْئِهَا إِلَّا بَعْدَ الْحَدَثِ فَلَمْ يَكُنْ لإجبارها عليه تأثير.
Pendapat kedua: Boleh memaksanya mandi dari janabah, meskipun boleh menyetubuhinya dalam keadaan masih junub; karena jiwa seorang muslim mungkin merasa jijik menyetubuhi wanita yang tidak mandi dari janabah, maka suami boleh memaksanya mandi agar dapat menikmati istrinya secara sempurna, meskipun kenikmatan itu tetap mungkin dilakukan. Adapun wudhu dari hadas, maka suami tidak boleh memaksanya untuk wudhu menurut satu pendapat, karena wudhu sering dilakukan dan jiwa tidak merasa jijik terhadapnya, serta suami tidak dapat menyetubuhi istrinya kecuali setelah hadas, sehingga pemaksaan untuk wudhu tidak berpengaruh.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” والتنظف بِالِاسْتِحْدَادِ وَأَخْذِ الْأَظْفَارِ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan menjaga kebersihan dengan istihdād (mencukur bulu kemaluan) dan memotong kuku.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصَلُ مَا يُؤَثِّرُ فِي الِاسْتِمْتَاعِ بِالزَّوْجَةِ ضَرْبَانِ:
Al-Māwardī berkata: Pokok perkara yang memengaruhi kenikmatan suami terhadap istri ada dua macam:
أَحَدُهُمَا: مَا منع من أصل الاستمتاع.
Pertama: Sesuatu yang menghalangi kenikmatan secara total.
والقول الثاني: مَا مَنَعَ مِنْ كَمَالِ الِاسْتِمْتَاعِ فَأَمَّا الْمَانِعُ مِنْ أَصْلِ الِاسْتِمْتَاعِ فَهُوَ مَا لَا يُمْكِنُ مَعَهُ الِاسْتِمْتَاعُ كَالْغُسْلِ مِنَ الْحَيْضِ، وَالنِّفَاسِ فَلِلزَّوْجِ إِجْبَارُ زَوْجَتَهُ الذِّمِّيَّةَ عَلَيْهِ، وَأَمَّا الْمَانِعُ مِنْ كَمَالِ الِاسْتِمْتَاعِ فَهُوَ مَا تَعَافُهُ النُّفُوسُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ كَالْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ، فَفِي إِجْبَارِهَا عَلَيْهِ قَوْلَانِ، وَإِذَا اسْتَقَرَّ هَذَا الْأَصْلُ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَالتَّنْظِيفِ بِالِاسْتِحْدَادِ “؛ وَهُوَ أَخْذُ شعر العانة مؤخوذ من الحدية الَّتِي يُحْلَقُ بِهَا، فَإِنْ كَانَ شَعْرُ الْعَانَةِ قَدْ طَالَ وَفَحُشَ، وَخَرَجَ عَنِ الْعَادَةِ حَتَّى لَمْ يُمْكِنْ مَعَهُ الِاسْتِمْتَاعُ أَجْبَرَ زَوْجَتَهُ عَلَى أَخْذِهِ، سَوَاءٌ كَانَتْ مُسْلِمَةً أَوْ ذِمِّيَّةً، وَإِنْ لَمْ يَفْحُشْ وَأَمْكَنَ مَعَهُ الِاسْتِمْتَاعُ، وَلَكِنْ تَعَافُهُ النَّفْسُ، فَفِي إِجْبَارِهَا عَلَى أَخْذِهِ قَوْلَانِ، وَإِنْ لم تعافه النَّفْسُ لَمْ يُجْبِرْهَا عَلَى أَخْذِهِ قَوْلًا وَاحِدًا.
Kedua: Sesuatu yang menghalangi kesempurnaan kenikmatan. Adapun yang menghalangi kenikmatan secara total adalah sesuatu yang tidak memungkinkan kenikmatan bersamanya, seperti mandi dari haid dan nifas; maka suami boleh memaksa istrinya yang dzimmīyah untuk melakukannya. Adapun yang menghalangi kesempurnaan kenikmatan adalah sesuatu yang membuat jiwa merasa jijik meskipun masih memungkinkan untuk menikmati, seperti mandi dari janabah; maka dalam hal ini terdapat dua pendapat tentang boleh tidaknya memaksa istri. Jika prinsip ini telah dipahami, maka Imam Syafi‘i berkata: “Dan menjaga kebersihan dengan istihdād”, yaitu mencukur bulu kemaluan, yang diambil dari kata “haddiyyah” (alat cukur yang digunakan). Jika bulu kemaluan telah panjang dan berlebihan, keluar dari kebiasaan hingga tidak memungkinkan kenikmatan bersamanya, maka suami boleh memaksa istrinya untuk mencukurnya, baik ia muslimah maupun dzimmīyah. Namun jika tidak berlebihan dan masih memungkinkan kenikmatan bersamanya, tetapi jiwa merasa jijik, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat tentang boleh tidaknya memaksa istri. Jika jiwa tidak merasa jijik, maka suami tidak boleh memaksanya menurut satu pendapat.
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: وَالسُّنَّةُ أَنْ يَسْتَحِدَّ الْأَعْزَبُ كُلَّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، وَالْمُتَأَهِّلُ كُلَّ عِشْرِينَ يَوْمًا، فَإِنْ قَالَهُ نَقْلًا مَأْثُورًا عَمِلَ بِهِ، وَإِنْ قَالَهُ اجْتِهَادًا، فَلَيْسَ لِهَذَا التَّقْدِيرِ فِي الاجتهاد أصل مع اختلاف الحلق فِي سُرْعَةِ نَبَاتِ الشَّعْرِ فِي قَوْمٍ وَإِبْطَائِهِ فِي آخَرِينَ وَاعْتِبَارِهِ بِالْعُرْفِ أَوْلَى، وَأَمَّا الْأَظْفَارُ إِذَا لَمْ تَطُلْ إِلَى حَدِّ تَعَافُهَا النُّفُوسُ لَمْ يُجْبِرْهَا عَلَى أَخْذِهَا، وَإِنْ عَافَتِ النُّفُوسُ طُولَهَا فَفِي إِجْبَارِهَا عَلَى أَخْذِهَا قَوْلَانِ، وَهَكَذَا غَسْلُ رَأْسِهَا إِذَا سَهِكَ، أَوْ قَمِلَ، وَغَسْلُ جسدها إذا راح وأنتن، ففي إِجْبَارِهَا عَلَيْهِ قَوْلَانِ؛ لِأَنَّ النُّفُوسَ تَعَافُهُ.
Ahmad bin Hanbal berkata: Sunnahnya adalah laki-laki lajang mengasah pisau cukurnya setiap empat puluh hari, dan laki-laki yang sudah menikah setiap dua puluh hari. Jika hal itu dikatakan berdasarkan riwayat yang ma’tsur, maka diamalkan; namun jika dikatakan berdasarkan ijtihad, maka tidak ada dasar dalam ijtihad untuk penentuan waktu ini, mengingat perbedaan pertumbuhan rambut yang cepat pada sebagian orang dan lambat pada yang lain, sehingga lebih utama mempertimbangkannya berdasarkan ‘urf (kebiasaan). Adapun kuku, jika belum panjang hingga dianggap menjijikkan oleh jiwa, maka tidak diwajibkan untuk memotongnya. Namun jika jiwa merasa jijik karena panjangnya, maka ada dua pendapat mengenai kewajiban memotongnya. Demikian pula mencuci kepala jika berbau tidak sedap atau terkena kutu, dan mencuci badan jika berbau busuk dan menyengat, maka dalam hal mewajibkannya juga terdapat dua pendapat, karena jiwa merasa jijik terhadapnya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَيَمْنَعُهَا مِنَ الْكَنِيسَةِ وَالْخُرُوجِ إِلَى الْأَعْيَادِ كَمَا يَمْنَعُ الْمُسْلِمَةَ مِنْ إِتْيَانِ الْمَسَاجِدِ “.
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Dan (suami) mencegahnya (istri non-Muslim) dari pergi ke gereja dan keluar untuk perayaan hari raya, sebagaimana (suami Muslim) mencegah istri Muslimah dari mendatangi masjid.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لِلزَّوْجِ أَنْ يَمْنَعَ الْيَهُودِيَّةَ مِنَ الْبَيْعَةِ وَالنَّصْرَانِيَّةَ مِنَ الْكَنِيسَةِ وَالْمُسْلِمَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ، وإن كانت بيوتاً تقصر للعبادة التي لا يجوز أن يمنع من واجباتها؛ لأنها قد توافي فِي مَنَازِلِ أَهْلِهَا وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تَحِلُّ الْمَرْأَةُ بَيْتًا وَلَا تخرج من بيت زوجها كاره ” ولأنها قَدْ تُفَوِّتُ عَلَيْهِ الِاسْتِمْتَاعَ فِي زَمَانِ الْخُرُوجِ فَكَانَ لَهُ مَنْعُهَا لِاسْتِيفَاءِ حَقِّهِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا.
Al-Mawardi berkata: Suami boleh mencegah istri Yahudi dari pergi ke sinagoga, istri Nasrani dari pergi ke gereja, dan istri Muslimah dari pergi ke masjid, meskipun tempat-tempat itu adalah rumah ibadah yang tidak boleh seseorang dihalangi dari menunaikan kewajiban agamanya; karena ibadah tersebut dapat dilakukan di rumah keluarganya. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita untuk masuk ke suatu rumah, dan tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya.” Selain itu, karena (keluar rumah) dapat menyebabkan suami kehilangan kesempatan untuk menikmati istrinya pada waktu ia keluar, maka suami berhak mencegahnya demi menunaikan haknya untuk mendapatkan kenikmatan dari istrinya.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” لا يمنعن إِمَاء اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلَاتٍ ” فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
Jika dikatakan: Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah, dan hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.” Maka ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَمْنَعُهَا مَنْعَ تَحْرِيمٍ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَظُنَّ أَنَّ مَنْعَهُنَّ مِنْ إِتْيَانِ الْمَسَاجِدِ وَاجِبٌ.
Pertama: Larangan itu bukanlah larangan yang bersifat haram, agar tidak disangka bahwa melarang mereka dari mendatangi masjid adalah wajib.
وَالثَّانِي: أَنَّ الرِّوَايَةَ ” لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسْجِدَ اللَّهِ ” يُرِيدُ بِهِ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ فِي حَجَّةِ الْإِسْلَامِ، ثُمَّ هَكَذَا يَمْنَعُهَا مِنَ الْخُرُوجِ إِلَى الْأَعْيَادِ، ثُمَّ إِذَا كَانَ لَهُ مَنْعُهَا مِنَ الْخُرُوجِ إِلَى هَذِهِ العبادات كان بأن يمنعها من الخروج بغير العبادات أولى.
Kedua: Riwayat “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid Allah” yang dimaksud adalah Masjidil Haram pada saat haji Islam. Demikian pula, suami boleh mencegah istrinya dari keluar untuk perayaan hari raya. Maka jika suami boleh mencegah istrinya dari keluar untuk ibadah-ibadah tersebut, tentu lebih utama lagi ia boleh mencegahnya dari keluar rumah untuk selain ibadah.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَيَمْنَعُهَا مِنْ شُرْبِ الْخَمْرِ وَأَكْلِ الْخِنْزِيرِ إِذَا كَانَ يَتَقَذَّرُ بِهِ وَمِنْ أَكْلِ مَا يَحِلُّ إذا تأذى بريحه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan (suami) mencegahnya dari meminum khamar dan memakan daging babi jika ia merasa jijik karenanya, serta dari memakan sesuatu yang halal jika ia terganggu oleh baunya.”
قال الماوردي: أما الذِّمِّيَّةُ فَلِلزَّوْجِ أَنْ يَمْنَعَهَا أَنْ تَشْرَبَ الْخَمْرَ والنبيذ وما يسكرها لأمرين:
Al-Mawardi berkata: Adapun istri dzimmi (non-Muslim), maka suami boleh mencegahnya dari meminum khamar, nabidz, dan segala yang memabukkan karena dua alasan:
أحدهما: ربما أنه خَافَ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ سُكْرِهَا.
Pertama: Bisa jadi ia khawatir terhadap dirinya sendiri akibat mabuknya sang istri.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قد رُبَّمَا مَنَعَتْهُ فِي السُّكْرِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فَصَارَ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَمْرَيْنِ غَيْرَ مُمَكَّنٍ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ فَلِذَلِكَ جَازَ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْهُ قولاً واحداً، فأما إذا أَرَادَتْ أَنْ تَشْرَبَ مِنَ الْخَمْرِ وَالنَّبِيذِ مَا لا يسكرها فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Kedua: Bisa jadi sang istri, karena mabuk, menghalangi suami untuk menikmati dirinya, sehingga dengan kedua alasan tersebut suami tidak dapat menikmati istrinya. Oleh karena itu, suami boleh mencegahnya dari hal itu menurut satu pendapat. Adapun jika istri ingin meminum khamar atau nabidz yang tidak memabukkan, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أنَّ لَهُ مَنْعَهَا مِنْ يَسِيرِهِ الَّذِي لَا يُسْكِرُ كَمَا يَمْنَعُهَا مِنْ كَثِيرِهِ الَّذِي يُسْكِرُ؛ لِأَنَّ حَدَّ الْمُسْكِرِ مِنْهُ غَيْرُ مَعْلُومٍ، وربما أسكرها اليسير ولم يسكرها الكثير؛ لأن السكر يختلف باختلاف الأمزجة والأهوية فَالْمَحْرُورُ يُسْكِرُهُ الْقَلِيلُ، وَالْمَرْطُوبُ لَا يُسْكِرُهُ إِلَّا الْكَثِيرُ، وَإِذَا بَرَدَ الْهَوَاءُ وَاشْتَدَّ أَسْكَرَ الْقَلِيلُ وَإِذَا حَمِيَ الْهَوَاءُ لَمْ يُسْكِرْ إِلَّا الْكَثِيرُ، فلم يجز مع اختلافه أن يغترف حَال قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ.
Pertama, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa suami boleh mencegah istri dari sedikit khamar yang tidak memabukkan sebagaimana ia boleh mencegah dari yang banyak yang memabukkan; karena batasan memabukkan dari khamar tidak diketahui secara pasti, dan bisa jadi sedikitnya memabukkan sementara banyaknya tidak, sebab efek mabuk berbeda-beda tergantung perbedaan kondisi tubuh dan cuaca. Orang yang tubuhnya panas bisa mabuk dengan sedikit, sedangkan yang tubuhnya lembab tidak mabuk kecuali dengan banyak. Jika udara dingin dan keras, sedikit saja bisa memabukkan, sedangkan jika udara panas, tidak memabukkan kecuali banyak. Maka, karena perbedaannya, tidak boleh dipastikan hukum antara sedikit dan banyaknya.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حامد الإسفراييني لما لم يذكر أَمَارَة تَدُلُّ عَلَى أَنَّ الزِّيَادَةَ بَعْدَهَا مُسْكِرَةٌ وَهَذَا الْقَدَرُ لَا يَمْنَعُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ، وَلَكِنْ رُبَّمَا عَافَتْهُ نُفُوسُ الْمُسْلِمِينَ لَا سِيَّمَا مَنْ قَوِيَ دِينُهُ، وَكَثُرَ تَحَرُّجُهُ فَيَصِيرُ مَانِعًا لَهُ من كمال الاستمتاع، فيحرم جَوَازُ مَنْعِهَا مِنْهُ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Kedua: Yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, ketika tidak disebutkan adanya tanda yang menunjukkan bahwa tambahan setelahnya memabukkan, dan kadar ini tidak mencegah dari menikmati (istri), namun bisa jadi jiwa kaum Muslimin merasa jijik terhadapnya, terutama bagi yang kuat agamanya dan banyak kehati-hatiannya, sehingga hal itu menjadi penghalang baginya dari kesempurnaan menikmati, maka terdapat dua pendapat mengenai boleh tidaknya mencegahnya dari hal tersebut.
وَالثَّالِثُ: لَيْسَ لَهُ مَنْعُهَا مِنْ شُرْبِ الْقَلِيلِ الذي يرون شربه في أعيادهم عبادة وَلَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ سَوَاءٌ أسكر أو لم سكر مراعاة فيه العبادة، ولم يراعي فِيهِ السُّكْرُ وَهَذَا الْوَجْهُ أَشْبَهُ.
Ketiga: Suami tidak berhak mencegah istrinya dari meminum sedikit (khamr) yang mereka anggap sebagai ibadah dalam hari raya mereka, dan ia berhak mencegahnya dari tambahan atas kadar tersebut, baik memabukkan atau tidak memabukkan, dengan pertimbangan menjaga ibadah, dan tidak mempertimbangkan aspek memabukkan atau tidaknya. Pendapat ini lebih mendekati kebenaran.
فَأَمَّا الْمُسْلِمَةُ فَلِلزَّوْجِ مَنَعُهَا مِنْ شُرْبِ الْخَمْرِ قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ، وَكَذَلِكَ مِنْ سَائِرِ الْمُحَرَّمَاتِ، فَأَمَّا النَّبِيذُ فَإِنْ كَانَ الزَّوْجَانِ شَافِعِيَّيْنَ يَعْتَقِدَانِ تَحْرِيمَ النَّبِيذِ كَالْخَمْرِ فَلَهُ مَنْعُهَا مِنْ قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ، وَإِنْ كَانَا حَنَفِيَّيْنِ يَعْتَقِدَانِ إِبَاحَةَ النَّبِيذِ كَانَ كَالْخَمْرِ فِي حَقِّ الذِّمِّيَّةِ فَلَهُ مَنْعُهَا أَنْ تَشْرَبَ مِنْهُ قَدْرَ مَا يُسْكِرُهَا، وَهَلْ يَمْنَعُهَا مِنْ قَلِيلِهِ الَّذِي لَا يُسْكِرُهَا فَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَمْنَعُهَا مِنْهُ قَوْلًا وَاحِدًا، وَعَلَى قَوْلِ أَبِي حَامِدٍ يَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Adapun istri Muslimah, maka suami berhak mencegahnya dari meminum khamr, baik sedikit maupun banyak, demikian pula dari seluruh hal yang diharamkan. Adapun nabidz, jika kedua suami istri bermazhab Syafi’i dan meyakini keharaman nabidz seperti khamr, maka suami berhak mencegahnya dari sedikit maupun banyak. Jika keduanya bermazhab Hanafi dan meyakini kebolehan nabidz, maka hukumnya seperti khamr bagi istri dzimmi, sehingga suami berhak mencegahnya dari meminum kadar yang dapat memabukkannya. Adapun apakah suami boleh mencegahnya dari kadar sedikit yang tidak memabukkan, menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, suami boleh mencegahnya secara mutlak, sedangkan menurut pendapat Abu Hamid, terdapat dua pendapat.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْخِنْزِيرُ فَلَهُ مَنْعُ الْمُسْلِمَةِ مِنْ أَكْلِهِ بِلَا خِلَافٍ، فَأَمَّا الذِّمِّيَّةُ، فَإِنْ كَانَتْ يَهُودِيَّةً تَرَى تَحْرِيمَ أَكْلِهِ ثُمَّ أَكَلَتْهُ مَنَعَهَا مِنْهُ كَمَا يَمْنَعُ مِنْهُ الْمُسْلِمَةَ، وَإِنْ كَانَتْ نَصْرَانِيَّةً تَرَى إِبَاحَةَ أَكْلِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَالَّذِي عَلَيْهِ أَكْثَرُهُمْ أَنَّ لَهُ مَنْعَهَا مِنْهُ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ نُفُورَ نَفْسِ الْمُسْلِمِ مِنْهُ أَكْثَرُ مِنْ نُفُورِهَا مِنَ الْخَمْرِ فَصَارَ مَانِعًا مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ؛ وَلِأَنَّ حُكْمَ نَجَاسَتِهِ أَغْلَظُ فَهِيَ لا تكاد تطهر منه، ويتعدى النَّجَاسَةُ مِنْهَا إِلَيْهِ، وَكَانَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ يَقُولُ: هَذَا يَمْنَعُ مِنْ كَمَالِ الِاسْتِمْتَاعِ مَعَ إمكانه وتحريم مَنْعهَا مِنْهُ عَلَى قَوْلَيْنِ، فَإِنْ أَكَلَتْ مِنْهُ كَانَ لَهُ إِجْبَارُهَا عَلَى غَسْلِ فَمِهَا وَيَدِهَا منه لئلا يتعدى نَجَاسَتُهُ إِلَيْهِ إِذَا قَبَّلَ أَوْ بَاشَرَ، وَفِي قَدْرِ مَا يُجْبِرُهَا عَلَيْهِ مِنْ غَسْلِهِ وَجْهَانِ:
Adapun babi, maka suami berhak mencegah istri Muslimah dari memakannya tanpa ada perbedaan pendapat. Adapun istri dzimmi, jika ia seorang Yahudi yang meyakini keharaman memakan babi lalu ia memakannya, maka suami berhak mencegahnya sebagaimana ia mencegah istri Muslimah. Jika ia seorang Nasrani yang meyakini kebolehan memakan babi, maka para ulama kami berbeda pendapat. Mayoritas mereka berpendapat bahwa suami berhak mencegahnya secara mutlak, karena rasa jijik seorang Muslim terhadap babi lebih besar daripada terhadap khamr, sehingga hal itu menjadi penghalang dari kesempurnaan menikmati; dan karena hukum najisnya lebih berat, sehingga hampir tidak mungkin bersuci darinya, dan najisnya bisa menular dari istri kepada suami. Abu Hamid al-Isfara’ini berpendapat: Hal ini menghalangi kesempurnaan menikmati meski masih memungkinkan, dan keharaman mencegahnya terdapat dua pendapat. Jika istri memakannya, maka suami berhak memaksanya untuk mencuci mulut dan tangannya agar najisnya tidak menular kepada suami jika ia mencium atau menyentuhnya. Dalam hal kadar pencucian yang wajib dipaksakan, terdapat dua pendapat:
أحدهما: سبع مرات إحداهن بالتراب مِثْلَ وُلُوغِهِ.
Pertama: Tujuh kali, salah satunya dengan tanah, seperti mencuci bekas jilatan anjing.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُجْبِرُهَا عَلَى غَسْلِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً بِغَيْرِ تُرَابٍ؛ لِأَنَّهُ يَجْبُرُهَا عَلَى غَسْلِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ لَا فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فَأَجْزَأَ فِيهِ الْمَرَّةُ الْوَاحِدَةُ كَمَا يجزئ فِي غَسْلِ الْحَيْضِ بِغَيْرِ نِيَّةٍ.
Kedua: Suami cukup memaksanya mencuci satu kali tanpa tanah, karena ia memaksanya mencuci demi hak dirinya, bukan demi hak Allah Ta‘ala, sehingga satu kali sudah cukup, sebagaimana cukup dalam mandi haid tanpa niat.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا أَكْلُ مَا يُتَأَذَّى بِرِيحِهِ مِنَ الثُّومِ وَالْبَصَلِ، وَمَا أَنْتَنَ مِنَ الْبُقُولِ وَالْمَأْكَلِ فَالْمُسْلِمَةُ وَالذِّمِّيَّةُ فيه سواء وينظر فإن كانت لِدَوَاءٍ اضْطُرَّتْ إِلَيْهِ لَمْ يَمْنَعْهَا مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ لِشَهْوَةٍ وَغِذَاءٍ فَهَذَا يَمْنَعُ مِنْ كَمَالِ الِاسْتِمْتَاعِ مَعَ إِمْكَانِهِ، فَهَلْ يَمْنَعُهَا مِنْهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Adapun memakan sesuatu yang baunya mengganggu seperti bawang putih, bawang merah, dan sayuran atau makanan yang berbau busuk, maka istri Muslimah dan dzimmi sama hukumnya. Jika dimakan karena kebutuhan pengobatan yang mendesak, maka suami tidak boleh melarangnya. Namun jika karena keinginan atau sebagai makanan, maka hal itu menghalangi kesempurnaan menikmati meski masih memungkinkan. Apakah suami boleh melarangnya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْبَخُورُ بِمَا تؤذي رائحته فَإِنْ كَانَ لدواءٍ لَمْ تُمْنَعْ، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ دَوَاءٍ، فَعَلَى قَوْلَيْنِ وَلَا فَرْقَ فِيمَا مَنَعَهُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ فِي زَمَانِ الطُّهْرِ أَوْ فِي زَمَانِ الْحَيْضِ، لأن زمان الحيض وإن حرم فيه وطئها فإن يَحِلُّ فِيهِ الِاسْتِمْتَاعُ بِمَا سِوَاهُ مِنَ الْقُبْلَةِ وَالْمُبَاشِرَةِ فَصَارَ الْمَانِعُ مِنْهُ فِي حُكْمِ الْمَانِعِ من الوطء.
Adapun membakar dupa yang baunya mengganggu, jika untuk pengobatan maka tidak dilarang, namun jika bukan untuk pengobatan, maka terdapat dua pendapat. Tidak ada perbedaan dalam hal larangan ini, baik di masa suci maupun masa haid, karena meskipun di masa haid diharamkan berhubungan badan, namun tetap halal menikmati selain itu seperti ciuman dan sentuhan, sehingga penghalang dari hal tersebut sama hukumnya dengan penghalang dari hubungan badan.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الثِّيَابُ فَلَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ لِبْسِ مَا كَانَ نَجِسًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُنَجِّسُهَا وَيَتَنَجَّسُ بِهَا وَهُوَ أَدْوَمُ مِنْ نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ والتحرز مِنْهُ أَشَقُّ فَلِذَلِكَ مُنِعَتْ مِنْهُ قَوْلًا وَاحِدًا، وهل يمنع مَنْ لِبْسِ مَا كَانَ مُنْتَنَ الرَّائِحَةِ بِصَبْغٍ أَوْ بَخُورٍ أَوْ سَهُوكَةِ طَعَامٍ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Adapun mengenai pakaian, maka suami berhak melarang istrinya mengenakan pakaian yang najis; karena bisa jadi pakaian itu menajiskan dirinya dan ia pun menjadi najis karenanya, dan hal ini lebih sering terjadi daripada najis babi serta lebih sulit untuk menghindarinya. Oleh karena itu, pakaian najis dilarang secara mutlak menurut satu pendapat. Adapun apakah suami boleh melarang istrinya mengenakan pakaian yang berbau busuk karena pewarna, dupa, atau sisa makanan, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
فَأَمَّا لبسُ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجُ وَاسْتِعْمَالُ الطيب والبخور لا يَمْنَعُ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ أَدْعَى إِلَى الشَّهْوَةِ، وَأَكْمَلُ لِلِاسْتِمْتَاعِ، وَهَكَذَا لَيْسَ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنَ الْخِضَابِ وَالزِّينَةِ، وَلَا عَلَى أَنْ يُجْبِرَهَا عَلَى دَوَاءٍ فِي مَرَضٍ أَوْ سِمْنَةٍ في صحة.
Adapun memakai sutra, kain dibaj, serta menggunakan parfum dan dupa, maka suami tidak boleh melarang istrinya; karena hal itu lebih membangkitkan syahwat dan lebih sempurna dalam menikmati hubungan suami istri. Demikian pula, suami tidak berhak melarang istrinya berhias dan berdandan, dan tidak pula memaksanya untuk berobat ketika sakit atau untuk menggemukkan badan saat sehat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وإن ارتدت إلى مجوسية أو إلى غَيْرِ دِينِ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِنْ رَجَعَتْ إِلَى الْإِسْلَامِ أَوْ إِلَى دِينِ أَهْلِ الْكِتَابِ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ وَإِنِ انْقَضَتْ قبل أن ترجع فقد انقطعت العصمة لأنه يصلح أن يبتدئ “.
Imam asy-Syafi‘i ra. berkata: “Jika seorang istri murtad menjadi Majusi atau memeluk agama selain agama Ahlul Kitab, lalu ia kembali kepada Islam atau agama Ahlul Kitab sebelum masa iddah berakhir, maka keduanya tetap dalam status pernikahan. Namun jika masa iddah telah habis sebelum ia kembali, maka terputuslah ikatan pernikahan karena sudah memungkinkan untuk memulai akad baru.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي مُسْلِمٍ تَزَوَّجَ ذِمِّيَّةً فَانْتَقَلَتْ مِنْ دِينِهَا إِلَى غَيْرِهِ فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang Muslim menikahi wanita dzimmi, lalu wanita itu keluar dari agamanya ke agama lain. Maka kasus ini terbagi menjadi empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ تَنْتَقِلَ عَنْهُ إِلَى الْإِسْلَامِ فَقَدْ زَادَتْهُ خَيْرًا، وَالنِّكَاحُ بِحَالِهِ وَمَا زاده الإسلام إلا صحة وسواء كان قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا أَوْ بَعْدَهُ.
Pertama: Jika ia berpindah dari agamanya ke Islam, maka itu adalah kebaikan tambahan baginya, dan pernikahan tetap sah, bahkan Islam hanya menambah keabsahan pernikahan tersebut, baik sebelum maupun sesudah terjadi hubungan suami istri.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أن تنتقل عن دينها إلى دين يقرها أهله عليه كأنها كنت نَصْرَانِيَّةً فَتَزَنْدَقَتْ أَوْ تَوَثَّنَتْ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تقر عليه؛ لأنه لما لم تقر عليه من كان متقدم الدُّخُولِ فِيهِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يُقِرَّ عَلَيْهِ من تأخر دخوله فيه، وإذا كان كذلك نُظِرَ فِي رِدَّتِهَا، فَإِنْ كَانَتْ قَبْلَ دُخُولِهِ بها بطل نكاحها كَمَا يَبْطُلُ نِكَاحُ الْمُسْلِمَةِ إِذَا ارْتَدَّتْ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَإِنْ كَانَتْ رِدَّتُهَا عَنْ دِينِهَا بَعْدَ الدُّخُولِ بِهَا كَانَ النِّكَاحُ مَوْقُوفًا عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَإِنْ رَجَعَتْ قَبْلَ انْقِضَائِهَا إِلَى الدِّينِ الذي تؤمن بِهِ، وَيَجُوزُ نِكَاحُ أَهْلِهِ كَانَا عَلَى النِّكَاحِ، وَإِنْ لَمْ تَرْجِعْ حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ بَطَلَ النكاح، وفي الدين الذي تؤمن بالدخول إِلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ:
Bagian kedua: Jika ia berpindah dari agamanya ke agama yang tidak diakui oleh pemeluknya, misalnya ia sebelumnya Nasrani lalu menjadi zindiq atau menyembah berhala, maka tidak boleh tetap dalam agama tersebut; karena jika orang yang lebih dahulu masuk agama itu saja tidak diakui, maka lebih utama lagi orang yang baru masuk tidak diakui. Dalam hal ini, dilihat kapan ia murtad: jika sebelum terjadi hubungan suami istri, maka pernikahannya batal sebagaimana pernikahan wanita Muslimah yang murtad sebelum terjadi hubungan; jika murtad setelah terjadi hubungan, maka pernikahan digantungkan sampai masa iddah berakhir. Jika ia kembali sebelum iddah berakhir ke agama yang diyakini dan boleh dinikahi pemeluknya, maka pernikahan tetap sah. Namun jika ia tidak kembali hingga iddah selesai, maka pernikahan batal. Mengenai agama yang boleh dimasuki, terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا: الْإِسْلَامُ لَا غَيْرَ؛ لِأَنَّهَا كَانَتْ مُقِرَّةً عَلَى دِينِهَا لِإِقْرَارِهَا بِصِحَّتِهِ، وَقَدْ صَارَتْ بِانْتِقَالِهَا عَنْهُ مُقِرَّةً بِبُطْلَانِهِ فَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهَا إِلَّا دِينُ الْحَقِّ، وَهُوَ الْإِسْلَامُ.
Pertama: Hanya Islam, tidak yang lain; karena sebelumnya ia diakui dalam agamanya karena mengakui kebenarannya, namun setelah berpindah ia mengakui kebatilannya, sehingga tidak diterima darinya kecuali agama yang benar, yaitu Islam.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُؤْخَذُ بِالرُّجُوعِ إِلَى الْإِسْلَامِ أَوْ إِلَى دِينِهَا الَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ، وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا الرُّجُوعُ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْأَدْيَانِ، فإن أقر أهلها عليه؛ لأنه الذي تناوله عقد ذمتها، فكان أحصن أَدْيَانِ الْكُفْرِ بِهَا، وَلَيْسَ لِإِقْرَارِهَا بِصِحَّتِهِ تَأْثِيرٌ في صحته فَلِذَلِكَ جَازَ أَنْ تُقَرَّ عَلَيْهِ بَعْدَ رُجُوعِهَا إِلَيْهِ.
Pendapat kedua: Ia boleh kembali ke Islam atau ke agamanya semula, dan tidak diterima kembali ke agama lain. Jika pemeluk agamanya mengakui, karena itulah yang menjadi dasar akad dzimmah-nya, maka itu adalah agama kekufuran yang paling kuat baginya. Pengakuan atas kebenarannya tidak berpengaruh pada keabsahannya, sehingga boleh tetap diakui setelah ia kembali kepadanya.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا تُؤْخَذُ بِرُجُوعِهَا إِلَى الإسلام، فإن أبت فإلى دينها الذي كانت عَلَيْهِ أَوْ إِلَى دِينٍ يُقَرُّ أَهْلُهُ عَلَيْهِ فَيَسْتَوِي حُكْمُ دِينِهَا، وَغَيْرِهِ مِنَ الْأَدْيَانِ الَّتِي تقر أَهْلُهَا عَلَيْهَا فِي رُجُوعِهَا إِلَى مَا شَاءَتْ مِنْهَا؛ لِأَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ عِنْدَنَا مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ، وَإِنْ تَنَوَّعَ. فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ فَلَهَا حَالَتَانِ:
Pendapat ketiga: Ia boleh kembali ke Islam, jika menolak maka ke agamanya semula atau ke agama lain yang diakui pemeluknya. Maka hukum agamanya dan agama lain yang diakui pemeluknya sama saja dalam hal ia boleh kembali ke salah satunya, karena seluruh kekufuran menurut kami adalah satu golongan, meskipun beragam. Setelah penjelasan pendapat-pendapat ini, maka ada dua keadaan:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ تَرْجِعَ إِلَى الدِّينِ الَّذِي أُمِرَتْ بِالرُّجُوعِ إِلَيْهِ.
Pertama: Ia kembali ke agama yang diperintahkan untuk kembali kepadanya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا تَرْجِعَ إِلَيْهِ، فَإِنْ لَمْ تَرْجِعْ إِلَيْهِ وَأَقَامَتْ عَلَى دِينِهَا فَنِكَاحُهَا قَدْ بَطَلَ وَلَا مَهْرَ لَهَا إِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَلَهَا الْمَهْرُ إِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ، وَمَا الَّذِي يوجب حُكْمَ هَذِهِ الرِّدَّةِ فِيهِ قَوْلَانِ:
Kedua: Ia tidak kembali kepadanya. Jika ia tidak kembali dan tetap pada agamanya, maka pernikahannya batal dan tidak berhak atas mahar jika sebelum terjadi hubungan, namun berhak atas mahar jika setelah terjadi hubungan. Adapun hukum yang menyebabkan murtad ini, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: الْقَتْلُ كَالْمُسْلِمَةِ إِذَا ارْتَدَّتْ.
Pertama: Dihukum mati sebagaimana wanita Muslimah yang murtad.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ تَبْلُغَ مَأْمَنَهَا مِنْ دَارِ الْحَرْبِ ثُمَّ تَصِيرُ حَرْبًا، وَإِنْ رَجَعَتْ إِلَى الدِّينِ الَّذِي أُمِرَتْ بِهِ فَهِيَ عَلَى حَقْنِ دَمِهَا، وَفِي أَمَانِ ذِمَّتِهَا ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الدِّينِ الَّذِي رَجَعَتْ إِلَيْهِ فَإِنْ كَانَ دِينًا يَجُوزُ نِكَاحُ أَهْلِهِ كَالْإِسْلَامِ أَوِ الْيَهُودِيَّةِ أَوِ النَّصْرَانِيَّةِ فَالنِّكَاحُ معتبراً بِمَا قَدَّمْنَاهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ دَخَلَ بِهَا فَقَدْ بَطَلَ، وَإِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا، فَإِنْ كَانَ الرُّجُوعُ إِلَى الدِّينِ الْمَأْمُورَةِ بِهِ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَقَدْ بَطَلَ أَيْضًا، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ، وَإِنْ كَانَتْ قَدْ رَجَعَتْ إِلَى دِينٍ يُقَرُّ أَهْلُهُ عَلَيْهِ وَلَا يَجُوزُ نِكَاحُ أَهْلِهِ كَالْمَجُوسِيَّةِ وَالصَّابِئَةِ وَالسَّامِرَةِ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَتْ مُقَرَّةً عَلَى هَذَا الدِّينِ مَا لَمْ تَنْتَقِلْ عَنْهُ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ إِلَى دِينٍ يَجُوزُ نِكَاحُ أَهْلِهِ فَتَكُونُ مِمَّنْ قَدِ ارْتَفَعَ عَنْهَا حُكْمُ الرِّدَّةِ وَلَمْ يَرْتَفِعْ عَنْهَا وُقُوفُ النِّكَاحِ.
Pendapat kedua: Jika ia telah mencapai tempat amannya dari negeri harb, kemudian menjadi harbiyyah, lalu ia kembali kepada agama yang diperintahkan kepadanya, maka darahnya tetap terjaga dan ia berada dalam perlindungan jaminannya. Kemudian dilihat agama yang ia kembali kepadanya; jika agama tersebut adalah agama yang boleh dinikahi oleh pemeluknya seperti Islam, Yahudi, atau Nasrani, maka pernikahan tetap dianggap sah sebagaimana yang telah kami jelaskan. Namun jika belum terjadi hubungan suami istri, maka pernikahan batal. Jika sudah terjadi hubungan, lalu ia kembali kepada agama yang diperintahkan setelah habis masa iddah, maka pernikahan juga batal. Namun jika ia kembali sebelum habis masa iddah, maka keduanya tetap dalam status pernikahan. Jika ia kembali kepada agama yang pemeluknya diakui namun tidak boleh dinikahi seperti Majusi, Shabi’in, dan Samirah, maka pernikahan batal. Namun jika ia tetap pada agama tersebut, selama belum berpindah darinya sebelum habis masa iddah ke agama yang boleh dinikahi pemeluknya, maka ia termasuk orang yang telah terangkat darinya hukum riddah, namun status pernikahan masih tertahan.
فَصْلٌ: وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ
Fasal: Bagian ketiga
: أَنْ تَرْتَدَّ عَنْ دِينِهَا الَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ إِلَى دِينٍ يُقَرُّ أَهْلُهُ عليه، ولا يجوز نكاحهم كأنها ارْتَدَّتْ مِنْ يَهُودِيَّةٍ إِلَى مَجُوسِيَّةٍ فَفِي إِقْرَارِهَا عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
Yaitu jika ia murtad dari agamanya yang semula kepada agama yang pemeluknya diakui, namun tidak boleh dinikahi, seperti ia murtad dari Yahudi menjadi Majusi. Dalam pengakuan atas agamanya ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: تُقَرُّ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْكُفْرَ كله ملة واحدة.
Salah satunya: Ia diakui atas agamanya itu, karena seluruh kekufuran adalah satu golongan.
والثاني: لَا تُقَرُّ عَلَيْهِ وَفِيمَا تُؤْمَرُ بِالرُّجُوعِ إِلَيْهِ قَوْلَانِ:
Pendapat kedua: Ia tidak diakui atas agamanya itu, dan dalam hal apa yang diperintahkan untuk kembali kepadanya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: الْإِسْلَامُ لَا غَيْرَ.
Salah satunya: Hanya Islam, tidak yang lain.
وَالثَّانِي: الْإِسْلَامُ فَإِنْ أَبَتْ فَإِلَى دِينِهَا الَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ، فَأَمَّا النِّكَاحُ فَإِنْ كَانَتْ رِدَّتُهَا قَبْلَ الدُّخُولِ بَطَلَ وَإِنْ كَانَتْ بَعْدَهُ فَسَوَاءٌ أُقِرَّتْ عَلَيْهِ أَوْ لَمْ تُقَرَّ هُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ تَسْتَأْنِفَ نِكَاحَ مَنْ لَمْ تَزَلْ مَجُوسِيَّةً لَمْ يَجُزِ اسْتِدَامَةُ نِكَاحِ مَنْ أُقِرَّتْ عَلَى الِانْتِقَالِ إِلَى المجوسية وإذا كانت كَذَلِكَ رُوعِي حَالُهَا، فَإِنِ انْتَقَلَتْ قَبْلَ انْقِضَاءِ عدتها إلى دين يحل نكاح أَهْلِهِ صَحَّ وَإِلَّا بَطَلَ.
Yang kedua: Islam, namun jika ia menolak maka kembali ke agamanya yang semula. Adapun pernikahan, jika kemurtadannya terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri maka pernikahan batal. Jika setelahnya, maka baik ia diakui atas agamanya atau tidak, status pernikahan tergantung hingga habis masa iddah; karena ketika tidak boleh memulai pernikahan dengan orang yang tetap Majusi, maka tidak boleh pula melanjutkan pernikahan dengan orang yang diakui atas perpindahan ke Majusi. Jika demikian, maka dilihat keadaannya; jika ia berpindah sebelum habis masa iddah ke agama yang boleh dinikahi pemeluknya, maka pernikahan sah, jika tidak maka batal.
فَصْلٌ: وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ
Fasal: Bagian keempat
: أَنْ تَرْتَدَّ عَنْ دِينِهَا الَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ إلى دين يجوز نكاح أهله كأنها كَانَتْ يَهُودِيَّةً فَتَنَصَّرَتْ، أَوْ نَصْرَانِيَّةً فَتَهَوَّدَتْ فَفِي إِقْرَارِهَا عَلَى الدِّينِ الَّذِي انْتَقَلَتْ إِلَيْهِ قَوْلَانِ:
Yaitu jika ia murtad dari agamanya yang semula ke agama yang boleh dinikahi pemeluknya, seperti ia semula Yahudi lalu menjadi Nasrani, atau semula Nasrani lalu menjadi Yahudi. Dalam pengakuan atas agama yang ia pindah kepadanya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: تُقَرُّ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ النِّكَاحُ بِحَالِهِ، سَوَاءٌ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ.
Salah satunya: Ia diakui, sehingga dalam hal ini pernikahan tetap pada keadaannya, baik sebelum maupun sesudah terjadi hubungan suami istri.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا تُقَرُّ عَلَيْهِ وَفِيمَا تُؤْمَرُ بِالرُّجُوعِ إِلَيْهِ قَوْلَانِ:
Pendapat kedua: Ia tidak diakui atas agamanya itu, dan dalam hal apa yang diperintahkan untuk kembali kepadanya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: الْإِسْلَامُ لَا غَيْرَ.
Salah satunya: Hanya Islam, tidak yang lain.
وَالثَّانِي: الإسلام فإن أبت فإلى دينها الذي كانت عَلَيْهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ دَخَلَ بِهَا فَالنِّكَاحُ قَدْ بَطَلَ، وَإِنْ كَانَ قَدْ دَخَلَ بِهَا فَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَإِنْ رَجَعَتْ عَنْهُ إِلَى مَا أُمِرَتْ بِهِ قَبْلَ انْقِضَائِهَا صَحَّ النِّكَاحُ وَإِلَّا بَطَلَ والله أعلم.
Yang kedua: Islam, namun jika ia menolak maka kembali ke agamanya yang semula. Dalam hal ini, jika belum terjadi hubungan suami istri maka pernikahan batal. Jika sudah terjadi hubungan, maka status pernikahan tergantung hingga habis masa iddah. Jika ia kembali kepada apa yang diperintahkan sebelum habis masa iddah, maka pernikahan sah, jika tidak maka batal. Allah Maha Mengetahui.
Bab tentang kemampuan (istitha‘ah) bagi perempuan merdeka dan ketidakmampuan
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أنْ يَنْكِحَ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ فَمِن مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمْ المْؤْمِنَاتِ) {النساء: 25) وَفَيِ ذَلِكَ دليلٌ أَنَّهُ أَرَادَ الْأَحْرَارَ لِأَنَّ الملك لهم ولا يحل مِنَ الْإِمَاءِ إِلَّا مسلمةٌ وَلَا تَحِلُّ حَتَّى تجتمع شرطان أن لا يجد طول حرةٍ وَيَخَافَ الْعَنَتَ إِنْ لَمْ يَنْكحهَا وَالْعَنَتُ الزِّنَا واحتج بأن جابر بن عبد الله قال من وجد صداق امرأةٍ فلا يتزوج أمة قال طاوس لا يحل نكاح الحر الأمة وهو يجد صداق الحرة وقال عمرو بن دينارٍ لا يحل نكاح الإماء اليوم لأنه يجد طولاً إلى الحرة “.
Allah Ta‘ala berfirman: {Dan barang siapa di antara kalian tidak mampu secara materi untuk menikahi perempuan-perempuan mukmin yang terjaga kehormatannya, maka (nikahilah) dari hamba sahaya perempuan mukmin yang kalian miliki} (an-Nisa’: 25). Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa yang dimaksud adalah laki-laki merdeka, karena kepemilikan budak hanya bagi mereka, dan tidak halal menikahi budak perempuan kecuali yang muslimah, dan tidak halal sampai terpenuhi dua syarat: tidak mampu menikahi perempuan merdeka dan khawatir terjerumus dalam perzinaan jika tidak menikahinya. Al-‘anat adalah zina. Dalilnya adalah bahwa Jabir bin Abdullah berkata: “Barang siapa yang mampu membayar mahar perempuan, maka jangan menikahi budak perempuan.” Thawus berkata: “Tidak halal laki-laki merdeka menikahi budak perempuan sementara ia mampu membayar mahar perempuan merdeka.” ‘Amr bin Dinar berkata: “Hari ini tidak halal menikahi budak perempuan karena seseorang mampu menikahi perempuan merdeka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي نِكَاحِ الحرائر من المسلمات والكتابيات إذا نكحن الأحرار والعبيد فأما نكاح الأمة فَلَهُ حَالَانِ:
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang pernikahan wanita merdeka dari kalangan muslimah dan ahli kitab apabila mereka menikah dengan laki-laki merdeka maupun budak. Adapun pernikahan budak perempuan (amah), maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: مَعَ الْعَبْدِ.
Yang pertama: dengan budak laki-laki.
وَالثَّانِي: مَعَ الحر.
Dan yang kedua: dengan laki-laki merdeka.
فأما العبد في نكاح الإماء فَلَهُ أَنْ يَنْكِحَهُنَّ كَمَا يَنْكِحُ الْحَرَائِرَ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ زَائِدٍ وَالْكَلَامُ فِيهِ يَأْتِي مَعَ ذِكْرِ مَا فِيهِ مِنْ خِلَافٍ.
Adapun budak laki-laki dalam menikahi budak perempuan, maka ia boleh menikahi mereka sebagaimana ia menikahi wanita merdeka tanpa syarat tambahan, dan pembahasan tentang hal ini akan dijelaskan beserta perbedaan pendapat di dalamnya.
وَأَمَّا الْحُرُّ فَحُكْمُهُ فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ مُخَالِفٌ لِحُكْمِهِ فِي نكاح الحرة فلا يجوز أَنْ يَنْكِحَهَا إِلَّا بِثَلَاثِ شَرَائِطَ تُعْتَبَرُ فِيهِ، وَشَرْطٍ رَابِعٍ يُعْتَبَرُ فِي الْأَمَةِ، فَأَمَّا الشَّرْطُ المعتبر في الأمة الإسلام، وَيَأْتِي الْكَلَامُ فِيهِ.
Adapun laki-laki merdeka, maka hukumnya dalam menikahi budak perempuan berbeda dengan hukumnya dalam menikahi wanita merdeka. Ia tidak boleh menikahi budak perempuan kecuali dengan tiga syarat yang harus dipenuhi, dan satu syarat tambahan yang harus dipenuhi pada budak perempuan. Adapun syarat yang harus dipenuhi pada budak perempuan adalah Islam, dan pembahasannya akan dijelaskan.
وَأَمَّا الثَّلَاثُ شَرَائِطَ الْمُعْتَبَرَةُ في الحر:
Adapun tiga syarat yang harus dipenuhi pada laki-laki merdeka:
أحدها: أَنْ لَا يَكُونَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ.
Pertama: Tidak ada wanita merdeka yang menjadi istrinya.
وَالثَّانِي: أَنْ لا يجد طولاً لحرة.
Kedua: Tidak mampu membayar mahar untuk wanita merdeka.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَخَافَ الْعَنَتَ إِنْ لَمْ يَنْكِحْ أَمَةً، وَالْعَنَتُ الزِّنَا فَإِذَا اسْتَكْمَلَ هَذِهِ الشُّرُوطَ الثلاثة حل له نكاح أمة، وإن أخل شرط مِنْهَا لَمْ يَحِلَّ لَهُ نِكَاحُهَا.
Ketiga: Ia khawatir terjerumus dalam perzinaan jika tidak menikahi budak perempuan, dan yang dimaksud dengan ‘anat adalah zina. Apabila ia telah memenuhi tiga syarat ini, maka halal baginya menikahi budak perempuan. Namun jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka tidak halal baginya menikahi budak perempuan.
وَقَالَ أبو حنيفة: يُعْتَبَرُ فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ شَرْطٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ أَنْ لَا يَكُونَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ، وَلَا يُعْتَبَرُ عَدَمُ الطَّوْلِ وَخَوْفُ الْعَنَتِ.
Abu Hanifah berkata: Dalam pernikahan budak perempuan hanya disyaratkan satu syarat, yaitu tidak ada wanita merdeka yang menjadi istrinya, dan tidak disyaratkan ketidakmampuan membayar mahar maupun kekhawatiran terjerumus dalam zina.
وَقَالَ مَالِكٌ: يُعْتَبَرُ فِيهِ عَدَمُ الطَّوْلِ وَخَوْفُ الْعَنَتِ وَلَا يعتبر فيه ألا تكون تَحْتَهُ حُرَّةٌ.
Malik berkata: Yang disyaratkan adalah ketidakmampuan membayar mahar dan kekhawatiran terjerumus dalam zina, dan tidak disyaratkan bahwa tidak ada wanita merdeka yang menjadi istrinya.
وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ: يُعْتَبَرُ فِيهِ خَوْفُ الْعَنَتِ وَحْدَهُ.
Sufyan ats-Tsauri berkata: Yang disyaratkan hanyalah kekhawatiran terjerumus dalam zina saja.
وَقَالَ آخَرُونَ: لَا يُعْتَبَرُ فِيهِ شَيْءٌ مِنْ هذه الشرائط، وَيَكُونُ نِكَاحُهَا كَنِكَاحِ الْحُرَّةِ.
Sedangkan sebagian ulama lain berpendapat: Tidak ada satu pun dari syarat-syarat ini yang harus dipenuhi, dan pernikahan budak perempuan sama seperti pernikahan wanita merdeka.
فَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ عَدَمَ الطَّوْلِ وَخَوْفَ الْعَنَتِ غَيْرُ مُعْتَبَرَيْنَ بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ} فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي نِكَاحِ مَا طاب من الْحَرَائِرِ وَالْإِمَاءِ ثُمَّ قَالَ فِي آخِرِ الْآيَةِ: {فَإنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةٌ أَوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ} (النساء: 3) يَعْنِي فَنِكَاحُ وَاحِدَةً مِنَ الْحَرَائِرِ أَوْ نِكَاحُ وَاحِدَةً مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَانَ هَذَا نَصًّا فَصَارَ أَوَّلُ الْآيَةِ دَلِيلًا مِنْ طَرِيقِ الْعُمُومِ وَآخِرُهَا دَلِيلًا مِنْ طَرِيقِ النَّصِّ، وَاسْتَدَلَّ أَيْضًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٌ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ) {البقرة: 221) وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْكِتَابِيَّةَ الْحُرَّةَ مِنْ غير شرطٍ فالأمة المؤمنة هي التي خَيْرٌ مِنْهَا أَوْلَى أَنْ يَجُوزَ نِكَاحُهَا.
Adapun Abu Hanifah berdalil bahwa ketidakmampuan membayar mahar dan kekhawatiran terjerumus dalam zina tidak disyaratkan, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi} sehingga ayat ini berlaku umum untuk pernikahan wanita merdeka maupun budak perempuan. Kemudian pada akhir ayat disebutkan: {Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki} (an-Nisa: 3), artinya menikahi satu wanita merdeka atau satu budak perempuan yang kamu miliki. Maka ini adalah nash (teks yang jelas), sehingga awal ayat menjadi dalil secara umum dan akhirnya menjadi dalil secara nash. Ia juga berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak perempuan yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu} (al-Baqarah: 221). Telah tetap bahwa ia boleh menikahi wanita ahli kitab yang merdeka tanpa syarat, maka budak perempuan mukminah yang lebih utama darinya tentu lebih boleh untuk dinikahi.
وَمِنَ الْقِيَاسِ: أَنَّهُ لَيْسَ تحتَهُ حُرَّةٌ فَجَازَ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ كَالْعَادِمِ لِلطَّوْلِ وَالْخَائِفِ لِلْعَنَتِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ حَلَّ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ إِذَا خَشِيَ الْعَنَتَ حَلَّ لَهُ نِكَاحُهَا، وَإِنْ أَمِنَ الْعَنَتَ كَالْعَبْدِ؛ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ حَلَّ لَهُ نكاحها إذا لم يجد طولاً حل نِكَاحُهَا، وَإِنْ وَجَدَ طَوْلًا كَالْحُرَّةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ نَقْصٍ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ النِّكَاحِ إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى سَلِيمٍ مِنْهُ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ النِّكَاحِ، وَإِنْ قَدَرَ عَلَى سَلِيمٍ مِنْهُ قِيَاسًا عَلَى نِكَاحِ الْكَافِرَةِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى مُسْلِمَةٍ ولا وُجُودَ نِكَاحِ الْأُخْتِ يَمْنَعُ مِنْ نِكَاحِ أُخْتِهَا وَوُجُودَ مَهْرِهَا لَا يَمْنَعُ؛ كَذَلِكَ وُجُودُ الْحُرَّةِ يَمْنَعُ مِنْ نِكَاحِ الْأَمَةِ وَوُجُودُ مَهْرِهَا لَا يَمْنَعُ.
Dan dari segi qiyās: Jika tidak ada wanita merdeka yang menjadi istrinya, maka boleh baginya menikahi budak perempuan sebagaimana orang yang tidak mampu membayar mahar atau yang khawatir terjerumus dalam zina. Karena setiap orang yang halal menikahi budak perempuan jika khawatir terjerumus dalam zina, maka halal pula menikahinya meskipun ia merasa aman dari zina, seperti halnya budak laki-laki; dan setiap orang yang halal menikahi budak perempuan jika tidak mampu membayar mahar, maka halal pula menikahinya meskipun mampu, seperti halnya wanita merdeka; dan setiap kekurangan yang tidak menghalangi pernikahan jika tidak mampu mendapatkan yang sempurna, maka tidak menghalangi pernikahan meskipun mampu mendapatkan yang sempurna, qiyās-nya seperti menikahi wanita kafir padahal mampu menikahi wanita muslimah. Tidak adanya pernikahan dengan saudara perempuan tidak menghalangi menikahi saudara perempuannya, dan adanya mahar tidak menghalangi; demikian pula adanya wanita merdeka menghalangi menikahi budak perempuan, namun adanya mahar tidak menghalangi.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طُوْلاً أَنْ يَنْكَحَ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ فَمِن مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ مِنَ فَتَيَاتِكُمْ المُؤْمِنَاتِ} إِلَى قَوْلِهِ: {ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ العَنَتَ مِنْكُمْ وَأنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ) {النساء: 25) فَأَبَاحَ نِكَاحَ الْأَمَةِ بِشَرْطَيْنِ:
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa di antara kamu yang tidak mampu (biaya) untuk menikahi wanita-wanita merdeka yang beriman, maka (boleh menikahi) budak-budak perempuan yang kamu miliki yang beriman} hingga firman-Nya: {Itu adalah bagi orang di antara kamu yang khawatir terjerumus dalam zina, dan jika kamu bersabar itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang} (an-Nisa: 25). Maka Allah membolehkan menikahi budak perempuan dengan dua syarat:
أَحَدُهُمَا: عَدَمُ الطَّوْلِ.
Pertama: Tidak mampu membayar mahar.
وَالثَّانِي: خَوْفُ الْعَنَتِ.
Yang kedua: takut terjerumus dalam perbuatan dosa (al-‘anat).
فَأَمَّا الطَّوْلُ: فَهُوَ الْمَالُ وَالْقُدْرَةُ مَأْخُوذٌ مِنَ الطُّولِ؛ لِأَنَّهُ يَنَالُ به معالي الأمور كما ينال الطول مَعَالِيَ الْأَشْيَاءِ.
Adapun al-thaul: yaitu harta dan kemampuan, diambil dari kata al-thaul; karena dengan itu seseorang dapat meraih perkara-perkara mulia sebagaimana tinggi (al-thaul) dapat meraih hal-hal yang tinggi.
وَأَمَّا الْعَنَتُ فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Adapun al-‘anat, terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الزِّنَا.
Salah satunya: bahwa itu adalah zina.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ الْحَدُّ الَّذِي يُصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا.
Yang kedua: bahwa itu adalah hukuman (had) yang menimpanya akibat zina.
فَلَمَّا جَعَلَ الْإِبَاحَةَ مُقَيَّدَةً بِهَذَيْنِ الشرطين لم يصح نكاحهما إلا بهما.
Maka ketika kebolehan (menikahi budak perempuan) dibatasi dengan dua syarat ini, maka tidak sah menikahi keduanya kecuali dengan keduanya (syarat tersebut).
فإن قالوا هذا الاحتجاج بِدَلِيلِ الْخِطَابِ وَهُوَ عِنْدَنَا غَيْرُ حُجَّةٍ، فَعَنْهُ جوابان:
Jika mereka berkata: “Ini adalah argumentasi dengan dalīl al-khitāb, sedangkan menurut kami itu bukan hujjah,” maka ada dua jawaban:
أحدهما: أنه دليل خطاب عندنا حجة فجاز أن هي دلائلنا على أصولها.
Salah satunya: bahwa dalīl al-khitāb menurut kami adalah hujjah, maka boleh saja kami berdalil dengannya sesuai dengan prinsip-prinsip kami.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ شَرْطٌ عُلِّقَ بِهِ الْحُكْمُ؛ لأن لفظة ” من ” موضعه للشرط ويكون تَقْدِيرُهُ مَنْ لَمْ يَجِدْ طَوْلًا وَخَافَ الْعَنَتَ نَكَحَ الْأَمَةَ، وَالْحُكْمُ إِذَا عُلِّقَ بِشَرْطَيْنِ انْتَفَى بِعَدَمِ ذَلِكَ الشَّرْطَيْنِ، وَتَعَذُّرِ أَحَدِهِمَا.
Jawaban kedua: bahwa itu adalah syarat yang dengannya hukum digantungkan; karena lafaz “min” dalam konteks ini bermakna syarat, dan maknanya adalah: “Barang siapa di antara kalian tidak mendapatkan kemampuan (al-thaul) dan takut terjerumus dalam al-‘anat, maka boleh menikahi budak perempuan.” Dan hukum apabila digantungkan pada dua syarat, maka hukum itu tidak berlaku jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi atau salah satunya tidak terpenuhi.
فَإِنْ قَالُوا فَقَوْلُهُ: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ ينكح المحصنات المؤمنات} مَحْمُولٌ عَلَى الْوَطْءِ؛ لِأَنَّ حَقِيقَةَ النِّكَاحِ هُوَ الوطء، ويكون تقديره: ومن لم يستطيع منكم طولاً وطء حرة لعدمها تحته حل له نكاح أمة وكذا يقول، فَعَنْ هَذَا ثَلَاثَةٌ أَجْوِبَةٍ:
Jika mereka berkata: “Firman Allah: {Dan barang siapa di antara kalian tidak mampu (memiliki) kemampuan untuk menikahi perempuan-perempuan merdeka yang beriman} dimaknai dengan kemampuan untuk melakukan hubungan badan; karena hakikat nikah adalah hubungan badan, dan maknanya: barang siapa di antara kalian tidak mampu melakukan hubungan badan dengan perempuan merdeka karena tidak memilikinya sebagai istri, maka halal baginya menikahi budak perempuan.” Maka atas hal ini ada tiga jawaban:
أَحَدُهَا: أَنَّ النِّكَاحَ عندنا حقيقة في العقد دون الوطء. وهكذا كُلَّ مَوْضِعٍ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى النِّكَاحَ فِي كتابه فالمراد به العقد دون الوطء، وكذلك هَاهُنَا.
Salah satunya: bahwa nikah menurut kami secara hakiki bermakna akad, bukan hubungan badan. Demikian pula setiap tempat Allah Ta‘ala menyebut nikah dalam kitab-Nya, yang dimaksud adalah akad, bukan hubungan badan, demikian pula di sini.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ الطَّوْلَ بِالْمَالِ مُعْتَبَرٌ فِي الْعَقْدِ دُونَ الْوَطْءِ فَكَانَ حَمْلُ النِّكَاحِ عَلَى الْعَقْدِ الَّذِي يُعْتَبَرُ فِيهِ الطَّوْلُ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى الْوَطْءِ الَّذِي لَا يُعْتَبَرُ فيه الطول أولى.
Jawaban kedua: bahwa al-thaul berupa harta yang diperhitungkan dalam akad, bukan dalam hubungan badan. Maka menafsirkan nikah dengan akad yang di dalamnya diperhitungkan al-thaul lebih utama daripada menafsirkannya dengan hubungan badan yang tidak diperhitungkan al-thaul di dalamnya.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: أَنَّ حَمْلَهُ عَلَى الْوَطْءِ يُسْقِطُ اشتراط العنت وحمله على العقد لا يسقطه فَكَانَ حَمْلُهُ عَلَى الْعَقْدِ الَّذِي يَجْمَعُ فِيهِ بَيْنَ شَرْطَيْهِ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى الْوَطْءِ الَّذِي يَسْقُطُ أَحَدُ شَرْطَيْهِ.
Jawaban ketiga: bahwa menafsirkannya dengan hubungan badan menghilangkan syarat al-‘anat, sedangkan menafsirkannya dengan akad tidak menghilangkannya. Maka menafsirkannya dengan akad yang mengumpulkan kedua syarat lebih utama daripada menafsirkannya dengan hubungan badan yang menghilangkan salah satu syarat.
فَإِنْ قَالُوا: فَيُحْمَلُ قَوْلُهُ: {فَمِن مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ) {النساء: 25) عَلَى وطئها بملك اليمين لا بِعَقْدِ النِّكَاحِ، فَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا أَنَّ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى بُطْلَانِ هَذَا التَّأْوِيلِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Jika mereka berkata: “Maka firman-Nya: {maka dari apa yang dimiliki oleh tangan kanan kalian} (QS. al-Nisā’: 25) dimaknai dengan hubungan badan melalui kepemilikan (budak), bukan dengan akad nikah.” Maka jawabannya adalah bahwa dalam rangkaian ayat tersebut terdapat dalil yang membatalkan penafsiran ini dari tiga sisi:
أَحَدُهَا: قَوْلُهُ: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً) {النساء: 25) وَلَيْسَ عَدَمُ الطَّوْلِ شَرْطًا فِي وَطْءِ الْأَمَةِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ.
Salah satunya: firman-Nya: {Dan barang siapa di antara kalian tidak mampu (memiliki) kemampuan} (QS. al-Nisā’: 25), sedangkan tidak adanya kemampuan bukanlah syarat dalam hubungan badan dengan budak melalui kepemilikan.
والثاني: قوله: {فَانْكِحُوهُنَّ بِإذْنِ أهْلِهِنَّ) {النساء: 25) وَلَيْسَ يُرَاعي فِي وطئه بملك يمينه إذن أحد.
Yang kedua: firman-Nya: {Maka nikahilah mereka dengan izin keluarga mereka} (QS. al-Nisā’: 25), sedangkan dalam hubungan badan dengan budak melalui kepemilikan tidak disyaratkan izin siapa pun.
والثالث: وَلَيْسَ خَوْفُ الْعَنَتِ شَرْطًا فِي وَطْئِهَا بِمِلْكِ الْيَمِينِ، فَبَطَلَ هَذَا التَّأْوِيلُ وَصَحَّ الِاسْتِدْلَالُ بِالْآيَةِ.
Yang ketiga: tidak disyaratkan adanya rasa takut terjerumus dalam al-‘anat dalam hubungan badan dengan budak melalui kepemilikan, maka batallah penafsiran ini dan benarlah istidlal dengan ayat tersebut.
وَمِنْ طَرِيقِ الْإِجْمَاعِ أَنَّهُ مَرْوِيٌّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَجَابِرٍ أَمَّا ابْنُ عَبَّاسٍ فَرَوَى عَنْهُ الْبَرَاءُ وَطَاوُسٌ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ مَلَكَ ثَلَاثَمِائَةِ دِرْهَمٍ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ وَحَرُمَ عَلَيْهِ الْإِمَاءُ.
Dan dari jalur ijmā‘, telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dan Jābir. Adapun Ibnu ‘Abbās, diriwayatkan darinya oleh al-Barā’ dan Thāwūs bahwa ia berkata: “Barang siapa memiliki tiga ratus dirham, wajib atasnya haji dan haram atasnya menikahi budak perempuan.”
وأما جابر فروى عنه ابن الزُّبَيْرِ أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ وَجَدَ صَدَاقَ حُرَّةٍ فَلَا يَنْكِحْ أَمَةً ” وَلَيْسَ يُعْرَفُ لِقَوْلِ هَذَيْنِ الصحابين مَعَ انْتِشَارِهِ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا لَا يَجُوزُ خِلَافُهُ.
Adapun Jābir, diriwayatkan darinya oleh Ibnu al-Zubair bahwa ia berkata: “Barang siapa menemukan mahar perempuan merdeka, maka janganlah ia menikahi budak perempuan.” Dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi pendapat dua sahabat ini, padahal pendapat ini tersebar di kalangan sahabat, maka itu adalah ijmā‘ yang tidak boleh diselisihi.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ: أَنَّهُ مستغن عن نكاح أمة فلم يجز لها نكاحها قياساً على من تحته حرة؛ وإن ثبت أن تقول منعن عَنِ اسْتِرْقَاقِ وَلَدِهِ قِيَاسًا عَلَى هَذَا الْأَصْلِ، وتقول حرة من الْعَنَت قَادِرٌ عَلَى وَطْءِ حُرَّةٍ قِيَاسًا عَلَى هذا الأصل، أو تقول حراً من الْعَنَت قِيَاسًا عَلَى هَذَا الْأَصْلِ فَتُعَلِّلُهُ بِمَا شئت من أحد هَذِهِ الْأَوْصَافِ الْأَرْبَعَةِ وَالْوَصْفُ الْأَخِيرُ أَشَدُّهَا وَلِأَنَّ مَنْ قَدَرَ عَلَى قِيمَةِ الْمُبدَلِ الْكَامِلِ كَانَ كَمَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ فِي تَحْرِيمِ الِانْتِقَالِ إِلَى الْمُبدَلِ النَّاقِصِ كَالِانْتِقَالِ فِي الطَّهَارَةِ مِنَ الْمَاءِ إلى التراب، وفي الكفارة من الرقية إِلَى الصِّيَامِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ جَمَعَ فِي الْعَقْدِ الْوَاحِدِ بَيْنَ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ، بطل نِكَاحُ الْأَمَةِ فَكَذَلِكَ إِذَا أَفْرَدَهَا بِالْعَقْدِ مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى الْحُرَّةِ.
Dan dari sisi qiyās: Sesungguhnya ia tidak membutuhkan menikahi seorang budak perempuan, maka tidak boleh baginya menikahi budak perempuan tersebut dengan qiyās kepada orang yang telah memiliki istri merdeka; dan jika telah tetap bahwa engkau berkata: mereka melarang dari memperbudak anaknya dengan qiyās kepada asal ini, dan engkau berkata: seorang merdeka yang terbebas dari kesulitan mampu menggauli wanita merdeka dengan qiyās kepada asal ini, atau engkau berkata: seorang merdeka yang terbebas dari kesulitan dengan qiyās kepada asal ini, maka engkau dapat mengilatinya dengan salah satu dari empat sifat ini sesuai yang engkau kehendaki, dan sifat terakhir adalah yang paling kuat. Dan karena siapa yang mampu membayar nilai pengganti yang sempurna, maka ia seperti orang yang mampu atasnya dalam hal larangan berpindah kepada pengganti yang kurang, seperti berpindah dalam thahārah dari air ke tanah, dan dalam kafārah dari memerdekakan budak ke puasa. Dan karena jika ia menggabungkan dalam satu akad antara wanita merdeka dan budak perempuan, maka batal nikah budak perempuannya, demikian pula jika ia mengkhususkan budak perempuan itu dengan akad sementara ia mampu menikahi wanita merdeka.
وَتَحْرِيرُهُ: أَنَّ كُلَّ امْرَأَتَيْنِ لَوْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي الْعَقْدِ بَطَلَ نكاح إحداهما ووجب إذا أفردت بالعقد أن تبطل نكاحها كَالْأُخْتِ مَعَ الْأَجْنَبِيَّةِ وَكَالْمُعْتَدَّةِ مَعَ الْخَلِيَّةِ، وَلِأَنَّ مَنْ تَحْتَهُ حُرَّةٌ هُوَ مَمْنُوعٌ عنْ نِكَاحِ أمة، وَلَيْسَ يَخْلُو حَالُ مَنْعِهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ: إما أن يكون؛ لأن تحته امرأة حُرَّة وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ؛ لِأَنَّهُ جَامِعٌ بَيْنَ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ لِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى نِكَاحِ حُرَّةٍ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ؛ لِأَنَّهُ جَامِعٌ بَيْنَ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ لِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى نِكَاحِ حُرَّةٍ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ، لِأَنَّهُ قَدْ أَمِنَ الْعَنَتَ، فَبَطَلَ أَنْ يَكُونَ الْمَنْعُ؛ لِأَنَّ تَحْتَهُ حُرَّةً، لِأَنَّهُ لَوْ عَقَدَ عَلَى حُرَّةٍ وَأَمَةٍ بَطَلَ نِكَاحُ الْأَمَةِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ تَحْتَهُ حُرَّةٌ وَبَطَلَ أَنْ يكون المنع، لأنه جامع بن حرة وأمة؛ لأنه لَوْ نَكَحَ أَمَةً جَازَ أَنْ يَنْكِحَ بَعْدَهَا حُرَّةً فَيَصِيرُ جَامِعًا بَيْنَ أَمَةٍ وَحُرَّةٍ، وَإِذَا بطل هذان القسمان صار عليه المنع هو القسمان الْآخَرَانِ وَهُوَ الْقُدْرَةُ عَلَى نِكَاحِ حُرَّةٍ، وَأَنَّهُ أَمِنَ مِنَ الْعَنَتِ فَصَارَ وُجُودُ هَذَيْنِ عِلَّةً فِي التَّحْرِيمِ وَعَدَمُهَا عِلَّةً فِي التَّحْلِيلِ.
Penjelasannya: Bahwa setiap dua wanita yang jika dikumpulkan dalam satu akad maka batal nikah salah satunya, maka wajib jika salah satunya diakadkan secara tersendiri maka batal nikahnya, seperti saudari kandung dengan wanita asing, dan seperti wanita yang sedang masa iddah dengan wanita yang bebas dari iddah. Dan karena orang yang telah memiliki istri merdeka dilarang menikahi budak perempuan, dan keadaan larangan ini tidak lepas dari empat bagian: bisa jadi karena ia telah memiliki istri merdeka, atau karena ia menggabungkan antara wanita merdeka dan budak perempuan, atau karena ia mampu menikahi wanita merdeka, atau karena ia telah aman dari kesulitan. Maka batal jika larangan itu karena ia telah memiliki istri merdeka, karena jika ia mengakadkan atas wanita merdeka dan budak perempuan maka batal nikah budak perempuannya, meskipun ia tidak memiliki istri merdeka. Dan batal pula jika larangan itu karena ia menggabungkan antara wanita merdeka dan budak perempuan, karena jika ia menikahi budak perempuan maka boleh setelahnya menikahi wanita merdeka sehingga ia menjadi menggabungkan antara budak perempuan dan wanita merdeka. Jika kedua bagian ini batal, maka larangan itu kembali kepada dua bagian lainnya, yaitu kemampuan menikahi wanita merdeka dan telah aman dari kesulitan. Maka keberadaan kedua hal ini menjadi sebab keharaman, dan ketiadaannya menjadi sebab kebolehan.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ} (النساء: 3) فهو أن اسْتِدْلَالَهُمْ فِيهَا بِالْعُمُومِ مَتْرُوكٌ بِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ النص في التخصيص واستدلالهم منها بالنص باطل؛ لأنه تعالى قَالَ: {فَإنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةٌ أَوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ) {النساء: 3) فكان هذا تَخْيِيرًا بَيْنَ الْعَقْدِ عَلَى حُرَّةٍ وَبَيْنَ وَطْءِ الْإِمَاءِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ وَلَمْ يَكُنْ تَخْيِيرًا بَيْنَ العقد على حرة والعقد على أمة؛ لأن الله تعالى لم يشرط في ملك اليمين عدداً فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى مَا شَرَطَ فِيهِ الْعَدَدَ مِنَ التَّسَرِّي بِهِنَّ دُونَ مَا يُشْتَرَطُ فِيهِ الْعَدَدُ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ عَلَيْهِنَّ.
Adapun jawaban atas dalil mereka dengan firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi} (an-Nisā’: 3), maka sesungguhnya pendalilan mereka dengan keumuman ayat ini telah gugur dengan apa yang telah kami sebutkan berupa nash dalam pengecualian, dan pendalilan mereka dengan nash dari ayat ini adalah batil; karena Allah Ta‘ala berfirman: {Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki} (an-Nisā’: 3), maka ini adalah pilihan antara akad atas wanita merdeka dan antara menggauli budak perempuan dengan kepemilikan tangan (milk al-yamīn), dan bukanlah pilihan antara akad atas wanita merdeka dan akad atas budak perempuan; karena Allah Ta‘ala tidak mensyaratkan jumlah dalam milk al-yamīn, maka wajib dipahami bahwa yang dimaksud adalah apa yang disyaratkan jumlah padanya, yaitu bersenang-senang dengan mereka (budak perempuan) tanpa akad nikah, bukan yang disyaratkan jumlah dalam akad nikah atas mereka.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَة) {البقرة: 221) فَالْمُرَادُ بِالْمُشْرِكَةِ هَاهُنَا الْوَثَنِيَّةُ دُونَ الْكِتَابِيَّةِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ فَصَلَ بينهما؛ وإن جاز أن يعمهما اسم الشرك فَقَالَ: {لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أهْلِ الكِتَابِ وَالمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمْ البَيِّنَةِ) {البينة: 1) وَقَالَ تَعَالَى: {إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ وَالمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّم) {البينة: 6) وَإِذَا كَانَ الْمُرَادُ بِهَا الْوَثَنِيَّةُ فَنِكَاحُ الْأَمَةِ الْمُؤْمِنَةِ خَيْرٌ مِنْ نِكَاحِهَا؛ لِأَنَّهَا قَدْ تَحِلُّ إِذَا وُجِدَ شَرْطُ الْإِبَاحَةِ وَالْوَثَنِيَّةُ لَا تَحِلُّ بِحَالٍ.
Adapun pendalilan mereka dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan sesungguhnya seorang budak perempuan yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik} (al-Baqarah: 221), maka yang dimaksud dengan musyrik di sini adalah wanita penyembah berhala, bukan wanita ahli kitab; karena Allah Ta‘ala telah membedakan antara keduanya, meskipun nama syirik dapat mencakup keduanya, sebagaimana firman-Nya: {Tidaklah orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik itu akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata} (al-Bayyinah: 1), dan firman-Nya: {Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam} (al-Bayyinah: 6). Jika yang dimaksud adalah wanita penyembah berhala, maka menikahi budak perempuan yang mukmin lebih baik daripada menikahi wanita penyembah berhala; karena budak perempuan mukmin bisa saja halal jika terpenuhi syarat kebolehan, sedangkan wanita penyembah berhala tidak halal dalam keadaan apapun.
وأما قياسهم على العادم للطول والخائف للعنت بِعِلَّةِ أَنَّهُ لَيْسَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ فَمُنْتَقَضٌ بِمَنْ تحته أربع: إما لَا يَجُوزُ لَهُ عِنْدَهُ أَنْ يَنْكِحَ أَمَةً، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ تَحْتَهُ حُرَّةٌ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ أَنَّ الْعَادِمَ لِلطَّوْلِ عَاجِزٌ عَنِ الحرة، والواجد قادر فلا يجوز أن يقاس الْقَادِرُ عَلَى الْبَذْلِ عَلَى الْعَاجِزِ عَنْهُ كَالْوَاجِدِ لِثَمَنِ الرَّقَبَةِ فِي الْكَفَّارَةِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَاسَ عَلَى الْعَادِمِ لِثَمَنِهَا.
Adapun qiyās mereka terhadap orang yang tidak mampu membayar mahar (al-‘ādim liṭ-ṭawl) dan orang yang khawatir terjerumus dalam kesulitan (al-khā’if lil-‘anat) dengan alasan bahwa “tidak ada perempuan merdeka di bawah tanggungannya”, maka itu tertolak oleh kasus seseorang yang di bawah tanggungannya sudah ada empat istri: ia tidak boleh menikahi seorang budak perempuan (amah) meskipun tidak ada perempuan merdeka di bawah tanggungannya. Kemudian, makna dalam kasus asal adalah bahwa orang yang tidak mampu membayar mahar perempuan merdeka memang benar-benar tidak mampu, sedangkan orang yang mampu, ia bisa melakukannya. Maka tidak boleh diqiyaskan antara orang yang mampu memberikan mahar dengan orang yang tidak mampu, sebagaimana orang yang mampu membayar harga budak dalam kafārah tidak boleh diqiyaskan dengan orang yang tidak mampu membayarnya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى العبد فالمعنى فيه: أنه لَا عَارَ عَلَى الْعَبْدِ فِي اسْتِرْقَاقِ وَلَدِهِ فَجَازَ أَنْ لَا يُعْتَبَرَ فِيهِ خَوْفُ الْعَنَتِ، وَعَلَى الْحُرِّ عَارٌ فِي اسْتِرْقَاقِ وَلَدِهِ فَاعْتُبِرَتْ ضَرُورَتُهُ لِخَوْفِ الْعَنَتِ.
Adapun qiyās mereka terhadap budak laki-laki, maka maknanya adalah: tidak ada cela bagi budak jika anaknya menjadi budak juga, sehingga tidak disyaratkan adanya kekhawatiran terjerumus dalam kesulitan (‘anat) baginya. Sedangkan bagi orang merdeka, ada cela jika anaknya menjadi budak, maka dipertimbangkan adanya kebutuhan mendesak karena takut terjerumus dalam kesulitan.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى نِكَاحِ الْحُرَّةِ فَالْمَعْنَى فِي الْحُرَّةِ. أَنَّهُ لَمَّا جَازَ نِكَاحُهَا عَلَى حُرَّةٍ جاز نكاحها على وُجُودِ الطَّوْلِ، وَلَمَّا لَمْ يَجُزْ نِكَاحُ الْأَمَةِ على الحرة لَمْ يَجُزْ نِكَاحُهَا مَعَ وُجُودِ الطَّوْلِ، وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى نِكَاحِ الْكِتَابِيَّةِ وَالْكَافِرَةِ أَنَّهُ يَجُوزُ نِكَاحُهَا وَإِنْ كَانَتْ تَحْتَهُ مُسْلِمَةٌ وَلَا يَجُوزُ نِكَاحُ الْأَمَةِ إِذَا كَانَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ.
Adapun qiyās mereka terhadap pernikahan dengan perempuan merdeka, maka maknanya pada perempuan merdeka adalah: ketika diperbolehkan menikahi perempuan merdeka di atas perempuan merdeka lainnya, maka diperbolehkan menikahinya meskipun mampu membayar mahar. Namun, ketika tidak diperbolehkan menikahi budak perempuan di atas perempuan merdeka, maka tidak diperbolehkan menikahinya meskipun mampu membayar mahar. Demikian pula jawaban atas qiyās mereka terhadap pernikahan dengan perempuan ahli kitab dan perempuan kafir, yaitu bahwa menikahi mereka diperbolehkan meskipun di bawah tanggungannya ada perempuan muslimah, sedangkan menikahi budak perempuan tidak diperbolehkan jika di bawah tanggungannya ada perempuan merdeka.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ الْقُدْرَةَ عَلَى مَهْرِ الْأُخْتِ لَا يَمْنَعُ مِنْ نِكَاحِ أُخْتِهَا، فَكَذَلِكَ الْقُدْرَةُ عَلَى مَهْرِ الْحُرَّةِ لَا يَمْنَعُ مِنْ نِكَاحِ الْأَمَةِ فَخَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْمُحَرَّمَ فِي الْأُخْتَيْنِ هو الجمع بَيْنَهُمَا فِي الْعَقْدِ وَهَذَا الْجَمْعُ غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي الْقُدْرَةِ عَلَى الْمَهْرِ كَمَا لَا يَمْنَعِ الْقُدْرَةُ عَلَى مُهُورٍ أَرْبَعٍ مِنَ الْعَقْدِ عَلَى خامسةٍ وَيُمْنَعُ وُجُودُ الْأَرْبَعِ تَحْتَهُ أَنْ يَعْقِدَ على خامسة، وليس كذلك الأمة؛ لأنهاحرمت للقدرة على حرة، ولأنه يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ حُرَّةٍ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ نَكَحَ حُرَّةً بَعْدَ أَمَةٍ جَازَ، وَقَدْ جَمَعَ بَيْنَ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ، وَإِذَا كَانَ تحرمها لِلْقُدْرَةِ عَلَى حُرَّةٍ كَانَ بِوُجُودِ مَهْرِ الْحُرَّةِ قَادِرًا عَلَى حُرَّةٍ فَافْتَرَقَا.
Adapun dalil mereka bahwa kemampuan membayar mahar saudari perempuan tidak menghalangi untuk menikahi saudari yang lain, maka demikian pula kemampuan membayar mahar perempuan merdeka tidak menghalangi untuk menikahi budak perempuan, adalah keliru; karena yang diharamkan dalam kasus dua saudari adalah mengumpulkan keduanya dalam satu akad, dan pengumpulan ini tidak terjadi hanya karena kemampuan membayar mahar, sebagaimana kemampuan membayar mahar untuk empat perempuan tidak menghalangi untuk menikahi perempuan kelima, namun keberadaan empat istri di bawah tanggungannya menghalangi untuk menikahi yang kelima. Tidak demikian halnya dengan budak perempuan; karena ia diharamkan karena adanya kemampuan menikahi perempuan merdeka, dan juga karena diharamkan mengumpulkan antara budak perempuan dan perempuan merdeka. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang menikahi perempuan merdeka setelah menikahi budak perempuan, maka itu diperbolehkan, dan ia telah mengumpulkan antara perempuan merdeka dan budak perempuan. Maka, jika pengharaman budak perempuan karena adanya kemampuan menikahi perempuan merdeka, maka dengan adanya mahar perempuan merdeka berarti ia mampu menikahi perempuan merdeka, sehingga keduanya berbeda.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا مَالِكٌ فاستدل على أنه يجوز أن ينكح الأمة، وإن كانت تَحْتَهُ حُرَّةٌ بِأَنَّهُ رُبَّمَا لَمْ تُقْنِعْهُ الْحُرَّةُ لِشِدَّةِ شَهْوَتِهِ وَقُوَّةِ شَبَقِهِ، فَخَافَ الْعَنَتَ مَعَ وجودها، لا سيما وَقَدْ يَمْضِي لِلْحُرَّةِ زَمَانُ حَيْضٍ يَمْنَعُ فِيهِ من إصابتها فدعته الضرورة مع وجوده بحرة تَحْتَهُ إِذَا عَدَمَ طَوْلَ حُرَّةٍ أُخْرَى أَنْ ينكح أمة، وليأمن بها العنت كما يأمن إذا لم يكن تَحْتَهُ حُرَّةٌ، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أنْ يَنْكِحَ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ فِمِنَ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ) {النساء: 25) فَلَمَّا كَانَ طَوْلُ الْحُرَّةِ يَمْنَعُهُ مِنْ نِكَاحِ الْأَمَةِ كَانَ وُجُودُ الْحُرَّةِ أَوْلَى أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْ نِكَاحِ الْأَمَةِ لِأَنَّ الْقُدْرَةَ عَلَى الشَّيْءِ أَقْوَى حُكْمًا مِنَ الْقُدْرَةِ عَلَى بَدَلِهِ.
Adapun Mālik, ia berdalil bahwa diperbolehkan menikahi budak perempuan meskipun di bawah tanggungannya sudah ada perempuan merdeka, dengan alasan bahwa bisa jadi perempuan merdeka tersebut tidak dapat memuaskannya karena besarnya syahwat dan kuatnya dorongan biologisnya, sehingga ia khawatir terjerumus dalam kesulitan meskipun sudah ada perempuan merdeka, apalagi jika perempuan merdeka tersebut sedang mengalami masa haid yang menghalanginya untuk berhubungan, maka kebutuhan mendesak mendorongnya untuk menikahi budak perempuan meskipun sudah ada perempuan merdeka di bawah tanggungannya, jika ia tidak mampu menikahi perempuan merdeka lain, agar ia terhindar dari kesulitan sebagaimana jika tidak ada perempuan merdeka di bawah tanggungannya. Ini adalah pendapat yang keliru berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa di antara kalian tidak mampu menikahi perempuan-perempuan merdeka yang beriman, maka (bolehlah) menikahi perempuan-perempuan yang kalian miliki dari budak-budak perempuan} (an-Nisā’: 25). Maka, ketika kemampuan menikahi perempuan merdeka menghalanginya untuk menikahi budak perempuan, maka keberadaan perempuan merdeka di bawah tanggungannya lebih utama untuk menghalanginya dari menikahi budak perempuan, karena kemampuan terhadap sesuatu lebih kuat hukumnya daripada kemampuan terhadap penggantinya.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تُنْكَحُ الْأَمَةُ عَلَى الْحُرَّةِ وَتُنْكَحُ الْحُرَّةُ عَلَى الْأَمَةِ ” حَكَاهُ أَبُو سَعِيدٍ الْمَكِّيُّ عَنِ الرَّازِّيِّ؛ وَلِأَنَّ مَنْ مَنَعَهُ عوض الْمُبَدَلِ مِنَ الِانْتِقَالِ إِلَى الْبَدَلِ كَانَ وُجُودُ الْمُبَدَلِ أَوْلَى أَنْ يَمْنَعَهُ مِنَ الِانْتِقَالِ إِلَى الْبَدَلِ كَالْمُكَفِّرِ.
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak boleh menikahi budak perempuan di atas perempuan merdeka, dan boleh menikahi perempuan merdeka di atas budak perempuan.” Hal ini dinukil oleh Abū Sa‘īd al-Makkī dari ar-Rāzī; dan karena siapa yang dicegah dari pengganti (al-badal) karena adanya yang digantikan (al-mubdal), maka keberadaan yang digantikan lebih utama untuk mencegahnya berpindah kepada pengganti, seperti dalam kasus kafārah.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ فَفَاسِدٌ بِمَنْ لَمْ تقنعه أربع زوجات بقوة شَبَقِهِ، وَإِنَّهُ رُبَّمَا اجْتَمَعَ حَيْضُهُنَّ مَعًا؛ وَلَا يَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى جَوَازِ نِكَاحِ الْخَامِسَةِ عَلَى أَنَّ الْحُرَّةَ الْوَاحِدَةَ قَدْ تُقْنِعُ ذَا الشَّبَقِ الشديد بأن يستمتع في أيام حيضتها بِمَا دُونَ الْفَرْجِ مِنْهَا.
Adapun dalilnya (Mālik) adalah rusak, karena bisa saja ada orang yang tidak puas dengan empat istri karena kuatnya syahwat, dan mungkin saja keempatnya bersamaan mengalami haid; namun hal itu tidak menunjukkan bolehnya menikahi istri kelima. Selain itu, satu perempuan merdeka saja bisa memuaskan orang yang sangat kuat syahwatnya dengan cara menikmati selain kemaluannya pada masa haid.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ وَتَقَرَّرَ أَنَّ نِكَاحَ الْحُرِّ لِلْأَمَةِ مُعْتَبَرٌ بِثَلَاثَةِ شَرَائِطَ، فَكَذَلِكَ نِكَاحُهُ لِلْمُدَبَّرَةِ، وَالْمُكَاتِبَةِ، وَأُمِّ الْوَلَدِ، وَمِنْ رَقَّ بَعْضُهَا، وَإِنْ قَلَّ لَا يَجُوزُ إِلَّا بِوُجُودِ هَذِهِ الشَّرَائِطِ؛ لِأَنَّ أَحْكَامَ الرِّقِّ عَلَى جَمِيعِهِنَّ جَارِيَةٌ فَجَرَتْ أَحْكَامُ الرِّقِّ عَلَى أَوْلَادِهِنَّ، وَإِذَا ثَبَتَ اعْتِبَارُ الشُّرُوطِ الثَّلَاثَةِ فِي نِكَاحِ كُلِّ مَنْ يَجْرِي عَلَيْهِ حَكَمُ الرِّقِّ مِنْ أَمَةٍ، وَمُدَبَّرَةٍ، وَمُكَاتِبَةٍ، وَأُمِّ وَلَدٍ وَجَبَ أن يوضع حُكْمُ كُلِّ شَرْطٍ مِنْهَا.
Jika telah tetap dan dipastikan bahwa pernikahan laki-laki merdeka dengan budak perempuan dipersyaratkan dengan tiga syarat, maka demikian pula pernikahannya dengan budak perempuan mudabbirah, mukatabah, umm al-walad, dan perempuan yang sebagian dirinya masih berstatus budak, meskipun sedikit, tidak boleh kecuali dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut; karena hukum-hukum perbudakan berlaku atas semuanya, sehingga hukum-hukum perbudakan juga berlaku atas anak-anak mereka. Dan apabila telah tetap bahwa syarat-syarat tiga tersebut harus dipenuhi dalam pernikahan setiap perempuan yang berlaku atasnya hukum perbudakan, baik budak perempuan, mudabbirah, mukatabah, maupun umm al-walad, maka wajib dijelaskan hukum masing-masing syarat tersebut.
أما الشرط الأول: هو أَنْ لَا يَكُونَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ فَوُجُودُ الْحُرَّةِ تَحْتَهُ لَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Adapun syarat pertama: yaitu tidak ada perempuan merdeka di bawah tanggungannya. Keberadaan perempuan merdeka di bawah tanggungannya tidak lepas dari tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ اسْتِمْتَاعُهُ بِهَا، لِأَنَّهَا كَبِيرَةٌ وَهِيَ حَلَالٌ لَهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَطْرَأْ عَلَيْهَا سَبَبٌ مِنْ أَسْبَابِ التَّحْرِيمِ فَلَا يَجُوزُ مَعَ وُجُودِهَا أن ينكح أمة.
Pertama: Ia dapat menikmati istrinya tersebut, karena istrinya sudah baligh dan halal baginya; sebab tidak ada sebab yang menyebabkan keharaman atasnya. Maka tidak boleh baginya menikahi budak perempuan selama istrinya yang merdeka masih ada.
والقسم الثاني: أن يمكنه استمتاع بِهَا لِكِبَرِهَا لَكِنْ قَدْ طَرَأَ عَلَيْهَا مَا صَارَ مَمْنُوعًا مِنْ إِصَابَتِهَا كَالْإِحْرَامِ وَالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ، والظهار، والعدة مع إصابة غيره لها لشبهة فَلَا يَجُوزُ لَهُ مَعَ كَوْنِهَا تَحْتَهُ عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ أَنْ يَنْكِحَ أَمَةً؛ لِأَنَّ التَّحْرِيمَ مَقْرُونٌ بِسَبَبٍ يَزُولُ بِزَوَالِ سَبَبِهِ فَصَارَ كَتَحْرِيمِهَا فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ.
Keadaan kedua: Ia bisa menikmati istrinya karena sudah baligh, tetapi ada hal yang menyebabkan ia terhalang untuk berhubungan dengannya, seperti sedang ihram, talak raj‘i, zihar, atau masa iddah karena telah digauli orang lain karena syubhat. Maka tidak boleh baginya menikahi budak perempuan selama istrinya yang merdeka masih dalam keadaan seperti ini; karena keharaman tersebut terkait dengan sebab yang akan hilang jika sebabnya hilang, sehingga hukumnya seperti keharaman saat istri sedang haid.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يمكنه الِاسْتِمْتَاع بِهَا، وَإِنْ كَانَتْ حَلَالًا لَهُ، وَذَلِكَ لأحد أمرين:
Keadaan ketiga: Ia tidak dapat menikmati istrinya, meskipun istrinya halal baginya, dan itu karena salah satu dari dua hal:
إما لصغر، وإما لرتق وإما لضر من مرض ففي جواز نكاحه للأمة قولان مع وجود هذه الحرة فيه ووجهان:
Entah karena masih kecil, atau karena tertutup (retak), atau karena sakit yang menyebabkan mudarat. Dalam hal kebolehan menikahi budak perempuan sementara masih ada istri merdeka dalam kondisi ini, terdapat dua pendapat dan dua wajah (pandangan):
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ تَحْتَهُ حُرَّةً.
Salah satunya: Tidak boleh, karena masih ada istri merdeka di bawah tanggungannya.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ يَخَافُ الْعَنَتَ، وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَوْ كَانَ يَمْلِكُ أَمَةً، وَلَيْسَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ فَفِي جَوَازِ نِكَاحِهِ لِلْأَمَةِ وَجْهَانِ:
Yang kedua: Boleh, karena ia khawatir terjerumus dalam perbuatan dosa (al-‘anat). Berdasarkan dua pandangan ini, jika ia memiliki budak perempuan dan tidak ada istri merdeka di bawah tanggungannya, maka dalam kebolehan menikahi budak perempuan juga terdapat dua pandangan:
أَحَدُهُمَا: يَنْكِحُهَا تَعْلِيلًا بِأَنْ لَيْسَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ.
Salah satunya: Ia boleh menikahinya dengan alasan tidak ada istri merdeka di bawah tanggungannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لا ينكحها تعليلاً؛ لأنه لَا يَخَافُ الْعَنَتَ.
Pandangan kedua: Ia tidak boleh menikahinya dengan alasan karena ia tidak khawatir terjerumus dalam perbuatan dosa (al-‘anat).
وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ عَادِمًا لِصَدَاقِ حُرَّةٍ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
Adapun syarat kedua: yaitu ia tidak mampu membayar mahar perempuan merdeka. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا: أَنْ يُعْتَبَرَ أَقَلُّ صَدَاقٍ يَكُونُ لأقل حرة يؤخذ في مسلمة أو كتابية، فعلى هذا يتعذر أن يستبيح الحر نكاح الأمة، لِأَنَّ أَقَلَّ الصَّدَاقِ عِنْدَنَا قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ دَانِقًا مِنْ فِضَّةٍ أَوْ رَغِيفًا مِنْ خبز وقل مَا يَعُوزُ هَذَا أَحَدٌ فَإِذَا وَجَدَهُ وَوَجَدَ منكوحة به حرم عليه نكاح الأمة، وإن لم يجد أَوْ وَجَدَهُ، وَلَمْ يَجِدْ مَنْكُوحَةً بِهِ حَلَّ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ.
Salah satunya: Yang dipertimbangkan adalah mahar paling sedikit yang bisa menjadi mahar bagi perempuan merdeka, baik muslimah maupun ahli kitab. Dengan demikian, sangat sulit bagi laki-laki merdeka untuk menikahi budak perempuan, karena mahar paling sedikit menurut kami boleh berupa satu dirham perak atau sepotong roti, dan sangat jarang seseorang tidak mampu membayarnya. Maka jika ia mampu dan menemukan perempuan yang mau dinikahi dengan mahar tersebut, haram baginya menikahi budak perempuan. Namun jika ia tidak mampu atau mampu tetapi tidak menemukan perempuan yang mau dinikahi dengan mahar tersebut, maka halal baginya menikahi budak perempuan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّنَا نَعْتَبِرُ أَقَلَّ صَدَاقِ الْمِثْلِ لِأَيِّ حُرَّةٍ كَانَتْ مِنْ مُسْلِمَةٍ أَوْ كِتَابِيَّةٍ وَلَا يُعْتَبَرُ أَقَلُّ مَا يَجُوزُ أَن يَكُونَ صَدَاقًا، فَعَلَى هَذَا لَوْ وَجَدَ حُرَّةً بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا مِمَّا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا وَهُوَ وَاجِدٌ لِذَلِكَ الْقَدْرِ حَلَّ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ، وَلَوْ وَجَدَ صَدَاقَ الْمِثْلِ لِحُرَّةٍ أَوْ كِتَابِيَّةٍ لَمْ يَحِلَّ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ.
Pendapat kedua: Yang dipertimbangkan adalah mahar mitsil (mahar yang lazim) untuk perempuan merdeka mana pun, baik muslimah maupun ahli kitab, dan tidak dipertimbangkan mahar paling sedikit yang sah sebagai mahar. Maka jika ia menemukan perempuan merdeka dengan mahar kurang dari mahar mitsilnya yang sah sebagai mahar dan ia mampu membayarnya, halal baginya menikahi budak perempuan. Namun jika ia menemukan mahar mitsil untuk perempuan merdeka atau ahli kitab dan ia mampu membayarnya, maka tidak halal baginya menikahi budak perempuan.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّنَا نَعْتَبِرُ أَقَلَّ صَدَاقِ الْمِثْلِ لِحُرَّةٍ مُسْلِمَةٍ، فَعَلَى هَذَا إن وَجَدَ صَدَاق الْمِثْلِ لِكِتَابِيَّةٍ وَلَمْ يَجِدْ صَدَاقُ الْمِثْلِ لِمُسْلِمَةٍ حَلَّ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ لِقَوْلِ الله تعالى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ) {النساء: 25) فَشَرَطَ إِيمَانَ الْحَرَائِرِ، وَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ لَوْ كَانَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ كِتَابِيَّةٌ حَلَّ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ، وَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ لَوْ وَجَدَ حُرَّةً يَتَزَوَّجُهَا بِأَقَلِّ مِنْ صَدَاقِ الْمِثْلِ وَهُوَ وَاجِدُهُ حَلَّ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ، وَلَوْ وَجَدَ ثَمَنَ أَمَةٍ وَهُوَ أَقَلُّ مِنْ صَدَاقِ حُرَّةٍ فَفِي جَوَازِ تَزْوِيجِهِ لِلْأَمَةِ وَجْهَانِ:
Pendapat ketiga: Kami mempertimbangkan mahar minimal yang setara bagi perempuan merdeka Muslimah. Maka, jika ditemukan mahar yang setara untuk perempuan ahli kitab dan tidak ditemukan mahar yang setara untuk Muslimah, maka halal baginya menikahi budak perempuan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa di antara kalian yang tidak mampu menikahi perempuan-perempuan merdeka yang beriman…} (an-Nisā’: 25). Maka Allah mensyaratkan keimanan pada perempuan-perempuan merdeka. Berdasarkan pendapat ini, jika seseorang telah menikahi perempuan merdeka ahli kitab, maka halal baginya menikahi budak perempuan. Juga, jika ia menemukan perempuan merdeka yang dapat dinikahi dengan mahar kurang dari mahar yang setara dan ia mampu membayarnya, maka halal baginya menikahi budak perempuan. Jika ia menemukan harga budak perempuan yang lebih rendah dari mahar perempuan merdeka, maka dalam kebolehan menikahi budak perempuan terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ فَمَِنْ مَّا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ) {النساء: 25) .
Salah satunya: Boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa di antara kalian yang tidak mampu menikahi perempuan-perempuan merdeka yang beriman, maka (bolehlah menikahi) perempuan-perempuan yang kalian miliki dari budak-budak perempuan yang beriman…} (an-Nisā’: 25).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ مُسْتَغْنٍ عَنِ اسْتِرْقَاقِ وَلَدِهِ.
Pendapat kedua: Tidak boleh, karena ia sudah cukup sehingga tidak perlu memperbudak anaknya.
وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أن يخاف العنت، وهو الزنا فسواء خَافَهُ وَهُوَ مِمَّنْ يُقْدِمُ عَلَيْهِ لِقِلَّةِ عَفَافِهِ أَوْ كَانَ مِمَّنْ لَا يُقْدِمُ عَلَيْهِ لِتَحَرُّجِهِ وَعَفَافِهِ فِي أَنَّ خَوْفَ الْعَنَتِ فِيهِمَا شَرْطٌ في إباحة نكاح الأمة لهما، فَأَمَّا إِذَا خَافَ الْعَنَتَ مِنْ أَمَةٍ بِعَيْنِهَا أَنْ يَزْنِيَ بِهَا إِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لِقُوَّةِ مَيْلِهِ إِلَيْهَا وَحُبِّهِ لَهَا فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا إِذَا كَانَ وَاجِدًا لِلطَّوْلِ لِأَنَّنَا نُرَاعِي عُمُومَ الْعَنَتِ لَا خُصُوصَهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun syarat ketiga, yaitu takut terjerumus pada ‘anat, yakni zina, maka baik ia takut terjerumus padanya karena memang mudah melakukannya akibat kurangnya sifat menjaga diri, ataupun ia termasuk orang yang tidak mudah melakukannya karena kehati-hatian dan sifat iffah (menjaga kehormatan), maka rasa takut terhadap ‘anat pada keduanya merupakan syarat dalam kebolehan menikahi budak perempuan bagi mereka. Adapun jika ia hanya takut terjerumus pada ‘anat dengan budak perempuan tertentu, yakni ia khawatir berzina dengannya jika tidak menikahinya karena kuatnya ketertarikan dan cintanya kepada budak tersebut, maka tidak boleh baginya menikahi budak perempuan itu jika ia mampu menikahi perempuan merdeka. Sebab, yang menjadi pertimbangan adalah kekhawatiran ‘anat secara umum, bukan secara khusus. Allah Maha Mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ نِكَاحَ الْحُرِّ لِلْأَمَةِ مُعْتَبَرٌ بِمَا أَوْضَحْنَاهُ مِنَ الشُّرُوطِ الثَّلَاثَةِ فَلَيْسَ لَهُ إِذَا اسْتَكْمَلَتْ فِيهِ أَنْ يَنْكِحَ أَكْثَرَ مِنْ أَمَةٍ وَاحِدَةٍ.
Jika telah tetap bahwa pernikahan laki-laki merdeka dengan budak perempuan dipertimbangkan dengan tiga syarat yang telah kami jelaskan, maka tidak boleh baginya, jika syarat-syarat itu terpenuhi, menikahi lebih dari satu budak perempuan.
وَقَالَ أبو حنيفة، وَمَالِكٌ: يَجُوزُ أن ينكح منهن أربعاً كالحرائر اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمْ المُؤْمِنَاتِ) {النساء: 25) فَأَطْلَقَ مِلْكَ الْيَمِينِ إِطْلَاقَ جَمْعٍ فَحُمِلَ عَلَى عُمُومِهِ فِي اسْتِكْمَالِ أَرْبَعٍ كَالْحَرَائِرِ، وَلِأَنَّ كُلَّ جِنْسٍ حَلَّ نِكَاحُ الْوَاحِدَةِ مِنْهُ حَلَّ نِكَاحُ الأربع منه كَالْحَرَائِرِ طَرْدًا وَالْوَثَنِيَّاتِ عَكْسًا؛ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جاز أن لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِأَكْثَرِ مِنْ حُرَّةٍ وَاحِدَةٍ، جَازَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِأَكْثَرِ مِنْ أَمَةٍ وَاحِدَةٍ كَالْعَبْدِ.
Abu Hanifah dan Malik berkata: Boleh menikahi hingga empat budak perempuan sebagaimana perempuan-perempuan merdeka, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa di antara kalian yang tidak mampu menikahi perempuan-perempuan merdeka yang beriman, maka (bolehlah menikahi) perempuan-perempuan yang kalian miliki dari budak-budak perempuan yang beriman…} (an-Nisā’: 25). Allah menyebutkan kepemilikan budak perempuan dalam bentuk jamak, sehingga dipahami keumumannya dalam membolehkan menikahi empat budak perempuan sebagaimana perempuan merdeka. Dan karena setiap jenis perempuan yang halal dinikahi satu orang darinya, maka halal pula menikahi empat orang darinya sebagaimana perempuan merdeka secara konsisten, dan sebaliknya pada perempuan musyrik. Juga, setiap orang yang boleh menikahi lebih dari satu perempuan merdeka, maka boleh pula menikahi lebih dari satu budak perempuan, sebagaimana halnya seorang hamba sahaya.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {ذَلَكَ لِمَنْ خَشِيَ العَنَتَ مِنْكُمْ) {النساء: 25) وَهَذَا إِذَا تَزَوَّجَ أَمَةً وَاحِدَةً فَقَدْ أَمِنَ الْعَنَتَ فَلَمْ يجز أن يتزوج بأمة قياساً على ما تحته من الحرائر أخرى، ولك تحري هَذَا قِيَاسًا فَتَقُولُ: إِنَّهُ حُرٌّ أَمِنَ الْعَنَتَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِأَمَةٍ قِيَاسًا عَلَى من تحته حرة، وإن شئت قلت حر قَادِرٌ عَلَى وَطْءٍ بِنِكَاحٍ قِيَاسًا عَلَى هَذَا الأصل، ولأنه مَحْظُورٌ إِلَّا عِنْدَ الضَّرُورَةِ فَلَمْ يَسْتَبِحْ مِنْهُ إِلَّا مَا دَعَتْ إِلَيْهِ الضَّرُورَةُ كَأَكْلِ الْمَيْتَةِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Itu bagi siapa di antara kalian yang khawatir terjerumus pada ‘anat…} (an-Nisā’: 25). Ini berlaku jika ia menikahi satu budak perempuan, maka ia telah aman dari ‘anat, sehingga tidak boleh menikahi budak perempuan lain, qiyās (analogi) dengan perempuan merdeka yang telah dinikahinya. Jika engkau ingin meneliti hal ini secara qiyās, maka engkau bisa berkata: Ia adalah laki-laki merdeka yang telah aman dari ‘anat, maka tidak boleh menikahi budak perempuan lain, qiyās dengan perempuan merdeka yang telah dinikahinya. Atau jika engkau mau, engkau bisa berkata: Ia adalah laki-laki merdeka yang mampu melakukan hubungan suami istri melalui pernikahan, qiyās dengan hukum asal ini. Karena menikahi budak perempuan adalah perkara yang dilarang kecuali dalam keadaan darurat, maka tidak boleh mengambil darinya kecuali sebatas yang dibutuhkan oleh keadaan darurat, sebagaimana memakan bangkai.
فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْآيَةِ فَلَا يَقْتَضِي إِلَّا أَمَةً وَاحِدَةً؛ لِأَنَّهُ قَالَ: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمْ المُؤْمِنَاتِ) {النساء: 25) فَلَمَّا كَانَ الْمُرَادُ بِالْحَرَائِرِ الْمُحْصَنَاتِ وَاحِدَةً وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِمَا فِي مُقَابَلَتِهِنَّ مِنَ الْإِمَاءِ وَاحِدَةً، وَعَلَى أَنَّ الْأَمَةَ بَدَلٌ مِنَ الْحُرَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْبَدَلُ أَوْسَعَ حُكْمًا من المبدل.
Adapun berdalil dengan ayat tersebut, maka tidak menunjukkan kecuali hanya satu budak perempuan; karena Allah berfirman: {Dan barang siapa di antara kalian yang tidak mampu menikahi perempuan-perempuan merdeka yang beriman, maka (bolehlah menikahi) perempuan-perempuan yang kalian miliki dari budak-budak perempuan yang beriman…} (an-Nisā’: 25). Karena yang dimaksud dengan perempuan merdeka yang beriman di sini adalah satu orang, maka wajib pula yang dimaksud dengan budak perempuan di sini adalah satu orang. Selain itu, budak perempuan adalah pengganti dari perempuan merdeka, dan tidak boleh pengganti memiliki hukum yang lebih luas daripada yang digantikan.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحَرَائِرِ فَالْمَعْنَى فِيهِنَّ: جَوَازُ العقد عليهن بغير ضَرُورَةٍ؛ وَلِأَنَّهُ لَا يَسْتَرِقُّ وَلَدُهُ فَيَدْخُلُ عَلَيْهِ بِاسْتِرْقَاقِهِ ضَرَرٌ فَخَالَفَ نِكَاحَ الْإِمَاءِ مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ:
Adapun qiyās mereka terhadap wanita merdeka, maka maksudnya pada mereka adalah: bolehnya akad nikah atas mereka tanpa adanya kebutuhan mendesak; dan karena anak dari mereka tidak menjadi budak, sehingga dengan perbudakan anaknya tidak menimbulkan mudarat baginya. Maka hal ini berbeda dengan pernikahan budak perempuan dari dua sisi tersebut.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْعَبْدِ فَهُوَ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَنْكِحَ الْأَمَةَ لِغَيْرِ ضرورة وليس عليه اسْتِرْقَاق وَلَدِهِ ضَرَرٌ، فَخَالَفَ الْحُرَّ مِنْ هَذَيْنِ الوجهين، فعلى هذا لو تزوج أَمَتَيْنِ ثَبَتَ نِكَاحُ الْأُولَى وَبَطَلَ نِكَاحُ الثَّانِيَةِ، فَإِنْ تَزَوَّجَهَا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ بطَلَ نِكَاحُهُمَا، لِأَنَّ إِحْدَاهُمَا إِنْ حَلَّتْ فَهِيَ غَيْرُ مُعَيَّنَةٍ، فصار كَمَنْ تَزَوَّجَ أُخْتَيْنِ بَطَلَ نِكَاحُ الثَّانِيَةِ، إِنْ تزوجها في عقدين، وبطل نكاحهما إن تزوجها في عقد واحد.
Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap budak laki-laki adalah bahwa dibolehkan bagi budak laki-laki menikahi budak perempuan tanpa adanya kebutuhan mendesak dan tidak ada mudarat atasnya karena perbudakan anaknya, sehingga hal ini berbeda dengan orang merdeka dari dua sisi tersebut. Berdasarkan hal ini, jika ia menikahi dua budak perempuan, maka pernikahan dengan yang pertama sah dan pernikahan dengan yang kedua batal. Jika ia menikahi keduanya dalam satu akad, maka pernikahan keduanya batal, karena jika salah satu dari keduanya halal, maka ia tidak tertentu, sehingga keadaannya seperti orang yang menikahi dua saudari; pernikahan dengan yang kedua batal jika menikahinya dalam dua akad, dan pernikahan keduanya batal jika menikahinya dalam satu akad.
فصل
Fasal
وإذا قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي نِكَاحِ الْأَحْرَارِ لِلْإِمَاءِ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى نِكَاحِ الْعَبِيدِ لَهُنَّ فَيَجُوزُ لِلْعَبْدِ أَنْ يَنْكِحَ الْإِمَاءَ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ فَيَنْكِحُهَا، وَإِنْ أَمِنَ الْعَنَتَ أَوْ كَانَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ.
Dan setelah selesai pembahasan mengenai pernikahan laki-laki merdeka dengan budak perempuan, maka pembahasan berpindah kepada pernikahan budak laki-laki dengan budak perempuan. Maka dibolehkan bagi budak laki-laki untuk menikahi budak perempuan secara mutlak tanpa syarat apapun; ia boleh menikahinya, meskipun ia merasa aman dari zina atau di bawah tanggungannya sudah ada wanita merdeka.
وَقَالَ أبو حنيفة: هُوَ كَالْحُرِّ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْكِحَ الْأَمَةَ إِذَا كَانَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَنْ تَحْتَهُ حُرَّةٌ فَهُوَ مَمْنُوعٌ مِنْ نِكَاحِ الْأَمَةِ كَالْحُرِّ.
Abu Hanifah berkata: Hukum budak laki-laki sama dengan orang merdeka, tidak boleh menikahi budak perempuan jika di bawah tanggungannya sudah ada wanita merdeka, dengan alasan bahwa siapa yang di bawah tanggungannya ada wanita merdeka, maka ia dilarang menikahi budak perempuan sebagaimana orang merdeka.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطَعْ مِنُكُمْ طَوْلاً} فخص الأحرار بتوجيه الْخِطَابِ إِلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ: {ذَلَكَ لِمَنْ خَشِيَ العَنَتَ} فَخَصَّهُمْ بِهِ أَيْضًا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونُوا مَخْصُوصِينَ بِهَذَا الْمَنْعِ وَيَكُونَ الْعَبْدُ عَلَى إِطْلَاقِهِ مِنْ غَيْرِ مَنْعٍ، وَلِأَنَّ مَنْ جَازَ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ امْرَأَةً مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ جَازَ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ عَلَيْهَا امْرَأَةً مِنْ جِنْسِهِ كَالْحُرِّ، إِذَا نَكَحَ أَمَةً يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ عليها حرة.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa di antara kamu yang tidak mampu (menikahi wanita merdeka)}. Maka Allah mengkhususkan orang-orang merdeka dengan mengarahkan khitab (perintah) kepada mereka, kemudian berfirman: {Itu bagi orang yang khawatir terjerumus dalam perbuatan dosa}, sehingga mengkhususkan mereka juga dengan syarat tersebut. Maka hal ini menunjukkan bahwa mereka yang dikhususkan dengan larangan ini, dan budak laki-laki tetap pada keumumannya tanpa larangan. Dan karena siapa yang boleh menikahi wanita dari jenis lain, maka boleh pula menikahi wanita dari jenis yang sama di atasnya, sebagaimana orang merdeka jika menikahi budak perempuan, maka boleh baginya menikahi wanita merdeka di atasnya.
فأما قياسه على الحر فمنع مِنْهُ النَّصُّ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْحُرِّ أَنَّهُ يَلْحَقُهُ فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ عَارٌ لَا يَلْحَقُ الْعَبْدَ.
Adapun qiyās terhadap orang merdeka, maka telah dicegah oleh nash. Kemudian, makna pada orang merdeka adalah bahwa menikahi budak perempuan menimbulkan aib yang tidak menimpa budak laki-laki.
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا كَانَ لِلْعَبْدِ أَنْ يَنْكِحَ أَمَةً عَلَى حُرَّةٍ، وَأَنْ يَجْمَعَ فِي الْعَقْدِ الْوَاحِدِ بَيْنَ أَمَةٍ وَحُرَّةٍ، وَأَنْ يَجْمَعْ بَيْنَ أَمَتَيْنِ كَمَا يَجْمَعُ بَيْنَ حُرَّتَيْنِ وَاللَّهُ أعلم.
Jika hal ini telah ditetapkan, maka budak laki-laki boleh menikahi budak perempuan di atas wanita merdeka, dan boleh menggabungkan dalam satu akad antara budak perempuan dan wanita merdeka, serta boleh menggabungkan antara dua budak perempuan sebagaimana menggabungkan antara dua wanita merdeka. Dan Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فَإِنْ عَقَدَ نِكَاحَ حرةٍ وأمةٍ مَعًا قِيلَ يَثْبُتُ نِكَاحُ الْحُرَّةِ وَيَنْفَسِخُ نِكَاحُ الْأَمَةِ وَقِيلَ يَنْفَسِخَانِ مَعًا، وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ نِكَاحُ الْحُرَّةِ جائزٌ وكذلك لو تزوج معها أخته من الرضاع كأنها لم تكن (قال المزني) رحمه الله هَذَا أَقْيَسُ وَأَصَحُّ فِي أَصْلِ قَوْلِهِ لِأَنَّ النكاح يقوم بنفسه ولا يفْسدُ بِغَيْرِهِ فَهِيَ فِي مَعْنَى مَنْ تَزَوَّجَهَا وقسطاً مَعَهَا مَنْ خمرٍ بدينارٍ فَالنِّكَاحُ وَحْدَهُ ثابتٌ والقسط الْخَمْر وَالْمَهْر فَاسِدَانِ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika akad nikah atas wanita merdeka dan budak perempuan dilakukan bersamaan, ada yang berpendapat bahwa pernikahan wanita merdeka tetap sah dan pernikahan budak perempuan batal, dan ada pula yang berpendapat keduanya batal. Dalam pendapat lama beliau, pernikahan wanita merdeka sah, demikian pula jika menikahi bersama saudarinya dari susuan, seakan-akan tidak terjadi (pernikahan dengan saudarinya). (Al-Muzani) rahimahullah berkata: Ini lebih sesuai dengan qiyās dan lebih sahih menurut dasar pendapat beliau, karena akad nikah berdiri sendiri dan tidak batal karena akad lain. Maka hal ini seperti orang yang menikahi seorang wanita dan membeli satu takaran khamar dengan satu dinar; nikahnya saja yang sah, sedangkan takaran khamar dan maharnya batal.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ المسألة فيمن يحل له نكاح الأمة يزوج بِحُرَّةٍ وَأَمَةٍ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah pada orang yang halal baginya menikahi budak perempuan, ia menikahi wanita merdeka dan budak perempuan. Maka kasus ini terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَتَزَوَّجَ الْأَمَةَ ثُمَّ يَتَزَوَّجَ بَعْدَهَا حُرَّةً فنكاحهما صَحِيحٌ؛ لِأَنَّهُ نَكَحَ الْأَمَةَ عَلَى الشَّرْطِ الْمُبِيحِ، ونكح الْحُرَّةِ بَعْدَ الْأَمَةِ صَحِيحٌ.
Pertama: Ia menikahi budak perempuan, kemudian setelah itu menikahi wanita merdeka, maka pernikahan keduanya sah; karena ia menikahi budak perempuan dengan syarat yang membolehkan, dan menikahi wanita merdeka setelah budak perempuan juga sah.
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: يَصِحُّ نِكَاحُ الْحُرَّةِ، وَيَبْطُلُ بِهِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ نِكَاحِ الْأَمَةِ كَمَا لَوْ تَقَدَّمَ نِكَاحُ الْحُرَّةِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تُنْكَحُ الْأَمَةُ عَلَى الْحُرَّةِ وتنكح الحرة على الأمة ” وهذا نص؛ وَلِأَنَّهُ عَقْدُ نِكَاحٍ فَلَمْ يَبْطُلْ مَا تَقَدَّمَهُ من النكاح كما لو نكح حرة عَلَى حُرَّةٍ.
Ahmad bin Hanbal berkata: Pernikahan wanita merdeka sah, dan dengan itu batal pernikahan budak perempuan yang telah dilakukan sebelumnya, sebagaimana jika pernikahan wanita merdeka dilakukan lebih dahulu. Ini adalah kekeliruan, karena telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak dinikahkan budak perempuan di atas wanita merdeka, dan wanita merdeka boleh dinikahi di atas budak perempuan.” Ini adalah nash; dan karena ini adalah akad nikah, maka tidak membatalkan akad nikah sebelumnya, sebagaimana jika menikahi wanita merdeka di atas wanita merdeka.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَزَوَّجَ بِالْحُرَّةِ ثُمَّ يَتَزَوَّجُ بَعْدَهَا بِالْأَمَةِ فَنِكَاحُ الْحُرَّةِ صَحِيحٌ، وَنِكَاحُ الْأَمَةِ بَعْدَهَا بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ الْأَمَةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَتَحْتَهُ حُرَّةٌ، وَعِنْدَ مَالِكٍ يَجُوزُ نِكَاحُ الْأَمَةِ بَعْدَ الْحُرَّةِ ثَانِيًا إِذَا كَانَ عَادِمًا لِلطَّوْلِ، خَائِفًا لَلَعَنَتِ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ.
Bagian kedua: Yaitu seseorang menikahi perempuan merdeka, kemudian setelah itu menikahi budak perempuan. Maka pernikahan dengan perempuan merdeka adalah sah, sedangkan pernikahan dengan budak perempuan setelahnya adalah batal; karena tidak boleh menikahi budak perempuan sementara ia masih memiliki istri merdeka. Menurut pendapat Mālik, diperbolehkan menikahi budak perempuan setelah perempuan merdeka untuk kedua kalinya jika ia tidak mampu (menikahi perempuan merdeka) dan khawatir terjerumus dalam maksiat, dan penjelasan tentang hal ini telah disebutkan sebelumnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَزَوَّجَهُمَا مَعًا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ فَنِكَاحُ الْأَمَةِ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّهُ قد صار بعقده عليهما مع الحرة قَادِرًا عَلَى نِكَاحِ حُرَّةٍ، وَهَلْ يُبْطِلُ نِكَاحَ الْحُرَّةِ أَمْ لَا؟ مَبْنِيٌّ عَلَى تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ فِي الْبَيْعِ إِذَا جَمَعَ الْعَقْدُ الْوَاحِدُ حَلَالًا وَحَرَامًا كَبَيْعِ خَلٍّ وَخَمْرٍ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ، أو بيع حر وعبد في عقد واحد فيبطل البيع فِي الْحَرَامِ وَفِي بُطْلَانِهِ فِي الْحَلَالِ قَوْلَانِ:
Bagian ketiga: Yaitu menikahi keduanya sekaligus dalam satu akad. Maka pernikahan dengan budak perempuan adalah batal; karena dengan akad tersebut bersama perempuan merdeka, ia telah menjadi mampu menikahi perempuan merdeka. Apakah pernikahan dengan perempuan merdeka juga batal atau tidak? Hal ini didasarkan pada perbedaan pendapat tentang pemisahan transaksi dalam jual beli apabila satu akad menggabungkan yang halal dan yang haram, seperti menjual cuka dan khamar dalam satu akad, atau menjual orang merdeka dan budak dalam satu akad, maka jual beli yang haram menjadi batal, dan mengenai batal atau tidaknya pada yang halal terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ لَا يَبْطُلُ فِي الْحَلَالِ تَعْلِيلًا بِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْجَمْعِ بينهما حكم في انفرادها، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ نِكَاحُ الْحُرَّةِ جَائِزًا وَإِنْ كَانَ نِكَاحُ الْأَمَةِ بَاطِلًا.
Salah satunya: Yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm, dan salah satu dari dua pendapat beliau dalam qaul jadīd, bahwa tidak batal pada yang halal, dengan alasan bahwa masing-masing dari keduanya dalam penggabungan tersebut memiliki hukum sendiri-sendiri jika berdiri sendiri. Berdasarkan ini, pernikahan dengan perempuan merdeka tetap sah meskipun pernikahan dengan budak perempuan batal.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ أَنَّ الْبَيْعَ يَبْطُلُ فِي الْحَلَالِ لِبُطْلَانِهِ فِي الْحَرَامِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَعْلِيلِ هَذَا الْقَوْلِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: Yaitu salah satu dari dua pendapat beliau dalam qaul jadīd, bahwa jual beli menjadi batal pada yang halal karena batalnya pada yang haram. Para ulama kami berbeda pendapat dalam menjelaskan alasan pendapat ini menjadi dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعِلَّةَ فِيهِ أَنَّ اللَّفْظَةَ الْوَاحِدَةَ جَمَعَتْ حَلَالًا وَحَرَامًا، فَإِذَا بَطَلَ بَعْضُهَا انْتَقَضَتْ، فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ نِكَاحُ الْحُرَّةِ كَمَا بَطَلَ نِكَاحُ الأمة؛ لأن لفظ العقد عليهما واحد.
Salah satunya: Bahwa alasannya adalah karena satu lafaz akad menggabungkan yang halal dan yang haram, sehingga jika sebagian batal maka seluruhnya rusak. Berdasarkan ini, pernikahan dengan perempuan merdeka menjadi batal sebagaimana batalnya pernikahan dengan budak perempuan, karena lafaz akad atas keduanya adalah satu.
والوجه الثَّانِي: أَنَّ الْعِلَّةَ فِيهِمَا الْجَهَالَةُ بِثَمَنِ الْحَلَالِ؛ لِأَنَّ مَا قَابَلَ الْحَرَامَ مِنَ الثَّمَنِ مَجْهُولٌ فَصَارَ ثَمَنُ الْحَلَالِ بِهِ مَجْهُولًا، فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ بِهِ مِنَ الْعَقْدِ مَا كَانَ مَوْقُوفَ الصِّحَّةِ عَلَى الْأَعْوَاضِ كَالْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ الَّذِي لَا يَصحُّ إِلَّا بِذِكْرِ مَا كَانَ مَعْلُومًا مِنْ ثَمَنٍ أَوْ أُجْرَةٍ، فَأَمَّا الْعُقُودُ الَّتِي لَا تَقِفُ صِحَّتُهَا عَلَى الْعِوَضِ كَالنِّكَاحِ، وَالْهِبَةِ، وَالرَّهْنِ فَيَصِحُّ الْحَلَالُ مِنْهَا وَإِنْ بَطَلَ الْحَرَامُ الْمُقْتَرِنُ بِهَا فَيَكُونُ نِكَاحُ الْحُرَّةِ صَحِيحًا، وَإِنْ بَطَلَ نكاح الأمة، وفيما تستحقه مِنَ الْمَهْرِ قَوْلَانِ:
Sisi kedua: Bahwa alasannya adalah ketidakjelasan (jahālah) pada harga yang halal; karena bagian harga yang menjadi imbalan atas yang haram tidak diketahui, sehingga harga untuk yang halal pun menjadi tidak diketahui. Berdasarkan ini, batal dari akad tersebut apa yang keabsahannya tergantung pada imbalan, seperti jual beli dan ijarah yang tidak sah kecuali dengan menyebutkan harga atau upah yang jelas. Adapun akad-akad yang keabsahannya tidak tergantung pada imbalan seperti nikah, hibah, dan rahn, maka yang halal di antaranya tetap sah meskipun yang haram yang bersamaan dengannya batal. Maka pernikahan dengan perempuan merdeka sah, meskipun pernikahan dengan budak perempuan batal. Adapun mengenai mahar yang berhak diterima, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: مَهْرُ الْمِثْلِ وَإِبْطَالُ الْمُسَمَّى.
Salah satunya: Mahar yang setara (mahr al-mitsl) dan membatalkan mahar yang telah disebutkan (musamma).
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قِسْطُ مَهْرِ مِثْلِهَا مِنَ الْمَهْرِ الْمُسَمَّى بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَنْ نَكَحَ أَرْبَعًا فِي عَقْدٍ عَلَى صَدَاقٍ وَاحِدٍ، فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اخْتَارَ أَصَحَّ الْقَوْلَيْنِ، وَهُوَ تصيح نِكَاحِ الْحُرَّةِ مَعَ فَسَادِ نِكَاحِ الْأَمَةِ إِلَّا أنه استدل لِصِحَّتِهِ بِمِثَالٍ صَحِيحٍ، وَحِجَاجٍ فَاسِدٍ.
Pendapat kedua: Bagian mahar yang setara dari mahar yang telah disebutkan, berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam kasus seseorang menikahi empat perempuan dalam satu akad dengan satu mahar. Adapun al-Muzanī, ia memilih pendapat yang paling sahih, yaitu sahnya pernikahan dengan perempuan merdeka bersamaan dengan rusaknya pernikahan dengan budak perempuan, hanya saja ia berdalil atas keabsahannya dengan contoh yang benar namun argumentasi yang tidak tepat.
أَمَّا الْمِثَالُ الصَّحِيحُ فَهُوَ قَوْلُهُ: ” وَكَذَلِكَ لَوْ تَزَوَّجَ مَعَهَا أُخْتَهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ “؛ لِأَنَّهُ إِذَا جَمَعَ فِي العقد الواحد بين أختها وأجنبية كان لجمعه بَيْنَ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ فَيَبْطُلُ نكاح أخته وفي نِكَاحِ الْأَجْنَبِيَّةِ قَوْلَانِ.
Adapun contoh yang benar adalah ucapannya: “Demikian pula jika seseorang menikahi bersama perempuan itu, saudara perempuannya dari susuan (saudara sepersusuan);” karena jika dalam satu akad ia menggabungkan antara saudara perempuannya dan perempuan lain yang bukan mahram, maka penggabungan antara perempuan merdeka dan budak perempuan dalam satu akad juga demikian, sehingga pernikahan dengan saudara perempuannya batal, dan dalam pernikahan dengan perempuan lain terdapat dua pendapat.
وَأَمَّا الْحِجَاجُ الْفَاسِدُ فَهُوَ قَوْلُهُ: ” فَهِيَ فِي معنى من تزوجها وقسطاً مَعَهَا مَنْ خَمْرٍ بِدِينَارٍ فَالنِّكَاحُ وَحْدَهُ ثَابِتٌ والقسط من الخمر فَاسِدٌ ” وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وَجْهِ فَسَادِ هَذَا الِاعْتِلَالِ وَالِاحْتِجَاجُ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun argumentasi yang tidak tepat adalah ucapannya: “Maka ia dalam makna orang yang menikahinya dan sekaligus membeli khamar dengan satu dinar, maka pernikahannya saja yang tetap sah, sedangkan bagian dari khamar adalah batal.” Para ulama kami berbeda pendapat dalam menjelaskan kerusakan argumentasi dan alasan ini menjadi dua sisi:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ إنَّ وجه فَسَادِهِ أَنَّهُ إِذَا زَوَّجَهُ وَزِقًّا مِنْ خَمْرٍ بدينار فهما عقدان بيع ونكاح، كأن يَقُولُ: بِعْتُكَ هَذَا الْخَمْرَ وَزَوَّجْتُكَ هَذِهِ الْمَرْأَةَ بِدِينَارٍ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْتَجَّ بِالْعَقْدَيْنِ فِي صِحَّةِ أَحَدِهِمَا وَفَسَادِ الْآخَرِ عَلَى الْعَقْدِ الْوَاحِدِ فِي أَنَّ فَسَادَ بَعْضِهِ لَا يُوجِبُ فَسَادَ باقيه؛ لأن العقد الواحد حكم واحد، وللعقدين حكمان.
Salah satu pendapat, yaitu pendapat para ulama Baghdad, menyatakan bahwa sebab rusaknya (akad tersebut) adalah jika seseorang menikahkan (seorang wanita) dengan imbalan satu kendi khamar dan satu dinar, maka itu merupakan dua akad, yaitu akad jual beli dan akad nikah. Seolah-olah ia berkata: “Aku jual kepadamu khamar ini dan aku nikahkan kepadamu wanita ini dengan satu dinar.” Maka tidak boleh berdalil dengan dua akad tersebut dalam hal sahnya salah satunya dan rusaknya yang lain atas satu akad, bahwa rusaknya sebagian tidak menyebabkan rusaknya sisanya; karena satu akad memiliki satu hukum, sedangkan dua akad memiliki dua hukum.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّ وَجْهَ فَسَادِهِ أَنَّهُ فِي النِّكَاحِ وَالْخَمْرِ بِدِينَارٍ قَدْ جَمَعَ فِي الْعَقْدِ الْوَاحِدِ بَيْنَ نِكَاحٍ وَبَيْعٍ يَخْتَلِفُ حُكْمُهُمَا، وَالشَّافِعِيُّ قَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي العقد الواحد إذا جمع شيئين مختلفي الحكم كبيع وإجارة، أو رهن وهبة فله قولان:
Pendapat kedua, yaitu pendapat para ulama Basrah, menyatakan bahwa sebab rusaknya (akad tersebut) adalah karena dalam satu akad telah digabungkan antara nikah dan jual beli yang masing-masing memiliki hukum yang berbeda. Imam al-Syafi‘i sendiri memiliki dua pendapat dalam satu akad yang menggabungkan dua hal yang berbeda hukumnya, seperti jual beli dan ijarah, atau rahn dan hibah, yaitu:
أحدهما: أنهما باطلان بجمع الْعَقْد الْوَاحِد بَيْنَ مُخْتَلِفَيِ الْحُكْمِ.
Salah satunya: Keduanya batal karena penggabungan dalam satu akad antara dua hal yang berbeda hukumnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا جَائِزَانِ لِجَوَازِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى الِانْفِرَادِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْتَجَّ بِمَا يَصِحُّ الْعَقْدُ فِيهِمَا عَلَى صِحَّةِ مَا يَبْطُلُ الْعَقْدُ في أحدهما والله أعلم.
Pendapat kedua: Keduanya sah karena masing-masing sah jika berdiri sendiri, sehingga tidak boleh berdalil dengan sahnya akad pada salah satunya atas sahnya akad pada yang lain yang batal. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ تَزَوَّجَهَا ثُمَّ أَيْسَرَ لَمْ يُفْسِدْهُ مَا بَعْدَهُ “.
Imam al-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menikahi (seorang wanita) budak lalu kemudian ia menjadi mampu (menikahi wanita merdeka), maka peristiwa setelah akad tidak membatalkan akad nikah tersebut.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا تَزَوَّجَ الْحُرُّ أَمَةً عَلَى الشَّرَائِطِ الْمُبِيحَةِ ثُمَّ ارْتَفَعَتِ الشَّرَائِطُ بَعْدَ الْعَقْدِ بِأَن أَمِنَ الْعَنَتَ بَعْدَ خَوْفِهِ أَوْ وَجَدَ الطَّوْلَ بَعْدَ عَدَمِهِ أَوْ نَكَحَ حُرَّةً بَعْدَ أنْ لَمْ يَكُنْ فَنِكَاحُ الأمة على صحة ثبوته.
Al-Mawardi berkata: Ini benar, yaitu apabila seorang laki-laki merdeka menikahi seorang budak perempuan dengan memenuhi syarat-syarat yang membolehkannya, lalu setelah akad syarat-syarat itu hilang, seperti ia merasa aman dari bahaya zina setelah sebelumnya takut, atau ia mendapatkan kemampuan (menikahi wanita merdeka) setelah sebelumnya tidak mampu, atau ia menikahi wanita merdeka setelah sebelumnya tidak mampu, maka akad nikah dengan budak perempuan tetap sah keberlangsungannya.
وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: إِنْ أَمِنَ الْعَنَتَ لَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُ الْأَمَةِ، وَإِنْ وَجَدَ الطَّوْلَ أَوْ نَكَحَ حُرَّةً بَطَلَ نِكَاحُ الْأَمَةِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ) {النساء: 25) فَجَعَلَ عَدَمَ الطَّوْلِ شَرْطًا فِي إِبَاحَةِ الْأَمَةِ ابْتِدَاءً فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا فِي إِبَاحَتِهَا انْتِهَاءً، قَالَ: وَلِأَنَّ زَوَالَ عِلَّةِ الْحُكْمِ مُوجِبٌ لِزَوَالِهِ، وَالْعِلَّةُ فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ عَدَمُ الطَّوْلِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ وُجُودُهُ مُوجِبًا لِبُطْلَانِ نِكَاحِهَا، وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَانْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ) {النور: 32) الْآيَةَ فَنَدَبَ إِلَى النِّكَاحِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُفْضِي إِلَى الغنى بعد الفقر، فلم يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْغِنَى الْمَوْعُودُ بِهِ فِي النِّكَاحِ مُوجِبًا لِبُطْلَانِ النِّكَاحِ، وَلَا عَدَمُ الطَّوْلِ شَرْطًا فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ كَمَا أَنَّ خَوْف العنت شرطاً فِي نِكَاحِهَا فَلَمَّا لَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُهَا إِذَا زَالَ الْعَنَتُ لَمْ يَبْطُلْ إِذَا وَجَدَ الطَّوْلَ، وَلِأَنَّ الطَّوْلَ بِالْمَالِ غَيْرُ مُرَادٍ لِلْبَقَاءِ وَالِاسْتِدَامَةِ؛ لِأَنَّهُ يُرَادُ لِلْإِنْفَاقِ لَا لِلْبَقَاءِ وَمَا لَمْ يراد لِلْبَقَاءِ إِذَا كَانَ شَرْطًا فِي ابْتِدَاءِ الْعَقْدِ لَمْ يَكُنْ شَرْطًا فِي اسْتَدَامَتِهِ كَالْإِحْرَامِ وَالْعِدَّةِ بالعقد لم يبطل ولما كانت الردة والرضاع يردان للاستدامة لأن الردة دين يعتقد المرتد لِلدَّوَامِ وَكَانَ ذَلِكَ شَرْطًا فِي الِابْتِدَاءِ وَالِاسْتِدَامَةِ كَذَلِكَ الْمَالُ لَمَّا لَمْ يُرَدْ لِلِاسْتِدَامَةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا فِي الِابْتِدَاءِ دُونَ الِاسْتِدَامَةِ كالإحرام والعدة.
Al-Muzani berkata: Jika ia telah aman dari bahaya zina, maka nikah dengan budak perempuan tidak batal. Namun jika ia mendapatkan kemampuan (menikahi wanita merdeka) atau menikahi wanita merdeka, maka nikah dengan budak perempuan batal, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa di antara kalian tidak mampu menikahi wanita-wanita merdeka yang beriman, maka (boleh menikahi) dari budak-budak perempuan yang kalian miliki} (an-Nisā’: 25). Maka Allah menjadikan tidak adanya kemampuan sebagai syarat dalam kebolehan menikahi budak perempuan pada permulaan, sehingga wajib pula menjadi syarat dalam kebolehannya pada kelanjutan. Ia berkata: Karena hilangnya sebab hukum menyebabkan hilangnya hukum itu sendiri, dan sebab dalam nikah budak perempuan adalah tidak adanya kemampuan, sehingga jika kemampuan itu ada, maka wajib batal nikahnya. Namun ini adalah kekeliruan, karena firman Allah Ta‘ala: {Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahaya laki-laki dan perempuan kalian} (an-Nūr: 32). Ayat ini menganjurkan untuk menikah, karena bisa saja setelah menikah seseorang menjadi kaya setelah sebelumnya miskin, sehingga tidak boleh kekayaan yang dijanjikan dalam pernikahan menjadi sebab batalnya pernikahan, dan tidak adanya kemampuan bukanlah syarat dalam nikah budak perempuan, sebagaimana rasa takut berbuat zina adalah syarat dalam nikahnya. Maka ketika nikahnya tidak batal jika rasa takut itu hilang, demikian pula tidak batal jika kemampuan itu didapatkan. Karena kemampuan secara materi tidak dimaksudkan untuk keberlangsungan dan kelangsungan nikah, melainkan untuk nafkah, bukan untuk keberlangsungan. Sesuatu yang tidak dimaksudkan untuk keberlangsungan, jika menjadi syarat pada permulaan akad, tidak menjadi syarat pada kelangsungannya, seperti ihram dan masa iddah; jika akad telah terjadi, maka tidak batal. Adapun murtad dan penyusuan membatalkan kelangsungan karena murtad adalah keyakinan yang diyakini pelakunya untuk selamanya, sehingga itu menjadi syarat pada permulaan dan kelangsungan. Demikian pula harta, karena tidak dimaksudkan untuk kelangsungan, maka wajib menjadi syarat pada permulaan saja, bukan pada kelangsungan, seperti ihram dan iddah.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُ الْمُزَنِيِّ بِالْآيَةِ فَيَقْتَضِي كَوْنَ مَا تَضَمَّنَهَا مِنَ الشَّرْطِ فِي ابْتِدَاءِ الْعَقْدِ دُونَ اسْتَدَامَتِهِ، وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ بِأَنَّ زَوَالَ الْعِلَّةِ مُوجِبٌ لِزَوَالِ حُكْمِهَا فَاسِدٌ بِخَوْفِ الْعَنَتِ.
Adapun dalil al-Muzani dengan ayat tersebut menunjukkan bahwa syarat yang terkandung di dalamnya berlaku pada permulaan akad, bukan pada kelangsungannya. Sedangkan dalil yang ia sebutkan bahwa hilangnya sebab menyebabkan hilangnya hukum adalah tidak tepat dalam hal rasa takut berbuat zina.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وحاجتي من لا يفسخ نكاح إماءٍ غير المسلمات فقال لما أحل الله بينهما ولا نفقة لها لأنها مانعةٌ له نفسها بالردة وإن ارتدت من نصرانية إلى يهودية أو من يهودية إلى نصرانية لم تحرم [ … ] تعالى نكاح الحرة المسلمة دل على نكاح الأمة قلت قد حَرَّمَ اللَّهُ تَعَالَى الْمَيْتَةَ وَاسْتَثْنَى إِحْلَالَهَا لِلْمُضْطَرِّ فهل تحل لغير مضطر واستثنى من تحريم المشركات إحلال حرائر أهل الكتاب فهل يجوز حرائر غير أهل الكتاب فلا تحل إماؤهم وإماؤهم غير حرائرهم واشترط في إماء المسلمين فلا يجوز له إلا بالشرط وقلت له لم لا أحللت الأم كالربيبة وحرمتها بالدخول كالربيبة؟ (قال) لأن الأم مبهمةٌ والشرط في الربيبة (قلت) فهكذا قلنا في التحريم في المشركات والشرط في التحليل في الحرائر وإماء المؤمنات “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan kebutuhanku adalah terhadap orang yang tidak membatalkan pernikahan dengan budak perempuan non-Muslim, ia berkata: Karena Allah telah menghalalkan antara keduanya, dan tidak ada nafkah baginya karena ia menghalangi dirinya dari suaminya dengan murtad. Jika ia murtad dari Nasrani menjadi Yahudi, atau dari Yahudi menjadi Nasrani, maka tidak menjadi haram […]. Allah Ta‘ala mengharamkan pernikahan dengan perempuan merdeka Muslimah, maka itu menunjukkan bolehnya menikahi budak perempuan. Aku katakan: Allah Ta‘ala telah mengharamkan bangkai dan mengecualikan kehalalannya bagi orang yang terpaksa, maka apakah halal bagi selain orang yang terpaksa? Dan Allah mengecualikan dari keharaman perempuan musyrik, kehalalan perempuan merdeka dari Ahlul Kitab, maka apakah boleh perempuan merdeka selain Ahlul Kitab? Maka tidak halal budak-budak perempuan mereka, dan budak-budak perempuan mereka bukanlah perempuan merdeka mereka. Dan Allah mensyaratkan pada budak perempuan Muslim, maka tidak boleh kecuali dengan syarat itu. Aku katakan kepadanya: Mengapa engkau tidak menghalalkan ibu seperti anak tiri, dan mengharamkannya dengan masuk (hubungan) seperti anak tiri? (Ia berkata): Karena ibu itu bersifat umum, dan syarat ada pada anak tiri. (Aku katakan): Maka demikian pula kami katakan dalam pengharaman perempuan musyrik dan syarat dalam kehalalan perempuan merdeka dan budak perempuan mukminah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِذْ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ بَقِيَ الْكَلَامُ فِي الشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ مِنْ جِهَتِهَا، وَهُوَ إِسْلَامُهَا فلا يجوز للمسلم نكاح أمة كافرة بمال.
Al-Mawardi berkata: “Setelah selesai pembahasan tentang syarat-syarat yang dianggap dalam pernikahan budak perempuan dari sisi suami, maka tersisa pembahasan tentang syarat-syarat yang dianggap dari sisinya, yaitu keislamannya. Maka tidak boleh bagi seorang Muslim menikahi budak perempuan kafir dengan mahar.”
وَقَالَ أبو حنيفة: يَجُوزُ لَهُ نِكَاحُ الْأَمَةِ الْكَافِرَةِ كَمَا يَجُوزُ لَهُ نِكَاحُ الْحُرَّةِ الْكَافِرَةِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةُ أَوْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ) {النساء: 3) فَكَانَتْ على عمومها؛ ولأن كل من جاز له وطئها بملك اليمين جاز له وطئها بملك نكاح كالمسلمة، ولأن في الأمة الكافرة نقصان: نقص الرق، ونقص الكفر، وَلَيْسَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ النَّقْصَيْنِ تَأْثِيرٌ فِي الْمَنْعِ مِنَ النِّكَاحِ إِذَا انْفَرَدَ وَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُمَا تَأْثِيرٌ فِيهِ إِذَا اجْتَمَعَا.
Abu Hanifah berkata: “Boleh baginya menikahi budak perempuan kafir sebagaimana boleh baginya menikahi perempuan merdeka kafir, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja, atau budak-budak perempuan yang kamu miliki} (an-Nisa’: 3), maka ayat itu berlaku umum. Dan karena siapa saja yang boleh digauli dengan kepemilikan tangan (milik budak), maka boleh pula digauli dengan akad nikah seperti perempuan Muslimah. Dan karena pada budak perempuan kafir terdapat dua kekurangan: kekurangan karena status budak, dan kekurangan karena kekafiran. Dan tidak satu pun dari kedua kekurangan itu berpengaruh dalam larangan menikah jika berdiri sendiri, maka seharusnya keduanya juga tidak berpengaruh jika berkumpul.”
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمْ المُؤْمِنَاتِ) {النساء: 25) فَجُعِلَ نِكَاحُ الْأَمَةِ مَشْرُوطًا بِالْإِيمَانِ فَلَمْ يُسْتَبَحْ مَعَ عدمه قال تعالى: {اليَوْمَ أُحِلَّ لَكُمْ الطَّيِّبَاتِ} إلى قوله: {وَالمُحْصِنَاتِ مِنَ المُؤْمِنَاتِ وَالمُحْصِنَاتِ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الكَتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ) {المائدة: 5) والمحصنات هَاهُنَا الْحَرَائِرُ، فَاقْتَضَى أَنْ لَا يَحِلَّ نِكَاحُ إِمَاءِ أَهْلِ الْكِتَابِ؛ وَلِأَنَّ ذَلِكَ إِجْمَاعٌ؛ لِأَنَّهُ مَرْوِيٌّ عَنْ عُمْرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ، وَلَيْسَ لَهُمَا مُخَالِفٌ وَلِأَنَّهَا امْرَأَةٌ اجْتَمَعَ فِيهَا نَقْصَانِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا تَأْثِيرٌ فِي الْمَنْعِ مِنَ النِّكَاحِ، فوجب أن يكون اجتماعهما موجب لتحريمهما على المسلم كالحرة المجوسية أحد نقصيها الْكُفْرُ وَالْآخَرُ عَدَمُ الْكِتَابِ، وَالْأَمَةُ الْكِتَابِيَّةُ أَحَدُ نقصيها الرق والآخر الكفر؛ ولأن نكاح المسلم للأمة الْكَافِرَة يُفْضِي إِلَى أَمْرَيْنِ يَمْنَعُ الشَّرْعُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan barang siapa di antara kamu yang tidak mampu menikahi perempuan-perempuan merdeka yang beriman, maka (boleh menikahi) budak-budak perempuan yang kamu miliki dari kalangan perempuan-perempuan yang beriman} (an-Nisa’: 25). Maka pernikahan budak perempuan disyaratkan dengan keimanan, sehingga tidak dihalalkan tanpa syarat itu. Allah Ta‘ala juga berfirman: {Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik… dan (dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari kalangan perempuan beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari kalangan Ahlul Kitab sebelum kamu} (al-Ma’idah: 5). Maksud perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di sini adalah perempuan-perempuan merdeka, sehingga tidak halal menikahi budak-budak perempuan Ahlul Kitab. Dan karena hal itu merupakan ijmā‘, karena diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas‘ud, dan tidak ada yang menyelisihi mereka. Dan karena ia adalah perempuan yang berkumpul padanya dua kekurangan yang masing-masing berpengaruh dalam larangan menikah, maka seharusnya jika keduanya berkumpul menjadi sebab keharamannya atas Muslim, seperti perempuan merdeka Majusi, salah satu kekurangannya adalah kekufuran dan yang lain adalah bukan Ahlul Kitab, sedangkan budak perempuan Ahlul Kitab, salah satu kekurangannya adalah status budak dan yang lain adalah kekufuran. Dan karena pernikahan Muslim dengan budak perempuan kafir akan mengakibatkan dua hal yang masing-masing dilarang oleh syariat.”
أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ: أَنْ يَصِيرَ وَلَدُهَا الْمُسْلِمُ مَرْقُوقًا لكافر والشرع يمنع من استرقاق كافر لمسلم.
Salah satu dari dua hal tersebut adalah: anaknya yang Muslim menjadi budak bagi orang kafir, dan syariat melarang perbudakan orang Muslim oleh orang kafir.
وَالثَّانِي: أَنْ يسْبي الْمُسْلِم؛ لِأَنَّ وَلَدَهَا الْمُسْلِمَ ملك لكافر، وأموال الكفار يَجِبُ أَنْ تُسْبَى وَالشَّرْعُ يَمْنَعُ مِنْ سَبْيِ الْمُسْلِمِ، وَإِذَا كَانَ الشَّرْعُ مَانِعًا مِمَّا يُفْضِي إِلَيْهِ نِكَاحُ الْأَمَةِ الْكَافِرَةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَانِعًا مِنْ نِكَاحِ الْأَمَةِ الْكَافِرَةِ.
Dan yang kedua: Muslim itu akan menjadi tawanan, karena anaknya yang Muslim menjadi milik orang kafir, dan harta orang kafir wajib untuk ditawan, sedangkan syariat melarang penawanan orang Muslim. Jika syariat melarang akibat yang ditimbulkan oleh pernikahan dengan budak perempuan kafir, maka wajib pula melarang pernikahan dengan budak perempuan kafir itu sendiri.
فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بقوله تعالى: {فَمَا مَلَكَتْ أيْمَانكُمُ} فَالْمُرَادُ بِهِ الِاسْتِمْتَاعُ بِهِنَّ بِمِلْكِ الْيَمِينِ لَا بِعَقْدِ النِّكَاحِ فَجَازَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ اسْتِبَاحَةُ المسلمة وَالْكِتَابِيَّةِ؛ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَقَرَّ عَلَيْهَا مِلْكُ مُسْلِمٍ فلم يفضي إِلَى سَبْيِ وَلَدِهَا، وَكَذَلِكَ الْحُكْمُ فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ الْمُسْلِمَةِ فَلَمْ يَجُزِ الْجَمْعُ بَيْنَ نِكَاحِهَا وَنِكَاحِ الْأَمَةِ الْكَافِرَةِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ: إِنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ النَّقْصَيْنِ لَا يَمْنَعُ فَكَذَلِكَ اجْتِمَاعُهُمَا، قلنا: لكل واحدة منهما تأثير في المنع، فصار اجتماعهما مؤثر فِي التَّحْرِيمِ.
Adapun dalil dengan firman Allah Ta‘ala: {maka budak-budak perempuan yang kamu miliki} maka yang dimaksud adalah menikmati mereka dengan kepemilikan tangan, bukan dengan akad nikah, sehingga boleh disamakan antara kebolehan budak perempuan Muslimah dan Ahlul Kitab, karena mereka telah menjadi milik seorang Muslim sehingga tidak mengakibatkan penawanan anaknya. Demikian pula hukum dalam pernikahan budak perempuan Muslimah, maka tidak boleh menggabungkan antara menikahi budak perempuan Muslimah dan budak perempuan kafir. Adapun ucapannya bahwa masing-masing dari dua kekurangan itu tidak mencegah, maka demikian pula jika berkumpul, kami katakan: masing-masing dari keduanya berpengaruh dalam pencegahan, maka berkumpulnya keduanya menjadi sebab keharaman.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا اسْتَقَرَّ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي نِكَاحِ الْحُرِّ لِلْأَمَةِ فنَكَحَهَا وَأَوْلَدَهَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الزَّوْجِ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَرَبِيًّا أَوْ عَجَمِيًّا، فَإِنْ كَانَ عجمياً كان ولده منها مرقوقاً لِسَيِّدِهَا وَإِنْ كَانَ عَرَبِيًّا فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan mengenai syarat-syarat yang dianggap sah dalam pernikahan laki-laki merdeka dengan seorang budak perempuan, lalu ia menikahinya dan memiliki anak darinya, maka keadaan suami tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia seorang Arab atau non-Arab. Jika ia non-Arab, maka anaknya dari budak perempuan itu menjadi budak milik tuannya. Namun jika ia seorang Arab, maka terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يكون مرقوقاً لسيدها.
Salah satunya: anak tersebut menjadi budak milik tuannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَكُونُ حُرًّا وَعَلَى الْأَبِ قِيمَتُهُ لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَجْرِي عَلَى عَرَبِيٍّ صَغَارٌ بَعْدَ هَذَا الْيَوْمِ ” وَالِاسْتِرْقَاقُ مِنْ أَعْظَمِ الصَّغَارِ، فَوَجَبَ أَنْ ينتفي عَنِ الْعَرَبِ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ مفضٍ إِلَى اسْتِرْقَاقِ مَنْ نَاسَبَ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي أَقْرَبِ آبَائِهِ مَعَ وَصِيَّةِ اللَّهِ تَعَالَى بِذَوِي الْقُرْبَى، فَلَوْ نَكَحَ الْحُرُّ مُكَاتِبَةً كَانَ في وجه إِنْ لَمْ يَكُنْ عَرَبِيًّا قَوْلَانِ:
Pendapat kedua: anak tersebut merdeka dan ayahnya wajib membayar nilai anak itu, berdasarkan sabda Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Tidak berlaku perbudakan atas orang Arab setelah hari ini.” Sementara perbudakan adalah salah satu bentuk kehinaan terbesar, maka wajib dihilangkan dari orang Arab. Selain itu, hal tersebut dapat menyebabkan perbudakan terhadap orang yang memiliki hubungan nasab dekat dengan Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- pada leluhur terdekatnya, padahal Allah Ta‘ālā telah mewasiatkan untuk berbuat baik kepada kerabat dekat. Jika seorang laki-laki merdeka menikahi seorang budak perempuan mukatab, maka jika ia bukan orang Arab, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: مَمْلُوكٌ لِسَيِّدِهَا.
Salah satunya: anak tersebut menjadi milik tuannya.
وَالثَّانِي: تَبَعٌ لَهَا، وإِنْ كَانَ عَرَبِيًّا، ففيه ثلاثة أقاويل:
Pendapat kedua: anak tersebut mengikuti status ibunya. Jika ia seorang Arab, maka terdapat tiga pendapat:
أحدها: حر يُعْتَقُ عَلَى أَبِيهِ بِقِيمَتِهِ.
Pertama: anak tersebut merdeka dan dimerdekakan oleh ayahnya dengan membayar nilainya.
وَالثَّانِي: تَبَعٌ لِأُمِّهِ، يُعْتَقُ بِعِتْقِهَا، وَيَرِقُّ بِرِقِّهَا.
Kedua: anak tersebut mengikuti status ibunya, dimerdekakan jika ibunya merdeka, dan menjadi budak jika ibunya budak.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ مِلْكٌ لسيدها والله أعلم.
Ketiga: anak tersebut menjadi milik tuannya. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَالَعَبْدُ كَالْحُرِّ فِي أَنْ لَا يَحَلَّ لَهُ نِكَاحُ أمةٍ كتابيةٍ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Budak laki-laki sama seperti orang merdeka dalam hal tidak halal baginya menikahi budak perempuan ahli kitab.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: لَا يَجُوزُ لِلْعَبْدِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِالْأَمَةِ الْكِتَابِيَّةِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِهَا الْحُرُّ الْمُسْلِمُ وَجَوَّزَهُ أبو حنيفة، كَمَا جَوَّزَهُ لِلْحُرِّ، وَفَرَّقَ بَعْضُ الْعِرَاقِيِّينَ بَيْنَ الْحُرِّ والعبد، فجوز للعبد أن ينكح الأمة الكتابيةن وَلَمْ يُجَوِّزْهُ لِلْحُرِّ، لِأَنَّ الْعَبْدَ قَدْ سَاوَاهَا فِي نَقْصِ الرِّقِّ وَاخْتُصَّتْ مَعَهُ بِنَقْصِ الْكُفْرِ فَلَمْ يَمْنَعْهُ أَحَدُ النَّقْصَيْنِ كَمَا لَمْ يَمْنَعِ الْمُسْلِمَ الْحُرَّ أَنْ يَنْكِحَ الْكِتَابِيَّةَ الْحُرَّةَ لِاخْتِصَاصِهَا مَعَهُ بِأَحَدِ النَّقْصَيْنِ، وَخَالَفَ نِكَاحَ الْحُرِّ الْمُسْلِمِ لِلْأَمَةِ الْكِتَابِيَّةِ لِاخْتِصَاصِهَا مَعَهُ بِنَقْصَيْنِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ اجْتِمَاعَ النَّقْصَيْنِ فِيهَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ نِكَاحِهَا كَالْوَثَنِيَّةِ الْحُرَّةِ لَا يَنْكِحُهَا حُرٌّ وَلَا عَبْدٌ لِاجْتِمَاعِ النَّقْصَيْنِ، فَاسْتَوَى فِي تَحْرِيمِهَا بهما من ساواهما في أحدهما أو خالفها فِيهِمَا، فَإِذَا أَرَادَ كِتَابِيٌّ أَنْ يَنْكِحَ هَذِهِ الأمة الكتابية، ودعى حاكمها إلى إنكاحها ففي جوازه وجهان:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Tidak boleh bagi budak laki-laki muslim menikahi budak perempuan ahli kitab, sebagaimana tidak boleh pula bagi laki-laki merdeka muslim menikahinya. Abu Hanifah membolehkannya, sebagaimana ia membolehkannya juga untuk laki-laki merdeka. Sebagian ulama Irak membedakan antara laki-laki merdeka dan budak, sehingga membolehkan budak menikahi budak perempuan ahli kitab, namun tidak membolehkannya bagi laki-laki merdeka, karena budak telah setara dengannya dalam kekurangan status perbudakan dan bersamanya dalam kekurangan status kekufuran, sehingga tidak terhalang oleh salah satu dari dua kekurangan tersebut, sebagaimana tidak terhalang bagi laki-laki merdeka muslim untuk menikahi perempuan ahli kitab yang merdeka karena hanya terdapat satu kekurangan. Adapun pernikahan laki-laki merdeka muslim dengan budak perempuan ahli kitab tidak diperbolehkan karena terdapat dua kekurangan sekaligus. Ini adalah kekeliruan, karena berkumpulnya dua kekurangan pada budak perempuan ahli kitab menghalangi bolehnya menikahinya, sebagaimana perempuan musyrik yang merdeka tidak boleh dinikahi oleh laki-laki merdeka maupun budak karena berkumpulnya dua kekurangan. Maka, dalam pengharamannya, siapa pun yang setara dengannya dalam salah satu kekurangan atau berbeda dalam keduanya, tetap sama hukumnya. Jika seorang ahli kitab ingin menikahi budak perempuan ahli kitab ini, dan hakimnya mengajaknya untuk menikahkannya, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat:
أحدهما: يجوز أن يزوجه بها؛ لأنه قَدْ صَارَتْ بِاجْتِمَاعِ النَّقْصَيْنِ مُحَرَّمَةً عِنْدَنَا.
Pendapat pertama: Boleh menikahkannya, karena dengan berkumpulnya dua kekurangan, ia menjadi haram menurut kami.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجُوزُ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي النَّقْصِ كَمَا يَجُوزُ أن يزوج وثنياً بوثنية.
Pendapat kedua: Boleh, karena keduanya setara dalam kekurangan, sebagaimana boleh menikahkan penyembah berhala dengan penyembah berhala.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَأَيُّ صنفٍ حَلَّ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ حَلَّ وَطْءُ إمائهم بالملك وما حرمَ نِكَاح حَرَائِرِهِمْ حرمَ وَطْء إِمَائِهِمْ بِالْمِلْكِ “
Imam Syafi‘i berkata: “Setiap golongan yang halal menikahi perempuan merdeka mereka, maka halal juga menyetubuhi budak perempuan mereka dengan kepemilikan. Dan setiap golongan yang haram menikahi perempuan merdeka mereka, maka haram pula menyetubuhi budak perempuan mereka dengan kepemilikan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ الْأَمَةَ قَدْ تَصِيرُ فِرَاشًا بِالْوَطْءِ كَمَا تَصِيرُ الْحُرَّةُ فِرَاشًا بالعقد، فأي صنف حل نكاح حرائرهم فهم الْمُسْلِمُونَ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى حَلَّ وَطْءُ إِمَائِهِمْ بِمِلْكِ الْيَمِينِ وَهُنَّ الْإِمَاءُ الْمُسْلِمَاتُ، واليهوديات، والنصرانيات، وقد اسْتَمْتَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِأَمَتَيْنِ بِمِلْكِ يَمِينِهِ: إِحْدَاهُمَا مُسْلِمَةٌ، وَهِيَ مَارِيَةُ، وَأَوْلَدَهَا ابْنَهُ إِبْرَاهِيمَ وَالْأُخْرَى يَهُودِيَّةٌ وَهِيَ رَيْحَانَةُ ثُمَّ بُشِّرَ بِإِسْلَامِهَا فَسُّرَ بِهِ، وَأَعْتَقَ أَمَتَيْنِ وَتَزَوَّجَهُمَا وَجَعَلَ عِتْقَهُمَا صَدَاقَهُمَا:
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, karena budak perempuan bisa menjadi tempat tidur (istri) dengan hubungan badan sebagaimana perempuan merdeka menjadi istri dengan akad. Maka, golongan yang halal menikahi perempuan merdeka mereka adalah kaum muslimin dan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, maka halal menyetubuhi budak perempuan mereka dengan kepemilikan, yaitu budak perempuan muslimah, Yahudi, dan Nasrani. Rasulullah -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- pernah menikmati dua budak perempuan dengan kepemilikan: salah satunya muslimah, yaitu Maria, yang melahirkan putranya Ibrahim, dan yang lainnya Yahudi, yaitu Raihanah, kemudian beliau mendapat kabar gembira atas keislamannya dan beliau pun bergembira, serta beliau memerdekakan dua budak perempuan dan menikahi keduanya, dan menjadikan kemerdekaan mereka sebagai mahar mereka:
إِحْدَاهُمَا: جُوَيْرِيَّةُ.
Salah satunya: Juwayriyyah.
وَالْأُخْرَى: صَفِيَّةُ.
Dan yang lainnya: Shafiyyah.
فَأَمَّا مَنْ لَا يَحِلُّ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ مِنَ الْمَجُوسِ وَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَلَا يَحِلُّ وَطْءُ إمائهم بملك اليمين.
Adapun golongan yang tidak halal menikahi perempuan merdeka mereka, seperti kaum Majusi dan penyembah berhala, maka tidak halal pula menyetubuhi budak perempuan mereka dengan kepemilikan.
وقال أبو ثور: كل وطء جمع الْإِمَاءَ بِمِلْكِ الْيَمِينِ عَلَى أَيِّ كُفْرٍ كَانَتْ مِنْ مَجُوسِيَّةٍ أَوْ وَثَنِيَّةٍ أَوْ دَهْرِيَّةٍ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ فِي سَبْيِ هَوَازِنَ وَهُنَّ وَثَنِيَّاتٌ ” أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ، وَلَا غَيْرَ ذات حمل حتى تحيض ” فأباح وطئهن بِالْمِلْكِ بَعْدَ اسْتِبْرَائِهِنَّ؛ وِلِأَنَّ الْوَطْءَ بِمِلْكِ الْيَمِينِ أوسع حكماً منه بعقد النكاح؛ لأنه لا يَسْتَمْتِعُ مِنَ الْإِمَاءِ بِمَنْ شَاءَ مِنْ غَيْرِ عددٍ محصورٍ وَلَا يَحِلُّ بِعَقْدِ النِّكَاحِ أَكْثَرُ من أربع فجاز لا تساع حكم الإماء أن يستمتع منهن بمن لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْكِحَهَا مِنَ الْوَثَنِيَّاتِ وَهَذَا خَطَأٌ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ) {البقرة: 221) فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْحَرَائِرِ وَالْإِمَاءِ؛ وَلِأَنَّ الْمُحَرَّمَاتِ بِعَقْدِ النِّكَاحِ مُحَرَّمَاتٌ بِمِلْكِ الْيَمِينِ كَذَوَاتِ الْأَنْسَابِ؛ وَلِأَنَّ مَا حُرِّمَ بِهِ وَطْءُ ذَوَاتِ الْأَنْسَابِ حُرِّمَ بِهِ وَطْءُ الْوَثَنِيَّاتِ كَالنِّكَاحِ.
Abu Tsaur berkata: Setiap hubungan badan dengan budak perempuan yang dikumpulkan melalui kepemilikan tangan kanan (milku al-yamīn), baik mereka berasal dari kalangan kafir apapun, seperti Majusi, penyembah berhala, atau dahriyyah, dibolehkan dengan dalil bahwa Nabi ﷺ bersabda tentang tawanan Hawazin, padahal mereka adalah penyembah berhala: “Ketahuilah, jangan digauli wanita yang sedang hamil hingga ia melahirkan, dan jangan pula wanita yang tidak hamil hingga ia haid.” Maka beliau membolehkan menggauli mereka melalui kepemilikan setelah masa istibra’ mereka; karena hubungan badan melalui milku al-yamīn hukumnya lebih luas daripada melalui akad nikah; sebab seseorang boleh menikmati budak perempuan sebanyak yang ia kehendaki tanpa batasan jumlah, sedangkan melalui akad nikah tidak boleh lebih dari empat. Maka, karena hukum budak perempuan lebih luas, boleh menikmati dari mereka siapa saja yang tidak boleh dinikahi dari kalangan penyembah berhala. Namun, ini adalah kekeliruan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman} (al-Baqarah: 221), maka ayat ini berlaku umum baik untuk wanita merdeka maupun budak perempuan; dan karena wanita-wanita yang diharamkan melalui akad nikah juga diharamkan melalui milku al-yamīn, seperti wanita-wanita yang memiliki hubungan nasab; dan sebab apa yang diharamkan untuk menggauli wanita-wanita yang memiliki hubungan nasab juga diharamkan untuk menggauli wanita-wanita penyembah berhala, sebagaimana dalam pernikahan.
فَأَمَّا سَبْيُ هوازن، فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
Adapun tawanan Hawazin, maka ada dua jawaban terkait hal itu:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ تَحْرِيمِ الْمُشْرِكَاتِ فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ.
Pertama: Bisa jadi hal itu terjadi sebelum diharamkannya wanita-wanita musyrik dalam surah al-Baqarah.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يَكُنَّ قَدْ أَسْلَمْنَ؛ لِأَنَّ فِي النِّسَاءِ رِقَّةً لَا يَثْبُتْنَ مَعَهَا بَعْدَ السَّبْيِ عَلَى دِينٍ وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِاتِّسَاعِ حُكْمِهِنَّ فِي الْعَدَدِ فليس لعدد تَأْثِيرٌ فِي أَوْصَافِ التَّحْرِيمِ كَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ تَأْثِيرٌ فِي ذَوَاتِ الْأَنْسَابِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Kedua: Bisa jadi mereka telah masuk Islam; karena pada wanita terdapat kelembutan yang membuat mereka tidak bertahan pada agamanya setelah menjadi tawanan. Adapun berdalil dengan keluasan hukum mereka dalam jumlah, maka jumlah tidak berpengaruh dalam sifat-sifat keharaman, sebagaimana jumlah juga tidak berpengaruh pada wanita-wanita yang memiliki hubungan nasab. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ولا أكره نكاح نِسَاءَ أَهْلِ الْحَرْبِ إِلَّا لِئَلَّا يُفْتَنَ عَنُ دِيْنِهِ أَوْ يُسْتَرَقَّ وَلَدُهُ “
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Aku tidak memakruhkan menikahi wanita-wanita ahli harb kecuali karena khawatir seseorang akan tergoda dari agamanya atau anaknya akan diperbudak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهُوَ كما قال: لا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْكِتَابِيَّةَ الْحَرْبِيَّةَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الْحَرْبِ وَأَبْطَلَ الْعِرَاقِيُّونَ نِكَاحَهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ بِنَاءً عَلَى أُصُولِهِمْ فِي أَنَّ عُقُودَ دَارِ الْحَرْبِ بَاطِلَةٌ وَهِيَ عِنْدَنَا صَحِيحَةٌ؛ لِأَنَّ صِحَّةَ الْعَقْدِ وَفَسَادَهُ مُعْتَبَرٌ بِالْعَاقِدِ والمعقود عليه دون الولد؛ وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {وَالمُحْصَنَاتِ مِنَ الّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ} (المائدة:) وَلَمْ يُفَرِّقْ؛ ولأن الحرية في إباحتهن الكتاب دون الدار، ولأنه لما جاز وطئهن بالسبي، فأولى أن يجوز وطئهن بِالنِّكَاحِ؛ وَلِأَنَّ مَنْ حَلَّ نِكَاحُهَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ حَلَّ نِكَاحُهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ كَالْمُسْلِمَةِ، فَإِذَا صَحَّ نِكَاحُ الْحَرْبِيَّةِ فَهُوَ عِنْدَنَا مَكْرُوهٌ لِثَلَاثَةِ أُمُورٍ:
Al-Mawardi berkata: Dan memang sebagaimana yang beliau katakan: Tidak boleh bagi seorang Muslim menikahi wanita ahli kitab yang berstatus harbiyyah baik di Dar al-Islam maupun di Dar al-Harb. Ulama Irak membatalkan pernikahan tersebut di Dar al-Harb berdasarkan prinsip mereka bahwa seluruh akad di Dar al-Harb adalah batal, sedangkan menurut kami akad tersebut sah; karena sah atau tidaknya akad itu bergantung pada pihak yang berakad dan objek akad, bukan pada anak; dan karena Allah Ta‘ala berfirman: {Dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu} (al-Ma’idah) dan tidak membedakan; dan karena kebolehan menikahi mereka didasarkan pada status kitabiyyah, bukan pada negeri; dan karena jika boleh menggauli mereka melalui tawanan perang, maka lebih utama lagi boleh menggauli mereka melalui akad nikah; dan karena siapa yang halal dinikahi di Dar al-Islam, maka halal pula dinikahi di Dar al-Harb seperti wanita Muslimah. Maka, jika pernikahan dengan wanita harbiyyah sah, menurut kami hukumnya makruh karena tiga hal:
أَحَدُهَا: لِئَلَّا يُفْتَنَ عَنْ دِينِهِ بِهَا، أَوْ بِقَوْمِهَا، فَإِنَّ الرَّجُلَ يَصْبُو إِلَى زَوْجَتِهِ بِشِدَّةِ مَيْلِهِ.
Pertama: Agar tidak tergoda dari agamanya oleh wanita tersebut atau oleh kaumnya, karena seorang laki-laki sangat cenderung kepada istrinya.
وَالثَّانِي: لِئَلَّا يَكْثُرَ سَوَادُهُمْ بِنُزُولِهِ بَيْنَهُمْ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ كَثَّرَ سَوَادَ قَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “.
Kedua: Agar tidak memperbanyak jumlah mereka dengan tinggal di tengah-tengah mereka, dan Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa memperbanyak jumlah suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”
وَالثَّالِثُ: لِئَلَّا يُسْتَرَقَّ وَلَدُهُ وَتُسْبَى زَوْجَتُهُ؛ لِأَنَّ دَارَ الحرب ثغر وَتُغْنَمُ، فَإِنْ سُبِيَ وَلَدُهُ لَمْ يُسْتَرَقَّ؛ لِأَنَّهُ حُرٌّ مُسْلِمٌ وَإِنْ سُبِيَتْ زَوْجَتُهُ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Ketiga: Agar anaknya tidak diperbudak dan istrinya tidak dijadikan tawanan; karena Dar al-Harb adalah wilayah perbatasan yang bisa diserang dan dirampas. Jika anaknya ditawan, maka ia tidak diperbudak karena ia adalah Muslim yang merdeka. Jika istrinya ditawan, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُهَا، لِأَنَّ مَا بَيْنَهُمَا مِنْ عقد النكاح هو حق له عليها بالدين وَلَوْ كَانَ لَهُ عَلَيْهَا دَيْنٌ لَمْ يُمْنَعْ مِنِ اسْتِرْقَاقِهَا كَذَلِكَ النِّكَاحُ.
Pertama: Boleh diperbudak, karena akad nikah antara keduanya adalah hak suami atas istrinya dalam urusan agama, dan jika ia memiliki piutang atas istrinya, tidak menghalangi untuk diperbudak, demikian pula dengan akad nikah.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ ملك بعضها بالنكاح فلم يجز أن يستهلك عَلَيْهِ بِالِاسْتِرْقَاقِ كَمَا لَوْ مَلَكَ مَنَافِعَهَا بِالْإِجَارَةِ ورقبتها بالشراء.
Kedua: Ia telah memiliki sebagian istrinya melalui akad nikah, maka tidak boleh diperbudak seluruhnya, sebagaimana jika ia memiliki manfaatnya melalui akad ijarah dan tubuhnya melalui pembelian.
Bab: Sindiran dalam khitbah dari Kitab al-Jāmi‘ tentang sindiran dalam khitbah, dan lain-lain
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” كِتَابُ اللَّهِ تَعَالَى يَدُلُّ عَلَى أَنَّ التَّعْرِيضَ فِي الْعِدَّةِ جائزٌ بِمَا وَقَعَ عَلَيْهِ اسْمُ التعويض وقد ذكر القسم بَعْضَهُ وَالتَّعْرِيضُ كثيرُ وَهُوَ خِلَافُ التَّصْرِيحِ وَهُوَ تعريض الرجل للمرأة بما يدلها به على إرادة خطبتها بغير تصريح وتجيبه بمثل ذلك والقرآن كالدليل إذا أباح التعريض والتعريض عند أهل العلم جائزٌ سراً وعلانيةً على أن السر الذي نهي عنه هو الجماع قال امرؤ القيس.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Kitab Allah Ta‘ala menunjukkan bahwa ta‘rīḍ (ungkapan sindiran) dalam masa ‘iddah itu diperbolehkan, selama masih termasuk dalam kategori ta‘rīḍ. Allah telah menyebutkan sebagian bentuknya, sedangkan bentuk-bentuk ta‘rīḍ itu banyak, dan ia adalah kebalikan dari taṣrīḥ (ungkapan langsung). Ta‘rīḍ adalah ketika seorang laki-laki menyampaikan kepada perempuan sesuatu yang mengisyaratkan keinginannya untuk melamarnya tanpa pernyataan langsung, dan perempuan pun membalasnya dengan hal serupa. Al-Qur’an menjadi dalil bahwa ta‘rīḍ itu diperbolehkan. Menurut para ahli ilmu, ta‘rīḍ boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dengan catatan bahwa yang dimaksud dengan sembunyi-sembunyi yang dilarang adalah hubungan suami istri (jima‘). Sebagaimana dikatakan oleh Imru’ al-Qais.”
(ألا زعمت بسباسة القوم أَنَّنِي … كَبُرْتُ وَأَنْ لَا يُحْسِنَ السِّرَّ أَمْثَالِي)
“Tidakkah engkau tahu, wahai Bisbasah, bahwa aku telah tua, dan orang sepertiku tidak pandai menyimpan rahasia?”
(كذبت لقد أصبي عن الْمَرْءِ عِرْسَهُ … وَأَمْنَعُ عِرْسِي أَنْ يُزَنِّ بِهَا الخالي)
“Engkau berdusta! Sungguh aku bisa memikat istri seseorang, namun aku menjaga istriku agar tidak didekati oleh lelaki lain.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ النِّسَاءَ ثَلَاثٌ: خَلِيَّةٌ، وَذَاتُ زَوْجٍ، وَمُعْتَدَّةٌ.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa perempuan itu ada tiga macam: perempuan yang tidak bersuami (khaliyyah), perempuan yang bersuami, dan perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah (mu‘taddah).
فَأَمَّا الْخَلِيَّةُ الَّتِي لَا زوج لها وهي فِي عِدَّةٍ فَيَجُوزُ خِطْبَتُهَا بِالتَّعْرِيضِ وَالتَّصْرِيحِ وَأَمَّا ذَاتُ الزَّوْجِ فَلَا يحِلُّ خِطْبَتَهَا بِتَعْرِيضٍ وَلَا تَصْرِيحٍ، وَأَمَّا الْمُعْتَدَّةُ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Adapun perempuan yang tidak bersuami dan tidak dalam masa ‘iddah, maka boleh dilamar baik dengan ta‘rīḍ maupun taṣrīḥ. Adapun perempuan yang bersuami, maka tidak halal dilamar baik dengan ta‘rīḍ maupun taṣrīḥ. Sedangkan perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah, terbagi menjadi tiga jenis:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ رَجْعِيَّةً.
Pertama: Perempuan yang masa ‘iddahnya adalah ‘iddah raj‘iyyah (talak yang masih bisa dirujuk).
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ بَائِنًا لَا تَحِلُّ لِلزَّوْجِ.
Kedua: Perempuan yang masa ‘iddahnya adalah ‘iddah bain yang tidak halal lagi bagi suaminya.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ بَائِنًا تَحِلُّ لِلزَّوْجِ.
Ketiga: Perempuan yang masa ‘iddahnya adalah ‘iddah bain yang masih halal bagi suaminya.
فَأَمَّا الرَّجْعِيَّةُ فَلَا يَجُوزُ لِغَيْرِ الزوج أن يخطبها تصريحاً ولا تعريضاً؛ لِأَنَّ أَحْكَامَ الزَّوْجِيَّةِ عَلَيْهَا جَارِيَةٌ مِنْ وُجُوبِ النفقة ووقوع الطلاق، والظهار منها، وإنما يتوارثان إن مات أحدهما، ويعتد عِدَّةَ الْوَفَاةِ إِنْ مَاتَ الزَّوْجُ، وَمَتَى أَرَادَ الزوج رجعتها في العدة كانت زوجته.
Adapun perempuan yang masa ‘iddahnya adalah ‘iddah raj‘iyyah, maka tidak boleh bagi selain suaminya untuk melamarnya, baik secara taṣrīḥ maupun ta‘rīḍ, karena hukum-hukum pernikahan masih berlaku padanya, seperti kewajiban nafkah, jatuhnya talak, zhihār darinya, dan keduanya masih saling mewarisi jika salah satunya meninggal dunia. Jika suaminya meninggal, ia ber‘iddah dengan ‘iddah wafat. Dan kapan saja suaminya ingin merujuknya selama masa ‘iddah, maka ia kembali menjadi istrinya.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْبَائِنُ لا تحل للزوج فالمطلقة ثلاثاً، أو المتوفى عَنْهَا زَوْجُهَا، وَإِنْ لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَى الزَّوْجِ بَعْدَ مَوْتِهِ تَحْلِيلٌ وَلَا تَحْرِيمٌ، فَإِذَا كَانَتْ فِي عِدَّةٍ مِنْ وَفَاةِ زَوْجٍ فَحَرَامٌ أَنْ يُصَرِّحَ أَحَدٌ بِخِطْبَتِهَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الكِتَابَ أَجَلَهُ} (البقرة: 235) يُرِيدُ بِالْعَزْمِ عَلَى عُقْدَةِ النِّكَاحِ التَّصْرِيحَ بِالْخِطْبَةِ وبقوله: {حتى يبلغ الكتاب أجله} يُرِيدُ بِهِ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ، وَلِأَنَّ فِي الْمَرْأَةِ مِنْ غَلَبَةِ الشَّهْوَةِ وَالرَّغْبَةِ فِي الْأَزْوَاجِ مَا ربما يبعثها عَلَى الْإِخْبَارِ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ قَبْلَ أَوَانِهَا، وِقَوْلُهَا فِي انْقِضَائِهَا مَقْبُولٌ فَتَصِيرُ مَنْكُوحَةً فِي الْعِدَّةِ فَحَظَرَ اللَّهُ تَعَالَى التَّصْرِيحَ بِخِطْبَتِهَا حَسْمًا لِهَذَا التَّوَهُّمِ فَأَمَّا التَّعْرِيضُ بِخِطْبَتِهَا فِي الْعِدَّةِ بِمَا يُخَالِفُ التَّصْرِيحَ مِنَ الْقَوْلِ الْمُحْتَمَلِ فَجَائِزٌ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أكْنَنْتُمْ فِي أنْفُسِكُمْ) {البقرة: 235) يَعْنِي بِمَا عَرَّضْتُمْ مِنْ جَمِيلِ الْقَوْلِ، أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ.
Adapun perempuan yang masa ‘iddahnya adalah ‘iddah bain yang tidak halal lagi bagi suaminya, yaitu perempuan yang ditalak tiga kali atau yang ditinggal wafat suaminya, maka tidak ada lagi hubungan halal atau haram dengan suaminya setelah wafat. Jika ia sedang dalam masa ‘iddah karena wafat suami, maka haram bagi siapa pun untuk melamarnya secara taṣrīḥ, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu bertekad untuk melangsungkan akad nikah sebelum habis masa ‘iddahnya} (al-Baqarah: 235). Yang dimaksud dengan bertekad untuk akad nikah di sini adalah taṣrīḥ dalam lamaran, dan dengan firman-Nya: {hingga habis masa ‘iddahnya} maksudnya adalah selesai masa ‘iddah. Karena pada perempuan terdapat dorongan syahwat dan keinginan untuk menikah yang bisa saja mendorongnya untuk mengabarkan bahwa masa ‘iddahnya telah selesai sebelum waktunya, sementara keterangannya tentang berakhirnya ‘iddah diterima, sehingga ia bisa menjadi istri orang lain padahal masih dalam masa ‘iddah. Maka Allah Ta‘ala melarang taṣrīḥ dalam lamaran untuk menutup kemungkinan tersebut. Adapun ta‘rīḍ dalam melamar perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah dengan ucapan yang tidak secara langsung, maka itu diperbolehkan. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu} (al-Baqarah: 235). Maksudnya adalah dengan ucapan yang baik secara sindiran, atau menyembunyikan niat akad nikah dalam hati.
وَرُوِيَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جاءها بعد موت أَبِي سَلَمَةَ وَهِيَ تَبْكِي، وَقَدْ وَضَعَتْ خَدَّهَا عَلَى التُّرَابِ حُزْنًا عَلَى أَبِي سَلَمَةَ، فَقَالَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” قُولِي إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ اغفر له واعقبني منه وَعَوِّضْنِي خَيْرًا مِنْهُ ” قَالَتْ أَمُّ سَلَمَةَ: فَقُلْتُ في نفسي من خير مِنْ أَبِي سَلَمَةَ أَوَّلِ الْمُهَاجِرِينَ هِجْرَةً، وَابْنِ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَابْنِ عَمِّي، فَلَمَّا تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلِمْتُ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنْهُ، فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ وَالْخَبَرُ عَلَى جَوَازِ التَّعْرِيضِ بِخِطْبَةِ الْمُعْتَدَّةِ مِنَ الوفاة، وأما المعتدة من الطلاق فثلاث فَلَا يَجُوزُ لِلزَّوْجِ الْمُطَلِّقِ أَنْ يَخْطُبَهَا بِصَرِيحٍ، وَلَا تَعْرِيضٍ؛ لِأَنَّهَا لَا تَحِلُّ لَهُ بَعْدَ الْعِدَّةِ فَحَرُمَتْ عَلَيْهِ الْخِطْبَةُ.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Nabi ﷺ datang kepadanya setelah wafat Abu Salamah, sementara ia sedang menangis dan meletakkan pipinya di tanah karena sedih atas Abu Salamah. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Ucapkanlah: Inna lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Ya Allah, ampunilah dia, dan berilah aku pengganti yang lebih baik darinya.” Ummu Salamah berkata: “Aku berkata dalam hati, siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, orang yang pertama kali hijrah, sepupu Rasulullah ﷺ, dan juga sepupuku?” Namun ketika Rasulullah ﷺ menikahiku, aku tahu bahwa beliau lebih baik darinya. Maka ayat dan hadis ini menunjukkan bolehnya ta‘rīḍ dalam melamar perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah karena wafat suami. Adapun perempuan yang menjalani masa ‘iddah karena talak, maka ada tiga macam. Tidak boleh bagi suami yang telah menceraikannya untuk melamarnya kembali, baik secara taṣrīḥ maupun ta‘rīḍ, karena ia tidak halal lagi baginya setelah masa ‘iddah, sehingga haram baginya untuk melamarnya.
وَأَمَّا غَيْرُ الْمُطَلِّقِ فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُصَرِّحَ بِخِطْبَتِهَا، وَيَجُوزُ أَنْ يُعَرِّضَ لَهَا لِمَا رُوِيَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا أَبُو عَمْرِو بْنُ حَفَصٍ ثَلَاثًا فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وهي في العدة إذا أحللت فَآذِنِينِي وَرَوَتْ أَنَّهُ قَالَ لَهَا: إِذَا حَلَلْتِ فلا تسبقيني بِنَفْسِكِ فَكَانَ ذَلِكَ تَعْرِيضًا لَهَا.
Adapun selain orang yang menceraikan, maka tidak boleh baginya untuk secara terang-terangan melamarnya, namun boleh baginya untuk memberi isyarat (ta‘rīḍ) kepadanya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Fāṭimah binti Qais dicerai oleh suaminya, Abū ‘Amr bin Ḥafṣ, dengan talak tiga, lalu Nabi ﷺ berkata kepadanya saat ia masih dalam masa ‘iddah: “Jika engkau telah halal (selesai ‘iddah), beritahukanlah kepadaku.” Dan ia meriwayatkan bahwa beliau berkata kepadanya: “Jika engkau telah halal, janganlah mendahuluiku dengan dirimu sendiri.” Maka itu merupakan isyarat (ta‘rīḍ) kepadanya.
وَفِي مَعْنَى المطلقة ثلاثاً: الْمُلَاعِنَةُ، وَالْمُحَرَّمَةُ، بِمُصَاهَرَةٍ، أَوْ رَضَاعٍ، فَإِذَا حَلَّ التَّعْرِيضُ بِخِطْبَتِهَا فَفِي كَرَاهِيَتِهِ قَوْلَانِ:
Adapun yang dimaksud dengan wanita yang ditalak tiga adalah: wanita yang melakukan li‘ān, wanita yang diharamkan karena muṣāharah (hubungan pernikahan), atau karena raḍā‘ (persusuan). Jika isyarat (ta‘rīḍ) untuk melamarnya diperbolehkan, maka dalam hal makruhnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – قَالَهُ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” أَنَّهُ مَكْرُوهٌ؛ لِأَنَّ الْآيَةَ وَارِدَةٌ فِي الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا.
Salah satunya—disebutkan dalam kitab “al-Umm”—bahwa hal itu makruh, karena ayat tersebut turun berkaitan dengan wanita yang ditinggal wafat suaminya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – أَنَّهُ غَيْرُ مَكْرُوهٍ قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ ” وَالْإِمْلَاءِ ” قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ: أَمْرُهَا فِي ذَلِكَ أَخَفُّ مِنَ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا جَازَ ذلك، لأن هناك مطلق بِهِ يُمْنَعُ مِنْ تَزْوِيجِهَا قَبْلَ الْعِدَّةِ.
Pendapat kedua: bahwa hal itu tidak makruh, sebagaimana disebutkan dalam karya-karya terdahulu dan “al-Imlā’”. Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Jika ada yang mengatakan bahwa urusan wanita tersebut dalam hal ini lebih ringan daripada wanita yang ditinggal wafat suaminya, maka itu dibenarkan, karena pada kasus wanita yang ditalak ada larangan menikahinya sebelum selesai ‘iddah.”
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْبَائِنُ الَّتِي تَحِلُّ لِلزَّوْجِ فَهِيَ الْمُخْتَلِعَةُ إِذَا كَانَتْ فِي عِدَّتِهَا يَجُوزُ لِلزَّوْجِ أَنْ يُصَرِّحَ بِخِطْبَتِهَا؛ لِأَنَّهُ يَحِلُّ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِي عِدَّتِهَا، فَأَمَّا غَيْرُ الزَّوْجِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَرِّحَ بخِطْبَتِهَا وَفِي جَوَازِ تَعْرِيضِهِ لَهَا بِالْخِطْبَةِ قَوْلَانِ:
Adapun wanita bā’in yang masih halal bagi suaminya, yaitu wanita yang melakukan khulu‘, jika ia masih dalam masa ‘iddah, maka suaminya boleh secara terang-terangan melamarnya, karena suaminya boleh menikahinya kembali selama masa ‘iddah. Adapun selain suaminya, tidak boleh melamarnya secara terang-terangan. Dalam hal kebolehan memberi isyarat (ta‘rīḍ) untuk melamarnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِإِبَاحَتِهَا لِلْمُطَلِّقِ كَالرَّجْعِيَّةِ، قاله في كتاب البويطي.
Salah satunya: tidak boleh, karena ia masih halal bagi suaminya seperti halnya wanita yang ditalak raj‘i, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Buwaiṭī.
والقول الثاني: لا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الزَّوْجَ لَا يَمْلِكُ رَجَعَتْهَا كَالْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا قَالَهُ فِي أَكْثَرِ كُتُبِهِ وَفِي مَعْنَى المختلعة الموطوءة بشبهة يجوز للواطء أَنْ يُصَرِّحَ بَخِطْبَتِهَا فِي الْعِدَّةِ؛ لِأَنَّهَا مِنْهُ وَيَحِلُّ لَهُ نِكَاحُهَا فِي الْعِدَّةِ، وَلَا يَجُوزُ لِغَيْرِهِ أَنْ يُصَرِّحَ بِخِطْبَتِهَا وَفِي جَوَازِ تَعْرِيضِهِ قَوْلَانِ.
Pendapat kedua: boleh, karena suaminya tidak memiliki hak rujuk seperti pada wanita yang ditalak tiga, sebagaimana disebutkan dalam kebanyakan kitab-kitabnya. Dalam hal ini, wanita yang melakukan khulu‘ disamakan dengan wanita yang digauli karena syubhat, di mana orang yang menggaulinya boleh secara terang-terangan melamarnya selama masa ‘iddah, karena ia berasal darinya dan halal baginya untuk menikahinya selama masa ‘iddah. Adapun selainnya, tidak boleh melamarnya secara terang-terangan, dan dalam hal kebolehan memberi isyarat (ta‘rīḍ) terdapat dua pendapat.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ فَرْقٌ مَا بَيْنَ التَّصْرِيحِ وَالتَّعْرِيضِ فَالتَّصْرِيحُ مَا زَالَ عَنْهُ الِاحْتِمَالُ وتحقق مِنْهُ الْمَقْصُودُ مِثْلَ قَوْلِهِ: أَنَا رَاغِبٌ فِي نكاحك، وأريد أن أتزوجك أو يقول إذا قضيت عِدَّتكِ فَزَوِّجِينِي بِنَفْسِكِ.
Jika telah tetap adanya perbedaan antara pernyataan terang-terangan (taṣrīḥ) dan isyarat (ta‘rīḍ), maka taṣrīḥ adalah ucapan yang tidak lagi mengandung kemungkinan makna lain dan maksudnya telah jelas, seperti ucapan: “Aku ingin menikahimu,” atau “Aku ingin menikah denganmu,” atau ia berkata, “Jika engkau telah selesai ‘iddah, nikahkanlah dirimu denganku.”
وَأَمَّا التَّعْرِيضُ: فَهُوَ الْإِشَارَةُ بِالْكَلَامِ الْمُحْتَمَلِ إِلَى مَا لَيْسَ فِيهِ ذِكْرٌ مِثْلَ قَوْلِهِ: رُبَّ رَجُلٍ يَرْغَبُ فِيكِ، أَوْ أنني راغب، أو ما عليك إثم أو لعل اللَّهَ أَنْ يَسُوقَ إِلَيْكِ خَيْرًا، أَوْ لَعَلَّ الله أن يحدث لك أمراً، فإذا أحللت فَآذِنِينِي إِلَى مَا جَرَى مَجْرَى ذَلِكَ، وَسَوَاءٌ أَضَافَ ذَلِكَ إِلَى نَفْسِهِ أَوْ أَطْلَقَ إِذَا لم يصرح باسم النكاح، وكان محتمل أن يريده بكلامه أو يريد غيره، وإذ حَلَّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَخْطُبَهَا بِالتَّصْرِيحِ حَلَّ لَهَا أَنْ تُجِيبَهُ عَلَى الْخِطْبَةِ بِالتَّصْرِيحِ، وَإِذَا حَرُمَ عَلَيْهِ أَنْ يَخْطُبَهَا إِلَّا بِالتَّعْرِيضِ دُونَ التَّصْرِيحِ حَرُمَ عَلَيْهَا أَنْ تُجِيبَهُ إِلَّا بِالتَّعْرِيضِ دُونَ التَّصْرِيحِ لِيَكُونَ جَوَابُهَا مِثْلَ خِطْبَتِهِ.
Adapun ta‘rīḍ (isyarat): yaitu ucapan yang mengandung kemungkinan makna lain dan tidak secara eksplisit menyebutkan maksud, seperti ucapan: “Mungkin ada seseorang yang berminat kepadamu,” atau “Aku berminat,” atau “Tidak ada dosa atasmu,” atau “Semoga Allah mendatangkan kebaikan kepadamu,” atau “Semoga Allah menetapkan sesuatu untukmu,” atau “Jika engkau telah halal, beritahukanlah kepadaku,” dan ucapan lain yang semisal. Baik ia menisbatkan ucapan itu kepada dirinya sendiri atau secara umum, selama tidak menyebutkan secara jelas kata nikah, dan masih mungkin dimaksudkan untuk menikah atau untuk maksud lain. Jika seorang laki-laki telah halal untuk melamarnya secara terang-terangan, maka wanita itu pun boleh menjawab lamarannya secara terang-terangan. Namun jika hanya boleh melamar dengan isyarat (ta‘rīḍ) dan tidak boleh secara terang-terangan, maka wanita itu pun hanya boleh menjawab dengan isyarat (ta‘rīḍ) dan tidak boleh secara terang-terangan, agar jawabannya sesuai dengan lamarannya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا حل التعريض لها بالخطبة جاز سراً أو جهراً.
Jika telah halal memberi isyarat (ta‘rīḍ) untuk melamarnya, maka boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
وَقَالَ دَاوُدُ وَطَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَرِّضَ لَهَا بِالْخِطْبَةِ سِرًّا حَتَّى يَجْهَرَ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَكِنْ لاَ تُوَاعِدُوهُنَّ سَراً) {البقرة: 235) وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ التَّعْرِيضَ لَمَّا حَلَّ اقْتَضَى أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ السِّرُّ وَالْجَهْرُ، فأما قوله: ” لا تواعدوهن سراً ” فَفِيهِ لِأَهْلِ التَّأْوِيلِ أَرْبَعَةُ أَقَاوِيلَ:
Dāwud dan sekelompok ahli ẓāhir berpendapat: tidak boleh memberi isyarat (ta‘rīḍ) untuk melamarnya secara sembunyi-sembunyi sampai dilakukan secara terang-terangan, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: “Tetapi janganlah kamu berjanji kepada mereka secara rahasia” (al-Baqarah: 235). Ini adalah pendapat yang keliru, karena ketika ta‘rīḍ telah dibolehkan, maka sama saja dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Adapun firman-Nya: “Janganlah kamu berjanji kepada mereka secara rahasia,” menurut ahli tafsir terdapat empat pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ الزِّنَا، قَالَهُ الْحَسَنُ، وَالضَّحَّاكُ، وَقَتَادَةُ، وَالسُّدِّيُّ.
Pertama: yang dimaksud adalah zina, sebagaimana dikatakan oleh al-Ḥasan, al-Ḍaḥḥāk, Qatādah, dan al-Suddī.
وَالثَّانِي: ألا تَنْكِحُوهُنَّ فِي عِدَدِهِنَّ سِرًّا، قَالَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بن يزيد.
Kedua: yaitu larangan menikahi mereka selama masa ‘iddah secara sembunyi-sembunyi, sebagaimana dikatakan oleh ‘Abd al-Raḥmān bin Yazīd.
والثالث: ألا تأخذوا ميثاقهن وعهودهن فِي عِدَدِهِنَّ أَنْ لَا يَنْكِحْنَ غَيْرَكُمْ قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَالشَّعْبِيُّ.
Dan yang ketiga: Janganlah kalian mengambil janji dan ikrar mereka (para wanita yang dalam masa ‘iddah) dalam masa ‘iddah mereka bahwa mereka tidak akan menikah dengan selain kalian. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Sa‘id bin Jubair, dan asy-Sya‘bi.
وَالرَّابِعُ: أنه الجماع قال الشَّافِعِيُّ وَسُمِّيَ سِرًّا؛ لِأَنَّهُ يُسِرُّ وَلَا يُظْهِرُ، وَاسْتَشْهَدَ الشَّافِعِيُّ بِقَوْلِ امْرِئِ الْقَيْسِ.
Dan yang keempat: bahwa yang dimaksud adalah jima‘ (hubungan badan), sebagaimana dikatakan oleh asy-Syafi‘i. Disebut “sirran” (secara rahasia) karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak ditampakkan. Asy-Syafi‘i berdalil dengan perkataan Imru’ul Qais.
(أَلَا زَعَمَتْ بَسْبَاسَةُ الْيَوْمَ أَنَّنِي … كَبُرْتُ وَأَنْ لَا يُحْسِنَ السِّرَّ أَمْثَالِي)
(“Ketahuilah, hari ini Basbasah mengira bahwa aku … telah tua dan orang sepertiku tidak pandai menyembunyikan rahasia.”)
(كَذَبْتِ لَقَدْ أُصْبِي عَلَى الْمَرْءِ عِرْسَهُ … وَأَمْنَعُ عِرْسِي أَنْ يُزَنِّ بِهَا الْخَالِي}
(“Engkau dusta, sungguh aku masih bisa memikat istri seseorang … dan aku menjaga istriku agar tidak didekati oleh orang yang sendirian.”)
وَقَالَ آخَرُ:
Dan ada pula yang berkata:
(وَيَحْرُمُ سِرُّ جَارَتِهِمْ عَلَيْهِمْ … وَيَأْكُلُ جارهم أنف القصاع)
(“Rahasia tetangga mereka haram atas mereka … namun tetangga mereka makan bagian teratas dari nampan.”)
مواعدته لها بالسر الذي هو الجماع أن يَقُولَ لَهَا أَنَا كَثِيرُ الْجِمَاعِ قَوِيُّ الْإِنْعَاظِ فحرم الله تعالى ذَلِكَ لِفُحْشِهِ، وَإنَّهُ رُبَّمَا أَثَارَ الشَّهْوَةَ فَلَمْ يُؤْمَنْ مَعَهُ مُوَاقَعَةُ الْحَرَامِ وَقَدْ رَوَى ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ دَرَّاجٍ عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه نهى عن الشياع يعني المفاخرة بالجماع.
Janji laki-laki kepada wanita itu secara rahasia, yaitu jima‘, misalnya ia berkata kepada wanita itu, “Aku sering melakukan jima‘ dan kuat ereksi.” Maka Allah Ta‘ala mengharamkan hal tersebut karena keburukannya, dan karena hal itu bisa membangkitkan syahwat sehingga dikhawatirkan terjadi perbuatan haram. Ibnu Lahi‘ah meriwayatkan dari Darraj, dari Abu al-Haitsam, dari Abu Sa‘id al-Khudri, dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang asy-syiya‘, yaitu saling membanggakan diri dalam urusan jima‘.
فَصْلٌ
Fasal
فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا صَرَّحَ بِخِطْبَةِ مُعْتَدَّةٍ وَتَزَوَّجَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، كَانَ النِّكَاحُ جَائِزًا، وإن لم يصرح بالخطبة.
Jika seorang laki-laki secara terang-terangan melamar wanita yang sedang dalam masa ‘iddah, lalu menikahinya setelah masa ‘iddah selesai, maka pernikahannya sah, meskipun ia tidak pernah melamar secara terang-terangan sebelumnya.
وقال مَالِكٌ: يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا بِطَلْقَةٍ، ثُمَّ يُسْتَأْنَفُ الْعَقْدُ عليها وهذا خطأ؛ لأن ما قدمناه قَبْلَ الْعَقْدِ مِنْ قَوْلٍ مَحْظُورٍ كَالْقَذْفِ أَوْ فِعْلٍ مَحْظُورٍ كَإِظْهَارِ سَوْأَتِهِ أَوْ تَجَرُّدِهِ عَنْ ثِيَابِهِ لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الْعَقْدِ، وَإِنْ أَثِمَ بِهِ كَذَلِكَ التَّصْرِيحُ بِالْخِطْبَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب.
Malik berkata: Keduanya harus dipisahkan dengan satu talak, kemudian akad nikah diulang kembali atas wanita itu. Ini adalah pendapat yang keliru, karena apa yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu ucapan yang terlarang sebelum akad seperti menuduh zina, atau perbuatan terlarang seperti menampakkan aurat atau bertelanjang, tidak menghalangi keabsahan akad, meskipun ia berdosa karenanya. Demikian pula halnya dengan melamar secara terang-terangan. Allah lebih mengetahui mana yang benar.
بَابُ النَّهْيِ أَنْ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أخيه
Bab Larangan Melamar di Atas Lamaran Saudaranya
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أخبرنا مالك بن أنسٍ عَنْ نافعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ ” وقال عليه الصلاة والسلام لفاطمة بنت قيس ” إذا حللت فآذنيني ” قالت فلما حللت أخبرته أن معاوية وأبا جهمٍ خطباني فقال ” أَمَّا مُعَاوِيَةُ فصعلوكُ لَا مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو جهمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ انكحي أسامة ” فدلت خطبته على خطبتهما أنها خلاف الذي نهى عنه أن يخطب على خطبة أخيه إذا كانت قد أذنت فيه فكان هذا فساداً عليه وفي الفساد ما يشبه الإضرار والله أعلم، وفاطمة لم تكن أخبرته أنها أذنت في أحدهما “.
Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Janganlah salah seorang di antara kalian melamar di atas lamaran saudaranya.’ Dan Nabi ﷺ bersabda kepada Fathimah binti Qais: ‘Jika masa ‘iddahmu telah selesai, beritahukanlah kepadaku.’ Ia berkata: Ketika masa ‘iddahku selesai, aku memberitahunya bahwa Mu‘awiyah dan Abu Jahm telah melamarku. Maka beliau bersabda: ‘Adapun Mu‘awiyah, ia seorang miskin yang tidak punya harta. Adapun Abu Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul). Nikahilah Usamah.’ Maka lamaran beliau atas lamaran keduanya menunjukkan bahwa hal itu berbeda dengan yang dilarang, yaitu melamar di atas lamaran saudaranya, jika wanita tersebut telah mengizinkan. Jika demikian, maka hal itu menjadi kerusakan baginya, dan dalam kerusakan itu ada unsur mudarat. Allah lebih mengetahui. Dan Fathimah tidak pernah memberitahukan bahwa ia telah mengizinkan salah satu dari keduanya.”
قال الماوردي: وهذا صحيح.
Al-Mawardi berkata: Dan ini adalah benar.
وقد رَوَى ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ ” وَرَوَى أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ ” وَهَذَانِ الْحَدِيثَانِ صَحِيحَانِ وَلَيْسَ النَّهْيُ فِيهِمَا مَحْمُولًا عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ تغيير حال المخطوبة، فإذا خطب الرجل نكاح امْرَأَة لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ.
Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian melamar di atas lamaran saudaranya.” Dan Abu az-Zinad meriwayatkan dari al-A‘raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian melamar di atas lamaran saudaranya sampai ia menikah atau meninggalkannya.” Kedua hadis ini shahih, dan larangan di dalamnya tidak dimaknai secara lahiriah berupa perubahan status wanita yang dilamar. Jika seorang laki-laki melamar seorang wanita untuk dinikahi, maka keadaan wanita itu tidak lepas dari empat keadaan.
القسم الأول: إما أن يأذن له في نكاحها فتحرم بَعْدَ إِذْنِهَا عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الرِّجَالِ أَنْ يخطبها لنهيه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عنه حفظاً للألفة، ومنعاً من الفساد وحسماً للتقاطع، وسواء كان الأول كفءً أو غير كفٍ.
Keadaan pertama: Jika wanita itu telah mengizinkan untuk dinikahi, maka haram bagi laki-laki lain untuk melamarnya setelah izinnya itu, berdasarkan larangan Nabi ﷺ demi menjaga keharmonisan, mencegah kerusakan, dan menutup pintu permusuhan, baik pelamar pertama itu sekufu (setara) atau tidak.
وقال ابن الْمَاجِشُونَ: إِنْ كَانَ الْأَوَّلُ غَيْرَ كفءٍ لَمْ تحرم عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الْأَكْفَاءِ خِطْبَتُهَا بِنَاءً عَلَى أصله في أن نكاح غير الكفؤ بَاطِلٌ، وَإِنْ تَرَاضَى بِهِ الْأَهْلُونَ، وَقَدْ تَقَدَّمَ الدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ نِكَاحِهِ، فَإِنْ رَجَعَ الْأَوَّلُ عن خطبته أو رجع الْمَرْأَةُ عَنْ إِجَابَتِه ارْتَفَعَ حَكَمُ الْإِذْنِ، وَعَادَتْ إِلَى الْحَالِ الْأُولَى فِي إِبَاحَةِ خِطْبَتِهَا لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ “.
Ibnu al-Majisyun berkata: Jika pelamar pertama bukan sekufu, maka tidak haram bagi laki-laki lain yang sekufu untuk melamarnya, berdasarkan pendapatnya bahwa pernikahan dengan yang tidak sekufu adalah batal, meskipun keluarga telah ridha. Namun telah disebutkan dalil tentang sahnya pernikahan tersebut. Jika pelamar pertama membatalkan lamarannya atau wanita itu menarik persetujuannya, maka hukum izin itu gugur dan kembali ke keadaan semula, yaitu bolehnya dilamar, berdasarkan hadis Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian melamar di atas lamaran saudaranya sampai ia menikah atau meninggalkannya.”
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تَرُدَّ خَاطِبَهَا، وَتَمْنَعَ مِنْ نِكَاحِهِ فَيَجُوزُ لِغَيْرِهِ مِنَ الرِّجَالِ أَنْ يَخْطُبَهَا لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالنَّهْيِ عَنِ الْخِطْبَةِ رَفْعُ الضَّرَرِ، وَالْمَنْعُ مِنَ التَّقَاطُعِ، فَلَوْ حُمِلَ النَّهْيُ عَلَى ظَاهِرِهِ فِيمَنْ لَمْ تَأْذَنْ لَهُ حَلَّ الضَّرَرُ عليها.
Bagian kedua: Yaitu ketika seorang perempuan menolak pelamar dan mencegahnya untuk menikahinya, maka boleh bagi laki-laki lain untuk melamarnya. Sebab, tujuan larangan melamar (perempuan yang sedang dilamar) adalah untuk menghilangkan mudarat dan mencegah terjadinya permusuhan. Jika larangan itu dipahami secara lahiriah pada orang yang tidak diizinkan, maka mudarat justru akan menimpa perempuan tersebut.
والقسم الثالث: أن تمسك عَنْ خِطْبَتِهَا فَلَا يَكُونُ مِنْهَا إِذْنٌ وَلَا رضا ولا يكون منها رد ولا كراهية فَيَجُوزُ خِطْبَتُهَا وَإِنْ تَقَدَّمَ الْأَوَّلُ بِهَا لِحَدِيثِ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ الْمَخْزُومِيَّةِ أَنَّ زَوْجَهَا أَبَا عمرو بن حفص بَتَّ طَلَاقَهَا، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي “، فَلَمَّا حَلَّتْ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ خَطَبَنِي مُعَاوِيَةُ وَأَبُو جَهْمٍ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ “.
Bagian ketiga: Yaitu ketika perempuan menahan diri dari memberikan jawaban atas lamaran, sehingga tidak ada izin dan kerelaan darinya, juga tidak ada penolakan maupun ketidaksukaan. Maka boleh melamarnya, meskipun sudah ada orang lain yang lebih dahulu melamarnya. Hal ini berdasarkan hadis Fathimah binti Qais al-Makhzumiyyah, bahwa suaminya, Abu ‘Amr bin Hafsh, telah menjatuhkan talak bain kepadanya. Lalu Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Jika masa iddahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.” Ketika masa iddahnya selesai, ia datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah dilamar oleh Mu‘awiyah dan Abu Jahm.” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Adapun Mu‘awiyah, ia seorang miskin yang tidak memiliki harta, dan adapun Abu Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya.”
وَرَوَى عَطَاءٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَهَا: ” أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَأَخَافُ عَلَيْكِ فسفاسته، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ أَخْلَقُ مِنَ الْمَالِ ” أَمَّا الفسفاسة: فَهِيَ الْعَصَا، وَأَمَّا الْأَخْلَقُ مِنَ الْمَالِ، فَهُوَ الْخُلُوُّ مِنْهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، قَالَتْ: فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ أَطَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَنَكَحْتُهُ فَرُزِقْتُ مِنْهُ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ بِهِ، فَكَانَ الدليل من هذا الحديث من وَجْهَيْنِ:
Diriwayatkan dari ‘Atha’ dari ‘Abdurrahman bin ‘Ashim dari Fathimah binti Qais, bahwa Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Adapun Abu Jahm, aku khawatir terhadapmu karena kekerasannya, dan adapun Mu‘awiyah, ia adalah laki-laki yang kosong dari harta.” Adapun “kekerasan” maksudnya adalah tongkat, dan “kosong dari harta” maksudnya adalah tidak memiliki harta. Nabi ﷺ bersabda, “Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Ia berkata, “Awalnya aku tidak menyukainya, kemudian aku menaati Rasulullah ﷺ, lalu aku menikah dengannya, dan aku mendapatkan kebaikan darinya serta merasa bahagia.” Maka dalil dari hadis ini ada dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ أَحَدَ الرَّجُلَيْنِ قَدْ خَطَبَهَا بَعْدَ صَاحِبِهِ فَلَمْ يَذْكُرِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تحريمه.
Pertama: Bahwa salah satu dari dua laki-laki tersebut telah melamarnya setelah yang lainnya, namun Nabi ﷺ tidak menyebutkan keharamannya.
والوجه الثَّانِي: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ خَطَبَهَا لِأُسَامَةَ بَعْدَ خِطْبَتِهَا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْإِمْسَاكَ عَنِ الْإِجَابَةِ لَا يَقْتَضِي الْخِطْبَةَ:
Kedua: Bahwa Nabi ﷺ telah melamarkannya untuk Usamah setelah ia dilamar, sehingga hal ini menunjukkan bahwa menahan diri dari memberi jawaban tidak berarti telah menerima lamaran.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَظْهَرَ مِنْهَا الرِّضَا بِالْخَاطِبِ، ولا تأذن في العقد، وذلك بأن تقرر صداقها أو بشرط ما تريد مِنَ الشُّرُوطِ لِنَفْسِهَا فَفِي تَحْرِيمِ خِطْبَتِهَا قَوْلَانِ:
Bagian keempat: Yaitu jika tampak kerelaan dari perempuan terhadap pelamar, namun ia belum mengizinkan untuk akad, misalnya dengan menyepakati mahar atau syarat-syarat tertentu untuk dirinya. Dalam hal keharaman melamarnya, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهَا تَحْرُمُ خِطْبَتُهَا بِالرِّضَا اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ النَّهْيِ.
Pertama:—dan ini adalah pendapat dalam qaul qadim, serta merupakan mazhab Malik—bahwa haram melamarnya dengan adanya kerelaan, berdasarkan keumuman larangan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ لا تحرم خطبتها بالرضا حتى يصرح بِالْإِذْنِ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ إِبَاحَةُ الْخِطْبَةِ مَا لَمْ تتحقق شروط الحظر، فعلى هذا وإن اقْتَرَنَ بِرِضَاهَا إِذْنُ الْوَلِيِّ فِيهِ نَظَرٌ، فَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا لَا تزَوَّجُ إِلَّا بِصَرِيحِ الْإِذْنِ لم تحرم خطبتها وإن كانت بكراً فيكون الرِّضَا وَالسُّكُوتُ مِنْهَا إِذْنًا حَرُمَتْ خِطْبَتُهَا بِرِضَاهَا، وَإِذْنِ وَلَيِّهَا وَهَاهُنَا قِسْمٌ خَامِسٌ؛ وَهُوَ أَنْ يَأْذَنَ وَلَيُّهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ مِنْهَا إذن أو رضي فَإِنْ كَانَ هَذَا الْوَلِيُّ مِمَّنْ يُزَوِّجُ بِغَيْرِ إِذْنٍ كَالْأَبِ وَالْجَدِّ مَعَ الْبِكْرِ حَرُمَتْ خِطْبَتُهَا بِإِذْنِ الْوَلِيِّ، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يُزَوِّجُ إِلَّا بِإِذْنٍ لَمْ تَحْرُمْ خِطْبَتُهَا بِإِذْنِ الْوَلِيِّ حَتَّى تَكُونَ هِيَ الْآذِنَةَ فِيهِ.
Pendapat kedua:—dan ini adalah pendapat dalam qaul jadid—bahwa tidak haram melamarnya hanya dengan kerelaan, sampai ada pernyataan izin secara jelas. Karena asalnya, hukum melamar adalah boleh selama syarat-syarat larangan belum terpenuhi. Berdasarkan pendapat ini, jika kerelaan perempuan disertai izin wali, maka perlu ditinjau kembali. Jika ia adalah janda yang tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izin yang jelas, maka tidak haram melamarnya. Namun jika ia masih perawan, maka kerelaan dan diamnya dianggap sebagai izin, sehingga haram melamarnya dengan kerelaan dan izin walinya. Di sini ada bagian kelima, yaitu jika walinya mengizinkan tanpa ada izin atau kerelaan dari perempuan. Jika wali tersebut termasuk yang boleh menikahkan tanpa izin, seperti ayah dan kakek pada perempuan perawan, maka haram melamarnya dengan izin wali. Namun jika wali tersebut tidak boleh menikahkan kecuali dengan izin, maka tidak haram melamarnya dengan izin wali sampai perempuan itu sendiri yang mengizinkan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ تَحْرِيمُ خِطْبَتِهَا عَلَى مَا وَصَفْنَا مِنْ أَحْكَامِ هَذِهِ الْأَقْسَامِ، فَأَقْدَمَ رَجُلٌ على خطبتها مع تحريمه عليها وتزويجه فكان آثِمًا بِالْخِطْبَةِ، وَالنِّكَاحُ جَائِزٌ، وَقَالَ دَاوُدُ: النِّكَاحُ بَاطِلٌ.
Jika telah tetap keharaman melamarnya sebagaimana telah kami jelaskan dalam hukum-hukum bagian ini, lalu seorang laki-laki tetap melamarnya padahal haram baginya dan menikahinya, maka ia berdosa karena melamar, namun akad nikahnya sah. Adapun menurut Dawud, nikahnya batal.
وَقَالَ مَالِكٌ يَصِحُّ بِطَلْقَةٍ اسْتِدْلَالًا، بِأَنَّ النَّهْيَ يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ أَدْخَلَ فِي دِينِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ” وَبِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ عَمِلَ مَا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رد “
Malik berkata: Talak satu sah sebagai dalil, karena larangan menunjukkan rusaknya perkara yang dilarang, dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa yang memasukkan sesuatu yang bukan bagian dari agama kami ke dalam agama kami, maka itu tertolak,” dan sabda beliau ﷺ: “Barang siapa yang melakukan sesuatu yang tidak ada perintah dari kami atasnya, maka itu tertolak.”
والدليل على صحة النكاح هو أن مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْعَقْدِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِيهِ فلم يؤثر في فساده؛ ولأن النهي إذا كان لمعنى في غير المعقود عَلَيْهِ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ الصِّحَّةِ كَالنَّهْيِ عَنْ أن يسوم الرجل على سوم أخيه أو أن يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادِ، فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْخَبْرَيْنِ فَيَقْتَضِي رد ما توجه النهي إليه، وَهُوَ الْخِطْبَةُ دُونَ الْعَقْدِ.
Adapun dalil tentang sahnya akad nikah adalah bahwa akad yang telah lalu tidak dianggap di dalamnya sehingga tidak berpengaruh pada rusaknya akad; dan karena larangan jika berkaitan dengan sesuatu di luar objek akad, maka tidak menghalangi keabsahan, seperti larangan seseorang menawar di atas tawaran saudaranya atau seorang penduduk kota menjualkan barang untuk penduduk desa. Adapun dalil dengan dua hadis tersebut, maka itu menunjukkan penolakan terhadap apa yang menjadi objek larangan, yaitu khitbah (melamar), bukan akad (nikah).
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا حَدِيثُ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ فَفِيهِ دَلَائِلُ عَلَى أَحْكَامٍ مِنْهَا، مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّ السُّكُوتَ لَا يقتضي تحريم الحظر.
Adapun hadis Fathimah binti Qais, di dalamnya terdapat beberapa dalil hukum, di antaranya adalah apa yang telah kami sebutkan bahwa diam tidak menunjukkan keharaman atau larangan.
وَمِنْهَا جَوَازُ ذِكْرُ مَا فِي الْإِنْسَانِ عِنْدَ السُّؤَالِ عَنْهُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ فِي مُعَاوِيَةَ: ” إِنَّهُ صُعْلُوكٌ لَا مَالَ له ” والتصعلك التمحل والاضطرار فِي الْفَقْرِ قَالَ الشَّاعِرُ:
Di antaranya juga bolehnya menyebutkan apa yang ada pada seseorang ketika ditanya tentangnya; karena Nabi ﷺ berkata tentang Muawiyah: “Sesungguhnya dia seorang miskin, tidak memiliki harta.” Kata “tas‘ulūk” berarti berpura-pura miskin dan terpaksa dalam kefakiran, sebagaimana dikatakan oleh penyair:
(عَنِينَا زَمَانًا بَالتَّصَعْلُكِ والغنى … وكلا سفاناه بَكَأْسَيْهِمَا الدَّهْرُ)
(Kami pernah mengalami masa dalam kemiskinan dan kekayaan… dan keduanya telah kami cicipi dengan dua cawan oleh zaman)
(فَمَا زَادَنَا بَغْيًا عَلَى ذِي قرابةٍ … عنانا وَلَا أَزْرَى بِأَحْسَابِنَا الْفَقْرُ)
(Tidaklah menambah kezaliman kami terhadap kerabat… kesulitan kami, dan kefakiran tidak merendahkan kehormatan kami)
وَقَالَ فِي أَبِي جَهْمٍ: ” لَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ ” وَفِيهِ ثَلَاث تَأْوِيلَاتٍ:
Dan beliau berkata tentang Abu Jahm: “Ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya.” Dalam hal ini ada tiga penafsiran:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ كَثْرَةَ ضَرْبِهِ لِأَهْلِهِ.
Pertama: Maksudnya adalah ia sering memukul istrinya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ كَثْرَةَ أَسْفَارِهِ يُقَالُ لِمَنْ سَافَرَ: قَدْ أَخَذَ عَصَاهُ، ولمن أقام قد ألقى عصاه قال الشَّاعِرُ.
Kedua: Maksudnya adalah ia sering bepergian. Dikatakan kepada orang yang bepergian: “Ia telah mengambil tongkatnya,” dan kepada yang menetap: “Ia telah meletakkan tongkatnya,” sebagaimana dikatakan oleh penyair:
(فَأَلْقَتْ عَصَاهَا وَاسْتَقَرَّ بِهَا النَّوَى … كَمَا قر عيناً بالإياب المسافر)
(Maka ia meletakkan tongkatnya dan menetaplah ia… sebagaimana tenangnya hati orang yang pulang dari bepergian)
والثالث: أنه أراد به كثرة تزويجه لِتَنَقُّلِه مِنْ زَوْجَةٍ إِلَى أُخْرَى، كَتَنَقُّلِ الْمُسَافِرِ بالعصى مِنْ مَدِينَةٍ إِلَى أُخْرَى، وَمِنْ دَلَائِلِ الْخَبَرِ أَيْضًا جَوَازُ الِابْتِدَاءِ بِالْمَشُورَةِ مِنْ غَيْرِ اسْتِشَارَةٍ، فإن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَشَارَ بِأُسَامَةَ مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَهُ عَنْهُ.
Ketiga: Maksudnya adalah ia sering menikah, berpindah dari satu istri ke istri lain, seperti musafir yang berpindah dengan tongkatnya dari satu kota ke kota lain. Di antara dalil hadis juga bolehnya memulai musyawarah tanpa diminta pendapat, karena Nabi ﷺ memberi saran tentang Usamah tanpa diminta pendapat tentangnya.
ومنها أن طلاق الثلاث مُبَاحٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: مَا أَنْكَرَهُ فِي فَاطِمَةَ حِينَ أَخْبَرَتْهُ وَمِنْهَا جَوَازُ خُرُوجِ الْمُعْتَدَّةِ فِي زَمَانِ عِدَّتِهَا لِحَاجَةٍ؛ لِأَنَّهَا خَرَجَتْ إِلَيْهِ فَأَخْبَرَتْهُ بِطَلَاقِهَا فَقَالَ لَهَا: ” إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي “.
Di antaranya juga bahwa talak tiga itu mubah; karena Nabi ﷺ tidak mengingkarinya pada Fathimah ketika ia memberitahukan kepadanya. Di antaranya juga bolehnya wanita yang sedang menjalani masa iddah keluar rumah karena kebutuhan; karena ia keluar menemui Nabi ﷺ dan memberitahukan tentang talaknya, lalu beliau berkata kepadanya: “Jika masa iddahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.”
وَمِنْهَا جَوَازُ كَلَامِ الْمَرْأَةِ وَإِنِ اعْتَدَّتْ، وَأنَّ كَلَامَهَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ.
Di antaranya juga bolehnya wanita berbicara meskipun sedang menjalani masa iddah, dan bahwa pembicaraannya bukanlah aurat.
وَمِنْهَا جَوَازُ نِكَاحِ غَيْرِ الْكُفْءِ؛ لِأَنَّهَا فِي صَمِيمِ قُرَيْشٍ مِنْ بَنِي مَخْزُومٍ، وَأَمَرَهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ أُسَامَةَ وَهُوَ مَوْلًى إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ سُقُوطِ نَفَقَةِ الْمَبْتُوتَةِ، ووجوب نفقة الرجعية على ما سنذكره والله ولي التوفيق.
Di antaranya juga bolehnya menikah dengan selain yang sekufu’; karena ia berasal dari inti suku Quraisy dari Bani Makhzum, dan Nabi memerintahkannya untuk menikah dengan Usamah yang merupakan seorang maula. Selain itu, juga menunjukkan gugurnya nafkah bagi wanita yang ditalak bain, dan wajibnya nafkah bagi wanita yang ditalak raj‘i, sebagaimana akan kami jelaskan. Allah adalah pemberi taufik.
بَابُ نِكَاحِ الْمُشْرِكِ وَمَنْ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ أَكْثَرُ من أربع من هذا ومن كتاب التعريض بالخطبة
Bab Nikah Orang Musyrik dan Orang yang Masuk Islam Sementara Ia Memiliki Lebih dari Empat Istri, dari pembahasan Kitab Ta‘ridh bil Khitbah (Sindiran dalam Lamaran)
قال الشافعي: ” أخبرنا الثقة أحسبه إِسْمَاعِيلَ بْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ معمرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أبيه قال أسلم غيلان بن سلمة وَعِنْدَهُ عَشْرُ نسوةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أمسك أربعاً وفارق سائرهن ” وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال لرجل يقال له الديلمي أو ابن الديلمي أسلم وَعِنْدَهُ أُخْتَانِ ” اخْتَرْ أَيَّتَهُمَا شِئْتَ وَفَارِقِ الْأُخْرَى ” وقال لنوفل بن معاوية وعنده خمس ” فارق واحدةً وأمسك أربعاً ” قال فعمدت إلى أقدامهن ففارقتها (قال الشافعي) رحمه الله تعالى وبهذا أقول ولا أبالي أكن في عقدةٍ واحدةً أو في عقدٍ متفرقةٍ إذا كان من يمسك منهن يجوز أن يبتدئ نكاحها في الإسلام ما لم تنقض العدة قبل اجتماع إسلامهما لأن أبا سفيان وحكيم بن حزامٍ أسلما قبل ثم أسلمت امرأتاهما فاستقرت كل واحدةٍ منهما عند زوجها بالنكاح الأول وأسلمت امرأة صفوان وامرأة عكرمة ثم أسلما فاستقرتا بالنكاح الأول وذلك قبل انقضاء العدة “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tepercaya, saya kira dia Isma‘il bin Ibrahim dari Ma‘mar dari az-Zuhri dari Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya, ia berkata: Ghailan bin Salamah masuk Islam sementara ia memiliki sepuluh istri. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: ‘Tahanlah empat orang dan ceraikanlah sisanya.’ Dan diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ berkata kepada seorang laki-laki yang dipanggil ad-Dailami atau Ibn ad-Dailami yang masuk Islam dan memiliki dua saudari sebagai istri: ‘Pilihlah salah satu yang kamu kehendaki dan ceraikan yang lainnya.’ Dan beliau berkata kepada Naufal bin Mu‘awiyah yang memiliki lima istri: ‘Ceraikan satu dan tahanlah empat.’ Ia berkata: Maka aku memilih yang paling tua di antara mereka lalu kuceraikan. (Asy-Syafi‘i) rahimahullah berkata: Dan dengan ini aku berpendapat, dan aku tidak mempermasalahkan apakah mereka dalam satu akad atau dalam beberapa akad yang terpisah, selama yang ditahan di antara mereka boleh dinikahi dari awal dalam Islam, selama masa iddah belum habis sebelum keduanya sama-sama masuk Islam. Karena Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam masuk Islam terlebih dahulu, kemudian istri-istri mereka masuk Islam, maka masing-masing dari mereka tetap bersama suaminya dengan akad nikah yang pertama. Istri Shafwan dan istri ‘Ikrimah juga masuk Islam, kemudian suami mereka masuk Islam, maka keduanya tetap bersama suaminya dengan akad nikah yang pertama, dan itu terjadi sebelum masa iddah selesai.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْأَصْلُ تَحْرِيمُ التناكح بين المسلمين والمشركين قول اللَّهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمةٌ مٌؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوَ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تَنْكِحُوا المُشْركينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٍ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ} (البقرة: 221) وَقَالَ تَعَالَى: {وَلاَ تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الكَوَافِرِ) {الممتحنة: 10) وَقَالَ تعالى: {فَإِنْ عَلِمْتُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ) (الممتحنة: 10) وقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ مَعَ مُشْرِكٍ ” وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْمُسْلِمَةُ لَا تَحِلُّ لِكَافِرٍ بِحَالٍ سَوَاءٌ كَانَ الْكَافِرُ كِتَابِيًّا أَوْ وَثَنِيًّا فَأَمَّا الْمُسْلِمُ فَيَحِلُّ لَهُ مِنَ الْكُفَّارِ الْكِتَابِيَّاتُ من اليهود والنصارى عَلَى مَا ذَكَرْنَا وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ مَا عَدَاهُنَّ مِنَ الْمُشْرِكَاتِ.
Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan: Hukum asalnya adalah haramnya pernikahan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya seorang hamba perempuan yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan (wanita-wanita mukmin) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya seorang hamba laki-laki yang mukmin lebih baik daripada laki-laki musyrik, walaupun dia menarik hatimu} (al-Baqarah: 221). Dan firman-Nya Ta‘ala: {Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir} (al-Mumtahanah: 10). Dan firman-Nya Ta‘ala: {Jika kamu mengetahui bahwa mereka adalah perempuan-perempuan mukmin, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu pun tidak halal bagi mereka} (al-Mumtahanah: 10). Dan Nabi ﷺ bersabda: “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang bersama musyrik.” Jika demikian, maka perempuan muslimah tidak halal bagi orang kafir dalam keadaan apa pun, baik kafir itu ahli kitab maupun penyembah berhala. Adapun laki-laki muslim, maka halal baginya wanita-wanita ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani sebagaimana telah kami sebutkan, dan haram baginya selain mereka dari kalangan wanita musyrik.
فَأَمَّا إِذَا تَنَاكَحَ الْمُشْرِكُونَ فِي الشرك فلا اعتراض عليهم فِيهَا، فَإِنْ أَسْلَمُوا عَلَيْهَا فَمَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ فِي أَكْثَرِ كُتُبِهِ جَوَازُ مَنَاكِحِهِمْ وَإِقْرَارُهُمْ عَلَيْهَا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَقَرَّ مَنْ أَسْلَمَ عَلَى نِكَاحِ زَوْجَتِهِ، وَرَوَى دَاوُدُ بْنُ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَالَ: رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِنْتَهُ زَيْنَبَ عَلَى أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ، وَلَمْ يُحْدِثْ شَيْئًا.
Adapun jika orang-orang musyrik menikah di masa kemusyrikan, maka tidak ada keberatan terhadap mereka dalam hal itu. Jika mereka masuk Islam dalam keadaan pernikahan tersebut, maka pendapat asy-Syafi‘i yang tercantum dalam kebanyakan kitabnya adalah bolehnya pernikahan mereka dan tetapnya pernikahan itu setelah mereka masuk Islam, karena Nabi ﷺ membiarkan orang yang masuk Islam tetap bersama istrinya. Dawud bin al-Hushain meriwayatkan dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah ﷺ mengembalikan putrinya Zainab kepada Abu al-‘Ash bin ar-Rabi‘ dengan pernikahan yang pertama, dan tidak membuat akad baru.
وقال الشافعي في بعض كتبه: إن مَنَاكِحهُمْ بَاطِلَةٌ، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: إِنَّهَا مَعْفُوٌّ عَنْهَا فَغَلِطَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فَخَرَجَ اخْتِلَافُ هَذِهِ النُّصُوصِ الثَّلَاثَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ، الذي عليه جمهورهم أنه ليس ذلك لاختلاف أقاويله فيها، وَلَكِنَّهُ لِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ مَنَاكِحِهِمْ وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: صَحِيحَةٌ، وَبَاطِلَةٌ، وَمَعْفُوٌّ عَنْهَا.
Asy-Syafi‘i berkata dalam sebagian kitabnya: Bahwa pernikahan mereka batal. Dan ia berkata di tempat lain: Bahwa itu dimaafkan. Maka sebagian sahabat kami keliru, sehingga perbedaan tiga pendapat ini dipahami sebagai tiga pendapat yang berbeda. Namun, mayoritas mereka berpendapat bahwa hal itu bukan karena perbedaan pendapat asy-Syafi‘i dalam masalah ini, melainkan karena perbedaan keadaan pernikahan mereka, yang terbagi menjadi tiga macam: sah, batal, dan dimaafkan.
فَأَمَّا الصَّحِيحُ مِنْهَا فَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْكَافِرُ الْكَافِرَةَ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنَ بِلَفْظِ النِّكَاحِ، وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا نَسَبٌ يُوجِبُ التَّحْرِيمَ، فَهَذَا النِّكَاحُ صَحِيحٌ، فَإِذَا أَسْلَمُوا عَلَيْهِ أقروا وَهُوَ الَّذِي أَرَادَهُ الشَّافِعِيُّ بِالصِّحَّةِ.
Adapun yang sah di antaranya adalah jika seorang kafir menikahi perempuan kafir dengan wali dan dua saksi dengan lafaz akad nikah, dan tidak ada hubungan nasab yang menyebabkan keharaman di antara mereka, maka pernikahan ini sah. Jika mereka masuk Islam dalam keadaan seperti itu, maka mereka tetap dibiarkan, dan inilah yang dimaksud asy-Syafi‘i dengan pernikahan yang sah.
فَأَمَّا الْبَاطِلُ مِنْهَا فَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ بِنَسَبٍ، أَوْ رَضَاعٍ، أَوْ مُصَاهَرَةٍ فَهَذَا النِّكَاحُ بَاطِلٌ، فَإِذَا أَسْلَمُوا عَلَيْهِ لَمْ يُقَرُّوا، وَكَذَلِكَ لَوْ نَكَحَهَا بِخِيَارٍ مُؤَبَّدٍ وَهَذَا الَّذِي أَرَادَهُ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّهُ بَاطِلٌ.
Adapun yang batal di antaranya adalah jika seseorang menikah dalam keadaan syirik dengan perempuan yang haram dinikahi karena hubungan nasab, atau karena persusuan, atau karena hubungan musaharah (perbesanan), maka pernikahan ini batal. Jika mereka masuk Islam dalam keadaan seperti itu, maka mereka tidak dibiarkan tetap bersama. Demikian pula jika ia menikahi perempuan dengan syarat khiyar mu’abbad (pilihan untuk menceraikan kapan saja tanpa batas waktu), maka ini yang dimaksud asy-Syafi‘i dengan pernikahan yang batal.
وَأَمَّا الْمَعْفُوُّ عَنْهُ: فَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَ مَنْ لَا تَحْرُمُ عليه بنسب، وَلَا رَضَاعٍ، وَلَا مُصَاهَرَةٍ بِمَا يَرَوْنَهُ نِكَاحًا مِنْ غَيْرِ وَلِيٍّ وَلَا شُهُودٍ وَلَا بِلَفْظِ نِكَاحٍ وَلَا تَزْوِيجٍ فَهَذَا مَعْفُوٌّ عَنْهُ، فَإِذَا أسلموا قروا عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمْ يَكْشِفْ عَنْ مَنَاكِحِ مَنْ أَسْلَمَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَهُوَ الَّذِي أَرَادَهُ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّهُ مَعْفُوٌّ عَنْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun yang dimaafkan adalah jika seseorang menikahi perempuan yang tidak haram baginya karena nasab, tidak pula karena radha‘ (persusuan), dan tidak pula karena mushāharah (hubungan pernikahan), dengan cara yang mereka anggap sebagai pernikahan, tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa menggunakan lafaz nikah atau tazwij. Maka hal ini dimaafkan, sehingga apabila mereka masuk Islam, pernikahan tersebut tetap diakui; karena Rasulullah ﷺ tidak meneliti pernikahan orang-orang musyrik yang masuk Islam. Inilah yang dimaksud oleh asy-Syāfi‘ī bahwa hal itu dimaafkan, dan Allah lebih mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ جَوَازُ مَنَاكِحِهِمْ فَلَهُمْ إِذَا حَدَثَ بَيْنَهُمْ إِسْلَامٌ حَالَتَانِ:
Apabila telah dipastikan bolehnya pernikahan mereka, maka jika terjadi Islam di antara mereka, terdapat dua keadaan:
أحدهما: أن يسلم الزوجان معاً.
Pertama: kedua suami istri masuk Islam bersama-sama.
والحال الثَّانِيَةُ: أَنْ يُسْلِمَ أَحَدُهُمَا، فَإِنْ أَسْلَمَ الزَّوْجَانِ مَعًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجِ أَكْثَرُ مِنْ أربع زوجات بأن كَانَ لَهُ أَرْبَعٌ فَمَا دُونَ، وَأَسْلَمْنَ كُلُّهُنَّ مَعَهُ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ ثَبَتَ نِكَاحُهُنَّ كُلِّهِنَّ سَوَاءٌ كَانَ إِسْلَامُهُ وَإِسْلَامُهُنَّ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ، وَإِنْ كَانَ لَهُ خَمْسُ زَوْجَاتٍ فَمَا زاد وقد أسلم جميعهم بِإِسْلَامِهِ كَانَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنْ جُمْلَتِهِنَّ أربعاً سواء نكحهن جميعهن فِي الشِّرْكِ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ أَوْ فِي عُقُودٍ وَسَوَاءٌ أَمْسَكَ الْأَوَائِلَ أَوِ الْأَوَاخِرَ وَيَنْفَسِخُ نِكَاحُ الْبَوَاقِي بِغَيْرِ طَلَاقٍ، وَبِمِثْلِ قَوْلِنَا قَالَ مَالِكٌ، ومحمد بن الحسن، وَأَبُو ثَوْرٍ إِلَّا أَنَّ مَالِكًا قَالَ: لَا يَنْفَسِخُ نِكَاحُ الْبَوَاقِي بَعْدَ الْأَرْبَعِ إِلَّا بِطَلَاقٍ وَهَكَذَا لَوْ نَكَحَ فِي الشِّرْكِ أُخْتَيْنِ ثُمَّ أَسْلَمَتَا مَعًا أَمْسَكَ أَيَّتَهُمَا شَاءَ وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْأُخْرَى بِغَيْرِ طَلَاقٍ عِنْدَنَا وَبِطَلَاقٍ عِنْدَ مَالِكٍ.
Keadaan kedua: salah satu dari keduanya masuk Islam. Jika kedua suami istri masuk Islam bersama-sama, dan suami tidak memiliki lebih dari empat istri, yaitu ia memiliki empat istri atau kurang, dan semuanya masuk Islam bersamanya dalam satu waktu, maka pernikahan mereka semuanya tetap sah, baik keislaman mereka terjadi sebelum atau sesudah berhubungan. Namun jika ia memiliki lima istri atau lebih dan semuanya masuk Islam bersamanya, maka ia boleh memilih empat di antara mereka, baik ia menikahi mereka semua dalam masa syirik dalam satu akad atau dalam beberapa akad, dan baik ia mempertahankan istri-istri yang pertama atau yang terakhir. Nikah sisanya terputus tanpa talak. Pendapat ini juga dikatakan oleh Mālik, Muhammad bin al-Hasan, dan Abū Tsaūr, kecuali Mālik yang berpendapat bahwa nikah sisanya setelah empat tidak terputus kecuali dengan talak. Demikian pula jika ia menikahi dua saudari dalam masa syirik, lalu keduanya masuk Islam bersama, maka ia boleh memilih salah satu yang ia kehendaki dan nikah yang lainnya terputus tanpa talak menurut kami, dan dengan talak menurut Mālik.
وَقَالَ أبو حنيفة، وأبو يوسف: لَا اعْتِبَارَ بِخِيَارِهِ، وَإِنَّمَا الِاعْتِبَارُ بِعَقْدِهِ، فَإِنْ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ عَشْرًا فِي عَقْدٍ واحدٍ ثُمَّ أَسْلَمْنَ مَعَهُ بَطَلَ نِكَاحُ جَمِيعِهِنَّ، فَإِنْ تَزَوَّجَهُنَّ فِي عُقُودٍ ثَبَتَ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ الْأَوَائِلِ، وَبَطَلَ نِكَاحُ مَنْ بَعْدَهُنَّ مِنَ الأواخر اعتباراً بنكاح المسلم، وهكذا لو أنكح أختين أسلمتا مَعَهُ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ قَدْ نَكَحَهُمَا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ بَطَلَ نِكَاحُهُمَا، وَإِنْ كَانَ فِي عَقْدَيْنِ ثَبَتَ نِكَاحُ الْأُولَى مِنْهُمَا، وَبَطَلَ نِكَاحُ الثَّانِيَةِ.
Abū Hanīfah dan Abū Yūsuf berkata: Tidak ada pertimbangan pada pilihan (suami), yang dipertimbangkan adalah akadnya. Jika ia menikahi sepuluh perempuan dalam masa syirik dalam satu akad, lalu mereka semua masuk Islam bersamanya, maka batal nikah seluruhnya. Jika ia menikahi mereka dalam beberapa akad, maka nikah empat yang pertama tetap sah dan nikah sisanya batal, mengikuti ketentuan nikah dalam Islam. Demikian pula jika ia menikahi dua saudari yang masuk Islam bersamanya, maka jika ia menikahi keduanya dalam satu akad, batal nikah keduanya. Jika dalam dua akad, maka nikah yang pertama tetap sah dan nikah yang kedua batal.
وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: إِنْ نَكَحَهُنَّ فِي عُقُودٍ ثَبَتَ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ الْأَوَائِلِ وَإِنْ نَكَحَهُنَّ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ لَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُهُنَّ وَاخْتَارَ مِنْهُنَّ أربعاً واستدل أبي حنيفة بِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بعث معاذاً إلى اليمن فقال له: ” ادعهم إلى الشهادة أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِنْ أَجَابُوكَ أعلمهم أَنَّ لَهُمْ مَا لِلْمُسْلِمِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ ” ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْمُسْلِمَ لَوْ نَكَحَ خَمْسًا فِي عَقْدٍ بَطَلَ نِكَاحُهُنَّ وَلَوْ نَكَحَهُنَّ فِي عُقُودٍ ثَبَتَ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ الْأَوَائِلِ، وَبَطَلَ نِكَاحُ مَنْ بَعْدَهُنَّ مِنَ الْأَوَاخِرِ كَذَلِكَ نِكَاحُ الْمُشْرِكِ إِذَا أَسْلَمَ.
Al-Auzā‘ī berkata: Jika ia menikahi mereka dalam beberapa akad, maka nikah empat yang pertama tetap sah. Jika ia menikahi mereka dalam satu akad, maka nikah mereka tidak batal, dan ia memilih empat di antara mereka. Abū Hanīfah berdalil dengan riwayat bahwa Nabi ﷺ mengutus Mu‘ādz ke Yaman dan bersabda kepadanya: “Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Jika mereka memenuhi ajakanmu, beritahukan kepada mereka bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan kaum Muslimin dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslimin.” Kemudian telah tetap bahwa jika seorang Muslim menikahi lima perempuan dalam satu akad, maka nikah mereka batal. Jika dalam beberapa akad, maka nikah empat yang pertama tetap sah dan nikah sisanya batal. Demikian pula nikah orang musyrik jika ia masuk Islam.
قَالَ، وَلِأَنَّهُ تَحْرِيمُ جَمْعٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَثْبُتَ فِيهِ خِيَارٌ قِيَاسًا عَلَى إِسْلَامِ الْمَرْأَةِ مَعَ زَوْجَيْنِ قَالَ: وَلِأَنَّهُ تحريم يستوي فيه الابتداء والاستدامة منه فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ الْمُسْلِمُ وَالْكَافِرُ قِيَاسًا عَلَى تَحْرِيمِ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ.
Ia berkata: Karena ini adalah pengharaman dalam hal pengumpulan (istri), maka tidak boleh ada pilihan di dalamnya, qiyās dengan wanita yang masuk Islam bersama dua suami. Ia juga berkata: Karena ini adalah pengharaman yang sama antara permulaan dan kelanjutan, maka harus disamakan antara Muslim dan kafir, qiyās dengan pengharaman menikahi mahram.
قَالَ: وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ اشتمل على أكثر من أربع فوجب أن يكون باطلاً قياساً على عقد المسلم.
Ia berkata: Karena ini adalah akad yang mencakup lebih dari empat (istri), maka wajib batal, qiyās dengan akad seorang Muslim.
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ فِي صَدْرِ الْبَابِ أَنَّ غَيْلَانَ بن سلمة أسلم وأسلم معه عشر نسوة فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ ” فَأَطْلَقَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِمْسَاكَ أَرْبَعٍ مِنْهُنَّ، وَلَمْ يَسْأَلْهُ عَنْ عُقُودِهِنَّ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ قَدْ رَدَّ ذَلِكَ إِلَى اخْتِيَارِهِ فِيهِنَّ، بَلْ قَدْ رُوِيَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ قَالَ: فَكُنْتُ مَنْ أُرِيدُهَا أَقُولُ لَهَا أَقْبِلِي، وَمَنْ لَا أُرِيدُهَا أَقُولُ لَهَا: أَدْبِرِي، وَهِيَ تَقُولُ: بِالرَّحِمِ بِالرَّحِمِ، وَهَذَا نَصٌّ صَرِيحٌ فِي تَمَسُّكِهِ بِمَنِ اخْتَارَ لَا بِمَنْ تَقَدَّمَ.
Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i di awal bab, bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam dan bersamanya sepuluh istri, lalu Nabi ﷺ bersabda: “Tahanlah empat orang dan ceraikan sisanya.” Maka Nabi ﷺ membolehkan baginya untuk menahan empat dari mereka, dan beliau tidak menanyakan tentang akad-akad mereka, sehingga hal ini menunjukkan bahwa perkara itu dikembalikan kepada pilihannya di antara mereka. Bahkan telah diriwayatkan bahwa Ghailan bin Salamah berkata: “Siapa yang aku inginkan, aku katakan kepadanya: ‘Maju’, dan siapa yang tidak aku inginkan, aku katakan kepadanya: ‘Mundur’, dan ia berkata: ‘Demi rahim, demi rahim’.” Ini adalah nash yang jelas bahwa ia menahan siapa yang ia pilih, bukan berdasarkan urutan siapa yang lebih dahulu.
وَرُوِيَ عَنْ نَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ أَنَّهُ قال: أسلمت وعندي خمسة نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ وَاحِدَةً، قَالَ: فَعَمَدْتُ إلى أقدمهن صحبة ففارقتها فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ إِمْسَاكِ الْأَوَاخِرِ دُونَ الْأَوَائِلِ.
Dan diriwayatkan dari Naufal bin Mu‘awiyah bahwa ia berkata: “Aku masuk Islam dan aku memiliki lima istri, lalu aku menyebutkan hal itu kepada Nabi ﷺ, maka beliau bersabda: ‘Tahanlah empat orang dan ceraikan satu.’ Ia berkata: ‘Maka aku memilih yang paling lama menemaniku lalu aku ceraikan dia.’ Hal ini menunjukkan bolehnya menahan istri-istri yang terakhir, bukan yang pertama.”
وَرَوَى الضَّحَّاكُ بْنُ فَيْرُوزَ الدَّيْلَمَيُّ عَنْ أبيه أنه قَالَ: أَسْلَمْتُ وَتَحْتِي أُخْتَانِ، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أمسك أيتها شئت، وفارق الأخرى ” وهذا نص في التخيير.
Dan adh-Dhahhak bin Fairuz ad-Daylami meriwayatkan dari ayahnya bahwa ia berkata: “Aku masuk Islam dan aku memiliki dua saudari sebagai istri, maka Nabi ﷺ bersabda: ‘Tahanlah siapa yang kamu kehendaki, dan ceraikan yang lain.'” Ini adalah nash tentang adanya pilihan.
وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي أَسَدٍ أَسْلَمَ وتحته ثماني نسوة، فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا ” قَالَ: فَاخْتَرْتُ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا وَكُلُّ هَذِهِ الْأَخْبَارِ نُصُوصٌ فِي التَّخْيِيرِ.
Dan diriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Bani Asad masuk Islam dan ia memiliki delapan istri, maka Nabi ﷺ bersabda: “Pilihlah dari mereka empat orang.” Ia berkata: “Maka aku memilih dari mereka empat orang.” Semua riwayat ini adalah nash tentang adanya pilihan.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ: أَنَّ كُلَّ امْرَأَةٍ حَلَّ لَهُ ابْتِدَاءُ الْعَقْدِ عَلَيْهَا فِي الْإِسْلَامِ حَلَّ لَهُ الْمُقَامُ عَلَيْهَا فِي الْإِسْلَامِ بِالْعَقْدِ النَّاجِزِ فِي الشرك قياساً على النكاح بعد شهود.
Dan dari sisi qiyās: Setiap wanita yang halal baginya untuk memulai akad pernikahan dengannya dalam Islam, maka halal pula baginya untuk tetap bersamanya dalam Islam dengan akad yang telah terjadi di masa syirik, berdasarkan qiyās dengan pernikahan setelah adanya saksi.
وقولنا بعقد ناجز: احتراز من نكاحها فِي الشِّرْكِ بِخِيَارٍ مُؤَبَّدٍ؛ وَلِأَنَّهُ عَدَدٌ يَجُوزُ لَهُ ابْتِدَاءُ الْعَقْدِ عَلَيْهِنَّ فَجَازَ لَهُ إِمْسَاكُهُنَّ كالأوائل.
Dan perkataan kami tentang akad yang telah terjadi: sebagai pembeda dari pernikahan dalam masa syirik dengan pilihan yang bersifat abadi; dan karena jumlah tersebut adalah jumlah yang boleh baginya untuk memulai akad dengan mereka, maka boleh pula baginya untuk menahan mereka sebagaimana istri-istri yang terdahulu.
وَمِنَ الِاسْتِدْلَالِ أَنَّهُ لَوْ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ أُخْتَيْنِ وَاحِدَةً بَعْدَ الْأُخْرَى ثُمَّ مَاتَتِ الْأُولَى وأسلمت معه الثانية جاز له استبدالها فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَتِ الْأُولَى بَاقِيَةً؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَسْتَدِيمَ الْمُقَامَ فِي الْإِسْلَامِ عَلَى عَقْدِ نِكَاحٍ فِي الشِّرْكِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ مِثْلَهُ فِي الْإِسْلَامِ وَهُوَ أن يَكُون قَدْ نَكَحَهَا بِغَيْرِ شُهُودٍ جَازَ مِثْلُهُ فِي جَمْعِ الْعَدَدِ وَفِي الْأَوَاخِرِ.
Dan di antara dalil adalah bahwa jika seseorang menikahi dua saudari dalam masa syirik, satu setelah yang lain, kemudian yang pertama meninggal dan yang kedua masuk Islam bersamanya, maka boleh baginya untuk menggantikannya. Demikian pula jika yang pertama masih hidup; dan karena ketika boleh baginya untuk tetap tinggal dalam Islam berdasarkan akad nikah di masa syirik, padahal tidak boleh memulai akad yang sama dalam Islam, yaitu menikahi tanpa saksi, maka demikian pula dalam hal mengumpulkan jumlah istri dan dalam hal istri-istri yang terakhir.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ استدلالهم بالخبر فمن يقول بموجبه أننا نُحَرِّمُ عَلَيْهِ الزِّيَادَةَ عَلَى أَرْبَعٍ كَالَّذِي لَمْ يَزَلْ مُسْلِمًا.
Adapun jawaban atas dalil mereka dengan hadits, maka kami sependapat dengan maknanya, yaitu kami mengharamkan baginya menambah lebih dari empat istri, sebagaimana yang berlaku bagi orang yang sejak awal telah menjadi Muslim.
فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمَرْأَةِ إِذَا أَسْلَمَتْ مَعَ زَوْجَيْنِ تَعْلِيلًا بِأَنَّهُ تَحْرِيمُ جَمْعٍ فالتعليل غير مسلم، لأنه لَمْ يُحَرِّمْ عَلَى الْمَرْأَةِ الزَّوْجَ الثَّانِي بَعْدَ الْأَوَّلِ لِأَجْلِ الْجَمْعِ، وَلَكِنْ لِأَنَّ الْأَوَّلَ قَدْ ملك بعضها فَصَارَتْ عَاقِدَةً مَعَ الثَّانِي عَلَى مَا قَدْ مَلَكَهُ الْأَوَّلُ عَلَيْهَا، فَجَرَى مَجْرَى مَنْ بَاعَ مِلْكًا ثُمَّ بَاعَهُ مِنْ آخَرَ بَطَلَ الْبَيْعُ الثاني لأجل الجمع ولكن يعقده عَلَى مَا قَدْ خَرَجَ عَنْ مِلْكِهِ كَذَلِكَ نِكَاحُ الزَّوْجِ الثَّانِي. وَخَالَفَ نِكَاحُ الْخَامِسَةِ، لِأَنَّهَا غَيْرُ مَمْلُوكَةِ الْبُضْعِ كَالرَّابِعَةِ.
Adapun qiyās mereka dengan wanita yang masuk Islam bersama dua suami, dengan alasan bahwa itu adalah pengharaman pengumpulan (dua suami), maka alasan tersebut tidak dapat diterima, karena tidak diharamkan atas wanita suami kedua setelah suami pertama karena alasan pengumpulan, tetapi karena yang pertama telah memiliki sebagian hak atasnya, sehingga ia menjadi pihak yang mengadakan akad dengan yang kedua atas sesuatu yang telah dimiliki oleh yang pertama atas dirinya. Maka hal itu seperti orang yang menjual miliknya, kemudian menjualnya lagi kepada orang lain, maka batal jual beli yang kedua karena pengumpulan, tetapi ia boleh mengadakan akad atas sesuatu yang telah keluar dari kepemilikannya. Demikian pula pernikahan dengan suami kedua. Berbeda dengan pernikahan kelima, karena ia bukanlah milik suami sebelumnya sebagaimana istri keempat.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ فَالْمَعْنَى فِيهِنَّ: أَنَّهُ لَمَّا حَرُمَ ابْتِدَاءُ الْعَقْدِ عَلَيْهِنَّ حَرُمَ اسْتِدَامَةُ نِكَاحِهِنَّ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْأَوَاخِرُ.
Adapun qiyās mereka dengan wanita-wanita mahram, maka makna di dalamnya adalah: ketika diharamkan memulai akad atas mereka, maka diharamkan pula melanjutkan pernikahan dengan mereka, dan hal ini tidak berlaku pada istri-istri yang terakhir.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُسْلِمِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ عُقُودَ الْمُسْلِمِ أَضْيَقُ حُكْمًا وَأَغْلَظُ شَرْطًا مِنْ عُقُودِ الْمُشْرِكِ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ نَكَحَ فِي عِدَّةٍ أَوْ بِغَيْرِ شُهُودِ بَطَلَ، وَلَوْ أَسْلَمَ الْمُشْرِكُ عَلَيْهِ أُقِرَّ كَذَلِكَ الْأَوَاخِرُ.
Adapun qiyās mereka dengan seorang Muslim, maka maknanya adalah bahwa akad-akad seorang Muslim lebih ketat hukumnya dan lebih berat syaratnya daripada akad-akad seorang musyrik. Tidakkah engkau lihat, jika ia menikah dalam masa iddah atau tanpa saksi maka batal, sedangkan jika seorang musyrik masuk Islam dengan keadaan demikian maka tetap diakui. Demikian pula halnya dengan istri-istri yang terakhir.
فَصْلٌ: فَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ
Fashl: Adapun keadaan yang kedua
: وَهُوَ أَنْ يُسْلِمَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ فَيَنْظُرَ، فَإِنْ أَسْلَمَ الزَّوْجُ وَزَوْجَتُهُ كِتَابِيَّةٌ فَالنِّكَاحُ بِحَالِهِ، لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ نِكَاحَهَا فِي الْإِسْلَامِ فَجَازَ أَنْ يَسْتَدِيمَ نِكَاحَهَا فِي الشِّرْكِ، وَإِنْ كَانَتْ زَوْجَتُهُ وَثَنِيَّةً أَوْ أَسْلَمَتِ الزَّوْجَةُ، وَكَانَ زَوْجُهَا كِتَابِيًّا، أَوْ وَثَنِيًّا، فَكُلُّ ذَلِكَ سَوَاءٌ؛ لِأَنَّ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا بَعْدَ إسلام أحدهما محرم، وإذا كان كذلك نُظِرَ فِي إِسْلَامِ أَحَدِهِمَا فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ بَطَلَ النِّكَاحُ وَإِنْ كَانَ بَعْدَهُ كَانَ موقوفاً على انقضاء العدة، فإن أسلمتا الْمُتَأَخِّرُ فِي الشِّرْكِ مِنْهُمَا قَبْلَ انْقِضَائِهَا كَانَا عَلَى النِّكَاحِ، وَإِنْ لَمْ يُسْلِمْ حَتَّى انْقَضَتْ بَطَلَ النِّكَاحُ، وَسَوَاءٌ تَقَدَّمَ بِالْإِسْلَامِ الزَّوْجُ أَوِ الزَّوْجَةُ وَسَوَاءٌ كَانَ الْإِسْلَامُ فِي دَارِ الْحَرْبِ أَوْ دَارِ الْإِسْلَامِ.
Yaitu apabila salah satu dari suami istri masuk Islam, maka diperhatikan: jika suami masuk Islam sementara istrinya adalah seorang ahli kitab, maka pernikahan tetap berlangsung sebagaimana adanya, karena boleh saja ia memulai pernikahan dengannya dalam Islam, maka boleh pula melanjutkan pernikahan dengannya yang masih dalam keadaan syirik. Namun jika istrinya adalah penyembah berhala, atau istri yang masuk Islam sementara suaminya adalah ahli kitab atau penyembah berhala, maka semuanya sama saja; karena menyatukan keduanya setelah salah satu masuk Islam adalah haram. Jika demikian, maka dilihat waktu masuk Islam salah satunya: jika terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri, maka pernikahan batal; dan jika setelahnya, maka statusnya tergantung hingga masa iddah selesai. Jika yang masih dalam syirik masuk Islam sebelum iddah selesai, maka keduanya tetap dalam pernikahan; namun jika tidak masuk Islam hingga iddah selesai, maka pernikahan batal. Sama saja apakah yang lebih dahulu masuk Islam adalah suami atau istri, dan sama saja apakah keislaman itu terjadi di Darul Harb (wilayah non-Muslim) atau Darul Islam (wilayah Muslim).
وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ تَقَدَّمَتِ الزوجة بالإسلام كان الحكم على ما ذكرناه إِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ بَطَلَ النِّكَاحُ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَهُ وَقَفَ عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَإِنْ تَقَدَّمَ الزَّوْجُ بِالْإِسْلَامِ كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا إِلَّا أَنْ تُسْلِمَ الزَّوْجَةُ بَعْدَهُ بِزَمَانٍ يَسِيرٍ كَيَوْمٍ أو يومين.
Malik berkata: Jika istri yang lebih dahulu masuk Islam, maka hukumnya seperti yang telah kami sebutkan: jika sebelum terjadi hubungan suami istri, maka pernikahan batal; dan jika setelahnya, maka statusnya tergantung hingga masa iddah selesai. Namun jika suami yang lebih dahulu masuk Islam, maka pernikahan batal kecuali jika istri masuk Islam setelahnya dalam waktu yang singkat, seperti sehari atau dua hari.
وقال أبو حنيفة: إن أَسْلَمَ أَحَدُهُمَا، فَلَهُمَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
Abu Hanifah berkata: Jika salah satu dari keduanya masuk Islam, maka ada tiga keadaan:
حَالٌ يَكُونَانِ فِي دَارِ الْحَرْبِ، وَحَالٌ يَكُونَانِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ، وَحَالٌ يَكُونُ أَحَدُهُمَا فِي دَارِ الْحَرْبِ وَالْآخرُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ.
Keadaan di mana keduanya berada di Darul Harb, keadaan di mana keduanya berada di Darul Islam, dan keadaan di mana salah satu berada di Darul Harb dan yang lain di Darul Islam.
فَإِنْ كَانَا فِي دَارِ الْحَرْبِ فَأَسْلَمَ أَحَدُهُمَا فالنكاح موقوف على انقضاء العدة سواء كانت قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ.
Jika keduanya berada di Darul Harb lalu salah satu masuk Islam, maka pernikahan statusnya tergantung hingga masa iddah selesai, baik sebelum maupun setelah terjadi hubungan suami istri.
وَإِنْ كَانَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَأَسْلَمَ أَحَدُهُمَا كَانَ النِّكَاحُ مَوْقُوفًا عَلَى الْأَبَدِ قَبْلَ الدُّخُولِ وَبَعْدَهُ إِلَّا أَنْ يُعْرَضَ الْإِسْلَامُ عَلَى الْمُتَأَخِّرِ فِي الشِّرْكِ فَيَمْتَنِعَ، فَيُوقِعُ الْحَاكِمُ الفرقة بِطَلْقَةٍ وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا في دار الحرب والآخر في دار الإسلام فإسلام من حصل في ذلك الْإِسْلَامَ يُوجِب لِفَسْخِ النِّكَاحِ فِي الْحَالِ قَبْلَ الدخول وبعده من غير وقف، وسواء كان الْمُسْلِمُ هُوَ الزَّوْجُ أَوِ الزَّوْجَةُ.
Jika keduanya berada di Darul Islam lalu salah satu masuk Islam, maka pernikahan statusnya tergantung selamanya, baik sebelum maupun setelah terjadi hubungan suami istri, kecuali jika Islam ditawarkan kepada yang masih dalam syirik lalu ia menolak, maka hakim memutuskan perpisahan dengan satu kali talak. Jika salah satu berada di Darul Harb dan yang lain di Darul Islam, maka keislaman yang berada di Darul Islam menyebabkan pernikahan langsung batal, baik sebelum maupun setelah terjadi hubungan suami istri, tanpa status tergantung. Dan sama saja apakah yang masuk Islam adalah suami atau istri.
وَقَالَ دَاوُدُ: وَأَبُو ثَوْرٍ: إِسْلَامُ أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ مُوجِبٌ لِفَسْخِ النِّكَاحِ فِي الْحَالِ مِنْ غَيْرِ وَقْفٍ عَلَى أَيِّ حَالٍ كَانَ إِسْلَامُهُ وَفِي أَيِّ مَكَانٍ كَانَ.
Dawud dan Abu Tsaur berkata: Masuk Islamnya salah satu dari keduanya tanpa yang lain menyebabkan pernikahan langsung batal, tanpa status tergantung, dalam keadaan apa pun dan di tempat mana pun keislaman itu terjadi.
فَأَمَّا مَالِكٌ فَاسْتَدَلَّ لِمَذْهَبِهِ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلاَ تُمْسِكُوا بِعَصِمِ الكَوَافِرِ} (الممتحنة: 10) فَوَجَبَ أَنْ يَحْرُمَ عَلَى الْمُسْلِمِ التَّمَسُّكُ بِعِصْمَةِ كافر، وَلِأَنَّ إِسْلَامَ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ إِذَا كَانَ مُؤَثِّرًا فِي الْفُرْقَةِ كَانَ مُعْتَبَرًا بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ؛ لِأَنَّ الْفُرْقَةَ إِلَى الرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ.
Adapun Malik, ia berdalil untuk pendapatnya dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir} (al-Mumtahanah: 10), maka wajib bagi seorang Muslim untuk tidak mempertahankan ikatan pernikahan dengan orang kafir. Dan karena masuk Islamnya salah satu dari suami istri jika berpengaruh pada perpisahan, maka yang dianggap adalah masuk Islamnya suami, bukan istri; karena hak perpisahan ada pada laki-laki, bukan perempuan.
وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ وَحَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ أَسْلَمَا عَلَى يَدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِمَرِّ الظَّهْرَانِ وَزَوْجَتَاهُمَا فِي الشِّرْكِ بِمَكَّةَ فَأَنْفَذَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَا هُرَيْرَةَ إِلَى هِنْدٍ زَوْجَةِ أَبِي سُفْيَانَ فَقَرَأَ عَلَيْهَا الْقُرْآنَ وَعَرَضَ عَلَيْهَا الْإِسْلَامَ فَأَبَتْ ثم أسلمت، وزوجة حكيم عَلَى يَدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَأَقَرَّهُمَا عَلَى النِّكَاحِ مَعَ تَقَدُّمِ إِسْلَامِ الزَّوْجَيْنِ، وَلِأَنَّ حَظْرَ الْمُسْلَمَةِ عَلَى الْكَافِرِ أَغْلَظُ مِنْ حَظْرِ الْكَافِرَةِ عَلَى الْمُسْلِمِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَةَ لَا تَحِلُّ لِكِتَابِيٍّ، وَالْمُسْلِمَ تَحِلُّ لَهُ الْكِتَابِيَّةُ فَلَمَّا لَمْ يَتَعَجَّلْ فَسْخُ نِكَاحِ الْمُسْلِمَةِ مَعَ الْكَافِرِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَتَعَجَّلَ فَسْخُ نِكَاحِ الْكَافِرِ مَعَ الْمُسْلِمَةِ.
Dalil atas hal itu adalah riwayat bahwa Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam masuk Islam di tangan Rasulullah ﷺ di Marr az-Zhahran, sementara kedua istri mereka masih dalam keadaan syirik di Mekah. Maka Rasulullah ﷺ mengutus Abu Hurairah kepada Hindun, istri Abu Sufyan, lalu membacakan Al-Qur’an kepadanya dan menawarkan Islam, namun ia menolak, kemudian ia masuk Islam. Adapun istri Hakim masuk Islam di tangan Rasulullah ﷺ, lalu beliau membiarkan keduanya tetap dalam pernikahan meskipun suami telah lebih dahulu masuk Islam. Dan karena larangan bagi perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki kafir lebih berat daripada larangan perempuan kafir menikah dengan laki-laki Muslim, sebab perempuan Muslimah tidak halal bagi laki-laki ahli kitab, sedangkan laki-laki Muslim halal menikahi perempuan ahli kitab. Maka jika pembatalan pernikahan Muslimah dengan kafir tidak langsung dilakukan, maka lebih utama pula pembatalan pernikahan kafir dengan Muslimah juga tidak langsung dilakukan.
فَأَمَّا الْآيَةُ فَلَا دَلِيلَ لَهُ فِيهَا؛ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ أَنْ يَتَمَسَّكَ بِعِصْمَتِهَا فِي الكفر، وإنما تَمَسَّكَ بِعِصْمَتِهَا بَعْدَ الْإِسْلَامِ.
Adapun ayat tersebut, tidak terdapat dalil di dalamnya; karena tidak dibenarkan berpegang pada penjagaan (Allah) terhadapnya dari kekufuran, melainkan hanya berpegang pada penjagaan (Allah) terhadapnya setelah masuk Islam.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ الْفُرْقَةَ إِلَى الزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ فَذَاكَ فِي فرقة الاختيار التي يوقعها المالك والطلاق، فأما فرقة الفسوخ فيستوي فهيا الزَّوْجَانِ.
Adapun argumentasinya bahwa perpisahan (dalam pernikahan) menjadi hak suami dan bukan istri, maka itu berlaku pada perpisahan karena pilihan yang dilakukan oleh pemilik (hak) dan talak. Adapun perpisahan karena pembatalan (fasakh), maka keduanya, suami dan istri, memiliki kedudukan yang sama.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا أبو حنيفة فَاسْتَدَلَّ عَلَى وُقُوعِ الْفُرْقَةِ بِاخْتِلَافِ الدَّارَيْنِ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ بقول الله تعالى: {يَأَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءكُمْ المُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِأيْمَانِهِنَّ فَإنَّ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٌ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الكُفَارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ) (الممتحنة: 10) فَاقْتَضَى أَنْ تَحْرُمَ عَلَيْهِ بِالْإِسْلَامِ سَوَاءٌ أَسْلَمَ بَعْدَهَا أَوْ لَمْ يُسْلِمْ؛ وَبِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جده عن زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هَاجَرَتْ إِلَيْهِ، وَتَخَلَّفَ زَوْجُهَا أَبُو الْعَاصِ بْنُ ربيع كافراً بمكة ثم أسلم فردها عليه بِنِكَاحٍ جَدِيدٍ، فَدَلَّ عَلَى وُقُوعِ الْفُرْقَةِ بِاخْتِلَافِ الدارين.
Adapun Abu Hanifah, ia berdalil atas terjadinya perpisahan karena perbedaan dua negeri tanpa syarat dengan firman Allah Ta‘ala: {Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan mukmin yang berhijrah, maka ujilah mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu pun tidak halal bagi mereka} (al-Mumtahanah: 10). Maka ayat ini menunjukkan bahwa istri menjadi haram bagi suaminya karena Islam, baik suaminya masuk Islam setelahnya ataupun tidak; dan juga berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya dari Zainab binti Rasulullah ﷺ, ia berhijrah kepada Nabi, sementara suaminya, Abu al-‘Ash bin Rabi‘, tetap tinggal di Mekah dalam keadaan kafir, kemudian ia masuk Islam, lalu Nabi mengembalikannya kepada Zainab dengan akad nikah yang baru. Maka ini menunjukkan terjadinya perpisahan karena perbedaan negeri.
قَالَ: وَلِأَنَّ اخْتِلَافَ الدَّارِ بِهِمَا حُكْمًا وَفِعْلًا يوجب الْفُرْقَة بَيْنَهُمَا قِيَاسًا عَلَى سَبْيِ أَحَدِهِمَا وَاسْتِرْقَاقِهِ.
Ia berkata: Karena perbedaan negeri secara hukum dan praktik menyebabkan perpisahan antara keduanya, dengan qiyās kepada kasus salah satu dari mereka yang tertawan dan menjadi budak.
قَالَ: وَلِأَنَّ دَارَ الْحَرْبِ دَارُ غَلَبَةٍ، وَقَهْرٍ، لِأَنَّ مَنْ غَلَبَ فِيهَا عَلَى شَيْءِ مَلَكَهُ أَلَا تَرَى لَوْ غَلَبَ الْعَبْدُ سَيِّدَهُ عَلَى نَفْسِهِ صَارَ الْعَبْدُ حُرًّا وَصَارَ السَّيِّدُ لَهُ عَبْدًا وَلَوْ غَلَبَتِ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا عَلَى نَفْسِهِ بَطَلَ نِكَاحُهَا، وَصَارَ الزَّوْجُ لَهَا عَبْدًا فَاقْتَضَى أَنْ تَصِيرَ الزَّوْجَةُ بِإِسْلَامِهَا إِذَا هَاجَرَتْ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ مُتَغَلِّبَةً عَلَى نَفْسِهَا فَوَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ نِكَاحُهَا.
Ia berkata: Karena Dār al-Ḥarb adalah negeri kekuasaan dan penaklukan, di mana siapa yang menguasai sesuatu di dalamnya maka ia memilikinya. Tidakkah engkau lihat, jika seorang budak mengalahkan tuannya atas dirinya sendiri, maka budak itu menjadi merdeka dan tuannya menjadi budaknya; dan jika seorang istri mengalahkan suaminya atas dirinya sendiri, maka nikahnya batal dan suaminya menjadi budaknya. Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang istri, dengan masuk Islamnya dan jika ia berhijrah dari Dār al-Ḥarb dalam keadaan menguasai dirinya sendiri, maka wajib batal nikahnya.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ اخْتِلَافَ الدَّارَيْنِ لَا يُوجِبُ وُقُوعَ الْفُرْقَةِ بِإِسْلَامِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ ما روي أن أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ، وَحَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ أَسْلَمَا بِمَرِّ الظَّهْرَانِ، وَهِيَ بِحُلُولِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فيها واستيلائه عليها دار الإسلام وَزَوْجَتَاهُمَا عَلَى الشِّرْكِ بِمَكَّةَ وَهِيَ إِذ ذَاكَ دار الحرب ثُمَّ أَسْلَمَتَا بَعْدَ الْفَتْحِ فَأَقَرَّهُمَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – على النكاح.
Adapun dalil bahwa perbedaan dua negeri tidak menyebabkan terjadinya perpisahan karena Islamnya salah satu dari pasangan suami istri adalah riwayat bahwa Abu Sufyan bin Harb dan Hakim bin Hizam masuk Islam di Marr az-Zhahran, yaitu pada saat Rasulullah ﷺ tiba di sana dan menguasainya sehingga menjadi Dār al-Islām, sementara istri-istri mereka masih dalam keadaan musyrik di Mekah yang saat itu masih merupakan Dār al-Ḥarb. Kemudian kedua istri mereka masuk Islam setelah penaklukan (Mekah), dan Rasulullah ﷺ membiarkan mereka tetap dalam pernikahan.
فَإِنْ قِيلَ: مَرُّ الظَّهْرَانِ مِنْ سَوَادِ مَكَّةَ، وتابعة لها في الحكم فلم يكن إسلامها إلا في دار واحدة، ففيه جوابان:
Jika dikatakan: Marr az-Zhahran adalah bagian dari wilayah Mekah dan mengikuti hukumnya, maka keislaman mereka terjadi di satu negeri saja, maka ada dua jawaban:
أحدهما: أن مر الظهران دار الخزاعة مُحَازَةٌ عَنْ حُكْمِ مَكَّةَ؛ لِأَنَّ خُزَاعَةَ كَانَتْ فِي حِلْفِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَكَانَتْ بَنُو بَكْرٍ فِي حِلْفِ قُرَيْشٍ، وَلِنُصْرَةِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِخُزَاعَةَ صَارَ إِلَى قُرَيْشٍ بِمَكَّةَ.
Pertama: Bahwa Marr az-Zhahran adalah negeri milik Khuza‘ah yang terpisah dari hukum Mekah; karena Khuza‘ah berada dalam persekutuan dengan Rasulullah ﷺ, sedangkan Banu Bakr berada dalam persekutuan dengan Quraisy. Karena Nabi ﷺ menolong Khuza‘ah, maka beliau berpihak kepada Quraisy di Mekah.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّ مَرَّ الظَّهْرَانِ لَوْ كَانَ مِنْ سَوَادِ مكة لجاز أَنْ يَنْفَرِدَ عَنْ حُكْمِهَا بِاسْتِيلَاءِ الْإِسْلَامِ عَلَيْهَا، كَمَا لَوْ فَتَحَ الْمُسْلِمُونَ سَوَادَ بَلَدٍ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ صَارَ ذَلِكَ السَّوَادُ دَارَ إِسْلَامٍ، وإن كان البلد دار الحرب وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا دَخَلَ مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ، هَرَبَ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ إِلَى الطَّائِفِ، وَهَرَبَ عِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ إِلَى سَاحِلِ الْبَحْرِ مُشْرِكَيْنِ فَأَسْلَمَتْ زوجاتهما بِمَكَّةَ، وَكَانَتْ زَوْجَةُ صَفْوَانَ بَرْزَةَ بِنْتَ مَسْعُودِ بن عمرو الثقفي، وزوجة عكرمة أم عكيم بنت الحارث به هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، وَأَخَذَتَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَمَانًا لَهُمَا فَدَخَلَ صَفْوَانُ مِنَ الطَّائِفِ بِالْأَمَانِ وَأَقَامَ عَلَى شِرْكِهِ حَتَّى شَهِدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حُنَيْنًا وَأَعَارَهُ سِلَاحًا ثُمَّ أَسْلَمَ، وَعَادَ عِكْرِمَةُ من ساحل البحر وَقَدْ عَزَمَ عَلَى رُكُوبِهِ هَرَبًا فَأَسْلَمَ فَأَقَرَّهُمَا رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَعَ زَوْجَتَيْهِمَا مَعَ اخْتِلَافِ الدَّارَيْنِ بِهِمَا لِأَنَّ مَكَّةَ كَانَتْ قَدْ صَارَتْ بِالْفَتْحِ دَارَ إِسْلَامٍ، وكانت الطائف والساحل دار حرب.
Jawaban kedua: Bahwa Marr az-Zahrān, seandainya termasuk wilayah luar Makkah, maka boleh saja ia memiliki hukum yang berbeda dari Makkah karena dikuasai oleh Islam, sebagaimana jika kaum Muslimin menaklukkan wilayah luar suatu negeri dari Dār al-Ḥarb, maka wilayah luar itu menjadi Dār al-Islām, meskipun negeri tersebut masih Dār al-Ḥarb. Hal ini didukung oleh riwayat bahwa Nabi ﷺ ketika memasuki Makkah pada tahun penaklukan, Shafwān bin Umayyah melarikan diri ke Ṭā’if, dan ‘Ikrimah bin Abī Jahl melarikan diri ke pesisir laut dalam keadaan musyrik, sementara istri-istri mereka masuk Islam di Makkah. Istri Shafwān adalah Barzah binti Mas‘ūd bin ‘Amr ats-Tsaqafī, dan istri ‘Ikrimah adalah Ummu Ḥakīm binti al-Ḥārith bin Hishām bin al-Mughīrah. Keduanya meminta jaminan keamanan dari Rasulullah ﷺ untuk suami mereka. Maka Shafwān masuk ke Makkah dari Ṭā’if dengan jaminan keamanan dan tetap dalam kemusyrikannya hingga ia ikut bersama Rasulullah ﷺ dalam perang Ḥunain dan meminjamkan senjata kepadanya, kemudian ia masuk Islam. Sementara ‘Ikrimah kembali dari pesisir laut, padahal ia telah berniat menyeberang laut untuk melarikan diri, lalu ia masuk Islam. Rasulullah ﷺ membiarkan keduanya tetap bersama istri-istri mereka meskipun tempat tinggal mereka berbeda, karena Makkah telah menjadi Dār al-Islām dengan penaklukan, sedangkan Ṭā’if dan pesisir laut masih Dār al-Ḥarb.
فَإِنْ قِيلَ: هُمَا مِنْ سَوَادِ مَكَّةَ وَفِي حكمهما.
Jika dikatakan: Keduanya berasal dari wilayah luar Makkah dan mengikuti hukumnya.
فالجواب عنه بما مضى.
Maka jawabannya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
ومن القياس: أنه إسلام بَعْدَ الْإِصَابَةِ فَوَجَبَ إِذَا اجْتَمَعَا عَلَيْهِ فِي العدة أن لا تقع بِهِ الْفُرْقَةُ قِيَاسًا عَلَى اجْتِمَاعِ إِسْلَامِهِمَا فِي دَارِ الْحَرْبِ؛ وَلِأَنَّ مَا كَانَتِ الْبَيْنُونَةُ بِهِ مُنْتَظَرَةً لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ اخْتِلَافُ الدَّارَيْنِ كَالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ، وَمَا كَانَتِ الْبَيْنُونَةُ مُعَجَّلَةً، لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ اتِّفَاقُ الدَّارَيْنِ كَالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ فَوَجَبَ أَنْ يكون الْفُرْقَةُ بِالْإِسْلَامِ مُلْحَقَةً بِأَحَدِهِمَا.
Dan menurut qiyās: Keislaman setelah terjadinya hubungan, maka apabila keduanya berkumpul kembali dalam masa ‘iddah, tidak terjadi perpisahan karena hal itu, sebagaimana berkumpulnya keduanya dalam keislaman di Dār al-Ḥarb. Karena perpisahan yang masih ditunggu-tunggu tidak terpengaruh oleh perbedaan tempat tinggal, seperti talak raj‘i. Sedangkan perpisahan yang langsung terjadi, tidak terpengaruh oleh kesamaan tempat tinggal, seperti talak tiga. Maka wajib hukumnya bahwa perpisahan karena Islam disamakan dengan salah satunya.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْآيَةِ فَنَحْنُ نَقُولُ بموجبها لأنها لا ترد المسلمة إلى كافر ولا تحلها له ولا تمسك بعصمة كافرة، وإنما يردها إلى مسلم، ويسمك بِعِصْمَةِ مُسْلِمَةٍ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ زَيْنَبَ فمن وجهين:
Adapun jawaban atas dalil mereka dengan ayat, maka kami juga berpendapat sesuai dengan maknanya, karena ayat itu tidak mengembalikan perempuan muslimah kepada orang kafir, tidak menghalalkannya bagi orang kafir, dan tidak mempertahankan ikatan dengan perempuan kafir. Ayat itu hanya mengembalikannya kepada laki-laki muslim, dan mempertahankan ikatan dengan perempuan muslimah. Adapun jawaban atas hadis Zainab, ada dua sisi:
أحدهما: ما رواه عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَدَّهَا عَلَيْهِ بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ.
Pertama: Riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi ﷺ mengembalikannya (Zainab) kepada suaminya dengan pernikahan yang pertama.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ اسْتَأْنَفَ لَهَا نِكَاحًا، لِأَنَّهُ أَسْلَمَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ حِينَ أَسَرَهُ أَبُو بَصِيرٍ الثقفي بسيف البحر من نحو الْجَارِ.
Kedua: Boleh jadi Nabi ﷺ menikahkan kembali untuknya, karena suaminya masuk Islam setelah habis masa ‘iddah, yaitu ketika ia ditawan oleh Abū Bashīr ats-Tsaqafī di tepi laut dekat al-Jār.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى السَّبْيِ وَالِاسْتِرْقَاقِ فَلَيْسَ المعنى فيه افتراق الدارين إنما حُدُوثُ الِاسْتِرْقَاقِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوِ اسْتُرِقَّ أحدهما وهما فِي دَارِ الْحَرْبِ، بَطَلَ النِّكَاحُ وَلَوِ اسْتُرِقَّا معاً بطل النكاح فصار السبي مخالفاً للإسلام، وعلى أَنَّ الْفُرْقَةَ بِالِاسْتِرْقَاقِ غَيْرُ مُنْتَظِرَةٍ بِحَالٍ، وَالْفُرْقَةَ بِالْإِسْلَامِ مُنْتَظِرَةٌ فِي حَالٍ فَافْتَرَقَا.
Adapun qiyās mereka dengan tawanan dan perbudakan, maka bukan karena perbedaan tempat tinggal, melainkan karena terjadinya perbudakan. Bukankah jika salah satu dari keduanya diperbudak ketika masih di Dār al-Ḥarb, maka batal pernikahannya? Dan jika keduanya diperbudak bersama-sama, juga batal pernikahannya. Maka tawanan berbeda dengan keislaman. Selain itu, perpisahan karena perbudakan tidak pernah ditunda dalam keadaan apa pun, sedangkan perpisahan karena Islam terkadang masih ditunda, sehingga keduanya berbeda.
وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِأَنَّهَا مُتَغَلِّبَةٌ عَلَى بُضْعِهَا فَلَا يَصِحُّ؛ لِأَنَّ الْأَعْيَانَ تُمْلَكُ بِالتَّغَلُّبِ دُونَ الْأَبْضَاعِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مسلما لَوْ غَلَبَ عَلَى بُضْعِ مُشْرِكَةٍ لم تصر زوجة، ولم يضر زَوْجًا وَلَوْ تَغَلَّبَ عَلَى رَقَبَتِهَا صَارَتْ مِلْكًا.
Adapun dalil bahwa perempuan itu menguasai dirinya sendiri, maka tidak sah; karena benda-benda dapat dimiliki dengan penguasaan, tetapi tidak demikian dengan kemaluan. Bukankah jika seorang muslim menguasai kemaluan perempuan musyrik, ia tidak menjadi istrinya dan tidak menjadi suaminya? Namun jika ia menguasai lehernya (menjadikannya budak), maka ia menjadi miliknya.
فَصْلٌ
Fasal
وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة عَلَى أَنَّ إِسْلَامَ أَحَدِهِمَا قَبْلَ الدُّخُولِ لَا يُوجِبُ تَعْجِيلَ الْفُرْقَةِ بأنه إسلام طرأ عَلَى نِكَاحٍ، فَوَجَبَ أَنْ لَا يُبْطِلَهُ قِيَاسًا على إسلامهما معاً وَلِأَنَّ الْإِسْلَامَ سَبَبٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ النِّكَاحُ، لِأَنَّ الْكَافِرَ لَا يَسْتَبِيحُ الْمُسْلِمَةَ إِلَّا أَنْ يُسْلِمَ وَمَا كَانَ سَبَبًا فِي إِبَاحَةِ الْمَحْظُورِ لَمْ يَكُنْ سَبَبًا فِي حَظْرِ الْمُبَاحِ.
Abū Ḥanīfah berdalil bahwa keislaman salah satu dari keduanya sebelum terjadi hubungan tidak menyebabkan perpisahan segera, karena keislaman itu terjadi pada akad nikah yang sudah ada, sehingga tidak membatalkannya, berdasarkan qiyās dengan keislaman keduanya secara bersamaan. Selain itu, Islam adalah sebab yang membolehkan pernikahan, karena orang kafir tidak boleh menikahi perempuan muslimah kecuali jika ia masuk Islam. Sesuatu yang menjadi sebab kebolehan terhadap yang terlarang, tidak menjadi sebab pelarangan terhadap yang sudah dibolehkan.
وَدَلِيلُنَا عَلَيْهِ هو اخْتِلَاف الدَّارَيْنِ إِذَا مَنَعَ مِنْ تَأْبِيدِ الْمُقَامِ عَلَى النِّكَاحِ تَعَجَّلَتْ بِهِ الْفُرْقَةُ إِذَا كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ كَالرِّدَّةِ، وَلِأَنَّ كُلَّ سَبَبٍ إِذَا وُجِدَ بَعْدَ الدُّخُولِ لَمْ تَقَعْ بِهِ الْفُرْقَةُ إِلَّا بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَجَبَ إِذَا وُجِدَ قَبْلَ الدُّخُولِ أنْ تعَجَّلَ بِهِ الْفُرْقَة كَالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ، فَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى إِسْلَامِهِمَا مَعًا، فَلِأَنَّهُ يَجُوزُ بِإِسْلَامِهِمَا تَأْبِيدُ الْمُقَامِ عَلَى النِّكَاحِ فَكَانَ عَلَى صِحَّتِهِ، وَإِسْلَامُ أَحَدِهِمَا يَمْنَعُ تَأْبِيدَ الْمُقَامِ فَتَعَجَّلَ بِهِ فَسْخُ الْعَقْدِ عَلَى أَنَّ الْقِيَاسَ مُنْتَقِضٌ بِالرِّدَّةِ قَبْلَ الدُّخُولِ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: لَوِ ارْتَدَّا مَعًا قَبْلَ الدُّخُولِ كَانَا عَلَى النِّكَاحِ ثُمَّ لَوْ أَسْلَمَ أَحَدُهُمَا بَطَلَ النِّكَاحُ.
Dalil kami tentang hal ini adalah bahwa perbedaan dua negeri, jika mencegah keabadian tinggal bersama dalam pernikahan, maka perpisahan segera terjadi jika itu sebelum terjadi hubungan suami istri, seperti dalam kasus riddah (murtad). Dan karena setiap sebab, jika terjadi setelah hubungan suami istri, tidak menyebabkan perpisahan kecuali setelah habis masa ‘iddah, maka wajib jika sebab itu terjadi sebelum hubungan suami istri, perpisahan segera terjadi karenanya, seperti talak raj‘i. Adapun qiyās-nya dengan keislaman kedua pasangan sekaligus, maka karena dengan keislaman keduanya dimungkinkan keabadian tinggal bersama dalam pernikahan, sehingga pernikahan tetap sah. Sedangkan keislaman salah satu dari keduanya mencegah keabadian tinggal bersama, maka segera terjadi pembatalan akad. Namun qiyās ini batal dengan kasus riddah sebelum terjadi hubungan suami istri, sebab ia berkata: Jika keduanya murtad bersama sebelum terjadi hubungan suami istri, maka keduanya tetap dalam pernikahan, kemudian jika salah satu dari keduanya masuk Islam, maka pernikahan batal.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ مَا كَانَ سَبَبًا فِي الْإِبَاحَةِ لَمْ يَكُنْ سَبَبًا فِي الْحَظْرِ فَفَاسِدٌ بِالطَّلَاقِ، وَهُوَ سَبَبٌ لِتَحْرِيمِ الْمُطَلَّقَةِ وَإِبَاحَةِ أُخْتِهَا وَسَبَبٌ لِإِبَاحَتِهَا لغير مطلقها، وإن كان سبب لِتَحْرِيمِهَا عَلَى مُطَلِّقِهَا ثُمَّ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ أَنْ يَكُونَ الْإِسْلَامُ الَّذِي هُوَ سبب الْإِبَاحَةِ سبباً للتحريم بعد انقضاء العدة، وكذلك قَبْلَهَا.
Adapun argumentasinya bahwa sesuatu yang menjadi sebab kebolehan tidak bisa menjadi sebab keharaman, maka itu rusak dengan adanya talak, yang mana talak adalah sebab keharaman bagi perempuan yang ditalak dan kebolehan bagi saudara perempuannya, serta sebab kebolehan bagi perempuan itu untuk laki-laki lain selain yang menalaknya, meskipun menjadi sebab keharaman baginya terhadap laki-laki yang menalaknya. Maka ketika tidak ada larangan bahwa Islam yang merupakan sebab kebolehan juga menjadi sebab keharaman setelah habis masa ‘iddah, demikian pula sebelum habis masa ‘iddah.
وَاسْتَدَلَّ أبو حنيفة عَلَى أَنَّ إِسْلَامَ أحدهما في دار الإسلام فوجب بَقَاء النِّكَاحِ عَلَى الْأَبَدِ مَا لَمْ يُعْرَضِ الْإِسْلَامُ عَلَى الْمُتَأَخِّرِ مِنْهُمَا فِي الشِّرْكِ، فَإِذَا عُرِضَ عَلَيْهِ فَامْتَنَعَ أَوْقَعَ الْحَاكِمُ الْفُرْقَةَ بِطَلْقَةٍ تَعَلُّقًا بِأَنَّ الْفُرْقَةَ لَا تَكُونُ إِلَّا بِالْحَادِثِ، وَلَيْسَ يَخْلُو الْحَادِثُ مِنْ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ.
Abu Hanifah berdalil bahwa keislaman salah satu dari keduanya di Dar al-Islam mewajibkan tetapnya pernikahan selamanya selama Islam belum ditawarkan kepada yang belakangan dari keduanya yang masih musyrik. Jika telah ditawarkan kepadanya lalu ia menolak, maka hakim menjatuhkan perpisahan dengan satu talak, berdasarkan bahwa perpisahan tidak terjadi kecuali dengan adanya peristiwa baru, dan peristiwa baru itu tidak lepas dari tiga hal.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ لِإِسْلَامِ مَنْ أَسْلَمَ، أَوْ لِكُفْرِ مَنْ تَأَخَّرَ، أَوْ لِحُكْمِ حَاكِمٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ لِلْإِسْلَامِ، لِأَنَّهُ مَأْمُورٌ بِهِ فَلَمْ يَكُنْ سَبَبًا لِزَوَالِ مِلْكِهِ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ لِلْكُفْرِ، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ، وَالنِّكَاحُ بِحَالِهِ فَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ بِحُكْمِ الْحَاكِمِ، فَاقْتَضَى أَنْ تَتَعَلَّقَ الْفُرْقَةُ بِهِ تَقَدَّمَ الْحُكْمُ أَوْ تَأَخَّرَ، قَالَ: وَلِأَنَّ إِسْلَامَ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ لَا يُوقِعُ الْفُرْقَةَ بَيْنَهُمَا كَمَا لَوْ أَسْلَمَ زَوْجُ الْكِتَابِيَّةِ.
Yaitu: bisa karena keislaman yang lebih dahulu masuk Islam, atau karena kekafiran yang belakangan, atau karena keputusan hakim. Maka tidak boleh dikaitkan dengan keislaman, karena ia adalah sesuatu yang diperintahkan, sehingga tidak menjadi sebab hilangnya kepemilikan (pernikahan). Dan tidak boleh dikaitkan dengan kekafiran, karena kekafiran itu sudah ada, dan pernikahan tetap berlangsung. Maka tidak tersisa kecuali dikaitkan dengan keputusan hakim, sehingga perpisahan itu bergantung padanya, baik keputusan itu mendahului atau mengikuti. Ia berkata: Dan karena keislaman salah satu dari pasangan tidak menyebabkan perpisahan di antara keduanya, sebagaimana jika suami perempuan ahli kitab masuk Islam.
وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ اخْتِلَافَ الدِّينِ إِذَا مَنَعَ ابْتِدَاءَ النِّكَاحِ أَوْجَبَ وُقُوعَ الْفُرْقَةِ مِنْ غَيْرِ حُكْمٍ قِيَاسًا عَلَى إِسْلَامِ أَحَدِهِمَا فِي دَارِ الْحَرْبِ، وَلِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ أَغْلَظُ فِي أَحْكَامِ النِّكَاحِ مِنْ دَارِ الشِّرْكِ، ثُمَّ كَانَتْ دَارُ الشِّرْكِ لَا تُرَاعِي فِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ، بِإِسْلَامِ أَحَدِهِمَا حُكْمَ الْحَاكِمِ فَدَارُ الْإِسْلَامِ بِذَلِكَ أَوْلَى.
Dalil kami: Bahwa perbedaan agama, jika mencegah terjadinya pernikahan sejak awal, maka mewajibkan terjadinya perpisahan tanpa keputusan hakim, berdasarkan qiyās pada keislaman salah satu dari keduanya di Dar al-Harb. Dan karena Dar al-Islam lebih ketat dalam hukum-hukum pernikahan dibandingkan Dar al-Syirk, sementara Dar al-Syirk tidak memperhatikan keputusan hakim dalam terjadinya perpisahan karena keislaman salah satu dari keduanya, maka Dar al-Islam lebih utama dalam hal itu.
فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ الْأَوَّلُ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْفُرْقَةَ إِنَّمَا وَقَعَتْ بِاخْتِلَافِ الدِّينِ الْمَانِعِ مِنِ ابْتِدَاءِ النِّكَاحِ، وَلَيْسَ مِنَ الْأَقْسَامِ الْمَذْكُورَةِ فَلَمْ يَصِحَّ الِاسْتِدْلَالُ بِهَا.
Adapun argumentasi pertama, jawabannya adalah bahwa perpisahan itu terjadi karena perbedaan agama yang mencegah terjadinya pernikahan sejak awal, dan itu bukan termasuk bagian-bagian yang disebutkan, maka tidak sah berargumentasi dengannya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى إِسْلَامِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ ذَلِكَ مِنِ ابْتِدَاءِ النِّكَاحِ؛ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْمُسْلِمُ كِتَابِيَّةً لَمْ تَقَعِ الْفُرْقَةُ بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ الْكِتَابِيِّ، وليس كذلك في ملتنا لأنه لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْمُسْلِمُ وَثَنِيَّةً، وَلَا الْوَثَنِيُّ مُسْلِمَةً فَجَازَ أَنْ تَقَعَ الْفُرْقَةُ بِإِسْلَامِ أَحَدِ الْوَثَنِيَّيْنِ.
Adapun qiyās-nya dengan keislaman salah satu dari pasangan, maksudnya adalah: karena hal itu tidak mencegah terjadinya pernikahan sejak awal; sebab seorang Muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab, maka tidak terjadi perpisahan karena keislaman suami ahli kitab. Tidak demikian dalam agama kita, karena tidak boleh seorang Muslim menikahi perempuan musyrik, dan tidak pula laki-laki musyrik menikahi perempuan Muslimah, maka boleh terjadi perpisahan karena keislaman salah satu dari dua orang musyrik.
فَصْلٌ
Fashl (Pasal)
فَإِذَا ثَبَتَ وَتَقَرَّرَ أَنَّ النِّكَاحَ بِإِسْلَامِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ قَبْلَ الدُّخُولِ بَاطِلٌ وَأَنَّهُ بَعْدَ الدُّخُولِ مَوْقُوفٌ عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ تَقَدُّمِ إِسْلَامِ الزَّوْجِ أَوِ الزَّوْجَةِ بِخِلَافِ مَا قَالَهُ مَالِكٌ، وَأَنَّهُ لا فرق بين اختلاف الدارين أو اتفاقهما بِخِلَافِ مَا قَالَهُ أبو حنيفة، فَإِنَّ الزَّوْجَةَ الْمَدْخُولَ بِهَا قَبْلَ اجْتِمَاعِ إِسْلَامِهِمَا جَارِيَةٌ فِي عِدَّةِ الْفُرْقَةِ فَإِنْ لَمْ يُسْلِمِ الْمُتَأَخِّرُ مِنْهُمَا فِي الشِّرْكِ حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ، بِأَنَّ الْفُرْقَةَ وَقَعَتْ بِتَقَدُّمِ الْإِسْلَامِ، وَحَلَّتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ هَذِهِ العدة للأزواج.
Maka apabila telah tetap dan jelas bahwa pernikahan dengan masuk Islamnya salah satu dari kedua pasangan sebelum terjadinya hubungan suami istri adalah batal, dan bahwa setelah terjadinya hubungan suami istri statusnya tergantung pada berakhirnya masa ‘iddah, serta bahwa tidak ada perbedaan antara yang lebih dahulu masuk Islam, apakah suami atau istri, berbeda dengan pendapat Mālik, dan bahwa tidak ada perbedaan antara perbedaan atau kesamaan negeri, berbeda dengan pendapat Abū Ḥanīfah, maka istri yang telah digauli sebelum keduanya berkumpul dalam Islam tetap berada dalam masa ‘iddah perpisahan. Jika yang terlambat masuk Islam di antara keduanya tetap dalam kemusyrikan hingga masa ‘iddah berakhir, maka perpisahan terjadi karena salah satu telah lebih dahulu masuk Islam, dan setelah berakhirnya masa ‘iddah tersebut, ia menjadi halal bagi para suami lain.
وقال أبو حنيفة: ليست تلك الْعِدَّةُ عِدَّةَ فُرْقَةٍ وَإِنَّمَا هِيَ عِدَّةٌ يُعْتَبَرُ بها صحة النكاح باجتماع الإسلامين فيهما فَإِذَا لَمْ يَجْتَمِعْ إِسْلَامُهُمَا وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِانْقِضَائِهَا، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يوجب عليها بعد الفرقة عدة أخرى ولا توفيها فَإِنْ أَوْجَبَ عَلَيْهَا عِدَّةً أُخْرَى فَقَدْ أَلْزَمَهَا عِدَّتَيْنِ، وَلَيْسَتْ تَجِبُ عَلَى الْمُفَارَقَةِ إِلَّا عِدَّةٌ وَاحِدَةٌ، وَإِنْ لَمْ يُوجِبْ عَلَيْهَا عِدَّةً أُخْرَى بَطَلَ قَوْلُهُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Abū Ḥanīfah berkata: Masa ‘iddah itu bukanlah masa ‘iddah perpisahan, melainkan masa ‘iddah yang dijadikan ukuran untuk menentukan sahnya pernikahan dengan berkumpulnya keislaman keduanya. Jika keduanya tidak berkumpul dalam Islam, maka perpisahan terjadi dengan berakhirnya masa ‘iddah tersebut. Ini adalah kekeliruan; karena tidak lepas dari dua kemungkinan: ia mewajibkan atas istri setelah perpisahan masa ‘iddah lain yang belum ia jalani. Jika ia mewajibkan masa ‘iddah lain, berarti ia membebani istri dengan dua masa ‘iddah, padahal tidak wajib atas perempuan yang berpisah kecuali satu masa ‘iddah saja. Jika ia tidak mewajibkan masa ‘iddah lain, maka pendapatnya batal dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَوْجَبَ الْعِدَّةَ قَبْلَ الْفُرْقَةِ، وَأَسْقَطَهَا بَعْدَ الْفُرْقَةِ.
Pertama: Ia mewajibkan masa ‘iddah sebelum perpisahan, dan menggugurkannya setelah perpisahan.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْعِدَّةَ تَجِبُ إِمَّا لِاسْتِبْرَاءٍ أَوْ فُرْقَةٍ وَقَدْ أَوْجَبَهَا لِغَيْرِ اسْتِبْرَاءٍ وَلَا فُرْقَةٍ، وَإِذَا صح ما ذكرنا من وقوع الفرقة تقدم الْإِسْلَام فَطَلَّقَهَا فِي حَالِ الْعِدَّةِ أَوْ آلَى مِنْهَا أَوْ ظَاهَرَ كَانَ ذَلِكَ مَوْقُوفًا عَلَى مَا يَكُونُ مِنِ اجْتِمَاعِ الْإِسْلَامَيْنِ فَإِنِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ فِي الْعِدَّةِ صَحَّ الْإِيلَاءُ وَالظِّهَارُ لِصِحَّةِ النِّكَاحِ، وَوُقُوعِهِ فِيهِ، وَإِنْ لَمْ يجتمعا على إسلام فِي الْعِدَّةِ حَتَّى انْقَضَتْ لَمْ يَصِحَّ الطَّلَاقُ وَلَا الْإِيلَاءُ وَلَا الظِّهَارُ؛ لِتَقَدُّمِ الْفُرْقَةِ عَلَيْهِ بِالْإِسْلَامِ الْمُتَقَدِّمِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Kedua: Masa ‘iddah itu diwajibkan baik untuk memastikan rahim atau karena perpisahan, sedangkan ia mewajibkannya bukan untuk memastikan rahim dan bukan pula karena perpisahan. Jika benar apa yang kami sebutkan tentang terjadinya perpisahan karena lebih dahulu masuk Islam, lalu suami mentalaknya dalam masa ‘iddah, atau melakukan ila’ (sumpah tidak menggauli istri), atau zihar (menyamakan istri dengan mahram), maka semua itu tergantung pada apakah keduanya berkumpul dalam Islam. Jika keduanya berkumpul dalam Islam dalam masa ‘iddah, maka ila’ dan zihar sah karena pernikahan tetap sah dan berlaku di dalamnya. Namun jika keduanya tidak berkumpul dalam Islam dalam masa ‘iddah hingga masa itu berakhir, maka talak, ila’, dan zihar tidak sah, karena perpisahan telah lebih dahulu terjadi dengan masuk Islam yang lebih dahulu. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” فإن أَسْلَمَ وَقَدْ نَكَحَ أُمًّا وَابْنَتَهَا مَعًا فَدَخَلَ بهما لم تحل له واحدةٌ منهما أبداً ولم لَمْ يَكُنْ دَخَلَ بِهِمَا قُلْنَا أَمْسِكْ أَيَّتَهُمَا شِئْتَ وَفَارِقِ الْأُخْرَى وَقَالَ فِي موضعٍ آخَرَ يمسك الابنة ويفارق الأم (قال المزني) هذا أولى بقوله عندي وَكَذَا قَالَ فِي كِتَابِ التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ وَقَالَ أَوَّلًا كَانَتِ الْأُمُّ أَوْ آخِرًا “.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Jika seseorang masuk Islam dan ia telah menikahi seorang ibu dan anak perempuannya sekaligus, lalu telah menggauli keduanya, maka keduanya tidak halal baginya selamanya. Namun jika ia belum menggauli keduanya, kami katakan: ‘Pilihlah salah satu yang engkau kehendaki dan ceraikan yang lainnya.’ Dan dalam tempat lain ia berkata: ‘Pilihlah anak perempuannya dan ceraikan ibunya.’ (Al-Muzanī berkata:) Menurutku, pendapat ini lebih utama menurutnya. Demikian pula ia katakan dalam Kitāb at-Ta‘rīḍ bi al-Khiṭbah, dan ia juga berkata pertama kali: ‘Baik yang ibu maupun yang terakhir.’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي مُشْرِكٍ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ أُمًّا وَبِنْتَهَا ثُمَّ أَسْلَمَ وَأَسْلَمَتَا مَعَهُ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مَعَهُمَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Māwardī berkata: Bentuk masalah ini adalah pada seorang musyrik yang menikahi seorang ibu dan anak perempuannya dalam keadaan syirik, lalu ia masuk Islam dan keduanya juga masuk Islam bersamanya. Maka keadaannya bersama keduanya tidak lepas dari empat bagian:
أحدها: أن يكون قد دخل بهما.
Pertama: Ia telah menggauli keduanya.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِهِمَا
Kedua: Ia belum menggauli keduanya.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِالْأُمِّ دُونَ الْبِنْتِ.
Ketiga: Ia telah menggauli ibu saja, tidak anak perempuannya.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِالْبِنْتِ دُونَ الْأُمِّ.
Keempat: Ia telah menggauli anak perempuannya saja, tidak ibunya.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِهِمَا فَقَدْ حَرُمَتَا عَلَيْهِ جَمِيعًا، لِأَنَّ دُخُولَهُ بِالْأُمِّ يُحَرِّمُ الْبِنْتَ لَوْ كان بشبهة فيكف نكاح؟ وَدُخُولُهُ بِالْبِنْتِ يُحَرِّمُ الْأُمَّ لَوْ كَانَ بِشُبْهَةٍ فَكَيْفَ بِنِكَاحٍ؟ فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا كَانَ نِكَاحُ الشرك معفو عنه فهلا كان الوطء في الشرك معفو عَنْهُ.
Adapun bagian pertama, yaitu ia telah menggauli keduanya, maka keduanya haram baginya seluruhnya. Sebab, menggauli ibu mengharamkan anak perempuan, meskipun karena syubhat, apalagi karena pernikahan? Dan menggauli anak perempuan mengharamkan ibu, meskipun karena syubhat, apalagi karena pernikahan? Jika dikatakan: Jika pernikahan dalam keadaan syirik dimaafkan, mengapa hubungan badan dalam syirik tidak dimaafkan juga?
قِيلَ: لِأَنَّ الْوَطْءَ يَحْدُثُ مِنْ تَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ وَمَا يَجْرِي مَجْرَى تَحْرِيمِ النَّسَبِ لِثُبُوتِ التَّحْرِيمِ فِيهِمَا عَلَى الْأَبَدِ، وَلَيْسَ يُعْفَى عَنْ تَحْرِيمِ النَّسَبِ، فَكَذَلِكَ لَا يُعْفَى عَنْ تَحْرِيمِ المصاهرة، وخالف العقد الذي تتخلف أحواله وينقطع زمانه.
Dijawab: Karena hubungan badan menyebabkan terjadinya pengharaman karena mushāharah (hubungan pernikahan), dan ini setara dengan pengharaman karena nasab, sebab pengharaman itu tetap berlaku pada keduanya untuk selamanya. Tidak ada keringanan dalam pengharaman karena nasab, demikian pula tidak ada keringanan dalam pengharaman karena mushāharah, berbeda dengan akad nikah yang statusnya bisa berubah dan masanya bisa berakhir.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي
Fasal: Adapun bagian kedua
: وَهُوَ أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَمَسَّكَ بِهِمَا وَلَهُ أَنْ يَتَمَسَّكَ بِإِحْدَاهمَا سَوَاءٌ كَانَ قَدْ عَقَدَ عَلَيْهَا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ، أَوْ فِي عَقْدَيْنِ وَسَوَاءٌ تَقَدَّمَتِ الْأُمُّ بِالْعَقْدِ أَوْ تَأَخَّرَتْ كَمَنْ نَكَحَ خَمْسًا في الشرك بخلاف ما قال أبو حنيفة فِي تَقْدِيمِ الْأَوَائِلِ عَلَى الْأَوَاخِرِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَفِي الَّتِي يَتَمَسَّكُ بِهَا قَوْلَانِ:
Yaitu apabila ia belum melakukan hubungan suami istri dengan salah satu dari keduanya, maka tidak boleh baginya untuk tetap mempertahankan keduanya, namun ia boleh memilih untuk mempertahankan salah satu dari keduanya, baik ia telah melakukan akad atas keduanya dalam satu akad maupun dalam dua akad yang terpisah, dan baik sang ibu lebih dahulu dinikahi atau belakangan, seperti seseorang yang menikahi lima perempuan dalam masa syirik, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang mengutamakan yang terdahulu atas yang belakangan. Jika demikian, maka dalam hal perempuan yang dipertahankan terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَتَمَسَّكُ بِنِكَاحِ الْبِنْتِ وَيُقِيمُ عليها ويحرم الْأُمُّ نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ ” أَحْكَامِ الْقُرْآنِ ” وفيما نقله المزني عنه؛ لأنه العفو عن مناكح الشرك تمنع من التزام أحكامها وتصير بالإسلام بِمَثَابَةِ الْمُبْتَدِئِ لِمَا شَاءَ مِنْهُمَا، وَإِذَا كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْأَوَائِلِ وَالْأَوَاخِرِ، فَكَذَلِكَ يَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْأُمِّ وَالْبِنْتِ فَعَلَى هَذَا إِنِ اخْتَارَ الْبِنْتَ حَرُمَتْ عَلَيْهِ الْأُمُّ حِينَئِذٍ تَحْرِيمَ تَأْبِيدٍ، وَإِنِ اخْتَارَ الْأُمَّ حَرُمَتِ الْبِنْتُ بِاخْتِيَارِ الْأُمِّ تَحْرِيمَ جَمْعٍ فَإِذَا دَخَلَ بِالْأُمِّ حَرُمَتِ الْبِنْتُ تحريم تأبيد.
Salah satunya: ia mempertahankan pernikahan dengan sang anak perempuan dan tetap bersamanya, sedangkan sang ibu menjadi haram baginya. Ini dinyatakan dalam kitab “Ahkām al-Qur’ān” dan juga sebagaimana dinukil oleh al-Muzani darinya; karena pengampunan terhadap pernikahan masa syirik mencegah dari terikatnya hukum-hukumnya, dan dengan masuk Islam ia menjadi seperti orang yang memulai dari awal untuk memilih salah satu dari keduanya. Jika ia diberi pilihan antara yang terdahulu dan yang belakangan, maka demikian pula ia diberi pilihan antara ibu dan anak perempuan. Maka, jika ia memilih anak perempuan, sang ibu menjadi haram baginya secara permanen; dan jika ia memilih sang ibu, anak perempuan menjadi haram baginya karena memilih ibu, yaitu haram untuk digabungkan. Jika ia telah berhubungan dengan sang ibu, maka anak perempuan menjadi haram secara permanen.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ
Fasal: Adapun bagian ketiga
: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِالْأُمِّ دُونَ الْبِنْتِ فَالْبِنْتُ قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ بِالدُّخُولِ بِالْأُمِّ، وَفِي تَحْرِيمِ الْأُمِّ عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
Yaitu apabila ia telah berhubungan dengan sang ibu namun belum dengan anak perempuan, maka anak perempuan menjadi haram baginya karena telah berhubungan dengan sang ibu. Adapun mengenai keharaman sang ibu atasnya, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مُحَرَّمَةٌ وَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ مِنْ قَوْلَيْهِ إِذَا لَمْ يَدْخُلْ بِهِمَا أَنَّهُ يَثْبُتُ نِكَاحُ الْبِنْتِ وَيَبْطُلُ نِكَاحُ الْأُمِّ فَيَبْطُلُ هَاهُنَا نِكَاحُ الْبِنْتِ بِالدُّخُولِ بِالْأُمِّ، وَيَبْطُلُ نِكَاحُ الْأُمِّ بِالْعَقْدِ عَلَى الْبِنْتِ.
Salah satunya: sang ibu menjadi haram dan pernikahannya batal, dan ini adalah pilihan al-Muzani dari dua pendapatnya, yaitu jika ia belum berhubungan dengan keduanya, maka pernikahan dengan anak perempuan tetap sah dan pernikahan dengan ibu batal. Maka di sini, pernikahan dengan anak perempuan batal karena telah berhubungan dengan sang ibu, dan pernikahan dengan ibu batal karena akad dengan anak perempuan.
والقول الثاني: أن الأم لا تَحْرُمُ وَيَكُونُ نِكَاحُهَا ثَابِتًا، وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الْآخَرِ أَنَّهُ لَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا لَكَانَ مخيراً في التمسك بمن شاء فَيَبْطُلُ خِيَارُهُ هَاهُنَا لِتَحْرِيمِ الْبِنْتِ بِالدُّخُولِ بِالْأُمِّ، وَيَصِيرُ مُلْتَزِمًا لِنِكَاحِ الْأُمِّ.
Pendapat kedua: sang ibu tidak menjadi haram dan pernikahannya tetap sah. Ini berdasarkan pendapat lain bahwa jika ia belum berhubungan dengannya, maka ia boleh memilih untuk mempertahankan siapa saja yang ia kehendaki. Maka pilihannya di sini gugur karena anak perempuan telah menjadi haram akibat berhubungan dengan sang ibu, dan ia menjadi terikat dengan pernikahan sang ibu.
فَصْلٌ: فَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ
Fasal: Adapun bagian keempat
: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِالْبِنْتِ دُونَ الْأُمِّ فَنِكَاحُ الْبِنْتِ ثَابِتٌ وَنِكَاحُ الْأُمِّ باطل وبماذا بَطَلَ يَكُونُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ:
Yaitu apabila ia telah berhubungan dengan anak perempuan namun belum dengan sang ibu, maka pernikahan dengan anak perempuan tetap sah dan pernikahan dengan ibu batal. Adapun sebab batalnya, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بِالْعَقْدِ عَلَى البنت على القول الَّذِي اخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ.
Salah satunya: karena akad atas anak perempuan, menurut pendapat yang dipilih oleh al-Muzani.
وَالثَّانِي: بِالدُّخُولِ بِالْبِنْتِ عَلَى القول الآخر.
Dan yang kedua: karena telah berhubungan dengan anak perempuan, menurut pendapat yang lain.
فصل
Fasal
فإذا شَكَّ بِالدُّخُولِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Apabila ia ragu tentang telah berhubungan atau belum, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَشُكَّ هَلْ دَخَلَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ فَالْوَرَعُ أَنْ يُحَرِّمَهُمَا احْتِيَاطًا فَأَمَّا فِي الحكم فالشك مطرح؛ لِأَنَّ حُكْمَ الْيَقِينِ فِي عَدَمِ الدُّخُولِ أَغْلَبُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ صَارَ فِي حُكْمِ مَنْ لَمْ يَدْخُلْ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ:
Salah satunya: ia ragu apakah ia telah berhubungan dengan salah satu dari keduanya atau belum. Maka sikap wara‘ adalah mengharamkan keduanya sebagai bentuk kehati-hatian. Adapun dalam hukum, keraguan itu tidak dianggap; karena hukum yakin dalam tidak adanya hubungan lebih kuat. Jika demikian, maka ia dianggap seperti orang yang belum berhubungan dengan salah satu dari keduanya, sehingga berlaku dua pendapat yang telah lalu:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ أَنْ يُقِيمَ عَلَى نِكَاحِ الْبِنْتِ.
Salah satunya: yaitu pendapat al-Muzani, bahwa ia tetap mempertahankan pernikahan dengan anak perempuan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَكُون مُخَيَّرًا فِي إِمْسَاكِ أَيَّتِهِمَا شَاءَ.
Pendapat kedua: ia diberi pilihan untuk mempertahankan siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَيَقَّنَ الدُّخُولَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، وَيَشُكَّ فِي الَّتِي دَخَلَ بِهَا مِنْهُمَا فَلَا يَعْلَمُ أهي الْأُمُّ أَمِ الْبِنْتُ فَيَكُونُ نِكَاحُهُمَا بَاطِلًا؛ لِأَنَّ تحريم أحدهما مُتَيَقَّنٌ وَإِذَا تَيَقَّنَ تَحْرِيمَ وَاحِدَةٍ مِنِ اثْنَتَيْنِ حرمت عليه اثنتان كما لو تيقن أن إحدى امرأتين أخت حرمتا عليه.
Keadaan kedua: ia yakin telah berhubungan dengan salah satu dari keduanya, namun ragu siapa di antara keduanya yang telah digauli, apakah sang ibu atau anak perempuan. Maka pernikahan keduanya menjadi batal; karena keharaman salah satu dari keduanya sudah pasti, dan jika sudah pasti haramnya salah satu dari dua perempuan, maka keduanya menjadi haram baginya, sebagaimana jika ia yakin bahwa salah satu dari dua istrinya adalah saudara perempuan, maka keduanya menjadi haram baginya.
فصل
Fasal
فأما إذا كانت المسلمة بِحَالِهَا فِي أَنْ نَكَحَ فِي الشِّرْكِ أُمًّا وبنتاً، واختلف إسلامهم فَحُكْمُ النِّكَاحِ مُعْتَبَرٌ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ فِي الدُّخُولِ.
Adapun jika perempuan muslimah tetap dalam keadaannya, yaitu ia menikahi dalam masa syirik seorang ibu dan anak perempuan, lalu keislaman mereka berbeda, maka hukum pernikahannya mengikuti apa yang telah kami sebutkan dari empat bagian dalam hal hubungan suami istri.
فَالْقِسْمُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِهِمَا فَلَا يُوقَفُ نِكَاحُ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِالْإِسْلَامِ لِتَحْرِيمِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِدُخُولِهِ بِالْأُخْرَى، وَيَكُونُ نِكَاحُهُمَا بَاطِلًا.
Bagian pertama: yaitu apabila ia telah berhubungan dengan keduanya, maka pernikahan salah satu dari keduanya tidak ditangguhkan karena Islam, karena masing-masing dari keduanya menjadi haram akibat telah berhubungan dengan yang lain, dan pernikahan keduanya menjadi batal.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فَلَا يخلو حال من تقدم بالإسلام من أربعة أَحْوَالٍ:
Bagian kedua: Yaitu apabila belum melakukan hubungan suami istri dengan salah satu dari keduanya, maka keadaan orang yang lebih dahulu masuk Islam tidak lepas dari empat keadaan:
إحداهَا: أَنْ يَتَقَدَّمَ الزَّوْجُ وَحْدَهُ بِالْإِسْلَامِ فَيَبْطُلُ نِكَاحُهُمَا فِي الشِّرْكِ.
Pertama: Suami lebih dahulu masuk Islam sendirian, maka pernikahan mereka dalam keadaan syirik menjadi batal.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَقَدَّمَ إِسْلَامُ الْأُمِّ وَالْبِنْتِ عَلَى الزَّوْجِ، فَيَبْطُلُ نِكَاحُهُمَا فِي الْإِسْلَامِ.
Keadaan kedua: Ibu dan anak perempuan lebih dahulu masuk Islam daripada suami, maka pernikahan mereka dalam Islam menjadi batal.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَتَقَدَّمَ إِسْلَامُ الزَّوْجِ وَالْبِنْتِ، ويتأخر إسلام الأم فيثبت نكاح البنت ويبطل نِكَاحُ الْأُمِّ.
Keadaan ketiga: Suami dan anak perempuan lebih dahulu masuk Islam, sedangkan ibu masuk Islam belakangan, maka pernikahan dengan anak perempuan tetap sah dan pernikahan dengan ibu menjadi batal.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَتَقَدَّمَ إِسْلَامُ الزوج وَيَتَأَخَّرَ إِسْلَامُ الْبِنْتِ فَيَبْطُلُ نِكَاحُ الْبِنْتِ لِتَأَخُّرِهَا وَفِي بُطْلَانِ نِكَاحِ الْأُمِّ قَوْلَانِ فَهَذَا حُكْمُ الْقِسْمِ الثَّانِي.
Keadaan keempat: Suami lebih dahulu masuk Islam dan anak perempuan masuk Islam belakangan, maka pernikahan dengan anak perempuan menjadi batal karena keterlambatannya, dan mengenai batal atau tidaknya pernikahan dengan ibu terdapat dua pendapat. Inilah hukum bagian kedua.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِالْأُمِّ دُونَ الْبِنْتِ فَنِكَاحُ الْبِنْتِ بَاطِلٌ بِكُلِّ حَالٍ، وَهَلْ يُوقَفُ نِكَاحُ الْأُمِّ عَلَى اجْتِمَاعِ إِسْلَامِهِمَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ.
Bagian ketiga: Yaitu apabila telah melakukan hubungan suami istri dengan ibu namun belum dengan anak perempuan, maka pernikahan dengan anak perempuan batal dalam segala keadaan, dan apakah pernikahan dengan ibu ditangguhkan sampai keduanya sama-sama masuk Islam, terdapat dua pendapat.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِالْبِنْتِ دُونَ الْأُمِّ فَنِكَاحُ الْأُمِّ بَاطِلٌ لِدُخُولِهِ بِالْبِنْتِ، وَنِكَاحُ الْبِنْتِ مَوْقُوفٌ على اجتماع إسلامهما.
Bagian keempat: Yaitu apabila telah melakukan hubungan suami istri dengan anak perempuan namun belum dengan ibu, maka pernikahan dengan ibu batal karena telah melakukan hubungan dengan anak perempuan, dan pernikahan dengan anak perempuan ditangguhkan sampai keduanya sama-sama masuk Islam.
فصل
Fasal
وإذا نَكَحَ فِي الشِّرْكِ أُمًّا وَبِنْتَهَا وَبِنْتَ بِنْتِهَا ثم أسلم وأسلمن مَعَهُ فَلَهُ مَعَهُنَّ خَمْسَةُ أَقْسَامٍ:
Apabila seseorang menikahi dalam keadaan syirik seorang ibu, anak perempuannya, dan cucu perempuannya (anak dari anak perempuannya), kemudian ia masuk Islam dan mereka pun masuk Islam bersamanya, maka terdapat lima keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِجَمِيعِهِنَّ فَيَكُونُ نِكَاحُهُنَّ بَاطِلًا.
Pertama: Ia telah melakukan hubungan suami istri dengan semuanya, maka pernikahan mereka menjadi batal.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ دَخَلَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Bagian kedua: Ia belum melakukan hubungan suami istri dengan salah satu dari mereka, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُقِيمُ عَلَى السُّفْلَى وَهِيَ بِنْتُ الْبِنْتِ، وَيَبْطُلُ نِكَاحُ الْعُلْيَا الَّتِي هِيَ الْجَدَّةُ وَنِكَاحُ الْوُسْطَى الَّتِي هِيَ الأم.
Salah satunya: Ia tetap bersama yang paling bawah, yaitu cucu perempuan, dan pernikahan dengan yang paling atas, yaitu nenek, serta pernikahan dengan yang tengah, yaitu ibu, menjadi batal.
والقول الثاني: أنه بالخيار بالتمسك بِأَيَّتِهِنَّ شَاءَ.
Pendapat kedua: Ia boleh memilih untuk tetap bersama siapa saja di antara mereka yang ia kehendaki.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَدْخُلَ بِالْعُلْيَا دُونَ الْوُسْطَى وَالسُّفْلَى، فَيَكُونُ نِكَاحُ الْوُسْطَى وَالسُّفْلَى بَاطِلًا وَفِي بُطْلَانِ نِكَاحِ الْعُلْيَا قَوْلَانِ.
Bagian ketiga: Ia telah melakukan hubungan suami istri dengan yang paling atas (nenek) namun belum dengan yang tengah (ibu) dan yang bawah (cucu), maka pernikahan dengan yang tengah dan yang bawah menjadi batal, dan mengenai batal atau tidaknya pernikahan dengan yang paling atas terdapat dua pendapat.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَدْخُلَ بِالْوُسْطَى دُونَ الْعُلْيَا وَالسُّفْلَى، فَيَبْطُلُ نِكَاحُهُمَا وَفِي بُطْلَانِ نِكَاحِ الْوُسْطَى لِأَجَلِ السُّفْلَى قَوْلَانِ.
Bagian keempat: Ia telah melakukan hubungan suami istri dengan yang tengah (ibu) namun belum dengan yang paling atas (nenek) dan yang bawah (cucu), maka pernikahan dengan keduanya menjadi batal, dan mengenai batal atau tidaknya pernikahan dengan yang tengah karena adanya yang bawah terdapat dua pendapat.
وَالْقَوْلُ الْخَامِسُ: أَنْ يَدْخُلَ بِالسُّفْلَى دُونَ الْعُلْيَا وَالْوُسْطَى، فَيَثْبُتُ نِكَاحُ السُّفْلَى وَيَبْطُلُ نِكَاحُ الْعُلْيَا وَالْوُسْطَى فَإِذَا اعْتَبَرَتْ ذَلِكَ بِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ التَّعْلِيلِ وَجَدْتَ الْجَوَابَ فِيهِ صَحِيحًا والله أعلم.
Bagian kelima: Ia telah melakukan hubungan suami istri dengan yang bawah (cucu) namun belum dengan yang paling atas (nenek) dan yang tengah (ibu), maka pernikahan dengan yang bawah tetap sah dan pernikahan dengan yang paling atas serta yang tengah menjadi batal. Jika engkau memperhatikan hal ini dengan penjelasan yang telah kami sampaikan sebelumnya, maka engkau akan mendapati jawabannya benar. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ أَرْبَعُ زوجاتٍ إماءٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُعْسِرًا يَخَافُ الْعَنَتَ أَوْ فِيهِنَّ حُرَّةٌ انْفَسَخَ نِكَاحُ الْإِمَاءِ وَإِنْ كَانَ لَا يَجِدُ مَا يَتَزَوَجُ بِهِ حُرَّةً وَيَخَافُ الْعَنَتَ وَلَا حُرَّةَ فِيهِنَّ اخْتَارَ وَاحِدَةً وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْبَوَاقِي “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang masuk Islam dan ia memiliki empat istri yang semuanya budak perempuan, maka jika ia tidak dalam keadaan kesulitan (miskin) yang khawatir terjerumus dalam perbuatan maksiat atau di antara mereka ada yang merdeka, maka pernikahan dengan para budak perempuan itu menjadi batal. Namun jika ia tidak mampu menikahi perempuan merdeka dan khawatir terjerumus dalam perbuatan maksiat serta tidak ada perempuan merdeka di antara mereka, maka ia memilih salah satu dan pernikahan dengan sisanya menjadi batal.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي مُشْرِكٍ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ بِإِمَاءٍ مُشْرِكَاتٍ ثُمَّ أَسْلَمَ وَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: Bentuk masalah ini adalah seorang musyrik menikahi dalam keadaan syirik para budak perempuan musyrik, kemudian ia masuk Islam dan mereka pun masuk Islam bersamanya. Maka dalam hal ini terdapat dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَعَهُنَّ حُرَّةٌ.
Pertama: Di antara mereka ada perempuan merdeka.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ معهن حُرَّةٌ وَكُنَّ إِمَاءً لَا حُرَّةَ فِيهِنَّ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ عِنْدَ إِسْلَامِهِ وَإِسْلَامِهِنَّ مِنْ أَمْرَيْنِ:
Kedua: Tidak ada. Jika di antara mereka tidak ada perempuan merdeka dan semuanya adalah budak perempuan, maka keadaannya saat ia dan mereka masuk Islam tidak lepas dari dua kemungkinan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَجُوزُ لَهُ نِكَاحُ الإماء لعقد الْحُرَّةِ وَعَدَمِ الطَّوْلِ وَخَوْفِ الْعَنَتِ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ وَيُفَارِقَ مَنْ سِوَاهَا؛ لِأَنَّهُ فِي حَالٍ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَبْتَدِئَ فيها نكاح الأمة، فجاز أن يستديم فيهما نكاح الأمة.
Pertama: Ia termasuk orang yang diperbolehkan menikahi budak perempuan karena tidak mampu menikahi perempuan merdeka dan khawatir terjerumus dalam perbuatan maksiat, maka ia boleh memilih salah satu dari mereka dan berpisah dengan selainnya; karena dalam keadaan seperti ini ia diperbolehkan memulai pernikahan dengan budak perempuan, maka diperbolehkan pula melanjutkan pernikahan dengan budak perempuan.
والحال الثانية: أَنْ يَكُونَ عِنْدَ إِسْلَامِهِ وَإِسْلَامِهِنَّ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ نِكَاحَ الْأَمَةِ لِوُجُودِ الطَّوْلِ أَوْ أَمْنِ الْعَنَتِ فَنِكَاحُ الْإِمَاءِ قَدْ بَطَلَ اعْتِبَارًا بِحَالِ إِسْلَامِهِ مَعَهُنَّ، وَأَنَّهُ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَبْتَدِئَ نِكَاحَ أَمَةٍ فَلَمْ يكن له أن يستديم بالاختيار نِكَاحَ أَمَةٍ.
Keadaan kedua: yaitu ketika pada saat ia masuk Islam dan para istrinya juga masuk Islam, ia termasuk orang yang tidak boleh memulai pernikahan dengan seorang budak perempuan karena adanya kemampuan (untuk menikahi perempuan merdeka) atau karena aman dari bahaya syahwat. Maka pernikahan dengan para budak perempuan menjadi batal, dengan mempertimbangkan keadaan saat ia masuk Islam bersama mereka, dan bahwa ia termasuk orang yang tidak boleh memulai pernikahan dengan seorang budak perempuan. Maka ia tidak boleh memilih untuk melanjutkan pernikahan dengan budak perempuan.
وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْتَدِيمَ نِكَاحَ أَمَةٍ مِنْهُنَّ بِاخْتِيَارِهِ، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَبْتَدِئَ نِكَاحَ أَمَةٍ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الشَّرْطَ فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ مُعْتَبَرٌ فِي ابْتِدَاءِ الْعَقْدِ عَلَيْهَا، وَلَيْسَ بِمُعْتَبَرٍ فِي اسْتِدَامَةِ نِكَاحِهَا أَلَا تَرَاهُ لَوْ تَزَوَّجَهَا لِخَوْفِ الْعَنَتِ ثُمَّ أَمِنَ الْعَنَتَ جَازَ أَنْ يَسْتَدِيمَ نِكَاحَهَا، وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يبتدئه كَذَلِكَ الْمُشْرِكُ إِذَا أَسْلَمَ مُسْتَدِيم لِنِكَاحِهَا، وَلَيْسَ بِمُبْتَدِئٍ فَجَازَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى نِكَاحِهَا مَعَ عدم الشرك، وإن لم يجز أن يبتدئه.
Abu Tsaur berkata: Boleh baginya untuk tetap melanjutkan pernikahan dengan salah satu budak perempuan itu atas pilihannya, meskipun ia termasuk orang yang tidak boleh memulai pernikahan dengan budak perempuan. Hal ini didasarkan pada bahwa syarat dalam pernikahan budak perempuan hanya diperhitungkan pada saat awal akad, dan tidak diperhitungkan dalam kelanjutan pernikahannya. Bukankah engkau melihat, jika ia menikahi budak perempuan karena takut terjerumus dalam maksiat, lalu setelah itu ia merasa aman dari bahaya syahwat, maka boleh baginya untuk tetap melanjutkan pernikahan tersebut, meskipun ia tidak boleh memulainya? Demikian pula seorang musyrik jika masuk Islam dan tetap melanjutkan pernikahan dengan budak perempuan, ia bukan memulai akad baru, maka boleh baginya untuk tetap dalam pernikahan itu selama tidak ada kemusyrikan, meskipun ia tidak boleh memulainya.
قال؛ ولأنه لو وجب أن يعتبر شروط الابتداء في وقت استدامته عِنْدَ الْإِسْلَامِ لَوَجَبَ اعْتِبَارُ الْوَلِيِّ وَالشَّاهِدَيْنِ فَلَمَّا لَمْ يَعْتَبِرْ هَذَا لَمْ يَعْتَبِرْ مَا سِوَاهُ.
Ia berkata: Karena jika memang harus memperhitungkan syarat-syarat permulaan akad pada saat melanjutkan pernikahan ketika masuk Islam, maka seharusnya juga dipertimbangkan keberadaan wali dan dua saksi. Namun ketika hal ini tidak dipertimbangkan, maka syarat-syarat lainnya pun tidak dipertimbangkan.
وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ نِكَاحَ الْأَمَةِ لَا يَحِلُّ إلا باعتبار شروطه فلما لم تعتبر وقت عقده في الشرك، وجب أن تعتبر وَقْتَ اخْتِيَارِهِ فِي الْإِسْلَامِ؛ لِئَلَّا يَكُونَ الْعَقْدُ عَلَيْهَا خَالِيًا مِنْ شُرُوطِ الْإِبَاحَةِ فِي الْحَالَيْنِ، وَفِي هَذَا انْفِصَالٌ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّنَا قد اعتبرنا شروط الْإِبَاحَةِ فِي الِابْتِدَاءِ فَلَمْ نَعْتَبِرْهَا فِي الِاسْتِدَامَةِ، وَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ اسْتِدْلَالِهِ الثَّانِي، بأن الولي والشاهدين، وإن كان شَرْطًا فِي الْعَقْدِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي الْحَالَيْنِ؛ لِأَنَّ الْوَلِيَّ وَالشَّاهِدَيْنِ مِنْ شُرُوطِ الْعَقْدِ وعقد الشرك معفو عنه فعفى عَنْ شُرُوطِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ شُرُوطُ نِكَاحِ الْأَمَةِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ شُرُوطِ الْإِبَاحَةِ وَشُرُوطُ الْإِبَاحَةِ مُعْتَبَرَةٌ وَقْتَ الِاخْتِيَارِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ نَكَحَ فِي الشِّرْكِ مُعْتَدَّةً ثُمَّ أَسْلَمَا، وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا؛ لِأَنَّهَا وَقْتَ الِاخْتِيَارِ غَيْرُ مباحة كذلك الأمة.
Dalil kami: Bahwa pernikahan dengan budak perempuan tidak halal kecuali dengan memperhatikan syarat-syaratnya. Maka ketika syarat-syarat itu tidak diperhitungkan pada saat akad dalam keadaan syirik, wajib diperhitungkan pada saat memilih untuk melanjutkannya dalam Islam; agar akad tersebut tidak kosong dari syarat-syarat kehalalan pada kedua keadaan. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan dalil pertamanya; karena kami telah memperhitungkan syarat-syarat kehalalan pada permulaan akad, maka kami tidak memperhitungkannya pada kelanjutan akad. Perbedaannya dengan dalil keduanya adalah bahwa wali dan dua saksi, meskipun merupakan syarat dalam akad, namun tidak diperhitungkan pada kedua keadaan; karena wali dan dua saksi adalah syarat akad, dan akad dalam keadaan syirik dimaafkan sehingga syarat-syaratnya pun dimaafkan. Tidak demikian halnya dengan syarat-syarat pernikahan budak perempuan; karena itu adalah syarat kehalalan, dan syarat kehalalan diperhitungkan pada saat memilih (melanjutkan akad). Bukankah engkau melihat, jika seseorang menikahi perempuan yang sedang menjalani masa iddah dalam keadaan syirik, lalu keduanya masuk Islam sementara perempuan itu masih dalam iddah, maka pernikahan itu batal; karena pada saat memilih (melanjutkan akad) ia tidak halal, demikian pula halnya dengan budak perempuan.
ويتفرع على هذا التفريغ ثَلَاثَةُ فُرُوعٍ:
Dari penjelasan ini, terdapat tiga cabang masalah:
أَحَدُهَا: أَنْ تُسْلِمَ الْمُشْرِكَةُ مَعَ زوجها وهي في عدة من وطء شبهة فقد اختلف أصحابنا في إباحتها عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pertama: Seorang perempuan musyrik masuk Islam bersama suaminya, sementara ia sedang menjalani iddah akibat hubungan syubhat. Maka para ulama kami berbeda pendapat tentang kebolehannya dalam dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ أن نكاحها باطل اعتباراً بما قررناه، بأنه لَا يَسْتَبِيحُ الْعَقْدُ عَلَيْهَا وَقْتَ الْإِسْلَامِ كَمَا لَوْ نَكَحَهَا فِي الْعِدَّةِ ثُمَّ أَسْلَمَا وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ.
Salah satunya, yaitu pendapat Ibnu Surayj, bahwa pernikahannya batal, berdasarkan apa yang telah kami jelaskan, yaitu bahwa akad pernikahan atas dirinya tidak menjadi halal pada saat masuk Islam, sebagaimana jika ia menikahinya saat dalam iddah lalu keduanya masuk Islam sementara ia masih dalam iddah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّ النِّكَاحَ جَائِزٌ؛ لِأَنَّ حُدُوثَ الْعِدَّةِ فِي النِّكَاحِ بعد صحة عقدها لَمْ يُؤَثِّرْ فِي نِكَاحِ الْمُسْلِمِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يُؤَثِّرَ فِي نِكَاحِ الْمُشْرِكِ.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat, bahwa pernikahan itu sah; karena terjadinya iddah dalam pernikahan setelah sahnya akad tidak berpengaruh pada pernikahan seorang Muslim, maka lebih utama lagi tidak berpengaruh pada pernikahan seorang musyrik.
وَالْفَرْعُ الثَّانِي: أَنْ يُسْلِمَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ الْمُشْرِكَيْنِ، وَيُحْرِمَ بِالْحَجِّ ثم يسلم الثاني في العدة فالأول على إحرامه وفي النكاح وجهان:
Cabang kedua: Salah satu dari dua pasangan suami istri yang musyrik masuk Islam, lalu melakukan ihram haji, kemudian yang kedua masuk Islam saat masih dalam iddah, sementara yang pertama masih dalam keadaan ihram. Dalam masalah pernikahan ini terdapat dua pendapat:
أحدهما: وهو قول أبي بشار الْأَنْمَاطِيِّ أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ اعْتِبَارًا بِمَا قَرَّرْنَاهُ مِنْ أَنَّهُ لَا يَسْتَبِيحُ الْعَقْدَ عَلَيْهَا عِنْدَ اجتماع الإسلامين فصار كما لو ابتدأ نكاحهما فِي وَقْتِ الْإِحْرَامِ.
Salah satunya, yaitu pendapat Abu Basyar al-Anmathi, bahwa pernikahan itu batal, berdasarkan apa yang telah kami jelaskan bahwa akad pernikahan atas dirinya tidak menjadi halal ketika keduanya telah sama-sama masuk Islam, sehingga keadaannya seperti jika mereka memulai pernikahan pada saat ihram.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَظْهَرُ، وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَنَّ النِّكَاحَ جَائِزٌ؛ لأن حدوث الإحرام في النكاح بعد صحة عقده لَا يُؤَثِّرُ فِي فَسْخِهِ.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat, dan telah dinyatakan oleh asy-Syafi‘i, bahwa pernikahan itu sah; karena terjadinya ihram dalam pernikahan setelah sahnya akad tidak berpengaruh pada pembatalannya.
وَالْفَرْعُ الثَّالِثُ: أَنَّ مَنْ تَزَوَّجَ أَمَةً عَلَى الشَّرْطِ الْمُبِيحِ ثُمَّ طَلَّقَهَا وَقَدِ ارْتَفَعَ الشَّرْطُ طَلَاقًا رَجْعِيًّا فَلَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَبْتَدِئَ نِكَاحَهَا، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ جَمِيعِ أَصْحَابِنَا؛ لِأَنَّ الرَّجْعِيَّةَ زَوْجَةٌ؛ وَلِذَلِكَ ورثت ووارثت وإنما يزال بالرجعية تحريم الطلاق فلم يعتبر في هذه الحال شروط الإباحة في ابتداء ألا تراه لو رجع وَهُوَ مُحْرِمٌ جَازَ، وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْتَدِئَ نِكَاحَهَا مُحْرِمًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Cabang ketiga: Jika seseorang menikahi seorang budak perempuan dengan syarat yang membolehkannya, kemudian menceraikannya dan syarat tersebut telah hilang, lalu ia menjatuhkan talak raj‘i, maka ia boleh merujuknya kembali, meskipun ia termasuk orang yang tidak boleh memulai akad nikah dengannya. Hal ini telah menjadi kesepakatan seluruh ulama mazhab kami; karena perempuan yang ditalak raj‘i masih berstatus sebagai istri; oleh karena itu ia mewarisi dan diwarisi. Dalam talak raj‘i, yang hilang hanyalah keharaman talak, sehingga dalam keadaan ini syarat-syarat kebolehan pada awal akad tidak diperhitungkan. Bukankah engkau lihat, jika ia merujuk istrinya dalam keadaan ihram, hal itu dibolehkan, meskipun ia tidak boleh memulai akad nikah dalam keadaan ihram? Allah Mahatahu.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي
Fasal: Adapun jenis kedua
: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مَعَ الْإِمَاءِ حُرَّةٌ؛ فَقَدْ تَزَوَّجَهَا الْمُشْرِكُ مَعَ الْإِمَاءِ فِي الشِّرْكِ ثُمَّ أَسْلَمَ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Yaitu apabila bersama para budak perempuan terdapat seorang perempuan merdeka; seorang musyrik menikahi perempuan merdeka bersama para budak perempuan dalam keadaan syirik, kemudian ia masuk Islam, maka kasus ini terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ تَسْلَمَ الْحُرَّةُ دُونَ الْإِمَاءِ فَنِكَاحُ الْحُرَّةِ ثَابِتٌ، وَنِكَاحُ الْإِمَاءِ بَاطِلٌ بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ مع الحرة وبآخرهن.
Pertama: Jika perempuan merdeka masuk Islam sementara para budak perempuan tidak, maka akad nikah dengan perempuan merdeka tetap sah, sedangkan akad nikah dengan para budak perempuan batal karena suami masuk Islam bersama perempuan merdeka dan setelahnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُسْلِمَ الْإِمَاءُ دُونَ الْحُرَّةِ فَنِكَاحُ الْحُرَّةِ قَدْ بَطَلَ بِتَأَخُّرِهَا وَنِكَاحُ الْإِمَاءِ معتبر باجتماع إسلامهن مع الزَّوْجِ، فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا بَطَلَ نِكَاحُهُنَّ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يَبْتَدِئَ نِكَاحَ أَمَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْتَارَ نكاح أمة، وإن كان معسراً يخاف الْعَنَت كَانَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ نِكَاحَ وَاحِدَةٍ منهن؛ لأنه يجوز أن يبتديه، فجاز أن يختاره لأنه مَا لَمْ تَنْقَضِ عِدَّةُ الْحُرَّةِ فِي الشِّرْكِ اخْتَارَ حِينَئِذٍ مِنَ الْإِمَاءِ وَاحِدَةً، وَانْفَسَخَ نِكَاحُ مَنْ سِوَاهَا مِنْ وَقْتِ اخْتِيَارِهِ فَاسْتَأْنَفْنَ عَدَدَ الْفَسْخِ، فَلَوْ صَارَ وَقْتَ اخْتِيَارِهِ مُوسِرًا وَقَدْ كَانَ وَقْتَ اجْتِمَاعِ إِسْلَامِهِ وَإِسْلَامِهِنَّ مُعْسِرًا صَحَّ اخْتِيَارُهُ اعْتِبَارًا بِحَالِهِ عِنْدَ اجْتِمَاعِ الْإِسْلَامَيْنِ؛ لِأَنَّهُ الْوَقْتُ الَّذِي اسْتَحَقَّ فِيهِ الِاخْتِيَارَ.
Bagian kedua: Jika para budak perempuan masuk Islam sementara perempuan merdeka tidak, maka akad nikah dengan perempuan merdeka batal karena keterlambatannya, dan akad nikah dengan para budak perempuan dianggap sah jika mereka masuk Islam bersama suaminya. Jika suami mampu secara finansial, maka akad nikah dengan para budak perempuan batal; karena dalam keadaan ini ia tidak boleh memulai akad nikah dengan budak perempuan, maka ia juga tidak boleh memilih akad nikah dengan budak perempuan. Namun jika ia tidak mampu dan khawatir terjerumus dalam perzinaan, maka ia boleh memilih menikahi salah satu dari mereka; karena ia boleh memulai akad nikah tersebut, maka ia juga boleh memilihnya. Selama masa iddah perempuan merdeka dalam keadaan syirik belum selesai, ia boleh memilih salah satu dari para budak perempuan, dan akad nikah dengan selain yang dipilih batal sejak saat ia memilih, sehingga mereka memulai masa iddah karena pembatalan akad. Jika pada saat memilih ia menjadi mampu, padahal saat masuk Islam bersama para budak perempuan ia tidak mampu, maka pilihannya tetap sah, dengan mempertimbangkan kondisinya saat kedua belah pihak masuk Islam; karena itulah waktu di mana ia berhak memilih.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تُسْلِمَ الْحُرَّةُ وَالْإِمَاءُ جَمِيعًا فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Bagian ketiga: Jika perempuan merdeka dan para budak perempuan semuanya masuk Islam, maka kasus ini terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَجْتَمِعَ إِسْلَامُ الْحُرَّةِ وَالْإِمَاءِ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ فَيَثْبُتُ نِكَاحُ الْحُرَّةِ، وَيَنْفَسِخُ نِكَاحُ الْإِمَاءِ مِنْ وَقْتِ إِسْلَامِهِنَّ مَعَ الْحُرَّةِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَخْتَارَ نِكَاحَ أَمَةٍ مَعَ وُجُودِ حُرَّةٍ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَهُ.
Pertama: Jika perempuan merdeka dan para budak perempuan masuk Islam secara bersamaan, maka akad nikah dengan perempuan merdeka tetap sah, dan akad nikah dengan para budak perempuan batal sejak mereka masuk Islam bersama perempuan merdeka; karena tidak boleh memilih akad nikah dengan budak perempuan selama masih ada perempuan merdeka, sebagaimana tidak boleh memulai akad nikah tersebut.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ تُسْلِمَ الْحُرَّةُ قَبْلَ الْإِمَاءِ فَنِكَاحُ الْحُرَّةِ ثَابِتٌ، وَنِكَاحُ الْإِمَاءِ بَاطِلٌ، ثُمَّ يَنْظُرُ فِي إِسْلَامِهِنَّ، فَإِنْ كَانَ بعد انقضاء عددهم وَقَعَ الْفَسْخُ بِتَقَدُّمِ إِسْلَامِ الزَّوْجِ وَتَأَخُّرِهِنَّ، وَإِنْ أَسْلَمْنَ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَدِهِنَّ وَقَعَ الْفَسْخُ بِتَقَدُّمِ إِسْلَامِ الْحُرَّةِ فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ الْحُرَّةُ حِينَ أَسْلَمَتْ مَاتَتْ ثُمَّ أَسْلَمَ الْإِمَاءُ في عددهن.
Bagian kedua: Jika perempuan merdeka masuk Islam sebelum para budak perempuan, maka akad nikah dengan perempuan merdeka tetap sah, dan akad nikah dengan para budak perempuan batal. Kemudian dilihat lagi pada keislaman mereka, jika mereka masuk Islam setelah masa iddah mereka selesai, maka pembatalan akad terjadi karena suami lebih dahulu masuk Islam dan mereka terlambat. Jika mereka masuk Islam sebelum masa iddah mereka selesai, maka pembatalan akad terjadi karena perempuan merdeka lebih dahulu masuk Islam. Dalam hal ini, jika istri yang merdeka meninggal dunia setelah masuk Islam, kemudian para budak perempuan masuk Islam dalam masa iddah mereka,
قال أبو حامد الإسفراييني: نِكَاحُهُنَّ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ نِكَاحَهُنَّ قَدِ انْفَسَخَ بِإِسْلَامِ الْحُرَّةِ فَلَمْ يَعُدْ إِلَى الصِّحَّةِ بِمَوْتِهَا، وَهَذَا عِنْدِي غَيْرُ صَحِيحٍ بَلْ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ موقوفاً يختار واحدة مِنْهُنَّ؛ لِأَنَّ إِسْلَامَ الْحُرَّةِ مَعَهُ قَبْلَ إِسْلَامِ الْإِمَاءِ يَجْرِي مَجْرَى يَسَارِهِ فِي تَحْرِيمِ الْإِمَاءِ فَلَمَّا لَمْ يَعْتَبِرْ يَسَارَهُ إِلَّا عِنْدَ إِسْلَامِ الْإِمَاءِ وَجَبَ أَنْ لَا يَعْتَبِرَ وُجُودَ الْحُرَّةِ إِلَّا عِنْدَ إِسْلَامِ الْإِمَاءِ.
Abu Hamid al-Isfara’ini berkata: Akad nikah mereka batal; karena akad nikah mereka telah batal dengan masuk Islamnya perempuan merdeka, sehingga tidak kembali menjadi sah dengan kematiannya. Namun menurut saya, pendapat ini tidak benar, bahkan seharusnya statusnya ditangguhkan hingga suami memilih salah satu dari mereka; karena masuk Islamnya perempuan merdeka bersama suaminya sebelum para budak perempuan seperti halnya kemampuan finansial suami dalam mengharamkan budak perempuan. Maka, ketika kemampuan finansial suami hanya diperhitungkan saat para budak perempuan masuk Islam, maka keberadaan perempuan merdeka juga hanya diperhitungkan saat para budak perempuan masuk Islam.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُسْلِمَ الْإِمَاءُ قَبْلَ الْحُرَّةِ فَيُعْتَبَرُ حَالُ الزَّوْجِ عِنْدَ إِسْلَامِهِنَّ، فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا بَطَلَ نِكَاحُ الْإِمَاءِ مَعَ إِسْلَامِهِنَّ وَاسْتَأْنَفْنَ عَدَدَ الْفَسْخِ، وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا يَخَافُ الْعَنَتَ كَانَ نِكَاحُ الْإِمَاءِ مُعْتَبَرًا بِإِسْلَامِ الْحُرَّةِ وَهُوَ فِيهِنَّ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَمْرَيْنِ.
Bagian ketiga: Jika para budak perempuan masuk Islam sebelum perempuan merdeka, maka kondisi suami saat para budak perempuan masuk Islam yang menjadi pertimbangan. Jika ia mampu secara finansial, maka akad nikah dengan para budak perempuan batal bersamaan dengan keislaman mereka dan mereka memulai masa iddah karena pembatalan akad. Jika ia tidak mampu dan khawatir terjerumus dalam perzinaan, maka akad nikah dengan para budak perempuan dianggap sah hingga perempuan merdeka masuk Islam, dan ia diberi pilihan di antara dua hal.
إِمَّا أَنْ يَتْرُكَهُنَّ عَلَى حَالِهِنَّ تَرَقُّبًا لِإِسْلَامِ الْحُرَّةِ فَإِنْ أَسْلَمَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا اخْتَارَ مِنَ الْإِمَاءِ وَاحِدَةً وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْبَوَاقِي مِنْ وَقْتِ اخْتِيَارِهِ، وَإِنْ أَسْلَمَتِ الْحُرَّةُ فِي عِدَّتِهَا انْفَسَخَ نِكَاحُ الْإِمَاءِ مِنْ وَقْتِ إِسْلَامِهَا فَهَذَا أَحَدُ خِيَارَيْهِ.
Yaitu, ia dapat membiarkan mereka (para istri) tetap dalam keadaan mereka semula sambil menunggu keislaman istri merdeka. Jika istri merdeka masuk Islam setelah habis masa ‘iddahnya, maka ia memilih salah satu dari para budak perempuan dan pernikahan dengan sisanya batal sejak saat ia memilih. Namun, jika istri merdeka masuk Islam dalam masa ‘iddahnya, maka pernikahan dengan para budak perempuan batal sejak saat keislaman istri merdeka tersebut. Inilah salah satu dari dua pilihan.
وَالْخِيَارُ الثَّانِي: أَنْ يُمْسِكَ الزَّوْجُ مِنَ الْإِمَاءِ وَاحِدَةً يَتَرَقَّبُ بِهَا إِسْلَامَ الْحُرَّةِ وَيَفْسَخُ نِكَاحَ مَنْ سِوَاهَا مِنَ الْإِمَاءِ؛ ليتعجلن الْفَسْخَ إِذْ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُقِيمَ عَلَى أَكْثَرِ مِنْ وَاحِدَةٍ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ انْفَسَخَ نِكَاحُ مَنْ عَدَا الْوَاحِدَةِ مِنْ وَقْتِ فسخهِ، وكان نكاح الواحدة معتبر بِإِسْلَامِ الْحُرَّةِ، فَإِنْ أَسْلَمَتْ فِي عِدَّتِهَا ثَبَتَ نِكَاحُهَا وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْأَمَةِ وَإِنْ أَسْلَمَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا بَطَلَ نِكَاحُهَا، وَثَبَتَ نِكَاحُ الْأَمَةِ، وَلَا يَكُونُ ثُبُوتُهُ بِاخْتِيَارٍ مُتَقَدِّمٍ وَلَكِنْ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مَعَهُ غَيْرُهَا، فَعَلَى هَذَا لَوْ طَلَّقَ الْحُرَّةَ فِي الشِّرْكِ قَبْلَ إِسْلَامِهَا ثُمَّ أَسْلَمَتْ نَظَرَ، فَإِنْ كَانَ إِسْلَامُهَا بَعْدَ الْعِدَّةِ لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهَا وَانْفَسَخَ نِكَاحُهَا بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ وَثَبَتَ نِكَاحُ الْأَمَةِ، وَإِنْ كَانَ إِسْلَامُهَا فِي الْعِدَّةِ وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهَا زَوْجَةٌ، وَانْفَسَخَ بِإِسْلَامِهَا نِكَاحُ الْأَمَةِ فَيَصِيرُ إِسْلَامُهَا وَإِنْ كَانَتْ مُطَلَّقَةً مُوجِبًا لِفَسْخِ نِكَاحِ الْأَمَةِ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ إِلَّا عَلَى زَوْجَةٍ، وَالْأَمَةُ لَا يَثْبُتُ اخْتِيَارُ نِكَاحِهَا مَعَ حُرَّةٍ هَذَا جَوَابُ أَصْحَابِنَا عَلَى الْإِطْلَاقِ، وَعِنْدِي أَنَّهُ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ معتبر بِزَمَانِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ طَلَّقَهَا قَبْلَ إِسْلَامِ الْإِمَاءِ جَازَ لَهُ أَنْ يُقِيمَ عَلَى وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ لِأَنَّ الْحُرَّةَ، وَإِنْ أَسْلَمَتْ فِي عِدَّتِهَا فَقَدْ وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا قَبْلَ إِسْلَامِ الْإِمَاءِ فَصِرْنَ عِنْدَ إِسْلَامِهِنَّ لَا حُرَّةَ مَعَهُنَّ، وَإِنْ كَانَ طَلَاقُ الْحُرَّةِ بَعْدَ إِسْلَامِ الْإِمَاءِ فَعَلَى مَا قَالَهُ أَصْحَابُنَا مِنِ اعْتِبَارِ إِسْلَامِ الْحُرَّةِ قَبْلَ الْعِدَّةِ وَبَعْدَهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pilihan kedua: Suami menahan satu dari para budak perempuan, menunggu keislaman istri merdeka, dan membatalkan pernikahan dengan selainnya dari para budak perempuan; agar pembatalan pernikahan segera terjadi, karena tidak boleh baginya untuk tetap bersama lebih dari satu (budak perempuan). Jika ia melakukan hal itu, maka pernikahan dengan selain satu budak perempuan batal sejak saat ia membatalkannya, dan pernikahan dengan satu budak perempuan tersebut bergantung pada keislaman istri merdeka. Jika istri merdeka masuk Islam dalam masa ‘iddahnya, maka pernikahan dengan istri merdeka tetap sah dan pernikahan dengan budak perempuan batal. Namun, jika istri merdeka masuk Islam setelah habis masa ‘iddahnya, maka pernikahan dengan istri merdeka batal dan pernikahan dengan budak perempuan tetap sah. Keabsahan pernikahan budak perempuan itu bukan karena adanya pilihan sebelumnya, tetapi karena tidak ada selain dia. Berdasarkan hal ini, jika suami menceraikan istri merdeka saat masih musyrik sebelum istri merdeka masuk Islam, lalu istri merdeka masuk Islam, maka diperhatikan: jika keislamannya setelah habis masa ‘iddah, maka talaknya tidak berlaku dan pernikahannya batal karena keislaman suami, dan pernikahan dengan budak perempuan tetap sah. Namun, jika keislamannya dalam masa ‘iddah, maka talak berlaku atasnya karena ia masih berstatus istri, dan dengan keislamannya pernikahan dengan budak perempuan batal. Maka keislaman istri merdeka, meskipun ia telah ditalak, tetap menyebabkan batalnya pernikahan dengan budak perempuan, karena talak hanya berlaku atas istri, dan budak perempuan tidak dapat dipilih pernikahannya bersama istri merdeka. Inilah jawaban para ulama kami secara umum. Menurut pendapat saya, yang seharusnya dijadikan acuan adalah waktu terjadinya talak. Jika ia telah menceraikan istri merdeka sebelum para budak perempuan masuk Islam, maka boleh baginya tetap bersama salah satu dari mereka, karena istri merdeka, meskipun masuk Islam dalam masa ‘iddah, talak telah jatuh atasnya sebelum para budak perempuan masuk Islam, sehingga ketika para budak perempuan masuk Islam, tidak ada lagi istri merdeka bersama mereka. Namun, jika talak terhadap istri merdeka terjadi setelah para budak perempuan masuk Islam, maka berlaku sebagaimana pendapat para ulama kami, yaitu memperhatikan keislaman istri merdeka sebelum atau sesudah masa ‘iddah. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ أَسْلَمَ بَعْضُهُنَّ بعدة فسواءٌ وَيَنْتَظِرُ إِسْلَامَ البواقي فمن اجْتَمَعَ إِسْلَامُهُ وَإِسْلَامُ الزَّوْجِ قَبْلَ مُضِيِّ الْعِدَّةِ كَانَ لَهُ الْخِيَارُ فِيهِنَّ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika sebagian dari mereka masuk Islam dalam masa ‘iddah, maka hukumnya sama saja, dan ia menunggu keislaman sisanya. Siapa saja yang keislamannya dan keislaman suami terjadi sebelum habis masa ‘iddah, maka suami memiliki hak memilih di antara mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي حُرٍّ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ بِأَرْبَعِ زَوْجَاتٍ إِمَاءً لَا حُرَّةَ فِيهِنَّ ثُمَّ أَسْلَمَ وَأَسْلَمْنَ، وَذَلِكَ بَعْدَ دُخُولِهِ بِهِنَّ فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk masalah ini adalah seorang laki-laki merdeka menikahi empat istri budak perempuan dalam keadaan musyrik, tanpa ada istri merdeka di antara mereka, lalu ia masuk Islam dan mereka pun masuk Islam, dan itu terjadi setelah ia telah berhubungan dengan mereka. Maka kasus ini terbagi menjadi empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يُسْلِمْنَ مَعَهُ.
Pertama: Mereka masuk Islam bersamanya.
وَالثَّانِي: أَنْ يُسْلِمْنَ قَبْلَهُ.
Kedua: Mereka masuk Islam sebelum dia.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يُسْلِمْنَ بعده.
Ketiga: Mereka masuk Islam setelah dia.
والرابع: أن يسلم بعضهن قبله وبعضهم بعده وقد يجيء فيه قسمان آخران:
Keempat: Sebagian dari mereka masuk Islam sebelum dia dan sebagian lagi setelah dia, dan dalam hal ini bisa muncul dua bagian lain:
أحدهما: أَنْ يُسْلِمَ بَعْضُهُنَّ مَعَهُ وَبَعْضُهُنَّ بعده وَلَكِنْ يَدْخُلُ جَوَابُهُمَا فِي جُمْلَةِ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ فَلَمْ نذكرها اكْتِفَاءً بِمَا ذَكَرْنَا.
Salah satunya: Sebagian dari mereka masuk Islam bersamanya dan sebagian lagi setelahnya, namun jawabannya masuk dalam empat bagian yang telah disebutkan, sehingga tidak perlu disebutkan lagi karena telah cukup dengan apa yang telah kami sebutkan.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يُسْلِمَ، وَيُسْلِمَ مَعَهُ الْإِمَاءُ الْأَرْبَعُ فَيَعْتَبِرَ حاله وقت الإسلام فإن كان موسراً بوجود الطَّوْل انْفَسَخَ نِكَاحُهُنَّ بِالْإِسْلَامِ وَاسْتَأْنَفْنَ عِدَدَ الْفَسْخِ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا لَا يَجِدُ الطَّوْلَ، كَانَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً لَا يَزِيدُ عَلَيْهَا لِأَنَّ الْحُرَّ لَمَّا لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ أَكْثَرَ مِنْ أَمَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ أَكْثَرَ مِنْ أَمَةٍ وَاحِدَةٍ، وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الثَّلَاثِ الْبَاقِيَاتِ مِنْ وَقْتِ اخْتِيَارِهِ لِلْوَاحِدَةِ لَا مِنْ وَقْتِ إِسْلَامِهِ.
Adapun bagian pertama: yaitu apabila ia masuk Islam, dan bersama dengannya empat budak perempuan juga masuk Islam, maka keadaannya saat masuk Islam menjadi pertimbangan. Jika ia seorang yang mampu dengan adanya kemampuan (untuk menikah dengan wanita merdeka), maka pernikahan mereka batal karena Islam, dan mereka memulai masa iddah fasakh. Namun jika ia seorang yang tidak mampu dan tidak memiliki kemampuan, maka ia boleh memilih salah satu dari mereka dan tidak boleh lebih dari itu. Sebab, seorang laki-laki merdeka tidak diperbolehkan menikahi lebih dari satu budak perempuan, maka ia pun tidak boleh memilih lebih dari satu budak perempuan. Pernikahan tiga budak perempuan lainnya batal sejak ia memilih salah satu dari mereka, bukan sejak ia masuk Islam.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي
Fasal: Adapun bagian kedua
: وَهُوَ أَنْ يُسْلِمْنَ قَبْلَهُ ثُمَّ يُسْلِمَ بَعْدَهُنَّ فِي عِدَدِهِنَّ فَيُرَاعِيَ حَالَهُ وَقْت إِسْلَامِهِ لَا وَقْت إِسْلَامِهِنَّ؛ لِأَنَّ الِاعْتِبَارَ باجتماع الإسلامين وذلك إسلامه بَعْدَهُنَّ، فَإِنْ كَانَ وَاجِدًا لِلطَّوْلِ انْفَسَخَ نِكَاحُهُنَّ بِإِسْلَامِهِ وَاسْتَأْنَفْنَ عِدَدَ الْفَسْخِ، وَإِنْ كَانَ عَادِمًا لِلطَّوْلِ كَانَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً وَيَنْفَسِخَ نِكَاحُ الثَّلَاثِ الْبَوَاقِي بِاخْتِيَارِهِ فَيَسْتَأْنِفْنَ عِدَدَ الْفَسْخِ.
Yaitu apabila para budak perempuan itu masuk Islam sebelum dia, kemudian ia masuk Islam setelah mereka dalam masa iddah mereka, maka yang menjadi pertimbangan adalah keadaannya saat ia masuk Islam, bukan saat mereka masuk Islam. Karena yang menjadi ukuran adalah berkumpulnya keislaman kedua belah pihak, yaitu keislamannya setelah mereka. Jika ia memiliki kemampuan, maka pernikahan mereka batal dengan keislamannya dan mereka memulai masa iddah fasakh. Jika ia tidak memiliki kemampuan, maka ia boleh memilih salah satu dari mereka, dan pernikahan tiga lainnya batal dengan pilihannya, sehingga mereka memulai masa iddah fasakh.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ
Fasal: Adapun bagian ketiga
: وَهُوَ أَنْ يُسْلِمْنَ بَعْدَهُ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Yaitu apabila para budak perempuan itu masuk Islam setelah dia, maka ini terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ عِنْدَ إِسْلَامِ جَمِيعِهِنَّ مُوسِرًا وَاجِدًا لِلطَّوْلِ.
Pertama: Suami saat seluruh budak perempuan itu masuk Islam adalah seorang yang mampu dan memiliki kemampuan.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عِنْدَ إِسْلَامِ جَمِيعِهِنَّ مُعْسِرًا عَادِمًا لِلطَّوْلِ.
Kedua: Saat seluruh budak perempuan itu masuk Islam, ia adalah seorang yang tidak mampu dan tidak memiliki kemampuan.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ عِنْدَ إِسْلَامِ بَعْضِهِنَّ مُوسِرًا وَعِنْدَ إِسْلَامِ بَعْضِهِنَّ مُعْسِرًا، فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا عِنْدَ إِسْلَامِ جَمِيعِهِنَّ بطل نكاحهن كلهن، وانفسخ نِكَاحُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مِنْ وَقْتِ إِسْلَامِهَا؛ لأنه وقت اجتماع الإسلامين فتستأنف منه عدة الْفَسْخِ، وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا عِنْدَ إِسْلَامِ جَمِيعِهِنَّ، فَلَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً سَوَاءٌ تَقَدَّمَ إِسْلَامُهَا عَلَيْهِنَّ أَوْ تَأَخَّرَ إِسْلَامُهَا عَنْهُنَّ، فَإِذَا اخْتَارَ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً انْفَسَخَ نِكَاحُ الثَّلَاثِ الْبَوَاقِي مِنْ وَقْتِ اخْتِيَارِهِ لِلْوَاحِدَةِ فَاسْتَأْنَفْنَ مِنْهُ عِدَدَ الْفَسْخِ وَإِنْ كَانَ عِنْدَ إِسْلَامِ بَعْضِهِنَّ مُوسِرًا وَعِنْدَ إِسْلَامِ بَعْضِهِنَّ مُعْسِرًا بَطَلَ نِكَاحُ الَّتِي أَسْلَمَتْ فِي يَسَارِهِ وَلَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُ الَّتِي أَسْلَمَتْ فِي إِعْسَارِهِ؛ لِأَنَّ الَّتِي أَسْلَمَتْ فِي يساره لا يجوز أن يستأنف نِكَاحَهَا فَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَخْتَارَهَا فَبَطَلَ نِكَاحُهَا بِإِسْلَامِهَا، وَالَّتِي أَسْلَمَتْ فِي إِعْسَارِهِ يَجُوزُ أَنْ تَسْتَأْنِفَ نِكَاحَهَا فَجَازَ أَنْ يَخْتَارَهَا فَعَلَى هَذَا لَوْ أَسْلَمَتِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ وَهُوَ مُوسِرٌ، وَأَسْلَمَتِ الثَّالِثَةُ وَالرَّابِعَةُ وَهُوَ مُعْسِرٌ بَطَلَ نِكَاحُ الأول وَالثَّانِيَةِ وَلَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُ الثَّالِثَةِ وَالرَّابِعَةِ، وَكَانَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ إِحْدَاهُمَا فَإِذَا اخْتَارَهَا انْفَسَخَ نكاح الأخرى باختياره، وَلَوْ أَسْلَمَتِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ وَهُوَ مُعْسِرٌ وَأَسْلَمَتِ الثَّالِثَةُ وَالرَّابِعَةُ وَهُوَ مُوسِرٌ بَطَلَ نِكَاحُ الثَّالِثَةِ والرابعة بإسلامها، وَكَانَ نِكَاحُ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ مَوْقُوفًا عَلَى اخْتِيَارِهِ، فإذا اختار إحداهما انفسخ حينئذ نِكَاحُ الْأُخْرَى فَلَوْ أَسْلَمَتِ الْأُولَى وَهُوَ مُوسِرٌ ثُمَّ أَسْلَمَتِ الثَّانِيَةُ وَهُوَ مُعْسِرٌ، ثُمَّ أَسْلَمَتِ الثَّالِثَةُ وَهُوَ مُوسِرٌ ثُمَّ أَسْلَمَتِ الرَّابِعَةُ وَهُوَ مُعْسِرٌ بَطَلَ نِكَاحُ الْأُولَى وَالثَّالِثَةِ بِإِسْلَامِهِمَا، وَكَانَ نِكَاحُ الثَّانِيَةِ وَالرَّابِعَةِ مَوْقُوفًا عَلَى اخْتِيَارِ إِحْدَاهُمَا، فَإِذَا اخْتَارَهَا انْفَسَخَ نِكَاحُ الْأُخْرَى مِنْ وَقْتِهِ.
Ketiga: Saat sebagian dari mereka masuk Islam, ia mampu, dan saat sebagian lainnya masuk Islam, ia tidak mampu. Jika ia mampu saat seluruh budak perempuan itu masuk Islam, maka batal seluruh pernikahan mereka, dan pernikahan masing-masing dari mereka batal sejak saat mereka masuk Islam, karena itulah saat berkumpulnya keislaman kedua belah pihak, sehingga mereka memulai masa iddah fasakh dari saat itu. Jika ia tidak mampu saat seluruh budak perempuan itu masuk Islam, maka ia boleh memilih salah satu dari mereka, baik yang masuk Islam lebih dahulu maupun yang belakangan. Jika ia telah memilih salah satu dari mereka, maka pernikahan tiga lainnya batal sejak ia memilih yang satu itu, dan mereka memulai masa iddah fasakh dari saat itu. Jika saat sebagian dari mereka masuk Islam ia mampu, dan saat sebagian lainnya masuk Islam ia tidak mampu, maka batal pernikahan yang masuk Islam saat ia mampu, dan tidak batal pernikahan yang masuk Islam saat ia tidak mampu. Sebab, yang masuk Islam saat ia mampu tidak boleh dinikahi kembali, sehingga ia tidak boleh memilihnya, maka pernikahannya batal dengan keislamannya. Sedangkan yang masuk Islam saat ia tidak mampu boleh dinikahi kembali, sehingga ia boleh memilihnya. Berdasarkan hal ini, jika yang pertama dan kedua masuk Islam saat ia mampu, dan yang ketiga dan keempat masuk Islam saat ia tidak mampu, maka batal pernikahan yang pertama dan kedua, dan tidak batal pernikahan yang ketiga dan keempat, dan ia boleh memilih salah satu dari keduanya. Jika ia telah memilih salah satunya, maka pernikahan yang lain batal dengan pilihannya. Jika yang pertama dan kedua masuk Islam saat ia tidak mampu, dan yang ketiga dan keempat masuk Islam saat ia mampu, maka batal pernikahan yang ketiga dan keempat dengan keislaman mereka, dan pernikahan yang pertama dan kedua tergantung pada pilihannya. Jika ia telah memilih salah satunya, maka pernikahan yang lain batal saat itu juga. Jika yang pertama masuk Islam saat ia mampu, lalu yang kedua masuk Islam saat ia tidak mampu, kemudian yang ketiga masuk Islam saat ia mampu, lalu yang keempat masuk Islam saat ia tidak mampu, maka batal pernikahan yang pertama dan ketiga dengan keislaman mereka, dan pernikahan yang kedua dan keempat tergantung pada pilihannya. Jika ia telah memilih salah satunya, maka pernikahan yang lain batal sejak saat itu.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ
Fasal: Adapun bagian keempat
: وَهُوَ أَنْ يُسْلِمَ بَعْضُهُنَّ قَبْلَهُ وَبَعْضُهُنَّ بَعْدَهُ.
Yaitu apabila sebagian dari mereka masuk Islam sebelum suami, dan sebagian lagi setelahnya.
مثاله: أن يسلم قبله اثنتان وبعده اثنتان فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Contohnya: dua orang istri masuk Islam sebelum suami, dan dua orang setelahnya. Maka kasus ini terbagi menjadi empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا عِنْدَ إِسْلَامِ الْأَوَائِلِ وَالْأَوَاخِرِ فَنِكَاحُ الْجَمِيعِ بَاطِلٌ لَكِنْ يَنْفَسِخُ نِكَاحُ الْأَوَائِلِ بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ لَا بِإِسْلَامِهِنَّ قَبْلَهُ، وَيَنْفَسِخُ نِكَاحُ الْأَوَاخِرِ بِإِسْلَامِهِنَّ لَا بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ قَبْلَهُنَّ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ من الناكحين يَنْفَسِخُ بِاجْتِمَاعِ الْإِسْلَامَيْنِ، وَاجْتِمَاعِهِمَا فِي الْأَوَائِلِ، فَيَكُونُ بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ وَاجْتِمَاعِهِمَا فِي الْأَوَاخِرِ يَكُونُ بِإِسْلَامِ الْأَوَاخِرِ.
Pertama: Jika suami dalam keadaan mampu (mampu memberi nafkah) saat istri-istri yang pertama maupun yang terakhir masuk Islam, maka seluruh pernikahan mereka batal. Namun, pernikahan istri-istri yang pertama batal karena suami masuk Islam, bukan karena mereka masuk Islam lebih dulu. Sedangkan pernikahan istri-istri yang terakhir batal karena mereka masuk Islam, bukan karena suami masuk Islam sebelum mereka. Sebab, setiap pernikahan batal dengan berkumpulnya kedua belah pihak dalam Islam; pada istri-istri yang pertama, hal itu terjadi dengan masuk Islamnya suami, dan pada istri-istri yang terakhir, hal itu terjadi dengan masuk Islamnya mereka.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُعْسِرًا عِنْدَ إِسْلَامِ الْأَوَائِلِ وَالْأَوَاخِرِ فَلَهُ أَنْ يَخْتَارَ نِكَاحَ وَاحِدَةٍ إِنْ شَاءَ مِنَ الْأَوَائِلِ وَإِنْ شَاءَ مِنَ الْأَوَاخِرِ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ يَجُوزُ عِنْدَ اجْتِمَاعِ الْإِسْلَامَيْنِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ نِكَاحَهَا فَجَازَ أَنْ يَخْتَارَهَا فَإِذَا اخْتَارَ وَاحِدَةً مِنْ أَحَدِ الْفَرِيقَيْنِ انْفَسَخَ بِاخْتِيَارِهِ نِكَاحُ الْبَاقِيَاتِ وَاسْتَأْنَفْنَ عِدَدَ الْفَسْخِ.
Bagian kedua: Jika suami dalam keadaan tidak mampu (tidak mampu memberi nafkah) saat istri-istri yang pertama maupun yang terakhir masuk Islam, maka ia boleh memilih salah satu istri, baik dari kelompok yang pertama maupun yang terakhir. Karena setiap istri dari kedua kelompok, ketika keduanya telah sama-sama Islam, boleh untuk memulai kembali akad nikahnya. Maka, ia boleh memilih salah satu dari mereka. Jika ia telah memilih salah satu dari salah satu kelompok, maka pernikahan dengan istri-istri yang lain batal karena pilihannya, dan mereka menjalani masa iddah karena pembatalan nikah.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ عِنْدَ إِسْلَامِ الْأَوَائِلِ مُعْسِرًا، وَعِنْدَ إِسْلَامِ الْأَوَاخِرِ مُوسِرًا فَيَبْطُلُ نِكَاحُ الْأَوَاخِرِ بِإِسْلَامِهِنَّ، وَلَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنَ الْأَوَائِلِ وَاحِدَةً وَيَنْفَسِخُ بِاخْتِيَارِهِ نِكَاحُ الْأُخْرَى.
Bagian ketiga: Jika saat istri-istri yang pertama masuk Islam suami dalam keadaan tidak mampu, dan saat istri-istri yang terakhir masuk Islam suami dalam keadaan mampu, maka pernikahan istri-istri yang terakhir batal karena mereka masuk Islam, dan suami boleh memilih salah satu dari istri-istri yang pertama, dan pernikahan dengan yang lain batal karena pilihannya.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا عِنْدَ إِسْلَامِ الْأَوَائِلِ مُعْسِرًا عِنْدَ إِسْلَامِ الْأَوَاخِرِ فَنِكَاحُ الْأَوَائِلِ بَاطِلٌ بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ، وَلَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنَ الْأَوَاخِرِ وَاحِدَةً فَإِنْ أَسْلَمَتَا مَعًا اخْتَارَ أَيَّتَهُمَا شَاءَ، وَانْفَسَخَ بِاخْتِيَارِهِ نِكَاحُ الْأُخْرَى، وَإِنْ أَسْلَمَتْ إِحْدَاهُمَا بَعْدَ الْأُخْرَى فَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ تَعْجِيلِ اخْتِيَارِ الْأُولَى وَبَيْنَ تَأْخِيرِهِ إِلَى إِسْلَامِ الثَّانِيَةِ، فإذا كَانَ كَذَلِكَ فَلَهَا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
Bagian keempat: Jika suami dalam keadaan mampu saat istri-istri yang pertama masuk Islam, dan dalam keadaan tidak mampu saat istri-istri yang terakhir masuk Islam, maka pernikahan dengan istri-istri yang pertama batal karena suami masuk Islam, dan ia boleh memilih salah satu dari istri-istri yang terakhir. Jika keduanya masuk Islam bersamaan, ia boleh memilih salah satu dari mereka, dan pernikahan dengan yang lain batal karena pilihannya. Jika salah satu dari mereka masuk Islam setelah yang lain, maka ia diberi pilihan antara segera memilih yang pertama atau menunda hingga yang kedua masuk Islam. Dalam hal ini, terdapat empat keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يُمْسِكَ عَنِ الِاخْتِيَارِ إِلَى أَنْ تُسْلِمَ الثَّانِيَةُ فَلَهُ إِذَا أَسْلَمَتْ أَنْ يَخْتَارَ أَيَّتَهُمَا شَاءَ فإذا اختار إحداهما ثبت نكاحهما، وانفسخ به نكاح الأخرى.
Pertama: Ia menahan diri dari memilih hingga yang kedua masuk Islam. Jika yang kedua telah masuk Islam, ia boleh memilih salah satu dari mereka yang ia kehendaki. Jika ia telah memilih salah satu, maka pernikahan dengannya tetap sah, dan pernikahan dengan yang lain batal karena pilihannya.
والحالة الثَّانِيَةُ: أَنْ يُعَجِّلَ اخْتِيَارَ الْأُولَى، فَإِذَا اخْتَارَهَا ثَبَتَ نِكَاحُهَا، وَبَطَلَ بِهِ نِكَاحُ الثَّانِيَةِ، وَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً فِي الشِّرْكِ، لِأَنَّهُ لَمَّا بَطَلَ نِكَاحُهَا بِاخْتِيَارِ تِلْكَ، فَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ قَدْ أَسْلَمَتْ فَأَوْلَى أَنْ يَبْطُلَ بِهِ نِكَاحُهَا، وَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ فَإِذَا أَسْلَمَتْ ثَبَتَ عَلَى مَا مضى من عدتها من وقت الِاخْتِيَارِ فِي الشِّرْكِ.
Kedua: Ia segera memilih yang pertama. Jika ia telah memilihnya, maka pernikahan dengan yang pertama tetap sah, dan pernikahan dengan yang kedua batal, meskipun yang kedua masih dalam keadaan syirik. Karena ketika pernikahan dengan yang kedua batal karena ia telah memilih yang pertama, maka jika yang kedua telah masuk Islam, lebih utama lagi pernikahannya batal. Jika yang kedua belum masuk Islam, maka jika ia masuk Islam, masa iddahnya dihitung sejak waktu pemilihan dalam keadaan syirik.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُطَلِّقَ الْأُولَى قَبْلَ إِسْلَامِ الثَّانِيَةِ فَيَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهَا وَيَكُونُ ذَلِكَ اخْتِيَارًا لِنِكَاحِهَا؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ إِلَّا عَلَى زَوْجَةٍ فَيَصِيرُ الطَّلَاقُ مُوجِبًا لِلِاخْتِيَارِ وَمُوقِعًا لِلْفُرْقَةِ، وَيَبْطُلُ بِهِ نِكَاحُ الْمُتَأَخِّرَةِ، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُخْتَارًا لِغَيْرِهَا.
Ketiga: Ia menceraikan yang pertama sebelum yang kedua masuk Islam, maka talak jatuh atasnya dan itu dianggap sebagai pilihan untuk tetap menikahinya. Karena talak tidak jatuh kecuali atas seorang istri, maka talak menjadi penentu pilihan dan penyebab terjadinya perpisahan, dan pernikahan dengan yang terakhir batal karena ia telah memilih selainnya.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَفْسَخَ نِكَاحَ الْأُولَى قَبْلَ إِسْلَامِ الثَّانِيَةِ فَلَا تَأْثِيرَ لِفَسْخِهِ فِي الْحَالِ، لِأَنَّهُ يَفْسَخُ نِكَاحَ مَنْ لَا يَجُوزُ لَهُ إِمْسَاكُهَا، وَقَدْ يجوز أن لا تسلم الثانية فيلزمه إِمْسَاكُ الْأُولَى فَلِذَلِكَ لَمْ يُؤَثِّرْ فَسْخُهُ فِي إنكاحها فَإِنْ لَمْ تُسْلِمِ الثَّانِيَةُ ثَبَتَ نِكَاحُ الْأُولَى وبان فَسْخَ نِكَاحِهَا كَانَ مَرْدُودًا، وَإِنْ أَسْلَمَتِ الثَّانِيَةُ فَإِنِ اخْتَارَهَا وَفَسَخَ نِكَاحَ الْأُولَى جَازَ وَثَبَتَ نِكَاحُ الثَّانِيَةِ وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْأُولَى وَإِنِ اخْتَارَ الْأُولَى وَفَسَخَ نِكَاحَ الثَّانِيَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Keempat: Ia membatalkan pernikahan dengan yang pertama sebelum yang kedua masuk Islam, maka pembatalan itu tidak berpengaruh saat itu, karena ia membatalkan pernikahan dengan seseorang yang tidak boleh ia pertahankan. Bisa jadi yang kedua tidak masuk Islam sehingga ia wajib mempertahankan yang pertama. Oleh karena itu, pembatalannya tidak berpengaruh pada pernikahan dengan yang pertama. Jika yang kedua tidak masuk Islam, maka pernikahan dengan yang pertama tetap sah dan pembatalan nikahnya dianggap tertolak. Jika yang kedua masuk Islam, lalu ia memilih yang kedua dan membatalkan pernikahan dengan yang pertama, maka itu sah dan pernikahan dengan yang kedua tetap, sedangkan pernikahan dengan yang pertama batal. Jika ia memilih yang pertama dan membatalkan pernikahan dengan yang kedua, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ؛ لِأَنَّ فَسْخَ نِكَاحِهَا فِي الْأَوَّلِ لَمَّا لم يؤثر في الحالة فَبَطَلَ أَنْ يَقَعَ حُكْمُهُ.
Yang pertama: Boleh; karena pembatalan nikahnya pada yang pertama, ketika tidak berpengaruh pada keadaan, maka batal pula ketetapan hukumnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَدْ لَزِمَهُ فَسْخُهَا، وَلَا يَجُوزُ لَهُ اخْتِيَارُهَا، لِأَنَّهُ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي الْحَالِ لِعَدَمِ غَيْرِهَا فَلَمَّا وَجَدَ غَيْرَهَا صَارَ مُؤَثِّرًا والله أعلم.
Pendapat kedua: Wajib baginya membatalkan (nikahnya), dan tidak boleh memilihnya; karena tidak berpengaruh pada keadaan akibat tidak adanya selain dia, maka ketika ada selain dia, menjadi berpengaruh. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَلَوْ أَسْلَمَ الْإِمَاءُ مَعَهُ وَعُتِقْنَ وَتَخَلَفَتْ حرةٌ وَقَفَ نِكَاحُ الْإِمَاءِ فَإِنْ أَسْلَمَتِ الْحُرَّةُ انْفَسَخَ نكاح الإماء ولو اختار منهن واحدةٌ ولم تسلم الحرة ثبتت “.
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Jika para budak perempuan masuk Islam bersamanya lalu mereka dimerdekakan, dan seorang perempuan merdeka tertinggal (belum masuk Islam), maka status nikah para budak perempuan itu tergantung. Jika perempuan merdeka itu masuk Islam, maka nikah para budak perempuan itu batal. Namun jika ia memilih salah satu dari mereka dan perempuan merdeka itu tidak masuk Islam, maka pilihannya tetap berlaku.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي حُرٍّ تَزَوَّجَ فِي الشرك أربع زوجات إماء وحرة خَامِسَة ثُمَّ أَسْلَمَ وَأَسْلَمَ مَعَهُ الْإِمَاءُ، وَحَالُهُ حال من ينكح الإماء ويقف نِكَاحُ الْإِمَاءِ عَلَى إِسْلَامِ الْحُرَّةِ، فَإِنْ عَتَقَ الْإِمَاءُ قَبْلَ إِسْلَامِ الْحُرَّةِ فَحُكْمُ نِكَاحِهِنَّ نِكَاحُ الْحَرَائِرِ، وَإِنْ عَتَقْنَ بَعْدَ اجْتِمَاعِ إِسْلَامِهِنَّ مَعَ الزَّوْجِ فَإِنَّ حُكْمَهُنَّ حُكْمُ نِكَاحِ الْإِمَاءِ، وَإِنْ صِرْنَ حَرَائِرَ اعْتِبَارًا بِحَالِهِنَّ عِنْدَ اجْتِمَاعِ الْإِسْلَامَيْنِ ولا اعتبار بما حدث بعدها ممن عتقهنَّ، كَمَا يُعْتَبَرُ حَالُ يَسَارِهِ وَإِعْسَارِهِ عِنْدَ اجْتِمَاعِ الْإِسْلَامَيْنِ دُونَ مَا حَدَثَ بَعْدَهَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، قِيلَ: لَيْسَ لَكَ أَنْ تَخْتَارَ مِنَ الْإِمَاءِ وَإِنْ عَتَقْنَ أَحَدًا مَا كَانَتِ الْحُرَّةُ بَاقِيَةً فِي عِدَّتِهَا، فَإِنِ اخْتَارَ مِنْهُنَّ واحدة لَمْ يَصِحَّ اخْتِيَارُهَا فِي الْحَالِ وَرُوعِيَ إِسْلَامُ الْحُرَّةِ، فَإِنْ أَسْلَمَتْ قَبْلَ مُضِيِّ عِدَّتِهَا، وَمَلَكَ نِكَاحَ الْإِمَاءِ الْمُعْتَقَاتِ كُلِّهِنَّ الْمُخْتَارَةُ مِنْهُنَّ وَغَيْرُهَا، وَإِنْ لَمْ تُسْلِمِ الْحُرَّةُ حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا انْفَسَخَ نِكَاحُهَا بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ، وَكَانَ لَهُ أَنْ يختار واحدة من المعتقان وَلَا يَزِيدَ عَلَيْهَا، وَهَلْ يَثْبُتُ نِكَاحُ الْمُخْتَارَةِ مِنْهُنَّ بِاخْتِيَارِ الْأَوَّلِ.
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang laki-laki merdeka menikahi empat istri budak perempuan dan seorang istri merdeka kelima saat masih musyrik, lalu ia masuk Islam dan para budak perempuan itu juga masuk Islam bersamanya. Keadaannya seperti orang yang menikahi budak perempuan, dan status nikah para budak perempuan itu tergantung pada keislaman perempuan merdeka. Jika para budak perempuan itu dimerdekakan sebelum perempuan merdeka masuk Islam, maka hukum nikah mereka adalah seperti nikah perempuan merdeka. Jika mereka dimerdekakan setelah berkumpulnya keislaman mereka bersama suami, maka hukumnya seperti nikah budak perempuan, meskipun mereka telah menjadi perempuan merdeka, berdasarkan keadaan mereka saat berkumpulnya keislaman kedua belah pihak, dan tidak dianggap apa yang terjadi setelahnya dari yang memerdekakan mereka. Sebagaimana juga keadaan kaya atau miskinnya suami dilihat pada saat berkumpulnya keislaman kedua belah pihak, bukan setelahnya. Jika demikian, dikatakan: Tidak boleh memilih dari para budak perempuan, meskipun mereka telah dimerdekakan, selama perempuan merdeka masih dalam masa iddahnya. Jika ia memilih salah satu dari mereka, maka pilihannya tidak sah pada saat itu dan tetap menunggu keislaman perempuan merdeka. Jika perempuan merdeka itu masuk Islam sebelum habis masa iddahnya, maka ia berhak atas seluruh budak perempuan yang telah dimerdekakan, baik yang dipilih maupun yang tidak. Jika perempuan merdeka itu tidak masuk Islam hingga habis masa iddahnya, maka nikahnya batal karena keislaman suami, dan ia boleh memilih salah satu dari budak perempuan yang telah dimerdekakan dan tidak boleh lebih dari itu. Lalu, apakah nikah perempuan yang dipilih dari mereka tetap sah dengan pilihan pertama?
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” فَإِنِ اخْتَارَ منهن واحدة ولم تسلم الحرة ثبت ” فاختلف أصحابنا فيه على وجهين:
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia memilih salah satu dari mereka dan perempuan merdeka itu tidak masuk Islam, maka pilihannya tetap berlaku.” Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:
أحدهما: ثبت إن استأنف اختيارها، فأما بالاختيار الْأَوَّل فَلَا يَثْبُتُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَثْبُتِ الِاخْتِيَارُ فِي الْحَالِ لَمْ يَصِحَّ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى ثَانِي حَالٍ فَبَطَلَ فَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ يَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ اخْتِيَارِ تِلْكَ الْأُولَى وَاخْتِيَارِ غَيْرِهَا.
Pendapat pertama: Pilihannya tetap berlaku jika ia memperbaharui pilihannya. Adapun dengan pilihan pertama, maka tidak tetap; karena ketika pilihan itu tidak tetap pada saat itu, maka tidak sah jika digantungkan pada keadaan kedua, sehingga batal. Maka menurut pendapat ini, ia diberi pilihan antara memilih yang pertama atau memilih yang lain.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَثْبُتُ بِالِاخْتِيَارِ الْأَوَّلِ عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ، وَيَكُونُ حُكْمُ الِاخْتِيَارِ مَوْقُوفًا، وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ أَصْلُهُ مَوْقُوفًا؛ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَكُونَ مِلْكُ الْخِيَارِ مَوْقُوفًا عَلَى إِسْلَامِ الْحُرَّةِ، فَإِنْ أَسْلَمَتْ عُلِمَ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مَالِكًا لِلْخِيَارِ، وَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ عُلِمَ أَنَّهُ كَانَ مَالِكًا لَهُ جَازَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْخِيَارِ مَوْقُوفًا عَلَى إِسْلَامِ الْحُرَّةِ.
Pendapat kedua: Pilihannya tetap dengan pilihan pertama menurut pendapat yang zahir dari Imam Syafi‘i, dan hukum pilihannya digantungkan, meskipun asalnya tidak boleh digantungkan; karena ketika boleh kepemilikan hak memilih digantungkan pada keislaman perempuan merdeka, maka jika perempuan merdeka itu masuk Islam, diketahui bahwa ia tidak memiliki hak memilih, dan jika tidak masuk Islam, diketahui bahwa ia memilikinya. Maka boleh hukum pilihan itu digantungkan pada keislaman perempuan merdeka.
فَإِنْ أَسْلَمَتْ عُلِمَ أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ، وَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ عُلِمَ أنه يثبت، فلو قال في الاختيار الأول إن تُسْلِمِ الْحُرَّةُ فَقَدِ اخْتَرْتُكُنَّ لَمْ يَصِحَّ هَذَا الِاخْتِيَارُ وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّ هَذَا خِيَارٌ مَوْقُوفُ الأصل لا موقوف الحكم، ونحن إما نُجَوِّزُ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَقْفَ حُكْمِهِ لَا وقف أصله فتصور فرق بينهما.
Jika perempuan merdeka itu masuk Islam, maka diketahui bahwa pilihannya tidak tetap. Jika tidak masuk Islam, maka diketahui bahwa pilihannya tetap. Maka jika pada pilihan pertama ia berkata, “Jika perempuan merdeka masuk Islam, maka aku memilih kalian,” maka pilihan ini tidak sah menurut satu pendapat, karena ini adalah pilihan yang digantungkan pada asalnya, bukan pada hukumnya. Padahal kami hanya membolehkan dalam salah satu pendapat penangguhan hukumnya, bukan penangguhan asalnya. Maka dapat dibedakan antara keduanya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ عَتَقْنَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمْنَ كُنَّ كَمَنِ ابتدئ نِكَاحُهُ وَهُنَّ حَرَائِرُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika para budak perempuan itu dimerdekakan sebelum mereka masuk Islam, maka status mereka seperti orang yang baru dinikahi dalam keadaan mereka sebagai perempuan merdeka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يَتَزَوَّجَ الْحُرُّ فِي الشِّرْكِ بِأَرْبَعِ إِمَاءٍ وَحُرَّةٍ خَامِسَةٍ ثُمَّ يُسْلِمِ الزَّوْجُ، وَيَعْتَقُ الْإِمَاءُ فِي الشِّرْكِ، ثُمَّ يُسْلِمْنَ في عددهن فتكون نكاحهن نكاح حرائر، وله أن يقيم على الأربع كلهن؛ لِأَنَّ الِاعْتِبَارَ بِحَالِهِنَّ عِنْدَ إِسْلَامِهِ وَإِسْلَامِهِنَّ وَمَا اجْتَمَعَا إِلَّا وَهُنَّ حَرَائِرُ فَلِذَلِكَ صَارَ نِكَاحُهُنَّ نِكَاحَ حَرَائِرَ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ كَانَ بِالْخِيَارِ عند إسلام المعتقات بين ثَلَاثَةِ أُمُورٍ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah seorang laki-laki merdeka pada masa syirik menikahi empat budak perempuan dan seorang perempuan merdeka sebagai istri kelima, kemudian suami tersebut masuk Islam, dan para budak perempuan itu dimerdekakan pada masa syirik, lalu mereka masuk Islam dalam jumlah mereka, sehingga pernikahan mereka menjadi pernikahan perempuan-perempuan merdeka. Ia boleh tetap bersama keempat istri tersebut, karena yang menjadi pertimbangan adalah keadaan mereka saat ia masuk Islam dan saat mereka masuk Islam, dan tidaklah keduanya berkumpul kecuali mereka telah menjadi perempuan-perempuan merdeka. Oleh karena itu, pernikahan mereka menjadi pernikahan perempuan merdeka. Jika demikian, maka ia memiliki pilihan ketika para budak yang telah dimerdekakan itu masuk Islam, di antara tiga perkara:
أَحَدُهَا: أَنْ يَخْتَارَ الْأَرْبَعَ فَيَصِحَّ اخْتِيَارُهُنَّ، وَيَنْفَسِخَ بِهِ نِكَاحُ الْحُرَّةِ الْخَامِسَةِ إِنْ أَسْلَمَتْ فِي الْعِدَّةِ، وَإِنْ لَمْ تُسْلِمِ انْفَسَخَ نِكَاحُهَا بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ.
Pertama: Ia memilih keempat budak perempuan tersebut, maka pilihannya sah, dan dengan itu pernikahan dengan perempuan merdeka kelima batal jika ia masuk Islam dalam masa iddah. Jika ia tidak masuk Islam, maka pernikahannya batal dengan masuk Islamnya suami.
وَالثَّانِي: أَنْ يُوقَفَ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ انْتِظَارًا لِإِسْلَامِ الْحُرَّةِ الْخَامِسَةِ، فَإِنْ أَسْلَمَتْ فِي الْعِدَّةِ اخْتَارَ مِنَ الْخَمْسِ أَرْبَعًا، وَفَسَخَ نِكَاحَ الْخَامِسَةِ مِنْ أَيَّتِهِنَّ شَاءَ، وَإِنْ لَمْ تُسْلِمِ الْحُرَّةُ ثَبَتَ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ الْمُعْتَقَاتِ.
Kedua: Pernikahan dengan keempat budak perempuan itu ditangguhkan sambil menunggu perempuan merdeka kelima masuk Islam. Jika ia masuk Islam dalam masa iddah, maka ia memilih empat dari lima istrinya, dan membatalkan pernikahan dengan istri kelima dari siapa saja yang ia kehendaki. Jika perempuan merdeka itu tidak masuk Islam, maka tetaplah pernikahan dengan keempat budak yang telah dimerdekakan.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَخْتَارَ مِنَ الْأَرْبَعِ ثَلَاثًا وَيُوقِفَ الرَّابِعَةَ عَلَى إِسْلَامِ الْحُرَّةِ، فَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ ثَبَتَ نِكَاحُ الرَّابِعَةِ، وَإِنْ أَسْلَمَتْ كَانَ مُخَيَّرًا فِي اختيار أيتهما شاء وفارق الْأُخْرَى.
Ketiga: Ia memilih tiga dari keempat budak perempuan tersebut dan menangguhkan yang keempat sampai perempuan merdeka itu masuk Islam. Jika perempuan merdeka itu tidak masuk Islam, maka tetaplah pernikahan dengan istri keempat. Jika ia masuk Islam, maka ia diberi pilihan untuk memilih salah satu dari keduanya dan menceraikan yang lainnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَهَكَذَا لَوْ أَسْلَمَ الْإِمَاءُ قَبْلَ الزَّوْجِ وَأُعْتِقْنَ ثُمَّ أَسْلَمَ الزَّوْجُ بَعْدَ عِتْقِهِنَّ، كان نكاحهن نكاح حرائر، ولأن لَمَا جُمِعَ إِسْلَامُهُ وَإِسْلَامُهُنَّ إِلَّا وَهُنَّ حَرَائِرُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَالْحُرَّةُ مُتَأَخِّرَةٌ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأُمُورِ الثَّلَاثَةِ، وَلَكِنْ لَوْ أَسْلَمَ قَبْلَهُ أَمَتَانِ وَأُعْتِقَتَا ثُمَّ أَسْلَمَ الزوج، وأعتق الأمتين المشركتين فِي الشِّرْكِ ثُمَّ أَسْلَمَتَا فَنِكَاحُ هَاتَيْنِ الْمُعْتَقَتَيْنِ فِي الشِّرْكِ عَلَى قِيَاسِ قَوْلِ أَبِي حَامِدٍ الإسفراييني يحل لرقهما عند معتق المسلمين فبطل نكاحهما بالرق لعتق المسلمين، فعلى هذا المذهب يكون نكاح المسلمين بائناً، فَإِنْ أَسْلَمَتِ الْحُرَّةُ بَعْدَهَا فِي الْعِدَّةِ ثَبَتَ نكاحها، وصرن ثلاثاً وإن لم يسلم بَطَلَ نِكَاحُهَا، وَثَبَتَ نِكَاحُ الْمُعْتَقَتَيْنِ فَأَمَّا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي أَرَاهُ صَحِيحًا، فَنِكَاحُ الْمُعْتَقَتَيْنِ فِي الشِّرْكِ لَا يَبْطُلُ بِعِتْقِ الْمُسْلِمَتَيْنِ، مِنْ قَبْلُ فَإِذَا أَسْلَمَتِ الْمُشْرِكَتَانِ بَعْدَ عِتْقِهِمَا فِي عِدَّتِهِمَا صِرْنَ أَرْبَعًا وَفِي الشِّرْكِ حُرَّةٌ خَامِسَةٌ فَيَكُونُ حينئذ مخيراً بين الأمور الثلاثة
Demikian pula jika para budak perempuan masuk Islam sebelum suami dan mereka dimerdekakan, kemudian suami masuk Islam setelah mereka dimerdekakan, maka pernikahan mereka menjadi pernikahan perempuan merdeka. Karena tidaklah berkumpul Islamnya suami dan Islam mereka kecuali mereka telah menjadi perempuan merdeka. Jika demikian, dan perempuan merdeka masuk Islam belakangan, maka suami memiliki pilihan di antara tiga perkara yang telah kami sebutkan. Namun, jika dua budak perempuan masuk Islam sebelum suami dan keduanya dimerdekakan, lalu suami masuk Islam, dan ia juga memerdekakan dua budak perempuan musyrik pada masa syirik, kemudian keduanya masuk Islam, maka pernikahan dua budak yang dimerdekakan pada masa syirik menurut qiyās pendapat Abu Hamid al-Isfirayini, keduanya halal untuk tetap menjadi budak bagi orang yang memerdekakan dari kalangan Muslim, sehingga pernikahan mereka batal karena status budak setelah dimerdekakan oleh Muslim. Maka menurut mazhab ini, pernikahan mereka menjadi terputus. Jika perempuan merdeka masuk Islam setelah itu dalam masa iddah, maka pernikahannya tetap, dan mereka menjadi tiga orang. Jika tidak masuk Islam, maka pernikahannya batal, dan pernikahan kedua budak yang telah dimerdekakan tetap. Adapun menurut pendapat yang aku anggap benar, maka pernikahan kedua budak yang telah dimerdekakan pada masa syirik tidak batal dengan dimerdekakannya dua Muslimah sebelumnya. Jika dua budak musyrik itu masuk Islam setelah dimerdekakan dalam masa iddah mereka, maka mereka menjadi empat orang, dan pada masa syirik ada seorang perempuan merdeka kelima, maka pada saat itu ia diberi pilihan di antara tiga perkara.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولو كَانَ عبدٌ عِنْدَهُ إماءٌ وَحَرَائِرُ مسلماتٌ أَوْ كتابياتٌ وَلَمْ يَخْتَرْنَ فِرَاقَهُ أَمْسَكَ اثْنَتَيْنِ “
Asy-Syafi’i berkata: “Jika ada seorang budak yang memiliki istri-istri dari kalangan budak perempuan dan perempuan merdeka yang Muslimah atau ahli kitab, dan mereka tidak memilih berpisah darinya, maka ia menahan dua orang istri.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ سِتَّ زَوْجَاتٍ مِنْهُنَّ: أَمَتَانِ وَثَنِيَّتَانِ وَحُرَّتَانِ وَثَنِيَّتَانِ وَحُرَّتَانِ كِتَابِيَّتَانِ، ثُمَّ أَسْلَمَ وَأَسْلَمَ مَعَهُ الْأَمَتَانِ الْوَثَنِيَّتَانِ وَالْحُرَّتَانِ الْوَثَنِيَّتَانِ، وَبَقِيَ الْكِتَابِيَّتَانِ عَلَى دِينِهِمَا، فَلَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنَ السِّتِّ اثْنَتَيْنِ، لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا يَسْتَبِيحُ أَكْثَرَ مِنْهُمَا، وَهُوَ فِي الزِّيَادَةِ عَلَيْهِمَا كَالْحُرِّ فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْأَرْبَعِ إِلَّا أن الشافعي قال: ولم يختزن فراقه أمسك اثنتين، أما الأمتان فإن أعتقهما فلهما الخيار؛ لأن الأمة إذا أعتقت تحت عبد فَلَهَا الْخِيَارُ مُسْلِمًا كَانَ الْعَبْدُ أَوْ كَافِرًا، وَإِنْ لَمْ يُعْتِقَا فَلَا خِيَارَ لَهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا قد ساوياه فِي نَقْصِهِ بِالرِّقِّ، وَأَمَّا الْحَرَائِرُ فَفِي ثُبُوتِ الخيار لهن بِإِسْلَامِهِ وَجْهَانِ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah seorang budak menikahi enam istri pada masa syirik, di antaranya: dua budak perempuan musyrik, dua perempuan merdeka musyrik, dan dua perempuan merdeka ahli kitab. Kemudian ia masuk Islam, dan bersamanya masuk Islam dua budak perempuan musyrik dan dua perempuan merdeka musyrik, sedangkan dua perempuan ahli kitab tetap pada agamanya. Maka ia boleh memilih dua dari enam istrinya, karena seorang budak tidak boleh memiliki lebih dari dua istri, dan dalam kelebihan dari jumlah itu ia seperti laki-laki merdeka dalam kelebihan dari empat istri. Hanya saja asy-Syafi’i berkata: “Jika mereka tidak memilih berpisah darinya, maka ia menahan dua orang istri.” Adapun dua budak perempuan, jika keduanya dimerdekakan, maka keduanya memiliki hak memilih; karena budak perempuan jika dimerdekakan saat menjadi istri budak, maka ia berhak memilih, baik budaknya Muslim maupun kafir. Jika keduanya tidak dimerdekakan, maka keduanya tidak memiliki hak memilih, karena keduanya telah setara dengannya dalam kekurangan akibat status budak. Adapun perempuan-perempuan merdeka, dalam hal tetapnya hak memilih bagi mereka karena Islamnya suami, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا خِيَارَ لَهُنَّ لِعِلْمِهِنَّ بِرِقِّهِ وَرِضَاهُنَّ مَعَ كَمَالِهِنَّ بِنَقْصِهِ، فَلَمْ يَحْدُثْ لَهُنَّ بِالْإِسْلَامِ خِيَارٌ، لِأَنَّ الْإِسْلَامَ يُؤَكِّدُ النكاح ولا يضعفه، وهذا اخْتِيَارُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ.
Yang pertama: Bahwa mereka (para istri) tidak memiliki hak khiyār, karena mereka telah mengetahui status suaminya sebagai budak dan telah rela dengan kekurangannya meskipun mereka sendiri sempurna, sehingga dengan masuk Islam tidak timbul bagi mereka hak khiyār, sebab Islam justru meneguhkan pernikahan dan tidak melemahkannya. Ini adalah pendapat Abū Ḥāmid al-Marwazī.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُنَّ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهِ؛ لِأَنَّ الرِّقَّ فِي الْإِسْلَامِ نَقْصٌ، وَفِي الْكُفْرِ لَيْسَ بِنَقْصٍ لِإِطْلَاقِ تَصَرُّفِهِ فِي الْكُفْرِ وَثُبُوتِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ فِي الْإِسْلَامِ، وَنَقْصِ أَحْكَامِهِ فِي طَلَاقِهِ، وَنِكَاحِهِ، وَحُدُودِهِ، وَعَدَمِ مِلْكِهِ، وَقَهْرِ السَّيِّدِ لَهُ عَلَى نَفْسِهِ فَيَكُونُ الرِّقُّ فِي الْإِسْلَامِ نَقْصًا يَثْبُتُ لِلْحَرَائِرِ مِنْ زَوْجَاتِهِ الْخِيَارُ فِي إِسْلَامِهِ، وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ لَهُنَّ فِي شِرْكِهِ وَهَذَا اخْتِيَارُ أَبِي الْقَاسِمِ الدَّارَكِيِّ، فَعَلَى هَذَا إِنْ قِيلَ: لِلْحَرَائِرِ الأربعة الْخِيَارُ فَاخْتَرْنَ فَسْخَ نِكَاحِهِ ثَبَتَ نِكَاحُ الْأَمَتَيْنِ، وإن قيل: لا خيار لهن وقيل لَهُنَّ الْخِيَارُ، فَاخْتَرْنَ الْمُقَامَ عَلَى نِكَاحِهِ كَانَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنْهُنَّ، وَهُنَّ سِتٌّ، اثْنَتَيْنِ مِنْ أَيِّهِنَّ شَاءَ إِمَّا أَنْ يَخْتَارَ الْحُرَّتَيْنِ الْمُسْلِمَتَيْنِ أَوِ الْحُرَّتَيْنِ الْكِتَابِيَّتَيْنِ أَوِ الْأَمَتَيْنِ الْمُسْلِمَتَيْنِ أَوْ وَاحِدَةً مِنَ الْأَمَتَيْنِ، وَوَاحِدَةً مِنَ الْحَرَائِرِ؛ لِأَنَّهُ عَبْدٌ يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَمَتَيْنِ وبين أمة وحرة.
Pendapat kedua: Mereka memiliki hak khiyār untuk membatalkan pernikahannya, karena status budak dalam Islam adalah suatu kekurangan, sedangkan dalam kekufuran bukanlah kekurangan karena ia bebas bertindak dalam kekufuran, sementara dalam Islam berlaku pembatasan terhadapnya, serta kekurangan dalam hukum-hukumnya terkait talak, pernikahan, hudūd, tidak memiliki kepemilikan, dan adanya pemaksaan dari tuannya atas dirinya. Maka status budak dalam Islam adalah kekurangan yang dengannya para istri yang merdeka berhak mendapatkan hak khiyār saat suaminya masuk Islam, meskipun mereka tidak mendapatkannya saat suaminya masih musyrik. Ini adalah pendapat Abū al-Qāsim al-Dārakī. Berdasarkan pendapat ini, jika dikatakan: Para istri yang merdeka yang berjumlah empat orang memiliki hak khiyār, lalu mereka memilih membatalkan pernikahan, maka pernikahan dengan dua budak perempuan tetap sah. Jika dikatakan: Tidak ada hak khiyār bagi mereka, lalu dikatakan mereka memiliki hak khiyār, lalu mereka memilih tetap dalam pernikahan, maka suami boleh memilih di antara mereka, dan mereka berjumlah enam orang, yaitu dua dari siapa saja yang ia kehendaki: bisa memilih dua wanita merdeka muslimah, atau dua wanita merdeka ahli kitab, atau dua budak perempuan muslimah, atau satu dari dua budak perempuan dan satu dari wanita merdeka; karena ia adalah seorang budak yang boleh mengumpulkan antara dua budak perempuan atau antara seorang budak perempuan dan seorang wanita merdeka.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ عَتَقْنَ قَبْلَ إِسْلَامِهِ فَاخْتَرْنَ فِرَاقَهُ كَانَ ذلك لهن لأنه لهن بعد إسلامه وعددهن عدد الحرائر فيحصين من حين اخترن فراقه فإن اجتمع إسلامه وإسلامهن في العدة فعددهن عدد حرائر من يوم اخترن فراقه وإلا فعددهن عدد حرائر من يوم أسلم متقدم الإسلام منهما لأن الفسخ من يومئذٍ وإن لم يخترن فراقه ولا المقام معه خيرن إذا اجتمع إسلامه وإسلامهن مَعًا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika mereka dimerdekakan sebelum suaminya masuk Islam lalu mereka memilih berpisah darinya, maka itu menjadi hak mereka, karena hak itu tetap bagi mereka setelah suaminya masuk Islam dan jumlah mereka dihitung sebagai wanita merdeka, sehingga masa iddah mereka dihitung sejak mereka memilih berpisah. Jika keislaman suami dan istri terjadi bersamaan dalam masa iddah, maka jumlah mereka dihitung sebagai wanita merdeka sejak hari mereka memilih berpisah. Jika tidak, maka jumlah mereka dihitung sebagai wanita merdeka sejak hari suami masuk Islam lebih dahulu di antara keduanya, karena pembatalan pernikahan terjadi sejak saat itu. Jika mereka tidak memilih berpisah atau tetap bersama suaminya, maka mereka diberi pilihan ketika keislaman suami dan istri terjadi bersamaan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ بِأَرْبَعِ زَوْجَاتٍ إِمَاءٍ وَدَخَلَ بِهِنَّ ثُمَّ أَسْلَمْنَ وَعَتَقْنَ قَبْلَ إِسْلَامِهِ فَلَهُنَّ أَنْ يخترن فسخ نكاحه بالعتق، وإن كان جَارِيَاتٍ فِي الْفَسْخِ بِتَقَدُّمِ الْإِسْلَامِ لِأَمْرَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: Kasusnya adalah seorang budak yang menikah dalam keadaan syirik dengan empat istri budak perempuan dan telah berhubungan dengan mereka, kemudian para istri masuk Islam dan dimerdekakan sebelum suaminya masuk Islam, maka mereka berhak memilih membatalkan pernikahan karena dimerdekakan. Jika mereka masih budak, maka pembatalan pernikahan terjadi karena keislaman lebih dahulu, karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُنَّ جَارِيَاتٌ فِي فَسْخٍ فَلَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَسْتَحِقَ مَعَهُ حُدُوثَ فَسْخٍ، لِأَنَّ الْفَسْخَ لَا يُنَافِي الْفَسْخَ لِاجْتِمَاعِهِمَا، وَإِنَّمَا يُنَافِي الْمُقَامَ لِتَضَادِّهِمَا.
Pertama: Mereka masih budak dalam pembatalan pernikahan, sehingga tidak mustahil mereka juga berhak mendapatkan pembatalan pernikahan, karena pembatalan pernikahan tidak bertentangan dengan pembatalan lainnya, keduanya bisa terjadi bersamaan, yang bertentangan hanyalah dengan tetapnya pernikahan karena keduanya saling bertolak belakang.
وَالثَّانِي: أَنَّهُنَّ يَسْتَفِدْنَ بِتَعْجِيلِ الْفَسْخِ قُصُورَ أَحَدِ العدتين، لأنهن لو انتظرن إسلام الزوج لاستأنف الْعِدَّة بَعْدَ إِسْلَامِهِ، وَإِذَا قَدَّمْنَ الْفَسْخَ تَقَدَّمَتِ الْعِدَّةُ قَبْلَ إِسْلَامِهِ.
Kedua: Mereka mendapatkan manfaat dengan mempercepat pembatalan pernikahan berupa berkurangnya salah satu masa iddah, karena jika mereka menunggu suaminya masuk Islam, maka mereka harus memulai masa iddah setelah suaminya masuk Islam. Namun jika mereka mempercepat pembatalan pernikahan, maka masa iddah dimulai sebelum suaminya masuk Islam.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا أَغْنَى جَرَيَانُهُنَّ فِي الْفَسْخِ بِتَقَدُّمِ الْإِسْلَامِ عَنْ أَنْ يحدثن فَسْخًا بِحُدُوثِ الْعِتْقِ.
Jika dikatakan: Bukankah pembatalan pernikahan karena keislaman lebih dahulu sudah cukup sehingga tidak perlu terjadi pembatalan lagi karena dimerdekakan?
قِيلَ: لَا يُغْنِي؛ لِأَنَّ الفسخ بالإسلام متردد بين إفضائه إِلَى الْفُرْقَةِ إِنْ تَأَخَّرَ إِسْلَامُ الزَّوْجِ وَبَيْنَ إفضائه إِلَى ثُبُوتِ النِّكَاحِ إِنْ تَعَجَّلَ وَالْفَسْخُ بِالْعِتْقِ مُفْضٍ إِلَى الْفُرْقَةِ فِي الْحَالَيْنِ، فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَلَهُنَّ ثَلَاثة أَحْوَالٍ:
Dijawab: Tidak cukup, karena pembatalan pernikahan karena keislaman masih tergantung antara berujung pada perpisahan jika suami terlambat masuk Islam, atau tetapnya pernikahan jika suami segera masuk Islam. Sedangkan pembatalan pernikahan karena dimerdekakan pasti berujung pada perpisahan dalam kedua keadaan. Dengan demikian, mereka memiliki tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَخْتَرْنَ الْفَسْخَ فَذَلِكَ مُعْتَبَرٌ بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ، فَإِنْ لَمْ يُسْلِمْ حَتَّى انْقَضَتْ عِدَدُهُنَّ فَقَدْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِاخْتِلَافِ الدِّينِ، وَبَانَ أَنَّهُنَّ غير زوجاته مِنْ يَوْمِ أَسْلَمْنَ فَلَمْ يَقَعْ فَسْخُهُنَّ بِالْعِتْقِ، لأنهن قدمن قبله فأول عددهن من وقت إسلامهن، وقد بدأت بالعدة، وَهُنَّ إِمَاءٌ وَأَنْهَيْنَهَا وَهُنَّ حَرَائِرُ، فَهَلْ يَعْتَدِدْنَ عِدَدَ إِمَاءٍ أَوْ عِدَدَ حَرَائِرَ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Pertama: Mereka memilih pembatalan pernikahan, maka hal itu dihitung sejak suami masuk Islam. Jika suami tidak masuk Islam hingga masa iddah mereka habis, maka terjadilah perpisahan karena perbedaan agama, dan jelaslah bahwa mereka bukan lagi istri-istrinya sejak hari mereka masuk Islam, sehingga pembatalan pernikahan tidak terjadi karena dimerdekakan, karena mereka telah mendahului suaminya, sehingga awal masa iddah mereka sejak mereka masuk Islam, dan mereka memulai masa iddah sebagai budak dan mengakhirinya sebagai wanita merdeka. Apakah mereka menjalani masa iddah sebagai budak atau sebagai wanita merdeka? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يَعْتَدِدْنَ عِدَدَ إِمَاءٍ اعْتِبَارًا بِالِابْتِدَاءِ.
Pertama, yaitu pendapat lama Imam Syafi‘i: Mereka menjalani masa iddah sebagai budak, berdasarkan awal mulainya masa iddah.
وَالثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ يَعْتَدِدْنَ عِدَدَ حَرَائِرَ اعْتِبَارًا بِالِانْتِهَاءِ وَإِنْ أسلم الزوج في عددهن وبان أن اختلاف الدين لم يؤثر في فسخ نِكَاحِهِنَّ وَإِنَّهُنَّ اخْتَرْنَ الْفَسْخَ بِالْعِتْقِ وَهُنَّ زَوْجَاتٌ فينفسخ نكاحهن باختيار الفسخ ويتعددن مِنْ وَقْتِ الْفَسْخِ عِدَدَ حَرَائِرَ قَوْلًا وَاحِدًا، لأنهن بدأن وَهُنَّ حَرَائِرَ.
Kedua: Yaitu pendapat beliau dalam pendapat baru (al-jadid), bahwa mereka (para perempuan) menjalani masa ‘iddah seperti para perempuan merdeka, dengan pertimbangan pada akhir masa ‘iddah. Jika suami masuk Islam dalam masa ‘iddah mereka, maka jelas bahwa perbedaan agama tidak berpengaruh pada pembatalan nikah mereka. Dan jika mereka memilih pembatalan nikah karena dimerdekakan, padahal mereka masih berstatus istri, maka nikah mereka batal karena pilihan pembatalan, dan mereka menjalani masa ‘iddah dari waktu pembatalan dengan masa ‘iddah perempuan merdeka menurut satu pendapat, karena mereka memulai masa ‘iddah dalam keadaan sebagai perempuan merdeka.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ
Fasal: Adapun keadaan yang kedua
: وَهُوَ أن يختزن الْمُقَامَ عَلَى نِكَاحِهِ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ أَيْضًا بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ فَإِنْ لَمْ يُسْلِمْ حَتَّى انْقَضَتْ عِدَدُهُنَّ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِاخْتِلَافِ الدِّينِ مِنْ وَقْتِ إِسْلَامِهِنَّ، وَلَمْ يَكُنْ لِاخْتِيَارِهِنَّ الْمُقَامَ تَأْثِيرٌ، وَفِي عِدَدِهِنَّ قَوْلَانِ:
Yaitu jika mereka memilih tetap dalam pernikahan, maka hal itu juga dipertimbangkan dengan keislaman suami. Jika suami tidak masuk Islam hingga masa ‘iddah mereka habis, maka terjadilah perpisahan karena perbedaan agama sejak waktu mereka masuk Islam, dan pilihan mereka untuk tetap tidak berpengaruh. Dalam hal masa ‘iddah mereka terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: عِدَدُ إِمَاءٍ اعْتِبَارًا بِالِابْتِدَاءِ.
Salah satunya: Masa ‘iddah budak perempuan, dengan pertimbangan pada permulaan.
وَالثَّانِي: عدد حرائر اعتبارا بالانتهاء.
Dan yang kedua: Masa ‘iddah perempuan merdeka, dengan pertimbangan pada akhir masa ‘iddah.
وإن أسلم الزوج فِي عِدَدِهِنَّ بَانَ أَنَّهُنَّ زَوْجَاتٌ وَأَنَّ اخْتِلَافَ الدِّينِ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي نِكَاحِهِنَّ، وَقَدِ اخْتَرْنَ الْمُقَامَ فِي وَقْتٍ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ اخْتِيَارُ الْمُقَامِ فَهَلْ يُؤَثِّرُ حُكْمُهُ بَعْدَ إِسْلَامِ الزَّوْجِ وَيَسْقُطُ بِهِ خِيَارُ الْفَسْخِ أَمْ لَا؟ فِيهِ وَجْهَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الزَّوْجِ إِذَا اخْتَارَ وَاحِدَةً مِنَ الْإِمَاءِ الْمُسْلِمَاتِ مَعَهُ وفي الشِّرْكِ حُرَّةٌ مُنْتَظَرَةٌ فَلَمْ تُسْلِمْ حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، هَلْ يَثْبُتُ حُكْمُ اخْتِيَارِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ، كَذَلِكَ هَاهُنَا هل يثبت حكم اختيارهن المقام أم لا على وجهين:
Jika suami masuk Islam dalam masa ‘iddah mereka, maka jelas bahwa mereka masih berstatus istri dan perbedaan agama tidak berpengaruh pada pernikahan mereka. Mereka telah memilih tetap pada waktu yang mana pilihan tersebut tidak berpengaruh, maka apakah hukum pilihan tersebut berlaku setelah suami masuk Islam dan gugur dengannya hak memilih pembatalan atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, yang dibangun atas perbedaan dua pendapat dalam kasus suami yang memilih salah satu dari budak perempuan muslimah yang bersamanya, sementara ada perempuan merdeka yang menunggu dalam keadaan masih musyrik, lalu ia tidak masuk Islam hingga masa ‘iddahnya habis, apakah hukum pilihannya tetap berlaku atau tidak? Sebagaimana yang telah kami sebutkan dari dua pendapat, demikian juga di sini: apakah hukum pilihan mereka untuk tetap berlaku atau tidak, terdapat dua pendapat:
أحدهما: قد يثبت ويبطل بِهِ خِيَارُ الْفَسْخِ.
Salah satunya: Bisa berlaku dan dengan itu gugur hak memilih pembatalan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا يَثْبُتُ لِعَدَمِ تَأْثِيرِهِ فِي وَقْتِهِ فَبَطَلَ، وَلَهُنَّ خِيَارُ الْفَسْخِ بَعْدَ إِسْلَامِ الزَّوْجِ، فإن اخترن الفسخ استأنف عِدَدَ حَرَائِرَ مِنْ وَقْتِ الْفَسْخِ، وَإِنْ لَمْ يختزنه كُنَّ زَوْجَاتٍ، وَهُنَّ أَرْبَعٌ وَلَيْسَ لِلْعَبْدِ إِلَّا اثنتين فيصير له بالخيار في إمساك اثنتين وفسخ نِكَاحَ اثْنَتَيْنِ يَسْتَأْنِفَانِ مِنْ وَقْتِ الْفَسْخِ عِدَدَ حَرَائِرَ.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, bahwa tidak berlaku karena tidak berpengaruh pada waktunya, sehingga batal, dan mereka tetap memiliki hak memilih pembatalan setelah suami masuk Islam. Jika mereka memilih pembatalan, maka mereka memulai masa ‘iddah perempuan merdeka dari waktu pembatalan. Jika mereka tidak memilih pembatalan, maka mereka tetap berstatus istri, dan jika mereka berjumlah empat orang, sementara seorang budak hanya boleh memiliki dua istri, maka suami berhak memilih dua di antara mereka untuk dipertahankan dan membatalkan nikah dua lainnya, yang kemudian kedua istri tersebut memulai masa ‘iddah perempuan merdeka dari waktu pembatalan.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْحَالُ الثَّالِثَةُ
Fasal: Adapun keadaan yang ketiga
: وَهُوَ أَنْ يمسكه عَنِ اخْتِيَارِ فَسْخٍ أَوْ مُقَامٍ فَهُنَّ إِذَا أَسْلَمَ الزَّوْجُ عَلَى حَقِّهِنَّ مِنْ خِيَارِ الْفَسْخِ، لَا يَبْطُلُ بِإِمْسَاكِهِنَّ لِأَمْرَيْنِ:
Yaitu jika mereka ditahan dari memilih pembatalan atau tetap, maka jika suami masuk Islam, mereka tetap memiliki hak memilih pembatalan, dan hak tersebut tidak gugur dengan penahanan mereka, karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُنَّ كُنَّ يَتَوَقَّعْنَ الْفَسْخَ بِغَيْرِ اخْتِيَارٍ فَلَمْ يُنَافِ وُقُوعَ الْفَسْخِ بِاخْتِيَارٍ.
Pertama: Karena mereka menunggu kemungkinan pembatalan tanpa pilihan, sehingga tidak bertentangan dengan terjadinya pembatalan dengan pilihan.
وَالثَّانِي: أَنَّ خِيَارَهُنَّ قَبْلَ إِسْلَامِ الزَّوْجِ مَظْنُونٌ، وَبَعْدَ إِسْلَامِهِ مُتَحَقِّقٌ فَجَازَ أَنْ يؤخر به مِنْ وَقْتِ الظَّنِّ إِلَى وَقْتِ الْيَقِينِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ إِسْلَامُ الزَّوْجِ، فإن لم يسلم حتى انقضت عددهن بان اختلاف الدِّينِ، وَبَطَلَ خِيَارُ الْفَسْخِ بِالْعِتْقِ، وَفِي عِدَدِهِنَّ مِنْ وَقْتِ إِسْلَامِهِنَّ قَوْلَانِ:
Kedua: Bahwa hak memilih mereka sebelum suami masuk Islam masih bersifat dugaan, dan setelah suami masuk Islam menjadi pasti, sehingga boleh menunda dari waktu dugaan ke waktu kepastian. Jika demikian, maka harus dipertimbangkan keislaman suami. Jika suami tidak masuk Islam hingga masa ‘iddah mereka habis, maka jelaslah perbedaan agama, dan gugurlah hak memilih pembatalan karena dimerdekakan. Dalam hal masa ‘iddah mereka sejak waktu masuk Islam terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: عِدَدُ إِمَاءٍ اعْتِبَارًا بِالِابْتِدَاءِ.
Salah satunya: Masa ‘iddah budak perempuan, dengan pertimbangan pada permulaan.
وَالثَّانِي: عِدَدُ حَرَائِرَ اعْتِبَارًا بِالِانْتِهَاءِ وَإِنْ أَسْلَمَ الزَّوْجُ فِي عِدَدِهِنَّ فَهُنَّ زَوْجَاتٌ وَلَا تَأْثِيرَ لِاخْتِلَافِ الدِّينِ فِي نِكَاحِهِنَّ، وَلَهُنَّ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ النِّكَاحِ بِالْعِتْقِ، فَإِنِ اخْتَرْنَ الْفَسْخَ اسْتَأْنَفْنَ فِي وَقْتِ الْفَسْخِ عِدَدَ حَرَائِرَ، وَإِنِ اخْتَرْنَ الْمُقَامَ كَانَ لِلزَّوْجِ أَنْ يَخْتَارَ مِنْهُنَّ اثْنَتَيْنِ، وَيَفْسَخَ نِكَاحَ اثْنَتَيْنِ يَسْتَأْنِفَانِ مِنْ وقت الفسخ عدد حرائر.
Dan yang kedua: Masa ‘iddah perempuan merdeka, dengan pertimbangan pada akhir masa ‘iddah. Jika suami masuk Islam dalam masa ‘iddah mereka, maka mereka tetap berstatus istri dan perbedaan agama tidak berpengaruh pada pernikahan mereka, dan mereka tetap memiliki hak memilih pembatalan nikah karena dimerdekakan. Jika mereka memilih pembatalan, maka mereka memulai masa ‘iddah perempuan merdeka dari waktu pembatalan. Jika mereka memilih tetap, maka suami berhak memilih dua di antara mereka, dan membatalkan nikah dua lainnya, yang kemudian kedua istri tersebut memulai masa ‘iddah perempuan merdeka dari waktu pembatalan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن لَمْ يَتَقَدَّمْ إِسْلَامُهُنَّ قَبْلَ إِسْلَامِهِ فَاخْتَرْنَ فِرَاقَهُ أَوِ الْمُقَامَ مَعَهُ ثُمَّ أَسْلَمْنَ خُيِّرْنَ حِينَ يُسْلِمْنَ لِأَنَّهُنَّ اخْتَرْنَ وَلَا خَيَارَ لَهُنَّ “.
Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika keislaman mereka tidak mendahului keislaman suami, lalu mereka memilih berpisah atau tetap bersamanya, kemudian mereka masuk Islam, maka mereka diberi pilihan ketika mereka masuk Islam, karena mereka telah memilih, dan tidak ada lagi hak memilih bagi mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ بِأَرْبَعِ زَوْجَاتٍ إِمَاءٍ وَدَخَلَ بِهِنَّ ثُمَّ أَسْلَمَ قبلهن وأعتقهن فِي شِرْكِهِنَّ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah tentang seorang budak yang menikah pada masa syirik dengan empat istri yang juga budak perempuan, lalu ia telah berhubungan dengan mereka, kemudian ia masuk Islam sebelum mereka dan memerdekakan mereka saat mereka masih dalam keadaan syirik. Maka kasus ini terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَخْتَرْنَ فَسْخَ النِّكَاحِ.
Pertama: Mereka memilih untuk membatalkan akad nikah.
وَالثَّانِي: أَنْ يَخْتَرْنَ الْمُقَامَ عَلَى النِّكَاحِ.
Kedua: Mereka memilih tetap dalam pernikahan.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يُمْسَكْنَ فَلَا يَخْتَرْنَ فَسْخًا وَلَا مُقَامًا.
Ketiga: Mereka diam, tidak memilih pembatalan maupun tetap dalam pernikahan.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يُعَجِّلْنَ فِي الشِّرْكِ فَسْخَ النِّكَاحِ فَقَدْ نَقَلَ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ: ” فَاخْتَرْنَ فِرَاقَهُ، أَوِ الْمُقَامَ مَعَهُ، ثُمَّ أَسْلَمْنَ خُيِّرْنَ حِينَ يُسْلِمْنَ ” فَجَمَعَ بَيْنَ اخْتِيَارِ الْفُرْقَةِ، وَاخْتِيَارِ الْمُقَامِ فِي إِبْطَالِ حُكْمِهِمَا قَبْلَ الْإِسْلَامِ، فَدَلَّ الظَّاهِرُ عَلَى أَنْ لَيْسَ لَهُنَّ أَنْ يَخْتَرْنَ فَسْخَ النِّكَاحِ قَبْلَ إِسْلَامِهِنَّ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فيه على وجهين، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطَّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ: أَنَّ الجواب على ظاهره، وأنهن إذا أعتقن فِي الشِّرْكِ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ اخْتِيَارُ الْفَسْخِ حتى يَجْتَمِعَ إِسْلَامُهُنَّ مَعَ إِسْلَامِ الزَّوْجِ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّهُ إِذَا تَقَدَّمَ إِسْلَامُهُنَّ لَمْ يَقْدِرْنَ عَلَى تَعْجِيلِ اجْتِمَاعِ الْإِسْلَامَيْنِ فَكَانَ لَهُمْ تَعْجِيلُ الْفَسْخِ لِيَسْتَفِدْنَ قُصُورَ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ، وَإِذَا تَقَدَّمَ إِسْلَامُ الزَّوْجِ قَدَرْنَ بِتَعْجِيلِ إِسْلَامِهِنَّ عَلَى اجْتِمَاعِ الْإِسْلَامَيْنِ، فَلَمْ يَسْتَفِدْنَ بِتَعْجِيلِ الْفَسْخِ قَبْلَ الْإِسْلَامِ مَا لَا يَقْدِرْنَ عَلَيْهِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، فَعَلَى هَذَا يكون اختيارهن الفسخ قبل إسلامهن بالطلاق ولهن إذا أسلمن في عددهن يَخْتَرْنَ الْفَسْخَ أَوِ الْمُقَامَ.
Adapun bagian pertama, yaitu mereka segera membatalkan akad nikah saat masih dalam keadaan syirik, maka Al-Muzani meriwayatkan dari Asy-Syafi‘i bahwa beliau berkata: “Jika mereka memilih berpisah darinya, atau tetap bersamanya, kemudian mereka masuk Islam, maka mereka diberi pilihan ketika mereka masuk Islam.” Maka beliau menggabungkan antara pilihan berpisah dan pilihan tetap dalam membatalkan hukum keduanya sebelum masuk Islam. Maka zahirnya menunjukkan bahwa mereka tidak berhak memilih pembatalan akad nikah sebelum mereka masuk Islam. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat, dan ini adalah pendapat Abu Thayyib bin Salamah: bahwa jawabannya sesuai zahirnya, dan bahwa jika mereka dimerdekakan dalam keadaan syirik, maka mereka tidak memiliki hak memilih pembatalan hingga Islam mereka berkumpul dengan Islam suami. Ia membedakan antara keduanya dengan bahwa jika Islam mereka lebih dahulu, mereka tidak mampu mempercepat berkumpulnya dua keislaman, maka mereka boleh mempercepat pembatalan agar mendapatkan manfaat dari berkurangnya salah satu masa iddah. Namun jika Islam suami lebih dahulu, mereka mampu dengan mempercepat Islam mereka untuk menyatukan dua keislaman, sehingga mereka tidak mendapatkan manfaat dari mempercepat pembatalan sebelum Islam yang tidak bisa mereka dapatkan setelah Islam. Berdasarkan ini, pilihan mereka untuk membatalkan sebelum masuk Islam dianggap sebagai talak, dan jika mereka masuk Islam dalam masa iddah mereka, mereka boleh memilih pembatalan atau tetap dalam pernikahan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُنَّ يملكن في الشرك اختيار الفسخ كما ملكته فِي الْإِسْلَامِ، لِأَنَّهُنَّ قَدْ مَلَكْنَ بِالْعِتْقِ اخْتِيَارَ الْفَسْخِ، فَكَانَ تَقْدِيمُهُ وَهُنَّ جَارِيَاتٌ فِي الْفَسْخِ أَوْلَى، وَتَأْخِيرُهُ إِلَى خُرُوجِهِنَّ مِنَ الْفَسْخِ؛ لِأَنَّ الْفَسْخَ لَا يُنَافِي الْفَسْخَ وَلِمَنْ قَالَ بِهَذَا الْوَجْهِ فِيمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ تَأْوِيلَانِ:
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq Al-Marwazi dan mayoritas sahabat kami, bahwa mereka berhak memilih pembatalan dalam keadaan syirik sebagaimana mereka memilikinya dalam Islam, karena dengan dimerdekakan mereka telah memiliki hak memilih pembatalan, maka mendahulukannya saat mereka masih budak dalam pembatalan lebih utama, dan menundanya hingga keluar dari pembatalan juga boleh; karena pembatalan tidak bertentangan dengan pembatalan. Bagi yang berpendapat dengan pendapat ini, dalam riwayat yang dinukil Al-Muzani, terdapat dua penakwilan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ غَلَطٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ فِي رِوَايَتِهِ أَوْ مِنَ الْكَاتِبِ فِي نَقْلِهِ، لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ ذَكَرَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ فِيمَا نَقَلَهُ الرَّبِيعُ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” فَقَالَ: وَلَوِ أعْتِقْنَ قَبْلَ إِسْلَامِهِنَّ فَاخْتَرْنَ الْمُقَامَ مَعَهُ، ثُمَّ أَسْلَمْنَ خُيِّرْنَ حِينَ يُسْلِمْنَ، وَلَمْ يَذْكُرْ إِذَا اخْتَرْنَ فِرَاقَهُ فِيهَا، وَإِنَّمَا غَلِطَ الْمُزَنِيُّ أَوِ الْكَاتِبُ فِي النَّقْلِ فَقَالَ فَاخْتَرْنَ فِرَاقَهُ، أَوِ الْمُقَامَ مَعَهُ، وَهَذَا تَأْوِيلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.
Pertama: Bahwa itu adalah kesalahan dari Al-Muzani dalam meriwayatkan atau dari penulis dalam menukil, karena Asy-Syafi‘i telah menyebutkan masalah ini sebagaimana dinukil Ar-Rabi‘ dalam kitab “Al-Umm”, beliau berkata: “Jika mereka dimerdekakan sebelum masuk Islam lalu memilih tetap bersamanya, kemudian mereka masuk Islam, maka mereka diberi pilihan ketika mereka masuk Islam,” dan beliau tidak menyebutkan jika mereka memilih berpisah dalam masalah itu. Hanya saja Al-Muzani atau penulis keliru dalam menukil sehingga disebutkan: “mereka memilih berpisah darinya, atau tetap bersamanya.” Ini adalah penakwilan Abu Ishaq Al-Marwazi.
وَالثَّانِي: أَنَّ النَّقْلَ صَحِيحٌ، وَأَنَّ الشَّافِعِيَّ ذَكَرَ اخْتِيَارَ الْفُرْقَةِ وَاخْتِيَارَ الْمُقَامِ ثُمَّ عَطَفَ بِالْجَوَابِ عَلَى اخْتِيَارِ الْمُقَامِ دُونَ الْفُرْقَةِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ قَدَّمَ حُكْمَ اخْتِيَارِهِنَّ لِلْفُرْقَةِ وَأَفْرَدَ هَاهُنَا حُكْمَ اخْتِيَارِهِنَّ لِلْمُقَامِ وَمِنْ عَادَةِ الشَّافِعِيِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ وَيَعْطِفَ بِالْجَوَابِ المرسل على أحدهما وَيَجْعَلَ جَوَابَ الْأُخْرَى مَحْمُولًا عَلَى مَا عُرِفَ من مذهبه أو تقدم من جوابه، وهذا تَأْوِيلٌ أَشَارَ إِلَيْهِ أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ فِي كِتَابِ ” الْإِفْصَاحِ ” فَعَلَى هَذَا الْوَجْهِ يَكُونُ اخْتِيَارُهُنَّ الْفَسْخَ مُعْتَبَرًا بِإِسْلَامِهِنَّ، فَإِنْ أَسْلَمْنَ فِي عِدَدِهِنَّ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِفَسْخِهِنَّ وَيَسْتَأْنِفْنَ عِدَدَ حَرَائِرَ مِنْ وَقْتِ فَسْخِهِنَّ، وَإِنْ لَمْ يُسْلِمْنَ حَتَّى انْقَضَتْ عِدَدُهُنَّ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِاخْتِلَافِ الدِّينِ، وَبَطَلَ حُكْمُ الْفَسْخِ بِالْعِتْقِ لِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ قَبْلَهُ، وَفِي عِدَدِهِنَّ قَوْلَانِ:
Kedua: Bahwa riwayat tersebut benar, dan bahwa asy-Syafi‘i menyebutkan pilihan untuk berpisah dan pilihan untuk tetap tinggal, kemudian ia mengaitkan jawaban pada pilihan untuk tetap tinggal, bukan pada pilihan untuk berpisah; karena ia telah mendahulukan hukum pilihan mereka untuk berpisah dan mengkhususkan di sini hukum pilihan mereka untuk tetap tinggal. Dan sudah menjadi kebiasaan asy-Syafi‘i untuk menggabungkan dua permasalahan dan mengaitkan jawaban secara umum pada salah satunya, serta menjadikan jawaban untuk yang lain berdasarkan apa yang telah diketahui dari mazhabnya atau yang telah didahulukan dari jawabannya. Ini adalah penafsiran yang telah disinggung oleh Abu ‘Ali ath-Thabari dalam kitab “Al-Ifshah”. Maka menurut pendapat ini, pilihan mereka untuk membatalkan (pernikahan) dianggap sah dengan keislaman mereka; jika mereka masuk Islam dalam masa iddah mereka, maka terjadilah perpisahan dengan pembatalan dari mereka, dan mereka memulai masa iddah sebagai wanita merdeka sejak waktu pembatalan mereka. Namun jika mereka tidak masuk Islam hingga masa iddah mereka habis, maka terjadilah perpisahan karena perbedaan agama, dan gugurlah hukum pembatalan karena kemerdekaan, karena perpisahan telah terjadi sebelumnya. Dalam hal masa iddah mereka terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: عِدَدُ إِمَاءٍ اعْتِبَارًا بِالِابْتِدَاءِ.
Salah satunya: Masa iddah sebagai budak, berdasarkan permulaan (peristiwa).
وَالثَّانِي: عِدَدُ حَرَائِرَ اعْتِبَارًا بِالِانْتِهَاءِ.
Dan yang kedua: Masa iddah sebagai wanita merdeka, berdasarkan pada akhirnya (peristiwa).
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي
Fasal: Adapun bagian kedua
: وَهُوَ أَنْ يَخْتَرْنَ الْمُقَامَ مَعَهُ قَبْلَ إِسْلَامِهِنَّ، فَفِي هَذَا الِاخْتِيَارِ وَجْهَانِ ذَكَرْنَاهُمَا:
Yaitu jika mereka memilih untuk tetap tinggal bersamanya sebelum mereka masuk Islam, maka dalam pilihan ini terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَغْوٌ لَا حُكْمَ لَهُ، لِأَنَّهُنَّ جَارِيَاتٌ فِي فَسْخٍ يُنَافِي اخْتِيَارَ الْمُقَامِ فَبَطَلَ حُكْمُهُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْفَسْخِ، وَهَذَا هُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ هاهنا، فعلى هذا إن أسلمن بَعْدَ عِدَدِهِنَّ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِاخْتِلَافِ الدِّينِ، وَإِنْ أَسْلَمْنَ فِي عِدَدِهِنَّ كَانَ لَهُنَّ الْخِيَارُ فِي الْمُقَامِ أَوِ الْفَسْخِ.
Salah satunya: Bahwa itu adalah sia-sia dan tidak memiliki hukum, karena mereka sedang berada dalam proses pembatalan yang bertentangan dengan pilihan untuk tetap tinggal, sehingga hukumnya batal dengan menguatkan hukum pembatalan. Inilah yang dinyatakan secara tegas di sini. Maka menurut pendapat ini, jika mereka masuk Islam setelah masa iddah mereka, maka terjadilah perpisahan karena perbedaan agama. Namun jika mereka masuk Islam dalam masa iddah mereka, maka mereka memiliki pilihan untuk tetap tinggal atau membatalkan (pernikahan).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ اخْتِيَارَ الْمُقَامِ قَدْ أَبْطَلَ حَقَّهُنَّ فِي الْفَسْخِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ وَيَكُونُ مَوْقُوفَ الْحُكْمِ عَلَى إِمْضَائِهِ فِي زَمَانِهِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ يُسْلِمْنَ حَتَّى انقضت عددهن بان بِاخْتِلَافِ الدِّينِ، وَإِنْ أَسْلَمْنَ فِي عِدَدِهِنَّ سَقَطَ حَقُّهُنَّ مِنِ اخْتِيَارِ الْفَسْخِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنِ اخْتِيَارِ الْمُقَامِ.
Pendapat kedua: Bahwa pilihan untuk tetap tinggal telah membatalkan hak mereka untuk membatalkan (pernikahan) setelah masuk Islam, dan hukum ini bergantung pada pelaksanaannya pada waktunya. Maka menurut pendapat ini, jika mereka tidak masuk Islam hingga masa iddah mereka habis, maka terjadilah perpisahan karena perbedaan agama. Namun jika mereka masuk Islam dalam masa iddah mereka, maka gugurlah hak mereka untuk memilih pembatalan karena sebelumnya telah memilih untuk tetap tinggal.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ
Fasal: Adapun bagian ketiga
: وَهُوَ أَنْ يُمْسَكْنَ فِي الشِّرْكِ، فَلَا يَخْتَرْنَ بَعْدَ الْعِتْقِ مُقَامًا وَلَا فَسْخًا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ لَهُنَّ إِذَا أَسْلَمْنَ أَنْ يَخْتَرْنَ الْفَسْخَ، وَلَا يَكُونُ إِمْسَاكُهُنَّ عَنْهُ إِسْقَاطًا لِحَقِّهِنَّ مِنْهُ؛ لِأَنَّ اخْتِيَارَهُنَّ قَبْلَ الْإِسْلَامِ مَوْقُوفٌ وَبَعْدَ الْإِسْلَامِ نَافِذٌ، فَجَازَ تَأْخِيرُهُ عَنْ زَمَانِ الْوَقْفِ إِلَى زَمَانِ النفوذ ووهم بَعْضُ أَصْحَابِهِ فَجَعَلَ إِمْسَاكَهُنَّ عَنْهُ إِسْقَاطًا لِحَقِّهِنَّ منه قال؛ لأن ما تقدم من الشرك هدر والإسلام يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّهُ لَوْ أوجب أن يكون الخيار هدر لأوجب أن يكون النكاح والطلاق هدر، وَلَمَا لَزِمَ فِي الْإِسْلَامِ حُكْمُ عَقْدٍ تَقَدَّمَ فِي الشِّرْكِ وَفِي فَسَادِ هَذَا دَلِيلٌ عَلَى فَسَادِ مَا أَفْضَى إِلَيْهِ، وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لهن الخيار بعد الإسلام فالجواب فيه إِنِ اخْتَرْنَ الْفَسْخَ أَوِ الْمُقَامَ عَلَى مَا مضى.
Yaitu jika mereka tetap dalam keadaan syirik, maka mereka tidak memilih untuk tetap tinggal maupun membatalkan setelah dimerdekakan. Mazhab asy-Syafi‘i menyatakan bahwa jika mereka masuk Islam, mereka berhak memilih pembatalan, dan tidak dianggap penahanan mereka dari pilihan itu sebagai pengguguran hak mereka, karena pilihan mereka sebelum masuk Islam masih tertunda, dan setelah masuk Islam menjadi sah, sehingga boleh menunda pilihan tersebut dari masa penundaan ke masa pelaksanaan. Sebagian pengikutnya keliru dengan menganggap penahanan mereka dari pilihan itu sebagai pengguguran hak mereka, dengan alasan bahwa apa yang terjadi pada masa syirik dianggap batal dan Islam menghapus apa yang sebelumnya. Ini adalah kesalahan, karena jika harus menganggap pilihan itu batal, maka harus pula menganggap akad nikah dan talak juga batal, dan tidak akan berlaku hukum akad yang terjadi pada masa syirik dalam Islam. Kerusakan pendapat ini menunjukkan rusaknya kesimpulan yang dihasilkan darinya. Jika telah tetap bahwa mereka memiliki hak memilih setelah masuk Islam, maka jawabannya adalah jika mereka memilih pembatalan atau tetap tinggal sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولو اجْتَمَعَ إِسْلَامُهُنَّ وَإِسْلَامُهُ وَهُنَّ إماءٌ ثُمَّ أُعْتِقْنَ مِنْ سَاعَتِهِنَّ ثُمَّ اخْتَرْنَ فِرَاقَهُ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُنَّ إِذَا أَتَى عَلَيْهِنَّ أَقَلُّ أَوْقَاتِ الدُّنْيَا وَإِسْلَامُهُنَّ وَإِسْلَامُهُ مجتمعٌ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika keislaman mereka dan keislaman suami mereka terjadi bersamaan sementara mereka masih berstatus budak, kemudian mereka dimerdekakan pada saat itu juga, lalu mereka memilih berpisah darinya, maka hal itu tidak sah bagi mereka jika telah berlalu waktu yang paling singkat di dunia dan keislaman mereka serta keislaman suaminya terjadi bersamaan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ بِأَرْبَعِ زَوْجَاتٍ إِمَاءٍ وَأَسْلَمَ وَأَسْلَمْنَ مَعَهُ ثُمَّ أُعْتِقَ الْإِمَاءَ فلهن الخيار بالعتق بين المقام أو الفسخ، وَفِي مُدَّةِ خِيَارِهِنَّ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah seorang budak laki-laki menikah dalam keadaan syirik dengan empat istri budak perempuan, lalu ia masuk Islam dan para istrinya pun masuk Islam bersamanya, kemudian para budak perempuan itu dimerdekakan. Maka mereka memiliki hak memilih karena kemerdekaan antara tetap tinggal atau berpisah. Dalam masa pilihan mereka terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا: وَهُوَ أصح أنه على الفور معتبر بالإمكان فمتى أمكنهن تعجيل الفسخ، فأخرته بعد المكنة زماناً، وإن قبل بطل خيارهن، لأنه خيار استحقته لِنَقْصِ الزَّوْجِ بِالرِّقِّ عَمَّا حَدَثَ مِنْ كَمَالِهِنَّ بالحرية، فجرى مجرى خيار الرد بالعيوب واستحقاقه على الفور.
Salah satunya, dan ini yang paling sahih, adalah bahwa hak memilih (khiyar) itu harus segera dilakukan, dengan mempertimbangkan adanya kemampuan. Maka kapan saja mereka (para istri) mampu untuk segera melakukan pembatalan (fasakh), lalu mereka menundanya setelah adanya kemampuan itu selama suatu waktu, meskipun hanya sebentar, maka gugurlah hak memilih mereka. Sebab, hak memilih ini mereka peroleh karena kekurangan suami yang berstatus budak dibandingkan dengan kesempurnaan mereka sebagai orang merdeka, sehingga hal ini serupa dengan hak memilih untuk menolak karena cacat, yang juga harus dilakukan segera.
والقول الثاني: أنه ممتد الزمان إِلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ كَالْخِيَارِ فِي الْمُصَرَّاةِ.
Pendapat kedua: bahwa hak memilih itu berlangsung selama tiga hari, seperti khiyar dalam kasus musharrah (hewan perah yang susunya disengaja tidak diperah agar tampak banyak).
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ بَاقٍ لَهُنَّ، وَإِنْ تَطَاوَلَ بِهِنَّ الزمان ما لم تمكن من أنفسهن أو يصرحن بالرضى اعتباراً بأن ما لا يخالف حالهن في الفسخ فهم بَاقِيَاتٌ عَلَى حُكْمِهِ.
Pendapat ketiga: bahwa hak memilih itu tetap ada bagi mereka, meskipun waktu telah berlalu lama, selama mereka belum mampu menentukan sikap atas diri mereka sendiri atau belum secara tegas menyatakan kerelaan, dengan pertimbangan bahwa selama tidak ada hal yang bertentangan dengan keadaan mereka dalam melakukan pembatalan, maka mereka tetap berada di atas hukum tersebut.
فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِيمَا ذَكَرَهُ مِنِ اسْتِحْقَاقِ الْخِيَارِ عَلَى الْفَوْرِ بِثَلَاثَةِ فُصُولٍ:
Adapun al-Muzani, ia mengkritik pendapat asy-Syafi‘i mengenai hak memilih yang harus segera dilakukan, dengan tiga poin sanggahan:
أَحَدُهَا: أَنْ حُكِيَ عنه بخلاف فقال: قَطَعَ فِي كِتَابَيْنِ بِأَنَّ لَهَا الْخِيَارَ، وَهَذَا الِاعْتِرَاضُ لَيْسَ بِشَيْءٍ، لِأَنَّ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ مُخْتَلِفٌ، وَإِنَّمَا ذَكَرَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَصَحَّ أَقَاوِيلِهِ عِنْدَهُ.
Salah satunya: bahwa telah dinukil darinya pendapat berbeda, yaitu ia memutuskan dalam dua kitab bahwa istri memiliki hak memilih. Sanggahan ini tidak berarti apa-apa, karena pendapat asy-Syafi‘i tentang masa berlaku hak memilih memang berbeda-beda, dan yang disebutkan dalam masalah ini adalah pendapat yang paling sahih menurutnya.
وَالْفَصْلُ الثَّانِي: احْتَجَّ فِيهِ عَلَى أَنَّ الْخِيَارَ عَلَى التَّرَاخِي دُونَ الْفَوْرِ، بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ: وَإِنْ أَصَابَهَا فَادَّعَتْ أنها كانت على حقها وهذا على ضربين:
Poin kedua: ia berdalil bahwa hak memilih itu boleh ditunda, tidak harus segera, dengan perkataan asy-Syafi‘i: “Jika suami telah menggaulinya, lalu ia (istri) mengaku bahwa ia masih berhak atas khiyar, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أحدهما: أن يدعى الجهالة بالعتق.
Pertama: ia mengaku tidak tahu tentang status kemerdekaannya.
والثاني: أن يدعي الْجَهَالَةَ بِالْحُكْمِ.
Kedua: ia mengaku tidak tahu tentang hukumnya.
فَأَمَّا إِذَا ادَّعَتِ الْجَهَالَةَ بِالْعِتْقِ أو قَالَتْ: مَكَّنْتُهُ مِنْ نَفْسِي وَلَمْ أَعْلَمْ، بِعِتْقِي فَإِنْ عُلِمَ صِدْقُهَا قُبِلَ قَوْلُهَا، وَإِنْ عُلِمَ كَذِبُهَا رُدَّ قَوْلُهَا، وَإِنْ جُوِّزَ الْأَمْرَانِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا إِنْ كَذَبَتْ وَهِيَ عَلَى حَقِّهَا مِنَ الْخِيَارِ، وَأَمَّا إِذَا ادَّعَتِ الْجَهَالَةَ بِالْحُكْمِ بِأَنْ قَالَتْ مَكَّنْتُهُ مِنْ نَفْسِي مَعَ الْعِلْمِ بِعِتْقِي، وَلَكِنْ لَمْ أَعْلَمْ أَنَّ لِيَ الخيار إذا أعتقت وَأَمْكَنَ مَا قَالَتْ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Adapun jika ia mengaku tidak tahu tentang kemerdekaannya, atau ia berkata: ‘Aku membiarkan dia menggauliku tanpa mengetahui bahwa aku telah merdeka,’ maka jika terbukti ia jujur, diterima pengakuannya. Jika terbukti ia berdusta, ditolak pengakuannya. Jika kedua kemungkinan itu sama-sama mungkin, maka pendapatnya diterima dengan sumpahnya jika ia berdusta, dan ia tetap berhak atas khiyar. Adapun jika ia mengaku tidak tahu tentang hukumnya, dengan berkata: ‘Aku membiarkan dia menggauliku dengan mengetahui bahwa aku telah merdeka, tetapi aku tidak tahu bahwa aku memiliki hak khiyar jika aku dimerdekakan,’ dan apa yang ia katakan itu mungkin terjadi, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا خِيَارَ لَهَا، وَإِنْ لَمْ تَعْلَمْ؛ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يُمْكِنُهَا أَنْ تَسْتَعْلِمَ كَمَا لَا خيار في رد العيب إِذَا أَمْسَكَتْ عَنْهُ جَهْلًا بِاسْتِحْقَاقِ رَدِّهِ.
Salah satunya: ia tidak memiliki hak khiyar, meskipun ia tidak tahu; karena sebenarnya ia bisa saja mencari tahu, sebagaimana tidak ada hak khiyar dalam menolak cacat jika ia menahan diri dari menolaknya karena tidak tahu bahwa ia berhak menolaknya.
وَالْقَوْلُ الثاني: لها الخيار: ولأنه قد يخفى إلا على خواص النَّاسِ وَلَيْسَ كَالرَّدِّ بِالْعَيْبِ الَّذِي يَعْرِفُهُ الْخَاصَّةُ وَالْعَامَّةُ، وَفِي هَذَا التَّفْصِيلِ جَوَابٌ عَلَى احْتِجَاجِ المزني به.
Pendapat kedua: ia tetap memiliki hak khiyar; karena bisa jadi hal ini hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja, tidak seperti penolakan karena cacat yang diketahui oleh kalangan umum dan khusus. Dalam rincian ini terdapat jawaban atas dalil yang digunakan oleh al-Muzani.
وَالْفَصْلُ الثَّالِثُ: أَنْ عَارَضَ الشَّافِعِيَّ فِي عِبَارَتِهِ وَهِيَ قَوْلُهُ: ” لَمْ يَكُنْ لَهَا الْخِيَارُ إِذَا أثنى عَلَيْهِنَّ أَقَلَّ أَوْقَاتِ الدُّنْيَا ” فَأَفْسَدَ هَذِهِ الْعَبَّارَةَ وأحالها من وجهين:
Poin ketiga: ia membantah asy-Syafi‘i dalam ucapannya, yaitu: “Ia tidak memiliki hak khiyar jika telah berlalu waktu yang paling singkat di dunia atas mereka,” lalu ia mengkritik ungkapan ini dan menganggapnya tidak tepat dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: قَوْلُهُ إِنَّ عَلَى السُّلْطَانِ أَنْ لَا يؤجلها أكثر من مقامها، فكم يَمُرُّ بِهَا مِنْ أَوْقَاتِ الدُّنْيَا مِنْ حِينِ أُعْتِقَتْ إِلَى أَنْ جَاءَتْ إِلَى السُّلْطَانِ، وَقَدْ يَبْعُدُ ذَلِكَ وَيَقْرُبُ.
Salah satunya: ucapannya bahwa penguasa tidak boleh menunda lebih lama dari masa tinggalnya, maka berapa banyak waktu dunia yang telah berlalu sejak ia dimerdekakan hingga ia datang kepada penguasa, dan hal itu bisa saja lama atau sebentar.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَقْدِرُ عَلَى اخْتِيَارِ الْفَسْخِ إِلَّا بِكَلَامٍ يَجْمَعُ حُرُوفًا كُلُّ حَرْفٍ مِنْهَا فِي وَقْتٍ غَيْرِ وَقْتِ الآخر، وفي هذا إبطال الخيار، وهذا اعتراض مِنَ الْوَجْهَيْنِ فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Kedua: bahwa ia tidak bisa memilih pembatalan kecuali dengan ucapan yang terdiri dari beberapa huruf, yang setiap hurufnya diucapkan pada waktu yang berbeda-beda, dan ini berarti membatalkan hak khiyar. Sanggahan dari dua sisi ini tidaklah benar dari dua sisi pula:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ للكلام عرفاً إذا تقدر اسْتِعْمَالُ حَقِيقَتِهِ، كَانَ مَحْمُولًا عَلَيْهِ وَصَارَ مَخْرَجُهُ مَخْرَجَ الْمُبَالَغَةِ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – في أبي جهم: ” لا يضع عصاه على عَاتِقِهِ ” وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ مَا أَحَدٌ يُمْكِنُهُ إِلَّا أَنْ يَضَعَ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ فِي أَوْقَاتِ نومه واستراحته لكنه قال ذلك على طَرِيقِ الْمُبَالَغَةِ؛ لِأَنَّهُ الْأَغْلَبُ مِنْ أَحْوَالِهِ.
Salah satunya: bahwa dalam kebiasaan, jika suatu ucapan memungkinkan untuk digunakan secara hakiki, maka ucapan itu dibawa pada makna hakikinya dan dianggap sebagai bentuk hiperbola (melebih-lebihkan), sebagaimana sabda Nabi ﷺ tentang Abu Jahm: “Ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya,” padahal diketahui bahwa tidak ada seorang pun yang mungkin kecuali pasti meletakkan tongkatnya dari pundaknya saat tidur dan istirahat, namun beliau mengatakannya dalam bentuk hiperbola, karena itu adalah kebiasaan yang paling sering terjadi padanya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ أَقَلَّ أَوْقَاتِ الدُّنْيَا بِقَدْرِ زمان المكنة، وَشُرُوطِ الطَّلَبِ، وَيَكُونُ مُرَادُهُ بِأَقَلِّهَا هُوَ الْوَقْتُ الَّذِي يُمْكِنُهَا فِيهِ الِاخْتِيَارُ فَيُمْسِكُ فِيهِ عَنِ الِاخْتِيَارِ.
Sisi kedua: bahwa yang dimaksud dengan “waktu yang paling singkat di dunia” adalah sepanjang waktu adanya kemampuan dan terpenuhinya syarat untuk mengajukan permintaan, dan yang dimaksud dengan “paling singkat” adalah waktu di mana ia mampu memilih, namun ia tidak menggunakan hak memilihnya pada waktu itu.
فَأَمَّا مُرَادُ الْمُزَنِيِّ بِكَلَامِهِ هَذَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun maksud al-Muzani dengan ucapannya ini, para ulama kami berbeda pendapat tentangnya menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ إِثْبَاتَ الْخِيَارِ عَلَى التَّرَاخِي، فَعَلَى هذا يكون منه اختيار الآخر من قول الشافعي.
Salah satunya: bahwa yang dimaksudkannya adalah menetapkan adanya khiyār secara bertahap (tidak langsung), maka dalam hal ini, pendapat tersebut merupakan pilihan lain dari pendapat al-Syafi‘i.
والوجه الثاني: أنه أراد به اخْتِيَارَ الْفَسْخِ لَا يَكُونُ إِلَّا عَلَى حُكْمٍ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ ذَلِكَ مِنْهُ مَذْهَبًا اخْتَارَهُ لِنَفْسِهِ وَلَيْسَ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: bahwa yang dimaksudkannya adalah pilihan untuk membatalkan (fasakh) tidak terjadi kecuali berdasarkan suatu ketetapan hukum. Maka dalam hal ini, itu adalah pendapat yang dipilihnya sendiri dan bukan merupakan mazhab al-Syafi‘i, dan ini rusak dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَوْقُوفَ عَلَى حُكْمِ الْحَاكِمِ يكون فيما ثبت باجتهاد، وهذا ثابت النص.
Salah satunya: bahwa perkara yang digantungkan pada keputusan hakim adalah perkara yang ditetapkan melalui ijtihad, sedangkan perkara ini telah tetap berdasarkan nash.
والثاني: أنه خيار نقص فجرى خيار الرد بالعيب.
Yang kedua: bahwa ini adalah khiyār karena kekurangan, sehingga berlaku seperti khiyār untuk menolak karena cacat (‘aib).
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيِّ: ” وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ عِتْقُهُ وَهُنَّ مَعًا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ لَيْسَ هَذَا عِنْدِي بشيء قد قطع في كتابين بأن لها الخيار لو أصابها فادعت الجهالة وقال في موضع آخر: إن على السلطان أن يؤجلها أكثر مقامها فكم يَمُرُّ بِهَا مِنْ أَوْقَاتِ الدُّنْيَا مِنْ حِينِ أُعْتِقَتْ إِلَى أَنْ جَاءَتْ إِلَى السُّلْطَانِ وَقَدْ يبعد ذلك ويقرب إلى أن يفهم عنها ما تقول ثم إلى انقضاء أجل مقامها ذلك على قدر ما يرى فكيف يبطل خيار إماءٍ يعتقن إِذَا أَتَى عَلَيْهِنَّ أَقَلُّ أَوْقَاتِ الدُّنْيَا وَإِسْلَامُهُنَّ وإسلام الزوج مجتمعٌ (قال المزني) ولو كان كذلك لما قدرن إذا أعتقن تحت عبدٍ أن يخترن بحالًٍ لأنهن لا يقدرن يخترن إلا بحروفٍ وكل حرفٍ مِنْهَا فِي وقتٍ غَيْرِ وَقْتِ الْآخَرِ وفي ذلك إبطال الخيار “.
Al-Syafi‘i berkata: “Demikian pula jika pembebasan (‘itq) dilakukan bersamaan dengan mereka (para istri) (al-Muzani berkata, rahimahullah: Menurutku ini tidak ada nilainya, karena beliau telah memutuskan dalam dua kitab bahwa mereka berhak memilih jika suami telah menggauli mereka lalu mereka mengaku tidak tahu, dan beliau berkata di tempat lain: Wajib bagi penguasa untuk menangguhkan mereka selama masa tinggal terpanjang mereka, maka berapa lama waktu dunia yang berlalu sejak mereka dimerdekakan hingga mereka datang kepada penguasa, dan itu bisa jadi lama atau singkat, hingga dapat dipahami maksud mereka, lalu hingga habis masa tinggal mereka itu sesuai yang dipandang perlu. Maka bagaimana bisa gugur hak khiyār para budak perempuan yang dimerdekakan jika telah berlalu waktu dunia yang paling singkat atas mereka dan mereka masuk Islam, dan suami juga masuk Islam bersamaan (al-Muzani berkata: Jika demikian, maka mereka tidak akan mampu memilih jika dimerdekakan di bawah seorang budak laki-laki, karena mereka tidak bisa memilih kecuali dengan beberapa kata, dan setiap kata itu diucapkan pada waktu yang berbeda-beda, dan dalam hal itu terdapat pembatalan hak khiyār).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ بِأَرْبَعِ زَوْجَاتٍ إِمَاءٍ وَأَسْلَمَ وَأَسْلَمْنَ مَعَهُ ثُمَّ أُعْتِقْنَ وَالزَّوْجُ مَعًا فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ، وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ مِنْ أَحَدِ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ.
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang budak laki-laki menikah di masa jahiliyah dengan empat istri budak perempuan, lalu ia masuk Islam dan para istrinya juga masuk Islam bersamanya, kemudian mereka semua dimerdekakan bersama suaminya pada waktu yang sama. Hal itu bisa terjadi dengan salah satu dari tiga cara:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ الْجَمِيعُ لِسَيِّدٍ وَاحِدٍ فَيُعْتِقُهُمْ جَمِيعًا بِلَفْظَةٍ وَاحِدَةٍ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونُوا لِجَمَاعَةٍ فَيُوَكِّلُوا جَمِيعًا وَاحِدًا فَيُعْتِقُهُمُ الْوَكِيلُ بِلَفْظَةٍ وَاحِدَةٍ , وَإِمَّا أَنْ يُعَلِّقَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ سَادَاتِهِمْ عِتْقَ مَنْ يَمْلِكُهُ بِصِفَةٍ وَاحِدَةٍ كَأَنَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ، قَالَ: إِذَا أَهَلَّ الْمُحَرَّمُ فَأَنْتَ حُرٌّ فَيَكُونُ إِهْلَالُ الْمُحَرَّمِ مُوجِبًا لِعِتْقِ جَمِيعِهِمْ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ، وَإِذَا كَانَ كَذَا وَأُعْتِقَ الزَّوْجُ وَهُنَّ مَعًا، فَلَا خِيَارَ لَهُنَّ لِاسْتِوَائِهِنَّ مَعَ الزَّوْجِ فِي حَالِ الرِّقِّ بِالنَّقْصِ وَفِي حَالِ الْكَمَالِ بِالْعِتْقِ، فَلَمْ يُفَضَّلْنَ عَلَيْهِ فِي حَالٍ يَثْبُتُ لَهُنَّ فِيهَا خِيَارٌ، وَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ: ” وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ عِتْقُهُ وَهُنَّ مَعًا ” يَعْنِي في سقوط الخيار على ما علمك في المسألة الأولى فيمن أَمْسَكَتْ عَنِ الْخِيَارِ حَتَّى مَضَى أَقَلُّ أَوْقَاتِ الدنيا إلا أن في ذلك سَقَطَ بَعْدَ أَنْ وَجَبَ وَفِي هَذَا لَمْ يجب.
Pertama, semuanya milik satu tuan, lalu tuan tersebut memerdekakan mereka semua dengan satu ucapan; kedua, mereka milik beberapa orang, lalu para tuan itu mewakilkan kepada satu orang untuk memerdekakan mereka semua dengan satu ucapan; ketiga, setiap tuan dari mereka menggantungkan pembebasan budak yang dimilikinya pada satu syarat yang sama, seperti masing-masing berkata: “Jika bulan Muharram tiba, maka kamu merdeka,” sehingga masuknya bulan Muharram menjadi sebab pembebasan mereka semua dalam satu waktu. Jika demikian, dan suami dimerdekakan bersamaan dengan mereka, maka tidak ada hak khiyār bagi mereka karena mereka setara dengan suami dalam keadaan sebagai budak (dalam kekurangan) dan dalam keadaan sempurna (setelah dimerdekakan), sehingga mereka tidak diunggulkan atas suami dalam keadaan yang menetapkan hak khiyār bagi mereka. Dan ucapan al-Syafi‘i: “Demikian pula jika pembebasan dilakukan bersamaan dengan mereka,” maksudnya adalah dalam gugurnya hak khiyār sebagaimana telah dijelaskan dalam masalah pertama, yaitu pada perempuan yang menahan diri dari memilih hingga berlalu waktu dunia yang paling singkat, kecuali bahwa dalam hal itu hak khiyār gugur setelah wajib, sedangkan dalam kasus ini belum wajib.
فصل
Fasal
فأما إذا أعتق الْإِمَاءُ قَبْلَ الزَّوْجِ، وَلَمْ يَخْتَرْنَ الْفَسْخَ حَتَّى أُعْتِقَ الزَّوْجُ، إِمَّا لِأَنَّهُنَّ لَمْ يَعْلَمْنَ بِعِتْقِهِنَّ حَتَّى أُعْتِقَ الزَّوْجُ ثُمَّ عَلِمْنَ، وَإِمَّا لِأَنَّهُنَّ عَلِمْنَ.
Adapun jika para budak perempuan dimerdekakan sebelum suaminya, dan mereka tidak memilih fasakh hingga suaminya juga dimerdekakan, baik karena mereka tidak mengetahui bahwa mereka telah dimerdekakan hingga suaminya juga dimerdekakan lalu mereka mengetahuinya, atau karena mereka memang sudah mengetahui.
وَقِيلَ: إِنَّ خِيَارَهُنَّ عَلَى التَّرَاخِي دُونَ الفور فلم يعجلن الخيار حتى أعتق الزوج وفي خيارهن قولان:
Dikatakan: bahwa hak khiyār mereka berlaku secara bertahap, bukan langsung, sehingga mereka tidak segera menggunakan hak khiyār hingga suaminya juga dimerdekakan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أحدهما: قد سقط السقوط مُوجِبه مِنَ النَّقْصِ وَحُصُولِ التَّكَافُؤِ بِالْعِتْقِ.
Pertama: hak khiyār telah gugur, sebab penyebab gugurnya adalah hilangnya kekurangan dan tercapainya kesetaraan melalui pembebasan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ بَاقٍ بِحَالِهِ وَلَهُنَّ الْخِيَارُ بَعْدَ عِتْقِهِ، لِأَنَّ مَا اسْتَقَرَّ وُجُوبُهُ اسْتُحِقَّ اسْتِيفَاؤُهُ.
Pendapat kedua: hak itu tetap ada sebagaimana adanya, dan mereka tetap memiliki hak khiyār setelah suaminya dimerdekakan, karena sesuatu yang telah tetap kewajibannya, maka berhak untuk dipenuhi.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولو اجْتَمَعَ إِسْلَامُهُ وَإِسْلَامُ حُرَّتَيْنِ فِي الْعِدَّةِ ثُمَّ عَتَقَ ثُمَّ أَسْلَمَتِ اثْنَتَانِ فِي الْعِدَّةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُمْسِكَ إِلَّا اثْنَتَيْنِ مِنْ أَيِّ الْأَرْبَعِ شَاءَ لَا يَثْبُتُ لَهُ بِعَقْدِ الْعُبُودِيَّةِ إِلَّا اثْنَتَانِ وَيَنْكِحُ تَمَامَ أَرْبَعٍ إِنْ شَاءَ “.
Al-Syafi‘i berkata: “Jika berkumpul Islamnya seorang laki-laki dan dua perempuan merdeka dalam masa iddah, lalu ia dimerdekakan, kemudian dua perempuan lagi masuk Islam dalam masa iddah, maka ia hanya boleh mempertahankan dua dari empat istrinya yang ia kehendaki; tidak tetap baginya dengan akad perbudakan kecuali dua, dan ia boleh menikahi hingga genap empat jika ia menghendaki.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ تَزَوَّجَ فِي الشِّرْكِ بِأَرْبَعِ زَوْجَاتٍ حَرَائِرَ ثُمَّ أَسْلَمَ، وَأُعْتِقْنَ فَلَهُنَّ إِذَا أَسْلَمْنَ بَعْدَهُ فِي عِدَدِهِنَّ ثلاثة أحوال:
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang budak laki-laki menikah di masa jahiliyah dengan empat istri perempuan merdeka, lalu ia masuk Islam, dan mereka dimerdekakan. Maka jika mereka masuk Islam setelahnya dalam masa iddah, terdapat tiga keadaan:
إحداهما: أَنْ يُسْلِمْنَ قَبْلَ عِتْقِهِ.
Pertama: mereka masuk Islam sebelum suaminya dimerdekakan.
وَالثَّانِي: أَنْ يُسْلِمْنَ بَعْدَ عِتْقِهِ.
Kedua: mereka masuk Islam setelah suaminya dimerdekakan.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يُسْلِمَ بَعْضُهُنَّ قَبْلَ عِتْقِهِ، وَبَعْضُهُنَّ بَعْدَ عِتْقِهِ.
Ketiga: Sebagian dari mereka masuk Islam sebelum ia dimerdekakan, dan sebagian lagi setelah ia dimerdekakan.
فَإِنْ أَسْلَمْنَ قَبْلَ عتقه وهو عبد ثم أعتق له أن يسمك مِنْهُنَّ إِلَّا اثْنَتَيْنِ؛ لِأَنَّهُنَّ أَسْلَمْنَ وَهُوَ عَبْدٌ لَا يَسْتَبِيحُ مِنْهُنَّ إِلَّا اثْنَتَيْنِ فَاسْتَقَرَّ الْحُكْمُ باجتماع الإسلامين فلم يغيره ما حدث بعده كمن اجْتَمَعَ إِسْلَامُهُ وَإِسْلَامُ أَمَةٍ، وَهُوَ مُوسِرٌ ثُمَّ أَعْسَرَ أَوْ كَانَ مُعْسِرًا ثُمَّ أَيْسَرَ، فَإِنَّ حكمه معتبراً باجتماع الإسلامين في يساره وإعساره، ولا تغيره ما حدث بعده من يسار بعد إعسار أَوْ إِعْسَارٍ بَعْدَ يَسَارٍ، كَذَلِكَ هَذَا وَإِنْ أُعْتِقَ الزَّوْجُ ثُمَّ أَسْلَمْنَ بَعْدَ عِتْقِهِ فَلَهُ إِمْسَاكُ الْأَرْبَعِ كُلِّهِنَّ؛ لِأَنَّهُ عِنْدَ اجْتِمَاعِ الْإِسْلَامَيْنِ حُرٌّ تَحِلُّ لَهُ أَرْبَعٌ فَجَازَ لَهُ إِمْسَاكُ الْأَرْبَعِ، وَإِنْ أَسْلَمَ بَعْضُهُنَّ قَبْلَ عِتْقِهِ وَأَسْلَمَ بِعَضُّهُنَّ بَعْدَ عِتْقِهِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika mereka masuk Islam sebelum ia dimerdekakan sementara ia masih berstatus budak, kemudian ia dimerdekakan, maka ia hanya boleh mempertahankan dua dari mereka; karena mereka masuk Islam saat ia masih budak, dan sebagai budak ia hanya boleh menikahi dua orang, sehingga hukum tersebut tetap berlaku saat kedua Islam itu berkumpul, dan tidak berubah dengan kejadian setelahnya, seperti halnya seseorang yang Islamnya dan Islam budak perempuannya berkumpul saat ia mampu, kemudian ia menjadi tidak mampu, atau sebaliknya, maka hukumnya tetap mengikuti saat kedua Islam itu berkumpul dalam keadaan mampu atau tidak mampu, dan tidak berubah dengan kejadian setelahnya, baik menjadi mampu setelah tidak mampu atau sebaliknya. Demikian pula dalam kasus ini. Jika suami dimerdekakan kemudian para istrinya masuk Islam setelah ia dimerdekakan, maka ia boleh mempertahankan keempat istrinya; karena saat kedua Islam itu berkumpul ia sudah merdeka, sehingga halal baginya menikahi empat orang, maka ia boleh mempertahankan keempatnya. Jika sebagian dari mereka masuk Islam sebelum ia dimerdekakan dan sebagian lagi setelah ia dimerdekakan, maka kasus ini terbagi menjadi dua:
أحدهما: أن لا يُسْتَكْمَلَ إِسْلَامُ مَنْ يَحِلُّ لَهُ فِي الرِّقِّ.
Pertama: Tidak sempurna jumlah istri yang halal baginya saat masih berstatus budak.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُسْتَكْمَلَ فَإِنِ اسْتُكْمِلَ، وَذَلِكَ بِأَنْ يُسْلِمَ قَبْلَ عِتْقِهِ اثْنَتَانِ وَبَعْدَ عِتْقِهِ اثْنَتَانِ، فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُمْسِكَ مِنْهُنَّ إِلَّا اثْنَتَيْنِ، كَمَا لَوْ أَسْلَمَ جَمِيعُهُنَّ قَبْلَ عِتْقِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا اجْتَمَعَ إِسْلَامُهُ وَإِسْلَامُ اثْنَتَيْنِ فِي الْعُبُودِيَّةِ فَقَدِ اسْتَوْفَى حَقَّهُ مِنْ عِدَدِ الْمَنْكُوحَاتِ في العبودية، وصار حراً مِنَ الزِّيَادَةِ مَمْنُوعًا فَاسْتَقَرَّ حُكْمُ الْمَنْعِ، وَإِنْ لَمْ يَسْتَكْمِلِ الْعَدَدَ قَبْلَ عِتْقِهِ بَلْ أَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ قَبْلَ الْعِتْقِ، وَثَلَاثٌ بَعْدَهُ فَالَّذِي يَقْتَضِيهِ حُكْمُ التَّعْلِيلِ أَنْ يَجُوزَ لَهُ إِمْسَاكُ الْأَرْبَعِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَوْفِ حَقَّهُ فِي الْعُبُودِيَّةِ، حَتَّى بِحُدُوثِ الْحُرِّيَّةِ فَصَارَ كَمَا لَوْ أَسْلَمْنَ بَعْدَهَا، وَإِنْ كَانَ فِيهِ احْتِمَالٌ ضَعِيفٌ أَنَّهُ قَدْ وَصَلَ مِنْهُنَّ إِلَى بَعْضِ حَقِّهِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْهُنَّ إِلَّا بَاقِيه وَهوَ وَاحِدَةٌ فَلَا يُمْسِكُ مِنْهُنَّ إِلَّا اثْنَتَيْنِ ثُمَّ هَكَذَا لَوْ تَقَدَّمَ إِسْلَامُهُنَّ عَلَيْهِ ثُمَّ أُعْتِقَ اعْتُبِرَ حَالُ عتقه، فإن أعتق قَبْلَ إِسْلَامِهِ أَمْسَكَ الْأَرْبَعَ وَإِنْ أُعْتِقَ بَعْدَ إسلامه أمسك اثنتين.
Kedua: Jika jumlah itu sempurna, yaitu jika dua orang masuk Islam sebelum ia dimerdekakan dan dua orang lagi setelah ia dimerdekakan, maka ia hanya boleh mempertahankan dua dari mereka, sebagaimana jika seluruhnya masuk Islam sebelum ia dimerdekakan; karena ketika Islamnya dan Islam dua istrinya berkumpul dalam status budak, ia telah mengambil haknya dalam jumlah istri saat menjadi budak, dan setelah menjadi merdeka ia tidak boleh menambah lagi, sehingga hukum larangan itu tetap berlaku. Namun, jika jumlah itu belum sempurna sebelum ia dimerdekakan, misalnya hanya satu yang masuk Islam sebelum ia dimerdekakan dan tiga setelahnya, maka menurut kaidah illat, ia boleh mempertahankan keempatnya; karena ia belum mengambil haknya saat menjadi budak, sehingga ketika ia menjadi merdeka, keadaannya seperti jika para istrinya masuk Islam setelah ia merdeka. Meskipun ada kemungkinan lemah bahwa ia telah mengambil sebagian haknya, sehingga ia hanya boleh mempertahankan sisanya, yaitu satu orang, maka ia hanya boleh mempertahankan dua dari mereka. Demikian pula jika Islam para istrinya lebih dahulu daripada dirinya, lalu ia dimerdekakan, maka yang diperhitungkan adalah keadaan saat ia dimerdekakan: jika ia dimerdekakan sebelum masuk Islam, ia boleh mempertahankan keempatnya, dan jika ia dimerdekakan setelah masuk Islam, ia hanya boleh mempertahankan dua.
فَصْلٌ
Fashal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا فَإِنْ جَوَّزْنَا له إمساك الربع فَلَا خِيَارَ لَهُ كَمَا لَا خِيَارَ لِلْحُرِّ إذا أسلم مع أربع. وإن منعناه إلا مِنِ اثْنَتَيْنِ كَانَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَهُمَا مِنَ الْأَرْبَعِ وَسَوَاءٌ اخْتَارَ مَنْ أَسْلَمَ قَبْلَ عِتْقِهِ أو بعده وينفسخ باختيارها نِكَاحُ الْبَاقِينَ وَهَكَذَا لَوْ فَسَخَ نِكَاحَ اثْنَتَيْنِ ثبت نكاحهما اختيار الباقين، فإن اخْتَارَ اثْنَتَيْنِ، وَفَسَخَ نِكَاحَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْعَقْدَ عَلَيْهِمَا، لِأَنَّهُ حُرٌّ يَسْتَبِيحُ نِكَاحَ أَرْبَعٍ، وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَعْقِدَ عَلَيْهِمَا فِي العدة، لأنهما منه.
Setelah penjelasan di atas, jika kami membolehkan ia mempertahankan keempat istrinya, maka ia tidak memiliki hak memilih, sebagaimana seorang merdeka yang masuk Islam bersama empat istrinya juga tidak memiliki hak memilih. Namun jika kami hanya membolehkannya mempertahankan dua istri, maka ia boleh memilih dua dari empat istrinya, baik yang masuk Islam sebelum ia dimerdekakan maupun setelahnya, dan dengan pilihannya itu, pernikahan dengan sisanya menjadi batal. Demikian pula jika ia membatalkan pernikahan dua istrinya, maka pernikahan dengan dua sisanya tetap sah, dan jika ia memilih dua dan membatalkan pernikahan dua lainnya, maka ia boleh memperbarui akad dengan dua yang lain, karena ia adalah orang merdeka yang boleh menikahi empat istri, dan ia boleh melakukan akad dengan mereka saat masa iddah, karena mereka berasal darinya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولو أَسْلَمَ وَأَسْلَمَ مَعَهُ أَرْبَعٌ فَقَالَ قَدْ فَسَخْتُ نِكَاحَهُنَّ سُئِلَ فَإِنْ أَرَادَ طَلَاقًا فَهُوَ مَا أَرَادَ وَإِنْ أَرَادَ حِلَّهُ بِلَا طلاقٍ لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا وَأُحْلِفَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang masuk Islam dan bersamanya empat istrinya juga masuk Islam, lalu ia berkata, ‘Aku telah membatalkan pernikahan mereka,’ maka ia ditanya: jika ia bermaksud talak, maka itu adalah talak; namun jika ia bermaksud membolehkan tanpa talak, maka itu bukan talak dan ia harus disumpah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا قَالَ لِأَرْبَعِ زَوْجَاتٍ أَسْلَمْنَ مَعَهُ قَدْ فَسَخْتُ نِكَاحَهُنَّ سُئِلَ: فَإِنْ أَرَادَ بِالْفَسْخِ لا حسماً له، فَإِنْ قَالَ: أَرَدْتُ بِهِ الطَّلَاقَ قُبِلَ مِنْهُ؛ لأن الفسخ كتابة فِيهِ، وَهُنَّ زَوْجَاتٌ يَقَعُ عَلَيْهِنَّ الطَّلَاقُ، وَيَكُونُ إِيقَاعُهُ لِلطَّلَاقِ عَلَيْهِنَّ تَحْقِيقًا لِثُبُوتِ نِكَاحِهِنَّ، فَإِنْ أَكْذَبْنَهُ فِي إِرَادَةِ الطَّلَاقِ فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَوْ رَجَعَ عَنْهُ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، وَإِنْ قَالَ: أَرَدْتُ بِالْفَسْخِ حَلَّ النِّكَاحِ وَرَفْعَ الْعِقْدِ بِغَيْرِ طَلَاقٍ، كَمَا يُفْسَخُ نِكَاحُ مَنْ زَادَ عَلَى الْأَرْبَعِ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَهُنَّ عَلَى الزَّوْجِيَّةِ؛ لِأَنَّ الْفَسْخَ يَقَعُ عَلَى مَنْ لَا يَجُوزُ لَهُ إِمْسَاكُهَا، وَيَجُوزُ لَهُ إِمْسَاكُ الْأَرْبَعِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَفْسَخَ نِكَاحَهُنَّ، فإن أكذبنه وقلن: أراد بالفسخ الطلاق أحلف بِاللَّهِ تَعَالَى مَا أَرَادَ بِهِ الطَّلَاقَ، فَإِنْ نَكَلَ حُلِّفْنَ وَطُلِّقْنَ، وَإِنْ قَالَ: أَرَدْتُ بِالْفَسْخِ طَلَاقَ اثْنَتَيْنِ وَحَلَّ نِكَاحِ اثْنَتَيْنِ وَقَعَ الطَّلَاقُ على من أرادهما بالفسخ ولهما إحلافه وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ اللَّفْظُ وَاحِدًا، وَيَخْتَلِفُ حُكْمُهُ فِيهِنَّ بِاخْتِلَافِ النِّيَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Jika ia berkata kepada empat istrinya yang masuk Islam bersamanya, “Aku telah memutuskan pernikahan mereka,” lalu ditanya: Jika yang ia maksud dengan “memutuskan” bukanlah talak, maka jika ia berkata, “Aku maksudkan dengan itu talak,” diterima darinya; karena “memutuskan” adalah lafaz yang mengandung makna talak, dan mereka adalah para istri yang sah dijatuhkan talak atas mereka, dan penjatuhan talak atas mereka merupakan penegasan atas tetapnya pernikahan mereka. Jika mereka mendustakannya dalam maksud talak, maka tidak ada sumpah atasnya, karena jika ia menarik kembali ucapannya, tidak diterima darinya. Dan jika ia berkata, “Aku maksudkan dengan memutuskan adalah membatalkan pernikahan dan menghapus akad tanpa talak, sebagaimana pernikahan orang yang menikahi lebih dari empat istri dibatalkan,” maka itu tidak sah baginya dan mereka tetap berstatus sebagai istri; karena pembatalan (fasakh) hanya berlaku pada perempuan yang tidak boleh dipertahankan, sedangkan ia boleh mempertahankan empat istri, maka tidak boleh baginya membatalkan pernikahan mereka. Jika mereka mendustakannya dan berkata, “Ia bermaksud talak dengan fasakh,” maka ia harus bersumpah dengan nama Allah Ta‘ala bahwa ia tidak bermaksud talak. Jika ia enggan bersumpah, maka para istri bersumpah dan jatuhlah talak. Jika ia berkata, “Aku bermaksud dengan fasakh adalah talak atas dua istri dan pembatalan pernikahan atas dua istri lainnya,” maka talak jatuh pada dua istri yang ia maksudkan dengan fasakh, dan keduanya berhak meminta ia bersumpah, dan tidak mustahil satu lafaz memiliki hukum yang berbeda pada masing-masing istri sesuai perbedaan niat. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ كُنَّ خَمْسًا فَأَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ فِي الْعِدَّةِ فَقَالَ قَدِ اخْتَرْتُ حَبْسَهَا حَتَّى قَالَ ذَلِكَ لِأَرْبَعٍ ثَبَتَ نِكَاحُهُنَّ بِاخْتِيَارِهِ وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْبَوَاقِي “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika mereka berlima, lalu satu masuk Islam dalam masa iddah, kemudian ia berkata, ‘Aku memilih menahannya,’ hingga ia mengucapkan hal itu kepada empat orang, maka tetaplah pernikahan mereka karena pilihannya, dan pernikahan sisanya batal.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا تَزَوَّجَ المشرك بأكثر من أربع كأنه تَزَوَّجَ ثَمَانِيَ زَوْجَاتٍ ثُمَّ أَسْلَمَ، وَأَسْلَمَ مَعَهُ مِنْهُنَّ أَرْبَعٌ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ ذكرناها:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Jika seorang musyrik menikahi lebih dari empat istri, seolah-olah ia menikahi delapan istri, kemudian ia masuk Islam, dan empat dari mereka juga masuk Islam bersamanya, maka ia memiliki tiga pilihan yang telah kami sebutkan:
أَحَدُهَا: أَنَّ الْخِيَارَ لِلْأَرْبَعِ الْمُسْلِمَاتِ فَيَنْفَسِخُ بِاخْتِيَارِهِ لَهُنَّ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ الْمُشْرِكَاتِ سَوَاءٌ أَسْلَمْنَ فِي عددهن أم لا؟ وهذا لَوْ فَسَخَ نِكَاحَ الْأَرْبَعِ الْمُتَأَخِّرَاتِ كَانَ اخْتِيَارَ النكاح الأربع المسلمات؛ لأن الاختيار والفسخ يتقابلا فَكَانَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا دَلِيلٌ عَلَى الْآخَرِ.
Pertama: Pilihan diberikan kepada empat istri yang masuk Islam, sehingga dengan pilihannya terhadap mereka, pernikahan empat istri musyrik lainnya batal, baik mereka masuk Islam dalam masa iddahnya atau tidak. Jika ia membatalkan pernikahan empat istri yang belakangan, maka itu berarti ia memilih pernikahan empat istri yang masuk Islam; karena pilihan dan pembatalan (fasakh) saling berlawanan, sehingga pada masing-masing terdapat petunjuk atas yang lain.
وَالثَّانِي: أَنْ يُمْسِكَ عَنِ اخْتِيَارِ الْأَرْبَعِ الْمُسْلِمَاتِ انْتِظَارًا لِإِسْلَامِ الْأَرْبَعِ الْمُشْرِكَاتِ فَيَكُونُ لَهُ ذَلِكَ فَإِنْ لَمْ يُسْلِمْنَ حَتَّى مَضَتْ عِدَدُهُنَّ ثَبَتَ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ الْمُتَقَدِّمَاتِ، وَإِنْ أَسْلَمْنَ فِي عِدَدِهِنَّ كَانَ لَهُ أَنْ يُقِيمَ عَلَى أَرْبَعٍ مِنْ أَيَّتِهِنَّ شَاءَ إِمَّا الْأَرْبَعِ الْمُتَقَدِّمَاتِ وَإِمَّا الْأَرْبَعِ الْمُتَأَخِّرَاتِ، وَإِمَّا عَلَى بَعْضِ الْمُتَقَدِّمَاتِ، وَيَسْتَكْمِلُ أَرْبَعًا مِنَ الْمُتَأَخِّرَاتِ، فَلَوْ مَاتَ الْأَرْبَعُ الْمُتَقَدِّمَاتُ ثم أسلم الأربع المتأخرات كان خياره باق فِي الْمَوْتَى كَبَقَائِهِ فِي الْأَحْيَاءِ، لِأَنَّ اخْتِيَارَهُ لَهُنَّ إِبَانَةٌ عَنْ تَقَدُّمِ نِكَاحِهِنَّ فَإِنِ اخْتَارَ الْأَرْبَعَ الْمَوْتَى انْفَسَخَ نِكَاحُ الْأَحْيَاءِ، وَكَانَ لَهُ الميراث من الموتى ومتن في زوجيته، وَإِنِ اخْتَارَ الْأَرْبَعَ الْأَحْيَاءَ ثَبَتَ نِكَاحُهُنَّ وَبَانَ به فسخ نكاح الأربع الموتى، وإنهن مُتْنَ أَجْنَبِيَّاتٍ فَلَمْ يَرِثْهُنَّ، وَإِنِ اخْتَارَ بَعْضَ الأحياء وبعض الموتى فعلى مَضَى.
Kedua: Ia menahan diri dari memilih empat istri yang masuk Islam, dengan harapan empat istri musyrik lainnya juga masuk Islam, maka itu boleh baginya. Jika mereka tidak masuk Islam hingga masa iddah mereka habis, maka tetaplah pernikahan empat istri yang lebih dahulu masuk Islam. Jika mereka masuk Islam dalam masa iddahnya, maka ia boleh memilih tetap bersama empat istri mana pun yang ia kehendaki, baik empat yang lebih dahulu maupun empat yang belakangan, atau sebagian dari yang lebih dahulu dan melengkapi empat dari yang belakangan. Jika empat istri yang lebih dahulu meninggal dunia, lalu empat istri yang belakangan masuk Islam, maka hak pilihnya tetap berlaku pada yang telah meninggal sebagaimana pada yang masih hidup, karena pilihannya terhadap mereka adalah penegasan atas terdahulunya pernikahan mereka. Jika ia memilih empat yang telah meninggal, maka pernikahan istri yang masih hidup batal, dan ia berhak mewarisi dari yang telah meninggal dan mereka wafat dalam status sebagai istrinya. Jika ia memilih empat yang masih hidup, maka tetaplah pernikahan mereka dan dengan itu batal pernikahan empat yang telah meninggal, sehingga mereka wafat sebagai perempuan asing dan ia tidak mewarisi mereka. Jika ia memilih sebagian yang masih hidup dan sebagian yang telah meninggal, maka hukumnya sesuai yang telah dijelaskan.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَخْتَارَ الزَّوْجُ عِنْدَ إِسْلَامِ الأربع معه بعضهن وينتظر إسلام الباقيات كأنه اخْتَارَ مِنَ الْأَرْبَعِ اثْنَتَيْنِ وَتَوَقَّفَ عَنِ الِاثْنَتَيْنِ الباقيتين انتظارا لإسلام الأربع المختارات فثبت نِكَاحُ الِاثْنَتَيْنِ الْمُخْتَارَتَيْنِ، فَإِذَا أَسْلَمَ الْأَرْبَعُ الْمُتَأَخِّرَاتُ كَانَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنَ الْجَمِيعِ وَهُنَّ ست اثْنَتَيْنِ تَمَامَ أَرْبَعٍ مِنْ أَيَّتِهِنَّ شَاءَ، وَيَنْفَسِخُ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ الْبَاقِيَاتِ.
Ketiga: Suami memilih sebagian dari empat istri yang masuk Islam bersamanya saat ia masuk Islam, dan menunggu sisanya, seolah-olah ia memilih dua dari empat istri tersebut dan menahan diri dari memilih dua sisanya, dengan harapan empat istri yang dipilih akan masuk Islam. Maka tetaplah pernikahan dua istri yang dipilih. Jika kemudian empat istri yang belakangan masuk Islam, maka ia boleh memilih dari seluruhnya, yaitu enam orang, dua lagi untuk melengkapi empat dari siapa pun yang ia kehendaki, dan pernikahan empat sisanya batal.
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ فَمَسْأَلَةُ الْكِتَابِ أَنْ يَقُولَ وَقَدْ أَسْلَمَ مَعَهُ من الثماني وَاحِدَةٌ قَدِ اخْتَرْتُهَا، ثُمَّ تُسْلِمُ ثَانِيَةٌ فَيَقُولُ: قَدِ اخْتَرْتُهَا، ثُمَّ تُسْلِمُ ثَالِثَةٌ فَيَخْتَارُهَا ثُمَّ تُسْلِمُ رَابِعَةٌ فَيَخْتَارُهَا فَقَدْ ثَبَتَ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ الْمُسْلِمَاتِ لِاخْتِيَارِ كُلِّ وَاحِدَةٍ بَعْدَ إِسْلَامِهَا وَانْفَسَخَ به نكاح الأربع المتأخرات ثم تراعي أحوالهن، وَإِنْ لَمْ يُسْلِمْنَ حَتَّى انْقَضَتْ عِدَدُهُنَّ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِاخْتِلَافِ الدِّينَيْنِ مِنْ وَقْتِ إِسْلَامِ الزَّوْجِ، وَإِنْ أَسْلَمْنَ فِي عِدَدِهِنَّ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِالِاخْتِيَارِ واستأنفن العدة من وقت اختياره الرابعة لأن باختيارها ممن سِوَاهَا، فَلَا يَكُونُ الْفَسْخُ طَلَاقًا سَوَاءٌ وَقَعَ باختلاف الدينين أو بالاختيار.
Setelah penjelasan ini dipaparkan, maka permasalahan dalam kitab ini adalah: jika seseorang berkata, “Aku telah memilihnya,” setelah satu dari delapan istrinya masuk Islam bersamanya, kemudian istri kedua masuk Islam dan ia berkata, “Aku telah memilihnya,” lalu istri ketiga masuk Islam dan ia memilihnya, kemudian istri keempat masuk Islam dan ia memilihnya, maka telah tetaplah pernikahan dengan empat istri yang telah masuk Islam karena ia memilih masing-masing setelah keislaman mereka, dan terputuslah pernikahan dengan empat istri yang masuk Islam belakangan. Kemudian, keadaan mereka diperhatikan. Jika mereka tidak masuk Islam hingga masa iddah mereka habis, maka perpisahan terjadi karena perbedaan agama sejak suami masuk Islam. Namun, jika mereka masuk Islam dalam masa iddah, maka perpisahan terjadi karena adanya pilihan, dan mereka memulai masa iddah dari saat ia memilih istri keempat, karena dengan memilihnya berarti ia memilih selain mereka. Maka, pembatalan pernikahan ini tidak dianggap sebagai talak, baik terjadi karena perbedaan agama maupun karena pilihan.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِنْ وَقَعَ الْفَسْخُ بِإِسْلَامِ الزَّوْجَةِ، وَتَأَخَّرَ الزَّوْجُ كَانَ طَلَاقًا، وَإِنْ وَقَعَ الْفَسْخُ بِإِسْلَامِ الزَّوْجِ وَتَأَخَّرَ إِسْلَامُ الزَّوْجَةِ لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا، وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ خَطَأٌ؛ لِأَنَّ مَا وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ فِيهِ بِغَيْرِ طَلَاقٍ لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا كَسَائِرِ الْفُسُوخِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Abu Hanifah berkata: Jika pembatalan pernikahan terjadi karena istri masuk Islam, sementara suami terlambat masuk Islam, maka itu dianggap sebagai talak. Namun, jika pembatalan pernikahan terjadi karena suami masuk Islam dan istri terlambat masuk Islam, maka itu tidak dianggap sebagai talak. Kedua pendapat ini keliru, karena setiap perpisahan yang terjadi bukan karena talak, maka itu bukanlah talak, sebagaimana bentuk-bentuk pembatalan pernikahan lainnya. Dan Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Permasalahan
قَالَ الشافعي: ” وَلَوْ قَالَ كُلَّمَا أَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ مِنْكُنَّ فَقَدِ اخْتَرْتُ فَسْخَ نِكَاحِهَا لَمْ يَكُنْ هَذَا شَيْئًا إِلَّا أَنْ يُرِيدَ طَلَاقًا فَإِنِ اخْتَارَ إِمْسَاكَ أَرْبَعٍ فَقَدِ انْفَسَخَ نِكَاحُ مَنْ زَادَ عَلَيْهِنَّ (قال المزني) رحمه الله القياس عندي على قوله أنه إذا أسلم وعنده أكثر من أربع وأسلمن معه فقذف واحدةً منهن أو ظاهر أو آلى كان ذلك موقوفاً فإن اختارها كان عليه فيها ما عليه في الزوجات وإن فسخ نكاحها سقط عنه الظهار والأيلاء وجلد بقذفها “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia berkata, ‘Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam, maka aku memilih untuk membatalkan pernikahannya,’ maka hal itu tidak berarti apa-apa, kecuali jika ia bermaksud untuk menalaknya. Jika ia memilih untuk mempertahankan empat istri, maka pernikahan dengan yang lebih dari empat menjadi batal.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Menurutku, berdasarkan pendapatnya, jika seseorang masuk Islam dan ia memiliki lebih dari empat istri, lalu mereka masuk Islam bersamanya, kemudian ia menuduh salah satu dari mereka berzina, atau melakukan zihar, atau ila’, maka hukumnya ditangguhkan. Jika ia memilihnya, maka berlaku atasnya hukum-hukum yang berlaku bagi istri-istri lainnya. Namun, jika ia membatalkan pernikahan dengannya, maka gugur darinya hukum zihar dan ila’, dan ia dikenai hukuman had karena menuduhnya berzina.”
قال الماوردي: وصورتها في مشرك تزوج بثماني زَوْجَاتٍ ثُمَّ أَسْلَمَ قَبْلَهُنَّ فَيَتَعَلَّقُ بِهَا ثَلَاثَةُ فُصُولٍ:
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang musyrik menikahi delapan wanita, kemudian ia masuk Islam sebelum mereka, maka ada tiga cabang permasalahan yang terkait dengannya:
أَحَدُهَا: أَنْ يَقُولَ لِنِسَائِهِ كُلَّمَا أَسْلَمَتْ مِنْكُنَّ فَقَدِ اخْتَرْتُ إِمْسَاكَهَا فَهَذَا لَا يَصِحُّ لِمَعْنَيَيْنِ:
Pertama: Jika ia berkata kepada istri-istrinya, “Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam, maka aku memilih untuk mempertahankannya,” maka hal ini tidak sah karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ اخْتِيَارٌ مُعَلَّقٌ بِصِفَةٍ، وَالِاخْتِيَارُ لِلنِّكَاحِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَلَّقَ بِصِفَةٍ.
Pertama: Karena itu adalah pilihan yang digantungkan pada suatu sifat, sedangkan memilih dalam pernikahan tidak boleh digantungkan pada suatu sifat.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ اخْتِيَارٌ لِمُبْهَمَةٍ غَيْرِ مُعَيَّنَةٍ وَالِاخْتِيَارُ لَا يَصِحُّ إِلَّا لِمُعَيَّنَةٍ كَالنِّكَاحِ.
Kedua: Karena itu adalah pilihan terhadap sesuatu yang tidak jelas (tidak tertentu), sedangkan pilihan hanya sah untuk sesuatu yang tertentu, sebagaimana dalam pernikahan.
وَالْفَصْلُ الثَّانِي: أَنْ يَقُولَ لَهُنَّ: كُلَّمَا أَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ، فَقَدْ فَسَخْتُ نِكَاحَهَا، فَهَذَا لَا يَصِحُّ لِمَعْنَيَيْنِ:
Cabang kedua: Jika ia berkata kepada mereka, “Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam, maka aku membatalkan pernikahannya,” maka ini tidak sah karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ فسخ معلق بصفة لا يَجُوزُ تَعَلُّقُ الْفَسْخِ بِالصِّفَاتِ.
Pertama: Karena itu adalah pembatalan yang digantungkan pada suatu sifat, padahal tidak boleh menggantungkan pembatalan pada sifat-sifat tertentu.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ فَسْخٌ قَبْلَ وَقْتِ الْفَسْخِ؛ لِأَنَّهُ يُسْتَحَقُّ فَسْخُ مَنْ زَادَ عَلَى الْأَرْبَعِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ لَا يُسْلِمَ أَكْثَرُ مِنْ أَرْبَعٍ، فَلَا يُسْتَحَقُّ فِيهِ فَسْخُ نِكَاحِهِنَّ.
Kedua: Karena itu adalah pembatalan sebelum waktunya, sebab yang berhak dibatalkan adalah pernikahan dengan istri yang lebih dari empat, dan bisa jadi yang masuk Islam tidak lebih dari empat, sehingga tidak berhak untuk membatalkan pernikahan mereka.
وَالْفَصْلُ الثَّالِثُ: أَنْ يَقُولَ لَهُنَّ: كُلَّمَا أَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ فَقَدْ طَلَّقْتُهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Cabang ketiga: Jika ia berkata kepada mereka, “Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam, maka aku menalaknya,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَصِحُّ لِأَنَّ الطَّلَاقَ يَجُوزُ تَعْلِيقُهُ بصفة، فَإِذَا أَسْلَمَ مِنْهُنَّ أَرْبَعٌ طُلِّقْنَ وَكَانَ ذَلِكَ اختياراً لهن؛ لأن الطلاق لا يقع عَلَى زَوْجَةٍ، وَيَنْفَسِخُ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ الْبَاقِيَاتِ؛ لِأَنَّ الطلاق في المتقدمات قد يتضمن اخْتِيَارَهُنَّ فَصَارَ فَسْخًا لِنِكَاحِ مَنْ سِوَاهُنَّ، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّهُ قَالَ: ” وَلَوْ قَالَ: كُلَّمَا أَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ فَقَدِ اخْتَرْتُ فَسْخَ نِكَاحِهَا لَمْ يَكُنْ هَذَا شَيْئًا إِلَّا أن يريد به طلاقها فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَوْ قَالَ: كُلَّمَا أَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ فَقَدْ طَلَّقْتُهَا صَحَّ طَلَاقُهَا.
Pertama: Itu sah, karena talak boleh digantungkan pada suatu sifat. Maka, jika empat dari mereka masuk Islam, mereka tertalak dan itu dianggap sebagai pilihannya terhadap mereka, karena talak tidak jatuh pada istri yang sudah tidak menjadi istrinya, dan pernikahan dengan empat sisanya menjadi batal. Karena talak pada yang lebih dahulu masuk Islam mengandung makna memilih mereka, sehingga menjadi pembatalan pernikahan dengan selain mereka. Inilah yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i, karena beliau berkata: “Jika ia berkata, ‘Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam, maka aku memilih untuk membatalkan pernikahannya,’ maka hal itu tidak berarti apa-apa kecuali jika ia bermaksud menalaknya.” Ini menunjukkan bahwa jika ia berkata, “Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam, maka aku menalaknya,” maka talaknya sah.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْفَسْخِ فِي أَنْ لَا يَجُوزَ تَعْلِيقُهُ بِصِفَةٍ، وبين الطلاق في أن جَوَازَ تَعْلِيقِهِ بِالصِّفَةِ أَنَّ الْفَسْخَ مَوْضُوعٌ لِتَمْيِيزِ الزَّوْجَةِ عَنِ الزَّوْجَةِ فَلَمْ يَجُزْ تَعْلِيقُهُ بِالصِّفَةِ لِعَدَمِ التَّمْيِيزِ الْمَقْصُودِ فِيهِ وَالطَّلَاقُ حَلَّ لِنِكَاحِ الزوجة فجاز تعلقه بِالصِّفَةِ لِوُجُودِ حِلِّ النِّكَاحِ بِهِ.
Perbedaan antara fasakh dan talak adalah bahwa fasakh tidak boleh digantungkan pada suatu sifat, sedangkan talak boleh digantungkan pada sifat. Hal ini karena fasakh ditetapkan untuk membedakan antara satu istri dengan istri lainnya, sehingga tidak boleh digantungkan pada sifat karena tidak tercapai pembedaan yang dimaksud di dalamnya. Adapun talak adalah pelepasan akad nikah istri, sehingga boleh digantungkan pada sifat karena adanya pelepasan akad nikah dengannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وطائفة معه: أن قوله للثماني الْمُشْرِكَاتِ كُلَّمَا أَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ فَهِيَ طَالِقٌ، لَا يصح؛ لأن الطلاق وإن جاز تعلقه بالصفة فهذا الطلاق هاهنا لا يجوز تعليق بِالصِّفَةِ؛ لِأَنَّهُ يَتَضَمَّنُ اخْتِيَارًا أَوْ فِرَاقًا، وَلَا يَجُوزُ تَعْلِيقُ الِاخْتِيَارِ بِالصِّفَةِ، كَذَلِكَ لَا يَجُوزُ تَعْلِيقُ الطَّلَاقِ الَّذِي قَدْ تَضَمَّنَ اخْتِيَارَ الصِّفَةِ ويتأول قائل هذا الوجه كلام الشافعي هاهنا بِتَأْوِيلَيْنِ:
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan sekelompok ulama bersamanya: bahwa ucapan seseorang kepada delapan istri musyrik, “Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam maka ia tertalak,” tidak sah. Sebab, meskipun talak boleh digantungkan pada sifat, namun talak dalam kasus ini tidak boleh digantungkan pada sifat, karena hal itu mengandung unsur pilihan atau perpisahan, dan tidak boleh menggantungkan pilihan pada sifat. Demikian pula tidak boleh menggantungkan talak yang mengandung unsur pilihan pada sifat. Orang yang berpendapat seperti ini menakwilkan perkataan asy-Syafi‘i di sini dengan dua penakwilan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ: ” كُلَّمَا أَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ فَقَدِ اخْتَرْتُ فَسْخَ نِكَاحِهَا لَمْ يَكُنْ هَذَا شَيْئًا إِلَّا أَنْ يُرِيدَ طَلَاقَهَا ” فَيَصِحُّ ويقع الطلاق إذا كان زَوْجَاتُهُ فِي الشِّرْكِ أَرْبَعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهَا فَيَقَعُ طَلَاقُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ إِذَا أَسْلَمَتْ؛ لِأَنَّهُ طَلَاقٌ مَحْضٌ لَا يَتَضَمَّنُ اخْتِيَارًا فَجَازَ تعليقه بالصفة.
Salah satunya: bahwa ucapan asy-Syafi‘i, “Setiap kali salah satu masuk Islam maka aku memilih untuk memfasakh nikahnya, ini tidak berarti apa-apa kecuali jika yang dimaksud adalah menalaknya,” maka hal itu sah dan talak jatuh jika istri-istrinya dalam keadaan musyrik berjumlah empat, tidak lebih dari itu. Maka jatuhlah talak pada masing-masing dari mereka jika masuk Islam, karena itu adalah talak murni yang tidak mengandung unsur pilihan, sehingga boleh digantungkan pada sifat.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: أَنَّ كَلَامَ الشَّافِعِيِّ حِكَايَةٌ عَنْ حَالِ الزَّوْجِ، وَلَيْسَ مِنْ لَفْظِ الزَّوْجِ، وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِهِ: ” كُلَّمَا أَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ ” أَنَّ الزَّوْجَ قَالَ عِنْدَ إِسْلَامِ كُلِّ وَاحِدَةٍ قَدْ فَسَخْتُ نِكَاحَهَا يُرِيدُ الطَّلَاقَ طُلِّقَتْ؛ لِأَنَّهُ لَوِ اخْتَارَهَا فِي هَذِهِ الْحَالِ صَحَّ فَصَحَّ أَنْ يطلقها فعلى هذا لو أسلم معه الثماني كُلُّهُنَّ فَقَالَ لَهُنَّ: أَيَّتُكُنَّ دَخَلَتِ الدَّارَ فَقَدْ فسخت نكاحها؛ لِأَنَّهُ فَسْخٌ بِصِفَةٍ، وَلَوْ قَالَ: أَيَّتُكُنَّ دَخَلَتِ الدَّارَ فَهِيَ طَالِقٌ، كَانَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ:
Penakwilan kedua: bahwa perkataan asy-Syafi‘i adalah penjelasan tentang keadaan suami, bukan ucapan suami itu sendiri. Makna ucapannya, “Setiap kali salah satu masuk Islam,” adalah bahwa suami berkata ketika masing-masing masuk Islam, “Aku telah memfasakh nikahnya,” yang dimaksudkan adalah talak, maka ia tertalak. Karena jika ia memilihnya dalam keadaan ini, sah, maka sah pula jika ia menalaknya. Berdasarkan ini, jika delapan istri itu semuanya masuk Islam bersamanya lalu ia berkata kepada mereka, “Siapa di antara kalian yang masuk ke dalam rumah maka aku memfasakh nikahnya,” maka itu adalah fasakh yang digantungkan pada sifat. Namun jika ia berkata, “Siapa di antara kalian yang masuk ke dalam rumah maka ia tertalak,” maka hukumnya sesuai dengan dua pendapat yang telah disebutkan:
أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ؛ لِأَنَّهُ يَتَضَمَّنُ اخْتِيَارًا بِصِفَةٍ.
Salah satunya: tidak sah, karena mengandung unsur pilihan yang digantungkan pada sifat.
وَالثَّانِي: يَصِحُّ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الطَّلَاقِ، فَإِذَا دَخَلَهَا أَرْبَعٌ طُلِّقْنَ، وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْبَاقِيَاتِ، فَيَصِيرُ الطَّلَاقُ مُعَلَّقًا بِهِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:
Yang kedua: sah, dengan mengedepankan hukum talak. Maka jika empat orang masuk, mereka tertalak, dan nikah sisanya terfasakh. Dengan demikian, talak yang digantungkan pada sifat ini mengandung tiga hukum:
أَحَدُهَا: اخْتِيَارُ الْمُطَلَّقَاتِ.
Pertama: memilih istri-istri yang ditalak.
وَالثَّانِي: فِرَاقُهُنَّ.
Kedua: perpisahan dengan mereka.
وَالثَّالِثُ: فَسْخُ نِكَاحِ من عداهن، فعلى هذا لو دخل الثماني الدَّارَ كُلُّهُنَّ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ يَتَقَدَّمْ بعضهن بعضاً، ووقع الطَّلَاقُ عَلَى الزَّوْجَاتِ الْأَرْبَعِ مِنْهُنَّ وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ طَلَاقٌ لَا يَتَضَمَّنُ الِاخْتِيَارَ.
Ketiga: fasakh nikah selain mereka. Berdasarkan ini, jika delapan istri itu semuanya masuk ke dalam rumah dalam waktu yang bersamaan tanpa ada yang mendahului yang lain, maka talak jatuh pada empat istri di antara mereka secara bersamaan, karena itu adalah talak yang tidak mengandung unsur pilihan.
وَقِيلَ لَهُ: اخْتَرْ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ فَإِذَا اخْتَارَهُنَّ تَعَيَّنَ وُقُوعُ الطَّلَاقِ فِيهِنَّ، وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْبَاقِيَاتِ بِغَيْرِ طَلَاقٍ والله أعلم.
Dan dikatakan kepadanya: “Pilihlah empat di antara mereka.” Jika ia telah memilih mereka, maka jatuhlah talak pada mereka, dan nikah sisanya terfasakh tanpa talak. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوْ أَسْلَمْنَ مَعَهُ فَقَالَ لَا أَخْتَارُ حُبِسَ حَتَّى يَخْتَارَ وَأَنْفَقَ عَلَيْهِنَّ مِنْ مَالِهِ لِأَنَّهُ مانعٌ لَهُنَّ بعقدٍ متقدمٍ وَلَا يُطَلِّقُ عَلَيْهِ السُّلْطَانُ كَمَا يُطَلِّقُ عَلَى الْمُولِي فَإِنِ امْتَنَعَ مَعَ الْحَبْسِ عُزِّرَ وحبس حتى يحتار وإن مات أمرناهن أن يعتددن الآخر مِنْ أَرْبَعَةِ أشهرٍ وعشرٍ أَوْ مِنْ ثَلَاثِ حيضٍ وَيُوقَفُ لَهُنَّ الْمِيرَاثُ حَتَّى يَصْطَلِحْنَ فِيهِ “.
Asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Jika para istri masuk Islam bersamanya lalu ia berkata, ‘Aku tidak memilih,’ maka ia ditahan sampai ia memilih dan ia wajib menafkahi mereka dari hartanya, karena ia telah menghalangi mereka dengan akad yang terdahulu. Dan tidak boleh bagi penguasa menalakkan mereka sebagaimana penguasa menalakkan istri mu‘alla. Jika ia tetap menolak setelah ditahan, maka ia dihukum ta‘zīr dan tetap ditahan sampai ia memilih. Jika ia meninggal, maka kami perintahkan para istri itu untuk ber‘iddah, yang lebih akhir dari empat bulan sepuluh hari atau dari tiga kali haid, dan warisan mereka ditangguhkan sampai mereka berdamai dalam hal itu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي مُشْرِكٍ أَسْلَمَ وَأَسْلَمَ مَعَهُ ثَمَانِي زَوْجَاتٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَخْتَارَ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا لِئَلَّا يَصِيرَ جَامِعًا بَيْنَ ثَمَانٍ، فَإِنْ تَوَقَّفَ عَنِ الِاخْتِيَارِ سَأَلَهُ الْحَاكِمُ عَنْ تَوَقُّفِهِ وأمره بتعجيل اختياره؛ لأن لا يستديم ما حظره الشرع في الْجَمْعِ، فَإِنْ سَأَلَ إِنْظَارَهُ لِيُفَكِّرَ فِي اخْتِيَارِهِ وَيَرْتَئِيَ فِي أَحَظِّهِنَّ لَهُ أَنْظَرَهُ مَا قَلَّ مَنِ الزَّمَانِ الَّذِي يَصِحُّ فِيهِ فِكْرُهُ وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَبْلُغَ بِإِنْظَارِهِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْإِنْظَارِ لِلْمُولِي وَالْمُرْتَدِّ فَإِذَا اخْتَارَ بَعْدَ الْإِنْظَارِ، فَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَنْ يختار أربعاً فيكون اختياره لهن فسخاً لمن عَدَاهُنَّ وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ نِكَاحَ أَرْبَعٍ فَيَكُونُ فَسْخُهُ اخْتِيَارًا لِنِكَاحِ مَنْ عَدَاهُنَّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْبَاقِيَاتُ بَعْدَ فَسْخِ نِكَاحِ الْأَرْبَعِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعٍ كَأَنَّهُنَّ عَشْرٌ فَيَحْتَاجُ بَعْدَ فَسْخِ الْأَرْبَعِ أَنْ يَخْتَارَ مِنَ السِّتِّ أَرْبَعًا، أَوْ يفسخ منهن نكاح اثنين فَيَثْبُتُ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ، وَاخْتِيَارُهُ وَفَسْخُهُ بِالْقَوْلِ، فَاخْتِيَارُهُ قَوْلًا أَنْ يَقُولَ: قَدِ اخْتَرْتُ نِكَاحَهَا، أَوْ قد اخترت إمساكها، أو قد اخترت جنسها فإن قال: قد أخرتها صَحَّ، فَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ: قَدْ أَمْسَكْتُهَا؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} (البقرة: 229) وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِغَيْلَانَ: ” أَمْسِكْ أَرْبَعًا ” وَإِنْ قَالَ: قَدْ حَبَسْتُهَا لم يصح اختياره لِاحْتِمَالِهِ، وَلِأَنَّ الشَّرْعَ لَمْ يَأْتِ بِهِ، وَإِنْ قال: قد ردتها لَمْ يَصِحَّ اخْتِيَارُهَا لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُونَ رَدَّهَا إِلَى أَهْلِهَا أَوْ رَدَّهَا إِلَى نَفْسِهِ، فَلَوْ أَرَادَ بِهِ الِاخْتِيَارَ لَمْ يَصِحَّ، لِأَنَّ الِاخْتِيَارَ يَجْرِي مَجْرَى عَقْدِ النِّكَاحِ الَّذِي لَا يصح إلا بالتصريح دون الكناية.
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah tentang seorang musyrik yang masuk Islam dan bersamanya delapan istri yang juga masuk Islam. Maka ia wajib memilih empat di antara mereka agar tidak menjadi orang yang mengumpulkan delapan istri sekaligus. Jika ia menunda untuk memilih, hakim akan menanyakan alasan penundaannya dan memerintahkannya untuk segera memilih, agar ia tidak terus-menerus dalam keadaan yang dilarang syariat, yaitu mengumpulkan lebih dari empat istri. Jika ia meminta penundaan agar dapat berpikir dalam memilih dan mempertimbangkan mana yang paling bermanfaat baginya, maka hakim memberinya waktu selama masa yang memungkinkan ia berpikir dengan baik. Apakah boleh penundaan itu sampai tiga hari atau tidak? Ada dua pendapat, sebagaimana penundaan bagi mu‘alla dan murtad. Jika setelah penundaan ia memilih, maka ia diberi pilihan antara memilih empat istri, sehingga pilihannya itu berarti membatalkan pernikahan dengan selain mereka, atau ia membatalkan pernikahan dengan empat istri, sehingga pembatalan itu berarti memilih pernikahan dengan selain mereka. Kecuali jika istri yang tersisa setelah pembatalan pernikahan dengan empat istri itu masih lebih dari empat, misalnya ia memiliki sepuluh istri, maka setelah membatalkan pernikahan dengan empat, ia harus memilih empat dari enam yang tersisa, atau membatalkan pernikahan dengan dua di antara mereka sehingga yang tersisa adalah empat. Pilihan dan pembatalan itu dilakukan dengan ucapan. Pilihannya secara lisan adalah dengan mengatakan: “Aku telah memilih menikahinya,” atau “Aku telah memilih mempertahankannya,” atau “Aku telah memilih jenisnya.” Jika ia berkata: “Aku telah menundanya,” maka itu sah. Begitu pula jika ia berkata: “Aku telah mempertahankannya,” karena Allah Ta‘ala berfirman: {Maka tahanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik} (al-Baqarah: 229), dan Nabi ﷺ bersabda kepada Ghailan: “Tahanlah empat istri.” Jika ia berkata: “Aku telah menahannya,” maka pilihannya tidak sah karena mengandung kemungkinan makna lain dan syariat tidak datang dengan lafaz tersebut. Jika ia berkata: “Aku telah mengembalikannya,” maka pilihannya juga tidak sah karena bisa jadi maksudnya mengembalikan kepada keluarganya atau kepada dirinya sendiri. Jika ia bermaksud memilih dengan ucapan itu, maka tidak sah, karena pilihan itu seperti akad nikah yang tidak sah kecuali dengan ucapan yang jelas, bukan dengan kinayah (sindiran).
وفسخه قولان: أَنْ يَقُولَ قَدْ فَسَخْتُ نِكَاحَهَا أَوْ قَدْ رَفَعْتُ نِكَاحَهَا أَوْ قَدْ أَنْزَلْتُ نِكَاحَهَا فَكُلُّ ذَلِكَ فَسْخٌ صَرِيحٌ، لِأَنَّهَا أَلْفَاظٌ مُشْتَرَكَةُ الْمَعَانِي، وَلَوْ قَالَ قَدْ صَرَفْتُهَا أَوْ أَبْعَدْتُهَا كَانَ كِنَايَةً يَرْجِعُ إِلَى إِرَادَتِهِ فِيهِ، فَإِنْ أَرَادَ بِهِ الْفَسْخَ صَحَّ، لِأَنَّ الْفَسْخَ يَجْرِي مَجْرَى الطلاق الذي صح بالتصريح وَبِالْكِنَايَةِ، فَلَوْ قَالَ قَدْ حَرَّمْتُهَا كَانَ كِنَايَةً يَحْتَمِلُ الْفَسْخَ، وَيَحْتَمِلُ الطَّلَاقَ، فَإِنْ أَرَادَ بِهِ الطَّلَاقَ كَانَ اخْتِيَارًا وَإِنْ أَرَادَ بِهِ الْفَسْخَ كَانَ فَسْخًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِرَادَةٌ لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا، وَهَلْ يَكُونُ فَسْخًا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun pembatalan pernikahan, ada dua pendapat: yaitu dengan mengatakan, “Aku telah membatalkan pernikahannya,” atau “Aku telah mengangkat pernikahannya,” atau “Aku telah menurunkan pernikahannya.” Semua itu adalah pembatalan yang jelas, karena kata-kata tersebut memiliki makna yang sama. Jika ia berkata, “Aku telah memalingkannya” atau “Aku telah menjauhkannya,” maka itu adalah kinayah (sindiran) yang kembali kepada niatnya. Jika ia bermaksud membatalkan, maka sah, karena pembatalan itu seperti talak yang sah baik dengan ucapan jelas maupun kinayah. Jika ia berkata, “Aku telah mengharamkannya,” maka itu adalah kinayah yang bisa bermakna pembatalan atau talak. Jika ia bermaksud talak, maka itu adalah pilihan (talak), dan jika ia bermaksud pembatalan, maka itu adalah pembatalan. Jika ia tidak memiliki niat apa pun, maka itu bukan talak. Apakah itu menjadi pembatalan atau tidak? Ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: يَكُونُ فَسْخًا، لِأَنَّ الْمَفْسُوخَ نِكَاحُهَا مُحَرَّمَةٌ.
Pendapat pertama: Itu menjadi pembatalan, karena istri yang pernikahannya dibatalkan menjadi haram baginya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ فَسْخًا لِأَمْرَيْنِ:
Pendapat kedua: Itu tidak menjadi pembatalan karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْكِنَايَةَ إِذَا تَجَرَّدَتْ عَنْ نِيَّةٍ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا حُكْمٌ.
Pertama: Jika kinayah (sindiran) tidak disertai niat, maka tidak ada hukum yang terkait dengannya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ حُكْمٌ ثَبَتَ بَعْدَ الْفَسْخِ فَاقْتَضَى أَنْ يَتَقَدَّمَهُ مَا يَقَعُ بِهِ الْفَسْخُ، فَلَوْ قَالَ: قَدْ فَارَقْتُهَا كَانَ فَسْخًا وَلَوْ قَالَ: قَدْ طَلَّقْتُهَا كَانَ اخْتِيَارًا.
Kedua: Karena hukum itu berlaku setelah pembatalan, maka harus didahului dengan sesuatu yang menyebabkan pembatalan. Jika ia berkata, “Aku telah berpisah dengannya,” maka itu adalah pembatalan. Jika ia berkata, “Aku telah menceraikannya,” maka itu adalah pilihan (talak).
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَا صَرِيحَيْنِ فِي طَلَاقِ الزَّوْجَاتِ، أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يقع إلا على زوجةٍ فلذلك جعلنه اختياراً، والفراق قد يقع على زوجته فيكون طلاقاً، وعلى غير زوجته: فَيَكُونُ إِبْعَادًا فَلِذَلِكَ جُعِلَ فَسْخًا، فَلَوْ قَالَ: أَرَدْتُ بِالْفِرَاقِ الطَّلَاقَ قُبِلَ مِنْهُ وَصَارَ اخْتِيَارًا وَطَلَاقًا وَلَوْ قَالَ أَرَدْتُ بِالطَّلَاقِ الْفَسْخَ لَمْ يقبل منه، لأن الطلاق لا يصح إلا على زوجته، والفسخ لا يكون هاهنا إلا بغير زوجته، فَأَمَّا إِذَا قَالَ قَدْ سَرَّحْتُهَا كَانَ كَالْفِرَاقِ فَسْخًا؛ لِأَنَّهُ أَشْبَهُ بِمَعْنَاهُ فَإِنْ أَرَادَ بِهِ الطلاق صار اختيار كَالْفِرَاقِ، فَأَمَّا إِذَا ظَاهَرَ مِنْهَا أَوْ آلَى لم تكن اخْتِيَارًا وَلَا فَسْخًا؛ لِأَنَّ الظِّهَارَ وَالْإِيلَاءَ قَدْ تُخَاطَبُ بِهِ الزَّوْجَةُ وَغَيْرُ الزَّوْجَةِ، وَإِنْ لَمْ يستقر حكمها إلا في زوجته، وَإِذَا لَمْ يَكُنِ الظِّهَارُ فِي الْحَالِ اخْتِيَارًا وَلَا فَسْخًا نَظَرَ فِي الَّتِي ظَاهَرَ مِنْهَا وَآلَى فَإِنِ اخْتَارَ فَسْخَ نِكَاحِهَا سَقَطَ حُكْمُ ظهاره وإيلائه، وَإِنِ اخْتَارَ جِنْسَ نِكَاحِهَا ثَبَتَ ظِهَارُهُ وَإِيلَاؤُهُ منها؛ لأنها كانت زوجته وَقْتَ ظِهَارِهِ وَإِيلَائِهِ.
Perbedaan antara keduanya, meskipun keduanya secara eksplisit bermakna talak terhadap para istri, adalah bahwa talak tidak terjadi kecuali terhadap seorang istri, maka karena itu talak dianggap sebagai bentuk pilihan. Sedangkan “firaq” (perpisahan) bisa terjadi terhadap istrinya sehingga menjadi talak, dan bisa juga terhadap selain istrinya sehingga menjadi pemutusan (ib‘ād), maka karena itu dianggap sebagai fasakh. Maka jika seseorang berkata, “Aku maksudkan dengan firaq adalah talak,” maka diterima darinya dan dianggap sebagai pilihan dan talak. Namun jika ia berkata, “Aku maksudkan dengan talak adalah fasakh,” maka tidak diterima darinya, karena talak tidak sah kecuali terhadap istrinya, dan fasakh tidak terjadi di sini kecuali terhadap selain istrinya. Adapun jika ia berkata, “Aku telah melepaskannya (sarrahtuha),” maka hukumnya seperti firaq, yaitu fasakh, karena maknanya lebih mirip dengan itu. Jika ia bermaksud talak dengannya, maka menjadi pilihan seperti firaq. Adapun jika ia melakukan zihar atau ila’, maka itu tidak dianggap sebagai pilihan maupun fasakh, karena zihar dan ila’ dapat ditujukan kepada istri maupun selain istri, meskipun hukumnya tidak tetap kecuali pada istrinya. Dan jika zihar pada saat itu bukan merupakan pilihan maupun fasakh, maka dilihat kepada wanita yang dizihari atau di-ila’-i; jika ia memilih untuk memfasakh nikahnya, maka gugurlah hukum zihar dan ila’-nya. Namun jika ia memilih untuk tetap mempertahankan nikahnya, maka tetaplah hukum zihar dan ila’-nya terhadapnya, karena ia adalah istrinya pada saat zihar dan ila’ tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا وَطِئَ من الثماني الْمَوْقُوفَاتِ عَلَى اخْتِيَارِهِ وَفَسْخِهِ أَرْبَعًا، فَهَلْ يَكُونُ وطؤه اخْتِيَارًا لَهُنَّ كَمَا يَكُونُ وَطْءُ الْبَائِعِ لِلْجَارِيَةِ الْمَبِيعَةِ فِي خِيَارِ الثَّلَاثِ اخْتِيَارًا لِفَسْخِ الْبَيْعِ؟ فَعَلَى هَذَا قَدْ ثَبَتَ بِوَطْئِهِنَّ اخْتِيَارُ نِكَاحِهِنَّ وَانْفَسَخَ بِهِ نِكَاحُ مَنْ عَدَاهُنَّ.
Adapun jika ia menggauli dari delapan wanita yang statusnya tergantung pada pilihannya dan fasakh-nya, sebanyak empat orang, maka apakah perbuatannya itu dianggap sebagai pilihan terhadap mereka, sebagaimana perbuatan penjual yang menggauli budak perempuan yang dijual dalam masa khiyar tiga hari dianggap sebagai pilihan untuk membatalkan jual beli? Berdasarkan pendapat ini, dengan menggauli mereka, telah tetaplah pilihan nikah mereka dan terfasakhlah nikah selain mereka.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ اخْتِيَارًا، لِأَنَّ الِاخْتِيَارَ يَجْرِي مَجْرَى عَقْدِ النِّكَاحِ، وَالنِّكَاحُ لَا يُعْقَدُ إِلَّا بالقول دون الفعل، كذلك الِاخْتِيَارُ وَخَالَفَ الْفَسْخُ فِي الْبَيْعِ، لِأَنَّهُ اسْتِفَادَةُ ملك والأملاك قد تستفاد بالملك كَالسَّبْيِ، وَبِالْقَوْلِ كَالْبَيْعِ، فَجَازَ أَنْ يُسْتَفَادَ مِلْكُهُ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَلَى خِيَارِهِ فِي اخْتِيَارِهِ مَنْ شَاءَ مِنَ الْمَوْطُوءَاتِ وَغَيْرِهِنَّ فَإِنِ اخْتَارَ إِمْسَاكَ الْمَوْطُوءَاتِ ثَبَتَ نِكَاحُهُنَّ، وَكَانَتْ إِصَابَتُهُ لَهُنَّ إِصَابَةً فِي زَوْجِيَّةٍ فَلَا يَجِبُ بِهَا لَهُنَّ مَهْرٌ، وَلَا يَجِبُ بِهَا عَلَيْهِنَّ عِدَّةٌ، وَإِنِ اخْتَارَ إِمْسَاكَ غَيْرِ الْمَوْطُوءَاتِ ثَبَتَ نِكَاحُهُنَّ بِالِاخْتِيَارِ، وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْمَوْطُوءَاتِ، وَكَانَتْ إِصَابَتُهُ لَهُنَّ إِصَابَةَ شُبْهَةٍ لِأَجْنَبِيَّاتٍ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لِأَجْلِ الشُّبْهَةِ، وَعَلَيْهِ لَهُنَّ مُهُورُ أَمْثَالِهِنَّ، وَعَلَيْهِنَّ الْعِدَّةُ، وَتَكُونُ عِدَّةُ الْفَسْخِ وَالْإِصَابَةِ مَعًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَبْعَدَ الْأَجَلَيْنِ، وَهُوَ الْفَسْخُ، لِأَنَّهُ بَعْدَ الْوَطْءِ.
Pendapat kedua: bahwa perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai pilihan, karena pilihan itu sejalan dengan akad nikah, dan nikah tidak sah kecuali dengan ucapan, bukan dengan perbuatan, demikian pula pilihan. Berbeda dengan fasakh dalam jual beli, karena itu adalah perolehan kepemilikan, dan kepemilikan terkadang diperoleh dengan perbuatan seperti dalam kasus tawanan perang, dan dengan ucapan seperti dalam jual beli, maka boleh kepemilikan diperoleh dengan ucapan maupun perbuatan. Berdasarkan ini, ia tetap berada dalam masa khiyar untuk memilih siapa saja dari wanita yang telah digauli maupun yang belum digauli. Jika ia memilih untuk mempertahankan yang telah digauli, maka tetaplah nikah mereka, dan perbuatannya terhadap mereka dianggap sebagai hubungan dalam pernikahan, sehingga tidak wajib bagi mereka mahar, dan tidak wajib atas mereka masa iddah. Jika ia memilih untuk mempertahankan selain yang telah digauli, maka tetaplah nikah mereka dengan pilihan, dan terfasakhlah nikah wanita yang telah digauli, dan perbuatannya terhadap mereka dianggap sebagai hubungan syubhat dengan wanita ajnabiyyah, sehingga tidak dikenakan had karena adanya syubhat, namun ia wajib membayar mahar mitsil kepada mereka, dan mereka wajib menjalani masa iddah. Masa iddah karena fasakh dan karena hubungan itu dijalani bersamaan, yaitu mereka menunggu diri mereka selama masa yang lebih lama di antara keduanya, dan itu adalah masa fasakh, karena terjadi setelah hubungan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ ما وصنفاه مِنْ حُكْمِ اخْتِيَارِهِ وَفَسْخِهِ فَأَقَامَ عَلَى الِامْتِنَاعِ منهما، فلم يختر ولو يَفْسَخْ حَبَسَهُ السُّلْطَانُ تَأْدِيبًا لِمُقَامِهِ عَلَى مَعْصِيَةٍ، وَلِامْتِنَاعِهِ مِنْ حَقٍّ وَلِإِضْرَارِهِ بِمَوْقُوفَاتٍ عَلَى اخْتِيَارِهِ، فَإِنْ أَقَامَ عَلَى الِامْتِنَاعِ بَعْدَ حَبْسِهِ عَزَّرَهُ ضَرْبًا بَعْدَ أَنْ عَزَّرَهُ حَبْسًا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْتَارَ السُّلْطَانُ عَلَيْهِ أَوْ يَفْسَخَ، وَإِنْ جَازَ فِي أَحَدِ قَوْلَيْهِ أَنْ يُطَلِّقَ عَلَى الْمُولِي إِذَا امْتَنَعَ مِنَ الْفَيْئَةِ أَوِ الطَّلَاقِ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Apabila telah jelas apa yang kami uraikan tentang hukum pilihan dan fasakh, lalu ia tetap menahan diri dari keduanya, tidak memilih dan tidak juga memfasakh, maka penguasa menahannya sebagai bentuk ta’zir atas sikapnya yang terus-menerus dalam kemaksiatan, atas penolakannya terhadap hak, dan atas perbuatannya yang merugikan wanita-wanita yang statusnya tergantung pada pilihannya. Jika ia tetap menolak setelah ditahan, maka penguasa boleh men-ta’zir-nya dengan pukulan setelah sebelumnya men-ta’zir-nya dengan penahanan. Tidak boleh penguasa memilihkan atau memfasakhkan untuknya, meskipun dalam salah satu dari dua pendapat diperbolehkan bagi penguasa untuk men-talaq-kan atas al-muli (suami yang melakukan ila’) jika ia menolak untuk kembali atau men-talaq-kan. Perbedaannya antara keduanya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الِاخْتِيَارَ كَالْعَقْدِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْقَدَ عَلَيْهِ جَبْرًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْتَارَ عَلَيْهِ جَبْرًا، وَالطَّلَاقُ كَالْفَسْخِ الَّذِي يَجُوزُ أَنْ يُفْسَخَ عَلَيْهِ جَبْرًا فَجَازَ أَنْ يُطَلَّقَ عَلَيْهِ جَبْرًا.
Pertama: bahwa pilihan itu seperti akad yang tidak boleh dipaksakan atas seseorang, maka tidak boleh dipilihkan untuknya secara paksa. Sedangkan talak seperti fasakh yang boleh dilakukan secara paksa atas seseorang, maka boleh ditalaq-kan atasnya secara paksa.
وَالثَّانِي: أن الطلاق في الإيلاء معين لا يقف على الشهود فَجَازَ إِيقَاعُهُ عَلَيْهِ جَبْرًا، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا أُطِيلُ حَبْسُهُ وَتَعْزِيرُهُ حَتَّى يُجِيبَ إِلَى الِاخْتِيَارِ وَالْفَسْخِ بِنَفْسِهِ.
Kedua: Bahwa talak dalam kasus ila’ (sumpah tidak menggauli istri) adalah talak tertentu yang tidak bergantung pada adanya saksi, sehingga boleh dijatuhkan secara paksa atasnya. Jika demikian, maka masa penahanannya dan pemberian ta‘zir (hukuman disiplin) dapat diperpanjang hingga ia memilih sendiri antara rujuk atau memutuskan (fasakh) pernikahan.
فَصْلٌ
Fasal
ثُمَّ لَهُنَّ فِي زَمَانِ حَبْسِهِ وَوَقْفِهِنَّ عَلَى اخْتِيَارِهِ وَفَسْخِهِ النَّفَقَةُ، وَالسُّكْنَى، لِأَنَّهُنَّ مَوْقُوفَاتٌ عَلَيْهِ بِنِكَاحٍ سَابِقٍ فَكَانَ أَسْوَأُ أَحْوَالِهِنَّ أَنْ يُجْرِينَ مَجْرَى الْمُطَلَّقَةِ الرَّجْعِيَّةِ فِي زَمَانِ عِدَّتِهَا فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ وَالسُّكْنَى لَهَا، فَإِنْ مَاتَ الزَّوْجُ سَقَطَتْ نَفَقَاتُهُنَّ لِزَوَالِ مَا أَوْجَبَ النَّفَقَةَ مِنْ وَقْتِ نِكَاحِهِنَّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْتَارَ الْوَارِثُ بَعْدَ مَوْتِهِ لِأَنَّ الِاخْتِيَارَ لا يصح فِيهِ النِّيَابَةُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوقِعَهُ الْحَاكِمُ جبراً، وتعلق بِمَوْتِهِ فَصْلَانِ:
Kemudian, selama masa penahanan suami dan menunggu pilihannya untuk rujuk atau memutuskan (fasakh), para istri tetap berhak atas nafkah dan tempat tinggal. Hal ini karena mereka masih terikat dengan pernikahan sebelumnya, sehingga dalam kondisi terburuk mereka diperlakukan seperti wanita yang ditalak raj‘i selama masa iddahnya, yaitu tetap wajib diberi nafkah dan tempat tinggal. Jika suami meninggal dunia, maka gugurlah hak nafkah mereka karena hilangnya sebab yang mewajibkan nafkah sejak akad nikah, sehingga tidak boleh ahli waris memilih (rujuk atau fasakh) setelah kematiannya, karena dalam hal ini tidak sah adanya perwakilan, dan hakim pun tidak boleh menjatuhkan talak secara paksa. Dengan kematian suami, terdapat dua pembahasan:
أَحَدُهُمَا: فِي الْعِدَّةِ.
Pertama: Tentang iddah.
وَالثَّانِي: فِي الميراث.
Kedua: Tentang warisan.
فأما العدة ففيها أربع زوجات يلزمهن الْوَفَاةِ وَفِيهِنَّ أَرْبَعٌ مُفَارَقَاتٌ يَلْزَمُهُنَّ عِدَّةُ الِاسْتِبْرَاءِ من وطء ليس يتميز الزوجات عن غَيْرِهِنَّ، وَلَا يَخْلُو حَالُهُنَّ فِيهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.
Adapun mengenai iddah, terdapat empat istri yang wajib menjalani iddah wafat, dan ada empat wanita yang berpisah (karena sebab lain) yang wajib menjalani iddah istibra’ (untuk memastikan tidak ada kehamilan) akibat hubungan suami istri, sehingga tidak ada perbedaan antara para istri dan selain mereka. Dalam hal ini, keadaan mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
إِمَّا أَنْ يَكُنَّ مِنْ ذَوَاتِ الْحَمْلِ، أَوْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ، أَوْ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ فَإِنْ كُنَّ حَوَامِلَ اعْتَدَدْنَ بِوَضْعِهِ، وَقَدِ اسْتَوَتْ فِيهِ عِدَّةُ الْوَفَاةِ وَعِدَّةُ الِاسْتِبْرَاءِ، وَإِنْ كُنَّ مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُورِ لِصِغَرٍ أَوْ إِيَاسٍ فَعِدَّةُ الْوَفَاةِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَعِدَّةُ الْآيِسَةِ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ، فَتَعْتَدُّ كُلُّ وَاحِدَةٍ بِأَطْوَلِ الْعِدَّتَيْنِ، وَهِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَإِنْ كُنَّ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ فَعِدَّةُ الْوَفَاةِ فِيهِنَّ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَعِدَّةُ الِاسْتِبْرَاءِ ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ، فَتَعْتَدُّ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِأَبْعَدِ الْأَجَلَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، أَوْ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ لِتَكُونَ مُسْتَبْرِئَةً لِنَفْسِهَا بِيَقِينٍ، فَإِنْ مَضَتْ ثَلَاثَةُ أَقْرَاءٍ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا اسْتَكْمَلَتْ تَمَامَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ زَوْجَةً، أَوْ مَضَتْ أَرْبَعَةُ أشهر وعشراً، قبل أقراء استكملت ثلاثة أقراء لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ مُسْتَبْرَأَةً مِنْ غَيْرِ زَوْجِيَّةٍ.
Yaitu: apakah mereka termasuk wanita hamil, wanita yang masih mengalami haid, atau wanita yang masa iddahnya dihitung dengan bulan (karena masih kecil atau sudah menopause). Jika mereka hamil, maka masa iddahnya selesai dengan melahirkan, dan dalam hal ini masa iddah wafat dan iddah istibra’ sama. Jika mereka termasuk wanita yang masa iddahnya dihitung dengan bulan karena masih kecil atau sudah menopause, maka masa iddah wafat adalah empat bulan sepuluh hari, sedangkan masa iddah wanita menopause adalah tiga bulan. Maka setiap wanita menjalani iddah dengan masa terpanjang di antara dua iddah tersebut, yaitu empat bulan sepuluh hari. Jika mereka termasuk wanita yang masih mengalami haid, maka masa iddah wafat bagi mereka adalah empat bulan sepuluh hari, sedangkan masa iddah istibra’ adalah tiga kali haid. Maka setiap wanita menjalani iddah dengan masa terlama di antara dua masa tersebut, yaitu empat bulan sepuluh hari atau tiga kali haid, agar benar-benar terbebas dari kemungkinan kehamilan. Jika telah berlalu tiga kali haid sebelum empat bulan sepuluh hari, maka ia tetap melengkapi hingga genap empat bulan sepuluh hari, karena mungkin saja ia masih berstatus istri. Jika telah berlalu empat bulan sepuluh hari sebelum tiga kali haid, maka ia tetap melengkapi hingga tiga kali haid, karena mungkin saja ia telah terbebas dari status istri.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْمِيرَاثُ فَيُوقَفُ لَهُنَّ إِنْ لَمْ يحجبن الربع، وإن حجبن الثمن؛ لأن فيهن أَرْبَعَ زَوْجَاتٍ وَارِثَاتٍ، وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنَّ فَيَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى صُلْحِهِنَّ، فَإِنِ اصْطَلَحْنَ عَلَيْهِ مُتَسَاوِيَاتٍ، أَوْ مُتَفَاضِلَاتٍ، أَوْ عَلَى تَعْيِينِ، أَرْبَعٍ مِنْهُنَّ يقتسمنه، وتحرم الباقيات جاز أن لا يَكُونَ فِيهِنَّ مَحْجُورٌ عَلَيْهَا لِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ، قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ “؛ فَلَيْسَ لِوَلِيِّهَا أَنْ يُصَالِحَ عَنْهَا بِأَقَلَّ مِنْ نِصْفِ مِيرَاثِ زوجته وهو ثمن الْمَوْقُوفِ لَهُنَّ مِنْ رُبُعٍ أَوْ ثُمُنٍ؛ لِأَنَّهُنَّ لَمَّا كُنَّ ثَمَانِيًا مُتَسَاوِيَاتِ الْأَحْوَالِ كَانَ الظَّاهِرُ من وقف ذلك عليهن يساويهن فِيهِ وَأَنَّ الْمَوْقُوفَ عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثمن الوقف، فلم يجوز أَنْ يُصَالِحَ الْوَلِيُّ عَلَى أَقَلَّ مِنْ مُقْتَضَى الْوَقْفِ فَلَوْ كَانَ وَقْفُ مِيرَاثِهِنَّ عَلَى حَالِهِ فَجَاءَتْ وَاحِدَةٌ تَطْلُبُ مِنَ الْمَوْقُوفِ شَيْئًا لَمْ تُعْطَ؛ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ أَجْنَبِيَّةً، وَكَذَلِكَ لَوْ جَاءَ مِنْهُنَّ اثْنَتَانِ، أَوْ ثَلَاثٌ، أَوْ أَرْبَعٌ؛ لجواز أن يكن الأربع كلهن أجانب والباقيات زَوْجَاتٍ، فَإِنْ جَاءَ مِنْهُنَّ خَمْسٌ تَحَقَّقْنَا حِينَئِذٍ أن منهن زوجته فدفعنا إليهن إذا طلبن بعين مالهن، وَهُوَ رُبُعُ الْمَوْقُوفِ مِنْ رُبُعٍ أَوْ ثُمُنٍ، يُدْفَعُ ذَلِكَ إِلَيْهِنَّ بِشَرْطِ الرِّضَى بِهِ عَنْ حَقِّهِنَّ فِيهِ وَجْهَانِ:
Adapun mengenai warisan, maka warisan itu ditangguhkan untuk mereka jika mereka tidak menghalangi bagian seperempat, dan jika mereka menghalangi bagian seperdelapan; karena di antara mereka terdapat empat istri yang berhak mewarisi. Jika belum dapat ditentukan siapa saja, maka warisan itu tetap ditangguhkan sampai mereka berdamai. Jika mereka sepakat untuk membaginya secara sama rata, atau berbeda-beda, atau menunjuk empat di antara mereka untuk membaginya, dan sisanya tidak mendapat bagian, maka boleh saja tidak ada di antara mereka yang sedang dalam status tidak cakap hukum karena masih kecil atau gila. Asy-Syafi‘i berkata dalam kitab “Al-Umm”: Tidak boleh bagi wali mereka untuk berdamai atas nama mereka dengan bagian kurang dari setengah warisan istrinya, yaitu seperdelapan dari bagian yang ditangguhkan untuk mereka dari seperempat atau seperdelapan; karena ketika mereka berjumlah delapan orang dengan kondisi yang sama, maka yang tampak dari penangguhan itu adalah untuk membagi rata di antara mereka, dan bagian yang ditangguhkan untuk masing-masing dari mereka adalah seperdelapan dari bagian yang ditangguhkan, sehingga tidak boleh wali berdamai dengan bagian kurang dari yang ditetapkan oleh penangguhan tersebut. Jika warisan mereka tetap dalam keadaan tertangguh, lalu salah satu dari mereka datang meminta bagian dari yang ditangguhkan, maka tidak diberi; karena bisa jadi ia adalah orang asing (bukan istri), demikian pula jika yang datang dua, tiga, atau empat orang; karena bisa jadi keempatnya adalah orang asing dan sisanya adalah istri-istri. Namun jika yang datang lima orang, maka dapat dipastikan bahwa di antara mereka ada istrinya, maka diberikan kepada mereka jika mereka meminta bagian yang menjadi hak mereka, yaitu seperempat dari bagian yang ditangguhkan dari seperempat atau seperdelapan, dan itu diberikan kepada mereka dengan syarat mereka rela menerima bagian tersebut sebagai hak mereka di dalamnya, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لَا يُدْفَعُ ذَلِكَ إِلَيْهِنَّ إلا على شرط الرضى بِهِ عَنْ حَقِّهِنَّ، وَإِلَّا مُنِعْنَ مِنْهُ حَتَّى يَتَرَاضَى جَمِيعُهُنَّ، فَعَلَى هَذَا إِذَا دُفِعَ ذَلِكَ إِلَيْهِنَّ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ وَجَبَ دَفْعُ الْبَاقِي من الميراث الموقوف، وهو ثلاثة أَرْبَاعِهِ إِلَّا الثَّلَاثَ الْبَاقِيَاتِ.
Salah satunya: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa bagian itu tidak diberikan kepada mereka kecuali dengan syarat mereka rela menerimanya sebagai hak mereka, jika tidak, maka mereka dicegah dari menerimanya sampai semuanya saling rela. Berdasarkan pendapat ini, jika bagian itu diberikan kepada mereka dengan syarat tersebut, maka sisa warisan yang ditangguhkan, yaitu tiga perempatnya, wajib diberikan kepada tiga orang sisanya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ اشْتِرَاطُ ذَلِكَ عَلَيْهِنَّ فِي الدَّفْعِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْبَاقِي مِنْ ثَلَاثَةِ أَرْبَاعِ مِيرَاثِهِنَّ مَوْقُوفًا عَلَى جَمِيعِهِنَّ، وَلَا يَدْفَعُ إِلَى الثَّلَاثِ الْبَاقِيَاتِ وَالْأَوَّلُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ أَصَحُّ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بَعْضُهُنَّ بِشَيْءٍ مِنَ الْمَوْقُوفِ عَلَى جَمِيعِهِنَّ إِلَّا عَنْ تَرَاضٍ وَاصْطِلَاحٍ، فَلَوْ كَانَ الْمُطَالَبَاتُ مِنْهُنَّ سِتًّا دَفَعَ إِلَيْهِنَّ نصف الموقوف من ميراثهن، ولأن فِيهِنَّ زَوْجَتَيْنِ، وَكَانَ النِّصْفُ الْبَاقِي عَلَى الْوَجْهَيْنِ، وَلَوْ كَانَ فِيهِنَّ سَبْعٌ دَفَعَ إِلَيْهِنَّ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِ الْمَوْقُوفِ؛ لِأَنَّ فِيهِنَّ ثَلَاثَ زَوْجَاتٍ، وَكَانَ الرُّبُعُ الْبَاقِي عَلَى الْوَجْهَيْنِ، وَلَوْ كَانَ الثَّمَانُ كُلُّهُنَّ يَطْلُبْنَ دَفَعَ إِلَيْهِنَّ جَمِيعَ مِيرَاثِهِنَّ لِأَنَّهُ موقوف عليهن، وليس فيه حق لهن.
Pendapat kedua: bahwa tidak wajib mensyaratkan kerelaan tersebut kepada mereka dalam pemberian bagian, sehingga sisa tiga perempat warisan mereka tetap ditangguhkan untuk semuanya, dan tidak diberikan kepada tiga orang sisanya. Pendapat pertama dari dua pendapat ini lebih kuat; karena tidak boleh sebagian dari mereka mengambil bagian dari yang ditangguhkan untuk semuanya kecuali dengan kerelaan dan kesepakatan bersama. Jika yang meminta bagian dari mereka ada enam orang, maka diberikan kepada mereka setengah dari bagian yang ditangguhkan dari warisan mereka, karena di antara mereka terdapat dua istri, dan setengah sisanya tetap menurut kedua pendapat tersebut. Jika di antara mereka ada tujuh orang, maka diberikan kepada mereka tiga perempat dari bagian yang ditangguhkan; karena di antara mereka ada tiga istri, dan seperempat sisanya tetap menurut kedua pendapat tersebut. Jika kedelapan orang tersebut semuanya meminta, maka diberikan kepada mereka seluruh warisan mereka, karena memang ditangguhkan untuk mereka, dan tidak ada hak bagi selain mereka di dalamnya.
فصل
Fasal
وإذا أسلم المشرك عن ثمان زَوْجَاتٍ مُشْرِكَاتٍ: أَرْبَعٌ مِنْهُنَّ وَثَنِيَّاتٌ أَسْلَمْنَ مَعَهُ وَأَرْبَعٌ كِتَابِيَّاتٍ بَقِينَ عَلَى دِينِهِنَّ كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَخْتَارَ إِمْسَاكَ الْأَرْبَعِ الْكِتَابِيَّاتِ فَإِنْ مات عنهن لم ترثنه وَبَيْنَ أَنْ يَخْتَارَ بَعْضَ الْمُسْلِمَاتِ، وَبَعْضَ الْكِتَابِيَّاتِ فَإِنْ مَاتَ وَرِثَهُ الْمُسْلِمَاتُ دُونَ الْكِتَابِيَّاتِ، فَلَوْ مَاتَ قَبْلَ اخْتِيَارِ أَرْبَعٍ مِنْهُنَّ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يُوقَفُ مِيرَاثُهُنَّ مِنْ تَرِكَتِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika seorang musyrik masuk Islam dan ia memiliki delapan istri musyrik: empat di antaranya adalah wanita penyembah berhala yang masuk Islam bersamanya, dan empat lainnya adalah wanita ahli kitab yang tetap pada agamanya, maka ia berhak memilih antara menahan empat istri ahli kitab—jika ia wafat dalam keadaan demikian, mereka tidak mewarisinya—atau memilih sebagian dari istri-istri muslimah dan sebagian dari istri-istri ahli kitab—jika ia wafat, maka yang mewarisinya adalah istri-istri muslimah saja, bukan istri-istri ahli kitab. Jika ia wafat sebelum memilih empat di antara mereka, maka para ulama kami berbeda pendapat apakah warisan mereka dari harta peninggalannya ditangguhkan atau tidak, dengan dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي القاسم الداركي لا توقف لَهُنَّ شَيْئًا، لِأَنَّنَا نُوقِفُ مَا تَحَقَّقْنَا اسْتِحْقَاقَهُ، وَجَهِلْنَا مُسْتَحَقَّهُ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجَاتُ منهن الذميات، فلا يرثن فلذلك لم نوقف مِيرَاثَ الزَّوْجَاتِ.
Salah satunya: yaitu pendapat Abu al-Qasim ad-Daraki, bahwa tidak ada penangguhan warisan untuk mereka, karena kita hanya menangguhkan apa yang telah dipastikan haknya, sedangkan yang berhak belum diketahui, dan bisa jadi istri-istri yang berhak adalah dari kalangan dzimmi (ahli kitab), sehingga mereka tidak mewarisi. Oleh karena itu, warisan untuk para istri tidak ditangguhkan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُوقَفُ مِيرَاثُ الزَّوْجَاتِ، لأن لباقي الورثة لا يجوز أن ندفع إليهم إلا مَا تَحَقَّقْنَا اسْتِحْقَاقَهُمْ لَهُ، فَلَا يُدْفَعُ إِلَيْهِمْ مشكوكاً فيه، وقد يجوز أن يكون زَوْجَاتُهُ مِنْهُنَّ الْمُسْلِمَاتُ فَلَا يَكُونُ لِبَاقِي الْوَرَثَةِ من مِيرَاثِهِنَّ حُقٌّ، فَلِذَلِكَ كَانَ مَوْقُوفًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua: Warisan para istri ditangguhkan, karena untuk ahli waris yang lain tidak boleh diberikan kepada mereka kecuali apa yang telah kita pastikan hak mereka atasnya. Maka tidak boleh diberikan kepada mereka sesuatu yang masih diragukan. Bisa jadi di antara para istrinya ada yang muslimah, sehingga ahli waris yang lain tidak berhak atas warisan mereka. Oleh karena itu, warisan tersebut ditangguhkan. Allahu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولو أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ وثنيةٌ ثُمَّ تَزَوَّجَ أُخْتَهَا أَوْ أَرْبَعًا سِوَاهَا فِي عِدَّتِهَا فَالنِّكَاحُ مفسوخٌ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ أَنَّ النِّكَاحَ موقوفٌ كَمَا جعل نكاح من لم تسلم مَوْقُوفًا فَإِنْ أَسْلَمَتْ فِي الْعِدَّةِ عُلِمَ أَنَّهَا لَمْ تَزَلِ امْرَأَتَهُ وَإِنِ انْقَضَتْ قَبْلَ أَنْ تُسْلِمَ عُلِمَ أَنَّهُ لَا امْرَأَةَ لَهُ فَيَصِحُّ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ لِأَنَّهُ عَقَدَهُنَّ وَلَا امْرَأَةَ لَهُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang masuk Islam sementara ia masih memiliki istri penyembah berhala, lalu ia menikahi saudari istrinya itu atau menikahi empat wanita lain selain istrinya tersebut dalam masa iddahnya, maka pernikahan itu batal.” (Al-Muzani berkata:) “Yang lebih mirip dengan pendapatnya adalah bahwa pernikahan itu ditangguhkan, sebagaimana beliau menganggap pernikahan dengan wanita yang belum masuk Islam itu statusnya ditangguhkan. Jika istri tersebut masuk Islam dalam masa iddah, maka diketahui bahwa ia tetap menjadi istrinya. Namun jika masa iddahnya selesai sebelum ia masuk Islam, maka diketahui bahwa ia bukan lagi istrinya, sehingga pernikahan dengan empat wanita itu sah karena ia menikahi mereka dalam keadaan tidak memiliki istri.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أَسْلَمَ المشرك عن زوجة وثنية هي جَارِيَةٌ فِي عِدَّتِهَا فِي الشِّرْكِ فَنَكَحَ أُخْتَهَا، أَوْ خَالَتَهَا، أَوْ عَمَّتَهَا، أَوْ أَرْبَعًا سِوَاهَا كَانَ نِكَاحُهُ بَاطِلًا.
Al-Mawardi berkata: “Hal ini sebagaimana yang dikatakan: Jika seorang musyrik masuk Islam sementara ia memiliki istri penyembah berhala yang masih dalam masa iddah dalam keadaan syirik, lalu ia menikahi saudari istrinya, atau bibinya dari pihak ibu, atau bibinya dari pihak ayah, atau empat wanita lain selain istrinya, maka pernikahan itu batal.”
وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: يَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى إِسْلَامِ الْوَثَنِيَّةِ، فَإِنْ أَسْلَمَتْ بَطَلَ عَقْدُهُ عَلَى أُخْتِهَا وَعَلَى أَرْبَعٍ سِوَاهَا لِعِلْمِنَا أَنَّهَا كَانَتْ زَوْجَةً وَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ حَتَّى انْقَضَّتْ عدتها صح عقد عَلَى أُخْتِهَا وَعَلَى أَرْبَعٍ سِوَاهَا لِعِلْمِنَا أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ زَوْجَةً.
Al-Muzani berkata: “Statusnya ditangguhkan sampai istri penyembah berhala itu masuk Islam. Jika ia masuk Islam, maka batal akad nikah dengan saudari istrinya dan dengan empat wanita lain selain istrinya, karena kita mengetahui bahwa ia masih menjadi istri. Namun jika ia tidak masuk Islam hingga masa iddahnya selesai, maka sah akad nikah dengan saudari istrinya dan dengan empat wanita lain selain istrinya, karena kita mengetahui bahwa ia bukan lagi istrinya.”
قَالَ: لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ نِكَاحُ الْوَثَنِيَّةِ مَوْقُوفًا جَازَ أَنْ يَكُونَ نِكَاحُ أُخْتِهَا مَوْقُوفًا وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ إِذَا لَمْ يَقَعْ نَاجِزًا لَمْ يَقَعْ مَوْقُوفًا، وكان باطلاً والعقد على أخت زوجته الوثنية لَيْسَ بِنِكَاحٍ فَبَطَلَ، وَلَمْ يَكُنْ مَوْقُوفًا أَلَّا تَرَاهُ لَوْ نَكَحَ مُرْتَدَّةً لِيَكُونَ الْعَقْدُ عَلَيْهَا مَوْقُوفًا عَلَى إِسْلَامِهَا لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ بَاطِلًا لِأَنَّهُ لَمْ يَنْعَقِدْ نَاجِزًا؛ وَلِأَنَّهُ لَوْ نَكَحَ أُخْتَ زَوْجَتِهِ الْمُرْتَدَّةِ كَانَ بَاطِلًا، وَلَمْ يَكُنْ مَوْقُوفًا عَلَى إِسْلَامِهَا كَذَلِكَ إِذَا نَكَحَ أُخْتَ زَوْجَتِهِ الْوَثَنِيَّةِ، وَلِأَنَّهُ نَكَحَ مَنْ لَا يَقْدِرُ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، فَكَانَ نِكَاحُهَا بَاطِلًا كَنِكَاحِ الْمُرْتَدَّةِ وَالْوَثَنِيَّةِ.
Ia berkata: “Karena ketika pernikahan dengan wanita penyembah berhala itu statusnya ditangguhkan, maka boleh jadi pernikahan dengan saudari istrinya juga statusnya ditangguhkan. Namun ini adalah kekeliruan; sebab akad nikah apabila tidak terjadi secara langsung (naajiz), maka tidak bisa dianggap sebagai akad yang ditangguhkan, melainkan batal. Akad nikah dengan saudari istri penyembah berhala itu bukanlah pernikahan yang sah, sehingga batal dan tidak dianggap sebagai pernikahan yang ditangguhkan. Bukankah engkau melihat, jika seseorang menikahi wanita murtad dengan maksud agar akadnya ditangguhkan sampai ia masuk Islam, maka tidak boleh dan akadnya batal karena tidak terjadi secara langsung. Demikian pula, jika ia menikahi saudari istri murtadnya, maka batal dan tidak dianggap sebagai akad yang ditangguhkan sampai istri itu masuk Islam. Begitu pula jika ia menikahi saudari istri penyembah berhalanya. Karena ia menikahi wanita yang tidak mungkin ia nikmati, maka pernikahannya batal, sebagaimana pernikahan dengan wanita murtad dan penyembah berhala.”
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِوَقْفِ نِكَاحِ الْمُشْرِكِ فَفَاسِدٌ؛ لِأَنَّ حِلَّ النِّكَاحِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا وَعَقْدَهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا لوقوع الفرق بَيْنَ ابْتِدَاءِ الْعَقْدِ وَاسْتَدَامَتِهِ أَلَا تَرَاهُ لَوْ نَكَحَ مُحَرَّمَةً أَوْ مُعْتَدَّةً بَطَلَ نِكَاحُهَا لِوُجُودِ المنع في ابْتِدَائِهِ، وَلَوْ طَرَأَتِ الْعِدَّةُ أَوِ الْإِحْرَامُ عَلَيْهَا بَعْدَ نِكَاحِهَا لَمْ يَمْنَعْ مَنِ اسْتَدَامَتِهِ.
Adapun dalil yang digunakan bahwa pernikahan musyrik itu statusnya ditangguhkan, maka itu tidak benar; karena kehalalan pernikahan boleh jadi statusnya ditangguhkan, namun akadnya tidak boleh statusnya ditangguhkan, karena terdapat perbedaan antara permulaan akad dan kelangsungannya. Bukankah engkau melihat, jika seseorang menikahi wanita yang sedang ihram atau wanita yang sedang dalam masa iddah, maka pernikahannya batal karena adanya larangan pada permulaan akad. Namun jika masa iddah atau ihram itu terjadi setelah akad nikah, maka tidak membatalkan kelangsungan pernikahan.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا أَسْلَمَتِ الزَّوْجَةُ قَبْلَ الزَّوْجِ فَنَكَحَ الزَّوْجُ فِي الشِّرْكِ أُخْتَهَا أَوْ خَالَتَهَا صَحَّ النِّكَاحُ وَإِنْ كَانَتِ الْأُخْتُ الْمُسْلِمَةُ فِي الْعِدَّةِ، لأن مناكح الشريك مَعْفُوٌّ عَنْهَا، فَإِنْ أَسْلَمَ وَأَسْلَمَتْ مَعَهُ الْمَنْكُوحَةُ فِي الشِّرْكِ، وَأُخْتُهَا بَاقِيَةٌ فِي الْعِدَّةِ صَارَ كَالْمُشْرِكِ، إِذَا أَسْلَمَ مَعَ أُخْتَيْنِ فَيَكُونُ بِالْخِيَارِ فِي إِمْسَاكِ الْمُتَقَدِّمَةِ أَوِ الْمُتَأَخِّرَةِ، وَحُكِيَ عَنْ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ أَنَّهُ يُمْسِكُ الْمُتَقَدِّمَةَ، وَيَبْطُلُ نِكَاحُ الْمُتَأَخِّرَةِ، لِأَنَّ نِكَاحَهَا ثَبَتَ بِالْإِسْلَامِ مِنْ نِكَاحِ الْمُتَأَخِّرَةِ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٌ، لِأَنَّ نِكَاحَ الزَّوْجِ لَهُمَا مَعًا فِي الشِّرْكِ فَصَارَ حُكْمُ نِكَاحِهِ لِلثَّانِيَةِ بَعْدَ إِسْلَامِ الْأُولَى كَحُكْمِ نِكَاحِهِ لَهَا مَعَ شِرْكِ الْأُولَى اعْتِبَارًا بِالْمُتَعَاقِدَيْنِ دُونَ غيرها – والله أعلم -.
Adapun jika istri masuk Islam sebelum suami, lalu suami dalam keadaan masih musyrik menikahi saudari istrinya atau bibinya dari pihak ibu, maka pernikahan itu sah, meskipun saudari yang muslimah itu masih dalam masa iddah. Karena pernikahan orang musyrik dimaafkan. Jika kemudian suami masuk Islam dan wanita yang dinikahi dalam keadaan syirik itu juga masuk Islam bersamanya, sementara saudari istrinya masih dalam masa iddah, maka keadaannya seperti seorang musyrik yang masuk Islam bersama dua saudari, sehingga ia diberi pilihan untuk mempertahankan istri yang lebih dulu atau yang belakangan. Diriwayatkan dari Abu Hamid al-Isfarayini bahwa ia harus mempertahankan istri yang lebih dulu dan pernikahan dengan yang belakangan batal, karena pernikahan dengan yang lebih dulu telah tetap dengan keislamannya sebelum pernikahan dengan yang belakangan. Namun ini tidak benar, karena pernikahan suami dengan keduanya terjadi dalam keadaan syirik, sehingga hukum pernikahan dengan yang kedua setelah yang pertama masuk Islam sama dengan hukum pernikahan dengannya saat yang pertama masih musyrik, dengan mempertimbangkan kedua pihak yang berakad, bukan yang lainnya. Wallahu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ أَسْلَمَتْ قَبْلَهُ ثُمَّ أَسْلَمَ فِي الْعِدَّةِ أو لم يسلم حتى انقضت فلها نفقة العدة في الوجهين جميعاً لِأَنَّهَا محبوسةٌ عَلَيْهِ مَتَى شَاءَ أَنْ يُسْلِمَ كَانَا عَلَى النِّكَاحِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika istri masuk Islam lebih dahulu darinya (suami), kemudian suami masuk Islam dalam masa ‘iddah, atau tidak masuk Islam hingga masa ‘iddah selesai, maka istri berhak mendapatkan nafkah selama masa ‘iddah pada kedua keadaan tersebut. Sebab, ia tetap terikat dengannya; kapan saja suami masuk Islam, keduanya tetap berada dalam status pernikahan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي زَوْجَيْنِ مُشْرِكَيْنِ أَسْلَمَتِ الزَّوْجَةُ مِنْهُمَا بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَهَا النَّفَقَةُ فِي زَمَانِ عِدَّتِهَا أَسْلَمَ الزَّوْجُ أَوْ تَأَخَّرَ لِمَعْنَيَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada dua orang suami istri musyrik, lalu sang istri masuk Islam setelah terjadi hubungan suami istri. Maka ia berhak mendapatkan nafkah selama masa ‘iddahnya, baik suaminya masuk Islam atau terlambat masuk Islam, karena dua alasan:
أحدهما: أن الإسلام فرض مضيق الوقت فَلَمْ يَسْقُطْ بِهِ نَفَقَتُهَا، وَإِنَّ مُنِعَ مِنَ الاستمتاع كالصلاة والصيام المفروضين.
Pertama: Islam adalah kewajiban yang waktunya sempit, sehingga tidak menggugurkan hak nafkahnya, meskipun ia terhalang dari hubungan suami istri, sebagaimana shalat dan puasa yang diwajibkan.
والثاني: أن إسلامها الْمَانِعَ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا يَقْدِرُ الزَّوْجُ عَلَى تَلَافِيهِ بِإِسْلَامِهِ فِي عِدَّتِهَا، فَلَمْ تَسْقُطْ بِهِ نَفَقَتُهَا كَالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ، وَحَكَى أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ قَوْلًا آخَرَ إِنَّهُ لَا نَفَقَةَ لَهَا، لِأَنَّهَا مَنَعَتْهُ نَفْسَهَا بِسَبَبٍ مِنْ جِهَتِهَا فَاقْتَضَى أَنْ تَسْقُطَ بِهِ نَفَقَتُهَا وَإِنْ كَانَتْ فِيهِ طَائِعَةً كَالْحَجِّ، وَهَذَا الْقَوْلُ إِنْ حَكَاهُ نَقْلًا فَهُوَ ضَعِيفٌ، وَإِنْ كَانَ تَخْرِيجًا فَهُوَ خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Kedua: Masuk Islamnya istri yang menjadi penghalang hubungan suami istri, masih dapat diatasi oleh suami dengan masuk Islam dalam masa ‘iddahnya. Maka hal itu tidak menggugurkan hak nafkahnya, sebagaimana talak raj‘i. Abu ‘Ali bin Khairan meriwayatkan pendapat lain bahwa istri tidak berhak mendapatkan nafkah, karena ia telah menghalangi dirinya dari suami dengan sebab yang berasal dari dirinya sendiri, sehingga hal itu menuntut gugurnya nafkah, meskipun ia melakukannya secara sukarela seperti dalam ibadah haji. Namun, jika pendapat ini hanya sekadar riwayat, maka ia lemah; dan jika merupakan hasil istinbat, maka ia keliru dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ الْحَجَّ مُوَسَّعُ الْوَقْتِ، لِأَنَّهُ عَلَى التَّرَاخِي وَالْإِسْلَامُ مُضَيَّقُ الْوَقْتِ، لِأَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ فَصَارَتْ بِالْإِسْلَامِ فَاعِلَةً مَا لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهُ وَبِالْحَجِّ فَاعِلَةً مَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهُ.
Pertama: Haji adalah ibadah yang waktunya longgar, karena boleh ditunda, sedangkan Islam adalah kewajiban yang waktunya sempit, karena harus segera dilaksanakan. Maka dengan masuk Islam, ia melakukan sesuatu yang tidak boleh ditunda, sedangkan dengan haji, ia melakukan sesuatu yang boleh ditunda.
وَالثَّانِي: أَنَّ تَحْرِيمَهَا بِالْحَجِّ لَا يُمْكِنُهُ تَلَافِيهِ وتحريمها بالإسلام يمكنه تلافيه.
Kedua: Larangan hubungan suami istri karena haji tidak dapat diatasi oleh suami, sedangkan larangan karena Islam dapat diatasi oleh suami dengan masuk Islam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ كَانَ هُوَ الْمُسْلِمُ لَمْ يَكُنْ لَهَا نفقةٌ في أيام كفرها لأنها المانعة لنفسها مِنْهُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami yang lebih dahulu masuk Islam, maka istri tidak berhak mendapatkan nafkah selama masa kekufurannya, karena ia sendiri yang menghalangi dirinya dari suami.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يُسْلِمَ الزَّوْجُ قبلها، فإن تأخر إسلامهما حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا فَلَا نَفَقَةَ لَهَا، لِأَنَّهَا بالتأخر عَنِ الْإِسْلَامِ كَالْمُرْتَدَّةِ وَالنَّاشِزِ، فَإِنْ قِيلَ فَالْمَنْعُ من جهته لا من جهتها، فهلا كانت لها النفقة كما لو رجع.
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah jika suami masuk Islam lebih dahulu dari istrinya. Jika keduanya terlambat masuk Islam hingga masa ‘iddah istri selesai, maka istri tidak berhak mendapatkan nafkah, karena dengan keterlambatannya masuk Islam, ia seperti wanita murtad dan nusyuz. Jika dikatakan: penghalangnya berasal dari pihak suami, bukan dari pihak istri, maka mengapa ia tidak berhak mendapatkan nafkah sebagaimana jika suami rujuk?
قِيلَ: قَدْ كَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ أن يَلْتَزِمُ لِهَذَا التَّعْلِيلِ قَوْلًا آخَرَ إِنَّ لَهَا النَّفَقَةَ إِمَّا نَقْلًا وَإِمَّا تَخْرِيجًا، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ الْإِسْلَامَ فَرْضٌ مُضَيَّقُ الْوَقْتِ بِخِلَافِ الْحَجِّ ثُمَّ هُوَ مَنْعٌ لَا يَقْدِرُ عَلَى تَلَافِيهِ فلم يمنع كونه من جهته أن يسقط بِهِ النَّفَقَةَ كَالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ، وَلَوْ أَسْلَمَتِ الزَّوْجَةُ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا وَجَبَتْ نَفَقَتُهَا بَعْدَ إِسْلَامِهَا لِاسْتِقْرَارِ الزَّوْجِيَّةِ، وَعَوْدِ الْإِبَاحَةِ وَهَلْ لَهَا نَفَقَةُ المدة الباقية فِي شِرْكِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Dikatakan: Abu ‘Ali bin Khairan pernah berpendapat, berdasarkan alasan ini, bahwa istri berhak mendapatkan nafkah, baik berdasarkan riwayat maupun istinbat. Namun, pendapat ini tidak benar, karena Islam adalah kewajiban yang waktunya sempit, berbeda dengan haji. Selain itu, penghalang ini tidak dapat diatasi oleh suami, sehingga tidak mencegah gugurnya nafkah, sebagaimana talak tiga. Jika istri masuk Islam sebelum masa ‘iddahnya selesai, maka ia berhak mendapatkan nafkah setelah masuk Islam karena status pernikahan tetap, dan kembalinya kehalalan hubungan. Adapun apakah ia berhak mendapatkan nafkah selama sisa masa kemusyrikannya atau tidak, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ – لَهَا النَّفَقَةُ، لِأَنَّهَا كانت زوجة فيما لم يزل، وبناء على قوله، وَبِنَاءً عَلَى قَوْلِهِ الْقَدِيمِ أَنَّ النَّفَقَةَ تَجِبُ بِالْعَقْدِ وَتُسْتَحَقُّ بِالتَّمْكِينِ.
Pertama: — dan ini adalah pendapat lama Imam Syafi‘i — ia berhak mendapatkan nafkah, karena ia tetap berstatus istri selama itu, dan berdasarkan pendapat beliau yang lama bahwa nafkah wajib dengan akad dan menjadi hak dengan adanya kesiapan istri.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ – لَا نَفَقَةَ لَهَا، لِأَنَّ مُدَّةَ التَّأَخُّرِ كَالنُّشُوزِ، وَإِنْ كَانَتْ زَوْجَةٌ وَبِنَاءً عَلَى قوله الجديد، أن النفقة تجب العقد والتمكين منه.
Pendapat kedua: — dan ini adalah pendapat baru Imam Syafi‘i — ia tidak berhak mendapatkan nafkah, karena masa keterlambatan (masuk Islam) dianggap seperti nusyuz, meskipun ia masih berstatus istri. Dan berdasarkan pendapat beliau yang baru, nafkah wajib dengan akad dan kesiapan dari pihak istri.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوِ اخْتَلَفَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika keduanya berselisih, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami dengan sumpahnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صحيح، وهو اختلاف في وجوب النفقة، ولا إطلاقه تَفْصِيلٌ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Ini benar, dan ini adalah perselisihan tentang kewajiban nafkah. Namun, ketentuannya memiliki rincian, yaitu ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخْتَلِفَا بَعْدَ وُقُوعِ الْفُرْقَةِ فِي أَيِّهِمَا تَقَدَّمَ بِالْإِسْلَامِ فَيَقُولُ الزَّوْجُ: أَسْلَمْتُ قَبْلَكِ وَأَسْلَمْتِ بَعْدِي، وَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتُكِ فَلَا نَفَقَةَ لَكِ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: بَلْ أَسْلَمْتُ أَنَا قَبِلَكَ وَأَسْلَمْتَ بَعْدِي، وَقَدِ انْقَضَتْ عِدَّتِي فَلِيَ النَّفَقَةُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا نفقة لها لأمران:
Pertama: Jika keduanya berselisih setelah terjadinya perpisahan, mengenai siapa yang lebih dahulu masuk Islam. Suami berkata: “Aku masuk Islam sebelum kamu, dan kamu masuk Islam setelahku, dan masa ‘iddahmu telah selesai, maka kamu tidak berhak mendapatkan nafkah.” Istri berkata: “Justru aku yang lebih dahulu masuk Islam sebelum kamu, dan kamu masuk Islam setelahku, dan masa ‘iddahku telah selesai, maka aku berhak mendapatkan nafkah.” Maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami dengan sumpahnya, dan istri tidak berhak mendapatkan nafkah karena dua alasan:
أحدهما: أنه مُدَّعِيَةٌ، وَهُوَ مُنْكِرٌ.
Pertama: Karena istri adalah pihak yang mengklaim, sedangkan suami mengingkari.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْعَقْدَ ارْتَفَعَ بِاخْتِلَافِ الدِّينَيْنِ فَاقْتَضَى الظَّاهِرُ سُقُوطَ النَّفَقَةِ بِارْتِفَاعِهِ.
Kedua: Karena akad pernikahan telah batal karena perbedaan agama, sehingga secara lahiriah nafkah gugur dengan batalnya akad.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَخْتَلِفَا مَعَ بَقَاءِ النِّكَاحِ وَاجْتِمَاعِهِمَا فِي الْإِسْلَامِ فِيهِ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ ففي المراد باختلافهما في هذا الموضع ثلاث تَأْوِيلَاتٍ:
Jenis yang kedua: yaitu keduanya berbeda pendapat sementara akad nikah tetap berlangsung dan mereka berdua masih bersama dalam Islam sebelum habis masa ‘iddah. Maka, mengenai maksud dari perbedaan mereka dalam hal ini terdapat tiga penafsiran:
أَحَدُهَا: أَنْ تَقُولَ الزَّوْجَةُ: أَسْلَمْتُ قَبْلَكَ، وَأَسْلَمَتَ بَعْدِي فِي الْعِدَّةِ فَلِيَ النَّفَقَةُ وَيَقُولُ الزَّوْجُ: بَلْ أَسْلَمْتُ أَنَا قَبْلَكِ وَأَنْتِ بَعْدِي فَلَا نَفَقَةَ لَكِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا نَفَقَةَ لَهَا لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الأمرين.
Pertama: Istri berkata, “Aku masuk Islam sebelum kamu, dan kamu masuk Islam setelahku dalam masa ‘iddah, maka aku berhak mendapatkan nafkah.” Sementara suami berkata, “Justru aku yang masuk Islam sebelum kamu, dan kamu setelahku, maka tidak ada nafkah untukmu.” Maka, pendapat yang dipegang adalah pendapat suami dengan sumpahnya, dan tidak ada nafkah untuk istri sebagaimana telah kami sebutkan dari dua hal tersebut.
والتأويل الثاني: أن يختلفا فتقول أَسْلَمْتُ قَبْلَكَ بِشَهْرٍ فَلِيَ عَلَيْكَ نَفَقَةُ شَهْرٍ، وَيَقُولُ الزَّوْجُ: بَلْ أَسْلَمْتِ قَبْلِي بِيَوْمٍ فَلَكِ نَفَقَةُ يَوْمٍ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ لِمَا ذَكَرْنَا.
Penafsiran kedua: Keduanya berbeda pendapat, istri berkata, “Aku masuk Islam satu bulan sebelum kamu, maka aku berhak atas nafkah satu bulan darimu.” Suami berkata, “Kamu masuk Islam satu hari sebelumku, maka kamu hanya berhak atas nafkah satu hari.” Maka, pendapat yang dipegang adalah pendapat suami dengan sumpahnya sebagaimana telah kami sebutkan.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّالِثُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فَتَقُولُ الزوجة لي مذ أَسْلَمْتُ بَعْدَكَ شَهْرٌ فَلِي نَفَقَةُ شَهْرٍ، وَيَقُولُ الزوج: لك مذ أَسْلَمْتِ بَعْدِي يَوْمٌ فَلَكِ نَفَقَةُ يَوْمٍ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ وَلَيْسَ لَهَا إِلَّا نَفَقَةُ يَوْمٍ وَاحِدٍ لِمَا ذَكَرْنَا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Penafsiran ketiga: Keduanya berbeda pendapat, istri berkata, “Sejak aku masuk Islam setelahmu telah berlalu satu bulan, maka aku berhak atas nafkah satu bulan.” Suami berkata, “Sejak kamu masuk Islam setelahku baru berlalu satu hari, maka kamu hanya berhak atas nafkah satu hari.” Maka, pendapat yang dipegang adalah pendapat suami dengan sumpahnya dan istri tidak berhak kecuali atas nafkah satu hari saja sebagaimana telah kami sebutkan. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ أَسْلَمَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ إِنْ كَانَ حَلَالًا وَنِصْفُ مَهْرِ مِثْلِهَا إِنْ كان حراماً ومتعةٌ إن لم يكن فرض لها لأن فسخ النكاح من قبله وإن كانت هي أَسْلَمَتْ قَبْلَهُ فَلَا شَيْءَ لَهَا مِنْ صداقٍ ولا غيره لأن الفسخ من قبلها (قال) ولو أَسْلَمَا مَعًا فَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami masuk Islam sebelum terjadi hubungan (dengan istri), maka istri berhak atas setengah mahar jika mahar tersebut halal, dan setengah mahar mitsil jika mahar tersebut haram, serta mut‘ah jika belum ditetapkan mahar untuknya, karena pembatalan nikah berasal dari pihak suami. Namun jika istri masuk Islam sebelum suami, maka ia tidak berhak atas mahar maupun yang lainnya, karena pembatalan berasal dari pihak istri. (Beliau berkata) Jika keduanya masuk Islam bersamaan, maka keduanya tetap dalam pernikahan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، لِأَنَّهُ قَدَّمَ حُكْمَ الْإِسْلَامِ قبل الدخول ثم ذكر هاهنا حُكْمَ الْإِسْلَامِ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: “Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, karena beliau mendahulukan hukum Islam sebelum terjadi hubungan, kemudian menyebutkan di sini hukum Islam sebelum terjadi hubungan, dan hal itu terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَتَقَدَّمَ إِسْلَامُ الزَّوْجِ.
Pertama: Suami yang lebih dahulu masuk Islam.
وَالثَّانِي: أَنْ يَتَقَدَّمَ إِسْلَامُ الزَّوْجَةِ.
Kedua: Istri yang lebih dahulu masuk Islam.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يُسْلِمَا مَعًا فَإِنْ تَقَدَّمَ إِسْلَامُ الزَّوْجِ فَقَدْ بَطَلَ النكاح، لأن ما أفضى إلى الفرقة، أو كان قَبْلَ الدُّخُولِ وَقَعَتْ بِهِ الْبَيْنُونَةُ كَالرِّدَّةِ، وَالطَّلَاقِ الرجعي، ولا عدة عليه لِعَدَمِ الدُّخُولِ بِهَا وَلَا نَفَقَةَ لَهَا لِسُقُوطِ الْعِدَّةِ عَنْهَا، فَأَمَّا الصَّدَاقُ فَلَهَا نِصْفُهُ، لِأَنَّ الْفَسْخَ مِنْ قِبَلِهِ بِسَبَبٍ لَا تَقْدِرُ الزَّوْجَةُ عَلَى تَلَافِيهِ فَأَشْبَهَ الطَّلَاقَ.
Ketiga: Keduanya masuk Islam bersamaan. Jika suami lebih dahulu masuk Islam, maka nikah batal, karena sesuatu yang menyebabkan perpisahan, atau terjadi sebelum hubungan, maka terjadi perpisahan seperti halnya riddah dan talak raj‘i. Tidak ada masa ‘iddah baginya karena belum terjadi hubungan, dan tidak ada nafkah untuk istri karena gugurnya masa ‘iddah darinya. Adapun mahar, maka istri berhak atas setengahnya, karena pembatalan berasal dari pihak suami dengan sebab yang tidak dapat dihindari oleh istri, sehingga disamakan dengan talak.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ كَانَ يُمْكِنُهَا تَلَافِيهِ بِأَنْ تُسْلِمَ مَعَهُ، قِيلَ: هَذَا يَشُقُّ فَلَمْ يُعْتَبَرْ وَرُبَّمَا تَقَدَّمَ إِسْلَامُهُ وَهِيَ لَا تَعْلَمُ، وَإِذَا كَانَ لَهَا الصَّدَاقُ لم تخل حَالُهُ فِي الْعَقْدِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Jika dikatakan: “Bukankah istri bisa menghindarinya dengan masuk Islam bersamaan dengan suami?” Maka dijawab: “Hal itu sulit, sehingga tidak dianggap. Bisa jadi suami lebih dahulu masuk Islam tanpa sepengetahuan istri.” Jika istri berhak atas mahar, maka dalam akadnya tidak lepas dari tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ سَمَّى فِيهِ مَهْرَ حَلَالٍ بها نصفه.
Pertama: Telah disebutkan mahar yang halal dalam akad, maka istri berhak atas setengahnya.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ سَمَّى فِيهِ مَهْرَ حرام فلها نصف مهر المثل.
Kedua: Telah disebutkan mahar yang haram, maka istri berhak atas setengah mahar mitsil.
والثالث: أن لَا يُسَمَّى فِيهِ مَهْرٌ فَلَهَا مَنْعُهُ كَالطَّلَاقِ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ، وَإِنْ تَقَدَّمَ إِسْلَامُ الزَّوْجَةِ فَقَدْ بَطَلَ النِّكَاحُ لِمَا ذَكَرْنَا وَلَا مَهْرَ لَهَا، لِأَنَّ الْفَسْخَ جَاءَ مِنْ قِبَلِهَا، وَلَمْ يَقْدِرِ الزَّوْجُ عَلَى تَلَافِيهِ فَسَقَطَ مَهْرُهَا.
Ketiga: Tidak disebutkan mahar dalam akad, maka istri berhak atas mut‘ah seperti dalam kasus talak pada keadaan-keadaan ini. Jika istri lebih dahulu masuk Islam, maka nikah batal sebagaimana telah disebutkan dan ia tidak berhak atas mahar, karena pembatalan berasal dari pihak istri, dan suami tidak dapat menghindarinya, sehingga mahar gugur.
فَإِنْ قِيلَ يَقْدِرُ عَلَى تَلَافِيهِ بِإِسْلَامِهِ مَعَهَا كَانَ الجواب ما مضى وخالف وجوب النفقة لها إذا تقدم إسلامها بعد دخول لِأَنَّهُ مَنْعٌ يَقْدِرُ الزَّوْجُ عَلَى تَلَافِيهِ، وَإِنْ أَسْلَمَا مَعًا فَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ، لِأَنَّ الْفُرْقَةَ تَقَعُ بِاخْتِلَافِ الدِّينَيْنِ وَلَمْ يَخْتَلِفْ دِينَاهُمَا إِذَا اجْتَمَعَا عَلَى الْإِسْلَامِ مَعًا، لِأَنَّهُمَا كَانَا فِي الشرك على دين واحد فصار فِي الْإِسْلَامِ عَلَى دِينٍ وَاحِدٍ، فَلِذَلِكَ كَانَ النكاح بينهما ثابتاً.
Jika dikatakan: “Suami bisa menghindarinya dengan masuk Islam bersamaan dengan istri,” maka jawabannya seperti yang telah lalu. Hal ini berbeda dengan kewajiban nafkah jika istri lebih dahulu masuk Islam setelah terjadi hubungan, karena itu merupakan pencegahan yang bisa dihindari oleh suami. Jika keduanya masuk Islam bersamaan, maka keduanya tetap dalam pernikahan, karena perpisahan terjadi karena perbedaan agama, dan agama mereka tidak berbeda jika keduanya masuk Islam bersamaan. Karena sebelumnya mereka dalam kemusyrikan berada pada satu agama, lalu dalam Islam juga berada pada satu agama, maka sebab itulah pernikahan antara keduanya tetap sah.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ قَالَ أَسْلَمَ أَحَدُنَا قَبْلَ صَاحِبِهِ فَالنِّكَاحُ مفسوخٌ وَلَا نِصْفَ مهرٍ حَتَّى يُعْلَمَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika salah satu dari keduanya mengaku telah masuk Islam sebelum pasangannya, maka nikahnya batal dan tidak ada setengah mahar sampai hal itu diketahui.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يُسْلِمَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ الْمُشْرِكَيْنِ قَبْلَ الدُّخُولِ وَيُسْلِمَ الْآخَرُ بَعْدَهُ وَيُشْكَلُ عَلَيْهِمَا أَيُّهُمَا تَقَدَّمَ بِالْإِسْلَامِ، فَالنِّكَاحُ قَدْ بَطَلَ لِاسْتِوَاءِ بُطْلَانِهِ إِنْ تَقَدَّمَ إِسْلَامُ الزَّوْجِ أَوْ تَقَدَّمَ إسلام الزوجة ولم يكن للإشكال تأثير، فأما المهر فله حالتان:
Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahannya adalah salah satu dari dua pasangan suami istri yang musyrik masuk Islam sebelum terjadi hubungan suami istri, lalu yang lainnya masuk Islam setelahnya, dan keduanya bingung siapa yang lebih dahulu masuk Islam. Maka, pernikahan telah batal karena batalnya pernikahan itu sama saja, baik yang lebih dahulu masuk Islam adalah suami atau istri, dan keraguan tersebut tidak berpengaruh. Adapun mengenai mahar, ada dua keadaan:
إحداهما: أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ قَدْ قَبَضَتْهُ فِي الشِّرْكِ.
Pertama: Istri telah menerima mahar tersebut ketika masih dalam keadaan musyrik.
وَالثَّانِي: لَمْ تَقْبِضْهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ قَبَضَتْهُ فَلَا مُطَالَبَةَ لَهَا بِشَيْءٍ مِنْهُ، لِأَنَّهَا تَشُكُّ فِي اسْتِحْقَاقِهِ، لِأَنَّهُ إِنْ أَسْلَمَ قَبْلَهَا اسْتَحَقَّتْ نِصْفَهُ، وَإِنْ أَسْلَمَتْ قَبْلَهُ لَمْ تَسْتَحِقَّ شَيْئًا مِنْهُ، وَمَنْ شَكَّ فِي اسْتِحْقَاقِ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ الْمُطَالَبَةُ بِهِ كَمَنْ كَانَ لَهُ دَيْنٌ فَشَكَّ فِي قَبْضِهِ وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ قَدْ قَبَضَتْ مِنْهُ جَمِيعَ الْمَهْرِ فَلَهُ الرُّجُوعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِهِ، لِأَنَّهُ بِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ يستحقه بيقين فما الْآخَرُ فَلَا رُجُوعَ لَهُ بِهِ، لِأَنَّهُ شَاكٌّ فِي اسْتِحْقَاقِهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَسْلَمَ قبلها فلا يستحقه أو أسلمت قبله فيستحقه – والله أعلم -.
Kedua: Istri belum menerimanya. Jika ia belum menerimanya, maka ia tidak berhak menuntut apa pun darinya, karena ia ragu akan haknya atas mahar tersebut. Sebab, jika suami masuk Islam lebih dahulu darinya, maka ia berhak atas setengah mahar, dan jika istri masuk Islam lebih dahulu, maka ia tidak berhak atas apa pun dari mahar itu. Barang siapa ragu terhadap haknya atas sesuatu, maka ia tidak berhak menuntutnya, seperti seseorang yang memiliki piutang lalu ragu apakah ia telah menerimanya atau belum. Namun, jika istri telah menerima seluruh mahar dari suaminya, maka suami berhak mengambil kembali setengahnya, karena dengan terjadinya perpisahan sebelum terjadi hubungan suami istri, ia berhak atas setengah mahar secara pasti. Adapun yang lainnya, maka tidak ada hak baginya untuk mengambil kembali, karena ia ragu terhadap haknya, bisa jadi ia telah masuk Islam sebelum istrinya sehingga tidak berhak, atau istrinya masuk Islam sebelum dirinya sehingga ia berhak—dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Permasalahan
قال الشافعي: ” فإن تَدَاعَيَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا لِأَنَّ الْعَقْدَ ثابت فلا يَبْطُلُ نِصْفُ الْمَهْرِ إِلَّا بأَنْ تُسْلِمَ قَبْلَه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika keduanya saling mengklaim, maka yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya, karena akadnya masih tetap sehingga setengah mahar tidak gugur kecuali jika ia masuk Islam sebelum suaminya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يُسْلِمَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ قَبْلَ صَاحِبِهِ وَلَا دُخُولَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ يَخْتَلِفَانِ أيهما تقدم إسلامه فيقول الزوج أنت قد تَقَدَّمْتِ بِالْإِسْلَامِ فَلَا مَهْرَ لَكِ، وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ بَلْ أَنْتَ تَقَدَّمْتَ بِالْإِسْلَامِ فَلِيَ نِصْفُ الْمَهْرِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا أَنَّ الزَّوْجَ تَقَدَّمَ بِالْإِسْلَامِ عَلَيْهَا وَلَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ، لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْمَهْرِ اسْتِحْقَاقُهُ بالعقد فلم يقبل دَعْوَى الزَّوْجِ فِي إِسْقَاطِهِ كَمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَادَّعَى دَفْعَهُ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ اعْتِبَارًا بِالْأَصْلِ فِي ثُبُوتِهِ وَعُدُولًا عَنْ دَعْوَى إِسْقَاطِهِ.
Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahannya adalah salah satu dari pasangan masuk Islam sebelum pasangannya dan belum terjadi hubungan suami istri di antara keduanya, lalu mereka berselisih siapa yang lebih dahulu masuk Islam. Suami berkata, “Engkaulah yang lebih dahulu masuk Islam, maka tidak ada mahar untukmu.” Sedangkan istri berkata, “Justru engkaulah yang lebih dahulu masuk Islam, maka aku berhak atas setengah mahar.” Maka, yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya bahwa suami lebih dahulu masuk Islam darinya, dan ia berhak atas setengah mahar. Hal ini karena pada asalnya mahar itu menjadi hak istri berdasarkan akad, sehingga klaim suami untuk menggugurkannya tidak diterima, sebagaimana orang yang memiliki utang lalu mengaku telah membayarnya, maka pengakuan itu tidak diterima darinya, dengan mempertimbangkan asal muasal hak tersebut dan menolak klaim penggugurannya.
مَسْأَلَةٌ
Permasalahan
قال الشافعي: ” وإن قالت أسلم أحدنا قبل الآخر وَقَالَ هُوَ مَعًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا تُصَدَّقُ عَلَى فَسْخِ النِّكَاحِ وَفِيهَا قَوْلٌ آخَرُ إِنَّ النِّكَاحَ مفسوخٌ حَتَى يَتَصَادَقَا (قال المزني) أشبه بقوله أن لا ينفسخ النكاح بقولها كما لم ينفسخ نصف المهر بقوله (قال المزني) وقد قال لو كان دخل بها فقالت انقضت عدتي قبل إسلامك وقال بل بعد فلا تصدق على فسخٍ ما ثبت له من النكاح “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika istri berkata, ‘Salah satu dari kami masuk Islam lebih dahulu dari yang lain,’ sedangkan suami berkata, ‘Kami masuk Islam bersamaan,’ maka yang dipegang adalah pernyataan suami dengan sumpahnya, dan istri tidak dibenarkan dalam membatalkan pernikahan. Dalam hal ini ada pendapat lain, yaitu bahwa pernikahan dianggap batal sampai keduanya saling membenarkan. (Al-Muzani berkata) Pendapat yang lebih sesuai dengan perkataan Syafi‘i adalah bahwa pernikahan tidak batal hanya dengan klaim istri, sebagaimana setengah mahar tidak gugur hanya dengan klaim suami. (Al-Muzani berkata) Ia juga berkata, ‘Jika suami telah menggauli istrinya, lalu istri berkata, ‘Masa iddahku telah selesai sebelum engkau masuk Islam,’ dan suami berkata, ‘Bahkan setelahnya,’ maka istri tidak dibenarkan dalam membatalkan apa yang telah tetap menjadi hak suami dari pernikahan.’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي زَوْجَيْنِ أَسْلَمَا قَبْلَ الدُّخُولِ ثُمَّ اخْتَلَفَا فَقَالَ الزَّوْجُ: أَسْلَمْنَا مَعًا فَنَحْنُ عَلَى النِّكَاحِ وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: لَا بَلْ أحدنا قبل صاحبه فلا نكاح بيننا ففيه قَوْلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk permasalahannya adalah pada dua orang suami istri yang masuk Islam sebelum terjadi hubungan suami istri, lalu mereka berselisih. Suami berkata, “Kita masuk Islam bersamaan, maka kita masih dalam pernikahan.” Sedangkan istri berkata, “Tidak, salah satu dari kita masuk Islam sebelum yang lain, maka tidak ada pernikahan di antara kita.” Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهَما: – وَهُوَ اخْتِيَارُ (الْمُزَنِيِّ) – أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ فِي بَقَاءِ النِّكَاحِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَمْرَيْنِ:
Salah satunya—dan ini adalah pilihan (Al-Muzani)—bahwa yang dipegang adalah pernyataan suami tentang tetapnya pernikahan dengan sumpahnya, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَصْلَ ثُبُوتُهُ فَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَى إِسْقَاطِهِ.
Pertama: Pada asalnya pernikahan itu tetap, sehingga klaim untuk menggugurkannya tidak diterima.
وَالثَّانِي: أَنَّ الزَّوْجَيْنِ لَوِ اخْتَلَفَا بَعْدَ الدُّخُولِ فَقَالَ الزَّوْجُ: اجْتَمَعَ إِسْلَامُنَا فِي الْعِدَّةِ فَنَحْنُ عَلَى النِّكَاحِ وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: اجْتَمَعَ إِسْلَامُنَا بَعْدَ الْعِدَّةِ لَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ فِي بَقَاءِ النِّكَاحِ اعْتِبَارًا بِثُبُوتِ أَصْلِهِ كَذَلِكَ إِذَا كَانَ اخْتِلَافُهُمَا قَبْلَ الدُّخُولِ.
Kedua: Jika suami istri berselisih setelah terjadi hubungan suami istri, lalu suami berkata, “Kita masuk Islam bersamaan dalam masa iddah, maka kita masih dalam pernikahan,” dan istri berkata, “Kita masuk Islam bersamaan setelah iddah,” maka yang dipegang adalah pernyataan suami dengan sumpahnya tentang tetapnya pernikahan, berdasarkan tetapnya asal pernikahan. Demikian pula jika perselisihan terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّ الدَّعْوَى إِذَا تَعَارَضَتْ، وَكَانَ الظَّاهِرُ مَعَ أَحَدِهِمَا غُلِّبَ دَعْوَى مَنْ سَاعَدَهُ الظَّاهِرُ كالمتداعيين داراً وهي فِي يَدِ أَحَدِهِمَا لَمَّا كَانَ الظَّاهِرُ مُسَاعِدًا لصاحب اليد منهما غلبت دعواه كذلك هاهنا تساوي دعواهما، والظاهر مساعد للزوجة منهما، ولأن اجتماع إسلامها حَتَّى لَا يَسْبِقَ لَفْظُ أَحَدِهِمَا لِلْآخَرِ بِحَرْفٍ مُتَعَذِّرٌ فِي الْغَالِبِ وَاخْتِلَافَهُمَا فِيهِ هُوَ الْأَظْهَرُ الْأَغْلَبُ فَوَجَبَ أَنَّ يُغَلَّبَ فِيهِ قَوْلُ مَنْ سَاعَدَهُ هَذَا الظَّاهِرُ وَهِيَ الزَّوْجَةُ، فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا مَعَ يَمِينِهَا فِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ عُدُولًا عَنِ الْأَصْلِ بِظَاهِرٍ هُوَ أَخَصُّ، وَهَذَا بِخِلَافِ تَنَازُعِهِمَا فِي الْمَهْرِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مَعَ اخْتِلَافِهِمَا فِيهِ ظَاهِرٌ يُعْدَلُ بِهِ عَنِ الْأَصْلِ فَاعْتُبِرَ فِيهِ حُكْمُ الْأَصْلِ.
Pendapat kedua: Bahwa yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya, karena jika dua klaim saling bertentangan dan ada indikasi lahiriah yang mendukung salah satu pihak, maka klaim yang didukung oleh indikasi lahiriah tersebut yang diunggulkan, seperti dua orang yang bersengketa atas sebuah rumah dan rumah itu berada di tangan salah satu dari mereka; ketika indikasi lahiriah mendukung pihak yang memegang rumah, maka klaimnya diunggulkan. Demikian pula dalam kasus ini, kedua klaim setara, dan indikasi lahiriah mendukung istri. Selain itu, sangat sulit untuk memastikan keduanya masuk Islam secara bersamaan tanpa ada perbedaan satu huruf pun dalam ucapan mereka, dan perbedaan dalam hal ini adalah yang paling tampak dan paling sering terjadi. Maka, harus diunggulkan pernyataan pihak yang didukung oleh indikasi lahiriah ini, yaitu istri. Maka, yang dipegang adalah pernyataannya dengan sumpahnya dalam terjadinya perpisahan, sebagai pengecualian dari asal dengan indikasi lahiriah yang lebih khusus. Hal ini berbeda dengan perselisihan mereka dalam masalah mahar, karena dalam perbedaan mereka mengenai mahar tidak ada indikasi lahiriah yang bisa dijadikan alasan untuk menyimpang dari asal, sehingga dalam hal ini tetap diberlakukan hukum asal.
فَصْلٌ
Fashal
فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَا بَعْدَ الدُّخُولِ فَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: أَسْلَمْتُ أَيُّهَا الزَّوْجُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِي فَلَا نِكَاحَ بَيْنِنَا، وَقَالَ الزَّوْجُ: بَلْ أَسْلَمْتِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِكِ فَنَحْنُ عَلَى النِّكَاحِ فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ: إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ اعْتِبَارًا بِالْأَصْلِ فِي ثُبُوتِ النِّكَاحِ، وَنَصَّ فِي مَسْأَلَتَيْنِ على إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجَةِ فِي بُطْلَانِ النِّكَاحِ بِخِلَافِ هَذَا:
Adapun jika keduanya berselisih setelah terjadi hubungan suami istri, lalu istri berkata: “Aku masuk Islam, wahai suamiku, setelah masa iddahku selesai, maka tidak ada lagi pernikahan antara kita,” dan suami berkata: “Bahkan, engkau masuk Islam sebelum masa iddahmu selesai, sehingga kita masih dalam ikatan pernikahan.” Maka pendapat yang ditegaskan oleh asy-Syafi‘i adalah: yang dipegang adalah pernyataan suami dengan sumpahnya, berdasarkan asal dalam penetapan pernikahan. Namun, beliau juga menegaskan dalam dua permasalahan bahwa yang dipegang adalah pernyataan istri dalam pembatalan pernikahan, berbeda dengan kasus ini:
إِحْدَاهُمَا: الْمُطَلَّقَةُ الرَّجْعِيَّةُ إِذَا قَالَ الزَّوْجُ: رَاجَعْتُكِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِكِ فَنَحْنُ عَلَى النِّكَاحِ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: بَلِ انْقَضَتْ عِدَّتِي قَبْلَ رَجْعَتِكَ فَلَا نِكَاحَ بَيْنَنَا، قَالَ الشَّافِعِيُّ: الْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا وَلَا رَجْعَةَ.
Pertama: Seorang wanita yang ditalak raj‘i, jika suami berkata: “Aku telah merujukmu sebelum masa iddahmu selesai, maka kita masih dalam ikatan pernikahan,” dan istri berkata: “Bahkan, masa iddahku telah selesai sebelum engkau merujukku, maka tidak ada lagi pernikahan antara kita.” Asy-Syafi‘i berkata: “Yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya, dan tidak ada rujuk.”
وَالْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: إِذَا ارْتَدَّ الزَّوْجُ الْمُسْلِمُ بَعْدَ الدُّخُولِ ثُمَّ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ، وَاخْتَلَفَا فَقَالَ الزَّوْجُ: أَسْلَمْتِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِكِ فَنَحْنُ عَلَى النِّكَاحِ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ بَلِ انْقَضَتْ عِدَّتِي قَبْلَ إِسْلَامِكَ فَلَا نِكَاحَ بَيْنَنَا.
Permasalahan kedua: Jika seorang suami muslim murtad setelah terjadi hubungan suami istri, kemudian kembali masuk Islam, lalu keduanya berselisih; suami berkata: “Engkau masuk Islam sebelum masa iddahmu selesai, maka kita masih dalam ikatan pernikahan,” dan istri berkata: “Bahkan, masa iddahku telah selesai sebelum engkau masuk Islam, maka tidak ada lagi pernikahan antara kita.”
قَالَ الشَّافِعِيُّ: الْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا فَجَعَلَ فِي مَسْأَلَةِ الرَّجْعَةِ وَالرِّدَّةِ الْقَوْلَ قَوْلَ الزَّوْجَةِ فِي رَفْعِ النِّكَاحِ وَجَعَلَ فِي إِسْلَامِ الْمُشْرِكِينَ الْقَوْلَ قَوْلَ الزَّوْجِ فِي بَقَاءِ النِّكَاحِ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ عَلَى ثَلَاثَةِ طُرُقٍ:
Asy-Syafi‘i berkata: “Yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya.” Maka, dalam masalah rujuk dan riddah, beliau menjadikan pernyataan istri yang dipegang dalam pembatalan pernikahan, sedangkan dalam Islamnya pasangan musyrik, beliau menjadikan pernyataan suami yang dipegang dalam keberlangsungan pernikahan. Maka, para ulama kami berbeda pendapat dalam tiga permasalahan ini menjadi tiga metode:
أَحَدُهَا: أَنْ نَقَلُوا جَوَابَهُ فِي الرَّجْعَةِ وَالرِّدَّةِ إِلَى الْإِسْلَامِ فِي حَقِّ الزَّوْجَيْنِ، وَجَوَابَهُ فِي إِسْلَامِ الزَّوْجَيْنِ إِلَى الرَّجْعَةِ وَالرِّدَّةِ، وَخَرَّجُوا الْمَسَائِلَ الثَّلَاثَ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Pertama: Mereka memindahkan jawaban beliau dalam masalah rujuk dan riddah kepada Islamnya kedua pasangan, dan jawaban beliau dalam Islamnya kedua pasangan kepada masalah rujuk dan riddah, lalu mereka mengeluarkan tiga permasalahan ini pada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ القول قَوْلُ الزَّوْجِ فِي بَقَاءِ النِّكَاحِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي إِسْلَامِ الزَّوْجَيْنِ.
Salah satunya: Bahwa yang dipegang adalah pernyataan suami dalam keberlangsungan pernikahan sebagaimana yang ditegaskan dalam Islamnya kedua pasangan.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجَةِ فِي رَفْعِ النِّكَاحِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الرَّجْعَةِ وَالرِّدَّةِ، وَلَعَلَّ هذه طَرِيقَةُ أَبِي حَفْصِ بْنِ الْوَكِيلِ، وَأَبِي الطَّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ.
Dan yang kedua: Bahwa yang dipegang adalah pernyataan istri dalam pembatalan pernikahan sebagaimana yang ditegaskan dalam masalah rujuk dan riddah, dan kemungkinan ini adalah metode Abu Hafsh bin al-Wakil dan Abu Thayyib bin Salamah.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّهُ لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ، وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَالْمَوْضِعُ الذي يحصل فِيهِ الْقَوْلَ قَوْلَ الزَّوْجَةِ فِي رَفْعِ النِّكَاحِ إِذَا بَدَأَتْ فَأَخْبَرَتْ بِانْقِضَاءِ عِدَّتِهَا قَبْلَ رَجْعَةِ الزَّوْجِ وَإِسْلَامِهِ فَادَّعَى الزَّوْجُ تَقَدُّمَ رَجْعَتِهِ وَإِسْلَامِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا، وَالْمَوْضِعُ الَّذِي جَعَلَ فِيهِ الْقَوْلَ قَوْلَ الزَّوْجِ فِي بَقَاءِ النِّكَاحِ إِذَا بَدَأَ فَأَخْبَرَ أَنَّهُ راجع وَأَسْلَمَ فِي الْعِدَّةِ فَادَّعَتِ الزَّوْجَةُ انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا قَبْلَ الْإِسْلَامِ، وَالرَّجْعَةِ، لِأَنَّ قَوْلَ مَنْ سَبَقَ مِنْهُمَا مَقْبُولٌ فَلَمْ يَبْطُلْ بِمَا حَدَثَ بَعْدَهُ مِنْ دَعْوَى، وَهَذِهِ طَرِيقَةُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ.
Cara kedua: Bahwa hal ini bukanlah perbedaan dua pendapat, melainkan perbedaan dua keadaan. Tempat di mana pendapat istri diterima dalam pembatalan nikah adalah ketika ia memulai dan mengabarkan bahwa masa ‘iddah-nya telah selesai sebelum suami rujuk dan masuk Islam, lalu suami mengklaim bahwa ia telah rujuk dan masuk Islam lebih dahulu, maka pendapat istri yang diterima. Adapun tempat di mana pendapat suami diterima dalam keberlangsungan nikah adalah ketika ia memulai dan mengabarkan bahwa ia telah rujuk dan masuk Islam dalam masa ‘iddah, lalu istri mengklaim bahwa masa ‘iddah-nya telah selesai sebelum suami masuk Islam dan rujuk, maka pendapat suami yang diterima. Sebab, pernyataan siapa yang lebih dahulu di antara keduanya diterima dan tidak gugur dengan klaim yang datang setelahnya. Inilah metode Abū ‘Alī Ibn Khayrān.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّالِثَةُ: بَلْ هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ عَلَى غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ مَنِ اتَّفَقَا عَلَى صِدْقِهِ فِي زَمَانِ مَا ادَّعَاهُ لِنَفْسِهِ.
Cara ketiga: Bahkan, ini adalah perbedaan dua keadaan dengan cara yang berbeda, yaitu pendapat diterima dari siapa yang keduanya sepakat atas kebenarannya pada waktu yang ia klaim untuk dirinya sendiri.
مِثَالُهُ: أَنْ تَقُولَ الزَّوْجَةُ انْقَضَتْ عِدَّتِي فِي رَمَضَانَ، وَأَسْلَمْتَ أَنْتَ أَوْ رَاجَعْتَ فِي شَوَّالٍ، فَقَالَ: بَلْ أَسْلَمْتُ وَرَاجَعْتُ فِي شَعْبَانَ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ لِاتِّفَاقِهِمَا عَلَى زَمَانِ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا وَاخْتِلَافِهِمَا فِي رَجْعَةِ الزَّوْجِ وَإِسْلَامِهِ، وَلَوْ قَالَ الزَّوْجُ: لَعَمْرِي إِنَّنِي أَسْلَمْتُ وَرَاجَعْتُ فِي شَوَّالٍ لَكِنِ انْقَضَتْ عِدَّتُكِ فِي ذِي الْقِعْدَةِ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الزَّوْجِ لِاتِّفَاقِهِمَا عَلَى زَمَانِ إِسْلَامِهِ وَرَجْعَتِهِ فِي زَمَانِ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Contohnya: Istri berkata, “Masa ‘iddah-ku selesai pada bulan Ramadan, dan engkau masuk Islam atau rujuk pada bulan Syawwal.” Lalu suami berkata, “Bahkan aku masuk Islam dan rujuk pada bulan Sya‘bān.” Maka pendapat istri yang diterima karena keduanya sepakat tentang waktu berakhirnya masa ‘iddah-nya dan berbeda pendapat tentang waktu rujuk dan masuk Islam suami. Namun, jika suami berkata, “Demi umurku, aku memang masuk Islam dan rujuk pada bulan Syawwal, tetapi masa ‘iddah-mu selesai pada bulan Dzulqa‘dah,” maka pendapat suami yang diterima karena keduanya sepakat tentang waktu suami masuk Islam dan rujuk, dan berbeda pendapat tentang waktu berakhirnya masa ‘iddah-nya. — Wallāhu a‘lam.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنِ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ، فَإِنْ جُعِلَ الْقَوْلُ فِيهِنَّ قَوْلَ الزَّوْجَةِ فِي رَفْعِ النِّكَاحِ لَمْ يَكُنْ لها احْتَجَّ بِهِ الْمُزَنِيُّ فِي نُصْرَةِ قَوْلِهِ وَصِحَّةِ اخْتِيَارِهِ وَجْهٌ وَإِنْ جُعِلَ الْقَوْلُ فِيهِنَّ قَوْلَ الزَّوْجِ فِي بَقَاءِ النِّكَاحِ تَوَجَّهَ لَهُ الِاحْتِجَاجُ بِهِنَّ، وَكَانَ الْفَرْقُ بَيْنَهُنَّ فِي أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ فِي بَقَاءِ النِّكَاحِ، وَبَيْنَ مَسْأَلَتِنَا فِي أَنَّ الْقَوْلَ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ قَوْلُ الزَّوْجَةِ فِي رَفْعِ النِّكَاحِ وَإِنَّ الدَّعْوَى فِي الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ مُتَقَابِلَةٌ وَلَيْسَ مَعَ أَحَدِهِمَا ظَاهِرٌ فَاعْتُبِرَ حُكْمُ الْأَصْلِ، وَفِي مَسْأَلَتِنَا مَعَ أَحَدِهِمَا ظَاهِرٌ فَاعْتُبِرَ حُكْمُ الظَّاهِرِ دُونَ الْأَصْلِ.
Jika telah jelas apa yang kami uraikan tentang perbedaan pendapat para sahabat kami dalam masalah-masalah ini, maka jika pendapat yang diterima dalam masalah-masalah tersebut adalah pendapat istri dalam pembatalan nikah, maka tidak ada alasan bagi al-Muzanī untuk berhujah dengannya dalam mendukung pendapat dan kebenaran pilihannya. Namun jika pendapat yang diterima dalam masalah-masalah tersebut adalah pendapat suami dalam keberlangsungan nikah, maka ia dapat berhujah dengannya. Perbedaannya adalah bahwa dalam masalah-masalah tersebut, pendapat suami diterima dalam keberlangsungan nikah, sedangkan dalam masalah kita, dalam salah satu pendapat, pendapat istri diterima dalam pembatalan nikah. Selain itu, dalam tiga masalah tersebut, klaim kedua belah pihak saling bertentangan dan tidak ada bukti yang jelas pada salah satunya, sehingga yang dipertimbangkan adalah hukum asal. Sedangkan dalam masalah kita, terdapat bukti yang jelas pada salah satunya, sehingga yang dipertimbangkan adalah hukum zhāhir, bukan hukum asal.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا قَالَتِ الزَّوْجَةُ أَسْلَمْنَا مَعًا فَنَحْنُ على النكاح، وقال الزوج: بَلْ أَسْلَمَ أَحَدُنَا قَبْلَ صَاحِبِهِ فَلَا نِكَاحَ بَيْنَنَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ فِي رَفْعِ النِّكَاحِ بِلَا يَمِينٍ، لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِالْفُرْقَةِ وَإِقْرَارُهُ بِهَا يَلْزَمُهُ وَلَوْ رَجَعَ عَنْهَا لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ، وَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي سُقُوطِ نِصْفِ الْمَهْرِ، لأنه الأصل ثبوته.
Adapun jika istri berkata, “Kami masuk Islam bersama-sama, maka kami tetap dalam pernikahan,” dan suami berkata, “Bahkan salah satu dari kami masuk Islam lebih dahulu dari yang lain, maka tidak ada lagi pernikahan di antara kita,” maka pendapat suami yang diterima dalam pembatalan nikah tanpa sumpah, karena ia mengakui adanya perpisahan dan pengakuannya itu mengikatnya. Jika ia menarik kembali pengakuannya, maka tidak diterima darinya, dan tidak diterima pula pengakuannya dalam gugurnya setengah mahar, karena pada dasarnya mahar itu tetap ada.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا أَسْلَمَ الزَّوْجُ بَعْدَ الدُّخُولِ ثُمَّ أَسْلَمَتِ الزَّوْجَةُ فِي عِدَّتِهَا، وَقَدِ ارْتَدَّ الزَّوْجُ عَنِ الْإِسْلَامِ فَإِنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ اجْتِمَاعِ الْإِسْلَامَيْنِ فِي الْعِدَّةِ، لِأَنَّهُ لَا يَخْرُجُ بِالرِّدَّةِ من أحكام المسلمين فيكون نِكَاحُ الشِّرْكِ بَيْنَهُمَا ثَابِتًا بِإِسْلَامِهِمَا فِي الْعِدَّةِ وَيَسْتَأْنِفُ حُكْمَ الْفُرْقَةِ بِالرِّدَّةِ مِنْ وَقْتِ رِدَّتِهِ، فإن عاد منها إِلَى الْإِسْلَامِ قَبْلَ أَنْ يَمْضِيَ بَعْدَ الرِّدَّةِ زَمَانُ الْعِدَّةِ كَانَا عَلَى النِّكَاحِ، وَإِنْ لَمْ يَعُدْ بَطَلَ النِّكَاحُ بِرِدَّتِهِ، فَلَوْ أَسْلَمَ الزَّوْجُ الْمُشْرِكُ وَأَسْلَمَ بَعْدَهُ خَمْسٌ، وَقَدِ ارْتَدَّ الزَّوْجُ عَنِ الْإِسْلَامِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنْهُنَّ فِي حَالِ رِدَّتِهِ أَحَدًا، لِأَنَّ الِاخْتِيَارَ يَجْرِي مَجْرَى ابْتِدَاءِ الْعَقْدِ، وَهُوَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَعْقِدَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْتَارَ – وَاللَّهُ أعلم -.
Apabila suami masuk Islam setelah terjadi hubungan suami istri, kemudian istri masuk Islam dalam masa ‘iddahnya, dan suami tersebut telah murtad dari Islam, maka berlaku atasnya hukum berkumpulnya dua keislaman dalam masa ‘iddah. Sebab, dengan kemurtadan, ia tidak keluar dari hukum-hukum kaum muslimin, sehingga pernikahan syirik di antara keduanya tetap sah dengan keislaman mereka dalam masa ‘iddah. Hukum perpisahan karena murtad dimulai dari waktu kemurtadannya. Jika ia kembali dari kemurtadan kepada Islam sebelum masa ‘iddah berlalu setelah kemurtadannya, maka keduanya tetap dalam pernikahan. Namun jika ia tidak kembali, maka pernikahan batal karena kemurtadannya. Maka, jika seorang suami musyrik masuk Islam dan setelah itu lima istrinya masuk Islam, lalu suami tersebut murtad dari Islam, maka ia tidak boleh memilih salah satu dari mereka dalam keadaan murtadnya, karena pilihan itu diperlakukan seperti permulaan akad, sedangkan ia tidak boleh melakukan akad, maka tidak boleh pula memilih. — Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ كَانَتْ عِنْدَهُ امرأةٌ نَكَحَهَا فِي الشِّرْكِ بمتعةٍ أَوْ عَلَى خيارٍ انْفَسَخَ نِكَاحُهَا لِأَنَّهُ لَمْ يَنْكِحْهَا عَلَى الْأَبَدِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang memiliki seorang istri yang dinikahinya di masa syirik dengan akad mut‘ah atau dengan syarat pilihan (khiyār), maka pernikahannya batal, karena ia tidak menikahinya untuk selamanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا نَكَحَ فِي الشِّرْكِ نِكَاحَ مُتْعَةٍ، وَهُوَ أن يقول: أمتعيني نفسك سَنَةً، فَهُوَ نِكَاحٌ إِلَى سَنَةٍ، فَإِذَا أَسْلَمَا عَلَيْهِ فَلَا نِكَاحَ بَيْنِهِمَا، لِأَنَّهُمَا إِنْ أَسْلَمَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ فَلَا نِكَاحَ، وَإِنْ أَسْلَمَا قَبْلَ انْقِضَائِهَا فَلَمْ يَعْتَقِدَا تَأْبِيدَهُ وَالنِّكَاحُ مَا تَأَبَّدَ.
Al-Māwardī berkata: Adapun jika ia menikah di masa syirik dengan akad mut‘ah, yaitu dengan mengatakan: ‘Nikmatilah diriku selama setahun’, maka itu adalah pernikahan hingga setahun. Jika keduanya masuk Islam dalam keadaan demikian, maka tidak ada pernikahan di antara mereka, karena jika keduanya masuk Islam setelah masa tersebut berakhir, maka tidak ada pernikahan, dan jika keduanya masuk Islam sebelum masa itu berakhir, maka mereka tidak berniat untuk menjadikannya abadi, sedangkan pernikahan adalah yang bersifat abadi.
وَأَمَّا إِذَا نَكَحَهَا بِخِيَارٍ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun jika ia menikahinya dengan syarat pilihan (khiyār), maka hal itu terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْخِيَارُ مُؤَبَّدًا فَالنِّكَاحُ إِذَا أَسْلَمَا عَلَيْهِ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُمَا لَمْ يَعْتَقِدَا لُزُومَهُ وَالنِّكَاحُ مَا لَزِمَ.
Pertama: Jika pilihan (khiyār) itu bersifat abadi, maka pernikahan jika keduanya masuk Islam dalam keadaan demikian adalah batal, karena keduanya tidak berniat untuk melaziminya, sedangkan pernikahan adalah yang bersifat lazim.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يكون الخيار مؤقتاً فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Bagian kedua: Jika pilihan (khiyār) itu bersifat sementara, maka terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُسْلِمَا وَمُدَّةُ بالخيار بَاقِيَةٌ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ لِمَا ذَكَرْنَا.
Pertama: Jika keduanya masuk Islam dan masa pilihan (khiyār) masih tersisa, maka pernikahan batal sebagaimana telah disebutkan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُسْلِمَا بَعْدَ انْقِضَاءِ مُدَّةِ الْخِيَارِ فَالنِّكَاحُ جَائِزٌ، لِأَنَّ مَا انْقَضَى مُدَّةَ خِيَارِهِ صَارَ معتقد اللُّزُومِ، وَأَمَّا إِنْ نَكَحَهَا فِي الْعِدَّةِ ثُمَّ أَسْلَمَا، فَإِنْ كَانَتِ الْعِدَّةُ وَقْتَ إِسْلَامِهِمَا بَاقِيَةً فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ الْعَقْدَ عَلَيْهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقِيمَ عَلَى نِكَاحِهَا، وَإِنْ كَانَتِ الْعِدَّةُ قَدِ انْقَضَتْ وَقْتَ إِسْلَامِهِمَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Bagian kedua: Jika keduanya masuk Islam setelah masa pilihan (khiyār) berakhir, maka pernikahan sah, karena setelah masa pilihan berakhir, mereka telah berniat untuk melaziminya. Adapun jika ia menikahinya dalam masa ‘iddah, kemudian keduanya masuk Islam, maka jika masa ‘iddah masih tersisa saat keduanya masuk Islam, maka pernikahan batal, karena tidak boleh memulai akad atasnya, maka tidak boleh pula melanjutkan pernikahan dengannya. Namun jika masa ‘iddah telah selesai saat keduanya masuk Islam, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ، لِأَنَّ الْعِدَّةَ لَا تَنْقَضِي إِذَا كَانَتْ تَحْتَ زَوْجٍ فَصَارَتْ مُسْلِمَةً مَعَ بَقَاءِ الْعِدَّةِ.
Pertama: Pernikahan batal, karena masa ‘iddah tidak berakhir jika ia masih berada di bawah suami, sehingga ia menjadi muslimah dengan masih adanya masa ‘iddah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ النِّكَاحَ صَحِيحٌ، لِأَنَّ مَنَاكِحَ الشِّرْكِ مَعْفُوٌّ عَنْهَا، وَإِذَا أَسْلَمَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ مُدَّةِ الْعِدَّةِ فَقَدِ اسْتَهْلَكَتْهَا عَلَى الزَّوْجِ الْأَوَّلِ فِي الشِّرْكِ فَسَقَطَ حُكْمُهَا، وَإِذَا كَانَتِ الْمُدَّةُ بَاقِيَةً لَمْ تَسْتَهْلِكْ مَا بَقِيَ مِنْهَا فَافْتَرَقَا.
Pendapat kedua: Pernikahan sah, karena pernikahan di masa syirik dimaafkan, dan jika ia masuk Islam setelah masa ‘iddah berakhir, maka masa ‘iddah itu telah habis atas suami pertama di masa syirik, sehingga hukumnya gugur. Namun jika masa itu masih tersisa, maka yang tersisa belum habis, sehingga keduanya berpisah.
فَأَمَّا إِذَا قَهَرَ الْمُشْرِكُ فِي دَارِ الْحَرْبِ مُشْرِكَةً عَلَى نَفْسِهَا فَزَنَى بِهَا ثُمَّ أسْلَمَا فَإِنْ كَانُوا يَعْتَقِدُونَ فِي دِينِهِمْ أَنَّ الْقَهْرَ عَلَى النَّفْسِ نِكَاحٌ مُسْتَدَامٌ صَارَ ذَلِكَ مِنْ عُقُودِ مَنَاكِحِهِمُ الْمَعْفُوِّ عَنْهَا فَيُحْكَمُ بِصِحَّةِ النِّكَاحِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، وَإِنْ كَانُوا لَا يَعْتَقِدُونَهُ فِي دِينِهِمْ نكاحاً فلا نكاح بينهما إذا أسلما.
Adapun jika seorang musyrik di negeri perang memaksa seorang wanita musyrik atas dirinya lalu berzina dengannya, kemudian keduanya masuk Islam, maka jika dalam agama mereka diyakini bahwa pemaksaan atas diri itu adalah pernikahan yang berkelanjutan, maka hal itu termasuk akad pernikahan mereka yang dimaafkan, sehingga dihukumi sahnya pernikahan setelah masuk Islam. Namun jika dalam agama mereka tidak diyakini sebagai pernikahan, maka tidak ada pernikahan di antara keduanya jika keduanya masuk Islam.
Bab Perselisihan tentang Mempertahankan Istri-istri Terakhir
قال الشافعي رحمه الله: ” واحتججت على من يبطل الْأَوَاخِرَ بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِابْنِ الدَّيْلَمِيِّ وَعِنْدَهُ أُخْتَانِ ” اخْتَرْ أَيَّتَهُمَا شِئْتَ وَفَارِقِ الْأُخْرَى ” وَبِمَا قَالَ لِنَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ وتخييره غيلان فلو كان الأواخر حراماً ما خيره رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وقلت له أحسن حالةٍ أن يعقدوه بشهادة أهل الأوثان قلت ويروى أنهم كانوا ينكحون في العدة وبغير شهودٍ قال أجل قلت وهذا كله فاسدٌ في الإسلام قال أجل قلت فلما لم يسأل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن العقد كان عفواً لفوته كما حكم الله ورسوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -؟ بعفو الربا إذا فات بقبضه ورد ما بقي لأن الإسلام أدركه كما رد ما جاوز أربعاً لأن الإسلام أدركهن معه والعقد كلها لو ابتدأت في الإسلام فاسدةً فكيف نظرت إلى فسادها مرةً ولم تنظر أخرى فرجع بعض أصحابهم وقال محمد بن الحسن: ما علمت أحداً احتج بأحسن مما احتججت به ولقد خالفت أصحابي فيه منذ زمانٍ وما ينبغي أن يدخل على حديث النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – القياس “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Aku berdalil atas orang yang membatalkan (pilihan) istri-istri terakhir dengan sabda Nabi ﷺ kepada Ibnu Daylami, sedangkan di sisinya ada dua saudari: ‘Pilihlah salah satu dari keduanya yang engkau kehendaki dan ceraikanlah yang lainnya.’ Juga dengan apa yang beliau katakan kepada Naufal bin Mu‘awiyah, serta pilihan yang diberikan kepada Ghailan. Seandainya istri-istri terakhir itu haram, niscaya Rasulullah ﷺ tidak akan memberinya pilihan. Aku katakan kepadanya: Dalam keadaan terbaik, mereka menikah dengan persaksian para penyembah berhala. Aku juga berkata: Diriwayatkan bahwa mereka dahulu menikah di masa ‘iddah dan tanpa saksi. Ia menjawab: Benar. Aku berkata: Semua ini rusak menurut Islam. Ia menjawab: Benar. Aku berkata: Maka ketika Nabi ﷺ tidak menanyakan tentang akadnya, itu adalah pemaafan karena telah terlewat, sebagaimana Allah dan Rasul-Nya ﷺ memutuskan pemaafan terhadap riba yang telah terlewat dengan pengambilannya, dan mengembalikan sisanya karena Islam menjumpainya, sebagaimana dikembalikan kelebihan dari empat (istri) karena Islam menjumpai mereka bersamanya. Semua akad itu, seandainya dimulai dalam Islam, pasti rusak. Lalu mengapa engkau memandang kerusakannya pada satu waktu dan tidak pada waktu yang lain? Maka sebagian sahabat mereka kembali (kepada pendapatku), dan Muhammad bin al-Hasan berkata: Aku tidak mengetahui ada seseorang yang berdalil dengan dalil yang lebih baik dari apa yang engkau kemukakan, dan sungguh aku telah menyelisihi sahabat-sahabatku dalam masalah ini sejak lama, dan tidak sepantasnya memasukkan qiyās ke dalam hadits Nabi ﷺ.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: قَدْ مَضَى وَذَكَرْنَا أَنَّ الْمُشْرِكَ إِذَا أَسْلَمَ مَعَ أَكْثَرِ مِنْ أَرْبَعِ زَوْجَاتٍ فَهُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ إِمْسَاكِ الأوائل والأواخر بِخِلَافِ مَا قَالَهُ أبو حنيفة مِنْ إِمْسَاكِ الْأَوَائِلِ دُونَ الْأَوَاخِرِ احْتِجَاجًا بِمَا مَضَى، فَحَكَى الشَّافِعِيُّ مُنَاظَرَتَهُ لمحمد بن الحسن عَلَى ذَلِكَ فَرَجَعَ إِلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ، وَعَدَلَ عَنْ قَوْلِ صَاحِبَيْهِ أبي حنيفة، وأبي يوسف، وَاحْتِجَاجُهُ فِي ذَلِكَ مَا قَدَّمْنَاهُ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى إِعَادَتِهِ – وبالله التوفيق -.
Al-Mawardi berkata: Dan inilah sebagaimana yang telah dikatakan: Telah berlalu dan kami telah sebutkan bahwa seorang musyrik apabila masuk Islam dengan lebih dari empat istri, maka ia diberi pilihan antara mempertahankan istri-istri yang pertama atau yang terakhir, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang hanya membolehkan mempertahankan istri-istri yang pertama saja, dengan alasan sebagaimana yang telah berlalu. Maka Imam Syafi‘i telah meriwayatkan perdebatan beliau dengan Muhammad bin al-Hasan tentang hal itu, lalu Muhammad bin al-Hasan kembali kepada pendapat Syafi‘i dan meninggalkan pendapat kedua sahabatnya, yaitu Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Dalilnya dalam hal itu adalah apa yang telah kami sebutkan sebelumnya, sehingga tidak perlu diulang lagi—dan hanya kepada Allah-lah taufik.
Bab Murtadnya Salah Satu dari Suami Istri atau Keduanya, dan dari Kemusyrikan ke Kemusyrikan, dari Kitab Jami‘ al-Khutbah, dari Kitab Murtad, dan dari Kitab Larangan Menggabungkan (dalam Pernikahan).
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَإِذَا ارْتَدَّا أَوْ أَحَدُهُمَا مُنِعَا الْوَطْءَ فَإِنِ انْقَضَتِ الْعِدَّةُ قَبْلَ اجْتِمَاعِ إِسَلَامِهِمَا انْفَسَخَ النِّكَاحُ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا إِنْ أَصَابَهَا فِي الرِّدَّةِ فَإِنِ اجْتَمَعَ إِسْلَامُهُمَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Apabila keduanya murtad atau salah satunya, maka keduanya dilarang berhubungan suami istri. Jika masa ‘iddah habis sebelum keduanya kembali memeluk Islam, maka pernikahan menjadi batal, dan ia (istri) berhak atas mahar yang sepadan jika telah digauli dalam keadaan murtad. Namun jika keduanya kembali memeluk Islam sebelum habis masa ‘iddah, maka keduanya tetap dalam pernikahan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الْفَصْلُ يَشْتَمِلُ عَلَى مَسْأَلَتَيْنِ.
Al-Mawardi berkata: Bab ini mencakup dua permasalahan.
إِحْدَاهُمَا: أن يرتد أحد الزوجين المسلمين.
Pertama: Salah satu dari suami istri yang Muslim murtad.
والثانية: أن يرتدا معاً.
Kedua: Keduanya murtad bersama-sama.
فإذا ارتدا أَحَدُهُمَا، فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Apabila salah satu dari keduanya murtad, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُكَوْنَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَالنِّكَاحُ قَدْ بَطَلَ بِرِدَّةِ أَحَدِهِمَا، وَهُوَ إِجْمَاعٌ، لِأَنَّ مَا أَثَّرَ فِي الْفُرْقَةِ قَبْلَ الدخول أيتها كَالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ، وَلِذَلِكَ أَبْطَلْنَا نِكَاحَ الزَّوْجَيْنِ الْمُشْرِكَيْنِ إِذَا أَسْلَمَ أَحَدُهُمَا قَبْلَ الدُّخُولِ، وَإِذَا بَطَلَ النِّكَاحُ بِرِدَّةِ أَحَدِهِمَا قَبْلَ الدُّخُولِ نَظَرَ فِي الْمُرْتَدِّ مِنْهُمَا، فَإِنْ كَانَ هُوَ الزَّوْجَ فَعَلَيْهِ نِصْفُ الْمَهْرِ، لِأَنَّ الْفَسْخَ مَنْ قِبَلِهِ. وَإِنْ كَانَ الْمُرْتَدُّ هِيَ الزَّوْجَةُ فَلَا مَهْرَ لَهَا لِأَنَّ الْفَسْخَ مَنْ قِبَلِهَا.
Pertama: Jika terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri, maka pernikahan batal karena murtad salah satu dari keduanya, dan ini adalah ijmā‘, karena apa yang menyebabkan perpisahan sebelum terjadi hubungan suami istri, seperti talak raj‘i. Oleh karena itu, kami membatalkan pernikahan dua orang musyrik jika salah satunya masuk Islam sebelum terjadi hubungan suami istri. Jika pernikahan batal karena murtad salah satu dari keduanya sebelum terjadi hubungan suami istri, maka dilihat siapa yang murtad di antara keduanya. Jika yang murtad adalah suami, maka ia wajib membayar setengah mahar, karena pembatalan berasal darinya. Jika yang murtad adalah istri, maka ia tidak berhak atas mahar, karena pembatalan berasal darinya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يكون رِدَّةُ أَحَدِهِمَا بَعْدَ الدُّخُولِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي النِّكَاحِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَإِنْ أَسْلَمَ الْمُرْتَدُّ مِنْهُمَا قبل انقضائهما كَانَا عَلَى النِّكَاحِ، وَإِنْ لَمْ يُسْلِمْ حَتَّى انْقَضَتْ بَطَلَ النِّكَاحُ.
Kedua: Jika murtad salah satu dari keduanya terjadi setelah terjadi hubungan suami istri, para fuqahā’ berbeda pendapat tentang status pernikahan. Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa status pernikahan tergantung pada habisnya masa ‘iddah. Jika yang murtad kembali memeluk Islam sebelum habis masa ‘iddah, maka keduanya tetap dalam pernikahan. Jika tidak kembali memeluk Islam hingga masa ‘iddah habis, maka pernikahan batal.
وَقَالَ مَالِكٌ: يُعْرَضُ الْإِسْلَامُ عَلَى الْمُرْتَدِّ مِنْهُمَا، فَإِنْ عَادَ إِلَيْهِ كَانَا عَلَى النِّكَاحِ، وَإِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَيْهِ بَطَلَ النِّكَاحُ.
Malik berkata: Islam ditawarkan kepada yang murtad di antara keduanya. Jika ia kembali memeluk Islam, maka keduanya tetap dalam pernikahan. Jika tidak kembali memeluk Islam, maka pernikahan batal.
وَقَالَ أبو حنيفة: قَدْ بَطَلَ النِّكَاحُ بِنَفْسِ الرِّدَّةِ مِنْ غَيْرِ وَقْفٍ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ ارْتِدَادَ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ مُوجِبٌ لِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ فِي الْحَالِ قِيَاسًا عَلَى مَا قَبْلَ الدُّخُولِ، وَلِأَنَّ كُلَّ سَبَبٍ يَتَعَلَّقُ بِهِ فَسْخُ النِّكَاحِ يَسْتَوِي فيه ما قبل الدخول وبعده كالرضاع، واستبراء الزَّوْجَةِ، وَوَطْءِ أُمِّهَا بِشُبْهَةٍ.
Abu Hanifah berkata: Pernikahan batal dengan sendirinya karena murtad, tanpa menunggu (masa ‘iddah), dengan alasan bahwa murtadnya salah satu dari suami istri menyebabkan terjadinya perpisahan seketika, qiyās dengan apa yang terjadi sebelum hubungan suami istri. Karena setiap sebab yang menyebabkan pembatalan pernikahan, sama hukumnya sebelum maupun sesudah hubungan suami istri, seperti penyusuan, istibra’ istri, dan menggauli ibunya karena syubhat.
وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّ اخْتِلَافَ الدِّينِ بَعْدَ الْإِصَابَةِ لَا يُوجِبُ تَعْجِيلَ الْفُرْقَةِ قِيَاسًا عَلَى إِسْلَامِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ الْمُشْرِكَيْنِ، وَلِأَنَّهَا رِدَّةٌ طَارِئَةٌ عَلَى نِكَاحِ مَدْخُولٍ بِهَا فوجب أن لا تبيين قِيَاسًا عَلَى ارْتِدَادِهِمَا مَعًا.
Dalil kami: Sesungguhnya perbedaan agama setelah akad yang sah tidak mewajibkan percepatan perpisahan, dengan qiyās kepada masuk Islamnya salah satu dari dua pasangan yang musyrik, dan karena ini adalah riddah yang terjadi setelah akad nikah yang telah terjadi hubungan suami istri, maka tidak wajib terjadi perpisahan, dengan qiyās kepada murtadnya keduanya secara bersamaan.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى مَا قَبْلَ الدُّخُولِ فَهُوَ أَنَّ غَيْرَ الْمَدْخُولِ بِهَا لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا فَلِذَلِكَ تَعَجَّلَ فِرَاقُهَا وَالْمَدْخُولُ بِهَا عَلَيْهَا الْعِدَّةُ، فَلِذَلِكَ تَعَلَّقَ بِانْقِضَائِهَا وُقُوعُ فِرَاقِهَا كالطلاق الرجعي يتعجل به في غير المدخول بها ويتأجل بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فِي الْمَدْخُولِ بِهَا.
Adapun jawaban atas qiyās kepada keadaan sebelum terjadi hubungan suami istri adalah bahwa pada wanita yang belum terjadi hubungan suami istri tidak ada masa ‘iddah baginya, maka karena itu perpisahan dipercepat, sedangkan pada wanita yang telah terjadi hubungan suami istri, ia wajib menjalani masa ‘iddah, sehingga perpisahan dikaitkan dengan berakhirnya masa ‘iddah, sebagaimana talak raj‘i yang langsung terjadi pada wanita yang belum terjadi hubungan suami istri dan ditunda hingga berakhirnya masa ‘iddah pada wanita yang telah terjadi hubungan suami istri.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الرَّضَاعِ مَعَ فَسَادِهِ بِإِسْلَامِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ الْمُشْرِكَيْنِ فَهُوَ أَنَّ تَحْرِيمَ الرَّضَاعِ والمصاهرة يتأبد، وتحريم الردة قد يرتفع فلذلك ما افترقا.
Adapun jawaban atas qiyās kepada kasus penyusuan (radā‘) dengan batalnya (nikah) karena salah satu dari pasangan musyrik masuk Islam adalah bahwa keharaman karena radā‘ dan mushāharah (hubungan mahram karena pernikahan) bersifat abadi, sedangkan keharaman karena riddah bisa saja hilang, maka karena itu keduanya berbeda.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ
Fasal: Adapun masalah kedua
: وَهُوَ أَنْ يَرْتَدَّ الزَّوْجَانِ مَعًا فَهُوَ كَارْتِدَادِ أَحَدِهِمَا إِنْ كَانَ قبل الدخول بطل، وَإِنْ كَانَ بَعْدَهُ وَقَفَ عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ.
Yaitu apabila kedua pasangan sama-sama murtad, maka hukumnya seperti murtadnya salah satu dari keduanya: jika terjadi sebelum hubungan suami istri, maka batal; dan jika terjadi setelahnya, maka menunggu hingga berakhirnya masa ‘iddah.
وقال أبو حنيفة: إذا ارتدا معاً كان عَلَى النِّكَاحِ قَبْلَ الدُّخُولِ وَبَعْدَهُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ أَهْلَ الرِّدَّةِ حِينَ أَسْلَمُوا أَقَرَّهُمْ أَبُو بَكْرٍ – رضي الله تعالى عنه – على مناكحهم، ولم يَعْتَبِرْ فِيهِمُ انْقِضَاءَ الْعِدَّةِ وَلَا حَالَ الدُّخُولِ لِاجْتِمَاعِ الزَّوْجَيْنِ مِنْهُمْ عَلَى الْإِسْلَامِ وَالرِّدَّةِ.
Abu Hanifah berkata: Jika keduanya murtad bersama, maka akad nikah tetap berlaku baik sebelum maupun setelah terjadi hubungan suami istri, dengan dalil bahwa ketika kaum riddah masuk Islam, Abu Bakar – raḍiyallāhu ta‘ālā ‘anhu – membiarkan mereka tetap dalam pernikahan mereka, dan beliau tidak mensyaratkan berakhirnya masa ‘iddah ataupun status telah terjadi hubungan suami istri, karena kedua pasangan dari mereka telah berkumpul dalam Islam maupun riddah.
قَالَ: وَلِأَنَّهُ انْتِقَالٌ إِلَى دِينٍ وَاحِدٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُوقِعَ الْفُرْقَةَ بَيْنَهُمَا قِيَاسًا عَلَى إِسْلَامِ الْمُشْرِكِينَ.
Ia berkata: Karena ini adalah perpindahan ke satu agama yang sama, maka tidak seharusnya menyebabkan perpisahan di antara keduanya, dengan qiyās kepada masuk Islamnya pasangan musyrik.
قَالَ: وَلِأَنَّ أَكْثَرَ مَا فِي ارْتِدَادِهِمَا أن لا يقرأ على دينها وَهَذَا لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ نِكَاحِهِمَا كَالْوَثَنِيَّيْنِ.
Ia berkata: Dan karena paling jauh akibat dari murtadnya keduanya adalah bahwa salah satu tidak seagama dengan pasangannya, dan ini tidak menghalangi keabsahan pernikahan mereka, sebagaimana pada pasangan penyembah berhala.
وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّهَا رِدَّةٌ طَارِئَةٌ عَلَى نِكَاحٍ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهَا وُقُوعُ الْفُرْقَةِ قِيَاسًا عَلَى رِدَّةِ أَحَدِهِمَا، وَلِأَنَّ كُلَّ حُكْمٍ تَعَلَّقَ بردة أحدهما لم يزل بردتها قِيَاسًا عَلَى اسْتِبَاحَةِ الْمَالِ وَالدَّمِ وَإِحْبَاطِ الْعَمَلِ، ولأن كُلَّ مَعْنَى وَقَعَتْ بِهِ الْفُرْقَةُ إِذَا وُجِدَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَقَعَتْ بِهِ الْفُرْقَةُ إِذَا وُجِدَ مِنْهُمَا كَالْمَوْتِ.
Dalil kami: Bahwa ini adalah riddah yang terjadi pada akad nikah, maka wajib dikaitkan dengannya terjadinya perpisahan, dengan qiyās kepada riddah salah satu dari keduanya. Dan setiap hukum yang berlaku pada riddah salah satu dari keduanya, tidak hilang dengan riddah keduanya, dengan qiyās kepada kebolehan pengambilan harta dan darah serta pengguguran amal. Dan setiap makna yang menyebabkan terjadinya perpisahan jika terjadi pada salah satu dari keduanya, maka juga menyebabkan perpisahan jika terjadi pada keduanya, seperti kematian.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ إِقْرَارِ أَبِي بكر – رضي الله تعالى عَنْهُ – لِأَهْلِ الرِّدَّةِ عَلَى مَنَاكِحِهِمْ فَلِأَنَّهُمْ أَسْلَمُوا قبل انقضاء العدة.
Adapun jawaban atas pembiaran Abu Bakar – raḍiyallāhu ta‘ālā ‘anhu – terhadap kaum riddah atas pernikahan mereka adalah karena mereka masuk Islam sebelum berakhirnya masa ‘iddah.
فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ يُفَرِّقْ بَيْنَ الْمَدْخُولِ بِهَا وغير الْمَدْخُولِ بِهَا.
Jika dikatakan: Mengapa dibedakan antara yang telah terjadi hubungan suami istri dan yang belum?
قِيلَ: قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ جَمِيعُهُنَّ مَدْخُولًا بِهِنَّ أَوْ لَمْ يَتَمَيَّزْنَ فَأَجْرَى عَلَيْهِنَّ حُكْمَ الْأَغْلَبِ كَمَا أَنَّهُ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ مَنِ اجْتَمَعَا فِي الرِّدَّةِ أَوْ لَمْ يَجْتَمِعَا وَإِنْ كَانَ أبو حنيفة يُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا فَيَكُونُ جَوَابُهُ عَنْ هَذَا السُّؤَالِ جَوَابًا عَنْ سُؤَالِهِ.
Dijawab: Bisa jadi seluruh wanita itu telah terjadi hubungan suami istri atau tidak dapat dibedakan, maka diberlakukan atas mereka hukum yang paling dominan, sebagaimana beliau tidak membedakan antara yang berkumpul dalam riddah atau tidak, meskipun Abu Hanifah membedakan antara keduanya, maka jawabannya atas pertanyaan ini sama dengan jawabannya atas pertanyaan sebelumnya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمُشْرِكَيْنِ إِذَا أَسْلَمَا بِعِلَّةِ انْتِقَالِهِمَا إِلَى دِينٍ وَاحِدٍ فَهُوَ انْتِقَاضُهُ بِالْمُسْلِمِ إِذَا تَزَوَّجَ يَهُودِيَّةً ثُمَّ تنصر قَدِ اجْتَمَعَا عَلَى دِينٍ وَاحِدٍ، وَالْفُرْقَةُ وَاقِعَةٌ بَيْنَهُمَا عَلَى أَنَّ أبا حنيفة قَدْ وَافَقَنَا أنه إذا اجتمعا على الردة مِنَ الْإِصَابَةِ كَمَا لَوِ ارْتَدَّ أَحَدُهُمَا حَتَّى يَجْتَمِعَا عَلَى الْإِسْلَامِ.
Adapun jawaban atas qiyās mereka kepada pasangan musyrik jika keduanya masuk Islam dengan alasan berpindah ke satu agama, maka qiyās itu rusak dengan kasus seorang Muslim yang menikahi wanita Yahudi lalu wanita itu masuk Nasrani, keduanya telah berkumpul dalam satu agama, namun perpisahan tetap terjadi di antara keduanya. Padahal Abu Hanifah telah sepakat dengan kami bahwa jika keduanya berkumpul dalam riddah dari awal, seperti jika salah satu dari keduanya murtad hingga keduanya berkumpul dalam Islam.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِاجْتِمَاعِ الْوَثَنِيَّيْنِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْوَثَنِيَّيْنِ لَا يمنعان من الإصابة فجاز إقرارهما على النكاح، والمرتدتان يمنعان من الإصابة فلم يجز إِقْرَارُهُمَا عَلَى النِّكَاحِ.
Adapun jawaban atas dalil mereka dengan berkumpulnya dua penyembah berhala adalah perbedaannya bahwa dua penyembah berhala tidak menghalangi terjadinya hubungan suami istri, maka boleh dibiarkan dalam pernikahan, sedangkan dua orang yang murtad menghalangi terjadinya hubungan suami istri, maka tidak boleh dibiarkan dalam pernikahan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ اجْتِمَاعَهُمَا عَلَى الرِّدَّةِ فِي وُقُوعِ الْفُرْقَةِ بَيْنَهُمَا كَارْتِدَادِ أَحَدِهِمَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا إِذَا ارْتَدَّا مِنْ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُمَا فِي الْحَالِ، وَفِي الْمَهْرِ وَجْهَانِ:
Jika telah tetap bahwa keduanya murtad bersama-sama, maka terjadinya perpisahan antara mereka berdua sama seperti murtadnya salah satu dari mereka. Keadaan mereka berdua ketika keduanya murtad tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah itu terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri atau sesudahnya. Jika terjadi sebelum hubungan suami istri, maka perpisahan terjadi seketika itu juga, dan dalam hal mahar terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُغَلَّبُ فِيهِ رِدَّةُ الزَّوْجِ، لِأَنَّهُ أَقْوَى الْمُتَنَاكِحَيْنِ حَالًا، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَلَيْهِ نِصْفُ الْمَهْرِ كما لو تفرد بِالرِّدَّةِ.
Salah satunya: yang diunggulkan adalah murtadnya suami, karena ia adalah pihak yang lebih kuat di antara kedua pasangan, sehingga dalam hal ini ia wajib membayar setengah mahar, sebagaimana jika ia sendiri yang murtad.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُغَلَّبُ فِيهِ رِدَّةُ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّ الْمَهْرَ حَقٌّ لَهَا فَكَانَ أَوْلَى الْأَمْرَيْنِ أَنْ يُغَلَّبَ فِيهِ رَدَّتُهَا، فَعَلَى هَذَا لا مهر لها كما لو تفردت بِالرِّدَّةِ، وَخَرَّجَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فِيهِ وَجْهًا ثَالِثًا: إِنَّ لَهَا رُبُعَ الْمَهْرِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْفَسْخِ فَسَقَطَ مِنَ النِّصْفِ نِصْفُهُ، لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ رِدَّةِ الزَّوْجِ، وَإِنْ كَانَ ارْتِدَادُهُمَا بَعْدَ الدُّخُولِ فالمهر قد استقر بالإصابة ولها أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
Pendapat kedua: yang diunggulkan adalah murtadnya istri, karena mahar adalah hak istri, maka yang lebih utama adalah mengunggulkan murtadnya istri dalam hal ini. Maka dalam hal ini ia tidak berhak mendapatkan mahar, sebagaimana jika ia sendiri yang murtad. Sebagian ulama kami mengeluarkan pendapat ketiga: bahwa ia berhak mendapatkan seperempat mahar karena keduanya sama-sama berperan dalam pembatalan pernikahan, sehingga dari setengah mahar gugur setengahnya lagi, karena itu sebagai kompensasi dari murtadnya suami. Jika keduanya murtad setelah terjadi hubungan suami istri, maka mahar telah menjadi hak istri karena telah terjadi hubungan, dan dalam hal ini terdapat empat keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَعُودَا جَمِيعًا إِلَى الْإِسْلَامِ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَيَكُونَا عَلَى النِّكَاحِ.
Pertama: keduanya kembali bersama-sama kepada Islam sebelum habis masa iddah, maka keduanya tetap berada dalam status pernikahan.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَعُودَا مَعًا حَتَّى تَنْقَضِيَ الْعِدَّةُ، فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ.
Kedua: keduanya tidak kembali bersama-sama hingga masa iddah habis, maka pernikahan batal.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعُودَ الزَّوْجُ إِلَى الْإِسْلَامِ دُونَهَا فَلَا نِكَاحَ.
Ketiga: suami kembali kepada Islam tanpa istrinya, maka tidak ada lagi pernikahan.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ تَعُودَ الزَّوْجَةُ دُونَهُ فَلَا نِكَاحَ.
Keempat: istri kembali kepada Islam tanpa suaminya, maka tidak ada lagi pernikahan.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَا يَجُوزُ لِلزَّوْجِ الْإِصَابَةُ فِي الرِّدَّةِ سَوَاءٌ كَانَ الزَّوْجُ الْمُرْتَدَّ أَوِ الزَّوْجَةُ، فَإِنْ أَصَابَهَا فِي الرِّدَّةِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لِأَنَّ بَقَاءَ أَحْكَامِ النِّكَاحِ شُبْهَةٌ فِي إِدْرَاءِ الْحَدِّ، وَعَلَيْهِ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، فَإِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَى الْإِسْلَامِ حتى انقضت عدتها فاستقر المهر عليها أَنْ تَعْتَدَّ مِنْ إِصَابَتِهِ لِلِاسْتِبْرَاءِ، وَيَكُونُ الْبَاقِي مِنْ عِدَّةِ الرِّدَّةِ مَحْسُوبًا مِنَ الْعِدَّتَيْنِ.
Tidak boleh bagi suami melakukan hubungan suami istri dalam keadaan riddah, baik suami yang murtad maupun istri. Jika ia melakukan hubungan dalam keadaan riddah, maka tidak dikenakan had atasnya karena masih adanya syubhat (keraguan) dalam keberlakuan hukum-hukum pernikahan yang dapat menggugurkan had, dan ia wajib membayar mahar mitsil (mahar yang sepadan). Jika ia tidak kembali kepada Islam hingga habis masa iddahnya, maka mahar itu tetap menjadi hak istri, dan istri wajib menjalani masa iddah dari hubungan tersebut untuk memastikan tidak ada kehamilan, dan sisa masa iddah riddah dihitung sebagai bagian dari kedua masa iddah tersebut.
مِثَالُهُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَصَابَهَا بَعْدَ قُرْءٍ مِنْ رِدَّتِهَا، فَعَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ مَنْ وَقْتِ الْإِصَابَةِ ثَلَاثَةَ أَقْرَاءٍ مِنْهَا قُرْءَانِ مِنْ عِدَّتِيِ الرِّدَّةِ والإصابة، وقرء مختص بعد الْإِصَابَةِ وَإِسْلَامُهَا الَّذِي يَجْتَمِعَانِ بِهِ عَلَى النِّكَاحِ أَنْ يَكُونَ فِي عِدَّةِ الرِّدَّةِ دُونَ عِدَّةِ الْإِصَابَةِ، فَإِنْ عَادَ الْمُرْتَدُّ مِنْهُمَا إِلَى الْإِسْلَامِ فِي الْبَاقِي مِنْ عِدَّةِ الرِّدَّةِ كَانَا عَلَى النكاح، فأما المهر فالذي وجب بالإصابة فقد قال الشافعي ما يَدُلُّ عَلَى سُقُوطِهِ بِالْإِسْلَامِ، وَقَالَ فِي الْمُعْتَدَّةِ مِنْ طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ إِذَا أَصَابَهَا الزَّوْجُ فِي الْعِدَّةِ فَوَجَبَ عَلَيْهِ الْمَهْرُ ثُمَّ رَاجَعَهَا بَعْدَ الإصابة. أن المهر لا يسقط بالرجعة وَرَجْعَةُ الْمُطَلَّقَةِ كَإِسْلَامِ الْمُرْتَدَّةِ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا لِاخْتِلَافِ جوابه على طريقين:
Contohnya: jika suami telah berhubungan dengan istri setelah satu kali haid dari murtadnya istri, maka istri wajib menjalani masa iddah sejak waktu hubungan tersebut sebanyak tiga kali haid, dua di antaranya termasuk dalam masa iddah riddah dan iddah akibat hubungan, dan satu kali haid khusus setelah hubungan dan keislamannya, yang dengan itu keduanya dapat kembali dalam status pernikahan jika terjadi dalam masa iddah riddah, bukan dalam masa iddah akibat hubungan. Jika salah satu dari mereka yang murtad kembali kepada Islam dalam sisa masa iddah riddah, maka keduanya tetap dalam status pernikahan. Adapun mengenai mahar yang wajib karena hubungan tersebut, Imam asy-Syafi‘i berkata bahwa itu gugur dengan keislaman. Beliau juga berkata dalam kasus wanita yang menjalani iddah talak raj‘i, jika suami berhubungan dengannya dalam masa iddah maka wajib membayar mahar, kemudian suami merujuknya setelah hubungan tersebut, maka mahar tidak gugur dengan rujuk. Rujuknya wanita yang ditalak seperti keislaman wanita yang murtad. Maka para ulama kami berbeda pendapat karena perbedaan jawaban beliau, dan ada dua metode:
أحدهما: نقل جواب كل واحد مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى، وَتَخْرِيجُهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
Pertama: memindahkan jawaban masing-masing masalah ke masalah yang lain, dan menjadikannya dalam dua pendapat:
أحدهما: سقوط مهرها بعود الْمُرْتَدَّةِ إِلَى الْإِسْلَامِ، وَرَجْعَةِ الْمُطَلَّقَةِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْمُرْتَدَّةِ.
Pertama: mahar istri gugur dengan kembalinya wanita murtad kepada Islam, dan rujuknya wanita yang ditalak sebagaimana yang dinyatakan dalam kasus wanita murtad.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّ مهرها ثَابِتٌ لَا يَسْقُطُ بِإِسْلَامِ الْمُرْتَدَّةِ وَلَا بِرَجْعَةِ الْمُطَلَّقَةِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْمُطَلَّقَةِ.
Pendapat kedua: mahar istri tetap dan tidak gugur dengan keislaman wanita murtad maupun dengan rujuknya wanita yang ditalak, sebagaimana yang dinyatakan dalam kasus wanita yang ditalak.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: حَمْلُ الْجَوَابِ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ، فَيَسْقُطُ مَهْرُ الْمُرْتَدَّةِ بِالْإِسْلَامِ وَلَا يَسْقُطُ مَهْرُ الْمُطَلَّقَةِ بِالرَّجْعَةِ.
Metode kedua: membawa jawaban sesuai dengan zahirnya pada kedua kasus, sehingga mahar wanita murtad gugur dengan keislaman, dan mahar wanita yang ditalak tidak gugur dengan rujuk.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ ثَلْمَ الرِّدَّةِ قَدِ ارْتَفَعَ بِالْإِسْلَامِ حَتَّى لَمْ يَبْقَ للردة تأثير بعودها إِلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ مِنْ نِكَاحٍ، وَإِبَاحَةٍ وثلم المطلقة لم يرتفع جميعه بِالرَّجْعَةِ، وَإِنَّمَا ارْتَفَعَ بِهَا التَّحْرِيمُ دُونَ الطَّلَاقِ فَكَانَ تَأْثِيرُهُ بَاقِيًا فَبَقِيَ مَا وَجَبَ فِيهِ من المهر – والله أعلم -.
Perbedaannya adalah bahwa kerusakan akibat riddah telah hilang dengan keislaman, sehingga tidak ada lagi pengaruh riddah dengan kembalinya kepada status pernikahan dan kebolehan (berhubungan), sedangkan kerusakan akibat talak belum sepenuhnya hilang dengan rujuk, yang hilang hanyalah keharamannya, bukan talaknya, sehingga pengaruhnya masih ada, maka tetaplah apa yang telah menjadi kewajiban berupa mahar di dalamnya – wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ هَرَبَ مُرْتَدًّا ثُمَّ رَجَعَ بَعْدَ انْقِضَاءِ العدة مسلماً وادعى أنه اسلم قبلها فأنكرت فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهِا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang murtad melarikan diri lalu kembali setelah habis masa ‘iddah sebagai Muslim dan mengaku bahwa ia telah masuk Islam sebelum habis masa ‘iddah, namun istrinya mengingkari, maka perkataan istri yang diterima dengan sumpahnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ قَدْ مَضَتْ فِي الِانْفِصَالِ عَمَّا أَوْرَدَهُ الْمُزَنِيُّ فِي اخْتِلَافِ الزَّوْجَيْنِ الْمُشْرِكَيْنِ فِي إِسْلَامِهِمَا، وَذَكَرْنَا اخْتِلَافَ أَصْحَابِنَا فِي الْمُرْتَدِّ إِذَا عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ. وَقَالَ: أَسْلَمْتُ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِكِ وقالت: بعدها وفي الرجعة إِذَا قَالَ الزَّوْجُ: رَاجَعْتُكِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِكِ وقالت: بعدها على ثلاث طرق:
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan dalam pembahasan terpisah terkait apa yang dikemukakan oleh al-Muzani tentang perselisihan dua pasangan suami istri musyrik dalam keislaman mereka, dan kami telah menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan sahabat kami mengenai murtad yang kembali masuk Islam. Jika ia berkata: “Aku telah masuk Islam sebelum habis masa ‘iddahmu,” dan istrinya berkata: “Setelahnya,” serta dalam masalah rujuk, jika suami berkata: “Aku telah merujukmu sebelum habis masa ‘iddahmu,” dan istrinya berkata: “Setelahnya,” maka terdapat tiga metode:
أحدها: أنهما على قولين.
Pertama: Ada dua pendapat dalam masalah ini.
أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجَةِ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ، لِأَنَّ قَوْلَهَا فِي عِدَّتِهَا مَقْبُولٌ.
Salah satu dari dua pendapat: Bahwa perkataan istri yang diterima dalam kedua masalah tersebut, karena perkataannya tentang masa ‘iddahnya dapat diterima.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ، لِأَنَّ قوله فيما نقله من إسلام ورجعة مقبول.
Dan yang kedua: Bahwa perkataan suami yang diterima dalam kedua masalah tersebut, karena pernyataannya mengenai keislaman dan rujuk yang ia sampaikan dapat diterima.
والطريقة الثَّانِيَةُ: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ مَنِ اتُّفِقَ عَلَى صِدْقِهِ فِيهِمَا فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ عَلَى الْمِثَالِ الَّذِي بيناه.
Metode kedua: Bahwa perkataan yang diterima adalah milik siapa di antara keduanya yang telah disepakati kebenarannya dalam kedua masalah tersebut, sesuai contoh yang telah kami jelaskan.
والطريقة الثَّالِثَةُ: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ مَنْ سَبَقَ مِنْهُمَا بالدعوى.
Metode ketiga: Bahwa perkataan yang diterima adalah milik siapa di antara keduanya yang lebih dahulu mengajukan klaim.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَارْتَدَّتْ فَلَا مَهْرَ لها لأن الفسخ من قبلها وإن ارتد فَلَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ لِأَنَّ الْفَسْخَ مِنْ قِبَلِهِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami belum berhubungan dengannya lalu istri murtad, maka ia tidak berhak atas mahar karena pembatalan berasal dari pihaknya. Namun jika suami yang murtad, maka istri berhak atas setengah mahar karena pembatalan berasal dari pihak suami.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَذَكَرْنَا أَنَّ ارْتِدَادَ أَحَدِهِمَا قَبْلَ الدُّخُولِ مُوجِبٌ لِفَسْخِ النِّكَاحِ، وَإِنَّ الْمُرْتَدَّ إِنْ كَانَ هُوَ الزَّوْجُ لها نِصْفُ الْمَهْرِ، وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ فَلَا مَهْرَ لَهَا فَرْقًا بَيْنَ أَنْ تَكُونَ الْفُرْقَةُ مِنْ قِبَلِهِ أَوْ قِبَلِهَا، وَإِنَّهُمَا إِنِ ارْتَدَّا مَعًا كَانَ فِي الْمَهْرِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan, dan kami telah menyebutkan bahwa murtad salah satu dari keduanya sebelum terjadi hubungan suami istri menyebabkan pembatalan nikah. Jika yang murtad adalah suami, maka istri berhak atas setengah mahar. Jika yang murtad adalah istri, maka ia tidak berhak atas mahar, sebagai pembedaan antara pembatalan yang berasal dari pihak suami atau istri. Jika keduanya murtad bersamaan, maka dalam hal mahar terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا: لَهَا نَصِفُهُ تَغْلِيبًا لِرِدَّةِ الزَّوْجِ.
Pertama: Istri berhak atas setengah mahar, dengan menguatkan murtadnya suami.
وَالثَّانِي: لَا شَيْءَ لَهَا تَغْلِيبًا لِرِدَّتِهَا.
Kedua: Istri tidak berhak atas apa pun, dengan menguatkan murtadnya istri.
وَالثَّالِثُ: لَهَا رُبُعُهُ لِاشْتِرَاكِهِمَا فيها.
Ketiga: Istri berhak atas seperempat mahar, karena keduanya sama-sama berperan dalam pembatalan.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوْ كَانَتْ تَحْتَهُ نصرانية فتمجست أو تزندقت فكالمسلمة تريد (وقال) في كتاب المرتد حتى ترجع إلى الذي حلت به من يهودية أو نصرانية ” ز
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang istri Nasrani berada di bawah suami Muslim lalu ia menjadi Majusi atau zindik, maka hukumnya seperti wanita Muslim yang murtad. (Dan beliau berkata) dalam Kitab al-Murtad: hingga ia kembali kepada agama yang halal baginya, yaitu Yahudi atau Nasrani.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ، وَمَا فِيهَا مِنَ الْأَقْسَامِ وَالْأَحْكَامِ، وَإِنَّ الزَّوْجَةَ النَّصْرَانِيَّةَ إِذَا تَزَنْدَقَتْ لَمْ تُقَرَّ وَفِيمَا تُؤْخَذُ بِالرُّجُوعِ إِلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan, beserta rincian dan hukumnya. Jika istri Nasrani menjadi zindik, maka ia tidak dibiarkan dalam keadaan itu dan dalam hal ia dipaksa untuk kembali, terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا: الْإِسْلَامُ لَا غَيْرَ.
Pertama: Ia harus masuk Islam, tidak boleh yang lain.
وَالثَّانِي: الْإِسْلَامُ فَإِنْ أَبَتْ فَدِينُهَا الَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ النَّصْرَانِيَّةِ.
Kedua: Ia harus masuk Islam, jika menolak maka kembali ke agamanya semula, yaitu Nasrani.
وَالثَّالِثُ: الْإِسْلَامُ فَإِنْ أَبَتْ فَدِينٌ يُقِرُّ عَلَيْهِ أَهْلُهُ مِنْ أَدْيَانِ أَهْلِ الْكِتَابِ، وَلَوْ كَانَتْ نصرانية فتهودت كان على قولين:
Ketiga: Ia harus masuk Islam, jika menolak maka ke agama yang diakui oleh pemeluknya dari kalangan Ahlul Kitab. Jika seorang Nasrani kemudian masuk Yahudi, maka ada dua pendapat:
أحدهما: تقر.
Pertama: Ia tetap diakui.
والثاني: لا تقر.
Kedua: Ia tidak diakui.
وفيما تؤخذ بِالرُّجُوعِ إِلَيْهِ قَوْلَانِ:
Dalam hal ia dipaksa untuk kembali, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: الْإِسْلَامُ لَا غَيْرَ.
Pertama: Ia harus masuk Islam, tidak boleh yang lain.
وَالثَّانِي: الْإِسْلَامُ.
Kedua: Ia harus masuk Islam.
فَإِنْ أَبَتْ فَدِينُهَا الَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ، وَذَكَرْنَا مَا تَعَلَّقَ بِذَلِكَ مِنْ أَحْكَامِ النكاح قبل الدخول وبعده.
Jika ia menolak, maka kembali ke agamanya semula. Kami telah menyebutkan hukum-hukum yang berkaitan dengan hal itu, baik sebelum maupun sesudah terjadi hubungan suami istri.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ومن دان دين اليهود والنصارى مِنَ الْعَرَبِ أَوِ الْعَجَمِ غَيْرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي فَسْخِ النِّكَاحِ وَمَا يَحْرُمُ مِنْهُ أَوْ يحل كأهل الأوثان (وقال) في كتاب ما يحرم الجمع بينه من ارتد من يهودية إلى نصرانية أو نصرانية إلى يهودية حل نكاحها لأنها لو كانت من أهل الدين الذي خرجت إليه حل نكاحها (وقال) في كتاب الجزية لا ينكح من ارتد عن أصل دين آبائه لأنهم بدلوا بغيره الإسلام فخالفوا حالهم عما أذن بأخذ الجزية منهم عليه وأبيح من طعامهم ونسائهم “.
Imam Syafi‘i berkata: “Barang siapa dari kalangan Arab atau non-Arab selain Bani Israil yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, maka dalam hal pembatalan nikah dan apa yang diharamkan atau dihalalkan darinya, hukumnya seperti penyembah berhala. (Dan beliau berkata) dalam Kitab tentang apa yang diharamkan untuk digabungkan dalam pernikahan: barang siapa yang murtad dari Yahudi ke Nasrani atau dari Nasrani ke Yahudi, maka pernikahannya sah, karena jika ia berasal dari agama yang ia masuki, maka pernikahannya sah. (Dan beliau berkata) dalam Kitab Jizyah: tidak boleh menikahi orang yang murtad dari agama asal nenek moyangnya, karena mereka telah mengganti agama tersebut dengan selain Islam, sehingga berbeda dengan keadaan mereka yang diizinkan untuk diambil jizyah darinya dan dihalalkan makanan serta wanita mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ، وَذَكَرْنَا أَنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى مُقَرُّونَ عَلَى دِينِهِمْ، وَيَحِلُّ نِكَاحُ نِسَائِهِمْ، وَمَنْ دَخَلَ فِي دِينِهِمَا مِنَ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ وَسَائِرِ الْأُمَمِ على ضربين: قبل التبديل، وبعده ممن دَخَلَ فِيهِ قَبْلَ تَبْدِيلِ أَهْلِهِ كَالرُّومِ كَانَ على حكمين فِيهِ، تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ، وَتُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ، وَتُؤَكَلُ ذَبَائِحُهُمْ.
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan, dan kami telah menyebutkan bahwa Bani Israil dari kalangan Yahudi dan Nasrani diakui atas agama mereka, dan halal menikahi wanita-wanita mereka. Adapun orang yang masuk ke dalam agama mereka dari kalangan Arab, non-Arab, dan bangsa-bangsa lain, terbagi menjadi dua: sebelum terjadi perubahan agama dan setelahnya. Barang siapa yang masuk ke dalam agama mereka sebelum terjadi perubahan agama oleh kaumnya, seperti bangsa Romawi, maka ada dua hukum: jizyah mereka diterima, wanita-wanita mereka boleh dinikahi, dan sembelihan mereka boleh dimakan.
وَمَنْ دَخَلَ فِيهِ بَعْدَ تَبْدِيلِ أَهْلِهِ كَانَ فِي حُكْمِ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ لَا تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ، وَلَا تُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ، وَلَا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ فَإِنْ بَدَّلَ بَعْضُهُمْ دُونَ بَعْضٍ مِمَّنْ دَخَلَ فِي دين من بدل لم تقر، وَمَنْ دَخَلَ فِي دِينٍ لَمْ يُبَدَّلْ أُقِرَّ، وَحَلَّ أَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحُ نِسَائِهِمْ، وَإِنْ دَخَلَ فِي دِينِهِمْ قَوْمٌ أَشْكَلَتْ عَلَيْنَا أَحْوَالُهُمْ هَلْ دَخَلُوا فِيهِ قَبْلَ التَّبْدِيلِ أَوْ بَعْدَهُ، أَوْ هَلْ دَخَلُوا فِيهِ مَعَ مَنْ بَدَّلَ أَوْ مَعَ مَنْ لَمْ يُبَدِّلْ كَانُوا فِي حُكْمِ الْمَجُوسِ يُقَرُّونَ بِالْجِزْيَةِ حَقْنًا لِدِمَائِهِمْ، وَلَا تُؤَكِّلُ ذَبَائِحُهُمْ وَلَا تُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ.
Barang siapa yang masuk ke dalam agama tersebut setelah penduduknya melakukan perubahan, maka ia diperlakukan seperti penyembah berhala: jizyah mereka tidak diterima, perempuan mereka tidak boleh dinikahi, dan sembelihan mereka tidak boleh dimakan. Jika sebagian dari mereka saja yang melakukan perubahan, sementara sebagian lain yang masuk ke dalam agama yang telah diubah itu tidak diakui, sedangkan siapa yang masuk ke dalam agama yang belum diubah maka ia diakui, dan halal memakan sembelihan mereka serta menikahi perempuan mereka. Jika ada suatu kaum yang masuk ke dalam agama mereka, namun keadaan mereka tidak jelas bagi kita—apakah mereka masuk sebelum atau sesudah perubahan, atau apakah mereka masuk bersama orang yang mengubah atau bersama yang tidak mengubah—maka mereka diperlakukan seperti kaum Majusi: mereka diakui dengan membayar jizyah demi menjaga darah mereka, namun sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan perempuan mereka tidak boleh dinikahi.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَيْسَ لِلْمُرْتَدِّ أَنْ يَسْتَأْنِفَ عَقْدَ نِكَاحٍ فِي الرِّدَّةِ عَلَى مُسْلِمَةٍ وَلَا مُرْتَدَّةٍ، فَإِنْ عَقَدَ فِيهِ نِكَاحًا كَانَ فَاسِدًا سَوَاءً تَعَجَّلَ إِسْلَامَهُ فِيهِ أَوْ تأخرن لِأَنَّ رِدَّتَهُ تُبْطِلُ نِكَاحًا ثَابِتًا فَلَمْ يَجُزْ أن يثبت نكاحاً مستأنفاً إلا أن الشَّافِعِيَّ قَالَ فِي مَوْضِعٍ تُطَلَّقُ عَلَيْهِ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: لَا تُطَلَّقُ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ ذَلِكَ مِنْهُ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ فِيهِ وَيَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ:
Seorang murtad tidak boleh memulai akad nikah baru dalam keadaan riddah, baik dengan perempuan muslimah maupun perempuan murtad. Jika ia melakukan akad nikah dalam keadaan itu, maka akadnya batal, baik ia segera masuk Islam kembali setelahnya maupun menundanya, karena riddah-nya membatalkan akad nikah yang sah, sehingga tidak boleh menetapkan akad nikah baru. Kecuali, asy-Syafi‘i berkata di suatu tempat: “Perempuan itu ditalak darinya,” dan di tempat lain: “Tidak ditalak darinya.” Hal ini bukanlah perbedaan dua pendapat darinya, melainkan mengandung dua kemungkinan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَوْلَهُ لَا تُطَلَّقُ يَعْنِي واجباً، وقوله تطلق اسْتِحْبَابًا.
Pertama: Ucapannya “tidak ditalak” maksudnya wajib, dan ucapannya “dicerai” maksudnya istihbāb (anjuran).
وَالثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ لَا تُطَلَّقُ إِنْ أنكح مُسْلِمَةً، وَتُطَلَّقُ إِذَا نَكَحَ مُرْتَدَّةً – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Kedua: Ucapannya “tidak ditalak” jika ia menikahi perempuan muslimah, dan “dicerai” jika ia menikahi perempuan murtad—wallāhu a‘lam.
Bab Talak Syirik
قال الشافعي رحمه الله: ” وإذ أَثْبَتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نِكَاحَ الشِّرْكِ وَأَقَرَّ أَهْلَهُ عَلَيْهِ فِي الْإِسْلَامِ لَمْ يَجُزْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ إِلَّا أَنْ يَثْبُتَ طَلَاقُ الشِّرْكِ لِأَنَّ الطَّلَاقَ يَثْبُتُ بِثُبُوتِ النِّكَاحِ وَيَسْقُطُ بِسُقُوطِهِ فَإِنْ أَسْلَمَا وَقَدْ طَلَّقَهَا فِي الشرك ثلاثاً لَمْ تَحِلَّ لَهُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ولو تزوجها غيره في الشرك حلت له ولمسلمٍ لو طلقها ثلاثاً “.
Asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Ketika Rasulullah ﷺ menetapkan keabsahan nikah syirik dan mengakui para pelakunya dalam Islam, maka tidak boleh—wallāhu a‘lam—kecuali juga ditetapkan keabsahan talak syirik, karena talak itu sah dengan sahnya akad nikah dan gugur dengan gugurnya akad nikah. Jika keduanya masuk Islam dan sebelumnya suami telah mentalaknya tiga kali saat masih dalam syirik, maka ia tidak halal baginya hingga menikah dengan suami lain. Jika ia dinikahi oleh laki-laki lain dalam keadaan syirik, maka ia halal baginya dan juga halal bagi seorang muslim jika ia telah ditalak tiga kali.”
قال الماورد: وَهَذَا كَمَا قَالَ: نِكَاحُ الشِّرْكِ صَحِيحٌ، وَالْإِقْرَارُ عَلَيْهِ جَائِزٌ، وَطَلَاقُ الشِّرْكِ وَاقِعٌ، وَحُكْمُ الْفُرْقَةِ ثَابِتٌ.
Al-Mawardi berkata: “Hal ini sebagaimana yang dikatakan: Nikah syirik itu sah, pengakuan atasnya diperbolehkan, talak syirik itu jatuh, dan hukum perpisahan (akibat talak) tetap berlaku.”
وَقَالَ مَالِكٌ، مَنَاكِحُهُمْ بَاطِلَةٌ، وَإِنْ أُقِرُّوا عَلَيْهَا، وَطَلَاقُهُمْ غَيْرُ وَاقِعٍ وَاسْتَدَلَّ عَلَى بُطْلَانِ مَنَاكِحِهِمْ بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اتَّقَوْا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّمَا مَلَكْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بكلمة الله تعالى يَعْنِي بِكِتَابِ اللَّهِ وَدِينِ الْإِسْلَامِ فَلَمْ يَجُزْ أن يملكها بغير ذلك، ولأنهم قد كَانُوا يَعْتَقِدُونَ إِلْقَاءَ الثَّوْبِ عَلَى الْمَرْأَةِ نِكَاحًا وَقَهْرَهَا عَلَى نَفْسِهَا نِكَاحًا، وَالْمُبَادَلَةَ بِالنِّسَاءِ نِكَاحًا، وَكُلُّ ذَلِكَ مَرْدُودٌ بِالشَّرْعِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَصِحَّ فِي الْإِسْلَامِ، وَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ طَلَاقَهُمْ لا يقع ولا يلزم يقول اللَّهِ تَعَالَى: {قُلْ لِلَّذِينِ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرُ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ) {الأنفال: 38) . فَاقْتَضَى أن يكون الطلاق مغفوراً، قَالَ: وَلِأَنَّهُمْ كَانُوا يَرَوْنَ الظِّهَارَ طَلَاقًا مُؤَبَّدًا، وَقَدْ أَبْطَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَغَيَّرَ حُكْمَهُ.
Malik berkata: “Pernikahan mereka batal, meskipun mereka diakui atasnya, dan talak mereka tidak jatuh.” Ia berdalil atas batalnya pernikahan mereka dengan sabda Nabi ﷺ: “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan perempuan, karena kalian hanya menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah Ta‘ala,” maksudnya dengan Kitab Allah dan agama Islam, sehingga tidak boleh menghalalkannya dengan selain itu. Karena mereka dahulu menganggap melemparkan kain kepada perempuan sebagai pernikahan, memaksa perempuan atas dirinya sebagai pernikahan, dan saling menukar perempuan sebagai pernikahan, dan semua itu ditolak oleh syariat sehingga tidak boleh sah dalam Islam. Ia juga berdalil bahwa talak mereka tidak jatuh dan tidak wajib dengan firman Allah Ta‘ala: {Katakanlah kepada orang-orang kafir, jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka akan diampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu} (al-Anfāl: 38). Maka, ini menunjukkan bahwa talak mereka juga diampuni. Ia berkata: “Karena mereka dahulu menganggap zihar sebagai talak yang bersifat permanen, padahal Allah Ta‘ala telah membatalkannya dan mengubah hukumnya.”
وَدَلِيلُنَا: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَضَافَ إِلَيْهِمْ مَنَاكِحَ نِسَائِهِمْ فَقَالَ فِي امْرَأَةِ أَبِي لَهَبٍ: {وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الحَطَبِ) {المسد: 4) . وفي امرأة فرعون: {وَقَالَتِ امْرَأَةُ فِرْعُوْنَ قُرَّةَ عِيْنٍ لِي وَلَكَ) {القصص: 9) . وَالْإِضَافَةُ مَحْمُولَةٌ عَلَى الْحَقِيقَةِ مُقْتَضِيَةٌ لِلتَّمْلِيكِ وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وُلِدْتُ مِنْ نِكَاحٍ لَا مِنْ سِفَاحٍ ” وَكَانَتْ مناكح آبائه في الشرك تدل على صحتها، ووقوع الفرق بَيْنَهَا وَبَيْنَ السَّفَّاحِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا وَلَا يَرْجُمُ إِلَّا مُحَصَّنًا بِنِكَاحٍ، وَلِأَنَّهَا مَنَاكِحُ يُقَرُّ عَلَيْهَا أَهْلُهَا فَوَجَبَ أَنْ يُحْكَمَ بِصِحَّتِهَا قِيَاسًا عَلَى مَنَاكِحِ الْمُسْلِمِينَ.
Dan dalil kami: Bahwa Allah Ta‘ala telah mengaitkan kepada mereka pernikahan dengan istri-istri mereka, sebagaimana firman-Nya tentang istri Abu Lahab: “Dan istrinya, pembawa kayu bakar” (QS. Al-Masad: 4). Dan tentang istri Fir‘aun: “Dan berkata istri Fir‘aun: ‘(Ia) adalah penyejuk mata bagiku dan bagimu’” (QS. Al-Qashash: 9). Penyandaran (nisbah) ini dibawa pada makna hakiki yang menuntut kepemilikan. Nabi ﷺ bersabda: “Aku dilahirkan dari pernikahan, bukan dari zina.” Dan pernikahan para leluhur beliau di masa syirik menunjukkan keabsahannya, serta adanya perbedaan antara pernikahan dan zina. Dan karena Nabi ﷺ pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina, dan tidaklah dirajam kecuali orang yang sudah menikah secara sah. Juga karena pernikahan mereka diakui atas mereka, maka wajib dihukumi sah berdasarkan qiyās dengan pernikahan kaum muslimin.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْخَبَرِ فَمَعْنَى قَوْلِهِ: ” اسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ ” أَيْ بِإِبَاحَةِ اللَّهِ، وَقَدْ أَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى مَنَاكِحَهُمْ بِإِقْرَارِهِمْ عَلَيْهَا.
Adapun jawaban atas dalil mereka dengan hadis tersebut, maka makna sabda beliau: “Kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah” adalah dengan izin Allah, dan sungguh Allah Ta‘ala telah menghalalkan pernikahan mereka dengan pengakuan-Nya atasnya.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُمْ يَرَوْنَ مِنَ الْمَنَاكِحِ بَيْنَهُمْ مَا لَا نَرَاهُ فَهُوَ مَعْفُوٌّ عَنْهُ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ كَانَ يَعْرِفُ اخْتِلَافَ آبَائِهِمْ فِيهِ فَلَمْ يَكْشِفْ عَنْهُ.
Adapun ucapan mereka bahwa di antara mereka terdapat pernikahan yang tidak kita akui, maka itu dimaafkan, karena Nabi ﷺ mengetahui perbedaan di antara leluhur mereka dalam hal itu, namun beliau tidak menyingkapnya.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يُغْفَرُ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ) {الأنفال: 38) . فَيَعْنِي مِنَ الْآثَامِ دُونَ الْأَحْكَامِ وَأَمَّا الظِّهَارُ فَبِالْفَسْخِ أَبْطَلَ حُكْمَهُ، وَحُكْمُهُ بِالطَّلَاقِ مُقَرٌّ.
Adapun dalil mereka dengan firman Allah Ta‘ala: “Diampuni bagi mereka apa yang telah lalu” (QS. Al-Anfal: 38), maka maksudnya adalah dari dosa-dosa, bukan dari hukum-hukum. Adapun zhihār, maka dengan pembatalan (fasakh) gugurlah hukumnya, sedangkan hukumnya sebagai talak tetap berlaku.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ الْحُكْمُ بِصِحَّةِ عُقُودِهِمْ، وَمَنَاكِحِهِمْ، وَالْعَفْوُ عَمَّا اخْتَلَّ من شروطها، وأنهم مأخوذون بِمَا أَوْقَعُوهُ فِيهَا مِنْ طَلَاقٍ، وَظِهَارٍ، وَإِيلَاءٍ اعْتُبِرَ حَالُ طَلَاقِهِ، فَإِنْ كَانَ صَرِيحًا عِنْدَهُمْ أَجْرَيْتُ عَلَيْهِ حُكْمَ الصَّرِيحِ سَوَاءٌ كَانَ عِنْدَنَا صريحاً، أو كناية لِأَنَّنَا نَعْتَبِرُ عُقُودَهُمْ فِي شِرْكِهِمْ بِمُعْتَقَدِهِمْ كَذَلِكَ حُكْمُ طَلَاقِهِمْ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَ رَجْعِيًّا فَرَاجِعٌ فِي الْعِدَّةِ صَحَّتْ رَجْعَتُهُ كَمَا صَحَّ نِكَاحُهُ، وَكَانَتْ مَعَهُ بَعْدَ إِسْلَامِهِ عَلَى مَا بَقِيَ مِنَ الطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَ وَاحِدَةً بَقِيَتْ مَعَهُ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَإِنْ كَانَتِ اثْنَتَيْنِ بَقِيَتْ مَعَهُ عَلَى وَاحِدَةٍ، وَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْهَا فِي الْعِدَّةِ حَتَّى أَسْلَمَا، فَإِنْ كَانَتْ عدة الطلاق قد انعقدت فِي الشِّرْكِ أَوْ بَعْدَ الْإِسْلَامِ وَقَبْلَ الرَّجْعَةِ بانت منه، وجاز أن يستأنف العقد عليها فَيَكُونُ عَلَى مَا بَقِيَ مِنَ الطَّلَاقِ، وَإِنْ كَانَتِ الْعِدَّةُ بَاقِيَةً فَلَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا بَعْدَ الْإِسْلَامِ وَتَكُونُ مَعَهُ عَلَى مَا بَقِيَ مِنَ الطَّلَاقِ، وَإِنْ كَانَ طَلَاقُهُ لَهَا فِي الشِّرْكِ ثَلَاثًا فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ، فَلَوْ كَانَتْ قَدْ نَكَحَتْ فِي الشِّرْكِ زَوْجًا غَيْرَهُ حَلَّتْ لَهُ إِذَا أَسْلَمَ، فَلَوْ عَادَ فَنَكَحَهَا فِي الشِّرْكِ قَبْلَ زَوْجٍ وَقَدْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، كَانَ نِكَاحُهَا إِذَا أَسْلَمَ بَاطِلًا، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَرَّ عَلَيْهِ.
Apabila telah tetap hukum tentang sahnya akad-akad mereka, pernikahan mereka, dan dimaafkan atas kekurangan syarat-syaratnya, serta bahwa mereka terikat dengan apa yang mereka lakukan di dalamnya berupa talak, zhihār, dan ila’, maka keadaan talaknya diperhatikan. Jika talaknya itu sharih menurut mereka, maka aku berlakukan hukum sharih atasnya, baik menurut kami itu sharih atau kinayah, karena kami mempertimbangkan akad mereka di masa syirik sesuai keyakinan mereka, demikian pula hukum talak mereka. Jika demikian, maka jika talaknya raj‘i, lalu ia rujuk dalam masa iddah, maka rujuknya sah sebagaimana nikahnya sah, dan ia tetap bersamanya setelah masuk Islam sesuai sisa talak yang ada. Jika satu kali, maka ia tetap bersamanya dengan sisa dua talak; jika dua kali, maka ia tetap bersamanya dengan sisa satu talak. Jika ia tidak merujuknya dalam masa iddah hingga keduanya masuk Islam, maka jika masa iddah talak telah selesai di masa syirik atau setelah masuk Islam dan sebelum rujuk, maka ia telah berpisah darinya, dan boleh untuk memperbarui akad atasnya, dan berlaku sesuai sisa talak yang ada. Jika masa iddah masih ada, maka ia boleh merujuknya setelah masuk Islam dan ia tetap bersamanya sesuai sisa talak yang ada. Jika talaknya di masa syirik tiga kali, maka ia telah haram baginya hingga menikah dengan suami lain. Jika ia telah menikah dengan suami lain di masa syirik, maka ia halal baginya jika telah masuk Islam. Jika ia kembali menikah dengannya di masa syirik sebelum menikah dengan suami lain, padahal ia telah mentalaknya tiga kali, maka pernikahannya setelah masuk Islam menjadi batal dan tidak boleh diakui.
فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوْ نَكَحَهَا فِي الْعِدَّةِ ثُمَّ أَسْلَمَا بعدها أقر؟ فَهَلَّا إِذَا نَكَحَ الْمُطَلَّقَةَ ثَلَاثًا قَبْلَ زَوْجٍ أقر؟ قِيلَ: لِأَنَّ تَحْرِيمَ الْمُعْتَدَّةِ قَدْ زَالَ بِمُضِيِّ الزَّمَانِ، فَجَازَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْعَقْدَ عَلَيْهَا فَجَازَ أَنْ تُقَرَّ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ نِكَاحِهَا وَتَحْرِيمِ الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا لَمْ يَزُلْ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْعَقْدَ عَلَيْهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُقَرَّ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ نِكَاحِهَا وَتَحْرِيمِ المطلقة ثلاثاً، وكذلك الكلام فيما يؤخذ بِهِ مِنْ حُكْمِ ظِهَارِهِ وَإِيلَائِهِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Jika dikatakan: Bukankah jika seseorang menikahi perempuan dalam masa ‘iddah lalu keduanya masuk Islam setelahnya, pernikahan itu tetap diakui? Maka mengapa jika menikahi perempuan yang telah ditalak tiga sebelum menikah dengan suami lain tidak diakui? Dijawab: Karena keharaman menikahi perempuan yang dalam masa ‘iddah telah hilang dengan berlalunya waktu, sehingga boleh memulai akad baru atasnya, maka boleh pula diakui atas pernikahan sebelumnya. Sedangkan keharaman menikahi perempuan yang ditalak tiga belum hilang, dan tidak boleh memulai akad baru atasnya, maka tidak boleh diakui atas pernikahan sebelumnya dan keharaman perempuan yang ditalak tiga. Demikian pula halnya dengan hukum yang diambil dari zhihār dan ila’—Allah lebih mengetahui.
Bab Akad Nikah Ahludz-Dzimmah dan Mahar Mereka, dari al-Jāmi‘ dan selainnya
قال الشافعي رحمه الله: ” وعقدة نِكَاحِ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَمُهُورُهُمْ كَأَهْلِ الْحَرْبِ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Akad nikah ahludz-dzimmah dan mahar mereka seperti halnya ahlul-harb.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا اعْتِرَاضَ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ فِي مَنَاكِحِهِمْ، وَإِنْ كَانُوا فِي دار الإسلام وهي عقود إِذَا أَسْلَمُوا لِمَا فِي تَتَبُّعِ مَنَاكِحِهِمْ بَعْدَ الإسلام من التنفير عنه، فلو نكح أحدهم فِي دَارِ الْإِسْلَامِ خَمْسًا أَوْ جَمَعَ بَيْنَ أختين، أو نكح مجوسي أمه وبنته ولم يُعَارَضُوا وَهُمْ كَأَهْلِ الْحَرْبِ إِذَا أَسْلَمُوا فَمَا جاز إن لم يَسْتَأْنِفُوهُ بَعْدَ الْإِسْلَامِ أُقِرُّوا عَلَيْهِ، وَمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَأْنِفُوهُ بَعْدَ الْإِسْلَامِ لَمْ يُقَرُّوا عَلَيْهِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَهُمْ فِي شَيْءٍ مِنْهُ، وإن كانوا لهم ذمة وأحكامنا عَلَيْهِ جَارِيَةٌ إِلَّا فِي شَيْئَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, tidak ada keberatan terhadap ahludz-dzimmah dalam pernikahan mereka, meskipun mereka berada di Darul Islam, dan itu adalah akad yang jika mereka masuk Islam, maka menelusuri pernikahan mereka setelah Islam akan menyebabkan orang menjauh dari Islam. Maka jika salah satu dari mereka menikahi lima perempuan di Darul Islam, atau mengumpulkan dua saudari, atau seorang Majusi menikahi ibu dan anak perempuannya, dan mereka tidak ditentang, maka mereka seperti ahlul-harb; jika mereka masuk Islam, apa yang boleh untuk tidak diulang setelah Islam, maka mereka dibiarkan atasnya, dan apa yang tidak boleh untuk diulang setelah Islam, maka mereka tidak dibiarkan atasnya, dan tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal ini, meskipun mereka memiliki perjanjian dzimmah dan hukum-hukum kita berlaku atas mereka, kecuali dalam dua hal:
أَحَدُهُمَا: الْقَهْرُ وَالْغَلَبَةُ، فَإِنَّ الْحَرْبِيَّ إِذَا قَهَرَ حَرْبِيَّةً عَلَى نفسها ورآه نكاحاً أقر عَلَيْهِ إِذَا أَسْلَمَا، وَلَا يُقَرُّ ذِمِّيٌّ عَلَى قهر ذمية إذا أسلما، لأن دار الإسلام تمنع مِنَ الْقَهْرِ وَالْغَلَبَةِ، وَدَارَ الْحَرْبِ تُبِيحُهُ فَافْتَرَقَا لِافْتِرَاقِ حُكْمِ الدَّارَيْنِ.
Pertama: Pemaksaan dan penaklukan, yaitu jika seorang harbi memaksa perempuan harbiyyah atas dirinya dan menganggapnya sebagai pernikahan, maka jika keduanya masuk Islam, pernikahan itu diakui. Namun, ahludz-dzimmah tidak diakui jika memaksa perempuan dzimmah jika keduanya masuk Islam, karena Darul Islam mencegah adanya pemaksaan dan penaklukan, sedangkan Darul Harb membolehkannya, maka keduanya berbeda karena perbedaan hukum kedua negeri tersebut.
وَالثَّانِي: أَنْ يَعْتَقِدَا نِكَاحًا لَا يَجُوزُ فِي دِينِهِمْ كَيَهُودِيٍّ نَكَحَ أُمَّهُ أَوْ بِنْتَهُ، فَلَا يُقَرُّوا عَلَيْهِ لِأَنَّهُمْ مَمْنُوعُونَ مِنْهُ فِي دِينِ الْإِسْلَامِ وَدِينِهِمْ وَلَوْ فَعَلَهُ الْمَجُوسِيُّ أُقِرَّ، لِأَنَّهُمْ غَيْرُ مَمْنُوعِينَ مِنْهُ فِي دينهم، فأما مهورهم فلا اعتراض عليهم فِيهَا حَلَالًا كَانَتْ أَمْ حَرَامًا فَإِنْ تَقَابَضُوهَا وَهِيَ حَرَامٌ بَرِئَ مِنْهَا الْأَزْوَاجُ، وَإِنْ بَقِيَتْ في ذمتهم حتى أسلموا ألزمهم بدلاً منها مهر المثل، وإن تقابضوا بعضها قبل الإسلام وبقي بعضها بعده لزم من مَهْرُ الْمِثْلِ بِقِسْطِ مَا بَقِيَ مِنْهَا.
Kedua: Jika keduanya meyakini pernikahan yang tidak dibolehkan dalam agama mereka, seperti seorang Yahudi menikahi ibu atau anak perempuannya, maka mereka tidak diakui atas pernikahan itu karena mereka dilarang dalam agama Islam maupun agama mereka. Namun, jika seorang Majusi melakukannya, maka diakui, karena mereka tidak dilarang dalam agama mereka. Adapun mahar mereka, maka tidak ada keberatan atas mereka, baik halal maupun haram. Jika telah terjadi serah terima mahar yang haram, maka suami terbebas darinya. Jika masih tersisa dalam tanggungan mereka hingga mereka masuk Islam, maka mereka diwajibkan menggantinya dengan mahar mitsil. Jika sebagian telah diterima sebelum masuk Islam dan sebagian lagi setelahnya, maka yang tersisa diganti dengan mahar mitsil sesuai bagian yang tersisa.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ نَكَحَ نَصْرَانِيٌّ وَثَنِيَّةً أَوْ مَجُوسِيَّةً أَوْ نكح وثني نصرانية أو مجوسية لم أفسح مِنْهُ شَيْئًا إِذَا أَسْلَمُوا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang Nasrani menikahi perempuan penyembah berhala atau Majusi, atau seorang penyembah berhala menikahi perempuan Nasrani atau Majusi, aku tidak membatalkan apa pun dari pernikahan itu jika mereka masuk Islam.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِذَا نَكَحَ كِتَابِيٌّ كِتَابِيَّةً وَتَحَاكَمَا إِلَيْنَا أُقِرَّا عَلَى النِّكَاحِ، وَكَذَلِكَ لَوْ أَسْلَمَا أَوْ أَسْلَمَ الزَّوْجُ مِنْهُمَا كَانَا عَلَى النِّكَاحِ، لَأَنَّ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَبْتَدِئَ نِكَاحَ كِتَابِيَّةٍ فَجَازَ أَنْ يُقِيمَ عَلَى نِكَاحِ كِتَابِيَّةٍ، وَلَوْ أَسْلَمَتِ الزَّوْجَةُ دُونَهُ لَمْ يُقَرَّ عَلَى نِكَاحِهَا، وَكَانَ مَوْقُوفًا عَلَى تقضي الْعِدَّةِ.
Al-Mawardi berkata: Adapun jika seorang ahli kitab menikahi perempuan ahli kitab lalu keduanya meminta keputusan kepada kita, maka pernikahan itu diakui. Demikian pula jika keduanya masuk Islam, atau suami di antara keduanya masuk Islam, maka mereka tetap atas pernikahan itu, karena seorang Muslim boleh memulai pernikahan dengan perempuan ahli kitab, maka boleh pula tetap atas pernikahan dengan perempuan ahli kitab. Namun, jika istri yang masuk Islam tanpa suaminya, maka pernikahan tidak diakui dan statusnya tergantung hingga selesai masa ‘iddah.
وَأَمَّا الْوَثَنِيُّ إِذَا نَكَحَ وَثَنِيَّةً فَأَيُّهُمَا أَسْلَمَ لَمْ يُقَرَّ عَلَى النِّكَاحِ، وَكَانَ مَوْقُوفًا على تقضي الْعِدَّةُ. وَإِنْ تَحَاكَمُوا إِلَيْنَا فِي الْأَحْكَامِ أَقْرَرْنَاهُمْ عَلَيْهَا، فَأَمَّا إِذَا نَكَحَ وَثَنِيٌّ كِتَابِيَّةً فَإِنْ أسلما أقر عَلَى النِّكَاحِ، وَإِنَّ أَسْلَمَ الزَّوْجُ أُقِرَّا عَلَى النِّكَاحِ، وَإِنْ أَسْلَمَتِ الزَّوْجَةُ كَانَ النِّكَاحُ مَوْقُوفًا على انقضاء العدة.
Adapun jika penyembah berhala menikahi perempuan penyembah berhala, maka siapa pun di antara mereka yang masuk Islam, pernikahan tidak diakui dan statusnya tergantung hingga selesai masa ‘iddah. Jika mereka meminta keputusan kepada kita dalam hukum-hukum mereka, maka kita mengakui mereka atasnya. Adapun jika penyembah berhala menikahi perempuan ahli kitab, maka jika keduanya masuk Islam, pernikahan diakui. Jika suami yang masuk Islam, maka pernikahan diakui. Namun, jika istri yang masuk Islam, maka pernikahan berstatus tergantung hingga selesai masa ‘iddah.
ولو نَكَحَ كِتَابِيٌّ وَثَنِيَّةً فَأَيُّهُمَا أَسْلَمَ كَانَ النِّكَاحُ مَوْقُوفًا عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، وَإِنْ تَحَاكَمَا إِلَيْنَا قَبْلَ الْإِسْلَامِ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: إِنَّنَا نُمْضِي نِكَاحَهُمَا وَلَا يُفْسَخُ عَلَيْهِمَا.
Jika seorang laki-laki ahli kitab menikahi perempuan penyembah berhala, maka apabila salah satu dari keduanya masuk Islam, status pernikahan mereka ditangguhkan sampai habis masa iddah. Namun, jika keduanya mengajukan perkara kepada kita sebelum masuk Islam, menurut mazhab Syafi‘i: kita mengesahkan pernikahan mereka dan tidak membatalkannya atas mereka.
وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: يُفْسَخُ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَمَرَ أَنْ يُحْكَمَ فِي أَهْلِ الْكِتَابِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي أَهْلِ الْإِسْلَامِ بِقَوْلِهِ: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ) {المائدة: 49) . وَالْوَثَنِيَّةُ لَا تَحِلُّ لِمُسْلِمٍ فَكَذَلِكَ لَا تَحِلُّ لِكِتَابِيٍّ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ، وَإِنْ تَنَوَّعَ وَاخْتَلَفَ، أَلَّا ترى أننا نحكم بالتوارث بَيْنَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ إِقْرَارُهُمَا عَلَى هَذَا النِّكَاحِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، فَأَوْلَى أَنْ يُقَرَّا عَلَيْهِ فِي حَالِ الْكُفْرِ.
Abu Sa‘id al-Istakhri berkata: Pernikahan antara keduanya harus dibatalkan, karena Allah Ta‘ala telah memerintahkan agar diberlakukan hukum kepada ahli kitab sebagaimana yang telah Allah turunkan kepada kaum Muslimin, berdasarkan firman-Nya: {Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka} (al-Ma’idah: 49). Perempuan penyembah berhala tidak halal bagi Muslim, demikian pula tidak halal bagi ahli kitab. Namun pendapat ini keliru, karena seluruh kekufuran itu satu golongan, meskipun beragam dan berbeda-beda. Bukankah engkau melihat bahwa kita menetapkan waris-mewarisi antara ahli kitab dan penyembah berhala? Dan karena ketika dibolehkan membiarkan mereka tetap dalam pernikahan ini setelah masuk Islam, maka lebih utama lagi untuk membiarkan mereka tetap dalam pernikahan itu saat masih dalam kekufuran.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولا تَحِلُّ ذبيحةٌ مَنْ وُلِدَ مِنْ وَثَنِيٍّ وَنَصْرَانِيَّةٍ ولا من نصراني ووثنيةٍ ولا يحل نكاح ابنتهما لأنها ليست كتابيةً خَالِصَةٍ (وَقَالَ) فِي كتابٍ آخَرَ إِنْ كَانَ أَبُوهَا نَصْرَانِيًا حَلَّتْ وَإِنْ كَانَ وَثَنِيًّا لَمْ تَحِلَّ لِأَنَّهَا تَرْجِعُ إِلَى النَّسَبِ وَلَيْسَتْ كَالصَّغِيرَةِ يُسْلِمُ أَحَدُ أَبَوَيْهَا لِأَنَّ الْإِسْلَامَ لَا يَشْرَكُهُ الشِّرْكُ وَالشِّرْكُ يَشْرَكُهُ الشِّرْكُ “.
Syafi‘i berkata: “Tidak halal sembelihan anak yang lahir dari ayah penyembah berhala dan ibu Nasrani, atau dari ayah Nasrani dan ibu penyembah berhala, dan tidak halal menikahi anak perempuan mereka, karena ia bukan ahli kitab murni. (Dan beliau berkata) dalam kitab lain: Jika ayahnya Nasrani, maka halal; jika ayahnya penyembah berhala, maka tidak halal, karena nasab mengikuti ayah, dan tidak seperti anak kecil yang salah satu orang tuanya masuk Islam, sebab Islam tidak bercampur dengan syirik, sedangkan syirik bisa bercampur dengan syirik.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى يَحِلُّ أَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحُ نِسَائِهِمْ، وَأَنَّ الْمَجُوسَ وَعَبَدَةَ الْأَوْثَانِ لَا يَحِلُّ أَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ وَلَا نِكَاحُ نِسَائِهِمْ، فَأَمَّا الْمَوْلُودُ مِنْ بَيْنَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ إِذَا كَانَ أَحَدُ أَبَوَيْهِ كِتَابِيًّا، وَالْآخَرُ وَثَنِيًّا فَضَرْبَانِ:
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani halal memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka, sedangkan Majusi dan penyembah berhala tidak halal memakan sembelihan mereka dan tidak halal menikahi perempuan mereka. Adapun anak yang lahir dari ayah atau ibu ahli kitab dan satunya lagi penyembah berhala, jika salah satu orang tuanya ahli kitab dan yang lain penyembah berhala, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْأَبُ وَثَنِيًّا، وَالْأُمُّ كِتَابِيَّةً يَهُودِيَّةً أَوْ نَصْرَانِيَّةً فَلَا يَخْتَلِفُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَحِلُّ أَكْلُ ذَبِيحَةِ هَذَا الْوَلَدِ وَلَا يُنْكَحُ إِنْ كَانَ امْرَأَةً تَغْلِيبًا لِحُكْمِ أَبِيهِ.
Pertama: Jika ayahnya penyembah berhala dan ibunya ahli kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, maka tidak ada perbedaan dalam mazhab Syafi‘i bahwa tidak halal memakan sembelihan anak ini dan tidak boleh menikahinya jika ia perempuan, karena hukum ayahnya lebih dominan.
وَقَالَ أبو حنيفة: يحل نكاحه، وأكل ذبيحته تغليباً لحق أَبَوَيْهِ حُكْمًا، اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تنتج الإبل من بهيمة جمعاء هل تجس فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ” فَلَمْ يَنْقُلْهُ عَنِ الْفِطْرَةِ وَتَخْفِيفِ الْحُكْمِ إِلَى أَغْلَظِهِمَا إِلَّا بِاجْتِمَاعِ أَبَوَيْهِ عَلَى تَغْلِيظِ الْحُكْمِ وَلِأَنَّ أَحَدَ أَبَوَيْهِ مُسْتَبَاحُ الذَّبِيحَةِ وَالنِّكَاحِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ عَلَى حُكْمِهِ قِيَاسًا عَلَى مَنْ أَحَدُ أَبَوَيْهِ مُسْلِمٌ.
Abu Hanifah berkata: Halal menikahinya dan memakan sembelihannya, dengan mengedepankan hak kedua orang tuanya secara hukum, berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana unta melahirkan anak yang utuh, adakah kamu melihat padanya yang terpotong telinganya?” Maka tidaklah anak itu berpindah dari fitrah dan dari hukum yang ringan ke hukum yang lebih berat kecuali jika kedua orang tuanya sepakat dalam memberatkan hukum tersebut. Dan karena salah satu dari kedua orang tuanya halal sembelihannya dan boleh dinikahi, maka seharusnya anak itu mengikuti hukum tersebut, qiyās dengan anak yang salah satu orang tuanya Muslim.
وَدَلِيلُنَا: عُمُومُ قَوْله تَعَالَى: {وَلاَ تَنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ) {البقرة: 221) . وَهَذَا الْوَلَدُ يَنْطِلَقُ عَلَيْهِ اسم المشرك، ولأنها كافرة فتنسب إلى كافرة لَا تَحِلُّ ذَبِيحَتُهُ وَلَا نِكَاحُهُ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَحِلَّ ذَبِيحَتُهَا وَلَا نِكَاحُهَا.
Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman} (al-Baqarah: 221). Anak ini termasuk dalam sebutan musyrik, dan karena ia kafir, maka ia dinisbatkan kepada orang kafir yang tidak halal sembelihannya dan tidak halal dinikahi, maka wajib pula tidak halal sembelihan dan pernikahannya.
أَصْلُهَا: إِذَا كَانَ أَبَوَاهَا وَثَنِيَّيْنِ، وَلِأَنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ فِي هَذَا الْوَلَدِ مُوجِبُ حَظْرٍ وَإِبَاحَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يُغَلَّبَ حُكْمُ الْحَظْرِ عَلَى حُكْمِ الْإِبَاحَةِ قِيَاسًا عَلَى الْمُتَوَلِّدِ مِنْ بَيْنِ مَأْكُولٍ وَغَيْرِ مَأْكُولٍ، وَلَا يَنْتَقِضُ بِالْوَلَدِ إِذَا كَانَ أَحَدُ أَبَوَيْهِ مُسْلِمًا وَالْآخَرُ كَافِرًا لِأَنَّهُ لَا يَجْتَمِعُ فِي الْوَلَدِ حُكْمُ الْكُفْرِ وَالْإِسْلَامِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى “. فَثَبَتَ حُكْمُ الْإِسْلَامِ وَسَقَطَ حُكْمُ الشِّرْكِ، وَهَذَا هُوَ الَّذِي أَرَادَهُ الشَّافِعِيُّ بِقَوْلِهِ: ” لِأَنَّ الْإِسْلَامَ لَا يَشْرِكُهُ الشِّرْكُ وَالشِّرْكَ يَشْرِكُهُ الشِّرْكُ ” يَعْنِي أَنَّهُ قَدْ يَجْتَمِعُ شِرْكَانِ، وَلَا يَجْتَمِعُ شِرْكٌ وَإِسْلَامٌ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا التَّعْلِيلِ، هَلْ أَرَادَ الشَّافِعِيُّ أبا حنيفة من هذه المسألة، وأراد بِهِ مَالِكًا فِي أَنَّ إِسْلَامَ الْأُمِّ لَا يَكُونُ إِسْلَامًا لِلْوَلَدِ عَلَى وَجْهَيْنِ.
Asalnya: Jika kedua orang tuanya adalah penyembah berhala. Karena pada anak ini terkumpul sebab yang mewajibkan larangan dan sebab yang membolehkan, maka wajib didahulukan hukum larangan atas hukum kebolehan, dengan qiyās kepada hewan yang lahir dari induk yang halal dimakan dan yang tidak halal dimakan. Dan tidak dapat dibantah dengan kasus anak yang salah satu orang tuanya Muslim dan yang lain kafir, karena pada anak tersebut tidak terkumpul hukum kufur dan Islam, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya.” Maka tetaplah hukum Islam dan gugurlah hukum syirik. Inilah yang dimaksud oleh Imam Syafi‘i dengan ucapannya: “Karena Islam tidak dapat disertai syirik, sedangkan syirik dapat disertai syirik.” Maksudnya, bisa saja dua syirik berkumpul, tetapi syirik dan Islam tidak dapat berkumpul. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam penjelasan ini, apakah Imam Syafi‘i bermaksud kepada pendapat Abu Hanifah dalam masalah ini, dan bermaksud kepada Malik dalam hal bahwa keislaman ibu tidak menjadikan anaknya Muslim, ada dua pendapat.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ اجْتِمَاعُ الْوَالِدَيْنِ عَلَى الْكُفْرِ يَقْتَضِي تَكْفِيرَ الْوَلَدِ، وَانْفِرَادُ أَحَدِهِمَا لَا يَقْتَضِيهِ فَلَمْ يَكُنْ دَلِيلًا فِي هَذَا الْوَضْعِ، لِأَنَّ أَبَوَيْهِ قَدِ اجْتَمَعَا عَلَى الْكُفْرِ.
Adapun jawaban terhadap hadis tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengannya adalah berkumpulnya kedua orang tua dalam kekufuran menyebabkan anak dihukumi kafir, sedangkan jika hanya salah satu dari keduanya tidak menyebabkan demikian, maka hadis itu tidak menjadi dalil dalam konteks ini, karena kedua orang tuanya telah berkumpul dalam kekufuran.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى مَنْ أَحَدُ أَبَوَيْهِ مُسْلِمٌ، فَالْجَوَابُ عَنْهُ مَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّ اجتماع الشرك والإسلام يوجب فيه حكم تغليب الْإِسْلَامِ، لِأَنَّهُمَا يَتَنَافَيَانِ فَغُلِّبَ أَقْوَاهُمَا، وَالشِّرْكَانِ لَا يَتَنَافَيَانِ فَغُلِّبَ أَغْلَظُهُمَا.
Adapun qiyās terhadap anak yang salah satu orang tuanya Muslim, maka jawabannya adalah sebagaimana telah kami sebutkan, bahwa berkumpulnya syirik dan Islam pada anak menyebabkan hukum mengunggulkan Islam, karena keduanya saling bertentangan, maka yang lebih kuat diunggulkan. Sedangkan dua syirik tidak saling bertentangan, maka yang lebih berat diunggulkan.
فَصْلٌ: وَالضَّرْبُ الثَّانِي
Fasal: Jenis Kedua
: أَنْ يَكُونَ أَبُ هَذَا الْوَلَدِ كِتَابِيًّا يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا، وَأُمُّهُ وَثَنِيَّةً أَوْ مَجُوسِيَّةً فَفِي إِبَاحَةِ نِكَاحِهِ، وَأَكْلِ ذَبِيحَتِهِ قَوْلَانِ:
Yaitu apabila ayah anak ini adalah seorang ahli kitab, Yahudi atau Nasrani, dan ibunya adalah penyembah berhala atau Majusi, maka dalam kebolehan menikahinya dan memakan sembelihannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَحْرُمُ نِكَاحُهُ وَذَبِيحَتُهُ لِاجْتِمَاعِ الْحَظْرِ وَالْإِبَاحَةِ، فَوَجَبَ أَنْ يُغَلَّبَ حُكْمُ الْحَظْرِ عَلَى الْإِبَاحَةِ كَالْمُتَوَلِّدِ مِنْ بَيْنِ مَأْكُولٍ وَغَيْرِ مَأْكُولٍ.
Salah satunya: Haram menikahinya dan memakan sembelihannya, karena terkumpulnya sebab larangan dan kebolehan, maka wajib didahulukan hukum larangan atas kebolehan, seperti hewan yang lahir dari induk yang halal dimakan dan yang tidak halal dimakan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – وَهُوَ أَصَحُّ. أَنَّهُ يَحِلُّ نِكَاحُهُ وَذَبِيحَتُهُ لِاجْتِمَاعِ الْحَظْرِ وَالْإِبَاحَةِ فِيهِ، لِأَنَّ الدِّينَيْنِ إِذَا اخْتَلَفَا جَازَ اجْتِمَاعُهُمَا فَأَغْلَبُهُمَا مَا كَانَ تَابِعًا لِلنَّسَبِ الْمُضَافَ إِلَى الْأَبِ دُونَ الْأُمِّ كَالْحُرِّيَّةِ كَذَلِكَ النِّكَاحُ وَالذَّبِيحَةُ.
Pendapat kedua—dan ini yang lebih sahih—bahwa halal menikahinya dan memakan sembelihannya, karena terkumpulnya sebab larangan dan kebolehan pada dirinya. Karena jika dua agama berbeda, boleh keduanya berkumpul, maka yang diunggulkan adalah yang mengikuti nasab yang disandarkan kepada ayah, bukan kepada ibu, seperti dalam masalah kemerdekaan, demikian pula dalam masalah pernikahan dan sembelihan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَحُكْمُ الْوَلَدِ الْحَادِثِ مِنْ بَيْنِ أَبَوَيْنِ مُخْتَلِفَيِ الْحُكْمِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka hukum anak yang lahir dari dua orang tua yang berbeda hukum terbagi menjadi empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ مُلْحَقًا بِحُكْمِ أَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ، وَذَلِكَ فِي أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ:
Pertama: Anak tersebut mengikuti hukum ayahnya, bukan ibunya, dan itu dalam empat hal:
أَحَدُهَا: النَّسَبُ يَكُونُ مُلْحَقًا بِأَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ.
Pertama: Nasab, anak mengikuti ayahnya, bukan ibunya.
وَالثَّانِي: فِي الْحُرِّيَّةِ فَإِنَّ وَلَدَ الْحُرِّ مَنْ أمه كَأَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ.
Kedua: Dalam hal kemerdekaan, maka anak dari seorang laki-laki merdeka mengikuti ayahnya, bukan ibunya.
وَالثَّالِثُ: فِي الْوَلَاءِ فَإِنَّهُ إِذَا كَانَ عَلَى الْأَبَوَيْنِ وَلَاءٌ مِنْ جِهَتَيْنِ، كَانَ الْوَلَدُ دَاخِلًا فِي وَلَاءِ الْأَبِ دُونَ الْأُمِّ.
Ketiga: Dalam hal wala’, jika kedua orang tuanya memiliki wala’ dari dua pihak, maka anak masuk dalam wala’ ayahnya, bukan ibunya.
وَالرَّابِعُ: فِي الْحُرِّيَّةِ فَإِنَّهُ إِذَا كَانَ الْأَبُ مَنْ قَوْمٍ لَهُمْ حُرِّيَّةٌ وَالْأُمُّ مِنْ آخَرِينَ لَهُمْ حُرِّيَّةٌ أُخْرَى فَإِنَّ حُرِّيَّةَ الْوَلَدِ حُرِّيَّةُ أَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ.
Keempat: Dalam hal kemerdekaan, jika ayah berasal dari kaum yang memiliki kemerdekaan dan ibu dari kaum lain yang juga memiliki kemerdekaan, maka kemerdekaan anak mengikuti ayahnya, bukan ibunya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُلْحَقًا بِحُكْمِ أُمِّهِ دُونَ أَبِيهِ وَذَلِكَ فِي شَيْئَيْنِ:
Bagian kedua: Anak tersebut mengikuti hukum ibunya, bukan ayahnya, dan itu dalam dua hal:
أَحَدُهُمَا: وَلَدُ الْمَنْكُوحَةِ تَابِعٌ لِأُمِّهِ فِي الْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ دُونَ أَبِيهِ فَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ حُرَّةً كَانَ حُرًّا، وَإِنْ كَانَ أَبُوهُ عَبْدًا، وَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ مَمْلُوكَةً كَانَ عَبْدًا، وَإِنْ كَانَ أَبُوهُ حُرًّا.
Pertama: Anak dari wanita yang dinikahi mengikuti ibunya dalam hal kemerdekaan dan perbudakan, bukan ayahnya. Jika ibunya merdeka, maka ia merdeka, meskipun ayahnya budak. Jika ibunya budak, maka ia budak, meskipun ayahnya merdeka.
وَالثَّانِي: فِي الْمِلْكِ فَإِنَّ وَلَدَ الْمَمْلُوكَيْنِ تَبَعٌ لأمه ومملوك لسيدهما.
Kedua: Dalam hal kepemilikan, maka anak dari dua orang tua yang sama-sama budak mengikuti ibunya dan menjadi milik tuan mereka berdua.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ مُلْحَقًا بِأَفْضَلِ أَبَوَيْهِ حَالًا وَأَغْلَظِهِمَا حُكْمًا، وَذَلِكَ فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ وَهُوَ فِي الْإِسْلَامِ يَلْحَقُ بِالْمُسْلِمِ مِنْهُمَا أَبًا كَانَ أَوْ أُمًّا.
Bagian ketiga: yaitu apabila disandarkan kepada keadaan orang tua yang paling utama dan hukum yang paling berat di antara keduanya, dan hal ini hanya berlaku dalam satu perkara, yaitu dalam Islam, anak tersebut disandarkan kepada yang Muslim di antara keduanya, baik ayah maupun ibu.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: مَا اخْتَلَفَ قوله فيه، وهو في إباحته الذَّبِيحَةِ وَالنِّكَاحِ فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ أَنَّهُ مُلْحَقٌ بِالْأَبِ.
Bagian keempat: yaitu perkara yang terdapat perbedaan pendapat di dalamnya, yaitu dalam kebolehan sembelihan dan pernikahan, salah satu dari dua pendapat adalah bahwa anak tersebut disandarkan kepada ayahnya.
والثاني: ملحق بأغلظهما حكماً.
Pendapat kedua: disandarkan kepada yang paling berat hukumnya di antara keduanya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ تَحَاكَمُوا إِلَيْنَا وَجَبَ أَنْ نَحْكُمَ بَيْنَهُمْ كَانَ الزَّوْجُ الْجَائِي أَوِ الزَّوْجَةُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika mereka meminta keputusan hukum kepada kita, maka wajib bagi kita untuk memutuskan perkara di antara mereka, baik yang datang itu suami maupun istri.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمُقِيمُونَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ مِنَ الْكُفَّارِ فضربان: أهل الذمة وَأَهْلُ عَهْدٍ.
Al-Mawardi berkata: Adapun orang-orang kafir yang tinggal di Dar al-Islam terbagi menjadi dua golongan: ahludz-dzimmah dan ahlul-‘ahd.
فَأَمَّا أَهْلُ الذِّمَّةِ: فَهُمْ بَاذِلُو الحرية لهم ذِمَّةٌ مُؤَبَّدَةٌ يَلْزَمُنَا فِي حَقِّ الذِّمَّةِ أَنْ نَمْنَعَ عَنْهُمْ مَنْ أَرَادَهُمْ مِمَّنْ جَرَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَمِمَّنْ لَمْ تَجْرِ عَلَيْهِ أَحْكَامُنَا مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ.
Adapun ahludz-dzimmah: mereka adalah orang-orang yang memberikan jaminan kebebasan dan memiliki dzimmah (perlindungan) yang bersifat permanen. Kita wajib, dalam hal dzimmah, melindungi mereka dari siapa pun yang ingin mencelakakan mereka, baik dari kalangan Muslim yang tunduk pada hukum kita maupun dari orang-orang yang tidak tunduk pada hukum kita dari kalangan ahl al-harb (orang-orang yang memerangi Islam).
وَأَمَّا أَهْلُ الْعَهْدِ: فَهُمُ الْمُسْتَأْمَنُونَ الَّذِينَ لَهُمْ أَمَانٌ إِلَى مُدَّةٍ يلزمنا أن نمنع مَنْ أَرَادَهُمْ مِمَّنْ جَرَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُنَا مِنَ المسلمين، فلا يلزمنا أن نمنع من أرادهم من لَمْ تَجْرِ عَلَيْهِ أَحْكَامُنَا مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ، وَقَدْ عَبَّرَ الشَّافِعِيُّ فِي مَوَاضِعَ عَنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ بِالْمُعَاهَدِينَ، لِأَنَّ ذِمَّتَهُمْ عَهْدٌ، وَإِنْ كَانُوا باسم الذمة أخص، فأما إذا لم يترافع الفريقان في أحكامهم إلينا لم ندعهم إلينا، وَلَمْ نَعْتَرِضْ عَلَيْهِمْ فِيهَا، وَإِنْ تَرَافَعُوا إِلَيْنَا نُظِرَ فِيهِمْ فَإِنْ كَانُوا مُعَاهَدِينَ لَهُمْ أَمَانٌ إِلَى مُدَّةٍ لَمْ يَلْزَمْنَا أَنْ نَحْكُمَ بَيْنَهُمْ، وَلَمْ يَلْزَمْهُمُ الْتِزَامُ حُكْمِنَا، وَكَانَ حَاكِمُنَا بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ أَنْ لَا يَحْكُمَ، وَهُمْ إِذَا حُكِمَ عَلَيْهِمْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَلْتَزِمُوا حُكْمَهُ، وَبَيْنَ أَنْ لَا يَلْتَزِمُوهُ، وإن جاء أحدهم مستعدياً لم يلزم المتعدي عَلَيْهِ أَنْ يَحْضُرَ، وَلَا يَلْزَمُ الْحَاكِمُ أَنْ يُعْدِيَهُ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِقَوْلِ اللَّهِ تعالى: {فَإنْ جَاؤُكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئاً وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالقِسْطًِ) {المائدة: 42) . الْآيَةَ فَخَيَّرَ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْحُكْمِ بَيْنَهُمْ، وَلِأَنَّ عَلَيْنَا أَنْ نَمْنَعَ عَنْهُمْ أَنْفُسَنَا، وَلَيْسَ عَلَيْنَا أَنْ نَمْنَعَ عَنْهُمْ غَيْرَنَا، سَوَاءٌ كَانَ التَّحَاكُمُ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ فِي حَقِّ الْآدَمِيِّينَ، لِأَنَّ حَقَّ الله تعالى في شركهم أعظم، وقد أقروا عَلَيْهِ، وَسَوَاءٌ كَانُوا أَهْلَ كِتَابٍ أَوْ غَيْرَ أَهْلِ كِتَابٍ.
Adapun ahlul-‘ahd: mereka adalah orang-orang musta’man (yang mendapat jaminan keamanan) yang memiliki perlindungan hingga waktu tertentu. Kita wajib melindungi mereka dari siapa pun yang tunduk pada hukum kita dari kalangan Muslim, namun kita tidak wajib melindungi mereka dari orang-orang yang tidak tunduk pada hukum kita dari kalangan ahl al-harb. Imam Syafi‘i dalam beberapa tempat menyebut ahludz-dzimmah sebagai mu‘ahadīn (orang-orang yang terikat perjanjian), karena dzimmah mereka adalah perjanjian, meskipun dengan nama dzimmah lebih khusus. Adapun jika kedua kelompok tersebut tidak mengajukan perkara mereka kepada kita, maka kita tidak memanggil mereka kepada kita dan tidak mencampuri urusan mereka. Namun jika mereka mengajukan perkara kepada kita, maka akan dilihat: jika mereka adalah mu‘ahadīn yang memiliki perlindungan hingga waktu tertentu, maka kita tidak wajib memutuskan perkara di antara mereka, dan mereka pun tidak wajib menerima keputusan hukum kita. Hakim kita memiliki pilihan antara memutuskan perkara di antara mereka atau tidak, dan jika diputuskan perkara atas mereka, mereka juga memiliki pilihan untuk menerima atau tidak menerima keputusan tersebut. Jika salah satu dari mereka datang mengadukan, maka pihak yang diadukan tidak wajib hadir, dan hakim pun tidak wajib memaksa pihak yang diadukan untuk hadir. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah perkara di antara mereka atau berpalinglah dari mereka. Jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara, maka putuskanlah dengan adil} (al-Ma’idah: 42). Dalam ayat ini Allah memberi pilihan dalam memutuskan perkara di antara mereka. Kita wajib melindungi mereka dari diri kita sendiri, namun tidak wajib melindungi mereka dari selain kita, baik perkara itu terkait hak Allah Ta‘ala maupun hak manusia, karena hak Allah Ta‘ala dalam kemusyrikan mereka lebih besar, dan mereka telah mengakuinya. Baik mereka ahl al-kitab maupun bukan ahl al-kitab, hukumnya sama.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا أَهْلُ الذِّمَّةِ إِذَا تَحَاكَمُوا إِلَيْنَا فَلَيْسَتِ الذِّمَّةُ الْمُؤَبَّدَةُ إِلَّا لِأَهْلِ الْكِتَابِ فَإِنْ لَمْ يَتَرَافَعُوا إِلَيْنَا فِي أَحْكَامِهِمْ تُرِكُوا وَإِنْ تَرَافَعُوا فِيهَا إِلَيْنَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun ahludz-dzimmah, jika mereka meminta keputusan hukum kepada kita, maka dzimmah yang bersifat permanen itu hanya berlaku bagi ahl al-kitab. Jika mereka tidak mengajukan perkara mereka kepada kita dalam urusan hukum mereka, maka mereka dibiarkan. Namun jika mereka mengajukan perkara tersebut kepada kita, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ دِينٍ وَاحِدٍ فَفِي وُجُوبِ الْحُكْمِ عَلَيْهِمْ قَوْلَانِ:
Pertama: jika mereka berasal dari satu agama, maka dalam kewajiban memutuskan perkara atas mereka terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ – إنَّهُ لَا يَجِبُ وَالْحَاكِمُ مخير في الحكم بينهم، وهو إِذَا حَكَمَ عَلَيْهِمْ مُخَيَّرُونَ فِي الْتِزَامِ حُكْمِهِ اعْتِبَارًا بِأَهْلِ الْعَهْدِ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {فَإنْ جَاؤًكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ} .
Pertama: — dan ini adalah pendapat beliau dalam qaul qadim — bahwa tidak wajib, dan hakim boleh memilih untuk memutuskan perkara di antara mereka atau tidak. Jika hakim memutuskan perkara atas mereka, mereka pun boleh memilih untuk menerima atau tidak menerima keputusan tersebut, sebagaimana ahlul-‘ahd, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah perkara di antara mereka atau berpalinglah dari mereka}.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ إِنَّ الْحُكْمَ بَيْنَهُمْ وَاجِبٌ فَيَلْزَمُ الْحَاكِمُ إِذَا تَرَافَعُوا إِلَيْهِ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ، وَعَلَيْهِمْ إذا حكم أن يلتزموا حكمه وَإِذَا اسْتَعْدَى أَحَدُهُمْ عَلَى الْآخَرِ وَجَبَ أَنْ يعديه الحاكم، وأن يخص الْمُسْتَعْدَى عَلَيْهِ فَإِنِ امْتَنَعَ مِنَ الْحُضُورِ أَجْبَرَهُ وعزره، وإنما كان كذلك بقول اللَّهِ تَعَالَى: {وَأَنْ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ} (المائدة: 49) . وَهَذَا أَمْرٌ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: {حَتَّى يُعْطُوا الجِزْيَةَ عَنْ يْدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ) {التوبة: 29) .
Pendapat kedua—yang merupakan pendapat beliau dalam pendapat baru dan dipilih oleh al-Muzani—adalah bahwa menetapkan hukum di antara mereka adalah wajib. Maka, hakim wajib memutuskan perkara di antara mereka jika mereka mengajukan perkara kepadanya, dan mereka wajib menerima putusannya jika hakim telah memutuskan. Jika salah satu dari mereka mengadukan yang lain, maka hakim wajib memproses pengaduannya dan memanggil pihak yang diadukan. Jika pihak yang diadukan menolak hadir, hakim memaksanya dan memberinya sanksi. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta‘ala: {Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan} (al-Mā’idah: 49). Ini adalah perintah. Juga berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: {Sampai mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk} (at-Taubah: 29).
قَالَ أَصْحَابُنَا: وَالصَّغَارُ أَنْ تَجْرِيَ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رحم يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا فَلَوْ لَمْ يَلْزَمْهُمْ حُكْمُهُ لَامْتَنَعُوا من إقامة الحد عليهم، ولأننا نجريهم بالدفع عَنْهُمْ مِنَّا وَمِنْ غَيْرِنَا مَجْرَى الْمُسْلِمِينَ فَوَجَبَ أَنْ نَدْفَعَ عَنْهُمْ بِالْحُكْمِ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِيفَاءِ الحقوق لهم كما نحكم بين المسلمين، وبهذا تفرق بينهم وبين المعادين، لَا يَلْزَمُنَا أَنْ نَدْفَعَ عَنْهُمْ غَيْرَنَا فَلَمْ يَلْزَمْنَا أَنْ نَحْكُمَ بَيْنَهُمْ وَلَا أَنْ نَدْفَعَ بَعْضَهُمْ عَنْ بَعْضٍ.
Para ulama kami berkata: Yang dimaksud dengan “tunduk” adalah bahwa hukum-hukum Islam berlaku atas mereka. Karena Nabi ﷺ pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina. Jika hukum beliau tidak wajib atas mereka, tentu mereka akan menolak pelaksanaan hudud atas mereka. Selain itu, kita melindungi mereka dari gangguan, baik dari kita maupun dari selain kita, sebagaimana kita melindungi kaum Muslimin. Maka wajib pula kita melindungi mereka dengan menetapkan hukum di antara mereka dalam rangka menunaikan hak-hak mereka, sebagaimana kita memutuskan perkara di antara kaum Muslimin. Dengan demikian, mereka berbeda dengan orang-orang yang memusuhi (Islam); kita tidak wajib melindungi mereka dari selain kita, maka kita juga tidak wajib memutuskan perkara di antara mereka, dan tidak wajib pula melindungi sebagian mereka dari sebagian yang lain.
فَأَمَّا أبو حنيفة فَلَمْ يَعْمَلْ بِوَاحِدٍ مِنَ الْقَوْلَيْنِ عَلَى إِطْلَاقِهِ وَقَالَ: لَا يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ إِلَّا أَنْ يَجْتَمِعُوا عَلَى الرضى بِحُكْمِ الْإِمَامِ، فَحِينَئِذٍ يَلْزَمُ الْحَاكِمَ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَ الْمُتَرَافِعِينَ إِلَيْهِ، وَيَلْزَمُهُمْ أَنْ يَلْتَزِمُوا حُكْمَهُ.
Adapun Abu Hanifah, beliau tidak mengambil salah satu dari dua pendapat tersebut secara mutlak. Beliau berkata: Tidak boleh memutuskan perkara di antara mereka kecuali jika mereka sepakat rela dengan keputusan imam. Ketika itu, hakim wajib memutuskan perkara di antara mereka yang mengajukan perkara kepadanya, dan mereka wajib menerima putusannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْحُكْمُ بَيْنَ ذِمِّيَيْنِ مِنْ دِينَيْنِ كَيَهُودِيٍّ وَنَصْرَانِيٍّ تَحَاكَمَا إِلَيْنَا فَقَدِ اختلف أصحابنا فيهم، فَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يُخَرِّجُ وُجُوبَ الْحُكْمِ بَيْنَهُمَا عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا لَوْ كَانَا عَلَى دِينٍ وَاحِدٍ، لَأَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ.
Jenis kedua adalah jika hukum itu antara dua dzimmi dari dua agama, seperti Yahudi dan Nasrani yang mengajukan perkara kepada kita. Para ulama kami berbeda pendapat tentang mereka. Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat bahwa wajib memutuskan perkara di antara mereka menurut dua pendapat, sebagaimana jika mereka dari satu agama, karena seluruh kekufuran itu satu golongan.
وقال غيره من أصحابنا: أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمَا قَوْلًا وَاحِدًا.
Sedangkan ulama kami yang lain berpendapat: wajib memutuskan perkara di antara mereka menurut satu pendapat saja.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ أن يكون مِنْ دِينٍ وَاحِدٍ أَوْ دِينَيْنِ أَنَّهُمَا إِذَا كانا من دين واحد فلم يحكم كَانَ لَهُمْ حَاكِمٌ وَاحِدٌ لَا يَخْتَلِفُونَ فِيهِ فَأَمْكَنَ وُصُولُهُمْ إِلَى الْحَقِّ مِنْهُ، وَإِذَا كَانَا عَلَى دِينَيْنِ اخْتَلَفَا فِي الْحَكَمِ إِنْ لَمْ يحكم بينهما حاكمنا فدعى النصراني على حاكم النصارى، ودعى الْيَهُودِيُّ إِلَى حَاكِمِ الْيَهُودِ فَتَعَذَّرَ وُصُولُ الْحَقِّ إِلَّا بِحَاكِمِنَا فَلِذَلِكَ لَزِمَهُ الْحُكْمُ بَيْنَهُمَا.
Perbedaan antara mereka yang berasal dari satu agama atau dua agama adalah: jika mereka dari satu agama dan tidak diputuskan perkara di antara mereka, mereka memiliki satu hakim yang tidak mereka perselisihkan, sehingga mereka tetap bisa memperoleh hak dari hakim tersebut. Namun jika mereka dari dua agama, mereka akan berselisih tentang hakim. Jika hakim kita tidak memutuskan perkara di antara mereka, maka Nasrani akan meminta kepada hakim Nasrani, dan Yahudi akan meminta kepada hakim Yahudi, sehingga sulit bagi mereka memperoleh hak kecuali melalui hakim kita. Karena itu, wajib bagi hakim kita memutuskan perkara di antara mereka.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَهِيَ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَأَمَّا حُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى فقد اختلف أصحابنا فيها على ثلاثة مذاهب.
Setelah jelas apa yang telah kami sebutkan dari dua pendapat tersebut, maka hal itu berkaitan dengan hak-hak manusia. Adapun hak-hak Allah Ta‘ala, para ulama kami berbeda pendapat menjadi tiga mazhab.
أَحَدُهَا: أَنَّهَا عَلَى قَوْلَيْنِ كَحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ.
Pertama: Bahwa hak-hak Allah itu juga terbagi menjadi dua pendapat seperti hak-hak manusia.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَجِبُ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ لا مطالب بها غَيْرُ الْحَاكِمِ، وَلَيْسَتْ كَحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الَّتِي لَهَا خصم يطلب.
Pendapat kedua: Bahwa hak-hak Allah wajib ditegakkan menurut satu pendapat, karena tidak ada yang menuntutnya selain hakim, dan tidak seperti hak-hak manusia yang ada pihak yang menuntut.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: إِنَّهَا لَا تَجُبْ قَوْلًا وَاحِدًا، لأن حق الله تعالى في شركهم أعظم، وَقَدْ أَقَرُّوا عَلَيْهِ فَكَذَلِكَ مَا سِوَاهُ مِنْ حُقُوقِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ، لِأَنَّهُمْ فِيهَا متشاجرون متظالمون ودار الإسلام تمنع مِنَ التَّظَالُمِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Pendapat ketiga: Bahwa hak-hak Allah tidak wajib ditegakkan menurut satu pendapat, karena hak Allah Ta‘ala dalam kemusyrikan mereka lebih besar, dan mereka telah mengakuinya, maka demikian pula hak-hak Allah yang lain. Tidak demikian dengan hak-hak manusia, karena dalam hal itu mereka saling berselisih dan saling menzalimi, sedangkan Darul Islam mencegah terjadinya kezaliman—wallāhu a‘lam.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا كَانَ التَّحَاكُمُ بَيْنَ مُسْلِمٍ وَذِمِّيٍّ وَمُعَاهَدٍ وَجَبَ عَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ قَوْلًا وَاحِدًا سَوَاءٌ كَانَ الْمُسْلِمُ طَالِبًا أَوْ مَطْلُوبًا، لِأَنَّهُمَا يَتَجَاذَبَانِ إِلَى الْإِسْلَامِ وَالْكُفْرِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْإِسْلَامِ أَغَلَبَ لِرِوَايَةِ عَائِذِ بْنِ عُمَرَ الْمُزَنِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى ” وَلَوْ كَانَ التَّحَاكُمُ بَيْنَ ذِمِّيٍّ وَمُعَاهَدٍ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ تَغْلِيبًا لِأَوْكَدِهِمَا حُرْمَةً كَمَا لَوْ كَانَتْ بَيْنَ مُسْلِمٍ وَمُعَاهَدٍ حَكَمَ بَيْنَهُمَا قَوْلًا وَاحِدًا تَغْلِيبًا لِحُرْمَةِ الْإِسْلَامِ الَّتِي هِيَ أَوْكَدُ.
Adapun jika persengketaan terjadi antara seorang Muslim dan seorang dzimmi atau mu‘āhad, maka wajib bagi hakim untuk memutuskan perkara di antara mereka dengan satu keputusan yang sama, baik Muslim itu sebagai penggugat maupun tergugat. Hal ini karena keduanya saling menarik kepada Islam dan kekufuran, sehingga wajib hukum Islam yang lebih diutamakan, berdasarkan riwayat dari ‘Āidz bin ‘Umar al-Muzani bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya.” Jika persengketaan terjadi antara seorang dzimmi dan seorang mu‘āhad, maka ada dua pendapat, dengan mengutamakan yang paling kuat keharamannya, sebagaimana jika terjadi antara seorang Muslim dan seorang mu‘āhad, maka diputuskan dengan satu keputusan, mengutamakan kehormatan Islam yang lebih kuat.
فَصْلٌ
Fashl (Pasal)
ثُمَّ إِذَا حَكَمَ حَاكِمُنَا بَيْنَ ذِمِّيَيْنِ أَوْ مُعَاهَدَيْنِ لَمْ يَحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالتَّوْرَاةِ إِنْ كَانَا يَهُودِيَّيْنِ وَلَا بِالْإِنْجِيلِ إِنْ كَانَا نَصْرَانِيَّيْنِ، وَلَمْ يَحْكُمْ إِلَّا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَسُنَّةِ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهَ وَلاَ تَتَبِعْ أهْوَائهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنِ بَعْضِ مَا أنْزَلَ اللهَ إِلَيْكَ) {المائدة: 49) . أي يفتنونك بتوارتهم وَإِنْجِيلِهِمْ عَمَّا أُنْزِلَ عَلَيْكَ مِنَ الْقُرْآنِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الكَافِرُونَ} (المائدة: 44) .
Kemudian, jika hakim kita memutuskan perkara antara dua orang dzimmi atau dua orang mu‘āhad, maka ia tidak memutuskan berdasarkan Taurat jika keduanya adalah Yahudi, dan tidak pula berdasarkan Injil jika keduanya adalah Nasrani. Hakim hanya memutuskan dengan Kitab Allah Ta‘ālā dan sunnah Rasul-Nya ﷺ, berdasarkan firman-Nya Ta‘ālā: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan waspadalah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu.” (al-Mā’idah: 49). Maksudnya, mereka hendak memalingkanmu dengan Taurat dan Injil mereka dari apa yang telah diturunkan kepadamu, yaitu al-Qur’an. Allah Ta‘ālā berfirman: “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (al-Mā’idah: 44).
فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ لَا يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ بِكِتَابِهِمْ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ: {إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاَة فِيها هُدىً وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا) {المائدة: 44) . وَقَدْ أَحْضَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – التوراة حين رجم اليهوديين حتى رجمهما لما فِيهَا مِنَ الرَّجْمِ.
Jika dikatakan: Mengapa tidak memutuskan perkara di antara mereka dengan kitab mereka, padahal Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya, yang dengan kitab itu para nabi yang berserah diri memutuskan perkara untuk orang-orang Yahudi.” (al-Mā’idah: 44). Dan sungguh Rasulullah ﷺ menghadirkan Taurat ketika merajam dua orang Yahudi hingga beliau merajam keduanya karena di dalamnya terdapat hukum rajam.
قِيلَ: أَمَّا الْآيَةُ فَتَضَمَّنَتْ صِفَةَ التَّوْرَاةِ عَلَى مَا كَانَتْ مِنَ الْهُدَى وَالنُّورِ، وَإِنَّهُ كَانَ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ وَكَذَا كان حالها ثم غيرت حِينَ بَدَّلَ أَهْلُهَا كَمَا قَالَ تَعَالَى: {تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيراً) {الأنعام: 91) . ومع تغيرهم لَهَا وَتَبْدِيلِهِمْ فِيهَا لَا يَتَمَيَّزُ الْحَقُّ مِنَ الْبَاطِلِ فَوَجَبَ الْعُدُولُ عَنْهَا، وَأَمَّا إِحْضَارُهُ التَّوْرَاةَ عند رجم اليهوديين، فلأنه حين حكم عليها بالرجم أخبر اليهود أن في التوراة فَأَنْكَرُوهُ فَأَمَرَ بِإِحْضَارِهَا لِتَكْذِيبِهِمْ، فَلَمَّا حَضَرَتْ تَرَكَ ابْنُ صُورِيَا وَهُوَ أَحَدُ أَحْبَارِهِمْ يَدَهُ عَلَى ذكر الرجم، فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِرَفْعِ يَدِهِ فَإِذَا آيَةُ الرَّجْمِ تَلُوحُ فَكَانَ إِحْضَارُهَا رَدًّا لِإِنْكَارِهِمْ وَإِظْهَارًا لِتَكْذِيبِهِمْ، لَا لِأَنْ يَحْكُمَ بِهَا عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُ قَدْ حَكَمَ بِالرَّجْمِ قبل حضورها – والله أعلم -.
Dijawab: Adapun ayat tersebut mengandung sifat Taurat sebagaimana keadaannya dahulu yang penuh petunjuk dan cahaya, dan memang para nabi memutuskan perkara dengannya, demikianlah keadaannya dahulu, kemudian berubah ketika ahlinya mengubah dan menggantinya, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: “Kamu menjadikannya lembaran-lembaran yang kamu perlihatkan dan kamu sembunyikan banyak (isi)nya.” (al-An‘ām: 91). Dengan adanya perubahan dan penggantian yang mereka lakukan, maka tidak dapat dibedakan lagi antara yang benar dan yang batil, sehingga wajib berpaling darinya. Adapun kehadiran Taurat ketika merajam dua orang Yahudi, itu karena ketika beliau memutuskan hukuman rajam atas keduanya, orang-orang Yahudi mengabarkan bahwa dalam Taurat tidak ada hukum rajam, maka beliau memerintahkan untuk menghadirkannya guna mendustakan mereka. Ketika Taurat dihadirkan, Ibnu Surya, salah satu pendeta mereka, meletakkan tangannya di atas ayat rajam, lalu Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk mengangkat tangannya, maka tampaklah ayat rajam tersebut. Maka kehadiran Taurat itu adalah sebagai bantahan atas pengingkaran mereka dan untuk menunjukkan kedustaan mereka, bukan untuk memutuskan perkara dengan Taurat atas mereka, karena beliau telah memutuskan hukuman rajam sebelum Taurat dihadirkan—wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فإن لم يكن حكمٌ مضى لم يزوجهم إلا بولي وشهودٍ مسلمين فلو لَمْ يَكُنْ لَهَا قريبٌ زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ لِأَنَّ تزويجه حكمٌ عليها فإذا تحاكموا إلينا بعد النكاح فإن كان مما يجوز ابتداؤه في الإسلام أجزناه لأن عقده قد مضى في الشرك “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika tidak ada hukum yang telah berlaku sebelumnya, maka tidak boleh menikahkan mereka kecuali dengan wali dan dua orang saksi Muslim. Jika ia tidak memiliki kerabat, maka hakim yang menikahkannya, karena pernikahan itu adalah keputusan atas dirinya. Jika mereka mengajukan perkara kepada kita setelah akad nikah, maka jika akad tersebut termasuk yang boleh dimulai dalam Islam, maka kita membolehkannya karena akadnya telah terjadi di masa syirik.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى مَا قَرَّرْنَاهُ مِنْ وُجُوبِ الْحُكْمِ بَيْنَ أَهْلِ الذِّمَّةِ أَوْ جَوَازِهِ، فَإِذَا تَرَافَعَ زَوْجَانِ فِي عَقْدِ نِكَاحٍ فَهُوَ كَتَرَافُعِهِمَا فِي غَيْرِهِ مِنْ عُقُودِ الْبَيْعِ وَالْإِجَارَاتِ، وَإِنَّمَا خَصَّ الشَّافِعِيُّ تَرَافُعَهُمَا فِي عَقْدِ النِّكَاحِ، لِأَنَّهُ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ، وَلِأَنَّ فُرُوعَهُ أَكْثَرُ فَإِذَا تَرَافَعَا فِيهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Māwardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang wajibnya atau bolehnya memutuskan perkara di antara ahludz-dzimmah. Jika dua orang suami istri bersengketa dalam akad nikah, maka hukumnya sama seperti sengketa mereka dalam akad jual beli dan sewa-menyewa. Imam Syafi‘i secara khusus menyebutkan sengketa dalam akad nikah karena pembahasan ini berada dalam kitab nikah, dan karena cabang-cabang hukumnya lebih banyak. Jika keduanya bersengketa dalam hal ini, maka ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتَرَافَعَا فِي اسْتِدَامَةِ عَقْدٍ قَدْ مَضَى فَلَيْسَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَكْشِفَ عَنْ حَالِ الْعَقْدِ وَلَا يَعْتَبِرَ فِيهِ شُرُوطَ الْإِسْلَامِ، وَيَنْظُرَ فَإِنْ كَانَتِ الزوجة ممن تجوز لَهُ عِنْدَ التَّحَاكُمِ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْعَقْدَ عَلَيْهَا جَازَ أَنْ يُقِرَّهُمَا عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ عَقْدِهَا، سَوَاءٌ كَانَ بَوْلِيٍّ، أَوْ شُهُودٍ أَمْ لَا، إِذَا رَأَوْا مَا عَقَدُوهُ نِكَاحًا فِي دِينِهِمْ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ أَنْ تستأنف العقد عليها عند الترافع إلينا لكونها في ذوات المحارم والمحرمات أو بَقِيَّةِ عِدَّةٍ مِنْ زَوْجٍ آخَرَ حُكِمَ بِإِبْطَالِ النكاح، ويكون حالها عِنْدَ التَّرَافُعِ إِلَى الْحَاكِمِ كَحَالِهِمَا لَوْ أَسْلَمَا فَمَا جَازَ إِقْرَارُهُمَا عَلَيْهِ مِنَ النِّكَاحِ بَعْدَ إسلامها جَازَ إِقْرَارُهُمَا عَلَيْهِ عِنْدَ تَرَافُعِهِمَا إِلَى حَاكِمِنَا، وَمَا لَمْ يَجُزِ الْإِقْرَارُ عَلَيْهِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ لَمْ يَجُزِ الْإِقْرَارُ عَلَيْهِ عِنْدَ التَّرَافُعِ إِلَى الْحَاكِمِ.
Pertama: Jika keduanya mengajukan perkara kepada hakim mengenai kelanjutan suatu akad yang telah lalu, maka hakim tidak berwenang untuk meneliti keadaan akad tersebut dan tidak pula mempertimbangkan syarat-syarat Islam di dalamnya. Hakim cukup melihat, jika istri termasuk perempuan yang boleh dinikahi menurut hukum Islam pada saat perkara diajukan, maka boleh bagi hakim untuk menetapkan keabsahan akad mereka yang telah lalu, baik akad itu dilakukan dengan wali atau saksi maupun tanpa keduanya, selama mereka menganggap apa yang mereka lakukan itu sebagai pernikahan menurut agama mereka. Namun, jika istri termasuk perempuan yang tidak boleh dinikahi menurut hukum Islam pada saat perkara diajukan kepada kita—karena termasuk mahram, wanita yang diharamkan, atau masih dalam masa iddah dari suami lain—maka diputuskan batalnya pernikahan tersebut. Keadaan mereka ketika mengajukan perkara kepada hakim sama seperti keadaan mereka jika keduanya masuk Islam; apa yang boleh ditetapkan setelah keduanya masuk Islam, maka boleh pula ditetapkan ketika mereka mengajukan perkara kepada hakim kita, dan apa yang tidak boleh ditetapkan setelah masuk Islam, maka tidak boleh pula ditetapkan ketika perkara diajukan kepada hakim.
فَصْلٌ: وَالضَّرْبُ الثَّانِي
Fasal: Jenis kedua
: أَنْ يَتَرَافَعَا إِلَى حَاكِمِنَا فِي ابْتِدَاءِ عَقْدٍ يَسْتَأْنِفُهُ بَيْنَهُمَا، فَعَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يَعْقِدَهُ بَيْنَهُمَا عَلَى الشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي الْإِسْلَامِ بَوْلِيٍّ وَشُهُودٍ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَأَنْ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ) {المائدة: 49) . وإنما جاز أن يمضي في مَنَاكِحِهِمْ فِي الشِّرْكِ، وَإِنْ لَمْ تُكْنَ عَلَى شُرُوطِ الْإِسْلَامِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْنِفَهَا فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا عَلَى شُرُوطِهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {قُلْ لِلَّذِين كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرُ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ) {الأنفال: 38) . وَلِأَنَّ فِي اعْتِبَارِ مَنَاكِحِهِمْ فِي الشِّرْكِ عَلَى شُرُوطِ الْإِسْلَامِ وَرَدِّهَا إِذَا خَالَفَتْهُ تَنْفِيرًا لَهُمْ مِنَ الدُّخُولِ فِي الْإِسْلَامِ، وليس فيما استأنفوه لرضاهم به تنفيراً لهم منه.
Yaitu apabila keduanya mengajukan perkara kepada hakim kita untuk memulai akad baru di antara mereka, maka hakim wajib menikahkan mereka dengan syarat-syarat yang diakui dalam Islam, yaitu dengan wali dan saksi, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan} (al-Mā’idah: 49). Diperbolehkan untuk membiarkan pernikahan mereka yang dilakukan saat masih musyrik, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat Islam, namun tidak boleh memulai akad baru dalam Islam kecuali dengan syarat-syarat Islam, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Katakanlah kepada orang-orang kafir: Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya akan diampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu} (al-Anfāl: 38). Karena jika pernikahan mereka di masa syirik harus memenuhi syarat-syarat Islam dan dibatalkan jika tidak sesuai, maka hal itu akan membuat mereka enggan masuk Islam, sedangkan dalam akad baru, mereka rela dengan syarat-syarat Islam sehingga tidak ada yang membuat mereka enggan.
فإذا تقرر ما وصفناه فَوَلِيُّهَا فِي النِّكَاحِ أَقْرَبُ عَصَبَتِهَا مِنَ الْكُفَّارِ، ولأن وَلِيَّ الْكَافِرَةِ كَافِرٌ، وَيُرَاعَى أَنْ يَكُونَ عَدْلًا فِي دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فَاسِقًا فِيهِ كَانَ كفسق الولي المسلم بعدل إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ الْعُدُولِ، فَإِنْ عُدِمَ أوليائها من العصبة والمعتقين زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ وَلَا يَمْنَعُهُ الْإِسْلَامُ مِنْ تَزْوِيجِهَا، وإن منع منها إِسْلَامُ عَصَبَتِهَا، لِأَنَّ تَزْوِيجَهَا حُكْمٌ فِيهِ عَلَيْهَا.
Setelah hal tersebut dijelaskan, maka wali dalam pernikahan adalah kerabat laki-laki terdekat dari pihak perempuan yang kafir. Karena wali bagi perempuan kafir adalah orang kafir juga, dan harus dipertimbangkan agar wali tersebut adil menurut agamanya. Jika ia fasik dalam agamanya, maka kedudukannya seperti wali muslim yang fasik, yaitu berpindah hak perwalian kepada wali lain yang adil. Jika tidak ada wali dari kerabat atau dari pihak yang memerdekakan, maka hakim yang menikahkan, dan Islam tidak melarang hakim menikahkan perempuan tersebut, meskipun keislaman kerabatnya menghalangi mereka menikahinya, karena pernikahan tersebut merupakan keputusan hukum atas dirinya.
فَأَمَّا الشُّهُودُ فِي نِكَاحِهَا فَلَا يَصِحُّ إِلَّا أَنْ يَكُونُوا مُسْلِمِينَ؛ وَجَوَّزَ أبو حنيفة عَقْدَ نِكَاحِهَا بِشُهُودٍ كُفَّارٍ كَمَا جَازَ بِوَلِيٍّ كَافِرٍ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بَوْلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ “.
Adapun saksi dalam pernikahan, maka tidak sah kecuali mereka adalah muslim. Abu Hanifah membolehkan akad nikah dengan saksi-saksi kafir sebagaimana dibolehkan dengan wali kafir, namun ini adalah kesalahan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْوَلِيِّ وَالشُّهُودِ أَنَّ الْوَلِيَّ يُرَادُ لِطَلَبِ الحظ لها للموالاة التي بينها، وَالْكَافِرُ الْمُشَارِكُ لَهَا فِي الْكُفْرِ أَقْوَى مُوَالَاةً مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَكَانَ الْكَافِرُ أَحَقَّ بِوِلَايَةِ نِكَاحِهَا من المسلم، وليس كذلك الشهود، لأنهم يُرَادُونَ لِإِثْبَاتِ الْفِرَاشِ، وَإِلْحَاقِ النَّسَبِ وَلَا يَثْبُتُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْمُسْلِمِينَ فَكَانُوا أَخَصَّ بِالشَّهَادَةِ فِيهِ من غيرهم، وهذا حكم إذنها إذا كَانَتْ ثَيِّبًا بِالنُّطْقِ، وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا بِالصَّمْتِ، ولا يعقده إِلَّا بِصَدَاقٍ حَلَالٍ، وَإِنْ كَانُوا يَرَوْنَ فِي دِينِهِمْ عَقْدَهُ بِالْمُحَرَّمَاتِ مِنَ الْخُمُورِ، وَالْخَنَازِيرِ، وَهَلْ يجوز أن يعقده كِتَابِيٌّ عَلَى وَثَنِيَّةٍ، أَوْ وَثَنِيٌّ عَلَى كِتَابِيَّةٍ أَوْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Perbedaan antara wali dan saksi adalah bahwa wali dimaksudkan untuk mencari kemaslahatan bagi perempuan karena adanya hubungan kekerabatan, dan orang kafir yang seagama dengannya lebih kuat loyalitasnya daripada kaum muslimin, sehingga orang kafir lebih berhak menjadi wali nikahnya daripada muslim. Namun tidak demikian halnya dengan saksi, karena saksi dimaksudkan untuk menetapkan status pernikahan dan nasab, dan hal itu hanya dapat dibuktikan dengan saksi muslim, sehingga mereka lebih khusus dalam kesaksian pernikahan daripada selain mereka. Ini juga berlaku dalam hal izin perempuan; jika ia janda maka dengan ucapan, jika perawan maka dengan diam. Akad nikah tidak boleh dilakukan kecuali dengan mahar yang halal, meskipun dalam agama mereka boleh dilakukan dengan barang haram seperti khamr dan babi. Apakah boleh seorang ahli kitab menikahi wanita penyembah berhala, atau penyembah berhala menikahi wanita ahli kitab atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سعيد الإصطخري – لَا يَجُوزُ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَعْقِدَ عَلَى وَثَنِيَّةٍ وَلَا لِوَثَنِيٍّ أَنْ يَعْقِدَ عَلَى مُسْلِمَةٍ.
Pertama—dan ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhari—tidak boleh seorang muslim menikahi wanita penyembah berhala, dan tidak boleh pula penyembah berhala menikahi wanita muslimah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ يَجُوزُ، لِأَنَّ الْكُفْرَ كله ملة واحدة.
Pendapat kedua—dan ini adalah mazhab al-Syafi‘i—boleh, karena seluruh kekufuran itu satu golongan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه: ” وكذلك ما قبضت مِنْ مهرٍ حرامٌ وَلَوْ قَبَضَتْ نِصْفَهُ فِي الشِّرْكِ حَرَامًا ثُمَّ أَسْلَمَا فَعَلَيْهِ نِصْفُ مَهْرِ مِثْلِهَا “.
Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Demikian pula, mahar yang diterima dari sesuatu yang haram adalah haram. Jika ia telah menerima setengahnya dalam keadaan syirik secara haram, kemudian keduanya masuk Islam, maka wajib atasnya setengah mahar mitsil (mahar sepadan) baginya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا تَرَافَعَ الزَّوْجَانِ فِي صَدَاقِ نِكَاحٍ عُقِدَ لَهُ فِي الشِّرْكِ، فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika suami istri bersengketa mengenai mahar dari akad nikah yang dilakukan dalam keadaan syirik, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يكون حلالاً معلوماً فيحكم على الزوج له، وَكَذَلِكَ لَوْ أَسْلَمَا عَلَيْهِ وَلَا يُلْزَمُ الزَّوْجُ غَيْرَهُ فَإِنْ أَقْبَضَهَا فِي الشِّرْكِ بَرِئَ مِنْهُ، وَإِنْ لَمْ يُقْبِضْهَا أَخَذَتْهُ بَعْدَ الْإِسْلَامِ أَوْ عند الترافع إلى الحاكم بعد بقائها عَلَى الشِّرْكِ.
Pertama: Jika mahar itu berupa sesuatu yang halal dan diketahui, maka diputuskan untuk suami sesuai dengan itu, demikian pula jika keduanya masuk Islam atas mahar tersebut, dan suami tidak diwajibkan selain itu. Jika ia telah menyerahkannya dalam keadaan syirik, maka ia terbebas darinya. Jika belum menyerahkannya, maka istri dapat mengambilnya setelah masuk Islam atau ketika bersengketa di hadapan hakim setelah tetap dalam keadaan syirik.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حَرَامًا لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا فِي الْإِسْلَامِ، فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Keadaan kedua: Jika mahar itu berupa sesuatu yang haram, yang tidak boleh dijadikan mahar dalam Islam, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَتَقَاضَاهُ فِي الشِّرْكِ قَبْلَ التَّرَافُعِ إِلَى الْحَاكِمِ فَقَدْ بَرِئَ الزَّوْجُ مِنْهُ، لِأَنَّ مَا فَعَلَاهُ فِي الشِّرْكِ عَفْوٌ لَا يَتَعَقَّبُ بِنَقْضٍ كَمَا قال تعالى: {يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بِقِيَ مِنَ الرِّبَا) {البقرة: 278) . فَجَعَلَ مَا مَضَى عَفْوًا وقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْإِسْلَامُ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ “.
Pertama: Jika mahar itu telah diterima dalam keadaan syirik sebelum bersengketa di hadapan hakim, maka suami telah terbebas darinya, karena apa yang dilakukan dalam keadaan syirik dianggap dimaafkan dan tidak bisa dibatalkan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba} (al-Baqarah: 278). Maka apa yang telah berlalu dianggap dimaafkan. Dan Nabi ﷺ bersabda: “Islam menghapus apa yang sebelumnya.”
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ بَاقِيًا لَمْ يَتَقَابَضَاهُ، فَلَا يجوز أن يحكم بإقباضه سواء ترفعا وَهُمَا عَلَى الشِّرْكِ أَوْ قَدْ أَسْلَمَا، وَيَحْكُمُ لَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ دُونَ الْقِيمَةِ، لِأَنَّ الْخَمْرَ لَا قِيمَةَ لَهُ، وَكَذَلِكَ الْخِنْزِيرُ وَسَائِرُ الْمُحَرَّمَاتِ.
Bagian kedua: Jika mahar itu masih tersisa dan belum diterima, maka tidak boleh diputuskan untuk menyerahkannya, baik keduanya bersengketa dalam keadaan syirik maupun setelah masuk Islam. Maka diputuskan untuk istri dengan mahar mitsil, bukan nilainya, karena khamr tidak memiliki nilai, demikian pula babi dan seluruh barang yang diharamkan.
وقال أبو حنيفة: كَانَ الصَّدَاقُ مُعَيَّنًا حُكِمَ لَهَا بِهِ سَوَاءٌ أَسْلَمَا، أَمْ لَا، وَإِنْ كَانَ فِي الذِّمَّةِ فَإِنْ كَانَا عَلَى الشِّرْكِ حُكِمَ لَهَا بِمِثْلِ الخمر وإن كان قد أسلما حكم لها بقيمة الخمر بناء على أصله في غاصب الدار وفيها خمر إذا استهلكها وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ.
Abu Hanifah berkata: Jika mahar itu telah ditentukan, maka diputuskan untuk istri sesuai itu, baik keduanya telah masuk Islam atau belum. Jika mahar itu masih dalam tanggungan, maka jika keduanya masih dalam keadaan syirik, diputuskan untuk istri dengan yang sejenis khamr, dan jika keduanya telah masuk Islam, diputuskan untuk istri dengan nilai khamr, berdasarkan pendapatnya dalam kasus seseorang yang merampas rumah yang di dalamnya terdapat khamr lalu menghabiskannya. Dan telah dijelaskan pembicaraan dengannya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَتَقَابَضَا بَعْضَهُ فِي الشِّرْكِ وَيَبْقَى بَعْضُهُ بَعْدَ الْإِسْلَامِ أَوْ بَعْدَ التَّرَافُعِ إِلَى الْحَاكِمِ فَيَبْرَأُ الزَّوْجُ مِنْ قَدْرِ مَا أَقْبَضَ فِي الشِّرْكِ وَيَحْكُمُ لَهَا مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ بِقِسْطِ مَا بقي مِنْهُ، وَعِنْدَ أبي حنيفة يَحْكُمُ لَهَا بِقِيمَةِ ما بقي منه بناء عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ أَصْلِهِ وَمَا ذَكَرْنَاهُ أَوْلَى لِمَا قَدَّمْنَاهُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الصَّدَاقِ الْحَرَامِ الْمَقْبُوضِ بَعْضُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Bagian ketiga: Jika sebagian mahar telah diterima dalam keadaan syirik dan sebagian lagi masih tersisa setelah masuk Islam atau setelah bersengketa di hadapan hakim, maka suami terbebas dari bagian yang telah diserahkan dalam keadaan syirik, dan diputuskan untuk istri dari mahar mitsil sebesar bagian yang masih tersisa. Menurut Abu Hanifah, diputuskan untuk istri dengan nilai bagian yang masih tersisa, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan dari pendapatnya, dan apa yang kami sebutkan lebih utama sebagaimana yang telah kami kemukakan. Dengan demikian, keadaan mahar haram yang sebagian telah diterima tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ جِنْسًا، أَوْ أجناساً فإن كان جنساً واحداً كأنه أَصْدَقَهَا عَشَرَةَ أَزْقَاقٍ مِنْ خَمْرٍ ثُمَّ تَرَافَعَا أَوْ أَسْلَمَا، وَقَدْ أَقْبَضَهَا خَمْسَةَ أَزْقَاقٍ وَبَقِيَتْ خمسة ففيها وجهان لأصحابنا:
Yaitu, apakah berupa satu jenis atau beberapa jenis. Jika berupa satu jenis, misalnya suami memberikan mahar sepuluh kendi khamr, kemudian keduanya bersengketa atau masuk Islam, dan ia telah menyerahkan lima kendi dan masih tersisa lima, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat di kalangan ulama kami:
أحدهما: أنه يُرَاعَى عَدَدُ الْأَزْقَاقِ دُونَ كَيْلِهَا فَتَكُونُ الْخَمْسَةُ مِنَ الْعَشَرَةِ نِصْفَهَا، وَإِنِ اخْتَلَفَ كَيْلُهَا فَيَسْقُطُ عَنْهُ مِنَ الْمَهْرِ نِصْفُهُ وَيَبْقَى عَلَيْهِ نِصْفُهُ فَيَلْزَمُهُ نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.
Pertama: Yang diperhatikan adalah jumlah kendinya, bukan takarannya. Maka lima dari sepuluh adalah setengahnya. Jika takarannya berbeda-beda, maka gugur dari mahar setengahnya dan sisanya wajib setengah mahar mitsil. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ يُرَاعَى كَيْلُهَا دُونَ عَدَدِهَا فَيَنْظُرُ كَيْلَ الْخَمْسَةِ الْمَقْبُوضَةِ مِنْ جُمْلَةِ كَيْلِ الْعَشَرَةِ، فَإِنْ كَانَ ثُلُثُهَا فِي الْكَيْلِ وَنِصْفُهَا فِي الْعَدَدِ بَرِئَ مِنْ ثُلُثِ الْمَهْرِ وَلَزِمَ ثُلُثَا مَهْرِ الْمِثْلِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَلَوْ كَانَ قَدْ أَصْدَقَهَا عَشَرَةَ خَنَازِيرَ وَأَقْبَضَهَا مِنَ الْعَشَرَةِ سِتَّةَ خَنَازِيرَ، فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: Yang diperhatikan adalah takarannya, bukan jumlahnya. Maka dilihat takaran lima kendi yang telah diterima dari total takaran sepuluh kendi. Jika dalam takaran sepertiga dan dalam jumlah setengah, maka suami terbebas dari sepertiga mahar dan wajib dua pertiga mahar mitsil. Ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah. Jika mahar itu berupa sepuluh ekor babi dan telah diserahkan enam ekor dari sepuluh, maka berlaku dua pendapat yang telah disebutkan:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ – إِنَّكَ تُرَاعِي الْعَدَدَ فَتَكُونُ السِّتَّةُ مِنَ الْعَشَرَةِ ثَلَاثَةَ أَخْمَاسِهَا سواء اختلف في الصغر أو الكبر أَوْ لَمْ تَخْتَلِفْ فَيَبْرَأُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَخْمَاسِ الصَّدَاقِ وَيُطَالَبُ بِخُمْسَيْ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Pertama—dan ini pendapat Abu Ishaq—yang diperhatikan adalah jumlahnya. Maka enam dari sepuluh adalah tiga per lima, baik berbeda ukuran besar kecilnya atau tidak, sehingga suami terbebas dari tiga per lima mahar dan wajib membayar dua per lima mahar mitsil.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ إِنَّكَ تُرَاعِيهَا فِي الصِّغَرِ وَالْكِبَرِ وَكَانَ الْكَبِيرُ مِنْهَا يعدل صغيرين وقد قبض في السنة كبيرين وأربعة صغاراً فكانت الْأَرْبَعَةُ تُعَادِلُ كَبِيرَيْنِ فَصَارَتِ السِّتَّةُ أَرْبَعَةً كِبَارًا، وَالْأَرْبَعَةُ مِنَ الْعَشَرَةِ خُمْسَاهَا فَيَبْرَأُ مِنْ خُمْسَيِ الصداق وترجع عليه بثلاثة أخماس مهر المثل، وإن كان الصداق أجناسً مختلفة كأنه أَصْدَقَهَا خَمْسَةَ أَزْقَاقٍ خَمْرًا وَعَشَرَةَ خَنَازِيرَ وَخَمْسَةَ عشر كلباً تَرَافَعَا أَوْ أَسْلَمَا، وَقَدْ أَقْبَضَهَا خَمْسَةَ أَزْقَاقٍ خمراً وبقيت الخنازير كلها والكلاب بأسرها، فعنه ثلاثة أوجه:
Pendapat kedua: Ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Khairan, yaitu bahwa engkau memperhitungkan (bagian) kecil dan besar, dan yang besar di antara keduanya setara dengan dua yang kecil. Telah diserahkan pada tahun itu dua yang besar dan empat yang kecil, sehingga empat yang kecil setara dengan dua yang besar. Maka, enam itu menjadi empat yang besar, dan empat dari sepuluh adalah dua perlima, sehingga ia bebas dari dua perlima mahar dan sisanya kembali kepadanya dengan tiga perlima mahar mitsil. Jika mahar itu terdiri dari berbagai jenis, misalnya ia memberinya mahar lima kendi khamr, sepuluh babi, dan lima belas anjing, lalu mereka bersengketa atau masuk Islam, dan ia telah menyerahkan lima kendi khamr, sedangkan semua babi dan anjing masih tersisa, maka dalam hal ini ada tiga pendapat:
أحدهما: إِنَّكَ تَعْتَبِرُ عَدَدَ الْجَمِيعِ فَيَكُونُ الْمَقْبُوضُ خَمْسَةً من ثلاثين وهو سدسها فيسقط عند سُدُسُ الصَّدَاقِ وَيُؤْخَذُ بِخَمْسَةِ أَسْدَاسِ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Pertama: Engkau memperhitungkan jumlah keseluruhan, sehingga yang telah diterima adalah lima dari tiga puluh, yaitu sepertiganya. Maka gugurlah seperenam mahar dan ia dituntut dengan lima perenam mahar mitsil.
والوجه الثاني: أنك تعتبر عدد أجناس، وهي ثلاثة، والمقبوض أحدها فتسقط عَنْهُ ثُلُثَ الصَّدَاقِ، وَيُؤْخَذُ بِثُلْثَيْ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Pendapat kedua: Engkau memperhitungkan jumlah jenis, yaitu tiga, dan yang diterima adalah salah satunya, maka gugur sepertiga mahar darinya, dan ia dituntut dengan dua pertiga mahar mitsil.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ – إِنَّكَ تَعْتَبِرُ قِيمَةَ الْأَجْنَاسِ الثَّلَاثَةِ وَتَنْظُرُ قِيمَةَ الْمَقْبُوضِ فَتُسْقِطُهُ مِنْهُ فَيَبْرَأُ بِقِسْطِهِ مِنَ الصَّدَاقِ، وَيُؤْخَذُ بِقِسْطِ الْبَاقِي مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Pendapat ketiga: Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, yaitu engkau memperhitungkan nilai dari tiga jenis tersebut dan melihat nilai yang telah diterima, lalu menguranginya dari mahar, sehingga ia bebas dari bagian mahar sesuai nilainya, dan sisanya dituntut dengan bagian yang tersisa dari mahar mitsil.
قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ: وَقَدْ يَجُوزُ فِي الشَّرْعِ أن يعتبر قِيمَةُ مَا لَا يَحِلُّ بَيْعُهُ وَلَا قِيمَةَ لَهُ كَمَا يُعْتَبَرُ فِي حُكُومَةِ مَا لَا يقدر مِنْ جِرَاحِ الْحُرِّ قِيمَتُهُ لَوْ كَانَ عَبْدًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْحُرِّ ثَمَنًا وَلَا قِيمَةً كَذَلِكَ الْخُمُورُ وَالْخَنَازِيرُ وَالْكِلَابُ، وَلَوْ كَانَ الْمَقْبُوضُ مِنَ الثَّلَاثَةِ جِنْسًا آخَرَ غَيْرَ الْخَمْرِ كَانَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ فَاعْتَبِرْ به – وبالله التوفيق.
Abu al-‘Abbas berkata: Dalam syariat, boleh saja memperhitungkan nilai sesuatu yang tidak halal dijual dan tidak memiliki nilai, sebagaimana dipertimbangkan dalam penetapan hukum luka pada orang merdeka, yaitu nilainya jika ia adalah budak, meskipun orang merdeka tidak memiliki harga maupun nilai. Demikian pula khamr, babi, dan anjing. Jika yang diterima dari tiga jenis itu adalah selain khamr, maka berlaku seperti yang telah kami sebutkan dari tiga pendapat tersebut. Maka perhatikanlah hal ini – dan hanya kepada Allah-lah taufik.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” والنصراني في إنكاح ابْنَتِهِ وَابْنِهِ الصَّغِيرَيْنِ كَالْمُسْلِمِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan seorang Nasrani dalam menikahkan anak perempuan dan anak laki-lakinya yang masih kecil, kedudukannya seperti seorang Muslim.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّنَا قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ وَلِيَّ الْكَافِرَةِ كَافِرٌ فَلَهُ أَنْ يُزَوِّجَ بِنْتَهُ الصَّغِيرَةَ إِذَا كَانَتْ بِكْرًا وَلَا يُزَوِّجُهَا إِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا كالمسلم ويزوج أن يزوج بنته الكبرى بِكْرًا بِغَيْرِ إِذْنٍ وَثَيِّبًا بِإِذْنٍ، وَلَهُ أَنْ يزوج ابنته الصغيرة، وليس له تزويج الكبيرة كَمَا نَقُولُهُ فِي الْأَبِ الْمُسْلِمِ فِي بِنْتِهِ وَابْنَهِ الْمُسْلِمَيْنِ، فَأَمَّا وِلَايَةُ الْكَافِرِ عَلَى أَمْوَالِ الصِّغَارِ مِنْ أَوْلَادِهِ فَمَا لَمْ يُرْفَعْ إِلَيْنَا أقروا عليها، فَإِذَا رُفِعَ إِلَيْنَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤْتَمَنَ عَلَى أَمْوَالِهِمْ، وَتُرَدُّ الْوِلَايَةُ عَلَيْهِمْ فِيهَا إِلَى الْمُسْلِمِينَ بِخِلَافِ الْوِلَايَةِ فِي النِّكَاحِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِوِلَايَةِ الْأَمْوَالِ الْأَمَانَةُ وَهِيَ فِي الْمُسْلِمِينَ أَقْوَى والمقصود بولاية النكاح الموالاة، وهي في الكافر لِلْكَافِرِ أَقْوَى – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena telah kami sebutkan bahwa wali perempuan kafir adalah orang kafir, maka ia boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil jika ia masih perawan, dan tidak boleh menikahkannya jika ia janda, sebagaimana halnya pada Muslim. Ia boleh menikahkan anak perempuannya yang sudah dewasa jika masih perawan tanpa izin, dan jika janda dengan izin. Ia juga boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil, tetapi tidak boleh menikahkan yang sudah dewasa, sebagaimana yang kami katakan pada ayah Muslim terhadap anak perempuan dan anak laki-lakinya yang Muslim. Adapun kewalian orang kafir atas harta anak-anak kecilnya, maka selama tidak diajukan kepada kami, kami biarkan. Namun jika diajukan kepada kami, tidak boleh ia dipercaya atas harta mereka, dan kewalian atas harta mereka dikembalikan kepada kaum Muslimin, berbeda dengan kewalian dalam pernikahan, karena maksud dari kewalian harta adalah amanah, dan itu pada kaum Muslimin lebih kuat, sedangkan maksud dari kewalian nikah adalah loyalitas, dan itu pada orang kafir terhadap sesama kafir lebih kuat – wallāhu a‘lam.
Bab: Mendatangi wanita haid dan menggauli dua wanita sebelum mandi dari yang satu (haid) – dari Kitab ‘Asyratun-Nisā’
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” أَمَرَ اللَّهُ تَبَارَكَ وتعالى بِاعْتِزَالِ الْحُيَّضِ فَاسْتَدْلَلْنَا بِالسُّنَّةِ عَلَى مَا أَرَادَ فقلنا تَشُدُّ إِزَارَهَا عَلَى أَسْفَلِهَا وَيُبَاشِرُهَا فَوْقَ إِزَارِهَا حتى يطهرن حَتَّى يَنْقَطِعَ الدَّمُ وَتَرَى الطُّهْرَ “.
Imam Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Allah Tabāraka wa Ta‘ālā memerintahkan untuk menjauhi wanita haid, lalu kami mengambil dalil dari sunnah tentang apa yang dimaksud, maka kami katakan: ia mengikatkan kain pada bagian bawah tubuhnya, lalu suaminya boleh menyentuhnya di atas kain itu hingga mereka suci, yaitu hingga darahnya berhenti dan ia melihat tanda suci.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أما وطء الحائط فِي الْفَرْجِ فَحَرَامٌ بِالنَّصِّ، وَالْإِجْمَاعِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ المَحِيضِ قُل هُوَ أذَى فَاعْتَزِلَوا النِّسَاءَ فِي المَحِيضِ) {البقرة: 222) . وَفِي هَذَا الْمَحِيضِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:
Al-Mawardi berkata: Adapun menggauli wanita haid pada kemaluannya, maka hukumnya haram berdasarkan nash dan ijmā‘. Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: itu adalah kotoran. Maka jauhilah wanita pada waktu haid} (al-Baqarah: 222). Dalam ayat tentang haid ini ada tiga tafsiran:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ دَمَ الْحَيْضِ.
Pertama: Yang dimaksud adalah darah haid.
وَالثَّانِي: زَمَانَ الْحَيْضِ.
Kedua: Waktu haid.
وَالثَّالِثُ: مَكَانَ الْحَيْضِ.
Ketiga: Tempat haid.
ثُمَّ قَالَ: {وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) {البقرة: 222) . أي ينقطع دمهن، فإذا تطهرن فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Kemudian Allah berfirman: {Dan janganlah kamu mendekati mereka hingga mereka suci} (al-Baqarah: 222), maksudnya hingga darah mereka berhenti. Jika mereka telah suci, maka dalam hal ini ada dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: فَإِذَا انْقَطَعَ دَمُهُنَّ، وَهَذَا تَأْوِيلُ أبي حنيفة.
Pertama: Jika darah mereka telah berhenti, dan ini adalah tafsiran Abu Hanifah.
وَالثَّانِي: فَإِذَا تَطَهَّرْنَ بِالْمَاءِ، وَهَذَا تَأْوِيلُ الشَّافِعِيِّ وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ وَالْمُفَسِّرِينَ: {فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أمَرَكُمُ اللهُ) {البقرة: 222) . فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Dan yang kedua: Apabila mereka telah bersuci dengan air, dan inilah tafsiran al-Syafi‘i serta mayoritas fuqaha dan mufassir: {Maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu} (al-Baqarah: 222). Dalam ayat ini terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: فِي الْقُبُلِ الَّذِي نَهَى عَنْهُ فِي حال الحيض، وَهَذَا تَأْوِيلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.
Salah satunya: Yaitu pada qubul (kemaluan depan) yang dilarang saat haid, dan inilah tafsiran Ibnu ‘Abbas.
وَالثَّانِي: مِنْ قِبَلِ طُهْرِهِنَّ لَا مِنْ قِبَلِ حَيْضِهِنَّ، وَهَذَا تَأْوِيلُ عِكْرِمَةَ، وَقَتَادَةَ فَصَارَ تَحْرِيمُ وَطْءِ الْحَائِضِ فِي الْقُبُلِ نَصًّا وَإِجْمَاعًا، لِأَنَّهُ لَمْ يُعْرَفْ فِيهِ خِلَافُ أَحَدٍ، فَلَوِ اسْتَحَلَّ رَجُلٌ وَطْءَ حَائِضٍ مَعَ عِلْمِهِ بِالنَّصِّ وَالْإِجْمَاعِ كَانَ كَافِرًا، وَلَوْ فَعَلَهُ مَعَ الْعِلْمِ بِتَحْرِيمِهِ كَانَ فَاسِقًا.
Dan yang kedua: Dari sisi kesucian mereka, bukan dari sisi haid mereka, dan inilah tafsiran ‘Ikrimah dan Qatadah. Maka pengharaman menyetubuhi wanita haid pada qubul adalah berdasarkan nash dan ijmā‘, karena tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di dalamnya. Maka jika ada seorang laki-laki menghalalkan menyetubuhi wanita haid dengan pengetahuan tentang nash dan ijmā‘, maka ia kafir. Dan jika ia melakukannya dengan mengetahui keharamannya, maka ia fasik.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الِاسْتِمْتَاعُ بِمَا دُونَ الْفَرْجِ مِنْهَا فَيَجُوزُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِمَا فَوْقَ السُّرَّةِ وَدُونَ الرُّكْبَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَسْتَمْتِعُ مِنَ الْحَائِضِ بِمَا فَوْقَ الْإِزَارِ “.
Adapun menikmati selain farj (kemaluan) dari wanita haid, maka boleh menikmati bagian tubuh di atas pusar dan di bawah lutut, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Boleh menikmati wanita haid pada bagian di atas kain sarung.”
وَأَمَّا الِاسْتِمْتَاعُ بِمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ إِذَا عَدَلَ عَنِ الْفَرْجَيْنِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Adapun menikmati bagian antara pusar dan lutut jika tidak menyentuh kedua farj (kemaluan depan dan belakang), maka terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ حَرَامٌ وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَاحَ الِاسْتِمْتَاعَ مِنْهَا بِمَا فَوْقَ الْإِزَارِ، وَمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ هُوَ مِمَّا تَحْتَ الْإِزَارِ وَلَيْسَ مِمَّا فَوْقَهُ فَدَلَّ عَلَى تَحْرِيمِهِ.
Salah satunya: Bahwa hal itu haram, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, karena Nabi ﷺ membolehkan menikmati wanita haid pada bagian di atas kain sarung, sedangkan bagian antara pusar dan lutut termasuk yang berada di bawah kain sarung, bukan di atasnya, maka ini menunjukkan keharamannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مُبَاحٌ.
Pendapat kedua: Bahwa hal itu mubah (boleh).
وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا: أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ وَأَبُو إِسْحَاقَ المروزي، لأن تَحْرِيمَ وَطْءِ الْحَائِضِ لِأَجْلِ الْأَذَى، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَقْصُورًا عَلَى مَكَانِ الْأَذَى وَهُوَ الْفَرْجُ دُونَ غَيْرِهِ.
Dan ini adalah pendapat Malik, dan dari kalangan ulama kami: Abu ‘Ali bin Khairan dan Abu Ishaq al-Marwazi, karena pengharaman menyetubuhi wanita haid adalah karena adanya gangguan (adzā), maka seharusnya pengharaman itu terbatas pada tempat gangguan, yaitu farj, dan tidak pada selainnya.
وَرُوِيَ أَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ تعالى عَنْهُ – سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِذَا تَوَقَّى الْجُحْرَيْنِ فَلَا بَأْسَ، وَيَكُونُ قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يَسْتَمْتِعُ مِنَ الْحَائِضِ بِمَا فَوْقَ الْإِزَارِ ” مَحْمُولًا عَلَى مَا دُونُ الْفَرْجِ، وَيَكُونُ الْإِزَارُ كِنَايَةً عَنِ الْفَرْجِ لِأَنَّهُ مَحَلَّ الْإِزَارِ كَمَا قَالَ الشَّاعِرُ:
Diriwayatkan bahwa ‘Umar r.a. pernah ditanya tentang hal itu, lalu beliau berkata: Jika menghindari kedua lubang (qubul dan dubur), maka tidak mengapa. Dan sabda Nabi ﷺ: “Boleh menikmati wanita haid pada bagian di atas kain sarung” ditafsirkan sebagai boleh menikmati selain farj, dan kain sarung di sini adalah kiasan dari farj karena itu adalah tempat kain sarung, sebagaimana dikatakan oleh penyair:
(قومٌ إِذَا حَارَبُوا شَدُّوا مَآزِرَهُمْ … دُونَ النِّسَاءِ وَلَوْ بَاتَتْ بِأَطْهَارِ)
(Kaum yang jika berperang, mereka mengencangkan kain sarung mereka … menjauhi wanita, meskipun wanita itu dalam keadaan suci)
أَيْ شَدُّوا فُرُوجَهُمْ وَخَرَّجَ أَبُو الْفَيَّاضِ مِنْ أَصْحَابِنَا وَجْهًا ثَالِثًا: أَنَّهُ إِنْ كَانَ قَاهِرًا لِنَفْسِهِ يَأْمَنُ أَنْ تَغْلِبَهُ الشَّهْوَةُ فَيَطَأُ فِي الْفَرْجِ جَازَ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِمَا دُونَهُ، وَإِنْ لَمْ يَأْمَنْ نَفْسَهُ أَنْ تَغْلِبَهُ الشَّهْوَةُ فَيَطَأُ فِي الْفَرْجِ حَرُمَ عَلَيْهِ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِمَا دُونَهُ إِلَّا مِنْ وراء الإزار.
Artinya, mereka mengencangkan farj mereka. Abu al-Fayyadh dari kalangan ulama kami mengeluarkan pendapat ketiga: Jika seseorang mampu mengendalikan dirinya dan merasa aman dari dorongan syahwat sehingga tidak sampai menyetubuhi farj, maka boleh menikmati selainnya. Namun jika ia tidak merasa aman dari dorongan syahwat sehingga dikhawatirkan akan menyetubuhi farj, maka haram baginya menikmati selainnya kecuali dari balik kain sarung.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فإذا تطهرن يَعْنِي وَاللَّهُ أَعْلَمُ الطَّهَارَةَ الَّتِي تَحِلُّ بِهَا الصلاة الغسل أو التيمم (قال) وفي تحريمها لأذى المحيض كالدلالة على تحريم الدبر لأن أذاه لا ينقطع “.
Al-Syafi‘i berkata: “Apabila mereka telah bersuci, maksudnya—wallāhu a‘lam—adalah bersuci yang dengannya shalat menjadi halal, yaitu mandi atau tayammum.” (Beliau berkata): “Dan pengharaman itu karena adanya gangguan haid, sebagaimana dalil atas pengharaman dubur karena gangguannya tidak pernah terputus.”
قال الماوردي: أما ما دام الحي باقياً فوطئها فِي الْفَرْجِ عَلَى تَحْرِيمِهِ، فَإِذَا انْقَطَعَ دَمُ حَيْضِهَا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّ وَطْأَهَا بَعْدَ انْقِطَاعِ الدَّمِ عَلَى تَحْرِيمِهِ حَتَّى تَغْتَسِلَ أَوْ تَتَيَمَّمَ إِنْ كَانَتْ عَادِمَةً لِلْمَاءِ.
Al-Mawardi berkata: Adapun selama darah haid masih ada, maka menyetubuhi wanita pada farj tetap haram. Jika darah haid telah berhenti, maka menurut mazhab al-Syafi‘i: Menyetubuhi wanita setelah darah berhenti tetap haram hingga ia mandi atau bertayammum jika tidak ada air.
وَقَالَ طَاوُسٌ، وَمُجَاهِدٌ: وَطْؤُهَا حَرَامٌ حَتَّى تَتَوَضَّأَ فَتَحِلُّ.
Tawus dan Mujahid berkata: Menyetubuhi wanita haid haram hingga ia berwudhu, maka setelah itu menjadi halal.
وَقَالَ أبو حنيفة: قد حل وطئها إن لَمْ تَغْتَسِلْ وَلَمْ تَتَوَضَّأْ، وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْحَيْضِ بِمَا أَغْنَى.
Abu Hanifah berkata: Telah halal menyetubuhi wanita haid meskipun ia belum mandi dan belum berwudhu. Dan kami telah menjelaskan hal ini dalam Kitab al-Haid dengan penjelasan yang memadai.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن وطئ في الدم استغفر الله تعالى ولا يعود “.
Al-Syafi‘i berkata: “Jika menyetubuhi wanita haid saat darah masih keluar, hendaklah ia memohon ampun kepada Allah Ta‘ala dan tidak mengulanginya.”
قال الماوري: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا وَطِئَ الْحَائِضُ فِي قُبُلِهَا فَقَدْ أَثِمَ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَغْفِرَ اللَّهَ تَعَالَى وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, jika seseorang menyetubuhi wanita haid pada qubulnya, maka ia berdosa, dan wajib baginya memohon ampun kepada Allah Ta‘ala, dan tidak ada kafārah atasnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan mayoritas fuqaha.
وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: عَلَيْهِ مَا عَلَى الْمُظَاهِرِ.
Al-Hasan al-Bashri berkata: Atasnya berlaku hukum seperti orang yang melakukan zihar.
وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: عَلَيْهِ عِتْقُ نَسَمَةٍ وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: عَلَيْهِ أَنْ يتصدق بدينار إن وطئ في الدم، ونصف دِينَارٍ إِنْ وَطِئَ قَبْلَ الْغُسْلِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” إن وطئ في الدم فَعَلَيْهِ دِينَارٌ، وَإِنْ وَطِئَ قَبْلَ الْغُسْلِ فَنِصْفُ دينار “. وروى هذا الحديث للشافعي وكان إسناده ضعيفاً.
Said bin Jubair berkata: Wajib baginya memerdekakan seorang budak. Al-Auza‘i berkata: Wajib baginya bersedekah satu dinar jika berhubungan saat masih keluar darah, dan setengah dinar jika berhubungan sebelum mandi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dengan berdalil pada riwayat Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika berhubungan saat masih keluar darah, maka wajib satu dinar; jika sebelum mandi maka setengah dinar.” Hadis ini juga diriwayatkan untuk asy-Syafi‘i, namun sanadnya lemah.
قال: إن صح قلت به، فإن لَمْ يَصِحَّ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَإِنْ صَحَّ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ مَعَ الصِّحَّةِ هَلْ يَكُونُ مَحْمُولًا عَلَى الْإِيجَابِ أَوْ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Ia berkata: Jika hadis itu sahih, aku berpendapat dengannya. Namun jika tidak sahih, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Jika sahih, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentangnya meskipun sahih, apakah harus dipahami sebagai kewajiban atau anjuran, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ كَثِيرٍ مِنْهُمْ – أن يَكُونُ مَحْمُولًا عَلَى الْإِيجَابِ أَوْ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ على وجهين:
Salah satunya—dan ini pendapat banyak dari mereka—bahwa hadis itu harus dipahami sebagai kewajiban atau anjuran, ada dua sisi:
أحدهما: اعْتِبَارًا بِظَاهِرِهِ، وَقَدْ حَكَى الرَّبِيعُ عَنِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ قَالَ: مَا وَرَدَ مِنْ سُنَّةِ الرَّسُولِ بِخِلَافِ مَذْهَبِي فَاتْرُكُوا لَهُ مَذْهَبِي، فَإِنَّ ذَلِكَ مَذْهَبِي وَقَدْ فَعَلَ أَصْحَابُنَا مِثْلَ ذَلِكَ فِي التصويب فِي الصَّلَاةِ الْوُسْطَى.
Pertama: Berdasarkan makna lahiriahnya. Ar-Rabi‘ meriwayatkan dari asy-Syafi‘i bahwa beliau berkata: “Apa pun yang datang dari sunnah Rasul yang bertentangan dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku untuk sunnah tersebut, karena itulah mazhabku.” Para sahabat kami juga melakukan hal yang sama dalam penetapan hukum tentang shalat wustha.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجِ – أَنَّهُ يَكُونُ مَحْمُولًا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ دُونَ الْوُجُوبِ لِأَنَّ الزِّنَا وَالْوَطْءَ فِي الدُّبُرِ أَغْلَظُ تَحْرِيمًا وَلَا كَفَّارَةَ فِيهِ فلأن لا يكون فيه وَطْءِ الْحَائِضِ كَفَّارَةٌ أَوْلَى، وَلِأَنَّ كَفَّارَةَ الْوَطْءِ إنما تجب بما تعلق به من إفساده عبادة كالحج والصيام، وليس في كَفَّارَةٌ إِذَا لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ إِفْسَادُ عِبَادَةٍ، وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ – رضي الله تعالى عَنْهُ – رَأَيْتُ فِي مَنَامِي كَأَنَّنِي أَبُولُ الدَّمَ فَقَالَ لَعَلَّكَ تَطَأُ امْرَأَتَكَ حَائِضًا قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اسْتَغْفِرِ اللَّهَ وَلَا تَعُدْ، وَلَمْ يُلْزِمْهُ كفارة فأما المستحاضة فلا يحرم وطئها، لِأَنَّهَا كَالطَّاهِرَةِ فِيمَا يَحِلُّ وَيَحْرُمُ، وَلِأَنَّ دَمَ الِاسْتِحَاضَةِ رَقِيقٌ وَهُوَ دَمُ عِرْقٍ قَلِيلِ الْأَذَى، وليس كدم الحيض في ثخنه ونتنه وأذاه، والله أعلم.
Sisi kedua—dan ini pendapat Abu al-‘Abbas bin Suraij—bahwa hadis itu dipahami sebagai anjuran, bukan kewajiban. Karena zina dan hubungan di dubur lebih berat keharamannya, namun tidak ada kaffarah di dalamnya. Maka lebih utama jika hubungan dengan wanita haid juga tidak ada kaffarah. Kaffarah atas hubungan hanya diwajibkan jika menyebabkan rusaknya ibadah seperti haji dan puasa. Tidak ada kaffarah jika tidak menyebabkan rusaknya ibadah. Diriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada Abu Bakar ra.: “Aku bermimpi seolah-olah aku kencing darah.” Abu Bakar berkata: “Barangkali engkau menggauli istrimu saat haid?” Ia menjawab: “Ya.” Abu Bakar berkata: “Mohonlah ampun kepada Allah dan jangan diulangi.” Abu Bakar tidak mewajibkan kaffarah kepadanya. Adapun wanita istihadhah, tidak haram digauli, karena ia seperti wanita suci dalam hal yang halal dan haram. Darah istihadhah itu tipis, darah dari urat yang sedikit bahayanya, tidak seperti darah haid yang kental, bau, dan berbahaya. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن كَانَ لَهُ إِمَاءٌ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْتِيَهُنَّ مَعًا قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ وَلَوْ تَوَضَّأَ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ وَأُحِبُّ لَوْ غَسَلَ فَرْجَهُ قَبْلَ إِتْيَانِ الَّتِي بَعْدَهَا وَلَوْ كُنَّ حَرَائِرَ فَحَلَلْنَهُ فكذلك “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang memiliki budak perempuan, maka tidak mengapa mendatangi mereka secara bergantian sebelum mandi. Namun jika ia berwudu, itu lebih aku sukai, dan aku lebih suka jika ia membasuh kemaluannya sebelum mendatangi yang berikutnya. Jika mereka adalah wanita merdeka dan halal baginya, maka hukumnya juga demikian.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: فَأَمَّا الْإِمَاءُ فَلَا قَسْمَ لَهُنَّ على السيد، فإذا أراد وطئهن فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ جَازَ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَغْتَسِلَ بَعْدَ وَطْءِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ لِمَا فِيهِ من تعجيل فرض ونكرار وطاعة، وَنَشَاطِ نَفْسٍ، فَإِنْ لَمْ يَغْتَسِلْ تَوَضَّأَ عِنْدَ وَطْءِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، وَأَنْكَرَ أَبُو دَاوُدَ مَا أَمَرَ بِهِ الشَّافِعِيُّ مِنَ الْوُضُوءِ، لِأَنَّهُ مَعَ بَقَاءِ الْجَنَابَةِ غَيْرَ مُؤَثِّرٍ فِي الطِّهَارَةِ، وَمَا لَا تَأْثِيرَ لَهُ كَانَ فِعْلُهُ عَبَثًا، وَهَذَا إِنْكَارٌ مُسْتَقْبَحٌ وَقَوْلٌ مُسْتَرْذَلٌ، وَاعْتِرَاضٌ عَلَى السُّنَّةِ.
Al-Mawardi berkata: Adapun budak perempuan, tidak ada kewajiban pembagian giliran bagi mereka dari tuannya. Jika ia ingin menggauli mereka dalam satu hari, maka itu boleh. Dianjurkan baginya untuk mandi setelah menggauli masing-masing dari mereka, karena di dalamnya terdapat penyegeraan kewajiban, pengulangan ketaatan, dan penyegaran jiwa. Jika tidak mandi, maka hendaknya ia berwudu setiap kali hendak menggauli salah satu dari mereka. Abu Dawud mengingkari anjuran asy-Syafi‘i untuk berwudu, karena menurutnya, selama masih dalam keadaan junub, wudu tidak berpengaruh pada kesucian. Apa yang tidak berpengaruh, maka melakukannya adalah sia-sia. Ini adalah pengingkaran yang buruk, pendapat yang tercela, dan keberatan terhadap sunnah.
رَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ ” وَقَالَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: ” وإذا جَامَعْتَ ثُمَّ أَرَدْتَ الْمُعَاوَدَةَ فَتَوَضَّأْ “.
Abu Sa‘id al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang dari kalian mendatangi istrinya, lalu ingin mengulanginya, maka hendaklah ia berwudu.” Dan beliau bersabda kepada ‘Umar bin al-Khaththab: “Jika engkau telah berhubungan, lalu ingin mengulanginya, maka berwudulah.”
وَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهُوَ جُنُبٌ، قَالَ: نَعَمْ، إِذَا تَوَضَّأَ فَأَمَرَ بِالْوُضُوءِ، وَإِنْ لَمْ يَرْفَعْ حَدَثًا فَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ عِنْدَ وَطْءِ كُلِّ وَاحِدَةٍ فَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَغْسِلَ ذَكَرَهُ بَعْدَ وَطْئِهَا، لِأَنَّهُ مَأْثُورٌ وَمَسْنُونٌ، وَلِأَنَّ فِيهِ نَشَاطَ النَّفْسِ وَنُهُوضًا لِلشَّهْوَةِ، فَإِنْ لَمْ يَغْتَسِلْ ولا توضأ ولا غسل ذكره ووطء جميعهن واحدة بعد أخرى حتى أتى جميعهن جاز، اغتسل لَهُنَّ غُسْلًا وَاحِدًا.
‘Umar berkata: Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami boleh tidur dalam keadaan junub? Beliau menjawab: “Ya, jika ia berwudu.” Maka beliau memerintahkan untuk berwudu, meskipun tidak mengangkat hadas besar. Jika tidak berwudu setiap kali hendak menggauli salah satu dari mereka, maka dianjurkan untuk membasuh kemaluannya setelah menggaulinya, karena hal itu merupakan amalan yang diriwayatkan dan disunnahkan, serta dapat menyegarkan jiwa dan membangkitkan syahwat. Jika tidak mandi, tidak berwudu, tidak membasuh kemaluannya, dan menggauli semuanya satu per satu hingga selesai, maka itu pun boleh, dan cukup baginya satu kali mandi untuk semuanya.
وَرَوَى حُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – طَافَ عَلَى نِسَائِهِ ذَاتَ لَيْلَةٍ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ، وروى: وكن يومئذ تسعاً، ولأن الغسل تداخل كَالْحَدَثِ وَيُكْرَهُ أَنْ يَنْتَقِلَ مِنْ وَطْءِ وَاحِدَةٍ إِلَى وَطْءِ أُخْرَى وَيَصْبِرُ حَتَّى تَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقْوَى شَهْوَتُهُ، فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْفَهَرِ، وَالْفَهَرُ هُوَ إِذَا وطء الْمَرْأَةَ انْتَقَلَ مِنْهَا إِلَى أُخْرَى، وَيُكْرَهُ أَنْ يطأ بحيث يرى أو يجس بِهِ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه نهى عن الوجس، وهو: أن يطأ بِحَيْثُ يُسْمَعُ حِسُّهُ.
Diriwayatkan dari Ḥumaid dari Anas bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- pernah mendatangi istri-istrinya dalam satu malam dengan satu kali mandi saja. Dan diriwayatkan pula: “Pada waktu itu mereka berjumlah sembilan orang.” Karena mandi (junub) itu saling mencakup seperti halnya hadats. Namun, makruh berpindah dari menggauli satu istri ke istri yang lain tanpa jeda, hendaknya ia bersabar hingga jiwanya tenang dan syahwatnya kembali kuat. Telah diriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau melarang al-fahar, yaitu jika seseorang menggauli seorang wanita lalu langsung berpindah ke wanita lain. Dan makruh pula menggauli istri dengan cara yang dapat dilihat atau diraba oleh orang lain. Telah diriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau melarang al-wajis, yaitu menggauli istri dengan cara yang suaranya terdengar.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْحَرَائِرُ فَالْقَسْمُ بَيْنَهُنَّ وَاجِبٌ إِذَا طَلَبْنَهُ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَطَأَهُنَّ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهُ لِإِحْدَاهُنَّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَطَأَ غَيْرَهَا فِي يومها إلا أن يحللنه فإذا أحللنه سَقَطَ قَسْمُهُنَّ، وَجَازَ أَنْ يَطَأَهُنَّ فِي يَوْمٍ واحد بغسل وَاحِدٍ كَالْإِمَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun para wanita merdeka, maka pembagian giliran di antara mereka adalah wajib jika mereka memintanya. Jika seorang suami ingin menggauli mereka dalam satu hari, maka itu tidak boleh, karena hari itu adalah hak salah satu dari mereka, sehingga tidak boleh menggauli selainnya pada hari tersebut kecuali jika mereka mengizinkannya. Jika mereka mengizinkan, maka hak pembagian mereka gugur, dan boleh baginya menggauli mereka dalam satu hari dengan satu kali mandi saja, sebagaimana halnya budak perempuan. Wallāhu a‘lam.
Bab: Menggauli wanita dari belakang menurut hukum-hukum al-Qur’an dan dari Kitab ‘Asyrah an-Nisā’
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” ذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فِي إِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ إِلَى إِحْلَالِهِ وآخرون إلى تحريمه وروي عن جابر بن عبد الله من حديث ثابتٍ أن اليهود كانت تقول من أتى امرأته فِي قُبُلِهَا مِنْ دُبُرِهَا جَاءَ وَلَدُهُ أَحْوَلَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى {نِسَاؤُكُمْ حَرْثُ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ} وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن رجلاً سأله عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” في أي الخربتين أو في أي الخرزتين أَوْ فِي أَيِّ الْخُصْفَتَيْنِ أَمِنْ دُبُرِهَا فِي قبلها فنعم أم من دُبُرِهَا فِي دُبُرِهَا فَلَا إِنَّ اللَّهَ لَا يستحي من الحق لا تأتوا النساء في أدبارهن ” (قال الشافعي) فلست أرخص فيه بل أنهى عنه “.
Imam Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa menggauli wanita dari belakang itu halal, sementara yang lain mengharamkannya. Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdullāh melalui hadis Ṡābit bahwa orang-orang Yahudi berkata: ‘Barangsiapa menggauli istrinya dari qubul (kemaluan) melalui arah dubur (belakang), maka anaknya akan lahir juling.’ Maka Allah Ta‘ālā menurunkan ayat: {Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja kamu kehendaki}. Diriwayatkan pula dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada beliau tentang hal itu, maka Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Pada lubang yang mana? Apakah dari belakang ke qubul, maka boleh. Atau dari belakang ke dubur, maka tidak boleh. Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Janganlah kalian menggauli wanita di dubur mereka.’ (Imam Syāfi‘ī berkata): Maka aku tidak memberikan keringanan dalam hal itu, bahkan aku melarangnya.”
قال الماوردي: اعلم أن مذهب الشَّافِعِيُّ وَمَا عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَجُمْهُورُ التَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ أَنَّ وَطْءَ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ حَرَامٌ.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa mazhab Syāfi‘ī, para sahabat, mayoritas tābi‘īn, dan para fuqahā’ adalah bahwa menggauli wanita di dubur mereka hukumnya haram.
وَحُكِيَ عَنْ نَافِعٍ وَابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ وَزَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّهُ مُبَاحٌ، وَرَوَاهُ نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَاخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ فِيهِ عَنْ مَالِكٍ فَرَوَى عَنْهُ أَهْلُ الْمَغْرِبِ أَنَّهُ أَبَاحَهُ فِي كِتَابِ السيرة.
Diriwayatkan dari Nāfi‘, Ibn Abī Mulaykah, dan Zayd bin Aslam bahwa hal itu dibolehkan. Nāfi‘ meriwayatkannya dari Ibn ‘Umar. Terdapat perbedaan riwayat dari Mālik; penduduk Maghrib meriwayatkan darinya bahwa ia membolehkannya dalam Kitab as-Sīrah.
وَقَالَ: أَبُو مُصْعَبٍ: سَأَلَتْهُ عَنْهُ فَأَبَاحَهُ.
Abū Muṣ‘ab berkata: Aku bertanya kepadanya tentang hal itu, lalu ia membolehkannya.
وَقَالَ ابن القاسم قال مالك: أدركت أحداً افتدى بِهِ فِي دِينِي يَشُكُّ فِي أَنَّهُ حَلَالٌ وَأَنْكَرَ أَهْلُ الْعِرَاقِ ذَلِكَ عَنْهُ، وَرَوَوْا عَنْهُ تحريمه لما انْتَقَلَ ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ عَنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِلَى مَذْهَبِ مَالِكٍ حَكَى عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ: لَيْسَ فِي إِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ حَدِيثٌ ثَابِتٌ، وَالْقِيَاسُ يَقْتَضِي جَوَازُهُ، يُرِيدُ ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ بِذَلِكَ نُصْرَةَ مَالِكٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّبِيعُ فَقَالَ كَذَبَ، وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى تَحْرِيمِهِ فِي سِتَّةِ كُتُبٍ.
Ibn al-Qāsim berkata, Mālik berkata: Aku tidak pernah menemui seorang pun yang aku jadikan panutan dalam agamaku yang ragu bahwa hal itu halal. Namun, penduduk Irak mengingkari hal itu darinya, dan mereka meriwayatkan darinya bahwa ia mengharamkannya. Ketika Ibn ‘Abd al-Ḥakam berpindah dari mazhab Syāfi‘ī ke mazhab Mālik, ia meriwayatkan dari Syāfi‘ī bahwa beliau berkata: “Tidak ada hadis yang sahih tentang menggauli wanita di dubur mereka, dan qiyās menunjukkan kebolehannya.” Ibn ‘Abd al-Ḥakam bermaksud membela Mālik dengan hal itu. Maka berita itu sampai kepada ar-Rabī‘, lalu ia berkata: “Dia berdusta! Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, sungguh Syāfi‘ī telah menegaskan keharamannya dalam enam kitab.”
وَاسْتَدَلَّ مَنْ ذَهَبَ إِلَى إِبَاحَتِهِ بِمَا رَوَاهُ مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ رَجُلًا أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا فَوَجَدَ فِي ذَلِكَ وَجْدًا شَدِيدًا فَأَنْزَلَ الله تعالى: تَعَالَى {نِسَاؤُكُمْ حَرْثُ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) {البقرة: 223) . وَقَالَ تَعَالَى: {أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ العَالَمِينَ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أزْوَاجِكُمْ) {الشعراء: 165 – 166) . فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ أَبَاحَ مِنَ الْأَزْوَاجِ مثل ما حظر مِنَ الذُّكْرَانِ وَقَالَ تَعَالَى: {هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ) {البقرة: 187) . فَدَلَّ عَلَى أَنَّ جَمِيعَهُنَّ لِبَاسٌ يُسْتَمْتَعُ بِهِ عَلَى عُمُومِهِ، وَلِأَنَّهُ لَوِ اسْتَثْنَاهُ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ فَسَدَ، وَلَوْ أَوْقَعَ عَلَيْهِ الطَّلَاقَ سَرَى إِلَى الْبَاقِي فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ مَقْصُودٌ بِالِاسْتِمْتَاعِ، وَلِأَنَّهُ أحد الفرجين فجاز إتيانه كالقبل، ولأنه ما سَاوَى الْقُبُلَ فِي كَمَالِ الْمَهْرِ، وَتَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ، وَوُجُوبِ الْحَدِّ سَاوَاهُ فِي الْإِبَاحَةِ.
Orang yang berpendapat tentang kebolehannya berdalil dengan riwayat Malik dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar: bahwa seorang laki-laki mendatangi istrinya dari belakangnya, lalu ia merasakan kenikmatan yang sangat kuat dalam hal itu, maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: {Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja kamu kehendaki} (al-Baqarah: 223). Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Apakah kalian mendatangi laki-laki di antara umat manusia, dan kalian tinggalkan apa yang telah diciptakan Tuhan kalian untuk kalian dari istri-istri kalian} (asy-Syu‘ara: 165-166). Maka ini menunjukkan bahwa Allah membolehkan dari para istri seperti apa yang Dia haramkan dari laki-laki. Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka} (al-Baqarah: 187). Maka ini menunjukkan bahwa seluruh istri adalah pakaian yang dinikmati secara umum. Dan karena jika hal itu dikecualikan dari akad nikah, maka akadnya menjadi rusak. Dan jika dijatuhkan talak atasnya, maka talak itu berlaku pada seluruhnya. Maka ini menunjukkan bahwa ia memang dimaksudkan untuk dinikmati. Dan karena ia adalah salah satu dari dua kemaluan, maka boleh didatangi sebagaimana qubul (kemaluan depan). Dan karena ia setara dengan qubul dalam hal sempurnanya mahar, haramnya mushaharah (pernikahan karena hubungan mahram), dan wajibnya had, maka ia juga setara dalam kebolehan.
وَدَلِيلُنَا: قَوْله تعالى: {وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ المَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذَى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي المَحِيضِ) {البقرة: 222) . فحرم الوطء في الْحَيْضِ لِأَجْلِ الْأَذَى فَكَانَ الدُّبُرُ أَوْلَى بِالتَّحْرِيمِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ أَذًى، ثُمَّ قَالَ: {فَإذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أمَرَكُمْ اللهَ} (البقرة: 222) . يَعْنِي فِي الْقُبُلِ فَدَلَّ عَلَى تَحْرِيمِ إِتْيَانِهَا فِي الدُّبُرِ.
Dalil kami: firman Allah Ta‘ala: {Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: itu adalah kotoran, maka jauhilah wanita pada waktu haid} (al-Baqarah: 222). Maka Allah mengharamkan hubungan badan saat haid karena adanya gangguan, maka dubur lebih utama untuk diharamkan karena lebih besar gangguannya. Kemudian Allah berfirman: {Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu} (al-Baqarah: 222). Maksudnya adalah di qubul, maka ini menunjukkan haramnya mendatangi istri dari dubur.
وَرَوَى مُسْلِمُ بْنُ سَلَّامٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ طَلْقٍ أَنْ أَعْرَابِيًّا سَأَلَ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: ” إِنَّا نَكُونُ بِالْفَلَاةِ فَنَجِدُ الرُّوَيْحَةً، وَالْمَاءُ قليل، فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ وَخَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ: لا تأتوا النساء في أعجازهن فإن الله لا يستحي من الحق.
Muslim bin Sallam meriwayatkan dari ‘Ali bin Thalq bahwa seorang Arab Badui bertanya kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Kami sering berada di padang pasir, lalu kami mencium bau (kentut), sementara air sedikit.” Maka beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian kentut, hendaklah ia berwudhu.” Dan beliau berkhutbah di hadapan orang-orang seraya bersabda: “Janganlah kalian mendatangi istri-istri kalian dari belakang, karena Allah tidak malu terhadap kebenaran.”
وروى سهل بْنُ أَبِي صَالِحٍ عَنْ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” استحيوا من الله فإن الله لا يستحي من الحق، لا تأتوا النساء في حشوشهن “.
Sahl bin Abi Shalih meriwayatkan dari Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Malulah kalian kepada Allah, karena Allah tidak malu terhadap kebenaran. Janganlah kalian mendatangi istri-istri kalian di tempat kotoran mereka.”
وروى حجاج بْنِ أَرْطَأَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ عبد الله بن هرمي عَنْ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنَ الْحَقِّ لا تأتوا النساء في أدبارهن “.
Hajjaj bin Artha’ah meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ‘Abdullah bin Harami dari Khuzaimah bin Tsabit, ia berkata: Aku mendengar Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Janganlah kalian mendatangi istri-istri kalian dari dubur mereka.”
قَالَ: مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.
Beliau bersabda: “Terlaknatlah orang yang mendatangi istrinya dari duburnya.”
وَرَوَى قَتَادَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سئل: عن إتياه النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ فَقَالَ: إِنَّهَا اللُّوطِيَّةُ الصُّغْرَى.
Qatadah meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ditanya tentang mendatangi istri-istri dari dubur mereka, maka beliau bersabda: “Itulah liwath kecil (liwath sughra).”
وروى يوسف بن ماهك عن أم حبيبة زوج النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَتْ: أَتَتِ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ: إِنْ زَوَّجَهَا يَأْتِيهَا وَهِيَ مُدْبِرَةٌ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: لَا بَأْسَ إِذَا كَانَ فِي صِمَامٍ وَاحِدٍ.
Yusuf bin Mahak meriwayatkan dari Ummu Habibah, istri Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ia berkata: Seorang wanita datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berkata: “Sesungguhnya suaminya mendatanginya dari belakang.” Maka beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak mengapa jika pada satu saluran (qubul).”
وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ تَقُولُ: مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي قُبُلِهَا مِنْ دُبُرِهَا جَاءَ وَلَدُهُ أَحْوَلَ، فأنزل الله تعالى: تَعَالَى {نِسَاؤُكُمْ حَرْثُ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ} (البقرة: 223) . وَأَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” في أي الخربتين أو في الخرزتين أَوْ فِي أَيِّ الْخُصْفَتَيْنِ أَمِنْ دُبُرِهَا فِي قبلها فنعم أم من دُبُرِهَا فِي دُبُرِهَا؟ فَلَا إِنَّ اللَّهَ لَا يستحي من الحق لا تأتوا النساء في أدبارهن ” وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، رَوَى ذَلِكَ عَنْ عَلِيِّ بن أبي طالب، عبد اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَابْنِ مَسْعُودٍ، وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، أما علي سئل عَنْهُ فَقَالَ: {أتَأْتُونَ الفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ العَالَمِينَ} (الأعراف: 80) . وَأَمَّا ابْنُ عَبَّاسٍ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْهُ فَقَالَ: هَذَا يَسْأَلُنِي عَنِ الْكُفْرِ، وَأَمَّا ابْنُ مَسْعُودٍ وَأَبُو الدَّرْدَاءِ فغلطا فِيهِ وَحَرَّمَاهُ، وَلَيْسَ لِمَنْ ذَكَرْنَا مِنَ الصَّحَابَةِ وخالف فَصَارَ إِجْمَاعًا.
Imam Syafi‘i meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa orang-orang Yahudi biasa berkata: “Barang siapa mendatangi istrinya dari depan melalui belakangnya, maka anaknya akan lahir juling.” Maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: {Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu dari mana saja kamu kehendaki} (al-Baqarah: 223). Dan disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu, maka Nabi ﷺ bersabda: “Pada lubang yang mana, atau pada dua manik-manik itu, atau pada dua kantung itu, apakah dari belakangnya ke depan (qubul) maka boleh, atau dari belakang ke belakang (dubur)? Tidak, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, janganlah kalian mendatangi perempuan di duburnya.” Dan karena ini merupakan ijmā‘ para sahabat, hal ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Ibnu Mas‘ud, dan Abu Darda’. Adapun ‘Ali ketika ditanya tentang hal itu, ia berkata: {Apakah kalian mendatangi perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun di antara umat-umat sebelum kalian?} (al-A‘raf: 80). Adapun Ibnu ‘Abbas, ketika ditanya seseorang tentang hal itu, ia berkata: “Ini bertanya kepadaku tentang kekufuran.” Adapun Ibnu Mas‘ud dan Abu Darda’, mereka keliru dalam hal itu dan mengharamkannya. Tidak ada dari para sahabat yang kami sebutkan yang berbeda pendapat, sehingga hal ini menjadi ijmā‘.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ خَالَفَهُمُ ابْنُ عُمَرَ قِيلَ: قَدْ رَوَى عَنْهُ ابْنُهُ سَالِمٌ خِلَافَهُ، وَأَنْكَرَ عَلَى نَافِعٍ مَا رَوَاهُ عَنْهُ، وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ عُثْمَانَ لِنَافِعٍ أَنْتَ رَجُلٌ أعجمي، إنما قال ابن عمر بن دُبُرِهَا فِي قُبُلِهَا، فَصَحَّفْتَ وَقُلْتَ فِي دُبُرِهَا فَأَهْلَكْتَ النِّسَاءَ.
Jika dikatakan: “Ibnu ‘Umar telah berbeda pendapat dengan mereka,” maka dijawab: “Putranya, Salim, meriwayatkan sebaliknya dari beliau, dan ia mengingkari apa yang diriwayatkan Nafi‘ darinya.” Al-Hasan bin ‘Utsman berkata kepada Nafi‘: “Engkau adalah seorang ‘ajam (non-Arab), sesungguhnya Ibnu ‘Umar berkata: ‘dari belakangnya ke depan (qubul)’, lalu engkau salah ucap dan mengatakan ‘di duburnya’, sehingga engkau membinasakan para perempuan.”
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ إِنَّهُ إِتْيَانٌ فوجب أن يكن مُحَرَّمًا كَاللِّوَاطِ، وَلِأَنَّهُ أَذًى مُعْتَادٌ فَوَجَبَ أَنْ يحرم الْإِصَابَةُ فِيهِ كَالْحَيْضِ، وَلَا يَدْخُلَ عَلَيْهِ وَطْءُ الْمُسْتَحَاضَةِ، لِأَنَّهُ نَادِرٌ.
Dari segi qiyās, perbuatan itu adalah suatu bentuk hubungan seksual, maka wajib hukumnya diharamkan seperti liwāṭ (homoseksual). Karena perbuatan itu adalah suatu bentuk gangguan yang sudah dikenal, maka wajib diharamkan sebagaimana hubungan saat haid. Adapun hubungan dengan perempuan yang mengalami istihāḍah (pendarahan di luar haid), tidak termasuk dalam hal ini karena itu jarang terjadi.
فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ} فَقَدْ رَوَى جَابِرٌ إِنَّ سَبَبَ نُزُولِهَا مَا ذَكَرَتْهُ الْيَهُودُ: أَنَّ مَنْ أَتَى امْرَأَةً مِنْ دُبُرِهَا فِي قُبُلِهَا جَاءَ وَلَدُهُ أَحْوَلَ.
Adapun dalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Istri-istrimu adalah ladang bagimu}, Jabir meriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh orang-orang Yahudi: bahwa siapa yang mendatangi istrinya dari belakang ke depan (qubul), maka anaknya akan lahir juling.
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَهِمَ ابْنُ عُمَرَ فِي ذَلِكَ إِنَّمَا نَزَلَتْ فِيمَنْ وَطَءَ فِي الْفَرْجِ مِنْ خلفها، وحكي عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلِيٍّ أَنَّ سَبَبَ نُزُولِهَا أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – جَلَسُوا يَوْمًا مَعَ قَوْمٍ مِنَ الْيَهُودِ، فَجَعَلَ بَعْضُهُمْ يَقُولُ إِنِّي لَآتِي امْرَأَتِي وَهِيَ مُضْطَجِعَةٌ، وَيَقُولُ الْآخَرُ إِنِّي لَآتِيهَا وَهِيَ قَائِمَةٌ، وَيَقُولُ الْآخَرُ إِنِّي لَآتِيهَا وَهِيَ عَلَى جَنْبِهَا، وَيَقُولُ الْآخَرُ إِنِّي لَآتِيهَا وَهِيَ بَارِكَةٌ، فَقَالَ الْيَهُودِيُّ مَا أَنْتُمْ إِلَّا أَمْثَالُ الْبَهَائِمِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ عَلَى أَنَّ قَوْلَهُ: {حَرْثٌ لَكُمْ} والحرث هو من مزرع الأولاد في القبل، دليل على أَنَّ الْإِبَاحَةَ تَوَجَّهَتْ إِلَيْهِ دُونَ الدُّبُرِ الَّذِي ليس بموضع حرث، ولا من مُزْدَرِعٍ لِذَلِكَ. وَأَمَّا قَوْله تَعَالَى: {أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ منَ العَالَمِينَ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ) {الشعراء: 165 – 166) فَمَعْنَاهُ أَتَأْتُونَ الْمَحْظُورَ مِنَ الذُّكْرَانِ، وَتَذَرُوَنَ الْمُبَاحَ مِنْ فُرُوجِ النِّسَاءِ وقَوْله تَعَالَى: {هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ) {البقرة: 187) . فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Ibnu ‘Abbas berkata: “Ibnu ‘Umar keliru dalam hal itu, sesungguhnya ayat itu turun mengenai orang yang berhubungan di farj (qubul) dari arah belakang.” Diriwayatkan dari Nabi ﷺ dan ‘Ali bahwa sebab turunnya ayat ini adalah bahwa sekelompok sahabat Rasulullah ﷺ suatu hari duduk bersama sekelompok orang Yahudi, lalu sebagian mereka berkata: ‘Aku mendatangi istriku saat ia berbaring’, yang lain berkata: ‘Aku mendatanginya saat ia berdiri’, yang lain berkata: ‘Aku mendatanginya saat ia miring’, yang lain berkata: ‘Aku mendatanginya saat ia duduk berlutut’, lalu orang Yahudi itu berkata: ‘Kalian tidak lain hanyalah seperti binatang ternak.’ Maka Allah menurunkan ayat ini, bahwa firman-Nya: {ladang bagimu}, dan ladang adalah tempat menanam anak di qubul, menjadi dalil bahwa kebolehan itu hanya berlaku pada qubul, bukan pada dubur yang bukan tempat bercocok tanam dan bukan tempat menanam anak. Adapun firman Allah Ta‘ala: {Apakah kalian mendatangi laki-laki di antara umat manusia dan kalian tinggalkan apa yang diciptakan Tuhan kalian untuk kalian dari istri-istri kalian} (asy-Syu‘ara: 165-166), maknanya adalah: Apakah kalian mendatangi yang terlarang dari laki-laki dan meninggalkan yang halal dari farj perempuan. Dan firman-Nya Ta‘ala: {Mereka adalah pakaian bagimu} (al-Baqarah: 187), terdapat dua tafsir:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ اللِّبَاسَ السَّكَنُ كَقَوْلِهِ: {وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمْ اللَّيْلَ لِبَاساً} (الفرقان: 47) . أَيْ سَكَنًا.
Pertama: bahwa pakaian itu bermakna tempat tinggal, sebagaimana firman-Nya: {Dan Dialah yang menjadikan malam bagi kalian sebagai pakaian} (al-Furqan: 47), yakni sebagai tempat tinggal.
وَالثَّانِي: أَنْ بَعْضَهُمْ يَسْتُرُ بَعْضًا كَاللِّبَاسِ وَلَيْسَ فِي ذَلِكَ عَلَى التَّأْوِيلَيْنِ دَلِيلٌ لَهُمْ.
Kedua: bahwa sebagian mereka menutupi sebagian yang lain seperti pakaian, dan pada kedua tafsir tersebut tidak terdapat dalil bagi mereka.
وَأَمَّا فَسَادُ الْعَقْدِ بِاسْتِثْنَائِهِ وَسَرَائِهِ الطَّلَاقُ بِهِ فَقَدْ يَفْسُدُ الْعَقْدُ بِاسْتِثْنَاءِ كُلِّ عُضْوٍ لَا يَصِحُّ الِاسْتِمْتَاعُ بِهِ مِنْ فُؤَادِهَا، وَكَبِدِهَا، وَيَسْرِي مِنْهُ الطَّلَاقُ إِلَى جَمِيعِ بَدَنِهَا وَلَا يَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهِ، فَكَذَلِكَ الدُّبُرُ.
Adapun kerusakan akad karena pengecualian dan pengaruhnya terhadap talak, maka akad bisa menjadi rusak jika dikecualikan setiap anggota tubuh yang tidak sah untuk dinikmati, seperti jantungnya, hatinya, dan talak yang terjadi darinya menjalar ke seluruh tubuhnya, dan hal itu tidak menunjukkan kebolehan menikmati anggota tersebut. Demikian pula halnya dengan dubur.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْقُبُلِ فَالْمَعْنَى فِيهِ: أَنَّهُ لَا أَذَى فِيهِ.
Adapun qiyās mereka terhadap qubul, maka maksudnya adalah: bahwa tidak ada bahaya di dalamnya.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ كَمَالِ الْمَهْرِ، وَتَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ ذَلِكَ يَخْتَصُّ بِمُبَاحِ الْوَطْءِ دُونَ مَحْظُورِهِ أَلَا تَرَاهُ يَتَعَلَّقُ بِالْوَطْءِ فِي الْحَيْضِ، وَالْإِحْرَامِ وَالصِّيَامِ، وإن كان محظوراً فكذلك في هذا.
Adapun dalil mereka yang berkaitan dengan kesempurnaan mahar dan haramnya muṣāharah, maka itu tidak benar, karena hal tersebut khusus untuk wath’i yang mubah, bukan yang terlarang. Bukankah engkau melihat bahwa hal itu juga terkait dengan wath’i saat haid, ihram, dan puasa, padahal itu terlarang? Maka demikian pula dalam masalah ini.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَأَمَّا التَّلَذُّذُ بِغَيْرِ إيلاجٍ بَيْنَ الْأَلْيَتَيْنِ فَلَا بَأْسَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Adapun menikmati selain dengan memasukkan (kemaluan) di antara kedua pantat, maka tidak mengapa.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ) {المؤمنون: 5 – 6) الْآيَةَ، وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَمِنْ دُبُرِهَا فِي قُبُلِهَا فَنَعَمْ، إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ ” فَدَلَّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّلَذُّذِ بِمَا بَيْنَ الْأَلْيَتَيْنِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka} (al-Mu’minun: 5-6), dan sabda Nabi ﷺ: “Dari duburnya ke qubulnya, maka iya, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran.” Maka ini menunjukkan kebolehan menikmati apa yang ada di antara kedua pantat.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا عَزْلُ المني عن الْفَرْجِ عِنْدَ الْوَطْءِ فِيهِ، فَإِنْ كَانَ فِي الإماء جاز من غير استئذانهن فيه لِرِوَايَةِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نُصِيبُ السَّبَايَا، وَنُحِبُّ الْأَثْمَانَ أَفَنَعْزِلُ عَنْهُنَّ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا قَضَى خَلْقَ نَسْمَةٍ خَلَقَهَا فَإِنْ شِئْتُمْ فَاعْزِلُوا ” وَلِأَنَّ فِي الْعَزْلِ عنها استبقاء لرقها، وامتناع مِنَ الْإِفْضَاءِ إِلَى عِتْقِهَا فَجَازَ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ تَدْبِيرِهَا، وَإِنْ كَانَتْ حُرَّةً لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَعْزِلَ عَنْهَا إِلَّا بِإِذْنِهَا.
Adapun ‘azl (mengeluarkan mani) dari farji saat berhubungan, jika dilakukan pada budak perempuan maka boleh tanpa meminta izin mereka, berdasarkan riwayat Abu Sa‘id al-Khudri bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, kami mendapatkan tawanan wanita dan kami menyukai harta, bolehkah kami melakukan ‘azl terhadap mereka?” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala apabila telah menetapkan penciptaan suatu jiwa, maka Dia akan menciptakannya. Jika kalian mau, lakukanlah ‘azl.” Dan karena dalam ‘azl terhadap mereka terdapat upaya mempertahankan status budaknya, serta mencegah terjadinya sebab yang mengantarkan kepada pembebasan mereka, maka hal itu boleh sebagaimana boleh menahan diri dari mentadbirkan mereka. Namun jika perempuan itu merdeka, maka tidak boleh melakukan ‘azl kecuali dengan izinnya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْحَقَّ فِي وَلَدِ الْحُرَّةِ مُشْتَرِكٌ بَيْنَهُمَا وَفِي وَلَدِ الْأَمَةِ يَخْتَصُّ السيد دونها.
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa hak atas anak dari perempuan merdeka dimiliki bersama oleh keduanya, sedangkan hak atas anak dari budak perempuan khusus bagi tuannya, bukan bagi budak itu.
فصل: القول في حكم الإستمناء باليد
Fasal: Pembahasan tentang hukum istimnā’ (onani) dengan tangan
فأما الإستمناء باليد وَهُوَ اسْتِدْعَاءُ الْمَنِيِّ بِالْيَدِ فَهُوَ مَحْظُورٌ، وَقَدْ حكى الشافعي عن بعض الفقهاء إباحته، وأباح قوم في السفر دون الحظر، وَهُوَ خَطَأٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ) {المؤمنون: 5 – 6) الْآيَةَ فَحَظَرَ مَا سوء الزَّوْجَاتِ وَمِلْكِ الْيَمِينِ، وَجَعَلَ مُبْتَغِي مَا عَدَاهُ عَادِيًا مُتَعَدِّيًا، لِقَوْلِهِ: {فَمَنْ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولِئَكَ هُمُ العَادُونَ) {المؤمنون: 7) . وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَعَنَ اللَّهُ النَّاكِحَ يَدَهُ “، وَلِأَنَّهُ ذَرِيعَةٌ إِلَى تَرْكِ النِّكَاحِ، وَانْقِطَاعِ النَّسْلِ فَاقْتَضَى أن يكون محرماً كاللواط.
Adapun istimnā’ dengan tangan, yaitu mengeluarkan mani dengan tangan, maka itu terlarang. Imam Syafi‘i meriwayatkan dari sebagian fuqaha’ yang membolehkannya, dan ada pula yang membolehkan dalam perjalanan saja, namun ini adalah kesalahan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka} (al-Mu’minun: 5-6), maka Allah melarang selain dari istri dan budak yang dimiliki, dan menjadikan siapa yang mencari selain itu sebagai orang yang melampaui batas, sebagaimana firman-Nya: {Barang siapa mencari selain itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas} (al-Mu’minun: 7). Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Allah melaknat orang yang menikahi tangannya sendiri.” Dan karena hal itu merupakan jalan menuju meninggalkan pernikahan dan terputusnya keturunan, maka sudah sepatutnya diharamkan seperti liwāṭ.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن أَصَابَهَا فِي الدُّبُرِ لَمْ يُحْصِنْهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang suami menyetubuhi istrinya di dubur, maka ia tidak menjadikannya muḥṣanah (terjaga kehormatannya).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.
لِأَنَّ الْإِحْصَانَ كَمَالٌ فَلَمْ يَثْبُتْ إِلَّا بِوَطْءٍ كَامِلٍ وَهُوَ الْقُبُلُ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَحَصَّنْ بِوَطْءِ الْإِمَاءِ، وَإِنْ كان مباحاً اعتباراً بأكمله فِي الْحَرَائِرِ كَانَ بِأَنْ لَا يَتَحَصَّنَ بِالْوَطْءِ المحرم في الدبر أولى، وجملة أحكام الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِالْوَطْءِ ثَلَاثَةُ أَضْرُبٍ:
Karena iḥṣān adalah suatu kesempurnaan, maka tidak ditetapkan kecuali dengan wath’i yang sempurna, yaitu di qubul. Dan karena tidak menjadi muḥṣan dengan menyetubuhi budak perempuan, meskipun itu mubah, sebagai pertimbangan terhadap yang lebih sempurna pada perempuan merdeka, maka lebih utama lagi tidak menjadi muḥṣan dengan wath’i yang haram di dubur. Secara umum, hukum-hukum yang berkaitan dengan wath’i terbagi menjadi tiga jenis:
أَحَدُهَا: مَا يختص بالوطء في القبل (لا يثبت بالوطء في الدبر) .
Pertama: Hukum yang khusus untuk wath’i di qubul (tidak berlaku untuk wath’i di dubur).
والثاني: (إحلالها) دون الدُّبُرِ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَحْكََامٍ:
Kedua: (Menghalalkan istri) kecuali di dubur, dan ini ada tiga hukum:
أَحَدُهَا: الْإِحْصَانُ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ، وَلَا يَثْبُتُ بِالْوَطْءِ فِي الدُّبُرِ.
Pertama: Iḥṣān tidak ditetapkan kecuali dengan wath’i di qubul, dan tidak ditetapkan dengan wath’i di dubur.
وَالثَّانِي: إِحْلَالُهَا لِلزَّوْجِ الْمُطَلِّقِ ثَلَاثًا لَا يَكُونُ إِلَّا بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ دُونَ الدُّبُرِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا ” وَالْعُسَيْلَةُ فِي الْقُبُلِ.
Kedua: Halalnya seorang perempuan bagi suami yang telah mentalaknya tiga kali tidak terjadi kecuali dengan persetubuhan di qubul (kemaluan depan), bukan di dubur (kemaluan belakang), berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak (halal) hingga ia merasakan manisnya madu dan suaminya pun merasakan manisnya madu darinya,” dan yang dimaksud dengan “manisnya madu” adalah di qubul.
وَالثَّالِثُ: سُقُوطُ حُكْمِ الْعُنَّةِ، لَا يَكُونُ إِلَّا بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ دُونَ الدُّبُرِ، لِأَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْمَوْطُوءَةِ فَاخْتَصَّ بِالْفَرْجِ الْمُبَاحِ.
Ketiga: Gugurnya hukum ‘innah (impotensi), tidak terjadi kecuali dengan persetubuhan di qubul, bukan di dubur, karena itu termasuk hak-hak istri yang hanya terkait dengan farj (kemaluan) yang dibolehkan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: يَسْتَوِي فِيهِ الْوَطْءُ فِي الْقُبُلِ، وَالْوَطْءُ فِي الدُّبُرِ، وَهِيَ سَبْعَةُ أَحْكَامٍ:
Golongan kedua: Dalam hal ini, persetubuhan di qubul dan di dubur sama hukumnya, yaitu terdapat tujuh hukum:
أَحَدُهَا: وُجُوبُ الْغُسْلِ بِالْإِيلَاجِ عَلَيْهِمَا.
Pertama: Wajib mandi junub (ghusl) karena terjadinya penetrasi pada keduanya.
وَالثَّانِي: وُجُوبُ الْحَدِّ بِالزِّنَا فِي الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ جَمِيعًا.
Kedua: Wajib hukuman had karena zina, baik di qubul maupun di dubur, semuanya.
وَالثَّالِثُ: كَمَالُ الْمَهْرِ وَوُجُوبُهُ بِالشُّبْهَةِ كَوُجُوبِهِ بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ.
Ketiga: Sempurnanya mahar dan kewajibannya karena syubhat, sebagaimana kewajibannya karena persetubuhan di qubul.
وَالرَّابِعُ: وُجُوبُ الْعِدَّةِ مِنْهُ كَوُجُوبِهَا بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ.
Keempat: Wajibnya masa iddah darinya, sebagaimana wajibnya karena persetubuhan di qubul.
وَالْخَامِسُ: تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ وَيَثْبُتُ بِهِ كَثُبُوتِهِ بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ.
Kelima: Haramnya mushaharah (hubungan mahram karena pernikahan), dan hal itu ditetapkan sebagaimana ditetapkan karena persetubuhan di qubul.
وَالسَّادِسُ: فَسَادُ الْعِبَادَاتِ مِنَ الْحَجِّ، وَالصِّيَامِ، وَالِاعْتِكَافِ يَتَعَلَّقُ بِهِ كَتَعَلُّقِهَا بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ.
Keenam: Rusaknya ibadah seperti haji, puasa, dan i‘tikaf, terkait dengannya sebagaimana terkait dengan persetubuhan di qubul.
وَالسَّابِعُ: وُجُوبُ الْكَفَّارَةِ بِإِفْسَادِ الْحَجِّ وَالصِّيَامِ يَتَعَلَّقُ بِهِ كَتَعَلُّقِهَا بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ.
Ketujuh: Wajibnya kafarah (denda) karena merusak haji dan puasa, terkait dengannya sebagaimana terkait dengan persetubuhan di qubul.
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ، وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ:
Golongan ketiga: Hal-hal yang diperselisihkan oleh para sahabat kami, yaitu tiga hukum:
أَحَدُهَا: الْفَيْئَةُ فِي الْإِيلَاءِ فيها وجهان:
Pertama: Al-fay’ (rujuk) dalam kasus ila’, terdapat dua pendapat:
أحدهما: أن لَا تَكُونَ إِلَّا بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ دُونَ الدُّبُرِ، لِأَنَّهَا مِنْ حُقُوقِ الزَّوْجِيَّةِ فَتَعَلَّقَتْ بِالْوَطْءِ الْمُسْتَبَاحِ بِالْعَقْدِ، وَهُوَ الْقُبُلُ.
Salah satunya: Tidak terjadi kecuali dengan persetubuhan di qubul, bukan di dubur, karena itu termasuk hak-hak pernikahan sehingga terkait dengan persetubuhan yang dibolehkan melalui akad, yaitu di qubul.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهَا تَكُونُ بِالْوَطْءِ فِي الدُّبُرِ، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ به حانثاً ولزمته الكفارة فصار به فائياً.
Pendapat kedua: Itu bisa terjadi dengan persetubuhan di dubur, karena dengan itu ia telah melanggar sumpah dan wajib baginya kafarah, sehingga ia dianggap telah rujuk.
والثاني: العدة في الْوَطْءِ فِي الدُّبُرِ فَإِنْ كَانَ فِي عَقْدِ نِكَاحٍ وَجَبَتْ بِهِ الْعِدَّةُ كَوُجُوبِهَا بِالْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ، لِأَنَّ الْعِدَّةَ فِي النِّكَاحِ قَدْ تَجِبُ بِغَيْرِ وَطْءٍ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ تَجِبَ بِالْوَطْءِ في الدبر، وإن كان بسببه فَفِي وُجُوبِ الْعِدَّةِ فِيهِ وَجْهَانِ:
Kedua: Iddah karena persetubuhan di dubur. Jika terjadi dalam akad nikah, maka wajib iddah sebagaimana wajibnya karena persetubuhan di qubul, karena iddah dalam nikah kadang diwajibkan tanpa persetubuhan, maka lebih utama diwajibkan karena persetubuhan di dubur. Namun jika terjadi karena syubhat, maka dalam kewajiban iddah terdapat dua pendapat:
أحدهما: تجب كوجوبها في النكاح.
Salah satunya: Wajib sebagaimana wajibnya dalam nikah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ – لَا تَجِبُ، لِأَنَّهَا فِي الشُّبْهَةِ تَكُونُ اسْتِبْرَاءً مَحْضًا حِفْظًا لِلنَّسَبِ، وَاسْتِبْرَاءً لِلرَّحِمِ، وَهَذَا الْمَعْنَى مُخْتَصٌّ بِالْقُبُلِ دُونَ الدُّبُرِ.
Pendapat kedua – dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Khairan – tidak wajib, karena dalam syubhat iddah itu hanya sebagai istibra’ murni untuk menjaga nasab dan membersihkan rahim, dan makna ini khusus untuk qubul, bukan dubur.
وَالثَّالِثُ: لُحُوقُ النَّسَبِ مِنَ الْوَطْءِ فِي الدُّبُرِ وَإِنْ كَانَ فِي عَقْدِ نِكَاحٍ لَحِقَ وِإِنْ كَانَ فِي شُبْهَةٍ ففي لحوق النسب به وجهان وإن قيل بوجوب العدة منه كان النسب لَاحِقًا، وَإِنْ قِيلَ لَا تَجِبُ الْعِدَّةُ مِنْهُ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ النَّسَبُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Ketiga: Penyandaran nasab dari persetubuhan di dubur. Jika terjadi dalam akad nikah, maka nasab tetap disandarkan. Jika terjadi karena syubhat, maka dalam penyandaran nasab terdapat dua pendapat. Jika dikatakan iddah wajib darinya, maka nasab pun disandarkan. Namun jika dikatakan iddah tidak wajib darinya, maka nasab tidak disandarkan kepadanya – wallahu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وينهاه الإمام فإن عاد عزره فإن كان في زناً حده وإن كان غاصباً أغرمه المهر وأفسد حجه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Imam (penguasa) hendaknya melarangnya, jika ia mengulangi maka dihukum ta‘zir. Jika dalam kasus zina maka dikenakan had, dan jika ia seorang perampas maka ia dikenakan denda mahar dan hajinya rusak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا فَاعِلُ ذَلِكَ فِي زَوْجَتِهِ أو أمته فإن ينهى ويكف لإقدامه على حرام وارتكابه لمحظور ولا يعاجل فِي أَوَّلِ فَعْلَةٍ بِأَكْثَرَ مِنَ النَّهْيِ فَيُنْهَى الزَّوْجُ مِنَ الْفِعْلِ وَتُنْهَى الزَّوْجَةُ مِنَ التَّمْكِينِ، فإن عاودا ذلك بعد النهي عذراً تَأْدِيبًا وَزَجْرًا، وَلَا حَدَّ فِيهِ لِأَجْلِ الزَّوْجِيَّةِ، فأما فاعله زنى فَعَلَيْهِ الْحَدُّ وَهُوَ حَدُّ اللِّوَاطِ، وَفِيهِ قَوْلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Adapun pelaku perbuatan itu terhadap istrinya atau budaknya, maka hendaknya dilarang dan dicegah karena ia telah melakukan yang haram dan melanggar larangan. Tidak langsung diberi hukuman lebih dari larangan pada perbuatan pertama. Maka suami dilarang melakukan, dan istri dilarang memberi kesempatan. Jika keduanya mengulangi setelah dilarang, maka keduanya dihukum ta‘zir sebagai bentuk pendidikan dan pencegahan. Tidak ada had karena sebab pernikahan. Adapun jika pelakunya berzina, maka dikenakan had, yaitu had liwath, dan dalam hal ini ada dua pendapat:
أحدهما: كحد الزنا جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ إِنْ كَانَ بِكْرًا أَوِ الرَّجْمُ إِنْ كَانَ ثَيِّبًا.
Salah satunya: Seperti had zina, yaitu dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun jika masih lajang, atau dirajam jika sudah menikah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: الْقَتْلُ بِكْرًا كَانَ أَوْ ثَيِّبًا، وَأَمَّا الْمَفْعُولُ بِهَا فَإِنْ كَانَتْ مُطَاوِعَةً فَعَلَيْهَا حَدُّ اللِّوَاطِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ، وَإِنْ كَانَتْ مُكْرَهَةً فَلَا حَدَّ عَلَيْهَا وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا، فَإِنْ قِيلَ: فَلَيْسَ فِي اللِّوَاطِ مَهْرٌ فَكَيْفَ وَجَبَ لِهَذِهِ مَهْرٌ، والفعل معها كاللواط.
Pendapat kedua: Dibunuh, baik masih lajang maupun sudah menikah. Adapun yang menjadi objek (perempuan) jika ia rela, maka dikenakan had liwath menurut kedua pendapat. Jika ia dipaksa, maka tidak ada had atasnya dan ia berhak mendapat mahar seperti perempuan lain. Jika dikatakan: Dalam liwath tidak ada mahar, lalu mengapa ia berhak mendapat mahar, padahal perbuatan dengannya seperti liwath?
قيل: لأن النماء جِنْسٌ يَجِبُ فِي التَّلَذُّذِ بِهِنَّ مَهْرٌ، فَوَجَبَ لَهُنَّ الْمَهْرُ وَالذُّكْرَانُ جِنْسٌ يُخَالِفُونَ النِّسَاءَ فِيهِ فلم يجب لهم مهر – وبالله التوفيق -.
Dikatakan: Karena pertumbuhan (anak perempuan) adalah jenis yang mewajibkan adanya mahar dalam menikmati mereka, maka wajib bagi mereka mendapatkan mahar. Sedangkan laki-laki adalah jenis yang berbeda dengan perempuan dalam hal ini, sehingga tidak wajib bagi mereka mahar. — Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan.
Bab tentang syighar dan hukum-hukum al-Qur’an yang berkaitan dengannya
قَالَ الشافعي رحمه الله: ” وإذا أنكح الرجل ابنته أو المرأة تلي أمرها الرجل على أن ينكحه ابنته أو المرأة تلي أَمْرَهَا عَلَى أَنَّ صَدَاقَ كُلِّ واحدةٍ مِنْهُمَا بُضْعُ الْأُخْرَى وَلَمْ يُسَمِّ لِكِلِّ واحدةٍ مِنْهُمَا صَدَاقًا فَهَذَا الشِّغَارُ الَّذِي نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وهو مفسوخٌ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Apabila seorang laki-laki menikahkan putrinya atau perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki itu menikahkan putrinya atau perempuan yang berada dalam perwaliannya kepadanya, dengan mahar masing-masing dari mereka adalah kemaluan (hak pernikahan) yang lain, dan tidak disebutkan mahar untuk masing-masing dari mereka, maka inilah syighar yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ, dan pernikahan ini batal.”
قال الماوردي: وأما الشِّغَارُ فِي اللُّغَةِ فَهُوَ الْخُلُوُّ، يُقَالُ: بَلَدٌ شَاغِرٌ إِذَا خَلَا مِنْ سُلْطَانٍ، وَأَمْرٌ شَاغِرٌ إذا خلا من مدبر.
Al-Mawardi berkata: Adapun syighar dalam bahasa artinya adalah kekosongan. Dikatakan: “Negeri yang syaghar” jika kosong dari penguasa, dan “urusan yang syaghar” jika kosong dari pengelola.
أصله: مَأْخُوذٌ مِنْ شُغُورِ الْكَلْبِ، يُقَالُ قَدْ شَغَرَ الْكَلْبُ إِذَا رَفَعَ إِحْدَى رِجْلَيْهِ لِلْبَوْلِ لِخُلُوِّ الأرض منها. وحكى الحاجظ أَنَّ شُغُورَ الْكَلْبِ عَلَامَةُ بُلُوغِهِ، وَأَنَّهُ يَبْلُغُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ عُمُرِهِ، وَاسْتَشْهَدَ بِقَوْلِ الشاعر:
Asalnya: diambil dari syughur al-kalb (kebiasaan anjing), dikatakan: “Sungguh anjing itu telah syaghar” jika ia mengangkat salah satu kakinya untuk kencing karena tanah di bawahnya kosong. Al-Jahizh meriwayatkan bahwa syughur al-kalb adalah tanda kedewasaan anjing, dan bahwa anjing mencapai kedewasaan setelah enam bulan usianya, dan ia mengutip syair:
(حتى توفا الستة الشهورا … مِنْ عُمُرِهِ وَبَلَغَ الشُّغُورَا)
(Sampai genap enam bulan … dari usianya dan ia mencapai syughur)
هَذَا قَوْلُ أَبِي عَمْرِو بْنِ الْعَلَاءِ، وَالْأَصْمَعِيِّ، وَأَكْثَرِ أَهْلِ اللُّغَةِ.
Ini adalah pendapat Abu ‘Amr bin al-‘Ala’, al-Ashma‘i, dan mayoritas ahli bahasa.
وَقَالَ ابْنُ الْأَعْرَابِيِّ: سُمِّيَ الشِّغَارُ شِغَارًا لِقُبْحِهِ وَمِنْهُ شُغُورُ الْكَلْبِ لِقُبْحِ مَنْظَرِهِ إِذَا بَالَ مَعَ رَفْعِ رِجْلِهِ.
Ibnu al-A‘rabi berkata: Syighar dinamakan demikian karena keburukannya, dan di antaranya adalah syughur al-kalb karena buruknya pemandangan saat anjing kencing dengan mengangkat kakinya.
وَقَالَ ثَعْلَبٌ: الشِّغَارُ الرَّفْعُ، وَمِنْهُ شُغُورُ الْكَلْبِ.
Ts‘alab berkata: Syighar berarti mengangkat, dan di antaranya adalah syughur al-kalb.
وَالْأَصْلُ فِي الشِّغَارِ مَا رَوَاهُ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الشِّغَارِ.
Adapun asal hukum syighar adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Juraij dari Abu az-Zubair dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata: Rasulullah ﷺ melarang syighar.
وَرَوَى حُمَيْدٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا جَلَبَ وَلَا جَنَبَ وَلَا شغار في الإسلام ” والشغار ما وصفه الشافعي بقول الرَّجُلُ قَدْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي أَوْ وَلِيَّتِي عَلَى أَنْ تُزَوِّجَنِي بِنْتَكَ أَوْ وَلِيَّتَكَ عَلَى أَنْ تضع كل واحد منهما صداق الْأُخْرَى، أَوْ يَقُولُ عَلَى أَنَّ صَدَاقَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بُضْعُ الْأُخْرَى، فَهَذَا هُوَ الشَّغَارُ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ حَدِيثَانِ:
Humaid meriwayatkan dari al-Hasan dari ‘Imran bin Husain dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak ada jalab, tidak ada janab, dan tidak ada syighar dalam Islam.” Syighar adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh asy-Syafi‘i, yaitu seorang laki-laki berkata: “Aku menikahkanmu dengan putriku atau perempuan yang aku wali atasnya dengan syarat engkau menikahkanku dengan putrimu atau perempuan yang engkau wali atasnya, dengan syarat masing-masing dari mereka tidak mendapatkan mahar kecuali kemaluan (hak pernikahan) yang lain.” Inilah syighar yang dilarang, dan dalilnya adalah dua hadits:
أَحَدُهُمَا: مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنِ الشِّغَارِ، وَالشِّغَارُ: أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ الرَّجُلَ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الرَّجُلُ الْآخَرُ ابْنَتَهُ لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ.
Pertama: Diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Malik dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah ﷺ melarang syighar. Syighar adalah seorang laki-laki menikahkan putrinya kepada laki-laki lain dengan syarat laki-laki itu menikahkan putrinya kepadanya, tanpa ada mahar di antara keduanya.
وَالْحَدِيثُ الثَّانِي: رَوَاهُ مَعْمَرٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا شِغَارَ فِي الْإِسْلَامِ، وَالشِّغَارُ أَنْ يَبْذُلَ الرَّجُلُ أُخْتَهُ بِأُخْتِهِ ” وَهَذَا التَّفْسِيرُ مِنَ الرَّاوِي إِمَّا أَنْ يَكُونَ سَمَاعًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَهُوَ نَصٌّ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ عَنْ نَفْسِهِ فهو لعلمه بمخرج الخطاب ومشاهدة الْحَالِ أَعْرَفُ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ.
Hadits kedua: Diriwayatkan oleh Ma‘mar dari Tsabit dari Anas, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada syighar dalam Islam, dan syighar adalah seorang laki-laki menukar saudarinya dengan saudarinya (orang lain).” Penjelasan ini dari perawi, bisa jadi ia mendengarnya langsung dari Rasulullah ﷺ, maka itu adalah nash, atau bisa juga dari dirinya sendiri karena pengetahuannya tentang konteks ucapan dan pengalamannya terhadap keadaan, sehingga ia lebih mengetahui daripada yang lain.
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ نِكَاحَ الشِّغَارِ مَا وَصَفْنَا فَعَقْدُ النِّكَاحِ فِيهِ بَاطِلٌ.
Jika telah jelas bahwa nikah syighar adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka akad nikah dalam bentuk ini adalah batil.
وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ، إِلَّا أَنَّ مَالِكًا جَعَلَ النَّهْيَ فِيهِ مُتَوَجِّهًا إِلَى الصَّدَاقِ وَعِنْدَهُ أَنَّ فَسَادَ الصَّدَاقِ مُوجِبٌ لِفَسَادِ النِّكَاحِ، وَعِنْدَنَا أَنَّ النَّهْيَ فِيهِ مُتَوَجِّهٌ إِلَى النِّكَاحِ دُونَ الصَّدَاقِ، وَإِنَّ فَسَادَ الصَّدَاقِ لَا يُوجِبُ فَسَادَ النِّكَاحِ فَصَارَ مَالِكٌ مُوَافِقًا فِي الْحُكْمِ مُخَالِفًا فِي مَعْنَى النَّهْيِ.
Demikian pula pendapat Malik, Ahmad, dan Ishaq, kecuali bahwa Malik menganggap larangan itu tertuju pada mahar, dan menurutnya rusaknya mahar menyebabkan rusaknya pernikahan. Sedangkan menurut kami, larangan itu tertuju pada pernikahan, bukan pada mahar, dan rusaknya mahar tidak menyebabkan rusaknya pernikahan. Maka Malik sepakat dalam hukum, namun berbeda dalam makna larangan.
وَقَالَ أبو حنيفة: نكاح الشغار جائز والنهي فيه مُتَوَجِّهٌ إِلَى الصَّدَاقِ دُونَ النِّكَاحِ، وَفَسَادُ الصَّدَاقِ لَا يُوجِبُ فَسَادَ النِّكَاحِ فَصَارَ مُخَالِفًا لِمَالِكٍ فِي الْحُكْمِ مُوَافِقًا لَهُ فِي مَعْنَى النَّهْيِ.
Abu Hanifah berkata: Nikah syighar boleh, dan larangannya tertuju pada mahar, bukan pada pernikahan. Rusaknya mahar tidak menyebabkan rusaknya pernikahan. Maka ia berbeda dengan Malik dalam hukum, namun sepakat dengannya dalam makna larangan.
وَبِهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّهْيَ مُتَوَجِّهٌ إِلَى الصَّدَاقِ، لِأَنَّهُ لَوْ قَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا: قَدْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى أَنْ تُزَوِّجَنِي بِنْتَكَ كَانَ النِّكَاحُ جَائِزًا، وَإِنَّمَا أُبْطِلُهُ إِذَا قَالَ: عَلَى أَنَّ صَدَاقَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بُضْعُ الْأُخْرَى، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ النَّهْيَ تَوَجَّهَ إِلَى الصَّدَاقِ وَفَسَادُهُ لَا يُوجِبُ فَسَادَ النِّكَاحِ كَمَا لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقٍ مِنْ خَمْرٍ، أَوْ خِنْزِيرٍ، وَلِأَنَّهُ لَوْ قَالَ: قَدْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى أَنَّ صَدَاقَهَا طَلَاقُ امْرَأَتِكَ صَحَّ النِّكَاحُ، وَإِنْ جَعَلَ الصَّدَاقَ بُضْعَ زَوْجَتِهِ فَكَذَلِكَ فِي مَسْأَلَتِنَا قَالُوا: وَلِأَنَّكُمْ جَوَّزْتُمُ النِّكَاحَ إذا سمى لهما أو لأحدهما صداقاً فكذلك وإن لم يسميه، لأنه تَرْكَ الصَّدَاقِ فِي الْعَقْدِ الصَّحِيحِ لَا يُوجِبُ فَسَادَهُ، كَمَا أَنَّ ذِكْرَهُ فَيَ الْعَقْدِ الْفَاسِدِ لَا يُوجِبُ صِحَّتَهُ.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh az-Zuhri dan ats-Tsauri, dengan alasan bahwa larangan itu ditujukan kepada mahar, karena jika masing-masing dari keduanya berkata: “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan syarat engkau menikahkanku dengan putrimu,” maka akad nikahnya sah. Namun, akad itu menjadi batal jika dikatakan: “Dengan syarat mahar masing-masing dari keduanya adalah kemaluan yang lain.” Hal ini menunjukkan bahwa larangan itu tertuju pada mahar, dan kerusakan pada mahar tidak menyebabkan rusaknya akad nikah, sebagaimana jika seseorang menikahi wanita dengan mahar berupa khamr atau babi. Dan jika seseorang berkata: “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan mahar berupa talak istrimu,” maka nikahnya sah. Jika ia menjadikan mahar berupa kemaluan istri, maka demikian pula dalam masalah kita ini. Mereka berkata: “Dan karena kalian membolehkan akad nikah jika disebutkan mahar untuk keduanya atau salah satunya, maka demikian pula jika tidak disebutkan, karena meninggalkan penyebutan mahar dalam akad yang sah tidak menyebabkan batalnya akad, sebagaimana penyebutan mahar dalam akad yang batil tidak menyebabkan sahnya akad.”
وَدَلِيلُنَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ نهي النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَالنَّهْيُ عِنْدَنَا يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ مَا لَمْ يَصْرِفْ عَنْهُ دَلِيلٌ.
Dalil kami adalah apa yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu larangan Nabi ﷺ, dan menurut kami, larangan menunjukkan batalnya perkara yang dilarang selama tidak ada dalil yang memalingkannya.
فَإِنْ قَالُوا: قَدْ فَسَدَ بِالنَّهْيِ مَا تَوَجَّهَ إِلَيْهِ وَهُوَ الصَّدَاقُ دُونَ النِّكَاحِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
Jika mereka berkata: “Yang rusak karena larangan itu hanyalah yang dituju, yaitu mahar, bukan akad nikah,” maka ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّهْيَ تَوَجَّهَ إِلَى النِّكَاحِ لِمَا رَوَاهُ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” نهى عن نكاح الشغار “.
Pertama: Bahwa larangan itu tertuju pada akad nikah, berdasarkan riwayat Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ “melarang nikah syighar.”
والثاني: أنه يجمل عَلَى عُمُومِ الْأَمْرَيْنِ.
Kedua: Bahwa larangan itu mencakup kedua perkara secara umum.
فَإِنْ قَالُوا: إِنَّمَا سُمِّيَ شِغَارًا لِخُلُوِّهِ مِنْ صَدَاقٍ، وَنَحْنُ لَا نُخَلِّيهِ لِأَنَّنَا نُوجِبُ فِيهِ صَدَاقَ الْمِثْلِ فَامْتَنَعَ أَنْ يكون شغار.
Jika mereka berkata: “Disebut syighar karena tidak adanya mahar, sedangkan kami tidak membiarkannya tanpa mahar karena kami mewajibkan mahar mitsil di dalamnya, sehingga tidak mungkin disebut syighar.”
قِيلَ: هَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّهُ لَيْسَ يَمْنَعُ مَا أَوْجَبْتُمُوهُ مِنَ الصَّدَاقِ بَعْدَ الْعَقْدِ مِنْ أَنْ يكون نكاح الشغار وقت العقد قد تَوَجَّهَ النَّهْيُ إِلَيْهِ فَاقْتَضَى فَسَادَهُ.
Dijawab: Ini tidak benar, karena apa yang kalian wajibkan berupa mahar setelah akad tidak mencegah bahwa pada saat akad nikah syighar itu larangan telah tertuju kepadanya sehingga menyebabkan batalnya akad.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ مَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ عقد فيه مثنوية، وَمَعْنَاهُ: أَنَّهُ مَلَّكَ الزَّوْجَ بُضْعَ بِنْتِهِ بِالنِّكَاحِ أو ارْتَجَعَهُ مِنْهُ بِأَنْ جَعْلَهُ مَلِكًا لِبِنْتِ الزَّوْجِ بِالصَّدَاقِ، وَهَذَا مُوجِبٌ لِفَسَادِ النِّكَاحِ، كَمَا لَوْ قَالَ: زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى أَنْ يَكُونَ بُضْعُهَا مِلْكًا لِفُلَانٍ، كَانَ النِّكَاحُ فَاسِدًا بِالْإِجْمَاعِ، كَذَلِكَ هذا بالحجاج وتحريره: أنه جعل المقصود لِغَيْرِ الْمَعْقُودِ لَهُ، فَوَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ قِيَاسًا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ قَوْلِهِ: زَوَّجْتُكَ بِنْتِي على أن يكون بضعها لفلان، ولأن جَعَلَ الْمَعْقُودَ عَلَيْهِ مَعْقُودًا بِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا كَمَا لَوْ زَوَّجَ بِنْتَهُ بِعَبْدٍ عَلَى أَنْ تَكُونَ رَقَبَتُهُ صَدَاقَهَا، وَلِأَنَّ الْعَيْنَ الْوَاحِدَةَ إِذَا جُعِلَتْ عِوَضًا وَمُعَوَّضًا، فَإِذَا بَطَلَ أَنْ تَكُونَ عِوَضًا بَطَلَ أَنْ تَكُونَ مُعَوَّضًا كَالثَّمَنِ وَالْمُثَمَّنِ فِي الْبَيْعِ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ قَدْ بِعْتُكَ عَبْدِي بألفٍ عَلَى أَنْ يَكُونَ ثَمَنًا لِبَيْعِ دَارِكَ عَلَيَّ.
Dari sisi qiyās, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syafi‘i dalam pendapat lama, bahwa dalam akad tersebut terdapat unsur dua kepemilikan. Maksudnya: Ia menjadikan suami memiliki kemaluan putrinya melalui akad nikah, atau ia mengambilnya kembali dari suami dengan menjadikannya sebagai milik putri suami sebagai mahar. Hal ini menyebabkan rusaknya akad nikah, sebagaimana jika seseorang berkata: “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan syarat kemaluannya menjadi milik si Fulan,” maka akad nikahnya batal menurut ijmā‘. Demikian pula halnya di sini, dengan argumentasi dan penjelasannya: ia menjadikan tujuan akad untuk selain orang yang diakadkan, maka wajib batal dengan qiyās atas apa yang telah kami sebutkan dari ucapannya: “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan syarat kemaluannya menjadi milik si Fulan.” Dan karena ia menjadikan objek akad sekaligus sebagai alat akad, maka wajib batal sebagaimana jika seseorang menikahkan putrinya dengan seorang budak dengan syarat leher budak itu menjadi maharnya. Dan karena satu benda jika dijadikan sebagai pengganti dan yang digantikan sekaligus, maka jika batal sebagai pengganti, batal pula sebagai yang digantikan, sebagaimana harga dan barang dalam jual beli, yaitu jika seseorang berkata: “Aku jual budakku kepadamu seharga seribu, dengan syarat harga itu menjadi pembayaran untuk pembelian rumahmu olehku.”
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الْفَسَادَ فِي الصَّدَاقِ، لِأَنَّهُ لَوْ قَالَ: قَدْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى أَنْ تُزَوِّجَنِي بِنْتَكَ كَانَ النِّكَاحُ جَائِزًا، فَهُوَ أَنَّ الْفَسَادَ إِنَّمَا كَانَ فِي الشِّغَارِ لِلِاشْتِرَاكِ فِي الْبُضْعِ، وَفِي هَذَا الْمَوْضِعِ لَا يَكُونُ فِي الْبُضْعِ اشْتِرَاكٌ فَصَحَّ، أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ: زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى أَنْ تُزَوِّجَنِي بِنْتَكَ عَلَى أَنَّ بُضْعَ بِنْتِي صَدَاقٌ لِبِنْتِكَ، بَطَلَ نِكَاحُ بِنْتِهِ، لأنه حصل في بضعها اشتراكاً، وَلَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُ الْأُخْرَى، لِأَنَّهُ لَمْ يَحْصُلْ في بعضها اشتراكاً.
Adapun jawaban atas argumentasi mereka bahwa kerusakan itu hanya pada mahar, karena jika seseorang berkata: “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan syarat engkau menikahkanku dengan putrimu,” maka akad nikahnya sah, maka jawabannya adalah bahwa kerusakan pada syighar itu terjadi karena adanya unsur saling berbagi dalam kemaluan, sedangkan dalam kasus tersebut tidak terjadi saling berbagi, sehingga akadnya sah. Bukankah jika seseorang berkata: “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan syarat engkau menikahkanku dengan putrimu, dengan syarat kemaluan putriku menjadi mahar bagi putrimu,” maka batal nikah putrinya, karena terjadi saling berbagi dalam kemaluannya, dan tidak batal nikah yang satunya, karena tidak terjadi saling berbagi dalam kemaluannya.
وأما استلاله بِأَنَّهُ لَوْ جَعَلَ صَدَاقَ بِنْتِهِ طَلَاقَ زَوْجَتِهِ صح فكذلك هاهنا فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ فَسَادٌ اخْتَصَّ بِالْمَهْرِ وَلَمْ يَحْصُلْ فِي الْبُضْعِ تَشْرِيكٌ، فَلِذَلِكَ صَحَّ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي مَسْأَلَتِنَا.
Adapun dalilnya bahwa jika seseorang menjadikan mahar putrinya sebagai talak istrinya maka sah, maka demikian pula dalam kasus ini, jawabannya adalah bahwa itu merupakan kerusakan yang khusus pada mahar dan tidak terjadi penyekutuan dalam masalah hubungan suami istri, sehingga hal itu sah. Adapun dalam permasalahan kita, tidaklah demikian.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ الْآخَرُ فَسَنَذْكُرُ من اختلاف أصحابنا في حكمه مَا يَكُونُ جَوَابًا – وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ -.
Adapun dalilnya yang lain, maka kami akan sebutkan perbedaan pendapat di antara para ulama mazhab kami mengenai hukumnya, yang hal itu menjadi jawaban—dan hanya kepada Allah-lah taufik.
مَسْأَلَةٌ
Permasalahan
قَالَ الشافعي: ” وَلَوْ سَمَّى لَهُمَا أَوْ لِأَحَدِهِمَا صَدَاقًا فَلَيْسَ بِالشِّغَارِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَالنِّكَاحُ ثابتٌ وَالْمَهْرُ فاسدٌ وَلِكُلِّ واحدةٍ مِنْهُمَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَنِصْفُ مهرٍ إن طلقت قبل الدخول فإن قيل فقد ثبت النكاح بلا مهرٍ قيل لأن الله تعالى أجازه في كتابه فأجزناه والنساء محرمات الفروج إلا بما أحلهن الله به فلما نهى عليه الصلاة والسلام عن نكاح الشغار لم أحل محرماً بمحرمٍ وبهذا قلنا في نكاح المتعة والمحرم (قال) وقلت لبعض الناس أجزت نكاح الشغار ولم يختلف فِيهِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ورددت نكاح المتعة وقد اختلف فيها عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وهذا تحكم أرأيت إن عورضت فقيل لك نهى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أن تنكح المرأة على خالتها أو على عمتها وهذا اختيارٌ فأجزه فقال لا يجوز لأن عقده منهي عنه قيل وكذلك عقد الشغار منهي عنه (قال المزني) رحمه الله معنى قول الشافعي نهى النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عن الشغار إنما نهى عن النكاح نفسه لا عن الصداق ولو كان عن الصداق لكان النكاح ثابتاً وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia menyebutkan mahar untuk keduanya atau untuk salah satu dari keduanya, maka itu bukanlah syighar yang dilarang, akad nikahnya tetap sah, namun maharnya rusak, dan masing-masing dari keduanya berhak mendapatkan mahar mitsil, serta setengah mahar jika dicerai sebelum terjadi hubungan. Jika dikatakan: ‘Berarti akad nikahnya sah tanpa mahar?’ Maka dijawab: Karena Allah Ta‘ala telah membolehkannya dalam Kitab-Nya, maka kami pun membolehkannya. Para wanita diharamkan kehormatannya kecuali dengan apa yang dihalalkan Allah. Ketika Rasulullah ﷺ melarang nikah syighar, aku tidak menghalalkan yang haram dengan yang haram. Demikian pula pendapat kami dalam nikah mut‘ah dan nikah muharam. (Beliau berkata): Aku berkata kepada sebagian orang: ‘Engkau membolehkan nikah syighar padahal tidak ada perbedaan pendapat tentang larangannya dari Nabi ﷺ, namun engkau menolak nikah mut‘ah padahal ada perbedaan pendapat tentangnya dari Nabi ﷺ. Ini adalah sikap sewenang-wenang. Bagaimana jika engkau ditanya: Nabi ﷺ melarang menikahi seorang wanita di atas bibinya atau di atas tantanya, dan ini adalah pilihan, maka apakah engkau membolehkannya?’ Ia menjawab: ‘Tidak boleh, karena akadnya dilarang.’ Maka dikatakan: ‘Demikian pula akad syighar dilarang.’ (Al-Muzani rahimahullah berkata): Makna perkataan Imam Syafi‘i bahwa Nabi ﷺ melarang syighar adalah larangan terhadap akad nikahnya sendiri, bukan terhadap maharnya. Jika larangan itu terhadap maharnya, maka akad nikahnya tetap sah dan ia berhak mendapatkan mahar mitsil.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صُورَةِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى وجهين:
Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang beliau katakan, para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai bentuk permasalahan ini menjadi dua pendapat:
أحدهما: صورتها أن تقول: قَدْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى أَنْ تُزَوِّجَنِي بِنْتَكَ عَلَى أَنَّ صَدَاقَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بُضْعُ الْأُخْرَى وَمِائَةُ دِرْهَمٍ فَيَصِحُّ النِّكَاحَانِ اعْتِبَارًا بِالِاسْمِ، وأنه لا يسمى مع المهر مذكوراً شِغَارًا خَالِيًا، وَيَكُونُ لِكُلٍّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَهْرُ مِثْلِهَا لِفَسَادِ الصَّدَاقِ.
Pertama: Bentuknya adalah seseorang berkata, “Aku menikahkan engkau dengan putriku dengan syarat engkau menikahkan aku dengan putrimu dengan syarat mahar masing-masing dari keduanya adalah hubungan suami istri dengan yang lain dan seratus dirham.” Maka kedua akad nikah itu sah secara nama, dan tidak disebut syighar murni karena ada mahar yang disebutkan, dan masing-masing dari keduanya berhak mendapatkan mahar mitsil karena maharnya rusak.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ شِغَارٌ يَفْسُدُ فِيهِ النِّكَاحَانِ اعْتِبَارًا بِالْمَعْنَى وهو التشريك في البضع وهو أن صورة مسألة الشافعي – رضي الله تعالى عَنْهُ – الَّتِي لَمْ يَجْعَلْهَا شِغَارًا أَنْ يَقُولَ: قد زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى صَدَاقِ مِائَةٍ عَلَى أَنْ تُزَوِّجَنِي بِنْتُكَ عَلَى صَدَاقِ مِائَةٍ، فَالنِّكَاحَانِ جَائِزَانِ، لِأَنَّهُ لَمْ يُشْرِكْ فِي الْبُضْعِ، وَلَا جَعَلَ الْمَعْقُودَ عَلَيْهِ مَعْقُودًا بِهِ، وَيَبْطُلُ الصَّدَاقَانِ، لِأَنَّ فَسَادَ الشَّرْطِ رَاجِعٌ إِلَيْهِ فَأَسْقَطَ فِيهِ مَا قَابَلَهُ وَهُوَ مَجْهُولٌ فَصَارَ بَاقِيهِ مَجْهُولًا، وَالصَّدَاقُ الْمَجْهُولُ يُبْطَلُ وَلَا يَبْطُلُ بِهِ النِّكَاحُ بِخِلَافِ الْبَيْعِ الَّذِي يَبْطُلُ بِبُطْلَانِ الثَّمَنِ، فَلَوْ قَالَ: قد زَوَّجَتُكَ بِنْتِي بِصَدَاقِ أَلْفٍ عَلَى أَنْ تُزَوِّجَنِي بِنْتَكَ بِصَدَاقِ أَلْفٍ عَلَى أَنَّ بُضْعَ كُلِّ واحدة منها بضع الْأُخْرَى صَحَّ النِّكَاحَانِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ، وَلَمْ يَكُنْ شِغَارًا لِمَا تَضَمَّنَهُ مِنْ تَسْمِيَةِ الصَّدَاقِ، وَبَطَلَ النِّكَاحَانِ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي، وَكَانَ شِغَارًا لِمَا فِيهِ مِنَ التَّشْرِيكِ فِي الْبُضْعِ، وَلَوْ قَالَ: زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى أَنْ تُزَوِّجَنِي بِنْتَكَ صَحَّ النِّكَاحَانِ عَلَى الْوَجْهَيْنِ مَعًا، وَكَانَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مَهْرُ مِثْلِهَا لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّهُ شَرْطٌ يَعُودُ فَسَادُهُ إِلَى الْمَهْرِ الْمُسْتَحَقِّ، وَلَوْ قَالَ: زَوَّجْتُكَ بِنْتِي عَلَى أَنْ تُزَوِّجَنِي بِنْتَكَ عَلَى أَنَّ بُضْعَ بِنْتِي صَدَاقُ بِنْتِكَ بَطَلَ نِكَاحُ بِنْتِهِ، لِأَنَّهُ جَعَلَ بُضْعَهَا مُشْتَرَكًا، وَصَحَّ نِكَاحُهُ عَلَى بِنْتِ صَاحِبِهِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَجْعَلْ بُضْعَهَا مُشْتَرَكًا، وَلَوْ قَالَ: عَلَى أَنَّ صَدَاقَ بِنْتِي بُضْعُ بِنْتِكَ صَحَّ نِكَاحُ بِنْتِهِ، وَبَطَلَ نِكَاحُهُ لِبِنْتِ صَاحِبِهِ، لِأَنَّ الِاشْتِرَاكَ فِي بُضْعِهَا، لَا فِي بُضْعِ بِنْتِهِ فَتَأَمَّلْهُ تَجِدْهُ مُسْتَمِرَّ التَّعْلِيلِ – وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ -.
Penjelasan kedua: Bahwa masalah ini adalah syighar yang menyebabkan kedua akad nikah menjadi rusak, jika dilihat dari segi makna, yaitu adanya penyertaan dalam hak hubungan suami istri (al-budh‘). Adapun bentuk permasalahan menurut pendapat Imam asy-Syafi‘i – semoga Allah meridhainya – yang tidak dianggap sebagai syighar adalah jika seseorang berkata: “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan mahar seratus, dengan syarat engkau menikahkanku dengan putrimu dengan mahar seratus.” Maka kedua akad nikah tersebut sah, karena tidak ada penyertaan dalam hak hubungan suami istri, dan tidak menjadikan sesuatu yang menjadi objek akad sebagai syarat bagi akad lainnya. Namun kedua mahar tersebut batal, karena kerusakan syarat kembali kepada mahar itu sendiri, sehingga gugur bagian yang menjadi lawannya, dan itu tidak diketahui secara pasti, sehingga sisanya pun menjadi tidak diketahui, dan mahar yang tidak diketahui batal, tetapi tidak membatalkan akad nikah, berbeda dengan jual beli yang batal jika harga batal. Maka jika dikatakan: “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan mahar seribu, dengan syarat engkau menikahkanku dengan putrimu dengan mahar seribu, dengan ketentuan bahwa hak hubungan suami istri masing-masing menjadi mahar bagi yang lain,” maka kedua akad nikah sah menurut pendapat pertama, dan tidak dianggap syighar karena adanya penamaan mahar, namun kedua akad nikah batal menurut pendapat kedua, dan dianggap syighar karena adanya penyertaan dalam hak hubungan suami istri. Jika dikatakan: “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan syarat engkau menikahkanku dengan putrimu,” maka kedua akad nikah sah menurut kedua pendapat, dan masing-masing perempuan berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang sepadan) sebagaimana telah dijelaskan, karena syarat tersebut kerusakannya kembali kepada mahar yang menjadi haknya. Jika dikatakan: “Aku menikahkanmu dengan putriku dengan syarat engkau menikahkanku dengan putrimu dengan ketentuan bahwa hak hubungan suami istri putriku menjadi mahar bagi putrimu,” maka akad nikah putrinya batal, karena hak hubungan suami istri putrinya dijadikan bersama-sama, sedangkan akad nikahnya dengan putri temannya sah, karena hak hubungan suami istri putri temannya tidak dijadikan bersama-sama. Jika dikatakan: “Dengan ketentuan bahwa mahar putriku adalah hak hubungan suami istri putrimu,” maka akad nikah putrinya sah, dan akad nikahnya dengan putri temannya batal, karena penyertaan terjadi pada hak hubungan suami istri putri temannya, bukan pada putrinya sendiri. Renungilah, maka engkau akan mendapati penjelasan ini konsisten dalam alasannya – dan hanya kepada Allah-lah taufik.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا قَالَ الرجل لرجل إن جئتني بكذا أو كذا إِلَى أَجَلٍ يُسَمِّيهِ فَقَدْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي، فَجَاءَهُ بِهِ فِي أَجَلِهِ لَمْ يَصِحَّ النِّكَاحُ، وَأَجَازَهُ مالك مع الكراهة إذا أشهد عَلَى نَفْسِهِ بِذَلِكَ اسْتِدْلَالًا، بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {أَوْفُوا العُقُودِ) {المائدة: 1) . وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ أَدْخَلَ فِي دِينِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ” وَلِأَنَّهُ نِكَاحٌ مُسَلَّمٌ عُلِّقَ بِمَجِيءِ صفة فوجب أن لا يصح كقوله: قد زوجتكما إِذَا جَاءَ الْمَطَرُ، وَلِأَنَّ عُقُودَ الْمُعَاوَضَاتِ لَا تتعلق بمجيء الصفات كالبيوع.
Apabila seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain, “Jika engkau datang kepadaku dengan ini atau itu sampai waktu tertentu yang ia sebutkan, maka aku telah menikahkanmu dengan putriku,” lalu ia datang kepadanya dalam waktu yang ditentukan, maka akad nikah tersebut tidak sah. Imam Malik membolehkannya dengan makruh jika ia menghadirkan saksi atas dirinya sendiri sebagai bentuk istidlāl (pengambilan dalil) dengan firman Allah Ta‘ala: {Tepatilah akad-akad itu} (al-Mā’idah: 1). Namun ini adalah kekeliruan, berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam –: “Barang siapa yang memasukkan sesuatu yang bukan bagian dari agama kami, maka itu tertolak.” Juga karena ini adalah akad nikah yang digantungkan pada datangnya suatu sifat, maka tidak sah, seperti ucapan: “Aku menikahkan kalian berdua jika turun hujan.” Selain itu, akad-akad mu‘āwadhāt (pertukaran) tidak bergantung pada datangnya sifat tertentu, seperti halnya jual beli.
فَأَمَّا قَوْله تَعَالَى: {أَوْفُوا بِالْعُقُودِ) {المائدة: 1) فَلَيْسَ هَذَا عَقْدٌ فَيَلْزَمُ الْوَفَاءُ بِهِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Adapun firman Allah Ta‘ala: {Tepatilah akad-akad itu} (al-Mā’idah: 1), maka ini bukanlah akad yang wajib dipenuhi – wallāhu a‘lam.
Bab Nikah Mut‘ah dan Muhallil dari al-Jāmi‘, dari Kitab Nikah dan Talak, dari al-Imlā’ atas masalah-masalah Imam Malik, dan dari Ikhtilāf al-Hadīth.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أخبرنا مالكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نهى يوم خيبرٍ عن نكاح المتعة وأكل لحوم الحمر الأهلية (قال) وإن كان حديث عبد العزيز بن عمر عن الربيع بن سبرة ثابتاً فهو مبينٌ أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أحل نكاح المتعة ثم قال ” هي حرامٌ إلى يوم القيامة ” (قال) وفي القرآن والسنة دليلٌ على تحريم المتعة قال الله تعالى: ^ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (إِذَا نَكَحْتُمْ المُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَقْتُمُوهُنَ} فلم يحرمهن الله على الأزواج إلا بالطلاق وقال تعالى: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ} وَقَالَ تَعَالَى: {وَإِنْ أَرَدْتُمْ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ} فجعل إلى الأزواج فرقة من عقدوا عليه النكاح مع أحكام ما بين الأزواج فكان بيناً – والله أعلم – أن نكاح المتعة منسوخٌ بالقرآن والسنة لأنه إلى مدةٍ ثم نجده ينفسخ بلا إحداث طلاقٍ فيه ولا فيه أحكام الأزواج “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Malik telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan al-Hasan, dua putra Muhammad bin Ali, dari ayah mereka, dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– melarang pada hari Khaibar nikah mut‘ah dan memakan daging keledai jinak.” (Beliau berkata:) “Jika hadis Abdul Aziz bin Umar dari ar-Rabi‘ bin Sabrah itu sahih, maka hadis itu menjelaskan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah membolehkan nikah mut‘ah, kemudian beliau bersabda: ‘Nikah mut‘ah itu haram hingga hari kiamat.’ (Beliau berkata:) Dalam al-Qur’an dan sunnah terdapat dalil atas keharaman mut‘ah. Allah Ta‘ala berfirman: (Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu menceraikan mereka) maka Allah tidak mengharamkan mereka atas para suami kecuali dengan talak. Dan Allah Ta‘ala berfirman: (Maka tahanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik). Dan Allah Ta‘ala berfirman: (Dan jika kamu ingin mengganti istri dengan istri yang lain). Maka Allah menjadikan perpisahan itu berada di tangan para suami yang telah mengadakan akad nikah, dengan hukum-hukum yang berlaku di antara para suami istri. Maka jelaslah –wallahu a‘lam– bahwa nikah mut‘ah telah di-naskh (dihapus hukumnya) oleh al-Qur’an dan sunnah, karena nikah mut‘ah itu hanya berlaku untuk waktu tertentu, lalu akadnya batal dengan sendirinya tanpa adanya talak dan tanpa ada hukum-hukum suami istri di dalamnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: نِكَاحُ الْمُتْعَةِ حرام وهو أن يقول للمرأة: أمتعيني نفسك شَهْرًا، أَوْ مَوْسِمَ الْحَاجِّ، أَوْ مَا أَقَمْتُ فِي الْبَلَدِ، أَوْ يَذْكُرَ ذَلِكَ بِلَفْظِ النِّكَاحِ أَوِ التَّزْوِيجِ لَهَا، أَوْ لِوَلِيِّهَا بَعْدَ أَنْ يُقَدِّرَهُ بِمُدَّةٍ، إِمَّا مَعْلُومَةً أَوْ مَجْهُولَةً، فَهُوَ نِكَاحُ الْمُتْعَةِ الْحَرَامُ وَهُوَ قَوْلُ الْعُلَمَاءِ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَالتَّابِعِينَ، وِالْفُقَهَاءِ، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وابن أبي مليكة، وابن جريج – والإمامية – رأيهم فيه جوازاً استدلالاً بقول الله تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ) {النساء: 3) . فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْمُتْعَةِ الْمُقَدَّرَةِ وَالنِّكَاحِ الْمُؤَبَّدِ، وَقَالَ تَعَالَى: {فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَأْتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ) {النساء: 24) . وَهَذَا أَبْلَغُ فِي النَّصِّ.
Al-Mawardi berkata: “Dan inilah sebagaimana yang telah dikatakan: Nikah mut‘ah adalah haram, yaitu seorang laki-laki berkata kepada perempuan: ‘Nikahkanlah dirimu kepadaku untuk sebulan, atau selama musim haji, atau selama aku tinggal di kota ini,’ atau ia menyebutkan hal itu dengan lafaz nikah atau tazwij (pernikahan) untuk dirinya atau untuk walinya, setelah ia menentukan waktunya, baik waktu itu diketahui maupun tidak diketahui, maka itu adalah nikah mut‘ah yang haram. Inilah pendapat para ulama dari kalangan sahabat, tabi‘in, dan para fuqaha. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Mulaikah, Ibnu Juraij –dan kalangan Imamiyah– bahwa mereka berpendapat bolehnya nikah mut‘ah, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: (Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai) (an-Nisa: 3). Maka ayat ini berlaku umum untuk mut‘ah yang ditentukan waktunya maupun nikah yang bersifat permanen. Dan Allah Ta‘ala berfirman: (Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya) (an-Nisa: 24). Dan ini adalah dalil yang sangat jelas.”
وَرَوَى سَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ أَنَّ مُنَادِيَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَجَ يَقُولُ: إِنِ اللَّهَ قَدْ أَذِنَ لَكُمْ فَاسْتَمْتِعُوا. وَهَذَا نَصٌّ.
Salamah bin al-Akwa‘ meriwayatkan bahwa penyeru Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– keluar dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian, maka nikmatilah (mut‘ah).” Dan ini adalah nash (teks yang jelas).
وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ: مُتْعَتَانِ كَانَتَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنا أنهى عنهما وأعاقب عليهما متعة النساء ومتعة الحج. فأخبر بِإِبَاحَتِهِمَا عَلَى عَهْدِ الرَّسُولِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَمَا ثَبَتَ إِبَاحَتُهُ بِالشَّرْعِ لَمْ يَكُنْ لَهُ تحريمه بالاجتهاد قالوا: ولأنه عقد مَنْفَعَةٍ فَصَحَّ تَقْدِيرُهُ بِمُدَّةٍ كَالْإِجَارَةِ، وَلِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ إِبَاحَتُهَا بِالْإِجْمَاعِ فَلَمْ يَنْتَقِلْ عَنْهُ إِلَى التحريم إلا بالإجماع.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab bahwa ia berkata: “Ada dua mut‘ah yang pernah ada pada masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–, aku melarang keduanya dan akan menghukum atas keduanya: mut‘ah wanita dan mut‘ah haji.” Maka Umar memberitakan bahwa keduanya pernah dibolehkan pada masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–. Dan sesuatu yang telah tetap kebolehannya dengan syariat, tidak boleh diharamkan hanya dengan ijtihad. Mereka berkata: Karena akad ini adalah akad manfaat, maka sah untuk ditentukan waktunya seperti akad ijarah (sewa-menyewa). Dan karena kebolehannya telah tetap berdasarkan ijmā‘, maka tidak boleh berpindah dari kebolehan itu kepada keharaman kecuali dengan ijmā‘ pula.
وَدَلِيلُنَا: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِين) {المؤمنون: 5 – 6) وليست هذه زوجته وَلَا مِلْكَ يَمِينٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِيهَا مَلُومًا ثُمَّ قَالَ: {فَمَنْ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولِئَكَ هُمُ العَادُونَ} (المؤمنون: 7) . فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَادِيًا.
Dalil kami: firman Allah Ta‘ala: (Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau terhadap hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela) (al-Mu’minun: 5-6). Dan perempuan ini bukanlah istrinya dan bukan pula milik kanannya, maka wajib baginya untuk tercela. Kemudian Allah berfirman: (Barang siapa mencari selain itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas) (al-Mu’minun: 7). Maka wajib baginya dianggap melampaui batas.
وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنَ السُّنَّةِ مَعَ الْحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ فِي صَدْرِ الْبَابِ، مَا رَوَاهُ أَبُو ضَمْرَةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَدِمْتُ مَكَّةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالَ: ” اسْتَمْتِعُوا مِنْ هَؤُلَاءِ النِّسَاءِ ” وَالِاسْتِمْتَاعُ يَوْمَئِذٍ عِنْدَنَا النِّكَاحُ فَكَلَّمَ النِّسَاءَ من كلمهن فقلن لا ينكح الأنبياء، ونبيكم أَجَلٌ. فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: اضْرِبُوا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا فَخَرَجْتُ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي عَلَيْهِ بُرْدٌ، وَعَلَيَّ بُرْدٌ، وَبُرْدُهُ أَجْوَدُ مِنْ بُرْدِي، وَأَنَا أَشَبُّ مِنْهُ فأتينا امرأة فأعجبها برده وأعجبها شبابي، فقالت: برد كبرد فكان الْأَجَلُ بَيْنِي وَبَيْنَهَا عَشْرًا، فَبِتُّ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ ثُمَّ غَدَوْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ الْمَقَامِ وَالرُّكْنِ يَخْطُبُ النَّاسَ فَقَالَ: ” يَا أيها الناس قد كنت أذنت لكم في الاستمتاع مِنْ هَؤُلَاءِ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ وَهُوَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهَا وَلَا تأخذوا مما آتيتموهن شيئاً “.
Dan yang menunjukkan hal itu dari sunnah, selain hadis yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i di awal bab, adalah riwayat Abu Dhamrah dari ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz dari ar-Rabi‘ bin Sabrah dari ayahnya, ia berkata: Aku datang ke Makkah bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada Haji Wada‘, lalu beliau bersabda: “Nikmatilah (bermu‘tamalah) dengan wanita-wanita ini.” Pada waktu itu, menurut kami, istimta‘ adalah nikah. Maka para wanita yang diajak bicara berkata: Para nabi tidak dinikahi, dan nabi kalian lebih utama (untuk tidak dinikahi). Lalu kami sampaikan hal itu kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau bersabda: “Tentukanlah batas waktu antara kalian dan mereka.” Maka aku dan sepupuku keluar, ia memakai burd (kain) dan aku juga memakai burd, dan burd miliknya lebih bagus dari burd milikku, sedangkan aku lebih muda darinya. Kami mendatangi seorang wanita, ia menyukai burd miliknya dan juga menyukai kemudaanku. Ia berkata: “Burd (kain) sama dengan burd.” Maka batas waktu antara aku dan dia adalah sepuluh (malam), lalu aku bermalam di rumahnya malam itu, kemudian pagi harinya aku keluar, dan ternyata Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sedang berdiri di antara Maqam dan Rukun, berkhutbah kepada manusia, lalu beliau bersabda: “Wahai manusia, dulu aku telah mengizinkan kalian untuk beristimta‘ dengan wanita-wanita ini, namun sekarang Allah telah mengharamkannya, dan itu haram sampai hari kiamat. Maka barang siapa yang masih memiliki sesuatu dari mereka, hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil sedikit pun dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka.”
وروى ابن أبي لَهِيعَةَ عَنْ مُوسَى بْنِ أَيُّوبَ عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَامِرٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنِ الْمُتْعَةِ وَقَالَ: إِنَّمَا كَانَتْ لِمَنْ لَمْ يجد فلما أنزل النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ، وَالْعِدَّةُ وَالْمِيرَاثُ بَيْنَ الزَّوْجِ وَالْمَرْأَةِ نُسِخَتْ.
Dan Ibnu Abi Lahi‘ah meriwayatkan dari Musa bin Ayyub dari Iyas bin ‘Amir dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang mut‘ah dan bersabda: “Itu hanya diperbolehkan bagi orang yang tidak menemukan (jalan lain), namun ketika telah diturunkan hukum nikah, talak, ‘iddah, dan warisan antara suami dan istri, maka (hukum mut‘ah) telah di-nasakh (dihapuskan).”
وَرَوَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَاحَ الْمُتْعَةَ ثَلَاثًا ثُمَّ حَرَّمَهَا.
Dan ‘Umar bin al-Khaththab meriwayatkan bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- membolehkan mut‘ah tiga kali, kemudian mengharamkannya.
وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ، وَعَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَمَا كُنَّا مُسَافِحِينَ.
Dan Nafi‘ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada hari Khaibar melarang daging keledai jinak dan mut‘ah wanita, padahal kami bukanlah pezina.
وَرَوَى عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَنَزَلْنَا عِنْدَ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ، فَرَأَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَصَابِيحَ وَنِسَاءً يَبْكِينَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” حَرَّمَ الْمُتْعَةَ، النِّكَاحُ، وَالطَّلَاقُ، وَالْعِدَّةُ وَالْمِيرَاثُ “.
Dan ‘Ikrimah bin ‘Ammar meriwayatkan dari Sa‘id dari Abu Hurairah, ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam Perang Tabuk, lalu kami singgah di Tsaniyyah al-Wada‘. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat lampu-lampu dan wanita-wanita yang menangis, maka beliau bersabda: “Mut‘ah telah diharamkan, (yang berlaku adalah) nikah, talak, ‘iddah, dan warisan.”
وَحُكِيَ أَنَّ يَحْيَى بْنَ أَكْثَمَ دَخَلَ عَلَى الْمَأْمُونِ فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَحْلَلْتَ الْمُتْعَةَ وَقَدْ حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -. فقال المأمون: يا يحيى إن تحريم المتعة حديث رَوَاهُ الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ أَعْرَابِيٌّ يَبُولُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَلَا أَقُولُ بِهِ، فَقَالَ يَحْيَى بْنُ أكثم: يا أمير المؤمنين هاهنا حَدِيثٌ آخَرُ فَقَالَ: هَاتِهِ يَا يَحْيَى فَقَالَ: حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ. فَقَالَ الْمَأْمُونُ: لَا بَأْسَ بِهِ عَنْ مَنْ؟ قَالَ يَحْيَى: عَنْ مَالِكٍ فَقَالَ المأمون: كان أبي يبجله هيا فَقَالَ يَحْيَى: عَنِ الزُّهْرِيِّ، فَقَالَ الْمَأْمُونُ: كَانَ ثِقَةً فِي حَدِيثِهِ، وَلَكِنْ كَانَ يَعْمَلُ لِبَنِي أمية هيا، فَقَالَ يَحْيَى: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنِيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ: فَفَكَّرَ المأمون ساعة ثم قال: كان أحدهما يقول بالوعيد والآخر بالإرجاء (هيا) قَالَ يَحْيَى: عَنْ أَبِيهِمَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قال: هيا. قَالَ يَحْيَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قال: هيا قَالَ يَحْيَى: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَامَ خَيْبَرَ عَنِ الْمُتْعَةِ، وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَقَالَ الْمَأْمُونُ: يَا غُلَامُ ارْكَبْ فَنَادِ إِنَّ الْمُتْعَةَ حَرَامٌ.
Diriwayatkan bahwa Yahya bin Aktsam masuk menemui al-Ma’mun, lalu berkata: “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah menghalalkan mut‘ah, padahal Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengharamkannya.” Maka al-Ma’mun berkata: “Wahai Yahya, pengharaman mut‘ah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Rabi‘ bin Sabrah, seorang Arab badui yang kencing di atas kedua tumitnya, dan aku tidak berpendapat dengannya.” Yahya bin Aktsam berkata: “Wahai Amirul Mukminin, di sini ada hadis lain.” Maka al-Ma’mun berkata: “Sebutkan, wahai Yahya.” Yahya berkata: “Telah menceritakan kepada kami al-Qa‘nabi.” Al-Ma’mun berkata: “Tidak mengapa, dari siapa?” Yahya berkata: “Dari Malik.” Al-Ma’mun berkata: “Ayahku sangat memuliakannya, lanjutkan.” Yahya berkata: “Dari az-Zuhri.” Al-Ma’mun berkata: “Ia terpercaya dalam hadisnya, namun ia bekerja untuk Bani Umayyah, lanjutkan.” Yahya berkata: “Dari Abdullah dan al-Hasan, kedua putra Muhammad bin Ali bin al-Hanafiyyah.” Maka al-Ma’mun berpikir sejenak lalu berkata: “Salah satu dari keduanya berpendapat dengan ancaman (al-wa‘īd) dan yang lain dengan irjā’ (penundaan urusan kepada Allah), lanjutkan.” Yahya berkata: “Dari ayah mereka berdua, Muhammad bin Ali.” Ia berkata: “Lanjutkan.” Yahya berkata: “Dari Ali bin Abi Thalib.” Ia berkata: “Lanjutkan.” Yahya berkata: “Bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang mut‘ah pada tahun Khaibar dan melarang memakan daging keledai jinak.” Maka al-Ma’mun berkata: “Wahai pelayan, naiklah dan umumkan bahwa mut‘ah adalah haram.”
فَإِنْ قِيلَ: فَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ مُضْطَرِبَةٌ يُخَالِفُ بَعْضُهَا بَعْضًا، لِأَنَّهُ رُوِيَ فِي بَعْضِهَا أَنَّهُ حَرَّمَهَا عَامَ خَيْبَرَ، وَرُوِيَ فِي بَعْضِهَا أَنَّهُ حَرَّمَهَا عَامَ الْفَتْحِ بمكة، وروي في بعضها عنه حَرَّمَهَا فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ، وَرُوِيَ فِي بَعْضِهَا أَنَّهُ حَرَّمَهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَبَيْنَ كُلِّ وقت ووقت زمان ممتد ففيه جَوَابَانِ:
Jika dikatakan: Hadis-hadis ini saling bertentangan, sebagian bertentangan dengan sebagian yang lain, karena dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa ia diharamkan pada tahun Khaibar, dalam sebagian riwayat disebutkan diharamkan pada tahun penaklukan Makkah, dalam sebagian riwayat disebutkan diharamkan pada Perang Tabuk, dan dalam sebagian riwayat disebutkan diharamkan pada Haji Wada‘, padahal antara satu waktu dan waktu lain terdapat rentang waktu yang panjang, maka ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ تَحْرِيمٌ كَرَّرَهُ فِي مَوَاضِعَ ليكون أظهر وأنشر حَتَّى يَعْلَمَهُ مَنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ عَلِمَهُ، ولأنه قَدْ يَحْضُرُ فِي بَعْضِ الْمَوَاضِعِ مَنْ لَمْ يحضر معه في غَيْرَهُ، فَكَانَ ذَلِكَ أَبْلَغَ فِي التَّحْرِيمِ وَأَوْكَدَ.
Pertama: Bahwa pengharaman itu diulang di beberapa tempat agar lebih jelas dan tersebar luas sehingga diketahui oleh orang yang sebelumnya belum mengetahuinya. Karena bisa jadi di suatu tempat ada orang yang tidak hadir di tempat lain, sehingga hal itu lebih menegaskan dan menguatkan pengharaman tersebut.
والجواب الثاني: أنا كَانَتْ حَلَالًا فَحُرِّمَتْ عَامَ خَيْبَرَ ثُمَّ أَبَاحَهَا بَعْدَ ذَلِكَ لِمَصْلَحَةٍ عَلِمَهَا، ثُمَّ حَرَّمَهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ، وَلِذَلِكَ قَالَ فِيهَا: ” وَهِيَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ” تَنْبِيهًا عَلَى أَنَّ مَا كان من التحريم المتقدم موقت تعقبته إباحة وهذا تحريم مؤبد لا تتعقبه إِبَاحَةٌ وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعَلِيٍّ، وَابْنِ مَسْعُودٍ، وَابْنِ عمر، وابن الزبير، وأبي هريرة.
Jawaban kedua: Bahwa mut‘ah itu dahulu halal, lalu diharamkan pada tahun Khaibar, kemudian dibolehkan kembali setelah itu karena suatu kemaslahatan yang diketahui, lalu diharamkan lagi pada Haji Wada‘. Oleh karena itu Nabi bersabda tentangnya: “Dan ia haram sampai hari kiamat,” sebagai penegasan bahwa pengharaman sebelumnya bersifat sementara yang kemudian diikuti oleh kebolehan, sedangkan pengharaman ini bersifat permanen yang tidak diikuti oleh kebolehan lagi. Dan karena ini adalah ijmā‘ para sahabat, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas‘ud, Ibnu Umar, Ibnu az-Zubair, dan Abu Hurairah.
قال ابْنُ عُمَرَ: لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا السِّفَاحَ نَفْسَهُ.
Ibnu Umar berkata: “Aku tidak mengetahuinya kecuali sebagai zina itu sendiri.”
وقال ابن الزبير: المتعة هي الزنا الصريح.
Ibnu az-Zubair berkata: “Mut‘ah adalah zina yang nyata.”
فإن قيل: فقد خالفهم ابن عباس ومع خلافه لا يكون الْإِجْمَاعُ، قِيلَ: قَدْ رَجَعَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ إِبَاحَتِهَا وَأَظْهَرَ تَحْرِيمَهَا وَنَاظَرَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ عَلَيْهَا مُنَاظَرَةً مَشْهُورَةً، وَقَالَ لَهُ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ: أَهْلَكْتَ نَفْسَكَ، قَالَ: وَمَا هُوَ يا عروة قال: تُفْتِي بِإِبَاحَةِ الْمُتْعَةِ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ ينهيان عنها، فقال: عجبت منك، أخبرك عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَتُخْبِرُنِي عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَقَالَ لَهُ عُرْوَةُ: إِنَّهُمَا أَعْلَمُ بِالسُّنَّةِ مِنْكَ فَسَكَتَ.
Jika dikatakan: Ibnu Abbas telah menyelisihi mereka, dan dengan adanya perbedaan ini tidak terjadi ijmā‘, maka dijawab: Ibnu Abbas telah rujuk dari membolehkannya dan menampakkan pengharamannya, dan ia pernah berdebat dengan Abdullah bin az-Zubair tentang hal itu dalam perdebatan yang masyhur. ‘Urwah bin az-Zubair berkata kepadanya: “Engkau telah membinasakan dirimu.” Ia bertanya: “Apa itu, wahai ‘Urwah?” Ia menjawab: “Engkau berfatwa membolehkan mut‘ah, padahal Abu Bakar dan Umar melarangnya.” Ibnu Abbas berkata: “Aku heran kepadamu, aku memberitahumu dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu engkau memberitahuku dari Abu Bakar dan Umar.” ‘Urwah berkata kepadanya: “Keduanya lebih mengetahui sunah daripada engkau,” maka Ibnu Abbas pun diam.
وَرَوَى الْمِنْهَالُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ: أَنَّ رَجُلًا أَتَى ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ: هل لك فيما صنعت نفسك في المتعة حتى صارت به الركاب، وقال الشَّاعِرُ:
Al-Minhāl bin ‘Amr meriwayatkan dari Sa‘id bin Jubair: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas dan berkata: “Apakah engkau tahu apa yang telah engkau lakukan terhadap dirimu sendiri dalam masalah mut‘ah hingga orang-orang pun membicarakannya,” dan seorang penyair berkata:
(أَقُولُ لِلشَّيْخِ لَمَّا طَالَ مَجْلِسُهُ … يَا صَاحِ هَلْ لَكَ فِي فُتْيَا ابْنِ عَبَّاسْ)
(Aku berkata kepada seorang syekh ketika majelisnya telah lama … Wahai sahabat, apakah engkau ingin mengikuti fatwa Ibnu Abbas?)
(يَا صَاحِ هَلْ لَكَ فِي بَيْضَاءَ بَهْكَنَةٍ … تكون مثواك حتى يصدر النَّاسْ)
(Wahai sahabat, apakah engkau ingin pada seorang wanita cantik berkulit putih … yang menjadi tempat tinggalmu hingga orang-orang kembali pulang?)
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ مَا إِلَى هَذَا ذهبت، وقام يوم عرفة فقال: يأيها النَّاسُ إِنَّهَا وَاللَّهِ لَا تَحِلُّ لَكُمْ إِلَّا ما تَحِلُّ لَكُمُ الْمَيَّتَةُ وَالدَّمُ، وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ، يَعْنِي إِذَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهَا، ثُمَّ رَجَعَ عَنْهَا فَصَارَ الْإِجْمَاعُ بِرُجُوعِهِ مُنْعَقِدًا وَالْخِلَافُ بِهِ مُرْتَفِعًا وَانْعِقَادُ الْإِجْمَاعِ بَعْدَ ظُهُورِ الْخِلَافِ أَوْكَدُ، لِأَنَّهُ يَدُلُّ عَلَى حُجَّةٍ قَاطِعَةٍ وَدَلِيلٍ قَاهِرٍ.
Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku tidak berpandangan seperti itu.” Ia berdiri pada hari ‘Arafah dan berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya, demi Allah, hal itu tidak halal bagi kalian kecuali sebagaimana bangkai, darah, dan daging babi halal bagi kalian—yakni jika kalian dalam keadaan terpaksa.” Kemudian ia menarik kembali pendapatnya tersebut, sehingga ijmā‘ pun terwujud dengan rujuknya itu dan perbedaan pendapat pun hilang karenanya. Terbentuknya ijmā‘ setelah munculnya perbedaan pendapat justru lebih kuat, karena hal itu menunjukkan adanya hujjah yang pasti dan dalil yang kuat.
وَمِنَ الْقِيَاسِ: أنه حل عقد جاز مطلقاً مُؤَقَّتًا كَالْبَيْعِ طَرْدًا وَالْإِجَارَةِ عَكْسًا، وَلِأَنَّ لِلنِّكَاحِ أَحْكَامًا تَتَعَلَّقُ بِصِحَّتِهَا وَيَنْتَفِي عَنْ فَاسِدِهَا، وَهِيَ الطَّلَاقُ، وَالظِّهَارُ، وَالْعِدَّةُ، وَالْمِيرَاثُ، فَلَمَّا انْتَفَتْ عَنِ الْمُتْعَةِ هَذِهِ الْأَحْكَامُ دَلَّ عَلَى فَسَادِهِ كَسَائِرِ الْمَنَاكِحِ الْفَاسِدَةِ.
Dan dari sisi qiyās: bahwasanya ia adalah pembatalan akad yang pada dasarnya boleh secara mutlak namun bersifat sementara, seperti jual beli secara langsung dan sewa-menyewa secara kebalikan. Selain itu, karena dalam pernikahan terdapat hukum-hukum yang berkaitan dengan keabsahannya dan tidak berlaku pada pernikahan yang rusak, yaitu talak, zihar, iddah, dan warisan. Maka ketika hukum-hukum ini tidak berlaku pada nikah mut‘ah, hal itu menunjukkan kerusakannya sebagaimana pernikahan-pernikahan yang tidak sah lainnya.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ) {النساء: 3) فَهُوَ إِنَّ الْمُتْعَةَ غَيْرُ دَاخِلَةٍ فِي النِّكَاحِ، لِأَنَّ اسْمَ النِّكَاحِ يَنْطَلِقُ عَلَى مَا اخْتَصَّ بالدوام لذلك قيل: قد استنكحه المدى لمن دام به، فلم يدخل فِيهِ الْمُتْعَةُ الْمُؤَقَّتَةُ، وَلَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ عَامًّا لَخُصَّ بِمَا ذَكَرْنَا.
Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ala: {Maka nikahilah wanita-wanita yang baik bagi kalian} (an-Nisā’: 3), maka nikah mut‘ah tidak termasuk dalam pernikahan, karena istilah nikah digunakan untuk pernikahan yang bersifat permanen. Oleh karena itu dikatakan: “Ia telah menikahinya untuk waktu yang lama” bagi siapa yang menikah secara permanen, sehingga nikah mut‘ah yang bersifat sementara tidak termasuk di dalamnya. Seandainya ayat itu bersifat umum, maka telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَأْتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} (النساء: 24) فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ala: {Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya} (an-Nisā’: 24), maka ada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلِيًّا وَابْنَ مَسْعُودٍ رَوَيَا أَنَّهَا نُسِخَتْ بِالطَّلَاقِ، وَالْعِدَّةِ، وَالْمِيرَاثِ.
Pertama: Bahwa ‘Ali dan Ibnu Mas‘ud meriwayatkan bahwa ayat tersebut telah di-nasakh dengan adanya talak, iddah, dan warisan.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا مَحْمُولَةٌ عَلَى الِاسْتِمْتَاعِ بِهِنَّ فِي النِّكَاحِ، وَقَوْلُ ابْنِ مَسْعُودٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى يَعْنِي بِهِ الْمَهْرَ دُونَ الْعَقْدِ.
Kedua: Bahwa ayat tersebut dimaknai dengan kenikmatan bersama mereka dalam pernikahan, dan perkataan Ibnu Mas‘ud “hingga waktu yang ditentukan” maksudnya adalah mahar, bukan akadnya.
وَأَمَّا حَدِيثُ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ فَالْإِبَاحَةُ فِيهِ مَنْسُوخَةٌ بِمَا رَوَيْنَاهُ مِنَ التَّحْرِيمِ الْوَارِدِ بَعْدَهُ.
Adapun hadits Salamah bin al-Akwa‘, maka kebolehan dalam hadits tersebut telah di-nasakh dengan riwayat yang kami sebutkan tentang pengharaman yang datang setelahnya.
وَأَمَّا تَفَرُّدُ عُمَرَ بِالنَّهْيِ عَنْهَا فَمَا تَفَرَّدَ بِهِ، وقد وافقه عليه الصَّحَابَةِ، وَإِنَّمَا كَانَ إِمَامًا فَاخْتَصَّ بِالْإِعْلَانِ وَالتَّأْدِيبِ وَلَمْ يَكُنْ بِالَّذِي يُقْدِمُ عَلَى تَحْرِيمٍ بِغَيْرِ دليل، ولكانوا قد أقدموا عليه بمسكون عَنْهُ، أَلَا تَرَاهُ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ: لَا تغالوا في صدقات النساء فلو كانت تكرمة لَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَوْلَاكُمْ بِهَا، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: أَعْطَانَا اللَّهُ وَيَمْنَعُنَا ابْنُ الْخَطَّابِ، فَقَالَ عُمْرُ: وَأَيْنَ أَعْطَاكُنَّ فَقَالَتْ: بقوله: {وَءاتَيْتُمْ إحْدَاهُنَّ قِنْطَاراً فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً) {النساء: 20) فَقَالَ عُمَرُ: كُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ حتى امرأة. .
Adapun mengenai Umar yang tampak sendirian melarangnya, sebenarnya ia tidak sendirian, karena para sahabat juga sepakat dengannya. Hanya saja ia sebagai imam, sehingga ia yang mengumumkan dan menegakkan sanksi. Ia bukanlah orang yang berani mengharamkan sesuatu tanpa dalil, dan seandainya para sahabat mendiamkannya, tentu mereka telah membiarkannya. Tidakkah engkau lihat, ketika ia berkata di atas mimbar: “Janganlah kalian berlebihan dalam memberi mahar kepada wanita, sebab jika itu merupakan kemuliaan, tentu Rasulullah ﷺ lebih berhak melakukannya.” Lalu seorang wanita berkata, “Allah telah memberi kami, tetapi Ibnu al-Khattab melarang kami.” Umar pun bertanya, “Di mana Allah memberikannya kepada kalian?” Wanita itu menjawab, “Melalui firman-Nya: {Dan jika kalian telah memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikit pun darinya} (an-Nisā’: 20).” Maka Umar berkata, “Semua orang lebih paham daripada Umar, bahkan seorang wanita sekalipun.”
ووري أَنَّ عُمَرَ قَالَ يَوْمًا عَلَى الْمِنْبَرِ: أَيُّهَا النَّاسُ اسْتَمِعُوا فَقَالَ سَلْمَانُ: لَا نَسْمَعُ، فَقَالَ عُمْرُ: وَلِمَ ذَاكَ، فَقَالَ سَلْمَانُ: لِأَنَّ الثِّيَابَ لَمَّا قَدِمَتْ مِنَ الْعِرَاقِ، وَفَرَّقْتَهَا عَلَيْنَا ثَوْبًا وأخذت ثوبين لنفسك فَقَالَ عُمَرُ: أَمَّا هَذَا فَثَوْبِي وَأَمَّا الْآخَرُ فاستعرته من ابني ثم دعى ابْنَهُ عَبْدَ اللَّهِ، وَقَالَ: أَيْنَ ثَوْبُكَ، فَقَالَ: هُوَ عَلَيْكَ، فَقَالَ سَلْمَانُ: قُلِ الْآنَ مَا شِئْتَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَكَيْفَ يَجُوزُ مَعَ اعْتِرَاضِهِمْ عَلَيْهِ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ أَنْ يُمْسِكُوا عَنْهُ فِي تَحْرِيمِ مَا قَدْ أَحَلَّهُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَا يُنْكِرُونَهُ لَوْلَا اعْتِرَافُهُمْ بِصِحَّتِهِ وَوِفَاقُهُمْ عَلَى تَحْرِيمِهِ فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ رُوِيَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، وَسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّهُمَا قَالَا: سَمِعْنَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُحِلُّ الْمُتْعَةَ وَسَمِعْنَا عُمَرَ يَنْهَى عَنْهَا فَتَبِعْنَا عُمَرَ قِيلِ مَعْنَاهُ: تَبِعْنَا عُمَرَ فِيمَا رَوَاهُ في التَّحْرِيمِ، لِأَنَّهُ رَوَى لَهُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَبَاحَ الْمُتْعَةَ ثَلَاثًا ثُمَّ حَرَّمَهَا، فَكَيْفَ يَجُوزُ لَوْلَا مَا ذَكَرْنَا أَنْ يُضَافَ إِلَى جَابِرٍ وَأَبِي سَلَمَةَ أَنَّهُمَا خَالَفَا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وَتَبِعَا عُمَرَ، وَلَوْ تَبِعَاهُ لَمَا تَبِعَهُ غَيْرُهُمَا مِنَ الصَّحَابَةِ.
Diriwayatkan bahwa Umar suatu hari berkata di atas mimbar: “Wahai manusia, dengarkanlah!” Maka Salman berkata: “Kami tidak mau mendengarkan.” Umar bertanya: “Mengapa demikian?” Salman menjawab: “Karena ketika kain-kain datang dari Irak, engkau membagikannya kepada kami masing-masing satu helai, sedangkan engkau mengambil dua helai untuk dirimu sendiri.” Umar berkata: “Adapun ini adalah kainku, dan yang satu lagi aku pinjam dari anakku.” Lalu ia memanggil putranya, Abdullah, dan berkata: “Di mana kainmu?” Abdullah menjawab: “Itu ada padamu.” Maka Salman berkata: “Sekarang, silakan katakan apa yang engkau kehendaki, wahai Amirul Mukminin.” Maka bagaimana mungkin, jika mereka berani mengkritik Umar dalam perkara seperti ini, mereka akan diam terhadapnya dalam mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Rasulullah ﷺ, dan tidak mengingkarinya, kecuali karena mereka mengakui kebenarannya dan sepakat atas pengharamannya. Jika dikatakan: Telah diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin al-Akwa‘ bahwa keduanya berkata: “Kami mendengar Rasulullah ﷺ menghalalkan mut‘ah, dan kami mendengar Umar melarangnya, maka kami mengikuti Umar.” Maka dijawab: Maksudnya adalah, kami mengikuti Umar dalam apa yang ia riwayatkan tentang pengharaman, karena ia meriwayatkan kepada mereka bahwa Rasulullah ﷺ membolehkan mut‘ah selama tiga hari, kemudian mengharamkannya. Maka bagaimana mungkin, jika bukan karena apa yang telah kami sebutkan, dapat disandarkan kepada Jabir dan Abu Salamah bahwa keduanya menyelisihi Rasulullah ﷺ dan mengikuti Umar, padahal seandainya mereka berdua mengikutinya, tidak akan ada sahabat lain yang mengikuti mereka.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْإِجَارَةِ فَالْمَعْنَى فيهما: أَنَّهَا لَا تَصِحُّ مُؤَبَّدَةً فَصَحَّتْ مُؤَقَّتَةً، وَالنِّكَاحُ لما صح مؤبداً لم يصح مؤقتاً.
Adapun qiyās mereka dengan akad ijarah, maka maksudnya adalah: ijarah tidak sah jika bersifat permanen, sehingga sah jika bersifat sementara. Sedangkan nikah, karena sah secara permanen, maka tidak sah secara sementara.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمَا بِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ إِبَاحَتُهَا بِالْإِجْمَاعِ فَلَمْ يُعْدَلْ إِلَى تَحْرِيمِهَا إِلَّا بالإجماع فمن وجهين:
Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa telah tetap kebolehannya dengan ijmā‘, maka tidak beralih kepada pengharamannya kecuali juga dengan ijmā‘, maka jawabannya dari dua sisi:
أحدهما: أنه مَا ثَبَتَ بِهِ إِبَاحَتُهَا هُوَ الَّذِي ثَبَتَ بِهِ تَحْرِيمُهَا، فَإِنْ كَانَ دَلِيلًا فِي الْإِبَاحَةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ دَلِيلًا فِي التَّحْرِيمِ.
Pertama: Bahwa dalil yang menetapkan kebolehannya adalah juga dalil yang menetapkan pengharamannya. Jika ia menjadi dalil dalam kebolehan, maka wajib pula menjadi dalil dalam pengharaman.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْإِبَاحَةَ الثَّابِتَةَ بِالْإِجْمَاعِ هِيَ إِبَاحَةٌ مُؤَقَّتَةٌ تعقبها نسخ، وهم يدعون إباحة مؤبدة لم يتعقبها نَسْخٌ فَلَمْ يَكُنْ فِيمَا قَالُوهُ إِجْمَاعٌ.
Kedua: Kebolehan yang tetap dengan ijmā‘ adalah kebolehan yang bersifat sementara yang kemudian dinasakh, sedangkan mereka mengklaim adanya kebolehan yang bersifat permanen yang tidak dinasakh, maka dalam apa yang mereka katakan itu tidak ada ijmā‘.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ تَحْرِيمِ الْمُتْعَةِ فَلَا حَدَّ فِيهَا لِمَكَانِ الشُّبْهَةِ. وَيُعَزَّرَانِ أَدَبًا إِنْ عَلِمَا بِالتَّحْرِيمِ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا بِالْإِصَابَةِ دُونَ الْمُسَمَّى وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ، وَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لحق بالوطء، ولأنها صَارَتْ بِإِصَابَةِ الشُّبْهَةِ فِرَاشًا، وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا بِغَيْرِ طَلَاقٍ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُمَا نِكَاحٌ يُلْزِمُ، وَيَثْبُتُ بهذا الإصابة تحريم المصاهرة – وبالله التوفيق -.
Jika telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan tentang pengharaman mut‘ah, maka tidak ada had atasnya karena adanya syubhat. Keduanya (laki-laki dan perempuan) diberi ta‘zīr sebagai pelajaran jika mereka mengetahui pengharamannya. Perempuan berhak mendapatkan mahar mitsil karena telah terjadi hubungan, bukan mahar yang disebutkan dalam akad. Ia juga wajib menjalani masa ‘iddah, dan jika ia melahirkan anak, maka anak itu dinasabkan karena adanya hubungan (persetubuhan). Karena dengan terjadinya hubungan syubhat, ia menjadi seperti istri yang sah. Keduanya dipisahkan tanpa talak, karena di antara mereka tidak ada akad nikah yang mengikat. Dengan terjadinya hubungan ini, berlaku pula pengharaman karena hubungan mahram (musāharah). – Dan hanya kepada Allah-lah taufik.
مسألة
Masalah
ونكاح المحلل باطل.
Nikah muhallil adalah batal.
قال الماوردي: وصورتها فِي امْرَأَةٍ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا ثَلَاثًا حَرُمَتْ بِهِنَّ عَلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ فَنَكَحَتْ بَعْدَهُ زَوْجًا ليحلها للأول فيرجع إلى نكاحها فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Bentuknya adalah pada seorang perempuan yang ditalak tiga kali oleh suaminya sehingga ia menjadi haram baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain, lalu ia menikah dengan laki-laki lain agar menjadi halal bagi suami pertama sehingga ia dapat kembali menikah dengannya. Dalam hal ini ada tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَشْتَرِطَا فِي عَقْدِ النِّكَاحِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهُ إِذَا أَحَلَّهَا بِإِصَابَةٍ لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ فَلَا نِكَاحَ بَيْنَهُمَا فَهَذَا نِكَاحٌ بَاطِلٌ.
Pertama: Keduanya mensyaratkan dalam akad nikah bahwa ia menikahinya dengan syarat jika ia telah menghalalkannya bagi suami pertama melalui hubungan, maka tidak ada lagi pernikahan di antara mereka. Maka ini adalah nikah yang batal.
وَقَالَ أبو حنيفة: النِّكَاحُ صَحِيحٌ والشرط باطل.
Abu Hanifah berkata: Nikahnya sah, namun syaratnya batal.
وَالدَّلِيلُ عَلَى بُطْلَانِهِ مَا رَوَاهُ الْحَارِثُ الْأَعْوَرُ عَنْ عَلِيٍّ وَرَوَاهُ عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ورواه أبو هريرة كلهم بروايته عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ “.
Dalil atas batalnya adalah riwayat yang dibawakan oleh al-Harits al-A‘war dari Ali, dan diriwayatkan oleh Ikrimah dari Ibnu Abbas, serta diriwayatkan oleh Abu Hurairah, semuanya meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Allah melaknat muhallil dan yang dimuhallilkan untuknya.”
وَرَوَى عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ قَالُوا: بلى يا رسول الله، قال: هو الحلل وَالْمُحَلَّلُ لَهُ “، وَلِأَنَّهُ نِكَاحٌ عَلَى شَرْطٍ إِلَى مدة فكان أغلظ فساد مِنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang kambing jantan yang dipinjam?” Mereka berkata, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Itu adalah al-muhallil (laki-laki yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga agar halal kembali bagi suami pertamanya) dan orang yang dihalalkan baginya.” Karena itu adalah pernikahan yang disyaratkan dengan batas waktu tertentu, maka kerusakannya lebih berat daripada nikah mut‘ah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: جَهَالَةُ مُدَّتِهِ.
Pertama: Tidak jelasnya batas waktunya.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْإِصَابَةَ فِيهِ مَشْرُوطَةٌ لِغَيْرِهِ فَكَانَ بِالْفَسَادِ أَخَصَّ، وَلِأَنَّهُ نِكَاحٌ شُرِطَ فِيهِ انْقِطَاعُهُ قَبْلَ غَايَتِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا.
Kedua: Bahwa hubungan suami-istri di dalamnya disyaratkan untuk kepentingan orang lain, sehingga kerusakannya lebih khusus, dan karena itu adalah pernikahan yang disyaratkan akan terputus sebelum tujuannya tercapai, maka wajib hukumnya batal.
أَصْلُهُ: إِذَا تَزَوَّجَهَا شَهْرًا، أَوْ حَتَّى يَطَأَ أو يباشر.
Pokok permasalahannya: Jika seseorang menikahi wanita untuk jangka waktu sebulan, atau sampai ia menggaulinya, atau sampai ia menyentuhnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَشْتَرِطَ فِي الْعَقْدِ أَنَّهُ إِذَا أَحَلَّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ طَلَّقَهَا فَفِي النِّكَاحِ قَوْلَانِ:
Bagian kedua: Yaitu seseorang menikahi wanita dan mensyaratkan dalam akad bahwa jika ia telah menghalalkannya bagi suami pertama, ia akan menceraikannya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، ” وَالْإِمْلَاءِ ” – أن النكاح صحيح، ولأنه لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ لَا يُطَلِّقَهَا كَانَ النِّكَاحُ جَائِزًا، وَلَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا كَذَلِكَ إِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ يُطَلِّقَهَا وَجَبَ أَنْ يَصِحَّ النِّكَاحُ، وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا.
Pertama: — dan ini adalah pendapat beliau dalam karya lama dan dalam “al-Imla’” — bahwa nikahnya sah, karena jika seseorang menikahi wanita dengan syarat tidak menceraikannya, maka nikahnya boleh, dan ia boleh menceraikannya. Demikian pula jika menikahi wanita dengan syarat akan menceraikannya, maka nikahnya wajib sah, dan ia tidak wajib menceraikannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ مِنَ ” الْأُمِّ ” وَهُوَ الْأَصَحُّ – أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ بِاشْتِرَاطِ الطَّلَاقِ مؤقت والنكاح ما تأبد، ولم يتوقف، وَبِهَذَا الْمَعْنَى فَرَّقْنَا بَيْنَ أَنْ يَشْتَرِطَ فِيهِ أَنْ لَا يُطَلِّقَهَا فَيَصِحُّ، لِأَنَّهُ مُؤَبَّدٌ، وَإِذَا شرط أَنْ يُطَلِّقَهَا لَمْ يَصِحَّ، لِأَنَّهُ مُؤَقَّتٌ.
Pendapat kedua: — yang dinyatakan dalam karya baru dari “al-Umm” dan ini yang paling sahih — bahwa nikahnya batal, karena dengan mensyaratkan talak, pernikahan menjadi bersifat sementara, sementara nikah itu harus bersifat permanen dan tidak terputus. Dengan pengertian ini, kami membedakan antara mensyaratkan tidak menceraikan (yang sah karena bersifat permanen), dan mensyaratkan akan menceraikan (yang tidak sah karena bersifat sementara).
وَالْقِسْمُ الثالث: أنه يُشْتَرَطُ ذَلِكَ عَلَيْهِ قَبْلَ الْعَقْدِ، وَيَتَزَوَّجَهَا مُطْلَقًا من غير شرط لكنه ينوي، وَيَعْتَقِدُهُ، فَالنِّكَاحُ صَحِيحٌ لِخُلُوِّ عَقْدِهِ مِنْ شَرْطٍ يُفْسِدُهُ، وَهُوَ مَكْرُوهٌ لِأَنَّهُ نَوَى فِيهِ مَا لَوْ أَظْهَرُهُ أَفْسَدَهُ وَلَا يَفْسُدُ بِالنِّيَّةِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَنْوِي مَا لَا يَفْعَلُ وَيَفْعَلُ مَا لَا يَنْوِي، وَأَبْطَلَهُ مَالِكٌ وَقَالَ: هُوَ نِكَاحُ مُحَلِّلٍ، وَحَكَى أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ عَنْ أبي حنيفة أنه استحبه، لأنه قد تصير الأول بإحلالها له، وكلام المذهبي خَطَأٌ بَلْ هُوَ صَحِيحٌ بِخِلَافِ قَوْلِ مَالِكٍ وَمَكْرُوهٌ بِخِلَافِ اسْتِحْبَابِ أبي حنيفة، لِمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ: أَنَّ امْرَأَةً طَلَّقَهَا زَوْجُهَا ثَلَاثًا، وَكَانَ يَقْعُدُ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ أعربي مِسْكِينٌ فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ لَهُ: هَلْ لَكَ في امرأة تنكحها فتبيت معها الليلة، فإذا أصبحت فارقتها قال نعم ومضى فتزوجها، وبات معها لَيْلَةً، فَقَالَتْ لَهُ: سَيَقُولُونَ لَكَ إذا أصبحت فارقها لا تَفْعَلْ فَإِنِّي مُقِيمَةٌ لَكَ مَا تَرَى وَاذْهَبْ إلى عمر فلما أصبح أتوه وأتوها، فَقَالَتْ لَهُمْ: كَلِّمُوهُ فَأَنْتُمْ أَتَيْتُمْ بِهِ، فَقَالُوا له: فارقها، فقال: لا أفعل امض إِلَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ لَهُ: الْزَمْ زَوْجَتَكَ، فإن رابوك بريبة فائتني وبعث عمر إلى المرأة التي شئت لذلك فَنَكَّلَ بِهَا، وَكَانَ الْأَعْرَابِيُّ يَغْدُو وَيَرُوحُ إِلَى عُمَرَ فِي حُلَّةٍ، فَيَقُولُ لَهُ عُمَرُ: الْحَمْدُ لله الَّذِي كَسَاكَ يَا ذَا الرُّقْعَتَيْنِ حُلَّةً تَغْدُو فِيهَا وَتَرُوحُ، فَقَدْ أَمْضَى عُمْرُ النِّكَاحَ: فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ مَالِكٍ فِي فَسَادِهِ، وَنَكَّلَ عُمَرُ بالمرأة التي مشت فِيهِ فَدَلَّ عَلَى كَرَاهَتِهِ وَفَسَادِ مَا حُكِيَ عَنْ أبي حنيفة مِنِ اسْتِحْبَابِهِ.
Bagian ketiga: Yaitu jika syarat tersebut disepakati sebelum akad, lalu ia menikahi wanita tanpa syarat dalam akad, tetapi ia berniat dan meyakininya. Maka nikahnya sah karena akadnya bebas dari syarat yang merusaknya, namun hukumnya makruh karena ia berniat sesuatu yang jika ditampakkan akan merusak akad, dan akad tidak batal hanya karena niat, sebab bisa jadi seseorang berniat sesuatu yang tidak ia lakukan, atau melakukan sesuatu yang tidak ia niatkan. Malik membatalkannya dan berkata: itu adalah nikah muhallil. Abu Ishaq al-Marwazi meriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia menganjurkannya, karena bisa jadi suami pertama menjadi halal kembali dengan pernikahan itu. Pendapat madzhab ini keliru, bahkan nikahnya sah berbeda dengan pendapat Malik, dan makruh berbeda dengan anjuran Abu Hanifah, berdasarkan riwayat asy-Syafi‘i dari Sa‘id bin Salim, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Sirin: Bahwa ada seorang wanita yang ditalak tiga oleh suaminya, dan ada seorang Arab miskin yang duduk di depan pintu masjid. Wanita itu datang kepadanya dan berkata: “Maukah engkau menikahiku, lalu engkau bermalam bersamaku malam ini, dan besok pagi engkau ceraikan aku?” Ia menjawab: “Ya,” lalu menikahinya dan bermalam bersamanya. Wanita itu berkata kepadanya: “Nanti mereka akan berkata kepadamu, ‘Ceraikan dia!’ Jangan lakukan, aku tetap bersamamu selama engkau mau, lalu pergilah kepada ‘Umar.” Ketika pagi tiba, mereka mendatangi laki-laki itu dan wanita tersebut, lalu wanita itu berkata kepada mereka: “Bicaralah dengannya, kalianlah yang membawanya.” Mereka berkata kepadanya: “Ceraikanlah dia!” Ia menjawab: “Tidak akan aku lakukan, pergilah kepada ‘Umar.” Lalu ia mengabarkan kepada ‘Umar, dan ‘Umar berkata kepadanya: “Tetaplah bersama istrimu. Jika mereka menuduhmu dengan kecurigaan, datanglah kepadaku.” ‘Umar mengutus seseorang kepada wanita yang melakukan hal itu, lalu menghukumnya. Orang Arab itu setiap hari datang dan pergi kepada ‘Umar dengan mengenakan pakaian bagus, lalu ‘Umar berkata kepadanya: “Segala puji bagi Allah yang telah memberimu pakaian, wahai pemilik dua tambalan, pakaian yang engkau kenakan pagi dan petang.” Maka ‘Umar telah menetapkan keabsahan nikah itu, sehingga batal pendapat Malik tentang rusaknya nikah tersebut, dan ‘Umar menghukum wanita yang terlibat, yang menunjukkan makruhnya dan rusaknya pendapat yang dinukil dari Abu Hanifah tentang anjurannya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تقرر ما ذكرنا من أقسام نِكَاحِ الْمَحَلِّلِ، فَإِنْ قُلْنَا بِصِحَّتِهِ تَعَلَّقَ بِهِ أحكام النكاح الصحيح من ثبوت الحصانة، ووجوب النفقة، وأن يكون مخيراً فيه بَيْنَ الْمُقَامِ، أَوِ الطَّلَاقِ، فَإِنْ طَلَّقَ بَعْدَ الْإِصَابَةِ التَّامَّةِ فَقَدْ أَحَلَّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ، فَأَمَّا المهر فإن لم يتضمن العقد شرط يُؤَثِّرُ فِيهِ فَالْمُسَمَّى هُوَ الْمُسْتَحَقُّ، وَإِنْ تَضَمَّنَ شَرْطًا يُؤَثِّرُ فِيهِ كَانَ الْمُسْتَحَقُّ مَهْرَ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، وَإِنْ قُلْنَا بِفَسَادِ الْعَقْدِ، وَأَنَّهُ بَاطِلٌ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ فِيهِ لِأَجْلِ الشُّبْهَةِ لَكِنْ يُعَزَّرُ لِإِقْدَامِهِ عَلَى مَنْهِيٍّ عَنْهُ، وَلَا يثبت بالإصابة فيه حصانة، وَلَا يَسْتَحِقُّ فِيهِ نَفَقَةٌ، وَيَجِبُ فِيهِ بِالْإِصَابَةِ مَهْرُ الْمِثْلِ، وَهَلْ يُحِلُّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ إِذَا ذَاقَتْ عُسَيْلَتَهُ وَذَاقَ عُسَيْلَتَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Jika telah dipastikan apa yang telah kami sebutkan mengenai pembagian nikah muḥallil, maka jika kita mengatakan keabsahannya, maka berlaku padanya hukum-hukum nikah yang sah, seperti tetapnya status kehormatan (ḥiṣān), kewajiban nafkah, dan bahwa ia berhak memilih antara tetap bersama atau menceraikan. Jika ia menceraikan setelah terjadi hubungan suami istri secara sempurna, maka ia telah menghalalkan perempuan itu bagi suami pertama. Adapun mengenai mahar, jika akad tidak memuat syarat yang memengaruhi mahar, maka mahar yang disebutkan dalam akad itulah yang berhak diterima. Namun jika akad memuat syarat yang memengaruhi mahar, maka yang berhak diterima adalah mahar mitsil (sepadan) dan bukan yang disebutkan dalam akad. Jika kita berpendapat bahwa akad tersebut rusak dan batal, maka tidak ada hukuman ḥadd atasnya karena adanya syubhat, tetapi pelakunya tetap dikenai ta‘zīr karena berani melakukan sesuatu yang dilarang. Tidak tetap padanya kehormatan (ḥiṣān) karena hubungan suami istri, tidak berhak mendapatkan nafkah, dan wajib diberikan mahar mitsil karena telah terjadi hubungan suami istri. Apakah perempuan itu menjadi halal bagi suami pertama jika telah terjadi hubungan suami istri (dzawq al-‘usailah) atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ – أَنَّهُ يُحِلُّهَا لِلْأَوَّلِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَعْلِيلِهِ، فَقَالَ بعضهم: ذوق العسيلة في شبهة النكاح تجري عَلَيْهِ حُكْمُ الصَّحِيحِ مِنَ النِّكَاحِ.
Salah satunya—dan ini adalah pendapat lama beliau—bahwa perempuan itu menjadi halal bagi suami pertama. Para ulama kami berbeda pendapat dalam memberikan alasan. Sebagian mereka berkata: Terjadinya hubungan suami istri dalam pernikahan yang syubhat berlaku padanya hukum pernikahan yang sah.
وَقَالَ آخَرُونَ: اختصاصه باسم المحلل موجب لاختصاصه بحكم التعليل، فَعَلَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ تَحِلُّ بِالْإِصَابَةِ فِي كُلِّ نِكَاحٍ فَاسِدٍ مِنْ شِغَارٍ، وَمُتْعَةٍ، وَبِغَيْرِ وَلِيٍّ وَلَا شُهُودٍ.
Sebagian lain berkata: Kekhususan istilah muḥallil menuntut kekhususan dalam hukum alasannya. Maka menurut alasan pertama, perempuan itu menjadi halal dengan terjadinya hubungan suami istri dalam setiap pernikahan fasid, baik nikah syighar, mut‘ah, tanpa wali maupun tanpa saksi.
وَعَلَى التَّعْلِيلِ الثَّانِي: لَا تَحِلُّ بِغَيْرِ نِكَاحِ الْمُحَلِّلِ مِنْ سَائِرِ الْأَنْكِحَةِ الْفَاسِدَةِ.
Sedangkan menurut alasan kedua: Tidak menjadi halal kecuali dengan nikah muḥallil saja, tidak dengan pernikahan fasid lainnya.
والقول الثاني: – وهو الجديد الصَّحِيحُ – إِنَّهُ لَا يُحِلُّهَا لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ لَا فِي نِكَاحِ الْمُحَلِّلِ وَلَا فِي غَيْرِهِ مِنَ الأنكحة الفاسدة حتى يكون نكاحاً صحيحاً، لقول اللَّهِ تَعَالَى: {حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ) {البقرة: 230) وَهَذَا لَيْسَ بِزَوْجٍ، وَلِأَنَّ كُلَّ إِصَابَةٍ لَمْ يَتَعَلَّقْ بها إحصان لم يتعلق فيها إحلال الزوج كالإصابة بملك اليمين.
Pendapat kedua—dan ini adalah pendapat baru yang sahih—bahwa perempuan itu tidak menjadi halal bagi suami pertama, baik dalam nikah muḥallil maupun selainnya dari pernikahan fasid, sampai terjadi pernikahan yang sah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {hingga ia menikah dengan suami yang lain} (al-Baqarah: 230), dan ini bukanlah suami yang sah. Karena setiap hubungan suami istri yang tidak menimbulkan status kehormatan (ḥiṣān), maka tidak menimbulkan kehalalan bagi suami pertama, seperti hubungan suami istri dengan budak perempuan.
Bab Nikah Orang yang Sedang Ihram
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أخبرنا مالكٌ عن نافعٍ عن نبيه بين وهب عن أبان بن عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” لا يَنكح المحرم ولا يُنكح ” وقال بعض الناس رُوِّينَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نكح ميمونة رضي الله عنها وهو محرمٌ قلت رواية عثمان ثابتةٌ ويزيد بْنَ الْأَصَمِّ ابْنُ أُخْتِهَا وَسُلَيْمَانَ بْنَ يسارٍ عتيقها أو ابن عتيقها يقولان نكحها وهو حلالٌ وثالثٌ وهو سعيد بن المسيب وينفرد عليك حديث عثمان الثابت وقلت أليس أعطيتني أنه إذا اختلفت الرِّوَايَةُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نظرت فيما فعل أصحابه من بعده فأخذت به وتركت الذي يخالفه؟ قال بلى قلت فعمر بن الخطاب ويزيد بن ثابت يردان نكاح المحرم وقال ابن عمر لا ينكح المحرم ولا يُنكح ولا أعلم لهما مخالفاً فلم لا قلت به؟ (قال الشافعي) فإن كان المحرم حاجّاً فحتى يرمي ويحلق ويطوف بالبيت يوم النحر أو بعده وإن كان معتمراً فحتى يطوف بالبيت ويسعى ويحلق فإن نكح قبل ذلك فمفسوخٌ والرجعة والشهادة على النكاح ليسا بنكاحٍ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi‘ dari Nabi antara Wahb dari Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan ra. bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan.’ Sebagian orang berkata: ‘Diriwayatkan kepada kami bahwa Nabi ﷺ menikahi Maimunah ra. saat beliau sedang ihram.’ Saya katakan: Riwayat ‘Utsman itu tsabit, dan Yazid bin al-Asamm, keponakannya, serta Sulaiman bin Yasar, mantan budaknya atau anak mantan budaknya, keduanya berkata bahwa Nabi menikahi Maimunah saat beliau halal (tidak ihram), dan yang ketiga adalah Sa‘id bin al-Musayyib. Maka hadits ‘Utsman yang tsabit lebih kuat. Saya katakan: Bukankah engkau telah memberikan kaidah bahwa jika terjadi perbedaan riwayat dari Nabi ﷺ, maka kita melihat apa yang dilakukan para sahabat setelah beliau, lalu kita ambil yang sesuai dan tinggalkan yang menyelisihinya? Ia menjawab: Benar. Saya katakan: Maka ‘Umar bin al-Khattab dan Yazid bin Tsabit menolak nikah orang yang sedang ihram, dan Ibnu ‘Umar berkata: ‘Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan,’ dan saya tidak mengetahui ada yang menyelisihi mereka. Mengapa engkau tidak mengambil pendapat ini? (Imam Syafi‘i berkata): Jika orang yang ihram itu sedang haji, maka sampai ia melempar jumrah, mencukur rambut, dan thawaf di Ka‘bah pada hari Nahr atau setelahnya. Jika ia sedang umrah, maka sampai ia thawaf di Ka‘bah, sa‘i, dan mencukur rambut. Jika menikah sebelum itu, maka nikahnya batal, dan rujuk serta persaksian atas nikah tidak dianggap sebagai nikah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى فِي كِتَابِ الْحَجِّ أَنَّ نِكَاحَ الْمُحْرِمِ لَا يَجُوزُ، وَدَلَّلْنَا عَلَيْهِ وذكرنا ما خَالَفَنَا فِيهِ، وَنَحْنُ الْآنَ نُشِيرُ إِلَيْهِ، مَتَى عُقِدَ النِّكَاحُ وَالزَّوْجُ، أَوِ الزَّوْجَةُ، أَوِ الْوَلِيُّ مُحْرِمٌ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ.
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan dalam Kitab al-Ḥajj bahwa nikah orang yang sedang ihram tidak boleh, dan kami telah memberikan dalil atasnya serta menyebutkan siapa saja yang menyelisihi kami. Sekarang kami hanya mengisyaratkan, bahwa kapan saja akad nikah dilakukan sementara suami, istri, atau wali dalam keadaan ihram, maka nikahnya batal.
وَقَالَ مَالِكٌ: صَحِيحٌ وَيُفْسَخُ بِطَلْقِةٍ.
Malik berkata: Nikahnya sah, tetapi harus dibatalkan dengan satu talak.
وَقَالَ أبو حنيفة: نِكَاحُهُ جَائِزٌ وَلَا يَلْزَمُ فَسْخَهُ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَكَحَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ.
Abu Hanifah berkata: Nikahnya boleh dan tidak wajib dibatalkan, dengan berdalil pada riwayat ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ menikahi Maimunah saat beliau sedang ihram.
وَبِرِوَايَةِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَزَوَّجَ وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ الْبُضْعُ فَلَمْ يَمْنَعِ الْإِحْرَامُ مِنْهُ كَالرَّجْعَةِ وَشِرَاءِ الْإِمَاءِ.
Dan dengan riwayat Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Aisyah bahwa Nabi ﷺ menikah saat beliau sedang ihram. Karena ini adalah akad yang dengannya boleh melakukan hubungan suami istri, maka ihram tidak mencegahnya, sebagaimana rujuk dan membeli budak perempuan.
وَدَلِيلُنَا: رِوَايَةُ عُثْمَانَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنكح ” وَرَوَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” لا يخطب الْمُحْرِمُ وَلَا يَتَزَوَّجُ “.
Dalil kami adalah riwayat dari ‘Utsman bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan.” Dan Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Orang yang sedang ihram tidak boleh meminang dan tidak boleh menikah.”
وَرَوَى مَطَرٌ عَنِ الْحَسَنِ أن علياً – رضي الله تعالى عَنْهُ – قَالَ: مَنْ تَزَوَّجَ وَهُوَ مُحْرِمٌ نَزَعْنَا منه امرأته، ولم يجز نكاحه.
Matar meriwayatkan dari al-Hasan bahwa ‘Ali – raḍiyallāhu ‘anhu – berkata: Barang siapa menikah dalam keadaan ihram, maka kami pisahkan istrinya darinya, dan pernikahannya tidak sah.
وَرَوَى أَبُو غَطْفَانَ عَنْ أَبِيهِ أَنْ عُمَرَ – رضي الله تعالى عَنْهُ – فَرَّقَ بَيْنَ مُحْرِمَيْنِ تَزَوَّجَا.
Abu Ghatfan meriwayatkan dari ayahnya bahwa ‘Umar – raḍiyallāhu ‘anhu – memisahkan dua orang yang sedang ihram yang menikah.
وَرَوَى قُدَامَةُ بْنُ مُوسَى عَنْ شَوْذَبٍ مَوْلَى زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّهُ تَزَوَّجَ وَهُوَ مُحْرِمٌ فَفَرَّقَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا رُوِيَ عَنْهُمُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ، وَلَا يَسُوغُ ذَلِكَ فِي عَقْدٍ يَسُوغُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ دَلَّ عَلَى أَنَّ النَّصَّ فِيهِ ثَابِتٌ لَا يَجُوزُ خِلَافُهُ، وَلِأَنَّهُ مَعْنًى ثابت بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ الْإِحْرَامُ كَالْوَطْءِ.
Qudāmah bin Musa meriwayatkan dari Syaudzab, maula Zaid bin Tsabit, bahwa ia menikah dalam keadaan ihram, lalu Zaid bin Tsabit memisahkan keduanya. Ketika diriwayatkan dari mereka adanya pemisahan antara suami istri, dan hal itu tidak dibenarkan dalam akad yang masih memungkinkan adanya ijtihad, maka ini menunjukkan bahwa nash dalam masalah ini telah tetap dan tidak boleh diselisihi. Selain itu, karena dalam hal ini terdapat makna yang menetapkan keharaman musāharah, maka wajib ihram dicegah darinya sebagaimana (dilarangnya) hubungan suami istri.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ مَيْمُونَةَ، فَقَدْ رَوَى مَيْمُونُ بْنُ مِهْرَانَ عَنْ يَزِيدَ بن الأصم عَنْ مَيْمُونَةٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَزَوَّجَهَا وَهُمَا حَلَالَانِ.
Adapun jawaban atas hadis Maimunah, maka Maimun bin Mihran meriwayatkan dari Yazid bin al-Asamm dari Maimunah bahwa Rasulullah ﷺ menikahinya ketika keduanya dalam keadaan halal.
وَرَوَى رَبِيعَةُ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ حَلَالًا وَبَنَى بِهَا حَلَالًا، وَكُنْتُ أنا الرسول بَيْنَهُمَا.
Rabi‘ah meriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar dari Abu Rafi‘ bahwa Nabi ﷺ menikahi Maimunah dalam keadaan halal dan menggaulinya dalam keadaan halal, dan aku adalah utusan di antara keduanya.
وَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ فَضَعِيفٌ لَا أَصْلَ لَهُ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ، وَإِنْ صَحَّ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِعْلُ ذَلِكَ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ قَبْلَ تَحْرِيمِ نِكَاحِ الْمُحْرِمِ عَلَى أَنَّ أَبَا الطِّيِّبِ ابْنَ سَلَمَةَ جعل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَخْصُوصًا بِالنِّكَاحِ فِي الْإِحْرَامِ.
Adapun hadis Ibnu Abi Mulaykah dari ‘Aisyah adalah lemah dan tidak memiliki dasar menurut para ahli hadis. Jika pun sahih, bisa jadi peristiwa itu terjadi pada masa awal Islam sebelum diharamkannya pernikahan bagi orang yang sedang ihram. Adapun Abu Thayyib Ibnu Salamah menganggap Nabi ﷺ dikhususkan boleh menikah dalam keadaan ihram.
وَأَمَّا الْقِيَاسُ عَلَى شِرَاءِ الْإِمَاءِ، فَلَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنْهُ الِاسْتِمْتَاعَ، لِجَوَازِ شِرَاءِ الْمُعْتَدَّةِ وَذَاتِ الْمَحْرَمِ، وَكَذَلِكَ الْمُحْرِمَةُ، وَالْمَقْصُودُ، مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ الِاسْتِمْتَاعُ، إِذْ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْكِحَ مُعْتَدَّةً وَلَا ذَاتَ مَحْرَمٍ وَكَذَلِكَ الْمُحْرِمَةُ. فَأَمَّا الرَّجْعَةُ فَتَحِلُّ لِلْمُحْرِمِ، لِأَنَّهَا سَدُّ ثَلْمٍ فِي الْعَقْدِ وَرَفْعُ تَحْرِيمٍ طَرَأَ عَلَيْهِ، وَلَيْسَتْ عَقْدًا مُبْتَدَأً فَجَازَتْ فِي الْإِحْرَامِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْعَبْدَ يُرَاجِعُ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ، وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْكِحَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ اعتباراً بهذا المعنى.
Adapun qiyās terhadap pembelian budak perempuan, maka tujuan dari pembelian itu bukanlah untuk menikmati, karena diperbolehkan membeli perempuan yang sedang masa iddah dan yang merupakan mahram, demikian pula perempuan yang sedang ihram. Sedangkan tujuan dari akad nikah adalah untuk menikmati, sehingga tidak boleh menikahi perempuan yang sedang iddah, tidak pula yang merupakan mahram, demikian pula perempuan yang sedang ihram. Adapun rujuk, maka itu diperbolehkan bagi orang yang sedang ihram, karena rujuk adalah menutup kekurangan dalam akad dan menghilangkan keharaman yang muncul padanya, dan bukan akad baru, sehingga diperbolehkan dalam keadaan ihram. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang budak boleh rujuk tanpa izin tuannya, meskipun ia tidak boleh menikah tanpa izinnya, berdasarkan makna ini.
فصل
Fasal
فإذا تقرر ما وصفنا أَنَّ نِكَاحَ الْمُحْرِمِ بَاطِلٌ، فَمَتَى كَانَ الزَّوْجُ مُحْرِمًا فَوَكَّلَ حَلَالًا فِي الْعَقْدِ كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا، لِأَنَّهُ نِكَاحٌ لِمُحْرِمٍ، وَلَوْ كَانَ الزَّوْجُ حلالاً فوكل محرماً كان النكاح باطلاً، لأنه نكاح عقده محرم، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْوَلِيُّ مُحْرِمًا فَوَكَّلَ حَلَالًا أَوْ كَانَ حَلَالًا فَوَكَّلَ مُحْرِمًا كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا.
Jika telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan bahwa pernikahan orang yang sedang ihram adalah batal, maka kapan saja suami dalam keadaan ihram lalu mewakilkan kepada orang yang halal (tidak ihram) untuk melakukan akad, maka pernikahan itu batal, karena itu adalah pernikahan bagi orang yang sedang ihram. Jika suami dalam keadaan halal lalu mewakilkan kepada orang yang sedang ihram, maka pernikahan itu batal, karena itu adalah pernikahan yang diakadkan oleh orang yang sedang ihram. Demikian pula jika wali dalam keadaan ihram lalu mewakilkan kepada orang yang halal, atau dalam keadaan halal lalu mewakilkan kepada orang yang sedang ihram, maka pernikahan itu batal.
فَأَمَّا الْحَاكِمُ إِذَا كَانَ مُحْرِمًا لَمْ يجز له أن يزوج مسلمة وَهَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَ كَافِرَةً أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun hakim, jika ia sedang ihram, tidak boleh baginya menikahkan seorang muslimah. Apakah boleh baginya menikahkan perempuan kafir atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ كَالْمُسْلِمَةِ.
Pertama: Tidak boleh, sebagaimana (tidak bolehnya menikahkan) muslimah.
والثاني: لا يَجُوزُ، لِأَنَّهُ لَا يُزَوِّجُهَا بِوِلَايَةٍ وَإِنَّمَا يُزَوِّجُهَا لحكم فَجَرَى مَجْرَى سَائِرِ أَحْكَامِهِ فِي إِحْرَامِهِ.
Kedua: Tidak boleh, karena ia tidak menikahkan perempuan kafir itu dengan wilayah (perwalian), melainkan menikahkannya berdasarkan hukum, sehingga hukumnya sama seperti hukum-hukum lainnya dalam keadaan ihram.
فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْإِمَامُ مُحْرِمًا لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ وَلَا يُزَوِّجَ، وَهَلْ يَجُوزُ لخلفائه من القضاة المحليين أَنْ يُزَوِّجُوا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun jika imam sedang ihram, maka tidak boleh baginya menikah atau menikahkan. Apakah boleh bagi para penggantinya dari kalangan qāḍī lokal untuk menikahkan atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يُزَوِّجُوا كَوُكَلَاءِ الْمُحْرِمِ.
Pertama: Tidak boleh mereka menikahkan, sebagaimana wakil orang yang sedang ihram.
وَالْوَجْهِ الثَّانِي: يَجُوزُ أَنْ يُزَوِّجُوا لِعُمُومِ وَلَايَاتِهِمْ، وَنُفُوذِ أحكامه فَخَالَفُوا الْوُكَلَاءَ فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْخَطِيبِ فِي عقد فَالنِّكَاحِ جَائِزٌ، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَعْقِدَ بِغَيْرِ خِطْبَةٍ، وَلَوْ كَانَ الشُّهُودُ مُحْرِمِينَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: Boleh bagi mereka (para wali hakim) menikahkan karena keumuman wilayah mereka dan berlakunya keputusan mereka, sehingga mereka berbeda dengan para wakil. Adapun jika khatib (pemberi khutbah) berada dalam akad, maka nikahnya sah, karena bisa saja akad dilakukan tanpa khutbah. Dan jika para saksi sedang dalam keadaan ihram, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ – أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ، لِأَنَّ الشُّهُودَ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ كَالْوَلِيِّ.
Salah satunya—dan ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri—bahwa nikahnya batal, karena saksi adalah syarat dalam akad sebagaimana wali.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ – أَنَّ النِّكَاحَ جَائِزٌ، لِأَنَّ الشُّهُودَ غَيْرُ مَعْنِيِّينَ فِي النِّكَاحِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِمْ شُرُوطُ مَنْ يَتَعَيَّنُ فِي النِّكَاحِ أَلَا تَرَى أَنَّ نِكَاحَ الْكَافِرَةِ إِذَا عَقَدْنَاهُ لَمْ يَصِحَّ إِلَّا بِوَلِيٍّ كافر وشهود مسلمين – والله أعلم -.
Pendapat kedua—dan ini adalah mazhab asy-Syafi‘i—bahwa nikahnya sah, karena para saksi tidak ditentukan secara khusus dalam pernikahan, sehingga tidak disyaratkan pada mereka syarat-syarat yang berlaku bagi yang harus ditentukan dalam pernikahan. Bukankah engkau melihat bahwa pernikahan dengan wanita kafir, jika kita akadkan, tidak sah kecuali dengan wali yang kafir dan saksi yang muslim—dan Allah lebih mengetahui.
العيب في المنكوحة من كتاب نكاح الجديد ومن النكاح القديم ومن النكاح والطلاق إملاءً على مسائل مالكٍ، وغير ذلك
Cacat pada istri dalam Kitab Nikah versi baru, dan dari nikah versi lama, serta dari nikah dan talak yang ditulis berdasarkan masalah-masalah Malik, dan lain sebagainya.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” أخبرنا مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ المسيب أنه قال قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَيُّمَا رجلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَبِهَا جُنُونٌ أَوْ جذامٌ أَوْ برصٌ فَمَسَّهَا فَلَهَا صَدَاقُهَا وَذَلِكَ لزوجها غرمٌ على وليها وَقَالَ أَبُو الشَّعْثَاءِ: أَرْبَعٌ لَا يَجُزْنَ فِي النكاح إلا أن تسمى: الْجُنُونُ، وَالْجُذَامُ، وَالْبَرَصُ، وَالْقَرَنُ “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa‘id dari Sa‘id bin al-Musayyab bahwa ia berkata: Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Siapa saja laki-laki yang menikahi seorang wanita yang padanya terdapat penyakit gila, kusta, atau belang, lalu ia telah menyentuhnya (berhubungan), maka wanita itu berhak atas maharnya, dan itu menjadi tanggungan wali wanita tersebut.’ Abu asy-Sya‘tsa’ berkata: ‘Ada empat hal yang tidak boleh dalam pernikahan kecuali disebutkan secara jelas: gila, kusta, belang, dan qaran (cacat kelamin tertutup).’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ النِّكَاحَ يُفْسَخُ بِالْعُيُوبِ، وَالْعُيُوبُ الَّتِي يُفْسَخُ بِهَا النِّكَاحُ تُسْتَحَقُّ مِنَ الْجِهَتَيْنِ فَيَسْتَحِقُّهَا الزَّوْجُ إذا وجدت بِالزَّوْجَةِ، وَهِيَ خَمْسَةُ عُيُوبٍ: الْجُنُونُ، وَالْجُذَامُ، وَالْبَرَصُ، وَالْقَرَنُ، وَالرَّتْقُ، وَتَسْتَحِقُّهَا الزَّوْجَةُ إِذَا وَجَدَتْهَا بِالزَّوْجِ، وَهِيَ خَمْسَةٌ الْجُنُونُ، وَالْجُذَامُ، وَالْبَرَصُ، وَالْجَبُّ، وَالْعُنَّةُ، فَيَشْتَرِكَانِ فِي الْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ، وَالْبَرَصِ، وَتَخْتَصُّ الزَّوْجَةُ بِالْقَرَنِ، وَالرَّتْقِ، وَيَخْتَصُّ الزَّوْجُ بِالْجَبِّ وَالْعُنَّةِ، وَلَا يُفْسَخُ نِكَاحُهُمَا بِغَيْرِ هَذِهِ الْعُيُوبِ، مِنْ عَمَى أو زمانة، أو قبح أو غيره.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pernikahan dapat dibatalkan karena cacat, dan cacat-cacat yang menyebabkan pernikahan dapat dibatalkan itu bisa berasal dari kedua belah pihak. Suami berhak membatalkan jika cacat itu ada pada istri, dan itu ada lima macam: gila, kusta, belang, qaran, dan ratq (vagina tertutup). Istri berhak membatalkan jika cacat itu ada pada suami, dan itu juga lima: gila, kusta, belang, jabb (impotensi karena penis terpotong), dan ‘innah (impotensi). Maka keduanya sama-sama berhak dalam tiga cacat: gila, kusta, dan belang. Istri khusus berhak pada qaran dan ratq, sedangkan suami khusus berhak pada jabb dan ‘innah. Tidak dapat dibatalkan pernikahan mereka karena selain cacat-cacat ini, seperti buta, lumpuh, buruk rupa, atau selainnya.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ.
Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat: Umar, Ibnu ‘Abbas, dan Abdullah bin Umar.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: أَبُو الشَّعْثَاءِ جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ.
Dan dari kalangan tabi‘in: Abu asy-Sya‘tsa’ Jabir bin Zaid.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: الْأَوْزَاعِيُّ، وَمَالِكٌ. وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ لِلزَّوْجِ أَنْ يَفْسَخَ النِّكَاحَ بِشَيْءٍ مِنَ الْعُيُوبِ، وَلَا لِلْمَرْأَةِ أَنَّ تَفْسَخَ إِلَّا بِالْجَبِّ وَالْعُنَّةِ دُونَ الْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَالْبَرَصِ، وَبِأَنْ لَا يُفْسَخَ النِّكَاحُ بِعَيْبٍ.
Dan dari kalangan fuqaha: al-Awza‘i dan Malik. Abu Hanifah berkata: Suami tidak berhak membatalkan pernikahan karena cacat apa pun, dan wanita tidak berhak membatalkan kecuali karena jabb dan ‘innah, tidak termasuk gila, kusta, dan belang, serta bahwa pernikahan tidak dibatalkan karena cacat apa pun.
قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، وقال أبو الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَعَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ: لِلزَّوْجَةِ أَنَّ تَفْسَخَ بِهَذِهِ الْعُيُوبِ فِي الزَّوْجِ، وَلَيْسَ لِلزَّوْجِ أَنْ يَفْسَخَ بِهَا، لِأَنَّ الطَّلَاقَ بِيَدِهِ وَاسْتَدَلَّ مَنْ نَصَرَ قَوْلَ أَبِي حَنِيفَةَ بِأَنْ الْمَعْقُودَ عَلَيْهِ فِي النِّكَاحِ هُوَ الِاسْتِبَاحَةُ وَلَيْسَ فِي الِاسْتِبَاحَةِ عَيْبٌ، وَإِنَّمَا الْعَيْبُ فِي الْمُسْتَبِيحَةِ فلم يشتبه خيار إسلامه الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ قَالَ: وَلِأَنَّهُ عَيْبٌ فِي الْمَنْكُوحَةِ فلم يفسخ نكاحها قِيَاسًا عَلَى مَا سِوَى الْعُيُوبِ الْخَمْسَةِ قَالَ: وَلِأَنَّ كُلَّ عَقْدٍ لَمْ يُفْسَخْ بِنُقْصَانِ الْأَجْزَاءِ لَمْ يُفْسَخْ بِتَغَيُّرِ الصِّفَاتِ كَالْهِبَةِ طَرْدًا وَالْبُيُوعِ عَكْسًا.
Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas‘ud berkata, demikian pula Abu al-Hasan al-Bashri dan ‘Atha’ bin Abi Rabah: Istri berhak membatalkan pernikahan karena cacat-cacat ini pada suami, sedangkan suami tidak berhak membatalkan karena cacat-cacat itu, karena talak ada di tangannya. Orang yang mendukung pendapat Abu Hanifah berdalil bahwa yang menjadi objek akad dalam nikah adalah kebolehan (istibahah), dan dalam kebolehan tidak ada cacat, adapun cacat itu ada pada yang dibolehkan (istri), sehingga tidak berlaku hak memilih seperti dalam akad Islam pada objek akad. Ia berkata: Dan karena cacat itu ada pada istri, maka tidak membatalkan nikahnya dengan qiyas terhadap selain lima cacat tersebut. Ia berkata: Dan karena setiap akad yang tidak batal karena kekurangan bagian, maka tidak batal pula karena perubahan sifat, seperti hibah secara mutlak dan jual beli sebaliknya.
قَالَ: وَلِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ إِنْ جَرَى مَجْرَى عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ كَالْبُيُوعِ وَجَبَ أَنْ يُفْسَخَ بِكُلِّ عَيْبٍ، وَإِنْ جَرَى مَجْرَى غَيْرِهَا مِنْ عُقُودِ الْهِبَاتِ وَالصِّلَاتِ وَجَبَ أَنْ لَا يُفْسَخَ بعيب، وفي إجماعهم على أن لَا يُفْسَخُ بِكُلِّ الْعُيُوبِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يُفْسَخُ بِشَيْءٍ مِنَ الْعُيُوبِ.
Ia berkata: Dan karena akad nikah jika diposisikan seperti akad-akad mu‘awadhat (pertukaran) seperti jual beli, maka harus dibatalkan karena setiap cacat. Namun jika diposisikan seperti akad hibah dan pemberian, maka tidak boleh dibatalkan karena cacat. Dan kesepakatan mereka bahwa pernikahan tidak dibatalkan karena semua cacat merupakan dalil bahwa pernikahan tidak dibatalkan karena satu pun cacat.
وَدَلِيلُنَا: مَا رَوَاهُ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي بَيَاضَةَ فَوَجَدَ بِكَشْحِهَا بَيَاضًا فَرَدَّهَا، وَقَالَ: دَلَّسْتُمْ عَلَيَّ.
Dan dalil kami adalah riwayat dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi ﷺ menikahi seorang wanita dari Bani Bayadhah, lalu beliau mendapati pada lambungnya ada bercak putih, maka beliau mengembalikannya dan berkata: “Kalian telah menipuku.”
وَوَجْهُ الدَّلِيلِ منه هو أنه لما نقل الْعَيْبَ وَالرَّدَّ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الرَّدُّ، لِأَجْلِ الْعَيْبِ.
Adapun sisi pendalilan dari riwayat tersebut adalah bahwa ketika disebutkan adanya cacat dan pengembalian, maka wajib dipahami bahwa pengembalian itu karena adanya cacat.
فَإِنْ قِيلَ: فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّهُ طَلَّقَهَا لأجل العيب كالتي قالت له حِينَ تَزَوَّجَهَا: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ، فَقَالَ: ” لَقَدِ استعذتي بمعاذ فالحقي بِأَهْلِكِ ” فَكَانَ ذَلِكَ طَلَاقًا مِنْهُ لِأَجْلِ اسْتِعَاذَتِهَا مِنْهُ قِيلَ لَا يَصِحُّ هَذَا التَّأْوِيلُ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Jika dikatakan: “Itu dibawa pada makna bahwa beliau menceraikannya karena cacat, sebagaimana wanita yang berkata kepada beliau ketika dinikahi: ‘Aku berlindung kepada Allah darimu,’ lalu beliau bersabda: ‘Sungguh engkau telah berlindung kepada pelindung, maka kembalilah kepada keluargamu,’ maka itu adalah talak dari beliau karena permintaan perlindungan wanita tersebut.” Maka dijawab: Penafsiran ini tidak sah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: لِأَنَّهُ خَالَفَ الظَّاهِرَ، لِأَنَّ نَقْلَ الْحُكْمِ مَعَ السَّبَبِ يَقْتَضِي تَعَلُّقَهُ بِهِ كَتَعَلُّقِ الْحُكْمِ بِالْعِلَّةِ، وَالطَّلَاقُ لَا يَتَعَلَّقُ بِالْعَيْبِ كَتَعَلُّقِ الْحُكْمِ بِالْعِلَّةِ، وَإِنْ كَانَ دَاعِيًا إِلَيْهِ فَلَمْ يَصِحَّ حَمْلُهُ عَلَيْهِ، وَخَالَفَ حَالُ طَلَاقِهِ لِلْمُسْتَعِيذَةِ، لِأَنَّ الِاسْتِعَاذَةَ لَيْسَتْ عَيْبًا يُوجِبُ الرَّدَّ فَعَدَلَ بِهِ إِلَى الطَّلَاقِ.
Pertama: Karena itu bertentangan dengan makna lahiriah, sebab penyebutan hukum bersama sebabnya menuntut keterkaitan hukum dengan sebab tersebut, sebagaimana keterkaitan hukum dengan ‘illat. Sedangkan talak tidak berkaitan dengan cacat sebagaimana keterkaitan hukum dengan ‘illat, meskipun cacat itu menjadi pendorong terjadinya talak, sehingga tidak sah membawa makna tersebut ke sana. Dan juga berbeda dengan kasus talak terhadap wanita yang meminta perlindungan, karena permintaan perlindungan bukanlah cacat yang mewajibkan pengembalian, sehingga beliau memilih talak.
وَالثَّانِي: أَنَّ الرَّدَّ صَرِيحٌ فِي الْفَسْخِ وَكِنَايَةٌ فِي الطَّلَاقِ، وَحَمْلُ اللَّفْظِ على ما هو صريح فيه.
Kedua: Bahwa pengembalian (ar-radd) secara jelas bermakna fasakh (pembatalan akad) dan hanya secara kiasan bermakna talak, sehingga lafaz harus dibawa pada makna yang jelas padanya.
وَرَوَى أَبُو جَعْفَرٍ الْمَنْصُورُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جده عن اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اجْتَنِبُوا مِنَ النِّكَاحِ أَرْبَعَةً: الْجُنُونُ، وَالْجُذَامُ، وَالْبَرَصُ، وَالْقَرَنُ، فَدَلَّ تَخْصِيصُهُ لِهَذِهِ الْأَرْبَعَةِ مِنْ عُيُوبِ النِّكَاحِ عَلَى اخْتِصَاصِهَا بِالْفَسْخِ.
Dan Abu Ja’far al-Manshur meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Hindarilah menikahi empat golongan: orang gila, penderita kusta, penderita belang, dan orang yang memiliki cacat pada kemaluan (al-qarn).” Maka pengkhususan beliau terhadap empat cacat ini dari cacat-cacat pernikahan menunjukkan kekhususan cacat-cacat tersebut dalam hal fasakh.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ: هُوَ أَنَّهُ عَيْبٌ يَمْنَعُ غَالِبَ الْمَقْصُودِ بِالْعَقْدِ فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ بِهِ خِيَارَ الْفَسْخِ كَالْجَبِّ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ الصِّغَرُ، وَالْمَرَضُ، لِأَنَّهُمَا لَيْسَا بِعَيْبٍ، وَلِأَنَّ الْعَقْدَ الَّذِي يَلْزَمُ مِنَ الْجِهَتَيْنِ إذا احتمل الفسخ وجب أن يجري الفسخ في جنس العقد ولأنه عيب مقصود بعقد النكاح فوجب أن يستحق الْفَسْخَ كَالْعَيْبِ فِي الصَّدَاقِ، وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ مَلَكَ رَدَّ عِوَضٍ مَلَكَ عَلَيْهِ رَدَّ الْمُعَوَّضَ كَالثَّمَنِ وَالْمُثَمَّنِ فِي الْبَيْعِ.
Dan dari sisi qiyās: Bahwa itu adalah cacat yang menghalangi sebagian besar tujuan akad, maka boleh ditetapkan adanya hak khiyar fasakh karenanya, seperti halnya kebiri. Tidak termasuk di dalamnya kekurangan usia dan penyakit, karena keduanya bukan cacat. Dan karena akad yang mengikat kedua belah pihak, jika memungkinkan untuk dibatalkan, maka pembatalan itu berlaku pada jenis akad tersebut. Dan karena itu adalah cacat yang menjadi tujuan dalam akad nikah, maka wajib berhak atas fasakh sebagaimana cacat pada mahar. Dan setiap orang yang berhak mengembalikan imbalan, maka ia juga berhak mengembalikan barang yang diimbalkan, seperti harga dan barang dalam jual beli.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ بِأَنَّ الْمَعْقُودَ عَلَيْهِ هُوَ الِاسْتِبَاحَةُ، وَلَيْسَ فِيهَا عَيْبٌ فَهُوَ أَنَّ هَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ المعقود عليه هو الاستمتاع المستباح، وَهَذِهِ عُيُوبٌ فِيهِ كَمَا أَنَّ زَمَانَةَ الْعَبْدِ الْمُسْتَأْجَرِ عَيْبٌ فِي مَنَافِعِهِ فَاسْتَحَقَّ بِهَا الْفَسْخَ.
Adapun jawaban atas dalil bahwa yang menjadi objek akad adalah kebolehan (istibāhah), dan di dalamnya tidak ada cacat, maka ini tidak benar. Karena yang menjadi objek akad adalah kenikmatan yang dihalalkan, dan cacat-cacat ini terdapat padanya, sebagaimana cacat pada budak yang disewa, cacat itu terdapat pada manfaatnya, sehingga berhak atas fasakh karenanya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَا سِوَى الْخَمْسَةِ مِنَ الْعُيُوبِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ تِلْكَ الْعُيُوبَ لَا تَمْنَعُ مَقْصُودَ الْعَقْدِ وَلَا تُنَفِّرُ النُّفُوسَ مِنْهَا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ هَذِهِ الْخَمْسَةُ، لِأَنَّهَا إِمَّا مَانِعَةً من المقصود أو منفرة لِلنُّفُوسِ فَافْتَرَقَا.
Adapun qiyās mereka terhadap selain lima cacat tersebut, maka maksudnya adalah bahwa cacat-cacat itu tidak menghalangi tujuan akad dan tidak membuat orang enggan terhadapnya, berbeda dengan lima cacat ini, karena ia menghalangi tujuan atau membuat orang enggan, sehingga keduanya berbeda.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْهِبَةِ بِعِلَّةِ أَنَّهَا لَا تُفْسَخُ بِنُقْصَانِ الْأَجْزَاءِ فَهَذَا الْوَصْفُ غَيْرُ مُسَلَّمٍ، لِأَنَّهُ يُسْتَحَقُّ بِالْجَبِّ، وَهُوَ نُقْصَانُ جُزْءٍ. ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْهِبَةِ، أَنَّهُ لَا عِوَضَ فِيهَا فَيَلْحَقَهُ ضَرَرٌ بالعيب، والنكاح بخلافه وعلى أن فسخه بالعنت وَهُوَ يُعْتَبَرُ صِفَةً تَمْنَعُ مِنِ اطِّرَادِ هَذَا التَّعْلِيلِ.
Adapun qiyās mereka terhadap hibah dengan alasan bahwa hibah tidak dibatalkan karena kekurangan bagian, maka sifat ini tidak dapat diterima, karena hibah dapat dibatalkan karena kebiri, padahal itu adalah kekurangan bagian. Kemudian, makna dalam hibah adalah tidak ada imbalan di dalamnya sehingga tidak ada mudarat karena cacat, sedangkan nikah sebaliknya. Dan juga, pembatalan hibah karena ‘anat (ketidakmampuan) dianggap sebagai sifat yang menghalangi berlakunya alasan ini secara umum.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُ إِمَّا أَنْ يُفْسَخَ بِكُلِّ الْعُيُوبِ كَالْبُيُوعِ أَوْ لَا يُفْسَخُ بِشَيْءٍ مِنْهَا كَالْهِبَاتِ.
Adapun dalil mereka bahwa akad nikah itu, jika boleh dibatalkan karena semua cacat seperti dalam jual beli, atau tidak boleh dibatalkan karena apapun seperti dalam hibah.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ: إِنَّهُ بِالْبُيُوعِ أَخَصُّ، لِأَنَّهُمَا عَقْدَا مُعَاوَضَةٍ غَيْرَ أَنَّ جَمِيعَ الْعُيُوبِ تُؤَثِّرُ فِي نُقْصَانِ الثَّمَنِ فَاسْتُحِقَّ بِجَمِيعِهَا الْفَسْخُ وَلَيْسَ كُلُّ الْعُيُوبِ تُؤَثِّرُ فِي نُقْصَانِ الِاسْتِمْتَاعِ فلم يستحق بجميعها الفسخ.
Maka jawabannya: Bahwa ia lebih mirip dengan jual beli, karena keduanya adalah akad mu’āwadhah (pertukaran). Hanya saja seluruh cacat dalam jual beli berpengaruh pada pengurangan harga, sehingga seluruhnya berhak atas fasakh. Sedangkan tidak semua cacat dalam nikah berpengaruh pada pengurangan kenikmatan, sehingga tidak seluruhnya berhak atas fasakh.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” القرن المانع للجماع لِأَنَّهَا فِي غَيْرِ مَعْنَى النِّسَاءِ “.
Imam Syafi’i berkata: “Al-qarn yang menghalangi hubungan suami istri, karena itu tidak termasuk dalam makna wanita (yang sempurna).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْعُيُوبِ الَّتِي يُفْسَخُ بِهَا عَقْدُ النِّكَاحِ وَأَجْنَاسُهَا سَبْعَةٌ: اثْنَانِ يَخْتَصُّ بهما الرجل وهما الجب والعنة.
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang cacat-cacat yang dapat membatalkan akad nikah, dan jenis-jenisnya ada tujuh: dua di antaranya khusus pada laki-laki, yaitu al-jabb dan al-‘unnah.
واثنان تختص بِهِمَا النِّسَاءُ، وَهُمَا: الرَّتْقُ، وَالْقَرَنُ، وَثَلَاثَةٌ يَشْتَرِكُ فِيهَا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ وَهِيَ: الْجُنُونُ، وَالْجُذَامُ، وَالْبَرَصُ.
Dan dua di antaranya khusus pada perempuan, yaitu: ar-ratq dan al-qarn, serta tiga yang dimiliki bersama oleh laki-laki dan perempuan, yaitu: kegilaan, kusta, dan belang (vitiligo).
فَأَمَّا مَا يَخْتَصُّ بِهِ الرِّجَالُ مِنَ الْعُنَّةِ فَلَهُ بَابٌ يَأْتِي.
Adapun yang khusus pada laki-laki dari ‘unnah, maka akan ada pembahasannya tersendiri.
وَأَمَّا الْجَبُّ: فَهُوَ قَطْعُ الذَّكَرِ فَإِنْ كَانَ جَمِيعُهُ مَقْطُوعًا فَلَهَا الْخِيَارُ، لِأَنَّهُ أَدْوَمُ ضَرَرًا مِنَ الْعُنَّةِ الَّتِي يُرْجَى زوالها، وإن كان بعض الذكر مَقْطُوعًا نُظِرَ فِي بَاقِيهِ، فَإِنْ كَانَ لَا يَقْدِرُ عَلَى إِيلَاجِهِ إِمَّا لِضَعْفِهِ أَوْ لِصِغَرِهِ فَلَهَا الْخِيَارُ، وَإِنْ كَانَ يَقْدِرُ عَلَى إِيلَاجِهِ فَفِي خِيَارِهَا وَجْهَانِ:
Adapun al-jabb: yaitu terpotongnya penis. Jika seluruh penisnya terpotong, maka istri berhak memilih (melanjutkan atau membatalkan pernikahan), karena hal itu lebih permanen bahayanya dibandingkan ‘unnah yang masih mungkin sembuh. Jika hanya sebagian penis yang terpotong, maka dilihat pada sisanya; jika tidak mampu melakukan penetrasi, baik karena lemah atau kecil, maka istri berhak memilih. Namun jika masih mampu melakukan penetrasi, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الصَّحِيحُ إِنَّهُ لَا خِيَارَ لَهَا، لِأَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى صِغَرِ الذَّكَرِ الَّذِي لَا خِيَارَ فِيهِ.
Salah satunya—dan ini yang shahih—bahwa istri tidak berhak memilih, karena keadaannya seperti penis yang kecil yang tidak memberikan hak memilih.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهَا الْخِيَارُ، لِأَنَّهُ نَقْصٌ لَا تَكْمُلُ بِهِ الإصابة.
Pendapat kedua: istri berhak memilih, karena itu merupakan kekurangan yang menyebabkan hubungan suami istri tidak sempurna.
وأما الخصاء وهي قَطْعُ الْأُنْثَيَيْنِ مَعَ بَقَاءِ الذَّكَرِ فَفِي كَوْنِهِ عَيْبًا يُوجِبُ خِيَارَهَا قَوْلَانِ:
Adapun khisha’ yaitu terpotongnya kedua testis dengan tetap adanya penis, maka dalam hal ini apakah dianggap cacat yang memberi hak memilih bagi istri, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَيْسَ بِعَيْبٍ ولا خيار لها فِيهِ لِقُدْرَتِهِ عَلَى الْإِيلَاجِ، وَأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ أَمْتَعَ إِصَابَةً.
Salah satunya: bukan cacat dan istri tidak berhak memilih, karena suami masih mampu melakukan penetrasi, bahkan terkadang lebih memberikan kenikmatan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ عَيْبٌ وَلَهَا الْخِيَارُ، لِأَنَّهُ نَقْصٌ يُعْدَمُ مَعَهُ النَّسْلُ، وَلَوْ كَانَ خُنْثَى لَهُ فَرْجٌ زَائِدٌ أَوْ كَانَتْ خُنْثَى لَهَا ذَكَرٌ زَائِدٌ فَفِي كَوْنِهِ عَيْبًا يوجب الخيار قولان:
Pendapat kedua: itu adalah cacat dan istri berhak memilih, karena itu kekurangan yang menyebabkan tidak adanya keturunan. Jika seorang khuntsa (interseks) memiliki vagina tambahan, atau seorang perempuan khuntsa memiliki penis tambahan, maka dalam hal ini apakah dianggap cacat yang memberi hak memilih, terdapat dua pendapat:
أحدهما: ليس بعيب، لأنها زيادة عضو فأشبه الأصبع الزائد.
Salah satunya: bukan cacat, karena itu tambahan anggota tubuh sehingga menyerupai jari tambahan.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ عَيْبٌ، لِأَنَّهُ نَقْصٌ يُعَافُّ.
Pendapat kedua: itu adalah cacat, karena merupakan kekurangan yang dianggap menjijikkan.
فَأَمَّا ما تختص به المرأة من القرن، والرنق.
Adapun yang khusus pada perempuan adalah al-qarn dan ar-ratq.
فَالْقَرَنُ: هُوَ عَظَمٌ يَعْتَرِضُ الرَّحِمِ يَمْنَعُ مِنَ الْإِصَابَةِ، وَالرَّتْقُ لَحْمٌ يَسُدُّ مَدْخَلَ الذَّكَرِ فَلَا تمكن مَعَهُ الْإِصَابَةُ وَلَهُ الْخِيَارُ فِيهِمَا، وَلَا يُمْكِنُهَا شَقُّ الْقَرَنِ، وَيُمْكِنُهَا شَقُّ الرَّتْقِ إِلَّا أَنَّهَا لا تخبر بِشِقِّهِ، لِأَنَّهُ جِنَايَةٌ عَلَيْهَا فَإِنْ شَقَّتْهُ بَعْدَ فَسْخِ الزَّوْجِ لَمْ يُؤَثِّرْ بَعْدَ وُقُوعِ الْفَسْخِ، وَإِنْ شَقَّتْهُ قَبْلَ فَسْخِهِ فَفِي خِيَارِ الزَّوْجِ وَجْهَانِ:
Al-qarn adalah tulang yang melintang di rahim sehingga menghalangi hubungan suami istri, sedangkan ar-ratq adalah daging yang menutupi lubang masuknya penis sehingga hubungan suami istri tidak mungkin dilakukan, dan suami berhak memilih dalam keduanya. Tidak mungkin membelah al-qarn, namun ar-ratq bisa dibelah, hanya saja perempuan tidak boleh memberitahukan bahwa ia telah membelahnya, karena itu merupakan tindakan yang membahayakan dirinya. Jika ia membelahnya setelah pembatalan pernikahan oleh suami, maka tidak berpengaruh setelah pembatalan terjadi. Namun jika ia membelahnya sebelum pembatalan, maka dalam hak memilih bagi suami terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهُ الْخِيَارُ اعْتِبَارًا بِالِابْتِدَاءِ.
Salah satunya: suami tetap berhak memilih, berdasarkan keadaan awal.
وَالثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهُ اعْتِبَارًا بِالِانْتِهَاءِ، فَأَمَّا الْإِفْضَاءُ وَهُوَ أَنْ يَنْخَرِقَ الْحَاجِزُ الَّذِي بَيْنَ مَدْخَلِ الذكر ومخرج البول فتصير مغطاة فلا خيار فيه لإمكان الإصابة التامة معه فَلَوْ كَانَتْ عَاقِرًا لَا تَلِدُ، أَوْ كَانَ الزَّوْجُ عَقِيمًا لَا يُولَدُ لَهُ فَلَا خِيَارَ فِيهِ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لِأَنَّهُ مَظْنُونٌ وَرُبَّمَا زَالَ بتنقل الأمنان.
Pendapat kedua: suami tidak berhak memilih, berdasarkan keadaan akhir. Adapun al-ifda’ yaitu robeknya dinding antara lubang masuknya penis dan saluran kencing sehingga menjadi satu, maka tidak ada hak memilih karena masih memungkinkan hubungan suami istri secara sempurna. Jika istri mandul tidak bisa melahirkan, atau suami mandul tidak bisa memiliki anak, maka tidak ada hak memilih bagi keduanya, karena hal itu masih bersifat dugaan dan bisa saja berubah dengan perubahan air mani.
فأما العفلاء ففي العفلة ثلاثة تَأْوِيلَاتٍ:
Adapun al-‘afla’, maka dalam hal ini ada tiga penafsiran:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَحْمٌ مُسْتَدِيرٌ يَنْبُتُ فِي الرَّحِمِ بَعْدَ ذَهَابِ الْعُذْرَةِ، وَلَا يَنْبُتُ مَعَ الْبَكَارَةِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ.
Pertama: bahwa itu adalah daging bulat yang tumbuh di rahim setelah hilangnya keperawanan, dan tidak tumbuh pada perempuan yang masih perawan. Ini adalah pendapat Abu ‘Amr asy-Syaibani.
وَالتَّأْوِيلُ الثاني: أنه ورم يكون في اللحمة التي في قبل الْمَرْأَةِ يَضِيقُ بِهِ. فَرْجُهَا حَتَّى لَا يَنْفُذَ فِيهِ الذَّكَرُ.
Penafsiran kedua: bahwa itu adalah benjolan yang tumbuh pada daging di kemaluan perempuan sehingga vaginanya menjadi sempit hingga penis tidak dapat masuk.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّالِثُ: إِنَّهُ مَبَادِئُ الرَّتْقِ، وَهُوَ لَحْمٌ يَزِيدُ فِي الْفَرْجِ حَتَّى يَصِيرَ رتقاً فيسد بِهِ الْفَرْجُ فَلَا يَنْفُذُ فِيهِ الذَّكَرُ، فَإِنْ كان العقل يُكْمِلُ مَعَهُ الِاسْتِمْتَاعَ التَّامَّ فَلَا خِيَارَ فِيهِ، وَإِنْ لَمْ يُكْمِلْ مَعَهُ الِاسْتِمْتَاعَ لِضِيقِ الْفَرْجِ أَوِ انْسِدَادِهِ حَتَّى لَا يُمْكِنَ إِيلَاجُ الذَّكَرِ فَفِيهِ الْخِيَارُ.
Penafsiran ketiga: bahwa itu adalah permulaan dari ar-ratq, yaitu daging yang bertambah di vagina hingga menjadi ratq dan menutupinya sehingga penis tidak dapat masuk. Jika ‘afla’ masih memungkinkan kenikmatan secara sempurna, maka tidak ada hak memilih. Namun jika tidak memungkinkan kenikmatan karena sempit atau tertutupnya vagina sehingga tidak mungkin terjadi penetrasi, maka ada hak memilih.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْعُيُوبُ الَّتِي يَشْتَرِكُ فيها الرجل والمرأة وهي ثَلَاثَةٌ:
Adapun cacat-cacat yang dimiliki bersama oleh laki-laki dan perempuan ada tiga:
أَحَدُهَا: الْجُنُونُ، وَهُوَ زَوَالُ الْعَقْلِ الَّذِي يكون معه تأدية حق سواء خِيفَ مِنْهُ أَمْ لَا وَهُوَ ضَرْبَانِ: مُطْبِقٌ لَا يَتَخَلَّلُهُ إِفَاقَةٌ، وَغَيْرُ مُطْبِقٍ يَتَخَلَّلُهُ إِفَاقَةٌ فَيُجَنُّ تَارَةً، وَيَفِيقُ أُخْرَى وَكِلَاهُمَا سَوَاءٌ، وَفِيهِمَا الْخِيَارُ سَوَاءٌ قَلَّ زَمَانُ الْجُنُونِ أَوْ كَثُرَ، لِأَنَّ قَلِيلَهُ يَمْنَعُ مِنْ تَأْدِيَةِ الْحَقِّ فِي زمانه، ولأن قليله كَثِيرًا وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ بِالزَّوْجِ أَوْ بِالزَّوْجَةِ.
Salah satunya: junūn (gangguan jiwa/gila), yaitu hilangnya akal yang dengannya seseorang tidak dapat menunaikan hak, baik dikhawatirkan darinya atau tidak. Junūn ini ada dua macam: mutbiq (terus-menerus) yang tidak diselingi kesadaran, dan ghayru mutbiq (tidak terus-menerus) yang diselingi kesadaran, sehingga kadang-kadang ia mengalami junūn, dan di lain waktu sadar kembali. Keduanya sama saja, dan dalam kedua keadaan tersebut terdapat hak khiyār (pilihan), baik masa junūn itu singkat maupun lama, karena sedikitnya saja sudah menghalangi penunaian hak pada waktunya, dan karena sedikitnya sama dengan banyaknya. Sama saja apakah itu terjadi pada suami atau istri.
فَأَمَّا الْإِغْمَاءُ فَهُوَ زَوَالُ الْعَقْلِ بِمَرَضٍ فَلَا خِيَارَ فِيهِ كَالْمَرَضِ، وَإِنَّهُ عَارِضٌ يُرْجَى زَوَالُهُ، وأنه قد يجوز حدوث مثله بالأنبياء الذي لَا يَحْدُثُ بِهِمْ جُنُونٌ، فَإِنْ زَالَ الْمَرَضُ فَلَمْ يَزَلْ مَعَهُ الْإِغْمَاءُ صَارَ حِينَئِذٍ جُنُونًا يَثْبُتُ فِيهِ الْخِيَارُ.
Adapun ighmā’ (pingsan), yaitu hilangnya akal karena sakit, maka tidak ada hak khiyār di dalamnya seperti halnya sakit, karena ia merupakan sesuatu yang bersifat sementara yang diharapkan akan hilang. Dan bisa saja terjadi pada para nabi hal seperti ini, yang tidak mungkin terjadi pada mereka junūn. Jika penyakitnya telah hilang namun ighmā’ masih tetap, maka saat itu berubah menjadi junūn dan berlaku hak khiyār di dalamnya.
وَأَمَّا الْبَلَهُ فَهُوَ غَلَبَةُ السلامة فَيَكُونُ الْأَبْلَهُ سَلِيمَ الصَّدْرِ ضَعِيفَ الْعَزْمِ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا بُلْهًا ” يَعْنِي الَّذِينَ غَلَبَتِ السَّلَامَةُ عَلَى صُدُورِهِمْ وَمِنْهُ قول الشاعر:
Adapun balah (kebodohan polos), yaitu dominannya sifat selamat (tidak punya niat buruk), sehingga orang yang balah hatinya bersih namun lemah tekad. Nabi ﷺ bersabda: “Aku melihat ke dalam surga, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah orang-orang balah,” maksudnya adalah mereka yang hatinya didominasi oleh sifat selamat. Di antaranya juga perkataan penyair:
(ولقد لهوت بطفلةٍ ميالةٍ … بَلْهَاءَ تُطْلِعُنِي عَلَى أَسْرَارِهَا)
(Sungguh aku pernah bermain-main dengan seorang gadis kecil yang manja … yang balah, yang memberitahuku rahasia-rahasianya)
فَلَا خِيَارَ فِي الْبَلَهِ، لِأَنَّ الِاسْتِمْتَاعَ كَامِلٌ، وَكَذَلِكَ لَا خِيَارَ فِي الْحُمْقِ وَقِلَّةِ الضَّبْطِ لِكَمَالِ الِاسْتِمْتَاعِ مَعَهُمَا، وَإِنَّمَا يُؤَثِّرُ فِيمَا سِوَاهُ مِنْ تَدْبِيرِ الْمَنْزِلِ وَتَرْبِيَةِ الْوَلَدِ، وَلِذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا تسترضعوا الحمقى فَإِنَّ صُحْبَتَهَا بَلَاءٌ وَوَلَدَهَا ضَيَاعٌ “.
Maka tidak ada hak khiyār dalam balah, karena kenikmatan (hubungan suami istri) tetap sempurna. Demikian pula tidak ada hak khiyār dalam humq (kebodohan) dan kurangnya kecerdasan, karena kenikmatan tetap sempurna bersamanya. Hanya saja hal itu berpengaruh pada urusan lain seperti pengelolaan rumah tangga dan pendidikan anak. Oleh karena itu Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah kalian menyusukan anak kepada wanita yang bodoh, karena pergaulannya adalah musibah dan anaknya akan sia-sia.”
فَصْلٌ
Fasal
وَالثَّانِي مِنْ عُيُوبِهِمَا: الْجُذَامُ وَهُوَ: عَفَنٌ يَكُونُ فِي الأطراف والأنف يسري فيهما حتى يسقط فتبطل، وَرُبَّمَا سَرَى إِلَى النَّسْلِ وَتَعَدَّى إِلَى الْخَلِيطِ، وَالنَّفْسُ تَعَافُّهُ وَتَنْفُرُ مِنْهُ فَلَا يَسْمَحُ بِالْمُخَالَطَةِ ولا تحبب إِلَى الِاسْتِمْتَاعِ، وَقَدْ رَوَى سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” فِرُّوا مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكُمْ مِنَ الْأَسَدِ ” وَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِيُبَايِعَهُ فَمَدَّ يَدًا جَذْمَاءَ، فَلَمَّا نَظَرَ إِلَيْهَا النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَبَضَ يَدَهُ وَلَمْ يُصَافِحْهُ وَقَالَ: اذْهَبْ فَقَدْ بايعناك، فَفِي الْجُذَامِ الْخِيَارُ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا، لِأَنَّ قَلِيلُهُ يَصِيرُ كَثِيرًا، وَسَوَاءٌ كَانَ فِي الزَّوْجِ أَوِ الزَّوْجَةِ.
Yang kedua dari cacat pada keduanya: judzām (kusta), yaitu pembusukan yang terjadi pada anggota tubuh dan hidung, yang dapat menyebar hingga anggota tersebut rontok dan tidak berfungsi. Bisa juga menyebar ke keturunan dan menular ke pasangan, dan jiwa merasa jijik serta enggan terhadapnya sehingga tidak rela bergaul dan tidak menyukai kenikmatan dengannya. Diriwayatkan dari Sa‘īd dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Larilah kalian dari orang yang terkena kusta sebagaimana kalian lari dari singa.” Dan pernah datang seorang laki-laki kepada Nabi ﷺ untuk berbaiat, lalu ia mengulurkan tangan yang terkena kusta, maka ketika Nabi ﷺ melihatnya, beliau menarik tangannya dan tidak menjabatnya, lalu bersabda: “Pergilah, sungguh kami telah membaiatmu.” Maka dalam kasus judzām terdapat hak khiyār, baik sedikit maupun banyak, karena sedikitnya bisa menjadi banyak, dan sama saja apakah itu pada suami atau istri.
فَأَمَّا الزَّعَرُ فَهُوَ مِنْ مَبَادِئَ الْجُذَامِ، وَرُبَّمَا بَرِئَ وَلَمْ يَصِرْ جُذَامًا ويقع في الحاجبين فيناثر به الشعر، وفي الأنف فيتغير يه الْجِلْدُ وَلَا خِيَارَ فِيهِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِجُذَامٍ عَادِيٍّ وَلَا النُّفُوسُ مِنْهُ نَافِرَةً، فَلَوِ اخْتَلَفَا فِيهِ فَادَّعَى الزَّوْجُ أَنَّ بِهَا جُذَامًا، وَقَالَتْ: بَلْ هُوَ زَعَرٌ وَقَفَ عَلَيْهِ عَدْلَانِ مِنْ عُلَمَاءِ الطِّبِّ فَإِنْ قَالَا: هُوَ جُذَامٌ ثَبَتَ فِيهِ الْخِيَارُ، وَإِنْ قَالَا: زَعَرٌ فَلَا خِيَارَ فِيهِ، وَإِنْ أُشْكِلَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا أَنَّهُ زَعَرٌ وَلَا خِيَارَ فِيهِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الْخِيَارِ إِلَّا أَنْ يَثْبُتَ مَا يُوجِبُهُ.
Adapun za‘ar, ia merupakan gejala awal dari judzām, dan bisa jadi sembuh dan tidak menjadi judzām. Ia terjadi pada alis sehingga menyebabkan rambut rontok, dan pada hidung sehingga kulitnya berubah. Tidak ada hak khiyār dalam hal ini, karena ia bukan judzām yang menular dan jiwa tidak merasa jijik terhadapnya. Jika terjadi perselisihan tentangnya, misal suami mengklaim bahwa istrinya terkena judzām, sedangkan istri mengatakan itu hanya za‘ar, maka dua orang ahli medis yang adil harus memeriksanya. Jika keduanya mengatakan itu judzām, maka berlaku hak khiyār; jika keduanya mengatakan za‘ar, maka tidak ada hak khiyār. Jika masih samar, maka pendapat istri diterima dengan sumpah bahwa itu za‘ar dan tidak ada hak khiyār, karena asalnya tidak ada hak khiyār kecuali jika terbukti ada sebab yang mewajibkannya.
فَصْلٌ
Fasal
وَالثَّالِثُ مِنْ عُيُوبِهِمَا: الْبَرَصُ: وَهُوَ حُدُوثُ بَيَاضٍ فِي الْجِلْدِ يَذْهَبُ مَعَهُ دَمُ الْجِلْدِ وَمَا تَحْتَهُ مِنَ اللَّحْمِ وَفِيهِ عَدْوَى إِلَى النَّسْلِ وَالْمُخَالِطِينَ، وَتَعَافَّهُ النُّفُوسُ، وَتَنْفِرُ مِنْهُ فَلَا يكمل معه الاستمتاع فلذلك رد النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نِكَاحَ امْرَأَةٍ وَجَدَ بِكَشْحِهَا بَيَاضًا، وَفِي قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ الْخِيَارُ، لِأَنَّ قَلِيلَهُ يَصِيرُ كَثِيرًا، وَسَوَاءٌ كان بالزوج أو الزوجة.
Yang ketiga dari cacat pada keduanya: barash (vitiligo), yaitu munculnya warna putih pada kulit yang menyebabkan darah dan daging di bawahnya hilang warnanya, dan penyakit ini bisa menular ke keturunan dan orang yang berinteraksi dengannya. Jiwa merasa jijik dan enggan terhadapnya sehingga kenikmatan tidak sempurna bersamanya. Karena itu Nabi ﷺ menolak pernikahan seorang wanita yang ditemukan ada warna putih di pinggangnya. Dalam kasus barash, baik sedikit maupun banyak, terdapat hak khiyār, karena sedikitnya bisa menjadi banyak, dan sama saja apakah itu pada suami atau istri.
فأما البهق فتغير لَوْنَ الْجِلْدِ وَلَا يَذْهَبُ بِدَمِهِ وَيَزُولُ وَلَا تَنْفِرُ مِنْهُ النُّفُوسُ فَلَا خِيَارَ فِيهِ، فَلَوِ اخْتَلَفَا فَقَالَ الزَّوْجُ: هَذَا الْبَيَاضُ بَرَصٌ وَلِي الخيار، وقالت الزوجة: بَلْ هُوَ بَهَقٌ فَلَا خِيَارَ وَقَفَ عَلَيْهِ عَدْلَانِ مِنْ عُلَمَاءِ الطِّبِّ، وَعَمِلَ عَلَى قَوْلِهِمَا فيه فَإِنْ أُشَكِلَ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا مَعَ يَمِينِهَا أَنَّهُ بَهَقٌ وَلَا خِيَارَ فِيهِ.
Adapun behak adalah perubahan warna kulit yang tidak menghilangkan darahnya, dapat hilang, dan tidak membuat orang merasa jijik terhadapnya, maka tidak ada hak khiyar padanya. Jika terjadi perbedaan pendapat, misalnya suami berkata: “Warna putih ini adalah barash dan aku berhak khiyar,” sedangkan istri berkata: “Bukan, ini adalah behak sehingga tidak ada hak khiyar,” maka dua orang ahli medis yang adil diminta untuk memeriksanya dan keputusan diambil berdasarkan pendapat mereka. Jika tetap tidak jelas, maka pendapat istri yang dipegang dengan sumpahnya bahwa itu adalah behak dan tidak ada hak khiyar padanya.
فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ جَعَلَ الشَّافِعِيُّ فِي الْجُذَامِ وَالْبَرَصِ عَدْوَى، وَهَذَا قَوْلُ أَصْحَابِ الطَّبَائِعِ، وَقَدْ كَذَّبَهُ الشَّرْعُ وَمَنَعَ مِنْهُ، وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا عدوى ولا طيرة ” فقيل له: أما ترى النكتة من الجرب في شفر البعير فتعدوا إِلَى سَائِرِهِ وَإِلَى غَيْرِهِ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ ” أَيْ إِذَا كَانَ الْأَوَّلُ بغير عدوى كان ما بعده، وفي غَيْرِهِ بِغَيْرِ عَدْوَى.
Jika ada yang bertanya: Bagaimana mungkin asy-Syafi‘i menetapkan adanya penularan pada penyakit judzam dan barash, padahal ini adalah pendapat para ahli thabi‘ah (ilmu kedokteran), sementara syariat telah membantah dan melarangnya, dan Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada penularan dan tidak ada thiyarah (takhayul sial)?” Maka dijawab kepadanya: Bukankah engkau melihat bercak kudis pada bulu mata unta yang kemudian menular ke seluruh tubuhnya dan ke unta lain? Maka Nabi ﷺ bersabda: “Siapa yang menularkan kepada yang pertama?” Maksudnya, jika yang pertama terkena tanpa penularan, maka yang setelahnya pun demikian, dan pada selainnya juga tanpa penularan.
قِيلَ: إِنَّمَا مَنْعُ الشَّرْعِ مِنْ أَنَّ الطَّبِيعَةَ هِيَ الَّتِي تُحْدِثُ الْعَدْوَى كَمَا يَزْعُمُ الطِّبُّ، ولا يمنع أن الله تَعَالَى قَدْ جَعَلَ فِيهَا الْعَدْوَى كَمَا جَعَلَ فِي النَّارِ الْإِحْرَاقَ، وَفِي الطَّعَامِ الشِّبَعَ، وَفِي الْمَاءِ الرِّيَّ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لا يوردن ممرض ذُو عَاهَةٍ عَلَى مُصِحٍّ ” وَامْتَنَعَ مِنْ مُبَايَعَةِ الأجذام.
Dikatakan: Sesungguhnya larangan syariat adalah dari keyakinan bahwa thabi‘ah (sifat alamiah) itulah yang menyebabkan penularan sebagaimana klaim ilmu kedokteran, dan tidak melarang bahwa Allah Ta‘ala telah menjadikan pada penyakit itu penularan sebagaimana Allah menjadikan pada api sifat membakar, pada makanan sifat mengenyangkan, dan pada air sifat menghilangkan dahaga. Nabi ﷺ juga bersabda: “Janganlah orang yang sakit menular mencampuri yang sehat,” dan beliau menolak untuk berjual beli dengan penderita judzam.
وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ عُمَرَ بن الخطاب توجه إلى الشام فلما انتهى إلى سرغ تَلَقَّاهُ أُمَرَاءُ الْأَجْنَادِ وَأَخْبَرُوهُ بِحُدُوثِ الطَّاعُونِ بِالشَّامِ، فتوقف عن المسير وَشَاوَرَ الْمُهَاجِرِينَ فِي الْمَسِيرِ أَوِ الرُّجُوعِ فَاخْتَلَفُوا، وَشَاوَرَ الْأَنْصَارَ فَاخْتَلَفُوا وَكَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عوف غائباً عنهم فحضر فشاوره عُمَرُ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْمًا قَالَ عُمْرُ: مَا هُوَ، قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي وَادٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ وَأَنْتُمْ فِيهِ فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهُ ” فَحَمِدَ عُمَرُ اللَّهَ تَعَالَى وَرَجَعَ وَرَجَعَ النَّاسُ مَعَهُ.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa Umar bin Khattab berangkat menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, para pemimpin pasukan menemuinya dan memberitahukan bahwa telah terjadi wabah tha‘un di Syam. Maka Umar berhenti melanjutkan perjalanan dan bermusyawarah dengan para Muhajirin tentang apakah akan melanjutkan perjalanan atau kembali, lalu mereka berselisih pendapat. Umar juga bermusyawarah dengan kaum Anshar, dan mereka pun berselisih. Saat itu Abdurrahman bin Auf sedang tidak bersama mereka, lalu ia datang dan Umar bermusyawarah dengannya. Abdurrahman berkata: “Aku memiliki ilmu tentang hal ini.” Umar bertanya: “Apa itu?” Abdurrahman menjawab: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika kalian mendengar wabah itu terjadi di suatu lembah, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di tempat kalian berada, maka janganlah kalian keluar darinya.'” Maka Umar memuji Allah Ta‘ala dan kembali, dan orang-orang pun kembali bersamanya.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” لبن الحمقى يُعْدِي “.
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Susu orang dungu dapat menular.”
فَأَمَّا قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ ” فَالْمَقْصُودُ مِنْهُ رَدُّ قَوْلِهِمْ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ إِلَّا مِنْ عَدْوَى الْأَوَّلِ، وَلَوْلَاهُ مَا جَرِبَتْ، وَقَالَ: ” مِنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ ” أَيْ إِذَا كَانَ الْأَوَّلُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى يعني عَدْوَى كَانَ مَا بَعْدَهُ مِنْهُ.
Adapun sabda beliau ﷺ: “Siapa yang menularkan kepada yang pertama?” maka maksudnya adalah membantah anggapan mereka bahwa penyakit itu hanya terjadi karena penularan dari yang pertama, dan kalau bukan karena yang pertama, maka tidak akan tertular. Beliau bersabda: “Siapa yang menularkan kepada yang pertama?” Maksudnya, jika yang pertama berasal dari Allah Ta‘ala, maka penularan yang terjadi setelahnya pun berasal dari-Nya.
فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ أَضَافَ الشَّافِعِيُّ الْعَدْوَى إِلَى الْجُذَامِ وَالْبَرَصِ، وَلَمْ يُضِفْهُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى.
Jika ada yang bertanya: Mengapa asy-Syafi‘i menisbatkan penularan kepada penyakit judzam dan barash, dan tidak menisbatkannya kepada Allah Ta‘ala?
قِيلَ: عَلَى طَرِيقِ الِاسْتِعَارَةِ وَالتَّوَسُّعِ فِي الْعِبَارَةِ كَمَا يُقَالُ: طَالَتِ النَّخْلَةُ، وَقَصُرَ اللَّيْلُ وَأَثْمَرَتِ الشَّجَرَةُ وَإِنْ كَانَ اللَّهُ تَعَالَى هُوَ الْفَاعِلُ لِذَلِكَ.
Dijawab: Itu adalah dalam bentuk majas dan perluasan makna dalam ungkapan, sebagaimana dikatakan: “Pohon kurma itu tinggi,” “Malam itu pendek,” dan “Pohon itu berbuah,” padahal Allah Ta‘ala-lah yang sebenarnya melakukan semua itu.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَحْكَامِ الْعُيُوبِ فَوَجَدَ الزَّوْجُ بِالزَّوْجَةِ قَلِيلًا مِنْ بَرَصٍ أَوْ جذام عرض بِهِ فَانْتَشَرَ وَزَادَ حَتَّى صَارَ كَثِيرًا لَمْ يَكُنْ لَهُ خِيَارٌ، لِأَنَّ الرَّاضِي بِقَلِيلِهِ رَاضٍ بِكَثِيرِهِ، وَلِأَنَّ قَلِيلَهُ فِي الْغَالِبِ يَصِيرُ كَثِيرًا، وَلَوْ ظَهَرَ بِهَا بَرَصٌ فِي غَيْرِ الْمَكَانِ الْأَوَّلِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika telah jelas apa yang kami sebutkan tentang hukum-hukum cacat, lalu seorang suami mendapati pada istrinya sedikit barash atau judzam yang kemudian menyebar dan bertambah hingga menjadi banyak, maka ia tidak memiliki hak khiyar, karena ridha terhadap yang sedikit berarti ridha terhadap yang banyak, dan karena pada umumnya yang sedikit akan menjadi banyak. Jika muncul barash pada istrinya di tempat lain selain tempat pertama, maka hal ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الثَّانِي أقبح منظراً من الأول كأنه كَانَ الْأَوَّلُ فِي فَخْذِهَا وَحَدَثَ الثَّانِي فِي وَجْهِهَا فَلَهُ الْخِيَارُ نَصَّ عَلَيْهِ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” لِأَنَّ النَّفْسَ مِنَ الثَّانِي أَشَدُّ نُفُورًا مِنَ الأول.
Pertama: Jika yang kedua lebih buruk penampilannya daripada yang pertama, misalnya yang pertama di pahanya lalu yang kedua muncul di wajahnya, maka suami berhak khiyar. Ini dinyatakan dalam “al-Imla’”, karena jiwa lebih merasa jijik terhadap yang kedua daripada yang pertama.
والضرب الثاني: أن يكن مثل الأول في القبح، كأنه كَانَ الْأَوَّلُ فِي يَدِهَا الْيُمْنَى وَالثَّانِي فِي يَدِهَا الْيُسْرَى فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Jenis kedua: Jika yang kedua sama buruknya dengan yang pertama, misalnya yang pertama di tangan kanannya dan yang kedua di tangan kirinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهُ الْخِيَارُ، لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ فِي غَيْرِ مَكَانِ الْأَوَّلِ كَانَ عَيْبًا غَيْرَ الْأَوَّلِ.
Salah satu pendapat: Ia (suami) memiliki hak khiyār, karena jika cacat itu berada di tempat yang berbeda dari yang pertama, maka itu dianggap cacat yang berbeda dari yang pertama.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا خِيَارَ، لِأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الأول كالمتصل فَلَوْ رَضِيَ بِبَرَصِهَا فَظَهَرَ بِهَا جُذَامٌ كَانَ لَهُ الْخِيَارُ بِالْجُذَامِ دُونَ الْبَرَصِ، لِأَنَّهُ قَدْ تأنف نَفْسُهُ الْجُذَامَ، وَلَا تَعَافُ الْبَرَصَ وَلَوْ كَانَ بِهَا جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ فَلَمْ يَخْتَرْ فَسْخَ نِكَاحِهَا حَتَّى زَالَ وَبَرِئَ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Pendapat kedua: Tidak ada hak khiyār, karena itu termasuk jenis yang sama dengan yang pertama seperti cacat yang menyatu. Maka jika ia rela dengan penyakit baras (vitiligo) lalu ternyata terdapat penyakit judzam (lepra), maka ia berhak melakukan khiyār karena judzam, bukan karena baras, karena bisa jadi dirinya enggan terhadap judzam namun tidak merasa jijik terhadap baras. Dan jika pada dirinya terdapat penyakit judzam atau baras namun ia tidak memilih untuk membatalkan pernikahan hingga penyakit itu hilang dan sembuh, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَزُولَ قَبْلَ عِلْمِهِ بِهِ فَلَا خيار بعدم مَا يُوجِبُهُ.
Salah satunya: Jika penyakit itu hilang sebelum ia mengetahuinya, maka tidak ada hak khiyār karena sebab yang menimbulkannya telah tiada.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَزُولَ بَعْدَ علمه وقبل فسخه بعذر آخر عَنْهُ فَفِي خِيَارِهِ وَجْهَانِ:
Keadaan kedua: Jika penyakit itu hilang setelah ia mengetahuinya dan sebelum ia membatalkan pernikahan karena ada alasan lain, maka dalam hal hak khiyār ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهُ الْخِيَارُ اعْتِبَارًا بِالِابْتِدَاءِ.
Salah satunya: Ia tetap memiliki hak khiyār, berdasarkan pertimbangan awal mula (munculnya cacat).
وَالثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهُ اعْتِبَارًا بالانتهاء.
Pendapat kedua: Ia tidak memiliki hak khiyār, berdasarkan pertimbangan akhir (hilangnya cacat).
فَلَوْ وَجَدَ الزَّوْجُ بِهَا عَيْبًا وَوَجَدَتْ بِالزَّوْجِ عَيْبًا، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika suami mendapati istrinya memiliki cacat, dan istri juga mendapati suaminya memiliki cacat, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَخْتَلِفَ الْعَيْبَانِ فَيَكُونُ عَيْبُ أَحَدِهِمَا جُذَامًا وَعَيْبُ الْآخَرِ بَرَصًا، فَلِكُلِّ وَاحِدٍ الْخِيَارُ بِعَيْبِ صَاحِبِهِ، لِأَنَّ الْمَجْذُومَ قَدْ يَعَافُ الْأَبْرَصَ وَالْأَبْرَصُ قَدْ يَعَافُ الْمَجْذُومَ.
Salah satunya: Jika kedua cacat itu berbeda, misalnya cacat salah satunya adalah judzam dan cacat yang lain adalah baras, maka masing-masing dari keduanya memiliki hak khiyār atas cacat yang ada pada pasangannya, karena bisa jadi penderita judzam tidak merasa jijik terhadap penderita baras, dan penderita baras tidak merasa jijik terhadap penderita judzam.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَسَاوَى الْعَيْبَانِ فَيَكُونُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَرَصٌ أَوْ جُذَامٌ فَفِي ثُبُوتِ الْخِيَارِ وَجْهَانِ:
Keadaan kedua: Jika kedua cacat itu sama, misalnya masing-masing dari keduanya menderita baras atau judzam, maka dalam penetapan hak khiyār terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا خِيَارَ لتكافئهما وأنه ليس بنقص أَحَدُهُمَا عَنْ حَالَةِ صَاحِبِهِ.
Salah satunya: Tidak ada hak khiyār karena keduanya setara, dan tidak ada kekurangan salah satunya dibandingkan yang lain.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الْخِيَارَ، لِأَنَّهُ قَدْ يَعَافُ مِنْ غَيْرِهِ مَا لَا يَعَافُهُ مِنْ نَفْسِهِ مِنْ بُصَاقٍ وَمُخَاطٍ وَأَذًى – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Pendapat kedua: Masing-masing dari keduanya memiliki hak khiyār, karena bisa jadi seseorang merasa jijik terhadap sesuatu dari orang lain yang tidak ia rasakan terhadap dirinya sendiri, seperti air liur, ingus, dan gangguan lainnya — dan Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” فإن اخْتَارَ فِرَاقَهَا قَبْلَ الْمَسِيسِ فَلَا نِصْفَ مهرٍ وَلَا مُتْعَةَ وَإِنِ اخْتَارَ فِرَاقَهَا بَعْدَ الْمَسِيسِ فَصَدَّقَتْهُ أَنَّهُ لَمْ يَعْلَمْ فَلَهُ ذَلِكَ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا بِالْمَسِيسِ وَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ فِي عِدَّتِهَا وَلَا سُكْنَى وَلَا يَرْجِعُ بِالْمَهْرِ عَلَيْهَا ولا على وليها لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال في التي نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا باطلٌ فَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا ولم يرده به عليها وهي التي غرته فهو في النكاح الصحيح الذي للزوج فيه الخيار أولى أن يكون للمرأة وإذا كان لها لم يجز أن يغرمه وليها وقضى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي التي نكحت في عدتها أن لها الْمَهْرِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia (suami) memilih berpisah sebelum terjadi hubungan badan, maka tidak ada setengah mahar dan tidak ada mut‘ah. Jika ia memilih berpisah setelah terjadi hubungan badan, lalu istrinya membenarkan bahwa ia (suami) tidak mengetahui (cacat itu), maka itu boleh baginya dan istrinya berhak mendapatkan mahar mitsil karena telah terjadi hubungan badan, dan tidak ada nafkah baginya selama masa ‘iddah, tidak ada tempat tinggal, dan suami tidak boleh mengambil kembali mahar darinya maupun dari walinya. Karena Nabi ﷺ bersabda tentang wanita yang dinikahi tanpa izin walinya, maka nikahnya batal. Jika ia telah digauli, maka ia berhak mendapatkan mahar karena kemaluan yang telah dihalalkan, dan mahar itu tidak dikembalikan kepadanya, dan wanita itulah yang telah menipunya. Maka dalam pernikahan yang sah, di mana suami memiliki hak khiyār, lebih utama bagi wanita untuk mendapatkannya. Jika demikian, tidak boleh walinya dibebani (mengganti) mahar tersebut. Umar bin Khattab ra. memutuskan dalam kasus wanita yang dinikahi saat masa ‘iddah, bahwa ia berhak mendapatkan mahar.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا فُسِخَ النِّكَاحُ بِأَحَدِ الْعُيُوبِ فِي أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا مَهْرَ لَهَا وَلَا مُتْعَةَ سَوَاءٌ كَانَ الْفَسْخُ مَنْ قِبَلِهَا أَوْ مِنْ قِبَلِهِ، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ مِنْهَا سَقَطَ بِهِ مَهْرُهَا كَمَا لَوِ ارْتَدَّتْ، وَإِنْ كَانَ مِنَ الزَّوْجِ فَهُوَ لِعَيْبٍ فِيهَا فَصَارَ مُضَافًا إِلَيْهَا، وَيَكُونُ هذا فائدة الفسخ التي تخالف حُكْمَ الطَّلَاقِ أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ نِصْفُ الْمَهْرِ الَّذِي كَانَ يُلْزِمُهُ بِالطَّلَاقِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ قَبْلَ الدُّخُولِ وَهُوَ لَا يُعْلِمُ بِعَيْبِهَا ثُمَّ عَلِمَ كَانَ عَلَيْهِ نِصْفُ الْمَهْرِ ولم تسقط عَنْهُ بِظُهُورِهِ عَلَى الْعَيْبِ، لِأَنَّ النِّكَاحَ انْقَطَعَ بالطلاق، ولم يرفع بِالْفَسْخِ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي ” الْإِمْلَاءِ ” ثُمَّ لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا، وَلَا نَفَقَةَ لَهَا، وَلَا سُكْنَى، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجِبْ ذَلِكَ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَجِبَ بِالْفَسْخِ قَبْلَهُ.
Al-Mawardi berkata: “Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan: Jika pernikahan dibatalkan karena salah satu cacat pada salah satu pasangan, maka tidak lepas dari dua keadaan: sebelum terjadi hubungan badan atau sesudahnya. Jika sebelum terjadi hubungan badan, maka tidak ada mahar dan tidak ada mut‘ah, baik pembatalan itu dari pihak istri maupun dari pihak suami. Karena jika dari pihak istri, maka mahar gugur sebagaimana jika ia murtad. Jika dari pihak suami, maka itu karena cacat pada istri sehingga menjadi tanggung jawab istri. Dan ini merupakan faedah dari pembatalan yang membedakannya dari hukum talak, yaitu gugurnya setengah mahar yang seharusnya wajib dalam kasus talak. Berdasarkan hal ini, jika suami menceraikan istrinya sebelum terjadi hubungan badan tanpa mengetahui cacatnya, lalu ia mengetahuinya setelah itu, maka ia tetap wajib membayar setengah mahar dan tidak gugur kewajiban itu karena diketahuinya cacat tersebut, karena pernikahan telah putus dengan talak, bukan dengan pembatalan. Imam Syafi‘i menegaskan hal ini dalam kitab “Al-Imla’”. Kemudian, tidak ada masa ‘iddah baginya, tidak ada nafkah, dan tidak ada tempat tinggal, karena jika hal itu tidak wajib dalam talak sebelum terjadi hubungan badan, maka lebih utama lagi tidak wajib dalam pembatalan sebelum terjadi hubungan badan.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ كَانَ الْفَسْخُ بَعْدَ الدُّخُولِ وَذَلِكَ، بِأَنْ لَا يَعْلَمَ بِعَيْبِهَا حَتَّى يُصِيبَهَا فَيَكُونُ لَهُ الْفَسْخُ بَعْدَ الْإِصَابَةِ كَمَا كَانَ لَهُ قَبْلَهَا، فَإِنِ ادَّعَتْ عَلِمَهُ بِالْعَيْبِ قَبْلَ الْإِصَابَةِ وَأَنْكَرَهَا وَأَمْكَنَ الْأَمْرَانِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهِ عَدَمُ عِلْمِهِ وَثُبُوتُ خِيَارِهِ، فَإِذَا فُسِخَ النِّكَاحُ بَعْدَ الْإِصَابَةِ فَلَهَا مهر مثلها بالإصابة وسواء كَانَ الْفَسْخُ مِنْ جِهَتِهَا أَوْ مِنْ جِهَتِهِ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فلها المهر بما استحل من فرجها ” فإن قيل: أفليس لو وطء أَمَةً قَدِ اشْتَرَاهَا ثُمَّ رَدَّهَا بِعَيْبٍ لَمْ يلزمه بالوطء مهر فَهَلَّا كَانَتِ الْمَنْكُوحَةُ إِذَا رُدَّتْ بِعَيْبٍ لَمْ يَلْزَمْهُ بِوَطْئِهَا مَهْرٌ.
Jika pembatalan (fasakh) terjadi setelah terjadi hubungan suami istri, yaitu apabila suami tidak mengetahui adanya cacat pada istrinya hingga ia telah menggaulinya, maka ia tetap memiliki hak untuk membatalkan pernikahan setelah hubungan sebagaimana ia memilikinya sebelum itu. Jika istri mengklaim bahwa suaminya telah mengetahui cacat tersebut sebelum hubungan, namun suami mengingkarinya dan kedua kemungkinan itu sama-sama mungkin, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami dengan sumpahnya, karena asalnya adalah ia tidak mengetahui dan hak khiyar (pilihan) tetap ada padanya. Jika pernikahan dibatalkan setelah terjadi hubungan, maka istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar sepadan) karena telah terjadi hubungan, baik pembatalan itu dari pihak istri maupun dari pihak suami, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Maka baginya mahar karena telah dihalalkan kemaluannya.” Jika dikatakan: Bukankah jika seseorang menggauli budak perempuan yang telah ia beli lalu mengembalikannya karena cacat, ia tidak wajib membayar mahar karena hubungan tersebut? Mengapa jika istri yang dinikahi dikembalikan karena cacat, ia tetap wajib membayar mahar karena telah menggaulinya?
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْوَطْءَ فِي الْمِلْكِ غَيْرُ مَضْمُونٍ بِالْمَهْرِ وَفِي النِّكَاحِ مَضْمُونٌ بِالْمَهْرِ، لِأَنَّ الْمَعْقُودَ عَلَيْهِ فِي الْبَيْعِ الرَّقَبَةُ، وَفِي النِّكَاحِ الْمَنْفَعَةُ ثُمَّ أَوْجَبْنَا بِالْإِصَابَةِ مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، وَإِنْ كَانَ الْفَسْخُ بَعْدَ الْإِصَابَةِ لِأَنَّهُ بِعَيْبٍ تَقَدَّمَ عَلَى النِّكَاحِ فَصَارَتْ أَفْعَالُهُ مِنْ أَصِلِهِ فَسَقَطَ مَا تضمنه من صداق مسمى.
Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa hubungan badan dalam kepemilikan (budak) tidak mewajibkan mahar, sedangkan dalam pernikahan mewajibkan mahar. Karena yang menjadi objek akad dalam jual beli adalah budak itu sendiri, sedangkan dalam nikah adalah manfaat (hubungan). Kemudian kami mewajibkan mahar mitsil karena adanya hubungan, bukan mahar yang telah disebutkan dalam akad, meskipun pembatalan terjadi setelah hubungan, karena cacat tersebut sudah ada sebelum akad nikah, sehingga perbuatannya dianggap tidak sah sejak awal, maka gugurlah mahar yang telah ditetapkan dalam akad.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَلَيْهِ مَهْرَ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، فَهَلْ يَرْجِعُ بَعْدَ غُرْمِهِ عَلَى من غره أو لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Jika telah ditetapkan bahwa suami wajib membayar mahar mitsil, bukan mahar yang telah disebutkan dalam akad, maka apakah ia boleh menuntut kembali (menggugat) kepada pihak yang telah menipunya setelah ia membayar mahar tersebut atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ – يَرْجِعُ بِهِ لِقَوْلِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ تعال عَنْهُ – وَذَلِكَ لِزَوْجِهَا غُرْمٌ عَلَى وَلِيِّهَا، وَلِأَنَّ الْغَارَّ قَدْ أَلْجَأَهُ إِلَى الْتِزَامِ الْمَهْرِ بِهَذِهِ الإصابة ولولاه لما لزمه المهر إلا بإصابة مُسْتَدَامَةً فِي نِكَاحٍ ثَابِتٍ فَجَرَى مَجْرَى الشَّاهِدَيْنِ إِذَا أَلْزَمَاهُ بِشَهَادَتِهِمَا غُرْمًا ثُمَّ رَجَعَا لَزِمَهُمَا غُرْمُ مَا اسْتُهْلِكَ بِشَهَادَتِهِمَا.
Salah satunya—dan ini adalah pendapat dalam qaul qadim—ia boleh menuntut kembali, berdasarkan perkataan Umar radhiyallahu ta‘ala ‘anhu: “Itu adalah kerugian bagi suaminya yang menjadi tanggungan walinya.” Karena pihak yang menipu telah memaksanya untuk menanggung mahar karena hubungan ini, dan kalau bukan karena itu, ia tidak wajib membayar mahar kecuali karena hubungan yang terus berlangsung dalam pernikahan yang sah. Maka hal ini serupa dengan dua orang saksi yang menyebabkan seseorang menanggung kerugian dengan kesaksian mereka, lalu mereka menarik kembali kesaksiannya, maka keduanya wajib menanggung kerugian yang terjadi akibat kesaksian mereka.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ – لَا يَرْجِعُ عَلَى الْغَارِّ لِقَوْلِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيٍّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا ” وَلَمْ يَجْعَلْ لِلزَّوْجِ الرُّجُوعَ بِهِ عَلَى مَنْ غَرَّهُ فِي إِذْنِ الْوَلِيِّ أَوْ عَلَى مَنِ ادَّعَى فِي نِكَاحِهَا أَنَّهُ وَلِيٌّ فَدَلَّ عَلَى أَنْ لَا رُجُوعَ بِالْغَرُورِ، وَلِأَنَّ غُرْمَ الْمَهْرِ بَدَلٌ مِنِ اسْتِهْلَاكِهِ لِلْبُضْعِ وَاسْتِمْتَاعِهِ بِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْجِعَ بِغُرْمِ مَا أَوْجَبَهُ اسْتِهْلَاكُهُ، وَإِنْ كَانَ مَغْرُورًا كَالْمَغْرُورِ فِي مبيع قد استهلكه، ولأن لا يُجْمَعَ بَيْنَ تَمَلُّكِ الْبَدَلِ وَالْمُبْدَلِ، وَقَدْ يَمْلِكُ الاستمتاع الَّذِي هُوَ مُعَوَّضٌ مُبْدَلٌ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَمَلَّكَ الْمَهْرَ الَّذِي هُوَ عِوَضٌ بَدَلٌ فَإِذَا قُلْنَا: إِنَّهُ لَا رُجُوعَ لَهُ عَلَى مَنْ غَرَّهُ فَلَا مَسْأَلَةَ وَإِذَا قُلْنَا بِالرُّجُوعِ فَلَا يخول من غره من أن يكون الزوجة أو وليها أو أجنبي فَإِنْ غَرَّهُ الْوَلِيُّ أَوْ أَجْنَبِيٌّ رَجَعَ الزَّوْجُ عَلَيْهِ بَعْدَ غُرْمِهِ بِمَا غَرِمَهُ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، فَلَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ قَدْ أَبْرَأَتْهُ مِنْهُ لم يرجع به على الزَّوْجُ عَلَى الْغَارِّ، وَلَوْ رَدَّتْهُ عَلَيْهِ بَعْدَ قَبْضِهِ فَفِي رُجُوعِهِ وَجْهَانِ:
Pendapat kedua—ini adalah pendapat dalam qaul jadid—ia tidak boleh menuntut kembali kepada pihak yang menipu, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Siapa saja perempuan yang dinikahkan tanpa izin wali, maka nikahnya batal. Jika ia telah digauli, maka baginya mahar karena telah dihalalkan kemaluannya.” Dan Nabi tidak memberikan hak kepada suami untuk menuntut kembali kepada pihak yang menipunya dalam izin wali, atau kepada orang yang mengaku sebagai wali dalam pernikahan tersebut. Ini menunjukkan bahwa tidak ada hak tuntutan karena penipuan. Karena kerugian pembayaran mahar adalah sebagai ganti dari telah digunakannya kemaluan dan kenikmatan yang diperoleh darinya, maka tidak boleh menuntut kembali kerugian yang timbul akibat penggunaan tersebut, meskipun ia tertipu, sebagaimana orang yang tertipu dalam jual beli barang yang telah ia konsumsi. Juga, tidak boleh digabungkan antara memiliki pengganti dan barang yang digantikan; seseorang bisa saja memiliki kenikmatan yang merupakan objek pengganti, namun tidak boleh memiliki mahar yang merupakan kompensasi pengganti. Jika dikatakan bahwa ia tidak boleh menuntut kembali kepada pihak yang menipunya, maka tidak ada masalah. Namun jika dikatakan boleh menuntut kembali, maka tidak membatasi siapa yang menipunya, baik istri, wali, atau orang lain. Jika yang menipunya adalah wali atau orang lain, maka suami boleh menuntut kembali kepada mereka setelah ia membayar mahar mitsil. Jika istri telah membebaskan suami dari mahar tersebut, maka suami tidak boleh menuntut kembali kepada pihak yang menipu. Jika istri mengembalikan mahar tersebut setelah menerimanya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَرْجِعُ كالابن.
Salah satunya: Suami tidak boleh menuntut kembali, seperti kasus anak.
وَالثَّانِي: يَرْجِعُ، لِأَنَّ رَدَّهَا لَهُ ابْتِدَاءُ هِبَةٍ مِنْهَا، وَإِنْ كَانَتْ هِيَ الَّتِي غَرَّتْهُ لَمْ يَغْرَمْ لَهَا مِنَ الْمَهْرِ مَا يَرْجِعُ بِهِ عليها، لأنه غير مقيد وَفِيهِ وَجْهَانِ:
Yang kedua: Suami boleh menuntut kembali, karena pengembalian mahar oleh istri merupakan pemberian baru darinya. Jika istri sendiri yang menipu, maka suami tidak menanggung mahar yang dapat ia tuntut kembali darinya, karena tidak ada keterikatan, dan dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قَدْ سَقَطَ جَمِيعُ مَهْرِهَا بِالْغَرُورِ كَمَا يَرْجِعُ بِجَمِيعِهِ عَلَى غَيْرِهَا لَوْ غَرَّهُ.
Salah satunya: Seluruh mahar istri gugur karena penipuan, sebagaimana ia dapat menuntut seluruhnya kepada selain istri jika yang menipu adalah pihak lain.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ يَسْقُطُ مَهْرُ الْمِثْلِ إِلَّا أَقَلَّ ما يجوز أن يكون مهراً فيلتزمه لَهَا لِئَلَّا يَصِيرَ مُسْتَبِيحًا لِبُضْعِهَا بِغَيْرِ بَذْلٍ.
Pendapat kedua: Ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i dalam qaul qadim, bahwa gugur mahar mitsil kecuali sebesar paling sedikit yang boleh dijadikan mahar, maka ia wajib memberikannya kepada perempuan tersebut agar ia tidak menjadi orang yang menghalalkan kemaluannya tanpa memberikan imbalan.
فصل
Fasal
فأما العدة فواجبة عليها بالإصابة، لأنه فِرَاشٌ يَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا، وَأَمَّا النَّفَقَةُ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا فِي الْعِدَّةِ إِنْ كَانَتْ حَائِلًا لِارْتِفَاعِ الْعَقْدِ الْمُوجِبِ لَهَا وَلَا سُكْنَى لَهَا وَإِنْ وَجَبَتْ لِلْمَبْتُوتَةِ، وَفِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ لَهَا إِنْ كَانَتْ حَامِلًا، قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي نَفَقَةِ الْحَامِلِ هَلْ وَجَبَتْ لَهَا أَوْ لِحَمْلِهَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Adapun masa ‘iddah, maka wajib atasnya karena telah terjadi persetubuhan, sebab itu adalah tempat tidur (perkawinan) yang dengannya anaknya dinasabkan kepadanya. Adapun nafkah, maka tidak ada nafkah baginya selama masa ‘iddah jika ia tidak hamil, karena hilangnya akad yang mewajibkan nafkah tersebut, dan tidak ada pula hak tempat tinggal baginya, meskipun hak tersebut wajib bagi perempuan yang ditalak ba’in. Adapun kewajiban nafkah baginya jika ia hamil, terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan dua pendapat tentang nafkah perempuan hamil: apakah nafkah itu wajib untuk dirinya atau untuk kandungannya? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَجَبَتْ لَهَا بِالزَّوْجِيَّةِ، فَعَلَى هَذَا لَا نَفَقَةَ لِهَذِهِ لِارْتِفَاعِ عَقْدِ الزَّوْجِيَّةِ.
Salah satunya: Bahwa nafkah itu wajib untuk dirinya karena status sebagai istri. Maka menurut pendapat ini, tidak ada nafkah bagi perempuan ini karena akad pernikahan telah hilang.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ النَّفَقَةَ وَجَبَتْ لِحَمْلِهَا فَعَلَى هَذَا لَهَا النَّفَقَةُ، لِأَنَّ حَمْلَهَا فِي اللُّحُوقِ كَحَمْلِ الزَّوْجَةِ.
Pendapat kedua: Bahwa nafkah itu wajib untuk kandungannya. Maka menurut pendapat ini, ia berhak mendapatkan nafkah, karena kandungannya dalam hal nasab seperti kandungan seorang istri.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” وَمَا جَعَلْتُ لَهُ فِيهِ الْخِيَارَ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ ثُمَّ حَدَثَ بِهَا فَلَهُ الْخِيَارُ لِأَنَّ ذلك المعنى قائمٌ فيها لحقه في ذلك وحق الولد (قال المزني) رحمه الله وكذلك ما فسخ عقد نكاح الأمة من الطول إذا حدث بعد النكاح فسخه لأنه المعنى الذي يفسخ به النكاح (قال الشافعي) وكذلك هي فيه فإن اختارت فراقه قبل المسيس فلا مهر ولا متعة فإن لم تعلم حتى أصابها فاختارت فراقه فلها المهر مع الفراق والذي يكون به مثل الرتق بها أن يكون مجبوباً فأخيرها مكانها وأيهما تركه أو وطئ بعد العلم فلا خيار له (وقال) في القديم إن حدث به فلها الفسخ وليس له (قال المزني) أولى بقوله إنهما سواءٌ في الحديث كما كانا فيه سواءٌ قبل الحديث (قال) والجذام والبرص فيما زعم أهل العلم بالطب يعدي ولا تكاد نفس أحدٍ تطيب أن يجامع من هو به ولا نفس امرأةٍ بذلك منه وأما الولد فقلما يسلم فإن سلم أدرك ذلك نسله نسأل الله تعالى العافية والجنون والخبل لا يكون معهما تأدية لحق زوجٍ ولا زوجةٍ بعقلٍ ولا امتناعٌ من محرمٍ وقد يكون من مثله القتل “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Apabila aku memberikan hak khiyar (pilihan) dalam akad nikah, kemudian terjadi padanya (cacat), maka ia (pihak yang diberi khiyar) berhak memilih, karena sebab yang menjadi dasar hak itu masih ada padanya demi haknya dan hak anak (kata al-Muzani rahimahullah): Demikian pula jika akad nikah budak perempuan dibatalkan karena tidak mampu membayar mahar setelah akad, maka akadnya dibatalkan karena sebab yang membatalkan akad nikah (kata asy-Syafi‘i): Demikian pula dalam kasus ini, jika ia memilih berpisah sebelum terjadi hubungan badan, maka tidak ada mahar dan tidak ada mut‘ah. Namun jika ia tidak tahu hingga telah digauli lalu ia memilih berpisah, maka ia berhak atas mahar dengan berpisah. Adapun yang serupa dengan kasus perempuan yang tertutup kemaluannya (retq) adalah laki-laki yang terpotong kemaluannya (majbub), maka ia diberi hak memilih di tempatnya. Jika salah satu dari keduanya membiarkannya atau berhubungan setelah mengetahui, maka tidak ada lagi hak khiyar baginya. (Dan beliau berkata) dalam qaul qadim: Jika cacat itu terjadi padanya, maka ia berhak membatalkan, bukan suaminya. (Kata al-Muzani): Lebih utama menurut pendapatnya bahwa keduanya sama dalam kasus setelah terjadi cacat, sebagaimana keduanya sama sebelum terjadi cacat. (Beliau berkata): Penyakit kusta dan belang, menurut para ahli ilmu kedokteran, menular, dan hampir tidak ada seorang pun yang rela berhubungan dengan orang yang mengidapnya, demikian pula seorang perempuan terhadap suaminya yang demikian. Adapun anak, jarang yang selamat, dan jika selamat, maka penyakit itu akan menimpa keturunannya. Kita memohon keselamatan kepada Allah Ta‘ala. Adapun gila dan gangguan jiwa, tidak mungkin dengan keduanya dapat menunaikan hak suami istri dengan akal sehat, dan tidak bisa menahan diri dari yang haram, bahkan bisa jadi menyebabkan pembunuhan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الْعَيْبِ إِذَا كَانَ بِأَحَدِ الزَّوْجَيْنِ قَبْلَ الْعَقْدِ، فَأَمَّا الْعَيْبُ الْحَادِثُ بَعْدَ الْعَقْدِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan pembahasan tentang cacat apabila terjadi pada salah satu pasangan sebelum akad. Adapun cacat yang terjadi setelah akad, maka terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بِالزَّوْجِ فَلِلزَّوْجَةِ الْخِيَارُ فِيمَا حَدَثَ بِهِ مِنَ الْعُيُوبِ كَمَا ثَبَتَ لَهَا الْخِيَارُ فِيمَا تَقَدَّمَ مِنْهَا، وَلَا اعْتِبَارَ بِالنَّفَقَةِ وَكَمَا أَنَّ لَهَا أَنْ تَفْسَخَ بِرِقِّ الزَّوْجِ إِذَا حَدَثَ عِتْقُهَا بَعْدَ الْعَقْدِ كَمَا كَانَ لَهَا أَنْ تَفْسَخَ إِذَا تَقَدَّمَتْ حُرِّيَّتُهَا قَبْلَ الْعَقْدِ.
Pertama: Jika cacat itu terjadi pada suami, maka istri berhak memilih (khiyar) atas cacat yang terjadi padanya, sebagaimana ia berhak memilih atas cacat yang telah ada sebelumnya. Tidak ada pertimbangan nafkah. Sebagaimana ia berhak membatalkan pernikahan karena suaminya menjadi budak jika ia merdeka setelah akad, sebagaimana ia berhak membatalkan jika ia telah merdeka sebelum akad.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْعَيْبُ حَادِثًا بِالزَّوْجَةِ بَعْدَ الْعَقْدِ، فَفِي خِيَارِ الزَّوْجِ قَوْلَانِ:
Kedua: Jika cacat itu terjadi pada istri setelah akad, maka dalam hal hak khiyar suami terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ – لَا خِيَارَ لَهُ لِأَمْرَيْنِ:
Salah satunya: —dikatakan dalam qaul qadim— tidak ada hak khiyar baginya karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مَغْرُورًا بِهِ لحدوثه فإنه يقدر على دفع الغرور عَنْ نَفْسِهِ بِطَلَاقِهِ فَخَالَفَ مَا تَقَدَّمَ، لِأَنَّهُ كَانَ فِيهِ مَغْرُورًا، وَخَالَفَ الزَّوْجَةَ فِيمَا حَدَثَ، لِأَنَّهَا لَا تَقْدِرُ عَلَى الطَّلَاقِ.
Pertama: Ia tidak tertipu dengan cacat itu karena terjadi setelah akad, sehingga ia mampu menghindari penipuan terhadap dirinya dengan menceraikannya. Maka ini berbeda dengan yang sebelumnya, karena saat itu ia tertipu. Ini juga berbeda dengan istri dalam cacat yang terjadi, karena istri tidak mampu menceraikan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَهُ الْخِيَارُ فِي نِكَاحِ الْأَمَةِ بِعِتْقِهِ الْمُتَقَدِّمِ دُونَ الْحَادِثِ وَكَانَ لَهَا الْخِيَارُ فِي نِكَاحِ الْعَبْدِ بِعِتْقِهَا الْمُتَقَدِّمِ وَالْحَادِثِ كَذَلِكَ الْعُيُوبُ يَكُونُ لَهُ الْخِيَارُ بِالْمُتَقَدِّمِ مِنْهَا دُونَ الْحَادِثِ، وَيَكُونُ لَهَا الْخِيَارُ بِالْمُتَقَدِّمِ مِنْهَا وَالْحَادِثِ.
Kedua: Karena ia memiliki hak khiyar dalam pernikahan budak perempuan jika ia telah merdeka sebelumnya, bukan setelahnya. Dan istri memiliki hak khiyar dalam pernikahan budak laki-laki jika ia telah merdeka sebelumnya maupun setelahnya. Demikian pula dalam masalah cacat, suami memiliki hak khiyar atas cacat yang telah ada sebelumnya, bukan yang terjadi setelahnya, sedangkan istri memiliki hak khiyar atas cacat yang telah ada sebelumnya maupun yang terjadi setelahnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ – لَهُ الْخِيَارُ بِالْعُيُوبِ الْحَادِثَةِ وَالْمُتَقَدِّمَةِ لِأَمْرَيْنِ:
Pendapat kedua: —dikatakan dalam qaul jadid dan dipilih oleh al-Muzani— suami berhak khiyar atas cacat yang terjadi setelah akad maupun yang telah ada sebelumnya karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أن ما تستحقه من الخيار في مقابلة ما تستحق عَلَيْهِ مِنَ الْخِيَارِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ) {البقرة: 228) . فَلَمَّا اسْتَحَقَّتِ الزَّوْجَةُ عَلَيْهِ الْخِيَارَ بِالْعُيُوبِ الْحَادِثَةِ اسْتَحَقَّ الْخِيَارَ عَلَيْهَا بِالْعُيُوبِ الْحَادِثَةِ.
Pertama: Bahwa apa yang menjadi hak istri dalam hal khiyar sebagai balasan dari apa yang menjadi hak suami dalam hal khiyar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf} (al-Baqarah: 228). Maka ketika istri berhak khiyar atas cacat yang terjadi setelah akad, suami pun berhak khiyar atas cacat yang terjadi setelah akad.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ لَمَّا كَانَ الْعَقْدُ فِيهِ عَلَى مَنَافِعِهِ اسْتَوَى فِيهِ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْعُيُوبِ، وَمَا حَدَثَ كَالْإِجَارَةِ فَلَمَّا كَانَ لِلزَّوْجِ الْخِيَارُ بِمَا تَقَدَّمَ كَانَ لَهُ الْخِيَارُ بِمَا حَدَثَ.
Kedua: Karena akad (nikah) itu dilakukan atas manfaat-manfaatnya, maka sama saja antara cacat yang sudah ada sebelumnya maupun yang terjadi kemudian, seperti dalam akad ijarah (sewa-menyewa). Maka sebagaimana suami memiliki hak khiyar (memilih) atas cacat yang sudah ada sebelumnya, ia juga memiliki hak khiyar atas cacat yang terjadi kemudian.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ ثُبُوتِ الْخِيَارِ بِمَا حَدَثَ مِنَ الْعُيُوبِ فَفُسِخَ بِهِ النِّكَاحُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Apabila telah dipastikan apa yang telah kami sebutkan tentang tetapnya hak khiyar karena adanya cacat yang terjadi, lalu pernikahan dibatalkan karenanya, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا مَهْرَ فِيهِ لارتفاع العقد، وَسَوَاءٌ كَانَ الْفَسْخُ مِنْ قِبَلِ الزَّوْجِ أَوْ مِنْ قِبَلِ الزَّوْجَةِ لِمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Pertama: Jika pembatalan terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri (dukhul), maka tidak ada mahar karena akad telah gugur. Sama saja apakah pembatalan itu dari pihak suami atau istri, sebagaimana telah kami sebutkan. Namun jika pembatalan terjadi setelah dukhul, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْعَيْبُ حَادِثًا بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَهَا الْمَهْرُ الْمُسَمَّى لِاسْتِقْرَارِهِ بِالدُّخُولِ وَحُدُوثِ مَا أَوْجَبَ الْفَسْخَ بَعْدَ استقراره.
Pertama: Jika cacat itu terjadi setelah dukhul, maka istri berhak mendapatkan mahar yang telah disebutkan (mahar musamma) karena mahar itu telah tetap dengan terjadinya dukhul dan terjadinya sebab pembatalan setelah mahar itu tetap.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ حَادِثًا بَعْدَ الْعَقْدِ وَقَبْلَ الدُّخُولِ وَلَا يَعْلَمُ بِهِ إِلَّا بَعْدَ الدخول فلها مهر المثل دون المسمى، لأنه لَمَّا ارْتَفَعَ الْعَقْدُ بِعَيْبٍ تَقَدَّمَ عَلَى الدُّخُولِ صَارَ الدُّخُولُ فِي حُكْمِ الْحَادِثِ بَعْدَ ارْتِفَاعِ الْعَقْدِ فَسَقَطَ بِهِ الْمُسَمَّى، وَاسْتُحِقَّ بِمَا بَعْدَهُ مَهْرُ الْمِثْلِ.
Kedua: Jika cacat itu terjadi setelah akad dan sebelum dukhul, dan tidak diketahui kecuali setelah dukhul, maka istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar sepadan) bukan mahar yang telah disebutkan. Karena ketika akad gugur disebabkan cacat yang terjadi sebelum dukhul, maka dukhul dianggap sebagai sesuatu yang terjadi setelah gugurnya akad, sehingga mahar yang telah disebutkan gugur, dan yang berhak didapatkan adalah mahar mitsil untuk apa yang terjadi setelahnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا فَالْخِيَارُ فِيمَا تَقَدَّمَ مِنْ هَذِهِ الْعُيُوبِ وَحَدَثَ عَلَى الْفَوْرِ بَعْدَ الْعِلْمِ بِهَا، لِأَنَّهَا عُيُوبٌ قد عرف الحظر فِي الْفَسْخِ بِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَلَا ارْتِيَاءٍ فَجَرَى مَجْرَى الْعُيُوبِ فِي الْبَيْعِ الَّتِي يثبت فيها الخيار عَلَى الْفَوْرِ، وَخَالَفَ خِيَارَ الْأَمَةِ إِذَا أُعْتِقَتْ تحت عبد في أن خيارها فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ عَلَى التَّرَاخِي، لِأَنَّهَا تَحْتَاجُ فِي مَعْرِفَةِ الْحَظِّ لَهَا إِلَى زَمَانِ فِكْرٍ وَارْتِيَاءٍ، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالْفَسْخِ حَتَّى يَأْتِيَ الْحَاكِمُ فَيَحْكُمَ لَهُ بِالْفَسْخِ، لِأَنَّهُ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَلَمْ يَثْبُتْ إِلَّا بِحُكْمٍ، وَخَالَفَ عِتْقَ الْأَمَةِ تَحْتَ عَبْدٍ فِي جَوَازِ تَفَرُّدِهَا بِالْفَسْخِ، لِأَنَّهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فَإِنْ تَصَادَقَ الزَّوْجَانِ عَلَى الْعَيْبِ فَسَخَ الْحَاكِمُ النِّكَاحَ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ تَنَاكَرَا فَادَّعَاهُ الزَّوْجُ وَأَنْكَرَتْهُ الزَّوْجَةُ كلف المدعي ببينة، فإن أقامها وإلا أحلف الْمُنْكِرُ وَلَا فَسْخَ، لِأَنَّ الْأَصْلَ السَّلَامَةُ مِنَ الْعُيُوبِ فَلَوْ تَصَادَقَ الزَّوْجَانِ عَلَى الْعَيْبِ وَاتَّفَقَا على الفسخ عن تراضي فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ:
Apabila telah tetap apa yang kami jelaskan, maka hak khiyar atas cacat-cacat yang telah lalu dan yang terjadi itu harus segera dilakukan setelah mengetahui adanya cacat tersebut. Karena cacat-cacat itu sudah diketahui kebolehannya untuk membatalkan (nikah) tanpa perlu berpikir panjang atau pertimbangan, sehingga hukumnya seperti cacat dalam jual beli yang hak khiyarnya juga harus segera dilakukan. Hal ini berbeda dengan hak khiyar budak perempuan jika ia dimerdekakan saat masih menjadi istri budak laki-laki, di mana menurut salah satu pendapat hak khiyarnya boleh ditunda, karena ia membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan maslahat baginya. Jika demikian, maka tidak boleh membatalkan (nikah) sendiri hingga datang hakim dan memutuskan pembatalan untuknya, karena masalah ini diperselisihkan sehingga tidak tetap kecuali dengan keputusan hakim. Berbeda dengan kasus budak perempuan yang dimerdekakan saat menjadi istri budak laki-laki, di mana ia boleh membatalkan sendiri karena sudah menjadi kesepakatan. Jika suami istri sepakat atas adanya cacat, maka hakim membatalkan pernikahan di antara keduanya. Jika mereka berselisih, suami mengklaim adanya cacat dan istri mengingkarinya, maka yang mengklaim harus mendatangkan bukti. Jika ia mampu mendatangkan bukti, maka diterima; jika tidak, maka yang mengingkari diminta bersumpah dan tidak terjadi pembatalan, karena asalnya adalah bebas dari cacat. Jika suami istri sepakat atas adanya cacat dan sepakat untuk membatalkan dengan kerelaan, maka dalam kebolehannya ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ، لِأَنَّ الْحُكْمَ عِنْدَ التَّنَازُعِ.
Pertama: Boleh, karena keputusan (hakim) itu hanya diperlukan saat terjadi perselisihan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ، لِأَنَّ ما اشتبه حكمه لم يتعين إلا بالحكم – والله أعلم.
Pendapat kedua: Tidak boleh, karena perkara yang hukumnya masih samar tidak dapat dipastikan kecuali dengan keputusan hakim – dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلِوَلِيِّهَا مَنْعُهَا مِنْ نِكَاحِ الْمَجْنُونِ كَمَا يَمْنَعُهَا من غير كفءٍ فإن قيل فهل في حكم بينهما فيه الخيار أو الفرقة؟ قيل نعم المولى يمتنع من الجماع بيمين لو كانت على غير مأثمٍ كانت طاعة الله أن لا يحنث فأرخص له في الحنث بكفارة اليمين فإن لم يفعل وجب عليه الطلاق والعلم محيطٌ بأن الضرر بمباشرة الأجذم والأبرص والمجنون والمخبول أكثر منها بترك مباشرة المولى ما لم يحنث “.
Imam Syafi‘i berkata: “Wali perempuan boleh mencegahnya menikah dengan orang gila, sebagaimana ia boleh mencegahnya menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu’. Jika ditanyakan, apakah dalam hukum antara keduanya ada hak khiyar atau perpisahan? Jawabnya: Ya, suami yang tidak mampu berhubungan badan karena sumpah (ila’) – jika sumpah itu bukan dalam perkara maksiat, maka ketaatan kepada Allah adalah tidak melanggar sumpah tersebut. Namun, ia diberi keringanan untuk melanggar sumpah dengan membayar kafarat. Jika tidak melakukannya, maka ia wajib menceraikan istrinya. Dan sudah diketahui bahwa bahaya berhubungan dengan orang yang berpenyakit kusta, belang, gila, dan terganggu akal lebih besar daripada bahaya tidak berhubungan dengan suami yang tidak melanggar sumpah.”
قال الماوردي: أما إذا أوصى الْوَلِيُّ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِمَنْ فِيهِ أَحَدُ هَذِهِ الْعُيُوبِ فَامْتَنَعَتْ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا، وَلَيْسَ لِلْوَلِيِّ إِجْبَارُهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ أَبًا، لِمَا فِيهِ مِنْ تَفْوِيتِ حَقِّهَا مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ زَوَّجَهَا بِهِ لَكَانَ لَهَا الْفَسْخُ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ لَهَا الِامْتِنَاعُ قَبْلَ الْعَقْدِ، فَأَمَّا إِذَا رَضِيَتْ بِمَنْ فِيهِ أَحَدُ هَذِهِ الْعُيُوبِ، وَامْتَنَعَ الْوَلِيُّ فَالْعُيُوبُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Adapun jika wali berwasiat agar menikahkan perempuan dengan seseorang yang memiliki salah satu cacat ini, lalu perempuan itu menolak, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat perempuan tersebut, dan wali tidak boleh memaksanya, meskipun ia adalah ayahnya, karena hal itu berarti menghilangkan haknya untuk mendapatkan kenikmatan (pernikahan). Dan jika wali tetap menikahkannya dengan orang yang memiliki cacat tersebut, maka perempuan itu berhak membatalkan pernikahan. Maka lebih utama baginya untuk berhak menolak sebelum akad. Adapun jika perempuan itu ridha dengan orang yang memiliki salah satu cacat ini, namun wali menolak, maka cacat-cacat itu terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهُمَا: مَا لِلْوَلِيِّ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ نِكَاحِ مَنْ هِيَ فِيهِ، وَذَلِكَ الْجُنُونُ وَالْخَبَلُ لِمَا فِيهِ مِنْ عار على الأولياء فكان لهم دفعه عنه بِالِامْتِنَاعِ.
Pertama: Cacat yang wali boleh mencegahnya menikah dengan orang yang memilikinya, yaitu kegilaan dan gangguan akal, karena hal itu membawa aib bagi para wali, sehingga mereka berhak menolaknya dengan menahan (pernikahan).
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَنْعُهَا من نكاح من هي فيه، وذلك العنت، والجب، والخصاء لأنه عَارَ فِيهِ عَلَى الْأَوْلِيَاءِ، وَإِنَّمَا يَخْتَصُّ بِعَدَمِ الاستمتاع الذي هو حق لا دُونَ الْأَوْلِيَاءِ.
Bagian kedua: Yaitu perkara yang wali tidak berhak melarangnya dari menikah dengan orang yang memiliki cacat tersebut, yaitu seperti impoten, penis terpotong, dan dikebiri, karena hal itu merupakan aib bagi para wali, dan yang menjadi kekhususan hanyalah tidak adanya kenikmatan yang merupakan hak istri, bukan hak para wali.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: مَا اخْتَلَفَ فِيهِ أَصْحَابُنَا فِيهِ، وَهُوَ الْجُذَامُ، وَالْبَرَصُ وَفِيهِ وَجْهَانِ:
Bagian ketiga: Yaitu perkara yang diperselisihkan oleh para ulama kami, yaitu penyakit kusta dan belang (vitiligo), dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَنْعُهَا مِنْ مَجْذُومٍ وَلَا أبرص لاختصاصها بِالِاسْتِمْتَاعِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ.
Salah satunya: Wali tidak berhak melarangnya dari menikah dengan orang yang mengidap kusta atau belang, karena hal itu berkaitan dengan kenikmatan (istri), dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ مَنْعُهَا مِنْهُمَا لِنُفُورِ النُّفُوسِ مِنْهُمَا، وَلِتَعَدِّي ذَلِكَ إِلَى نَسْلِهَا فَأَمَّا إِنْ حَدَثَتْ هَذِهِ الْعُيُوبُ فِي الزَّوْجِ بَعْدَ الْعَقْدِ فَالْخِيَارُ لَهَا دُونَ الْأَوْلِيَاءِ فَإِنْ رَضِيَتْ وَكَرِهَ الْأَوْلِيَاءُ كَانَ رِضَاهَا أَوْلَى وَلَا اعْتِرَاضَ لِلْأَوْلِيَاءِ، لِأَنَّ حَقَّهُمْ مُخْتَصٌّ بِطَلَبِ الْكَفَاءَةِ فِي ابْتِدَاءِ الْعَقْدِ دون استدامته.
Pendapat kedua: Wali berhak melarangnya dari menikah dengan keduanya, karena jiwa manusia cenderung menjauh dari mereka, dan karena hal itu dapat menular kepada keturunannya. Adapun jika cacat-cacat ini muncul pada suami setelah akad, maka hak memilih (untuk melanjutkan atau membatalkan pernikahan) ada pada istri, bukan pada para wali. Jika istri ridha sementara para wali tidak suka, maka keridhaan istri lebih utama dan tidak ada hak bagi para wali untuk memprotes, karena hak mereka hanya khusus dalam menuntut kafa’ah (kesepadanan) pada awal akad, bukan dalam kelangsungannya.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” وَلَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا مسلمةٌ فَإِذَا هِيَ كتابيةٌ كَانَ لَهُ فَسْخُ النِّكَاحِ بِلَا نِصْفِ مهرٍ وَلَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا كتابيةٌ فَإِذَا هِيِ مسلمةٌ لَمْ يَكُنْ لَهُ فَسْخُ النِّكَاحِ لِأَنَّهَا خيرٌ من كتابية (قال المزني) رحمه الله هذا يدل عَلَى أَنَّ مَنِ اشْتَرَى أَمَةً عَلَى أَنَّهَا نصرانية فأصابها مسلمةً فليس للمشتري أن يردها وإذا اشتراها على أنها مسلمةً فوجدها نصرانية فله أن يردها “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: “Jika seseorang menikahi wanita dengan anggapan bahwa ia seorang muslimah, ternyata ia seorang ahli kitab, maka ia berhak membatalkan akad nikah tanpa mendapatkan setengah mahar. Dan jika ia menikahi wanita dengan anggapan bahwa ia seorang ahli kitab, ternyata ia seorang muslimah, maka ia tidak berhak membatalkan akad nikah, karena muslimah lebih baik daripada ahli kitab.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Ini menunjukkan bahwa siapa yang membeli budak perempuan dengan anggapan bahwa ia seorang Nasrani, lalu ternyata ia seorang muslimah, maka pembeli tidak berhak mengembalikannya. Dan jika ia membelinya dengan anggapan bahwa ia seorang muslimah, lalu ternyata ia seorang Nasrani, maka ia berhak mengembalikannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَنَّ خِلَافَ الصِّفَةِ الْمَشْرُوطَةِ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ هَلْ تَجْرِي مَجْرَى خِلَافِ الْعَيْنِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا مُسْلِمَةٌ فَوَجَدَهَا نَصْرَانِيَّةً فَفِي النِّكَاحِ قَوْلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya tentang perbedaan sifat yang disyaratkan dalam akad nikah, apakah diperlakukan seperti perbedaan zat atau tidak? Ada dua pendapat. Jika seseorang menikahi wanita dengan anggapan bahwa ia seorang muslimah, lalu ternyata ia seorang Nasrani, maka dalam akad nikah terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Salah satunya: Batal.
وَالثَّانِي: جائز نص عليه هاهنا، وَهَلْ لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ النِّكَاحِ أَمْ لا؟ على قولين،
Yang kedua: Sah, sebagaimana dinyatakan di sini. Dan apakah ia berhak memilih untuk membatalkan akad nikah atau tidak? Ada dua pendapat,
أحدها: لَا خِيَارَ لَهُ.
Salah satunya: Tidak ada hak memilih baginya.
وَالثَّانِي: لَهُ الْخِيَارُ نَصَّ عليه هاهنا، وَهَكَذَا لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا نَصْرَانِيَّةٌ فَكَانَتْ مسلمة كان عَلَى قَوْلَيْنِ:
Yang kedua: Ia berhak memilih, sebagaimana dinyatakan di sini. Demikian pula jika ia menikahi wanita dengan anggapan bahwa ia seorang Nasrani, lalu ternyata ia seorang muslimah, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Salah satunya: Batal.
وَالثَّانِي: جَائِزٌ وَلَا خِيَارَ لَهُ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ الْمُسْلِمَةَ أَعْلَى حَالًا مِنَ النَّصْرَانِيَّةِ، فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ، فَإِنَّهُ اسْتَدَلَّ بِذَلِكَ عَلَى أَنَّ مَنِ اشْتَرَى أَمَةً عَلَى أَنَّهَا مُسْلِمَةٌ فَكَانَتْ نَصْرَانِيَّةً أَنَّ لَهُ الْخِيَارَ، وَلَوِ اشْتَرَاهَا عَلَى أَنَّهَا نَصْرَانِيَّةٌ، فَكَانَتْ مُسْلِمَةً فَلَيْسَ لَهُ خِيَارٌ كَالنِّكَاحِ فَرَدَّ أَصْحَابُنَا ذَلِكَ عليه، وقالوا له: في البيع الْخِيَارِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ بِخِلَافِ النِّكَاحِ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْبَيْعِ وُفُوْرُ الثَّمَنِ، وَالثَّمَنُ يَتَوَفَّرُ بِكَثْرَةِ الطَّالِبِ وَطَالِبُ النَّصْرَانِيَّةِ أَكْثَرُ مِنْ طَالِبِ الْمُسْلِمَةِ، لِأَنَّ النَّصْرَانِيَّةَ يَشْتَرِيهَا الْمُسْلِمُونَ وَالنَّصَارَى وَالْمُسْلِمَةُ لَا يَشْتَرِيهَا إِلَّا الْمُسْلِمُونَ دُونَ النَّصَارَى فَإِذَا اشْتَرَاهَا عَلَى أَنَّهَا نَصْرَانِيَّةٌ فَكَانَتْ مُسْلِمَةً كَانَ لَهُ الْخِيَارُ، لِأَنَّهَا أَقَلُّ طَلَبًا فَصَارَتْ أَقَلَّ ثَمَنًا، وَلَوِ اشْتَرَاهَا عَلَى أَنَّهَا مُسْلِمَةٌ فَكَانَتْ نَصْرَانِيَّةً فَلَهُ الْخِيَارُ لِنَقْصِهَا بِالدِّينِ، وَأَنَّ الْمُسْلِمَةَ أَحْسَنُ مِنْهَا عِشْرَةً، وَأَكْثَرُ نَظَافَةً وَطَهَارَةً، وَلَيْسَ كَذَلِكَ النِّكَاحُ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ الْعِشْرَةُ وَحُسْنُ الصُّحْبَةِ وَكَمَالُ الْمُتْعَةِ، وَهَذَا كُلُّهُ فِي الْمُسْلِمَةِ أَوْجَدُ مِنْهُ فِي النَّصْرَانِيَّةِ، فَافْتَرَقَ حُكْمُ البيع والنكاح بما ذكرناه.
Yang kedua: Sah dan tidak ada hak memilih baginya menurut satu pendapat, karena muslimah lebih utama daripada Nasraniyah. Adapun al-Muzani, ia berdalil dengan hal itu bahwa siapa yang membeli budak perempuan dengan anggapan bahwa ia seorang muslimah, lalu ternyata ia seorang Nasrani, maka ia berhak memilih. Dan jika ia membelinya dengan anggapan bahwa ia seorang Nasrani, lalu ternyata ia seorang muslimah, maka ia tidak berhak memilih, sebagaimana dalam nikah. Namun para ulama kami membantahnya dan berkata: Dalam jual beli, hak memilih ada pada kedua kondisi tersebut, berbeda dengan nikah, karena tujuan dari jual beli adalah memperoleh harga yang tinggi, dan harga akan tinggi jika banyak peminatnya. Peminat budak Nasrani lebih banyak daripada budak muslimah, karena budak Nasrani dapat dibeli oleh kaum muslimin dan Nasrani, sedangkan budak muslimah hanya dapat dibeli oleh kaum muslimin saja, tidak oleh Nasrani. Maka jika seseorang membelinya dengan anggapan bahwa ia seorang Nasrani, lalu ternyata ia seorang muslimah, maka ia berhak memilih, karena peminatnya lebih sedikit sehingga harganya lebih rendah. Dan jika ia membelinya dengan anggapan bahwa ia seorang muslimah, lalu ternyata ia seorang Nasrani, maka ia berhak memilih karena kekurangannya dalam agama, dan muslimah lebih baik dalam pergaulan, lebih bersih dan lebih suci. Tidak demikian halnya dengan nikah, karena tujuan dari nikah adalah pergaulan, kebersamaan yang baik, dan kesempurnaan kenikmatan, dan semua itu lebih banyak terdapat pada muslimah daripada Nasraniyah. Maka berbeda hukum jual beli dan nikah sebagaimana telah dijelaskan.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا تَزَوَّجَتْ مُسْلِمَةٌ رَجُلًا عَلَى أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَكَانَ نَصْرَانِيًّا فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ، وَكَذَلِكَ لَوْ تزوجت بِغَيْرِ شَرْطٍ، لَأَنَّ الْمُسْلِمَةَ لَا تَحِلُّ لِكَافِرٍ وَلَوْ تَزَوَّجَتْ نَصْرَانِيَّةٌ رَجُلًا عَلَى أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَكَانَ نَصْرَانِيًّا فَفِي النِّكَاحِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى:
Jika seorang perempuan Muslimah menikah dengan seorang laki-laki dengan anggapan bahwa ia adalah seorang Muslim, ternyata ia seorang Nasrani, maka pernikahan itu batal. Demikian pula jika ia menikah tanpa syarat, karena seorang Muslimah tidak halal bagi seorang kafir. Dan jika seorang perempuan Nasrani menikah dengan seorang laki-laki dengan anggapan bahwa ia seorang Muslim, ternyata ia seorang Nasrani, maka dalam pernikahan itu terdapat dua pendapat sebagaimana telah lalu:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Salah satunya: batal.
وَالثَّانِي: جَائِزٌ وَلَهَا الْخِيَارُ قَوْلًا وَاحِدًا لِنُقْصَانِ دِينِهِ، وَأَنَّهَا لَا تَمْلِكُ فِرَاقَهُ إِلَّا بِالْفَسْخِ وَلَوْ تَزَوَّجَتْهُ عَلَى أَنَّهُ نَصْرَانِيٌّ فَكَانَ مُسْلِمًا، فَفِي النِّكَاحِ قَوْلَانِ:
Dan yang kedua: sah, dan ia (perempuan Nasrani) memiliki hak memilih (untuk melanjutkan atau berpisah) menurut satu pendapat, karena kekurangan agamanya, dan ia tidak berhak memutuskan hubungan kecuali dengan fasakh. Jika ia menikah dengan anggapan bahwa laki-laki itu Nasrani, ternyata ia seorang Muslim, maka dalam pernikahan itu terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Salah satunya: batal.
وَالثَّانِي: جَائِزٌ، وَلَهَا الْخِيَارُ وَإِنْ كَانَ الْمُسْلِمُ أَفْضَلَ دِينًا، لِأَنَّهَا إِلَى مَنْ وَافَقَهَا فِي الدِّينِ أَرْغَبُ وَهِيَ مِمَّنْ خَالَفَهَا فِيهِ أنفر.
Dan yang kedua: sah, dan ia memiliki hak memilih, meskipun seorang Muslim lebih utama dalam agama, karena ia lebih cenderung kepada orang yang seagama dengannya dan lebih enggan kepada orang yang berbeda agama dengannya.
فصل
Fasal
وإذا تَزَوَّجَ الْمُسْلِمُ امْرَأَةً بِغَيْرِ شَرْطٍ يَظُنُّهَا مُسْلِمَةً فكانت نصرانية، فالنكاح جائز لا خِيَارَ لَهُ وَلَوْ تَزَوَّجَهَا يَظُنُّهَا حُرَّةً فَكَانَتْ أَمَةً فَالنِّكَاحُ جَائِزٌ إِذَا كَانَ مِمَّنْ يَحِلُّ لَهُ نِكَاحُ الْإِمَاءِ، وَفِي خِيَارِهِ وَجْهَانِ:
Jika seorang Muslim menikahi seorang perempuan tanpa syarat dengan anggapan bahwa ia seorang Muslimah, ternyata ia seorang Nasrani, maka pernikahan itu sah dan ia tidak memiliki hak memilih. Jika ia menikahinya dengan anggapan bahwa ia seorang perempuan merdeka, ternyata ia seorang budak, maka pernikahan itu sah jika ia termasuk orang yang halal menikahi budak perempuan. Dalam hal hak memilih, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ – لَا خِيَارَ لَهُ كَالنَّصْرَانِيَّةِ.
Salah satunya—dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi—ia tidak memiliki hak memilih, sebagaimana dalam kasus perempuan Nasrani.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ – لَهُ الْخِيَارُ.
Dan pendapat kedua—dan ini adalah pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah—ia memiliki hak memilih.
وَالْفَرْقُ بينهما: أن ولي النصرانية متميز الهبة عَنْ وَلِيِّ الْمُسْلِمَةِ وَوَلِيَّ الْأَمَةِ لَا يَتَمَيَّزُ عَنْ وَلِيِّ الْحُرَّةِ وَلِأَنَّ وَلَدَهُ مِنَ الْأَمَةِ مَرْقُوقٌ وَمِنَ النَّصْرَانِيَّةِ مُسْلِمٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Perbedaan antara keduanya: wali perempuan Nasrani berbeda dengan wali perempuan Muslimah dalam hal pemberian, sedangkan wali budak perempuan tidak berbeda dengan wali perempuan merdeka. Selain itu, anak dari budak perempuan adalah budak, sedangkan anak dari perempuan Nasrani adalah Muslim. Dan Allah lebih mengetahui.
Bab: Budak perempuan yang menipu tentang dirinya sendiri, dari al-Jāmi‘ dari Kitab Nikah yang baru, dan dari isyarat dalam khitbah, dan dari nikah yang lama, dan dari nikah dan talak, sebagai penjelasan atas masalah-masalah Malik.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا وكل بتزويج أَمَتِهِ فَذَكَرَتْ وَالْوَكِيلُ أَوْ أَحَدُهُمَا أَنَّهَا حرةٌ فتزوجها ثم علم فله الخيار فإن اختار فراقها قبل الدخول فلا نصف مهر ولا منعه وإن أصابها فلها مهر مثلها كان أكثر مما سمى أو أقل لأن فراقها فسخ ولا يرجع به فإن كانت ولدت فهم أحرارٌ وعليه قيمتهم يوم سقطوا وذلك أول ما كان حكمهم حكم أنفسهم لسيد الأمة “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang mewakilkan pernikahan budak perempuannya, lalu ia atau wakilnya menyebutkan bahwa ia adalah perempuan merdeka, kemudian dinikahi dan setelah itu diketahui kenyataannya, maka ia (suami) memiliki hak memilih. Jika ia memilih berpisah sebelum terjadi hubungan suami istri, maka tidak ada setengah mahar dan tidak ada larangan baginya. Namun jika telah digauli, maka ia berhak mendapatkan mahar yang sepadan, baik lebih banyak maupun lebih sedikit dari yang telah disebutkan, karena perpisahan itu adalah fasakh dan tidak dapat ditarik kembali. Jika ia telah melahirkan anak, maka anak-anaknya adalah orang merdeka dan suami wajib membayar nilai mereka pada hari mereka lahir, karena pada awalnya hukum mereka mengikuti hukum ibunya sebagai budak milik tuannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ قَدْ مَضَتْ وَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى أَنَّهَا حُرَّةٌ فَتَكُونُ أَمَةً، فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ مِمَّنْ لَا يَنْكِحُ الْأَمَةَ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَنْكِحُ الْأَمَةَ إِلَّا أَنَّهَا مَنْكُوحَةٌ بِغَيْرِ إِذْنِ السَّيِّدِ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَتْ مَنْكُوحَةً بِإِذْنِ السَّيِّدِ، فَإِنْ كَانَ هُوَ الَّذِي شَرَطَ حُرِّيَّتَهَا فَقَدْ عَتَقَتْ وَالنِّكَاحُ جَائِزٌ، وَإِنْ كَانَ غَيْرُهُ هُوَ الَّذِي شَرَطَ حُرِّيَّتَهَا إِمَّا هِيَ أَوْ وَكِيلُهُ أَوْ هُمَا فَهِيَ حِينَئِذٍ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ وَفِي النِّكَاحِ قَوْلَانِ حُرًّا كَانَ الزَّوْجُ أَوْ عَبْدًا:
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah disebutkan sebelumnya, yaitu jika seseorang menikahi seorang perempuan dengan anggapan bahwa ia merdeka, ternyata ia adalah budak. Jika suami termasuk orang yang tidak boleh menikahi budak perempuan, maka pernikahan itu batal. Jika ia termasuk orang yang boleh menikahi budak perempuan, tetapi pernikahan dilakukan tanpa izin tuan, maka pernikahan itu batal. Jika pernikahan dilakukan dengan izin tuan, dan suami sendiri yang mensyaratkan kemerdekaannya, maka ia menjadi merdeka dan pernikahan sah. Namun jika yang mensyaratkan kemerdekaan itu bukan suami, melainkan ia sendiri, wakilnya, atau keduanya, maka ini adalah masalah yang dibahas dalam kitab, dan dalam pernikahan itu terdapat dua pendapat, baik suaminya merdeka maupun budak:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ، فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا، فَإِنْ أَوْلَدَهَا كَانَ وَلَدُهُ حراً، لأنه على شرط الحرية، أو ولده سَوَاءٌ كَانَ الزَّوْجُ حُرًّا أَوْ عَبْدًا، فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ حُرًّا غَرِمَ مَهْرَ الْمِثْلِ وَقِيمَةِ الْوَلَدِ وَقْتَ الْوِلَادَةِ وَرَجَعَ بِقِيمَةِ الْوَلَدِ عَلَى مَنْ غَرَّهُ، لِأَنَّهُ أَلْجَأَهُ إِلَى غُرْمِهِ، وَهَلْ يَرْجِعُ بِمَهْرِ مِثْلِهَا عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قولين، وإن كان الزوج عبداً ففي ما قَدْ لَزِمَهُ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَقِيمَةِ الْوَلَدِ على ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
Salah satunya: batal. Jika belum digauli, maka dipisahkan di antara keduanya dan tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Jika sudah digauli, maka wajib membayar mahar yang sepadan. Jika ia melahirkan anak, maka anaknya merdeka, karena berdasarkan syarat kemerdekaan, baik suaminya merdeka maupun budak. Jika suaminya merdeka, maka ia wajib membayar mahar yang sepadan dan nilai anak pada saat lahir, lalu ia menuntut nilai anak itu kepada pihak yang menipunya, karena pihak itulah yang menyebabkan ia harus menanggung kerugian itu. Apakah ia juga menuntut mahar yang sepadan atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat. Jika suaminya budak, maka kewajiban membayar mahar yang sepadan dan nilai anak ada tiga pendapat:
أَحَدُهَا: فِي كَسْبِهِ.
Salah satunya: dari hasil kerjanya.
وَالثَّانِي: فِي ذِمَّتِهِ إِذَا أَيْسَرَ بَعْدَ عِتْقِهِ.
Yang kedua: menjadi tanggungannya jika ia mampu setelah dimerdekakan.
وَالثَّالِثُ: فِي رَقَبَتِهِ يُبَاعُ فِيهِ إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ سَيِّدُهُ، وَهَذِهِ الْأَقَاوِيلُ الثَّلَاثَةُ مِنْ أَصْلَيْنِ فِي كُلِّ أَصْلٍ مِنْهُمَا قَوْلَانِ:
Yang ketiga: dari tubuhnya, yaitu ia dijual untuk menutupi kewajiban itu, kecuali jika tuannya menebusnya. Tiga pendapat ini berasal dari dua pokok, dan dalam setiap pokok terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا نَكَحَ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدُهُ، هَلْ يَكُونُ الْمَهْرُ إِنْ وَطِئَهَا فِي ذِمَّتِهِ أَوْ فِي رَقَبَتِهِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Salah satunya: Jika seorang budak menikah tanpa izin tuannya, apakah mahar—jika ia telah menggaulinya—menjadi tanggungannya (budak) secara pribadi atau menjadi tanggungan pada dirinya sebagai budak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
وَالثَّانِي: أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَذِنَ لَهُ سَيِّدُهُ فِي النِّكَاحِ فَنَكَحَ نِكَاحًا فَاسِدًا، هَلْ يَدْخُلُ فِي جُمْلَةِ إِذْنِهِ، وَيَكُونُ الْمَهْرُ وَالنَّفَقَةُ فِي كَسْبِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ، ثُمَّ لَا رُجُوعَ لِلْعَبْدِ قَبْلَ غُرْمِ الْمَهْرِ وَقِيمَةِ الْوَلَدِ عَلَى الْغَارِّ لَهُ، فَإِذَا غَرِمَهَا رَجَعَ عَلَيْهِ بِقِيمَةِ الْوَلَدِ وَفِي رُجُوعِهِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ قَوْلَانِ، فَهَذَا إِذَا قِيلَ: إِنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ.
Yang kedua: Jika seorang budak telah diizinkan oleh tuannya untuk menikah, lalu ia melakukan akad nikah yang fasid (rusak/tidak sah), apakah hal itu termasuk dalam cakupan izin tuannya, dan apakah mahar serta nafkah menjadi tanggungan hasil usahanya atau tidak? Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat. Kemudian, budak tidak dapat menuntut kembali sebelum ia menanggung kerugian berupa mahar dan nilai anak kepada orang yang menipunya. Jika ia telah menanggungnya, maka ia dapat menuntut kembali nilai anak tersebut, dan dalam hal menuntut kembali mahar mitsil (mahar sepadan) terdapat dua pendapat. Ini jika dikatakan bahwa nikah tersebut batal.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي الْأَصْلِ إِنَّ النِّكَاحَ جَائِزٌ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الزَّوْجُ حُرًّا، فَهَلْ لَهُ الْخِيَارُ فِي الْفَسْخِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ، يَقُولُ خِيَارُهُ عَلَى قولين كالحر لمكان شروطه وَكَانَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ يَقُولُ لَا خِيَارَ لَهُ بِخِلَافِ الْحُرِّ لِمُسَاوَاتِهِ لَهَا فِي الرِّقِّ، فَإِذَا قِيلَ لَهُمَا الْخِيَارُ فَاخْتَارَا الْفَسْخَ فَالْحُكْمُ فِي الْمَهْرِ، وَقِيمَةِ الْوَلَدِ عَلَى مَا مَضَى.
Pendapat kedua: Pada dasarnya, nikah tersebut boleh. Berdasarkan hal ini, jika suami adalah orang merdeka, apakah ia memiliki hak memilih untuk membatalkan (fasakh) atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Jika ia adalah budak, maka para ulama kami berbeda pendapat: Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berpendapat bahwa hak pilihnya sama seperti orang merdeka karena adanya syarat-syarat tertentu, sedangkan Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat bahwa ia tidak memiliki hak pilih, berbeda dengan orang merdeka, karena kedudukannya sama dengan istrinya dalam status perbudakan. Jika keduanya diberikan hak pilih lalu memilih fasakh, maka hukum terkait mahar dan nilai anak mengikuti penjelasan yang telah lalu.
وَإِذَا قِيلَ بِأَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ، وَإِنِ اخْتَارَ الْمُقَامَ أَوْ قِيلَ إِنَّ لَيْسَ لَهُ خِيَارٌ فالحكم في الحالين واحد، وهو أن يختلف عَلَيْهِ الْمَهْرُ الْمُسَمَّى بِالْعَقْدِ وَأَوْلَادُهُ مِنْهَا قَبْلَ علمه أحراراً، وَبَعْدَ عِلْمِهِ مَمَالِيكَ فَمَنْ وَضَعَتْهُ مِنْهُمْ لِأَقَلَّ من ستة أشهر بعد علمه فهم أحراراً، لِأَنَّهُمْ عَلَقُوا قَبْلَ عِلْمِهِ وَمَنْ وَضَعَتْهُ بَعْدَ علمه بستة أشهر فصاعداً فهم مَمَالِيكُ، وَلَا يَرْجِعُ بِالْمَهْرِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ الْمُسَمَّى بِعَقْدٍ صَحِيحٍ، وَيَرْجِعُ بِقِيمَةِ مَنْ عَتَقَ عَلَيْهِ مِنَ الْأَوْلَادِ، لِأَنَّهُ الْتَزَمَهَا بِالْغَرُورِ دُونَ الْعَقْدِ فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ عَبْدًا كَانَ الْمَهْرُ فِي كَسْبِهِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ نِكَاحٌ قَدْ صَحَّ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ وَلَا يَكُونُ قِيمَةُ الْوَلَدِ فِي كَسْبِهِ؟ لِأَنَّ إِذْنَ سَيِّدِهِ بِالنِّكَاحِ لَا يقتضيها وأين تكون؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Jika dikatakan bahwa nikah tersebut batal, dan jika ia memilih untuk tetap melanjutkan atau dikatakan bahwa ia tidak memiliki hak pilih, maka hukum dalam kedua keadaan tersebut sama, yaitu: mahar yang disebutkan dalam akad dan anak-anak yang lahir darinya sebelum ia mengetahui (status sebenarnya) adalah merdeka, dan setelah ia mengetahui, anak-anak tersebut menjadi budak. Maka, anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan setelah ia mengetahui, mereka adalah merdeka karena mereka dikandung sebelum ia mengetahui, dan anak yang dilahirkan setelah ia mengetahui selama enam bulan atau lebih, mereka adalah budak. Tidak ada hak untuk menuntut kembali mahar menurut satu pendapat, karena mahar tersebut telah disebutkan dalam akad yang sah. Namun, ia dapat menuntut kembali nilai anak yang menjadi merdeka darinya, karena ia menanggungnya akibat penipuan, bukan karena akad. Jika suami adalah budak, maka mahar menjadi tanggungan hasil usahanya menurut satu pendapat, karena pernikahan tersebut sah dengan izin tuannya. Adapun nilai anak, tidak menjadi tanggungan hasil usahanya, karena izin tuan untuk menikah tidak mencakup hal itu. Lalu, di manakah letak tanggungannya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: فِي رَقَبَتِهِ.
Salah satunya: Pada dirinya sebagai budak.
وَالثَّانِي: فِي ذمته إذا أعتق، وَيَكُونُ مَا اسْتُحِقَّ مِنَ الْمَهْرِ فِي صِحَّةِ النِّكَاحِ وَفَسَادِهِ مِلْكًا لِلسَّيِّدِ، لِأَنَّهُ مِنْ كَسْبِ أمته، ويكون من رق من الأولاد مِلْكًا لِلسَّيِّدِ وَقِيمَةُ مَنْ عَتَقَ مِنْهُمْ لِلسَّيِّدِ.
Yang kedua: Pada tanggungannya (budak) jika ia dimerdekakan. Mahar yang menjadi hak dalam pernikahan yang sah maupun rusak menjadi milik tuan, karena itu merupakan hasil usaha budaknya. Anak-anak yang menjadi budak juga menjadi milik tuan, dan nilai anak yang merdeka dari mereka juga menjadi milik tuan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَا يَرْجِعُ بِهَا عَلَى الَّذِي غَرَّهُ إِلَّا بعد أن يغرمها فإن كان الزوج عبداً فولده أحرارٌ لأنه تزوج على أنهم أحرارٌ ولا مهر له عليه حتى بعتق (قال المزني) وقيمة الولد في معناه وهذا يدل على أن لا غرم على من شهد على رجلٍ بقتل خطأ أو بعتقٍ حتى يغرم للمشهود له (قال الشافعي) رحمه الله وإن كانت هي الغارة رجع عليها به إذا أعتقت “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan tidak dapat menuntut kembali kepada orang yang menipunya kecuali setelah ia menanggung kerugiannya. Jika suami adalah budak, maka anaknya merdeka karena ia menikah dengan anggapan bahwa mereka merdeka, dan tidak ada mahar baginya hingga ia dimerdekakan.” (Al-Muzani berkata:) “Nilai anak dalam hal ini sama maknanya.” Ini menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban ganti rugi bagi orang yang menjadi saksi atas seseorang dalam kasus pembunuhan tidak sengaja atau pembebasan budak, hingga ia membayar ganti rugi kepada pihak yang disaksikan. (Imam Syafi‘i berkata, rahimahullah:) “Jika perempuan itu yang menipu, maka setelah ia dimerdekakan, ia dapat dituntut atasnya.”
قال الماوردي: فذكرنا أن الزوج يرجع بما غرمه من قيمته الْوَلَدِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَفِي رُجُوعِهِ بِمَا غَرِمَهُ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى قَوْلَانِ، وَرُجُوعُهُ بِذَلِكَ إِنَّمَا يَكُونُ عَلَى مَنْ غَرَّهُ بَعْدَ غُرْمِهِ فَأَمَّا قَبْلَهُ فَلَا رُجُوعَ لَهُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَغْرَمْ مَا يَرْجِعُ بِهِ، وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَبْرَأَ مِنْهُ فَلَا يَرْجِعُ بِهِ.
Al-Mawardi berkata: Kami telah sebutkan bahwa suami dapat menuntut kembali apa yang telah ia bayarkan berupa nilai anak menurut satu pendapat, dan dalam hal menuntut kembali apa yang telah ia bayarkan berupa mahar mitsil selain mahar yang disebutkan dalam akad terdapat dua pendapat. Penuntutan kembali itu hanya dapat dilakukan kepada orang yang menipunya setelah ia membayar kerugian tersebut. Adapun sebelum itu, ia tidak dapat menuntut kembali, karena ia belum membayar apa yang dapat ia tuntut, dan bisa jadi ia terbebas darinya sehingga tidak dapat menuntut kembali.
قَالَ الْمُزَنِيُّ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ شَهِدَ عَلَى رَجُلٍ بِقَتْلٍ خَطَأٍ ثُمَّ رَجَعَ الشُّهُودُ لَمْ يَلْزَمْهُمْ غُرْمُ الدِّيَةِ إِلَّا بَعْدَ أن يغرمها الْعَاقِلَةُ فَيَرْجِعُ بِهَا حينئذٍ عَلَى الشُّهُودِ وَهَذَا صحيح، لأنه قبل الغرم قد يجوز أن يبرأ الْعَاقِلَةُ فَلَا يَسْتَحِقُّ الرُّجُوعُ، فَإِذَا غَرِمَ الزَّوْجُ ذَلِكَ لَمْ يَصِحَّ أَنْ يُنْسَبَ الْغَرُورُ إِلَى السَّيِّدِ، لِأَنَّهَا تَعْتِقُ عَلَيْهِ بِقَوْلِهِ هِيَ حُرَّةٌ فَلَا يَكُونُ غَارًّا، وَإِنَّمَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ الْغَرُورُ إِمَّا مِنْهَا، أَوْ مِنْ وَكِيلِهِ فِي نِكَاحِهَا، أَوْ مِنْهُمَا مَعًا، فَإِنْ تَفَرَّدَ الْوَكِيلُ بِغَرُورِ الزَّوْجِ رَجَعَ عَلَيْهِ بِقِيمَةِ الْوَلَدِ وَمَهْرِ الْمِثْلِ فِي الْحَالِ إِنْ كَانَ مُوسِرًا، وَأُنْظِرَ إِلَى مَيْسَرَتِهِ إِنْ كَانَ مُعْسِرًا، وَإِنْ تَفَرَّدَتِ الأمة بالغرور يرجع الزوج عليها بقيمة الولد، وبجميع مَهْرِ الْمِثْلِ وَلَا يَتْرُكُ عَلَيْهَا شَيْئًا مِنْهُ، لِأَنَّهُ قَدْ غَرِمَ جَمِيعَهُ لِلسَّيِّدِ فَلَمْ يَصِرْ بُضْعُهَا مُسْتَهْلَكًا بِغَيْرِ مَهْرٍ، وَكَانَ ذَلِكَ فِي ذِمَّتِهَا لِأَنَّهَا أَمَةٌ تُؤَدِّيهِ إِذَا أَيْسَرَتْ بَعْدَ الْعِتْقِ.
Al-Muzani berkata: Ini menunjukkan bahwa siapa pun yang memberikan kesaksian terhadap seseorang atas pembunuhan tidak sengaja, kemudian para saksi itu menarik kembali kesaksiannya, maka mereka tidak wajib menanggung diyat kecuali setelah diyat itu dibayar oleh ‘āqilah, lalu setelah itu ‘āqilah dapat menuntut kembali kepada para saksi. Dan ini benar, karena sebelum pembayaran, bisa jadi ‘āqilah terbebas dari tanggungan sehingga tidak berhak menuntut kembali. Jika suami telah membayar diyat tersebut, maka tidak sah dinisbatkan penipuan (gharūr) itu kepada tuan, karena budak perempuan itu menjadi merdeka dengan ucapan tuannya “engkau merdeka”, sehingga tuan tidak dianggap sebagai penipu. Penipuan itu hanya bisa berasal darinya (budak perempuan), atau dari wakilnya dalam pernikahan, atau dari keduanya sekaligus. Jika wakil saja yang menipu suami, maka suami menuntut kepadanya nilai anak dan mahar mitsil secara langsung jika ia mampu, dan ditangguhkan hingga mampu jika ia tidak mampu. Jika budak perempuan saja yang menipu, maka suami menuntut kepadanya nilai anak dan seluruh mahar mitsil tanpa mengurangi sedikit pun, karena seluruhnya telah dibayarkan kepada tuan sehingga kemaluannya tidak menjadi halal tanpa mahar, dan itu menjadi tanggungannya karena ia adalah budak yang harus membayarnya jika telah mampu setelah merdeka.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ ذَلِكَ فِي رَقَبَتِهَا تُبَاعُ فِيهِ كَالْعَبْدِ إِذَا نَكَحَ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ وَلَزِمَهُ الْمَهْرُ بِإِصَابَتِهِ كَانَ فِي رَقَبَتِهِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.
Jika dikatakan: Mengapa hal itu tidak dibebankan pada lehernya (yakni dijadikan sebagai tanggungan budak itu sehingga ia dijual untuk menutupi hutang), sebagaimana budak laki-laki jika menikah tanpa izin tuannya dan wajib membayar mahar karena telah berhubungan, maka menurut salah satu pendapat, itu menjadi tanggungan pada lehernya?
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الرَّقَبَةَ لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا إِلَّا جِنَايَةٌ، وَوَطْءُ الْعَبْدِ جِنَايَةٌ تُوجِبُ الْغُرْمَ فَجَازَ أَنْ يتعلق بِرَقَبَتِهِ، وَلَيْسَ غَرُورُ الْأَمَةِ جِنَايَةً وَلَا الْغُرْمُ بِهَا يَتَعَلَّقُ وَإِنَّمَا تَعَلَقَّ بِوَطْءِ الزَّوْجِ فَلَمْ يجز أن يتعلق برقبتها، وإن اشتراك الْوَكِيلُ، وَالْأَمَةُ فِي الْغَرُورِ كَانَ غُرْمُ الْمَهْرِ وقيمة الأولاد بينهما نصفين لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْغَرُورِ، لَكِنْ مَا وَجَبَ عَلَى الْوَكِيلِ مَنْ نِصْفِ الْغُرْمِ يُؤْخَذُ بِهِ مُعَجَّلًا، لِأَنَّهُ حُرٌّ، وَمَا وَجَبَ عَلَى الْأَمَةِ مَنْ نِصْفِ الْغُرْمِ تُؤْخَذُ بِهِ إِذَا أَيْسَرَتْ بَعْدَ العتق.
Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa tanggungan pada leher (budak) hanya berlaku untuk jināyah (kejahatan), dan hubungan badan budak laki-laki adalah jināyah yang mewajibkan pembayaran, sehingga boleh dibebankan pada lehernya. Adapun penipuan (gharūr) budak perempuan bukanlah jināyah dan tidak ada kewajiban pembayaran yang dibebankan padanya, melainkan yang berkaitan adalah hubungan badan suami, sehingga tidak boleh dibebankan pada lehernya. Jika wakil dan budak perempuan sama-sama melakukan penipuan, maka kewajiban membayar mahar dan nilai anak dibagi dua di antara mereka karena keduanya sama-sama menipu. Namun, bagian yang wajib dibayar oleh wakil dari setengah tanggungan diambil secara langsung karena ia adalah orang merdeka, sedangkan bagian yang wajib dibayar oleh budak perempuan dari setengah tanggungan diambil darinya jika ia telah mampu setelah merdeka.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” إلا أن تكون مكاتبةً فيرجع عَلَيْهَا فِي كِتَابَتِهَا، لِأَنَّهَا كَالْجِنَايَةِ فَإِنْ عَجَزَتْ فحتى تعتق فإن ضربها أحدٌ فألقت جنيناً ففيه ما في جنين الحرة (قال المزني) رحمه الله قد جعل الشافعي جنين المكاتبة كجنين الحرة إذا تزوجها على أنها حرة “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Kecuali jika ia adalah seorang mukatabah, maka suami menuntut kepadanya dalam akad kitabahnya, karena itu seperti jināyah. Jika ia tidak mampu, maka hingga ia merdeka. Jika seseorang memukulnya lalu ia keguguran, maka berlaku hukum janin perempuan merdeka.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Asy-Syafi‘i telah menyamakan janin mukatabah dengan janin perempuan merdeka jika dinikahi dengan anggapan ia merdeka.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا حُرَّةٌ فَكَانَتْ مُكَاتِبَةً كَانَ فِي نِكَاحِهَا قَوْلَانِ كَالْأَمَةِ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Jika ia dinikahi dengan anggapan sebagai perempuan merdeka, ternyata ia adalah mukatabah, maka dalam pernikahannya ada dua pendapat seperti pada budak perempuan:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ.
Salah satunya: batal.
وَالثَّانِي: جَائِزٌ:
Yang kedua: sah.
وَهَلْ لَهُ الْخِيَارُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْأَمَةِ.
Dan apakah suami memiliki hak memilih (khiyar) atau tidak? Ada dua pendapat seperti pada budak perempuan.
فَإِذَا قِيلَ بِصِحَّةِ النِّكَاحِ، وَأَنْ لَا خِيَارَ فِيهِ أَوْ فِيهِ الْخِيَارُ فَاخْتَارَ الْمُقَامَ عَلَيْهِ فَالْمَهْرُ الْمُسَمَّى بِالْعَقْدِ وَاجِبٌ وَهُوَ لِلْمُكَاتِبَةِ دُونَ سَيِّدِهَا، لِأَنَّهُ مِنْ كَسْبِهَا وَاكْتِسَابُ الْمُكَاتِبَةِ لَهَا بِخِلَافِ الْأَمَةِ، فَأَمَّا أَوْلَادُهَا الَّذِينَ عُلِّقَتْ بِهِمْ بَعْدَ عِلْمِ الزَّوْجِ بِكِتَابَتِهَا فَفِيهِمْ قَوْلَانِ:
Jika dikatakan nikahnya sah, dan tidak ada hak memilih atau ada hak memilih lalu suami memilih tetap melanjutkan, maka mahar yang disebutkan dalam akad wajib dan itu menjadi hak mukatabah, bukan hak tuannya, karena itu hasil usahanya, dan hasil usaha mukatabah adalah miliknya, berbeda dengan budak perempuan. Adapun anak-anaknya yang lahir setelah suami mengetahui status kitabahnya, maka dalam hal mereka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: مَمَالِيكُ لِسَيِّدِهَا.
Salah satunya: mereka menjadi milik tuannya.
وَالثَّانِي: تَبَعٌ لَهَا يُعْتَقُونَ بِعِتْقِهَا إِنْ أَدَّتْ، وَيَرِقُّونَ بِرِقِّهَا إِنْ عَجَزَتْ.
Yang kedua: mereka mengikuti ibunya, dimerdekakan dengan merdekanya ibu jika ia melunasi (kitabah), dan menjadi budak jika ia gagal melunasi.
وَإِذَا قِيلَ بِبُطْلَانِ النِّكَاحِ أَوْ قِيلَ بِصِحَّتِهِ، وَفِيهِ الْخِيَارُ فَاخْتَارَ الْفَسْخَ فَالْحُكْمُ فِي الْحَالَيْنِ سَوَاءٌ وَيَنْظُرُ فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا الزَّوْجُ فَلَا مَهْرَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ دَخَلَ بِهَا فَعَلَيْهِ مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى يَكُونُ ذَلِكَ لِلْمُكَاتِبَةِ دُونَ سَيِّدِهَا، وَعَلَيْهِ قِيمَةُ أَوْلَادِهَا وَفِيمَنْ تَكُونُ لَهُ قِيمَتُهُمْ قَوْلَانِ:
Jika dikatakan nikahnya batal atau dikatakan sah namun ada hak memilih lalu suami memilih untuk membatalkan, maka hukumnya dalam kedua keadaan sama. Jika suami belum berhubungan, maka tidak ada mahar baginya. Jika sudah berhubungan, maka wajib membayar mahar mitsil, bukan mahar yang disebutkan, dan itu menjadi hak mukatabah, bukan hak tuannya. Ia juga wajib membayar nilai anak-anaknya, dan mengenai siapa yang berhak atas nilai mereka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لِلسَّيِّدِ إِذَا قِيلَ: إِنَّهُمْ عَبِيدُهُ لَوْ رَقُّوا.
Salah satunya: untuk tuannya jika dikatakan bahwa mereka adalah budaknya jika mereka menjadi budak.
وَالثَّانِي: لِلْمُكَاتِبَةِ إِذَا قِيلَ: إِنَّهُمْ تَبَعٌ لَهَا ثُمَّ فِيمَا يَأْخُذُهُ مِنْ قِيمَتِهِمْ وَجْهَانِ:
Dan yang kedua: untuk perempuan mukatabah, jika dikatakan bahwa anak-anak itu mengikuti statusnya, maka dalam hal apa yang diambil dari nilai mereka terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ – تستعين بِهِ فِي كِتَابَتِهَا.
Salah satunya—dan ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi—ia boleh memanfaatkannya untuk membantu pembayaran kitabahnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ – إنَّهُ يَكُونَ مَوْقُوفًا كَمَا يُوقَفُ الْأَوْلَادُ لَوْ رَقُّوا، فَإِنْ عَتَقَتْ بِالْأَدَاءِ مَلَكَتْ قِيمَتَهُمْ، وَإِنْ رَقَّتْ بِالْعَجْزِ كَانَتْ قِيمَتُهُمْ لِلسَّيِّدِ وَيَرْجِعُ الزَّوْجُ بِقِيمَةِ الْأَوْلَادِ عَلَى مَنْ غَرَّهُ فَإِنْ كَانَ الْوَكِيلُ هُوَ الَّذِي غَرَّهُ رَجَعَ عَلَيْهِ بِهَا بَعْدَ غُرْمِهَا سَوَاءٌ غَرِمَهَا لِلْمُكَاتِبَةِ أَوْ لِسَيِّدِهَا، وَإِنْ كَانَتِ الْمُكَاتِبَةُ هِيَ الَّتِي غَرَّتْهُ فَإِنْ قِيلَ: يَجِبُ لِلسَّيِّدِ غُرْمَهَا لِلسَّيِّدِ ثُمَّ رَجَعَ بِهَا عَلَى الْمُكَاتِبَةِ فِي مَالِ كِتَابَتِهَا فَإِنْ عَجَزَتْ وَرَقَّتْ فَبَعْدَ عتقها.
Pendapat kedua—dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Khairan—bahwa nilainya ditahan (tidak langsung menjadi miliknya), sebagaimana anak-anak juga ditahan jika mereka menjadi budak. Jika ia (perempuan mukatabah) merdeka karena mampu membayar, maka ia berhak atas nilai mereka. Namun jika ia kembali menjadi budak karena tidak mampu membayar, maka nilai mereka menjadi milik tuan, dan suami dapat menuntut nilai anak-anak kepada pihak yang telah menipunya. Jika yang menipu adalah wakil, maka ia menuntut kepada wakil setelah wakil mengganti kerugian, baik kerugian itu dibayarkan kepada perempuan mukatabah atau kepada tuannya. Jika perempuan mukatabah sendiri yang menipu, maka jika dikatakan: wajib bagi tuan untuk menanggung kerugiannya, lalu ia menuntut kepada perempuan mukatabah dari harta kitabahnya, maka jika ia tidak mampu dan kembali menjadi budak, penuntutan dilakukan setelah ia merdeka.
وإن قيل: تجب قِيمَةُ الْأَوْلَادِ لَهَا دُونَ السَّيِّدِ سَقَطَتْ عَنْهُ ولم يغرمها، لأنه لو غرمها لرجح بِهَا، وَأَمَّا الْمَهْرُ فَفِي رُجُوعِ الزَّوْجِ بِهِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى.
Dan jika dikatakan: nilai anak-anak menjadi haknya (perempuan mukatabah) tanpa hak tuan, maka gugurlah tuntutan terhadapnya dan ia tidak menanggung kerugian itu, karena jika ia menanggungnya, maka ia akan lebih berhak atasnya. Adapun mengenai mahar, maka dalam hal suami menuntut kembali mahar terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
فَإِنْ قِيلَ: لَا يرجع به دفع جمعيه إِلَيْهَا.
Jika dikatakan: tidak boleh menuntutnya, maka seluruhnya dikembalikan kepadanya.
وَإِنْ قِيلَ: يَرْجِعُ بِهِ نَظَرَ فِي الْغَارِّ بِهِ، فَإِنْ كَانَ الْوَكِيلَ غَرِمَ لَهَا مَهْرَهَا وَرَجَعَ بِجَمِيعِهِ عَلَى الْوَكِيلِ وَإِنْ كَانَتْ هِيَ الْغَارَّةُ سَقَطَ عَنْهُ الْمُهْرُ، لِأَنَّهُ لَهَا وهل يسقط جميعه أم لا؟ فيه وَجْهَانِ:
Dan jika dikatakan: boleh menuntutnya, maka dilihat siapa yang menipu. Jika wakil yang menipu, maka ia menanggung mahar untuknya dan suami menuntut seluruhnya kepada wakil. Jika perempuan mukatabah yang menipu, maka gugurlah mahar darinya, karena itu menjadi haknya. Apakah seluruhnya gugur atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَسْقُطُ جَمِيعُهُ، لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ على غيرها بجميعه.
Salah satunya: seluruhnya gugur, karena ia berhak menuntut seluruhnya kepada selain dirinya.
والوجه الثاني: لَا يَسْقُطُ إِلَّا أَقَلُّ مَا يَجُوزُ، أَنْ يَكُونَ مَهْرًا فَيَلْزَمُهُ دَفْعُهُ إِلَيْهَا وَلَا يَرْجِعُ به عليها، لأن لا يصير مُسْتَمْتَعًا بِبُضْعِهَا مِنْ غَيْرِ بَذْلٍ.
Pendapat kedua: yang gugur hanyalah bagian terkecil yang sah sebagai mahar, sehingga ia wajib membayarkannya kepada perempuan itu dan tidak boleh menuntut kembali, agar tidak terjadi pemanfaatan hubungan suami-istri tanpa adanya imbalan.
فَصْلٌ
Fasal
فَلَوْ كانت والمسألة بحالها حَامِلًا مِنْ هَذَا الزَّوْجِ الْمَغْرُورِ فَضُرِبَ بَطْنُهَا، فَأَلْقَتْ حَمْلَهَا جَنِينًا مَيِّتًا فَعَلَى الضَّارِبِ فِي جَنِينِهَا غِرَّةُ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ، لِأَنَّهُ حُرٌّ فِي حَقِّهِ وَيَكُونُ ذَلِكَ لِلزَّوْجِ، لِأَنَّهُ أَبُوهُ وَوَارِثُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ هُوَ الضَّارِبَ فَلَا يَرِثْهُ، لِأَنَّهُ صَارَ قَاتِلًا وَلَا تَرِثْهُ الْأُمُّ، لِأَنَّهَا مُكَاتِبَةٌ وَيَكُونُ عَلَى الزَّوْجِ فِيهِ عُشْرُ قِيمَةِ أُمِّهِ كَالَّذِي يَكُونُ فِي جَنِينٍ مَمْلُوكٍ، لِأَنَّهُ فِيمَا يُسْتَحَقُّ عَلَى الْأَبِ مِنَ الْغُرْمِ فِي حُكْمِ الْجَنِينِ الْمَمْلُوكِ وَفِيمَا يَسْتَحِقُّهُ الْأَبُ عَلَى الضَّارِبِ مِنَ الدِّيَةِ فِي حُكْمِ الجنين الحر وفيمن يَسْتَحِقُّ مَا غَرِمَهُ الْأَبُ مِنْ عُشْرِ قِيمَةِ أُمِّهِ قَوْلَانِ:
Jika dalam keadaan seperti ini, perempuan tersebut hamil dari suami yang tertipu, lalu perutnya dipukul sehingga ia mengalami keguguran dan janinnya lahir dalam keadaan mati, maka pelaku pemukulan wajib membayar diyat janin berupa seorang budak laki-laki atau perempuan, karena janin itu dihukumi merdeka menurut hak ayahnya, dan diyat itu menjadi milik suami karena ia adalah ayah dan ahli warisnya, kecuali jika suami sendiri yang memukul, maka ia tidak mewarisinya karena ia menjadi pembunuh, dan ibu (perempuan mukatabah) juga tidak mewarisinya karena ia adalah mukatabah. Atas suami juga wajib membayar sepersepuluh dari nilai ibunya, sebagaimana yang berlaku pada janin budak, karena dalam hal kewajiban ganti rugi yang dibebankan kepada ayah, janin itu dihukumi seperti janin budak, dan dalam hal hak ayah atas pelaku pemukulan dari diyat, janin itu dihukumi seperti janin merdeka. Adapun siapa yang berhak atas ganti rugi yang dibayarkan ayah berupa sepersepuluh nilai ibunya, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَكُونُ لِلسَّيِّدِ إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْوَلَدَ مِلْكٌ لَهُ لَوْ رَقَّ.
Salah satunya: menjadi milik tuan, jika dikatakan bahwa anak itu adalah miliknya jika ia menjadi budak.
وَالثَّانِي: يَكُونُ لِلْأُمِّ الْمُكَاتِبَةِ إِذَا قِيلَ: إِنَّهُ يَكُونُ تَبَعًا لَهَا لَوْ رَقَّ، وَهَلْ تَسْتَعِينُ بِهِ فِي مَالِ كِتَابَتِهَا أَوْ يَكُونُ مَوْقُوفًا بِيَدِهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ ثُمَّ يَكُونُ رُجُوعُ الزَّوْجِ بِهِ عَلَى مَنْ غَرَّهُ مُسْتَحَقٌّ عَلَى مَا مَضَى – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Yang kedua: menjadi milik ibu yang mukatabah, jika dikatakan bahwa anak itu mengikuti status ibunya jika ia menjadi budak. Apakah ia boleh memanfaatkannya untuk pembayaran kitabahnya ataukah nilainya tetap ditahan di tangannya sebagaimana dua pendapat yang telah disebutkan, lalu suami menuntut kepada pihak yang menipunya sesuai penjelasan sebelumnya—wallāhu a‘lam.
Bab: Budak perempuan yang dimerdekakan sementara suaminya adalah seorang budak, dari kitab lama dan dari catatan serta kitab tentang nikah dan talak, catatan atas masalah-masalah Malik.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” أَخْبَرَنَا مالكٌ عَنْ رَبِيعَةَ عَنِ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عنها أَنَّ بَرِيرَةَ أُعْتِقَتْ فَخَيَّرَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – (قال) وفي ذلك دليلٌ على أن ليس بيعها طلاقها إِذْ خَيَّرَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَعْدَ بَيْعِهَا فِي زَوْجِهَا “.
Imam Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Rabi‘ah dari al-Qāsim bin Muhammad dari ‘Aisyah ra. bahwa Barīrah dimerdekakan, lalu Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepadanya.” (Beliau berkata:) “Di dalamnya terdapat dalil bahwa penjualan dirinya bukanlah talaknya, karena Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepadanya setelah ia dijual terkait suaminya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَتْ الْأَمَةُ ذَاتَ زَوْجٍ فبيعت أو أعتقت كَانَ النِّكَاحُ بِحَالِهِ، وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ طَلَاقًا لَهَا.
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika seorang budak perempuan bersuami kemudian dijual atau dimerdekakan, maka pernikahannya tetap berlaku dan hal itu bukanlah talak baginya.
وَبِهِ قَالَ عُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَاصٍّ وَأَكْثَرُ الصَّحَابَةِ، وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ، وَذَهَبَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَأَنَسُ بْنُ مالك إلى أن بيعها طلاق لها، وَكَذَلِكَ عِتْقُهَا، وَلَا نَعْرِفُ قَائِلًا بِهِ مِنَ التابعين إلا مجاهد استدلالاً بقول اللَّهِ تَعَالَى: {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ) {النساء: 23) . إِلَى قَوْلِهِ: {وَالمُحْصَنَاتِ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ) {النساء: 24) . فَحَرَّمَ مِنْ ذَوَاتِ الْأَزْوَاجِ إِلَّا أَنْ يُمْلَكْنَ فَيَحْلِلْنَ لِلْمَالِكِ، وَهَذِهِ قَدْ مُلِكَتْ بِالِابْتِيَاعِ فوجب أن تحل لمالكها، لأنه لَمَّا حَلَّتْ ذَاتُ الزَّوْجِ بِالسَّبْيِ لِحُدُوثِ مِلْكِ السَّابِي وَجَبَ أَنْ تَحِلَّ بِالشِّرَاءِ لِحُدُوثِ مِلْكِ الْمُشْتَرِي.
Pendapat ini dipegang oleh ‘Umar, ‘Utsmān, ‘Alī, ‘Abdurrahmān bin ‘Auf, Sa‘d bin Abī Waqqāṣ, mayoritas sahabat, dan jumhur fuqahā’. Sementara Ibnu ‘Abbās, Ibnu Mas‘ūd, Ubay bin Ka‘b, dan Anas bin Mālik berpendapat bahwa penjualan budak perempuan itu merupakan talak baginya, demikian pula jika ia dimerdekakan. Kami tidak mengetahui ada seorang pun dari kalangan tābi‘īn yang berpendapat demikian kecuali Mujāhid, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ālā: {Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian} (an-Nisā’: 23) hingga firman-Nya: {dan (diharamkan juga) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki} (an-Nisā’: 24). Maka Allah mengharamkan wanita-wanita yang bersuami kecuali jika mereka menjadi milik (budak) sehingga halal bagi tuannya. Budak perempuan ini telah dimiliki melalui pembelian, maka wajib ia menjadi halal bagi tuannya. Karena jika wanita bersuami menjadi halal bagi tuannya melalui penawanan karena terjadinya kepemilikan oleh penawan, maka demikian pula ia menjadi halal melalui pembelian karena terjadinya kepemilikan oleh pembeli.
وَالدَّلِيلُ عَلَى ثُبُوتِ النِّكَاحِ أَنَّ بَرِيرَةَ أُعْتِقَتْ تَحْتَ زَوْجٍ فَخَيَّرَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي نِكَاحِهِ، فَلَوْ كَانَ نِكَاحُهَا قَدْ بَطَلَ بِعِتْقِهَا لِأَخْبَرَهَا بِهِ وَلَمْ يُخَيِّرْهَا فِيهِ، وَلِأَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ أَثْبَتُ مِنْ عَقْدِ الْإِجَارَةِ لِدَوَامِهِ فَلَمَّا لَمْ يَبْطُلْ عَقْدُ الْإِجَارَةِ بِالْعِتْقِ وَالْبَيْعِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَبْطُلَ بِهِمَا عَقْدُ النِّكَاحِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ بَيْعُ الزَّوْجِ وَعِتْقُهُ لَا يُوجِبُ بُطْلَانَ نِكَاحِهِ كَذَلِكَ بَيْعُ الزَّوْجَةِ، وَعِتْقُهَا لَا يُوجِبُ بُطْلَانَ نِكَاحِهَا، وَلِأَنَّ الْمُشْتَرِيَ مَلَكَ عَنِ الْبَائِعِ عَلَى الصِّفَةِ الَّتِي كَانَ الْبَائِعُ مَالِكَهَا فَلَمَّا كَانَ النِّكَاحُ مُقَرًّا عَلَى مِلْكِ الْبَائِعِ كَانَ مُقَرًّا عَلَى مِلْكِ الْمُشْتَرِي، فَأَمَّا الْآيَةُ فَوَارِدَةٌ فِي السَّبَايَا.
Adapun dalil yang menunjukkan tetapnya akad nikah adalah bahwa Barīrah dimerdekakan sementara ia masih berada di bawah suami, lalu Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepadanya dalam pernikahannya. Seandainya pernikahannya batal karena ia dimerdekakan, tentu beliau akan memberitahukan hal itu kepadanya dan tidak akan memberinya pilihan. Selain itu, akad nikah lebih kuat daripada akad ijarah karena sifatnya yang berkelanjutan. Maka, jika akad ijarah tidak batal karena kemerdekaan dan penjualan, maka lebih utama lagi akad nikah tidak batal karenanya. Dan karena penjualan atau kemerdekaan suami tidak membatalkan pernikahannya, maka demikian pula penjualan atau kemerdekaan istri tidak membatalkan pernikahannya. Selain itu, pembeli memiliki (budak) dari penjual dengan status yang sama seperti penjual memilikinya. Maka, jika pernikahan tetap berlaku pada kepemilikan penjual, maka tetap pula berlaku pada kepemilikan pembeli. Adapun ayat tersebut berkaitan dengan tawanan perang (sabāyā).
وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالسَّبَايَا فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun istidlāl (pengambilan dalil) dengan kasus sabāyā, maka terdapat perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ السَّبْيَ لَمَّا أَبْطَلَ الْحُرِّيَّةَ الَّتِي هِيَ أَقْوَى، كَانَ بِأَنْ يُبْطِلَ النِّكَاحَ أَوْلَى وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْبَيْعُ والعتق.
Pertama: Bahwa penawanan (saby) membatalkan status kemerdekaan yang merupakan status lebih kuat, maka lebih layak jika ia membatalkan pernikahan. Tidak demikian halnya dengan penjualan dan kemerdekaan (budak).
وَالثَّانِي: أَنَّ السَّبْيَ قَدْ أَحْدَثَ حَجْرًا فَجَازَ أَنْ يَبْطُلَ بِهِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ نِكَاحِهَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْبَيْعُ وَالْعِتْقُ.
Kedua: Bahwa penawanan (saby) menimbulkan pembatasan (hajr), sehingga boleh jadi membatalkan pernikahan yang telah ada sebelumnya, sedangkan penjualan dan kemerdekaan tidak demikian.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ النِّكَاحَ بِحَالِهِ فَعَلَى الْمُشْتَرِي إِقْرَارُ الزَّوْجِ عَلَى نِكَاحِهِ، وَلَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ إِنْ لَمْ يَكُنْ عَالِمًا بِنِكَاحِهِ لِتَفْوِيتِ بُضْعِهَا عليه.
Jika telah tetap bahwa pernikahan tetap berlaku, maka pembeli wajib membiarkan suami tetap dalam pernikahannya, dan ia (pembeli) memiliki hak untuk memilih membatalkan pembelian jika ia tidak mengetahui status pernikahan budak tersebut, karena kehilangan hak atas hubungan suami-istri dengannya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ كان عبداً وعن ابن عباس أنه كان عبداً يقال له مغيثٌ كأني أنظر إليه يطوف خلفها يبكي ودموعه تسيل على لحيته فقال النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – للعباس رضي الله عنه يا عباس ألا تعجب من حب مغيثٍ بريرة ومن بغض بريرة مغيثاً؟ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لو راجعته فإنما هو أبو ولدك ” فقالت يا رسول الله بأمرك؟ قال ” إنما أنا شفيعٌ ” قالت فلا حاجة لي فيه وعن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ كان عبداً (قال الشافعي) رحمه الله ولا يشبه العبد الحر لأن العبد لا يملك نفسه ولأن للسيد إخراجه عنها ومنعه منها ولا نفقة عليه لولدها ولا ولاية ولا ميراث بينهما “.
Imam Syāfi‘ī berkata: “Diriwayatkan dari ‘Āisyah ra. bahwa ia berkata: ‘Ia (Mughīth) adalah seorang budak.’ Dan dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia adalah seorang budak yang bernama Mughīth. Seakan-akan aku melihatnya berjalan di belakang Barīrah sambil menangis dan air matanya mengalir di janggutnya. Maka Nabi ﷺ berkata kepada al-‘Abbās ra.: ‘Wahai ‘Abbās, tidakkah engkau heran dengan cinta Mughīth kepada Barīrah dan kebencian Barīrah kepada Mughīth?’ Lalu Nabi ﷺ berkata kepada Barīrah: ‘Andai engkau kembali kepadanya, sesungguhnya ia adalah ayah dari anakmu.’ Barīrah bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah ini perintahmu?’ Beliau menjawab: ‘Aku hanya memberi syafaat.’ Barīrah berkata: ‘Aku tidak membutuhkannya.’ Dan dari Ibnu ‘Umar ra. bahwa ia berkata: ‘Ia (Mughīth) adalah seorang budak.’ (Imam Syāfi‘ī) rahimahullah berkata: Budak tidak sama dengan orang merdeka, karena budak tidak memiliki dirinya sendiri, dan tuannya berhak memisahkannya dari istrinya dan melarangnya, serta tidak ada nafkah bagi anaknya, tidak ada kewalian, dan tidak ada warisan di antara mereka.”
قال الماوردي: أما إذا أعتقت الْأَمَةُ تَحْتَ زَوْجٍ، وَكَانَ عَبْدًا فَلَهَا الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهِ لِكَمَالِهَا وَنَقْصِهِ، وَأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِبَرِيرَةَ: ” مَلَكْتِ نَفْسَكِ فَاخْتَارِي “.
Al-Māwardī berkata: Adapun jika seorang budak perempuan dimerdekakan sementara ia masih bersuami, dan suaminya adalah seorang budak, maka ia berhak memilih untuk membatalkan pernikahannya karena kesempurnaan dirinya dan kekurangan suaminya. Dan Nabi ﷺ berkata kepada Barīrah: “Engkau telah memiliki dirimu sendiri, maka pilihlah (lanjut atau tidaknya pernikahanmu).”
فَأَمَّا إِذَا أعتقت الأمة وَزَوْجُهَا حُرٌّ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي خِيَارِهَا فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهُ لَا خِيَارَ لَهَا.
Adapun jika budak perempuan dimerdekakan sementara suaminya adalah orang merdeka, maka para fuqahā’ berbeda pendapat tentang hak pilihnya. Imam Syāfi‘ī berpendapat bahwa ia tidak memiliki hak pilih.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: ابْنُ عُمَرَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَعَائِشَةُ.
Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat: Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, dan ‘Āisyah.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ.
Dan dari kalangan tābi‘īn: Sa‘īd bin al-Musayyab, al-Hasan al-Baṣrī, dan Sulaimān bin Yasār.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: رَبِيعَةُ، وَمَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.
Di antara para fuqahā’: Rabi‘ah, Mālik, al-Awzā‘ī, Ibnu Abī Lailā, Ahmad, dan Isḥāq.
وَقَالَ أبو حنيفة: وَصَاحِبَاهُ: لَهَا الْخِيَارُ.
Abu Ḥanīfah dan kedua sahabatnya berkata: Perempuan itu memiliki hak memilih (khiyār).
وَبِهِ قَالَ النَّخَعِيُّ وَالشَّعْبِيُّ وَالثَّوْرِيُّ، وَطَاوُسٌ اسْتِدْلَالًا برواية إبراهيم بن الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: خَيَّرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَرِيرَةَ، وَكَانَ زَوْجُهَا حُرًّا، وَهَذَا نَصٌّ قَالُوا: وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِبَرِيرَةَ: ” قَدْ مَلَكْتِ بُضْعَكِ فَاخْتَارِي ” فَجَعَلَ عِلَّةَ اخْتِيَارِهَا أَنَّهَا مَلَكَتْ بُضْعَهَا، وَهَذِهِ الْعِلَّةُ موجودة إذا أعتقت تحت حر لوجودها إذا أعتقت تَحْتَ عَبْدٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لَهَا الْخِيَارُ فِي الْحَالَيْنِ قَالَ: وَلِأَنَّهَا أُعْتِقَتْ تَحْتَ زَوْجٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لَهَا الْخِيَارُ.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh al-Nakha‘ī, al-Sya‘bī, al-Tsaurī, dan Ṭāwūs, dengan berdalil pada riwayat Ibrahim bin al-Aswad dari ‘Ā’isyah, ia berkata: Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepada Barīrah, padahal suaminya adalah seorang merdeka. Ini adalah nash. Mereka berkata: Karena Nabi ﷺ berkata kepada Barīrah: “Engkau telah memiliki kendali atas dirimu, maka pilihlah (apa yang engkau inginkan).” Maka beliau menjadikan sebab pilihan itu adalah karena ia telah memiliki kendali atas dirinya, dan sebab ini juga ada ketika ia dimerdekakan di bawah suami yang merdeka, sebagaimana ia ada ketika dimerdekakan di bawah suami yang budak. Maka wajiblah bahwa ia memiliki hak memilih dalam kedua keadaan tersebut. Mereka berkata: Karena ia telah dimerdekakan di bawah suaminya, maka wajib baginya memiliki hak memilih.
أَصْلُهُ: إِذَا كَانَ الزَّوْجُ عَبْدًا، وَلِأَنَّهُ قَدْ ملك عليها بعضها بعد العتق بمهر ملكه غَيْرُهَا فِي الرِّقِّ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لَهَا فسخه فيصح أَنْ تَمْلِكَ بِالْحُرِّيَّةِ مَا كَانَ مَمْنُوعًا عَلَيْهَا فِي الْعُبُودِيَّةِ.
Dasarnya: jika suaminya adalah seorang budak, dan karena ia telah memiliki sebagian hak atas dirinya setelah merdeka dengan mahar yang dimilikinya oleh orang lain saat ia masih dalam status budak, maka wajib baginya untuk dapat membatalkannya. Maka sah baginya untuk memiliki, dengan kemerdekaan, apa yang sebelumnya terhalang baginya saat dalam perbudakan.
وَدَلِيلُنَا: مَا رَوَاهُ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، وَالْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَعَمْرَةُ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَيَّرَ بَرِيرَةَ، وَكَانَ زَوْجُهَا عَبْدًا.
Dalil kami: adalah apa yang diriwayatkan oleh ‘Urwah bin al-Zubair, al-Qāsim bin Muḥammad, dan ‘Amrah binti ‘Abd al-Raḥmān dari ‘Ā’isyah bahwa Nabi ﷺ memberikan pilihan kepada Barīrah, dan suaminya adalah seorang budak.
فَوَجْهُ الدَّلِيلِ فيه أن الحكم إذا انتقل مَعَ السَّبَبِ تَعَلَّقَ الْحُكْمُ بِذَلِكَ السَّبَبِ كَمَا إذا نقل الحكم مع علة تَعَلَّقَ الْحُكْمُ بِتِلْكَ الْعِلَّةِ، وَقَدْ نُقِلُ التَّخْيِيرُ بِعِتْقِهَا تَحْتَ عَبْدٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُتَعَلِّقًا بِهِ.
Maka sisi pendalilannya adalah bahwa jika hukum berpindah bersama sebabnya, maka hukum itu terkait dengan sebab tersebut, sebagaimana jika hukum berpindah bersama ‘illat, maka hukum itu terkait dengan ‘illat tersebut. Dan telah dinukil bahwa pilihan itu diberikan karena ia dimerdekakan di bawah suami yang budak, maka wajiblah hukum itu terkait dengannya.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ رَوَى الْأَسْوَدُ عَنْ عائشة أنه كان حراً فتعارضت الروايتان في النقل، وَكَانَتْ رِوَايَةُ الْحُرِّيَّةِ أَثْبَتَ فِي الْحُكْمِ، إِلَّا ترى لَوْ شَهِدَ شَاهِدَانِ بِحُرِّيَّةِ رَجُلٍ وَشَهِدَ آخَرَانِ بِعُبُودِيَّتِهِ كَانَ شَهَادَةُ الْحُرِّيَّةِ أَوْلَى مِنْ شَهَادَةِ العبودية كذلك في النقلين المتعارضين.
Jika dikatakan: Telah diriwayatkan oleh al-Aswad dari ‘Ā’isyah bahwa suaminya adalah seorang merdeka, maka kedua riwayat itu bertentangan dalam periwayatan, dan riwayat tentang kemerdekaan lebih kuat dalam hukum. Tidakkah engkau melihat, jika dua orang saksi bersaksi atas kemerdekaan seorang laki-laki dan dua orang lain bersaksi atas status budaknya, maka kesaksian tentang kemerdekaan lebih didahulukan daripada kesaksian tentang perbudakan? Demikian pula dalam dua riwayat yang bertentangan.
قيل: روايتنا إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا أَوْلَى مِنْ رِوَايَتِهِمْ إِنَّهُ كَانَ حُرًّا مِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:
Dijawab: Riwayat kami bahwa ia adalah seorang budak lebih utama daripada riwayat mereka bahwa ia adalah seorang merdeka, karena empat alasan:
أَحَدُهَا: أَنَّ رَاوِي الْعُبُودِيَّةِ عَنْ عَائِشَةَ ثَلَاثَةٌ عُرْوَةُ، وَالْقَاسِمُ، وَعَمْرَةُ، وَرَاوِي الْحُرِّيَّةِ عَنْهَا وَاحِدٌ، وَهُوَ الْأَسْوَدُ وَرِوَايَةُ الثَّلَاثَةِ أَوْلَى مِنْ رِوَايَةِ الْوَاحِدِ، لِأَنَّهُمْ مِنَ السَّهْوِ أَبْعَدُ وَإِلَى التَّوَاتُرِ وَالِاسْتِفَاضَةِ أَقْرَبُ وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرُ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى) {البقرة: 282) . وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الشَّيْطَانُ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ الِاثْنَيْنِ أَبْعَدُ “.
Pertama: Bahwa perawi tentang status budak dari ‘Ā’isyah ada tiga orang, yaitu ‘Urwah, al-Qāsim, dan ‘Amrah, sedangkan perawi tentang status merdeka darinya hanya satu, yaitu al-Aswad. Dan riwayat tiga orang lebih utama daripada riwayat satu orang, karena mereka lebih jauh dari kemungkinan lupa dan lebih dekat kepada mutawatir dan masyhur. Allah Ta‘ala berfirman: {Agar jika salah seorang dari mereka lupa, maka yang lain mengingatkannya} (al-Baqarah: 282). Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Setan bersama satu orang, dan ia lebih jauh dari dua orang.”
وَالثَّانِي: أَنَّ مَنْ ذَكَرْنَا أَخَصُّ بِعَائِشَةَ مِنَ الْأَسْوَدِ، لِأَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ هُوَ ابْنُ أُخْتِهَا أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ، وَالْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ هُوَ ابْنُ أَخِيهَا مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، وَعَمْرَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، هِيَ بِنْتُ أَخِيهَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، فَهُمْ مِنْ أَهْلِهَا يَسْتَمِعُونَ كَلَامَهَا مُشَاهَدَةً من غير حجاب، والأسود أجنبي لا يسمع كَلَامَهَا إِلَّا مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ، فَكَانَتْ رِوَايَتُهُمْ أَوْلَى مِنْ رِوَايَتِهِ.
Kedua: Bahwa mereka yang telah kami sebutkan lebih dekat hubungannya dengan ‘Ā’isyah daripada al-Aswad, karena ‘Urwah bin al-Zubair adalah anak dari saudara perempuannya, Asmā’ binti Abī Bakr, al-Qāsim bin Muḥammad adalah anak dari saudaranya, Muḥammad bin Abī Bakr, dan ‘Amrah binti ‘Abd al-Raḥmān adalah anak dari saudaranya, ‘Abd al-Raḥmān bin Abī Bakr. Maka mereka adalah keluarganya yang mendengarkan perkataannya secara langsung tanpa hijab, sedangkan al-Aswad adalah orang luar yang hanya mendengar perkataannya dari balik hijab. Maka riwayat mereka lebih utama daripada riwayatnya.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ نَقْلَ الْعُبُودِيَّةِ يُفِيدُ عِلَّةَ الْحُكْمِ، وَنَقْلَ الْحُرِّيَّةِ لَا يُفِيدُهَا، لِأَنَّ أَحَدًا لَا يَجْعَلُ حُرِّيَّةَ الزَّوْجِ عِلَّةً في ثبوت الخيار، والعبودية يجعله عِلَّةً فِي ثُبُوتِ الْخِيَارِ فَكَانَتْ رِوَايَةُ الْعُبُودِيَّةِ أَوْلَى.
Ketiga: Bahwa periwayatan tentang status budak memberikan penjelasan tentang sebab hukum, sedangkan periwayatan tentang status merdeka tidak memberikannya. Karena tidak ada seorang pun yang menjadikan kemerdekaan suami sebagai sebab adanya hak memilih, sedangkan status budak dijadikan sebagai sebab adanya hak memilih. Maka riwayat tentang status budak lebih utama.
وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ قَدْ وَافَقَ عَائِشَةَ فِي رِوَايَةِ الْعُبُودِيَّةِ صَحَابِيَّانِ ابْنُ عُمَرَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ وما وافقهما فِي رِوَايَةِ الْحُرِّيَّةِ أَحَدٌ، أَمَّا ابْنُ عُمَرَ فَرَوَى أَنَّهُ كَانَ عَبْدًا، وَأَمَّا ابْنُ عَبَّاسٍ فَرَوَى عَنْهُ خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ زَوْجُ بَرِيرَةَ عَبْدًا أَسْوَدَ، يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ كَأَنِّي أَرَاهُ يَطُوفُ خَلْفَهَا بِالْمَدِينَةِ، وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَقَالَ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِعَمِّهِ الْعَبَّاسِ أَلَا تَعْجَبُ مِنْ شِدَّةِ حُبِّ مغيث بريرة ومن شدة بغض بريرة مغيث، قَالَ: فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لو راجعته فإنما هُوَ أَبُو وَلَدِكِ ” فَقَالَتْ: أَتَأْمُرُنِي فَقَالَ: إِنَّمَا أَنَا شَافِعٌ، قَالَتْ فَلَا حَاجَةَ لِي فِيهِ.
Keempat: Bahwa dalam riwayat tentang status perbudakan, terdapat dua sahabat yang sependapat dengan ‘Aisyah, yaitu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, sedangkan dalam riwayat tentang status kemerdekaan tidak ada seorang pun yang sependapat dengan keduanya. Adapun Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa ia (suami Barirah) adalah seorang budak. Sedangkan Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan darinya oleh Khalid al-Haddza’ dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Suami Barirah adalah seorang budak berkulit hitam, namanya Mughits. Seolah-olah aku melihatnya mengelilingi Barirah di Madinah, air matanya mengalir di janggutnya. Maka Rasulullah ﷺ berkata kepada pamannya, al-‘Abbas: “Tidakkah engkau heran dengan besarnya cinta Mughits kepada Barirah dan besarnya kebencian Barirah kepada Mughits?” Lalu Rasulullah ﷺ berkata kepada Barirah: “Seandainya engkau mau kembali kepadanya, sesungguhnya ia adalah ayah dari anakmu.” Barirah bertanya: “Apakah Anda memerintahkanku?” Beliau menjawab: “Aku hanya menjadi penengah.” Barirah berkata: “Kalau begitu, aku tidak membutuhkannya.”
فَأَمَّا تَرْجِيحُهُ بِأَنَّ شُهُودَ الْحُرِّيَّةِ أَوْلَى مِنْ شُهُودِ الْعُبُودِيَّةِ كَذَلِكَ رَاوِي الْحُرِّيَّةِ أَوْلَى مِنْ رَاوِي الْعُبُودِيَّةِ.
Adapun menguatkan riwayat dengan alasan bahwa saksi kemerdekaan lebih utama daripada saksi perbudakan, demikian pula perawi kemerdekaan lebih utama daripada perawi perbudakan.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنْ يُقَالَ: إِنْ عَلِمَ شُهُودُ الْحُرِّيَّةِ بِالْعُبُودِيَّةِ فَشَهَادَتُهُمْ أَوْلَى، لِأَنَّهُمْ أَزْيَدُ عِلْمًا مِمَّنْ عَلِمَ الْعُبُودِيَّةَ، وَلَمْ يَعْلَمْ مَا يُجَدَّدُ بَعْدَهَا مِنَ الْحُرِّيَّةِ وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ شُهُودُ الْحُرِّيَّةِ بِالْعُبُودِيَّةِ، وَكَانَ مَجْهُولَ الْحَالِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Maka jawabannya adalah: Jika saksi kemerdekaan mengetahui adanya perbudakan sebelumnya, maka kesaksian mereka lebih utama, karena mereka lebih mengetahui daripada orang yang hanya mengetahui perbudakan namun tidak mengetahui adanya pembaruan status menjadi merdeka setelahnya. Namun jika saksi kemerdekaan tidak mengetahui adanya perbudakan sebelumnya dan statusnya tidak diketahui, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الشَّهَادَتَيْنِ قَدْ تَعَارَضَتَا فَسَقَطَتَا.
Pertama: Kedua kesaksian tersebut saling bertentangan sehingga keduanya gugur.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ شَهَادَةَ الْعُبُودِيَّةِ أَوْلَى، لِأَنَّهَا تُخَالِفُ الظَّاهِرَ مَنْ حُكْمِ الدَّارِ فَكَانَتْ أَزْيَدَ مِمَّنْ شَهِدَ بِالْحُرِّيَّةِ الَّتِي هِيَ الْغَالِبُ مَنْ حُكْمِ الدَّارِ أَلَا تَرَى أَنَّ اللَّقِيطَ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْحُرِّيَّةِ فِي الظَّاهِرِ، لِأَنَّهُ الْغَالِبُ مِنْ حُكْمِ الدار، ولأن أَهْلَهَا أَحْرَارٌ فَلَمْ يَكُنْ فِي هَذَا الِاسْتِشْهَادِ ترجيح.
Pendapat kedua: Kesaksian tentang perbudakan lebih utama, karena ia bertentangan dengan hukum yang tampak dari negeri tersebut, sehingga lebih kuat daripada kesaksian tentang kemerdekaan yang merupakan hukum yang dominan di negeri itu. Tidakkah engkau melihat bahwa anak temuan (laqīṭ) secara lahiriah dihukumi merdeka, karena itu yang dominan di negeri tersebut, dan karena penduduknya adalah orang-orang merdeka, maka dalam hal ini tidak ada penguatan dalam persaksian tersebut.
فإن قالوا: تستعمل الرِّوَايَتَيْنِ فَتَحْمِلُ رِوَايَةَ مَنْ نَقَلَ الْعُبُودِيَّةَ عَلَى أَنَّهُ كَانَ عَبْدًا وَقْتَ الْعَقْدِ، وَرِوَايَةَ مَنْ نَقَلَ الْحُرِّيَّةَ عَلَى أَنَّهُ كَانَ حُرًّا وَقْتَ الْعِتْقِ، لِأَنَّ الْحُرِّيَّةَ تَطْرَأُ عَلَى الرِّقِّ، وَلَا يَطْرَأُ الرِّقُّ عَلَى الْحُرِّيَّةِ فَكَانَ ذَلِكَ أَوْلَى مِمَّنِ اسْتَعْمَلَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ دُونَ الْأُخْرَى.
Jika mereka berkata: Gunakan kedua riwayat tersebut, lalu pahamilah bahwa riwayat yang menyebutkan perbudakan bermakna ia adalah budak pada saat akad, dan riwayat yang menyebutkan kemerdekaan bermakna ia adalah orang merdeka pada saat dimerdekakan, karena kemerdekaan dapat terjadi setelah perbudakan, sedangkan perbudakan tidak terjadi setelah kemerdekaan. Maka pemahaman ini lebih utama daripada hanya menggunakan salah satu riwayat saja.
وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا الِاسْتِعْمَالِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Jawaban atas penggunaan (pemahaman) ini ada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ تَأْوِيلٌ يَبْطُلُ بِخَبَرَيْنِ:
Pertama: Ini adalah takwil yang gugur dengan adanya dua hadis:
أَحَدُ الْخَبَرَيْنِ: أَنَّ أُسَامَةَ رَوَى عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِبَرِيرَةَ: ” إِنْ شِئْتِ أَنْ تَسْتَقِرِّي تَحْتَ هَذَا الْعَبْدِ، وَإِنْ شِئْتِ فَارَقْتِيهِ ” فَيُقَالُ إِنَّهُ كَانَ فِي وَقْتِ التَّخْيِيرِ عَبْدًا.
Hadis pertama: Usamah meriwayatkan dari al-Qasim dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah ﷺ berkata kepada Barirah: “Jika engkau mau, engkau boleh tetap bersama budak ini, dan jika engkau mau, engkau boleh berpisah darinya.” Maka dikatakan bahwa pada saat pemilihan (khiyar), ia masih berstatus budak.
وَالْخَبَرُ الثَّانِي: مَا رَوَاهُ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُ كَانَ عَبْدًا فَخَيَّرَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَاخْتَارَتْ نَفْسَهَا، وَلَوْ كَانَ حُرًّا لَمْ يُخَيِّرْهَا.
Hadis kedua: Diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah bahwa ia (suami Barirah) adalah seorang budak, lalu Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepada Barirah, dan Barirah memilih dirinya sendiri. Seandainya suaminya adalah orang merdeka, tentu Rasulullah tidak akan memberikan pilihan kepadanya.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: إِنَّنَا نُقَابِلُ هَذَا الِاسْتِعْمَالَ بِمِثْلِهِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Jawaban kedua: Kami membalas penggunaan (pemahaman) ini dengan yang semisal dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَانَ حُرًّا قَبْلَ السبي وعبداً بعد السبي عند العقد والتخيير.
Pertama: Bahwa ia adalah orang merdeka sebelum tertawan dan menjadi budak setelah tertawan, yaitu pada saat akad dan pemilihan (khiyar).
وَالثَّانِي: إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا وَقْتَ الْعِتْقِ وَحُرًّا وقت التخيير فتكون لَهَا الْخِيَارُ فِي أَحَدِ الْمَذْهَبَيْنِ، وَيَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ أَيْضًا مَا رَوَاهُ ابْنُ مَوْهَبٍ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُ كَانَ لَهَا غُلَامٌ وَجَارِيَةٌ، فأرادت عتقها فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ابدأي بِالْغُلَامِ فَلَمْ يَأْمُرِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِتَقْدِيمِ عِتْقِ الزَّوْجِ إِلَّا لِفَائِدَةٍ وَلَا فَائِدَةَ إلا سقوط خيار الزوجة عَلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ أَنَّهُ قَالَ لَهَا: ابدأي بالغلام، لأن لا يَكُونَ لِلزَّوْجَةِ خِيَارٌ، فَكَانَ هَذَا نَصًّا صَرِيحًا.
Kedua: Sesungguhnya ia adalah seorang budak pada saat dimerdekakan dan menjadi orang merdeka pada saat diberi pilihan, maka baginya (istri) hak memilih menurut salah satu dari dua mazhab. Yang menunjukkan kebenaran pendapat kami juga adalah riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Mawhab dari Al-Qasim dari ‘Aisyah, bahwa ia memiliki seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan, lalu ia ingin memerdekakan budak perempuannya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Mulailah dengan budak laki-laki.” Nabi ﷺ tidak memerintahkan mendahulukan memerdekakan suami kecuali karena ada manfaat, dan tidak ada manfaat kecuali gugurnya hak memilih bagi istri. Bahkan telah diriwayatkan bahwa beliau bersabda kepadanya: “Mulailah dengan budak laki-laki, agar istri tidak memiliki hak memilih.” Maka ini adalah nash yang jelas.
وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ: أَنَّهَا كَافَأَتْ زَوْجَهَا فِي الْفَضِيلَةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَثْبُتَ لَهَا بِذَلِكَ خِيَارٌ كَمَا لَوْ أَسْلَمَتْ تَحْتَ مسلم أو أفاقت من جنون تَحْتَ عَاقِلٍ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَثْبُتْ بِهِ الْخِيَارُ فِي ابْتِدَاءِ النِّكَاحِ لَمْ يَثْبُتْ بِهِ الخيار في أثناء النكاح كالعمى طَرْدًا، وَكَالْجَبِّ عَكْسًا، وَلِأَنَّ مَا لَزِمَ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ لَمْ يَثْبُتْ فِيهِ مِنْ غَيْرِ عَيْبٍ خِيَارٌ كَالْبَيْعِ.
Dan yang menunjukkan hal itu dari segi qiyās adalah: bahwa ia (istri) telah menyamai suaminya dalam keutamaan, maka tidak seharusnya ia mendapatkan hak memilih karena hal itu, sebagaimana jika ia masuk Islam dalam keadaan suaminya seorang Muslim, atau ia sadar dari kegilaan dalam keadaan suaminya berakal. Dan karena sesuatu yang tidak menetapkan hak memilih pada awal pernikahan, maka tidak menetapkan hak memilih di tengah pernikahan, seperti buta secara qiyās, dan seperti kastrasi secara kebalikan. Dan karena akad-akad mu‘āwadah yang telah mengikat, tidak menetapkan hak memilih tanpa adanya cacat, seperti dalam jual beli.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِقَوْلِهِ: ” قَدْ مَلَكْتِ بُضْعَكِ فَاخْتَارِي ” فَهُوَ أَنَّ هَذَا اللَّفْظَ مَا نَقَلَهُ غَيْرُهُمْ وَلَا وُجِدَ إِلَّا فِي كُتُبِهِمْ ثُمَّ يَكُونُ مَعْنَاهُ قَدْ مَلَكْتِ نَفْسَكِ تَحْتَ الْعَبْدِ فَاخْتَارِي فَلَمْ يَكُنْ لَهَا أَنْ تَخْتَارَ نَفْسَهَا تَحْتَ الْحُرِّ.
Adapun jawaban atas dalil mereka dengan ucapan: “Engkau telah memiliki dirimu, maka pilihlah,” adalah bahwa lafaz ini tidak dinukil kecuali oleh mereka dan tidak ditemukan kecuali dalam kitab-kitab mereka. Kemudian maknanya adalah: “Engkau telah memiliki dirimu di bawah (pernikahan dengan) budak, maka pilihlah.” Maka tidaklah ia (istri) berhak memilih dirinya sendiri di bawah (pernikahan dengan) orang merdeka.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الزَّوْجِ إِذَا كَانَ عَبْدًا فَالْمَعْنَى فيه نقصه بالرق عن كمالها بالحرية فذلك كَانَ عَيْبًا يُوجِبُ الْخِيَارَ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ عِتْقُهَا مَعَ الْحُرِّ.
Adapun qiyās mereka terhadap suami jika ia adalah seorang budak, maka maknanya adalah kekurangannya karena status budak dibandingkan kesempurnaan istri yang merdeka, sehingga hal itu menjadi cacat yang menyebabkan adanya hak memilih. Tidak demikian halnya dengan kemerdekaan istri bersama suami yang merdeka.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَ عَلَيْهَا بُضْعَهَا بِمَهْرٍ مَلَكَهُ غَيْرُهَا فَلَا تَأْثِيرَ لهذا المعنى، واستحقاق الْخِيَارِ، لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ مُكَاتِبَةً وَقْتَ الْعَقْدِ فَمَلَكَتْ مَهْرَهَا ثُمَّ أُعْتِقَتْ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ فبطل أن يكون استحقاقه لهذه العلة، وبطل أن يكون الْعِلَّةَ، لِأَنَّهَا قَدْ مَلَكَتْ بِالْعِتْقِ مَا مُلِكَ عليها في الرق، لأنها لو أوجرت ثم عتقت لَمْ يَكُنْ لَهَا فِي فَسْخِ الْإِجَارَةِ خِيَارٌ فَلَمْ يَصِحَّ التَّعْلِيلُ بِوَاحِدٍ مِنَ الْأَمْرَيْنِ فَبَطَلَ الاستدلال – والله أعلم -.
Adapun dalil mereka bahwa suami telah memiliki hak atas kemaluannya (istri) dengan mahar yang dimiliki oleh orang lain, maka makna ini tidak berpengaruh dalam menetapkan hak memilih. Karena jika ia (istri) adalah seorang mukatab pada saat akad, lalu ia memiliki maharnya kemudian dimerdekakan, maka ia tetap memiliki hak memilih. Maka gugurlah alasan bahwa hak itu karena sebab tersebut, dan gugurlah bahwa itu adalah ‘illat (sebab hukum), karena ia telah memiliki dengan kemerdekaan apa yang dimiliki atasnya ketika masih dalam perbudakan. Karena jika ia disewakan lalu dimerdekakan, maka ia tidak memiliki hak memilih untuk membatalkan sewa. Maka tidak sah penetapan hukum dengan salah satu dari dua hal tersebut, maka batallah istidlal (pengambilan dalil) itu – wallāhu a‘lam.
قال الشافعي رضي الله تعالى عنه: ” فَلِهَذَا – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – كَانَ لَهَا الْخِيَارُ إِذَا أعتقت ما لم يصبها زوجها بَعْدَ الْعِتْقِ وَلَا أَعْلَمُ فِي تَأَقْيِتِ الْخِيَارِ شَيْئًا يُتَّبَعُ إِلَّا قَوْلَ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا لَمْ يَمَسَّهَا “.
Imam Syafi‘i ra. berkata: “Karena itu – wallāhu a‘lam – ia (istri) memiliki hak memilih jika dimerdekakan selama suaminya belum menggaulinya setelah ia merdeka. Dan aku tidak mengetahui adanya penetapan waktu tertentu untuk hak memilih kecuali perkataan Hafshah, istri Nabi ﷺ: ‘Selama ia belum menyentuhnya.’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَا خِيَارَ لَهَا إِذَا أُعْتِقَتْ إِلَّا أَنْ يَكُونَ زَوْجُهَا عَبْدًا فَلَهَا أَنْ تَخْتَارَ الْفَسْخَ بِحُكْمِ حَاكِمٍ، وَغَيْرِ حُكْمِهِ بِخِلَافِ الْفَسْخِ بالعيوب، لأن خيارها بالعتق غير مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى حَاكِمٍ، وَخِيَارَهَا بِالْعَيْبِ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَافْتَقَرَ إِلَى حَاكِمٍ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهَلْ يَكُونُ خِيَارُهَا عَلَى الْفَوْرِ أَوِ التَّرَاخِي فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
Al-Mawardi berkata: Dan jika telah tetap bahwa tidak ada hak memilih baginya jika ia dimerdekakan kecuali jika suaminya adalah seorang budak, maka ia berhak memilih untuk memutuskan (pernikahan) dengan keputusan hakim atau tanpa keputusan hakim, berbeda dengan pembatalan karena cacat. Karena hak memilihnya karena kemerdekaan tidak disepakati, maka tidak memerlukan hakim, sedangkan hak memilih karena cacat diperselisihkan sehingga memerlukan hakim. Jika demikian, apakah hak memilih itu harus segera dilakukan atau boleh ditunda? Dalam hal ini ada tiga pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ على الفور معتبراً بالمكنة، لأنه خيار عيب ثبت لرفع ضرر فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ عَلَى الْفَوْرِ كَالْخِيَارِ بِالْعِتْقِ فِي الْبُيُوعِ.
Salah satunya: Bahwa hak memilih itu harus segera dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan, karena ini adalah hak memilih karena cacat yang ditetapkan untuk menghilangkan mudarat, maka harus segera dilakukan seperti hak memilih karena kemerdekaan dalam jual beli.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ مُمْتَدٌّ بَعْدَ الْعِتْقِ إِلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ هِيَ آخِرُ حَدِّ القليل، وأول حد الكثير، واعتباراً بالخيار في المصراة ثلاثاً، بأنه جَعَلَ الْخِيَارَ خِيَارَ ثَلَاثٍ.
Pendapat kedua: Bahwa hak memilih itu berlangsung setelah kemerdekaan hingga tiga hari, yaitu batas akhir yang sedikit dan awal dari yang banyak, dengan pertimbangan hak memilih dalam kasus sapi perah (al-muṣarrāh) selama tiga hari, di mana hak memilih ditetapkan selama tiga hari.
بالرضى أو التمكين مِنْ نَفْسِهَا، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِبَرِيرَةَ: لَمَّا رَأَى مُغِيثًا بَاكِيًا: ” لَوْ راجعتيه فَإِنَّهُ أَبُو وَلَدِكِ ” وَلَعَلَّ ذَلِكَ كَانَ بَعْدَ زَمَانٍ مِنْ عِتْقِهَا، فَلَوْلَا امْتِدَادُ خِيَارِهَا عَلَى التَّرَاخِي لَأَبْطَلَهُ وَقَدْ رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ خُزَيْمَةَ عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ بِإِسْنَادٍ رَفَعَهُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِبَرِيرَةَ: ” لَكِ الْخِيَارُ مَا لَمْ يُصِبْكِ ” وهذا نص إِنْ صَحَّ، وَلِأَنَّهُ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ وَحَفْصَةَ وليس يعرف لهما فيه خلاف، ولأن طلب الأحظ في هذا الخيار مثبته يَحْتَاجُ إِلَى فِكْرٍ وَارْتِيَاءٍ فَتَرَاخَى زَمَانُهُ لِيُعْرَفَ بِامْتِدَادِهِ أَحَظُّ الْأَمْرَيْنِ لَهَا، وَخَالَفَ خِيَارَ الْعُيُوبِ التي لا يشتبه الأحظ منها.
Dengan kerelaan atau memberikan dirinya (kepada suami), karena Nabi ﷺ berkata kepada Barirah ketika melihat Mugits menangis: “Seandainya engkau kembali kepadanya, karena ia adalah ayah dari anakmu.” Barangkali hal itu terjadi setelah beberapa waktu dari kemerdekaannya. Maka, jika pilihan (untuk melanjutkan atau memutuskan pernikahan) tidak berlangsung dalam waktu yang lama, tentu Nabi telah membatalkannya. Muhammad bin Khuzaimah meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dengan sanad yang marfu‘ bahwa Nabi ﷺ berkata kepada Barirah: “Bagimu ada hak memilih selama ia belum menyetubuhimu.” Ini adalah nash jika sahih, dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Umar dan Hafshah, dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dari keduanya dalam masalah ini. Selain itu, karena permintaan yang lebih maslahat dalam pilihan ini membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, maka waktunya diperpanjang agar dapat diketahui mana dari dua perkara yang lebih maslahat baginya. Hal ini berbeda dengan pilihan karena cacat, yang maslahatnya tidak samar.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فإن أصابها فادعت الجهالة ففيها قولان أحدهما أن لَا خِيَارَ لَهَا وَالْآخَرُ لَهَا الْخِيَارُ وَهَذَا أحب إلينا (قلت أنا) وقد قَطَعَ بِأَنَّ لَهَا الْخِيَارَ فِي كِتَابَيْنِ وَلَا مَعْنَى فِيهَا لِقَوْلَيْنِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika suaminya telah menyetubuhinya, lalu ia mengaku tidak tahu (tentang hak pilih), maka ada dua pendapat: salah satunya, ia tidak memiliki hak pilih; yang lain, ia tetap memiliki hak pilih, dan ini yang lebih kami sukai. (Saya berkata) dan beliau telah memastikan bahwa ia memiliki hak pilih dalam dua kitabnya, sehingga tidak ada makna adanya dua pendapat dalam masalah ini.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي أَمَةٍ عَتَقَتْ تَحْتَ عَبْدٍ فَمَكَّنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا ثُمَّ ادَّعَتِ الْجَهَالَةَ، وَأَرَادَتْ فَسْخَ نِكَاحِهِ فَدَعْوَى الْجَهَالَةِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: seorang budak perempuan yang dimerdekakan saat masih menjadi istri seorang budak, lalu ia memberikan dirinya kepada suaminya, kemudian mengaku tidak tahu (tentang hak pilih) dan ingin membatalkan pernikahannya. Maka pengakuan tidak tahu ini terbagi menjadi dua jenis:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَدَّعِي الْجَهَالَةَ بِالْعِتْقِ وَإِنَّهَا لَمْ تَعْلَمْ بِهِ حَتَّى مَكَّنَتْ مِنْ نَفْسِهَا فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Pertama: Ia mengaku tidak tahu tentang kemerdekaannya, dan bahwa ia tidak mengetahuinya hingga ia memberikan dirinya kepada suaminya. Maka ini terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يُعْلَمَ صِدْقَهَا لِبُعْدِهَا عَنِ الْبَلَدِ الَّذِي فِيهِ سَيِّدُهَا، وَقُرْبِ الزَّمَانِ عَنْ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهَا خَبَرُ عِتْقَهَا فَقَوْلُهَا مَقْبُولٌ، وَلَهَا الْخِيَارُ، لِأَنَّ خِيَارَ الْعُيُوبِ لَا يُبْطَلُ بِالتَّأْخِيرِ إِذَا جهلت.
Pertama: Diketahui bahwa ia jujur karena ia jauh dari negeri tempat tuannya berada, dan waktu yang singkat sehingga berita kemerdekaannya belum sampai kepadanya. Maka pengakuannya diterima dan ia memiliki hak pilih, karena hak pilih akibat cacat tidak gugur dengan keterlambatan jika memang tidak tahu.
والقسم الثاني: أن تعلم كذلك بها، لِأَنَّهَا وُجِّهَتْ بِالْعِتْقِ أَوْ بُشِّرَتْ بِهِ فَعَلِمَتْ أَحْكَامَهَا فَقَوْلُهَا مَرْدُودٌ، وَلَا خِيَارَ لَهَا بَعْدَ التَّمْكِينِ.
Bagian kedua: Diketahui bahwa ia mengetahui tentang kemerdekaannya, karena ia telah diberitahu atau diberi kabar gembira tentang itu, sehingga ia mengetahui hukumnya. Maka pengakuannya ditolak dan ia tidak memiliki hak pilih setelah memberikan dirinya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَحْتَمِلَ الْأَمْرَيْنِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ عِلْمِهَا وثبوت الخيار لها فَلَمْ يُصَدَّقِ الزَّوْجُ فِي إِبْطَالِهِ عَلَيْهَا، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَ فِيهِ وَجْهًا آخَرَ أَنَّ الْقَوْلَ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهِ ثُبُوتُ النِّكَاحِ فَلَا يَقْبَلُ قَوْلَهَا فِي فَسْخِهِ مع احتمال تخريجها مِنْ أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فِي الْجَهَالَةِ بِالْحُكْمِ.
Bagian ketiga: Kemungkinan kedua hal itu bisa terjadi (ia tahu atau tidak tahu), maka yang dijadikan pegangan adalah pengakuannya dengan sumpahnya, karena asalnya ia tidak tahu dan hak pilih tetap baginya. Maka suami tidak dipercaya dalam membatalkannya atas dirinya. Namun, sebagian ulama kami mengemukakan pendapat lain bahwa yang dijadikan pegangan adalah pengakuan suami, karena asalnya pernikahan tetap berlaku, sehingga pengakuannya tidak diterima dalam membatalkannya, dengan kemungkinan mengaitkan hal ini dengan salah satu dari dua pendapat tentang ketidaktahuan terhadap hukum.
فَصْلٌ: وَالضَّرْبُ الثَّانِي
Fasal: Jenis kedua
: أَنْ تَدَّعِي الْجَهَالَةَ بِالْحُكْمِ مَعَ عِلْمِهَا بِالْعِتْقِ فَتَقُولُ: لَمْ أَعْلَمْ بِأَنَّ لِي الْخِيَارَ إِذَا أُعْتِقْتُ فَمَكَّنَتْهُ مِنْ نَفْسِي، وَإِنْ كَانَتْ عَالِمَةً بِالْعِتْقِ فَهُوَ أَيْضًا عَلَى الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ:
Yaitu ia mengaku tidak tahu tentang hukum (hak pilih) meskipun ia tahu tentang kemerdekaannya. Ia berkata: “Aku tidak tahu bahwa aku memiliki hak pilih jika aku dimerdekakan, lalu aku memberikan diriku kepadanya.” Jika ia memang tahu tentang kemerdekaannya, maka ini juga terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ مِثْلَهَا لَا يعلم، لأنها جلبية أَعْجَمِيَّةٌ فَقَوْلُهَا مَقْبُولٌ، وَلَهَا الْخِيَارُ.
Pertama: Diketahui bahwa orang seperti dia memang tidak tahu, karena ia adalah perempuan asing yang tidak mengerti (bahasa Arab atau hukum Islam). Maka pengakuannya diterima dan ia memiliki hak pilih.
وَالثَّانِي: أَنْ يعلم أن مثلها يعلم، لأنها مخالطة للفقهاء مسائلة العلماء فَقَوْلُهَا غَيْرُ مَقْبُولٍ، وَلَا خِيَارَ لَهَا بَعْدَ التمكين.
Kedua: Diketahui bahwa orang seperti dia pasti tahu, karena ia sering bergaul dengan para ahli fiqh dan bertanya kepada para ulama. Maka pengakuannya tidak diterima dan ia tidak memiliki hak pilih setelah memberikan dirinya.
والثالث: أن يحتمل الأمران أن يعلم، وأن لا يعلم، فَإِنْ صَدَّقَهَا الزَّوْجُ عَلَى أَنْ لَمْ تَعْلَمْ فَلَهَا الْخِيَارُ، وَإِنَّ أَكْذَبَهَا فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Ketiga: Kemungkinan kedua hal itu bisa terjadi, bisa jadi ia tahu, bisa jadi tidak. Jika suami membenarkan pengakuannya bahwa ia tidak tahu, maka ia memiliki hak pilih. Namun jika suami mendustakannya, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا اعْتِبَارًا بِثُبُوتِ الخيار لها وأنه حكم قَدْ يَخْفَى عَلَى الْعَامَّةِ وَلَا يَكَادُ يَعْرِفُهُ إِلَّا الْخَاصَّةُ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُ الزَّوْجِ فِي إِبْطَالِهِ.
Pertama: Yang dijadikan pegangan adalah pengakuannya dengan sumpahnya, karena hak pilih tetap baginya dan ini adalah hukum yang bisa jadi samar bagi orang awam, dan hampir tidak diketahui kecuali oleh kalangan khusus. Maka pengakuan suami tidak diterima dalam membatalkannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا خِيَارَ لَهَا اعْتِبَارًا بِلُزُومِ النِّكَاحِ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِي فَسْخِهِ.
Pendapat kedua: Yang dijadikan pegangan adalah pengakuan suami dengan sumpahnya, dan ia tidak memiliki hak pilih, karena mempertimbangkan tetapnya pernikahan, sehingga pengakuannya tidak diterima dalam membatalkannya.
فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَاخْتَارَ الْأَوَّلَ، وَهُوَ أَصَحُّ لَكِنَّهُ جَعَلَ نَصَّ الشَّافِعِيِّ عَلَيْهِ فِي مَوْضِعَيْنِ إِبْطَالًا لِلثَّانِي، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ، لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَبْطُلُ الثَّانِي بِذِكْرِ الْأَوَّلِ لَمْ يَبْطُلْ بِإِعَادَةِ الْأَوَّلِ – وَاللَّهُ أعلم -.
Adapun al-Muzani memilih pendapat pertama, dan itu memang yang paling sahih. Namun, ia menjadikan nash asy-Syafi‘i atas pendapat itu di dua tempat sebagai pembatal bagi pendapat kedua, dan itu tidaklah benar. Sebab, ketika pendapat kedua tidak batal hanya dengan disebutkannya pendapat pertama, maka tidak batal pula dengan pengulangan pendapat pertama—Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنِ اخْتَارَتْ فِرَاقَهُ وَلَمْ يَمَسَّهَا فَلَا صَدَاقَ لها فإن أَقَامَتْ مَعَهُ فَالصَّدَاقُ لِلسَّيِّدِ لِأَنَّهُ وَجَبَ بِالْعَقْدِ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia (perempuan) memilih berpisah dan belum digauli, maka tidak ada mahar baginya. Namun jika ia tetap tinggal bersamanya, maka mahar itu menjadi milik tuannya, karena mahar itu wajib dengan akad.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا خُيِّرَتِ الْمُعْتَقَةُ تَحْتَ عَبْدٍ فَلَهَا حَالَتَانِ:
Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang ia katakan: Jika seorang perempuan yang dimerdekakan diberikan pilihan (khiyar) sementara ia masih menjadi istri seorang budak, maka ada dua keadaan:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ تختار الْفَسْخُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Pertama: Ia memilih untuk memutuskan (fasakh), dan ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُفْسَخَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَيَسْقُطُ مَهْرُهَا، لِأَنَّ الْفَسْخَ إِذَا جَاءَ مِنْ قِبَلِهَا قَبْلَ الدُّخُولِ أَسْقَطَ مَهْرَهَا كَالرِّدَّةِ، وَكَمَا لَوْ قَالَ لَهَا، وَهِيَ غَيْرُ مَدْخُولٍ بِهَا أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شِئْتِ فَشَاءَتْ طلقتين لا مَهْرَ لَهَا لِوُقُوعِ الطَّلَاقِ بِمَشِيئَتِهَا.
Pertama: Jika diputuskan sebelum terjadi hubungan (dimasuki), maka maharnya gugur. Sebab, jika fasakh terjadi atas permintaannya sebelum terjadi hubungan, maka maharnya gugur seperti halnya murtad, dan sebagaimana jika ia dikatakan kepadanya, sementara ia belum digauli: “Engkau tertalak jika engkau menghendaki,” lalu ia menghendaki, maka ia tertalak dan tidak ada mahar baginya karena talak terjadi atas kehendaknya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُفْسَخَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَالْمَهْرُ مُسْتَقِرٌّ بِالدُّخُولِ ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ الدُّخُولُ قَبْلَ الْعِتْقِ، وَجَبَ الْمَهْرُ الْمُسَمَّى، لِأَنَّ فَسْخَ النِّكَاحِ كَانَ بحادث بَعْدَ الدُّخُولِ، وَإِنْ كَانَ الدُّخُولُ بَعْدَ الْعِتْقِ وَهُوَ أَنْ لَا تَعْلَمَ بِالْعِتْقِ حَتَّى يَدْخُلَ بِهَا فَيَكُونُ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ الْمُسَمَّى، لِأَنَّهُ فُسِخَ بِسَبَبٍ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَإِنْ كَانَ مَوْجُودًا بَعْدَهُ فَصَارَ الْعَقْدُ مَرْفُوعًا بِسَبَبِهِ الْمُتَقَدِّمِ فَلِذَلِكَ وَجَبَ بِالْعِدَّةِ فِي الْإِصَابَةِ مَهْرُ الْمِثْلِ كَمَا قُلْنَا فِي الْعَيْبِ ثُمَّ يَكُونُ هَذَا الْمَهْرُ لِلسَّيِّدِ سَوَاءٌ كَانَتِ الْإِصَابَةُ قَبْلَ الْعِتْقِ أو بعده.
Bagian kedua: Jika diputuskan setelah terjadi hubungan, maka mahar menjadi tetap karena telah terjadi hubungan. Kemudian dilihat lagi: jika hubungan itu terjadi sebelum dimerdekakan, maka mahar yang telah disebutkan (musamma) wajib, karena fasakh nikah terjadi karena sebab yang muncul setelah hubungan. Namun jika hubungan terjadi setelah dimerdekakan, yaitu ia tidak mengetahui bahwa dirinya telah merdeka hingga digauli, maka baginya mahar mitsil, bukan mahar yang disebutkan, karena fasakh terjadi karena sebab yang ada sebelum hubungan, meskipun terjadi setelahnya. Maka akad menjadi batal karena sebab yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, wajib dengan iddah pada saat terjadi hubungan mahar mitsil, sebagaimana telah kami sebutkan dalam kasus cacat. Kemudian mahar ini menjadi milik tuan, baik hubungan itu terjadi sebelum atau sesudah dimerdekakan.
فصل: والحالة الثانية
Fasal: Keadaan kedua
: أن يختار المقام والنكاح ثابت والصداق عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Yaitu ia memilih tetap tinggal dan akad nikah tetap berlaku, dan mahar terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُسَمًّى فِي العقد فهو للسيد دونهما.
Pertama: Mahar telah disebutkan dalam akad, maka mahar itu menjadi milik tuan, bukan milik keduanya.
وَقَالَ مَالِكٌ: يَكُونُ الصَّدَاقُ لَهَا وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Malik berkata: Mahar itu menjadi milik perempuan, dan ini keliru dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَهْرَ مُسْتَحَقٌّ بِالْعَقْدِ، وَإِنْ صَارَ مُسْتَقِرًّا بِالدُّخُولِ، وَالْعَقْدُ فِي مِلْكِ السَّيِّدِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ لَهُ كَمَا لَوْ عَقَدَتْهُ فِي حُرِّيَّتِهَا كَانَ الصَّدَاقُ لَهَا.
Pertama: Mahar menjadi hak karena akad, meskipun menjadi tetap karena hubungan, dan akad terjadi dalam kepemilikan tuan, maka wajib mahar itu menjadi milik tuan. Sebagaimana jika akad dilakukan saat ia sudah merdeka, maka mahar menjadi miliknya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ يَعْقِدُ عَلَى مَنَافِعِهَا بِالْإِجَارَةِ تَارَةً وَبِالنِّكَاحِ أُخْرَى فَلَمَّا كَانَ لَوْ أَجَرَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا كَانَتِ الْأُجْرَةُ لَهُ دُونَهَا كَذَلِكَ إِذَا زَوَّجَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا كَانَ الصَّدَاقُ لَهُ دُونَهَا.
Kedua: Tuan bisa mengakadkan manfaat dirinya dengan sewa pada suatu waktu dan dengan nikah pada waktu lain. Maka, jika ia menyewakannya lalu memerdekakannya, maka upah itu menjadi milik tuan, bukan milik perempuan. Demikian pula jika ia menikahkannya lalu memerdekakannya, maka mahar itu menjadi milik tuan, bukan milik perempuan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مُفَوَّضَةً لم يسم لها في العقد صداقاً حتى أعتقت فَفِيهِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِيِ الشَّافِعِيِّ فِيمَا فَرَضَ مِنْ صَدَاقِ الْمُفَوَّضَةِ هَلْ يَكُونُ مُسْتَحَقًّا بِالْعَقْدِ أَوْ بِالْفَرْضِ.
Bagian kedua: Ia adalah perempuan yang tidak disebutkan mahar dalam akad hingga ia dimerdekakan. Dalam hal ini ada dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan dua pendapat asy-Syafi‘i mengenai mahar perempuan yang tidak disebutkan (mahr muwaddhah): apakah menjadi hak karena akad atau karena penetapan setelahnya.
فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: إِنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِالْعَقْدِ، وَإِنْ فَرَضَ بَعْدَهُ، لِأَنَّهُ بَدَلٌ مِنَ الْمُسَمَّى فِيهِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِلسَّيِّدِ استحقاقه فِي مِلْكِهِ كَالْمُسَمَّى.
Salah satu dari dua pendapat: mahar itu menjadi hak karena akad, meskipun ditetapkan setelahnya, karena ia sebagai pengganti dari mahar yang disebutkan dalam akad. Maka menurut pendapat ini, mahar itu menjadi milik tuan karena hak itu muncul dalam kepemilikannya, sebagaimana mahar yang disebutkan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِالْفَرْضِ لِخُلُوِّ الْعَقْدِ مِنْهُ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ للمعتقة لاستحقاقه بعد عتقها.
Pendapat kedua: mahar itu menjadi hak karena penetapan setelah akad, karena akad tidak menyebutkannya. Maka menurut pendapat ini, mahar itu menjadi milik perempuan yang dimerdekakan, karena hak itu muncul setelah ia merdeka.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ كَانَتْ فِي عِدَّةِ طلقةٍ فَلَهَا الْفَسْخُ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia masih dalam masa iddah talak satu, maka ia berhak memilih untuk memutuskan (fasakh).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ الأمة واحدة بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَهُ عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ وَقَدْ بَقِيَتْ مَعَهُ عَلَى طَلْقَةٍ، وَصَارَتْ كَزَوْجَةِ الْحُرِّ بَعْدَ الطَّلْقَتَيْنِ، لِأَنَّ الْحُرَّ يَمْلِكُ ثَلَاثًا وَالْعَبْدَ طَلْقَتَيْنِ فَإِنْ أُعْتِقَتْ هَذِهِ الْأَمَةُ الْمُطَلَّقَةُ فِي عِدَّتِهَا فَلَهَا الْفَسْخُ، لِأَنَّهَا فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ في حكم الزوجات لوقوع طلاقه عليها، وصحة ظهاره وَإِيلَائِهِ مِنْهَا فَكَانَ لَهَا الْفَسْخُ، وَإِنْ كَانَتْ جارية في فسخ، لأن الفسخ لا ينافي الفسخ وليستعيد بِالْفَسْخِ قُصُورَ إِحْدَى الْعِدَّتَيْنِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَهَا بَعْدَ عِتْقِهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah seorang budak laki-laki yang menceraikan istrinya yang juga seorang budak perempuan dengan satu kali talak setelah terjadi hubungan suami istri, maka ia masih memiliki hak rujuk terhadapnya, dan istrinya masih bersamanya dengan satu kali talak. Keadaannya menjadi seperti istri seorang laki-laki merdeka setelah dua kali talak, karena laki-laki merdeka memiliki hak tiga kali talak, sedangkan budak hanya dua kali talak. Jika budak perempuan yang telah ditalak ini dimerdekakan saat masih dalam masa iddahnya, maka ia berhak memilih untuk memutuskan hubungan (fasakh), karena ia masih dalam masa iddah talak raj‘i yang statusnya seperti istri, sebab talak telah jatuh padanya, dan zhihar serta ila’ darinya pun sah, sehingga ia berhak memilih fasakh. Jika ia masih seorang budak perempuan, maka ia juga berhak memilih fasakh, karena fasakh tidak bertentangan dengan fasakh, dan dengan fasakh itu ia dapat mengambil kekurangan salah satu dari dua masa iddah. Dengan demikian, setelah ia dimerdekakan, ia memiliki tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يختار الفسخ.
Pertama: Ia memilih fasakh (memutuskan hubungan).
والثاني: أن يختار الْمُقَامُ.
Kedua: Ia memilih tetap bersama (muqām).
وَالثَّالِثُ: أَنْ تُمْسِكَ فَلَا تَخْتَارُ الْفَسْخَ وَلَا الْمُقَامَ فَإِنِ اخْتَارَتِ الْفَسْخَ، كَانَ ذَلِكَ لَهَا وَهَلْ لِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بَعْدَ الْفَسْخِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Ketiga: Ia menahan diri, tidak memilih fasakh maupun muqām. Jika ia memilih fasakh, maka itu menjadi haknya. Apakah suami boleh rujuk setelah fasakh atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهُ الرَّجْعَةُ، لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَ الرَّجْعَةَ بِطَلَاقِهِ.
Pertama: Suami boleh rujuk, karena ia masih memiliki hak rujuk akibat talaknya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا رَجْعَةَ لَهُ، لِأَنَّ الرَّجْعَةَ تُرَادُ لِلِاسْتِبَاحَةِ، وَالْفَسْخُ قَدْ مَنَعَ مِنْهَا فَلَمْ يَكُنْ لِلرَّجْعَةِ تَأْثِيرٌ، فَعَلَى هَذَا إِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ لَا رَجْعَةَ لَهُ كَانَ تَأْثِيرُ الْفَسْخِ إِسْقَاطَ الرَّجْعَةِ لَا وُقُوعَ الْفُرْقَةِ، لِأَنَّ الْفُرْقَةَ وَقَعَتْ بِالطَّلَاقِ دون الفسخ، وأول عِدَّتِهَا مِنْ يَوْمِ الطَّلَاقِ فِي الرِّقِّ، وَقَدْ صارت في تضاعيفها حُرَّةٍ، فَتَكُونُ عِدَّتُهَا عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ:
Pendapat kedua: Suami tidak boleh rujuk, karena rujuk itu dimaksudkan untuk menghalalkan kembali hubungan, sedangkan fasakh telah menghalanginya, sehingga rujuk tidak lagi berpengaruh. Berdasarkan pendapat ini, jika dikatakan bahwa suami tidak boleh rujuk, maka pengaruh fasakh adalah menggugurkan hak rujuk, bukan terjadinya perpisahan, karena perpisahan telah terjadi dengan talak, bukan dengan fasakh. Awal masa iddahnya dihitung sejak hari talak saat ia masih budak, dan di tengah-tengah masa iddah itu ia menjadi merdeka. Maka masa iddahnya menurut dua pendapat yang telah disebutkan:
أَحَدُهُمَا: عِدَّةُ أَمَةٍ اعْتِبَارًا بِالِابْتِدَاءِ.
Pertama: Masa iddah sebagai budak, berdasarkan awal mulainya.
وَالثَّانِي: عِدَّةُ حُرَّةٍ اعْتِبَارًا بِالِانْتِهَاءِ.
Kedua: Masa iddah sebagai perempuan merdeka, berdasarkan akhirnya.
وَإِنْ قِيلَ: لَهُ الرَّجْعَةُ، فَعَلَى هَذَا لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
Jika dikatakan suami boleh rujuk, maka dalam hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan.
إما أن يراجع أو لَا يُرَاجِعَ، فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِالطَّلَاقِ دُونَ الْفَسْخِ، وَفِي عِدَّتِهَا قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى، وَإِنْ رَاجَعَ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِالْفَسْخِ دون الطلاق، وأول عِدَّتِهَا مِنْ وَقْتِ الْفَسْخِ، وَهِيَ عِدَّةُ حُرَّةٍ، لِأَنَّهَا بَدَأَتْ بِهَا، وَهِيَ حُرَّةٌ وَإِنِ اخْتَارَتِ الْمُقَامَ فَلَا تَأْثِيرَ لِهَذَا الِاخْتِيَارِ، لِأَنَّ جَرَيَانَهَا فِي الْفَسْخِ يَمْنَعُ مِنِ اسْتِقْرَارِ حُكْمِ الرِّضَى.
Pertama, suami melakukan rujuk, atau kedua, tidak melakukan rujuk. Jika tidak melakukan rujuk, maka perpisahan terjadi karena talak, bukan karena fasakh, dan dalam masa iddahnya terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan. Jika suami melakukan rujuk, maka perpisahan terjadi karena fasakh, bukan karena talak, dan awal masa iddahnya dihitung sejak waktu fasakh, yaitu masa iddah perempuan merdeka, karena ia memulai masa iddah itu dalam keadaan merdeka. Jika ia memilih tetap bersama (muqām), maka pilihan ini tidak berpengaruh, karena selama ia masih dalam masa fasakh, tidak bisa ditetapkan hukum kerelaan.
وَقَالَ أبو حنيفة: قَدْ بَطَلَ خِيَارُهَا بِالرِّضَى، وَلَيْسَ لَهَا بَعْدَ الرَّجْعَةِ أَنْ تَفْسَخَ، لِأَنَّ أحكام الزوجية جَارِيَةً عَلَيْهَا فِي حَقِّ نَفْسِهَا إِنْ رَضِيَتْ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الْجَارِيَةَ فِي عِدَّةِ الْفُرْقَةِ لا يلزمها حكم الرضى إذا أعتقت كَمَا لَوِ ارْتَدَّ، وَقَالَ أَنْتِ بَائِنٌ فَإِنَّ أبا حنيفة يُوَافِقُ فِيهِمَا أَنَّ الرِّضَى غَيْرُ مُؤَثِّرٍ، فَعَلَى هَذَا لِلزَّوْجِ أَنْ يُرَاجِعَ لَا يَخْتَلِفُ فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِالطَّلَاقِ، وَكَانَ فِي عِدَّتِهَا قَوْلَانِ: وَإِنْ رَاجَعَ عَادَتْ بِالرَّجْعَةِ إِلَى الزَّوْجِيَّةِ فَتَكُونُ حِينَئِذٍ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الفسخ، والمقام، لِأَنَّ ذَلِكَ الرِّضَى لَمَّا كَانَ فِي غَيْرِ محله سقط حكمه، فإن اختارت المقام كان عَلَى الزَّوْجِيَّةِ وَإِنِ اخْتَارَتِ الْفَسْخَ اسْتَأْنَفَتْ عِدَّةَ حرة من وفت الْفَسْخِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَقْتَ الْعِتْقِ اخْتِيَارُ الْمُقَامِ وَلَا الْفَسْخُ فَهُوَ عَلَى مَا ذكرنا من أن الزوج أَنْ يُرَاجِعَ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ حَتَّى مَضَتِ الْعِدَّةُ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِطَلَاقِهِ وَفِي عِدَّتِهَا قَوْلَانِ، وَإِنْ رَاجَعَ كَانَتْ حِينَئِذٍ بِالْخِيَارِ فَإِنْ فَسَخَتِ اسْتَأْنَفَتْ مِنْ وَقْتِ الْفَسْخِ عِدَّةَ حُرَّةٍ.
Abu Hanifah berkata: Hak pilihnya telah gugur karena kerelaan, dan setelah rujuk ia tidak boleh lagi melakukan fasakh, karena hukum-hukum pernikahan tetap berlaku atasnya jika ia ridha. Ini adalah kekeliruan, karena budak perempuan yang masih dalam masa iddah perpisahan tidak terikat dengan hukum kerelaan jika ia dimerdekakan, sebagaimana jika suaminya murtad dan berkata, “Engkau bā’in (terpisah),” maka Abu Hanifah pun sepakat bahwa kerelaan tidak berpengaruh. Dengan demikian, suami boleh melakukan rujuk, tidak ada perbedaan. Jika suami tidak melakukan rujuk hingga masa iddah habis, maka perpisahan terjadi karena talak, dan dalam masa iddahnya terdapat dua pendapat. Jika suami melakukan rujuk, maka ia kembali kepada status pernikahan, dan saat itu ia memiliki hak pilih antara fasakh dan muqām, karena kerelaan yang terjadi di luar tempatnya tidak berpengaruh. Jika ia memilih muqām, maka ia tetap dalam status pernikahan. Jika ia memilih fasakh, maka ia memulai masa iddah perempuan merdeka sejak waktu fasakh. Jika pada saat dimerdekakan ia tidak memiliki hak memilih muqām maupun fasakh, maka keadaannya seperti yang telah kami sebutkan, yaitu suami boleh melakukan rujuk. Jika suami tidak melakukan rujuk hingga masa iddah habis, maka perpisahan terjadi karena talaknya, dan dalam masa iddahnya terdapat dua pendapat. Jika suami melakukan rujuk, maka saat itu ia memiliki hak pilih, dan jika ia melakukan fasakh, maka ia memulai masa iddah perempuan merdeka sejak waktu fasakh.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْعَبْدُ قَدْ طَلَّقَهَا اثْنَتَيْنِ فَقَدِ اسْتَوْفَى مَا مَلَكَهُ مِنْ طَلَاقِهَا فَإِنْ أُعْتِقَتْ فِي الْعِدَّةِ لَمْ يَكُنْ لَهَا الْفَسْخُ؛ لِأَنَّهَا مَبْتُوتَةٌ بِالطَّلَاقِ فَصَارَتْ بَائِنًا، وَهَكَذَا لَوْ خَالَعَهَا عَلَى طَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ يَكُنْ لَهَا الْفَسْخُ إِذَا أُعْتِقَتْ؛ لِأَنَّهَا بِالْخُلْعِ مَبْتُوتَةٌ وَإِنْ بَقِيَ لَهَا مِنَ الطَّلَاقِ وَاحِدَةٌ.
Adapun jika seorang hamba telah menceraikannya dua kali, maka ia telah menggunakan seluruh hak talaknya terhadapnya. Jika perempuan itu dimerdekakan saat masih dalam masa ‘iddah, maka ia tidak memiliki hak untuk melakukan fasakh; karena ia telah menjadi mubtūta (terputus) dengan talak sehingga menjadi bā’in (talak bain). Demikian pula, jika ia melakukan khulu‘ dengan satu kali talak, maka ia juga tidak memiliki hak untuk melakukan fasakh jika ia dimerdekakan; karena dengan khulu‘ itu ia telah menjadi mubtūta, meskipun masih tersisa satu kali talak baginya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا أُعْتِقَتِ الْأَمَةُ تَحْتَ عَبْدٍ فَبَادَرَ الزَّوْجُ فَطَلَّقَهَا قَبْلَ الْفَسْخِ فَفِي وُقُوعِ طَلَاقِهَا قَوْلَانِ:
Apabila seorang budak perempuan dimerdekakan sementara ia masih menjadi istri seorang hamba, lalu suaminya segera menceraikannya sebelum terjadi fasakh, maka terdapat dua pendapat mengenai jatuhnya talak tersebut:
أَحَدُهُمَا: – رَوَاهُ الرَّبِيعُ – أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ؛ لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَهَا لِلْفَسْخِ يَمْنَعُ مِنْ تَصَرُّفِ الزَّوْجِ فِيهَا بِغَيْرِ الطَّلَاقِ فَمَنَعَهُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِيهَا بِالطَّلَاقِ.
Salah satunya—diriwayatkan oleh ar-Rabi‘—bahwa talak tersebut tidak jatuh; karena haknya untuk melakukan fasakh mencegah suami untuk bertindak terhadapnya selain talak, maka demikian pula ia dicegah untuk bertindak dengan talak.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ – إِنَّ طَلَاقَهُ وَاقِعٌ، لِأَنَّهَا قَبْلَ الْفَسْخِ زَوْجَةٌ، وَإِنِ اسْتَحَقَّتِ الْفَسْخَ وَالطَّلَاقَ، وَإِنْ كَانَ تَصَرُّفًا فَهُوَ مُوَافِقٌ لِلْفَسْخِ، وَإِنَّمَا يَمْنَعُ مِنْ تَصَرُّفٍ يُضَادُّهُ كَالِاسْتِمْتَاعِ وَهَذَا اخْتِيَارُ ابْنِ سُرَيْجٍ.
Pendapat kedua—dinyatakan dalam al-Imla’—bahwa talaknya jatuh, karena sebelum fasakh ia masih berstatus sebagai istri, meskipun ia berhak melakukan fasakh dan talak, dan meskipun itu merupakan tindakan, namun tindakan itu sejalan dengan fasakh. Yang terlarang adalah tindakan yang bertentangan dengannya seperti istimta‘ (bersenang-senang). Ini adalah pilihan Ibnu Surayj.
وَقَالَ أَبُو حامد الإسفراييني: الطَّلَاقُ مَوْقُوفٌ فَإِنْ فَسَخَتْ بَانَ أَنَّهُ لَمْ يكن واقعاً، وإن لم يفسخ بان أنه كان واقعاً كطلاق المرتدة، والله أعلم.
Abu Hamid al-Isfarayini berkata: Talak tersebut digantungkan; jika ia melakukan fasakh, maka jelaslah bahwa talak itu tidak terjadi, dan jika ia tidak melakukan fasakh, maka jelaslah bahwa talak itu terjadi seperti talak terhadap wanita murtad. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن تَزَوَّجَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهِيَ عَلَى واحدةٍ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia menikahinya kembali setelah itu, maka ia berada pada satu talak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي أَمَةٍ أُعْتِقَتْ تَحْتَ عَبْدٍ فَإِنْ فَسَخَتْ نِكَاحَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُطَلِّقَهَا جَازَ بَعْدَ الْفَسْخِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا سَوَاءٌ كَانَتْ فِي الْعِدَّةِ أَوْ بَعْدَهَا؛ لِأَنَّ الْعِدَّةَ إِذَا كَانَتْ مِنْهُ مُنِعَتْ مِنْ نِكَاحِ غَيْرِهِ، ولم يمنع مِنْ نِكَاحِهِ فَإِذَا نَكَحَهَا كَانَتْ مَعَهُ عَلَى مَا يَمْلِكُ مِنَ الطَّلَاقِ الْكَامِلِ وَهُوَ طَلْقَتَانِ؛ لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ أَكْثَرَ مِنْهُمَا، وَلَيْسَ الْفَسْخُ طَلَاقًا، وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ طَلَّقَهَا قَبْلَ فَسْخِهَا طَلْقَتَيْنِ فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ زَوْجٍ كَمَا تَحْرُمُ عَلَى الْحُرِّ بِمَا بَعَدَ ثَلَاثٍ لِاسْتِيفَائِهِ مَا مَلَكَ مِنَ الطَّلَاقِ، وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً فَلَهُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ نِكَاحَهَا فِي الْعِدَّةِ وَبَعْدَهَا، سَوَاءٌ فَسَخَتْ بَعْدَ طَلَاقِهِ أَوْ لَمْ تَفْسَخْ وَتَكُونُ مَعَهُ عَلَى طَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ وَهِيَ الْبَاقِيَةُ لَهُ مِنَ الطَّلْقَتَيْنِ، فَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ قَدْ أُعْتِقَ قَبْلَ أَنْ تَسْتَأْنِفَ نِكَاحَهَا فَفِيمَا يَمْلِكُهُ مِنْ طَلَاقِهَا قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ إِذَا عتقت فِي تَضَاعِيفِ عِدَّتِهَا:
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seorang budak perempuan yang dimerdekakan saat masih menjadi istri seorang hamba. Jika ia melakukan fasakh terhadap pernikahannya tanpa ditalak, maka setelah fasakh itu boleh baginya untuk menikahinya kembali, baik masih dalam masa ‘iddah maupun setelahnya; karena jika masa ‘iddah berasal dari suaminya, maka ia dilarang menikah dengan laki-laki lain, namun tidak dilarang menikah dengan mantan suaminya. Jika ia menikahinya kembali, maka ia bersamanya dengan hak talak penuh yang dimiliki, yaitu dua kali talak; karena seorang hamba tidak memiliki lebih dari dua talak. Fasakh bukanlah talak. Jika suami telah menceraikannya dua kali sebelum fasakh, maka ia menjadi haram baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain, sebagaimana haramnya bagi laki-laki merdeka setelah tiga kali talak karena telah menggunakan seluruh hak talaknya. Jika suami telah menceraikannya satu kali, maka ia boleh menikahinya kembali baik dalam masa ‘iddah maupun setelahnya, baik ia melakukan fasakh setelah talak atau tidak, dan ia bersamanya dengan satu talak, yaitu sisa dari dua talak yang dimilikinya. Jika hamba tersebut dimerdekakan sebelum menikahinya kembali, maka dalam hal hak talak yang dimilikinya terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat mengenai jika ia dimerdekakan di tengah-tengah masa ‘iddahnya:
أَحَدُهُمَا: تَكُونُ مَعَهُ عَلَى طلقة واحدة اعتباراً بما هي من نكاحه الأولى الذي كان فيه عبداً.
Salah satunya: Ia bersamanya dengan satu talak, berdasarkan statusnya dari pernikahan pertama saat ia masih hamba.
والقول الثَّانِي: تَكُونُ مَعَهُ عَلَى اثْنَتَيْنِ اعْتِبَارًا بِمَا يَمْلِكُهُ فِي نِكَاحِهِ الثَّانِي الَّذِي قَدْ صَارَ به حراً.
Pendapat kedua: Ia bersamanya dengan dua talak, berdasarkan hak yang dimilikinya dalam pernikahan kedua yang telah menjadi orang merdeka.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَعَلَى السُّلْطَانِ أَنْ لَا يُؤَجِّلَهَا أَكْثَرَ مِنْ مُقَامِهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Wajib bagi penguasa untuk tidak menangguhkan (keputusan) lebih lama dari masa tinggalnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ لِلْمُعْتَقَةِ تحت عبد أن تختار الفسخ في نِكَاحِهِ مِنْ غَيْرِ حَكَمٍ فَإِنْ تَرَافَعَ الزَّوْجَانِ فِيهِ إِلَى الْحَاكِمِ أَوِ السُّلْطَانِ.
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa bagi perempuan yang dimerdekakan saat menjadi istri seorang hamba, ia boleh memilih fasakh dalam pernikahannya tanpa keputusan hakim. Jika kedua suami istri membawa perkara ini kepada hakim atau penguasa,
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” فعلى بالسلطان أَنْ لَا يُؤَجِّلَهَا أَكْثَرَ مِنْ مُقَامِهَا ” فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Imam Syafi‘i berkata: “Maka wajib bagi penguasa untuk tidak menangguhkannya lebih lama dari masa tinggalnya.” Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَوَابٌ مِنْهُ عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُ خِيَارَهَا فِيهِ عَلَى الْفَوْرِ دُونَ التَّرَاخِي فَلَا يُؤَجِّلُهَا أَكْثَرَ مِنْ مُقَامِهَا لِلتَّحَاكُمِ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ الْمُعْتَبَرُ مِنْ مَكِنَةِ الْفَوْرِ.
Salah satunya: Bahwa itu adalah jawaban beliau atas pendapat yang menyatakan bahwa hak pilihnya harus segera, tidak boleh ditunda, sehingga tidak boleh menangguhkannya lebih lama dari masa tinggalnya untuk memutuskan perkara, karena yang dianggap adalah kemampuan untuk segera memilih.
فَأَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُ خِيَارَهَا إِلَى ثَلَاثٍ أَوْ عَلَى التَّرَاخِي فَلَيْسَ لَهُ قَطْعُ خِيَارِهَا وَلَا إِبْطَالُ مَا اسْتَحَقَّتْهُ مِنْ مُدَّتِهِ أَوْ مِنْ تَرَاخِيهِ.
Adapun menurut pendapat yang menjadikan hak pilih (khiyār) baginya sampai tiga hari atau secara bertahap (at-tarākhī), maka suami tidak berhak memutuskan hak pilihnya dan tidak boleh membatalkan apa yang telah menjadi haknya dari masa tersebut atau dari penundaan itu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ جَوَابٌ مِنْهُ عَلَى الْأَقَاوِيلِ كُلِّهَا؛ لِأَنَّ الْحَاكِمَ مَنْصُوبٌ لِلْفَصْلِ بَيْنَ الْخُصُومِ، فَإِذَا قَاضَاهَا الزوج إليه، وقال الزوج: إما أن تمكنيني أَوْ تَفْسَخِي لَمْ يَجُزْ لِلْحَاكِمِ أَنْ يُمْهِلَهَا وَيَذْرَهَا مَعَهُ مُعَلِّقَةً لَيْسَتْ بِزَوْجَةٍ وَلَا مُفَارِقَةٍ فَيَقُولُ لَهَا: أَنْتِ وَإِنْ كَانَ خِيَارُكِ مُمْتَدًّا على التراخي بالتحاكم ثلاث والقضاء يفصل فاختاري تعجيل الفسخ أو الرضى فَإِنْ فَسَخَتْ فِي مَجْلِسِهِ وَإِلَّا سَقَطَ حَقُّهَا منه والله أعلم.
Pendapat kedua: Ini merupakan jawaban darinya atas semua pendapat; karena hakim diangkat untuk memutuskan perkara di antara para pihak yang berselisih. Maka jika suami mengadukan istrinya kepada hakim, lalu suami berkata: “Antara engkau mengizinkanku (berhubungan) atau engkau memutuskan (fasakh),” maka tidak boleh bagi hakim untuk menunda dan membiarkannya dalam keadaan tergantung, bukan sebagai istri dan bukan pula sebagai yang telah berpisah. Maka hakim berkata kepadanya: “Engkau, meskipun hak pilihmu berlangsung secara bertahap atau dengan pengadilan tiga hari, maka keputusan ada di tanganmu: pilihlah segera memutuskan (fasakh) atau ridha (melanjutkan pernikahan). Jika ia memutuskan (fasakh) di majelis hakim, maka (berlaku) dan jika tidak, maka gugurlah haknya. Allah lebih mengetahui.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فإن كانت صبية فحتى تَبْلُغَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia masih kecil (belum baligh), maka sampai ia baligh.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي أَمَةٍ صَغِيرَةٍ أُعْتِقَتْ تَحْتَ عَبْدٍ فَقَدْ وَجَبَ لَهَا الْخِيَارُ مَعَ الصِّغَرِ، لِأَنَّ مَا وَجَبَ فِي الْعُقُودِ مِنَ الْحُقُوقِ اسْتَوَى اسْتِحْقَاقُهُ فِي الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ كَالشُّفْعَةِ لَكِنْ لَيْسَ لَهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ أَنْ تَخْتَارَ الْفَسْخَ بِخِلَافِ التَّخْيِيرِ بَيْنَ الْأَبَوَيْنِ.
Al-Mawardi berkata: Adapun bentuknya adalah: pada seorang budak perempuan kecil yang dimerdekakan saat masih di bawah perbudakan seorang budak laki-laki, maka ia berhak mendapatkan hak pilih (khiyār) meskipun masih kecil. Karena hak-hak yang wajib dalam akad berlaku sama baik pada anak kecil maupun dewasa, seperti hak syuf‘ah. Namun, ia tidak berhak memilih untuk memutuskan (fasakh) sebelum baligh, berbeda dengan hak memilih antara kedua orang tua.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Perbedaan antara keduanya ada pada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ تَخْيِيرٌ يُسْتَحَقُّ فِي الصِّغَرِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَفُوتَ بانتظار البلوغ فخالف خيار الْعِتْقِ.
Pertama: Bahwa hak memilih antara kedua orang tua adalah hak yang diperoleh sejak kecil, sehingga tidak boleh hilang dengan menunggu baligh, maka berbeda dengan hak pilih (khiyār) karena dimerdekakan.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ تَخْيِيرٌ لَا يَلْزَمُ بِهِ حُكْمٌ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ لَيْسَ لِقَوْلِهِ حكم، وإذا كان هكذا فليس لِوَلِيِّهَا مِنْ أَبٍ وَلَا مُعْتِقٍ أَنْ يَخْتَارَ عَلَيْهَا بِخِلَافِ الشُّفْعَةِ الَّتِي يَكُونُ لِلْوَلِيِّ أَخْذُهَا.
Kedua: Bahwa hak memilih antara kedua orang tua tidak menetapkan suatu hukum, sehingga boleh diberikan kepada orang yang ucapannya belum dianggap sebagai hukum. Jika demikian, maka wali dari ayah atau orang yang memerdekakan tidak boleh memilihkan untuknya, berbeda dengan hak syuf‘ah yang boleh diambil oleh wali.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ فِي هَذَا الْخِيَارِ اسْتِهْلَاكًا لَيْسَ فِي الشُّفْعَةِ فَجَرَى مَجْرَى اسْتِحْقَاقِ الْقَوَدِ الَّذِي لَيْسَ لِلْوَلِيِّ فِيهِ خِيَارٌ لِمَا تَضَمَّنَهُ مِنَ الِاسْتِهْلَاكِ.
Perbedaan antara keduanya adalah: pada hak pilih (khiyār) ini terdapat unsur penghabisan (istihlāk) yang tidak terdapat pada syuf‘ah, sehingga ia serupa dengan hak qawad (qishāsh) yang tidak ada hak pilih bagi wali di dalamnya karena mengandung unsur penghabisan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنْ لَا خِيَارَ لَهَا وَلَا لِوَلِيِّهَا حَتَّى تَبْلُغَ، فَإِذَا بلغت كان البلوغ أَوَّلِ زَمَانِ الْخِيَارِ فَيَكُونُ فِيهِ حِينَئِذٍ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:
Jika telah dipastikan bahwa tidak ada hak pilih (khiyār) baginya maupun bagi walinya sampai ia baligh, maka ketika ia telah baligh, baligh menjadi awal waktu hak pilih, dan dalam hal ini ada tiga pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ فِي الْحَالِ.
Pertama: Bahwa hak pilih itu harus segera dilakukan saat itu juga.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ مُمْتَدٌّ إِلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ.
Kedua: Bahwa hak pilih itu berlangsung sampai tiga hari.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ عَلَى التَّرَاخِي مَا لَمْ تَرْضَ أَوْ تُمَكِّنْ، فَلَوْ أَرَادَ الزَّوْجُ أَنْ يَطَأَهَا مَا بين عتقها وبلوغها فالصحيح أنه تمكن منه، ولا يُمْنَعُ مِنْ إِصَابَتِهَا، لأن اسْتِحْقَاقَهَا لِلْفَسْخِ مُغَيِّرٌ لِحُكْمِ مَا تَقَدَّمَهُ مِنَ الْإِبَاحَةِ، وَهَذَا الْوَجْهُ مُخَرَّجٌ مِنَ الْقَوْلِ الَّذِي رَوَاهُ الرَّبِيعُ إِنَّ طَلَاقَ الزَّوْجِ قَبْلَ الْفَسْخِ وَبَعْدَ اسْتِحْقَاقِهِ لَا يقع.
Ketiga: Bahwa hak pilih itu berlangsung secara bertahap (at-tarākhī) selama ia belum ridha atau belum mengizinkan (suami). Maka jika suami ingin menggaulinya antara masa dimerdekakan dan balighnya, maka yang benar adalah ia boleh melakukannya dan tidak dilarang untuk menggaulinya, karena haknya untuk memutuskan (fasakh) mengubah hukum kebolehan yang telah lalu. Pendapat ini diambil dari pendapat yang diriwayatkan oleh ar-Rabi‘ bahwa talak suami sebelum fasakh dan setelah hak itu diperoleh tidak berlaku.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولا خيار لأمةٍ حَتَّى تَكْمُلَ فِيهَا الْحُرِّيَّةُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Tidak ada hak pilih (khiyār) bagi seorang budak perempuan sampai ia benar-benar merdeka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ: لِأَنَّ أَحْكَامَ الرِّقِّ جَارِيَةٌ عَلَيْهَا قَبْلَ استكمال الحرية، فإذا أعتق بَعْضُهَا وَرَقَّ بَاقِيهَا، فَإِنْ قَلَّ فَلَا خِيَارَ لَهَا، وَكَذَلِكَ لَوْ دُبِّرَتْ أَوْ كُوتِبَتْ وَفِي مُقَابَلَةِ ذَلِكَ أَنْ يُعْتَقَ جَمِيعُهَا، وَقَدْ أُعْتِقَ مِنَ الزَّوْجِ بَعْضُهُ وَإِنْ كَثُرَ وَرَقَّ بَاقِيهِ، وَإِنْ قَلَّ فَلَهَا الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهِ؛ لِأَنَّ أَحْكَامَ الرِّقِّ جَارِيَةٌ عَلَيْهِ مَا لَمْ تَكْمُلْ حُرِّيَّتُهُ.
Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena hukum-hukum perbudakan masih berlaku atasnya sebelum kemerdekaan sempurna. Maka jika sebagian dirinya dimerdekakan dan sebagian lainnya masih berstatus budak, jika bagian yang dimerdekakan sedikit maka tidak ada hak pilih baginya. Demikian pula jika ia didubyar (dijanjikan merdeka setelah wafat tuannya) atau mukatab (dimerdekakan dengan perjanjian pembayaran), dan sebagai lawannya adalah jika seluruh dirinya dimerdekakan. Jika dari suaminya sebagian telah dimerdekakan, meskipun banyak, dan sisanya masih budak, jika bagian yang masih budak itu sedikit, maka ia berhak memilih untuk memutuskan nikahnya, karena hukum-hukum perbudakan masih berlaku atasnya selama kemerdekaannya belum sempurna.
فَصْلٌ
Fasal
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَا الْأَصْلِ إِذَا زَوَّجَهَا سَيِّدَهَا بِعَبْدٍ عَلَى صَدَاقِ مِائَةِ دِرْهَمٍ ثُمَّ أَعْتَقَهَا فِي مَرَضِهِ وَقِيمَتُهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ وَخَلَّفَ مَعَهَا مِائَةَ دِرْهَمٍ وَلَمْ يَدْخُلِ الزَّوْجُ بِهَا فَلَا خِيَارَ لَهَا بِالْعِتْقِ، وَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا عَبْدًا؛ لِأَنَّ اخْتِيَارَهَا الْفَسْخُ مُفْضٍ إِلَى إِبْطَالِ الْعِتْقِ وَالْفَسْخِ؛ لِأَنَّهَا إِذَا فَسَخَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ بَطَلَ صَدَاقُهَا فَصَارَتِ التَّرِكَةُ مِائَتَا درهم قيمتها نِصْفُهَا فَيُعْتَقُ ثُلْثَاهَا وَيَرِقُّ ثُلُثُهَا، وَإِذَا رَقَّ ثُلْثُهَا بَطَلَ خِيَارُهَا؛ لِأَنَّ مَا أَدَّى ثُبُوتُهُ إلى إبطاله وإبطال غيره أبطل ثبوت غيره فكذلك بَطَلَ الْخِيَارُ وَمَضَى الْعِتْقُ، وَلِهَذَا نَظَائِرُ قَدْ ذكرناها.
Berdasarkan prinsip ini, jika seorang tuan menikahkan budak perempuannya dengan seorang budak laki-laki dengan mahar seratus dirham, kemudian ia memerdekakannya saat sakitnya (menjelang wafat) dan nilai budak perempuan itu seratus dirham, serta ia meninggalkan bersama budak perempuan itu seratus dirham, dan suaminya belum menggaulinya, maka tidak ada hak memilih (khiyār) bagi budak perempuan itu karena kemerdekaannya, meskipun suaminya adalah seorang budak. Sebab, jika ia memilih untuk membatalkan pernikahan, hal itu akan menyebabkan batalnya kemerdekaan dan pembatalan pernikahan; karena jika ia membatalkan sebelum terjadi hubungan suami istri, maka maharnya batal sehingga harta warisan menjadi dua ratus dirham, nilai dirinya setengahnya, maka yang merdeka adalah dua pertiganya dan sepertiganya tetap menjadi budak. Jika sepertiganya tetap menjadi budak, maka hak memilihnya batal; karena sesuatu yang keberadaannya menyebabkan kebatalan dirinya dan kebatalan yang lain, maka keberadaan yang lain juga batal, sehingga hak memilih pun batal dan kemerdekaan tetap berlaku. Dan ada beberapa contoh serupa yang telah kami sebutkan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ أُعْتِقَ قَبْلَ الْخِيَارِ فَلَا خِيَارَ لَهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia dimerdekakan sebelum menggunakan hak memilih, maka tidak ada hak memilih baginya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي أَمَةٍ أُعْتِقَتْ تَحْتَ عبد فلم تختر فسخ نكاح حَتَّى أُعْتِقَ إِمَّا بِأَنْ لَمْ تَعْلَمْ بِعِتْقِهَا فَيَكُونُ خِيَارُهَا بَاقِيًا عَلَى الْأَقَاوِيلِ كُلِّهَا، وَإِمَّا بِأَنْ عَلِمَتْ، وَقِيلَ خِيَارُهَا عَلَى التَّرَاخِي دُونَ الْفَوْرِ فَفِي بَقَاءِ خِيَارِهَا قَوْلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: pada seorang budak perempuan yang dimerdekakan saat masih menjadi istri seorang budak laki-laki, namun ia tidak memilih untuk membatalkan pernikahan hingga suaminya juga dimerdekakan. Jika ia tidak mengetahui kemerdekaannya, maka hak memilihnya tetap ada menurut semua pendapat. Namun jika ia mengetahui, dan dikatakan bahwa hak memilihnya boleh ditunda (tidak harus segera), maka dalam hal tetapnya hak memilih ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ خِيَارَهَا ثَابِتٌ اعْتِبَارًا بِوُجُوبِهِ فِي الِابْتِدَاءِ فَلَمْ يسقط مع زوال سببه إلا بالاستبقاء.
Pertama: Hak memilihnya tetap ada, karena pada awalnya memang wajib, maka tidak gugur dengan hilangnya sebab kecuali jika ia sendiri yang menggugurkannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ إِنَّهُ لَا خِيَارَ لَهَا؛ لِأَنَّ مَقْصُودَ خِيَارِهَا إزالة النقص الداخل عليها بِرِقِّهِ وَقَدْ زَالَ النَّقْصُ بِعِتْقِهِ فَلَمْ يَبْقَ لِاسْتِحْقَاقِ الْخِيَارِ مَعْنًى يَقْتَضِيهِ، فَلَوْ أُعْتِقَ الزَّوْجَانِ في حالة واحدة فلا خيار لهما لاستوائهما في التكافئ بِالرِّقِّ وَالْعِتْقِ، وَلَوْ أُعْتِقَ الزَّوْجُ دُونَهَا فَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِفَسْخِ نِكَاحِهَا بِعِتْقِهِ وَرِقِّهَا وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: Imam Syafi‘i menegaskan dalam masalah ini bahwa tidak ada hak memilih baginya; karena tujuan dari hak memilih adalah untuk menghilangkan kekurangan yang ada padanya akibat status budak suaminya, dan kekurangan itu telah hilang dengan kemerdekaan suaminya, sehingga tidak ada lagi alasan untuk mendapatkan hak memilih tersebut. Jika kedua suami istri dimerdekakan dalam waktu yang sama, maka tidak ada hak memilih bagi keduanya karena keduanya telah setara dalam status budak dan merdeka. Namun jika suaminya saja yang dimerdekakan, maka dalam hal suami berhak membatalkan pernikahan karena kemerdekaannya dan status budak istrinya, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهُ الْفَسْخُ لِيَسْتَحِقَّ عَلَيْهَا مِنَ الْخِيَارِ مِثْلَ مَا تَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهِ فَيَسْتَوِيَانِ فِيهِ.
Pertama: Suami berhak membatalkan pernikahan agar ia mendapatkan hak memilih sebagaimana yang didapatkan istrinya, sehingga keduanya setara dalam hal ini.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ؛ لِأَنَّ الزَّوْجَ يَقْدِرُ عَلَى إِزَالَةِ الضَّرَرِ بِالطَّلَاقِ وَهِيَ لَا تَقْدِرُ عَلَيْهِ إِلَّا بِالْفَسْخِ فَافْتَرَقَا فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pendapat kedua: Suami tidak memiliki hak memilih, meskipun istrinya memilikinya; karena suami dapat menghilangkan mudarat dengan talak, sedangkan istri tidak dapat melakukannya kecuali dengan pembatalan (fasakh), sehingga keduanya berbeda dalam hal ini. Allah Maha Mengetahui yang benar.
Bab: Batas waktu bagi suami yang impoten (al-‘innīn), kasim (yang dikebiri tapi tidak terputus kemaluannya), dan khuntsa (interseks), dari al-Jāmi‘, dari kitab lama, dan dari kitab at-Ta‘rīdh bil-Khitbah.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: ” أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بن عيينة عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عن عمر رضي الله عنه أنه أجل العنين سنةً (قال) ولا أحفظ عمن لقيته خلافاً في ذلك فَإِنْ جَامَعَ وَإِلَّا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Sufyan bin ‘Uyainah telah memberitakan kepada kami dari Ma‘mar dari az-Zuhri dari Ibnu al-Musayyab dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa ia memberikan batas waktu satu tahun bagi suami yang impoten (al-‘innīn). (Beliau berkata:) Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari siapa pun yang aku temui tentang hal ini. Jika ia mampu berhubungan (dalam setahun), maka (pernikahan tetap), jika tidak maka dipisahkan antara keduanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وهذا كما قال: أما العنة في الْعَجْزُ عَنِ الْوَطْءِ لِلِينِ الذَّكَرِ وَعَدَمِ انْتِشَارِهِ، فَلَا يَقْدِرُ عَلَى إِيلَاجِهِ فَسُمِّيَ مَنْ بِهِ الْعُنَّةَ عِنِّينًا، وَفِي تَسْمِيَتِهِ بِذَلِكَ تَأْوِيلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan. Adapun ‘innah (impotensi) adalah ketidakmampuan untuk berhubungan karena lemah atau tidak tegaknya alat kelamin, sehingga tidak mampu melakukan penetrasi. Orang yang mengalami hal ini disebut ‘innīn. Dalam penamaannya terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: أنه سمي عنيناً للين ذكره يعني عند إرادة الوطء وَانْعِطَافِهِ مَأْخُوذٌ مِنْ عِنَانِ الْفَرَسِ لِلِينِهِ.
Pertama: Disebut ‘innīn karena kelemahan alat kelaminnya, yaitu ketika hendak berhubungan, alat kelaminnya melunak, diambil dari kata ‘inān (tali kekang kuda) karena sifatnya yang lentur.
وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي: إِنَّهُ سُمِّيَ عِنِّينًا، لِأَنَّ ذَكَرَهُ يَعِنُّ عِنْدَ إِرَادَةِ الْوَطْءِ أَنْ يَعْتَرِضَ عَنْ يَمِينِ الفرج ويساره فلا يلج مأخوذ من العنن، وهو الاعتراض، يقال عزلك الرجل إذا اعترضتك عن يمينك أو يسارك.
Penafsiran kedua: Disebut ‘innīn karena alat kelaminnya menyimpang ke kanan atau ke kiri ketika hendak berhubungan, sehingga tidak bisa menembus (vagina), diambil dari kata ‘anan, yaitu penyimpangan. Dikatakan “‘azalaka ar-rajul” jika seseorang menghalangi jalanmu dari kanan atau kirimu.
وَالْعُنَّةُ عَيْبٌ يَثْبُتُ بِهِ لِلزَّوْجَةِ خِيَارُ الْفَسْخِ، وَهُوَ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، وَقَوْلُ جَمِيعِ الْفُقَهَاءِ إِلَّا شاذاً عن الحكم عن عيينة وَدَاوُدَ، إِنَّهُ لَيْسَ بِعَيْبٍ وَلَا خِيَارَ فِيهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ لَمَّا تَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ بِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَتَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فقالت: أن زوجي أبت طلاقي، وقد تزوجني عبد الرحمن بن الزبير، وإنما له مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ؟ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقُ عُسَيْلَتَكِ ” فَلَمْ يَجْعَلِ الْعُنَّةَ فِيهِ عَيْبًا، وَلَا جَعَلَ لَهَا خِيَارًا.
‘Unnah adalah cacat yang dengannya istri berhak memilih untuk memutuskan pernikahan (khiyār al-faskh), dan ini merupakan ijmā‘ para sahabat serta pendapat seluruh fuqahā’, kecuali pendapat yang menyimpang dari al-Hakam bin ‘Uyainah dan Dāwūd, yang berpendapat bahwa ‘unnah bukanlah cacat dan tidak ada hak memilih (khiyār) karenanya, dengan dalil bahwa istri Rifā‘ah, ketika ia menikah lagi setelah bercerai dengan ‘Abdurrahman bin az-Zubair, ia datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Suamiku menolak menceraikanku, dan aku telah menikah dengan ‘Abdurrahman bin az-Zubair, namun ia hanya memiliki seperti ujung benang kain.” Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Apakah engkau ingin kembali kepada Rifā‘ah? Tidak, sampai engkau merasakan manisnya hubungan dengannya dan ia merasakan manisnya hubungan denganmu.” Maka Nabi ﷺ tidak menjadikan ‘unnah sebagai cacat, dan tidak pula memberikan hak memilih (khiyār) kepadanya.
وَرَوَى هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ أَنَّ امْرَأَةً شَكَتْ إِلَى علي بن أبي طالب رضي الله عنه أَنَّ زَوْجَهَا لَا يَنْتَشِرُ فَقَالَ: وَلَا عِنْدَ الحر قَالَتْ لَا، قَالَ مَا عِنْدَ اسْتِ هَذَا خَيْرٌ ثُمَّ قَالَ اذْهَبِي فَجِيئِي بِهِ، فَلَمَّا جَاءَهُ رَآهُ شَيْخًا ضَعِيفًا فَقَالَ: لَهَا اصْبِرِي فَلَوْ شَاءَ اللَّهُ أَنَّ يَبْتَلِيَكِ بِأَكْثَرَ مِنْ هذا فعل، وَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا خِيَارًا.
Hāni’ bin Hāni’ meriwayatkan bahwa seorang wanita mengadu kepada ‘Ali bin Abī Tālib ra. bahwa suaminya tidak mampu ereksi. ‘Ali bertanya: “Bahkan di hadapan budak perempuan?” Wanita itu menjawab: “Tidak.” ‘Ali berkata: “Apa yang ada pada kemaluannya itu lebih baik (daripada tidak ada sama sekali).” Kemudian ia berkata: “Pergilah dan bawalah suamimu kemari.” Ketika suaminya datang, ternyata ia adalah seorang lelaki tua yang lemah. Maka ‘Ali berkata kepada wanita itu: “Bersabarlah, seandainya Allah menghendaki untuk mengujimu dengan yang lebih berat dari ini, niscaya Dia akan melakukannya.” Dan ‘Ali tidak memberikan hak memilih (khiyār) kepadanya.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهنِ بِالمَعْرُوفِ) {البقرة: 229) فَلَمَّا كَانَ الْوَطْءُ حَقًّا لَهُ عَلَيْهَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَقًّا لَهَا عَلَيْهِ وَقَالَ تَعَالَى: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٌ) {البقرة: 229) وَهِيَ الْفُرْقَةُ؛ وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ حُكِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ، وَعَلِيٍّ، وَابْنِ مَسْعُودٍ، وَالْمُغِيرَةِ، وَابْنِ عمر وجابر، أنه يؤجل فإن أصاب وَإِلَّا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma‘rūf} (al-Baqarah: 229). Maka ketika hubungan suami istri adalah hak suami atas istri, wajib pula menjadi hak istri atas suami. Dan firman-Nya Ta‘ālā: {Maka tahanlah mereka dengan cara yang ma‘rūf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik} (al-Baqarah: 229), yang dimaksud adalah perpisahan. Dan karena ini merupakan ijmā‘ para sahabat, sebagaimana dinukil dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas‘ūd, al-Mughīrah, Ibnu ‘Umar, dan Jābir, bahwa suami diberi tenggang waktu, jika ia mampu (berhubungan), maka (pernikahan tetap), jika tidak, maka dipisahkan antara keduanya. Tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi pendapat ini.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ تَقَدَّمَتِ الرِّوَايَةُ عَنْ عَلِيٍّ بِخِلَافِ هَذَا.
Jika dikatakan: Telah disebutkan riwayat dari ‘Ali yang berbeda dengan hal ini.
قِيلَ: تِلْكَ الرِّوَايَةُ لَيْسَتْ ثَابِتَةً؛ لِأَنَّ هَانِئَ بْنَ هَانِئٍ ضَعِيفٌ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ وَلِأَنَّ تِلْكَ لَمْ يَكُنْ زَوْجُهَا عِنِّينًا؛ لِأَنَّهُ عَجَزَ بَعْدَ الْقُدْرَةِ لِضَعْفِ الْكِبَرِ.
Dijawab: Riwayat tersebut tidak sahih; karena Hāni’ bin Hāni’ adalah perawi yang lemah menurut ahli hadits. Selain itu, suami wanita tersebut bukanlah seorang yang ‘unnin (impoten sejak awal), melainkan ia menjadi lemah setelah sebelumnya mampu, karena faktor usia tua.
وَقِيلَ: إِنَّهَا كَانَتْ قَدْ عَنَّسَتْ عِنْدَهُ وَالْعِنِّينُ هُوَ الَّذِي لَمْ يُصِبْهَا قَطُّ وَقَدْ قال الشافعي في إثبات الإجماع: لا أحفظ عمن لَقِيتُهُ خِلَافًا؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ لَهَا بِالْجَبِّ خيار الفسخ لفقد الإصابة المقصورة فكذلك العنة؛ ولأن الْعِنِّينَ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْمُولِي لِأَنَّ الْمُولِيَ تَارِكٌ لِلْإِصَابَةِ مَعَ الْقُدْرَةِ، وَالْعِنِّينَ تَارِكٌ لَهَا مَعَ الْعَجْزِ، فَلَمَّا كَانَ لَهَا الْفَسْخُ فِي الْإِيلَاءِ فَلَأَنْ يَكُونَ لَهَا فِي الْعُنَّةِ أَوْلَى؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهَا بِالرَّتْقِ لِتَعَذُّرِ الْجِمَاعِ عَلَيْهِ مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى فِرَاقِهَا بِالطَّلَاقِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَجِبَ لَهَا بِعُنَّةِ الزَّوْجِ؛ لِأَنَّهَا لَا تَقْدِرُ عَلَى فِرَاقِهِ بِالطَّلَاقِ.
Dikatakan pula: Wanita itu telah lama hidup bersamanya (sehingga tidak termasuk kasus ‘unnah), sedangkan ‘unnin adalah laki-laki yang sama sekali belum pernah mampu berhubungan dengannya. Imam Syāfi‘ī berkata dalam penetapan ijmā‘: “Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari siapa pun yang aku temui.” Dan karena jika istri berhak memilih faskh (pembatalan nikah) dalam kasus suami yang dijab (dikebiri) karena tidak mampu berhubungan, maka demikian pula dalam kasus ‘unnah. Dan karena ‘unnin lebih buruk keadaannya daripada mu’lā (suami yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya), sebab mu’lā meninggalkan hubungan dengan kemampuan, sedangkan ‘unnin meninggalkannya karena tidak mampu. Maka jika istri berhak faskh dalam kasus iilā’, maka lebih utama lagi ia berhak dalam kasus ‘unnah. Dan karena jika suami berhak memilih faskh dalam kasus istrinya ratq (tertutup vaginanya) karena tidak mungkin melakukan hubungan, padahal ia mampu menceraikannya dengan talak, maka lebih utama lagi istri berhak memilih faskh karena ‘unnah suami, sebab ia tidak mampu menceraikan suaminya dengan talak.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ امْرَأَةِ رِفَاعَةَ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun jawaban atas hadits istri Rifā‘ah, maka ada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا شَكَتْ ضَعْفَ جِمَاعِهِ، وَلَمْ تَشْكُ عَجْزَهُ عَنْهُ أَلَا تَرَاهُ قَالَ لَهَا: ” لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ ” وَلَوْ كَانَ عَاجِزًا لَمَا ذَاقَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عُسَيْلَةَ صَاحِبِهِ عَلَى أَنَّهُ قَدْ رَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عِنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لَهَا: ” لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عسيلتك ” فقالت يا رسول الله قد جاءني هبة وفيه معنيان:
Pertama: Ia mengadukan lemahnya kemampuan suaminya dalam berhubungan, bukan ketidakmampuannya sama sekali. Tidakkah engkau perhatikan bahwa Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Tidak, sampai engkau merasakan manisnya hubungan dengannya dan ia merasakan manisnya hubungan denganmu.” Seandainya suaminya tidak mampu, tentu tidak mungkin salah satu dari keduanya merasakan manisnya hubungan dengan yang lain. Selain itu, Hishām bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya, dari ‘Ā’isyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Tidak, sampai engkau merasakan manisnya hubungan dengannya dan ia merasakan manisnya hubungan denganmu.” Ia berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh ia telah memberiku hibah.” Dalam hal ini terdapat dua makna:
أحدهما: أن الهبة مرة واحدة قاله ابن وهب.
Pertama: Hibah itu hanya sekali, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Wahb.
والثاني: أنها حِقْبَةٌ مِنَ الدَّهْرِ قَالَهُ أَبُو زَيْدٍ، وَهَذَا نص في الجواب.
Kedua: Hibah itu adalah masa yang cukup lama, sebagaimana dikatakan oleh Abū Zaid, dan ini adalah penjelasan dalam jawaban.
والثالث: إِنَّهَا ادَّعَتْ ذَلِكَ عَلَى زَوْجِهَا، وَلَمْ يَكُنْ مِنَ الزَّوْجِ اعْتِرَافٌ بِدَعْوَاهَا بَلْ أَنْكَرَ عَلَيْهَا قَوْلَهَا فَقَالَ: كَذَبَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنِّي: ” أَعْرُكُهَا عَرْكَ الْأَدِيمِ الْعُكَاظِيِّ “.
Ketiga: Bahwa ia (istri) mengklaim hal itu terhadap suaminya, dan dari pihak suami tidak ada pengakuan atas klaimnya, bahkan ia mengingkari perkataannya, lalu berkata: “Ia berdusta, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ‘menggaulinya dengan kuat seperti menguliti kulit adim ‘Ukaz.'”
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْعُنَّةَ عَيْبٌ يَثْبُتُ بِهِ خِيَارُ الْفَسْخِ فَهُوَ مُعْتَبِرٌ بِشَرْطَيْنِ:
Apabila telah tetap bahwa ‘innah (impotensi) adalah cacat yang dengannya istri berhak memilih fasakh (pembatalan nikah), maka hal itu dipertimbangkan dengan dua syarat:
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ أَصَابَهَا قَطُّ فَإِنْ أَصَابَهَا مَرَّةً زَالَ عَنْهُ حُكْمُ الْعُنَّةِ لِمَا سَنَذْكُرُهُ.
Salah satunya: Suami sama sekali belum pernah menggaulinya. Jika ia pernah menggaulinya sekali saja, maka gugurlah hukum ‘innah darinya, sebagaimana akan kami sebutkan.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى إِيلَاجِ حَشَفَةِ الذَّكَرِ فَإِنْ قَدَرَ عَلَى إِيلَاجِ الْحَشَفَةِ وَإِنِ اسْتَعَانَ بِيَدِهِ زال عنه حكم العنة، فإن تَكَامَلَ الشَّرْطَانِ وَتَصَادَقَ عَلَيْهِمَا الزَّوْجَانِ لَمْ يَتَعَجَّلِ الْفَسْخَ بِهَا، وَأُجِّلَ الزَّوْجُ لَهَا سَنَةً كَامِلَةً بالأهلة.
Yang kedua: Suami tidak mampu melakukan penetrasi dengan hasyafah (kepala) zakarnya. Jika ia mampu memasukkan hasyafah, meskipun dengan bantuan tangannya, maka gugurlah hukum ‘innah darinya. Jika kedua syarat ini terpenuhi dan kedua pasangan saling membenarkannya, maka fasakh tidak langsung dilakukan, melainkan suami diberi tenggang waktu satu tahun penuh berdasarkan perhitungan bulan qamariyah.
وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ: أَنَّهُ يُؤَجَّلُ نِصْفَ سَنَةٍ.
Diriwayatkan dari Malik: bahwa tenggang waktu yang diberikan adalah setengah tahun.
وَحُكِيَ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ إِنَّهُ يُؤَجَّلُ عَشَرَةَ أَشْهُرٍ وَحُكِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ إِنَّهَا إِنْ كَانَتْ حَدِيثَةَ الْعَهْدِ مَعَهُ أُجِّلَ لَهَا سَنَةً، وَإِنْ كَانَتْ قَدِيمَةَ الْعَهْدِ مَعَهُ أُجِّلَ لَهَا خَمْسَةَ أَشْهُرٍ، وَكُلُّ هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ فَاسِدَةٌ لَا يَرْجِعُ التَّقْدِيرُ فِيهَا إِلَى أصل من جهة وتقدير أصله بِالسَّنَةِ أَوْلَى مِنْ وَجْهَيْنِ:
Diriwayatkan dari al-Harits bin Abi Rabi‘ah bahwa tenggang waktu yang diberikan adalah sepuluh bulan. Diriwayatkan dari Sa‘id bin al-Musayyab bahwa jika istri baru saja menikah dengannya, maka diberikan waktu satu tahun, dan jika sudah lama menikah, maka diberikan waktu lima bulan. Semua pendapat ini tidak benar, karena penetapan waktu tersebut tidak kembali pada dasar yang kuat, dan penetapan waktu satu tahun lebih utama dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَرْوِيٌّ عَنِ عمر؛ لأنه أَجَّلَ الْعِنِّينَ سَنَةً، وَعُمْرُ لَا يَفْعَلُ هَذَا غإا عَنْ تَوْقِيفٍ يَكُونُ نَصًّا أَوْ عَنِ اجْتِهَادٍ شَاوَرَ فِيهِ الصَّحَابَةَ، لِأَنَّهُ كَانَ كَثِيرُ الْمَشُورَةِ في الأحكام فيكون مع عدم الخلاف فيه إجماعاً، وإذا تردد بين حالين نص أو إجماع لم يجز بخلافه.
Salah satunya: Karena diriwayatkan dari ‘Umar; beliau memberikan tenggang waktu satu tahun kepada suami yang mengalami ‘innah, dan ‘Umar tidak melakukan hal ini kecuali berdasarkan tuntunan yang jelas atau berdasarkan ijtihad yang telah dimusyawarahkan bersama para sahabat, karena beliau sering bermusyawarah dalam masalah hukum. Maka, jika tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, itu menjadi ijmā‘. Jika suatu perkara berada antara nash dan ijmā‘, maka tidak boleh menyelisihinya.
والثاني: إن التأجيل إِنَّمَا وَضِعَ لِيُعْلَمَ حَالُهُ، هَلْ هُوَ مِنْ مَرَضٍ طَارِئٍ فَيُرْجَى زَوَالُهُ أَوْ مِنْ نقصٍ فِي أَصْلِ الْخِلْقَةِ فَلَا يُرْجَى زَوَالُهُ فَكَانَتِ السَّنَةُ الْجَامِعَةُ لِلْفُصُولِ الْأَرْبَعَةِ أَوْلَى أَنْ تَكُونَ أَجَلًا مُعْتَبَرًا؛ لِأَنَّ فَصْلَ الشِّتَاءِ بَارِدٌ رَطْبٌ وَفَصْلَ الصَّيْفِ حَارٌّ يَابِسٌ، وَفَصْلَ الرَّبِيعِ حَارٌّ رَطْبٌ، وَفَصْلَ الْخَرِيفِ بَارِدٌ يَابِسٌ فَإِذَا مَرَّ بِالْمَرَضِ مَا يُقَابِلُهُ مِنْ فُصُولِ السَّنَةِ ظَهَرَ وَكَانَ سَبَبًا لِبُرْئِهِ، فَإِنْ كَانَ مِنْ بَرْدٍ ففصل الحد يقابله فإن كَانَ مِنْ حَرٍّ فَفَصْلُ الْبَرْدِ يُقَابِلُهُ، وَإِنْ كَانَ مِنْ رُطُوبَةٍ فَفَصَلُ الْيُبُوسَةِ يُقَابِلُهُ، وَإِنْ كَانَ مِنْ يُبُوسَةٍ فَفَصْلُ الرُّطُوبَةِ يُقَابِلُهُ، وَإِنْ كَانَ مُرَكَّبًا مِنْ نَوْعَيْنِ فَمَا خَالَفَهُ فِي النَّوْعَيْنِ، هُوَ الْمُقَابِلُ لَهُ، فَإِذَا مَضَتْ عَلَيْهِ الْفُصُولُ الْأَرْبَعَةُ وَهُوَ بِحَالِهِ لَمْ يَكُنْ مَرَضًا لِمَا قِيلَ عَنْ عُلَمَاءِ الطِّبِّ أَنَّهُ لَا يسحر الدَّاءُ فِي الْجِسْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَنَةٍ وَعُلِمَ حِينَئِذٍ أَنَّهُ نَقْصٌ لَازِمٌ لِأَصْلِ الْخِلْقَةِ فَصَارَ عَيْبًا يُوجِبُ الْخِيَارَ.
Kedua: Bahwa penundaan (tenggang waktu) itu ditetapkan untuk mengetahui keadaannya, apakah berasal dari penyakit yang datang tiba-tiba sehingga diharapkan sembuh, ataukah dari kekurangan pada asal penciptaan sehingga tidak diharapkan sembuh. Maka, satu tahun yang mencakup keempat musim lebih utama dijadikan masa tenggang, karena musim dingin itu dingin dan lembap, musim panas panas dan kering, musim semi panas dan lembap, dan musim gugur dingin dan kering. Jika penyakit itu telah melalui musim-musim yang berlawanan dengannya, maka akan tampak dan menjadi sebab kesembuhannya. Jika berasal dari dingin, maka musim panas akan menghadapinya; jika dari panas, maka musim dingin akan menghadapinya; jika dari kelembapan, maka musim kering akan menghadapinya; jika dari kekeringan, maka musim lembap akan menghadapinya. Jika penyakit itu gabungan dari dua jenis, maka yang berlawanan dari keduanya adalah yang menghadapinya. Jika telah berlalu empat musim dan ia tetap dalam keadaan semula, maka itu bukanlah penyakit sementara, sebagaimana dikatakan oleh para ahli kedokteran bahwa tidak ada penyakit yang bertahan dalam tubuh lebih dari satu tahun. Maka, diketahui saat itu bahwa itu adalah kekurangan yang melekat pada asal penciptaan, sehingga menjadi cacat yang menyebabkan hak khiyar (memilih fasakh).
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حُكْمِ الْعُنَّةِ وَأَجَلِهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أصحابنا بماذا يثبت الْعُنَّةُ إِنِ ادَّعَتْهَا الزَّوْجَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Apabila telah jelas hukum ‘innah dan masa tenggangnya sebagaimana yang telah kami uraikan, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang dengan apa ‘innah itu dapat dibuktikan jika istri mengklaimnya, menjadi tiga pendapat:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهَا لَا تَثْبُتْ إِلَّا بِإِقْرَارِهِ أَوْ بَيِّنَةٍ عَلَى إِقْرَارِهِ فَيَكُونُ الْإِقْرَارُ وَحْدَهُ مُعْتَبِرًا فِي ثُبُوتِهَا.
Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: bahwa ‘innah tidak dapat dibuktikan kecuali dengan pengakuan suami atau adanya bukti atas pengakuannya. Maka pengakuan saja sudah cukup untuk membuktikannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أنها تثبت بإقراره أو بنكوله لعدم إِنْكَارِهِ وَلَا يُرَاعَى فِيهِ يَمِينُ الزَّوْجَةِ؛ لِأَنَّهَا لَا تَعْرِفُ بَاطِنَ حَالِهِ فَتَحْلِفَ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri: bahwa ‘innah dapat dibuktikan dengan pengakuan suami atau dengan keengganannya (untuk bersumpah) karena tidak mengingkari, dan tidak dipertimbangkan sumpah istri dalam hal ini, karena ia tidak mengetahui keadaan batin suaminya sehingga ia dapat bersumpah.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وأكثر أصحابنا، وحكاه أبو حامد الإسفراييني ولم يحك ما سواه أنها ثبتت بإقراره على الزوجة بعد نكوله، وإنكاره لا يثبت إن لم يحلف بعد النكول ولا يمتنع أن يحلف على مغيب بالإمارات الدالة على حاله كما يحلف على كنايات القذف والطلاق، وأنه أراد به الْقَذْفِ وَالطَّلَاقِ إِذَا أَنْكَرَ وَنَكَلَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat ketiga: Ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, mayoritas ulama mazhab kami, dan dinukil oleh Abu Hamid al-Isfara’ini tanpa menyebut pendapat lain, bahwa hal itu ditetapkan dengan pengakuan suami kepada istrinya setelah ia menolak bersumpah. Penolakannya tidak menetapkan (hukum) jika ia tidak bersumpah setelah menolak, dan tidak mustahil ia bersumpah atas sesuatu yang gaib berdasarkan indikasi-indikasi yang menunjukkan keadaannya, sebagaimana ia bersumpah atas kinayah (sindiran) dalam kasus qadzaf (tuduhan zina) dan talak, dan yang dimaksud adalah qadzaf dan talak jika ia mengingkari dan menolak bersumpah. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن قطع من ذكره فبقي مِنْهُ مَا يَقَعُ مَوْقِعَ الْجِمَاعِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika kemaluannya terpotong namun masih tersisa bagian yang dapat digunakan untuk jima‘ (hubungan suami istri).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا إِنْ كَانَ مَقْطُوعَ الذَّكَرِ بِأَسْرِهِ فَهُوَ المجبوب، ولها الخيار في فرقتها من غير تأجيل؛ لأن جماعه ما يؤس مِنْهُ فَلَمْ يَكُنْ لِلتَّأْجِيلِ مَعْنًى يَنْتَظِرُهُ فَإِنْ رضيت لجبه ثُمَّ سَأَلَتْ أَنْ يُؤَجَّلَ لِلْعُنَّةِ لَمْ يَجُزْ لِاسْتِحَالَةِ الْوَطْءِ مَعَ الْجَبِّ الَّذِي يَقَعُ بِهِ الرضى وَإِنْ كَانَ بَعْضُ ذَكَرِهِ مَقْطُوعًا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:
Al-Mawardi berkata: Adapun jika seluruh kemaluannya terpotong, maka ia disebut majbub, dan istri berhak memilih untuk berpisah tanpa masa tunggu, karena jima‘ tidak mungkin dilakukan sehingga tidak ada makna menunggu. Jika istri ridha dengan keadaan majbub lalu meminta penundaan karena ‘innah (impotensi), maka tidak boleh, karena mustahil melakukan hubungan suami istri dengan kondisi majbub yang telah diterima keridhaannya. Jika hanya sebagian kemaluannya yang terpotong, maka ada tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي مِنْهُ دُونَ قَدْرِ الْحَشَفَةِ لَا يَقْدِرُ عَلَى إِيلَاجِهِ فَهَذَا كَالْمَجْبُوبِ، وَلَهَا الْخِيَارُ فِي الْحَالِ مِنْ غَيْرِ تأجيل.
Pertama: Sisa kemaluannya kurang dari ukuran hasyafah (kepala penis) sehingga tidak mampu melakukan penetrasi. Ini seperti majbub, dan istri berhak memilih berpisah saat itu juga tanpa penundaan.
والضرب الثاني: أن يبقى منه قر الحشفة ويقدر على إيلاجه فعنه قَوْلَانِ:
Keadaan kedua: Sisa kemaluannya seukuran hasyafah dan mampu melakukan penetrasi. Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ لَيْسَ بِعَيْبٍ فِي الْحَالِ، لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِيلَاجِهِ فَجَرَى مَجْرَى الذَّكَرِ إِلَّا أَنْ يَقْتَرِنَ بِهِ عنةٌ فَيُؤَجَّلُ لَهَا أَجَلَ الْعُنَّةِ.
Salah satunya: Bahwa itu bukan cacat pada saat itu, karena ia masih mampu melakukan penetrasi, sehingga hukumnya seperti kemaluan yang utuh, kecuali jika disertai ‘innah, maka istri diberi masa tunggu sebagaimana kasus ‘innah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ عَيْبٌ فِي الحال وإن يَكُنْ مَعَهُ عُنَّةٌ لِنَقْصِ الِاسْتِمْتَاعِ عَنْ حَالِ الذَّكَرِ السَّلِيمِ، فَإِنْ رَضِيَتْ بِقَطْعِهِ وَأَرَادَتْ تَأْجِيلَ العنة أجل.
Pendapat kedua: Bahwa itu adalah cacat pada saat itu meskipun tidak disertai ‘innah, karena kenikmatan yang didapatkan kurang dari keadaan kemaluan yang sempurna. Jika istri ridha dengan pemotongan tersebut dan ingin penundaan karena ‘innah, maka diberi masa tunggu.
والضرب الثالث: ألا يُعْلَمَ قَدْرُ بَاقِيهِ هَلْ يَكُونُ قَدْرَ الْحَشَفَةِ إِنِ انْتَشَرَ فَيَقْدِرُ عَلَى إِيلَاجِهِ أَوْ يَكُونُ أَقَلَّ فَلَا يَقْدِرُ عَلَى إِيلَاجِهِ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Keadaan ketiga: Tidak diketahui sisa kemaluannya, apakah seukuran hasyafah jika ereksi sehingga mampu melakukan penetrasi, atau kurang dari itu sehingga tidak mampu melakukan penetrasi. Dalam hal ini, ulama mazhab kami berbeda pendapat menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ أكثر الأمرين، فالباقي منه قدر الحشفة، استصحاباً، بالحالة الْأُولَى، وَلَا يَكُونُ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ عَاجِلًا إِلَّا أَنْ يُؤَجَّلَ لَهَا أَجَلَ الْعُنَّةِ، كَالضَّرْبِ الثَّانِي.
Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa hukumnya mengikuti yang lebih banyak kemungkinannya. Jika sisa kemaluannya seukuran hasyafah, maka dianggap tetap seperti keadaan semula, dan menurut pendapat yang lebih kuat, istri tidak berhak memilih berpisah saat itu juga kecuali jika diberi masa tunggu sebagaimana kasus kedua.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ – أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ أَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ، وَأَنَّ الْبَاقِيَ مِنْهُ، أَقَلُّ مِنْ قَدْرِ الْحَشَفَةِ، فَيَكُونُ لَهَا الْخِيَارُ فِي الْحَالِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْقَطْعِ دُونَ الْعُنَّةِ كَالضَّرْبِ الْأَوَّلِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa hukumnya mengikuti yang lebih sedikit kemungkinannya, yaitu sisa kemaluannya kurang dari ukuran hasyafah, sehingga istri berhak memilih berpisah saat itu juga, menguatkan hukum pemotongan bukan karena ‘innah, sebagaimana keadaan pertama.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْخَصِيُّ فَهُوَ الَّذِي قطعت أنثياه مع الوعاء، وأما المسلول: فهو الذي أسلت أنثتاه من الوعاء.
Adapun khasi (laki-laki yang dikebiri) adalah yang kedua testisnya dipotong beserta kantungnya. Sedangkan al-maslul adalah yang kedua testisnya dikeluarkan dari kantungnya.
وأما الموجور: فهو الذي رضت أُنْثَيَاهُ فِي الْوِعَاءِ وَحُكْمُ جَمِيعِهِمْ سَوَاءٌ وَهَلْ يَكُونُ عَيْبًا يَتَعَجَّلُ بِهِ فَسْخُ النِّكَاحِ فِيهِ قولان مضيا، فإن جعل عيباً يعجل بِهِ الْفَسْخُ مِنْ وَقْتِهِ، فَإِنْ رَضِيَتْ بِهِ الزَّوْجَةُ، وَأَرَادَتْ تَأْجِيلَهُ لِلَّعُنَّةِ أُجِّلَ لَهَا بِخِلَافِ الْمَجْبُوبِ لِإِمْكَانِ الْوَطْءِ مِنْهُ وَاسْتِحَالَتِهِ مِنَ الْمَجْبُوبِ.
Adapun al-maujur adalah yang kedua testisnya hancur di dalam kantungnya. Hukum mereka semua sama. Apakah ini termasuk cacat yang menyebabkan fasakh (pembatalan) nikah secara langsung? Ada dua pendapat yang telah disebutkan. Jika dianggap sebagai cacat yang menyebabkan fasakh langsung, maka jika istri ridha dan ingin penundaan karena ‘innah, maka diberi masa tunggu, berbeda dengan majbub karena masih mungkin melakukan hubungan suami istri, sedangkan pada majbub tidak mungkin.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” أَوْ كَانَ خُنْثَى يَبُولُ مِنْ حَيْثُ يَبُولُ الرجال “.
Imam Syafi‘i berkata: “Atau seorang khuntsa (interseks) yang kencing dari tempat kencingnya laki-laki.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: لِلْخُنْثَى حَالَتَانِ: مُشْكِلٌ وَغَيْرُ مُشْكِلٍ فَأَمَّا الْمُشْكِلُ فَيَأْتِي وَأَمَّا غَيْرُ الْمُشَكِلِ، فَهُوَ أَنْ يَبُولَ مِنْ ذَكَرِهِ دُونَ فَرْجِهِ، فَيَكُونُ رَجُلًا، يَصِحُّ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً، وَهَلْ يَكُونُ زِيَادَةُ فَرْجِهِ عَيْبًا فِيهِ، يُوجِبُ الْفَسْخَ وفي الخيار فِيهِ قَوْلَانِ مَضَيَا، فَإِنْ لَمْ يُجْعَلْ عَيْبًا أُجِّلَ لِلْعُنَّةِ إِنْ ظَهَرَتْ بِهِ.
Al-Mawardi berkata: Khuntsa ada dua keadaan: musykil (sulit ditentukan jenis kelaminnya) dan tidak musykil. Adapun yang musykil akan dijelaskan kemudian. Sedangkan yang tidak musykil adalah yang kencing dari kemaluannya (laki-laki) saja, bukan dari vaginanya, maka ia dianggap laki-laki, sah menikahi perempuan. Apakah tambahan vaginanya itu dianggap cacat yang menyebabkan fasakh dan istri berhak memilih? Ada dua pendapat yang telah disebutkan. Jika tidak dianggap cacat, maka diberi masa tunggu jika muncul ‘innah.
وَإِنْ جُعِلَ كَانَ لَهَا أَنْ تَتَعَجَّلَ بِهِ الْفَسْخَ فَإِنْ رَضِيَتْ بِهِ، وَظَهَرَتْ عُنَّتُهُ، أُجِّلَ لَهَا؛ لِأَنَّ نَقْصَهُ بِالْعُنَّةِ غَيْرُ نَقْصِهِ بِالْخُنُوثَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Jika dianggap cacat, maka istri berhak langsung membatalkan pernikahan. Jika ia ridha dan kemudian muncul ‘innah, maka diberi masa tunggu, karena kekurangan akibat ‘innah berbeda dengan kekurangan akibat khuntsa. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” أَوْ كَانَ يُصِيبُ غَيْرَهَا وَلَا يُصِيبُهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Atau ia dapat menggauli selain istrinya namun tidak dapat menggaulinya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ مَنْ لَهُ أَرْبَعُ زَوْجَاتٍ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa keadaan seseorang yang memiliki empat istri tidak lepas dari tiga bagian:
إِمَّا أن تعدمن جَمِيعِهِنَّ، وَكَانَ يَطَأَهُنَّ كُلَّهُنَّ، انْتَفَتْ عَنْهُ الْعُنَّةُ عموماً.
Yaitu, jika semua istrinya tidak mengalami kekurangan, dan ia menggauli mereka semuanya, maka hilanglah darinya status sebagai ‘innin (impoten) secara umum.
وما لم تعدمن جميعهن وكان يطأهن كلهن، ولا خيار، وإن عدمن جميعهن فلا يطأ واحدة منهن فإذا سألوا تأجيله أجل لهم حَوْلًا؛ لِأَنَّهَا مُدَّةٌ يُعْتَبَرُ بِهَا حَالُهُ فَاسْتَوَى حُكْمُهَا فِي حُقُوقِهِنَّ كُلِّهِنَّ فَإِذَا مَضَتِ السَّنَةُ كَانَ لَهُنَّ الْخِيَارُ، فَإِنِ اجْتَمَعْنَ عَلَى الْفَسْخِ، كَانَ ذَلِكَ لَهُنَّ، وَإِنِ افْتَرَقْنَ أَجْرَى عَلَى كل واحدة حكم اختيارها، وإن عزم بعضهن دون بعض فوطأ اثنتين، ولم يطأ اثنتين ثبتت عنته، فن امتنع من وطئها، وإن سقطت عنته فِي جَمِيعِهِنَّ، وَلَا خِيَارَ لِمَنْ لَا يَطَأْهَا مِنْهُنَّ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عِنِّينًا وَغَيْرَ عِنِّينٍ، وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّهُ لَيْسَ يَمْنَعُ أن يلحقه العنة من بعضهن لما في طبعه في الميل إليهن، وقوة الشهوة لهن مختص كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِحُكْمِهَا مَعَهُ.
Dan selama tidak semua istrinya mengalami kekurangan dan ia menggauli mereka semuanya, maka tidak ada hak memilih. Namun jika semua istrinya mengalami kekurangan dan ia tidak menggauli satu pun dari mereka, maka jika mereka meminta penundaan, diberikan penundaan selama satu tahun; karena itu adalah masa yang dijadikan ukuran untuk menilai keadaannya, sehingga hukumnya sama dalam hak-hak semua istrinya. Jika telah berlalu satu tahun, maka mereka berhak memilih. Jika mereka sepakat untuk membatalkan pernikahan, maka itu menjadi hak mereka. Jika mereka berbeda pendapat, maka pada setiap istri berlaku hukum sesuai pilihannya. Jika sebagian istri bersikeras dan sebagian tidak, lalu ia menggauli dua istri dan tidak menggauli dua lainnya, maka tetaplah status ‘innah (impoten) atas dua yang tidak digauli, jika ia menolak menggauli mereka. Jika status ‘innah hilang pada semua istrinya, maka tidak ada hak memilih bagi istri yang tidak digauli, karena tidak mungkin seseorang sekaligus menjadi ‘innin dan bukan ‘innin, dan ini adalah kekeliruan. Sebab, tidak ada yang menghalangi kemungkinan seseorang mengalami ‘innah terhadap sebagian istri karena kecenderungan tabiatnya kepada mereka, dan kekuatan syahwatnya kepada masing-masing istri berbeda-beda sesuai dengan keadaannya bersama mereka.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا أخبرها الزوج قبل النكاح أَنَّهُ عِنِّينٌ فَنَكَحَتْ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ أَرَادَتْ بَعْدَ الْعَقْدِ تَأْجِيلَهُ لِلْعُنَّةِ، وَفَسْخِ النِّكَاحِ بِهَا، فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Dan jika suami memberitahukan kepada istrinya sebelum akad nikah bahwa ia adalah ‘innin (impoten), lalu si wanita menikah dengannya dengan pengetahuan itu, kemudian setelah akad ia ingin meminta penundaan karena ‘innah dan membatalkan pernikahan karenanya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَالَ فِي الْقَدِيمِ: ليس لها ذلك، ولا خيار لها، كَمَا لَوْ نَكَحَتْهُ عَالِمَةً بِعَيْنِ ذَلِكَ مِنْ عُيُوبِهِ.
Salah satunya: Dalam pendapat lama, ia mengatakan: istri tidak berhak melakukan itu, dan tidak ada hak memilih baginya, sebagaimana jika ia menikahinya dengan mengetahui secara pasti cacat tersebut.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ لَهَا الْخِيَارُ بِخِلَافِ سَائِرِ الْعُيُوبِ، لِأَنَّ الْعُنَّةَ قَدْ تَكُونُ فِي وَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ وَمِنِ امْرَأَةٍ دون امرأة، وغيرها من العيوب تكون فِي الْأَوْقَاتِ كُلِّهَا وَمِنَ النِّسَاءِ كُلِّهِنَّ.
Pendapat kedua: Dalam pendapat baru, ia mengatakan: istri berhak memilih, berbeda dengan cacat-cacat lainnya, karena ‘innah bisa terjadi pada waktu tertentu dan pada wanita tertentu, sedangkan cacat-cacat lain terjadi pada semua waktu dan pada semua wanita.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” فسألت فرقته أجلته سنةً من يوم ترافعا إلينا (قال) فإن أصابها مرةً واحدةً فهي امرأته “.
Imam Syafi’i berkata: “Jika ia meminta penundaan, maka ia diberi waktu satu tahun sejak hari mereka mengadukan perkara kepada kami (beliau berkata), jika ia menggaulinya sekali saja, maka ia tetap menjadi istrinya.”
اعْلَمْ أَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْخِيَارِ بِالْعُنَّةِ، وَتَأْجِيلَ الزَّوْجِ فيه لا يسار إلا بحكم حاكم لِأَنَّ الْخِيَارَ مُسْتَحَقٌّ بِاجْتِهَادٍ، وَتَأْجِيلُ السَّنَةِ عَنِ اجتهاد وما أخر ثُبُوتُهُ مِنْ طَرِيقِ الِاجْتِهَادِ دُونَ النَّصِّ وَالْإِجْمَاعِ لَمْ يَسْتَقِرَّ إِلَّا بِحُكْمِ حَاكِمٍ، فَإِنْ عَلِمَتِ الْمَرْأَةُ بِعُنَّةِ الزَّوْجِ، كَانَ حَقُّهَا فِي مُرَافَعَتِهِ إِلَى الْحَاكِمِ عَلَى التَّرَاخِي دُونَ الْفَوْرِ؛ لِأَنَّهُ قَبْلَ التَّأْجِيلِ عَيْبٌ مَظْنُونٌ، وَلَيْسَ بِمُتَحَقِّقٍ، فَإِنْ أجزت محاكمته سنة، رافعته إلى الحاكم، استأنف بها الحول،
Ketahuilah bahwa hak memilih karena ‘innah, dan penundaan waktu bagi suami dalam hal ini tidak berlaku kecuali dengan keputusan hakim, karena hak memilih itu ditetapkan berdasarkan ijtihad, dan penundaan satu tahun juga berdasarkan ijtihad. Sesuatu yang penetapannya berdasarkan ijtihad, bukan berdasarkan nash atau ijmā‘, tidak tetap kecuali dengan keputusan hakim. Jika istri mengetahui suaminya ‘innin, maka haknya untuk mengadukan ke hakim boleh dilakukan secara bertahap, tidak harus segera; karena sebelum penundaan, cacat itu masih diduga, belum pasti. Jika ia mengajukan perkara ke pengadilan selama satu tahun, lalu mengadukannya ke hakim, maka masa satu tahun itu dimulai dari saat pengaduan,
مِنْ وَقْتِ التَّرَافُعِ إِلَيْهِ وَلَمْ يُحْتَسَبْ بِمَا مَضَى مِنْهُ، وَخَالَفَ مُدَّةَ الْإِيلَاءِ لِأَنَّ تِلْكَ نَصٌّ، وَهَذِهِ عَنِ اجْتِهَادٍ، فَلَوْ أَقَرَّ لَهَا عِنْدَ الْحَاكِمِ بِالْعُنَّةِ أَجَّلَهُ لَهَا، وَلَمْ يُعَجِّلِ الْفَسْخَ بِإِقْرَارِهِ لِأَمْرَيْنِ:
dari waktu pengaduan kepada hakim dan tidak dihitung masa yang telah berlalu sebelumnya. Ini berbeda dengan masa ila’, karena ila’ berdasarkan nash, sedangkan ini berdasarkan ijtihad. Jika suami mengakui di hadapan hakim bahwa ia ‘innin, maka hakim menunda untuknya, dan tidak langsung membatalkan pernikahan karena pengakuannya, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْفَسْخَ يُؤَجَّلُ لِسَنَةٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعَجَّلَ قَبْلَهَا.
Pertama: Pembatalan pernikahan ditunda selama satu tahun, sehingga tidak boleh dilakukan sebelum masa itu.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ رُبَّمَا زَالَتِ الْعُنَّةُ، فَلَمْ يَجُزْ فَسْخُ النكاح بها والله أعلم.
Kedua: Bisa jadi ‘innah itu hilang, sehingga tidak boleh membatalkan pernikahan karenanya. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: رضي الله عنه: ” إِذَا تَزَوَّجَ رَجُلٌ امْرَأَةً وَلَمْ يُصِبْهَا فِي نِكَاحِهِ “.
Imam Syafi’i, rahimahullah, berkata: “Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan tidak menggaulinya dalam pernikahan itu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Maka hal ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَنْ عُنَّةٍ.
Pertama: Karena ‘innah.
وَالثَّانِي: بِغَيْرِ عُنَّةٍ، فإن كان لعنة كان على مضى من تأجيله لها سنة إذا حاكمته، فَإِنْ أَصَابَهَا فِي السَّنَةِ أَوْ بَعْدَهَا، أَوْ قَبْلَ الْفَسْخِ مَرَّةً وَاحِدَةً سَقَطَ حَقُّهَا مِنَ الْفَسْخِ لِارْتِفَاعِ عُنَّتِهِ بِالْإِصَابَةِ، فَلَوْ تَرَكَهَا بَعْدَ تلك الإصابة سنين كثيرة لا يَمَسُّهَا، فَلَا مُطَالَبَةَ لَهَا.
Kedua: Bukan karena ‘innah. Jika karena ‘innah, maka berlaku penundaan selama satu tahun sejak ia mengadukan ke pengadilan. Jika ia menggaulinya dalam masa satu tahun itu atau setelahnya, atau sebelum pembatalan pernikahan, meskipun hanya sekali, maka gugurlah hak istri untuk membatalkan pernikahan karena ‘innahnya telah hilang dengan terjadinya hubungan. Jika setelah itu ia meninggalkan istrinya selama bertahun-tahun tanpa menyentuhnya, maka istri tidak berhak menuntut.
وَحُكِيَ عَنْ أَبِي ثور أنه يؤجل لها ثانية إذا عادت العنة ثَانِيَةً وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّهَا قَدْ وَصَلَتْ بِإِصَابَةِ المرأة الْوَاحِدَةِ إِلَى مَقْصُودِ النِّكَاحِ مِنْ تَكْمِيلِ الْمَهْرِ وثبوت الحصانة، ولا يَبْقَ إِلَّا تَلَذُّذُ الزَّوْجِ بِهَا، وَتِلْكَ شَهْوَةٌ لا يجبر عليها، والله أعلم.
Diriwayatkan dari Abu Tsaur bahwa ia berpendapat istri diberi penundaan kedua jika ‘innah kembali lagi, dan ini adalah kekeliruan; karena dengan terjadinya hubungan sekali saja, istri telah mencapai tujuan pernikahan, yaitu sempurnanya mahar dan terjaganya kehormatan, dan yang tersisa hanyalah kenikmatan suami terhadap istri, dan itu adalah syahwat yang tidak bisa dipaksakan. Allah Maha Mengetahui.
وإذا ترك الزوج إصابتها لغير عنةٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا، هَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ إِصَابَتُهَا مَرَّةً أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika suami tidak menggaulinya bukan karena impoten, maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah wajib baginya menggaulinya sekali atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ: إِنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْمَجْنُونُ الَّذِي لَا يَقْدِرُ عَلَى الوطء، والقرناء التي لا يمكن وطئها، وَلَوْ وَجَبَ الْوَطْءُ لَمَا جَازَ إِلَّا نِكَاحَ من تمكنه الوطء لم يكن وطأها.
Pendapat pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq: Boleh saja orang gila yang tidak mampu melakukan hubungan suami istri menikah, begitu pula wanita yang tidak mungkin digauli, dan seandainya hubungan suami istri itu wajib, maka tidak boleh menikah kecuali dengan orang yang mampu melakukannya, padahal kenyataannya tidak demikian.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَطَأَهَا مَرَّةً وَاحِدَةً فِي نِكَاحِهِ لِأَمْرَيْنِ:
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ali bin Abi Hurairah: Wajib baginya menggaulinya sekali dalam pernikahan karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُ لَمَّا كَانَ الْخِيَارُ لَهَا فِي الْعُيُوبِ الْمَانِعَةِ مِنَ الْوَطْءِ دَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْوَطْءِ.
Pertama: Karena ketika istri memiliki hak memilih (khiyar) dalam kasus cacat yang menghalangi hubungan suami istri, hal itu menunjukkan wajibnya hubungan suami istri.
وَالثَّانِي: أنه مقصود النكاح في تَكْمِيلِ الْمَهْرِ وَالْحَصَانَةِ، وَطَلَبِ الْوَلَدِ لَا يَحْصُلُ إِلَّا بِالْوَطْءِ فَاقْتَضَى أَنْ يَجِبَ فِيهِ الْوَطْءُ.
Kedua: Karena tujuan pernikahan adalah untuk menyempurnakan mahar, menjaga kehormatan, dan memperoleh keturunan, yang semuanya tidak tercapai kecuali dengan hubungan suami istri, maka hal itu menuntut kewajiban adanya hubungan suami istri.
فإذا قيل بالوجه الأول أنه يَجِبُ، فَلَا خِيَارَ لَهَا وَلَا تَأْجِيلَ.
Jika dipilih pendapat pertama bahwa tidak wajib, maka istri tidak memiliki hak memilih (khiyar) dan tidak ada penundaan.
وَإِذَا قِيلَ بِالْوَجْهِ الثَّانِي إِنَّهُ يَجِبُ، فَإِنْ كَانَ معذوراً بمرض أو سفرٍ أنذر بِالْوَطْءِ إِلَى وَقْتِ مَكِنَتِهِ كَمَا يَنْظُرُ بِالدَّيْنِ مِنْ إِعْسَارِهِ إِلَى وَقْتِ يَسَارِهِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ معذورٍ أَخَذَهُ الْحَاكِمُ إِذَا رَافَعَتْهُ الزَّوْجَةُ إِلَيْهِ بِالْوَطْءِ أَوِ الطلاق كما يأخذه الْمُولِي بِهِمَا، وَلَمْ يُؤَجِّلْهُ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِعِنِّينٍ وَلَا يُطَلِّقُ عَلَيْهِ الْحَاكِمُ، بِخِلَافِ الْمُولِي فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ بَلْ يَحْبِسُهُ حَتَّى يَفْعَلَ أَحَدَ الْأَمْرَيْنِ مِنَ الْوَطْءِ أَوِ الطَّلَاقِ، فَإِذَا وَطِئَهَا مَرَّةً سَقَطَ لَهَا مُطَالَبَتُهُ بِالْفُرْقَةِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوفِ) {البقرة: 228) ودليلنا قول الله تعالى: {لِلْرِجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ) {البقرة: 228) فَمِنْ دَرَجَةِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ يَلْزَمَهَا إِجَابَتُهُ إِذَا دَعَاهَا إِلَى الْفِرَاشِ وَلَا يَلْزَمُهُ إِجَابَتَهَا، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ رَفْعُ الْعَقْدِ بِالطَّلَاقِ إِلَيْهِ دُونَهَا كَانَ الْوَطْءُ فِيهِ حَقًّا لَهُ دُونَهَا؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الوطء في ملك اليمين حقاً للمالك دون المملوكة، كَانَ الْوَطْءُ فِي النِّكَاحِ حَقًّا لِلنَّاكِحِ دُونَ المنكوحة والله أعلم.
Dan jika dipilih pendapat kedua bahwa itu wajib, maka jika suami memiliki uzur karena sakit atau bepergian, maka ia diberi tenggang waktu untuk menggauli hingga waktu ia mampu, sebagaimana orang yang berutang diberi tenggang waktu dari kesulitan hingga mampu membayar. Jika ia tidak memiliki uzur, maka hakim memaksanya jika istri mengadukan kepada hakim, baik untuk menggauli atau menceraikan, sebagaimana hakim memaksa orang yang melakukan ila’ (sumpah tidak menggauli istri) untuk melakukan salah satu dari keduanya, dan tidak diberi tenggang waktu; karena ia bukan orang yang impoten dan hakim tidak menceraikannya, berbeda dengan kasus ila’ menurut salah satu pendapat. Bahkan hakim menahannya hingga ia melakukan salah satu dari dua hal, yaitu menggauli atau menceraikan. Jika ia telah menggaulinya sekali, maka gugur hak istri untuk menuntut perpisahan, berdasarkan firman Allah Ta’ala: {Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf} (al-Baqarah: 228). Dan dalil kami adalah firman Allah Ta’ala: {Para suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka} (al-Baqarah: 228). Maka, di antara kelebihan laki-laki atas perempuan adalah istri wajib memenuhi ajakan suami ke tempat tidur, sedangkan suami tidak wajib memenuhi ajakan istri. Dan karena hak menceraikan akad ada pada suami, bukan pada istri, maka hubungan suami istri dalam pernikahan adalah hak suami, bukan hak istri. Dan karena hubungan suami istri pada budak perempuan adalah hak pemilik, bukan hak budak perempuan, maka demikian pula dalam pernikahan, hubungan suami istri adalah hak suami, bukan hak istri. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: رضي الله عنه: ” ولا تكون إصابتها إلا بأن يُغَيِّبَ الْحَشَفَةَ أَوْ مَا بَقِيَ مِنَ الذَّكَرِ في الفرج “.
Imam Syafi’i, rahimahullah, berkata: “Menggauli istri itu hanya terjadi dengan memasukkan hasyafah (kepala zakar) atau sisa zakar ke dalam farji (kemaluan).”
قال الماوردي: الإصابة التي تسقط بها حكم العنة هي تغييب الْحَشَفَةِ فِي الْقُبُلِ حَتَّى يَلْتَقِيَ الْخِتَانَانِ فَيَجِبُ الغسل سواء أنزل أم لَمْ يُنْزِلْ لِأَنَّهَا الْإِصَابَةُ الَّتِي يَكْمُلُ بِهَا الْمَهْرُ الْمُسَمَّى فِي النِّكَاحِ، وَيَجِبُ لَهَا مَهْرُ المثل في الشبهة والحد في الزنا، هذا إذا كان سليم الذكر باقي الحشفة، ولا اعتبار بمغيب مَا بَعْدَ الْحَشَفَةِ، فَأَمَّا إِذَا كَانَ مَقْطُوعَ الحشفة ففيما يعتبر بغيبه مِنْ بَقِيَّةِ الذَّكَرِ وَجْهَانِ:
Al-Mawardi berkata: Hubungan suami istri yang menggugurkan hukum impotensi adalah dengan memasukkan hasyafah ke dalam kemaluan hingga kedua khitan bertemu, sehingga wajib mandi besar, baik keluar mani maupun tidak, karena inilah hubungan suami istri yang menyempurnakan mahar yang telah ditetapkan dalam pernikahan, dan wajib baginya mahar mitsil dalam kasus syubhat dan hukuman had dalam zina. Ini jika zakarnya utuh dan hasyafahnya masih ada. Tidak dianggap memasukkan bagian setelah hasyafah. Adapun jika hasyafahnya terpotong, maka dalam hal yang dianggap sebagai pengganti hasyafah dari sisa zakar ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُعْتَبَرُ أَنْ تغييب باقيه قدر الحشفة ليكون بدلاً منها فسقط بِهِ حُكْمُ الْعُنَّةِ كَمَا سَقَطَ بِهَا.
Pertama: Dianggap memasukkan sisa zakar seukuran hasyafah sebagai pengganti, sehingga gugur hukum impotensi sebagaimana gugur dengan hasyafah.
وَالْوَجْهُ الثاني: أنه يعتبر تغييب باقيه كله، وهو ظاهر قوله هاهنا؛ لِأَنَّ الْحَشَفَةَ حَدٌّ لَيْسَ فِي الْبَاقِي، فَصَارَ جَمِيعُ الْبَاقِي حَدًّا.
Pendapat kedua: Dianggap memasukkan seluruh sisa zakar, dan ini adalah pendapat yang tampak di sini; karena hasyafah adalah batasan yang tidak ada pada sisa zakar, maka seluruh sisa zakar menjadi batasannya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْوَطْءُ فِي الدُّبُرِ فَلَا يَسْقُطُ بِهِ حُكْمُ الْعُنَّةِ؛ لِأَنَّهُ محل محظور لا يستباح العقد، فَلَمْ يَسْقُطْ بِهِ حُكْمُ الْوَطْءِ الْمُسْتَحَقِّ بِالْعَقْدِ وَلَوْ وَطِئَهَا فِي الْحَيْضِ، وَالْإِحْرَامِ سَقَطَ بِهِ حُكْمُ الْعُنَّةِ، وَإِنْ كَانَ مَحْظُورًا؛ لِأَنَّهُ فِي المحل المستباح بالعقد.
Adapun hubungan suami istri melalui dubur (anus), maka tidak gugur dengannya hukum impotensi; karena itu adalah tempat yang terlarang dan tidak dihalalkan oleh akad, maka tidak gugur dengannya hukum hubungan suami istri yang menjadi hak karena akad. Namun jika menggaulinya saat haid atau ihram, maka gugur hukum impotensi, meskipun terlarang; karena itu di tempat yang dihalalkan oleh akad.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: رضي الله عنه: ” فإن لَمْ يُصِبْهَا خَيَّرَهَا السُّلْطَانُ فَإِنْ شَاءَتْ فِرَاقَهُ فَسَخَ نِكَاحَهَا بِغَيْرِ طلاقٍ لِأَنَّهُ إِلَيْهَا دُونَهُ “.
Imam Syafi’i, rahimahullah, berkata: “Jika ia tidak menggaulinya, maka penguasa memberi pilihan kepada istri, jika ia ingin berpisah maka pernikahannya dibatalkan tanpa talak, karena itu hak istri, bukan hak suami.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا مَضَتْ لِلْعِنِّينِ سَنَةً مِنْ حِينِ أُجِّلَ فَهِيَ عَلَى حقها، ما لم ترافعه إِلَى الْحَاكِمِ، وَلَيْسَ يَلْزَمُ تَعْجِيلُ مُحَاكَمَتِهِ بَعْدَ السَّنَةِ عَلَى الْفَوْرِ بِخِلَافِ الْفَسْخِ فِي الْعُيُوبِ لأن تمكنها لِلزَّوْجِ مِنْ نَفْسِهَا فِي الْعُيُوبِ يَمْنَعُ مِنَ الفسخ، فكان الإمساك كذلك فإن حاكمها الزوج في عنته إلى الحاكم، لم يكن له ذلك، لِأَنَّهُ حَقٌّ عَلَيْهِ هُوَ مَأْخُوذٌ بِهِ، وَلَيْسَ بِحَقٍّ لَهُ، فَيُطَالِبُ بِهِ فَإِذَا رَافَعَتْهُ إِلَى الحاكم بعد السنة، تغير حينئذٍ زَمَانُ خِيَارِهَا فَيَعْرِضُ الْحَاكِمُ عَلَيْهَا الْفَسْخَ، وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَنْفَرِدَ بِفَسْخِهِ عِنْدَهُ لِأَنَّهُ فسخ بحكم ويحكم إِلَيْهِ دُونَهَا، لَكِنْ يَكُونُ الْحَاكِمُ مُخَيَّرًا بَيْنَ أن يتولاه بنفسه وبين أن يترك ذَلِكَ إِلَيْهَا لِتَتَوَلَّاهُ بِنَفْسِهَا فَيَكُونُ هُوَ الْحَاكِمُ بِهِ، وَهِيَ الْمُسْتَوْفِيَةُ لَهُ فَإِذَا وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُمَا، كَانَتْ فُرْقَةً تَرْفَعُ الْعَقْدَ مِنْ أَصِلِهِ ولم تكن طلاقاً، فإن عاد فزوجها كَانَتْ مَعَهُ عَلَى ثَلَاثٍ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini seperti yang dikatakan: Jika telah berlalu satu tahun bagi suami yang impoten sejak ia diberi tenggang waktu, maka istri tetap berada di atas haknya, selama ia belum mengadukannya kepada hakim, dan tidak wajib segera mengajukan perkara setelah satu tahun secara langsung, berbeda dengan pembatalan nikah karena cacat, karena memungkinkan suami untuk mendapatkan istrinya dalam kasus cacat mencegah terjadinya pembatalan, maka penahanan (menunda) juga demikian. Jika suami mengadukan istrinya kepada hakim terkait impotensinya, maka ia tidak berhak melakukan itu, karena itu adalah hak atas dirinya yang ia harus penuhi, dan bukan hak untuk dirinya, sehingga ia yang dituntut. Jika istri mengadukannya ke hakim setelah satu tahun, maka saat itu masa pilihannya berubah, lalu hakim menawarkan pembatalan kepadanya, dan ia tidak boleh membatalkan sendiri di hadapan hakim, karena itu adalah pembatalan berdasarkan keputusan, dan keputusan itu ada pada hakim, bukan padanya. Namun, hakim boleh memilih antara menangani sendiri atau menyerahkan kepada istri untuk menanganinya sendiri, sehingga hakim yang memutuskan, dan istri yang menuntut haknya. Jika terjadi perpisahan antara keduanya, maka perpisahan itu membatalkan akad dari asalnya dan bukan talak. Jika suami kembali menikahinya, maka ia bersamanya dengan tiga kali talak.
وَقَالَ مَالِكٌ وأبو حنيفة: تَكُونُ الْفُرْقَةُ طَلَاقًا، وَلَا تَكُونُ فَسْخًا. وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّهَا فُرْقَةٌ مِنْ جِهَتِهَا وَالطَّلَاقُ لَا يَكُونُ إِلَّا مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ، فَأَشْبَهَتِ الفرقة بالإسلام، والفسخ بالجنون.
Malik dan Abu Hanifah berkata: Perpisahan itu adalah talak, bukan pembatalan. Ini adalah kekeliruan; karena perpisahan itu berasal dari pihak istri, sedangkan talak tidak terjadi kecuali dari pihak suami, sehingga perpisahan itu menyerupai masuk Islam, dan pembatalan menyerupai kegilaan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ فَسْخٌ، وَلَيْسَ بطلاقٍ فَلَا مَهْرَ لَهَا وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا.
Jika telah dipastikan bahwa itu adalah pembatalan, dan bukan talak, maka tidak ada mahar baginya dan tidak ada masa iddah atasnya.
وَقَالَ أبو حنيفة وَمَالِكٌ: لَهَا الْمَهْرُ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ، وَهَذَا عِنْدَنَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ، لَا يَكْمُلُ الْمَهْرُ، ويوجب الْعِدَّةَ بِالْإِصَابَةِ وَلَمْ يَكُنْ مِنَ الْعِنِّينِ الْإِصَابَةُ، لا تستحق نصف المسمى، ولأنه المتعة لم تكن مُسَمًّى؛ لِأَنَّهُ فسخٌ مِنْ جِهَتِهَا فَأَسْقَطَ مَهْرَهَا ومتعتها والله أعلم.
Abu Hanifah dan Malik berkata: Ia berhak atas mahar dan wajib menjalani iddah. Menurut kami, ini tidak benar; mahar tidak sempurna, dan iddah hanya diwajibkan jika terjadi hubungan suami istri, sedangkan pada kasus impotensi tidak terjadi hubungan, sehingga ia tidak berhak atas setengah mahar yang telah ditentukan, dan karena mut‘ah (pemberian hiburan) tidak disebutkan secara khusus; karena ini adalah pembatalan dari pihak istri sehingga menggugurkan mahar dan mut‘ah-nya. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: رضي الله عنه: ” فَإِذَا أَقَامَتْ مَعَهُ فَهُوَ تركٌ لِحَقِّهَا “.
Asy-Syafi‘i berkata, rahimahullah: “Jika ia tetap tinggal bersamanya, maka itu berarti ia telah meninggalkan haknya.”
قَالَ الماوردي: قد مضى الكلام في الفسخ؛ لأنه لَا يَصِحُّ إِلَّا بِشَرْطَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan pembahasan tentang pembatalan, karena itu tidak sah kecuali dengan dua syarat:
أَحَدُهُمَا: انْقِضَاءُ السَّنَةِ.
Pertama: Telah berlalu satu tahun.
والثاني: حكم الحاكم.
Kedua: Keputusan hakim.
فأما الرضى فَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُقَامِ، فَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى حُكْمٍ؛ لأنه يقيم بعقد سابق، ولا يَفْتَقِرُ إِلَى حُكْمٍ فَلَمْ يَكُنِ الْمُقَامُ عَلَيْهِ مفتقراً إلى حكم، وهل يفتقر الرضى فِي لُزُومِهِ إِلَى انْقِضَاءِ الْأَجَلِ أَمْ لَا؟ فيه وجهان:
Adapun kerelaan (istri) adalah memilih untuk tetap tinggal, maka tidak membutuhkan keputusan; karena ia tetap tinggal berdasarkan akad sebelumnya, dan tidak membutuhkan keputusan, sehingga keberlanjutan akad tidak memerlukan keputusan. Apakah kerelaan itu dalam keharusannya membutuhkan berlalunya tenggang waktu atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أحدهما: يفتقر الرضى إِلَى انْقِضَاءِ الْأَجَلِ فَإِنْ رَضِيَتْ قَبْلَ انْقِضَائِهِ لم يلزم؛ لأن الرضى إِنَّمَا يَكُونُ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِ الْفَسْخِ وَهِيَ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْأَجَلِ لَمْ تَسْتَحِقَّ الْفَسْخَ فَلَمْ يَلْزَمْهَا الرضى كَالْأَمَةِ إِذَا رَضِيَتْ بِرِقِّ زَوْجِهَا قَبْلَ عِتْقِهَا لَمْ يلزمها الرضى بِوُجُودِهِ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِ الْفَسْخِ.
Pertama: Kerelaan membutuhkan berlalunya tenggang waktu. Jika ia rela sebelum tenggang waktu berakhir, maka tidak mengikat; karena kerelaan itu hanya terjadi setelah berhak atas pembatalan, sedangkan sebelum tenggang waktu berakhir ia belum berhak atas pembatalan, maka kerelaan itu tidak mengikatnya, seperti budak perempuan yang rela dengan status budak suaminya sebelum ia dimerdekakan, maka kerelaannya tidak mengikat karena terjadi sebelum berhak atas pembatalan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى انْقِضَاءِ الْأَجَلِ، وَيَصِحُّ الرِّضَا قَبْلَهُ وَبَعْدَهُ؛ لِأَنَّ الْأَجَلَ مَضْرُوبٌ لِظُهُورِ الْعُنَّةِ، فكان الرضى بها مُبْطِلًا لِلْأَجَلِ الْمَضْرُوبِ لَهَا، وَإِذَا بَطَلَ الْأَجَلُ لزم العقد.
Pendapat kedua: Tidak membutuhkan berlalunya tenggang waktu, dan kerelaan sah baik sebelum maupun sesudahnya; karena tenggang waktu itu ditetapkan untuk memastikan adanya impotensi, maka kerelaan terhadapnya membatalkan tenggang waktu yang telah ditetapkan, dan jika tenggang waktu batal maka akad tetap berlaku.
والرضى إِنْ كَانَ فِي غَيْرِ مَجْلِسِ الْحَاكِمِ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ إِلَّا بِصَرِيحِ الْقَوْلِ، وَكَانَ أَيْضًا، بأن يعرض الحاكم عليها الفسخ ولا تختار فيكون تركها للاختيار للفسخ رِضًا مِنْهَا بِالْمُقَامِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Kerelaan, jika terjadi di luar majelis hakim, maka harus dengan ucapan yang jelas, dan juga, jika hakim menawarkan pembatalan kepadanya namun ia tidak memilih, maka sikapnya yang tidak memilih pembatalan dianggap sebagai kerelaannya untuk tetap tinggal. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: رضي الله عنه: ” فَإِنْ فَارَقَهَا بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ رَاجَعَهَا فِي الْعِدَّةِ ثُمَّ سَأَلَتْ أَنْ يُؤَجَّلَ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهَا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) وَكَيْفَ يَكُونُ عَلَيْهَا عدةٌ ولم تكن إصابةٌ وَأَصْلُ قَوْلِهِ لَوِ اسْتَمْتَعَ رجلُ بامرأةٍ وقالت لم يصبني وطلق فَلَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا “.
Asy-Syafi‘i berkata, rahimahullah: “Jika ia berpisah dengannya setelah itu lalu merujuknya dalam masa iddah, kemudian istri meminta agar diberi tenggang waktu, maka itu tidak berhak baginya.” (Al-Muzani berkata:) “Bagaimana mungkin ia wajib menjalani iddah padahal tidak terjadi hubungan suami istri? Dan pokok pendapatnya, jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan lalu perempuan itu berkata: ‘Ia belum menggauliku’ dan ia menceraikannya, maka ia berhak atas setengah mahar dan tidak ada iddah atasnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي عِنِّينٍ أُجِلَّ لِزَوْجَتِهِ ثُمَّ رَضِيَتْ بَعْدَ الْأَجَلِ بِعُنَّتِهِ، فَطَلَّقَهَا ثُمَّ رَاجَعَهَا فِي الْعِدَّةِ فَسَأَلَتْ بَعْدَ رَجَعَتِهِ أَنْ يُؤَجَّلَ لها ثانية لم يجز؛ لأن المرتجعة زوجة بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ، وَقَدْ أُجِّلَ فِيهِ مُدَّةً فَرَضِيَتْ فلم يجز أن يؤجل ثانية؛ لأنه عنت إِذَا رَضِيَتْ بِهِ فِي نِكَاحٍ لَزِمَ كَمَا يَلْزَمُهَا إِذَا رَضِيَتْ بِجَبَّهِ وَجُنُونِهِ، وَهُوَ بِخِلَافِ الْإِعْسَارِ بِالنَّفَقَةِ إِذَا رَضِيَتْ بِهِ فِي نِكَاحٍ ثُمَّ عَادَتْ فِيهِ تَطْلُبُ الْفَسْخَ كَانَ لَهَا؛ لِأَنَّ الْإِعْسَارَ لَيْسَ بِلَازِمٍ، وَقَدْ يَنْتَقِلُ مِنْهُ إلى يسار كَمَا يَنْتَقِلُ مِنْ يَسَارٍ إِلَى إِعْسَارٍ، وَخَالَفَ الْعُنَّةَ الَّتِي ظَاهِرُ حَالِهَا الدَّوَامُ.
Al-Mawardi berkata: Gambaran kasusnya adalah pada seorang suami yang mengalami impotensi (ʿinnah), lalu diberikan tenggang waktu untuk istrinya, kemudian setelah tenggang waktu itu istrinya rela dengan impotensinya, lalu suami menceraikannya, kemudian merujuknya kembali dalam masa iddah, lalu setelah rujuk istrinya meminta agar diberikan tenggang waktu kedua kalinya, maka hal itu tidak diperbolehkan; karena istri yang dirujuk kembali adalah istri dengan akad nikah yang pertama, dan dalam akad tersebut sudah pernah diberikan tenggang waktu lalu ia rela, maka tidak boleh diberikan tenggang waktu kedua kalinya; sebab impotensi, apabila istri telah rela dalam suatu pernikahan, maka ia harus menerimanya sebagaimana ia harus menerima jika rela dengan kebutaan atau kegilaan suaminya. Hal ini berbeda dengan kasus ketidakmampuan memberi nafkah; jika istri rela dalam suatu pernikahan lalu kemudian ia kembali menuntut pembatalan nikah, maka ia berhak; karena ketidakmampuan memberi nafkah bukanlah sesuatu yang tetap, bisa saja berubah dari tidak mampu menjadi mampu, atau sebaliknya, berbeda dengan impotensi yang pada dasarnya bersifat menetap.
فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اعْتَرَضَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي هذه المسألة اعتراضاً موجهاً، فَقَالَ: قَدْ تَجْتَمِعُ الرَّجْعَةُ وَالْعُنَّةُ فِي نِكَاحٍ واحد وهو إن وطئها يثبت الرجعة فِي نِكَاحٍ وَاحِدٍ وَسَقَطَتِ الْعُنَّةُ، وَإِنْ لَمْ يطأ ثَبَتَتْ الْعُنَّةُ وَبَطَلَتِ الرَّجْعَةُ وَالْعُنَّةُ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا في الجواب فيه عَلَى ثَلَاثَةِ طُرُقٍ:
Adapun al-Muzani, ia mengkritik pendapat asy-Syafi‘i dalam masalah ini dengan kritik yang terarah, ia berkata: Bisa saja rujuk dan impotensi (ʿinnah) berkumpul dalam satu pernikahan, yaitu jika suami menggaulinya maka rujuk itu sah dalam satu pernikahan dan gugurlah hukum impotensi, dan jika tidak menggauli maka tetaplah hukum impotensi dan batal rujuk serta impotensi itu sendiri. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam menjawab masalah ini menjadi tiga pendapat:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّ الْمَسْأَلَةَ خَطَأٌ مِنَ النَّاقِلِ لها عن الشافعي رحمه الله فنقل مَا لَيْسَ مِنْ قَوْلِهِ، أَوْ سَهَا عَنْ شرط زيادة جل مِنْ نَقْلِهِ فَأَوْرَدَهَا الْمُزَنِيُّ كَمَا وَجَدَهَا فِي النقل لها عن الشافعي؛ واعترض عليها هو بِمَا هُوَ صَحِيحٌ مُتَوَجِّهٌ.
Pertama: Ini adalah pendapat Abu Hamid al-Marwazi: Bahwa masalah ini adalah kekeliruan dari perawi yang meriwayatkannya dari asy-Syafi‘i rahimahullah, sehingga ia meriwayatkan sesuatu yang bukan merupakan pendapat beliau, atau lupa menyebutkan syarat tambahan yang semestinya, lalu al-Muzani menyebutkannya sebagaimana ia dapati dalam riwayat dari asy-Syafi‘i; dan ia mengkritiknya dengan kritik yang benar dan terarah.
وَالثَّانِي: أَنَّ الشَّافِعِيَّ فرع هذه الْمَسْأَلَةَ فِي الْجَدِيدِ عَلَى مَذْهَبِهِ فِي الْقَدِيمِ أن الخلوة يكمل بها المهر، ويجب بِهَا الْعِدَّةُ. فَصَحَّتْ مَعَهَا الرَّجْعَةُ وَلَمْ يَسْقُطْ بِهَا حُكْمُ الْعُنَّةِ، وَهَذَا الْجَوَابُ غَيْرُ سَدِيدٍ من وجهين:
Kedua: Bahwa asy-Syafi‘i mendasarkan masalah ini dalam pendapat barunya (al-jadid) atas mazhabnya yang lama (al-qadim) bahwa khalwat (berduaan) dapat menyempurnakan mahar dan mewajibkan iddah. Maka dengan itu rujuk menjadi sah dan tidak gugur hukum impotensi, namun jawaban ini tidak tepat dari dua sisi:
أحدهما: أن تفرعه فِي كُلِّ زَمَانٍ إِنَّمَا هُوَ عَلَى مُوجَبِ مَذْهَبِهِ فِيهِ فَلَا يَصِحُّ أَنْ يُفَرِّعَ فِي الْجَدِيدِ عَلَى مَذْهَبٍ قَدْ تَرَكَهُ، وَإِنْ كَانَ قَائِلًا بِهِ فِي الْجَدِيدِ.
Pertama: Bahwa pendalilan beliau dalam setiap masa hanyalah berdasarkan mazhabnya saat itu, maka tidak sah mendasarkan pendapat baru pada mazhab yang telah ia tinggalkan, meskipun ia pernah berpendapat demikian dalam pendapat barunya.
وَالثَّانِي: أَنَّ أَبَا حامد المروزي قال: وحدث الشافعي فِي الْقَدِيمِ: أَنَّ الْخَلْوَةَ يَكْمُلُ بِهَا الْمَهْرُ وَلَا يَجِبُ بِهَا الْعِدَّةُ، فَبَطَلَ أَنْ يَصِحَّ مَعَهَا الرَّجْعَةُ.
Kedua: Bahwa Abu Hamid al-Marwazi berkata: Dan asy-Syafi‘i pernah berpendapat dalam mazhab lamanya bahwa khalwat menyempurnakan mahar namun tidak mewajibkan iddah, maka batal untuk menyatakan bahwa rujuk sah bersamanya.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ: وَهُوَ جَوَابُ الْأَكْثَرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا إِنَّهُ قَدْ يُمْكِنُ عَلَى مَذْهَبِ الشافعي رضي الله عنه في الجديد، أن تجب العدة، ونصح الرَّجْعَةُ، وَلَا يَسْقُطُ حَكَمُ الْعُنَّةِ، وَذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ:
Jawaban ketiga, dan ini adalah jawaban mayoritas sahabat kami, bahwa memungkinkan menurut mazhab asy-Syafi‘i rahimahullah dalam pendapat barunya, bahwa iddah menjadi wajib, rujuk menjadi sah, dan hukum impotensi tidak gugur, dan hal itu dari beberapa sisi:
أَحَدُهَا: أَنْ يَطَأَ فِي الدُّبُرِ، فَيَكْمُلُ به المهر، ويجب بِهِ الْعِدَّةُ، وَتَصِحُّ فِيهِ وَلَا يَسْقُطُ حُكْمُ العنة.
Pertama: Suami menggauli istrinya melalui dubur, sehingga mahar menjadi sempurna, iddah menjadi wajib, rujuk menjadi sah, dan hukum impotensi tidak gugur.
وَالثَّانِي: أَنْ يَطَأَ فِي الْقُبُلِ فَيُغَيِّبَ بَعْضَ الحشفة ويترك ماءه فِيهِ، فَتَجِبُ بِهِ الْعِدَّةُ، وَيَكْمُلُ بِهِ الْمَهْرُ وَلَا يَسْقُطُ حُكْمُ الْعُنَّةِ؛ لِأَنَّهُ إِنَّمَا سَقَطَ بتغييب جميع الحشفة.
Kedua: Suami menggauli istrinya melalui qubul (vagina) dengan memasukkan sebagian kepala penis dan meninggalkan maninya di dalam, maka iddah menjadi wajib, mahar menjadi sempurna, dan hukum impotensi tidak gugur; karena hukum impotensi hanya gugur dengan memasukkan seluruh kepala penis.
والثالث: إن استدخل ماءه من غير وطء فيجب به العدة، ويستحق معه الرجعة، ولا يسقط بِهِ الْعُنَّةَ، وَفِي هَذَا عِنْدِي نَظَرٌ لَكِنْ قَدْ قَالَهُ أَصْحَابُنَا وَفَرَّعُوا عَلَيْهِ، فَقَالُوا: لَوْ أَنْزَلَ قَبْلَ نِكَاحِهَا، وَاسْتَدْخَلَتْهُ بَعْدَ نِكَاحِهَا لَمْ تعتد منه، لِأَنَّهَا فِي حَالِ الْإِنْزَالِ لَمْ تَكُنْ زَوْجَةً وإن صارت وَقْتَ الْإِدْخَالِ زَوْجَةً، وَإِنْ كَانَتْ وَقْتَ الْإِنْزَالِ زَوْجَةً، فَإِنَّمَا أَوْجَبُوا فِيهِ الْعِدَّةَ، وَأَلْحَقُوا مِنْهُ الْوَلَدَ إِذَا كَانَتْ فِي حَالَتَيْ إِنْزَالِهِ وَاسْتِدْخَالِهِ زَوْجَةً.
Ketiga: Jika air maninya dimasukkan ke dalam rahim tanpa hubungan badan, maka iddah menjadi wajib, rujuk menjadi sah, dan hukum impotensi tidak gugur. Dalam hal ini menurut saya ada pertimbangan, namun para sahabat kami telah mengatakannya dan membangun pendapat atasnya, mereka berkata: Jika suami mengeluarkan mani sebelum menikahinya, lalu istrinya memasukkannya setelah menikah, maka ia tidak wajib menjalani iddah darinya, karena pada saat keluarnya mani ia belum menjadi istri, meskipun pada saat memasukkan mani ia telah menjadi istri. Namun jika pada saat keluarnya mani ia sudah menjadi istri, maka mereka mewajibkan iddah dan mengaitkan anak yang lahir darinya jika pada kedua keadaan, baik saat keluarnya mani maupun saat memasukkannya, ia adalah istri.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا طَلَّقَهَا بَعْدَ الْأَجَلِ والرضا طلاقاً أبانت مِنْهُ ثُمَّ اسْتَأْنَفَ نِكَاحَهَا بِعَقْدٍ جَدِيدٍ فَسَأَلَتْ: أن تؤجل فِيهِ الْعُنَّةُ، فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Adapun jika suami menceraikannya setelah tenggang waktu dan kerelaan, dengan talak yang memutuskan hubungan (talak bain), kemudian ia menikahinya kembali dengan akad baru, lalu istri meminta agar diberikan tenggang waktu dalam kasus impotensi, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُؤَجَّلَ لَهَا ثَانِيَةً. وَإِنْ كَانَ فِي عَقْدٍ ثانٍ كَمَا لَا يَجُوزُ فِي نِكَاحٍ واحدٍ، وَهَكَذَا لَوْ أَنَّهَا فَسَخَتْ نِكَاحَهُ الْأَوَّلَ بِالْعُنَّةِ مِنْ غَيْرِ طلاقٍ ثُمَّ تَزَوَّجَتْهُ لَمْ يُؤَجَّلْ لَهَا فِي النِّكَاحِ الثَّانِي، لِأَنَّ عِلْمَهَا بِعُنَّتِهِ كَعِلْمِهَا بِجُذَامِهِ وَبَرَصِهِ، وهي لا تجوز إِذَا نَكَحَتْهُ بَعْدَ الْعِلْمِ بِهِ أَنْ تَفْسَخَ فكذلك في العنة.
Pendapat pertama: Ia menyatakannya dalam pendapat lama, bahwa tidak boleh diberi tenggang waktu kedua kali untuknya, meskipun dalam akad kedua, sebagaimana tidak boleh dalam satu pernikahan. Demikian pula jika ia membatalkan pernikahan pertamanya karena ‘innah (impotensi) tanpa talak, lalu menikahinya kembali, maka tidak diberi tenggang waktu dalam pernikahan kedua. Karena pengetahuannya tentang ‘innah suaminya sama seperti pengetahuannya tentang lepra dan penyakit kulitnya, dan tidak boleh jika ia menikahinya setelah mengetahui hal itu untuk membatalkan pernikahan, maka demikian pula dalam kasus ‘innah.
والقول الثَّانِي: – قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ – إِنَّهُ يُؤَجَّلُ لَهَا في النكاح الثاني؛ لأن لكل عقد حكم بِنَفْسِهِ، وَلَيْسَتِ الْعُنَّةُ مِنَ الْعُيُوبِ اللَّازِمَةِ، وَقَدْ يَجُوزُ زَوَالُهَا فَجَرَى مَجْرَى الْإِعْسَارِ بِالنَّفَقَةِ الَّتِي يُرْجَى زَوَالُهَا، وَيَعُودُ اسْتِحْقَاقُ الْفَسْخِ بِهَا، وَلَكِنْ لَوْ أَصَابَهَا فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ فَسَقَطَ بِإِصَابَتِهِ حُكْمُ الْعُنَّةِ ثُمَّ طَلَّقَهَا فَتَزَوَّجَهَا ثُمَّ حَدَثَتْ بِهِ الْعُنَّةُ فِي النِّكَاحِ أُجِّلَ لَهَا قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ حُكْمَ عُنَّتِهِ الْأُولَى قَدِ ارْتَفَعَ بإصابته فصارت مستأنفة لنكاح مَنْ لَيْسَ بِعِنِّينٍ فَإِذَا ظَهَرَتْ بِهِ الْعُنَّةُ أجل والله أعلم.
Pendapat kedua: —disebutkan dalam pendapat baru— bahwa ia diberi tenggang waktu dalam pernikahan kedua; karena setiap akad memiliki hukum tersendiri, dan ‘innah bukanlah cacat yang bersifat tetap, bahkan bisa jadi ia hilang, sehingga hukumnya seperti ketidakmampuan memberi nafkah yang diharapkan bisa hilang, dan hak untuk membatalkan pernikahan kembali muncul karenanya. Namun, jika suami telah menggaulinya dalam pernikahan pertama sehingga dengan pergaulan itu gugur hukum ‘innah, lalu ia menceraikannya dan menikahinya kembali, kemudian ‘innah itu muncul lagi dalam pernikahan kedua, maka ia diberi tenggang waktu menurut satu pendapat, karena hukum ‘innah yang pertama telah gugur dengan terjadinya pergaulan, sehingga statusnya seperti memulai pernikahan dengan laki-laki yang bukan mu‘annin (impoten). Maka jika ‘innah muncul lagi, ia diberi tenggang waktu. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولو قالت لم يصبني وقال قد أَصَبْتُهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ لِأَنَّهَا تُرِيدُ فَسْخَ نِكَاحِهَا وَعَلَيْهِ الْيَمِينُ فَإِنْ نَكَلَ وَحَلَفَتْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وإن كانت بكراً أريها أَرْبَعًا مِنَ النِّسَاءِ عُدُولًا وَذَلِكَ دليلٌ عَلَى صدقها فإن شاء أخلفها ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ نَكَلَتْ وَحَلَفَ أَقَامَ مَعَهَا وَذَلِكَ أَنَّ الْعُذْرَةَ قَدْ تَعُودُ فِيمَا يَزْعُمُ أَهْلُ الْخِبْرَةِ بِهَا إِذَا لَمْ يُبَالَغْ فِي الْإِصَابَةِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika istri berkata, ‘Ia belum menggauliku,’ dan suami berkata, ‘Aku telah menggaulinya,’ maka yang dipegang adalah pernyataan suami, karena istri menginginkan pembatalan pernikahan dan suami harus bersumpah. Jika ia enggan bersumpah dan istri bersumpah, maka dipisahkan antara keduanya. Jika istri masih perawan, maka diperlihatkan kepada empat wanita yang adil, dan itu menjadi bukti atas kebenarannya. Jika suami mau, ia bisa membantah sumpahnya, lalu dipisahkan antara keduanya. Jika istri enggan bersumpah dan suami bersumpah, maka ia tetap bersama suaminya. Hal ini karena keperawanan bisa kembali menurut klaim para ahli jika tidak dilakukan penetrasi secara sempurna.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: أَنْ يَخْتَلِفَ الزَّوْجَانِ فِي الْإِصَابَةِ بَعْدَ أَجَلِ الْعُنَّةِ، فَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: لَمْ يُصِبْنِي فَلِيَ الْفَسْخُ، وَيَقُولُ الزَّوْجُ: قَدْ أَصَبْتُهَا فَلَا فَسْخَ لَهَا، فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: Bentuk permasalahannya adalah jika suami istri berselisih tentang terjadinya hubungan setelah tenggang waktu ‘innah, istri berkata, “Ia belum menggauliku, maka aku berhak membatalkan pernikahan,” dan suami berkata, “Aku telah menggaulinya, maka ia tidak berhak membatalkan.” Maka, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ تَكُونَ بِكْرًا أَوْ ثَيِّبًا، فَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ فِي الْإِصَابَةِ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا خيار لها؛ لأنه ثُبُوتَ النِّكَاحِ يَمْنَعُ مِنْ تَصْدِيقِ قَوْلِهَا فِي فَسْخِهِ، فَإِنْ حَلَفَ سَقَطَ خِيَارُهَا، وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينِ عَلَيْهَا فَإِنْ حَلَفَتْ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَإِنْ نَكَلَتْ فَلَا خِيَارَ لَهَا وَالنِّكَاحُ بِحَالِهِ، وَهَذَا قَوْلُ الْفُقَهَاءِ.
Yaitu apakah istri masih perawan atau sudah tidak perawan. Jika ia sudah tidak perawan, maka yang dipegang adalah pernyataan suami tentang terjadinya hubungan dengan sumpahnya, dan istri tidak memiliki hak memilih (membatalkan); karena tetapnya pernikahan mencegah diterimanya pernyataan istri dalam pembatalan. Jika suami bersumpah, gugurlah hak memilih istri. Jika suami enggan bersumpah, sumpah dialihkan kepada istri. Jika istri bersumpah, ia berhak memilih dan dipisahkan antara keduanya. Jika istri enggan bersumpah, maka ia tidak berhak memilih dan pernikahan tetap berjalan. Inilah pendapat para fuqahā’.
وَقَالَ مَالِكٌ: وَالْأَوْزَاعِيُّ: يُؤْمَرُ الزَّوْجُ بمعاودة خلوتها ويقربهما وَقْتَ الْجِمَاعِ امْرَأَةٌ ثِقَةٌ.
Mālik dan al-Auzā‘ī berkata: Suami diperintahkan untuk kembali berkhalwat dengan istrinya, dan ketika waktu jima‘ tiba, didampingi oleh seorang wanita terpercaya.
وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: امْرَأَتَانِ فإذا خرج من خلوتهما نظر فرجها، وإن كان ماء الرجل كان القول قوله، وإن لم يكن مَاؤُهُ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا، وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Al-Auzā‘ī berkata: Dua orang wanita. Jika suami keluar dari khalwat bersama keduanya, maka mereka memeriksa kemaluan istrinya. Jika ada air mani laki-laki, maka yang dipegang adalah pernyataan suami. Jika tidak ada air maninya, maka yang dipegang adalah pernyataan istri. Ini adalah kekeliruan dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ اخْتِلَافَهَمَا فِي إصابةٍ تَقَدَّمَتْ فَلَمْ يَدُلُّ عَلَيْهَا مَا حَدَثَ بَعْدَهَا.
Pertama: Perselisihan mereka tentang hubungan yang telah terjadi sebelumnya, maka apa yang terjadi setelahnya tidak dapat dijadikan bukti atas apa yang telah lalu.
وَالثَّانِي: إِنَّ وُجُودَ الْمَاءِ وَعَدَمَهُ لَا يَدُلُّ عَلَى وُجُودِ الْإِصَابَةِ وَعَدَمِهَا، لِأَنَّهُ قَدْ يُنْزِلُ وَلَا يُولِجُ، وَقَدْ يُولِجُ وَلَا يُنْزِلُ، وَحَقُّهَا مُتَعَلِّقٌ بِالْإِيلَاجِ دُونَ الْإِنْزَالِ، وَحُكِيَ أَنَّ امْرَأَةً ادَّعَتْ عُنَّةَ رَجُلٍ عِنْدَ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ وَاخْتَلَفَ في الإصابة، فكتب بها على معاوية يسأله عَنْهَا فَكَتَبَ إِلَيْهِ مُعَاوِيَةُ، زَوِّجْهُ امْرَأَةً ذَاتَ جمال وحسنٍ توصف بدين وستر وسبق إليها مهرها من بيت المال لتختبر حَالَهُ، فَفَعَلَ سَمُرَةُ ذَلِكَ، فَقَالَتِ الْمَرْأَةُ: لَا خير عنده، فقال سمرة: ما دنى فقالت: بلى، ولكن إذا دنى شره أي أنزل قبل الإيلاج، وهذا مذهبه لِمُعَاوِيَةَ لَيْسَ عَلَيْهِ دَلِيلٌ، وَلَا لَهُ فِي الْأُصُولِ نَظِيرٌ وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ عِنِّينًا فِي وَقْتٍ وَغَيْرَ عِنِّينٍ فِي وَقْتٍ.
Kedua: Adanya air mani atau tidak, tidak menunjukkan adanya hubungan atau tidak, karena bisa saja suami mengeluarkan mani tanpa melakukan penetrasi, dan bisa juga melakukan penetrasi tanpa mengeluarkan mani. Hak istri terkait dengan penetrasi, bukan dengan keluarnya mani. Diriwayatkan bahwa seorang wanita mengklaim suaminya impoten di hadapan Samurah bin Jundub dan mereka berselisih tentang terjadinya hubungan. Maka Samurah menulis surat kepada Mu‘āwiyah untuk menanyakan hal itu. Mu‘āwiyah membalas, “Nikahkanlah ia dengan seorang wanita yang cantik, baik, dikenal agamanya dan kehormatannya, dan maharnya didahulukan dari baitul mal, agar diuji keadaannya.” Maka Samurah melakukan hal itu. Wanita itu berkata, “Tidak ada kebaikan padanya.” Samurah bertanya, “Apakah ia tidak mendekatimu?” Ia menjawab, “Ia mendekat, tetapi jika mendekat, ia langsung keluar mani sebelum penetrasi.” Ini adalah pendapat Mu‘āwiyah yang tidak memiliki dalil dan tidak ada padanannya dalam ushul fiqh. Bisa saja seorang laki-laki impoten pada suatu waktu dan tidak impoten pada waktu yang lain.
فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا بَطَلَ هَذَانِ الْمَذْهَبَانِ كَانَ مذهبهم أَبْطَلَ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Jika dikatakan: Jika kedua mazhab ini batal, maka mazhab mereka lebih batal lagi dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّكُمْ قَبِلْتُمْ بِهِ قول المدعي دون المنكر، والشرع وارد بقبول قَوْلِ الْمُنْكِرِ.
Pertama: Kalian menerima perkataan pihak yang mengaku (mengklaim) dan bukan pihak yang mengingkari, padahal syariat menetapkan diterimanya perkataan pihak yang mengingkari.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ لَوِ ادَّعَى إِصَابَةَ الْمُطَلَّقَةِ لِيُرَاجِعَهَا وَأَنْكَرَتْهُ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا دُونَهُ فَهَلَّا كَانَ فِي الْعُنَّةِ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ الإصابة.
Kedua: Jika seseorang mengaku telah menyetubuhi istri yang telah ditalaknya agar bisa rujuk, lalu istrinya mengingkari, maka perkataan yang diterima adalah perkataan istrinya, bukan dia. Mengapa dalam kasus ‘innah (impotensi) tidak demikian juga, padahal asalnya adalah terjadinya persetubuhan?
قِيلَ: الْجَوَابُ عَنْ هَذَا أَنَّ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْعِلَّةِ فِي قَبُولِ قَوْلِهِ يَدْفَعُ هَذَا الِاعْتِرَاضَ وَهُوَ أَنَّ الْأَصْلَ ثُبُوتُ النِّكَاحِ، وَهِيَ تَدَّعِي بِإِنْكَارِ الْإِصَابَةِ اسْتِحْقَاقَ فَسْخِهِ، فَصَارَتْ هِيَ مدعية، وهو منكر فَكَانَ مَصِيرُ هَذَا الْأَصْلِ يُوجِبُ قَبُولَ قَوْلِهِ دونها على أن ما تعذر إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ فِيهِ جَازَ أَنْ يُقْبَلَ فِيهِ قَوْلُ مُدَّعِيهِ إِذَا كَانَ مَعَهُ ظَاهِرٌ يَقْتَضِيهِ كَاللَّوْثِ فِي دَعْوَى الْقَتْلِ، فَأَمَّا دَعْوَاهُ الْإِصَابَةَ فِي الرَّجْعَةِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ دَعْوَى الْإِصَابَةِ فِي الْعُنَّةِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Dijawab: Jawaban atas hal ini adalah bahwa alasan yang telah kami sebutkan mengenai diterimanya perkataannya menolak keberatan ini, yaitu bahwa asalnya adalah tetapnya pernikahan, sedangkan istri dengan mengingkari terjadinya persetubuhan mengklaim berhak untuk membatalkan pernikahan, sehingga ia menjadi pihak yang mengklaim dan suaminya sebagai pihak yang mengingkari. Maka, konsekuensi dari kaidah ini adalah diterimanya perkataan suami, bukan istrinya. Selain itu, dalam perkara yang sulit didatangkan bukti di dalamnya, boleh diterima perkataan pihak yang mengklaim jika ada indikasi lahiriah yang mendukungnya, seperti adanya luka dalam klaim pembunuhan. Adapun klaim suami tentang terjadinya persetubuhan dalam rujuk, maka perbedaannya dengan klaim persetubuhan dalam kasus ‘innah ada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ دَعْوَى الإصابة في الرجعة تنفي مَا أَوْجَبَهُ الطَّلَاقُ مِنَ التَّحْرِيمِ وَدَعْوَى الْإِصَابَةِ في العنة تثبت مَا أَوْجَبَهُ النِّكَاحُ فِي اللُّزُومِ فَافْتَرَقَا.
Pertama: Klaim terjadinya persetubuhan dalam rujuk meniadakan apa yang ditetapkan oleh talak berupa keharaman, sedangkan klaim terjadinya persetubuhan dalam kasus ‘innah menetapkan apa yang ditetapkan oleh nikah berupa keharusan (tetapnya pernikahan), sehingga keduanya berbeda.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ ادَّعَى الْإِصَابَةَ فِي الْعُنَّةِ مَعَ بَقَاءِ نِكَاحِهِ، فَصَارَ كَالْمُدَّعِي لِمَا فِي يَدِهِ وَدَعْوَاهُ الْإِصَابَةَ فِي الرَّجْعَةِ بَعْدَ زَوَالِ نِكَاحِهِ فَصَارَ كَالْمُدَّعِي لِمَا فِي يَدِ غَيْرِهِ فَافْتَرَقَا.
Kedua: Ia mengklaim terjadinya persetubuhan dalam kasus ‘innah sementara pernikahannya masih ada, sehingga ia seperti orang yang mengklaim sesuatu yang ada di tangannya sendiri. Sedangkan klaimnya tentang terjadinya persetubuhan dalam rujuk setelah pernikahannya hilang, maka ia seperti orang yang mengklaim sesuatu yang ada di tangan orang lain, sehingga keduanya berbeda.
فصل
Fasal
وإن كانت بكراً إما أن يعترف لها بالبكارة وإما أن ينكرها، ويشهد بِهَا أَرْبَعُ نِسْوَةٍ عُدُولٍ، فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَهَا في إنكار الإصابة لأن البكارة ظاهرة تدل على صداقها فزالت عن حكم الثيب الَّتِي لَا ظَاهِرَ مَعَهَا.
Jika istri masih perawan, maka suami bisa saja mengakui keperawanannya atau mengingkarinya, dan keperawanannya dapat disaksikan oleh empat orang wanita adil. Maka, perkataan yang diterima adalah perkataan istri dalam mengingkari terjadinya persetubuhan, karena keperawanan adalah sesuatu yang tampak yang menunjukkan kebenarannya, sehingga ia tidak lagi dihukumi seperti janda yang tidak ada tanda lahiriah bersamanya.
فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَهُ إِحْلَافُهَا، قِيلَ: إِنْ لَمْ يَدَّعِ عَوْدَ بِكَارَتِهَا، فَلَا يَمِينَ عَلَيْهَا، وَإِنِ ادَّعَى عَوْدَ الْبَكَارَةِ بَعْدَ زَوَالِ الْعُذْرَةِ فَإِذَا لَمْ يُبَالِغْ بِالْإِصَابَةِ فَتَصِيرُ هَذِهِ الدَّعْوَى مُحْتَمَلَةً، وَإِنْ خَالَفَتِ الظَّاهِرَ فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَهَا مَعَ يَمِينِهَا فَإِنْ حَلَفَتْ حُكِمَ لَهَا بِالْفُرْقَةِ وَإِنْ نَكَلَتْ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَيْهِ، فَإِنْ حَلَفَ سَقَطَ حَقُّهَا مِنَ الْفُرْقَةِ بالفرقة، وَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Jika dikatakan: Apakah suami berhak meminta sumpah darinya? Dijawab: Jika suami tidak mengklaim kembalinya keperawanan istrinya, maka tidak ada sumpah atasnya. Namun jika ia mengklaim kembalinya keperawanan setelah hilangnya keperawanan, maka jika ia tidak menegaskan telah terjadi persetubuhan, klaim ini menjadi kemungkinan, meskipun bertentangan dengan yang tampak. Maka, perkataan yang diterima adalah perkataan istri dengan sumpahnya. Jika ia bersumpah, maka diputuskan untuknya hak perpisahan. Jika ia enggan bersumpah, sumpah dikembalikan kepada suami. Jika suami bersumpah, gugurlah hak istri atas perpisahan. Jika suami juga enggan bersumpah, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَقْبَلُ قولها إن نكل وَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ وَيَحْكُمْ لَهَا بِالْفُرْقَةِ كَمَا لو ادعى وطئها وَهِيَ ثَيِّبٌ وَنَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَيْهَا فَنَكَلَتْ حُكِمَ بِقَوْلِهِ فِي سُقُوطِ الْعُنَّةِ وَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ.
Pertama: Diterima perkataan istri jika suami enggan bersumpah, meskipun istri tidak bersumpah, dan diputuskan hak perpisahan untuknya. Sebagaimana jika suami mengklaim telah menyetubuhi istrinya yang janda dan ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada istri. Jika istri juga enggan, maka diputuskan dengan perkataan suami dalam gugurnya ‘innah meskipun ia tidak bersumpah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: – وَهُوَ أَظْهَرُ – أَنَّهُ لَا يَقْبَلُ قَوْلَهَا فِي الْفُرْقَةِ بِغَيْرِ يَمِينٍ مَعَ نُكُولِ الزَّوْجَةِ.
Pendapat kedua—dan ini yang lebih kuat—adalah tidak diterima perkataan istri dalam perpisahan tanpa sumpah jika istri enggan bersumpah.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الزوج يستصحب لزوم متقدم جاز أَنْ يُقْبَلَ قَوْلُهُ فِيهِ وَالزَّوْجَةُ تَسْتَحِلُّ حُدُوثَ فَسْخٍ طَارِئٍ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِيهِ وَاللَّهُ أعلم.
Perbedaan antara keduanya: Suami tetap membawa hukum asal keterikatan pernikahan yang telah ada sebelumnya, sehingga boleh diterima perkataannya dalam hal ini. Sedangkan istri mengklaim terjadinya pembatalan nikah secara tiba-tiba, sehingga tidak diterima perkataannya dalam hal ini. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلِلْمَرْأَةِ الْخِيَارُ فِي الْمَجْبُوبِ وَغَيْرِ الْمَجْبُوبِ مِنْ سَاعَتِهَا لِأَنَّ الْمَجْبُوبَ لَا يُجَامِعُ أَبَدًا وَالْخَصِيُّ ناقصٌ عَنِ الرِّجَالِ وَإِنْ كَانَ لَهُ ذكرٌ إِلَّا أَنْ تَكُونَ عَلِمَتْ فَلَا خِيَارَ لَهَا “.
Imam asy-Syafi‘i berkata: “Istri memiliki hak memilih (khiyar) dalam kasus suami yang majbūb (terputus kemaluannya) maupun selain majbūb sejak saat itu juga, karena majbūb tidak mungkin melakukan hubungan suami istri selamanya, sedangkan khashī (dikebiri) kurang dari laki-laki sempurna meskipun masih memiliki kemaluan, kecuali jika istri telah mengetahui sebelumnya, maka tidak ada hak khiyar baginya.”
قَالَ الماوردي: قد ذكرنا أنه إذا كان الزوج مجبوب فلها الخيار وإن كان خصياً فعلى قولين، فإذا كان كذلك فَلَهَا الْخِيَارُ فِي الْمَجْبُوبِ مِنْ سَاعَتِهِ وَلَا يُؤَجِّلُ لَهَا؛ لِأَنَّهُ مَأْيُوسٌ مِنْ جِمَاعِهِ فَلَمْ يَكُنْ لِلتَّأْجِيلِ تأثيرٌ، وَخَالَفَ الْمَرْجُوَّ جِمَاعُهُ وَالْمُؤَثِّرَ تَأْجِيلُهُ، فَلَوْ رَضِيَتْ بِجَبِّهِ ثُمَّ سَأَلَتْ أَنْ يؤجل للعنة لم يجز لتقدم الرضى بعنته. وأما الخصي، فإن قيل بأن الْخِصَاءَ يُوجِبُ الْخِيَارَ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فَلَهَا أن تتعجله مِنْ غَيْرِ تَأْجِيلٍ كَالْمَجْبُوبِ.
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa jika suami adalah majbūb, maka istri berhak memilih (khiyar), dan jika suami adalah khashī, maka ada dua pendapat. Jika demikian, maka istri berhak memilih dalam kasus majbūb sejak saat itu juga dan tidak diberi tenggang waktu, karena tidak ada harapan untuk bisa melakukan hubungan suami istri, sehingga penundaan tidak ada pengaruhnya. Berbeda dengan suami yang masih mungkin melakukan hubungan, maka penundaan berpengaruh. Jika istri telah ridha dengan kondisi majbūb, lalu kemudian meminta penundaan karena ‘innah, maka tidak boleh, karena ia telah ridha dengan ‘innah-nya. Adapun khashī, jika dikatakan bahwa khashā’ (kebirian) memberikan hak khiyar menurut salah satu dari dua pendapat, maka istri boleh segera menggunakan hak khiyar tanpa penundaan, sebagaimana pada kasus majbūb.
وَإِنْ قِيلَ: لَا خِيَارَ لَهَا فِي الْقَوْلِ الثَّانِي، أَوْ قِيلَ: لَهَا الْخِيَارُ فَاخْتَارَتِ الْمُقَامَ ثُمَّ سَأَلَتْ تَأْجِيلَهُ للعنة أحل بِخِلَافِ الْمَجْبُوبِ، لِأَنَّ الْإِصَابَةَ مِنَ الْخَصِيِّ مُمْكِنَةٌ وَمِنَ الْمَجْبُوبِ غَيْرُ مُمْكِنَةٍ، فَافْتَرَقَا فِي تَأْجِيلِ العنة.
Dan jika dikatakan: Tidak ada hak memilih (khiyār) baginya menurut pendapat kedua, atau dikatakan: Ia memiliki hak memilih lalu ia memilih untuk tetap (bersama suami), kemudian ia meminta penundaan untuk kasus ‘inah, maka hal itu diperbolehkan, berbeda dengan kasus majbūb (laki-laki yang alat kelaminnya terpotong), karena kemungkinan terjadinya hubungan suami istri dengan seorang khashī (laki-laki yang dikebiri) masih ada, sedangkan dengan majbūb tidak mungkin, maka keduanya berbeda dalam hal penundaan kasus ‘inah.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ لَمْ يُجَامِعْهَا الصَّبِيُّ أُجِّلَ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) مَعْنَاهُ عِنْدِي صَبِيٌّ قَدْ بَلَغَ أَنْ يُجَامِعَ مثله “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika anak laki-laki belum menggaulinya, maka diberi tenggang waktu.” (Al-Muzani berkata:) “Menurut saya, maksudnya adalah anak laki-laki yang telah mencapai usia yang memungkinkan untuk menggauli perempuan sebayanya.”
قال الماوردي: وهذه مسألة وهم المزني في نقله فقال ولو لم يجامعها أُجِّلَ وَهَذَا وَهْمٌ مِنْهُ، لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ: وَلَوْ لَمْ يُجَامِعْهَا الْخَصِيُّ أُجِّلَ، وَقَدْ نَقَلَهُ الرَّبِيعُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ، فَعَدَلَ بِالْمَسْأَلَةِ عَنِ الْخَصِيِّ إِلَى الصَّبِيِّ إِمَّا لتصحيف أو لسهو الكاتب، وأما زلة فِي التَّأْوِيلِ، فَإِنَّهُ قَالَ مَعْنَاهُ عِنْدِي: ” صَبِيٌّ قَدْ بَلَغَ أَنْ يُجَامِعَ مِثْلُهُ ” وَالصَّبِيُّ لَا يصح عُنَّتُهُ سَوَاءٌ رَاهَقَ فَأَمْكَنَ أَنْ يُجَامِعَ أَوْ كَانَ غَيْرَ مُرَاهِقٍ لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يُجَامِعَ لِأَمْرَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Ini adalah masalah di mana Al-Muzani keliru dalam menukil, ia berkata: “Jika anak laki-laki belum menggaulinya, maka diberi tenggang waktu.” Ini adalah kekeliruan darinya, karena Imam Syafi‘i berkata: “Jika khashī belum menggaulinya, maka diberi tenggang waktu.” Dan hal ini telah dinukil oleh Ar-Rabi‘ dalam kitab Al-Umm dengan redaksi seperti ini. Maka Al-Muzani memalingkan masalah ini dari khashī kepada anak laki-laki, mungkin karena kesalahan penulisan atau kelalaian penulis, atau kekeliruan dalam penafsiran. Ia berkata: “Menurut saya maksudnya adalah anak laki-laki yang telah mencapai usia yang memungkinkan untuk menggauli perempuan sebayanya.” Padahal, anak laki-laki tidak sah dihukumi ‘inah, baik ia sudah mendekati baligh sehingga mungkin menggauli, maupun belum mendekati baligh sehingga tidak mungkin menggauli, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: إِنَّ غَيْرَ الْبَالِغِ عَاجِزٌ بِالصِّغَرِ دُونَ الْعُنَّةِ فَلَا يَدُلُّ عَجْزُهُ عَلَى عُنَّتِهِ.
Pertama: Anak yang belum baligh tidak mampu karena masih kecil, bukan karena ‘inah, sehingga ketidakmampuannya tidak menunjukkan adanya ‘inah.
وَالثَّانِي: إِنَّهُ لَا يُعْرَفُ عُنَّتُهُ إِلَّا بِإِقْرَارِهِ وَإِقْرَارُهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ مَا لَمْ يَبْلُغْ فَانْتَفَى عَنْهُ مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حكم العنة، وإذا كان كذلك بان المراد هو الخصي وقد ذكرناه.
Kedua: Tidak diketahui adanya ‘inah pada anak kecuali dengan pengakuannya, sedangkan pengakuan anak yang belum baligh tidak diterima. Maka, dari dua sisi ini, tidak bisa diterapkan hukum ‘inah padanya. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud adalah khashī, dan hal ini telah kami sebutkan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فإن كان خنثى يبول من حيث يبول الرجل فهو رجلٌ يتزوج امْرَأَةً وَإِنْ كَانَتْ هِيَ تَبُولُ مِنْ حَيْثُ تَبُولُ الْمَرْأَةُ فَهِيَ امرأةٌ تَتَزَوَّجُ رَجُلًا وَإِنْ كان مُشْكِلًا لَمْ يُزَوَّجْ وَقِيلَ لَهُ أَنْتَ أَعْلَمُ بنفسك فأيهما شِئْتَ أَنْكَحْنَاكَ عَلَيْهِ ثُمَّ لَا يَكُونُ لَكَ غَيْرُهُ أَبَدًا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) فَبِأَيِّهِمَا تَزَوَّجَ وَهُوَ مشكلٌ كان لصاحبه الخيار لنقصه قياساً على قوله في الخصي له الذكر إن لها فيه الخيار لنقصه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia adalah khuntsā (interseks) yang kencing dari tempat kencing laki-laki, maka ia dianggap laki-laki dan boleh menikahi perempuan. Jika ia kencing dari tempat kencing perempuan, maka ia dianggap perempuan dan boleh dinikahi laki-laki. Jika keadaannya masih samar, maka tidak boleh dinikahkan, dan dikatakan kepadanya: ‘Engkau lebih mengetahui keadaan dirimu, maka pilihlah salah satu yang engkau kehendaki, kami akan menikahkanmu dengannya, dan setelah itu engkau tidak boleh menikah dengan selainnya selamanya.’ (Al-Muzani berkata:) Maka, dengan siapa pun ia menikah dalam keadaan masih samar, pasangannya berhak memilih (khiyār) karena adanya kekurangan, berdasarkan qiyās terhadap pendapat Imam Syafi‘i tentang khashī yang memiliki alat kelamin laki-laki, bahwa istrinya berhak memilih (khiyār) karena adanya kekurangan.”
قال الماوردي: أما الخنثى فهو الذي له ذكر رجل وفرج امرأ ” فالذكر مختص بالرجل، والفرج مختص بالمرأة وليس يخلو مُشْتَبَهُ الْحَالِ مِنْ أَنْ يَكُونَ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجاً) {النبأ: 8) يَعْنِي ذُكُورًا وَإِنَاثًا فَإِذَا جَمَعَ الْخُنْثَى بَيْنَ آلة الذكر والأنثى وجب أن يعتبر مَا هُوَ مُخْتَصٌّ بِالْعُضْوَيْنِ وَهُوَ الْبَوْلُ، لِأَنَّ الذكر مخرج بول الرجل وَالْفَرْجَ مَخْرَجُ بَوْلِ الْمَرْأَةِ، فَإِنْ كَانَ يَبُولُ مِنْ ذَكَرِهِ وَحْدَهُ فَهُوَ رَجُلٌ، وَالْفَرْجُ عُضْوٌ زَائِدٌ، وَإِنْ كَانَ يَبُولُ مَنْ فَرْجِهِ فَهِيَ امْرَأَةٌ وَالذَّكَرُ عُضْوٌ زَائِدٌ.
Al-Mawardi berkata: Adapun khuntsā adalah seseorang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan. Alat kelamin laki-laki khusus untuk laki-laki, dan alat kelamin perempuan khusus untuk perempuan. Tidaklah keadaan yang samar itu lepas dari kemungkinan ia laki-laki atau perempuan. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan} (An-Naba’: 8), maksudnya laki-laki dan perempuan. Jika khuntsā memiliki kedua alat kelamin, maka yang harus diperhatikan adalah sesuatu yang khusus pada kedua alat tersebut, yaitu air kencing, karena alat kelamin laki-laki adalah tempat keluarnya air kencing laki-laki, dan alat kelamin perempuan adalah tempat keluarnya air kencing perempuan. Jika ia kencing hanya dari alat kelamin laki-lakinya, maka ia dianggap laki-laki, dan alat kelamin perempuan adalah anggota tambahan. Jika ia kencing dari alat kelamin perempuannya, maka ia dianggap perempuan, dan alat kelamin laki-laki adalah anggota tambahan.
رَوَى الْكَلْبِيُّ عَنْ صَالِحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال في الذي له ماء الرجال وماء النساء إِنَّهُ يُورَّثُ مِنْ حَيْثُ يَبُولُ.
Diriwayatkan dari Al-Kalbi dari Shalih dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda tentang seseorang yang memiliki air mani laki-laki dan air mani perempuan: “Ia mendapatkan warisan sesuai dengan tempat ia kencing.”
وَقَضَى عَلِيُّ بن أبي طالب فِي الْعِرَاقِ بِمِثْلِ ذَلِكَ فِي خُنْثَى رُفِعَ إِلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ يَبُولُ مِنْهُمَا جَمِيعًا فَعَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Ali bin Abi Thalib juga memutuskan hal yang sama di Irak dalam kasus khuntsā yang diajukan kepadanya. Jika ia kencing dari kedua alat kelaminnya sekaligus, maka ada empat keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَسْبِقَ أَحَدُهُمَا وَيَنْقَطِعَا مَعًا فَالْحُكْمُ لِلسَّابِقِ لِقُوَّتِهِ.
Pertama: Salah satunya keluar lebih dulu dan keduanya berhenti bersamaan, maka hukum ditetapkan berdasarkan yang lebih dulu keluar karena lebih kuat.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَخْرُجَا مَعًا وَيَنْقَطِعَ أَحَدُهُمَا قَبْلَ الْآخَرِ فَالْحُكْمُ للمتأخر لقوته.
Kedua: Keduanya keluar bersamaan, lalu salah satunya berhenti lebih akhir, maka hukum ditetapkan berdasarkan yang lebih akhir berhenti karena lebih kuat.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَسْبِقَ خُرُوجُ أَحَدِهِمَا، وَيَتَأَخَّرَ انْقِطَاعُ الْآخَرِ فَالْحُكْمُ لِأَسْبَقِهِمَا خُرُوجًا وَانْقِطَاعًا، لِأَنَّ الْبَوْلَ يَسْبِقُ إِلَى أَقْوَى مَخْرَجَيْهِ.
Ketiga: Salah satunya keluar lebih dulu, dan yang lain berhenti lebih akhir, maka hukum ditetapkan berdasarkan yang lebih dulu keluar dan lebih dulu berhenti, karena air kencing akan lebih dulu keluar dari saluran yang lebih kuat.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَخْرُجَا مَعًا وَيَنْقَطِعَا مَعًا، وَلَا يَسْبِقَ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَهُوَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Keempat: Keduanya keluar bersamaan dan berhenti bersamaan, tanpa ada yang lebih dulu dari yang lain, maka ada empat keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْقَدْرِ وَالصِّفَةِ.
Pertama: Keduanya sama dalam jumlah dan sifat.
وَالثَّانِي: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الْقَدْرِ وَيَسْتَوِيَا فِي الصِّفَةِ.
Kedua: Berbeda dalam jumlah, namun sama dalam sifat.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الصِّفَةِ وَيَسْتَوِيَا فِي الْقَدْرِ.
Ketiga: Berbeda dalam sifat, namun sama dalam jumlah.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الْقَدَرِ وَالصِّفَةِ.
Keempat: apabila keduanya berbeda dalam kadar dan sifat.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْقَدْرِ وَالصِّفَةِ فَلَا بَيَانَ فِيهِ.
Adapun bagian pertama, yaitu apabila keduanya sama dalam kadar dan sifat, maka tidak ada penjelasan di dalamnya.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الْقَدْرِ دُونَ الصِّفَةِ، فَيَكُونُ أَحَدُهُمَا أَكْثَرَ مِنَ الْآخَرِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Adapun bagian kedua, yaitu apabila keduanya berbeda dalam kadar tetapi tidak dalam sifat, sehingga salah satunya lebih banyak dari yang lain, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْحُكْمُ لِأَكْثَرِهِمَا، وَهُوَ قَوْلُ أبي حنيفة تَغْلِيبًا لِقُوَّتِهِ بِالْكَثْرَةِ، وَقَدْ حَكَاهُ الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيرِ.
Salah satunya: bahwa hukum mengikuti yang lebih banyak di antara keduanya, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, karena mengutamakan kekuatan dengan jumlah yang lebih banyak, dan hal ini telah dinukil oleh al-Muzani dalam kitab al-Jāmi‘ al-Kabīr.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: إِنَّهُمَا سَوَاءٌ، وَهُوَ قَوْلُ أبي يوسف لِأَنَّ اعْتِبَارَ كَثْرَتِهِ شَاقٌّ وَقَدْ قَالَ أبو يوسف رَدًّا عَلَى أبي حنيفة حَيْثُ اعْتَبَرَ كَثْرَتَهُ: أَفَيُكَالُ إِذَنْ؟
Pendapat kedua: keduanya sama saja, dan ini adalah pendapat Abu Yusuf, karena mempertimbangkan jumlah yang lebih banyak itu sulit, dan Abu Yusuf berkata sebagai bantahan kepada Abu Hanifah yang mempertimbangkan jumlah yang lebih banyak: “Apakah akan ditakar, kalau begitu?”
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الصِّفَةِ فِي التَّزْرِيقِ وَالشَّرْشَرَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أصحابنا في اعتباره على وجهين:
Adapun bagian ketiga, yaitu apabila keduanya berbeda dalam sifat, seperti dalam hal pancaran dan percikan, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam mempertimbangkannya menjadi dua pendapat:
أحدهما: أنه يُعْتَبَرُ، فَإِنَّ تَزْرِيقَ الْبَوْلِ لِلرِّجَالِ وَالشَّرْشَرَةَ لِلنِّسَاءِ.
Salah satunya: bahwa hal itu dipertimbangkan, karena pancaran air kencing adalah untuk laki-laki dan percikan untuk perempuan.
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ جَابِرٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ خنثى فقال: أدنوه من الحائط فإن رزق فَذَكَرٌ وَإِن شَرْشَرَ فَأُنْثَى.
Diriwayatkan dari Jabir bahwa ia pernah ditanya tentang khuntsa, lalu ia berkata: “Dekatkanlah ia ke dinding, jika ia memancarkan maka ia laki-laki, dan jika ia memercik maka ia perempuan.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إِنَّهُ لَا اعْتِبَارَ بِهِ، لِأَنَّ هَذَا قَدْ يَكُونُ مِنْ قُوَّةِ الْمَثَانَةِ وَضَعْفِهَا.
Pendapat kedua: bahwa hal itu tidak dipertimbangkan, karena hal tersebut bisa saja disebabkan oleh kuat atau lemahnya kandung kemih.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: فَهُوَ أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الْقَدْرِ وَالصِّفَةِ فَيَنْظُرُ فِيهِمَا فَإِنِ اجْتَمَعَا فِي أَحَدِ الْعُضْوَيْنِ فَكَانَ التَّزْرِيقُ مَعَ الْكَثْرَةِ فِي الذَّكَرِ أَوْ كَانَتِ الشَّرْشَرَةُ مَعَ الْكَثْرَةِ فِي الْفَرْجِ، كَانَ ذَلِكَ بَيَانًا يَزُولُ بِهِ الْإِشْكَالُ، وَإِذَا اخْتَلَفَا فَكَانَتِ الشَّرْشَرَةُ فِي الْفَرْجِ، وَالْكَثْرَةُ فِي الذَّكَرِ أَوْ بِالْعَكْسِ فَلَا بَيَانَ فِيهِ لِتَكَافُؤِ الْأَمَارَتَيْنِ.
Adapun bagian keempat, yaitu apabila keduanya berbeda dalam kadar dan sifat, maka keduanya diperhatikan; jika keduanya berkumpul pada salah satu anggota, seperti pancaran disertai jumlah yang banyak pada penis, atau percikan disertai jumlah yang banyak pada vagina, maka itu merupakan penjelasan yang menghilangkan keraguan. Namun jika berbeda, seperti percikan pada vagina dan jumlah yang banyak pada penis, atau sebaliknya, maka tidak ada penjelasan di dalamnya karena kedua tanda tersebut sama kuatnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي الْمَبَالِ بَيَانٌ إِمَّا عِنْدَ تَسَاوِي أَحْوَالِهِمَا، وَإِمَّا عِنْدَ إِسْقَاطٍ فاختلف فِيهِ مِنَ الْقَدْرِ وَالصِّفَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَعْدِلُ إِلَى اعْتِبَارِ عَدَدِ الْأَضْلَاعِ أَمْ لا؟ على وجهين:
Adapun jika pada air kencing tidak terdapat penjelasan, baik karena keadaan keduanya sama, atau karena ada kekurangan sehingga berbeda dalam kadar dan sifat, maka para ulama kami berbeda pendapat apakah beralih kepada pertimbangan jumlah tulang rusuk atau tidak, menjadi dua pendapat:
أحدهما: يعتبر عدة الأضلاع فإن أضلاع المرأة يتساوى مِنَ الْجَانِبِ الْأَيْمَنِ وَالْجَانِبِ الْأَيْسَرِ، وَأَضْلَاعُ الرَّجُلِ ينقص مِنَ الْجَانِبِ الْأَيْسَرِ ضِلَعٌ لِمَا حُكِيَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَلَقَ حَوَّاءَ مِنْ ضِلَعِ آدَمَ الْأَيْسَرِ فَلِذَلِكَ نَقُصَ مِنْ أَضْلَاعِ الرَّجُلِ الْيُسْرَى ضِلَعٌ وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ قِيلَ لِلْمَرْأَةِ ضِلَعٌ أَعْوَجُ، وَقَدْ قَالَ الشَّاعِرُ:
Salah satunya: mempertimbangkan jumlah tulang rusuk, karena tulang rusuk perempuan sama antara sisi kanan dan kiri, sedangkan tulang rusuk laki-laki berkurang satu di sisi kiri, sebagaimana dikisahkan bahwa Allah Ta‘ala menciptakan Hawa dari tulang rusuk kiri Adam, sehingga tulang rusuk kiri laki-laki berkurang satu, dan karena itu dikatakan bahwa perempuan memiliki tulang rusuk yang bengkok, sebagaimana dikatakan oleh penyair:
(هِيَ الضِّلَعُ الْعَوْجَاءُ لَسْتَ تُقِيمُهَا … ألا إن تقويم الضلوع انكسارها)
“Dia adalah tulang rusuk yang bengkok, engkau takkan bisa meluruskannya … Ketahuilah, meluruskan tulang rusuk justru mematahkannya.”
(أيجمعهن ضعفاً واقتداراً على الهوى … أليس عجيبٌ ضَعْفُهَا وَاقْتِدَارُهَا)
“Apakah mereka mengumpulkan kelemahan dan kekuatan dalam cinta … Bukankah aneh kelemahan dan kekuatannya?”
وَتَوْجِيهُ هَذَا الْوَجْهِ فِي اعْتِبَارِ الْأَضْلَاعِ الْأَثَرُ الْمَرْوِيُّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عنه أن أمر قنبرا برقاء وَهُمَا مَوْلَيَاهُ أَنْ يَعُدَّا أَضْلَاعَ خُنْثَى مُشْكِلٍ فَإِنِ اسْتَوَتْ أَضْلَاعُهُ مِنْ جَانِبَيْهِ فَهِيَ امْرَأَةٌ، وَإِنْ نَقَصَتِ الْيُسْرَى ضلعٌ فَهُوَ رَجُلٌ.
Penjelasan pendapat ini dalam mempertimbangkan tulang rusuk adalah atsar yang diriwayatkan dari Ali radhiyallāhu ‘anhu, bahwa ia memerintahkan Qanbar dan Barqa’, keduanya adalah maulanya, untuk menghitung tulang rusuk khuntsa musykil; jika tulang rusuknya sama antara kedua sisinya maka ia perempuan, dan jika tulang rusuk kirinya berkurang satu maka ia laki-laki.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا إِنَّهُ لَا اعْتِبَارَ بِالْأَضْلَاعِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عدل عنها إلى الاعتبار بالمبال وهو أَلْزَمُ حَالًا مِنَ الْمَبَالِ وَأَقْوَى لَوْ كَانَ بها اعتبار لما جَازَ الْعُدُولُ عَنْهَا إِلَى الْمَبَالِ الَّذِي هُوَ أَضْعَفُ مِنْهَا، وَلَيْسَ الْأَثَرُ الْمَرْوِيُّ فِيهِ عَنْ عَلِيٍّ ثَابِتًا.
Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama kami, bahwa tidak dipertimbangkan tulang rusuk, karena Nabi ﷺ beralih dari hal itu kepada pertimbangan air kencing, yang keadaannya lebih melekat dan lebih kuat daripada tulang rusuk; jika memang tulang rusuk dipertimbangkan, tidak boleh beralih darinya kepada air kencing yang lebih lemah darinya, dan atsar yang diriwayatkan dari Ali dalam hal ini tidaklah sahih.
وَقَدْ قَالَ أَصْحَابُ التَّشْرِيحِ مِنْ عُلَمَاءِ الطِّبِّ: إِنَّ أَضْلَاعَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ مُتَسَاوِيَةٌ من الجانبين، أنها أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ ضِلْعًا مِنْ كُلِّ جَانِبٍ مِنْهَا اثْنَا عَشَرَ ضِلْعًا، وَقَدْ أُضِيفَ إِلَى هَذَا الأثر مع مَا يَدْفَعُهُ وَيَرُدُّهُ مِنَ الْمُشَاهَدَةِ خُرَافَةٌ مَصْنُوعَةٌ تَمْنَعُ مِنْهَا الْعُقُولُ، وَهُوَ أَنَّ رَجُلًا تَزَوَّجَ خنثى على صداق أمة، وأنه وطأ الخنثى فأولدها ووطأ الْخُنْثَى الْأَمَةَ فَأَوْلَدَهَا فَصَارَ الْخُنْثَى أُمًّا وَأَبًا فَرُفِعَ إِلَى عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ فَأَمَرَ بِعَدِّ أَضْلَاعِهِ فَوُجِدَتْ مُخْتَلِفَةً فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا، وَهَذَا مدفوع ببداهة الْعُقُولُ.
Para ahli anatomi dari kalangan ilmuwan kedokteran telah mengatakan bahwa jumlah tulang rusuk laki-laki dan perempuan adalah sama pada kedua sisi, yaitu dua puluh empat tulang rusuk, masing-masing sisi terdiri dari dua belas tulang rusuk. Terhadap riwayat ini, selain adanya pengamatan yang membantah dan menolaknya, juga ditambahkan kisah khurafat yang dibuat-buat dan ditolak oleh akal sehat, yaitu bahwa ada seorang laki-laki menikahi seorang khuntsa dengan mahar seorang budak perempuan, lalu ia menggauli khuntsa tersebut hingga melahirkan anak, dan khuntsa itu juga menggauli budak perempuan hingga melahirkan anak, sehingga khuntsa itu menjadi ibu dan ayah sekaligus. Kasus ini kemudian diajukan kepada Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, lalu beliau memerintahkan untuk menghitung tulang rusuknya dan didapati berbeda, sehingga beliau memisahkan keduanya. Kisah ini tertolak secara jelas oleh akal sehat.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا مُمَاثَلَةُ الرِّجَالِ فِي طِبَاعِهِمْ وكلامهم ومماثلة النساء في طباعهن وكلامهم فَلَا اعْتِبَارَ بِهِ؛ لِأَنَّ فِي الرِّجَالِ مُؤَنَّثٌ وَفِي النِّسَاءِ مُذَكَّرٌ، وَكَذَلِكَ اللِّحْيَةُ لَا اعْتِبَارَ بِهَا لِأَنَّ فِي الرِّجَالِ مَنْ لَيْسَ لَهُ لِحْيَةٌ وَفِي النِّسَاءِ مَنْ رُبَّمَا خَرَجَ لَهَا لحية على أنه قد قَلَّ مَا يَبْقَى بَعْدَ الْبُلُوغِ إِشْكَالٌ.
Adapun kemiripan laki-laki dalam tabiat dan ucapannya, serta kemiripan perempuan dalam tabiat dan ucapannya, maka hal itu tidak dianggap; karena di antara laki-laki ada yang bersifat keperempuanan dan di antara perempuan ada yang bersifat kelaki-lakian. Demikian pula jenggot tidak dapat dijadikan patokan, karena di antara laki-laki ada yang tidak memiliki jenggot dan di antara perempuan ada yang mungkin tumbuh jenggot. Namun, setelah masa baligh, biasanya jarang tersisa kerancuan.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْمَنِيُّ وَالْحَيْضُ فَإِنِ اجْتَمَعَ لَهُ إِنْزَالُ الْمَنِيِّ وَدَمُ الْحَيْضِ فَهُوَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Adapun mengenai mani dan haid, jika pada seseorang terkumpul keluarnya mani dan darah haid, maka terdapat empat keadaan:
أحدها: أن يخرجها من فرجه فتكون امْرَأَةً، وَيَكُونُ كُلُّ وَاحِدٌ مِنْهُمَا أَمَارَةٌ تَدُلُّ عَلَى زَوَالِ إِشْكَالِهِ.
Pertama: Mani dan darah haid keluar dari farjinya, maka ia dihukumi sebagai perempuan, dan masing-masing dari keduanya menjadi tanda yang menunjukkan hilangnya kerancuan.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَخْرُجَا عن ذَكَرِهِ فَيَزُولُ إِشْكَالُهُ بِالْإِنْزَالِ وَحْدَهُ، وَيَكُونُ رَجُلًا وَلَا يَكُونُ الدَّمُ حَيْضًا.
Kedua: Keduanya keluar dari zakarnya, maka kerancuannya hilang hanya dengan keluarnya mani, dan ia dihukumi sebagai laki-laki, sedangkan darah tersebut bukanlah darah haid.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الدَّمُ مِنْ ذَكَرِهِ وخروج المني من فرجه فتكون امْرَأَةً؛ لِأَنَّ إِنْزَالَ الْمَنِيِّ مِنَ الْفَرْجِ دَلِيلٌ، وَخُرُوجُ الدَّمِ مِنَ الذَّكَرِ لَيْسَ بِدَلِيلٍ:
Ketiga: Darah keluar dari zakarnya dan mani keluar dari farjinya, maka ia dihukumi sebagai perempuan; karena keluarnya mani dari farji adalah tanda, sedangkan keluarnya darah dari zakar bukanlah tanda.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ خُرُوجُ الْمَنِيِّ مِنْ ذَكَرِهِ وَخُرُوجُ الْحَيْضِ مِنْ فَرجِهِ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
Keempat: Mani keluar dari zakarnya dan darah haid keluar dari farjinya, maka menurut mazhab kami terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا: يُغَلِّبُ حُكْمُ الْحَيْضِ وَيَحْكُمُ بِأَنَّهُ امْرَأَةٌ، لِأَنَّ الْحَيْضَ لَا يَكُونُ إِلَّا مِنَ النِّسَاءِ، وَالْمَنِيِّ يَكُونُ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ.
Pertama: Menguatkan hukum haid dan menetapkan bahwa ia adalah perempuan, karena haid hanya terjadi pada perempuan, sedangkan mani bisa keluar dari laki-laki maupun perempuan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُغَلِّبُ حُكْمَ الْمَنِيِّ وَيَحْكُمُ بِأَنَّهُ رَجُلٌ؛ لِأَنَّ الدَّمَ رُبَّمَا كَانَ مِنْ مَرَضٍ، وَلَمْ يَكُنْ حَيْضًا.
Kedua: Menguatkan hukum mani dan menetapkan bahwa ia adalah laki-laki; karena darah bisa saja berasal dari penyakit dan bukan darah haid.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ عَلَى إِشْكَالِهِ وَلَيْسَ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَيَانٌ لِتُقَابُلِهُمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Ketiga: Tetap dalam keadaan musykil (tidak jelas), karena tidak ada salah satu dari keduanya yang menjadi penentu, sebab keduanya saling berhadapan. Allah lebih mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْخُنْثَى مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Jika telah tetap sebagaimana yang kami jelaskan, maka keadaan khuntsa tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَزُولَ إِشْكَالُهُ أَوْ لَا يَزُولَ فَإِنْ زَالَ إِشْكَالُهُ بِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَحَدِ الْأَسْبَابِ الْمُعْتَبَرَةِ فِيهِ أُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ مَا بَانَ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ رَجُلًا أُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الرِّجَالِ فِي جَمِيعِ أَحْوَالِهِ مِنَ النِّكَاحِ، وَالْوِلَايَةِ، وَالشَّهَادَةِ، وَالدِّيَةِ، وَالْمِيرَاثِ، وَزُوِّجَ امْرَأَةً، وَهَلْ لَهَا الْخِيَارُ لِزِيَادَةِ فَرْجِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ ذَكَرْنَاهُمَا.
Yaitu, apakah kerancuannya hilang atau tidak. Jika kerancuannya hilang dengan salah satu sebab yang telah kami sebutkan yang dianggap dalam fiqh, maka ia diberlakukan hukum sesuai dengan yang telah jelas. Jika ia laki-laki, maka diterapkan hukum laki-laki dalam seluruh keadaannya, baik dalam nikah, perwalian, kesaksian, diyat, warisan, dan ia dinikahkan dengan perempuan. Apakah perempuan tersebut memiliki hak khiyar (memilih) karena kelebihan farjinya atau tidak? Ada dua pendapat yang telah kami sebutkan.
وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا مَذْهَبًا ثَالِثًا إِنَّهُ إن زال إشكال؛ لِأَنَّهُ يَبُولُ مِنْ ذَكَرِهِ دُونَ فَرْجِهِ فَلَا خِيَارَ لَهَا لِلْقَطْعِ بِأَنَّهُ رَجُلٌ، وَإِنْ زَالَ إشكاله لسبق بوله من ذكره ولكثرته مِنْهُ فَلَهَا الْخِيَارُ، لِأَنَّهُ اجْتِهَادٌ غَيْرُ مَقْطُوعٍ بِهِ، وَإِنَّهُ رُبَّمَا نَقَضَهُ بَعْضُ الْحُكَّامِ وَأَعَادَهُ إِلَى حَالِ الْإِشْكَالِ.
Sebagian ulama kami berpendapat dengan mazhab ketiga, yaitu jika kerancuannya hilang karena ia kencing dari zakarnya saja tanpa dari farjinya, maka perempuan tidak memiliki hak khiyar, karena telah pasti ia laki-laki. Namun, jika kerancuannya hilang karena lebih dahulu dan lebih banyak kencing dari zakarnya, maka perempuan memiliki hak khiyar, karena hal itu merupakan hasil ijtihad yang belum pasti, dan bisa jadi sebagian hakim membatalkannya dan mengembalikannya pada keadaan musykil.
وَإِنْ بَانَ امْرَأَةً أُجْرِيَ عَلَيْهِ أَحْكَامَ النِّسَاءِ فِي النِّكَاحِ، وَالشَّهَادَةِ، وَالْوِلَايَةِ، وَالدِّيَةِ، وَالْمِيرَاثِ، وَزُوِّجَتْ رَجُلًا، وَهَلْ لَهُ الْخِيَارُ لِزِيَادَةِ ذَكَرِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ ذَكَرْنَاهُمَا:
Jika ternyata ia perempuan, maka diterapkan hukum-hukum perempuan padanya dalam nikah, kesaksian, perwalian, diyat, warisan, dan ia dinikahkan dengan laki-laki. Apakah laki-laki tersebut memiliki hak khiyar karena kelebihan zakarnya atau tidak? Ada dua pendapat yang telah kami sebutkan:
أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهُ.
Pertama: Tidak ada hak khiyar baginya.
وَالثَّانِي: لَهُ الْخِيَارُ.
Kedua: Ia memiliki hak khiyar.
وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَ مَذْهَبًا ثَالِثًا، أَنَّهُ إِنْ زَالَ إِشْكَالُهَا لِبَوْلِهَا مِنْ فَرْجِهَا وَحْدَهُ فلا خيار له، وإن زال لسبوقه منه أو كثرته فله الْخِيَارُ كَمَا ذَكَرْنَاهُ فِي الرَّجُلِ.
Dan sebagian dari ulama mazhab kami mengeluarkan pendapat ketiga, yaitu jika hilangnya kesamaran (jenis kelamin)nya karena kencingnya keluar dari kemaluannya saja, maka ia tidak memiliki hak memilih. Namun jika hilangnya kesamaran itu karena air maninya keluar dari situ atau karena keluarnya banyak, maka ia memiliki hak memilih sebagaimana telah kami sebutkan pada kasus laki-laki.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَ عَلَى إِشْكَالِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَوَّجَ قبل سؤاله واختياره فَإِنْ تَزَوَّجَ رَجُلًا كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ رَجُلًا فَإِنْ بَانَ امْرَأَةً لَمْ يصح لتقدم فساده، وإن زوج امرأة بان النِّكَاحُ بَاطِلًا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ امْرَأَةً، فَإِنْ كان رَجُلًا لَمْ يَصِحَّ لِتَقَدُّمِ فَسَادِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَلَمْ يَبْقَ مَا يُعْتَبَرُ مِنْ أَحْوَالِهِ غَيْرُ سُؤَالِهِ عَنْ طِبَاعِهِ الْجَاذِبَةِ لَهُ إِلَى أحد الجنسين سئل عنها للضرورة الداعية إليه كَمَا تُسْأَلُ الْمَرْأَةُ عَنْ حَيْضِهَا فَيَرْجِعُ فِيهِ إلى قولها فإن قال: أرى طبعي يحدثني إِلَى طَبْعِ النِّسَاءِ وَيَنْفِرُ مَنْ طَبْعِ الرِّجَالِ عُمِلَ عَلَى مَا أَخْبَرَ بِهِ مَنْ طَبْعِهِ فِي أَصْلِ الْخِلْقَةِ لَا عَلَى مَا يَظْهَرُ من تأنيث كلامه أو تذكيره؛ لأن في الرجال قَدْ يَكُونُ مُؤَنَّثًا يَتَكَلَّمُ بِكَلَامِ النِّسَاءِ وَالْمَرْأَةُ قَدْ تَكُونُ مُذَكَّرَةً تَتَكَلَّمُ بِكَلَامِ الرِّجَالِ.
Dan apabila masih dalam keadaan samar (jenis kelaminnya), maka tidak boleh dinikahkan sebelum ditanya dan memilih. Jika ia dinikahkan dengan seorang laki-laki, maka nikahnya batal karena ada kemungkinan ia adalah laki-laki. Jika kemudian ternyata ia adalah perempuan, maka nikahnya tidak sah karena kerusakan (batal) telah terjadi sebelumnya. Jika ia dinikahkan dengan seorang perempuan, maka nikahnya batal karena ada kemungkinan ia adalah perempuan. Jika ternyata ia adalah laki-laki, maka nikahnya tidak sah karena kerusakan (batal) telah terjadi sebelumnya. Dalam keadaan demikian, tidak ada lagi yang bisa dijadikan pertimbangan dari keadaannya selain menanyakan kecenderungan tabiatnya terhadap salah satu jenis kelamin. Maka ia ditanya tentang hal itu karena kebutuhan yang mendesak, sebagaimana perempuan ditanya tentang haidnya, dan dalam hal ini kembali kepada pengakuannya. Jika ia berkata: “Aku merasa tabiatku cenderung kepada tabiat perempuan dan menjauh dari tabiat laki-laki,” maka diperlakukan sesuai dengan apa yang ia kabarkan tentang tabiat aslinya, bukan berdasarkan penampilan feminim atau maskulinnya; karena bisa jadi ada laki-laki yang bersifat feminim dan berbicara seperti perempuan, dan perempuan yang bersifat maskulin dan berbicara seperti laki-laki.
قَالَ: وَلَا يَعْمَلُ عَلَى مَا يَشْتَهِيهِ، فَإِنَّ الرَّجُلَ قَدْ يَشْتَهِي الرَّجُلَ وَالْمَرْأَةَ قَدْ تَشْتَهِي الْمَرْأَةَ، وَإِنَّمَا الطِّبَاعُ الْمَذْكُورَةُ فِي أَصْلِ الْخِلْقَةِ وَالْقَائِمَةُ فِي نَفْسِ الْجِبِلَّةِ النَّافِرَةِ مِمَّا اعْتَادَتْهَا بِغَيْرِ تَصَنُّعٍ هِيَ الْمُعْتَبَرَةُ، وَيَكُونُ قَوْلُهُ فِيهَا هُوَ الْمَقْبُولُ إِذْ قَدْ عُدِمَ الِاسْتِدْلَالُ بِغَيْرِ قَوْلِهِ كالمرأة التي تقبل قَوْلُهَا فِي حَيْضِهَا وَطُهْرِهَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ قِيلَ لَهُ أَخْبِرْنَا عَنْ طَبْعِكَ، فَإِذَا قَالَ: يَجْذِبُنِي إِلَى طِبَاعِ النِّسَاءِ قُبِلَ قَوْلُهُ بِغَيْرِ يَمِينٍ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ حَقٌّ لِغَيْرِهِ فَيَحْلِفُ عليه؛ ولأنه لو رجع لم تقبل مِنْهُ وَحُكِمَ بِأَنَّهُ امْرَأَةٌ وَزُوِّجَ رَجُلًا، فَإِنْ عاد بعد ذلك فقال: قد استمال طَبْعِي إِلَى طِبَاعِ الرِّجَالِ لَمْ يَقْبَلْ مِنْهُ، وَكَانَ عَلَى الْحُكْمِ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ كَوْنِهِ امْرَأَةً، وَعَقْدُ النِّكَاحِ عَلَى صِحَّتِهِ وَإِذَا عَلِمَ الزوج بأنه خنثى فله الخيار هاهنا قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ الْإِشْكَالَ لَمْ يَزُلْ إِلَّا بقوله الذي يجوز أن تكون فيه كما ذكرنا، وَكَانَ أَسْوَأَ حَالًا مِمَّنْ زَالَ إِشْكَالُهُ بِأَسْبَابٍ غَيْرِ كَاذِبَةٍ، وَلَوْ كَانَ قَدْ قَالَ هَذَا الْخُنْثَى حِينَ سُئِلَ عَمَّا يَجْذِبُهُ طَبْعُهُ إِلَيْهِ أَرَى طَبْعِي يَجْذِبُنِي إِلَى طِبَاعِ الرِّجَالِ حُكِمَ بِأَنَّهُ رَجُلٌ، وَقُبِلَ قَوْلُهُ فِي نِكَاحِهِ، وَفِيمَا أَخْبَرَ بِهِ مِنْ جَمِيعِ أَحْكَامِهِ، وَهَلْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِيمَا اتُّهِمَ فِيهِ مِنْ وِلَايَتِهِ وَمِيرَاثِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Ia berkata: Dan tidak dipertimbangkan apa yang ia inginkan, karena bisa saja seorang laki-laki menginginkan laki-laki dan perempuan menginginkan perempuan. Yang menjadi pertimbangan adalah tabiat yang asli dalam penciptaan dan yang melekat dalam fitrah, yang secara alami menjauh dari kebiasaan tanpa dibuat-buat, itulah yang dianggap. Dan ucapannya dalam hal ini diterima karena tidak ada petunjuk lain selain ucapannya, sebagaimana perempuan yang diterima pengakuannya tentang haid dan sucinya. Jika demikian, maka dikatakan kepadanya: “Beritahukan kepada kami tentang tabiatmu.” Jika ia berkata: “Aku tertarik kepada tabiat perempuan,” maka ucapannya diterima tanpa sumpah, karena tidak ada hak orang lain di dalamnya sehingga ia harus bersumpah; dan jika ia menarik kembali pengakuannya, maka tidak diterima dan diputuskan bahwa ia adalah perempuan dan dinikahkan dengan laki-laki. Jika setelah itu ia berkata: “Sekarang tabiatku cenderung kepada tabiat laki-laki,” maka tidak diterima darinya, dan tetap berlaku hukum sebelumnya bahwa ia adalah perempuan, dan akad nikahnya tetap sah. Jika suami mengetahui bahwa pasangannya adalah khuntsa, maka ia memiliki hak memilih dalam hal ini menurut satu pendapat, karena kesamaran tidak hilang kecuali dengan pengakuannya yang masih mungkin mengandung kemungkinan sebagaimana telah kami sebutkan, dan keadaannya lebih buruk daripada orang yang kesamarannya hilang karena sebab-sebab lain yang tidak dusta. Jika khuntsa itu ketika ditanya tentang kecenderungan tabiatnya berkata: “Aku merasa tabiatku cenderung kepada tabiat laki-laki,” maka diputuskan bahwa ia adalah laki-laki, dan ucapannya diterima dalam pernikahannya dan dalam semua hukum yang ia kabarkan. Adapun apakah ucapannya diterima dalam perkara yang ia dituduh di dalamnya seperti perwalian dan warisan atau tidak, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يُقْبَلُ مِنْهُ لِتُهْمَتِهِ فِيهِ وَحَكَاهُ الرَّبِيعُ عَنْهُ.
Salah satunya: Tidak diterima karena ada tuduhan dalam hal itu, dan ini diriwayatkan oleh ar-Rabi‘ darinya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْمَشْهُورُ فِي أَكْثَرِ كُتُبِهِ أَنَّهُ يُقْبَلُ مِنْهُ؛ لِأَنَّ أَحْكَامَهُ لَا تَتَبَعَّضُ فَيَجْرِي عَلَيْهِ فِي بَعْضِهَا أَحْكَامُ الرِّجَالِ وَفِي بَعْضِهَا أَحْكَامُ النِّسَاءِ، وَإِذَا جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ النِّسَاءِ فِي شَيْءٍ أُجْرِيَ عَلَيْهِ أَحْكَامُ النِّسَاءِ فِي كُلِّ شَيْءٍ وَإِذَا جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الرِّجَالِ فِي شَيْءٍ أَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَ الرِّجَالِ فِي كُلِّ شَيْءٍ وَإِذَا حُكِمَ بِأَنَّهُ رَجُلُ زُوِّجَ امرأة ولم يقبل منه الرجوع إذا عَلِمَتِ الْمَرْأَةُ بِحَالِهِ فَلَهَا الْخِيَارُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهِ قَوْلًا وَاحِدًا – وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ -.
Pendapat kedua, dan ini yang masyhur dalam kebanyakan kitabnya, bahwa ucapannya diterima; karena hukum-hukumnya tidak bisa terpisah-pisah, sehingga dalam sebagian perkara berlaku hukum laki-laki dan dalam sebagian lain berlaku hukum perempuan. Jika dalam satu perkara berlaku hukum perempuan, maka dalam semua perkara berlaku hukum perempuan, dan jika dalam satu perkara berlaku hukum laki-laki, maka dalam semua perkara berlaku hukum laki-laki. Jika diputuskan bahwa ia adalah laki-laki, maka ia dinikahkan dengan perempuan dan tidak diterima penarikannya kembali. Jika perempuan mengetahui keadaannya, maka ia memiliki hak memilih untuk membatalkan nikahnya menurut satu pendapat – dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
Bab tentang ihshan yang dengannya pelaku zina dirajam, dari Kitab tentang sindiran dalam khitbah dan lain-lain
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” فإذا أَصَابَ الْحُرُّ الْبَالِغُ أَوْ أُصِيبَتِ الْحُرَّةُ الْبَالِغَةُ فهو إحصانٌ في الشرك وغيره لأن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رجم يهوديين زنيا فلو كَانَ الْمُشْرِكُ لَا يَكُونُ مُحْصَنًا كَمَا قَالَ بعض الناس لما رجم – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – غَيْرَ محصنٍ “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Apabila seorang laki-laki merdeka yang baligh telah melakukan hubungan (nikah) atau seorang perempuan merdeka yang baligh telah melakukannya, maka itu disebut ihshān, baik dalam keadaan musyrik maupun selainnya. Karena Nabi ﷺ telah merajam dua orang Yahudi yang berzina. Seandainya orang musyrik tidak dianggap muḥṣan sebagaimana pendapat sebagian orang, niscaya Nabi ﷺ tidak akan merajam selain muḥṣan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْإِحْصَانُ فِي اللُّغَةِ فَهُوَ الْمَنْعُ، يُقَالُ قَدْ أَحْصَنَتِ الْمَرْأَةُ فَرْجَهَا إِذَا امْتَنَعَتْ مِنَ الْفُجُورِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَالَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا) {الأنبياء: 91) أَيْ مَنَعَتْهُ وَيُقَالُ: مَدِينَةٌ حَصِينَةٌ أَيْ مَنِيعَةٌ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فِي قُرَىً مُحَصَّنَةٍ} (الحشر: 14) أَيْ مَمْنُوعَةٍ، وَيُقَالُ امْرَأَةٌ حَصَانٌ إِذَا امْتَنَعَتْ مِنَ الْفُجُورِ وَفَرَسٌ حَصَانٌ إِذَا امْتَنَعَ بِهِ رَاكِبُهُ، وَدِرْعٌ حصن إِذَا امْتَنَعَ بِهَا لَابِسُهَا فَسُمِّيَتْ ذَاتُ الزَّوْجِ مُحْصَنَةً؛ لِأَنَّ زَوْجَهَا قَدْ حَصَّنَهَا وَمَنَعَهَا، وَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَالْحَصَانَةُ فِي النِّكَاحِ اسْمٌ جَامِعٌ لِشُرُوطٍ مَانِعَةٍ إِذَا تَكَامَلَتْ كَانَ حَدَّ الزِّنَا فِيهَا الرَّجْمُ دُونَ الْجَلْدِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ “.
Al-Mawardi berkata: Adapun ihshān dalam bahasa berarti perlindungan (pencegahan). Dikatakan, “Seorang wanita telah mengihshān kemaluannya” jika ia menjaga diri dari perbuatan keji. Allah Ta‘ala berfirman: {dan wanita yang menjaga kemaluannya} (al-Anbiya: 91), artinya ia melindunginya. Dikatakan pula: “Kota yang muḥṣanah” artinya kota yang kuat (terlindungi). Allah Ta‘ala berfirman: {di negeri-negeri yang muḥṣanah} (al-Hasyr: 14), artinya negeri-negeri yang terlindungi. Dikatakan “wanita ḥaṣān” jika ia menjaga diri dari perbuatan keji, dan “kuda ḥaṣān” jika penunggangnya terlindungi dengannya, serta “baju zirah ḥaṣīn” jika pemakainya terlindungi dengannya. Maka, wanita yang bersuami disebut muḥṣanah karena suaminya telah melindungi dan menjaganya. Jika demikian, maka al-ḥaṣānah dalam pernikahan adalah istilah yang mencakup syarat-syarat pencegah; jika syarat-syarat itu terpenuhi, maka hukuman zina padanya adalah rajam, bukan cambuk, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Seratus cambukan dan pengasingan selama satu tahun, dan untuk yang sudah menikah (ats-tsayyib) dengan yang sudah menikah, seratus cambukan dan rajam.”
وَالشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الْحَصَانَةِ أَرْبَعَةٌ:
Adapun syarat-syarat yang dianggap dalam al-ḥaṣānah ada empat:
أَحَدُهَا: الْبُلُوغُ الَّذِي يَصِيرُ بِهِ مَمْنُوعًا مُكَلَّفًا.
Pertama: Baligh, yaitu seseorang telah mencapai usia yang menjadikannya mukallaf dan terlindungi.
وَالثَّانِي: الْعَقْلُ؛ لِأَنَّهُ مَانِعٌ مِنَ الْقَبَائِحِ مُوجِبٌ لِتَكْلِيفِ الْعِبَادَاتِ.
Kedua: Berakal, karena akal mencegah dari perbuatan keji dan menjadi sebab kewajiban ibadah.
وَالثَّالِثُ: الْحُرِّيَّةُ الَّتِي تَمْنَعُ مِنَ البغاء والاسترقاق وأن كمال الحد فعل يَمْنَعُ مِنْهُ نَقْصُ الرِّقِّ.
Ketiga: Kemerdekaan, yang mencegah dari pelacuran dan perbudakan, dan kesempurnaan hukuman (had) adalah sesuatu yang tidak sempurna jika ada kekurangan karena status budak.
وَالرَّابِعُ: الْوَطْءُ فِي عَقْدِ نِكَاحٍ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنَ السِّفَاحِ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِين) {النساء: 24) أي متناكحين غير مسافحين.
Keempat: Pernah melakukan hubungan suami istri dalam akad nikah yang sah, karena hal itu mencegah dari perzinaan. Allah Ta‘ala berfirman: {dalam keadaan muḥṣinīn, bukan musāfiḥīn} (an-Nisa: 24), artinya menikah secara sah, bukan berzina.
فَأَمَّا الْإِسْلَامُ فَلَيْسَ بِشَرْطٍ فِي الْحَصَانَةِ.
Adapun Islam, bukanlah syarat dalam al-ḥaṣānah.
فَإِذَا تَكَامَلَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ فِي مُسْلِمٍ أَوْ كافر رجم إذا زنا.
Jika keempat syarat ini telah terpenuhi pada seorang Muslim atau kafir, maka ia dirajam jika berzina.
وقال مالك وأبو حنيفة: الْإِسْلَامُ شَرْطٌ مُعْتَبَرٌ فِي الْحَصَانَةِ وَلَا يُرْجَمُ الكافر إذا زنا اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” لا حصان فِي الشِّرْكِ “.
Sedangkan Malik dan Abu Hanifah berpendapat: Islam adalah syarat yang dianggap dalam al-ḥaṣānah, dan orang kafir tidak dirajam jika berzina, dengan dalil riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak ada ḥaṣānah dalam kemusyrikan.”
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ فَلَيْسَ بِمُحْصِنٍ “.
Dan diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa mempersekutukan Allah, maka ia bukan muḥṣan.”
وَرُوِيَ أَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ تَزَوَّجَ يَهُودِيَّةً فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّهَا لَا تُحَصِنُكَ ” وَلِأَنَّ الْإِحْصَانَ مَنْزِلَةُ كَمَالٍ وَتَشْرِيفٍ يُعْتَبَرُ فِيهَا نَقْصُ الرِّقِّ، فَكَانَ بِأَنْ يُعْتَبَرَ فِيهَا نَقْصُ الْكُفْرِ أَوْلَى؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْإِسْلَامُ مُعْتَبَرًا فِي حَصَانَةِ الْقَذْفِ حَتَّى لَمْ يُحَدَّ مِنْ قَذَفَ كَافِرًا، وَجَبَ أَنْ يعتبر في حصانة الحد حتى لا يرجم الكافر إذا زنا ودليلنا ما رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا وَالرَّجْمُ لَا يَجِبُ إِلَّا عَلَى مُحْصَنٍ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمَا مُحْصَنَانِ.
Diriwayatkan pula bahwa Hudzaifah bin al-Yaman menikahi seorang wanita Yahudi, lalu Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Ia tidak mengihshānimu.” Karena ihshān adalah kedudukan kesempurnaan dan kemuliaan, di mana kekurangan karena status budak dianggap di dalamnya, maka kekurangan karena kekufuran lebih utama untuk dianggap; dan karena Islam dianggap dalam ḥaṣānah pada kasus qazaf (tuduhan zina), sehingga tidak dikenakan had bagi orang yang menuduh kafir, maka seharusnya Islam juga dianggap dalam ḥaṣānah had, sehingga orang kafir tidak dirajam jika berzina. Dalil kami adalah riwayat asy-Syafi‘i dari Malik dari Nafi‘ dari Ibnu Umar bahwa Nabi ﷺ merajam dua orang Yahudi yang berzina, dan rajam tidak diwajibkan kecuali atas muḥṣan, maka ini menunjukkan bahwa keduanya adalah muḥṣan.
فَإِنْ قِيلَ: فَإِنَّمَا رَجَمَهُمَا بِالتَّوْرَاةِ وَلَمْ يَرْجُمْهُمَا بِشَرِيعَتِهِ؛ لأنه أحضر التوراة عند رجمهما فلما ظهرت فِيهَا آيَةُ الرَّجْمِ تَلُوحُ رَجَمَهُمَا حِينَئِذٍ.
Jika dikatakan: “Nabi merajam keduanya berdasarkan Taurat, bukan berdasarkan syariat beliau; karena beliau menghadirkan Taurat ketika merajam keduanya, dan ketika ditemukan ayat rajam di dalamnya, barulah beliau merajam mereka.”
قِيلَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَحْكُمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ الله تعالى عَلَيْهِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ) {المائدة: 49) وَإِنَّمَا أَحْضَرَ التَّوْرَاةَ؛ لِأَنَّهُ أَخْبَرَهُمْ بِأَنَّ فِيهَا آيَةَ الرَّجْمِ فَأَنْكَرُوا فَأَحْضَرَهَا لِإِكْذَابِهِمْ.
Dijawab: Tidak boleh berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan kepadanya. Allah Ta‘ala berfirman: {dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka} (al-Ma’idah: 49). Beliau menghadirkan Taurat hanya karena beliau memberitahu mereka bahwa di dalamnya ada ayat rajam, lalu mereka mengingkarinya, maka beliau menghadirkannya untuk membantah mereka.
فَإِنْ قِيلَ: فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ هَذَا قَبْلَ أَنْ صَارَ الْإِحْصَانُ شَرْطًا فِي الرَّجْمِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
Jika dikatakan: Boleh jadi hal ini terjadi sebelum syarat ihshan (status terjaga) menjadi syarat dalam rajam, maka ada dua jawaban atasnya:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَيْسَ يُعْرَفُ فِي الشَّرْعِ وُجُوبُ الرَّجْمِ قَبْلَ اعْتِبَارِ الْحَصَانَةِ فَلَمْ يَجُزْ حَمْلُهُ عَلَيْهِ.
Pertama: Tidak diketahui dalam syariat adanya kewajiban rajam sebelum dipertimbangkannya ihshan, maka tidak boleh menafsirkannya demikian.
والثاني: أنه قد رَوَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ أَحْصَنَا فَأَبْطَلَتْ هَذِهِ الرِّوَايَةُ هَذَا التَّأْوِيلِ.
Kedua: Telah meriwayatkan ‘Ubaidullah bin ‘Umar dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi ﷺ merajam dua orang Yahudi yang telah muhsan, maka riwayat ini membatalkan penafsiran tersebut.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ: أَنَّ كُلَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ بِالزِّنَا حَدٌّ كَامِلٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِالْوَطْءِ فِي النِّكَاحِ مُحَصَنًا كَالْمُسْلِمِ، وَلِأَنَّ كُلَّ قَتْلٍ وَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِ بِسَبَبٍ وَجَبَ عَلَى الْكَافِرِ إِذَا لَمْ يُقَرَّ عَلَى ذَلِكَ السَّبَبِ كَالْقَوَدِ.
Dan dari sisi qiyās: Setiap orang yang wajib atasnya had zina secara sempurna, maka wajib pula bahwa ia telah melakukan hubungan dalam pernikahan (sebagai syarat ihshan) sebagaimana Muslim; dan karena setiap hukuman mati yang diwajibkan atas Muslim karena suatu sebab juga diwajibkan atas kafir jika tidak diakui atas sebab itu, seperti dalam kasus qishāsh.
وَقَوْلُنَا: إِذَا لَمْ يُقَرَّ عَلَى ذلك السبب احترازاً مِنْ تَارِكِ الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ يُقْتَلُ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا؛ لِأَنَّهُ لَا يُقَرُّ، وَلَا يُقْتَلُ إِذَا كَانَ كَافِرًا؛ لِأَنَّهُ يُقَرُّ، وَلِأَنَّ الرَّجْمَ أَحَدُ حدي الزنا فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ الْمُسْلِمُ وَالْكَافِرُ كَالْجِلْدِ؛ ولأنه لما استوى في حد الزنا حكم العبد المسلم والكافر وجب أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ حَدُّ الْحُرِّ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ.
Dan perkataan kami: “Jika tidak diakui atas sebab itu” adalah pengecualian dari orang yang meninggalkan salat, karena ia dibunuh jika ia Muslim; sebab tidak diakui, dan tidak dibunuh jika ia kafir; sebab diakui. Dan karena rajam adalah salah satu dari dua had zina, maka wajib disamakan antara Muslim dan kafir di dalamnya sebagaimana hukuman cambuk; dan karena ketika dalam had zina, hukum budak Muslim dan kafir disamakan, maka wajib pula disamakan had untuk orang merdeka Muslim dan kafir.
فأما الجواب عن الخبرين الأوليين فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun jawaban atas dua hadis pertama adalah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: حَمْلُهُ عَلَى حَصَانَةِ الْقَذْفِ دُونَ الرَّجْمِ.
Pertama: Menafsirkannya pada ihshan dalam kasus qadzaf (tuduhan zina), bukan dalam rajam.
وَالثَّانِي: لَا حَصَانَةَ تَمْنَعُ مِنِ اسْتِبَاحَةِ قَتْلِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا – لَا إله إلا الله – فإذا قالوها عصموا من دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا “.
Kedua: Tidak ada ihshan yang mencegah dari kebolehan menumpahkan darah dan mengambil harta mereka, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘Lā ilāha illallāh’, maka jika mereka mengucapkannya, terjagalah darah dan harta mereka kecuali dengan haknya.”
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حديث حذيفة فهو أن لا يجوز حمله على حصانة الزنا؛ لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَقُولَ لِمَنْ وَثِقَ بِدِينِهِ مِنْ أَصْحَابِهِ وَحُذَيْفَةُ قَدْ كَانَ مَوْثُوقًا بِدِينِهِ، إِنَّكَ مَتَى زَنَيْتَ تَحْتَ هَذِهِ الْيَهُودِيَّةِ لَمْ تُرْجَمْ وَإِنَّمَا مَعْنَى قَوْلِهِ: ” لَا تُحْصِنُكَ ” أَيْ لَا تَتَعَفَّفُ بك عما تَتَعَفَّفُ الْمُسْلِمَةُ.
Adapun jawaban atas hadis Hudzaifah adalah bahwa tidak boleh menafsirkannya pada ihshan dalam zina; karena tidak mungkin Rasulullah ﷺ mengatakan kepada sahabatnya yang terpercaya agamanya—dan Hudzaifah adalah orang yang terpercaya agamanya—“Sesungguhnya jika engkau berzina dengan wanita Yahudi ini, engkau tidak akan dirajam.” Makna sabdanya: “Ia tidak membuatmu muhsan” adalah: ia tidak membuatmu menjaga diri sebagaimana wanita Muslimah menjaga diri.
وَأَمَّا اعْتِبَارُهُمْ ذَلِكَ بِحَصَانَةِ الْقَذْفِ.
Adapun pertimbangan mereka terhadap hal itu dengan ihshan dalam qadzaf.
فالفرق بينهما: أن حد الزنا حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى فَجَازَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ الْمُسْلِمُ وَالْكَافِرُ وَحَدُّ الْقَذْفِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ، فجاز أن يفرق فِيهِ الْمُسْلِمُ وَالْكَافِرُ كَالدِّيةِ.
Perbedaannya adalah: Had zina adalah hak Allah Ta‘ala, maka boleh disamakan antara Muslim dan kafir di dalamnya, sedangkan had qadzaf termasuk hak-hak manusia, maka boleh dibedakan antara Muslim dan kafir di dalamnya sebagaimana diyat (denda pembunuhan).
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُ لَمَّا اعْتَبَرَ فِي سُقُوطِ الرَّجْمِ نَقْصَ الرِّقَّ اعتبر فيه نقص الكفر، فالجواب عَنْهُ إِنَّهُ لَمَّا كَانَ نَقْصُ الرِّقِّ مُعْتَبَرًا فِي الْحَدِّ الْأَصْغَرِ كَانَ مُعْتَبَرًا فِي الْحَدِّ الْأَكْبَرِ وَلَمَّا كَانَ نَقْصُ الْكُفْرِ غَيْرَ مُعْتَبَرٍ في الحد الأصغر كان معتبر في الحد الأكبر وافترقا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun dalil mereka bahwa ketika dipertimbangkan kekurangan status budak dalam gugurnya rajam, maka dipertimbangkan pula kekurangan status kafir, jawabannya adalah: Ketika kekurangan status budak dipertimbangkan dalam had yang lebih ringan, maka dipertimbangkan pula dalam had yang lebih berat. Dan ketika kekurangan status kafir tidak dipertimbangkan dalam had yang lebih ringan, maka tidak dipertimbangkan pula dalam had yang lebih berat, dan keduanya berbeda. Allah Maha Mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْإِسْلَامَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي شُرُوطِ الْحَصَانَةِ فَالْكَلَامُ فِيهَا مشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:
Jika telah tetap bahwa Islam tidak dipertimbangkan dalam syarat-syarat ihshan, maka pembahasan tentangnya mencakup tiga fasal:
أَحَدُها: فِي نِكَاحِ الْحَصَانَةِ.
Pertama: Tentang pernikahan dalam ihshan.
وَالثَّانِي: فِي وَطْءِ الْحَصَانَةِ.
Kedua: Tentang hubungan suami istri dalam ihshan.
وَالثَّالِثُ: فِي زمان الحصانة.
Ketiga: Tentang masa ihshan.
فأما نكاح الحصانة النِّكَاحُ الصَّحِيحِ الَّذِي يَجُوزُ أَنْ يُقِيمَ عَلَيْهِ الزَّوْجَانِ بَوْلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ فَأَمَّا الْمُتْعَةُ، وَالْمَنَاكِحُ الْفَاسِدَةُ، فَلَا تُوجِبُ الْحَصَانَةَ؛ لِأَنَّ الْحَصَانَةَ لِاعْتِبَارِ الْحُرِّيَّةِ فيها أغلظ شروطاً من إحلال المطلق للأول؛ لأن الحرية لا يعتبر فِيهَا ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْمَنَاكِحَ الْفَاسِدَةَ لَا تَحِلُّ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا تُحْصِنَ، وَلَا وَجْهَ لِمَا قَالَهُ أَبُو ثَوْرٍ: مِنْ أَنَّهَا تُحْصِنُ، وَكَذَلِكَ التَّسَرِّي بِمِلْكِ الْيَمِينِ، لَا يُحْصِنُ كما لا تحل المطلقة للمطلق، وَأَمَّا وَطْءُ الْحَصَانَةِ فَهُوَ تَغَيُّبُ الْحَشَفَةِ فِي الْفَرْجِ سَوَاءٌ كَانَ مَعَهُ إِنْزَالٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ فَإِنْ تَلَذَّذَ بِمَا دون الفرج أو وطء في السبل الْمَكْرُوهِ لَمْ يَتَحَصَّنَا كَمَا لَا يَسْقُطُ بِهِ حُكْمُ الْعُنَّةِ لِأَنَّهُ وَطْءٌ مَقْصُودٌ فِي الشَّرْعِ فَلَمْ يَتَعَلَّقْ إِلَّا بِالْفَرْجِ كَالْإِحْلَالِ لِلْمُطَلِّقِ.
Adapun nikah yang memberikan status ḥiṣān (perlindungan hukum), yaitu nikah yang sah yang boleh dijalani oleh kedua pasangan dengan wali dan dua saksi. Adapun nikah mut‘ah dan pernikahan-pernikahan yang fasid (rusak/tidak sah), maka tidak memberikan status ḥiṣān; karena ḥiṣān itu mempertimbangkan aspek kebebasan (ḥurriyyah) di dalamnya, yang syarat-syaratnya lebih berat daripada syarat bolehnya mantan suami menikahi mantan istri setelah talak tiga; sebab kebebasan tidak menjadi syarat dalam hal tersebut. Kemudian telah tetap bahwa pernikahan-pernikahan yang fasid tidak menjadikan halal, maka lebih utama lagi bahwa ia tidak memberikan status ḥiṣān. Tidak ada alasan bagi pendapat Abu Ṯaur yang mengatakan bahwa pernikahan fasid memberikan status ḥiṣān. Begitu pula hubungan seksual dengan budak perempuan melalui kepemilikan (tasarrī bi-milki al-yamīn), tidak memberikan status ḥiṣān, sebagaimana tidak menjadikan halal bagi mantan suami untuk menikahi mantan istri setelah talak tiga. Adapun hubungan seksual yang memberikan status ḥiṣān adalah masuknya hasyafah (kepala zakar) ke dalam farj (kemaluan) baik disertai ejakulasi maupun tidak. Jika hanya menikmati selain farj atau melakukan hubungan pada jalan yang terlarang, maka tidak memberikan status ḥiṣān, sebagaimana tidak gugur hukum ‘innah (impotensi) karenanya; karena hubungan seksual yang dimaksud dalam syariat hanya terkait dengan farj, sebagaimana syarat bolehnya mantan suami menikahi mantan istri setelah talak tiga.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا زَمَانُ الْحَصَانَةِ فَهُوَ الْوَقْتُ الَّذِي يَكُونُ فِيهِ الْوَطْءُ مُثْبِتًا لِلْحَصَانَةِ وَلَا يَخْلُو حَالُهُمَا وَقْتَ الْوَطْءِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Adapun waktu terjadinya status ḥiṣān adalah waktu di mana hubungan seksual itu menetapkan status ḥiṣān. Keadaan keduanya saat berhubungan tidak lepas dari empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا كَامِلَيْنِ.
Pertama: Keduanya dalam keadaan sempurna.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَا نَاقِصَيْنِ.
Kedua: Keduanya dalam keadaan kurang (tidak sempurna).
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ كَامِلًا وَالزَّوْجَةُ نَاقِصَةً.
Ketiga: Suami sempurna dan istri kurang.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ نَاقِصًا وَالزَّوْجَةُ كَامِلَةً.
Keempat: Suami kurang dan istri sempurna.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَا كَامِلَيْنِ، فَكَمَالُهُمَا يَكُونُ بِالْبُلُوغِ، وَالْعَقْلِ، وَالْحُرِّيَّةِ فَإِذَا كَانَا وَقْتَ الْوَطْءِ بَالِغَيْنِ عَاقِلَيْنِ حُرَّيْنِ صَارَا جَمِيعًا بِهِ مُحْصِنَيْنِ سَوَاءٌ عُقِدَ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا فِي حَالِ الْكَمَالِ أَوْ قَبْلَهُ وَسَوَاءٌ بَقِيَ الْعَقْدُ بَيْنَهُمَا أو ارتفع قد ثبت الحصانة بوطء المرأة الواحدة فأيهما زنا رُجِمَ.
Adapun bagian pertama, yaitu keduanya dalam keadaan sempurna, kesempurnaan itu adalah dengan baligh, berakal, dan merdeka. Jika saat berhubungan keduanya telah baligh, berakal, dan merdeka, maka keduanya menjadi muḥṣan (memiliki status ḥiṣān) dengan hubungan tersebut, baik akad nikah dilakukan saat keduanya sudah sempurna atau sebelumnya, dan baik akad itu masih berlangsung atau sudah berakhir, maka telah tetap status ḥiṣān dengan hubungan seksual dengan satu perempuan. Maka siapa saja di antara keduanya yang berzina, maka ia dirajam.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَا نَاقِصَيْنِ وَنُقْصَانُهُمَا أَنْ يَكُونَا صَغِيرَيْنِ أَوْ مَجْنُونَيْنِ أو مملوكين فلا يكونا بِالْوَطْءِ مُحْصِنَيْنِ مَا كَانَا عَلَى الصِّغَرِ، وَالْجُنُونِ، وَالرِّقِّ، فَإِنْ بَلَغَ الصَّغِيرَانِ، وَأَفَاقَ الْمَجْنُونَانِ، وَعَتَقَ المملوكان فهل يصير بالوطء المتقدم أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun bagian kedua, yaitu keduanya dalam keadaan kurang, yaitu keduanya masih kecil, atau gila, atau budak, maka keduanya tidak menjadi muḥṣan dengan hubungan tersebut selama masih dalam keadaan kecil, gila, atau budak. Jika keduanya telah baligh, keduanya sembuh dari gila, dan keduanya merdeka, maka apakah dengan hubungan seksual yang telah lalu itu keduanya menjadi muḥṣan atau tidak, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: إِنَّهُمَا قَدْ صَارَا مُحْصَنَيْنِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ بِهِ أَحْكَامُ الْوَطْءِ فِي النِّكَاحِ مِنْ كَمَالِ الْمَهْرِ، وَوُجُوبِ الْعِدَّةِ، وَتَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ، وَالْإِحْلَالِ لِلْمُطَلِّقِ فَكَذَلِكَ الْحَصَانَةُ، فإذا زنيا رجما لتقدم الشرائط على الزنا.
Pertama: Keduanya telah menjadi muḥṣan; karena dengan hubungan itu telah tetap hukum-hukum hubungan seksual dalam nikah, seperti sempurnanya mahar, wajibnya ‘iddah, haramnya musāharah (hubungan mahram karena pernikahan), dan bolehnya mantan suami menikahi mantan istri setelah talak tiga, maka demikian pula status ḥiṣān. Jika keduanya berzina, maka keduanya dirajam karena syarat-syaratnya telah terpenuhi sebelum terjadinya zina.
والوجه الثاني: – وهو مذهب الشافعي – أنهما لا يصيرا به مُحْصَنَيْنِ حَتَّى يَسْتَأْنِفَا الْوَطْءَ بَعْدَ كَمَالِ الْبُلُوغِ، وَالْعَقْلِ وَالْحُرِّيَّةِ، لِأَنَّ هَذَا الْوَطْءَ يُوجِبُ الْكَمَالَ فَوَجَبَ أَنْ يُرَاعَى وُجُودُهُ فِي أَكْمَلِ الْأَحْوَالِ؛ ولأنه لما لم يثبت الْحَصَانَةُ فِي وَقْتٍ لَمْ يُثْبِتْهَا بَعْدَ وَقْتِهِ، وبهذا خالف ما سواها مِنَ الْإِحْلَالِ، وَتَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ، وَكَمَالِ الْمَهْرِ، وَوُجُوبِ الْعِدَّةِ لِثُبُوتِهَا بِهِ فِي وَقْتِهِ وَبَعْدَ وَقْتِهِ، ثم هكذا لو كان نقص الزوجين أَوْ مَجْنُونًا فَوَطِئَا لَمْ يَصِيرَا بِهِ فِي الْحَالِ مُحْصَنَيْنِ، وَهَلْ يَصِيرَانِ بِهِ بَعْدَ الْكَمَالِ مُحْصَنَيْنِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua—dan ini adalah mazhab Syafi‘i—bahwa keduanya tidak menjadi muḥṣan dengan hubungan tersebut sampai keduanya mengulangi hubungan seksual setelah sempurna baligh, berakal, dan merdeka; karena hubungan seksual ini mensyaratkan kesempurnaan, maka harus diperhatikan keberadaannya dalam keadaan paling sempurna. Karena ketika status ḥiṣān tidak tetap pada waktu itu, maka tidak tetap pula setelahnya. Dengan ini, berbeda dengan hukum-hukum lain seperti bolehnya mantan suami menikahi mantan istri setelah talak tiga, haramnya musāharah, sempurnanya mahar, dan wajibnya ‘iddah, karena hukum-hukum tersebut tetap dengan hubungan seksual itu baik pada waktunya maupun setelahnya. Demikian pula, jika kekurangan pada salah satu pasangan, atau salah satunya gila, lalu keduanya berhubungan, maka keduanya tidak menjadi muḥṣan pada saat itu. Apakah setelah keduanya sempurna, hubungan itu menjadikan keduanya muḥṣan atau tidak, terdapat dua pendapat:
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ كَامِلًا وَالزَّوْجَةُ نَاقِصَةً فَكَمَالُ الزَّوْجِ أَنْ يَكُونَ بَالِغًا، عَاقِلًا، حُرًّا، وَنُقْصَانُ الزَّوْجَةِ أَنْ تَكُونَ صَغِيرَةً، أَوْ مجنونة، أو مملوكة، أو تجمع نقص الصغر، والجنون، وَالرِّقِّ فَقَدْ صَارَ الزَّوْجُ بِذَلِكَ مُحْصَنًا إِذَا كانت الصغيرة التي وطئها ممن يجوز أن توطأ مِثْلُهَا، فَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ أَنْ توطأ مثلها لَمْ يَتَحَصَّنْ بِوَطْئِهَا، فَأَمَّا الزَّوْجَةُ فَلَا تَكُونُ مُحَصَّنَةً بِهَذَا الْوَطْءِ فِي النُّقْصَانِ بِالصِّغَرِ وَالْجُنُونِ وَالرِّقِّ، فَإِذَا كَمُلَتْ بِالْبُلُوغِ، وَالْعَقْلِ، وَالْحُرِّيَّةِ فَهَلْ تَصِيرُ بِهِ مُحَصَّنَةً أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ.
Adapun bagian ketiga: yaitu apabila suami sempurna dan istri kurang. Kesempurnaan suami adalah ia telah baligh, berakal, dan merdeka. Kekurangan istri adalah ia masih kecil, atau gila, atau budak, atau mengumpulkan kekurangan berupa kecil, gila, dan budak. Maka dengan demikian suami menjadi muḥṣan jika anak kecil yang digaulinya termasuk yang boleh digauli sepertinya. Jika ia termasuk yang tidak boleh digauli sepertinya, maka suami tidak menjadi muḥṣan dengan menggaulinya. Adapun istri, maka ia tidak menjadi muḥṣan dengan persetubuhan ini dalam kekurangan berupa kecil, gila, dan budak. Jika ia telah sempurna dengan baligh, berakal, dan merdeka, maka apakah ia menjadi muḥṣan karenanya atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan.
وَقَالَ أبو حنيفة: إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا: نَاقِصًا لَمْ يُحَصَّنَا مَعًا فِي الْحَالِ وَلَا فِي أَيِّ حَالٍ حَتَّى يَكُونَ الْكَمَالُ مَوْجُودًا فِيهِمَا حَالَ الْوَطْءِ، وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ مُوجِبَ الْحَصَانَةِ أَنْ يَخْتَلِفَ بِهَا حَدُّ الزنا فَيَجِبُ الرَّجْمُ عَلَى الْمُحْصَنِ وَالْجَلَدُ عَلَى غَيْرِ المحصن، ولو اختلف حالهما وقت الزنا فَكَانَ أَحَدُهُمَا مُحْصَنًا وَالْآخَرُ غَيْرُ مُحْصَنٍ رُجِمَ الْمُحْصَنُ وَجُلِدَ غَيْرُ الْمُحْصَنِ، وَلَمْ يَكُنْ لِاخْتِلَافِهِمَا تَأْثِيرٌ فِي حَصَانَةِ أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ كَذَلِكَ اخْتِلَافُهُمَا فِي وَقْتِ الْوَطْءِ فِي النِّكَاحِ لَا يَمْنَعُ مِنْ أَنْ يَصِيرَ بِهِ أَحَدُهُمَا مُحْصَنًا دُونَ الْآخَرِ.
Abu Ḥanīfah berkata: Jika salah satu dari keduanya kurang, maka keduanya tidak menjadi muḥṣan bersama-sama, baik pada saat itu maupun pada keadaan apa pun, hingga kesempurnaan ada pada keduanya saat persetubuhan. Ini adalah kekeliruan, karena sebab adanya status muḥṣan adalah agar hukuman zina berbeda, sehingga wajib rajam atas yang muḥṣan dan cambuk atas yang bukan muḥṣan. Jika keadaan keduanya berbeda saat berzina, salah satunya muḥṣan dan yang lain bukan muḥṣan, maka yang muḥṣan dirajam dan yang bukan muḥṣan dicambuk, dan perbedaan keduanya tidak berpengaruh pada status muḥṣan salah satunya tanpa yang lain. Demikian pula perbedaan keduanya pada waktu persetubuhan dalam pernikahan tidak menghalangi salah satunya menjadi muḥṣan tanpa yang lain.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ يكون نَاقِصًا وَالزَّوْجَةُ كَامِلَةً، وَنُقْصَانُ الزَّوْجِ أَنْ يَكُونَ صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا أَوْ مَمْلُوكًا أَوْ يَجْمَعُ نَقْصَ الصِّغَرِ وَالْجُنُونِ وَالرِّقِّ فَيَطَأُ زَوْجَةً كَامِلَةً بِالْبُلُوغِ، وَالْعَقْلِ، وَالْحُرِّيَّةِ فَقَدْ صَارَتْ بِوَطْئِهِ مُحْصَنَةً إذا كان الصغر ممن يوطء مثله، فإن كان مثله لا يوطأ لَمْ تَتَحَصَّنْ بِوَطْئِهِ، فَأَمَّا الزَّوْجُ فَلَا يَكُونُ بِهِ مُحْصَنًا فِي حَالِ نَقْصِهِ، وَهَلْ يَصِيرُ بِهِ مُحْصَنًا بَعْدَ كَمَالِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ، وَعَلَى قَوْلِ أبي حنيفة: لَا يَتَحَصَّنُ بِهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا – وَاللَّهُ أعلم بالصواب -.
Adapun bagian keempat: yaitu apabila suami kurang dan istri sempurna. Kekurangan suami adalah ia masih kecil, atau gila, atau budak, atau mengumpulkan kekurangan berupa kecil, gila, dan budak, lalu ia menggauli istri yang sempurna dengan baligh, berakal, dan merdeka, maka istri menjadi muḥṣan dengan persetubuhannya jika kecilnya termasuk yang biasa digauli sepertinya. Jika sepertinya tidak biasa digauli, maka ia tidak menjadi muḥṣan dengan persetubuhannya. Adapun suami, maka ia tidak menjadi muḥṣan dalam keadaan kekurangannya. Apakah ia menjadi muḥṣan setelah sempurna atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan. Dan menurut pendapat Abu Ḥanīfah: tidak ada satu pun dari keduanya yang menjadi muḥṣan karenanya – dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.
فأما الخنثى إذا جعلناه رجلاً يتحصن بوطء امرأة ولا يتحصن لو وطئه رجل، ولو جعلنا امْرَأَةً تُحْصَنَ بِوَطْءِ رَجُلٍ، وَلَا يَتَحَصَّنُ لَوْ وطأ امْرَأَةً، وَلَوْ كَانَ عَلَى حَالِ إِشْكَالِهِ لَمْ يتحصن بوطء رجل ولا يوطء امْرَأَةٍ وَلَا بِوَطْءِ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ؛ لِأَنَّ نِكَاحَهُ في حال إشكال بَاطِلٌ وَالْحَصَانَةُ لَا تَثْبُتُ بِالْوَطْءِ فِي نِكَاحٍ باطل والله أعلم بالصواب.
Adapun khuntsa, jika kami anggap sebagai laki-laki, maka ia menjadi muḥṣan dengan menggauli perempuan dan tidak menjadi muḥṣan jika digauli laki-laki. Jika kami anggap sebagai perempuan, maka ia menjadi muḥṣan dengan digauli laki-laki, dan tidak menjadi muḥṣan jika menggauli perempuan. Jika ia dalam keadaan tidak jelas (ambiguitas), maka ia tidak menjadi muḥṣan dengan digauli laki-laki atau menggauli perempuan, atau dengan keduanya; karena pernikahannya dalam keadaan tidak jelas adalah batal, dan status muḥṣan tidak ditetapkan dengan persetubuhan dalam pernikahan yang batal. Dan Allah lebih mengetahui kebenarannya.
بسم الله الرحمن الرحيم: يا رب عونك:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang: Ya Tuhan, mohon pertolongan-Mu:
Kitab Ṣadāq (mahar)
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” ذَكَرَ اللَّهُ الصَّدَاقَ وَالْأَجْرَ فِي كِتَابِهِ وَهُوَ الْمَهْرُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَة) {البقرة: 236) فَدَلَّ أَنَّ عُقْدَةَ النِّكَاحِ بِالْكَلَامِ وَأَنَّ تَرْكَ الصَّدَاقِ لَا يُفْسِدُهَا “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Allah menyebut ṣadāq dan ajr dalam Kitab-Nya, yaitu mahar. Allah Ta‘ala berfirman: {Tidak ada dosa atas kalian jika kalian menceraikan perempuan sebelum kalian menyentuh mereka atau sebelum kalian menentukan mahar bagi mereka} (al-Baqarah: 236). Ini menunjukkan bahwa akad nikah sah dengan ijab kabul, dan tidak adanya mahar tidak membatalkannya.”
الدليل على وجوب الصداق
Dalil tentang kewajiban ṣadāq (mahar)
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْأَصْلُ فِي وُجُوبِ الصَّدَاقِ فِي النِّكَاحِ: الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ.
Al-Māwardī berkata: Dasar kewajiban ṣadāq dalam pernikahan adalah: al-Kitāb, as-Sunnah, dan ijmā‘.
فَأَمَّا الْكِتَابُ: فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {وَآَتُواْ النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً) {النساء: 4) وَفِيمَنْ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ هَذَا الْخِطَابُ قَوْلَانِ:
Adapun dalil dari al-Kitāb: adalah firman Allah Ta‘ala: {Berikanlah kepada perempuan-perempuan itu mahar mereka sebagai pemberian dengan penuh kerelaan} (an-Nisā’: 4). Terkait kepada siapa ayat ini ditujukan, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُتَوَجِّهٌ إِلَى الْأَزْوَاجِ وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ.
Pertama: ditujukan kepada para suami, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مُتَوَجِّهٌ إِلَى الْأَوْلِيَاءِ؛ لِأَنَّهُمْ كَانُوا يَتَمَلَّكُونَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ صَدَاقَ الْمَرْأَةِ، فَأَمَرَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى بِدَفْعِ صَدَاقِهِنَّ إِلَيْهِنَّ.
Kedua: ditujukan kepada para wali, karena pada masa jahiliah mereka memiliki hak atas mahar perempuan, maka Allah Ta‘ala memerintahkan mereka untuk menyerahkan mahar itu kepada para perempuan.
وَهَذَا قَوْلُ أَبِي صَالِحٍ وَفِي نِحْلَةً؛ ثَلَاثُ تَأْوِيلَاتٍ:
Ini adalah pendapat Abu Ṣāliḥ. Adapun kata “niḥlah” memiliki tiga penafsiran:
أَحَدُهَا: يَعْنِي تَدَيُّنًا مِنْ قَوْلِهِمْ: فُلَانٌ يَنْتَحِلُ كَذَا، أَيْ يَتَدَيَّنُ به.
Pertama: artinya sebagai bentuk agama, sebagaimana ucapan mereka: “Fulan menganut ini,” maksudnya ia beragama dengannya.
والثاني: يطيب نَفْسٍ كَمَا تَطِيبُ النَّفْسُ بِالنَّحْلِ الْمَوْهُوبِ.
Kedua: kerelaan hati, sebagaimana hati rela menerima pemberian lebah yang dihadiahkan.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ نَحْلٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى لَهُنَّ بَعْدَ أَنْ كَانَ مِلْكًا لِأَوْلِيَائِهِنَّ، وَالنَّحْلُ الْهِبَةُ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا حَكَّاهُ عَنْ شُعَيْبٍ فِي تَزْوِيجِ مُوسَى بِابْنَتِهِ قَالَ: {إِنِّي أُرِيدُ أنْ أَنْكِحُكَ إِحْدَى ابْنَتَيْ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِي حِجَجٍ) {القصص: 27) وَلَمْ يَقُلْ عَلَى أَنْ تَأْجُرَهَا فَجَعَلَ الصَّدَاقَ مِلْكًا لِنَفْسِهِ دُونَهَا ثُمَّ قَالَ: {فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نََفْساً} يَعْنِي الزَّوْجَاتِ إِنْ طِبْنَ نَفْسًا عَنْ شَيْءٍ مِنْ صَدُقَاتِهِنَّ لِأَزْوَاجِهِنَّ فِي قَوْلِ مَنْ جَعَلَهُ خِطَابًا لِلْأَزْوَاجِ، وَلِأَوْلِيَائِهِنَّ فِي قَوْلِ مَنْ جَعَلَهُ خطاباً للأولياء، {فَكُلُوا هَنِيئاً مَرِيئاً} يَعْنِي لَذِيذًا نَافِعًا وَقَالَ تَعَالَى: {وَإنْ أَرَدْتُمْ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَاراً فَلاَ تَأْخٌذُوا مِنْهُ شَيْئاً) {النساء: 20) أَيْ قَدْ مَلَكْنَ الصَّدَاقَ، وَإِنِ اسْتَبْدَلْتُمْ بِهِنَّ غيرهن {فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً} [النساء] أَيْ قَدْ ةملكن الصَّدَاقَ، وَإِنِ اسْتَبْدَلْتُمْ بِهِنَّ غَيْرَهُنَّ {فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا} وَإِنْ كَانَ الصَّدَاقُ قِنْطَارًا وَفِي الْقِنْطَارِ سَبْعَةُ أَقَاوِيلَ:
Ketiga: bahwa itu adalah pemberian (nahl) dari Allah Ta‘ala kepada mereka setelah sebelumnya menjadi milik para wali mereka, dan nahl berarti hibah (pemberian). Allah Ta‘ala berfirman sebagaimana yang dikisahkan dari Syu‘aib tentang pernikahan Musa dengan putrinya: {Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah satu dari kedua putriku ini dengan syarat kamu bekerja padaku selama delapan tahun} (al-Qashash: 27), dan tidak mengatakan “dengan syarat kamu bekerja untuknya”, sehingga menjadikan mahar itu milik dirinya (Musa) bukan milik putrinya. Kemudian Allah berfirman: {Jika mereka dengan rela hati memberikan kepada kalian sebagian dari mahar itu} maksudnya adalah para istri, jika mereka dengan rela hati memberikan sebagian dari mahar mereka kepada suami mereka menurut pendapat yang menjadikan ayat ini sebagai seruan kepada para suami, atau kepada para wali menurut pendapat yang menjadikannya seruan kepada para wali, {maka makanlah (ambilah) dengan nikmat lagi baik} maksudnya adalah sesuatu yang lezat dan bermanfaat. Allah Ta‘ala juga berfirman: {Dan jika kamu ingin mengganti istri (dengan istri yang lain) sedang kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak (qinthār), maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya} (an-Nisā’: 20), artinya mereka telah memiliki mahar itu, dan jika kamu mengganti mereka dengan yang lain {maka janganlah kamu mengambil sedikit pun darinya} [an-Nisā’], artinya mereka telah memiliki mahar itu, dan jika kamu mengganti mereka dengan yang lain {maka janganlah kamu mengambil sedikit pun darinya} meskipun mahar itu sebesar qinthār. Mengenai qinthār, terdapat tujuh pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ أَلْفٌ وَمِائَتَا أُوقِيَّةٍ، وَهُوَ قَوْلُ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ.
Pertama: bahwa qinthār adalah seribu dua ratus uqiyah, dan ini adalah pendapat Mu‘ādz bin Jabal dan Abu Hurairah.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَلْفٌ وَمِائَتَا دِينَارٍ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ، وَالضَّحَّاكِ.
Kedua: bahwa qinthār adalah seribu dua ratus dinar, dan ini adalah pendapat al-Hasan dan adh-Dhahhak.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ اثْنَا عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ أَوْ أَلْفُ دِينَارٍ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.
Ketiga: bahwa qinthār adalah dua belas ribu dirham atau seribu dinar, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.
وَالرَّابِعُ: أنه ثَمَانُونَ أَلْفَ دِرْهَمٍ، أَوْ مِائَةُ رِطْلٍ، وَهُوَ قَوْلُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَقَتَادَةَ.
Keempat: bahwa qinthār adalah delapan puluh ribu dirham, atau seratus rithl, dan ini adalah pendapat Sa‘id bin al-Musayyab dan Qatādah.
وَالْخَامِسُ: أَنَّهُ سَبْعُونَ أَلْفًا، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ وَمُجَاهِدٍ.
Kelima: bahwa qinthār adalah tujuh puluh ribu, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar dan Mujāhid.
والسادس: أنه ملئ مَسْكِ ثَوْرٍ ذَهَبًا، وَهُوَ قَوْلُ أَبَى نَضْرَةَ.
Keenam: bahwa qinthār adalah penuh satu kantong kulit sapi jantan berisi emas, dan ini adalah pendapat Abu Nadhrah.
وَالسَّابِعُ: أَنَّهُ الْمَالُ الْكَثِيرُ، وَهُوَ قَوْلُ الرَّبِيعِ.
Ketujuh: bahwa qinthār adalah harta yang banyak, dan ini adalah pendapat ar-Rabī‘.
فَذَكَرَ الْقِنْطَارَ عَلَى طَرِيقِ الْمُبَالَغَةِ، لِأَنَّهُ لَا يُسْتَرْجَعُ إِذَا كَانَ صَدَاقًا وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا إِذَا اسْتَبْدَلَ بِهَا فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَسْتَرْجِعَهُ إِذَا لَمْ يَسْتَبْدِلْ.
Maka disebutkan qinthār di sini sebagai bentuk hiperbola (penekanan), karena mahar itu tidak boleh diambil kembali jika sudah diberikan, meskipun jumlahnya sangat banyak, apabila suami mengganti istrinya dengan yang lain. Maka lebih utama lagi untuk tidak mengambilnya kembali jika tidak mengganti istri.
ثُمَّ قَالَ تَعَالَى وَعِيدًا عَلَى تَحْرِيمِ الِاسْتِرْجَاعِ: {أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإثْماً مُبِيناً} (النساء: 20) ثُمَّ قَالَ تَعْلِيلًا لِتَحْرِيمِ الِاسْتِرْجَاعِ: {وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقاً غَلِيظاً} .
Kemudian Allah Ta‘ala berfirman sebagai ancaman atas larangan mengambil kembali mahar: {Apakah kamu akan mengambilnya dengan cara yang zalim dan dosa yang nyata?} (an-Nisā’: 20). Kemudian Allah berfirman sebagai alasan larangan mengambil kembali mahar: {Bagaimana kamu akan mengambilnya padahal sebagian dari kamu telah bergaul (bercampur) dengan sebagian yang lain dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?}
وَفِي الْإِفْضَاءِ هَهُنَا تَأْوِيلَانِ:
Terkait makna “bergaul” (al-ifdhā’) di sini terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الْجِمَاعُ قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَمُجَاهِدٌ، وَالسُّدِّيُّ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ.
Pertama: bahwa yang dimaksud adalah jima‘ (hubungan suami-istri), sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujāhid, dan as-Suddī, dan ini juga pendapat asy-Syāfi‘ī.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ الْخَلْوَةُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ.
Kedua: bahwa yang dimaksud adalah khalwat (berduaan), dan ini adalah pendapat Abu Hanīfah.
وَفِي قَوْلِهِ: {وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقاً غَلِيظاً} ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ:
Tentang firman-Nya: {dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat}, terdapat tiga penafsiran:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ عَقْدُ النِّكَاحِ الَّذِي اسْتَحَلَّ بِهِ الْفَرْجَ، وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ.
Pertama: bahwa yang dimaksud adalah akad nikah yang dengannya menjadi halal hubungan suami-istri, dan ini adalah pendapat Mujāhid.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ إِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ، وَابْنِ سِيرِينَ وَالضَّحَّاكِ، وَقَتَادَةَ.
Kedua: bahwa yang dimaksud adalah memelihara istri dengan baik atau menceraikan dengan cara yang baik, dan ini adalah pendapat al-Hasan, Ibnu Sirīn, adh-Dhahhak, dan Qatādah.
وَالثَّالِثُ: مَا رَوَاهُ مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ عَنْ صَدَقَةَ بْنِ يَسَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” أيها الناس إن النساء عندكم عوانٌ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ، فَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ حَقٌّ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ حَقٌّ، وَمِنْ حَقِّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا وَلَا يَعْصِينَكُمْ فِي معروفٍ، فَإِذَا فَعَلْنَ ذَلِكَ فَلَهُنَّ رِزْقُهُنَ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ “.
Ketiga: sebagaimana yang diriwayatkan oleh Musa bin ‘Ubaidah dari Shadaqah bin Yasār dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya perempuan-perempuan itu adalah tawanan di sisi kalian, kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka kalian memiliki hak atas mereka, dan mereka pun memiliki hak atas kalian. Di antara hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan orang lain menginjak tempat tidur kalian dan tidak boleh mendurhakai kalian dalam hal yang ma‘rūf. Jika mereka melakukan hal itu, maka mereka berhak mendapatkan nafkah dan pakaian mereka secara ma‘rūf.”
وَقَالَ تَعَالَى: {فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً) {النساء: 24) يُرِيدُ الصَّدَاقَ، فَعَبَّرَ عَنْهُ بِالْأَجْرِ؛ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ مَنْفَعَةٍ.
Dan Allah Ta‘ala berfirman: {Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban} (an-Nisā’: 24). Yang dimaksud adalah shadaq (mahar), dan diungkapkan dengan istilah “upah” karena ia diberikan sebagai imbalan atas suatu manfaat.
وَفِي قَوْلِهِ فَرِيضَةً تَأْوِيلَانِ:
Dan dalam firman-Nya “sebagai suatu kewajiban” terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: يَعْنِي فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاجِبَةً وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ.
Pertama: Maksudnya adalah kewajiban dari Allah yang harus dilaksanakan, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
وَالثَّانِي: أَيْ مُقَدَّرَةً مَعْلُومَةً وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ وَمُجَاهِدٍ.
Kedua: Maksudnya adalah sesuatu yang telah ditentukan dan diketahui kadarnya, dan ini adalah pendapat al-Hasan dan Mujāhid.
وَأَمَّا السُّنَّةُ: فَمَا رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْبَيْلَمَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَدُّوا الْعَلَائِقَ، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْعَلَائِقُ؟ قَالَ: مَا تَرَاضَى بِهِ الْأَهْلُونَ “.
Adapun dalil dari sunnah: Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin al-Baylamānī dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Tunaikanlah al-‘alā’iq.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah al-‘alā’iq itu?” Beliau menjawab: “Yaitu apa yang telah disepakati oleh kedua keluarga.”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنِ اسْتَحَلَّ بِدِرْهَمَيْنِ فَقَدِ اسْتَحَلَّ “.
Dan diriwayatkan dari Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Barang siapa menghalalkan (pernikahan) dengan dua dirham, maka ia telah menghalalkannya.”
وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ مَا تَزَوَّجَ أَحَدًا مِنْ نِسَائِهِ، وَلَا زَوَّجَ وَاحِدَةً مِنْ بَنَاتِهِ عَلَى أَكْثَرَ مِنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيِّةً وَنَشًّا.
Dan diriwayatkan dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā bahwa Nabi tidak pernah menikahi seorang pun dari istri-istrinya, dan tidak pula menikahkan seorang pun dari putri-putrinya dengan mahar lebih dari dua belas uqiyah dan nasy.
قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَتَدْرُونَ مَا النَّشُّ؟ النَّشُّ: نِصْفُ أُوقِيَّةٍ عِشْرُونَ دِرْهَمًا، يَعْنِي خَمْسَمِائَةِ دِرْهَمٍ، لِأَنَّ الْأُوقِيَّةَ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا.
‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā berkata: “Tahukah kalian apa itu nasy?” Nasy adalah setengah uqiyah, yaitu dua puluh dirham, artinya lima ratus dirham, karena satu uqiyah adalah empat puluh dirham.
وَرَوَى الْمُنْذِرُ بْنُ فَرْقَدٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ فَقَالَ كَانَ صَدَاقُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – اثنتي عشرة أوقية وشن فَقَالَ لَهُ الْقَاسِمُ بْنُ مَعِينٍ: صَحَّفْتَ يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ إِنَّمَا هُوَ نَشٌّ أَمَا سَمِعْتَ قَوْلَ الشَّاعِرِ:
Dan diriwayatkan dari al-Mundzir bin Farqad, ia berkata: “Kami pernah berada di sisi Sufyān ats-Tsaurī, lalu ia berkata: ‘Mahar Rasulullah –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– adalah dua belas uqiyah dan syann.’ Maka al-Qāsim bin Ma‘īn berkata kepadanya: ‘Engkau keliru, wahai Abā ‘Abdillah, yang benar adalah nasy. Tidakkah engkau mendengar syair penyair:
(تِلْكَ الَّتِي جَاوَرَهَا الْمحتشُّ … مِنْ نِسْوَةٍ صَدَاقُهُنَّ النَّشُّ)
(Itulah wanita yang didampingi oleh al-muḥtash, dari para wanita yang maharnya adalah nasy)
فَأَمَّا أَمُّ حَبِيبَةَ فَقَدْ كَانَتْ أَكْثَرَ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَدَاقًا؛ لِأَنَّ النَّجَاشِيَّ أَصْدَقَهَا عَنْهُ أَرْبَعَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ مِنْ عِنْدِهِ، وَبَعَثَ بِهَا إِلَيْهِ مَعَ شُرَحْبِيلَ بْنِ حَسَنَةَ.
Adapun Ummu Ḥabībah, maka ia adalah istri Rasulullah –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– yang maharnya paling banyak, karena an-Najāsyī memberinya mahar atas nama Rasulullah sebanyak empat ribu dirham dari hartanya sendiri, dan mengirimkannya kepada beliau melalui Syarḥabīl bin Ḥasanah.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَوَلُ مَا يُسْأَلُ عَنْهُ الْعَبْدُ مِنْ ذُنُوبِهِ صَدَاقُ زَوْجَتِهِ “.
Dan diriwayatkan dari Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Perkara pertama yang akan ditanyakan kepada seorang hamba dari dosa-dosanya adalah mahar istrinya.”
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ ظَلَمَ زَوْجَتَهُ صَدَاقَهَا لَقِيَ الله هو زانٍ ” قَالَهُ عَلَى طَرِيقَةِ التَّغْلِيظِ وَالزَّجْرِ.
Dan diriwayatkan dari beliau –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Barang siapa menzalimi istrinya dalam hal maharnya, maka ia akan bertemu Allah dalam keadaan sebagai pezina.” Sabda ini diucapkan dalam rangka penegasan dan ancaman keras.
وَاجْتَمَعَتِ الْأُمَمُ عَلَى أَنَّ صَدَاقَ الزَّوْجَاتِ مُسْتَحَقٌّ.
Seluruh umat telah sepakat bahwa mahar istri adalah hak yang wajib dipenuhi.
فصل: القول في تعريف الصداق وأسماؤه
Fasal: Penjelasan tentang definisi shadaq (mahar) dan nama-namanya
وَالصَّدَاقُ: هُوَ الْعِوَضُ الْمُسْتَحَقُّ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ.
Shadaq (mahar) adalah imbalan yang menjadi hak dalam akad nikah.
وَلَهُ فِي الشَّرْعِ سِتَّةُ أَسْمَاءٍ جَاءَ كِتَابُ اللَّهِ تَعَالَى مِنْهَا بِثَلَاثَةِ أَسْمَاءٍ: وَهِيَ الصَّدَاقُ وَالْأَجْرُ، وَالْفَرِيضَةُ وَجَاءَتِ السُّنَّةُ مِنْهَا بِاسْمَيْنِ: الْمَهْرُ وَالْعَلَائِقُ وَجَاءَ الْأَثَرُ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِاسْمٍ وَاحِدٍ: وَهُوَ الْعَقُورُ وَقَدْ مَضَتْ شَوَاهِدُ ذَلِكَ.
Dalam syariat, ia memiliki enam nama. Dalam Kitabullah Ta‘ala disebutkan tiga nama: shadaq, al-ajr (upah), dan al-farīḍah (kewajiban). Dalam sunnah disebutkan dua nama: al-mahr dan al-‘alā’iq. Dalam atsar dari ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu disebut satu nama: al-‘aqūr. Semua itu telah disebutkan dalil-dalilnya.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ إذا لم يسم فيه الصداق
Fasal: Penjelasan tentang akad nikah jika tidak disebutkan mahar di dalamnya
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الصَّدَاقَ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ وَاجِبٌ فَإِنْ تَزَوَّجَهَا عَلَى غَيْرِ صَدَاقٍ سَمَّيَاهُ فِي الْعَقْدِ، صَحَّ الْعَقْدُ وَإِنْ كَرِهْنَا تَرَكَ التَّسْمِيَةِ فِيهِ.
Setelah dipastikan bahwa mahar dalam akad nikah adalah wajib, maka jika seseorang menikahi wanita tanpa menyebutkan mahar dalam akad, akad tersebut tetap sah meskipun kami tidak menyukai tidak disebutkannya mahar di dalamnya.
وَإِنَّمَا صَحَّ الْعَقْدُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَقْتُمْ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى المُوسِعِ قَدَرُهُ وَعلَى المُقْتِرِ قَدَرُهُ} (البقرة: 236) .
Akad tersebut sah berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita sebelum kamu menyentuh mereka atau sebelum kamu menentukan bagi mereka mahar. Dan berikanlah kepada mereka mut‘ah (pemberian) menurut kemampuan orang yang lapang dan menurut kemampuan orang yang kurang} (al-Baqarah: 236).
وَفِي مَعْنَى الْآيَةِ قَوْلَانِ:
Mengenai makna ayat ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهَا لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لم تمسوهن ولم تفرضوا لهن فريضة، فَتَكُونُ أَوْ بِمَعْنَى لَمْ.
Pertama: Maknanya adalah tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita sebelum kamu menyentuh mereka dan sebelum kamu menentukan mahar bagi mereka, sehingga kata “atau” bermakna “belum”.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ فِي الْكَلَامِ مَحْذُوفًا وَتَقْدِيرُهُ: فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً أَوْ لَمْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً. وَالْمُرَادُ بِالْفَرِيضَةِ هُنَا الصَّدَاقُ، وَسَمَّاهُ فَرِيضَةً، لِأَنَّهُ قَدْ أَوْجَبَهُ لَهَا وَأَصْلُ الْفَرْضِ الْوُجُوبُ كَمَا يُقَالُ: فَرَضَ السُّلْطَانُ لِفُلَانٍ الْفَيْءَ أَيْ أَوْجَبَ ذَلِكَ لَهُ، وَكَمَا قَالَ الشَّاعِرُ:
Pendapat kedua: Dalam kalimat ini terdapat kata yang dihilangkan, dan takdirnya adalah: “Kalian telah menetapkan mahar untuk mereka atau kalian belum menetapkan mahar untuk mereka.” Yang dimaksud dengan “fariḍah” di sini adalah mahar, dan disebut “fariḍah” karena telah diwajibkan untuknya. Asal makna “farḍ” adalah kewajiban, sebagaimana dikatakan: “Sultan telah mewajibkan fai’ untuk si fulan,” artinya ia telah mewajibkan hal itu untuknya, dan sebagaimana dikatakan oleh penyair:
(كَانَتْ فَرِيضَةً مَا أَتَيْتَ … كَمَا كَانَ الزِّنَا فَرِيضَةَ الرَّجْمِ)
(Itu adalah kewajiban selama engkau melakukannya … Sebagaimana zina adalah kewajiban rajam)
فَمَوْضِعُ الدَّلِيلِ مِنْ هَذِهِ الْآيَةِ: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَثْبَتَ النِّكَاحَ مَعَ تَرْكِ الصَّدَاقِ، وَجَوَّزَ فِيهِ الطَّلَاقَ، وَحَكَمَ لَهَا بِالْمُتْعَةِ إِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَبَيَّنَ أَنَّ الْأَوْلَى لِمَنْ كَرِهَ امْرَأَةً أَنْ يُطَلِّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ لِقَوْلِهِ: {لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَقْتُمْ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُوهُنَّ) {البقرة: 236) فَكَانَ ذَلِكَ أَوْلَى طَلَاقَيِ الْكَارِهِ.
Letak dalil dari ayat ini adalah bahwa Allah Ta‘ala telah menetapkan keabsahan nikah meskipun tanpa mahar, membolehkan terjadinya talak di dalamnya, dan menetapkan hak mut‘ah bagi perempuan jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri. Allah juga menjelaskan bahwa yang lebih utama bagi seseorang yang tidak menyukai istrinya adalah menceraikannya sebelum terjadi hubungan suami istri, sebagaimana firman-Nya: {Tidak ada dosa atas kalian jika kalian menceraikan perempuan sebelum kalian menyentuh mereka} (al-Baqarah: 236). Maka itu adalah pilihan talak yang lebih utama bagi orang yang tidak menyukai istrinya.
وَرَوَى سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُحِبُّ الذَّوَّاقَاتِ يَعْنِي الْفِرَاقَ بَعْدَ الذَّوْقِ.
Diriwayatkan dari Sa‘id, dari Qatadah, dari Syahr bin Hawsyab, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak menyukai perempuan-perempuan yang suka mencicipi (berpindah-pindah suami),” maksudnya adalah perpisahan setelah pernah merasakan (hubungan suami istri).
وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ أَيْضًا أَنَّ بِرْوَعَ بِنْتَ وَاشِقٍ تَزَوَّجَتْ بِغَيْرِ مَهْرٍ فَحَكَمَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بمهر نسائها والميراث.
Hal ini juga ditunjukkan oleh kisah Barwa‘ binti Washiq yang menikah tanpa mahar, lalu Rasulullah ﷺ memutuskan baginya mahar seperti perempuan-perempuan sejenisnya dan juga hak waris.
وروي أنا أَبَا طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيَّ تَزَوَّجَ أَمَّ سُلَيْمٍ عَلَى غَيْرِ مَهْرٍ فَأَمْضَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نِكَاحَهُ.
Diriwayatkan pula bahwa Abu Thalhah al-Anshari menikahi Ummu Sulaim tanpa mahar, lalu Rasulullah ﷺ membenarkan pernikahan tersebut.
وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ عَقْدِ النِّكَاحِ التَّوَاصُلُ وَالْأُلْفَةُ، وَالصَّدَاقُ فِيهِ تَبَعٌ لِمَقْصُودِهِ، فَخَالَفَ عُقُودَ الْمُعَاوَضَاتِ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Karena tujuan dari akad nikah adalah terjalinnya hubungan dan keakraban, sedangkan mahar di dalamnya hanyalah sebagai pelengkap dari tujuannya. Maka, hal ini berbeda dengan akad-akad mu‘awadhah (pertukaran) dalam dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ رُؤْيَةَ الْمَنْكُوحَةِ لَيْسَتْ شَرْطًا فِيهِ.
Pertama: Melihat calon istri bukanlah syarat dalam akad nikah.
وَالثَّانِي: أَنَّ تَرْكَ الْعِوَضِ فِيهِ لَا يُفْسِدُهُ.
Kedua: Tidak adanya imbalan (mahar) dalam akad nikah tidak membatalkannya.
فَأَمَّا كَرَاهَتُنَا لِتَرْكِ الصَّدَاقِ فِي الْعَقْدِ وَإِنْ كَانَ جَائِزًا فَلِثَلَاثَةِ أُمُورٍ:
Adapun alasan kami tidak menyukai tidak adanya mahar dalam akad nikah, meskipun itu dibolehkan, adalah karena tiga hal:
أَحَدُهَا: لِئَلَّا يَتَشَبَّهُ بِالْمَوْهُوبَةِ الَّتِي تَخْتَصُّ بِرَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دُونَ غَيْرِهِ مِنْ أُمَّتِهِ.
Pertama: Agar tidak menyerupai perempuan yang dihibahkan (kepada Nabi) yang merupakan kekhususan Rasulullah ﷺ dan tidak berlaku bagi selain beliau dari umatnya.
وَالثَّانِي: لِمَا فِيهِ مِنْ قَطْعِ الْمُشَاجَرَةِ وَالتَّنَازُعِ إِلَى الْحُكَّامِ.
Kedua: Untuk mencegah terjadinya perselisihan dan pertikaian yang berujung kepada para hakim.
وَالثَّالِثُ: لِيَكُونَ مُلْحَقًا بِسَائِرِ الْعُقُودِ الَّتِي تُسْتَحَقُّ فِيهَا الْمُعَاوَضَاتُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Ketiga: Agar disamakan dengan akad-akad lain yang memang disyaratkan adanya imbalan di dalamnya. Wallahu a‘lam.
الْقَوْلُ فِي النِّكَاحِ إِذَا كان بمهر مجهول حرام
Pembahasan tentang nikah apabila dilakukan dengan mahar yang tidak jelas atau haram
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَلَوْ عَقَدَ بمجهولٍ أَوْ بحرامٍ ثَبَتَ النِّكَاحُ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika akad nikah dilakukan dengan mahar yang tidak jelas atau haram, maka nikahnya tetap sah dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang sepadan dengan perempuan sejenisnya).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا عَقَدَ النِّكَاحَ بِمَهْرٍ مَجْهُولٍ أَوْ حَرَامٍ، كَانَ النِّكَاحُ جَائِزًا وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, yaitu jika akad nikah dilakukan dengan mahar yang tidak jelas atau haram, maka nikahnya sah dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar mitsil. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
وَقَالَ مَالِكٌ فِي أَشْهَرِ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ: إِنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ بِالْمَهْرِ الْفَاسِدِ، وَإِنْ صَحَّ بِغَيْرِ مَهْرٍ مُسَمًّى.
Imam Malik dalam riwayat yang paling masyhur darinya berpendapat: Nikah batal jika menggunakan mahar yang rusak (fasid), meskipun sah jika tanpa mahar yang disebutkan.
اسْتِدْلَالًا بِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ نِكَاحِ الشِّغَارِ؛ لِفَسَادِ الْمَهْرِ فِيهِ. قَالَ: وَلِأَنَّهُ عَقْدُ نِكَاحٍ بِمَهْرٍ فَاسِدٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا كَالشِّغَارِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ بِبَدَلٍ فَاسِدٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا كَالْبَيْعِ.
Sebagai dalil, beliau mengemukakan larangan Nabi ﷺ terhadap nikah syighar, karena rusaknya mahar di dalamnya. Ia berkata: Karena itu adalah akad nikah dengan mahar yang rusak, maka wajib hukumnya batal seperti syighar, dan karena itu adalah akad mu‘awadhah dengan pengganti yang rusak, maka wajib hukumnya batal seperti jual beli.
قَالَ: ولئن صح النكاح بغير مهر، لا يَمْتَنِعُ أَنْ يَبْطُلَ بِفَسَادِ الْمَهْرِ كَمَا يَصِحُّ الْبَيْعُ بِغَيْرِ أَجَلٍ وَغَيْرِ خِيَارٍ، وَيَبْطُلُ بِفَسَادِ الْأَجَلِ وَفَسَادِ الْخِيَارِ.
Ia berkata: Dan meskipun nikah sah tanpa mahar, tidak mustahil menjadi batal karena rusaknya mahar, sebagaimana jual beli sah tanpa penetapan waktu dan tanpa syarat khiyar, namun batal jika waktu atau syarat khiyar yang ditetapkan itu rusak.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ مرشدٍ وَشَاهِدَيْ عدلٍ ” فَتَضَمَّنَ هَذَا الْخَبَرُ نَفْيَ النِّكَاحِ بِعِدَمِ الْوَلِيِّ وَالشَّاهِدَيْنَ، وَإِثْبَاتَ النِّكَاحِ بِوُجُودِ الْوَلِيِّ وَالشَّاهِدَيْنِ. وَهَذَا نِكَاحٌ بَوْلِيٍّ وَشَاهِدَيْنَ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ صَحِيحًا.
Dalil kami adalah riwayat Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali yang membimbing dan dua saksi yang adil.” Maka hadis ini mengandung penafian keabsahan nikah tanpa adanya wali dan dua saksi, serta penetapan keabsahan nikah dengan adanya wali dan dua saksi. Ini adalah akad nikah dengan wali dan dua saksi, maka wajib hukumnya dianggap sah.
وَلِأَنَّ فَسَادَ الْمَهْرِ لَا يُوجِبُ فَسَادَ الْعَقْدِ كَالْمَهْرِ الْمَغْصُوبِ، وَلِأَنَّ كُلَّ نِكَاحٍ صَحَّ بِالْمَهْرِ الصَّحِيحِ صَحَّ بِالْمَهْرِ الْفَاسِدِ كَمَا لَوْ أَصْدَقَهَا عَبْدًا فَبَانَ حُرًّا.
Karena kerusakan mahar tidak menyebabkan rusaknya akad, sebagaimana mahar yang digasak (diambil secara zalim), dan karena setiap akad nikah yang sah dengan mahar yang sah juga sah dengan mahar yang rusak, seperti jika seseorang memberikan mahar seorang budak, lalu ternyata budak itu adalah orang merdeka.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلِأَنَّهُ لَيْسَ فِي فَسَادِ الْمَهْرِ أَكْثَرُ مِنْ سُقُوطِهِ، وَلَيْسَ فِي سُقُوطِهِ أَكْثَرُ مِنْ فَقْدِ ذِكْرِهِ، وَلَوْ فَقَدَ ذِكْرَهُ لَمْ يَبْطُلِ النِّكَاحُ، فَكَذَلِكَ إِذَا ذَكَرَ فَاسِدًا.
Imam Syāfi‘ī berkata: Karena kerusakan mahar tidak lebih dari sekadar gugurnya mahar tersebut, dan gugurnya mahar tidak lebih dari sekadar tidak disebutkannya mahar, dan jika mahar tidak disebutkan, maka nikah tidak batal, demikian pula jika disebutkan mahar yang rusak.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّ كُلَّ مَا تَعَلَّقَ بِالْمَهْرِ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي صِحَّةِ النِّكَاحِ قِيَاسًا عَلَى تَرْكِهِ.
Penjelasannya secara qiyās: Segala sesuatu yang berkaitan dengan mahar tidak berpengaruh pada keabsahan nikah, sebagaimana jika mahar itu ditinggalkan (tidak disebutkan).
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ نِكَاحِ الشِّغَارِ: فَهُوَ أَنَّهُ لَمْ يَبْطُلْ بِفَسَادِ الْمَهْرِ، وَإِنَّمَا بَطَلَ بِالتَّشْرِيكِ عَلَى مَا بَيَّنَّا.
Adapun jawaban terkait nikah syighār: Sesungguhnya nikah tersebut tidak batal karena rusaknya mahar, melainkan batal karena adanya unsur saling menukar, sebagaimana telah kami jelaskan.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْبَيْعِ: فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ يَبْطُلُ بِتَرْكِ الثَّمَنِ فَبَطَلَ بِفَسَادِهِ وَالنِّكَاحُ لَا يَبْطُلُ بِتَرْكِ الْمَهْرِ فَلَمْ يَبْطُلْ بِفَسَادِهِ.
Adapun qiyās (analogi) dengan jual beli: Maksudnya adalah bahwa jual beli batal jika tidak ada harga, maka batal pula jika harga itu rusak. Sedangkan nikah tidak batal karena tidak adanya mahar, maka tidak batal pula karena rusaknya mahar.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ الْبَيْعَ يَبْطُلُ بِفَسَادِ الْخِيَارِ وَالْأَجَلِ، وَلَا يَبْطُلُ بِتَرْكِهِمَا.
Adapun dalilnya bahwa jual beli batal karena rusaknya khiyār (opsi) dan tempo, namun tidak batal karena keduanya ditinggalkan.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ: أَنَّ الْخِيَارَ وَالْأَجَلَ قَدْ قَابَلَا جُزْءًا مِنَ الثَّمَنِ، بِدَلِيلِ أَنَّ الثَّمَنَ فِي الْعُرْفِ يَزِيدُ بِدُخُولِ الْخِيَارِ وَالْأَجَلِ، فَإِذَا بَطَلَا أَوْجَبَ بُطْلَانَ مَا قَابَلَهُمَا مِنَ الثَّمَنِ فَصَارَ الْبَاقِي مَجْهُولًا، وَجَهَالَةُ الثَّمَنِ تُبْطِلُ الْبَيْعَ، وَلَيْسَ فِيمَا أَفْضَى إِلَى فَسَادِ الْمَهْرِ أَكْثَرُ مِنْ سُقُوطِهِ، وَسُقُوطُهُ لَا يُبْطِلُ النِّكَاحَ.
Jawabannya: Khiyār dan tempo itu berhadapan dengan sebagian dari harga, dengan dalil bahwa harga dalam kebiasaan akan bertambah jika ada khiyār dan tempo. Jika keduanya batal, maka batal pula bagian harga yang berhadapan dengan keduanya, sehingga sisanya menjadi tidak jelas, dan ketidakjelasan harga membatalkan jual beli. Sementara perkara yang menyebabkan rusaknya mahar tidak lebih dari sekadar gugurnya mahar, dan gugurnya mahar tidak membatalkan nikah.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي فَسَادِ الْمَهْرِ لِجَهَالَتِهِ
Fashl (pembahasan): Penjelasan tentang kerusakan mahar karena ketidakjelasan (mahar).
فَإِذَا ثَبَتَ صِحَّةُ النِّكَاحِ بِجَهَالَةِ الْمَهْرِ وَتَحْرِيمِهِ، فَالْمَهْرُ بَاطِلٌ بِالْجَهَالَةِ وَكُلُّ جَهَالَةٍ مَنَعَتْ مِنْ صِحَّةِ الْبَيْعِ مَنَعَتْ مِنْ صِحَّةِ الْمَهْرِ.
Jika telah tetap keabsahan nikah dengan ketidakjelasan mahar dan keharamannya, maka mahar itu batal karena ketidakjelasan, dan setiap ketidakjelasan yang mencegah keabsahan jual beli juga mencegah keabsahan mahar.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِذَا أَصْدَقَهَا عَبْدًا غَيْرَ مُعَيَّنٍ وَلَا مَوْصُوفٍ؟ جَازَ، وَكَانَ لَهَا عَبْدٌ سِنْدِيٌ؛ لِأَنَّ الرُّومِيَّ أَعْلَى وَالزِّنْجِيَّ أَدْنَى وَالسِّنْدِيَّ وَسَطٌ، فَيُحْكَمُ لَهَا بِهِ؟ لِأَنَّهُ أَوْسَطُ الْعَبِيدِ.
Abu Hanīfah berkata: Jika seseorang menjadikan mahar seorang budak yang tidak ditentukan dan tidak dideskripsikan, maka itu boleh, dan bagi perempuan itu didapatkan budak Sindhi, karena budak Romawi lebih tinggi, budak Zanj lebih rendah, dan budak Sindhi di tengah-tengah, maka diputuskan untuknya budak Sindhi, karena ia adalah pertengahan di antara para budak.
احْتِجَاجًا بِأَنَّ الْمَهْرَ أَحَدُ عِوَضِ النِّكَاحِ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَجْهُولًا كَالْبُضْعِ قَالَ: وَلِأَنَّ جَهَالَةَ مَهْرِ الْمِثْلِ أَكْثَرُ مِنْ جَهَالَةِ الْعَبْدِ؛ لِأَنَّ مَهْرَ الْمِثْلِ مَجْهُولُ الْجِنْسِ، مَجْهُولُ الْقَدْرِ، مَجْهُولُ الصِّفَةِ، وَالْعَبْدَ مَعْلُومُ الْجِنْسِ مَعْلُومُ الْقَدْرِ، مَجْهُولُ الصِّفَةِ. فَإِذَا جَازَ أَنْ يَجِبَ فِيهِ عِنْدَكُمْ مَهْرُ الْمِثْلِ فَلَأَنْ يَجِبُ الْعَبْدُ الْمُسَمَّى أَوْلَى.
Sebagai hujjah bahwa mahar adalah salah satu kompensasi dalam akad nikah, maka boleh saja mahar itu tidak diketahui seperti halnya bagian tubuh (yang menjadi objek akad nikah). Ia berkata: Dan karena ketidakjelasan mahar mitsil (mahar sepadan) lebih besar daripada ketidakjelasan budak, sebab mahar mitsil tidak jelas jenisnya, tidak jelas kadarnya, tidak jelas sifatnya, sedangkan budak jelas jenisnya, jelas kadarnya, hanya tidak jelas sifatnya. Maka jika menurut kalian boleh menetapkan mahar mitsil, maka menetapkan budak yang disebutkan (sebagai mahar) tentu lebih utama.
وَدَلِيلُنَا أَنَّهَا جَهَالَةٌ تَمْنَعُ صِحَّةَ الْبَيْعِ فَوَجَبَ أَنْ تَمْنَعَ صِحَّةَ الصَّدَاقِ، أَصْلُهُ: إِذَا أَصْدَقَهَا ثَوْبًا وَافَقَنَا أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى فَسَادِ الصَّدَاقِ بِإِطْلَاقِهِ وَلِأَنَّهُ عِوَضٌ فِي عَقْدٍ يَبْطُلُ بِجَهَالَةِ الثَّوْبِ فَوَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ بِجَهَالَةِ الْعَبْدِ كَالْبَيْعِ.
Dalil kami adalah bahwa ketidakjelasan tersebut mencegah keabsahan jual beli, maka wajib juga mencegah keabsahan mahar. Dalil asalnya: Jika seseorang menjadikan mahar berupa kain, Abu Hanīfah pun sepakat dengan kami bahwa mahar batal jika disebutkan secara mutlak, dan karena ia adalah kompensasi dalam akad yang batal karena ketidakjelasan kain, maka wajib juga batal karena ketidakjelasan budak, sebagaimana dalam jual beli.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى جَهَالَةِ الْبُضْعِ فَهُوَ أَنَّ جَهَالَةَ الْبُضْعِ تَمْنَعُ مِنَ الصِّحَّةِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ: كُبْرَى، وَصُغْرَى، وَوُسْطَى وَقَالَ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي وَأَطْلَقَ، كَانَ بَاطِلًا، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى الْوُسْطَى كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى الْكُبْرَى وَالصُّغْرَى. كَذَلِكَ إِذَا أَصْدَقَهَا عَبْدًا وَأَطْلَقَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى عَبْدٍ وَسَطٍ، كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى أَعْلَى وَأَدْنَى.
Adapun jawaban terhadap qiyās yang disamakan dengan ketidaktahuan tentang bagian (badan perempuan/istri), maka sesungguhnya ketidaktahuan tentang bagian tersebut mencegah keabsahan (akad). Tidakkah engkau melihat, jika seseorang memiliki tiga anak perempuan: yang sulung, yang bungsu, dan yang tengah, lalu ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan putriku,” tanpa menyebutkan secara spesifik, maka akad itu batal, dan tidak boleh dianggap maksudnya adalah yang tengah, sebagaimana tidak boleh pula dianggap maksudnya adalah yang sulung atau yang bungsu. Demikian pula, jika ia memberikan mahar berupa seorang budak tanpa menyebutkan secara spesifik, maka tidak boleh dianggap maksudnya adalah budak yang sedang (tidak tertua dan tidak termuda), sebagaimana tidak boleh pula dianggap maksudnya adalah budak yang tertinggi nilainya atau yang terendah.
وَأَمَّا مَا اسْتُشْهِدَ بِهِ مِنْ جَهَالَةِ مَهْرِ الْمِثْلِ، فَيَفْسُدُ بِجَهَالَةِ الثَّوْبِ، وَمَهْرُ الْمِثْلِ إِنَّمَا أَوْجَبْنَاهُ؛ لِأَنَّهُ قِيمَةُ مُتْلَفٍ يَجُوزُ مِثْلُهُ فِي الْبَيْعِ إِذَا وَجَبَتْ فِيهِ قِيمَةُ مُتْلَفٍ وَإِنْ جُهِلَتْ
Adapun dalil yang dijadikan sandaran dari ketidaktahuan tentang mahar mitsil (mahar sepadan), maka batal dengan ketidaktahuan tentang jenis kainnya. Mahar mitsil itu kami wajibkan karena ia merupakan nilai dari sesuatu yang rusak yang boleh dijadikan objek jual beli, apabila wajib atasnya nilai dari sesuatu yang rusak meskipun tidak diketahui secara pasti.
فَصْلٌ
Fashal
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ النِّكَاحَ صَحِيحٌ وَإِنْ سَقَطَ الْمَهْرُ بِالْفَسَادِ، فَلَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ؛ لِأَنَّ الْبُضْعَ مُفَوَّتٌ بِالْعَقْدِ، فَلَمْ تَقْدِرْ عَلَى اسْتِرْجَاعِهِ، فَوَجَبَ أَنْ تَعْدِلَ إِلَى قِيمَتِهِ وَهِيَ مَهْرُ الْمِثْلِ، كَمَنِ اشْتَرَى عَبْدًا بِثَوْبٍ فَمَاتَ فِي يَدِهِ وَرَدَّ بَائِعُهِ الثَّوْبَ بِعَيْبٍ، رَجَعَ بِقِيمَةِ الْعَبْدِ حِينَ فَاتَ الرُّجُوعُ بِعَيْنِهِ.
Jika telah dipastikan bahwa akad nikah itu sah meskipun mahar menjadi gugur karena rusak (tidak sah penetapannya), maka perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar mitsil; karena bagian (badan) telah hilang (terserah) dengan akad, sehingga ia tidak dapat mengambilnya kembali, maka wajib dialihkan kepada nilainya, yaitu mahar mitsil. Hal ini seperti seseorang yang membeli seorang budak dengan kain, lalu budak itu mati di tangannya dan penjualnya mengembalikan kain itu karena cacat, maka ia berhak menuntut nilai budak tersebut ketika tidak memungkinkan lagi mengembalikan budak itu secara langsung.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” وَفِيِ قَوْله تَعَالَى {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَاراً) {النساء: 20) دليلٌ عَلَى أَنْ لَا وَقْتَ لِلصَدَاقِ يَحْرُمُ بِهِ لِتَرْكِهِ النَّهْيَ عَنِ التَّكْثِيرِ وَتَرْكِهِ حَدَّ القليل وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَدَّوُا الْعَلَائِقَ ” قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا العلائق؟ قال: ” ما تراضى به الأهلون ” قال ولا يقع اسم علق إلا على ماله قيمةٌ وإن قلت مثل الفلس وما أشبهه وقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لرجلٍ ” التمس وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حديدٍ ” فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شيئاً فقال ” هل معك شيءٌ من القرآن؟ ” قَالَ نَعَمْ سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا فَقَالَ ” قد زوجتكها بما معك من القرآن ” وبلغنا أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال؛ ” من استحل بدرهم فقد استحل ” وأن عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ في ثلاث قبضات زبيبٍ مهرٌ وقال ابن المسيب لو أصدقها سوطاً جاز وقال ربيعة قال درهمٌ قلت وأقل؟ قال ونصف درهم قال قلت له فأقل؟ قال نعم وحبة حنطةٍ أو قبضه حنطةٍ (قال الشافعي) فما جاز أن يكون ثمناً لشيءٍ أو مبيعاً بشيءٍ أو أجرةً لشيءٍ جاز إذا كانت المرأة مالكةً لأمرها “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan dalam firman Allah Ta‘ala {dan kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka satu qinthar} (an-Nisā’: 20) terdapat dalil bahwa tidak ada waktu tertentu bagi mahar yang menyebabkan keharaman karena meninggalkannya, karena Allah tidak melarang memperbanyak mahar dan tidak pula membatasi jumlah yang sedikit. Nabi ﷺ bersabda: ‘Tunaikanlah al-‘alā’iq!’ Ditanyakan: Wahai Rasulullah, apakah al-‘alā’iq itu? Beliau bersabda: ‘Apa yang disepakati oleh kedua keluarga.’ Beliau juga berkata, tidak disebut al-‘alaq kecuali sesuatu yang memiliki nilai, meskipun sedikit seperti satu fulus atau yang semisalnya. Nabi ﷺ juga bersabda kepada seorang laki-laki: ‘Carilah, walaupun hanya cincin dari besi.’ Maka ia mencari, namun tidak mendapatkan apa pun. Nabi bertanya: ‘Apakah engkau hafal sesuatu dari al-Qur’an?’ Ia menjawab: ‘Ya, surat ini dan surat itu.’ Maka Nabi bersabda: ‘Aku nikahkan engkau dengannya dengan apa yang ada padamu dari al-Qur’an.’ Dan telah sampai kepada kami bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Barang siapa menghalalkan (pernikahan) dengan satu dirham, maka ia telah halal.’ Dan Umar bin al-Khattab ra. berkata: ‘Tiga genggam kismis adalah mahar.’ Dan Ibn al-Musayyib berkata: ‘Jika seseorang menjadikan cambuk sebagai mahar, maka itu sah.’ Rabi‘ah berkata: ‘Satu dirham.’ Aku bertanya: ‘Atau kurang?’ Ia menjawab: ‘Setengah dirham.’ Aku bertanya lagi: ‘Atau kurang?’ Ia menjawab: ‘Ya, satu butir gandum atau satu genggam gandum.’ (Imam Syafi‘i berkata): Maka apa saja yang sah menjadi harga suatu barang, atau menjadi objek jual beli, atau upah suatu pekerjaan, maka sah pula menjadi mahar jika perempuan itu berhak atas dirinya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: الْكَلَامَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Pembahasan dalam masalah ini mencakup dua bagian:
أَحَدُهُمَا: فِي أَكْثَرِ الْمَهْرِ.
Pertama: tentang jumlah maksimal mahar.
وَالثَّانِي: في أقله.
Kedua: tentang jumlah minimalnya.
القول في أكثر الصداق
Pembahasan tentang jumlah maksimal mahar
فَأَمَّا أَكْثَرُهُ فَلَا خِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ لَا حَدَّ لَهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَآتَيْتُمْ إحْدَاهُنَّ قِنْطَاراً) {النساء: 20) وَقَدْ ذَكَرْنَا فِي الْقِنْطَارِ سَبْعَةَ أَقَاوِيلَ.
Adapun jumlah maksimalnya, maka tidak ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha bahwa tidak ada batasannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dan kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka satu qinthar} (an-Nisā’: 20). Dan telah kami sebutkan tentang qinthar ada tujuh pendapat.
وَحَكَى الشَّعْبِيُّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَامَ خَطِيبًا فَقَالَ: لَا تُغَالُوا فِي صَدَقَاتِ النِّسَاءِ، فَمَا بَلَغَنِي أَنَّ أَحَدًا سَاقَ أَكْثَرَ مِمَّا سَاقَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَّا جَعَلْتُ الْفَضْلَ فِي بَيْتِ الْمَالِ. فَاعْتَرَضَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ نِسَاءِ قُرَيْشٍ فَقَالَتْ: يُعْطِينَا اللَّهُ وَتَمْنَعُنَا كِتَابُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَاراً فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً} (النساء: 20) فَرَجَعَ عُمَرُ وَقَالَ: كُلُّ أَحَدٍ يَصْنَعُ بِمَالِهِ مَا شَاءَ، فَكُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ حَتَّى امْرَأَةٌ.
Asy-Sya‘bi meriwayatkan bahwa Umar bin al-Khattab ra. pernah berdiri berkhutbah lalu berkata: “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada para wanita. Tidaklah sampai kepadaku bahwa seseorang memberikan mahar lebih banyak dari yang pernah diberikan Rasulullah ﷺ, kecuali aku akan masukkan kelebihannya ke Baitul Mal.” Lalu seorang wanita dari kalangan Quraisy menentangnya dan berkata: “Allah memberi kami, sementara engkau melarang kami. Kitabullah lebih berhak untuk diikuti.” Allah Ta‘ala berfirman: {dan kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka satu qinthar, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya sedikit pun} (an-Nisā’: 20). Maka Umar pun menarik kembali ucapannya dan berkata: “Setiap orang boleh melakukan apa yang ia kehendaki dengan hartanya. Semua orang lebih faqih daripada Umar, bahkan seorang wanita sekalipun.”
وَقَدْ تَزَوَّجَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَأَصْدَقَهَا أَرْبَعِينَ أَلْفَ دِرْهَمٍ.
Dan Umar bin al-Khattab telah menikahi Ummu Kultsum binti Ali ra. dan memberinya mahar sebesar empat puluh ribu dirham.
وَتَزَوَّجَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَأَصْدَقَهَا مِائَةَ أَلْفٍ وَتَزَوَّجَ مُصْعَبُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَائِشَةَ بِنْتَ طَلْحَةَ، وَأَصْدَقَهَا أَلْفَ دِرْهَمٍ، وَتَزَوَّجَهَا بَعْدَهُ عُمَرُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ معمر التميمي وَأَصْدَقَهَا مِائَةَ أَلْفِ دِينَارٍ وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ شَبَّةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى أَنَّ مُصْعَبَ بْنَ الزُّبَيْرِ تَزَوَّجَ بِالْبَصْرَةِ سُكَيْنَةَ بِنْتَ الْحُسَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَأَصْدَقَهَا أَلْفَ أَلْفِ دِرْهَمٍ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هَمَّامٍ السَّلُولِيُّ: أَبْلِغْ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ رِسَالَةً مِنْ نَاصِحٍ لَكَ لا يريد وداعاً:
Talhah bin ‘Ubaidillah menikahi Ummu Kultsum binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhum dan memberinya mahar seratus ribu. Mus‘ab bin az-Zubair menikahi ‘Aisyah binti Talhah dan memberinya mahar seribu dirham. Setelah itu, ia dinikahi oleh ‘Umar bin ‘Ubaidillah bin Ma‘mar at-Tamimi dengan mahar seratus ribu dinar. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Syabbah dari Muhammad bin Yahya bahwa Mus‘ab bin az-Zubair menikahi di Bashrah, Sukainah binti al-Husain radhiyallahu ‘anhuma dan memberinya mahar satu juta dirham. Maka ‘Abdullah bin Hammam as-Saluli berkata: Sampaikanlah kepada Amirul Mukminin sebuah pesan dari seorang penasihat yang tidak bermaksud berpisah:
(بُضْعُ الْفَتَاةِ بِأَلْفِ أَلْفٍ كَامِلٍ … وَتَبِيتُ سَادَاتُ الْجُنُودِ جِيَاعَا)
(Kemaluan seorang gadis dihargai satu juta penuh, sementara para pemimpin pasukan bermalam dalam keadaan lapar.)
(لَوْلَا أَبُو حَفْصٍ أَقُولُ مَقَالَتِي … وَأَبُثُّ مَا حَدَّثْتُهُ لَارْتَاعَا)
(Seandainya bukan karena Abu Hafsh, niscaya aku akan mengucapkan perkataanku ini, dan aku akan menampakkan apa yang aku ceritakan kepadanya, tentu ia akan terkejut.)
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي أَقَلِّ الصَّدَاقِ
Fasal: Pembahasan tentang mahar paling sedikit
فَأَمَّا أَقَلُّ الصَّدَاقِ فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ الْفُقَهَاءُ، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ غَيْرُ مُقَدَّرٍ أَنَّ كُلَّ مَا جَازَ أَنْ يَكُونَ ثَمَنًا، أَوْ مَبِيعًا، أَوْ أُجْرَةً، أَوْ مُسْتَأْجَرًا جَازَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا قَلَّ أَوْ كَثُرَ.
Adapun mengenai mahar paling sedikit, para fuqaha berbeda pendapat. Mazhab asy-Syafi‘i rahimahullah berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu; segala sesuatu yang sah menjadi harga, atau barang jualan, atau upah, atau barang sewaan, maka sah pula menjadi mahar, baik sedikit maupun banyak.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، حَتَّى قَالَ عمر في ثلاث قبضات زبيب مهراً.
Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: ‘Umar bin al-Khaththab dan ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahkan diriwayatkan bahwa ‘Umar pernah menikahkan dengan mahar tiga genggam kismis.
وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ: الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ، حَتَّى حُكِيَ أَنَّ سَعِيدًا زَوَّجَ بِنْتَهُ عَلَى صَدَاقِ دِرْهَمَيْنِ.
Pendapat ini juga dipegang oleh para tabi‘in: al-Hasan al-Bashri dan Sa‘id bin al-Musayyab, bahkan diriwayatkan bahwa Sa‘id menikahkan putrinya dengan mahar dua dirham.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الْفُقَهَاءِ: رَبِيعَةُ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَالثَّوْرِيُّ وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ.
Pendapat ini juga dipegang oleh para fuqaha: Rabi‘ah, al-Auza‘i, ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq.
وَقَالَ مالك: أقل الصداق ما نقطع فِيهِ الْيَدُ؛ رُبُعُ دِينَارٍ، أَوْ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ، وَقَالَ ابْنُ شُبْرُمَةَ أَقَلُّهُ خَمْسَةُ دَرَاهِمَ، أَوْ نِصْفُ دِينَارٍ.
Malik berkata: Mahar paling sedikit adalah yang menyebabkan tangan dipotong (dalam kasus pencurian); yaitu seperempat dinar atau tiga dirham. Ibnu Syubrumah berkata: Paling sedikit adalah lima dirham atau setengah dinar.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَصْحَابُهُ؛ أَقَلُّهُ دِينَارٌ أَوْ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ، فَإِنْ عَقْدَهُ بِأَقَلَّ مِنْ عَشَرَةٍ صَحَّتِ التَّسْمِيَةُ وَكُمِّلَتْ عَشَرَةً، وَمُنِعَتْ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ إِلَّا زُفَرَ وَحْدَهُ فَإِنَّهُ أَبْطَلَ التَّسْمِيَةَ وَأَوْجَبَ مَهْرَ الْمِثْلِ.
Abu Hanifah dan para pengikutnya berkata: Paling sedikit adalah satu dinar atau sepuluh dirham. Jika akad dilakukan dengan kurang dari sepuluh, maka penamaan (mahar) tetap sah dan dilengkapi menjadi sepuluh, serta tidak berhak atas mahar mitsil, kecuali Zufar saja yang membatalkan penamaan dan mewajibkan mahar mitsil.
وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: أَقَلُّهُ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا.
Ibrahim an-Nakha‘i berkata: Paling sedikit adalah empat puluh dirham.
وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: أَقَلُّهُ خَمْسُونَ دِرْهَمًا.
Sa‘id bin Jubair berkata: Paling sedikit adalah lima puluh dirham.
وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيرَ مُسَافِحِينَ) {النساء: 24) وَلَا يُطْلَقُ اسْمُ الْأَمْوَالِ عَلَى مَا قَلَّ مِنَ الدَّانِقِ وَالْقِيرَاطِ، فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ ابْتِغَاءً بِمَالٍ.
Abu Hanifah berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (perempuan-perempuan lain), untuk kalian cari dengan harta kalian sebagai orang yang menjaga kehormatan, bukan sebagai pezina} (an-Nisa: 24). Dan tidak disebut harta atas sesuatu yang kurang dari satu daniq atau satu qirath, maka tidak sah hal itu disebut mencari dengan harta.
وَرَوَى مُبَشِّرُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ أَرْطَأَةَ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا تُنْكِحُوا النِّسَاءَ إِلَّا الْأَكْفَاءَ، وَلَا يُزَوِّجُ إِلَّا الْأَوْلِيَاءُ، وَلَا مَهْرَ أَقَلُّ مِنْ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ ” وَهَذَا نَصٌّ.
Mubasyyir bin ‘Ubaid meriwayatkan dari al-Hajjaj bin Artha’ah dari ‘Atha’ dari ‘Amr bin Dinar dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Janganlah kalian menikahkan perempuan kecuali dengan yang sekufu, dan tidak menikahkan kecuali wali, dan tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham.” Dan ini adalah nash.
وَلِأَنَّهُ مَالٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ عُضْوٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُقَدَّرًا كَالنِّصَابِ فِي قَطْعِ السَّرِقَةِ.
Karena mahar adalah harta yang dengannya dihalalkan suatu anggota tubuh, maka wajib ditentukan kadarnya sebagaimana nishab dalam hukum potong tangan pencuri.
وَلِأَنَّهُ أَحَدُ بَدَلَيِ النِّكَاحِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُقَدَّرًا كَالْبُضْعِ، وَلِأَنَّ مَا كَانَ مِنْ حُقُوقِ الْعَقْدِ يُقَدَّرُ أَقَلُّهُ كَالشُّهُودِ.
Karena mahar adalah salah satu dari dua pengganti dalam pernikahan, maka wajib ditentukan kadarnya sebagaimana kemaluan, dan karena segala hak dalam akad ditentukan batas minimalnya seperti saksi.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ) {البقرة: 237) .
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, padahal kalian telah menentukan mahar bagi mereka, maka setengah dari apa yang telah kalian tentukan} (al-Baqarah: 237).
وَمِنَ الْآيَةِ دَلِيلَانِ:
Dari ayat ini terdapat dua dalil:
أَحَدُهُمَا عَامٌ: وَهُوَ قَوْلُهُ: {فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ، مِنْ قَلِيلٍ أَوْ كَثِيرٍ.
Yang pertama bersifat umum, yaitu firman-Nya: {setengah dari apa yang telah kalian tentukan}, maka berlaku umum, baik sedikit maupun banyak.
وَالثَّانِي خَاصٌّ: وَهُوَ أَنَّهُ إِذَا فَرَضَ لَهَا خَمْسَةَ دَرَاهِمَ وَطَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ اقْتَضَى أَنْ يَجِبَ لَهَا دِرْهَمَانِ وَنِصْفٌ، وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ يَجِبُ لَهَا الْخَمْسَةُ كُلُّهَا وَهَذَا خِلَافُ النَّصِّ.
Yang kedua adalah khusus: yaitu apabila seseorang menetapkan mahar untuk istrinya sebesar lima dirham, lalu menceraikannya sebelum terjadi hubungan (dalam pernikahan), maka seharusnya ia wajib membayar dua setengah dirham. Namun menurut pendapat Abu Hanifah, ia wajib membayar seluruh lima dirham, dan ini bertentangan dengan nash.
وَرَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْبَيْلَمَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” أَدُّوا الْعَلَائِقَ، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وما العلائق قال: ما تراضى به الأهلون ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِيمَا تَرَاضَوْا بِهِ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ.
Abdurrahman bin Al-Bailamani meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tunaikanlah al-‘ala’iq.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu al-‘ala’iq?” Beliau menjawab: “Yaitu apa saja yang telah disepakati oleh kedua keluarga.” Maka, hukum ini berlaku umum terhadap apa pun yang disepakati, baik sedikit maupun banyak.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنِ اسْتَحَلَّ بِدِرْهَمَيْنِ فَقَدِ اسْتَحَلَّ ” يعني فقد استحل بالدرهمين.
Diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Barang siapa menghalalkan (pernikahan) dengan dua dirham, maka ia telah menghalalkan.” Maksudnya, ia telah menghalalkan dengan dua dirham.
وَرَوَى أَبُو هَارُونَ الْعَبْدِيُّ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَا جُنَاحَ عَلَى امرئٍ أَنْ يُصْدِقَ امرأةً قليلاً أو كثيراً إذا أشهد وتراضو “.
Abu Harun Al-‘Abdi meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak ada dosa bagi seseorang untuk menjadikan mahar istrinya sedikit atau banyak, selama disaksikan dan disepakati bersama.”
وَرَوَى عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ أَبِيهِ أن امرأة تزوجت على نعلين فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِهَاتَيْنِ النَّعْلَيْنِ؟ فَقَالَتْ نَعَمْ فَأَجَازَهُ.
‘Ashim bin ‘Ubaidillah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya, bahwa ada seorang wanita menikah dengan mahar dua sandal. Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepadanya: “Apakah engkau rela dengan dirimu dan hartamu dengan dua sandal ini?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau membolehkannya.
وَرَوَى أَبُو حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِرَجُلٍ خَطَبَ مِنْهُ الْمَرْأَةَ الَّتِي بَذَلَتْ نَفْسَهَا لَهُ: ” الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حديدٍ “.
Abu Hazim meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata kepada seorang laki-laki yang melamar wanita yang telah menawarkan dirinya kepada beliau: “Carilah, walaupun hanya cincin dari besi.”
وَالْخَاتَمُ مِنَ الْحَدِيدِ أَقَلُّ الْجَوَاهِرِ قِيمَةً، فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ الْقَلِيلِ مِنَ الْمَهْرِ فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ حَدِيدٍ صِينِيٍّ يُسَاوِي عَشَرَةَ دَرَاهِمَ وَيَكُونُ ثَمَنُ النَّعْلَيْنِ عَشَرَةَ دراهم قِيلَ: لَوْ كَانَ ذَلِكَ مُخَالِفًا لِلْعُرْفِ الْمَعْهُودِ لَنُقِلَ وَلَيْسَ فِي الْعُرْفِ أَنْ يُسَاوِيَ نَعْلَانِ فِي الْمَدِينَةِ وَخَاتَمٌ مِنْ حَدِيدٍ عَشَرَةَ دَرَاهِمَ.
Cincin dari besi adalah perhiasan yang paling rendah nilainya. Hal ini menunjukkan bolehnya mahar yang sedikit. Jika dikatakan: “Bisa saja cincin itu terbuat dari besi Cina yang seharga sepuluh dirham, dan harga dua sandal juga sepuluh dirham.” Maka dijawab: “Seandainya hal itu bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku, tentu akan diriwayatkan. Dan dalam kebiasaan yang berlaku di Madinah, tidaklah dua sandal dan cincin besi seharga sepuluh dirham.”
عَلَى أَنَّ قَوْلَهُ: الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حديدٍ: عَلَى طَرِيقِ التَّقْلِيلِ، وَلَوْ أَرَادَ مَا ذَكَرُوهُ مِنَ الصِّفَةِ الْمُتَقَدِّرَةِ لَكَانَ عُدُولُهُ إِلَى الْعَشَرَةِ الْمُقَدَّرَةِ أَسَهْلَ وَأَفْهَمَ فَبَطَلَ هَذَا التَّأْوِيلُ.
Adapun sabda beliau: “Carilah, walaupun hanya cincin dari besi,” adalah dalam rangka menunjukkan kebolehan mahar yang sedikit. Seandainya yang dimaksud adalah sifat tertentu yang telah disebutkan, maka berpindah kepada sepuluh dirham yang sudah ditentukan tentu lebih mudah dan lebih jelas. Maka, penafsiran seperti itu batal.
وورى يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ رُومَانَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَوْ أَنَّ رَجُلًا أَعْطَى امْرَأَةً صَدَاقًا مِلْءَ يَدَيْهِ طَعَامًا كَانَتْ بِهِ حَلَالًا “.
Yunus bin Bukair meriwayatkan dari Shalih bin Muslim bin Ruman, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Seandainya seorang laki-laki memberikan kepada wanita mahar sebesar dua tangannya penuh makanan, maka wanita itu menjadi halal baginya.”
وَرَوَى قَتَادَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُؤَمِّلِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: إِنَّا كُنَّا لِنَنْكِحُ الْمَرْأَةَ عَلَى الْحَفْنَةِ أَوِ الْحَفْنَتَيْنِ مِنْ دَقِيقٍ.
Qatadah meriwayatkan dari Abdullah bin Al-Mu’ammil, dari Jabir, ia berkata: “Dahulu kami menikahi wanita dengan mahar segenggam atau dua genggam tepung.”
وَرَوَى قَتَادَةُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: تَزَوَّجَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قُوِّمَتْ ثَلَاثَةَ دَرَاهِمَ.
Qatadah meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Abdurrahman bin ‘Auf menikahi seorang wanita dari kalangan Anshar dengan mahar seberat biji kurma dari emas yang dinilai seharga tiga dirham.”
وَهَذِهِ كُلُّهَا نُصُوصٌ لَا يَجُوزُ خِلَافُهَا.
Semua ini adalah nash yang tidak boleh diselisihi.
وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ: هُوَ أَنْ كُلَّ مَا صَلَحَ أَنْ يَكُونَ ثَمَنًا صَلَحَ أَنْ يَكُونَ مَهْرًا كَالْعَشَرَةِ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ ثَبَتَ فِيهِ الْعَشَرَةُ عِوَضًا فَصَحَّ أَنْ يَثْبُتَ دُونَهَا عِوَضًا كَالْبَيْعِ، وَلِأَنَّهُ عِوَضٌ عَلَى إِحْدَى مَنْفَعَتَيْهَا فَلَمْ يَتَقَدَّرْ قِيَاسًا عَلَى أُجْرَةِ مَنَافِعِهَا وَلِأَنَّ مَا يقابل البضع من البدل لا يقتدر فِي الشَّرْعِ كَالْخُلْعِ، وَلِأَنَّ كُلَّ عِوَضٍ لَا يَتَقَدَّرُ أَكْثَرُهُ لَا يَتَقَدَّرُ أَقَلُّهُ قِيَاسًا عَلَى جَمِيعِ الْأَعْوَاضِ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ، لِأَنَّهَا لَيْسَتْ عِوَضًا.
Dan dalil dari sisi qiyās adalah: bahwa segala sesuatu yang sah menjadi harga, maka sah pula menjadi mahar, sebagaimana sepuluh dirham. Karena akad ini telah ditetapkan sepuluh dirham sebagai pengganti, maka sah juga menetapkan kurang dari itu sebagai pengganti, sebagaimana dalam jual beli. Dan karena ia merupakan pengganti atas salah satu dari dua manfaatnya, maka tidak ditentukan ukurannya, qiyās kepada upah manfaatnya. Dan apa yang menjadi pengganti dari al-bud‘ (kemaluan) tidak ditentukan ukurannya dalam syariat, sebagaimana dalam khulu‘. Dan setiap pengganti yang tidak ditentukan batas maksimalnya, maka tidak pula ditentukan batas minimalnya, qiyās kepada seluruh pengganti. Dan jizyah tidak termasuk di dalamnya, karena ia bukan pengganti.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun jawaban terhadap ayat tersebut ada dua sisi:
أَحَدُهَا: أَنَّ ظَاهِرَهَا مَتْرُوكٌ بِالْإِجْمَاعِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ نَكَحَهَا بِغَيْرِ مَهْرٍ حَلَّتْ.
Salah satunya: Bahwa makna zahirnya ditinggalkan berdasarkan ijmā‘; karena jika seseorang menikahinya tanpa mahar, maka ia menjadi halal.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا دُونُ الْعَشَرَةِ مَالٌ. أَلَا تَرَاهُ لَوْ قَالَ: لَهُ عَلَيَّ مَالٌ ثُمَّ بَيَّنَ دِرْهَمًا أَوْ دَانِقًا قُبِلَ مِنْهُ، فَدَلَّتِ الْآيَةُ عَلَى جَوَازِهِ فِي الْمَهْرِ.
Kedua: Bahwa kurang dari sepuluh itu tetap disebut harta. Bukankah engkau lihat, jika seseorang berkata: “Ia memiliki harta atas tanggunganku,” lalu ia menjelaskannya dengan satu dirham atau satu daniq, maka diterima darinya. Maka ayat tersebut menunjukkan bolehnya hal itu dalam mahar.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ جَابِرٍ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun jawaban atas hadis Jabir, maka dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ ضَعِيفٌ؛ لِأَنَّهُ رِوَايَةُ مُبَشِّرِ بْنِ عُبَيْدٍ وَهُوَ ضَعِيفٌ عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ أَرْطَأَةَ وَهُوَ مُدَلِّسٌ.
Pertama: Hadis itu lemah; karena merupakan riwayat Mubasyyir bin ‘Ubaid, dan ia lemah, dari al-Hajjaj bin Artha’ah, dan ia seorang mudallis.
وَقَدْ رُوِّينَا عَنْ جَابِرٍ مِنْ طَرِيقٍ ثَابِتَةٍ قَوْلًا مُسْنَدًا، وَفِعْلًا مُنْتَشِرًا مَا يُنَافِيهِ فَدَلَّ عَلَى بُطْلَانِهِ.
Dan telah kami riwayatkan dari Jabir melalui jalur yang sahih, baik secara ucapan yang bersanad maupun perbuatan yang tersebar, sesuatu yang bertentangan dengannya, sehingga menunjukkan kebatilannya.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُسْتَعْمَلُ إِنْ صَحَّ، فِي امْرَأَةٍ بِعَيْنِهَا كَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا عَشَرَةً فَحُكِمَ لَهَا فِيهِ بِالْعَشَرَةِ.
Jawaban kedua: Jika hadis itu sahih, maka digunakan pada kasus seorang wanita tertentu yang mahar mitsilnya sepuluh, maka diputuskan baginya sepuluh.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ فَقَوْلُهُمْ: مَالٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ الْبُضْعُ فَاسِدٌ مِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ.
Adapun qiyās mereka terhadap potong tangan dalam pencurian, dengan ucapan mereka: “Harta yang dengannya dihalalkan kemaluan,” maka itu rusak dari empat sisi.
أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا يُسْتَبَاحُ الْقَطْعُ فِي السَّرِقَةِ بِالْمَالِ، وَإِنَّمَا يُسْتَبَاحُ بِإِخْرَاجِهِ.
Pertama: Tidak dihalalkan potong tangan dalam pencurian hanya dengan harta, melainkan dengan mengeluarkannya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوِ اسْتُبِيحَ بِالْمَالِ لَمَا لَزِمَ رَدُّ الْمَالِ، وَرَدُّ الْمَالِ لَازِمٌ.
Kedua: Jika dihalalkan hanya dengan harta, maka tidak wajib mengembalikan harta, padahal mengembalikan harta itu wajib.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ لَيْسَ يُسْتَبَاحُ به العضو وإنما بقطع بِهِ.
Ketiga: Tidaklah dihalalkan anggota tubuh dengannya, melainkan dengan memotongnya.
وَالرَّابِعُ: أَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ لَا يَخْتَصُّ بِاسْتِبَاحَةِ عُضْوٍ بَلْ يُسْتَبَاحُ بِهِ جَمِيعُ الْبَدَنِ، فَبَطَلَ التَّعْلِيلُ بِمَا قَالُوهُ.
Keempat: Akad nikah tidak khusus untuk menghalalkan satu anggota tubuh, melainkan dengannya dihalalkan seluruh badan, maka batal alasan yang mereka kemukakan.
ثُمَّ الْمَعْنَى فِي قَطْعِ السَّرِقَةِ أَنَّهُ عَنْ فِعْلٍ كَالْجِنَايَاتِ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مُقَدَّرًا كَسَائِرِ الْجِنَايَاتِ وَالْمَهْرُ عِوَضٌ فِي عَقْدِ مُرَاضَاةٍ فَلَمْ يَتَقَدَّرْ كَسَائِرِ الْمُعَاوَضَاتِ، وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ الْبُضْعِ الْمُقَدَّرِ: فَفَاسِدٌ بِالْبَدَلِ فِي الْخُلْعِ هُوَ غَيْرُ مُقَدَّرٍ وَإِنْ كَانَ فِي مُقَابَلَةِ بُضْعٍ مُقَدَّرٍ، ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْبُضْعِ أَنَّهُ صَارَ مُقَدَّرًا؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَجَزَّأُ، فَصَارَ مُقَدَّرًا لَا يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ، وَالْمَهْرُ يَتَجَزَّأُ فَصَحَّ أَنْ يَزِيدَ وَصَحَّ أَنْ يَنْقُصَ.
Kemudian, makna dalam potong tangan karena pencurian adalah karena perbuatan, seperti jinayah, maka boleh jadi ditentukan kadarnya sebagaimana jinayah lainnya. Sedangkan mahar adalah kompensasi dalam akad yang didasarkan pada kerelaan, maka tidak ditentukan kadarnya sebagaimana mu‘āwadah lainnya. Adapun qiyās mereka terhadap apa yang menjadi imbalan dari bagian tubuh yang ditentukan, maka itu rusak, karena pengganti dalam khulu‘ tidak ditentukan kadarnya, meskipun sebagai imbalan dari bagian tubuh yang ditentukan. Kemudian, makna pada bagian tubuh adalah ia menjadi ditentukan kadarnya karena tidak dapat dibagi-bagi, sehingga menjadi tetap kadarnya, tidak bertambah dan tidak berkurang. Sedangkan mahar dapat dibagi-bagi, maka sah untuk ditambah dan sah untuk dikurangi.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الشَّهَادَةِ فَالْمَعْنَى فِيهَا أَنَّهَا مِنْ شُرُوطِ الْعَقْدِ فَتَقَدَّرَتْ كَمَا تَقَدَّرَتْ بِالزَّوْجِ وَالْوَلِيِّ، وَلَيْسَ كَالْمَهْرِ الَّذِي هُوَ مِنْ أَعْوَاضِ الْمُرَاضَاةِ، وَلَوْ تَقَدَّرَ لَخَرَجَ أَنْ يَكُونَ عَنْ مُرَاضَاةٍ.
Adapun qiyās mereka terhadap syahadah (persaksian), maka maknanya adalah bahwa ia termasuk syarat akad, sehingga ditentukan kadarnya sebagaimana ditentukan pada suami dan wali, dan tidak seperti mahar yang merupakan kompensasi atas kerelaan. Jika ditentukan kadarnya, maka tidak lagi menjadi atas dasar kerelaan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ أَقَلَّ الْمَهْرِ وَأَكْثَرَهُ غَيْرُ مُقَدَّرٍ، فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِمَا تَرَاضَى عَلَيْهِ الزَّوْجَانِ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ، وَسَوَاءٌ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، أَوْ أَقَلَّ، إِذَا كَانَتِ الزَّوْجَةُ جَائِزَةَ الْأَمْرِ.
Jika telah tetap bahwa batas minimal dan maksimal mahar tidak ditentukan, maka yang menjadi ukuran adalah apa yang disepakati oleh kedua mempelai, baik sedikit maupun banyak, baik lebih besar dari mahar mitsil ataupun lebih kecil, selama istri adalah pihak yang sah dalam akad.
فَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً زَوَّجَهَا أَبُوهَا، لَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا، لِأَنَّهُ مُعَاوِضٌ فِي حَقِّ غَيْرِهِ فَرُوعِيَ فِيهِ عوض المثل كما يراعى في بيعه لما لها ثَمَنُ الْمِثْلِ، وَإِنْ لَمْ يُرَاعِ ذَلِكَ فِي بَيْعِهَا لِنَفْسِهَا.
Jika ia masih kecil dan dinikahkan oleh ayahnya, maka tidak boleh menikahkannya dengan mahar yang lebih sedikit dari mahar mitsilnya, karena ia melakukan mu‘āwadah atas hak orang lain, maka harus memperhatikan imbalan yang sepadan sebagaimana dalam menjual miliknya, yaitu memperhatikan harga yang sepadan, meskipun hal itu tidak diperhatikan dalam menjual miliknya sendiri.
وَالْأَوْلَى أَنْ يَعْدِلَ الزَّوْجَانِ عَنِ التَّنَاهِي فِي الزِّيَادَةِ الَّتِي يَقْصُرُ الْعُمُرُ عَنْهَا، وَعَنِ التَّنَاهِي فِي النُّقْصَانِ الَّذِي لَا يَكُونُ لَهُ فِي النُّفُوسِ مَوْقِعٌ، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَاطُهَا.
Yang lebih utama adalah kedua mempelai menghindari berlebihan dalam menambah mahar hingga melampaui batas usia, dan menghindari berlebihan dalam mengurangi mahar hingga tidak lagi bernilai di mata manusia. Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.
وَأَنْ يُقْتَدِيَ بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي مُهُورِ نِسَائِهِ طَلَبًا لِلْبَرَكَةِ فِي مُوَافَقَتِهِ، وَهُوَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ عَلَى مَا رَوَتْهُ السَّيِّدَةُ عَائِشَةُ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا.
Dan hendaknya meneladani Rasulullah ﷺ dalam mahar istri-istrinya demi mencari keberkahan dalam menyesuaikan diri dengannya, yaitu lima ratus dirham sebagaimana diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah ra.
وَقَدْ جَعَلَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَرْوَانَ مُهُورَ الشَّرِيفَاتِ مِنْ نِسَاءِ قَوْمِهِ أَرْبَعَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ اقْتِدَاءً بِصَدَاقِ أُمِّ حَبِيبَةَ.
Dan Abdul Malik bin Marwan telah menetapkan mahar wanita-wanita mulia dari kaumnya sebanyak empat ribu dirham, meneladani mahar Ummu Habibah.
وَقَدْ رَوَى مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” خَيْرُهُنَّ أَيَسَرُهُنَّ صَدَاقًا “.
Mujahid meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan) nilainya.”
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَحْسَنُهُنَّ وَجْهًا وأقلهن مهراً “.
Dan diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: “Wanita yang paling besar keberkahannya adalah yang paling baik wajahnya dan paling sedikit maharnya.”
وَرَوَى ابْنُ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ أَبِي حُسَيْنٍ أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” تَيَاسَرُوا فِي الصَّدَاقِ فَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُعْطِي الْمَرْأَةَ يَبْقَى ذَلِكَ فِي نَفْسِهِ عَلَيْهَا حسكةٌ ” وَفِي الْحَسِيكَةِ وَجْهَانِ:
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abi Husain bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Permudahlah dalam urusan mahar, karena sungguh seorang laki-laki memberikan mahar kepada wanita lalu hal itu tetap membekas dalam dirinya terhadap wanita itu sebagai duri.” Dan mengenai kata “hasikah” (duri) ada dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: الْعَدَاوَةُ.
Pertama: permusuhan.
وَالثَّانِي: الْحِقْدُ.
Kedua: dendam.
فَصْلٌ
Fasal
وَيَجُوزُ الصَّدَاقُ عَيْنًا حَاضِرَةً، وَدَيْنًا فِي الذِّمَّةِ: حَالًّا، وَمُؤَجَّلًا، وَمُنَجَّمًا وَأَنْ يُشْتَرَطَ فِيهِ رهن، وضامن، كالأثمان، والأجور. والله أعلم.
Mahar boleh berupa barang yang hadir (tunai), atau berupa utang dalam tanggungan: baik yang langsung, yang ditangguhkan, atau yang dicicil, dan boleh juga disyaratkan adanya jaminan atau penanggung, sebagaimana pada harga dan upah. Dan Allah lebih mengetahui.
Bab tentang ju‘l (upah) dan ijarah (sewa-menyewa) dari al-Jami‘, dari Kitab al-Shadaq dan Kitab al-Nikah dari Ahkam al-Qur’an dan dari Kitab al-Nikah yang lama.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” وإذا أنكح – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِالْقُرْآنِ فَلَوْ نَكَحَهَا عَلَى أَنْ يُعَلِّمَهَا قُرْآنًا “.
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Dan apabila Nabi ﷺ menikahkan (seorang wanita) dengan (mahar) al-Qur’an, maka jika seseorang menikahi wanita dengan syarat mengajarkan al-Qur’an kepadanya (sebagai mahar), maka itu boleh.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ. فَيَكُونُ تَعْلِيمُ الْقُرْآنِ مَهْرًا لَهَا.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, boleh menikahi wanita dengan mahar berupa pengajaran al-Qur’an. Maka pengajaran al-Qur’an menjadi mahar baginya.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ: لَا يَجُوزُ.
Abu Hanifah dan Malik berkata: Tidak boleh.
اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنينَ غَيْرَ مُسَافِحِين) {النساء: 24) وَلَيْسَ تَعْلِيمُ الْقُرْآنِ مَالًا فَلَمْ يَصِحَّ ابْتِغَاءُ النِّكَاحِ بِهِ.
Dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Dan dihalalkan bagi kalian selain dari itu, (yaitu) mencari (istri) dengan harta kalian untuk dinikahi bukan untuk berzina} (an-Nisa: 24). Dan pengajaran al-Qur’an bukanlah harta, maka tidak sah menikah dengan mahar tersebut.
وَمَا رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّهُ قَالَ لَقَّنْتُ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ قُرْآنًا فَأَعْطَانِي قَوْسًا فأخبرت النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِذَلِكَ فَقَالَ: ” أَتُحِبُ أَنْ يُقَوِّسَكَ اللَّهُ بِقَوْسٍ مِنْ نَارٍ؟ قُلْتُ لَا قَالَ: فَارْدُدْهُ ” فَلَوْ جَازَ أَخْذُ الْعِوَضِ عَلَيْهِ لَمَا تَوَعَّدَهُ عَلَيْهِ فَدَلَّ تَحْرِيمُهُ أَنْ يَأْخُذَ عَلَيْهِ عِوَضًا عَلَى تحريم أن يكون من نَفْسِهِ عِوَضًا.
Dan diriwayatkan dari Ubay bin Ka‘b bahwa ia berkata: Aku pernah mengajarkan al-Qur’an kepada seorang laki-laki dari Ahl al-Shuffah, lalu ia memberiku sebuah busur. Aku pun memberitahukan hal itu kepada Nabi ﷺ, maka beliau bersabda: “Apakah engkau suka jika Allah memberimu busur dari api?” Aku menjawab: Tidak. Beliau bersabda: “Kalau begitu, kembalikanlah.” Maka jika boleh mengambil imbalan atasnya, niscaya beliau tidak akan mengancamnya. Maka pengharaman mengambil imbalan atasnya menunjukkan haramnya menjadikan hal itu sebagai mahar.
وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَكُنْ مَالًا وَلَا فِي مُقَابَلَتِهِ مَالٌ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مَهْرًا، قِيَاسًا عَلَى طَلَاقِ ضَرَّتِهَا، وَعِتْقِ أَمَتِهِ.
Dan karena setiap sesuatu yang bukan harta dan tidak ada harta sebagai gantinya, tidak boleh dijadikan mahar, qiyās dengan talak terhadap madunya dan pembebasan budaknya.
قَالُوا: وَلِأَنَّ تَعْلِيمَ الْقُرْآنِ قُرْبَةٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مَهْرًا كَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ، وَلِأَنَّ تَعْلِيمَ الْقُرْآنِ فَرْضٌ، فَلَمْ يَجُزْ أَخْذُ الْعِوَضِ عَلَيْهِ كَسَائِرِ الْفُرُوضِ.
Mereka berkata: Dan karena mengajarkan al-Qur’an adalah ibadah, maka tidak boleh dijadikan mahar sebagaimana shalat dan puasa. Dan karena mengajarkan al-Qur’an adalah kewajiban, maka tidak boleh mengambil imbalan atasnya sebagaimana kewajiban-kewajiban lainnya.
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ، وَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيلًا فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ إِلَيْهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” هَلْ عِنْدَكَ شَيْءٌ تُصْدِقُهَا؟ ” فَقَالَ: مَا عِنْدِي إِلَّا إِزَارِي هَذَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنْ أَخَذَتْهُ مِنْكَ عَرِيتَ، وَإِنْ تَشُقَّهُ عَرِيتَ، فَالْتَمِسْ شَيْئًا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حديدٍ “، فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ شيءٌ؟ ” قَالَ نَعَمْ سُورَةُ كَذَا، وَسُورَةُ كَذَا، فَقَالَ رَسُولُ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ” وَهَذَا نَصٌّ.
Dalil kami adalah riwayat yang dibawakan al-Syafi‘i dari Malik dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa‘d al-Sa‘idi bahwa seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah menghadiahkan diriku untukmu.” Wanita itu berdiri lama, lalu seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, jika engkau tidak membutuhkan dia, maka nikahkanlah aku dengannya.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” Ia menjawab: “Aku tidak punya apa-apa selain kain sarungku ini.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika ia mengambilnya, engkau akan telanjang, dan jika engkau membelahnya, engkau juga akan telanjang. Carilah sesuatu walau hanya cincin dari besi.” Ia pun mencari, namun tidak mendapatkan apa-apa. Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah engkau hafal sesuatu dari al-Qur’an?” Ia menjawab: “Ya, surat ini dan surat itu.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku nikahkan engkau dengannya dengan (mahar) apa yang engkau hafal dari al-Qur’an.” Dan ini adalah nash (teks yang jelas).
وَرَوَى عَطَاءٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَعَرَضَتْ نَفْسَهَا عَلَيْهِ فَقَالَ: اجْلِسِي بَارَكَ اللَّهُ فِيكِ، ثُمَّ دَعَا رَجُلًا فَقَالَ: ” إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُزَوِّجَكَهَا إِنْ رَضِيتَ “، فَقَالَ: مَا رَضِيتَ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَدْ رَضِيتُ فَقَالَ: ” هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ ” فَقَالَ: لَا وَاللَّهِ فَقَالَ: ” مَا تَحْفَظُ مِنَ الْقُرْآنِ؟ ” فَقَالَ: سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالَّتِي تَلِيهَا فَقَالَ: ” قُمْ فَعَلِّمْهَا عِشْرِينَ آيَةً وَهِيَ امْرَأَتُكَ “.
Diriwayatkan dari ‘Aṭā’ dari Abu Hurairah bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- lalu menawarkan dirinya kepada beliau. Maka beliau bersabda: “Duduklah, semoga Allah memberkahimu.” Kemudian beliau memanggil seorang laki-laki dan bersabda: “Aku ingin menikahkanmu dengannya jika engkau ridha.” Ia menjawab: “Apa yang engkau ridai untukku, wahai Rasulullah, maka aku pun ridha.” Beliau bersabda: “Apakah engkau memiliki sesuatu?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah.” Beliau bersabda: “Apa yang engkau hafal dari al-Qur’an?” Ia menjawab: “Surat al-Baqarah dan yang setelahnya.” Beliau bersabda: “Bangkitlah dan ajarkanlah kepadanya dua puluh ayat, maka ia menjadi istrimu.”
فَإِنْ قِيلَ: وَهُوَ تَأْوِيلُ أَبِي جَعْفَرٍ الطَّحَاوِيِّ مَعْنَى قَوْلِهِ: ” قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ “، أَيْ لِأَجْلِ فَضِيلَتِكَ بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ. قِيلَ عَنْ هَذَا جَوَابَانِ:
Jika dikatakan: Ini adalah penafsiran Abu Ja‘far aṭ-Ṭaḥāwī terhadap makna sabda beliau: “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan apa yang ada padamu dari al-Qur’an”, yaitu karena keutamaanmu dengan apa yang ada padamu dari al-Qur’an. Maka terhadap hal ini ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حديدٍ ” لِيَكُونَ صَدَاقًا فَلَمَّا لَمْ يَجِدْ جَعَلَ الْقُرْآنَ بَدَلًا مِنْهُ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا.
Pertama: Bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Carilah walaupun hanya cincin dari besi” agar dijadikan sebagai mahar. Ketika tidak didapati, maka al-Qur’an dijadikan sebagai penggantinya, sehingga hal itu menuntut agar al-Qur’an menjadi mahar.
وَالثَّانِي: أَنَّ هَذَا التَّأْوِيلَ يَدْفَعُهُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ لِأَنَّهُ قَالَ: قُمْ فَعَلِّمْهَا عِشْرِينَ آيَةً وَهِيَ امْرَأَتُكَ.
Kedua: Bahwa penafsiran ini dibantah oleh hadis Abu Hurairah, karena beliau bersabda: “Bangkitlah dan ajarkanlah kepadanya dua puluh ayat, maka ia menjadi istrimu.”
فإن قالوا: هو تَأْوِيلُ مَكْحُولٍ إِنَّ هَذَا خَاصٌّ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قِيلَ عَنْهُ جَوَابَانِ:
Jika mereka berkata: Ini adalah penafsiran Makḥūl bahwa hal ini khusus bagi Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, maka terhadapnya ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – هُوَ الْمُتَزَوِّجَ بِهَا، فَيَصِيرُ مَخْصُوصًا بِذَلِكَ، وَإِنَّمَا كَانَ مُزَوِّجًا لَهَا، فَلَمْ يَكُنْ مَخْصُوصًا.
Pertama: Bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bukanlah yang menikahi wanita itu, sehingga menjadi khusus baginya, melainkan beliau menikahkan wanita itu dengan laki-laki tersebut, maka tidak menjadi khusus baginya.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا خُصَّ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى تَخْصِيصِهِ وَإِلَّا كَانَ فِيهِ مُشَارِكًا لِأُمَّتِهِ.
Kedua: Bahwa apa yang dikhususkan bagi Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- membutuhkan dalil yang menunjukkan kekhususan itu, jika tidak ada maka beliau tetap sama dengan umatnya dalam hal itu.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَوْلُهُ: ” قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ” مَجْهُولٌ، وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ: ” قُمْ فَعَلِّمْهَا عِشْرِينَ آيَةً ” هِيَ مَجْهُولَةٌ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْعَلَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – صَدَاقًا مَجْهُولًا قِيلَ عَنْهُ جَوَابَانِ:
Jika dikatakan: Sabda beliau: “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan apa yang ada padamu dari al-Qur’an” itu tidak jelas, demikian pula sabda beliau dalam hadis Abu Hurairah: “Bangkitlah dan ajarkanlah kepadanya dua puluh ayat” juga tidak jelas, dan tidak boleh Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- menjadikan mahar yang tidak jelas untuk wanita itu. Maka terhadapnya ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ كَانَ مَعْلُومًا؛ لِأَنَّهُ سَأَلَ الرَّجُلَ عَمَّا مَعَهُ من القرآن فذكر سوراً سماها فقال: زوجكتها بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، يَعْنِي السُّوَرَ الْمُسَمَّاةَ، وَقَوْلُهُ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ: ” عِشْرِينَ آيَةً ” يَعْنِي مِنَ السُّورَةِ الَّتِي ذَكَرَهَا، وَذَلِكَ يَقْتَضِي فِي الظَّاهِرِ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَوَّلِهَا فَصَارَ الصَّدَاقُ مَعْلُومًا.
Pertama: Bahwa hal itu sebenarnya sudah jelas; karena beliau bertanya kepada laki-laki itu tentang apa yang ia hafal dari al-Qur’an, lalu ia menyebutkan surat-surat tertentu, maka beliau bersabda: “Aku telah menikahkanmu dengannya dengan apa yang ada padamu dari al-Qur’an”, maksudnya surat-surat yang disebutkan itu. Dan sabda beliau dalam hadis Abu Hurairah: “dua puluh ayat”, maksudnya dari surat yang telah disebutkan, dan secara lahiriah itu berarti dari awal surat tersebut, sehingga maharnya menjadi jelas.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَذَا النَّقْلِ جَوَازُ أَنْ يَكُونَ تَعْلِيمُ الْقُرْآنِ صَدَاقًا فَاقْتَصَرَ مِنَ الرِّوَايَةِ عَلَى مَا دَلَّ عَلَيْهِ وَأَمْسَكَ عَنْ نَقْلِ مَا عُرِفَ دَلِيلُهُ مِنْ غَيْرِهِ.
Kedua: Bahwa maksud dari riwayat ini adalah bolehnya menjadikan pengajaran al-Qur’an sebagai mahar, maka riwayat hanya menyebutkan apa yang menunjukkan hal itu dan tidak meriwayatkan apa yang sudah diketahui dalilnya dari selainnya.
وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ أَنَّ كُلَّ مَنْفَعَةٍ صَحَّ أَنْ يَبْذُلَهَا الْغَيْرُ عَنِ الْغَيْرِ تبرعاً جاز أن يبذلها مهرهاً، قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْأَعْمَالِ الْمُبَاحَةِ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ عَسِيبُ الْفَحْلِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ الْمَاءُ، وَهُوَ عَيْنٌ وَلَيْسَتْ بِمَنْفَعَةٍ.
Dan hal ini juga didukung secara qiyās, yaitu bahwa setiap manfaat yang sah untuk diberikan seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma, maka boleh juga diberikan sebagai mahar, qiyās dengan seluruh pekerjaan yang mubah. Dan tidak termasuk di dalamnya ‘asīb al-faḥl, karena yang dimaksud darinya adalah air mani, dan itu adalah benda, bukan manfaat.
فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْآيَةِ: فَنَحْنُ نَقُولُ بِنُطْقِهَا وَهُمْ لَا يَقُولُونَ بِدَلِيلِهَا. وَنَحْنُ وَإِنْ قُلْنَا بِدَلِيلِ الْخِطَابِ، فَقَدْ نَقَلْنَا عَنْهُ نُطْقَ دَلِيلٍ آخَرَ وَأَمَّا الْخَبَرُ فَقَدْ رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ تَارَةً وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أُخْرَى. وَحَدِيثُ عُبَادَةَ أَثْبَتُ، وَأَيُّهُمَا صَحَّ فَعَنْهُ جَوَابَانِ.
Adapun istidlāl dengan ayat: maka kami berpegang pada lafazhnya, sedangkan mereka tidak berpegang pada dalilnya. Dan meskipun kami berpegang pada dalīl al-khiṭāb, kami telah meriwayatkan dari ayat itu dalil lain. Adapun hadis, telah diriwayatkan dari Ubay bin Ka‘b pada satu kesempatan dan dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit pada kesempatan lain. Dan hadis ‘Ubādah lebih kuat, dan mana pun yang sahih, maka terhadapnya ada dua jawaban.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ تَعْلِيمُهُ لِلْقُرْآنِ قَدْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ فَرْضُهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْتَاضَ عَنْهُ.
Pertama: Boleh jadi pengajaran al-Qur’an itu telah menjadi kewajiban baginya, sehingga tidak boleh ia menerima imbalan atasnya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَخَذَهُ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ فَلَمْ يَسْتَحِقَّهُ.
Kedua: Bahwa ia melakukannya tanpa syarat, sehingga ia tidak berhak mendapat imbalan.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى طَلَاقِ امْرَأَتِهِ وَعِتْقِ أَمَتِهِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَا يَنْتَفِعُ بِالطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا، وَيَنْتَفِعُ بِتَعْلِيمِ الْقُرْآنِ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا.
Adapun qiyās mereka dengan talak terhadap istrinya dan pembebasan budaknya, maka maksudnya adalah bahwa ia tidak mendapatkan manfaat dari talak dan pembebasan tersebut, sehingga tidak boleh dijadikan sebagai mahar. Sedangkan dari mengajarkan Al-Qur’an, ada manfaat yang bisa diperoleh, maka boleh dijadikan sebagai mahar.
فَإِنْ قِيلَ: فَهِيَ تَنْتَفِعُ بِطَلَاقِ زَوْجَتِهِ، أَوْ عِتْقِ أَمَتِهِ، لِأَنَّهُ يَنْفَرِدُ بِهَا.
Jika dikatakan: “Ia (istri) mendapatkan manfaat dari talaknya terhadap istrinya yang lain, atau pembebasan budaknya, karena ia akan menjadi satu-satunya (istri atau budak) baginya.”
قِيلَ: مَا تَسْتَحِقُّهُ مِنَ النَّفَقَةِ وَالْكُسْوَةِ مَعَ الضَّرَّةِ وَالْأَمَةِ مِثْلُ مَا تَسْتَحِقُّهُ مُنْفَرِدَةً، فَلَمْ يَعُدْ عَلَيْهَا مِنْهُ نَفْعٌ.
Dijawab: Nafkah dan pakaian yang menjadi haknya bersama madunya atau budak itu sama dengan yang menjadi haknya jika ia sendiri, sehingga tidak ada manfaat tambahan yang kembali kepadanya dari hal itu.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ بِعِلَّةِ أَنَّهُ قُرْبَةٌ، فَمُنْتَقَضٌ بِكَتْبِ الْمَصَاحِفِ وَبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَهْرًا، وَإِنْ كَانَ قُرْبَةً.
Adapun qiyās mereka dengan shalat dan puasa dengan alasan bahwa keduanya adalah bentuk ibadah, maka itu dapat dibantah dengan penulisan mushaf dan pembangunan masjid yang boleh dijadikan mahar, meskipun keduanya juga merupakan ibadah.
ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ أَنَّ النِّيَابَةَ فِيهِمَا لَا تَصِحُّ، وَأَنَّ نَفْعَهُمَا لَا يَعُودُ عَلَى غَيْرِ فَاعِلِيهِمَا، وَلَيْسَ كَتَعْلِيمِ الْقُرْآنِ الَّذِي يَصِحُّ فِيهِ النِّيَابَةُ، وَيَعُودُ نَفْعُهُ عَلَى غَيْرِ فَاعِلِهِ.
Adapun makna dalam shalat dan puasa adalah bahwa keduanya tidak dapat diwakilkan, dan manfaatnya tidak kembali kepada selain pelakunya, berbeda dengan mengajarkan Al-Qur’an yang dapat diwakilkan dan manfaatnya dapat kembali kepada selain pelakunya.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ فَرْضٌ فَلَمْ يَجُزْ أَخْذُ الْعِوَضِ عَنْهُ: فَهُوَ إِنَّهُ إِنْ كَانَ فَرْضًا فَهُوَ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ وَيَجُوزُ أَنْ تُؤْخَذَ الْأُجْرَةُ فِيمَا كَانَ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ كَغَسْلِ الْمَوْتَى، وَحَمْلِ الْجَنَائِزِ، وَحَفْرِ الْقُبُورِ.
Adapun perkataan mereka bahwa itu adalah fardhu sehingga tidak boleh mengambil imbalan darinya: maka jika itu memang fardhu, maka ia termasuk fardhu kifayah, dan boleh mengambil upah atas sesuatu yang termasuk fardhu kifayah seperti memandikan jenazah, membawa jenazah, dan menggali kubur.
فَصْلٌ
Fashal
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ تَعْلِيمَ الْقُرْآنِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مَا أَصْدَقَهَا منه معلوماً تنتفي ع نه الْجَهَالَةُ، لِأَنَّ الصَّدَاقَ الْمَجْهُولَ لَا يَصِحُّ.
Jika telah dipastikan bahwa mengajarkan Al-Qur’an boleh dijadikan mahar, maka haruslah apa yang dijadikan mahar dari pengajaran itu diketahui secara jelas dan tidak ada unsur ketidaktahuan, karena mahar yang tidak jelas tidak sah.
أَحْوَالُ الصَّدَاقِ بِتَعْلِيمِ الْقُرْآنِ
Keadaan-keadaan Mahar dengan Mengajarkan Al-Qur’an
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ. فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
Jika demikian, maka ada tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يُصْدِقَهَا تَعْلِيمَ جَمِيعِ الْقُرْآنِ.
Pertama: Ia menjadikan mahar dengan mengajarkan seluruh Al-Qur’an.
وَالثَّانِي: تَعْلِيمَ سُورَةٍ مِنْهُ.
Kedua: Mengajarkan satu surah darinya.
وَالثَّالِثُ: تَعْلِيمَ آيَاتٍ مِنْهُ.
Ketiga: Mengajarkan beberapa ayat darinya.
الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ يُصْدِقَهَا تَعْلِيمَ جَمِيعِ الْقُرْآنِ فَإِنْ أَصْدَقَهَا تَعْلِيمَ جَمِيعِ الْقُرْآنِ فَجَمِيعُهُ مَعْلُومٌ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَذْكُرَ بِأَيِّ قِرَاءَةٍ يُلَقِّنُهَا فَإِنَّ حُرُوفَ الْقُرَّاءِ مُخْتَلِفَةٌ فِي الْأَلْفَاظِ وَالْمَعَانِي، وَالسُّهُولَةِ، وَالصُّعُوبَةِ.
Keadaan pertama: Ia menjadikan mahar dengan mengajarkan seluruh Al-Qur’an. Jika ia menjadikan mahar dengan mengajarkan seluruh Al-Qur’an, maka seluruhnya jelas, dan ia harus menyebutkan dengan qirā’ah (bacaan) apa ia akan mengajarkannya, karena huruf-huruf para qāri’ berbeda dalam lafaz, makna, kemudahan, dan kesulitannya.
فَإِنْ ذَكَرَ قِرَاءَةً مُعَيَّنَةً لَمْ يَعْدِلْ بِهَا إِلَى غَيْرِهَا، وَإِنْ أَطْلَقَ وَلَمْ يُعَيِّنْ فَفِي الصداق وجهان:
Jika ia menyebutkan qirā’ah tertentu, maka tidak boleh berpindah ke selainnya. Namun jika ia membiarkan tanpa menentukan, maka dalam hal mahar ada dua pendapat:
أحدها: أَنَّهُ صَدَاقٌ بَاطِلٌ؛ لِاخْتِلَافِ الْقِرَاءَاتِ مِنَ الْوُجُوهِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا فَصَارَ مَجْهُولًا كَمَا لَوْ أَصْدَقَهَا ثَوْبًا، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا.
Pertama: Mahar tersebut batal, karena perbedaan qirā’ah sebagaimana telah disebutkan, sehingga menjadi tidak jelas, seperti jika ia menjadikan sehelai kain sebagai mahar tanpa penjelasan, maka dalam hal ini ia berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang sepadan).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ صَدَاقٌ جَائِزٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ قِرَاءَةٍ تَقُومُ مَقَامَ غَيْرِهَا.
Pendapat kedua: Mahar tersebut sah, karena setiap qirā’ah dapat menggantikan yang lainnya.
وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” نَزَلَ الْقُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ كُلِّهَا شَافٍ كَافٍ “، وَكَمَا لَوْ أَصْدَقَهَا قَفِيزًا مِنْ صُبْرَةٍ جَازَ وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْ مَكَانَهُ مِنَ الصُّبْرَةِ لِتَمَاثُلِهَا، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فِيمَا يُلَقِّنُهَا بِهِ مِنَ الْحُرُوفِ وَجْهَانِ:
Karena Nabi ﷺ bersabda: “Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf, semuanya mencukupi dan memadai.” Dan seperti jika ia menjadikan satu takaran dari satu tumpukan gandum sebagai mahar, maka itu sah meskipun tidak menentukan bagian mana dari tumpukan itu, karena semuanya serupa. Maka dalam hal pengajaran huruf-hurufnya, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ: إِنَّهُ يُلَقِّنُهَا بِالْأَغْلَبِ مِنْ قِرَاءَةِ الْبَلَدِ، كَمَا لَوْ أَصْدَقَهَا دَرَاهِمَ كَانَتْ مِنْ غَالِبِ دَرَاهِمِ الْبَلَدِ.
Pertama, menurut pendapat ulama kami dari Bashrah: Ia mengajarkannya dengan qirā’ah yang paling umum di negeri itu, sebagaimana jika ia menjadikan dirham sebagai mahar, maka diambil dari dirham yang paling umum di negeri itu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَصْحَابِنَا الْبَغْدَادِيِّينَ: إِنَّهُ يُلَقِّنُهَا بِمَا شَاءَ من القراءات المفردة أو بالجائز؛ وأن كُلَّ قِرَاءَةٍ تَقُومُ مَقَامَ غَيْرِهَا.
Pendapat kedua, menurut sebagian ulama kami dari Baghdad: Ia boleh mengajarkannya dengan qirā’ah mana saja yang ia kehendaki dari qirā’ah yang tunggal atau yang diperbolehkan; dan setiap qirā’ah dapat menggantikan yang lainnya.
الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُصْدِقَهَا تَعْلِيمَ سُورَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ وَإِنْ أَصْدَقَهَا تَعْلِيمَ سُورَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ فَلَا يَصِحُّ حَتَّى تَكُونَ السُّورَةُ مَعْلُومَةً، لِاخْتِلَافِ السُّوَرِ بِالطُّولِ وَالْقِصَرِ، وَأَنَّ فِيهَا الْمُشْتَبِهَ وَغَيْرَ الْمُشْتَبِهِ، فَإِذَا عَيَّنَ السُّورَةَ كَانَ الْكَلَامُ فِي حُرُوفِ الْقِرَاءَةِ عَلَى مَا مَضَى.
Keadaan kedua: Ia menjadikan mahar dengan mengajarkan satu surah dari Al-Qur’an. Jika ia menjadikan mahar dengan mengajarkan satu surah dari Al-Qur’an, maka tidak sah kecuali surah tersebut jelas, karena perbedaan surah dalam hal panjang dan pendek, serta ada yang mirip dan tidak mirip. Jika ia telah menentukan surahnya, maka pembahasan tentang huruf qirā’ahnya sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُصْدِقَهَا تَعْلِيمَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ.
Keadaan ketiga: yaitu menjadikan mahar berupa mengajarkan ayat-ayat dari al-Qur’an kepadanya.
وَإِنْ أَصْدَقَهَا تَعْلِيمَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ، فَصِحَّةُ ذَلِكَ مُعْتَبَرَةٌ بِأَرْبَعَةِ شُرُوطٍ:
Jika mahar yang diberikan adalah mengajarkan ayat-ayat dari al-Qur’an, maka keabsahannya bergantung pada empat syarat:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ السُّورَةُ مَعْلُومَةً، فَإِنْ كان مَجْهُولَةً لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ الصَّدَاقُ بَاطِلًا.
Pertama: Surat yang diajarkan harus diketahui secara jelas. Jika tidak diketahui (surat apa yang dimaksud), maka tidak boleh dan mahar tersebut batal.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْآيَاتُ مِنَ السُّورَةِ مَعْلُومَةً مِثْلَ أَنْ يَقُولَ: عَشْرُ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، أَوْ مِنْ رَأْسِ الْمَائِدَةِ، أَوْ عَشْرٌ الطَّلَاقِ. فَإِنْ أَطْلَقَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Kedua: Ayat-ayat dari surat tersebut harus diketahui secara jelas, misalnya dengan mengatakan: sepuluh ayat dari awal surat al-Baqarah, atau dari awal surat al-Mā’idah, atau sepuluh ayat dari surat at-Thalāq. Jika hanya mengatakan “sepuluh ayat dari surat al-Baqarah” secara umum, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِلْجَهْلِ بِتَعْيِينِهَا.
Salah satunya: batal karena tidak jelas penentuannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: جَائِزٌ وَيَتَوَجَّهُ ذَلِكَ إِلَى عَشْرِ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِهَا، اعْتِبَارًا بِعُرْفِ الْإِطْلَاقِ، وَأَنَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، قَالَ لِلرَّجُلِ: ” قُمْ فَعَلِّمْهَا عِشْرِينَ آيَةً ” وَلَمْ يُعَيِّنْ.
Pendapat kedua: boleh, dan yang dimaksud adalah sepuluh ayat dari awal surat tersebut, berdasarkan kebiasaan dalam pengungkapan umum, dan karena Nabi ﷺ pernah berkata kepada seorang laki-laki: “Berdirilah dan ajarkanlah kepadanya dua puluh ayat,” tanpa menentukan ayatnya.
وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ بَاذِلًا أَقْصَرَ سورة في القرآن وهي الكوثر ثلاث فَصَاعِدًا لِيَكُونَ قَدْرًا يَخْتَصُّ بِالْإِعْجَازِ، فَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهُ لَا يَخْتَصُّ بِالْإِعْجَازِ، وَتَعْيِينُ الْقُرْآنِ يَقْتَضِي وُجُودَ الْإِعْجَازِ.
Syarat ketiga: Yang diajarkan minimal sebanyak surat terpendek dalam al-Qur’an, yaitu al-Kautsar (tiga ayat) atau lebih, agar jumlahnya memiliki kekhususan dalam hal i‘jāz (kemukjizatan). Jika kurang dari itu, maka tidak boleh, karena tidak memiliki kekhususan i‘jāz, dan penetapan al-Qur’an sebagai mahar mensyaratkan adanya unsur i‘jāz.
وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ: وَهُوَ حَرْفُ الْقِرَاءَةِ، وَذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِحَسْبِ اخْتِلَافِ الْآيَاتِ الْمَشْرُوطَةِ فَإِنْ كَانَتْ حُرُوفُ الْقِرَاءَةِ فِيهَا لَا تَخْتَلِفُ، أَوْ كَانَ اخْتِلَافُهَا يَسِيرًا لَا يُؤَثِّرُ فِي زِيَادَةِ الْحُرُوفِ وَنُقْصَانِهَا لَمْ يُلْزَمْ شَرْطَهُ، وَإِنْ كَانَ بِخِلَافِ ذَلِكَ فَهُوَ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ.
Syarat keempat: yaitu terkait dengan ragam bacaan (harf al-qirā’ah), dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan ayat-ayat yang disyaratkan. Jika ragam bacaan pada ayat-ayat tersebut tidak berbeda, atau perbedaannya sedikit dan tidak berpengaruh pada penambahan atau pengurangan huruf, maka tidak wajib memenuhi syarat tersebut. Namun jika sebaliknya, maka kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.
فَأَمَّا إِنْ أَصْدَقَهَا أَنْ يُعَلِّمَهَا الْقُرْآنَ شَهْرًا جَازَ، وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنِ السُّوَرَ وَالْآيَاتِ؛ لِأَنَّ التَّعْلِيمَ قَدْ صَارَ بِتَقْدِيرِ الْمُدَّةِ مَعْلُومًا، وَإِنْ كَانَ عَيْنُهُ مَجْهُولًا، فَصَارَ بِمَنْزِلَةِ قَوْلِهِ عَلَيَّ أَنْ أَخْدِمَكَ شَهْرًا فَيَجُوزُ وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنِ الْخِدْمَةَ، كَمَا يَجُوزُ إِذَا أَطْلَقَ الْمُدَّةَ وَعَيَّنَ الْخِدْمَةَ، ثُمَّ لَهَا أَنْ تَأْخُذَهُ بِتَعْلِيمِ مَا شَاءَتْ مِنَ الْقُرْآنِ لَا بِمَا شَاءَ الزَّوْجُ، كمن استؤجر لخدمة شهر، كان للمستأجر أن يستخدمه فِيمَا شَاءَ دُونَ الْمُؤَجَّرِ.
Adapun jika maharnya adalah mengajarkan al-Qur’an selama sebulan, maka itu boleh, meskipun tidak menentukan surat dan ayatnya; karena pengajaran telah menjadi jelas dengan penetapan waktu, meskipun materi yang diajarkan tidak ditentukan. Ini seperti ucapan seseorang, “Aku wajib melayanimu selama sebulan,” maka itu boleh meskipun tidak menentukan jenis layanan, sebagaimana boleh jika menentukan waktu dan menentukan jenis layanan. Kemudian, istri berhak memilih ayat mana saja dari al-Qur’an yang ingin dia pelajari, bukan suami yang memilih, sebagaimana orang yang disewa untuk melayani selama sebulan, maka penyewa berhak memanfaatkannya sesuai keinginannya, bukan yang disewa.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي صِفَةِ التَّعْلِيمِ
Fasal: Penjelasan tentang tata cara pengajaran
فَأَمَّا صِفَةُ التَّعْلِيمِ، فَعَلَيْهِ أَنْ يُعَلِّمَهَا السُّورَةَ آيَةً بَعْدَ آيَةٍ، حَتَّى إِذَا حَفِظَتِ الْآيَةَ عَدَلَ بِهَا إِلَى مَا بَعْدَهَا حَتَّى تَخْتِمَ السُّورَةَ.
Adapun tata cara pengajaran, maka suami harus mengajarkan surat tersebut ayat demi ayat, sehingga ketika istri telah menghafal satu ayat, ia berpindah ke ayat berikutnya, hingga istri menuntaskan hafalan surat tersebut.
وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِذَا حَفِظَتِ السُّورَةَ أَنْ يُدَرِّسَهَا إِيَّاهَا؛ لِأَنَّ التَّدْرِيسَ مِنْ شُرُوطِ الْحِفْظِ لَا مِنْ شُرُوطِ التَّعْلِيمِ. فَلَوْ شَرَطَتْ عَلَيْهِ حِفْظَ الْقُرْآنِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ حِفْظَهُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى لَا إِلَيْهِ.
Dan suami tidak wajib mengajarkan kembali surat tersebut setelah istri menghafalnya; karena pengulangan (tadrīs) merupakan syarat untuk hafalan, bukan syarat untuk pengajaran. Maka jika istri mensyaratkan agar suami menjamin hafalannya terhadap al-Qur’an, itu tidak boleh; karena hafalan adalah urusan Allah Ta‘ala, bukan urusan manusia.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَهَا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
Jika demikian, maka ada empat keadaan baginya:
أَحَدُهَا: أَنْ يُعَلِّمَهَا فَتَحْفَظَ مَا عَلَّمَهَا بِأَيْسَرِ تَعْلِيمٍ وَأَسْهَلِهِ فَهُوَ الْمَقْصُودُ وَقَدْ وَفَّى مَا عَلَيْهِ.
Pertama: Suami mengajarkan dan istri langsung menghafal apa yang diajarkan dengan mudah dan ringan, maka inilah yang dimaksud dan suami telah menunaikan kewajibannya.
وَالثَّانِي: أَنْ يُعَلِّمَهَا فَتَتَعَلَّمَ فِي الْحَالِ ثُمَّ تَنْسَى مَا تَعَلَّمَتْهُ، فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Kedua: Suami mengajarkan, lalu istri mempelajarinya saat itu juga, kemudian lupa apa yang telah dipelajari. Keadaan ini terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ تَتَعَلَّمَ جَمِيعَ السُّورَةِ ثُمَّ تَنْسَاهَا، فَقَدِ اسْتَقَرَّ التَّسْلِيمُ وَوَفَّى مَا عَلَيْهِ مِنَ التَّعْلِيمِ، فَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يُعَلِّمَهَا ثَانِيَةً.
Pertama: Istri mempelajari seluruh surat lalu melupakannya, maka penyerahan (pengajaran) telah sempurna dan suami telah menunaikan kewajibannya, sehingga tidak wajib mengajarkan kembali.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُلَقِّنَهَا مِنْهُ يَسِيرًا لَا يَخْتَصُّ بِالْإِعْجَازِ كَبَعْضِ آيَةٍ، فَالتَّسْلِيمُ لَمْ يَسْتَقِرَّ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُعَلِّمَهَا.
Bagian kedua: Suami hanya mengajarkan sebagian kecil yang tidak memiliki kekhususan i‘jāz, seperti sebagian ayat, maka penyerahan (pengajaran) belum sempurna, dan suami wajib mengajarkan kembali.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُعَلِّمَهَا قَدْرَ مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْإِعْجَازُ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Bagian ketiga: Suami mengajarkan sejumlah ayat yang sudah memenuhi syarat i‘jāz, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ تَسْلِيمٌ مُسْتَقِرٌّ؛ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْقَدْرُ بِانْفِرَادِهِ مَهْرًا فَعَلَى هَذَا لَا يَلْزَمُهُ تَعْلِيمُهَا ثَانِيَةً.
Salah satunya: penyerahan (pengajaran) telah sempurna; karena boleh jadi jumlah tersebut sudah sah dijadikan mahar secara tersendiri, sehingga suami tidak wajib mengajarkan kembali.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ تَسْلِيمٌ غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ؛ لِأَنَّهُ بَعْضُ جُمْلَةٍ غَيْرِ مُتَمَيِّزَةٍ، فَعَلَى هَذَا يلزمه تعليمها ثانية.
Pendapat kedua: Bahwa itu adalah penyerahan yang belum sempurna; karena itu merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang belum terpisah dengan jelas, maka dalam hal ini ia wajib mengajarkannya kembali.
والحال الثالث: أَنْ يُعَلِّمَهَا فَتَكُونَ بَلِيدَةً، قَلِيلَةَ الذِّهْنِ، لَا تَتَعَلَّمُ إِلَّا بِمَشَقَّةٍ وَعَنَاءٍ، فَهَذَا عَيْبٌ، يَكُونُ الزَّوْجُ فِيهِ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْمُقَامِ عَلَيْهِ وَبَيْنَ أَنْ يَفْسَخَ فَيَعْدِلَ إِلَى بَدَلِهِ، وَفِي بَدَلِهِ قَوْلَانِ:
Keadaan ketiga: Yaitu ia mengajarkannya, namun ternyata (istri) itu lamban, kurang kecerdasan, tidak dapat belajar kecuali dengan kesulitan dan kepayahan. Ini adalah cacat, sehingga suami diberi pilihan antara tetap bersamanya atau membatalkan akad dan beralih kepada pengganti, dan mengenai pengganti ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ: أُجْرَةُ مِثْلِ التَّعْلِيمِ.
Salah satunya, yaitu pendapat lama: upah sepadan untuk pengajaran.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ: عَلَيْهِ مَهْرُ الْمِثْلِ. وَسَنَذْكُرُ تَوْجِيهَ الْقَوْلَيْنِ مِنْ بَعْدُ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat baru: wajib membayar mahar sepadan. Dan kami akan menyebutkan penjelasan kedua pendapat ini setelahnya.
وَالْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ لَا تَقْدِرُ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ بِحَالٍ فَفِي الصَّدَاقِ وَجْهَانِ:
Keadaan keempat: Yaitu jika ia termasuk orang yang sama sekali tidak mampu mengajarkan al-Qur’an, maka dalam masalah mahar terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بَاطِلٌ لِتَعَذُّرِهِ وَإِعْوَازِهِ، وَفِيمَا تَسْتَحِقُّهُ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى.
Salah satunya: batal karena mustahil dan tidak memungkinkan, dan mengenai apa yang berhak ia terima terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: جَائِزٌ وَتَأْتِي بِغَيْرِهَا حَتَّى يُعَلِّمَهُ؛ لِأَنَّ مَنْ لَهُ حَقٌّ إِذَا عَجَزَ عَنِ اسْتِيفَائِهِ بِنَفْسِهِ اسْتَوْفَاهُ بِغَيْرِهِ، وَلَا خِيَارَ لَهَا، لِأَنَّ الْعَيْبَ مِنْ جِهَتِهَا.
Pendapat kedua: sah, dan ia boleh mendatangkan orang lain untuk mengajarkannya; karena siapa pun yang memiliki hak, jika ia tidak mampu memenuhinya sendiri, maka ia boleh memenuhinya melalui orang lain, dan ia (istri) tidak memiliki hak memilih, karena cacat berasal dari pihaknya.
وَهَلْ لِلزَّوْجِ الْخِيَارُ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Apakah suami memiliki hak memilih atau tidak, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهُ، لِأَنَّهُ تَعْلِيمٌ قَدِ اسْتَحَقَّتْهُ لِنَفْسِهَا فَجَازَ أَنْ تَسْتَوْفِيَهُ بِغَيْرِهَا، كَسَائِرِ الْحُقُوقِ.
Salah satunya: tidak ada hak memilih baginya, karena itu adalah pengajaran yang memang telah menjadi haknya, sehingga boleh dipenuhi oleh orang lain, sebagaimana hak-hak lainnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ الْخِيَارُ فِي الْمُقَامِ أو الفسخ، لأنه يستلذ من تعليمها مَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَلِذَّ مِنْ تَعْلِيمِ غَيْرِهَا فَإِنْ فَسَخَ فَفِيمَا يَلْزَمُهُ قَوْلَانِ:
Pendapat kedua: ia memiliki hak memilih antara tetap atau membatalkan akad, karena ia dapat menikmati dari mengajarkan istrinya sesuatu yang tidak boleh ia nikmati dari mengajarkan orang lain. Jika ia membatalkan akad, maka mengenai apa yang wajib ia berikan terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أُجْرَةُ مِثْلِ التَّعْلِيمِ.
Salah satunya: upah sepadan untuk pengajaran.
وَالثَّانِي: مَهْرُ الْمِثْلِ.
Yang kedua: mahar sepadan.
فَلَوْ أَرَادَتْ وَهِيَ قَادِرَةٌ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ أَنْ تأتيه بغيرها ليعلمه بَدَلًا مِنْهَا فَإِنْ رَاضَاهَا الزَّوْجُ عَلَى ذَلِكَ جَازَ، وَإِنِ امْتَنَعَ فَفِي إِجْبَارِهِ عَلَى ذَلِكَ وَجْهَانِ وَتَعْلِيلُهُمَا مَا ذَكَرْنَا.
Jika istri ingin, padahal ia mampu mengajarkan al-Qur’an, untuk mendatangkan orang lain agar mengajarkan suaminya sebagai pengganti dirinya, maka jika suami ridha dengan hal itu, diperbolehkan. Namun jika suami menolak, maka dalam memaksanya terdapat dua pendapat, dan alasan keduanya telah kami sebutkan.
وَلَوْ لَمْ يُعَلِّمْهَا الْقُرْآنَ حَتَّى تَعَلَّمَتْهُ مِنْ غَيْرِهِ، فَقَدْ فَاتَ أَنْ تَسْتَوْفِيَهُ بِنَفْسِهَا فَيَكُونَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ:
Jika ia tidak mengajarkan al-Qur’an kepadanya hingga ia belajar dari orang lain, maka ia telah kehilangan hak untuk memenuhinya sendiri, sehingga berlaku sebagaimana dua pendapat yang telah disebutkan:
أَحَدُهُمَا: تأتيه بغيرها حتى يعلمه الْقُرْآنَ.
Salah satunya: ia mendatangkan orang lain hingga mengajarkan al-Qur’an kepadanya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَدْ بَطَلَ الصَّدَاقُ، وَفِيمَا تَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
Pendapat kedua: mahar menjadi batal, dan mengenai apa yang berhak ia terima darinya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أُجْرَةُ مِثْلِ التَّعْلِيمِ.
Salah satunya: upah sepadan untuk pengajaran.
وَالثَّانِي: مَهْرُ الْمِثْلِ.
Yang kedua: mahar sepadan.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِيمَا إِذَا أَصْدَقَهَا تَعْلِيمَ الْقُرْآنِ وَهُوَ لَا يَحْفَظُهُ
Fasal: Pembahasan tentang apabila ia menjadikan mahar berupa pengajaran al-Qur’an, sedangkan ia sendiri tidak menghafalnya.
وَإِذَا أَصْدَقَهَا تَعْلِيمَ الْقُرْآنِ، وَهُوَ لَا يَحْفَظُ الْقُرْآنَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Apabila ia menjadikan mahar berupa pengajaran al-Qur’an, sedangkan ia tidak menghafal al-Qur’an, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَجْعَلَ ذَلِكَ فِي ذِمَّتِهِ، مِثْلَ أَنْ يَقُولَ: عَلَيَّ أَنْ أُحَصِّلَ لَكِ تَعْلِيمَ الْقُرْآنِ، فَهَذَا صَدَاقٌ جَائِزٌ وَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُ الْقُرْآنَ وَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْجِرَ لَهَا مَنْ يُعَلِّمُهَا الْقُرْآنَ إِمَّا مِنَ النِّسَاءِ أَوْ مِنْ ذَوِي مَحَارِمِهَا مِنَ الرِّجَالِ وَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ يَحْفَظُ الْقُرْآنَ كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ أَنْ يُعَلِّمَهَا بِنَفْسِهِ، أَوْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يُعَلِّمُهَا.
Salah satunya: ia menjadikan hal itu sebagai kewajiban dalam tanggungannya, seperti ia berkata: “Aku wajib mendapatkan pengajaran al-Qur’an untukmu.” Maka ini adalah mahar yang sah, meskipun ia tidak mahir al-Qur’an, dan ia wajib menyewa orang yang dapat mengajarkan al-Qur’an kepadanya, baik dari kalangan perempuan maupun dari mahram laki-lakinya. Dalam hal ini, jika ia sendiri menghafal al-Qur’an, ia boleh memilih antara mengajarkannya sendiri atau menyewa orang lain untuk mengajarkannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ تَعْلِيمُ الْقُرْآنِ مَعْقُودًا عَلَيْهِ فِي عَيْنِهِ، مِثْلَ أَنْ يَقُولَ: عَلَيَّ أَنْ أُعَلِّمَكِ الْقُرْآنَ نُظِرَ:
Keadaan kedua: Pengajaran al-Qur’an itu diakadkan atas dirinya secara langsung, seperti ia berkata: “Aku wajib mengajarkan al-Qur’an kepadamu.” Maka perlu dilihat:
فَإِنْ كَانَ يُحْسِنُ الْكِتَابَةَ جَازَ فَإِنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى تَعْلِيمِهَا مِنَ الْمُصْحَفِ وَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُ الْكِتَابَةَ فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ:
Jika ia mahir membaca, maka diperbolehkan, karena ia mampu mengajarkannya dari mushaf. Namun jika ia tidak mahir membaca, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ كَمَا لَوْ أَصْدَقَهَا أَلْفَ دِرْهَمٍ لَا يَمْلِكُهَا جَازَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَهَا كَذَلِكَ الْقُرْآنُ وَإِنْ كَانَ لَا يَحْفَظُهُ، فَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يحفظه فيعلمها.
Salah satunya: diperbolehkan, sebagaimana jika ia menjadikan mahar seribu dirham yang belum ia miliki, maka diperbolehkan; karena bisa jadi ia akan memilikinya. Demikian pula al-Qur’an, meskipun ia belum menghafalnya, bisa jadi ia akan menghafalnya lalu mengajarkannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَجُوزُ، وَيَكُونُ الصَّدَاقُ بَاطِلًا لِأَنَّهُ مَنْفَعَةٌ مِنْ مُعَيَّنٍ لَيْسَتْ فِي مِلْكِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا، كَمَا لَوْ أَصْدَقَهَا خِدْمَةَ عَبْدٍ لَا يَمْلِكُهُ كَانَ بَاطِلًا وَإِنْ جَازَ أَنْ يَمْلِكَ الْعَبْدَ أَوْ يَسْتَأْجِرَهُ.
Pendapat kedua: Tidak boleh, dan mahar tersebut batal karena itu merupakan manfaat dari sesuatu yang tertentu yang bukan miliknya, sehingga tidak sah dijadikan sebagai mahar. Sebagaimana jika seseorang menjadikan mahar berupa jasa seorang budak yang bukan miliknya, maka itu batal, meskipun memungkinkan untuk memiliki budak tersebut atau menyewanya.
وَخَالَفَ أَنْ يُصْدِقَهَا أَلْفَ دِرْهَمٍ لَا يَمْلِكُهَا، لِأَنَّ الْأَلْفَ غَيْرُ مُعَيَّنَةٍ وَالْمَنْفَعَةُ هَهُنَا مُعَيَّنَةٌ، ألا تره لَوْ بَاعَ سِلْمًا ثَوْبًا مَوْصُوفًا فِي ذِمَّتِهِ وَهُوَ لَا يَمْلِكُهُ جَازَ، وَلَوْ بَاعَ ثَوْبًا مَعِيبًا لَا يَمْلِكُهُ لَمْ يَجُزْ.
Berbeda halnya jika ia menjadikan mahar seribu dirham yang belum dimilikinya, karena seribu dirham itu tidak tertentu, sedangkan manfaat di sini adalah sesuatu yang tertentu. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang menjual secara salam sebuah pakaian yang sifatnya disebutkan dalam tanggungan, padahal ia belum memilikinya, maka itu boleh. Namun jika ia menjual pakaian cacat yang bukan miliknya, maka itu tidak boleh.
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ.
Setelah jelas apa yang telah kami sebutkan dari dua pendapat tersebut.
فَإِنْ قِيلَ بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ إِنَّ الصَّدَاقَ جَائِزٌ كَانَتْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَصْبِرَ عَلَيْهِ حَتَّى يَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ فَيُعَلِّمَهَا، وَبَيْنَ أَنْ تَتَعَجَّلَ الْفَسْخَ وَتَرْجِعَ عَلَيْهِ بِأُجْرَةِ مِثْلِ التَّعْلِيمِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ، وَبِمَهْرِ الْمِثْلِ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي، فَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنَا أَسْتَأْجِرُ لَكِ مَنْ يُعَلِّمُكِ لَمْ يَلْزَمْهَا ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْمَنْفَعَةَ مُسْتَحَقَّةٌ مِنْهُ فِي عَيْنِهِ كَمَا لَوْ آجَرَهُ عَبْدًا فَزَمِنَ بَطَلَتِ الْإِجَارَةُ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُقِيمَ عَبْدًا غَيْرَهُ، وَخَالَفَ أَنْ تُرِيدَ إِبْدَالَ نَفْسِهَا بِغَيْرِهَا، فَيَكُونُ لَهَا ذَلِكَ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ.
Jika dipilih pendapat pertama bahwa mahar itu sah, maka istri berhak memilih antara bersabar hingga suaminya belajar al-Qur’an lalu mengajarkannya, atau segera meminta pembatalan akad dan menuntut kepada suami upah mengajar yang sepadan menurut salah satu pendapat, dan mahar yang sepadan menurut pendapat kedua. Jika suaminya berkata: “Aku akan menyewa orang yang mengajarimu,” maka istri tidak wajib menerima hal itu, karena manfaat tersebut harus berasal dari suami secara langsung, sebagaimana jika seseorang menyewakan budak lalu budak itu mati, maka batal akad sewanya dan ia tidak boleh menggantinya dengan budak lain. Berbeda jika istri ingin mengganti dirinya dengan orang lain, maka itu boleh menurut salah satu pendapat.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهُ لا حق له، فَجَازَ أَنْ تَكُونَ مُخَيَّرَةً فِي اسْتِيفَائِهِ وَهُوَ مُسْتَحَقٌّ عَلَى الزَّوْجِ فَلَمْ يَكُنْ مُخَيَّرًا فِي أَدَائِهِ.
Perbedaan antara keduanya: karena suami tidak memiliki hak, maka istri boleh memilih dalam mengambil manfaat tersebut, sedangkan manfaat itu menjadi kewajiban suami sehingga ia tidak boleh memilih dalam menunaikannya.
وَإِنْ قِيلَ بِالْوَجْهِ الثَّانِي إِنَّ الصَّدَاقَ بَاطِلٌ، فَلَا فَرْقَ فِي بُطْلَانِهِ بَيْنَ أَنْ يتعلم القرآن من بعد أولا يَتَعَلَّمَهُ، وَفِيمَا تَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى:
Jika dipilih pendapat kedua bahwa mahar itu batal, maka tidak ada perbedaan dalam kebatalannya baik suami telah belajar al-Qur’an setelahnya atau belum, dan mengenai apa yang dapat dituntut istri kepada suami ada dua pendapat sebagaimana telah lalu:
أَحَدُهُمَا: أُجْرَةُ الْمِثْلِ.
Pertama: upah yang sepadan.
وَالثَّانِي: مَهْرُ المثل.
Kedua: mahar yang sepadan.
فصل: القول في تزويج الْمُسْلِمِ الذِّمِّيَّةَ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ
Fasal: Pembahasan tentang pernikahan seorang muslim dengan wanita dzimmiyah dengan mahar berupa mengajarkan al-Qur’an
وَإِذَا تَزَوَّجَ مُسْلِمٌ ذِمِّيَّةً عَلَى تَعْلِيمِهَا الْقُرْآنَ، نُظِرَ:
Jika seorang muslim menikahi wanita dzimmiyah dengan mahar berupa mengajarkan al-Qur’an kepadanya, maka diperhatikan:
فَإِنْ كَانَ قَصْدُهَا الِاهْتِدَاءَ بِهِ وَاعْتِبَارَ إِعْجَازِهِ وَدَلَائِلِهِ جَازَ، وَعَلَيْهِ تَعْلِيمُهَا إِيَّاهُ كَالْمُسْلِمَةِ.
Jika tujuannya adalah untuk mendapatkan petunjuk darinya, mempertimbangkan mukjizat dan dalil-dalilnya, maka itu boleh, dan suami wajib mengajarkannya sebagaimana kepada wanita muslimah.
وَإِنْ كَانَ قَصْدُهَا الِاعْتِرَاضَ عَلَيْهِ وَالْقَدْحَ فِيهِ لَمْ يَجُزْ وَكَانَ صَدَاقًا بَاطِلًا؛ لِمَا يَلْزَمُ مِنْ صِيَانَةِ الْقُرْآنِ عَنِ الْقَدْحِ وَالِاعْتِرَاضِ.
Namun jika tujuannya adalah untuk mencela dan merendahkan al-Qur’an, maka tidak boleh dan maharnya batal, karena wajib menjaga al-Qur’an dari celaan dan penentangan.
وَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ قَصْدَهَا فَهُوَ جَائِزٌ فِي ظَاهِرِ الْحَالِ؛ لِأَنَّ الْقُرْآنَ هِدَايَةٌ وَإِرْشَادٌ، ثُمَّ يَسِيرُ بَحْثَ حَالِهَا فِي وَقْتِ التَّعْلِيمِ، فَإِنْ عَرَفَ مِنْهَا مَبَادِئَ الْهِدَايَةِ: أَقَامَ عَلَى تَعْلِيمِهَا، وَإِنْ عَرَفَ مِنْهَا مَبَادِئَ الِاعْتِرَاضِ وَالْقَدْحِ فَسَخَ الصَّدَاقَ، وَعَدَلَ إِلَى بَدَلِهِ مِنَ الْقَوْلَيْنِ.
Jika tidak diketahui tujuannya, maka secara lahiriah itu boleh, karena al-Qur’an adalah petunjuk dan bimbingan. Kemudian akan diteliti keadaannya saat proses pengajaran, jika diketahui adanya tanda-tanda petunjuk maka pengajaran dilanjutkan, namun jika diketahui adanya tanda-tanda penentangan dan celaan maka maharnya dibatalkan dan diganti dengan salah satu dari dua pendapat.
أَحَدُهُمَا: أُجْرَةُ الْمِثْلِ.
Pertama: upah yang sepadan.
وَالثَّانِي: مهر المثل.
Kedua: mahar yang sepadan.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي تَزَوُّجِ الذِّمِّيِّ الذِّمِّيَّةَ عَلَى تعليم التوراة والإنجيل
Fasal: Pembahasan tentang pernikahan dzimmi dengan wanita dzimmiyah dengan mahar berupa mengajarkan Taurat dan Injil
إذا تزوج الذمي عَلَى أَنْ يُعَلِّمَهَا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ، كَانَ صَدَاقًا فَاسِدًا، لِأَنَّهُمَا قَدْ غَيَّرَا وَبَدَّلَا فَإِنْ تَحَاكَمَا إِلَيْنَا قَبْلَ التَّعْلِيمِ أَبْطَلْنَاهُ، وَإِنْ تَحَاكَمَا بَعْدَ التَّعْلِيمِ أَمْضَيْنَاهُ كَمَا لَوْ أَصْدَقَهَا خَمْرًا أَوْ خنزيراً فتقابضاه.
Jika seorang dzimmi menikahi wanita dzimmiyah dengan mahar berupa mengajarkan Taurat dan Injil, maka maharnya rusak, karena keduanya telah diubah dan dipalsukan. Jika mereka mengajukan perkara kepada kita sebelum pengajaran, maka kita batalkan akadnya. Namun jika mereka mengajukan perkara setelah pengajaran, maka kita biarkan sebagaimana jika seseorang menjadikan mahar berupa khamar atau babi lalu keduanya telah saling menerima.
القول في تزويج المسلم الذمية على تعليم التوراة أو الإنجيل
Pembahasan tentang pernikahan muslim dengan wanita dzimmiyah dengan mahar berupa mengajarkan Taurat atau Injil
وَلَوْ تَزَوَّجَ مُسْلِمٌ ذِمِّيَّةً عَلَى تَعْلِيمِ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ، أَبْطَلْنَاهُ قَبْلَ التَّعْلِيمِ وَبَعْدَهُ.
Jika seorang muslim menikahi wanita dzimmiyah dengan mahar berupa mengajarkan Taurat dan Injil, maka kita batalkan akadnya baik sebelum maupun sesudah pengajaran.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ: أَنَّ أَهْلَ الذِّمَّةِ يَرَوْنَهُ جَائِزًا فَأَمْضَى مِنْهُ مَا تَقَابَضَاهُ، وَنَحْنُ نَرَاهُ بَاطِلًا فَأَبْطَلْنَاهُ وَإِنْ تَقَابَضَاهُ.
Perbedaan antara muslim dan dzimmi: bahwa ahli dzimmah menganggapnya sah sehingga apa yang telah mereka terima tetap berlaku, sedangkan menurut kita itu batal sehingga kita batalkan meskipun telah saling menerima.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي التَّزَوُّجِ عَلَى تَعْلِيمِ الشِّعْرِ
Fasal: Pembahasan tentang pernikahan dengan mahar berupa mengajarkan syair
وَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى تَعْلِيمِ الشِّعْرِ: فَإِنْ كَانَ الشِّعْرُ غَيْرَ مُعَيَّنٍ لَمْ يَجُزْ وَكَانَ صَدَاقًا فَاسِدًا لِلْجَهَالَةِ بِهِ، وَإِنْ كَانَ مُعَيَّنًا نُظِرَ: فَإِنْ كَانَ هِجَاءً وَفُحْشًا لَمْ يَجُزْ وَكَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، وَإِنْ كَانَ زُهْدًا وَحِكَمًا وَأَمْثَالًا وَأَدَبًا جَازَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا.
Apabila seseorang menikahi seorang wanita dengan mahar berupa mengajarkan syair: jika syair tersebut tidak ditentukan secara spesifik, maka tidak sah dan maharnya dianggap rusak karena tidak jelas. Namun, jika syairnya telah ditentukan, maka dilihat lagi: jika syair tersebut berupa celaan atau keburukan, maka tidak sah dan wanita tersebut berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang setara). Tetapi jika syair tersebut berisi zuhud, hikmah, perumpamaan, atau adab, maka boleh dijadikan sebagai mahar.
حُكِيَ أَنَّ الْمُزَنِيَّ سُئِلَ عَنْ تَعْلِيمِ الشِّعْرِ أَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا.
Diriwayatkan bahwa al-Muzani pernah ditanya tentang mengajarkan syair, apakah boleh dijadikan sebagai mahar.
فَقَالَ إِنْ كَانَ كَقَوْلِ الشَّاعِرِ:
Ia menjawab, jika syairnya seperti perkataan penyair:
(يَوَدُّ الْمَرْءُ أَنْ يُعْطَى مُنَاهُ … وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا مَا أَرَادَ)
“Seseorang berharap mendapatkan apa yang diinginkannya … namun Allah tidak menghendaki kecuali apa yang Dia kehendaki.”
(يَقُولُ الْمَرْءُ فَائِدَتِي وَمَالِي … وَتَقْوَى اللَّهِ أَفْضَلُ مَا اسْتَفَادَا)
“Seseorang berkata: ‘Keuntunganku dan hartaku … namun takwa kepada Allah adalah sebaik-baik yang didapatkan.’”
وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ مِنَ الشِّعْرِ لَحِكْمَةً وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانَ لَسِحْرًا ” جَازَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya sebagian syair itu mengandung hikmah, dan sebagian penjelasan itu adalah sihir.” Maka boleh dijadikan sebagai mahar, dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” أَوْ يَأْتِيهَا بِعَبْدِهَا الْآبِقِ فَعَلَّمَهَا أَوْ جَاءَهَا بِالْآبِقِ “.
Imam asy-Syafi‘i berkata: “Atau ia mendatangkan budaknya yang melarikan diri, lalu ia mengajarkannya, atau ia membawakan budak yang melarikan diri itu kepadanya.”
الْقَوْلُ فِي التَّزْوِيجِ عَلَى مَنَافِعِ الْعَبْدِ وَالْحُرِّ
Pembahasan tentang pernikahan dengan mahar berupa manfaat budak dan orang merdeka
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ مَنَافِعُ الْعَبْدِ وَالْحُرِّ صَدَاقًا لِزَوْجَتِهِ، مِثْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ يَخْدِمَهَا شَهْرًا، أَوْ يَبْنِيَ لَهَا دَارًا، أَوْ يَخِيطَ لَهَا ثَوْبًا، أَوْ يَرْعَى لَهَا غَنَمًا.
Al-Mawardi berkata: Boleh menjadikan manfaat budak dan orang merdeka sebagai mahar bagi istrinya, seperti menikahinya dengan syarat ia melayaninya selama sebulan, atau membangunkan rumah untuknya, atau menjahitkan pakaian untuknya, atau menggembalakan kambingnya.
وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ مَنَافِعُ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ صَدَاقًا.
Malik berkata: Tidak boleh menjadikan manfaat orang merdeka maupun budak sebagai mahar.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ مَنَافِعُ الْعَبْدِ صَدَاقًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ مَنَافِعُ الْحُرِّ صَدَاقًا.
Abu Hanifah berkata: Boleh menjadikan manfaat budak sebagai mahar, namun tidak boleh menjadikan manfaat orang merdeka sebagai mahar.
اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَأَحَلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ) {النساء: 24) وليس هذا مال فَيَصِحُّ ابْتِذَالُ النِّكَاحِ بِهِ، وَلِأَنَّ تَسْلِيمَ الْمَنْفَعَةِ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِتَسْلِيمِ الرَّقَبَةِ، وَلَيْسَتْ رَقَبَةُ الْحُرِّ مَالًا، فَلَمْ يَجِبْ بِتَسْلِيمِ مَنْفَعَتِهِ تَسْلِيمُ مَالٍ فَلِذَلِكَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا، وَرَقَبَةُ الْعَبْدِ مَالٌ مُوجِبٌ بِتَسْلِيمِ مَنْفَعَتِهِ تَسْلِيمَ مَالٍ، فَجَازَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا.
Sebagai dalil, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian itu, (yaitu) mencari (istri) dengan harta kalian untuk dinikahi bukan untuk berzina} (an-Nisa: 24). Dan ini bukanlah harta, sehingga tidak sah menjadikan pernikahan dengan manfaat tersebut. Selain itu, penyerahan manfaat tidak sah kecuali dengan penyerahan kepemilikan (budak), sedangkan diri orang merdeka bukanlah harta, sehingga penyerahan manfaatnya tidak dianggap sebagai penyerahan harta, maka tidak boleh dijadikan sebagai mahar. Adapun diri budak adalah harta, sehingga penyerahan manfaatnya dianggap sebagai penyerahan harta, maka boleh dijadikan sebagai mahar.
وَدَلِيلُنَا: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى فِي قِصَّةِ شُعَيْبٍ حِينَ تَزَوَّجَ مُوسَى بِابْنَتِهِ {إِنِّي أُرِيدُ أنْ أُنْكُحكَ إحْدَى ابْنَتَي هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِي حِجَجٍ) {القصص: 27) يَعْنِي عَمَلَ ثَمَانِي حِجَجٍ فَأَسْقَطَ ذِكْرَ الْعَمَلِ، وَاقْتَصَرَ عَلَى الْمُدَّةِ؛ لِأَنَّهُ مَفْهُومٌ بَيْنَهُمَا، وَالْعَمَلُ رَعْيُ الْغَنَمِ، فَجَعَلَ رَعْيَ مُوسَى ثَمَانِي سِنِينَ صَدَاقًا لِبِنْتِهِ. وَهَذَا نَصٌّ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala dalam kisah Syu‘aib ketika menikahkan Musa dengan putrinya: {Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah satu dari kedua putriku ini dengan syarat kamu bekerja padaku selama delapan tahun} (al-Qashash: 27), maksudnya adalah bekerja selama delapan tahun, dan tidak disebutkan pekerjaannya secara rinci, hanya disebutkan jangka waktunya karena sudah dipahami di antara keduanya, dan pekerjaannya adalah menggembalakan kambing. Maka pekerjaan Musa menggembalakan kambing selama delapan tahun dijadikan sebagai mahar untuk putrinya. Dan ini adalah nash (dalil yang jelas).
فَإِنْ قِيلَ: فهذا في غير شريعتنا فلم يلزمنا.
Jika dikatakan: Ini terjadi bukan dalam syariat kita, maka tidak wajib bagi kita mengikutinya.
قِيلَ شَرَائِعُ مَنْ تَقَدَّمَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ لَازِمَةٌ لَنَا عَلَى قَوْلِ كَثِيرٍ مِنْ أَصْحَابِنَا فَلَمْ يَرِدْ نَسْخٌ.
Dijawab: Syariat para nabi terdahulu juga berlaku bagi kita menurut pendapat banyak ulama kami, selama tidak ada naskh (penghapusan hukum).
فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا مَنْسُوخُ؛ لِأَنَّ شَرْطَ صَدَاقِهَا لِنَفْسِهِ وَقَدْ نَسَخَ اللَّهُ تَعَالَى ذَلِكَ فِي شَرِيعَتِنَا بِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ: {وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً) {النساء: 4) قِيلَ عَنْهُ جَوَابَانِ:
Jika dikatakan: Ini telah di-naskh, karena syarat mahar itu untuk dirinya sendiri, dan Allah Ta‘ala telah menghapus hal tersebut dalam syariat kita dengan firman-Nya: {Dan berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan} (an-Nisa: 4), maka dijawab dengan dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَضَافَ ذَلِكَ إِلَى نَفْسِهِ مَجَازًا لِقِيَامِهِ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَإِلَّا فَهُوَ مِلْكٌ لَهَا دُونَهُ.
Pertama: Penisbatan mahar itu kepada dirinya hanyalah secara majaz (kiasan), karena ia sendiri yang mengerjakannya, padahal hakikatnya itu adalah milik wanita, bukan miliknya.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ نَسْخُ حُكْمٍ مِنْ أَحْكَامِهِ دَلِيلًا عَلَى نَسْخِ جَمِيعِ أَحْكَامِهِ، كَمَا لَمْ يَكُنْ نَسْخُ اسْتِقْبَالِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ دَلِيَلًا عَلَى نَسْخِ الصَّلَاةِ الَّتِي كَانَتْ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ.
Kedua: Penghapusan satu hukum dari suatu syariat tidak menjadi dalil atas penghapusan seluruh hukumnya, sebagaimana penghapusan kewajiban menghadap Baitul Maqdis tidak menjadi dalil atas penghapusan shalat yang dahulu menghadap ke Baitul Maqdis.
فَإِنْ قِيلَ: فَشُعَيْبٌ جَعَلَ الْمَنْفَعَةَ مُقَدَّرَةً بِمُدَّتَيْنِ وَمِثْلُ هَذَا لَا يَجُوزُ فِي شَرِيعَتِنَا.
Jika dikatakan: Syu‘aib menjadikan manfaat itu ditentukan dengan dua masa, dan hal seperti ini tidak boleh dalam syariat kita.
قِيلَ: الْمَنْفَعَةُ مُقَدَّرَةٌ بِمُدَّةٍ وَاحِدَةٍ وَهِيَ ثَمَانُ سِنِينَ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كَانَتْ عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ مُوسَى ثَمَانِي حِجَجٍ وَاجِبَةٍ وَكَانَتْ سَنَتَانِ عِدَةً مِنْهُ، فَقَضَى اللَّهُ عَنْهُ عِدَتَهُ فَأَتَمَّهَا عَشْرًا.
Dikatakan: Manfaat itu ditetapkan dengan satu masa, yaitu delapan tahun. Ibnu ‘Abbās berkata: Pada Nabi Allah Musa, delapan musim haji itu wajib, dan dua tahun adalah janji darinya, maka Allah telah menunaikan janjinya sehingga genap menjadi sepuluh tahun.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ أَنَّهَا مَنْفَعَةٌ تُسْتَحَقُّ بِعَقْدِ الْإِجَارَةِ فَصَحَّ أَنْ تَثْبُتَ صَدَاقًا كَمَنَافِعِ الْعَبْدِ وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ يَصِحُّ عَلَى مَنْفَعَةِ الْعَبْدِ فَصَحَّ عَلَى مَنْفَعَةِ الْحُرِّ كَالْإِجَارَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا صَحَّ أَنْ يَثْبُتَ فِي مُقَابَلَةِ مَنَافِعِ الْعَبْدِ صَحَّ أَنْ يَثْبُتَ فِي مُقَابَلَةِ مَنَافِعِ الْحُرِّ كَالدَّرَاهِمِ.
Dan dari sisi qiyās, manfaat itu adalah sesuatu yang berhak didapatkan melalui akad ijarah, maka sah jika dijadikan sebagai mahar, seperti manfaat budak. Dan karena ia adalah akad yang sah atas manfaat budak, maka sah pula atas manfaat orang merdeka, sebagaimana ijarah. Dan segala sesuatu yang sah dijadikan imbalan atas manfaat budak, maka sah pula dijadikan imbalan atas manfaat orang merdeka, seperti dirham.
أَمَّا الْآيَةُ فَقَدْ تَقَدَّمَ الْجَوَابُ عَنْهَا.
Adapun ayat tersebut, jawabannya telah dijelaskan sebelumnya.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: إِنَّهَا مَنْفَعَةٌ لَا تَجِبُ بِتَسْلِيمِهَا تَسْلِيمُ مَالٍ، فَخَطَأٌ؛ لِأَنَّ الرَّقَبَةَ لَيْسَتْ فِي مُقَابَلَةِ الْعِوَضِ، فَيُرَاعَى أَنْ يَكُونَ مَالًا، وَإِنَّمَا الْعِوَضُ فِي مُقَابَلَةِ الْمَنْفَعَةِ فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهَا أَنْ تَكُونَ الرَّقَبَةُ مَالًا، أَوْ غَيْرَ مَالٍ، فَالْإِجَارَةُ عَلَى مَنَافِعِ الْحُرِّ كَالْإِجَارَةِ عَلَى مَنَافِعِ الْعَبْدِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ رَقَبَةُ الْحُرِّ مَالًا وَكَانَتْ رَقَبَةُ الْعَبْدِ مَالًا. فَكَذَلِكَ الصَّدَاقُ وَعَلَى أَنَّهُ لَوْ أَصْدَقَهَا مَنَافِعَ أُمِّ وَلَدِهِ أَوْ مَنَافِعَ وَقْفِهِ جَازَ وَإِنْ لَمْ تَكُنِ الرَّقَبَةُ مَالًا.
Adapun pernyataan mereka: “Itu adalah manfaat yang tidak mewajibkan penyerahan harta,” adalah keliru; karena diri (jiwa) bukanlah sebagai imbalan, sehingga harus berupa harta, melainkan imbalan itu adalah atas manfaatnya. Maka tidak berpengaruh apakah diri itu harta atau bukan, sehingga ijarah atas manfaat orang merdeka sama dengan ijarah atas manfaat budak, meskipun diri orang merdeka bukan harta dan diri budak adalah harta. Demikian pula mahar. Bahkan jika seseorang menjadikan mahar berupa manfaat ummu walad-nya atau manfaat wakafnya, maka itu sah, meskipun dirinya bukan harta.
فَصْلٌ
Fashal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَصُورَةُ مَسْأَلَتِنَا فِي رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَجَعَلَ صَدَاقَهَا أَنْ يَأْتِيَهَا بِعَبْدِهَا الْآبِقِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika telah jelas apa yang kami uraikan, maka bentuk permasalahan kita adalah tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan dan menjadikan maharnya adalah mendatangkan budaknya yang kabur. Maka hal ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ مَعْرُوفَ الْمَكَانِ، تصح الْإِجَارَةُ عَلَى الْمَجِيءِ بِهِ، فَهَذَا صَدَاقٌ جَائِزٌ، لِأَنَّ مَا جَازَتْ عَلَيْهِ الْإِجَارَةُ جَازَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا كَسَائِرِ الْأَعْمَالِ.
Pertama: Jika budak itu diketahui tempatnya, maka sah akad ijarah untuk mendatangkannya, sehingga ini adalah mahar yang sah, karena segala sesuatu yang sah dijadikan objek ijarah, sah pula dijadikan mahar seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مَعْرُوفِ الْمَكَانِ فَهَذَا لَا تَصِحُّ عَلَيْهِ الْإِجَارَةُ وَتَصِحُّ عَلَيْهِ الْجُعَالَةُ، فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا لِأَمْرَيْنِ:
Kedua: Jika budak itu tidak diketahui tempatnya, maka tidak sah akad ijarah atasnya, namun sah akad ju‘ālah, sehingga tidak sah dijadikan mahar karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَجْهُولُ الْمَكَانِ فَيَصِيرُ الصَّدَاقُ بِهِ مَجْهُولًا، وَالصَّدَاقُ الْمَجْهُولُ بَاطِلٌ.
Pertama: Karena tempatnya tidak diketahui, sehingga maharnya menjadi tidak jelas, dan mahar yang tidak jelas hukumnya batal.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمُعَاوَضَةَ عَلَيْهِ جُعَالَةٌ غَيْرُ لَازِمَةٍ وَالصَّدَاقُ لَازِمٌ، فَتَنَافَيَا، فَبَطَلَ.
Kedua: Karena akad mu‘āwadah (pertukaran) atasnya adalah ju‘ālah yang tidak mengikat, sedangkan mahar itu mengikat, sehingga keduanya bertentangan dan batal.
فَصْلٌ
Fashal
فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ قَالَ: إِذَا أَصْدَقَهَا أَنْ يَجِيئَهَا بِعَبْدِهَا الْآبِقِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ صَدَاقٌ جَائِزٌ؛ لِأَنَّهُ قَالَ: فَإِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا نِصْفُ أُجْرَةِ الْمَجِيءِ بِالْآبِقِ.
Adapun al-Muzani, ia berkata: Jika seseorang menjadikan maharnya adalah mendatangkan budaknya yang kabur, maka ini menunjukkan bahwa itu adalah mahar yang sah; karena ia berkata: Jika ia menceraikannya sebelum berhubungan, maka ia berhak atas setengah upah mendatangkan budak yang kabur.
فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ أَشَارَ بِذَلِكَ إِلَى الضَّرْبِ الْأَوَّلِ إِذَا كَانَ مَعْرُوفَ الْمَكَانِ أَوْ إِلَى الضَّرْبِ الثَّانِي إِذَا كَانَ مَجْهُولَ الْمَكَانِ؟
Para ulama kami berbeda pendapat, apakah yang dimaksud adalah jenis pertama, yaitu jika diketahui tempatnya, atau jenis kedua, yaitu jika tidak diketahui tempatnya?
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: أَرَادَ بِهِ الضَّرْبَ الْأَوَّلَ مَعَ الْعِلْمِ بِمَكَانِ الْآبِقِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مُوَافِقًا لِلشَّافِعِيِّ وَلِسَائِرِ أَصْحَابِهِ.
Sebagian mereka berkata: Yang dimaksud adalah jenis pertama, yaitu dengan mengetahui tempat budak yang kabur, sehingga dalam hal ini sejalan dengan pendapat asy-Syāfi‘ī dan seluruh pengikutnya.
وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ أَرَادَ بِهِ الضَّرْبَ الثَّانِيَ إِذَا كَانَ مَجْهُولَ الْمَكَانِ وَكَانَتِ الْمُعَاوَضَةُ عَلَيْهِ جُعَالَةً، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مُخَالِفًا لِلشَّافِعِيِّ؛ لِأَنَّهُ قَدْ نَصَّ عَلَى بُطْلَانِ الصَّدَاقِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ، وَمُخَالِفًا لِسَائِرِ أَصْحَابِنَا لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْمَعْنَيَيْنِ فِي تَعْلِيلِ بُطْلَانِهِ، والله أعلم.
Dan yang lain berkata: Bahkan yang dimaksud adalah jenis kedua, yaitu jika tidak diketahui tempatnya dan akad mu‘āwadah atasnya adalah ju‘ālah, sehingga dalam hal ini bertentangan dengan pendapat asy-Syāfi‘ī; karena ia telah menegaskan batalnya mahar tersebut dalam kitab al-Umm, dan juga bertentangan dengan seluruh ulama kami sebagaimana telah kami sebutkan dua alasan dalam penjelasan batalnya, dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ رَجَعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ أجر التعليم (قال المزني) وبنصف أجر المجيء بالآبق فإن لم يعلمها أو لم يأتها بالآبق رجعت عليه بنصف مهر مثلها لأنه ليس له أن يخلو بها يعلمها “.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Kemudian jika ia menceraikannya sebelum berhubungan, maka ia berhak atas setengah upah mengajar (kata al-Muzani) dan setengah upah mendatangkan budak yang kabur. Jika ia tidak mengajarinya atau tidak mendatangkan budak yang kabur, maka perempuan itu berhak kembali menuntut setengah mahar mitsil, karena ia tidak berhak berduaan dengannya untuk mengajarinya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: Pembahasan masalah ini mencakup dua bagian:
أَحَدُهُمَا: إِذَا أَصْدَقَهَا تَعْلِيمَ الْقُرْآنِ ثُمَّ طَلَّقَ.
Pertama: Jika seseorang menjadikan mahar berupa mengajarkan al-Qur’an, kemudian menceraikannya.
وَالثَّانِي: إِذَا أَصْدَقَهَا أَنْ يَجِيئَهَا بِعَبْدِهَا الْآبِقِ ثُمَّ طَلَّقَ.
Yang kedua: Jika ia menjadikan mahar kepada istrinya dengan syarat akan mengembalikan budaknya yang melarikan diri, lalu ia menceraikannya.
فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ وهو أن يصدقها تعليم القرآن ثم طلق فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Adapun pembahasan pertama, yaitu apabila ia menjadikan mahar berupa mengajarkan Al-Qur’an, kemudian menceraikannya, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian:
الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: أَنْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ تَعْلِيمِهَا:
Bagian pertama: Yaitu menceraikannya setelah mengajarkannya.
أَحَدُهَا: أَنْ يُطَلِّقَ بَعْدَ أَنْ عَلَّمَهَا جَمِيعَ الْقُرْآنِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ طَلَاقِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
Salah satunya: Yaitu menceraikan setelah mengajarkan seluruh Al-Qur’an kepadanya, maka keadaan talaknya tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ، أَوْ بَعْدَهُ.
Yaitu apakah terjadi sebelum dukhul (bercampur), atau setelahnya.
فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ: فَقَدِ اسْتَقَرَّ لَهَا بِالدُّخُولِ جَمِيعُ الصَّدَاقِ، وَقَدْ وَفَّاهَا إِيَّاهُ بِتَعْلِيمِ جَمِيعِ الْقُرْآنِ فَلَا تراجع بينهما بشيء.
Jika terjadi setelah dukhul: maka dengan terjadinya dukhul, seluruh mahar telah menjadi haknya, dan ia telah menunaikannya dengan mengajarkan seluruh Al-Qur’an, sehingga tidak ada saling menuntut apa pun di antara keduanya.
وإن كان طلاقها قَبْلَ الدُّخُولِ: فَقَدِ اسْتَحَقَّ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الصَّدَاقِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} .
Dan jika talak terjadi sebelum dukhul: maka ia berhak untuk mengambil kembali setengah mahar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu} .
فَإِنْ كَانَ عَيْنًا حَاضِرَةً رَجَعَ بِنِصْفِهَا، وَإِنْ كانت تالفة ولها مثله رَجَعَ بِنِصْفِ مِثْلِهَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا مِثْلٌ: رَجَعَ بِقِيمَةِ نِصْفِهَا، وَلَيْسَ تَعْلِيمُ الْقُرْآنِ عَيْنًا حَاضِرَةً فَيَرْجِعُ بِنِصْفِهَا، وَلَا هُوَ مِمَّا لَهُ مِثْلٌ فَيَرْجِعُ بِمِثْلِ نِصْفِهِ، فَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَنْ يَرْجِعَ بِقِيمَةِ نصفه وذلك نصف أجرة مثل التعليم.
Jika maharnya berupa barang yang ada, maka ia mengambil kembali setengahnya; jika barang itu telah rusak dan ada yang sejenis, maka ia mengambil kembali setengah dari barang sejenisnya; dan jika tidak ada barang sejenisnya, maka ia mengambil kembali nilai setengahnya. Sedangkan mengajarkan Al-Qur’an bukanlah barang yang ada sehingga bisa diambil setengahnya, dan bukan pula sesuatu yang ada barang sejenisnya sehingga bisa diambil setengah dari barang sejenisnya, maka yang tersisa hanyalah mengambil nilai setengahnya, yaitu setengah dari upah mengajar yang sepadan.
فَصْلٌ: الْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُطَلِّقَهَا قَبْلَ تَعْلِيمِهَا
Fasal: Bagian kedua: Yaitu menceraikannya sebelum mengajarkannya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُطَلِّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُعَلِّمَهَا شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ فَيُنْظَرُ:
Dan bagian kedua: Yaitu menceraikannya sebelum mengajarkan sedikit pun dari Al-Qur’an kepadanya, maka diperhatikan:
فَإِنْ كَانَ التَّعْلِيمُ مَشْرُوطًا فِي ذِمَّتِهِ اسْتَأْجَرَ لَهَا مِنَ النِّسَاءِ وَمِنْ ذَوِي مَحَارِمِهَا مِنَ الرِّجَالِ مَنْ يُعَلِّمُهَا عَلَى مَا تَسْتَحِقُّهُ مِنَ الْقُرْآنِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.
Jika pengajaran itu menjadi kewajiban dalam tanggungannya, maka ia menyewa perempuan atau laki-laki dari mahramnya untuk mengajarkan kepadanya sesuai dengan hak yang harus ia terima dari Al-Qur’an, sebagaimana akan dijelaskan.
وَإِنْ كَانَ التَّعْلِيمُ مُسْتَحَقًّا عَلَيْهِ فِي عَيْنِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَجُوزُ لَهُ تَعْلِيمُهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dan jika pengajaran itu menjadi kewajiban atas dirinya secara langsung, maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah boleh baginya mengajarkan setelah talak atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ، كَمَا يَجُوزُ سَمَاعُ أَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مِنَ النِّسَاءِ الْأَجَانِبِ. وَقَدْ كَانَتْ نِسَاءُ رَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يُحَدِّثْنَ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ.
Salah satunya: Boleh dari balik hijab, sebagaimana boleh mendengar hadis Rasulullah ﷺ dari perempuan-perempuan ajnabiyah. Dan istri-istri Rasulullah ﷺ dahulu juga berbicara dari balik hijab.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ لَا يَجُوزُ؛ لِأَمْرَيْنِ:
Pendapat kedua, dan ini yang lebih shahih, tidak boleh; karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: مَا فِي مُطَاوَلَةِ كَلَامِهَا مِنَ الِافْتِتَانِ بِهَا.
Salah satunya: Karena dalam percakapan yang panjang dengannya terdapat potensi fitnah.
وَالثَّانِي: أَنَّهُمَا ربما خلوا وَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بامرأةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا “.
Yang kedua: Karena keduanya mungkin saja berduaan, padahal ia telah menjadi haram baginya, dan Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian berduaan dengan seorang wanita, karena sesungguhnya setan adalah yang ketiganya.”
فإذا قلنا: إن تعليمها لا يجوز نظر حَالُ الطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ رَجَعَتْ عَلَيْهِ فِي قَوْلِهِ الْقَدِيمِ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ، وَفِي قَوْلِهِ الْجَدِيدِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ: رَجَعَتْ عَلَيْهِ فِي قَوْلِهِ الْقَدِيمِ بِنِصْفِ أُجْرَةِ الْمِثْلِ، وَفِي قَوْلِهِ الْجَدِيدِ بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Maka jika kita katakan: Mengajarkan Al-Qur’an kepadanya tidak boleh, maka dilihat keadaan talaknya; jika setelah dukhul, menurut pendapat lama, ia berhak mendapat upah yang sepadan, dan menurut pendapat baru, ia berhak mendapat mahar yang sepadan; dan jika sebelum dukhul, menurut pendapat lama, ia berhak mendapat setengah upah yang sepadan, dan menurut pendapat baru, ia berhak mendapat setengah mahar yang sepadan.
وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهَا تُعَلَّمُ الْقُرْآنَ: لَمْ يَخْلُ الطَّلَاقِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَقَدِ اسْتَقَرَّ لَهَا جَمِيعُ الصَّدَاقِ، فَعَلَى هَذَا يُعَلِّمُهَا جَمِيعَ الْقُرْآنِ.
Dan jika kita katakan bahwa ia boleh diajari Al-Qur’an, maka talaknya tidak lepas dari kemungkinan terjadi sebelum atau sesudah dukhul. Jika setelah dukhul, maka seluruh mahar telah menjadi haknya, dan dengan demikian ia wajib mengajarkan seluruh Al-Qur’an kepadanya.
فَلَوِ اخْتَلَفَ فَقَالَ الزَّوْجُ قَدْ عَلَّمْتُكِ الْقُرْآنَ وَقَالَتْ: لَمْ تُعَلِّمْنِي فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ حَافِظَةً لِلْقُرْآنِ فِي الْحَالِ، أَوْ غَيْرَ حَافِظَةٍ، فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ حَافِظَةٍ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا وَعَلَيْهِ تَعْلِيمُهَا وَإِنْ كَانَتْ حَافِظَةً وَقَالَتْ حَفِظْتُ مِنْ غَيْرِكَ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Jika terjadi perselisihan, misal suami berkata, “Aku telah mengajarkan Al-Qur’an kepadamu,” dan istri berkata, “Engkau belum mengajarkanku,” maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia saat ini hafal Al-Qur’an atau tidak. Jika ia tidak hafal, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya, dan suami wajib mengajarkannya. Jika ia hafal dan berkata, “Aku menghafalnya bukan darimu,” maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهَا أَيْضًا مَعَ يَمِينِهَا.
Salah satunya: Bahwa perkataannya juga diterima dengan sumpahnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّ حِفْظَهَا شَاهِدٌ عَلَى صِدْقِهِ وإن طلاقها قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا نِصْفُ الصَّدَاقِ فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْقُرْآنِ هَلْ يَتَجَزَّأُ أَمْ لا؟ على وجهين:
Pendapat kedua: Bahwa perkataan suami diterima dengan sumpahnya, karena hafalannya (istri) menjadi saksi atas kebenarannya. Jika talak terjadi sebelum dukhul (hubungan suami-istri), maka istri berhak atas setengah mahar. Dalam hal ini, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai al-Qur’an, apakah dapat dibagi-bagi atau tidak? Ada dua pendapat:
أحدهما: أن يَتَجَزَّأَ فِي كَلِمَاتِهِ وَحُرُوفِهِ الَّتِي جَزَّأَهَا السَّلَفُ عَلَيْهَا فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ أَنْ يُعَلِّمَهَا نِصْفَ الْقُرْآنِ.
Pertama: Bahwa al-Qur’an dapat dibagi dalam kata-kata dan huruf-hurufnya sebagaimana pembagian yang dilakukan oleh para salaf. Maka berdasarkan pendapat ini, suami wajib mengajarkan setengah al-Qur’an kepada istrinya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ وَإِنْ تَجَزَّأَ فِي كَلِمَاتِهِ وَحُرُوفِهِ فَلَيْسَ يَتَمَاثَلُ لِمَا فِيهِ مِنَ الْمُتَشَابِهِ، وَأَنَّ بَعْضَهُ أَصْعَبُ مِنْ بَعْضٍ، وَسُوَرَهُ أَصْعَبُ مِنْ سُوَرِهِ، وَعَشْرٌ أَصْعَبُ مِنْ عَشْرٍ، وقد روي عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” شَيَّبَتْنِي هودٌ وَأَخَوَاتُهَا ” فَعَلَى هَذَا لَا يَلْزَمُهُ إِذَا اسْتَحَقَّتِ النِّصْفَ أَنْ يُعَلِّمَهَا شَيْئًا مِنْهُ؛ لِتَعَذُّرِ تَمَاثُلِهِ، وَتَرْجِعُ عَلَيْهِ بِنِصْفِ أُجْرَةِ التَّعْلِيمِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ، وَبِمِثْلِ نصف مهل المثل على قوله في الجديد.
Pendapat kedua: Bahwa meskipun al-Qur’an dapat dibagi dalam kata-kata dan huruf-hurufnya, namun bagian-bagiannya tidaklah sama, karena di dalamnya terdapat ayat-ayat mutasyabih, sebagian bagiannya lebih sulit daripada yang lain, surat-surat tertentu lebih sulit daripada surat yang lain, dan sepuluh ayat tertentu lebih sulit daripada sepuluh ayat yang lain. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Hud dan saudara-saudaranya telah membuatku beruban.” Maka berdasarkan pendapat ini, jika istri berhak atas setengah mahar, suami tidak wajib mengajarkan sebagian al-Qur’an kepadanya, karena tidak mungkin menyamakan bagian-bagiannya. Istri berhak menuntut setengah upah mengajar menurut pendapat lama, dan setengah mahar mitsil menurut pendapat baru.
فَصْلٌ: الْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ تَعْلِيمِهَا الْبَعْضَ
Fasal: Bagian ketiga: Suami menalaknya setelah mengajarkan sebagian (al-Qur’an).
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ أَنْ عَلَّمَهَا بَعْضَ الْقُرْآنِ وَبَقِيَ بَعْضُهُ، فَلَا يَخْلُو حَالُ طَلَاقِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ، أَوْ بَعْدَهُ.
Bagian ketiga: Suami menalaknya setelah mengajarkan sebagian al-Qur’an dan masih tersisa sebagian lainnya. Maka, keadaan talaknya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah terjadi sebelum dukhul atau sesudahnya.
فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ: فَقَدِ اسْتَقَرَّ لَهَا جَمِيعُهُ.
Jika terjadi setelah dukhul, maka istri berhak atas seluruh mahar.
فَإِنْ قُلْنَا يُعَلِّمُهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ فَعَلَيْهِ تَعْلِيمُهَا مَا بَقِيَ مِنَ الْقُرْآنِ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ بِهِ جَمِيعَ الصَّدَاقِ.
Jika kita berpendapat bahwa suami wajib mengajarkan setelah talak, maka ia wajib mengajarkan sisa al-Qur’an hingga istri memperoleh seluruh mahar.
وَإِنْ قُلْنَا: لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَلِّمَهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ تَرَتَّبَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي تَجْزِئَةِ الْقُرْآنِ.
Jika kita berpendapat tidak boleh mengajarkan setelah talak, maka hal itu kembali kepada perbedaan pendapat para sahabat kami tentang pembagian al-Qur’an.
فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ مُتَسَاوِي الْأَجْزَاءِ سَقَطَ عَنْهُ مِنَ الصَّدَاقِ بِقَدْرِ مَا عَلَّمَ، كَأَنَّهُ عَلَّمَهَا النِّصْفَ فَيَسْقُطُ عَنْهُ نِصْفُ الْمَهْرِ وَتَرْجِعُ بِبَدَلِ نِصْفِهِ الْبَاقِي عَلَى الْقَوْلَيْنِ:
Jika kita berpendapat bahwa bagian-bagiannya setara, maka gugur dari mahar sebesar yang telah diajarkan. Jika diajarkan setengahnya, maka gugur setengah mahar, dan istri berhak atas pengganti setengah sisanya menurut dua pendapat:
أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْقَدِيمُ: بِنِصْفِ أُجْرَةِ التَّعْلِيمِ.
Pertama, yaitu pendapat lama: dengan setengah upah mengajar.
وَالثَّانِي وَهُوَ الْجَدِيدُ: بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Kedua, yaitu pendapat baru: dengan setengah mahar mitsil.
وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ غَيْرُ مُتَسَاوِي الْأَجْزَاءِ.
Jika kita berpendapat bahwa bagian-bagiannya tidak setara,
تَرَتَّبَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَا تَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهِ مِنْ بَقِيَّةِ صَدَاقِهَا، فَإِنْ قِيلَ بِالْقَدِيمِ: إِنَّهَا تَرْجِعُ عَلَيْهِ بِالْبَاقِي مِنْ أُجْرَةِ مِثْلِ التَّعْلِيمِ سَقَطَ هَهُنَا عَنْهُ مِنَ الصَّدَاقِ بِقَدْرِ أُجْرَةِ مَا عَلَّمَ، وَبَنَى لَهَا عَلَيْهِ بِقَدْرِ أُجْرَةِ مِثْلِ مَا بَقِيَ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ تَقْسِيطِ ذَلِكَ عَلَى الْأُجْرَةِ لَا عَلَى الْأَجْزَاءِ.
maka hal itu kembali kepada perbedaan dua pendapat beliau tentang apa yang dapat dituntut istri dari sisa maharnya. Jika menurut pendapat lama: istri menuntut sisa upah mengajar yang sepadan, maka gugur dari mahar sebesar upah dari yang telah diajarkan, dan sisanya dihitung berdasarkan upah sepadan dari yang tersisa, sebagaimana akan dijelaskan mengenai pembagian itu berdasarkan upah, bukan berdasarkan bagian.
وَإِنْ قِيلَ بِالْجَدِيدِ: إِنَّهَا تَرْجِعُ عَلَيْهِ بِالْبَاقِي مِنْ مهر مثلها سقط عنه من النصف نصفه وَهُوَ الرُّبُعُ؛ لِأَنَّ أَجْزَاءَ النِّصْفِ الَّذِي عَلَّمَهَا قَدْ لَا تُمَاثِلُ أَجْزَاءَ النِّصْفِ الْبَاقِي لَهَا، فَلِذَلِكَ سَقَطَ عَنْهُ نِصْفُ مَا عَلَّمَهَا وَهُوَ الرُّبُعُ، لِأَنَّهُ مُمَاثِلٌ لِحَقِّهَا، وَرَجَعَ عَلَيْهَا بِأُجْرَةِ نِصْفِ مَا عَلَّمَهَا وَهُوَ الرُّبُعُ وَرَجَعَتْ هِيَ عَلَيْهِ بِالْبَاقِي لَهَا وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Jika menurut pendapat baru: istri menuntut sisa dari mahar mitsil, maka gugur dari setengahnya setengah lagi, yaitu seperempat, karena bagian-bagian dari setengah yang telah diajarkan belum tentu sama dengan bagian-bagian setengah yang masih menjadi hak istri. Oleh karena itu, gugur dari suami setengah dari yang telah diajarkan, yaitu seperempat, karena itu setara dengan hak istri. Suami menuntut upah setengah dari yang telah diajarkan, yaitu seperempat, dan istri menuntut sisanya, yaitu tiga perempat mahar mitsil.
وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا نِصْفُ الصَّدَاقِ وَلَا يَخْلُو مَا عَلَّمَهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Jika talak terjadi sebelum dukhul, maka istri berhak atas setengah mahar, dan apa yang telah diajarkan suami kepadanya tidak lepas dari tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ عَلَّمَهَا مِنْهُ النِّصْفَ.
Pertama: Suami telah mengajarkan setengah dari al-Qur’an.
وَالثَّانِي: أَكْثَرُ مِنَ النِّصْفِ.
Kedua: Lebih dari setengah.
وَالثَّالِثُ: أَقَلُّ مِنَ النِّصْفِ.
Ketiga: Kurang dari setengah.
فَإِنْ عَلَّمَهَا مِنْهُ النِّصْفَ: تَرَتَّبَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي تَسَاوِي الْأَجْزَاءِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا مُتَسَاوِيَةٌ فَقَدِ اسْتَوْفَتْ بِالنِّصْفِ حَقَّهَا، وَلَا تَرَاجُعَ بَيْنَهُمَا.
Jika suami telah mengajarkan setengah dari al-Qur’an, maka hal itu kembali kepada perbedaan pendapat para sahabat kami tentang kesetaraan bagian-bagian. Jika dikatakan bahwa bagian-bagiannya setara, maka istri telah memperoleh haknya dengan setengah itu, dan tidak ada tuntutan antara keduanya.
وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا مُخْتَلِفَةٌ تَرَتَّبَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَا تَرْجِعُ بِهِ عِنْدَ فَوَاتِ الصَّدَاقِ.
Jika dikatakan bahwa bagian-bagian tersebut berbeda, maka hal itu bergantung pada perbedaan dua pendapat beliau mengenai apa yang menjadi hak istri ketika mahar tidak dapat diberikan.
فَإِنْ قِيلَ بِالْقَدِيمِ: إِنَّهَا تَرْجِعُ بِأُجْرَةِ التَّعْلِيمِ تَقَسَّطَ ذَلِكَ عَلَى الْأُجْرَةِ لَا عَلَى الْأَجْزَاءِ.
Jika berpegang pada pendapat lama: bahwa istri berhak mendapatkan upah mengajar, maka hal itu dibagi berdasarkan upah, bukan berdasarkan bagian-bagian yang diajarkan.
مِثَالُهُ: أَنْ يَقُولَ كَمْ تساوي أجرة مثل تعليم القرآن؟ فإن قِيلَ: عَشَرَةُ دَنَانِيرَ.
Contohnya: Seseorang bertanya, “Berapa nilai upah mengajarkan Al-Qur’an?” Jika dijawab: “Sepuluh dinar.”
قِيلَ: فَكَمْ تُسَاوِي أُجْرَةُ مِثْلِ النِّصْفِ الَّذِي عَلَّمَهَا؟ فَإِنْ قِيلَ: سِتَّةُ دَنَانِيرَ، لِأَنَّهُ أَصْعَبُ النِّصْفَيْنِ، صَارَتْ مُسْتَوْفِيَةً لِأَكْثَرَ مِنْ حَقِّهَا فَيَرْجِعُ عَلَيْهَا بِالْفَاضِلِ وَهُوَ دِينَارٌ، وَإِنْ قِيلَ أُجْرَةُ النِّصْفِ الَّذِي عَلَّمَهَا أَرْبَعَةُ دَنَانِيرَ؛ لِأَنَّهُ أَخَفُّ النِّصْفَيْنِ صَارَتْ آخِذَةً أَقَلَّ مِنْ حَقِّهَا فَتَرْجِعُ عَلَيْهِ بِالْبَاقِي وَهُوَ دِينَارٌ.
Lalu ditanyakan: “Berapa nilai upah mengajarkan setengah yang telah diajarkan?” Jika dijawab: “Enam dinar, karena itu adalah bagian yang lebih sulit dari dua bagian,” maka berarti istri telah menerima lebih dari haknya, sehingga kelebihan itu harus dikembalikan, yaitu satu dinar. Namun jika dikatakan bahwa upah setengah yang diajarkan adalah empat dinar, karena itu bagian yang lebih mudah dari dua bagian, maka berarti istri menerima kurang dari haknya, sehingga ia berhak menuntut sisanya, yaitu satu dinar.
فَأَمَّا إِذَا قِيلَ بِالْجَدِيدِ: إِنَّهَا تَرْجِعُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ سَقَطَ عَنْهُ مِنَ النِّصْفِ الَّذِي عَلَّمَهَا نِصْفُهُ وَهُوَ الرُّبُعُ، وَرَجَعَ عَلَيْهَا بِأُجْرَةِ مِثْلِ تَعْلِيمِ الرُّبُعِ، وَرَجَعَتْ عَلَيْهِ بِرُبُعِ مَهْرِ مِثْلِهَا.
Adapun jika berpegang pada pendapat baru: bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil, maka dari setengah yang diajarkan gugur setengahnya, yaitu seperempat, dan suami berhak menuntut upah mengajar seperempat, sedangkan istri berhak menuntut seperempat mahar mitsilnya.
وَإِنْ كَانَ قَدْ عَلَّمَهَا أَكْثَرَ مِنَ النِّصْفِ كَأَنَّهُ عَلَّمَهَا الثُّلُثَيْنِ مِنَ الْقُرْآنِ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ مُتَسَاوِي الْأَجْزَاءِ: فَقَدِ اسْتَوْفَتْ بِالنِّصْفِ مِنْهُ حَقَّهَا وَكَانَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهَا بِأُجْرَةِ مِثْلِ الْبَاقِي وَهُوَ السُّدُسُ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ غَيْرُ مُتَسَاوِي الْأَجْزَاءِ تَرَتَّبَ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ:
Jika suami telah mengajarkan lebih dari setengah, misalnya dua pertiga Al-Qur’an, maka jika dikatakan bahwa bagian-bagiannya setara, berarti dengan setengah dari bagian itu istri telah menerima haknya, dan suami berhak menuntut upah mengajar bagian sisanya, yaitu seperenam. Namun jika dikatakan bahwa bagian-bagiannya tidak setara, maka hal itu kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan:
فَإِنْ قِيلَ بِالْقَدِيمِ:
Jika berpegang pada pendapat lama:
إِنَّ الرُّجُوعَ يَكُونُ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ، نُظِرَ أُجْرَةُ مِثْلِ التَّعْلِيمِ، فَإِذَا قِيلَ عَشَرَةُ دَنَانِيرَ: نُظِرَ أُجْرَةُ مِثْلِ الثلثين الذي علمها. فَإِنْ كَانَتْ خَمْسَةَ دَنَانِيرَ فَقَدِ اسْتَوْفَتْ حَقَّهَا وَلَا تَرَاجُعَ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَتْ سَبْعَةً رَجَعَ عَلَيْهَا بِدِينَارَيْنِ، وَإِنْ كَانَتْ أَرْبَعَةً رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِدِينَارٍ وَإِنْ قِيلَ بِالْجَدِيدِ: إِنَّ الرُّجُوعَ يَكُونُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ سَقَطَ عَنْهُ مِنَ الصَّدَاقِ الثُّلُثُ، وَهُوَ نِصْفُ مَا عَلَّمَ وَرَجَعَ عَلَيْهَا بِأُجْرَةِ مِثْلِ الثُّلُثِ الْبَاقِي، وَرَجَعَتْ عَلَيْهِ بِتَمَامِ النِّصْفِ مِنْ صَدَاقِهَا وَهُوَ سُدُسُ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Bahwa pengembalian didasarkan pada upah sepadan, maka dilihat upah sepadan untuk mengajar. Jika dikatakan sepuluh dinar, maka dilihat upah sepadan untuk mengajar dua pertiga yang telah diajarkan. Jika upahnya lima dinar, berarti istri telah menerima haknya dan tidak ada tuntutan antara keduanya. Jika upahnya tujuh dinar, maka suami berhak menuntut dua dinar. Jika upahnya empat dinar, maka istri berhak menuntut satu dinar. Jika berpegang pada pendapat baru: bahwa pengembalian didasarkan pada mahar mitsil, maka dari mahar gugur sepertiga, yaitu setengah dari yang diajarkan, dan suami berhak menuntut upah mengajar sepertiga sisanya, sedangkan istri berhak menuntut sisa setengah dari maharnya, yaitu seperenam mahar mitsil.
وَإِنْ كَانَ قَدْ عَلَّمَهَا أَقَلَّ مِنَ النِّصْفِ كَأَنَّهُ عَلَّمَهَا الثُّلُثَ.
Jika suami telah mengajarkan kurang dari setengah, misalnya sepertiga.
فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْقُرْآنَ مُتَسَاوِي الْأَجْزَاءِ، وَأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُعَلِّمَهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ فعليه أن يعلمها تمام النصف، وما اسْتَوْفَتْ.
Jika dikatakan bahwa Al-Qur’an bagian-bagiannya setara, dan boleh mengajarkan sisanya setelah talak, maka suami wajib mengajarkan hingga genap setengah, dan istri berhak menerima apa yang telah diajarkan.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ مُتَسَاوِي الْأَجْزَاءِ وَأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَلِّمَهَا سَقَطَ عَنْهُ مِنَ الصَّدَاقِ بِقِسْطِ مَا عَلَّمَ وَهُوَ الثُّلُثُ، وَبَقِيَ لَهَا تَمَامُ النِّصْفِ وَهُوَ السُّدُسُ، فَتَرْجِعُ عَلَيْهِ فِي قَوْلِهِ الْقَدِيمِ بِالسُّدُسِ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ، وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ بِالسُّدُسِ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Jika dikatakan bahwa bagian-bagiannya setara dan tidak boleh mengajarkan sisanya, maka dari mahar gugur sesuai bagian yang telah diajarkan, yaitu sepertiga, dan sisanya menjadi hak istri, yaitu seperenam. Maka menurut pendapat lama, istri berhak menuntut seperenam dari upah sepadan, dan menurut pendapat baru, seperenam dari mahar mitsil.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الْقُرْآنَ غَيْرُ مُتَسَاوِي الْأَجْزَاءِ تَرَتَّبَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ.
Jika dikatakan bahwa Al-Qur’an bagian-bagiannya tidak setara, maka hal itu kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الرُّجُوعَ يَكُونُ بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ، قُوِّمَتْ أُجْرَةُ الْجَمِيعِ عَلَى مَا وَصَفْنَا فَإِذَا قِيلَ: عَشْرَةٌ نُظِرَتْ أُجْرَةُ الثُّلُثِ، فَإِنْ قِيلَ: خَمْسَةٌ فَقَدِ اسْتَوْفَتْ، وَإِنْ قِيلَ: ثَلَاثَةٌ رَدَّ عَلَيْهَا دِينَارَيْنِ، وَإِنْ قِيلَ: سِتَّةٌ رَدَّتْ عَلَيْهِ دِينَارًا.
Jika dikatakan bahwa pengembalian didasarkan pada upah sepadan, maka dinilai upah seluruhnya seperti yang telah dijelaskan. Jika dikatakan sepuluh dinar, maka dilihat upah sepadan untuk sepertiga. Jika dikatakan lima dinar, berarti istri telah menerima haknya. Jika dikatakan tiga dinar, maka suami mengembalikan dua dinar. Jika dikatakan enam dinar, maka istri mengembalikan satu dinar.
وَإِذَا قِيلَ: إِنَّ الرُّجُوعَ يَكُونُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ سَقَطَ عَنْهُ مِنَ الصَّدَاقِ نِصْفُ الثُّلُثِ وَهُوَ السُّدُسُ، وَرَجَعَ عَلَيْهَا بِأُجْرَةِ مِثْلِ السُّدُسِ الباقي، وَرَجَعَتْ عَلَيْهِ بِبَقِيَّةِ النِّصْفِ مِنَ الصَّدَاقِ وَهُوَ ثُلُثُ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Dan jika dikatakan bahwa pengembalian didasarkan pada mahar mitsil, maka dari mahar gugur setengah dari sepertiga, yaitu seperenam, dan suami berhak menuntut upah sepadan untuk seperenam sisanya, sedangkan istri berhak menuntut sisa setengah dari mahar, yaitu sepertiga mahar mitsil.
وَهَذَا الْكَلَامُ فِي أَحَدِ فصلي المسألة، وأرجو أن أَلَّا يَكُونَ قَدْ خَرَجَ بِنَا الِاسْتِيفَاءُ إِلَى الْإِغْمَاضِ.
Inilah pembahasan pada salah satu bagian masalah ini, dan saya berharap penjelasan ini tidak membuat kita terjerumus pada kekaburan.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي مِنْهُمَا وَهُوَ: أَنْ يُصْدِقَهَا الْمَجِيءَ بِعَبْدِهَا الْآبِقِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَيَتَرَتَّبُ ذَلِكَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الضَّرْبَيْنِ فِي صِحَّةِ الصَّدَاقِ وَفَسَادِهِ.
Adapun bagian kedua dari keduanya, yaitu: seorang suami menjadikan mahar kepada istrinya berupa mendatangkan budaknya yang melarikan diri, kemudian ia menceraikannya, maka hal itu bergantung pada apa yang telah kami sebutkan mengenai dua jenis dalam sah atau rusaknya mahar.
فَإِنْ كَانَ عَلَى الضَّرْبِ الَّذِي يَكُونُ فِيهِ الصَّدَاقُ صَحِيحًا بِأَنْ يَكُونَ مَكَانُ الْعَبْدِ مَعْلُومًا فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Jika termasuk pada jenis yang mahar di dalamnya sah, yaitu tempat budak tersebut diketahui, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ جاءها بالعبد الآبق أو لم يجيئها بِهِ.
Yaitu, apakah ia telah mendatangkan budak yang melarikan diri itu kepada istrinya atau belum mendatangkannya.
فَإِنْ كَانَ قَدْ جَاءَهَا بِعَبْدِهَا فَلَا يَخْلُو حَالُ طَلَاقِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Jika ia telah mendatangkan budaknya kepada istrinya, maka keadaan talaknya tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ.
Yaitu, apakah talak itu terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri atau sesudahnya.
فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ: فَقَدِ اسْتَكْمَلَتْهُ وَاسْتَوْفَتْهُ، فَلَا تَرَاجُعَ بَيْنَهُمَا.
Jika talak itu terjadi setelah terjadi hubungan suami istri, maka istrinya telah menerima dan memperoleh mahar tersebut secara sempurna, sehingga tidak ada hak rujuk di antara keduanya.
وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا نصفه وقد استوفت جميعه له أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ أُجْرَةِ مِثْلِ الْمَجِيءِ بِالْآبِقِ.
Jika talak itu terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri, maka istrinya berhak atas setengahnya, dan karena ia telah menerima semuanya, maka suami berhak untuk mengambil kembali setengah dari upah sepadan atas usaha mendatangkan budak yang melarikan diri itu.
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ جَاءَهَا بِالْآبِقِ فَلَا يَخْلُو طَلَاقُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ.
Jika ia belum mendatangkan budak yang melarikan diri itu kepada istrinya, maka talaknya tidak lepas dari kemungkinan terjadi sebelum atau sesudah terjadi hubungan suami istri.
فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَتْهُ وَعَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَهَا بِالْآبِقِ لِيُوَفِّيَهَا الصَّدَاقَ.
Jika talak itu terjadi setelah terjadi hubungan suami istri, maka istrinya telah menerima mahar secara sempurna, dan suami wajib mendatangkan budak yang melarikan diri itu kepadanya untuk memenuhi mahar tersebut.
وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الدُّخُولِ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَجِيئَهَا بِالْآبِقِ؛ لِأَنَّهَا لَا تَسْتَحِقُّ جَمِيعَ الصَّدَاقِ وَلَا يَتَبَعَّضُ فَيُؤْخَذُ بِنِصْفِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَفِيمَا تَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
Jika talak itu terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri, maka suami tidak wajib mendatangkan budak yang melarikan diri itu, karena istrinya tidak berhak atas seluruh mahar dan mahar tersebut tidak dapat dibagi, sehingga diambil setengahnya saja. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat mengenai apa yang dapat diambil kembali oleh suami darinya:
أَحَدُهُمَا: هُوَ الْقَدِيمُ بِنِصْفِ أُجْرَةِ الْمِثْلِ.
Salah satunya, yaitu pendapat lama, adalah setengah dari upah sepadan atas usaha mendatangkan budak yang melarikan diri.
وَالثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Yang kedua, yaitu pendapat baru, adalah setengah dari mahar sepadan.
وَإِنْ كَانَ عَلَى الضَّرْبِ الَّذِي يَكُونُ الصَّدَاقُ فِيهِ فَاسِدًا، بِأَنْ يَكُونَ مَكَانُ الْعَبْدِ مَجْهُولًا، فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ قَدْ جَاءَهَا بِالْعَبْدِ أَوْ لَمْ يجيئها بِهِ.
Jika termasuk pada jenis yang mahar di dalamnya rusak, yaitu tempat budak tersebut tidak diketahui, maka keadaannya tidak lepas dari apakah ia telah mendatangkan budak itu kepada istrinya atau belum.
فَإِنْ كَانَ قَدْ جَاءَهَا بِهِ فَلَا يَخْلُو طَلَاقُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ.
Jika ia telah mendatangkan budak itu kepada istrinya, maka talaknya tidak lepas dari kemungkinan terjadi sebelum atau sesudah terjadi hubungan suami istri.
فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ كَانَ لَهَا أَنْ تَرْجِعَ عَلَيْهِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ قَوْلًا واحداً لفساد الصداق، ويرجع عليها بِأُجْرَةِ مِثْلِ الْمَجِيءِ بِالْآبِقِ، فَإِنْ كَانَا مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ تَقَاضَاهُ عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ وَتَرَادَّا الْفَضْلَ إِنْ كَانَ.
Jika talak itu terjadi setelah terjadi hubungan suami istri, maka istrinya berhak mengambil darinya mahar sepadan menurut satu pendapat karena mahar tersebut rusak, dan suami berhak mengambil darinya upah sepadan atas usaha mendatangkan budak yang melarikan diri. Jika keduanya berasal dari jenis yang sama, maka dilakukan perhitungan menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, dan kelebihan yang ada di antara keduanya dikembalikan jika memang ada.
وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الدُّخُولِ رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ وَرَجَعَ بِأُجْرَةِ مِثْلِ الْمَجِيءِ بِالْآبِقِ.
Jika talak itu terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri, maka istrinya berhak mengambil setengah dari mahar sepadan, dan suami berhak mengambil upah sepadan atas usaha mendatangkan budak yang melarikan diri.
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ جَاءَهَا بِالْعَبْدِ الْآبِقِ حَتَّى طَلَّقَهَا، لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ طَلَاقُهُ بَعْدَ الدُّخُولِ فَتَرْجِعُ عَلَيْهِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَلَا يُؤْخَذُ بِالْمَجِيءِ بِالْعَبْدِ، لِفَسَادِ الصَّدَاقِ فِيهِ، أَوْ يَكُونَ طَلَاقُهُ قَبْلَ الدُّخُولِ، فَتَرْجِعُ عَلَيْهِ بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Jika ia belum mendatangkan budak yang melarikan diri itu hingga menceraikannya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: jika talak itu terjadi setelah terjadi hubungan suami istri, maka istrinya berhak mengambil mahar sepadan darinya, dan tidak diambil darinya usaha mendatangkan budak, karena mahar di dalamnya rusak; atau jika talak itu terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri, maka istrinya berhak mengambil setengah dari mahar sepadan darinya.
قَالَ الْمُزَنِيُّ هَهُنَا: أَوْ بِنِصْفِ أُجْرَةِ الْمَجِيءِ بِالْآبِقِ. وَمِنْ هَذَا التَّخْرِيجِ قِيلَ بِتَجْوِيزِهِ هَذَا الصَّدَاقَ وَهُوَ خَطَأٌ لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Al-Muzani berkata di sini: atau setengah dari upah usaha mendatangkan budak yang melarikan diri. Dari penjelasan ini, ada yang berpendapat membolehkan mahar seperti ini, dan itu adalah kesalahan sebagaimana telah kami sebutkan. Allah lebih mengetahui.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي التَّزْوِيجِ عَلَى خِيَاطَةِ ثَوْبٍ بِعَيْنِهِ
Bagian: Pembahasan tentang pernikahan dengan mahar berupa menjahitkan pakaian tertentu.
مَسْأَلَةٌ
Masalah.
قَالَ الْمُزَنِيُّ: ” وَكَذَا لَوْ قَالَ نَكَحْتُ عَلَى خِيَاطَةِ ثوبٍٍ بعينه فهلك الثوب فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ قَوْلِهِ لَوْ مَاتَ رَجَعَتْ فِي مَالِهِ بِأَجْرِ مِثْلِهِ فِي تَعْلِيمِهِ “.
Al-Muzani berkata: “Demikian pula jika seseorang berkata, ‘Aku menikah dengan mahar berupa menjahitkan pakaian tertentu,’ lalu pakaian itu rusak, maka istrinya berhak mendapatkan mahar sepadan. Ini lebih kuat daripada pendapatnya yang mengatakan, ‘Jika pakaian itu mati (rusak), maka istrinya mengambil dari hartanya upah sepadan dalam mengajarkannya.'”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَأَصْدَقَهَا خِيَاطَةَ ثَوْبٍ بِعَيْنِهِ، فَهَذَا يَجُوزُ إِذَا وُصِفَتِ الْخِيَاطَةُ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَعْقِدَ عَلَيْهِ إِجَارَةً فَإِنْ تَجَدَّدَ مَا يَمْنَعُ عَنْ خِيَاطَتِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan menjadikan mahar kepadanya berupa menjahitkan pakaian tertentu. Hal ini boleh jika sifat jahitannya dijelaskan, sebagaimana boleh juga mengadakan akad sewa atasnya. Jika kemudian terjadi sesuatu yang menghalangi untuk menjahitkannya, maka ada dua kemungkinan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بِتَلَفِ الثَّوْبِ.
Pertama: karena pakaian tersebut rusak.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بِعُطْلَةِ الزَّوْجِ بِزَمَانَةٍ أَوْ عَمَى.
Kedua: karena suami mengalami halangan seperti sakit lumpuh atau buta.
فَإِنْ تَلَفَ الثَّوْبُ فَفِي بُطْلَانِ الصَّدَاقِ وَجْهَانِ:
Jika pakaian itu rusak, maka dalam batalnya mahar terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الْمُزَنِيُّ هَهُنَا: أَنَّ الصَّدَاقَ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّهُ مُعَيَّنٌ فِي تَالِفٍ فَصَارَ كَمَا لَوْ أَصْدَقَهَا حَصَادَ زَرْعٍ فَهَلَكَ.
Salah satu pendapat—dan inilah yang dinyatakan oleh al-Muzani di sini—bahwa mahar tersebut batal, karena mahar itu ditentukan pada sesuatu yang telah rusak, sehingga keadaannya seperti jika seseorang menjadikan hasil panen tanaman sebagai mahar, lalu panen itu rusak.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الصَّدَاقَ جَائِزٌ؛ لِأَنَّ الثَّوْبَ مُسْتَوْفًى بِهِ الصَّدَاقُ وَلَيْسَ هُوَ الصَّدَاقَ فَصَارَ كَمَنِ اسْتَأْجَرَ دَارًا لِيَسْكُنَهَا أَوْ دَابَّةً لِيَرْكَبَهَا فَهَلَكَ قَبْلَ السُّكْنَى وَالرُّكُوبِ، لَمْ تَبْطُلِ الْإِجَارَةُ؛ لِهَلَاكِ مَنْ تُسْتَوْفَى بِهِ الْمَنْفَعَةُ، كَذَلِكَ تَلَفُ الثَّوْبِ قَبْلَ الْخِيَاطَةِ.
Pendapat kedua: mahar tersebut sah, karena kain itu hanyalah sarana untuk memenuhi mahar, dan bukan mahar itu sendiri. Keadaannya seperti seseorang yang menyewa rumah untuk ditinggali atau menyewa hewan tunggangan untuk dinaiki, lalu rumah atau hewan itu rusak sebelum digunakan, maka akad sewanya tidak batal hanya karena rusaknya sarana pemanfaatan, demikian pula rusaknya kain sebelum dijahit.
وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَنْ خَالَعَ زَوْجَتَهُ عَلَى رَضَاعِ وَلَدِهِ فَمَاتَ، هَلْ يَبْطُلُ بِمَوْتِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ لِأَنَّ الْوَلَدَ يُسْتَوْفَى بِهِ الرَّضَاعُ الْمُسْتَحَقُّ.
Dua pendapat ini diambil dari perbedaan pendapat beliau mengenai seseorang yang melakukan khulu‘ terhadap istrinya dengan imbalan menyusui anaknya, lalu anak itu meninggal dunia: apakah khulu‘ itu batal karena kematian anak atau tidak? Ada dua pendapat, karena anak tersebut adalah sarana untuk memenuhi hak menyusui yang menjadi imbalan.
وَإِنْ تَعَطَّلَ الزَّوْجُ عَنِ الْخِيَاطَةِ بِعَمَى أَوْ بِزَمَانَةٍ مَعَ بَقَاءِ الثَّوْبِ فَإِنْ كَانَ الصَّدَاقُ فِي ذِمَّتِهِ لَزِمَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَنْ يَقُومُ بِخِيَاطَتِهِ وَلَا يَبْطُلُ الصَّدَاقُ بِزَمَانَتِهِ.
Jika suami tidak mampu menjahit karena buta atau cacat, sementara kainnya masih ada, maka jika mahar itu menjadi tanggungannya, ia wajib menyewa orang lain untuk menjahitkannya, dan mahar tidak batal karena kecacatannya.
وَإِنْ كَانَ الصَّدَاقُ مَعْقُودًا عَلَيْهِ فِي عَيْنِهِ بَطَلَ بِزَمَانَتِهِ وَعُطْلَتِهِ؛ لِأَنَّ الصَّدَاقَ مُسْتَوْفًى مِنْهُ، فَبَطَلَ بِتَلَفِهِ كَمَوْتِ الْعَبْدِ الْمُسْتَأْجَرِ، وَانْهِدَامِ الدَّارِ الْمُكْرَاةِ. فَصَارَ اسْتِيفَاءُ الصَّدَاقِ مُتَعَلِّقًا بِثَلَاثَةِ أَشْخَاصٍ: مُسْتَوْفًى لَهُ، وَمُسْتَوْفًى بِهِ، وَمُسْتَوْفًى مِنْهُ.
Namun jika mahar itu diakadkan atas dirinya secara khusus, maka batal karena kecacatannya dan ketidakmampuannya, karena mahar itu harus dipenuhi darinya, sehingga batal dengan hilangnya kemampuan itu, sebagaimana kematian budak yang disewa atau runtuhnya rumah yang disewakan. Maka, pemenuhan mahar terkait dengan tiga pihak: yang berhak menerima, sarana pemenuhan, dan pihak yang memenuhi.
فَالْمُسْتَوْفَى لَهُ: هِيَ الزَّوْجَةُ، وَمَوْتُهَا لَا يُؤَثِّرُ فِي فَسَادِهِ.
Yang berhak menerima adalah istri, dan kematiannya tidak berpengaruh pada batalnya mahar.
وَالْمُسْتَوْفَى مِنْهُ: هُوَ الزَّوْجُ، وَمَوْتُهُ مُؤَثِّرٌ فِي فَسَادِهِ.
Yang memenuhi adalah suami, dan kematiannya berpengaruh pada batalnya mahar.
وَالْمُسْتَوْفَى بِهِ: هُوَ الثَّوْبُ وَفِي فَسَادِ الصَّدَاقِ بِتَلَفِهِ وَجْهَانِ.
Sarana pemenuhan adalah kain, dan dalam batalnya mahar karena rusaknya kain terdapat dua pendapat.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ. فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الصَّدَاقَ لَا يَبْطُلُ بِتَلَفِ الثَّوْبِ فَلَهَا أَنْ تَأْتِيَهُ بِثَوْبٍ مِثْلِهِ حَتَّى يَخِيطَهُ.
Setelah penjelasan ini, jika kita mengatakan bahwa mahar tidak batal karena rusaknya kain, maka istri boleh membawa kain lain yang sejenis agar suami menjahitnya.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ الصَّدَاقَ قَدْ بَطَلَ بِتَلَفِ الثَّوْبِ فَفِيمَا تَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
Namun jika kita mengatakan bahwa mahar batal karena rusaknya kain, maka terkait apa yang dapat ia tuntut dari suami, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ.
Salah satunya—dan ini pendapat lama—adalah upah sepadan (ujrah al-mitsl).
وَالثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ مَهْرُ الْمِثْلِ.
Yang kedua—dan ini pendapat baru—adalah mahar sepadan (mahr al-mitsl).
فَلَوْ كَانَ الزَّوْجُ عَلَى سَلَامَتِهِ وَالثَّوْبُ بَاقِيًا فَطَلَّقَهَا كَانَ كَمَا لَوْ طَلَّقَهَا وَقَدْ أَصْدَقَهَا تَعْلِيمَ الْقُرْآنِ فَيَكُونُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ.
Seandainya suami masih sehat dan kain masih ada, lalu ia menceraikannya, maka keadaannya seperti jika ia menceraikan istrinya setelah menjadikan pengajaran al-Qur’an sebagai mahar, sehingga terbagi menjadi tiga keadaan.
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ خَاطَ لَهَا جَمِيعَ الثَّوْبِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الطَّلَاقِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ.
Pertama: suami telah menjahit seluruh kain untuk istrinya, maka pada saat perceraian, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: sebelum atau sesudah terjadi hubungan suami istri.
فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَتْهُ وَاسْتَوْفَتْهُ فَلَا تَرَاجُعَ بَيْنَهُمَا.
Jika setelah terjadi hubungan suami istri, maka istri telah menerima dan memperoleh seluruh mahar, sehingga tidak ada tuntutan antara keduanya.
وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَقَدْ مَلَكَ الزَّوْجُ نِصْفَ الصَّدَاقِ، وَقَدِ اسْتَوْفَتْ جَمِيعَهُ، فَيَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ أُجْرَةِ الْخِيَاطَةِ.
Jika sebelum terjadi hubungan suami istri, maka suami berhak atas setengah mahar, sementara istri telah menerima seluruhnya, sehingga suami berhak menuntut setengah upah menjahit.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَلَّا يَكُونَ قَدْ خَاطَهُ وَلَا شَيْئًا مِنْهُ.
Keadaan kedua: suami belum menjahit kain itu sama sekali.
فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَعْدَ الدُّخُولِ أَخَذَ الزَّوْجُ بِخِيَاطَةِ الثَّوْبِ.
Jika perceraian terjadi setelah hubungan suami istri, maka suami wajib menjahit kain tersebut.
وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَإِنْ كَانَتْ خِيَاطَةُ الثَّوْبِ تَتَجَزَّأُ أَوْ تَتَبَعَّضُ أَخَذَ الزَّوْجُ بِخِيَاطَةِ نِصْفِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَتَجَزَّأُ لَمْ يُؤْخَذْ بِخِيَاطَتِهِ، وَكَانَ فِيمَا يَلْزَمُهُ لَهَا قَوْلَانِ:
Jika sebelum terjadi hubungan suami istri, dan pekerjaan menjahit kain itu bisa dibagi-bagi, maka suami hanya wajib menjahit setengahnya. Namun jika tidak bisa dibagi, maka suami tidak wajib menjahitnya, dan terkait kewajiban suami terhadap istri terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: نِصْفُ أُجْرَةِ الْمِثْلِ.
Salah satunya: setengah upah sepadan (ujrah al-mitsl).
وَالثَّانِي: نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Yang kedua: setengah mahar sepadan (mahr al-mitsl).
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ خَاطَ بَعْضَهُ وَبَقِيَ بَعْضُهُ.
Keadaan ketiga: suami telah menjahit sebagian kain dan sisanya belum dijahit.
فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَعْدَ الدُّخُولِ أَخَذَ بِإِتْمَامِ خِيَاطَتِهِ.
Jika perceraian terjadi setelah hubungan suami istri, maka suami wajib menyelesaikan jahitannya.
وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا نِصْفُهُ، فَيُرَاعَى قَدْرُ مَا خَاطَهُ، وَحَالُ تَجْزِئَتِهِ وَتَبْعِيضِهِ، وَيُرَاعَى فِيهِ مَا رُوعِيَ فِي تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ مِنِ اعْتِبَارِ أَقْسَامِهِ الثَّلَاثَةِ فِي أَنَّ خِيَاطَةَ الْبَعْضِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ النِّصْفَ، أَوْ أَقَلَّ مِنَ النِّصْفِ، أَوْ أَكْثَرَ مِنَ النِّصْفِ، فَيُحْمَلُ عَلَى مَا تَقَدَّمَ جَوَابُهُ. وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.
Jika talak terjadi sebelum terjadi hubungan (dukhūl), maka istri berhak atas setengahnya. Maka diperhatikan kadar apa yang telah dijahitnya, serta keadaan pembagian dan pemisahannya. Dalam hal ini diperhatikan pula apa yang diperhatikan dalam pengajaran al-Qur’an, yaitu mempertimbangkan tiga bagiannya: bahwa menjahit sebagian bisa jadi setengah, kurang dari setengah, atau lebih dari setengah, maka diperlakukan sebagaimana telah dijelaskan jawabannya sebelumnya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.
صداق ما يزيد ببدنه وينقص من الجامع وغير ذلك من كتاب الصداق ونكاح القديم ومن اختلاف الحديث ومن مسائل شتى
Mahar yang bertambah atau berkurang karena fisiknya, dari kitab mahar, nikah lama, perbedaan hadis, dan dari berbagai permasalahan lainnya.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَكُلُّ مَا أَصْدَقَهَا فَمَلَكَتْهُ بِالْعُقْدَةِ وَضَمِنَتْهُ بِالدَّفْعِ فَلَهَا زِيَادَتُهُ وَعَلَيْهَا نُقْصَانُهُ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Segala sesuatu yang dijadikan mahar oleh suami, maka istri memilikinya dengan akad dan menanggungnya dengan penerimaan, maka ia berhak atas pertambahannya dan menanggung kekurangannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الزَّوْجَةُ مَالِكَةٌ لِجَمِيعِ الصَّدَاقِ بِنَفْسِ الْعَقْدِ. وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: istri menjadi pemilik seluruh mahar dengan akad itu sendiri. Ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah.
وَقَالَ مَالِكٌ: قَدْ مَلَكَتْ بِالْعَقْدِ نِصْفَهُ وَبِالدُّخُولِ بَاقِيَهُ.
Malik berkata: Istri memiliki setengahnya dengan akad, dan sisanya dengan terjadinya hubungan (dukhūl).
اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ لَوْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ لَمْ يَكُنْ لَهَا إِلَّا نِصْفُهُ، وَلَوْ كَانَتْ مَالِكَةً لِجَمِيعِهِ مَا زَالَ مِلْكُهَا عَنْ نِصْفِهِ إِلَّا بِعَقْدٍ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا لم تملك منه إلا النصف.
Dengan dalil bahwa jika suami menceraikannya sebelum dukhūl, maka istri hanya berhak atas setengahnya. Seandainya ia telah memiliki seluruhnya, tentu kepemilikannya atas setengah itu tidak akan hilang kecuali dengan akad baru. Maka hal ini menunjukkan bahwa ia hanya memiliki setengahnya saja.
أو لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مِلْكُ الصَّدَاقِ مُقَابِلًا لَمِلْكِ الْبُضْعِ لَتَسَاوَيَا فِي التَّأْجِيلِ وَالتَّنْجِيمِ حَتَّى يَجُوزَ تَأْجِيلُ الْبُضْعِ وَتَنْجِيمُهُ كَمَا يَجُوزُ فِي الصَّدَاقِ.
Atau karena jika kepemilikan mahar itu sebagai imbalan atas kepemilikan tubuh (būḍ‘), maka keduanya harus sama dalam hal penundaan dan pembayaran bertahap, sehingga boleh menunda penyerahan tubuh dan membayarnya secara bertahap sebagaimana boleh pada mahar.
أَوْ لَا يَجُوزُ فِي الصَّدَاقِ كَمَا لَا يَجُوزُ فِي الْبُضْعِ، فَلَمَّا اخْتَصَّ الصَّدَاقُ بِجَوَازِ التَّأْجِيلِ وَالتَّنْجِيمِ دُونَ الْبُضْعِ اخْتَصَّ بِتَمْلِيكِ الْبَعْضِ وَإِنْ مَلَكَ جَمِيعَ الْبُضْعِ.
Atau tidak boleh pada mahar sebagaimana tidak boleh pada tubuh, maka ketika mahar secara khusus boleh ditunda dan dibayar bertahap sedangkan tubuh tidak, maka demikian pula dalam hal kepemilikan sebagian, meskipun seluruh tubuh telah dimiliki.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً) {النساء: 4) وَفِي ذَلِكَ دَلِيلَانِ:
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan berikanlah kepada para wanita mahar mereka sebagai pemberian dengan penuh kerelaan} (an-Nisā’: 4). Dalam ayat ini terdapat dua dalil:
أَحَدُهُمَا: إِضَافَةُ جَمِيعِ الصَّدَاقِ إِلَيْهِنَّ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مِلْكُ جَمِيعِهِ لَهُنَّ.
Pertama: Penyandaran seluruh mahar kepada mereka, sehingga menunjukkan bahwa kepemilikan seluruhnya adalah milik mereka.
وَالثَّانِي: أَمْرُهُ بِدَفْعِ جَمِيعِهِ إِلَيْهِنَّ، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ جَمِيعُهُ حَقًّا لَهُنَّ.
Kedua: Perintah Allah untuk menyerahkan seluruhnya kepada mereka, sehingga menunjukkan bahwa semuanya adalah hak mereka.
وَلِأَنَّ الزَّوْجَ قَدْ مَلَكَ بِالْعَقْدِ جَمِيعَ الْبُضْعِ فَوَجَبَ أَنْ تُمَلَّكَ عَلَيْهِ بالعقد جميع المهر، كما أن المشتري لها مَلَكَ بِالْعَقْدِ جَمِيعَ الْمَبِيعِ مَلَكَ عَلَيْهِ جَمِيعَ الثَّمَنِ.
Dan karena suami telah memiliki seluruh tubuh (būḍ‘) dengan akad, maka wajib pula istri memiliki seluruh mahar dengan akad, sebagaimana pembeli memiliki seluruh barang yang dibeli dengan akad, maka ia juga memiliki seluruh harga (yang harus dibayar).
وَيَتَحَرَّرُ مِنْهُ قِيَاسَانِ:
Dari sini dapat diambil dua qiyās:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَقْدٌ تَضَمَّنَ بَدَلًا وَمُبْدَلًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِلْكُ الْبَدَلِ فِي مُقَابَلَةِ مِلْكِ الْمُبْدَلِ كَالْبَيْعِ.
Pertama: Bahwa akad ini mengandung adanya pengganti dan yang digantikan, maka wajib kepemilikan pengganti itu berbanding dengan kepemilikan yang digantikan, seperti dalam jual beli.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَحَدُ بَدَلَيِ الْعَقْدِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَمْلُوكًا بِالْعَقْدِ كَالْبُضْعِ.
Kedua: Bahwa mahar adalah salah satu dari dua pengganti dalam akad, maka wajib dimiliki dengan akad sebagaimana tubuh (būḍ‘).
وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَهَا الْمُطَالَبَةُ بِجَمِيعِهِ قَبْلَ الدُّخُولِ وَحَبْسُ نَفْسِهَا بِهِ إِنِ امْتَنَعَ وَأَنْ تَضْرِبَ بِجَمِيعِهِ مَعَ غُرَمَائِهِ إِنْ أَفْلَسَ، دَلَّ عَلَى أَنَّهَا مَالِكَةٌ لِجَمِيعِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَثْبُتَ لَهَا حُقُوقُ الْمِلْكِ مَعَ عَدَمِ الْمِلْكِ.
Dan karena istri berhak menuntut seluruh mahar sebelum dukhūl dan boleh menahan dirinya hingga diberikan, serta boleh menuntut seluruhnya bersama para kreditur jika suami bangkrut, maka hal ini menunjukkan bahwa ia adalah pemilik seluruhnya; karena tidak boleh hak-hak kepemilikan itu berlaku tanpa adanya kepemilikan.
فَأَمَّا اسْتِرْجَاعُ الزَّوْجِ نِصْفَهُ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا يَمْنَعُ أَنْ تَكُونَ مَالِكَةً لِمَا اسْتَرْجَعَهُ كَمَا لَوِ ارْتَدَّتْ قَبْلَ الدُّخُولِ، أَوْ فَسَخَتْ نِكَاحَهُ بِعَيْبٍ اسْتَرْجَعَ جَمِيعَهُ وَلَمْ يَمْنَعْ أَنْ تَكُونَ مَالِكَةً لِمَا اسْتَرْجَعَهُ، وَكَمَا يَسْتَرْجِعُ الْمُشْتَرِي الثَّمَنَ إِذَا رَدَّ بِعَيْبٍ وَلَا يَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ الْبَائِعُ مَالِكًا لَهُ.
Adapun suami mengambil kembali setengah mahar karena talak sebelum dukhūl, itu tidak menghalangi istri untuk tetap menjadi pemilik atas apa yang diambil kembali, sebagaimana jika ia murtad sebelum dukhūl, atau ia membatalkan nikahnya karena cacat, maka suami mengambil kembali seluruhnya dan itu tidak menghalangi istri untuk tetap menjadi pemilik atas apa yang diambil kembali. Demikian pula pembeli mengambil kembali harga jika barang dikembalikan karena cacat, dan itu tidak menghalangi penjual untuk tetap menjadi pemilik atas harga tersebut.
وَأَمَّا اخْتِلَافُ الصَّدَاقِ وَالْبُضْعِ فِي التَّأْجِيلِ وَالتَّنْجِيمِ فَلَا يَقْتَضِي اخْتِلَافَهُمَا فِي التَّمْلِيكِ كَمَا أَنَّ بُيُوعَ الْأَعْيَانِ يَجُوزُ التَّأْجِيلُ وَالتَّنْجِيمُ فِي أَثْمَانِهَا، وَلَا يَجُوزُ فِيهَا، وَلَا يَمْنَعُ مِنْ تَسَاوِيهِمَا فِي أَنَّهُمَا قَدْ ملكا بنفس العقد.
Adapun perbedaan antara mahar dan tubuh (būḍ‘) dalam hal penundaan dan pembayaran bertahap, tidak meniscayakan perbedaan dalam hal kepemilikan, sebagaimana dalam jual beli barang, boleh menunda dan membayar harga secara bertahap, tetapi tidak boleh pada barangnya, dan hal itu tidak menghalangi keduanya untuk sama-sama dimiliki dengan akad.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي ضَمَانِ الزَّوْجِ لِلصَّدَاقِ وَقْتُ الضَّمَانِ وَنَوْعُهُ
Fasal: Pembahasan tentang jaminan suami atas mahar, waktu jaminan, dan jenisnya.
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا مَالِكَةٌ لِجَمِيعِ الصَّدَاقِ بِنَفْسِ الْعَقْدِ فَهُوَ مَضْمُونٌ عَلَى الزَّوْجِ حَتَّى تَقْبِضَهُ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ مَمْلُوكٌ عَلَيْهِ بِعَقْدِ معاوضة، فوجب أن يكون مضموناً عليه كالمبيع.
Jika telah tetap bahwa ia (istri) menjadi pemilik seluruh mahar dengan sendirinya melalui akad, maka mahar itu menjadi tanggungan suami hingga ia (istri) menerimanya darinya; karena mahar itu menjadi miliknya (istri) atas suami melalui akad mu‘āwaḍah (pertukaran), maka wajib menjadi tanggungan suami sebagaimana barang yang dijual.
وَإِذَا كَانَ مَضْمُونًا عَلَى الزَّوْجِ فَهُوَ مَضْمُونُ الْأَصْلِ، وَمَضْمُونُ النَّقْصِ.
Dan jika mahar itu menjadi tanggungan suami, maka ia menjadi tanggungan atas pokoknya dan juga atas kekurangannya.
فَأَمَّا ضَمَانُ الْأَصْلِ: فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ: هَلْ يُضْمَنُ بِمَا فِي مُقَابَلَتِهِ أَوْ بِهِ فِي نَفْسِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Adapun jaminan atas pokoknya: telah terjadi perbedaan pendapat dari Imam Syafi‘i tentang hal ini: apakah dijamin dengan sesuatu yang menjadi imbalannya atau dengan dirinya sendiri, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّهُ يُضْمَنُ بِمَا فِي مُقَابَلَتِهِ وَهُوَ الْبُضْعُ، وَلَيْسَ لِلْبُضْعِ مِثْلٌ فَضُمِنَ بِقِيمَتِهِ، وَقِيمَتُهُ مَهْرُ الْمِثْلِ، فَيَكُونُ الصَّدَاقُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ مَضْمُونًا عَلَى الزَّوْجِ إِنْ تَلَفَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ.
Salah satunya, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid: bahwa mahar itu dijamin dengan sesuatu yang menjadi imbalannya, yaitu al-buḍ‘ (kemaluan), dan al-buḍ‘ tidak memiliki padanan, maka dijamin dengan nilainya, dan nilainya adalah mahar mitsil (mahar yang sepadan), sehingga menurut pendapat ini mahar menjadi tanggungan suami, jika rusak, dengan mahar mitsil.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهُ يَكُونُ مَضْمُونًا فِي نَفْسِهِ لَا بِمَا فِي مُقَابَلَتِهِ كَسَائِرِ الْأَعْيَانِ الْمَضْمُونَةِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الصَّدَاقُ مِمَّا لَهُ مِثْلٌ كَالدَّرَاهِمِ، وَالدَّنَانِيرِ وَالْبُرِّ، وَالشَّعِيرِ، ضَمِنَهُ بِمِثْلِهِ فِي جِنْسِهِ، وَنَوْعِهِ، وَصِفَتِهِ، وَقَدْرِهِ. وَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا مِثْلَ لَهُ كَالثِّيَابِ، وَالْعَبِيدِ وَالْمَوَاشِي، ضَمِنَهُ بِقِيمَتِهِ. وَفِي كَيْفِيَّةِ ضَمَانِهِ قَوْلَانِ:
Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim, bahwa mahar itu menjadi tanggungan dengan dirinya sendiri, bukan dengan sesuatu yang menjadi imbalannya, sebagaimana benda-benda lain yang dijamin. Maka menurut pendapat ini, jika mahar itu berupa sesuatu yang memiliki padanan seperti dirham, dinar, gandum, dan jelai, maka dijamin dengan padanannya dalam jenis, macam, sifat, dan ukurannya. Jika berupa sesuatu yang tidak memiliki padanan seperti pakaian, budak, dan hewan ternak, maka dijamin dengan nilainya. Dalam tata cara penjaminannya ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: ضَمَانُ عَقْدٍ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ قِيمَتُهُ يَوْمَ أَصْدَقَ.
Salah satunya: penjaminan karena akad, maka menurut pendapat ini wajib mengganti dengan nilainya pada hari mahar itu ditetapkan.
وَالثَّانِي: ضَمَانُ غَصْبٍ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ قِيمَتُهُ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ مِنْ حِينِ أَصْدَقَ إِلَى أَنْ تَلِفَ.
Yang kedua: penjaminan karena ghashab (perampasan), maka menurut pendapat ini wajib mengganti dengan nilai tertinggi sejak mahar itu ditetapkan hingga rusak.
وَأَمَّا ضَمَانُ النَّقْصِ، فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِاخْتِلَافِ حَالَيْهِ فِي تَمْيِيزِهِ وَاتِّصَالِهِ.
Adapun penjaminan atas kekurangan, maka hal itu dipertimbangkan berdasarkan perbedaan keadaan dalam membedakan dan keterkaitannya.
فَإِنْ كَانَ النُّقْصَانُ مُتَمَيِّزًا كَتَلَفِ أَحَدِ الثَّوْبَيْنِ، وَمَوْتِ أَحَدِ الْعَبْدَيْنِ، ضَمِنَهُ ضَمَانَ الْأَصْلِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ.
Jika kekurangan itu dapat dibedakan, seperti rusaknya salah satu dari dua kain, atau matinya salah satu dari dua budak, maka dijamin sebagaimana penjaminan atas pokoknya menurut dua pendapat yang telah kami sebutkan.
وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ: كَمَرَضِ الْعَبْدِ، وَإِخْلَاقِ الثَّوْبِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Jika tidak dapat dibedakan, seperti sakitnya budak atau rusaknya kain, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَضْمَنُهُ بِأَرْشِ النَّقْصِ، وَهَذَا عَلَى الْقَدِيمِ الَّذِي جَعَلَ تَلَفَ الْأَصْلِ مُوجِبًا لِضَمَانِ قِيمَتِهِ.
Salah satunya: bahwa ia dijamin dengan arsy (ganti rugi) atas kekurangannya, dan ini menurut qaul qadim yang menetapkan bahwa rusaknya pokok mewajibkan penjaminan dengan nilainya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ ضَمَانَهُ لَهُ مُوجِبٌ لِخِيَارِ الزَّوْجَةِ، بَيْنَ أَنْ تُقِيمَ عَلَيْهِ بنقض أو تفسخ وَتَرْجِعَ إِلَى مَهْرِ الْمِثْلِ. وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الْجَدِيدِ الَّذِي يَجْعَلُ تَلَفَ الْأَصْلِ مُوجِبًا لِمَهْرِ الْمِثْلِ.
Pendapat kedua: bahwa penjaminan tersebut memberikan hak khiyar (memilih) bagi istri, antara tetap bersama suami dengan kekurangan tersebut atau membatalkan akad dan kembali kepada mahar mitsil. Dan ini menurut qaul jadid yang menetapkan bahwa rusaknya pokok mewajibkan mahar mitsil.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي بَيْعِ الصَّدَاقِ قَبْلَ الْقَبْضِ
Fasal: Pembahasan tentang menjual mahar sebelum diterima
فَإِذَا اسْتَقَرَّ أَنَّ الْأَصْلَ مَضْمُونٌ عَلَى الزَّوْجِ بِمَا ذَكَرْنَا فَلَيْسَ لِلزَّوْجَةِ أَنَّ تُعَاوِضَ عَلَيْهِ قَبْلَ قَبْضِهِ، كَمَا لَا تُعَاوِضُ عَلَى مَا ابْتَاعَتْهُ قَبْلَ الْقَبْضِ.
Jika telah tetap bahwa pokok mahar menjadi tanggungan suami sebagaimana telah kami sebutkan, maka istri tidak boleh melakukan transaksi pertukaran atasnya sebelum menerimanya, sebagaimana ia tidak boleh melakukan transaksi atas barang yang ia beli sebelum menerimanya.
الْقَوْلُ فِي النَّمَاءِ الحادث من الصداق من يَدِ الزَّوْجِ
Pembahasan tentang pertumbuhan (hasil) baru dari mahar yang berada di tangan suami
وَإِنْ حَدَثَ مِنَ الصَّدَاقِ فِي يَدِ الزَّوْجِ نَمَاءٌ كَالنِّتَاجِ وَالثَّمَرَةِ، كَانَ جَمِيعُهُ مِلْكًا لِلزَّوْجَةِ؛ لِأَنَّهَا مَالِكَةٌ لِجَمِيعِ الْأَصْلِ.
Jika dari mahar yang berada di tangan suami muncul pertumbuhan seperti anak atau buah, maka seluruhnya menjadi milik istri; karena ia adalah pemilik seluruh pokoknya.
وَعِنْدَ مَالِكٍ: أَنَّهَا مَالِكَةٌ لِنِصْفِهِ، لِأَنَّهَا عِنْدَهُ مَالِكَةٌ لِنِصْفِ الْأَصْلِ.
Menurut Imam Malik: ia (istri) hanya memiliki setengahnya, karena menurut beliau istri hanya memiliki setengah pokoknya.
الْقَوْلُ فِي ضَمَانِ النَّمَاءِ
Pembahasan tentang penjaminan atas pertumbuhan (hasil)
وَإِذَا كَانَتِ الزَّوْجَةُ مَالِكَةً لِجَمِيعِ النَّمَاءِ الْحَادِثِ فِي يَدِ الزَّوْجِ فَهَلْ يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَى الزَّوْجِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Jika istri menjadi pemilik seluruh pertumbuhan baru yang muncul dari mahar di tangan suami, maka apakah pertumbuhan itu menjadi tanggungan suami atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَيْهِ تَبَعًا لِأَصْلِهِ.
Salah satunya: menjadi tanggungan suami sebagai turunan dari pokoknya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَيْهِ، وَيَكُونُ أَمَانَةً فِي يَدِهِ؛ لِأَنَّ الْعَقْدَ تَنَاوَلَ الْأَصْلَ دُونَ النَّمَاءِ، فَأَوْجَبَ ضَمَانَ الْأَصْلِ دُونَ النَّمَاءِ.
Pendapat kedua: tidak menjadi tanggungan suami, dan menjadi amanah di tangannya; karena akad hanya mencakup pokoknya, bukan pertumbuhannya, sehingga yang wajib dijamin hanya pokoknya, bukan pertumbuhannya.
الْقَوْلُ فِي ضَمَانِ الزَّوْجَةِ لِصَدَاقِهَا
Pembahasan tentang penjaminan istri atas maharnya
وَإِذَا قَبَضَتِ الزَّوْجَةُ الصَّدَاقَ صَارَ جَمِيعُهُ مِنْ ضَمَانِهَا، وَكَانَ لَهَا جَمِيعُ مَا حَدَثَ فِيهِ مِنْ نَمَاءٍ.
Jika istri telah menerima mahar, maka seluruhnya menjadi tanggungannya, dan ia berhak atas seluruh pertumbuhan yang terjadi padanya.
وَقَالَ مَالِكٌ: تَضْمَنُ نِصْفَ الَّذِي مَلَكَتْهُ وَالنِّصْفُ الْآخَرُ يَكُونُ فِي يَدِهَا أَمَانَةً لِلزَّوْجِ، وَلَا يَلْزَمُهَا ضَمَانُهُ، وَلَهُ نِصْفُ النَّمَاءِ.
Malik berkata: Ia (istri) menanggung setengah dari apa yang telah dimilikinya, dan setengah lainnya berada di tangannya sebagai amanah untuk suami, sehingga ia tidak wajib menanggungnya, dan suami berhak atas setengah dari hasil (perkembangan)nya.
وَبِنَاءُ ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ.
Dan hal ini dibangun di atas prinsip yang telah kami sebutkan sebelumnya, dan pembahasan tentangnya telah lalu.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ جِئْنَا إِلَى شَرْحِ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ.
Setelah penjelasan ringkas ini dipastikan, maka kita beralih kepada penjelasan perkataan asy-Syafi‘i.
قَالَ ” وَكُلُّ مَا أَصْدَقَهَا فَمَلَكَتْهُ بِالْعَقْدِ وَضَمِنَتْهُ بِالدَّفْعِ فَلَهَا زِيَادَتُهُ وَعَلَيْهَا نُقْصَانُهُ “.
Beliau berkata: “Segala sesuatu yang dijadikan mahar kepadanya lalu ia memilikinya dengan akad dan menanggungnya dengan penerimaan, maka ia berhak atas keuntungannya dan menanggung kerugiannya.”
وَهَذِهِ جُمْلَةٌ اخْتَصَرَهَا الْمُزَنِيُّ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ الأم، فإن الشافعي بسطه فأحسن المزني اختصاره.
Ini adalah ringkasan yang dibuat al-Muzani dari perkataan asy-Syafi‘i dalam kitab al-Umm, karena asy-Syafi‘i telah memaparkannya secara panjang lebar, dan al-Muzani telah merangkumnya dengan baik.
فقوله وَكُلُّ مَا أَصْدَقَهَا فَمَلَكَتْهُ بِالْعَقْدِ أَبَانَ عَنْ مذهبه أن الزَّوْجَةَ مَالِكَةٌ لِجَمِيعِ الصَّدَاقِ بِالْعَقْدِ، وَرَدَّ بِهِ قَوْلَ مَالِكٍ إِنَّهَا تَمْلِكُ نِصْفَهُ بِالْعَقْدِ.
Adapun ucapannya: “Segala sesuatu yang dijadikan mahar kepadanya lalu ia memilikinya dengan akad,” menunjukkan pendapatnya bahwa istri memiliki seluruh mahar dengan akad, dan dengan itu ia membantah pendapat Malik yang menyatakan bahwa istri hanya memiliki setengahnya dengan akad.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: وَضَمِنَتْهُ بِالدَّفْعِ فَصَحِيحٌ لِأَنَّهُ قَبْلَ دَفْعِهِ إِلَيْهَا مَضْمُونٌ عَلَى الزَّوْجِ دُونَهَا. فَإِذَا دُفِعَ إِلَيْهَا سَقَطَ ضَمَانُهُ عَنِ الزَّوْجِ، وَصَارَ مَضْمُونًا عليها.
Adapun ucapannya: “dan menanggungnya dengan penerimaan,” maka itu benar, karena sebelum diserahkan kepadanya, tanggungan (mahar) itu berada pada suami, bukan pada istri. Jika telah diserahkan kepadanya, maka tanggungan itu gugur dari suami dan menjadi tanggungan istri.
وَأَمَّا قَوْلُهُ: فَلَهَا زِيَادَتُهُ وَعَلَيْهَا نُقْصَانُهُ: فَنُقْصَانُهُ لَا يَكُونُ عَلَيْهَا إِلَّا إِذَا دُفِعَ إِلَيْهَا، وَإِلَّا فَهُوَ عَلَى الزَّوْجِ دُونَهَا. وَأَمَّا زِيَادَتُهُ فَهِيَ لَهَا قَبْلَ الدَّفْعِ وَبَعْدَهُ.
Adapun ucapannya: “maka ia berhak atas keuntungannya dan menanggung kerugiannya”: kerugiannya tidak menjadi tanggungannya kecuali setelah diserahkan kepadanya, adapun sebelum itu maka menjadi tanggungan suami, bukan istri. Adapun keuntungannya, maka itu menjadi hak istri baik sebelum maupun sesudah penyerahan.
فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ جَمَعَ بَيْنَ زِيَادَتِهِ وَنُقْصَانِهِ فِي أَنْ جَعَلَ ضَمَانَهَا بِالدَّفْعِ مُوجِبًا لَهَا، وَهَذَا الشَّرْطُ يَصِحُّ فِي النُّقْصَانِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ عَلَيْهَا إِلَّا إِذَا ضَمِنَتْهُ بِالدَّفْعِ، أَمَّا الزِّيَادَةُ فَلَا يَصِحُّ هَذَا الشَّرْطُ فِيهَا؛ لِأَنَّهَا لَهَا قَبْلَ دَفْعِهِ إِلَيْهَا وَبَعْدَهُ.
Jika dikatakan: Bagaimana ia menggabungkan antara keuntungan dan kerugian dalam hal menjadikan penyerahan sebagai syarat tanggungan bagi istri, padahal syarat ini benar untuk kerugian, karena kerugian tidak menjadi tanggungannya kecuali setelah ia menanggungnya dengan penyerahan, sedangkan untuk keuntungan syarat ini tidak berlaku, karena keuntungan menjadi haknya baik sebelum maupun sesudah penyerahan?
فَعَنْ هَذَا ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:
Maka dalam hal ini ada tiga jawaban:
أَحَدُهَا: أَنَّ جَعْلَ ذَلِكَ لَهَا بَعْدَ الدَّفْعِ لَا يَمْنَعُ أَنْ يَكُونَ لَهَا قَبْلَ الدَّفْعِ.
Pertama: Menjadikan hal itu sebagai hak istri setelah penyerahan tidak menafikan bahwa ia juga berhak atasnya sebelum penyerahan.
وَالثَّانِي: أَنَّ فِي الْكَلَامِ تَقْدِيمًا وَتَأْخِيرًا، وَتَقْدِيرُهُ: وَكُلُّ مَا أَصْدَقَهَا فَمَلَكَتْهُ بِالْعَقْدِ فَلَهَا زِيَادَتُهُ، فَإِذَا ضَمِنَتْهُ بِالدَّفْعِ فَعَلَيْهَا نُقْصَانُهُ، وَمِثْلُ هَذَا يَجُوزُ إِذَا دَلَّ عَلَيْهِ وَضْعُ الْخِطَابِ، أَوْ شَوَاهِدُ الْأُصُولِ.
Kedua: Dalam perkataan tersebut terdapat taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan), dan maknanya adalah: “Segala sesuatu yang dijadikan mahar kepadanya lalu ia memilikinya dengan akad, maka ia berhak atas keuntungannya; jika ia menanggungnya dengan penyerahan, maka ia menanggung kerugiannya.” Hal seperti ini dibolehkan jika susunan kalimat atau dalil-dalil ushul menunjukkan demikian.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْكَلَامَ عَلَى نَسَقِهِ صَحِيحٌ، وَالشَّرْطُ فِي حُكْمِهِ مُعْتَبَرٌ؛ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ الْحَادِثَةَ بَعْدَ الدَّفْعِ تَمْلِكُهَا مِلْكًا مُسْتَقِرًّا وَقَبْلَ الدَّفْعِ تَمْلِكُهَا غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَتْلَفَ الصَّدَاقُ فِي يَدِ الزَّوْجِ فَيَزُولُ مِلْكُهَا عَنِ الزِّيَادَةِ إِنْ قِيلَ: إِنَّهَا تَرْجِعُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فَصَارَ الدَّفْعُ شَرْطًا فِي اسْتِقْرَارِ الْمِلْكِ فَصَحَّ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Ketiga: Susunan kalimat tersebut secara urut adalah benar, dan syarat dalam hukumnya dianggap, karena keuntungan yang terjadi setelah penyerahan menjadi milik istri secara tetap, sedangkan sebelum penyerahan kepemilikannya belum tetap, karena bisa jadi mahar itu rusak di tangan suami sehingga kepemilikan istri atas keuntungannya hilang, jika dikatakan bahwa ia kembali kepada mahar mitsil, sebagaimana akan kami sebutkan. Maka penyerahan menjadi syarat tetapnya kepemilikan, dan itu benar. Wallahu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ أَصْدَقَهَا أَمَةً أَوْ عَبْدًا صَغِيرَيْنِ فَكَبِرَا أَوْ أَعْمَيَيْنِ فَأَبْصَرَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ فعليها نصف قيمتها يَوْمَ قَبَضَهُمَا إِلَّا أَنْ تَشَاءَ دَفْعَهُمَا زَائِدَيْنِ فَلَا يَكُونُ لَهُ إِلَّا ذَلِكَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ غَيَّرَتْهُمَا بِأَنْ يَكُونَا كَبِرَا كِبَرًا بَعِيدًا فَالصَّغِيرُ يَصْلُحُ لِمَا لَا يَصْلُحُ لَهُ الْكَبِيرُ فَيَكُونُ لَهُ نِصْفُ قِيمَتِهِمَا وَإِنْ كَانَا نَاقِصَيْنِ فَلَهُ نِصْفُ قِيمَتِهِمَا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ أَنْ يَأْخُذَهُمَا نَاقِصَيْنِ فَلَيْسَ لَهَا مَنْعُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَا يَصْلُحَانِ لِمَا لَا يَصْلُحُ لَهُ الصَّغِيرُ فِي نَحْوِ ذَلِكَ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia menjadikan mahar kepada istrinya berupa seorang budak perempuan atau laki-laki yang masih kecil, lalu keduanya dewasa, atau keduanya buta lalu kemudian dapat melihat, kemudian ia menceraikannya sebelum berhubungan, maka istri menanggung setengah nilai mereka pada hari ia menerima mereka, kecuali jika ia rela menyerahkan mereka dalam keadaan bertambah (nilai), maka suami hanya berhak atas itu saja, kecuali jika pertambahan itu telah mengubah keadaan mereka, seperti keduanya telah dewasa jauh, sehingga anak kecil layak untuk sesuatu yang tidak layak bagi yang dewasa, maka suami berhak atas setengah nilai mereka. Jika keduanya berkurang (nilainya), maka suami berhak atas setengah nilai mereka, kecuali jika ia rela mengambil mereka dalam keadaan berkurang, maka istri tidak boleh melarangnya, kecuali jika keduanya layak untuk sesuatu yang tidak layak bagi anak kecil dalam hal semacam itu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا سَمَّى لِزَوْجَتِهِ صَدَاقًا ثُمَّ طَلَّقَهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan: Jika seorang suami telah menentukan mahar untuk istrinya lalu menceraikannya, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ سلم الصداق إليها.
Pertama: Mahar telah diserahkan kepada istri.
والثاني: أن لا يَكُونَ قَدْ سَلَّمَهُ إِلَيْهَا.
Kedua: Mahar belum diserahkan kepadanya.
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ سَلَّمَهُ إِلَيْهَا حَتَّى طَلَّقَهَا فَهُوَ عَلَى ضربين:
Jika mahar belum diserahkan kepadanya hingga ia menceraikannya, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan:
أحدهما: بيان الضرب الأول.
Pertama: Penjelasan jenis yang pertama.
أَنْ يَكُونَ مَوْصُوفًا فِي الذِّمَّةِ كَمُسَمًّى مِنْ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ. أَوْ مَوْصُوفًا مِنْ بُرٍّ أَوْ شَعِيرٍ فَلَا يَخْلُو طَلَاقُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ.
Yaitu apabila mahar itu berupa sesuatu yang ditetapkan dalam tanggungan, seperti sejumlah dirham atau dinar, atau berupa barang yang ditetapkan sifatnya seperti gandum atau jelai. Maka, talak itu tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi sebelum atau sesudah terjadi hubungan suami istri.
فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَقَدِ اسْتَحَقَّتْ جَمِيعَهُ، وَاسْتَقَرَّ مِلْكُهَا عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِشَيْءٍ مِنْهُ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍْ} (النساء: 21) .
Jika talak terjadi setelah hubungan suami istri, maka istri berhak atas seluruh mahar dan kepemilikannya atas mahar tersebut menjadi tetap, serta suami tidak berhak mengambil kembali sedikit pun darinya. Allah Ta‘ala berfirman: {Bagaimana kamu akan mengambilnya padahal sebagian dari kamu telah bergaul (bercampur) dengan sebagian yang lain} (an-Nisā’: 21).
وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الدُّخُولِ أُبْرِئَ مِنْ نِصْفِ الصَّدَاقِ، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ}
Dan jika talak terjadi sebelum hubungan suami istri, maka suami terbebas dari setengah mahar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu sudah menentukan mahar untuk mereka, maka setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu}
وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Dalam hal ini terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: مَعْنَاهُ فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ لَكُمْ يَرْجِعُ إِلَيْكُمْ بِالطَّلَاقِ، وَهَذَا تَأْوِيلُ مَنْ قَالَ: إِنَّهَا قَدْ مَلَكَتْ جَمِيعَ الصَّدَاقِ بِالْعَقْدِ.
Pertama: Maknanya adalah setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu kembali kepadamu karena talak, dan ini adalah penafsiran dari mereka yang berpendapat bahwa istri telah memiliki seluruh mahar dengan akad.
وَالثَّانِي: مَعْنَاهُ فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ لِلزَّوْجَاتِ لَا يُمَلَّكْنَ أَكْثَرَ مِنْهُ، هَذَا تَأْوِيلُ مَنْ قَالَ إِنَّهَا لَا تَمْلِكُ بِالْعَقْدِ إِلَّا نِصْفَهُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الصَّدَاقِ مِنْ أَنْ يَكُونَ حَالًّا، أَوْ مُؤَجَّلًا، أَوْ مُنَجَّمًا.
Kedua: Maknanya adalah setengah dari mahar yang telah kamu tentukan untuk para istri, mereka tidak berhak memiliki lebih dari itu. Ini adalah penafsiran dari mereka yang berpendapat bahwa istri tidak memiliki dengan akad kecuali setengahnya saja. Dalam hal ini, keadaan mahar tidak lepas dari tiga kemungkinan: mahar itu telah jatuh tempo (harus dibayar segera), ditangguhkan, atau dibayarkan secara bertahap.
فَإِنْ كَانَ حَالًّا سَاقَ إِلَيْهَا نِصْفَهُ، وَقَدْ بَرِئَ مِنْ جَمِيعِهِ.
Jika mahar itu harus dibayar segera, maka suami memberikan setengahnya kepada istri, dan ia telah terbebas dari seluruh mahar.
وَإِنْ كَانَ مُؤَجَّلًا: فَعَلَيْهِ إِذَا حَلَّ الْأَجَلُ أَنْ يَسُوقَ إِلَيْهَا النِّصْفَ، وَقَدْ بَرِئَ مِنَ الْكُلِّ، وَلَا يَحُلُّ قَبْلَ أَجَلِهِ إِلَّا بِمَوْتِهِ.
Jika mahar itu ditangguhkan: maka ketika jatuh tempo, suami wajib memberikan setengahnya kepada istri, dan ia telah terbebas dari seluruh mahar. Mahar itu tidak menjadi wajib sebelum jatuh tempo kecuali jika suami meninggal dunia.
وَإِنْ كَانَ مُنَجَّمًا: بَرِئَ مِنْ نِصْفِهِ عَلَى التَّنْجِيمِ، وَكَانَ النِّصْفُ بَاقِيًا لَهَا إِلَى نُجُومِهِ.
Jika mahar itu dibayarkan secara bertahap: maka suami terbebas dari setengahnya sesuai jadwal pembayaran, dan setengahnya lagi tetap menjadi hak istri hingga waktu pembayarannya tiba.
فَلَوْ كَانَ إِلَى نَجْمَيْنِ فَحَلَّ أَحَدُهُمَا وَقْتَ الطَّلَاقِ لَمْ يَكُنْ لَهَا أَنْ تَتَعَجَّلَ النِّصْفَ فِي الْحَالِ فَيُسْتَضَرَّ، وَلَا أَنْ يُؤَخِّرَ بِهِ إِلَى النِّصْفِ الْمُؤَجَّلِ فَتُسْتَضَرَّ الزَّوْجَةُ، وَيَبْرَأُ الزَّوْجُ مِنْ نِصْفِ الْحَالِّ، وَنِصْفِ الْمُؤَجَّلِ، وَتَأْخُذُ الزَّوْجَةُ نِصْفَ الْحَالِّ وَتَصْبِرُ بِنِصْفِ الْمُؤَجَّلِ حَتَّى يَحُلَّ.
Jika mahar itu terdiri dari dua kali pembayaran, lalu salah satunya jatuh tempo saat terjadinya talak, maka istri tidak berhak meminta setengahnya secara langsung sehingga suami menjadi terbebani, dan juga tidak boleh menunda semuanya hingga pembayaran yang kedua sehingga istri menjadi terbebani. Maka, suami terbebas dari setengah yang sudah jatuh tempo dan setengah yang ditangguhkan, dan istri mengambil setengah yang sudah jatuh tempo dan bersabar menunggu setengah yang ditangguhkan hingga waktunya tiba.
فَصْلٌ
Fasal
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ عَيْنًا مَعْلُومَةً كَالْإِمَاءِ، وَالْعَبِيدِ، وَالْمَوَاشِي، وَالشَّجَرِ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ وَقْتَ الطَّلَاقِ مِنْ أَحَدِ خَمْسَةِ أَقْسَامٍ:
Jenis kedua: Mahar berupa barang tertentu yang diketahui, seperti budak perempuan, budak laki-laki, hewan ternak, atau pohon. Dalam hal ini, keadaan mahar saat talak tidak lepas dari lima bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا بِحَالِهِ.
Pertama: Barang tersebut masih ada dalam keadaan semula.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ تَلِفَ.
Kedua: Barang tersebut telah rusak.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ زَادَ.
Ketiga: Barang tersebut mengalami penambahan.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ نَقَصَ.
Keempat: Barang tersebut mengalami pengurangan.
وَالْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ زَادَ من وجه ونقص من وجه.
Kelima: Barang tersebut mengalami penambahan dari satu sisi dan pengurangan dari sisi lain.
الْقِسْمِ الْأَوَّلِ
Bagian pertama
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا بِحَالِهِ لَمْ يَزِدْ وَلَمْ يَنْقُصْ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الطَّلَاقِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ.
Adapun bagian pertama, yaitu barang tersebut masih ada dalam keadaan semula, tidak bertambah dan tidak berkurang, maka keadaan talak tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi sebelum atau sesudah hubungan suami istri.
فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدخول فقد استقر لها جميعه، وعليه تسلميه إِلَيْهَا كَامِلًا.
Jika talak terjadi setelah hubungan suami istri, maka seluruh mahar menjadi hak istri, dan suami wajib menyerahkannya secara utuh kepada istri.
وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ مَلَكَ الزَّوْجُ نِصْفَهُ.
Dan jika talak terjadi sebelum hubungan suami istri, maka suami berhak atas setengahnya.
وَبِمَاذَا يَصِيرُ مَالِكًا؟ فِيهِ قَوْلَانِ:
Dengan apa suami menjadi pemilik setengahnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَظْهَرُ أَنَّهُ مَلَكَ بِالطَّلَاقِ نِصْفَ الصَّدَاقِ، سَوَاءٌ اخْتَارَ تَمَلُّكَ ذَلِكَ أَوْ لَمْ يَخْتَرْهُ، كَمَا أَنَّ الْمُشْتَرِي إِذَا رَدَّ بِالْعَيْبِ مَلَكَ بِالرَّدِّ جَمِيعَ الثَّمَنِ.
Pertama, dan ini yang lebih kuat: suami menjadi pemilik setengah mahar karena talak, baik ia memilih untuk memilikinya atau tidak, sebagaimana pembeli yang mengembalikan barang karena cacat, maka ia secara otomatis berhak atas seluruh harga barang tersebut dengan pengembalian itu.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَإِلَيْهِ ذَهَبَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: إِنَّهُ مَلَكَ بِالطَّلَاقِ أَنْ يَتَمَلَّكَ نِصْفَ الصَّدَاقِ كَالشَّفِيعِ الَّذِي مَلَكَ بِالشُّفْعَةِ أَنْ يَتَمَلَّكَ. فَإِذَا اخْتَارَ الزَّوْجُ أَنْ يَتَمَلَّكَ نِصْفَ الصَّدَاقِ صَارَ بِالِاخْتِيَارِ لَا بِالطَّلَاقِ.
Pendapat kedua, yang dianut oleh Abu Ishaq al-Marwazi: suami menjadi berhak untuk memiliki setengah mahar karena talak, seperti halnya syafii (pemilik hak syuf‘ah) yang berhak untuk memiliki barang dengan syuf‘ah. Maka, jika suami memilih untuk memiliki setengah mahar, kepemilikannya terjadi karena pilihan, bukan karena talak itu sendiri.
فَإِذَا صَارَ الزَّوْجُ مَالِكًا لِلنِّصْفِ إِمَّا بِالطَّلَاقِ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ أَوْ بِالِاخْتِيَارِ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي صَارَا شَرِيكَيْنِ فِيهِ. فَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يُقْسَمُ كَانَا فِيهِ عَلَى الْخُلْطَةِ، وَإِنْ كَانَ مِمَّا يُقَسَّمُ جَبْرًا فَأَيُّهُمَا طَلَبَهَا أُجِيبَ إِلَيْهَا. وَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يُقَسَّمُ إِلَّا صُلْحًا فَأَيُّهُمَا امْتَنَعَ مِنْهَا أُقِرَّ عَلَيْهَا.
Apabila suami menjadi pemilik setengah mahar, baik karena talak menurut pendapat pertama atau karena memilih menurut pendapat kedua, maka keduanya menjadi sekutu dalam mahar tersebut. Jika mahar itu termasuk sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka keduanya berserikat dalam kepemilikan secara campuran. Jika termasuk sesuatu yang dapat dibagi secara paksa, maka siapa pun di antara keduanya yang meminta pembagian, permintaannya harus dipenuhi. Dan jika termasuk sesuatu yang hanya dapat dibagi melalui perdamaian, maka siapa pun di antara keduanya yang menolak perdamaian, ia tetap dipaksa untuk menerima perdamaian tersebut.
فَصْلٌ: الْقِسْمِ الثَّانِي
Fasal: Bagian Kedua
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ قَدْ تَلِفَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun bagian kedua, yaitu apabila mahar telah rusak atau hilang, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis:
أحدهما: إيضاح الضرب الأول
Salah satunya: Penjelasan tentang jenis pertama
أَنْ يُتْلَفَ قَبْلَ أَنْ يَحْدُثَ مِنْهُ نَمَاءٌ كَعَبْدٍ مَاتَ، أَوْ دَابَّةٍ نَفَقَتْ، فَفِيمَا تَسْتَحِقُّهُ الزَّوْجَةُ قَوْلَانِ:
Yaitu mahar itu rusak sebelum muncul pertambahan (hasil) darinya, seperti budak yang meninggal, atau hewan yang mati, maka dalam hal apa yang berhak diterima istri terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْجَدِيدُ: مَهْرُ الْمِثْلِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الصَّدَاقُ تَالِفًا عَلَى مِلْكِ الزَّوْجِ، سَوَاءٌ تَلِفَ بِحَادِثِ سَمَاءٍ، أَوْ جِنَايَةِ آدَمِيٍّ، ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الطَّلَاقِ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Salah satunya, yaitu pendapat baru: mahar mitsil (mahar sepadan). Berdasarkan pendapat ini, mahar dianggap rusak dalam kepemilikan suami, baik kerusakan itu karena bencana alam atau karena perbuatan manusia. Kemudian dilihat pada kasus talak, jika talak terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri, maka istri berhak atas setengah mahar mitsil.
وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَهَا جَمِيعُهُ، وَيُعْتَبَرُ بِهِ مَهْرُ مِثْلِهَا وَقْتَ الْعَقْدِ، لَا وَقْتَ الطَّلَاقِ، وَلَا وَقْتَ تَلَفِ الصَّدَاقِ؛ لِأَنَّ تَلَفَ الصَّدَاقِ يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ مَهْرِ الْمِثْلِ بِالْعَقْدِ دُونَ الطَّلَاقِ.
Dan jika talak terjadi setelah hubungan suami istri, maka istri berhak atas seluruh mahar mitsil. Yang dijadikan acuan adalah mahar mitsil pada waktu akad, bukan pada waktu talak, dan bukan pula pada waktu rusaknya mahar; karena rusaknya mahar menunjukkan kewajiban mahar mitsil sejak akad, bukan karena talak.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْقَدِيمُ: إِنَّهَا تَرْجِعُ عَلَيْهِ بِقِيمَةِ الصَّدَاقِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الصَّدَاقُ تَالِفًا عَلَى مِلْكِهَا.
Pendapat kedua, yaitu pendapat lama: istri berhak menuntut kepada suami nilai mahar. Berdasarkan pendapat ini, mahar dianggap rusak dalam kepemilikan istri.
وَلَا يَخْلُو حَالُ تَلَفِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِحَادِثِ سماء أو بجناية مِنْهُ، أَوْ بِجِنَايَةٍ مِنْ أَجْنَبِيٍّ.
Keadaan rusaknya mahar tidak lepas dari tiga kemungkinan: bisa jadi karena bencana alam, atau karena perbuatan suami, atau karena perbuatan orang lain (asing).
فَإِنْ كَانَ بِحَادِثِ سَمَاءٍ: فَفِي كَيْفِيَّةِ ضَمَانِهِ قَوْلَانِ:
Jika rusaknya karena bencana alam, maka dalam cara penjaminannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُهُ ضَمَانَ عَقْدٍ، فَعَلَى هَذَا عَلَيْهِ قِيمَتُهُ يَوْمَ أَصْدَقَ.
Salah satunya: dijamin seperti jaminan akad, sehingga suami wajib membayar nilainya pada hari mahar itu diberikan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: ضَمَانُ غَصْبٍ، فَعَلَى هَذَا عَلَيْهِ قِيمَتُهُ أَكْثَرُ مَا كَانَ قِيمَتُهُ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ أَوْ وَقْتِ التَّلَفِ.
Pendapat kedua: dijamin seperti jaminan ghashab (perampasan), sehingga suami wajib membayar nilai tertinggi antara nilai pada waktu akad atau pada waktu rusaknya mahar.
وَإِنْ كَانَ تَلَفُهُ بِجِنَايَةٍ مِنْهُ: فَإِنْ قِيلَ إِنَّ ضَمَانَهُ غَصْبٌ ضَمِنَهُ بِأَكْثَرِ قِيمَتِهِ فِي الْأَحْوَالِ كلها.
Jika rusaknya karena perbuatan suami, maka jika dikatakan jaminannya seperti ghashab, maka suami wajib membayar nilai tertinggi dari seluruh keadaan.
وإن قيل إن ضمانه عَقْدٍ فَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْقِيمَتَيْنِ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ أَوْ وَقْتِ التَّلَفِ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ إِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ وَقْتَ الْعَقْدِ أَكْثَرَ فَهِيَ مَضْمُونَةٌ عَلَيْهِ بِالْعَقْدِ، وَإِنْ كَانَتْ وَقْتَ التَّلَفِ أَكْثَرَ فَهِيَ مَضْمُونَةٌ عَلَيْهِ بِالْجِنَايَةِ، وَلَا يَضْمَنُ زِيَادَتَهُ فِيمَا بَيْنَ الْعَقْدِ وَالْجِنَايَةِ.
Dan jika dikatakan jaminannya seperti akad, maka suami wajib membayar nilai tertinggi antara nilai pada waktu akad atau pada waktu rusaknya mahar, menurut satu pendapat. Karena jika nilai pada waktu akad lebih tinggi, maka itu dijamin atasnya karena akad, dan jika nilai pada waktu rusak lebih tinggi, maka itu dijamin atasnya karena perbuatannya. Suami tidak wajib menanggung kelebihan nilai antara waktu akad dan waktu perbuatan tersebut.
وإن كان تلفه بجناية أجبي.
Dan jika rusaknya karena perbuatan orang lain (asing).
فَلَا تَخْلُو قِيمَتُهُ وَقْتَ الْعَقْدِ وَوَقْتَ الْجِنَايَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Maka nilai mahar pada waktu akad dan waktu terjadinya perbuatan tidak lepas dari tiga kemungkinan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا سَوَاءً.
Pertama: nilainya sama pada kedua waktu tersebut.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ وَقْتَ الْعَقْدِ أَكْثَرَ.
Kedua: nilai pada waktu akad lebih tinggi.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ وَقْتَ الْجِنَايَةِ أَكْثَرَ.
Ketiga: nilai pada waktu terjadinya perbuatan lebih tinggi.
فَإِنِ اسْتَوَتْ قِيمَتُهُ فِي الْحَالَيْنِ كَعَبْدٍ كَانَتْ قِيمَتُهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَقْتَ الْعَقْدِ وَوَقْتَ الْجِنَايَةِ، فَالزَّوْجُ ضَامِنٌ لَهَا فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ بِالْعَقْدِ، وَالْجَانِي ضَامِنٌ لَهَا فِي حَقِّ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ بِالْجِنَايَةِ وَلِلزَّوْجَةِ الْخِيَارُ فِي مُطَالَبَةِ الزَّوْجِ بِهَا أَوِ الْجَانِي.
Jika nilainya sama pada kedua waktu, seperti budak yang nilainya seribu dirham pada waktu akad dan pada waktu terjadinya perbuatan, maka suami wajib menjamin kepada istri karena akad, dan pelaku (yang merusak) wajib menjamin kepada suami dan istri karena perbuatannya. Istri memiliki hak memilih untuk menuntut suami atau pelaku.
فَإِنْ طَالَبَتِ الزَّوْجَ بِهَا وَكَانَ الطَّلَاقُ بَعْدَ الدُّخُولِ دَفَعَ إِلَيْهَا جَمِيعَ الْقِيمَةِ، وَرَجَعَ عَلَى الْجَانِي بِجَمِيعِ الْقِيمَةِ.
Jika istri menuntut suami dan talak terjadi setelah hubungan suami istri, maka suami membayar seluruh nilai kepada istri, lalu suami menuntut pelaku untuk membayar seluruh nilai tersebut.
وَإِنْ أَرَادَتِ الزَّوْجَةُ فِي الِابْتِدَاءِ أَنْ تُطَالِبَ بِهَا الْجَانِي دُونَ الزَّوْجِ كَانَ لَهَا ذَلِكَ.
Jika istri sejak awal ingin menuntut pelaku tanpa menuntut suami, maka ia berhak melakukan hal itu.
فَإِنْ كَانَ طَلَاقُهَا بَعْدَ الدخول رجعت عليها بِجَمِيعِ الْقِيمَةِ وَبَرِئَا مِنْ حَقِّهَا وَبَرِئَ الْجَانِي مِنْ حَقِّهِمَا.
Jika talak terjadi setelah hubungan suami istri, maka istri menuntut pelaku untuk membayar seluruh nilai, dan suami serta istri telah bebas dari hak istri, dan pelaku pun bebas dari hak keduanya.
وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الدُّخُولِ رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِنِصْفِ الْقِيمَةِ وَبَرِئَ الزَّوْجُ وَالْجَانِي مِنْ حَقِّهَا، وَرَجَعَ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي بِبَاقِي الْقِيمَةِ وَهُوَ النِّصْفُ الَّذِي مَلَكَهُ الزَّوْجُ بِطَلَاقِهِ.
Jika talak terjadi sebelum terjadi hubungan (dukhūl), maka istri menuntut kepada suami setengah dari nilai (mahar) dan suami serta pelaku jinayah terbebas dari haknya. Kemudian suami menuntut kepada pelaku jinayah sisa nilai tersebut, yaitu setengah yang menjadi hak suami karena terjadinya talak.
وَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الصَّدَاقِ وَقْتَ الْعَقْدِ أَكْثَرَ مِنْهَا وَقْتَ الْجِنَايَةِ كَأَنَّهُ عَبْدٌ قِيمَتُهُ وَقْتَ الْعَقْدِ أَلْفٌ وَوَقْتَ الْجِنَايَةِ خَمْسُمِائَةٍ. فَالْجَانِي ضَامِنٌ بِخَمْسِمِائَةٍ؛ لِأَنَّهَا قِيمَتُهُ وَقْتَ جِنَايَتِهِ، وَالزَّوْجُ ضَامِنٌ لِجَمِيعِ الْأَلْفِ؛ لِأَنَّهَا قِيمَتُهُ وَقْتَ عَقْدِهِ.
Jika nilai mahar pada saat akad lebih besar daripada nilainya pada saat terjadinya jinayah, misalnya seorang budak yang nilainya saat akad seribu, sedangkan saat jinayah nilainya lima ratus. Maka pelaku jinayah wajib menanggung lima ratus, karena itu adalah nilainya saat jinayah, dan suami wajib menanggung seluruh seribu, karena itu adalah nilainya saat akad.
فَإِنْ كَانَ طَلَاقُهَا بَعْدَ الدُّخُولِ كَانَتْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَرْجِعَ عَلَى الزَّوْجِ فَتَرْجِعُ عَلَيْهِ بِجَمِيعِ الْأَلْفِ وَقَدِ اسْتَحَقَّتْهُ وَيَرْجِعُ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي بِخَمْسِمِائَةٍ، وَبَيْنَ أَنْ تَرْجِعَ عَلَى الْجَانِي بِخَمْسِمِائَةٍ وَعَلَى الزَّوْجِ بِخَمْسِمِائَةٍ وَلَيْسَ لِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا عَلَى الْجَانِي بِشَيْءٍ.
Jika talak terjadi setelah dukhūl, maka istri memiliki pilihan antara menuntut kepada suami sehingga ia menuntut seluruh seribu yang memang menjadi haknya, dan suami menuntut kepada pelaku jinayah sebesar lima ratus; atau menuntut kepada pelaku jinayah sebesar lima ratus dan kepada suami sebesar lima ratus, dan suami tidak berhak menuntut kembali kepada pelaku jinayah atas bagian tersebut.
وَإِنْ كَانَ طَلَاقُهَا قَبْلَ الدُّخُولِ: كَانَتْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَرْجِعَ عَلَى الزَّوْجِ بِنِصْفِ الْأَلْفِ وَهِيَ خَمْسُمِائَةٍ وَيَرْجِعُ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي بِخَمْسِمِائَةٍ وَتَكُونُ الْخَمْسُمِائَةِ الَّتِي هل فَاضِلُ الْقِيمَةِ الْمَضْمُونَةِ عَلَى الزَّوْجِ فِي مُقَابَلَةِ مَا اسْتَحَقَّهُ مِنْ نِصْفِ الصَّدَاقِ، وَبَيْنَ أَنْ تَرْجِعَ عَلَى الْجَانِي بِالْخَمْسِمِائَةِ كُلِّهَا وَقَدِ اسْتَحَقَّتْ بِهَا نِصْفَ قِيمَةِ صَدَاقِهَا وَقْتَ الْعَقْدِ وَيَكُونُ مَا ضَمِنَهُ مِنْ فَاضَلِ الْقِيمَةِ فِي مُقَابَلَةِ مَا اسْتَحَقَّهُ بِطَلَاقِهِ.
Jika talak terjadi sebelum dukhūl, maka istri memiliki pilihan antara menuntut kepada suami setengah dari seribu, yaitu lima ratus, dan suami menuntut kepada pelaku jinayah sebesar lima ratus. Lima ratus tersebut adalah kelebihan nilai yang menjadi tanggungan suami sebagai ganti dari apa yang menjadi haknya dari setengah mahar; atau menuntut kepada pelaku jinayah seluruh lima ratus, dan dengan itu ia berhak atas setengah nilai maharnya pada saat akad, dan apa yang ditanggung oleh pelaku jinayah dari kelebihan nilai itu sebagai ganti dari apa yang menjadi hak suami karena talak.
وَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الصَّدَاقِ وَقْتَ الْجِنَايَةِ أَكْثَرَ كَأَنَّهُ عَبْدٌ قِيمَتُهُ وَقْتَ الْعَقْدِ خَمْسُمِائَةٍ وَوَقْتَ الْجِنَايَةِ أَلْفٌ فَالْجَانِي ضَامِنٌ لِلْأَلْفِ وَفِيمَا يَضْمَنُهُ الزَّوْجُ قَوْلَانِ:
Jika nilai mahar pada saat jinayah lebih besar, misalnya seorang budak yang nilainya saat akad lima ratus dan saat jinayah seribu, maka pelaku jinayah wajib menanggung seribu, dan dalam hal apa yang wajib ditanggung oleh suami terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: خَمْسُمِائَةٍ إِذَا قِيلَ: إِنَّهُ يَضْمَنُهُ ضَمَانَ عَقْدٍ.
Salah satunya: lima ratus, jika dikatakan bahwa ia menanggungnya dengan tanggungan akad.
وَالثَّانِي: أَلْفٌ إِذَا قِيلَ: إِنَّهُ يَضْمَنُهُ ضَمَانَ غَصْبٍ.
Dan yang kedua: seribu, jika dikatakan bahwa ia menanggungnya dengan tanggungan ghashb (perampasan).
فَإِذَا قِيلَ: إِنَّ الزَّوْجَ يَضْمَنُ جَمِيعَ الْأَلْفِ ضَمَانَ الْغَصْبِ كَانَتْ مُخَيَّرَةً إِنْ كَانَ طَلَاقُهَا بَعْدَ الدُّخُولِ فِي رُجُوعِهَا بِالْأَلْفِ عَلَى مَنْ شَاءَتْ مِنَ الزَّوْجِ أَوِ الْجَانِي، ثُمَّ (الْكَلَامُ فِي التَّرَاجُعِ) عَلَى مَا مَضَى.
Jika dikatakan bahwa suami menanggung seluruh seribu dengan tanggungan ghashb, maka istri diberi pilihan, jika talak terjadi setelah dukhūl, untuk menuntut seribu kepada siapa saja yang ia kehendaki, baik kepada suami maupun pelaku jinayah, kemudian (pembahasan tentang saling menuntut) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
وَإِنْ كَانَ طَلَاقُهَا قَبْلَ الدُّخُولِ رَجَعَتْ بِنِصْفِ الْأَلْفِ عَلَى مَنْ شَاءَتْ مِنْهُمَا، فَإِنْ رَجَعَتْ بِهَا عَلَى الزَّوْجِ، رَجَعَ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي بِالْأَلْفِ كُلِّهَا، وَإِنْ رَجَعَتْ بِهَا عَلَى الْجَانِي، رَجَعَ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي بِخَمْسِمِائَةٍ بَقِيَّةِ الْأَلْفِ.
Jika talak terjadi sebelum dukhūl, maka istri menuntut setengah dari seribu kepada siapa saja dari keduanya yang ia kehendaki. Jika ia menuntut kepada suami, maka suami menuntut seluruh seribu kepada pelaku jinayah. Jika ia menuntut kepada pelaku jinayah, maka suami menuntut kepada pelaku jinayah sebesar lima ratus, yaitu sisa dari seribu.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الزَّوْجَ يَضْمَنُ خَمْسَمِائَةٍ ضَمَانَ الْعَقْدِ نُظِرَ.
Jika dikatakan bahwa suami menanggung lima ratus dengan tanggungan akad, maka perlu diperhatikan.
فَإِنْ كَانَ طَلَاقُهَا بَعْدَ الدُّخُولِ فَإِنْ شَاءَتِ الرُّجُوعَ عَلَى الْجَانِي رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِجَمِيعِ الْأَلْفِ وَقَدْ بَرِئَ، وَإِنْ شَاءَتِ الرُّجُوعَ عَلَى الزَّوْجِ لَمْ تَرْجِعْ عَلَيْهِ إِلَّا بِخَمْسِمِائَةٍ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَضْمَنْ أَكْثَرَ مِنْهَا، وَرَجَعَتْ عَلَى الْجَانِي بِخَمْسِمِائَةٍ بَقِيَّةِ الْأَلْفِ وَرَجَعَ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي بِالْخَمْسِمِائَةِ الْبَاقِيَةِ مِنَ الْأَلْفِ.
Jika talak terjadi setelah dukhūl, maka jika istri ingin menuntut kepada pelaku jinayah, ia menuntut seluruh seribu kepadanya dan pelaku jinayah terbebas. Jika ia ingin menuntut kepada suami, ia hanya dapat menuntut lima ratus, karena suami tidak menanggung lebih dari itu, dan ia menuntut kepada pelaku jinayah sebesar lima ratus, sisa dari seribu, dan suami menuntut kepada pelaku jinayah lima ratus sisa dari seribu.
وَإِنْ كَانَ طَلَاقُهَا قَبْلَ الدُّخُولِ، فَإِنْ شَاءَتِ الرُّجُوعَ عَلَى الْجَانِي رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِنِصْفِ الْأَلْفِ، وَرَجَعَ الزَّوْجُ عَلَيْهِ بِخَمْسِمِائَةٍ بَقِيَّةِ الْأَلْفِ، وَإِنْ شَاءَتِ الرُّجُوعَ عَلَى الزَّوْجِ لَمْ تَرْجِعْ عَلَيْهِ إِلَّا بِنِصْفِ الْخَمْسِمِائَةِ، وَرَجَعَتْ عَلَى الْجَانِي بِمِائَتَيْنِ وَخَمْسِينَ بَقِيَّةِ نِصْفِ الْأَلْفِ، وَرَجَعَ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي بِسَبْعِمِائَةٍ وَخَمْسِينَ بَقِيَّةِ الْأَلْفِ.
Jika talak terjadi sebelum dukhūl, maka jika istri ingin menuntut kepada pelaku jinayah, ia menuntut setengah dari seribu kepadanya, dan suami menuntut kepada pelaku jinayah sebesar lima ratus, sisa dari seribu. Jika ia ingin menuntut kepada suami, ia hanya dapat menuntut setengah dari lima ratus, dan ia menuntut kepada pelaku jinayah sebesar dua ratus lima puluh, sisa dari setengah seribu, dan suami menuntut kepada pelaku jinayah sebesar tujuh ratus lima puluh, sisa dari seribu.
إِيضَاحُ الضَّرْبِ الثَّانِي
Penjelasan untuk bagian kedua.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي فِي الْأَصْلِ: أَنْ يَكُونَ قَدْ حَدَثَ مِنَ الصَّدَاقِ قَبْلَ تَلَفِهِ نَمَاءٌ، كَوَلَدِ أَمَةٍ، وَنِتَاجِ مَاشِيَةٍ، فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِمَا تَرْجِعُ بِهِ الزَّوْجَةُ مِنْ بَدَلِ الصَّدَاقِ.
Jenis kedua pada asalnya: yaitu apabila dari mahar telah terjadi pertumbuhan sebelum rusaknya, seperti anak dari seorang budak perempuan atau hasil ternak, maka hal ini dipertimbangkan sesuai dengan apa yang dikembalikan oleh istri dari pengganti mahar.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا تَرْجِعُ عَلَى الزَّوْجِ بِقِيمَتِهِ فَالنَّمَاءُ لَهَا لِحُدُوثِهِ عَنْ مِلْكِهَا.
Jika dikatakan: bahwa ia (istri) mengembalikan kepada suami dengan nilai (mahar) tersebut, maka pertumbuhan itu menjadi miliknya karena terjadi saat berada dalam kepemilikannya.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا تَرْجِعُ عَلَى الزَّوْجِ بِمَهْرِ مِثْلِهَا فَفِي النَّمَاءِ وَجْهَانِ:
Dan jika dikatakan: bahwa ia mengembalikan kepada suami dengan mahar mitsil (mahar sepadan), maka dalam hal pertumbuhan terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لِلزَّوْجِ؛ لِأَنَّ الرُّجُوعَ عِنْدَ تَلَفِهِ إِلَى بَدَلِ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مُوجِبٌ لِرَفْعِهِ مِنْ أصله كأنها لَمْ تَمْلِكْهُ فَلَمْ تَمْلِكْ نَمَاءَهُ.
Salah satunya: bahwa pertumbuhan itu milik suami; karena pengembalian pada saat rusaknya kepada pengganti dari apa yang menjadi gantinya menyebabkan hilangnya dari asalnya, seakan-akan ia (istri) tidak pernah memilikinya, maka ia pun tidak memiliki pertumbuhannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لِلزَّوْجَةِ؛ لِأَنَّهُ حَدَثَ عَنْ أَصْلٍ كَانَ في ملكها إلى وَقْتَ التَّلَفِ، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَسْتَحْدِثَ الزَّوْجُ مِلْكَهُ بَعْدَ التَّلَفِ.
Pendapat kedua: bahwa pertumbuhan itu milik istri; karena ia terjadi dari asal yang berada dalam kepemilikannya hingga waktu rusaknya, dan tidak sah suami memperoleh kepemilikan baru setelah rusaknya.
فَصْلٌ: الْقِسْمُ الثَّالِثُ
Fashl (Bagian): Bagian Ketiga
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ قَدْ زَادَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun bagian ketiga, yaitu apabila mahar itu telah bertambah, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis:
إِيضَاحُ الضَّرْبِ الْأَوَّلِ
Penjelasan jenis pertama
أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مُنْفَصِلَةً كَوَلَدِ الْأَمَةِ، وَنِتَاجِ الْمَاشِيَةِ، فَلَهَا إِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ أَنْ تَأْخُذَ جَمِيعَ الصَّدَاقِ، وَجَمِيعَ النَّمَاءِ، وَإِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ أَنْ تَأْخُذَ نِصْفَ الصَّدَاقِ وَجَمِيعَ النَّمَاءِ؛ لِحُدُوثِهِ عَنْ أَصْلٍ كَانَتْ مَالِكَةً لِجَمِيعِهِ.
Yaitu apabila tambahan itu terpisah, seperti anak dari budak perempuan atau hasil ternak, maka jika ia (istri) dicerai setelah terjadi hubungan, ia berhak mengambil seluruh mahar dan seluruh pertumbuhannya. Dan jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan, ia berhak mengambil setengah mahar dan seluruh pertumbuhannya; karena pertumbuhan itu terjadi dari asal yang seluruhnya ia miliki.
وعنه مالك تأخذ نصف الأصل ونصف النماء.
Dan menurut pendapat Malik: ia (istri) mengambil setengah asal dan setengah pertumbuhannya.
إيضاح الضرب الثاني
Penjelasan jenis kedua
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مُتَّصِلَةً، كَسِمَنِ الْمَهْزُولِ، وَبُرْءِ الْمَرِيضِ، وَتَعَلُّمِ الْقُرْآنِ، فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَهَا أَنْ تَأْخُذَ جَمِيعَ الصداق زائداً.
Dan jenis kedua adalah apabila tambahan itu bersambung, seperti gemuknya hewan yang kurus, sembuhnya yang sakit, atau belajar al-Qur’an. Jika perceraian terjadi setelah hubungan, maka ia (istri) berhak mengambil seluruh mahar beserta tambahannya.
وإن كان قبل الدخول؛ فهي بالخيار بين أن تعطي الزوج نصفه زائداً أو تأخذ نصفه وبين أن تعدل بِهِ إِلَى نِصْفِ الْقِيمَةِ يَوْمَ أَصْدَقَ لِيَكُونَ جَمِيعُ الصَّدَاقِ لَهَا؛ لِأَنَّ فِيهِ زِيَادَةً تَخْتَصُّ بِمِلْكِهَا دُونَ الزَّوْجِ لَا تَتَمَيَّزُ عَنِ الْأَصْلِ.
Dan jika terjadi sebelum hubungan, maka ia berhak memilih antara memberikan kepada suami setengahnya beserta tambahannya atau mengambil setengahnya, atau menukarnya dengan setengah nilai pada hari akad mahar agar seluruh mahar menjadi miliknya; karena di dalamnya terdapat tambahan yang khusus menjadi miliknya, bukan milik suami, dan tidak dapat dibedakan dari asalnya.
وَقَالَ مَالِكٌ: لِلزَّوْجِ أَنْ يَأْخُذَ نِصْفَهُ بِزِيَادَتِهِ، لأنه الزِّيَادَةَ الَّتِي لَا تَتَمَيَّزُ تَكُونُ تَبَعًا لِلْأَصْلِ: كَالْمُفْلِسِ إِذَا زَادَ الْمَبِيعُ فِي يَدِهِ غَيْرَ متميزة، كان للبائع أن يرجع مع زِيَادَتَهُ.
Dan Malik berkata: Suami berhak mengambil setengahnya beserta tambahannya, karena tambahan yang tidak dapat dibedakan menjadi pengikut dari asalnya; seperti orang yang bangkrut, apabila barang yang dijual bertambah di tangannya tanpa dapat dibedakan, maka penjual berhak mengambil kembali beserta tambahannya.
قِيلَ: قَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمَا، وَالْجَمْعِ بَيْنَ حُكْمَيْهِمَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dikatakan: Para sahabat kami berbeda pendapat dalam menyamakan keduanya, dan menggabungkan kedua hukumnya dalam dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَأَبِي إِسْحَاقَ: إِنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا فِي الْحُكْمِ إِذَا اسْتَوَيَا فِي مَعْنَاهُ.
Salah satunya: yaitu pendapat Abu al-‘Abbas dan Abu Ishaq: bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya dalam hukum jika maknanya sama.
وَذَلِكَ أَنَّ الْمُفْلِسَ إِنَّمَا رَجَعَ الْبَائِعُ مَعَهُ بِعَيْنِ مَالِهِ زَائِدًا؛ لِأَنَّهُ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ بِبَدَلِهِ وَهُوَ الثَّمَنُ لِأَجْلِ الْفَلَسِ، فَجَازَ أَنْ يَرْجِعَ بِالْعَيْنِ زَائِدَةً.
Yaitu bahwa orang yang bangkrut, penjual hanya dapat mengambil kembali barangnya beserta tambahannya karena ia tidak mampu mengambil penggantinya, yaitu harga, disebabkan kebangkrutan; maka diperbolehkan mengambil barangnya beserta tambahannya.
وَلَوْ لَمْ يَتَعَذَّرْ عَلَيْهِ الْبَدَلُ لَمَا رَجَعَ بِالْعَيْنِ، وَفِي الصَّدَاقِ لَيْسَ يَتَعَذَّرُ عَلَى الزَّوْجِ الرُّجُوعُ بِالْبَدَلِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِالْعَيْنِ زَائِدَةً، وَلَوْ تَعَذَّرَ عليه الرجوع بِالْبَدَلِ لِفَلَسِ الزَّوْجَةِ لَرَجَعَ بِالْعَيْنِ زَائِدَةً.
Seandainya ia tidak kesulitan mendapatkan pengganti, tentu ia tidak akan mengambil barangnya; dan dalam kasus mahar, suami tidak kesulitan untuk mengambil penggantinya, maka ia tidak mengambil barangnya beserta tambahannya. Namun, jika ia kesulitan mengambil pengganti karena istri bangkrut, maka ia boleh mengambil barangnya beserta tambahannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا: إِنَّهُمَا يَفْتَرِقَانِ فِي الْحُكْمِ فَيَكُونُ لِلْبَائِعِ إِذَا أَفْلَسَ الْمُشْتَرِي أَنْ يَرْجِعَ بِعَيْنِ مَالِهِ زَائِدًا، وَلَا يَكُونُ لِلزَّوْجِ إِذَا طَلَّقَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِ الصَّدَاقِ زَائِدًا سَوَاءً كَانَتِ الزَّوْجَةُ مُفْلِسَةً أَوْ مُوسِرَةً.
Pendapat kedua: yaitu pendapat mayoritas sahabat kami: bahwa keduanya berbeda dalam hukum, sehingga penjual apabila pembeli bangkrut boleh mengambil barangnya beserta tambahannya, sedangkan suami apabila menceraikan sebelum terjadi hubungan tidak boleh mengambil setengah mahar beserta tambahannya, baik istri itu bangkrut maupun kaya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَائِعَ فِي الْفَلَسِ يَرْجِعُ بِفَسْخٍ قَدْ رَفَعَ الْعَقْدَ مِنْ أَصِلِهِ فَجَازَ أَنْ يَرْجِعَ بِالزِّيَادَةِ لِحُدُوثِهَا بَعْدَ الْعَقْدِ الْمَرْفُوعِ. وَالزَّوْجُ إِنَّمَا يَرْجِعُ بِطَلَاقٍ حَدَثَ بَعْدَ الزِّيَادَةِ لَمْ يَرْفَعِ الصَّدَاقَ مِنْ أَصْلِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِالزِّيَادَةِ لِتَقَدُّمِهَا قَبْلَ الطَّلَاقِ الْحَادِثِ.
Salah satunya: bahwa penjual dalam kasus pailit kembali dengan pembatalan yang telah menghapus akad dari asalnya, sehingga boleh baginya untuk kembali dengan tambahan karena tambahan itu terjadi setelah akad yang telah dihapus. Sedangkan suami hanya kembali dengan talak yang terjadi setelah adanya tambahan, dan tidak menghapus mahar dari asalnya, maka ia tidak kembali dengan tambahan karena tambahan itu mendahului talak yang terjadi.
وَالْفَرْقُ الثَّانِي: أَنَّ الزَّوْجَ مَتْهُومٌ لَوْ جُعِلَتْ لَهُ الزِّيَادَةُ أَنْ يَكُونَ قَدْ طَلَّقَهَا رَغْبَةً فِيمَا حَدَثَ مِنْ زِيَادَةِ صَدَاقِهَا فَمُنِعَ مِنْهَا وَلَيْسَ الْبَائِعُ مَتْهُومًا فِي فَلَسِ الْمُشْتَرِي فَلَمْ يُمْنَعْ مِنَ الزِّيَادَةِ وَاللَّهُ أعلم.
Perbedaan kedua: bahwa suami dicurigai, jika tambahan itu diberikan kepadanya, bisa jadi ia menceraikannya karena menginginkan tambahan mahar yang terjadi, maka ia dicegah dari tambahan itu. Sedangkan penjual tidak dicurigai dalam kasus pailit pembeli, sehingga ia tidak dicegah dari tambahan tersebut. Allah lebih mengetahui.
فَصْلٌ: الْقِسْمُ الرَّابِعُ
Fasal: Bagian keempat
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ قَدْ نَقَصَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun bagian keempat, yaitu apabila mahar itu berkurang, maka hal ini terbagi menjadi dua macam:
أَحَدُهُمَا: إِيضَاحُ الضَّرْبِ الْأَوَّلِ
Salah satunya: Penjelasan macam yang pertama
أَنْ يَكُونَ النُّقْصَانُ مُتَمَيِّزًا كَعَبْدَيْنِ مَاتَ أَحَدُهُمَا، أَوْ صُبْرَةِ طَعَامٍ تَلِفَ بَعْضُهَا، فَلَا يَخْلُو حَالُ الطَّلَاقِ مِنْ أَنْ يَكُونَ بعد الدخول أو قبله.
Yaitu apabila kekurangan itu dapat dibedakan, seperti dua budak lalu salah satunya meninggal, atau setumpuk makanan lalu sebagian darinya rusak, maka dalam hal talak tidak lepas dari dua keadaan: apakah terjadi setelah dukhul (hubungan suami istri) atau sebelumnya.
فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَتْ بِهِ جَمِيعَ الصَّدَاقِ، وَقَدْ تَلِفَ بَعْضُهُ فَيَنْبَنِي جَوَابُهُ عَلَى مَا نَقُولُهُ فِي الرُّجُوعِ بِبَدَلِ التَّالِفِ وَفِيهِ قَوْلَانِ:
Jika terjadi setelah dukhul, maka istri telah menerima seluruh mahar, dan sebagian darinya telah rusak, maka jawabannya dibangun atas apa yang kami katakan tentang pengembalian pengganti barang yang rusak, dan dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْقَدِيمُ: إِنَّهَا تَرْجِعُ بِقِيمَةِ مَا تَلِفَ، فَعَلَى هَذَا لَا يَبْطُلُ الصداق في التالف ولا في الباقين وَتَرْجِعُ بِعَيْنِ مَا بَقِيَ وَبِقِيمَةِ التَّالِفِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثْلٌ، وَبِمِثْلِهِ إِنْ كَانَ لَهُ مِثْلٌ، وَلَا خِيَارَ لَهَا فِي مُقَامٍ وَلَا فَسْخٍ.
Salah satunya, yaitu pendapat lama: bahwa istri kembali dengan nilai barang yang rusak. Dengan demikian, mahar tidak batal pada bagian yang rusak maupun yang masih ada, dan istri kembali dengan barang yang masih ada dan dengan nilai barang yang rusak jika tidak ada padanannya, dan dengan barang sepadan jika ada padanannya, dan tidak ada pilihan baginya untuk tetap atau membatalkan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ الْجَدِيدُ: إِنَّ الرُّجُوعَ عِنْدَ التَّلَفِ يَكُونُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ. فَعَلَى هَذَا قَدْ بَطَلَ الصَّدَاقُ فِيمَا تَلِفَ، وَصَحَّ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فِيمَا سَلِمَ. فَلَا وَجْهَ لِمَنْ خَرَّجَ فِيهِ مِنْ أَصْحَابِنَا قَوْلًا ثَانِيًا مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ أَنَّهُ بَاطِلٌ فِي السَّالِمِ لِبُطْلَانِهِ فِي التَّالِفِ، لِأَنَّ الصَّفْقَةَ لَمْ تَتَفَرَّقْ فِي حَالِ الْعَقْدِ وَإِنَّمَا تَفَرَّقَتْ بَعْدَ صِحَّةِ الْعَقْدِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat baru: bahwa pengembalian ketika terjadi kerusakan adalah dengan mahar mitsil (mahar sepadan). Dengan demikian, mahar pada bagian yang rusak menjadi batal, dan tetap sah menurut pendapat yang benar dari mazhab Syafi‘i pada bagian yang selamat. Maka tidak ada alasan bagi sebagian ulama kami yang mengeluarkan pendapat kedua dalam hal ini dengan membedakan akad, bahwa mahar pada bagian yang selamat menjadi batal karena batal pada bagian yang rusak, karena akad tidak terpisah saat akad berlangsung, melainkan terpisah setelah akad sah.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالزَّوْجَةُ بِالْخِيَارِ لِأَجْلِ مَا تَلِفَ بَيْنَ أَنْ تُقِيمَ عَلَى الْبَاقِي أَوْ تَفْسَخَ، فَإِنْ فَسَخَتْ رَجَعَتْ عَلَى الزَّوْجِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَعَادَ الْبَاقِي مِنَ الصَّدَاقِ إِلَى مِلْكِ الزَّوْجِ.
Jika demikian, maka istri memiliki hak memilih karena adanya kerusakan, antara tetap pada bagian yang tersisa atau membatalkan. Jika ia membatalkan, maka ia kembali kepada suami dengan mahar mitsil, dan bagian mahar yang tersisa kembali menjadi milik suami.
وَإِنْ أَقَامَتْ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا تُقِيمُ عَلَيْهِ بِحِسَابِهِ مِنَ الصَّدَاقِ، وَقِسْطِهِ، وَتَرْجِعُ بِقِسْطِ مَا بَقِيَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Jika ia tetap, maka menurut mazhab Syafi‘i, ia tetap atas bagian tersebut dari mahar, dan bagiannya, serta kembali dengan bagian dari mahar mitsil yang tersisa.
فَإِنْ كَانَ التَّالِفُ النِّصْفَ رَجَعَتْ بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ وَإِنْ كَانَ الثُّلُثَ رَجَعَتْ بِثُلُثَيْهِ، وَلَا وَجْهَ لِمَنْ خَرَّجَ فِيهِ مِنْ أَصْحَابِنَا قَوْلًا ثَانِيًا إِنَّهَا تُقِيمُ عَلَى الْبَاقِي بِجَمِيعِ الصَّدَاقِ اعْتِبَارًا بِتَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ فِي حَالِ الْعَقْدِ؛ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ مَا اقْتَرَنَ بِالْعَقْدِ وَبَيْنَ مَا حَدَثَ بَعْدَ صِحَّةِ الْعَقْدِ.
Jika yang rusak adalah setengahnya, maka ia kembali dengan setengah mahar mitsil, dan jika sepertiganya, maka ia kembali dengan dua pertiga mahar mitsil. Tidak ada alasan bagi sebagian ulama kami yang mengeluarkan pendapat kedua bahwa ia tetap atas bagian yang tersisa dengan seluruh mahar dengan mempertimbangkan pemisahan akad pada saat akad, karena apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan antara apa yang bersamaan dengan akad dan apa yang terjadi setelah akad sah.
وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا نِصْفُ الصَّدَاقِ، وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika talak terjadi sebelum dukhul, maka ia berhak atas setengah mahar, dan ini terbagi menjadi dua macam:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مُتَمَاثِلَ الْأَجْزَاءِ كَالْحِنْطَةِ، فَلَهَا أَنْ تَأْخُذَ مِنَ الْبَاقِي نِصْفَ الْجَمِيعِ وَلَا خِيَارَ لَهَا.
Salah satunya: jika bagian-bagiannya serupa seperti gandum, maka ia berhak mengambil dari yang tersisa setengah dari seluruhnya dan tidak ada hak memilih baginya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مُخْتَلِفَ الْأَجْزَاءِ كَعَبْدَيْنِ مَاتَ أَحَدُهُمَا فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Macam kedua: jika bagian-bagiannya berbeda seperti dua budak lalu salah satunya meninggal, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَأْخُذُ نِصْفَ جَمِيعِ الْعَبْدِ الْبَاقِي إِذَا تَسَاوَتْ قِيمَتُهُمَا، فَعَلَى هَذَا لَا خِيَارَ لَهَا.
Salah satunya: ia mengambil setengah dari seluruh budak yang tersisa jika nilainya sama, dan dengan demikian tidak ada hak memilih baginya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَأْخُذُ نِصْفَ الْبَاقِي، وَفِيمَا تَرْجِعُ بِبَدَلِهِ مِنْ نِصْفِ التَّالِفِ قَوْلَانِ:
Pendapat kedua: ia mengambil setengah dari yang tersisa, dan dalam hal pengganti dari setengah yang rusak ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: تَرْجِعُ بِقِيمَةِ نِصْفِ التَّالِفِ وَهُوَ الْقَدِيمُ فَعَلَى هَذَا لَا خِيَارَ لها.
Salah satunya: ia kembali dengan nilai setengah yang rusak, dan ini adalah pendapat lama, sehingga dalam hal ini tidak ada hak memilih baginya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَرْجِعُ بِقِسْطِ ذَلِكَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ فَتَصِيرُ مُسْتَوْفِيَةً لِلنِّصْفِ مِنْ صَدَاقِ مَهْرِ الْمِثْلِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لَهَا الْخِيَارُ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ أَنْ تَفَسَخَ وَتَرْجِعَ بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَقَدْ ذَكَرْنَا هَذَا فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ فَهَذَا حُكْمُ النُّقْصَانِ إِذَا كَانَ مُتَمَيِّزًا.
Pendapat kedua: bahwa ia (istri) berhak kembali dengan bagian dari mahar mitsil (mahar sepadan) tersebut, sehingga ia menjadi memperoleh setengah dari mahar mitsil. Dengan demikian, ia memiliki pilihan antara ini dan antara membatalkan (akad) lalu kembali dengan setengah mahar mitsil. Hal ini telah kami sebutkan dalam Kitab Zakat. Maka inilah hukum kekurangan apabila kekurangan itu dapat dibedakan.
إيضاح بيان الضرب الثاني
Penjelasan tentang jenis kedua
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ النُّقْصَانُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ كَالْعَبْدِ إِذَا كَانَ سَمِينًا فَهَزَلَ، أَوْ صَحِيحًا فَمَرِضَ، أَوْ بَصِيرًا فَعَمِيَ، فَلَهَا الْخِيَارُ، سَوَاءٌ قَلَّ الْعَيْبُ أَوْ كَثُرَ.
Jenis kedua adalah apabila kekurangan itu tidak dapat dibedakan, seperti budak yang semula gemuk lalu menjadi kurus, atau semula sehat lalu menjadi sakit, atau semula dapat melihat lalu menjadi buta. Maka istri memiliki hak memilih, baik cacatnya sedikit maupun banyak.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا خِيَارَ لَهَا إِلَّا أَنْ يَتَفَاحَشَ الْعَيْبُ.
Abu Hanifah berkata: Tidak ada hak memilih baginya kecuali jika cacatnya sangat parah.
احْتِجَاجًا: بِأَنَّهَا إِذَا رَدَّتِ الصَّدَاقَ بِالْعَيْبِ الْيَسِيرِ رَجَعَتْ بِقِيمَتِهِ سَلِيمًا، وَقَدْ يُخْطِئُ الْمُقَوِّمَانِ فَيُقَوِّمَانِهِ صَحِيحًا بِقِيمَتِهِ مَعَ يَسِيرِ الْعَيْبِ، لِأَنَّ يَسِيرَ الْعَيْبِ لَا يَأْخُذُ مِنَ الْقِيمَةِ إِلَّا يَسِيرًا، فَعَفَى عَنْ يَسِيرِ الْعَيْبِ، لِأَنَّهُ لَا يَتَحَقَّقُ اسْتِدْرَاكُهُ، وَلَمْ يَعْفُ عَنْ كَثِيرِهِ، لِأَنَّهُ يَتَحَقَّقُ اسْتِدْرَاكُهُ، وَلَمْ يَعْفُ فِي الْبَيْعِ عَنْ يَسِيرِهِ ولا كثيره؛ ولأنه قَدْ تَحَقَّقَ اسْتِدْرَاكُهُ فِي الرُّجُوعِ بِالثَّمَنِ دُونَ الْقِيمَةِ.
Alasannya: karena jika ia mengembalikan mahar karena cacat yang ringan, maka ia akan kembali dengan nilainya dalam keadaan utuh. Padahal, dua orang penaksir bisa saja keliru sehingga menaksirnya dalam keadaan sehat dengan nilainya, padahal terdapat cacat ringan, karena cacat ringan tidak mengurangi nilai kecuali sedikit saja. Maka dimaafkan cacat yang ringan, karena tidak mungkin untuk benar-benar menilainya, dan tidak dimaafkan cacat yang banyak karena dapat dipastikan nilainya, dan dalam jual beli tidak dimaafkan baik cacat yang ringan maupun yang banyak; karena dalam jual beli dapat dipastikan pengembaliannya dengan harga, bukan dengan nilai.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ مَا جَازَ رَدُّهُ بِكَثِيرِ الْعَيْبِ، جَازَ رَدُّهُ بِيَسِيرِهِ، كَالثَّمَنِ؛ وَلِأَنَّهُ عَيْبٌ يَجُوزُ بِهِ الرَّدُّ فِي الْبَيْعِ فَجَازَ بِهِ الرَّدُّ فِي الصَّدَاقِ كَالْكَثِيرِ.
Dalil kami adalah bahwa sesuatu yang boleh dikembalikan karena cacat yang banyak, maka boleh pula dikembalikan karena cacat yang sedikit, seperti harga; dan karena itu adalah cacat yang membolehkan pengembalian dalam jual beli, maka boleh pula pengembalian dalam mahar sebagaimana cacat yang banyak.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا ذَكَرَهُ فَهُوَ أَنَّنَا نُوجِبُ مَعَ الرَّدِّ مَهْرَ الْمِثْلِ، فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ، دُونَ الْقِيمَةِ.
Adapun jawaban atas apa yang disebutkan adalah bahwa kami mewajibkan, bersama pengembalian, mahar mitsil menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, bukan nilainya.
ثُمَّ لَوْ وَجَبَ الرُّجُوعُ بِالْقِيمَةِ لَاقْتَضَى أَنْ يُحْمَلَ التَّقْوِيمُ عَلَى الصَّوَابِ دُونَ الْخَطَأِ، وَعَلَى فَرْقِ الْمُقَوِّمِ بَيْنَ السَّلِيمِ وَالْمَعِيبِ.
Kemudian, jika memang harus kembali dengan nilai, maka itu mengharuskan penilaian dilakukan secara benar, bukan keliru, dan penaksir harus membedakan antara yang utuh dan yang cacat.
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا، فَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Jika telah jelas apa yang kami sebutkan, maka hal itu tidak lepas dari tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ بِحَادِثِ سَمَاءٍ.
Pertama: jika itu terjadi karena kejadian alam.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بِجِنَايَةِ الزَّوْجِ.
Kedua: jika itu terjadi karena perbuatan suami.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ بِجِنَايَةِ أَجْنَبِيٍّ.
Ketiga: jika itu terjadi karena perbuatan orang lain (asing).
فَإِنْ كَانَ بِحَادِثِ سَمَاءٍ كَهُزَالِ السَّمِينِ، وَمَرَضِ الصَّحِيحِ، فَإِنْ سَمَحَتْ بِنَقْصِهِ أَخَذَتْهُ نَاقِصًا إِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ، وَنِصْفَهُ إِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَهُ وَلَا خِيَارَ لِلزَّوْجِ فِيمَا حَصَلَ لَهُ مِنْ نِصْفِهِ النَّاقِصِ، لِأَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ.
Jika itu karena kejadian alam, seperti gemuk yang menjadi kurus, atau sehat yang menjadi sakit, maka jika ia rela dengan kekurangannya, ia mengambilnya dalam keadaan kurang jika ditalak setelah terjadi hubungan, dan setengahnya jika ditalak sebelum terjadi hubungan. Tidak ada hak bagi suami atas apa yang ia peroleh dari setengah yang kurang, karena itu menjadi tanggungannya.
وَإِنْ لَمْ تَسْمَحْ بِنَقْصِهِ كَانَ خِيَارُهَا فِي الْفَسْخِ مُعْتَبَرًا بِمَا تَرْجِعُ بِهِ لَوْ فَسَخَتْ.
Jika ia tidak rela dengan kekurangannya, maka hak pilihnya dalam membatalkan akad dipertimbangkan dengan apa yang akan ia dapatkan jika ia membatalkan.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا تَرْجِعُ بِقِيمَتِهِ فَلَا خِيَارَ لَهَا فِي الْفَسْخِ، وَتَأْخُذُهُ نَاقِصًا مَعَ أَرْشِ نَقْصِهِ إِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ، وَنِصْفَهُ وَنِصْفَ أَرْشِهِ إِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَهُ. وَإِنَّمَا سَقَطَ خِيَارُهَا فِي الْفَسْخِ؛ لِأَنَّ أَخْذَهُ نَاقِصًا مَعَ الْأَرْشِ أَخَصُّ بِحَقِّهَا مِنَ الْعُدُولِ عَنْهُ إِلَى قِيمَتِهِ.
Jika dikatakan: ia kembali dengan nilainya, maka tidak ada hak pilih baginya dalam membatalkan akad, dan ia mengambilnya dalam keadaan kurang beserta kompensasi kekurangannya jika ditalak setelah terjadi hubungan, dan setengahnya beserta setengah kompensasinya jika ditalak sebelum terjadi hubungan. Hak pilihnya dalam membatalkan akad gugur karena mengambilnya dalam keadaan kurang beserta kompensasi lebih sesuai dengan haknya daripada berpindah darinya kepada nilainya.
وَإِنْ قِيلَ: لَوْ فَسَخَتْ رَجَعَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَلَهَا الْخِيَارُ فِي الْفَسْخِ أَوِ الْمُقَامِ. فإن فسخت رَجَعَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ إِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ، وَبِنِصْفِهِ إِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَهُ وَإِنْ أَقَامَتْ أَخَذَتْهُ نَاقِصًا وَلَا أَرْشَ لَهَا، كَالْبَائِعِ إِذَا رَضِيَ أَنْ يَتَمَسَّكَ بِالْمَعِيبِ، وَإِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ رَجَعَتْ بِنِصْفِهِ نَاقِصًا مِنْ غَيْرِ أَرْشٍ وَيَكُونُ نِصْفُهُ مَعِيبًا لِلزَّوْجِ وَلَا خِيَارَ لَهُ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ.
Jika dikatakan: jika ia membatalkan akad, ia kembali dengan mahar mitsil, maka ia memiliki hak memilih antara membatalkan akad atau tetap. Jika ia membatalkan, ia kembali dengan mahar mitsil jika ditalak setelah terjadi hubungan, dan setengahnya jika ditalak sebelum terjadi hubungan. Jika ia tetap, ia mengambilnya dalam keadaan kurang dan tidak ada kompensasi baginya, seperti penjual yang rela menahan barang cacat. Jika ditalak sebelum terjadi hubungan, ia kembali dengan setengahnya dalam keadaan kurang tanpa kompensasi, dan setengahnya yang cacat menjadi milik suami dan tidak ada hak pilih baginya di dalamnya, karena itu menjadi tanggungannya.
وَإِنْ كَانَ النُّقْصَانُ بِجِنَايَةِ الزَّوْجِ: كَأَنَّهُ قَطَعَ إِحْدَى يَدَيْهِ، أَوْ قَلَعَ إِحْدَى عَيْنَيْهِ، فَهُوَ عُضْوٌ يَضْمَنُهُ الْجَانِي بِنِصْفِ الْقِيمَةِ، وَيَضْمَنُهُ غَيْرُ الْجَانِي بِمَا نَقَصَ فَيَكُونُ الزَّوْجُ هَاهُنَا ضَامِنًا لَهُ بِأَكْثَرِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نَقْصِهِ أَوْ نِصْفِ قِيمَتِهِ. وَإِنْ كَانَ نِصْفُ الْقِيمَةِ أَكْثَرَ لَزِمَهُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَلْتَزِمُهُ بِالْجِنَايَةِ مِنْ غَيْرِ يَدٍ ضَامِنَةٍ فَلَأَنْ يَلْزَمُهُ مَعَ الْيَدِ الضَّامِنَةِ أَوْلَى، وَإِنْ كَانَ نَقْصُهُ أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ لَزِمَهُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَلْتَزِمُهُ بِالْيَدِ الضَّامِنَةِ مِنْ غَيْرِ جِنَايَةٍ فَلَأَنْ يَلْتَزِمَهُ مَعَ الْجِنَايَةِ أَوْلَى وَإِذَا لَزِمَهُ ضَمَانُ أَكْثَرِ الْأَمْرَيْنِ تَرَتَّبَ جَوَابُهُ عَلَى مَا يُوجِبُهُ فِي الرُّجُوعِ مَعَ التَّلَفِ.
Jika kekurangan itu disebabkan oleh tindakan melukai dari suami, seperti ia memotong salah satu tangan budak tersebut atau mencungkil salah satu matanya, maka anggota tubuh itu merupakan bagian yang wajib diganti oleh pelaku dengan setengah nilai budak, dan selain pelaku wajib mengganti sesuai dengan nilai kekurangan yang terjadi. Maka dalam hal ini, suami menjadi penjamin dengan jumlah yang lebih besar dari dua kemungkinan, yaitu antara nilai kekurangan atau setengah dari nilai budak. Jika setengah nilai budak lebih besar, maka ia wajib membayarnya; karena bisa saja ia diwajibkan membayar karena tindakan melukai tanpa adanya pihak penjamin, maka lebih utama lagi jika ia diwajibkan membayar bersama adanya pihak penjamin. Jika nilai kekurangan lebih besar dari setengah nilai budak, maka ia wajib membayarnya; karena bisa saja ia diwajibkan membayar oleh pihak penjamin tanpa adanya tindakan melukai, maka lebih utama lagi jika ia diwajibkan membayar bersama adanya tindakan melukai. Jika ia diwajibkan membayar jumlah yang lebih besar dari dua kemungkinan tersebut, maka jawabannya mengikuti ketentuan yang berlaku dalam hal pengembalian ketika terjadi kerusakan.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ تَلَفَ الصَّدَاقِ مُوجِبٌ لِلرُّجُوعِ بِقِيمَتِهِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ فَلَهَا أَنْ تَأْخُذَ الْعَبْدَ نَاقِصًا، وَمَا أَوْجَبْنَاهُ مِنْ ضَمَانِ نَقْصِهِ، أَوْ مَا يُقَدَّرُ بِجِنَايَتِهِ إِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ، أَوْ نِصْفَ ذَلِكَ إِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَهُ، وَلَا خِيَارَ بِهَا.
Jika dikatakan: Bahwa rusaknya mahar mewajibkan pengembalian dengan nilainya menurut pendapat lama, maka istri boleh mengambil budak tersebut dalam keadaan kurang, dan apa yang kami wajibkan berupa jaminan atas kekurangannya, atau apa yang ditetapkan karena tindakan melukai jika ia dicerai setelah terjadi hubungan, atau setengah dari itu jika dicerai sebelumnya, dan tidak ada hak memilih baginya.
وَإِنْ قِيلَ إِنَّ تَلَفَ الصَّدَاقِ مُوجِبٌ لِلرُّجُوعِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، فَهِيَ هَاهُنَا بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْمُقَامِ أَوِ الْفَسْخِ، فَإِنْ فَسَخَتْ رَجَعَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ إِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ أَوْ بِنِصْفِهِ إِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَهُ. وَإِنْ أَقَامَتْ أَخَذَتِ الْعَبْدَ نَاقِصًا، وَمَا أَوْجَبَهُ ضَمَانُ الْجِنَايَةِ وَهُوَ نِصْفُ الْقِيمَةِ، وَلَا اعْتِبَارَ بِمَا زَادَ عَلَيْهِ مِنْ ضَمَانِ النَّقْصِ بِالْيَدِ الضَّامِنَةِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ. أَلَا تَرَاهُ لَوْ نَقَصَتْ قِيمَتُهُ مِنْ غَيْرِ جِنَايَةٍ لَمْ يَضْمَنْهَا عَلَى هَذَا الْقَوْلِ إِذَا أَقَامَتْ وَلَمْ يُفْسَخْ هَذَا إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَعْدَ الدُّخُولِ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَهُ أَخَذَتْ نِصْفَهُ وَرُبْعَ الْقِيمَةِ بِالْجِنَايَةِ.
Jika dikatakan bahwa rusaknya mahar mewajibkan pengembalian dengan mahar mitsil, maka dalam hal ini istri memiliki hak memilih antara tetap melanjutkan atau membatalkan pernikahan. Jika ia membatalkan, maka ia berhak mendapatkan mahar mitsil jika dicerai setelah terjadi hubungan, atau setengahnya jika dicerai sebelumnya. Jika ia tetap melanjutkan, maka ia mengambil budak tersebut dalam keadaan kurang, dan apa yang diwajibkan berupa jaminan atas tindakan melukai, yaitu setengah nilai budak, dan tidak diperhitungkan kelebihan dari itu berupa jaminan kekurangan oleh pihak penjamin menurut pendapat ini. Bukankah engkau melihat, jika nilai budak tersebut berkurang tanpa adanya tindakan melukai, maka suami tidak wajib menggantinya menurut pendapat ini jika istri tetap melanjutkan dan tidak membatalkan, jika perceraian terjadi setelah hubungan. Jika sebelum hubungan, maka ia mengambil setengahnya dan seperempat nilai budak karena tindakan melukai.
وَإِنْ كَانَ النُّقْصَانُ بِجِنَايَةِ أَجْنَبِيٍّ.
Jika kekurangan itu disebabkan oleh tindakan melukai dari orang lain (bukan suami).
كَأَنَّهُ قَطَعَ إِحْدَى يَدَيْهِ، أَوْ فَقَأَ إِحْدَى عَيْنَيْهِ، فَعَلَى الْجَانِي نِصْفُ الْقِيمَةِ أَرْشُ الْجِنَايَةِ، وَيَضْمَنُ الزَّوْجُ نُقْصَانَ الْقِيمَةِ قَلَّ أَوْ كَثُرَ ضَمَانَ الْيَدِ، ثُمَّ يَتَرَتَّبُ حَقُّهَا فِيمَا تَرْجِعُ بِهِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ.
Seperti orang lain itu memotong salah satu tangan budak tersebut, atau memecahkan salah satu matanya, maka pelaku wajib membayar setengah nilai budak sebagai diyat atas tindakannya, dan suami wajib mengganti kekurangan nilai budak, baik sedikit maupun banyak, sebagai jaminan dari pihak penjamin. Kemudian hak istri dalam hal pengembalian mengikuti dua pendapat yang telah lalu.
إِنْ قُلْنَا: إِنَّهَا تَرْجِعُ مَعَ التَّلَفِ بِالْقِيمَةِ رَجَعَتْ عَلَيْهِ إِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ بِالْعَبْدِ النَّاقِصِ، وَرَجَعَتْ مَعَهُ بِأَكْثَرِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ ضَمَانِ الْجِنَايَةِ وَهُوَ نِصْفُ الْقِيمَةِ، أَوْ ضَمَانِ الْيَدِ وَهُوَ نُقْصَانُ الْقِيمَةِ. وَهِيَ بِالْخِيَارِ فِي الرُّجُوعِ عَلَى مَنْ شَاءَتْ مِنْهُمَا. فَإِنْ رَجَعَتْ عَلَى الْجَانِي رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِنِصْفِ الْقِيمَةِ، فَإِنْ كَانَ هُوَ الْأَكْثَرُ فَقَدِ اسْتَوْفَتْ، وَلَمْ يُرْجَعْ عَلَى الزَّوْجِ بِشَيْءٍ، وَلَا يَرْجِعُ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي بِشَيْءٍ، وَإِنْ كَانَ هُوَ الْأَقَلَّ رَجَعَتْ بِالْبَاقِي مِنْ نُقْصَانِ الْقِيمَةِ عَلَى الزَّوْجِ وَلَمْ يَرْجِعْ بِهِ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي، وَإِنْ رَجَعَتْ عَلَى الزَّوْجِ رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِنُقْصَانِ الْقِيمَةِ فَإِنْ كَانَ هُوَ الْأَكْثَرَ فَقَدِ اسْتَوْفَتْ وَرَجَعَ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي بِنِصْفِ الْقِيمَةِ، وَإِنْ كَانَ هُوَ الْأَقَلَّ رَجَعَتْ عَلَى الْجَانِي بِالْبَاقِي مِنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ، وَرَجَعَ الزَّوْجُ عَلَيْهِ بِمَا غَرِمَ مِنْ نقصان القيمة.
Jika kita katakan: bahwa istri berhak mengembalikan dengan nilai jika terjadi kerusakan, maka jika ia dicerai setelah terjadi hubungan, ia mengembalikan budak yang telah berkurang nilainya, dan ia berhak menuntut jumlah yang lebih besar dari dua kemungkinan, yaitu jaminan atas tindakan melukai (setengah nilai budak) atau jaminan dari pihak penjamin (kekurangan nilai budak). Ia bebas memilih untuk menuntut kepada siapa saja dari keduanya. Jika ia menuntut kepada pelaku, maka ia mendapatkan setengah nilai budak; jika itu yang lebih besar, maka haknya telah terpenuhi dan tidak ada tuntutan lagi kepada suami, dan suami pun tidak menuntut kepada pelaku. Jika itu yang lebih kecil, maka ia menuntut sisa kekurangan nilai budak kepada suami, dan suami tidak menuntut kepada pelaku. Jika ia menuntut kepada suami, maka ia mendapatkan kekurangan nilai budak; jika itu yang lebih besar, maka haknya telah terpenuhi dan suami menuntut kepada pelaku sebesar setengah nilai budak. Jika itu yang lebih kecil, maka ia menuntut sisa dari setengah nilai budak kepada pelaku, dan suami menuntut kepada pelaku sebesar yang telah ia bayarkan dari kekurangan nilai budak.
فَإِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ رَجَعَتْ بِنِصْفِ ذَلِكَ.
Jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan, maka ia berhak atas setengah dari itu.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهَا تَرْجِعُ مَعَ التَّلَفِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ فَهِيَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْمُقَامِ أَوِ الْفَسْخِ فَإِنْ فَسَخَتْ رَجَعَتْ عَلَى الزَّوْجِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ إِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ، وَبِنِصْفِهِ إِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَهُ، وَرَجَعَ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي بِنِصْفِ الْقِيمَةِ أَرْشِ الْجِنَايَةِ، وَإِنْ أَقَامَتْ كَانَ لَهَا إِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ أَخْذُ الْعَبْدِ وَنِصْفُ الْقِيمَةِ الَّتِي هِيَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ سَوَاءٌ كَانَتْ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ أَوْ أَكْثَرَهُمَا، فَإِنْ كَانَ هُوَ الْأَقَلَّ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ فِي الرُّجُوعِ بِهِ عَلَى مَنْ شَاءَتْ مِنْهُمَا، فَإِنْ رَجَعَتْ بِهِ عَلَى الزَّوْجِ رَجَعَ بِهِ الزَّوْجُ عَلَى الْجَانِي، وَإِنْ رَجَعَتْ بِهِ عَلَى الْجَانِي لَمْ يَرْجِعْ بِهِ الْجَانِي عَلَى أَحَدٍ. وَإِنْ كَانَ نِصْفُ الْقِيمَةِ هُوَ الْأَكْثَرَ لَمْ يَكُنْ لَهَا أَنْ تَرْجِعَ عَلَى الزَّوْجِ إِلَّا بِنُقْصَانِ الْقِيمَةِ، وَتَرْجِعُ بِالْبَاقِي مِنَ النِّصْفِ عَلَى الْجَانِي، وَيَرْجِعُ عَلَيْهِ الزَّوْجُ بِمَا غَرِمَ مِنْ نُقْصَانِ الْقِيمَةِ، وَإِنْ رَجَعَتْ عَلَى الْجَانِي رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِنِصْفِ الْقِيمَةِ وَقَدِ اسْتَوْفَتْ، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الدُّخُولِ رَجَعَتْ بِالنِّصْفِ مِنْ ذَلِكَ وَرَجَعَ الزَّوْجُ بِالنِّصْفِ الْآخَرِ.
Dan jika kita katakan: bahwa ia (istri) berhak kembali (menuntut ganti rugi) atas kerusakan dengan mahr mitsil menurut pendapatnya dalam qaul jadid, maka ia berhak memilih antara tetap melanjutkan pernikahan atau membatalkannya. Jika ia membatalkan, maka ia berhak menuntut kepada suami mahr mitsil jika ia dicerai setelah terjadi hubungan suami istri, dan setengahnya jika dicerai sebelum itu. Suami kemudian menuntut kepada pelaku kejahatan setengah dari nilai (budak) sebagai ‘arsh jināyah. Jika ia tetap melanjutkan pernikahan, maka jika ia dicerai setelah terjadi hubungan suami istri, ia berhak mengambil budak dan setengah nilai yang merupakan ‘arsh jināyah, baik setengah nilai itu lebih kecil atau lebih besar dari dua kemungkinan tersebut. Jika setengah nilai itu yang lebih kecil, maka ia berhak memilih untuk menuntutnya kepada siapa saja dari keduanya (suami atau pelaku kejahatan). Jika ia menuntutnya kepada suami, maka suami menuntutnya kepada pelaku kejahatan. Jika ia menuntutnya kepada pelaku kejahatan, maka pelaku kejahatan tidak dapat menuntutnya kepada siapa pun. Jika setengah nilai itu yang lebih besar, maka ia tidak boleh menuntut kepada suami kecuali dengan pengurangan nilai, dan ia menuntut sisanya dari setengah nilai itu kepada pelaku kejahatan, dan suami menuntut kepada pelaku kejahatan atas apa yang telah ia bayarkan dari kekurangan nilai tersebut. Jika ia menuntut kepada pelaku kejahatan, maka ia menuntut setengah nilai dan telah menerima haknya secara penuh. Jika perceraian terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri, maka ia menuntut setengah dari hal tersebut dan suami menuntut setengah sisanya.
فَصْلٌ: الْقِسْمُ الْخَامِسُ
Fashal: Bagian Kelima
وَأَمَّا الْقِسْمُ الْخَامِسُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ قد زاد من وجه ونقص منه وَجْهٌ فَلَا تَخْلُو حَالُ الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Adapun bagian kelima, yaitu apabila mahar bertambah dari satu sisi dan berkurang dari sisi lain, maka keadaan penambahan dan pengurangan itu tidak lepas dari empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا مُتَمَيِّزَيْنِ.
Pertama: Keduanya (penambahan dan pengurangan) dapat dibedakan.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَا غَيْرَ مُتَمَيِّزَيْنِ.
Kedua: Keduanya tidak dapat dibedakan.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مُتَمَيِّزَةً وَالنُّقْصَانُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ.
Ketiga: Penambahan dapat dibedakan, sedangkan pengurangan tidak dapat dibedakan.
وَالرَّابِعُ: أَنْ تكون الزيادة غير متميزة والنقصان متميزاً.
Keempat: Penambahan tidak dapat dibedakan, sedangkan pengurangan dapat dibedakan.
إِيضَاحُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ
Penjelasan Bagian Pertama
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مُتَمَيِّزَةً، وَالنُّقْصَانُ مُتَمَيِّزًا:
Adapun bagian pertama, yaitu penambahan dapat dibedakan dan pengurangan juga dapat dibedakan:
فَمِثَالُهُ: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَصْدَقَهَا أَمَتَيْنِ فَمَاتَتْ وَاحِدَةٌ، وَوَلَدَتِ الْأُخْرَى، فَمَوْتُ إِحْدَاهُمَا نُقْصَانٌ مُتَمَيِّزٌ، وَوِلَادَةُ الْأُخْرَى زِيَادَةٌ مُتَمَيِّزَةٌ، فَيَكُونُ الْكَلَامُ فِي مَوْتِ إِحْدَاهُمَا كَالْكَلَامِ فِي النُّقْصَانِ الْمُتَمَيِّزِ إِذَا انْفَرَدَ عَنِ الزِّيَادَةِ.
Contohnya adalah: seseorang memberikan mahar dua budak perempuan, lalu salah satunya meninggal dan yang lainnya melahirkan anak. Kematian salah satunya adalah pengurangan yang dapat dibedakan, dan kelahiran yang lainnya adalah penambahan yang dapat dibedakan. Maka pembahasan tentang kematian salah satunya sama dengan pembahasan tentang pengurangan yang dapat dibedakan jika berdiri sendiri tanpa penambahan.
فَأَمَّا الْوَلَدُ فَإِنْ قِيلَ: تَرْجِعُ فِي التَّالِفِ بِقِيمَتِهِ فَالْوَلَدُ لَهَا، وَإِنْ قِيلَ تَرْجِعُ فِي التَّالِفِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ نُظِرَ، فَإِنْ لَمْ تَفْسَخْ وَلَمْ تَرْجِعْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَالْوَلَدُ لها، سواء كَانَ الْوَلَدُ مِنَ الْبَاقِيَةِ أَوْ مِنَ الْمَيِّتَةِ، وَإِنْ فَسَخَتْ وَرَجَعَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ نُظِرَ فِي الْوَلَدِ، فَإِنْ كَانَ مِنَ الْبَاقِيَةِ دُونَ الْمَيِّتَةِ فَهُوَ لَهَا؛ لِأَنَّ الْبَاقِيَةَ خَرَجَتْ مِنَ الصَّدَاقِ بِالْفَسْخِ الَّذِي هُوَ قَطْعٌ لَا بِالْمَوْتِ الَّذِي هُوَ رَفْعٌ، وَإِنْ كَانَ الْوَلَدُ مِنَ الْمَيِّتَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Adapun mengenai anak, jika dikatakan: ia (istri) menuntut ganti rugi atas yang hilang dengan nilainya, maka anak itu menjadi miliknya. Namun jika dikatakan ia menuntut ganti rugi atas yang hilang dengan mahr mitsil, maka perlu ditinjau: jika ia tidak membatalkan dan tidak menuntut mahr mitsil, maka anak itu menjadi miliknya, baik anak itu dari budak yang masih hidup maupun dari yang telah mati. Jika ia membatalkan dan menuntut mahr mitsil, maka perlu dilihat anak tersebut: jika anak itu dari budak yang masih hidup, bukan dari yang mati, maka anak itu menjadi miliknya; karena budak yang masih hidup keluar dari status mahar dengan pembatalan yang bersifat memutus, bukan dengan kematian yang bersifat menghapus. Jika anak itu dari budak yang telah mati, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لِلزَّوْجَةِ أَيْضًا؛ لِحُدُوثِهِ على ملكها.
Salah satunya: anak itu juga milik istri, karena ia lahir dalam kepemilikannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَكُونُ لِلزَّوْجِ؛ لِأَنَّ مَوْتَ أُمِّهِ قَدْ رَفَعَ الْعَقْدَ مِنْ أَصِلِهِ.
Pendapat kedua: anak itu menjadi milik suami, karena kematian ibunya telah menghapus akad dari asalnya.
بَيَانُ الْقِسْمِ الثَّانِي
Penjelasan Bagian Kedua
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ وَالنُّقْصَانُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ فَمِثَالُهُ: أَنْ يُصْدِقَهَا أَمَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا مَرِيضَةٌ، وَالْأُخْرَى صَحِيحَةٌ فَتَبْرَأُ الْمَرِيضَةُ وَتَمْرَضُ الصَّحِيحَةُ.
Adapun bagian kedua, yaitu penambahan tidak dapat dibedakan dan pengurangan juga tidak dapat dibedakan, contohnya: seseorang memberikan mahar dua budak perempuan, salah satunya sakit dan yang lainnya sehat, lalu yang sakit sembuh dan yang sehat jatuh sakit.
فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَعْدَ الدُّخُولِ، وَقُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّهَا تَرْجِعُ مَعَ التَّلَفِ بِالْقِيمَةِ أَخَذَتِ الْأَمَتَيْنِ وَرَجَعَتْ بِنُقْصَانِ قِيمَةِ الصَّحِيحَةِ الَّتِي مَرِضَتْ، وَلَا يُجْبَرُ ذَلِكَ بِالزِّيَادَةِ الْحَادِثَةِ فِي بُرْءِ الْمَرِيضَةِ؛ لِأَنَّهَا زِيَادَةٌ لَا تَمْلِكُهَا.
Jika perceraian terjadi setelah terjadi hubungan suami istri, dan kita mengikuti pendapatnya dalam qaul qadim: bahwa ia menuntut ganti rugi atas kerusakan dengan nilai, maka ia mengambil kedua budak perempuan itu dan menuntut kekurangan nilai dari budak yang sehat yang menjadi sakit, dan penambahan yang terjadi karena sembuhnya budak yang sakit tidak dapat menggantikan kekurangan tersebut, karena penambahan itu bukan miliknya.
وَإِنْ قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّهَا تَرْجِعُ مَعَ التَّلَفِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَهِيَ هَاهُنَا بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَأْخُذَ الْأَمَتَيْنِ بِالزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ مِنْ غَيْرِ أَرْشٍ، وَبَيْنَ أَنْ تَفْسَخَ وَتَرْجِعَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ.
Dan jika kita mengikuti pendapat beliau dalam qaul jadīd: bahwa ia (istri) berhak kembali dengan mahar mitsil jika terjadi kerusakan, maka dalam hal ini ia memiliki pilihan antara mengambil kedua budak tersebut dengan adanya penambahan atau pengurangan tanpa ‘arsh, atau membatalkan akad dan kembali dengan mahar mitsil.
وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الدُّخُولِ تَرَتَّبَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ إِذَا تَلِفَتْ إِحْدَاهُمَا وَبَقِيَتِ الْأُخْرَى هَلْ لَهَا إِذَا تَسَاوَتْ قِيمَتُهَا أَنْ تَأْخُذَ الْبَاقِيَةَ مِنْهُمَا بِالنِّصْفِ أَمْ لَا؟ فَإِنْ قِيلَ بِأَحَدِ الْقَوْلَيْنِ إِنَّهَا تَأْخُذُ الْبَاقِيَةَ بِالنِّصْفِ فَلَا خِيَارَ لَهَا هَاهُنَا، وَتَأْخُذُ بِالنِّصْفِ الَّذِي لَهَا الْأَمَةَ الَّتِي زَادَتْ وَتَرُدُّ لِلزَّوْجِ الْأَمَةَ الَّتِي نَقَصَتْ.
Dan jika talak terjadi sebelum terjadi hubungan (dukhūl), maka menurut dua pendapat, apabila salah satu dari keduanya rusak dan yang lainnya masih ada, apakah ia (istri) berhak mengambil yang tersisa di antara keduanya dengan setengahnya atau tidak? Jika dipilih salah satu dari dua pendapat bahwa ia mengambil yang tersisa dengan setengahnya, maka ia tidak memiliki pilihan di sini, dan ia mengambil budak yang bertambah nilainya dengan setengah bagian yang menjadi haknya, serta mengembalikan kepada suami budak yang nilainya berkurang.
وَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي: إِنَّهَا تَأْخُذُ النِّصْفَ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْأَمَتَيْنِ: تَرَتَّبَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَا تَرْجِعُ إِلَيْهِ مَعَ التَّلَفِ.
Dan jika dipilih pendapat kedua: bahwa ia mengambil setengah dari masing-masing budak, maka hal itu bergantung pada perbedaan dua pendapat mengenai apa yang menjadi haknya jika terjadi kerusakan.
فَإِنْ قِيلَ بِالْقَدِيمِ إِنَّ الرُّجُوعَ يَكُونُ بِالْقِيمَةِ، رَجَعَتْ بِنِصْفِ الْأَمَتَيْنِ وَبِنِصْفِ الْأَرْشِ مِنْ نُقْصَانِ الَّتِي نَقَصَتْ، ولا يجبر ذلك بزيادة التي زادت.
Jika dipilih pendapat qadīm bahwa pengembalian dilakukan berdasarkan nilai (al-qīmah), maka ia kembali dengan setengah dari kedua budak dan setengah dari ‘arsh atas kekurangan budak yang nilainya berkurang, dan hal itu tidak dapat diganti dengan kelebihan nilai pada budak yang nilainya bertambah.
فَإِنْ قِيلَ بِالْقَدِيمِ إِنَّ الرُّجُوعَ يَكُونُ بِالْقِيمَةِ، رَجَعَتْ بِنِصْفِ الْأَمَتَيْنِ وَبِنِصْفِ الْأَرْشِ مِنْ نُقْصَانِ التي نقصت، ولا يجبر ذلك بزيادة الَّتِي زَادَتْ.
Jika dipilih pendapat qadīm bahwa pengembalian dilakukan berdasarkan nilai (al-qīmah), maka ia kembali dengan setengah dari kedua budak dan setengah dari ‘arsh atas kekurangan budak yang nilainya berkurang, dan hal itu tidak dapat diganti dengan kelebihan nilai pada budak yang nilainya bertambah.
وَإِنْ قِيلَ بِالْجَدِيدِ: إِنَّ الرُّجُوعَ مَعَ التَّلَفِ يَكُونُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ كَانَتْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَرْجِعَ بِنِصْفِ الْأَمَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ أَرْشٍ، وَبَيْنَ أَنْ تَفْسَخَ وَتَرْجِعَ بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Dan jika dipilih pendapat jadīd: bahwa pengembalian ketika terjadi kerusakan dilakukan dengan mahar mitsil, maka ia memiliki pilihan antara kembali dengan setengah dari kedua budak tanpa ‘arsh, atau membatalkan akad dan kembali dengan setengah dari mahar mitsil.
إِيضَاحُ الْقِسْمِ الثَّالِثِ
Penjelasan Bagian Ketiga
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مُتَمَيِّزَةً، وَالنُّقْصَانُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ.
Adapun bagian ketiga, yaitu apabila penambahan (nilai) dapat dibedakan, sedangkan pengurangan tidak dapat dibedakan.
فَمِثَالُهُ: أَنْ يُصْدِقَهَا أَمَتَيْنِ فَتَلِدُ إِحْدَاهُمَا، وَتَمْرَضُ الْأُخْرَى، فَالْكَلَامُ فِي مَرَضِ إِحْدَاهُمَا كَالْكَلَامِ فِي النُّقْصَانِ الَّذِي لَا يَتَمَيَّزُ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ زِيَادَةٌ مُتَمَيِّزَةٌ عَلَى مَا مَضَى.
Contohnya: seorang suami menjadikan dua budak perempuan sebagai mahar, lalu salah satunya melahirkan anak, dan yang lainnya sakit. Maka pembahasan mengenai sakitnya salah satu budak tersebut sama seperti pembahasan tentang pengurangan yang tidak dapat dibedakan apabila tidak ada penambahan yang dapat dibedakan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
فَأَمَّا الْوَلَدُ فَيَكُونُ لِلزَّوْجَةِ بِكُلِّ حَالٍ، سَوَاءً أَقَامَتْ عَلَى الصَّدَاقِ أَوْ فَسَخَتْ وَرَجَعَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَسَوَاءً كَانَ الْوَلَدُ مِنَ النَّاقِصَةِ أَوْ مِنَ الْأُخْرَى؛ لِأَنَّ بَقَاءَ أُمِّهِ إِنْ فُسِخَ الصَّدَاقُ فِيهَا مُوجِبٌ لِقَطْعِهِ لَا لِرَفْعِهِ.
Adapun anak yang dilahirkan, maka ia menjadi milik istri dalam segala keadaan, baik istri tetap pada mahar atau membatalkan akad dan kembali dengan mahar mitsil, dan baik anak itu berasal dari budak yang nilainya berkurang maupun dari budak yang satunya; karena keberadaan ibunya, jika akad mahar dibatalkan atasnya, menyebabkan terputusnya hubungan, bukan menghilangkannya.
إِيضَاحُ القسم الرابع
Penjelasan Bagian Keempat
وأما القسم الرابع وهو أن تَكُونَ الزِّيَادَةُ غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ وَالنُّقْصَانُ مُتَمَيِّزًا فَمِثَالُهُ: أَنْ يُصْدِقَهَا أَمَتَيْنِ مَرِيضَتَيْنِ، فَتَمُوتُ إِحْدَاهُمَا، وَتَبْرَأُ الْأُخْرَى، فَيَكُونُ الْكَلَامُ فِيهِ كَالْكَلَامِ فِي النُّقْصَانِ الْمُتَمَيِّزِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ زِيَادَةٌ، فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى، وَلَيْسَ لِلزِّيَادَةِ هَاهُنَا تَأْثِيرٌ يَتَغَيَّرُ بِهِ الْحُكْمُ.
Adapun bagian keempat, yaitu apabila penambahan tidak dapat dibedakan dan pengurangan dapat dibedakan, contohnya: seorang suami menjadikan dua budak perempuan yang sakit sebagai mahar, lalu salah satunya meninggal dan yang lainnya sembuh. Maka pembahasan dalam hal ini sama seperti pembahasan tentang pengurangan yang dapat dibedakan apabila tidak ada penambahan, sehingga hukumnya mengikuti penjelasan sebelumnya, dan penambahan di sini tidak berpengaruh dalam mengubah hukum.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي مِنْ أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ قَدْ سَاقَ الصَّدَاقَ بِكَمَالِهِ إِلَيْهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَلَا يَخْلُو طَلَاقُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ.
Adapun bagian kedua dari pokok permasalahan, yaitu apabila suami telah menyerahkan seluruh mahar kepadanya, kemudian menceraikannya, maka talaknya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah terjadi sebelum dukhūl atau sesudahnya.
فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَا حَقَّ لَهُ فِي الصَّدَاقِ، وَقَدِ اسْتَوْفَتْهُ.
Jika terjadi setelah dukhūl, maka suami tidak memiliki hak atas mahar, dan istri telah menerimanya secara sempurna.
وإن كان قبل الدخول فله نصفه.
Dan jika terjadi sebelum dukhūl, maka suami berhak atas setengahnya.
وإن كَانَ كَذَلِكَ: لَمْ يَخْلُ الصَّدَاقُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Jika demikian, maka mahar tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَوْصُوفًا فِي الذِّمَّةِ أَوْ يَكُونُ عَيْنًا مَعْلُومَةً.
Yaitu apakah berupa sesuatu yang dideskripsikan dalam tanggungan (maṣūf fī al-dzimmah) atau berupa barang tertentu yang diketahui (‘ayn ma‘lūmah).
فَإِنْ كَانَ مَوْصُوفًا فِي الذِّمَّةِ؛ كَالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ بَاقِيًا فِي يَدِهَا، أَوْ مُسْتَهْلَكًا.
Jika berupa sesuatu yang dideskripsikan dalam tanggungan, seperti dirham dan dinar, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah masih ada di tangannya (istri) atau sudah habis digunakan.
فَإِنْ كَانَ مُسْتَهْلَكًا رَجَعَ عَلَيْهَا بِالنِّصْفِ مِنْ مِثْلِ ذَلِكَ الصَّدَاقِ.
Jika sudah habis digunakan, maka suami berhak kembali kepadanya dengan setengah dari mahar sejenis itu.
وَإِنْ كَانَ بَاقِيًا فِي يَدِهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Dan jika masih ada di tangannya, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بِالنِّصْفِ مِنَ الصَّدَاقِ الَّذِي أَقْبَضَهَا؛ لِأَنَّهُ عَيْنُ مَالِهِ، وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَعْدِلَ بِهِ إِلَى مِثْلِهِ.
Salah satunya: suami berhak mengambil kembali setengah dari mahar yang telah ia serahkan kepadanya, karena itu adalah harta miliknya, dan istri tidak berhak menggantinya dengan yang sejenis.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تُعْطِيَهُ النِّصْفَ مِنْ ذَلِكَ الصَّدَاقِ وَبَيْنَ أَنْ تَعْدِلَ بِهِ إِلَى نِصْفِ مِثْلِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مُتَعَيَّنًا بِالْعَقْدِ، بَلْ كَانَ مَضْمُونًا فِي الذِّمَّةِ فَاسْتَقَرَّ فِيهِ حُكْمُ الْخِيَارِ فِي مِثْلِهِ.
Pendapat kedua: Ia (istri) memiliki pilihan antara memberikan kepadanya (suami) setengah dari mahar tersebut atau menggantinya dengan setengah dari nilai yang sepadan dengannya; karena mahar itu belum ditentukan secara spesifik dalam akad, melainkan hanya menjadi tanggungan dalam kewajiban, sehingga berlaku padanya hukum pilihan dalam hal yang serupa.
وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ تَعَيَّنَ بِالْقَبْضِ فَصَارَ كَالْمُتَعَيَّنِ بِالْعَقْدِ.
Pendapat pertama lebih kuat; karena mahar itu telah menjadi tertentu dengan penyerahan, sehingga kedudukannya seperti yang telah ditentukan dalam akad.
فَلَوْ كَانَتْ قَدِ اشْتَرَتْ بِالصَّدَاقِ جَهَازًا أَوْ غَيْرَهُ، رَجَعَ عَلَيْهَا بِمِثْلِ نِصْفِ الصَّدَاقِ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَأْخُذَ نِصْفَ الْجَهَازِ.
Maka, jika istri telah membeli perlengkapan atau selainnya dengan mahar tersebut, maka suami berhak kembali kepadanya dengan meminta barang yang senilai dengan setengah mahar, dan suami tidak wajib mengambil setengah dari perlengkapan tersebut.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِذَا تَجَهَّزَتْ بِالصَّدَاقِ لَزِمَهُ أَنْ يَأْخُذَ نِصْفَ الْجَهَازِ وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ عَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تُجَهَّزَ لِزَوْجِهَا.
Imam Malik berkata: Jika istri telah membeli perlengkapan dengan mahar, maka suami wajib mengambil setengah dari perlengkapan itu, dan beliau membangun pendapat ini di atas prinsipnya bahwa perempuan wajib menyiapkan perlengkapan untuk suaminya.
وَعِنْدَنَا: لَا يَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَتَجَهَّزَ لِلزَّوْجِ؛ لِأَنَّ الْمَهْرَ فِي مُقَابَلَةِ الْبُضْعِ دُونَ الْجَهَازِ، فَلَمْ يَلْزَمْهَا إِلَّا تَسْلِيمُ الْبُضْعِ وَحْدَهُ.
Sedangkan menurut kami: Tidak wajib atas perempuan untuk menyiapkan perlengkapan bagi suami; karena mahar itu sebagai imbalan atas hubungan badan, bukan atas perlengkapan, maka yang wajib atasnya hanyalah menyerahkan hubungan badan saja.
وَلِأَنَّ مَا اشْتَرَتْهُ مِنَ الْجَهَازِ كَالَّذِي اشْتَرَتْهُ بِغَيْرِ الصَّدَاقِ. وَلِأَنَّ مَا اشْتَرَتْهُ بِالصَّدَاقِ مِنَ الْجَهَازِ كَالَّذِي اشْتَرَتْهُ مِنْ غَيْرِ الصَّدَاقِ.
Dan apa yang dibeli dari perlengkapan itu sama hukumnya dengan apa yang dibeli bukan dengan mahar. Dan apa yang dibeli dengan mahar dari perlengkapan itu sama dengan apa yang dibeli bukan dengan mahar.
وَأَمَّا إِنْ كَانَ الصَّدَاقُ فِي الْأَصْلِ مُعَيَّنًا بِالْعَقْدِ فَلَا تَخْلُو حَالُهُ مِمَّا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الأقسام الخمسة:
Adapun jika mahar pada asalnya telah ditentukan secara spesifik dalam akad, maka keadaannya tidak lepas dari apa yang telah kami sebutkan dari lima bagian:
إِيضَاحُ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ
Penjelasan bagian pertama
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَاقِيًا بِحَالِهِ لَمْ يَزِدْ وَلَمْ يَنْقُصْ، فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِهِ فَيَكُونُ شَرِيكًا فِيهِ.
Salah satunya: Mahar itu masih ada dalam keadaan semula, tidak bertambah dan tidak berkurang, maka suami berhak mengambil setengahnya sehingga menjadi sekutu dalam kepemilikannya.
وَهَلْ يَكُونُ شَرِيكًا فِيهِ بِنَفْسِ الطَّلَاقِ، أَوْ بِاخْتِيَارِهِ أَنْ يَتَمَلَّكَ بِالطَّلَاقِ نِصْفَ الصَّدَاقِ؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ.
Apakah ia menjadi sekutu dalam kepemilikan itu dengan sendirinya karena talak, atau dengan pilihannya untuk memiliki setengah mahar karena talak? Hal ini sesuai dengan dua pendapat yang telah kami sebutkan.
إِيضَاحُ الْقِسْمِ الثَّانِي
Penjelasan bagian kedua
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ قَدْ تَلِفَ فِي يَدِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Bagian kedua adalah jika mahar itu telah rusak di tangan istri, maka hal ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَتْلَفَ فِي يَدِهَا قَبْلَ طَلَاقِ الزَّوْجِ.
Salah satunya: Mahar itu rusak di tangan istri sebelum suami menjatuhkan talak.
وَالثَّانِي: أَنْ يَتْلَفَ بَعْدَ طَلَاقِهِ.
Yang kedua: Mahar itu rusak setelah suami menjatuhkan talak.
فَإِنْ تَلِفَ قَبْلَ طَلَاقِ الزَّوْجِ فللزوج أن يرجع علينا بِنِصْفِ قِيمَتِهِ قَوْلًا وَاحِدًا أَقَلَّ مَا كَانَ قِيمَتُهُ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ إِلَى وَقْتِ التَّسْلِيمِ؛ لِأَنَّ قِيمَتَهُ إِنْ نَقَصَتْ فَهِيَ مَضْمُونَةٌ عَلَيْهِ فَلَا يَرْجِعُ بِهَا، وَإِنْ زَادَتْ فَالزِّيَادَةُ لِغَيْرِهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا.
Jika mahar itu rusak sebelum suami menjatuhkan talak, maka suami berhak menuntut setengah dari nilainya, menurut satu pendapat, yaitu nilai terendah dari waktu akad hingga waktu penyerahan; karena jika nilainya berkurang maka kekurangannya menjadi tanggungan istri sehingga suami tidak boleh menuntutnya, dan jika nilainya bertambah maka kelebihan itu bukan hak suami, sehingga ia tidak boleh memilikinya.
وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ، لِأَنَّ عِنْدَهُ الصَّدَاقَ أَمَانَةٌ فِي يَدِهَا وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ عَلَيْهِ.
Imam Malik berkata: Suami tidak berhak menuntut apapun darinya, karena menurut beliau mahar itu adalah amanah di tangan istri, dan telah dijelaskan sebelumnya.
وَأَمَّا إِنْ تَلِفَ الصَّدَاقُ فِي يَدِهَا بَعْدَ أَنْ مَلَكَ الزَّوْجُ نِصْفَهُ بِطَلَاقِهِ فَلَمْ يَتَسَلَّمْهُ حَتَّى تلف فهذا على ضربين:
Adapun jika mahar itu rusak di tangan istri setelah suami memiliki setengahnya karena talak, namun belum ia terima hingga rusak, maka hal ini terbagi menjadi dua:
أحدهما: أن يتلف فِي يَدِهَا قَبْلَ بَذْلِهِ لَهُ، وَتَمْكِينِهِ مِنْهُ، فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ قِيمَتِهِ عَلَى مَا مَضَى.
Salah satunya: Mahar itu rusak di tangan istri sebelum diberikan kepada suami dan sebelum suami dapat mengambilnya, maka suami berhak menuntut setengah dari nilainya sebagaimana telah dijelaskan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتْلَفَ فِي يَدِهَا بَعْدَ بَذْلِهِ لَهُ، وَتَمْكِينِهِ مِنْهُ، فَلَمْ يَتَسَلَّمْهُ حَتَّى تَلِفَ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ مَبْنِيَّانِ على اختلاف أصحابنا فيما يستحقه الزَّوْجُ عَلَيْهَا مِنَ الصَّدَاقِ.
Bagian kedua: Mahar itu rusak di tangan istri setelah diberikan kepada suami dan suami telah diberi kesempatan untuk mengambilnya, namun belum diambil hingga rusak, maka dalam hal penjaminannya terdapat dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan pendapat ulama kami mengenai apa yang menjadi hak suami atas istri dari mahar tersebut.
فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّ الَّذِي يَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهَا التَّمْكِينُ مِنَ الصَّدَاقِ، فَعَلَى هَذَا لَا ضَمَانَ عَلَيْهَا، لِوُجُودِ التَّمْكِينِ.
Salah satu pendapat: Yang menjadi hak suami atas istri adalah memberikan kesempatan untuk mengambil mahar, maka dalam hal ini tidak ada kewajiban penjaminan atas istri, karena kesempatan telah diberikan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الَّذِي يَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهَا تَسْلِيمُ الصَّدَاقِ، فَعَلَى هَذَا عَلَيْهَا ضَمَانُهُ لِعَدَمِ التَّسْلِيمِ.
Pendapat kedua: Yang menjadi hak suami atas istri adalah penyerahan mahar, maka dalam hal ini istri wajib menanggungnya karena belum terjadi penyerahan.
ثُمَّ يَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ إِذَا تَلِفَ فِي يَدِهَا بِجِنَايَةِ آدَمِيٍّ، فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ أَنَّ الْمُسْتَحَقَّ هُوَ التَّمْكِينُ، يَرْجِعُ الزَّوْجُ إِلَى الْجَانِي.
Kemudian, cabang dari dua pendapat ini adalah jika mahar itu rusak di tangan istri karena perbuatan orang lain, maka menurut pendapat pertama bahwa yang menjadi hak adalah pemberian kesempatan, suami menuntut kepada pelaku kerusakan.
وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي: أَنَّ الْمُسْتَحَقَّ هُوَ التَّسْلِيمُ، يَكُونُ الزَّوْجُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الزَّوْجَةِ أَوْ عَلَى الْجَانِي.
Dan menurut pendapat kedua bahwa yang menjadi hak adalah penyerahan, maka suami memiliki pilihan antara menuntut kepada istri atau kepada pelaku kerusakan.
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ أَيْضًا إِذَا حَدَثَ بِالصَّدَاقِ بَعْدَ أَنْ تَمَلَّكَ الزَّوْجُ نِصْفَهُ نُقْصَانٌ لَا يَتَمَيَّزُ، فَلَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ الصَّدَاقِ بِهِ وَالرُّجُوعِ إِلَى قِيمَتِهِ لِاسْتِقْرَارِ مِلْكِهِ عَلَيْهِ وَهَلْ يَكُونُ نَقْصُهُ بِهِ مَضْمُونًا عَلَيْهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُعْتَبَرٌ بِحَالِهَا فِي التَّسْلِيمِ والتمكين، ولها فيه ثلاثة أحوال:
Dan juga bercabang dari dua pendapat ini, jika terjadi kekurangan pada mahar setelah suami memiliki setengahnya, kekurangan tersebut tidak dapat dibedakan, maka suami tidak memiliki hak untuk membatalkan mahar karena kekurangan itu dan kembali kepada nilainya, karena kepemilikannya atas mahar tersebut telah tetap. Apakah kekurangan itu menjadi tanggungan istri atau tidak? Ada dua pendapat, yang dipertimbangkan adalah keadaan istri dalam penyerahan dan pemberian akses, dan dalam hal ini istri memiliki tiga keadaan:
أحدهما: أَنْ لَا تُسَلِّمَ، وَلَا تُمَكِّنَ الزَّوْجَ مِنْهُ، فَالنُّقْصَانُ مَضْمُونٌ عَلَيْهَا، لِأَنَّهُ مَقْبُوضٌ فِي يَدِهَا عَنْ مُعَاوَضَةٍ فَلَزِمَهَا ضَمَانُهُ كَالْمَقْبُوضِ سَوْمًا.
Pertama: Istri tidak menyerahkan dan tidak memberikan akses kepada suami atas mahar tersebut, maka kekurangan itu menjadi tanggungannya, karena barang itu berada di tangannya sebagai hasil dari akad pertukaran, sehingga ia wajib menanggungnya seperti barang yang diterima untuk dijual.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تُسَلِّمَهُ إِلَيْهِ، فَيَرُدَّهُ عَلَيْهَا، فَهُوَ أَمَانَةٌ كَالْوَدِيعَةِ لَا يَلْزَمُهَا ضَمَانُهُ.
Keadaan kedua: Istri menyerahkannya kepada suami, lalu suami mengembalikannya kepadanya, maka barang itu menjadi amanah seperti titipan, sehingga ia tidak wajib menanggungnya.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تُمَكِّنَهُ مِنْهُ فَلَمْ يَتَسَلَّمْهُ حَتَّى نَقَصَ فَفِي ضَمَانِهَا لِنُقْصَانِهِ وَجْهَانِ.
Keadaan ketiga: Istri memberikan akses kepada suami, namun suami belum menerimanya hingga terjadi kekurangan, maka dalam hal ini ada dua pendapat mengenai kewajiban istri menanggung kekurangan tersebut.
إِيضَاحُ الْقِسْمِ الثَّالِثِ
Penjelasan Bagian Ketiga
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ قَدْ زَادَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Bagian ketiga: Jika mahar itu bertambah, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مُتَمَيِّزَةً، كَالْوَلَدِ فَالزِّيَادَةُ لَهَا، وَيَرْجِعُ الزَّوْجُ بِنِصْفِ الْأَصْلِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ.
Pertama: Tambahan itu dapat dibedakan, seperti anak, maka tambahan itu menjadi milik istri, dan suami hanya berhak atas setengah dari pokoknya tanpa tambahan.
وَعِنْدَ مَالِكٍ: يَرْجِعُ بِنِصْفِ الْأَصْلِ، وَنِصْفِ الزِّيَادَةِ.
Menurut pendapat Mālik, suami berhak atas setengah pokok dan setengah tambahan.
وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ: لَا يَرْجِعُ بِنِصْفِ الْأَصْلِ، وَلَا بِنِصْفِ الزِّيَادَةِ، ويرجع بنصف القيمة وبناء ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ زِيَادَةَ الْمَبِيعِ تَمْنَعُ مِنَ الرَّدِّ بِالْعَيْبِ.
Menurut pendapat Abū Ḥanīfah, suami tidak berhak atas setengah pokok maupun setengah tambahan, melainkan berhak atas setengah nilai. Hal ini didasarkan pada prinsip beliau bahwa tambahan pada barang yang dijual menghalangi pengembalian karena cacat.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ كَالْبُرْءِ، وَالسِّمَنِ، فَهِيَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تُعْطِيَهُ نِصْفَ الْقِيمَةِ، أَوْ نِصْفَ الْعَيْنِ.
Jenis kedua: Tambahan itu tidak dapat dibedakan, seperti sembuh dari penyakit atau bertambah gemuk, maka istri boleh memilih antara memberikan setengah nilai atau setengah barangnya.
وَعِنْدَ مَالِكٍ: تُجْبَرُ عَلَى دَفْعِ نِصْفِ الْعَيْنِ زَائِدَةً.
Menurut Mālik, istri diwajibkan memberikan setengah barang berikut tambahannya.
وَلَيْسَ كَذَلِكَ لِمَا بَيَّنَّاهُ مِنْ أَنَّ الزِّيَادَةَ مِلْكٌ لَهَا وَهِيَ مُتَّصِلَةٌ بِالْأَصْلِ، فَلَمْ تُجْبَرْ عَلَى بَذْلِهَا، فَإِنْ بَذَلَتْ لَهُ نِصْفَ الْقِيمَةِ أُجْبِرَ عَلَى قَبُولِهَا، وَإِنْ بَذَلَتْ لَهُ نِصْفَ الصَّدَاقِ زَائِدًا فَفِي إِجْبَارِهِ عَلَى قَبُولِهَا وَجْهَانِ.
Tidak demikian, sebagaimana telah dijelaskan bahwa tambahan itu adalah milik istri dan menyatu dengan pokoknya, sehingga ia tidak diwajibkan memberikannya. Jika ia memberikan setengah nilai kepada suami, maka suami wajib menerimanya. Namun jika ia memberikan setengah mahar berikut tambahannya, maka dalam hal kewajiban suami menerima terdapat dua pendapat.
أَصَحُّهُمَا: يُجْبَرُ عَلَيْهِ وَلَيْسَ لَهُ نِصْفُ الْقِيمَةِ، لِأَنَّ مَنْعَهُ مِنَ الْعَيْنِ إِنَّمَا كَانَ لِحَقِّ الزَّوْجَةِ مِنَ الزِّيَادَةِ.
Pendapat yang lebih kuat: Suami wajib menerimanya dan tidak berhak atas setengah nilai, karena larangan suami dari barang tersebut semata-mata demi hak istri atas tambahan itu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَضْعَفُهُمَا أَنَّهُ لَا يُجْبَرُ، وَلَهُ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى نِصْفِ الْقِيمَةِ، لِأَنَّ حُدُوثَ الزِّيَادَةِ قَدْ يُقِلُّ حَقَّهُ إِلَى الْقِيمَةِ.
Pendapat kedua, yang lebih lemah: Suami tidak wajib menerimanya, dan ia boleh memilih beralih kepada setengah nilai, karena terjadinya tambahan bisa mengurangi haknya menjadi hanya pada nilai.
وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُجْبَرْ عَلَى قَبُولِ الزِّيَادَةِ إِذَا انْفَصَلَتْ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى قَبُولِهَا إِذَا اتَّصَلَتْ فَلَوْ حدثت زيادة الصداق بعد الطلاق، وقبل الرجوع الزَّوْجِ بِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Karena suami tidak diwajibkan menerima tambahan jika tambahan itu terpisah, maka ia juga tidak diwajibkan menerimanya jika tambahan itu menyatu. Jika terjadi tambahan pada mahar setelah talak dan sebelum suami mengambil kembali mahar tersebut, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَحْدُثَ بَعْدَ الطَّلَاقِ وَبَعْدَ اخْتِيَارِ التَّمَلُّكِ، فَيَكُونُ الزَّوْجُ شَرِيكًا فِي الزِّيَادَةِ، فَإِنْ كَانَتْ مُتَمَيِّزَةً كَالْوَلَدِ رَجَعَ بِنِصْفِهِ مَعَ نِصْفِ الْأُمِّ. وَإِنْ كانت متصلة كالسمن بملك نِصْفَهُ زَائِدًا، وَلَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجَةِ بِهَذِهِ الزِّيَادَةِ الْمُتَمَيِّزَةِ أَنَّ تَمْنَعَهُ مِنْ نِصْفِ الْأَصْلِ.
Pertama: Tambahan itu terjadi setelah talak dan setelah memilih untuk memiliki, maka suami menjadi sekutu dalam tambahan itu. Jika tambahan itu dapat dibedakan seperti anak, maka suami berhak atas setengahnya bersama setengah induknya. Jika tambahan itu menyatu seperti bertambah gemuk, maka suami memiliki setengahnya berikut tambahannya, dan istri tidak berhak melarang suami dari setengah pokok karena tambahan yang dapat dibedakan itu.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ حَادِثَةً بَعْدَ الطَّلَاقِ وَقَبْلَ اخْتِيَارِ التَّمَلُّكِ.
Jenis kedua: Tambahan itu terjadi setelah talak dan sebelum memilih untuk memiliki.
فَفِيهَا قَوْلَانِ:
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا لِلزَّوْجَةِ إِذَا قِيلَ: إِنَّ الزَّوْجَ لَا يَمْلِكُ الصَّدَاقَ إِلَّا بِاخْتِيَارِ التَّمَلُّكِ بَعْدَ الطَّلَاقِ، فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ مُتَمَيِّزَةً فَجَمِيعُهَا لِلزَّوْجَةِ، وَلَهُ نِصْفُ الْأَصْلِ لَا غَيْرَ، وَإِنْ كَانَتْ مُتَّصِلَةً كَانَ لَهَا بِالزِّيَادَةِ أَنْ تَمْنَعَ الزَّوْجَ مِنْ نِصْفِ الْأَصْلِ، وَتَعْدِلُ بِهِ إِلَى نِصْفِ الْقِيمَةِ.
Pertama: Tambahan itu milik istri jika dikatakan bahwa suami tidak memiliki mahar kecuali setelah memilih untuk memilikinya setelah talak. Berdasarkan hal ini, jika tambahan itu dapat dibedakan maka seluruhnya milik istri, dan suami hanya berhak atas setengah pokok saja. Jika tambahan itu menyatu, maka istri berhak dengan tambahan itu untuk melarang suami dari setengah pokok dan menggantinya dengan setengah nilai.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الزِّيَادَةَ لِلزَّوْجِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ قَدْ مَلَكَ بِنَفْسِ الطَّلَاقِ نِصْفَ الصَّدَاقِ، فَإِنْ كَانَتْ مُتَمَيِّزَةً كَالْوَلَدِ فَلَهُ نِصْفُهُ وَنِصْفُ الْأَصْلِ، وَهَلْ تَكُونُ حِصَّتُهُ مِنَ الْوَلَدِ مَضْمُونَةً عَلَى الزَّوْجَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قوليه في الولد إذا حدث في يد الزوج هل يكون مضموناً أم عَلَيْهِ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Pendapat kedua: Bahwa tambahan (pada mahar) menjadi milik suami jika dikatakan bahwa ia telah memiliki separuh mahar dengan sendirinya karena terjadinya talak. Jika tambahan itu dapat dibedakan, seperti anak, maka ia berhak atas separuhnya dan separuh pokoknya. Apakah bagian suami dari anak itu menjadi tanggungan istri atau tidak? Ada dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat beliau tentang anak jika terjadi sesuatu pada anak itu di tangan suami: Apakah menjadi tanggungan atau tidak dalam hak istri? Ada dua pendapat.
وَإِنْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ كَالسِّمَنِ فَهَلْ تَكُونُ مَضْمُونَةً عَلَى الزَّوْجَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ:
Jika tambahan itu tidak dapat dibedakan, seperti bertambah gemuk, apakah itu menjadi tanggungan istri atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مَضْمُونَةٌ عَلَيْهَا، فَإِنْ تَلِفَ الصَّدَاقُ ضَمِنَتْ نِصْفَ قِيمَتِهِ بِزِيَادَتِهِ وَإِنْ تَلِفَتِ الزِّيَادَةُ بِأَنْ ذَهَبَ السِّمَنُ ضَمِنَتْ قَدْرَ نَقْصِهِ.
Salah satunya: Tambahan itu menjadi tanggungan istri. Jika mahar itu rusak, maka ia menanggung separuh nilainya beserta tambahannya. Jika tambahan itu yang rusak, seperti hilangnya kegemukan, maka ia menanggung sebesar kekurangannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا غَيْرُ مَضْمُونَةٍ عَلَى الزَّوْجَةِ، فَإِنْ تَلِفَ الصَّدَاقُ ضَمِنَتْ نِصْفَ قِيمَتِهِ قَبْلَ الزِّيَادَةِ وَإِنْ زَالَ السِمَنُ لَمْ تَضْمَنْ قَدْرَ نَقْصِهِ.
Pendapat kedua: Tambahan itu tidak menjadi tanggungan istri. Jika mahar itu rusak, maka ia menanggung separuh nilainya sebelum ada tambahan. Jika kegemukan itu hilang, ia tidak menanggung besarnya kekurangan itu.
إِيضَاحُ الْقِسْمِ الرَّابِعِ
Penjelasan Bagian Keempat
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ قَدْ نَقَصَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Bagian keempat: Mahar itu berkurang, dan hal ini terbagi menjadi dua macam:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ النُّقْصَانُ مُتَمَيِّزًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الصَّدَاقِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
Pertama: Kekurangan itu dapat dibedakan, maka keadaan mahar tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُتَمَاثِلَ الْأَجْزَاءِ كَالْحِنْطَةِ، أَوْ مُخْتَلِفَ الْأَجْزَاءِ كَالْحَيَوَانِ.
Bisa jadi bagian-bagiannya serupa, seperti gandum, atau berbeda-beda, seperti hewan.
– فَإِنْ كَانَ مُتَمَاثِلَ الْأَجْزَاءِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الْبَاقِي جَمِيعَ النِّصْفِ.
– Jika bagian-bagiannya serupa, maka suami boleh mengambil seluruh separuh dari sisa mahar.
– وَإِنْ كَانَ مُخْتَلِفَ الْأَجْزَاءِ كَأَمَتَيْنِ مَاتَتْ إِحْدَاهُمَا، وَبَقِيَتِ الْأُخْرَى فَهَلْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ الْبَاقِيَةَ إِذَا كَانَتَا مُتَسَاوِيَتَيِ الْقِيمَةِ بِالنِّصْفِ الَّذِي لَهُ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
– Jika bagian-bagiannya berbeda, seperti dua budak perempuan lalu salah satunya meninggal dan yang lain masih hidup, maka apakah suami boleh mengambil yang masih hidup jika keduanya sama nilainya untuk separuh bagian yang menjadi haknya atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهُ ذَلِكَ، وَقَدِ اسْتَوَى بِهَا جَمِيعُ حَقِّهِ.
Salah satunya: Ia boleh melakukannya, dan dengan itu seluruh haknya telah terpenuhi.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَهُ أَنْ يَأْخُذَ نِصْفَهَا وَيَرْجِعُ بِنِصْفِ قِيمَتِهِ التَّالِفَةِ.
Pendapat kedua: Ia hanya boleh mengambil separuh dari yang masih hidup dan menuntut separuh nilai dari yang telah rusak.
وَلَوْ كَانَتَا مُتَفَاضِلَتَيِ الْقِيمَةِ: لَمْ يَتَمَلَّكْ مِنَ الْبَاقِيَةِ إِلَّا نِصْفَهَا، وَكَانَ لَهُ نِصْفُ قِيمَةِ التَّالِفَةِ.
Jika keduanya berbeda nilai, maka suami hanya berhak memiliki separuh dari yang masih hidup, dan ia berhak atas separuh nilai dari yang telah rusak.
وَهَلْ يَتَعَيَّنُ فِي نِصْفِ الْبَاقِيَةِ حَتَّى يَأْخُذَهُ بِالتَّقْوِيمِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Apakah harus ditentukan pada separuh dari yang masih hidup sehingga ia mengambilnya dengan penilaian atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قَدْ تَعَيَّنَ فِيهِ إِذَا قِيلَ: إِنَّهُ لَوْ تَسَاوَى أَخَذَ الْجَمِيعَ.
Salah satunya: Harus ditentukan, jika dikatakan bahwa jika nilainya sama maka ia mengambil semuanya.
وَالثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ لَا يَتَعَيَّنُ فِيهِ وَهُوَ مِلْكُهَا وَلَهَا أَنْ تُعْطِيَهُ قِيمَةَ نِصْفِ التَّالِفَةِ مِنْ أَيِّ أَمْوَالِهَا شَاءَتْ، إِذَا قِيلَ لَوْ تَسَاوَى لَمْ يَأْخُذْ مِنَ الْبَاقِيَةِ إِلَّا النِّصْفَ.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat: Tidak harus ditentukan, dan itu tetap milik istri. Istri boleh memberikan kepada suami nilai separuh dari yang rusak dari harta mana pun yang ia kehendaki, jika dikatakan bahwa jika nilainya sama maka suami hanya mengambil separuh dari yang masih hidup.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ النُّقْصَانُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ كَالْعَمَى، وَالْهُزَالِ، فَيَكُونُ حَقُّهُ فِي نِصْفِ الْقِيمَةِ، وَلَا يَلْزَمُهُ، أَنْ يَأْخُذَ نِصْفَ الصَّدَاقِ نَاقِصًا كَمَا لَمْ يَلْزَمْهَا أَنْ تُعْطِيَهُ نِصْفَهُ زَائِدًا.
Macam kedua: Kekurangan itu tidak dapat dibedakan, seperti buta atau kurus, maka hak suami adalah pada separuh nilai, dan ia tidak wajib mengambil separuh mahar yang telah berkurang, sebagaimana istri juga tidak wajib memberikan separuh mahar yang telah bertambah.
فَإِنْ رَضِيَ أَنْ يَأْخُذَ نِصْفَهُ نَاقِصًا فَهَلْ يُجْبَرُ عَلَى ذَلِكَ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ كَمَا مَضَى فِي الزِّيَادَةِ الْمُتَّصِلَةِ إِذَا بَذَلَتْهَا الزَّوْجَةُ.
Jika suami rela mengambil separuh mahar yang telah berkurang, apakah ia dipaksa untuk itu atau tidak? Ada dua pendapat, sebagaimana telah dijelaskan pada tambahan yang menyatu jika istri menyerahkannya.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا أَسْقَطْتُمْ خِيَارَ الزَّوْجِ إذا وجد الطلاق نَاقِصًا، وَجَعَلْتُمْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ الصَّدَاقَ بِنَقْصِهِ وَيَأْخُذَ مَعَهُ أَرْشَ نَقْصِهِ كَمَا جَعَلْتُمْ لِلزَّوْجَةِ إِذَا وَجَدَتْهُ نَاقِصًا فِي يَدِهِ أَنْ تَأْخُذَهُ نَاقِصًا وَأَرْشَ نَقْصِهِ.
Jika dikatakan: Mengapa kalian tidak menggugurkan hak memilih bagi suami ketika terjadi talak dalam keadaan mahar berkurang, dan membolehkannya mengambil mahar yang berkurang beserta kompensasi kekurangannya, sebagaimana kalian membolehkan istri ketika mendapati mahar berkurang di tangan suami untuk mengambilnya beserta kompensasi kekurangannya?
قُلْنَا: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا هُوَ أَنَّ الصَّدَاقَ فِي يَدِ الزَّوْجِ مِلْكٌ لِلزَّوْجَةِ فَضَمِنَ نُقْصَانَهُ لَهَا فَلِذَلِكَ غَرِمَ أَرْشَ نَقْصِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الزَّوْجَةُ، لِأَنَّ الصَّدَاقَ فِي يَدِهَا مِلْكٌ لِنَفْسِهَا فَلَمْ تَضْمَنْ نُقْصَانَهُ لِلزَّوْجِ، فَلِذَلِكَ لَمْ تَغْرَمْ لَهُ أَرْشَ نَقْصِهِ، وَاسْتَحَقَّ بِهِ مُجَرَّدَ الْخِيَارِ بَيْنَ الرِّضَا بِالنَّقْصِ أَوِ الْفَسْخِ.
Kami katakan: Perbedaannya adalah bahwa mahar di tangan suami adalah milik istri, sehingga kekurangannya menjadi tanggungan suami kepada istri, maka karena itu ia wajib membayar kompensasi kekurangannya. Tidak demikian halnya dengan istri, karena mahar di tangannya adalah miliknya sendiri, sehingga ia tidak menanggung kekurangannya kepada suami. Oleh karena itu, ia tidak wajib membayar kompensasi kekurangannya kepada suami, dan suami hanya berhak memilih antara menerima kekurangan atau membatalkan (akad).
إِيضَاحُ الْقِسْمِ الْخَامِسِ
Penjelasan Bagian Kelima
وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ قَدْ زَادَ مِنْ وَجْهٍ وَنَقَصَ مِنْ وَجْهٍ فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ:
Bagian kelima: Yaitu apabila mahar mengalami penambahan dari satu sisi dan pengurangan dari sisi lain, maka hal ini terbagi menjadi empat macam:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مُتَمَيِّزَةً وَالنُّقْصَانُ مُتَمَيِّزًا، كَأَمَتَيْنِ مَاتَتْ أحدهما وَوَلَدَتِ الْأُخْرَى فَالْوَلَدُ لَهَا لَا حَقَّ فِيهِ لِلزَّوْجِ، وَيَكُونُ الْحُكْمُ فِيهِ كَمَا لَوْ نَقَصَ نُقْصَانًا مُتَمَيِّزًا.
Pertama: Penambahannya dapat dibedakan dan pengurangannya juga dapat dibedakan, seperti dua budak perempuan, salah satunya meninggal dan yang lainnya melahirkan, maka anak tersebut menjadi milik ibu (budak perempuan) dan suami tidak memiliki hak atasnya. Hukum dalam hal ini sama seperti jika terjadi pengurangan yang dapat dibedakan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ وَالنُّقْصَانُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ، كَأَمَةٍ بَصِيرَةٍ مَرِيضَةٍ فَبَرَأَتْ وَعَمِيَتْ، فَبُرْؤُهَا زِيَادَةٌ لَا تَتَمَيَّزُ، وَعَمَاهَا نُقْصَانٌ لَا يَتَمَيَّزُ. فَلَا يَلْزَمُ الزَّوْجَ أَنْ يَأْخُذَ نِصْفَهَا لِأَجْلِ النُّقْصَانِ، وَلَا يَلْزَمُ الزَّوْجَةَ أَنْ تَبْذُلَ نِصْفَهَا لِأَجْلِ الزِّيَادَةِ. وَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى نِصْفِ الْقِيمَةِ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ وَجْهًا وَاحِدًا فَإِنْ تَرَاضَيَا عَلَى أَخْذِ النِّصْفِ بِالزِّيَادَةِ وَالنَّقْصِ جَازَ.
Macam kedua: Penambahannya tidak dapat dibedakan dan pengurangannya juga tidak dapat dibedakan, seperti budak perempuan yang awalnya sehat kemudian sakit lalu sembuh dan menjadi buta; kesembuhannya adalah penambahan yang tidak dapat dibedakan, dan kebutaannya adalah pengurangan yang tidak dapat dibedakan. Maka suami tidak wajib mengambil setengahnya karena pengurangan, dan istri pun tidak wajib memberikan setengahnya karena penambahan. Siapa pun di antara keduanya yang menuntut setengah nilai, maka pendapatnya yang dipegang secara mutlak. Jika keduanya sepakat untuk mengambil setengah dengan penambahan dan pengurangan, maka hal itu diperbolehkan.
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مُتَمَيِّزَةً وَالنُّقْصَانُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ: كَأَمَةٍ وَلَدَتْ وَمَرِضَتْ فَلَا حَقَّ لَهُ فِي الْوَلَدِ، وَيَكُونُ كَالْكَلَامِ فِي النُّقْصَانِ الْمُنْفَرِدِ إِذَا لَمْ يَتَمَيَّزْ. فَيَكُونُ حَقُّ الزَّوْجِ فِي نِصْفِ الْقِيمَةِ. فَإِنْ رَضِيَ بِنِصْفِهَا نَاقِصَةً فَفِي إِجْبَارِ الزَّوْجِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ.
Macam ketiga: Penambahannya dapat dibedakan dan pengurangannya tidak dapat dibedakan, seperti budak perempuan yang melahirkan dan kemudian sakit; maka suami tidak memiliki hak atas anak tersebut, dan hukumnya seperti pembahasan pada pengurangan yang berdiri sendiri jika tidak dapat dibedakan. Maka hak suami adalah pada setengah nilai. Jika ia rela dengan setengahnya yang telah berkurang, maka dalam hal memaksa suami untuk menerima ada dua pendapat.
وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ وَالنُّقْصَانُ مُتَمَيِّزًا كَأَمَتَيْنِ مَرِيضَتَيْنِ بَرِأَتْ إِحْدَاهُمَا وَمَاتَتِ الْأُخْرَى. فَحَقُّهُ فِي نِصْفِ الْقِيمَةِ. فَإِنْ بَذَلَتْ لَهُ الْبَاقِيَةَ بِزِيَادَتِهَا لَمْ يُجْبَرْ عَلَى قَبُولِ نِصْفِهَا، لِأَنَّهُ عِوَضٌ مِنْ قِيمَةِ التَّالِفَةِ وَلَا يَلْزَمُهُ الْمُعَاوَضَةُ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ، وَهَلْ يُجْبَرُ عَلَى قَبُولِ النِّصْفِ الْآخَرِ فِي حَقِّهِ مِنْهُ أَمْ لَا عَلَى الْوَجْهَيْنِ.
Macam keempat: Penambahannya tidak dapat dibedakan dan pengurangannya dapat dibedakan, seperti dua budak perempuan yang sakit, lalu salah satunya sembuh dan yang lainnya meninggal. Maka hak suami adalah pada setengah nilai. Jika istri memberikan budak yang masih hidup beserta penambahannya, suami tidak dipaksa untuk menerima setengahnya, karena itu adalah pengganti dari nilai budak yang telah rusak, dan ia tidak wajib menerima penggantian kecuali atas dasar kerelaan. Apakah ia dipaksa menerima setengah bagian lainnya yang menjadi haknya atau tidak, terdapat dua pendapat.
فَهَذَا جَمِيعُ مَا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَقْسَامُ الْمَسْأَلَةِ.
Inilah seluruh rincian yang tercakup dalam pembagian masalah ini.
فَصْلٌ: شَرْحُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ
Fasal: Penjelasan perkataan asy-Syafi‘i dalam masalah ini
فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: وَلَوْ أَصْدَقَهَا أَمَةً وَعَبْدًا أَعْمَيَيْنِ فَأَبْصَرَا فَهَذِهِ زِيَادَةٌ لَا تَتَمَيَّزُ فَيَكُونُ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ حُكْمِهِمَا.
Adapun perkataan asy-Syafi‘i: “Jika ia memberikan mahar berupa budak perempuan dan budak laki-laki yang keduanya buta, lalu keduanya menjadi dapat melihat, maka ini adalah penambahan yang tidak dapat dibedakan, sehingga hukumnya mengikuti apa yang telah dijelaskan sebelumnya.”
وَأَمَّا قَوْلُهُ: وَلَوْ كَانَا صَغِيرَيْنِ فَكَبِرَا، فَإِنَّ الْكِبَرَ مُعْتَبَرٌ فإن كان مقارناً بحال الصغر، وَمَنَافِعُ الصِّغَرِ فِيهِ مَوْجُودَةٌ، فَهَذِهِ زِيَادَةٌ لَا تَتَمَيَّزُ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى. وَإِنْ كَانَ كِبَرًا بَعِيدًا يَزُولُ عَنْهُ مَنَافِعُ الصَّغِيرِ فِي الْحَرَكَةِ وَالسُّرْعَةِ وَقِلَّةِ الْحِسِّ، فَفِيهِ زِيَادَةٌ وَنَقْصٌ لَا يَتَمَيَّزَانِ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى.
Adapun perkataannya: “Jika keduanya masih kecil lalu menjadi dewasa, maka kedewasaan itu dianggap jika bersamaan dengan keadaan masih kecil, dan manfaat-manfaat masa kecil masih ada padanya, maka ini adalah penambahan yang tidak dapat dibedakan, sehingga hukumnya mengikuti yang telah lalu. Namun jika kedewasaan itu sudah jauh sehingga manfaat-manfaat masa kecil seperti kelincahan, kecepatan, dan kepekaan telah hilang, maka di situ terdapat penambahan dan pengurangan yang tidak dapat dibedakan, sehingga hukumnya mengikuti yang telah lalu.”
وَجَمِيعُ الْمَسَائِلِ الْوَارِدَةِ فَلَيْسَ يَخْرُجُ عَمَّا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الأقسام. والله أعلم.
Dan seluruh masalah yang disebutkan tidak keluar dari pembagian yang telah kami sebutkan. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَهَذَا كُلُّهُ مَا لَمْ يَقْضِ لَهُ الْقَاضِي بِنِصْفِهِ فَتَكُونُ هِيَ حِينَئِذٍ ضَامِنَةً لِمَا أَصَابَهُ في يديها “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Dan semua ini berlaku selama hakim belum memutuskan setengahnya untuk suami, maka saat itu istri menjadi penanggung jawab atas apa yang terjadi pada mahar di tangannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا أَرَادَهُ الشَّافِعِيُّ بِقَوْلِهِ: ” هَذَا كُلُّهُ مَا لَمْ يَقْضِ الْقَاضِي لَهُ بِنِصْفِهِ ” عَلَى وَجْهَيْنِ:
Al-Māwardī berkata: Para sahabat kami berbeda pendapat tentang maksud asy-Syafi‘i dengan perkataannya: “Semua ini berlaku selama hakim belum memutuskan setengahnya untuk suami,” menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ: أَنَّ مُرَادَ الشَّافِعِيِّ بِذَلِكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ نَمَاءِ الصَّدَاقِ قَبْلَ الطَّلَاقِ أَنَّهُ لِلزَّوْجَةِ بِأَسْرِهِ، مَا لَمْ يَتَرَافَعَا إِلَى قَاضٍ مَالِكِيٍّ، فَيَقْضِي لِلزَّوْجِ بِنِصْفِ النَّمَاءِ، فَيَصِيرُ الزَّوْجُ مَالِكًا لِنِصْفِهِ بِقَضَاءِ الْقَاضِي الْمَالِكِيِّ، لِأَنَّهُ حُكْمٌ نُفِّذَ بِاجْتِهَادٍ سَائِغٍ.
Salah satunya, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās bin Surayj: Maksud asy-Syafi‘i dengan hal itu adalah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya tentang pertumbuhan mahar sebelum terjadi talak, bahwa seluruhnya menjadi milik istri, selama keduanya belum mengajukan perkara kepada hakim Mālikī, sehingga hakim memutuskan setengah pertumbuhan untuk suami, maka suami menjadi pemilik setengahnya berdasarkan putusan hakim Mālikī, karena itu adalah hukum yang dijalankan berdasarkan ijtihad yang sah.
وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِهِ ” فَتَكُونُ حِينَئِذٍ ضَامِنَةً لِنِصْفِهِ ” يَعْنِي لِنِصْفِ النَّمَاءِ إِذَا طَلَبَهُ مِنْهَا فَمَنَعَتْهُ، فَتَصِيرُ بِالْمَنْعِ ضَامِنَةً، فَأَمَّا أَصْلُ الصَّدَاقِ فَلَا يَفْتَقِرُ تَمَلُّكُ الزَّوْجِ لِنِصْفِهِ بِالطَّلَاقِ إِلَى قَضَاءِ قَاضٍ، لَا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ، وَلَا عِنْدَ مَالِكٍ، سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهُ يَمْلِكُ بِنَفْسِ الطَّلَاقِ أَوْ بِاخْتِيَارِ التَّمَلُّكِ بَعْدَ الطَّلَاقِ.
Dan makna dari perkataannya “maka pada saat itu ia menjadi penjamin atas setengahnya” maksudnya adalah atas setengah pertambahan (nilai) jika ia (suami) memintanya dari istri lalu istri menolaknya, maka dengan penolakan itu ia menjadi penjamin. Adapun pokok mahar, maka kepemilikan suami atas setengahnya karena talak tidak memerlukan keputusan hakim, baik menurut Syafi‘i maupun Malik, baik dikatakan bahwa ia memilikinya dengan sendirinya karena talak, atau dengan memilih untuk memilikinya setelah talak.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِنَا: أَنَّ كَلَامَ الشَّافِعِيِّ رَاجِعٌ إِلَى أَصْلِ الصَّدَاقِ، إِذَا حَدَثَ فِيهِ زِيَادَةٌ، أَوْ نُقْصَانٌ. فَاخْتَلَفَا فِي نِصْفِ الْقِيمَةِ أَوْ فِي نِصْفِ الْعَيْنِ، فَإِنَّ اخْتِلَافَهُمَا فِيهِ عَلَى مَا مَضَى بَيَانُهُ إِلَّا أَنْ يَقْضِيَ الْقَاضِي لَهُ بِنِصْفِ الْعَيْنِ فَيَنْقَطِعُ الْخِلَافُ بَيْنَهُمَا بِحُكْمِهِ، وَيَصِيرُ لَهُ نِصْفُ الصَّدَاقِ، لِأَنَّ الصَّدَاقَ إِذَا كَانَ بَاقِيًا بِحَالِهِ لَمْ يَزِدْ وَلَمْ يَنْقُصْ فَلَيْسَ بَيْنَهُمَا اخْتِلَافٌ مُؤَثِّرٌ وَلَا لِحُكْمِ الْحَاكِمِ فِي تَمَلُّكِ الزَّوْجِ لِنِصْفِهِ تَأْثِيرٌ.
Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan mayoritas ulama kami: bahwa perkataan Syafi‘i kembali kepada pokok mahar, jika terjadi penambahan atau pengurangan padanya. Maka keduanya berbeda pendapat dalam setengah nilai atau setengah barangnya, dan perbedaan mereka dalam hal itu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kecuali jika hakim memutuskan untuknya (suami) setengah barangnya, maka perbedaan di antara mereka terputus dengan putusan hakim tersebut, dan menjadi milik suami setengah mahar, karena jika mahar itu tetap sebagaimana adanya, tidak bertambah dan tidak berkurang, maka tidak ada perbedaan yang berpengaruh di antara mereka dan tidak ada pengaruh putusan hakim dalam kepemilikan suami atas setengahnya.
فَإِذَا حَدَثَ فِيهِ زِيَادَةٌ أَوْ نُقْصَانٌ، صَارَ الْخِلَافُ بَيْنَهُمَا فِي نِصْفِ الْعَيْنِ، أَوْ نِصْفِ الْقِيمَةِ مُؤَثِّرًا، وَصَارَ لِحُكْمِ الْحَاكِمِ تَأْثِيرٌ فِي تَمَلُّكِ الزَّوْجِ لِنِصْفِهِ، وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ ” وَتَكُونُ حِينَئِذٍ ضَامِنَةً لِمَا أَصَابَهُ فِي يَدِهَا ” يَعْنِي: لِنُقْصَانِ الصَّدَاقِ بَعْدَ أَنْ قَضَى لَهُ الْقَاضِي بِنِصْفِهِ.
Maka jika terjadi penambahan atau pengurangan padanya, perbedaan di antara mereka dalam setengah barang atau setengah nilainya menjadi berpengaruh, dan putusan hakim pun menjadi berpengaruh dalam kepemilikan suami atas setengahnya. Dan makna perkataan Syafi‘i “dan pada saat itu ia menjadi penjamin atas apa yang terjadi padanya di tangannya” maksudnya: atas pengurangan mahar setelah hakim memutuskan untuknya setengahnya.
لِأَنَّهُ قَبْلَ الْقَضَاءِ لَمْ يَمْلِكْهُ الزَّوْجُ فَلَمْ تَضْمَنِ الزَّوْجَةُ نَقْصَهُ وَبَعْدَ الْقَضَاءِ قَدْ مَلَكَهُ فَضَمِنَتْ نَقْصَهُ مَا لَمْ يَكُنْ مِنْهَا تَسْلِيمٌ وَلَا تَمْكِينٌ، لِأَنَّهُ فِي يَدِهَا عَنْ مُعَاوَضَةٍ كالمقبوض سوماً، فَإِنْ سَلَّمَتْهُ وَعَادَ إِلَيْهَا أَمَانَةً لَمْ تَضْمَنْهُ، وَإِنْ لَمْ تُسَلِّمْهُ وَلَكِنْ مَكَّنَتْهُ مِنْهُ فَفِي وُجُوبِ ضَمَانِهَا لِنَقْصِهِ وَجْهَانِ مَضَيَا.
Karena sebelum ada putusan, suami belum memilikinya, maka istri tidak menanggung kekurangan tersebut. Setelah ada putusan, suami telah memilikinya, maka istri menanggung kekurangannya selama belum ada penyerahan atau pemberian akses dari istri, karena barang itu berada di tangannya sebagai ganti (mu‘awadhah) seperti barang yang dipegang karena jual beli. Jika ia menyerahkannya dan kembali kepadanya sebagai titipan, maka ia tidak menanggungnya. Jika ia tidak menyerahkannya, tetapi memberikan akses kepada suami, maka dalam kewajiban menanggung kekurangannya terdapat dua pendapat yang telah disebutkan.
فَلَوِ اخْتَلَفَا فِي النَّقْصِ فَقَالَ الزَّوْجُ: هُوَ حَادِثٌ فِي يَدِكِ فَعَلَيْكِ ضَمَانُهُ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: بَلْ هُوَ مُتَقَدِّمٌ فَلَيْسَ عَلَيَّ ضَمَانُهُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّهَا مُنْكِرَةٌ، وَالْأَصْلُ بَرَاءَةُ ذِمَّتِهَا مَعَ احتمال الأمرين.
Jika keduanya berselisih tentang kekurangan itu, lalu suami berkata: “Itu terjadi di tanganmu, maka engkau wajib menanggungnya,” dan istri berkata: “Bahkan itu sudah terjadi sebelumnya, maka aku tidak wajib menanggungnya,” maka yang dipegang adalah perkataan istri dengan sumpahnya, karena ia mengingkari, dan asalnya adalah bebasnya tanggungan istri selama kedua kemungkinan itu ada.
فأما الزيادة فيما تَقَدَّمَتْ مِلْكَ الزَّوْجِ لِنِصْفِ الصَّدَاقِ فَجَمِيعُهَا لِلزَّوْجَةِ، وَمَا حَدَثَ بَعْدَهُ فَهُوَ بَيْنَهُمَا. وَهَلْ تَكُونُ الزَّوْجَةُ ضَامِنَةً لَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ.
Adapun penambahan yang terjadi sebelum suami memiliki setengah mahar, maka seluruhnya menjadi milik istri, dan apa yang terjadi setelahnya maka itu menjadi milik bersama mereka berdua. Apakah istri wajib menanggungnya atau tidak? Hal itu sesuai dengan dua pendapat yang telah disebutkan.
فَلَوِ اخْتَلَفَا فِيهَا فَقَالَ الزَّوْجُ: هِيَ حَادِثَةٌ بَعْدَ أَنْ مَلَكَتْ نِصْفَ الصَّدَاقِ فَنِصْفُهَا لِي، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ بَلْ هِيَ مُتَقَدِّمَةٌ قَبْلَ ذَلِكَ فَجَمِيعُهَا لِي، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّ الزِّيَادَةَ فِي يَدِهَا، والله أعلم.
Jika keduanya berselisih tentang penambahan itu, lalu suami berkata: “Itu terjadi setelah aku memiliki setengah mahar, maka setengahnya milikku,” dan istri berkata: “Bahkan itu terjadi sebelumnya, maka seluruhnya milikku,” maka yang dipegang adalah perkataan istri dengan sumpahnya, karena penambahan itu berada di tangannya, dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ طَلَّقَهَا وَالنَّخْلُ مطلعةٌ فَأَرَادَ أَخْذَ نِصْفِهَا بالطلع لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَكَانَتْ كَالْجَارِيَةِ الْحُبْلَى وَالشَاةِ الْمَاخِضِ وَمُخَالِفَةً لَهُمَا فِي أَنَّ الْإِطْلَاعَ لَا يَكُونُ مُغَيِّرًا لِلنَّخْلِ عَنْ حَالِهَا فَإِنْ شَاءَتْ أَنْ تَدْفَعَ إِلَيْهِ نِصْفَهَا فَلَيْسَ لَهُ إِلَّا ذَلِكَ “.
Syafi‘i berkata: “Jika ia menceraikannya sementara pohon kurma telah berbuah, lalu ia ingin mengambil setengahnya beserta buahnya, maka ia tidak berhak atas hal itu, dan keadaannya seperti budak perempuan yang hamil dan kambing yang sedang bunting, namun berbeda dengan keduanya dalam hal bahwa berbuahnya pohon kurma tidak mengubah keadaan pohon kurma itu sendiri. Jika istri ingin menyerahkan setengahnya kepada suami, maka suami tidak berhak kecuali atas itu saja.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: فِي رَجُلٍ أَصْدَقَ امْرَأَةً نَخْلًا، وَطَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ، وَقَدْ أَثْمَرَتْ، فَالثَّمَرَةُ زِيَادَةٌ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهَا، هَلْ تَجْرِي فِي الصَّدَاقِ مَجْرَى الزِّيَادَةِ الْمُتَمَيِّزَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Al-Mawardi berkata: Adapun bentuk masalahnya adalah: Seorang laki-laki menjadikan pohon kurma sebagai mahar untuk seorang wanita, lalu menceraikannya sebelum terjadi hubungan, dan pohon kurma itu telah berbuah. Maka buahnya adalah tambahan yang para ulama kami berbeda pendapat tentangnya, apakah dalam mahar berlaku seperti tambahan yang terpisah atau tidak? Ada tiga pendapat dalam hal ini:
أَحَدُهَا: أَنَّهَا زِيَادَةٌ مُتَمَيِّزَةٌ كَالْوَلَدِ، سَوَاءٌ كَانَتْ مُؤَبَّرَةً أَوْ غَيْرَ مُؤَبَّرَةٍ لِإِمْكَانِ قَطْعِهَا عَنِ الْأَصْلِ، وَجَوَازِ إِفْرَادِهَا بِالْعَقْدِ.
Salah satunya: bahwa ia adalah tambahan yang terpisah seperti anak, baik yang telah dibuahi maupun yang belum dibuahi, karena memungkinkan untuk memisahkannya dari induknya, dan boleh untuk mengadakan akad tersendiri atasnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا زِيَادَةٌ غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ فِي حُكْمِ الصَّدَاقِ سَوَاءٌ كَانَتْ مُؤَبَّرَةً أَوْ غَيْرَ مُؤَبَّرَةٍ، لِاتِّصَالِهَا بِالْأَصْلِ فَجَرَتْ مَجْرَى الْحَمْلِ.
Pendapat kedua: bahwa ia adalah tambahan yang tidak terpisah dalam hukum mahar, baik yang telah dibuahi maupun yang belum dibuahi, karena keterkaitannya dengan induknya sehingga hukumnya seperti janin.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مُؤَبَّرَةً فَهِيَ مُتَمَيِّزَةٌ كَالْوَلَدِ، لِأَنَّهَا لَا تَتْبَعُ الْأَصْلَ فِي الْبَيْعِ وَإِنْ كَانَتْ فِي طَلْعِهَا غَيْرَ مُؤَبَّرَةٍ فَهِيَ غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ كَالْحَمْلِ، لِأَنَّهَا تَتْبَعُ الْأَصْلَ فِي الْبَيْعِ.
Pendapat ketiga: bahwa jika ia telah dibuahi maka ia adalah tambahan yang terpisah seperti anak, karena ia tidak mengikuti induknya dalam jual beli. Namun jika ia masih dalam tandannya dan belum dibuahi maka ia adalah tambahan yang tidak terpisah seperti janin, karena ia mengikuti induknya dalam jual beli.
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْوُجُوهُ الثَّلَاثَةُ، فَالثَّمَرَةُ لِلزَّوْجَةِ عَلَى جَمِيعِ أَحْوَالِهَا، لِحُدُوثِهَا فِي مِلْكِهَا، وَلَهَا اسْتِيفَاءُ النَّخْلِ عَلَى مِلْكِهَا، لِاسْتِصْلَاحِ ثَمَرَتِهَا وَتَكَامُلِهَا، وَيَصِيرُ حَقُّ الزَّوْجِ فِي قِيمَةِ النَّخْلِ، فَيُدْفَعُ إِلَيْهِ نِصْفُ قِيمَتِهَا أَقَلَّ مَا كَانَتِ النَّخْلُ قِيمَةً مِنْ حِينِ أَصْدَقَ إِلَى أَنْ سُلِّمَ.
Setelah tiga pendapat ini dijelaskan, maka buahnya menjadi milik istri dalam segala keadaannya, karena buah itu muncul dalam kepemilikannya, dan ia berhak memanfaatkan pohon kurma selama masih dalam kepemilikannya demi memperbaiki dan menyempurnakan buahnya. Hak suami beralih pada nilai pohon kurma, sehingga diberikan kepadanya setengah dari nilainya, yaitu nilai terendah pohon kurma sejak saat mahar hingga diserahkan.
أَحْوَالُ بَذْلِ الْمَرْأَةِ نِصْفَ النَّخْلِ المثمر لزوجها
Keadaan wanita memberikan setengah pohon kurma yang berbuah kepada suaminya
فإن كَانَ كَذَلِكَ فَلَهَا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ: فَالْحَالَةُ الْأُولَى.
Jika demikian, maka ada empat keadaan baginya: Keadaan pertama.
إِيضَاحُ الْحَالَةِ الْأُولَى
Penjelasan keadaan pertama
أَنْ تَبْذُلَ لَهُ نِصْفَ النَّخْلِ مَعَ نِصْفِ الثَّمَرَةِ.
Yaitu ia memberikan kepada suaminya setengah pohon kurma beserta setengah buahnya.
فَإِنْ قَبِلَهَا جَازَ ثُمَّ يَنْظُرُ، فَإِنْ جَعَلْنَا الثَّمَرَةَ زَائِدَةً غَيْرَ مُتَمَيِّزَةٍ كَانَ بَذْلُ الزَّوْجَةِ لَهَا عَفْوًا عَنْهَا، فَلَا يُرَاعَى فِيهِ لَفْظُ الْهِبَةِ، وَلَا الْقَبْضِ.
Jika suami menerimanya, maka hal itu sah, kemudian diperhatikan: jika buah itu dianggap sebagai tambahan yang tidak terpisah, maka pemberian istri atasnya dianggap sebagai penghapusan hak, sehingga tidak disyaratkan adanya lafaz hibah maupun penerimaan.
وَإِنْ جَعَلْنَاهَا زِيَادَةً مُتَمَيِّزَةً فَهَلْ يَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ الْعَفْوِ أَوْ حُكْمُ الْهِبَةِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Namun jika dianggap sebagai tambahan yang terpisah, apakah berlaku hukum penghapusan hak atau hukum hibah? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: حُكْمُ الْهِبَةِ، وَلَا تَتِمُّ إِلَّا بِالْقَبْضِ، لِأَنَّهَا بِالتَّمْيِيزِ كَالْوَلَدِ الَّذِي لَوْ بَذَلَتْ نِصْفَهُ لِلزَّوْجِ مَعَ نِصْفِ أَمَةً كَانَتْ هِبَةً لَا تَتِمُّ إِلَّا بِالْقَبْضِ.
Salah satunya: berlaku hukum hibah, dan tidak sah kecuali dengan penerimaan, karena dengan terpisahnya ia seperti anak, yang jika istri memberikan setengahnya kepada suami bersama setengah budak perempuan, maka itu adalah hibah yang tidak sah kecuali dengan penerimaan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ الْعَفْوِ، وَتَتِمُّ بِغَيْرِ قَبْضٍ بِخِلَافِ الْوَلَدِ، لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِبَذْلِهَا إِيصَالُ الزَّوْجِ إِلَى حَقِّهِ مِنَ النَّخْلِ الَّذِي لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ إِلَّا بِهَا، وَخَالَفَ الْوَلَدَ، لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى الرُّجُوعِ بِالْأُمِّ دُونَهُ.
Pendapat kedua: berlaku hukum penghapusan hak, dan sah tanpa penerimaan, berbeda dengan anak, karena maksud dari pemberian ini adalah agar suami memperoleh haknya dari pohon kurma yang tidak dapat ia peroleh kecuali dengan cara ini, dan berbeda dengan anak, karena suami dapat kembali kepada induknya tanpa anak.
وَإِنِ امْتَنَعَ الزَّوْجُ مِنْ قَبُولِ الثَّمَرَةِ فَفِي إِجْبَارِهِ على القبول ثلاثة أوجه:
Jika suami menolak menerima buahnya, maka dalam hal mewajibkannya menerima ada tiga pendapat:
أحدهما: أَنَّهُ يُجْبَرُ عَلَى الْقَبُولِ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ الثَّمَرَةَ مُتَمَيِّزَةٌ، أَوْ غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ، لِأَنَّهُ مُنِعَ مِنَ النَّخْلِ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ لِدَفْعِ الضَّرَرِ عَنْهَا فِي الثَّمَرَةِ، فَإِذَا صَارَتْ إِلَيْهِ فَلَا ضَرَرَ عَلَيْهَا.
Salah satunya: ia diwajibkan menerima, baik buah itu dianggap terpisah maupun tidak terpisah, karena ia dicegah dari pohon kurma demi hak istri untuk menghindari mudarat atasnya dalam hal buah, maka jika buah itu telah diberikan kepadanya, tidak ada lagi mudarat bagi istri.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُجْبَرُ عَلَى الْقَبُولِ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ الثَّمَرَةَ زَائِدَةٌ مُتَمَيِّزَةٌ أَوْ غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ، لِأَنَّ حَقَّهُ صَارَ فِي الْقِيمَةِ فَلَمْ يَكُنْ لَهَا أَنْ تَعْدِلَ بِهِ إِلَى الْعَيْنِ.
Pendapat kedua: ia tidak diwajibkan menerima, baik buah itu dianggap tambahan yang terpisah maupun tidak terpisah, karena haknya telah beralih pada nilai, sehingga istri tidak boleh mengalihkannya kembali kepada barangnya.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَصَحُّ: أَنَّ إِجْبَارَهُ مُعْتَبَرٌ بِحُكْمِ الثَّمَرَةِ.
Pendapat ketiga, dan ini yang paling kuat: kewajiban suami menerima tergantung pada hukum buah tersebut.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا زِيَادَةٌ مُتَمَيِّزَةٌ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى الْقَبُولِ كَالْوَلَدِ، وَلَهُ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى نِصْفِ قِيمَةِ النَّخْلِ.
Jika dikatakan bahwa buah itu tambahan yang terpisah, maka suami tidak diwajibkan menerima seperti halnya anak, dan ia boleh memilih kepada setengah nilai pohon kurma.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهَا زِيَادَةٌ غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ كَالسِمَنِ، أُجْبِرَ عَلَى الْقَبُولِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى نِصْفِ الْقِيمَةِ.
Namun jika dikatakan bahwa buah itu tambahan yang tidak terpisah seperti lemak, maka suami diwajibkan menerima dan tidak boleh memilih kepada setengah nilai.
فَصْلٌ: إِيضَاحُ الْحَالَةِ الثَّانِيَةِ
Fasal: Penjelasan keadaan kedua
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَبْذُلَ لَهُ نِصْفَ النَّخْلِ دُونَ الثَّمَرَةِ.
Keadaan kedua: istri memberikan kepada suaminya setengah pohon kurma tanpa buahnya.
فَإِنْ قَبِلَ ذَلِكَ مِنْهَا جَازَ، وَعَلَيْهِ تَرْكُ الثَّمَرَةِ عَلَى النَّخْلِ إِلَى تَكَامُلِ صَلَاحِهَا.
Jika suami menerima hal itu darinya, maka sah, dan ia harus membiarkan buah tetap di pohon kurma hingga benar-benar matang.
وَإِنِ امْتَنَعَ مِنَ الْقَبُولِ: لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهِ تَعْلِيلًا لِأَمْرَيْنِ:
Jika suami menolak menerima: maka ia tidak diwajibkan menerimanya, dengan dua alasan:
أَحَدُهُمَا: دُخُولُ الضَّرَرِ عَلَيْهِ بِاسْتِيفَاءِ الثَّمَرَةِ عَلَى نَخْلِهِ.
Salah satunya: masuknya mudarat kepadanya karena pengambilan buah pada pohon kurmanya.
وَالثَّانِي: أَنَّ حَقَّهُ قَدْ صَارَ فِي الْقِيمَةِ فَلَمْ يَعْدِلْ بِهِ إِلَى غَيْرِهِ.
Dan yang kedua: bahwa haknya telah berubah menjadi nilai (harga), sehingga ia tidak beralih kepada selainnya.
وَقَالَ الْمُزَنِيُّ: حَقُّهُ فِي نِصْفِ النَّخْلِ يَرْجِعُ بِهَا، وَعَلَيْهِ تَرْكُ الثَّمَرَةِ إِلَى أَوَانِ جَذَاذِهَا كَالْمُشْتَرِي.
Al-Muzani berkata: Haknya pada separuh pohon kurma dikembalikan kepadanya, dan ia wajib membiarkan buahnya hingga waktu panen seperti halnya pembeli.
وَهَذَا الْجَمْعُ غَيْرُ صَحِيحٍ لِوُضُوحِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا. وَهُوَ أَنَّ الشِّرَاءَ عَقْدُ مُرَاضَاةٍ فَلِذَلِكَ أُقِرَّ عَلَى مَا تَرَاضَيَا بِهِ مِنَ اسْتِيفَاءِ الثَّمَرَةِ عَلَى نَخْلِ الْمُشْتَرِي لِرِضَاهُ بِدُخُولِ الضَّرَرِ عَلَيْهِ، وَمِلْكُ الصَّدَاقِ عَنْ طَلَاقٍ لَا مُرَاضَاةَ فِيهِ، فَاقْتَضَى الْمَنْعَ مِنْ دُخُولِ الضَّرَرِ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي نَفْيِ الضَّرَرِ عَنْهُمَا، فَلَوْ طَلَبَ الزَّوْجُ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِ النَّخْلِ فِي الْحَالِ عَلَى أَنْ يَتْرُكَ الثَّمَرَةَ عَلَيْهَا إِلَى تَكَامُلِ الصَّلَاحِ فَفِي إِجْبَارِهَا عَلَى ذَلِكَ وَجْهَانِ:
Penggabungan ini tidaklah benar karena jelasnya perbedaan antara keduanya. Yaitu bahwa jual beli adalah akad kerelaan, maka karena itu ditetapkan sesuai kesepakatan keduanya mengenai pengambilan buah pada pohon kurma milik pembeli karena kerelaannya menerima mudarat tersebut, sedangkan kepemilikan mahar akibat talak tidak ada unsur kerelaan di dalamnya, sehingga menuntut larangan masuknya mudarat pada masing-masing dari keduanya, dan digabungkan antara keduanya dalam meniadakan mudarat dari mereka. Maka jika suami meminta untuk mengambil separuh pohon kurma saat ini dengan syarat membiarkan buahnya hingga sempurna kematangannya, maka dalam memaksanya atas hal itu terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا تُجْبَرُ عَلَيْهِ تَعْلِيلًا بِأَنَّ حَقَّهُ قَدْ صَارَ فِي الْقِيمَةِ.
Salah satunya: tidak boleh dipaksa dengan alasan bahwa haknya telah berubah menjadi nilai (harga).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُجْبَرُ عَلَيْهِ تَعْلِيلًا بِزَوَالِ الضَّرَرِ عَنْهَا وَلُحُوقِهِ بِالزَّوْجِ الرَّاضِي بِهِ.
Dan pendapat kedua: boleh dipaksa dengan alasan hilangnya mudarat darinya dan berpindahnya mudarat kepada suami yang rela menerimanya.
فَصْلٌ: إِيضَاحُ الْحَالَةِ الثَّالِثَةِ
Fasal: Penjelasan keadaan ketiga
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَبْذُلَ لَهُ قَطْعَ الثَّمَرَةِ، وَتَسْلِيمَ نِصْفِ النَّخْلِ:
Keadaan ketiga: ia menawarkan kepadanya untuk memotong buah dan menyerahkan separuh pohon kurma:
فَإِنْ كَانَ تَعْجِيلُ قَطْعِهَا مُضِرًّا بِالنَّخْلِ: لَمْ يُجْبَرْ عَلَى الْقَبُولِ.
Jika percepatan pemotongan buah itu membahayakan pohon kurma: maka ia tidak dipaksa untuk menerima.
وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُضِرٍّ: فَمَا لَمْ تُبَادِرْ إِلَى الْقَطْعِ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى الْقَبُولِ وَإِنْ بَادَرَتْ إِلَى الْقَطْعِ فَفِي إِجْبَارِهِ وَجْهَانِ:
Dan jika tidak membahayakan: maka selama ia belum segera memotong, ia tidak dipaksa untuk menerima, dan jika ia segera memotong, maka dalam memaksanya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يُجْبَرُ تَعْلِيلًا بِأَنَّ حَقَّهُ قَدْ صَارَ فِي الْقِيمَةِ.
Salah satunya: tidak dipaksa dengan alasan bahwa haknya telah berubah menjadi nilai (harga).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُجْبَرُ تَعْلِيلًا بِزَوَالِ الضَّرَرِ عَنْهُ فِي الْأَصْلِ.
Dan pendapat kedua: dipaksa dengan alasan hilangnya mudarat darinya pada asalnya.
وَلَوْ طَلَبَ الزَّوْجُ مِنْهَا أَنْ تَقْطَعَ الثَّمَرَةَ وَتُعْطِيَهُ نِصْفَ النَّخْلِ لَمْ تُجْبَرِ الزَّوْجَةُ عَلَيْهِ وَجْهًا وَاحِدًا، لِمَا فِيهِ مِنْ دُخُولِ الضَّرَرِ عَلَيْهَا.
Dan jika suami meminta darinya untuk memotong buah dan memberinya separuh pohon kurma, maka istri tidak dipaksa atas hal itu menurut satu pendapat, karena di dalamnya terdapat mudarat yang menimpa dirinya.
فَصْلٌ: إِيضَاحُ الْحَالَةِ الرَّابِعَةِ
Fasal: Penjelasan keadaan keempat
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ تَدْعُوَهُ إِلَى الصَّبْرِ عَلَيْهَا إِلَى أَنْ تَتَكَامَلَ صَلَاحَ الثَّمَرَةِ ثُمَّ تُعْطِيَهُ بَعْدَ جَذَاذِهَا نِصْفَ النَّخْلِ، فَلَا يَلْزَمُهُ ذَلِكَ وَلَا يُجْبَرُ عَلَيْهِ تَعْلِيلًا بِأَمْرَيْنِ:
Keadaan keempat: ia mengajaknya untuk bersabar hingga buahnya sempurna kematangannya, kemudian setelah dipanen ia memberikan separuh pohon kurma kepadanya; maka ia tidak wajib menerima hal itu dan tidak dipaksa atasnya dengan dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَقَّهُ فِي الْقِيمَةِ، فَلَمْ يَلْزَمْهُ الْعُدُولُ عَنْهَا.
Salah satunya: bahwa haknya ada pada nilai (harga), sehingga ia tidak wajib beralih darinya.
وَالثَّانِي: دُخُولُ الضَّرَرِ عَلَيْهِ فِي تَأْخِيرِ مَا اسْتَحَقَّ تَعْجِيلَهُ.
Dan yang kedua: masuknya mudarat kepadanya dalam penundaan sesuatu yang seharusnya disegerakan.
وَلَوْ كَانَ هُوَ الدَّاعِي لَهَا إِلَى الْإِنْظَارِ بِالنَّخْلِ إِلَى أَوَانِ الْجَذَاذِ ثُمَّ الرُّجُوعِ بِهَا، لَمْ يَلْزَمْهَا ذَلِكَ، وَلَا تُجْبَرُ عَلَيْهِ تَعْلِيلًا بِأَمْرَيْنِ:
Dan jika ia (suami) yang meminta kepadanya (istri) untuk menunda pohon kurma hingga waktu panen lalu mengambilnya, maka istri tidak wajib melakukan hal itu dan tidak dipaksa atasnya dengan dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ حَقَّهُ قَدْ صَارَ فِي الْقِيمَةِ فَلَمْ يَلْزَمْهَا الْعُدُولُ عَنْهَا.
Salah satunya: bahwa haknya telah berubah menjadi nilai (harga), sehingga ia tidak wajib beralih darinya.
وَالثَّانِي: دُخُولُ الضَّرَرِ عَلَيْهَا بِبَقَاءِ الْحَقِّ فِي ذِمَّتِهَا، وَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى الْقِيمَةِ أُجِيبَ إِلَيْهَا.
Dan yang kedua: masuknya mudarat kepadanya dengan tetapnya hak itu dalam tanggungannya, dan siapa pun di antara keduanya yang meminta untuk beralih kepada nilai (harga), maka dikabulkan permintaannya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا مَا جَعَلَهُ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ مثالاً للنخل إِذَا أَثْمَرَتْ مِنَ الْجَارِيَةِ الْحَامِلِ وَالشَّاةِ الْمَاخِضِ، وَجَمْعُهُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهٍ، وَتَفْرِيقٌ بَيْنَهُمَا مِنْ آخَرَ، فَنُوَضِّحُ مِنْ حُكْمِهِمَا مَا بَيَّنَ بِهِ مَوْضِعَ الْجَمْعِ، وَمَوْضِعَ الْفَرْقِ.
Adapun apa yang dijadikan Imam Syafi‘i rahimahullah sebagai contoh untuk pohon kurma yang telah berbuah, yaitu budak perempuan yang hamil dan kambing yang sedang bunting, dan penggabungannya antara keduanya dari satu sisi, serta pembedaan antara keduanya dari sisi lain, maka kami akan menjelaskan dari hukum keduanya apa yang menerangkan letak penggabungan dan letak perbedaannya.
أَمَّا الْجَارِيَةُ إِذَا كَانَتْ صَدَاقًا فَحَمَلَتْ فِي يَدِ الزَّوْجِ فَالْحَمْلُ فِيهَا زِيَادَةٌ مِنْ وَجْهٍ وَنُقْصَانٌ مِنْ وَجْهٍ.
Adapun budak perempuan, jika dijadikan sebagai mahar lalu ia hamil di tangan suami, maka kehamilan itu dari satu sisi merupakan tambahan dan dari sisi lain merupakan kekurangan.
أَمَّا زِيَادَتُهَا فَبِالْوَلَدِ، وَأَمَّا نُقْصَانُهَا فَبِالْخَوْفِ عَلَيْهَا عِنْدَ الْوِلَادَةِ، فَإِنْ بَذَلَتْهَا الزَّوْجَةُ لَمْ يَلْزَمِ الزَّوْجَ قَبُولُهَا لِأَجْلِ النَّقْصِ، وَإِنْ طَلَبَهَا الزَّوْجُ لَمْ يَلْزَمِ الزَّوْجَةَ بَذْلُهَا لِأَجْلِ الزِّيَادَةِ، وَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى الْقِيمَةِ أُجِيبَ. فَتَكُونُ مُوَافِقَةً لِلثَّمَرَةِ فِي الزِّيَادَةِ وَمُخَالِفَةً لَهَا فِي النُّقْصَانِ.
Adapun penambahannya adalah karena anak, sedangkan pengurangannya adalah karena kekhawatiran terhadapnya saat melahirkan. Jika istri menyerahkannya, maka suami tidak wajib menerimanya karena adanya kekurangan tersebut. Jika suami memintanya, maka istri tidak wajib memberikannya karena adanya penambahan. Dan siapa pun di antara keduanya yang meminta penilaian (nilai), maka permintaannya dikabulkan. Maka hal ini sejalan dengan buah-buahan dalam hal penambahan, namun berbeda dengannya dalam hal pengurangan.
وأما الشاة إذا كان صَدَاقًا فَحَمَلَتْ بِالْحَمْلِ فِيهَا زِيَادَةٌ مِنْ وَجْهٍ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ نَقْصًا فِيهَا، مِنْ وَجْهٍ آخَرَ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun kambing jika dijadikan sebagai mahar, lalu kambing itu bunting, maka kehamilan di dalamnya merupakan penambahan dari satu sisi. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah kehamilan itu juga merupakan pengurangan dari sisi lain atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَكُونُ نَقْصًا فِي الْبَهَائِمِ، وَيَكُونُ زِيَادَةً مَحْضَةً، وَإِنْ كَانَتْ فِي الْآدَمِيَّاتِ نَقْصًا وَزِيَادَةً، لِأَنَّ حَالَ الْوِلَادَةِ مَخُوفٌ فِي الْآدَمِيَّاتِ وَغَيْرُ مَخُوفٍ فِي الْبَهَائِمِ.
Pertama: Kehamilan tidak dianggap sebagai pengurangan pada hewan ternak, melainkan merupakan penambahan murni. Adapun pada manusia, kehamilan bisa menjadi pengurangan sekaligus penambahan, karena kondisi melahirkan pada manusia mengandung risiko, sedangkan pada hewan ternak tidak berisiko.
فَذَلِكَ كَانَ نَقْصًا فِي الْآدَمِيَّاتِ، وَلَمْ يَكُنْ نَقْصًا فِي الْبَهَائِمِ.
Oleh karena itu, kehamilan dianggap sebagai pengurangan pada manusia, namun tidak dianggap sebagai pengurangan pada hewan ternak.
فَعَلَى هَذَا: إِذَا بَذَلَتْهَا الزَّوْجَةُ أُجْبِرَ الزَّوْجُ عَلَى قَبُولِهَا فِي أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ فَتَكُونُ مُوَافِقَةً لِلثَّمَرَةِ فِي الزِّيَادَةِ وَغَيْرَ مُخَالِفَةٍ لَهَا فِي النُّقْصَانِ.
Berdasarkan pendapat ini: Jika istri menyerahkannya, maka suami dipaksa untuk menerimanya menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat, sehingga hal ini sejalan dengan buah-buahan dalam hal penambahan dan tidak berbeda dengannya dalam hal pengurangan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي ” أَنَّ الْحَمْلَ فِي الْبَهَائِمِ نَقْصٌ أَيْضًا، وَإِنْ أَمِنَ عَلَيْهَا عِنْدَ الْوِلَادَةِ، لِأَنَّ الْحَمْلَ قَدْ أَحْدَثَ نَقْصًا فِي اللَّحْمِ، فَصَارَ نَقْصُ اللَّحْمِ نَقْصًا فِيهَا وَإِنْ لَمْ يُخَفْ عَلَيْهَا فِي وِلَادَتِهَا.
Pendapat kedua: Kehamilan pada hewan ternak juga merupakan pengurangan, meskipun tidak dikhawatirkan terjadi sesuatu pada saat melahirkan, karena kehamilan menyebabkan berkurangnya daging, sehingga berkurangnya daging itu dianggap sebagai pengurangan pada hewan tersebut, meskipun tidak dikhawatirkan terjadi sesuatu pada saat melahirkan.
فَعَلَى هَذَا:
Berdasarkan pendapat ini:
إِنْ بَذَلَتْهَا الزَّوْجَةُ لَمْ يُجْبَرِ الزَّوْجُ عَلَى قَبُولِهَا لِأَجْلِ النقص. فإن طلبها الزوج لم تجبر الزوجة عَلَى قَبُولِهَا لِأَجْلِ الزِّيَادَةِ وَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى الْقِيمَةِ أُجِيبَ.
Jika istri menyerahkannya, maka suami tidak dipaksa untuk menerimanya karena adanya kekurangan. Jika suami memintanya, maka istri tidak dipaksa untuk memberikannya karena adanya penambahan. Dan siapa pun di antara keduanya yang meminta penilaian (nilai), maka permintaannya dikabulkan.
فَتَكُونُ عَلَى هَذَا مُوَافِقَةً لِلثَّمَرَةِ فِي الزِّيَادَةِ، وَمُخَالِفَةً لَهَا فِي النُّقْصَانِ.
Maka berdasarkan pendapat ini, hal tersebut sejalan dengan buah-buahan dalam hal penambahan, dan berbeda dengannya dalam hal pengurangan.
الْقَوْلُ فِي ثَمَرِ الشَّجَرِ فِي الصَّدَاقِ
Pembahasan tentang buah pohon dalam mahar
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” وَكَذَلِكَ كُلُّ شجرٍ إِلَّا أَنْ يَرْقُلَ الشَجَرُ فيصير قحاماً فلا يلزمه وليس لها ترك الثمرة على أن تستجنيها ثم تدفع إليه نصف الشجر لا يكون حقه معجلاً فتؤخره إلا أن يشاء ولو أراد أن يؤخرها إلى أن تجد الثمرة لم يكن ذلك عليها وذلك أن النخل والشجر يزيدان إلى الجداد وأنه لما طلقها وفيها الزيادة كان محولاً دونها وكانت هي المالكة دونه وحقه في قيمته (قال المزني) ليس هذا عندي بشيءٍ لأنه يجيز بيع النخل قد أبرت فيكون ثمرها للبائع حتى يستجنيها والنخل للمشتري معجلةً ولو كانت مؤخرةً ما جاز بيع عينٍ مؤخرةٍ فلما جازت معجلةً والثمر فيها جاز رد نصفها للزوج معجلاً والثمر فيها وكان رد النصف في ذلك أحق بالجواز من الشراء؛ فإذا جاز ذلك في الشراء جاز في الرد “.
Imam Syafi‘i berkata: “Demikian pula setiap pohon, kecuali jika pohon itu menjadi sangat tinggi sehingga menjadi tua renta, maka tidak wajib (diserahkan), dan istri tidak boleh meninggalkan buahnya dengan maksud untuk memanennya lalu menyerahkan setengah pohon kepadanya (suami), karena hak suami tidak menjadi hak yang segera sehingga penyerahannya ditunda kecuali jika ia menghendaki. Jika ia ingin menundanya sampai buah itu ada, maka itu tidak wajib atas istri. Sebab, pohon kurma dan pohon lainnya akan terus bertambah hingga masa panen. Ketika suami menceraikannya dan pohon itu telah bertambah, maka ia (suami) telah terhalang darinya, dan istri menjadi pemiliknya, sedangkan hak suami adalah pada nilainya.” (Al-Muzani berkata:) “Menurutku, ini tidak benar, karena hal itu membolehkan jual beli pohon kurma yang telah dibuahi, sehingga buahnya menjadi milik penjual hingga dipanen, dan pohonnya menjadi milik pembeli secara langsung. Jika penyerahannya ditunda, maka tidak sah menjual barang yang penyerahannya ditunda. Ketika boleh diserahkan secara langsung dan buahnya masih ada, maka boleh mengembalikan setengahnya kepada suami secara langsung dan buahnya masih ada. Pengembalian setengah dalam hal ini lebih layak dibolehkan daripada jual beli. Jika hal itu boleh dalam jual beli, maka boleh pula dalam pengembalian.”
قال الماوردي: إذا أصدقها شجراً غير مثمر فطلقها وقد أثمر فَالْكَلَامُ فِي ثَمَرِ الشَّجَرِ كَالْكَلَامِ فِي ثَمَرِ النَّخْلِ، فِي كَوْنِهِ مُؤَبَّرًا أَوْ غَيْرَ مُؤَبَّرٍ، عَلَى مَا مَضَى.
Al-Mawardi berkata: Jika seorang suami menjadikan pohon yang belum berbuah sebagai mahar, lalu menceraikannya ketika pohon itu telah berbuah, maka pembahasan tentang buah pohon sama seperti pembahasan tentang buah kurma, baik sudah dibuahi maupun belum, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
أَمَّا الشَّجَرُ فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ:
Adapun pohon, terbagi menjadi tiga jenis:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ غِرَاسًا غَيْرَ مُثْمِرٍ فَيَصِيرُ شَجَرًا مُثْمِرًا، فَهَذِهِ زِيَادَةٌ مَحْضَةٌ، فَيَكُونُ حُكْمُهَا حُكْمَ الزِّيَادَةِ الَّتِي لَا تَتَمَيَّزُ، فَلَا تُجْبَرُ الزَّوْجَةُ عَلَى بَذْلِهَا، وَإِنْ بَذَلَتْهَا فَفِي إِجْبَارِهِ عَلَى قَبُولِهَا وَجْهَانِ.
Pertama: Pohon yang awalnya berupa bibit yang belum berbuah, lalu menjadi pohon yang berbuah. Ini adalah penambahan murni, sehingga hukumnya sama dengan penambahan yang tidak dapat dipisahkan. Maka istri tidak dipaksa untuk menyerahkannya, dan jika ia menyerahkannya, maka dalam hal memaksa suami untuk menerimanya terdapat dua pendapat.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ شَجَرًا مُثْمِرًا مُتَكَامِلًا فَيُرْقَلُ حَتَّى يَصِيرَ قَحَامًا.
Jenis kedua: Pohon yang sudah berbuah sempurna, lalu menjadi sangat tinggi hingga menjadi tua renta.
والإرقال: التَّنَاهِي فِي الطُّولِ، وَالْقَحَامُ: التَّنَاهِي فِي الْعُمُرِ حتى قد ييئس سَعَفُهُ، وَيَخِرُّ جِذْعُهُ، فَهَذَا نُقْصَانٌ مَحْضٌ لَا يَتَمَيَّزُ، وَلَا يُجْبَرُ الزَّوْجُ عَلَى قَبُولِهِ، وَإِنْ رَضِيَ بِهِ فَفِي إِجْبَارِهِ الزَّوْجَةَ عَلَى بَذْلِهِ وَجْهَانِ:
Yang dimaksud dengan “irqal” adalah mencapai puncak ketinggian, dan “qahām” adalah mencapai puncak usia hingga pelepahnya tidak lagi diharapkan, dan batangnya mulai roboh. Ini adalah pengurangan murni yang tidak dapat dipisahkan, sehingga suami tidak dipaksa untuk menerimanya. Jika suami rela menerimanya, maka dalam hal memaksa istri untuk menyerahkannya terdapat dua pendapat:
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ غِرَاسًا غَيْرَ مثمر فيصير قحاماً غير مثمر، فَهَذِهِ زِيَادَةٌ مِنْ وَجْهٍ، وَنُقْصَانٌ مِنْ وَجْهٍ، فَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى نِصْفِ الْقِيمَةِ أُجِيبَ.
Jenis ketiga: Pohon yang awalnya berupa bibit yang belum berbuah, lalu menjadi tua renta namun tetap tidak berbuah. Ini adalah penambahan dari satu sisi, dan pengurangan dari sisi lain. Maka siapa pun di antara keduanya yang meminta setengah nilai, permintaannya dikabulkan.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وَكَذَلِكَ الْأَرْضُ تَزْرَعُهَا أَوْ تَغْرِسُهَا أَوْ تَحْرُثُهَا (قال المزني) الزرع مضر بالأرض منقصٌ لها وإن كان لحصاده غاية فله الخيار في قبول نصف الأرض منتقصةً أو القيمة والزرع لها وليس ثمر النخل مضراً بها فله نصف النخل والثمر لها وأما الغراس فليس بشبيهٍ لهما لأن لهما غايةً يفارقان فيهما مكانهما من جدادٍ وحصادٍ وليس كذلك الغراس لأنه ثابتٌ في الأرض فله نصف قيمتها وأما الحرث فزيادةً لها فليس عليها أن تعطيه نصف ما زاد في ملكها إلا أن تشاء وهذا عندي أشبه بقوله وبالله التوفيق “.
Imam Syafi‘i berkata: “Demikian pula tanah, jika engkau menanaminya, menanam pohon di atasnya, atau membajaknya.” (Al-Muzani berkata:) Menanam tanaman itu merugikan tanah dan menguranginya, meskipun hasil panennya ada batas akhirnya. Maka, ia (suami) berhak memilih antara menerima separuh tanah yang telah berkurang nilainya atau menerima nilai tanah tersebut dan tanaman menjadi miliknya (istri). Adapun buah kurma tidak merugikan tanah, maka ia (suami) berhak atas separuh pohon kurma dan buahnya menjadi milik istri. Adapun tanaman keras (grasa) tidak serupa dengan keduanya, karena keduanya (tanaman dan buah kurma) memiliki batas akhir di mana keduanya akan dipisahkan dari tempatnya melalui pemetikan atau panen, sedangkan tanaman keras tetap menetap di tanah. Maka, ia (suami) berhak atas separuh nilainya. Adapun bajakan, itu merupakan tambahan bagi tanah, sehingga istri tidak wajib memberinya separuh dari tambahan yang terjadi pada kepemilikannya kecuali jika ia menghendaki. Menurutku, ini lebih sesuai dengan pendapat beliau (Imam Syafi‘i), dan hanya kepada Allah-lah taufik.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: عَطَفَ الشَّافِعِيُّ بِزَرْعِ الْأَرْضِ وَغَرْسِهَا وَحَرْثِهَا عَلَى مَا قَدَّمَهُ مِنْ عَقْدِ الْبَابِ، وَبَيَانِ أَحْكَامِ الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ. فَتَوَهَّمَ الْمُزَنِيُّ أَنَّهُ عَطَفَ بِهِ عَلَى أَطْلَاعِ النَّخْلِ.
Al-Mawardi berkata: Imam Syafi‘i mengaitkan penanaman, penanaman pohon, dan pembajakan tanah dengan apa yang telah beliau kemukakan dalam pembahasan bab ini, serta penjelasan hukum tentang penambahan dan pengurangan (nilai tanah). Al-Muzani mengira bahwa beliau mengaitkannya dengan kemunculan buah kurma.
فَفَرَّقَ بَيْنَ الزَّرْعِ وَالْغَرْسِ، وَبَيْنَ أَطْلَاعِ النَّخْلِ فَأَخْطَأَ فِي تَوَهُّمِهِ، وَقَارَبَ الصِّحَّةَ فِي فَرْقِهِ.
Maka, ia membedakan antara tanaman dan pohon, serta antara kemunculan buah kurma, sehingga ia keliru dalam prasangkanya, namun hampir benar dalam pembedaan yang ia lakukan.
وَحُكْمُ الْأَرْضِ تَخْتَلِفُ فِي زَرْعِهَا، وَغَرْسِهَا، وَحَرْثِهَا.
Hukum tanah berbeda-beda dalam hal penanaman, penanaman pohon, dan pembajakannya.
أَمَّا حَرْثُهَا: فَهُوَ فِيهَا زِيَادَةٌ مَحْضَةٌ غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ، فَلَا يَلْزَمُ الزَّوْجَةَ بَذْلُهَا، فَإِنْ بَذَلَتْهَا أُجْبِرَ الزَّوْجُ عَلَى قَبُولِهَا فِي أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ.
Adapun pembajakan tanah: itu merupakan tambahan murni yang tidak terpisahkan pada tanah, sehingga istri tidak wajib memberikannya. Jika ia memberikannya, maka suami dipaksa untuk menerimanya menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat.
وَأَمَّا الْغَرْسُ فِي الْأَرْضِ فَهُوَ زِيَادَةٌ مِنْ وَجْهٍ وَنُقْصَانٌ مِنْ وَجْهٍ، لِأَنَّ عَيْنَ الْغَرْسِ زِيَادَةٌ، وَضَرَرَهُ في الأرض، نقصان.
Adapun penanaman pohon di tanah, itu merupakan tambahan dari satu sisi dan pengurangan dari sisi lain, karena wujud pohon itu sendiri adalah tambahan, namun kerusakannya pada tanah adalah pengurangan.
فأما النقصان: مغير مُتَمَيِّزٍ، وَأَمَّا الزِّيَادَةُ: فَفِيهَا وَجْهَانِ:
Adapun pengurangannya: itu adalah sesuatu yang tidak terpisahkan, sedangkan tambahannya: dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا مُتَمَيِّزَةٌ، لِأَنَّهَا مُسْتَوْدَعَةٌ فِي الْأَرْضِ.
Pertama: Tambahan itu terpisahkan, karena ia hanya dititipkan di tanah.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا كَالْمُتَّصِلَةِ، لِأَنَّهَا صَارَتْ تَبَعًا، فَإِنْ بَذَلَتْهَا الزَّوْجَةُ بِغَرْسِهَا لَمْ يُجْبَرِ الزَّوْجُ عَلَى الْقَبُولِ لِأَجْلِ النَّقْصِ، وَإِنْ رَضِيَ الزَّوْجُ بِهَا لَمْ تُجْبَرِ الزَّوْجَةُ عَلَى بَذْلِهَا، لِأَجْلِ الزِّيَادَةِ، وَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى نِصْفِ الْقِيمَةِ أُجِيبَ.
Kedua: Tambahan itu seperti sesuatu yang menyatu, karena ia telah menjadi bagian dari tanah. Jika istri menyerahkan tanah dengan pohon yang ia tanam, maka suami tidak dipaksa untuk menerimanya karena adanya pengurangan. Namun jika suami ridha menerimanya, maka istri tidak dipaksa untuk menyerahkannya karena adanya tambahan. Siapa pun di antara keduanya yang meminta separuh nilai (tanah), permintaannya dikabulkan.
وَأَمَّا الزَّرْعُ فِي الْأَرْضِ فَهُوَ زِيَادَةٌ مُتَمَيِّزَةٌ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ نَقْصًا فِي الْأَرْضِ أم لا؟ على وجهين:
Adapun tanaman di tanah, itu merupakan tambahan yang terpisah. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah itu termasuk pengurangan pada tanah atau tidak, ada dua pendapat:
أحدها: أنه يكون نقصاً فيها كالغرس، وَمُخَالِفٌ لِأَطْلَاعِ النَّخْلِ، لِأَنَّ أَطْلَاعَ النَّخْلِ مِنْ ذَاتِهِ، وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِالنَّخْلِ قَبْلَ وَقْتِ أَطْلَاعِهِ. وَزَرْعَ الْأَرْضِ مِنْ فِعْلِ الْآدَمِيِّينَ وَقَدْ كَانَ يُمْكِنُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهَا فِي غَيْرِ الزَّرْعِ وَفِي غَيْرِ ذَلِكَ النَّوْعِ مِنَ الزَّرْعِ فَافْتَرَقَا.
Pertama: Itu dianggap sebagai pengurangan pada tanah seperti halnya pohon, dan berbeda dengan kemunculan buah kurma, karena kemunculan buah kurma berasal dari dirinya sendiri, dan tidak mungkin memanfaatkan pohon kurma sebelum buahnya muncul. Sedangkan tanaman di tanah adalah hasil perbuatan manusia, dan seandainya bisa, tanah itu dapat dimanfaatkan untuk selain tanaman atau jenis tanaman lain, sehingga keduanya berbeda.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ لَيْسَ بِنَقْصٍ فِي الْأَرْضِ، لِأَنَّ وَقْتَ الزَّرْعِ إِذَا انْقَضَى فَلَيْسَ يُمْكِنُ أَنْ يَسْتَأْنِفَ زَرْعَهَا، وَالْأَغْلَبُ مِنْ أَرْضِ الزَّرْعِ أَنْ لَا مَنْفَعَةَ فِيهَا إِلَّا بِزَرْعِهَا فَصَارَتْ بِأَطْلَاعِ النَّخْلِ أَشْبَهَ.
Pendapat kedua, yang merupakan pendapat Al-Muzani: Itu tidak dianggap sebagai pengurangan pada tanah, karena setelah masa tanam selesai, tidak mungkin menanam kembali di tanah itu. Kebanyakan tanah pertanian tidak memiliki manfaat kecuali dengan ditanami, sehingga ia lebih mirip dengan kemunculan buah kurma.
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْوَجْهَانِ:
Jika kedua pendapat ini telah dijelaskan:
– فَإِنْ جَعَلْنَا الزَّرْعَ زِيَادَةً، وَلَمْ نَجْعَلْهُ نَقْصًا فَحُكْمُ الْأَرْضِ إِذَا زُرِعَتْ مِثْلُ حُكْمِ النَّخْلِ إِذَا أَطْلَعَتْ، وَقُلْنَا: إِنَّ الثَّمَرَةَ زِيَادَةٌ مُتَمَيِّزَةٌ، لِأَنَّ الزَّرْعَ زِيَادَةٌ مُتَمَيِّزَةٌ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْأَقْسَامِ وَالْأَحْكَامِ.
– Jika kita menganggap tanaman sebagai tambahan, dan tidak menganggapnya sebagai pengurangan, maka hukum tanah yang ditanami sama dengan hukum pohon kurma yang berbuah. Kita katakan: buah adalah tambahan yang terpisah, karena tanaman adalah tambahan yang terpisah, sehingga berlaku hukum-hukum dan pembagian yang telah disebutkan sebelumnya.
– وَإِنْ جَعَلْنَا الزَّرْعَ زِيَادَةً وَنَقْصًا كَانَ فِي حُكْمِ الْغَرْسِ لَا يُجْبَرُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَلَى الْأَرْضِ، وَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى الْقِيمَةِ أُجِيبَ.
– Jika kita menganggap tanaman sebagai tambahan sekaligus pengurangan, maka hukumnya seperti penanaman pohon, di mana tidak ada satu pun dari keduanya yang dipaksa untuk menerima tanah, dan siapa pun di antara keduanya yang meminta nilai (tanah), permintaannya dikabulkan.
فَإِنْ بَادَرَتِ الزَّوْجَةُ إِلَى قَلْعِ الزَّرْعِ فَفِي إِجْبَارِ الزَّوْجِ عَلَى قَبُولِ الْأَرْضِ إِذَا لَمْ يَضُرَّ بِهَا قَلْعُ الزَّرْعِ وَجْهَانِ كَمَا لَوْ بَادَرَتْ إِلَى قَطْعِ الثَّمَرَةِ عَنِ النَّخْلِ، وَلَكِنْ لَوْ طَلَّقَهَا بَعْدَ حَصَادِ الزَّرْعِ أُجْبِرَ عَلَى الْقَبُولِ، وَأُجْبِرَتْ عَلَى الدَّفْعِ وَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى نِصْفِ الْأَرْضِ أُجِيبَ لِتَعَيُّنِ الْحَقِّ فِيهَا وَقْتَ الطَّلَاقِ، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الزَّرْعُ وَقْتَ الطَّلَاقِ وَقَدِ اسْتَحْصَدَ وَلَمْ يَحْصُدْ فَلَيْسَ لَهُ إِلَّا نِصْفُ الْأَرْضِ مَا لَمْ تَنْقُصِ الْأَرْضُ بِالزَّرْعِ، وَتُجْبَرُ الزَّوْجَةُ عَلَى الْحَصَادِ، وَهَكَذَا الثَّمَرَةُ إِذَا اسْتَجَدَّتْ عَلَى رُؤُوسِ نَخْلِهَا أَخَذَتِ الزَّوْجَةُ بِجَذَاذِهَا وَرَجَعَ الزَّوْجُ بِنِصْفِهَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Jika istri segera mencabut tanaman, maka dalam hal memaksa suami untuk menerima tanah apabila pencabutan tanaman itu tidak membahayakan tanah, terdapat dua pendapat, sebagaimana jika istri segera memotong buah dari pohon kurma. Namun, jika suami menceraikannya setelah panen, maka suami dipaksa untuk menerima, dan istri dipaksa untuk menyerahkan. Siapa pun dari keduanya yang meminta setengah tanah, maka permintaannya dikabulkan, karena hak atas tanah itu telah pasti pada saat perceraian. Demikian pula, jika tanaman pada saat perceraian sudah siap panen tetapi belum dipanen, maka suami hanya berhak atas setengah tanah selama tanah tidak berkurang karena tanaman, dan istri dipaksa untuk memanen. Demikian pula, jika buah telah tumbuh di atas pohon kurma milik istri, maka istri mengambil buahnya dan suami mengambil setengahnya. Allah Maha Mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ وَلَدَتِ الْأَمَةُ فِي يَدَيْهِ أَوْ نَتَجَتِ الْمَاشِيَةُ فَنَقَصَتْ عَنْ حَالِهَا كَانَ الْوَلَدُ لَهَا دُونَهُ لِأَنَّهُ حَدَثَ فِي مِلْكِهَا فَإِنْ شَاءَتْ أَخَذَتْ أَنْصَافَهَا نَاقِصَةً وَإِنْ شَاءَتْ أَخَذَتْ أَنْصَافَ قيمتها يوم أصدقها (قال المزني) هذا قياس قوله في أول باب ما جاء في الصداق في كتاب الأم وهو قوله وهذا خطأٌ على أصله “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika budak perempuan melahirkan di tangan suami atau hewan ternak beranak sehingga jumlahnya berkurang dari keadaan semula, maka anak itu milik istri, bukan suami, karena terjadi dalam kepemilikannya. Jika istri mau, ia mengambil setengahnya dalam keadaan berkurang, dan jika mau, ia mengambil setengah dari nilainya pada hari ia menerima mahar.” (Al-Muzani berkata) Ini adalah qiyās pendapatnya di awal bab tentang apa yang datang dalam masalah mahar dalam Kitab al-Umm, dan ia berkata: “Ini keliru menurut prinsip dasarnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَصْدَقَ امْرَأَتَهُ جَارِيَةً أَوْ مَاشِيَةً فَزَادَتْ فِي يَدِهِ بِحَمْلٍ أَوْ وَلَدٍ، ثُمَّ طَلَّقَ قَبْلَ الدُّخُولِ، فَقَدْ دَخَلَ حُكْمُهُ فِي أَقْسَامِ مَا قَدَّمْنَاهُ، وَنَحْنُ نُشِيرُ إِلَيْهِ وَنَذْكُرُ مَا تَعَلَّقَ بِهِ مِنْ زِيَادَةٍ، وَنَقْتَصِرُ عَلَى ذِكْرِ الْجَارِيَةِ فَإِنَّ فِيهَا بَيَانَ الْمَاشِيَةِ.
Al-Mawardi berkata: Adapun gambaran masalah ini adalah seorang laki-laki menjadikan budak perempuan atau hewan ternak sebagai mahar untuk istrinya, lalu di tangan suami budak itu bertambah dengan kehamilan atau kelahiran, kemudian ia menceraikan istrinya sebelum berhubungan. Maka hukumnya masuk dalam pembagian yang telah kami sebutkan sebelumnya. Kami akan menunjukannya dan menyebutkan tambahan yang berkaitan dengannya, dan kami cukupkan dengan menyebutkan budak perempuan karena di dalamnya sudah mencakup penjelasan untuk hewan ternak.
وَأَحْوَالُ الْجَارِيَةِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ:
Keadaan budak perempuan terbagi menjadi tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ وَقْتَ الصَّدَاقِ حَابِلًا فَتَحْمِلُ في يده بمملوك وتلد ثم تطلق.
Pertama: Budak perempuan itu saat mahar sudah hamil, lalu di tangan suami ia hamil lagi dengan budak lain dan melahirkan, kemudian dicerai.
والقسم الثاني: أن تكون حاملاً فَتَحْبَلُ ثُمَّ تُطَلَّقُ قَبْلَ أَنْ تَضَعَ.
Bagian kedua: Budak perempuan itu hamil, lalu hamil lagi, kemudian dicerai sebelum melahirkan.
وَالْقِسْمُ الثالث: أن تكون حاملاً ثم تلد ثُمَّ تُطَلَّقُ.
Bagian ketiga: Budak perempuan itu hamil, lalu melahirkan, kemudian dicerai.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ تكون حاملاً فتحبل وَتَلِدُ ثُمَّ تُطَلَّقُ فَلَا يَخْلُو حَالُهَا وَحَالُ وَلَدِهَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Adapun bagian pertama, yaitu budak perempuan itu hamil, lalu hamil lagi dan melahirkan, kemudian dicerai, maka keadaan budak dan anaknya tidak lepas dari empat keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا بَاقِيَيْنِ.
Pertama: Keduanya masih ada (hidup).
وَالثَّانِي: تَالِفَيْنِ.
Kedua: Keduanya telah tiada (mati).
وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ الْأُمُّ بَاقِيَةً وَالْوَلَدُ تَالِفًا.
Ketiga: Ibunya masih ada, anaknya telah tiada.
وَالرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ الْأُمُّ تَالِفَةً وَالْوَلَدُ بَاقِيًا.
Keempat: Ibunya telah tiada, anaknya masih ada.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: إِذَا كَانَا بَاقِيَيْنِ فَالْوَلَدُ لِلزَّوْجَةِ، لِحُدُوثِهِ فِي مِلْكِهَا، وَتَكُونُ وِلَادَتُهُ قَبْلَ الْقَبْضِ، كَوِلَادَتِهِ بَعْدَ الْقَبْضِ، فِي أَنْ لَا حَقَّ فِيهِ لِلزَّوْجِ وَكَذَلِكَ الْكَسْبُ.
Adapun bagian pertama, yaitu jika keduanya masih ada, maka anak itu milik istri, karena terjadi dalam kepemilikannya, dan kelahirannya sebelum penyerahan sama dengan kelahirannya setelah penyerahan, yaitu suami tidak memiliki hak atasnya, demikian pula hasil usahanya.
وَقَالَ مَالِكٌ: يَكُونُ لِلزَّوْجِ نِصْفُ الْوَلَدِ وَنِصْفُ الْكَسْبِ قَبْلَ الْقَبْضِ وَبَعْدَهُ.
Imam Malik berkata: Suami berhak atas setengah anak dan setengah hasil usaha, baik sebelum maupun sesudah penyerahan.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا حَقَّ لِلزَّوْجِ فِيمَا حَدَثَ بَعْدَ القبض من ولد كسب وَلَهُ فِيمَا حَدَثَ فِي يَدِهِ قَبْلَ الْقَبْضِ نِصْفُ الْوَلَدِ دُونَ الْكَسْبِ.
Abu Hanifah berkata: Suami tidak berhak atas apa yang terjadi setelah penyerahan, baik anak maupun hasil usaha, dan ia hanya berhak atas setengah anak yang terjadi di tangannya sebelum penyerahan, tidak atas hasil usahanya.
اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ قَبْلَ الْقَبْضِ مُسْتَحِقٌّ التَّسْلِيمَ بِالْعَقْدِ كَالْأُمِّ، فَوَجَبَ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِهِ كَرُجُوعِهِ بِنِصْفِ الْأُمِّ.
Mereka berdalil bahwa sebelum penyerahan, suami berhak menerima dengan akad sebagaimana ibu (budak perempuan), maka wajib baginya mengambil setengahnya sebagaimana ia mengambil setengah ibu.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ الله تعالى: {فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} فَلَمْ يُوجِبِ الرُّجُوعَ إِلَّا بِنِصْفِ الْمَفْرُوضِ، وَلَيْسَ الْوَلَدُ مَفْرُوضًا.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {maka setengah dari apa yang telah kamu tetapkan} sehingga tidak mewajibkan kembali kecuali pada setengah dari yang ditetapkan, dan anak bukanlah sesuatu yang ditetapkan.
وَلِأَنَّهُ نَمَاءٌ حَدَثَ فِي مِلْكِهَا فَلَمْ يَسْتَحِقَّ الزَّوْجُ بِطَلَاقِهِ شَيْئًا مِنْهُ كَالْحَادِثِ بَعْدَ الْقَبْضِ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَمْلِكْهُ بِالطَّلَاقِ إِذَا حَدَثَ بَعْدَ الْقَبْضِ لَمْ يَمْلِكْهُ بِالطَّلَاقِ إِذَا حَدَثَ قَبْلَ الْقَبْضِ كَالْكَسْبِ.
Karena anak adalah pertumbuhan yang terjadi dalam kepemilikan istri, maka suami tidak berhak mendapatkan apa pun darinya karena perceraian, sebagaimana halnya yang terjadi setelah penyerahan. Dan apa yang tidak dimiliki karena perceraian jika terjadi setelah penyerahan, maka tidak dimiliki pula karena perceraian jika terjadi sebelum penyerahan, sebagaimana hasil usaha.
وَبِالْكَسْبِ يَنْتَقِصُ قِيَاسُهُمْ مَعَ أَنَّنَا لَا نَقُولُ إِنَّهُ تَسْلِيمٌ يُسْتَحَقُّ بِالْعَقْدِ وَلَكِنْ بِالْمِلْكِ.
Dengan hasil usaha, qiyās mereka menjadi lemah, padahal kami tidak mengatakan bahwa itu adalah penyerahan yang berhak dengan akad, tetapi dengan kepemilikan.
فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَا حَقَّ لَهُ فِي الْوَلَدِ فَلِلْأُمِّ ثَلَاثَةُ أحوال:
Jika telah tetap bahwa suami tidak berhak atas anak, maka untuk ibu (budak perempuan) ada tiga keadaan:
أحدهما: أَنْ تَكُونَ بِحَالِهَا لَمْ تَزِدْ وَلَمْ تَنْقُصْ، فَيَكُونُ لِلزَّوْجِ نِصْفُهَا بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَلَهَا النِّصْفُ، وَلَا خِيَارَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا.
Pertama: Jika keadaannya tetap, tidak bertambah dan tidak berkurang, maka suami berhak atas setengahnya karena talak sebelum dukhūl, dan istri berhak atas setengahnya, serta tidak ada hak memilih bagi salah satu dari keduanya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَكُونَ قَدْ زَادَتْ فَلَهَا مَنْعُ الزَّوْجِ مِنْهَا لِحُدُوثِ الزِّيَادَةِ عَلَى مِلْكِهَا وَتَعْدِلُ بِهِ إِلَى نِصْفِ الْقِيمَةِ، فَإِنْ بَذَلَتْ لَهُ نِصْفَهَا زَائِدَةً أُجْبِرَ عَلَى الْقَبُولِ فِي أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ.
Keadaan kedua: Jika terjadi penambahan, maka istri berhak mencegah suami darinya karena adanya tambahan atas kepemilikannya, dan ia menggantinya dengan setengah nilai. Jika ia memberikan setengahnya beserta tambahan kepada suami, maka suami dipaksa untuk menerima menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَكُونَ نَاقِصَةً فَلَهَا الْخِيَارُ بَيْنَ الْمُقَامِ وَالْفَسْخِ. فَإِنْ أَقَامَتْ أَخَذَتِ النِّصْفَ نَاقِصًا وَأَخَذَ الزَّوْجُ نِصْفَهَا نَاقِصًا، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ خِيَارٌ لِحُدُوثِ النُّقْصَانِ فِي يَدِهِ وَدُخُولِهِ في ضمانه.
Keadaan ketiga: Jika terjadi pengurangan, maka istri memiliki hak memilih antara tetap atau membatalkan akad. Jika ia memilih tetap, maka ia mengambil setengah yang telah berkurang dan suami pun mengambil setengah yang telah berkurang, dan suami tidak memiliki hak memilih karena pengurangan itu terjadi di tangannya dan telah masuk dalam tanggung jawabnya.
وَإِنْ فَسَخَتْ فَالْوَلَدُ لَهَا، لِأَنَّ الْفَسْخَ فِي الْأَصْلِ مَعَ بَقَائِهِ قَطْعٌ لِلْعَقْدِ فِيهِ وَلَيْسَ بِرَفْعٍ لَهُ مِنْ أَصْلِهِ.
Jika istri membatalkan akad, maka anak menjadi miliknya, karena pembatalan pada asalnya dengan tetapnya anak adalah pemutusan akad atas anak tersebut dan bukan penghapusan akad dari asalnya.
وَبِمَاذَا تَرْجِعُ عَلَيْهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Dengan apa ia dapat menuntut suami? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بِالْجَارِيَةِ وَأَرْشِ النَّقْصِ، فَيَكُونُ الْفَسْخُ مُفِيدًا اسْتِحْقَاقَ الْأَرْشِ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يُوجِبُ قِيمَةَ الصَّدَاقِ عِنْدَ تَلَفِهِ.
Pertama: Dengan budak perempuan dan kompensasi kekurangan (arsh al-naqsh), sehingga pembatalan akad memberikan hak atas kompensasi tersebut. Ini menurut pendapat yang mewajibkan nilai mahar jika mahar itu rusak.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تَرْجِعُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يُوجِبُ مَهْرَ الْمِثْلِ، عِنْدَ تَلَفِ الصَّدَاقِ.
Pendapat kedua: Ia menuntut dengan mahar mitsil, dan ini menurut pendapat yang mewajibkan mahar mitsil jika mahar itu rusak.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَتْلَفَ الْأُمُّ وَالْوَلَدُ مَعًا فِي يَدِ الزَّوْجِ.
Adapun bagian kedua: Yaitu jika ibu dan anak sama-sama rusak (hilang) di tangan suami.
فَالْأُمُّ مَضْمُونَةٌ عَلَيْهِ، وَبِمَاذَا يَضْمَنُهَا فِيهِ قَوْلَانِ:
Maka ibu menjadi tanggungan suami, dan dengan apa ia menanggungnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ يَضْمَنُهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ. فَعَلَى هَذَا يَكُونُ جَمِيعُهُ عَلَيْهِ إِنْ طَلَّقَ بَعْدَ الدُّخُولِ، وَنِصْفُهُ إِنْ طَلَّقَ قَبْلَهُ.
Pertama: Yaitu pendapat dalam al-jadid bahwa suami menanggungnya dengan mahar mitsil. Dengan demikian, seluruhnya menjadi tanggungan suami jika ia menceraikan setelah dukhūl, dan setengahnya jika ia menceraikan sebelum dukhūl.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يَضْمَنُهَا بِقِيمَتِهَا، وَفِي اعْتِبَارِ الْقِيمَةِ قَوْلَانِ:
Pendapat kedua: Yaitu pendapat dalam al-qadim bahwa suami menanggungnya dengan nilai (harga) ibu tersebut, dan dalam penentuan nilai terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَوْمَ أَصْدَقَ تَغْلِيبًا لِضَمَانِ الْعَقْدِ.
Pertama: Nilainya pada hari akad mahar, dengan mengutamakan jaminan akad.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَلْزَمُهُ قِيمَتُهَا أَكْثَرُ مَا كَانَتْ قِيمَةً مِنْ وَقْتِ الصَّدَاقِ إِلَى وَقْتِ التَّلَفِ، اعْتِبَارًا بِضَمَانِ الْغَصْبِ.
Pendapat kedua: Suami wajib membayar nilai tertinggi dari waktu akad mahar hingga waktu kerusakan, dengan pertimbangan jaminan ghashb (perampasan).
فَأَمَّا الْوَلَدُ: فَحُكْمُهُ بَعْدَ التَّلَفِ مُعْتَبَرٌ بِحُكْمِهِ لَوْ كَانَ حَيًّا، عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، فَإِنْ لَمْ نَجْعَلْهُ لَهَا لَوْ كَانَ حَيًّا لَمْ يَلْزَمِ الزَّوْجَ لَهُ غُرْمٌ بِتَلَفِهِ.
Adapun anak: Hukum setelah rusak (hilang) dipertimbangkan sebagaimana hukumnya jika ia masih hidup, sebagaimana akan kami sebutkan. Jika kami tidak menjadikannya milik istri seandainya ia hidup, maka suami tidak wajib menanggung kerugian atas kerusakannya.
وَإِنْ جَعَلْنَاهُ لَهَا لَوْ كَانَ حَيًّا فَفِي ضَمَانِهِ عَلَى الزَّوْجِ قَوْلَانِ:
Namun jika kami menjadikannya milik istri seandainya ia hidup, maka dalam hal penjaminan atas suami terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ وَلَدُ أُمٍّ مَضْمُونَةٍ، فَصَارَ مَضْمُونًا كَوَلَدِ الْمَغْصُوبَةِ.
Pertama: Suami wajib menanggungnya karena ia adalah anak dari ibu yang menjadi tanggungan, sehingga ia menjadi tanggungan seperti anak dari budak yang digasb (dirampas).
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَضْمَنُهُ، لِأَنَّ الْعَقْدَ لَمْ يَتَضَمَّنْهُ، وَخَالَفَ وَلَدَ الْمَغْصُوبَةِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ فِيهِ.
Pendapat kedua: Suami tidak menanggungnya, karena akad tidak mencakupnya, dan berbeda dengan anak budak yang digasb, karena dalam hal ini suami tidak melakukan pelanggaran.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْأُمُّ بَاقِيَةً وَالْوَلَدُ تَالِفًا، فَلَهَا جَمِيعُ الْأُمِّ إِنْ طُلِّقَتْ بَعْدَ الدُّخُولِ، وَنِصْفُهَا إِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَهُ.
Adapun bagian ketiga: Yaitu jika ibu tetap ada dan anak yang rusak (hilang), maka istri berhak atas seluruh ibu jika ditalak setelah dukhūl, dan setengahnya jika ditalak sebelum dukhūl.
وَالْكَلَامُ فِيمَا حَدَثَ فِيهَا مِنْ زِيَادَةٍ أَوْ نُقْصَانٍ عَلَى مَا مَضَى.
Dan pembahasan mengenai apa yang terjadi pada ibu berupa penambahan atau pengurangan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
وَأَمَّا الْوَلَدُ فَجَمِيعُهُ لَهَا: وَهَلْ يَضْمَنُهُ الزَّوْجُ بِالتَّلَفِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Adapun anak, seluruhnya menjadi milik istri. Apakah suami wajib menanggung kerugiannya jika anak rusak (hilang) atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُهُ فَيَلْزَمُهُ قِيمَتُهُ أَكْثَرَ مَا كَانَ قِيمَةً مِنْ وَقْتِ وِلَادَتِهِ إِلَى وَقْتِ تَلَفِهِ.
Pertama: Suami wajib menanggungnya, sehingga ia wajib membayar nilai tertinggi anak tersebut sejak waktu kelahirannya hingga waktu kerusakannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ كَالْأَمَانَةِ فِي يَدِهِ إِلَّا أَنْ تَطْلُبَهُ مِنْهُ فَيَمْنَعُهَا فَيَضْمَنُهُ كَالْوَدَائِعِ.
Pendapat kedua: Tidak ada tanggungan atas suami, karena anak itu seperti titipan di tangannya, kecuali jika istri memintanya lalu suami menahannya, maka suami wajib menanggungnya seperti halnya barang titipan.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْأُمُّ تَالِفَةً وَالْوَلَدُ بَاقِيًا، فَفِيمَا تَرْجِعُ عَلَيْهِ فِي بَدَلِ الْأُمِّ قَوْلَانِ:
Adapun bagian keempat: Yaitu jika ibu rusak (hilang) dan anak tetap ada, maka dalam hal apa istri dapat menuntut suami sebagai pengganti ibu terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قِيمَتُهَا، وَفِي اعْتِبَارِ قيمتها قولان.
Pertama: Dengan nilai ibu, dan dalam penentuan nilainya terdapat dua pendapat.
أحدهما: قيمنه وَقْتَ الْعَقْدِ.
Pertama: Nilainya pada waktu akad.
وَالثَّانِي: أَكْثَرُ مَا كَانَ قِيمَةً مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ إِلَى وَقْتِ التَّلَفِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْوَلَدُ لَهَا.
Kedua: Nilai tertinggi yang pernah dicapai sejak waktu akad hingga waktu kerusakan. Dengan demikian, anak menjadi milik istri.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَرْجِعُ عَلَيْهِ بِمَهْرِ مِثْلِهَا. فَعَلَى هَذَا فِي الْوَلَدِ وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: ia mengembalikan kepadanya mahar mitsilnya. Berdasarkan pendapat ini, mengenai anak terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ لِلزَّوْجَةِ أَيْضًا لِحُدُوثِهِ فِي مِلْكِهَا.
Salah satunya: bahwa anak itu juga menjadi milik istri, karena anak itu terjadi dalam kepemilikannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَكُونُ لِلزَّوْجِ، لِأَنَّهُ رفع للعقد مِنْ أَصْلِهِ، فَصَارَتْ غَيْرَ مَالِكَةٍ لِأُمِّهِ.
Pendapat kedua: anak itu menjadi milik suami, karena akad telah dibatalkan dari asalnya, sehingga istri tidak lagi memiliki ibunya.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي مِنْ أَقْسَامِ الْأَصْلِ وَهُوَ أن تكون الجارية حاملاً وقت الطلاق، فَالْحَمْلُ فِيهَا زِيَادَةٌ مِنْ وَجْهٍ وَنُقْصَانٌ مِنْ وَجْهٍ.
Adapun bagian kedua dari pembagian asal, yaitu apabila jariyah (budak perempuan) sedang hamil pada saat talak, maka kehamilan itu dari satu sisi merupakan tambahan dan dari sisi lain merupakan kekurangan.
فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ بَعْدَ الدُّخُولِ كَانَتْ مُخَيَّرَةً بَيْنَ أَمْرَيْنِ.
Jika talak terjadi setelah dukhul (hubungan suami istri), maka ia (istri) diberi pilihan antara dua hal.
إِمَّا أَنْ تَسْمَحَ فَتَأْخُذَهَا بزيادتها ونقصها.
Pertama, ia rela dan mengambilnya dengan tambahan dan kekurangannya.
وإما أن تفسح وَبِمَاذَا تَرْجِعُ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Atau ia membatalkan, lalu dengan apa ia mengembalikan? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بِالْجَارِيَةِ حَامِلًا وَأَرْشِ مَا نَقَصَتْهَا الْوِلَادَةُ وَلَا تَجْبُرُ نُقْصَانَ الْوِلَادَةِ بِزِيَادَةِ الْحَمْلِ، وَهَذَا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ.
Salah satunya: dengan mengembalikan jariyah dalam keadaan hamil dan membayar ganti rugi atas kekurangan yang disebabkan oleh kelahiran, dan kekurangan akibat kelahiran tidak diganti dengan tambahan karena kehamilan. Ini menurut pendapat lama (qaul qadim).
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: تَرْجِعُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ.
Pendapat kedua: ia mengembalikan dengan mahar mitsil.
وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ قَبْلَ الدُّخُولِ: كَانَتْ مُخَيَّرَةً بَيْنَ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ.
Jika talak terjadi sebelum dukhul, maka ia diberi pilihan antara tiga hal.
إِمَّا أَنْ تَأْخُذَ الْكُلَّ وَتُعْطِيَهِ نِصْفَ الْقِيمَةِ أَقَلَّ مَا كَانَتْ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ إِلَى وَقْتِ الْقَبْضِ لِأَنَّ لَهَا زِيَادَةً تُسْتَحَقُّ بِمِلْكِهَا.
Pertama, ia mengambil semuanya dan memberinya (suami) setengah dari nilai yang paling rendah antara nilai saat akad dan saat penyerahan, karena ia memiliki tambahan yang diperoleh melalui kepemilikannya.
وَإِمَّا أَنْ تَأْخُذَ نِصْفَهَا وَتُعْطِيَهُ نصفها زائدة ناقصة، فيلزمه قبولها، وإن النقصان مضمون عليه، والزيادة مبذولة له.
Atau ia mengambil setengahnya dan memberinya setengahnya dalam keadaan bertambah atau berkurang, maka suami wajib menerimanya. Kekurangan menjadi tanggung jawab suami, sedangkan tambahan diberikan kepadanya.
وما أن تفسح فِي الْكُلِّ وَبِمَاذَا تَرْجِعُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Atau ia membatalkan semuanya, lalu dengan apa ia mengembalikan? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ تَرْجِعُ بِنِصْفِهَا وَنِصْفِ أَرْشِ النُّقْصَانِ.
Salah satunya, yaitu pendapat lama (qaul qadim): ia mengembalikan setengahnya dan setengah dari ganti rugi kekurangan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat baru (qaul jadid): dengan setengah mahar mitsil.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ مِنْ أَقْسَامِ الْأَصْلِ، وَهُوَ أَنْ تَكُونَ حَامِلًا وَقْتَ الصَّدَاقِ وَقَدْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا وَقْتَ الطَّلَاقِ. فَحُكْمُهُ مَبْنِيٌّ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي الْحَمْلِ هَلْ لَهُ حُكْمٌ يَتَمَيَّزُ بِهِ أَوْ يَكُونُ تَبَعًا؟ فِيهِ قولان:
Adapun bagian ketiga dari pembagian asal, yaitu apabila ia sedang hamil pada saat akad nikah dan telah melahirkan pada saat talak. Hukumnya didasarkan pada perbedaan dua pendapat Imam asy-Syafi‘i tentang kehamilan: apakah kehamilan itu memiliki hukum tersendiri ataukah hanya mengikuti (induknya)? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَكُونُ تَبَعًا لَا يَتَمَيَّزُ بِحُكْمٍ فَعَلَى هَذَا إِذَا طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ كَانَ لَهَا جَمِيعُ الْوَلَدِ وَهَلْ يَصِيرُ مُسْتَهْلَكًا فِي حَقِّ الزَّوْجِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Salah satunya: bahwa kehamilan itu hanya mengikuti, tidak memiliki hukum tersendiri. Berdasarkan pendapat ini, jika ia ditalak sebelum dukhul, maka seluruh anak menjadi milik istri. Apakah anak itu menjadi musnah (tidak diperhitungkan) bagi suami atau tidak? Ada dua wajah:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَصِيرُ مُسْتَهْلَكًا فِي حَقِّهِ وَإِنْ كَانَتِ الْأُمُّ زَائِدَةً بِهِ وَقْتَ حَمْلِهِ وَيَكُونُ كَالسِمَنِ إِذَا زَالَ بِالْهُزَالِ وَيَصِيرُ الْوَلَدُ كَالنَّمَاءِ الْحَادِثِ عَلَى مِلْكِهَا ابْتِدَاءً وَانْتِهَاءً.
Salah satunya: bahwa anak itu menjadi musnah bagi suami, meskipun ibunya bertambah karena kehamilannya, dan anak itu seperti lemak yang hilang karena kurus, dan anak itu dianggap sebagai pertumbuhan yang terjadi dalam kepemilikan istri sejak awal hingga akhir.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُسْتَهْلَكُ عَلَى الزَّوْجِ حَقُّهُ مِنَ الزِّيَادَةِ بِحَمْلِهَا بِخِلَافِ ذَهَابِ السِمَنِ بِالْهُزَالِ، لِأَنَّ السِمَنَ هَلَكَ فِي يَدِهِ فَصَارَ مُسْتَهْلَكًا عَلَيْهِ، وَلَيْسَ الْوَلَدُ كَذَلِكَ، لِأَنَّ زِيَادَتَهُ حَمْلًا قَدْ تَمَّتْ وَتَكَامَلَتْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَهْلَكَ عَلَى الزَّوْجِ وَقَدْ صَارَتْ مُتَكَامِلَةً لِلزَّوْجَةِ.
Wajah kedua: bahwa anak itu tidak musnah bagi suami, haknya atas tambahan karena kehamilan tetap ada, berbeda dengan hilangnya lemak karena kurus, karena lemak itu binasa di tangannya sehingga menjadi musnah baginya, sedangkan anak tidak demikian, karena tambahan akibat kehamilan telah sempurna dan utuh, sehingga tidak boleh dianggap musnah bagi suami, dan telah menjadi utuh bagi istri.
وَإِذَا كَانَ هَكَذَا وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ مَا بَيْنَ قِيمَتِهَا وَقْتَ الْعَقْدِ حَامِلًا وَحَابِلًا فَمَا كَانَ بَيْنَهُمَا مِنْ فَصْلٍ رَجَعَ الزَّوْجُ بِنِصْفِهِ عَلَى الزَّوْجَةِ مَعَ نِصْفِ الْأُمِّ، وَصَارَ جَمِيعُ الْوَلَدِ مَعَ نِصْفِ الْأُمِّ لِلزَّوْجَةِ. فَإِنْ بَذَلَتْ لَهُ نِصْفَ الْوَلَدِ عَمَّا اسْتَحَقَّهُ مِنْ نِصْفِ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ فَرْضِيَ جَازَ، وَصَارَتِ الْأُمُّ بَيْنَهُمَا وَالْوَلَدُ بَيْنَهُمَا. وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهِ وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ عُدُولٌ عَنْ حَقِّهِ إِلَى مُعَاوَضَةٍ لَا يَلْزَمُ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ.
Jika demikian, maka harus diperhatikan perbedaan antara nilai jariyah saat akad dalam keadaan hamil dan saat melahirkan. Selisih antara keduanya, suami berhak atas setengahnya dari istri bersama setengah dari induknya, dan seluruh anak bersama setengah induknya menjadi milik istri. Jika istri memberikan kepada suami setengah anak sebagai ganti haknya atas setengah dari selisih nilai, dan suami ridha, maka itu boleh, dan induk serta anak menjadi milik bersama keduanya. Jika suami tidak ridha, maka ia tidak boleh dipaksa menurut satu pendapat, karena itu merupakan pengalihan haknya kepada suatu bentuk tukar-menukar yang tidak wajib kecuali atas dasar kerelaan.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ نُظِرَ:
Jika demikian, maka diperhatikan:
فَإِنْ أَخَذَ الزَّوْجُ نِصْفَ الْوَلَدِ مَعَ نِصْفِ الْأُمِّ أُقِرَّ عَلَى مِلْكِهِ لإجماع ملك الولد مع ملك الأم.
Jika suami mengambil setengah anak bersama setengah induk, maka ia tetap dalam kepemilikannya karena adanya ijmā‘ atas kepemilikan anak bersama induknya.
وإذا أَخَذَ الزَّوْجُ نِصْفَ الْأُمِّ وَلَمْ يَأْخُذْ نِصْفَ الْوَلَدِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَرَّ عَلَى مِلْكِ نِصْفِ الْأُمِّ، لِأَنَّ فِيهِ تَفْرِيقًا بَيْنَ الْأُمِّ وَوَلَدِهَا فِي الْمِلْكِ.
Jika suami mengambil setengah bagian ibu dan tidak mengambil setengah bagian anak, maka tidak boleh dia ditetapkan atas kepemilikan setengah bagian ibu, karena di dalamnya terdapat pemisahan antara ibu dan anaknya dalam kepemilikan.
وَهَلْ تُجْبَرُ الزَّوْجَةُ عَلَى إِعْطَائِهِ نِصْفَ قِيمَةِ الْأُمِّ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Apakah istri diwajibkan memberikan kepadanya setengah dari nilai ibu atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: تُجْبَرُ عَلَى ذَلِكَ لِمَا يَلْزَمُهَا مِنَ الْقِيَامِ بِحَضَانَةِ الْوَلَدِ.
Pertama: Istri diwajibkan melakukan hal itu karena ia berkewajiban menjalankan tugas mengasuh anak.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا لَا تُجْبَرُ عَلَى ذَلِكَ، وَيُقَالُ لَهَا: إِنْ دَفَعْتِ إِلَى الزَّوْجِ نِصْفَ قِيمَةِ الْأُمِّ أُقِرَّ الْوَلَدُ وَالْأُمُّ عَلَى مِلْكِكِ. وَإِنِ امْتَنَعْتِ: لَمْ تُجْبَرِي وَبِيعَا جَمِيعًا عَلَيْكِ، وَدُفِعَ إِلَى الزَّوْجِ مِنَ الثَّمَنِ النِّصْفُ فَمَا قَابَلَ ثَمَنَ الْأُمِّ، وَكَانَ الْبَاقِي لَكِ، فَهَذَا إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْحَمْلَ تَبَعٌ لَا يَتَمَيَّزُ بِحُكْمٍ.
Kedua: Istri tidak diwajibkan melakukan hal itu, dan dikatakan kepadanya: Jika engkau memberikan kepada suami setengah dari nilai ibu, maka anak dan ibu tetap berada dalam kepemilikanmu. Namun jika engkau menolak, maka engkau tidak dipaksa dan keduanya dijual seluruhnya kepadamu, lalu dari harga tersebut diberikan kepada suami setengahnya, yaitu sebesar nilai ibu, dan sisanya menjadi milikmu. Ini jika dikatakan bahwa janin adalah pengikut yang tidak memiliki hukum tersendiri.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: فِي الْحَمْلِ أَنَّ لَهُ حُكْمًا يَتَمَيَّزُ، فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْأُمُّ وَالْحَمْلُ صَدَاقًا، لَكِنَّ الْحَمْلَ قَدْ زَادَ بِالْوِلَادَةِ عَلَى مِلْكِ الزَّوْجَةِ، فَلَمْ يَلْزَمْهَا بَدَلُ الْوَلَدِ لِحُدُوثِ الزِّيَادَةِ فِيهِ.
Pendapat kedua: Tentang janin, bahwa ia memiliki hukum yang berbeda, maka dalam hal ini ibu dan janin menjadi mahar, namun janin telah bertambah dengan kelahiran dalam kepemilikan istri, sehingga istri tidak wajib mengganti bagian anak karena adanya tambahan pada janin tersebut.
فَإِنْ بَذَلَتْ لَهُ نِصْفَ الْوَلَدِ مَعَ نِصْفِ الْأُمِّ أُجْبِرَ عَلَى الْقَبُولِ فِي أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ، وَإِنِ امْتَنَعَتْ مِنْ بَذْلِ نِصْفِهِ، رَجَعَ بِنِصْفِ الْأُمِّ، وَفِي كَيْفِيَّةِ مَا يَرْجِعُ بِهِ مِنْ قِيمَةِ نِصْفِ الْحَمْلِ وَجْهَانِ:
Jika istri memberikan kepadanya setengah bagian anak beserta setengah bagian ibu, maka suami dipaksa untuk menerima menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat. Namun jika istri menolak memberikan setengahnya, maka suami kembali kepada setengah bagian ibu, dan dalam tata cara pengembalian nilai setengah janin terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ بِنِصْفِ مَا بَيْنَ قِيمَةِ أُمِّهِ حَامِلًا وَحَابِلًا، وَلَا يُقَوَّمُ وَقْتَ الْوِلَادَةِ، لِأَنَّهُ قَدْ زَادَ إِلَى وَقْتِ الْوِلَادَةِ زِيَادَةً لَا يَمْلِكُهَا الزَّوْجُ، فَدَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى اعْتِبَارِ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ.
Pertama: Suami kembali dengan setengah dari selisih antara nilai ibunya saat hamil dan tidak hamil, dan tidak dinilai pada waktu kelahiran, karena pada waktu kelahiran telah terjadi penambahan yang tidak dimiliki oleh suami, sehingga kebutuhan menuntut untuk mempertimbangkan selisih antara kedua nilai tersebut.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُقَوَّمُ الْوَلَدُ وَقْتَ الْوِلَادَةِ وَيَرْجِعُ الزَّوْجُ بِنِصْفِ قِيمَتِهِ لِأَنَّهُ فِي وَقْتِ كَوْنِهِ حَمْلًا لَا يُوصَلُ إِلَى مَعْرِفَةِ قِيمَتِهِ. فَدَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى اعْتِبَارِ قِيمَتِهِ بَعْدَ الْوِلَادَةِ، وَإِنْ حَدَثَتْ فِيهِ زِيَادَةٌ لَا يُمَلَّكْهَا. كَمَا يُقَوَّمُ عَلَى مَنْ تَزَوَّجَ أَمَةً عَلَى أَنَّهَا حُرَّةٌ فَأَوْلَدَهَا وَلَدًا صَارَ بِالْعُلُوقِ حُرًّا فَيُقَوَّمُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ صَارَ بِالْعُلُوقِ حُرًّا، وَعِنْدَ الْوِلَادَةِ زَائِدًا، لِتَعَذُّرِ تَقْوِيمِهِ حَالَ الْعُلُوقِ. كَذَلِكَ هَاهُنَا.
Pendapat kedua: Anak dinilai pada waktu kelahiran dan suami kembali dengan setengah dari nilainya, karena pada waktu masih berupa janin tidak mungkin diketahui nilainya. Maka kebutuhan menuntut untuk mempertimbangkan nilainya setelah kelahiran, meskipun terjadi penambahan yang tidak dapat dimilikinya. Sebagaimana dinilai pada orang yang menikahi budak perempuan dengan anggapan ia merdeka, lalu melahirkan anak yang menjadi merdeka karena hubungan tersebut, maka dinilai setelah kelahiran, meskipun anak itu telah menjadi merdeka karena hubungan tersebut dan pada waktu kelahiran telah bertambah, karena tidak mungkin menilainya pada saat hubungan terjadi. Demikian pula dalam masalah ini.
فَعَلَى هَذَا يُمْنَعُ مِنَ الْوَلَدِ إِلَى نِصْفِ قِيمَتِهِ لِأَجْلِ زِيَادَتِهِ، فَإِنْ بَذَلَتْ لَهُ نِصْفَ الْوَلَدِ فَفِي إِجْبَارِهِ عَلَى قَبُولِهِ وَجْهَانِ:
Berdasarkan hal ini, suami dicegah dari anak hingga setengah dari nilainya karena adanya tambahan tersebut. Jika istri memberikan kepadanya setengah bagian anak, maka dalam hal memaksanya untuk menerima terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُجْبَرُ عَلَى قَبُولِهِ وَيُقَرُّ الزَّوْجُ عَلَى مِلْكِهِ لِاجْتِمَاعِهِ مَعَ الْأُمِّ فِي الْمِلْكِ.
Pertama: Suami dipaksa untuk menerimanya dan ditetapkan kepemilikan suami karena berkumpulnya anak dan ibu dalam satu kepemilikan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يُجْبَرُ عَلَيْهِ وَيُطَالِبُ بِتَنْصِيفِ الْقِيمَةِ. فَإِذَا أَخَذَ نِصْفَ قِيمَةِ الْوَلَدِ فَلَهُ نِصْفُ الْأُمِّ مَا لَمْ تَزِدْ وَلَمْ تَنْقُصْ، وَلَا يَجُوزُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَ الْوَلَدِ وَبَيْنَ أُمِّهِ فِي الْمِلْكِ.
Pendapat kedua: Suami tidak dipaksa menerimanya dan berhak menuntut pembagian nilai. Jika ia telah menerima setengah dari nilai anak, maka ia berhak atas setengah bagian ibu selama tidak bertambah dan tidak berkurang, dan tidak boleh memisahkan antara anak dan ibunya dalam kepemilikan.
وَهَلْ تُجْبَرُ الزَّوْجَةُ عَلَى دَفْعِ نِصْفِ قِيمَةِ الْأُمِّ، أَوْ يُبَاعَانِ مَعًا؟ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ -.
Apakah istri diwajibkan membayar setengah dari nilai ibu, atau keduanya dijual bersama? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu – wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ أَصْدَقَهَا عَرَضًا بِعَيْنِهِ أَوْ عَبْدًا فَهَلَكَ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ فَلَهَا قِيمَتُهُ يَوْمَ وَقَعَ النِّكَاحُ فَإِنْ طَلَبَتْهُ فَمَنَعَهَا فَهُوَ غاصبٌ وَعَلَيْهِ أكثر ما كان قيمة (قال المزني) قد قال في كتاب الخلع لو أصدقها داراً فاحترقت قبل أن تقبضها كَانَ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَرْجِعَ بِمَهْرِ مِثْلِهَا أَوْ تَكُونَ لَهَا الْعَرْصَةُ بِحِصَّتِهَا مِنَ المهر وقال فيه أيضاً لو خلعها على عبدٍ بعينه فمات قبل أن تقبضه رَجَعَ عَلَيْهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا كَمَا يَرْجِعُ لَوِ اشتراه منها فمات رجع بالثمن الذي قبضت (قال المزني) هذا أشبه بأصله لأنه يجعل بدل النكاح وبدل الخلع في معنى بدل البيع المستهلك فإذا بطل البيع قبل أن يقبض وقد قبض البدل واستهلك رجع بقيمة المستهلك وكذلك النكاح والخلع إذا بطل بدلهما رجع بقيمتهما وهو مهر المثل كالبيع المستهلك “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang suami memberikan mahar kepada istrinya berupa barang tertentu atau seorang budak, lalu barang atau budak itu rusak sebelum sempat diserahkan kepadanya, maka istri berhak mendapatkan nilai barang tersebut pada hari akad nikah dilangsungkan. Jika istri menuntut barang itu namun suami menahannya, maka suami dianggap sebagai ghashib (perampas) dan ia wajib mengganti dengan nilai tertinggi dari barang tersebut yang pernah ada. (Al-Muzani berkata:) Dalam Kitab al-Khul‘, Imam Syafi‘i juga menyatakan: Jika suami memberikan mahar berupa sebuah rumah, lalu rumah itu terbakar sebelum istri menerimanya, maka istri berhak memilih antara kembali kepada mahar sepadan atau mendapatkan tanah tempat rumah itu sesuai bagian dari maharnya. Dalam kitab itu juga disebutkan: Jika seorang suami menceraikan istrinya dengan khul‘ dengan imbalan seorang budak tertentu, lalu budak itu meninggal sebelum istri menerimanya, maka suami kembali kepada istri dengan mahar sepadan, sebagaimana jika suami membeli budak itu dari istrinya lalu budak itu meninggal, maka suami berhak kembali kepada harga yang telah diterima istri. (Al-Muzani berkata:) Pendapat ini lebih sesuai dengan prinsip dasarnya, karena ia menyamakan pengganti akad nikah dan pengganti khul‘ dengan pengganti jual beli barang yang telah musnah. Jika jual beli batal sebelum barang diterima, sementara pengganti sudah diterima dan telah habis, maka pengganti barang yang musnah itu dikembalikan dengan nilainya. Demikian pula dalam akad nikah dan khul‘, jika penggantinya batal, maka dikembalikan dengan nilainya, yaitu mahar sepadan, sebagaimana jual beli barang yang musnah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا كَانَ الصَّدَاقُ مُعَيَّنًا مِنْ عُرُوضٍ أَوْ حُبُوبٍ، كَعَبْدٍ، أَوْ بَعِيرٍ، أَوْ حِنْطَةٍ أَوْ شَعِيرٍ، فَتَلِفَ فِي يَدِ الزَّوْجِ قَبْلَ قَبْضِهِ فَفِي بُطْلَانِ الصَّدَاقِ بِتَلَفِهِ، وَفِيمَا يَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ بِهِ قَوْلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Jika mahar itu ditentukan berupa barang-barang atau hasil pertanian, seperti budak, unta, gandum, atau jelai, lalu rusak di tangan suami sebelum istri menerimanya, maka dalam hal batalnya mahar karena kerusakan tersebut dan hak istri untuk menuntut ganti, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: أَنَّ الصَّدَاقَ لَا يَبْطُلُ مِنَ الْعَقْدِ بِتَلَفِهِ فِي يَدِ الزَّوْجِ وَأَنَّ لَهَا أَنْ تَرْجِعَ عَلَيْهِ بِقِيمَتِهِ.
Salah satunya, yaitu pendapat Imam Syafi‘i dalam qaul qadim dan juga pendapat Abu Hanifah: Bahwa mahar tidak batal dari akad karena rusak di tangan suami, dan istri berhak menuntut ganti dengan nilainya.
وَدَلِيلُهُ شَيْئَانِ:
Dalilnya ada dua:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ كُلَّ مَا وَجَبَ تَسْلِيمُهُ مَعَ بَقَائِهِ إِذَا هَلَكَ مَضْمُونًا مَعَ بَقَاءِ سَبَبِ اسْتِحْقَاقِهِ يُوجِبُ ضَمَانَ قِيمَتِهِ كالمغصوب والعوادي.
Pertama: Setiap sesuatu yang wajib diserahkan selama masih ada, jika rusak maka wajib diganti nilainya selama sebab hak untuk mendapatkannya masih ada, sebagaimana barang yang digasb (dirampas) dan barang titipan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الصَّدَاقُ فِي مُقَابَلَةِ الْبُضْعِ وَكَانَ مِلْكُ الزَّوْجِ عَلَى الْبُضْعِ مُسْتَقِرًّا قَبْلَ الْقَبْضِ، وَلَا يَفْسَدُ الْعَقْدُ عَلَيْهِ لَوْ تَلِفَ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِلْكُ الزَّوْجَةِ لِلصَّدَاقِ مُسْتَقِرًّا قَبْلَ الْقَبْضِ وَلَا يَفْسَدُ الْعَقْدُ عَلَيْهِ إِنْ تَلِفَ.
Kedua: Karena mahar merupakan imbalan atas hubungan suami-istri, dan hak milik suami atas hubungan itu sudah tetap sebelum mahar diterima, serta akad tidak batal jika mahar rusak, maka hak milik istri atas mahar juga sudah tetap sebelum diterima dan akad tidak batal jika mahar rusak.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ: أَنَّ الصَّدَاقَ قَدْ بَطَلَ مِنَ الْعَقْدِ بِتَلَفِهِ قَبْلَ الْقَبْضِ، وَلَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ دُونَ قِيمَتِهِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Syafi‘i dalam qaul jadid dan dipilih oleh al-Muzani: Bahwa mahar batal dari akad karena rusak sebelum diterima, dan istri berhak atas mahar sepadan, bukan nilainya.
وَدَلِيلُهُ شَيْئَانِ:
Dalilnya ada dua:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الصَّدَاقَ عِوَضٌ تَعَيَّنَ فِي عَقْدِ مُعَاوَضَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ بِتَلَفِهِ قَبْلَ الْقَبْضِ، وَيَسْتَحِقَّ الرُّجُوعَ بِالْمُعَوِّضِ دون العوض كالبيع، وهو أن يبيع الرَّجُلِ عَبْدًا بِثَوْبٍ يُسَلِّمُهُ وَيَتْلَفُ الثَّوْبُ قَبْلَ أَنْ يَتَسَلَّمَهُ فَيَكُونُ لَهُ الرُّجُوعُ بِعَبْدِهِ لَا بِقِيمَةِ الثَّوْبِ الَّذِي فِي مُقَابَلَتِهِ. كَذَلِكَ تَلَفُ الصَّدَاقِ كَانَ يَقْتَضِي تَلَفُهُ الرُّجُوعَ بِالْبُضْعِ الَّذِي فِي مُقَابَلَتِهِ، لَكِنَّهُ لَمَّا تَعَذَّرَ الرُّجُوعُ بِهِ لِلُزُومِ الْعَقْدِ مِنْهُ وَجَبَ الرُّجُوعُ بِبَدَلِهِ، وَلَيْسَ لَهُ مِثْلٌ فَوَجَبَ الرُّجُوعُ بِقِيمَتِهِ وَقِيمَتُهُ مَهْرُ الْمِثْلِ.
Pertama: Mahar adalah imbalan yang telah ditentukan dalam akad mu‘awadhah (pertukaran), maka jika rusak sebelum diterima, batal dan istri hanya berhak atas pengganti, bukan atas imbalan itu sendiri, sebagaimana dalam jual beli. Misalnya, seseorang menjual budak dengan imbalan kain yang harus diserahkan, lalu kain itu rusak sebelum diterima, maka penjual berhak kembali kepada budaknya, bukan kepada nilai kain yang menjadi imbalannya. Demikian pula jika mahar rusak, seharusnya istri kembali kepada hubungan suami-istri yang menjadi imbalannya, namun karena tidak mungkin kembali karena akad sudah mengikat, maka wajib kembali kepada penggantinya. Dan karena tidak ada pengganti yang sepadan, maka kembali kepada nilainya, dan nilainya adalah mahar sepadan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ بُطْلَانُ الصَّدَاقِ بِجَهَالَتِهِ أَوْ تَحْرِيمِهِ يُوجِبُ الرُّجُوعَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ ودون الْقِيمَةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ بُطْلَانُهُ بِالتَّلَفِ بِمَثَابَتِهِ فِي الرُّجُوعِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ دُونَ قِيمَتِهِ.
Kedua: Karena batalnya mahar karena tidak diketahui atau karena keharamannya menyebabkan istri berhak atas mahar sepadan, bukan nilainya, maka batalnya mahar karena rusak juga seharusnya menyebabkan istri berhak atas mahar sepadan, bukan nilainya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ: انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى التفريع عليهما.
Setelah penjelasan argumentasi kedua pendapat, maka pembahasan selanjutnya adalah cabang-cabang hukum yang dibangun di atas keduanya.
فإن قُلْنَا بِالْقَدِيمِ: إِنَّ الرُّجُوعَ بِالْقِيمَةِ دُونَ الْمَهْرِ: فَلَهُ حَالَانِ:
Jika kita mengambil pendapat qaul qadim, yaitu bahwa hak menuntut ganti adalah dengan nilai barang, bukan mahar sepadan, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْهُ بِغَيْرِ عُذْرٍ حَتَّى يَتْلَفَ فِي يَدِهِ فَيَكُونُ عَلَيْهِ قيمته أكثر ما كان قيمة من وقت الْمَنْعِ إِلَى وَقْتِ التَّلَفِ إِنْ لَمْ يَكُنْ قِيمَتُهُ قَبْلَ ذَلِكَ أَكْثَرَ، لِأَنَّهُ بِالْمَنْعِ قَدْ صَارَ غَاصِبًا فَوَجَبَ أَنْ يَضْمَنَهُ ضَمَانَ الْغَصْبِ.
Pertama: Suami menahan mahar tanpa alasan hingga rusak di tangannya, maka ia wajib mengganti dengan nilai tertinggi dari barang itu, terhitung sejak waktu penahanan hingga waktu kerusakan, jika sebelumnya tidak pernah mencapai nilai yang lebih tinggi. Karena dengan penahanan itu, ia telah menjadi ghashib (perampas), sehingga wajib mengganti dengan jaminan seperti barang rampasan.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَكُونَ مِنْهُ مَنْعٌ وَلَا مِنْهَا طَلَبٌ. فَفِي كَيْفِيَّةِ ضَمَانِهِ قَوْلَانِ:
Kedua: Tidak ada penahanan dari suami dan tidak ada tuntutan dari istri. Dalam hal ini, cara penjaminannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَضْمَنُهُ ضَمَانَ عَقْدٍ.
Salah satunya: Ia wajib mengganti dengan jaminan akad.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: ضَمَانُ غَصْبٍ.
Pendapat kedua: Jaminan seperti barang rampasan (ghashb).
فَإِذَا قِيلَ ضَمَانُ عَقْدٍ: فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ يَوْمَ أَصْدَقَ.
Jika dikatakan jaminan atas akad: maka wajib baginya membayar nilai barang tersebut pada hari ia menyatakannya sebagai mahar.
وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ يَوْمَ تَلِفَ.
Abu Hamid al-Isfara’ini berpendapat: wajib baginya membayar nilai barang tersebut pada hari barang itu rusak.
وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ نُقْصَانَهُ بَعْدَ الْعَقْدِ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَهُ قِيمَتُهُ وَقْتَ الْعَقْدِ.
Ini adalah kekeliruan, karena kekurangan yang terjadi setelah akad menjadi tanggungannya, sehingga wajib baginya membayar nilai barang tersebut pada waktu akad.
وَإِذَا قِيلَ: يَضْمَنُهُ ضَمَانَ الْعَيْبِ فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ إِلَى وَقْتِ التَّلَفِ فِي يَدَيْهِ.
Dan jika dikatakan: ia menanggungnya dengan jaminan cacat, maka wajib baginya membayar nilai tertinggi dari barang tersebut sejak waktu akad hingga waktu rusaknya barang itu di tangannya.
وَهَلْ يَلْزَمُهُ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ قِيمَتُهُ فِي سُوقِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Apakah ia juga wajib membayar nilai tertinggi barang tersebut di pasarnya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَضْمَنُهَا كَالْمَغْصُوبِ، فَعَلَى هَذَا يَضْمَنُ زِيَادَةَ الْبَدَنِ، وزيادة السوق.
Salah satunya: ia menanggungnya seperti barang yang digasb (dirampas), maka menurut pendapat ini ia menanggung kenaikan nilai fisik dan kenaikan harga pasar.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَضْمَنُهَا، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ بالإمساك فكانت حالة أخف من الغاصب المعتدي، فَعَلَى هَذَا يَضْمَنُ زِيَادَةَ الْبَدَنِ وَلَا يَضْمَنُ زِيَادَةَ السُّوقِ.
Pendapat kedua: ia tidak menanggungnya, karena ia tidak melampaui batas dengan menahan barang tersebut, sehingga keadaannya lebih ringan daripada perampas yang melanggar, maka menurut pendapat ini ia menanggung kenaikan nilai fisik tetapi tidak menanggung kenaikan harga pasar.
وَإِذَا قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: أَنَّ الرُّجُوعَ يَكُونُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَلِتَلَفِهِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
Dan jika kita mengikuti pendapatnya dalam qaul jadid: bahwa pengembalian (mahar) dilakukan dengan mahar yang sepadan (mahr al-mitsl), maka dalam hal rusaknya mahar terdapat empat keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بِحَادِثِ سَمَاءٍ، فَيَبْطُلُ فيه الصداق، ويستحق فِيهِ مَهْرَ الْمِثْلِ.
Pertama: rusaknya karena bencana alam, maka dalam hal ini mahar batal, dan ia berhak atas mahr al-mitsl.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَسْتَهْلِكَهُ الزَّوْجَةُ فِي يَدِ الزَّوْجِ، فَيَكُونُ ذَلِكَ قَبْضًا مِنْهَا. وَلَا مَهْرَ لَهَا. كَمَنِ اشْتَرَى سِلْعَةً وَاسْتَهْلَكَهَا فِي يَدِ بَائِعِهَا كَانَ اسْتِهْلَاكُهُ قَبْضًا.
Keadaan kedua: jika istri menghabiskannya ketika masih di tangan suami, maka itu dianggap sebagai penerimaan dari istri, dan ia tidak berhak atas mahar. Seperti seseorang yang membeli barang lalu menghabiskannya ketika masih di tangan penjual, maka penghabisan itu dianggap sebagai penerimaan.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَسْتَهْلِكَهُ أَجْنَبِيٌّ فَفِي بُطْلَانِ الصَّدَاقِ فِيهِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا فَقَتَلَهُ أَجْنَبِيٌّ فِي يَدِ بَائِعِهِ فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ قَوْلَانِ:
Keadaan ketiga: jika yang menghabiskannya adalah orang lain (pihak ketiga), maka dalam pembatalan mahar terdapat dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan dua pendapat dalam kasus seseorang membeli budak lalu budak itu dibunuh oleh orang lain ketika masih di tangan penjualnya, maka dalam pembatalan jual beli terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ.
Salah satunya: jual beli batal.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ صَحِيحٌ وَمُشْتَرِيهِ بِالْخِيَارِ:
Yang kedua: jual beli sah dan pembeli memiliki hak khiyar (memilih).
كَذَلِكَ هَاهُنَا، لِأَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَى مُتْلِفِهِ، فَيَكُونُ فِي بُطْلَانِهِ قَوْلَانِ:
Demikian pula dalam kasus ini, karena barang tersebut menjadi tanggungan pihak yang merusaknya, maka dalam pembatalannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قَدْ بَطَلَ وَلَهَا عَلَى الزَّوْجِ مَهْرُ مِثْلِهَا، وَيَرْجِعُ الزَّوْجُ عَلَى مُتْلِفِهِ بِالْقِيمَةِ.
Salah satunya: batal, dan istri berhak atas mahr al-mitsl dari suami, dan suami menuntut nilai barang tersebut dari pihak yang merusaknya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَبْطُلُ، وَتَكُونُ الزَّوْجَةُ بِحُدُوثِ النَّقْصِ بِتَلَفِهِ مُخَيَّرَةً بَيْنَ الْمُقَامِ والفسخ.
Pendapat kedua: tidak batal, dan istri karena adanya kekurangan akibat kerusakan itu berhak memilih antara tetap melanjutkan atau membatalkan akad.
فإذا أَقَامَتْ كَانَتْ لَهَا قِيمَةُ الصَّدَاقِ تَرْجِعُ بِهِ عَلَى مَنْ شَاءَتْ مِنَ الزَّوْجِ أَوِ الْمُسْتَهْلِكِ.
Jika ia tetap melanjutkan, maka ia berhak atas nilai mahar dan dapat menuntutnya dari siapa saja yang ia kehendaki, baik dari suami maupun dari pihak yang menghabiskannya.
وَإِنْ فَسَخَتْ رَجَعَتْ عَلَى الزَّوْجِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَرَجَعَ الزَّوْجُ عَلَى الْمُسْتَهْلِكِ بِالْقِيمَةِ.
Jika ia membatalkan akad, maka ia menuntut mahr al-mitsl dari suami, dan suami menuntut nilai barang tersebut dari pihak yang menghabiskannya.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَسْتَهْلِكَهُ الزَّوْجُ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اسْتِهْلَاكِهِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى حَادِثِ سَمَاءٍ، أَوْ مَجْرَى اسْتِهْلَاكِ أَجْنَبِيٍّ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Keadaan keempat: jika yang menghabiskannya adalah suami, maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah penghabisan itu disamakan dengan bencana alam atau disamakan dengan penghabisan oleh pihak ketiga, dalam dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى تَلَفِهِ بِحَادِثِ سَمَاءٍ، فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ فِيهِ الصَّدَاقُ، وَيَلْزَمُهُ مَهْرُ الْمِثْلِ.
Salah satunya: disamakan dengan kerusakan karena bencana alam, maka dalam hal ini mahar batal dan suami wajib membayar mahr al-mitsl.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى اسْتِهْلَاكِ أَجْنَبِيٍّ فَعَلَى هذا، يَبْطُلُ فِيهِ الصَّدَاقُ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ.
Pendapat kedua: disamakan dengan penghabisan oleh pihak ketiga, maka dalam hal ini, apakah mahar batal atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan.
فَصْلٌ
Fashl (Pasal)
فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اخْتَارَ قَوْلَهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّ تَلَفَ الصَّدَاقِ يوجب الرجوع بمهر المثل وهو اختيار أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا.
Adapun al-Muzani, ia memilih pendapat dalam qaul jadid bahwa rusaknya mahar mewajibkan pengembalian dengan mahr al-mitsl, dan ini juga merupakan pilihan mayoritas ulama kami.
غَيْرَ أَنَّهُ اسْتَدَلَّ مِنْ مَذْهَبِ الشافعي بما لا دليل فيه. وهو أنه حكى عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ الْخُلْعِ أَنَّهُ لَوْ أَصْدَقَهَا دَارًا فَاحْتَرَقَتْ قَبْلَ قَبْضِهَا كَانَ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَرْجِعَ بِمَهْرِ مِثْلِهَا أَوْ تَكُونَ لَهَا الْعَرْصَةُ بِحِصَّتِهَا مِنَ الْمَهْرِ.
Namun ia berdalil dari mazhab al-Syafi‘i dengan sesuatu yang tidak ada dalil di dalamnya. Yaitu bahwa ia meriwayatkan dari al-Syafi‘i dalam Kitab al-Khulu‘ bahwa jika seseorang menjadikan rumah sebagai mahar lalu rumah itu terbakar sebelum diterima, maka istri berhak memilih antara menuntut mahr al-mitsl atau mendapatkan bagian tanahnya sesuai bagian mahar.
وَهَذَا لَا دَلِيلَ فِيهِ، لِأَنَّهُ أَحَدُ قَوْلَيْهِ وَهُوَ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي تَرْجِعُ بِالْقِيمَةِ.
Ini tidak dapat dijadikan dalil, karena itu adalah salah satu dari dua pendapatnya, dan dalam pendapat kedua ia berhak menuntut nilai barang.
قَالَ الْمُزَنِيُّ: وَقَالَ فِيهِ لَوْ خَالَعَهَا عَلَى عَبْدٍ بِعَيْنِهِ فَمَاتَ قَبْلَ قَبْضِهِ رَجَعَ عَلَيْهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا كَمَا يَرْجِعُ لَوِ اشْتَرَاهُ مِنْهَا فَمَاتَ بِالثَّمَنِ الَّذِي قَبَضَتْ.
Al-Muzani berkata: Dan ia juga berkata, jika seseorang menceraikan istrinya dengan khulu‘ atas budak tertentu lalu budak itu mati sebelum diterima, maka ia menuntut mahr al-mitsl dari istri, sebagaimana jika ia membelinya dari istri lalu budak itu mati, maka ia menuntut harga yang telah diterima.
وَهَذَا أَيْضًا لَا دَلِيلَ فِيهِ، لِأَنَّهُ أَحَدُ قَوْلَيْهِ، وَيَرْجِعُ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي بِقِيمَتِهِ وَلَيْسَ تَفْرِيعُهُ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ إِبْطَالًا لِلْآخَرِ.
Ini juga tidak dapat dijadikan dalil, karena ini adalah salah satu dari dua pendapatnya, dan dalam pendapat yang kedua dikembalikan dengan nilainya. Penjabaran berdasarkan salah satu dari dua pendapat itu tidaklah membatalkan pendapat yang lain.
وَالشَّافِعِيُّ غَيَّرَ جَمِيعَ كُتُبِهِ الْقَدِيمَةِ فِي الْجَدِيدِ، وَصَنَّفَهَا ثَانِيَةً إِلَّا الصَّدَاقَ فَإِنَّهُ لَمْ يُغَيِّرْهُ فِي الْجَدِيدِ وَلَا أَعَادَ تَصْنِيفَهُ، وَإِنَّمَا ضَرَبَ عَلَى مَوَاضِعَ مِنْهُ وَزَادَ في مواضع والله أعلم.
Imam Syafi‘i telah mengubah seluruh kitab-kitab lamanya dalam karya-karya barunya, dan menulis ulang semuanya kecuali kitab tentang mahar, karena beliau tidak mengubahnya dalam karya barunya dan tidak pula menulis ulangnya. Hanya saja beliau mencoret beberapa bagian darinya dan menambah pada bagian lain. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ جَعَلَ ثَمَرَ النَّخْلِ فِي قَوَارِيرَ وَجَعَلَ عَلَيْهَا صَقْرًا مِنْ صَقْرِ نَخْلِهَا كَانَ لَهَا أَخْذُهُ وَنَزْعُهُ مِنَ الْقَوَارِيرِ فَإِذَا كَانَ إِذَا نَزَعَ فَسَدَ وَلَمْ يَبْقَ مِنْهُ شيءٌ يُنْتَفَعُ بِهِ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَأْخُذَهُ أو تأخذ منه مثله وَمِثْلَ صَقْرِهِ إِنْ كَانَ لَهُ مثلٌ أَوْ قِيمَتِهِ إِنْ لم يكن له مثلٌ ولوْ ربه برب من عنده كان لها الخيار في أن تأخذه وتنزع ما عليه من الرب أو تأخذ مثل التمر إذا كان إذا خرج من الرب لا يبقى يابساً بقاء التمر الذي لم يصبه الرب أو تغير طعمه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang meletakkan buah kurma dalam botol-botol kaca dan di atasnya diletakkan cairan sari kurma dari pohon kurmanya, maka istri berhak mengambilnya dan memisahkannya dari botol-botol itu. Jika ketika dipisahkan buah itu rusak dan tidak tersisa sesuatu yang dapat dimanfaatkan, maka istri memiliki pilihan untuk mengambilnya atau mengambil yang semisal dengannya beserta cairan sarinya jika ada yang semisal, atau nilainya jika tidak ada yang semisal. Jika cairan itu dicampur dengan cairan dari pihak lain, maka istri memiliki pilihan untuk mengambilnya dan memisahkan cairan yang berasal dari pihak lain, atau mengambil buah kurma yang semisal jika setelah dipisahkan dari cairan itu tidak tersisa dalam keadaan kering seperti kurma yang belum terkena cairan itu atau jika rasanya berubah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَصْدَقَ امْرَأَةً نَخْلًا فَأَخَذَ ثَمَرَةَ النَّخْلِ فَجَذَّهَا وَجَعَلَهَا فِي قَوَارِيرَ وَطَرَحَ عَلَيْهَا صَقْرًا.
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang laki-laki memberikan mahar kepada istrinya berupa pohon kurma, lalu ia mengambil buah kurma itu, memetiknya, meletakkannya dalam botol-botol kaca, dan menuangkan cairan sari kurma di atasnya.
وَالصَّقْرُ: وَهُوَ مَا سَالَ مِنْ دِبْسِ الرُّطَبِ مَا لَمْ تَمَسَّهُ النَّارُ.
Adapun cairan sari kurma (ṣaqr) adalah cairan yang keluar dari sari kurma basah sebelum terkena api.
وَالرُّطَبُ هُوَ: الدِّبْسُ الْمَطْبُوخُ بِالنَّارِ.
Sedangkan rutab adalah sari kurma yang dimasak dengan api.
فَلَا يَخْلُو حَالُ الثَّمَرَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
Keadaan buah tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ تَكُونَ حَادِثَةً مِنَ النَّخْلِ بَعْدَ الصَّدَاقِ، أَوْ مُتَقَدِّمَةً.
Pertama, buah itu muncul dari pohon kurma setelah mahar diberikan, atau sebelumnya.
فَإِنْ كَانَتْ حَادِثَةً بَعْدَ الصَّدَاقِ.
Jika buah itu muncul setelah mahar diberikan,
فَقَدْ مَلَكَتْهَا، لِأَنَّهَا نَمَاءُ مِلْكِهَا لِأَنَّ عَقْدَ الصَّدَاقِ تَضَمَّنَهَا فَيَكُونُ تَصَرُّفُ الزَّوْجِ فِيهَا تَصَرُّفًا فِي غَيْرِ الصَّدَاقِ مِنْ أَمْوَالِهَا.
maka istri berhak memilikinya, karena itu merupakan hasil dari miliknya. Sebab akad mahar telah mencakupnya, sehingga tindakan suami terhadapnya dianggap sebagai tindakan terhadap harta istri yang bukan bagian dari mahar.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالصَّقْرُ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika demikian, maka cairan sari kurma (ṣaqr) terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مِنْ جُمْلَةِ الثَّمَرَةِ.
Pertama: Cairan itu merupakan bagian dari buah kurma.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِلزَّوْجِ.
Kedua: Cairan itu milik suami.
فَإِنْ كَانَ الصَّقْرُ مِنْ جُمْلَةِ الثَّمَرَةِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الصَّقْرِ وَالثَّمَرَةِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ:
Jika cairan sari kurma itu merupakan bagian dari buah kurma, maka keadaan cairan dan buahnya tidak lepas dari empat kemungkinan:
إِحْدَاهُنَّ: أَنْ لَا يَنْقُصَ الصَّقْرُ وَلَا الثَّمَرَةُ بالاختلاط.
Pertama: Cairan dan buahnya tidak berkurang karena tercampur.
والحال الثانية: أن ينقصا معاً بالاختلاط.
Kedua: Keduanya berkurang bersama-sama karena tercampur.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَنْقُصَ الصَّقْرُ دُونَ الثَّمَرَةِ.
Ketiga: Cairan berkurang tanpa buahnya.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ تَنْقُصَ الثَّمَرَةُ دُونَ الصَّقْرِ.
Keempat: Buahnya berkurang tanpa cairannya.
فَإِنْ لَمْ يَنْقُصِ الصَّقْرُ بِطَرْحِهِ عَلَى الثَّمَرَةِ، وَلَا نَقَصَتِ الثَّمَرَةُ بِطَرْحِهَا فِي الصَّقْرِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الزَّوْجِ فِيهِمَا، لِأَنَّهُ وَإِنْ تَعَدَّى فَلَيْسَ لِعُدْوَانِهِ أَرْشٌ يُضْمَنُ، كَمَا لَوْ كَانَ غَاصِبًا وَلَيْسَ بِزَوْجٍ.
Jika cairan tidak berkurang karena dituangkan ke atas buah, dan buahnya juga tidak berkurang karena dimasukkan ke dalam cairan, maka tidak ada tanggungan (ganti rugi) atas suami dalam keduanya. Sebab meskipun ia melampaui batas, namun perbuatannya tidak menimbulkan kerugian yang harus diganti, sebagaimana jika ia adalah seorang perampas (ghāṣib) dan bukan suami.
فَإِنْ زَادَتْ قِيمَتُهُمَا بِالْعَمَلِ فَالزِّيَادَةُ لِلزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ وَلَا أُجْرَةَ لِلزَّوْجِ فِي عَمَلِهِ، لِأَنَّهُ تَبَرَّعَ بِهِ وَتَعَدَّى فِيهِ.
Jika nilai keduanya bertambah karena suatu pekerjaan, maka tambahan itu menjadi milik istri, bukan suami, dan suami tidak berhak atas upah dari pekerjaannya, karena ia melakukannya secara sukarela dan telah melampaui batas.
وَإِنَّ نَقَصَ الصَّقْرُ بِطَرْحِهِ عَلَى الثَّمَرَةِ، وَنَقَصَتِ الثَّمَرَةُ بِطَرْحِهَا فِي الصَّقْرِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika cairan berkurang karena dituangkan ke atas buah, dan buahnya juga berkurang karena dimasukkan ke dalam cairan, maka ada dua kemungkinan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ تَنَاهَى نَقْصُهُمَا وَاسْتَقَرَّ، فَلِلزَّوْجَةِ أَنْ تَأْخُذَهُمَا وَتَرْجِعَ عَلَى الزَّوْجِ بِأَرْشِ نُقْصَانِهِمَا، وَلَا خِيَارَ لَهَا فِي الصَّقْرِ وَالثَّمَرَةِ، لِأَنَّهُ نَقْصٌ فِي مَغْصُوبٍ قَدْ جُبِرَ بِالْأَرْشِ.
Pertama: Kekurangan keduanya telah mencapai batas maksimal dan telah tetap, maka istri berhak mengambil keduanya dan menuntut suami atas ganti rugi kekurangan tersebut, dan ia tidak memiliki pilihan lain terhadap cairan dan buahnya, karena kekurangan pada barang yang digelapkan telah diganti dengan ganti rugi (arsh).
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ نَقْصُهُمَا لَمْ يَتَنَاهَ ولم يستقر، وكلما ملا عَلَيْهِمَا وَقْتٌ بَعْدَ وَقْتٍ حَدَثَ فِيهِمَا نَقْصٌ بَعْدَ نَقْصٍ فَفِيهِ قَوْلَانِ كَالْغَاصِبِ لِلطَّعَامِ إِذَا بَلَّهُ وَكَانَ نَقْصُهُ لَا يَتَنَاهَى فَهُوَ عَلَى قَوْلَيْنِ، كَذَلِكَ هَذَا.
Kedua: Kekurangan keduanya belum mencapai batas maksimal dan belum tetap, dan setiap kali berlalu waktu terjadi kekurangan demi kekurangan, maka dalam hal ini ada dua pendapat, seperti kasus perampas makanan yang membasahinya dan kekurangannya tidak kunjung selesai, maka ada dua pendapat, demikian pula dalam masalah ini.
أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَنْصُوصِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ يَصِيرُ كَالْمُسْتَهْلَكِ فَيَكُونُ لِلزَّوْجَةِ أَنْ تُطَالِبَهُ بِمِثْلِ الثَّمَرَةِ إِنْ كَانَتْ ثمراً له مثل، وبمثل الصَّقْرِ، إِنْ كَانَ سَيَلَانًا لَمْ تَمَسَّهُ النَّارُ، وَلَا خَالَطَهُ الْمَاءُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمَا مِثْلٌ، لِأَنَّ الثَّمَرَةَ كَانَتْ رُطَبًا وَالصَّقْرَ قَدْ مسه النَّارُ، أَوْ خَالَطَهُ الْمَاءُ، فَلَهَا الرُّجُوعُ بِقِيمَةِ الصَّقْرِ وَقِيمَةِ الثَّمَرِ.
Salah satu dari dua pendapat—dan inilah yang tampak dari nash Imam asy-Syafi‘i—bahwa keduanya menjadi seperti barang yang musnah, sehingga istri berhak menuntut suaminya untuk memberikan barang sejenis dari buah tersebut jika buah itu memiliki padanan, dan barang sejenis dari cairan (syaqir) jika berupa cairan yang belum tersentuh api dan belum bercampur air. Namun, jika keduanya tidak memiliki padanan—karena buah itu dalam keadaan basah atau cairan tersebut telah tersentuh api atau bercampur air—maka istri berhak menuntut nilai (harga) dari cairan dan buah tersebut.
وَإِنْ كَانَ لِأَحَدِهِمَا مِثْلٌ وَلَيْسَ لِلْآخَرِ مِثْلٌ رَجَعَتْ بِمِثْلِ ذِي الْمِثْلِ، وَقِيمَةِ غَيْرِ ذِي الْمِثْلِ فَلَوْ رَضِيَتِ الزَّوْجَةُ بِنُقْصَانِ ثَمَرَتِهَا وَصَقْرِهَا أُقِرَّتْ عَلَيْهَا، وَلَمْ تَرْجِعْ بِبَدَلِهِمَا.
Jika salah satu dari keduanya memiliki padanan dan yang lainnya tidak, maka istri menuntut barang sejenis untuk yang ada padanannya, dan nilai (harga) untuk yang tidak ada padanannya. Jika istri rela dengan kekurangan pada buah dan cairannya, maka kerelaannya diterima dan ia tidak berhak menuntut pengganti keduanya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: – وَهُوَ تَخْرِيجُ الرَّبِيعِ وَهُوَ أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ عِنْدِي:
Pendapat kedua—yang merupakan hasil istinbat ar-Rabi‘ dan menurutku adalah pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat tersebut:
أَنَّهُمَا لَا يَصِيرَانِ مَعَ بَقَاءِ الْعَيْنِ مُسْتَهْلَكَيْنِ، وَمَا يَحْدُثُ مِنَ النُّقْصَانِ فِيمَا بَعْدُ فَمَظْنُونٌ مُجَوَّزٌ. وَرُبَّمَا أَرَادَتِ الزَّوْجَةُ أَكْلَ ذَلِكَ وَاسْتِهْلَاكَهُ قَبْلَ نُقْصَانِهِ.
Bahwa keduanya tidak dianggap musnah selama benda aslinya masih ada, dan kekurangan yang terjadi setelahnya hanyalah sesuatu yang diperkirakan dan mungkin terjadi. Bisa jadi istri menghendaki untuk memakan atau menghabiskan barang tersebut sebelum terjadi kekurangan.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ رَجَعَتْ بِأَرْشِ نَقْصِهِمَا فِي الْحَالِ، ثُمَّ كُلَّمَا حَدَثَ فِيهِمَا نَقْصٌ رَجَعَتْ بِأَرْشِهِ وَقْتًا بعد وقت.
Jika demikian, maka istri berhak menuntut kompensasi atas kekurangan keduanya pada saat itu, lalu setiap kali terjadi kekurangan lagi pada keduanya, ia berhak menuntut kompensasi atas kekurangan tersebut dari waktu ke waktu.
فإذا أَخَذَتْ مِنْهُ أَرْشَ نَقْصِهِمَا فِي الْحَالِ وَأَبْرَأَتْهُ مِنْ أَرْشِ نَقْصِهِمَا فِي ثَانِي حَالٍ فَفِي صِحَّةِ بَرَاءَتِهِ مِنْهُ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: لَا يَصِحُّ، لأنه أبرأ مِمَّا لَمْ يَجِبْ.
Jika istri telah mengambil kompensasi kekurangan keduanya pada saat itu dan telah membebaskan suaminya dari kompensasi kekurangan keduanya pada waktu berikutnya, maka dalam keabsahan pembebasan tersebut terdapat dua pendapat: Pertama, tidak sah, karena ia membebaskan sesuatu yang belum menjadi kewajiban.
وَالثَّانِي: يَصِحُّ، وَيَكُونُ الْإِبْرَاءُ كالإذن.
Kedua, sah, dan pembebasan itu dianggap seperti izin.
وهذا الْوَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا فِيمَنْ حَفَرَ بِئْرًا فِي أَرْضٍ لَا يَمْلِكُهَا فَأَبْرَأَهُ الْمَالِكُ مِنْ ضَمَانِ مَا يَقَعُ فِيهَا.
Dua pendapat ini juga merupakan perbedaan pendapat di kalangan ulama kami mengenai seseorang yang menggali sumur di tanah yang bukan miliknya, lalu pemilik tanah membebaskannya dari tanggungan atas apa yang mungkin terjadi di dalam sumur itu.
فَهَذَا حُكْمُ نَقْصِ الثَّمَرَةِ وَالصَّقْرِ.
Demikianlah hukum kekurangan pada buah dan cairan.
فَأَمَّا إِنْ نَقَصَ الصَّقْرُ دُونَ الثَّمَرَةِ: فَلَهَا أَخْذُ الثَّمَرَةِ، وَيُضْمَنُ نَقْصُ الصَّقْرِ عَلَى مَا مَضَى.
Adapun jika cairan berkurang sedangkan buah tidak, maka istri berhak mengambil buahnya, dan kekurangan pada cairan tetap menjadi tanggungan sebagaimana telah dijelaskan.
وَأَمَّا إِنْ نَقَصَتِ الثَّمَرَةُ دُونَ الصَّقْرِ، فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِي الصَّقْرِ، وَيَضْمَنُ نَقْصَ الثَّمَرَةِ عَلَى مَا مَضَى.
Adapun jika buah yang berkurang sedangkan cairan tidak, maka tidak ada tanggungan atas cairan, dan kekurangan pada buah tetap menjadi tanggungan sebagaimana telah dijelaskan.
فَصْلٌ
Fashal (Bagian)
وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الصَّقْرُ لِلزَّوْجِ فَيَطْرَحُهُ عَلَى ثَمَرَةِ الزَّوْجَةِ فَلَا اعْتِبَارَ بِنَقْصِ الصَّقْرِ، لِأَنَّهُ مَالُهُ، وَبِفِعْلِهِ نَقَصَ.
Adapun jenis kedua, yaitu jika cairan milik suami lalu ia menuangkannya ke atas buah milik istri, maka tidak ada pertimbangan terhadap kekurangan pada cairan, karena itu adalah miliknya dan kekurangan itu terjadi atas perbuatannya sendiri.
فَأَمَّا الثَّمَرَةُ فَلَهَا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
Adapun buah, maka terdapat empat keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ تَرْكُهَا فِي الصَّقْرِ غَيْرَ مُضِرٍّ، وَإِخْرَاجُهَا مِنْهُ غَيْرَ مُضِرٍّ: فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِي الثَّمَرَةِ، وَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ صَقْرِهِ مِنْهَا، وَمَؤُونَةُ إِخْرَاجِهِ عَلَيْهِ دُونَهَا.
Pertama: Jika membiarkan buah tersebut dalam cairan tidak membahayakan, dan mengeluarkannya dari cairan juga tidak membahayakan, maka tidak ada tanggungan atas suami terhadap buah, namun ia wajib mengeluarkan cairannya dari buah tersebut, dan biaya pengeluarannya ditanggung oleh suami, bukan oleh istri.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ تَرْكُهَا فِيهِ مُضِرًّا وَإِخْرَاجُهَا مِنْهُ مُضِرًّا فَهُوَ ضَامِنٌ، وَيُعْتَبَرُ حَالُ النُّقْصَانِ: فَإِنْ كَانَ قَدْ تَنَاهَى وَاسْتَقَرَّ، رَدَّ الثَّمَرَةَ وَضَمِنَ أَرْشَ النَّقْصِ وَإِنْ لَمْ يَتَنَاهَ، وَلَمْ يَسْتَقِرَّ، فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ:
Kedua: Jika membiarkan buah dalam cairan membahayakan dan mengeluarkannya juga membahayakan, maka suami bertanggung jawab, dan yang menjadi pertimbangan adalah keadaan kekurangannya: jika kekurangan itu sudah maksimal dan menetap, maka buah dikembalikan dan suami menanggung kompensasi atas kekurangannya. Jika belum maksimal dan belum menetap, maka kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan:
أَحَدُهُمَا: يَصِيرُ كَالْمُسْتَهْلَكِ فَيَضْمَنُهَا بِالْمِثْلِ إِنْ كَانَ لَهَا مِثْلٌ، وَبِالْقِيمَةِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا مِثْلٌ.
Pertama: Buah dianggap seperti barang yang musnah, sehingga suami menanggungnya dengan barang sejenis jika ada padanannya, dan dengan nilai (harga) jika tidak ada padanannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَضْمَنُ أَرْشَ كُلِّ نَقْصٍ يَحْدُثُ فِي وَقْتٍ بَعْدَ وَقْتٍ.
Pendapat kedua: Suami menanggung kompensasi atas setiap kekurangan yang terjadi dari waktu ke waktu.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ تَرْكُهَا فِيهِ مُضِرًّا وَإِخْرَاجُهَا مِنْهُ غَيْرَ مُضِرٍّ، فَيُؤْخَذُ جَبْرًا بِإِخْرَاجِهَا مِنْهُ وَلَا أَرْشَ عَلَيْهِ.
Ketiga: Jika membiarkan buah dalam cairan membahayakan, namun mengeluarkannya tidak membahayakan, maka suami dipaksa untuk mengeluarkan buah tersebut dan tidak ada kompensasi atasnya.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ تَرْكُهَا فِيهِ غَيْرَ مُضِرٍّ، وَإِخْرَاجُهَا مِنْهُ مُضِرًّا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Keempat: Jika membiarkan buah dalam cairan tidak membahayakan, namun mengeluarkannya membahayakan, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الثَّمَرَةُ إِذَا أُخْرِجَتْ مِنَ الصَّقْرِ صَلُحَتْ لِمَا لَا تَصْلُحُ لَهُ الثَّمَرَةُ إِذَا كَانَتْ فِي الصَّقْرِ. فَأَيُّهُمَا دَعَا إِلَى إِخْرَاجِهَا مِنْهُ أُجِيبَ، فَإِنْ أَرَادَ الزَّوْجُ أَخْذَ صَقْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ نَقْصُ الثَّمَرَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنِ اعْتِبَارِ حَالِ النُّقْصَانِ فِي التَّنَاهِي، وَإِنْ أَرَادَتِ الزَّوْجَةُ إِخْرَاجَ ثَمَرَتِهَا مِنَ الصَّقْرِ أُخِذَ الزَّوْجُ بِإِخْرَاجِهَا وَضَمِنَ نُقْصَانَهَا عَلَى مَا مَضَى.
Pertama: Jika buah ketika dikeluarkan dari tempat penyimpanan (ṣaqar) menjadi layak untuk sesuatu yang tidak layak baginya ketika masih di dalam ṣaqar. Maka siapa pun dari keduanya yang meminta agar buah itu dikeluarkan dari ṣaqar, permintaannya dipenuhi. Jika suami ingin mengambil ṣaqar-nya, maka ia wajib menanggung kekurangan buah sebagaimana telah dijelaskan, yaitu dengan mempertimbangkan keadaan kekurangan pada saat maksimalnya. Dan jika istri ingin mengeluarkan buahnya dari ṣaqar, maka suami diwajibkan mengeluarkannya dan menanggung kekurangannya sebagaimana telah lalu.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الثَّمَرَةُ فِي الصَّقْرِ تَصْلُحُ لِمَا لَا تَصْلُحُ لَهُ الثَّمَرَةُ إِذَا كَانَتْ خَارِجَةً مِنَ الصَّقْرِ.
Jenis kedua: Jika buah di dalam ṣaqar layak untuk sesuatu yang tidak layak baginya ketika sudah dikeluarkan dari ṣaqar.
فَإِنْ أَرَادَ الزَّوْجُ صَقْرَهُ، لَمْ يُجْبَرْ عَلَى تَرْكِهِ وَعَلَيْهِ إِخْرَاجُهُ وَعَلَيْهِ نَقْصُ الثَّمَرَةِ عَلَى مَا مَضَى وَإِنْ تَرَكَ صَقْرَهُ عَلَيْهَا فَفِي إِجْبَارِ الزَّوْجَةِ عَلَى قَبُولِهِ وَجْهَانِ:
Jika suami menginginkan ṣaqar-nya, ia tidak dipaksa untuk meninggalkannya, tetapi ia wajib mengeluarkannya dan menanggung kekurangan buah sebagaimana telah lalu. Namun jika ia membiarkan ṣaqar-nya pada istri, maka dalam hal memaksa istri untuk menerimanya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا تُجْبَرُ عَلَى الْقَبُولِ، لِأَنَّهَا هِبَةٌ غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ، وَلَهَا أَنْ تَأْخُذَ الزَّوْجَ بِإِخْرَاجِ الثَّمَرَةِ وَضَمَانِ نَقْصِهَا.
Pertama: Istri tidak dipaksa untuk menerima, karena itu merupakan hibah yang tidak terpisahkan, dan ia berhak meminta suami untuk mengeluarkan buah dan menanggung kekurangannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُجْبَرُ عَلَى الْقَبُولِ؛ لِأَنَّهُ جُبْرَانُ نَقْصٍ وَدَفْعُ ضَرَرٍ، وَلَيْسَ بِهِبَةٍ مَحْضَةٍ فَهَذَا أَحَدُ شَطْرَيِ الْمَسْأَلَةِ.
Pendapat kedua: Istri dipaksa untuk menerima, karena itu merupakan kompensasi atas kekurangan dan pencegahan kerugian, dan bukan hibah murni. Inilah salah satu dari dua sisi permasalahan.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الشَّطْرُ الثَّانِي مِنَ الْمَسْأَلَةِ: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الثَّمَرَةُ مَوْجُودَةً عَلَى رؤوس نخلها وَقْتَ الصَّدَاقِ، وَيَجْعَلُهُمَا جَمِيعًا صَدَاقًا ثُمَّ يَجِذُّ الثَّمَرَةَ وَيَجْعَلُهَا فِي الصَّقْرِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا. فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ أَيْضًا:
Adapun sisi kedua dari permasalahan: yaitu jika buah sudah ada di atas pohon kurmanya saat akad mahar, lalu keduanya dijadikan sebagai mahar, kemudian buah itu dipetik dan diletakkan dalam ṣaqar sebagaimana telah dijelaskan. Maka ini juga terbagi menjadi dua jenis:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الصَّقْرُ مِنَ الثَّمَرَةِ.
Pertama: Ṣaqar berasal dari buah tersebut.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ لِلزَّوْجِ.
Kedua: Ṣaqar milik suami.
فَإِنْ كَانَ مِنَ الثَّمَرَةِ نُظِرَ، فَإِنْ لَمْ يَنْقُصِ الصَّقْرُ وَلَا الثَّمَرَةُ، فَلَا غُرْمَ عَلَى الزَّوْجِ، وَلَا خِيَارَ لِلزَّوْجَةِ، وَإِنْ نَقَصَا أَوْ أَحَدُهُمَا: تَرَتَّبَ الْحُكْمُ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي تَلَفِ الصَّدَاقِ هَلْ يُوجِبُ غُرْمَ الْقِيمَةِ أَوْ مَهْرَ الْمِثْلِ؟ .
Jika ṣaqar berasal dari buah, maka dilihat: jika ṣaqar dan buah tidak berkurang, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atas suami dan istri tidak memiliki hak memilih. Namun jika keduanya atau salah satunya berkurang, maka hukum mengikuti perbedaan dua pendapat dalam hal kerusakan mahar: apakah mewajibkan ganti rugi nilai atau mahar yang sepadan?
فَإِنْ قِيلَ بِالْقَدِيمِ: إِنَّهُ مُوجِبٌ لِلْقِيمَةِ فَلَا خِيَارَ لِلزَّوْجَةِ لِأَنَّهُ نَقْصٌ مَضْمُونٌ بِجِنَايَةٍ، وَإِنَّمَا يَجِبُ الْخِيَارُ لَهَا فِيمَا لَا يُضْمَنُ بِالْجِنَايَةِ لِيَكُونَ مَضْمُونًا بِالْفَسْخِ فَتَأْخُذُ الصَّقْرَ وَالثَّمَرَةَ وَتَرْجِعُ بِأَرْشِ نَقْصِهَا إِنْ تَنَاهَى، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ تَنَاهَى فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ.
Jika mengikuti pendapat lama (al-qadīm): bahwa hal itu mewajibkan ganti rugi nilai, maka istri tidak memiliki hak memilih, karena kekurangan tersebut dijamin akibat perbuatan (jināyah), dan hak memilih hanya diberikan pada hal yang tidak dijamin dengan jināyah, agar dijamin dengan pembatalan akad, sehingga ia mengambil ṣaqar dan buah, lalu menuntut ganti rugi kekurangannya jika telah mencapai batas maksimal, dan jika belum, maka mengikuti dua pendapat yang telah lalu.
وَإِنْ قِيلَ بِالْجَدِيدِ: إِنَّ تَلَفَ الصَّدَاقِ مُوجِبٌ لِمَهْرِ الْمِثْلِ، فَهِيَ بِالنَّقْصِ الْحَادِثِ فِي الثَّمَرَةِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْمُقَامِ وَالْفَسْخِ.
Jika mengikuti pendapat baru (al-jadīd): bahwa kerusakan mahar mewajibkan mahar yang sepadan, maka dalam hal kekurangan yang terjadi pada buah, istri memiliki hak memilih antara tetap menerima atau membatalkan akad.
وَهَلْ يَكُونُ لَهَا الْخِيَارُ بِالنَّقْصِ الْحَادِثِ فِي الصَّقْرِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Apakah istri juga memiliki hak memilih karena kekurangan yang terjadi pada ṣaqar atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهَا فِيهِ الْخِيَارُ أَيْضًا، لِأَنَّهُ نَقْصٌ فِيمَا هُوَ مِنْ جُمْلَةِ الصَّدَاقِ.
Pertama: Istri juga memiliki hak memilih, karena itu merupakan kekurangan pada bagian dari mahar.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهَا، لِأَنَّهُ وَقْتَ الصَّدَاقِ لَمْ يَكُنْ صَقْرًا فَيَنْفَسِخُ بِنُقْصَانِهِ، وَإِنَّمَا كَانَتْ ثَمَرَةً صَارَتْ صَقْرًا زَائِدًا، فإن نَقَصَتِ الزِّيَادَةَ الَّتِي لَمْ يَتَضَمَّنْهَا الصَّدَاقُ لَمْ يَثْبُتْ لَهَا خِيَارٌ فِي الصَّدَاقِ اعْتِبَارًا بِنُقْصَانِ الولد الحادث، فإذا ثَبَتَ لَهَا الْخِيَارُ بِمَا ذَكَرْنَا فَهِيَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ:
Pendapat kedua: Istri tidak memiliki hak memilih, karena pada saat akad mahar ṣaqar belum ada, sehingga tidak batal karena kekurangannya. Ṣaqar itu hanyalah tambahan dari buah, maka jika kekurangan terjadi pada tambahan yang tidak termasuk dalam mahar, tidak ada hak memilih dalam mahar, sebagaimana kekurangan pada anak yang baru lahir. Jika istri memiliki hak memilih sebagaimana telah dijelaskan, maka ia memiliki dua pilihan:
إِمَّا أَنْ تُقِيمَ عَلَى الْكُلِّ، وَإِمَّا أَنْ تَفْسَخَ فِي الْكُلِّ.
Yaitu tetap menerima semuanya, atau membatalkan semuanya.
– فَإِنْ أَقَامَتْ عَلَى الْكُلِّ أَخَذَتِ النَّخْلَ وَالثَّمَرَةَ وَالصَّقْرَ وَلَا أَرْشَ لَهَا سَوَاءٌ كَانَ النَّقْصُ مُتَنَاهِيًا أَمْ لا.
– Jika ia tetap menerima semuanya, maka ia mengambil pohon kurma, buah, dan ṣaqar, dan tidak ada ganti rugi baginya, baik kekurangan itu telah maksimal maupun belum.
– وإن فسخت في الْكُلِّ رَدَّتِ النَّخْلَ وَالثَّمَرَةَ وَالصَّقْرَ، وَرَجَعَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ زَائِدًا كَانَ أَوْ نَاقِصًا.
– Jika ia membatalkan semuanya, maka ia mengembalikan pohon kurma, buah, dan ṣaqar, lalu ia menuntut mahar yang sepadan, baik lebih maupun kurang.
– فَأَمَّا إِنْ أَرَادَتِ الْفَسْخَ فِي الثَّمَرَةِ وَالصَّقْرِ لِنَقْصِهِمَا وَالْمُقَامَ عَلَى النَّخِيلِ.
– Adapun jika ia ingin membatalkan pada buah dan ṣaqar karena kekurangannya, dan tetap menerima pohon kurma.
فَإِنْ رَاضَاهَا الزَّوْجُ عَلَى ذَلِكَ جَازَ، وَإِنْ أَبَى فَفِيهِ قَوْلَانِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ:
Jika suami merelakannya atas hal itu, maka boleh. Namun jika suami menolak, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat terkait pemisahan akad:
أَحَدُهُمَا: لَيْسَ لَهَا ذَلِكَ إِذَا قِيلَ إِنَّ تَفْرِيقَ الصَّفْقَةِ لَا يَجُوزُ، وَيُقَالُ لَهَا: إِمَّا أَنْ تُقِيمِي عَلَى الْكُلِّ أَوْ تَفْسَخِي فِي الْكُلِّ.
Salah satunya: Ia (istri) tidak berhak melakukan hal itu jika dikatakan bahwa pemisahan akad tidak diperbolehkan, dan dikatakan kepadanya: “Silakan engkau tetap atas seluruhnya atau membatalkan seluruhnya.”
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: يَجُوزُ لَهَا ذَلِكَ إِذَا قِيلَ إِنَّ تَفْرِيقَ الصَّفْقَةِ يَجُوزُ فَتُقِيمُ عَلَى النَّخِيلِ بِحِسَابِهِ مِنَ الصَّدَاقِ وَقِسْطِهِ، وَتَرْجِعُ بِقِسْطِ مَا بَقِيَ فِي مُقَابَلَةِ الثَّمَرَةِ مِنْ مهر المثل.
Pendapat kedua: Ia boleh melakukan hal itu jika dikatakan bahwa pemisahan akad diperbolehkan, maka ia tetap atas pohon kurma dengan perhitungan bagian pohon kurma dari mahar dan bagiannya, dan ia berhak kembali (menuntut) bagian yang tersisa sebagai ganti buah kurma dengan mahar mitsil.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي
Fasal: Adapun jenis kedua
: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الصَّقْرُ لِلزَّوْجِ فَإِنْ لَمْ تَنْقُصِ الثَّمَرَةُ بِتَرْكِهَا فِيهِ وَلَا بِإِخْرَاجِهَا مِنْهُ فَلَا خِيَارَ لَهَا وَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ.
Yaitu jika pohon kurma itu milik suami. Jika buahnya tidak berkurang baik karena dibiarkan di situ maupun karena dikeluarkan darinya, maka tidak ada hak khiyar (pilihan) bagi istri dan tidak ada ganti rugi atas suami.
فَإِنْ نَقَصَتْ كَانَ عَلَى الْقَدِيمِ ضَامِنًا لِأَرْشِ نَقْصِهَا، وَلَا خِيَارَ لَهَا. وَعَلَى الْجَدِيدِ لَا أَرْشَ لَهَا، وَتَكُونُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْفَسْخِ فِي جَمِيعِ الصَّدَاقِ وَالرُّجُوعِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، أَوِ الْمُقَامِ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ أَرْشٍ.
Jika buahnya berkurang, maka menurut pendapat lama, suami wajib menanggung ganti rugi atas kekurangan buah tersebut, dan istri tidak memiliki hak khiyar. Sedangkan menurut pendapat baru, istri tidak berhak atas ganti rugi, namun ia berhak memilih antara membatalkan seluruh mahar dan kembali kepada mahar mitsil, atau tetap atasnya tanpa ganti rugi.
فَإِنْ أَرَادَتِ الْفَسْخَ فِي الثَّمَرَةِ لِنَقْصِهَا وَالْمُقَامَ عَلَى النَّخْلِ فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.
Jika ia ingin membatalkan (akad) pada buah kurma karena kekurangannya dan tetap atas pohon kurma, maka kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan terkait pemisahan akad.
فَإِنْ طَالَبَتْ بِمِثْلِ الثَّمَرَةِ النَّاقِصَةِ لَمْ يَكُنْ لَهَا ذَلِكَ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ تَلَفَ الصَّدَاقِ مُوجِبٌ لِقِيمَتِهِ، أَوْ قِيلَ إِنَّهُ مُوجِبٌ لِمَهْرِ الْمِثْلِ، لِأَنَّهُ إِنْ قِيلَ بِوُجُوبِ مَهْرِ الْمِثْلِ فَلَا وَجْهَ لِلْمِثْلِ وَلَا لِلْقِيمَةِ وَإِنْ قِيلَ بِوُجُوبِ الْقِيمَةِ أَوْ مِثْلِ ذِي الْمِثْلِ فَذَاكَ إِنَّمَا يَكُونُ مَعَ التَّلَفِ كَالْمُسْتَهْلَكِ بِالْغَصْبِ.
Jika ia menuntut buah kurma yang serupa dengan buah yang berkurang, maka ia tidak berhak atas hal itu, baik dikatakan bahwa kerusakan mahar mewajibkan penggantian nilainya, maupun dikatakan bahwa hal itu mewajibkan mahar mitsil. Karena jika dikatakan wajib mahar mitsil, maka tidak ada alasan untuk menuntut yang serupa maupun nilainya. Dan jika dikatakan wajib nilai atau yang serupa bagi yang ada padanannya, maka itu hanya berlaku jika terjadi kerusakan total, seperti barang yang habis karena digasak.
فَأَمَّا فِي نُقْصَانِهِ مَعَ بَقَائِهِ فَلَا حَقَّ فِي الرُّجُوعِ بِمِثْلِهِ كَالْمَغْصُوبِ إِذَا نَقَصَ فِي يَدِ غَاصِبِهِ.
Adapun jika hanya berkurang namun masih ada, maka tidak ada hak untuk menuntut yang serupa, seperti barang yang digasak jika berkurang di tangan pelaku ghasab.
فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ نَقَلَ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي سَوَادِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَأْخُذَهُ أَوْ تَأْخُذَ مِثْلَهُ أَوْ مِثْلَ صَقْرِهِ.
Jika dikatakan: Al-Muzani telah meriwayatkan dari Asy-Syafi‘i dalam inti masalah ini bahwa istri memiliki pilihan untuk mengambilnya, atau mengambil yang serupa, atau yang serupa dengan pohonnya.
قِيلَ: قَدْ كَانَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ يَنْسُبُ الْمُزَنِيَّ إِلَى السَّهْوِ فِي نَقْلِهِ. وَأَنَّهُ خَطَأٌ مِنْهُ فِي الْحُكْمِ، لِأَنَّ أُصُولَ الشَّافِعِيِّ تَدْفَعُهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا.
Dijawab: Abu Hamid al-Isfara’ini menisbatkan Al-Muzani kepada kekeliruan dalam riwayatnya, dan bahwa itu adalah kesalahan dalam hukum, karena prinsip-prinsip Asy-Syafi‘i menolaknya sebagaimana telah kami sebutkan.
وَالَّذِي أَرَاهُ: أَنَّ نَقْلَ الْمُزَنِيِّ صَحِيحٌ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْهُ سَهْوٌ فِيهِ، وَلَكِنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى النَّقْصِ الَّذِي لَا يَتَنَاهَى عَلَى أَحَدِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ إِذَا كَانَ فِي الثَّمَرَةِ الْحَادِثَةِ بَعْدَ الْعَقْدِ أَوْ فِي الْمُتَقَدِّمَةِ، إِذَا قِيلَ بِالْقَدِيمِ إِنَّ تَلَفَهُ مُوجَبٌ بِمِثْلِ ذِي الْمِثْلِ، وَقِيمَةِ غَيْرِ ذِي الْمِثْلِ فَيَكُونُ عَدَمُ التَّنَاهِي فِي نُقْصَانِهِ مُوجِبًا لِلرُّجُوعِ بِمِثْلِهِ فِي أَحَدِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّهُ يَجْعَلُهُ بَعْدَ تَنَاهِي نقصانه كالمستهلك. والله أعلم.
Menurut pendapatku: Riwayat Al-Muzani itu benar, dan tidak ada kekeliruan darinya dalam hal ini, namun itu dimaksudkan untuk kekurangan yang tidak terbatas menurut salah satu dari dua pendapat Asy-Syafi‘i, jika terjadi pada buah yang muncul setelah akad atau pada buah yang sudah ada sebelumnya, jika menurut pendapat lama bahwa kerusakannya mewajibkan penggantian dengan yang serupa bagi yang ada padanannya, dan nilai bagi yang tidak ada padanannya. Maka, jika kekurangannya tidak terbatas, itu mewajibkan penggantian dengan yang serupa menurut salah satu pendapat Asy-Syafi‘i, karena setelah kekurangannya mencapai batas maksimal, ia dianggap seperti barang yang habis. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَكُلُّ مَا أُصِيبَ فِي يَدَيْهِ بِفِعْلِهِ أَوْ غَيْرِهِ فَهُوَ كَالْغَاصِبِ فِيهِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ أَمَةً فَيَطَأَهَا فَتَلِدُ مِنْهُ قَبْلَ الدُّخُولِ وَيَقُولُ كُنْتُ أَرَاهَا لَا تُمْلَكُ إِلَّا نِصْفَهَا حَتَّى أَدْخُلَ فَيُقَوَّمُ الْوَلَدُ عَلَيْهِ يَوْمَ سَقَطَ وَيُلْحَقُ بِهِ وَلَهَا مَهْرُهَا وَإِنْ شَاءَتْ أَنْ تَسْتَرِقَّهَا فَهِيَ لَهَا وَإِنْ شَاءَتْ أَخَذَتْ قِيمَتَهَا مِنْهُ أَكْثَرَ مَا كَانَتْ قيمةٌ وَلَا تَكُونُ أُمَّ ولد له وإنما جعلت لها الخيار لأن الولادة تغيرها عن حالها يوم أصدقها (قال المزني) وقد قال ولو أصدقها عبداً فأصابت به عيباً فردته أن لها مهر مثلها وهذا بقوله أولى (قال المزني) وإذا لم يختلف قوله أن لها الرد في البيع فلا يجوز أخذ قيمة ما ردت في البيع وإنما ترجع إلى ما دفعت فإن كان فائناً فقيمته وكذلك البضع عنده كالمبيع الفائت ومما يؤكد ذلك أيضاً قوله في الخلع لو خلعها بعبدٍ أصاب به عيباً أنه يرده ويرجع بمهر مثلها فسوى في ذلك بينه وبينها وهذا بقوله أولى “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Segala sesuatu yang rusak di tangannya, baik karena perbuatannya sendiri atau orang lain, maka ia seperti pelaku ghasab dalam hal itu, kecuali jika yang diberikan adalah seorang budak perempuan lalu ia digauli hingga melahirkan anak darinya sebelum terjadi hubungan suami istri, dan ia berkata: ‘Aku mengira ia hanya dimiliki separuhnya hingga aku menggaulinya.’ Maka anak itu dinilai pada hari kelahirannya dan dinisbatkan kepadanya, dan istri berhak atas maharnya. Jika ia ingin memperbudak anak itu, maka anak itu menjadi miliknya, dan jika ia ingin mengambil nilainya dari suami, maka ia berhak atas nilai tertinggi yang pernah dicapai. Anak itu tidak menjadi ummu walad bagi suami. Pilihan diberikan kepada istri karena kelahiran anak mengubah kondisinya dari saat ia dijadikan mahar.” (Al-Muzani berkata:) “Ia juga berkata, jika suami memberikan budak laki-laki sebagai mahar lalu istri menemukan cacat padanya dan mengembalikannya, maka istri berhak atas mahar mitsil. Ini lebih utama menurut pendapatnya.” (Al-Muzani berkata:) “Jika tidak ada perbedaan pendapat bahwa istri berhak mengembalikan dalam jual beli, maka tidak boleh mengambil nilai barang yang dikembalikan dalam jual beli, melainkan kembali kepada apa yang telah diberikan. Jika barang itu telah hilang, maka nilainya yang diganti. Demikian pula kemaluan menurutnya seperti barang jualan yang telah hilang. Hal ini juga dikuatkan oleh pendapatnya dalam khulu‘, jika suami menebus dengan budak lalu ditemukan cacat, maka budak itu dikembalikan dan istri berhak atas mahar mitsil. Ia menyamakan antara suami dan istri dalam hal ini, dan ini lebih utama menurut pendapatnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الصَّدَاقُ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَى الزَّوْجِ. فَإِنْ طَلَبَتْهُ فَمَنَعَهَا فَضَمَانُهُ عَلَيْهِ ضَمَانَ غَصْبٍ أَكْثَرَ مَا كَانَ قِيمَةً. وَإِنْ لَمْ تَطْلُبْهُ فَفِي كَيْفِيَّةِ ضَمَانِهِ قَوْلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Adapun mahar, sebagaimana telah kami sebutkan, merupakan tanggungan atas suami. Jika istri menuntutnya namun suami menolak memberikannya, maka tanggungannya atas suami seperti tanggungan ghashab (perampasan), yaitu sebesar nilai tertinggi. Namun jika istri tidak menuntutnya, maka dalam tata cara penjaminannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: ضَمَانُ عَقْدٍ.
Salah satunya: Penjaminan karena akad.
وَالثَّانِي: ضَمَانُ غَصْبٍ.
Yang kedua: Penjaminan seperti ghashab (perampasan).
وَأَمَّا النَّمَاءُ فَإِنْ مَنَعَهَا مِنْهُ فَهُوَ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَمْنَعْهَا مِنْهُ فَفِي ضَمَانِهِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمُتْلِفَ لَهُ فَيَلْزَمُهُ ضَمَانُهُ قَوْلًا وَاحِدًا.
Adapun hasil (keuntungan/pertumbuhan) dari mahar, jika suami mencegah istri darinya maka ia menjadi tanggungan atas suami. Jika suami tidak mencegahnya, maka dalam penjaminannya atas suami terdapat dua pendapat, kecuali jika suami sendiri yang merusaknya, maka wajib baginya menanggungnya menurut satu pendapat.
فَأَمَّا إِذَا أَصْدَقَهَا أَمَةً وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتَّى وَطِئَ الْأَمَةَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun jika suami memberikan mahar berupa seorang budak perempuan, dan belum berhubungan dengan istrinya hingga ia menyetubuhi budak tersebut, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِالتَّحْرِيمِ. فَالْحَدُّ عَلَيْهِ وَاجِبٌ، فَإِنْ أَكْرَهَهَا فَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا، وَإِنْ طَاوَعَتْهُ فَفِي وُجُوبِ الْمَهْرِ قَوْلَانِ:
Pertama: Suami mengetahui keharamannya. Maka had wajib dijatuhkan atasnya. Jika ia memaksa budak tersebut, maka ia wajib membayar mahar seperti budak itu. Jika budak tersebut rela, maka dalam kewajiban mahar terdapat dua pendapat:
أَصَحُّهُمَا: أَنَّهُ لَا مَهْرَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بِالْمُطَاوَعَةِ بَغِيا، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ مَهْرِ الْبَغِيِّ.
Pendapat yang lebih shahih: Tidak ada mahar atasnya, karena dengan kerelaan itu ia telah menjadi pezina, dan Rasulullah SAW telah melarang mahar bagi pezina.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ اخْتِيَارُ ابْنِ سُرَيْجٍ: أَنَّ الْمَهْرَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ ملك لسيدها فلا يسقط ببذلهما لَهَا وَمُطَاوَعَتِهَا كَمَا لَوْ بَذَلَتْ قَطْعَ يَدِهَا لَمْ يَسْقُطْ غُرْمُ دِيَتِهَا. فَإِنْ أَوْلَدَهَا فَالْوَلَدُ مملوك لا يلحق به، لأنه ولد زنى.
Pendapat kedua, yang merupakan pilihan Ibnu Surayj: Mahar tetap wajib atasnya, karena mahar itu milik tuannya, sehingga tidak gugur hanya karena diberikan kepada budak dan kerelaannya, sebagaimana jika budak itu rela tangannya dipotong, maka ganti rugi diyatnya tidak gugur. Jika budak itu melahirkan anak, maka anak tersebut menjadi budak dan tidak dinasabkan kepadanya, karena ia adalah anak zina.
فَإِنْ نَقَصَتْهَا الْوِلَادَةُ وَالْأَمَةُ فِي يَدِهِ فَنَقْصُهَا مَضْمُونٌ عَلَيْهِ، وَفِي ضَمَانِهِ قَوْلَانِ:
Jika kelahiran itu menyebabkan cacat pada budak, sementara budak masih di tangan suami, maka cacat tersebut menjadi tanggungan atas suami, dan dalam penjaminannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ بِأَرْشِهِ وَلَيْسَ لَهُ الْفَسْخُ مَعَ بَقَاءِ الْعَيْنِ، وَهَذَا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّ تَلَفَ الصَّدَاقِ مُوجِبٌ لِقِيمَتِهِ.
Salah satunya: Ia wajib menanggungnya dengan membayar ganti rugi (arsh), dan tidak berhak membatalkan akad selama budak masih ada, dan ini sesuai dengan pendapat lama (qaul qadim) Imam Syafi’i: bahwa kerusakan mahar mewajibkan penggantian nilainya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ بِخِيَارِهَا فِي الْمُقَامِ أَوِ الْفَسْخِ.
Pendapat kedua: Ia wajib menanggungnya dengan memberikan pilihan kepada istri, apakah tetap melanjutkan atau membatalkan akad.
فَإِنْ أَقَامَتْ أَخَذَتْهَا نَاقِصَةً وَلَا أَرْشَ لَهَا.
Jika istri tetap melanjutkan, maka ia mengambil budak tersebut dalam keadaan cacat dan tidak berhak atas ganti rugi.
وَإِنْ فَسَخَتْ رَجَعَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ.
Jika istri membatalkan akad, maka ia berhak mendapatkan mahar yang sepadan.
وَهَذَا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ تَلَفَهُ مُوجِبٌ لِمَهْرِ الْمِثْلِ.
Ini sesuai dengan pendapat baru (qaul jadid) Imam Syafi’i bahwa kerusakan mahar mewajibkan mahar yang sepadan.
فَإِنْ مَلَكَ الْوَلَدَ لَمْ يُعْتَقْ عَلَيْهِ، لِأَنَّ نَسَبَهُ غَيْرُ لَاحِقٍ بِهِ، وَإِنْ مَلَكَ الْأُمَّ لَمْ تَصِرْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ، لِأَنَّهُ لَمْ يُلْحَقْ بِهِ وَلَدُهَا.
Jika suami memiliki anak tersebut, maka anak itu tidak menjadi merdeka karena nasabnya tidak dinasabkan kepadanya. Jika ia memiliki ibu anak tersebut, maka ia tidak menjadi umm walad baginya, karena anaknya tidak dinasabkan kepadanya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ جَاهِلًا بِالتَّحْرِيمِ لِإِسْلَامِهِ حَدِيثًا، أَوْ قُدُومِهِ مِنْ بَادِيَةٍ نَائِيَةٍ، أَوْ يَدَّعِي شُبْهَةَ أَنَّهُ مَالِكِيٌّ يَعْتَقِدُ أَنَّهَا لَمْ تَمْلِكْ بِالْعَقْدِ إِلَّا نِصْفَهَا. وَإِنَّ نِصْفَهَا بَاقٍ عَلَى مِلْكِهِ، فهذا والجهل بالتحريم سواء في كونهما شبه يدرأ بها الحد وتجب بِهَا الْمَهْرُ فِي الْمُطَاوَعَةِ وَالْإِكْرَاهِ، وَيُلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ، وَيَكُونُ حُرًّا، لِأَنَّهُ وَطِئَ فِي شُبْهَةِ مِلْكٍ وَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ يَوْمَ وَضَعَتْهُ، لِأَنَّهُ أَوَّلُ أَحْوَالِ تَقْوِيمِهِ، وَإِنْ كَانَ بِالْعُلُوقِ قَدْ صَارَ حُرًّا.
Keadaan kedua: Suami tidak mengetahui keharamannya, karena baru masuk Islam, atau baru datang dari pedalaman yang jauh, atau mengira adanya syubhat bahwa ia seorang Malikiy yang meyakini bahwa akad hanya memberikan kepemilikan setengah budak, dan setengahnya lagi masih menjadi miliknya. Maka keadaan ini dan ketidaktahuan terhadap keharaman sama saja, keduanya merupakan syubhat yang menggugurkan had dan mewajibkan mahar baik dalam keadaan rela maupun dipaksa, serta anaknya dinasabkan kepadanya dan menjadi merdeka, karena ia menyetubuhi dalam syubhat milik, dan ia wajib membayar nilai anak tersebut pada hari dilahirkan, karena itu adalah awal waktu penilaian, meskipun dengan kehamilan anak itu telah menjadi merdeka.
فَأَمَّا الْأُمُّ: فَهِيَ عَلَى مِلْكِ الزَّوْجَةِ، وَالْكَلَامُ فِي خِيَارِهَا إِنْ حَدَثَ بِهَا نَقَصٌ عَلَى مَا مَضَى وَلَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ قَبْلَ أَنْ يَمْلِكَهَا، فَإِنْ مَلَكَهَا فَفِي كَوْنِهَا أُمَّ وَلَدٍ بِذَلِكَ الْإِيلَادِ قَوْلَانِ ذَكَرْنَاهُمَا فِي مَوَاضِعَ كَثِيرَةٍ.
Adapun ibu (budak), maka ia tetap menjadi milik istri, dan pembahasan tentang hak pilih istri jika terjadi cacat padanya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan ia tidak menjadi umm walad bagi suami sebelum suami memilikinya. Jika suami memilikinya, maka dalam statusnya sebagai umm walad karena kelahiran tersebut terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan di banyak tempat.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ أَصْدَقَهَا شِقْصًا مِنْ دارٍ فَفِيهِ الشُّفْعَةُ بمهر مثلها لأن التزويج في عامة حكمه كَالْبَيْعِ “.
Imam Syafi’i berkata: “Jika suami memberikan mahar berupa bagian (sebagian) dari sebuah rumah, maka di dalamnya berlaku hak syuf‘ah (hak menebus bagian tersebut) dengan mahar yang sepadan, karena pernikahan dalam kebanyakan hukumnya seperti jual beli.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا أَصْدَقَهَا شِقْصًا مَنْ دَارٍ فَفِيهِ الشُّفْعَةُ لِلشَّرِيكِ، وَكَذَلِكَ لَوْ خَالَعَهَا عَلَى شِقْصٍ مِنْ دَارٍ وَجَبَتْ فِيهِ الشُّفْعَةُ لِلشَّرِيكِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika suami memberikan mahar berupa bagian dari sebuah rumah, maka di dalamnya berlaku hak syuf‘ah bagi sekutu. Demikian pula jika istri dicerai dengan khulu‘ atas bagian dari sebuah rumah, maka hak syuf‘ah bagi sekutu tetap berlaku.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا شُفْعَةَ فِي الصَّدَاقِ، وَلَا فِي الْخُلْعِ، وَلَا فِي الْإِجَارَةِ، وَلَا فِي الصُّلْحِ.
Abu Hanifah berkata: Tidak ada hak syuf‘ah dalam mahar, tidak pula dalam khulu‘, tidak dalam sewa-menyewa, dan tidak pula dalam perdamaian.
وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَعَهُ فِي كِتَابِ الشُّفْعَةِ مُسْتَوْفَاةً. فَأَغْنَى مَا تَقَدَّمَ عَنِ الْإِعَادَةِ.
Masalah ini telah dibahas secara lengkap bersamanya dalam Kitab Syuf‘ah. Maka penjelasan yang telah lalu sudah cukup sehingga tidak perlu diulang kembali.
وَإِذَا كَانَتِ الشُّفْعَةُ فِيهِ وَاجِبَةً فَهِيَ مُسْتَحَقَّةٌ لِلشَّرِيكِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ.
Apabila syuf‘ah dalam hal ini wajib, maka hak tersebut menjadi milik sekutu dengan mahar mitsil.
وَقَالَ مَالِكٌ: بِقِيمَةِ الشِّقْصِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَحُكِيَ نَحْوُهُ عَنْ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ.
Imam Malik berpendapat: dengan nilai bagian (syiqsh), demikian pula pendapat Ibnu Abi Laila, dan diriwayatkan serupa dari Abu Yusuf dan Muhammad.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِمَهْرِ الْمِثْلِ: أَنَّ الشِّقْصَ فِي مُقَابَلَةِ الْبُضْعِ وَلَيْسَ لَهُ مِثْلٌ، وَإِذَا كَانَ الشِّقْصُ مَمْلُوكًا بِبَدَلٍ لَيْسَ لَهُ مِثْلٌ كَانَ مَأْخُوذًا بِقِيمَةِ الْبَدَلِ لَا بِقِيمَةِ الشِّقْصِ، كَمَا لَوِ اشْتَرَى شقصاً بعبد كان مأخوذاً بِقِيمَةِ الْعَبْدِ لَا بِقِيمَةِ الشِّقْصِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقِيمَةُ الْبُضْعِ هُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ، فَلِذَلِكَ أَخَذَهُ الشَّفِيعُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ زَائِدًا كَانَ أَوْ ناقصاً.
Dalil bahwa hak tersebut dengan mahar mitsil adalah: karena bagian (syiqsh) itu sebagai ganti dari kemaluan (budh‘) dan tidak ada bandingannya, dan apabila bagian (syiqsh) dimiliki dengan pengganti yang tidak ada bandingannya, maka diambil berdasarkan nilai penggantinya, bukan nilai bagian itu sendiri. Sebagaimana jika seseorang membeli bagian (syiqsh) dengan seorang budak, maka diambil berdasarkan nilai budak, bukan nilai bagian. Jika demikian, maka nilai budh‘ adalah mahar mitsil, sehingga syafi‘ (pemilik hak syuf‘ah) mengambilnya dengan mahar mitsil, baik lebih ataupun kurang.
فلو أصدقها شقصاً من دار وديناراً أَخَذَهُ الشَّفِيعُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ إِلَّا دِينَارًا، لِأَنَّ بُضْعَهَا فِي مُقَابَلَةِ شِقْصٍ وَدِينَارٍ. وَلَوْ أَصْدَقَهَا شِقْصًا وَأَخَذَ مِنْهَا دِينَارًا، أَخَذَهُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ وَبِدِينَارٍ، لِأَنَّ الشِّقْصَ فِي مُقَابَلَةِ بُضْعٍ وَدِينَارٍ.
Jika seseorang menjadikan mahar berupa bagian (syiqsh) dari sebuah rumah dan satu dinar, maka syafi‘ mengambilnya dengan mahar mitsil kecuali satu dinar, karena budh‘ sebagai ganti bagian dan dinar. Jika seseorang menjadikan mahar berupa bagian (syiqsh) dan mengambil darinya satu dinar, maka syafi‘ mengambilnya dengan mahar mitsil dan satu dinar, karena bagian (syiqsh) sebagai ganti budh‘ dan dinar.
فَصْلٌ
Fashl (Bagian)
فَلَوْ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَاسْتَحَقَّ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِ الصَّدَاقِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الشقص من ثلاثة أقسام:
Jika suami menceraikannya sebelum terjadi hubungan (dukhul), dan berhak untuk mengambil kembali setengah mahar, maka keadaan bagian (syiqsh) tidak lepas dari tiga kemungkinan:
أحدهما: أَنْ يَكُونَ الشَّفِيعُ قَدْ أَخَذَهُ بِالشُّفْعَةِ، فَلِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ قِيمَةِ الشِّقْصِ كَمَا لو بَاعَتْهُ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ قَدِ اشْتَرَتْهُ مِنَ الشَّفِيعِ، أَوْ وَرِثَتْهُ عَنْهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِنِصْفِهِ.
Pertama: Syafi‘ telah mengambilnya melalui syuf‘ah, maka suami berhak mengambil kembali setengah nilai bagian (syiqsh) darinya sebagaimana jika ia menjualnya. Dalam hal ini, jika istri telah membelinya dari syafi‘, atau mewarisinya darinya, kemudian suami menceraikannya, maka suami berhak mengambil kembali setengahnya.
فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوْ وَهَبَ الْأَبُ لِابْنِهِ دَارًا فَبَاعَهَا الِابْنُ ثُمَّ اشْتَرَاهَا لَمْ يَكُنْ لِلْأَبِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ فَهَلَّا كَانَ الزَّوْجُ هَكَذَا؟ .
Jika dikatakan: Bukankah jika seorang ayah menghadiahkan rumah kepada anaknya, lalu anak itu menjualnya kemudian membelinya kembali, maka ayah tidak berhak mengambil kembali rumah itu menurut salah satu pendapat. Mengapa suami tidak diperlakukan demikian juga?
قُلْنَا: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ خُرُوجَ الْهِبَةِ عَنْ مِلْكِ الِابْنِ قَدْ أَسْقَطَ حَقَّ الْأَبِ فِي الرُّجُوعِ بِهَا لِأَنَّهُ لَا يَرْجِعُ فِي الْهِبَةِ، وَلَا بِبَدَلِهَا، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ بَعْدَ سُقُوطِ حَقِّهِ مِنَ الرُّجُوعِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ الصَّدَاقُ، لِأَنَّ زَوَالَ مِلْكِ الزَّوْجَةِ عَنْهُ مَا أَسْقَطَ حَقَّ الزَّوْجِ مِنْهُ، لِأَنَّهُ إِنْ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ رَجَعَ بِبَدَلِهِ فَلِذَلِكَ إِذَا عَادَ إِلَى مِلْكِهَا رَجَعَ بِنِصْفِهِ.
Kami katakan: Perbedaannya adalah bahwa keluarnya hibah dari kepemilikan anak telah menggugurkan hak ayah untuk mengambil kembali, karena ia tidak dapat menarik kembali hibah, maupun penggantinya. Maka setelah haknya gugur, ia tidak dapat mengambilnya kembali. Tidak demikian halnya dengan mahar, karena hilangnya kepemilikan istri atas mahar tidak menggugurkan hak suami atasnya. Jika ia tidak dapat mengambil kembali mahar, ia dapat mengambil penggantinya. Oleh karena itu, jika mahar kembali ke kepemilikan istri, suami berhak mengambil setengahnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الشَّفِيعُ قَدْ عَفَا عَنِ الشُّفْعَةِ فَلِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِهِ، لِأَنَّهُ عَيْنُ مَا أَصْدَقَ، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الشَّفِيعُ، قَدْ أَخَذَهُ بِالشُّفْعَةِ ثُمَّ رَدَّهُ عَلَيْهَا بِعَيْبٍ كَانَ لِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِهِ.
Kedua: Syafi‘ telah melepaskan hak syuf‘ah, maka suami berhak mengambil kembali setengahnya, karena itu adalah barang yang sama yang dijadikan mahar. Demikian pula jika syafi‘ telah mengambilnya melalui syuf‘ah lalu mengembalikannya karena cacat, maka suami berhak mengambil kembali setengahnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الشَّفِيعُ غَائِبًا لَمْ يَعْلَمْ بِالشُّفْعَةِ، وَلَا عَفَا عنها حتى طلق الزوج، ففي أحقهما بالتقديم وَجْهَانِ:
Ketiga: Syafi‘ sedang tidak ada (ghaib) dan tidak mengetahui tentang syuf‘ah, serta belum melepaskannya hingga suami menceraikan istri, maka dalam hal siapa yang lebih berhak didahulukan terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّ الزَّوْجَ أَحَقُّ لِحُضُورِهِ بِالْمُطَالَبَةِ، وَأَنَّ اسْتِحْقَاقَهُ بِنَصِّ الْكِتَابِ وَالْإِجْمَاعِ، فَعَلَى هَذَا تَرْجِعُ فِي نِصْفِهِ، وَيَكُونُ لِلشَّفِيعِ إِذَا قَدِمَ أَنْ يَأْخُذَ نِصْفَهُ بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الزَّوْجِ نِصْفَهُ الَّذِي مَلَكَهُ بِالطَّلَاقِ، لِأَنَّهُ مَلَكَهُ بِغَيْرِ عِوَضٍ.
Pertama, menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Suami lebih berhak karena ia hadir untuk menuntut, dan haknya berdasarkan nash al-Qur’an dan ijmā‘. Dengan demikian, istri mengembalikan setengahnya, dan syafi‘ jika telah hadir berhak mengambil setengahnya dengan setengah mahar mitsil, dan ia tidak berhak mengambil dari suami setengah yang telah dimilikinya karena perceraian, karena ia memilikinya tanpa ganti.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة: إن الشَّفِيعَ أَحَقُّ، لِأَنَّ حَقَّهُ أَسْبَقُ فَعَلَى هَذَا يَرْجِعُ الزَّوْجُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ قِيمَةِ الشِّقْصِ.
Pendapat kedua, menurut Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: Syafi‘ lebih berhak, karena haknya lebih dahulu. Dengan demikian, suami mengambil kembali dari istri setengah nilai bagian (syiqsh).
فَإِنْ قَالَ الزَّوْجُ: أَنَا أَصْبِرُ حَتَّى يَحْضُرَ الشَّفِيعُ، فَإِنْ عَفَا أَخَذْتُ نِصْفَ الشِّقْصِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِأَمْرَيْنِ:
Jika suami berkata: “Aku akan menunggu hingga syafi‘ hadir, jika ia melepaskan haknya maka aku akan mengambil setengah bagian (syiqsh),” maka hal itu tidak dibenarkan karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: لِأَنَّ حَقَّهُ قَدْ صَارَ في القيمة.
Pertama: Karena haknya telah berubah menjadi nilai.
والثاني: لأن لا تَبْقَى ذِمَّةُ الزَّوْجَةِ مُرْتَهَنَةً بِهِ.
Kedua: Agar tanggungan istri tidak tetap tergadai karenanya.
فَلَوْ لَمْ يَأْخُذِ الْقِيمَةَ حَتَّى حُضُورِ الشَّفِيعِ، فَعَفَا عَنِ الشُّفْعَةِ، فَفِي اسْتِحْقَاقِ الزَّوْجِ لِنِصْفِهِ وَجْهَانِ:
Jika ia belum mengambil nilai (barang) tersebut hingga kehadiran syafī‘ (orang yang berhak syuf‘ah), lalu syafī‘ itu memaafkan hak syuf‘ahnya, maka dalam hal suami berhak atas setengahnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا حَقَّ لَهُ فِيهِ، لِأَنَّ حَقَّهُ قَدْ صَارَ فِي الْقِيمَةِ.
Salah satunya: Ia tidak berhak atasnya, karena haknya telah berpindah pada nilai (barang) tersebut.
وَالثَّانِي: لَهُ أَخْذُ نِصْفِهِ تَعْلِيلًا بِأَنَّ ذِمَّتَهَا تَبْرَأُ بِهِ، وَلَكِنْ لَوْ أَخَذَ الزَّوْجُ الْقِيمَةَ ثُمَّ عَفَا الشَّفِيعُ لَمْ يَكُنْ لِلزَّوْجِ فِيهِ حَقٌّ، لِاسْتِيفَائِهِ لِحَقِّهِ. وَاللَّهُ أعلم.
Yang kedua: Ia boleh mengambil setengahnya, dengan alasan bahwa tanggungan istrinya menjadi bebas karenanya. Namun, jika suami telah mengambil nilai tersebut kemudian syafī‘ memaafkan, maka suami tidak lagi memiliki hak atasnya, karena ia telah mengambil haknya. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال المزني: ” وَاخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُهَا بِعَبْدٍ يُسَاوِي أَلْفًا عَلَى أَنْ زَادَتْهُ أَلْفًا وَمَهْرُ مِثْلِهَا يَبْلُغُ أَلْفًا فَأَبْطَلَهُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَأَجَازَهُ فِي الْآخَرِ وَجَعَلَ مَا أَصَابَ قَدْرَ الْمَهْرِ مِنَ الْعَبْدِ مَهْرًا وَمَا أَصَابَ قَدْرَ الْأَلْفِ مِنَ الْعَبْدِ مَبِيعًا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) أَشْبَهُ عِنْدِي بِقَوْلِهِ أَنْ لَا يُجِيزَهُ لِأَنَّهُ لَا يُجِيزُ الْبَيْعَ إِذَا كَانَ فِي عَقْدِهِ كراءٌ وَلَا الْكِتَابَةَ إِذَا كَانَ فِي عَقْدِهَا بيعٌ “.
Al-Muzani berkata: “Terdapat perbedaan pendapat dari Imam Syafi‘i mengenai seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan mahar seorang budak yang nilainya seribu, dengan syarat wanita itu menambah seribu, dan mahar sepadan wanita itu juga mencapai seribu. Dalam salah satu pendapatnya, beliau membatalkan akad tersebut, dan dalam pendapat lain membolehkannya, serta menjadikan bagian budak yang senilai mahar sebagai mahar, dan bagian budak yang senilai seribu sebagai barang jualan. (Al-Muzani berkata) Menurutku, yang lebih mirip dengan pendapat beliau adalah tidak membolehkannya, karena beliau tidak membolehkan jual beli jika dalam akadnya terdapat unsur sewa, dan tidak membolehkan akad kitābah jika di dalamnya terdapat unsur jual beli.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ الْعَقْدَ الْوَاحِدَ إِذَا جَمَعَ عَقْدَيْنِ يَخْتَلِفُ حُكْمُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى انْفِرَادِهِ، كَعَقْدٍ جَمَعَ بَيْعًا وَإِجَارَةً، أَوْ بَيْعًا وَصَرْفًا، أَوْ بَيْعًا وَكِتَابَةً، أَوْ بَيْعًا وَنِكَاحًا. فَفِيهِ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلَانِ ذَكَرْنَاهُمَا فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ:
Al-Mawardi berkata: Pokok permasalahan ini adalah bahwa satu akad jika menggabungkan dua akad yang masing-masing memiliki hukum berbeda jika berdiri sendiri, seperti akad yang menggabungkan jual beli dan sewa, atau jual beli dan sharf, atau jual beli dan kitābah, atau jual beli dan nikah. Dalam hal ini, menurut Imam Syafi‘i terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam Kitab al-Buyū‘:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ صَحِيحٌ فِيهِمَا لِأَمْرَيْنِ:
Salah satunya: Akad tersebut sah untuk keduanya karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا صَحَّ إِفْرَادُهُمَا، صَحَّ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا كَالْبَيْعَتَيْنِ وَالْإِجَارَتَيْنِ.
Pertama: Karena jika masing-masing sah dilakukan sendiri, maka sah pula digabungkan, seperti dua jual beli atau dua sewa.
وَالثَّانِي: أَنَّ اخْتِلَافَ حُكْمِهِمَا لَا يَمْنَعُ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ، كَمَا لَوِ ابْتَاعَ فِي عَقْدٍ شِقْصًا يَجِبُ فِيهِ الشُّفْعَةُ وَعَرَضًا لَا تجب فيه الشفة وكما لو اتباع عبدين أحدهما أبوه يعتق عليه الشراء وَالْآخَرُ أَجْنَبِيٌّ لَا يَعْتِقُ عَلَيْهِ بِالشِّرَاءِ.
Kedua: Perbedaan hukum di antara keduanya tidak menghalangi untuk digabungkan dalam satu akad, sebagaimana jika seseorang membeli dalam satu akad bagian tanah yang wajib syuf‘ah dan barang yang tidak wajib syuf‘ah, atau membeli dua budak, salah satunya adalah ayahnya yang akan merdeka dengan pembelian itu, dan yang lain adalah orang asing yang tidak merdeka dengan pembelian.
وَالْقَوْلُ الثاني: أن العقد باطل فيهما لِأَمْرَيْنِ:
Pendapat kedua: Bahwa akad tersebut batal untuk keduanya karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَقْدَ الْوَاحِدَ لَهُ حُكْمٌ وَاحِدٌ، فَإِذَا جَمَعَ مَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهُ تَنَافَى، فيبطل كما لو قال: بعتك عبدي واشترته مِنْكَ.
Pertama: Satu akad memiliki satu hukum, sehingga jika menggabungkan hal-hal yang berbeda hukumnya, maka saling bertentangan dan batal, seperti jika seseorang berkata: Aku jual budakku kepadamu dan aku membelinya darimu.
وَالثَّانِي: أَنَّ مُقَابَلَةَ الْعِوَضِ لَهُمَا مُفْضٍ إِلَى جَهَالَةِ الْعِوَضِ فِيمَا يُقَابِلُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا. وَإِذَا كَانَ عِوَضُ الْعَقْدِ مَجْهُولًا بَطَلَ.
Kedua: Penetapan imbalan untuk keduanya menyebabkan ketidakjelasan imbalan atas masing-masing, dan jika imbalan dalam akad tidak jelas maka batal.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ جِئْنَا إِلَى تَفْصِيلِ مَا جَمَعَهُ الْعَقْدُ الْوَاحِدُ مِنَ الْعَقْدَيْنِ الْمُخْتَلِفَيْنِ فَنَقُولُ:
Setelah dua pendapat ini dijelaskan, kita masuk pada rincian tentang penggabungan dua akad berbeda dalam satu akad, maka kami katakan:
أَمَّا إِذَا جَمَعَ بَيْعًا وَإِجَارَةً فَهُوَ أَنْ يَقُولَ بِعْتُكَ عَبْدِي هَذَا، أَوْ أَجَّرْتُكَ دَارِي هَذِهِ سَنَةً بِأَلْفٍ، فَالْبَيْعُ يَثْبُتُ فِيهِ خِيَارُ الْمَجْلِسِ بِالْعَقْدِ، وَخِيَارُ الثَّلَاثِ بِالشَّرْطِ، وَالْإِجَارَةُ لَا يَثْبُتُ فِيهَا خِيَارُ الشَّرْطِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ثُبُوتِ خِيَارِ الْعَقْدِ.
Adapun jika digabungkan antara jual beli dan sewa, yaitu seseorang berkata: Aku jual budakku ini kepadamu, atau aku sewakan rumahku ini kepadamu selama setahun dengan seribu, maka dalam jual beli berlaku khiyār majlis (hak memilih selama di majlis akad) dan khiyār syarat tiga hari (jika disyaratkan), sedangkan dalam sewa tidak berlaku khiyār syarat, dan para ulama kami berbeda pendapat tentang berlakunya khiyār akad.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: أَنَّهُمَا بَاطِلَانِ، فَعَلَى هَذَا يَتَرَادَّانِ.
Jika demikian, maka salah satu pendapat: Keduanya batal, sehingga masing-masing pihak mengembalikan apa yang telah diterima.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا جَائِزَانِ فَعَلَى هَذَا يَنْظُرُ قِيمَةَ الْعَبْدِ، فَإِذَا قِيلَ: خَمْسُمِائَةٍ، نَظَرَ أُجْرَةَ مِثْلِ الدَّارِ سَنَةً، فَإِذَا قِيلَ مِائَةٌ عُلِمَ أَنَّ أُجْرَةَ الدَّارِ مِنَ الْأَلْفِ سُدُسُهَا، وَثَمَنَ الْعَبْدِ مِنَ الْأَلْفِ خَمْسَةُ أَسْدَاسِهَا.
Pendapat kedua: Keduanya sah, sehingga dilihat nilai budak tersebut. Jika dikatakan: Lima ratus, maka dilihat pula sewa rumah selama setahun. Jika dikatakan: Seratus, maka diketahui bahwa sewa rumah dari seribu adalah seperenamnya, dan harga budak dari seribu adalah lima perenamnya.
– وَأَمَّا إذا جمع العقد بَيْعًا وَصَرْفًا فَهُوَ أَنْ يَبِيعَهُ ثَوْبًا وَدِينَارًا بمائة درهم. فما قابل الثوب بَيْعٌ، وَمَا قَابَلَ الدِّينَارَ مِنْهَا صَرْفٌ وَالْبَيْعُ لا يلزم إلا بالتفريق، وَالصَّرْفُ يَبْطُلُ إِنْ لَمْ يَتَقَابَضَا قَبْلَ التَّفَرُّقِ.
Adapun jika akad menggabungkan jual beli dan sharf, yaitu menjual kain dan dinar dengan harga seratus dirham, maka bagian yang berhadapan dengan kain adalah jual beli, dan bagian yang berhadapan dengan dinar adalah sharf. Jual beli tidak menjadi wajib kecuali dengan pemisahan, dan sharf batal jika tidak dilakukan serah terima sebelum berpisah.
فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: أَنَّهُ بَاطِلٌ فِيهِمَا وَيَتَرَاجَعَانِ.
Salah satu pendapat: Akad tersebut batal untuk keduanya dan masing-masing pihak mengembalikan apa yang telah diterima.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ جَائِزٌ فِيهِمَا وَيُقْسِطُ الْمِائَةَ عَلَى قِيمَتِهَا.
Pendapat kedua: Akad tersebut sah untuk keduanya dan seratus dirham dibagi sesuai dengan nilainya.
– وَأَمَّا إِذَا جَمَعَ بَيْعًا وَكِتَابَةً فَهُوَ أَنْ يَقُولَ: بِعْتُكَ عَبْدِي هَذَا وَكَاتَبْتُكَ عَلَى نَجْمَيْنِ بِأَلْفٍ.
– Adapun jika menggabungkan antara jual beli dan kitābah, yaitu dengan mengatakan: “Aku jual kepadamu budakku ini dan aku melakukan kitābah denganmu dengan dua kali pembayaran sejumlah seribu.”
فَإِنْ قِيلَ بِأَنَّ اخْتِلَافَ الْحُكْمَيْنِ يُبْطِلُ الْعَقْدَ، فَالْعَقْدُ فِي الْبَيْعِ وَالْكِتَابَةِ بَاطِلٌ.
Jika dikatakan bahwa perbedaan dua hukum membatalkan akad, maka akad dalam jual beli dan kitābah adalah batal.
وَإِذَا قِيلَ بِأَنَّ اخْتِلَافَ الْحُكْمَيْنِ لَا يُبْطِلُ الْعَقْدَ، فَالْعَقْدُ فِي الْبَيْعِ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ بَاعَ عَبْدَهُ على عبده.
Dan jika dikatakan bahwa perbedaan dua hukum tidak membatalkan akad, maka akad dalam jual beli adalah batal, karena ia telah menjual budaknya atas budaknya.
وَهَلْ تَبْطُلُ الْكِتَابَةُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.
Apakah kitābah juga batal atau tidak? Ada dua pendapat berdasarkan perincian akad gabungan.
وَأَمَّا إِذَا جَمَعَ بَيْعًا وَنِكَاحًا فَهُوَ أَنْ يَقُولَ قَدْ تَزَوَّجْتُكِ وَاشْتَرَيْتُ عَبْدَكِ بِأَلْفٍ، فَمَا قَابَلَ الْعَبْدَ بَيْعٌ، وَمَا قَابَلَ الْبُضْعَ صَدَاقٌ.
Adapun jika menggabungkan antara jual beli dan nikah, yaitu dengan mengatakan: “Aku telah menikahimu dan membeli budakmu dengan seribu,” maka yang menjadi imbalan budak adalah jual beli, dan yang menjadi imbalan kemaluan (istri) adalah mahar.
فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: أَنَّهُ بَاطِلٌ فِيهِمَا، فَعَلَى هَذَا يَبْطُلُ الْبَيْعُ مِنَ الْعَقْدِ، وَيَبْطُلُ الصَّدَاقُ فِي النِّكَاحِ، وَلَا يَبْطُلُ النِّكَاحُ، لِأَنَّ فَسَادَ الصَّدَاقِ لَا يُوجِبُ فَسَادَ النِّكَاحِ، وَيَكُونُ لَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا.
Salah satu dari dua pendapat: bahwa keduanya batal, maka dalam hal ini jual beli dalam akad menjadi batal, dan mahar dalam nikah juga batal, namun nikahnya tidak batal, karena rusaknya mahar tidak menyebabkan rusaknya nikah, dan ia berhak mendapatkan mahar mitsil.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ جَائِزٌ فِيهِمَا فَعَلَى هَذَا يُقَوَّمُ الْعَبْدُ.
Pendapat kedua: bahwa keduanya sah, maka dalam hal ini budak tersebut dinilai (ditaksir harganya).
فَإِذَا قِيلَ أَلْفٌ: نُظِرَ مَهْرُ مِثْلِهَا فَإِذَا قِيلَ خَمْسُمِائَةٍ عُلِمَ أَنَّ ثُلُثَيِ الْأَلْفِ ثَمَنٌ لِلْعَبْدِ، وَثُلُثَهَا صَدَاقٌ لِلزَّوْجَةِ، فَلَوْ وَجَدَ الزَّوْجُ بِالْعَبْدِ عَيْبًا فَرَدَّهُ اسْتَرْجَعَ ثُلُثَيِ الْأَلْفِ، وَلَوْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ اسْتَرْجَعَ سُدُسَ الْأَلْفِ.
Jika dikatakan seribu, maka dilihat mahar mitsilnya. Jika dikatakan lima ratus, maka diketahui bahwa dua pertiga dari seribu adalah harga budak, dan sepertiganya adalah mahar untuk istri. Maka jika suami menemukan cacat pada budak lalu mengembalikannya, ia mengambil kembali dua pertiga dari seribu. Dan jika ia menceraikannya sebelum terjadi hubungan, ia mengambil kembali seperenam dari seribu.
وَلَوْ تَزَوَّجَهَا وَأَصْدَقَهَا عَبْدًا عَلَى أَنْ أَخَذَ مِنْهَا أَلْفًا فَمَا قَابَلَ الْأَلْفَ مِنَ الْعَبْدِ مَبِيعٌ وَمَا قَابَلَ الْبُضْعَ مِنْهَا صَدَاقٌ.
Jika ia menikahinya dan menjadikan budak sebagai mahar dengan syarat mengambil darinya seribu, maka yang menjadi imbalan seribu dari budak adalah jual beli, dan yang menjadi imbalan kemaluan (istri) adalah mahar.
فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ: أَنَّهُمَا بَاطِلَانِ، فَتَرُدُّ الْعَبْدَ وَتَسْتَرْجِعُ الْأَلْفَ، وَيُحْكَمُ لَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ.
Salah satu dari dua pendapat: bahwa keduanya batal, maka budak dikembalikan dan seribu diambil kembali, dan diputuskan untuknya mahar mitsil.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُمَا جَائِزَانِ، فَعَلَى هَذَا يَنْظُرُ مَهْرَ الْمِثْلِ، فَإِنْ كَانَ أَلْفًا صَارَ الْعَبْدُ فِي مُقَابَلَةِ أَلْفَيْنِ: إِحْدَاهُمَا: صَدَاقٌ، وَالْأُخْرَى: ثَمَنٌ. فَيَكُونُ نِصْفُ الْعَبْدِ صَدَاقًا وَنِصْفُهُ مَبِيعًا.
Pendapat kedua: bahwa keduanya sah, maka dalam hal ini dilihat mahar mitsilnya. Jika nilainya seribu, maka budak itu menjadi imbalan dua ribu: salah satunya sebagai mahar, dan yang lainnya sebagai harga. Maka setengah budak menjadi mahar dan setengahnya lagi menjadi barang jualan.
فَإِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ، اسْتَرْجَعَ رُبْعَهُ، وَلَوْ كَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا أَلْفَيْنِ صَارَ الْعَبْدُ في مقابلة ثلاثة ألف دِرْهَمٍ، فَيَكُونُ ثُلُثَاهُ صَدَاقًا، إِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ اسْتَرْجَعَ ثُلُثَهُ، وَيَكُونُ ثُلُثُ الْعَبْدِ مَبِيعًا، وَلَوْ كَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسَمِائَةٍ صَارَ ثُلُثُ الْعَبْدِ صَدَاقًا، وَثُلُثَاهُ مَبِيعًا.
Jika ia menceraikannya sebelum terjadi hubungan, ia mengambil kembali seperempatnya. Jika mahar mitsilnya dua ribu, maka budak itu menjadi imbalan tiga ribu dirham, sehingga dua pertiganya menjadi mahar. Jika ia menceraikannya sebelum terjadi hubungan, ia mengambil kembali sepertiganya. Sepertiga budak menjadi barang jualan. Jika mahar mitsilnya lima ratus, maka sepertiga budak menjadi mahar dan dua pertiganya menjadi barang jualan.
فَلَوْ وَجَدَتْ بِالْعَبْدِ عيباً، فإن رضت بعينه فِي الْبَيْعِ وَالصَّدَاقِ أَمْسَكَتْهُ، وَإِنْ أَرَادَتِ الْفَسْخَ فِيهِمَا كَانَ لَهَا، وَرَجَعَتْ بِالثَّمَنِ وَهُوَ أَلْفٌ، وَفِيمَا تَرْجِعُ بِهِ مِنْ بَدَلِ الصَّدَاقِ قَوْلَانِ:
Jika istri menemukan cacat pada budak, jika ia rela dengan budak itu baik sebagai barang jualan maupun sebagai mahar, maka ia menahannya. Jika ia ingin membatalkan keduanya, maka itu haknya, dan ia mengambil kembali harga budak yaitu seribu, dan mengenai apa yang ia ambil sebagai pengganti mahar ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: مَهْرُ الْمِثْلِ عَلَى قَوْلِهِ الْجَدِيدِ.
Salah satunya: mahar mitsil menurut pendapat baru (al-jadid).
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قِيمَةُ صَدَاقِهَا مِنْهُ مِنْ نِصْفٍ، أَوْ ثُلُثَيْنِ، أَوْ ثُلُثٍ وَلَا يَلْزَمُهَا أَنْ تَأْخُذَ ذَلِكَ الْقَدْرَ وَأَرْشَهُ فِي الصَّدَاقِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَفْرِيقِ صَفْقَةٍ فِي مَعِيبٍ.
Pendapat kedua: nilai mahar yang menjadi bagiannya, baik setengah, dua pertiga, atau sepertiga, dan ia tidak wajib mengambil bagian tersebut beserta kompensasinya dalam mahar, karena di dalamnya terdapat pemisahan akad gabungan pada barang yang cacat.
وَلَوْ أَرَادَتْ حِينَ ظَهَرَتْ عَلَى عَيْبِ الْعَبْدِ أَنْ تَرُدَّ مِنْهُ الْمَبِيعَ دُونَ الصَّدَاقِ أَوْ تَرُدَّ مِنْهُ الصَّدَاقَ دُونَ الْمَبِيعِ، فَفِيهِ قَوْلَانِ مِنْ تَفْرِيقِ الصفة الأول: يجوز. والثاني: لا يجوز، إذ تَفْرِيقَ الصَّفْقَةِ لَا يَجُوزُ.
Jika ia ingin, ketika mengetahui cacat pada budak, mengembalikan bagian jual beli saja tanpa mahar, atau mengembalikan bagian mahar saja tanpa jual beli, maka dalam hal ini ada dua pendapat dari perincian akad gabungan: pertama, boleh; kedua, tidak boleh, karena pemisahan akad gabungan tidak diperbolehkan.
فَلَوْ تَلِفَ الْعَبْدُ في يدها قبل علمها بعينه رَجَعَتْ بِأَرْشِ الْمَبِيعِ مِنْ ثَمَنِهِ، وَمِنْ مَاذَا تَرْجِعُ بِأَرْشِ الصَّدَاقِ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Jika budak itu rusak di tangannya sebelum ia mengetahui cacatnya, maka ia mengambil kompensasi (arsh) dari harga jualannya, dan dari mana ia mengambil kompensasi untuk mahar? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: مِنْ قِيمَتِهِ.
Salah satunya: dari nilai budak tersebut.
وَالثَّانِي: مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Yang kedua: dari mahar mitsil.
فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ جَعَلَ الْأَوْلَى بِقَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ أَنْ يَكُونَ الْعَقْدُ بَاطِلًا فِيهِمَا، وَاسْتَشْهَدَ بِالْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ، وَبِالْبَيْعِ وَالْكِتَابَةِ، وَلَا شَاهِدَ فِيهِمَا، لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Adapun al-Muzani, ia berpendapat bahwa yang lebih utama menurut dua pendapat asy-Syafi‘i adalah akad tersebut batal pada keduanya, dan ia berdalil dengan kasus jual beli dan ijarah, serta jual beli dan kitābah, namun tidak ada dalil dalam keduanya, karena semua itu ada dua pendapat.
وَحُكِيَ عَنِ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى جَوَازِ الْعَقْدِ فِيهِمَا. وَأَنَّ جَعَلَ الْأَوْلَى عَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا فِيهِمَا، وَلِكِلَا الْقَوْلَيْنِ وَجْهٌ قَدْ مَضَى. والله أعلم.
Diriwayatkan dari al-Muzani bahwa ia berpendapat bolehnya akad pada keduanya. Dan bahwa menurut pendapat yang lebih utama menurut asy-Syafi‘i adalah batal pada keduanya, dan kedua pendapat tersebut telah disebutkan alasannya sebelumnya. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ أَصْدَقَهَا عَبْدًا فَدَبَّرَتْهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ لَمْ يَرْجِعْ فِي نِصْفِهِ لِأَنَّ الرُّجُوعَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِإِخْرَاجِهَا إِيَّاهُ مِنْ مِلْكِهَا (قال المزني) قد أجاز الرجوع في كتاب التدبير بغير إخراجٍ له من ملكه وهو بقوله أولى (قال المزني) إذا كان التدبير وصيةً له برقبته فهو كما لو أوصى لغيره برقبته مع أن رد نصفه إليه إخراج من الملك “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia menjadikan seorang budak sebagai mahar, lalu ia (istri) mentadbirkan budak itu, kemudian suaminya menceraikannya sebelum terjadi hubungan, maka suami tidak dapat mengambil kembali setengahnya, karena pengambilan kembali itu hanya bisa dilakukan jika ia (istri) mengeluarkan budak itu dari kepemilikannya.” (Al-Muzani berkata) Telah dibolehkan pengambilan kembali dalam Kitab at-Tadbir tanpa mengeluarkannya dari kepemilikannya, dan ini lebih utama menurut pendapatnya. (Al-Muzani berkata) Jika tadbir itu berupa wasiat untuk dirinya atas budak tersebut, maka hukumnya seperti jika ia mewasiatkan budaknya kepada orang lain, padahal pengembalian setengahnya kepadanya merupakan pengeluaran dari kepemilikan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يُصْدِقَهَا عَبْدًا فَتُدَبِّرَهُ بِأَنْ تَقُولَ لَهُ: إِذَا مُتُّ فَأَنْتَ حُرٌّ، وَتَقُولُ: أَنْتَ مُدَبَّرٌ، تُرِيدُ بِهِ أَنَّهَا إِذَا ماتت فهو حر، فقد صار مدبراً. وللرجوع فيه قَوْلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah seseorang menjadikan budak sebagai mahar, lalu istri mentadbirkan budak itu dengan mengatakan kepadanya: “Jika aku mati, maka kamu merdeka,” atau ia berkata: “Kamu adalah mudabbar,” maksudnya jika ia meninggal maka budak itu merdeka, maka budak itu menjadi mudabbar. Dalam hal pengambilan kembali, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ، وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ التَّدْبِيرَ كَالْوَصَايَا. وَلَهَا الرُّجُوعُ فِيهِ بِالْقَوْلِ مَعَ بَقَائِهِ عَلَى مِلْكِهَا بِأَنْ تَقُولَ: قَدْ رَجَعْتُ فِي تَدْبِيرِكَ، أَوْ أَبْطَلْتُهُ فَيَبْطُلُ التَّدْبِيرُ مَعَ بَقَائِهِ عَلَى الْمِلْكِ كَمَا تَبْطُلُ الْوَصَايَا بِالرُّجُوعِ.
Pertama, dan ini adalah pendapatnya dalam qaul qadim, serta salah satu dari dua pendapatnya dalam qaul jadid: bahwa tadbir itu seperti wasiat. Istri boleh menarik kembali dengan ucapan selama budak itu masih dalam kepemilikannya, yaitu dengan mengatakan: “Aku menarik kembali tadbir atasmu,” atau “Aku membatalkannya,” maka tadbir itu batal selama budak itu masih dalam kepemilikannya, sebagaimana wasiat batal dengan penarikan kembali.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ الثَّانِي فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ التَّدْبِيرَ يَجْرِي مَجْرَى الْعِتْقِ بِالصِّفَاتِ وَلَيْسَ لَهَا الرُّجُوعُ فِيهِ بِالْقَوْلِ، وَلَهَا إِبْطَالُهُ بِالْفِعْلِ، وَهُوَ أَنْ تُخْرِجَهُ عَنْ مِلْكِهَا بِبَيْعٍ أَوْ هِبَةٍ فَيَبْطُلُ.
Pendapat kedua, yaitu pendapatnya yang kedua dalam qaul jadid: bahwa tadbir itu seperti pembebasan budak dengan sifat-sifat tertentu, dan istri tidak boleh menarik kembali dengan ucapan, tetapi boleh membatalkannya dengan perbuatan, yaitu dengan mengeluarkan budak itu dari kepemilikannya melalui penjualan atau hibah, maka tadbir itu batal.
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ وَطَلَّقَهَا الزَّوْجُ بَعْدَ تَدْبِيرِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika dua pendapat ini telah dijelaskan, lalu suami menceraikan istri setelah budak itu ditadbirkan, maka kasusnya terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ قَدْ أَبْطَلَتْ تَدْبِيرَهُ، إِمَّا بِالْقَوْلِ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ، وبالفعل عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي، فَلِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِهِ، وَهَلْ لَهُ فِيهِ الْخِيَارُ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pertama: Istri telah membatalkan tadbirnya, baik dengan ucapan menurut pendapat pertama, atau dengan perbuatan menurut pendapat kedua, maka suami boleh mengambil kembali setengahnya. Apakah suami memiliki hak memilih (khiyar) dalam hal ini atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا خِيَارَ لَهُ، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِإِبْطَالِ التَّدْبِيرِ عَبْدًا قِنًّا.
Pertama: Tidak ada hak khiyar baginya, karena dengan pembatalan tadbir, budak itu kembali menjadi budak murni (qinn).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهُ الْخِيَارُ، لِأَنَّ الْمُدَبَّرَ رُبَّمَا حَاكَمَ مَوْلَاتَهُ بَعْدَ إِبْطَالِهَا لِتَدْبِيرِهِ إِلَى حَنَفِيٍّ لَا يَرَى إِبْطَالَ التَّدْبِيرِ، فَيَحْكُمُ عَلَيْهَا بِالْتِزَامِهِ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الزَّوْجُ لِأَجْلِ ذَلِكَ مُخَيَّرًا بَيْنَ أَخْذِ نِصْفِهِ وَبَيْنَ أَنْ تَفْسَخَ، وَيَرْجِعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ قِيمَتِهِ.
Pendapat kedua: Suami memiliki hak khiyar, karena mudabbar mungkin saja menggugat tuannya setelah tadbir dibatalkan kepada hakim Hanafi yang tidak membolehkan pembatalan tadbir, sehingga hakim tersebut memutuskan kewajiban melaksanakan tadbir. Dalam hal ini, suami diberi pilihan antara mengambil setengah budak itu atau membatalkan (akad) dan mengambil kembali setengah nilainya dari istri.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَلَى تَدْبِيرِهِ عِنْدَ طَلَاقِ الزَّوْجِ، لَمْ تُبْطِلْهُ الزَّوْجَةُ بِالْقَوْلِ وَلَا بِالْفِعْلِ، فَفِي رُجُوعِ الزَّوْجِ بِنِصْفِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ.
Bagian kedua: Budak itu masih dalam status mudabbar saat suami menceraikan istri, dan istri belum membatalkan tadbirnya baik dengan ucapan maupun perbuatan, maka dalam hal suami mengambil kembali setengahnya terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا: لَهُ الرُّجُوعُ بِنِصْفِهِ، سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ التَّدْبِيرَ كَالْوَصَايَا يَجُوزُ الرُّجُوعُ فِيهِ بِالْقَوْلِ، أَوْ قِيلَ إِنَّهُ كَالْعِتْقِ بِالصِّفَاتِ الَّتِي لَا يَجُوزُ الرُّجُوعُ فِيهِ إِلَّا بِالْفِعْلِ لِبَقَاءِ الْمُدَبَّرِ على ملكها، وأن لها إزالة ملكها عند مُخْتَارَةً بِالْبَيْعِ، فَلَأَنْ يَجُوزُ إِزَالَةُ مِلْكِهَا عَنْهُ جَبْرًا بِرُجُوعِ الزَّوْجِ أَوْلَى.
Pertama: Suami boleh mengambil kembali setengahnya, baik dikatakan bahwa tadbir itu seperti wasiat yang boleh ditarik kembali dengan ucapan, maupun dikatakan bahwa tadbir itu seperti pembebasan budak dengan sifat-sifat tertentu yang tidak boleh ditarik kembali kecuali dengan perbuatan, karena mudabbar masih dalam kepemilikan istri, dan istri boleh menghilangkan kepemilikannya secara sukarela dengan menjualnya, maka lebih utama jika boleh menghilangkan kepemilikan secara paksa melalui pengambilan kembali oleh suami.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بِنِصْفِهِ، وَيَعْدِلُ عَنْهُ إِلَى بَدَلِهِ، سواء قيل إن التدبير كالوصايا بجوز الرُّجُوعُ فِيهَا بِالْقَوْلِ، أَوْ قِيلَ إِنَّهُ كَالْعِتْقِ بِالصِّفَاتِ لَا يَجُوزُ الرُّجُوعُ فِيهِ إِلَّا بِالْفِعْلِ، لِأَنَّ الرُّجُوعَ فِي التَّدْبِيرِ إِنَّمَا يَصِحُّ إِذَا كَانَ مِنْ جِهَةِ السَّيِّدِ الْمُدَبِّرِ لَا مِنْ غَيْرِهِ، وَرُجُوعُ الزَّوْجِ فِيهِ يَكُونُ إِبْطَالًا لِلتَّدْبِيرِ مِنْ غَيْرِ السَّيِّدِ فَلَمْ يَجُزْ.
Pendapat kedua: Suami tidak boleh mengambil kembali setengahnya, dan dialihkan kepada pengganti (mahar lain), baik dikatakan bahwa tadbir itu seperti wasiat yang boleh ditarik kembali dengan ucapan, maupun dikatakan bahwa tadbir itu seperti pembebasan budak dengan sifat-sifat tertentu yang tidak boleh ditarik kembali kecuali dengan perbuatan, karena penarikan kembali dalam tadbir hanya sah jika berasal dari pihak tuan yang mentadbirkan, bukan dari selainnya, dan penarikan kembali oleh suami berarti membatalkan tadbir dari selain tuan, sehingga tidak diperbolehkan.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَجُوزُ لِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِهِ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ يَجُوزُ الرُّجُوعُ فِيهَا بِالْقَوْلِ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ الرُّجُوعُ بِنِصْفِهِ إِذَا قِيلَ: إِنَّ التَّدْبِيرَ عِتْقٌ بِصِفَةٍ لَا يَجُوزُ الرُّجُوعُ فِيهِ إِلَّا بِالْفِعْلِ، فَيَكُونُ حُكْمُ الزَّوْجِ فِي إِبْطَالِهِ مُعْتَبَرًا بِالزَّوْجَةِ.
Pendapat ketiga: Bahwa suami boleh menarik kembali setengahnya, jika dikatakan bahwa tadbīr adalah wasiat yang boleh ditarik kembali dengan ucapan. Namun, ia tidak boleh menarik kembali setengahnya jika dikatakan bahwa tadbīr adalah pembebasan budak dengan sifat tertentu yang tidak boleh ditarik kembali kecuali dengan perbuatan. Maka, hukum suami dalam membatalkannya disamakan dengan istri.
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْأَقَاوِيلُ الثَّلَاثَةُ، فَإِنْ قُلْنَا: لَيْسَ لَهَا الرُّجُوعُ بِنِصْفِهِ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ قِيمَتِهِ. وَإِذَا قُلْنَا: لَهُ الرُّجُوعُ بِنِصْفِهِ فَلَهُ الْخِيَارُ دُونَهَا بَيْنَ الْمُقَامِ وَالْفَسْخِ لِعِلَّتَيْنِ.
Setelah tiga pendapat ini dijelaskan, maka jika kita katakan: ia (istri) tidak boleh menarik kembali setengahnya, maka suami boleh menarik kembali setengah dari nilainya. Dan jika kita katakan: suami boleh menarik kembali setengahnya, maka ia memiliki pilihan, tidak demikian halnya dengan istri, antara tetap (pada akad) atau membatalkannya karena dua alasan.
إِحْدَاهُمَا: أَنَّ بَقَاءَ نِصْفِهِ عَلَى التَّدْبِيرِ نَقْصٌ فِي قِيمَتِهِ.
Pertama: Bahwa tetapnya setengah (budak) dalam tadbīr mengurangi nilainya.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ رُبَّمَا حَاكَمَ مَوْلَاتَهُ إِلَى حَنَفِيٍّ يَرَى لُزُومَ تَدْبِيرِهِ.
Kedua: Bahwa bisa jadi majikannya membawa perkara ini kepada seorang hakim Hanafī yang berpendapat tadbīr itu mengikat.
فَإِنْ أَقَامَ فَهُوَ حَقُّهُ، وَإِنْ فَسَخَ رَجَعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ قِيمَتِهِ.
Jika ia tetap (pada akad), maka itu adalah haknya. Namun jika ia membatalkannya, maka ia kembali kepada istri dengan setengah dari nilainya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا كَاتَبَتْهُ فَلَيْسَ لِلزَّوْجِ الرُّجُوعُ بِنِصْفِهِ، وَلَهُ الرُّجُوعُ بِنِصْفِ قِيمَتِهِ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ لَازِمَةٌ لِلسَّيِّدِ لَا يَجُوزُ لَهُ إِبْطَالُهَا إِلَّا بِالْعَجْزِ.
Adapun jika istri telah melakukan mukātabah terhadap budak tersebut, maka suami tidak boleh menarik kembali setengahnya, namun ia boleh menarik kembali setengah dari nilainya, karena mukātabah itu mengikat bagi tuan dan tidak boleh dibatalkan kecuali karena ketidakmampuan (budak membayar).
فَعَلَى هَذَا لَوْ لَمْ يَرْجِعِ الزَّوْجُ بِنِصْفِ قِيمَتِهِ حَتَّى عَجَزَ الْمُكَاتَبُ وَعَادَ عَبْدًا فَهَلْ يَرْجِعُ الزَّوْجُ بِنِصْفِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Berdasarkan hal ini, jika suami tidak menarik kembali setengah dari nilainya hingga budak mukātab tersebut tidak mampu membayar dan kembali menjadi budak, apakah suami boleh menarik kembali setengahnya atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ بِهِ لِوُجُودِهِ فِي مِلْكِهَا.
Pertama: Suami boleh menarik kembali setengahnya karena budak itu kembali menjadi milik istri.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَرْجِعُ لِأَنَّ حَقَّهُ وَقْتَ الطَّلَاقِ قَدْ كَانَ فِي قِيمَتِهِ.
Pendapat kedua: Tidak boleh menarik kembali, karena hak suami pada saat talak adalah pada nilai budak tersebut.
وَلَكِنْ لَوْ لَمْ يُطَلِّقْهَا إِلَّا بَعْدَ عَجْزِهِ وَعَوْدِهِ إِلَى الرِّقِّ، كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِنِصْفِهِ وَجْهًا وَاحِدًا.
Namun, jika suami tidak menceraikannya kecuali setelah budak itu tidak mampu membayar dan kembali menjadi budak, maka suami boleh menarik kembali setengahnya menurut satu pendapat.
وَلَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ قَدْ وَهَبَتْهُ أَوْ رَهَنَتْهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ قَدْ أَقْبَضَتْهُ فِي الرَّهْنِ وَالْهِبَةِ فَالْعَقْدُ فِيهِ لَمْ يَلْزَمْ فِي الرَّهْنِ وَلَا فِي الْهِبَةِ، فَلِلزَّوْجِ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِهِ، وَلَهَا إِقْبَاضُ النِّصْفِ الْآخَرِ فِي الرَّهْنِ وَالْهِبَةِ، وَإِنْ كَانَتْ قَدْ أَقْبَضَتْهُ فِي الرَّهْنِ وَالْهِبَةِ فَقَدْ خَرَجَ بِالْقَبْضِ فِي الْهِبَةِ مِنْ مِلْكِهَا، فَيَرْجِعُ الزَّوْجُ بِنِصْفِ قِيمَتِهِ وَقَدْ صَارَ وَثِيقَةً فِي حَقِّ الْمُرْتَهِنِ فَلَمْ يَجُزْ إِبْطَالُ وَثِيقَتِهِ فَيَرْجِعُ الزَّوْجُ بِنِصْفِ قِيمَتِهِ.
Jika istri telah menghibahkan atau menggadaikan budak itu, kemudian suami menceraikannya, maka jika budak itu belum diserahkan dalam akad gadai atau hibah, maka akad tersebut belum mengikat baik dalam gadai maupun hibah, sehingga suami boleh menarik kembali setengahnya, dan istri berhak menyerahkan setengah sisanya dalam gadai atau hibah. Namun jika budak itu telah diserahkan dalam akad gadai atau hibah, maka dengan penyerahan itu dalam hibah, budak tersebut keluar dari kepemilikan istri, sehingga suami menarik kembali setengah dari nilainya. Dan budak itu telah menjadi jaminan bagi penerima gadai, sehingga tidak boleh membatalkan jaminan tersebut, maka suami menarik kembali setengah dari nilainya.
فَلَوْ لَمْ يَرْجِعْ بِهَا حَتَّى أَفَكَّتْهُ مِنْ رَهْنِهِ فَفِي رُجُوعِهِ بِنِصْفِهِ وَجْهَانِ: وَهَكَذَا لَوْ بَاعَتْهُ ثُمَّ ابْتَاعَتْهُ، أَوْ وَهَبَتْهُ ثُمَّ اسْتَوْهَبَتْهُ كَانَ فِي رُجُوعِ الزَّوْجِ بِنِصْفِهِ وَجْهَانِ.
Jika suami tidak menarik kembali hingga istri menebus budak itu dari gadai, maka dalam hal suami menarik kembali setengahnya ada dua pendapat. Demikian pula jika istri menjual budak itu lalu membelinya kembali, atau menghibahkannya lalu memintanya kembali, maka dalam hal suami menarik kembali setengahnya juga ada dua pendapat.
وَلَوْ كَانَ قَدْ أَجَّرَتْهُ لَمْ تَمْنَعْ إِجَارَتُهُ مِنْ رُجُوعِ الزَّوْجِ بِنِصْفِهِ، لِأَنَّ عَقْدَ الْإِجَارَةِ عَلَى مَنْفَعَتِهِ، وَرَقَبَتُهُ بَاقِيَةٌ عَلَى مِلْكِهَا، فَيَكُونُ الزَّوْجُ لِنَقْضِ الْإِجَارَةِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الرُّجُوعِ بِنِصْفِهِ وَالْتِزَامِ الْإِجَارَةِ إِلَى انْقِضَاءِ مُدَّتِهَا، وَبَيْنَ الْعُدُولِ عَنْهُ إِلَى الرُّجُوعِ بنصف قيمته.
Jika istri telah menyewakan budak itu, maka akad sewa tidak menghalangi suami untuk menarik kembali setengahnya, karena akad sewa hanya atas manfaatnya, sedangkan kepemilikan atas budak tetap milik istri. Maka suami memiliki pilihan untuk membatalkan sewa dengan menarik kembali setengahnya, atau tetap melanjutkan sewa hingga masa sewanya habis, atau memilih untuk menarik kembali setengah dari nilainya.
\ وَلَوْ بَاعَتْهُ بِخِيَارِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ لَهُمَا أَوْ لَهَا دُونَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا الزَّوْجُ فَفِي رُجُوعِهِ بِنِصْفِهِ وَجْهَانِ:
Jika istri menjual budak itu dengan syarat khiyār selama tiga hari untuk keduanya atau untuk istri saja tanpa suami, lalu suami menceraikannya, maka dalam hal suami menarik kembali setengahnya ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ بِهِ، لِأَنَّ بَيْعَهُ لَمْ يَلْزَمْ فَصَارَ كَالْهِبَةِ إِذَا لَمْ تُقْبَضْ.
Pertama: Suami boleh menarik kembali setengahnya, karena penjualan itu belum mengikat, sehingga seperti hibah yang belum diserahkan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا رُجُوعَ لَهُ بِهِ لِأَنَّ فَسْخَهُ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ لَا يَسْتَحِقُّهُ غَيْرُ المالك المختار. والله أعلم.
Pendapat kedua: Suami tidak boleh menarik kembali setengahnya, karena pembatalan dalam masa khiyār tidak berhak dilakukan kecuali oleh pemilik yang memilih. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى عبدٍ فَوُجِدَ حُرًّا فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) هَذَا غلطٌ وَهُوَ يَقُولُ لَوْ تَزَوَّجَهَا بشيءٍ فَاسْتَحَقَّ رَجَعَتْ إِلَى مَهْرِ مِثْلِهَا وَلَمْ تَكُنْ لَهَا قِيمَتُهُ لِأَنَّهَا لَمْ تَمْلِكْهُ فَهِيَ مِنْ مِلْكِ قِيمَةِ الْحُرِّ أَبْعَدُ “.
Imam Syāfi‘ī berkata: “Jika seseorang menikahi wanita dengan mahar seorang budak, lalu ternyata budak itu adalah orang merdeka, maka wajib membayar nilainya.” (Al-Muzanī berkata) Ini adalah kekeliruan. Ia (Syāfi‘ī) juga berkata: Jika seseorang menikahi wanita dengan sesuatu lalu ternyata barang itu milik orang lain, maka istri kembali kepada mahar mitsil (mahar sepadan) dan ia tidak berhak atas nilainya, karena ia tidak memilikinya, sehingga ia lebih jauh dari hak atas nilai orang merdeka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: أَنْ يُصْدِقَهَا عَبْدًا فَيَبِينُ الْعَبْدُ حُرًّا أَوْ مُسْتَحَقًّا فَهُوَ صَدَاقٌ بَاطِلٌ لَا يَتَعَلَّقُ لَهَا بِرَقَبَةِ الْحُرِّ وَلَا بِذِمَّتِهِ حَقٌّ.
Al-Mawardi berkata: Bentuknya adalah apabila seorang suami menjadikan seorang budak sebagai mahar bagi istrinya, lalu ternyata budak tersebut adalah orang merdeka atau milik orang lain, maka mahar tersebut batal, dan istri tidak memiliki hak atas diri orang merdeka itu maupun atas tanggungan (kewajiban)nya.
وَحُكِيَ عَنِ الشَّعْبِيِّ وَالنَّخَعِيِّ، أَنَّ الْحُرَّ رَهْنٌ فِي يَدِهَا عَلَى صَدَاقِهَا حَتَّى يَفُكَّ نَفْسَهُ أَوْ يَفُكَّهُ الزَّوْجُ.
Diriwayatkan dari asy-Sya‘bi dan an-Nakha‘i, bahwa orang merdeka itu menjadi jaminan di tangan istri atas maharnya sampai ia membebaskan dirinya sendiri atau dibebaskan oleh suaminya.
وَهَذَا خَطَأٌ قَبِيحٌ، لِأَنَّ مَا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ لَا يَجُوزُ رَهْنُهُ.
Ini adalah kesalahan yang buruk, karena sesuatu yang tidak boleh dijual juga tidak boleh dijadikan jaminan.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَفِيمَا تَرْجِعُ بِهِ الزَّوْجَةُ قَوْلَانِ:
Jika demikian, maka terkait apa yang dapat dituntut kembali oleh istri, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: بِقِيمَتِهِ لَوْ كَانَ عَبْدًا مَمْلُوكًا.
Salah satunya: dengan nilai budak itu seandainya ia memang seorang budak milik.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: بِمَهْرِ مِثْلِهَا، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ، وَاسْتَشْهَدَ لَهُ بِالْمُسْتَحِقِّ وَلَا دَلِيلَ فِيهِ، لِأَنَّ كِلَاهُمَا عَلَى قَوْلَيْنِ.
Pendapat kedua: dengan mahar semisalnya, dan ini yang dipilih oleh al-Muzani, ia berdalil dengan kasus barang milik orang lain, namun tidak ada dalil di dalamnya, karena keduanya juga terdapat dua pendapat.
وَلَكِنْ لَوْ قَالَ لَهَا وَقْتَ الْعَقْدِ، قَدْ أَصْدَقْتُكِ هَذَا الْحُرَّ كَانَ لَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ عِلْمَهَا بِحُرِّيَّتِهِ يَمْنَعُ مِنِ اسْتِحْقَاقِهِ أَوِ الرُّجُوعِ إِلَى قِيمَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَ عَبْدًا.
Namun, jika pada saat akad suami berkata kepadanya, “Aku jadikan mahar untukmu orang merdeka ini,” maka baginya mahar semisalnya secara pasti, karena pengetahuannya tentang kemerdekaan orang itu mencegahnya untuk berhak atasnya atau menuntut nilainya seandainya ia seorang budak.
وَلَوْ أَصْدَقَهَا خَلًّا فَبَانَ خَمْرًا، قَالَ أَصْحَابُنَا: تَرْجِعُ عَلَيْهِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ الْخَمْرَ لَيْسَ لَهُ فِي الْخَلِّ مِثْلٌ فَيَرْجِعُ إِلَى قِيمَتِهِ لأن لَوْ كَانَ خَلًّا وَلَيْسَ كَالْحُرِّ، لَأَنَّ لَهُ فِي الْعَبِيدِ مِثْلٌ، فَجَازَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى قِيمَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَ عَبْدًا.
Jika suami menjadikan cuka sebagai mahar, lalu ternyata itu adalah khamr (minuman keras), para ulama kami berkata: ia berhak menuntut mahar semisalnya secara pasti, karena khamr tidak memiliki padanan dalam bentuk cuka sehingga bisa dituntut nilainya seandainya itu cuka, dan ini berbeda dengan orang merdeka, karena di antara budak ada padanannya, sehingga boleh menuntut nilainya seandainya itu seorang budak.
وَلَوْ أَصْدَقَهَا عَبْدًا مَوْصُوفًا فِي الذِّمَّةِ جَازَ، كَالسَّلَمِ وَلَزِمَهُ تَسْلِيمُ عَبْدٍ عَلَى تِلْكَ الصِّفَةِ.
Jika suami menjadikan budak yang disifati dalam tanggungan (utang) sebagai mahar, maka itu sah, seperti akad salam, dan ia wajib menyerahkan budak yang sesuai dengan sifat tersebut.
وَلَوْ أَصْدَقَهَا عَبْدًا غَيْرَ مَوْصُوفٍ، كَانَ صَدَاقًا بَاطِلًا، لِجَهَالَتِهِ، وَرَجَعَتْ عَلَيْهِ بِمَهْرِ مِثْلِهَا قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ لَمْ يَتَعَيَّنْ لَهَا عَبْدٌ تَرْجِعُ بِقِيمَتِهِ.
Jika suami menjadikan budak yang tidak disifati sebagai mahar, maka maharnya batal karena ketidakjelasan, dan istri berhak menuntut mahar semisalnya secara pasti, karena tidak ada budak tertentu yang bisa ia tuntut nilainya.
وَحُكِيَ فِي الْقَدِيمِ جَوَازُهُ عَنْ مَالِكٍ وَأَنَّ لَهَا عَبْدًا وَسَطًا فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَهُ قَوْلًا ثَانِيًا وَأَنْكَرَهُ سَائِرُهُمْ، وَقَالُوا: قَدْ تَكَلَّمَ الشَّافِعِيُّ عَلَى إِبْطَالِهِ بِالْجَهَالَةِ.
Diriwayatkan dalam pendapat lama bahwa Malik membolehkannya, dan istri berhak mendapatkan budak yang pertengahan. Sebagian ulama kami mengeluarkan pendapat kedua berdasar hal ini, namun mayoritas mereka mengingkarinya dan berkata: Imam asy-Syafi‘i telah membahas batalnya karena ketidakjelasan.
وَلَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقٍ مُؤَجَّلٍ صَحَّ إِنْ ذَكَرَ مُدَّةَ الْأَجَلِ، وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْهَا كَانَ بَاطِلًا.
Jika seorang laki-laki menikahi wanita dengan mahar yang ditangguhkan, maka sah jika disebutkan jangka waktu penangguhannya, dan jika tidak disebutkan maka batal.
وَقَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: يَصِحُّ وَيَكُونُ حَالًّا.
Abu ‘Ubaid berkata: Sah dan menjadi mahar yang langsung jatuh tempo.
وَقَالَ الشَّعْبِيُّ: يَصِحُّ وَيَكُونُ أَجَلُهُ إِلَى وَقْتِ الطَّلَاقِ.
Asy-Sya‘bi berkata: Sah dan jatuh temponya sampai waktu talak.
\وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: يَصِحُّ وَيَكُونُ أَجَلُهُ إِلَى سَنَةٍ، وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ جَهَالَةَ الْأَجَلِ كَجَهَالَةِ الْمِقْدَارِ فَيَكُونُ لَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا قَوْلًا وَاحِدًا، كَمَا يَكُونُ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ فِي جَهَالَةِ الْمِقْدَارِ.
Al-Auza‘i berkata: Sah dan jatuh temponya sampai satu tahun, dan ini rusak (tidak sah), karena ketidakjelasan waktu jatuh tempo seperti ketidakjelasan kadar (mahar), sehingga istri berhak atas mahar semisalnya secara pasti, sebagaimana ia berhak atas mahar semisal dalam ketidakjelasan kadar.
الْقَوْلُ فِي صَدَاقِ السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ
Pembahasan tentang mahar rahasia dan mahar terang-terangan
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” وَإِذَا شَاهَدَ الزَّوْجُ الْوَلِيَّ وَالْمَرْأَةَ أَنَّ الْمَهْرَ كذا ويعلن أكثر منه فَاخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ فِي مَوْضِعٍ السِّرُّ وَقَالَ فِي غَيْرِهِ الْعَلَانِيَةُ وَهَذَا أَوْلَى عندي لأنه إنما ينظر إِلَى الْعُقُودِ وَمَا قَبْلَهَا وَعْدٌ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika suami, wali, dan wanita menyaksikan bahwa maharnya sekian, lalu diumumkan lebih dari itu, maka terdapat perbedaan pendapat beliau dalam hal ini. Di satu tempat beliau berkata: yang berlaku adalah mahar rahasia, dan di tempat lain beliau berkata: yang berlaku adalah mahar terang-terangan, dan menurutku yang lebih utama adalah yang terang-terangan, karena yang diperhatikan adalah akad dan apa yang sebelumnya hanyalah janji.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يَنْكِحَ امْرَأَةً فِي السِّرِّ عَلَى صَدَاقٍ قَلِيلٍ، ثُمَّ يَنْكِحَهَا فِي الْعَلَانِيَةِ عَلَى صَدَاقٍ كَثِيرٍ.
Al-Mawardi berkata: Bentuknya adalah seorang laki-laki menikahi wanita secara rahasia dengan mahar sedikit, lalu menikahinya secara terang-terangan dengan mahar banyak.
فَقَدْ حَكَى الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ فِي مَوْضِعٍ: إِنَّ الصَّدَاقَ صَدَاقُ السِّرِّ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: إِنَّ الصَّدَاقَ صَدَاقُ الْعَلَانِيَةِ، فَكَانَ الْمُزَنِيُّ وَطَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا يُخَرِّجُونَ اخْتِلَافَ نَصِّهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:
Al-Muzani meriwayatkan dari asy-Syafi‘i bahwa beliau berkata di satu tempat: mahar yang berlaku adalah mahar rahasia, dan di tempat lain: mahar yang berlaku adalah mahar terang-terangan. Maka al-Muzani dan sekelompok ulama kami mengeluarkan perbedaan nash beliau di dua tempat ini sebagai dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الصَّدَاقَ صَدَاقُ السِّرِّ لِتَقَدُّمِهِ.
Salah satunya: bahwa mahar yang berlaku adalah mahar rahasia karena lebih dahulu.
وَالثَّانِي: وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ، أَنَّ الصَّدَاقَ صَدَاقُ الْعَلَانِيَةِ، لِتَعَلُّقِ الْحُكْمِ بِظَاهِرِهِ.
Yang kedua, dan ini pilihan al-Muzani, bahwa mahar yang berlaku adalah mahar terang-terangan, karena hukum terkait dengan yang tampak.
وَامْتَنَعَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا مِنْ تَخْرِيجِ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَجَعَلُوهُ مَحْمُولًا عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ.
Mayoritas ulama kami menolak mengeluarkan masalah ini sebagai dua pendapat, dan mereka menganggapnya sebagai perbedaan dua keadaan.
فَالْمَوْضِعُ الَّذِي جَعَلَ الصَّدَاقَ في صَدَاقَ السِّرِّ دُونَ الْعَلَانِيَةِ، إِذَا عَقَدَاهُ سِرًّا بَوْلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ ثُمَّ أَعْلَنَاهُ تَجَمُّلًا بِالزِّيَادَةِ وَإِشَاعَةً لِلْعَقْدِ، لِأَنَّ النِّكَاحَ هُوَ الْأَوَّلُ الْمَعْقُودُ سراًُ وَالثَّانِي لَا حُكْمَ لَهُ، وَالْمَوْضِعُ الَّذِي جَعَلَ الصداق الْعَلَانِيَةِ إِذَا تَوَاعَدَا سِرًّا وَأَتَمَّاهُ سِرًّا بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ ثُمَّ عَقَدَاهُ عَلَانِيَةً بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ لِأَنَّ الْأَوَّلَ مَوْعِدٌ، وَالثَّانِي هُوَ الْعَقْدُ فَلَزِمَ مَا تَضَمَّنَهُ الْعَقْدُ دُونَ الْوَعْدِ.
Maka, kasus di mana mahar ditetapkan pada mahar yang disembunyikan (mahar sirr) bukan pada yang diumumkan (mahar ‘alāniyyah), yaitu apabila akad nikah dilakukan secara rahasia dengan wali dan dua saksi, kemudian diumumkan dengan menambah jumlah mahar sebagai bentuk penghormatan dan untuk menyebarluaskan akad, maka nikah yang sah adalah yang pertama yang dilakukan secara rahasia, sedangkan yang kedua tidak memiliki kekuatan hukum. Adapun kasus di mana mahar yang diumumkan yang dijadikan patokan adalah apabila keduanya berjanji secara rahasia dan menyelesaikannya secara rahasia tanpa wali dan saksi, lalu kemudian melakukan akad secara terbuka dengan wali dan dua saksi, maka yang pertama hanyalah janji, sedangkan yang kedua adalah akad nikah yang sah, sehingga yang berlaku adalah apa yang tercantum dalam akad, bukan dalam janji.
وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ تَخْرِيجِ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Dan ini lebih benar daripada mengeluarkan masalah tersebut menjadi dua pendapat.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” وإن عُقِدَ عَلَيْهِ النِّكَاحُ بِعِشْرِينَ يَوْمَ الْخَمِيسِ ثُمَّ عُقِدَ عَلَيْهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِثَلَاثِينَ وَطَلَبَهُمَا مَعًا فهما لها لأنهما نكاحان (قال المزني) رحمه الله للزوج أن يقول كان الفراق في النكاح الثاني قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا يَلْزَمُهُ إِلَّا مهرٌ ونصفٌ في قياس قوله “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika akad nikah dilakukan atasnya dengan mahar dua puluh pada hari Kamis, kemudian dilakukan lagi akad atasnya pada hari Jumat dengan mahar tiga puluh, dan ia (istri) menuntut keduanya sekaligus, maka keduanya menjadi hak istri karena itu adalah dua akad nikah.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Suami boleh berkata, “Perceraian terjadi pada akad nikah kedua sebelum terjadi hubungan, maka yang wajib baginya hanyalah mahar dan setengahnya menurut qiyās pendapatnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِذَا ادَّعَتِ الْمَرْأَةُ عَلَى زَوْجِهَا أَنَّهُ نَكَحَهَا يَوْمَ الْخَمِيسِ عَلَى صَدَاقِ عِشْرِينَ، وَشَهِدَ لَهَا شَاهِدَانِ. وَادَّعَتْ عَلَيْهِ أَنَّهُ نَكَحَهَا يوم الجمعة على صداق ثلاثين، وشهد له شَاهِدَانِ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ شَاهِدَا الْأَوَّلِ هُمَا شَاهِدَا الثَّانِي، أَوْ يَكُونَ غَيْرُهُمَا وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَخْتَلِفَ الصَّدَاقَانِ أَوْ يتساويا، فإننا نحكم بالشهادتين ويثبت بهما النكاحين، مُمْكِنًا، وَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِي يَوْمِ الْخَمِيسِ ثُمَّ يُخَالِعَهَا بَعْدَ الدُّخُولِ، أَوْ يُطَلِّقَهَا قَبْلَهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ.
Al-Mawardi berkata: Jika seorang wanita mengklaim kepada suaminya bahwa ia menikahinya pada hari Kamis dengan mahar dua puluh, dan ada dua saksi yang bersaksi untuknya. Kemudian ia mengklaim bahwa suaminya menikahinya pada hari Jumat dengan mahar tiga puluh, dan ada dua saksi yang bersaksi untuknya, maka tidak ada perbedaan apakah kedua saksi pada akad pertama adalah saksi pada akad kedua, atau berbeda, dan tidak ada perbedaan apakah kedua mahar itu berbeda atau sama. Maka kita memutuskan berdasarkan kedua kesaksian tersebut dan menetapkan dua akad nikah, jika memungkinkan, yaitu suami menikahinya pada hari Kamis lalu menceraikannya setelah terjadi hubungan, atau menceraikannya sebelum terjadi hubungan lalu menikahinya kembali pada hari Jumat.
فَلَوْ طَالَبَتْهُ بِالصَّدَاقَيْنِ فَادَّعَى الزَّوْجُ أَنَّهُمَا نِكَاحٌ وَاحِدٌ أَسَرَّاهُ فِي يَوْمِ الْخَمِيسِ بِالشَّاهِدَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ، وَأَعْلَنَاهُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ بِالشَّاهِدَيْنِ الْآخَرَيْنِ فَهَذَا مُحْتَمَلٌ.
Jika istri menuntut kedua mahar tersebut, lalu suami mengaku bahwa itu adalah satu akad nikah yang dilakukan secara rahasia pada hari Kamis dengan dua saksi pertama, dan diumumkan pada hari Jumat dengan dua saksi yang lain, maka hal ini masih mungkin terjadi.
فَإِنْ كَانَ عِنْدَ الشَّاهِدَيْنِ مِنْ ذَلِكَ عِلْمٌ شَهِدَا بِهِ عُمِلَ عَلَيْهِ وَجُعِلَ ذَلِكَ نِكَاحًا وَاحِدًا. وَحُكِمَ فِيهِ بِصَدَاقٍ وَاحِدٍ.
Jika kedua saksi mengetahui hal tersebut, lalu mereka bersaksi atasnya, maka kesaksian itu diterima dan dianggap sebagai satu akad nikah, serta diputuskan dengan satu mahar.
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَ الشُّهُودِ مِنْ ذَلِكَ عِلْمٌ وَأَنْكَرَتْهُ الزَّوْجَةُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مَعَهَا وَدَفَعْنَا مَا احْتَمَلَهُ قول الزوج بيمنها.
Namun jika para saksi tidak mengetahui hal itu dan istri mengingkarinya, maka yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya, karena secara lahiriah berpihak kepadanya dan kita menolak kemungkinan yang dikemukakan suami dengan sumpah istri.
فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ قَالَ: لِلزَّوْجِ أَنْ يَقُولَ طَلَّقْتُهَا فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا يَلْزَمُهُ إِلَّا مَهْرٌ وَنِصْفٌ.
Adapun Al-Muzani, ia berkata: Suami boleh berkata, “Aku telah menceraikannya pada akad nikah pertama sebelum terjadi hubungan, maka yang wajib baginya hanyalah mahar dan setengahnya.”
وَهَذَا صَحِيحٌ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يُنَبِّهَ عَلَيْهِ.
Dan ini benar, hanya saja tidak sepatutnya hakim memberi petunjuk tentang hal itu.
فإن ابتدأ به وقال قَبْلَ قَوْلِهِ مَعَ يَمِينِهِ، لِأَنَّ قَوْلَ الزَّوْجِ فِي إِنْكَارِ الدُّخُولِ مَقْبُولٌ. وَسَوَاءٌ ادَّعَى عَدَمَ الدُّخُولِ فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ أَوْ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي.
Namun jika suami memulai dengan pernyataan tersebut sebelum istri bersumpah, maka pernyataan suami dalam mengingkari terjadinya hubungan diterima. Sama saja apakah ia mengaku tidak terjadi hubungan pada akad nikah pertama atau pada akad nikah kedua.
وَهَكَذَا لَوِ ادَّعَى أَنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ بها في النكاحين معاً كان قوله مَقْبُولًا مَعَ يَمِينِهِ وَلَا يَلْزَمُهُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَهْرِ إِلَّا نِصْفُهُ.
Demikian pula jika ia mengaku tidak terjadi hubungan pada kedua akad nikah sekaligus, maka pernyataannya diterima dengan sumpahnya, dan ia hanya wajib membayar setengah mahar dari masing-masing akad.
وَلَوِ ادَّعَى الزَّوْجُ أَنَّهَا ارْتَدَّتْ فِي النِّكَاحِ الْأَوَّلِ قَبْلَ الدُّخُولِ فَسَقَطَ جَمِيعُ مَهْرِهَا وَأَنْكَرَتْهُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا، وَلَهَا الْمَهْرُ، لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنَّهَا عَلَى دِينِهَا لَمْ تَرْتَدَّ عَنْهُ.
Dan jika suami mengaku bahwa istrinya murtad pada akad nikah pertama sebelum terjadi hubungan sehingga seluruh maharnya gugur, lalu istri mengingkarinya, maka yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya, dan ia berhak atas mahar, karena asalnya ia tetap dalam agamanya dan tidak murtad darinya.
وَعَلَى قِيَاسِ ما ذكرنا في النكاح من الْبُيُوعِ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ: بِعْتُكَ عَبْدِي فِي يَوْمِ الْخَمِيسِ بِمِائَةٍ وَيَشْهَدُ لَهُ شَاهِدَانِ، ثُمَّ يَقُولُ وَبِعْتُكَهُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ بِمِائَتَيْنِ، وَيَشْهَدُ لَهُ شَاهِدَانِ، فَيُحْكَمُ لَهُ بِالثَّمَنَيْنِ ثَلَثِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَإِنِ ادَّعَى الْمُشْتَرِي أَنَّهُمَا بَيْعٌ وَاحِدٌ أَحْلَفْنَا له البائع.
Dan menurut qiyās atas apa yang telah kami sebutkan dalam masalah nikah, pada masalah jual beli, jika seseorang berkata: “Aku telah menjual budakku kepadamu pada hari Kamis seharga seratus, dan ada dua saksi yang bersaksi untukku, kemudian aku berkata: Aku telah menjualnya kepadamu pada hari Jumat seharga dua ratus, dan ada dua saksi yang bersaksi untukku,” maka diputuskan baginya dua harga, yaitu tiga ratus dirham. Jika pembeli mengaku bahwa itu adalah satu transaksi jual beli, maka penjual kami minta bersumpah untuknya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ أَصْدَقَ أَرْبَعَ نسوةٍ أَلْفًا قُسِّمَتْ عَلَى قَدْرِ مُهُورِهِنَّ كَمَا لَوِ اشْتَرَى أَرْبَعَةَ أعبدٍ فِي صفقةٍ فَيَكُونُ الثَّمَنُ مَقْسُومًا عَلَى قدرٍ قيمتهم (قال المزني) رحمه الله نظيرهن أن يشتري من أربع نسوةٍ من كل واحدةٍ عبداً بثمنٍ واحدٍ فتجهل كل واحدةٍ منهن ثمن عبدها كما جهلت كل واحدةٍ منهن مهر نفسها وفساد المهر بقوله أولى “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang memberikan mahar seribu (dirham) kepada empat orang wanita, maka dibagi sesuai kadar mahar masing-masing, sebagaimana jika ia membeli empat budak dalam satu transaksi, maka harga tersebut dibagi sesuai nilai masing-masing budak.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah, “Yang serupa dengan itu adalah jika seseorang membeli dari empat wanita, dari masing-masing seorang budak dengan satu harga, sehingga masing-masing wanita tidak mengetahui harga budaknya, sebagaimana masing-masing dari mereka tidak mengetahui mahar dirinya sendiri, dan kerusakan mahar dalam hal ini lebih utama (untuk dinyatakan rusak) menurut pendapatnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ تَزَوَّجَ أَرْبَعَ زَوْجَاتٍ فِي عَقْدٍ وَأَصْدَقَهُنَّ أَلْفًا، فَإِنْ بَيَّنَ مِنْهَا مَهْرَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ صَحَّ النِّكَاحُ وَالْمَهْرُ، وَإِنْ لَمْ يُبَيِّنْ فَالنِّكَاحُ صَحِيحٌ وَفِي الْمَهْرِ قَوْلَانِ. وَهَكَذَا لَوْ خَالَعَ أَرْبَعَ زَوْجَاتٍ فِي عَقْدٍ بِأَلْفٍ صَحَّ الْخُلْعُ، وَفِي صِحَّةِ الْبَدَلِ قَوْلَانِ.
Al-Mawardi berkata: “Gambaran kasusnya adalah seorang laki-laki menikahi empat istri dalam satu akad dan memberikan mahar seribu (dirham) kepada mereka. Jika ia menjelaskan mahar masing-masing dari mereka, maka akad nikah dan maharnya sah. Namun jika tidak dijelaskan, maka akad nikahnya sah, tetapi dalam hal mahar terdapat dua pendapat. Demikian pula jika ia melakukan khulu‘ terhadap empat istri dalam satu akad dengan seribu (dirham), maka khulu‘nya sah, dan dalam keabsahan pengganti (harta khulu‘) terdapat dua pendapat.”
وَلَوْ كَاتَبَ أَرْبَعَةَ عَبِيدٍ لَهُ فِي عَقْدٍ بِأَلْفٍ إِلَى نَجْمَيْنِ فَفِي أَصْلِ الكتابة قولان.
Dan jika ia melakukan mukatabah kepada empat budaknya dalam satu akad dengan seribu (dirham) hingga dua kali pembayaran, maka dalam asal hukum mukatabah terdapat dua pendapat.
فَيَكُونُ الْقَوْلَانِ فِي بَدَلِ النِّكَاحِ وَالْخُلْعِ مَعَ صِحَّةِ النِّكَاحِ وَالْخُلْعِ، وَالْقَوْلَانِ فِي الْكِتَابَةِ فِي أَصْلِهَا، لِأَنَّ فَسَادَ الْبَدَلِ فِي الْكِتَابَةِ مُبْطِلٌ لَهَا، وَلَيْسَ فَسَادُ الْبَدَلِ فِي النِّكَاحِ وَالْخُلْعِ مبطلاً لهما:
Maka dua pendapat dalam pengganti (harta) nikah dan khulu‘ berlaku bersama keabsahan nikah dan khulu‘, sedangkan dua pendapat dalam mukatabah berlaku pada asal hukumnya, karena rusaknya pengganti dalam mukatabah membatalkan akadnya, sedangkan rusaknya pengganti dalam nikah dan khulu‘ tidak membatalkan keduanya.
– أحد القولين في هذا صَحِيحٌ وَوَجْهُهُ شَيْئَانِ:
– Salah satu dari dua pendapat dalam hal ini adalah sah, dan alasannya ada dua:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ تَزْوِيجَهُ بِأَرْبَعٍ فِي عَقْدٍ عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ كَابْتِيَاعِهِ أَرْبَعَةَ أَعْبُدٍ فِي عَقْدٍ بِأَلْفٍ وَذَلِكَ يَجُوزُ إِجْمَاعًا، فَكَذَلِكَ يَجُوزُ هَذَا حِجَاجًا.
Pertama: Bahwa menikahi empat wanita dalam satu akad dengan mahar seribu (dirham) adalah seperti membeli empat budak dalam satu akad dengan seribu (dirham), dan hal itu dibolehkan secara ijmā‘, maka demikian pula hal ini dibolehkan secara analogi (qiyās).
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَعْقُودٌ بِمَا يُعْلَمُ بِهِ مَهْرُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فِي ثَانِي حَالٍ بِأَنْ يُقَسِّطَ الْأَلْفَ عَلَى مُهُورِ أَمْثَالِهِنَّ، وَإِنْ كَانَ مَجْهُولًا فِي الْحَالِ فَلَمْ يَمْنَعْ ذَلِكَ مِنَ الصِّحَّةِ كَمَا لَوِ اشْتَرَى صُبْرَةَ طَعَامٍ كُلُّ قَفِيزٍ بِدِرْهَمٍ صَحَّ الْبَيْعُ، وَإِنْ جَهِلَ الثَّمَنَ فِي الْحَالِ؛ لِأَنَّهُ مَعْقُودٌ بِمَا يَصِيرُ مَعْلُومًا فِي ثَانِي حَالٍ.
Kedua: Bahwa akad tersebut dilakukan dengan sesuatu yang dapat diketahui mahar masing-masing dari mereka pada keadaan berikutnya, yaitu dengan membagi seribu (dirham) sesuai mahar wanita-wanita yang sepadan dengan mereka. Meskipun pada saat akad masih belum diketahui, hal itu tidak menghalangi keabsahan, sebagaimana jika seseorang membeli tumpukan makanan, setiap takarannya seharga satu dirham, maka jual belinya sah meskipun harga totalnya belum diketahui saat itu, karena akad tersebut dilakukan dengan sesuatu yang akan menjadi jelas pada keadaan berikutnya.
– وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ اخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ، كُلُّ ذَلِكَ بَاطِلٌ، وَوَجْهُهُ شَيْئَانِ:
– Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, dipilih oleh Al-Muzani, bahwa semuanya batal, dan alasannya ada dua:
أَحَدُهُمَا: ذَكَرَهُ أَصْحَابُنَا وَهُوَ أَنَّ مَهْرَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مِنَ الْأَلْفِ مَجْهُولٌ فِي حَالِ الْعَقْدِ فَلَمْ يَصِحَّ وَإِنْ أَمْكَنَ الْعِلْمُ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْعَقْدِ، كَمَا لَوْ تَزَوَّجَ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ عَلَى انْفِرَادِهَا بِقِسْطِ مَهْرِ مِثْلِهَا مِنَ الْأَلْفِ لَمْ يَجُزْ عَلَى الِانْفِرَادِ، فَكَذَلِكَ مَعَ الِاجْتِمَاعِ.
Pertama: Sebagaimana disebutkan oleh para ulama kami, bahwa mahar masing-masing dari mereka dari seribu (dirham) itu tidak diketahui pada saat akad, sehingga tidak sah, meskipun bisa diketahui setelah akad. Sebagaimana jika seseorang menikahi masing-masing dari mereka secara terpisah dengan bagian mahar yang sepadan dari seribu (dirham), maka tidak sah secara terpisah, demikian pula secara bersamaan.
وَالثَّانِي: ذَكَرَهُ الْمُزَنِيُّ، أَنَّ تَزَوُّجَهُ لَهُنَّ بِالْأَلْفِ كَابْتِيَاعِهِ أَرْبَعَةَ أَعْبُدٍ مِنْهُنَّ بِأَلْفٍ، وَهُوَ فِي الْبَيْعِ بَاطِلٌ، فَكَذَلِكَ فِي الصَّدَاقِ بَاطِلٌ، لِأَنَّ مَا بَطَلَ بِهِ أَحَدُهُمَا مِنَ الْجَهَالَةِ بَطَلَ بِهِ الْآخَرُ. فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا ذَكَرَهُ الْمُزَنِيُّ.
Kedua: Sebagaimana disebutkan oleh Al-Muzani, bahwa menikahi mereka dengan seribu (dirham) seperti membeli empat budak dari mereka dengan seribu (dirham), dan dalam jual beli hal itu batal, maka demikian pula dalam mahar juga batal, karena sesuatu yang batal pada salah satunya karena ketidakjelasan, maka batal pula pada yang lainnya. Maka para ulama kami berbeda pendapat dalam apa yang disebutkan oleh Al-Muzani.
فَكَانَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يُخَرِّجُ هَذَا الْبَيْعَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالصَّدَاقِ، وَالْخُلْعِ، وَالْكِتَابَةِ، وَيُسَوِّي بَيْنَ الْجَمِيعِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَكُونُ فِيهِ دَلِيلٌ.
Abu Al-‘Abbas bin Suraij mengeluarkan hukum jual beli ini menjadi dua pendapat sebagaimana pada mahar, khulu‘, dan mukatabah, dan menyamakan semuanya, sehingga menurut pendapat ini tidak ada dalil yang pasti di dalamnya.
وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا إِنَّهُ بَاطِلٌ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ كَانَ الصَّدَاقُ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَفَرَّقُوا بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Abu Ishaq Al-Marwazi dan Abu Sa‘id Al-Istakhri, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama kami, mengatakan bahwa hal itu batal secara mutlak, meskipun dalam hal mahar terdapat dua pendapat. Mereka membedakan antara keduanya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَبْطُلِ النِّكَاحُ بِفَسَادِ الصَّدَاقِ لَمْ يَبْطُلِ الصَّدَاقُ بِالْجَهَالَةِ بِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ.
Pertama: Karena nikah tidak batal dengan rusaknya mahar, maka mahar tidak batal hanya karena tidak diketahui pada saat akad.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْبَيْعِ الثَّمَنُ فَجَازَ أَنْ يَبْطُلَ بِالْجَهَالَةِ بِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ وَلَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنَ النِّكَاحِ الصَّدَاقُ، فَجَازَ أَنْ يَصِحَّ وَإِنْ كَانَ مَجْهُولًا وَقْتَ الْعَقْدِ إِذَا انْتَفَتْ عَنْهُ الْجَهَالَةُ مِنْ بَعْدُ.
Kedua: Bahwa tujuan dari jual beli adalah harga, sehingga boleh batal karena ketidakjelasan harga pada saat akad, sedangkan tujuan dari nikah bukanlah mahar, sehingga boleh sah meskipun tidak diketahui pada saat akad, jika ketidakjelasan itu hilang setelahnya.
فَأَمَّا تَوْجِيهُ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ بِأَنَّ تَزْوِيجَهُنَّ عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ كَابْتِيَاعِ أَرْبَعَةِ أَعْبُدٍ مِنْ رَجُلٍ بِأَلْفٍ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ الْعَقْدَ إِذَا كَانَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ جِهَتَيْهِ عَاقِدٌ وَاحِدٌ كَانَ عَقْدًا وَاحِدًا، وَإِذَا كَانَ فِي أَحَدِ جِهَتَيْهِ عَاقِدَانِ كَانَ عَقْدَيْنِ. أَلَا تَرَى لَوِ اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلَيْنِ عَبْدًا وَوَجَدَ بِالْعَبْدِ عَيْبًا كَانَ لَهُ رَدُّ نِصْفِ الْعَبْدِ عَلَى أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ، وَلَوِ اشْتَرَاهُ من واحد لم يكن له لأن شراؤه مِنَ اثْنَيْنِ يَكُونُ عَقْدَيْنِ، وَمِنَ الْوَاحِدِ يَكُونُ عَقْدًا وَاحِدًا. كَذَلِكَ إِذَا تَزَوَّجَ أَرْبَعًا بِأَلْفٍ كَانَتْ أَرْبَعَةَ عُقُودٍ، فَبَطَلَ الْبَدَلُ لِلْجَهَالَةِ بِبَدَلِ كُلِّ عَقْدٍ، وَلَوِ اشْتَرَى أَرْبَعَةَ أَعْبُدٍ مِنْ رَجُلٍ بِأَلْفٍ كَانَ عَقْدًا وَاحِدًا، فَلَمْ يَبْطُلْ، لِأَنَّ الثَّمَنَ فِيهِ وَاحِدٌ مَعْلُومٌ.
Adapun penjelasan pendapat pertama yang menyamakan pernikahan mereka dengan mahar seribu seperti membeli empat budak dari seorang laki-laki dengan seribu, maka itu tidak benar. Sebab, jika dalam suatu akad di kedua sisinya hanya ada satu pihak yang berakad, maka itu adalah satu akad; dan jika di salah satu sisinya ada dua pihak yang berakad, maka itu menjadi dua akad. Tidakkah engkau melihat, jika seorang laki-laki membeli seorang budak dari dua orang, lalu ia menemukan cacat pada budak tersebut, maka ia berhak mengembalikan setengah budak itu kepada salah satu dari keduanya saja, tidak kepada yang lain. Namun jika ia membelinya dari satu orang, maka ia tidak berhak demikian, karena membeli dari dua orang adalah dua akad, sedangkan dari satu orang adalah satu akad. Demikian pula, jika seseorang menikahi empat perempuan dengan mahar seribu, maka itu adalah empat akad, sehingga mahar menjadi batal karena tidak diketahui jumlah mahar untuk setiap akad. Sedangkan jika seseorang membeli empat budak dari satu orang dengan seribu, maka itu adalah satu akad, sehingga tidak batal, karena harga dalam akad tersebut satu dan jelas.
وَأَمَّا اعْتِبَارُ ذَلِكَ بِالصُّبْرَةِ مِنَ الطَّعَامِ، فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun membandingkan hal itu dengan membeli satu tumpukan makanan, maka perbedaannya ada pada dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ ثَمَنَ أَجْزَاءِ الصُّبْرَةِ مَعْلُومٌ، فَصَارَ جَمِيعُ الثَّمَنِ بِهِ مَعْلُومًا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ مُهُورُ الْأَرْبَعِ.
Pertama: Harga bagian-bagian dari tumpukan makanan itu diketahui, sehingga seluruh harga menjadi jelas, sedangkan mahar untuk empat perempuan tidak demikian.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ الْعِلْمُ بِثَمَنِ الصُّبْرَةِ تَحَقَّقَ فَصَارَ الثَّمَنُ بِهِ مَعْلُومًا، وَمَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ الْعِلْمُ بِمَهْرِ مِثْلِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ تَقْرِيبٌ، لِأَنَّهُ عَنِ اجتهاد يختلف فيه المجتهدون فَصَارَ الْمَهْرُ مَجْهُولًا.
Kedua: Apa yang dapat diketahui secara pasti dari harga tumpukan makanan itu benar-benar jelas, sehingga harganya menjadi diketahui. Sedangkan apa yang dapat diketahui dari mahar misli (mahar sepadan) masing-masing perempuan hanyalah perkiraan, karena didasarkan pada ijtihad yang bisa berbeda antara para mujtahid, sehingga maharnya menjadi tidak diketahui.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَوْجِيهِ الْقَوْلَيْنِ:
Jika telah jelas apa yang kami sebutkan tentang penjelasan kedua pendapat:
– فَإِذَا قُلْنَا بِبُطْلَانِ الصَّدَاقِ، كَانَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مَهْرُ مِثْلِهَا.
– Jika kita mengatakan batalnya mahar, maka masing-masing dari mereka berhak mendapatkan mahar misli-nya.
– وَإِذَا قُلْنَا بِصِحَّتِهِ قُسِّمَتِ الْأَلْفُ عَلَى مُهُورِ أمثالهن، وكان لك وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ قِسْطًا مِنَ الْأَلْفِ.
– Jika kita mengatakan sahnya mahar tersebut, maka seribu itu dibagi sesuai mahar misli mereka, sehingga masing-masing dari mereka mendapatkan bagian dari seribu itu.
مِثَالُهُ: أَنْ يَكُونَ مَهْرُ مِثْلِ وَاحِدَةٍ أَلْفًا، وَمَهْرُ الثَّانِيَةِ أَلْفَيْنِ، وَمَهْرُ الثَّالِثَةِ ثَلَاثَةَ آلَافٍ، وَمَهْرُ الرَّابِعَةِ أَرْبَعَةَ آلَافٍ: فَنَجْعَلُ الْأَلْفَ الْمُسَمَّاةَ مُقَسَّطَةً عَلَى عَشَرَةِ آلَافٍ، لِأَنَّهَا فِي مُقَابَلَتِهَا فَتَكُونُ الَّتِي مَهْرُ مِثْلِهَا أَلْفٌ عُشْرَ الْأَلْفِ، وَذَلِكَ مِائَةُ دِرْهَمٍ، وَلِلَّتِي مَهْرُ مِثْلِهَا أَلْفَانِ، خُمُسُ الْأَلْفِ، وَذَلِكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ، وَلِلَّتِي مَهْرُ مِثْلِهَا ثَلَاثَةُ آلاف، ثلاثة أعشار الألف وذلك ثلثمائة دِرْهَمٍ، وَلِلَّتِي مَهْرُ مِثْلِهَا أَرْبَعَةُ آلَافٍ خُمُسَا الألف وذلك أربعمائة درهم.
Contohnya: Jika mahar misli salah satu dari mereka seribu, yang kedua dua ribu, yang ketiga tiga ribu, dan yang keempat empat ribu, maka seribu yang disebutkan itu dibagi atas sepuluh ribu, karena jumlah itu sebagai pembandingnya. Maka yang mahar mislinya seribu mendapat sepersepuluh dari seribu, yaitu seratus dirham; yang mahar mislinya dua ribu mendapat seperlima dari seribu, yaitu dua ratus dirham; yang mahar mislinya tiga ribu mendapat tiga persepuluh dari seribu, yaitu tiga ratus dirham; dan yang mahar mislinya empat ribu mendapat dua perlima dari seribu, yaitu empat ratus dirham.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوْ أَصْدَقَ عَنِ ابْنِهِ وَدَفَعَ الصَّدَاقَ مِنْ مَالِهِ ثُمَّ طَلَّقَ فَلِلِابْنِ النِّصْفُ كَمَا لَوْ وَهَبَهُ لَهُ فَقَبَضَهُ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang menikahkan anaknya dan memberikan mahar dari hartanya sendiri, kemudian terjadi talak, maka anak itu berhak atas setengahnya, sebagaimana jika ia memberikannya sebagai hibah lalu anak itu menerimanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ الْأَبَ إِذَا زَوَّجَ ابْنَهُ الصَّغِيرَ لَمْ يَخْلُ مَا أَصْدَقَ زَوْجَتَهُ عَنْهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُعَيَّنًا، أَوْ فِي الذِّمَّةِ.
Al-Mawardi berkata: Pokok permasalahan ini adalah bahwa jika seorang ayah menikahkan anaknya yang masih kecil, maka mahar yang diberikan kepada istrinya tidak lepas dari dua kemungkinan: berupa barang tertentu, atau berupa tanggungan (utang).
فَإِنْ كَانَ مُعَيَّنًا كَعَبْدٍ جَعَلَهُ صَدَاقًا لِزَوْجَتِهِ فَهُوَ صَدَاقٌ جَائِزٌ، سَوَاءٌ كَانَ الْعَبْدُ لِلِابْنِ، أَوْ لِلْأَبِ، إِلَّا أَنَّهُ إِنْ كَانَ لِلْأَبِ كَانَ ذَلِكَ مِنْهُ هِبَةً لِلِابْنِ.
Jika berupa barang tertentu, seperti seorang budak yang dijadikan mahar untuk istrinya, maka itu adalah mahar yang sah, baik budak itu milik anak maupun milik ayah. Namun, jika budak itu milik ayah, maka itu berarti hibah dari ayah untuk anaknya.
وَإِنْ كَانَ فِي الذِّمَّةِ: فَلَا يَخْلُو الِابْنُ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا، أَوْ مُعْسِرًا، فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا: وَجَبَ الصَّدَاقُ فِي ذِمَّتِهِ، وَلَا يَتَعَلَّقُ بِذِمَّةِ الْأَبِ إِلَّا أَنْ يُصَرِّحَ بِضَمَانِهِ وَإِنْ كَانَ الْأَبُ مُعْسِرًا، فَفِي الصَّدَاقِ قَوْلَانِ:
Jika berupa tanggungan (utang), maka anak itu tidak lepas dari dua keadaan: mampu atau tidak mampu. Jika ia mampu, maka mahar menjadi tanggungan atas dirinya, dan tidak terkait dengan tanggungan ayah kecuali jika ayah secara tegas menyatakan menanggungnya. Jika ayah tidak mampu, maka dalam masalah mahar ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: إنَّهُ لازم للأب، ولأن قَبُولَهُ لِنِكَاحِ وَلَدِهِ مَعَ عِلْمِهِ بِإِعْسَارِهِ الْتِزَامٌ مِنْهُ لِمُوجِبِهِ.
Salah satunya, yaitu pendapat dalam qaul qadim: bahwa itu menjadi tanggungan ayah, karena persetujuannya atas pernikahan anaknya dengan mengetahui ketidakmampuannya merupakan bentuk komitmen dari ayah terhadap kewajibannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: أَنَّهُ لَازِمٌ لِلِابْنِ دُونَ الْأَبِ، لِأَنَّ الِابْنَ هُوَ الْمَالِكُ لِلْبُضْعِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمُلْتَزِمَ بِمَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ الصَّدَاقِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid: bahwa kewajiban itu dibebankan kepada anak laki-laki, bukan kepada ayah, karena anak laki-laki adalah pemilik hak atas tubuh istri, maka wajib baginya untuk menanggung mahar sebagai imbalan atas hak tersebut.
فَعَلَى هَذَا، إِذَا قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: أَنَّ الصَّدَاقَ لَازِمٌ لِلِابْنِ فَهُوَ الْمَأْخُوذُ بِهِ فِي الصِّغَرِ وَالْكِبَرِ دُونَ الْأَبِ.
Berdasarkan hal ini, jika kita mengikuti pendapat beliau dalam qaul jadid, bahwa mahar menjadi tanggungan anak laki-laki, maka ia tetap menjadi kewajiban anak baik ketika masih kecil maupun sudah dewasa, bukan menjadi tanggungan ayah.
وَإِذَا قُلْنَا بِقَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ: أَنَّهُ لَازِمٌ لِلْأَبِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَلْتَزِمُهُ الْأَبُ الْتِزَامَ تَحَمُّلٍ، أَوِ الْتِزَامَ ضَمَانٍ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dan jika kita mengikuti pendapat beliau dalam qaul qadim, bahwa mahar menjadi tanggungan ayah, maka para sahabat kami berbeda pendapat: apakah ayah menanggungnya sebagai tanggungan pembiayaan (tahammul), atau sebagai tanggungan penjaminan (dhaman)? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: الْتِزَامُ تَحَمُّلٍ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الِابْنُ بريئاًَ مِنْهُ، وَلَوْ أُبْرِئَ الِابْنُ مِنْهُ لَمْ يَبْرَأِ الْأَبُ.
Pertama: tanggungan pembiayaan (tahammul), maka dalam hal ini anak terbebas darinya, dan jika anak dibebaskan dari kewajiban tersebut, ayah tidak otomatis terbebas.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: الْتِزَامُ ضَمَانٍ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ ثَابِتًا فِي ذِمَّةِ الِابْنِ وَإِنْ أُبْرِئَ مِنْهُ بَرِئَ الْأَبُ.
Pendapat kedua: tanggungan penjaminan (dhaman), maka dalam hal ini kewajiban tetap berada pada tanggungan anak, dan jika anak dibebaskan dari kewajiban tersebut, maka ayah juga terbebas.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا، وَطَلَّقَ الِابْنُ زَوْجَتَهُ قَبْلَ الدُّخُولِ، فَقَدْ مَلَكَ بِالطَّلَاقِ نِصْفَ الصَّدَاقِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا يخلو الصداق مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Setelah dipastikan apa yang telah kami sebutkan, jika anak laki-laki menceraikan istrinya sebelum terjadi hubungan suami istri, maka dengan perceraian itu ia berhak atas separuh mahar. Dalam hal ini, mahar tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ مال الابن، أو من مَالِ الْأَبِ.
Yaitu, apakah mahar itu berasal dari harta anak laki-laki, atau dari harta ayah.
فَإِذَا كَانَ مِنْ مَالِ الِابْنِ فحكمه فيه كحكمه لَوْ تَزَوَّجَ بَالِغًا ثُمَّ طَلَّقَ قَبْلَ الدُّخُولِ عَلَى مَا مَضَى.
Jika berasal dari harta anak laki-laki, maka hukumnya sama seperti jika ia menikah dalam keadaan sudah baligh lalu menceraikan sebelum terjadi hubungan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
وَإِنْ كَانَ مِنْ مَالِ الْأَبِ: فَلَا يَخْلُو مَالِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Dan jika berasal dari harta ayah, maka harta tersebut juga tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ سَلَّمَهُ إِلَى الزَّوْجَةِ قَبْلَ طَلَاقِهَا، أَوْ لَمْ يُسَلِّمْهُ إِلَيْهَا، فَإِنْ كَانَ قَدْ سَلَّمَهُ إِلَيْهَا: فَقَدْ مَلَكَ الِابْنُ نِصْفَهُ دُونَ الْأَبِ، لِأَنَّهُ مَمْلُوكٌ بِالطَّلَاقِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مِلْكَ الْمُطَلَّقِ دُونَ غَيْرِهِ.
Yaitu, apakah ayah telah menyerahkannya kepada istri sebelum ditalak, atau belum menyerahkannya. Jika ayah telah menyerahkannya kepada istri, maka anak laki-laki berhak atas separuhnya, bukan ayah, karena hak itu diperoleh melalui perceraian sehingga menjadi milik pihak yang menceraikan, bukan yang lain.
فَعَلَى هَذَا: إِذَا اسْتَرْجَعَ الِابْنُ نِصْفَ الصَّدَاقِ، فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَسْتَرْجِعَهُ بِعَيْنِهِ، أَوْ يَسْتَرْجِعَ بَدَلَهُ.
Berdasarkan hal ini, jika anak laki-laki mengambil kembali separuh mahar, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia mengambil kembali barang yang sama, atau mengambil penggantinya.
فَإِنِ اسْتَرْجَعَ بَدَلَهُ لِتَلَفِهِ فِي يَدِهَا، فَلَيْسَ لِلْأَبِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى الِابْنِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ الْعَيْنِ الَّتِي وَهَبَهَا.
Jika ia mengambil penggantinya karena barangnya telah rusak di tangan istri, maka ayah tidak berhak menuntut penggantian itu dari anak, karena itu bukan barang yang dihibahkan olehnya.
وَإِنِ اسْتَرْجَعَ الِابْنُ مَا دَفَعَهُ الْأَبُ بِعَيْنِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Dan jika anak laki-laki mengambil kembali barang yang sama yang telah diberikan ayah, maka hal ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ مُعَيَّنًا وَقْتَ الْعَقْدِ كَعَبْدٍ، أَوْ ثَوْبٍ، جَعَلَهُ صَدَاقًا عَنِ الِابْنِ، فَفِي رُجُوعِ الأب به عَلَى الِابْنِ وَجْهَانِ، مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا فِي الْأَبِ إِذَا وَهَبَ لِابْنِهِ مَالًا فَخَرَجَ عَنْ مِلْكِهِ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِ، هَلْ لِلْأَبِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ: كَذَلِكَ هَاهُنَا، لِأَنَّهَا هِبَةٌ لِلْأَبِ صَارَتْ إِلَى الزَّوْجَةِ ثُمَّ عَادَتْ إِلَى الِابْنِ.
Pertama: jika mahar itu berupa barang tertentu saat akad, seperti budak atau pakaian yang dijadikan mahar atas nama anak, maka dalam hal ayah ingin mengambil kembali barang itu dari anak terdapat dua pendapat, yang didasarkan pada perbedaan pendapat para sahabat kami tentang ayah yang menghibahkan harta kepada anaknya lalu keluar dari kepemilikannya dan kemudian kembali lagi kepadanya, apakah ayah boleh mengambilnya kembali atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini, demikian pula dalam kasus ini, karena ini adalah hibah dari ayah yang berpindah ke istri lalu kembali kepada anak.
وَالضَّرْبُ الثاني: أن يكون الصداق فِي الذِّمَّةِ فَدَفَعَهُ الْأَبُ إِلَى الزَّوْجَةِ فَرُجُوعُ الْأَبِ بِهِ عَلَى الِابْنِ إِذَا عَادَ إِلَيْهِ بِطَلَاقِهِ مَبْنِيٌّ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ هَلْ كَانَ لَازِمًا لِلْأَبِ أَمْ لَا؟
Kedua: jika mahar itu berupa utang (di tanggungan), lalu ayah membayarkannya kepada istri, maka hak ayah untuk mengambil kembali dari anak jika mahar itu kembali kepada anak karena perceraian, tergantung pada perbedaan dua pendapat: apakah mahar itu menjadi tanggungan ayah atau tidak?
فَإِنْ قُلْنَا: كَانَ لَازِمًا لِلْأَبِ لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ، سَوَاءٌ قِيلَ: إِنَّهُ يَلْزَمُهُ تَحَمُّلًا أَوْ ضَامِنًا، لِأَنَّهُ دَفَعَ وَاجِبًا عَلَيْهِ فَخَرَجَ عَنْ حُكْمِ الهبات.
Jika kita katakan: mahar itu menjadi tanggungan ayah, maka ayah tidak berhak mengambilnya kembali, baik dikatakan bahwa ia menanggungnya sebagai pembiayaan maupun sebagai penjaminan, karena ia telah membayar sesuatu yang wajib atasnya sehingga keluar dari hukum hibah.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ كَانَ لَازِمًا لِلِابْنِ صَارَ كالصداق الْمُعَيَّنَ فَيَكُونُ لِلْأَبِ بِهِ وَجْهَانِ:
Dan jika kita katakan: mahar itu menjadi tanggungan anak, maka hukumnya seperti mahar yang berupa barang tertentu, sehingga ayah memiliki dua pendapat dalam hal ini:
وَإِنْ كَانَ الْأَبُ مَا سَلَّمَ الصَّدَاقَ إِلَى الزَّوْجَةِ حَتَّى طلقت فعلى ضربين:
Dan jika ayah belum menyerahkan mahar kepada istri hingga ia ditalak, maka ada dua kemungkinan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ مُعَيَّنًا، فَلِلزَّوْجَةِ نِصْفُهُ، والنصف الآخر يعود إلى الأب دُونَ الِابْنِ؛ لِأَنَّهَا هِبَةٌ مِنَ الْأَبِ لَمْ يَقْبِضْهَا فَلِذَلِكَ لَمْ يَمْلِكْهَا الِابْنُ عَلَيْهِ.
Pertama: jika mahar itu berupa barang tertentu, maka istri berhak atas separuhnya, dan separuh lainnya kembali kepada ayah, bukan kepada anak; karena itu adalah hibah dari ayah yang belum diterima, sehingga anak tidak memilikinya atas ayah.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي الذِّمَّةِ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ لَازِمٌ لِلْأَبِ لُزُومَ ضَمَانٍ فَقَدْ بَرِئَ الْأَبُ مِنْ نِصْفٍ، لِأَنَّ الِابْنَ قَدْ بَرِئَ مِنْهُ بِطَلَاقِهِ، وَبَرَاءَةُ الْمَضْمُونِ عَنْهُ تُوجِبُ بَرَاءَةَ الضَّامِنِ.
Jenis kedua: yaitu apabila (mahar) itu menjadi tanggungan (utang). Jika dikatakan: Sesungguhnya itu menjadi kewajiban bagi ayah sebagaimana kewajiban penjaminan, maka ayah telah bebas dari setengahnya, karena anak telah bebas darinya akibat talak yang dijatuhkannya, dan kebebasan pihak yang dijamin darinya mengharuskan kebebasan penjamin.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ لَازِمٌ لِلْأَبِ لُزُومَ تَحَمُّلٍ فَفِي بَرَاءَتِهِ مِنْهُ وَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الْمُعَيَّنِ هَلْ لِلْأَبِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى الِابْنِ أَمْ لَا؟
Dan jika dikatakan: Sesungguhnya itu menjadi kewajiban bagi ayah sebagaimana kewajiban menanggung, maka dalam kebebasannya dari kewajiban tersebut terdapat dua pendapat, sebagaimana perbedaan dua pendapat dalam hal yang tertentu, apakah ayah boleh menuntut kembali kepada anak atau tidak?
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ لَوْ كَانَ مُعَيَّنًا رَجَعَ بِهِ عَلَى الِابْنِ بَرِئَ الْأَبُ مِنْهُ إِذَا كَانَ فِي الذِّمَّةِ.
Jika dikatakan: Seandainya itu sesuatu yang tertentu, maka ayah dapat menuntut kembali kepada anak, maka ayah bebas darinya jika itu berupa utang (di dalam tanggungan).
وَإِنْ قِيلَ: لَوْ كَانَ مُعَيَّنًا لَمْ يَرْجِعْ بِهِ، لَمْ يَبْرَأْ مِنْهُ إِذَا كَانَ في الذمة وكان للأب مطالبته به.
Dan jika dikatakan: Seandainya itu sesuatu yang tertentu, maka ayah tidak dapat menuntut kembali, maka ayah tidak bebas darinya jika itu berupa utang dan ayah berhak menuntutnya dari anak.
فَصْلٌ
Fashal
وَإِذَا تَزَوَّجَ الِابْنُ بَعْدَ كِبَرِهِ، وَقَضَى الْأَبُ عَنْهُ صَدَاقَ زَوْجَتِهِ، وَطَلَّقَ الِابْنُ قَبْلَ الدُّخُولِ، رَجَعَ بِنِصْفِ الصَّدَاقِ الَّذِي قَضَاهُ الْأَبُ عَنْهُ مِنْ مَالِهِ، ثُمَّ يَنْظُرُ فِي قَضَاءِ الْأَبِ لِلصَّدَاقِ.
Apabila seorang anak menikah setelah dewasa, dan ayahnya membayarkan mahar istrinya, kemudian anak tersebut menceraikan istrinya sebelum terjadi hubungan suami istri, maka ayah berhak menuntut kembali setengah mahar yang telah dibayarkannya dari hartanya, kemudian dilihat bagaimana status pembayaran mahar oleh ayah.
فَإِنْ كَانَ بِإِذْنِ ابْنِهِ فَهُوَ فِي حُكْمِ الْهِبَةِ، وَهَلْ لِلْأَبِ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ عَلَى الِابْنِ إِذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ.
Jika pembayaran itu atas izin anaknya, maka hukumnya seperti hibah. Apakah ayah boleh menuntut kembali kepada anak jika ia mendapati barangnya secara utuh atau tidak? Hal ini sesuai dengan dua pendapat yang telah kami sebutkan.
وَإِنْ كان الأب دفع ذلك بِغَيْرِ إِذَنِ الِابْنِ، فَهُوَ خَارِجٌ عَنْ حُكْمِ الْهِبَةِ إِلَى حُكْمِ الْإِبْرَاءِ، وَالْإِسْقَاطِ؛ لِأَنَّ الِابْنَ بَالِغٌ، لَا يَصِحُّ أَنْ يَنُوبَ الْأَبُ عَنْهُ فِي قَبُولِ هِبَةٍ، وَلَا قَبْضِهَا.
Dan jika ayah membayarkan itu tanpa izin anak, maka hal itu keluar dari hukum hibah menuju hukum pembebasan utang dan pengguguran hak; karena anak sudah baligh, maka tidak sah ayah mewakilinya dalam menerima hibah, maupun dalam mengambilnya.
فَعَلَى هَذَا لَيْسَ لِلْأَبِ أَنْ يَرْجِعَ بِهَا إِذَا وَجَدَهَا بعينها وجهاً واحداً.
Berdasarkan hal ini, ayah tidak boleh menuntut kembali jika ia mendapati barangnya secara utuh, menurut satu pendapat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِذَا تَزَوَّجَ الْمَوْلِيُّ عَلَيْهِ بِغَيْرِ أَمْرِ وَلِيِّهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُجِيزَ النِّكَاحَ وَإِنْ أَصَابَهَا فَلَا صَدَاقَ لَهَا وَلَا شَيْءَ تَسْتَحِلُّ بِهِ إِذَا كُنْتُ لَا أَجْعَلُ عَلَيْهِ فِي سلعةٍ يَشْتَرِيهَا فَيُتْلِفُهَا شَيْئًا لَمْ أَجْعَلْ عَلَيْهِ بِالْإِصَابَةِ شَيْئًا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang yang berada dalam perwalian menikah tanpa izin walinya, maka tidak sah baginya untuk mengesahkan pernikahan itu. Jika ia telah berhubungan dengannya, maka tidak ada mahar baginya dan tidak ada sesuatu pun yang dapat ia halalkan. Jika aku tidak membebankan sesuatu atasnya dalam barang yang ia beli lalu ia rusak, maka aku juga tidak membebankan sesuatu atasnya karena hubungan tersebut.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمَوْلِيَّ بِالسَّفَهِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِغَيْرِ إذن وليه، لأن وقوع الْحَجْرِ عَلَيْهِ قَدْ مَنَعَهُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي الْعُقُودِ، فَإِنْ تَزَوَّجَ فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ، فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، وَلَا أَرْشَ عَلَيْهِ وَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لِمَكَانِ الشُّبْهَةِ فَإِنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لَحِقَ بِهِ.
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa orang yang berada dalam perwalian karena safih (tidak cakap) tidak boleh menikah tanpa izin walinya, karena adanya hajr (pembatasan hak) atasnya telah mencegahnya dari bertindak dalam akad-akad. Jika ia menikah, maka nikahnya batal. Jika belum terjadi hubungan, maka keduanya dipisahkan, dan tidak ada ganti rugi atasnya. Jika telah terjadi hubungan, maka tidak ada had atasnya karena adanya syubhat. Jika ia melahirkan anak, maka anak itu dinasabkan kepadanya.
فَأَمَّا الْمَهْرُ: فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun mahar, maka terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ قَدْ أَكْرَهَهَا عَلَى نَفْسِهَا فَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا، لِأَنَّ إِكْرَاهَهُ لَهَا كَالْجِنَايَةِ مِنْهُ يَضْمَنُ بِهَا.
Pertama: Jika ia memaksa perempuan itu atas dirinya, maka ia wajib membayar mahar mitsil (mahar sepadan), karena paksaan yang dilakukannya terhadap perempuan itu seperti tindak kejahatan yang mengharuskannya membayar ganti rugi.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تُطَاوِعَهُ مِنْ غَيْرِ إِكْرَاهٍ، فَفِي وُجُوبِ الْمَهْرِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ:
Jenis kedua: Jika perempuan itu rela tanpa paksaan, maka dalam kewajiban mahar atasnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ، أَنَّهُ لَا مَهْرَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْحَجْرَ قَدْ أَبْطَلَ ذِمَّتَهُ فِي الْحُقُوقِ كَمَا لَوِ اشْتَرَى سِلْعَةً وَاسْتَهْلَكَهَا لَمْ يَضْمَنْ قِيمَتَهَا.
Pertama, dan ini yang menjadi nash dalam masalah ini, bahwa tidak ada mahar atasnya, karena hajr telah membatalkan tanggungannya dalam hak-hak, sebagaimana jika ia membeli barang lalu menghabiskannya, maka ia tidak menanggung nilainya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ: أَنَّ عَلَيْهِ مَهْرَ مِثْلِهَا، لِأَنَّ الْبُضْعَ لَا يُنْتَهَكُ إِلَّا بِمَهْرٍ فِي الشُّبْهَةِ أَوْ حَدٍّ فِي الزِّنَا، فَلَمَّا سَقَطَ الْحَدُّ وَجَبَ الْمَهْرُ وَخَالَفَ السِّلَعَ فِي الْبُيُوعِ، لِأَنَّهَا تُمْلَكُ بِالْإِبَاحَةِ، وَلَا يُمْلَكُ الْبُضْعُ بِالْإِبَاحَةِ.
Pendapat kedua, yang disebutkan dalam pendapat lama: bahwa ia wajib membayar mahar mitsil, karena kehormatan perempuan tidak boleh dilanggar kecuali dengan mahar dalam syubhat atau dengan had dalam zina. Maka ketika had gugur, wajiblah mahar, dan ini berbeda dengan barang dalam jual beli, karena barang dapat dimiliki dengan pembolehan, sedangkan kehormatan perempuan tidak dapat dimiliki hanya dengan pembolehan.
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ:
Jika dua pendapat ini telah dijelaskan:
فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَوْضِعِ الْقَوْلَيْنِ.
Maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang tempat diterapkannya dua pendapat ini.
فَذَهَبَ الْبَصْرِيُّونَ مِنْهُمْ إِلَى أَنَّهُمَا مَعَ جَهْلِهِمَا بِسَفَهِهِ، وَثُبُوتِ حَجْرِهِ، فَإِنَّ وُجُوبَ مَهْرِهَا عَلَيْهِ يَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ، فَأَمَّا إِذَا كَانَتْ عَالِمَةً بِسَفَهِهِ وَحَجْرِهِ فَلَا مَهْرَ لَهَا عَلَيْهِ قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ فِي تَمْكِينِهَا مَعَ الْعِلْمِ بِحَالِهِ إِبْرَاءً لَهُ.
Sebagian ulama Basrah dari kalangan kami berpendapat bahwa jika keduanya tidak mengetahui tentang ketidakcakapan dan adanya hajr atasnya, maka kewajiban mahar atasnya ada dua pendapat. Adapun jika perempuan itu mengetahui tentang ketidakcakapan dan hajr atasnya, maka tidak ada mahar baginya menurut satu pendapat, karena kerelaannya dengan pengetahuan tentang keadaannya merupakan pembebasan hak darinya.
وَقَالَ الْبَغْدَادِيُّونَ مِنْهُمْ بَلِ الْقَوْلَانِ مَعَ الْعِلْمِ بِحَالِهِ مَعَ الْجَهْلِ بِهَا فِي أَنَّ مَهْرَهَا عَلَى قَوْلَيْنِ، لِأَنَّهُ غُرْمٌ يعتبر بفعله، فَعَلَى هَذَا إِنْ أَوْجَبْنَا عَلَيْهِ الْمَهْرَ أُخِذَ مِنْ مَالِهِ فِي الْحَالِ. وَلَمْ يُنْظَرْ بِهِ فِكَاكُ الْحَجْرِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُعْسِرًا فَيُنْظَرُ به على وَقْتِ يَسَارِهِ، وَإِنْ أَسْقَطْنَا عَلَيْهِ الْمَهْرَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي الْحَالِ، وَلَا بَعْدَ فِكَاكِ حَجْرِهِ فِي الْحُكْمِ.
Dan para ulama Baghdad dari kalangan mereka berkata: Bahkan kedua pendapat itu (tetap ada), baik dalam keadaan mengetahui kondisinya maupun tidak mengetahuinya, yaitu bahwa mahar baginya (istri) ada dua pendapat. Karena itu adalah kewajiban yang dinilai berdasarkan perbuatannya. Berdasarkan hal ini, jika kami mewajibkan mahar atasnya, maka diambil dari hartanya saat itu juga, dan tidak menunggu sampai pembebasan dari status hajr, kecuali jika ia dalam keadaan tidak mampu, maka ditunggu hingga ia mampu. Dan jika kami menggugurkan kewajiban mahar atasnya, maka tidak ada sesuatu pun yang wajib atasnya saat itu, dan juga tidak setelah pembebasan hajr menurut hukum.
وَهَلْ عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى بَعْدَ فِكَاكِ حَجْرِهِ أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهَا مَا يَصِيرُ الْبُضْعُ مُسْتَبَاحًا بِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Dan apakah atasnya, antara dia dengan Allah Ta‘ala, setelah pembebasan hajr, wajib membayar kepada istrinya apa yang menyebabkan kemaluan menjadi halal baginya atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ فِعْلٌ ظَاهِرٌ، فَإِذَا لَمْ يَلْزَمْهُ بِهِ حَقٌّ فِي الظَّاهِرِ، لَمْ يَلْزَمْهُ فِي الْبَاطِنِ.
Salah satunya: Tidak ada kewajiban atasnya, karena itu adalah perbuatan yang tampak (zahir), maka jika tidak wajib atasnya secara zahir, tidak pula wajib secara batin.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الله تعالى ما يستحل به البضع، لأن لا يَكُونَ مُسْتَبِيحًا لِبُضْعِهَا بِغَيْرِ بَذْلٍ فَعَلَى هَذَا فِيمَا يَلْزَمُهُ وَجْهَانِ:
Dan pendapat kedua: Wajib atasnya, antara dia dengan Allah Ta‘ala, membayar apa yang menyebabkan kemaluan menjadi halal baginya, agar ia tidak menikmati kemaluan istrinya tanpa memberikan imbalan. Berdasarkan hal ini, ada dua pendapat mengenai apa yang wajib atasnya:
أَحَدُهُمَا: مَهْرُ مِثْلِهَا، لِأَنَّهُ قِيمَةُ مُسْتَهْلَكٍ عَلَيْهَا.
Salah satunya: Mahar mitsil (mahar yang setara dengan perempuan sejenisnya), karena itu adalah nilai sesuatu yang telah dikonsumsi darinya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَسْتَطِيبَ نَفْسَهَا بِمَا يَصِيرُ الْبُضْعُ مُسْتَبَاحًا بِهِ مِنْ غَيْرِ تَقْدِيرِ مَهْرِ الْمِثْلِ مَا لَمْ يَزِدْ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ، لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فلها المهر بما استحل من فرجها “. ولأن لا يُشَارِكُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، فِيمَا خُصَّ بِهِ مِنِ اسْتِبَاحَةِ الْمَوْهُوبَةِ بِغَيْرِ مهر. والله أعلم.
Dan pendapat kedua: Ia harus membuat istrinya rela dengan sesuatu yang menyebabkan kemaluan menjadi halal baginya, tanpa harus memperkirakan mahar mitsil, selama tidak melebihi mahar mitsil. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Maka baginya mahar sesuai dengan apa yang dihalalkan dari kemaluannya.” Dan agar tidak menyerupai Rasulullah ﷺ dalam kekhususan beliau yang boleh menikahi wanita yang dihibahkan tanpa mahar. Dan Allah Maha Mengetahui.
Bab tentang tafwīḍ dari al-Jāmi‘ dalam Kitab al-Ṣadaq dan dari al-Nikāḥ al-Qadīm, serta dari al-Imlā’ atas masalah-masalah Mālik.
قال الشافعي رحمه الله تعالى: ” التَّفْوِيضُ الَّذِي مَنْ تَزَوَّجَ بِهِ عُرِفَ أَنَّهُ تفويضٌ أَنْ يَتَزَوَّجَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ الثَّيِّبَ الْمَالِكَةَ لِأَمْرِهَا بِرِضَاهَا وَيَقُولَ لَهَا أَتَزَوَّجُكِ بِغَيْرِ مهرٍ فَالنِّكَاحُ فِي هَذَا ثابتٌ “.
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Tafwīḍ yang dikenal dalam pernikahan adalah seorang laki-laki menikahi perempuan yang sudah baligh dan menguasai dirinya sendiri dengan kerelaannya, dan ia berkata kepadanya: ‘Aku menikahimu tanpa mahar.’ Maka nikah dalam hal ini sah.”
الْقَوْلُ فِي حَدِّ التَّفْوِيضِ فِي النِّكَاحِ
Pembahasan tentang definisi tafwīḍ dalam pernikahan
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا التَّفْوِيضُ فِي اللُّغَةِ: فَهُوَ التَّسْلِيمُ، يُقَالُ: فَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَى فُلَانٍ، أَيْ سَلَّمْتُ أَمْرِي إِلَيْهِ، وَوَكَلْتُهُ على تَدْبِيرِهِ، وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى: {وَأُفَوِضُ أَمْرِي إِلَى اللهِ} أَيْ أَسْتَسْلِمُ إِلَيْهِ.
Al-Māwardī berkata: Adapun tafwīḍ dalam bahasa adalah penyerahan. Dikatakan: “Aku menyerahkan urusanku kepada Fulan,” artinya aku menyerahkan urusanku kepadanya dan mempercayakan pengaturannya kepadanya. Di antaranya firman Allah Ta‘ala: {Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah}, artinya aku berserah diri kepada-Nya.
وَقَالَ الشَّاعِرُ:
Dan seorang penyair berkata:
(لَا يَصْلُحُ النَّاسُ فَوْضَى لَا سَرَاةَ لَهُمْ … وَلَا سَرَاةَ إِذَا جُهَّالُهُمْ سَادُوا)
(Tidaklah masyarakat menjadi baik jika urusan mereka diserahkan tanpa ada pemimpin … dan tidak ada pemimpin jika orang-orang bodoh mereka yang memimpin)
أَيْ: لَا يَصْلُحُونَ إِذَا كان أمرهم مفوضاً، لَا مُدَبِّرَ لَهُمْ.
Artinya: Mereka tidak akan menjadi baik jika urusan mereka diserahkan (tanpa pengatur), tidak ada yang mengatur mereka.
وَالتَّفْوِيضُ فِي النِّكَاحِ: أَنْ تُنْكِحَ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ مَهْرٍ. فَمَنْ مَنَعَ النِّكَاحَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ قَالَ: امْرَأَةٌ مفوضةٌ، بِفَتْحِ الْوَاوِ. وَمَنْ أَجَازَهُ بِغَيْرِ وَلِيٍّ، قَالَ: مفوضةٌ بكسر الواو.
Dan tafwīḍ dalam pernikahan adalah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri tanpa mahar. Maka, siapa yang melarang nikah tanpa wali berkata: “Perempuan itu mufawwaḍah” dengan membuka huruf wāw. Dan siapa yang membolehkannya tanpa wali berkata: “mufawwaḍah” dengan memecahkan huruf wāw.
الْقَوْلُ فِي أَقْسَامِ التَّفْوِيضِ
Pembahasan tentang macam-macam tafwīḍ
وَالتَّفْوِيضُ ضَرْبَانِ:
Tafwīḍ itu ada dua macam:
أَحَدُهُمَا: تَفْوِيضُ الْبُضْعِ.
Pertama: Tafwīḍ al-buḍ‘ (penyerahan hak kemaluan).
وَالثَّانِي: تَفْوِيضُ الْمَهْرِ.
Kedua: Tafwīḍ al-mahr (penyerahan hak mahar).
الْقِسْمُ الْأَوَّلُ
Bagian pertama
فَأَمَّا تَفْوِيضُ الْبُضْعِ: فَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ الثَّيِّبَ مِنْ وَلِيِّهَا بِإِذْنِهَا، وَرِضَاهَا، عَلَى أَنْ لَا مَهْرَ لَهَا، فَهَذَا نِكَاحُ التَّفْوِيضِ، لِأَنَّهَا سَلَّمَتْ نَفْسَهَا بِغَيْرِ مَهْرٍ، وَهُوَ نِكَاحٌ صحيح ثابت، لما دللنا عليه من قوله الله تعالى: {لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمْ النِّسَاءِ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ} . وَمَعْنَاهُ وَلَمْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً، فَأَقَامَ ” أَوْ ” مَقَامَ ” لَمْ ” عَلَى وَجْهِ الْبَدَلِ مَجَازًا.
Adapun tafwīḍ al-buḍ‘ adalah seorang laki-laki menikahi perempuan yang sudah baligh dari walinya dengan izinnya dan kerelaannya, dengan syarat tidak ada mahar baginya. Inilah nikah tafwīḍ, karena ia menyerahkan dirinya tanpa mahar, dan ini adalah nikah yang sah dan tetap berlaku, sebagaimana yang telah kami jelaskan dari firman Allah Ta‘ala: {Tidak ada dosa atas kalian jika kalian menceraikan perempuan sebelum kalian menyentuh mereka atau sebelum kalian menentukan mahar bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka mut‘ah (pemberian)}. Maksudnya adalah: dan kalian belum menentukan mahar bagi mereka. Maka kata “atau” di sini menggantikan “belum” sebagai bentuk majaz.
وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ: فِي هَذَا الْكَلَامِ حَذْفٌ، وَتَقْدِيرُهُ: فَرَضْتُمْ أَوْ لَمْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً.
Sebagian ahli bahasa Arab berkata: Dalam kalimat ini terdapat penghilangan (ḥadhf), dan taksirannya adalah: “kalian telah menentukan atau belum menentukan mahar bagi mereka.”
وَالْفَرِيضَةُ: الْمَهْرُ الْمُسَمَّى، سُمِّيَ فَرِيضَةً، لِأَنَّ فَرَضَهُ لَهَا، بِمَعْنَى أَوْجَبَهُ لَهَا، كَمَا يُقَالُ: فَرَضَ الْحَاكِمُ النَّفَقَةَ إِذَا أَوْجَبَهَا، فَلَمَّا رَفَعَ عَنْهُ الْجُنَاحَ وَأَثْبَتَ فِيهِ الطَّلَاقَ دَلَّ عَلَى صِحَّتِهِ.
Fardhu (kewajiban) adalah mahar yang telah disebutkan (dalam akad). Disebut fardhu karena ia telah diwajibkan untuknya, dalam arti telah ditetapkan baginya, sebagaimana dikatakan: “Hakim mewajibkan nafkah” jika ia mewajibkannya. Maka, ketika Allah menghapuskan dosa darinya dan menetapkan adanya talak di dalamnya, hal itu menunjukkan keabsahannya.
وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ النِّكَاحِ التَّوَاصُلُ بَيْنَ الْمُتَنَاكِحَيْنِ، وَالْمَهْرُ تَبِعٌ، بِخِلَافِ الْبَيْعِ الَّذِي مَقْصُودُهُ مِلْكُ الثَّمَنِ وَالْمُثَمَّنِ، فَبَطَلَ النِّكَاحُ بِالْجَهْلِ بِالْمُتَنَاكِحَيْنِ، لِأَنَّهُ مَقْصُودٌ، وَلَمْ يَبْطُلْ بِالْجَهْلِ بِالْمَهْرِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ، كَمَا أَنَّ الْبَيْعَ يَبْطُلُ بِالْجَهْلِ بِالثَّمَنِ أَوِ الْمُثَمَّنِ، لِأَنَّهُ مَقْصُودٌ، وَلَا يَبْطُلُ بِالْجَهْلِ بالمتابعين، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ. وَإِذَا صَحَّ نِكَاحُ التَّفْوِيضِ بِمَا ذَكَرْنَا لَمْ يَجِبْ لِلْمُفَوَّضَةِ بِالْعَقْدِ مَهْرٌ لاشتراط سُقُوطِهِ، وَلَا لَهَا أَنْ تُطَالِبَ بِمَهْرٍ، لِأَنَّهُ لَمْ يَجِبْ لَهَا بِالْعَقْدِ مَهْرٌ، وَلَكِنْ لَهَا أَنْ تُطَالِبَ بِأَنْ يَفْرِضَ لَهَا مَهْرًا إِمَّا بِمُرَاضَاةِ الزَّوْجَيْنِ أَوْ بِحُكْمِ الْحَاكِمِ، فَيَصِيرُ الْمَهْرُ بَعْدَ الْفَرْضِ كَالْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ، أَوْ أَنْ يَدْخُلَ الزَّوْجُ بِهَا، فَيَجِبُ لَهَا بِالدُّخُولِ مَهْرٌ.
Karena tujuan dari pernikahan adalah terjalinnya hubungan antara kedua mempelai, sedangkan mahar hanyalah sebagai pelengkap, berbeda dengan jual beli yang tujuannya adalah kepemilikan harga dan barang, maka pernikahan batal jika tidak diketahui siapa kedua mempelai, karena itu adalah tujuan utama, dan tidak batal karena tidak diketahui mahar, karena itu bukan tujuan utama. Sebagaimana jual beli batal jika tidak diketahui harga atau barangnya, karena itu adalah tujuan utama, dan tidak batal karena tidak diketahui pengikutnya, karena itu bukan tujuan utama. Jika akad nikah tafwīḍ (penyerahan urusan mahar) sah sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka tidak wajib bagi perempuan yang akadnya dengan tafwīḍ mahar untuk mendapatkan mahar karena syarat gugurnya mahar, dan ia tidak berhak menuntut mahar, karena tidak ada mahar yang wajib baginya melalui akad. Namun, ia berhak menuntut agar ditetapkan mahar untuknya, baik dengan kesepakatan kedua mempelai atau dengan keputusan hakim. Maka, setelah mahar ditetapkan, kedudukannya seperti mahar yang disebutkan dalam akad, atau jika suami telah menggaulinya, maka ia berhak mendapatkan mahar karena telah digauli.
فَإِنْ مَاتَ عَنْهَا قَبْلَ الدُّخُولِ فَفِي وُجُوبِ الْمَهْرِ قَوْلَانِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ، فَيَصِيرُ الْمَهْرُ مُسْتَحَقًّا بِأَحَدِ أَرْبَعَةِ أُمُورٍ:
Jika suami meninggal dunia sebelum menggaulinya, maka dalam hal kewajiban mahar terdapat dua pendapat sebagaimana akan kami sebutkan, sehingga mahar menjadi haknya karena salah satu dari empat hal:
إِمَّا بِأَنْ يَفْرِضَاهُ عَنْ مُرَاضَاةٍ، وَإِمَّا بِأَنْ يَفْرِضَهُ الْحَاكِمُ بَيْنَهُمَا، وَإِمَّا بِالدُّخُولِ بِهَا، وَإِمَّا بِالْمَوْتِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ:
Yaitu: dengan penetapan mahar atas dasar kesepakatan, atau dengan penetapan hakim di antara keduanya, atau dengan terjadinya hubungan suami istri, atau dengan kematian (suami) menurut salah satu dari dua pendapat.
فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ فَرَضْتُمْ لَهَا مَهْرًا، وَقَدْ شَرَطَ أَنْ لَيْسَ لَهَا مَهْرٌ؟ .
Jika dikatakan: Mengapa kalian menetapkan mahar untuknya, padahal telah disyaratkan bahwa ia tidak berhak atas mahar?
قِيلَ: لِتَخْرُجَ عَنْ حُكْمِ الْمَوْهُوبَةِ بِغَيْرِ مَهْرٍ الَّتِي خُصَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وَيَكُونُ الشَّرْطُ مَحْمُولًا عَلَى أَنْ لَا مَهْرَ لَهَا بِالْعَقْدِ.
Dijawab: Agar ia keluar dari hukum perempuan yang dihibahkan tanpa mahar, yang merupakan kekhususan Rasulullah ﷺ, dan syarat tersebut dimaknai bahwa ia tidak berhak atas mahar melalui akad.
فَإِنْ قِيلَ: فَلَوْ نَكَحَهَا عَلَى أَنْ لَا مَهْرَ لَهَا بِحَالٍ؟ .
Jika dikatakan: Bagaimana jika ia dinikahi dengan syarat bahwa ia sama sekali tidak berhak atas mahar?
قِيلَ: فِي النِّكَاحِ حِينَئِذٍ وَجْهَانِ:
Dijawab: Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ، لِأَنَّ الْتِزَامَ هَذَا الشَّرْطِ يَجْعَلُهَا كَالْمَوْهُوبَةِ الَّتِي جعل النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِهَا مَخْصُوصًا.
Salah satunya, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: Nikahnya batal, karena komitmen terhadap syarat ini menjadikannya seperti perempuan yang dihibahkan, yang merupakan kekhususan Nabi ﷺ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّ النِّكَاحَ صَحِيحٌ، وَالشَّرْطَ بَاطِلٌ، لأنه شُرُوطَ الْمَهْرِ لَا تُؤَثِّرُ فِي عُقُودِ الْمَنَاكِحِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Nikahnya sah, namun syaratnya batal, karena syarat-syarat terkait mahar tidak berpengaruh dalam akad pernikahan.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا فَوَّضَ مَهْرَهَا، فَتَزَوَّجَهَا وَلَمْ يُسَمِّ لَهَا فِي الْعَقْدِ مَهْرًا، وَلَا شَرَطَ فِيهِ أَنْ لَيْسَ لَهَا مَهْرٌ، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ نِكَاحَ تَفْوِيضٍ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun jika mahar diserahkan (tidak disebutkan), sehingga ia menikahinya tanpa menyebutkan mahar dalam akad, dan tidak pula disyaratkan bahwa ia tidak berhak atas mahar, maka para ulama kami berbeda pendapat, apakah ini termasuk nikah tafwīḍ atau tidak, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّهُ لَيْسَ بِنِكَاحِ تَفْوِيضٍ، لِعَدَمِ الشَّرْطِ فِي سُقُوطِ الْمَهْرِ، وَيَكُونُ مَهْرُ الْمِثْلِ مُسْتَحَقًّا بِالْعَقْدِ.
Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: Bukan termasuk nikah tafwīḍ, karena tidak adanya syarat gugurnya mahar, dan mahar mitsil (mahar yang setara) menjadi haknya melalui akad.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّهُ نِكَاحُ تَفْوِيضٍ لِأَنَّ إِسْقَاطَ ذِكْرِهِ فِي الْعَقْدِ، كَاشْتِرَاطِ سُقُوطِهِ فِي الْعَقْدِ، فَعَلَى هَذَا، لَا مَهْرَ لَهَا بِالْعَقْدِ، إِلَّا أَنْ تَتَعَقَّبَهُ أَحَدُ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأُمُورِ الْأَرْبَعَةِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: Ini adalah nikah tafwīḍ, karena tidak disebutkannya mahar dalam akad sama dengan mensyaratkan gugurnya mahar dalam akad. Maka, dalam hal ini, ia tidak berhak atas mahar melalui akad, kecuali jika kemudian terjadi salah satu dari empat hal yang telah kami sebutkan.
فَهَذَا حُكْمُ التَّفْوِيضِ إِذَا كَانَ عَنْ إِذْنِهَا.
Inilah hukum tafwīḍ jika dilakukan dengan izinnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا فَوَّضَ الْوَلِيُّ نِكَاحَهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun jika wali menyerahkan urusan nikahnya tanpa izinnya, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ مِمَّنْ لَا يُنْكِحُ إِلَّا بِإِذْنٍ، كَسَائِرِ الْأَوْلِيَاءِ مَعَ الثَّيِّبِ، وَغَيْرِ الْأَبِ مَعَ الْبِكْرِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَأْذِنْهَا فِي النِّكَاحِ، وَلَا فِي التَّفْوِيضِ، كَانَ النِّكَاحُ بَاطِلًا، فَإِنِ اسْتَأْذَنَهَا فِي النِّكَاحِ، وَلَمْ يَسْتَأْذِنْهَا فِي التَّفْوِيضِ صَحَّ النِّكَاحُ وَبَطَلَ التَّفْوِيضُ، وَكَانَ لَهَا بِالْعَقْدِ مَهْرُ الْمِثْلِ.
Pertama: Jika wali termasuk orang yang tidak boleh menikahkan kecuali dengan izin, seperti para wali selain ayah terhadap janda, dan selain ayah terhadap gadis, maka jika ia tidak meminta izinnya untuk menikah maupun untuk tafwīḍ (penyerahan urusan mahar), maka pernikahan itu batal. Jika ia meminta izinnya untuk menikah namun tidak meminta izinnya untuk tafwīḍ, maka pernikahan sah dan tafwīḍ batal, dan ia berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar sepadan) melalui akad.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ مِمَّنْ يَصِحُّ أَنْ يُنْكِحَ بِغَيْرِ إِذْنٍ، كَالْأَبِ مَعَ الْبِكْرِ، فَالنِّكَاحُ صَحِيحٌ بِغَيْرِ إِذْنِهَا. فَأَمَّا صِحَّةُ التَّفْوِيضِ بِغَيْرِ إِذْنِهَا فَمُعْتَبَرٌ بِاخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ.
Jenis kedua: Jika wali termasuk orang yang sah menikahkan tanpa izin, seperti ayah terhadap gadis, maka pernikahan sah tanpa izinnya. Adapun sah atau tidaknya tafwīḍ tanpa izinnya, maka hal itu tergantung pada perbedaan dua pendapat tentang siapa yang memegang kekuasaan akad nikah.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ الزَّوْجُ دُونَ الْأَبِ، بَطَلَ تَفْوِيضُ الْأَبِ.
Jika dikatakan bahwa yang memegang kekuasaan akad nikah adalah suami, bukan ayah, maka tafwīḍ oleh ayah batal.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ الْأَبُ فَفِي صِحَّةِ تَفْوِيضِهِ وَجْهَانِ:
Dan jika dikatakan bahwa yang memegang kekuasaan akad nikah adalah ayah, maka dalam keabsahan tafwīḍ olehnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّهُ بَاطِلٌ، وَلَهَا بِالْعَقْدِ مَهْرُ الْمِثْلِ.
Salah satunya, yaitu pendapat Abū Isḥāq al-Marwazī: bahwa tafwīḍ itu batal, dan ia berhak mendapatkan mahar mitsil melalui akad.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ صَحِيحٌ كَالْعُقُودِ وَلَيْسَ لَهَا بِالْعَقْدِ مَهْرٌ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa tafwīḍ itu sah seperti akad-akad lainnya, dan ia tidak berhak mendapatkan mahar melalui akad.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا السَّيِّدُ إِذَا فَوَّضَ نِكَاحَ أَمَتِهِ صَحَّ، وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ فِي التَّفْوِيضِ، لِأَنَّ الْمَهْرَ لَهُ دُونَهَا، فَلَوْ فَرَضَ لَهَا الْمَهْرَ قَبْلَ الدُّخُولِ وَبَعْدَ أَنْ بَاعَهَا أَوْ أَعْتَقَهَا فَفِي مُسْتَحِقِّ الْمَهْرِ وَجْهَانِ:
Adapun jika tuan (pemilik budak) menyerahkan urusan pernikahan budak perempuannya (kepada budak itu sendiri atau orang lain), maka hal itu sah, meskipun ia tidak mengizinkan tafwīḍ, karena mahar menjadi hak tuan, bukan hak budak. Jika mahar ditetapkan untuknya sebelum terjadi hubungan suami istri dan setelah budak itu dijual atau dimerdekakan, maka dalam hal siapa yang berhak atas mahar tersebut terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: هِيَ إِنْ أُعْتِقَتْ، وَمُشْتَرِيهَا إِنْ بِيعَتْ، لِأَنَّ مَهْرَهَا لَمْ يَجِبْ بِالْعَقْدِ، وَإِنَّمَا وَجَبَ بِالْفَرْضِ بَعْدَ زَوَالِ الْمِلْكِ.
Salah satunya: budak perempuan itu berhak atas mahar jika ia dimerdekakan, dan pembelinya berhak jika ia dijual, karena maharnya tidak wajib dengan akad, tetapi wajib dengan penetapan setelah kepemilikan tuan hilang.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لِلسَّيِّدِ الْمُنْكِحِ، لِأَنَّ سَبَبَ اسْتِحْقَاقِهِ كَانَ فِي مِلْكِهِ.
Pendapat kedua: mahar itu menjadi hak tuan yang menikahkan, karena sebab berhaknya atas mahar terjadi saat budak masih dalam kepemilikannya.
فَأَمَّا تَفْوِيضُ الْمَهْرِ فَسَيَأْتِي وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun tafwīḍ mahar akan dijelaskan kemudian, dan Allah lebih mengetahui.
الْقَوْلُ فِي مَهْرِ الْمُفَوَّضَةِ بَعْدَ الدخول
Pembahasan tentang mahar bagi perempuan yang pernikahannya diserahkan (mufawwaḍah) setelah terjadi hubungan suami istri
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami telah menggaulinya, maka ia berhak mendapatkan mahar mitsil.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، الْمُفَوَّضَةُ لِنِكَاحِهَا إِذَا وَطِئَهَا الزَّوْجُ فلها مهر المثل، لقول النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا ” وَلِتَخْرُجَ بِالْتِزَامِ الْمَهْرِ مِمَّا خُصَّ بِهِ نبي الله مِنْ نِكَاحِ الْمَوْهُوبَةِ بِغَيْرِ مَهْرٍ، وَمِنْ حُكْمِ الزِّنَا الَّذِي لَا يُسْتَحَقُّ فِيهِ مَهْرٌ، فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ التَّفْوِيضُ إِبْرَاءً مِنَ الْمَهْرِ، فَلَا يَجِبُ لَهَا بِالدُّخُولِ مَهْرٌ؟ .
Al-Māwardī berkata: Ini benar, perempuan yang pernikahannya diserahkan (mufawwaḍah) jika telah digauli oleh suaminya, maka ia berhak mendapatkan mahar mitsil, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Maka ia berhak mendapatkan mahar karena telah dihalalkan kemaluannya.” Juga agar ia keluar dari kewajiban mahar yang dikhususkan bagi Nabi Allah dalam pernikahan tanpa mahar (nikah al-mawhūbah), dan dari hukum zina yang tidak berhak mendapatkan mahar. Jika ada yang bertanya: Bukankah tafwīḍ itu berarti pembebasan dari mahar, sehingga ia tidak berhak mendapatkan mahar karena telah digauli?
قِيلَ: الْإِبْرَاءُ إِنَّمَا يَصِحُّ مِمَّا وَجَبَ، وَهَذَا مَهْرٌ وَجَبَ بِالدُّخُولِ، فَلَمْ يَصِحَّ الْإِبْرَاءُ مِنْهُ بِالْعَقْدِ.
Dijawab: Pembebasan (ibra’) hanya sah dari sesuatu yang sudah menjadi kewajiban, sedangkan mahar ini menjadi wajib karena telah digauli, sehingga tidak sah pembebasan dari mahar itu melalui akad.
فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ لَوْ بَذَلَتْ لَهُ يَدَهَا فَقَطَعَهَا لَمْ يَلْزَمْهُ دِيَتُهَا، وَهُوَ إِبْرَاءٌ قَبْلَ الْوُجُوبِ، فَهَلَّا إِذَا بَذَلَتْ لَهُ بُضْعَهَا صَحَّ أَنْ يَكُونَ إِبْرَاءً قَبْلَ الْوُجُوبِ؟
Jika ada yang bertanya: Bukankah jika seorang wanita menyerahkan tangannya lalu dipotong oleh seseorang, maka orang itu tidak wajib membayar diyat, dan itu merupakan pembebasan sebelum menjadi kewajiban? Lalu mengapa jika ia menyerahkan kemaluannya, tidak sah menjadi pembebasan sebelum menjadi kewajiban?
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ إِذْنَهَا بِقَطْعِ الْيَدِ نِيَابَةٌ عَنْهَا، لِأَنَّهُ يَصِحُّ مِنْهَا أَنْ تَتَوَلَّى قَطْعَ يَدِهَا بِنَفْسِهَا، فَصَارَتْ كَالْقَاطِعَةِ لِيَدِهَا بِنَفْسِهَا، فَلِذَلِكَ سَقَطَ عَنْهُ الغزم، وَلَيْسَ الْبُضْعُ كَذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ مِنْهَا الِاسْتِمْتَاعُ بِبُضْعِ نَفْسِهَا فَصَارَ الزَّوْجُ مُسْتَمْتِعًا بِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ لَا فِي حَقِّهَا، فَلِذَلِكَ لَمْ يَبْرَأْ بِالْإِذْنِ مِنْ مَهْرِهَا.
Dijawab: Perbedaannya adalah bahwa izinnya untuk memotong tangan merupakan perwakilan darinya, karena ia sendiri boleh memotong tangannya sendiri, sehingga ia seperti orang yang memotong tangannya sendiri, maka karena itu gugurlah diyat dari pelaku. Adapun kemaluan tidak demikian, karena ia tidak boleh menikmati kemaluannya sendiri, sehingga suami menjadi orang yang menikmati kemaluan itu untuk dirinya sendiri, bukan untuk istrinya, maka karena itu tidak gugur mahar dengan izin darinya.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا وَجَبَ بِهَذَا التَّعْلِيلِ مَهْرُ الزَّانِيَةِ عَلَى الزاني؟ .
Jika ada yang bertanya: Bukankah dengan alasan ini seharusnya mahar juga wajib bagi pezina perempuan atas pezina laki-laki?
قيل: لأن الزنا مغلط بِالْحَدِّ لِيَكُونَ زَاجِرًا عَنْهُ فَغُلِّظَ بِسُقُوطِ الْمَهْرِ، وَلَوْ وَجَبَ لَهَا الْمَهْرُ بِالزِّنَا لَدَعَاهَا ذَلِكَ لِفِعْلِ الزِّنَا، فَحُسِمَتْ هَذِهِ الذَّرِيعَةُ بِسُقُوطِ الْمَهْرِ، كما حسمت بوجوب الحد.
Dijawab: Karena zina itu diperberat dengan hukuman had agar menjadi pencegah darinya, maka diperberat pula dengan gugurnya mahar. Jika mahar wajib karena zina, hal itu akan mendorong perempuan untuk berzina, maka ditutup jalan tersebut dengan menggugurkan mahar, sebagaimana ditutup dengan kewajiban had.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن لم يصبها حتى طلقها فلها المتعة وقال في القديم بدلاً من العقدة “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia belum digauli hingga dicerai, maka ia berhak mendapatkan mut‘ah, dan dalam pendapat lama beliau sebagai pengganti dari akad.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: الْمُفَوَّضَةُ لِبُضْعِهَا إِذَا طَلَّقَهَا الزَّوْجُ قَبْلَ الدُّخُولِ، فَلَا مَهْرَ لَهَا، لِسُقُوطِهِ بِالْعَقْدِ وَهُوَ اتِّفَاقٌ، وَلَهَا الْمُتْعَةُ عِنْدَنَا.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: perempuan yang diserahkan urusan maharnya (al-mufawwaḍah) jika ditalak suaminya sebelum terjadi hubungan (dukhūl), maka tidak ada mahar baginya, karena gugur dengan akad dan ini merupakan kesepakatan, namun ia berhak mendapatkan mut‘ah menurut kami.
وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَصَاحِبَاهُ.
Pendapat ini juga dikatakan oleh al-Awza‘i, Hammad bin Abi Sulaiman, Abu Hanifah, dan kedua sahabatnya.
وَقَالَ مَالِكٌ: لَا مُتْعَةَ لَهَا، وَبِهِ قَالَ شُرَيْحٌ، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَالْحَكَمُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ الله تعالى: {وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى المُتَّقِينَ} (البقرة: 241) . فَلَمَّا جَعَلَهُ بِالْمَعْرُوفِ عَلَى الْمُتَّقِينَ، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: {عَلَى المُحْسِنِينَ) {البقرة: 236) . دَلَّ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ دُونَ وُجُوبِهِ.
Sedangkan Malik berpendapat: tidak ada mut‘ah baginya. Pendapat ini juga dikatakan oleh Syuraih, al-Laits bin Sa‘d, Ibnu Abi Laila, dan al-Hakam, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: {Dan bagi perempuan-perempuan yang ditalak, ada mut‘ah dengan cara yang patut, sebagai suatu kewajiban atas orang-orang yang bertakwa} (al-Baqarah: 241). Maka ketika Allah menjadikannya dengan cara yang patut atas orang-orang yang bertakwa, dan berfirman di tempat lain: {atas orang-orang yang berbuat kebaikan} (al-Baqarah: 236), hal itu menunjukkan bahwa mut‘ah dianjurkan, bukan diwajibkan.
وَلِأَنَّ مَا وَقَعَتْ بِهِ الْفُرْقَةُ لَمْ يَجِبْ بِهِ الْمُتْعَةُ كَالْمَوْتِ، وَلِأَنَّ الطَّلَاقَ مُؤَثِّرٌ فِي سُقُوطِ الْمَالِ دُونَ إِلْزَامِهِ، كَالْمُسَمَّى لَهَا إِذَا طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا.
Dan karena perpisahan yang terjadi dengan sebab tertentu tidak mewajibkan mut‘ah, seperti kematian. Dan karena talak berpengaruh pada gugurnya harta tanpa mewajibkannya, seperti mahar yang telah ditentukan baginya jika ia ditalak sebelum terjadi hubungan.
وَدَلِيلُنَا: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى المُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حقًّا عَلَى المُحْسِنِينَ) {البقرة: 236) .
Adapun dalil kami: firman Allah Ta‘ala: {Berikanlah kepada mereka mut‘ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang kurang mampu menurut kemampuannya, suatu mut‘ah dengan cara yang patut, sebagai suatu kewajiban atas orang-orang yang berbuat kebaikan} (al-Baqarah: 236).
إِحْدَاهُنَّ: قَوْلُهُ: ” وَمَتِّعُوهُنَّ ” وَهَذَا أَمْرٌ يَقْتَضِي الْوُجُوبَ.
Salah satunya: firman-Nya: “Berikanlah kepada mereka mut‘ah”, dan ini adalah perintah yang menunjukkan kewajiban.
وَالثَّانِيَةُ: قَوْلُهُ: {عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى المُقْتِرِ قَدَرُهُ} وَذَلِكَ فِي الْوَاجِبَاتِ دُونَ التَّطَوُّعِ.
Yang kedua: firman-Nya: {bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang kurang mampu menurut kemampuannya}, dan itu berlaku pada hal-hal yang wajib, bukan pada perkara sunah.
وَالثَّالِثَةُ: قَوْلُهُ ” حَقًّا ” وَالْحُقُوقُ مَا وَجَبَتْ.
Yang ketiga: firman-Nya “sebagai suatu hak”, dan hak-hak itu adalah sesuatu yang wajib.
وَالرَّابِعَةُ: قوله ” على المحسنين “، وعلى مِنْ حُرُوفِ الْإِلْزَامِ. وَقَالَ تَعَالَى: {وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ} : فَجَعَلَ ذَلِكَ لَهُنَّ بِلَامِ التَّمْلِيكِ فَدَلَّ عَلَى استحقاقهن له. ثم قال: ” بالمعروف ” فَقَدَّرَهُ. وَمَا لَا يَجِبُ فَلَيْسَ بِمُقَدَّرٍ، ثُمَّ جعله ” حقاً على المتقين ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَنْ مَنَعَ فَلَيْسَ بِمُتَّقٍ.
Yang keempat: firman-Nya “atas orang-orang yang berbuat kebaikan”, dan “atas” adalah salah satu huruf yang menunjukkan kewajiban. Allah Ta‘ala juga berfirman: {Dan bagi perempuan-perempuan yang ditalak, ada mut‘ah dengan cara yang patut}: maka Allah menjadikannya untuk mereka dengan huruf lam kepemilikan, sehingga menunjukkan bahwa mereka berhak atasnya. Kemudian Allah berfirman: “dengan cara yang patut”, maka Allah menentukan ukurannya. Sesuatu yang tidak wajib, tidaklah ditentukan ukurannya. Kemudian Allah menjadikannya “sebagai suatu hak atas orang-orang yang bertakwa”, sehingga menunjukkan bahwa siapa yang tidak memberikannya, maka ia bukanlah termasuk orang yang bertakwa.
فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ خَصَّ الْمُتَّقِينَ بِالذِّكْرِ وَهُوَ عَلَى الْمُتَّقِينَ، وَعَلَى غَيْرِهِمْ.
Jika dikatakan: Mengapa Allah mengkhususkan penyebutan orang-orang yang bertakwa, padahal itu berlaku atas mereka dan juga selain mereka?
قِيلَ: عَنْهُ جَوَابَانِ:
Dijawab: Ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ خَصَّهُمْ بِالذِّكْرِ تَشْرِيفًا، وَإِنْ كَانَ عَامَّ الْوُجُوبِ، كَمَا قَالَ: {هُدىً لِلْمُتَّقِينَ) {البقرة: 2) .
Pertama: Allah mengkhususkan mereka dalam penyebutan sebagai bentuk pemuliaan, meskipun kewajibannya bersifat umum, sebagaimana firman-Nya: {petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa} (al-Baqarah: 2).
وَالثَّانِي: مَا حَكَاهُ ابْنُ زَيْدٍ، أَنَّ لِنُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ سَبَبًا وَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا قَالَ ” حقاً على المحسنين ” قَالَ رَجُلٌ فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَعَلْتُ، وَإِنْ لَمْ أُرِدْ أَنْ أُحْسِنَ لَمْ أَفْعَلْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى المُتَّقِينَ} وَلِأَنَّ بِوُجُوبِ الْمُتْعَةِ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ، فَصَارَ إِجْمَاعًا.
Kedua: Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Zaid, bahwa turunnya ayat ini memiliki sebab, yaitu ketika Allah berfirman “sebagai suatu hak atas orang-orang yang berbuat kebaikan”, ada seorang laki-laki berkata: Jika aku berbuat baik, aku akan melakukannya, dan jika aku tidak ingin berbuat baik, aku tidak akan melakukannya. Maka Allah Ta‘ala menurunkan: {Dan bagi perempuan-perempuan yang ditalak, ada mut‘ah dengan cara yang patut, sebagai suatu kewajiban atas orang-orang yang bertakwa}. Dan karena kewajiban mut‘ah ini juga dikatakan oleh Umar bin al-Khattab dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi keduanya, maka hal itu menjadi ijmā‘.
وَلِأَنَّ وُقُوعَ الْفُرْقَةِ بِالطَّلَاقِ يَمْنَعُ مِنْ خُلُوِّ النِّكَاحِ مِنْ بَدَلٍ كَذَاتِ الْمَهْرِ.
Dan karena terjadinya perpisahan dengan talak mencegah kosongnya akad nikah dari adanya pengganti, sebagaimana halnya perempuan yang memiliki mahar.
فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمَوْتِ: فَالْمَعْنَى فِي الْمَيِّتَةِ أَنَّهُ لَمْ يَخْلُ نِكَاحُهَا مِنْ بَدَلٍ، فَلِذَلِكَ خَلَا مِنْ مُتْعَةٍ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمُطْلَقَةُ.
Adapun qiyās mereka dengan kematian: makna pada perempuan yang ditinggal mati adalah bahwa akad nikahnya tidak kosong dari adanya pengganti, maka karena itu tidak ada mut‘ah, dan tidak demikian halnya dengan perempuan yang ditalak.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّ تَأْثِيرَ الطَّلَاقِ سُقُوطُ الْمَالِ فَذَاكَ فِي ذَاتِ الْمَهْرِ، فَأَمَّا فِي غَيْرِهَا فَتَأْثِيرُهُ ثُبُوتُ المال.
Adapun ucapan mereka bahwa pengaruh talak adalah gugurnya harta, maka itu berlaku pada perempuan yang memiliki mahar, adapun pada selainnya maka pengaruhnya adalah menetapkan hak harta.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَا وَقْتَ فِيهَا وَاسْتَحْسَنَ بِقَدْرِ ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا أَوْ مَا رَأَى الْوَالِي بِقَدْرِ الزَوْجَيْنِ “.
Al-Syafi‘i berkata: “Tidak ada batas waktu dalam mut‘ah, dan yang baik adalah sebesar tiga puluh dirham atau sesuai yang dipandang layak oleh penguasa menurut keadaan kedua pasangan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْمُتْعَةِ لِلْمُفَوَّضَةِ، فَالْكَلَامُ فِيهَا يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan: Jika telah tetap kewajiban mut‘ah bagi perempuan yang diserahkan urusan maharnya (al-mufawwaḍah), maka pembahasan tentangnya mencakup dua bagian:
أَحَدُهُمَا: فِي مُفَوَّضَةٍ لَمْ يُفْرَضْ لَهَا مَهْرٌ.
Pertama: tentang perempuan yang belum ditetapkan mahar untuknya.
وَالثَّانِي: فِي مُفَوَّضَةٍ قَدْ فُرِضَ لَهَا مَهْرٌ.
Kedua: tentang perempuan yang telah ditetapkan mahar untuknya.
فَأَمَّا الَّتِي لَمْ يُفْرَضْ لَهَا مَهْرٌ، فَهِيَ مُسْتَحِقَّةُ الْمُتْعَةِ، وَالْكَلَامُ فِي اسْتِحْقَاقِهَا يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ:
Adapun perempuan yang belum ditetapkan mahar untuknya, maka ia berhak mendapatkan mut‘ah, dan pembahasan tentang haknya tersebut mencakup tiga bagian:
أَحَدُهُمَا: فِيمَا تَجِبُ بِهِ الْمُتْعَةُ.
Pertama: tentang perkara yang mewajibkan mut‘ah.
وَالثَّانِي: فِي قَدْرِ الْمُتْعَةِ.
Dan yang kedua: tentang kadar mut‘ah.
وَالثَّالِثُ: فِيمَنْ تُعْتَبَرُ به المتعة.
Dan yang ketiga: tentang siapa yang menjadi tolok ukur dalam penetapan mut‘ah.
فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ مَا تَجِبُ بِهِ الْمُتْعَةُ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Adapun bagian pertama, yaitu sebab yang mewajibkan mut‘ah, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: أَنَّهَا تَجِبُ بِالْعَقْدِ، لِأَنَّ مُتْعَةَ الْمُفَوَّضَةِ بَدَلٌ مِنْ مَهْرِ غَيْرِ الْمُفَوَّضَةِ، وَالْمَهْرُ يَجِبُ بِالْعَقْدِ، فَكَذَلِكَ الْمُتْعَةُ.
Salah satunya, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadīm: bahwa mut‘ah wajib dengan akad, karena mut‘ah bagi perempuan yang tidak disebutkan mahar (mufawwaḍah) adalah pengganti dari mahar bagi selain mufawwaḍah, dan mahar itu wajib dengan akad, maka demikian pula mut‘ah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّهَا تَجِبُ بِالطَّلَاقِ لَا بِالْعَقْدِ، وَهَذَا أَصَحُّ، لِأَنَّ حَالَهَا قَبْلَ الطَّلَاقِ مُتَرَدِّدَةٌ بَيْنَ وُجُوبِ الْمَهْرِ أَوِ الْمُتْعَةِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ بِالطَّلَاقِ وَجَبَتِ الْمُتْعَةُ. وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَرَنَ الْمُتْعَةَ بِالطَّلَاقِ، فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِهَا بِالطَّلَاقِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعُكُنَّ وَأُسَرِّحُكُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاً) {الأحزاب: 28) . وَيَكُونُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ فِي الْكَلَامِ تَقْدِيمٌ وَتَأْخِيرٌ، وَتَقْدِيرُهُ: فَتَعَالَيْنَ أُسَرِّحْكُنَّ وَأُمَتِّعْكُنَّ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadīd: bahwa mut‘ah wajib karena talak, bukan karena akad, dan ini yang lebih sahih, karena sebelum talak, statusnya masih antara wajib mahar atau mut‘ah, sehingga menunjukkan bahwa dengan talaklah mut‘ah menjadi wajib. Dan karena Allah Ta‘ala telah mengaitkan mut‘ah dengan talak, maka itu menunjukkan kewajibannya karena talak. Allah Ta‘ala berfirman: {Maka datanglah kalian, niscaya aku beri kalian mut‘ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik} (al-Ahzab: 28). Maka menurut pendapat ini, dalam kalimat tersebut terdapat taqdim dan ta’khir (mendahulukan dan mengakhirkan), dan maksudnya adalah: Maka datanglah kalian, niscaya aku ceraikan kalian dan aku beri kalian mut‘ah.
وَعَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ الْكَلَامُ عَلَى نَسَقِهِ، لَيْسَ فيه تقديم ولا تأخير.
Sedangkan menurut pendapat pertama, susunan kalimat tetap sebagaimana adanya, tidak ada taqdim maupun ta’khir.
فصل
Bagian
وما قَدْرُ الْمُتْعَةِ، فَهِيَ إِلَى رَأْيِ الْحَاكِمِ وَاجْتِهَادِهِ، غَيْرَ أَنَّ الشَّافِعِيَّ اسْتَحْسَنَ فِي مَوْضِعٍ مِنَ الْقَدِيمِ أَنْ يَكُونَ بِقَدْرِ خَادِمٍ، وَحَكَاهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَاسْتَحْسَنَ فِيمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنْ يَكُونَ بِقَدْرِ ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا، وَحَكَاهُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَلَيْسَ فِيمَا ذَكَرَهُ تَقْدِيرٌ لَا تَجُوزُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ، وَلَا النُّقْصَانُ مِنْهُ، لِاخْتِلَافِهِ بِاخْتِلَافِ الْعَادَاتِ فِي أَجْنَاسِ النَّاسِ وَبُلْدَانِهِمْ، كَالْمَهْرِ الَّذِي لَا يَنْحَصِرُ بِقَدْرٍ، وَمَا وَجَبَ وَلَمْ يَنْحَصِرْ بِمِقْدَارٍ شَرْعِيٍّ كَانَ تَقْدِيرُهُ مُعْتَبَرًا بِاجْتِهَادِ الْحَاكِمِ.
Adapun kadar mut‘ah, maka itu dikembalikan kepada pendapat dan ijtihad hakim, hanya saja asy-Syafi‘i berpendapat baik dalam salah satu tempat dalam qaul qadīm agar kadarnya setara dengan seorang pembantu, dan beliau menukilnya dari Ibnu ‘Abbas. Dan beliau juga berpendapat baik, sebagaimana yang dinukil al-Muzani dalam masalah ini, agar kadarnya setara dengan tiga puluh dirham, dan beliau menukilnya dari Ibnu ‘Umar. Namun, dalam apa yang disebutkan tersebut tidak ada ketetapan yang tidak boleh dilebihi atau dikurangi, karena perbedaan kebiasaan pada jenis manusia dan negeri mereka, sebagaimana mahar yang tidak dibatasi dengan kadar tertentu. Dan sesuatu yang wajib namun tidak dibatasi dengan ukuran syar‘i, maka penetapannya dikembalikan kepada ijtihad hakim.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: هِيَ مُقَدَّرَةٌ بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ خَمْسَةِ دَرَاهِمَ، لِأَنَّهُ نِصْفُ أَقَلِّ مَا يَكُونُ مَهْرًا عِنْدَهُ.
Abu Hanifah berkata: Mut‘ah itu ditetapkan sebesar setengah mahar mitsil, dan tidak boleh kurang dari lima dirham, karena itu adalah setengah dari mahar paling sedikit menurutnya.
وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ التَّحْدِيدَ بِنِصْفِ الْمَهْرِ إِنْ لَمْ يُوجَدْ شَرْعًا، فَلَيْسَ فِي الِاجْتِهَادِ مَا يَقْتَضِيهِ، وَلَا نَجْعَلُهُ بِالنِّصْفِ أَخَصَّ مِنْهُ بِالثُّلُثِ أَوِ الرُّبُعِ، فَإِنْ قِيلَ: لِأَنَّ غَيْرَ الْمَدْخُولِ بِهَا تَسْتَحِقُّ نِصْفَ الصَّدَاقِ.
Ini tidak benar, karena penetapan dengan setengah mahar, jika tidak ada dalil syar‘i, maka tidak ada ijtihad yang mengharuskannya, dan kita tidak menjadikannya khusus dengan setengah, tidak pula dengan sepertiga atau seperempat. Jika dikatakan: Karena perempuan yang belum digauli berhak atas setengah mahar.
قُلْنَا: فَقَدْ أَوْجَبَتِ الصَّدَاقَ وَأَسْقَطَتِ الْمُتْعَةَ.
Kami katakan: Maka itu mewajibkan mahar dan menggugurkan mut‘ah.
وَفِي إِجْمَاعِنَا عَلَى إِيجَابِ الْمُتْعَةِ وَإِسْقَاطِ الصَّدَاقِ دَلِيلٌ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الْمُتْعَةِ وَالصَّدَاقِ.
Dan dalam ijma‘ kami atas kewajiban mut‘ah dan gugurnya mahar terdapat dalil adanya perbedaan antara mut‘ah dan mahar.
وَلَيْسَ مَا اسْتَحْسَنَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ قَدْرِ ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا قَوْلًا بِالِاسْتِحْسَانِ الَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَنَعَ مِنْهُ الشَّافِعِيُّ، لِأَنَّهُ قَرَنَهُ بِدَلِيلٍ، وَهُوَ يَمْنَعُ مِنِ اسْتِحْسَانٍ بِغَيْرِ دَلِيلٍ.
Dan apa yang dianggap baik oleh asy-Syafi‘i berupa kadar tiga puluh dirham, bukanlah pendapat istihsān sebagaimana yang dipegang oleh Abu Hanifah dan yang dilarang oleh asy-Syafi‘i, karena beliau menyertakannya dengan dalil, dan beliau melarang istihsān tanpa dalil.
فَصْلٌ
Bagian
وَأَمَّا مَنْ تُعْتَبَرُ بِهِ الْمُتْعَةُ، فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ:
Adapun siapa yang menjadi tolok ukur dalam penetapan mut‘ah, maka menurut para sahabat kami terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: تُعْتَبَرُ بِحَالِ الزَّوْجِ وَحْدَهُ، فِي يَسَارِهِ، وَإِعْسَارِهِ، كَالنَّفَقَةِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى المُقْتِرِ قَدَرُهُ) {البقرة: 236) . كَمَا قَالَ فِي النَّفَقَةِ: {لِيُنْفِق ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا أَتَاهُ اللهُ) {الطلاق: 7) .
Salah satunya: yang dijadikan tolok ukur adalah keadaan suami saja, dalam hal kelapangan dan kesulitannya, seperti nafkah, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: {Bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang terbatas sesuai kemampuannya} (al-Baqarah: 236). Sebagaimana firman-Nya tentang nafkah: {Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya} (ath-Thalaq: 7).
فَعَلَى هَذَا يَكُونُ تَأْوِيلُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ، ” وَمَا رَأَى الْوَلِيُّ بِقَدْرِ الزَّوْجَيْنِ “.
Maka menurut pendapat ini, maksud dari perkataan asy-Syafi‘i, “dan apa yang dipandang wali sesuai kadar kedua pasangan”.
يَعْنِي: الزَّوْجُ الْمُوسِرُ، وَالزَّوْجُ الْمُعْسِرُ.
Yaitu: suami yang mampu dan suami yang tidak mampu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: تُعْتَبَرُ بِهَا حَالُ الزَّوْجَيْنِ عَلَى ظَاهِرِ كَلَامِهِ، فَتُعْتَبَرُ حَالُ الزَّوْجِ فِي يَسَارِهِ وَإِعْسَارِهِ، وَتُعْتَبَرُ بِهَا حَالُ الزَّوْجَةِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا نَعْتَبِرُهُ مِنْ حَالِ الزَّوْجَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: yang dijadikan tolok ukur adalah keadaan kedua pasangan sebagaimana zahir perkataannya, maka yang diperhatikan adalah keadaan suami dalam kelapangan dan kesulitannya, dan juga keadaan istri. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang apa yang dijadikan tolok ukur dari keadaan istri, menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُعْتَبَرُ سِنُّهَا، وَنَسَبُهَا، وَجَمَالُهَا، كَمَا يُعْتَبَرُ فِي مَهْرِ الْمِثْلِ.
Salah satu pendapat: bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah usianya, nasabnya, dan kecantikannya, sebagaimana yang dipertimbangkan dalam mahar mitsil.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَعْتَبِرُهَا حَالَ قُمَاشِهَا، وَجَهَازِهَا، فِي قِلَّتِهِ وَكَثْرَتِهِ، لِأَنَّهَا عِوَضٌ مِنْ أَخْلَاقِهِ وَمُؤْنَةِ نَقْلِهِ.
Dan pendapat kedua: bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah keadaan kainnya dan perlengkapannya, baik sedikit maupun banyak, karena itu merupakan pengganti dari akhlaknya dan biaya pemindahannya.
وَهَذَا وَجْهٌ مَرْدُودٌ، لِأَنَّهُ لَيْسَ الْجَهَازُ مَقْصُودًا فَيُعْتَبَرُ، وَلَوِ اعْتُبِرَ فِي الْمُتْعَةِ لَكَانَ اعْتِبَارُهُ فِي الْمَهْرِ أَحَقَّ، وَلَوَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ مُتْعَةً لِمَنْ لَا جَهَازَ لَهَا.
Dan ini adalah pendapat yang tertolak, karena perlengkapan bukanlah tujuan utama sehingga dijadikan pertimbangan. Jika perlengkapan dipertimbangkan dalam pemberian mut‘ah, maka seharusnya ia lebih layak dipertimbangkan dalam mahar. Dan seharusnya tidak ada mut‘ah bagi perempuan yang tidak memiliki perlengkapan.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْمُفَوَّضَةُ الَّتِي فُرِضَ لَهَا مَهْرٌ، وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ:
Adapun perempuan yang diserahkan urusan maharnya (al-mufawwaḍah) namun telah ditetapkan mahar untuknya, maka hal itu bisa terjadi dalam dua keadaan:
إِمَّا بِأَنْ يَتَرَاضَى الزَّوْجَانِ بِفَرْضِهِ وَتَقْدِيرِهِ، عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ.
Pertama, dengan kerelaan kedua mempelai dalam penetapan dan penaksirannya, sebagaimana akan kami sebutkan.
وَإِمَّا بِأَنْ يَفْرِضَهُ الْحَاكِمُ، فَيَصِيرُ بِالْفَرْضِ بَعْدَ التَّفْوِيضِ كَالْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ، فَإِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا نِصْفُ الْمَفْرُوضِ دُونَ الْمُتْعَةِ.
Atau dengan penetapan dari hakim, sehingga dengan penetapan tersebut setelah pendelegasian, statusnya menjadi seperti mahar yang disebutkan dalam akad. Jika suaminya menceraikannya sebelum terjadi hubungan, maka ia berhak atas setengah dari mahar yang ditetapkan, tanpa mut‘ah.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَبْطُلُ الْمَفْرُوضُ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَيَثْبُتُ حُكْمُ التَّفْوِيضِ فِي وُجُوبِ الْمُتْعَةِ كَالَّتِي لَمْ يُفْرَضْ لَهَا مَهْرٌ، بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْمُفَوَّضَةَ وَجَبَ لَهَا بِالْعَقْدِ مَهْرٌ وَسَقَطَ بِالطَّلَاقِ، وَاسْتِدْلَالًا: بِأَنَّهُ نِكَاحٌ خَلَا عَنْ ذِكْرِ مَهْرٍ فَوَجَبَ أَنْ يُسْتَحَقَّ فِيهِ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ الْمُتْعَةُ قِيَاسًا عَلَى غَيْرِ الْمَفْرُوضِ لَهَا مَهْرٌ.
Abu Hanifah berpendapat: mahar yang ditetapkan batal dengan perceraian sebelum terjadi hubungan, dan berlaku hukum pendelegasian dalam kewajiban mut‘ah seperti perempuan yang tidak ditetapkan mahar untuknya, berdasarkan pendapat dasarnya bahwa perempuan yang diserahkan urusan maharnya (al-mufawwaḍah) menjadi wajib baginya mahar dengan akad dan gugur dengan perceraian. Dalilnya: bahwa itu adalah akad nikah yang tidak disebutkan mahar di dalamnya, maka wajib diberikan mut‘ah jika terjadi perceraian sebelum hubungan, qiyās dengan perempuan yang tidak ditetapkan mahar untuknya.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُوهُن وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ) {البقرة: 237) . فكان قوله: {وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً} عَلَى عُمُومِ الْحَالَيْنِ فِيمَا فَرَضَ فِي الْعَقْدِ أَوْ بَعْدَ الْعَقْدِ، وَإِنْ كَانَ بِالْمَفْرُوضِ بَعْدَ الْعَقْدِ أَشْبَهَ، فَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ اسْتِرْجَاعَ نِصْفِهِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu sudah menentukan mahar untuk mereka, maka (wajib bagimu membayar) setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu} (al-Baqarah: 237). Maka firman-Nya: {padahal kamu sudah menentukan mahar untuk mereka} mencakup kedua keadaan, baik yang ditetapkan dalam akad maupun setelah akad, meskipun yang ditetapkan setelah akad lebih mirip, maka Allah Ta‘ala menetapkan hak untuk mengambil kembali setengahnya.
وَأَبُو حَنِيفَةَ يُوجِبُ اسْتِرْجَاعَ جَمِيعِهِ، فَكَانَ قَوْلُهُ مَدْفُوعًا بِالنَّصِّ.
Sedangkan Abu Hanifah mewajibkan pengambilan kembali seluruhnya, maka pendapatnya tertolak oleh nash.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَدُّوا الْعَلَائِقَ “، قِيلَ: وَمَا الْعَلَائِقُ؟ قَالَ: ” مَا تَرَاضَى بِهِ الْأَهْلُونَ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِ التَّرَاضِي فِي حَالِ الْعَقْدِ وَبَعْدَهُ.
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tunaikanlah al-‘alā’iq.” Ditanyakan: “Apa itu al-‘alā’iq?” Beliau menjawab: “Apa yang telah disepakati oleh kedua keluarga.” Maka ini berlaku umum baik pada saat akad maupun setelahnya.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ: أَنَّهُ فَرْضٌ يَسْتَقِرُّ بِالدُّخُولِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ كَالْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ، وَلِأَنَّ هَذَا الْمَفْرُوضَ بِمَنْزِلَةِ الْمُسَمَّى فِي اسْتِقْرَارِهِ بِالْمَوْتِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِمَنْزِلَتِهِ فِي الطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ.
Dan dari sisi qiyās: bahwa itu adalah mahar yang menjadi tetap dengan terjadinya hubungan, maka tidak boleh gugur dengan perceraian sebelum hubungan, seperti mahar yang disebutkan dalam akad. Dan karena mahar yang ditetapkan ini kedudukannya seperti mahar yang disebutkan dalam hal tetapnya dengan kematian, maka seharusnya kedudukannya juga sama dalam hal perceraian sebelum hubungan.
فَأَمَّا بِنَاءُ أَبِي حَنِيفَةَ ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فَمُخَالِفٌ فِيهِ.
Adapun dasar Abu Hanifah dalam membangun pendapatnya tersebut, maka hal itu bertentangan dalam masalah ini.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ: فَالْمَعْنَى فِي الْمُفَوَّضَةِ أَنَّهُ لَا يَجِبُ بِالْمَوْتِ مَفْرُوضٌ، وَتَسْتَحِقُّ الْمُطَالَبَةَ بِفَرْضِ الْمَهْرِ، وَهَذِهِ يَجِبُ لَهَا الْمَفْرُوضُ بِالْمَوْتِ، وَلَا تَسْتَحِقُّ الْمُطَالَبَةَ بِالْفَرْضِ، فَصَارَ كَالْمُسَمَّى، وَاللَّهُ أعلم.
Adapun qiyās-nya: makna dalam kasus al-mufawwaḍah adalah bahwa tidak wajib mahar yang ditetapkan dengan kematian, dan ia berhak menuntut penetapan mahar, sedangkan dalam kasus ini, mahar yang ditetapkan menjadi wajib dengan kematian, dan ia tidak berhak menuntut penetapan mahar, sehingga kedudukannya seperti mahar yang disebutkan dalam akad. Dan Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يُسَمِّيَ مَهْرًا أَوْ مَاتَتْ فسواءٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” بأبي هو وأمي ” أَنَّهُ قَضَى فِي بَرْوَعَ بِنْتِ واشقٍ وَنُكِحَتْ بِغَيْرِ مهرٍ فَمَاتَ زَوْجُهَا فَقَضَى لَهَا بِمَهْرِ نِسَائِهَا وَبِالْمِيرَاثِ فَإِنْ كَانَ يَثْبُتُ فَلَا حُجَّةَ فِي قَوْلِ أحدٍ دُونَ النَّبِيَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يقال مرة عن معقل بن يسارٍ ومرةً عن معقل بن سنان ومرةً عن بعض بني أشجع وإن لم يثبت فلا مهر ولها الميراث وهو قول علي وزيدٍ وابن عمر “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami meninggal sebelum menyebutkan mahar atau istri meninggal, maka hukumnya sama saja. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ — semoga ayah dan ibuku menjadi tebusannya — bahwa beliau memutuskan dalam kasus Barwa‘ binti Wāshiq yang dinikahi tanpa mahar, lalu suaminya meninggal, maka beliau memutuskan untuknya mahar seperti perempuan-perempuan sejenisnya dan juga warisan. Jika riwayat ini sahih, maka tidak ada hujjah pada perkataan siapa pun selain Nabi ﷺ. Riwayat ini kadang disebutkan dari Ma‘qil bin Yasar, kadang dari Ma‘qil bin Sinān, dan kadang dari sebagian Bani Asyja‘. Jika tidak sahih, maka tidak ada mahar dan ia berhak atas warisan. Ini adalah pendapat Ali, Zaid, dan Ibnu Umar.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا الْمُفَوَّضَةُ إِذَا مَاتَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَبْلَ الدُّخُولِ، أَوْ مَاتَتْ، فَإِنَّهُمَا يَتَوَارَثَانِ بِالْإِجْمَاعِ لِقَوْلِ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ) {النساء: 12) . وَهُمَا زَوْجَانِ لِصِحَّةِ النِّكَاحِ بَيْنَهُمَا.
Al-Mawardi berkata: Adapun perempuan yang akad nikahnya diserahkan (al-mufawwadah), jika suaminya meninggal dunia sebelum terjadi hubungan (dengan istrinya), atau ia sendiri yang meninggal, maka keduanya saling mewarisi berdasarkan ijmā‘, karena firman Allah Ta‘ala: “Dan bagi kalian (para suami) setengah dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian” (QS. an-Nisā’: 12). Keduanya adalah pasangan suami istri karena akad nikah di antara mereka sah.
فَأَمَّا مَهْرُ مِثْلِهَا، فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي اسْتِحْقَاقِهِ بِالْمَوْتِ قَبْلَ الدُّخُولِ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Adapun mengenai mahar mitsil (mahar sepadan) baginya, terdapat perbedaan pendapat Syafi‘i tentang haknya atas mahar tersebut jika terjadi kematian sebelum terjadi hubungan, yaitu ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ: أَنَّ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، وَفِي التَّابِعِينَ: قَوْلُ عَلْقَمَةَ، وَالشَّعْبِيِّ، وَفِي الْفُقَهَاءِ: قَوْلُ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، وَابْنِ شُبْرُمَةَ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ.
Salah satunya, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah: bahwa ia berhak mendapatkan mahar mitsil, dan ini adalah pendapat Abdullah bin Mas‘ud dari kalangan sahabat, serta dari kalangan tabi‘in adalah pendapat ‘Alqamah dan asy-Sya‘bi, dan dari kalangan fuqahā’ adalah pendapat Ibnu Abi Laila, Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Syubrumah, Ahmad, dan Ishaq.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، لَا مَهْرَ لَهَا.
Pendapat kedua, dan ini adalah mazhab Malik: ia tidak berhak mendapatkan mahar.
وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.
Dan dari kalangan sahabat, ini adalah pendapat ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin ‘Umar, dan Zaid bin Tsabit radhiyallāhu ‘anhum.
وَفِي التَّابِعِينَ: قَوْلُ جَابِرِ بْنِ زيد، والزهري، وَعَطَاءٍ.
Dan dari kalangan tabi‘in: pendapat Jabir bin Zaid, az-Zuhri, dan ‘Atha’.
وَفِي الْفُقَهَاءِ: قَوْلُ رَبِيعَةَ، وَالْأَوْزَاعِيِّ.
Dan dari kalangan fuqahā’: pendapat Rabi‘ah dan al-Auza‘i.
وَدَلِيلُ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ: وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ: حَدِيثُ بَرْوَعَ بِنْتِ وَاشِقٍ: رَوَى قَتَادَةُ عَنْ خِلَاسٍ، وَأَبِي حَسَّانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَجُلًا تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَلَمْ يُسَمِّ لَهَا صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتَّى مَاتَ، فَأَتَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ، وَكَانَ قَاضِيًا فَاخْتَلَفُوا إِلَيْهِ مِرَارًا، وَقَالَ: شَهْرًا، فَقَالَ: إِنْ كَانَ وَلَا بُدَّ فَإِنِّي أَفْرِضُ لَهَا مَهْرَ نِسَائِهَا، لَا وكسٌ، وَلَا شططٌ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ، إِنْ يَكُنْ صَوَابًا فَمِنَ اللَّهِ، وَإِنْ يَكُنْ خَطَأً فَمِنِّي وَمِنَ الشَّيْطَانِ، وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ بَرِيئَانِ مِنْهُ. فَقَالَ نَاسٌ مِنْ أَشْجَعَ: فِيهِمُ الْجَرَّاحُ أَبُو سِنَانٍ، نَشْهَدُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، قَضَاهَا فِينَا، فِي بَرْوَعَ بِنْتٍ واشقٍ، وَكَانَ زَوْجُهَا هِلَالَ بْنَ مرةٍ الْأَشْجَعِيَّ بِمَا قَضَيْتَ.
Dalil pendapat pertama, yaitu mazhab Abu Hanifah, adalah hadis Barwa‘ binti Washiq: Diriwayatkan Qatadah dari Khilas dan Abu Hassan, dari Abdullah bin ‘Utbah bin Mas‘ud, bahwa ada seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tanpa menentukan mahar untuknya dan belum berhubungan dengannya hingga ia meninggal dunia. Lalu mereka mendatangi Abdullah bin Mas‘ud, yang saat itu menjadi qadhi, dan mereka berkali-kali mengajukan perkara kepadanya. Ia berkata: “Jika memang harus diputuskan, maka aku menetapkan untuknya mahar seperti perempuan-perempuan sejenisnya, tanpa dikurangi dan tanpa dilebihkan, dan ia berhak mendapatkan warisan, serta wajib menjalani masa ‘iddah. Jika ini benar, maka dari Allah; jika salah, maka dari diriku dan dari setan, dan Allah serta Rasul-Nya berlepas diri darinya.” Lalu beberapa orang dari Asyja‘, di antaranya Jarrah Abu Sinan, berkata: “Kami bersaksi bahwa Rasulullah ﷺ telah memutuskan demikian di antara kami, pada kasus Barwa‘ binti Washiq, dan suaminya adalah Hilal bin Murrah al-Asyja‘i, sebagaimana yang engkau putuskan.”
وَهَذَا حَدِيثٌ إِنْ صَحَّ فِي بَرْوَعَ، لَمْ يجز خلافه.
Dan hadis ini, jika benar terjadi pada Barwa‘, maka tidak boleh ada perbedaan pendapat darinya.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ: أَنَّ مَا اسْتَقَرَّ بِهِ كَمَالُ الْمُسَمَّى اسْتُحِقَّ بِهِ مَهْرُ الْمِثْلِ فِي الْمُفَوَّضَةِ كَالدُّخُولِ، وَلِأَنَّ مَا أَوْجَبَهُ عَقْدُ النِّكَاحِ بِالدُّخُولِ أَوْجَبَهُ بِالْوَفَاةِ كَالْمُسَمَّى، وَلِأَنَّهُ أَحَدُ مُوجِبَيِ الدُّخُولِ فَوَجَبَ أَنْ يُسْتَحَقَّ بِالْوَفَاةِ كَالْعِدَّةِ.
Dan dari sisi qiyās: bahwa apa yang telah tetap dengan sempurnanya mahar yang disebutkan, maka berhak pula mendapatkan mahar mitsil pada kasus al-mufawwadah sebagaimana pada kasus telah terjadi hubungan; dan karena apa yang diwajibkan oleh akad nikah dengan terjadinya hubungan, juga diwajibkan dengan wafat, sebagaimana pada mahar yang disebutkan; dan karena wafat adalah salah satu sebab yang mewajibkan sebagaimana hubungan, maka wajib pula berhak atas mahar dengan sebab wafat, sebagaimana wajibnya masa ‘iddah.
وَدَلِيلُ الْقَوْلِ الثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ.
Adapun dalil pendapat kedua, dan ini adalah yang lebih sahih.
إِنْ لَمْ يَثْبُتْ حَدِيثُ بَرْوَعَ، مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” أَدُّوا الْعَلَائِقَ “. قِيلَ: وَمَا الْعَلَائِقُ؟ قَالَ: ” مَا تَرَاضَى بِهِ الْأَهْلُونَ “. فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُسْتَحَقَّ بِالْعَقْدِ مَا تَرَاضَى بِهِ الْأَهْلُونَ دُونَ غَيْرِهِ.
Jika hadis Barwa‘ tidak sahih, maka yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tunaikanlah al-‘alā’iq.” Ditanyakan: “Apa itu al-‘alā’iq?” Beliau menjawab: “Yaitu apa yang telah disepakati oleh kedua keluarga.” Maka ini menunjukkan bahwa yang menjadi hak karena akad adalah apa yang telah disepakati oleh kedua keluarga, dan tidak lebih dari itu.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ: أَنَّهُ فِرَاقُ مُفَوَّضَةٍ قَبْلَ فَرْضٍ وَإِصَابَةٍ، فَلَمْ يُسْتَحَقَّ بِهِ مَهْرٌ كَالطَّلَاقِ، وَلِأَنَّ الْمَوْتَ سَبَبٌ يَقَعُ بِهِ الْفُرْقَةُ، فَلَمْ يَجِبْ بِهِ الْمَهْرُ، كَالرَّضَاعِ وَالرِّدَّةِ، وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يُنْتَصَفْ صَدَاقُهَا بِالطَّلَاقِ لَمْ يُسْتَفَدْ بِالْمَوْتِ جَمِيعُ الصَّدَاقِ كَالْمُبَرِّئَةِ لِزَوْجِهَا مِنْ صَدَاقِهَا، وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يُنْتَصَفْ بِالطَّلَاقِ لَمْ يُتَكَمَّلْ بِالْمَوْتِ، كَالزِّيَادَةِ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ.
Dan dari sisi qiyās: bahwa ini adalah perpisahan dengan perempuan yang akadnya diserahkan (al-mufawwadah) sebelum penetapan mahar dan sebelum terjadi hubungan, maka tidak berhak atas mahar sebagaimana pada kasus talak; dan karena kematian adalah sebab terjadinya perpisahan, maka tidak wajib mahar karenanya, sebagaimana pada kasus penyusuan dan riddah; dan karena perempuan yang tidak mendapatkan setengah maharnya karena talak, tidak berhak mendapatkan seluruh mahar karena kematian, sebagaimana perempuan yang membebaskan suaminya dari maharnya; dan karena setiap perkara yang tidak menjadi setengah karena talak, tidak menjadi sempurna karena kematian, seperti tambahan atas mahar mitsil.
فَأَمَّا حَدِيثُ بَرْوَعَ فَقَدِ اخْتُلِفَ فِي ثُبُوتِهِ. فذهب قول إِلَى ضَعْفِهِ، وَأَنَّهُ مُضْطَرِبٌ غَيْرُ ثَابِتٍ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Adapun hadis Barwa‘, maka terdapat perbedaan pendapat tentang kesahihannya. Sebagian pendapat menyatakan hadis ini lemah, dan bahwa hadis ini mudhtharib (terdapat kegoncangan dalam sanadnya) dan tidak sahih dari tiga sisi.
أَحَدُهُا: اضْطِرَابُ طُرُقِهِ، لِأَنَّهُ رُوِيَ تَارَةً عَنْ نَاسٍ مِنْ أَشْجَعَ، وَهُمْ مَجَاهِيلُ، وَتَارَةً عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ، وَتَارَةً عَنْ مَعْقِلِ بْنِ سِنَانٍ، وَتَارَةً عَنِ الْجَرَّاحِ بْنِ سِنَانٍ. فَدَلَّ اضْطِرَابُ طُرُقِهِ عَلَى وَهَائِهِ.
Pertama: jalur periwayatannya tidak konsisten, karena kadang-kadang diriwayatkan dari sekelompok orang dari Asyja‘, yang mereka itu tidak dikenal, kadang-kadang dari Ma‘qil bin Yasar, kadang-kadang dari Ma‘qil bin Sinan, dan kadang-kadang dari al-Jarrah bin Sinan. Maka ketidakkonsistenan jalur periwayatannya menunjukkan kelemahannya.
وَالثَّانِي: أن علياً بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْكَرَهُ، وَقَالَ: حَدِيثُ أَعْرَابِيٍّ يَبُولُ عَلَى عَقِبَيْهِ، وَلَا أَقْبَلُ شَهَادَةَ الْأَعْرَابِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
Kedua: Ali bin Abi Thalib ra. mengingkarinya, dan berkata: “Ini adalah hadis seorang Arab Badui yang kencing di tumitnya, dan aku tidak menerima kesaksian orang Arab Badui atas Rasulullah ﷺ.”
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْوَاقِدِيَّ، طَعَنَ فِيهِ وَقَالَ هَذَا الْحَدِيثُ وَرَدَ إِلَى الْمَدِينَةِ مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ، فَمَا عَرَفَهُ أَحَدٌ مِنْ عُلَمَاءِ الْمَدِينَةِ.
Ketiga: al-Waqidi mencela hadis ini dan berkata bahwa hadis ini datang ke Madinah dari penduduk Kufah, dan tidak ada seorang pun dari ulama Madinah yang mengenalnya.
وَذَهَبَ آخَرُونَ إِلَى صِحَّةِ الْحَدِيثِ لِاشْتِهَارِهِ، وَقَبُولِ ابْنِ مَسْعُودٍ لَهُ، وَوُرُودِهِ عَنْ ثَلَاثَةِ طُرُقٍ صَحِيحَةٍ.
Sementara sebagian lain berpendapat bahwa hadis ini sahih karena telah masyhur, diterima oleh Ibnu Mas‘ud, dan diriwayatkan melalui tiga jalur yang sahih.
أَحَدُهَا: مَنْصُورُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ.
Salah satunya: Manshur bin Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas‘ud.
وَالثَّانِي: دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَلْقَمَةَ.
Kedua: Dawud bin Abi Hind dari asy-Sya‘bi, dari ‘Alqamah.
وَالثَّالِثُ: عَنْ خِلَاسٍ، وَأَبِي حَسَّانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ.
Ketiga: dari Khilas dan Abu Hassan, dari Abdullah bin ‘Utbah.
وَلَيْسَ اخْتِلَافُ أَسْمَاءِ الرَّاوِي قَدْحًا، لِأَنَّ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارِ بْنِ سِنَانٍ مَشْهُورٌ فِي الصَّحَابَةِ، وَهُوَ الْمَنْسُوبُ إِلَيْهِ نَهْرُ مَعْقِلٍ بِالْبَصْرَةِ تَبَرُّكًا باسمه حين اختفره زِيَادٌ لِأَنَّهُ كَانَ مِنْ بَقَايَا الصَّحَابَةِ.
Perbedaan nama perawi tidaklah menjadi celaan, karena Ma‘qil bin Yasar bin Sinan terkenal di kalangan sahabat, dan dialah yang dinisbatkan kepadanya Sungai Ma‘qil di Bashrah sebagai bentuk tabarruk (mengambil berkah) dengan namanya ketika digali oleh Ziyad, karena ia termasuk sisa-sisa sahabat.
وَمَنْ كَانَ بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ فِي بَقَايَا الصَّحَابَةِ وَجُمْهُورِ التَّابِعِينَ لَمْ يُدْفَعْ حَدِيثُهُ.
Dan siapa yang memiliki kedudukan seperti ini di antara sisa-sisa sahabat dan mayoritas tabi‘in, maka hadisnya tidak ditolak.
وَأَمَّا الْجَرَّاحُ أَبُو سِنَانٍ، فَقَدْ شَهِدَ بِذَلِكَ مَعَ قَوْمِهِ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ في قصة مشهورة. فما ورد وَلَا رُدُّوا.
Adapun al-Jarrah Abu Sinan, ia telah bersaksi bersama kaumnya di hadapan Abdullah bin Mas‘ud dalam sebuah kisah yang masyhur. Maka hadis itu diriwayatkan dan tidak ditolak.
وَأَمَّا إِنْكَارُ عَلِيٍّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَقَدْ كَانَ لَهُ فِي قَبُولِ الْحَدِيثِ رَأْيٌ أَنْ يَسْتَحْلِفَ الْمُحَدِّثَ، وَلَا يَقْبَلَ حَدِيثَهُ إِلَّا بَعْدَ يَمِينِهِ وَقَالَ: مَا حَدَّثَنِي أَحَدٌ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِلَّا اسْتَحْلَفْتُهُ إِلَّا أَبُو بَكْرٍ، وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ.
Adapun pengingkaran Ali ra., maka ia memiliki pendapat dalam menerima hadis, yaitu meminta perawi untuk bersumpah, dan tidak menerima hadisnya kecuali setelah bersumpah. Ia berkata: “Tidak ada seorang pun yang meriwayatkan kepadaku dari Rasulullah ﷺ kecuali aku meminta sumpahnya, kecuali Abu Bakar, dan Abu Bakar benar.”
وَهَذَا مَذْهَبٌ لَا يَقُولُ بِهِ الْفُقَهَاءُ.
Dan ini adalah mazhab yang tidak dianut oleh para fuqaha.
وَأَمَّا الْوَاقِدِيُّ فَلَمْ يَقْدَحْ فِيهِ إِلَّا بِأَنَّهُ وَرَدَ مِنَ الْكُوفَةِ فَلَمْ يَعْرِفْهُ عُلَمَاءُ الْمَدِينَةِ، وَهَذَا لَيْسَ بِقَدْحٍ، لِأَنَّهَا مِنْ قَضَايَا رَسُولِ الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْقَبَائِلِ الَّتِي انْتَشَرَ أَهْلُهَا فَصَارُوا إِلَى الْكُوفَةِ فَرَوَوْهُ بِهَا ثُمَّ نُقِلَ إِلَى الْمَدِينَةِ، وَمِثْلُ هَذَا كَثِيرٌ فِي الْحَدِيثِ، فَإِنْ كَانَ هَذَا الْحَدِيثُ غَيْرَ صَحِيحٍ، فَالْمَهْرُ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Adapun al-Waqidi, ia tidak mencela hadis ini kecuali karena hadis tersebut datang dari Kufah sehingga tidak dikenal oleh ulama Madinah, dan ini bukanlah celaan, karena itu termasuk perkara Rasulullah ﷺ di kalangan kabilah yang penduduknya menyebar lalu mereka pergi ke Kufah, kemudian meriwayatkannya di sana, lalu hadis itu dipindahkan ke Madinah. Hal seperti ini banyak terjadi dalam hadis. Jika hadis ini tidak sahih, maka tentang mahar ada dua pendapat.
وَإِنْ صَحَّ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا.
Dan jika hadis ini sahih, maka para ulama kami berbeda pendapat.
فَذَهَبَ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ وَجُمْهُورُ الْبَصْرِيِّينَ إِلَى وُجُوبِ الْمَهْرِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ.
Abu Hamid al-Marwazi dan mayoritas ulama Bashrah berpendapat bahwa mahar wajib secara mutlak, dan ini adalah pendapat yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i.
وَذَهَبَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورُ الْبَغْدَادِيِّينَ إِلَى أَنَّ وُجُوبَ الْمَهْرِ مَعَ صِحَّتِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ، لِأَنَّهُ قَضِيَّةٌ فِي عَيْنٍ يَجُوزُ أن يكون وليها فوض نكاحها فَلَمْ يَصِحَّ التَّفْوِيضُ، أَوْ تَكُونَ مُفَوَّضَةَ الْمَهْرِ دُونَ الْبُضْعِ، فَإِنْ فُرِضَ لَهَا مَهْرٌ مَجْهُولٌ فَلِاحْتِمَالِهِ مَعَ الصِّحَّةِ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan mayoritas ulama Baghdad berpendapat bahwa kewajiban mahar, meskipun hadisnya sahih, ada dua pendapat, karena ini adalah kasus tertentu yang mungkin walinya telah menyerahkan urusan nikahnya sehingga penyerahan itu tidak sah, atau ia adalah perempuan yang diserahkan mahar (mufawwadah al-mahr) bukan kemaluannya (al-bud‘), sehingga jika ditetapkan mahar yang tidak diketahui untuknya, maka karena adanya kemungkinan tersebut, meskipun sah, tetap ada dua pendapat.
وَأَمَّا اعْتِبَارُ الْمَوْتِ بِالدُّخُولِ: فَفِي الدُّخُولِ إِتْلَافٌ يَجِبُ بِهِ الْغُرْمُ بِخِلَافِ الْمَوْتِ.
Adapun pertimbangan kematian dengan hubungan suami istri: dalam hubungan suami istri terdapat tindakan yang menimbulkan kewajiban ganti rugi, berbeda dengan kematian.
وَأَمَّا اعْتِبَارُ التَّفْوِيضِ بِالْمُسَمَّى: فَالْمُسَمَّى يَجِبُ بِالطَّلَاقِ نِصْفُهُ فَكَمَلَ بِالْمَوْتِ. وَالْمُفَوَّضَةُ لَمْ يَجِبْ لَهَا بِالطَّلَاقِ نِصْفُهُ، فَلَمْ يَكْمُلْ لَهَا بِالْمَوْتِ جَمِيعُهُ.
Adapun pertimbangan penyerahan (tafwidh) dengan mahar yang disebutkan (al-musamma): mahar yang disebutkan wajib setengahnya karena talak, lalu menjadi sempurna dengan kematian. Sedangkan perempuan yang diserahkan (mufawwadah), tidak wajib setengahnya karena talak, maka tidak sempurna seluruhnya karena kematian.
وَأَمَّا اعْتِبَارُ الْمَهْرِ بِالْعِدَّةِ: فَقَدْ تَجِبُ الْعِدَّةُ بِإِصَابَةِ السَّفِيهِ، وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ مَهْرٌ، فَكَذَلِكَ الْمَوْتُ فِي الْمُفَوَّضَةِ.
Adapun pertimbangan mahar dengan masa iddah: kadang-kadang iddah wajib karena persetubuhan orang yang belum dewasa, meskipun tidak wajib mahar atasnya, demikian pula kematian pada perempuan yang diserahkan (mufawwadah).
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ مُسْلِمَةً، أَوْ ذِمِّيَّةً، فِي أَنَّ الْمَهْرَ إِنْ وَجَبَ لِلْمُسْلِمَةِ، وَجَبَ لِلذِّمِّيَّةِ. وَإِنْ سَقَطَ لِلْمُسْلِمَةِ سَقَطَ لِلذِّمِّيَّةِ.
Jika telah tetap apa yang telah kami jelaskan, maka tidak ada perbedaan antara istri yang muslimah maupun dzimmi (non-muslim yang berada di bawah perlindungan Islam), dalam hal bahwa mahar jika wajib bagi muslimah, maka wajib pula bagi dzimmi. Dan jika gugur bagi muslimah, maka gugur pula bagi dzimmi.
وقال أبو حنيفة: أوجب المهر للمسلمة، وأسقط لِلذِّمِّيَّةِ. وَجَعَلَ ذَلِكَ مَبْنِيًّا عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ ثُبُوتَ الْمَهْرِ فِي النِّكَاحِ حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى، وَأَهْلُ الذِّمَّةِ لَا يُؤَاخَذُونَ بِحُقُوقِ اللَّهِ، وَيُؤَاخَذُ بِهَا الْمُسْلِمُونَ. فَلِذَلِكَ سَقَطَ مَهْرُ الذِّمِّيَّةِ، لِسُقُوطِهِ مِنَ الْعَقْدِ، وَوَجَبَ مَهْرُ الْمُسْلِمَةِ لِوُجُوبِهِ فِي الْعَقْدِ.
Abu Hanifah berkata: Mahar diwajibkan bagi muslimah, dan gugur bagi dzimmi. Ia mendasarkan hal itu pada pendapat asalnya bahwa penetapan mahar dalam pernikahan adalah hak Allah Ta‘ala, dan ahlu dzimmah tidak dibebani dengan hak-hak Allah, sedangkan kaum muslimin dibebani dengannya. Oleh karena itu, mahar bagi dzimmi gugur karena gugur dari akad, dan mahar bagi muslimah wajib karena wajib dalam akad.
وَهَذَا فَاسِدٌ، بَلِ الْمَهْرُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الْمَحْضَةِ كَالثَّمَنِ فِي الْبَيْعِ، وَالْأُجْرَةِ فِي الْإِجَارَةِ لِاسْتِحْقَاقِهِ بِالطَّلَبِ، وَسُقُوطِهِ بِالْعَفْوِ.
Pendapat ini batil, bahkan mahar termasuk hak-hak manusia murni, seperti harga dalam jual beli, dan upah dalam ijarah (sewa-menyewa), karena ia berhak didapatkan dengan tuntutan, dan gugur dengan pemaafan.
وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ اسْتِدَامَةُ ثُبُوتِهِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ ابْتِدَاءُ ثُبُوتِهِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ كَسَائِرِ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ طَرْدًا، وَكَسَائِرِ حُقُوقِ اللَّهِ عَكْسًا، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الْمَهْرُ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى فِي النِّكَاحِ كَالْوَلِيِّ وَالشَّاهِدَيْنِ لَبَطَلَ النِّكَاحُ بِتَرْكِ الْمَهْرِ، كَمَا بَطَلَ بترك الولي، والشاهدين، والله أعلم.
Karena jika kelangsungan keberadaannya termasuk hak-hak manusia, maka seharusnya permulaan keberadaannya juga termasuk hak-hak manusia sebagaimana hak-hak manusia lainnya secara konsisten, dan berbeda dengan hak-hak Allah. Dan karena jika mahar itu termasuk hak Allah Ta‘ala dalam pernikahan seperti wali dan dua saksi, niscaya pernikahan batal dengan meninggalkan mahar, sebagaimana batal dengan meninggalkan wali dan dua saksi. Wallahu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَمَتَى طَلَبَتِ الْمَهْرَ فَلَا يَلْزَمُهُ إِلَّا أَنْ يفوضه السَّلْطَانُ لَهَا أَوْ يَفْرِضَهُ هُوَ لَهَا بَعْدَ عِلْمِهَا بِصَدَاقِ مِثْلِهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan kapan saja ia (istri) menuntut mahar, maka tidak wajib baginya kecuali jika penguasa menetapkannya untuknya atau suaminya menetapkannya untuknya setelah ia mengetahui mahar wanita sepadannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قال المفوضة لبعضها لَا تَمْلِكُ الْمَهْرَ بِعَقْدِ النِّكَاحِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini seperti yang dikatakan tentang wanita yang akadnya tanpa penetapan mahar, yaitu ia tidak memiliki hak atas mahar hanya dengan akad nikah.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: تَمْلِكُهُ بِالْعَقْدِ، اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:
Abu Hanifah berkata: Ia memilikinya dengan akad, dengan dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الزَّوْجَ قَدْ مَلَكَ بُضْعَهَا بِالْعَقْدِ، فَوَجَبَ أَنْ تَمْلِكَ بَدَلَهُ مِنَ الْمَهْرِ بِالْعَقْدِ، كَالثَّمَنِ وَالْمُثَمَّنِ لَا يَمْلِكُ عَلَيْهَا مُبْدَلًا لَمْ تَمْلِكْ فِي مُقَابَلَتِهِ بَدَلًا.
Pertama: Bahwa suami telah memiliki hak atas kemaluannya dengan akad, maka seharusnya ia juga memiliki gantinya berupa mahar dengan akad, seperti harga dan barang dalam jual beli; tidaklah seseorang memiliki barang pengganti kecuali ia juga memiliki hak atas gantinya.
وَالثَّانِي: أَنَّ لِلْمُفَوَّضَةِ الْمُطَالَبَةَ بِالْمَهْرِ وَالِامْتِنَاعَ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا إِلَّا بَعْدَ قَبْضِهِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تُطَالِبَ بِمَا لَمْ يَجِبْ، وَلَا أَنْ تَمْتَنِعَ مِنْ تَسْلِيمِ مَا وَجَبَ عَلَى تَسْلِيمِ مَا لَمْ يَجِبْ.
Kedua: Bahwa wanita yang akadnya tanpa penetapan mahar berhak menuntut mahar dan berhak menolak menyerahkan dirinya kecuali setelah menerima mahar, dan tidak boleh ia menuntut sesuatu yang belum wajib, dan tidak boleh pula ia menolak menyerahkan sesuatu yang wajib dengan alasan belum menerima sesuatu yang belum wajib.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْمَهْرَ لَمْ يَجِبْ بِالْعَقْدِ، أَنَّ مَا وَجَبَ بِالْعَقْدِ تَنَصَّفَ بِالطَّلَاقِ كَالْمُسَمَّى، وَمَا لَمْ ينتصف بِالطَّلَاقِ لَمْ يَجِبْ بِالْعَقْدِ، كَالزِّيَادَةِ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ، وَكَالْمَهْرِ الْفَاسِدِ.
Dalil bahwa mahar tidak wajib dengan akad adalah bahwa sesuatu yang wajib dengan akad menjadi setengah jika terjadi talak, seperti mahar yang disebutkan, dan sesuatu yang tidak menjadi setengah dengan talak berarti tidak wajib dengan akad, seperti tambahan atas mahar mitsil (sepadan) dan mahar yang rusak.
فَأَمَّا مِلْكُ الْبُضْعِ بِالْعَقْدِ، فلأنه مقصود لا يحوز الْإِخْلَالُ بِذِكْرِهِ فِي الْعَقْدِ فَلِذَلِكَ مُلِكَ بِالْعَقْدِ، وَالْمَهْرُ لَيْسَ بِمَقْصُودٍ، لِأَنَّهُ يَجُوزُ الْإِخْلَالُ بِهِ فِي الْعَقْدِ فَلَمْ يُمْلَكْ بِالْعَقْدِ مَعَ تَرْكِ ذِكْرِهِ فِيهِ فَافْتَرَقَ حُكْمُ الْبُضْعِ وَالْمَهْرِ، وَأَوْجَبَ ذَلِكَ افْتِرَاضَ حُكْمِ الْمُسَمَّى وَالتَّفْوِيضِ.
Adapun kepemilikan atas kemaluan dengan akad, karena itu adalah tujuan utama yang tidak boleh diabaikan penyebutannya dalam akad, maka sebab itu ia dimiliki dengan akad. Sedangkan mahar bukanlah tujuan utama, karena boleh diabaikan dalam akad, maka ia tidak dimiliki dengan akad jika tidak disebutkan di dalamnya. Maka berbeda hukum antara kemaluan dan mahar, dan hal itu mewajibkan adanya perbedaan hukum antara mahar yang disebutkan dan mahar yang tidak disebutkan (tafwidh).
وَأَمَّا الْمُطَالَبَةُ فَلَيْسَ لَهَا الْمُطَالَبَةَ عِنْدَنَا بِالْمَهْرِ، وَإِنَّمَا لَهَا الْمُطَالَبَةُ بِأَنْ يَفْرِضَ لَهَا الْمَهْرَ فَتَكُونُ قَدْ مَلَكَتْ بِالتَّفْوِيضِ أَنْ تَمْلِكَ بِالْفَرْضِ مَهْرًا كَالشَّفِيعِ مَلَكَ بِالْبَيْعِ أَنْ يَتَمَلَّكَ بِالشُّفْعَةِ.
Adapun penuntutan, maka menurut kami ia tidak berhak menuntut mahar, melainkan ia hanya berhak menuntut agar mahar ditetapkan untuknya, sehingga ia dengan tafwidh (penyerahan urusan mahar) berhak untuk memiliki mahar dengan penetapan, seperti syafi‘ (pemilik hak syuf‘ah) yang dengan jual beli berhak untuk memiliki hak syuf‘ah.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثبت ما وصفنا، فَفِي قَدْرِ مَا مَلَكَتْ أَنْ تَتَمَلَّكَ مِنَ الْمَهْرِ قَوْلَانِ:
Jika telah tetap apa yang kami jelaskan, maka dalam kadar mahar yang berhak ia miliki terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ، إِنَّهُ مَهْرُ الْمِثْلِ، لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ مُسْتَهْلَكٍ بِالْعَقْدِ، فَتُقُدِّرَ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، كَالْمُسْتَهْلَكِ بِالْوَطْءِ.
Pertama, yaitu pendapatnya dalam qaul jadid, bahwa itu adalah mahar mitsil (mahar sepadan), karena ia sebagai ganti dari sesuatu yang telah digunakan dengan akad, maka ditetapkan dengan mahar mitsil, seperti sesuatu yang telah digunakan dengan hubungan badan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، إِنَّهُ مَهْرٌ مُطْلَقٌ، لَا يُتَقَدَّرُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، لِأَنَّهُ بَدَلٌ مِنَ الْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ، وَذَلِكَ غَيْرُ مُقَدَّرٍ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، فَكَذَلِكَ مَا اسْتُحِقَّ بِالْفَرْضِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapatnya dalam qaul qadim, bahwa itu adalah mahar mutlak, tidak ditetapkan dengan mahar mitsil, karena ia sebagai pengganti dari mahar yang disebutkan dalam akad, dan itu tidak ditetapkan dengan mahar mitsil, maka demikian pula apa yang berhak didapatkan dengan penetapan.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْمُفَوَّضَةُ تَمْلِكُ الْمَهْرَ بِأَحَدِ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ، ذَكَرْنَاهَا مُجْمَلَةً، وَنَحْنُ نَشْرَحُهَا:
Jika demikian, maka perempuan yang akadnya tanpa penentuan mahar (al-mufawwaḍah) berhak atas mahar dengan salah satu dari empat hal, yang telah kami sebutkan secara ringkas, dan sekarang akan kami jelaskan:
أَحَدُهَا: أَنْ يَتَرَافَعَا إِلَى الْحَاكِمِ، فَيَفْرِضُ لَهَا الْحَاكِمُ مَهْرَ الْمِثْلِ، فَلَا يَصِحُّ حُكْمُهُ بِهِ إِلَّا بَعْدَ عِلْمِهِ بِقَدْرِهِ، كَمَا لَا يَصِحُّ أَنْ يَحْكُمَ بِقِيمَةِ مُتْلَفٍ إِلَّا بَعْدَ عِلْمِهِ بِقَدْرِ الْقِيمَةِ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَزِيدَ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ، فَيَظْلِمَ الزَّوْجَ، إِلَّا أَنْ يَبْذُلَ الزَّوْجُ الزِّيَادَةَ، وَلَا أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ فَيَظْلِمَ الزَّوْجَةَ، إِلَّا أَنْ تَرْضَى الزَّوْجَةُ بِالنُّقْصَانِ، وَهَلْ يُعْتَبَرُ مَهْرُ الْمِثْلِ وَقْتَ الْعَقْدِ، أَوْ وَقْتَ الْفَرْضِ؟ فِيهِ وَجْهَانِ:
Pertama: Kedua belah pihak mengajukan perkara kepada hakim, lalu hakim menetapkan mahar mitsil (mahar yang setara) untuknya. Maka, keputusan hakim tersebut tidak sah kecuali setelah ia mengetahui kadar mahar tersebut, sebagaimana tidak sah baginya memutuskan nilai barang yang rusak kecuali setelah mengetahui kadar nilainya. Tidak boleh pula hakim menambah dari mahar mitsil sehingga menzalimi suami, kecuali jika suami rela memberikan tambahan tersebut. Demikian pula, tidak boleh mengurangi dari mahar mitsil sehingga menzalimi istri, kecuali jika istri rela dengan pengurangan itu. Apakah yang dijadikan acuan adalah mahar mitsil pada waktu akad atau waktu penetapan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سريج، أنه يُعْتَبَرُ مَهْرُ مِثْلِهَا وَقْتَ الْعَقْدِ، لِأَنَّ الْبُضْعَ مُسْتَهْلَكٌ بِالْعَقْدِ.
Salah satunya, yaitu pendapat Abul ‘Abbās Ibn Suraij, bahwa yang dijadikan acuan adalah mahar mitsil pada waktu akad, karena hubungan suami istri telah menjadi hak suami dengan akad.
وَالثَّانِي: وهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ، أَنَّهُ يُعْتَبَرُ مَهْرُ مِثْلِهَا وَقْتَ الْفَرْضِ، لِأَنَّهَا مَلَكَتْهُ بِالْفَرْضِ دُونَ الْعَقْدِ.
Yang kedua, yaitu pendapat Abū ‘Alī Ibn Khairān, bahwa yang dijadikan acuan adalah mahar mitsil pada waktu penetapan, karena istri memilikinya dengan penetapan, bukan dengan akad.
فَإِذَا فَرَضَهُ الْحَاكِمُ، صَارَ كَالْمُسَمَّى بِالْعَقْدِ، إِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ وَجَبَ لَهَا نِصْفُهُ، وَهَذَا مِمَّا وَافَقَ عَلَيْهِ أَبُو حَنِيفَةَ، لِأَنَّ الْحُكْمَ إِذَا نُفِّذَ بِجَائِزٍ لَمْ يُنْقَضْ.
Apabila hakim telah menetapkannya, maka statusnya seperti mahar yang disebutkan dalam akad. Jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri, maka wajib baginya setengah dari mahar tersebut. Hal ini disepakati oleh Abū Ḥanīfah, karena jika suatu keputusan telah dilaksanakan terhadap sesuatu yang boleh, maka tidak dapat dibatalkan.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الثَّانِي
Fashal: Adapun yang kedua
: يَجِبُ بِهِ مَهْرُ الْمُفَوَّضَةِ، فَهُوَ أَنْ يَجْتَمِعَ الزَّوْجَانِ بَعْدَ الْعَقْدِ عَلَى فَرْضِ مَهْرٍ عَنْ تَرَاضٍ، فَيَصِيرُ مَا فَرَضَاهُ لَازِمًا كَالْمُسَمَّى، إِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ وَجَبَ لَهَا نِصْفُهُ.
: Yang mewajibkan mahar bagi al-mufawwaḍah adalah apabila kedua pasangan setelah akad sepakat menetapkan mahar secara suka rela, maka apa yang mereka tetapkan menjadi wajib seperti mahar yang disebutkan dalam akad. Jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri, maka wajib baginya setengah dari mahar tersebut.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَلْزَمُ الْمَهْرُ إِلَّا بِعَقْدٍ، أَوْ حُكْمٍ، وَلَا يَصِيرُ لَازِمًا بِاجْتِمَاعِهِمَا عَلَى فَرْضِهِ، فَإِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَهَا الْمُتْعَةُ احْتِجَاجًا بِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاع بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى المُتَّقِينَ) {البقرة: 231) .
Abū Ḥanīfah berkata: Mahar tidak menjadi wajib kecuali dengan akad atau keputusan hakim, dan tidak menjadi wajib hanya dengan kesepakatan mereka berdua atas penetapannya. Jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri, maka baginya adalah mut‘ah, dengan dalil keumuman firman Allah Ta‘ālā: {Dan bagi perempuan-perempuan yang dicerai, hendaklah diberi mut‘ah menurut yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa} (al-Baqarah: 231).
وَلِأَنَّهُمَا مَلَكَا التَّسْمِيَةَ فَيَ الْعَقْدِ، لِأَنَّهَا تَصِيرُ وَاجِبَةً بِوُجُوبِ الْعَقْدِ، وَلَمْ يَمْلِكَاهَا بَعْدَ الْعَقْدِ، لِأَنَّهُ لَا يَصِيرُ لَهَا مُوجِبًا إِلَّا الْحَاكِمُ.
Karena keduanya memiliki hak penamaan mahar dalam akad, sebab ia menjadi wajib dengan kewajiban akad, dan keduanya tidak memilikinya setelah akad, karena yang dapat mewajibkannya hanyalah hakim.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ) {البقرة: 237) . وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ مَا فَرَضَ لَهَا فِي الْعَقْدِ، وَبَعْدَهُ، فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْأَمْرَيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِمَا بَعْدَ الْعَقْدِ أَشْبَهَ، وَلِأَنَّ الْمَهْرَ مِنْ أَعْوَاضِ الْعُقُودِ، فَكَانَ ثُبُوتُهُ بِالْمُرَاضَاةِ أَوْلَى مِنْ ثُبُوتِهِ بِالْحُكْمِ، كَالْأَثْمَانِ، وَالْأُجُورِ، ولأن كل مهر كمل بالمدخول يُنَصَّفُ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ كَالْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ.
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ālā: {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan bagi mereka suatu mahar, maka setengah dari apa yang telah kamu tentukan} (al-Baqarah: 237). Dan Allah tidak membedakan antara mahar yang ditetapkan dalam akad maupun setelahnya, maka wajib dipahami mencakup keduanya, meskipun yang setelah akad lebih mirip. Dan karena mahar termasuk kompensasi dalam akad, maka penetapannya dengan kerelaan kedua belah pihak lebih utama daripada penetapan dengan keputusan hakim, seperti harga jual dan upah. Dan setiap mahar yang telah sempurna dengan terjadinya hubungan suami istri, maka dibagi dua jika terjadi perceraian sebelum hubungan, sebagaimana mahar yang disebutkan dalam akad.
فَأَمَّا الْآيَةُ، فَمَحْمُولَةٌ عَلَى الَّتِي لَمْ يُفْرَضْ لها مهر، بدليل قوله: {وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتَّعُوهُنَّ) {البقرة: 236) .
Adapun ayat tersebut, maka dimaksudkan bagi perempuan yang belum ditetapkan mahar untuknya, berdasarkan firman Allah: {Dan tidak ada dosa atas kamu jika kamu menceraikan perempuan-perempuan itu selama kamu belum menyentuh mereka atau belum menentukan bagi mereka suatu mahar, dan berilah mereka mut‘ah} (al-Baqarah: 236).
وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْحُكْمِ فَاجْتِمَاعُهُمَا عَلَى الْفَرْضِ أَبْلَغُ فِي الِالْتِزَامِ مِنَ الْحُكْمِ، كَمَا لَوِ اجْتَمَعَا عَلَى قِيمَةِ مُتْلَفٍ أَوْ أَرْشِ مَعِيبٍ.
Adapun argumentasi dengan keputusan hakim, maka kesepakatan kedua belah pihak atas penetapan mahar lebih kuat dalam hal komitmen daripada keputusan hakim, sebagaimana jika keduanya sepakat atas nilai barang yang rusak atau kompensasi cacat.
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْمَهْرَ يَلْزَمُ بِفَرْضِهِمَا كَمَا يَلْزَمُ بِفَرْضِ الْحَاكِمِ، فَإِنْ فَرَضَاهُ مَعَ عِلْمِهِمَا بقدر المثل صح، وجاز أن يفرضا مهل الْمِثْلِ، وَأَكْثَرَ مِنْهُ، وَأَقَلَّ، وَأَنْ يَعْدِلَا إِلَى عِوَضٍ مِنْ ثَوْبٍ، أَوْ عَبْدٍ، بِخِلَافِ الْحَاكِمِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يَعْدِلَ عَنْ جِنْسِ الْمَهْرِ وَمِقْدَارِهِ، لِأَنَّ فَرْضَ الزَّوْجَيْنِ كَالتَّسْمِيَةِ فِي الْعَقْدِ، وَإِنْ فَرَضَاهُ مَعَ جَهْلِهِمَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ فَفِي جَوَازِهِ قَوْلَانِ:
Jika telah dipastikan bahwa mahar menjadi wajib dengan penetapan mereka berdua sebagaimana wajib dengan penetapan hakim, maka jika keduanya menetapkannya dengan mengetahui kadar mahar mitsil, maka sah, dan boleh bagi mereka menetapkan mahar mitsil, lebih banyak, atau lebih sedikit, serta boleh menggantinya dengan kompensasi berupa kain atau budak, berbeda dengan hakim yang tidak boleh mengganti jenis dan kadar mahar, karena penetapan kedua pasangan seperti penamaan dalam akad. Jika keduanya menetapkannya dalam keadaan tidak mengetahui mahar mitsil, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّهُ لَا يَجُوزُ الْفَرْضُ، وَيَكُونُ بَاطِلًا كَالَّتِي لَمْ يُفْرَضْ لَهَا، كَمَا لَوْ فَرَضَهُ الْحَاكِمُ، وَهُوَ غَيْرُ عَالِمٍ، وَلِأَنَّهُ يَتَضَمَّنُ مَعْنَى الْإِبْرَاءِ مِنْ مَجْهُولٍ.
Salah satunya: yaitu pendapat beliau dalam pendapat baru, bahwa tidak sah penetapan mahar, dan menjadi batal seperti perempuan yang tidak ditetapkan maharnya, sebagaimana jika mahar itu ditetapkan oleh hakim yang tidak mengetahui, karena hal itu mengandung makna pembebasan dari sesuatu yang tidak diketahui.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، إِنَّهُ يَجُوزُ، وَيَصِحُّ الْفَرْضُ، لِأَنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِالْمُسَمَّى فِي الْعَقْدِ، وَإِنْ جَهِلَا مَهْرَ الْمِثْلِ، كَذَلِكَ مَا فَرَضَاهُ بَعْدَ الْعَقْدِ.
Pendapat kedua: yaitu pendapat beliau dalam pendapat lama, bahwa hal itu diperbolehkan dan penetapan mahar itu sah, karena yang menjadi acuan adalah apa yang disebutkan dalam akad, meskipun keduanya tidak mengetahui mahar mitsil, demikian pula apa yang mereka tetapkan setelah akad.
وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ يَتَرَتَّبَانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الَّذِي يَجِبُ لَهَا، هَلْ هُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ، أَوْ هو مُطْلَقٌ؟ .
Kedua pendapat ini bergantung pada perbedaan dua pendapat beliau tentang apa yang wajib bagi perempuan tersebut, apakah itu mahar mitsil ataukah mutlak?
فَإِنْ قِيلَ: مَهْرُ الْمِثْلِ، لَمْ يَصِحَّ فَرْضُهُمَا، إِلَّا بَعْدَ عِلْمِهِمَا بِهِ.
Jika dikatakan: mahar mitsil, maka penetapan mahar oleh keduanya tidak sah kecuali setelah mereka mengetahuinya.
وَإِنْ كَانَ مَهْرٌ مُطْلَقٌ صَحَّ فَرْضُهُمَا مَعَ الْجَهْلِ بِهِ.
Dan jika mahar itu bersifat mutlak, maka sah penetapan mahar oleh keduanya meskipun tidak mengetahui nilainya.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الثَّالِثُ
Fasal: Adapun yang ketiga
: مِمَّا يَجِبُ بِهِ مَهْرُ الْمُفَوَّضَةِ، فَهُوَ الدُّخُولُ، لِأَنَّ الْمَهْرَ لَمَّا وَجَبَ بِوَطْءِ الشُّبْهَةِ فَأَوْلَى أَنْ يَجِبَ بِالْوَطْءِ، فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ، وَالْوَاجِبُ بِهَذَا الدُّخُولِ هُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا، سَوَاءٌ تَعَقَّبَهُ مَوْتٌ أَوْ طَلَاقٌ.
: Di antara hal yang mewajibkan mahar bagi perempuan yang ditangguhkan maharnya adalah terjadinya hubungan suami istri, karena mahar telah diwajibkan dengan hubungan suami istri yang syubhat, maka lebih utama lagi diwajibkan dengan hubungan suami istri dalam pernikahan yang sah. Dan yang wajib karena hubungan suami istri ini adalah mahar mitsil menurut satu pendapat, baik setelah itu terjadi kematian atau perceraian.
وَإِذَا وَجَبَ بِالدُّخُولِ، فَتَقْدِيرُهُ يَكُونُ لِحُكْمِ الْحَاكِمِ، وَإِنْ تَقَدَّمَ وُجُوبُهُ عَلَى حُكْمِهِ، فَيَكُونُ حُكْمُهُ مَقْصُورًا عَلَى تَقْدِيرِهِ دُونَ إِيجَابِهِ، وَحُكْمُهُ فِيمَا تَقَدَّمَ مُشْتَمِلٌ عَلَى التَّقْدِيرِ وَالْإِيجَابِ.
Dan apabila mahar menjadi wajib karena hubungan suami istri, maka penetapannya menjadi wewenang hakim, meskipun kewajiban itu telah ada sebelum penetapan hakim. Maka keputusan hakim terbatas pada penetapan nilainya, bukan pada penetapan kewajibannya. Adapun keputusan hakim sebelumnya mencakup penetapan nilai dan penetapan kewajiban.
فَإِنْ قَدَّرَهُ الزَّوْجَانِ لَمْ يَصِحَّ تَقْدِيرُهُمَا إِلَّا مَعَ عِلْمِهِمَا بِهِ، قَوْلًا وَاحِدًا، لِأَنَّ الْمَهْرَ هَاهُنَا قِيمَةُ مُسْتَهْلَكٍ، فَإِنْ جَهِلَاهُ أَوْ أَحَدُهُمَا لَمْ يَصِحَّ تَقْدِيرُهُ، وَكَانَ عَلَى إِرْسَالِهِ بَعْدَ وُجُوبِهِ.
Jika suami istri yang menetapkan nilainya, maka penetapan mereka tidak sah kecuali jika keduanya mengetahui nilainya, menurut satu pendapat, karena mahar di sini adalah nilai dari sesuatu yang telah digunakan. Jika keduanya atau salah satunya tidak mengetahuinya, maka penetapan itu tidak sah, dan mahar tetap dibiarkan tanpa penetapan setelah menjadi wajib.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأَسْتَحِبُ أَنْ لَا يَدْخُلَ بِهَا، إِلَّا بَعْدَ فَرْضِ الْمَهْرِ، لِيَكُونَ مُسْتَمْتِعًا بِمَهْرٍ مَعْلُومٍ، وَلِيُخَالِفَ حَالَ الْمَوْهُوبَةِ الَّتِي خُصَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -.
Imam Syafi‘i berkata: “Aku menganjurkan agar tidak melakukan hubungan suami istri dengannya kecuali setelah penetapan mahar, agar ia menikmati dengan mahar yang diketahui, dan agar berbeda dengan keadaan perempuan yang dihibahkan yang merupakan kekhususan Rasulullah ﷺ.”
فَصْلٌ: وَأَمَّا الرَّابِعُ
Fasal: Adapun yang keempat
: فَهُوَ الْمَوْتُ، وَفِي وُجُوبِ مَهْرِ الْمُفَوَّضَةِ بِهِ قَوْلَانِ مَضَيَا، ثُمَّ إِنْ أوجبناه فهو مهر المثل، ولا يقدره إلى الْحَاكِمُ وَحْدَهُ، فَإِنْ قَدَّرَهُ مَعَ الْبَاقِي مِنَ الزوجين أجبني عُلِمَ قَدْرُهُ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ لِيُؤَدِّيَهُ مِنْ مَالِهِ جَازَ، كَمَا لَوْ قَضَى دَيْنًا عَنْ مَيِّتٍ، أَوْ قَضَاهُ عَنْ حَيٍّ، لِوَرَثَةِ مَيِّتٍ، وَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ لِيُؤْخَذَ مِنْ مَالِ الزَّوْجِ فَفِي جَوَازِهِ إِذَا تَرَاضَى بِهِ الْبَاقِي وَوَرَثَةُ الْمَيِّتِ قَوْلَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي حُكْمِ غير الحاكم، هو يَلْزَمُ بِالتَّرَاضِي أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
: Yaitu kematian. Dalam kewajiban mahar bagi perempuan yang ditangguhkan maharnya karena kematian terdapat dua pendapat yang telah lalu. Kemudian, jika kami mewajibkannya, maka itu adalah mahar mitsil, dan tidak ada yang menetapkannya kecuali hakim saja. Jika hakim menetapkannya bersama salah satu dari suami istri yang masih hidup dan telah diketahui nilainya, maka jika hal itu dilakukan agar dibayarkan dari hartanya, maka boleh, sebagaimana jika seseorang melunasi utang dari mayit, atau melunasinya dari orang yang masih hidup untuk ahli waris mayit. Namun jika hal itu dilakukan agar diambil dari harta suami, maka dalam kebolehannya apabila disetujui oleh yang masih hidup dan ahli waris mayit terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan dua pendapat beliau tentang keputusan selain hakim, apakah menjadi wajib dengan kerelaan atau tidak? Ada dua pendapat. Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ فَرَضَهُ فَلَمْ تَرْضَهُ حَتَّى فَارَقَهَا لَمْ يَكُنْ إِلَّا مَا اجْتَمَعَا عَلَيْهِ فَيَكُونُ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الْعُقْدَةِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika mahar itu telah ditetapkan, lalu istri tidak rela hingga ia menceraikannya, maka tidak berlaku kecuali apa yang telah disepakati bersama, sehingga keadaannya seperti jika terjadi dalam akad.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ. إِذَا شَرَعَ الزَّوْجَانِ فِي فَرْضِ الْمَهْرِ، فِي نِكَاحِ التَّفْوِيضِ، فَلَمْ يَتَّفِقَا عَلَى قَدْرِهِ، حَتَّى يُطَلِّقَهَا، كَأَنَّهُ بَذَلَ لَهَا أَلْفًا، فَلَمْ تَرْضَ إِلَّا بِأَلْفَيْنِ، فَحُكْمُ التَّفْوِيضِ بَاقٍ وَبَذْلُ الْأَلْفِ مِنَ الزَّوْجِ كَعَدَمِهَا، وَلَهَا الْمُتْعَةُ إِذَا طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ، لِأَنَّ الْفَرْضَ لَا يَتِمُّ مِنَ الزَّوْجَيْنِ إِلَّا بِالرِّضَا.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika suami istri telah memulai penetapan mahar dalam nikah tafwīḍ, lalu tidak sepakat atas nilainya hingga suami menceraikannya, misalnya suami menawarkan seribu, tetapi istri tidak rela kecuali dengan dua ribu, maka hukum tafwīḍ tetap berlaku dan pemberian seribu dari suami dianggap tidak ada, dan istri berhak mendapatkan mut‘ah jika dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri, karena penetapan mahar tidak sempurna dari kedua belah pihak kecuali dengan kerelaan.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا كَانَ هَذَا كَالصَّدَاقِ الْمُخْتَلَفِ فِي تَسْمِيَتِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ، فَلَا يَلْزَمُ، وَيَجِبُ لَهَا بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Jika dikatakan: Bukankah ini seperti mahar yang diperselisihkan penamaannya saat akad, sehingga tidak wajib, dan istri berhak mendapatkan setengah mahar mitsil jika dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri?
قُلْنَا: مَا اخْتُلِفَ فِي تَسْمِيَتِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ قَدْ زَالَ عَنْهُ حُكْمُ التَّفْوِيضِ فَلِذَلِكَ وَجَبَ لَهَا نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَهَذَا لَمْ يُزَلْ عَنْهُ حُكْمُ التَّفْوِيضِ، فَلِذَلِكَ وَجَبَتْ لَهَا الْمُتْعَةُ.
Kami katakan: Mahar yang diperselisihkan penamaannya saat akad telah hilang hukum tafwīḍ darinya, sehingga istri berhak mendapatkan setengah mahar mitsil. Sedangkan dalam kasus ini, hukum tafwīḍ belum hilang darinya, sehingga istri berhak mendapatkan mut‘ah.
وَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ: لَمْ يَكُنْ لَهَا إِلَّا مَا اجْتَمَعَا عَلَيْهِ، يَعْنِي أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لَهَا مَهْرٌ مَفْرُوضٌ إِلَّا مَا اجْتَمَعَا عَلَى فَرْضِهِ، وَلَمْ يُرِدْ بِهِ الْأَلْفَ الَّذِي بَذَلَهُ الزَّوْجُ، لِاجْتِمَاعِهِمَا عَلَيْهِ، حَتَّى طَلَبَتِ الزَّوْجَةُ زِيَادَةً عَلَيْهَا، لأن هذا افتراق، وليس باجتماع.
Dan pendapat asy-Syafi‘i: “Ia tidak berhak kecuali atas apa yang telah disepakati bersama,” maksudnya adalah bahwa ia (istri) tidak berhak atas mahar yang ditetapkan kecuali atas apa yang telah mereka sepakati untuk ditetapkan. Dan yang dimaksud bukanlah seribu (dirham) yang telah diberikan suami karena keduanya telah sepakat atasnya, hingga istri meminta tambahan atas jumlah itu, karena hal tersebut merupakan perpisahan (dalam kesepakatan), bukan kesepakatan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وقد يدخل في التَّفْوِيضِ وَلَيْسَ بِالتَّفْوِيضِ الْمَعْرُوفِ وَهُوَ مخالفٌ لِمَا قَبْلَهُ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ لَهُ أَتَزَوَّجُكَ عَلَى أَنْ تَفْرِضَ لِي مَا شِئْتَ أَنْتَ أَوْ شِئْتُ أَنَا فَهَذَا كَالصَّدَاقِ الْفَاسِدِ فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا (قَالَ الْمُزَنِيُّ) رَحِمَهُ اللَّهُ هَذَا بِالتَفْوِيضِ أَشْبَهُ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Terkadang ada yang termasuk dalam kategori tafwīḍ, namun bukan tafwīḍ yang dikenal, dan ini berbeda dengan yang sebelumnya, yaitu ketika seorang wanita berkata kepada laki-laki: ‘Aku menikah denganmu dengan syarat engkau menetapkan mahar untukku sesuai kehendakmu atau kehendakku.’ Maka ini seperti ṣadaq (mahar) yang rusak, sehingga ia berhak atas mahar mitsil (mahar yang setara).” (Al-Muzani berkata, rahimahullah: “Ini lebih mirip dengan tafwīḍ.”)
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ التَّفْوِيضَ في النكاح ضربان: تَفْوِيضُ الْبُضْعِ، وَتَفْوِيضُ الْمَهْرِ.
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa tafwīḍ dalam pernikahan ada dua macam: tafwīḍ al-buḍ‘ (penyerahan hak hubungan suami-istri), dan tafwīḍ al-mahr (penyerahan urusan mahar).
فَأَمَّا تَفْوِيضُ الْبُضْعِ، فَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى غَيْرِ مَهْرٍ لَهَا، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهِ.
Adapun tafwīḍ al-buḍ‘, yaitu menikahi seorang wanita tanpa menyebutkan mahar untuknya, dan pembahasan tentang hal ini telah berlalu.
وَأَمَّا تَفْوِيضُ الْمَهْرِ فَضَرْبَانِ:
Adapun tafwīḍ al-mahr, maka ada dua macam:
أَحَدُهُمَا: تَرْكُ ذِكْرِهِ فِي الْعَقْدِ، وَقَدْ ذَكَرْنَا اخْتِلَافَ أَصْحَابِنَا فِيهِ.
Pertama: Tidak menyebutkan mahar dalam akad, dan telah kami sebutkan perbedaan pendapat ulama kami tentang hal ini.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى مَهْرٍ لَا يَصِحُّ، إِمَّا لِجَهَالَتِهِ، وَإِمَّا لِتَحْرِيمِهِ. فَالْمَجْهُولُ كَقَوْلِهِ: قَدْ تَزَوَّجْتُكِ عَلَى مَا شِئْنَا، أَوْ شَاءَ أَحَدُنَا، أَوْ شَاءَ فُلَانٌ.
Macam kedua: Menikahi seorang wanita dengan mahar yang tidak sah, baik karena tidak diketahui (mahar tersebut), atau karena mahar tersebut haram. Mahar yang tidak diketahui contohnya seperti ucapan: “Aku menikahimu dengan apa yang kita kehendaki,” atau “apa yang dikehendaki salah satu dari kita,” atau “apa yang dikehendaki si Fulan.”
وَالْحَرَامُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى خَمْرٍ، أَوْ خِنْزِيرٍ، فَيَكُونُ هَذَا تَفْوِيضًا لِلْمَهْرِ، لِبُطْلَانِهِ، وَلَيْسَ بِتَفْوِيضٍ لِلْبُضْعِ، لِذِكْرِهِ، فَيَخْرُجُ عَنْ حُكْمِ نِكَاحِ التَّفْوِيضِ، وَإِنْ كَانَ مُشَابِهًا لَهُ فِي سُقُوطِ الْمَهْرِ، فَيَجِبُ لَهَا بِالْعَقْدِ مَهْرُ الْمِثْلِ، وَإِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ وَجَبَ نِصْفُهُ دُونَ الْمُتْعَةِ. وَإِنْ مَاتَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَجَبَ لَهَا الْمَهْرُ قَوْلًا وَاحِدًا، فَيَكُونُ مُخَالِفًا لِنِكَاحِ التَّفْوِيضِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ:
Adapun mahar yang haram adalah menikahi seorang wanita dengan mahar berupa khamar (minuman keras), atau babi. Maka ini termasuk tafwīḍ al-mahr karena batalnya mahar tersebut, dan bukan tafwīḍ al-buḍ‘ karena mahar tetap disebutkan, sehingga keluar dari hukum nikah tafwīḍ, meskipun serupa dengannya dalam hal gugurnya mahar. Maka wajib baginya (istri) dengan akad tersebut mahar mitsil, dan jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri, maka wajib baginya setengah dari mahar mitsil tanpa mendapat mut‘ah. Jika suaminya meninggal sebelum terjadi hubungan suami istri, maka wajib baginya mahar secara penuh menurut satu pendapat, sehingga hal ini berbeda dengan nikah tafwīḍ dalam empat hal:
أَحَدُهَا: أَنَّ مَهْرَ هَذِهِ وَجَبَ بِالْعَقْدِ، وَمَهْرَ الْمُفَوَّضَةِ وَجَبَ بِالْفَرْضِ بَعْدَ الْعَقْدِ.
Pertama: Mahar pada kasus ini wajib karena akad, sedangkan mahar pada kasus wanita yang ditafwīḍkan (al-mufawwaḍah) wajib karena penetapan setelah akad.
والثاني: أنه موجب المهر الْمِثْلِ قَوْلًا وَاحِدًا، وَفِيمَا وَجَبَ لِلْمُفَوَّضَةِ قَوْلَانِ:
Kedua: Dalam kasus ini, mahar mitsil wajib menurut satu pendapat, sedangkan pada kasus al-mufawwaḍah ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: مَهْرُ الْمِثْلِ.
Pertama: Mahar mitsil.
وَالثَّانِي: مَهْرٌ مُطْلَقٌ.
Kedua: Mahar secara mutlak.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا إِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ وَجَبَ لَهَا نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَلِلْمُفَوَّضَةِ مُتْعَةٌ.
Ketiga: Jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri, maka wajib baginya setengah mahar mitsil, sedangkan untuk al-mufawwaḍah mendapat mut‘ah.
وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ يَجِبُ لَهَا الْمَهْرُ بِالْمَوْتِ، قَبْلَ الدُّخُولِ، وَفِي الْمُفَوَّضَةِ قَوْلَانِ.
Keempat: Mahar wajib baginya karena kematian suami sebelum terjadi hubungan suami istri, sedangkan pada kasus al-mufawwaḍah terdapat dua pendapat.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: تَفْوِيضُ الْمَهْرِ، كَتَفْوِيضِ الْبُضْعِ، وَلَيْسَ لَهَا إِذَا طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ إِلَّا الْمُتْعَةُ احْتِجَاجًا بِأَنَّ الْعَقْدَ، خَلَا عَنْ مَهْرٍ لَازِمٍ، فَكَانَ تَفْوِيضًا، كَمَا لَوْ خَلَا مِنْ ذِكْرِ مَهْرٍ.
Abu Hanifah berkata: Tafwīḍ al-mahr sama seperti tafwīḍ al-buḍ‘, dan jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri, maka ia hanya berhak atas mut‘ah saja, dengan alasan bahwa akad tersebut tidak mengandung mahar yang wajib, maka itu termasuk tafwīḍ, sebagaimana jika akad tersebut tidak menyebutkan mahar sama sekali.
وَدَلِيلُنَا: هُوَ أَنَّهُ عَقَدٌ تَضَمَّنَ مَهْرًا فَخَرَجَ عَنْ حُكْمِ التَّفْوِيضِ، كَالْمَهْرِ الصَّحِيحِ، وَلِأَنَّ التَّفْوِيضَ تَسْلِيمُ بُضْعٍ بِغَيْرٍ بَدَلٍ، وَهَذَا تَسْلِيمُهُ بِبَدَلٍ، وَإِنْ فَسَدَ.
Dalil kami: Bahwa akad tersebut mengandung mahar, sehingga keluar dari hukum tafwīḍ, seperti halnya mahar yang sah. Dan karena tafwīḍ adalah penyerahan hak hubungan suami-istri tanpa imbalan, sedangkan ini adalah penyerahan dengan imbalan, meskipun imbalannya rusak.
وَفَرْقٌ فِي الْأُصُولِ بَيْنَ التَّسْلِيمِ بِغَيْرِ بَدَلٍ، وَبَيْنَ التَّسْلِيمِ بِبَدَلٍ فَاسِدٍ فِي وُجُوبِ الْغُرْمِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ قَالَ مَلَّكْتُكِ عَبْدِي هَذَا، وَلَمْ يَذْكُرْ بَدَلَا، جَعَلْنَا ذَلِكَ هِبَةً لَا تُوجِبُ الْبَدَلَ.
Terdapat perbedaan dalam ushul (kaidah dasar) antara penyerahan tanpa imbalan dan penyerahan dengan imbalan yang rusak dalam hal kewajiban ganti rugi. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang berkata: “Aku telah memberikan budakku ini kepadamu,” dan tidak menyebutkan imbalan, maka kami anggap itu sebagai hibah yang tidak mewajibkan imbalan.
وَلَوْ قَالَ: قَدْ مَلَّكْتُكِ عَبْدِي بِثَمَنٍ فَاسِدٍ، صَارَ بيعاً فاسداً، يوجب البدل، فدل على افتراض الْأَمْرَيْنِ.
Dan jika ia berkata: “Aku telah memberikan budakku kepadamu dengan harga yang rusak,” maka itu menjadi jual beli yang rusak, yang mewajibkan adanya imbalan. Maka ini menunjukkan adanya perbedaan antara kedua hal tersebut.
فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا: فَأَحْوَالُ مَنْ لَا يَسْتَقِرُّ لَهَا بِعَقْدِ النِّكَاحِ مَهْرٌ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ.
Jika telah tetap apa yang kami sebutkan, maka keadaan wanita yang tidak tetap baginya mahar dengan akad nikah terbagi menjadi tiga bagian.
قِسْمٌ تَكُونُ مُفَوَّضَةً: وَقِسْمٌ لَا تَكُونُ مُفَوَّضَةً، وَقِسْمٌ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَوْنِهَا مُفَوَّضَةً.
Bagian pertama: Wanita yang menjadi mufawwaḍah (yang urusan maharnya diserahkan). Bagian kedua: Wanita yang tidak menjadi mufawwaḍah. Bagian ketiga: Wanita yang para ulama kami berbeda pendapat tentang statusnya sebagai mufawwaḍah.
فَأَمَّا الَّتِي تَكُونُ مُفَوَّضَةً فَهِيَ الَّتِي يُشْتَرَطُ فِي عَقْدِ نِكَاحِهَا، مَعَ إِذْنِهَا، وَجَوَازِ أَمْرِهَا، أَنْ لَا مَهْرَ لَهَا.
Adapun wanita yang statusnya sebagai mufawwaḍah adalah wanita yang dalam akad nikahnya disyaratkan, dengan izinnya dan kebebasan memilihnya, bahwa ia tidak memiliki mahar.
وَأَمَّا الَّتِي لَا تَكُونُ مُفَوَّضَةً: فَهِيَ الْمَنْكُوحَةُ عَلَى مَهْرٍ مَجْهُولٍ، أَوْ حَرَامٍ، أَوْ فَوَّضَهَا وَلِيُّهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا.
Sedangkan wanita yang tidak berstatus mufawwaḍah adalah wanita yang dinikahi dengan mahar yang tidak diketahui, atau mahar yang haram, atau yang walinya menyerahkan urusan mahar tanpa izinnya.
وَأَمَّا الَّتِي اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَوْنِهَا مُفَوَّضَةً: فَهِيَ الَّتِي تُرِكَ ذِكْرُ الصَّدَاقِ فِي نِكَاحِهَا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ.
Adapun wanita yang para ulama kami berbeda pendapat tentang statusnya sebagai mufawwaḍah adalah wanita yang dalam akad nikahnya tidak disebutkan mahar sama sekali tanpa ada syarat tertentu.
فَعَلَى قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: لَيْسَتْ مُفَوَّضَةً.
Menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi: ia bukanlah mufawwaḍah.
وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّهَا مُفَوَّضَةٌ. وَاللَّهُ أعلم.
Menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: ia adalah mufawwaḍah. Dan Allah Maha Mengetahui.
تفسير مهر مثلها من الجامع من كتاب الصداق وكتاب الإملاء على مسائل مالك
Penjelasan tentang mahar semisalnya dari al-Jāmi‘, dari Kitab aṣ-Ṣadāq dan Kitab al-Imlā’ ‘alā Masā’il Mālik
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَمَتَى قُلْتُ لَهَا مهر نسائها فإنما أغني نِسَاءَ عَصَبَتِهَا وَلَيْسَ أُمَّهَا مِنْ نِسَائِهَا وَأَعْنِي نساء بلدها “.
Imam asy-Syāfi‘i rahimahullah berkata: “Setiap kali aku katakan kepadanya ‘mahar wanita-wanita sejenisnya’, yang aku maksud adalah wanita-wanita dari ‘ashabah-nya, bukan ibunya termasuk wanita-wanitanya, dan yang aku maksud adalah wanita-wanita dari negerinya.”
قال الماوردي: وهذا صحيح. إِذَا اسْتَحَقَّتِ الْمَرْأَةُ مَهْرَ مِثْلِهَا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَجِبُ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، وَقَدْ مَضَى فِي مَوَاضِعِهِ وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ مَهْرُ مِثْلِهَا فِي حَالَتَيْنِ:
Al-Māwardi berkata: Dan ini benar. Jika seorang wanita berhak mendapatkan mahar semisalnya pada keadaan di mana ia memang berhak atas mahar semisal, sebagaimana telah dijelaskan pada tempatnya, maka wajib mempertimbangkan mahar semisalnya dalam dua keadaan:
إِحْدَاهُمَا: فِي مَنْصِبِهَا.
Pertama: dalam kedudukan (status sosial)nya.
وَالثَّانِيَةُ: فِي صِفَاتِ ذَاتِهَا.
Kedua: dalam sifat-sifat pribadinya.
فَأَمَّا الْمَنْصِبُ فَمُعْتَبَرٌ بِنَظِيرِهَا فِي النَّسَبِ.
Adapun kedudukan (status sosial), maka dipertimbangkan dengan yang setara dengannya dalam nasab.
وَقَالَ مَالِكٌ: مُعْتَبَرٌ بِنَظِيرِهَا فِي الْبَلَدِ، فَغَلَبَ اعْتِبَارُ الْبَلَدِ عَلَى اعْتِبَارِ النَّسَبِ، وَهَذَا فَسَادٌ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَضَى فِي بَرْوَعَ بِنْتِ وَاشِقٍ بِمَهْرِ نِسَائِهَا، والميراث.
Imam Mālik berkata: Dipertimbangkan dengan yang setara dengannya di negeri tersebut, sehingga pertimbangan negeri lebih diutamakan daripada pertimbangan nasab, dan ini keliru, karena Nabi ﷺ memutuskan dalam kasus Barwa‘ binti Wāsyiq dengan mahar wanita-wanita sejenisnya, dan juga warisan.
ولأن الأنساب معقود فِي الْمَنَاكِحِ دُونَ الْبُلْدَانِ، وَلِأَنَّهَا مِنْ صِفَاتِ الذَّاتِ اللَّازِمَةِ، وَلِأَنَّ أَهْلَ الْبَلَدِ قَدْ يَخْتَلِفُ مُهُورُهُمْ بِاخْتِلَافِ الْأَنْسَابِ، وَإِذَا وَجَبَ اعْتِبَارُ النَّظِيرِ فِي النَّسَبِ، وَجَبَ اعْتِبَارُ نَظِيرِهَا مِنْ نِسَاءِ الْعَصَبَاتِ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ، وَلَا اعْتِبَارَ بِنِسَاءِ الْأُمِّ وَلَا بِنِسَاءِ ذَوِي الْأَرْحَامِ.
Karena nasab itu terkait dalam pernikahan, bukan negeri, dan karena nasab merupakan sifat yang melekat pada diri, dan karena penduduk suatu negeri bisa berbeda maharnya karena perbedaan nasab. Jika wajib mempertimbangkan yang setara dalam nasab, maka yang dipertimbangkan adalah wanita-wanita dari ‘ashabah dari jalur ayah, dan tidak dipertimbangkan wanita dari jalur ibu maupun dari dzawī al-arḥām.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى، هُمَا سَوَاءٌ، فَيُعْتَبَرُ بِنِسَاءِ أَهْلِهَا مِنْ قِبَلِ الْأَبِ وَالْأُمِّ مِنَ الْعَصَبَاتِ وَذَوِي الْأَرْحَامِ.
Abu Ḥanīfah dan Ibn Abī Laylā berkata: Semuanya sama, sehingga yang dipertimbangkan adalah wanita-wanita dari keluarga ayah dan ibu, baik dari ‘ashabah maupun dzawī al-arḥām.
وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ النَّسَبَ مُعْتَبَرٌ بِالْأَبِ دُونَ الْأُمِّ، وَكَذَلِكَ كَانَ وَلَدُ الْعَرَبِيِّ مِنَ النَّبَطِيَّةِ عَرَبِيًّا، وَوَلَدُ النَّبَطِيِّ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ نَبَطِيًّا، فَاقْتَضَى إِذَا كَانَ مَنْصِبُ النَّسَبِ مُعْتَبَرًا أَنْ يَكُونَ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ الَّذِي ثَبَتَ بِهِ النَّسَبُ دُونَ الْأُمِّ الَّتِي لَا يَلْحَقُ بِهَا نَسَبٌ.
Ini keliru, karena nasab itu dipertimbangkan dari ayah, bukan dari ibu. Begitu pula, anak laki-laki Arab dari ibu Nabathiyah tetap dianggap Arab, dan anak laki-laki Nabathi dari ibu Arab tetap dianggap Nabathi. Maka, jika status nasab itu dipertimbangkan, maka harus dari jalur ayah yang dengannya nasab itu ditetapkan, bukan dari ibu yang tidak menurunkan nasab.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ اعْتِبَارُهَا بِنِسَاءِ عَصَبَتِهَا، فَأَقْرَبُهُنَّ الْأَخَوَاتُ، فَيُعْتَبَرُ الْأَخَوَاتُ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ، وَالْأَخَوَاتُ مِنَ الْأَبِ، وَلَا اعْتِبَارَ بِالْأَخَوَاتِ مِنَ الْأُمِّ، لِأَنَّهُنَّ مُشَارِكَاتٌ فِي الرَّحِمِ دُونَ النَّسَبِ.
Jika telah ditetapkan bahwa yang dipertimbangkan adalah wanita-wanita dari ‘ashabah-nya, maka yang paling dekat adalah saudari-saudarinya; maka yang dipertimbangkan adalah saudari seayah seibu, dan saudari seayah, dan tidak dipertimbangkan saudari seibu, karena mereka hanya sekadar berbagi rahim, bukan nasab.
فَلَوِ اجْتَمَعَ أَخَوَاتٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَأَخَوَاتٌ لِأَبٍ فَفِيهِنَّ وَجْهَانِ:
Jika berkumpul saudari-saudari seayah seibu dan saudari-saudari seayah, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُنَّ سَوَاءٌ.
Pertama: Mereka sama saja.
وَالثَّانِي: أَنَّ اعْتِبَارَ الْأَخَوَاتِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ لِاجْتِمَاعِ السَّبَبَيْنِ، فَهُنَّ مُقَدَّمَاتٌ عَلَى الْأَخَوَاتِ مِنَ الْأَبِ.
Kedua: Yang dipertimbangkan adalah saudari seayah seibu karena memiliki dua sebab, sehingga mereka didahulukan atas saudari seayah.
وَلَا اعْتِبَارَ بِبَنَاتِ الْأَخَوَاتِ، ثُمَّ بَنَاتِ الْأُخُوَّةِ، وَبَنِيهِمْ، ثُمَّ الْعَمَّاتِ دُونَ بَنَاتِهِنَّ، ثُمَّ بَنَاتِ الْأَعْمَامِ، وَبَنِيهِمْ، ثُمَّ عَمَّاتِ الْأَبِ دُونَ بَنَاتِهِنَّ، ثُمَّ بَنَاتِ أَعْمَامِ الْأَبِ وَبَنِيهِمْ، ثُمَّ كَذَلِكَ أَبَدًا فِي نِسَاءِ الْعَصَبَاتِ.
Tidak dipertimbangkan anak-anak perempuan dari saudari, kemudian anak-anak perempuan dari saudara, dan anak-anak laki-laki mereka, kemudian bibi-bibi dari pihak ayah tanpa anak-anak perempuan mereka, kemudian anak-anak perempuan dari paman, dan anak-anak laki-laki mereka, kemudian bibi-bibi dari pihak ayah tanpa anak-anak perempuan mereka, kemudian anak-anak perempuan dari paman ayah dan anak-anak laki-laki mereka, dan begitu seterusnya pada wanita-wanita dari ‘ashabah.
فَإِذَا عَدِمَ الْعَصَبَاتِ فَفِي اعْتِبَارِ نِسَاءِ الْمَوْلَى الْمُعْتِقِ وَجْهَانِ:
Jika tidak ada ‘ashabah, maka dalam mempertimbangkan wanita-wanita dari maula (tuan) yang memerdekakan, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُعْتَبَرُونَ، لِأَنَّ الْمَوْلَى عَصَبَةٌ.
Pertama: Mereka dipertimbangkan, karena maula adalah ‘ashabah.
وَالثَّانِي: لَا يُعْتَبَرُونَ، لِأَنَّهُ لَا يَلْحَقُ بِالْمَوْلَى نَسَبٌ، وَإِنْ جَرَى فِي التَّعْصِيبِ مَجْرَى النَّسَبِ.
Kedua: Mereka tidak dipertimbangkan, karena tidak ada nasab yang terkait dengan maula, meskipun dalam hal ta‘ṣīb (hak waris) kedudukannya seperti nasab.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِالْعَصَبَاتِ، دُونَ الْأُمَّهَاتِ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: أَعْنِي نِسَاءَ بَلَدِهَا، فَيَكُونُ الِاعْتِبَارُ بِمَنْ كَانَ مِنْ عَصَبَاتِهَا فِي بَلَدِهَا دُونَ مَنْ كَانَ فِي غَيْرِهِ، لِأَنَّ لِلْبُلْدَانِ فِي الْمُهُورِ عَادَاتٍ مُخْتَلِفَةً، فَتَكُونُ عَادَاتُ بَعْضِ الْبُلْدَانِ تَخْفِيفَ الْمُهُورِ وَعَادَاتُ بَعْضِهَا تَثْقِيلَ الْمُهُورِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مُعْتَبَرًا، كَمَا تُعْتَبَرُ قِيمَةُ الْمُتْلَفِ فِي مَوْضِعِ إِتْلَافِهِ، لِأَنَّ الْقِيَمَ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَمْكِنَةِ، فَلِذَلِكَ وَجَبَ اعْتِبَارُ الْبَلَدِ، مَعَ نِسَاءِ الْعَصَبَاتِ.
Maka apabila telah tetap bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah para ‘ashabah, bukan para ibu, maka asy-Syafi‘i berkata: “Yang aku maksud adalah perempuan-perempuan di negerinya.” Maka pertimbangannya adalah dengan siapa saja dari ‘ashabah-nya yang berada di negerinya, bukan yang berada di negeri lain, karena setiap negeri memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam hal mahar. Maka kebiasaan sebagian negeri adalah meringankan mahar, dan kebiasaan sebagian lainnya adalah memberatkan mahar, sehingga hal itu harus dipertimbangkan, sebagaimana nilai barang yang rusak dipertimbangkan di tempat kerusakannya, karena nilai-nilai itu berbeda-beda sesuai perbedaan tempat, oleh karena itu wajib mempertimbangkan negeri, bersama perempuan-perempuan dari ‘ashabah.
فَهَذَا حُكْمُ الْمَنْصِبِ.
Inilah hukum tentang posisi (yang dimaksud).
الْقَوْلُ فِي الصِّفَاتِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي الْمُهُورِ
Pembahasan tentang sifat-sifat yang dipertimbangkan dalam mahar
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَمَهْرُ مَنْ هُوَ فِي مِثْلِ سِنِّهَا وَعَقْلِهَا وَحُمْقِهَا وَجَمَالِهَا وَقُبْحِهَا وَيُسْرِهَا وَعُسْرِهَا وَأَدَبِهَا وَصَرَاحَتِهَا وَبِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا لِأَنَّ الْمُهُورَ بِذَلِكَ تَخْتَلِفُ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Dan mahar bagi yang seumur dengannya, secerdasnya, sebodohnya, secantik atau seburuk rupanya, sekaya atau semiskinnya, seberadabnya, sejujurnya, dan apakah ia perawan atau janda, karena mahar-mahar itu berbeda-beda berdasarkan hal-hal tersebut.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.
وَصِفَاتُ الذَّاتِ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الْمُهُورِ شَرْطٌ فِي الْحُكْمِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، كَمَا تُعْتَبَرُ صِفَاتُ مَا يُقَوَّمُ، وَالصِّفَاتُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي مَهْرِ الْمِثْلِ عَشْرَةٌ:
Dan sifat-sifat pribadi yang dipertimbangkan dalam mahar adalah syarat dalam penetapan mahar mitsil, sebagaimana sifat-sifat barang yang dinilai juga dipertimbangkan. Sifat-sifat yang dipertimbangkan dalam mahar mitsil ada sepuluh:
أَحَدُهَا: السِّنُّ، لِاخْتِلَافِ الْمَهْرِ بِاخْتِلَافِهِ، لِأَنَّ الصَّغِيرَةَ أَرْجَى لِلْوَلَدِ، وَأَلَذُّ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ الْكَبِيرَةِ.
Pertama: usia, karena mahar berbeda-beda sesuai perbedaan usia, sebab yang masih muda lebih diharapkan untuk melahirkan anak dan lebih menyenangkan dalam menikmati daripada yang sudah tua.
وَالثَّانِي: عَقْلُهَا، وَحُمْقُهَا، فَإِنَّ لِلْعَاقِلَةِ مَهْرًا، وَلِلرَّعْنَاءِ، وَالْحَمْقَاءِ دُونَهُ، لِكَثْرَةِ الرَّغْبَةِ فِي الْعَاقِلَةِ، وَقِلَّةِ الرَّغْبَةِ فِي الْحَمْقَاءِ. وَحُكِيَ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِ اللَّهِ تعالى {لِيَبْلَُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً} أَيْ أَيُّكُمْ أَتَمُّ عَقْلًا.
Kedua: kecerdasan dan kebodohannya, karena perempuan yang cerdas memiliki mahar yang lebih tinggi, sedangkan yang bodoh dan dungu di bawahnya, karena banyaknya keinginan terhadap yang cerdas dan sedikitnya keinginan terhadap yang bodoh. Diriwayatkan dari Qatadah tentang firman Allah Ta‘ala {supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya} maksudnya adalah siapa di antara kamu yang paling sempurna akalnya.
وَرَوَى كُلَيْبُ بْنُ وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تلا: ” أيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاُ ” ثُمَّ قَالَ: ” أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عقلاُ. وَأَرْدَعُ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ وَأَسْرَعُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى “.
Dan Kulaib bin Wa’il meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi ﷺ membaca: “Siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,” kemudian beliau bersabda: “Siapa di antara kamu yang paling baik akalnya, paling menjauh dari hal-hal yang diharamkan Allah, dan paling cepat dalam taat kepada Allah Ta‘ala.”
وَالثَّالِثُ: جَمَالُهَا، وَقُبْحُهَا. فَإِنَّ مَهْرَ الْجَمِيلَةِ أَكْثَرُ مِنْ مَهْرِ الْقَبِيحَةِ. وَقَدْ رَوَى سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” يُنكح النِّسَاءُ لأربعٍ، لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “.
Ketiga: kecantikan dan keburukannya. Mahar perempuan yang cantik lebih banyak daripada mahar perempuan yang buruk rupa. Diriwayatkan oleh Sa‘id bin Abi Sa‘id dari ayahnya dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Perempuan dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang beragama, niscaya engkau beruntung.”
وَالرَّابِعُ: يسارها، وإعسارها، لأن ذا المالك مَطْلُوبٌ وَمَخْطُوبٌ، فَيَكْثُرُ مَهْرُ الْمُوسِرَةِ بِكَثْرَةِ طَالِبِهَا، وَيَقِلُّ مَهْرُ الْمُعْسِرَةِ، لِقِلَّةِ خَاطِبِهَا.
Keempat: kekayaan dan kemiskinannya, karena perempuan yang berharta banyak dicari dan dilamar, sehingga mahar perempuan yang kaya lebih banyak karena banyaknya pelamar, dan mahar perempuan yang miskin lebih sedikit karena sedikitnya pelamar.
وَقَدْ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَقَتَادَةُ، فِي قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ} (العاديات: 8) . يَعْنِي الْمَالَ.
Ibnu ‘Abbas dan Qatadah berkata tentang firman Allah Ta‘ala: {Dan sesungguhnya dia sangat cinta kepada kebaikan (harta)} (al-‘Adiyat: 8), maksudnya adalah harta.
وَرَوَى مُجَالِدٌ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ تَزَوَّجَ ذَاتَ جمالٍ ومالٍ فَقَدْ أَصَابَ سِدَادًا مِنْ عوزٍ “.
Mujalid meriwayatkan dari asy-Sya‘bi dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa menikahi perempuan yang memiliki kecantikan dan harta, maka ia telah memperoleh kecukupan dari kekurangan.”
وَالْخَامِسُ: إِسْلَامُهَا، وَكُفْرُهَا، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ) {البقرة: 221) .
Kelima: keislaman dan kekafirannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan sungguh seorang hamba perempuan yang mukmin lebih baik daripada perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu} (al-Baqarah: 221).
وَالسَّادِسُ: عِفَّتُهَا، وَفُجُورُهَا، لِأَنَّ الرَّغْبَةَ فِي الْعَفِيفَةِ أَكْثَرُ، وَمَهْرُهَا لِكَثْرَةِ الرَّاغِبِ فِيهَا أَكْثَرُ.
Keenam: kehormatan dan kefasikannya, karena keinginan terhadap perempuan yang menjaga kehormatan lebih banyak, sehingga maharnya juga lebih tinggi karena banyaknya orang yang menginginkannya.
وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {الزَّانِي لاَ يَنْكَحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إلاَّ زَانٍ أَْوْ مُشْرِكٌ) {النور: 3) .
Allah Ta‘ala berfirman: {Laki-laki pezina tidak menikahi kecuali perempuan pezina atau perempuan musyrik, dan perempuan pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik} (an-Nur: 3).
وَالسَّابِعُ: حُرِّيَّتُهَا، وَرِقُّهَا، لِنُقْصَانِ الْأَمَةِ عَنْ أَحْكَامِ الْحُرَّةِ. وَإِنْ كَانَ نِكَاحُهَا لَا يَحِلُّ لِكُلِّ حُرٍّ.
Ketujuh: status merdeka dan budaknya, karena budak perempuan memiliki kekurangan dibandingkan hukum-hukum perempuan merdeka. Dan pernikahan dengan budak perempuan tidak halal bagi setiap laki-laki merdeka.
وَالثَّامِنُ: بَكَارَتُهَا، وَثُيُوبَتُهَا، لِأَنَّ الرَّغْبَةَ فِي الْبِكْرِ أَكْثَرُ مِنْهَا فِي الثَّيِّبِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، أَنَّهُ قَالَ: ” عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا، وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا، وَأَغَرُّ غُرَّةً، وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ “.
Kedelapan: keperawanannya dan janda-nya, karena keinginan terhadap perempuan perawan lebih besar daripada terhadap janda. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pilihlah para perawan, karena mereka lebih manis ucapannya, lebih subur rahimnya, lebih bersih wajahnya, dan lebih mudah menerima yang sedikit.”
وَمَعْنَى قوله: ” أنتق أرحاماً ” أي: أكثر أولاداً، وفي قَوْلِهِ: ” وَأَغَرُّ غُرَّةً ” رِوَايَتَانِ:
Makna sabda beliau: “lebih subur rahimnya” adalah: lebih banyak anaknya. Adapun sabdanya: “lebih bersih wajahnya”, terdapat dua riwayat:
أَحَدُهُمَا: غِرَّةٌ بِكَسْرِ الْغَيْنِ، يُرِيدُ أَنَّهُنَّ أَبْعَدُ مِنْ مَعْرِفَةِ الشَّرِّ، وَأَقَلُّ فِطْنَةً لَهُ.
Pertama: “ghirrah” dengan kasrah pada huruf ghain, maksudnya mereka lebih jauh dari mengenal keburukan dan lebih sedikit kecerdikannya terhadap keburukan.
وَالرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ: وَأَغَرُّ غُرَّةً. بِضَمِّ الْغَيْنِ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ أَرَادَ غرة البياض، لأن الأغير وطول التعبيس يجيلان اللَّوْنَ، وَيُبْلِيَانِ الْجَسَدَ.
Riwayat kedua: “agharra ghurratan” dengan dhammah pada huruf ghain, dan dalam hal ini ada dua penafsiran: Pertama, yang dimaksud adalah kebeningan warna kulit, karena seringnya bermuram durja dan kelelahan dapat mengubah warna kulit dan merusak tubuh.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَرَادَ حُسْنَ الْخُلُقِ وَحُسْنَ الْعِشْرَةِ.
Kedua: yang dimaksud adalah baik akhlaknya dan baik pergaulannya.
وَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ: ” عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَكْثَرُ حُبًّا وَأَقَلُّ خِبًّا “.
Mu‘adz bin Jabal berkata: “Pilihlah para perawan, karena mereka lebih besar cintanya dan lebih sedikit tipu dayanya.”
وَالتَّاسِعُ: أَدَبُهَا، وَبَذَاؤُهَا: لِأَنَّ الْأَدِيبَةَ مَرْغُوبٌ فِيهَا، وَالْبَذِيئَةَ مَهْرُوبٌ مِنْهَا وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، أنه قال: ” البذاء لؤمٌ وصحبة الأحق شؤمٌ “.
Kesembilan: adabnya dan keburukannya, karena perempuan yang beradab diinginkan, sedangkan yang buruk perangai dihindari. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Keburukan lisan adalah kehinaan, dan berteman dengan orang yang tidak pantas adalah kesialan.”
وَالْعَاشِرُ: قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: وَصَرَاحَتُهَا، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَعْنَاهُ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: يُرِيدُ فَصَاحَتَهَا، لِأَنَّ لِفَصَاحَةِ الْمَنْطِقِ حَظًّا مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ.
Kesepuluh: menurut pendapat asy-Syafi‘i: keterusterangannya. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang maknanya. Sebagian mereka berkata: yang dimaksud adalah kefasihan bicaranya, karena kefasihan dalam berbicara memiliki andil dalam kenikmatan.
وَقَالَ الْأَكْثَرُونَ: بَلْ أَرَادَ بِهِ صَرَاحَةَ النَّسَبِ الْمَقْصُودِ فِي الْمَنَاكِحِ. وَالصَّرِيحُ النَّسَبُ الَّذِي أَبَوَاهُ عَرَبِيَّانِ.
Mayoritas ulama berkata: bahkan yang dimaksud adalah keterusterangan nasab yang memang menjadi tujuan dalam pernikahan. Nasab yang jelas adalah yang kedua orang tuanya Arab.
وَالْهَجِينُ: الَّذِي أَبُوهُ عَرَبِيٌّ، وَأُمُّهُ أَمَةٌ.
Sedangkan al-hajīn adalah yang ayahnya Arab dan ibunya budak.
وَالْمُذَرَّعُ: فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Adapun al-mudarra‘, terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: الَّذِي أُمُّهُ عَرَبِيَّةٌ وَأَبُوهُ عَبْدٌ.
Pertama: yang ibunya Arab dan ayahnya budak.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ الَّذِي أُمُّهُ أَشْرَفُ نَسَبًا مِنْ أَبِيهِ.
Kedua: yang ibunya lebih mulia nasabnya daripada ayahnya.
قَالَ الشَّاعِرُ:
Seorang penyair berkata:
(إِنَّ الْمُذَرَّعَ لَا تُغْنِي خُؤُولَتُهُ … كَالْبَغْلِ يَعْجِزُ عَنْ شَوْطِ الْمَحَاضِيرِ)
“Sesungguhnya al-mudarra‘, tidak bermanfaat hubungan kekerabatannya … seperti bagal yang tak mampu menempuh jarak kuda murni.”
وَالْفَلَنْقَسُ فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Adapun al-falanqas, terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ الَّذِي أَبُوهُ مَوْلًى، وَأُمُّهُ عَرَبِيَّةٌ.
Pertama: yang ayahnya mawla (bekas budak) dan ibunya Arab.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ الَّذِي أَبَوَاهُ عَرَبِيَّانِ، وَجَدَّتَاهُ مِنْ قِبَلِ أَبَوَيْهِ أَمَتَانِ.
Kedua: yang kedua orang tuanya Arab, namun kedua neneknya dari pihak ayah dan ibu adalah budak.
فَهَذِهِ عَشَرَةُ أَوْصَافٍ تُعْتَبَرُ فِي مَهْرِ مِثْلِهَا، لِاخْتِلَافِ الْمَهْرِ بها، وقد ذكر الشافعي منها سبعة وأعقل ثَلَاثَةً وَهِيَ: الدِّينُ، وَالْعِفَّةُ، وَالْحُرِّيَّةُ، اكْتِفَاءً بِمَا ذَكَرَهُ مِنْهَا فِي اعْتِبَارِ الْكَفَاءَةِ.
Inilah sepuluh sifat yang dipertimbangkan dalam mahar mitsil (mahar sepadan), karena perbedaan mahar disebabkan sifat-sifat ini. Asy-Syafi‘i menyebutkan tujuh di antaranya dan menganggap tiga yang paling utama, yaitu: agama, iffah (kehormatan diri), dan kebebasan, cukup dengan apa yang beliau sebutkan dalam pertimbangan kafa’ah (kesepadanan).
وَقَدْ نَصَّ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَلَى بَعْضِهَا، وَنَبَّهَ عَلَى بَاقِيهَا بِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ” تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِدِينِهَا، وَجَمَالِهَا، وَمَالِهَا، وَمَيْسَمِهَا “.
Nabi ﷺ telah menegaskan sebagian sifat tersebut, dan memberi isyarat pada sisanya dengan sabdanya: “Perempuan dinikahi karena agamanya, kecantikannya, hartanya, dan keturunannya.”
وَرُوِيَ وَوَسَامَتِهَا، فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
Dalam riwayat lain: “dan ketampanannya.” Maka pilihlah yang memiliki agama, niscaya engkau beruntung.
وفيها ثلاث تأويلات:
Dalam hal ini terdapat tiga penafsiran:
أحدها: معناه، افترقت يَدَاكَ: إِنْ لَمْ تَظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، يُقَالُ: تَرِبَ الرَّجُلُ إِذَا افْتَقَرَ، وَأَتْرَبَ إِذَا اسْتَغْنَى.
Pertama: maknanya, kedua tanganmu akan merugi jika tidak mendapatkan perempuan yang beragama. Dikatakan: seseorang menjadi “tariba” jika ia jatuh miskin, dan “atraba” jika ia menjadi kaya.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَعْنَاهُ اسْتَغْنَتْ يَدَاكَ إِنْ ظَفِرْتَ بِذَاتِ الدِّينِ وَيَكُونُ تَرِبَتْ مِنْ أَسْمَاءِ الْأَضْدَادِ بمعنى الغنى والفقر رأيه في قدر تلك الصفة، وقسطا مِنْ تِلْكَ الْمُهُورِ، فَزَادَهَا إِنْ كَانَتِ الصِّفَةُ زَائِدَةً، أَوْ نَقَصَهَا إِنْ كَانَتِ الصِّفَةُ نَاقِصَةً، لِأَنَّهُ قَلَّ مَا يَتَسَاوَى صِفَاتُهَا، وَصِفَاتُ جَمِيعِ نِسَاءِ عَصَبَتِهَا فَلَمْ يَجِدْ بُدًّا مِنِ اعْتِبَارِ مَا اخْتَلَفْنَ فِيهِ بِمَا ذَكَرْنَا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Kedua: maknanya, kedua tanganmu akan berkecukupan jika mendapatkan perempuan yang beragama. Kata “taribat” termasuk isim al-adhdad (kata yang memiliki dua makna berlawanan), yaitu makna kaya dan miskin, sesuai dengan pandangan terhadap kadar sifat tersebut, dan bagian dari mahar-mahar itu. Maka, mahar itu ditambah jika sifatnya lebih, atau dikurangi jika sifatnya kurang, karena jarang sekali sifat-sifatnya sama dengan seluruh perempuan dari kerabatnya. Maka tidak ada pilihan selain mempertimbangkan perbedaan yang ada sebagaimana telah kami sebutkan. Dan Allah Maha Mengetahui.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا كَلِمَةٌ تُقَالُ عَلَى أَلْسِنَةِ الْعَرَبِ لَا يُرَادُ بِهَا حَمْدٌ وَلَا ذَمٌّ كَمَا يُقَالُ مَا أَشْجَعَهُ قَاتَلَهُ اللَّهُ وَكَالَّذِي حَكَاهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ سَارَةَ زَوْجَةِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ بُشِّرَتْ بِالْوَلَدِ {قَالَتْ يَا وَيْلَتِي أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَذَا بَعْلِي شَيْخاً) {هود: 72) وَهِيَ لَا تَدْعُو بِالْوَيْلِ عِنْدَ الْبُشْرَى وَلَكِنْ كَلِمَةٌ مَأْلُوفَةٌ لِلنِّسَاءِ عِنْدَ سَمَاعِ مَا يُعَجَّلُ مِنْ فَرَحٍ أَوْ حُزْنٍ، فَإِذَا وُجِدَتْ أَوْصَافُهَا الَّتِي يَخْتَلِفُ بِهَا الْمَهْرُ مِنْ يَسَارِ عَصَبَتِهَا وَكَانَتْ مُهُورُهُنَّ مُقَدَّرَةً صَارَ مَهْرُ مِثْلِهَا ذَلِكَ الْقَدْرَ فَإِنْ خَالَفَتْهُنَّ فِي إِحْدَى الصِّفَاتِ أَشْهَدَ الْحَاكِمُ.
Ketiga: Bahwa itu adalah sebuah ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang Arab tanpa dimaksudkan sebagai pujian maupun celaan, seperti ucapan “Mā asyja‘ahu, qātalahullāh” (Betapa beraninya dia, semoga Allah membinasakannya), dan seperti yang dikisahkan Allah Ta‘ālā tentang Sarah, istri Ibrahim, ketika ia diberi kabar gembira tentang anak: {Ia berkata, “Aduhai celakaku, apakah aku akan melahirkan padahal aku sudah tua, dan ini suamiku sudah tua pula?”} (Hūd: 72). Padahal ia tidak sedang berdoa agar celaka ketika mendapat kabar gembira, melainkan itu hanyalah ungkapan yang lazim diucapkan para wanita ketika mendengar sesuatu yang mengejutkan, baik berupa kegembiraan maupun kesedihan. Maka, apabila telah ditemukan sifat-sifat yang karenanya mahar menjadi berbeda, dari sisi kemampuan keluarga ayahnya, dan mahar mereka telah ditetapkan, maka mahar yang sepadan adalah sebesar itu. Jika ia berbeda dari mereka dalam salah satu sifat, hakim akan meminta saksi.
الْقَوْلُ فِي شَرَائِطِ اعْتِبَارِ مَهْرِ الْمِثْلِ
Pembahasan tentang syarat-syarat penetapan mahar yang sepadan
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” وَأَجْعَلُهُ نَقْدًا كُلَّهُ لِأَنَّ الْحُكْمَ بِالْقِيمَةِ لَا يَكُونُ بدينٍ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan aku menetapkannya seluruhnya dalam bentuk tunai, karena penetapan nilai tidak boleh dalam bentuk utang.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
Al-Māwardī berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.
فِي الْحُكْمِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ مَعَ اعْتِبَارِ تِلْكَ الأوصاف شرطان:
Dalam penetapan mahar yang sepadan dengan memperhatikan sifat-sifat tersebut, terdapat dua syarat:
أحدهما: أن يكون عن نُقُودِ الْأَثْمَانِ، وَالْقِيَمِ وَهِيَ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيرُ، لِأَنَّ قِيَمَ الْمُتْلَفَاتِ لَا تَكُونُ إِلَّا مِنْهَا، وَمَهْرُ الْمِثْلِ قِيمَةُ مُتْلَفٍ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ مَهْرُ نِسَاءِ عَصَبَتِهَا إِبِلًا أَوْ عَبِيدًا، أَوْ ثِيَابًا قَوَّمَهَا بِالدَّرَاهِمِ أَوِ الدَّنَانِيرِ، وَحَكَمَ لَهَا بِقِيمَةِ الْإِبِلِ، أَوِ الْعَبِيدِ، أَوِ الثِّيَابِ مِنْ أَغْلَبِ النَّقْدَيْنِ مِنَ الدَّرَاهِمِ أَوِ الدَّنَانِيرِ فِي أَثْمَانِ الْإِبِلِ، وَالْعَبِيدِ دُونَ الْمُهُورِ.
Pertama: Bahwa ia harus berupa uang (alat tukar) dan barang yang dinilai, yaitu dirham dan dinar, karena nilai barang yang rusak hanya bisa ditetapkan dengan keduanya, dan mahar yang sepadan adalah nilai barang yang rusak. Berdasarkan ini, jika mahar wanita-wanita dari keluarga ayahnya berupa unta, budak, atau pakaian, maka dinilai dengan dirham atau dinar, dan ditetapkan baginya nilai unta, budak, atau pakaian itu dengan mata uang yang paling banyak digunakan di antara dirham atau dinar dalam transaksi unta dan budak, bukan dalam mahar.
وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ لَا يَحْكُمَ بِهِ إِلَّا حَالًّا، وَإِنْ كَانَ نِسَاءُ عَصَبَتِهَا يُنْكَحْنَ بِمُهُورٍ مُؤَجَّلَةٍ، لِأَنَّ قِيمَةَ الْمُتْلَفِ لَا يَتَأَجَّلُ.
Syarat kedua: Tidak boleh diputuskan kecuali dalam bentuk tunai dan langsung, meskipun wanita-wanita dari keluarga ayahnya dinikahkan dengan mahar yang ditangguhkan, karena nilai barang yang rusak tidak bisa ditangguhkan.
فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ دِيَةُ الْخَطَأِ مُؤَجَّلَةً، وَهِيَ قِيمَةُ مُتْلَفٍ؟ .
Jika dikatakan: Bukankah diyat karena pembunuhan tidak sengaja itu ditangguhkan, padahal itu adalah nilai barang yang rusak?
قِيلَ: لَيْسَتِ الدِّيَةُ قِيمَةً لِكَوْنِهَا مُقَدَّرَةً. وَالْقِيمَةُ لَا تَتَقَدَّرُ، وَلَوْ كَانَتْ قِيمَةً لَجَازَ أَنْ تُخَالِفَ أَحْكَامَ الْقِيَمِ فِي التَّأْجِيلِ، كَمَا خَالَفَتْهَا فِي وُجُوبِهَا عَلَى غَيْرِ الْمُتْلِفِ مِنَ الْعَاقِلَةِ، وَإِنْ كَانَتْ قِيَمُ الْمُتْلَفَاتِ لَا تَجِبُ إِلَّا عَلَى الْمُتْلِفِ.
Dijawab: Diyat bukanlah nilai, karena ia telah ditetapkan kadarnya. Sedangkan nilai tidak ditetapkan kadarnya. Jika diyat itu nilai, tentu boleh berbeda dengan hukum nilai dalam hal penangguhan, sebagaimana ia berbeda dalam kewajibannya yang dibebankan kepada selain pelaku, yaitu ‘āqilah, padahal nilai barang yang rusak tidak wajib kecuali atas pelaku.
وَإِذَا وَجَبَ أَنْ يَحْكُمَ بِهَا نَقْدًا حَالًّا وَكَانَتْ مُهُورُهُنَّ مُؤَجَّلَةً نُظِرَ:
Jika harus diputuskan dalam bentuk tunai dan langsung, sementara mahar mereka ditangguhkan, maka diperhatikan:
فَإِنْ كَانَ وَقْتُ حُكْمِهِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ هُوَ وَقْتَ الْمُؤَجَّلِ سَاوَى بَيْنَ الْقَدْرَيْنِ، وَلَمْ يُنْقِصْ مِنْهُ بِالتَّعْجِيلِ شَيْئًا.
Jika waktu penetapan mahar yang sepadan itu bersamaan dengan waktu jatuh tempo mahar yang ditangguhkan, maka disamakan antara keduanya, dan tidak dikurangi karena percepatan pembayaran.
وَإِنْ كَانَ وَقْتُ حُكْمِهِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ قَبْلَ حُلُولِ آجَالِ تِلْكَ الْمُهُورِ نَقَصَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ بِالتَّعْجِيلِ بِقَدْرِ مَا يَكُونُ بَيْنَ الْحَالِّ وَالْمُؤَجَّلِ فِي الْعُرْفِ وَالْعَادَةِ.
Jika waktu penetapan mahar yang sepadan itu sebelum jatuh tempo mahar-mahar yang ditangguhkan, maka dikurangi dari mahar yang sepadan sebesar selisih antara pembayaran tunai dan pembayaran yang ditangguhkan menurut kebiasaan dan adat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا نسبٌ فَمَهْرُ أَقْرَبِ النَّاسِ مِنْهَا شَبَهًا فِيمَا وَصَفْتُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia tidak memiliki nasab, maka mahar yang sepadan adalah mahar wanita yang paling mirip dengannya dalam sifat-sifat yang telah aku sebutkan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَهْرَ مِثْلِهَا مُعْتَبَرٌ بِنِسَاءِ عَصَبَتِهَا، فَإِذَا وُجِدْنَ وَلَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ عَنْهُنَّ إِلَى نِسَاءِ الْأُمِّ.
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa mahar yang sepadan itu diukur dengan wanita-wanita dari keluarga ayahnya. Jika mereka ada, maka tidak boleh beralih kepada wanita-wanita dari pihak ibu.
فَإِنْ عَدِمَ نِسَاءَ الْعَصَبَاتِ اعْتَبَرَ بَعْدَهُنَّ لِلضَّرُورَةِ نِسَاءَ الْأُمِّ، لِأَنَّهُنَّ أَقْرَبُ إِلَيْهَا بَعْدَ الْعَصَبَاتِ مِنَ الْأَجَانِبِ.
Jika tidak ditemukan wanita dari keluarga ayah, maka karena darurat, diukur dengan wanita dari pihak ibu, karena mereka lebih dekat kepadanya setelah keluarga ayah dibandingkan dengan orang lain.
فَنَبْدَأُ بِاعْتِبَارِ الأم، ث بَنَاتِهَا، وَهُنَّ الْأَخَوَاتُ مِنَ الْأُمِّ، ثُمَّ بِأُمِّهَا، وَهِيَ الْجَدَّةُ مِنَ الْأُمِّ.
Maka dimulai dengan memperhatikan ibu, lalu anak-anak perempuannya, yaitu saudari-saudari seibu, kemudian ibunya, yaitu nenek dari pihak ibu.
فَإِنِ اجْتَمَعَ جَدَّتَانِ أُمُّ أَبٍ، وَأُمُّ أُمٍّ، فَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
Jika berkumpul dua nenek, yaitu nenek dari pihak ayah dan nenek dari pihak ibu, maka ada tiga pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّ اعْتِبَارَهَا بِأُمِّ الْأَبِ أَوْلَى بِهِ لِأَنَّهَا مِنْ جِهَةِ التَّعْصِيبِ.
Pertama: Bahwa yang dijadikan ukuran adalah nenek dari pihak ayah, karena ia dari jalur ‘ashabah.
وَالثَّانِي: أَنَّ أُمَّ الْأُمِّ أَوْلَى، لِأَنَّ التَّعْصِبَةَ فِيهَا مُحَقَّقَةٌ.
Kedua: Bahwa nenek dari pihak ibu lebih utama, karena hubungan ‘ashabah padanya lebih kuat.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ.
Ketiga: Keduanya sama saja.
ثُمَّ بَعْدَ الْجَدَّاتِ الْخَالَاتُ، ثُمَّ بَنَاتُ الْأَخَوَاتِ، ثُمَّ بَنَاتُ الْأَخْوَالِ، ثُمَّ عَلَى هَذَا فَإِذَا عَدِمَ جَمِيعَ الْقَرَابَاتِ، فَنِسَاءُ بَلَدِهَا، لِاشْتِرَاكِهِنَّ فِي الْعَادَةِ، فَإِذَا عُدِمْنَ فَأَقْرَبُ الْبِلَادِ ببلدها.
Kemudian setelah para nenek, urutannya adalah para bibi dari pihak ibu, lalu putri-putri saudari perempuan, kemudian putri-putri saudara laki-laki dari pihak ibu, dan seterusnya. Jika seluruh kerabat telah tiada, maka perempuan-perempuan dari negeri asalnya, karena mereka memiliki kebiasaan yang sama. Jika mereka pun tidak ada, maka perempuan dari negeri yang paling dekat dengan negerinya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ كَانَ نِسَاؤُهَا إِذَا نُكِحْنَ فِي عَشَائِرِهِنِّ خُفِّفْنَ خُفِّفَتْ فِي عَشِيرَتِهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan jika perempuan-perempuan di negerinya, apabila dinikahkan di kalangan kabilah mereka sendiri maharnya diringankan, maka maharnya pun diringankan di kalangan kabilahnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أن العادات في مهر المثل معتبرة فربما جَرَتْ عَادَةُ قَبِيلَتِهَا إِذَا نُكِحْنَ فِي عَشَائِرِهِنَّ خَفَّفْنَ الْمُهُورَ، وَإِذَا نُكِحْنَ فِي غَيْرِ عَشَائِرِهِنَّ ثَقَّلْنَ الْمُهُورَ، وَهَذَا يَكُونُ مِنْ عَادَاتِ الْقَبِيلَةِ الَّتِي تُشَرِّفُ عَلَى غَيْرِهَا.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa kebiasaan dalam mahar mitsil (mahar sepadan) itu diperhitungkan. Terkadang kebiasaan kabilahnya, jika perempuan-perempuan mereka dinikahkan di kalangan kabilah sendiri, maharnya diringankan, dan jika dinikahkan di luar kabilah mereka, maharnya diperberat. Ini merupakan kebiasaan kabilah yang lebih mulia dari yang lain.
فَإِنْ كَانَتْ مِنْ هَؤُلَاءِ وَكَانَ الزَّوْجُ مِنْ عَشِيرَتِهَا خُفِّفَ مَهْرُ مِثْلِهَا. وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ عَشِيرَتِهَا ثُقِّلَ مَهْرُ مِثْلِهَا.
Jika ia berasal dari golongan ini dan suaminya dari kabilahnya sendiri, maka mahar mitsilnya diringankan. Namun jika suaminya dari luar kabilahnya, maka mahar mitsilnya diperberat.
وَرُبَّمَا كَانَتْ عَادَةُ قَبِيلَتِهَا، إِذَا نكحن في عشائرهن، ثقلن المهور وإذا أنحكن فِي غَيْرِ عَشَائِرِهِنَّ خَفَّفْنَ الْمُهُورَ، وَهَذَا يَكُونُ مِنْ عَادَاتِ الْقَبِيلَةِ الدَّنِيئَةِ، الَّتِي غَيْرُهَا أَشْرَفُ مِنْهَا فَإِنْ كَانَتْ مِنْ هَؤُلَاءِ، وَكَانَ الزَّوْجُ مِنْ عَشِيرَتِهَا، ثُقِّلَ مَهْرُهَا.
Terkadang pula kebiasaan kabilahnya, jika perempuan-perempuan mereka dinikahkan di kalangan kabilah sendiri, maharnya diperberat, dan jika dinikahkan di luar kabilah mereka, maharnya diringankan. Ini merupakan kebiasaan kabilah yang rendah, yang kabilah lain lebih mulia darinya. Jika ia berasal dari golongan ini dan suaminya dari kabilahnya sendiri, maka maharnya diperberat.
وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ عَشِيرَتِهَا خُفِّفَ مَهْرُهَا.
Dan jika suaminya dari luar kabilahnya, maka maharnya diringankan.
فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا كُنْتُمْ تَعْتَبِرُونَ مَهْرَ الْمِثْلِ بِقِيَمِ الْمُتْلَفَاتِ، فَالْمُعْتَبَرُ فِي الْقِيَمِ حَالُ التَّالِفِ، لَا حَالُ الْمُتْلِفِ، فَكَيْفَ اعْتَبَرْتُمْ هَاهُنَا حَالَ الْمُتْلِفِ وَحَالَ التَّالِفِ؟ .
Jika dikatakan: Jika kalian memperhitungkan mahar mitsil dengan nilai barang yang rusak, maka yang diperhitungkan dalam penilaian adalah keadaan barang yang rusak, bukan keadaan perusaknya. Lalu mengapa kalian di sini memperhitungkan keadaan perusak dan yang rusak sekaligus?
قِيلَ: لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ مَقْصُودٌ بِالْعَقْدِ فِي النِّكَاحِ، فَجَازَ أَنْ يُعْتَبَرَ بِالتَّالِفِ وَالْمُتْلِفِ، وَلَيْسَ كَسَائِرِ الْمُتْلَفَاتِ الَّتِي لَا يُعْتَبَرُ فِيهَا إِلَّا أَثْمَانُهَا بِالْعُقُودِ وَقِيَمُهَا بِالِاسْتِهْلَاكِ.
Dijawab: Karena masing-masing dari kedua pasangan adalah pihak yang menjadi tujuan akad dalam pernikahan, maka boleh diperhitungkan keadaan keduanya, baik yang rusak maupun yang merusak. Ini tidak seperti barang-barang yang rusak lainnya, yang hanya diperhitungkan harganya dalam akad dan nilainya dalam konsumsi.
وَعَلَى هَذَا: إِذَا كَانَ عَادَةُ قَبِيلَتِهَا أَنْ يُخَفِّفْنَ الْمُهُورَ فِي نِكَاحِ الشَّبَابِ وَيُثَقِّلْنَ الْمُهُورَ فِي نِكَاحِ الشُّيُوخِ، رُوعِيَ ذَلِكَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Berdasarkan hal ini: Jika kebiasaan kabilahnya adalah meringankan mahar dalam pernikahan pemuda dan memberatkan mahar dalam pernikahan orang tua, maka hal itu juga diperhatikan. Wallāhu a‘lam.
Bab Perselisihan tentang Mahar dari Kitab Ash-Shadaq
اخْتِلَافُ الزَّوْجَيْنِ فِي قَدْرِ، أَوْ جِنْسِ، أَوْ صفة المهر المسمى.
Perselisihan antara suami istri mengenai jumlah, jenis, atau sifat mahar yang telah disepakati.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَإِذَا اخْتَلَفَ الزَّوْجَانِ فِي الْمَهْرِ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ تَحَالَفَا وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَبَدَأْتُ بِالرَّجُلِ “.
Imam Syafi‘i rahimahullāh berkata: “Jika suami istri berselisih tentang mahar, baik sebelum maupun sesudah berhubungan, maka keduanya saling bersumpah, dan istri berhak atas mahar mitsilnya, dan aku memulai dengan sumpah dari pihak laki-laki.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
Al-Mawardi berkata: Dan memang demikianlah sebagaimana yang beliau katakan.
إِذَا اخْتَلَفَ الزَّوْجَانِ فِي قَدْرِ الْمَهْرِ، أَوْ جِنْسِهِ، أَوْ فِي صِفَتِهِ، فَقَالَ الزَّوْجُ: تَزَوَّجْتُكِ عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: بَلْ عَلَى صَدَاقِ أَلْفَيْنِ، أَوْ قَالَ: تَزَوَّجْتُكِ عَلَى دَرَاهِمَ، وَقَالَتْ: بَلْ عَلَى دَنَانِيرَ، أَوْ قَالَ: عَلَى صَدَاقٍ مُؤَجَّلٍ، فَقَالَتْ: بَلْ حَالٍّ، فَكُلُّ ذَلِكَ سَوَاءٌ، وَيَتَحَالَفُ الزَّوْجَانِ عَلَيْهِ عِنْدَ عَدَمِ الْبَيِّنَةِ، وَقَالَ النَّخَعِيُّ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَابْنُ شُبْرُمَةَ، وَأَبُو يُوسُفَ: الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الزَّوْجِ.
Jika suami istri berselisih tentang jumlah mahar, atau jenisnya, atau sifatnya, misalnya suami berkata: Aku menikahimu dengan mahar seribu, sedangkan istri berkata: Bahkan dengan mahar dua ribu; atau suami berkata: Aku menikahimu dengan dirham, sedangkan istri berkata: Bahkan dengan dinar; atau suami berkata: Dengan mahar yang ditangguhkan, sedangkan istri berkata: Bahkan dengan mahar kontan; maka semuanya sama saja, dan keduanya saling bersumpah jika tidak ada bukti. An-Nakha‘i, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, dan Abu Yusuf berkata: Yang dijadikan pegangan adalah perkataan suami.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٌ: إِنْ كَانَ الِاخْتِلَافُ بَعْدَ الطَّلَاقِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الطَّلَاقِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ، إِلَّا أَنْ تَدَّعِيَ أَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، فَيَكُونُ الْقَوْلُ فِي الزِّيَادَةِ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ قَوْلَ الزَّوْجِ.
Abu Hanifah dan Muhammad berkata: Jika perselisihan terjadi setelah talak, maka yang dipegang adalah perkataan suami. Jika sebelum talak, maka yang dipegang adalah perkataan istri, kecuali jika istri mengklaim lebih dari mahar mitsil, maka untuk kelebihan atas mahar mitsil, yang dipegang adalah perkataan suami.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ الِاخْتِلَافُ بَعْدَ الدُّخُولِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ، لِأَنَّهُ غَارِمٌ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ تَحَالَفَا.
Malik berkata: Jika perselisihan terjadi setelah berhubungan, maka yang dipegang adalah perkataan suami karena ia yang menanggung kewajiban. Jika sebelum berhubungan, maka keduanya saling bersumpah.
وَأَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: اخْتِلَافُ الْمُتَبَايِعَيْنِ فِي قَدْرِ الثَّمَنِ أَوِ الْمُثَمَّنِ، فَيَبْنِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْفُقَهَاءِ اخْتِلَافَ الزَّوْجَيْنِ فِي الصَّدَاقِ عَلَى مَذْهَبِهِ فِي اخْتِلَافِ الْمُتَبَايِعَيْنِ فِي الْبَيْعِ. وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ.
Pokok permasalahan ini adalah perselisihan antara dua pihak yang berjual beli mengenai jumlah harga atau barang yang diperjualbelikan. Maka setiap fuqaha membangun permasalahan perselisihan suami istri tentang mahar berdasarkan pendapatnya dalam perselisihan dua pihak yang berjual beli dalam akad jual beli. Penjelasan tentang hal ini telah dibahas dalam Kitab Al-Buyu‘.
ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ مِنْ تَحَالُفِهِمَا، قَوْلُ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ “.
Kemudian, di antara dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat kami tentang keduanya saling bersumpah adalah sabda Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam-: “Bukti itu atas pihak yang mendakwa, dan sumpah atas pihak yang mengingkari.”
وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ مُدَّعٍ وَمُدَّعَى عَلَيْهِ.
Dan masing-masing dari kedua pasangan suami istri adalah pihak yang mendakwa dan pihak yang didakwa.
فَإِنَّ الزَّوْجَ يَقُولُ: تَزَوَّجْتُكِ بِأَلْفٍ، وَمَا تَزَوَّجْتُكِ بِأَلْفَيْنِ.
Karena suami berkata: Aku menikahimu dengan mahar seribu, dan aku tidak menikahimu dengan mahar dua ribu.
وَالزَّوْجَةَ تَقُولُ: تَزَوَّجْتَنِي بِأَلْفَيْنِ، وَمَا تَزَوَّجْتَنِي بألف.
Dan istri berkata: Engkau menikahiku dengan mahar dua ribu, dan engkau tidak menikahiku dengan mahar seribu.
فَلَمْ يَتَرَجَّحْ أَحَدُهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ، وَتَسَاوَيَا فِي الدَّعْوَى وَالْإِنْكَارِ فَتَحَالَفَا، وَلِأَنَّهُمَا لَوْ تَدَاعَيَا دَارًا هِيَ فِي أَيْدِيهِمَا، وَتَسَاوَيَا فِيهَا وَلَمْ يَتَرَجَّحْ أَحَدُهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ بِشَيْءٍ تَحَالَفَا، كَذَلِكَ اخْتِلَافُ الزَّوْجَيْنِ عِنْدَ تَسَاوِيهِمَا يُوجِبُ تَحَالُفَهُمَا.
Maka tidak ada salah satu dari keduanya yang lebih kuat dari yang lain, dan keduanya setara dalam pengakuan dan pengingkaran, sehingga keduanya saling bersumpah. Karena jika keduanya saling mengklaim sebuah rumah yang berada di tangan mereka berdua, dan keduanya setara dalam klaim itu, serta tidak ada salah satu yang lebih kuat dari yang lain dalam hal apapun, maka keduanya saling bersumpah. Begitu pula perbedaan antara suami istri ketika keduanya setara, maka hal itu mewajibkan keduanya saling bersumpah.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثبت تحالف الزوجين فَإِنَّهُمَا يَتَحَالَفَانِ عِنْدَ الْحَاكِمِ، لِأَنَّ الْأَيْمَانَ فِي الْحُقُوقِ لَا يَسْتَوْفِيهَا إِلَّا الْحَاكِمُ، فَإِذَا حَضَرَاهُ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا: بَدَأَ بِإِحْلَافِ الزَّوْجِ.
Apabila telah tetap bahwa suami istri saling bersumpah, maka keduanya bersumpah di hadapan hakim, karena sumpah dalam perkara hak tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh hakim. Jika keduanya telah hadir di hadapan hakim, Imam asy-Syāfi‘ī berkata di sini: Dimulai dengan menyuruh suami bersumpah terlebih dahulu.
وَقَالَ فِي اخْتِلَافِ الْمُتَبَايِعَيْنِ: إِنَّهُ يَبْدَأُ بِإِحْلَافِ الْبَائِعِ، وَهُوَ يَتَنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الزَّوْجَةِ فِي النِّكَاحِ، وَالزَّوْجُ يَتَنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الْمُشْتَرِي فِي الْبَيْعِ.
Dan beliau berkata dalam perbedaan antara dua pihak yang berjual beli: Dimulai dengan menyuruh penjual bersumpah, dan penjual itu menempati posisi istri dalam pernikahan, sedangkan suami menempati posisi pembeli dalam jual beli.
وَقَالَ فِي كِتَابِ ” الدَّعْوَى وَالْبَيِّنَاتِ ” فِي اخْتِلَافِ الْمُتَبَايِعَيْنِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْحَاكِمَ بِالْخِيَارِ فِي الْبِدَايَةِ بِإِحْلَافِ أَيِّهِمَا شَاءَ.
Dan beliau berkata dalam kitab “ad-Da‘wā wa al-Bayyinat” pada perbedaan antara dua pihak yang berjual beli, bahwa hakim memiliki pilihan untuk memulai dengan menyuruh bersumpah siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya.
فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ طُرُقٍ:
Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga cara:
أَحَدُهَا: أَنَّ الْمَسْأَلَتَيْنِ فِي اخْتِلَافِ الزَّوْجَيْنِ وَالْمُتَبَايِعَيْنِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ:
Pertama: Bahwa kedua permasalahan, yaitu perbedaan antara suami istri dan antara dua pihak yang berjual beli, memiliki tiga pendapat:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ يَبْدَأُ بِإِحْلَافِ الْبَائِعِ، وَالزَّوْجَةِ عَلَى مَا يَقْتَضِيهِ نَصُّهُ فِي الْبُيُوعِ.
Pertama: Dimulai dengan menyuruh penjual dan istri bersumpah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash beliau dalam masalah jual beli.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَبْدَأُ بِإِحْلَافِ الزَّوْجِ وَالْمُشْتَرِي عَلَى مَا يَقْتَضِيهِ نَصُّهُ فِي الصَّدَاقِ.
Pendapat kedua: Dimulai dengan menyuruh suami dan pembeli bersumpah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash beliau dalam masalah mahar.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْحَاكِمَ بِالْخِيَارِ فِي الْبِدَايَةِ بِإِحْلَافِ أَيِّ الزَّوْجَيْنِ شَاءَ عَلَى مَا يَقْتَضِيهِ كَلَامُهُ فِي الدَّعْوَى وَالْبَيِّنَاتِ.
Pendapat ketiga: Hakim memiliki pilihan untuk memulai dengan menyuruh bersumpah siapa saja dari kedua pasangan suami istri yang ia kehendaki, sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan beliau dalam masalah gugatan dan bukti.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّ الْمَسْأَلَتَيْنِ عَلَى قَوْلٍ وَاحِدٍ، وَأَنَّ الْحَاكِمَ فِيهِمَا بِالْخِيَارِ فِي الْبِدَايَةِ بِإِحْلَافِ أَيِّ الزَّوْجَيْنِ شَاءَ، وَأَيِّ الْمُتَبَايِعَيْنِ شَاءَ.
Cara kedua, yaitu cara Abū Ḥāmid al-Marwazī: Bahwa kedua permasalahan tersebut hanya memiliki satu pendapat, yaitu hakim dalam keduanya memiliki pilihan untuk memulai dengan menyuruh bersumpah siapa saja dari kedua pasangan suami istri yang ia kehendaki, dan siapa saja dari dua pihak yang berjual beli yang ia kehendaki.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّالِثَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ: أَنَّ حُكْمَ الْمَسْأَلَتَيْنِ مُخْتَلِفٌ وَأَنَّهُ يَبْدَأُ فِي اخْتِلَافِ الزَّوْجَيْنِ بِإِحْلَافِ الزَّوْجِ قَبْلَ الزَّوْجَةِ وَفِي اخْتِلَافِ الْمُتَبَايِعَيْنِ بِإِحْلَافِ الْبَائِعِ قَبْلَ الْمُشْتَرِي.
Cara ketiga, yaitu cara Abū Isḥāq al-Marwazī: Bahwa hukum kedua permasalahan tersebut berbeda, yaitu dalam perbedaan antara suami istri dimulai dengan menyuruh suami bersumpah sebelum istri, dan dalam perbedaan antara dua pihak yang berjual beli dimulai dengan menyuruh penjual bersumpah sebelum pembeli.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ جَنْبَةَ الْبَائِعِ أَقْوَى، لِعَوْدِ السِّلْعَةِ إِلَيْهِ بَعْدَ التَّحَالُفِ، فَبَدَأَ بِإِحْلَافِهِ، وَجَنْبَةَ الزَّوْجِ أَقْوَى، لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَ الْبُضْعَ، وَلَا يَزُولُ مِلْكُهُ عَنْهُ بَعْدَ التَّحَالُفِ فَبَدَأَ بِأَحْلَافِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Perbedaannya adalah: Bahwa posisi penjual lebih kuat, karena barang akan kembali kepadanya setelah keduanya saling bersumpah, maka dimulai dengan menyuruhnya bersumpah. Sedangkan posisi suami lebih kuat, karena ia telah memiliki hak atas hubungan suami istri, dan hak itu tidak hilang darinya setelah keduanya saling bersumpah, maka dimulai dengan menyuruhnya bersumpah. Dan Allah Maha Mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ تَحَالُفُهُمَا، وَمَنْ بَدَأَ الْحَاكِمُ بِإِحْلَافِهِ مِنْهُمَا، فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا: هَلْ يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَمِينًا وَاحِدَةً، أَوْ يَمِينَيْنِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Apabila telah tetap keduanya saling bersumpah, dan siapa yang lebih dahulu disuruh bersumpah oleh hakim di antara keduanya, maka para sahabat kami berbeda pendapat: Apakah masing-masing dari keduanya bersumpah satu kali atau dua kali? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ كَثِيرٍ مِنْ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَمِينًا وَاحِدَةً تَجْمَعُ النَّفْيَ وَالْإِثْبَاتَ، لِأَنَّهُ أَسْرَعُ إِلَى فَصْلِ الْقَضَاءِ.
Pertama, dan ini pendapat banyak dari sahabat kami: Bahwa masing-masing dari keduanya bersumpah satu kali yang mencakup penolakan dan penetapan sekaligus, karena hal itu lebih cepat dalam memutus perkara.
فَعَلَى هَذَا فِي كَيْفِيَّةِ يَمِينِهِ وَجْهَانِ:
Menurut pendapat ini, dalam tata cara sumpahnya ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: يُصَرَّحُ فِيهَا بِالِابْتِدَاءِ بِالنَّفْيِ. ثُمَّ بِالْإِثْبَاتِ، فَيَقُولُ الزَّوْجُ: وَاللَّهِ مَا تَزَوَّجْتُكِ عَلَى صَدَاقِ أَلْفَيْنِ، وقد تَزَوَّجْتُكِ عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ.
Pertama: Dalam sumpah tersebut dinyatakan secara jelas dimulai dengan penolakan, kemudian penetapan. Maka suami berkata: Demi Allah, aku tidak menikahimu dengan mahar dua ribu, dan aku telah menikahimu dengan mahar seribu.
ثُمَّ تَحْلِفُ الزَّوْجَةُ فَتَقُولُ: وَاللَّهِ مَا تَزَوَّجْتَنِي عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ، وَلَقَدْ تَزَوَّجْتَنِي عَلَى صَدَاقِ أَلْفَيْنِ.
Kemudian istri bersumpah dengan mengatakan: “Demi Allah, engkau tidak menikahiku dengan mahar seribu, sungguh engkau menikahiku dengan mahar dua ribu.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُصَرِّحُ بِالنَّفْيِ وَيُصَرِّحُ بِالْإِثْبَاتِ الدَّالِّ عَلَى النَّفْيِ، فَيَقُولُ: وَاللَّهِ مَا تَزَوَّجْتُكِ إِلَّا عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ.
Pendapat kedua: Ia tidak secara tegas menafikan, tetapi menegaskan sesuatu yang menunjukkan penafian, maka ia berkata: “Demi Allah, aku tidak menikahimu kecuali dengan mahar seribu.”
وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: وَاللَّهِ مَا تَزَوَّجْتَنِي إِلَّا عَلَى صَدَاقِ أَلْفَيْنِ، لِأَنَّ الْيَمِينَ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ أَوْجَزُ وَاللَّفْظُ فِيهِ أَخَصُّ.
Dan istri berkata: “Demi Allah, engkau tidak menikahiku kecuali dengan mahar dua ribu,” karena sumpah dengan cara ini lebih ringkas dan lafaznya lebih khusus.
فَهَذَا إِذَا قِيلَ يُحَلِّفُهُمَا يَمِينًا وَاحِدَةً.
Ini jika dikatakan bahwa keduanya disumpah dengan satu sumpah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُحَلِّفُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَمِينَيْنِ، يَمِينًا لِلنَّفْيِ، ثُمَّ يَمِينًا لِلْإِثْبَاتِ.
Pendapat kedua: Masing-masing dari keduanya disumpah dua kali, satu sumpah untuk penafian, kemudian satu sumpah untuk penetapan.
وَهَذَا قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ، فَيَبْدَأُ بِيَمِينِ النَّفْيِ، فَيَقُولُ الزَّوْجُ: وَاللَّهِ مَا تَزَوَّجْتُكِ عَلَى صَدَاقِ أَلْفَيْنِ. وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: وَاللَّهِ مَا تَزَوَّجْتَنِي عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ.
Ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, maka dimulai dengan sumpah penafian, sehingga suami berkata: “Demi Allah, aku tidak menikahimu dengan mahar dua ribu.” Dan istri berkata: “Demi Allah, engkau tidak menikahiku dengan mahar seribu.”
ثُمَّ يُحَلِّفُهُمَا بَعْدَ ذَلِكَ يَمِينَ الْإِثْبَاتِ، فَيَقُولُ الزَّوْجُ: وَاللَّهِ لَقَدْ تَزَوَّجْتُكِ عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ. وَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: وَاللَّهِ لَقَدْ تَزَوَّجْتَنِي عَلَى صَدَاقِ أَلْفَيْنِ.
Kemudian setelah itu keduanya disumpah dengan sumpah penetapan, sehingga suami berkata: “Demi Allah, sungguh aku menikahimu dengan mahar seribu.” Dan istri berkata: “Demi Allah, sungguh engkau menikahiku dengan mahar dua ribu.”
فَصْلٌ: الْأَثَرُ الْمُتَرَتِّبُ عَلَى تَحَالُفِ الزَّوْجَيْنِ
Fashl: Dampak yang timbul dari saling bersumpah antara suami istri
فَإِذَا تَحَالَفَ الزَّوْجَانِ عَلَى مَا وَصَفْنَا بَطَلَ الصَّدَاقُ، لِأَنَّهُ تَرَدَّدَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ أَلْفًا بِيَمِينِ الزَّوْجِ، وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ أَلْفَيْنِ بِيَمِينِ الزَّوْجَةِ، فَصَارَ كَمَا لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ أَوْ أَلْفَيْنِ، فَيَكُونُ بَاطِلًا، لِلْجَهْلِ بِهِ، كَذَلِكَ إِذَا تَحَالَفَا.
Apabila suami istri saling bersumpah sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka mahar menjadi batal, karena terjadi keraguan antara mahar itu seribu menurut sumpah suami, dan antara dua ribu menurut sumpah istri, sehingga keadaannya seperti jika ia menikahinya dengan mahar seribu atau dua ribu, maka menjadi batal karena tidak diketahui, demikian pula jika keduanya saling bersumpah.
وَهَلْ يَبْطُلُ الصَّدَاقُ بِنَفْسِ التَّحَالُفِ أَوْ بِفَسْخِ الْحَاكِمِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا فِي الْبُيُوعِ، ثُمَّ إِذَا بَطَلَ الصَّدَاقُ لَمْ يَبْطُلِ النِّكَاحُ.
Apakah mahar batal dengan sendirinya karena saling bersumpah atau dengan pembatalan oleh hakim? Ada dua pendapat sebagaimana yang telah lalu dalam masalah jual beli. Kemudian, jika mahar batal, pernikahan tidak menjadi batal.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِذَا تَحَالَفَا بَطَلَ النِّكَاحُ، بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ فَسَادَ الصَّدَاقِ مُوجِبٌ لِبُطْلَانِ النِّكَاحِ، وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ.
Malik berkata: Jika keduanya saling bersumpah, maka pernikahan batal, berdasarkan pendapat dasarnya bahwa rusaknya mahar menyebabkan batalnya pernikahan, dan pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan bersamanya.
فَإِنَّ فَسَادَ الصَّدَاقِ إِذَا سَقَطَ مِنَ النِّكَاحِ صَارَ نِكَاحًا بِغَيْرِ صَدَاقٍ، وَلَوْ نَكَحَهَا عَلَى غَيْرِ صَدَاقٍ صَحَّ النِّكَاحُ. فَكَذَلِكَ إِذَا نَكَحَهَا عَلَى صَدَاقٍ فَاسِدٍ، وَكَانَ هَذَا بِخِلَافِ تَحَالُفِ الْمُتَبَايِعَيْنِ فِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ بَعْدَ التَّحَالُفِ، لِأَنَّ الْبَيْعَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِثَمَنٍ فَبَطَلَ بِبُطْلَانِ الثَّمَنِ، وَالنِّكَاحَ يَصِحُّ بِغَيْرِ صداق فلم يبطل ببطلان الصداق.
Sesungguhnya kerusakan mahar, apabila gugur dari pernikahan, maka pernikahan menjadi tanpa mahar. Dan jika ia menikahinya tanpa mahar, maka pernikahan sah. Demikian pula jika ia menikahinya dengan mahar yang rusak. Ini berbeda dengan saling bersumpah antara penjual dan pembeli yang menyebabkan batalnya jual beli setelah saling bersumpah, karena jual beli tidak sah kecuali dengan harga, maka batal dengan batalnya harga, sedangkan pernikahan sah tanpa mahar, maka tidak batal dengan batalnya mahar.
فَصْلٌ: أَثَرُ بُطْلَانِ الصَّدَاقِ
Fashl: Dampak dari batalnya mahar
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ النِّكَاحَ لَا يَبْطُلُ بِتَحَالُفِهِمَا حُكِمَ لَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ، لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالْعَقْدِ مُسْتَهْلِكًا لِبُضْعِهَا فَلَزِمَهُ غُرْمُ قِيمَتِهِ، وَهُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ، كَمَا يَلْزَمُ الْبَائِعَ بَعْدَ التَّحَالُفِ إِذَا تَلِفَتِ السِّلْعَةُ غُرْمُ قِيمَتِهَا، وَيُحْكَمُ لَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ، سَوَاءٌ كَانَ أَقَلَّ مِمَّا ادَّعَتْهُ أَوْ أَكْثَرَ.
Apabila telah tetap bahwa pernikahan tidak batal karena saling bersumpah antara keduanya, maka diputuskan bagi istri untuk mendapatkan mahar mitsil, karena dengan akad tersebut telah terjadi pemanfaatan terhadap dirinya, sehingga wajib baginya membayar kompensasi atas nilainya, yaitu mahar mitsil, sebagaimana penjual wajib membayar kompensasi atas nilai barang setelah saling bersumpah jika barang tersebut rusak. Maka diputuskan bagi istri untuk mendapatkan mahar mitsil, baik nilainya lebih sedikit atau lebih banyak dari yang ia klaim.
وَقَالَ أبو علي بن خيران: بحكم لَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ إِنْ كَانَ مِثْلَ مَا ادَّعَتْهُ أَوْ أَقَلَّ، وَلَا يُحْكَمُ لَهَا إِذَا كان أكثر مما ادعت إِلَّا بِقَدْرِ مَا ادَّعَتْ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُدَّعِيَةٍ لِلزِّيَادَةِ فَلَمْ يُحْكَمْ لَهَا بِمَا لَا تَدَّعِيهِ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Abu ‘Ali bin Khiran berkata: Diputuskan bagi istri untuk mendapatkan mahar mitsil jika nilainya sama dengan yang ia klaim atau kurang, dan tidak diputuskan baginya jika lebih banyak dari yang ia klaim kecuali sebatas yang ia klaim, karena ia tidak menuntut tambahan, maka tidak diputuskan baginya sesuatu yang tidak ia tuntut. Pendapat ini lemah dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ دَعْوَاهَا كَانَتْ لِمُسَمًّى فِي عَقْدٍ وَقَدْ بَطَلَ بِالتَّحَالُفِ، وَهَذَا قِيمَةُ مُتْلَفٍ فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ حُكْمُ الدَّعْوَى فِي غَيْرِهِ.
Pertama: Bahwa klaimnya adalah terhadap sesuatu yang disebutkan dalam akad dan telah batal karena saling bersumpah, sedangkan ini adalah nilai dari sesuatu yang rusak, sehingga keputusan klaim terhadap selainnya tidak berpengaruh.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَوْ نَقَصَ مَهْرُ الْمِثْلِ عَمَّا أَقَرَّ بِهِ الزَّوْجُ لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا مَهْرُ الْمِثْلِ وَإِنْ كَانَ مُقِرًّا بِالزِّيَادَةِ، وَجَبَ إِذَا كَانَ مَهْرُ الْمِثْلِ أَكْثَرَ مِمَّا ادَّعَتْ أَنْ يَحْكُمَ لَهَا به وإن كانت غير مدعية للزيادة. والله أعلم
Kedua: Bahwa jika mahar mitsil lebih sedikit dari yang diakui oleh suami, maka yang wajib hanyalah mahar mitsil, meskipun ia mengakui adanya tambahan. Maka jika mahar mitsil lebih banyak dari yang diklaim oleh istri, wajib diputuskan baginya mahar mitsil meskipun ia tidak menuntut tambahan. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَهَكَذَا الزَّوْجُ وَأَبُو الصَبِيَّةِ الْبِكْرِ وَوَرَثَةُ الزَّوْجَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Demikian pula suami, ayah dari anak perempuan yang masih perawan, dan para ahli waris dari kedua suami istri atau salah satu dari keduanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا مَسْأَلَتَيْنِ: إِحْدَاهُمَا: فِي اخْتِلَافِ الزَّوْجِ وَالْوَلِيِّ. وَالثَّانِيَةُ: فِي اخْتِلَافِ وَرَثَةِ الزَّوْجَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا وَوَرَثَةِ الْآخَرِ.
Al-Mawardi berkata: Imam Syafi‘i di sini menyebutkan dua permasalahan: Pertama, tentang perselisihan antara suami dan wali. Kedua, tentang perselisihan antara para ahli waris dari kedua suami istri atau salah satu dari keduanya dengan ahli waris yang lain.
فَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى: وَهِيَ اخْتِلَافُ الزَّوْجِ وَالْوَلِيِّ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun permasalahan pertama, yaitu perselisihan antara suami dan wali, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ وَقْتَ الْعَقْدِ جَائِزَةَ الْأَمْرِ بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ، فَلَا اعْتِبَارَ بِقَوْلِ الْوَلِيِّ فِي تَصْدِيقٍ أَوْ تَكْذِيبٍ، سَوَاءٌ كَانَ الْوَلِيُّ أَبًا أَوْ عَصَبَةً، وَسَوَاءٌ كَانَتِ الزَّوْجَةُ بِكْرًا أَوْ ثيباُ.
Pertama: Jika istri pada saat akad telah baligh dan berakal, maka tidak dianggap pendapat wali dalam membenarkan atau mendustakan, baik walinya adalah ayah atau kerabat laki-laki, dan baik istrinya masih perawan maupun sudah janda.
فَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ مُصَدِّقَةً لِزَوْجِهَا عَلَى قَدْرِ الصَّدَاقِ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ مُخَالَفَةُ الْوَلِيِّ، وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ مُخَالِفَةً لِزَوْجِهَا فِي قَدْرِ الصَّدَاقِ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ تَصْدِيقُ الْوَلِيِّ، وَكَانَ لِلزَّوْجَيْنِ أَنْ يَتَحَالَفَا عَلَى مَا مَضَى، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ شَاهِدًا لِلزَّوْجِ فِيمَا ادَّعَاهُ مِنَ الصَّدَاقِ، لِأَنَّهُ يَشْهَدُ عَلَى فِعْلِ نَفْسِهِ.
Jika istri membenarkan suaminya terkait jumlah mahar, maka perbedaan pendapat wali tidak berpengaruh. Namun jika istri berbeda pendapat dengan suaminya mengenai jumlah mahar, maka pembenaran wali pun tidak berpengaruh. Kedua suami istri boleh saling bersumpah atas apa yang telah berlalu, dan tidak boleh wali menjadi saksi bagi suami atas klaimnya tentang mahar, karena ia bersaksi atas perbuatannya sendiri.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ وَقْتَ الْعَقْدِ صَغِيرَةً، فَلَيْسَ يَصِحُّ أَنْ يُزَوِّجَهَا إِلَّا أَبُوهَا أَوْ جَدُّهَا.
Keadaan kedua: Jika istri pada saat akad masih kecil, maka tidak sah menikahkannya kecuali oleh ayah atau kakeknya.
فَإِذَا اخْتَلَفَ الْأَبُ وَالزَّوْجُ فِي قَدْرِ صَدَاقِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika ayah dan suami berselisih tentang jumlah maharnya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَا ادَّعَاهُ الْأَبُ هُوَ قَدْرَ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَمَا يُقِرُّ بِهِ الزَّوْجُ أَقَلَّ، فَلَا تَحَالُفَ بَيْنَهُمَا، وَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الْأَبِ بِغَيْرِ يَمِينٍ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْأَبِ أَنْ يُزَوِّجَ الصَّغِيرَةَ بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَلَوْ زَوَّجَهَا بِهِ لَكَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ.
Pertama: Jika yang diklaim ayah adalah sebesar mahar mitsil (mahar yang sepadan), sedangkan pengakuan suami lebih sedikit, maka tidak ada sumpah di antara keduanya, dan yang dijadikan pegangan adalah pendapat ayah tanpa sumpah, karena tidak boleh bagi ayah menikahkan anak perempuan yang masih kecil dengan mahar di bawah mahar mitsil. Jika ia menikahkannya dengan mahar di bawah itu, maka tetap berlaku mahar mitsil untuknya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَا ادَّعَاهُ الْأَبُ أَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَمَا أَقَرَّ بِهِ الزَّوْجُ قَدْرَ مَهْرِ الْمِثْلِ فَهَاهُنَا يَكُونُ التَّحَالُفُ، وَإِذَا وَجَبَ التَّحَالُفُ فَلَا يَخْلُو حَالُ الزَّوْجَةِ وَقْتَ الِاخْتِلَافِ وَالتَّحَالُفِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Keadaan kedua: Jika yang diklaim ayah lebih besar dari mahar mitsil, sedangkan pengakuan suami sebesar mahar mitsil, maka di sini berlaku sumpah. Jika harus bersumpah, maka keadaan istri pada saat perselisihan dan sumpah tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ تَكُونَ عَلَى حَالِ الصِّغَرِ، أَوْ قَدْ بَلَغَتْ.
Yaitu, apakah ia masih kecil, atau sudah baligh.
فَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً حَلَفَ الزَّوْجُ، وَهَلْ يُحَالِفُهُ الْأَبُ أَوْ تَكُونُ الْيَمِينُ مَوْقُوفَةً عَلَى بلوغ الزوج عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika ia masih kecil, maka suami yang bersumpah. Apakah ayah juga bersumpah atau sumpah itu ditangguhkan sampai istri baligh, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الزَّوْجَ إِذَا حَلَفَ لَمْ يَجُزْ لِلْأَبِ أَنْ يَحْلِفَ مَعَهُ، وَوَقَفَتِ الْيَمِينُ عَلَى بُلُوغِ الزَّوْجَةِ لِأَمْرَيْنِ:
Pertama: Jika suami telah bersumpah, maka ayah tidak boleh bersumpah bersamanya, dan sumpah itu ditangguhkan sampai istri baligh, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ النِّيَابَةَ فِي الْأَيْمَانِ لَا تَصِحُّ.
Pertama: Bahwa perwakilan dalam sumpah tidak sah.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْيَمِينَ إِنَّمَا وُضِعَتْ لِإِثْبَاتِ حَقِّ الْحَالِفِ، أَوْ دَفْعِ مُطَالَبَةٍ عَنْهُ، وَلَيْسَ الْأَبُ بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْلِفَ، وَتَأَوَّلَ قَائِلُ هَذَا الْوَجْهِ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ ” وَكَذَلِكَ الزَّوْجُ وَأَبُو الصَّبِيَّةِ ” يَعْنِي فِي أَنَّهُمَا إِذَا اخْتَلَفَا قَدَّمَ الْحَاكِمُ الزَّوْجَ فِي إِحْلَافِهِ.
Kedua: Sumpah itu hanya ditetapkan untuk menegakkan hak orang yang bersumpah atau menolak tuntutan atas dirinya, sedangkan ayah tidak berada pada posisi tersebut, maka tidak boleh ia bersumpah. Pendapat ini menafsirkan ucapan Imam Syafi‘i “Demikian pula suami dan ayah dari anak perempuan” maksudnya jika keduanya berselisih, hakim mendahulukan suami dalam sumpah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَالظَّاهِرُ مِنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْأَبِ أَنْ يَحْلِفَ مَعَ الزَّوْجِ، لِأَمْرَيْنِ:
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Suraij dan Abu Ishaq al-Marwazi, serta yang tampak dari nash Imam Syafi‘i: Bahwa ayah boleh bersumpah bersama suami, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مُبَاشِرٌ لِلْعَقْدِ، فَجَازَ أَنْ يَحْلِفَ عَلَى فِعْلِ نَفْسِهِ، وَإِنْ كَانَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ كَالْوَكِيلِ.
Pertama: Karena ia langsung melakukan akad, maka boleh baginya bersumpah atas perbuatannya sendiri, meskipun terkait hak orang lain seperti halnya wakil.
وَالثَّانِي: وَأَشَارَ إِلَيْهِ ابْنُ سُرَيْجٍ: أَنَّهُ لَمَّا قُبِلَ إِقْرَارُهُ فِيهِ وَإِنْ كَانَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ جَازَ إِحْلَافُهُ فِيهِ عِنْدَ إِنْكَارِهِ.
Kedua, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Ibn Suraij: Karena pengakuannya diterima dalam hal ini meskipun terkait hak orang lain, maka boleh pula ia bersumpah dalam hal ini ketika ia mengingkarinya.
فَعَلَى هَذَا إِنْ حَالَفَ الْأَبُ الزَّوْجَ حُكِمَ لِلزَّوْجَةِ بِمَهْرِ الْمِثْلِ، وَإِنْ نَكَلَ الْأَبُ عَنِ الْيَمِينِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Berdasarkan hal ini, jika ayah bersumpah bersama suami, maka diputuskan untuk istri dengan mahar mitsil. Namun jika ayah enggan bersumpah, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُحْكَمُ بِنُكُولِهِ وَيُقْضَى بِالْمَهْرِ الذي اعترف به الزوج إذا كان ي قدر مَهْرِ الْمِثْلِ، لِأَنَّ مَنْ حُكِمَ بِيَمِينِهِ إِذَا حَلَفَ حُكِمَ بِنُكُولِهِ إِذَا نَكَلَ.
Salah satu pendapat: diputuskan dengan penolakan sumpahnya dan dijatuhkan mahar sesuai pengakuan suami jika nilainya setara dengan mahar mitsil, karena siapa yang diputuskan dengan sumpahnya jika ia bersumpah, maka diputuskan pula dengan penolakannya jika ia enggan bersumpah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُحْكَمُ بِنُكُولِهِ لِمَا فِيهِ مِنْ إِسْقَاطِ حَقِّ الزَّوْجَةِ وَتَوَقُّفِ الْيَمِينِ عَلَى بُلُوغِهَا لِجَوَازِ أَنْ يُثْبِتَ بِيَمِينِهَا مَا لَا يُثْبِتُهُ الْوَلِيُّ فَيُحْكَمُ لَهَا بِهِ.
Pendapat kedua: tidak diputuskan dengan penolakannya, karena hal itu berarti menggugurkan hak istri dan menunda sumpah hingga ia baligh, sebab dimungkinkan ia dapat membuktikan dengan sumpahnya sesuatu yang tidak dapat dibuktikan oleh wali, sehingga diputuskan untuknya.
وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ وَقْتَ التَّحَالُفِ بَالِغَةً؟
Bagaimana jika istri sudah baligh saat proses saling bersumpah?
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ الْأَبَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُحَالِفَ الزَّوْجَ فِي حَالِ صِغَرِهَا فَأَوْلَى أَنْ لَا يُحَالِفَهَا فِي حَالِ كِبَرِهَا.
Jika dikatakan: Ayah tidak boleh bersumpah melawan suami saat anaknya masih kecil, maka lebih utama lagi ia tidak boleh bersumpah melawan suami saat anaknya sudah dewasa.
وَإِذَا قِيلَ: لَهُ مُحَالَفَةُ الزَّوْجِ فِي حَالِ صِغَرِهَا فَأَيُّهُمَا أَحَقُّ بِمُحَالَفَةِ الزَّوْجِ؟ فِيهِ وَجْهَانِ: مِنِ اخْتِلَافِ الْمَعْنَيَيْنِ فِي تَعْلِيلِ هَذَا الْوَجْهِ:
Dan jika dikatakan: Ayah boleh bersumpah melawan suami saat anaknya masih kecil, maka siapakah yang lebih berhak bersumpah melawan suami? Dalam hal ini ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan makna dalam alasan pendapat ini:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَبَ الْمُبَاشِرَ لِلْعَقْدِ هُوَ الْمُحَالِفُ لِلزَّوْجِ لِفَضْلِ مُبَاشَرَتِهِ وَتَعْلِيلًا بِقَبُولِ اعْتِرَافِهِ.
Salah satunya: Ayah yang langsung melakukan akad adalah yang bersumpah melawan suami, karena keutamaan keterlibatannya langsung dan alasannya adalah diterimanya pengakuannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الزَّوْجَةَ الْمَالِكَةَ هِيَ الْمُحَالِفَةُ لِلزَّوْجِ دُونَ الْأَبِ، لِاخْتِصَاصِهَا بِالْمِلْكِ وَتَعْلِيلًا بِأَنَّ الْأَبَ نَائِبٌ.
Pendapat kedua: Istri yang memiliki hak adalah yang bersumpah melawan suami, bukan ayah, karena kekhususan kepemilikan hak dan alasannya adalah ayah hanyalah sebagai wakil.
وَعَلَى الْوَجْهَيْنِ مَعًا: لَوِ امْتَنَعَ الْأَبُ مِنَ الْيَمِينِ جَازَ لَهَا مُحَالَفَةُ الزَّوْجِ وَإِنَّمَا الْوَجْهَانِ: هَلْ يَجُوزُ مَعَ بُلُوغِهَا أَنْ يَحْلِفَ الْأَبُ؟ .
Menurut kedua pendapat tersebut: jika ayah menolak bersumpah, maka istri boleh bersumpah melawan suami. Adapun perbedaan pendapat adalah: apakah boleh ayah bersumpah jika istri sudah baligh?
فَصْلٌ: الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: اخْتِلَافُ وَرَثَةِ الزَّوْجَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا وَوَرَثَةِ الْآخَرِ
Fasal: Masalah kedua: Perselisihan antara para ahli waris kedua suami-istri atau salah satunya dengan ahli waris pihak lain.
وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: وَهِيَ اخْتِلَافُ وَرَثَةِ الزَّوْجَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا وَوَرَثَةِ الْآخَرِ فَقَدْ حُكِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ إِذَا طَالَتْ صُحْبَةُ الزَّوْجَيْنِ وَحَسُنَتْ عِشْرَتُهُمَا وَذَهَبَتْ عَشِيرَتُهُمَا ثُمَّ مَاتَتِ الزَّوْجَةُ لَمْ يَكُنْ لِوَارِثِهَا مُطَالَبَةُ الزَّوْجِ بِصَدَاقِهَا، وَحَكَاهُ عَنْهُ أَبُو الْحَسَنِ الْكَرْخِيُّ مِنْ أصحابه.
Adapun masalah kedua, yaitu perselisihan antara para ahli waris kedua suami-istri atau salah satunya dengan ahli waris pihak lain, telah dinukil dari Abu Hanifah bahwa jika kebersamaan suami-istri sudah lama, hubungan mereka baik, dan keluarga mereka sudah tidak ada, kemudian istri meninggal, maka ahli warisnya tidak berhak menuntut suami atas maharnya. Hal ini juga dinukil darinya oleh Abu al-Hasan al-Karkhi dari kalangan pengikutnya.
وعلى مذهب الشافعي وجمهور الفقهاء لوراثها مُطَالَبَةُ الزَّوْجِ بِصَدَاقِهَا وَإِنْ طَالَتْ صُحْبَتُهُمَا لِأَمْرَيْنِ:
Menurut mazhab Syafi‘i dan mayoritas fuqaha, ahli warisnya berhak menuntut suami atas maharnya meskipun kebersamaan mereka sudah lama, karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَمَّا جَازَتْ مُطَالَبَتُهُ مَعَ قُرْبِ الْمُدَّةِ، جَازَتْ مَعَ بُعْدِهَا كَالدَّيْنِ.
Pertama: Karena jika boleh menuntutnya dalam waktu yang dekat, maka boleh pula menuntutnya dalam waktu yang lama, seperti halnya utang.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَمَّا جَازَ لِلزَّوْجَةِ مُطَالَبَتُهُ، جَازَ لِوَارِثِهَا مُطَالَبَتُهُ، كَالْمُدَّةِ الْقَصِيرَةِ.
Kedua: Karena jika istri boleh menuntutnya, maka ahli warisnya pun boleh menuntutnya, sebagaimana dalam masa yang singkat.
فَلِذَا ثَبَتَ أَنَّ الصَّدَاقَ بَاقٍ، وَأَنَّ لِلْوَارِثِ مُطَالَبَةَ الزَّوْجِ بِهِ، فَاخْتَلَفَا فِي قَدْرِهِ جَازَ أَنْ يَتَحَالَفَا عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْوَارِثَ يَقُومُ مَقَامَ مَوْرُوثِهِ فِي الِاسْتِحْقَاقِ فَقَامَ مَقَامَهُ فِي التَّحَالُفِ فَعَلَى هَذَا إِنْ تَحَالَفَ وَارِثَا الزَّوْجَيْنِ حَلِفَا كَتَحَالُفِ الزَّوْجَيْنِ إِلَّا فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ أَنَّ يَمِينَ الزَّوْجَيْنِ عَلَى الْبَتِّ وَالْقَطْعِ فِي النَّفْيِ وَالْإِثْبَاتِ جَمِيعًا، وَيَمِينَ الْوَارِثِينَ عَلَى نَفْيِ الْعِلْمِ فِي النَّفْيِ، وَعَلَى الْقَطْعِ فِي الْإِثْبَاتِ، لِأَنَّ مَنْ حَلَفَ عَلَى فِعْلِ نَفْسِهِ كَانَتْ يَمِينُهُ عَلَى الْقَطْعِ فِي نَفْيِهِ وَإِثْبَاتِهِ، وَمَنْ حَلَفَ عَلَى فِعْلِ غَيْرِهِ كَانَتْ يَمِينُهُ عَلَى الْعِلْمِ فِي نَفْيِهِ وَعَلَى الْقَطْعِ فِي إِثْبَاتِهِ.
Oleh karena itu, tetaplah mahar itu ada, dan ahli waris berhak menuntut suami atasnya. Jika mereka berselisih tentang jumlahnya, maka boleh dilakukan sumpah berbalas, karena ahli waris menempati posisi pewarisnya dalam hak, maka ia juga menempati posisinya dalam sumpah berbalas. Berdasarkan hal ini, jika ahli waris kedua suami-istri saling bersumpah, maka sumpah mereka seperti sumpah suami-istri, kecuali dalam satu hal, yaitu sumpah suami-istri dilakukan secara pasti dan tegas baik dalam penafian maupun penetapan, sedangkan sumpah para ahli waris dalam penafian dilakukan dengan sumpah tidak tahu, dan dalam penetapan dilakukan secara tegas. Sebab, siapa yang bersumpah atas perbuatannya sendiri, sumpahnya dilakukan secara tegas dalam penafian dan penetapan, sedangkan siapa yang bersumpah atas perbuatan orang lain, sumpahnya dilakukan atas dasar pengetahuan dalam penafian dan secara tegas dalam penetapan.
فَعَلَى هَذَا يَحْلِفُ وَارِثُ الزَّوْجِ فَيَقُولُ: وَاللَّهِ مَا أَعْلَمُهُ تَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقِ أَلْفَيْنِ، وَلَقَدْ تَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ.
Berdasarkan hal ini, ahli waris suami bersumpah dengan mengatakan: “Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa ia menikahinya dengan mahar dua ribu, dan sungguh ia menikahinya dengan mahar seribu.”
وَيَقُولُ وَارِثُ الزَّوْجَةِ: وَاللَّهِ مَا أَعْلَمُهُ تَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ، وَلَقَدْ تَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقِ أَلْفَيْنِ.
Dan ahli waris istri berkata: “Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa ia menikahinya dengan mahar seribu, dan sungguh ia menikahinya dengan mahar dua ribu.”
فَإِنْ كَانَ الْوَرَثَةُ جَمَاعَةً حَلَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَمِينًا عَلَى مَا وَصَفْنَا وَلَمْ يَنُبْ أَحَدُهُمْ عَنْ غَيْرِهِ فِيهَا، فَإِنْ حَلَفَ بَعْضُهُمْ وَنَكَلَ بَعْضُهُمْ أَجْرَى عَلَى الْحَالِفِ حُكْمَهُ وَعَلَى النَّاكِلِ حُكْمَهُ.
Jika para ahli waris itu lebih dari satu orang, maka masing-masing dari mereka bersumpah sesuai yang telah kami jelaskan, dan tidak boleh salah satu mewakili yang lain dalam sumpah tersebut. Jika sebagian dari mereka bersumpah dan sebagian lagi menolak, maka hukum berlaku pada yang bersumpah dan berlaku pula pada yang menolak.
وَلَوْ مَاتَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ وَكَانَ الْآخَرُ بَاقِيًا تَحَالَفَ الْبَاقِي مِنْهُمَا وَوَارِثُ الْمَيِّتِ، وَكَانَتْ يَمِينُ الْبَاقِي عَلَى الْقَطْعِ فِي نَفْيِهِ وَإِثْبَاتِهِ، وَيَمِينُ الْوَارِثِ عَلَى الْعِلْمِ فِي نَفْيِهِ، وَعَلَى الْقَطْعِ فِي إِثْبَاتِهِ.
Jika salah satu dari suami istri meninggal dunia dan yang lainnya masih hidup, maka yang masih hidup dari keduanya dan ahli waris dari yang meninggal saling bersumpah. Sumpah pihak yang masih hidup dilakukan secara pasti, baik dalam menafikan maupun menetapkan, sedangkan sumpah ahli waris dilakukan berdasarkan pengetahuan dalam menafikan, dan secara pasti dalam menetapkan.
فَصْلٌ
Fashal
فَأَمَّا إِذَا كَانَ الِاخْتِلَافُ فِي الْمَهْرِ بَيْنَ أَبَوَيِ الزَّوْجَيْنِ الصَّغِيرَيْنِ فَإِنْ حُكِمَ بِالصَّدَاقِ فِي مَالِ الزَّوْجِ إِمَّا لِيَسَارِهِ وَإِمَّا عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فِي إِعْسَارِهِ فَلَا تَحَالُفَ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّ الْأَبَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُزَوِّجَ ابْنَهُ الصَّغِيرَ بِأَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، وَلَا يَجُوزُ لِأَبِ الزَّوْجَةِ الصَّغِيرَةِ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، فَبَطَلَ التَّحَالُفُ وَوَجَبَ مَهْرُ الْمِثْلِ، لِأَنَّ أَبَا الزَّوْجِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَزِيدَ عَلَيْهِ، وَأَبَا الزَّوْجَةِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْقُصَ مِنْهُ.
Adapun jika terjadi perselisihan mengenai mahar antara kedua orang tua dari pasangan suami istri yang masih kecil, maka jika telah diputuskan bahwa mahar diambil dari harta suami, baik karena ia mampu maupun menurut salah satu dari dua pendapat dalam keadaan ia tidak mampu, maka tidak ada saling bersumpah di antara keduanya. Sebab, ayah tidak boleh menikahkan anak laki-lakinya yang masih kecil dengan mahar yang lebih besar dari mahar mitsil, dan ayah dari istri yang masih kecil juga tidak boleh menikahkan putrinya dengan mahar yang lebih kecil dari mahar mitsil. Maka, saling bersumpah menjadi batal dan yang wajib adalah mahar mitsil, karena ayah suami tidak boleh menambahkannya, dan ayah istri tidak boleh menguranginya.
وَإِنْ حُكِمَ بِالصَّدَاقِ عَلَى أَبِي الزَّوْجِ جَازَ التَّحَالُفُ، لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَبْذُلَ الْأَبُ مِنْ مَالِهِ على ابْنِهِ أَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Namun jika mahar diputuskan menjadi tanggungan ayah suami, maka boleh terjadi saling bersumpah, karena ayah boleh memberikan dari hartanya kepada anaknya lebih dari mahar mitsil.
فَعَلَى هَذَا لِأَبِي الزَّوْجِ أَنْ يَحْلِفَ مَعَ صِغَرِ ابْنِهِ وَمَعَ كِبَرِهِ، وَهَلْ يَجُوزُ لِأَبِي الزَّوْجَةِ أَنْ يَحْلِفَ مَعَ صِغَرِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ.
Berdasarkan hal ini, ayah suami boleh bersumpah baik anaknya masih kecil maupun sudah dewasa. Adapun apakah ayah istri boleh bersumpah ketika putrinya masih kecil atau tidak, maka hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan.
فَصْلٌ
Fashal
وَإِذَا اخْتَلَفَ زَوْجُ الْأَمَةِ وَسَيِّدُهَا فِي قَدْرِ صَدَاقِهَا تَحَالَفَ عَلَيْهِ الزَّوْجُ وَالسَّيِّدُ دُونَ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّهُ حَقٌّ لِلسَّيِّدِ دُونَهَا، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ مُدَبَّرَةً أَوْ أُمَّ وَلَدٍ، وَلَوْ كَانَتْ مُكَاتَبَةً كَانَتْ هِيَ الْمُحَالِفَةَ دُونَ السَّيِّدِ، لِأَنَّ مَهْرَ الْمُكَاتَبَةِ لَهَا، وَمَهْرَ الْمُدَبَّرَةِ وَأُمِّ الْوَلَدِ لِسَيِّدِهَا.
Jika terjadi perselisihan antara suami budak perempuan dan tuannya mengenai besaran maharnya, maka yang bersumpah adalah suami dan tuan, bukan istri, karena hak itu milik tuan, bukan milik istri. Demikian pula jika istri adalah mudabbirah atau umm walad. Namun jika istri adalah mukatabah, maka yang bersumpah adalah istri, bukan tuan, karena mahar mukatabah adalah miliknya, sedangkan mahar mudabbirah dan umm walad adalah milik tuannya.
الْقَوْلُ فِي اخْتِلَافِ الزَّوْجَيْنِ فِي قَبْضِ الْمَهْرِ
Pembahasan tentang perselisihan suami istri dalam hal penerimaan mahar
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” وَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَرْأَةِ مَا قَبَضَتْ مَهْرَهَا لِأَنَّهُ حقٌّ مِنَ الْحُقُوقِ فَلَا يَزُولُ إِلَّا بِإِقْرَارِ الَّذِي لَهُ الْحَقُّ وَمَنْ إِلَيْهِ الْحَقُّ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Pendapat yang dipegang adalah pendapat perempuan bahwa ia belum menerima maharnya, karena itu adalah hak di antara hak-hak yang tidak gugur kecuali dengan pengakuan dari pihak yang memiliki hak atau pihak yang menjadi tempat hak itu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.
إِذَا اخْتَلَفَ الزَّوْجَانِ فِي قبض الْمَهْرُ مَعَ اتِّفَاقِهِمَا عَلَى قَدْرِهِ، فَقَالَ الزَّوْجُ: قَدْ أَقْبَضْتُكِ مَهْرَكِ، وَقَالَتِ الزَّوْجَةُ لَمْ أَقْبِضْهُ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا أَنَّهَا لَمْ تَقْبِضْهُ، وَسَوَاءٌ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ، أَوْ قَبْلَ الزِّفَافِ أَوْ بَعْدَهُ.
Jika suami istri berselisih tentang penerimaan mahar, padahal keduanya sepakat tentang jumlahnya, lalu suami berkata: “Aku telah menyerahkan maharmu kepadamu,” sedangkan istri berkata: “Aku belum menerimanya,” maka pendapat yang dipegang adalah pendapat istri dengan sumpahnya bahwa ia belum menerimanya, baik sebelum maupun sesudah dukhul, atau sebelum maupun sesudah pernikahan dilangsungkan.
وَحُكِيَ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ السَّبْعَةِ بِالْمَدِينَةِ أَنَّهُ إِنْ كَانَ قَبْلَ الزِّفَافِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الزِّفَافِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ.
Diriwayatkan dari sebagian fuqaha’ tujuh di Madinah bahwa jika perselisihan terjadi sebelum pernikahan dilangsungkan, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat istri, dan jika setelah pernikahan dilangsungkan, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat suami.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ اسْتِدْلَالًا بِالْعُرْفِ أَنَّهَا لَا تُسَلِّمُ نَفْسَهَا غَالِبًا إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ الْمَهْرِ، فَكَانَ الظَّاهِرُ بَعْدَ الدُّخُولِ وَالزِّفَافِ مَعَ الزَّوْجِ فَقُبِلَ قَوْلُهُ، وَقَبْلَ الدُّخُولِ وَالزِّفَافِ مَعَ الزَّوْجَةِ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ.
Imam Malik berkata: Jika sebelum dukhul, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat istri, dan jika setelah dukhul, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat suami, dengan alasan berdasarkan ‘urf bahwa biasanya seorang perempuan tidak menyerahkan dirinya kecuali setelah menerima mahar, sehingga yang tampak setelah dukhul dan pernikahan adalah bersama suami, maka diterima pendapatnya. Sedangkan sebelum dukhul dan pernikahan adalah bersama istri, maka tidak diterima pendapat suami.
وَهَذَا فَاسِدٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ” وَالزَّوْجُ مُدَّعٍ فَكُلِّفَ الْبَيِّنَةَ، وَالزَّوْجَةُ مُنْكِرَةٌ فَكُلِّفَتِ الْيَمِينَ، وَلِأَنَّ مَنْ ثَبَتَ فِي ذِمَّتِهِ حَقٌّ لِغَيْرِهِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِي دَفْعِهِ كَالدُّيُونِ.
Pendapat ini tidak benar, karena sabda Nabi ﷺ: “Bukti itu atas pihak yang mengaku, dan sumpah atas pihak yang mengingkari.” Suami adalah pihak yang mengaku, maka ia dibebani bukti, sedangkan istri adalah pihak yang mengingkari, maka ia dibebani sumpah. Dan siapa pun yang terbukti ada hak orang lain atasnya, tidak diterima pengakuannya dalam menolaknya, seperti dalam kasus utang.
فَأَمَّا الِاعْتِبَارُ بِالْعَادَةِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ عَادَاتِ النَّاسِ فِيهِ مُخْتَلِفَةٌ، ثُمَّ لَوِ اتَّفَقَتْ لَمَا تَعَلَّقَ بِهَا حُكْمٌ، أَلَا تَرَى أَنَّ مُشْتَرِي السِّلْعَةِ إِذَا ادَّعَى دَفْعَ ثَمَنِهَا بَعْدَ قَبْضِهَا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ، وَإِنْ جَرَتِ الْعَادَةُ بِأَنَّ السِّلْعَةَ لَا تُسَلَّمُ إِلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ الثَّمَنِ مِنْهُ.
Adapun pertimbangan berdasarkan kebiasaan (‘urf), maka itu tidak benar, karena kebiasaan manusia dalam hal ini berbeda-beda. Bahkan jika pun kebiasaan itu seragam, tidaklah hukum bergantung padanya. Tidakkah engkau melihat bahwa pembeli barang jika mengaku telah membayar harganya setelah menerima barang, tidak diterima pengakuannya, meskipun kebiasaan yang berlaku adalah barang tidak diserahkan kepadanya kecuali setelah ia membayar harganya.
وَلَوِ ادَّعَى الرَّاهِنُ قَضَاءَ الدَّيْنِ بَعْدَ رَدِّ الرَّهْنِ عَلَيْهِ، لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ، وَإِنْ جَرَتِ الْعَادَةُ أَنَّ الرَّهْنَ لَا يُرَدُّ إِلَّا بَعْدَ قَبْضِ الدَّيْنِ، كَذَلِكَ الزَّوْجَةُ.
Jika pihak yang menggadaikan (rahin) mengaku telah melunasi utang setelah barang gadai dikembalikan kepadanya, maka pengakuannya tidak diterima, meskipun sudah menjadi kebiasaan bahwa barang gadai tidak dikembalikan kecuali setelah utang dilunasi. Demikian pula halnya dengan istri.
إِذَا اخْتَلَفَ الزَّوْجَانِ فِي نَوْعِ الْمَدْفُوعِ مَهْرٍ أَوْ هدية؟
Jika suami istri berselisih tentang jenis barang yang diberikan, apakah sebagai mahar atau hadiah?
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ قَالَتِ الْمَرْأَةُ الَّذِي قَبَضْتُ هديةٌ وَقَالَ بَلْ هُوَ مهرٌ فَقَدْ أَقَرَّتْ بمالٍ وَادَّعَتْ مِلْكَهَ فَالْقَوْلُ قَوْلِهِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika perempuan berkata: ‘Barang yang aku terima adalah hadiah’, sedangkan suami berkata: ‘Itu adalah mahar’, maka ia (istri) telah mengakui menerima harta dan mengaku memilikinya, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat suami.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ.
Al-Mawardi berkata: Dan memang demikianlah sebagaimana yang dikatakan.
إِذَا دَفَعَ الزَّوْجُ إِلَيْهَا مَالًا ثُمَّ اخْتَلَفَا فِيهِ فَقَالَتِ الزَّوْجَةُ: أَخَذْتُهُ هِبَةً وَصَدَاقِي بَاقٍ، وَقَالَ الزَّوْجُ: بَلْ دَفَعْتُهُ صَدَاقًا.
Jika suami memberikan harta kepadanya, lalu mereka berselisih tentang hal itu, istri berkata: “Aku menerimanya sebagai hibah dan maharku masih ada,” sedangkan suami berkata: “Aku memberikannya sebagai mahar.”
فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ، سَوَاءٌ كَانَ مِنْ جِنْسِ الصَّدَاقِ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ، وَسَوَاءٌ كَانَ مِمَّا جَرَتِ الْعَادَةُ بِمُهَادَاةِ الزَّوْجِ بِمِثْلِهِ أَمْ لَا.
Maka pendapat yang dipegang adalah pendapat suami, baik harta itu sejenis dengan mahar atau bukan, dan baik itu berupa sesuatu yang lazim diberikan suami kepada istri sebagai hadiah atau tidak.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ مِمَّا جَرَتِ الْعَادَةُ أَنْ يَهْدِيَهُ الزَّوْجُ لِلزَّوْجَةِ كَالثَّوْبِ وَالْمَقْنَعَةِ وَالطِّيبِ وَالْحُلِيِّ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ وَلَهَا الْمُطَالَبَةُ بِمَهْرِهَا.
Malik berkata: Jika harta itu berupa sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan suami memberikannya kepada istri, seperti pakaian, kerudung, minyak wangi, dan perhiasan, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat istri dengan sumpahnya, berdasarkan ‘urf (kebiasaan), dan ia berhak menuntut maharnya.
وَهَذَا خَطَأٌ، لِأَنَّ الْأَمْوَالَ لَا تُتَمَلَّكُ عَلَى أَرْبَابِهَا بِالدَّعَاوَى، وَلِأَنَّهَا لَوِ ادَّعَتْ هِبَةَ ذَلِكَ وَقَدْ قَبَضَتْ مَهْرَهَا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فَكَذَلِكَ قَبْلَ قَبْضِهِ.
Dan ini adalah kekeliruan, karena harta tidak bisa dimiliki dari pemiliknya hanya dengan pengakuan, dan karena jika ia (istri) mengaku menerima hibah tersebut padahal ia telah menerima maharnya, maka pengakuannya tidak diterima; demikian pula sebelum menerima mahar.
وَقَدْ مَضَى الْجَوَابُ عَمَّا اسْتَدَلَّ بِهِ مِنَ الْعُرْفِ.
Dan telah dijelaskan sebelumnya jawaban atas dalil yang digunakan dari ‘urf (kebiasaan).
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الزَّوْجِ دُونَهَا، فَإِنِ ادَّعَتْ أَنَّهُ صَرَّحَ لَهَا بِالْهِبَةِ كَانَ لَهَا إِحْلَافُهُ فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ، فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَيْهَا، وَحُكِمَ لَهَا إِنْ حَلَفَتْ.
Jika telah tetap bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat suami, bukan pendapat istri, maka jika istri mengaku bahwa suami telah secara jelas menyatakan hibah kepadanya, ia berhak meminta suami bersumpah; maka pendapat yang dipegang adalah pendapat suami dengan sumpahnya. Jika suami enggan bersumpah, maka hak itu dikembalikan kepada istri, dan diputuskan untuknya jika ia bersumpah.
وَإِنْ لَمْ تَدَّعِ أَنَّهُ صَرَّحَ لَهَا بِالْهِبَةِ، بَلْ قَالَتْ: نَوَاهَا وَأَرَادَهَا وَلَمْ يَتَلَفَّظْ بِهَا، فَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ الْهِبَةَ لَا تَصِحُّ بِالنِّيَّةِ، فَلَمْ يَلْزَمْهُ يَمِينٌ فِي دَعْوَى هِبَةٍ فَاسِدَةٍ.
Dan jika istri tidak mengaku bahwa suami telah secara jelas menyatakan hibah, melainkan ia berkata: “Suami meniatkannya dan menginginkannya, tetapi tidak mengucapkannya,” maka tidak ada sumpah atas suami, karena hibah tidak sah hanya dengan niat, sehingga suami tidak wajib bersumpah dalam klaim hibah yang tidak sah.
فَإِذَا جَعَلْنَا الْقَوْلَ قَوْلَهُ: لَمْ يَخْلُ حَالُ مَا أَقْبَضَهَا مِنْ حَالَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ جِنْسِ صَدَاقِهَا، لِأَنَّهُ دَرَاهِمُ وَقَدْ دَفَعَ إِلَيْهَا دَرَاهِمَ، فَيَكُونُ ذَلِكَ بِضَامِنِ صَدَاقِهَا، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ صَدَاقِهَا، لِأَنَّهُ دَرَاهِمُ وَقَدْ دَفَعَ إِلَيْهَا دَنَانِيرَ فَتَكُونُ الدَّنَانِيرُ لَهُ وَالصَّدَاقُ عَلَيْهِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي أَنَّهَا أَخَذَتِ الدَّنَانِيرَ بَدَلًا مِنْ صَدَاقِهَا، فَإِنِ ادَّعَى ذَلِكَ عَلَيْهَا أَحْلَفَهَا.
Jika kita menetapkan bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat suami, maka keadaan barang yang diberikan kepada istri tidak lepas dari dua kemungkinan: Pertama, barang itu sejenis dengan maharnya, misalnya berupa dirham dan suami memberikan dirham, maka itu dianggap sebagai pembayaran maharnya. Kedua, barang itu bukan sejenis dengan maharnya, misalnya maharnya berupa dirham dan suami memberikan dinar, maka dinar itu milik suami dan mahar tetap menjadi tanggungannya, dan tidak diterima pengakuan suami bahwa istri menerima dinar sebagai pengganti maharnya. Jika suami mengklaim demikian terhadap istri, maka ia harus meminta istri bersumpah.
القول مَنْ أَبْرَأُ لِلزَّوْجِ مِنَ الْمَهْرِ إِذَا دَفَعَهُ لولي الزوجة؟
Pendapat tentang siapa yang membebaskan suami dari kewajiban mahar jika ia memberikannya kepada wali istri?
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَيَبْرَأُ بِدَفْعِ الْمَهْرِ إِلَى أَبِي الْبِكْرِ صَغِيرَةً كانت أو كبيرةً التي يلي أبوها بعضها وَمَالَهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan suami telah bebas dari kewajiban mahar dengan menyerahkan mahar kepada ayah perempuan, baik ia masih kecil maupun sudah dewasa, yang ayahnya menjadi walinya dan mengurus sebagian hartanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ:
Al-Mawardi berkata:
اعْلَمْ أَنَّ الْأَبَ إِذَا قَبَضَ مَهْرَ ابْنَتِهِ، لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Ketahuilah bahwa jika ayah menerima mahar anak perempuannya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَوْلًى عَلَيْهَا أَوْ رَشِيدَةً.
Pertama, ayah menjadi wali atasnya atau ia sudah dewasa dan berakal.
فَإِنْ كَانَ مَوْلًى عَلَيْهَا لِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ أَوْ سَفَهٍ: جَازَ لَهُ قَبْضُ مَهْرِهَا، لِاسْتِحْقَاقِهِ الْوِلَايَةَ عَلَى مَالِهَا، وَلَوْ قَبَضَتْهُ مِنْ زَوْجِهَا لَمْ يَصِحَّ، وَلَمْ يَبْرَأِ الزَّوْجُ مِنْهُ إِلَّا أَنْ يُبَادِرَ الْأَبُ إِلَى أَخْذِهِ مِنْهَا، فَيَبْرَأُ الزَّوْجُ حِينَئِذٍ مِنْهُ.
Jika ayah menjadi wali atasnya karena masih kecil, gila, atau bodoh (tidak cakap), maka ayah boleh menerima maharnya, karena ia berhak mengelola hartanya. Jika anak perempuan menerima sendiri dari suaminya, maka tidak sah, dan suami belum bebas dari kewajiban mahar kecuali jika ayah segera mengambilnya dari anak perempuan tersebut, maka pada saat itu suami bebas dari kewajiban mahar.
وَإِنْ كَانَتْ بَالِغَةً عَاقِلَةً رَشِيدَةً فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika anak perempuan sudah baligh, berakal, dan cakap, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ ثَيِّبًا لَا تُجْبَرُ عَلَى النِّكَاحِ فَلَيْسَ لِلْأَبِ قَبْضُ مَهْرِهَا إِلَّا بِإِذْنِهَا، فَإِنْ قَبَضَهُ بغير إذنها لم يبر الزوج منه، كما لو قبض لا دَيْنًا أَوْ ثَمَنًا.
Pertama: Jika ia adalah perempuan yang sudah pernah menikah (janda) yang tidak boleh dipaksa menikah, maka ayah tidak berhak menerima maharnya kecuali dengan izinnya. Jika ayah menerimanya tanpa izinnya, maka suami belum bebas dari kewajiban mahar, sebagaimana jika ayah menerima pembayaran utang atau harga barang tanpa izin.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ بكراً بجبرها أَبُوهَا عَلَى النِّكَاحِ، فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا يَمْلِكُ قبض مهرها إلا بإذنها، فإن قبضه بغير إذن لم يبر الزَّوْجُ مِنْهُ، وَجَعَلَ لَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا قَبْضَ مَهْرِهَا لِأَنَّهُ يَمْلِكُ إِجْبَارَهَا عَلَى النِّكَاحِ كَالصَّغِيرَةِ.
Jenis kedua: yaitu seorang perempuan perawan yang dinikahkan secara paksa oleh ayahnya. Pendapat yang sahih adalah ayahnya tidak berhak menerima mahar untuknya kecuali dengan izinnya. Jika ayahnya menerima mahar tanpa izinnya, maka suami belum dianggap menunaikan kewajibannya. Sebagian ulama mazhab kami membolehkan ayah menerima maharnya karena ia berhak memaksanya menikah seperti halnya anak perempuan yang masih kecil.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَهُ قَبْضُ مَهْرِهَا بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا مَا لَمْ تَنْهَهُ عَنْهُ، وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ عِنْدَنَا غَيْرُ صَحِيحٍ، لِأَنَّ صَدَاقَهَا دَيْنٌ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ الْأَبُ بِقَبْضِهِ مَعَ رُشْدِهَا كَسَائِرِ الدُّيُونِ، وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَمْلِكْ قَبْضَ دَيْنِهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ قَبْضُ مَهْرِهَا كَغَيْرِ الْأَبِ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ مَلَكَ الْقَبْضَ بِغَيْرِ إِذْنٍ لَمَا أَثَّرَ فِيهِ النَّهْيُ كَحَالِهِ مَعَ الصَّغِيرَةِ، وَإِذَا أَثَّرَ فِيهِ النَّهْيُ لَمْ يَمْلِكْهُ بِغَيْرِ إِذْنٍ كَالْوَكِيلِ، وَاللَّهُ أعلم.
Abu Hanifah berpendapat: Ayah berhak menerima maharnya, baik ia masih perawan maupun sudah janda, selama anaknya tidak melarangnya. Namun kedua pendapat tersebut menurut kami tidak benar, karena mahar adalah utang, sehingga tidak boleh ayah menerima utangnya secara mandiri selama anaknya sudah dewasa dan berakal, sebagaimana utang-utang lainnya. Selain itu, sesuatu yang ayah tidak berhak menerima utangnya, maka ia juga tidak berhak menerima maharnya, sebagaimana wali selain ayah. Dan jika ayah berhak menerima tanpa izin, maka larangan dari anak tidak akan berpengaruh, sebagaimana halnya pada anak kecil. Namun jika larangan berpengaruh, maka ia tidak berhak menerima tanpa izin, seperti halnya seorang wakil. Dan Allah lebih mengetahui.
الشرط في المهر من كتاب الصداق ومن كتاب الطلاق، ومن الإملاء على مسائل مالكٍ
Syarat dalam mahar, dari Kitab Ash-Shadaq dan dari Kitab Ath-Thalaq, serta dari catatan masalah-masalah Malik.
إذا أصدقها ألفاُ على أن لأبيها ألفاً
Jika seorang suami memberikan mahar seribu dengan syarat seribu itu untuk ayahnya.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَإِذَا عُقِدَ النِّكَاحُ بألفٍ عَلَى أَنَّ لِأَبِيهَا أَلْفًا فَالْمَهْرُ فاسدٌ لأن الألف ليس بمهرٍ لها ولا يحق لَهُ بِاشْتِرَاطِهِ إِيَّاهُ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika akad nikah dilakukan dengan mahar seribu dengan syarat seribu itu untuk ayahnya, maka maharnya rusak, karena seribu itu bukan mahar untuk istri dan tidak berhak bagi ayahnya dengan mensyaratkannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini adalah pendapat yang benar.
إذا تزوجا عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ عَلَى أَنَّ لِأَبِيهَا أَلْفًا، لَمْ يَصِحَّ الشَّرْطُ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ دَفْعُ الْأَلْفِ إِلَى الْأَبِ، وَيَبْطُلُ بِهِ الصَّدَاقُ.
Jika keduanya menikah dengan mahar seribu dengan syarat seribu itu untuk ayahnya, maka syarat tersebut tidak sah, dan suami tidak wajib memberikan seribu itu kepada ayah, serta mahar tersebut menjadi batal.
وَقَالَ قَتَادَةُ: الصَّدَاقُ صَحِيحٌ عَلَى أَلْفٍ، وَالشَّرْطُ لَازِمٌ لِلْأَبِ، وَعَلَى الزَّوْجِ لَهُ أَلْفٌ بِالشَّرْطِ.
Qatadah berkata: Mahar sah dengan jumlah seribu, dan syarat itu wajib bagi ayah, dan suami wajib memberikan seribu kepada ayah berdasarkan syarat tersebut.
وَقَالَ مَالِكٌ: الشَّرْطُ بَاطِلٌ فِي حَقِّ الْأَبِ، وَيَصِيرُ الْأَلْفَانِ مَعًا صَدَاقًا لِلزَّوْجَةِ.
Malik berkata: Syarat itu batal bagi ayah, dan kedua seribu itu menjadi mahar untuk istri.
وَالدَّلِيلُ عَلَى مَالِكٍ فِي بُطْلَانِ الشَّرْطِ أَنَّ شُرُوطَ الْعُقُودِ مَا كَانَتْ فِي حَقِّ الْمَعْقُودِ أَوِ الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ الْأَبُ وَاحِدًا مِنْهُمَا، فَلَمْ يَصِحَّ الشَّرْطُ لَهُ كَمَا لَوْ شَرَطَهُ أَجْنَبِيٌّ.
Dalil bagi Malik tentang batalnya syarat tersebut adalah bahwa syarat-syarat dalam akad hanya berlaku bagi pihak yang berakad atau yang diakadkan, sedangkan ayah bukan salah satu dari keduanya, sehingga syarat itu tidak sah untuknya, sebagaimana jika syarat itu ditujukan kepada orang lain yang bukan pihak dalam akad.
وَالدَّلِيلُ عَلَى قَتَادَةَ فِي أَنَّ مَا شَرَطَهُ الْأَبُ لَا يَصِيرُ صَدَاقًا لِلزَّوْجَةِ: هُوَ أَنَّ مَا لَمْ يُجْعَلْ صَدَاقًا مُسَمًّى لَمْ يَجُزْ أَنْ يَصِيرَ صَدَاقًا مُسَمًّى كَالْمَشْرُوطِ لِغَيْرِ الْأَبِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ مَا شَرَطَهُ لِلْأَبِ، زِيَادَةً فِي الصَّدَاقِ لَكَانَ مَا شَرَطَ عَلَى الْأَبِ نُقْصَانًا مِنَ الصَّدَاقِ، وَهَذَا بَاطِلٌ فِي الشَّرْطِ عَلَيْهِ، فبطل في الشرط له.
Dalil bagi Qatadah bahwa apa yang disyaratkan untuk ayah tidak menjadi mahar bagi istri adalah bahwa sesuatu yang tidak dijadikan sebagai mahar yang disebutkan secara jelas, tidak boleh menjadi mahar yang disebutkan, sebagaimana syarat untuk selain ayah. Dan jika boleh apa yang disyaratkan untuk ayah menjadi tambahan mahar, maka apa yang disyaratkan atas ayah menjadi pengurangan dari mahar, dan ini batal dalam syarat atasnya, maka batal pula dalam syarat untuknya.
فصل: هل يبطل النكاح ببطلان الصداق؟
Fasal: Apakah nikah menjadi batal karena batalnya mahar?
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الشَّرْطَ بَاطِلٌ فِي حَقِّ الْأَبِ بِخِلَافِ مَا قَالَهُ ” قَتَادَةُ “، وَبَاطِلٌ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ بِخِلَافِ مَا قَالَهُ ” مَالِكٌ “، كَانَ الصَّدَاقُ بَاطِلًا، لِأَنَّ لِلشَّرْطِ تَأْثِيرًا فِي النُّقْصَانِ مِنْهُ، وَقَدْرُهُ مَجْهُولٌ، فَأَفْضَى إِلَى جَهَالَةِ جَمِيعِ الصَّدَاقِ، وَإِذَا صَارَ الصَّدَاقُ مَجْهُولًا بَطَلَ، وَلَمْ يَبْطُلِ النِّكَاحُ، وَكَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ.
Jika telah tetap bahwa syarat itu batal bagi ayah, berbeda dengan pendapat Qatadah, dan batal bagi istri, berbeda dengan pendapat Malik, maka maharnya batal, karena syarat itu berpengaruh dalam mengurangi mahar, dan jumlahnya tidak diketahui, sehingga menyebabkan ketidakjelasan seluruh mahar. Jika mahar menjadi tidak jelas, maka batal, namun akad nikahnya tidak batal, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang sepadan).
فَإِنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ كَانَ لَهَا نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ، لِأَنَّهُ قَدْ سَمَّى لَهَا صَدَاقًا فَاسِدًا.
Jika ia dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri, maka ia berhak atas setengah mahar mitsil, karena telah disebutkan mahar yang rusak untuknya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ نَكَحَ امْرَأَةً عَلَى ألفٍ وَعَلَى أَنْ يُعْطِيَ أَبَاهَا أَلْفًا كَانَ جَائِزًا وَلَهَا مَنْعُهُ وأخذها منه لأنها هبةٌ ل تقبض أو وكالةٌ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seseorang menikahi seorang wanita dengan mahar seribu dan dengan syarat memberikan seribu kepada ayahnya, maka itu boleh, dan istri berhak melarang ayahnya dan mengambilnya dari ayahnya, karena itu adalah hibah yang belum diterima atau merupakan bentuk perwakilan.”
وقال الْمَاوَرْدِيُّ: ذَكَرَ الْمُزَنِيُّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ عَلَى صُورَةِ التي قبلها خالف بَيْنَهُمَا فِي الْجَوَابِ فَقَالَ: وَلَوْ نَكَحَهَا عَلَى أَلْفٍ وَعَلَى أَنْ يُعْطِيَ أَبَاهَا أَلْفًا كَانَ جائزاً.
Al-Mawardi berkata: Al-Muzani menyebutkan masalah ini dengan bentuk yang sama seperti sebelumnya, namun berbeda dalam jawabannya. Ia berkata: Jika seseorang menikahi wanita dengan mahar seribu dan dengan syarat memberikan seribu kepada ayahnya, maka itu boleh.
وقال في الأولى: ولو عقد نكاحا بِأَلْفٍ عَلَى أَنَّ لِأَبِيهَا أَلْفًا فَالْمَهْرُ فَاسِدٌ. وَهُمَا فِي الصُّورَةِ سَوَاءٌ، وَفِي الْجَوَابِ مُخْتَلِفَانِ.
Dan ia berkata pada yang pertama: Jika akad nikah dilakukan dengan mahar seribu dengan syarat seribu itu untuk ayahnya, maka maharnya rusak. Padahal kedua kasus tersebut secara bentuk sama, namun jawabannya berbeda.
فَذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّ الْمُزَنِيَّ أَخْطَأَ فِي نَقْلِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، وَأَنَّ هَذَا الْجَوَابَ مَسْطُورٌ لِلشَّافِعِيِّ فِي الْأُمِّ فِي غَيْرِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، وَهُوَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَلْفَيْنِ عَلَى أَنْ يُعْطِيَ أَبَاهَا أَلْفًا مِنْهَا، أَوْ تُعْطِيَ أَبَاهَا أَلْفًا مِنْهَا، فَإِنْ كَانَتْ هِيَ الْمُعْطِيَةَ لِلْأَلْفِ فَهِيَ هِبَةٌ لِلْأَبِ، وَإِنْ كَانَ هُوَ الْمُعْطِيَ لِلْأَلْفِ احْتَمَلَ أَنْ تَكُونَ هِبَةً لِلْأَبِ، وَاحْتَمَلَ أَنْ تَكُونَ وَكَالَةً يَتَوَلَّى قَبْضَهَا الْأَبُ فَيَكُونُ الصَّدَاقُ جَائِزًا، لِأَنَّ جَمِيعَ الْأَلْفَيْنِ صَدَاقٌ، وَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ هَذَا الشَّرْطُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَشْتَرِطْ لِنَفْسِهِ عَلَيْهَا، وَلَا اشْتَرَطَ لَهَا عَلَى نَفْسِهِ.
Mayoritas ulama mazhab kami berpendapat bahwa al-Muzani telah keliru dalam meriwayatkan masalah ini, dan bahwa jawaban tersebut sebenarnya tertulis dalam kitab al-Umm karya asy-Syafi‘i, namun bukan pada masalah ini. Jawaban itu adalah: seseorang menikahi seorang wanita dengan mahar dua ribu, dengan syarat ia memberikan seribu di antaranya kepada ayah wanita itu, atau wanita itu memberikan seribu kepada ayahnya. Jika yang memberikan seribu itu adalah si wanita, maka itu adalah hibah untuk sang ayah. Jika yang memberikan adalah suaminya, maka ada kemungkinan itu merupakan hibah untuk ayah, dan ada kemungkinan pula itu adalah wakalah, di mana ayah bertindak sebagai wakil untuk menerima seribu tersebut, sehingga mahar tetap sah, karena seluruh dua ribu itu adalah mahar, dan syarat tersebut tidak berpengaruh terhadapnya, sebab ia tidak mensyaratkan sesuatu untuk dirinya atas wanita itu, dan tidak pula mensyaratkan sesuatu untuk wanita itu atas dirinya.
وَإِذَا لَمْ يَكُنِ الشَّرْطُ عَلَى أَحَدِ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي زِيَادَةِ الصَّدَاقِ وَلَا نُقْصَانِهِ، فَسَلِمَ مِنَ الْجَهَالَةِ، فَلِذَلِكَ صَحَّ.
Apabila syarat tersebut tidak berada pada salah satu dari dua bentuk di atas, maka syarat itu tidak berpengaruh terhadap penambahan atau pengurangan mahar, sehingga terhindar dari unsur ketidakjelasan (jahalah), oleh karena itu akadnya sah.
فَأَمَّا مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ فَخَطَأٌ، وَجَوَابُهُ كَجَوَابِ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى، لِتَمَاثُلِهِمَا فِي الصُّورَةِ. وَالَّذِي عِنْدِي أَنَّ نَقْلَ الْمُزَنِيِّ صَحِيحٌ، وَأَنَّهُ مُتَأَوَّلٌ عَلَى مَا ذَكَرُوهُ، وَمَحْمُولُ الْجَوَابِ عَلَى مَا صَوَّرُوهُ، لأن في لفظ المسألة دليل عَلَى هَذَا التَّأْوِيلِ وَهُوَ الْمُفَرِّقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى؛ لِأَنَّهُ قَالَ فِي هَذِهِ وَلَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَلْفٍ وَعَلَى أَنْ يُعْطِيَ أَبَاهَا أَلْفًا، وَقَالَ فِي الْأُولَى: وَلَوْ عَقَدَ نِكَاحَهَا بِأَلْفٍ عَلَى أَنَّ لِأَبِيهَا أَلْفًا. فَجَعَلَ لِأَبِيهَا فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ قَبْضَ الْأَلْفِ، وَجَعَلَ لِأَبِيهَا فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى مِلْكَ الْأَلْفِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْأَلْفَيْنِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ صَدَاقٌ لِلزَّوْجَةِ فَلِذَلِكَ صَحَّ، وَفِي الْأُولَى إِحْدَاهُمَا صَدَاقٌ لَهَا وَالْأُخْرَى لِلْأَبِ، فَلِذَلِكَ بَطَلَ.
Adapun riwayat yang dibawakan oleh al-Muzani adalah keliru, dan jawabannya sama dengan jawaban pada masalah pertama, karena keduanya serupa dalam bentuknya. Namun menurut saya, riwayat al-Muzani itu benar, dan dapat ditakwil sesuai dengan apa yang telah mereka sebutkan, serta jawaban tersebut dibawa kepada gambaran yang telah mereka uraikan. Karena dalam redaksi masalah tersebut terdapat dalil atas takwil ini, yang membedakannya dengan masalah pertama; sebab dalam masalah ini disebutkan: “Seandainya ia menikahinya dengan mahar seribu dan dengan syarat memberikan seribu kepada ayahnya,” sedangkan dalam masalah pertama disebutkan: “Seandainya ia menikahkan dengan mahar seribu dengan syarat seribu untuk ayahnya.” Maka dalam masalah ini, ayahnya hanya menerima seribu, sedangkan dalam masalah pertama, ayahnya memiliki hak milik atas seribu tersebut. Ini menunjukkan bahwa dua ribu dalam masalah ini adalah mahar untuk istri, sehingga akadnya sah, sedangkan dalam masalah pertama, salah satunya adalah mahar untuk istri dan yang lainnya untuk ayah, sehingga akadnya batal.
ثُمَّ يُوَضِّحُ أَنَّ نَقْلَ الْمُزَنِيِّ صَحِيحٌ وَأَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى هَذَا التَّأْوِيلِ، مَا ذَكَرَهُ فِي الْحُكْمِ وَبَيَّنَهُ مِنَ التعليل، لأنه قال: ولما مَنْعُهُ وَأَخْذُهَا مِنْهُ، وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَمْنَعَ الزَّوْجَ مِنْ دَفْعِ مَالِهِ، وَلَا لَهَا أَنْ تَأْخُذَ غَيْرَ صَدَاقِهَا، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْأَلْفَيْنِ كَانَتْ صَدَاقًا لَهَا، ثُمَّ بَيَّنَ فِي التَّعْلِيلِ فَقَالَ: لِأَنَّهَا هِبَةٌ لَمْ تُقْبَضْ، أَوْ وَكَالَةٌ لَمْ تَتِمَّ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الشَّرْطَ كَانَ مَعْقُودًا عَلَى أَنْ تَهَبَ هِيَ مِنَ الْأَلْفَيْنِ أَلْفًا لِأَبِيهَا، أَوْ تُوَكِّلَهُ فِي قَبْضِهَا فَكَانَتْ عَلَى خِيَارِهَا فِي أَنْ تُتَمِّمَ الْهِبَةَ بِالْقَبْضِ أَوْ تَرْجِعَ فِيهَا، أَوْ تُتَمِّمَ الْوَكَالَةَ أَوْ تُبْطِلَهَا.
Selanjutnya, yang menegaskan bahwa riwayat al-Muzani itu benar dan memang ditakwilkan seperti ini adalah apa yang disebutkan dalam penjelasan hukum dan alasan yang dikemukakan, yaitu: “Adapun larangan dan pengambilan dari suaminya, maka istri tidak berhak melarang suami memberikan hartanya, dan tidak berhak pula mengambil selain maharnya.” Ini menunjukkan bahwa dua ribu itu adalah mahar untuk istri. Kemudian dalam penjelasan alasan disebutkan: “Karena itu adalah hibah yang belum diterima, atau wakalah yang belum sempurna.” Ini menunjukkan bahwa syarat tersebut berkaitan dengan istri yang menghibahkan seribu dari dua ribu itu kepada ayahnya, atau mewakilkan ayahnya untuk menerimanya, sehingga istri berhak memilih untuk menyempurnakan hibah dengan penyerahan atau menarik kembali, atau menyempurnakan wakalah atau membatalkannya.
وَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ مِثْلَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ يُرِيدُ بِهَا مَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّأْوِيلِ فَقَالَ: وَلَوْ أَصْدَقَهَا أَلْفَيْنِ عَلَى أَنْ يُعْطِيَ أَبَاهَا أَلْفًا وَأُمَّهَا أَلْفًا كَانَ الْكُلُّ لِلزَّوْجَةِ وَإِنَّمَا يَكُونُ الْكُلُّ لَهَا إِذَا كَانَ الْكُلُّ صَدَاقًا تَكُونُ لَهَا بِالتَّسْمِيَةِ لَا بِالشَّرْطِ بِخِلَافِ مَا قَالَ مَالِكٌ.
Asy-Syafi‘i juga menyebutkan masalah serupa dalam kitab al-Umm, yang dimaksudkan adalah sebagaimana takwil yang telah kami sebutkan, beliau berkata: “Seandainya ia memberikan mahar dua ribu dengan syarat memberikan seribu kepada ayahnya dan seribu kepada ibunya, maka semuanya menjadi milik istri. Semuanya menjadi milik istri jika seluruhnya disebutkan sebagai mahar untuknya, bukan karena syarat, berbeda dengan pendapat Malik.”
فَصْلٌ: فِي الشروط التي تدخل النكاح
Fasal: Tentang syarat-syarat yang masuk dalam akad nikah
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ أَصْدَقَهَا أَلْفًا عَلَى أَنَّ لَهَا أَنْ تخرج أو على أن لا يخرجها من بلدها أو على أن لا يَنْكِحَ عَلَيْهَا أَوْ لَا يَتَسَرَّى أَوْ شَرَطَتْ عَلَيْهِ مَنْعَ مَالِهِ أَنْ يَفْعَلَهُ فَلَهَا مَهْرُ مثلها في ذلك كله فإن كان قد زادها على مهر مثلها وزادها الشرط أبطلت الشرط ولم أجعل لها الزيادة لفساد عقد المهر بالشرط ألا ترى لو اشترى عبداً بمائة دينار وزق خمرٍ فمات العبد في يد المشتري ورضي البائع أن يأخذ المائة ويبطل الزق الخمر لم يكن له ذلك لأن الثمن انعقد بما لا يجوز فبطل وكانت له قيمة العبد “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Seandainya ia memberikan mahar seribu dengan syarat istri boleh keluar, atau dengan syarat tidak mengeluarkannya dari negerinya, atau dengan syarat tidak menikah lagi atasnya, atau tidak mengambil budak perempuan, atau istri mensyaratkan agar ia tidak menggunakan hartanya untuk sesuatu, maka istri berhak mendapatkan mahar mitsil dalam semua itu. Jika ia menambah mahar di atas mahar mitsil karena syarat tersebut, maka syaratnya batal dan aku tidak menetapkan tambahan itu untuknya, karena akad mahar menjadi rusak dengan adanya syarat tersebut. Tidakkah engkau lihat, jika seseorang membeli budak dengan harga seratus dinar dan satu kantong khamar, lalu budak itu mati di tangan pembeli dan penjual rela menerima seratus dinar saja dan membatalkan kantong khamar, maka itu tidak boleh, karena harga telah disepakati dengan sesuatu yang tidak sah, sehingga batal dan yang berlaku adalah nilai budak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الشَّرْطَ فِي النِّكَاحِ ضَرْبَانِ: جَائِزٌ، وَمَحْظُورٌ.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa syarat dalam akad nikah terbagi dua: yang diperbolehkan dan yang terlarang.
فَأَمَّا الْجَائِزُ: فَمَا وَافَقَ حُكْمَ الشَّرْعِ فِي مُطْلَقِ الْعَقْدِ، مِثْلَ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهَا أَنَّ لَهُ أَنْ يَتَسَرَّى عَلَيْهَا، أَوْ يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا، أَوْ يُسَافِرَ بِهَا، أَوْ أَنْ يُطَلِّقَهَا إِذَا شَاءَ، أَوْ أَنْ تَشْتَرِطَ هي عليه، أو يُوَفِّيَهَا صَدَاقَهَا، أَوْ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهَا نَفَقَةَ مِثْلِهَا، أَوْ يَقْسِمَ لَهَا مَعَ نِسَائِهِ بِالسَّوِيَّةِ.
Adapun syarat yang diperbolehkan adalah yang sesuai dengan hukum syariat dalam akad secara mutlak, seperti seorang suami mensyaratkan bahwa ia boleh memiliki budak perempuan (menjadikan istri sebagai umm walad), atau boleh menikah lagi, atau boleh bepergian bersama istrinya, atau boleh menceraikannya kapan saja ia mau, atau istri yang mensyaratkan kepada suami, atau suami wajib membayar mahar kepadanya, atau menafkahinya sesuai dengan kelaziman, atau membagi giliran secara adil di antara para istrinya.
فَكُلُّ هَذِهِ الشُّرُوطِ جَائِزَةٌ، وَالنِّكَاحُ مَعَهَا صَحِيحٌ، والمسمى فيه من الصداق لازم، لأن من شَرَطَهُ الزَّوْجُ مِنْهَا لِنَفْسِهِ يَجُوزُ لَهُ فِعْلُهُ بغر شَرْطٍ فَكَانَ أَوْلَى بِأَنْ يَجُوزَ مَعَ الشَّرْطِ.
Semua syarat-syarat ini diperbolehkan, dan akad nikah bersamanya sah, serta mahar yang disebutkan menjadi wajib, karena apa yang disyaratkan suami dari istrinya untuk dirinya sendiri, boleh ia lakukan tanpa syarat, maka lebih utama lagi boleh dilakukan dengan syarat.
وَمَا شَرَطَتْهُ الزَّوْجَةُ عَلَيْهِ يَلْزَمُهُ بِغَيْرِ شَرْطٍ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يَلْزَمَهُ الشَّرْطُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِنَّ أَحَقَّ مَا وَفَّيْتُمْ بِهِ مِنَ الشُّرُوطِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ “.
Dan apa yang disyaratkan istri kepada suami, menjadi kewajiban suami meskipun tanpa syarat, maka lebih utama lagi menjadi kewajiban dengan adanya syarat. Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya syarat yang paling berhak kalian penuhi adalah syarat yang menghalalkan kemaluan (pernikahan).”
وَأَمَّا الْمَحْظُورُ مِنْهَا: فَمَرْدُودٌ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” كُلُّ شرطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ باطلٌ وَلَوْ كَانَ مِائَةَ شرطٍ، شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَعَقْدُهُ أَوْثَقُ “.
Adapun syarat yang terlarang, maka tertolak, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah maka ia batil, meskipun seratus syarat, syarat Allah lebih berhak dan akad-Nya lebih kuat.”
وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْمُؤْمِنُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا “.
Dan diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: “Orang-orang mukmin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”
وَالشُّرُوطُ الْمَحْظُورَةُ تَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ:
Syarat-syarat yang terlarang terbagi menjadi empat bagian:
أَحَدُهَا: مَا يَبْطُلُ بِهِ النكاح.
Pertama: Syarat yang membatalkan akad nikah.
الثاني: مَا يَبْطُلُ بِهِ الصَّدَاقُ.
Kedua: Syarat yang membatalkan mahar.
وَالثَّالِثُ: مَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهُ لِاخْتِلَافِ مُشْتَرِطِهِ.
Ketiga: Syarat yang hukumnya berbeda tergantung siapa yang mensyaratkannya.
وَالرَّابِعُ: مَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فيه.
Keempat: Syarat yang diperselisihkan oleh para ulama mazhab kami.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي الشُّرُوطِ الَّتِي تُبْطِلُ النِّكَاحَ
Fasal: Penjelasan tentang syarat-syarat yang membatalkan akad nikah.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ مَا يُبْطِلُ النِّكَاحَ فَهُوَ كُلُّ شَرْطِ رَفَعَ مَقْصُودَ الْعَقْدِ، مِثْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا طَالِقٌ رَأْسَ الشَّهْرِ، أَوْ إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ، أَوْ عَلَى أَنَّ الطَّلَاقَ بِيَدِهَا تُطَلِّقُ نَفْسَهَا مَتَى شَاءَتْ.
Adapun bagian pertama, yaitu syarat yang membatalkan akad nikah, adalah setiap syarat yang meniadakan tujuan akad, seperti menikahi seorang wanita dengan syarat bahwa ia akan dicerai pada awal bulan, atau jika Zaid datang, atau dengan syarat talak berada di tangan istri sehingga ia dapat menceraikan dirinya kapan saja ia mau.
فَالنِّكَاحُ بِهَذِهِ الشُّرُوطِ بَاطِلٌ، سَوَاءٌ كَانَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ مِنْ جِهَتِهِ أَوْ مِنْ جِهَتِهَا، لِأَنَّهَا رَافِعَةٌ لِمَقْصُودِ الْعَقْدِ مِنَ الْبَقَاءِ وَالِاسْتِدَامَةِ فَصَارَ النِّكَاحُ بِهَا مُقَدَّرَ الْمُدَّةِ، فَجَرَى مَجْرَى نِكَاحِ الْمُتْعَةِ، فَكَانَ بَاطِلًا
Maka nikah dengan syarat-syarat seperti ini batal, baik syarat itu berasal dari pihak suami maupun istri, karena syarat tersebut meniadakan tujuan akad berupa keberlangsungan dan kesinambungan, sehingga nikah menjadi terbatas waktunya, sehingga serupa dengan nikah mut‘ah, maka hukumnya batal.
فَصْلٌ: الْقَوْلُ فِي الشُّرُوطِ الَّتِي تبطل الصداق دون النكاح
Fasal: Penjelasan tentang syarat-syarat yang membatalkan mahar namun tidak membatalkan nikah.
وأما القسم الثاني: وهو أن يُبْطِلُ الصَّدَاقَ دُونَ النِّكَاحِ: فَهُوَ كُلُّ شَرْطٍ خَالَفَ حُكْمَ الْعَقْدِ، وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun bagian kedua, yaitu syarat yang membatalkan mahar namun tidak membatalkan nikah, adalah setiap syarat yang bertentangan dengan hukum akad, dan ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: مَا كَانَ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ.
Pertama: Syarat yang berasal dari pihak suami.
وَالثَّانِي: مَا كَانَ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ.
Kedua: Syarat yang berasal dari pihak istri.
فَأَمَّا مَا كَانَ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ: فَمِثْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أن لا يَقْسِمَ لَهَا مَعَ نِسَائِهِ، أَوْ عَلَى أَنَّ تُخَفِّفَ عَنْهُ نَفَقَتَهَا وَكُسْوَتَهَا، أَوْ تُنْظِرَهُ بِهِمَا.
Adapun syarat yang berasal dari pihak suami, seperti menikahi seorang wanita dengan syarat tidak membagi giliran untuknya bersama istri-istri yang lain, atau dengan syarat istri meringankan nafkah dan pakaian, atau menunda keduanya.
وفي حكم ذلك: أن يشترط عليها أن لا تُكَلِّمَ أَبَاهَا وَلَا أَخَاهَا، فَهَذِهِ كُلُّهَا شُرُوطٌ بَاطِلَةٌ، لِأَنَّهَا مِنَ الشُّرُوطِ الَّتِي تُحَلِّلُ حَرَامًا أَوْ تُحَرِّمُ حَلَالًا، وَاخْتَصَّتْ بِالصَّدَاقِ دُونَ النِّكَاحِ، لِأَنَّ مَقْصُودَ النِّكَاحِ مَوْجُودٌ مَعَهَا، فَوَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ الصَّدَاقُ بِهَا، لِأَنَّهَا قَابَلَتْ مِنْهُ جُزْءًا إِذْ كَأَنَّهُ زَادَهَا فِيهِ لِأَجْلِهَا.
Dan yang serupa dengan itu: mensyaratkan kepada istri agar tidak berbicara dengan ayah atau saudaranya. Semua ini adalah syarat yang batil, karena termasuk syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, dan khusus membatalkan mahar saja, tidak membatalkan nikah, karena tujuan nikah tetap ada bersamanya, maka wajiblah mahar menjadi batal karenanya, karena syarat itu sebagai imbalan dari suami seolah-olah ia menambahkannya karena syarat tersebut.
وَإِذَا أَوْجَبَ بُطْلَانَهَا بَطَلَ مَا قَابَلَهَا مِنْهُ وَهُوَ مَجْهُولٌ، صَارَ الْبَاقِي بِهَا مَجْهُولًا، فَبَطَلَ، وَكَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، سَوَاءٌ كَانَ أَكْثَرَ مِمَّا سَمَّى أَوْ أَقَلَّ.
Dan apabila syarat tersebut batal, maka batal pula imbalan dari suami yang terkait dengannya dan itu tidak diketahui (tidak jelas), sehingga sisanya menjadi tidak jelas, maka batal pula, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang sepadan), baik jumlahnya lebih banyak atau lebih sedikit dari yang disebutkan.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ كَانَ مَهْرُ الْمِثْلِ أَكْثَرَ مِنَ الْمُسَمَّى لَمْ أُوجِبْ لَهَا إِلَّا الْمُسَمَّى وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ مِنْ أَصْحَابِنَا، لِأَنَّهَا رَضِيَتْ بِهِ مَعَ اشْتِرَاطِهِ عَلَيْهَا فَلِأَنْ تَرْضَى بِهِ مَعَ عَدَمِ الشُّرُوطِ أَوْلَى.
Abu Hanifah berkata: Jika mahar mitsil lebih banyak dari mahar yang disebutkan, maka tidak wajib diberikan kecuali yang disebutkan saja, dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Khairan dari kalangan mazhab kami, karena istri telah ridha dengan mahar tersebut beserta syarat yang ditetapkan atasnya, maka lebih utama lagi ia ridha dengannya tanpa syarat.
وَهَذَا فَاسِدٌ، لِأَنَّ سُقُوطَ الْمُسَمَّى بِالْفَسَادِ إِذَا أَوْجَبَ الرُّجُوعَ إِلَى الْقِيمَةِ اسْتُحِقَّتْ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنَ الْمُسَمَّى كَمَنْ قَبَضَ عَبْدًا اشْتَرَاهُ بِأَلْفٍ عَلَى شُرُوطٍ فَاسِدَةٍ شَرَطَهَا عَلَى بَائِعِهِ ثُمَّ تَلِفَ الْعَبْدُ فِي يَدِهِ وَقِيمَتُهُ أَكْثَرُ مِنْ ثَمَنِهِ اسْتُحِقَّتْ عَلَيْهِ الْقِيمَةُ دُونَ الْمُسَمَّى وَإِنْ كَانَتِ الْقِيمَةُ أَكْثَرَ، كَذَلِكَ هَاهُنَا.
Ini tidak benar, karena batalnya penamaan (harga atau mahar) akibat fasad (kerusakan/ketidaksahan) jika mewajibkan kembali kepada nilai (qimah), maka nilai tersebut menjadi hak, meskipun lebih besar dari yang telah disebutkan. Seperti seseorang yang menerima seorang budak yang ia beli dengan seribu (dirham) dengan syarat-syarat yang fasad (rusak/tidak sah) yang ia ajukan kepada penjualnya, kemudian budak itu rusak (mati/hilang) di tangannya dan nilainya lebih besar dari harganya, maka yang menjadi hak atasnya adalah nilai (qimah) bukan harga yang disebutkan, meskipun nilai itu lebih besar. Demikian pula dalam masalah ini.
وَأَمَّا مَا كَانَ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ.
Adapun yang berasal dari pihak istri.
فَمِثْلُ أَنْ تَشْتَرِطَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا أَوْ أَنْ لَا يَتَسَرَّى بِالْإِمَاءِ وَأَنْ لَا يُسَافِرَ بِهَا.
Seperti istri mensyaratkan agar suaminya tidak menikah lagi dengannya (tidak berpoligami), atau tidak mengambil budak perempuan sebagai selir, atau tidak bepergian bersamanya.
فَهَذِهِ شُرُوطٌ فَاسِدَةٌ لِأَنَّهَا مَنَعَتْهُ مِمَّا لَهُ فِعْلُهُ، وَتَوَجَّهَتْ إِلَى الصَّدَاقِ دُونَ وُجُودِ مَقْصُودِ النِّكَاحِ مَعَهَا.
Ini adalah syarat-syarat yang fasad (rusak/tidak sah) karena syarat-syarat tersebut melarang suami dari sesuatu yang menjadi haknya, dan syarat itu diarahkan kepada mahar tanpa adanya maksud utama dari pernikahan bersamanya.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلِلصَّدَاقِ الْمُسَمَّى حالان:
Jika demikian, maka mahar yang disebutkan (al-shadaq al-musamma) memiliki dua keadaan:
أحدهما: أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، فَيَبْطُلُ الْمُسَمَّى لِبُطْلَانِ الشُّرُوطِ الَّتِي قَابَلَهَا جُزْءٌ مِنْهُ فَصَارَ بِهِ مَجْهُولًا، وَيَجِبُ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ.
Pertama: Jika mahar yang disebutkan lebih sedikit dari mahar mitsil (mahar yang lazim/sepadan), maka penamaan (mahar) tersebut batal karena batalnya syarat-syarat yang menjadi bagian dari mahar tersebut sehingga menjadi tidak jelas, dan wajib baginya (istri) mahar mitsil.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ الْمُسَمَّى مِنَ الصَّدَاقِ أَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ فَفِيمَا تَسْتَحِقُّهُ وَجْهَانِ:
Keadaan kedua: Jika mahar yang disebutkan lebih banyak dari mahar mitsil, maka dalam hal apa yang menjadi haknya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهَا تَسْتَحِقُّ مَهْرَ الْمِثْلِ تَعْلِيلًا بِمَا ذَكَرْنَا مِنْ بُطْلَانِ الْمُسَمَّى بِمَا قَابَلَهُ مِنَ الشُّرُوطِ الَّتِي صَارَ بِهَا مَجْهُولًا.
Salah satunya, dan ini yang lebih shahih, bahwa ia (istri) berhak mendapatkan mahar mitsil, dengan alasan sebagaimana telah disebutkan bahwa penamaan (mahar) batal karena adanya syarat-syarat yang menjadikannya tidak jelas.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْمُزَنِيِّ إِنَّهَا تَسْتَحِقُّ المسمى لأن لا يَجْتَمِعَ عَلَيْهَا بَخْسَانِ: بَخْسٌ بِإِسْقَاطِ الشُّرُوطِ، وَبَخْسٌ بِنُقْصَانِ الْمَهْرِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat al-Muzani, bahwa ia berhak mendapatkan mahar yang disebutkan agar tidak terkumpul atasnya dua kerugian: kerugian karena gugurnya syarat, dan kerugian karena berkurangnya mahar.
وَلِأَنَّهَا لَمْ تَرْضَ مَعَ مَا شَرَطَتْ إِلَّا بِزِيَادَةِ مَا سَمَّتْ فَإِذَا مُنِعَتِ الشُّرُوطَ لَمْ تُمْنَعِ الْمُسَمَّى.
Karena ia (istri) tidak rela dengan apa yang ia syaratkan kecuali dengan tambahan yang ia sebutkan, maka jika syarat-syarat itu dibatalkan, tidak dibatalkanlah mahar yang disebutkan.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ
Fasal: Adapun bagian ketiga
: وَهُوَ مَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهُ بِاخْتِلَافِ مُشْتَرِطِهِ، فَهُوَ مَا مَنَعَ مَقْصُودَ الْعَقْدِ فِي إِحْدَى الْجِهَتَيْنِ دُونَ الْأُخْرَى، فَمِثْلُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ لَا يَطَأَهَا فَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ مِنْ جِهَتِهَا، فَتَزَوَّجَتْهُ عَلَى أَنْ لَا يَطَأَهَا فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ، لِأَنَّهَا قَدْ مَنَعَتْهُ مَا اسْتَحَقَّهُ عَلَيْهَا، مِنْ مَقْصُودِ الْعَقْدِ.
Yaitu apa yang hukumnya berbeda tergantung siapa yang mensyaratkannya, yaitu sesuatu yang menghalangi maksud akad pada salah satu pihak tanpa pihak yang lain. Seperti seseorang menikahi seorang wanita dengan syarat tidak menggaulinya. Jika syarat itu dari pihak istri, yakni ia menikahkannya dengan syarat tidak digauli, maka nikahnya batal, karena ia telah melarang suaminya dari hak yang menjadi maksud akad.
وَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ مِنْ جِهَتِهِ، فَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ لَا يَطَأَهَا فَالنِّكَاحُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ صَحِيحٌ، لِأَنَّ لَهُ الِامْتِنَاعَ عن وَطْئِهَا بِغَيْرِ شَرْطٍ، فَلَمْ يَكُنْ فِي الشَّرْطِ مَنْعٌ مِنْ مُوجَبِ الْعَقْدِ.
Dan jika syarat itu dari pihak suami, yakni ia menikahi wanita dengan syarat tidak menggaulinya, maka menurut mazhab al-Syafi‘i nikahnya sah, karena suami berhak menahan diri dari menggauli istrinya tanpa syarat, sehingga syarat tersebut tidak menghalangi konsekuensi akad.
وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ: عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَطَأَهَا فِي النِّكَاحِ مَرَّةً وَاحِدَةً، عَلَى قَوْلِهِ إِذَا شَرَطَ عَلَيْهَا أَنْ لَا يَطَأَهَا يَبْطُلُ النِّكَاحُ كَمَا لَوْ شَرَطَتْ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَطَأَهَا.
Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: Suami wajib menggauli istrinya dalam pernikahan sekali saja, menurut pendapatnya, jika ia mensyaratkan tidak menggauli istrinya maka nikahnya batal, sebagaimana jika istri mensyaratkan agar tidak digauli.
وَلَيْسَ هَذَا بِصَحِيحٍ لِمَا ذَكَرَهُ فِي بَابِ الْعِنِّينِ.
Ini tidak benar, sebagaimana yang disebutkan dalam bab tentang ‘inīn (impoten).
فَأَمَّا إِذَا كَانَ الشَّرْطُ أَنْ يَطَأَهَا لَيْلًا دُونَ النَّهَارِ، فَقَدْ حَكَى أَبُو الطَّيِّبِ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيِّ أَنَّهُ إِنْ شَرَطَ الزَّوْجُ عَلَيْهَا ذَلِكَ صَحَّ الشَّرْطُ، لِأَنَّهُ لَهُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ، وَإِنْ شَرَطَتِ الزَّوْجَةُ ذَلِكَ بَطَلَ النِّكَاحُ، لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مَقْصُودَ الْعَقْدِ، وَهَذَا صَحِيحٌ. وَلَا يُخَالِفُ فِيهِ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ.
Adapun jika syaratnya adalah hanya menggauli istrinya di malam hari dan tidak di siang hari, maka Abu Thayyib bin Salamah meriwayatkan dari Abu al-Qasim al-Anmati bahwa jika suami yang mensyaratkan demikian, maka syarat itu sah, karena ia boleh melakukan itu tanpa syarat. Namun jika istri yang mensyaratkan demikian, maka nikahnya batal, karena itu menghalangi maksud akad, dan ini adalah pendapat yang benar. Dalam hal ini, Abu ‘Ali bin Abi Hurairah tidak berbeda pendapat.
فَأَمَّا إِنْ كَانَ الشَّرْطُ أَنْ لَا يَقْسِمَ لَهَا:
Adapun jika syaratnya adalah suami tidak membagi giliran (malam) untuknya:
فَإِنْ كَانَ مِنْ جِهَتِهَا صَحَّ النِّكَاحُ، لِأَنَّ لَهَا الْعَفْوَ عَنِ الْقَسْمِ.
Jika syarat itu dari pihak istri, maka nikahnya sah, karena ia boleh menggugurkan hak pembagian giliran.
وَإِنْ كَانَ مِنْ جِهَتِهِ بَطَلَ النِّكَاحُ إِنْ كَانَ مَعَهَا غَيْرُهَا، وَصَحَّ إِنِ انْفَرَدَ بِنَفْسِهَا، لِأَنَّهَا تَسْتَحِقُّ الْقَسْمَ مَعَ غَيْرِهَا وَلَا تَسْتَحِقُّهُ بِانْفِرَادِهَا.
Dan jika syarat itu dari pihak suami, maka nikahnya batal jika ada istri lain bersamanya, dan sah jika ia satu-satunya istri, karena hak pembagian giliran hanya ada jika ada istri lain, dan tidak ada jika ia sendiri.
وَأَمَّا إِنْ كَانَ الشَّرْطُ أَنْ لَا يَدْخُلَ عَلَيْهَا سَنَةً:
Adapun jika syaratnya adalah suami tidak masuk menemuinya selama setahun:
فَقَدْ قَالَ الرَّبِيعُ: إِنْ كَانَ الشَّرْطُ مِنْ جِهَتِهِ صَحَّ النِّكَاحُ، لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَمْنَعَ مِنَ الدُّخُولِ بِغَيْرِ شَرْطٍ، وَإِنْ كَانَ مِنْ جِهَتِهَا بَطَلَ النِّكَاحُ، لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهَا أَنْ تَمْنَعَهُ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ، فَصَارَ الشَّرْطُ مَانِعًا مِنْ مَقْصُودِ الْعَقْدِ.
Rabi‘ berkata: Jika syarat itu berasal dari pihak laki-laki, maka akad nikahnya sah, karena ia berhak mencegah terjadinya hubungan suami istri tanpa syarat. Namun jika syarat itu berasal dari pihak perempuan, maka akad nikahnya batal, karena ia tidak berhak mencegah suaminya tanpa syarat. Maka syarat tersebut menjadi penghalang dari tujuan utama akad.
وَعَلَى هَذَا التَّقْدِيرِ لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ شَهْرٍ فَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ صَحَّ الْعَقْدُ، لِأَنَّ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ، وَإِنْ كَانَ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ بَطَلَ الْعَقْدُ، لِأَنَّهُ مَنَعَ مِنِ اسْتِدَامَةِ الْعَقْدِ.
Berdasarkan penjelasan ini, jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan syarat akan menceraikannya setelah satu bulan, maka jika syarat itu berasal dari pihak suami, akadnya sah, karena ia memang berhak menceraikannya tanpa syarat. Namun jika syarat itu berasal dari pihak istri, maka akadnya batal, karena syarat itu menghalangi keberlangsungan akad.
وَلَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ يُخَالِعَهَا بَعْدَ شَهْرٍ.
Dan jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan syarat akan melakukan khulu‘ (perceraian dengan tebusan) setelah satu bulan.
فَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ مِنْ جِهَتِهَا بَطَلَ الْعَقْدُ، وَإِنْ كَانَ مِنْ جِهَتِهِ فَفِي بُطْلَانِهِ وَجْهَانِ:
Jika syarat itu berasal dari pihak perempuan, maka akadnya batal. Namun jika berasal dari pihak laki-laki, maka dalam batal atau tidaknya akad terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَقْدَ بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ قَدْ أَوْجَبَ عَلَيْهَا بِالْخُلْعِ بَذْلَ مَا لَا يَلْزَمُهَا.
Pendapat pertama: Akadnya batal, karena dengan khulu‘ tersebut ia mewajibkan kepada istri untuk memberikan sesuatu yang sebenarnya tidak wajib atasnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْعَقْدَ صَحِيحٌ، لِأَنَّهُ شَرْطٌ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ مَقْصُودِ الْعَقْدِ، فَصَارَ عَائِدًا إِلَى الصَّدَاقِ، فَبَطَلَ بِهِ الصَّدَاقُ، وَكَانَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ.
Pendapat kedua: Akadnya sah, karena syarat tersebut tidak menghalangi tujuan utama akad, sehingga syarat itu kembali kepada mahar, maka maharnya menjadi batal, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang sepadan).
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ
Fasal: Adapun bagian keempat
: وَهُوَ مَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَهُوَ مَا رَفَعَ بدل الْمَقْصُودِ بِالْعَقْدِ وَذَلِكَ شَأْنُ الصَّدَاقِ وَالنَّفَقَةِ.
Yaitu perkara yang diperselisihkan oleh para ulama kami, yaitu perkara yang menggugurkan pengganti tujuan utama akad, dan hal ini terkait dengan mahar dan nafkah.
فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ لَا نَفَقَةَ لَهَا أَبَدًا.
Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan syarat bahwa ia tidak akan memberikan nafkah kepadanya selamanya.
فَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ مِنْ جِهَتِهَا تَوَجَّهَ إِلَى الصَّدَاقِ دُونَ النِّكَاحِ، لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهَا إِنْ تَرَكَتْهُ جَازَ، فَلِذَلِكَ تَوَجَّهَ إِلَى الصَّدَاقِ دُونَ النِّكَاحِ فَيَبْطُلُ الصَّدَاقُ بِبُطْلَانِ الشَّرْطِ فِي النَّفَقَةِ، وَهُوَ بَاطِلٌ بِاشْتِرَاطِ سُقُوطِهِ، وَالنِّكَاحُ جَائِزٌ وَلَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ وَالنَّفَقَةُ.
Jika syarat itu berasal dari pihak perempuan, maka syarat tersebut hanya berpengaruh pada mahar, bukan pada akad nikah, karena nafkah adalah haknya; jika ia melepaskannya, maka itu boleh. Oleh karena itu, syarat tersebut hanya berpengaruh pada mahar, bukan pada akad nikah, sehingga maharnya batal karena batalnya syarat dalam nafkah, dan syarat tersebut batal karena mensyaratkan gugurnya nafkah. Namun akad nikahnya sah, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsil dan nafkah.
وَإِنْ كَانَ الشَّرْطُ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ فَهَلْ يَقْدَحُ فِي صِحَّةِ النِّكَاحِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika syarat itu berasal dari pihak suami, apakah syarat tersebut memengaruhi keabsahan akad nikah atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَادِحٌ فِي صِحَّةِ النِّكَاحِ فَيَكُونُ بَاطِلًا، لِأَنَّ ذَلِكَ مَقْصُودُ الْعَقْدِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ فَصَارَ كَالْوَلِيِّ الَّذِي هُوَ مَقْصُودُ الْعَقْدِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ.
Pendapat pertama: Syarat tersebut memengaruhi keabsahan akad nikah sehingga akadnya menjadi batal, karena nafkah adalah tujuan utama akad dari pihak istri, sebagaimana wali adalah tujuan utama akad dari pihak suami.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ غَيْرُ قَادِحٍ فِي صِحَّةِ النِّكَاحِ، لِجَوَازِ خُلُوِّ النِّكَاحِ مِنْ صَدَاقٍ وَنَفَقَةٍ، فَعَلَى هَذَا يَخْتَصُّ هَذَا الشَّرْطُ بِفَسَادِ الصَّدَاقِ دُونَ النِّكَاحِ، وَيُحْكَمُ لَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ. وَاللَّهُ أعلم.
Pendapat kedua: Syarat tersebut tidak memengaruhi keabsahan akad nikah, karena boleh saja akad nikah tanpa mahar dan tanpa nafkah. Maka berdasarkan pendapat ini, syarat tersebut hanya menyebabkan rusaknya mahar, bukan akad nikah, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsil. Wallāhu a‘lam.
الْقَوْلُ فِي شُرُوطِ الْخِيَارِ فِي النِّكَاحِ
Pembahasan tentang syarat khiyār dalam akad nikah
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ أَصْدَقَهَا دَارًا وَاشْتَرَطَ لَهُ أَوْ لَهُمَا الْخِيَارَ فِيهَا كَانَ الْمَهْرُ فَاسِدًا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang laki-laki memberikan mahar berupa sebuah rumah dan mensyaratkan adanya hak khiyār (pilihan untuk membatalkan) baginya atau bagi keduanya atas rumah itu, maka maharnya rusak (tidak sah).”
قال الماوردي: اعْلَمْ أَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ لَا يَدْخُلُهُ خِيَارُ الْمَجْلِسِ، وَلَا خِيَارُ الثَّلَاثِ لِأَنَّهُ يَنْعَقِدُ نَاجِزًا لَا تُقْصَدُ فِيهِ الْمُغَابَنَةُ وَالْخِيَارُ مَوْضُوعٌ لِاسْتِدْرَاكِ الْمُغَابَنَةِ.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa akad nikah tidak mengandung khiyār majlis (hak memilih selama masih dalam majelis akad) dan tidak pula khiyār tiga hari, karena akad nikah itu langsung mengikat dan tidak dimaksudkan untuk adanya penipuan, sedangkan khiyār itu ditetapkan untuk mengantisipasi adanya penipuan.
فَإِنْ شَرَطَ فِيهِ أَحَدَ الْخِيَارَيْنِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika dalam akad nikah disyaratkan salah satu dari dua khiyār tersebut, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَشْتَرِطَاهُ أَوْ أَحَدُهُمَا فِي عَقْدِ النِّكَاحِ، فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ بِاشْتِرَاطِهِ فِيهِ لِمُنَافَاتِهِ لَهُ فِي اللُّزُومِ.
Pertama: Jika keduanya atau salah satunya mensyaratkan khiyār dalam akad nikah, maka akad nikahnya batal karena adanya syarat tersebut, sebab bertentangan dengan sifat mengikatnya akad nikah.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَشْرُوطًا فِي الصَّدَاقِ دُونَ النِّكَاحِ، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ، وَنَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا: إِنَّ الصَّدَاقَ بَاطِلٌ وَالنِّكَاحَ جَائِزٌ.
Kedua: Jika khiyār itu disyaratkan dalam mahar, bukan dalam akad nikah, maka Imam Syafi‘i dalam kitab al-Umm, sebagaimana dinukil oleh al-Muzani di sini, berpendapat bahwa maharnya batal dan akad nikahnya sah.
وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ: النِّكَاحُ بَاطِلٌ.
Namun dalam kitab al-Imlā’, beliau berpendapat bahwa akad nikahnya batal.
فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ نَصِّهِ فِي هَذَيْنِ الْمَوْضِعَيْنِ:
Para ulama kami berbeda pendapat mengenai perbedaan pendapat Imam Syafi‘i dalam dua tempat ini:
فَخَرَّجَهُ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Abu ‘Ali bin Abi Hurairah menyimpulkan dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الصَّدَاقَ بَاطِلٌ وَالنِّكَاحَ جَائِزٌ، لِأَنَّ بُطْلَانَ الصَّدَاقِ لَا يَقْدَحُ فِي صِحَّةِ النِّكَاحِ.
Pertama: Maharnya batal dan akad nikahnya sah, karena batalnya mahar tidak memengaruhi keabsahan akad nikah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ النِّكَاحَ بَاطِلٌ لِبُطْلَانِ الصَّدَاقِ، وَلَمْ يُحْكَ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ أَبْطَلَ النِّكَاحَ لِبُطْلَانِ الصَّدَاقِ إِلَّا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ؛ لِأَنَّ دُخُولَ الْخِيَارِ فِي الْبَدَلِ كَدُخُولِهِ فِي الْمُبْدَلِ.
Pendapat kedua: bahwa akad nikah batal karena batalnya mahar, dan tidak dinukil dari asy-Syafi‘i bahwa beliau membatalkan akad nikah karena batalnya mahar kecuali dalam masalah ini; karena masuknya opsi (khiyār) pada pengganti (mahar) sama seperti masuknya pada yang digantikan (akad nikah).
وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا: لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ.
Dan seluruh ulama mazhab kami berkata: hal itu bukanlah perbedaan dua pendapat, melainkan perbedaan dua keadaan.
فَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَبْطَلَ فِيهِ النِّكَاحَ إِذَا كَانَ الْخِيَارُ مَشْرُوطًا فِي النِّكَاحِ.
Adapun keadaan di mana akad nikah dibatalkan adalah jika opsi (khiyār) disyaratkan dalam akad nikah.
وَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَبْطَلَ فِيهِ الصَّدَاقَ وَأَجَازَ النِّكَاحَ، إِذَا كَانَ الْخِيَارُ مَشْرُوطًا فِي الصَّدَاقِ دُونَ النِّكَاحِ لِأَنَّ الصَّدَاقَ عَقْدٌ يَصِحُّ إِفْرَادُهُ عَنِ النِّكَاحِ كَمَا يَصِحُّ إِفْرَادُ النِّكَاحِ عَنْهُ فَلَمْ يُوجِبْ بُطْلَانُ الصَّدَاقِ بُطْلَانَ النِّكَاحِ.
Dan keadaan di mana mahar dibatalkan namun akad nikah tetap sah adalah jika opsi (khiyār) disyaratkan dalam mahar saja, bukan dalam akad nikah. Sebab, mahar adalah akad yang sah berdiri sendiri terpisah dari akad nikah, sebagaimana akad nikah juga sah berdiri sendiri tanpa mahar. Maka, batalnya mahar tidak menyebabkan batalnya akad nikah.
فَإِذَا قِيلَ بِبُطْلَانِ النِّكَاحِ، فَلَا مَهْرَ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا. وَإِذَا قِيلَ بِصِحَّةِ النِّكَاحِ: فَقَدْ حَكَى أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ فِي الصَّدَاقِ والخيار لأصحابنا ثلاثة أوجه: ولم أو غَيْرَهُ يَحْكِيهِ، لِأَنَّ نَصَّ الشَّافِعِيِّ لَا يَقْتَضِيهِ.
Apabila dikatakan bahwa akad nikah batal, maka tidak ada mahar. Namun jika telah terjadi hubungan suami istri, maka wajib atasnya membayar mahar mitsil (mahar yang sepadan). Dan apabila dikatakan bahwa akad nikah sah, maka Abu Hamid al-Isfara’ini meriwayatkan dalam masalah mahar dan opsi (khiyār) menurut ulama mazhab kami ada tiga pendapat. Selain beliau tidak meriwayatkannya, karena nash asy-Syafi‘i tidak mengharuskannya.
أَحَدُهَا: هُوَ أَنَّ الْخِيَارَ بَاطِلٌ وَالصَّدَاقَ بَاطِلٌ، وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا، لِأَنَّهُ لَمَّا امْتَنَعَ دُخُولُ الْخِيَارِ فِي النِّكَاحِ امْتَنَعَ دُخُولُهُ فِي بَدَلِهِ، وَالْخِيَارُ إِذَا دَخَلَ فِيمَا يُنَافِيهِ أَبْطَلَهُ.
Salah satunya: bahwa opsi (khiyār) batal dan mahar juga batal, dan istri berhak atas mahar mitsil, karena ketika opsi tidak boleh masuk dalam akad nikah, maka tidak boleh pula masuk dalam penggantinya (mahar). Opsi (khiyār) jika masuk pada sesuatu yang bertentangan dengannya, maka ia membatalkannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ خِلَافُ نَصِّهِ: أَنَّ الصَّدَاقَ جَائِزٌ، وَالْخِيَارَ ثَابِتٌ، لِأَنَّ الصَّدَاقَ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ يَصِحُّ إِفْرَادُهُ فَجَرَى حُكْمُهُ حُكْمَ الْخِيَارِ فِيهِ مَجْرَاهُ فِي عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ.
Pendapat kedua, yang bertentangan dengan nash beliau: bahwa mahar sah dan opsi (khiyār) tetap berlaku, karena mahar adalah akad mu‘āwadah (pertukaran) yang sah berdiri sendiri, sehingga hukumnya mengikuti hukum opsi (khiyār) sebagaimana dalam akad-akad mu‘āwadah lainnya.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْخِيَارَ بَاطِلٌ وَالصَّدَاقَ جَائِزٌ، لأن الصداق تبع للنكاح فيثبت ثبوته، وَلَمْ يَقْدَحْ فِيهِ بُطْلَانُ الشَّرْطِ.
Pendapat ketiga: bahwa opsi (khiyār) batal dan mahar sah, karena mahar mengikuti akad nikah sehingga tetap sah bersamanya, dan batalnya syarat tidak merusaknya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى صَدَاقِ أَلْفٍ عَلَى أَنَّهُ إِنْ جَاءَهَا بِالْأَلْفِ فِي يَوْمِ كَذَا وَإِلَّا فَلَا نِكَاحَ بَيْنَهُمَا، فَهَذَا نِكَاحٌ بَاطِلٌ، وَصَدَاقٌ بَاطِلٌ، وَشَرْطٌ بَاطِلٌ.
Adapun jika seseorang menikahi wanita dengan mahar seribu dengan syarat bahwa jika ia membawakan seribu itu pada hari tertentu maka akad nikah berlaku, jika tidak maka tidak ada akad nikah di antara keduanya, maka ini adalah akad nikah yang batal, mahar yang batal, dan syarat yang batal.
وَحُكِيَ عَنْ طَاوُسٍ وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ: أَنَّ الشَّرْطَ بَاطِلٌ وَالنِّكَاحَ جَائِزٌ.
Diriwayatkan dari Thawus dan Sufyan ats-Tsauri: bahwa syaratnya batal namun akad nikahnya sah.
وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْأَوْزَاعِيِّ: أَنَّ النِّكَاحَ جَائِزٌ وَالشَّرْطَ ثَابِتٌ. وَهَذَا قَوْلٌ فَاسِدٌ بِمَا قَدَّمْنَاهُ في كتاب البيوع.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan al-Auza‘i: bahwa akad nikahnya sah dan syaratnya tetap berlaku. Ini adalah pendapat yang rusak, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam Kitab al-Buyu‘.
ضَمَانُ نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ مِنَ الزَّوْجِ الْمِلْطِ
Jaminan nafkah istri dari suami yang tidak mampu
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” ولو ضمن نفقتها أبو الزوج عَشْرَ سِنِينَ فِي كُلِّ سنةٍ كَذَا لَمْ يَجُزْ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ وَأَنَّهُ مَرَّةٌ أَقَلُّ وَمَرَّةٌ أَكْثَرُ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ayah suami menjamin nafkah istrinya selama sepuluh tahun, setiap tahun sekian, maka tidak sah menjamin sesuatu yang belum wajib, baik kadang lebih sedikit atau lebih banyak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar.
إذا كان الزوج ملطاً بِنَفَقَةِ زَوْجَتِهِ وَضَمِنَهَا عَنْهُ أَبُوهُ أَوْ غَيْرُ أَبِيهِ مِنْ جَمِيعِ النَّاسِ فَسَوَاءٌ.
Jika suami tidak mampu menafkahi istrinya, lalu ayahnya atau selain ayahnya dari siapa saja menjamin nafkahnya, maka hukumnya sama saja.
وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Dan jaminan ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَضْمَنَ نَفَقَةَ مَا مَضَى مِنَ الزَّمَانِ، فَهَذَا ضَمَانُ مَالٍ قَدْ وَجَبَ وَاسْتَقَرَّ، فَيَصِحُّ ضَمَانُهُ إِذَا كَانَ مَعْلُومَ الْقَدْرِ، وَمِنْ جِنْسٍ يَسْتَقِرُّ ثُبُوتُهُ فِي الذِّمَّةِ.
Pertama: menjamin nafkah yang telah lalu, maka ini adalah jaminan atas harta yang sudah wajib dan tetap, sehingga sah menjaminnya jika kadarnya diketahui dan dari jenis yang memang dapat menjadi tanggungan dalam utang.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَضْمَنَ نَفَقَةَ الْمُسْتَقْبَلِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Kedua: menjamin nafkah yang akan datang, maka ini juga terbagi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ مَجْهُولَ الْمُدَّةِ، مِثْلَ أَنْ يَضْمَنَ لَهَا نَفَقَتَهَا أَبَدًا، فَهَذَا ضَمَانٌ بَاطِلٌ، لِأَنَّ ضَمَانَ الْمَجْهُولِ بَاطِلٌ.
Pertama: jika jangka waktunya tidak diketahui, seperti menjamin nafkahnya selamanya, maka ini adalah jaminan yang batal, karena menjamin sesuatu yang tidak diketahui itu batal.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مَعْلُومَ الْمُدَّةِ مِثْلَ أَنْ يَضْمَنَ لَهَا نَفَقَتَهَا عَشْرَ سِنِينَ فَفِي الضَّمَانِ قَوْلَانِ، بَنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ بِمَاذَا وَجَبَتْ.
Kedua: jika jangka waktunya diketahui, seperti menjamin nafkahnya selama sepuluh tahun, maka dalam hal ini ada dua pendapat, berdasarkan perbedaan dua pendapat asy-Syafi‘i tentang dengan sebab apa nafkah istri menjadi wajib.
فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ وَهُوَ فِي الْقَدِيمِ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ: أَنَّهَا وَجَبَتْ بِالْعَقْدِ وَحْدَهُ وَتَسْتَحِقُّ قَبْضَهَا بِالتَّمْكِينِ الْحَادِثِ بَعْدَهُ كَالصَّدَاقِ الْوَاجِبِ بِالْعَقْدِ وَالْمُسْتَحَقِّ بِالتَّمْكِينِ.
Salah satu dari dua pendapat beliau, yaitu pendapat lama dan juga pendapat Malik: bahwa nafkah menjadi wajib hanya dengan akad, dan istri berhak menerimanya dengan adanya penyerahan diri (tamkīn) setelah akad, sebagaimana mahar yang wajib dengan akad dan menjadi hak dengan adanya penyerahan diri.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّهَا تَجِبُ بِالتَّمْكِينِ الْحَادِثِ بَعْدَ الْعَقْدِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ بِخِلَافِ الصداق، لأن الصداق ف مُقَابَلَةِ الْعَقْدِ فَصَارَ وَاجِبًا بِالْعَقْدِ وَالنَّفَقَةُ فِي مُقَابَلَةِ الِاسْتِمْتَاعِ فَصَارَتْ وَاجِبَةً بِالِاسْتِمْتَاعِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapatnya dalam pendapat baru: bahwa nafkah itu wajib karena adanya penyerahan diri (tamkīn) yang terjadi setelah akad, dan inilah pendapat Abū Ḥanīfah, berbeda dengan mahar (ṣadaq), karena mahar itu sebagai imbalan dari akad sehingga menjadi wajib dengan akad, sedangkan nafkah sebagai imbalan dari kenikmatan (istimtā‘), maka ia menjadi wajib dengan adanya kenikmatan tersebut.
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْقَوْلَانِ فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ كَانَ ضَمَانُهَا مبنياً عليهما.
Jika dua pendapat ini telah dijelaskan mengenai kewajiban nafkah, maka penjaminannya dibangun di atas keduanya.
فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهَا لَا تَجِبُ إِلَّا بِالتَّمْكِينِ يَوْمًا بِيَوْمٍ، فَضَمَانُهَا بَاطِلٌ، لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ وَقَدْ يَجِبُ بِالتَّمْكِينِ، وَقَدْ لَا يَجِبُ بَعْدَهُ.
Jika kita mengatakan: bahwa nafkah itu tidak wajib kecuali dengan penyerahan diri hari demi hari, maka penjaminannya batal, karena itu berarti menjamin sesuatu yang belum wajib, dan bisa jadi ia wajib dengan penyerahan diri, dan bisa jadi juga tidak wajib setelahnya.
وَإِذَا قُلْنَا: إِنَّهَا وَقَدْ وَجَبَتْ بِالْعَقْدِ جُمْلَةً وَتَسْتَحِقُّ قَبْضَهَا بِالتَّمْكِينِ يَوْمًا بِيَوْمٍ، صَحَّ ضَمَانُهَا بِشَرْطَيْنِ:
Dan jika kita mengatakan: bahwa nafkah itu telah wajib dengan akad secara keseluruhan dan berhak diterima dengan penyerahan diri hari demi hari, maka penjaminannya sah dengan dua syarat:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ضَمَانُهُ لِلْقُوتِ الَّذِي هُوَ الْحَبُّ مِنَ الْحِنْطَةِ أَوِ الشَّعِيرِ بِحَسْبِ قُوتِ بَلَدِهِمْ دُونَ الْأُدْمِ وَالْكُسْوَةِ، لِأَنَّهُمَا لَا يُضْبَطَانِ بِصِفَةٍ وَلَا يُتَقَدَّرَانِ بِقِيمَةٍ فَإِنْ قَدَّرَهُمَا الْحَاكِمُ بِقِيمَةٍ جَعَلَهُمَا دَرَاهِمَ مَعْلُومَةً لَمْ يَصِحَّ ضَمَانُهَا أَيْضًا، لِأَنَّهُ وَإِنْ قَوَّمَهَا فَهِيَ مُقَوَّمَةٌ لِوَقْتِهَا دُونَ الْمُسْتَقْبَلِ، وَقَدْ تَزِيدُ الْقِيمَةُ فِي الْمُسْتَقْبَلِ فَيَكُونُ لِلزَّوْجَةِ الْمُطَالَبَةُ بِفَضْلِ الْقِيمَةِ، وَقَدْ يَنْقُصُ فَيَكُونُ لِلزَّوْجِ أَنْ يَنْقُصَهَا مِنَ الْقِيمَةِ.
Pertama: penjaminan itu untuk kebutuhan pokok berupa gandum atau jelai sesuai dengan makanan pokok di negeri mereka, tanpa termasuk lauk-pauk dan pakaian, karena keduanya tidak dapat ditentukan dengan sifat tertentu dan tidak dapat ditaksir dengan nilai tertentu. Jika hakim menaksir keduanya dengan nilai tertentu lalu menjadikannya sejumlah dirham tertentu, maka penjaminannya juga tidak sah, karena meskipun telah ditaksir, itu hanya berlaku untuk waktu itu saja, bukan untuk masa depan. Bisa jadi nilai itu bertambah di masa depan sehingga istri berhak menuntut kelebihan nilai tersebut, dan bisa jadi nilainya berkurang sehingga suami berhak menguranginya dari nilai tersebut.
وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ضَمَانُهُ لِنَفَقَةِ الْمُعْسِرِ الَّتِي لَا تَسْقُطُ عَنِ الزَّوْجِ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِهِ وَهِيَ مُدٌّ وَاحِدٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ، فَإِنْ ضَمِنَ لَهَا نَفَقَةَ مُوسِرٍ وَهِيَ مُدَّانِ، أَوْ نَفَقَةَ مُتَوَسِّطٍ وَهِيَ مُدٌّ وَنِصْفٌ فَالزِّيَادَةُ عَلَى نَفَقَةِ الْمُعْسِرِ قَدْ تَجِبُ إِنْ أَيْسَرَ، وَقَدْ لَا تَجِبُ إِنْ أَعْسَرَ، فَصَارَ ضَمَانُهَا ضَمَانَ مَا لَمْ يَجِبْ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الضَّمَانُ فِيمَا زَادَ عَلَى الْمُدِّ فِي نَفَقَةِ الْمُعْسِرِ بَاطِلًا، وَهَلْ يَبْطُلُ فِي الْمُدِّ الَّذِي هُوَ نَفَقَةُ الْمُعْسِرِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ تَفْرِيقِ الصِّفَةِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Syarat kedua: penjaminan itu untuk nafkah orang yang dalam keadaan sulit (mu‘sir) yang tidak gugur dari suami dalam keadaan apapun, yaitu satu mud setiap hari. Jika ia menjamin nafkah orang yang mampu (mūsir), yaitu dua mud, atau nafkah orang yang pertengahan (mutawassiṭ), yaitu satu setengah mud, maka kelebihan dari nafkah mu‘sir itu bisa jadi wajib jika suami menjadi mampu, dan bisa jadi tidak wajib jika suami tetap dalam kesulitan. Maka penjaminan atas kelebihan dari satu mud dalam nafkah mu‘sir adalah batal. Adapun apakah penjaminan itu juga batal pada satu mud yang merupakan nafkah mu‘sir atau tidak, terdapat dua pendapat berdasarkan perbedaan sifat, dan Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ ضَمِنْتُ لَكِ مَا دَايَنْتِ بِهِ فُلَانًا أَوْ مَا وَجَبَ لَكِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ ضَمِنَ مَا لَمْ يَكُنْ وَمَا يَجْهَلُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Demikian pula jika seseorang berkata: Aku menjamin untukmu apa yang engkau pinjamkan kepada si Fulan atau apa yang menjadi kewajiban si Fulan kepadamu, maka itu berarti ia menjamin sesuatu yang belum ada dan yang tidak diketahui.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مِنَ الضَّمَانِ أَوْرَدَهَا الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا، لِأَنَّهُ أَصْلٌ يُبْنَى عَلَيْهِ ضَمَانُ النَّفَقَةِ.
Al-Māwardī berkata: Ini adalah salah satu masalah penjaminan yang dikemukakan oleh al-Muzanī di sini, karena ini adalah kaidah yang menjadi dasar penjaminan nafkah.
وَضَمَانُ الْأَمْوَالِ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Penjaminan harta terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: ضَمَانُ مَا وَجَبَ.
Pertama: penjaminan atas sesuatu yang sudah wajib.
وَالثَّانِي: ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ.
Kedua: penjaminan atas sesuatu yang belum wajib.
فَأَمَّا ضَمَانُ مَا وَجَبَ فَضَرْبَانِ: مَعْلُومٌ وَمَجْهُولٌ.
Adapun penjaminan atas sesuatu yang sudah wajib, maka terbagi menjadi dua: yang diketahui dan yang tidak diketahui.
فَإِنْ كَانَ مَعْلُومًا صَحَّ. وَإِنْ كَانَ مَجْهُولًا بَطَلَ.
Jika diketahui, maka sah. Jika tidak diketahui, maka batal.
وَأَمَّا ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ كَقَوْلِهِ: مَنْ عَامَلَ فُلَانًا وَدَايَنَهُ فَعَلَيَّ ضَمَانُ دَيْنِهِ.
Adapun penjaminan atas sesuatu yang belum wajib, seperti ucapannya: Siapa yang bertransaksi dengan si Fulan dan meminjaminya, maka aku menjamin utangnya.
فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ ضَمَانٌ بَاطِلٌ، سَوَاءٌ عَيَّنَ الْمُدَايِنَ أَوْ لَمْ يُعَيِّنْهُ، وَسَوَاءٌ ذَكَرَ لِلدَّيْنِ قَدْرًا أَوْ لَمْ يَذْكُرْهُ، لِأَنَّ الضَّمَانَ لَازِمٌ إِنْ صَحَّ، وَمَا لَمْ يَجِبْ فَلَيْسَ بِلَازِمٍ فَلَمْ يَصِحَّ ضَمَانُهُ.
Maka menurut mazhab Syafi‘i: penjaminan itu batal, baik ia menentukan pihak yang meminjamkan atau tidak, dan baik ia menyebutkan jumlah utangnya atau tidak, karena penjaminan itu menjadi kewajiban jika sah, sedangkan sesuatu yang belum wajib tidak menjadi kewajiban, maka penjaminannya tidak sah.
فَإِنْ قِيلَ: أَفَلَيْسَ ضَمَانُ الدَّرَكِ صَحِيحٌ وَهُوَ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ؟ .
Jika dikatakan: Bukankah penjaminan terhadap kerugian (ḍaman al-darak) itu sah, padahal itu adalah penjaminan atas sesuatu yang belum wajib?
قِيلَ: الدَّرَكُ إِذَا اسْتُحِقَّ فَوُجُوبُهُ قَبْلَ الضَّمَانِ وَهُوَ مَعْلُومُ الْقَدْرِ، فَصَارَ ضَمَانُهُ ضَمَانًا وَاجِبًا مَعْلُومًا.
Dijawab: Kerugian (darak) jika terjadi, maka kewajibannya ada sebelum penjaminan dan sudah diketahui kadarnya, sehingga penjaminannya menjadi penjaminan atas sesuatu yang sudah wajib dan diketahui.
فَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي ضَمَانِ مَا لَمْ يَجِبْ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ فِي الْحَالِ أَنَّهُ بَاطِلٌ.
Inilah mazhab Syafi‘i dalam penjaminan atas sesuatu yang belum wajib dan belum menjadi kewajiban saat itu, yaitu batal.
وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: يَصِحُّ ضَمَانٌ مَا لَمْ يَجِبْ بِشَرْطَيْنِ:
Abū Isḥāq al-Marwazī berkata: Sah penjaminan atas sesuatu yang belum wajib dengan dua syarat:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لِإِنْسَانٍ مُعَيَّنٍ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ مُعَيَّنٍ لَمْ يَصِحَّ.
Pertama: penjaminan itu untuk seseorang yang tertentu, jika untuk selain orang tertentu maka tidak sah.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ فِي مَعْلُومٍ مُقَدَّرٍ، فَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ مُقَدَّرٍ لَمْ يَصِحَّ اعْتِبَارًا بِضَمَانِ الدَّرَكِ.
Kedua: Hendaknya (pemaafan) itu terjadi pada sesuatu yang diketahui dan ditentukan ukurannya. Jika terjadi pada sesuatu yang tidak ditentukan ukurannya, maka tidak sah, dengan pertimbangan sebagaimana dalam penjaminan darak.
وَلَيْسَ لِهَذَا الْجَمْعِ وَجْهٌ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ اسْتِحْقَاقَ الدَّرَكِ يَقْتَضِي وُجُوبَهُ قَبْلَ الضَّمَانِ فَصَحَّ، وَمَا تَعَامَلَ بِهِ مُسْتَحَقٌّ بَعْدَ الضَّمَانِ فَلَمْ يصح، والله أعلم.
Penggabungan ini tidak memiliki dasar, dan perbedaan antara keduanya adalah: bahwa hak atas darak menuntut kewajibannya sebelum adanya penjaminan sehingga sah, sedangkan apa yang dipraktikkan menjadi hak setelah penjaminan maka tidak sah. Allah lebih mengetahui.
Bab tentang pemaafan mahar dan selainnya dari kitab al-Jāmi‘ dan dari Kitab al-Ṣadāq, serta dari catatan atas masalah-masalah Malik.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلاَّ أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوا الَّذِي بِيَدِِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ) {قَالَ) وَالَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ الزَّوْجُ وَذَلِكَ أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْفُو مِنْ مِلْكٍ فَجَعَلَ لَهَا مِمَّا وَجَبَ لَهَا مِنْ نِصْفِ الْمَهْرِ أَنْ تَعْفُوَ وَجَعَلَ لَهُ أَنْ يَعْفُوَ بِأَنْ يُتِمَّ لها الصداق وبلغنا مِنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه أن الذي بيده عقدة النكاح الزوج وهو قول شريح وسعيد بن جبيرٍ وروي عن ابن المسيب وهو قول مجاهدٍ (قال الشافعي) رحمه الله فأما أبو بكر وأبو المحجور عليه فلا يجوز عفوهما كما لا تجوز لهما هبة أموالهما “.
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Allah Ta‘ala berfirman: {Maka setengah dari mahar yang telah kalian tetapkan, kecuali jika mereka (para istri) memaafkan atau yang memegang ikatan pernikahan itu memaafkan} (al-Baqarah: 237). (Beliau berkata): Yang memegang ikatan pernikahan adalah suami, karena yang berhak memaafkan hanyalah dari hak miliknya. Maka Allah menjadikan bagi istri hak untuk memaafkan dari setengah mahar yang menjadi haknya, dan menjadikan bagi suami hak untuk memaafkan dengan menyempurnakan mahar untuknya. Kami menerima riwayat dari ‘Ali bin Abi Ṭālib ra. bahwa yang memegang ikatan pernikahan adalah suami, dan ini adalah pendapat Syuraiḥ, Sa‘id bin Jubair, dan diriwayatkan dari Ibn al-Musayyab, serta merupakan pendapat Mujahid. (Al-Syafi‘i berkata) rahimahullah: Adapun ayah dari perempuan yang masih kecil dan orang yang berada di bawah perwalian, maka keduanya tidak sah pemaafannya, sebagaimana tidak sah bagi mereka memberikan hartanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَصْلُ هَذَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً) {البقرة: 237) . وَهَذَا خِطَابٌ لِلْأَزْوَاجِ فِي طَلَاقِ النِّسَاءِ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَهُوَ أُولَى الطَّلَاقَيْنِ لِمَنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ كَارِهًا.
Al-Mawardi berkata: Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, padahal kalian telah menentukan bagi mereka suatu mahar} (al-Baqarah: 237). Ini adalah seruan kepada para suami terkait perceraian wanita sebelum terjadi hubungan, dan ini adalah perceraian yang lebih utama bagi yang tidak menginginkan hubungan sebelum terjadi hubungan.
ثُمَّ قال: {وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً} يَعْنِي: سَمَّيْتُمْ لَهُنَّ صَدَاقًا: {فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Kemudian Allah berfirman: {padahal kalian telah menentukan bagi mereka suatu mahar}, maksudnya: kalian telah menyebutkan mahar untuk mereka. {Maka setengah dari mahar yang telah kalian tetapkan} di dalamnya terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ لَكُمْ تَسْتَرْجِعُونَهُ مِنْهُنَّ.
Pertama: Maka setengah dari mahar yang telah kalian tetapkan untuk kalian, yang dapat kalian ambil kembali dari mereka.
وَالثَّانِي: فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ لَهُنَّ لَيْسَ عَلَيْكُمْ غَيْرُهُ لَهُنَّ.
Kedua: Maka setengah dari mahar yang telah kalian tetapkan untuk mereka, dan tidak ada kewajiban lain atas kalian selain itu untuk mereka.
ثُمَّ قَالَ: {إِلاَّ أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوا} وَهَذَا خِطَابٌ لِلزَّوْجَاتِ عَدَلَ بِهِ بَعْدَ ذِكْرِ الْأَزْوَاجِ إِلَيْهِنَّ وَنَدَبَهُنَّ فِيهِ إِلَى الْعَفْوِ عَنْ حَقِّهِنَّ مِنْ نِصْفِ الصَّدَاقِ، لِيَكُونَ عَفْوُ الزَّوْجَةِ أَدْعَى إِلَى خِطْبَتِهَا، وَتَرْغِيبِ الْأَزْوَاجِ فِيهَا.
Kemudian Allah berfirman: {kecuali jika mereka memaafkan atau yang memegang ikatan pernikahan itu memaafkan}. Ini adalah seruan kepada para istri, setelah sebelumnya menyebut para suami, dan menganjurkan mereka untuk memaafkan hak mereka dari setengah mahar, agar pemaafan istri lebih mendorong untuk dilamar dan menarik minat para suami kepada mereka.
ثُمَّ قال: {أَوْ يَعْفُوا الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ} وَفِيهِ قَوْلَانِ لِلشَّافِعِيِّ:
Kemudian Allah berfirman: {atau yang memegang ikatan pernikahan itu memaafkan}. Dalam hal ini terdapat dua pendapat menurut al-Syafi‘i:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ: إِنَّ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ هُوَ الْوَلِيُّ أَبُو الْبِكْرِ الصَّغِيرَةِ أَوْ جَدُّهَا، لِأَنَّهُ لَمَّا نَدَبَ الْكَبِيرَةَ إِلَى الْعَفْوِ نَدَبَ وَلِيَّ الصَّغِيرَةِ إِلَى مِثْلِهِ، لِيَتَسَاوَيَا فِي تَرْغِيبِ الْأَزْوَاجِ فيهما.
Pertama, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim: bahwa yang memegang ikatan pernikahan adalah wali, yaitu ayah dari perempuan yang masih kecil atau kakeknya, karena ketika Allah menganjurkan perempuan dewasa untuk memaafkan, maka Allah juga menganjurkan wali dari perempuan kecil untuk melakukan hal yang sama, agar keduanya setara dalam menarik minat para suami kepada mereka.
وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَفِي التَّابِعِينَ قَوْلُ الْحَسَنِ، وَمُجَاهِدٍ، وَعِكْرِمَةَ، وَطَاوَسٍ.
Di kalangan sahabat, ini adalah pendapat Ibn ‘Abbas, dan di kalangan tabi‘in adalah pendapat al-Hasan, Mujahid, ‘Ikrimah, dan Ṭāwus.
وَفِي الْفُقَهَاءِ قَوْلُ رَبِيعَةَ، وَمَالِكٍ، وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ.
Di kalangan fuqaha, ini adalah pendapat Rabi‘ah, Malik, dan Ahmad bin Hanbal.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ: إِنَّ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ هُوَ الزَّوْجُ، نَدَبَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى الْعَفْوِ كَمَا نَدَبَهَا، لِيَكُونَ عَفْوُهُ تَرْغِيبًا لِلنِّسَاءِ فِيهِ، كَمَا كَانَ عَفْوُهَا تَرْغِيبًا لِلرِّجَالِ فِيهَا.
Pendapat kedua, yaitu pendapat beliau dalam qaul jadid: bahwa yang memegang ikatan pernikahan adalah suami. Allah Ta‘ala menganjurkan suami untuk memaafkan sebagaimana menganjurkan istri, agar pemaafan suami menjadi daya tarik bagi para wanita kepadanya, sebagaimana pemaafan istri menjadi daya tarik bagi para pria kepadanya.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَجُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ.
Pendapat ini juga dipegang oleh sahabat ‘Ali bin Abi Ṭālib dan Jubair bin Muṭ‘im.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: شُرَيْحٌ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ، وَالشَّعْبِيُّ.
Dan dari kalangan tabi‘in: Syuraiḥ, Sa‘id bin Jubair, Sa‘id bin al-Musayyab, dan al-Sya‘bi.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، وَابْنِ أَبِي لَيْلَى، وَأَبِي حَنِيفَةَ.
Dan dari kalangan fuqaha: Sufyan al-Thawri, Ibn Abi Layla, dan Abu Hanifah.
ثُمَّ قَالَ: {وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلْتَقْوَى) {البقرة: 237) . وَفِي الْمَقْصُودِ بِهَذَا الْخِطَابِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ التَّأْوِيلِ.
Kemudian Allah berfirman: {Dan memaafkan itu lebih dekat kepada takwa} (al-Baqarah: 237). Dalam maksud seruan ini terdapat dua pendapat di kalangan ahli tafsir.
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ خِطَابٌ لِلزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ.
Pertama: Bahwa ini adalah seruan kepada suami dan istri, dan ini adalah pendapat Ibn ‘Abbas.
فَيَكُونُ الْعَفْوُ الْأَوَّلُ خِطَابًا لِلزَّوْجَةِ، وَالْعَفْوُ الثَّانِي خِطَابًا لِلزَّوْجِ، وَالْعَفْوُ الثَّالِثُ خِطَابًا لَهُمَا.
Maka pemaafan yang pertama adalah seruan kepada istri, pemaafan yang kedua adalah seruan kepada suami, dan pemaafan yang ketiga adalah seruan kepada keduanya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ خِطَابٌ لِلزَّوْجِ وَحْدَهُ، وَهَذَا قَوْلُ الشَّعْبِيِّ فَيَكُونُ الْعَفْوُ الْأَوَّلُ خِطَابًا لِلْكَبِيرَةِ، وَالْعَفْوُ الثَّانِي خِطَابًا لِوَلِيِّ الصَّغِيرَةِ، وَالْعَفْوُ الثَّالِثُ خِطَابًا لِلزَّوْجِ وَحْدَهُ.
Pendapat kedua: bahwa itu adalah khithab (seruan) khusus kepada suami saja, dan ini adalah pendapat asy-Sya‘bi. Maka pengampunan yang pertama adalah seruan kepada perempuan dewasa, pengampunan yang kedua adalah seruan kepada wali perempuan yang masih kecil, dan pengampunan yang ketiga adalah seruan kepada suami saja.
وَفِي قَوْلِهِ: {أَقْرَبُ لِلْتَقْوَى} تَأْوِيلَانِ:
Pada firman-Nya: {lebih dekat kepada takwa} terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَقْرَبُ لِاتِّقَاءِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ظُلْمَ صَاحِبِهِ.
Salah satunya: lebih dekat untuk menghindari masing-masing dari mereka menzalimi pasangannya.
وَالثَّانِي: أَقْرَبُ إِلَى اتِّقَاءِ أَوَامِرِ اللَّهِ تَعَالَى فِي نَدْبِهِ.
Yang kedua: lebih dekat kepada menjaga perintah Allah Ta‘ala dalam anjuran-Nya.
ثُمَّ قَالَ: {وَلاَ تَنْسَوْا الفَضْلَ بَيْنكُمْ} أَيْ تَفَضُّلَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ عَلَى صَاحِبِهِ بِمَا نَدَبَ إِلَيْهِ مِنَ الْعَفْوِ وَنَبَّهَ عَلَى اسْتِعْمَالِ مِثْلِهِ فِي كُلِّ حَقٍّ بَيْنَ مُتَخَاصِمَيْنِ.
Kemudian Allah berfirman: {dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian}, yaitu hendaknya masing-masing dari suami istri berbuat baik kepada pasangannya dengan apa yang dianjurkan berupa pengampunan, dan Allah mengisyaratkan agar hal serupa diterapkan dalam setiap hak di antara dua pihak yang berselisih.
فَهَذَا تَأْوِيلُ الْآيَةِ.
Inilah tafsir ayat tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فِي الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ: فَاسْتَدَلَّ مَنْ نَصَرَ قَوْلَهُ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ وَلِيُّ الصَّغِيرَةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ مِنَ الْآيَةِ بِأَرْبَعَةِ دَلَائِلَ:
Adapun penjelasan dua pendapat tentang siapa yang memegang akad nikah: Orang yang mendukung pendapat lama bahwa yang dimaksud adalah wali perempuan yang masih kecil, dan ini adalah mazhab Malik, berdalil dari ayat tersebut dengan empat alasan:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ افْتَتَحَهَا بِخِطَابِ الْأَزْوَاجِ مُوَاجَهَةً، ثم عدل بقول: {إِلاَّ أَنْ يُعْفُونَ} إِلَى خِطَابِ الزَّوْجَاتِ كِنَايَةً، ثُمَّ أرسلَ قَوْلَهُ: {أَوْ يَعْفُوا الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ} خطاباً لمكني عَنْهُ غَيْرِ مُوَاجَهٍ، وَالْخِطَابُ إِذَا عَدَلَ بِهِ عَنِ الْمُوَاجَهَةِ إِلَى الْكِنَايَةِ اقْتَضَى ظَاهِرُهُ أَنْ يَتَوَجَّهَ إِلَى غَيْرِ الْمُوَاجَهِ، وَالزَّوْجُ مُوَاجَهٌ فَلَمْ تَعُدْ إِلَيْهِ الْكِنَايَةُ، وَالزَّوْجَةُ قَدْ تَقَدَّمَ حُكْمُهَا، وَلَفْظُ الْكِنَايَةِ مُذَكَّرٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعُودَ إِلَيْهَا فَلَمْ يَبْقَ مَنْ يَتَوَجَّهُ الْخِطَابُ إِلَيْهِ غَيْرُ الْوَلِيِّ.
Pertama: Allah memulai ayat dengan seruan langsung kepada para suami, kemudian beralih dengan firman-Nya: {kecuali jika mereka (para istri) memaafkan} menjadi seruan secara tidak langsung kepada para istri, lalu Allah mengucapkan firman-Nya: {atau orang yang memegang akad nikah itu memaafkan} sebagai seruan kepada pihak yang diisyaratkan, bukan secara langsung. Jika seruan dialihkan dari langsung ke tidak langsung, maka secara lahiriah itu ditujukan kepada selain pihak yang diajak bicara secara langsung. Suami adalah pihak yang diajak bicara secara langsung, sehingga tidak kembali kepada istri, dan hukum istri telah dijelaskan sebelumnya. Lafaz kinayah (isyarat) berbentuk mudzakkar (maskulin), sehingga tidak mungkin kembali kepada istri. Maka tidak ada lagi yang layak menjadi pihak yang dituju kecuali wali.
وَالدَّلِيلُ الثَّانِي مِنَ الْآيَةِ قَوْلُهُ: {أَوْ يَعْفُوَا الَّذِي بِيَدِهَ عُقْدَةُ النِّكَاحِ} وَلَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ الطَّلَاقِ بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ، إِلَّا الْوَلِيُّ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ أَنْ يُزَوِّجَهَا، فَاقْتَضَى أَنْ يَتَوَجَّهَ الْخِطَابُ إِلَيْهِ وَلَا يَتَوَجَّهَ إِلَى الزَّوْجِ الَّذِي لَيْسَ الْعَقْدُ إِلَيْهِ، لِيَكُونَ الْخِطَابُ مَحْمُولًا عَلَى الْحَقِيقَةِ مِنْ غَيْرِ إِضْمَارٍ، وَلَا يُحْمَلُ عَلَى مَجَازٍ وَإِضْمَارٍ.
Alasan kedua dari ayat tersebut adalah firman-Nya: {atau orang yang memegang akad nikah itu memaafkan}, dan tidak ada seorang pun setelah terjadinya talak yang memegang akad nikah kecuali wali, karena dialah yang berhak menikahkan. Maka seruan itu layak ditujukan kepadanya, dan tidak layak ditujukan kepada suami yang tidak lagi memegang akad, agar seruan itu tetap bermakna hakiki tanpa takwil atau pengandaian, dan tidak dibawa kepada makna majaz atau pengandaian.
وَالدَّلِيلُ الثَّالِثُ مِنَ الْآيَةِ: أَنَّ الَّذِي يَخْتَصُّ بِهِ الْوَلِيُّ مِنَ النِّكَاحِ أَنْ يَمْلِكَ عَقْدَهُ، وَالَّذِي يَخْتَصُّ بِهِ الزَّوْجُ أَنْ يَمْلِكَ الِاسْتِمْتَاعَ بَعْدَهُ، فَكَانَ حَمْلُ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ عَلَى الْوَلِيِّ الَّذِي يَمْلِكُ عَقْدَهُ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى الزَّوْجِ الَّذِي يَمْلِكُ الِاسْتِمْتَاعَ بَعْدَهُ.
Alasan ketiga dari ayat tersebut: bahwa yang menjadi kekhususan wali dalam pernikahan adalah ia memiliki hak atas akadnya, sedangkan yang menjadi kekhususan suami adalah ia memiliki hak menikmati setelah akad. Maka menafsirkan “orang yang memegang akad nikah” sebagai wali yang memiliki hak atas akad lebih utama daripada menafsirkannya sebagai suami yang memiliki hak menikmati setelah akad.
وَالدَّلِيلُ الرَّابِعُ مِنَ الْآيَةِ: أَنَّ الزَّوْجَ غَارِمٌ لِلْبَاقِي مِنْ نِصْفِ الصَّدَاقِ فِي حَقِّ الزَّوْجَةِ تَقْبِضُهُ الْكَبِيرَةُ وَوَلِيُّ الصَّغِيرَةِ فَكَانَ تَوَجُّهُ الْعَفْوِ إِلَى مُسْتَحِقِّ الْغُرْمِ أَوْلَى مِنْ تَوَجُّهِهِ إِلَى مُلْتَزِمِ الْغُرْمِ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِنَّمَا نَدَبَ الزَّوْجَةَ إِلَى الْعَفْوِ لِمَا تَحْظَى بِهِ مِنْ رَغْبَةِ الْأَزْوَاجِ فِيهَا، فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ وَلِيُّ الصَّغِيرَةِ مَنْدُوبًا إِلَى مِثْلِ مَا نُدِبَتْ إِلَيْهِ الْكَبِيرَةُ لِيَتَسَاوَيَا فِي عَوْدِ الْحَظِّ إِلَيْهِمَا بِتَرْغِيبِ الْأَزْوَاجِ فِيهِمَا.
Alasan keempat dari ayat tersebut: bahwa suami adalah pihak yang menanggung sisa setengah mahar untuk istri, yang diterima oleh perempuan dewasa atau wali dari perempuan yang masih kecil. Maka, pengampunan lebih layak ditujukan kepada pihak yang berhak menerima tanggungan daripada kepada pihak yang menanggungnya. Dan karena Allah Ta‘ala hanya menganjurkan istri untuk memaafkan karena adanya keinginan para suami terhadap mereka, maka wali perempuan yang masih kecil juga dianjurkan untuk melakukan hal yang sama sebagaimana perempuan dewasa, agar keduanya setara dalam mendapatkan keutamaan karena keinginan para suami terhadap mereka.
فَصْلٌ
Fasal
وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: أَنَّ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ هُوَ الزَّوْجُ دُونَ الْوَلِيِّ الْآيَةُ وَمِنْهَا خَمْسَةُ أَدِلَّةٍ:
Adapun dalil atas kebenaran pendapat dalam pendapat baru, bahwa yang dimaksud dengan “orang yang memegang akad nikah” adalah suami, bukan wali, adalah ayat tersebut, dan di dalamnya terdapat lima alasan:
أَحَدُهَا: قَوْله تعالى: {أَوْ يَعْفُوَا الَّذِي بِيَدِِِهِ عُقْدَةٌ النِّكَاحِ} وَالْعُقْدَةُ عِبَارَةٌ عَنِ الْأَمْرِ الْمُنْعَقِدِ، وَمِنْهُ حَبْلٌ مَعْقُودٌ، وَعَهْدٌ مَعْقُودٌ، لِمَا قَدِ اسْتَقَرَّ عَقْدُهُ وَنَجُزَ، وَالنِّكَاحُ بَعْدَ الْعَقْدِ يَكُونُ بِيَدِ الزَّوْجِ دُونَ الْوَلِيِّ.
Pertama: Firman Allah Ta‘ala: {atau orang yang memegang akad nikah itu memaafkan}, dan “akad” adalah istilah untuk sesuatu yang telah terikat, seperti tali yang diikat, janji yang diikat, yaitu sesuatu yang telah tetap dan sempurna akadnya. Setelah akad, nikah itu berada di tangan suami, bukan wali.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أُمِرَ بِالْعَفْوِ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَإِنَّمَا يَعْفُو مَنْ مَلَكَ وَالزَّوْجُ هُوَ الْمَالِكُ دُونَ الْوَلِيِّ، فَاقْتَضَى أَنْ يَتَوَجَّهَ الْخِطَابُ بِالْعَفْوِ إِلَيْهِ لَا إِلَى الْوَلِيِّ.
Kedua: Bahwa yang diperintahkan untuk memaafkan adalah suami. Asy-Syafi‘i berkata: Yang dapat memaafkan hanyalah orang yang memiliki hak, dan suami adalah pemilik hak itu, bukan wali. Maka, hal ini menuntut agar perintah memaafkan itu ditujukan kepada suami, bukan kepada wali.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ حَقِيقَةَ الْعَفْوِ هُوَ التَّرْكُ، وَذَلِكَ لَا يَصِحُّ إِلَّا مِنَ الزَّوْجِ، لِأَنَّهُ مَلَكَ بِالطَّلَاقِ أَنْ يَتَمَلَّكَ نِصْفَ الصَّدَاقِ، فَإِذَا تَرَكَ أَنْ يَتَمَلَّكَ لَمْ يَمْلِكْ، فَأَمَّا الْوَلِيُّ فَعَفْوُهُ إِمَّا أَنْ يكون هبة إن كان عيناً، أو إبراءاً إِنْ كَانَ فِي الذِّمَّةِ فَصَارَ حَقِيقَةُ الْعَفْوِ أَخَصَّ بِالزَّوْجِ مِنْ حَمْلِهِ عَلَى الْمَجَازِ فِي الْوَلِيِّ.
Ketiga: Hakikat dari ‘afw (memaafkan) adalah meninggalkan (hak), dan hal itu tidak sah kecuali dari suami, karena dengan terjadinya talak, suami memiliki hak untuk mendapatkan setengah mahar. Jika ia meninggalkan hak untuk memilikinya, maka ia tidak lagi memilikinya. Adapun wali, maka ‘afw-nya bisa berupa hibah jika berupa barang, atau berupa pembebasan jika berupa utang. Maka, hakikat ‘afw lebih khusus pada suami daripada makna majaz (kiasan) pada wali.
وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ إِذَا تَوَجَّهَ بِالْعَفْوِ إِلَى الزَّوْجِ كَانَ مَحْمُولًا عَلَى عُمُومِهِ فِي كُلِّ زَوْجٍ مُطَلِّقٍ، وَإِذَا تَوَجَّهَ إِلَى الْوَلِيِّ كَانَ مَحْمُولًا عَلَى بَعْضِ الْأَوْلِيَاءِ فِي بَعْضِ الزَّوْجَاتِ وَهُوَ الْأَبُ وَالْجَدُّ مِنْ بَيْنِ سَائِرِ الْأَوْلِيَاءِ مَعَ الصَّغِيرَةِ الْبِكْرِ الَّتِي لَمْ يُدْخَلْ بِهَا دون سائر الزَّوْجَاتِ، فَكَانَ حَمْلُ الْخِطَابِ عَلَى مَا يُوجِبُ الْعُمُومَ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى مَا يُوجِبُ الْخُصُوصَ.
Keempat: Jika perintah ‘afw itu ditujukan kepada suami, maka maknanya berlaku umum pada setiap suami yang mentalak. Namun jika ditujukan kepada wali, maka maknanya hanya berlaku pada sebagian wali dalam sebagian kasus istri, yaitu ayah dan kakek di antara para wali, bersama anak perempuan yang masih kecil dan perawan yang belum pernah digauli, tidak pada seluruh istri. Maka, menafsirkan perintah tersebut dengan makna yang bersifat umum lebih utama daripada menafsirkannya dengan makna yang bersifat khusus.
وَالْخَامِسُ قَوْلُهُ: {وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلْتَّقْوَى} وَهَذَا الْخِطَابُ غَيْرُ مُتَوَجَّهٍ إِلَى الْوَلِيِّ، لِأَنَّ قُرْبَهُ مِنَ التَّقْوَى أَنْ يَحْفَظَ مَالَ مَنْ يَلِي عَلَيْهِ لَا أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُ وَيَبْرَأَ مِنْهُ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ الزَّوْجُ دُونَ الْوَلِيِّ وَهُوَ رَاجِعٌ عَلَى مَا تَقَدَّمَهُ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْمُتَقَدِّمُ قَبْلَهُ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ هُوَ الزَّوْجَ.
Kelima adalah firman Allah: {Dan memaafkan itu lebih dekat kepada takwa}. Perintah ini tidak ditujukan kepada wali, karena yang lebih dekat kepada takwa bagi wali adalah menjaga harta orang yang berada dalam perwaliannya, bukan memaafkan dan membebaskannya. Maka, ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah suami, bukan wali, dan ini kembali kepada penjelasan sebelumnya, sehingga menuntut bahwa yang dimaksud dengan “yang memegang akad nikah” sebelumnya adalah suami.
وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ: مَا رَوَاهُ ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” وَلِيُّ عَقْدِ النِّكَاحِ الزَّوْجُ ” وَهَذَا نَصٌّ.
Hal ini juga didukung oleh dalil dari sunnah: Diriwayatkan oleh Ibnu Lahi‘ah dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Wali akad nikah adalah suami.” Dan ini adalah nash (tegas).
وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ، رَوَى شُرَيْحٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ الزَّوْجُ.
Dan karena ini merupakan ijmā‘ para sahabat, sebagaimana diriwayatkan oleh Syuraih dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa yang memegang akad nikah adalah suami.
وَرَوَى أَبُو سَلَمَةَ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فِهْرٍ فَطَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا، وَأَرْسَلَ إِلَيْهَا صَدَاقَهَا كَامِلًا، وَقَالَ: أَنَا أَحَقُّ بِالْعَفْوِ مِنْهَا، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ} .
Juga diriwayatkan oleh Abu Salamah dari Jubair bin Muth‘im bahwa ia menikahi seorang wanita dari Bani Fihr, lalu ia menceraikannya sebelum berhubungan dengannya, dan ia mengirimkan mahar kepada wanita itu secara penuh, lalu berkata: “Aku lebih berhak untuk memaafkan daripada dia, karena Allah Ta‘ala berfirman: {atau memaafkan orang yang memegang akad nikah}.”
وَهَذَا قَوْلُ صَحَابِيَّيْنِ، فَإِنْ قِيلَ: خَالَفَهُمَا ابْنُ عباس.
Ini adalah pendapat dua sahabat. Jika dikatakan: Ibnu ‘Abbas berbeda pendapat dengan keduanya.
قيل: قد اختلف عَنْهُ الرِّوَايَةُ فَتَعَارَضَتَا وَثَبَتَ خِلَافُهُ فَصَارَ الْإِجْمَاعُ بِغَيْرِهِ مُنْعَقِدًا.
Dijawab: Telah terjadi perbedaan riwayat dari Ibnu ‘Abbas sehingga keduanya saling bertentangan, dan telah tetap adanya perbedaan pendapat darinya, sehingga ijmā‘ tetap terwujud tanpa memperhitungkan pendapatnya.
وَمِنْ طَرِيقِ الِاسْتِدْلَالِ أَنَّ الزَّوْجَيْنِ مُتَكَافِئَانِ فِيمَا أُمِرَا بِهِ وَنُدِبَا إِلَيْهِ، فَلَمَّا نُدِبَتِ الزَّوْجَةُ إِلَى الْعَفْوِ تَرْغِيبًا لِلرِّجَالِ فِيهَا اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ مَنْدُوبًا إِلَى مِثْلِهِ تَرْغِيبًا لِلنِّسَاءِ فِيهِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ مَلَكَ الْأَبُ الْعَفْوَ لَمَلَكَهُ غَيْرُهُ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ، وَلَوْ مَلَكَهُ فِي الْبِكْرِ لَمَلَكَهُ فِي الثَّيِّبِ، وَلَوْ مَلَكَهُ قَبْلَ الدُّخُولِ لَمَلَكَهُ بَعْدَهُ، وَلَوْ مَلَكَهُ بَعْدَ الطَّلَاقِ لَمَلَكَهُ قَبْلَهُ، وَلَوْ مَلَكَهُ فِي الْمَهْرِ لَمَلَكَهُ فِي الدَّيْنِ.
Dari sisi istidlāl (argumentasi), bahwa kedua pasangan (suami-istri) setara dalam hal yang diperintahkan dan dianjurkan kepada mereka. Ketika istri dianjurkan untuk memaafkan sebagai dorongan bagi laki-laki untuk menikahinya, maka hal itu menuntut agar suami juga dianjurkan untuk memaafkan sebagai dorongan bagi perempuan untuk menikahinya. Dan jika ayah memiliki hak memaafkan, maka wali lain pun memilikinya. Jika ia memilikinya pada anak perempuan perawan, maka ia juga memilikinya pada janda. Jika ia memilikinya sebelum terjadi hubungan, maka ia juga memilikinya setelahnya. Jika ia memilikinya setelah talak, maka ia juga memilikinya sebelumnya. Jika ia memilikinya pada mahar, maka ia juga memilikinya pada utang.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّ مَنْ لَمْ يَمْلِكِ الْعَفْوَ عَنْ مَهْرِهَا إِذَا كَانَتْ ثَيِّبًا لَمْ يَمْلِكْهُ إِذَا كَانَتْ بِكْرًا كَالْإِخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ طَرْدًا، وَكَالسَّيِّدِ فِي أَمَتِهِ عَكْسًا.
Penjelasan secara qiyās: Barang siapa tidak memiliki hak memaafkan mahar jika perempuan itu janda, maka ia juga tidak memilikinya jika perempuan itu perawan, seperti saudara laki-laki dan paman secara thard (analogi searah), dan seperti tuan terhadap budaknya secara ‘aks (analogi terbalik).
فَإِنْ قِيلَ: فَإِنَّمَا اخْتَصَّ بِهِ الْأَبُ فِي الْبِكْرِ لِاخْتِصَاصِهِ بِإِجْبَارِهَا عَلَى النِّكَاحِ.
Jika dikatakan: Ayah dikhususkan dengan hak ini pada anak perempuan perawan karena ia secara khusus berhak memaksanya menikah.
قِيلَ: قَدْ يَمْلِكُ إِجْبَارَ الْمَجْنُونَةِ وَالْبِكْرِ وَلَا يَمْلِكُ الْعَفْوَ عَنْ صَدَاقِهَا، وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يَمْلِكِ الْعَفْوَ عَنِ الْمَهْرِ بَعْدَ الدُّخُولِ لَمْ يَمْلِكْهُ قَبْلَهُ، كَالصَّغِيرَةِ طَرْدًا وَالْكَبِيرَةِ عَكْسًا.
Dikatakan: Seorang wali dapat memiliki hak untuk memaksa perempuan gila dan perawan, namun tidak memiliki hak untuk memaafkan mahar mereka. Dan karena siapa pun yang tidak memiliki hak memaafkan mahar setelah terjadi hubungan suami istri, maka ia juga tidak memilikinya sebelumnya, sebagaimana pada anak perempuan kecil secara konsisten, dan pada perempuan dewasa sebaliknya.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا لَمْ يَمْلِكْهُ بَعْدَ الدُّخُولِ لِاسْتِهْلَاكِ بُضْعِهَا بِالدُّخُولِ.
Jika dikatakan: Ia tidak memiliki hak itu setelah terjadi hubungan suami istri karena bagian tubuhnya telah “terpakai” oleh hubungan tersebut.
قِيلَ: لَا فَرْقَ فِي رَدِّ عَفْوِهِ بَيْنَ مَا كَانَ فِي مُقَابَلَةِ رَدِّ بَدَلٍ كَالثَّمَنِ، وَبَيْنَ مَا كَانَ بِغَيْرِ بَدَلٍ كَالْمِيرَاثِ.
Dijawab: Tidak ada perbedaan dalam menolak pemaafan walinya antara yang berkaitan dengan pengembalian pengganti seperti harga (jual beli), dan yang tanpa pengganti seperti warisan.
وَلِأَنَّهُ مَالٌ لِلْمُوَلَّى عَلَيْهِ فَلَمْ يَكُنْ لِوَلِيِّهِ الْعَفْوُ عَنْهُ كَالثَّمَنِ.
Dan karena itu adalah harta milik orang yang berada di bawah perwalian, maka walinya tidak berhak memaafkan atasnya, seperti halnya harga (jual beli).
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا عَفَا عَنِ الْمَهْرِ، لِأَنَّهُ أَفَادَهَا إِيَّاهُ.
Jika dikatakan: Ia memaafkan mahar karena ia yang memberikannya kepada perempuan itu.
قِيلَ: لَوِ اتَّجَرَ لَهَا بِمَالٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْ رِبْحِهِ وَإِنْ أَفَادَهَا إِيَّاهُ.
Dijawab: Jika ia berdagang untuknya dengan harta, maka ia tidak berhak memaafkan keuntungan dari perdagangan itu meskipun ia yang memberikannya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ.
Jika telah dijelaskan argumentasi kedua pendapat.
فَإِنْ قُلْنَا بِالْقَدِيمِ: إِنَّ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ هُوَ الْوَلِيُّ صَحَّ عَفْوُهُ، بِاجْتِمَاعِ خَمْسَةِ شَرَائِطَ:
Jika kita berpendapat menurut pendapat lama: Bahwa yang memegang akad nikah adalah wali, maka sah pemaafannya dengan terpenuhinya lima syarat:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ أَبًا أَوْ جَدًّا مِمَّنْ يَلِي عَلَى بُضْعِهَا وَمَالِهَا، فَإِنْ عَفَا غَيْرُهُمَا مِنَ الْعَصَبَاتِ لَمْ يَصِحَّ.
Pertama: Wali tersebut adalah ayah atau kakek yang berhak menjadi wali atas tubuh dan hartanya. Jika yang memaafkan selain keduanya dari kalangan ‘ashabah, maka tidak sah.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ بِكْرًا يَصِحُّ إِجْبَارُ الْأَبِ لَهَا عَلَى النِّكَاحِ، فَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا لَمْ يَصِحَّ.
Kedua: Perempuan tersebut adalah perawan yang sah bagi ayah untuk memaksanya menikah. Jika ia janda, maka tidak sah.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تكون صغيرة تبتت الْوَلَايَةُ عَلَى مَالِهَا، فَإِنْ كَانَتْ كَبِيرَةً تَمْلِكُ النَّظَرَ فِي مَالِهَا لَمْ يَصِحَّ.
Ketiga: Ia masih kecil yang perwaliannya atas hartanya tetap berlaku. Jika ia sudah dewasa dan berhak mengatur hartanya sendiri, maka tidak sah.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ عَفْوُهُ بَعْدَ الطَّلَاقِ الَّذِي تَمْلِكُ بِهِ نَفْسَهَا، فَإِنْ عَفَا قَبْلَهُ لَمْ يَصِحَّ.
Keempat: Pemaafan itu dilakukan setelah talak yang menyebabkan ia memiliki dirinya sendiri. Jika pemaafan dilakukan sebelumnya, maka tidak sah.
وَالْخَامِسُ: أن يكون الطلاق قبل الدخول، لأن لا يُسْتَهْلَكَ عَلَيْهَا بُضْعُهَا، فَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ لَمْ يَصِحَّ.
Kelima: Talak terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri, agar bagian tubuhnya tidak “terpakai”. Jika talak terjadi setelah hubungan suami istri, maka tidak sah.
فَإِذَا اجْتَمَعَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْخَمْسَةُ صَحَّ حِينَئِذٍ عَفْوُهُ.
Jika kelima syarat ini terpenuhi, maka sah pemaafan walinya.
وَإِذَا قُلْنَا: إِنَّهُ الزَّوْجُ صَحَّ عَفْوُهُ، لِجَوَازِ أَمْرِهِ بِالْبُلُوغِ، وَالْعَقْلِ، وَالْحُرِّيَّةِ وَالرُّشْدِ.
Dan jika kita berpendapat bahwa yang berhak adalah suami, maka sah pemaafannya, dengan syarat ia telah baligh, berakal, merdeka, dan cakap (rusyd).
فَأَمَّا الصَّغِيرُ: فَلَا تَبِينُ زَوْجَتُهُ مِنْهُ بِالطَّلَاقِ، وَلِأَنَّ طَلَاقَهُ لَا يَقَعُ، وَتَبِينُ مِنْهُ بِالرِّدَّةِ أَوْ بِالرَّضَاعِ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ الدُّخُولِ عَادَ جَمِيعُ صَدَاقِهَا إِلَيْهِ لِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ مِنْ جِهَتِهَا قَبْلَ الدُّخُولِ.
Adapun anak kecil: Istrinya tidak menjadi terpisah darinya dengan talak, karena talaknya tidak sah, dan perpisahan terjadi darinya karena riddah (murtad) atau karena penyusuan. Jika itu terjadi sebelum hubungan suami istri, maka seluruh mahar kembali kepadanya karena perpisahan berasal dari pihak istri sebelum terjadi hubungan.
وَإِنْ كَانَ مَجْنُونًا وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِرِدَّتِهَا لَا غَيْرَ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا صَدَاقَ لَهَا.
Jika ia gila, maka perpisahan terjadi karena riddah istrinya saja, bukan sebab lain. Jika itu terjadi sebelum hubungan suami istri, maka tidak ada mahar baginya.
وَإِنْ كَانَ عَبْدًا وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِطَلَاقِهِ، فَيَكُونُ فِي وُقُوعِهِ كَالْحُرِّ، وَتَقَعُ الْفُرْقَةُ بِرِدَّتِهَا.
Jika ia adalah budak, maka perpisahan terjadi dengan talaknya, sehingga dalam hal ini sama dengan orang merdeka, dan perpisahan juga terjadi dengan riddah istrinya.
وَإِنْ كَانَ مَحْجُورًا عَلَيْهِ بِسَفَهٍ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِطَلَاقِهِ وَبِرِدَّتِهَا فَلَا يَصِحُّ عَفْوُ وَاحِدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ.
Jika ia berada dalam perwalian karena safih (boros), maka perpisahan terjadi dengan talaknya dan riddah istrinya, maka tidak sah pemaafan dari salah satu dari mereka.
وَيَصِحُّ عَفْوُ سَيِّدِ الْعَبْدِ فَأَمَّا عَفْوُ وَلِيِّ الصَّغِيرِ وَالْمَجْنُونِ وَالسَّفِيهِ فَلَا يَصِحُّ قَوْلًا وَاحِدًا، وَإِنْ كَانَ عَفْوُ وَلِيِّ الزَّوْجَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Dan sah pemaafan dari tuan budak. Adapun pemaafan wali anak kecil, orang gila, dan safih, maka tidak sah menurut satu pendapat pun, meskipun pemaafan wali istri ada dua pendapat.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ:
Perbedaan antara keduanya dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ وَلِيَّ الزَّوْجَةِ هُوَ الَّذِي أَكْسَبَهَا الصَّدَاقَ بِعَقْدِهِ، فَصَحَّ مِنْهُ إِسْقَاطُهُ بِعَقْدِهِ، وَوَلِيَّ الزَّوْجِ مَا أَكْسَبَهُ مَا عَادَ مِنَ الصَّدَاقِ إِلَيْهِ فَلَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ عَنْهُ.
Pertama: Wali istri adalah yang memberikan mahar kepadanya melalui akadnya, maka sah baginya menggugurkan mahar itu melalui akadnya. Sedangkan wali suami tidak memberikan apa yang kembali dari mahar kepadanya, maka tidak sah ia memaafkan atasnya.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا عَادَ مِنَ الزَّوْجِ قَدْ كَانَ مَالَهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُ بَعْدَ عَوْدِهِ، وَصَدَاقُ الزَّوْجَةِ مِلْكٌ مُسْتَفَادٌ فَصَحَّ عَفْوُهُ بَعْدَ استحقاقه، والله أعلم.
Kedua: Apa yang kembali dari suami sebelumnya adalah miliknya, maka tidak boleh ia memaafkan setelah kembali kepadanya. Sedangkan mahar istri adalah milik yang baru diperoleh, maka sah pemaafan setelah ia berhak menerimanya. Wallahu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَأَيُّ الزَّوْجَيْنِ عَفَا عَمَّا فِي يَدَيْهِ فَلَهُ الرُّجُوعُ قَبْلَ الدَفْعِ أَوِ الرَّدُّ وَالتَّمَامُ أَفْضَلُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Siapa pun dari kedua pasangan yang memaafkan apa yang menjadi haknya, maka ia boleh menarik kembali sebelum penyerahan atau pengembalian, dan menyempurnakan (pemaafan) itu lebih utama.”
قال الماوردي: وهذا كما قال.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan.
إِذَا طَلَّقَ الرَّجُلُ الرَّشِيدُ زَوْجَتَهُ الرَّشِيدَةَ قَبْلَ الدُّخُولِ تُنُصِّفَ الصَّدَاقُ بَيْنَهُمَا، فَكَانَ لَهَا نِصْفُهُ بِالْعَقْدِ، وَصَارَ لِلزَّوْجِ نِصْفُهُ، وَفِيمَا يَصِيرُ بِهِ مَالِكًا لِنِصْفِهِ قَوْلَانِ مَضَيَا:
Apabila seorang laki-laki yang berakal sehat menceraikan istrinya yang juga berakal sehat sebelum terjadi hubungan suami istri, maka mahar dibagi dua di antara mereka. Istri berhak atas setengah mahar berdasarkan akad, dan suami menjadi pemilik setengahnya. Terkait bagaimana suami menjadi pemilik setengahnya, terdapat dua pendapat yang telah lalu:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَصِيرُ مَالِكًا لِنِصْفِهِ بِنَفْسِ الطَّلَاقِ.
Salah satunya: bahwa suami menjadi pemilik setengah mahar itu dengan sendirinya karena terjadinya talak.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ مَلَكَ بِالطَّلَاقِ أَنْ يَتَمَلَّكَ نِصْفَ الصَّدَاقِ.
Pendapat kedua: bahwa dengan talak, suami berhak untuk memiliki setengah mahar.
فَإِنْ لَمْ يَعْفُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَنْ حَقِّهِ تَقَاسَمَاهُ عَيْنًا كَانَ أَوْ فِي الذِّمَّةِ، وَإِنْ عَفَا وَاحِدٌ مِنْهُمَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الصَّدَاقِ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَيْنًا أَوْ فِي الذِّمَّةِ.
Jika tidak ada salah satu dari keduanya yang melepaskan haknya, maka mereka membagi mahar itu, baik berupa barang maupun yang masih berupa utang. Namun jika salah satu dari mereka memaafkan, maka keadaan mahar tidak lepas dari dua kemungkinan: berupa barang atau berupa utang.
فَإِنْ كَانَ الصَّدَاقُ فِي الذِّمَّةِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika mahar itu berupa utang, maka ada dua bentuk:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِي ذِمَّةِ الزَّوْجِ، وَذَلِكَ مِنْ أَحَدِ وَجْهَيْنِ.
Salah satunya: mahar itu menjadi utang pada suami, dan itu terjadi dalam dua keadaan.
– إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ أَصْدَقَهَا مَالًا فِي الذِّمَّةِ.
– Bisa jadi suami telah menjanjikan mahar berupa harta yang menjadi utang.
– أَوْ أَصْدَقَهَا عَيْنًا تَلِفَتْ فِي يَدِهِ فَصَارَ غُرْمُهَا فِي الذِّمَّةِ.
– Atau suami telah menjanjikan mahar berupa barang, namun barang itu rusak di tangannya sehingga menjadi tanggungan utang.
فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَافِي مِنْ أَنْ يَكُونَ هُوَ الزَّوْجَ أَوِ الزَّوْجَةَ.
Maka, yang memaafkan bisa jadi adalah suami atau istri.
– فَإِنْ كَانَ الْعَافِي هِيَ الزوجة، فعفوها يكون إبراءاً مَحْضًا، وَيَصِحُّ بِأَحَدِ سِتَّةِ أَلْفَاظٍ:
– Jika yang memaafkan adalah istri, maka pemaafannya merupakan pembebasan murni, dan sah dengan salah satu dari enam lafaz:
إِمَّا أَنْ تَقُولَ: قَدْ عَفَوْتُ، أَوْ قَدْ أَبْرَأْتُ، أَوْ قَدْ تَرَكْتُ، أَوْ قَدْ أَسْقَطْتُ، أَوْ قَدْ مَلَّكْتُ، أَوْ قَدْ وَهَبْتُ.
Bisa dengan mengatakan: “Aku telah memaafkan”, atau “Aku telah membebaskan”, atau “Aku telah meninggalkan”, atau “Aku telah menggugurkan”, atau “Aku telah memberikan kepemilikan”, atau “Aku telah menghibahkan”.
فَبِأَيِّ هَذِهِ الْأَلْفَاظِ السِّتَّةِ أَبْرَأَتْهُ صَحَّ وَلَمْ تَفْتَقِرْ إِلَى قَبُولِهِ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا.
Dengan salah satu dari enam lafaz ini, jika istri membebaskan suaminya, maka sah dan tidak memerlukan penerimaan dari suami menurut mazhab Syafi‘i dan mayoritas ulama kami.
وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ مِنْهُمْ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ رَجَاءٍ الْبَصْرِيُّ: الْإِبْرَاءُ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْقَبُولِ كَالْهِبَةِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ.
Sebagian ulama kami, di antaranya Abu al-‘Abbas bin Raja’ al-Bashri, berkata: Pembebasan tidak sah kecuali dengan penerimaan, seperti hibah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah.
وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Pendapat ini tidak benar dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ إِسْقَاطُ مِلْكٍ فَأَشْبَهَ الْعِتْقَ.
Pertama: karena ini merupakan pengguguran hak milik, sehingga menyerupai pembebasan budak (‘itq).
وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَفْوٌ فَأَشْبَهَ الْعَفْوَ عَنِ الْقِصَاصِ وَالشُّفْعَةِ.
Kedua: karena ini adalah pemaafan, sehingga menyerupai pemaafan atas qishāsh dan syuf‘ah.
وَإِنْ كَانَ الْعَافِي هُوَ الزَّوْجَ: فَعَفْوُهُ هِبَةٌ مَحْضَةٌ لَا يَصِحُّ مِنَ الْأَلْفَاظِ السِّتَّةِ إِلَّا بِإِحْدَى لَفْظَيْنِ: إِمَّا الْهِبَةِ وَإِمَّا التَّمْلِيكِ، وَلَا يَتِمُّ إِلَّا بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ:
Jika yang memaafkan adalah suami, maka pemaafannya merupakan hibah murni, dan tidak sah dari enam lafaz kecuali dengan salah satu dari dua lafaz: hibah atau pemberian kepemilikan, dan tidak sempurna kecuali dengan tiga hal:
بِبَذْلِ الزَّوْجِ، وَقَبُولِ الزَّوْجَةِ، وَقَبْضٍ مِنَ الزَّوْجِ أَوْ وَكِيلِهِ فِيهِ إِلَى الزَّوْجَةِ أَوْ وَكِيلِهَا فِيهِ.
Dengan penyerahan dari suami, penerimaan dari istri, dan pengambilan (mahar) oleh istri atau wakilnya dari suami atau wakilnya.
فَإِنْ لَمْ تَقْبِضْ فَلَهُ الرُّجُوعُ، وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: فَلَهُ الرُّجُوعُ قَبْلَ الدَّفْعِ.
Jika istri belum menerima, maka suami berhak menarik kembali, dan inilah maksud dari perkataan Imam Syafi‘i: Suami berhak menarik kembali sebelum penyerahan.
فَصْلٌ: وَالضَّرْبُ الثَّانِي
Fasal: Bentuk kedua
: أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ فِي ذِمَّةِ الزَّوْجَةِ، وَذَلِكَ بِأَنْ تَسْتَهْلِكَهُ بَعْدَ قَبْضِهِ فَيَصِيرُ نِصْفُهُ الْمُسْتَحَقُّ: بِالطَّلَاقِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ، أَوْ بِاخْتِيَارِ تَمَلُّكِهِ بَعْدَ الطَّلَاقِ فِي الْوَجْهِ الثَّانِي، مِلْكًا لِلزَّوْجِ، فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ الْعَافِي مِنْهُمَا هُوَ الزَّوْجَ أَوِ الزَّوْجَةَ:
Yaitu mahar menjadi utang pada istri, yaitu ketika istri telah menghabiskannya setelah menerima, sehingga setengah yang menjadi hak suami: baik karena talak menurut salah satu pendapat, atau karena memilih untuk memilikinya setelah talak menurut pendapat kedua, menjadi milik suami. Maka, yang memaafkan bisa jadi adalah suami atau istri:
– فَإِنْ كَانَ الْعَافِي هُوَ الزَّوْجَ، تَرَتَّبَ عَفْوُهُ عَلَى اخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ فِيمَا مَلَكَ بِالطَّلَاقِ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ مَلَكَ بِالطَّلَاقِ نِصْفَ الصَّدَاقِ كَانَ عَفْوُهُ إِبْرَاءً مَحْضًا يَصِحُّ بِأَحَدِ الْأَلْفَاظِ السِّتَّةِ: إِمَّا بِالْعَفْوِ، أَوْ بِالْإِبْرَاءِ، أَوْ بِالتَّرْكِ، أَوِ الْإِسْقَاطِ، أَوِ التَّمْلِيكِ، أَوِ الْهِبَةِ، وَفِي اعْتِبَارِ قَبُولِهَا وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى.
– Jika yang memaafkan adalah suami, maka pemaafannya mengikuti perbedaan dua pendapat tentang bagaimana ia memiliki mahar karena talak. Jika dikatakan: ia memiliki setengah mahar karena talak, maka pemaafannya adalah pembebasan murni yang sah dengan salah satu dari enam lafaz: memaafkan, membebaskan, meninggalkan, menggugurkan, memberikan kepemilikan, atau menghibahkan, dan dalam hal memerlukan penerimaan dari istri terdapat dua pendapat sebagaimana telah lalu.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ مَلَكَ بِالطَّلَاقِ أَنْ يَتَمَلَّكَ نِصْفَ الصَّدَاقِ، كَانَ عَفْوُهُ إِبْطَالًا لِتَمَلُّكِ الصَّدَاقِ، فَيَصِحُّ بِالْأَلْفَاظِ السِّتَّةِ الَّتِي يَصِحُّ بِهَا الْإِبْرَاءُ، أَوْ يَصِحُّ بِزِيَادَةِ لَفْظَتَيْنِ وَهُمَا: الْإِحْلَالُ، وَالْإِبَاحَةُ، فَيَصِيرُ عَفْوُهُ بِأَحَدِ ثَمَانِيَةِ أَلْفَاظٍ، وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى الْقَبُولِ وَجْهًا وَاحِدًا لَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ، كَمَا لَا يَفْتَقِرُ الْعَفْوُ عَنِ الشُّفْعَةِ وَالْقِصَاصِ إِلَى قَبُولٍ.
Dan jika dikatakan: ia berhak karena talak untuk memiliki setengah mahar, maka pemaafannya adalah pembatalan hak untuk memiliki mahar, sehingga sah dengan enam lafaz yang sah untuk pembebasan, atau juga sah dengan tambahan dua lafaz, yaitu: menghalalkan dan membolehkan, sehingga pemaafannya sah dengan salah satu dari delapan lafaz, dan tidak memerlukan penerimaan menurut satu pendapat yang tidak diperselisihkan oleh ulama kami, sebagaimana pemaafan atas syuf‘ah dan qishāsh tidak memerlukan penerimaan.
– وَإِنْ كَانَ الْعَافِي مِنْهُمَا هِيَ الزَّوْجَةَ، فَعَفْوُهَا هِبَةٌ مَحْضَةٌ تَصِحُّ بِإِحْدَى لَفْظَيْنِ: إِمَّا الْهِبَةِ أَوِ التَّمْلِيكِ، وَلَا تَتِمُّ إِلَّا بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: بِالْبَذْلِ، وَالْقَبُولِ، وَالْقَبْضِ. فَإِنْ عَفَا الزَّوْجَانِ جَمِيعًا نُظِرَ.
– Jika yang memaafkan di antara keduanya adalah istri, maka pemaafan darinya merupakan hibah murni yang sah dengan salah satu dari dua lafaz: hibah atau tamlīk (pengalihan kepemilikan), dan tidak sempurna kecuali dengan tiga hal: penyerahan, penerimaan, dan pengambilan. Jika kedua suami istri sama-sama memaafkan, maka perlu diteliti lebih lanjut.
– فَإِنْ كَانَ فِي ذِمَّةِ الزَّوْجِ غُلِّبَ عَفْوُ الزَّوْجَةِ عَلَى عَفْوِ الزَّوْجِ، لِأَنَّ عَفْوَ الزَّوْجَةِ إِبْرَاءٌ وَعَفْوَ الزَّوْجِ هِبَةٌ.
– Jika yang menjadi tanggungan adalah suami, maka pemaafan istri lebih diutamakan daripada pemaafan suami, karena pemaafan istri adalah pembebasan (ibrā’), sedangkan pemaafan suami adalah hibah.
– وَإِنْ كَانَ فِي ذِمَّةِ الزَّوْجَةِ غُلِّبَ عَفْوُ الزَّوْجِ عَلَى عَفْوِ الزَّوْجَةِ، لِأَنَّ عَفْوَ الزَّوْجِ إِبْرَاءٌ، وَعَفْوَ الزَّوْجَةِ هِبَةٌ.
– Jika yang menjadi tanggungan adalah istri, maka pemaafan suami lebih diutamakan daripada pemaafan istri, karena pemaafan suami adalah pembebasan (ibrā’), sedangkan pemaafan istri adalah hibah.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ كَانَ الصَّدَاقُ عَيْنًا قَائِمَةً فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika mahar berupa barang yang masih ada, maka keadaannya terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِي يَدِ الزَّوْجِ، فَلَا يَخْلُو الْعَافِي مِنْ أَنْ يَكُونَ هُوَ الزَّوْجَ أَوِ الزَّوْجَةَ.
Pertama: Barang tersebut berada di tangan suami, maka yang memaafkan bisa jadi adalah suami atau istri.
– فَإِنْ كَانَ الْعَافِي هِيَ الزَّوْجَةَ فَعَفْوُهَا هِبَةٌ مَحْضَةٌ لِنِصْفِ عَيْنٍ مُشْتَرَكَةٍ فِي يَدِ الْمَوْهُوبِ لَهُ، فَلَا تَصِحُّ إِلَّا بِإِحْدَى لَفْظَتَيْنِ: الْهِبَةِ أَوِ التَّمْلِيكِ، وَلَا تَتِمُّ إِلَّا بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ وَرَابِعٍ مُخْتَلَفٍ فِيهِ وَهُوَ الْبَذْلُ، وَالْقَبُولُ، وَالْقَبْضُ، وَأَنْ يَمْضِيَ عَلَيْهِمَا بَعْدَهُ زَمَانُ الْقَبْضِ، وَهَلْ يَفْتَقِرُ إِلَى إِذْنِ الزَّوْجَةِ لَهُ بِالْقَبْضِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
– Jika yang memaafkan adalah istri, maka pemaafannya merupakan hibah murni atas setengah barang bersama yang ada di tangan penerima hibah, sehingga tidak sah kecuali dengan salah satu dari dua lafaz: hibah atau tamlīk, dan tidak sempurna kecuali dengan tiga hal dan satu hal yang diperselisihkan, yaitu penyerahan, penerimaan, pengambilan, dan telah berlalu waktu setelah pengambilan. Apakah membutuhkan izin istri untuk pengambilan atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَفْتَقِرُ إِلَى إِذْنٍ بِالْقَبْضِ، لِأَنَّهُ فِي قَبْضِهِ.
Salah satunya: Tidak membutuhkan izin untuk pengambilan, karena barang tersebut sudah berada dalam genggamannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا بُدَّ مِنْ إِذْنٍ بِالْقَبْضِ، لِأَنَّهُ كَانَ فِي يَدِهِ مِلْكًا لَهَا فَلَمْ يَزُلْ حُكْمُ يَدِهِ إِلَّا بِإِذْنِهَا.
Pendapat kedua: Harus ada izin untuk pengambilan, karena barang tersebut berada di tangannya sebagai milik istri, sehingga status kepemilikannya tidak hilang kecuali dengan izinnya.
– وَإِنْ كَانَ الْعَافِي هُوَ الزَّوْجَ: تَرَتَّبَ عَفْوُهُ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَا مَلَكَهُ بِطَلَاقِهِ فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ مَلَكَ بِهِ نِصْفَ الصَّدَاقِ كَانَ عَفْوُهُ هِبَةً مَحْضَةً لِمُشَاعٍ فِي يَدِهِ، فَيَصِحُّ بِإِحْدَى لَفْظَتَيْنِ إِمَّا بِالْهِبَةِ، أَوْ بِالتَّمْلِيكِ، وَلَا يَتِمُّ إِلَّا بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: بِالْبَذْلِ وَالْقَبُولِ، وَالْقَبْضِ.
– Jika yang memaafkan adalah suami: Maka pemaafannya bergantung pada perbedaan dua pendapat tentang apa yang ia miliki karena talak. Jika dikatakan bahwa ia memiliki setengah mahar dengan talak, maka pemaafannya adalah hibah murni atas bagian bersama yang ada di tangannya, sehingga sah dengan salah satu dari dua lafaz, yaitu hibah atau tamlīk, dan tidak sempurna kecuali dengan tiga hal: penyerahan, penerimaan, dan pengambilan.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ مَلَكَ بِالطَّلَاقِ أَنْ يَتَمَلَّكَ نِصْفَ الصَّدَاقِ، كَانَ عَفْوُهُ إِسْقَاطًا لِحَقِّهِ فِيهِ، فَيَصِحُّ بِإِحْدَى ثَمَانِيَةِ أَلْفَاظٍ مَضَتْ، وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى الْقَبُولِ وَجْهًا وَاحِدًا.
Dan jika dikatakan bahwa ia dengan talak hanya berhak untuk memiliki setengah mahar, maka pemaafannya adalah pengguguran haknya atas bagian tersebut, sehingga sah dengan salah satu dari delapan lafaz yang telah disebutkan, dan tidak membutuhkan penerimaan menurut satu pendapat.
فَصْلٌ: وَالضَّرْبُ الثَّانِي
Fasal: Bagian kedua
: أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ فِي يَدِ الزَّوْجَةِ، فَلَا يَخْلُو حَالُ الْعَافِي مِنْ أَنْ يَكُونَ هُوَ الزَّوْجَ أَوِ الزَّوْجَةَ.
: Yaitu mahar berada di tangan istri, maka keadaan yang memaafkan bisa jadi adalah suami atau istri.
فَإِنْ كَانَ الْعَافِي هِيَ الزَّوْجَةَ: فَعَفْوُهَا هِبَةٌ مَحْضَةٌ لِمُشَاعٍ فِي يَدِهَا فَلَا يَتِمُّ إِلَّا بِالْبَذْلِ، وَالْقَبُولِ، وَالْقَبْضِ، وَلَهَا قَبْلَ الْقَبْضِ الرُّجُوعُ.
Jika yang memaafkan adalah istri: Maka pemaafannya merupakan hibah murni atas bagian bersama yang ada di tangannya, sehingga tidak sempurna kecuali dengan penyerahan, penerimaan, dan pengambilan, dan ia berhak menarik kembali sebelum pengambilan.
وَإِنْ كَانَ الْعَافِي هُوَ الزَّوْجَ تَرَتَّبَ عَفْوُهُ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَا مَلَكَهُ بِطَلَاقِهِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا.
Jika yang memaafkan adalah suami, maka pemaafannya bergantung pada perbedaan dua pendapat tentang apa yang ia miliki karena talak sebagaimana telah disebutkan.
فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ مَلَكَ نِصْفَ الصَّدَاقِ، كَانَ عَفْوُهُ هِبَةً مَحْضَةً لِمُشَاعٍ فِي يَدِ الْمَوْهُوبِ لَهُ، فَلَا تَتِمُّ إِلَّا بِالْبَذْلِ، وَالْقَبُولِ، وَأَنْ يَمْضِيَ زَمَانُ الْقَبْضِ. وَهَلْ يَفْتَقِرُ إِلَى إِذْنٍ بِالْقَبْضِ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ، وَلَهُ الرُّجُوعُ قَبْلَ أَنْ يَمْضِيَ زَمَانُ الْقَبْضِ، وَهَلْ يَرْجِعُ بَعْدَهُ وَقَبْلَ الْإِذْنِ؟ عَلَى الْقَوْلَيْنِ.
Jika dikatakan bahwa ia memiliki setengah mahar, maka pemaafannya adalah hibah murni atas bagian bersama yang ada di tangan penerima hibah, sehingga tidak sempurna kecuali dengan penyerahan, penerimaan, dan telah berlalu waktu pengambilan. Apakah membutuhkan izin untuk pengambilan atau tidak? Sebagaimana telah disebutkan dalam dua pendapat, dan ia berhak menarik kembali sebelum berlalu waktu pengambilan, dan apakah boleh menarik kembali setelahnya dan sebelum izin? Ada dua pendapat.
وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُ مَلَكَ بِالطَّلَاقِ أَنْ يَتَمَلَّكَ نِصْفَ الصَّدَاقِ كَانَ عَفْوُهُ إِسْقَاطًا يَصِحُّ بِأَحَدِ الْأَلْفَاظِ الثَّمَانِيَةِ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى الْقَبُولِ وَجْهًا وَاحِدًا.
Dan jika dikatakan bahwa ia dengan talak hanya berhak untuk memiliki setengah mahar, maka pemaafannya adalah pengguguran hak yang sah dengan salah satu dari delapan lafaz dan tidak membutuhkan penerimaan menurut satu pendapat.
– فَإِنْ عَفَا الزَّوْجَانِ مَعًا لَمْ يَصِحَّ عَفْوُ الزَّوْجَةِ بِحَالٍ، لِأَنَّ عَفْوَهَا هِبَةٌ لَا تَتِمُّ إِلَّا بِالْقَبُولِ وَلَا يَصِحُّ عَفْوُ الزَّوْجِ إِنْ جَعَلْنَاهُ وَاهِبًا لِافْتِقَارِهِ إِلَى الْقَبُولِ، وَيَصِحُّ عَفْوُهُ إِنْ جَعَلْنَاهُ مُسْقِطًا، لِأَنَّ عفوه لا يفتقر إلى قبول.
– Jika kedua suami istri memaafkan bersama-sama, maka pemaafan istri tidak sah dalam keadaan apa pun, karena pemaafannya adalah hibah yang tidak sempurna kecuali dengan penerimaan, dan pemaafan suami juga tidak sah jika dianggap sebagai hibah karena membutuhkan penerimaan, namun pemaafan suami sah jika dianggap sebagai pengguguran hak, karena pemaafannya tidak membutuhkan penerimaan.
لو وهبت الزوجة صداقها لزوجها ثم طلقا قبل الدخول – تقسيم
Jika istri menghibahkan maharnya kepada suaminya lalu mereka bercerai sebelum terjadi hubungan suami istri – Pembagian
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” (قَالَ) وَلَوْ وَهَبَتْ لَهُ صَدَاقَهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِهِ وَالْآخَرُ لَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ ملكه (قال المزني) رحمه الله: وقال في كتاب القديم لا يرجع إذا قبضته فوهبته له أو لم تقبضه لأن هبتها له إبراءٌ ليس كاستهلاكها إياه لو وهبته لغيره فبأي شيءٍ يرجع عليها فيما صار إليه؟ “.
Imam Syafi‘i berkata: “(Beliau berkata) Jika istri menghibahkan maharnya kepada suaminya, kemudian suaminya menceraikannya sebelum menyentuhnya (berhubungan), maka dalam hal ini ada dua pendapat. Salah satunya: suami berhak kembali kepada istri atas setengah mahar, dan pendapat lainnya: suami tidak berhak kembali kepadanya sedikit pun karena sudah menjadi miliknya.” (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Dan beliau berkata dalam kitab al-Qadim, tidak ada hak kembali jika istri telah menerima mahar lalu menghibahkannya kepada suami, atau belum menerimanya, karena hibah istri kepada suami adalah pembebasan (ibra’), tidak seperti jika mahar itu dikonsumsi olehnya, atau jika ia menghibahkannya kepada orang lain. Maka dengan apa suami bisa kembali kepada istri atas sesuatu yang telah menjadi miliknya?”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا وَهَبَتْ لِزَوْجِهَا صَدَاقَهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ طَلَاقًا يَمْلِكُ بِهِ نِصْفَ الصَّدَاقِ، لَمْ يَخْلُ الصَّدَاقُ الْمَوْهُوبُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa jika seorang wanita menghibahkan maharnya kepada suaminya, lalu suaminya menceraikannya sebelum terjadi hubungan suami istri dengan talak yang menyebabkan suami berhak atas setengah mahar, maka mahar yang dihibahkan itu tidak lepas dari dua keadaan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَيْنًا، أَوْ دَيْنًا.
Yaitu apakah berupa barang (‘ayn), atau berupa utang (dayn).
فَإِنْ كَانَ عَيْنًا: فَسَوَاءٌ وَهَبَتْهُ قَبْلَ قَبْضِهِ أَوْ بَعْدَ قَبْضِهِ هَلْ لَهُ الرُّجُوعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ بَدَلِهِ؟
Jika berupa barang (‘ayn): maka baik istri menghibahkannya sebelum menerima atau sesudah menerima, apakah suami berhak kembali kepada istri atas setengah penggantinya?
فِيهِ قَوْلَانِ:
Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ، وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّهُ لَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ.
Salah satunya: yaitu pendapat beliau dalam al-Qadim, dan salah satu dari dua pendapat beliau dalam al-Jadid, serta dipilih oleh al-Muzani, bahwa suami tidak berhak kembali kepada istri sedikit pun.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِهِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ وَهَبَتْهُ قَبْلَ قَبْضِهِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهَا، وَإِنْ وَهَبَتْهُ بَعْدَهُ رَجَعَ، وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ فِي الْأَعْيَانِ سَوَاءٌ، لِأَنَّ التَّصَرُّفَ فِيهِمَا قَبْضٌ.
Pendapat kedua: yaitu pendapat beliau dalam al-Jadid, bahwa suami berhak kembali kepada istri atas setengahnya. Abu Hanifah berkata: Jika istri menghibahkannya sebelum menerima, maka suami tidak berhak kembali kepadanya. Namun jika setelah menerima, maka suami berhak kembali. Dan kedua keadaan pada barang (‘ayn) adalah sama, karena tindakan terhadap keduanya adalah penerimaan (qabd).
– فَإِذَا قُلْنَا بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ: أَنَّهُ لَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ فَوَجْهُهُ شَيْئَانِ:
– Jika kita memilih pendapat pertama: bahwa suami tidak berhak kembali kepada istri sedikit pun, maka alasannya ada dua:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَدْ تَعَجَّلَ الصَّدَاقَ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهِ، كَمَا لَوْ تَعَجَّلَ دَيْنًا مُؤَجَّلًا.
Pertama: karena suami telah menerima mahar sebelum waktunya berhak, maka ia tidak berhak kembali setelah waktunya tiba, sebagaimana jika seseorang menerima pelunasan utang sebelum jatuh tempo.
وَالثَّانِي: أَنَّ هِبَتَهَا لِلصَّدَاقِ يَجْعَلُهَا كَالْمَنْكُوحَةِ بِغَيْرِ صَدَاقٍ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ عَلَيْهَا رُجُوعًا بِالطَّلَاقِ.
Kedua: bahwa hibah istri atas mahar menjadikannya seperti wanita yang dinikahi tanpa mahar, sehingga suami tidak berhak kembali kepadanya karena talak.
– وَإِذَا قُلْنَا بِالْقَوْلِ الثَّانِي: إِنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِهِ فَوَجْهُهُ شَيْئَانِ:
– Dan jika kita memilih pendapat kedua: bahwa suami berhak kembali kepada istri atas setengahnya, maka alasannya ada dua:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَادَ الصَّدَاقُ إِلَيْهِ بِغَيْرِ السَّبَبِ الَّذِي اسْتَحَقَّ الرُّجُوعَ بِهِ فَلَمْ يَمْنَعْهُ ذَلِكَ مِنَ الرُّجُوعِ بِنِصْفِهِ كَمَا لَوِ ابْتَاعَهُ.
Pertama: bahwa mahar telah kembali kepada suami bukan karena sebab yang membuatnya berhak kembali, sehingga hal itu tidak menghalanginya untuk kembali atas setengahnya, sebagaimana jika ia membelinya kembali.
وَالثَّانِي: أَنَّهَا لَوْ وَهَبَتْ لَهُ غَيْرَ الصَّدَاقِ لَمْ يَمْنَعْهُ ذَلِكَ مِنَ الرُّجُوعِ بِنِصْفِهِ كَذَلِكَ إِذَا وَهَبَتْ لَهُ الصَّدَاقَ، لِأَنَّ جَمِيعَ ذَلِكَ مَالٌ لَهَا.
Kedua: bahwa jika istri menghibahkan kepada suami selain mahar, hal itu tidak menghalangi suami untuk kembali atas setengahnya, demikian pula jika ia menghibahkan mahar, karena semuanya adalah harta milik istri.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ، فَإِنْ قِيلَ: لَهُ الرُّجُوعُ فَسَوَاءٌ كَافَأَهَا عَلَى الْهِبَةِ أَمْ لَا فَإِنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ قِيمَةِ الصَّدَاقِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثْلٌ، وَبِنِصْفِ مِثْلِهِ إِنْ كَانَ لَهُ مثل.
Jika telah dijelaskan alasan kedua pendapat, maka jika dikatakan: suami berhak kembali, maka baik suami telah memberikan imbalan atas hibah itu atau tidak, suami tetap berhak kembali kepada istri atas setengah nilai mahar jika tidak ada barang sejenisnya, dan atas setengah barang sejenisnya jika ada barang sejenisnya.
وَإِنْ قِيلَ: لَا رُجُوعَ، وَكَانَ قَدْ كَافَأَهَا عَلَى هِبَتِهِ فَفِي رُجُوعِهِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي وُجُوبِ الْمُكَافَأَةِ:
Dan jika dikatakan: tidak ada hak kembali, dan suami telah memberikan imbalan atas hibah itu, maka dalam hak kembali ini ada dua wajah yang diambil dari perbedaan pendapat tentang wajib tidaknya imbalan hibah:
أَحَدُهُمَا: لَا يَرْجِعُ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْمُكَافَأَةَ لَا تَجِبُ.
Pertama: suami tidak berhak kembali, jika dikatakan bahwa imbalan hibah tidak wajib.
وَالثَّانِي: يَرْجِعُ، إِذَا قِيلَ: إِنَّ الْمُكَافَأَةَ تَجِبُ.
Kedua: suami berhak kembali, jika dikatakan bahwa imbalan hibah itu wajib.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ كَانَ الصَّدَاقُ دَيْنًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika mahar berupa utang (dayn), maka ada dua keadaan:
أحدهما: أنه تَهَبَهُ لِلزَّوْجِ بَعْدَ قَبْضِهِ مِنْهُ، فَيَكُونُ فِي حُكْمِ الصَّدَاقِ إِذَا كَانَ عَيْنًا فَوَهَبَتْهَا لَهُ فِي أَنَّ رُجُوعَهُ يَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Pertama: istri menghibahkannya kepada suami setelah menerima dari suami, maka hukumnya sama seperti mahar berupa barang (‘ayn) yang dihibahkan kepada suami, yaitu hak kembali suami ada dua pendapat.
وَالضَّرْبُ الثاني: أن تبرئه مِنْهُ قَبْلَ قَبْضِهِ، فَإِذَا قِيلَ: لَا يَرْجِعُ مَعَ الْهِبَةِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَرْجِعَ مَعَ الْإِبْرَاءِ، وَإِذَا قِيلَ: يَرْجِعُ مَعَ الْهِبَةِ فَفِي رُجُوعِهِ مَعَ الْإِبْرَاءِ قَوْلَانِ.
Kedua: istri membebaskan suami dari utang mahar sebelum menerima, maka jika dikatakan: tidak ada hak kembali dengan hibah, maka lebih utama lagi tidak ada hak kembali dengan pembebasan utang (ibra’). Dan jika dikatakan: ada hak kembali dengan hibah, maka dalam hak kembali dengan pembebasan utang ada dua pendapat.
وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ خَرَّجَ فِي رُجُوعِهِ عَلَيْهَا مَعَ الْهِبَةِ وَالْإِبْرَاءِ ثَلَاثَةَ أَقَاوِيلَ:
Sebagian ulama kami menyimpulkan dalam hak kembali suami kepada istri baik dengan hibah maupun pembebasan utang (ibra’) ada tiga pendapat:
أَحَدُهَا: يَرْجِعُ عَلَيْهَا، سَوَاءٌ وَهَبَتْ أَوْ أَبْرَأَتْ.
Pertama: suami berhak kembali kepada istri, baik istri menghibahkan atau membebaskan utang.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: لَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا، سَوَاءٌ وَهَبَتْ أَوْ أَبْرَأَتْ.
Pendapat kedua: suami tidak berhak kembali kepada istri, baik istri menghibahkan atau membebaskan utang.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: يَرْجِعُ عَلَيْهَا، إِنْ وَهَبَتْ، وَلَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا إِنْ أَبْرَأَتْ.
Pendapat ketiga: suami boleh menarik kembali (pemberian) dari istrinya jika ia memberikannya sebagai hibah, dan tidak boleh menarik kembali jika ia membebaskannya (dari kewajiban tersebut).
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْهِبَةِ وَالْإِبْرَاءِ: أَنَّ الْهِبَةَ تَصَرُّفٌ وَالْإِبْرَاءَ إِسْقَاطٌ، وَهَذِهِ الطَّرِيقَةُ أَوْلَى.
Perbedaan antara hibah dan ibra’: hibah adalah bentuk pengalihan kepemilikan, sedangkan ibra’ adalah pengguguran hak. Cara ini (pembedaan ini) lebih utama.
فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ بَعْضُ صَدَاقِهَا عَيْنًا وَبَعْضُهُ دَيْنًا فَوَهَبَتْ لَهُ الْعَيْنَ وَأَبْرَأَتْهُ مِنَ الدَّيْنِ، أَجْرَى عَلَى الْعَيْنِ حُكْمَ الْهِبَةِ فِي جَوَازِ الرُّجُوعِ، وَعَلَى الدَّيْنِ حُكْمَ الْإِبْرَاءِ فِي عَدَمِ الرُّجُوعِ.
Berdasarkan hal ini, jika sebagian mahar istrinya berupa barang dan sebagian lagi berupa utang, lalu ia menghibahkan barang tersebut kepada suaminya dan membebaskannya dari utang, maka pada barang berlaku hukum hibah, yaitu boleh menarik kembali, dan pada utang berlaku hukum ibra’, yaitu tidak boleh menarik kembali.
وَعَلَى هَذَا: لَوْ وَهَبَتْ لَهُ الصَّدَاقَ إِنْ كَانَ عَيْنًا أَوْ أَبْرَأَتْهُ مِنْهُ إِنْ كَانَ دَيْنًا ثُمَّ ارْتَدَّتْ قَبْلَ الدُّخُولِ فَمَلَكَ الرُّجُوعَ عَلَيْهَا بِجَمِيعِ صَدَاقِهَا.
Berdasarkan hal ini: jika istri menghibahkan mahar kepada suaminya jika berupa barang, atau membebaskannya jika berupa utang, kemudian ia murtad sebelum terjadi hubungan suami istri, maka suami berhak menarik kembali seluruh maharnya.
كَانَ فِي رُجُوعِهِ عَلَيْهَا بِجَمِيعِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ، كَمَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا فِي الطَّلَاقِ بِنِصْفِهِ:
Dalam hal suami menarik kembali seluruh mahar darinya, terdapat tiga pendapat, sebagaimana suami menarik kembali setengah mahar dalam kasus talak:
أَحَدُهَا: لَا يَرْجِعُ بِشَيْءٍ فِي الْهِبَةِ وَالْإِبْرَاءِ.
Pertama: tidak boleh menarik kembali apa pun baik pada hibah maupun ibra’.
وَالثَّانِي: يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِجَمِيعِهِ فِي الْهِبَةِ وَالْإِبْرَاءِ.
Kedua: boleh menarik kembali seluruhnya baik pada hibah maupun ibra’.
وَالثَّالِثُ: يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِجَمِيعِهِ فِي الْهِبَةِ، وَلَا يَرْجِعُ بِشَيْءٍ فِي الْإِبْرَاءِ.
Ketiga: boleh menarik kembali seluruhnya pada hibah, dan tidak boleh menarik kembali apa pun pada ibra’.
فَصْلٌ
Fasal
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا: أَنْ يَبْتَاعَ الرَّجُلَانِ سِلْعَةً وَيَهَبَ الْبَائِعُ لِلْمُشْتَرِي ثَمَنَهَا ثُمَّ تُسْتَحَقُّ السِّلْعَةُ مِنْ مُشْتَرِيهَا فَفِي رُجُوعِهِ عَلَى الْبَائِعِ بِثَمَنِهَا وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ الْقَوْلَيْنِ فِي رجوع الزوج.
Bertalian dengan apa yang telah kami sebutkan: jika dua orang laki-laki membeli suatu barang, lalu penjual menghibahkan harga barang itu kepada pembeli, kemudian barang tersebut ternyata menjadi milik orang lain (disita dari pembeli), maka dalam hal pembeli menuntut kembali harga barang dari penjual terdapat dua pendapat yang diambil dari dua pendapat dalam masalah suami menarik kembali (mahar).
وَهَكَذَا لَوْ وَجَدَ الْمُشْتَرِي بِالسِّلْعَةِ عَيْبًا فَفِي رُجُوعِهِ بِأَرْشِهِ وَجْهَانِ:
Demikian pula jika pembeli menemukan cacat pada barang, maka dalam hal ia menuntut ganti rugi (arsh) terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا رَدَّ وَلَا أَرْشَ.
Pertama: tidak ada pengembalian barang maupun ganti rugi.
وَالثَّانِي: لَهُ الرَّدُّ وَالرُّجُوعُ بِالثَّمَنِ، فَإِنْ تَعَذَّرَ الرَّدُّ رَجَعَ بِالْأَرْشِ.
Kedua: ia berhak mengembalikan barang dan menuntut kembali harga, jika pengembalian tidak memungkinkan maka ia berhak menuntut ganti rugi (arsh).
وَلَكِنْ لَوْ أَنَّ مُشْتَرِي السِّلْعَةِ وَهَبَهَا لِبَائِعِهَا ثُمَّ فَلَّسَ هَذَا الْمُشْتَرِي فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَضْرِبَ بِالثَّمَنِ مَعَ غُرَمَاءِ الْمُشْتَرِي قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ مَا تَقَدَّمَ لِأَنَّهُ اسْتَحَقَّ غَيْرَ مَا وُهِبَ لَهُ.
Namun, jika pembeli barang tersebut menghibahkan barang itu kepada penjualnya, lalu pembeli itu bangkrut, maka penjual berhak menuntut harga barang bersama para kreditur pembeli, menurut satu pendapat, berbeda dengan kasus sebelumnya, karena yang ia tuntut adalah selain dari apa yang telah dihibahkan kepadanya.
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا: أَنْ يُكَاتِبَ السَّيِّدُ عَبْدَهُ عَلَى مَالٍ ثُمَّ يُبَرِّئَهُ فَقَدْ عَتَقَ بِالْإِبْرَاءِ كَمَا يَعْتِقُ بِالْأَدَاءِ، فَهَلْ يَلْزَمُ السَّيِّدَ أَنْ يُؤْتِيَهُ بَعْدَ الْإِبْرَاءِ مَا كَانَ يَلْزَمُهُ أَنْ يَرُدَّهُ عَلَيْهِ بَعْدَ الْأَدَاءِ؟ .
Bertalian dengan apa yang telah kami sebutkan: jika seorang tuan membuat perjanjian mukatab dengan budaknya atas sejumlah harta, lalu ia membebaskannya (dari kewajiban membayar), maka budak itu merdeka karena ibra’ sebagaimana ia merdeka karena pembayaran. Lalu, apakah tuan wajib memberikan kepada budak itu setelah ibra’ apa yang sebelumnya wajib ia kembalikan setelah pembayaran?
فِيهِ وَجْهَانِ:
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُهُ، لِأَنَّهُ مَا اسْتَأْدَى مِنْهُ شَيْئًا.
Pertama: tidak wajib, karena ia tidak mengambil apa pun darinya.
وَالثَّانِي: يَلْزَمُهُ، لِأَنَّ الْإِبْرَاءَ يَقُومُ مَقَامَ الْأَدَاءِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Kedua: wajib, karena ibra’ menempati posisi pembayaran. Dan Allah lebih mengetahui.
لَوْ وَهَبَتِ الزَّوْجَةُ لِزَوْجِهَا نِصْفَ الصَّدَاقِ ثم طلقها قبل الدخول
Jika istri menghibahkan setengah mahar kepada suaminya, lalu suami mentalaknya sebelum terjadi hubungan suami istri
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَكَذَلِكَ إِنْ أَعْطَاهَا نِصْفَهُ ثُمَّ وَهَبَتْ لَهُ النِّصْفَ الْآخَرَ ثُمَّ طَلَّقَهَا لَمْ يَرْجِعْ بشيءٍ ولا أعلم قولاً غير هذا إلا أن يقول قائلٌ هبتها له كهبتها لغيره والأول عندنا أحسن والله أعلم ولكل وجهٌ (قال المزني) والأحسن أولى به من الذي ليس بأحسن والقياس عندي على قوله ما قال في كتاب الإملاء إذا وهبت له النصف أن يرجع عليها بنصف ما بقي “.
Imam Syafi’i berkata: “Demikian pula jika suami memberikan setengah mahar kepadanya, lalu istri menghibahkan setengah sisanya kepada suami, kemudian suami mentalaknya, maka suami tidak menarik kembali apa pun. Aku tidak mengetahui pendapat lain kecuali jika ada yang mengatakan hibah istri kepada suami sama seperti hibah kepada selain suami, namun pendapat pertama menurut kami lebih baik. Dan setiap pendapat memiliki sisi (pertimbangan). (Al-Muzani berkata:) Dan yang lebih baik lebih utama dipegang daripada yang tidak lebih baik. Dan menurutku, qiyās atas pendapatnya sebagaimana yang ia sebutkan dalam Kitab Al-Imla’, jika istri menghibahkan setengah mahar kepada suami, maka suami boleh menarik kembali setengah dari sisanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا: أَنْ تَهَبَ لَهُ نِصْفَ صَدَاقِهَا ثُمَّ يُطَلِّقُهَا قَبْلَ الدُّخُولِ، فَفِي رُجُوعِهِ عَلَيْهَا أَرْبَعَةُ أَقَاوِيلَ:
Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: istri menghibahkan setengah maharnya kepada suami, lalu suami mentalaknya sebelum terjadi hubungan suami istri. Dalam hal suami menarik kembali dari istri, terdapat empat pendapat:
أَحَدُهَا: لَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ، وَيَكُونُ مَا وَهَبَتْهُ مِنْ نِصْفِهِ هُوَ الْمُسْتَحَقُّ بِطَلَاقِهِ.
Pertama: suami tidak menarik kembali apa pun dari istri, dan apa yang telah dihibahkan dari setengah mahar itu menjadi hak suami karena talak.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِجَمِيعِ النِّصْفِ الْبَاقِي وَيَكُونُ النِّصْفُ الْمَمْلُوكُ بِالْهِبَةِ كَالْمَمْلُوكِ بِالِابْتِيَاعِ.
Pendapat kedua: suami menarik kembali seluruh setengah mahar yang tersisa, dan setengah yang dimiliki melalui hibah diperlakukan seperti yang dimiliki melalui pembelian.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الْمَوْجُودِ وَهُوَ الرُّبُعُ، وَبِنِصْفِ قِيمَةِ الْمَوْهُوبِ وَهُوَ الرُّبُعُ.
Pendapat ketiga: suami menarik kembali setengah dari yang ada (yaitu seperempat), dan setengah dari nilai yang dihibahkan (yaitu seperempat).
وَالْقَوْلُ الرَّابِعُ: أَنَّهُ يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الْبَاقِي وَهُوَ الرُّبُعُ، وَلَا شَيْءَ لَهُ سِوَاهُ، وَكَأَنَّ الْمَوْهُوبَ لَمْ يَكُنْ صَدَاقًا بِعَوْدِهِ إليه.
Pendapat keempat: suami menarik kembali setengah dari yang tersisa (yaitu seperempat), dan tidak ada hak lain baginya selain itu, seakan-akan yang dihibahkan bukanlah mahar karena telah kembali kepadanya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن خَالَعَتْهُ بشيءٍ مِمَّا عَلَيْهِ مِنَ الْمَهْرِ فَمَا بَقِيَ فَعَلَيْهِ نِصْفُهُ (قَالَ الْمُزَنِيُّ) هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ لِأَنَّ النِّصْفَ مشاعٌ فِيمَا قَبَضَتْ وَبَقِيَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang istri melakukan khul‘ terhadap suaminya dengan sesuatu dari mahar yang menjadi tanggungannya, maka sisa mahar tersebut menjadi tanggungan suami sebanyak setengahnya.” (Al-Muzani berkata:) “Ini lebih sesuai dengan pendapat beliau, karena setengahnya menjadi bagian bersama dari apa yang telah diterima dan yang masih tersisa.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مِنَ الْخُلْعِ أَوْرَدَهَا الْمُزَنِيُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مِنَ الصَّدَاقِ لِأَمْرَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Masalah khul‘ ini dikemukakan oleh Al-Muzani dalam bab mahar karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ خُلْعٌ عَلَى الصَّدَاقِ فَأَوْرَدَهَا فِيهِ.
Pertama: Karena khul‘ tersebut dilakukan atas mahar, maka ia membahasnya di sini.
وَالثَّانِي: لِيُفَرِّقَ بِهَا بَيْنَ مَا عَادَ مِنَ الصَّدَاقِ إِلَى الزَّوْجِ بِالْهِبَةِ وَبَيْنَ مَا عَادَ إِلَيْهِ بِالْخُلْعِ.
Kedua: Untuk membedakan antara mahar yang kembali kepada suami melalui hibah dan yang kembali kepadanya melalui khul‘.
وَالْخُلْعُ: عَقْدٌ تَمْلِكُ بِهِ الزَّوْجَةُ نَفْسَهَا، وَيَمْلِكُ بِهِ الزَّوْجُ مَالَ خُلْعِهَا، كَالنِّكَاحِ الَّذِي يَمْلِكُ بِهِ الزَّوْجُ بُضْعَهَا، وَتَمْلِكُ الزَّوْجَةُ بِهِ صَدَاقَهَا، إِلَّا أَنَّ الزَّوْجَةَ فِي الْخُلْعِ تَقُومُ مَقَامَ الزَّوْجِ فِي النِّكَاحِ، لِأَنَّهَا تَمْلِكُ بِالْخُلْعِ بُضْعَ نَفْسِهَا كَمَا مَلَكَ الزَّوْجُ بِالنِّكَاحِ بُضْعَهَا، وَالزَّوْجُ فِي الْخُلْعِ يَقُومُ مَقَامَ الزَّوْجَةِ فِي النِّكَاحِ، لِأَنَّهُ يَمْلِكُ بِالْخُلْعِ الْبَدَلَ كَمَا مَلَكَتِ الزَّوْجَةُ بِالنِّكَاحِ الْمَهْرَ.
Khul‘ adalah akad yang dengannya istri memperoleh hak atas dirinya sendiri, dan suami memperoleh hak atas harta khul‘ dari istrinya, sebagaimana akad nikah yang dengannya suami memperoleh hak atas kemaluan istrinya, dan istri memperoleh hak atas maharnya. Namun, dalam khul‘, istri menempati posisi suami dalam akad nikah, karena dengan khul‘ ia memperoleh hak atas dirinya sendiri sebagaimana suami memperoleh hak atas dirinya melalui akad nikah. Sedangkan suami dalam khul‘ menempati posisi istri dalam akad nikah, karena ia memperoleh pengganti (harta) melalui khul‘ sebagaimana istri memperoleh mahar melalui akad nikah.
فَإِذَا خَالَعَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ عَلَى صَدَاقِهَا فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika seorang laki-laki melakukan khul‘ terhadap istrinya dengan mahar, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الدُّخُولِ، فَالْخُلْعُ بِهِ جَائِزٌ، سَوَاءٌ خَالَعَهَا بِجَمِيعِ الصَّدَاقِ أَوْ بِبَعْضِهِ، لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَقَرَّ لَهَا جَمِيعُهُ بِالدُّخُولِ فَخَالَعَتْهُ عَلَى مَا قَدِ اسْتَقَرَّ مِلْكُهَا عَلَيْهِ.
Pertama: Jika terjadi setelah terjadi hubungan suami istri (setelah dukhul), maka khul‘ itu sah, baik ia melakukan khul‘ dengan seluruh mahar atau sebagian darinya, karena seluruh mahar telah menjadi hak istri dengan terjadinya hubungan, sehingga ia melakukan khul‘ atas apa yang telah menjadi miliknya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُخَالِعَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ، فَإِنَّ الزَّوْجَ يَمْلِكُ مِنَ الصَّدَاقِ بِطَلَاقِهِ فِي غَيْرِ الْخُلْعِ نِصْفَهُ، وَيَبْقَى عَلَيْهِ نِصْفُهُ، لِأَنَّ الْفُرْقَةَ إِذَا وَقَعَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ سَقَطَ عَنْهُ نِصْفُ الصَّدَاقِ، وَلَوْ وَقَعَتْ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ سَقَطَ عَنْهُ جَمِيعُ الصَّدَاقِ.
Kedua: Jika ia melakukan khul‘ sebelum terjadi hubungan, maka suami berhak atas setengah mahar dengan talak tanpa khul‘, dan sisanya tetap menjadi tanggungannya. Sebab, jika perpisahan terjadi sebelum dukhul dari pihak suami, maka gugur setengah mahar darinya, dan jika terjadi dari pihak istri, maka gugur seluruh mahar darinya.
وَالْفُرْقَةُ فِي الْخُلْعِ وَإِنْ تَمَّتْ بِهِمَا فَالْمُغَلَّبُ فِيهَا الزَّوْجُ دُونَهَا، لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُخَالِعَهَا مَعَ غَيْرِهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تُخَالِعَهُ مَعَ غَيْرِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Perpisahan dalam khul‘, meskipun terjadi dari kedua belah pihak, namun yang lebih dominan adalah pihak suami, karena boleh jadi ia melakukan khul‘ dengan selain istrinya, sedangkan istri tidak boleh melakukan khul‘ dengan selain suaminya. Jika demikian, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُخَالِعَهَا عَلَى جَمِيعِ الصَّدَاقِ، وَهَذَا يَأْتِي فِي كِتَابِ الْخُلْعِ.
Pertama: Jika ia melakukan khul‘ dengan seluruh mahar, dan hal ini akan dijelaskan dalam Kitab Khul‘.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يُخَالِعَهَا عَلَى بَعْضِهِ، وَهُوَ الْمَسْطُورُ هَاهُنَا، فَإِذَا أَصْدَقَهَا أَلْفًا وَخَالَعَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ عَلَى نِصْفِهَا وَهُوَ خَمْسُمِائَةٍ.
Kedua: Jika ia melakukan khul‘ dengan sebagian mahar, dan inilah yang sedang dibahas di sini. Misalnya, jika ia memberikan mahar seribu dan melakukan khul‘ sebelum dukhul atas setengahnya, yaitu lima ratus.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: فَمَا بَقِيَ فَعَلَيْهِ نِصْفُهُ، فَجَعَلَ الشَّافِعِيُّ الْخَمْسَمِائَةَ الَّتِي خَالَعَهَا عَلَيْهَا يَكُونُ الْخُلْعُ مِنْهَا عَلَى نِصْفِهَا وهو مئتان وَخَمْسُونَ، وَنِصْفُهَا يَمْلِكُهُ بِطَلَاقِهِ، وَالنِّصْفُ الْبَاقِي مِنَ الصَّدَاقِ وَهُوَ خَمْسُمِائَةٍ يَمْلِكُ نِصْفَهُ بِطَلَاقِهِ وَهُوَ مئتان وخمسون ويبقى عليه نصفه وهو مئتان وَخَمْسُونَ يَسُوقُهُ إِلَيْهَا.
Imam Syafi‘i berkata: Maka sisa mahar tersebut menjadi tanggungan suami sebanyak setengahnya. Jadi, Imam Syafi‘i menjadikan lima ratus yang dijadikan sebagai harta khul‘, maka khul‘ berlaku atas setengahnya, yaitu dua ratus lima puluh, dan setengahnya lagi menjadi hak suami karena talak, dan setengah mahar yang tersisa, yaitu lima ratus, suami berhak atas setengahnya karena talak, yaitu dua ratus lima puluh, dan sisanya, yaitu dua ratus lima puluh, tetap menjadi tanggungannya untuk diberikan kepada istri.
وَقَدْ كَانَ الظَّاهِرُ يَقْتَضِي أَنْ يَمْلِكَ جَمِيعَ النِّصْفِ بِالْخُلْعِ، وَيَمْلِكَ النِّصْفَ الْآخَرَ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا يَبْقَى عَلَيْهِ مِنَ الصَّدَاقِ شَيْءٌ.
Padahal secara lahiriah, seharusnya suami berhak atas seluruh setengah mahar melalui khul‘, dan setengah lainnya melalui talak sebelum dukhul, sehingga tidak tersisa lagi mahar yang menjadi tanggungannya.
فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ مُصَوَّرَةٌ أَنَّهُ خَالَعَهَا عَلَى نِصْفِ الْأَلْفِ وَهُوَ خَمْسُمِائَةٍ وَهُمَا يَعْلَمَانِ أَنَّهُ يَسْقُطُ بِالطَّلَاقِ نِصْفُهَا وَيَبْقَى فِي الْخُلْعِ نِصْفُهَا، فَصَارَ كَأَنَّهُ خَالَعَهَا مِنَ الْخَمْسِمِائَةِ عَلَى مَا يَمْلِكُهُ منها بعد الطلاق وهو مئتان وَخَمْسُونَ، فَمَلَكَ تِلْكَ الْخَمْسَمِائَةَ بِخُلْعِهِ وَطَلَاقِهِ وَيَبْقَى لَهَا عَلَيْهِ خَمْسُمِائَةٍ، مَلَكَ الزَّوْجُ نِصْفَهَا بِطَلَاقِهِ وذلك مئتان وَخَمْسُونَ، وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: وَمَا بَقِيَ فَعَلَيْهِ نِصْفُهُ، فَصَارَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الصَّدَاقِ وَهُوَ سَبْعُمِائَةٍ وَخَمْسُونَ سَاقِطًا عَنِ الزَّوْجِ. النِّصْفُ: بِالطَّلَاقِ، وَالرُّبُعُ: بِالْخُلْعِ، وَبَقِيَ عَلَيْهِ: الرُّبُعُ لِلزَّوْجَةِ وَهُوَ مئتان وَخَمْسُونَ.
Salah satunya: yaitu pendapat Abū ‘Alī ibn Khairān, bahwa permasalahan ini digambarkan sebagai berikut: ia melakukan khulu‘ terhadap istrinya dengan mahar setengah dari seribu, yaitu lima ratus, sementara keduanya mengetahui bahwa dengan terjadinya talak, setengah dari mahar tersebut gugur dan yang tersisa dalam khulu‘ adalah setengahnya. Maka seolah-olah ia melakukan khulu‘ dari lima ratus atas apa yang masih menjadi haknya setelah talak, yaitu dua ratus lima puluh. Maka suami memiliki lima ratus itu melalui khulu‘ dan talak, dan masih tersisa bagi istri atas suaminya lima ratus, yang mana suami memiliki setengahnya karena talak, yaitu dua ratus lima puluh. Inilah makna perkataan asy-Syāfi‘ī: “Dan apa yang tersisa, maka atasnya setengahnya.” Maka yang gugur dari suami adalah tiga perempat mahar, yaitu tujuh ratus lima puluh; setengahnya karena talak, seperempatnya karena khulu‘, dan yang tersisa atasnya adalah seperempat untuk istri, yaitu dua ratus lima puluh.
فَقِيلَ لِابْنِ خَيْرَانَ: فَعَلَى هَذَا مَا تَقُولُ فِيمَنْ بَاعَ عَبْدَهُ وَعَبْدَ غَيْرِهِ بِأَلْفٍ وَهُمَا يَعْلَمَانِ أَنَّ أَحَدَ الْعَبْدَيْنِ مَغْصُوبٌ؟
Lalu dikatakan kepada Ibn Khairān: Berdasarkan pendapat ini, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menjual budaknya dan budak orang lain seharga seribu, padahal keduanya mengetahui bahwa salah satu dari kedua budak itu adalah hasil ghasab (dirampas)?
قَالَ: يَصِحُّ الْبَيْعُ فِي الْعَبْدِ الْمَمْلُوكِ بِجَمِيعِ الْأَلْفِ، وَيَكُونُ ذِكْرُ الْمَغْصُوبِ فِي الْعَقْدِ لَغْوًا كَمَا قَالَ فِي الْخُلْعِ.
Ia menjawab: Jual beli sah pada budak yang dimiliki dengan seluruh seribu, dan penyebutan budak yang digasap dalam akad itu dianggap sia-sia, sebagaimana dalam kasus khulu‘.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْمَسْأَلَةَ مُصَوَّرَةٌ عَلَى أَنَّهَا خَالَعَتْهُ عَلَى مَا يُسَلِّمُ لَهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ مِنْ خَمْسِمِائَةٍ، وَصَرَّحَتْ بِهِ لَفْظًا فِي الْعَقْدِ، وَلَوْ لَمْ تُصَرِّحْ بِهِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِمَا بِهِ مُقْنِعٌ فَيَسْقُطُ عَنْهُ جَمِيعُ الْخَمْسِمِائَةِ بِالْخُلْعِ وَالطَّلَاقِ، وَيَسْقُطُ عَنْهُ نِصْفُ الْخَمْسِمِائَةِ الْأُخْرَى بِالطَّلَاقِ، وَيَبْقَى عَلَيْهِ نِصْفُهَا وَهُوَ مئتان وَخَمْسُونَ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: وَمَا بَقِيَ فَعَلَيْهِ نِصْفُهُ فَيَكُونُ الْجَوَابُ مُوَافِقًا لِجَوَابِ ابْنِ خَيْرَانَ، إِذَا صَرَّحَا بِمَا عَلِمَاهُ وَمُخَالِفًا لَهُ إِنْ لَمْ يُصَرِّحَا بِهِ وَإِنْ عَلِمَاهُ.
Pendapat kedua: Permasalahan ini digambarkan bahwa istri melakukan khulu‘ atas apa yang akan diserahkan suami kepadanya setelah talak dari lima ratus, dan ia menegaskan hal itu secara lafaz dalam akad. Jika tidak menegaskan, maka tidak ada kejelasan bagi keduanya, sehingga seluruh lima ratus gugur dari suami karena khulu‘ dan talak, dan setengah dari lima ratus sisanya gugur karena talak, dan yang tersisa atasnya adalah setengahnya, yaitu dua ratus lima puluh. Inilah makna perkataan asy-Syāfi‘ī: “Dan apa yang tersisa, maka atasnya setengahnya.” Maka jawabannya sesuai dengan jawaban Ibn Khairān jika keduanya menegaskan apa yang mereka ketahui, dan berbeda jika tidak menegaskan meskipun mereka mengetahuinya.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ:
Pendapat ketiga: yaitu pendapat Abū Ishāq al-Marwazī dan Abū Ḥāmid al-Marwazī:
أَنَّ الْمَسْأَلَةَ مُصَوَّرَةٌ عَلَى إِطْلَاقِهِمَا لِذَلِكَ فِي أَنَّهُ خَالَعَهَا عَلَى خَمْسِمِائَةٍ هِيَ نِصْفُ الْأَلْفِ، وَقَدْ كَانَتْ وَقْتَ الْعَقْدِ مَالِكَةً لِجَمِيعِ الْأَلْفِ، فَصَحَّ الْخُلْعُ فِي نِصْفِهَا ثُمَّ سَقَطَ نِصْفُ الْخَمْسِمِائَةِ الَّتِي خَالَعَهَا بِهَا بِالطَّلَاقِ، فَصَارَ كَمَنْ خَالَعَهَا عَلَى مَالٍ تَلِفَ نِصْفُهُ بَعْدَ الْعَقْدِ وَقَبْلَ الْقَبْضِ، فَيَأْخُذُ النِّصْفَ الْبَاقِي.
Permasalahan ini digambarkan secara mutlak bahwa ia melakukan khulu‘ atas lima ratus, yaitu setengah dari seribu, dan pada saat akad istri adalah pemilik seluruh seribu. Maka khulu‘ sah atas setengahnya, kemudian setengah dari lima ratus yang digunakan untuk khulu‘ gugur karena talak. Maka keadaannya seperti seseorang yang melakukan khulu‘ atas harta yang setengahnya rusak setelah akad dan sebelum diterima, sehingga ia hanya mengambil setengah yang tersisa.
وَفِيمَا يَرْجِعُ بِهِ بَدَلُ النِّصْفِ التَّالِفِ قَوْلَانِ:
Adapun terkait pengganti setengah yang rusak, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ يَرْجِعُ بِمِثْلِ التَّالِفِ إِنْ كَانَ ذَا مِثْلٍ، أَوْ بِقِيمَتِهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثْلٌ.
Salah satunya: yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm, bahwa ia berhak mendapatkan pengganti yang serupa jika barang itu ada padanannya, atau nilainya jika tidak ada padanannya.
وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ مَهْرِ الْمِثْلِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْخُلْعُ قَدْ صَحَّ عَلَى نصف الخمسمائة وهو مئتان وخمسون وبطل في نصفها وهو مئتان وَخَمْسُونَ، وَاسْتَحَقَّ بَدَلَهُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ مثله وهو مئتان وَخَمْسُونَ وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ نِصْفُ مَهْرِ المثل.
Dan menurut pendapatnya dalam qaul jadīd: ia berhak atas setengah mahar mitsil. Berdasarkan ini, khulu‘ sah atas setengah dari lima ratus, yaitu dua ratus lima puluh, dan batal atas setengahnya, yaitu dua ratus lima puluh, dan ia berhak atas penggantinya menurut qaul qadīm berupa yang serupa, yaitu dua ratus lima puluh, dan menurut qaul jadīd berupa setengah mahar mitsil.
ثُمَّ بَقِيَ عَلَيْهِ نِصْفُ الصَّدَاقِ وَهُوَ خَمْسُمِائَةٍ قد سقط عنه نصفه بالطلاق وهو مئتان وخمسون وبقي عليه نصفه مئتان وَخَمْسُونَ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: وَمَا بَقِيَ فعليه نصفه، فيصير الباقي عليه مئتان وَخَمْسُونَ، وَفِي الْبَاقِي قَوْلَانِ:
Kemudian masih tersisa atasnya setengah mahar, yaitu lima ratus, yang setengahnya telah gugur karena talak, yaitu dua ratus lima puluh, dan yang tersisa atasnya adalah setengahnya, yaitu dua ratus lima puluh. Inilah makna perkataan asy-Syāfi‘ī: “Dan apa yang tersisa, maka atasnya setengahnya.” Maka yang tersisa atasnya adalah dua ratus lima puluh, dan dalam hal sisa ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ مئتان وَخَمْسُونَ.
Salah satunya: yaitu qaul qadīm, dua ratus lima puluh.
وَالثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ: نِصْفُ مَهْرِ الْمِثْلِ.
Dan yang kedua: yaitu qaul jadīd, setengah mahar mitsil.
فَيَكُونُ الشَّافِعِيُّ قَدْ ذَكَرَ الْبَاقِي عَلَيْهِ وَلَمْ يَذْكُرِ الْبَاقِي لَهُ.
Dengan demikian, asy-Syāfi‘ī hanya menyebutkan sisa yang menjadi tanggungan suami, dan tidak menyebutkan sisa yang menjadi hak suami.
وَهَلْ يَكُونُ الْبَاقِي عَلَيْهِ قِصَاصًا مِنَ الْبَاقِي لَهُ أَمْ لَا؟ عَلَى اخْتِلَافِ أَقَاوِيلِهِ فِيمَنْ لَهُ مَالٌ وَعَلَيْهِ مِثْلُهُ، فَإِنْ جَعَلَ ذَلِكَ قِصَاصًا: بَرِئَا، وَإِنْ لَمْ يَجْعَلْهُ قِصَاصًا؛ تَقَابَضَا.
Apakah sisa yang masih menjadi tanggungan salah satu pihak dapat dijadikan sebagai qishāsh (kompensasi) terhadap sisa yang menjadi hak pihak lain atau tidak? Hal ini bergantung pada perbedaan pendapat dalam masalah seseorang yang memiliki harta dan pada saat yang sama memiliki kewajiban sebesar itu pula. Jika hal tersebut dijadikan sebagai qishāsh, maka keduanya saling bebas dari tanggungan. Namun jika tidak dijadikan sebagai qishāsh, maka keduanya harus saling membayar (menunaikan hak masing-masing).
فَإِنْ قِيلَ: هَلَّا قُلْتُمْ إِذَا خَالَعَهَا عَلَى نِصْفِ الْأَلْفِ أَنَّهُ يَصِحُّ الْخُلْعُ فِي جَمِيعِ النِّصْفِ؛ لِأَنَّهُ يُسَلِّمُ لَهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ النِّصْفَ كَمَا لَوْ خَالَعَتْهُ عَلَى نِصْفِ أَلْفٍ بَيْنَهَا وَبَيْنَ شَرِيكٍ لَهَا أَنَّهُ يَصِحُّ فِي جَمِيعِ النِّصْفِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ سَلَّمَ لَهَا مِنْ جَمِيعِ الْأَلْفِ.
Jika dikatakan: Mengapa kalian tidak mengatakan bahwa jika seorang suami melakukan khulu‘ terhadap istrinya dengan imbalan setengah dari seribu (misal mahar), maka khulu‘ itu sah untuk seluruh setengahnya; karena ia akan menyerahkan kepada istrinya setelah talak setengahnya, sebagaimana jika seorang istri melakukan khulu‘ terhadap suaminya dengan setengah dari seribu yang menjadi miliknya bersama seorang mitra, maka khulu‘ itu sah untuk seluruh setengahnya; karena ia telah menyerahkan kepadanya dari seluruh seribu tersebut.
قِيلَ: الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّهَا فِي الصَّدَاقِ قَدْ خَالَعَتْ عَلَى نِصْفِهِ وَهِيَ مَالِكَةٌ لِجَمِيعِهِ، فَإِذَا سَقَطَ بَعْدَ الْخُلْعِ نِصْفُهُ بِالطَّلَاقِ لَمْ يَتَعَيَّنْ حَقُّهَا مِنَ النِّصْفِ فِي الَّذِي خَالَعَتْ بِهِ دُونَ الْبَاقِي، فَلِذَلِكَ صَارَ مُشْتَرِكًا فِيهَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ حَالُهَا فِي الألف المشتركة؛ لأنها لا تَمْلِكْ مِنْهَا وَقْتَ الْخُلْعِ إِلَّا النِّصْفَ، فَانْصَرَفَ الْعَقْدُ إِلَى النِّصْفِ الَّذِي لَهَا، وَلَمْ يَتَوَجَّهْ إلى النصف الذي يشركها فافترقا.
Dijawab: Perbedaannya adalah, dalam kasus mahar, ia melakukan khulu‘ atas setengahnya padahal ia memiliki seluruhnya. Maka, jika setelah khulu‘ setengahnya gugur karena talak, haknya atas setengah tersebut tidak menjadi pasti hanya pada bagian yang dijadikan imbalan khulu‘, melainkan juga pada sisanya. Karena itu, bagian tersebut menjadi milik bersama. Tidak demikian halnya dalam kasus seribu yang dimiliki bersama; karena pada saat khulu‘, ia hanya memiliki setengahnya, sehingga akad khulu‘ hanya berlaku pada setengah yang menjadi miliknya, dan tidak berlaku pada setengah yang menjadi milik mitranya. Maka keduanya berbeda.
فَصْلٌ
Fashal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَقَدْ ذَكَرَ أَصْحَابُنَا فِي صِحَّةِ الْخُلْعِ عَلَى نِصْفِ الصَّدَاقِ وَسُقُوطِ بَاقِيهِ بِالطَّلَاقِ ثَلَاثَةَ طُرُقٍ يَصِحُّ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا:
Setelah penjelasan di atas, para ulama kami menyebutkan bahwa dalam keabsahan khulu‘ dengan imbalan setengah mahar dan gugurnya sisa mahar karena talak, terdapat tiga metode yang masing-masing dapat dijadikan dasar:
أَحَدُهَا: أَنْ يُخَالِعَهَا بِمِثْلِ نِصْفِهِ فِي ذِمَّتِهَا فَإِذَا كَانَ صَدَاقُهَا أَلْفًا فِي ذِمَّتِهِ خَالَعَهَا عَلَى خَمْسِمِائَةٍ فِي ذِمَّتِهَا، فَإِذَا طَلَّقَهَا فِي خُلْعِهِ بَرِئَ مِنْ نِصْفِ صَدَاقِهَا بِطَلَاقِهِ، وَبَقِيَ عَلَيْهِ نِصْفُهُ وَهُوَ خَمْسُمِائَةٍ، وَوَجَبَ لَهُ عَلَيْهَا مَا خَالَعَهَا بِهِ وَهُوَ خَمْسُمِائَةٍ فَصَارَ لَهُ عَلَيْهَا مِثْلُ مَا بَقِيَ لَهَا فَيَتَقَاصَّانِ أَوْ يَتَقَابَضَانِ أَوْ يَتَبَارَيَانِ.
Pertama: Suami melakukan khulu‘ dengan imbalan setengah mahar yang menjadi tanggungan istrinya. Jika maharnya seribu dan menjadi tanggungan suami, maka ia melakukan khulu‘ dengan imbalan lima ratus yang menjadi tanggungan istrinya. Jika ia menceraikannya dalam khulu‘ tersebut, maka ia bebas dari setengah mahar karena talak, dan sisanya yang lima ratus masih menjadi tanggungan, serta wajib bagi istrinya untuk membayar imbalan khulu‘ yang lima ratus. Maka, keduanya saling memiliki hak yang sama besar, sehingga dapat dilakukan kompensasi (qishāsh), saling membayar, atau saling membebaskan.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُخَالِعَهَا عَلَى مَا يُسَلِّمُ لَهَا مِنْ صَدَاقِهَا وَالَّذِي يُسَلَّمُ لَهَا بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ نِصْفُ الصَّدَاقِ، وَيَكُونُ هُوَ الْمَعْقُودَ عَلَيْهِ الْخُلْعُ فَيَبْرَأُ مِنْ جَمِيعِ نِصْفِهِ بِمَا مَلَكَهُ مِنَ الطَّلَاقِ، وَنِصْفِهِ بِمَا مَلَكَهُ مِنَ الْخُلْعِ.
Metode kedua: Suami melakukan khulu‘ dengan imbalan apa yang akan diserahkan kepada istrinya dari maharnya, dan yang akan diserahkan kepadanya karena talak sebelum terjadi hubungan suami istri adalah setengah mahar, dan inilah yang menjadi objek akad khulu‘. Maka, ia bebas dari seluruh setengah mahar karena hak yang diperoleh dari talak, dan setengahnya lagi karena hak yang diperoleh dari khulu‘.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّالِثَةُ: ذَكَرَهَا أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: أَنْ يُخَالِعَهَا عَلَى أَنْ لَا تَبِعَةَ لَهَا عَلَيْهِ فِي مَهْرِهَا فَيَبْرَأُ مِنْ جَمِيعِهِ بِمَا مَلَكَهُ بِطَلَاقِهِ وَبِخُلْعِهِ، وَيَصِيرُ كَأَنَّهُ قَدْ خَالَعَهَا عَلَى مَا يُسَلِّمُ لَهَا مِنْ صَدَاقِهَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Metode ketiga: Disebutkan oleh Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, yaitu suami melakukan khulu‘ dengan syarat tidak ada lagi tuntutan bagi istrinya atas mahar. Maka, ia bebas dari seluruh mahar karena hak yang diperoleh dari talak dan dari khulu‘, sehingga seakan-akan ia melakukan khulu‘ dengan imbalan apa yang akan diserahkan kepada istrinya dari maharnya. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَأَمَّا فِي الصَّدَاقِ غَيْرِ الْمُسَمَّى أَوِ الْفَاسِدِ فَالْبَرَاءَةُ فِي ذَلِكَ باطلةٌ لِأَنَّهَا أَبْرَأَتْهُ مِمَّا لا تعلم (قال) وَلَوْ قَبَضَتِ الْفَاسِدَ ثَمَّ رَدَّتْهُ عَلَيْهِ كَانَتِ الْبَرَاءَةُ باطلةٌ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَهْرِ أَوْ يُعْطِيَهَا مَا تَسْتَيْقِنُ أَنَّهُ أَقَلُّ وَتُحَلِّلُهُ مِمَّا بَيْنَ كَذَا إِلَى كَذَا أَوْ يُعْطِيَهَا أَكْثَرَ وَيُحَلِّلُهَا مِمَّا بين كذا إلى كذا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Adapun dalam mahar yang tidak disebutkan (namanya) atau mahar yang rusak (tidak sah), maka pembebasan dari hal tersebut batal, karena ia membebaskan dari sesuatu yang tidak diketahui. (Beliau berkata:) Jika ia telah menerima mahar yang rusak lalu mengembalikannya kepada suami, maka pembebasan itu batal dan ia berhak atas mahar mitsil (mahar yang sepadan), kecuali jika dilakukan setelah mengetahui mahar atau suami memberinya sesuatu yang diyakini lebih sedikit dan ia menghalalkannya dari batas sekian sampai sekian, atau suami memberinya lebih banyak dan ia menghalalkannya dari batas sekian sampai sekian.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ إِبْرَاءَ الْمَرْأَةِ لِزَوْجِهَا مِنَ الصَّدَاقِ مُعْتَبَرٌ بِشَرْطَيِّ الْإِبْرَاءِ:
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa pembebasan istri terhadap suaminya dari mahar dianggap sah dengan dua syarat pembebasan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ وُجُوبَ الْحَقِّ، فَإِنْ كَانَ قَبْلَ وجوبه لم يصح، كمن عفى عَنِ الشُّفْعَةِ قَبْلَ الشِّرَاءِ لَمْ يَصِحَّ الْعَفْوُ.
Pertama: Dilakukan setelah hak itu wajib. Jika dilakukan sebelum hak itu wajib, maka tidak sah, seperti seseorang yang memaafkan hak syuf‘ah sebelum pembelian, maka pemaafan itu tidak sah.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ مِنْ مَعْلُومِ الْقَدْرِ، فَإِنْ كَانَ الْإِبْرَاءُ مِنْ مَجْهُولٍ لَمْ يَصِحَّ. وَكَذَلِكَ الضَّمَانُ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِهَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ:
Kedua: Harus dari sesuatu yang diketahui kadarnya. Jika pembebasan dari sesuatu yang tidak diketahui, maka tidak sah. Demikian pula penjaminan (ḍamān) tidak sah kecuali dengan dua syarat ini:
أَنْ يَكُونَ بَعْدَ وُجُوبِ الْحَقِّ، وَأَنْ يَكُونَ مَعْلُومَ الْقَدْرِ.
Dilakukan setelah hak itu wajib, dan dari sesuatu yang diketahui kadarnya.
وَأَسْقَطَ أَبُو حَنِيفَةَ اعْتِبَارَ هَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ فِي الضَّمَانِ، وَجَوَّزَ الْإِبْرَاءَ مِنَ الْمَجْهُولِ.
Abu Hanifah menggugurkan syarat kedua ini dalam penjaminan (ḍamān), dan membolehkan pembebasan dari sesuatu yang tidak diketahui.
وَلِلْكَلَامِ عَلَيْهِ مَوْضِعٌ غَيْرُ هَذَا. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالنِّكَاحُ ضَرْبَانِ:
Pembahasan tentang hal ini memiliki tempat tersendiri, bukan di sini. Jika demikian, maka nikah terbagi menjadi dua jenis:
أَحَدُهُمَا: نِكَاحُ تَفْوِيضٍ.
Pertama: Nikah tafwīḍ.
وَالثَّانِي: نِكَاحُ غَيْرِ تَفْوِيضٍ.
Kedua: Nikah selain tafwīḍ.
فَأَمَّا نِكَاحُ التَّفْوِيضِ الَّذِي لَمْ يُسَمِّ لَهَا فِيهِ مَهْرًا إِذَا أَبْرَأَتْ زَوْجَهَا مِنْ صَدَاقِهَا فِيهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun nikah tafwīḍ, yaitu nikah yang tidak disebutkan mahar untuknya, apabila istri membebaskan suaminya dari mahar dalam nikah tersebut, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ أَنْ فُرِضَ لَهَا فِيهِ مَهْرٌ، فَالْإِبْرَاءُ صَحِيحٌ؛ لِأَنَّهَا أَبْرَأَتْهُ مِنْ وَاجِبٍ مَعْلُومٍ.
Pertama: Pembebasan itu dilakukan setelah ditetapkan mahar untuknya, maka pembebasan tersebut sah, karena ia membebaskannya dari kewajiban yang sudah jelas.
والضرب الثاني: أن يكون قبل أن فرض لَهَا فِيهِ مَهْرٌ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Keadaan kedua: Pembebasan dilakukan sebelum ditetapkan mahar untuknya, maka ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تُبْرِئَهُ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا، فَالْإِبْرَاءُ بَاطِلٌ، لِأَنَّهَا أَبْرَأَتْهُ مِمَّا لَمْ يَجِبْ؛ لِأَنَّ مَهْرَ الْمُفَوَّضَةِ لَا يَجِبُ بِالْعَقْدِ وَإِنَّمَا يَجِبُ بِالْفَرْضِ أَوْ بِالدُّخُولِ.
Pertama: Ia membebaskannya sebelum terjadi hubungan suami istri, maka pembebasan itu batal, karena ia membebaskannya dari sesuatu yang belum menjadi kewajiban; sebab mahar bagi wanita yang dinikahkan dengan tafwīḍ tidak menjadi wajib dengan akad, melainkan menjadi wajib dengan penetapan atau setelah terjadi hubungan suami istri.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الدُّخُولِ بِهَا فَقَدْ وَجَبَ لَهَا مَهْرُ الْمِثْلِ، فَإِنْ عَلِمَتْ قَدْرَهُ صَحَّ الْإِبْرَاءُ وَلَمْ تَفْتَقِرْ إِلَى الْقَبُولِ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ.
Keadaan kedua: Pembebasan dilakukan setelah terjadi hubungan suami istri, maka telah menjadi haknya mahar mitsil (mahar yang sepadan). Jika ia mengetahui kadar mahar tersebut, maka pembebasan itu sah dan tidak memerlukan penerimaan menurut mazhab Syāfi‘ī dan mayoritas pengikutnya.
وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا يَتِمُّ إِلَّا بِقَبُولِ الزَّوْجِ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَإِنْ لَمْ تَعْلَمْ قدره بالإبراء بَاطِلٌ، لِأَنَّ الْبَرَاءَةَ مِنَ الْمَجْهُولِ بَاطِلَةٌ.
Sebagian dari mereka berpendapat: Tidak sah kecuali dengan penerimaan suami, dan ini adalah mazhab Abū Ḥanīfah. Jika ia tidak mengetahui kadarnya, maka pembebasan itu batal, karena pembebasan dari sesuatu yang tidak diketahui adalah batal.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا نِكَاحُ غَيْرِ التَّفْوِيضِ: وَهُوَ أَنْ يُسَمَّى فِيهِ مَهْرٌ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ: صَحِيحٌ، وَفَاسِدٌ.
Adapun nikah selain tafwīḍ, yaitu nikah yang disebutkan mahar di dalamnya, maka terbagi menjadi dua: sah dan fasid (rusak).
– فَأَمَّا الصَّحِيحُ: فَالْإِبْرَاءُ مِنْهُ صَحِيحٌ، لِأَنَّهُ إِبْرَاءٌ مِنْ وَاجِبٍ مَعْلُومٍ.
– Adapun yang sah: pembebasan darinya adalah sah, karena itu merupakan pembebasan dari kewajiban yang sudah jelas.
– وَأَمَّا الْفَاسِدُ: فَالْإِبْرَاءُ مِنْهُ فاسد؛ لأنه الْفَاسِدَ لَا يَجِبُ، فَصَارَ إِبْرَاءً مِنْ غَيْرِ وَاجِبٍ، وَالْوَاجِبُ لَهَا فِي الْفَاسِدِ مَهْرُ الْمِثْلِ، فَلَوْ سَلَّمَ الصَّدَاقَ الْفَاسِدَ إِلَيْهَا فَرَدَّتْهُ عَلَيْهِ هِبَةً لَهُ لَمْ تَصِحَّ الْهِبَةُ؛ لِأَنَّهُ مَالُهُ رَدَّتْهُ عَلَيْهِ وَهِيَ عَلَى حَقِّهَا مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ، فَلَوْ أَبْرَأَتْهُ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ رُوعِيَ عِلْمُهَا بِقَدْرِهِ، فَإِنْ جَهِلَتْ قَدْرَهُ فَالْإِبْرَاءُ بَاطِلٌ، سَوَاءٌ عَلِمَ الزَّوْجُ قَدْرَهُ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ، وَإِنْ عَلِمَتْ قَدْرَهُ صَحَّ الْإِبْرَاءُ، سَوَاءٌ عَلِمَ الزَّوْجُ قَدْرَهُ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ؛ لِأَنَّ قَبُولَهُ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فَكَانَ عِلْمُهُ بِقَدْرِهِ غَيْرَ مُعْتَبَرٍ.
– Adapun yang fasid: pembebasan darinya tidak sah, karena yang fasid tidak menjadi kewajiban, sehingga menjadi pembebasan dari sesuatu yang bukan kewajiban. Kewajiban baginya dalam nikah fasid adalah mahar mitsil. Jika mahar fasid itu telah diserahkan kepadanya lalu ia mengembalikannya kepada suaminya sebagai hibah, maka hibah itu tidak sah, karena itu adalah hartanya yang dikembalikan kepadanya, sementara ia tetap berhak atas mahar mitsil. Jika ia membebaskannya dari mahar mitsil, maka diperhatikan pengetahuannya tentang kadarnya. Jika ia tidak mengetahui kadarnya, maka pembebasan itu batal, baik suami mengetahui kadarnya ataupun tidak. Jika ia mengetahui kadarnya, maka pembebasan itu sah, baik suami mengetahui kadarnya ataupun tidak, karena penerimaan suami tidak dianggap, maka pengetahuannya tentang kadar tersebut juga tidak dianggap.
وَعَلَى قَوْلِ مَنْ زَعَمَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّ قَبُولَ الزَّوْجِ مُعْتَبَرٌ فَعِلْمُهُ بِقَدْرِهِ مُعْتَبَرٌ،
Menurut pendapat sebagian ulama dari kalangan kami yang berpendapat bahwa penerimaan suami dianggap, maka pengetahuannya tentang kadar tersebut juga dianggap.
فَصْلٌ
Fasal
فَلَوْ عَلِمَتْ أَنَّ مَهْرَ مِثْلِهَا لَا يَنْقُصُ عَنْ عَشَرَةِ دَنَانِيرَ، وَجَهِلَتِ الزِّيَادَةَ عَلَيْهَا فَأَبْرَأَتْهُ مِنْ جَمِيعِهِ لَمْ يَبْرَأْ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَى الْعَشْرَةِ؛ لِأَنَّهَا مَجْهُولَةٌ، وَفِي بَرَاءَتِهِ مِنَ الْعَشْرَةِ الْمَعْلُومَةِ وَجْهَانِ:
Jika ia mengetahui bahwa mahar mitsilnya tidak kurang dari sepuluh dinar, dan ia tidak mengetahui tambahan di atas itu, lalu ia membebaskannya dari seluruhnya, maka suami tidak terbebas dari tambahan di atas sepuluh dinar karena tambahan itu tidak diketahui. Dalam pembebasan dari sepuluh dinar yang diketahui itu terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَبْرَأُ مِنْهَا لِكَوْنِهَا مَعْلُومَةَ الْقَدْرِ.
Pertama: Suami terbebas darinya karena kadarnya diketahui.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَبْرَأُ مِنْهَا؛ لِأَنَّهَا بَعْضُ جُمْلَةٍ مَجْهُولَةٍ فَجَرَى عَلَى جَمِيعِهَا حُكْمُ الْجَهَالَةِ كَمَا لَوْ ضَمِنَ مَا يَعْلَمُ بَعْضَهُ وَيَجْهَلُ جَمِيعَهُ كَانَ ضَمَانُ الْجَمِيعِ بَاطِلًا.
Pendapat kedua: Suami tidak terbebas darinya, karena sepuluh dinar itu merupakan bagian dari keseluruhan yang tidak diketahui, sehingga berlaku atas keseluruhannya hukum ketidakjelasan, sebagaimana jika seseorang menjamin sesuatu yang ia ketahui sebagian namun tidak mengetahui keseluruhannya, maka jaminan atas keseluruhannya batal.
فَإِنْ كَانَ مَهْرُ مِثْلِهَا مَجْهُولَ الْقَدْرِ مَعْلُومَ الطَّرَفَيْنِ، مِثْلَ أَنْ تَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ عَنْ عَشَرَةِ دَنَانِيرَ وَلَا يَزِيدُ عَلَى عِشْرِينَ دِينَارًا فَلِلْبَرَاءَةِ مِنْهُ حَالَانِ.
Jika mahar mitsilnya tidak diketahui kadarnya namun diketahui batas minimal dan maksimalnya, seperti ia mengetahui bahwa tidak kurang dari sepuluh dinar dan tidak lebih dari dua puluh dinar, maka pembebasan darinya memiliki dua keadaan.
حَالٌ بِالْإِبْرَاءِ، وَحَالٌ بِالْأَدَاءِ.
Keadaan dengan pembebasan, dan keadaan dengan pembayaran.
فَأَمَّا الْإِبْرَاءُ: فَالطَّرِيقُ إِلَى صِحَّتِهِ أَنْ تَقُولَ: قَدْ أَبْرَأْتُكَ مِنْ دِينَارٍ إِلَى عِشْرِينَ دِينَارًا، فَيَبْرَأُ، لِأَنَّ الْعِلْمَ بِالطَّرَفَيْنِ يَجْعَلُ الْوَسَطَ مُلْحَقًا بِهِمَا فَلَوْ أَبْرَأَتْهُ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَى الْعَشْرَةِ إِلَى الْعِشْرِينَ صَحَّ وَصَارَ مَا تَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهِ مِنَ الْمَهْرِ عَشَرَةَ دَنَانِيرَ.
Adapun pembebasan: cara agar sah adalah dengan mengatakan, “Aku membebaskanmu dari satu dinar hingga dua puluh dinar,” maka suami terbebas, karena pengetahuan tentang kedua batas itu menjadikan bagian tengahnya mengikuti keduanya. Jika ia membebaskannya dari tambahan atas sepuluh hingga dua puluh dinar, maka itu sah, dan yang menjadi haknya dari mahar adalah sepuluh dinar.
فَلَوْ قَالَتْ: قَدْ أَبْرَأْتُكَ مِنْ عَشْرَةٍ إِلَى عِشْرِينَ بَرِئَ مِنَ الْجَمِيعِ، لِأَنَّ الْحَدَّيْنِ يَدْخُلَانِ فِي الْمَحْدُودِ إِذَا جَانَسَاهُ، فَالْحَدُّ الْأَوَّلُ: هُوَ الْمُبْتَدَأُ مِنْهُ، وَالْحَدُّ الثَّانِي: هُوَ الْمُنْتَهَى إِلَيْهِ.
Jika ia berkata: “Aku telah membebaskanmu dari sepuluh sampai dua puluh,” maka ia terbebas dari seluruhnya, karena kedua batas itu termasuk dalam yang dibatasi apabila keduanya sejenis dengannya. Batas pertama adalah permulaan darinya, dan batas kedua adalah akhir darinya.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَدْخُلُ فِيهِ الْحَدُّ الْأَوَّلُ الْمُبْتَدَأُ مِنْهُ وَلَا يَدْخُلُ فِيهِ الْحَدُّ الثَّانِي الْمُنْتَهَى إِلَيْهِ، فَيَبْرَأُ مِنْ تِسْعَةَ عَشَرَ دِينَارًا.
Abu Hanifah berkata: Yang termasuk di dalamnya adalah batas pertama, yaitu permulaan darinya, dan tidak termasuk batas kedua, yaitu akhir darinya, sehingga ia terbebas dari sembilan belas dinar.
وَقَالَ زُفَرُ بْنُ الْهُذَيْلِ: لَا يَدْخُلُ فِيهِ وَاحِدٌ مِنَ الْحَدَّيْنِ، لَا الْمُبْتَدَأُ مِنْهُ وَلَا الْمُنْتَهَى إِلَيْهِ فَيَبْرَأُ مِنْ تِسْعَةِ دَنَانِيرَ.
Zufar bin al-Hudzail berkata: Tidak termasuk di dalamnya salah satu dari kedua batas itu, baik permulaan maupun akhirnya, sehingga ia terbebas dari sembilan dinar.
وَالدَّلِيلُ عَلَى دُخُولِ الْحَدَّيْنِ فِيهِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي يُوسُفَ: إِنَّ ” مِنْ ” حَرْفٌ لِابْتِدَاءِ غَايَةِ الشَّيْءِ، وَ ” إِلَى ” حَرْفٌ لِانْتِهَاءِ غَايَةِ الشَّيْءِ، وَابْتِدَاءُ الشَّيْءِ وَانْتِهَاؤُهُ طَرَفَاهُ، وَطَرَفَا الشَّيْءِ مِنْ جُمْلَتِهِ، فَلِذَلِكَ وَجَبَ دُخُولُ الْحَدِّ فِي الْمَحْدُودِ.
Dalil yang menunjukkan masuknya kedua batas itu, sebagaimana pendapat Abu Yusuf, adalah bahwa “min” merupakan huruf untuk permulaan sesuatu, dan “ilā” adalah huruf untuk akhir sesuatu, sedangkan permulaan dan akhir sesuatu adalah kedua ujungnya, dan kedua ujung sesuatu adalah bagian dari keseluruhannya. Oleh karena itu, wajib kedua batas itu termasuk dalam yang dibatasi.
وَأَمَّا الْإِبْرَاءُ بِالْأَدَاءِ فَضَرْبَانِ:
Adapun pembebasan (ibra’) dengan pembayaran, maka ada dua macam:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهَا عِشْرِينَ دِينَارًا فَقَدْ دَخَلَ فِيهَا جَمِيعُ مَهْرِهَا فَبَرِئَ مِنْهُ، عَشْرَةٌ مِنْهَا مُتَحَقَّقَةٌ وَالْعَشْرَةُ الْأُخْرَى مَشْكُوكَةٌ، فَتَحْتَاجُ أَنْ يُبَرِّئَهَا مِنْ دِينَارٍ إِلَى عَشْرَةٍ فَيُبَرِّئَانِ جَمِيعًا.
Pertama: Ia memberikan kepadanya dua puluh dinar, maka seluruh maharnya telah masuk di dalamnya sehingga ia terbebas darinya; sepuluh di antaranya sudah pasti, dan sepuluh sisanya masih diragukan. Maka ia perlu membebaskannya dari satu dinar sampai sepuluh, sehingga keduanya menjadi bebas seluruhnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهَا عَشْرَةً فَيَحْتَاجُ أَنْ تَكُونَ هِيَ الْمُبَرِّئَةَ لَهُ مِنْ دِينَارٍ إِلَى عَشْرَةٍ فَيَبْرَأُ حِينَئِذٍ مِنْ جَمِيعِ مَهْرِهَا بِالْأَدَاءِ وَالْإِبْرَاءِ.
Macam kedua: Ia memberikan kepadanya sepuluh dinar, maka ia perlu agar perempuan itu membebaskannya dari satu dinar sampai sepuluh, sehingga pada saat itu ia terbebas dari seluruh maharnya dengan pembayaran dan pembebasan.
وَإِذَا كَانَ مَهْرُهَا معلوماُ فِي الذِّمَّةِ فَقَالَتْ: قَدْ أَبْرَأْتُكَ مِنْهُ إِنْ شِئْتَ فَقَالَ: قَدْ شِئْتُ، لَمْ يَصِحَّ الْإِبْرَاءُ.
Apabila maharnya diketahui dan masih menjadi tanggungan, lalu ia berkata: “Aku telah membebaskanmu darinya jika engkau menghendaki,” kemudian suaminya berkata: “Aku menghendaki,” maka pembebasan itu tidak sah.
وَلَوْ كَانَتْ عَيْنًا قَائِمَةً فَقَالَتْ: قَدْ وَهَبْتُهُ لَكَ إِنْ شِئْتَ فَقَالَ: قَدْ قَبِلْتُ وَشِئْتُ، صَحَّتِ الْهِبَةُ.
Namun jika berupa barang yang masih ada, lalu ia berkata: “Aku telah memberikannya kepadamu jika engkau menghendaki,” kemudian suaminya berkata: “Aku menerima dan aku menghendaki,” maka hibah itu sah.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الْإِبْرَاءَ إِسْقَاطٌ لَا يُرَاعَى فِيهِ الْمَشِيئَةُ كَمَا لَا يُرَاعَى فِيهِ الْقَبُولُ، وَالْهِبَةُ تَمْلِيكٌ يُرَاعَى فِيهِ الْمَشِيئَةُ كَمَا يُرَاعَى فِيهِ الْقَبُولُ فَافْتَرَقَا.
Perbedaan antara keduanya adalah: pembebasan (ibra’) merupakan pengguguran hak yang tidak memperhatikan kehendak, sebagaimana tidak memperhatikan penerimaan; sedangkan hibah adalah pemilikan yang memperhatikan kehendak sebagaimana memperhatikan penerimaan, maka keduanya pun berbeda.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا اعْتَقَدَتْ قَبَضَ مَهْرِهَا مِنْهُ فَقَالَتْ: قَدْ أَبْرَأْتُكَ مِنْ مَهْرِي، ثُمَّ بَانَ أَنَّ مَهْرَهَا كَانَ بَاقِيًا عَلَيْهِ فَفِي بَرَاءَتِهِ مِنْهُ وَجْهَانِ:
Jika ia meyakini telah menerima maharnya dari suaminya, lalu ia berkata: “Aku telah membebaskanmu dari maharku,” kemudian ternyata maharnya masih menjadi tanggungan suaminya, maka dalam hal terbebasnya suami dari mahar itu terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ يَبْرَأُ مِنْهُ لِأَنَّهَا بَرَاءَةٌ صَادَفَتْ حَقًّا مَعْلُومًا. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ: أَنَّهُ لَا يَبْرَأُ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَقْصِدْ تَصْحِيحَ الْإِبْرَاءِ بَلْ أَوْرَدَتْهُ لَغْوًا.
Pertama, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri: suami terbebas darinya karena pembebasan itu mengenai hak yang sudah jelas. Pendapat kedua, yaitu pendapat mayoritas ulama: suami tidak terbebas, karena ia tidak bermaksud menegaskan pembebasan, melainkan hanya mengucapkannya secara sia-sia.
وَأَصْلُ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ: مَنْ بَاعَ عَبْدَ أَبِيهِ ثُمَّ بَانَ أَنَّهُ كَانَ وَارِثًا لَهُ وَقْتَ بَيْعِهِ فَفِي صِحَّةِ بَيْعِهِ وجهان.
Asal dari dua pendapat ini adalah tentang seseorang yang menjual budak milik ayahnya, lalu ternyata ia adalah ahli warisnya pada saat penjualan itu, maka dalam keabsahan jual belinya terdapat dua pendapat.
بَابُ الْحُكْمِ فِي الدُّخُولِ وَإِغْلَاقِ الْبَابِ وَإِرْخَاءِ الستر من الجامع ومن كتاب عشرة النساء ومن كتاب الطلاق القديم
Bab: Hukum tentang masuk (kepada istri), menutup pintu, dan menurunkan tirai, dari al-Jāmi‘, dari Kitab ‘Asyrat an-Nisā’, dan dari Kitab ath-Thalāq al-Qadīm.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَيْسَ لَهُ الدُّخُولُ بِهَا حَتَّى يُعْطِيَهَا الْمَالَ فَإِنْ كَانَ كُلُّهُ ديناً فله الدخول بِهَا “.
Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ia tidak berhak menggaulinya sebelum memberikan mahar kepadanya. Jika seluruhnya berupa utang, maka ia berhak menggaulinya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا امْتَنَعَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا لِقَبْضِ صَدَاقِهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, jika seorang perempuan menolak menyerahkan dirinya sebelum menerima maharnya, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:
أَحَدُهَا: أن يكون جمعيه حَالًّا.
Pertama: Seluruh maharnya tunai.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ جَمِيعُهُ مُؤَجَّلًا.
Kedua: Seluruh maharnya ditangguhkan.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ بَعْضُهُ حَالًّا وَبَعْضُهُ مُؤَجَّلًا.
Ketiga: Sebagiannya tunai dan sebagiannya ditangguhkan.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ جَمِيعُهُ حَالًّا، إِمَّا بِإِطْلَاقِ الْعَقْدِ أَوْ بِالشَّرْطِ فَيَكُونُ حَالًّا بِالْعَقْدِ، وَالشَّرْطُ تَأْكِيدٌ، فَلَهَا أَنْ تَمْتَنِعَ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا عَلَى قَبْضِ صَدَاقِهَا، كَمَا كَانَ لِبَائِعِ السِّلْعَةِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ تَسْلِيمِهَا عَلَى قبض ثمنها.
Adapun bagian pertama, yaitu seluruh maharnya tunai, baik karena akadnya bersifat mutlak atau dengan syarat, maka ia menjadi tunai dengan akad, dan syarat itu sebagai penegasan. Maka perempuan berhak menolak menyerahkan dirinya sebelum menerima maharnya, sebagaimana penjual barang berhak menolak menyerahkan barangnya sebelum menerima harganya.
فإذا تَطَوَّعَتْ بِتَسْلِيمِ نَفْسِهَا قَبْلَ قَبْضِ الصَّدَاقِ ثُمَّ أَرَادَتْ بَعْدَ التَّسْلِيمِ أَنْ تَمْتَنِعَ عَلَيْهِ لِقَبْضِ الصَّدَاقِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika seorang istri secara sukarela menyerahkan dirinya sebelum menerima mahar, kemudian setelah penyerahan itu ia ingin menahan diri agar tidak menyerahkan diri lagi sampai menerima mahar, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
الضَّرْبُ الْأَوَّلُ: أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ وَطِئَهَا، فَلَهَا أَنْ تَمْتَنِعَ عَلَيْهِ وَإِنْ سَلَّمَتْ نَفْسَهَا إِلَيْهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ قَدْ وَطِئَهَا، لِأَنَّ الْقَبْضَ فِي النِّكَاحِ يَكُونُ بِالْوَطْءِ الَّذِي يَسْتَقِرُّ بِهِ كَمَالُ الْمَهْرِ دُونَ التَّسْلِيمِ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Keadaan pertama: Jika suami belum menggaulinya, maka ia berhak menahan diri dari suaminya meskipun sebelumnya telah menyerahkan diri, selama belum terjadi hubungan suami istri. Sebab, penyerahan dalam pernikahan dianggap terjadi dengan adanya hubungan suami istri yang dengannya mahar menjadi wajib secara sempurna, bukan hanya dengan penyerahan diri. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَدْ وَطِئَهَا بَعْدَ التَّسْلِيمِ فَلَيْسَ لَهَا عِنْدَنَا أَنْ تَمْتَنِعَ عَلَيْهِ.
Keadaan kedua: Jika suami telah menggaulinya setelah penyerahan diri, maka menurut kami ia tidak berhak lagi menahan diri dari suaminya.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَهَا الِامْتِنَاعُ بَعْدَ الْوَطْءِ، كَمَا كَانَ لَهَا الِامْتِنَاعُ قَبْلَهُ احْتِجَاجًا بِأَنَّ الصَّدَاقَ فِي مُقَابَلَةِ كُلِّ وَطْءٍ فِي النِّكَاحِ لِأَمْرَيْنِ:
Abu Hanifah berpendapat: Istri tetap berhak menahan diri setelah terjadi hubungan suami istri, sebagaimana ia berhak menahan diri sebelumnya, dengan alasan bahwa mahar itu sebagai imbalan atas setiap kali hubungan suami istri dalam pernikahan, karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَوْ كَانَ فِي مُقَابَلَةِ الْأَوَّلِ لَوَجَبَ لِلثَّانِي مَهْرٌ آخَرُ.
Pertama: Jika mahar hanya sebagai imbalan atas hubungan pertama, maka untuk hubungan kedua seharusnya ada mahar lain.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ كَانَ في مقابلة الأول لجاز لا أَنْ تَمْنَعَهُ نَفْسَهَا بَعْدَ الْأَوَّلِ لِاسْتِيفَاءِ حَقِّهِ به.
Kedua: Jika mahar hanya sebagai imbalan atas hubungan pertama, maka boleh baginya menahan diri setelah hubungan pertama karena hak suami telah terpenuhi dengan itu.
وإذا ثبت بهدين أَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ كُلِّ وَطْءٍ لَمْ يَكُنْ تَسْلِيمُهَا لِبَعْضِ الْحَقِّ مُسْقِطًا لِحَقِّهَا فِي مَنْعِ مَا بَقِيَ، كَمَنْ بَاعَ عَشَرَةَ أَثْوَابٍ فَسَلَّمَ أَحَدَهَا قَبْلَ قَبْضِ الثَّمَنِ كَانَ لَهُ حَبْسُ بَاقِيهَا كَذَلِكَ هَاهُنَا.
Jika telah tetap dengan dua alasan ini bahwa mahar adalah imbalan atas setiap kali hubungan suami istri, maka penyerahan sebagian hak tidak menggugurkan hak istri untuk menahan sisanya, sebagaimana seseorang yang menjual sepuluh kain lalu menyerahkan satu kain sebelum menerima pembayaran, maka ia berhak menahan sisanya. Begitu pula dalam masalah ini.
قَالَ: وَلِأَنَّهَا لَمْ تَسْتَوْفِ مَهْرَهَا مَعَ اسْتِحْقَاقِ الْمُطَالَبَةِ فَجَازَ لَهَا أَنْ تَمْتَنِعَ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا قِيَاسًا عَلَى مَا قَبْلَ الْوَطْءِ.
Ia (Abu Hanifah) berkata: Karena ia belum menerima maharnya secara penuh, padahal ia berhak menuntutnya, maka boleh baginya menahan diri dari penyerahan diri, dengan qiyās terhadap keadaan sebelum terjadi hubungan suami istri.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ تَسْلِيمُ رِضًا اسْتَقَرَّ بِهِ الْعِوَضُ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ بِهِ حَقُّ الْإِمْسَاكِ قِيَاسًا عَلَى تَسْلِيمِ الْمَبِيعِ، وَلِأَنَّ أَحْكَامَ الْعَقْدِ إِذَا تَعَلَّقَتْ بِالْوَطْءِ اخْتَصَّتْ بِالْوَطْءِ الْأَوَّلِ وَكَانَ مَا بَعْدَهُ تَبَعًا، وَقَدْ رَفَعَ الْوَطْءُ الْأَوَّلُ حُكْمَ الْإِمْسَاكِ فِي حَقِّهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَرْفَعَهُ فِي حَقٍّ تَبِعَهُ كَالْإِحْلَالِ.
Dalil kami adalah bahwa penyerahan diri secara sukarela yang telah tetap imbalannya, maka gugurlah hak untuk menahan diri, dengan qiyās terhadap penyerahan barang dalam jual beli. Selain itu, hukum-hukum akad jika terkait dengan hubungan suami istri, maka itu khusus untuk hubungan pertama dan yang setelahnya hanya mengikuti, dan hubungan pertama telah menghapuskan hukum penahanan diri bagi suami, maka seharusnya juga menghapuskan hukum tersebut untuk hak yang mengikutinya, seperti halnya dalam masalah kehalalan.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّ الْمَهْرَ فِي مُقَابَلَةِ كُلِّ وَطْءٍ: فَنَقُولُ: قَدِ اسْتُبِيحَ بِهِ كُلُّ وَطْءٍ لَكِنَّهُ قَدِ اسْتَقَرَّ بِالْوَطْءِ الْأَوَّلِ فَقَامَ فِيهِ مَقَامَ كُلِّ وَطْءٍ، أَلَا تَرَاهَا لَوِ ارْتَدَّتْ بَعْدَ الْوَطْءِ الْأَوَّلِ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي سُقُوطِ الْمَهْرِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَوْفِ كُلَّ وَطْءٍ فِي النِّكَاحِ، وَلَوْ عَادَتْ إِلَى الْإِسْلَامِ حَلَّ لَهُ وَطْؤُهَا بِالْمَهْرِ الْمُتَقَدَّمِ.
Adapun dalil mereka bahwa mahar sebagai imbalan atas setiap kali hubungan suami istri, maka kami katakan: Memang dengan mahar itu dihalalkan setiap kali hubungan, namun mahar menjadi tetap dengan hubungan pertama dan itu mewakili setiap kali hubungan. Bukankah jika istri murtad setelah hubungan pertama, hal itu tidak mempengaruhi gugurnya mahar, meskipun belum terjadi semua hubungan dalam pernikahan? Dan jika ia kembali masuk Islam, maka suaminya boleh menggaulinya dengan mahar yang telah ditetapkan sebelumnya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى مَا قَبْلَ الْوَطْءِ الْأَوَّلِ: فَالْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ أَنَّهَا لَمْ تُسَلِّمْ مَا اسْتَقَرَّ بِهِ الْمَهْرُ فَجَرَى مَجْرَى الْبَيْعِ قَبْلَ التَّسْلِيمِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَعْدَ الْوَطْءِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ سَلَّمَتْ مَا اسْتَقَرَّ بِهِ الْمَهْرُ فَجَرَى مَجْرَى الْمَبِيعِ بَعْدَ التَّسْلِيمِ.
Adapun qiyās mereka terhadap keadaan sebelum hubungan pertama: Maksudnya, pada asalnya istri belum menyerahkan apa yang membuat mahar menjadi tetap, sehingga keadaannya seperti jual beli sebelum penyerahan barang. Namun tidak demikian halnya setelah terjadi hubungan, karena ia telah menyerahkan apa yang membuat mahar menjadi tetap, sehingga keadaannya seperti barang yang telah diserahkan dalam jual beli.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي
Fasal: Adapun bagian kedua
: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقُهَا مُؤَجَّلًا، فَيَجُوزُ إِذَا كَانَ الْأَجَلُ مَعْلُومًا؛ لِأَنَّ كُلَّ عَقْدٍ صَحَّ بِعَيْنٍ وَبِدَيْنٍ صَحَّ أَنْ يَكُونَ مُعَجَّلًا وَمُؤَجَّلًا كَالْبَيْعِ، وَإِذَا كَانَ الصَّدَاقُ مؤجلاُ فَعَلَيْهَا تَسْلِيمُ نَفْسِهَا، وَلَيْسَ لَهَا الِامْتِنَاعُ لِقَبْضِ الصَّدَاقِ بَعْدَ حُلُولِ الْأَجَلِ؛ لِأَنَّهَا قَدْ رَضِيَتْ بِتَأْخِيرِ حَقِّهَا وَتَعْجِيلِ حَقِّهِ، فَصَارَ كَالْبَيْعِ بِالثَّمَنِ الْمُؤَجَّلِ يَجِبُ عَلَى الْبَائِعِ تَسْلِيمُ الْمَبِيعِ قَبْلَ قَبْضِ الثَّمَنِ، فَعَلَى هَذَا لَوْ تَأَخَّرَ تَسْلِيمُهَا لِنَفْسِهَا حَتَّى حَلَّ الْأَجَلُ فَأَرَادَتِ الِامْتِنَاعَ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا حَتَّى تَقْبِضَ الصَّدَاقَ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهَا وَإِنْ حَلَّ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَسْتَحِقَّ الِامْتِنَاعَ عَلَيْهِ بِالْعَقْدِ.
Yaitu jika maharnya ditangguhkan pembayarannya, maka hal itu boleh dilakukan selama waktu penangguhan jelas, karena setiap akad yang sah dengan barang atau utang, maka sah juga untuk dijadikan kontan atau tangguh, seperti dalam jual beli. Jika mahar itu ditangguhkan, maka istri wajib menyerahkan dirinya dan tidak berhak menahan diri untuk menerima mahar setelah jatuh tempo, karena ia telah rela menunda haknya dan mempercepat hak suaminya. Maka keadaannya seperti jual beli dengan harga yang ditangguhkan, di mana penjual wajib menyerahkan barang sebelum menerima pembayaran. Berdasarkan hal ini, jika penyerahan dirinya tertunda hingga waktu jatuh tempo, lalu ia ingin menahan diri sampai menerima mahar, maka ia tidak berhak melakukan itu meskipun sudah jatuh tempo, karena ia tidak berhak menahan diri berdasarkan akad.
فَصْلٌ: وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ
Fasal: Adapun bagian ketiga
: وَهُوَ أَنْ يَكُونَ بَعْضُ صَدَاقِهَا حَالًّا وَبَعْضُهُ مُؤَجَّلًا فَيَصِحُّ إِذَا كَانَ قَدَرُ الْحَالِّ مِنْهُ مَعْلُومًا وَأَجَلُ الْمُؤَجَّلِ مَعْلُومًا، وَلَهَا أَنْ تَمْتَنِعَ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا لِقَبْضِ الْحَالِّ وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَمْتَنِعَ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا لِقَبْضِ الْمُؤَجَّلِ، فَيَكُونُ حُكْمُ الْحَالِّ مِنْهُ كَحُكْمِهِ لَوْ كَانَ جَمِيعُهُ حَالًّا، وَحُكْمُ الْمُؤَجَّلِ مِنْهُ كَحُكْمِهِ لَوْ كَانَ جَمِيعُهُ مُؤَجَّلًا، فَلَوْ تَرَاخَى التَّسْلِيمُ حَتَّى حَلَّ الْمُؤَجَّلُ كَانَ لَهَا مَنْعُ نَفْسِهَا عَلَى قَبْضِ الْمُعَجَّلِ دُونَ مَا حَلَّ مِنَ الْمُؤَجَّلِ.
Yaitu apabila sebagian mahar istri bersifat tunai dan sebagian lagi bersifat tangguhan, maka hal itu sah selama bagian yang tunai diketahui kadarnya dan waktu jatuh tempo bagian yang ditangguhkan juga diketahui. Istri berhak menolak menyerahkan dirinya sebelum menerima bagian mahar yang tunai, namun ia tidak berhak menolak menyerahkan dirinya untuk menerima bagian yang ditangguhkan. Maka, hukum bagian yang tunai sama seperti jika seluruh mahar itu tunai, dan hukum bagian yang ditangguhkan sama seperti jika seluruh mahar itu ditangguhkan. Jika penyerahan diri tertunda hingga waktu jatuh tempo bagian yang ditangguhkan, maka istri berhak menahan dirinya sampai menerima bagian yang tunai, namun tidak boleh menahan diri dari bagian yang telah jatuh tempo dari mahar yang ditangguhkan.
هَلْ يَلْزَمُ تَسْلِيمُ الْمَرْأَةِ لِزَوْجِهَا إِذَا طَلَبَهَا بعد دفعه للصداق؟ تقسيم
Apakah istri wajib menyerahkan dirinya kepada suami jika suami memintanya setelah ia membayar mahar? Pembahasan.
مسألة
Masalah.
قال الشافعي: ” وَتُؤَخَّرُ يَوْمًا وَنَحْوَهُ لِتُصْلِحَ أَمْرَهَا وَلَا يَجَاوِزُ بِهَا ثَلَاثًا إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَغِيرَةً لَا تَحْتَمِلُ الْجِمَاعَ فَيَمْنَعُهُ أَهْلُهَا حَتَّى تَحْتَمِلَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Istri diberi waktu sehari atau semisalnya untuk mempersiapkan dirinya, dan tidak boleh lebih dari tiga hari kecuali jika ia masih kecil yang belum mampu melakukan hubungan suami istri, maka keluarganya boleh mencegahnya hingga ia mampu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا دَفَعَ الزَّوْجُ صَدَاقَ زَوْجَتِهِ وَسَأَلَهَا تَسْلِيمَ نَفْسِهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Hal ini benar, apabila suami telah membayar mahar istrinya dan meminta agar istrinya menyerahkan diri kepadanya, maka keadaan istri tidak lepas dari dua kemungkinan:
إِمَّا أَنْ تَكُونَ صَغِيرَةً، أَوْ كَبِيرَةً.
Yaitu, apakah ia masih kecil atau sudah dewasa.
فَإِنْ كَانَتْ كَبِيرَةً لَزِمَهَا تَسْلِيمُ نَفْسِهَا كَمَا يَلْزَمُ الْبَائِعَ تَسْلِيمُ الْمَبِيعِ بَعْدَ قَبْضِ ثَمَنِهِ، وَالْمُؤَجِّرَ تَسْلِيمُ مَا أَجَّرَ بَعْدَ قَبْضِ أُجْرَتِهِ.
Jika ia sudah dewasa, maka ia wajib menyerahkan dirinya sebagaimana penjual wajib menyerahkan barang yang dijual setelah menerima harganya, dan sebagaimana pemilik sewa wajib menyerahkan barang sewaan setelah menerima upah sewanya.
فَإِنِ اسْتَنْظَرَتْهُ لِبِنَاءِ دَارٍ أَوِ اسْتِكْمَالِ جِهَازٍ لَمْ يَلْزَمْهُ إِنْظَارُهَا وَإِنِ اسْتَنْظَرَتْهُ لِمُرَاعَاةِ نَفْسِهَا وَتَعَاهُدِ جَسَدِهَا لَزِمَهُ انْتِظَارُهَا يَوْمًا وَيَوْمَيْنِ وَأَكْثَرَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، لِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تَسْتَغْنِي مَعَ بُعْدِ عَهْدِهَا بِالزَّوْجِ عَنِ التَّأَهُّبِ لها بِمُرَاعَاةِ جَسَدِهَا وَتَفَقُّدِ بَدَنِهَا لَوْ أَنَّهَا رُبَّمَا كَانَتْ عَلَى صِفَةٍ تُنَفِّرُ نَفْسَ الزَّوْجِ مِنْهَا.
Jika istri meminta penundaan karena ingin membangun rumah atau melengkapi perlengkapan, maka suami tidak wajib menunggunya. Namun jika ia meminta penundaan untuk merawat diri dan menjaga kebersihan tubuhnya, maka suami wajib menunggunya sehari, dua hari, atau paling lama tiga hari. Sebab, seorang wanita yang sudah lama tidak bertemu suaminya membutuhkan waktu untuk mempersiapkan diri, merawat tubuh, dan memeriksa keadaannya, karena bisa jadi ia dalam keadaan yang dapat membuat suaminya enggan mendekatinya.
وَقَدْ رَوَى الشَّعْبِيُّ عَنْ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى إِذَا أَطَالَ الرَّجُلُ الْغَيْبَةَ أَنْ يَطْرُقَ أهله ليلاً.
Diriwayatkan dari asy-Sya‘bi dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa Nabi ﷺ melarang seorang laki-laki yang lama bepergian untuk mendatangi istrinya pada malam hari.
فما نَهَى الزَّوْجَ الَّذِي قَدْ أَلِفَهَا، وَأَلِفَتْهُ عَنْ أن يطرقها ليلاً ولم تتأهب له لأن لا يُصَادِفَهَا عَلَى حَالٍ تَنْفُرُ مِنْهَا نَفْسُهُ فَالزَّوْجُ الَّذِي لَمْ يَأْلَفْهَا وَلَمْ تَأْلَفْهُ، وَلَمْ يَعْرِفْهَا وَلَمْ تَعْرِفْهُ أَوْلَى بِالنَّهْيِ.
Jika Nabi melarang seorang suami yang sudah terbiasa dengan istrinya dan istrinya pun sudah terbiasa dengannya untuk mendatangi istrinya pada malam hari tanpa persiapan, agar tidak mendapati istrinya dalam keadaan yang membuatnya enggan, maka suami yang belum terbiasa dengan istrinya dan istrinya pun belum terbiasa dengannya, serta belum saling mengenal, tentu lebih utama untuk dilarang.
وَأَكْثَرُ مُدَّةِ إِنْظَارِهَا ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ؛ لِأَنَّ لَهَا فِي الشَّرْعِ أَصْلًا وَأَنَّهَا أَكْثَرُ الْقَلِيلِ وَأَقَلُّ الْكَثِيرِ، وَهَذَا مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ هَاهُنَا وَفِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” وَقَالَ فِي ” الْإِمْلَاءِ “.
Batas maksimal waktu penundaan adalah tiga hari, karena dalam syariat ada dasarnya, dan tiga hari adalah jumlah terbanyak dari sesuatu yang sedikit dan jumlah paling sedikit dari sesuatu yang banyak. Ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i di sini dan dalam kitab “al-Umm”, dan beliau juga berkata dalam “al-Imla’”.
لَا تُمْهَلُ، وَلَيْسَ هَذَا مُخَالِفًا لِمَا قَالَهُ هَاهُنَا وَفِي الْأُمِّ، وَإِنَّمَا أَرَادَ أَنَّهَا لَا تُمْهَلُ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ رَدًّا عَلَى مَالِكٍ فِي جَوَازِ إِمْهَالِهَا السَّنَةَ.
Tidak boleh diberi waktu penundaan, dan hal ini tidak bertentangan dengan pendapat beliau di sini dan dalam “al-Umm”. Yang dimaksud adalah tidak boleh diberi waktu penundaan lebih dari tiga hari, sebagai bantahan terhadap pendapat Malik yang membolehkan penundaan hingga satu tahun.
فَصْلٌ
Fasal.
وَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jika istri masih kecil, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُمْكِنَ الِاسْتِمْتَاعُ بِمِثْلِهَا؛ لِأَنَّهَا ابْنَةُ تِسْعٍ أَوْ عَشْرٍ قَدْ قَارَبَتِ الْبُلُوغَ وَأَمْكَنَ اسْتِمْتَاعُ الْأَزْوَاجِ بِهَا، فَهِيَ كَالْكَبِيرَةِ، لَهَا أَنْ يُطَالِبَهُ وَلِيُّهَا بِمَهْرِهَا وَعَلَيْهَا تَسْلِيمُ نَفْسِهَا.
Pertama: Jika memungkinkan untuk menikmati istri seusianya, misalnya ia berumur sembilan atau sepuluh tahun, sudah mendekati baligh, dan sudah memungkinkan untuk dinikmati oleh suaminya, maka hukumnya seperti wanita dewasa; walinya boleh menuntut mahar untuknya dan ia wajib menyerahkan dirinya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ لَا يُمْكِنَ الِاسْتِمْتَاعُ بِمِثْلِهَا، لِأَنَّهَا ابْنَةُ سِتٍّ أَوْ سَبْعٍ بِحَسْبِ حَالِهَا، فَرُبَّ صَغِيرَةِ السِّنِّ يُمْكِنُ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا وَرُبَّ كَبِيرَةِ السِّنِّ لَا يُمْكِنُ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا فَلِذَلِكَ لَمْ يَحُدَّهُ سِنٌّ مُقَدَّرَةٌ، وَإِذَا كَانَ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا غَيْرَ مُمْكِنٍ لَمْ يَلْزَمْ تَسْلِيمُهَا إِلَيْهِ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ تَسْلِيمُ الصَّدَاقِ إِلَيْهَا.
Kedua: Jika tidak memungkinkan untuk menikmati istri seusianya, misalnya ia berumur enam atau tujuh tahun, tergantung keadaannya. Sebab, bisa saja anak kecil sudah bisa dinikmati, dan bisa saja wanita dewasa tidak bisa dinikmati. Oleh karena itu, tidak ditentukan batas usia tertentu. Jika belum memungkinkan untuk dinikmati, maka ia tidak wajib menyerahkan dirinya kepada suami, dan suami pun tidak wajib menyerahkan mahar kepadanya.
فَإِنْ طَلَبَ تَسْلِيمَهَا إِلَيْهِ لِيَقُومَ بِحَضَانَتِهَا وَتَرْبِيَتِهَا لَمْ يَلْزَمْ تَسْلِيمُهَا إِلَيْهِ أَيْضًا، لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُ فِي حَضَانَتِهَا، وَإِنَّمَا حَقُّهُ فِي الِاسْتِمْتَاعِ الذي يُخْلَقْ فِيهَا، فَيَسْتَحِقَّهُ الزَّوْجُ مِنْهَا، وَلِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ أَنْ تَغْلِبَهُ الشَّهْوَةُ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا، فَرُبَّمَا أَفْضَى إِلَى تَلَفِهَا وَنِكَايَتِهَا.
Jika suami meminta agar istrinya diserahkan kepadanya untuk ia asuh dan didik, maka tidak wajib juga menyerahkannya kepadanya, karena ia tidak memiliki hak dalam pengasuhan (ḥaḍānah) terhadap istrinya. Haknya hanyalah dalam hal menikmati (istimta‘) yang diciptakan pada dirinya, sehingga hak tersebut menjadi milik suami darinya. Selain itu, tidak aman jika syahwat menguasainya hingga melakukan hubungan dengannya, yang bisa saja berujung pada kerusakan atau mudarat terhadap istrinya.
فَلَوْ سَأَلَهُ وَلِيُّهَا وَهِيَ صَغِيرَةٌ أَنْ يَتَسَلَّمَهَا لَمْ يَلْزَمْهُ؛ لِأَنَّ مَا اسْتَحَقَّهُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا لَمْ يُخْلَقْ فِيهَا، وَلِأَنَّهَا تَحْتَاجُ إِلَى تَرْبِيَةٍ وَحَضَانَةٍ لَا يَلْزَمُهُ الْقِيَامُ بِهَا، وَلِأَنَّهُ يَلْتَزِمُ لَهَا نَفَقَةً لا يقابلها الاستمتاع، والله أعلم.
Jika walinya meminta kepada suami untuk menerima istrinya yang masih kecil, maka suami tidak wajib menerimanya; karena hak suami untuk menikmati istrinya belum tercipta pada dirinya, dan karena ia masih membutuhkan pendidikan dan pengasuhan yang tidak wajib dilakukan oleh suami, serta karena suami akan menanggung nafkah yang tidak diimbangi dengan hak istimta‘. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَالصَّدَاقُ كَالدَّيْنِ سواءٌ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Mahar itu seperti utang, sama saja.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّهُ مَالٌ ثَبَتَ فِي الذِّمَّةِ بِعَقْدٍ فَكَانَ دَيْنًا كَالْأَثْمَانِ، وَمُرَادُ الشَّافِعِيِّ بِأَنَّهُ كَالدَّيْنِ فِي لُزُومِهِ فِي الذِّمَّةِ كَلُزُومِ الدَّيْنِ، وَأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ حَالًّا تَارَةً، وَمُؤَجَّلًا تَارَةً، وَمُنَجَّمًا أُخْرَى، وَأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُسْتَوْثَقَ فِيهِ بِالرَّهْنِ وَالضَّمَانِ، وَالشَّهَادَةِ، وَأَنَّ الْحَوَالَةَ بِهِ جَائِزَةٌ، وَأَنَّ أَخْذَ الْعِوَضِ عَنْهُ سَائِغٌ، وَأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُبْتَاعَ فِيهِ الْعَقَارُ، وَأَنَّ الزَّوْجَ يُحْبَسُ بِهِ إِذَا امْتَنَعَ مِنْ أَدَائِهِ، وَأَنَّ الزَّوْجَةَ تَضْرِبُ بِهِ مَعَ الْغُرَمَاءِ عِنْدَ فَلَسِهِ، وَتَتَقَدَّمُ بِهِ عَلَى الْوَرَثَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ إِلَى غَيْرِ ذلك من أحكام الديون المستحقة.
Al-Mawardi berkata: Ini benar, karena mahar adalah harta yang menjadi tanggungan dengan akad, sehingga ia menjadi utang seperti harga barang. Maksud Imam Syafi‘i bahwa mahar itu seperti utang adalah dalam hal kewajibannya dalam tanggungan, sebagaimana utang. Terkadang mahar itu harus segera dibayar, kadang ditangguhkan, dan kadang pula dicicil. Boleh juga dijamin dengan gadai, penjamin, dan kesaksian. Pengalihan utang (ḥawālah) atasnya juga diperbolehkan. Pengambilan pengganti (iwad) atasnya sah, dan boleh juga digunakan untuk membeli properti. Suami dapat ditahan (dipenjara) karenanya jika menolak membayar, dan istri dapat menuntut bersama para kreditur jika suami bangkrut, serta ia didahulukan atas para ahli waris setelah suaminya meninggal, dan lain-lain dari hukum-hukum utang yang wajib dibayar.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَيْسَ عَلَيْهِ دَفْعُ صَدَاقِهَا وَلَا نَفَقَتِهَا حَتَّى تَكُونَ فِي الْحَالِ الَّتِي يُجَامَعُ مِثْلُهَا وَيُخَلَّى بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Suami tidak wajib membayar mahar dan nafkah istrinya sampai ia berada dalam keadaan yang memungkinkan untuk digauli dan tidak ada penghalang antara dirinya dan suaminya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مِنَ النَّفَقَاتِ ذَكَرَهَا لِاتِّصَالِهَا بِالصَّدَاقِ، وَلَيْسَ يَخْلُو حَالُ الزَّوْجَيْنِ فِي اسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ وَالصَّدَاقِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Ini adalah salah satu masalah nafkah yang disebutkan karena kaitannya dengan mahar. Keadaan suami istri dalam hal berhak atas nafkah dan mahar tidak lepas dari empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا كَبِيرَيْنِ.
Pertama: Keduanya sudah dewasa.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَا صَغِيرَيْنِ.
Kedua: Keduanya masih kecil.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ كَبِيرًا وَالزَّوْجَةُ صَغِيرَةً.
Ketiga: Suami sudah dewasa, sedangkan istri masih kecil.
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ صَغِيرًا وَالزَّوْجَةُ كَبِيرَةً.
Keempat: Suami masih kecil, sedangkan istri sudah dewasa.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ: أَنْ يَكُونَا كَبِيرَيْنِ: فَلَهَا أَنْ تَمْتَنِعَ مِنْ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا عَلَى قَبْضِ الصَّدَاقِ، وَلَهُ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ تَسْلِيمِ الصَّدَاقِ لِتَسْلِيمِ نَفْسِهَا، فَأَيُّهُمَا سَلَّمَ مَا فِي ذِمَّتِهِ أُجْبِرَ الْآخَرُ عَلَى تَسْلِيمِ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ، وَإِنْ أَقَامَا عَلَى التَّمَانُعِ فَسَنَذْكُرُ حُكْمَهُ مِنْ بَعْدُ.
Adapun bagian pertama, yaitu keduanya sudah dewasa: maka istri berhak menolak menyerahkan dirinya sebelum menerima mahar, dan suami berhak menolak membayar mahar sebelum istri menyerahkan dirinya. Siapa pun di antara keduanya yang telah memenuhi kewajibannya, maka yang lain dipaksa untuk memenuhi kewajibannya pula. Jika keduanya sama-sama menolak, maka nanti akan disebutkan hukumnya.
وَأَمَّا النَّفَقَةُ فَلَهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ:
Adapun nafkah, ada tiga keadaan:
أَحَدُهَا: أَنْ تُمَكِّنَهُ مِنْ نَفْسِهَا فَلَا يَسْتَمْتِعُ بِهَا فَلَهَا النَّفَقَةُ.
Pertama: Istri membiarkan suami menikmati dirinya, namun suami tidak melakukan hubungan, maka istri tetap berhak atas nafkah.
وَالثَّانِي: أَنْ يَدْعُوَهَا إِلَى نَفْسِهِ فَتَمْتَنِعَ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَلَا نَفَقَةَ لَهَا؛ لِأَنَّهَا نَاشِزٌ.
Kedua: Suami mengajak istri untuk berhubungan, namun istri menolak tanpa alasan yang dibenarkan, maka istri tidak berhak atas nafkah karena ia dianggap nusyūz.
وَالثَّالِثُ: أَنْ لَا يَكُونَ مِنْهَا تَسْلِيمٌ وَلَا مِنْهُ طَلَبٌ، فَفِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ قَوْلَانِ:
Ketiga: Tidak ada penyerahan dari istri maupun permintaan dari suami, maka dalam hal kewajiban nafkah terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَهَا النَّفَقَةُ، وَالثَّانِي: لَا نَفَقَةَ لَهَا.
Pertama: Istri berhak atas nafkah. Kedua: Istri tidak berhak atas nafkah.
بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ بِمَ تَجِبُ؟
Hal ini didasarkan pada perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i tentang nafkah istri: dengan apa nafkah itu menjadi wajib?
قَالَ فِي الْقَدِيمِ: تَجِبُ بِالْعَقْدِ وَتَسْتَحِقُّ قَبْضَهَا بالتمكين، فعل هَذَا تَجِبُ لَهَا النَّفَقَةُ مَا لَمْ يَكُنْ مِنْهَا نُشُوزٌ.
Dalam pendapat lama, nafkah wajib dengan akad dan istri berhak menerimanya dengan penyerahan diri. Maka, menurut pendapat ini, istri berhak atas nafkah selama ia tidak melakukan nusyūz.
وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ: تَجِبُ بِالْعَقْدِ وَالتَّمْكِينِ مَعًا، فَعَلَى هَذَا لَا نَفَقَةَ لَهَا لِعَدَمِ التَّمْكِينِ.
Dalam pendapat baru, nafkah wajib dengan akad dan penyerahan diri secara bersamaan. Maka, menurut pendapat ini, istri tidak berhak atas nafkah jika tidak ada penyerahan diri.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَا صَغِيرَيْنِ: فَالتَّسْلِيمُ لَا يَجِبُ عَلَى وَلِيِّهَا وَلَوْ سَلَّمَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَى وَلِيِّ الزَّوْجِ أَنْ يَقْبَلَهَا.
Adapun bagian kedua, yaitu keduanya masih kecil: maka penyerahan tidak wajib atas wali istri, dan jika istri diserahkan, wali suami pun tidak wajib menerimanya.
وَإِذَا كَانَ التَّسْلِيمُ لَا يَجِبُ فَالصَّحِيحُ أَنَّ دَفْعَ الصَّدَاقِ لَا يَجِبُ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَجْرَاهُ مَجْرَى النَّفَقَةِ فِي الِاسْتِحْقَاقِ وَفِي اسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ بَيْنَ هَذَيْنِ الصَّغِيرَيْنِ قَوْلَانِ:
Dan apabila penyerahan (istri) tidak wajib, maka pendapat yang sahih adalah bahwa pembayaran mahar tidak wajib. Sebagian ulama mazhab kami menganggapnya seperti nafkah dalam hal hak memperoleh, dan dalam hal hak memperoleh nafkah antara dua anak kecil ini terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْقَدِيمُ: تَجِبُ لِوُجُوبِهَا بِالْعَقْدِ.
Salah satunya, yaitu pendapat lama: nafkah wajib karena kewajibannya berdasarkan akad.
وَالثَّانِي: وَهُوَ الْجَدِيدُ: لَا تَجِبُ لِوُجُوبِهَا بِالْعَقْدِ وَالتَّمْكِينِ، فَكَذَلِكَ وُجُوبُ تَسْلِيمِ الصَّدَاقِ يَكُونُ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ.
Yang kedua, yaitu pendapat baru: nafkah tidak wajib karena kewajibannya berdasarkan akad dan penyerahan diri (tamkīn). Maka demikian pula kewajiban penyerahan mahar mengikuti dua pendapat ini.
وَهَذَا الْجَمْعُ غَيْرُ صَحِيحٍ، وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ وُجُوبَ الصَّدَاقِ لَا يَقْتَضِي وُجُوبَ دَفْعِهِ، وَوُجُوبَ النَّفَقَةِ يَقْتَضِي وُجُوبَ دَفْعِهَا؛ لِأَنَّ الصَّدَاقَ فِي مُقَابَلَةِ عَيْنٍ بَاقِيَةٍ، وَالنَّفَقَةَ فِي مُقَابَلَةِ زَمَانٍ مَاضٍ، فَكَانَ لَهُ حَبْسُ الصَّدَاقِ لِبَقَاءِ مُوجِبِهِ حَتَّى يَصِلَ إِلَيْهِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ حَبْسُ النَّفَقَةِ لِذَهَابِ مُوجِبِهَا.
Penggabungan ini tidaklah benar. Perbedaannya adalah bahwa kewajiban mahar tidak menuntut kewajiban membayarnya, sedangkan kewajiban nafkah menuntut kewajiban membayarnya; karena mahar sebagai imbalan atas sesuatu yang masih ada, sedangkan nafkah sebagai imbalan atas waktu yang telah berlalu. Maka suami berhak menahan mahar selama sebab kewajibannya masih ada hingga sampai kepadanya, sedangkan ia tidak berhak menahan nafkah karena sebab kewajibannya telah hilang.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ كَبِيرًا وَهِيَ صَغِيرَةٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ تَسْلِيمُ صَدَاقِهَا؛ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّ تَسْلِيمَهَا لَا يَجِبُ وَلَوْ طَلَبَهَا، وَلَا يُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ لَوْ بَذَلَتْ لَهُ.
Adapun bagian ketiga, yaitu jika suami sudah dewasa dan istri masih kecil, maka tidak wajib baginya menyerahkan mahar istrinya; sebagaimana telah disebutkan bahwa penyerahan dirinya tidak wajib meskipun suami memintanya, dan suami tidak berhak atasnya meskipun istri menawarkan diri kepadanya.
فَأَمَّا النَّفَقَةُ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: لَا نَفَقَةَ لَهَا؛ لِأَنَّهَا تَجِبُ فِي الْجَدِيدِ بِالْعَقْدِ وَالتَّمْكِينِ، وَأَمَّا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ: فَفِيهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:
Adapun nafkah, menurut pendapat baru: tidak ada nafkah baginya; karena dalam pendapat baru, nafkah wajib dengan akad dan penyerahan diri (tamkīn). Sedangkan menurut pendapat lama, terdapat dua pendapat di kalangan ulama mazhab kami:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا تَجِبُ عَلَيْهِ؛ لِوُجُوبِهَا عَلَى الْقَدِيمِ بِالْعَقْدِ وَحْدَهُ.
Salah satunya: nafkah wajib atas suami; karena kewajibannya menurut pendapat lama hanya dengan akad saja.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَجِبُ عَلَيْهِ، وَإِنْ وَجَبَتْ بِالْعَقْدِ؛ لِأَنَّ الِاسْتِمْتَاعَ مُتَعَذِّرٌ مِنْهَا بِصِغَرِهَا فَجَرَى مَجْرَى نُشُوزِهَا.
Pendapat kedua: nafkah tidak wajib atas suami, meskipun secara akad sudah wajib; karena kenikmatan (hubungan) tidak mungkin diperoleh darinya karena usianya yang masih kecil, sehingga keadaannya seperti istri yang nusyuz (membangkang).
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ صَغِيرًا وَهِيَ كَبِيرَةً، فَهَاهُنَا إِنْ سَلَّمَتْ نَفْسَهَا وَجَبَ عَلَى وَلِيِّ الزَّوْجِ أَنْ يَتَسَلَّمَهَا لَهُ لِتَكُونَ مَعَهُ وَإِنْ كَانَ صَغِيرًا، بِخِلَافِ الصَّغِيرَةِ الَّتِي لَا يَجِبُ عَلَى وَلِيِّهَا أَنْ يُسَلِّمَهَا إِلَى الزَّوْجِ إِذَا كَانَ كَبِيرًا لِأُمُورٍ:
Adapun bagian keempat, yaitu jika suami masih kecil dan istri sudah dewasa, maka di sini jika istri menyerahkan dirinya, wali suami wajib menerima penyerahan itu untuk suami agar ia bersama istrinya meskipun suami masih kecil. Berbeda dengan anak perempuan kecil yang tidak wajib bagi walinya untuk menyerahkannya kepada suami jika suaminya sudah dewasa, karena beberapa alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الِاسْتِمْتَاعَ الْمَعْقُودَ عَلَيْهِ مَوْجُودٌ فِي الْكَبِيرَةِ مَفْقُودٌ فِي الصَّغِيرَةِ.
Pertama: kenikmatan yang menjadi tujuan akad ada pada perempuan dewasa, tetapi tidak ada pada anak kecil.
وَالثَّانِي: أَنَّ الصَّغِيرَةَ لَا يُؤْمَنُ عَلَيْهَا الزَّوْجُ إِذَا كَانَ كَبِيرًا، وَالْكَبِيرَةُ تؤمن على الزَّوْجُ إِذَا كَانَ صَغِيرًا.
Kedua: anak perempuan kecil tidak aman dari suaminya jika suaminya sudah dewasa, sedangkan perempuan dewasa aman dari suaminya jika suaminya masih kecil.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْكَبِيرَةَ إِذَا سُلِّمَتْ إِلَى الصَّغِيرِ أَقَامَتْ بِتَرْبِيَتِهِ فَكَانَ عَوْنًا، وَالصَّغِيرَةَ إِذَا سُلِّمَتْ إِلَى الْكَبِيرِ احْتَاجَ إلى تربيتها فكانت كلا، فَصَارَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ هَذِهِ الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ.
Ketiga: perempuan dewasa jika diserahkan kepada suami yang masih kecil, ia dapat membesarkannya sehingga menjadi penolong, sedangkan anak perempuan kecil jika diserahkan kepada suami dewasa, ia justru membutuhkan pengasuhan sehingga menjadi beban. Maka perbedaan antara keduanya terletak pada tiga sisi ini.
وَإِذَا لَزِمَ بِهَا تَسْلِيمُ الْكَبِيرَةِ إِلَى الصَّغِيرِ وَإِنْ لَمْ يَلْزَمْ تَسْلِيمُ الصَّغِيرَةِ إِلَى الْكَبِيرِ فَلَهَا الْمُطَالَبَةُ بِصَدَاقِهَا كَالْكَبِيرَةِ مَعَ الْكَبِيرِ.
Dan apabila wajib menyerahkan perempuan dewasa kepada suami yang masih kecil, meskipun tidak wajib menyerahkan anak perempuan kecil kepada suami dewasa, maka perempuan dewasa berhak menuntut maharnya sebagaimana perempuan dewasa dengan suami dewasa.
فَأَمَّا النَّفَقَةُ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ، وَأَنَّهَا تَجِبُ بِالْعَقْدِ وَحْدَهُ، فَلَهَا النَّفَقَةُ لِوُجُودِ الْعَقْدِ وَارْتِفَاعِ النُّشُوزِ.
Adapun nafkah, menurut pendapat lama yang menyatakan bahwa nafkah wajib hanya dengan akad, maka perempuan dewasa berhak mendapatkan nafkah karena akad telah terjadi dan tidak ada nusyuz.
وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: أَنَّ النَّفَقَةَ تَجِبُ بِالْعَقْدِ وَالتَّمْكِينِ فَفِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ لَهَا وَجْهَانِ:
Sedangkan menurut pendapat baru, bahwa nafkah wajib dengan akad dan penyerahan diri (tamkīn), maka dalam kewajiban nafkah baginya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا نَفَقَةَ لَهَا لِعَدَمِ التَّمْكِينِ.
Salah satunya: tidak ada nafkah baginya karena tidak adanya penyerahan diri (tamkīn).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَهَا النَّفَقَةُ؛ لِأَنَّ التَّمْكِينَ مِنْهَا مَوْجُودٌ وَمِنَ الزَّوْجِ مَفْقُودٌ فَصَارَ الْمَنْعُ مِنْ جهته لا من جهتها.
Pendapat kedua: ia berhak mendapatkan nafkah; karena penyerahan diri dari pihak istri ada, sedangkan dari pihak suami tidak ada, sehingga penghalang berasal dari pihak suami, bukan dari pihak istri.
إذا اختلف الزوج من الزَّوْجَةِ أَوْ وَلِيِّهَا أَيُّهُمَا يُسَلِّمُ أَوَّلًا مَا عليه
Jika terjadi perselisihan antara suami dan istri atau walinya, siapa di antara mereka yang harus menyerahkan (diri) lebih dahulu, maka apa yang menjadi kewajiban masing-masing?
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن كَانَتْ بَالِغَةً فَقَالَ لَا أَدْفَعُ حَتَّى تُدْخِلُوهَا وَقَالُوا لَا نُدْخِلُهَا حَتَّى تَدْفَعَ فَأَيُّهُمَا تَطَوَّعَ أَجْبَرْتُ الْآخَرَ فَإِنِ امْتَنَعُوا مَعًا أَجْبَرْتُ أَهْلَهَا عَلَى وقتٍ يُدْخِلُونَهَا فِيهِ وَأَخَذْتُ الصَّدَاقَ مِنْ زَوْجِهَا فَإِذَا دَخَلَتْ دَفَعْتُهُ إِلَيْهَا وَجَعَلْتُ لَهَا النَّفَقَةَ إِذَا قَالُوا نَدْفَعُهَا إِلَيْهِ إِذَا دَفَعَ الصَّدَاقَ إِلَيْنَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia (istri) sudah baligh, lalu suami berkata, ‘Aku tidak akan menyerahkannya (mahar) sampai kalian memasukkannya (istri)’, dan mereka (wali atau keluarganya) berkata, ‘Kami tidak akan memasukkannya sampai engkau menyerahkan (mahar)’, maka siapa di antara keduanya yang bersedia lebih dulu, aku paksa pihak yang lain. Jika keduanya sama-sama menolak, aku paksa keluarganya pada waktu tertentu untuk memasukkannya, dan aku ambil mahar dari suaminya. Jika ia (istri) telah masuk, aku serahkan mahar itu kepadanya, dan aku tetapkan nafkah untuknya jika mereka berkata, ‘Kami akan menyerahkannya kepada suaminya jika ia menyerahkan mahar kepada kami’.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِلزَّوْجَيْنِ ثلاثة أَحْوَالٍ:
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa bagi kedua pasangan suami istri terdapat tiga keadaan:
إِحْدَاهُنَّ: أَنْ تَبْدَأَ الْمَرْأَةُ بِتَسْلِيمِ نَفْسِهَا وتمكين الزوج منها، فيجوز للزوج إصابتها قَبْلَ قَبْضِ شَيْءٍ مِنْ صَدَاقِهَا، وَعَلَى الزَّوْجِ تَسْلِيمُ صَدَاقِهَا إِلَيْهَا.
Pertama: Istri memulai dengan menyerahkan dirinya dan memberikan kesempatan kepada suami untuk menggaulinya, maka suami boleh menggaulinya sebelum menerima sebagian dari maharnya, dan suami wajib menyerahkan maharnya kepada istri.
وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ لَهُ إِصَابَتُهَا إِلَّا أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهَا صَدَاقَهَا أَوْ شَيْئًا مِنْهُ.
Imam Malik berkata: Tidak boleh suami menggaulinya kecuali setelah menyerahkan mahar atau sebagian darinya kepada istri.
وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وقتادة.
Pendapat ini juga dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan Qatadah.
قَالَ مَالِكٌ: وَأَقَلُّ مَا يَدْفَعُهُ إِلَيْهَا لِيَسْتَبِيحَ بِهِ إِصَابَتَهَا أَقَلُّ مَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا وَهُوَ رُبُعُ دِينَارٍ.
Imam Malik berkata: Jumlah paling sedikit yang harus diberikan kepada istri agar halal menggaulinya adalah jumlah minimal yang sah sebagai mahar, yaitu seperempat dinar.
وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ، وَكَمَا لَوْ كَانَ صَدَاقًا مُؤَجَّلًا “.
Pendapat ini tidak benar; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan wanita, karena kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah, dan sebagaimana jika maharnya ditangguhkan.”
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَبْدَأَ الزَّوْجُ بِتَسْلِيمِ الصَّدَاقِ إِلَيْهَا فَعَلَيْهَا تَسْلِيمُ نَفْسِهَا إِلَيْهِ، فَإِنِ امْتَنَعَتْ صَارَتْ نَاشِزًا وَلَا نَفَقَةَ لَهَا.
Keadaan kedua: Suami memulai dengan menyerahkan mahar kepada istri, maka istri wajib menyerahkan dirinya kepada suami. Jika ia menolak, maka ia menjadi nushūz dan tidak berhak mendapatkan nafkah.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَتَمَانَعَا فَتَقُولُ الزَّوْجَةُ: لَا أُسَلِّمُ نَفْسِي حَتَّى أَقْبِضَ صَدَاقِي، وَيَقُولُ الزَّوْجُ: لَا أَدْفَعُ الصَّدَاقَ حَتَّى تُسَلِّمِي نَفْسَكِ فَفِيهِ قَوْلَانِ:
Keadaan ketiga: Keduanya saling menahan, istri berkata: “Aku tidak akan menyerahkan diriku sampai aku menerima maharku,” dan suami berkata: “Aku tidak akan menyerahkan mahar sampai engkau menyerahkan dirimu.” Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يُجْبَرُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَلَى التَّسْلِيمِ، بَلْ تُقْطَعُ الْخُصُومَةُ بَيْنَهُمَا وَيُتْرَكَانِ، فَأَيُّهُمَا تَطَوَّعَ بِتَسْلِيمِ مَا عَلَيْهِ أُجْبِرَ الْآخَرُ عَلَى تَسْلِيمِ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ، وَإِنَّمَا لَمْ يَبْدَأْ بِإِجْبَارِ وَاحِدٍ مِنْهُمَا؛ لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَقًّا وَعَلَيْهِ حَقٌّ، فَلَمْ يَكُنِ الْحَقُّ الَّذِي عَلَيْهِ فِي الْبِدَايَةِ بِاسْتِيفَائِهِ مِنْهُ بِأَوْلَى مِنَ الْحَقِّ الَّذِي لَهُ فِي الْبِدَايَةِ بِاسْتِيفَائِهِ لَهُ فَتَسَاوَى الْأَمْرَانِ، فَوَجَبَ تَرْكُهُمَا وَقَطْعُ التَّخَاصُمِ بَيْنَهُمَا.
Pertama: Tidak ada satu pun dari keduanya yang dipaksa untuk menyerahkan, melainkan perselisihan di antara mereka diputus dan keduanya dibiarkan. Siapa di antara mereka yang bersedia lebih dulu menyerahkan kewajibannya, maka pihak lain dipaksa untuk menyerahkan hak yang menjadi lawannya. Tidak dimulai dengan memaksa salah satu dari mereka, karena masing-masing memiliki hak dan kewajiban, sehingga hak yang harus dipenuhi dari salah satu pihak tidak lebih utama untuk didahulukan daripada hak yang menjadi miliknya. Maka keduanya sama, sehingga wajib membiarkan mereka dan memutus perselisihan di antara mereka.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْحَاكِمَ يُنَصِّبُ لَهُمَا أَمِينًا، وَيَأْمُرُ الزَّوْجَ بِتَسْلِيمِ الصَّدَاقِ إِلَيْهِ، فَإِذَا تَسَلَّمَهُ أَمَرَ الزَّوْجَةَ بِتَسْلِيمِ نَفْسِهَا إِلَى الزَّوْجِ، فَإِذَا سَلَّمَتْ نَفْسَهَا سَلَّمَ الْأَمِينُ الصَّدَاقَ إِلَيْهَا، لِأَنَّ الْحَاكِمَ مَوْضُوعٌ لِقَطْعِ التَّنَازُعِ وَفِعْلِ الْأَحْوَطِ فِي اسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ، وَهَذَا أَحْوَطُ الْأُمُورِ فِيهَا وَأَقْطَعُ لِلتَّنَازُعِ بَيْنَهُمَا.
Pendapat kedua: Hakim menunjuk seorang penengah untuk mereka, dan memerintahkan suami menyerahkan mahar kepada penengah tersebut. Jika penengah telah menerimanya, ia memerintahkan istri menyerahkan dirinya kepada suami. Jika istri telah menyerahkan dirinya, penengah menyerahkan mahar kepadanya. Karena hakim ditugaskan untuk memutus perselisihan dan melakukan tindakan yang paling hati-hati dalam menunaikan hak-hak, dan ini adalah cara paling hati-hati dan paling efektif untuk memutus perselisihan di antara mereka.
وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ فِي تَنَازُعِ الْمُتَبَايِعَيْنِ فِي التَّسْلِيمِ، وَفِي الْبَيْعِ قَوْلٌ ثَالِثٌ: أَنَّهُ يُجْبَرُ الْبَائِعُ عَلَى تَسْلِيمِ السِّلْعَةِ، وَيُجْبَرُ الْمُشْتَرِي عَلَى تَسْلِيمِ الثَّمَنِ.
Dua pendapat ini juga berlaku dalam perselisihan antara penjual dan pembeli dalam hal penyerahan barang, dan dalam masalah jual beli ada pendapat ketiga: bahwa penjual dipaksa menyerahkan barang, dan pembeli dipaksa menyerahkan harga.
وَلَا يَجِيءُ تَخْرِيجُ هَذَا الْقَوْلِ الثَّالِثِ فِي تَنَازُعِ الزَّوْجَيْنِ؛ لِأَنَّ الْمُشْتَرِي يُمْكِنُ أَنْ يُحْجَرَ عَلَيْهِ فِي السِّلْعَةِ حَتَّى يُسْتَرْجَعَ مِنْهُ إِنَّ امْتَنَعَ مِنْ تَسْلِيمِ الثَّمَنِ، وَلَا يُمْكِنُ إِذَا سَلَّمَتِ الزَّوْجَةُ نَفْسَهَا أَنْ يُمْنَعَ مِنْهَا، وَرُبَّمَا اسْتَهْلَكَ بُضْعَهَا بِالدُّخُولِ قَبْلَ تَسْلِيمِ صَدَاقِهَا.
Pendapat ketiga ini tidak dapat diterapkan dalam perselisihan antara suami istri; karena pembeli dapat dicegah dari mengambil barang sampai harga diserahkan jika ia menolak membayar, sedangkan jika istri telah menyerahkan dirinya, tidak mungkin ia dicegah dari suaminya, dan bisa jadi suami telah menggaulinya sebelum mahar diserahkan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ الْقَوْلَانِ فِي تَنَازُعِ الزَّوْجَيْنِ، فَإِذَا قِيلَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ إِنَّهُ لَا يُجْبَرُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا فَلَا نَفَقَةَ لِلزَّوْجَةِ فِي مُدَّةِ امْتِنَاعِهَا مِنْ تَمْكِينِ الزَّوْجِ؛ لِأَنَّ الزَّوْجَ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَا يَلْزَمُهُ تَعْجِيلُ الصَّدَاقِ، فَصَارَتْ مُمْتَنِعَةً بِمَا لَا يَسْتَحِقُّ تَعْجِيلَهُ فَجَرَى عَلَيْهَا حُكْمُ النُّشُوزِ فِي سُقُوطِ النَّفَقَةِ.
Jika dua pendapat dalam perselisihan antara suami istri telah dijelaskan, maka apabila diambil pendapat pertama bahwa tidak ada yang dipaksa di antara keduanya, maka tidak ada nafkah bagi istri selama masa penolakannya untuk memberikan kesempatan kepada suami; karena menurut pendapat ini, suami tidak wajib menyegerakan pembayaran mahar, sehingga istri menolak dengan sesuatu yang tidak berhak untuk disegerakan, maka berlaku atasnya hukum nusyūz dalam hal gugurnya nafkah.
وَإِذَا قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي: إِنَّ الْحَاكِمَ يُجْبِرُ الزَّوْجَ عَلَى تَسْلِيمِ الصَّدَاقِ إِلَى أَمِينٍ يُنَصِّبُهُ لَهُمَا فَلَهَا النَّفَقَةُ فِي مُدَّةِ امْتِنَاعِهَا مِنْ تَمْكِينِهِ إِلَى أَنْ يَدْفَعَ الصَّدَاقَ إِلَى الْأَمِينِ؛ لِأَنَّهَا مُمْتَنِعَةٌ بِحَقٍّ يَجِبُ لَهَا تَعْجِيلُهُ، فَإِذَا صَارَ الصَّدَاقُ مَعَ الْأَمِينِ كَانَ امْتِنَاعُهَا بَعْدَ ذَلِكَ مُسْقِطًا لنفقتها؛ لأنها ممتنعة بغير حق.
Dan apabila diambil pendapat kedua: bahwa hakim memaksa suami untuk menyerahkan mahar kepada seorang amīn (orang yang dipercaya) yang ditunjuk untuk keduanya, maka istri berhak mendapatkan nafkah selama masa penolakannya untuk memberikan kesempatan kepada suami hingga suami menyerahkan mahar kepada amīn; karena ia menolak dengan hak yang memang wajib disegerakan baginya. Maka apabila mahar sudah berada di tangan amīn, penolakan istri setelah itu menggugurkan hak nafkahnya; karena ia menolak tanpa hak.
الْقَوْلُ فِي إِجْبَارِ الْمَرْأَةِ الضَّعِيفَةِ عَلَى الدُّخُولِ
Pembahasan tentang Memaksa Perempuan Lemah untuk Melakukan Hubungan
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ كَانَتْ نِضْوًا أُجْبِرَتْ عَلَى الدُّخُولِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ مرضٍ لَا يُجَامَعُ فِيهِ مِثْلُهَا فَتُمْهَلُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia adalah perempuan yang sangat kurus, maka ia dipaksa untuk melakukan hubungan, kecuali jika disebabkan oleh penyakit yang membuat perempuan seperti dia tidak mungkin digauli, maka ia diberi waktu (penangguhan).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا النِّضْوَةُ الْخَلْقِ فَهِيَ الدَّقِيقَةُ الْعَظْمِ، الْقَلِيلَةُ اللَّحْمِ، فَإِذَا كَانَتِ الْمَرْأَةُ نِضْوَةَ الْخَلْقِ فَلَهَا حَالَتَانِ:
Al-Mawardi berkata: Adapun perempuan yang sangat kurus adalah yang tulangnya tipis dan dagingnya sedikit. Jika seorang perempuan sangat kurus, maka ada dua keadaan:
إِحْدَاهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ خِلْقَةً لَا يُرْجَى زَوَالُهُ، فَعَلَيْهَا تَسْلِيمُ نَفْسِهَا كَغَيْرِهَا مِنَ النِّسَاءِ، وَلِلزَّوْجِ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا بِحَسْبِ طَاقَتِهَا وَلَا يَنْكَأَهَا فِي نَفْسِهَا وَيُؤْذِيَهَا فِي بَدَنِهَا.
Pertama: Jika itu adalah bawaan sejak lahir yang tidak diharapkan hilang, maka ia wajib menyerahkan dirinya sebagaimana perempuan lain, dan suami berhak menikmati dirinya sesuai kemampuannya tanpa menyakitinya secara fisik atau membahayakannya.
وَقَدْ كَانَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها، خفيفة اللحم، ولخفة لَحْمِهَا رُفِعَ هَوْدَجُهَا فِي غَزْوَةِ الْمُرَيْسِيعِ، وَقَدْ خَرَجَتْ مِنْهُ لِلْحَاجَةِ فَلَمْ يُعْلَمْ خُرُوجُهَا مِنْهُ حَتَّى أَدْرَكَهَا صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ فَحَمَلَهَا.
Aisyah radhiyallāhu ‘anhā dahulu adalah perempuan yang ringan dagingnya. Karena ringan dagingnya, tandunya diangkat dalam Perang Muraisi‘, padahal ia telah keluar darinya untuk suatu keperluan, sehingga tidak diketahui bahwa ia telah keluar sampai Shafwan bin al-Mu‘atthal menemukannya dan membawanya.
وَكَانَ مِنْ شَأْنِ الْإِفْكِ أَنْ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ مِنَ الْقُرْآنِ مَا أَنْزَلَ فَلَمْ تَمْنَعْ ضُؤُولَتُهَا، وَخِفَّةُ لَحْمِهَا مِنْ دُخُولِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِهَا، فَلَوْ كَانَتِ النِّضْوَةُ عَلَى حَدٍّ إِنْ وَطِئَهَا الزَّوْجُ أَتْلَفَهَا مُنِعَ مِنْ وَطْئِهَا، وَلَا خِيَارَ لَهُ فِي فَسْخِ نِكَاحِهَا، بِخِلَافِ الرَّتْقَاءِ الَّتِي يَسْتَحِقُّ الزَّوْجُ فِيهَا خِيَارَ الْفَسْخِ لِتَعَذُّرِ وَطْئِهَا.
Dan dari peristiwa ifk (fitnah terhadap Aisyah), Allah Ta‘ala menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang hal itu. Ringannya tubuh dan sedikitnya daging Aisyah tidak menghalangi Rasulullah ﷺ untuk berhubungan dengannya. Seandainya kondisi sangat kurus itu sampai pada batas jika digauli suaminya akan membinasakannya, maka suami dilarang menggaulinya, dan suami tidak memiliki hak untuk membatalkan pernikahannya, berbeda dengan perempuan ratqā’ (yang tertutup jalan kemaluannya) di mana suami berhak membatalkan pernikahan karena tidak mungkin menggaulinya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا: أَنَّ الرَّتْقَاءَ لَا يَقْدِرُ كُلُّ زَوْجٍ عَلَى وَطْئِهَا فَصَارَ الْمَنْعُ مُخْتَصًّا بِهَا، فَكَانَ لَهُ الْخِيَارُ، وَالنِّضْوَةُ الْخَلْقِ يُمْكِنُ غَيْرُ هَذَا الزَّوْجِ إِذَا كَانَ مِثْلَهَا نِضْوًا أَنْ يَطَأَهَا فَصَارَ الْمَنْعُ مِنْهُمَا، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ الْخِيَارُ.
Perbedaan antara keduanya: bahwa perempuan ratqā’ tidak dapat digauli oleh setiap suami, sehingga larangan itu khusus baginya, maka suami berhak memilih (membatalkan), sedangkan perempuan yang sangat kurus, mungkin saja suami lain yang juga sangat kurus dapat menggaulinya, sehingga larangan itu berasal dari keduanya, maka suami tidak berhak memilih (membatalkan).
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ بِحَادِثٍ مِنْ مَرَضٍ يُرْجَى زَوَالُهُ، فَلَا يَلْزَمُهَا تَسْلِيمُ نَفْسِهَا، وَتُمْهَلُ حَتَّى تَصِحَّ مِنْ مَرَضِهَا.
Keadaan kedua: Jika itu disebabkan oleh penyakit yang diharapkan sembuh, maka ia tidak wajib menyerahkan dirinya, dan diberi waktu hingga sembuh dari penyakitnya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ بِحَادِثِ مَرَضٍ وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ خِلْقَةً مِنْ وَجْهَيْنِ:
Perbedaan antara yang disebabkan oleh penyakit dan yang merupakan bawaan sejak lahir ada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَا يُرْجَى زَوَالُهُ فَالِاسْتِمْتَاعُ مُسْتَحَقٌّ فِيهِ بَعْدَ الصِّحَّةِ، فَلَمْ يَلْزَمْهَا تَسْلِيمُ نَفْسِهَا قَبْلَ الصِّحَّةِ، وَمَا لَا يُرْجَى زَوَالُهُ فَالِاسْتِمْتَاعُ فِيهِ مُسْتَحَقٌّ فِي الْحَالِ؛ لِأَنَّهَا حَالُ الصِّحَّةِ، فَلَزِمَهَا تَسْلِيمُ نَفْسِهَا.
Pertama: Bahwa jika diharapkan sembuh, maka hak menikmati istri baru berlaku setelah ia sehat, sehingga ia tidak wajib menyerahkan diri sebelum sehat. Adapun jika tidak diharapkan sembuh, maka hak menikmati istri berlaku saat itu juga karena ia dianggap dalam keadaan sehat, sehingga ia wajib menyerahkan dirinya.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْعَادَةَ جَارِيَةٌ بِتَأْخِيرِ زِفَافِ الْمَرِيضَةِ إِلَى حَالِ الصِّحَّةِ فَلَمْ يَلْزَمْهَا التَّسْلِيمُ قَبْلَ الصِّحَّةِ، وَالْعَادَةُ جَارِيَةٌ بِتَسْلِيمِ النِّضْوَةِ الْخِلْقَةِ عَاجِلًا فَلَزِمَهَا التَّسْلِيمُ فِي الْحَالِ اعْتِبَارًا بِالْعَادَةِ فيهما.
Kedua: Kebiasaan yang berlaku adalah menunda pesta pernikahan perempuan yang sakit hingga ia sehat, sehingga ia tidak wajib menyerahkan diri sebelum sehat. Sedangkan kebiasaan yang berlaku untuk perempuan yang sangat kurus adalah ia segera menyerahkan diri, sehingga ia wajib menyerahkan diri saat itu juga sesuai kebiasaan yang berlaku pada keduanya.
فَعَلَى هَذَا إِذَا مَنَعَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا بِالْمَرَضِ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا لِفَوَاتِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، وَلَوْ سَلَّمَتْ نَفْسَهَا لَزِمَتْهُ النَّفَقَةُ كَمَا لَوْ مَرِضَتْ بَعْدَ التَّسْلِيمِ، وَكَانَ لَهَا النَّفَقَةُ؛ لَأَنَّ الْمَرَضَ الْحَادِثَ بَعْدَ التَّسْلِيمِ، لَا يُسْقِطُ النَّفَقَةَ وَإِنْ منع من الوطء كالحيض.
Berdasarkan hal ini, jika istri menolak menyerahkan dirinya karena sakit, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah karena hilangnya kesempatan untuk menikmati dirinya. Namun, jika ia telah menyerahkan dirinya, maka suami wajib memberinya nafkah, sebagaimana jika ia sakit setelah penyerahan diri, maka ia tetap berhak atas nafkah. Sebab, sakit yang terjadi setelah penyerahan diri tidak menggugurkan hak nafkah, meskipun sakit itu menghalangi hubungan suami istri seperti halnya haid.
القول في إفضاء الزوجة
Pembahasan tentang ifḍā’ (cedera pada istri akibat hubungan suami istri)
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ أَفْضَاهَا فَلَمْ تَلْتَئِمْ فَعَلَيْهِ دِيَتُهَا وَلَهَا الْمَهْرُ كَامِلًا وَلَهَا مَنْعُهُ أَنْ يُصِيبَهَا حَتَّى تَبْرَأَ الْبُرْءَ الَّذِي إِنْ عَادَ لَمْ يَنْكَأْهَا وَلَمْ يَزِدْ فِي جُرْحِهَا وَالْقَوْلُ فِي ذَلِكَ قولها “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika suami menyebabkan istrinya mengalami ifḍā’ dan luka itu tidak sembuh, maka ia wajib membayar diyat (denda) kepada istrinya, dan istrinya berhak mendapatkan mahar secara penuh, serta berhak melarang suaminya untuk menggaulinya hingga ia benar-benar sembuh, yaitu sembuh yang jika diulangi tidak akan menambah luka atau memperparah cederanya. Dalam hal ini, yang dijadikan pegangan adalah pernyataan istri.”
قال الماوردي: وصورتها: في رجل وطأ زَوْجَتَهُ فَأَفْضَاهَا بِشِدَّةِ الْمُبَالَغَةِ فِي الْإِيلَاجِ وَالْإِفْضَاءُ: هُوَ أَنْ يَتَخَرَّقَ الْحَاجِزُ الَّذِي بَيْنَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ وَمَخْرَجِ الْبَوْلِ؛ لِأَنَّ مَدْخَلَ الذَّكَرِ فِي مَخْرَجِ الْحَيْضِ وَالْمَنِيِّ، فَأَمَّا الْبَوْلُ فَمَخْرَجُهُ مِنْ غَيْرِهِ وَبَيْنَهُمَا حَاجِزٌ، فَإِذَا بَالَغَ الْوَاطِئُ فِي إِيلَاجِهِ خَرَقَ الْحَاجِزَ بَيْنَ الْمَخْرَجَيْنِ فَهَذَا هُوَ الْإِفْضَاءُ.
Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah: seorang laki-laki menggauli istrinya, lalu menyebabkan ifḍā’ karena terlalu keras dalam melakukan penetrasi. Ifḍā’ adalah robeknya sekat yang memisahkan antara saluran masuknya penis dan saluran keluarnya air kencing; sebab, saluran masuk penis adalah tempat keluarnya darah haid dan mani, sedangkan saluran kencing keluarnya dari tempat lain, dan di antara keduanya terdapat sekat. Jika suami terlalu keras dalam penetrasi hingga merobek sekat antara kedua saluran tersebut, inilah yang disebut dengan ifḍā’.
وَوَهِمَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فَجَعَلَ الْإِفْضَاءَ خَرْقَ الْحَاجِزِ بَيْنَ السَّبِيلَيْنِ الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ حَتَّى يَصِيرَ السَّبِيلَانِ وَاحِدًا، وَهَذَا وَهْمٌ مِنْ قَائِلِهِ.
Sebagian ulama kami keliru dengan menganggap ifḍā’ adalah robeknya sekat antara dua jalan, yaitu qubul (kemaluan depan) dan dubur (anus), sehingga keduanya menjadi satu jalan. Ini adalah kekeliruan dari orang yang berpendapat demikian.
فَإِذَا أَفْضَى زَوْجَتَهُ بِوَطْئِهِ فَعَلَيْهِ الْمَهْرُ بِالْوَطْءِ وَالدِّيَةُ بِالْإِفْضَاءِ، سَوَاءٌ كَانَ الْبَوْلُ مُسْتَمْسِكًا أَوْ مُسْتَرْسِلًا، وكذلك لو وطأ أَجْنَبِيَّةً بِشُبْهَةٍ أَوِ اسْتَكْرَهَهَا عَلَى نَفْسِهَا فَأَفْضَاهَا كَانَ عَلَيْهِ الدِّيَةُ وَمَهْرُ الْمِثْلِ وَلَوْ طَاوَعَتْهُ عَلَى الزِّنَا كَانَ عَلَيْهِ دِيَةُ الْإِفْضَاءِ دُونَ الْمَهْرِ.
Jika suami menyebabkan istrinya mengalami ifḍā’ melalui hubungan suami istri, maka ia wajib membayar mahar karena hubungan tersebut dan diyat karena ifḍā’, baik air kencingnya dapat ditahan maupun tidak. Demikian pula jika ia menggauli perempuan lain (bukan istrinya) karena syubhat atau memaksanya, lalu menyebabkan ifḍā’, maka ia wajib membayar diyat dan mahar mitsil (mahar yang setara). Jika perempuan itu rela berzina, maka ia hanya wajib membayar diyat ifḍā’ tanpa mahar.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ أَفْضَى زَوْجَتَهُ فلا شيء عليه في الإفضاء، عليه الْمَهْرُ بِالْعَقْدِ، وَإِنْ أَفْضَى أَجْنَبِيَّةً بِوَطْءِ شُبْهَةٍ فَإِنْ كَانَ الْبَوْلُ مُسْتَرْسِلًا فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ فِي الْإِفْضَاءِ وَلَا مَهْرَ فِي الْوَطْءِ، وَإِنْ كَانَ الْبَوْلُ مُسْتَمْسِكًا فَعَلَيْهِ الْمَهْرُ بِالْوَطْءِ وَثُلُثُ الدِّيَةِ بِالْإِفْضَاءِ كَالْجَائِفَةِ وَإِنْ أَفْضَى أَجْنَبِيَّةً بِوَطْءِ إِكْرَاهٍ فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ دُونَ الْمَهْرِ.
Abu Hanifah berkata: Jika suami menyebabkan istrinya mengalami ifḍā’, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya terkait ifḍā’, ia hanya wajib membayar mahar karena akad. Jika ia menyebabkan perempuan lain mengalami ifḍā’ melalui hubungan syubhat, maka jika air kencingnya tidak dapat ditahan, ia wajib membayar diyat karena ifḍā’ dan tidak ada mahar karena hubungan tersebut. Jika air kencingnya dapat ditahan, maka ia wajib membayar mahar karena hubungan tersebut dan sepertiga diyat karena ifḍā’ seperti luka ja’ifah. Jika ia menyebabkan perempuan lain mengalami ifḍā’ melalui pemaksaan, maka ia wajib membayar diyat tanpa mahar.
وَقَالَ مَالِكٌ: فِي الْإِفْضَاءِ حُكُومَةٌ.
Malik berkata: Dalam kasus ifḍā’ berlaku hukum ta‘zir (hukuman berdasarkan kebijakan hakim).
وَالْكَلَامُ مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ هَاهُنَا فِي إِفْضَاءِ الزَّوْجَةِ، وَإِفْضَاءُ مَنْ سِوَاهَا لَهُ مَوْضُوعٌ مِنْ كِتَابِ الدِّيَاتِ.
Pembahasan di sini bersama Abu Hanifah adalah tentang ifḍā’ pada istri, sedangkan ifḍā’ pada selain istri dibahas dalam Kitab Diyat.
وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى أَنَّ إِفْضَاءَ الزَّوْجَةِ هَدْرٌ لَا يُضْمَنُ بِأَنَّ السِّرَايَةَ عَنْ مُسْتَحَقٍّ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ، كَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ إِذَا سَرَى إِلَى النَّفْسِ لَمْ يُضْمَنْ؛ لِحُدُوثِهِ عَنْ مُسْتَحَقٍّ، كَذَلِكَ الْإِفْضَاءُ سَرَى عَنْ وَطْءٍ مُسْتَحَقٍّ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُضْمَنَ.
Abu Hanifah berdalil bahwa ifḍā’ pada istri adalah sia-sia (tidak ada ganti rugi) dan tidak wajib dijamin, karena akibat dari sesuatu yang memang menjadi hak tidak dijamin, seperti pemotongan tangan dalam kasus pencurian yang jika menyebabkan kematian tidak ada ganti rugi, karena terjadi akibat sesuatu yang memang menjadi hak. Demikian pula ifḍā’ terjadi akibat hubungan yang memang menjadi hak, maka tidak wajib dijamin.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهَا جِنَايَةٌ تَنْفَكُّ عَنِ الْوَطْءِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ أَرْشُهَا بِاسْتِحْقَاقِ الْوَطْءِ، كَمَا لَوْ وَطِئَهَا وَقَطَعَ يَدَهَا، وَذَلِكَ أَنَّ الْمَهْرَ يَجِبُ بِغَيْرِ مَا تَجِبُ بِهِ الدِّيَةُ، لِأَنَّ الْمَهْرَ عِنْدَهُمْ بِالْخَلْوَةِ، وَعِنْدَنَا بِتَغَيُّبِ الْحَشَفَةِ، وَالْإِفْضَاءُ يَكُونُ بِمَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الْمُبَالَغَةِ فِي الْإِيلَاجِ، فَصَارَ الْوَطْءُ الَّذِي تَجِبُ بِهِ دِيَةُ الْإِفْضَاءِ زَائِدًا عَلَى الْوَطْءِ الَّذِي يَجِبُ بِهِ الْمَهْرُ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمُهُ.
Dalil kami adalah bahwa ifḍā’ merupakan tindak kejahatan yang terpisah dari hubungan suami istri, sehingga tidak gugur hak ganti ruginya hanya karena hubungan itu memang hak, sebagaimana jika suami menggauli istrinya lalu memotong tangannya. Selain itu, mahar wajib karena sebab yang berbeda dengan sebab diwajibkannya diyat; menurut mereka, mahar wajib karena khalwat, sedangkan menurut kami karena masuknya hasyafah (kepala penis), dan ifḍā’ terjadi karena melebihi batas tersebut dalam penetrasi. Maka, hubungan suami istri yang menyebabkan diwajibkannya diyat ifḍā’ adalah melebihi hubungan yang menyebabkan diwajibkannya mahar, sehingga masing-masing memiliki hukum tersendiri.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ: بِأَنَّهُ حَادِثٌ عَنْ وَطْءٍ مُسْتَحَقٍّ فَوَطْءُ الْإِفْضَاءِ غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ، لِأَنَّ الْوَطْءَ الْمُسْتَحَقَّ مَا لَمْ يُفْضِ إِلَى الْإِفْضَاءِ كَضَرْبِ الزَّوْجَةِ أبيح به ما لا يُفْضِ إِلَى التَّلَفِ، فَإِذَا أَفْضَى إِلَى التَّلَفِ صَارَ غَيْرَ مُبَاحٍ فَضُمِنَ، كَذَلِكَ وَطْءُ الْإِفْضَاءِ غَيْرُ مُبَاحٍ فَضُمِنَ
Adapun dalil mereka bahwa ifḍā’ terjadi akibat hubungan yang memang menjadi hak, maka hubungan yang menyebabkan ifḍā’ itu bukanlah hubungan yang dibenarkan, karena hubungan yang dibenarkan adalah yang tidak menyebabkan ifḍā’, sebagaimana memukul istri yang dibolehkan adalah yang tidak menyebabkan kematian. Jika sampai menyebabkan kematian, maka menjadi tidak dibolehkan dan wajib ganti rugi. Demikian pula hubungan yang menyebabkan ifḍā’ menjadi tidak dibolehkan dan wajib ganti rugi.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا مَالِكٌ فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ فِي الْإِفْضَاءِ حُكُومَةً بِأَنَّ الْحَاجِزَ بَيْنَ الْمَخْرَجَيْنِ كَالْحَاجِزِ فِي الْأَنْفِ بَيْنَ الْمَنْخَرَيْنِ وَقَدْ ثَبَتَ فِي الْحَاجِزِ بَيْنَ الْمَنْخَرَيْنِ إِذَا قُطِعَ حُكُومَةٌ، كَذَلِكَ فِي خَرْقِ الْحَاجِزِ بَيْنَ المخرجين حكومة.
Adapun Mālik, ia berdalil bahwa dalam kasus ifḍā’ (robeknya dinding antara dua saluran) terdapat ḥukūmah (penilaian ganti rugi) dengan alasan bahwa sekat antara dua saluran (anus dan vagina) itu seperti sekat di hidung antara dua lubang hidung. Telah tetap bahwa pada sekat antara dua lubang hidung, jika terpotong maka ada ḥukūmah, demikian pula pada robeknya sekat antara dua saluran, ada ḥukūmah.
ودليلنا: هو أن الحاجة بَيْنَ الْمَخْرَجَيْنِ أَعْظَمُ مَنْفَعَةً مِنَ الشَّفْرَيْنِ؛ لِأَنَّ خَرْقَ الْحَاجِزِ يُفْضِي إِلَى اسْتِرْسَالِ الْبَوْلِ، وَقَطْعَ الشَّفْرَيْنِ لَا يَقْتَضِيهِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ فِي الشَّفْرَيْنِ الدِّيَةَ فَكَانَ فِي خَرْقِ الْحَاجِزِ أَوْلَى أَنْ تَجِبَ فِيهِ الدِّيَةُ.
Adapun dalil kami: bahwa sekat antara dua saluran lebih besar manfaatnya daripada dua bibir kemaluan, karena robeknya sekat menyebabkan air kencing mengalir terus-menerus, sedangkan terpotongnya dua bibir kemaluan tidak menimbulkan hal itu. Kemudian telah tetap bahwa pada dua bibir kemaluan ada diyat, maka pada robeknya sekat antara dua saluran lebih utama untuk dikenakan diyat.
فَأَمَّا الْحَاجِزُ بَيْنَ الْمَنْخَرَيْنِ فَمُخَالِفٌ لِلْحَاجِزِ بَيْنَ الْمَخْرَجَيْنِ؛ لِأَنَّ هَذَا عضو بكامله فَجَازَ أَنْ تُكْمَلَ فِيهِ الدِّيَةُ وَذَاكَ بَعْضُ عُضْوٍ فَلَمْ تُكْمَلْ فِيهِ الدِّيَةُ.
Adapun sekat antara dua lubang hidung berbeda dengan sekat antara dua saluran; karena yang ini adalah satu anggota secara utuh sehingga boleh disempurnakan diyat padanya, sedangkan yang itu hanya sebagian anggota sehingga tidak disempurnakan diyat padanya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ فِي الْإِفْضَاءِ الدِّيَةَ مَعَ الْمَهْرِ، فَإِنَّمَا يَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ إِذَا لَمْ يَلْتَحِمِ الْحَاجِزُ عَلَى حَالِهِ مُنْخَرِقًا، فَأَمَّا إِنِ الْتَحَمَ وَعَادَ إِلَى حَالِهِ حَاجِزًا بَيْنَ الْمَخْرَجَيْنِ فَلَا دِيَةَ فِيهِ وَفِيهِ حُكُومَةٌ؛ لِأَنَّهُ جَانٍ عَلَيْهِ وَلَيْسَ بِمُسْتَهْلَكٍ لَهُ، وَلِهَذَا قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ أَفْضَاهَا فَلَمْ تَلْتَئِمْ فَعَلَيْهِ دِيَتُهَا، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْتِئَامَهُ يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ دِيَتِهَا، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالدِّيَةُ إِذَا وَجَبَتْ فِيهِ فَهِيَ إِنْ عَمَدَ فَفِي مَالِهِ وَإِنْ أَخْطَأَ فَعَلَى عَاقِلَتِهِ، ثُمَّ هُوَ مَمْنُوعٌ مِنْ وَطْئِهَا حَتَّى يَنْدَمِلَ جُرْحُهَا وَيَبْرَأَ الْفَرْجُ الَّذِي لَا يَضُرُّهَا جِمَاعُهُ فَيُمْكِنُ حِينَئِذٍ مِنْ جِمَاعِهَا.
Apabila telah dipastikan bahwa pada kasus ifḍā’ dikenakan diyat beserta mahar, maka diyat itu wajib apabila sekat tersebut tidak menyatu kembali dan tetap dalam keadaan robek. Namun, jika sekat itu menyatu kembali dan kembali seperti semula menjadi pemisah antara dua saluran, maka tidak ada diyat padanya, melainkan ada ḥukūmah; karena ia telah melakukan pelanggaran terhadapnya namun tidak sampai menghilangkannya. Oleh karena itu, asy-Syāfi‘ī berkata: “Jika ia menyebabkan ifḍā’ lalu tidak sembuh, maka ia wajib membayar diyatnya.” Ini menunjukkan bahwa penyembuhan mencegah kewajiban diyat. Jika demikian, maka diyat jika wajib padanya, maka jika disengaja diambil dari hartanya, dan jika tidak sengaja maka diambil dari ‘āqilah-nya (keluarga penanggung diyat). Kemudian, ia dilarang menggaulinya hingga lukanya sembuh dan kemaluannya pulih sehingga tidak membahayakan jika digauli, barulah ia boleh menggaulinya.
فَلَوِ ادَّعَى بُرْأَهَا وَانْدِمَالَهَا لِيَطَأَهَا وَقَالَتْ: بَلْ أَنَا عَلَى مَرَضِي لَمْ أَبْرَأْ مِنْهُ وَلَمْ يَنْدَمِلْ وَأَنْكَرَ مَا قَالَتْ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا وَيُمْنَعُ مِنْ وَطْئِهَا لِأَمْرَيْنِ:
Jika suami mengaku bahwa istrinya telah sembuh dan lukanya telah pulih agar dapat menggaulinya, sedangkan istri berkata: “Justru aku masih sakit, belum sembuh dan belum pulih,” dan ia membantah ucapan suaminya, maka yang dipegang adalah ucapan istri dengan sumpahnya, dan suami dilarang menggaulinya karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ مَرَضَهَا مُتَيَقَّنٌ وبرءها مَظْنُونٌ.
Pertama: Bahwa sakitnya sudah pasti, sedangkan sembuhnya masih dugaan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَغِيبٌ يُمْكِنُ صِدْقُهَا فِيهِ فَجَرَى مَجْرَى الْحَيْضِ، ثُمَّ لَهَا النَّفَقَةُ وَإِنْ كان ممنوعاً منها كالمريضة، والله أعلم.
Kedua: Bahwa itu adalah sesuatu yang tersembunyi sehingga memungkinkan kebenaran ucapan istri, maka hukumnya seperti haid. Kemudian, istri tetap berhak atas nafkah meskipun ia terhalang dari suaminya seperti wanita sakit. Allah Maha Mengetahui.
الْقَوْلُ فِي الْخَلْوَةِ فِي إِيجَابِهَا الْمَهْرَ
Pembahasan tentang khalwah dalam kaitannya dengan kewajiban mahar
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” فَإِنْ دَخَلَتْ عَلَيْهِ فَلَمْ يَمَسَّهَا حتى طلقها فلها نصف المهر لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} فإن احتج محتجٌ بالأثر عن عمر رضي الله عنه في إغلاق الباب وإرخاء الستر أنه يوجب المهر فمن قول عمر ما ذنبهن لو جاء بالعجز من قبلكم؟ فأخبر أنه يجب إذا خلت بينه وبين نفسها كوجوب الثمن بالقبض وإن لم يغلق باباً ولم يرخ ستراً “.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Jika istri telah masuk ke rumah suami namun belum digauli hingga ditalak, maka ia berhak atas setengah mahar, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka setengah dari mahar yang telah kamu tentukan} (QS. Al-Baqarah: 237). Jika ada yang berdalil dengan atsar dari ‘Umar ra. tentang menutup pintu dan menurunkan tirai yang mewajibkan mahar, maka dari ucapan ‘Umar: ‘Apa dosa mereka jika kelemahan itu datang dari pihak kalian?’ Maka ia menjelaskan bahwa mahar wajib jika istri telah berduaan dengan suami, sebagaimana kewajiban harga dengan penyerahan barang, meskipun tidak menutup pintu dan tidak menurunkan tirai.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا؛ أَنْ يُطَلِّقَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ الْمُسَمَّى لَهَا صَدَاقًا مَعْلُومًا، فَلَا يَخْلُو حَالُ طَلَاقِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Māwardī berkata: Adapun bentuknya adalah: seorang laki-laki menceraikan istrinya yang telah ditentukan maharnya secara jelas, maka keadaan talaknya tidak lepas dari tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا وَقَبْلَ الْخَلْوَةِ، وَلَيْسَ لَهَا مِنَ الْمَهْرِ إِلَّا نِصْفُهُ، وَمَلَكَ الزَّوْجُ نِصْفَهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ) {البقرة: 237) .
Pertama: Talak terjadi sebelum berhubungan dan sebelum khalwah, maka istri hanya berhak atas setengah mahar, dan suami memiliki setengahnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka setengah dari mahar yang telah kamu tentukan} (QS. Al-Baqarah: 237).
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ الدُّخُولِ بِوَطْءٍ تَامٍّ تَغِيبُ بِهِ الْحَشَفَةُ، فَقَدِ اسْتَقَرَّ لَهَا جَمِيعُ الْمَهْرِ الَّذِي كَانَتْ مَالِكَةً لَهُ بِالْعَقْدِ؛ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ) {النساء: 21) .
Bagian kedua: Suami menceraikannya setelah berhubungan dengan jima‘ sempurna yang menyebabkan tenggelamnya hasyafah (kepala kemaluan), maka istri berhak atas seluruh mahar yang telah menjadi miliknya dengan akad, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Bagaimana kamu akan mengambilnya padahal sebagian dari kamu telah bergaul (bercampur) dengan sebagian yang lain} (QS. An-Nisā’: 21).
وَهَذَانِ الْقِسْمَانِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا.
Kedua bagian ini telah disepakati para ulama.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ يُطَلِّقَهَا بَعْدَ الْخَلْوَةِ بِهَا وَقَبْلَ الْإِصَابَةِ لَهَا، فَقَدِ اختلف الفقهاء فيه على ثلاث مَذَاهِبَ:
Bagian ketiga: Suami menceraikannya setelah terjadi khalwah namun sebelum jima‘, maka para fuqahā’ berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga mazhab:
أَحَدُهَا: وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ وَالْمَعْمُولُ عَلَيْهِ مِنْ مَذْهَبِهِ: أَنَّهُ لَيْسَ لَهَا مِنَ الْمَهْرِ إِلَّا نِصْفَهُ، وَلَا تَأْثِيرَ لِلْخَلْوَةِ فِي كَمَالِ مَهْرٍ وَلَا إِيجَابِ عِدَّةٍ.
Salah satu pendapat, yaitu pendapat al-Syafi‘i dalam pendapat barunya yang menjadi pegangan dalam mazhabnya, adalah bahwa perempuan tersebut tidak berhak atas mahar kecuali setengahnya, dan khalwah tidak berpengaruh dalam penyempurnaan mahar maupun dalam mewajibkan ‘iddah.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: ابْنُ عَبَّاسٍ، وَابْنُ مَسْعُودٍ.
Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat: Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas‘ud.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: الشَّعْبِيُّ، وَابْنُ سِيرِينَ، وَمِنَ الْفُقَهَاءِ: أَبُو ثَوْرٍ.
Dan dari kalangan tabi‘in: al-Sya‘bi, Ibnu Sirin, serta dari kalangan fuqaha: Abu Tsaur.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّ الْخَلْوَةَ كَالدُّخُولِ فِي كَمَالِ الْمَهْرِ وَوُجُوبِ الْعِدَّةِ، وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ: عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.
Mazhab kedua: bahwa khalwah dipersamakan dengan hubungan suami istri dalam hal penyempurnaan mahar dan kewajiban ‘iddah. Pendapat ini dipegang oleh para sahabat: ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhum.
وَمِنَ التَّابِعِينَ: الزُّهْرِيُّ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ؛ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ.
Dan dari kalangan tabi‘in: al-Zuhri, serta dari kalangan fuqaha: al-Tsauri dan Abu Hanifah, dan pendapat ini juga dinyatakan oleh al-Syafi‘i dalam pendapat lamanya.
إِلَّا أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ يَعْتَبِرُ الْخَلْوَةَ التامة في كمال المهر ووجوب العدة بأن لا يَكُونَا مُحْرِمِينَ وَلَا صَائِمِينَ.
Hanya saja Abu Hanifah mensyaratkan bahwa khalwah yang sempurna dalam penyempurnaan mahar dan kewajiban ‘iddah adalah apabila keduanya tidak sedang berihram dan tidak sedang berpuasa.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْخَلْوَةَ يَدٌ لِمُدَّعِي الْإِصَابَةِ مِنْهُمَا فِي كَمَالِ الْمَهْرِ أَوْ وُجُوبِ الْعِدَّةِ، فَإِنْ لَمْ يَدَّعِيَاهَا لَمْ يُكْمَلْ بِالْخَلْوَةِ مَهْرٌ وَلَا يَجِبُ بِهَا عِدَّةٌ وَهَذَا مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ في الإملاء.
Mazhab ketiga: bahwa khalwah menjadi bukti bagi pihak yang mengklaim terjadinya hubungan suami istri di antara keduanya dalam hal penyempurnaan mahar atau kewajiban ‘iddah. Jika keduanya tidak mengklaimnya, maka mahar tidak menjadi sempurna dengan khalwah dan tidak wajib ‘iddah karenanya. Inilah mazhab Malik, dan pendapat ini juga dinyatakan oleh al-Syafi‘i dalam kitab al-Imla’.
وَاسْتَدَلَّ مَنْ نَصَرَ قَوْلَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي أَنَّ الْخَلْوَةَ تَقْتَضِي كَمَالَ الْمَهْرِ وَوُجُوبَ الْعِدَّةِ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ أَرَدْتُمْ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَاراً فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بَهْتَاناً وَإِثْماً مُبِيناً وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُمْ مِيثَاقاً غَلِيظاً} وَلَهُمْ مِنَ الْآيَةِ دَلِيلَانِ:
Orang yang membela pendapat Abu Hanifah bahwa khalwah menuntut penyempurnaan mahar dan kewajiban ‘iddah berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu ingin mengganti istri dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya dengan jalan tuduhan yang dusta dan dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu akan mengambilnya padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan sebagian yang lain dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?} Mereka memiliki dua dalil dari ayat ini:
أَحَدُهُمَا: عُمُومُ قَوْلِهِ {فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً} إِلَّا مَا خَصَّهُ دَلِيلٌ.
Pertama: Keumuman firman-Nya {maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya} kecuali yang dikecualikan oleh dalil lain.
وَالثَّانِي: قَوْلُهُ {وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ} قَالَ الْفَرَّاءُ: مَعْنَاهُ وَقَدْ خَلَا بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ؛ لِأَنَّ الْفَضَاءَ هُوَ الْمَوْضِعُ الْوَاسِعُ الْخَالِي، وَقَوْلُ الْفَرَّاءِ فِيمَا تَعَلَّقَ بِاللُّغَةِ حُجَّةٌ.
Kedua: Firman-Nya {padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan sebagian yang lain}. Al-Farra’ berkata: Maknanya adalah sebagian kamu telah berkhalwat dengan sebagian yang lain, karena “al-fadā’” adalah tempat yang luas dan kosong, dan pendapat al-Farra’ dalam masalah bahasa adalah hujjah.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ كَشَفَ قِنَاعَ امرأةٍ فَقَدْ وَجَبَ لَهَا الْمَهْرُ كَامِلًا “.
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang telah menyingkap penutup seorang wanita, maka telah wajib baginya mahar secara sempurna.”
وَهَذَا نَصٌّ.
Ini adalah nash (teks yang jelas).
وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: ” مَا ذَنْبُهُنَّ إِنْ جَاءَ الْعَجْزُ مِنْ قِبَلِكُمْ “.
Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: “Apa dosa mereka (para wanita) jika kelemahan itu datang dari pihak kalian?”
وَرُوِيَ عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى أَنَّهُ قَالَ: قَضَى الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ الْمَهْدِيُّونَ أَنَّ مَنْ أَغْلَقَ بَابًا وَأَرْخَى سِتْرًا فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْمَهْرُ، دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ ” عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ “.
Diriwayatkan dari Zurārah bin Aufā bahwa ia berkata: Para khalifah Rasyidun yang mendapat petunjuk telah memutuskan bahwa siapa saja yang telah menutup pintu dan menurunkan tirai, maka telah wajib atasnya mahar, baik ia telah berhubungan suami istri atau belum. Dan Nabi ﷺ bersabda: “Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para khalifah Rasyidun sepeninggalku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”
وَمِنَ الْقِيَاسِ: أَنَّ النِّكَاحَ عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ التَّمْكِينُ مِنَ الْمَنْفَعَةِ بِمَنْزِلَةِ اسْتِيفَائِهَا فِي اسْتِقْرَارِ بَدَلِهَا كَالْإِجَارَةِ، وَلِأَنَّ التَّسْلِيمَ الْمُسْتَحَقَّ بِالْعَقْدِ قَدْ وُجِدَ مِنْ جِهَتِهَا فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَقِرَّ الْعِوَضُ لَهَا، أَصْلُهُ: إِذَا وَطِئَهَا.
Dan dari qiyās: bahwa nikah adalah akad atas suatu manfaat, maka seharusnya pemberian kesempatan untuk mendapatkan manfaat tersebut diposisikan seperti pemanfaatan itu sendiri dalam penetapan pengganti (mahar), sebagaimana dalam akad ijarah (sewa-menyewa). Dan karena penyerahan yang menjadi hak dengan akad telah terjadi dari pihak perempuan, maka seharusnya pengganti (mahar) itu menjadi tetap baginya. Dasarnya: jika ia telah digauli.
وَلِأَنَّ الْمَهْرَ فِي مُقَابَلَةِ الْإِصَابَةِ كَمَا أَنَّ النَّفَقَةَ فِي مُقَابَلَةِ الِاسْتِمْتَاعِ، ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ التَّمْكِينَ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ شَرْطٌ بِمَنْزِلَةِ الِاسْتِمْتَاعِ فِي اسْتِقْرَارِ النَّفَقَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ التَّمْكِينُ مِنَ الْإِصَابَةِ بِمَنْزِلَةِ الْإِصَابَةِ فِي اسْتِقْرَارِ الْمَهْرِ.
Dan karena mahar itu sebagai imbalan atas terjadinya hubungan suami istri, sebagaimana nafkah sebagai imbalan atas kenikmatan (istimta‘). Kemudian telah tetap bahwa pemberian kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan adalah syarat yang diposisikan seperti kenikmatan itu sendiri dalam penetapan nafkah, maka seharusnya pemberian kesempatan untuk terjadinya hubungan suami istri diposisikan seperti terjadinya hubungan itu sendiri dalam penetapan mahar.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْخَلْوَةَ لَا تَتَعَلَّقُ بِهَا حُكْمٌ فِي كَمَالِ مَهْرٍ، وَلَا وُجُوبِ عِدَّةٍ وَلَا بَدْءٍ فِي دَعْوَى قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} وَالْمَسِيسُ عِبَارَةٌ عَنِ الْوَطْءِ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ:
Dalil bahwa khalwat tidak berkaitan dengan adanya hukum dalam penyempurnaan mahar, tidak pula kewajiban ‘iddah, dan tidak pula permulaan dalam gugatan adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan bagi mereka suatu mahar, maka setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu} dan kata “al-masīs” adalah ungkapan dari hubungan badan (jima‘) karena tiga alasan:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ مَرْوِيٌّ فِي التَّفْسِيرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَابْنِ مَسْعُودٍ.
Pertama: Hal ini diriwayatkan dalam tafsir dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas‘ud.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْمَسِيسَ كِنَايَةٌ لِمَا يُسْتَقْبَحُ صَرِيحُهُ، وَلَيْسَتِ الْخَلْوَةُ مُسْتَقْبَحَةَ التَّصْرِيحِ فَيُكَنِّي عَنْهَا، وَالْوَطْءُ مُسْتَقْبَحٌ فَكُنِّيَ بِالْمَسِيسِ عَنْهُ.
Kedua: Al-masīs adalah kinayah (sindiran) untuk sesuatu yang dianggap buruk jika diungkapkan secara terang-terangan, sedangkan khalwat bukanlah sesuatu yang buruk untuk diungkapkan secara jelas sehingga perlu disindir, sedangkan hubungan badan adalah sesuatu yang dianggap buruk sehingga digunakan istilah al-masīs sebagai sindiran untuknya.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ الْمَسِيسَ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ كَمَالُ الْمَهْرِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ خَلَا بِهَا مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ كَمَلَ عِنْدَهُمُ الْمَهْرُ، وَلَوْ وَطِئَهَا مِنْ غَيْرِ خَلْوَةٍ كَمَلَ عَلَيْهِ الْمَهْرُ، وَلَوْ مَسَّهَا مِنْ غَيْرِ خَلْوَةٍ، وَلَا وَطْءٍ لَمْ يَكْمُلِ الْمَهْرُ، فَكَانَ حَمْلُ الْمَسِيسِ عَلَى الْوَطْءِ الَّذِي يَتَعَلَّقُ بِهِ الْحُكْمُ أَوْلَى مِنْ حَمْلِهِ عَلَى غَيْرِهِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ جَعَلَ الطَّلَاقَ قَبْلَ الْمَسِيسِ الَّذِي هُوَ الْوَطْءُ مُوجِبًا لِاسْتِحْقَاقِ نِصْفِ الْمَهْرِ.
Ketiga: Al-masīs tidak berkaitan dengannya menurut dua mazhab dalam hal penyempurnaan mahar; karena jika seseorang berkhalwat dengan istrinya tanpa al-masīs, menurut mereka mahar menjadi sempurna, dan jika ia berhubungan badan tanpa khalwat, mahar juga menjadi sempurna, dan jika ia hanya menyentuh tanpa khalwat dan tanpa hubungan badan, maka mahar tidak menjadi sempurna. Maka menafsirkan al-masīs sebagai hubungan badan yang berkaitan dengan hukum lebih utama daripada menafsirkannya dengan selain itu. Jika demikian, maka talak sebelum al-masīs yang dimaksud adalah hubungan badan, menyebabkan istri berhak atas setengah mahar.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ: أَنَّهُ طَلَاقٌ قَبْلَ الْإِصَابَةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكْمُلَ بِهِ الْمَهْرُ كَالطَّلَاقِ قَبْلَ الْخَلْوَةِ، وَلِأَنَّهَا خَلْوَةٌ خَلَتْ عَنِ الْإِصَابَةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَكْمُلَ بِهَا الْمَهْرُ كَالْخَلْوَةِ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا مُحْرِمًا أَوْ صَائِمًا فَرْضًا؛ وَلِأَنَّ مَا لَا يُوجِبُ الْغُسْلَ لَا يُوجِبُ كَمَالَ الْمَهْرِ كَالْقُبْلَةِ مِنْ غَيْرِ خَلْوَةٍ، وَلِأَنَّ الْخَلْوَةَ لَمَّا لَمْ يَقُمْ فِي حَقِّهَا مَقَامُ الْإِصَابَةِ لَمْ يَقُمْ فِي حَقِّهِ مَقَامُ الْإِصَابَةِ كَالنَّظَرِ، وَبَيَانُ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْ خَلَا بِهَا لَمْ يَسْقُطْ بِهَا حَقُّ الْإِيلَاءِ، وَالْعُنَّةِ، وَلِأَنَّ ما لا يثبت به حق التسليم في أحد جنبي الْعَقْدِ لَمْ يَثْبُتْ بِهِ حَقُّ التَّسْلِيمِ فِي الْجَنَبَةِ الْأُخْرَى قِيَاسًا عَلَى تَسْلِيمِ الْمَبِيعِ وَالْمُؤَاجَرِ إِذَا كَانَ دُونَ قَبْضِهِمَا حَائِلٌ، وَلِأَنَّ لِلْوَطْءِ أَحْكَامًا تَخْتَصُّ بِهِ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ وَالْغُسْلِ، وَثُبُوتِ الْإِحْصَانِ وَالْإِحْلَالِ لِلزَّوْجِ الْأَوَّلِ وَسُقُوطِ الْعُنَّةِ وَحُكْمِ الْإِيلَاءِ، وَإِفْسَادِ الْعِبَادَةِ وَوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ، وَاسْتِحْقَاقِ الْمَهْرِ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ، وَكَمَالِهِ فِي الصَّحِيحِ، وَوُجُوبِ الْعِدَّةِ فِيهِمَا.
Dan dari sisi qiyās: Bahwa itu adalah talak sebelum terjadinya hubungan badan, maka seharusnya mahar tidak menjadi sempurna karenanya, sebagaimana talak sebelum khalwat. Dan karena itu adalah khalwat yang tidak disertai hubungan badan, maka seharusnya mahar tidak menjadi sempurna karenanya, seperti halnya khalwat apabila salah satu dari keduanya dalam keadaan ihram atau puasa wajib; dan karena sesuatu yang tidak mewajibkan mandi junub tidak mewajibkan penyempurnaan mahar, seperti mencium tanpa khalwat; dan karena khalwat, ketika tidak menempati posisi hubungan badan dalam hukumnya, maka tidak menempati posisi hubungan badan sebagaimana melihat; dan penjelasannya adalah bahwa jika seseorang berkhalwat dengan istrinya, hak ila’ dan ‘innah tidak gugur karenanya; dan karena sesuatu yang tidak menetapkan hak penyerahan pada salah satu sisi akad, maka tidak menetapkan hak penyerahan pada sisi lainnya, qiyās dengan penyerahan barang jualan dan sewaan jika masih ada penghalang sebelum diterima; dan karena hubungan badan memiliki hukum-hukum khusus, seperti wajib had, mandi junub, penetapan status muhsan, kehalalan bagi suami pertama, gugurnya ‘innah dan hukum ila’, rusaknya ibadah, wajib kafarat, berhaknya mahar pada nikah fasid, penyempurnaannya pada nikah sahih, dan wajibnya ‘iddah pada keduanya.
فَلَمَّا انْتَفَى عَنِ الْخَلْوَةِ جَمِيعُ هَذِهِ الْأَحْكَامِ سِوَى تَكْمِيلِ الْمَهْرِ وَالْعِدَّةِ انْتَفَى عَنْهَا هَذَانِ اعْتِبَارًا بِسَائِرِ الْأَحْكَامِ.
Maka ketika semua hukum ini tidak berlaku pada khalwat selain penyempurnaan mahar dan ‘iddah, maka kedua hukum ini pun tidak berlaku padanya, dengan mempertimbangkan hukum-hukum lainnya.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا: أَنَّهُ حُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ الْوَطْءِ فَوَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنِ الْخَلْوَةِ قِيَاسًا عَلَى مَا ذَكَرْنَا.
Dan penjelasan qiyās-nya: Bahwa itu adalah hukum dari hukum-hukum hubungan badan, maka seharusnya tidak berlaku pada khalwat, qiyās atas apa yang telah kami sebutkan.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ:
Adapun jawaban terhadap ayat tersebut ada dua sisi:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْفَرَّاءَ قَدْ خُولِفَ فِي تَفْسِيرِ الْإِفْضَاءِ، فَقَالَ الزَّجَّاجُ فِي ” مَعَانِيهِ “: إِنَّهُ الْغَشَيَانُ وَقَالَ ابْنُ قُتَيْبَةَ فِي ” غَرِيبِ الْقُرْآنِ ” هُوَ الْجِمَاعُ.
Pertama: Bahwa al-Farra’ telah diselisihi dalam tafsir kata “al-ifdā’”, maka al-Zajjāj dalam kitab “Ma‘ānihi” berkata: itu adalah al-ghisyān (berhubungan badan), dan Ibnu Qutaibah dalam “Gharīb al-Qur’ān” berkata: itu adalah jima‘ (hubungan badan).
فَكَانَ قَوْلُ الْفَرَّاءِ مَحْجُوجًا بِغَيْرِهِ.
Maka pendapat al-Farra’ tertolak dengan pendapat selainnya.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْآيَةَ الَّتِي اسْتَدْلَلْنَا بِهَا مُفَسِّرَةٌ تَقْضِي عَلَى هَذَا الْمُجْمَلِ.
Kedua: Bahwa ayat yang kami jadikan dalil telah menjelaskan dan menafsirkan ayat yang masih mujmal (global) tersebut.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ: فَهُوَ أَنَّ كَشْفَ الْقِنَاعِ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ كَمَالُ الْمَهْرِ عِنْدَنَا وَلَا عِنْدَهُمْ، فَإِنْ جَعَلُوهُ كِنَايَةً فِي الْخَلْوَةِ كَانَ جَعْلُهُ كِنَايَةً فِي الْوَطْءِ أَوْلَى.
Adapun jawaban terhadap hadis: Bahwa membuka penutup wajah tidak berkaitan dengan penyempurnaan mahar menurut kami maupun menurut mereka. Jika mereka menjadikannya sebagai kinayah dalam khalwat, maka menjadikannya sebagai kinayah dalam hubungan badan lebih utama.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْأَثَرِ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ: ” مَا ذَنْبُهُنَّ إِنْ جَاءَ الْعَجْزُ مِنْ قِبَلِكُمْ ” فَهُوَ أَنَّهُ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ لَهَا الْمَهْرُ مَعَ الْعَجْزِ، سَوَاءٌ كَانَتْ خَلْوَةٌ أَوْ لَمْ تَكُنْ فَيَكُونُ مَعْنَاهُ اسْتِحْقَاقُ دَفْعِهِ قَبْلَ الطَّلَاقِ، وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى.
Adapun jawaban terhadap atsar dari ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu dalam ucapannya: “Apa dosa mereka jika ketidakmampuan itu berasal dari kalian,” maka maksudnya adalah bahwa perempuan berhak mendapatkan mahar meskipun ada ketidakmampuan, baik telah terjadi khalwat maupun belum. Maka maknanya adalah berhak menerima pembayaran mahar sebelum terjadinya talak. Demikian pula jawaban terhadap hadis Zurārah bin Aufā.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْإِجَارَةِ فَمُنْتَقَضٌ مِمَّنْ سَلَّمَتْ نَفْسَهَا فِي صَوْمٍ، أَوْ إِحْرَامٍ، أَوْ حيض.
Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan ijarah (sewa-menyewa) adalah dapat dibantah dengan kasus perempuan yang telah menyerahkan dirinya dalam keadaan berpuasa, ihram, atau haid.
فَإِنْ قِيلَ: الصَّوْمُ وَالْإِحْرَامُ مَانِعٌ فَلَمْ يَتِمَّ التَّسْلِيمُ.
Jika dikatakan: Puasa dan ihram adalah penghalang, sehingga penyerahan diri belum sempurna.
قِيلَ: الْجُبُّ وَالْعُنَّةُ أَبْلَغُ فِي الْمَنْعِ، وَلَا يَمْنَعُ مِنَ التَّسْلِيمِ الْمُوجِبِ لِكَمَالِ الْمَهْرِ عِنْدَهُمْ بِالْخَلْوَةِ، عَلَى أَنَّهُ لَوْ وَطِئَ فِي الصِّيَامِ وَالْإِحْرَامِ لَكَمَلَ الْمَهْرُ وَاسْتَقَرَّ، فَجَازَ أَنْ تَكُونَ الْخَلْوَةُ لَوْ أَوْجَبَتْ كَمَالَ الْمَهْرِ فِي غَيْرِ الْإِحْرَامِ مُوجِبَةً لِكَمَالِهِ فِي الْإِحْرَامِ كَالْوَطْءِ.
Dijawab: Kebiri dan impoten lebih besar dalam hal penghalangan, namun tidak menghalangi penyerahan diri yang menurut mereka mewajibkan kesempurnaan mahar dengan khalwat. Bahkan, seandainya terjadi hubungan suami istri saat puasa atau ihram, maka mahar menjadi sempurna dan tetap. Maka boleh jadi khalwat, jika memang mewajibkan kesempurnaan mahar di luar ihram, juga mewajibkan kesempurnaannya saat ihram sebagaimana hubungan suami istri.
عَلَى أَنَّ صَوْمَ التَّطَوُّعِ يَصِيرُ عِنْدَهُمْ وَاجِبًا بِالدُّخُولِ فِيهِ، وَلَا يَمْنَعُ الْخَلْوَةَ فِيهِ مِنْ كَمَالِ الْمَهْرِ عِنْدَهُمْ، فَكَذَلِكَ غَيْرُهُ مِنْ صَوْمِ الْفَرْضِ.
Selain itu, puasa sunnah menurut mereka menjadi wajib dengan memulainya, dan khalwat di dalamnya tidak menghalangi kesempurnaan mahar menurut mereka. Maka demikian pula halnya dengan puasa wajib.
عَلَى أَنَّ الْإِجَارَةَ مُقَدَّرَةٌ بِالزَّمَانِ، فَجَازَ أَنْ تَسْتَقِرَّ الْأُجْرَةُ بِالتَّمْكِينِ فِيهِ لِتَقْضِيَهُ، وَلَيْسَ النِّكَاحُ مُقَدَّرًا بِالزَّمَانِ فَلَمْ يَسْتَقِرَّ الْمَهْرُ فِيهِ بِالتَّمْكِينِ إِلَّا بِانْقِضَاءِ زَمَانِهِ بِالْمَوْتِ أَوْ بِالْوَطْءِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ؛ لِأَنَّهُ مَقْصُودٌ بِالْعَقْدِ.
Selain itu, ijarah ditentukan dengan waktu, sehingga upah dapat tetap dengan adanya penyerahan diri untuk memanfaatkannya. Sedangkan nikah tidak ditentukan dengan waktu, sehingga mahar tidak tetap hanya dengan penyerahan diri kecuali setelah berakhirnya masa nikah dengan kematian atau dengan hubungan suami istri selama hidup, karena itu adalah tujuan dari akad.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْوَطْءِ: فَالْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ اسْتِيفَاءُ حَقِّهِ بِالْوَطْءِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْخَلْوَةُ.
Adapun qiyās mereka dengan hubungan suami istri: makna asalnya adalah terpenuhinya hak dengan hubungan suami istri, dan khalwat tidak demikian.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالنَّفَقَةِ: فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ النَّفَقَةَ مُقَابَلَةٌ بِالتَّمْكِينِ دُونَ الْوَطْءِ وَلِذَلِكَ وَجَبَ لَهَا النَّفَقَةُ مَعَ التَّمْكِينِ فِي الصِّيَامِ وَالْإِحْرَامِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَهْرُ؛ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ الْوَطْءِ لِأَنَّهُمْ لَا يُكْمِلُونَ الْمَهْرَ بِالْخَلْوَةِ فِي حَالِ الْإِحْرَامِ وَالصِّيَامِ.
Adapun istidlāl mereka dengan nafkah: jawabannya adalah bahwa nafkah diberikan sebagai imbalan atas penyerahan diri, bukan atas hubungan suami istri. Karena itu, perempuan berhak mendapat nafkah dengan penyerahan diri meskipun dalam keadaan puasa atau ihram, sedangkan mahar tidak demikian; karena mahar sebagai imbalan atas hubungan suami istri. Mereka tidak menyempurnakan mahar dengan khalwat dalam keadaan ihram dan puasa.
فَصْلٌ
Fasal
وَاسْتَدَلَّ مَنْ نَصَرَ قَوْلَ مَالِكٍ: أَنَّ الْخَلْوَةَ يَدٌ لِمُدَّعِي الْإِصَابَةِ مِنَ الزَّوْجَيْنِ بِأَنَّ الْخَلْوَةَ فِي دَعْوَى الْإِصَابَةِ تَجْرِي مَجْرَى اللَّوْثِ فِي الْقَسَامَةِ، وَذَلِكَ مُوجِبٌ لِتَصْدِيقِ الْمُدَّعِي فَكَذَلِكَ الْخَلْوَةُ، وَلِأَنَّ الْإِصَابَةَ مِمَّا يَسْتَسِرُّهُ النَّاسُ وَلَا يُعْلِنُونَهُ فَتَعَذَّرَتْ إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهَا، فَجَازَ أَنْ يُعْمَلَ فِيهَا عَلَى ظَاهِرِ الْخَلْوَةِ الدَّالَّةِ عَلَيْهَا فِي قَبُولِ قَوْلِ مُدَّعِيهَا، كَمَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْمَوْلَى فِي دَعْوَى الْإِصَابَةِ، وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ: قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ.
Orang yang membela pendapat Mālik berdalil bahwa khalwat menjadi pegangan bagi pihak yang mengklaim terjadinya hubungan suami istri dari kedua pasangan, bahwa khalwat dalam klaim terjadinya hubungan suami istri menempati posisi seperti adanya indikasi kuat (lawts) dalam kasus qasāmah (sumpah dalam perkara pembunuhan), dan hal itu mewajibkan membenarkan pihak yang mengklaim, demikian pula halnya dengan khalwat. Karena hubungan suami istri adalah sesuatu yang dirahasiakan oleh manusia dan tidak diumumkan, sehingga sulit untuk menghadirkan bukti atasnya. Maka boleh beramal dengan zhahirnya khalwat yang menunjukkan terjadinya hubungan suami istri dalam menerima klaim pihak yang mengakuinya, sebagaimana diterima pengakuan budak dalam klaim terjadinya hubungan suami istri. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ: “Bukti atas pihak yang mengklaim dan sumpah atas pihak yang dituduh,” maka tetap berlaku secara umum.
وَلِأَنَّ اخْتِلَافَ الزَّوْجَيْنِ فِي الْإِصَابَةِ لَا يُوجِبُ تَرْجِيحَ مَنْ يَدَّعِيهَا بِالْخَلْوَةِ، كَمَا لَوْ خَلَا بِهَا لَيْلَةً فِي بَيْتِهَا.
Karena perbedaan antara suami istri dalam hal terjadinya hubungan suami istri tidak mewajibkan menguatkan pihak yang mengakuinya hanya dengan khalwat, sebagaimana jika ia berkhalwat dengannya semalam di rumahnya.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ فِي ذَلِكَ بِاللَّوْثِ فَغَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي تَرْجِيحِ الدَّعْوَى فِي الْأَمْوَالِ، وَإِنْ كَانَ مُعْتَبَرًا فِي تَرْجِيحِ الدَّعْوَى فِي الدِّمَاءِ.
Adapun istidlāl dengan indikasi kuat (lawts) tidak dianggap dalam menguatkan klaim dalam perkara harta, meskipun dianggap dalam perkara darah (pembunuhan).
وَأَمَّا قَبُولُ قَوْلِ الْمَوْلَى فِي دَعْوَى الْإِصَابَةِ؛ فَلِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهِ ثُبُوتُ النِّكَاحِ فَلَمْ تُصَدَّقِ الزَّوْجَةُ فِي اسْتِحْقَاقِ فَسْخِهِ، وَالْأَصْلُ هَاهُنَا بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ وَعَدَمُ الْعِدَّةِ فَلَمْ يُصَدَّقْ مُدَّعِي اسْتِحْقَاقِهِمَا.
Adapun diterimanya pengakuan budak dalam klaim terjadinya hubungan suami istri; karena asalnya dalam hal itu adalah tetapnya pernikahan, sehingga istri tidak dibenarkan dalam menuntut pembatalan nikah. Sedangkan asal dalam masalah ini adalah bebasnya tanggungan dan tidak adanya masa iddah, sehingga pihak yang mengaku berhak atas keduanya tidak dibenarkan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وسواءٌ طَالَ مُقَامُهُ مَعَهَا أَوْ قَصُرَ لَا يَجِبُ الْمَهْرُ وَالْعِدَّةُ إِلَّا بِالْمِسِيسِ نَفْسِهِ (قَالَ المزني) رحمه الله قد جاء عن ابن مسعود وابن عباسٍ معنى ما قال الشافعي وهو ظاهر القرآن “.
Imam Syafi‘i berkata: “Sama saja apakah lama atau sebentar ia tinggal bersamanya, tidak wajib mahar dan iddah kecuali dengan terjadinya hubungan suami istri itu sendiri.” (Al-Muzani berkata) rahimahullāh: Telah datang riwayat dari Ibnu Mas‘ūd dan Ibnu ‘Abbās makna sebagaimana yang dikatakan oleh Syafi‘i, dan itu adalah zhahir dari Al-Qur’an.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا إِنَّمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ رَدًّا عَلَى مَالِكٍ، فَإِنَّهُ زَعَمَ أَنَّ الْخَلْوَةَ إِنْ كَانَتْ فِي بَيْتِ الزَّوْجِ فَالْقَوْلُ مَعَهَا قَوْلُ مُدَّعِي الْإِصَابَةِ. وَإِنْ كَانَتْ فِي بَيْتِ الزَّوْجَةِ فَإِنْ طَالَتْ حَتَّى زَالَتِ الْحِشْمَةُ بَيْنَهُمَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ مُدَّعِي الْإِصَابَةِ مِنْهُمَا.
Al-Mawardi berkata: Ini dikatakan oleh asy-Syafi‘i sebagai bantahan terhadap Malik, karena ia berpendapat bahwa jika khalwat terjadi di rumah suami, maka yang dipegang adalah pernyataan pihak yang mengaku telah terjadi hubungan (al-ishābah). Dan jika terjadi di rumah istri, maka jika waktunya lama hingga hilang rasa malu di antara keduanya, maka yang dipegang adalah pernyataan pihak yang mengaku telah terjadi hubungan dari keduanya.
وَإِنْ قَصُرَتْ وَلَمْ تَزَلِ الْحِشْمَةُ بَيْنَهُمَا، فَالْقَوْلُ قَوْلُ مُنْكِرِهَا، اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ عُرْفُ الْحُكَّامِ بِالْمَدِينَةِ.
Dan jika waktunya singkat dan rasa malu di antara keduanya belum hilang, maka yang dipegang adalah pernyataan pihak yang mengingkari, dengan alasan bahwa itu adalah kebiasaan para hakim di Madinah.
وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الْخَلْوَةَ إِنْ أَوْجَبَتْ كَمَالَ الْمَهْرِ اسْتَوَى حُكْمُ طَوِيلِهَا وَقَصِيرِهَا، وَأَنْ تَكُونَ فِي بَيْتِهِ أَوْ بَيْتِهَا كَالْإِصَابَةِ.
Ini tidak benar; karena jika khalwat mewajibkan penyempurnaan mahar, maka hukum khalwat yang lama dan yang singkat sama saja, baik terjadi di rumah suami maupun di rumah istri, sebagaimana halnya hubungan (al-ishābah).
وَإِنْ لَمْ تُوجِبْ كَمَالَ الْمَهْرِ كَانَتْ فِي جَمِيعِ أَحْوَالِهَا كَذَلِكَ، وَقَدْ تَكُونُ الْإِصَابَةُ فِي قَلِيلِ الْخَلْوَةِ وَلَا تَكُونُ فِي كَبِيرِهَا، وَقَدْ تَكُونُ الْإِصَابَةُ فِي خَلْوَةِ بَيْتِهَا، وَلَا تَكُونُ فِي خَلْوَةِ بَيْتِهِ.
Dan jika tidak mewajibkan penyempurnaan mahar, maka dalam seluruh keadaannya pun demikian. Bisa jadi hubungan (al-ishābah) terjadi dalam khalwat yang singkat dan tidak terjadi dalam khalwat yang lama, dan bisa jadi hubungan terjadi dalam khalwat di rumah istri, namun tidak terjadi dalam khalwat di rumah suami.
فَلَمْ يَكُنْ لِهَذَا التَّفْصِيلِ مَعْنًى يُوجِبُهُ، وَلَا تَعْلِيلٌ يَقْتَضِيهِ، وَلَا أَصْلٌ يَرْجِعُ إِلَيْهِ وَفِعْلُ حُكَّامِ الْمَدِينَةِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِدَلِيلٍ.
Maka perincian seperti ini tidak memiliki makna yang mewajibkannya, tidak ada alasan yang menuntutnya, dan tidak ada dasar yang dapat dijadikan rujukan. Perbuatan para hakim Madinah bukanlah hujjah jika tidak disertai dalil.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الزوجين إذا خلوا من أربعة أَحْوَالٍ.
Jika telah tetap apa yang kami uraikan, maka tidak lepas keadaan suami istri ketika berkhalwat dari empat keadaan.
إِحْدَاهُنَّ: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى الْإِصَابَةِ فَيَكْمُلُ الْمَهْرُ وَتَجِبُ الْعِدَّةُ وَتُسْتَحَقُّ الرَّجْعَةُ إِجْمَاعًا عَلَى الْأَقَاوِيلِ كُلِّهَا.
Pertama: Keduanya sepakat telah terjadi hubungan (al-ishābah), maka mahar menjadi sempurna, ‘iddah wajib, dan hak ruju‘ didapatkan, berdasarkan ijmā‘ atas seluruh pendapat.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى عَدَمِ الْإِصَابَةِ.
Keadaan kedua: Keduanya sepakat tidak terjadi hubungan (al-ishābah).
فَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ وَالْإِمْلَاءِ لَا يَكْمُلُ الْمَهْرُ، وَلَا تَجِبُ الْعِدَّةُ، وَلَا تُسْتَحَقُّ الرَّجْعَةُ.
Menurut pendapat asy-Syafi‘i dalam qaul jadid dan al-Imla’, mahar tidak sempurna, ‘iddah tidak wajib, dan hak ruju‘ tidak didapatkan.
فَعَلَى هَذَا: لَوْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ وَقَدِ اتَّفَقَا عَلَى أَنَّ الْإِصَابَةَ بَيْنَهُمَا لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ؛ لِأَنَّهَا فِرَاشٌ.
Berdasarkan hal ini: Jika istri melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih sejak akad, dan keduanya sepakat bahwa telah terjadi hubungan di antara mereka, maka anak itu dinasabkan kepadanya, karena ia adalah istri sah (firas).
وَفِي اسْتِكْمَالِ الْمَهْرِ عَلَى الْجَدِيدِ وَالْإِمْلَاءِ وَجْهَانِ:
Dalam hal penyempurnaan mahar menurut qaul jadid dan al-Imla’ terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يُسْتَكْمَلُ الْمَهْرُ؛ لِأَنَّ حُدُوثَ الْوَلَدِ دَلِيلٌ عَلَى تَقَدُّمِ الْإِصَابَةِ.
Pertama: Mahar disempurnakan, karena terjadinya anak adalah bukti telah terjadinya hubungan (al-ishābah) sebelumnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُسْتَكْمَلُ الْمَهْرُ، وَلَا يَكُونُ لَهَا إِلَّا نِصْفُهُ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَدِ اسْتَدْخَلَتْ مَنِيَّهُ فَعَلِقَتْ مِنْهُ مِنْ غَيْرِ إصابة.
Pendapat kedua: Mahar tidak disempurnakan, dan istri hanya berhak atas setengahnya, karena mungkin saja ia memasukkan mani suaminya lalu hamil darinya tanpa terjadi hubungan (al-ishābah).
فَأَمَّا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ فَفِيهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا:
Adapun menurut pendapat asy-Syafi‘i dalam qaul qadim, terdapat dua pendapat di kalangan ulama kami:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْمَهْرَ كَامِلٌ، وَالْعِدَّةَ وَاجِبَةٌ، وَالرَّجْعَةَ مُسْتَحَقَّةٌ اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الْخَلْوَةِ،
Pertama: Mahar sempurna, ‘iddah wajib, dan hak ruju‘ didapatkan, dengan mempertimbangkan hukum khalwat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وهو قو أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ لَا يكمل المهر ولا تجب العدة ولا تستحق الرَّجْعَةُ اعْتِبَارًا بِعَدَمِ الْإِصَابَةِ.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: Mahar tidak sempurna, ‘iddah tidak wajib, dan hak ruju‘ tidak didapatkan, dengan mempertimbangkan tidak terjadinya hubungan (al-ishābah).
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَدَّعِيَ الزَّوْجَةُ الْإِصَابَةَ وَيُنْكِرَهَا الزَّوْجُ، فَقَدْ وَجَبَتْ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِإِقْرَارِهَا عَلَى الْأَقَاوِيلِ كُلِّهَا إِلَّا عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْ قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ.
Keadaan ketiga: Istri mengaku telah terjadi hubungan (al-ishābah) dan suami mengingkarinya, maka wajib atas istri menjalani ‘iddah karena pengakuannya, menurut seluruh pendapat kecuali salah satu dari dua pendapat dalam qaul qadim.
فَأَمَّا اسْتِكْمَالُ الْمَهْرِ فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ قَدِ استكملته بلا يمين.
Adapun penyempurnaan mahar, menurut qaul qadim, istri berhak menyempurnakan mahar tanpa sumpah.
وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: الْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَيْسَ لَهَا مِنَ الْمَهْرِ إِلَّا نِصْفُهُ.
Sedangkan menurut qaul jadid: Yang dipegang adalah pernyataan suami dengan sumpahnya, dan istri hanya berhak atas setengah mahar.
فَإِنْ أَقَامَتِ الزَّوْجَةُ الْبَيِّنَةَ عَلَى إِقْرَارِ الزَّوْجِ بِالْإِصَابَةِ سُمِعَتِ الْبَيِّنَةُ بِشَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ، وَشَاهِدٍ وَيَمِينٍ؛ لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ لِإِثْبَاتِ مَالٍ.
Jika istri mendatangkan bukti atas pengakuan suami tentang terjadinya hubungan (al-ishābah), maka bukti itu diterima dengan satu saksi laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi laki-laki dan sumpah, karena itu adalah bukti untuk menetapkan hak harta.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَدَّعِيَ الزَّوْجُ الْإِصَابَةَ وَتُنْكِرَهَا الزَّوْجَةُ فَهَذِهِ الدَّعْوَى مِنْهُ إِنَّمَا هِيَ لِوُجُوبِ الْعِدَّةِ وَاسْتِحْقَاقِ الرَّجْعَةِ.
Keadaan keempat: Suami mengaku telah terjadi hubungan (al-ishābah) dan istri mengingkarinya, maka pengakuan ini dari suami hanya untuk mewajibkan ‘iddah dan hak ruju‘.
فَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ: الْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ بِلَا يَمِينٍ.
Menurut qaul qadim: Yang dipegang adalah pernyataan suami tanpa sumpah.
وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْإِمْلَاءِ: الْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَيُحْكَمُ بِوُجُوبِ الْعِدَّةِ عَلَيْهَا، وَبِاسْتِحْقَاقِ الرَّجْعَةِ لَهُ.
Menurut al-Imla’: Yang dipegang adalah pernyataan suami dengan sumpahnya, dan diputuskan wajib ‘iddah atas istri, serta hak ruju‘ bagi suami.
وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ: الْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجَةِ مَعَ يَمِينِهَا، وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا، وَلَا رَجْعَةَ لَهُ. فَأَمَّا الْمَهْرُ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَتْهُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ.
Menurut pendapatnya dalam qaul jadid: yang dipegang adalah pernyataan istri dengan sumpahnya, dan tidak ada masa ‘iddah atasnya, serta suami tidak memiliki hak ruju‘. Adapun mengenai mahar, maka ia telah menerimanya secara sempurna menurut pendapatnya dalam qaul qadim.
فَأَمَّا فِي الْجَدِيدِ وَالْإِمْلَاءِ فَلَيْسَ لَهَا إِلَّا نِصْفُهُ، لَكِنْ إِنْ كَانَ الْمَهْرُ فِي يَدِهَا فَلَيْسَ لِلزَّوْجِ اسْتِرْجَاعُ نِصْفِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَدَّعِيهِ وَإِنْ كَانَ فِي يَدِ الزَّوْجِ فَلَيْسَ لَهَا أَنْ تُطَالِبَهُ إِلَّا بِنِصْفِهِ؛ لِأَنَّهَا تُنْكِرُ اسْتِحْقَاقَ جَمِيعِهِ.
Adapun dalam qaul jadid dan imla’, maka ia hanya berhak atas setengahnya saja. Namun, jika mahar itu berada di tangannya, maka suami tidak berhak meminta kembali setengahnya; karena ia (istri) tidak mengakuinya. Dan jika mahar itu berada di tangan suami, maka istri tidak berhak menuntut kecuali setengahnya saja; karena ia mengingkari hak atas seluruhnya.
فَلَوْ أَقَامَ الزَّوْجُ الْبَيِّنَةَ عَلَى إِقْرَارِهَا بِالْإِصَابَةِ لتثبت له الرجعة والعدة سمعت بشاهدي عَدْلَيْنِ، وَلَمْ تُسْمَعْ بِشَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ لِأَنَّهَا عَلَى غَيْرِ مَالٍ.
Jika suami mendatangkan bukti atas pengakuan istri mengenai terjadinya hubungan (jima‘), maka hak ruju‘ dan ‘iddah menjadi tetap baginya, dan kesaksian itu diterima dengan dua orang saksi laki-laki yang adil, dan tidak diterima dengan satu saksi laki-laki dan dua perempuan, karena perkara ini bukan perkara harta.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا خَالَعَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ الْمَدْخُولَ بِهَا عَلَى طَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ بِعِوَضٍ ثُمَّ تَزَوَّجَهَا فِي عِدَّتِهَا وَطَلَّقَهَا فِي النِّكَاحِ الثَّانِي قَبْلَ دُخُولِهِ بِهَا كَانَ لَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ الْمُسَمَّى فِي النِّكَاحِ الثَّانِي.
Apabila seorang laki-laki melakukan khulu‘ terhadap istrinya yang telah digauli dengan satu talak dengan imbalan tertentu, kemudian ia menikahinya kembali dalam masa ‘iddahnya, lalu menceraikannya dalam pernikahan kedua sebelum berhubungan dengannya, maka istri berhak atas setengah mahar yang telah ditetapkan dalam pernikahan kedua.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَهَا فِيهِ جَمِيعُ الْمَهْرِ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا؛ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ:
Abu Hanifah berkata: Istri berhak atas seluruh mahar, meskipun suami belum berhubungan dengannya; dengan dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ نِكَاحٌ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهَا فِيهِ الْعِدَّةُ، فَوَجَبَ أَنْ يُكْمَلَ لَهَا فِيهِ جَمِيعُ الْمَهْرِ كَالْمَدْخُولِ بِهَا.
Pertama: Karena itu adalah pernikahan yang mewajibkan istri menjalani masa ‘iddah, maka wajib pula diberikan seluruh mahar kepadanya sebagaimana istri yang telah digauli.
وَالثَّانِي: أَنَّ حُكْمَ الْوَطْءِ مَوْجُودٌ فِيهِ لِلُحُوقِ وَلَدِهَا فَوَجَبَ أَنْ يَثْبُتَ حُكْمُهُ فِي كَمَالِ الْمَهْرِ.
Kedua: Hukum hubungan suami istri berlaku di dalamnya karena anaknya dinasabkan kepadanya, maka wajib pula berlaku hukum sempurnanya mahar.
وَدَلِيلُنَا: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ) {البقرة: 237) وَهَذَا نِكَاحٌ لَمْ يَمَسَّهَا فِيهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُسْتَحَقَّ مِنَ الْمَفْرُوضِ لَهَا إِلَّا نِصْفُهُ، وَلِأَنَّهَا مُطَلَّقَةٌ مِنْ نِكَاحٍ لَمْ يُصِبْهَا فِيهِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَنَصَّفَ صَدَاقَهَا، كَمَا لَوْ طَلَّقَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا.
Dalil kami: Firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu} (al-Baqarah: 237). Ini adalah pernikahan yang belum disentuh (belum digauli), maka tidak berhak atas mahar yang ditetapkan kecuali setengahnya saja. Dan karena ia adalah perempuan yang dicerai dari pernikahan yang belum digauli, maka wajib dibagi dua maharnya, sebagaimana jika ia dicerai setelah selesai masa ‘iddahnya.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّهَا تَعْتَدُّ مِنْهُ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّهَا تَعْتَدُّ مِنَ الأول دون الثاني؛ لأنها تَأْتِي بِبَاقِي الْعِدَّةِ دُونَ جَمِيعِهَا.
Adapun dalilnya bahwa istri harus menjalani masa ‘iddah darinya, maka itu tidak benar; karena ia menjalani masa ‘iddah dari pernikahan pertama, bukan dari pernikahan kedua; sebab ia hanya menyelesaikan sisa masa ‘iddah, bukan seluruhnya.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّ حُكْمَ الْوَطْءِ يُلْحِقُ وَلَدَهَا بِهِ مَوْجُودٌ فيه ففاسد؛ لأن لحوقه بالنكاح الأول دون الثاني لِأَمْرَيْنِ:
Adapun dalilnya bahwa hukum hubungan suami istri menyebabkan anaknya dinasabkan kepadanya, maka itu tidak tepat; karena nasab anaknya kembali pada pernikahan pertama, bukan yang kedua, karena dua hal:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا لَوْ وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنَ النِّكَاحِ الثَّانِي لَحِقَ بِهِ.
Pertama: Jika ia melahirkan anak kurang dari enam bulan setelah pernikahan kedua, maka anak itu dinasabkan pada pernikahan pertama.
الثاني: أَنَّهُ إِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا بِالْعَقْدِ الثَّانِي وَجَاءَتْ بِوَلَدٍ لِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ فِرَاقِ النِّكَاحِ الْأَوَّلِ لَحِقَ بِهِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Kedua: Jika ia tidak menikahinya dengan akad kedua, lalu ia melahirkan anak kurang dari empat tahun setelah perpisahan dari pernikahan pertama, maka anak itu tetap dinasabkan pada pernikahan pertama. Dan Allah Maha Mengetahui.
Bab Mut‘ah dari Kitab Thalaq, baik dalam qaul qadim maupun qaul jadid
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” جَعَلَ اللَّهُ الْمُتْعَةَ لِلْمُطَلَّقَاتِ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ لِكُلِّ مطلقةٍ متعةٌ إِلَّا الَتِي فُرِضَ لَهَا وَلَمْ يُدْخَلْ بِهَا فحسبها نصف المهر “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Allah telah menetapkan mut‘ah bagi para perempuan yang dicerai, dan Ibnu ‘Umar berkata: Setiap perempuan yang dicerai berhak atas mut‘ah, kecuali yang telah ditetapkan maharnya dan belum digauli, maka cukup baginya setengah mahar.”
قال الماوردي: أما النفقة فَمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْمَالِ الْمُسْتَحَقِّ بِالْفُرْقَةِ فِي النِّكَاحِ مَأْخُوذٌ مِنَ الْمَتَاعِ، وَهُوَ كُلُّ مَا اسْتُمْتِعَ بِهِ مِنَ الْمَنَافِعِ وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Al-Mawardi berkata: Adapun nafkah, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, adalah harta yang menjadi hak karena perpisahan dalam pernikahan, diambil dari makna mut‘ah, yaitu segala sesuatu yang dapat dinikmati dari manfaat, dan di antaranya adalah perkataan penyair:
(وَكُلُّ عمارةٍ مِنْ حبيبٍ … لَهَا بِكَ لَوْ لَهَوْتَ بِهِ مَتَاعُ)
(Dan setiap kenangan dari kekasih… baginya bersamamu, jika engkau bersenang-senang dengannya, adalah mut‘ah)
وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يشتمل على الطلاق الذي يستحق به المتعة، والطلاق ينقسم ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ.
Pembahasan dalam masalah ini mencakup perceraian yang menyebabkan berhaknya mut‘ah, dan thalaq terbagi menjadi tiga bagian.
قِسْمٌ يُوجِبُ الْمُتْعَةَ.
Bagian yang mewajibkan mut‘ah.
وَقِسْمٌ لَا يوجبها.
Dan bagian yang tidak mewajibkannya.
وقسم مختلف فيه.
Dan bagian yang diperselisihkan hukumnya.
القسم الذي يوجب المتعة
Bagian yang mewajibkan mut‘ah
فَأَمَّا الْقِسْمُ الَّذِي يُوجِبُ الْمُتْعَةَ فَهُوَ طَلَاقُ الْمُفَوَّضَةِ الَّتِي لَمْ يُسَمَّ لَهَا صَدَاقٌ وَلَا فُرِضَ لَهَا بَعْدَ الْعَقْدِ صَدَاقٌ إِذَا طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا يُنَصَّفُ لَهَا صَدَاقٌ، وَلَيْسَ لَهَا إِلَّا مُتْعَةٌ عَلَى مَا قَدَّمْنَا بَيَانَهَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً) {البقرة: 236) فَجَعَلَ لَهَا الْمُتْعَةَ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا مَهْرٌ وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا، وَهَذِهِ الْمُتْعَةُ وَاجِبَةٌ، وَاسْتَحَبَّهَا مَالِكٌ وَلَمْ يُوجِبْهَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {حَقًّا عَلَى المُحْسِنِينَ) {البقرة: 236) وَقَدْ مَضَى عَلَيْهِ مِنَ الْكَلَامِ مَا أَقْنَعَ مَعَ ظَاهِرِ مَا تَضَمَّنَتْهُ الْآيَةُ مِنَ الْأَمْرِ، وَلِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَ بُضْعَهَا، وَهِيَ لَا تَسْتَحِقُّ شَيْئًا مِنَ الْمَهْرِ إِذَا لَمْ يُسَمَّ قَبْلَ الدُّخُولِ، فَلَوْ لَمْ يَجِبْ لَهَا الْمُتْعَةُ لَخَلَا بُضْعُهَا مِنْ بَدَلٍ فَصَارَتْ كَالْمَوْهُوبَةِ الَّتِي خُصَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دُونَ غَيْرِهِ مِنْ أُمَّتِهِ؛ وَلِأَنَّهَا قَدِ ابْتُذِلَتْ بِالْعَقْدِ الَّذِي لَمْ تَمْلِكْ لَهُ بَدَلًا، فَاقْتَضَى أن تكون المتعة فيه بدلاً؛ لأن لا تصير مبتذلة بغير بدل.
Adapun bagian yang mewajibkan pemberian mut‘ah adalah talak terhadap perempuan yang disebut sebagai al-mufawwaḍah, yaitu perempuan yang tidak disebutkan mahar untuknya dan tidak pula ditetapkan mahar baginya setelah akad. Jika ia ditalak sebelum terjadi hubungan suami istri, maka tidak ada separuh mahar baginya, dan ia hanya berhak mendapatkan mut‘ah sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Tidak ada dosa atas kalian jika kalian menceraikan perempuan-perempuan itu sebelum kalian menyentuh mereka atau sebelum kalian menentukan mahar untuk mereka} (al-Baqarah: 236). Maka Allah menjadikan mut‘ah baginya jika ia tidak memiliki mahar dan belum digauli, dan mut‘ah ini hukumnya wajib. Namun, menurut Mālik, mut‘ah ini hanya dianjurkan dan tidak diwajibkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {sebagai suatu kewajiban atas orang-orang yang berbuat kebaikan} (al-Baqarah: 236). Telah dijelaskan sebelumnya penjelasan yang memadai terkait hal ini, sesuai dengan makna lahiriah dari ayat tersebut, dan karena ia telah menjadi milik suaminya, sementara ia tidak berhak atas apa pun dari mahar jika tidak disebutkan sebelum terjadi hubungan suami istri. Seandainya mut‘ah tidak diwajibkan baginya, maka kemaluannya akan menjadi tanpa imbalan, sehingga ia seperti perempuan yang dihibahkan (al-mawhūbah) yang dikhususkan bagi Rasulullah ﷺ dan tidak berlaku bagi selain beliau dari umatnya. Selain itu, ia telah menjadi “terpakai” dengan akad yang tidak memberikan imbalan baginya, sehingga mut‘ah menjadi pengganti atas hal itu, agar ia tidak menjadi “terpakai” tanpa imbalan.
فصل: القسم الذي لا يوجب المتعة
Fasal: Bagian yang tidak mewajibkan mut‘ah
وَأَمَّا الْقِسْمُ الَّذِي لَا يُوجِبُ الْمُتْعَةَ فَهُوَ الطلاق قبل الدخول لمن سمي لها مهر بالعقد أو فرض لها مهر قَبْلَ الطَّلَاقِ وَبَعْدَ الْعَقْدِ، فَلَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ الْمُسَمَّى أَوِ الْمَفْرُوضِ وَلَا مُتْعَةَ لَهَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ) {البقرة: 237) فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا إِلَّا نِصْفَ الْمَهْرِ، وَلِأَنَّهَا قَدْ مَلَكَتْ نِصْفَ الْمَهْرِ بِمَا ابتذلت مِنَ الْعَقْدِ فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا غَيْرَهُ؛ لِئَلَّا يَجْمَعَ بَيْنَ بَدَلَيْنِ؛ وَلِأَنَّ طَلَاقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ قَدْ أَسْقَطَ شَطْرَ مَهْرِهَا، فَلَا مَعْنَى لِأَنْ تستحق به متعة فوق مهرها.
Adapun bagian yang tidak mewajibkan mut‘ah adalah talak sebelum terjadi hubungan suami istri terhadap perempuan yang telah disebutkan mahar untuknya dalam akad atau telah ditetapkan mahar baginya sebelum talak dan setelah akad. Maka baginya adalah separuh mahar yang telah disebutkan atau yang telah ditetapkan, dan tidak ada mut‘ah baginya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, padahal kalian telah menentukan mahar untuk mereka, maka separuh dari mahar yang telah kalian tentukan} (al-Baqarah: 237). Maka Allah tidak menetapkan baginya kecuali separuh mahar, dan karena ia telah memperoleh separuh mahar atas apa yang telah ia “korbankan” melalui akad, maka tidak diberikan selain itu kepadanya, agar tidak mengumpulkan dua imbalan sekaligus. Selain itu, talak sebelum terjadi hubungan suami istri telah menggugurkan setengah maharnya, maka tidak ada alasan baginya untuk mendapatkan mut‘ah di atas maharnya.
فصل: القسم المختلف فيه
Fasal: Bagian yang diperselisihkan
وَأَمَّا الْقِسْمُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَهُوَ الطَّلَاقُ بَعْدَ الدُّخُولِ لِمَنْ سَمَّى لَهَا مَهْرًا أَوْ لَمْ يُسَمِّ، فَلَهَا الْمَهْرُ الْمُسَمَّى، أَوْ مَهْرُ الْمِثْلِ إِنْ لَمْ يَكُنْ مُسَمًّى، وَفِي وُجُوبِ الْمُتْعَةِ لَهَا قَوْلَانِ:
Adapun bagian yang diperselisihkan adalah talak setelah terjadi hubungan suami istri, baik bagi perempuan yang telah disebutkan mahar untuknya maupun yang belum disebutkan. Maka baginya adalah mahar yang telah disebutkan, atau mahar mitsil jika tidak ada mahar yang disebutkan. Dalam hal kewajiban mut‘ah baginya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا مُتْعَةَ لَهَا؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْمُتْعَةَ بِشَرْطَيْنِ هُمَا: عَدَمُ الْمَهْرِ، وَعَدَمُ الدُّخُولِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجِبَ بِفَقْدِهِمَا وَلِأَنَّهُ نِكَاحٌ لَمْ يَخْلُ مِنْ عِوَضٍ فَلَمْ يَجِبْ فِيهِ مُتْعَةٌ كَالْمُطَلَّقَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ إِذَا كَانَ لَهَا مَهْرٌ مُسَمًّى؛ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجِبْ لَهَا مُتْعَةٌ إِذَا اسْتَحَقَّتْ نِصْفَ الْمَهْرِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَجِبَ لَهَا مُتْعَةٌ، إِذَا اسْتَحَقَّتْ جَمِيعَ الْمَهْرِ؛ وَلِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ المتعة؛ لأن لا تَصِيرَ مُبْتَذَلَةً بِغَيْرِ عِوَضٍ، وَقَدْ صَارَتْ إِلَى عِوَضٍ فَلَمْ يُجْمَعْ لَهَا بَيْنَ عِوَضَيْنِ.
Pendapat pertama, yaitu pendapatnya dalam qaul qadīm dan juga pendapat Abū Ḥanīfah: tidak ada mut‘ah baginya; karena Allah Ta‘ala mewajibkan mut‘ah dengan dua syarat, yaitu: tidak adanya mahar dan tidak adanya hubungan suami istri. Maka tidak boleh mut‘ah diwajibkan jika kedua syarat itu tidak terpenuhi. Selain itu, ini adalah pernikahan yang tidak lepas dari adanya imbalan, sehingga tidak wajib mut‘ah di dalamnya, sebagaimana perempuan yang ditalak sebelum terjadi hubungan suami istri jika telah disebutkan mahar baginya. Juga, karena jika tidak wajib mut‘ah baginya ketika ia hanya berhak atas separuh mahar, maka lebih utama lagi tidak wajib mut‘ah jika ia berhak atas seluruh mahar. Selain itu, tujuan dari pemberian mut‘ah adalah agar ia tidak menjadi “terpakai” tanpa imbalan, sedangkan ia telah mendapatkan imbalan, maka tidak dikumpulkan dua imbalan sekaligus baginya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ لَهَا الْمُتْعَةُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلِلْمُطَلَقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ) {البقرة: 231) فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ إِلَّا مَا خَصَّهُ الدَّلِيلُ فِي الْمُطَلَّقَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَلَيْسَ لَهَا مَهْرٌ مُسَمًّى.
Pendapat kedua, yaitu pendapatnya dalam qaul jadīd: ia berhak atas mut‘ah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan bagi perempuan-perempuan yang ditalak, ada mut‘ah dengan cara yang ma‘rūf} (al-Baqarah: 231). Maka ayat ini berlaku secara umum, kecuali yang dikhususkan oleh dalil pada perempuan yang ditalak sebelum terjadi hubungan suami istri dan tidak ada mahar yang disebutkan baginya.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَذِهِ الْآيَةُ مُجْمَلَةٌ فَسَّرَهَا قوله تعالى: {وَلاَ جُناَحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً) {البقرة: 236) .
Jika dikatakan: Ayat ini bersifat mujmal (global), yang dijelaskan oleh firman Allah Ta‘ala: {Tidak ada dosa atas kalian jika kalian menceraikan perempuan-perempuan itu sebelum kalian menyentuh mereka atau sebelum kalian menentukan mahar untuk mereka} (al-Baqarah: 236).
قِيلَ: حَمْلُ الْآيَتَيْنِ عَلَى عُمُومٍ وَخُصُوصٍ، أَوْلَى مِنْ حَمْلِهَا عَلَى مُجْمَلٍ وَمُفَسِّرٍ؛ لِأَنَّ الْعُمُومَ يُمْكِنُ اسْتِعْمَالُهُ بِنَفْسِهِ وَالْمُجْمَلَ لَا يُمْكِنُ اسْتِعْمَالُهُ بِنَفْسِهِ، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي أَزْوَاجِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: {فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاً) {الأحزاب: 28) وفي تَقْدِيمٌ وَتَأْخِيرٌ وَتَقْدِيرُهُ: فَتَعَالَيْنَ أُسَرِّحْكُنَّ وَأُمَتِّعْكُنَّ، وَقَدْ كن كلهم مَدْخُولَاتٍ بِهِنَّ، فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْمُتْعَةِ لِلْمَدْخُولِ بِهَا، وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ أَنَّ الْمُتْعَةَ لِكُلِّ مُطَلَّقَةٍ إِلَّا الَّتِي طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ وَلَمْ يُفْرَضْ لَهَا مَهْرٌ وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ عُمَرَ وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ؛ وَلِأَنَّهُ طَلَاقٌ لَمْ يَسْقُطْ بِهِ شَيْءٌ مِنَ الْمَهْرِ فَجَازَ أَنْ تَجِبَ لَهَا الْمُتْعَةُ كَالْمُطَلَّقَةِ قَبْلَ الْفَرْضِ، وَقَبْلَ الدُّخُولِ.
Dikatakan: Membawa dua ayat tersebut pada makna umum dan khusus lebih utama daripada membawanya pada makna mujmal (global) dan mufassir (penjelas); karena lafaz umum dapat digunakan dengan sendirinya, sedangkan lafaz mujmal tidak dapat digunakan dengan sendirinya. Dan karena firman Allah Ta‘ala tentang istri-istri Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: {Maka datanglah kamu (kepada Nabi), niscaya aku beri kamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik} (al-Ahzab: 28). Dalam ayat ini terdapat taqdim dan ta’khir (perubahan urutan), sehingga maknanya: Maka datanglah kamu, niscaya aku ceraikan kamu dan aku beri kamu mut‘ah. Padahal seluruh istri beliau telah digauli, maka ini menunjukkan wajibnya mut‘ah bagi istri yang telah digauli. Dan karena ini merupakan ijmā‘ para sahabat bahwa mut‘ah diberikan kepada setiap perempuan yang dicerai kecuali yang dicerai sebelum digauli dan belum ditetapkan mahar untuknya. Hal ini juga diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Umar, dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi keduanya. Dan karena ini adalah talak yang tidak menggugurkan sedikit pun dari mahar, maka boleh saja mut‘ah diwajibkan baginya sebagaimana perempuan yang dicerai sebelum penetapan mahar dan sebelum digauli.
وَلِأَنَّ اسْتِكْمَالَ الْمَهْرِ فِي مُقَابَلَةِ الدخول بدليل استحقاقه بوطئ الشُّبْهَةِ فَاقْتَضَى أَنْ يُسْتَحَقَّ فِي مُقَابَلَةِ الْعَقْدِ الَّذِي ابْتُذِلَتْ بِهِ بَدَلٌ وَهُوَ الْمُتْعَةُ.
Dan karena penyempurnaan mahar adalah sebagai imbalan atas hubungan badan, berdasarkan dalil bahwa mahar menjadi hak karena adanya persetubuhan syubhat, maka sudah sepatutnya mut‘ah menjadi hak sebagai imbalan atas akad yang telah digunakan olehnya sebagai pengganti, yaitu mut‘ah.
وَلِأَنَّ النِّكَاحَ الصَّحِيحَ أَغْلَظُ مِنَ النِّكَاحِ الْفَاسِدِ فِي اسْتِحْقَاقِ الْعِوَضِ بِدَلِيلِ أَنَّهَا فِي النِّكَاحِ الصَّحِيحِ تَسْتَحِقُّ بِالطَّلَاقِ فِيهِ قَبْلَ الدُّخُولِ مِنَ الْعِوَضِ مَا لَا تَسْتَحِقُّهُ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ فَوَجَبَ أَنْ تَسْتَحِقَّ بِالطَّلَاقِ فِيهِ بَعْدَ الدُّخُولِ مِنَ الْمُتْعَةِ مَعَ مَهْرٍ مَا لَا تَسْتَحِقُّهُ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ.
Dan karena nikah yang sah lebih kuat daripada nikah yang fasid (rusak) dalam hal berhak mendapatkan kompensasi, berdasarkan dalil bahwa dalam nikah yang sah, perempuan berhak mendapatkan kompensasi karena talak sebelum digauli yang tidak ia dapatkan dalam nikah yang fasid. Maka sudah sepatutnya ia juga berhak mendapatkan mut‘ah beserta mahar karena talak setelah digauli dalam nikah yang sah, yang tidak ia dapatkan dalam nikah yang fasid.
وَلَوْ سَقَطَتِ الْمُتْعَةُ وَقَدِ اسْتَوَيَا فِي الْمَهْرِ لَمْ يَتَغَلَّظْ فِي الْعِوَضِ فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَعَلَى الْقَدِيمِ مِنْهُمَا لَا مُتْعَةَ إِلَّا لِمُطَلَّقَةٍ وَاحِدَةٍ وَهِيَ الْمُطَلَّقَةُ قَبْلَ الدخول لها مهر مسمى.
Seandainya mut‘ah gugur, padahal keduanya sama dalam hal mahar, maka tidak ada kelebihan dalam kompensasi. Jika telah jelas penjelasan kedua pendapat tersebut, maka menurut pendapat lama di antara keduanya, tidak ada mut‘ah kecuali untuk satu perempuan yang dicerai, yaitu perempuan yang dicerai sebelum digauli dan telah ditetapkan mahar baginya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَالْمُتْعَةُ عَلَى كُلِّ زوجٍ طَلَّقَ وَلِكُلِّ زوجةٍ إِذَا كَانَ الْفِرَاقُ مِنْ قِبَلِهِ أَوْ يَتِمُّ بِهِ مِثْلُ أَنْ يُطَلِّقَ أَوْ يُخَالِعَ أَوْ يَمْلِكَ أَوْ يُفَارِقَ وَإِذَا كَانَ الْفِرَاقُ مِنْ قبله فَلَا مُتْعَةَ لَهَا وَلَا مَهْرَ أَيْضًا لِأَنَّهَا ليست بمطلقةٍ وكذلك إن كانت أمةً فباعها سيدها من زوجها فهو أفسد النكاح ببيعه إياها منه فأما الملاعنة فإن ذلك منه ومنها ولأنه إن شاء أمسكها فهي كالمطلقة وَأَمَّا امْرَأَةٌ الْعِنِّينِ فَلَوْ شَاءَتْ أَقَامَتْ مَعَهُ ولها عندي متعةٌ والله أعلم (قال المزني) رحمه الله عِنْدِي غلطٌ عَلَيْهِ وَقِيَاسُ قَوْلِهِ لَا حَقَّ لها لأن الفراق من قبلها دونه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Mut‘ah wajib atas setiap suami yang menceraikan, dan bagi setiap istri jika perpisahan berasal dari pihak suami atau terjadi karena perbuatannya, seperti suami menceraikan, melakukan khulu‘, memiliki, atau berpisah. Jika perpisahan berasal dari pihak istri, maka tidak ada mut‘ah dan tidak ada mahar juga, karena ia bukan perempuan yang dicerai. Demikian pula jika ia seorang budak perempuan lalu dijual oleh tuannya kepada suaminya, maka tuannya telah merusak pernikahan dengan menjualnya kepada suaminya. Adapun li‘an (saling melaknat), maka itu berasal dari kedua belah pihak, dan jika suami mau, ia dapat mempertahankannya, maka ia seperti perempuan yang dicerai. Adapun perempuan yang suaminya ‘innin (impoten), jika ia mau, ia dapat tetap bersamanya, dan menurutku ia berhak mendapatkan mut‘ah, wallahu a‘lam.” (Al-Muzani rahimahullah berkata:) “Menurutku ini adalah kekeliruan atas beliau, dan berdasarkan qiyās pendapat beliau, tidak ada hak baginya, karena perpisahan berasal dari pihak istri, bukan dari pihak suami.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْمُتْعَةَ لَا يَخْتَلِفُ وُجُوبُهَا بِاخْتِلَافِ الْأَزْوَاجِ وَالزَّوْجَاتِ فَهِيَ عَلَى كُلِّ زَوْجٍ مِنْ حُرٍّ وَعَبْدٍ مُسْلِمٍ وَكَافِرٍ، وَلِكُلِّ زَوْجَةٍ مِنْ حُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ مُسْلِمَةٍ أَوْ كَافِرَةٍ.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa kewajiban mut‘ah tidak berbeda-beda karena perbedaan suami dan istri. Mut‘ah wajib atas setiap suami, baik merdeka maupun budak, muslim maupun kafir, dan bagi setiap istri, baik merdeka maupun budak, muslimah maupun kafirah.
وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: إِذَا كَانَ الزَّوْجَانِ مَمْلُوكَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا فَلَا مُتْعَةَ بَيْنَهُمَا.
Al-Awza‘i berkata: Jika kedua suami istri adalah budak, atau salah satunya budak, maka tidak ada mut‘ah di antara keduanya.
وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ) {البقرة: 241) وَلِأَنَّ الْمُتْعَةَ وَجَبَتْ لِتَكُونَ الْمُطَلَّقَةُ مُفَارِقَةً لِلْمَوْهُوبَةِ فَاقْتَضَى أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهَا الْأَحْرَارُ وَالْعَبِيدُ كَمَا يَسْتَوِي فِي حَظْرِ الْمَوْهُوبَةِ حَالُ الْأَحْرَارِ وَالْعَبِيدِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَسْتَوِي فِيهَا كُلُّ زَوْجٍ من كُلِّ زَوْجَةٍ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى تَفْصِيلِ الْفُرْقَةِ الَّتِي تَسْتَحِقُّ بِهِ الْمُتْعَةَ، وَالْفُرْقَةُ الْوَاقِعَةُ بَيْنَ الزوجين تنقسم خَمْسَةَ أَقْسَامٍ:
Ini adalah pendapat yang rusak (lemah); karena keumuman firman Allah Ta‘ala: {Dan bagi perempuan-perempuan yang dicerai, ada mut‘ah} (al-Baqarah: 241). Dan karena mut‘ah diwajibkan agar perempuan yang dicerai berbeda dengan perempuan yang dihibahkan, maka sudah sepatutnya dalam hal ini budak dan orang merdeka sama, sebagaimana dalam larangan hibah, keadaan budak dan orang merdeka juga sama. Jika telah tetap bahwa dalam hal ini setiap suami dari setiap istri sama, maka pembahasan berpindah kepada rincian jenis perpisahan yang menyebabkan berhaknya mut‘ah, dan perpisahan yang terjadi antara suami istri terbagi menjadi lima bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ بِالْمَوْتِ.
Pertama: karena kematian.
وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مِنَ الزَّوْجِ.
Kedua: berasal dari pihak suami.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ مِنَ الزَّوْجَةِ.
Ketiga: berasal dari pihak istri.
وَالرَّابِعُ: أَنْ تَكُونَ مِنْهُمَا.
Keempat: berasal dari keduanya.
وَالْخَامِسُ: أن تكون من أجنبي غيرهما.
Kelima: berasal dari pihak lain selain keduanya.
فصل: الْقِسْمِ الْأَوَّلِ
Bagian: Bagian Pertama
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْفُرْقَةُ بِالْمَوْتِ فَلَا مُتْعَةَ فِيهَا سَوَاءٌ كَانَتْ بِمَوْتِ الزَّوْجِ أَوْ بِمَوْتِ الزَّوْجَةِ سَوَاءٌ تَوَارَثَا أَمْ لَا؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَهَا لِلْمُطَلَّقَةِ؛ لِأَنَّهُ قَطَعَ عِصْمَتَهَا وَهَذَا الْمَعْنَى مَعْدُومٌ فِي الْوَفَاةِ، وَهَكَذَا لَوْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِمِيرَاثٍ عَنْ وَفَاةٍ بِأَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ أَمَةً فَيَرِثُهَا الزَّوْجُ أَوْ يَكُونُ الزَّوْجُ عَبْدًا فَتَرِثُهُ الزَّوْجَةُ فَقَدْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُمَا؛ لِأَنَّ أَحَدَ الزَّوْجَيْنِ لَا يَصِحُّ أَنْ يَمْلِكَ صَاحِبَهُ، وَإِذَا وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُمَا بِالتَّوَارُثِ فَلَا مُتْعَةَ؛ لِأَنَّهَا عَنِ الْمَوْتِ حَدَثَتْ؛ وَلِأَنَّهُ إِنْ كَانَ الزَّوْجُ هُوَ الْوَارِثَ لَهَا فَهِيَ أَمَتُهُ وَالْأَمَةُ لَا تَمْلِكُ فِي ذِمَّةِ سَيِّدِهَا مَالًا فَلَمْ يَجِبْ لَهَا عَلَيْهِ مُتْعَةٌ، وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ هِيَ الْوَارِثَةَ لَهُ فَقَدْ صَارَ عَبْدًا لَهَا، وَالسَّيِّدُ لَا يَثْبُتُ لَهُ فِي ذِمَّةِ عَبْدِهِ مَالٌ فَلَمْ يجب لها عليه متعة.
Adapun bagian pertama, yaitu perpisahan karena kematian, maka tidak ada mut‘ah di dalamnya, baik karena kematian suami maupun kematian istri, baik keduanya saling mewarisi atau tidak; karena Allah Ta‘ala mewajibkan mut‘ah bagi perempuan yang ditalak, sebab suaminya telah memutuskan ikatan pernikahan dengannya, dan makna ini tidak terdapat pada peristiwa kematian. Demikian pula jika perpisahan terjadi karena warisan akibat kematian, misalnya istri adalah seorang budak lalu suaminya mewarisinya, atau suami adalah seorang budak lalu istrinya mewarisinya, maka terjadilah perpisahan di antara keduanya; karena salah satu dari pasangan suami istri tidak sah memiliki pasangannya. Jika perpisahan terjadi di antara keduanya karena pewarisan, maka tidak ada mut‘ah, karena perpisahan itu terjadi akibat kematian. Selain itu, jika suami yang menjadi ahli warisnya, maka istri menjadi budaknya, dan seorang budak tidak memiliki harta dalam tanggungan tuannya, sehingga tidak wajib baginya memberikan mut‘ah. Jika istri yang menjadi ahli warisnya, maka suami menjadi budaknya, dan seorang tuan tidak memiliki harta dalam tanggungan budaknya, sehingga tidak wajib baginya memberikan mut‘ah.
فصل: الْقِسْمِ الثَّانِي
Bagian: Bagian Kedua
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْفُرْقَةُ مِنَ الزَّوْجِ دُونَهَا، فَخَمْسُ فِرَقٍ:
Adapun bagian kedua, yaitu perpisahan berasal dari suami tanpa dari pihak istri, maka terdapat lima bentuk perpisahan:
أَحَدُهَا: الطَّلَاقُ، وَهُوَ مُوجِبٌ لِلْمُتْعَةِ عَلَى مَا مَضَى.
Pertama: talak, dan ini mewajibkan mut‘ah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
وَالثَّانِي: بِاللِّعَانِ، لِأَنَّهُ وَإِنْ تَمَّ بِهِمَا فَالْفُرْقَةُ وَاقِعَةٌ بِلِعَانِ الزَّوْجِ وَحْدَهُ فَهُوَ كَالطَّلَاقِ فِي اسْتِحْقَاقِ الْمُتْعَةِ بِهِ؛ وَلِأَنَّ الْفُرْقَةَ بِهِ أَغْلَظُ مِنَ الْفُرْقَةِ بِالطَّلَاقِ لِتَأْبِيدِهَا فَكَانَتْ بِوُجُوبِ الْمُتْعَةِ أَحَقَّ.
Kedua: melalui li‘ān, karena meskipun li‘ān dilakukan oleh keduanya, perpisahan terjadi karena li‘ān dari suami saja, sehingga hukumnya seperti talak dalam hal berhak mendapatkan mut‘ah; dan karena perpisahan dengan li‘ān lebih berat daripada perpisahan dengan talak karena bersifat permanen, maka lebih berhak untuk diwajibkan mut‘ah.
وَالثَّالِثُ: الرِّدَّةُ، وَهُوَ أَنْ يَرْتَدَّ عَنِ الْإِسْلَامِ فَتَقَعَ الْفُرْقَةُ بِرِدَّتِهِ فَتَكُونُ كَالْفُرْقَةِ بِالطَّلَاقِ فِي اسْتِحْقَاقِ الْمُتْعَةِ؛ لِأَنَّهَا لَمَّا وَجَبَتْ بِالطَّلَاقِ الْمُبَاحِ كَانَ وُجُوبُهَا بِالرِّدَّةِ الْمُحَرَّمَةِ أَوْلَى.
Ketiga: riddah, yaitu apabila suami murtad dari Islam sehingga terjadi perpisahan karena riddah-nya, maka hukumnya seperti perpisahan karena talak dalam hal berhak mendapatkan mut‘ah; karena jika mut‘ah diwajibkan pada talak yang mubah, maka lebih utama diwajibkan pada riddah yang haram.
وَالرَّابِعُ: الْإِسْلَامُ وَهُوَ أَنْ يُسْلِمَ الزَّوْجُ دُونَهَا فَتَبِينُ بِإِسْلَامِهِ فَلَهَا الْمُتْعَةُ كَالطَّلَاقِ، لِأَنَّهَا لَمَّا وَجَبَتْ عَلَيْهِ بِفُرْقَةِ كُفْرِهِ كَانَ وُجُوبُهَا بِفُرْقَةِ إسلامه أولى.
Keempat: Islam, yaitu apabila suami masuk Islam tanpa istrinya, sehingga terjadi perpisahan karena keislamannya, maka istri berhak mendapatkan mut‘ah sebagaimana pada talak; karena jika mut‘ah diwajibkan atasnya karena perpisahan akibat kekufurannya, maka lebih utama diwajibkan karena perpisahan akibat keislamannya.
وَالْخَامِسُ: الْفَسْخُ بِالْعُيُوبِ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ رَفْعًا لِلْعَقْدِ لِتَقَدُّمِهِ عَلَيْهِ فَلَا مُتْعَةَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا أَسْقَطَ الْمَهْرَ كَانَ بِإِسْقَاطِهِ الْمُتْعَةَ أَوْلَى، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَطْعًا لِلْعَقْدِ بِحُدُوثِهِ بَعْدَهُ فَهُوَ وُجُوبُ الْمُتْعَةِ كَالطَّلَاقِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَسْقُطْ بِهِ الْمَهْرُ لَمْ تَسْقُطْ بِهِ الْمُتْعَةُ.
Kelima: fasakh karena cacat. Jika fasakh tersebut merupakan pembatalan akad karena terjadi sebelum akad, maka tidak ada mut‘ah di dalamnya; karena jika fasakh tersebut menggugurkan mahar, maka lebih utama untuk menggugurkan mut‘ah. Namun jika fasakh tersebut merupakan pemutusan akad karena terjadi setelah akad, maka mut‘ah wajib sebagaimana pada talak; karena jika mahar tidak gugur karenanya, maka mut‘ah pun tidak gugur karenanya.
فصل: القسم الثالث
Bagian: Bagian Ketiga
وأما القسم الثالث: أن تكون الفرقة من جهتها دون فَلَا مُتْعَةَ فِيهَا، وَإِنْ تَنَوَّعَتْ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ فَسْخُهَا مُسْقِطًا لِصَدَاقِهَا فَأَوْلَى أَنْ يُسْقِطَ مُتْعَتَهَا، وَهَذِهِ الْفُرْقَةُ قَدْ تَكُونُ مِنْ سِتَّةِ أَوْجُهٍ:
Adapun bagian ketiga, yaitu perpisahan berasal dari pihak istri tanpa dari pihak suami, maka tidak ada mut‘ah di dalamnya, meskipun bentuknya beragam, karena jika fasakh yang dilakukan istri menggugurkan maharnya, maka lebih utama untuk menggugurkan mut‘ahnya. Perpisahan ini dapat terjadi melalui enam cara:
أَحَدُهَا: بِرِدَّتِهَا.
Pertama: karena riddah (murtad) istri.
وَالثَّانِي: بِإِسْلَامِهَا.
Kedua: karena istri masuk Islam.
وَالثَّالِثُ: بِأَنْ تجد فيها عَيْبًا فَتَفْسَخُ نِكَاحَهُ.
Ketiga: karena istri menemukan cacat pada suami lalu membatalkan akad nikahnya.
وَالرَّابِعُ: أَنْ تَعْتِقَ وَزَوْجُهَا عَبْدٌ فَتَخْتَارُ فَسْخَ نِكَاحِهِ.
Keempat: istri dimerdekakan sementara suaminya adalah seorang budak, lalu ia memilih untuk membatalkan akad nikahnya.
وَالْخَامِسُ: بِأَنْ يَعْسُرَ الزَّوْجُ بِنَفَقَتِهَا فَتَخْتَارُ فَسْخَ نِكَاحِهِ.
Kelima: suami tidak mampu menafkahinya, lalu istri memilih untuk membatalkan akad nikahnya.
وَالسَّادِسُ: بِأَنْ تَظْهَرَ فِيهِ عُنَّةٌ فَيُؤَجَّلَ لَهَا ثُمَّ تَخْتَارُ فَسْخَ نِكَاحِهِ بِهَا إِلَّا أَنَّ الْمُزَنِيَّ حَكَى عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ قَالَ: وَأَمَّا امْرَأَةٌ الْعِنِّينِ فَلَوْ شَاءَتْ أَقَامَتْ مَعَهُ وَلَهَا عِنْدِي مُتْعَةٌ قَالَ الْمُزَنِيُّ: وَهَذَا عِنْدِي غَلَطٌ عَلَيْهِ، وَقِيَاسُ قَوْلِهِ لَا حَقَّ لَهَا؛ لِأَنَّ الْفُرْقَةَ مِنْ قِبَلِهَا دُونَهُ.
Keenam: ternyata suami mengalami impotensi (‘unnah), lalu ditetapkan masa tunggu baginya, kemudian istri memilih untuk membatalkan akad nikahnya karena hal itu. Namun, al-Muzani meriwayatkan dari asy-Syafi‘i dalam masalah ini bahwa beliau berkata: “Adapun istri dari laki-laki yang impotensi, jika ia mau, ia tetap bersama suaminya, dan menurutku ia berhak mendapatkan mut‘ah.” Al-Muzani berkata: “Menurutku ini adalah kekeliruan dalam menisbatkan pendapat kepadanya, dan menurut qiyās pendapat beliau, istri tidak berhak mendapatkan mut‘ah; karena perpisahan berasal dari pihak istri, bukan dari pihak suami.”
وَهَذَا وَهْمٌ مِنَ الْمُزَنِيِّ فِي النَّقْلِ وَاسْتِدْرَاكٌ مِنْهُ فِي الْحُكْمِ؛ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ قَالَ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ ” وَأَمَّا امْرَأَةٌ الْعِنِّينِ فَلَوْ شَاءَتْ أَقَامَتْ مَعَهُ فَلَيْسَ لَهَا عِنْدِي مُتْعَةٌ فَسَهَا الْكَاتِبُ فِي نَقْلِهِ فَأَسْقَطَ قَوْلَهُ: ” فَلَيْسَ ” وَنَقَلَ مَا بَعْدَهُ فَقَالَ: فَلَهَا عِنْدِي مُتْعَةٌ وَتَعْلِيلُ الشَّافِعِيِّ يَدُلُّ عَلَى السَّهْوِ فِي النَّقْلِ؛ لِأَنَّهُ قَالَ: فَلَوْ شَاءَتْ أَقَامَتْ مَعَهُ فَقَدْ بَيَّنَ أَنَّ الْفُرْقَةَ مِنْ جِهَتِهَا، وَالْفُرْقَةُ إِذَا كَانَتْ مِنْهَا أسقطت متعتها.
Ini adalah kekeliruan dari al-Muzani dalam periwayatan dan koreksi darinya dalam penetapan hukum; karena asy-Syafi‘i telah berkata dalam kitab “al-Umm”: “Adapun istri dari suami yang impoten, jika ia mau, ia dapat tetap bersamanya, maka menurutku tidak ada mut‘ah baginya.” Namun penulis salah dalam menukilnya sehingga ia menghilangkan perkataan: “maka tidak ada” dan menukil setelahnya, lalu berkata: “maka baginya menurutku mut‘ah.” Penjelasan asy-Syafi‘i menunjukkan adanya kekeliruan dalam periwayatan; karena ia berkata: “Jika ia mau, ia dapat tetap bersamanya,” maka telah jelas bahwa perpisahan berasal dari pihak istri, dan jika perpisahan berasal dari pihak istri, maka mut‘ah gugur baginya.
فَصْلٌ: الْقِسْمُ الرَّابِعُ
Fasal: Bagian Keempat
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ: وَهُوَ أن تكون الفرقة من جهتها فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Adapun bagian keempat: yaitu apabila perpisahan berasal dari pihak istri, maka hal ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَغْلِبَ فِيهِ جِهَةُ الزَّوْجِ.
Pertama: yang lebih dominan adalah pihak suami.
وَالثَّانِي: أَنْ يَغْلِبَ فِيهِ جِهَةُ الزوجة.
Kedua: yang lebih dominan adalah pihak istri.
فأما ما يغلب فيه جهة الزوجة فَشَيْئَانِ:
Adapun yang lebih dominan dari pihak istri ada dua hal:
أَحَدُهُمَا: الْخُلْعُ، لِأَنَّهُ تَمَّ بِهِمَا إِلَّا أَنَّ الْمُغَلَّبَ فِيهِ الزَّوْجُ؛ لِأَنَّ الْفُرْقَةَ مِنْ جِهَتِهِ وَقَعَتْ؛ وَلِأَنَّهُ قَدْ يَصِلُ إِلَى الْخُلْعِ عَنْهَا مَعَ غَيْرِهَا.
Pertama: khulu‘, karena khulu‘ terjadi dari kedua belah pihak, kecuali bahwa yang lebih dominan di dalamnya adalah suami; karena perpisahan terjadi dari pihaknya, dan karena terkadang khulu‘ itu terjadi atas istri dengan selain dirinya.
وَالثَّانِي: أَنْ يُمَلِّكَهَا طَلَاقَ نَفْسِهَا أَوْ يَجْعَلَ ذَلِكَ إِلَى مَشِيئَتِهَا فَتُطَلِّقُ نَفْسَهَا وَتَشَاءُ طَلَاقَ نَفْسِهَا فَتَقَعُ الْفُرْقَةُ بِهِمَا إِلَّا أَنَّ جِهَةَ الزَّوْجِ أَغْلَبُ لِلْأَمْرَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ وَهُوَ أَنَّ الْفُرْقَةَ مِنْ جِهَتِهِ وَقَعَتْ، وَلِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَقْدِرُ أَنْ يَجْعَلَ طَلَاقَهَا إِلَى غَيْرِهَا أَوْ أَنْ تُعَلِّقَهُ بِمَشِيئَةِ غَيْرِهَا فَيَكُونُ فِي حُكْمِ الطَّلَاقِ إِذَا انْفَرَدَ الزَّوْجُ بِإِيقَاعِهِ فِي وُجُوبِ الْمُتْعَةِ بِهِ عَلَى مَا فَصَّلْنَا.
Kedua: apabila suami memberikan hak talak kepada istrinya atau menyerahkan hal itu kepada kehendaknya, lalu ia menalak dirinya sendiri dan menghendaki talak atas dirinya, maka perpisahan terjadi dari keduanya, kecuali bahwa pihak suami lebih dominan karena dua alasan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu bahwa perpisahan terjadi dari pihaknya, dan karena ia bisa saja menyerahkan talak istrinya kepada orang lain atau menggantungkan talak itu pada kehendak orang lain, sehingga dalam hukum talak, jika suami sendiri yang menjatuhkannya, maka wajib mut‘ah sebagaimana telah kami rinci.
وَأَمَّا مَا يُغَلَّبُ فِيهِ جِهَةُ الزَّوْجَةِ فَهُوَ أَنْ تَكُونَ أَمَةً فَيَبْتَاعَهَا الزَّوْجُ مِنْ سَيِّدِهَا فَقَدْ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ مِنْ جِهَتِهَا؛ لِأَنَّهَا تَمَّتْ بِبَيْعِ السَّيِّدِ، وَابْتِيَاعِ الزَّوْجِ وَالسَّيِّدِ مِنْ جِهَتِهَا فَظَاهِرُ نَصِّ هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ لَا مُتْعَةَ لَهَا وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ، وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ: لَهَا الْمُتْعَةُ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَذَهَبَ أَكْثَرُهُمْ إِلَى تَخْرِيجِ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Adapun yang lebih dominan dari pihak istri adalah apabila ia seorang budak perempuan, lalu suaminya membeli dirinya dari tuannya, maka perpisahan terjadi dari pihak istri; karena perpisahan itu terjadi dengan penjualan tuan dan pembelian suami, dan tuan serta suami berasal dari pihak istri. Maka, berdasarkan teks yang jelas dalam masalah ini, tidak ada mut‘ah baginya, dan hal ini telah dinyatakan dalam pendapat lama, dan dalam kitab al-Imla’, beliau berkata: “Baginya mut‘ah.” Maka para sahabat kami berbeda pendapat, kebanyakan mereka mengeluarkan dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ وَالْمُشَارُ إِلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ لَا مُتْعَةَ لَهَا؛ لِأَنَّ السَّيِّدَ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ بِمَنْزِلَةِ الزَّوْجِ فِي الْخُلْعِ فَاقْتَضَى أَنْ يُغَلَّبَ جِهَةُ السَّيِّدِ هَاهُنَا فِي سُقُوطِ الْمُتْعَةِ كَمَا يُغَلَّبُ فِي الْخُلْعِ جِهَةُ الزَّوْجِ فِي وُجُوبِ الْمُتْعَةِ، وَلِأَنَّ السَّيِّدَ قَدْ كَانَ يَصِلُ إِلَى بَيْعِهَا مِنْ غَيْرِهِ فَصَارَ اخْتِيَارُهُ لِلزَّوْجِ اخْتِيَارًا لِلْفُرْقَةِ.
Pertama: yaitu pendapat yang dinyatakan dalam pendapat lama dan yang ditunjukkan dalam masalah ini, bahwa tidak ada mut‘ah baginya; karena tuan dalam masalah ini kedudukannya seperti suami dalam khulu‘, sehingga yang lebih dominan adalah pihak tuan dalam gugurnya mut‘ah sebagaimana yang lebih dominan dalam khulu‘ adalah pihak suami dalam kewajiban mut‘ah, dan karena tuan bisa saja menjualnya kepada selain suami, maka pilihannya kepada suami adalah pilihan untuk berpisah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ لَهَا الْمُتْعَةُ؛ لِأَنَّ الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِي يَتَسَاوَيَانِ فِي وُقُوعِ الْعَقْدِ بِهِمَا وَقَدِ اخْتَصَّ الزَّوْجُ بِمُبَاشَرَةِ الْعَقْدِ دُونَهَا فَاقْتَضَى أَنْ يَتَرَجَّحَ حَالُهُ فِي وُجُوبِ الْمُتْعَةِ عَلَيْهَا، وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ: لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ، وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَنَصُّهُ فِي الْقَدِيمِ، وَفِي هَذَا الْمَوْضِعِ عَلَى أَنْ لَا مُتْعَةَ لَهَا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّ الْمُسْتَدْعِي لِلْبَيْعِ هُوَ السَّيِّدُ فَغَلَبَتْ جِهَتُهُ فِي سُقُوطِ الْمُتْعَةِ، وَنَصُّهُ فِي الْإِمْلَاءِ أَنَّ لَهَا الْمُتْعَةَ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّ الْمُسْتَدْعِي لِلْبَيْعِ هُوَ الزَّوْجُ فغلبت جهته في وجوب المتعة.
Pendapat kedua: yaitu pendapat yang dinyatakan dalam al-Imla’, bahwa baginya mut‘ah; karena penjual dan pembeli sama-sama berperan dalam terjadinya akad, dan suami secara khusus yang langsung melakukan akad, bukan istri, sehingga keadaannya lebih kuat dalam kewajiban mut‘ah atas istri. Abu Ishaq al-Marwazi berkata: “Bukan karena perbedaan dua pendapat, melainkan karena perbedaan dua keadaan.” Maka, nash beliau dalam pendapat lama dan dalam masalah ini, bahwa tidak ada mut‘ah baginya, ditafsirkan apabila yang meminta penjualan adalah tuan, sehingga yang lebih dominan adalah pihak tuan dalam gugurnya mut‘ah. Sedangkan nash beliau dalam al-Imla’, bahwa baginya mut‘ah, ditafsirkan apabila yang meminta penjualan adalah suami, sehingga yang lebih dominan adalah pihak suami dalam kewajiban mut‘ah.
فَصْلٌ: الْقِسْمُ الْخَامِسُ
Fasal: Bagian Kelima
وَأَمَّا الْقِسْمُ الْخَامِسُ: وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْفُرْقَةُ مِنْ غَيْرِهِمَا، وَهُوَ أَنْ تَكُونَ زَوْجَتُهُ صَغِيرَةً فَتُرْضِعَهَا أُمُّهُ أَوْ بِنْتُهُ فَتَحْرُمُ عَلَيْهِ، فَتَكُونُ هَذِهِ الْفُرْقَةُ كَالطَّلَاقِ؛ لِأَنَّهَا تَمْلِكُ بِهَا نِصْفَ الْمُسَمَّى فَوَجَبَ أَنْ تَسْتَحِقَّ الْمُتْعَةَ عِنْدَ عَدَمِ الْمُسَمَّى، وَتَرْجِعَ بِالْمُتْعَةِ عَلَى الَّتِي حَرَّمَتْهَا كَمَا تَرْجِعُ عَلَيْهَا بِصَدَاقِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Adapun bagian kelima: yaitu perpisahan yang terjadi bukan karena suami maupun istri, yaitu apabila istri masih kecil lalu disusui oleh ibu atau anak perempuan suami sehingga menjadi haram baginya (suami), maka perpisahan ini hukumnya seperti talak; karena dengan peristiwa itu istri berhak atas setengah dari mahar yang telah ditetapkan, sehingga ia juga berhak atas mut‘ah jika mahar belum ditentukan, dan ia dapat menuntut mut‘ah tersebut kepada pihak yang menyebabkan keharaman itu, sebagaimana ia juga dapat menuntut mahar kepada pihak tersebut. Allah Maha Mengetahui.
فَرْعٌ: وَإِذَا تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَأَصْدَقَهَا أَنْ تُعْتِقَ عَبْدَهُ سَالِمًا عَنْهَا صَحَّ الصَّدَاقُ وَعَلَيْهِ عِتْقُهُ عَنْهَا؛ لِأَنَّ الْمُعَارَضَةَ عَلَى هَذَا الْعِتْقِ جَائِزَةٌ فَلَوْ أَعْتَقَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ رَجَعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ قِيمَتِهِ، وَلَوْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ وَقَبْلَ عِتْقِهِ عَنْهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Cabang: Jika seseorang menikahi seorang wanita dan menjadikan mahar baginya adalah membebaskan budaknya dalam keadaan sehat dan utuh, maka mahar tersebut sah dan suami wajib membebaskan budak itu untuk istrinya; karena transaksi seperti ini dalam pembebasan budak diperbolehkan. Jika ia telah membebaskannya lalu menceraikan istrinya sebelum terjadi hubungan suami istri, maka ia dapat meminta kembali setengah dari nilai budak tersebut kepada istrinya. Namun jika ia menceraikannya sebelum terjadi hubungan suami istri dan sebelum membebaskan budak itu, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُعْتِقُ عَنْهَا نِصْفَهُ، وَيُقَوِّمُ عَلَيْهَا نِصْفَهُ الْبَاقِي إِنْ كَانَتْ مُوسِرَةً؛ لِأَنَّ عِتْقَ نِصْفِهِ كَانَ بِاخْتِيَارِهَا فَلِذَلِكَ وَجَبَ تَقْدِيمُ بَاقِيهِ عَلَيْهَا.
Salah satunya: Ia membebaskan setengah budak itu untuk istrinya, dan menaksirkan setengah sisanya kepada istrinya jika ia mampu; karena pembebasan setengah budak itu merupakan pilihannya, maka wajib menuntut sisanya kepada istrinya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُعْتَقُ عَنْهَا شَيْءٌ مِنْهُ لِمَا فِيهِ مِنْ إِدْخَالِ الضَّرَرِ عَلَيْهَا فِي التَّقْوِيمِ وَإِدْخَالِهِ عَلَى الْعَبْدِ، وَعَلَى السَّيِّدِ فِي التَّبْعِيضِ وَتَرْجِعُ الزَّوْجَةُ عَلَيْهِ بِبَدَلِهِ، وَفِيهِ قَوْلَانِ:
Pendapat kedua: Tidak ada bagian dari budak itu yang dibebaskan untuk istrinya, karena hal itu dapat menimbulkan mudarat bagi istri dalam penaksiran nilai dan bagi budak serta tuan budak dalam hal pembagian, dan istri berhak menuntut pengganti dari suaminya, dan dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قِيمَةُ نِصْفِ الْعَبْدِ.
Salah satunya: Nilai setengah dari budak tersebut.
وَالثَّانِي: نِصْفُ مَهْرِ مِثْلِهَا لِيَرْفَعَ ذَلِكَ الضَّرَرَ عَنِ الْجَمِيعِ.
Yang kedua: Setengah mahar mitsil (mahar yang sepadan) agar menghilangkan mudarat dari semua pihak.
فَرْعٌ: وَإِذَا أَصْدَقَ الذِّمِّيُّ زَوْجَتَهُ الذِّمِّيَّةَ خَمْرًا فَصَارَ الْخَمْرُ فِي يَدِ الزَّوْجِ خَلًّا بِغَيْرِ عِلَاجٍ، وَأَسْلَمَ الزَّوْجَانِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Cabang: Jika seorang dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam) menjadikan mahar bagi istrinya yang juga dzimmi berupa khamar (minuman keras), lalu khamar itu berubah menjadi cuka di tangan suami tanpa proses pengolahan, dan kedua pasangan itu masuk Islam, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَصِيرَ الْخَمْرُ خَلًّا قَبْلَ إِسْلَامِهِمَا، فَعَلَيْهِ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَيْهَا بَعْدَ مَصِيرِهِ خَلًّا.
Pertama: Jika khamar itu berubah menjadi cuka sebelum keduanya masuk Islam, maka suami wajib menyerahkannya kepada istri setelah menjadi cuka.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَصِيرَ خَلًّا بَعْدَ إِسْلَامِهَا فَلَا يَلْزَمُهُ دَفْعُهُ خَلًّا إِلَيْهَا، وَيَدْفَعُ إِلَيْهَا مَهْرَ مِثْلِهَا.
Kedua: Jika khamar itu berubah menjadi cuka setelah istrinya masuk Islam, maka suami tidak wajib menyerahkannya sebagai cuka kepada istri, melainkan memberikan mahar mitsil kepadanya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ قَبْلَ الْإِسْلَامِ يَجُوزُ دَفْعُهُ خَمْرًا، فَلِذَلِكَ وَجَبَ دَفْعُهُ بَعْدَ مَصِيرِهِ خَلًّا لِبَقَاءِ حُكْمِ الصَّدَاقِ عَلَيْهِ، وَبَعْدَ الْإِسْلَامِ، لَا يَجُوزُ دَفْعُهُ خَمْرًا فَلَمْ يَجِبْ دَفْعُهُ بَعْدَ مَصِيرِهِ خَلًّا لِانْتِفَاءِ حُكْمِ الصَّدَاقِ عَنْهُ، فَلَوْ دَفَعَ الْخَمْرَ إِلَيْهَا فِي الشِّرْكِ ثُمَّ أَسْلَمَا، وَطَلَّقَهَا الزَّوْجُ قَبْلَ الدُّخُولِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الْخَمْرِ لِأَنَّ الْخَمْرَ لَا يَسْتَحِقُّهُ مُسْلِمٌ وَلَا بِقِيمَتِهِ لِأَنَّنَا لَا نَحْكُمُ لَهُ بِقِيمَتِهِ وَلَا بِبَدَلِهِ؛ لِأَنَّ مَا لَا قِيمَةَ لَهُ لَا بَدَلَ لَهُ، فَلَوْ كَانَ الْخَمْرُ قَدْ صَارَ خَلًّا قَبْلَ طَلَاقِهِ فَفِي رُجُوعِ الزَّوْجِ بِنِصْفِهِ وَجْهَانِ:
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa sebelum masuk Islam diperbolehkan menyerahkan khamar sebagai mahar, sehingga wajib menyerahkannya setelah berubah menjadi cuka karena hukum mahar masih berlaku atasnya. Namun setelah masuk Islam, tidak diperbolehkan menyerahkan khamar sebagai mahar, sehingga tidak wajib menyerahkannya setelah berubah menjadi cuka karena hukum mahar telah gugur darinya. Jika suami telah menyerahkan khamar kepada istri saat masih dalam keadaan syirik (belum masuk Islam), kemudian keduanya masuk Islam dan suami menceraikan istrinya sebelum terjadi hubungan suami istri, maka suami tidak dapat meminta kembali setengah dari khamar tersebut, karena khamar tidak boleh dimiliki oleh seorang Muslim, juga tidak boleh meminta nilainya karena kita tidak menetapkan nilai atasnya, dan tidak pula penggantinya; sebab sesuatu yang tidak memiliki nilai tidak ada penggantinya. Jika khamar itu telah berubah menjadi cuka sebelum perceraian, maka dalam hal suami meminta kembali setengahnya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ بِنِصْفِ الْخَلِّ؛ لِأَنَّ عَيْنَ الصَّدَاقِ مَوْجُودَةٌ عَلَى صِفَةٍ يَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَ مَعَهَا.
Salah satunya: Suami dapat meminta kembali setengah dari cuka tersebut; karena benda mahar masih ada dalam bentuk yang boleh dimiliki.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِهِ لِزِيَادَتِهِ عَنْ حَالِ مَا أَصْدَقَ، وَلَا يَرْجِعُ بِقِيمَةِ الْخَمْرِ؛ لِأَنَّهَا لَا تَجُوزُ فَلَا يَرْجِعُ بِشَيْءٍ فِي هَذَا الطَّلَاقِ، وَلَا فَرْقَ هَاهُنَا بَيْنَ أَنْ يَصِيرَ خَلًّا قَبْلَ إِسْلَامِهَا أَوْ بَعْدَهُ لِاسْتِقْرَارِ مِلْكِهَا عَلَيْهِ بِالْقَبْضِ، وَلَكِنْ لَوْ صَارَ خَلًّا بَعْدَ الطَّلَاقِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهَا بِنِصْفِهِ، وَجْهًا وَاحِدًا لِكَوْنِهِ وَقْتَ طَلَاقِهَا غَيْرَ مُسْتَحَقٍّ، وَلَوْ صَارَ قَبْلَ طَلَاقِهَا فَاسْتَهْلَكَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ لَمْ يَرْجِعْ عَلَيْهَا بِنِصْفِ قِيمَةِ الْخَلِّ وَجْهًا وَاحِدًا، وَلَا يَكُونُ لَهُ عَلَيْهَا شَيْءٌ؛ لِأَنَّ مَا يَرْجِعُ الزَّوْجُ بِهِ مِنْ قِيمَةِ الصَّدَاقِ مُعْتَبَرٌ بِأَقَلِّ أَحْوَالِهِ مِنْ وَقْتِ الْعَقْدِ إِلَى وَقْتِ الْقَبْضِ، وَقَدْ كَانَ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ مِمَّا لَا قِيمَةَ لَهُ.
Pendapat kedua: Tidak boleh suami mengambil kembali setengahnya karena nilainya telah bertambah dari keadaan saat diberikan sebagai mahar, dan tidak boleh pula mengambil kembali nilai khamr (minuman keras), karena khamr itu tidak sah (menjadi mahar), sehingga dalam kasus talak ini suami tidak berhak mengambil apa pun. Tidak ada perbedaan di sini apakah khamr itu telah berubah menjadi cuka sebelum istri masuk Islam atau sesudahnya, karena kepemilikan istri atas barang tersebut telah tetap dengan penerimaan. Namun, jika khamr itu berubah menjadi cuka setelah talak, maka suami tidak berhak mengambil setengahnya, menurut satu pendapat, karena pada saat talak terjadi, barang itu bukanlah sesuatu yang berhak dimiliki. Jika khamr itu berubah menjadi cuka sebelum talak, lalu istri menghabiskannya, kemudian suami mentalaknya sebelum terjadi hubungan suami istri, maka suami tidak berhak mengambil setengah nilai cuka itu menurut satu pendapat, dan ia tidak berhak atas apa pun dari istrinya; karena apa yang boleh diambil kembali oleh suami dari nilai mahar itu dihitung berdasarkan nilai terendahnya sejak akad hingga saat penerimaan, dan dalam keadaan-keadaan ini barang tersebut tidak memiliki nilai.
فَرْعٌ: وَإِذَا زَوَّجَ الرَّجُلُ عَبْدَهُ بِامْرَأَةٍ وَجَعَلَ رَقَبَتَهُ صَدَاقَهَا، فَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ حُرَّةً فَالنِّكَاحُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ تَصْحِيحَ النِّكَاحِ يَجْعَلُهَا مَالِكَةً لِزَوْجِهَا، وَإِذَا مَلَكَتِ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا بَطَلَ النِّكَاحُ.
Cabang: Jika seorang laki-laki menikahkan budaknya dengan seorang wanita dan menjadikan budaknya itu sendiri sebagai mahar bagi wanita tersebut, maka jika istrinya adalah wanita merdeka, maka akad nikahnya batal; karena sahnya akad nikah akan menjadikan istri memiliki suaminya, dan jika seorang wanita memiliki suaminya, maka nikahnya batal.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَلَّا صَحَّ النِّكَاحُ، وَبَطَلَ الصَّدَاقُ.
Jika ada yang bertanya: Mengapa tidak dianggap sah akad nikahnya, namun maharnya saja yang batal?
قِيلَ: لِأَنَّ هَذَا الْعَقْدَ قَدْ أَوْجَبَ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ مَالِكًا لِبُضْعِهَا بِالنِّكَاحِ، وَأَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ مَالِكَةً لِرَقَبَتِهِ بِالصَّدَاقِ، وَلَيْسَ إِثْبَاتُ أَحَدِهِمَا بِأَوْلَى مِنَ النِّكَاحِ الْآخَرِ فَبَطَلَا جَمِيعًا، وَإِنْ كَانَتِ الزَّوْجَةُ أَمَةً صَحَّ النِّكَاحُ وَالصَّدَاقُ، جَمِيعًا؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ بِهَذَا الْعَقْدِ مِلْكًا لِسَيِّدِ زَوْجَتِهِ وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجَانِ فِي مِلْكِ سَيِّدٍ وَاحِدٍ، فَلَوْ أَنَّ الْعَبْدَ وَالْمَسْأَلَةَ بِحَالِهَا طَلَّقَ زَوْجَتَهُ الْأَمَةَ قَبْلَ الدُّخُولِ فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Dijawab: Karena akad ini mengharuskan suami menjadi pemilik kemaluan istrinya melalui akad nikah, dan istri menjadi pemilik budak (suaminya) melalui mahar, dan tidak ada alasan untuk menguatkan salah satu dari dua kepemilikan ini atas yang lainnya, sehingga keduanya batal sekaligus. Namun, jika istrinya adalah seorang budak, maka akad nikah dan maharnya sah seluruhnya; karena dengan akad ini budak tersebut menjadi milik tuan istri, dan tidak terlarang jika kedua suami istri berada dalam kepemilikan satu tuan. Jika budak tersebut dalam keadaan seperti ini menceraikan istrinya yang juga budak sebelum terjadi hubungan suami istri, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ سَيِّدُهُ الْمُزَوِّجُ لَهُ بِنِصْفِهِ.
Pertama: Tuan yang menikahkan budak tersebut berhak mengambil kembali setengahnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَرْجِعُ بِشَيْءٍ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِيمَنْ أَصْدَقَ عَنْ عَبْدِهِ مَالًا ثُمَّ طَلَّقَ الْعَبْدَ قَبْلَ الدُّخُولِ وَقَدْ بَاعَهُ سَيِّدُهُ فَهَلْ يَكُونُ نِصْفُ الصَّدَاقِ مِلْكًا لِسَيِّدِهِ الْأَوَّلِ الَّذِي بَذَلَهُ عَنْهُ أَوْ لِسَيِّدِهِ الثَّانِي الَّذِي طَلَّقَ، وَهُوَ فِي مِلْكِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ ذَكَرْنَاهُمَا فِي كِتَابِ النِّكَاحِ، وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.
Pendapat kedua: Tidak berhak mengambil apa pun. Kedua pendapat ini didasarkan pada perbedaan pendapat ulama kami mengenai seseorang yang menikahkan budaknya dengan mahar berupa harta, lalu budak itu dicerai sebelum terjadi hubungan suami istri dan budak tersebut telah dijual oleh tuannya; apakah setengah mahar menjadi milik tuan yang pertama yang telah memberikan mahar atas nama budaknya, atau menjadi milik tuan yang kedua yang menceraikan, karena budak itu berada dalam kepemilikannya—ada dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam Kitab Nikah, dan hanya Allah-lah yang memberi taufik.
Bab Walimah dan Natsr dari Kitab Talak, sebagai penjelasan atas masalah-masalah menurut pendapat Malik
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” الْوَلِيمَةُ الَّتِي تُعْرَفُ وَلِيمَةُ الْعُرْسِ وَكُلُّ دعوةٍ عَلَى إملاكٍ أَوْ نفاسٍ أَوْ ختانٍ أَوْ حَادِثِ سرورٍ فَدُعِيَ إِلَيْهَا رجلٌ فَاسْمُ الْوَلِيمَةِ يَقَعُ عَلَيْهَا وَلَا أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا وَمَنْ تَرَكَهَا لَمْ يَبِنْ لِي أَنَّهُ عاصٍ كَمَا يَبِينُ لِي فِي وَلِيمَةِ الْعُرْسِ لِأَنِّي لَا أَعْلَمُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – تَرَكَ الْوَلِيمَةَ عَلَى عرسٍ وَلَا أَعْلَمُهُ أَوْلَمَ على غير وأول على صفية رضي الله عنها في سفرٍ بسويقٍ وتمرٍ وقال لعبد الرحمن ” أولم ولو بشاةٍ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Walimah yang dikenal adalah walimah pernikahan, dan setiap undangan yang diadakan karena pernikahan, kelahiran, khitan, atau peristiwa bahagia lainnya, jika seseorang diundang ke sana maka nama walimah berlaku untuknya. Aku tidak membolehkan meninggalkannya, dan siapa yang meninggalkannya, belum jelas bagiku bahwa ia berdosa sebagaimana jelasnya dosa meninggalkan walimah pernikahan, karena aku tidak mengetahui bahwa Nabi ﷺ pernah meninggalkan walimah pada pernikahan, dan aku juga tidak mengetahui beliau pernah mengadakan walimah selain untuk pernikahan. Beliau pernah mengadakan walimah untuk Shafiyyah ra. dalam perjalanan dengan sajian syaqiq (minuman gandum) dan kurma, dan beliau berkata kepada Abdurrahman, ‘Adakanlah walimah meskipun hanya dengan seekor kambing.’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا الْوَلِيمَةُ فَهِيَ إِصْلَاحُ الطَّعَامِ وَاسْتِدْعَاءُ النَّاسِ لِأَجْلِهِ، وَالْوَلَائِمُ سِتٌّ.
Al-Mawardi berkata: Adapun walimah adalah menyiapkan makanan dan mengundang orang-orang untuknya, dan walimah itu ada enam macam.
وَلِيمَةُ الْعُرْسِ: وَهِيَ الْوَلِيمَةُ عَلَى اجْتِمَاعِ الزَّوْجَيْنِ.
Walimah pernikahan: yaitu walimah yang diadakan karena berkumpulnya kedua mempelai.
وَوَلِيمَةُ الْخُرْسِ: وَهِيَ الْوَلِيمَةُ عَلَى وِلَادَةِ الْوَلَدِ.
Walimah khurs: yaitu walimah yang diadakan karena kelahiran anak.
وَوَلِيمَةُ الْإِعْذَارِ: وَهِيَ الْوَلِيمَةُ عَلَى الْخِتَانِ.
Walimah i‘dzar: yaitu walimah yang diadakan karena khitan.
وَوَلِيمَةُ الْوَكِيرَةِ: وَهِيَ الْوَلِيمَةُ عَلَى بِنَاءِ الدَّارِ قَالَ الشَّاعِرُ:
Walimah wakirah: yaitu walimah yang diadakan karena membangun rumah. Penyair berkata:
(كُلُّ الطَّعَامِ تَشْتَهِي رَبِيعَةُ … الْخُرْسُ وَالْإِعْذَارُ وَالْوَكِيرَهْ)
(Setiap makanan yang diinginkan oleh kabilah Rabi‘ah … adalah khurs, i‘dzar, dan wakirah)
وَوَلِيمَةُ النَّقِيعَةِ: وَهِيَ وَلِيمَةُ الْقَادِمِ مِنْ سَفَرِهِ، وَرُبَّمَا سَمُّوا النَّاقَةَ الَّتِي تُنْحَرُ لِلْقَادِمِ نَقِيعَةً قَالَ الشاعر:
Walīmah an-naqī‘ah: yaitu walīmah bagi orang yang baru datang dari safar, dan kadang-kadang unta yang disembelih untuk orang yang datang itu juga disebut naqī‘ah. Seorang penyair berkata:
(إنا لنضرب بالسيوف رؤوسهم … ضَرْبَ الْقُدَارِ نَقِيعَةَ الْقُدَّامِ)
(Sungguh kami memukul kepala-kepala mereka dengan pedang… seperti pukulan kudār pada naqī‘ah al-quddām)
وَوَلِيمَةُ الْمَأْدُبَةِ: هِيَ الْوَلِيمَةُ لِغَيْرِ سَبَبٍ.
Walīmah al-ma’dubah: yaitu walīmah tanpa sebab tertentu.
فَإِنَّ خُصَّ بِالْوَلِيمَةِ جَمِيعُ النَّاسِ سُمِّيَتْ جَفَلَى، وَإِنْ خُصَّ بِهَا بَعْضُ النَّاسِ سُمِّيَتْ نَقَرَى قَالَ الشَّاعِرُ:
Jika walīmah itu diperuntukkan bagi seluruh orang maka disebut jafalā, dan jika hanya untuk sebagian orang maka disebut naqārā. Seorang penyair berkata:
(نَحْنُ فِي الْمَشْتَاةِ نَدْعُو الْجَفَلَى … لَا ترى الآدب فينا ينتقر)
(Kami pada musim dingin mengundang jafalā… tidak engkau lihat di antara kami ada yang memilih-milih undangan)
فهذه الستة ينطق اسْمُ الْوَلَائِمِ عَلَيْهَا، وَإِطْلَاقُ اسْمِ الْوَلِيمَةِ يَخْتَصُّ بِوَلِيمَةِ الْعُرْسِ وَيَتَنَاوَلُ غَيْرَهَا مِنَ الْوَلَائِمِ بِقَرِينَةٍ؛ لِأَنَّ اسْمَ الْوَلِيمَةِ مُشْتَقٌّ مِنَ الْوَلْمِ، وَهُوَ الِاجْتِمَاعُ؛ وَلِذَلِكَ سُمِّيَ الْقَيْدُ الْوَلْمُ، لِأَنَّهُ يَجْمَعُ الرِّجْلَيْنِ، فَتَنَاوَلَتْ وَلِيمَةَ الْعُرْسِ لِاجْتِمَاعِ الزَّوْجَيْنِ فِيهَا ثُمَّ أُطْلِقَتْ عَلَى غَيْرِهَا مِنَ الْوَلَائِمِ تَشْبِيهًا بِهَا، فَإِذَا أُطْلِقَتِ الْوَلِيمَةُ تَنَاوَلَتْ وَلِيمَةَ الْعُرْسِ، فَإِنْ أُرِيدَ غَيْرُهَا قِيلَ: وَلِيمَةُ الْخُرْسِ، أَوْ وَلِيمَةُ الْإِعْذَارِ، وَقَدْ أَفْصَحَ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا، ثُمَّ لَا اخْتِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّ وَلِيمَةَ غَيْرِ الْعُرْسِ لَا تَجِبُ.
Maka keenam jenis ini dinamai dengan istilah walīmah, dan penggunaan istilah walīmah secara mutlak khusus untuk walīmah al-‘urs (walīmah pernikahan), namun juga dapat mencakup selainnya dari jenis walīmah dengan adanya indikasi; karena kata walīmah berasal dari kata al-walm yang berarti berkumpul; oleh karena itu rantai kaki disebut al-walm karena mengumpulkan kedua kaki. Maka walīmah al-‘urs dinamai demikian karena mempertemukan kedua mempelai di dalamnya, kemudian istilah ini digunakan pula untuk selainnya dari jenis walīmah sebagai bentuk penyerupaan. Maka jika disebutkan kata walīmah secara mutlak, yang dimaksud adalah walīmah al-‘urs, dan jika yang dimaksud adalah selainnya maka dikatakan: walīmah al-khurs, atau walīmah al-i‘dzār. Imam asy-Syāfi‘ī telah menjelaskan hal ini dengan gamblang. Kemudian tidak ada perbedaan di antara para fuqahā’ bahwa walīmah selain pernikahan tidaklah wajib.
فَأَمَّا وَلِيمَةُ الْعُرْسِ فَقَدْ عَلَّقَ الشَّافِعِيُّ الْكَلَامَ فِي وُجُوبِهَا؛ لِأَنَّهُ قَالَ: ” وَمَنْ تَرَكَهَا لَمْ يَبِنْ لِي أَنَّهُ عَاصٍ كَمَا يَبِينُ لِي فِي وَلِيمَةِ الْعُرْسِ “.
Adapun walīmah al-‘urs, Imam asy-Syāfi‘ī menggantungkan pembahasan tentang kewajibannya; karena beliau berkata: “Barangsiapa meninggalkannya, tidak tampak bagiku bahwa ia berdosa sebagaimana jelas bagiku pada walīmah al-‘urs.”
فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ، وَمِنْهُمْ مَنْ خَرَّجَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Para ulama mazhab kami berbeda pendapat tentang kewajibannya dalam dua pendapat, dan sebagian mereka mengeluarkan dua pendapat pula:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا وَاجِبَةٌ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ الْخَلُوقِ، فَقَالَ لَهُ مَهْيَمْ – أَيْ مَا الْخَبَرُ – قَالَ: أَعْرَسْتُ فَقَالَ لَهُ: أَوْلَمْتَ قَالَ: لَا قَالَ: أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ. وَهَذَا أَمْرٌ يَدُلُّ عَلَى الْوُجُوبِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا أَنْكَحَ قَطُّ إِلَّا أَوْلَمَ فِي ضِيقٍ أَوْ سَعَةٍ، وَأَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ فِي سَفَرِهِ بِسَوِيقٍ وَتَمْرٍ وَلِأَنَّ فِي الْوَلِيمَةِ إِعْلَانٌ لِلنِّكَاحِ فَرْقًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ السِّفَاحِ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ “، وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتْ إِجَابَةُ الدَّاعِي إِلَيْهَا وَاجِبَةً دَلَّ عَلَى أَنَّ فِعْلَ الْوَلِيمَةِ وَاجِبٌ، لِأَنَّ وُجُوبَ الْمُسَبَّبِ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ السَّبَبِ أَلَا تَرَى أَنَّ وُجُوبَ قَبُولِ الْإِنْذَارِ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ الْإِنْذَارِ.
Pertama: bahwa walīmah al-‘urs itu wajib, berdasarkan riwayat bahwa Nabi ﷺ melihat pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf bekas wewangian, lalu beliau bertanya: “Ada apa ini?” Ia menjawab: “Aku baru saja menikah.” Beliau bertanya: “Apakah engkau telah mengadakan walīmah?” Ia menjawab: “Belum.” Beliau bersabda: “Adakanlah walīmah walau hanya dengan seekor kambing.” Ini adalah perintah yang menunjukkan kewajiban. Dan karena Nabi ﷺ tidak pernah menikah kecuali beliau mengadakan walīmah, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, dan beliau mengadakan walīmah untuk Shafiyyah dalam safarnya dengan sya‘īr dan kurma. Dan karena dalam walīmah terdapat pengumuman pernikahan sebagai pembeda antara nikah dan zina, dan Nabi ﷺ bersabda: “Umumkanlah pernikahan dan tabuhlah rebana untuknya.” Dan karena memenuhi undangan walīmah adalah wajib, maka hal itu menunjukkan bahwa mengadakan walīmah juga wajib, sebab kewajiban pada sesuatu yang menjadi akibat menunjukkan kewajiban pada sebabnya. Tidakkah engkau melihat bahwa kewajiban menerima peringatan menunjukkan kewajiban memberi peringatan.
وَالثَّانِي: وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ لِقَوْلِ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ “؛ وَلِأَنَّهُ طَعَامٌ لِحَادِثِ سُرُورٍ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْوَلَائِمِ.
Kedua: dan ini yang lebih shahih, bahwa walīmah al-‘urs tidak wajib, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada hak dalam harta kecuali zakat,” dan karena walīmah hanyalah hidangan untuk suatu peristiwa bahagia, sehingga sama dengan walīmah-walīmah lainnya.
وَلِأَنَّ سَبَبَ هَذِهِ الْوَلِيمَةِ عَقْدُ النِّكَاحِ وَهُوَ غَيْرُ وَاجِبٍ، فَفَرْعُهُ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ غَيْرَ وَاجِبٍ.
Dan sebab walīmah ini adalah akad nikah, sedangkan akad nikah itu sendiri tidak wajib, maka cabangnya lebih utama untuk tidak wajib pula.
وَلِأَنَّهَا لَوْ وَجَبَتْ لَتَقَدَّرَتْ كَالزَّكَاةِ وَالْكَفَّارَاتِ؛ وَلَكَانَ لها بدل عند الإعساء كَمَا يَعْدِلُ الْمُكَفِّرُ فِي إِعْسَارِهِ إِلَى الصِّيَامِ فَدَلَّ عَلَى عَدَمِ تَقْدِيرِهَا وَبَدَلِهَا عَلَى سُقُوطِ وجوبها.
Dan seandainya walīmah itu wajib, tentu akan ditentukan kadarnya seperti zakat dan kafārat, dan tentu ada pengganti ketika tidak mampu, sebagaimana orang yang tidak mampu membayar kafārat boleh menggantinya dengan puasa. Maka, tidak adanya ketentuan kadar dan pengganti bagi walīmah menunjukkan bahwa walīmah tidaklah wajib.
وَلِأَنَّهَا لَوْ وَجَبَتْ لَكَانَ مَأْخُوذًا بِفِعْلِهَا حَيًّا، وَمَأْخُوذَةً مِنْ تَرِكَتِهِ مَيِّتًا كَسَائِرِ الْحُقُوقِ وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَتَوَسَّطُ فِي وُجُوبِهَا مَذْهَبًا مَعْلُولًا، ويقول هي في فروض الكفايات إذا أظهرها الواحد فِي عَشِيرَتِهِ أَوْ قَبِيلَتِهِ ظُهُورًا مُنْتَشِرًا سَقَطَ فَرْضُهَا عَمَّنْ سِوَاهُ وَإِلَّا خَرَجُوا بِتَرْكِهَا أَجْمَعِينَ، وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Dan karena jika (walimah) itu wajib, niscaya ia akan diambil (dituntut) pelaksanaannya dari orang yang masih hidup, dan diambil dari harta peninggalannya ketika ia telah wafat, sebagaimana hak-hak lainnya. Sebagian ulama mazhab kami mengambil posisi tengah dalam kewajibannya dengan pendapat yang memiliki kelemahan, dan berkata: “Ia termasuk dalam fardhu kifayah, jika satu orang telah menampakkannya di kalangan keluarga atau kabilahnya dengan penampakan yang meluas, maka gugurlah kewajiban itu dari selainnya, dan jika tidak, maka mereka semua berdosa karena meninggalkannya.” Pendapat ini batil dari tiga sisi:
أَحَدُهَا: أَنَّ مَا وَجَبَ مِنْ حُقُوقِ النِّكَاحِ تَعَيَّنَ كَالْوَلِيِّ وَالشَّاهِدَيْنِ.
Pertama: Bahwa hak-hak pernikahan yang wajib itu bersifat tertentu, seperti wali dan dua orang saksi.
وَالثَّانِي: أَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِحُقُوقِ الْأَمْوَالِ الْخَاصَّةِ عَمَّ وَجُوبُهُ كَالزَّكَوَاتِ أَوْ عَمَّ اسْتِحْبَابُهُ كَالصَّدَقَاتِ.
Kedua: Bahwa hak-hak yang berkaitan dengan harta khusus, kewajibannya bersifat umum seperti zakat, atau anjuran (mustahab) yang bersifat umum seperti sedekah.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ فُرُوضَ الْكِفَايَةِ مُخْتَصٌّ بِمَا عَمَّ سُنَّتُهُ كَالْجِهَادِ أَوْ مَا تَسَاوَى فِيهِ النَّاسُ كَغُسْلِ الْمَوْتَى وَهَذَا خَاصٌّ مُعَيَّنٌ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ فِي فُرُوضِ الْكِفَايَةِ مَدْخَلٌ.
Ketiga: Bahwa fardhu kifayah itu khusus untuk perkara yang sunnahnya bersifat umum seperti jihad, atau perkara yang manusia setara di dalamnya seperti memandikan jenazah, sedangkan ini (walimah) adalah perkara khusus dan tertentu, maka tidak termasuk dalam fardhu kifayah.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ وُجُوبِهَا أَوِ اسْتِحْبَابِهَا انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى مَا يَلْزَمُ الْمَدْعُوَّ إِلَيْهَا مِنَ الْإِجَابَةِ فَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْإِجَابَةَ إِلَيْهَا وَاجِبَةٌ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إِنَّ الْإِجَابَةَ إِلَيْهَا مُسْتَحَبَّةٌ وَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ؛ لِأَنَّهَا تَقْتَضِي أَكْلَ الطَّعَامِ وَتَمَلُّكَ مَالٍ وَلَا يُلْزَمُ أَحَدٌ أَنْ يَتَمَلَّكَ مَالًا بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ، وَلِأَنَّ الزَّكَوَاتِ مَعَ وُجُوبِهَا عَلَى الْأَعْيَانِ لَا يُلْزِمُ الْمَدْفُوعَةَ إِلَيْهِ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا فَكَانَ غَيْرُهَا أَوْلَى.
Setelah jelas apa yang kami sebutkan tentang kewajiban atau anjuran (mustahab) walimah, maka pembahasan berpindah kepada apa yang wajib dilakukan oleh orang yang diundang, yaitu menjawab undangan. Pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i adalah bahwa memenuhi undangan itu wajib. Sebagian ulama mazhab kami berkata: Memenuhi undangan itu mustahab (dianjurkan) dan tidak wajib, karena hal itu mengharuskan makan makanan dan memiliki harta, sedangkan tidak ada seorang pun yang diwajibkan memiliki harta tanpa pilihannya sendiri. Dan karena zakat, meskipun wajib atas individu, tidak mewajibkan orang yang menerima untuk memilikinya, maka selainnya lebih utama (untuk tidak diwajibkan).
وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ مِنْ وُجُوبِ الْإِجَابَةِ مَا رَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ دُعِيَ إِلَى وَلِيمَةٍ فَلَمْ يُجِبْ فَلَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَنْ جَاءَهَا بِغَيْرِ دَعْوَةٍ دَخَلَ سَارِقًا وَخَرَجَ مُغِيرًا “.
Dalil atas pendapat Syafi‘i tentang wajibnya memenuhi undangan adalah riwayat dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa diundang ke walimah lalu tidak memenuhinya, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa datang tanpa undangan, maka ia masuk sebagai pencuri dan keluar sebagai perampas.”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” أجيبوا الداع فَإِنَّهُ مَلْهُوفٌ “.
Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Penuhilah undangan orang yang mengundang, karena ia sedang dalam keadaan berharap (butuh).”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ لَقَبِلْتُ وَلَوْ دُعِيتُ إِلَى كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ “.
Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Seandainya dihadiahkan kepadaku sepotong daging bahu, niscaya aku menerimanya, dan seandainya aku diundang ke hidangan kaki (bagian bawah) niscaya aku memenuhinya.”
وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” شر الطعام الولائم يدعى إليها الأغنياء ويحرمه الفقراء والمساكين “.
Dan Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, yang diundang kepadanya orang-orang kaya dan diharamkan darinya orang-orang fakir dan miskin.”
وَلِأَنَّ فِي الْإِجَابَةِ تَآلُفًا وَفِي تَرْكِهَا ضَرَرًا وَتَقَاطُعًا.
Dan karena dalam memenuhi undangan terdapat upaya mempererat hubungan, sedangkan dalam meninggalkannya terdapat bahaya dan terputusnya hubungan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ فَسَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ فِعْلَهَا وَاجِبٌ أَوْ مُسْتَحَبٌّ فِي وُجُوبِ الْإِجَابَةِ إِلَيْهَا؛ لِأَنَّ رَدَّ السَّلَامِ وَاجِبٌ وَإِنْ كَانَ ابْتِدَاءُ السَّلَامِ غَيْرَ وَاجِبٍ، وَهَلْ يَكُونُ وُجُوبُهَا مِنْ فُرُوضِ الْأَعْيَانِ أَوْ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Jika telah tetap bahwa memenuhi undangan itu wajib, maka baik dikatakan bahwa pelaksanaannya wajib atau mustahab, tetap saja kewajiban memenuhi undangan berlaku. Karena menjawab salam itu wajib, meskipun memulai salam tidak wajib. Apakah kewajiban ini termasuk fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا فَرْضٌ عَلَى كُلِّ مَنْ دُعِيَ إِلَيْهَا أَنْ يُجِيبَ مَا لَمْ يَكُنْ مَعْذُورًا بِالتَّأْخِيرِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الدَّلِيلِ.
Pertama: Bahwa ia adalah kewajiban atas setiap orang yang diundang untuk memenuhinya, selama tidak ada uzur untuk menundanya, berdasarkan dalil yang telah kami sebutkan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهَا مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ فَإِذَا أَجَابَ مَنْ دُعِيَ مَنْ تَقَعُ بِهِ الْكِفَايَةُ سَقَطَ وُجُوبُهَا عَنِ الْبَاقِينَ، وَإِلَّا خَرَجُوا أَجْمَعِينَ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْوَلِيمَةِ ظُهُورُهَا وَانْتِشَارُهَا لِيَقَعَ الْفَرْقُ فِيهَا بَيْنَ النِّكَاحِ وَالسِّفَاحِ، فَإِذَا وُجِدَ مَقْصُودُهَا بِمَنْ خُصَّ سَقَطَ وُجُوبُهَا عَمَّنْ تَأَخَّرَ.
Pendapat kedua: Bahwa ia termasuk fardhu kifayah, sehingga jika sudah ada yang memenuhi undangan hingga tercapai tujuan, maka gugurlah kewajiban dari yang lain, dan jika tidak, maka mereka semua berdosa. Karena tujuan dari walimah adalah agar ia tampak dan tersebar, sehingga dapat membedakan antara pernikahan dan perzinaan. Jika tujuan itu telah tercapai dengan sebagian orang yang hadir, maka gugurlah kewajiban dari yang lain.
فَصْلٌ: شُرُوطُ الداعي
Fasal: Syarat-syarat orang yang mengundang
وَإِذَا كَانَتِ الْإِجَابَةُ وَاجِبَةً عَلَى مَا وَصَفْنَا فَلِوُجُوبِهَا شُرُوطٌ تُعْتَبَرُ فِي الدَّاعِي وَالْمَدْعُوِّ فَأَمَّا الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الدَّاعِي فَسِتَّةُ شُرُوطٍ:
Jika memenuhi undangan itu wajib sebagaimana telah kami jelaskan, maka untuk kewajiban itu terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi pada pihak yang mengundang dan yang diundang. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi pada pihak yang mengundang ada enam:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَالِغًا يَصِحُّ مِنْهُ الْإِذْنُ وَالتَّصَرُّفُ فِي مَالِهِ، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ بالغٍ لَمْ تَلْزَمْ إِجَابَتُهُ، وَلَمْ يَجُزْ أَيْضًا لِبُطْلَانِ إِذْنِهِ وَرَدِّ تَصَرُّفِهِ.
Pertama: Hendaknya ia telah baligh, sehingga sah darinya izin dan tindakan terhadap hartanya. Jika ia belum baligh, maka tidak wajib memenuhi undangannya, dan tidak sah pula (undangannya) karena izinnya batal dan tindakannya tidak dianggap.
وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ عَاقِلًا لِأَنَّ الْمَجْنُونَ لِفَقْدِ تَمْيِيزِهِ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الصَّغِيرِ فِي فَسَادِ إِذْنِهِ وَرَدِّ تَصَرُّفِهِ.
Syarat kedua: Hendaknya ia berakal, karena orang gila, disebabkan hilangnya kemampuan membedakan, keadaannya lebih buruk daripada anak kecil dalam rusaknya izin dan tidak sahnya tindakannya.
وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ رَشِيدًا يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فِي مَالِهِ، فَإِنْ كَانَ مَحْجُورًا عَلَيْهِ لَمْ تَلْزَمْ إِجَابَتُهُ، فَلَوْ أَذِنَ لَهُ وَلِيُّهُ لَمْ تَلْزَمْ إِجَابَتُهُ أَيْضًا، لِأَنَّ وَلِيَّهُ مَنْدُوبٌ لِحِفْظِ مَالِهِ لَا لِإِتْلَافِهِ.
Syarat ketiga: Hendaknya ia adalah orang yang rasyid (cakap), sehingga sah tindakannya terhadap hartanya. Jika ia berada di bawah perwalian (mahjur ‘alaih), maka tidak wajib memenuhi undangannya. Jika walinya mengizinkan pun, tetap tidak wajib memenuhi undangannya, karena wali tersebut ditugaskan untuk menjaga hartanya, bukan untuk merusaknya.
وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ حُرًّا؛ لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا يَجُوزُ تَصَرُّفُهُ فَلَمْ تَلْزَمْ إِجَابَتُهُ لِفَسَادِ إِذْنِهِ فَلَوْ أَذِنَ لَهُ سَيِّدُهُ صَارَ كَالْحُرِّ فِي لُزُومِ إِجَابَتِهِ.
Syarat keempat: Hendaknya ia adalah orang merdeka, karena budak tidak sah tindakannya, sehingga tidak wajib memenuhi undangannya karena izinnya tidak sah. Namun jika tuannya mengizinkan, maka ia seperti orang merdeka dalam wajibnya memenuhi undangannya.
وَالشَّرْطُ الْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا تَلْزَمُ مُوَالَاتُهُ فِي الدِّينِ، فَإِنْ كَانَ الدَّاعِي ذِمِّيًّا لِمُسْلِمٍ فَفِي لُزُومِ إِجَابَتِهِ وَجْهَانِ:
Syarat kelima: Hendaknya ia seorang Muslim yang wajib dijaga hubungan persaudaraan dalam agama. Jika yang mengundang adalah seorang dzimmi kepada seorang Muslim, maka dalam kewajiban memenuhi undangannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجِبُ لِعُمُومِ قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” أَجِيبُوا الدَّاعِيَ، فَإِنَّهُ مَلْهُوفٌ “.
Pertama: Wajib, berdasarkan keumuman sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam–: “Penuhilah undangan orang yang mengundang, karena ia sedang berharap.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا تَلْزَمُ إِجَابَتُهُ؛ لِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ مُسْتَخْبَثَ الطَّعَامِ مُحَرَّمًا.
Pendapat kedua: Tidak wajib memenuhi undangannya, karena bisa jadi makanannya menjijikkan atau haram.
وَلِأَنَّ نَفْسَ الْمُسْلِمِ تَعَافُ كُلَّ طَعَامِهِ، وَلِأَنَّ مَقْصُودَ الطَّعَامِ التَّوَاصُلُ بِهِ، وَاخْتِلَافُ الدِّينِ يَمْنَعُ مِنْ تَوَاصُلِهِمَا، فَإِنْ دَعَا مُسْلِمٌ ذِمِّيًّا لَمْ تَلْزَمْهُ الْإِجَابَةُ وَجْهًا وَاحِدًا، لِأَنَّهُ لَا يَلْتَزِمُ أَحْكَامَ شَرْعِنَا إِلَّا عَنْ تراضٍ.
Dan karena jiwa seorang Muslim merasa enggan terhadap seluruh makanannya, dan karena tujuan dari makanan adalah untuk menjalin hubungan, sedangkan perbedaan agama menghalangi terjalinnya hubungan tersebut. Jika seorang Muslim mengundang seorang dzimmi, maka tidak wajib baginya memenuhi undangan itu menurut satu pendapat, karena ia tidak terikat dengan hukum syariat kita kecuali atas dasar kerelaan.
وَالشَّرْطُ السَّادِسُ: أَنْ يُصَرِّحَ بِالدُّعَاءِ، إِمَّا بِقَوْلٍ أَوْ مُكَاتَبَةٍ أَوْ مُرَاسَلَةٍ؛ لِأَنَّ الْعُرْفَ بِجَمِيعِ ذَلِكَ جارٍ وَصَرِيحُ الدُّعَاءِ أَنْ يَقُولَ: أَسْأَلُكَ الْحُضُورَ، أَوْ يَقُولَ: أُحِبُّ أَنْ تَحْضُرَ، أَوْ إِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُجَمِّلَنِي بِالْحُضُورِ فَتَلْزَمُهُ إِجَابَتُهُ بِهَذَا الْقَوْلِ كُلِّهِ.
Syarat keenam: Hendaknya undangan itu dinyatakan secara jelas, baik dengan ucapan, surat, maupun pesan, karena kebiasaan berlaku dengan semua itu. Lafaz undangan yang jelas misalnya: “Saya memintamu untuk hadir,” atau “Saya ingin engkau hadir,” atau “Jika engkau berkenan, mohon hadirkan dirimu,” maka wajib baginya memenuhi undangan dengan semua ucapan tersebut.
فَأَمَّا إِنْ قَالَ إِنْ شِئْتَ أَنْ تَحْضُرَ فَافْعَلْ لَمْ تَلْزَمْهُ إِجَابَتُهُ.
Adapun jika ia berkata, “Jika engkau ingin hadir, silakan,” maka tidak wajib baginya memenuhi undangan tersebut.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَمَا أُحِبُّ أَنْ يُجِيبَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan aku tidak suka jika ia memenuhi (undangan seperti itu).”
فَإِنْ كاتبه رفعة يَسْأَلُهُ الْحُضُورَ بِأَحَدِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَلْفَاظِ لَزِمَهُ الْإِجَابَةُ، فَإِنْ نَقَصَهُ فِي الْخِطَابِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عُذْرًا فِي التَّأْخِيرِ وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ بَيْنَهُمَا عَدَاوَةٌ أَوْ كَانَ فِي الْوَلِيمَةِ عَدُوٌّ لَمْ يَكُنْ مَعْذُورًا فِي التَّأْخِيرِ، وَإِنْ رَاسَلَهُ بِرَسُولٍ وَقَعَ فِي نَفْسِهِ وَصَدَّقَهُ، لَزِمَتْهُ الْإِجَابَةُ سَوَاءٌ كَانَ حُرًّا أَوْ عَبْدًا، فَإِنْ كَانَ غَيْرَ بَالِغِ نُظِرَ فِيهِ، فَإِنْ كَانَ مُمَيِّزًا لَزِمَتْهُ الْإِجَابَةُ بِوُرُودِهِ فِي الرِّسَالَةِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُمَيِّزٍ لَمْ يَلْزَمْ؛ لِأَنَّهُ لَا يَحْصُلُ مَا يَقُولُ وَلَا الْعَادَةُ جَارِيَةٌ أَنْ يَكُونَ مِثْلُهُ رَسُولًا، فَإِنْ قَالَ الدَّاعِي لِرَسُولِهِ: ادْعُ مَنْ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعِيِّنَ لَهُ عَلَى أَحَدٍ لَمْ يَلْزَمْ مَنْ دَعَاهُ الرَّسُولُ أَنْ يُجِيبَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَرَى أَنْ يَدْعُوَ مَنْ غَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَى صَاحِبِ الطَّعَامِ.
Jika ia mengirimkan surat resmi memintanya hadir dengan salah satu lafaz yang telah kami sebutkan, maka wajib baginya memenuhi undangan itu. Jika dalam suratnya terdapat kekurangan, itu bukan alasan untuk menunda (memenuhi undangan), demikian pula jika di antara mereka ada permusuhan atau di acara walimah terdapat musuh, itu bukan alasan untuk menunda. Jika ia mengirimkan utusan dan ia mempercayainya, maka wajib baginya memenuhi undangan itu, baik utusan itu orang merdeka maupun budak. Jika utusan itu belum baligh, maka perlu dilihat: jika ia sudah mumayyiz (dapat membedakan), maka wajib baginya memenuhi undangan karena disebutkan dalam pesan; jika belum mumayyiz, maka tidak wajib, karena ia tidak memahami apa yang dikatakan dan kebiasaan tidak berlaku bahwa anak seperti itu menjadi utusan. Jika si pengundang berkata kepada utusannya: “Undanglah siapa saja yang engkau lihat,” tanpa menentukan kepada siapa, maka siapa pun yang diundang oleh utusan itu tidak wajib memenuhi undangan, karena bisa jadi utusan itu mengundang orang yang bukan paling disukai oleh pemilik acara.
فصل: شروط المدعو
Fasal: Syarat-syarat bagi yang diundang
وَأَمَّا الشُّرُوطُ الَّتِي فِي الْمَدْعُوِّ فَخَمْسَةُ شُرُوطٍ:
Adapun syarat-syarat yang berlaku bagi yang diundang ada lima:
أَحَدُهَا: الْبُلُوغُ.
Pertama: Baligh.
وَالثَّانِي: الْعَقْلُ لِيَكُونَ بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ مِمَّنْ يَتَوَجَّهُ عَلَيْهِ حُكْمُ الِالْتِزَامِ.
Kedua: Berakal, agar dengan baligh dan berakal ia termasuk orang yang terkena hukum kewajiban.
وَالثَّالِثُ: الْحُرِّيَّةُ لِأَنَّ الْعَبْدَ مَمْنُوعٌ مِنَ التَّصَرُّفِ بِحَقِّ السَّيِّدِ، فَإِنْ أَذِنَ لَهُ سَيِّدُهُ لَزِمَتْهُ الْإِجَابَةُ حِينَئِذٍ، وَإِنْ كَانَ مُكَاتَبًا نُظِرَ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُضُورُهُ مُضِرًّا بِكَسْبِهِ لَزِمَتْهُ الْإِجَابَةُ، وَإِنْ كَانَ مُضِرًّا لَمْ تَلْزَمْهُ الْإِجَابَةُ إِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ السَّيِّدُ، وَفِي لُزُومِهَا بِإِذْنِهِ وَجْهَانِ فَأَمَّا الْمَحْجُورُ عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ فَتَلْزَمُهُ الْإِجَابَةُ كَالرَّشِيدِ.
Ketiga: kebebasan, karena seorang budak dilarang melakukan tindakan atas hak tuannya. Jika tuannya mengizinkannya, maka wajib baginya untuk memenuhi undangan tersebut. Jika ia adalah seorang mukatab (budak yang sedang menebus dirinya), maka dilihat keadaannya: jika kehadirannya tidak mengganggu usahanya, maka wajib baginya memenuhi undangan; namun jika mengganggu, maka tidak wajib baginya memenuhi undangan kecuali jika diizinkan oleh tuannya. Dalam hal kewajiban memenuhi undangan dengan izin tuan, terdapat dua pendapat. Adapun orang yang dibatasi haknya karena safih (tidak cakap mengelola harta), maka wajib baginya memenuhi undangan sebagaimana orang yang rasid (cakap).
وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا فَإِنْ كَانَ ذِمِّيًّا وَالدَّاعِي مُسْلِمٌ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْإِجَابَةَ لَا تَلْزَمُهُ وَإِنْ كَانَا ذِمِّيَّيْنِ وَرَضِيَا بِحُكْمِنَا أَخْبَرْنَاهُمَا بِلُزُومِ الْإِجَابَةِ فِي دِينِنَا، وَهَلْ يُجْبَرُ عَلَيْهِ الْمَدْعُوُّ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ.
Keempat: harus beragama Islam. Jika ia seorang dzimmi dan yang mengundang adalah seorang Muslim, maka telah kami sebutkan bahwa tidak wajib baginya memenuhi undangan. Jika keduanya sama-sama dzimmi dan mereka berdua ridha dengan hukum kami, maka kami beritahukan kepada mereka tentang kewajiban memenuhi undangan menurut agama kami. Apakah orang yang diundang dipaksa untuk memenuhi undangan atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini.
وَالْخَامِسُ: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ عُذْرٌ مَانِعٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ تَشَاغُلٍ بِمَرَضٍ أَوْ إِقَامَةٍ عَلَى حِفْظِ مَالٍ أَوْ خَوْفٍ مِنْ عَدُوٍّ عَلَى نَفْسٍ أَوْ مَالٍ، فَإِنَّ كُلَّ هَذِهِ وَمَا شَاكَلَهَا أَعْذَارٌ تُسْقِطُ لُزُومَ الْإِجَابَةِ فَإِنِ اعْتَذَرَ بِشِدَّةِ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مَانِعًا مَنْ تَصَرُّفِ غَيْرِهِ كَانَ عُذْرًا فِي التَّأَخُّرِ، وَإِنْ لَمْ يَمْتَنِعْ مِنْ تَصَرُّفِ غَيْرِهِ لَمْ يكن عذراً.
Kelima: tidak memiliki uzur yang menghalangi, seperti sakit, sibuk mengurus orang sakit, menjaga harta, atau takut terhadap musuh atas diri atau hartanya. Semua hal tersebut dan yang semisalnya adalah uzur yang menggugurkan kewajiban memenuhi undangan. Jika ia beralasan karena panas atau dingin yang sangat, maka dilihat: jika hal itu juga menghalangi orang lain untuk beraktivitas, maka itu dianggap uzur untuk terlambat; namun jika tidak menghalangi orang lain, maka itu bukan uzur.
وَإِنِ اعْتَذَرَ بِمَطَرٍ يَبُلُّ الثَّوْبَ كَانَ عُذْرًا؛ لِأَنَّهُ عُذْرٌ فِي التَّأَخُّرِ عَنْ فَرْضِ الْجُمُعَةِ، وَإِنِ اعْتَذَرَ بِزِحَامِ النَّاسِ فِي الْوَلِيمَةِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عُذْرًا فِي التَّأَخُّرِ عَنِ الْإِجَابَةِ وَقِيلَ احْضُرْ، فَإِنْ وَجَدْتَ سَعَةً وَإِلَّا عُذِرْتَ فِي الرُّجُوعِ.
Jika ia beralasan karena hujan yang membasahi pakaian, maka itu dianggap uzur, karena hal itu juga menjadi uzur untuk tidak menghadiri shalat Jumat. Jika ia beralasan karena keramaian orang di acara walimah, maka itu bukan uzur untuk tidak memenuhi undangan. Ada pendapat: “Hadirilah, jika engkau mendapatkan kelapangan maka tetaplah, jika tidak, maka engkau dimaafkan untuk pulang.”
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنْ كَانَتِ الْوَلِيمَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَدُعِيَ فِي الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ لَزِمَتِ الْإِجَابَةُ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ وَاسْتُحِبَّتْ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي، وَلَمْ تَجِبْ، وَكُرِهَتْ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” الْوَلِيمَةُ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ حَقٌّ وَفِي الثَّانِي مَعْرُوفٌ وَفِي الثَّالِثِ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ “.
Jika walimah diadakan selama tiga hari dan ia diundang pada ketiga hari tersebut, maka wajib memenuhi undangan pada hari pertama, sunnah pada hari kedua namun tidak wajib, dan makruh pada hari ketiga. Hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Walimah pada hari pertama adalah hak, pada hari kedua adalah kebaikan, dan pada hari ketiga adalah riya’ dan mencari popularitas.”
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا دَعَاهُ اثْنَانِ فِي يَوْمٍ فَإِنْ قَدَرَ عَلَى الْحُضُورِ إِلَيْهِمَا لَزِمَتْهُ إِجَابَتُهُمَا وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا لَزِمَتْهُ إِجَابَةُ أَسْبَقِهِمَا، فَإِنِ اسْتَوَيَا أَجَابَ أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الْجِوَارِ أَجَابَ أَقْرَبَهُمَا رَحِمًا، فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الْقَرَابَةِ أَقْرَعَ بَيْنَهُمَا، وَأَجَابَ مَنْ قرعٍ مِنْهُمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا دَعَاكَ اثْنَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبُهُمَا جِوَارًا، فَإِنْ جَاءَا مَعًا فَأَجِبْ أَسْبَقَهُمَا؟ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Jika dua orang mengundangnya pada hari yang sama, jika ia mampu menghadiri keduanya, maka wajib memenuhi undangan keduanya. Jika tidak mampu menghadiri keduanya, maka wajib memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundangnya. Jika keduanya bersamaan, maka ia memenuhi undangan tetangga yang lebih dekat. Jika keduanya sama-sama dekat sebagai tetangga, maka ia memenuhi undangan kerabat yang lebih dekat. Jika keduanya sama-sama dekat dalam kekerabatan, maka diundi di antara keduanya, dan ia memenuhi undangan yang keluar undiannya. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jika dua orang mengundangmu, maka penuhilah undangan yang pintunya lebih dekat, karena yang pintunya lebih dekat adalah tetangga yang lebih dekat. Jika keduanya datang bersamaan, maka penuhilah undangan yang lebih dahulu mengundangmu.” Wallahu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ كَانَ الْمَدْعُوُّ صَائِمًا أَجَابَ الدَّعْوَةَ وَبَرَّكَ وَانْصَرَفَ وَلَيْسَ بحتمٍ أَنْ يَأْكُلَ وَأُحِبُّ لَوْ فَعَلَ وَقَدْ دُعِيَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَجَلَسَ وَوُضِعَ الطَّعَامُ فَمَدَّ يَدَهُ وَقَالَ خذوا بسم اللَّهِ ثَمَّ قَبَضَ يَدَهُ وَقَالَ إِنِّي صَائِمٌ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika orang yang diundang sedang berpuasa, hendaklah ia memenuhi undangan, mendoakan keberkahan, lalu pulang. Tidak wajib baginya untuk makan, namun aku suka jika ia melakukannya. Pernah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma diundang, lalu ia duduk, makanan dihidangkan, ia mengulurkan tangannya dan berkata: ‘Ambillah, dengan nama Allah.’ Kemudian ia menarik tangannya dan berkata: ‘Aku sedang berpuasa.’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَ الْمَدْعُوُّ صَائِمًا لَزِمَهُ الْحُضُورُ، وَلَمْ يَكُنْ صَوْمُهُ عُذْرًا فِي التَّأْخِيرِ لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةٍ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَأْكُلْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيَدْعُ، وَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ “.
Al-Mawardi berkata: “Ini benar, jika orang yang diundang sedang berpuasa, maka wajib baginya hadir, dan puasanya bukanlah uzur untuk tidak hadir. Hal ini berdasarkan riwayat Abdullah bin ‘Umar dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Jika salah seorang di antara kalian diundang ke walimah, maka hendaklah ia memenuhi undangan. Jika ia tidak berpuasa, hendaklah ia makan. Jika ia sedang berpuasa, hendaklah ia mendoakan dan berkata: ‘Aku sedang berpuasa.’”
وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِحُضُورِهِ التَّجَمُّلُ أَوِ التَّكَثُّرُ أَوِ التَّوَاصُلُ وَالصَّوْمُ لَا يَمْنَعُ مِنْ ذَلِكَ فَإِذَا حَضَرَ الصَّائِمُ لَمْ يَخْلُ صَوْمُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ فَرْضًا أَوْ تَطَوُّعًا، وَإِنْ كَانَ صَوْمُهُ فَرْضًا لَمْ يُفْطِرْ وَدَعَا لِلْقَوْمِ بِالْبَرَكَةِ، وَقَالَ: إِنِّي صَائِمٌ، وَكَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْمُقَامِ أَوِ الِانْصِرَافِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ، مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ عُمَرَ وَفِعْلِهِ، وَإِنْ كَانَ صَوْمُهُ تَطَوُّعًا فَالْمُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ، وَيُفْطِرَ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ وَهُوَ صَائِمٌ، فَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا فَلْيُفْطِرْ وَإِلَّا فَلْيُصِلِّ ” أَيْ فَلْيَدْعُ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْفِطْرُ؛ لِأَنَّهُ فِي عِبَادَةٍ فَلَمْ تَلْزَمْهُ مُفَارَقَتُهَا؛ وَلِأَنَّ مِنَ الْفُقَهَاءِ مَنْ يَحْظُرُ عَلَيْهِ الْخُرُوجَ مِنْ صَوْمِ التَّطَوُّعِ وَيُوجِبُ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ.
Karena tujuan menghadiri undangan tersebut adalah untuk berhias, memperbanyak pertemanan, atau menjalin silaturahmi, dan puasa tidak menghalangi hal itu. Maka jika orang yang berpuasa hadir, puasanya tidak lepas dari dua kemungkinan: puasa wajib atau puasa sunnah. Jika puasanya adalah puasa wajib, maka ia tidak berbuka dan mendoakan keberkahan bagi orang-orang yang hadir, serta berkata, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Ia boleh memilih antara tetap tinggal atau pergi, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, berdasarkan riwayat dan perbuatan Ibnu ‘Umar. Jika puasanya adalah puasa sunnah, maka yang dianjurkan baginya adalah makan dan berbuka, berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian diundang ke jamuan makan dan ia sedang berpuasa, maka jika itu puasa sunnah, hendaklah ia berbuka, dan jika tidak, hendaklah ia mendoakan.” Maksudnya, hendaklah ia mendoakan dan tidak wajib baginya berbuka, karena ia sedang dalam ibadah sehingga tidak wajib meninggalkannya. Selain itu, di antara para fuqaha ada yang melarang keluar dari puasa sunnah dan mewajibkan qadha atasnya.
فصل: حكم وجوب الأكل على المفطر
Bagian: Hukum Kewajiban Makan bagi Orang yang Tidak Berpuasa
فَأَمَّا الْمُفْطِرُ إِذَا حَضَرَ فَفِي وُجُوبِ الْأَكْلِ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ:
Adapun orang yang tidak berpuasa ketika hadir, maka dalam hal kewajiban makan atasnya terdapat tiga pendapat:
أَحَدُهَا: يَجِبُ عَلَيْهِ الْأَكْلُ؛ لِأَنَّهُ مَقْصُودُ الْحُضُورِ وَلِرِوَايَةِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةٍ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَأْكُلْ وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيَدْعُ وَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ “.
Pertama: Wajib baginya untuk makan, karena itu adalah tujuan dari kehadirannya, dan berdasarkan riwayat Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian diundang ke walimah, hendaklah ia memenuhinya. Jika ia tidak berpuasa, hendaklah ia makan, dan jika ia berpuasa, hendaklah ia mendoakan dan berkata: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْأَكْلُ وَهُوَ فِيهِ مُخَيَّرٌ لِرِوَايَةِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ “، وَلِأَنَّ فِي الْأَكْلِ تَمَلُّكٌ، قَالَ: فَلَمْ يَلْزَمْهُ كَالْهِبَةِ.
Pendapat kedua: Tidak wajib baginya untuk makan, ia diberi pilihan, berdasarkan riwayat Sufyan dari Abu az-Zubair dari Jabir bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian diundang ke jamuan makan, jika ia mau, ia makan, dan jika ia mau, ia tinggalkan.” Selain itu, dalam makan terdapat unsur kepemilikan, sehingga tidak wajib baginya sebagaimana hibah.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْأَكْلَ فِي الْوَلِيمَةِ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ، فَإِنْ أَكَلَ غَيْرُهُ سَقَطَ عَنْهُ فَرْضُ الْأَكْلِ وَإِلَّا خَرَجَ جَمِيعُ الْحَاضِرِينَ لِمَا فِي امتناع جميعهم من عدم مقصود، وَانْكِسَارِ نَفْسِهِ وَإِفْسَادِ طَعَامِهِ.
Pendapat ketiga: Makan di walimah termasuk fardhu kifayah, sehingga jika sudah ada orang lain yang makan, gugurlah kewajiban makan atasnya. Jika tidak, maka seluruh yang hadir terkena kewajiban, karena jika semua menolak makan, tujuan undangan tidak tercapai, tuan rumah merasa tersinggung, dan makanannya menjadi sia-sia.
فَصْلٌ
Bagian
وَيَنْبَغِي لِمَنْ حَضَرَ الطَّعَامَ أَنْ يَأْكُلَ إِلَى حَدِّ شِبَعِهِ وَلَهُ أَنْ يُقْصِرَ عَنِ الشِّبَعِ وَيَحْرُمَ عَلَيْهِ الزِّيَادَةُ عَلَى الشِّبَعِ لِمَا فِيهِ مِنَ الْمَضَرَّةِ وَمُخَالَفَةِ الْعَادَةِ، فَإِنْ أَكَلَ أَكْثَرَ مِنْ شِبَعِهِ لَمْ يَضْمَنِ الزِّيَادَةَ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَا يَأْكُلُهُ لِيَحْمِلَهُ إِلَى مَنْزِلِهِ، وَلَا أَنْ يُعْطِيَهُ لِغَيْرِهِ وَلَا أَنْ يَبِيعَهُ لِأَنَّ الْأَكْلَ هُوَ الْمَأْذُونُ فِيهِ دُونَ غَيْرِهِ، وَلَيْسَ كُلُّ مَنْ أُبِيحَ لَهُ الْأَكْلُ جَازَ لَهُ الْبَيْعُ كَالْمُضَحِّي وَلَا يَجُوزُ إِذَا جَلَسَ عَلَى الطَّعَامِ أَنْ يُطْعِمَ غَيْرَهُ مِنْهُ، فَإِنْ فَعَلَ وَكَانَ الَّذِي أَطْعَمَهُ مِنَ الْمَدْعُوِّينَ لَمْ يَضْمَنْ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَدْعُوٍّ ضَمِنَ.
Seyogianya bagi siapa yang hadir di jamuan makan untuk makan sampai kenyang, namun ia boleh makan kurang dari kenyang. Haram baginya makan melebihi kenyang karena hal itu berbahaya dan bertentangan dengan kebiasaan. Jika ia makan lebih dari kenyang, ia tidak wajib mengganti kelebihan itu. Ia tidak boleh mengambil makanan untuk dibawa pulang ke rumahnya, tidak boleh memberikannya kepada orang lain, dan tidak boleh menjualnya, karena yang diizinkan hanyalah makan, bukan yang lainnya. Tidak setiap orang yang diizinkan makan boleh menjualnya, seperti orang yang berkurban. Tidak boleh pula ketika duduk di jamuan makan ia memberi makanan kepada orang lain dari makanan itu. Jika ia melakukannya dan orang yang diberi adalah tamu undangan, maka ia tidak menanggung apa-apa. Namun jika orang tersebut bukan tamu undangan, maka ia wajib mengganti.
وَهَكَذَا لَيْسَ لَهُ أَنْ يَسْتَصْحِبَ إِلَى الطَّعَامِ مَنْ لَمْ يَدْعُهُ صَاحِبُ الْوَلِيمَةِ، فَإِنْ أَحْضَرَ مَعَهُ أَحَدًا فَقَدْ أَسَاءَ، وَالضَّمَانُ عَلَى الْآكِلِ دُونَ الْمُحْضِرِ وَالْعَرَبُ تُسَمِّي الْمَدْعُوَّ ضَيْفًا وَالتَّابِعَ ضَيْفَنَ قَالَ الشَّاعِرُ:
Demikian pula, ia tidak boleh mengajak orang yang tidak diundang oleh tuan rumah ke jamuan makan. Jika ia membawa seseorang bersamanya, maka ia telah berbuat buruk. Tanggung jawab atas makanan ada pada yang makan, bukan yang mengajak. Orang Arab menyebut tamu undangan sebagai “daif” dan yang ikut serta sebagai “daifan”. Seorang penyair berkata:
(إِذَا جَاءَ ضيفٌ جَاءَ لِلضَّيْفِ ضَيْفَنُ … فَأَوْدَى بِمَا نُقْرِي الضُّيُوفَ الضَّيَافِنُ)
(Jika datang seorang tamu, maka untuk tamu itu datang pula “daifan”… Maka habislah apa yang biasa kami suguhkan kepada para tamu oleh para “dayafin”)
فَصْلٌ
Bagian
وَيُخْتَارُ لَهُ إِذَا أَكَلَ أَنْ يَسْتَعْمِلَ آدَابَ أَكْلِهِ الْمَسْنُونَةَ.
Disunnahkan bagi seseorang yang makan untuk menerapkan adab-adab makan yang dianjurkan.
فَمِنْهَا غَسْلُ يَدَيْهِ قَبْلَ الطَّعَامِ وَبَعْدَهُ وَلَوْ تَوَضَّأَ فِي الْحَالَيْنِ كَانَ أَفْضَلَ.
Di antaranya adalah mencuci kedua tangan sebelum dan sesudah makan, dan jika ia berwudhu pada kedua keadaan itu, maka itu lebih utama.
رَوَى أَبُو هَاشِمٍ عَنْ زَاذَانَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قَرَأْتُ فِي التَّوْرَاةِ الْوُضُوءُ قَبْلَ الطَّعَامِ بَرَكَةُ الطَّعَامِ فذكرته للنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ: ” الْوُضُوءُ قَبْلَ الطَّعَامِ وَبَعْدَ الطَّعَامِ بَرَكَةُ الطعام “.
Abu Hashim meriwayatkan dari Zadan, dari Salman, ia berkata: Aku membaca dalam Taurat: “Wudhu sebelum makan adalah keberkahan makanan.” Lalu aku menyebutkan hal itu kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau bersabda: “Wudhu sebelum makan dan setelah makan adalah keberkahan makanan.”
وَمِنْهَا التَّسْمِيَةُ عَلَى الطَّعَامِ قَبْلَ مَدِّ يَدِهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ بَعْدَ رَفْعِهَا فَقَدْ فَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ذَلِكَ وَأَمَرَ بِهِ.
Di antaranya adalah membaca basmalah atas makanan sebelum mulai mengambilnya, dan mengucapkan alhamdulillah setelah selesai makan. Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melakukan hal itu dan memerintahkannya.
وَمِنْهَا: أَنْ يَأْكُلَ مِمَّا يَلِيهِ وَلَا يَمُدَّ يَدَهُ إِلَى مَا بَعُدَ عَنْهُ وَلَا يَأْكُلَ مِنْ ذِرْوَةِ الطَّعَامِ، فَقَدْ رَوَى سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” الْبِرْكَةُ فِي ذِرْوَةِ الطَّعَامِ فَكُلُوا مِنْ حواليها ” وإذا وضع اسْتَبَاحَ الْحَاضِرُونَ أَكْلَهُ، وَإِنْ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُمْ قولاً اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ وَأَنَّ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الدُّعَاءِ إذن فِيمَا تَأَخَّرَ مِنَ الطَّعَامِ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا مَتَى يَسْتَحِقُّ الْحَاضِرُ مَا يَأْكُلُهُ حَتَّى يَصِيرَ أَمْلَكَ بِهِ مِنْ رَبِّهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Di antaranya: hendaknya seseorang makan dari bagian makanan yang ada di depannya dan tidak mengulurkan tangannya ke bagian yang jauh darinya, serta tidak makan dari puncak makanan. Sa’id bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Keberkahan ada pada puncak makanan, maka makanlah dari sekelilingnya.” Dan apabila makanan telah diletakkan, maka para hadirin boleh memakannya, meskipun tidak ada izin secara lisan, berdasarkan ‘urf (kebiasaan), dan bahwa doa yang telah diucapkan sebelumnya merupakan izin untuk makanan yang tersisa. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang kapan hadirin berhak atas makanan yang dimakannya sehingga ia lebih berhak atasnya daripada tuan rumah, ada tiga pendapat:
أَحَدُهَا: إِذَا أَخَذَ اللُّقْمَةَ مِنَ الطَّعَامِ بِيَدِهِ صَارَ بِهَا أَحَقَّ وَأَمْلَكَ لَهَا؛ لِأَنَّ حُصُولَهَا فِي الْيَدِ قَبْضٌ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تُسْتَرْجَعَ مِنْهُ.
Pertama: Jika seseorang telah mengambil sesuap makanan dengan tangannya, maka ia menjadi lebih berhak dan lebih memiliki atas suapan itu; karena keberadaannya di tangan merupakan bentuk penguasaan, sehingga tidak boleh diambil kembali darinya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَصِيرُ أَحَقَّ بِهَا وأملك لها إِذَا وَضَعَهَا فِي فَمِهِ، فَأَمَّا وَهِيَ بِيَدِهِ فَمَالِكُ الطَّعَامِ أَحَقُّ بِهَا؛ لِأَنَّ الْإِذْنَ فِي الْأَكْلِ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ إِلَّا بَعْدَ الْحُصُولِ فِي الْفَمِ.
Pendapat kedua: Ia belum menjadi lebih berhak dan lebih memiliki atas makanan itu kecuali setelah meletakkannya di mulutnya. Adapun selama masih di tangannya, maka pemilik makanan lebih berhak atasnya; karena izin itu hanya berlaku untuk makan, dan itu baru terjadi setelah makanan masuk ke mulut.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ لَا يَصِيرَ أحق بها وأملك إِلَّا بَعْدَ مَضْغِهَا، وَبَلْعِهَا، لِأَنَّ الْإِذْنَ يَضْمَنُ اسْتِهْلَاكَهُ بِالْأَكْلِ وَلَا يَجْلِسُ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الْأَكْلِ إِلَّا عَنْ إِذْنٍ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَإِذَا طِعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا) {الأحزاب: 53) .
Pendapat ketiga: Ia tidak menjadi lebih berhak dan lebih memiliki kecuali setelah mengunyah dan menelannya, karena izin itu mencakup pemanfaatan dengan cara dimakan. Dan tidak boleh duduk setelah selesai makan kecuali dengan izin, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Maka apabila kamu telah selesai makan, maka bertebaranlah kamu} (al-Ahzab: 53).
وَرَوَى وَاصِلُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ أَبِي سَوْرَةَ وَعَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” أَلَا حَبَّذَا الْمُتَخَلِّلُونَ مِنْ أُمَّتِي “، قَالُوا: وَمَا الْمُتَخَلِّلُونَ، قَالَ: ” الْمُتَخَلِّلُونَ مِنَ الطَّعَامِ، وَالْمُتَخَلِّلُونَ بِالْمَاءِ في الوضوء “.
Wasil bin Sa’ib meriwayatkan dari Abu Sawrah dan dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, keduanya berkata bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Alangkah baiknya orang-orang yang membersihkan sela-sela gigi dari umatku.” Mereka bertanya: “Siapakah orang-orang yang membersihkan sela-sela gigi itu?” Beliau bersabda: “Orang-orang yang membersihkan sela-sela gigi dari sisa makanan, dan orang-orang yang berkumur dengan air saat berwudhu.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فإذا كَانَ فِيهَا الْمَعْصِيَةُ مِنَ الْمُسْكِرْ أَوِ الْخَمْرِ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ مِنَ الْمَعَاصِي الظَّاهِرَةِ نَهَاهُمْ فَإِنْ نَحَّوْا ذَلِكَ عَنْهُ وَإِلَّا لَمْ أُحِبَّ لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَإِنْ عَلِمَ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ لم أجب لَهُ أَنْ يُجِيبَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika di dalamnya terdapat maksiat berupa minuman memabukkan atau khamar atau semisalnya dari maksiat-maksiat yang nyata, maka hendaknya ia melarang mereka. Jika mereka menyingkirkan hal itu darinya, maka tidak mengapa ia duduk. Namun jika tidak, maka aku tidak menyukai baginya untuk duduk. Jika ia mengetahui hal itu ada di tengah mereka, maka aku tidak mewajibkan baginya untuk memenuhi undangan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا دُعِيَ إِلَى وَلِيمَةٍ وَفِيهَا خُمُورٌ أو ملاهي أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْمَعَاصِي فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِهِ قَبْلَ حُضُورِهِ أَوْ غَيْرَ عَالِمٍ، فَإِنْ عَلِمَ بِهِ قَبْلَ حضوره فله حالتان:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika seseorang diundang ke walimah dan di dalamnya terdapat khamr, alat musik, atau semisalnya dari kemaksiatan, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: mengetahui sebelumnya atau tidak mengetahui. Jika ia mengetahui sebelumnya, maka ada dua keadaan:
أحدها: أَنْ يَقْدِرَ عَلَى إِنْكَارِهِ وَإِزَالَتِهِ فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ أَنْ يَحْضُرَ لِأَمْرَيْنِ:
Pertama: Ia mampu mengingkari dan menghilangkannya, maka wajib baginya untuk hadir karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: لِإِجَابَةِ الدَّاعِي.
Pertama: Untuk memenuhi undangan.
وَالثَّانِي: لإزالة المنكر.
Kedua: Untuk menghilangkan kemungkaran.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى إِزَالَتِهِ فَفَرْضُ الْإِجَابَةِ قَدْ سَقَطَ، وَأَوْلَى أَنْ لَا يَحْضُرَ وَفِي جَوَازِ حُضُورِهِ وَجْهَانِ:
Keadaan kedua: Ia tidak mampu menghilangkannya, maka kewajiban memenuhi undangan gugur, dan lebih utama baginya untuk tidak hadir. Dalam hal kebolehan hadir terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِمَا فِي حُضُورِهِ مِنْ مُشَاهَدَةِ الْمُنْكَرِ وَالرِّيبَةِ الدَّاخِلَةِ عَلَيْهِ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ “.
Pertama, dan ini yang lebih kuat: Tidak boleh hadir, karena kehadirannya berarti menyaksikan kemungkaran dan menimbulkan keraguan dalam dirinya. Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَجِبُ لَهُ الْحُضُورُ وَإِنْ كَرِهَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ رُبَّمَا أَحْشَمَهُمْ حُضُورُهُ فَكَفُّوا وَأَقْصَرُوا وَقَدْ حُكِيَ أَنَّ الْحَسَنَ الْبَصْرِيَّ، وَمُحَمَّدَ بْنَ كعب القرطي دُعِيَا إِلَى وَلِيمَةٍ فَسَمِعَا مُنْكَرًا فَقَامَ مُحَمَّدٌ لِيَنْصَرِفَ فَجَذَبَهُ الْحَسَنُ، وَقَالَ: اجْلِسْ وَلَا يَمْنَعْكَ مَعْصِيَتُهُمْ مِنْ طَاعَتِكَ.
Pendapat kedua: Wajib baginya untuk hadir meskipun ia tidak menyukainya; karena mungkin saja kehadirannya membuat mereka merasa segan sehingga mereka menahan diri dan berhenti. Telah diriwayatkan bahwa al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Ka‘b al-Qurazhi diundang ke sebuah walimah, lalu mereka mendengar kemungkaran di sana. Muhammad pun bangkit hendak pergi, namun al-Hasan menariknya dan berkata: “Duduklah, dan jangan biarkan kemaksiatan mereka menghalangimu dari ketaatanmu.”
وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِمَا فِي الْوَلِيمَةِ مِنَ الْمَعَاصِي فَعَلَيْهِ الْإِجَابَةُ، وَلَا يَكُونُ خَوْفُهُ مِنْهَا عُذْرًا فِي التَّأْخِيرِ عَنْهَا لِجَوَازِ أَنْ لَا يَكُونَ، فَإِنْ حَضَرَ وَكَانَتْ بِحَيْثُ لَا يُشَاهِدُهَا وَلَا يَسْمَعُهَا أَقَامَ عَلَى حُضُورِهِ، وَلَمْ يَنْصَرِفْ وَإِنْ سَمِعَهَا وَلَمْ يُشَاهِدْهَا لَمْ يَتَعَمَّدِ السَّمَاعَ وَأَقَامَ عَلَى الْحُضُورِ؛ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ لَوْ سُمِعَ فِي مَنْزِلِهِ معاصٍ مِنْ دَارِ غَيْرِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ الِانْتِقَالُ عَنْ مَنْزِلِهِ كَذَلِكَ هَذَا، وَإِنْ شَاهَدَهَا جَازَ لَهُ الِانْصِرَافُ وَلَمْ يَلْزَمْهُ الْحُضُورُ إِنْ لَمْ تُرْفَعْ وَفِي جَوَازِ إِقَامَتِهِ مَعَ حُضُورِهَا إِذَا صَرَفَ طَرَفَهُ عنها مما ذكرنا من الوجهين.
Jika ia tidak mengetahui adanya kemaksiatan dalam walimah tersebut, maka ia wajib memenuhi undangan itu, dan kekhawatirannya terhadap kemungkinan adanya kemaksiatan tidak menjadi alasan untuk menunda kehadirannya, karena bisa jadi hal itu tidak terjadi. Jika ia hadir dan ternyata kemaksiatan itu ada, namun ia tidak melihat atau mendengarnya, maka ia tetap berada di tempat itu dan tidak pergi. Jika ia mendengarnya namun tidak melihatnya, ia tidak sengaja mendengarkan dan tetap berada di tempat itu; karena jika seseorang mendengar kemaksiatan di rumahnya yang berasal dari rumah orang lain, ia tidak wajib pindah dari rumahnya, demikian pula dalam hal ini. Namun jika ia melihat kemaksiatan itu, maka ia boleh pergi dan tidak wajib tetap hadir jika kemaksiatan itu tidak dihilangkan. Adapun mengenai kebolehan tetap berada di tempat itu meskipun kemaksiatan ada, jika ia memalingkan pandangannya darinya, terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ رَأَى صُوَرًا ذَاتَ أرواحٍ لَمْ يَدْخُلْ إِنْ كَانَتْ مَنْصُوبَةً وَإِنْ كَانَتْ تُوطَأُ فَلَا بَأْسَ فَإِنْ كَانَ صُوَرُ الشَجَرِ فَلَا بَأْسَ وأحب أن يجيب أخاه وبلغنا أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” لَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ لَقَبِلْتُ وَلَوْ دُعِيتُ إلى كراعٍ لأجبت “.
Imam asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia melihat gambar makhluk bernyawa, maka ia tidak masuk jika gambar itu dipajang. Namun jika gambar itu diinjak (seperti pada alas), maka tidak mengapa. Jika gambar itu berupa pohon, maka tidak mengapa. Aku lebih suka ia memenuhi undangan saudaranya. Telah sampai kepada kami bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Seandainya dihadiahkan kepadaku sepotong daging bahu, niscaya aku menerimanya, dan seandainya aku diundang ke hidangan kaki (hewan), niscaya aku memenuhinya.'”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ وَإِذَا كَانَ فِي الْوَلِيمَةِ صُوَرٌ فَهِيَ ضَرْبَانِ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Jika dalam walimah terdapat gambar, maka gambar itu terbagi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ صُوَرُ شَجَرٍ وَنَبَاتٍ، وَمَا لَيْسَ بِذِي رُوحٍ فَلَا تَحْرُمُ، لِأَنَّهَا كَالنُّقُوشِ الَّتِي تُرَادُ لِلزِّينَةِ، وَسَوَاءٌ كَانَتْ عَلَى مُسْدَلٍ مِنْ بُسُطٍ وَوَسَائِدَ أَوْ كَانَتْ عَلَى مُصَانٍ مِنْ سَتْرٍ أَوْ جِدَارٍ وَلَا يَعْتَذِرُ بِهَا الْمَدْعُوُّ فِي التَّأَخُّرِ.
Pertama: Gambar pohon, tumbuhan, dan yang tidak bernyawa, maka tidak haram, karena seperti ukiran yang dimaksudkan untuk hiasan, baik gambar itu terdapat pada alas seperti karpet dan bantal, maupun pada benda yang tergantung seperti tirai atau dinding. Tidak boleh dijadikan alasan oleh orang yang diundang untuk menunda kehadirannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ صُوَرَ ذَاتِ أَرْوَاحٍ مِنْ آدَمِيٍّ أَوْ بَهِيمَةٍ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ وَصَانِعُهَا عاصٍ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لعن المصور، وقال: ” يؤتي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ لَهُ انْفُخْ فِيهِ الرُّوحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهِ أَبَدًا “.
Kedua: Gambar makhluk bernyawa, baik manusia maupun hewan, maka itu haram dan pembuatnya berdosa, berdasarkan riwayat dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Beliau melaknat para pembuat gambar,” dan beliau bersabda: “Pada hari kiamat, pembuat gambar akan didatangkan, lalu dikatakan kepadanya: ‘Hidupkanlah gambar ini!’ Padahal ia tidak akan mampu menghidupkannya selamanya.”
وَقَدْ حُكِيَ عَنْ عِكْرِمَةَ فِي تَأْوِيلِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمْ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ) {الأحزاب: 57) أَنَّهُمْ أَصْحَابُ التَّصَاوِيرِ وَإِذًا عَمَلُهَا مُحَرَّمٌ عَلَى صَانِعِهَا فَالْكَلَامُ فِي تَحْرِيمِ اسْتِعْمَالِهَا وَإِبَاحَتِهِ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الِاسْتِعْمَالِ، فَإِنْ كانت مُسْتَعْمَلَةً فِي مَنْصُوبٍ مُصَانٍ عَنِ الِاسْتِبْدَالِ كَالْحِيطَانِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ يَسْقُطُ مَعَهَا فَرْضُ الْإِجَابَةِ، لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ أَنَّهُ قَالَ: صَنَعْتُ طَعَامًا، وَدَعَوْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَمَّا دَخَلَ الْبَيْتَ رَجَعَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا رَجَعَكَ ” قَالَ: ” رَأَيْتُ صُورَةً وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ أَوْ كَلْبٌ “.
Diriwayatkan dari ‘Ikrimah dalam menafsirkan firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat} (al-Ahzab: 57), bahwa yang dimaksud adalah para pembuat gambar. Maka, membuat gambar itu haram bagi pembuatnya. Adapun pembahasan tentang haram atau bolehnya menggunakan gambar, tergantung pada cara penggunaannya. Jika digunakan pada benda yang dipajang dan tidak mudah dipindahkan seperti pada dinding, maka itu haram dan gugurlah kewajiban memenuhi undangan, berdasarkan riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku pernah membuat makanan dan mengundang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ketika beliau masuk ke rumah, beliau kembali keluar. Aku pun bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu kembali?’ Beliau menjawab: ‘Aku melihat ada gambar, dan sesungguhnya malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada gambar atau anjing.'”
وَرَوَى جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا دَخَلَ مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ أَمَرَ عُمَرَ أَنْ يَمْحُوَ كُلَّ صُورَةٍ فِي الْكَعْبَةِ فَلَمَّا مُحِيَتْ دَخَلَهَا، وَلِأَنَّ الصُّوَرَ كَانَتِ السَّبَبَ فِي عِبَادَاتِ الْأَصْنَامِ، حُكِيَ أَنَّ آدَمَ لَمَّا مَاتَ افْتَرَقَ أَوْلَادُهُ فَرِيقَيْنِ فَرِيقٌ تَمَسَّكُوا بِالدِّينِ وَالصَّلَاحِ، وَفَرِيقٌ مَالُوا إِلَى الْمَعَاصِي وَالْفَسَادِ ثُمَّ اعْتَزَلَ أَهْلُ الصَّلَاحِ فَصَعِدُوا جَبَلًا وَأَخَذُوا مَعَهُمْ تَابُوتَ آدَمَ وَمَكَثَ أَهْلُ الْمَعَاصِي وَالْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ فَكَانُوا يَسْتَغْوُونَ مَنْ نَزَلَ إِلَيْهِمْ مَنْ أَهْلِ الْجَبَلِ، وَاسْتَوْلَوْا عَلَى تَابُوتِ آدَمَ فَصَوَّرَ لَهُمْ إبليس صورة آدم ليتخذوا بَدَلًا مِنَ التَّابُوتِ فَعَظَّمُوهَا ثُمَّ حَدَثَ بَعْدَهُمْ مَنْ رَأَى تَعْظِيمَهَا فَعَبَدَهَا فَصَارَتْ أَصْنَامًا مَعْبُودَةً، فَلِذَلِكَ حُرِّمَ اسْتِعْمَالُ الصُّوَرِ فِيمَا كَانَ مُصَانًا مُعَظَّمًا وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ: إِنَّمَا كَانَ التَّحْرِيمُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِقُرْبِ عَهْدِهِمْ بِالْأَصْنَامِ وَمُشَاهَدَتِهِمْ بِعِبَادَتِهَا لِيَسْتَقِرَّ فِي نُفُوسِهِمْ بُطْلَانُ عِبَادَتِهَا وَزَوَالُ تَعْظِيمِهَا، وَهَذَا الْمَعْنَى قَدْ زَالَ فِي وَقْتِنَا لِمَا قَدِ اسْتَقَرَّ فِي النُّفُوسِ مِنَ الْعُدُولِ عَنْ تَعْظِيمِهَا فَزَالَ حُكْمُ تَحْرِيمِهَا، وَحَظْرُ اسْتِعْمَالِهَا، وَقَدْ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَنْ يَعْبُدُ كُلَّ مَا اسْتَحْسَنَ مِنْ حجر تَحْرِيمِهَا، وَحَظْرُ اسْتِعْمَالِهَا، وَقَدْ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَنْ يَعْبُدُ كُلَّ مَا اسْتَحْسَنَ مِنْ حَجَرٍ أَوْ شَجَرٍ فَلَوْ كَانَ حُكْمُ الْحَظْرِ بَاقِيًا لَكَانَ اسْتِعْمَالُ كُلِّ مَا اسْتُحْسِنَ حَرَامًا، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ خَطَأٌ؛ لِأَنَّ النَّصَّ يَدْفَعُهُ، وَإِنَّ مَا جَانَسَ الْمُحَرَّمَاتِ تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُهَا وَلَوْ سَاغَ هَذَا فِي صُوَرٍ غَيْرِ مُجَسَّمَةٍ لَسَاغَ فِي الصُّوَرِ الْمُجَسَّمَةِ، وَمَا أَحَدٌ يَقُولُ هَذَا فَفَسَدَ بِهِ التَّعْلِيلُ.
Diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi ﷺ ketika memasuki Makkah pada tahun penaklukan, beliau memerintahkan Umar untuk menghapus semua gambar yang ada di Ka’bah. Setelah gambar-gambar itu dihapus, barulah beliau masuk ke dalamnya. Hal ini karena gambar-gambar tersebut dahulu menjadi sebab disembahnya berhala-berhala. Dikisahkan bahwa ketika Adam wafat, anak-anaknya terbagi menjadi dua kelompok: satu kelompok berpegang teguh pada agama dan kebaikan, sedangkan kelompok lainnya condong kepada maksiat dan kerusakan. Kemudian, orang-orang saleh mengasingkan diri dan naik ke sebuah gunung, membawa serta tabut (peti) Adam. Sementara itu, orang-orang yang berbuat maksiat dan kerusakan tetap tinggal di bumi. Mereka berusaha menyesatkan siapa saja dari kalangan penghuni gunung yang turun kepada mereka, hingga akhirnya mereka menguasai tabut Adam. Lalu Iblis membuatkan untuk mereka gambar Adam sebagai pengganti tabut tersebut, sehingga mereka mengagungkannya. Setelah mereka wafat, datanglah generasi berikutnya yang melihat pengagungan terhadap gambar itu, lalu mereka menyembahnya, sehingga gambar itu pun menjadi berhala yang disembah. Karena itulah diharamkan penggunaan gambar pada sesuatu yang dimuliakan dan dijaga kehormatannya. Abu Sa’id al-Ishthakhri berkata: Sesungguhnya pengharaman itu pada masa Nabi ﷺ karena kedekatan masa mereka dengan berhala-berhala dan masih menyaksikan penyembahan terhadapnya, agar tertanam dalam jiwa mereka kebatilan penyembahan berhala dan hilangnya pengagungan terhadapnya. Namun makna ini telah hilang di zaman kita sekarang, karena telah tertanam dalam jiwa manusia untuk berpaling dari mengagungkan gambar-gambar tersebut, sehingga hukum pengharaman dan larangan penggunaannya pun hilang. Pada masa jahiliah, ada orang yang menyembah apa saja yang mereka sukai dari batu atau pohon. Seandainya hukum larangan itu masih berlaku, niscaya penggunaan apa pun yang disukai akan menjadi haram. Pendapat ini keliru, karena nash (teks syariat) menolaknya. Sesuatu yang serupa dengan hal-hal yang diharamkan tetap berlaku hukumnya. Jika pendapat ini dibolehkan untuk gambar yang tidak berbentuk tiga dimensi, maka akan dibolehkan pula untuk gambar yang berbentuk tiga dimensi, dan tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian, sehingga alasan tersebut menjadi rusak.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِنِ اسْتُعْمِلَتِ الصُّوَرُ فِي مَكَانٍ مُهَانٍ مُسْتَبْذَلٍ كَالْبُسُطِ وَالْمُخَالِّ جَازَ، وَلَمْ يَسْقُطْ بِهِ فَرْضُ الْإِجَابَةِ.
Adapun jika gambar-gambar digunakan di tempat yang hina dan dianggap remeh, seperti pada permadani dan alas kaki, maka hal itu diperbolehkan, dan tidak menggugurkan kewajiban untuk memenuhi undangan (walimah).
رُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ عَلَّقَتْ سِتْرًا عَلَيْهِ صُورَةٌ فَلَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَرَآهُ رَجَعَ وَقَالَ: يَا عَائِشَةُ اقْطَعِيهِ وِسَادَتَيْنِ فَقَطَعَتْهُ مِخَدَّتَيْنِ.
Diriwayatkan bahwa Aisyah pernah menggantungkan tirai yang bergambar. Ketika Nabi ﷺ masuk dan melihatnya, beliau kembali (tidak masuk) dan berkata: “Wahai Aisyah, potonglah tirai itu menjadi dua bantal.” Maka Aisyah memotongnya menjadi dua bantal.
وَلِأَنَّهَا إِذَا كَانَتْ فِي مُسْتَبْذَلٍ مُهَانٍ زَالَ تَعْظِيمُهَا مِنَ النُّفُوسِ فَلَمْ تَحْرُمْ قَدْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِإِلْقَاءِ صَنَمَيْنِ كَانَا عَلَى الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَكَانَتْ تُدَاسُ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ، وَهُوَ يُقِرُّهَا وَلَا يَمْنَعُ مِنِ اسْتِبْقَائِهَا؛ لِأَنَّهُ عَدَلَ بِتَعْظِيمِهَا إِلَى الِاسْتِهَانَةِ بِهَا وَالْإِذْلَالِ بِهَا.
Karena jika gambar-gambar itu berada di tempat yang hina dan dianggap remeh, maka pengagungan terhadapnya hilang dari hati manusia, sehingga tidak lagi haram. Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan untuk membuang dua berhala yang ada di Shafa dan Marwah, lalu kedua berhala itu diinjak-injak di depan pintu masjid, dan beliau membiarkannya serta tidak melarang untuk membiarkannya tetap di sana, karena pengagungan terhadapnya telah berubah menjadi penghinaan dan perendahan.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا السُّتُورُ الْمُعَلَّقَةُ عَلَى الْأَبْوَابِ وَالْجُدْرَانِ فَضَرْبَانِ:
Adapun tirai-tirai yang digantungkan di pintu-pintu dan dinding-dinding, maka terbagi menjadi dua jenis:
أَحَدُهُمَا: أَنْ تَكُونَ صُوَرَ ذَاتِ أَرْوَاحٍ فَاسْتِعْمَالُهَا مُحَرَّمٌ سَوَاءَ اسْتُعْمِلَتْ لِزِينَةٍ أَوْ مَنْفَعَةٍ وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ: إِنْ كَانَتْ مُسْتَعْمَلَةً لِلزِّينَةِ حَرُمَتْ، وَإِنْ كَانَتْ مُسْتَعْمَلَةً لِلْمَنْفَعَةِ لِتَسْتُرَ بَابًا أَوْ تَقِيَ مِنْ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ جَازَ، وَلَمْ يَحْرُمْ؛ لِأَنَّ الْعُدُولَ بِهَا عَنِ الزِّينَةِ إِلَى الْمَنْفَعَةِ يُخْرِجُهَا عَنْ حُكْمِ الصِّيَانَةِ إِلَى الْبِذْلَةِ، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ الِانْتِفَاعَ بِالشَّيْءِ لَا يُخْرِجُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُصَانًا عَظِيمًا فَحَرُمَ اسْتِعْمَالُهَا فِي الْحَالَيْنِ، وَسَقَطَ بِهَا فَرْضُ الْإِجَابَةِ إِلَى الْوَلِيمَةِ.
Pertama: Jika berupa gambar makhluk bernyawa, maka penggunaannya haram, baik digunakan untuk hiasan maupun untuk manfaat. Abu Hamid al-Isfara’ini berkata: Jika digunakan untuk hiasan, maka haram; jika digunakan untuk manfaat seperti menutupi pintu atau melindungi dari panas atau dingin, maka boleh dan tidak haram, karena mengalihkannya dari fungsi hiasan ke fungsi manfaat mengeluarkannya dari hukum pemuliaan menjadi sesuatu yang biasa. Namun pendapat ini tidak benar, karena mengambil manfaat dari sesuatu tidak mengeluarkannya dari status sebagai sesuatu yang dijaga dan dimuliakan, sehingga penggunaannya tetap haram dalam kedua keadaan tersebut, dan tidak menggugurkan kewajiban memenuhi undangan walimah.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ السُّتُورُ بِغَيْرِ صُوَرِ ذَاتِ أَرْوَاحٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Jenis kedua: yaitu tirai-tirai yang tidak bergambar makhluk bernyawa, maka ini terbagi menjadi dua:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يُسْتَعْمَلَ لِحَاجَةٍ أَوْ مَنْفَعَةٍ، لِأَنَّهَا تَسْتُرُ بَابًا أَوْ تَقِي مِنْ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ فَلَا بَأْسَ بِاسْتِعْمَالِهَا.
Pertama: digunakan untuk suatu kebutuhan atau manfaat, seperti menutupi pintu atau melindungi dari panas atau dingin, maka tidak mengapa menggunakannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ زِينَةً لِلْجُدْرَانِ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَيْهَا وَلَا مَنْفَعَةٍ بِهَا فَهِيَ سَرَفٌ مَكْرُوهٌ. رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” إِنَ اللَّهَ لَمْ يَأْمُرْنَا فِيمَا رَزَقَنَا أن نكسوا الْجُدْرَانَ وَاللَّبِنَ ” لَكِنْ لَا يَسْقُطُ بِهَذِهِ السُّتُورِ فَرْضُ الْإِجَابَةِ لِلْوَلِيمَةِ؛ لِأَنَّ حَظْرَهَا لِلْمُسْرِفِ فِي الِاسْتِعْمَالِ لَا لِلْمَعْصِيَةِ فِي الْمُشَاهَدَةِ.
Jenis kedua: digunakan sebagai hiasan dinding tanpa ada kebutuhan atau manfaat darinya, maka ini termasuk pemborosan yang makruh. ‘Aisyah ra. meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita dengan rezeki yang diberikan-Nya untuk menghiasi dinding dan bata.” Namun, keberadaan tirai-tirai ini tidak menggugurkan kewajiban menghadiri undangan walimah; karena larangannya ditujukan kepada orang yang berlebihan dalam penggunaan, bukan karena maksiat dalam melihatnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَا فَرْقَ فِي تَحْرِيمِ صُوَرِ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ مِنْ صُوَرِ الْآدَمِيِّينَ وَالْبَهَائِمِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَا كَانَ مُسْتَحْسَنًا مِنْهَا أَوْ مُسْتَقْبَحًا أَوْ مَا كان عَظِيمًا أَوْ مُسْتَصْغَرًا، إِذَا كَانَتْ صُوَرَ حَيَوَانٍ مشاهد.
Tidak ada perbedaan dalam keharaman gambar makhluk bernyawa, baik gambar manusia maupun hewan, dan tidak ada perbedaan antara gambar yang indah atau buruk, besar atau kecil, selama itu adalah gambar hewan yang nyata.
فأما صورة حَيَوَانٍ لَمْ يُشَاهَدْ مِثْلُهُ مِثْلُ صُورَةِ طَائِرٍ لَهُ وَجْهُ إِنْسَانٍ أَوْ صُورَةِ إِنْسَانٍ لَهُ جَنَاحُ طَيْرٍ فَفِي تَحْرِيمِهِ وَجْهَانِ:
Adapun gambar hewan yang tidak pernah dilihat sebelumnya, seperti gambar burung yang berkepala manusia atau gambar manusia yang bersayap burung, maka dalam keharamannya terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَحْرُمُ بَلْ يَكُونُ أَشَدَّ تَحْرِيمًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَبْدَعَ فِي خَلْقِ اللَّهِ تَعَالَى، وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” يُؤْمَرُ بِالنَّفْخِ فِيهِ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهِ أَبَدًا “.
Pertama: Haram, bahkan lebih berat keharamannya; karena itu merupakan bentuk menciptakan sesuatu yang baru dalam ciptaan Allah Ta‘ala, dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Akan diperintahkan untuk meniupkan ruh ke dalamnya, namun tidak akan pernah bisa meniupkan ruh ke dalamnya.”
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ لَا تَحْرُمُ؛ لِأَنَّهُ يَكُونُ بِالتَّزَاوِيقِ الْكَاذِبَةِ أَشْبَهَ مِنْهُ بِالصُّوَرِ الْحَيَوَانِيَّةِ، فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يُصَوِّرَ وَجْهَ إِنْسَانٍ بِلَا بَدَنٍ وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي لَا يَحْرُمُ.
Pendapat kedua: yaitu pendapat Abu Hamid al-Marwazi, tidak haram; karena itu lebih mirip dengan hiasan palsu daripada gambar hewan yang sebenarnya. Maka menurut pendapat pertama, haram menggambar wajah manusia tanpa badan, sedangkan menurut pendapat kedua, tidak haram.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي: ” فِي نَثْرِ الْجَوْزِ وَاللَّوْزِ وَالسُّكَرِ فِي الْعُرْسِ لَوْ تُرِكَ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ لِأَنَّهُ يُؤْخَذُ بخلسةٍ ونهبةٍ وَلَا يَبِينُ أَنَّهُ حرامٌ إِلَّا أَنَّهُ قَدْ يَغْلِبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فَيَأْخُذُ مَنْ غَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَى صَاحِبِهِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Mengenai menaburkan kacang kenari, almond, dan gula pada acara pernikahan, jika ditinggalkan itu lebih aku sukai, karena biasanya diambil dengan cara sembunyi-sembunyi dan berebut, dan tidak jelas keharamannya, hanya saja kadang sebagian orang mengalahkan yang lain dan mengambil sesuatu yang lebih disukai pemiliknya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا نَثْرُ السُّكَّرِ وَاللَّوْزِ فِي الْعُرْسِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ طِيبٍ أَوْ دَرَاهِمَ فَمُبَاحٌ إِجْمَاعًا اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ الْجَارِي فِيهِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – حِينَ زَوَّجَ عَلِيًّا بِفَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا نَثَرَ عَلَيْهِمَا لَكِنِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي اسْتِحْبَابِهِ وكراهيته فمذهب أبو حنيفة إِلَى أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ، وَفِعْلُهُ أَوْلَى مِنْ تَرْكِهِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سُئِلَ عَنِ النَّثْرِ فَقَالَ: هِبَةٌ مُبَارَكَةٌ.
Al-Mawardi berkata: Adapun menaburkan gula dan almond pada acara pernikahan atau selainnya, seperti minyak wangi atau dirham, maka hukumnya mubah secara ijma‘, berdasarkan kebiasaan yang berlaku, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ ketika menikahkan Ali dengan Fathimah ra. menaburkan sesuatu kepada mereka. Namun, para fuqaha berbeda pendapat tentang dianjurkannya atau makruhnya hal itu. Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu mustahab, dan melakukannya lebih utama daripada meninggalkannya, berdasarkan riwayat bahwa Nabi ﷺ ditanya tentang menaburkan (makanan/hadiah), beliau bersabda: “Itu adalah pemberian yang penuh berkah.”
وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا، هُوَ مُبَاحٌ لَيْسَ بِمُسْتَحَبٍّ وَلَا مَكْرُوهٍ وَفِعْلُهُ وَتَرْكُهُ سَوَاءٌ، وَقَالَ سَائِرُ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ مَكْرُوهٌ وَتَرْكُهُ أَفْضَلُ مِنْ فِعْلِهِ لِأُمُورٍ:
Sebagian ulama kami berpendapat, hal itu mubah, tidak mustahab dan tidak makruh, baik dilakukan maupun ditinggalkan sama saja. Sedangkan mayoritas ulama kami, dan ini yang tampak dari mazhab Syafi‘i, berpendapat bahwa hal itu makruh, dan meninggalkannya lebih utama daripada melakukannya, karena beberapa alasan:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ قَدْ يُوقِعُ بَيْنَ النَّاسِ تَنَاهُبًا وَتَنَافُرًا وَمَا أَدَّى إِلَى ذَلِكَ فَهُوَ مَكْرُوهٌ.
Pertama: karena hal itu dapat menimbulkan perebutan dan permusuhan di antara manusia, dan segala sesuatu yang menyebabkan hal tersebut hukumnya makruh.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ لَا يَتَسَاوَى النَّاسُ فِيهِ وَرُبَّمَا حَازَ بَعْضُهُمْ أَكْثَرَهُ وَلَمْ يَصِلْ إِلَى آخَرِينَ شَيْءٌ مِنْهُ فَتَنَافَسُوا.
Kedua: karena bisa jadi tidak semua orang mendapat bagian yang sama, mungkin sebagian orang memperoleh lebih banyak dan sebagian lainnya tidak mendapatkan apa-apa, sehingga menimbulkan persaingan.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ قَدْ يَلْجَأُ النَّاسُ فيه إلى إسقاط المروآت إن أخذوا أو يتسلط عليهم السفاء إذا أَمْسَكُوا، وَقَدْ كَانَتِ الصَّحَابَةُ، وَمَنْ عَاصَرَ الرَّسُولَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أحفظ للمروآت وَأَبْعَدَ لِلتَّنَازُعِ وَالتَّنَافُسِ، فَلِذَلِكَ كُرِهَ النِّثَارُ بَعْدَهُمْ وَإِنْ لَمْ يُكْرَهْ فِي زَمَانِهِمْ وَعَادَةُ أَهْلِ المروآت فِي وَقْتِنَا أَنْ يَقْتَسِمُوا ذَلِكَ بَيْنَ مَنْ أَرَادُوا أَوْ يَحْمِلُوا إِلَى مَنَازِلِهِمْ فَيَخْرُجُ عَنْ حُكْمِ النَّثْرِ إِلَى الْهَدَايَا.
Ketiga: Bisa jadi orang-orang dalam hal ini terpaksa mengorbankan kehormatan mereka jika mereka mengambilnya, atau orang-orang bodoh akan menguasai mereka jika mereka menahan diri. Dahulu para sahabat dan orang-orang yang sezaman dengan Rasulullah ﷺ lebih menjaga kehormatan dan lebih jauh dari perselisihan serta saling bersaing. Oleh karena itu, nithar (menyebar-nyebarkan hadiah) menjadi makruh setelah mereka, meskipun tidak dimakruhkan pada zaman mereka. Adapun kebiasaan orang-orang yang menjaga kehormatan di zaman kita adalah membagi-bagikan hal itu di antara siapa saja yang mereka kehendaki, atau membawanya ke rumah mereka, sehingga keluar dari hukum nithar menjadi hadiah.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فِي النَّثْرِ فَمَنْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا وَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ فَقَدْ مَلَكَهُ وَكَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ أَكْلِهِ أَوْ حَمْلِهِ إِلَى مَنْزِلِهِ أَوْ بَيْعِهِ بِخِلَافِ طَعَامِ الْوَلِيمَةِ الَّذِي لَا يَمْلِكُ إِلَّا أَكْلَهُ فِي مَوْضِعِهِ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ فِي الْحَالَيْنِ، وَالْقَصْدِ الْمُفَرِّقِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ، فَأَمَّا مَا وَقَعَ مِنَ النَّثْرِ فِي حِجْرِ بَعْضِ الْحَاضِرِينَ، فَإِنَّهُ لَا يَمْلِكُهُ حَتَّى يَأْخُذَهُ بِيَدِهِ لَكِنَّهُ يَكُونُ أَوْلَى بِهِ مِنْ غَيْرِهِ فَإِنْ أَخَذَهُ غَيْرُهُ مَلَكَهُ الْآخِذُ، وَإِنْ أَسَاءَ كَمَا يَقُولُ فِي الصَّيْدِ، إِذَا دَخَلَ دَارَ رَجُلٍ كَانَ أَوْلَى بِهِ مِنْ غَيْرِهِ، فَإِنْ أَخَذَهُ غَيْرُهُ مَلَكَهُ آخِذُهُ، فَأَمَّا زَوَالُ مُلْكِ رَبِّهِ عنه ففيه وجهان:
Jika telah jelas apa yang kami jelaskan tentang nithar, maka siapa saja yang mengambil sesuatu darinya yang jatuh ke tanah, maka ia telah memilikinya dan ia boleh memilih antara memakannya, membawanya ke rumahnya, atau menjualnya. Berbeda dengan makanan walimah yang tidak boleh dimiliki kecuali untuk dimakan di tempatnya, berdasarkan ‘urf (kebiasaan) pada kedua keadaan tersebut, dan maksud yang membedakan antara keduanya. Adapun apa yang jatuh dari nithar ke pangkuan sebagian hadirin, maka ia belum memilikinya sampai ia mengambilnya dengan tangannya, namun ia lebih berhak atasnya daripada yang lain. Jika diambil oleh orang lain, maka yang mengambilnya lah yang memilikinya, meskipun ia berbuat tidak baik, sebagaimana dikatakan dalam masalah berburu: jika seseorang masuk ke rumah seseorang, maka ia lebih berhak atasnya daripada yang lain, namun jika diambil oleh orang lain, maka yang mengambilnya lah yang memilikinya. Adapun hilangnya kepemilikan pemiliknya atas barang tersebut, maka ada dua pendapat:
أحدهما: أن يَكُونُ نَثْرَهُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَصِيرُ ذَلِكَ مِلْكًا لِجَمَاعَتِهِمْ، وَلَا يَتَعَيَّنُ مِلْكُهُ لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ إِلَّا بِالْأَخْذِ.
Pertama: Bahwa dengan menebarkannya di antara orang-orang, maka barang itu menjadi milik bersama mereka, dan tidak menjadi milik salah satu dari mereka kecuali dengan pengambilan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ بَاقٍ عَلَى مِلْكِ صَاحِبِهِ حَتَّى يَلْتَقِطَهُ النَّاسُ فَيَمْلِكُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَا الْتَقَطَهُ فَيَزُولُ عَنْهُ مِلْكُ صَاحِبِهِ.
Pendapat kedua: Bahwa barang itu tetap menjadi milik pemiliknya sampai diambil oleh orang-orang, maka setiap orang yang mengambilnya menjadi pemilik atas apa yang diambilnya, sehingga hilanglah kepemilikan pemilik sebelumnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا الْتِقَاطُ النَّثْرِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَرَاهِيَتِهِ مَعَ إِجْمَاعِهِمْ عَلَى جَوَازِهِ فَلَهُمْ فِيهِ وَجْهَانِ:
Adapun mengambil nithar, para ulama kami berbeda pendapat tentang kemakruhannya meskipun mereka sepakat atas kebolehannya. Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَكْرُوهٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ: لِأَنَّهُ قَدْ يَأْخُذُ مَنْ غَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَى صَاحِبِهِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَلْزَمُهُمُ الْتِقَاطٌ؛ لِأَنَّ فِعْلَ الْمَكْرُوهِ لَا يَلْزَمُ.
Pertama: Bahwa hal itu makruh. Imam Syafi‘i berkata: Karena bisa jadi yang mengambilnya bukan orang yang paling disukai oleh pemiliknya. Maka berdasarkan pendapat ini, tidak wajib mengambilnya, karena melakukan hal yang makruh tidaklah wajib.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ بِمَكْرُوهٍ إِذَا كَانَ الْمُلْتَقِطُ مَدْعُوًّا كَمَا لَا يُكْرَهُ أَكْلُ طَعَامِ الْوَلِيمَةِ لِلْمَدْعُوِّ، وَإِنْ جَازَ أَنْ يَأْكُلَهُ مَنْ غَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَى صَاحِبِهِ، فَعَلَى هَذَا لَا يَجِبُ الِالْتِقَاطُ عَلَى أَعْيَانِ الْحَاضِرِينَ؛ لِأَنَّهُ تَمَلُّكٌ مَحْضٌ فَجَرَى مَجْرَى الْهِبَةِ فِي وُجُوبِهِ عَلَى الْكَافَّةِ وَجْهَانِ:
Pendapat kedua: Bahwa hal itu tidak makruh jika yang mengambil adalah orang yang diundang, sebagaimana tidak dimakruhkan makan makanan walimah bagi yang diundang, meskipun boleh jadi yang memakannya bukan orang yang paling disukai oleh pemiliknya. Maka berdasarkan pendapat ini, tidak wajib mengambilnya bagi setiap hadirin, karena itu adalah bentuk kepemilikan murni, sehingga hukumnya seperti hibah dalam kewajibannya atas semua orang, ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَجِبُ تَعْلِيلًا بِالْهِبَةِ، فَإِنْ تَرَكُوهُ جَمِيعًا جَازَ.
Pertama: Tidak wajib, dengan alasan seperti hibah. Jika mereka semua meninggalkannya, maka itu boleh.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ لِمَا فِي تَرْكِ جَمِيعِهِمْ لَهُ مِنْ ظُهُورِ الْمُقَاطَعَةِ وَانْكِسَارِ نَفْسِ الْمَالِكِ، فَعَلَى هَذَا إِذَا الْتَقَطَهُ بَعْضُهُمْ سَقَطَ فَرْضُهُ عَنِ الْبَاقِينَ وَكَذَلِكَ، وَلَوِ الْتَقَطَ بَعْضُ الْحَاضِرِينَ بَعْضَ الْمَنْثُورِ، وَبَقِيَ بَعْضُ الْحَاضِرِينَ وَبَعْضُ الْمَنْثُورِ سَقَطَ عَنْهُمْ فَرْضُ الْتِقَاطِهِ، وَإِنْ كَانَ جَمِيعُهُ بَاقِيًا خَرَجُوا بِتَرْكِهِ أَجْمَعِينَ ثُمَّ النَّثْرُ مُخْتَصٌّ فِي الْعُرْفِ بِالنِّكَاحِ، وَإِنْ كَانَ مُسْتَعْمَلًا فِي غَيْرِهِ كَالْوَلِيمَةِ فِي اخْتِصَاصِهَا بِعُرْسِ النِّكَاحِ، وَإِنِ اسْتُعْمِلَتْ فِي غَيْرِهِ كَمَا أَنَّ الْأَغْلَبَ فِيهِ نَثْرُ اللَّوْزِ وَالسُّكَّرِ وَإِنْ نَثَرَ قَوْمٌ غَيْرَ ذَلِكَ.
Pendapat kedua: Bahwa itu termasuk fardhu kifayah, karena jika semuanya meninggalkannya akan tampak sikap saling memutuskan hubungan dan membuat pemiliknya merasa tersinggung. Maka berdasarkan pendapat ini, jika sebagian dari mereka mengambilnya, gugurlah kewajiban dari yang lain. Demikian pula, jika sebagian hadirin mengambil sebagian dari nithar, dan sebagian hadirin serta sebagian nithar masih tersisa, maka kewajiban mengambilnya telah gugur dari mereka. Namun jika seluruhnya masih tersisa dan semuanya meninggalkannya, maka mereka telah keluar dari kewajiban. Kemudian, nithar secara ‘urf dikhususkan pada pernikahan, meskipun digunakan juga pada selainnya seperti walimah, namun tetap khusus pada pesta pernikahan. Walaupun kadang digunakan pada selainnya, sebagaimana umumnya yang ditebarkan adalah kacang almond dan gula, meskipun ada juga yang menebarkan selain itu.
حُكِيَ أَنَّ أَعْرَابِيًّا تَزَوَّجَ فَنَثَرَ عَلَى نَفْسِهِ الزَّبِيبَ لِإِعْوَازِ السُّكَّرِ وَأَنْشَأَ يَقُولُ:
Diriwayatkan bahwa seorang Arab Badui menikah lalu menebarkan kismis di atas dirinya sendiri karena tidak ada gula, dan ia bersyair:
(وَلَمَّا رَأَيْتُ السُّكَّرَ الْعَامَ قَدْ غَلَا … وَأَيْقَنْتُ أَنِّي لَا مَحَالَةَ نَاكِحُ)
“Ketika aku melihat harga gula tahun ini telah naik,
dan aku yakin pasti akan menikah.”
(صَبَبْتُ عَلَى رَأْسِي الزَّبِيبَ لِصُحْبَتِي … وَقُلْتُ كُلُوا أَكْلَ الْحَلَاوَةِ صَالِحُ)
“Aku taburkan kismis di atas kepalaku untuk teman-temanku,
dan aku berkata: ‘Makanlah seperti makan manisan yang baik!’”
مختصر القسم ونشوز الرجل على المرأة من الجامع ومن كتاب عشرة النساء ومن كتاب نشوز المرأة على الرجل ومن كتاب الطلاق من أحكام القرآن ومن الإملاء
Ringkasan tentang bab al-qism (pembagian giliran) dan nusyuz suami terhadap istri dari al-Jāmi‘, dari Kitāb ‘Ashrat an-Nisā’, dari Kitāb Nusyūz al-Mar’ah ‘ala ar-Rajul, dan dari Kitāb ath-Thalāq dalam Ahkām al-Qur’ān serta dari al-Imlā’.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {وَلَهُنَّ مِثْلُ الِّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ) {البقرة: 228) (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَجِمَاعُ الْمَعْرُوفِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ كَفُّ الْمَكْرُوهِ وَإِعْفَاءُ صَاحِبِ الْحَقِّ مِنَ الْمُؤْنَةِ فِي طَلَبِهِ لَا بِإِظْهَارِ الْكَرَاهِيَةِ فِي تَأْدِيَتِهِ فَأَيُّهُمَا مَطَلَ بِتَأْخِيرِهِ فَمَطْلُ الْغَنِيِّ ظلمٌ “.
Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: “Allah Tabāraka wa Ta‘ālā berfirman: {Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf} (al-Baqarah: 228). (Asy-Syāfi‘ī berkata:) Inti dari makruf antara suami istri adalah menahan diri dari hal yang tidak disukai dan membebaskan pemilik hak dari kesulitan dalam menuntut haknya, bukan dengan menampakkan kebencian dalam menunaikannya. Maka siapa pun di antara keduanya yang menunda dengan menangguhkan hak, maka penundaan oleh orang yang mampu adalah kezaliman.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ لِلزَّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا حَقًّا حَظَرَ عَلَيْهِ النُّشُوزَ عَنْهُ كَمَا أَوْجَبَ لَهُ عَلَيْهَا مِنْ ذَلِكَ حَقًّا حَظَرَ عَلَيْهَا النُّشُوزَ عَنْهُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ) {الأحزاب: 50) . إِشَارَةً إِلَى مَا أَوْجَبَهُ لَهَا مِنْ كُسْوَةٍ وَنَفَقَةٍ، وَقَسْمٍ، قَالَ تَعَالَى: {وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ) {النساء: 19) . فَكَانَ مِنْ عِشْرَتِهَا بِالْمَعْرُوفِ تَأْدِيَةُ حَقِّهَا وَالتَّعْدِيلُ بينهما، وَبَيْنَ غَيْرِهَا فِي قَسْمِهَا قَالَ تَعَالَى: {وَلَنْ تَسْتَطيِعُواْ أَنْ تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالمُعَلَقَةِ} (النساء: 129) . وَقَالَ تَعَالَى: {وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوفِ) {البقرة: 228) . فَبَيَّنَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ لَهُنَّ حَقًّا، وَأَنَّ عَلَيْهِنَّ حَقًّا، وَلَمْ يُرِدْ بِقَوْلِهِ: {وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ) {البقرة: 228) فِي تَجَانُسِ الْحَقَّيْنِ وَتَمَاثُلِهِمَا، وَإِنَّمَا أَرَادَ فِي وُجُوبِهِمَا وَلُزُومِهِمَا فَكَانَ مِنْ حَقِّهَا عَلَيْهِ وُجُوبُ السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ وَالْكُسْوَةِ.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa Allah Ta‘ālā telah mewajibkan bagi istri atas suaminya suatu hak dan melarang suami berbuat nusyuz terhadapnya, sebagaimana Dia juga mewajibkan bagi suami atas istrinya suatu hak dan melarang istri berbuat nusyuz terhadapnya. Allah Ta‘ālā berfirman: {Kami telah mengetahui apa yang telah Kami wajibkan atas mereka mengenai istri-istri mereka} (al-Ahzāb: 50), sebagai isyarat kepada apa yang telah Dia wajibkan untuk istri berupa pakaian, nafkah, dan pembagian giliran. Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan bergaullah dengan mereka secara makruf} (an-Nisā’: 19). Maka termasuk dalam bergaul secara makruf adalah menunaikan hak istri dan berlaku adil antara istri-istri dalam pembagian giliran. Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung} (an-Nisā’: 129). Dan Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf} (al-Baqarah: 228). Maka Allah Ta‘ālā telah menjelaskan bahwa mereka (para istri) memiliki hak, dan atas mereka juga ada kewajiban. Namun, maksud firman-Nya: {Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya} (al-Baqarah: 228) bukanlah kesamaan jenis dan bentuk kedua hak tersebut, melainkan dalam hal kewajiban dan keharusan menunaikannya. Maka termasuk hak istri atas suami adalah kewajiban tempat tinggal, nafkah, dan pakaian.
ثُمَّ فَسَّرَ الشَّافِعِيُّ قَوْلَهُ بِالْمَعْرُوفِ: فَقَالَ: ” وَجِمَاعُ الْمَعْرُوفِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ كَفُّ الْمَكْرُوهِ، وَإِعْفَاءُ صَاحِبِ الْحَقِّ مِنَ الْمُؤْنَةِ فِي طَلَبِهِ “.
Kemudian asy-Syāfi‘ī menafsirkan makna “makruf” dengan berkata: “Inti dari makruf antara suami istri adalah menahan diri dari hal yang tidak disukai, dan membebaskan pemilik hak dari kesulitan dalam menuntut haknya.”
وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّهُ لَيْسَ فِعْلُ الْمَكْرُوهِ مِنَ الْمَعْرُوفِ الْمَأْمُورِ بِهِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَلَا إِلْزَامُ الْمُؤْنَةِ فِي اسْتِيفَاءِ الْحَقِّ مَعْرُوفٌ.
Dan ini benar, karena melakukan hal yang tidak disukai bukanlah bagian dari makruf yang diperintahkan antara suami istri, begitu pula mewajibkan kesulitan dalam menunaikan hak bukanlah makruf.
ثُمَّ قَالَ: ” لَا بِإِظْهَارِ الْكَرَاهِيَةِ فِي تَأْدِيَتِهِ “.
Kemudian beliau berkata: “Bukan dengan menampakkan kebencian dalam menunaikannya.”
وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ تَأْدِيَةَ الْحَقِّ بِالْكَرَاهِيَةِ وَعُبُوسَ الْوَجْهِ وَغَلِيظَ الْكَلَامِ لَيْسَ مِنَ الْمَعْرُوفِ.
Dan ini benar, karena menunaikan hak dengan kebencian, wajah masam, dan ucapan yang kasar bukanlah termasuk makruf.
ثُمَّ قَالَ: ” فَأَيُّهُمَا مَطَلَ فَمَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ “.
Kemudian beliau berkata: “Maka siapa pun di antara keduanya yang menunda, maka penundaan oleh orang yang mampu adalah kezaliman.”
وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ الْقَادِرَ عَلَى أَدَاءِ الْحَقِّ ظَالِمٌ بِتَأْخِيرِهِ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ ” ثُمَّ يَدُلُّ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ طَرِيقِ السُّنَّةِ مَا رَوَى مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ صَدَقَةَ بْنِ يَسَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قال: ” أيها الناس إن النساء عندكم عوان أخذتموهن بأمانة الله استحللتم فروجن بِكَلِمَةِ اللَّهِ فَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ حَقٌّ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ حَقٌّ وَمِنْ حَقِّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا وَلَا يَعْصِينَكُمْ فِي مَعْرُوفٍ، فَإِذَا فَعَلْنَ ذَلِكَ فَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ” فَكَانَ الْقَسْمُ مِنْ جُمْلَةِ الْمَعْرُوفِ الَّذِي لَهُنَّ.
Dan ini benar, karena orang yang mampu menunaikan hak tetapi menundanya adalah zalim. Nabi ﷺ bersabda: “Penundaan oleh orang yang mampu adalah kezaliman.” Kemudian, yang menunjukkan apa yang telah kami sebutkan dari jalur sunnah adalah riwayat dari Mūsā bin ‘Uqbah dari Shadaqah bin Yasār dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya para wanita adalah tawanan di sisi kalian, kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka bagi kalian atas mereka ada hak, dan bagi mereka atas kalian ada hak. Di antara hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang menginjak tempat tidur kalian dan tidak mendurhakai kalian dalam perkara yang makruf. Jika mereka melakukan itu, maka bagi mereka rezeki dan pakaian mereka dengan cara yang makruf.” Maka pembagian giliran termasuk bagian dari makruf yang menjadi hak mereka.
وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إلى إحداهما جاء يوم القيامة وشقه مائل “.
Dan telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa memiliki dua istri lalu lebih condong kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan sisi tubuhnya yang miring.”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته ” فالرجل راع لأهله وهو مسؤول عَنْهُمْ.
Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” Maka laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ، وَيَقُولُ: ” اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تُؤَاخِذْنِي فِيمَا لَا أَمْلِكُ ” يَعْنِي قَلْبَهُ.
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau membagi giliran di antara istri-istrinya, dan beliau bersabda: “Ya Allah, inilah pembagianku dalam hal yang aku kuasai, maka janganlah Engkau mencelaku dalam hal yang tidak aku kuasai,” maksudnya adalah hatinya.
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا مَرِضَ طِيفَ بِهِ عَلَى نِسَائِهِ مَحْمُولًا فَلَمَّا ثَقُلَ أَشْفَقْنَ عَلَيْهِ فَحَلَلْنَهُ مِنَ الْقَسْمِ ليقم عند عائشة رضي الله تعالى عنه لِمَيْلِهِ إِلَيْهَا فَتُوُفِّيَ عِنْدَهَا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلِذَلِكَ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بَيْنَ سَحْرِي وَنَحْرِي، وَفِي يَوْمِي وَلَمْ أَظْلِمْ فِيهِ أَحَدًا، فَدَلَّ هَذَا عَلَى وُجُوبِ الْقَسْمِ وتغليظ حكمه.
Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ ketika beliau sakit, beliau dibawa berkeliling kepada istri-istrinya dalam keadaan dipapah. Ketika sakitnya semakin berat, para istri beliau merasa kasihan kepadanya, lalu mereka membebaskan beliau dari kewajiban pembagian giliran agar beliau tinggal di rumah ‘Aisyah ra. karena kecenderungan beliau kepada ‘Aisyah. Maka beliau wafat di rumahnya ﷺ. Oleh karena itu, ‘Aisyah ra. berkata, “Rasulullah ﷺ wafat di antara dada dan leherku, pada hariku, dan aku tidak menzalimi seorang pun pada hari itu.” Hal ini menunjukkan wajibnya pembagian giliran dan beratnya hukumnya.
فَصْلٌ
Fashl (Pembahasan)
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْقَسْمِ فَلِوُجُوبِهِ شَرْطَانِ.
Jika telah tetap kewajiban pembagian giliran, maka untuk kewajiban tersebut terdapat dua syarat.
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لَهُ زَوْجَتَانِ فَأَكْثَرُ لِيَصِحَّ وُجُوبُ التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمَا بِالْقَسْمِ فَإِنْ كَانَ لَهُ زَوْجَةٌ وَاحِدَةٌ فَلَا قَسْمَ عَلَيْهِ، وَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُقِيمَ مَعَهَا فَهُوَ أَوْلَى بِهِ لِأَنَّهُ أَحْصَنُ لَهَا، وَأَغَضُّ لِطَرْفِهَا، وَبَيْنَ أَنْ يعتزلا فَلَا مُطَالَبَةَ لَهَا.
Salah satunya: Hendaknya ia memiliki dua istri atau lebih agar sah kewajiban menyamakan di antara mereka dalam pembagian giliran. Jika ia hanya memiliki satu istri, maka tidak ada kewajiban pembagian giliran atasnya, dan ia bebas memilih antara tinggal bersamanya—dan itu lebih utama karena lebih menjaga kehormatannya dan lebih menundukkan pandangannya—atau berpisah darinya, maka tidak ada tuntutan bagi istrinya.
وَالشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ الْمُقَامَ عِنْدَ إِحْدَاهُمَا فَيَلْزَمُهُ بِذَلِكَ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَ الْأُخْرَى مِثْلَ مَا أَقَامَ عِنْدَهَا تَسْوِيَةً بَيْنَهُمَا فَيَلْزَمُهُ حِينَئِذٍ الْقَسْمُ بَيْنَهُمَا، فَأَمَّا إِنِ اعْتَزَلَهُمَا سَقَطَ الْقَسْمُ بَيْنَهُمَا، لِأَنَّهُ قَدْ سَوَّى بَيْنَهُمَا فِي الِاعْتِزَالِ لَهُمَا كَمَا سَوَّى بَيْنَهُمَا فِي الْقَسْمِ لَهُمَا فَلَمْ يَجُزِ الْمَيْلُ إِلَى إحداهما، والله أعلم.
Syarat kedua: Hendaknya ia berniat tinggal di salah satu dari keduanya, maka wajib baginya untuk tinggal di istri yang lain sebagaimana ia tinggal di yang pertama, sebagai bentuk penyamaan di antara keduanya. Maka ketika itu wajib baginya membagi giliran di antara keduanya. Adapun jika ia menjauhi keduanya, maka gugurlah kewajiban pembagian giliran di antara mereka, karena ia telah menyamakan keduanya dalam hal menjauhi sebagaimana ia menyamakan keduanya dalam pembagian giliran. Maka tidak boleh condong kepada salah satunya. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وتوفي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – عَنْ تِسْعٍ وَكَانَ يَقْسِمُ لثمانٍ وَوَهَبَتْ سَوْدَةُ يَوْمَهَا لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُنَّ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَبِهَذَا نَقُولُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Rasulullah ﷺ wafat meninggalkan sembilan istri, dan beliau membagi giliran untuk delapan istri. Saudah memberikan harinya kepada ‘Aisyah ra. (Imam Syafi‘i berkata) dan dengan ini kami berpendapat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الْقَسْمَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ يَجِبُ بِالْمُطَالَبَةِ، وَيَسْقُطُ بِالْعَفْوِ، وَلَا يَجُوزُ الْمُعَارَضَةُ عَلَى تَرْكِهِ كَالشُّفْعَةِ، وَيَجُوزُ هِبَتُهُ لِمَا رُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَاتَ عَنْ تِسْعِ زَوْجَاتٍ، وَكَانَ يَقْسِمُ لِثَمَانٍ مِنْهُنَّ، لِأَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ أَرَادَ طَلَاقَهَا لِعُلُوِّ سِنِّهَا، وَاسْتِثْقَالِ الْقَسْمِ لَهَا فَلَمَّا عَلِمَتْ ذَلِكَ أَتَتْهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَحْبَبْتُ أَنْ أُحْشَرَ فِي جُمْلَةِ نِسَائِكَ، فَأَمْسِكْنِي فَقَدْ وَهَبْتُ يَوْمِي مِنْكَ لِعَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – تُرِيدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَيْهِ لِعِلْمِهَا بِشِدَّةِ مَيْلِهِ إِلَى عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عنها – فصار يقسم لعائشة – رضي الله عَنْهَا – يَوْمَيْنِ يَوْمَهَا وَيَوْمَ سَوْدَةَ، وَيَقْسِمُ لِغَيْرِهَا مِنْ نِسَائِهِ يَوْمًا يَوْمًا.
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa pembagian giliran termasuk hak-hak manusia yang wajib dipenuhi jika diminta, dan gugur jika dimaafkan, serta tidak boleh dipersengketakan untuk ditinggalkan seperti hak syuf‘ah, dan boleh dihibahkan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ wafat meninggalkan sembilan istri, dan beliau membagi giliran untuk delapan di antara mereka, karena Saudah binti Zam‘ah ingin dicerai karena usianya yang sudah lanjut dan merasa berat dengan pembagian giliran. Ketika ia mengetahui hal itu, ia mendatangi beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin dikumpulkan bersama istri-istrimu (di akhirat), maka pertahankanlah aku, sungguh aku telah menghibahkan hariku kepadamu untuk ‘Aisyah ra.” Ia melakukan itu untuk mendekatkan diri kepada beliau karena ia tahu besarnya kecenderungan beliau kepada ‘Aisyah ra. Maka beliau membagi giliran kepada ‘Aisyah ra. dua hari, yaitu hari miliknya dan hari milik Saudah, dan membagi kepada istri-istri beliau yang lain satu hari satu hari.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَنَزَلَ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى: {فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ) {النساء: 128) . فَدَلَّ هَذَا الْخَبَرُ عَلَى وُجُوبِ الْقَسْمِ، وَدَلَّ عَلَى جَوَازِ هِبَتِهِ.
Ibnu ‘Abbas berkata: Maka turunlah ayat tentang hal itu, firman Allah Ta‘ala: {Maka tidak ada dosa bagi keduanya jika keduanya mengadakan perdamaian di antara mereka berdua, dan perdamaian itu lebih baik} (an-Nisā’: 128). Maka hadis ini menunjukkan wajibnya pembagian giliran, dan juga menunjukkan bolehnya menghibahkan giliran.
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ الْقَسْمِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَعَ إِجْمَاعِهِمْ عَلَى وُجُوبِ الْقَسْمِ عَلَى أُمَّتِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang kewajiban pembagian giliran atas Rasulullah ﷺ, meskipun mereka sepakat atas kewajiban pembagian giliran atas umatnya, menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: كَانَ وَاجِبًا عَلَيْهِ لِهَذَا الْخَبَرِ، وَلِمَا رَوَيْنَاهُ أَنَّهُ كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَهُنَّ، وَيَقُولُ ” اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تُؤَاخِذْنِي فِيمَا لَا أَمْلِكُ يَعْنِي قَلْبَهُ وَطِيفَ بِهِ فِي مَرَضِهِ عَلَى نِسَائِهِ مَحْمُولًا حَتَّى حَلَلْنَهُ مِنَ الْقَسْمِ، فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْقَسْمِ عَلَيْهِ، وَعَلَى جَمِيعِ أُمَّتِهِ.
Yang pertama: Itu adalah wajib baginya berdasarkan hadis ini, dan juga berdasarkan riwayat yang kami sebutkan bahwa beliau membagi giliran di antara istri-istrinya, dan beliau berkata, “Ya Allah, inilah pembagianku dalam hal yang aku kuasai, maka janganlah Engkau mencelaku dalam hal yang tidak aku kuasai,” yang dimaksud adalah hatinya. Dan beliau dipindahkan dalam keadaan sakitnya kepada para istrinya dengan dipapah hingga kami membebaskannya dari kewajiban pembagian giliran. Ini menunjukkan wajibnya pembagian giliran atas beliau, dan juga atas seluruh umatnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ وَاجِبًا عَلَى أُمَّتِهِ، وَهَذَا قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {تُرْجِي مَنْ تَشَاءُ مِنْهُنَّ وَتُؤْوِي إِلَيْكَ مِنَ تَشَاءُ} (الأحزاب: 51) . وَلِأَنَّ وُجُوبَ الْقَسْمِ عَلَيْهِ يَقْطَعُهُ عَلَى التَّشَاغُلِ بِتَبْلِيغِ الرِّسَالَةِ، وَتَوَقُّعِ الْوَحْيِ، وَبِهَذَا الْمَعْنَى فَارَقَ جَمِيعَ أُمَّتِهِ.
Pendapat kedua: Bahwa itu tidak wajib atas beliau, meskipun wajib atas umatnya. Ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Engkau boleh menangguhkan siapa yang engkau kehendaki di antara mereka dan engkau boleh mendekatkan kepadamu siapa yang engkau kehendaki} (al-Ahzab: 51). Dan karena kewajiban pembagian giliran atas beliau akan menghalangi beliau dari kesibukan menyampaikan risalah dan menanti wahyu, dan dengan makna ini beliau berbeda dari seluruh umatnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا اسْتَقَرَّ بِمَا ذَكَرْنَا أَنَّ هِبَةَ الْقَسْمِ جَائِزَةٌ فَإِنَّمَا تَجُوزُ بِرِضَا الزَّوْجِ، لِأَنَّ لَهُ حَقَّ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فَلَمْ يَكُنْ لَهَا أَنْ تَنْفَرِدَ بِإِسْقَاطِ حَقِّهِ مِنْهَا إِلَّا بِرِضَاهُ فَإِذَا رَضِيَ بِهِبَتِهَا صَارَ مُسْقِطًا لِحَقِّهِ فِي الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فَتُعْتَبَرُ حِينَئِذٍ حَالُ هِبَتِهَا فَإِنَّهَا لَا تَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Jika telah tetap sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa hibah giliran itu diperbolehkan, maka hal itu hanya sah dengan kerelaan suami, karena suami memiliki hak istimta‘ (bersenang-senang) dengannya, sehingga istri tidak boleh secara sepihak menggugurkan hak suami atas dirinya kecuali dengan kerelaannya. Jika suami rela dengan hibahnya, maka ia telah menggugurkan haknya dalam istimta‘ dengannya. Maka saat itu keadaan hibahnya perlu diperhatikan, karena hibah tersebut tidak lepas dari tiga bentuk:
أَحَدُهَا: أَنْ تَهَبَ ذَلِكَ لِامْرَأَةٍ بِعَيْنِهَا مِنْ نِسَائِهِ.
Pertama: Ia menghibahkan giliran tersebut kepada salah satu istri suaminya secara khusus.
وَالثَّانِي: أَنْ تَهَبَ ذَلِكَ لِجَمِيعِهِنَّ.
Kedua: Ia menghibahkan giliran tersebut kepada seluruh istri suaminya.
وَالثَّالِثُ: أَنْ تَهَبَ ذَلِكَ لِلزَّوْجِ فَإِنْ وَهَبَتْ قَسْمَهَا لِامْرَأَةٍ بِعَيْنِهَا كَمَا وَهَبَتْ سَوْدَةُ يَوْمَهَا لعائشة – رضي الله تعالى عنها – جاز ولم يعتبر فيه رضى الْمَوْهُوبِ لَهَا فِي تَمْكِينِ الزَّوْجِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا كَمَا لَا يُرَاعَى ذَلِكَ فِي زَمَانِ نَفْسِهَا فَيَصِيرُ لَهَا يَوْمُ نَفْسِهَا، وَيَوْمُ الْوَاهِبَةِ وَهَلْ يَجْمَعُ الزَّوْجُ لَهَا بَيْنَ الْيَوْمَيْنِ أَوْ تَكُونُ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الِافْتِرَاقِ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Ketiga: Ia menghibahkan giliran tersebut kepada suaminya. Jika ia menghibahkan gilirannya kepada salah satu istri secara khusus, sebagaimana Saudah menghibahkan harinya kepada ‘Aisyah – raḍiyallāhu ta‘ālā ‘anhā – maka itu sah dan tidak disyaratkan kerelaan pihak yang menerima hibah dalam hal memberikan kesempatan kepada suami untuk istimta‘ dengannya, sebagaimana hal itu juga tidak diperhatikan pada waktu haidnya. Maka ia mendapatkan hari haidnya dan hari pemberi hibah. Apakah suami mengumpulkan kedua hari itu untuknya atau tetap seperti semula dengan pemisahan, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَجْمَعُ لَهَا بَيْنَهُمَا وَلَا يُفَرِّقُهُمَا كَمَا لَا يُفَرِّقُ عَلَيْهَا يَوْمَهَا.
Yang pertama: Suami mengumpulkan kedua hari itu untuknya dan tidak memisahkannya, sebagaimana ia tidak memisahkan hari miliknya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْيَوْمَانِ عَلَى تَفْرِيقِهِمَا يَخْتَصُّ بِيَوْمِ نَفْسِهَا فَإِذَا جَاءَ يَوْمُ الْوَاهِبَةِ عَلَى تَرْتِيبِهِ جَعَلَهُ لَهَا وَلَمْ يَجْمَعْ بَيْنَهُمَا إِذَا كَانَا فِي التَّرْتِيبِ مُفْتَرِقَيْنِ، لِأَنَّهَا قَدْ أُقِيمَتْ فِيهِ مَقَامَ الْوَاهِبَةِ فَلَمْ يَعْدِلْ بِهِ عَنْ زَمَانِهِ كَمَا لَا يَعْدِلُ بِهِ عَنْ مِقْدَارِهِ، وَهَذَا أَشْبَهُ وَأَمَّا إِنْ وَهَبَتْ يَوْمَهَا لِجَمِيعِ نِسَائِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ تَخُصَّ بِهِ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ بِعَيْنِهَا فَيَسْقُطُ حَقُّهَا مِنَ الْقَسْمِ وَلَا يَتَعَيَّنُ بِهِ قَسْمُ غَيْرِهَا، وَيَكُونُ حَالُ الْقَسْمِ بَعْدَ هِبَتِهَا كَحَالِهِ لَوْ عَدِمَتْ فَيَصِيرُ مُؤَثِّرًا فِي إِسْقَاطِ حَقِّهَا، وَلَا يُؤَثِّرُ فِي زِيَادَةِ حَقِّ غَيْرِهَا، وَإِنَّمَا يَخْتَصُّ تَأْثِيرُهُ إِذَا كُنَّ مَعَ الْوَاهِبَةِ أَرْبَعًا إِنْ كَانَ يَعُودُ يَوْمُ كُلِّ وَاحِدَةٍ بَعْدَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَصَارَ يَعُودُ بَعْدَ يَوْمَيْنِ وَأَمَّا إِنْ وَهَبَتْ يَوْمَهَا لِزَوْجِهَا فَلَهُ أَنْ يَجْعَلَ يَوْمَهَا لِمَنْ أَرَادَ مِنْ نِسَائِهِ، فَإِذَا جَعَلَهُ لِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِعَيْنِهَا اخْتَصَّتْ بِالْيَوْمَيْنِ دُونَ غَيْرِهَا، وَفِي جَمْعِهِ وَتَفْرِقَتِهِ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ فَلَوْ أَرَادَ الزَّوْجُ أَنْ يَنْقُلَ يَوْمَ الْهِبَةِ فِي كُلِّ نَوْبَةٍ إِلَى أُخْرَى جَازَ فَيَجْعَلُ يَوْمَ الْهِبَةِ فِي هَذِهِ النَّوْبَةِ لِعَمْرَةَ وَفِي النَّوْبَةِ الْأُخْرَى لِحَفْصَةَ وَفِي النَّوْبَةِ الثَّالِثَةِ لِهِنْدٍ فَيَكُونُ ذَلِكَ مَحْمُولًا عَلَى خِيَارِهِ، لِأَنَّهَا هِبَةٌ فَجَازَ أَنْ يَخْتَصَّ بِهَا مَنْ شَاءَ.
Pendapat kedua: Kedua hari itu tetap terpisah, ia hanya mendapatkan hari miliknya, dan jika tiba hari pemberi hibah sesuai urutannya maka hari itu diberikan kepadanya, dan tidak digabungkan jika dalam urutan jadwalnya terpisah, karena ia telah menempati posisi pemberi hibah pada hari itu sehingga tidak dialihkan dari waktunya, sebagaimana tidak dialihkan dari jumlah harinya. Dan ini lebih mendekati. Adapun jika ia menghibahkan harinya kepada seluruh istri suaminya tanpa mengkhususkan salah satu dari mereka, maka gugurlah haknya atas pembagian giliran dan tidak menjadi hak istri lain secara khusus, dan keadaan pembagian setelah hibahnya seperti jika ia tidak ada, sehingga hanya berpengaruh pada gugurnya haknya, dan tidak berpengaruh pada bertambahnya hak istri lain. Pengaruhnya hanya khusus jika bersama pemberi hibah ada empat istri, di mana hari masing-masing kembali setelah tiga hari, maka setelah hibah menjadi kembali setelah dua hari. Adapun jika ia menghibahkan harinya kepada suaminya, maka suami boleh memberikan harinya kepada siapa saja dari istri-istrinya yang ia kehendaki. Jika suami memberikannya kepada salah satu istri secara khusus, maka istri tersebut berhak atas dua hari, dan dalam hal penggabungan atau pemisahannya berlaku dua pendapat yang telah disebutkan. Jika suami ingin memindahkan hari hibah pada setiap giliran kepada istri yang berbeda, maka itu boleh, misalnya hari hibah pada giliran ini untuk ‘Amrah, pada giliran berikutnya untuk Hafshah, dan pada giliran ketiga untuk Hindun. Maka hal itu tergantung pada pilihannya, karena itu adalah hibah, sehingga boleh diberikan kepada siapa saja yang ia kehendaki.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا رَجَعَتِ الْوَاهِبَةُ فِي هبتها، وطالبت الزوج بالقسم لها سقط حقا فِيمَا مَضَى، لِأَنَّهُ مَقْبُوضٌ وَقَسَمَ لَهَا فِي الْمُسْتَقْبَلِ، لِأَنَّهَا رَجَعَتْ فِي هِبَةٍ لَمْ تُقْضَ فَلَوْ رَجَعَتْ فِي تَضَاعِيفِ يَوْمِهَا، وَقَدْ مَضَى بَعْضُهُ كَانَتْ أَحَقَّ بِبَاقِيهِ مِنَ الَّتِي صَارَ لَهَا وَعَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَنْتَقِلَ فِيهِ إِلَيْهَا، فَلَوْ رَجَعَتِ الْوَاهِبَةُ فِي يَوْمِهَا، وَلَمْ يَعْلَمِ الزَّوْجُ بِرُجُوعِهَا حَتَّى مَضَى عَلَيْهِ زَمَانٌ ثُمَّ علم قال الشافعي: ” لم يقضيها مَا فَاتَ قَبْلَ عِلْمِهِ، وَاسْتَحَقَّتْ عَلَيْهِ الْقَسْمَ مِنْ وَقْتِ عِلْمِهِ “.
Jika wanita yang telah memberikan hibah (hari gilirannya) itu menarik kembali hibahnya dan menuntut suaminya untuk memberikan giliran kepadanya, maka haknya atas apa yang telah lalu gugur, karena itu sudah diterima dan telah berlalu, namun ia berhak atas giliran di masa mendatang, karena ia menarik kembali hibah atas giliran yang belum dijalankan. Jika ia menarik kembali hibah di tengah-tengah harinya, sementara sebagian harinya telah berlalu, maka ia lebih berhak atas sisa harinya dibandingkan istri yang telah mendapatkannya, dan suami wajib berpindah kepadanya pada sisa hari itu. Jika wanita yang menghibahkan hari gilirannya menarik kembali hibahnya pada harinya, namun suami tidak mengetahui penarikan itu hingga waktu berlalu, lalu ia baru mengetahuinya, Imam Syafi‘i berkata: “Ia tidak wajib mengganti waktu yang telah lewat sebelum ia mengetahui, dan ia berhak atas giliran sejak saat suami mengetahui penarikan hibah tersebut.”
وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّهُ لَمْ يقصد الممايلة لغيرها.
Dan ini benar, karena suami tidak bermaksud memihak kepada istri yang lain.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَيُجْبَرُ عَلَى الْقَسْمِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan suami dipaksa untuk melakukan pembagian giliran.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ وُجُوبَ الْقَسْمِ مُعْتَبَرٌ بِشَرْطَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa kewajiban pembagian giliran itu bergantung pada dua syarat:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لَهُ زَوْجَتَانِ فَصَاعِدًا.
Pertama: Suami memiliki dua istri atau lebih.
وَالثَّانِي: أَنْ يُرِيدَ الْمُقَامَ عِنْدَ بَعْضِهِنَّ فَإِذَا وَجَبَ الْقَسْمُ لَهُنَّ أُجْبِرَ عَلَيْهِ إِنِ امْتَنَعَ مِنْهُ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقْسِمَ، وَلَهُ زَوْجَتَانِ أَقَرَعَ بَيْنَهُمَا فِي الَّتِي يَبْدَأُ بِالْقَسْمِ لَهَا فَيَزُولُ عَنْهُ الْمَيْلُ.
Kedua: Suami ingin tinggal (bermukim) di salah satu dari mereka. Jika pembagian giliran telah menjadi wajib bagi mereka, maka suami dipaksa untuk melakukannya jika ia enggan. Jika ia ingin memulai pembagian giliran dan ia memiliki dua istri, maka ia melakukan undian (qur‘ah) di antara keduanya untuk menentukan siapa yang pertama mendapat giliran, sehingga hilanglah kecenderungan (pilihan pribadi) darinya.
فَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُسَافِرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْ نِسَائِهِ أَقْرَعَ بَيْنَهُنَّ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا سَافَرَ بِهَا فَلِذَلِكَ أَمَرْنَاهُ بِالْقُرْعَةِ لِتَزُولَ عَنْهُ التُّهْمَةُ بالممايلة.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah – semoga Allah meridhainya – bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika hendak bepergian bersama salah satu istrinya, beliau mengundi di antara mereka. Siapa yang keluar namanya, maka beliau bepergian bersamanya. Oleh karena itu, kami perintahkan suami untuk melakukan undian agar hilang tuduhan memihak.
فإذا خرجت قرعت إحداها بدأ بالقسم لها ثم قسم بعدها للثانية مِنْ غَيْرِ قُرْعَةٍ وَلَوْ كُنَّ ثَلَاثًا أَقْرَعَ بَعْدَ الْأُولَى بَيْنَ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ فَإِذَا خَرَجَتْ قُرْعَةُ الثَّانِيَةِ قَسَمَ بَعْدَهَا لِلثَّالِثَةِ مِنْ غَيْرِ قرعة، ولو كن أربعاً أقرع بع الثَّانِيَةِ بَيْنَ الثَّالِثَةِ وَالرَّابِعَةِ فَإِذَا خَرَجَتْ قُرْعَةُ الثَّالِثَةِ قَسَمَ بَعْدَهَا لِلرَّابِعَةِ مِنْ غَيْرِ قُرْعَةٍ، فَإِذَا اسْتَقَرَّ الْقَسْمُ لَهُنَّ بِالْقُرْعَةِ فِي النَّوْبَةِ الْأُولَى سَقَطَتِ الْقُرْعَةُ فِيمَا بَعْدَهَا مِنَ النُّوَبِ، وَتَرَتَّبْنَ فِي الْقَسْمِ فِي كُلِّ نَوْبَةٍ تَأْتِي عَلَى مَرَّتَيْنِ بِالْقُرْعَةِ فِي النَّوْبَةِ الْأُولَى.
Jika undian jatuh pada salah satu dari mereka, maka suami memulai pembagian giliran untuknya, lalu setelah itu membagi giliran untuk istri kedua tanpa undian. Jika istrinya tiga orang, maka setelah yang pertama, ia mengundi antara istri kedua dan ketiga. Jika undian jatuh pada istri kedua, maka setelah itu giliran diberikan kepada istri ketiga tanpa undian. Jika istrinya empat orang, maka setelah istri kedua, ia mengundi antara istri ketiga dan keempat. Jika undian jatuh pada istri ketiga, maka setelah itu giliran diberikan kepada istri keempat tanpa undian. Jika pembagian giliran pada putaran pertama telah ditetapkan dengan undian, maka undian tidak diperlukan lagi pada putaran-putaran berikutnya, dan mereka bergiliran secara berurutan pada setiap putaran, cukup dengan undian pada putaran pertama.
فَلَوْ رَتَّبَهُنَّ فِي النَّوْبَةِ الْأُولَى عَلَى خِيَارِهِ مِنْ غَيْرِ قُرْعَةٍ لَمْ يَسْتَقِرَّ حُكْمُ ذَلِكَ التَّرْتِيبِ فِيمَا بَعْدَهَا مِنَ النُّوَبِ إِلَّا بِقُرْعَةٍ يَسْتَأْنِفُهَا تَزُولُ التُّهْمَةُ بِهَا فِي الْمُمَايَلَةِ، وَلَوْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الْقُرْعَةَ بَيْنَهُنَّ فِي كُلِّ نَوْبَةٍ جَازَ، وَإِنْ لَمْ يَجِبْ لِمَا فِيهِ مِنِ انتفاء التهمة.
Jika suami mengatur giliran mereka pada putaran pertama sesuai pilihannya tanpa undian, maka ketetapan urutan tersebut tidak berlaku untuk putaran-putaran berikutnya kecuali dengan undian baru yang dilakukan untuk menghilangkan tuduhan memihak. Jika ia ingin mengulangi undian di setiap putaran, itu boleh, meskipun tidak wajib, karena hal itu menghilangkan tuduhan memihak.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَأَمَّا الْجِمَاعُ فَمَوْضِعُ تَلَذُّذٍ وَلَا يُجْبَرُ أحدٌ عليه قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ المَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَقَةِ) {قال) بعض أهل التفسير لن تستطيعوا أن تعدلوا بما في القلوب لأن الله تعالى يجاوزه {فَلاَ تَمِيلُوا} لا تتبعوا أهواءكم أفعالكم فإذا كان الفعل والقول مع الهواء فذلك كل الميل وبلغنا أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كان يقسم فيقول ” اللهم هذا قسمي فيما أملك وأنت أعلم فيما لا أملك ” يعني والله أعلم فيما لا أملك قلبه (قال) وبلغنا أنه كان يطاف به محمولاً في مرضه على نسائه حتى حللنه “.
Imam Syafi‘i berkata: “Adapun jima‘ (hubungan suami istri) adalah tempat kenikmatan dan tidak ada seorang pun yang dipaksa untuk melakukannya.” Allah Ta‘ala berfirman: {Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung} (QS. an-Nisā’: 129). Sebagian ahli tafsir berkata: “Kamu tidak akan mampu berlaku adil dalam hal yang ada di dalam hati, karena Allah Ta‘ala memaafkan hal itu. {Maka janganlah kamu terlalu cenderung} maksudnya jangan mengikuti hawa nafsumu dalam perbuatanmu.” Jika perbuatan dan ucapan mengikuti hawa nafsu, itulah kecenderungan yang seluruhnya. Diriwayatkan kepada kami bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – membagi giliran dan berdoa: “Ya Allah, inilah pembagianku terhadap apa yang aku miliki, dan Engkau lebih mengetahui terhadap apa yang tidak aku miliki,” maksudnya – wallahu a‘lam – adalah hatinya. Diriwayatkan pula bahwa beliau dibawa berkeliling dalam keadaan sakit kepada para istrinya hingga mereka semua merelakannya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ يَلْزَمُهُ الْقَسْمُ لَهُنَّ لِلتَّسْوِيَةِ بَيْنَهُنَّ وَلَا يَلْزَمُهُ جِمَاعُهُنَّ إِذَا اسْتَقَرَّ دُخُولُهُ بِهِنَّ وَلَهُ أَنْ يُجَامِعَ مَنْ شَاءَ مِنْهُنَّ، وَلَا يَلْزَمُهُ جِمَاعُ غَيْرِهَا، لِأَنَّ الْجِمَاعَ إِنَّمَا هُوَ مِنْ دَوَاعِي الشَّهْوَةِ وَخُلُوصِ الْمَحَبَّةِ الَّتِي لَا يَقْدِرُ عَلَى تَكَفُّلِهَا بِالتَّصَنُّعِ لَهَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ المَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَقَةِ) {النساء: 129) . قَالَ الشَّافِعِيُّ: مَعْنَاهُ وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ بِمَا فِي الْقُلُوبِ مِنَ الْمَحَبَّةِ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الميل في أن تتبعوا أهواءكم وأفعالكم {فَتَذَرُوهَا كَالمُعَلَقَةِ} ، وَهِيَ الَّتِي لَيْسَتْ بِزَوْجَةٍ وَلَا مُفَارَقَةٍ.
Al-Mawardi berkata: Ini benar, suami wajib melakukan pembagian giliran kepada mereka (para istri) untuk menyamakan di antara mereka, namun tidak wajib baginya untuk menggauli mereka jika telah terjadi hubungan suami istri dengan mereka. Suami boleh menggauli siapa saja di antara mereka yang ia kehendaki, dan tidak wajib baginya menggauli selainnya. Sebab, hubungan suami istri itu merupakan dorongan syahwat dan kecintaan murni yang tidak mungkin dipaksakan atau dibuat-buat. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung} (an-Nisā’: 129). Asy-Syafi‘i berkata: Maksudnya adalah kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istri dalam hal apa yang ada di dalam hati berupa cinta, maka janganlah kamu terlalu condong dalam mengikuti hawa nafsu dan perbuatanmu {sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung}, yaitu istri yang tidak berstatus sebagai istri (yang mendapat hak penuh) dan juga tidak dicerai.
فَدَلَّتْ هذه الآية على أنه عَلَيْهِ التَّسْوِيَةَ بَيْنَهُنَّ فِيمَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنْ أَفْعَالِهِ فِي الْقَسْمِ وَالْإِيوَاءِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُنَّ فِيمَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنَ الْمَحَبَّةِ وَالشَّهْوَةِ فَكَذَلِكَ الْجِمَاعُ.
Maka ayat ini menunjukkan bahwa suami wajib menyamakan di antara mereka dalam hal yang ia mampu dari perbuatannya, seperti pembagian giliran dan tempat tinggal, dan tidak wajib baginya menyamakan dalam hal yang tidak ia mampu seperti cinta dan syahwat, demikian pula dalam hal hubungan suami istri.
وَقَالَ مَالِكٌ: يُؤْخَذُ الزَّوْجُ بِجِمَاعِ امْرَأَتِهِ فِي كُلِّ مُدَّةٍ لِيُحَصِّنَهَا وَيَقْطَعَ شَهْوَتَهَا، فَإِنْ أَطَالَ تَرْكَ جِمَاعِهَا، وَحَاكَمَتْهُ إِلَى الْقَاضِي فَسَخَ النِّكَاحَ بَيْنَهُمَا إِنْ لَمْ يُجَامِعْ وَأَوْجَبَ عَلَيْهِ قَوْمٌ أَنْ يُجَامِعَهَا فِي كُلِّ أَرْبَعِ لَيَالٍ مَرَّةً، لِأَنَّهُ قَدْ أُبِيحَ لَهُ نِكَاحُ أَرْبَعٍ فَصَارَتْ تَسْتَحِقُّ مِنْ كُلِّ أَرْبَعَةِ أيام يوماً وبهذا حكم كعب بن سور بِحَضْرَةِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ – فَاسْتَحْسَنَ ذَلِكَ مِنْهُ وَوَلَّاهُ قَضَاءَ الْبَصْرَةِ فَكَانَ أَوَّلَ قاضٍ قَضَى بِهَا.
Malik berkata: Suami harus menggauli istrinya dalam setiap masa tertentu agar menjaga kehormatannya dan memuaskan syahwatnya. Jika ia terlalu lama meninggalkan hubungan suami istri, lalu istrinya mengadukannya kepada hakim, maka hakim dapat membatalkan pernikahan di antara mereka jika suami tidak menggaulinya. Sebagian ulama mewajibkan suami menggauli istrinya sekali dalam setiap empat malam, karena ia dibolehkan menikahi empat istri, sehingga setiap istri berhak mendapatkan satu hari dari empat hari. Dengan pendapat ini K’ab bin Sur memutuskan perkara di hadapan Umar – raḍiyallāhu ‘anhu – dan Umar menyetujuinya serta mengangkatnya menjadi qadi di Bashrah, sehingga ia menjadi qadi pertama yang memutuskan perkara dengan ketentuan tersebut.
وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ عِنْدَنَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِمَا ذَكَرْنَاهُ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ كَعْبٌ تَوَسَّطَ فِيمَا حَكَمَ بِهِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَنْ صُلْحٍ وَمُرَاضَاةٍ وَكَمَا لَا يُجْبَرُ عَلَى جِمَاعِهَا، فَكَذَلِكَ لَا يُجْبَرُ عَلَى مُضَاجَعَتِهَا وَلَا عَلَى تَقْبِيلِهَا وَمُحَادَثَتِهَا وَلَا عَلَى النَّوْمِ مَعَهَا فِي فِرَاشٍ وَاحِدٍ، لِأَنَّ هَذَا كُلَّهُ مِنْ دَوَاعِي الشَّهْوَةِ وَالْمَحَبَّةِ الَّتِي لَا يَقْدِرُ عَلَى تَكَلُّفِهَا، وَإِنَّمَا يَخْتَصُّ زَمَانُ الْقَسْمِ بِالِاجْتِمَاعِ وَالْأُلْفَةِ.
Kedua pendapat tersebut menurut kami tidak benar, sebagaimana telah kami sebutkan. Boleh jadi K’ab mengambil jalan tengah dalam memutuskan perkara antara suami istri atas dasar perdamaian dan kerelaan. Sebagaimana suami tidak dipaksa untuk menggauli istrinya, demikian pula ia tidak dipaksa untuk tidur bersamanya, mencium, berbincang, atau tidur satu ranjang dengannya, karena semua itu merupakan dorongan syahwat dan cinta yang tidak mungkin dipaksakan. Waktu pembagian giliran hanya dikhususkan untuk kebersamaan dan keakraban.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وَعِمَادُ الْقَسْمِ اللَّيْلُ لِأَنَّهُ سَكَنٌ فَقَالَ: {أَزْوَاجاً لِتَسْكُنْوا إِلَيْهَا} .
Asy-Syafi‘i berkata: “Pokok pembagian giliran adalah malam hari, karena malam adalah waktu ketenangan, sebagaimana firman Allah: {pasangan-pasangan agar kamu merasa tenteram kepadanya}.”
قال الماوردي: وهذا كماقال، عَلَى الزَّوْجِ فِي زَمَانِ الْقَسْمِ أَنْ يَأْوِيَ إِلَيْهَا لَيْلًا، وَيَنْصَرِفَ لِنَفْسِهِ نَهَارًا، لِأَنَّ اللَّيْلَ زَمَانُ الدَّعَةِ وَالْإِيوَاءِ وَالنَّهَارَ زَمَانُ الْمَعَاشِ وَالتَّصَرُّفِ، قال الله تعالى: {وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاساً وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشاً) {النبأ: 10 – 11) . وَفِي اللِّبَاسِ تَأْوِيلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Dan demikianlah sebagaimana yang dikatakan, suami pada waktu pembagian giliran wajib bermalam di rumah istrinya, dan pada siang hari ia boleh kembali untuk urusannya sendiri, karena malam adalah waktu istirahat dan bermalam, sedangkan siang adalah waktu bekerja dan beraktivitas. Allah Ta‘ala berfirman: {Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan} (an-Naba’: 10-11). Adapun makna “pakaian” ada dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: الْإِيوَاءُ فِي الْمَسَاكِنِ وَإِلَى سَكَنِهِ فَصَارَ كَاللَّابِسِ لِمَسْكَنِهِ وَلِزَوْجَتِهِ.
Pertama: Bermalam di rumah dan bersama istrinya, sehingga ia seperti mengenakan rumah dan istrinya sebagai pakaian.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَتَغَطَّى بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ كَمَا يَتَغَطَّى بِاللِّبَاسِ.
Kedua: Ia berlindung dengan gelapnya malam sebagaimana ia berlindung dengan pakaian.
وَقَالَ تَعَالَى: {وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا} (الروم: 21) . وَالسَّكَنُ يَكُونُ فِي اللَّيْلِ، وَلِأَنَّ اللَّيْلَ زَمَانُ الدَّعَةِ وَالْإِيوَاءِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عُمْدَةَ الْقَسْمِ، وَلِأَنَّ السَّيِّدَ لَوْ زَوَّجَ أَمَتَهُ لَزِمَهُ تَمْكِينُ الزَّوْجِ مِنْهَا لَيْلًا، وَكَانَ لَهُ اسْتِخْدَامُهَا نَهَارًا فَعُلِمَ أَنَّ اللَّيْلَ عِمَادُ الْقَسْمِ، فَلَا يَجُوزُ لَهُ فِي اللَّيْلِ أَنْ يَخْرُجَ فِيهِ مِنْ عِنْدِ الَّتِي قَسَمَ لَهَا إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ، فَأَمَّا النَّهَارُ فَلَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ بِمَا شَاءَ، وَيَدْخُلُ فِيهِ إِلَى غَيْرِهَا مِنْ نِسَائِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَعَرَّضَ فِيهِ لِوَطْئِهَا.
Allah Ta‘ala berfirman: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. ar-Rūm: 21). Ketenteraman itu biasanya terjadi di malam hari, dan karena malam adalah waktu untuk beristirahat dan berlindung, maka sudah seharusnya malam menjadi waktu utama dalam pembagian giliran. Selain itu, jika seorang tuan menikahkan budaknya, maka ia wajib memberikan kesempatan kepada suami budak tersebut untuk menemuinya di malam hari, sedangkan di siang hari ia boleh mempekerjakannya. Maka diketahui bahwa malam adalah dasar dalam pembagian giliran. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang suami di malam hari keluar dari rumah istri yang menjadi gilirannya kecuali karena kebutuhan mendesak. Adapun di siang hari, ia boleh melakukan apa saja yang diinginkannya, dan boleh masuk ke rumah istri yang lain tanpa melakukan hubungan suami istri dengannya.
رَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عِنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – قَالَتْ: قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يدخل على نسائه فيدنو من كل امرأة مِنْهُنَّ فَيُقَبِّلُ وَيَلْمَسُ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ وَلَا مُبَاشَرَةٍ ثُمَّ يَبِيتُ عِنْدَ الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا.
Diriwayatkan oleh Hisyām bin ‘Urwah dari ayahnya, dari ‘Aisyah ra., ia berkata: Hampir tidak ada hari kecuali Rasulullah ﷺ masuk menemui para istrinya, lalu mendekati setiap dari mereka, mencium dan menyentuh tanpa melakukan hubungan suami istri atau bersentuhan langsung, kemudian beliau bermalam di rumah istri yang menjadi gilirannya pada hari itu.
فَإِنْ كَانَ فِي النَّاسِ مَنْ يَنْصَرِفُ فِي مَعَاشِهِ لَيْلًا وَيَأْوِي إِلَى مَسْكَنِهِ نَهَارًا كَالْحُرَّاسِ، وَصُنَّاعِ الْبِزْرِ وَمَنْ جَرَى مَجْرَاهُمْ فَعِمَادُ هَؤُلَاءِ فِي قَسْمِهِمُ النَّهَارُ دُونَ اللَّيْلِ، لِأَنَّهُ زَمَانُ سكنهم والليل زمان معاشهم.
Jika di antara manusia ada yang bekerja di malam hari dan pulang ke rumahnya di siang hari, seperti para penjaga malam, para pekerja tekstil, dan yang semisal mereka, maka waktu utama pembagian giliran bagi mereka adalah siang hari, bukan malam hari, karena siang adalah waktu mereka beristirahat dan malam adalah waktu mereka bekerja.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ حَرَائِرُ مسلماتٌ وذمياتٌ فَهُنَّ فِي الْقَسْمِ سَوَاءٌ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika seorang laki-laki memiliki istri-istri merdeka yang muslimah dan dzimmiyah, maka mereka sama dalam pembagian giliran.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ تَسْتَوِي الْمُسْلِمَةُ وَالذِّمِّيَّةُ فِي الْقَسْمِ لَهَا لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ) {النساء: 19) . وَلِأَنَّ حُقُوقَ الزَّوْجِيَّةِ تَسْتَوِي فِيهَا الْمُسْلِمَةُ وَالذِّمِّيَّةُ كَالسُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ، وَيُقْرَعُ بَيْنَهُمَا فِي الْقَسْمِ، وَلَا تُقَدَّمُ الْمُسْلِمَةُ بِغَيْرِ قُرْعَةٍ تَعْدِيلًا بَيْنَهُمَا كَمَا يَعْدِلُ في قدر الزمان.
Al-Māwardi berkata: Ini benar, baik istri muslimah maupun dzimmiyah sama dalam hak pembagian giliran, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: “Dan perlakukanlah mereka dengan baik.” (QS. an-Nisā’: 19). Karena hak-hak pernikahan seperti tempat tinggal dan nafkah berlaku sama bagi muslimah maupun dzimmiyah. Dalam pembagian giliran, dilakukan undian di antara keduanya, dan tidak boleh mendahulukan muslimah tanpa undian, sebagai bentuk keadilan di antara mereka, sebagaimana keadilan dalam pembagian waktu.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَيَقْسِمُ لِلْحُرَّةِ لَيْلَتَيْنِ وَلِلْأَمَةِ لَيْلَةً إِذَا خَلَّى الْمَوْلَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فِي لَيْلَتِهَا وَيَوْمِهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan suami membagi giliran untuk istri merdeka dua malam, dan untuk budak perempuan satu malam, jika tuannya membebaskan waktu antara suami dan budak perempuan itu pada malam dan siangnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ وَأَمَةٌ زَوْجَتَانِ، وَذَلِكَ مِنْ أَحَدِ وَجْهَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ عَبْدًا فَنَكَحَ أَمَةً وَحُرَّةً وَيَكُونَ حُرًّا تَزَوَّجَ الْأَمَةَ عِنْدَ عَدَمِ الطَّوْلِ ثُمَّ نَكَحَ بَعْدَهَا حُرَّةً، فَعَلَيْهِ أَنْ يَقْسِمَ لَهُمَا، وَيَكُونُ قَسْمُ الْأَمَةِ عَلَى النِّصْفِ مِنْ قَسْمِ الْحُرَّةِ، وَذَلِكَ بِأَنْ يَقْسِمَ لِلْحُرَّةِ ليلتين وللأمة ليلة واحدة أَوْ لِلْحُرَّةِ أَرْبَعَ لَيَالٍ وَلِلْأَمَةِ لَيْلَتَيْنِ.
Al-Māwardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu jika seorang laki-laki memiliki dua istri, satu merdeka dan satu budak perempuan. Hal itu bisa terjadi dalam dua keadaan: pertama, suaminya adalah seorang budak yang menikahi budak perempuan dan wanita merdeka; kedua, ia adalah orang merdeka yang menikahi budak perempuan karena tidak mampu, lalu setelah itu menikahi wanita merdeka. Maka ia wajib membagi giliran untuk keduanya, dan giliran budak perempuan adalah setengah dari giliran wanita merdeka, yaitu dengan membagi untuk wanita merdeka dua malam dan untuk budak perempuan satu malam, atau untuk wanita merdeka empat malam dan untuk budak perempuan dua malam.
وَقَالَ مَالِكٌ: عَلَيْهِ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا فِي الْقَسْمِ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إحداهما جاء يوم القيوم وَشِقُّهُ مَائِلٌ “.
Imam Mālik berkata: Suami wajib menyamakan pembagian giliran antara keduanya, berdasarkan riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan sisi tubuhnya yang miring.”
وَلِأَنَّهُمَا يَسْتَوِيَانِ فِي قَسْمِ الِابْتِدَاءِ إِذَا نَكَحَهَا خَصَّهَا بِسَبْعٍ إِنْ كَانَتْ بِكْرًا، وَبِثَلَاثٍ إِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي قَسْمِ الِانْتِهَاءِ.
Karena keduanya sama dalam pembagian giliran pada awal pernikahan, yaitu jika menikahi istri perawan diberi tujuh malam, dan jika menikahi janda diberi tiga malam, maka seharusnya keduanya juga disamakan dalam pembagian giliran selanjutnya.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ الْحَسَنُ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تُنْكَحُ أَمَةٌ عَلَى حُرَّةٍ، وَلِلْحُرَّةِ الثُّلُثَانِ وَلِلْأَمَةِ الثُّلُثُ “.
Dalil kami adalah riwayat dari al-Hasan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak boleh menikahi budak perempuan di atas wanita merdeka, dan bagi wanita merdeka dua pertiga, sedangkan bagi budak perempuan sepertiga.”
فَإِنْ قِيلَ: فَهَذَا مُرْسَلٌ، وَلَيْسَتِ الْمَرَاسِيلُ عِنْدَكُمْ حُجَّةً.
Jika dikatakan: Riwayat ini mursal, dan mursal menurut kalian bukanlah hujjah.
قِيلَ: قَدْ عَضَّدَ هَذَا الْمُرْسَلَ قَوْلُ صَحَابِيٍّ، وَهُوَ مَا رَوَى الْمِنْهَالُ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: إِذَا تُزُوِّجَتِ الْحُرَّةُ عَلَى الْأَمَةِ قَسَمَ لَهَا يَوْمَيْنِ، وللأمة يوماً وإذا عضد المرسل قول الصحابي صَارَ الْمُرْسَلُ حُجَّةً.
Dikatakan: Hadis mursal ini telah diperkuat oleh pendapat seorang sahabat, yaitu riwayat dari Al-Minhāl dari Zirr bin Hubaysy dari ‘Ali bin Abi Thalib – raḍiyallāhu ta‘ālā ‘anhu – bahwa ia berkata: “Jika seorang wanita merdeka dinikahi bersama seorang budak perempuan, maka bagian untuk wanita merdeka adalah dua hari, dan untuk budak perempuan satu hari.” Jika hadis mursal didukung oleh pendapat sahabat, maka hadis mursal tersebut menjadi hujjah.
وَعَلَى أَنَّهُ لَيْسَ يُعْرَفُ لعلي – رضي الله تعالى عنه – فِي هَذَا الْقَوْلِ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا، وَلِأَنَّ مَا كَانَ ذَا عَدَدٍ تَبَعَّضَتِ الْأَمَةُ فِيهِ مِنَ الْحُرَّةِ كَالْحُدُودِ وَالْعِدَّةِ وَالطَّلَاقِ.
Dan juga karena tidak diketahui adanya sahabat lain yang menyelisihi ‘Ali – raḍiyallāhu ta‘ālā ‘anhu – dalam pendapat ini, maka hal itu menjadi ijmā‘. Selain itu, dalam perkara yang berkaitan dengan jumlah, budak perempuan diperlakukan berbeda dari wanita merdeka, seperti dalam masalah hudūd, ‘iddah, dan talak.
وَلِأَنَّ وُجُوبَ الْقَسْمِ لَهَا فِي مُقَابَلَةِ وُجُوبِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فَلَمَّا تَبَعَّضَ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا مِنَ الْحُرَّةِ لِاسْتِحْقَاقِ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا فِي اللَّيْلِ وَوُجُوبِ الِاسْتِمْتَاعِ بِالْحُرَّةِ فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَجَبَ أَنْ يَتَبَعَّضَ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ مِنَ الْقَسْمِ.
Dan karena kewajiban pembagian giliran (qasm) bagi budak perempuan itu sebagai imbalan atas kewajiban menikmati dirinya. Maka, ketika kenikmatan terhadap budak perempuan itu lebih sedikit dibandingkan wanita merdeka—karena hak menikmati budak perempuan hanya pada malam hari, sedangkan wanita merdeka pada malam dan siang hari—maka pembagian giliran pun harus mengikuti perbedaan tersebut.
فَأَمَّا الْخَبَرُ فَلَا دليل فيه، لأن العمل بما أوجبه لشرع لا يكون ميلاً محظوراً وأما اسْتِدْلَالَهُمْ بِقَسْمِ الِابْتِدَاءِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَسْتَوِيَانِ فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Adapun hadis (yang dijadikan dalil), tidak terdapat dalil di dalamnya, karena melakukan apa yang diwajibkan oleh syariat bukanlah kecenderungan (yang terlarang). Adapun dalil mereka dengan pembagian giliran pada permulaan pernikahan, para ulama kami berbeda pendapat: apakah keduanya (wanita merdeka dan budak perempuan) sama dalam hal itu atau tidak? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُمَا لَا يَتَسَاوَيَانِ فِيهِ بَلْ يَتَفَاضَلَانِ كَقَسْمِ الِانْتِهَاءِ فَسَقَطَ الدَّلِيلُ.
Pertama: Pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa keduanya tidak sama, bahkan terdapat perbedaan sebagaimana dalam pembagian giliran pada akhir pernikahan, sehingga dalil tersebut gugur.
الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهَا يَتَسَاوَيَانِ فِي قَسْمِ الِابْتِدَاءِ وَإِنْ تَفَاضَلَا فِي قَسْمِ الِانْتِهَاءِ.
Kedua: Pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa keduanya sama dalam pembagian giliran pada permulaan pernikahan, meskipun berbeda dalam pembagian giliran pada akhir pernikahan.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ قَسْمَ الِابْتِدَاءِ مَوْضُوعٌ لِلْأُنْسِيَّةِ فَاسْتَوَى فِيهِ الْحُرَّةُ وَالْأَمَةُ وَقَسْمُ الِانْتِهَاءِ مَوْضُوعٌ لِلِاسْتِمْتَاعِ، وَالِاسْتِمْتَاعُ بِالْأَمَةِ نَاقِصٌ عَنِ الِاسْتِمْتَاعِ بِالْحُرَّةِ.
Perbedaannya adalah: pembagian giliran pada permulaan pernikahan bertujuan untuk menciptakan keakraban, sehingga wanita merdeka dan budak perempuan sama dalam hal ini. Sedangkan pembagian giliran pada akhir pernikahan bertujuan untuk kenikmatan, dan kenikmatan dengan budak perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan wanita merdeka.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ قَسْمَ الْأَمَةِ عَلَى النِّصْفِ مِنْ قَسْمِ الْحُرَّةِ فَكَذَلِكَ الْمُدَبَّرَةُ وَالْمُكَاتَبَةُ وَأُمُّ الْوَلَدِ، وَمِنْ فِيهَا جُزْءٌ مِنَ الرِّقِّ، وَإِنْ قَلَّ فَإِنْ أُعْتِقَتِ الْأَمَةُ فِي وَقْتِ قَسْمِهَا كَمَّلَ لَهَا قَسْمَ حُرَّةٍ وَلَوْ أُعْتِقَتْ بَعْدَ زَمَانِ قَسْمِهَا اسْتَأْنَفَ لَهَا فِيمَا يَسْتَقْبِلُهُ مِنَ النُّوَبِ قَسْمَ حُرَّةٍ لَكِنَّهُ يَقْسِمُ لِلْحُرَّةِ مِثْلَ مَا كَانَ لِلْأَمَةِ مِنَ الْقَسْمِ، كَأَنَّهُ كَانَ يَقْسِمُ لِلْأَمَةِ لَيْلَةً، وَلِلْحُرَّةِ لَيْلَتَيْنِ، فَاسْتَكْمَلَتِ الْأَمَةُ لَيْلَتَهَا وَهِيَ عَلَى الرِّقِّ، وَأَقَامَ مَعَ الْحُرَّةِ لَيْلَةً وَاحِدَةً ثُمَّ أُعْتِقَتِ الْأَمَةُ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَزِيدَ الْحُرَّةَ عَلَى تِلْكَ اللَّيْلَةِ الْوَاحِدَةِ، لِأَنَّ الْأَمَةَ قَدْ صَارَتْ مِثْلَهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَفْصِلَ بَيْنَهُمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ نَصًّا فِي الْقَدِيمِ.
Jika telah ditetapkan bahwa pembagian giliran untuk budak perempuan adalah setengah dari pembagian giliran untuk wanita merdeka, maka demikian pula bagi wanita mudabbara, mukatabah, dan umm al-walad, serta siapa saja yang masih memiliki bagian dari status budak, meskipun sedikit. Jika budak perempuan dimerdekakan pada saat pembagian gilirannya, maka ia mendapatkan bagian seperti wanita merdeka. Namun jika ia dimerdekakan setelah masa pembagian gilirannya, maka pada giliran berikutnya ia mendapatkan bagian seperti wanita merdeka. Akan tetapi, ia tetap membagi kepada wanita merdeka sebagaimana bagian yang sebelumnya diberikan kepada budak perempuan. Misalnya, jika sebelumnya ia membagi satu malam untuk budak perempuan dan dua malam untuk wanita merdeka, lalu budak perempuan telah mendapatkan malamnya saat masih berstatus budak, dan ia telah bersama wanita merdeka satu malam, kemudian budak perempuan itu dimerdekakan, maka tidak boleh menambah bagian wanita merdeka lebih dari satu malam itu, karena budak perempuan telah menjadi seperti wanita merdeka, sehingga tidak boleh memisahkan antara keduanya. Hal ini dinyatakan oleh asy-Syāfi‘ī secara tegas dalam pendapat lama beliau.
وَفِيهِ عِنْدِي نَظَرٌ، لِأَنَّ عِتْقَ الْأَمَةِ يُوجِبُ تَكْمِيلَ حَقِّهَا وَلَا يُوجِبُ نُقْصَانَ حَقِّ غَيْرِهَا فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْحُرَّةُ عَلَى حَقِّهَا، وَيَسْتَقْبِلَ زِيَادَةَ الْأَمَةِ بَعْدَ عِتْقِهَا، فَلَوْ أُعْتِقَتِ الْأَمَةُ، وَلَمْ يَعْلَمْ بِعِتْقِهَا حَتَّى مَضَى لَهَا نَوْبٌ فِي الْقَسْمِ ثُمَّ عَلِمَ، لَمْ يَقْضِ مَا مَضَى وَكَمَّلَ قِسْمَهَا فِي الْمُسْتَقْبَلِ بَعْدَ الْعِلْمِ بِالْعِتْقِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Namun menurut saya, ada catatan dalam hal ini, karena memerdekakan budak perempuan mewajibkan penyempurnaan haknya, dan tidak menyebabkan berkurangnya hak orang lain. Maka seharusnya wanita merdeka tetap pada haknya, dan budak perempuan yang telah dimerdekakan mendapatkan tambahan haknya setelah merdeka. Jika budak perempuan telah dimerdekakan, namun suaminya belum mengetahui kemerdekaannya hingga ia telah mendapatkan gilirannya, lalu setelah itu suaminya mengetahui, maka tidak perlu mengqadha’ apa yang telah berlalu, dan menyempurnakan pembagian gilirannya di masa yang akan datang setelah mengetahui kemerdekaannya. Wallāhu a‘lam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلِلْأَمَةِ أَنْ تُحَلِّلَهُ مِنْ قَسْمِهَا دُونَ الْمَوْلَى “.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Budak perempuan boleh menggugurkan hak pembagian gilirannya untuk suaminya, tetapi tidak untuk tuannya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، لِأَنَّ الْقَسْمَ حَقٌّ لَهَا دُونَ سَيِّدِهَا، لِأَنَّهُ إِلْفٌ لَهَا وَسَكَنٌ فَإِنْ حَلَّلَتْ زَوْجَهَا مِنَ الْقَسْمِ صَحَّ، وَإِنْ لَمْ يَرْضَ السَّيِّدُ وَلَوْ حَلَّلَهُ السَّيِّدُ مِنْهُ لَمْ يَصِحَّ، وَخَالَفَ ذَلِكَ الْمَهْرَ الَّذِي إِنْ عَفَا عَنْهُ السَّيِّدُ صَحَّ، وَإِنْ عَفَتْ عَنْهُ الْأَمَةُ لَمْ يَصِحَّ، لِأَنَّ الْمَهْرَ لِلسَّيِّدِ دُونَهَا فَصَحَّ عَفْوُهُ دُونَهَا، وَالْقَسْمُ لَهَا دُونَ السَّيِّدِ فصح عفوها عنه دون السيد.
Al-Māwardī berkata: Dan ini benar, karena pembagian giliran adalah hak budak perempuan, bukan hak tuannya, sebab suami adalah teman dan tempat tinggal baginya. Jika budak perempuan menggugurkan hak pembagian gilirannya untuk suaminya, maka itu sah, meskipun tuannya tidak ridha. Namun jika tuannya yang menggugurkan hak itu, maka tidak sah. Hal ini berbeda dengan mahar, yang jika tuan memaafkannya maka sah, tetapi jika budak perempuan yang memaafkannya maka tidak sah, karena mahar adalah hak tuan, bukan hak budak perempuan, sehingga sah jika tuan yang memaafkan, tidak sah jika budak perempuan yang memaafkan. Sedangkan pembagian giliran adalah hak budak perempuan, bukan hak tuan, sehingga sah jika budak perempuan yang menggugurkannya, tidak sah jika tuan yang menggugurkannya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” ولا يجامع المرأة لا فِي غَيْرِ يَوْمِهَا وَلَا يَدْخُلُ فِي اللَّيْلِ عَلَى الَّتِي لَمْ يَقْسِمْ لَهَا (قَالَ) وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا بِالنَّهَارِ فِي حاجةٍ وَيَعُودَهَا فِي مَرَضِهَا فِي لَيْلَةِ غَيْرِهَا فَإِذَا ثَقُلَتْ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَهَا حَتَّى تَخِفَّ أَوْ تَمُوتَ ثُمَّ يُوَفِّي مَنْ بَقِيَ مِنْ نِسَائِهِ مِثْلَ مَا أَقَامَ عِنْدَهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Tidak boleh seorang suami menggauli istrinya, baik bukan pada hari jatahnya maupun masuk ke kamar istrinya pada malam hari yang bukan malam bagiannya. (Beliau berkata:) Tidak mengapa jika ia masuk ke kamar istrinya pada siang hari karena suatu keperluan, atau menjenguknya saat sakit pada malam hari yang bukan malam bagiannya. Jika sakitnya berat, maka tidak mengapa ia tinggal di sisinya sampai sembuh atau wafat, kemudian ia mengganti waktu yang ia habiskan itu kepada istri-istri yang lain.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عِمَادَ الْقَسْمِ اللَّيْلُ دُونَ النَّهَارِ لَكِنَّ النَّهَارَ دَاخِلٌ فِي الْقَسْمِ تَبَعًا لِلَّيْلِ، وَالْأَوْلَى أَنْ يَكُونَ أَوَّلُ زَمَانِ الْقَسْمِ اللَّيْلَ لِسَعَةِ الْيَوْمِ الَّذِي بَعْدَهُ، لِأَنَّ الْيَوْمَ تَبَعٌ لِمَا تَقَدَّمَهُ مِنَ اللَّيْلِ دُونَ مَا تَأَخَّرَ، وَلِذَلِكَ كَانَ أَوَّلُ الشَّهْرِ دُخُولَ اللَّيْلِ، فَإِنْ جَعَلَ أَوَّلَ زَمَانِ الْقَسْمِ النَّهَارَ مَعَ اللَّيْلَةِ الَّتِي بَعْدَهُ، جَازَ وَيَصِيرُ مُقَدِّمًا لِلتَّابِعِ عَلَى الْمَتْبُوعِ، فَإِذَا قَسَمَ لَهَا يَوْمًا وَلَيْلَةً فَعَلَيْهِ أَنْ يَقْسِمَ عِنْدَهَا لَيْلًا لَا يَخْرُجُ فِيهِ إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ وَيَجُوزُ لَهُ الْخُرُوجُ نَهَارًا لِلتَّصَرُّفِ فِي أَشْغَالِهِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ عَلَى غَيْرِهَا مِنْ نِسَائِهِ فَإِنْ كَانَ فِي النَّهَارِ جَازَ أَنْ يَدْخُلَ عَلَى مَنْ شَاءَ مِنْ نِسَائِهِ دُخُولَ غَيْرِ مُسْتَوْطِنٍ عِنْدَهَا وَلَا مُقِيمٍ بَلْ لِيَسْأَلَ عَنْهَا وَيَتَعَرَّفَ خَبَرَهَا وَيَنْظُرَ فِي مَصَالِحِهَا أَوْ مَصَالِحِ نَفْسِهِ عِنْدَهَا وَيَجُوزُ لَهُ فِي دُخُولِهِ عَلَيْهَا أَنْ يقبلها ويمسها من غير وطئ لما روينا من حديث عائشة – رضي الله تعالى عنها – أَنَّهَا قَالَتْ: ” قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يدخل على نسائه فيدنو من كل امرأة مِنْهُنَّ فَيُقَبِّلُ وَيَلْمَسُ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ وَلَا مُبَاشَرَةٍ ثُمَّ يَبِيتُ عِنْدَ الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا “، وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْقَسْمِ اللَّيْلُ دُونَ النَّهَارِ فَإِذَا دَخَلَ النَّهَارُ عَلَى وَاحِدَةٍ لَمْ يُفَوِّتْ عَلَى صَاحِبَةِ الْقَسْمِ حَقَّهَا مِنْهُ، وَكَانَ دُخُولُهُ عَلَى غَيْرِهَا مِنْ نِسَائِهِ كَدُخُولِهِ عَلَى غَيْرِ نِسَائِهِ، فَأَمَّا وَطْؤُهُ لِغَيْرِهَا فِي النَّهَارِ فَلَا يَجُوزُ، لِأَنَّ الْوَطْءَ مَقْصُودُ الْقَسْمِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَفْعَلَهُ فِي زَمَانِ غَيْرِهَا.
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa dasar pembagian giliran adalah malam hari, bukan siang hari. Namun, siang hari tetap termasuk dalam pembagian giliran sebagai pengikut malam. Yang lebih utama, awal waktu pembagian giliran adalah malam hari, karena panjangnya waktu siang setelahnya. Sebab, siang hari mengikuti malam sebelumnya, bukan malam setelahnya. Oleh karena itu, awal bulan dimulai dengan masuknya malam. Jika ia menjadikan awal waktu pembagian giliran adalah siang hari beserta malam setelahnya, itu boleh, namun berarti ia mendahulukan yang mengikuti daripada yang diikuti. Jika ia membagi giliran untuk istrinya satu hari dan satu malam, maka ia wajib membagi malam di sisinya tanpa keluar kecuali karena darurat, dan boleh baginya keluar pada siang hari untuk mengurus keperluannya. Jika ia ingin masuk ke kamar istri yang lain pada siang hari, maka boleh ia masuk ke kamar istri mana saja seperti orang yang tidak bermalam dan tidak menetap di sana, melainkan hanya untuk menanyakan keadaannya, mengetahui beritanya, atau melihat kemaslahatannya atau kemaslahatan dirinya di sana. Dan boleh baginya saat masuk ke kamar istrinya itu untuk menciumnya dan menyentuhnya tanpa melakukan hubungan badan, sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah ra. bahwa ia berkata: “Hampir tidak ada hari kecuali Rasulullah ﷺ masuk ke kamar istri-istrinya, mendekati setiap dari mereka, lalu mencium dan menyentuh tanpa bersetubuh atau berhubungan langsung, kemudian bermalam di kamar istri yang memang hari gilirannya.” Karena tujuan utama dari pembagian giliran adalah malam hari, bukan siang hari. Maka jika ia masuk ke kamar istri lain pada siang hari, itu tidak mengurangi hak istri yang mendapat giliran. Masuknya ke kamar istri lain pada siang hari seperti masuk ke rumah selain istri-istrinya. Adapun menggauli istri lain pada siang hari, maka tidak boleh, karena hubungan badan adalah tujuan utama pembagian giliran, sehingga tidak boleh dilakukan pada waktu selain bagiannya.
وَقَدْ رَوَى الْحَسَنُ وَقَتَادَةُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – دَخَلَ عَلَى زَوْجَتِهِ حَفْصَةَ فِي يَوْمِهَا فَوَجَدَهَا قَدْ خَرَجَتْ لِزِيَارَةِ أَبِيهَا فَاسْتَدْعَى مَارِيَةَ فَخَلَا بِهَا فَلَمَّا عَلِمَتْ حَفْصَةُ عَتَبَتْ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – وقالت فِي بَيْتِي، وَفِي يَوْمِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَرْضَاهَا بِتَحْرِيمِ مَارِيَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَمَرَهَا أَنْ لا تُخْبِرَ بِذَلِكَ أَحَدًا مِنْ نِسَائِهِ فَأَخْبَرَتْ بِهِ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – لِمُصَافَاةٍ كَانَتْ بَيْنَهُمَا فَتَظَاهَرَتَا عَلَيْهِ وَفِي ذَلِكَ أَنْزَلَ اللَّهُ تعالى: {يَأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ) {التحريم: 1) . فَإِنْ أَطَالَ الْمُقَامَ عِنْدَ غَيْرِهَا فِي نَهَارِ قَسْمِهَا أَوْ وَطِئَ فِيهِ غَيْرَهَا لَمْ يَقْضِ مُدَّةَ مُقَامِهِ، وَإِنْ شَاءَ، لِأَنَّهُ أَحَقُّ بِالنَّهَارِ مِنْهَا، لِأَنَّهُ زَمَانُ التَّصَرُّفِ دُونَ الْإِيوَاءِ فَلَمْ يَقْضِهِ.
Diriwayatkan oleh al-Hasan dan Qatadah bahwa Nabi ﷺ masuk ke kamar istrinya, Hafshah, pada hari gilirannya, lalu mendapati Hafshah telah keluar untuk mengunjungi ayahnya. Maka beliau memanggil Maria dan berduaan dengannya. Ketika Hafshah mengetahui hal itu, ia menegur Nabi ﷺ dan berkata, “Di rumahku dan pada hari giliranku, wahai Rasulullah?” Maka beliau pun menenangkannya dengan mengharamkan Maria atas dirinya dan memerintahkannya agar tidak memberitahukan hal itu kepada istri-istri yang lain. Namun Hafshah menceritakannya kepada ‘Aisyah ra. karena kedekatan di antara mereka, lalu keduanya bersekongkol terhadap Nabi ﷺ. Maka turunlah firman Allah Ta‘ala: {Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu demi mencari keridhaan istri-istrimu} (at-Tahrim: 1). Jika suami terlalu lama tinggal di kamar istri lain pada siang hari giliran istrinya, atau menggauli istri lain pada waktu itu, maka ia tidak wajib mengganti waktu tinggalnya, jika ia menghendaki, karena ia lebih berhak atas waktu siang daripada istrinya, sebab siang hari adalah waktu untuk beraktivitas, bukan untuk bermalam, sehingga ia tidak wajib menggantinya.
فَأَمَّا اللَّيْلُ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ عِنْدِهَا فِيهِ إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ، سَوَاءٌ أَرَادَ الْخُرُوجَ إِلَى زَوْجَتِهِ أَوْ غَيْرِ زَوْجَتِهِ، لِأَنَّهُ مَقْصُودُ الْقَسْمِ فَلَمْ يَجُزْ أن يفوته عليها، فإن دعته الضرورة إِلَى الْخُرُوجِ مِنْ عِنْدِهَا لَيْلًا فَخَرَجَ لَمْ يَأْثَمْ وَنُظِرَ فِي مُدَّةِ الْخُرُوجِ، فَإِنْ كَانَ يَسِيرًا لَا يَقْضِي مِثْلَهُ كَانَ عَفْوًا، وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا يَقْضِي مِثْلَهُ، كَأَنْ خَرَجَ نِصْفَ اللَّيْلِ أَوْ ثُلُثَهُ قَضَاهَا زَمَانَ خُرُوجِهِ لِيُوَفِّيَهَا حَقَّهَا مِنَ الْقَسْمِ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي مُدَّةِ الْخُرُوجِ الَّذِي يَلْزَمُهُ قَضَاؤُهُ، فَإِنْ كَانَ لِضَرُورَةٍ عَرَضَتْ لَهُ عِنْدَ غَيْرِ زَوْجَةٍ قَضَاهَا ذَلِكَ الزَّمَانَ لَا مِنْ زَمَانِ واحدةٍ مِنْ نِسَائِهِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ خَرَجَ فِيهِ إِلَى غَيْرِهَا مِنْ نِسَائِهِ لِمَرَضٍ خَافَ عَلَيْهَا مِنْهُ فَإِنْ مَاتَتْ سَقَطَ قَسْمُهَا، وَقَضَى صَاحِبَةَ الْقَسْمِ مَا فَوَّتَهُ عَلَيْهَا مِنْ لَيْلَتِهَا وَإِنْ لَمْ تَمُتْ قَضَى صَاحِبَةَ الْقَسْمِ مِنْ لَيْلَةِ الْمَرِيضَةِ مَا فَوَّتَهُ عَلَيْهَا مِنْ لَيْلَتِهَا، فَأَمَّا مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَيَعُودُهَا فِي مَرَضِهَا لَيْلَةَ غَيْرِهَا فَقَدْ كَانَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ يَنْسِبُ الْمُزَنِيَّ إِلَى الْخَطَأِ فِي هَذَا النَّقْلِ، وَيَقُولُ: إِنَّ الشَّافِعِيَّ إِنَّمَا قَالَ: وَيَعُودُهَا فِي مَرَضِهَا فِي نَهَارِ غَيْرِهَا، وَهَذَا الِاعْتِرَاضُ فَاسِدٌ، وَنَقْلُ الْمُزَنِيِّ صَحِيحٌ، وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَعُودَهَا فِي لَيْلَةِ غَيْرِهَا إِذَا كَانَ مَرَضُهَا مَخُوفًا، لِأَنَّهُ رُبَّمَا تَعَجَّلَ مَوْتُهَا قَبْلَ النَّهَارِ فَفَاتَهُ حُضُورُهَا وَهُوَ الْمُرَادُ بِمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ، فَأَمَّا إِنْ كَانَ مَرَضُهَا مَأْمُونًا لَمْ يَكُنْ لَهُ عِيَادَتُهَا فِي اللَّيْلِ حَتَّى يُصْبِحَ فَيَعُودُهَا نَهَارًا وَإِنَّمَا قَضَاءُ زَمَانِ الْخُرُوجِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ مَعْذُورًا، لِأَنَّ حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ لَا تَسْقُطُ بِالْأَعْذَارِ فَلَوْ خَرَجَ فِي لَيْلَتِهَا إِلَى غَيْرِهَا فَوَطِئَهَا ثُمَّ عَادَ إِلَيْهَا فِي الْحَالِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Adapun malam hari, maka tidak boleh baginya keluar dari sisi istrinya pada malam tersebut kecuali karena suatu kebutuhan mendesak, baik ia ingin keluar menuju istrinya yang lain atau selain istrinya, karena malam adalah tujuan utama dari pembagian giliran, sehingga tidak boleh ia melewatkannya atas istrinya. Jika ia terpaksa harus keluar dari sisi istrinya pada malam hari lalu ia keluar, maka ia tidak berdosa, dan dilihat pada lamanya ia keluar; jika hanya sebentar dan tidak perlu diganti dengan waktu yang sama, maka itu dimaafkan. Namun jika lama, maka ia wajib mengganti waktu yang sama, seperti jika ia keluar setengah malam atau sepertiganya, maka ia harus mengganti waktu tersebut untuk menunaikan hak istrinya atas pembagian giliran. Kemudian dilihat pada lamanya keluar yang wajib diganti; jika karena kebutuhan mendesak yang menimpanya di tempat selain istrinya, maka ia mengganti waktu tersebut bukan dari waktu salah satu istrinya. Namun jika ia keluar menuju istrinya yang lain karena sakit yang dikhawatirkan membahayakan istrinya itu, lalu istrinya meninggal, maka hak gilirannya gugur, dan istri yang mendapat giliran mengganti waktu malam yang terlewatkan darinya. Jika istrinya tidak meninggal, maka istri yang mendapat giliran mengganti dari malam istri yang sakit waktu yang terlewatkan darinya. Adapun apa yang dinukil oleh al-Muzani dari asy-Syafi‘i bahwa ia menjenguk istrinya yang sakit pada malam giliran istri yang lain, maka Abu Hamid al-Isfara’ini menisbatkan al-Muzani pada kekeliruan dalam nukilan ini, dan berkata: “Sesungguhnya asy-Syafi‘i hanya berkata: ‘Ia menjenguk istrinya yang sakit pada siang hari giliran istri yang lain.’” Namun sanggahan ini tidak benar, dan nukilan al-Muzani adalah sahih, dan boleh baginya menjenguk istrinya yang sakit pada malam giliran istri yang lain jika sakitnya membahayakan, karena bisa jadi kematiannya terjadi sebelum siang sehingga ia kehilangan kesempatan hadir di sisinya, dan inilah yang dimaksud dengan nukilan al-Muzani. Adapun jika sakitnya tidak membahayakan, maka tidak boleh baginya menjenguk pada malam hari hingga pagi, lalu ia menjenguknya pada siang hari. Adapun kewajiban mengganti waktu keluar meskipun ia punya uzur, karena hak-hak manusia tidak gugur dengan adanya uzur. Jika ia keluar pada malam giliran istrinya menuju istri yang lain lalu menggaulinya, kemudian segera kembali kepada istrinya, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat:
أَحَدُهَا: لَا يَلْزَمُهُ قَضَاؤُهُ لِقُصُورِهِ عَنْ زَمَانِ الْقَضَاءِ.
Pertama: Ia tidak wajib mengganti karena waktunya terlalu singkat untuk diganti.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَلْزُمُهُ قَضَاءُ لَيْلَةٍ بِكَمَالِهَا، لِأَنَّ مَقْصُودَ الْقَسْمِ فِي اللَّيْلِ هُوَ الْوَطْءُ فَإِذَا وَطِئَ فِيهِ غَيْرَهَا، فَكَأَنَّهُ فَوَّتَ عَلَيْهَا جَمِيعَ اللَّيْلَةِ فَلِذَلِكَ لَزِمَهُ قَضَاءُ جَمِيعِهَا مِنْ لَيْلَةِ الْمَوْطُوءَةِ.
Pendapat kedua: Ia wajib mengganti satu malam penuh, karena tujuan pembagian giliran pada malam hari adalah hubungan suami istri, sehingga jika ia menggauli selain istrinya pada malam itu, maka seakan-akan ia telah melewatkan seluruh malam atas istrinya, maka wajib baginya mengganti seluruh malam dari malam istri yang digauli.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنَّ عَلَيْهِ فِي لَيْلَةِ الْمَوْطُوءَةِ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ عِنْدِهَا إِلَى هَذِهِ فَيَطَأَهَا ثُمَّ يَعُودَ إِلَى تِلْكَ لِيُسَوِّيَ بَيْنَهُمَا فِي فِعْلِهِ، وَهَذَا فِي الْقَضَاءِ صَحِيحٌ وَفِي الْوَطْءِ فَاسِدٌ لِاسْتِحْقَاقِ الزَّمَانِ دُونَ الْوَطْءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat ketiga: Bahwa pada malam istri yang digauli, ia harus keluar dari sisi istri itu menuju istri yang lain lalu menggaulinya, kemudian kembali kepada istri yang pertama agar menyamakan perlakuannya kepada keduanya, dan ini dalam hal penggantian waktu adalah benar, namun dalam hal hubungan suami istri adalah tidak sah, karena yang berhak adalah waktu, bukan hubungan suami istri. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَقْسِمَ لَيْلَتَيْنِ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثَلَاثًا كَانَ ذَلِكَ لَهُ وَأَكْرَهُ مُجَاوَزَةَ الثَّلَاثِ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia ingin membagi dua malam-dua malam, atau tiga malam-tiga malam, maka itu boleh baginya, namun aku tidak menyukai jika melebihi tiga malam.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، الْأَوْلَى بِالزَّوْجِ فِي الْقَسْمِ بَيْنَ نِسَائِهِ أَنْ يَقْسِمَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ لَيْلَةً لَيْلَةً اتِّبَاعًا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْقَسْمِ بَيْنَ نِسَائِهِ، وَلِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى استيفاء حقوقهن، فإنه جَعَلَ الْقَسْمَ لَيْلَتَيْنِ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ جَازَ، وَكَذَلِكَ لو جعله ثلاث ليال، لأن آخِرُ حَدِّ الْقِلَّةِ وَأَوَّلُ حَدِّ الْكَثْرَةِ وَلَا اعْتِرَاضَ لَهُنَّ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ بَلْ هُوَ إِلَى خِيَارِهِ دُونَهُنَّ، فَأَمَّا إِنْ أَرَادَ الزِّيَادَةَ عَلَى ثَلَاثٍ، بِأَنْ يَقْسِمَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ أُسْبُوعًا أَوْ شَهْرًا، فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ يقسم مياومة ومشاهرة ومسانهة.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar. Yang utama bagi suami dalam pembagian giliran di antara istri-istrinya adalah membagi untuk masing-masing dari mereka satu malam-satu malam, mengikuti Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam pembagian giliran di antara istri-istrinya, dan karena hal itu lebih mendekatkan pada pemenuhan hak-hak mereka. Jika ia membagi giliran dua malam untuk masing-masing istri, itu boleh, demikian pula jika ia membaginya tiga malam, karena itu adalah batas akhir dari sedikit dan awal dari banyak, dan para istri tidak berhak memprotesnya dalam hal itu, bahkan hal itu merupakan hak pilih suami, bukan hak mereka. Adapun jika ia ingin menambah lebih dari tiga malam, seperti membagi untuk masing-masing istri satu pekan atau satu bulan, maka asy-Syafi‘i dalam kitab al-Imla’ berkata: boleh membagi harian, bulanan, atau tahunan.
وَهَذَا إِنَّمَا يَجُوزُ لَهُ مَعَ رِضَاهُنَّ بِذَلِكَ فَإِنْ لَمْ يَرْضَيْنَ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُجَاوِزَ بِهِنَّ ثَلَاثًا، وَلِأَنَّ مَا زَادَ عَلَى الثَّلَاثِ دَخَلَ فِي الْكَثْرَةِ الَّتِي لَا يُؤْمَنُ تَفْوِيتُ حُقُوقِهِنَّ فِيهَا بِالْمَوْتِ فَإِنْ قَسَمَ لِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ شَهْرًا فَقَدْ أَسَاءَ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَقْسِمَ لِلْبَاقِيَاتِ شَهْرًا شَهْرًا، فَإِذَا اسْتَوْفَيْنَ الشَّهْرَ فَلَهُنَّ أَنْ يُلْزِمْنَهُ تَقْلِيلَ الْقَسْمِ إِلَى ثَلَاثٍ.
Dan hal ini hanya boleh dilakukan jika para istri ridha dengan pembagian tersebut. Jika mereka tidak ridha, maka suami tidak boleh membagi lebih dari tiga malam. Karena pembagian lebih dari tiga malam termasuk dalam kategori banyak, yang dikhawatirkan akan menyebabkan terabaikannya hak-hak mereka, misalnya karena kematian. Jika suami membagi untuk salah satu dari mereka satu bulan, maka ia telah berbuat buruk, dan ia wajib membagi untuk istri-istri yang lain satu bulan-satu bulan. Setelah mereka semua mendapatkan giliran satu bulan, maka para istri berhak memaksanya untuk mengurangi pembagian menjadi tiga malam.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنْ طَلَّقَ وَاحِدَةً مِنْ نِسَائِهِ فِي مُدَّةِ قَسْمِهَا، وَقَدْ بَقِيَتْ مِنْهَا بَقِيَّةٌ فَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ ثَلَاثًا سَقَطَ بَاقِيهِ سَوَاءٌ نَكَحَهَا بَعْدَ زَوْجٍ أَمْ لَا، وَإِنْ كَانَ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْهَا حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا ثُمَّ نَكَحَهَا لَمْ يَقْضِهَا بَقِيَّةَ قَسْمِهَا وَلَا مَا مَضَى مِنْ نَوْبِ الْقَسْمِ بَعْدَ طَلَاقِهَا، وَقَبْلَ نِكَاحِهَا وَإِنْ رَاجَعَهَا فِي الْعِدَّةِ لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَقْضِيَهَا مَا تَجَدَّدَ مِنْ نَوْبِ الْقَسْمِ بَعْدَ طَلَاقِهِ، وَأَمَّا بَقِيَّةُ النَّوْبَةِ الَّتِي كَانَ الطَّلَاقُ فِيهَا فَإِنَّكَ تَنْظُرُ فَإِنْ كَانَتْ آخِرَ النِّسَاءِ قَسْمًا فِي النَّوْبَةِ قَضَاهَا بَقِيَّةَ أَيَّامِهَا فِي تِلْكَ النَّوْبَةِ، لِأَنَّهَا قَدِ اسْتَحَقَّتْهَا بِالْقَسْمِ لِمَنْ تَقَدَّمَهَا وَإِنْ كَانَتْ أَوَّلَ النِّسَاءِ قَسْمًا فِي النَّوْبَةِ لَمْ يَقْضِهَا بَقِيَّةَ أَيَّامِهَا، لِأَنَّهُ ابْتِدَاءُ قَسْمٍ لَمْ يَسْتَحِقَّ اسْتِكْمَالَهُ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَقْسِمَ لِمَنْ سِوَاهَا مِثْلَهُ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أراد أن يتقصر بِهَا عَلَى هَذَا الْقَدْرِ لِيَقْسِمَ لِلْبَاقِيَاتِ مِثْلَهُ جَازَ إِذَا كَانَتْ أَوَّلَهُ وَلَمْ يَجُزْ إِذَا كانت آخره.
Jika suami menceraikan salah satu istrinya pada masa giliran istri tersebut, dan masih tersisa sisa giliran baginya, maka jika talaknya adalah talak tiga, sisa gilirannya gugur, baik suami menikahinya kembali setelah menikah dengan suami lain atau tidak. Jika talaknya adalah talak raj‘i, lalu suami tidak merujuknya hingga selesai masa iddah, kemudian menikahinya kembali, maka ia tidak wajib mengganti sisa gilirannya maupun giliran yang telah berlalu setelah talak, dan sebelum menikahinya kembali. Jika suami merujuknya dalam masa iddah, ia tidak wajib mengganti giliran baru yang muncul setelah talak. Adapun sisa giliran pada waktu terjadinya talak, maka diperhatikan: jika istri tersebut adalah yang terakhir mendapat giliran dalam putaran itu, maka suami wajib mengganti sisa hari gilirannya pada putaran tersebut, karena ia telah berhak mendapatkannya sebagaimana istri-istri sebelumnya. Jika ia adalah yang pertama mendapat giliran dalam putaran itu, maka suami tidak wajib mengganti sisa hari gilirannya, karena itu adalah permulaan giliran yang belum berhak untuk disempurnakan. Suami wajib membagi kepada istri-istri lainnya dengan jumlah yang sama. Tidakkah engkau melihat, jika ia ingin membatasi giliran istri tersebut pada kadar itu agar bisa membagi kepada istri-istri lainnya dengan jumlah yang sama, maka itu boleh jika ia adalah yang pertama, dan tidak boleh jika ia adalah yang terakhir.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَيَقْسِمُ لِلْمَرِيضَةِ وَالرَّتْقَاءِ وَالْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ وَلِلَّتِي آلَى أَوْ ظَاهَرَ مِنْهَا وَلَا يَقْرَبْهَا حَتَّى يُكَفِّرَ لِأَنَّ فِي مَبِيتِهِ سُكْنَى وَإِلْفًا “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Dan suami membagi giliran untuk istri yang sakit, yang mengalami ratq (tertutupnya vagina), yang haid, yang nifas, dan untuk istri yang ia ila’ (bersumpah tidak menggaulinya) atau zhihar (menyamakan punggung istrinya dengan ibunya), dan ia tidak boleh mendekatinya hingga membayar kafarat, karena dalam bermalam bersamanya terdapat ketenangan dan keakraban.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، وَالْقَسْمُ لِلْإِلْفِ وَالسَّكَنِ لَا لِلْجِمَاعِ فَلِذَلِكَ لَزِمَهُ أَنْ يَقْسِمَ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى جِمَاعِهَا أَوْ لَمْ يَقْدِرْ مِنَ الْمَرِيضَةِ وَالرَّتْقَاءِ وَالْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ وَالَّتِي آلَى مِنْهَا أَوْ ظاهر.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, bahwa pembagian giliran itu untuk keakraban dan ketenangan, bukan untuk jima‘ (hubungan badan). Oleh karena itu, suami wajib membagi giliran baik ia mampu menggauli istrinya maupun tidak, baik kepada istri yang sakit, yang mengalami ratq, yang haid, yang nifas, maupun yang di-ila’ atau di-zhihar.
قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: وَيَقْسِمُ لِلْمُحرمَةِ، فَأَمَّا الْمَجْنُونَةُ فَإِنْ أَمِنَهَا عَلَى نَفْسِهِ قَسَمَ لَهَا، وَإِنْ لَمْ يَأْمَنْهَا لَمْ يَقْسِمْ، وَيَقْسِمُ لِذَوَاتِ الْعُيُوبِ مِنَ الْجُذَامِ وَالْبَرَصِ، فَإِنْ عَافَتْهُ نَفْسُهُ فَسَخَ.
Asy-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: Dan suami membagi giliran untuk istri yang sedang ihram. Adapun istri yang gila, jika suami merasa aman dari gangguan dirinya, maka ia membagi giliran untuknya, dan jika tidak merasa aman, maka tidak wajib membagi. Suami juga membagi giliran untuk istri-istri yang memiliki cacat seperti lepra dan vitiligo, namun jika dirinya merasa jijik, maka ia boleh membatalkan pernikahan.
وَإِذَا وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَسْمُ لِمَنْ ذَكَرْنَاهُ فَلَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِالْمَرِيضَةِ فِيمَا سِوَى الْوَطْءِ إِذَا كَانَ يَضُرُّهَا.
Dan apabila wajib baginya membagi giliran kepada istri-istri yang telah disebutkan, maka ia boleh menikmati istri yang sakit dalam hal selain hubungan badan jika hal itu membahayakan istri.
وَأَمَّا الرَّتْقَاءُ فَيَسْتَمْتِعُ بِمَا أَمْكَنَ مِنْهَا.
Adapun istri yang mengalami ratq, maka suami boleh menikmati bagian tubuh yang memungkinkan darinya.
وَأَمَّا الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ فَيَسْتَمْتِعُ بِهَا دُونَ الْفَرْجِ.
Adapun istri yang haid dan nifas, maka suami boleh menikmatinya selain pada kemaluan.
وَأَمَّا الَّتِي آلَى مِنْهَا فَلَهُ وطئها وَيُكَفِّرُ عَنْ يَمِينِهِ.
Adapun istri yang di-ila’, maka suami boleh menggaulinya dan membayar kafarat atas sumpahnya.
وَأَمَّا الَّتِي ظَاهَرَ مِنْهَا فليس له وطئها.
Adapun istri yang di-zhihar, maka suami tidak boleh menggaulinya.
وَفِي إِبَاحَةِ التَّلَذُّذِ فِيمَا سِوَى الْوَطْءِ وَجْهَانِ، وَأَمَّا الْمُحْرِمَةُ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الِاسْتِمْتَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهَا، وَعَلَى الْمَجْبُوبِ وَالْعِنِّينِ أَنْ يَقْسِمَ لِنِسَائِهِ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى جِمَاعِهِنَّ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ مَقْصُودِ الْقَسْمِ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ الزَّوْجُ مَرِيضًا لَزِمَهُ الْقَسْمُ لَهُنَّ كَالصَّحِيحِ، وَلَوْ كَانَ عبداً لزمه القسم كالحر.
Dalam hal kebolehan menikmati selain dari hubungan badan, terdapat dua pendapat. Adapun terhadap istri yang sedang ihram, maka tidak boleh baginya untuk menikmati apa pun darinya. Bagi laki-laki yang majbūb (terputus alat kelaminnya) dan ‘innīn (impoten), wajib membagi giliran kepada istri-istrinya meskipun ia tidak mampu berhubungan badan dengan mereka, sebagaimana telah kami sebutkan tentang tujuan pembagian giliran. Demikian pula jika suami sedang sakit, maka ia tetap wajib membagi giliran kepada mereka sebagaimana orang yang sehat. Jika ia seorang budak, maka ia juga wajib membagi giliran sebagaimana orang merdeka.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وإن أحب أن يلزم منزلاً يأتيه فِيهِ كَانَ ذَلِكَ لَهُ عَلَيْهِنَّ فَأَيَّتُهُنَ امْتَنَعَتْ سَقَطَ حَقُّهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia ingin menetap di satu rumah dan para istrinya mendatanginya di sana, maka itu boleh baginya atas mereka. Maka siapa pun di antara mereka yang menolak, gugurlah haknya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ لِلزَّوْجِ الْخِيَارَ فِي الْقَسْمِ بَيْنَ أَنْ يَطُوفَ عَلَيْهِنَّ فِي مَسَاكِنِهِنَّ فَيُقِيمُ عِنْدَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فِي زَمَانِ قَسْمِهَا كَمَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَعَ نِسَائِهِ وَبَيْنَ أَنْ يُقِيمَ فِي مَنْزِلٍ وَيَأْمُرُهُنَّ بِإِتْيَانِهِ فِيهِ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَتُقِيمُ عِنْدَهُ مُدَّةَ قَسْمِهَا، وَالْأَوَّلُ أَوْلَاهُمَا بِهِ اقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي قَسْمِهِ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ أَصْوَنُ لَهُنَّ وَأَجْمَلُ فِي عِشْرَتِهِنَّ فَلَوْ أَمَرَهُنَّ بِإِتْيَانِهِ فَامْتَنَعَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ أَنْ تَأْتِيَهُ فَإِنْ كَانَ لِمَرَضٍ عُذِرَتْ وكانت على حقها من القسم النفقة، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ مَرَضٍ وَلَا عُذْرٍ صَارَتْ بِامْتِنَاعِهَا نَاشِزًا وَسَقَطَ حَقُّهَا مِنَ الْقَسْمِ وَالنَّفَقَةِ، لِأَنَّ عَلَيْهَا قَصْدَهُ وَلَيْسَ عَلَيْهِ قَصْدُهَا أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ أَرَادَ أَنْ يُسَافِرَ بِهَا لَزِمَهَا اتِّبَاعُهُ، وَلَوْ أَرَادَتْ أَنْ تُسَافِرَ بِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ اتِّبَاعُهَا، فَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الْمَرْأَةُ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْدَارِ وَالْخَفَرِ اللَّاتِي لَمْ تَجُزْ عَادَتُهُنَّ بِالْبُرُوزِ صِينَتْ عَنِ الْخُرُوجِ إِلَيْهِ، وَلَمْ يَلْزَمْهَا اتِّبَاعُهُ وَوَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا فِي مَنْزِلِهَا.
Al-Māwardī berkata: Ketahuilah bahwa suami memiliki pilihan dalam pembagian giliran, antara mendatangi istri-istrinya di rumah mereka masing-masing dan bermalam di setiap rumah sesuai giliran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ﷺ terhadap istri-istrinya, atau ia menetap di satu rumah dan memerintahkan mereka untuk mendatanginya di rumah itu, sehingga setiap istri bermalam di sana sesuai gilirannya. Pilihan pertama lebih utama, mengikuti Rasulullah ﷺ dalam pembagian giliran, dan karena itu lebih menjaga kehormatan mereka serta lebih baik dalam pergaulan. Jika ia memerintahkan mereka untuk mendatanginya, lalu salah satu dari mereka menolak, maka jika penolakan itu karena sakit, ia dimaafkan dan tetap berhak atas giliran dan nafkah. Namun jika tanpa alasan sakit atau uzur, maka dengan penolakannya ia menjadi nāsyiz (durhaka) dan gugur haknya atas giliran dan nafkah, karena kewajiban istri adalah mendatangi suami, bukan sebaliknya. Bukankah jika suami ingin bepergian dengannya, istri wajib mengikutinya, sedangkan jika istri ingin bepergian dengan suami, suami tidak wajib mengikutinya? Jika istri tersebut termasuk wanita terpandang dan terhormat yang tidak biasa keluar rumah, maka ia terjaga dari kewajiban keluar, tidak wajib mengikutinya, dan suami wajib membagi giliran untuknya di rumahnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا حُبِسَ الزَّوْجُ، أَمْكَنَ نسائه أَنْ يَأْوِينَ مَعَهُ فِي حَبْسِهِ، فَهُنَّ عَلَى حُقُوقِهِنَّ مِنَ الْقَسْمِ لِأَنَّ حَالَهُ فِي الْحَبْسِ كَحَالِهِ فِي مَنْزِلِهِ، وَلَوْ لَمْ يُمْكِنْهُنَّ ذَلِكَ لِكَثْرَةِ مَنْ مَعَهُ فِي الْحَبْسِ مِنَ الرِّجَالِ أَوْ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ النَّاسِ سَقَطَ الْقَسْمُ.
Jika suami dipenjara, dan memungkinkan bagi istri-istrinya untuk tinggal bersamanya di penjara, maka mereka tetap berhak atas pembagian giliran, karena keadaannya di penjara sama seperti di rumahnya. Namun jika tidak memungkinkan karena banyaknya laki-laki lain di penjara atau karena ia terlarang dari orang lain, maka gugurlah pembagian giliran.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَكَذَلِكَ الْمُمْتَنِعَةُ بِالْجُنُونِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Demikian pula istri yang menolak karena gila.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا بِأَنَّ الْمَجْنُونَةَ إِذَا خَافَ عَلَى نَفْسِهِ مِنْهَا سَقَطَ قَسْمُهَا، فَأَمَّا الَّذِي لَا يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ جُنُونِهَا فَالْقَسْمُ لَهَا وَاجِبٌ، لِأَنَّ فِيهِ إِلْفًا لَهَا وَسَكَنًا، فَإِنِ امْتَنَعَتْ عَلَيْهِ بِالْجُنُونِ جَرَى عَلَيْهَا حُكْمُ النُّشُوزِ وَإِنْ لَمْ تَأْثَمْ، وَسَقَطَ بِذَلِكَ قَسْمُهَا وَنَفَقَتُهَا، لِأَنَّهَا فِي مقابلة استمتاع قد فات عليها بِامْتِنَاعِهَا وَإِنْ عُذِرَتْ، لِأَنَّ حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ تَسْتَوِي فِي الْوُجُوبِ مَعَ الْعُذْرِ وَالِاخْتِيَارِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُؤَجِّرَ إِذَا امْتَنَعَ مِنْ تَسْلِيمِ مَا أَجَّرَ لِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِ عُذْرٍ سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الْأُجْرَةِ ثُمَّ إِذَا سَقَطَ قَسْمُهَا بِالِامْتِنَاعِ قَسَمَ بَيْنَ الْبَاقِيَاتِ مِنْ نِسَائِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ نَشَزَتْ عَلَيْهِ وَهِيَ عَاقِلَةٌ سَقَطَ حَقُّهَا، وَكَانَ الْقَسْمُ لِمَنْ سِوَاهَا، فَلَوْ أَقْلَعَتْ عَنِ النُّشُوزِ عاد قسمها معهن كالذي كان.
Al-Māwardī berkata: Telah kami sebutkan bahwa jika istri yang gila dikhawatirkan membahayakan suaminya, maka gugur hak pembagian gilirannya. Adapun jika tidak dikhawatirkan bahaya dari kegilaannya, maka pembagian giliran tetap wajib baginya, karena di dalamnya terdapat keakraban dan ketenangan untuknya. Jika ia menolak karena gila, maka berlaku hukum nushūz (pembangkangan) atasnya meskipun ia tidak berdosa, dan dengan itu gugur hak giliran dan nafkahnya, karena ia tidak dapat memberikan kenikmatan yang menjadi hak suami, meskipun ia memiliki uzur. Sebab, hak-hak sesama manusia tetap setara dalam kewajiban, baik ada uzur maupun tidak. Bukankah jika seorang penyewa menolak menyerahkan barang sewa karena uzur atau tanpa uzur, maka gugur haknya atas upah? Jika hak giliran istri gugur karena penolakan, maka giliran dibagi kepada istri-istri yang lain. Demikian pula jika istri membangkang dalam keadaan berakal, maka gugur haknya dan giliran diberikan kepada selainnya. Jika ia berhenti dari pembangkangan, maka hak gilirannya kembali seperti semula.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ سَافَرَتْ بِإِذْنِهِ فَلَا قَسْمَ لَهَا وَلَا نَفَقَةَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ هُوَ أَشْخَصَهَا فَيَلْزَمُهُ كُلُّ ذَلِكَ لَهَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika istri bepergian dengan izin suami, maka ia tidak berhak atas giliran dan nafkah, kecuali jika suami yang menyuruhnya bepergian, maka wajib baginya memberikan keduanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ سَفَرِهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ تَكُونَ مَعَ الزَّوْجِ أَوْ مُنْفَرِدَةً عَنْهُ، فَإِنْ سَافَرَتْ مَعَ الزَّوْجِ كَانَتْ عَلَى حَقِّهَا مِنَ النَّفَقَةِ وَالْقَسْمِ ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ سَافَرَ بِهَا بِالْقُرْعَةِ لَمْ يَقْضِ بَاقِي نِسَائِهِ مَا أَقَامَ مَعَهَا، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ قُرْعَةٍ قَضَاهُنَّ مُدَّةَ سَفَرِهَا مَعَهُ وَإِنْ سَافَرَتْ مُنْفَرِدَةً فَعَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa keadaan safar (perjalanan) seorang istri tidak lepas dari dua kemungkinan: pertama, ia bepergian bersama suaminya atau bepergian sendiri tanpa suaminya. Jika ia bepergian bersama suaminya, maka ia tetap berhak atas nafkah dan giliran (qasm)nya. Kemudian diperhatikan: jika suami membawanya bepergian dengan cara undian (qur‘ah), maka ia tidak perlu mengganti giliran istri-istri lainnya selama ia bersama istri yang dibawa itu. Namun jika tanpa undian, maka suami wajib mengganti giliran istri-istri lainnya selama masa safar bersama istri tersebut. Jika istri bepergian sendiri, maka ada dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: بِإِذْنِهِ.
Pertama: Dengan izin suaminya.
وَالثَّانِي: بِغَيْرِ إِذْنِهِ.
Kedua: Tanpa izin suaminya.
فَإِنْ سَافَرَتْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَلَا قَسْمَ لَهَا وَلَا نَفَقَةَ، وَهِيَ فِي سَفَرِهَا آثِمَةٌ وَصَارَتْ أَسْوَأَ حَالًا مِنَ الْمُقِيمَةِ النَّاشِزَةِ، وَإِنْ سَافَرَتْ بِإِذْنِهِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا لَهَا الْقَسْمُ وَالنَّفَقَةُ وَقَالَ فِي كِتَابِ النَّفَقَاتِ لَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا قَسْمَ، فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى طَرِيقَيْنِ:
Jika ia bepergian tanpa izin suaminya, maka ia tidak berhak atas giliran maupun nafkah, dan dalam perjalanannya itu ia berdosa serta keadaannya lebih buruk daripada istri yang tinggal di rumah namun nusyuz (membangkang). Jika ia bepergian dengan izin suaminya, maka menurut pendapat asy-Syafi‘i di sini, ia berhak atas giliran dan nafkah. Namun dalam Kitab an-Nafaqat, asy-Syafi‘i berpendapat bahwa ia tidak berhak atas nafkah maupun giliran. Maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ أَنَّ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ:
Pertama: Ini adalah pendapat Abu Hamid al-Isfarayini, bahwa perbedaan ini berdasarkan dua pendapat (qawl):
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ لَهَا الْقَسْمُ وَالنَّفَقَةُ، لِأَنَّهَا لَمَّا خَرَجَتْ بِإِذْنِهِ مِنَ الْمَأْثَمِ خَرَجَتْ مِنْ حُكْمِ النُّشُوزِ.
Pertama: Dan ini adalah pendapat yang dinyatakan secara eksplisit dalam masalah ini, yaitu ia berhak atas giliran dan nafkah, karena ketika ia keluar dengan izin suaminya, ia keluar dari dosa dan juga keluar dari hukum nusyuz.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي النَّفَقَاتِ لَا قَسْمَ لَهَا وَلَا نَفَقَةَ، لِأَنَّهُمَا فِي مُقَابَلَةِ اسْتِمْتَاعٍ قَدْ فَاتَ عَلَيْهِ وَإِنْ عُذِرَتْ.
Pendapat kedua: Dan ini adalah pendapat yang dinyatakan secara eksplisit dalam Kitab an-Nafaqat, yaitu ia tidak berhak atas giliran maupun nafkah, karena keduanya (giliran dan nafkah) merupakan kompensasi dari kenikmatan (istimta‘) yang telah terlewatkan darinya, meskipun ia memiliki uzur.
وَالطَّرِيقَةُ الثَّانِيَةُ: وَهِيَ طَرِيقَةُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ، وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَالَّذِي قَالَهُ هَاهُنَا فِي وُجُوبِ الْقَسْمِ لَهَا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهَا سَافَرَتْ بِإِذْنِهِ فِيمَا يَخُصُّهُ مِنْ أَشْغَالِهِ، لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَسْتَوْفِيَ حَقَّهُ مِنْهَا بِالِاسْتِمْتَاعِ وَغَيْرِهِ وَالَّذِي قَالَهُ فِي كِتَابِ النَّفَقَاتِ أَنَّهُ لَا قَسْمَ لَهَا إِذَا سَافَرَتْ بِإِذْنِهِ فِيمَا يَخُصُّهَا مِنْ أَشْغَالِهَا لِأَنَّهُ تَصَرُّفٌ قَدِ انْصَرَفَ إِلَيْهَا دُونَهُ، وَإِنْ عُذِرَتْ وَيَكُونُ تَأْثِيرُ إِذْنِهِ فِي رَفْعِ الْمَأْثَمِ لَا فِي وُجُوبِ الْقَسْمِ.
Pendapat kedua: Ini adalah pendapat Abu Hamid al-Marwazi, bahwa perbedaan itu bukan berdasarkan dua pendapat (qawl), melainkan berdasarkan dua keadaan. Apa yang dinyatakan di sini tentang wajibnya giliran baginya, itu berlaku jika ia bepergian dengan izin suaminya dalam urusan yang berkaitan dengan kepentingan suaminya, karena suami masih dapat mengambil haknya dari istri berupa istimta‘ dan lainnya. Sedangkan yang dinyatakan dalam Kitab an-Nafaqat bahwa ia tidak berhak atas giliran, itu berlaku jika ia bepergian dengan izin suaminya dalam urusan yang berkaitan dengan kepentingan pribadinya, karena itu merupakan tindakan yang hanya kembali kepada dirinya, bukan kepada suaminya, meskipun ia memiliki uzur. Maka pengaruh izin suami di sini hanya menghilangkan dosa, bukan mewajibkan giliran.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وَعَلَى وَلِيِّ الْمَجْنُونِ أَنْ يَطُوفَ بِهِ عَلَى نِسَائِهِ أَوْ أَنْ يَأْتِيَهُ بِهِنَّ وَإِنْ عَمَدَ أَنْ يَجُورَ بِهِ أَثِمَ “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Wali dari orang gila wajib membawanya berkeliling kepada istri-istrinya atau mendatangkan istri-istrinya kepadanya. Jika ia sengaja berbuat zalim dalam hal ini, maka ia berdosa.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا كَانَ لِلْمَجْنُونِ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ وَذَلِكَ بِأَنْ يَتَزَوَّجَهُنَّ فِي حَالِ صِحَّتِهِ ثُمَّ يَطْرَأُ عَلَيْهِ الْجُنُونُ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ وَقْتَ الْعَقْدِ مَجْنُونًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَوَّجَ بِأَكْثَرَ مِنْ وَاحِدَةٍ إِنِ احْتَاجَ إِلَيْهَا فَالْقَسْمُ لِنِسَائِهِ وَاجِبٌ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُكَلَّفٍ، لِأَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَأَشْبَهَ النَّفَقَةَ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَعَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يَسْتَوْفِيَ مِنْهُ حُقُوقَ نِسَائِهِ مِنَ الْقَسْمِ، لِأَنَّ فِيهِ سَكَنًا لَهُ وَلَهُنَّ وَيَفْعَلُ الْوَلِيُّ أَصَحَّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ إِفْرَادِهِ بِمَسْكَنٍ يَأْمُرُهُنَّ بِإِتْيَانِهِ فِيهِ، وَبَيْنَ أَنْ يُطِيفَ بِهِ عَلَيْهِنَّ فِي مَسَاكِنِهِنَّ، فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ رَتَّبَهُنَّ فِي الْقَسْمِ وَقَدَّرَ زَمَانَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ أَجْرَاهُ الْوَلِيُّ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مَنْ قَسْمِهِ فِي التَّرْتِيبِ وَالتَّقْدِيرِ، وَإِنْ لَمْ يَتَقَدَّمِ الزَّوْجُ لَهُنَّ اسْتَأْنَفَ الْوَلِيُّ بِالْقُرْعَةِ مَنْ يُقَدِّمُهَا مِنْهُنَّ وَقَدَّرَ لَهَا مِنْ مُدَّةِ الْقَسْمِ مَا يَرَاهُ أَصْلَحَ لَهُ وَلَهُنَّ وَلَا يَزِيدُ عَلَى ثَلَاثٍ فَإِنْ عَمَدَ الْوَلِيُّ أَنْ يَجُورَ بِهِ فِي الْقَسْمِ أَثِمَ فِي حَقِّهِ وَحُقُوقِهِنَّ وَلَا عِوَضَ لَهُنَّ عَلَى مَا فَوَّتَ مِنْ قَسْمِهِنَّ، لِأَنَّ الْمُعَارَضَةَ عَلَيْهِ لَا تَجُوزُ فَإِنْ أَفَاقَ الزَّوْجُ وَقَدْ جَارَ بِهِ الْوَلِيُّ نُظِرَ فِي جَوْرِهِ، فَإِنْ كَانَ يَمْنَعُ الزَّوْجَ مِنْ جَمِيعِهِنَّ فَلَا قَضَاءَ عَلَى الزَّوْجِ بَعْدَ إِفَاقَتِهِ لِتَسَاوِيهِنَّ فِي سُقُوطِ الْقَسْمِ وَيَسْتَأْنِفُ الزَّوْجُ لَهُنَّ الْقَسْمَ، وَإِنْ كَانَ جَوْرُ الْوَلِيِّ بِهِ أَنْ أَقَامَهُ عِنْدَ بَعْضِهِنَّ وَمَنَعَهُ مِنْ بَاقِيهِنَّ، فَعَلَى الزَّوْجِ بَعْدَ إِفَاقَتِهِ قَضَاءُ الْبَاقِيَاتِ بِمَا فَوَّتَهُ الْوَلِيُّ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْقَسْمِ.
Al-Mawardi berkata: “Dan ini benar, apabila seorang gila memiliki empat istri, yaitu dengan cara ia menikahi mereka saat ia masih sehat, kemudian setelah itu ia mengalami kegilaan. Sebab, jika pada saat akad ia sudah gila, maka tidak boleh ia dinikahkan dengan lebih dari satu istri jika memang ia membutuhkannya. Maka, pembagian giliran (qasm) kepada para istrinya tetap wajib, meskipun ia bukan mukallaf, karena itu termasuk hak-hak manusia (huqūq al-ādāmiyyīn), sehingga menyerupai nafkah. Oleh karena itu, wali wajib memenuhi hak-hak para istrinya dalam hal pembagian giliran, karena di dalamnya terdapat ketenangan bagi dirinya dan bagi mereka. Wali melakukan salah satu dari dua cara yang lebih sahih: yaitu dengan menempatkannya di satu rumah dan memerintahkan para istrinya untuk mendatanginya di sana, atau dengan membawa suami itu berkeliling ke rumah-rumah para istrinya. Jika suami telah mengatur giliran dan menentukan waktu masing-masing istri, maka wali menjalankan pembagian itu sesuai dengan urutan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Namun jika suami belum menentukan, maka wali memulai dengan undian untuk menentukan siapa yang didahulukan, lalu menetapkan masa giliran sesuai yang dianggap paling maslahat bagi suami dan para istrinya, dan tidak boleh lebih dari tiga hari. Jika wali sengaja berbuat zalim dalam pembagian giliran, maka ia berdosa terhadap suami dan hak-hak para istri, dan para istri tidak berhak mendapat kompensasi atas giliran yang terlewat, karena tidak boleh ada tuntutan atas hal itu. Jika suami sembuh dan ternyata wali telah berbuat zalim dalam pembagian giliran, maka dilihat bentuk kezalimannya: jika wali mencegah suami dari seluruh istrinya, maka setelah suami sembuh tidak ada qadha (penggantian) atas suami karena semua istri sama-sama kehilangan hak giliran, dan suami memulai pembagian giliran dari awal. Namun jika kezalimannya adalah dengan menempatkan suami hanya pada sebagian istri dan mencegahnya dari yang lain, maka setelah suami sembuh, ia wajib mengganti giliran yang terlewat bagi istri-istri yang tidak mendapat giliran akibat perbuatan wali.
فَصْلٌ
Fashl (Bagian)
وَإِذَا خِفْنَ عَلَى أَنْفُسِهِنَّ مِنْ جُنُونِ الزَّوْجِ سَقَطَ بِذَلِكَ حَقُّهُ مِنَ الْقَسْمِ، وَلَمْ تَسْقُطْ حُقُوقُهُنَّ فَإِنْ طَلَبْنَ الْقَسْمَ مَعَ الْخَوْفِ وَجَبَ عَلَى الْوَلِيِّ أَنْ يَقْسِمَ لَهُنَّ مِنَ الزَّوْجِ إِلَّا أَنْ يَرَى مِنَ الْأَصْلَحِ لَهُ أَنْ لَا يُقِيمَ عِنْدَ وَاحِدَةٍ منهن فسقط قسمهن.
Jika para istri khawatir terhadap keselamatan diri mereka akibat kegilaan suami, maka hak suami atas pembagian giliran gugur karenanya, namun hak-hak para istri tidak gugur. Jika mereka tetap meminta pembagian giliran meski dalam keadaan takut, maka wali wajib membagikan giliran dari suami kepada mereka, kecuali jika wali memandang lebih maslahat bagi suami untuk tidak tinggal bersama salah satu dari mereka, maka hak giliran mereka gugur.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” فَإِنْ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ واحدةٍ فِي اللَّيْلِ أَوْ أَخْرَجَهُ سلطانٌ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُوَفِّيَهَا مَا بَقِيَ مِنْ لَيْلَتِهَا “.
Asy-Syafi‘i berkata: “Jika ia keluar dari rumah salah satu istrinya pada malam hari, atau dikeluarkan oleh penguasa, maka ia wajib memenuhi sisa malam itu untuk istrinya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ الزَّوْجُ عِنْدَ إِحْدَى نِسَائِهِ فِي زَمَانِ قَسْمِهَا فَخَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا أَوْ أَخْرَجَهُ السُّلْطَانُ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: “Ini sebagaimana yang dikatakan: Jika suami berada di rumah salah satu istrinya pada waktu giliran, lalu ia keluar dari rumahnya atau dikeluarkan oleh penguasa, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ نَهَارًا فَلَا قَضَاءَ لَهَا عَلَيْهِ، لِأَنَّ النَّهَارَ زَمَانُ التَّصَرُّفِ وَإِنَّمَا يَدْخُلُ فِي الْقَسْمِ تَبَعًا لِلَّيْلِ، وَأَنَّهُ لَا حق فيه لغيرها من نسائه.
Pertama: Jika itu terjadi pada siang hari, maka tidak ada kewajiban qadha (mengganti giliran) baginya, karena siang hari adalah waktu untuk beraktivitas, dan hak giliran hanya berlaku pada malam hari, serta tidak ada hak bagi istri lain pada waktu itu.
والضرب الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لَيْلًا فَإِنْ خَرَجَ لِغَيْرِ ضَرُورَةٍ أَثِمَ وَقَضَى، وَإِنْ خَرَجَ لِضَرُورَةٍ لَمْ يَأْثَمْ، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ إِنْ لَمْ يَظْلِمْ بِالْخُرُوجِ، وَإِنْ كَانَ مَظْلُومًا بِإِخْرَاجِهِ لِأَنَّ السُّلْطَانَ أَكْرَهَهُ عَلَى الْخُرُوجِ ظُلْمًا فَفِي وُجُوبِ الْقَضَاءِ وَجْهَانِ:
Kedua: Jika itu terjadi pada malam hari, maka jika ia keluar tanpa ada kebutuhan mendesak, ia berdosa dan wajib mengganti giliran. Jika ia keluar karena kebutuhan mendesak, maka ia tidak berdosa, namun tetap wajib mengganti giliran selama ia tidak dizalimi dengan keluarnya itu. Jika ia dizalimi dengan dipaksa keluar, misalnya penguasa memaksanya keluar secara zalim, maka dalam hal kewajiban mengganti giliran terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ لِأَنَّ إِكْرَاهَ السُّلْطَانِ عُذْرٌ وَالْأَعْذَارُ لَا تُسْقِطُ قَضَاءَ الْقَسْمِ.
Pertama: Ia tetap wajib mengganti giliran, karena paksaan dari penguasa adalah uzur (alasan yang dibenarkan), dan uzur tidak menggugurkan kewajiban mengganti giliran.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَيَكُونُ السُّلْطَانُ قَدِ اسْتَهْلَكَ عَلَيْهِمَا حَقَّهُمَا فِي زَمَانِ الْإِكْرَاهِ فَلَا يَصِيرُ الزَّوْجُ مُخْتَصًّا بِذَلِكَ دُونَهَا.
Pendapat kedua: Ia tidak wajib mengganti giliran, dan penguasa dianggap telah menghilangkan hak keduanya pada waktu paksaan itu, sehingga suami tidak menjadi khusus (memiliki keistimewaan) atas waktu itu dibandingkan istrinya.
فَصْلٌ
Fashl (Bagian)
فَإِذَا أَرَادَ قَضَاءَ مَا وَجَبَ مِنْ زَمَانِ خُرُوجِهِ فِي اللَّيْلِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ قَدْ خَرَجَ النِّصْفَ الثَّانِي مِنَ اللَّيْلِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْضِيَهَا فِي النِّصْفِ الْأَوَّلِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ خَرَجَ فِي النِّصْفِ الْأَوَّلِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْضِيَهَا فِي النِّصْفِ الثَّانِي، وَقَضَى كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ النِّصْفَيْنِ فِي مِثْلِهِ، فَإِذَا أَرَادَ قَضَاءَ النِّصْفِ الْأَوَّلِ أَقَامَ عِنْدَهَا النِّصْفَ الْأَوَّلَ مِنَ اللَّيْلِ ثُمَّ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا فَأَقَامَ لَا عِنْدَ وَاحِدَةٍ مِنْ نِسَائِهِ حَتَّى يَسْتَأْنِفَ لَهُنَّ لَيَالٍ كَوَامِلَ، وَإِذَا أَرَادَ قَضَاءَ النِّصْفِ الثَّانِي أَقَامَ فِي النِّصْفِ الْأَوَّلِ لَا عِنْدَ وَاحِدَةٍ مِنْ نِسَائِهِ فَإِذَا دَخَلَ النِّصْفُ الثَّانِي أَقَامَ فِيهِ عِنْدَ صَاحِبَةِ الْقَضَاءِ، وَلَا يَأْوِي فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ عِنْدَ زَوْجَةٍ إِلَّا فِي نِصْفِ الْقَضَاءِ وَحْدَهُ حَتَّى يَتَبَعَّضَ اللَّيْلُ فِي قَسْمِهِنَّ فَذَلِكَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ، لِأَنَّهُ لَا يَكْمُلُ بِهِ إِلْفٌ وَلَا سُكْنَى.
Jika ia ingin mengqadha apa yang menjadi kewajibannya dari waktu keluar pada malam hari, maka diperhatikan: jika ia keluar pada separuh kedua malam, tidak boleh ia mengqadhanya pada separuh pertama; dan jika ia keluar pada separuh pertama, tidak boleh ia mengqadhanya pada separuh kedua. Ia harus mengqadha masing-masing dari kedua separuh malam itu pada waktu yang serupa. Jika ia ingin mengqadha separuh pertama malam, maka ia tinggal bersamanya pada separuh pertama malam, kemudian keluar dari sisinya dan tidak tinggal di sisi salah satu istrinya hingga ia memulai malam-malam yang baru untuk mereka secara penuh. Dan jika ia ingin mengqadha separuh kedua, maka ia tidak tinggal di sisi salah satu istrinya pada separuh pertama malam, lalu ketika masuk separuh kedua, ia tinggal pada separuh itu di sisi istri yang berhak atas qadha. Ia tidak boleh bermalam di sisi istri mana pun pada malam itu kecuali hanya pada separuh qadha saja, sehingga malam itu terbagi-bagi dalam pembagian di antara mereka, dan hal itu dilarang, karena dengan cara itu tidak akan tercapai keakraban dan ketenangan secara sempurna.
وَأَقَلُّ زَمَانِ الْقَسْمِ لَيْلَةٌ بِكَمَالِهَا، وَيَكُونُ الْيَوْمُ تَبَعًا لَهَا فَلَوْ أَرَادَ أَنْ يَقْسِمَ لِإِحْدَى نِسَائِهِ لَيْلَةً بِلَا يَوْمٍ وَالْأُخْرَى يَوْمًا بِلَا لَيْلَةٍ لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّ لَيْلَ الْقَسْمِ مَقْصُودٌ وَنَهَارَهُ تَبَعٌ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Waktu minimal pembagian (giliran) adalah satu malam penuh, dan siang harinya mengikuti malam tersebut. Jika seseorang ingin membagi untuk salah satu istrinya satu malam tanpa siang, dan untuk yang lain siang tanpa malam, maka itu tidak diperbolehkan, karena malam dalam pembagian adalah tujuan utama dan siangnya hanya mengikuti, dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَيْسَ لِلْإِمَاءِ قسمٌ وَلَا يُعَطَّلْنَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Budak perempuan tidak memiliki hak pembagian (giliran), dan mereka tidak boleh ditelantarkan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا قَسْمَ لِلْإِمَاءِ فِي بَعْضِهِنَّ مَعَ بَعْضٍ وَلَا مَعَ الْحَرَائِرِ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا كَانَ يَقْسِمُ لِمَارِيَةَ وَلَا لِرَيْحَانَةَ مَعَ نِسَائِهِ، وَلِأَنَّ الْقَسْمَ مِنْ أَحْكَامِ الزَّوْجِيَّةِ فَاخْتَصَّ بِالزَّوْجَاتِ دُونَ الْإِمَاءِ كَالظِّهَارِ وَالْإِيلَاءِ، وَلِأَنَّ مَقْصُودَ الْقَسْمِ الِاسْتِمْتَاعُ وَلَا حَقَّ لِلْإِمَاءِ فِي الِاسْتِمْتَاعِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ كَانَ السَّيِّدُ مَجْنُونًا أَوْ عِنِّينًا لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ خِيَارٌ فَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ قَسْمٌ.
Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang beliau katakan, bahwa tidak ada pembagian (giliran) bagi budak perempuan, baik di antara mereka sendiri maupun dengan para istri merdeka, karena Rasulullah ﷺ tidak membagi giliran untuk Maria maupun Raihanah bersama istri-istrinya. Dan karena pembagian (giliran) merupakan salah satu hukum pernikahan, maka ia dikhususkan untuk para istri, tidak untuk budak perempuan, sebagaimana hukum zhihar dan ila’. Dan karena tujuan dari pembagian (giliran) adalah kenikmatan (istimta‘), sedangkan budak perempuan tidak memiliki hak dalam kenikmatan, berdasarkan dalil bahwa jika tuannya gila atau impoten, mereka tidak memiliki hak untuk memilih (fasakh), maka karena itu mereka tidak memiliki hak pembagian (giliran).
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَلَا يُعَطَّلْنَ ” فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Imam Syafi‘i berkata: “Dan mereka tidak boleh ditelantarkan,” dalam hal ini terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يُعَطَّلْنَ مِنَ الْقَسْمِ يَعْنِي فِي السَّرَارِي.
Pertama: Mereka tidak boleh ditelantarkan dari pembagian (giliran), maksudnya pada budak perempuan yang menjadi selir.
وَالثَّانِي: لَا يُعَطَّلْنَ مِنَ الْجِمَاعِ لِأَنَّهُ أَحْصَنُ لَهُنَّ وَأَغَضُّ لِطَرْفِهِنَّ، وَأَبْعَدُ لِلرِّيبَةِ مِنْهُنَّ، فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ لَهُ إِمَاءٌ سَرَارِي وَزَوْجَاتٌ فَأَقَامَ عِنْدَ الْإِمَاءِ وَاعْتَزَلَ الْحَرَائِرَ أَوْ أَقَامَ عِنْدَ وَاحِدَةٍ مِنْ إِمَائِهِ وَاعْتَزَلَ بَاقِيهُنَّ وَجَمِيعَ الْحَرَائِرِ جَازَ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ لِلْحَرَائِرِ لِأَنَّ الْقَضَاءَ إِنَّمَا يَجِبُ فِي الْقَسْمِ الْمُسْتَحَقِّ، وَلَيْسَ مُقَامُهُ عِنْدَ الْأَمَةِ قَسْمًا مُسْتَحَقًّا فَلَمْ يَقْضِهِ وَجَرَى مَجْرَى مُقَامِهِ مُعْتَزِلًا عَنْ إِمَائِهِ وَنِسَائِهِ.
Kedua: Mereka tidak boleh ditelantarkan dari hubungan suami istri, karena hal itu lebih menjaga kehormatan mereka, lebih menundukkan pandangan mereka, dan lebih menjauhkan dari kecurigaan terhadap mereka. Berdasarkan hal ini, jika seseorang memiliki budak perempuan selir dan istri-istri merdeka, lalu ia tinggal bersama budak perempuan dan meninggalkan para istri merdeka, atau ia tinggal bersama salah satu budak perempuannya dan meninggalkan yang lain serta seluruh istri merdekanya, maka hal itu diperbolehkan dan tidak ada kewajiban qadha atas para istri merdeka, karena qadha hanya wajib pada pembagian (giliran) yang menjadi hak, sedangkan tinggalnya ia di sisi budak perempuan bukanlah pembagian (giliran) yang menjadi hak, maka tidak wajib mengqadhanya, dan hal itu sama seperti ia tinggal dengan menjauhi budak-budak perempuannya dan istri-istrinya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِذَا ظَهَرَ الْإِضْرَارُ مِنْهُ بِامْرَأَتِهِ أَسْكَنَّاهَا إِلَى جَنْبِ مَنْ نَثِقُ بِهِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika tampak adanya tindakan menyakiti dari seorang suami terhadap istrinya, maka kami tempatkan ia di samping orang yang kami percaya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَأَمَّا إِذَا ظَهَرَ مِنْهُ إِضْرَارٌ لَمْ يَشْتَبِهْ فِيهِ حَالُهُ كُفَّ عَنْهُ وَأُمِرَ بِإِزَالَتِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تعالى: {وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} فَأَمَّا إِذَا أَشْبَهَتْ حَالُهُ فِيهِ فَإِنِ ادَّعَتْ إِسْقَاطَ حَقِّهَا مِنَ الْقَسْمِ وَالنَّفَقَةِ أَوْ تَعَدِّيهِ عَلَيْهَا بِالضَّرْبِ وَسُوءِ الْعِشْرَةِ، وَهُوَ مُنْكِرٌ ذَاكَ وَغَيْرُ مُعْتَرِفٍ بِهِ، فَعَلَى الْحَاكِمِ إِذَا شَكَتْ ذَلِكَ إِلَيْهِ أَنْ يُسْكِنَهَا إِلَى جَنْبِ مَنْ يَثِقُ بِهِ مِنْ أُمَنَائِهِ لِيُرَاعِيَ حَالَهَا، وَيَأْخُذَهُ بِحَقِّهَا وَيُكِفَّ أَذَاهُ عَنْهَا، فَإِنَّ الْحَاكِمَ لِتَشَاغُلِهِ بِعُمُومِ الْخُصُومِ لَا يَقْدِرُ عَلَى مُرَاعَاتِهَا بِنَفْسِهِ.
Al-Mawardi berkata: Adapun jika tampak adanya tindakan menyakiti dari suami yang keadaannya tidak samar, maka ia dicegah dan diperintahkan untuk menghilangkannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan bergaullah dengan mereka secara patut}. Namun jika keadaannya samar, misalnya istri mengklaim kehilangan haknya dalam pembagian (giliran) dan nafkah, atau suami melampaui batas dengan memukul dan memperlakukannya dengan buruk, sementara suami mengingkari dan tidak mengakuinya, maka hakim, jika istri mengadukan hal itu kepadanya, hendaknya menempatkan istri tersebut di samping orang yang ia percayai dari para kepercayaannya untuk mengawasi keadaannya, menuntut suami menunaikan haknya, dan mencegah gangguannya terhadap istri, karena hakim, disebabkan kesibukannya dengan banyak perkara, tidak mampu mengawasi secara langsung.
فَإِنْ قِيلَ: فَلَيْسَ لِلزَّوْجِ أَنْ يُسْكِنَ زَوْجَتَهُ حَيْثُ يَشَاءُ فَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ هَاهُنَا أَنْ يُسْكِنَهَا حَيْثُ لَا تَشَاءُ.
Jika dikatakan: “Seorang suami tidak berhak menempatkan istrinya di tempat yang ia kehendaki, maka di sini tidak wajib baginya menempatkan istrinya di tempat yang tidak ia kehendaki.”
قِيلَ: إِنَّمَا جَازَ لَهُ ذَلِكَ مَعَ زَوَالِ الِاشْتِبَاهِ وَارْتِفَاعِ الضَّرَرِ وَلَا يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ مَعَ خَوْفِ الضَّرَرِ، وهكذا لو شكى الزوج منها الإضرار وأنها لا تودي حَقَّهُ وَلَا تَلْزَمُ مَنْزِلَهُ وَلَا تُطِيعُهُ إِلَى الْفِرَاشِ وَأَنْكَرَتْ ذَلِكَ أَسْكَنَهَا الْحَاكِمُ إِلَى جَنْبِ مَنْ يُرَاعِيهَا مِنْ أُمَنَائِهِ لِيَسْتَوْفِيَ مِنْهَا حَقَّ الزَّوْجِ كَمَا اسْتَوْفَى لَهَا حَقَّهَا مِنَ الزَّوْجِ.
Dijawab: Hal itu dibolehkan baginya hanya jika telah hilang keraguan dan tidak ada mudarat. Tidak boleh baginya melakukan hal itu jika dikhawatirkan terjadi mudarat. Demikian pula, jika suami mengadukan bahwa istrinya berbuat mudarat, tidak menunaikan haknya, tidak tinggal di rumahnya, dan tidak taat kepadanya untuk ke ranjang, lalu istrinya mengingkari hal itu, maka hakim menempatkan istrinya di samping seseorang dari orang-orang kepercayaannya yang akan mengawasinya, agar dapat menunaikan hak suami sebagaimana sebelumnya telah diupayakan agar hak istri dari suami juga terpenuhi.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُسْكِنَ امَرْأَتَيْنِ فِي بَيْتٍ إِلَّا أَنْ تَشَاءَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan tidak boleh bagi suami menempatkan dua istrinya dalam satu rumah kecuali jika keduanya menghendaki.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، قَالَ: عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يُفْرِدَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ نِسَائِهِ مَسْكَنًا، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فعل مثل ذلك مع نِسَائِهِ، وَكَمَا لَا يَشْتَرِكْنَ فِي النَّفَقَةِ فَكَذَلِكَ لَا يَشْتَرِكْنَ فِي الْمَسْكَنِ، وَلِأَنَّ بَيْنَ الضَّرَائِرِ تَنَافُسًا وَتَبَاغُضًا إِنِ اجْتَمَعْنَ خَرَجْنَ إِلَى الِافْتِرَاءِ وَالْقُبْحِ، وَلِأَنَّهُنَّ إِذَا اجْتَمَعْنَ شَاهَدَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ خَلْوَةَ الزَّوْجِ بِضَرَّتِهَا، وَذَلِكَ مَكْرُوهٌ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه نهى على الوجس، وهو أن يطأ بحيث يسمع حسه، فَلِذَلِكَ لَزِمَهُ أَنْ يُفْرِدَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مَسْكَنًا فَإِنْ أَسْكَنَهُنَّ فِي دَارٍ وَاحِدَةٍ وَأَفْرَدَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بَيْتًا مِنْهَا، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَتْ تَوَارَتْ عَنْ ضَرَائِرِهَا جَازَ إِذَا كَانَ مثلهن بسكن مِثْلِ ذَلِكَ، وَلَمْ يَكُنْ لِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ أَنْ تُطَالِبَهُ بِإِفْرَادِ مَسْكَنٍ، وَإِنْ كَانَ مِثْلُهُنَّ لَا يَسْكُنُ مِثْلَ ذَلِكَ فَأَسْكَنَهُنَّ فِي دَارٍ وَاحِدَةٍ وَأَفْرَدَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُنَّ بِحُجْرَةٍ مِنْهَا تُوَارِيهَا جَازَ إِذَا كَانَ مِثْلُهُنَّ يَسْكُنُ مِثْلَ ذَلِكَ.
Al-Mawardi berkata: Dan memang demikianlah sebagaimana yang beliau katakan. Ia berkata: Wajib bagi suami menyediakan tempat tinggal tersendiri bagi masing-masing istrinya, karena Rasulullah ﷺ melakukan hal yang sama terhadap para istrinya. Sebagaimana mereka tidak digabungkan dalam nafkah, demikian pula mereka tidak digabungkan dalam tempat tinggal. Karena di antara para madunya terdapat persaingan dan kebencian; jika mereka dikumpulkan, akan timbul fitnah dan keburukan. Selain itu, jika mereka berkumpul, masing-masing dari mereka akan menyaksikan suami berduaan dengan madunya, dan itu adalah sesuatu yang tidak disukai. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang melakukan hubungan (suami-istri) sehingga terdengar suaranya oleh yang lain. Oleh karena itu, wajib bagi suami menyediakan tempat tinggal tersendiri bagi masing-masing istrinya. Jika ia menempatkan mereka dalam satu rumah, namun menyediakan kamar tersendiri bagi masing-masing, dan ketika salah satu masuk ia dapat bersembunyi dari madunya, maka hal itu boleh jika pada umumnya wanita seperti mereka biasa tinggal dengan cara seperti itu, dan tidak ada dari mereka yang berhak menuntut tempat tinggal terpisah. Namun, jika pada umumnya wanita seperti mereka tidak tinggal dengan cara seperti itu, lalu suami menempatkan mereka dalam satu rumah dan menyediakan kamar tersendiri yang dapat menutupi mereka, maka hal itu boleh jika pada umumnya wanita seperti mereka biasa tinggal dengan cara seperti itu.
وَإِنْ كَانَ مِثْلُهُنَّ لَا يَسْكُنُ مِثْلَ ذَلِكَ لِجَلَالَةِ قَدْرِهِنَّ وَيَسَارِ زَوْجِهِنَّ أَفْرَدَ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِدَارٍ فَسِيحَةٍ ذَاتِ بُيُوتٍ وَمَنَازِلَ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ كَمَا يُعْتَبَرُ الْعُرْفُ فِي كُسْوَتِهِنَّ وَنَفَقَاتِهِنَّ فَلَوْ تَرَاضَى جَمِيعُ نِسَائِهِ بِسُكْنَى مَنْزِلٍ وَاحِدٍ يَجْتَمِعْنَ فِيهِ جَازَ كَمَا لَوْ تَرَاضَيْنَ بِالِاشْتِرَاكِ فِي النَّفَقَةِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَخْلُوَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ حِذَاءَ ضَرَائِرِهَا، فَإِنْ غَابَ عَنْ أَبْصَارِهِنَّ جَازَ، وَإِنْ عَلِمْنَ بِخَلْوَتِهِ، وَلَوْ أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، وَبَيْنَ أَمَةٍ لَهُ سُرِّيَّةٍ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ حَفْصَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – أَنْكَرَتْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَلْوَتَهُ بِمَارِيَةَ فِي بَيْتِهَا فَاعْتَذَرَ إِلَيْهَا.
Dan jika pada umumnya wanita seperti mereka tidak tinggal dengan cara seperti itu karena kemuliaan kedudukan mereka dan kecukupan suaminya, maka suami wajib menyediakan rumah yang luas dengan beberapa kamar dan ruangan bagi masing-masing dari mereka, sesuai dengan kebiasaan (‘urf), sebagaimana ‘urf juga dijadikan standar dalam pakaian dan nafkah mereka. Jika seluruh istrinya rela tinggal bersama dalam satu rumah, maka hal itu boleh, sebagaimana jika mereka rela berbagi dalam nafkah. Namun, suami tidak boleh berduaan dengan salah satu dari mereka di hadapan madunya. Jika ia berduaan di luar pandangan mereka, maka hal itu boleh, meskipun mereka mengetahui adanya khalwat tersebut. Jika suami ingin mengumpulkan antara salah satu istrinya dengan budak perempuan (amah) yang menjadi suri-nya dalam satu rumah, maka itu tidak boleh, karena Hafshah ra. pernah mengingkari Rasulullah ﷺ yang berduaan dengan Maria di rumahnya, lalu beliau meminta maaf kepadanya.
فَإِذَا جَمَعَ بَيْنَ إِمَائِهِ فِي مَسْكَنٍ وَاحِدٍ جَازَ، وَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يُفْرِدَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مسكناً، لأن لَا قَسْمَ لَهُنَّ وَلَا يَلْزَمُهُ الْخَلْوَةُ بِهِنَّ، وَلِأَنَّ مَا يَجِبُ لَهُنَّ مِنَ النَّفَقَةِ وَالْكُسْوَةِ وَالسُّكْنَى مُوَاسَاةٌ بِخِلَافِ الزَّوْجَاتِ الْمُسْتَحِقَّاتِ لِذَلِكَ مُعَاوَضَةً أَلَا تَرَاهُ يَمْلِكُ فَاضِلَ نَفَقَاتِ إِمَائِهِ وَلَا يَمْلِكُ فَاضِلَ نَفَقَاتِ نِسَائِهِ.
Jika ia mengumpulkan para budaknya dalam satu tempat tinggal, maka hal itu boleh, dan ia tidak wajib menyediakan tempat tinggal terpisah bagi masing-masing dari mereka, karena tidak ada pembagian giliran bagi mereka dan tidak wajib baginya berduaan dengan mereka. Selain itu, apa yang wajib diberikan kepada mereka berupa nafkah, pakaian, dan tempat tinggal adalah bentuk kebaikan, berbeda dengan para istri yang berhak mendapatkannya sebagai bentuk mu‘awadhah (timbal balik). Bukankah engkau lihat, ia boleh mengambil kelebihan nafkah para budaknya, namun tidak boleh mengambil kelebihan nafkah para istrinya.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ فِي بَلَدَيْنِ فَأَقَامَ فِي بَلَدِ إحداهن فَإِنِ اعْتَزَلَهَا فِي بَلَدِهَا وَلَمْ يَقُمْ مَعَهَا فِي مَنْزِلِهَا لَمْ يَلْزَمْهُ الْمُقَامُ فِي بَلَدِ الْأُخْرَى، لِأَنَّهُ لَيْسَ مُقَامُهُ فِي بَلَدِ الزَّوْجَةِ قَسْمًا يُقْضَى، وَلَوْ كَانَ قَدْ أَقَامَ مَعَهَا فِي مَنْزِلِهَا لَزِمَهُ أَنْ يَقْضِيَ الْأُخْرَى فَيُقِيمَ مَعَهَا بِبَلَدِهَا فِي مَنْزِلِهَا مِثْلَ تِلْكَ الْمُدَّةِ، لِأَنَّ الْقَسْمَ لَا يَسْقُطُ بِاخْتِلَافِ الْبُلْدَانِ كَمَا لا يسقط باختلاف المحال.
Jika seseorang memiliki dua istri di dua negeri yang berbeda, lalu ia tinggal di negeri salah satu dari keduanya, maka jika ia mengasingkan diri dari istrinya di negeri itu dan tidak tinggal bersamanya di rumahnya, ia tidak wajib tinggal di negeri istri yang lain. Sebab, tinggalnya ia di negeri istri bukanlah bagian dari pembagian giliran (qasm) yang harus dipenuhi. Namun, jika ia telah tinggal bersama istrinya di rumahnya, maka ia wajib mengganti giliran untuk istri yang lain, yaitu dengan tinggal bersamanya di negerinya, di rumahnya, selama waktu yang sama. Karena pembagian giliran (qasm) tidak gugur hanya karena perbedaan negeri, sebagaimana tidak gugur karena perbedaan tempat tinggal.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَهُ مَنْعُهَا مِنْ شُهُودِ جَنَازَةِ أُمِّهَا وَأَبِيهَا وَوَلَدِهَا وَمَا أُحِبُّ ذَلِكَ لَهُ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan suami berhak melarang istrinya menghadiri jenazah ibunya, ayahnya, atau anaknya, namun aku tidak menyukai hal itu baginya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَلِلزَّوْجِ مَنْعُ امْرَأَتِهِ مِنَ الْخُرُوجِ مِنْ مَنْزِلِهِ، لِأَنَّ دَوَامَ اسْتِحْقَاقِهِ لِلِاسْتِمْتَاعِ بِهَا يَمْنَعُهَا مِنْ تَفْوِيتِ ذَلِكَ عَلَيْهِ بِخُرُوجِهَا، وَلِأَنَّ لَهُ تَحْصِينَ مَائِهِ بِالْمَنْعِ مِنَ الْخُرُوجِ فَلَوْ مَرِضَ أَبُوهَا أَوْ أُمُّهَا كَانَ لَهُ مَنْعُهَا مِنْ عِيَادَتِهِمَا وَلَوْ مَاتَا كَانَ لَهُ مَنْعُهَا مِنْ حُضُورِ جَنَازَتِهِمَا لِلْمَعْنَى الَّذِي ذَكَرْنَاهُ، وَكَمَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا لِيَعْمَلَ مِقْدَارًا بِمُدَّةٍ كَانَ لَهُ مَنْعُهُ مِنَ الْخُرُوجِ لِذَلِكَ، وَقَدْ رَوَى ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا سَافَرَ عَنْ زَوْجَتِهِ وَنَهَاهَا عَنِ الْخُرُوجِ فَمَرِضَ أَبُوهَا فَاسْتَأْذَنَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي عِيَادَتِهِ فَقَالَ: ” اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُخَالِفِي زَوْجَكِ “، ثُمَّ مَاتَ أَبُوهَا فَاسْتَأْذَنَتْهُ فِي حُضُورِ جَنَازَتِهِ فَقَالَ اتَّقِ اللَّهَ، وَلَا تُخَالِفِي زَوْجَكِ فَأَوْحَى اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لِأَبِيهَا بِطَاعَتِهَا لِزَوْجِهَا، وَلِأَنَّ فِي اتِّبَاعِ النِّسَاءِ لِلْجَنَائِزِ هُتْكَةً يُنْهَيْنَ عَنْهَا.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, suami berhak melarang istrinya keluar dari rumahnya, karena hak suami untuk terus menikmati istrinya mencegah istri dari menghilangkan hak itu dengan keluar rumah. Selain itu, suami berhak menjaga kehormatan dirinya dengan melarang istri keluar rumah. Jika ayah atau ibunya sakit, suami berhak melarang istrinya menjenguk mereka, dan jika keduanya meninggal, suami berhak melarang istrinya menghadiri jenazah mereka, karena alasan yang telah disebutkan. Hal ini seperti seseorang yang menyewa pekerja untuk bekerja dalam jangka waktu tertentu, maka ia berhak melarang pekerja itu keluar demi pekerjaan tersebut. Diriwayatkan dari Tsabit dari Anas bahwa ada seorang laki-laki bepergian meninggalkan istrinya dan melarangnya keluar rumah. Lalu ayah istrinya sakit, maka istrinya meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk menjenguk ayahnya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menyalahi suamimu.” Kemudian ayahnya meninggal, maka ia meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk menghadiri jenazah ayahnya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menyalahi suamimu.” Maka Allah ﷻ mewahyukan kepada Nabi-Nya ﷺ bahwa Allah telah mengampuni ayahnya karena ketaatan istrinya kepada suaminya. Selain itu, mengikuti jenazah oleh para wanita mengandung unsur pelanggaran yang karenanya mereka dilarang melakukannya.
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ إِلَى الْبَقِيعِ فَرَأَى فَاطِمَةَ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ؟ قَالَتْ: عُدْتُ مَرِيضًا لِبَنِي فُلَانٍ، قَالَ: إِنِّي ظَنَنْتُكِ مَعَ الْجَنَازَةِ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ مَا كَلَّمْتُكِ أَبَدًا.
Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ keluar bersama jenazah ke Baqi‘, lalu beliau melihat Fathimah. Beliau bertanya, “Dari mana engkau?” Fathimah menjawab, “Aku menjenguk orang sakit dari Bani Fulan.” Beliau bersabda, “Aku mengira engkau bersama jenazah. Jika benar demikian, aku tidak akan pernah berbicara denganmu selamanya.”
قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِلَّا أَنَّنِي لَا أُحِبُّ لَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ عِيَادَةِ أَبِيهَا إِذَا ثَقُلَ، وَمِنْ حُضُورِ مُوَارَاتِهِ إِذَا مَاتَ لِمَا فِيهِ مِنْ نُفُورِهَا عَنْهُ وَإِغْرَائِهَا بِالْعُقُوقِ.
Imam Syafi‘i berkata: Akan tetapi, aku tidak suka jika suami melarang istrinya menjenguk ayahnya jika ayahnya sakit parah, dan melarangnya menghadiri pemakaman ayahnya jika ayahnya meninggal, karena hal itu dapat membuat istri menjauh dari suami dan mendorongnya untuk durhaka.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ حُضُورِ الْمَسَاجِدِ لِصَلَاةٍ وَغَيْرِ صَلَاةٍ.
Suami berhak melarang istrinya menghadiri masjid, baik untuk salat maupun selain salat.
فَإِنْ قيل: فَلِمَ يَمْنَعُهَا، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَافِلَاتٍ ” فَعَنْ ذَلِكَ أَرْبَعَةُ أَجْوِبَةٍ:
Jika ada yang bertanya: Mengapa suami boleh melarang istrinya, padahal Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah, dan hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian”? Maka atas hal ini ada empat jawaban:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ أَرَادَ الْخَلِيَّاتِ مِنَ الْأَزْوَاجِ اللَّاتِي يَمْلِكْنَ تَصَرُّفَ أَنْفُسِهِنَّ.
Pertama: Hadis itu dimaksudkan untuk para wanita yang tidak bersuami, yang memiliki hak penuh atas diri mereka sendiri.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْمَسَاجِدِ الْحَجُّ الَّذِي لَيْسَ لِلزَّوْجِ مَنْعُهَا مِنْ فَرْضِهِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ.
Kedua: Hadis itu dimaknai untuk masjid dalam ibadah haji, di mana suami tidak berhak melarang istrinya menunaikan ibadah haji wajib menurut salah satu pendapat.
وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ مَخْصُوصٌ فِي زَمَانِهِ لِمَا وَجَبَ مِنْ تَبْلِيغِ الرِّسَالَةِ إِلَيْهِنَّ ثُمَّ زَالَ الْمَعْنَى فَزَالَ التَّمْكِينُ.
Ketiga: Hadis itu khusus pada masa Nabi ﷺ, karena kewajiban menyampaikan risalah kepada para wanita, kemudian sebab itu telah hilang, maka kebolehan itu pun hilang.
وَالرَّابِعُ: أَنَّهُ مَنْسُوخٌ بِمَا وَكَّدَ مِنْ لُزُومِ الْحِجَابِ.
Keempat: Hadis itu telah di-nasakh (dihapus hukumnya) dengan penegasan kewajiban berhijab.
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ لِنِسَائِهِ حِينَ حَجَّ بِهِنَّ: ” هَذِهِ ثُمَّ ظُهُورُ الْحَصْرِ ” وَقَالَتْ عَائِشَةُ: لَوْ عَلِمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ بَعْدَهُ لَمَنَعَهُنَّ أَشَدَّ الْمَنْعِ، والله أعلم.
Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ berkata kepada istri-istrinya ketika berhaji bersama mereka: “Inilah (haji) kemudian setelah ini tetaplah di rumah.” Dan Aisyah berkata: “Seandainya Rasulullah ﷺ mengetahui apa yang dilakukan para wanita setelah beliau wafat, niscaya beliau akan melarang mereka dengan larangan yang lebih keras.” Dan Allah Maha Mengetahui.
بَابُ الْحَالِ الَّتِي يَخْتَلِفُ فِيهَا حَالُ النِّسَاءِ من الجامع من كتاب الطلاق ومن أحكام القرآن ومن نشوز الرجل على المرأة
Bab tentang keadaan yang berbeda-beda pada wanita, dari kitab al-Jāmi‘, dari Kitab at-Thalāq, dari Ahkam al-Qur’ān, dan dari pembahasan tentang suami yang nusyuz terhadap istri.
قال الشافعي رحمه الله تعالى فِي قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ” إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ عِنْدَكِ وَسَبَّعْتُ عِنْدَهُنَّ وَإِنْ شِئْتِ ثَلَّثْتُ عِنْدَكِ وَدُرْتُ ” دليلٌ عَلَى أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا تَزَوَّجَ الْبِكْرَ أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَهَا سَبْعًا وَالثَّيِّبَ ثَلَاثًا وَلَا يَحْتَسِبُ عَلَيْهِ بِهَا نِسَاؤُهُ اللَّاتِي عِنْدَهُ قَبْلَهَا وَقَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكِ لِلْبِكْرِ سبعٌ وَلِلثَّيِّبِ ثلاثٌ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata tentang sabda Nabi ﷺ kepada Ummu Salamah ra.: “Jika engkau mau, aku akan menetap di sisimu selama tujuh hari dan juga tujuh hari di sisi mereka, dan jika engkau mau, aku akan menetap di sisimu selama tiga hari lalu aku berkeliling (kepada istri-istri yang lain),” merupakan dalil bahwa seorang laki-laki jika menikahi seorang gadis, maka ia wajib tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan jika menikahi janda maka tiga hari, dan istri-istri yang telah ada sebelumnya tidak boleh menghitung masa tersebut atasnya. Anas bin Malik berkata, “Untuk gadis tujuh hari, dan untuk janda tiga hari.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا اسْتَجَدَّ الرَّجُلُ نِكَاحَ امْرَأَةٍ، وَكَانَ لَهُ زَوْجَاتٌ يَقْسِمُ بَيْنَهُنَّ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَخُصَّ الْمُسْتَجَدَّةَ إِنْ كَانَتْ بِكْرًا بِسَبْعِ لَيَالٍ، وَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا بِثَلَاثِ لَيَالٍ يُقِيمُ فِيهِنَّ عِنْدَهَا لَا يَقْضِي بَاقِي نِسَائِهِ وَلَا تُحْسَبُ بِهِ مِنْ قَسْمِهَا، فَإِذَا انْقَضَتْ شَارَكَتْهُنَّ حِينَئِذٍ فِي الْقَسْمِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita baru, sedangkan ia telah memiliki istri-istri yang lain yang ia bagi giliran di antara mereka, maka wajib baginya untuk mengkhususkan istri baru tersebut—jika ia seorang gadis—dengan tujuh malam, dan jika ia seorang janda maka tiga malam, ia tinggal bersamanya selama itu, dan tidak perlu mengganti waktu tersebut kepada istri-istri lainnya, serta tidak dihitung dari jatah pembagian mereka. Setelah masa itu selesai, barulah ia membagi giliran secara bergantian dengan istri-istri lainnya.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يُقِيمُ مَعَ الْبِكْرِ سَبْعًا، وَمَعَ الثَّيِّبِ ثَلَاثًا، وَيَقْضِي نِسَاءَهُ مُدَّةَ مُقَامِهِ مَعَهَا اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ “.
Abu Hanifah berkata: Ia tinggal bersama gadis selama tujuh hari, dan bersama janda selama tiga hari, lalu ia mengganti waktu yang ia habiskan bersama istri baru itu kepada istri-istri lainnya, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa memiliki dua istri lalu ia condong kepada salah satunya, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan salah satu sisi tubuhnya miring.”
قَالَ: وَهَذَا مِنْهُ مَيْلٌ إِنْ لَمْ يَقْضِ.
Ia berkata: Dan ini merupakan bentuk kecenderungan jika ia tidak mengganti (waktu tersebut kepada istri-istri yang lain).
وَقَالَ: لِأَنَّ الْقَسْمَ حَقٌّ مِنْ حُقُوقِ النِّكَاحِ فَوَجَبَ أَنْ تُسَاوِيَ الْمُسْتَجَدَّةُ فِيهِ مَنْ تَقَدَّمَهَا كَالنَّفَقَةِ.
Ia berkata: Karena pembagian giliran adalah hak dalam pernikahan, maka wajib bagi istri baru untuk disamakan dengan istri-istri sebelumnya dalam hal itu, sebagaimana dalam hal nafkah.
قَالَ: وَلِأَنَّهُ خَصَّ بَعْضَ نِسَائِهِ بِمُدَّةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ قَضَاءُ مِثْلِهَا لِلْبَوَاقِي قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا قَامَ مَعَهَا بَعْدَ مُدَّةِ الزِّفَافِ.
Ia berkata: Dan karena ia telah mengkhususkan sebagian istrinya dengan waktu tertentu, maka wajib baginya untuk mengganti waktu yang sama kepada istri-istri lainnya berdasarkan qiyās, jika ia tinggal bersama istri baru setelah masa pernikahan.
وَدَلِيلُنَا: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لَمَّا تَزَوَّجَ أُمَّ سَلَمَةَ، وَدَخَلَ بِهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقِمْ عِنْدِي سَبْعًا، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” مَا بِكِ مِنْ هَوَانٍ عَلَى أَهْلِكِ إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ عِنْدَكِ، وَسَبَّعْتُ عِنْدَهُنَّ، وَإِنْ شِئْتِ ثَلَّثْتُ عِنْدَكِ وَدُرْتُ “.
Dalil kami: Bahwa Nabi ﷺ ketika menikahi Ummu Salamah dan telah menggaulinya, Ummu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah, tinggallah bersamaku selama tujuh hari.” Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Tidak ada kehinaan bagimu di hadapan keluargamu. Jika engkau mau, aku akan menetap di sisimu selama tujuh hari dan juga tujuh hari di sisi mereka, dan jika engkau mau, aku akan menetap di sisimu selama tiga hari lalu aku berkeliling (kepada istri-istri yang lain).”
رَوَى أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – يَقُولُ: ” لِلْبِكْرِ سَبْعَةُ أَيَّامٍ وَلِلثَّيِّبِ ثَلَاثَةٌ ” ثُمَّ يَعُودُ إِلَى نِسَائِهِ.
Diriwayatkan dari Ayub, dari Abu Qilabah, dari Anas, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Untuk gadis tujuh hari, dan untuk janda tiga hari,” kemudian ia kembali kepada istri-istrinya yang lain.
فَدَلَّ عَلَى اسْتِحْقَاقِ هَذِهِ الْمُدَّةِ مِنْ غَيْرِ قضاءٍ مِنْ وَجْهَيْنِ:
Maka hal ini menunjukkan bahwa masa tersebut memang menjadi hak tanpa harus diganti, dari dua sisi:
أَحَدُهُمَا: فَرْقُهُ فِيهِ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ.
Pertama: Karena adanya pembedaan antara gadis dan janda dalam hal ini.
وَالثَّانِي: حَصْرُهُ بِعَدَدٍ وَمَا يَقْضِي لَا يَفْتَرِقَانِ فِيهِ وَلَا يَنْحَصِرُ جَرَيَانُ الْعَادَةِ فِيمَا تَخْتَصُّ بِهِ الْمُسْتَجَدَّةُ عُرْفًا وَشَرْعًا تَجْعَلُهُ حُكْمًا مُسْتَحَقًّا، وَلِأَنَّهُ لَمَّا خُصَّتِ الْمُسْتَجَدَّةُ بِوَلِيمَةِ الْعُرْسِ إِكْرَامًا وَإِينَاسًا، وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَيْلًا خُصَّتْ بِهَذِهِ الْمُدَّةِ لِهَذَا الْمَعْنَى، وَلِأَنَّ لِلْمُسْتَجَدَّةِ حِشْمَةً لَا تَرْتَفِعُ إِلَّا بِمُكَاثَرَةِ الِاجْتِمَاعِ وَمُطَاوَلَةِ الْإِينَاسِ وَلِذَلِكَ وَقَعَ الْفَرْقُ فِي أَنْ خُصَّتِ الْبِكْرُ بِسَبْعٍ وَالثَّيِّبُ بِثَلَاثٍ، لِأَنَّ الثَّيِّبَ لِاخْتِبَارِ الرِّجَالِ أَسْرَعُ أَنَسَةً مِنَ الْبِكْرِ الَّتِي هِيَ أَكْثَرُ انْقِبَاضًا وَأَقَلُّ اخْتِبَارًا.
Kedua: Karena pembatasan dengan jumlah tertentu, sedangkan waktu yang harus diganti tidak dibedakan dan tidak terbatas. Kebiasaan yang berlaku secara adat dan syariat bahwa istri baru memang memiliki hak khusus, sehingga hal itu menjadi hukum yang memang berhak ia dapatkan. Dan karena istri baru diistimewakan dengan walimah pernikahan sebagai bentuk penghormatan dan penghiburan, dan hal itu bukanlah bentuk kecenderungan, maka ia juga diistimewakan dengan masa tertentu karena alasan tersebut. Selain itu, istri baru memiliki rasa malu yang tidak akan hilang kecuali dengan seringnya pertemuan dan lamanya kebersamaan. Oleh karena itu, terdapat perbedaan, di mana gadis diistimewakan dengan tujuh hari dan janda dengan tiga hari, karena janda yang telah berpengalaman dengan laki-laki lebih cepat merasa akrab dibandingkan gadis yang lebih pemalu dan kurang pengalaman.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِمَيْلٍ، لِأَنَّهُ يَفْعَلُهُ مَعَ كُلِّ زَوْجَةٍ.
Adapun jawaban atas hadis tersebut adalah bahwa hal itu bukanlah bentuk kecenderungan, karena ia melakukannya kepada setiap istri.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَنِ النَّفَقَةِ، فَعَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:
Adapun qiyās dengan nafkah, maka terdapat tiga jawaban:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ قِيَاسٌ يَرْفَعُ النِّصْفَ فَكَانَ مُطَّرَحًا.
Pertama: Bahwa qiyās tersebut meniadakan nash, sehingga tertolak.
وَالثَّانِي: أَنَّ التَّسَاوِيَ فِي النَّفَقَةِ لَا يُوجِبُ التَّسَاوِيَ فِي الْقَسْمِ، لِأَنَّ الْحُرَّةَ وَالْأَمَةَ يَسْتَوِيَانِ فِي النَّفَقَةِ وَيَخْتَلِفَانِ فِي الْقَسْمِ.
Kedua: Bahwa kesamaan dalam nafkah tidak mengharuskan kesamaan dalam pembagian giliran, karena budak perempuan dan wanita merdeka sama dalam nafkah, namun berbeda dalam pembagian giliran.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ النَّفَقَةَ لَمَّا لَمْ تَخْتَلِفْ بِالْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ لَمْ تَخْتَلِفْ فِي الِابْتِدَاءِ وَالِانْتِهَاءِ وَلَمَّا اخْتَلَفَ الْقَسْمُ بِالْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ اخْتَلَفَ فِي الِابْتِدَاءِ وَالِانْتِهَاءِ.
Ketiga: Bahwa nafkah, karena tidak berbeda antara status merdeka dan budak, maka tidak berbeda pula dalam permulaan dan akhirnya. Sedangkan pembagian (giliran), karena berbeda antara status merdeka dan budak, maka berbeda pula dalam permulaan dan akhirnya.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى قَسْمِ الِانْتِهَاءِ فَمُنْتَقَضٌ بِالَّتِي سَافَرَ بِهَا عَلَى أَنَّهُ لَمَّا جَازَ قَطْعُ النَّوْبَةِ فِي قَسْمِ الِابْتِدَاءِ وَلَمْ يَجُزْ فِي قَسْمِ الِانْتِهَاءِ دَلَّ عَلَى الْفَصْلِ فِي الِاسْتِحْقَاقِ بَيْنَ قَسْمِ الِابْتِدَاءِ وَالِانْتِهَاءِ.
Adapun qiyās terhadap pembagian pada akhir (giliran), maka itu tertolak dengan kasus istri yang diajak safar. Karena ketika diperbolehkan memutus giliran pada permulaan, namun tidak diperbolehkan pada akhir, hal itu menunjukkan adanya perbedaan dalam hak antara pembagian permulaan dan akhir.
فَصْلٌ
Fashal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْبِكْرَ مَخْصُوصَةٌ بِسَبْعٍ وَالثَّيِّبَ بِثَلَاثٍ فَلَيْسَ لَهُ النقصان منها إلا برضى المستجدة، ولا له الزيادة عليها إلا برضى الْمُتَقَدِّمَاتِ، فَإِنْ أَقَامَ عِنْدَ الثَّيِّبِ سَبْعًا كَالْبِكْرِ ففيه وجهان:
Apabila telah tetap bahwa bagi istri perawan khusus tujuh malam dan bagi janda tiga malam, maka suami tidak boleh mengurangi dari jumlah itu kecuali dengan kerelaan istri baru, dan tidak boleh menambah dari jumlah itu kecuali dengan kerelaan para istri terdahulu. Jika ia tinggal di sisi janda selama tujuh malam seperti pada perawan, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَقْضِي مَا زَادَ عَلَى الثَّلَاثِ وَلَا يَقْضِي الثَّلَاثَ، لِأَنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ لَهَا.
Salah satunya: Ia wajib mengganti kelebihan dari tiga malam, dan tidak wajib mengganti tiga malamnya, karena itu memang haknya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: ذَكَرَهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ أَنَّهُ تُقْضَى السَّبْعُ كُلُّهَا لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِأُمِّ سَلَمَةَ إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ عِنْدَكِ وَعِنْدَهُنَّ، وَإِنْ شِئْتِ ثَلَّثْتُ عِنْدَكِ وَدُرْتُ.
Pendapat kedua: Diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfarayini bahwa seluruh tujuh malam itu wajib diganti, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Ummu Salamah: “Jika engkau mau, aku akan tinggal tujuh malam di sisimu dan di sisi mereka, dan jika engkau mau, aku akan tinggal tiga malam di sisimu lalu berputar (bergiliran).”
فَصْلٌ
Fashal
وَإِذَا اسْتَجَدَّ نِكَاحَ امْرَأَتَيْنِ لَمْ يَجْمَعْ بَيْنَهُمَا فِي الدُّخُولِ كَمَا لَا يَجْمَعُ بَيْنَ زَوْجَتَيْنِ فِي قسم ويبدأ بأسبقهما زفافاً إليه، فإن زفا إليه في وقت واحد بدأ بأسبقهما نكاحاً، فإن نكحها فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ قَرَعَ بَيْنَهُمَا وَبَدَأَ بِالْقَارِعَةِ مِنْهُمَا، فَإِنْ قَدَّمَ إِحْدَاهُمَا مِنْ غَيْرِ قُرْعَةٍ كَرِهْنَا ذَلِكَ لَهُ وَأَجْزَأَهُ، ثُمَّ يَدْخُلُ بِالثَّانِيَةِ وَيُوَالِي بَيْنَ الزِّفَافَيْنِ، وَلَيْسَ لِلْمُتَقَدِّمَاتِ مِنْ نِسَائِهِ أَنَّ تَمْنَعَهُ مِنَ الْمُوَالَاةِ بَيْنَهُمَا، فَلَوْ أَقَامَ عِنْدَ هَذِهِ يَوْمًا، وَعِنْدَ هَذِهِ يَوْمًا حَتَّى وَفَّاهُمَا، وَهُمَا بِكْرَانِ أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَقَدْ أَسَاءَ وَأَجْزَأَ، لِأَنَّ الْمُوَالَاةَ مُسْتَحَقَّةٌ وَإِنْ سَقَطَتْ بِالتَّفْرِقَةِ كَقَضَاءِ الدُّيُونِ.
Apabila seorang laki-laki menikahi dua wanita baru, maka ia tidak mengumpulkan keduanya dalam satu waktu masuk (malam pertama), sebagaimana ia tidak mengumpulkan dua istri dalam satu giliran. Ia memulai dengan yang lebih dahulu dinikahkan kepadanya. Jika keduanya dinikahkan pada waktu yang sama, maka ia memulai dengan yang lebih dahulu akad nikahnya. Jika akad nikah keduanya pada waktu yang sama, maka dilakukan undian di antara keduanya dan ia memulai dengan yang keluar undian dari keduanya. Jika ia mendahulukan salah satunya tanpa undian, maka kami memakruhkan hal itu baginya, namun tetap sah. Setelah itu, ia masuk dengan istri kedua dan menyambung antara kedua pesta pernikahan, dan para istri terdahulunya tidak berhak melarangnya untuk menyambung antara keduanya. Jika ia tinggal di sisi yang satu sehari, dan di sisi yang lain sehari hingga ia menyempurnakan hak keduanya, dan keduanya adalah perawan selama empat belas hari, maka ia telah berbuat kurang baik namun tetap sah, karena menyambung (muāla) itu adalah hak, meskipun gugur karena pemisahan, seperti pelunasan utang.
فَصْلٌ
Fashal
وَإِذَا كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ وَقَسَمَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا لَيْلَتَيْنِ فَأَقَامَ عِنْدَ إِحْدَاهِمَا بَعْضَ زَمَانِهَا اسْتَجَدَّ نِكَاحَ ثَالِثَةٍ زُفَّتْ إِلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بَعْدَ أَنْ نقضت اللَّيْلَةُ بِكَمَالِهَا كَأَنَّهُ أَقَامَ عِنْدَ الْمُتَقَدِّمَةِ إِحْدَى اللَّيْلَتَيْنِ بِكَمَالِهَا، وَبَقِيَتْ لَهَا اللَّيْلَةُ الْأُخْرَى فَاسْتَجَدَّ نِكَاحَ الثَّالِثَةِ قَدَّمَ قَسْمَ الْمُسْتَجَدَّةِ وَقَطَعَ قَسْمَ الْمُتَقَدِّمَةِ لِمَعْنَيَيْنِ:
Jika seseorang memiliki dua istri dan ia membagi untuk masing-masing dua malam, lalu ia tinggal di sisi salah satunya sebagian dari waktu gilirannya, kemudian ia menikahi istri ketiga yang dinikahkan kepadanya, maka jika itu terjadi setelah malamnya selesai secara sempurna—misalnya ia telah tinggal di sisi istri terdahulu satu malam penuh dan masih tersisa satu malam lagi untuknya—lalu ia menikahi istri ketiga, maka ia mendahulukan giliran istri baru dan memutus giliran istri terdahulu karena dua alasan:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ قَسْمَ الْمُسْتَجَدَّةِ مُسْتَحَقٌّ بِالْعَقْدِ وَقَسْمَ الْمُتَقَدِّمَةِ مُسْتَحَقٌّ بِالْفِعْلِ، وَالْمُسْتَحَقُّ بِالْعَقْدِ أَوْكَدُ.
Pertama: Giliran istri baru menjadi hak karena akad, sedangkan giliran istri terdahulu menjadi hak karena perbuatan, dan hak yang timbul karena akad lebih kuat.
وَالثَّانِي: أَنَّ قَسْمَ الْمُسْتَجَدَّةِ لَا يُقْضَى، وَقَسْمَ الْمُتَقَدِّمَةِ يُقْضَى، وَمَا لَا يَلْزَمُ قَضَاؤُهُ أَوْكَدُ، فَإِذَا وَفَّى الْمُسْتَجَدَّةَ قَسْمَهَا وَفَّى الْمُتَقَدِّمَةَ بَاقِي قَسْمِهَا، وَهُوَ لَيْلَةٌ ثُمَّ اسْتَأْنَفَ الْقَسْمَ بَيْنَ الثَّلَاثِ وَإِنْ كَانَ قَدِ اسْتَجَدَّهَا فِي تَضَاعِيفِ اللَّيْلَةِ الْأُولَى مِنْ قَسْمِ الْمُتَقَدِّمَةِ، فَفِيهِ وَجْهَانِ:
Kedua: Giliran istri baru tidak wajib diganti, sedangkan giliran istri terdahulu wajib diganti, dan sesuatu yang tidak wajib diganti itu lebih kuat. Maka apabila ia telah menyempurnakan giliran istri baru, ia menyempurnakan sisa giliran istri terdahulu, yaitu satu malam, kemudian ia memulai pembagian giliran di antara ketiganya. Namun jika ia menikahi istri baru di pertengahan malam pertama dari giliran istri terdahulu, maka ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَقْطَعُ اللَّيْلَةَ عَلَيْهَا وَيَقْسِمُ لِلْمُسْتَجَدَّةِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْمَعْنَيَيْنِ ثُمَّ يَقْضِي لِلْمُتَقَدِّمَةِ بَقِيَّةَ لَيْلَتِهَا الْأُولَى وَجَمِيعَ اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ.
Salah satunya: Ia memutus malam itu darinya dan membagi giliran untuk istri baru karena dua alasan yang telah disebutkan, kemudian ia mengganti sisa malam pertama dan seluruh malam kedua untuk istri terdahulu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يُكْمِلُ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، لِأَنَّهُ قَدْ تَعَيَّنَ اسْتِحْقَاقُ الْمُتَقَدِّمَةِ بِهَا بِالدُّخُولِ فِيهَا وَإِنَّ فِي تَبْعِيضِ اللَّيْلَةِ عَلَيْهَا مُبَايَنَةً لَهَا وَانْكِسَارًا لِنَفْسِهَا، وَالْفَرْقُ بَيْنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ أَنَّهُ لَمَّا جَازَ فِي النَّهَارِ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ عِنْدِهَا جَازَ أَنْ يَقْسِمَ لِمَنِ اسْتَجَدَّ نِكَاحَهَا، وَلَمَّا لَمْ يَجُزْ فِي اللَّيْلِ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ عِنْدِهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقْسِمَ فِيهِ لِغَيْرِهَا.
Pendapat kedua: Ia menyempurnakan malam itu, karena telah ditetapkan hak istri terdahulu dengan masuknya malam tersebut kepadanya. Jika malam itu dibagi-bagi untuknya, maka hal itu bertentangan dengan haknya dan menyebabkan hatinya terluka. Perbedaan antara malam dan siang adalah: ketika di siang hari dibolehkan baginya keluar dari rumah istrinya, maka boleh pula membagi waktu bagi istri yang baru dinikahi. Namun, ketika di malam hari tidak boleh keluar dari rumah istrinya, maka tidak boleh pula membagi malam itu untuk selainnya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ: ” وَلَا أُحِبُّ أَنْ يَتَخَلَّفَ عَنْ صلاةٍ مكتوبةٍ وَلَا شُهُودِ جنازةٍ وَلَا بِرٍّ كَانَ يَفْعَلُهُ وَلَا إِجَابَةِ دعوةٍ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Aku tidak suka jika ia meninggalkan salat fardu, atau menghadiri jenazah, atau kebaikan yang biasa ia lakukan, atau memenuhi undangan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَ مَعَ الْمُسْتَجَدَّةِ فِي قَسْمِ الِابْتِدَاءِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ عِنْدِهَا لِئَلَّا يَقْسِمَ فِي الْمُتَقَدِّمَاتِ فِي الِانْتِهَاءِ، وَجَازَ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ عِنْدِهَا نَهَارًا فِي أَشْغَالِهِ وَمُتَصَرَّفَاتِهِ، لِأَنَّ حُكْمَ الْقَسْمَيْنِ سَوَاءٌ لَكِنَّ الْعَادَةَ جَارِيَةٌ بِأَنْ تَكُونَ مُلَازَمَتُهُ للمستجدة فِي نَهَارِ قَسْمَتِهَا أَكْثَرَ مِنَ الْمُتَقَدِّمَاتِ لِيَتَعَجَّلَ بذلك أنسها ويقوى بها مَيْلُهَا، لَكِنَّنَا لَا نُحِبُّ لَهُ أَنْ يَتَخَلَّفَ بِهَا عَنْ حُضُورِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَعِيَادَةِ الْمَرْضَى وَتَشْيِيعِ الْجَنَائِزِ، وَلَا عَنْ بِرٍّ كَانَ يَفْعَلُهُ، وَإِنْ دُعِيَ إِلَى وَلِيمَةٍ أَجَابَ، وَيُخْتَارُ لَهُ فِي هَذَا الْقَسْمِ إِنْ كَانَ مُعْتَادًا الصِّيَامَ وَالتَّطَوُّعَ أَنْ يُفْطِرَ فِيهِ، لِأَنَّهَا أَيَّامُ بِعَالٍ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ” أَلَا إِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وشربٍ وَبِعَالٍ، فَلَا تَصُومُوا ” وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Al-Mawardi berkata: Ini benar, apabila ia bersama istri yang baru dinikahi pada bagian pembagian awal, maka tidak boleh ia keluar dari rumahnya agar tidak membagi waktu untuk istri-istri terdahulu pada akhir malam. Namun, ia boleh keluar di siang hari untuk urusan dan aktivitasnya, karena hukum kedua bagian itu sama. Akan tetapi, kebiasaan yang berlaku adalah ia lebih sering menemani istri yang baru di siang hari pembagiannya dibandingkan istri-istri terdahulu, agar ia lebih cepat merasa akrab dan kecenderungannya menjadi lebih kuat. Namun, kami tidak menyukai jika ia meninggalkan salat Jumat, menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, atau kebaikan yang biasa ia lakukan. Jika diundang ke walimah, hendaknya ia memenuhi undangan tersebut. Dianjurkan pula baginya pada bagian ini, jika ia terbiasa puasa sunah, untuk berbuka, karena hari-hari itu adalah hari-hari pengantin. Nabi ﷺ bersabda tentang hari-hari tasyriq: “Ketahuilah, itu adalah hari makan, minum, dan bersenang-senang dengan istri, maka janganlah kalian berpuasa.” Allah Maha Mengetahui.
Bab Pembagian (Malam) untuk Para Istri Ketika Akan Bepergian, dari Kitab al-Jāmi‘, Kitab Talak, Ahkam al-Qur’an, dan tentang Suami yang Membangkang terhadap Istri
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” أَخْبَرَنَا عَمِّي مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ شافعٍ أَحْسَبُهُ عَنِ الزُّهْرِيِّ ” شَكَّ الْمُزَنِيُّ ” عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Telah mengabarkan kepada kami pamanku, Muhammad bin ‘Ali bin Syafi‘—aku kira dari az-Zuhri, ‘Ubaidullah, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata: Nabi ﷺ apabila hendak bepergian, beliau mengundi di antara istri-istrinya. Siapa yang keluar undiannya, maka beliau berangkat bersamanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا كَانَ لِلرَّجُلِ أَرْبَعُ زَوْجَاتٍ، وَأَرَادَ سَفَرًا، فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ:
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan: Jika seorang laki-laki memiliki empat istri dan hendak bepergian, maka ia memiliki tiga pilihan:
أَحَدُهَا: أَنْ يُسَافِرَ بِجَمِيعِهِنَّ فَلَهُ ذَاكَ إِذَا كَانَ سَفَرُهُ مَأْمُونًا، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – سَافَرَ بِجَمِيعِ نِسَائِهِ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ، وَلِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ الِاسْتِمْتَاعَ بِهِنَّ فِي السَّفَرِ كَمَا يَسْتَحِقُّهُ فِي الْحَضَرِ، فَإِذَا سَافَرَ بِهِنَّ كُنَّ عَلَى قسمهن في السفر كماكن عَلَيْهِ فِي الْحَضَرِ، فَإِنِ امْتَنَعَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ أَنْ تُسَافِرَ مَعَهُ صَارَتْ نَاشِزًا وَسَقَطَ قَسْمُهَا وَنَفَقَتُهَا إِلَّا أَنْ تَكُونَ مَعْذُورَةً بِمَرَضٍ لِعَجْزِهَا عَنِ السَّفَرِ فَلَا تَعْصِي، وَلَهَا النَّفَقَةُ وَلَا يَلْزَمُهُ قَضَاءُ قَسْمِهَا، لِأَنَّهُ قَدْ بَذَلَ ذَلِكَ لَهَا فَكَانَ الِامْتِنَاعُ مِنْ جِهَتِهَا وَإِنْ عُذِرَتْ فِيهِ بِأَنْ كَانَ سَفَرُهُ فِي مَعْصِيَةٍ وَامْتَنَعْنَ مِنَ السَّفَرِ لِأَجْلِ الْمَعْصِيَةِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عُذْرًا لَهُنَّ عَنِ التَّأَخُّرِ إِذَا أَمِنَّ، لِأَنَّهُ لَيْسَ يَدْعُوهُنَّ إِلَى مَعْصِيَةٍ وَإِنَّمَا يَدْعُوهُنَّ إِلَى اسْتِيفَاءِ حَقٍّ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِنْ أَقَمْنَ بِذَلِكَ عَلَى امْتِنَاعِهِنَّ نَشَزْنَ وَسَقَطَ قَسْمُهُنَّ وَنَفَقَتُهُنَّ.
Pertama: Ia bepergian bersama seluruh istrinya, dan itu boleh jika perjalanannya aman. Karena Rasulullah ﷺ pernah bepergian bersama seluruh istrinya pada Haji Wada‘, dan karena ia berhak mendapatkan kenikmatan bersama mereka dalam perjalanan sebagaimana ia berhak mendapatkannya saat di rumah. Jika ia bepergian bersama mereka, maka pembagian (malam) mereka dalam perjalanan sama seperti pembagian saat di rumah. Jika salah satu dari mereka menolak untuk bepergian bersamanya, maka ia dianggap nusyuz (membangkang), dan gugur hak pembagian dan nafkahnya, kecuali jika ia memiliki uzur karena sakit yang membuatnya tidak mampu bepergian, maka ia tidak berdosa, dan ia tetap berhak mendapat nafkah, serta suaminya tidak wajib mengganti pembagian malamnya. Karena suami telah menawarkan hak itu kepadanya, sehingga penolakan berasal dari pihak istri. Namun, jika penolakan itu karena alasan suaminya bepergian untuk maksiat dan mereka menolak bepergian karena alasan tersebut, maka itu bukan alasan yang sah bagi mereka untuk tidak ikut jika perjalanannya aman. Karena suami tidak mengajak mereka kepada maksiat, melainkan mengajak mereka untuk menunaikan hak yang tidak gugur karena maksiat. Jika mereka tetap menolak, maka mereka dianggap nusyuz dan gugur hak pembagian dan nafkah mereka.
فَصْلٌ: وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ
Fasal: Keadaan Kedua
: أَنْ يَتْرُكَهُنَّ فِي أَوْطَانِهِنَّ وَلَا يُرِيدُ السَّفَرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَلَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَوِ اعْتَزَلَهُنَّ وَهُوَ مُقِيمٌ جَازَ فَإِذَا اعْتَزَلَهُنَّ بِالسَّفَرِ كَانَ أَوْلَى بِالْجَوَازِ إِذَا قَامَ بِمَا يَجِبُ لَهُنَّ مِنَ الْكُسْوَةِ وَالنَّفَقَةِ وَالسُّكْنَى، فَإِذَا خِفْنَ عَلَى أَنْفُسِهِنَّ إِذَا سَافَرَ عَنْهُنَّ لَزِمَهُ أَنْ يُسْكِنَهُنَّ فِي مَوْضِعٍ يَأْمَنَّ فِيهِ، فإن وجد ذلك في وطئه وَإِلَّا نَقَلَهُنَّ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْمَوَاطِنِ الْمَأْمُونَةِ فَإِنْ أَمَرَهُنَّ بَعْدَ سَفَرِهِ عَنْهُنَّ أَنْ يَخْرُجْنَ إِلَيْهِ لَزِمَهُنَّ الْخُرُوجُ إِذَا كَانَ السَّفَرُ مَأْمُونًا وَوَجَدْنَ ذَا مَحْرَمٍ فَإِنِ امْتَنَعْنَ نَشَزْنَ وَسَقَطَتْ نفقاتهن.
Yaitu, jika ia membiarkan para istrinya di negeri mereka masing-masing dan tidak bermaksud bepergian dengan salah satu dari mereka, maka hal itu diperbolehkan baginya. Sebab, jika ia mengasingkan diri dari mereka saat ia menetap, itu dibolehkan, maka jika ia mengasingkan diri dari mereka karena bepergian, tentu lebih utama untuk dibolehkan, selama ia menunaikan kewajiban mereka berupa pakaian, nafkah, dan tempat tinggal. Jika para istri khawatir terhadap keselamatan diri mereka ketika ia bepergian meninggalkan mereka, maka wajib baginya untuk menempatkan mereka di tempat yang aman. Jika keamanan itu didapatkan di tempat tinggal mereka, maka cukup di situ; jika tidak, ia harus memindahkan mereka ke tempat lain yang aman. Jika setelah ia bepergian, ia memerintahkan mereka untuk menyusulnya, maka wajib bagi mereka untuk berangkat jika perjalanan itu aman dan mereka mendapatkan mahram. Jika mereka menolak, maka mereka dianggap nusyuz dan gugurlah nafkah mereka.
فصل: والحال الثالثة
Fasal: Keadaan ketiga
: أن يريد السفر ببعضهم دُونَ بَعْضٍ فَلَهُ ذَلِكَ، لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَدْ فَعَلَ ذَاكَ فِي أَكْثَرِ أَسْفَارِهِ، وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُسَافِرَ بِجَمِيعِهِنَّ فَأَوْلَى أَنْ يُسَافِرَ بِبَعْضِهِنَّ، وَلَمَّا جَازَ أَنْ يَتْرُكَ جَمِيعَهُنَّ فَأَوْلَى أَنْ يَتْرُكَ بِعَضَّهُنَّ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَخَيَّرَ بَعْضَهُنَّ لِلسَّفَرِ إِلَّا بِالْقُرْعَةِ الَّتِي تَزُولُ بِهَا عَنْهُ التُّهْمَةُ لِمَا رَوَتْهُ عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – كَانَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا، وَلِأَنَّهُنَّ قَدْ تَسَاوَيْنَ فِي اسْتِحْقَاقِ الْقَسْمِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُمَيِّزَهُنَّ فِيهِ مِنْ غَيْرِ قُرْعَةٍ كَابْتِدَاءِ الْقَسْمِ فَإِذَا أَقْرَعَ بَيْنَهُنَّ لِيُسَافِرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَ فَأَيَّتُهُنَّ قَرَعَتْ سَافَرَ بِهَا عَلَى مَا سَنَذْكُرُ مِنْ صِفَةِ الْقُرْعَةِ فِي بَابِهَا، وَلَوْ رَاضَاهُنَّ عَلَى السَّفَرِ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِغَيْرِ قُرْعَةٍ جَازَ فَإِنِ امْتَنَعْنَ بَعْدَ الرِّضَا مِنْ تَسْلِيمِ الْخُرُوجِ لِتِلْكَ إِلَّا بِالْقُرْعَةِ كَانَ ذَلِكَ لَهُنَّ إِذَا لَمْ يَشْرَعْ فِي الْخُرُوجِ، فَإِنْ شَرَعَ فِيهِ وَسَافَرَ حَتَّى جَازَ لَهُ الْقَصْرُ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ ذَلِكَ وَاسْتَقَرَّ حَتَّى الْمُتَرَاضَى سَفَرُهَا وَتَعَيَّنَ ذَلِكَ لَهَا، وَلَوْ أَرَادَ الزَّوْجُ بَعْدَ خُرُوجِهَا عَلَى الْمُرَاضَاةِ أَنْ يَرُدَّهَا بَعْدَ شُرُوعِهِ فِي السَّفَرِ جَازَ، لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَعْتَزِلَهَا فِي السَّفَرِ فَجَازَ لَهُ رَدُّهَا مِنَ السَّفَرِ وَكَذَلِكَ الْخَارِجَةُ معه بِالْقُرْعَةِ وَلَوْ أَقْرَعَ بَيْنَهُنَّ فَقَرَعَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ فَقَالَ الزَّوْجُ لَسْتُ أُرِيدُهَا فَإِنْ قَالَ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ لَا يُرِيدُ السَّفَرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ جَازَ، وَإِنْ قَالَهُ مُرِيدًا لِلسَّفَرِ بِغَيْرِهَا لَمْ يَجُزْ، لِأَنَّهُ قَسْمٌ قَدْ تَعَيَّنَ حَقُّهَا بِالْقُرْعَةِ.
Yaitu, jika ia ingin bepergian dengan sebagian istrinya dan tidak dengan yang lain, maka itu diperbolehkan baginya, karena Nabi ﷺ telah melakukan hal itu dalam sebagian besar perjalanannya. Dan karena jika diperbolehkan bepergian dengan seluruh istrinya, maka lebih utama lagi diperbolehkan bepergian dengan sebagian dari mereka. Dan jika diperbolehkan meninggalkan seluruh istrinya, maka lebih utama lagi diperbolehkan meninggalkan sebagian dari mereka. Dalam hal ini, ia tidak boleh memilih sebagian istrinya untuk diajak bepergian kecuali dengan undian (qur‘ah) yang dengannya hilanglah tuduhan pilih kasih, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. bahwa Rasulullah ﷺ apabila hendak bepergian, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang keluar namanya, maka beliau bepergian dengannya. Karena mereka semua memiliki hak yang sama dalam pembagian (giliran), maka tidak boleh membedakan mereka tanpa undian, sebagaimana pada permulaan pembagian. Jika ia telah mengundi di antara mereka untuk bepergian dengan salah satu dari mereka, maka siapa pun yang keluar namanya, ia bepergian dengannya, sebagaimana akan dijelaskan tentang tata cara undian pada babnya. Jika ia telah meminta kerelaan mereka untuk bepergian dengan salah satu dari mereka tanpa undian, maka itu juga diperbolehkan. Namun, jika setelah rela mereka menolak untuk menyerahkan giliran kecuali dengan undian, maka itu menjadi hak mereka selama belum memulai perjalanan. Jika sudah memulai perjalanan dan telah bepergian hingga diperbolehkan melakukan qashar, maka mereka tidak lagi berhak menuntut, dan perjalanan istri yang telah disepakati itu tetap berlaku dan menjadi haknya. Jika suami, setelah istrinya keluar bersamanya atas dasar kerelaan, ingin mengembalikannya setelah memulai perjalanan, maka itu diperbolehkan, karena ia boleh mengasingkannya selama perjalanan, maka boleh pula mengembalikannya dari perjalanan. Begitu pula dengan istri yang keluar bersamanya melalui undian. Jika ia mengundi di antara mereka, lalu keluar nama salah satu dari mereka, kemudian suami berkata, “Saya tidak menginginkannya,” jika ia berkata demikian karena memang tidak ingin bepergian dengan siapa pun dari mereka, maka itu diperbolehkan. Namun, jika ia berkata demikian dengan maksud ingin bepergian dengan selainnya, maka itu tidak diperbolehkan, karena hak pembagian telah tetap menjadi milik istri yang keluar namanya melalui undian.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا سَافَرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ عَنْ قُرْعَةٍ أَوْ تراضٍ لَمْ يَقْضِ لِلْمُقِيمَاتِ مُدَّةَ سَفَرِهِ مَعَ الْخَارِجَةِ سَوَاءٌ كَانَ فِي السَّفَرِ مُخَالِطًا لَهَا أَوْ مُعْتَزِلًا عَنْهَا، لِأَنَّ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – لَمَّا حَكَتْ قُرْعَةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – لِمَنْ يُسَافِرُ بِهَا لَمْ تَحْكِ بِأَنَّهُ قَضَى بَاقِي نِسَائِهِ مِثْلَ مُدَّتِهَا وَلَوْ فَعَلَهُ لَحَكَتْهُ.
Jika ia bepergian dengan salah satu dari mereka berdasarkan undian atau kerelaan, maka ia tidak wajib mengganti giliran bagi istri-istri yang tinggal selama masa perjalanannya bersama istri yang diajak bepergian, baik selama perjalanan ia bercampur dengan istri yang diajak maupun mengasingkan diri darinya. Karena ‘Aisyah ra. ketika menceritakan undian Rasulullah ﷺ untuk menentukan siapa yang diajak bepergian, ia tidak meriwayatkan bahwa beliau mengganti giliran bagi istri-istri yang lain dengan masa yang sama. Seandainya beliau melakukannya, tentu ia akan meriwayatkannya.
ووري أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ لِبَعْضِ أَسْفَارِهِ فَخَرَجَتِ الْقُرْعَةُ لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا – فَسَافَرَ بِهِمَا، وَلَمْ يَقْضِ لِلْبَاقِيَاتِ.
Dan telah diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengundi di antara para istrinya untuk sebagian perjalanannya, lalu undian jatuh kepada ‘Aisyah dan Hafshah ra., maka beliau bepergian bersama keduanya, dan tidak mengganti giliran bagi istri-istri yang lain.
وَلِأَنَّ الْمُسَافِرَةَ مَعَهُ وَإِنْ حَظِيَتْ بِهِ فَقَدْ عَانَتْ مِنْ لَأْوَاءِ السَّفَرِ وَمَشَاقِّهِ مَا صَارَ فِي مُقَابَلَتِهِ كَمَا أَنَّ الْمُقِيمَاتِ وَإِنْ أَوْحَشَهُنَّ فِرَاقُهُ فَقَدْ حَصَلَ لَهُنَّ مِنْ رَفَاهَةِ الْمُقَامِ مَا فِي مُقَابَلَتِهِ فَلَا يَجْمَعُ لَهُنَ بَيْنَ الْقَسْمِ وَالرَّفَاهَةِ الَّتِي حرمتها المسافرة.
Karena istri yang bepergian bersamanya, meskipun mendapatkan kebersamaan dengannya, telah mengalami kesulitan dan kepayahan perjalanan yang sebanding dengan apa yang ia peroleh. Sebagaimana para istri yang tinggal di rumah, meskipun merasakan kesepian karena perpisahan dengannya, mereka tetap mendapatkan kenyamanan tinggal yang sebanding dengan itu. Maka, tidaklah pantas mereka menggabungkan antara hak pembagian (giliran) dan kenyamanan yang tidak didapatkan oleh istri yang bepergian.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَكَذَلِكَ إِذَا أَرَادَ أن يخرج باثنتين أَوْ أَكْثَرَ أَقْرَعَ “.
Imam asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Demikian pula jika ia ingin bepergian dengan dua orang istri atau lebih, maka ia harus mengundi.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، يَجُوزُ لِلزَّوْجِ أَنْ يُسَافِرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْ أَرْبَعٍ وَبِاثْنَيْنِ مِنْهُنَّ وَبِثَلَاثٍ، وَيَخْلُفُ وَاحِدَةً كَمَا جَازَ لَهُ أَنْ يُسَافِرَ بِوَاحِدَةٍ، وَيَخْلُفَ ثَلَاثًا لَكِنَّهُ يَسْتَعْمِلُ الْقُرْعَةَ فِي إِخْرَاجِ الْوَاحِدَةِ فَإِذَا قَرَعَ اثْنَانِ مِنْهُنَّ، وَسَافَرَ بِهِمَا قَسَمَ بَيْنَهُمَا فِي سَفَرِهِ كَمَا كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَهُمَا فِي حَضَرِهِ إِلَّا أَنْ يَعْتَزِلَهُمَا فَيَسْقُطُ الْقَسْمُ لَهُمَا، وَلَا يَقْضِي الْمُقِيمِينَ مُدَّةَ سَفَرِهِ بِالْخَارِجَتَيْنِ، وَإِنْ قَسَمَ لَهُمَا كَمَا لَا يَقْضِي مُدَّةَ سَفَرِهِ بِالْوَاحِدَةِ فَلَوْ سَافَرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِالْقُرْعَةِ ثُمَّ أَرَادَ فِي سَفَرِهِ إِخْرَاجَ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمُقِيمَاتِ أَقْرَعَ بَيْنَهُنَّ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُنَّ أَنْ يَنْفَرِدْنَ بِالْقُرْعَةِ، لِأَنَّ فِيهَا حَقًّا لِلزَّوْجِ فَلَا يَبْطُلُ حَقُّهُ مِنَ الْقُرْعَةِ بِانْفِرَادِهِنَّ بِهَا، وَأَقْرَعَ الْحَاكِمُ بَيْنَهُنَّ وَأَخْرَجَ مَنْ قُرِعَتْ مِنْهُنَّ، فَإِذَا وَصَلَتْ إِلَيْهِ اسْتَأْنَفَ الْقَسْمَ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْمُتَقَدِّمَةِ مَعَهُ، وَلَمْ يَقْضِهَا مُدَّةَ سَفَرِهَا إِلَيْهِ.
Al-Mawardi berkata: Hal ini benar. Suami boleh bepergian dengan satu dari empat istrinya, atau dengan dua di antara mereka, atau dengan tiga, dan meninggalkan satu, sebagaimana ia boleh bepergian dengan satu dan meninggalkan tiga. Namun, ia harus menggunakan undian dalam memilih siapa yang akan diajak bepergian. Jika yang terpilih dua orang, lalu ia bepergian bersama keduanya, maka ia membagi giliran di antara keduanya selama dalam perjalanan sebagaimana ia membagi giliran di antara mereka saat di rumah, kecuali jika ia menjauhi keduanya, maka hak pembagian untuk mereka gugur. Ia tidak wajib mengganti hak pembagian untuk istri-istri yang tinggal selama masa perjalanannya bersama yang diajak bepergian, meskipun ia telah membagi giliran untuk mereka, sebagaimana ia tidak wajib mengganti hak pembagian selama perjalanannya bersama satu istri saja. Jika ia bepergian dengan satu istri melalui undian, lalu di tengah perjalanan ingin mengajak salah satu dari istri yang tinggal, maka ia harus mengundi di antara mereka, dan para istri tidak boleh melakukan undian sendiri, karena di dalamnya terdapat hak suami, sehingga hak suami dalam undian tidak gugur hanya karena mereka melakukannya sendiri. Maka hakimlah yang mengundi di antara mereka dan mengeluarkan siapa yang terpilih. Jika istri tersebut telah sampai kepadanya, maka ia memulai kembali pembagian giliran antara istri yang baru datang dan yang telah bersamanya, dan ia tidak wajib mengganti masa perjalanan untuk istri yang baru datang tersebut.
فَلَوْ تَرَاضَى الْمُقِيمَاتُ بِإِخْرَاجِ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِغَيْرِ قُرْعَةٍ لَمْ يَجُزْ لِحَقِّ الزَّوْجِ فِي الْقُرْعَةِ، فَلَوْ حَصَلَ مَعَهُ فِي السَّفَرِ اثْنَتَانِ بِالْقُرْعَةِ فَأَرَادَ رَدَّ إِحْدَاهِمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ رَدُّهَا إِلَّا بِالْقُرْعَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Jika para istri yang tinggal rela salah satu dari mereka diajak bepergian tanpa undian, maka hal itu tidak diperbolehkan karena ada hak suami dalam undian. Jika dalam perjalanan bersamanya ada dua istri yang terpilih melalui undian, lalu ia ingin memulangkan salah satu dari keduanya, maka ia tidak boleh memulangkannya kecuali dengan undian. Wallāhu a‘lam.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ فَاسْتَجَدَّ نِكَاحَ زَوْجَتَيْنِ فَصِرْنَ أَرْبَعًا، وَأَرَادَ أَنْ يُسَافِرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَقْرَعَ بَيْنَ الْأَرْبَعِ فَأَيَّتُهُنَّ قُرِعَتْ سَافَرَ بِهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَخْتَصَّ بِإِخْرَاجِ إِحْدَى الْجَدِيدَتَيْنِ وَإِنْ كَانَ قَسْمُ الْعَقْدِ لَهَا مُعَجَّلًا فَإِنْ خَرَجَتْ قُرْعَةُ السَّفَرِ عَلَى إِحْدَى الْمُتَقَدِّمِينَ فَسَافَرَ بِهَا وَجَبَ عَلَيْهِ إِذَا عَادَ مِنْ سَفَرِهِ أَنْ يَقْسِمَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمُسْتَجَدَّتَيْنِ قَسْمَ الْعَقْدِ يُقَدِّمُ إِحْدَاهُمَا فِيهِ بِالْقُرْعَةِ ثُمَّ الثَّانِيَةَ بَعْدَهَا فَإِذَا أَوْفَاهَا حَقَّ الْعَقْدِ اسْتَأْنَفَ قَسْمَ الْمُمَاثَلَةِ بَيْنَ جَمَاعَتَيْنِ وَلَوْ خَرَجَتْ قُرْعَةُ السَّفَرِ عَلَى إِحْدَى الْمُسْتَجَدَّتَيْنِ فَسَافَرَ بِهَا سَقَطَ حَقُّهَا مِنْ قَسْمِ الْعَقْدِ، لِأَنَّ مَقْصُودَ التَّفَرُّدِ بِهَا لِلْأُلْفَةِ وَالِاسْتِمْتَاعِ، وَقَدْ حَصَلَ لَهَا ذَلِكَ بِالسَّفَرِ مَعَهُ مِنْ غَيْرِ تَقْدِيرِ مُدَّةٍ.
Jika ia memiliki dua istri, lalu menikah lagi dengan dua istri sehingga menjadi empat, dan ia ingin bepergian dengan salah satu dari mereka, maka wajib baginya untuk mengundi di antara keempatnya. Siapa pun yang terpilih, dialah yang diajak bepergian. Tidak boleh mengkhususkan salah satu dari dua istri baru untuk diajak bepergian, meskipun hak pembagian akadnya masih berjalan. Jika undian perjalanan jatuh pada salah satu istri lama lalu ia bepergian dengannya, maka ketika kembali dari perjalanan, ia wajib membagi giliran akad untuk masing-masing dari dua istri baru, dengan mendahulukan salah satunya melalui undian, lalu yang kedua setelahnya. Setelah ia menunaikan hak akad untuk keduanya, ia memulai kembali pembagian giliran yang setara di antara dua kelompok istri. Jika undian perjalanan jatuh pada salah satu istri baru lalu ia bepergian dengannya, maka gugurlah haknya atas pembagian giliran akad, karena tujuan dari pembagian itu adalah untuk membangun keakraban dan kenikmatan bersama, dan hal itu telah ia dapatkan dengan bepergian bersama suaminya tanpa batasan waktu tertentu.
فَعَلَى هَذَا لَوْ قَدَمَ قَبْلَ سَبْعٍ وَهِيَ بِكْرٌ لَمْ يَلْزَمْهُ لَهَا تَمَامُ السَّبْعِ، لِأَنَّهُ لَوْ لَزِمَهُ إِتْمَامُ سَبْعٍ إِذَا عَادَ قَبْلَهَا لَمُنِعَتِ الزِّيَادَةَ إِذَا طَالَ سَفَرُهَا ثُمَّ إِذَا قَدِمَ فَهَلْ يَسْقُطُ حَقُّ الْمُسْتَجَدَّةِ الْمُقِيمَةِ مِنْ قَسْمِ الْعَقْدِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ:
Berdasarkan hal ini, jika ia kembali sebelum tujuh hari sementara istrinya masih perawan, maka ia tidak wajib menyempurnakan tujuh hari untuknya. Sebab, jika ia wajib menyempurnakan tujuh hari ketika kembali sebelum itu, maka ia akan terhalang dari tambahan waktu jika perjalanan istrinya berlangsung lama. Kemudian, jika ia telah kembali, apakah gugur hak istri baru yang tinggal atas pembagian giliran akad atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: قَدْ سَقَطَ حَقُّهَا مِنْ ذَلِكَ، وَيَقْسِمُ لَهَا مَعَ الْجَمَاعَةِ قَسْمَ الْمُمَاثَلَةِ، لِأَنَّ الْمَنْكُوحَةَ مَعَهَا قَدْ سَقَطَ حَقُّهَا مِنْ قَسْمِ الْعَقْدِ بِالسَّفَرِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخُصَّهَا بِقَسْمِ الْعَقْدِ لِمَا فِيهِ مِنَ التَّفْضِيلِ.
Pertama: Haknya atas pembagian itu telah gugur, dan ia mendapat pembagian giliran yang setara bersama istri-istri lainnya. Sebab, istri yang telah diajak bepergian bersamanya telah gugur haknya atas pembagian giliran akad karena telah diajak bepergian, sehingga tidak boleh mengkhususkan istri yang tinggal dengan pembagian giliran akad karena di dalamnya terdapat unsur keutamaan (yang tidak adil).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ أَصَحُّ، لَهَا عَلَيْهِ قَسْمُ الْعَقْدِ فَتَقَدُّمُهَا بِهِ قَبْلَ قَسْمِ الْمُمَاثِلَةِ، لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهَا تَوَفَّاهُ وَقَدْ صَارَ إِلَى الْمُسَافِرَةِ مِنْ قَسْمِ السَّفَرِ مَا يَقُومُ مَقَامَ قَسْمِ الْعَقْدِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih: istri tersebut berhak atas bagian ‘aqd (bagian yang diperoleh karena akad), sehingga ia didahulukan dengan bagian itu sebelum bagian musawah (bagian keadilan), karena itu adalah haknya yang telah ia terima, dan telah sampai kepada istri yang bepergian bagian safar yang setara dengan bagian ‘aqd, dan Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وَإِنْ خَرَجَ بواحدةٍ بِغَيْرِ قرعةٍ كَانَ عَلَيْهِ أن يقسم لمن بقي بقدر واحدةٍ إلا أوفى البواقي مثل مقامه معها مَغِيبِهِ مَعَ الَّتِي خَرَجَ بِهَا وَلَوْ أَرَادَ السَّفَرَ لنقلةٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْتَقِلَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia bepergian dengan salah satu istrinya tanpa undian, maka ia wajib membagikan kepada istri-istri yang lain sebesar bagian satu istri, kecuali ia telah menyamakan waktu tinggalnya bersama istri yang diajak bepergian dengan waktu ketidakhadirannya bersama yang lain. Dan jika ia bermaksud bepergian untuk pindah tempat tinggal, maka ia tidak boleh berpindah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ إِذَا أَرَادَ السَّفَرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَقْرَعَ بَيْنَهُنَّ فَمَنْ قُرِعَتْ سَافَرَ بِهَا لَمْ يَقْضِ الْمُقِيمَاتِ مُدَّةَ سَفَرِهِ مَعَهَا، فَأَمَّا إِنْ سَافَرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ قُرْعَةٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ الْمُقِيمَاتِ مُدَّةَ غَيْبَتِهِ مَعَهَا، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَقْضِي اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْقَسْمَ يَسْقُطُ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَلَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ إِذَا لَمْ يَقْرَعْ لَوَجَبَ عَلَيْهِ إِذَا أَقْرَعَ كَالْحَضَرِ.
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa jika seorang suami ingin bepergian dengan salah satu istrinya, maka ia wajib mengundi di antara mereka, siapa yang terpilih dialah yang diajak bepergian, dan ia tidak wajib mengganti waktu tinggal bersama istri-istri yang lain selama masa perjalanannya dengan istri tersebut. Adapun jika ia bepergian dengan salah satu istrinya tanpa undian, maka ia wajib mengganti waktu tinggal bersama istri-istri yang lain selama masa ketidakhadirannya bersama istri yang diajak bepergian. Abu Hanifah berkata: Tidak wajib mengganti, dengan alasan bahwa bagian (qism) gugur atas orang yang bepergian, dan jika memang wajib mengganti ketika tidak mengundi, tentu juga wajib mengganti ketika mengundi sebagaimana dalam keadaan mukim.
وَدَلِيلُنَا: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَلَوْ سَقَطَ الْقَضَاءُ فِي الحالية لَمْ يَكُنْ لِلْقُرْعَةِ مَعْنًى، وَلِأَنَّهُ لَمَّا افْتَرَقَ وُجُودُ الْقُرْعَةِ وَعَدَمُهَا فِي الْإِبَاحَةِ افْتَرَقَا فِي الْقَضَاءِ، وَلِأَنَّهُ خَصَّ إِحْدَى نِسَائِهِ بِمُدَّةٍ يَلْحَقُهُ فِيهَا التُّهْمَةُ فَوَجَبَ بِهِ الْقَضَاءُ كَالْمُقِيمَةِ، وَلَيْسَ لِمَا ادَّعَاهُ مِنْ سُقُوطِ الْقَسْمِ عَنِ الْمُسَافِرِ لِمَا لَهُ مِنْ تَرْكِهِنَّ وَجْهٌ، لِأَنَّ الْمُقِيمَ لَوِ اعْتَزَلَهُنَّ جَازَ، وَلَا يَدُلُّ عَلَى سُقُوطِ الْقَسْمِ عَنْهُ كَذَلِكَ الْمُسَافِرُ، وَلِأَنَّهُ لَوْ سَافَرَ بِاثْنَتَيْنِ لَزِمَهُ الْقَسْمُ لَهُمَا وَلَوْ سَقَطَ عَنْهُ بِالسَّفَرِ لَمْ يَلْزَمْهُ فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ فَوُجُوبُهُ يَكُونُ بِمُخَالَطَتِهِ لِلْمُسَافِرَةِ وَحُلُولِهَا مَعَهُ فِي سَفَرِهِ حَيْثُ يَحُلُّ.
Dalil kami: Nabi ﷺ melakukan undian di antara istri-istrinya, maka jika kewajiban mengganti itu gugur dalam keadaan bepergian, tentu undian tidak ada maknanya. Dan karena ketika ada perbedaan antara adanya undian dan tidak adanya undian dalam hal kebolehan, maka berbeda pula dalam hal kewajiban mengganti. Dan karena ketika ia mengkhususkan salah satu istrinya dalam waktu tertentu, maka ia terkena tuduhan (tidak adil), sehingga wajib mengganti sebagaimana dalam keadaan mukim. Adapun klaim bahwa bagian (qism) gugur atas orang yang bepergian karena ia meninggalkan mereka, tidaklah benar, karena seorang mukim jika menjauhi istri-istrinya juga boleh, dan itu tidak menunjukkan gugurnya bagian atasnya, demikian pula bagi yang bepergian. Dan jika ia bepergian dengan dua istrinya, maka ia wajib membagi bagian di antara keduanya, dan jika bagian itu gugur karena safar, tentu ia tidak wajib membaginya. Maka jika telah tetap kewajiban mengganti atasnya, maka kewajiban itu karena ia bergaul dengan istri yang diajak bepergian dan tinggal bersamanya selama safar di tempat yang ia singgahi.
فَأَمَّا إِنِ اعْتَزَلَهَا فِي سَفَرِهِ وَأَفْرَدَهَا بِخَيْمَةٍ غَيْرِ خَيْمَتِهِ، وَفِي مسكن إذا دخل بلداً غير مسكنه فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَلَا يَكُونُ قُرْبُهُ مِنْهَا فِي السَّفَرِ قَسْمًا يُقْضَى كَمَا لَا يَكُونُ قُرْبُهَا فِي الْحَضَرِ قَسْمًا مُؤَدًّى، فَلَوْ خَالَطَهَا شَهْرًا وَاعْتَزَلَهَا شَهْرًا قَضَى شَهْرَ مُخَالَطَتِهَا وَلَمْ يَقْضِ شَهْرَ اعْتِزَالِهَا فَإِنِ اخْتَلَفُوا فِي الْمُقَامِ وَالِاعْتِزَالِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُ الزَّوْجِ مَعَ يَمِينِهِ.
Adapun jika ia menjauhi istrinya selama safar dan menempatkannya di tenda yang berbeda dari tendanya, atau di tempat tinggal yang berbeda jika ia memasuki suatu kota, maka ia tidak wajib mengganti. Dan kedekatannya dengan istri dalam safar tidak dianggap sebagai bagian yang harus diganti, sebagaimana kedekatan istri dalam keadaan mukim juga tidak dianggap sebagai bagian yang harus dipenuhi. Jika ia bergaul dengan istrinya selama sebulan dan menjauhinya selama sebulan, maka ia wajib mengganti sebulan masa pergaulan dan tidak wajib mengganti sebulan masa penjauhan. Jika terjadi perselisihan tentang masa tinggal dan masa penjauhan, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami dengan sumpahnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ سَافَرَ بِإِحْدَى نِسَائِهِ بِالْقُرْعَةِ إِلَى بَلَدٍ قَرِيبٍ ثُمَّ سَافَرَ مِنْهُ إِلَى بَلَدٍ هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُ أَوْ عَلَى أَنَّ مُدَّةَ سَفَرِهِ شَهْرٌ فَصَارَ أَكْثَرَ مِنْهُ جَازَ، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ سَفَرٌ وَاحِدٌ قَدْ أَقْرَعَ فِيهِ، وَلَيْسَ يَنْحَصِرُ السَّفَرُ بِمُدَّةٍ وَمَسَافَةٍ لِأَنَّهُ عَوَارِضُ السَّفَرِ.
Jika ia bepergian dengan salah satu istrinya melalui undian ke suatu negeri yang dekat, lalu dari sana ia bepergian lagi ke negeri yang lebih jauh, atau awalnya ia berniat bepergian selama sebulan lalu ternyata lebih lama, maka hal itu dibolehkan dan ia tidak wajib mengganti, karena itu merupakan satu perjalanan yang telah dilakukan undian padanya, dan perjalanan tidak dibatasi dengan waktu dan jarak tertentu karena adanya berbagai kemungkinan dalam perjalanan.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ تَزَوَّجَ عَلَى الَّتِي سَافَرَ بِهَا زَوْجَةً أُخْرَى فِي سَفَرِهِ خَصَّهَا بِقَسْمِ الْعَقْدِ، لِأَنَّ مَعَهَا غَيْرَهَا ثُمَّ اسْتَأْنَفَ لَهَا قَسْمَ الْمُمَاثَلَةِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمُسَافِرَةِ وَلَا يَقْضِي الْبَاقِيَاتِ، إِنْ كَانَ سَفَرُهُ بِالْوَاحِدَةِ بِقُرْعَةٍ وَيَقْضِيهِنَّ إن سافر بها بغير قرعة.
Jika ia menikahi istri lain di atas istri yang diajak bepergian selama safar, maka istri yang baru dinikahi itu mendapat bagian ‘aqd, karena ia bersama suami tanpa ada istri lain. Kemudian setelah itu ia memulai bagian musawah antara istri yang baru dan istri yang diajak bepergian, dan ia tidak wajib mengganti bagian istri-istri yang lain, jika safarnya dengan satu istri melalui undian. Namun ia wajib mengganti jika bepergian dengan istri tanpa undian.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ خَرَجَ بِهَا مُسَافِرًا بقرعةٍ ثُمَّ أَزْمَعَ الْمُقَامَ لنقلةٍ احْتُسِبَ عَلَيْهَا مُقَامُهُ بَعْدَ الْإِزْمَاعِ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika ia bepergian dengan salah satu istrinya melalui undian, lalu ia berniat menetap untuk pindah tempat tinggal, maka masa tinggalnya setelah niat menetap dihitung atas istri tersebut.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ: إِذَا سَافَرَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِالْقُرْعَةِ سَفَرَ حَاجَةٍ ثُمَّ صَارَ إِلَى بَلَدٍ فَنَوَى الْمُقَامَ فِيهِ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu jika ia bepergian dengan salah satu istrinya melalui undian untuk suatu keperluan, lalu sampai di suatu negeri dan berniat menetap di sana, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَنْوِيَ الْمُقَامَ فِيهِ مُسْتَوْطِنًا لَهُ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ الْبَاقِيَاتِ مُدَّةَ مُقَامِهِ مَعَهَا بَعْدَ نِيَّتِهِ إِلَّا أَنْ يَعْتَزِلَهَا، لِأَنَّهُ بِالِاسْتِيطَانِ قَدْ خَرَجَ مِنْ حُكْمِ السَّفَرِ.
Pertama: Seseorang berniat menetap di suatu tempat sebagai penduduk tetap di sana, maka ia wajib mengganti bagian-bagian yang tersisa selama masa tinggalnya bersamanya setelah niat tersebut, kecuali jika ia berpisah darinya. Sebab, dengan menjadi penduduk tetap, ia telah keluar dari hukum musafir.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَنْوِيَ الْمُقَامَ مُدَّةً مُقَدَّرَةً يَلْزَمُهُ لَهَا إِتْمَامُ الصَّلَاةِ ثُمَّ يَعُودُ مِنْ غَيْرِ اسْتِيطَانٍ، كَأَنَّهُ نَوَى مُقَامَ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ فَمَا زَادَ إِلَى مُدَّةٍ قَدَّرَهَا ثُمَّ يَعُودُ إِلَى وَطَنِهِ فَفِي وُجُوبِ قَضَائِهِ لِتِلْكَ الْمُدَّةِ وَجْهَانِ:
Jenis kedua: Seseorang berniat tinggal dalam jangka waktu tertentu yang mewajibkannya menyempurnakan shalat, kemudian ia kembali tanpa menjadi penduduk tetap, seperti ia berniat tinggal selama empat hari atau lebih dalam waktu yang telah ia tentukan, lalu ia kembali ke negerinya. Dalam kewajiban mengganti bagian selama masa itu terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ، لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ مُقِيمًا فَهُوَ غَيْرُ مُسْتَوْطِنٍ.
Salah satunya: Ia tidak wajib mengganti, karena meskipun ia tinggal, ia bukanlah penduduk tetap.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ، لِأَنَّهُ مُقِيمٌ فَأَشْبَهَ الْمُسْتَوْطِنَ، وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا هَلْ يَنْعَقِدُ بِهِ الْجُمُعَةُ أَمْ لَا؟ فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ: أَنَّ الْجُمُعَةَ لَا تَنْعَقِدُ بِهِ وَإِنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فَعَلَى هَذَا لَا يَلْزَمُهُ قَضَاءُ الْقَسْمِ، لِأَنَّهُ بِالْمُسَافِرِ أَخَصُّ.
Pendapat kedua: Ia wajib mengganti, karena ia adalah orang yang tinggal sehingga menyerupai penduduk tetap. Dua pendapat ini berasal dari perbedaan pendapat ulama kami, apakah dengan keadaannya itu shalat Jumat dapat dilaksanakan atau tidak. Salah satu pendapat: Shalat Jumat tidak dapat dilaksanakan dengannya, meskipun ia wajib melaksanakannya. Maka menurut pendapat ini, ia tidak wajib mengganti bagian, karena ia lebih dekat kepada hukum musafir.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّ الْجُمُعَةَ تَنْعَقِدُ بِهِ كَمَا تَجِبُ عَلَيْهِ، فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُهُ قَضَاءُ الْقَسْمِ لِأَنَّهُ بِالْمُقِيمِ أَخَصُّ، فَإِذَا قِيلَ: لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، فَلَا مَقَالَ.
Pendapat kedua: Shalat Jumat dapat dilaksanakan dengannya sebagaimana ia wajib atasnya. Maka menurut pendapat ini, ia wajib mengganti bagian karena ia lebih dekat kepada hukum orang yang tinggal. Jika dikatakan: tidak ada kewajiban mengganti atasnya, maka tidak ada pembahasan lagi.
وَإِذَا قِيلَ: عَلَيْهِ الْقَضَاءُ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ مُدَّةَ الْمُقَامِ، وَفِي قَضَاءِ مُدَّةِ الْعَوْدِ وَجْهَانِ:
Dan jika dikatakan: ia wajib mengganti, maka ia harus mengganti selama masa tinggalnya. Dalam mengganti selama masa kembali terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَقْضِيهِ إِلْحَاقًا بِمَا تَقَدَّمَهُ.
Salah satunya: Ia menggantinya sebagai kelanjutan dari masa sebelumnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: لَا يَقْضِيهِ لُمَعَانَاةِ السَّفَرِ فِيهِ كَالسَّفَرِ فِي التَّوَجُّهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Pendapat kedua: Ia tidak menggantinya karena mengalami kesulitan safar di masa itu, sebagaimana safar dalam perjalanan, dan Allah lebih mengetahui.
Bab tentang pembangkangan (nushūz) istri terhadap suami, dari al-Jāmi‘, dari Kitab Nushūz suami terhadap istri, dari Kitab Thalāq, dan dari Ahkām al-Qur’ān.
قال الشافعي رحمه الله تبارك وتعالى {وَالَّلاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ} الْآيَةَ (قَالَ) وَفِي ذَلِكَ دلالةٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالِ الْمَرْأَةِ فِيمَا تُعَاتَبُ فِيهِ وَتُعَاقَبُ عَلَيْهِ فَإِذَا رَأَى مِنْهَا دَلَالَةً عَلَى الْخَوْفِ مِنْ فعلٍ أَوْ قولٍ وَعَظَهَا فَإِنْ أَبْدَتْ نُشُوزًا هجرها فإن أقامت عليه ضربها وقد يحتمل {تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ} إذا نشزن فخفتم لجاجتهن في النشوز يكون لكم جمع العظة والهجر والضرب وقال عليه السلام ” لا تضربوا إماء الله ” قال فأتاه عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَئِرَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فأذن في ضربهن فأطاف بآل محمدٍ نساءٌ كثيرٌ كلهن يشتكين أزواجهن فقال – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لقد أطاف بآل محمدٍ سبعون امرأة كلهن يشتكين أزواجهن فلا تجدون أولئك خياركم ” ويحتمل أن يكون قوله عليه السلام قبل نزول الآية بضربهن ثم أذن فجعل لهم الضرب فأخبر أن الاختيار ترك الضرب “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan pembangkangannya…” (ayat). (Beliau berkata): Dalam hal ini terdapat petunjuk tentang perbedaan keadaan wanita dalam hal yang ia ditegur dan dihukum karenanya. Jika suami melihat adanya tanda-tanda yang menimbulkan kekhawatiran dari perbuatan atau ucapan, maka ia menasihatinya. Jika ia menampakkan pembangkangan, suami boleh mengasingkannya. Jika ia tetap melakukannya, suami boleh memukulnya. Bisa jadi maksud dari “wanita-wanita yang kamu khawatirkan pembangkangannya” adalah jika mereka membangkang lalu kalian khawatir mereka terus-menerus dalam pembangkangan, maka kalian boleh menggabungkan antara nasihat, pengasingan, dan pemukulan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.” Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, para wanita telah berani terhadap suami-suami mereka.” Maka beliau mengizinkan memukul mereka. Kemudian banyak wanita dari keluarga Muhammad mengelilingi beliau, semuanya mengadukan suami-suami mereka. Maka beliau ﷺ bersabda, “Telah datang kepada keluarga Muhammad tujuh puluh wanita, semuanya mengadukan suami-suami mereka. Kalian tidak akan menemukan mereka (para suami yang memukul) sebagai orang-orang terbaik di antara kalian.” Bisa jadi sabda beliau ﷺ itu sebelum turunnya ayat tentang bolehnya memukul mereka, kemudian beliau mengizinkan, lalu beliau memberitakan bahwa yang utama adalah meninggalkan pemukulan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا نُشُوزُ الْمَرْأَةِ عَلَى زَوْجِهَا فَهُوَ امْتِنَاعُهَا عَلَيْهِ إِذَا دَعَاهَا إِلَى فِرَاشِهِ مَأْخُوذٌ مِنَ الِارْتِفَاعِ، وَلِذَلِكَ قِيلَ لِلْمَكَانِ الْمُرْتَفِعِ نشز فسميت الممتنعة عن زوجها ناشراً لِارْتِفَاعِهَا عَنْهُ وَامْتِنَاعِهَا مِنْهُ، وَلَا يَخْلُو حَالُ النُّشُوزِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ:
Al-Mawardi berkata: Adapun nushūz (pembangkangan) istri terhadap suaminya adalah penolakannya ketika suami memanggilnya ke tempat tidurnya, diambil dari makna “meninggi”. Oleh karena itu, tempat yang tinggi disebut “nashz”. Maka wanita yang menolak suaminya disebut “nāshir” karena ia meninggi darinya dan menolak darinya. Keadaan nushūz antara suami istri tidak lepas dari empat bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ النُّشُوزُ مِنَ الزَّوْجِ عَلَى الزَّوْجَةِ، وَالْأَصْلُ فِيهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمْا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ) {النساء: 128) . وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيمَا يَلْزَمُهُ بِنُشُوزِهِ عَنْهُ وَمَا لَا يَلْزَمُهُ فَإِنَّ الَّذِي يُؤْخَذُ بِهِ جَبْرًا فِي نُشُوزِهِ النَّفَقَةُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى، وَالْقَسْمُ الَّذِي يُنْدَبُ إِلَيْهِ اسْتِحْبَابًا أَنْ لَا يَهْجُرَ مُبَاشَرَتَهَا وَلَا يُظْهِرَ كَرَاهِيَتَهَا وَلَا يُسِيءَ عِشْرَتَهَا.
Pertama: Nushūz dari suami terhadap istri, dasarnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan jika seorang wanita khawatir suaminya melakukan nushūz atau berpaling, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian di antara mereka berdua, dan perdamaian itu lebih baik.” (an-Nisā’: 128). Telah dijelaskan sebelumnya tentang apa yang wajib atas suami karena nushūz-nya terhadap istri dan apa yang tidak wajib. Maka yang dapat dipaksakan atasnya karena nushūz-nya adalah nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan pembagian (giliran) yang dianjurkan secara sunnah agar tidak menghindari hubungan dengannya, tidak menampakkan kebenciannya, dan tidak memperburuk pergaulannya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ النُّشُوزُ مِنَ الزَّوْجَةِ عَلَى الزَّوْجِ، وَالْأَصْلُ فِي بَيَانِ حُكْمِهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ) {النساء: 34) . يَعْنِي أَنَّ الرِّجَالَ أَهْلُ قِيَامٍ عَلَى نِسَائِهِمْ فِي تَأْدِيبِهِنَّ، وَالْأَخْذِ عَلَى أَيْدِيهِنَّ فِيمَا يَجِبُ لِلَّهِ تَعَالَى وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ وَقَوْلُهُ: {بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ) {النساء: 34) . يَعْنِي بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ الرِّجَالَ عَلَى النِّسَاءِ مِنَ الْعَقْلِ، وَالرَّأْيِ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمِ مِنَ الْمُهُورِ وَالْقِيَامِ بِالْكِفَايَةِ ثُمَّ قَالَ: {فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ) {النساء: 34) . يَعْنِي فَالصَّالِحَاتُ الْمُسْتَقِيمَاتُ الدِّينِ الْعَامِلَاتُ بِالْخِيَرِ، وَيَعْنِي بِالْقَانِتَاتِ الْمُطِيعَاتِ لِلَّهِ تَعَالَى وَلِأَزْوَاجِهِنَّ وَحَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ أَيْ لِأَنْفُسِهِنَّ عِنْدَ غَيْبَةِ أَزْوَاجِهِنَّ وَلِمَا أَوْجَبَهُ مِنْ حُقُوقِهِمْ عَلَيْهِنَّ، وَفِي قوله: {بِمَا حَفِظَ اللهُ} تَأْوِيلَانِ:
Bagian kedua: yaitu apabila nusyūz berasal dari istri terhadap suami. Dasar penjelasan hukumnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka} (an-Nisā’: 34). Artinya, laki-laki adalah pihak yang bertanggung jawab atas istri-istri mereka dalam mendidik, menegur, dan mengambil tindakan terhadap mereka dalam hal yang menjadi hak Allah Ta‘ala dan hak suami atas mereka. Firman-Nya: {karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain} (an-Nisā’: 34), maksudnya adalah karena Allah Ta‘ala telah memberikan kelebihan kepada laki-laki atas perempuan dalam hal akal, pertimbangan, serta karena mereka menafkahkan harta mereka berupa mahar dan memenuhi kebutuhan hidup. Kemudian Allah berfirman: {Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka)} (an-Nisā’: 34). Maksudnya, perempuan-perempuan saleh adalah yang lurus agamanya, beramal dengan kebaikan; dan yang dimaksud dengan qānitāt adalah yang taat kepada Allah Ta‘ala dan kepada suami mereka; dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada, yakni menjaga diri mereka saat suami tidak di rumah dan menjaga hak-hak suami yang wajib atas mereka. Dalam firman-Nya: {karena Allah telah memelihara (mereka)}, terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: يَعْنِي بِحِفْظِ اللَّهِ تَعَالَى لَهُنَّ حَتَّى صِرْنَ كَذَلِكَ، وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءٍ.
Pertama: maksudnya adalah karena Allah Ta‘ala menjaga mereka sehingga mereka menjadi seperti itu, dan ini adalah pendapat ‘Aṭā’.
وَالثَّانِي: بِمَا أَوْجَبَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ مِنْ مُهُورِهِنَّ، وَنَفَقَاتِهِنَّ حَتَّى صِرْنَ بِهَا مَحْفُوظَاتٍ، وَهُوَ قَوْلُ الزَّجَّاجِ.
Kedua: karena apa yang telah Allah Ta‘ala wajibkan atas suami mereka berupa mahar dan nafkah, sehingga dengan itu mereka terjaga, dan ini adalah pendapat az-Zajjāj.
وَقَدْ رَوَى ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” خَيْرُ النِّسَاءِ امْرَأَةٌ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي مَالِهَا وَنَفْسِهَا ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ} (النساء: 34) “. إِلَى آخِرِ الْآيَةِ.
Telah meriwayatkan Ibn al-Mubārak dari Sa‘īd bin Abī Sa‘īd dari ayahnya dari Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik perempuan adalah perempuan yang apabila engkau memandangnya, ia menyenangkanmu; apabila engkau memerintahnya, ia menaatimu; dan apabila engkau tidak ada di sisinya, ia menjaga dirimu dalam harta dan dirinya.” Kemudian Rasulullah ﷺ membaca: {Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan} (an-Nisā’: 34), hingga akhir ayat.
ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: {وَالَّلاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فِعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً) {النساء: 34) . فَأَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى مُعَاقَبَتَهَا عَلَى النُّشُوزِ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ بِالْعِظَةِ، والضرب والهجر.
Kemudian Allah Ta‘ala berfirman: {Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyūz-nya, maka nasehatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaati kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka} (an-Nisā’: 34). Maka Allah Ta‘ala membolehkan untuk menghukum istri atas nusyūz dengan tiga hal: dengan nasehat, pemukulan, dan pemisahan di tempat tidur.
ثم قال: {فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ} يَعْنِي فِي الْإِقْلَاعِ عَنِ النُّشُوزِ {فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً} فِيهِ تَأْوِيلَانِ:
Kemudian Allah berfirman: {Jika mereka menaati kamu}, maksudnya dalam meninggalkan nusyūz, {maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka}. Dalam hal ini terdapat dua tafsiran:
أَحَدُهُمَا: فَلَا تُقَابِلُوهُنَّ بِالنُّشُوزِ عَنْهُنَّ.
Pertama: maka janganlah kalian membalas mereka dengan melakukan nusyūz terhadap mereka.
وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُكَلِّفَهَا مَعَ الطَّاعَةِ أَنْ تُحِبَّكَ.
Kedua: janganlah membebani istri, meskipun ia taat, untuk mencintai suaminya.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ: مِنَ النُّشُوزِ فَهُوَ أَنْ يُشْكِلَ حَالُ الزَّوْجَيْنِ فِيهِ فَلَا يُعْلَمُ أَيُّهُمَا هُوَ النَّاشِزُ عَلَى صَاحِبِهِ فَهُوَ الَّذِي ذَكَرْنَا فِيهِ أَنَّ الْحَاكِمَ يُسْكِنُهُمَا في جواز أَمِينِهِ لِيُرَاعِيَهُمَا وَيَعْلَمَ النَّاشِزَ مِنْهُمَا فَيَسْتَوْفِيَ مِنْهُ حَقَّ صَاحِبِهِ أَوْ يُنْهِيَهُ إِلَى الْحَاكِمِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ.
Adapun bagian ketiga dari nusyūz adalah apabila keadaan suami istri tidak jelas, sehingga tidak diketahui siapa di antara keduanya yang melakukan nusyūz terhadap pasangannya. Dalam hal ini, sebagaimana telah kami sebutkan, hakim menempatkan mereka berdua di rumah orang yang dipercaya untuk mengawasi dan mengetahui siapa di antara mereka yang melakukan nusyūz, sehingga hak pasangan dapat dipenuhi darinya, atau diserahkan kepada hakim agar hak tersebut dapat dipenuhi.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ النُّشُوزُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ عَلَى الْآخَرِ فَهُوَ الذي أنزل الله تعالى فيه: {فَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا) {النساء: 35) الْآيَةَ، وَسَيَأْتِي فِي الباب الآتي.
Bagian keempat: yaitu apabila nusyūz berasal dari masing-masing suami dan istri terhadap pasangannya. Inilah yang Allah Ta‘ala turunkan firman-Nya: {Jika kamu khawatir terjadi perselisihan antara keduanya} (an-Nisā’: 35), dan akan dijelaskan pada bab berikutnya.
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ فَهَذَا الْبَابُ مَقْصُورٌ عَلَى نُشُوزِ الزَّوْجَةِ وَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Setelah penjelasan ini, maka bab ini khusus membahas tentang nusyūz istri, dan keadaannya tidak lepas dari tiga bagian:
أَحَدُهَا: أَنْ يَخَافَ نُشُوزَهَا بِأَمَارَاتٍ دَالَّةٍ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ إِظْهَارٍ لَهُ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ عَادَتُهَا أَنْ تُلَبِّيَ دَعْوَتَهُ وَتُسْرِعَ إِجَابَتَهُ وَتُظْهِرَ كَرَامَتَهُ فَتَعْدِلُ عَنْ ذَلِكَ، فَلَا تُلَبِّي لَهُ دَعْوَةً وَلَا تُسْرِعُ لَهُ إِجَابَةً وَلَا تُظْهِرُ لَهُ كَرَامَةً وَلَا تَلْقَاهُ إِلَّا مُعَبِّسَةً وَلَا تُجِيبُهُ إِلَّا مُتَبَرِّمَةً لَكِنَّهَا مُطِيعَةٌ لَهُ فِي الْفِرَاشِ، فَهَذَا مِنْ أَسْبَابِ النُّشُوزِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ نُشُوزًا.
Salah satunya: apabila ia (suami) khawatir istrinya akan melakukan nusyūz berdasarkan tanda-tanda yang menunjukkan hal itu tanpa adanya sikap terang-terangan, seperti biasanya istri selalu memenuhi panggilannya, segera menjawabnya, dan menunjukkan penghormatan kepadanya, lalu ia berubah dari kebiasaan itu: tidak lagi memenuhi panggilannya, tidak segera menjawabnya, tidak menunjukkan penghormatan kepadanya, tidak menemuinya kecuali dengan wajah masam, dan tidak menjawabnya kecuali dengan rasa kesal, namun ia masih taat kepadanya dalam urusan ranjang. Maka ini termasuk sebab-sebab nusyūz, meskipun belum disebut sebagai nusyūz.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: أَنْ يَظْهَرَ مِنْهَا ابْتِدَاءُ النُّشُوزِ الصَّرِيحِ مِنْ غَيْرِ إِضْرَارٍ عَلَيْهِ وَلَا مُدَاوَمَةٍ لَهُ.
Bagian kedua: apabila tampak darinya permulaan nusyūz yang jelas, tanpa menimbulkan mudarat kepadanya dan tanpa terus-menerus melakukannya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ: أَنْ تُصِرَّ عَلَى النُّشُوزِ الصَّرِيحِ وَتُدَاوِمُهُ وَإِذَا كان لها النُّشُوزِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ، فَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى عُقُوبَتَهَا عَلَيْهِ بِثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ: وَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي الْعُقُوبَاتِ الثَّلَاثِ، هَلْ تُرَتَّبُ عَلَى الْأَحْوَالِ الثَّلَاثِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ:
Bagian ketiga: apabila ia bersikeras melakukan nusyūz yang jelas dan terus-menerus melakukannya. Jika nusyūz itu memiliki tiga keadaan, maka Allah Ta‘ala telah menetapkan hukuman baginya dengan tiga hukum. Pendapat Imam al-Syāfi‘ī berbeda mengenai tiga hukuman ini, apakah hukuman tersebut diurutkan sesuai dengan tiga keadaan itu atau tidak, terdapat dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ مُتَرَتِّبَاتٌ عَلَى أَحْوَالِهَا الثَّلَاثِ وَيَكُونُ التَّرْتِيبُ مُضَمَّنًا فِي الْآيَةِ وَيَكُونُ مَعْنَاهَا إِنْ خَافَ نُشُوزَهَا وَعَظَهَا، فَإِنْ أَبْدَتِ النُّشُوزَ هَجَرَهَا، فَإِنْ أَقَامَتْ عَلَى النُّشُوزِ ضَرَبَهَا، وَيَكُونُ هَذَا الْإِضْمَارُ فِي تَرْتِيبِهَا كَالْمُضْمَرِ فِي قَوْله تَعَالَى: {إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَنْ يَقْتُلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقْطَعَ أَيْدِيهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ مِنْ خِلاَفٍ) {المائدة: 33) وَإِنَّ مَعْنَاهَا الْمُضْمَرَ فِيهَا: أَنْ يُقَتَّلُوا إِنْ قَتَلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا إِنْ قَتَلُوا، وَأَخَذُوا الْمَالَ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ إِنْ أَخَذُوا الْمَالَ وَلَمْ يَقْتُلُوا، كَذَلِكَ آيَةُ النُّشُوزِ، لِأَنَّ الْعُقُوبَاتِ الْمُخْتَلِفَةَ يَجِبُ أَنْ تَكُونَ فِي ذُنُوبٍ مُخْتَلِفَةٍ، وَلَا تَكُونُ كَبَائِرُ الْعُقُوبَاتِ لِصَغَائِرِ الذُّنُوبِ، وَلَا صَغَائِرُ الْعُقُوبَاتِ لِكَبَائِرِ الذُّنُوبِ، فَأَوْجَبَ اخْتِلَافُ الْعُقُوبَاتِ أَنْ تَكُونَ عَلَى اخْتِلَافِ الذُّنُوبِ.
Salah satunya, dan ini adalah pendapat yang ditegaskan dalam pendapat baru (al-jadīd), bahwa hukuman-hukuman itu diurutkan sesuai dengan tiga keadaannya, dan urutan tersebut terkandung dalam ayat, yaitu maknanya: jika ia khawatir istrinya nusyūz, maka ia menasihatinya; jika istri menampakkan nusyūz, maka ia mengasingkannya; jika istri tetap dalam keadaan nusyūz, maka ia memukulnya. Pengertian tersirat dalam urutan ini seperti yang tersirat dalam firman Allah Ta‘ala: {Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang} (al-Mā’idah: 33). Makna tersiratnya adalah: mereka dibunuh jika membunuh, atau disalib jika membunuh dan mengambil harta, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang jika hanya mengambil harta tanpa membunuh. Demikian pula ayat tentang nusyūz, karena hukuman-hukuman yang berbeda harus diberikan untuk dosa-dosa yang berbeda, dan tidaklah hukuman besar diberikan untuk dosa kecil, atau hukuman kecil untuk dosa besar. Maka perbedaan hukuman menuntut adanya perbedaan dosa.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ وَذَكَرَ احْتِمَالَهُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الثَّلَاثَ مُسْتَحَقَّةٌ فِي حَالَيْنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَيْفِيَّتِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ:
Pendapat kedua: disebutkan dalam pendapat lama (al-qadīm) dan dinyatakan kemungkinannya dalam masalah ini, bahwa tiga hukuman itu berhak diberikan dalam dua keadaan. Ulama kami berbeda pendapat tentang tata caranya dalam dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ إِنَّهُ إِذَا خَافَ نُشُوزَهَا وَعَظَهَا وَهَجَرَهَا فَإِذَا أَبْدَتِ النُّشُوزَ ضَرَبَهَا، وَكَذَلِكَ إِذَا أَقَامَتْ عَلَيْهِ.
Salah satunya, yaitu pendapat ulama Basrah, bahwa jika ia khawatir istrinya nusyūz, maka ia menasihatinya dan mengasingkannya; jika istri menampakkan nusyūz, maka ia memukulnya, demikian pula jika istri tetap dalam keadaan nusyūz.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّهُ إِذَا خَافَ نُشُوزَهَا وَعَظَهَا، فَإِذَا أَبْدَتِ النُّشُوزَ هَجَرَهَا وَضَرَبَهَا، وَكَذَلِكَ إِذَا أَقَامَتْ عَلَيْهِ، وَوَجْهُ هَذَا الْقَوْلِ أَنَّ الْعُقُوبَةَ هِيَ الضَّرْبُ وَمَا تَقَدَّمَهُ مِنَ الْعِظَةِ وَالْهَجْرِ إِنْذَارٌ وَالْعُقُوبَةُ تَكُونُ بِالْإِقْدَامِ عَلَى الذُّنُوبِ لَا بِمُدَاوَمَتِهِ أَلَا تَرَى أَنَّ سَائِرَ الْحُدُودِ تَجِبُ بِالْإِقْدَامِ عَلَى الذُّنُوبِ لَا بِمُدَاوَمَتِهَا فَكَذَلِكَ ضَرْبُ النُّشُوزِ مُسْتَحَقٌّ عَلَى إِبْدَائِهِ دُونَ مُلَازَمَتِهِ، فَصَارَ تَحْرِيرُ الْمَذْهَبِ فِي ذَلِكَ أَنَّ لَهُ عِنْدَ خَوْفِ النُّشُوزِ أَنْ يَعِظَهَا، وَهَلْ لَهُ أَنْ يَهْجُرَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ، وَلَهُ عِنْدَ إِبْدَاءِ النُّشُوزِ أَنْ يَعِظَهَا وَيَهْجُرَهَا، وَهَلْ لَهُ أَنْ يَضْرِبَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: وَلَهُ عِنْدَ مُقَامِهَا عَلَى النُّشُوزِ أَنْ يَعِظَهَا وَيَهْجُرَهَا وَيَضْرِبَهَا.
Pendapat kedua, yaitu pendapat ulama Baghdad, bahwa jika ia khawatir istrinya nusyūz, maka ia menasihatinya; jika istri menampakkan nusyūz, maka ia mengasingkannya dan memukulnya, demikian pula jika istri tetap dalam keadaan nusyūz. Dasar pendapat ini adalah bahwa hukuman itu adalah pemukulan, sedangkan nasihat dan pengasingan sebelumnya adalah peringatan. Hukuman itu diberikan karena melakukan dosa, bukan karena terus-menerus melakukannya. Bukankah engkau melihat bahwa seluruh hudūd (hukuman pidana dalam fiqh) itu wajib diberikan karena melakukan dosa, bukan karena terus-menerus melakukannya? Demikian pula pemukulan karena nusyūz itu berhak diberikan karena menampakkannya, bukan karena melaziminya. Maka, rincian mazhab dalam hal ini adalah: ketika khawatir nusyūz, ia boleh menasihatinya; apakah boleh mengasingkannya atau tidak, ada dua pendapat. Ketika istri menampakkan nusyūz, ia boleh menasihati dan mengasingkannya; apakah boleh memukulnya atau tidak, ada dua pendapat. Ketika istri tetap dalam keadaan nusyūz, ia boleh menasihati, mengasingkan, dan memukulnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى صِفَةِ الْعِظَةِ وَالْهَجْرِ وَالضَّرْبِ.
Setelah penjelasan di atas telah dipaparkan, maka pembahasan berlanjut pada sifat nasihat, pengasingan, dan pemukulan.
أَمَّا الْعِظَةُ فَهُوَ أَنْ يُخَوِّفَهَا بِاللَّهِ تَعَالَى وَبِنَفْسِهِ فَتَخْوِيفُهَا بِاللَّهِ أَنْ يَقُولَ لَهَا: اتَّقِ اللَّهَ، وَخَافِيهِ، وَاخْشَيْ سُخْطَهُ وَاحْذَرِي عِقَابَهُ فَإِنَّ التَّخْوِيفَ بِاللَّهِ تَعَالَى مِنْ أَبْلَغِ الزَّوَاجِرِ فِي ذَوِي الدِّينِ وَتَخْوِيفُهَا مِنْ نَفْسِهِ أَنْ يَقُولَ لَهَا: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَوْجَبَ لِي عَلَيْكِ حَقًّا إِنْ مَنَعْتِيهِ أَبَاحَنِي ضَرْبَكِ، وَأَسْقَطَ عَنِّي حَقَّكِ فَلَا تَضُرِّي نَفْسَكِ بِمَا أُقَابِلُكِ عَلَى نُشُوزِكِ إِنْ نَشَزْتِ بِالضَّرْبِ الْمُؤْلِمِ وَقَطْعِ النَّفَقَةِ الدَّارَّةِ، فَإِنَّ تَعْجِيلَ الْوَعِيدِ أَزْجَرُ لِمَنْ قَلَّتْ مُرَاقَبَتُهُ.
Adapun nasihat, yaitu menakutinya dengan (peringatan tentang) Allah Ta‘ala dan dirinya sendiri. Menakutinya dengan Allah adalah dengan mengatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah, takutlah kepada-Nya, waspadalah terhadap kemurkaan-Nya dan berhati-hatilah terhadap siksa-Nya.” Karena menakut-nakuti dengan Allah Ta‘ala adalah salah satu pencegah paling efektif bagi orang-orang yang beragama. Sedangkan menakutinya dengan dirinya sendiri adalah dengan mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah mewajibkan hakku atasmu; jika engkau menghalanginya, maka Allah membolehkan aku memukulmu dan menggugurkan hakmu dariku. Maka janganlah engkau mencelakakan dirimu sendiri dengan apa yang akan aku lakukan terhadapmu atas pembangkanganmu, jika engkau membangkang, berupa pukulan yang menyakitkan dan pemutusan nafkah yang wajib.” Karena mempercepat ancaman lebih efektif bagi orang yang kurang pengawasannya (terhadap Allah).
وَهَذِهِ الْعِظَةُ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى خَوْفِ نُشُوزٍ لَمْ يَتَحَقَّقْ فَلَيْسَ يُضَارُّهُ، لِأَنَّهُ إِنْ كَانَتِ الْأَمَارَاتُ الَّتِي ظَهَرَتْ مِنْهَا لِنُشُوزٍ تُبْدِيهِ كَفَّهَا عَنْهُ وَمَنَعَهَا مِنْهُ وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهِ مِنْ هَمٍّ طَرَأَ عَلَيْهَا أَوْ لِفَتْرَةٍ حَدَثَتْ مِنْهَا أَوْ لسهوٍ لَحِقَهَا لَمْ يَضُرَّهَا أَنْ تَعْلَمَ مَا حَكَمَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ فِي النشوز، وأما الهجر نوعان:
Nasihat ini, meskipun diberikan karena kekhawatiran akan terjadinya nusyūz yang belum terbukti, tidaklah membahayakan (istri), karena jika tanda-tanda yang tampak darinya menunjukkan adanya nusyūz, maka nasihat itu dapat menahannya dari perbuatan tersebut dan mencegahnya. Namun jika (perubahan sikap) itu disebabkan oleh hal lain, seperti kegelisahan yang menimpanya, atau karena masa-masa lemah yang dialaminya, atau karena kelalaian yang menimpanya, maka tidaklah membahayakan baginya untuk mengetahui apa yang telah Allah Ta‘ala tetapkan dalam perkara nusyūz. Adapun hajr (menjauhi/berpisah), ada dua macam:
أَحَدُهُمَا: فِي الْفِعْلِ.
Pertama: dalam perbuatan.
وَالثَّانِي: فِي الْكَلَامِ.
Kedua: dalam ucapan.
فَأَمَّا الْهَجْرُ فِي الْفِعْلِ فَهُوَ الْمُرَادُ بِالْآيَةِ، وَهُوَ الْإِعْرَاضُ عَنْهَا، وَأَنْ لَا يُضَاجِعَهَا فِي فِرَاشٍ أَوْ يُوَلِّيَهَا ظَهْرَهُ فِيهِ أَوْ يَعْتَزِلَهَا فِي بَيْتِ غَيْرِهِ.
Adapun hajr dalam perbuatan, inilah yang dimaksud dalam ayat, yaitu berpaling darinya, tidak tidur bersamanya di ranjang, atau membalikkan punggung kepadanya di atas ranjang, atau mengasingkannya di kamar lain.
أَمَّا هَجْرُ الْكَلَامِ فَهُوَ الِامْتِنَاعُ مِنْ كَلَامِهَا.
Adapun hajr dalam ucapan adalah menahan diri dari berbicara dengannya.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَا أَرَى بِهِ بَأْسًا، فَكَأَنَّهُ يَرَى أَنَّ الْآيَةَ، وَإِنْ لَمْ تضمنه فهو مِنْ إِحْدَى الزَّوَاجِرِ إِلَّا أَنَّ هَجْرَ الْفِعْلِ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَدِيمَهُ الزَّوْجُ بِحَسْبِ مَا يَرَاهُ صَلَاحًا.
Imam asy-Syāfi‘ī berkata: “Aku tidak melihat adanya masalah dalam hal itu.” Seolah-olah beliau berpendapat bahwa ayat tersebut, meskipun tidak mencakupnya, namun termasuk salah satu bentuk pencegahan. Hanya saja, hajr dalam perbuatan boleh dilakukan oleh suami selama ia memandangnya sebagai kemaslahatan.
فَأَمَّا هَجْرُ الْكَلَامِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَدِيمَهُ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أنه قال: ” لا يحل لمسلم يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ، وَالسَّابِقُ أَسْبَقُهُمَا إِلَى الْجَنَّةِ “.
Adapun hajr dalam ucapan, tidak boleh dilakukan lebih dari tiga hari, berdasarkan riwayat dari Nabi –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bahwa beliau bersabda: “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari, dan yang lebih dahulu berdamai di antara keduanya adalah yang lebih dahulu masuk surga.”
وَأَمَّا الضَّرْبُ فَهُوَ ضَرْبُ التَّأْدِيبِ وَالِاسْتِصْلَاحِ، وهو كضرب التعزيز لَا يَجُوزُ أَنْ يَبْلُغَ بِهِ أَدْنَى الْحُدُودِ، وَيَتَوَقَّى بِالضَّرْبِ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ: أَنْ يَقْتُلَ أَوْ يُزْمِنَ أَوْ يُدْمِيَ أَوْ يَشِينَ قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَا يَضْرِبْهَا ضَرْبًا مُبَرِّحًا وَلَا مُدْمِيًا وَلَا مُزْمِنًا، وَيَقِي الْوَجْهَ فَالْمُبَرِّحُ الْقَاتِلُ، وَالْمُدْمِي إِنْهَارُ الدَّمِ، وَالْمُزْمِنُ تَعْطِيلُ إِحْدَى أَعْضَائِهَا، ضَرْبُ الْوَجْهِ يَشِينُهَا وَيُقَبِّحُ صُورَتَهَا.
Adapun pukulan, maka itu adalah pukulan untuk mendidik dan memperbaiki, dan hukumnya seperti pukulan ta‘zīr; tidak boleh sampai mencapai batas minimal hukuman (hudūd). Dalam memukul, harus dihindari empat hal: membunuh, membuat cacat, menyebabkan luka berdarah, atau menimbulkan aib. Imam asy-Syāfi‘ī berkata: “Janganlah memukulnya dengan pukulan yang berat, atau yang menyebabkan luka, atau yang membuat cacat, dan hendaknya menghindari wajah. Pukulan yang berat adalah yang mematikan, yang menyebabkan luka adalah yang mengalirkan darah, yang membuat cacat adalah yang melumpuhkan salah satu anggota tubuhnya. Memukul wajah dapat menimbulkan aib dan merusak penampilannya.”
وَقَدْ رَوَى ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله نساؤها مَا نَأْتِي مِنْهُنَّ وَمَا نَذَرُ، قَالَ: حَرْثُكَ فَأْتِ حَرْثَكَ أَنَّى شِئْتَ غَيْرَ أَنْ تَضْرِبَ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحَ وَلَا تَهْجُرَ إِلَّا فِي الْبَيْتِ وَأَطْعِمْ إِذَا أَطْعَمْتَ وَاكْسُ إِذَا اكْتَسَيْتَ كَيْفَ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ.
Telah meriwayatkan Ibnu al-Mubārak dari Bahz bin Hakīm, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang boleh dan tidak boleh kami lakukan terhadap istri-istri kami?” Beliau bersabda: “Istrimu adalah ladangmu, maka datangilah ladangmu sebagaimana engkau kehendaki, kecuali jangan memukul wajah, jangan mencaci, dan jangan menjauhi kecuali di dalam rumah. Berilah makan jika engkau makan, dan berilah pakaian jika engkau berpakaian. Bagaimana mungkin (engkau menyakiti), padahal sebagian kalian telah bergaul dengan sebagian yang lain.”
وَرَوَى بِشْرٌ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” اضْرِبُوهُنَّ إِذَا عَصَيْنَكُمْ فِي الْمَعْرُوفِ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ تَوَقَّى شِدَّةَ الضَّرْبِ، وَتَوَقَّى ضَرْبَ الْوَجْهِ وَتَوَقَّى الْمَوَاضِعَ الْقَاتِلَةَ مِنَ الْبَدَنِ كَالْفُؤَادِ وَالْخَاصِرَةِ، وَتَوَقَّى أَنْ تُوَالِيَ الضَّرْبَ مَوْضِعًا فَيَنْهَرَ الدَّمُ فَإِنْ ضَرَبَهَا فَمَاتَتْ مِنَ الضَّرْبِ نُظِرَ، فَإِنْ كَانَ مِثْلُهُ قَاتِلًا فَهُوَ قَاتِلُ عُمَدٍ، وَعَلَيْهِ الْقَوْدُ، وَإِنْ كَانَ مِثْلُهُ يَقْتُلُ وَلَا يَقْتُلُ فَهُوَ خَطَأٌ شِبْهُ الْعَمْدِ، فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ مُغَلَّظَةٌ يَتَحَمَّلُهَا عِنْدَ الْعَاقِلَةِ، وَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ فِي الْحَالَيْنِ وَبَانَ بِإِفْضَاءِ الضَّرْبِ إِلَى الْقَتْلِ أَنَّهُ كَانَ غَيْرَ مُبَاحٍ كَمَا تَقُولُهُ فِي التَّعْزِيرِ، وَضَرْبِ الْمُعَلِّمِ الصِّبْيَانَ.
Bishr meriwayatkan dari ‘Ikrimah, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Pukullah mereka (istri-istri) jika mereka mendurhakaimu dalam hal yang ma‘rūf (kebaikan) dengan pukulan yang tidak membekas (tidak keras), dan jika demikian, hendaklah menghindari kerasnya pukulan, menghindari memukul wajah, dan menghindari bagian-bagian tubuh yang mematikan seperti jantung dan pinggang, serta menghindari memukul satu tempat secara berulang hingga darah mengalir. Jika ia memukulnya lalu istrinya meninggal karena pukulan itu, maka perlu diteliti: jika pukulan seperti itu memang mematikan, maka itu dianggap pembunuhan sengaja (‘amd), dan pelakunya wajib qishāsh. Jika pukulan seperti itu kadang mematikan dan kadang tidak, maka itu dianggap pembunuhan semi-sengaja (syibh al-‘amd), sehingga pelakunya wajib membayar diyat yang diperberat, yang ditanggung oleh ‘āqilah, dan wajib membayar kafārah dalam kedua keadaan. Dengan terjadinya kematian akibat pukulan, jelaslah bahwa pukulan tersebut tidak diperbolehkan, sebagaimana yang dikatakan dalam hukuman ta‘zīr dan pukulan guru terhadap anak-anak.”
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا مَا وَرَدَ مِنَ السُّنَّةِ فِي إِبَاحَةِ الضَّرْبِ وَحَظْرِهِ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّهُ قَالَ: ” لَا تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللَّهِ ” فَنَهَى عَنْ ضَرْبِهِنَّ، وَهَذَا مُخَالِفٌ لِلْآيَةِ فِي إِبَاحَةِ الضَّرْبِ.
Adapun yang datang dari sunnah tentang kebolehan dan larangan memukul, telah diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda: “Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah,” maka beliau melarang memukul mereka, dan ini bertentangan dengan ayat yang membolehkan memukul.
وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: ” كُنَّا مَعَاشِرَ قُرَيْشٍ يغلب رجالنا نسائنا، وَكَانَ الرَّجُلُ مِنَّا بِمَكَّةَ مَعَهُ هِرَاوَةٌ إِذَا تَرَمْرَمَتْ عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ هَرَاهَا بِهَا فَقَدِمْنَا هَذَيْنِ الْحَيَّيْنِ الْأَوْسَ، وَالْخَزْرَجَ فَوَجَدْنَا رِجَالًا مَغَانِمَ لِنِسَائِهِمْ يغلب نساؤهم رجالهم فاختلط نساؤها بِنِسَائِهِمْ فَذَئِرْنَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَئِرَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَأْذَنْ فِي ضَرْبِهِنَّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فاضربوهن قال: فضرب الناس نسائهم تِلْكَ اللَّيْلَةَ قَالَ: فَأَتَى نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْتَكِينَ الضَّرْبَ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” لَقَدْ أَطَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ اللَّيْلَةَ سَبْعُونَ امْرَأَةً كُلُّهُنَّ يَشْتَكِينَ أَزْوَاجَهُنَّ، وَلَا تَجِدُونَ أُولَئِكَ خِيَارَكُمْ “، وَفِي قَوْلِ عُمَرَ ذَئِرَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ تأويلات:
Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu bahwa ia berkata: “Kami, kaum Quraisy, para lelaki kami mengalahkan para wanita kami, dan seorang laki-laki di antara kami di Makkah membawa tongkat kecil; jika istrinya membangkang kepadanya, ia memukulnya dengan tongkat itu. Lalu kami datang ke dua kabilah, Aus dan Khazraj, dan kami dapati para lelaki mereka menjadi rampasan bagi istri-istri mereka, para wanita mereka mengalahkan para lelaki mereka. Maka bercampurlah wanita-wanita kami dengan wanita-wanita mereka, lalu mereka pun menjadi berani. Maka aku berkata: Wahai Rasulullah, para wanita telah berani terhadap suami-suami mereka, maka izinkanlah untuk memukul mereka. Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Pukullah mereka.’ Maka orang-orang pun memukul istri-istri mereka malam itu. Kemudian datanglah banyak wanita mengadukan pemukulan itu, maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Telah mengelilingi keluarga Muhammad malam ini tujuh puluh wanita, semuanya mengadukan suami-suami mereka, dan kalian tidak akan menemukan mereka (para suami yang memukul itu) sebagai orang-orang terbaik di antara kalian.’ Adapun ucapan ‘Umar ‘para wanita telah berani terhadap suami-suami mereka’ memiliki beberapa tafsir:
أحدها: أَنَّهُ الْبَطَرُ وَالْأَشَرَةُ.
Pertama: maksudnya adalah kesombongan dan keangkuhan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ الْبِذَاءُ وَالِاسْتِطَابَةُ. قال الشاعر:
Kedua: maksudnya adalah keburukan lisan dan keberanian berkata-kata. Sebagaimana dikatakan oleh penyair:
(ولما أتاني عن تميم أنهن ذَئِرُوا … لِقَتْلَى عَامِرٍ وَتَغَضَّبُوا)
(Dan ketika sampai kepadaku kabar dari Bani Tamim bahwa mereka telah berani … karena terbunuhnya orang-orang ‘Amir dan mereka pun marah)
وَهَذَا الْخَبَرُ مُخَالِفٌ لِلْخَبَرِ الْمُتَقَدِّمِ، وَإِنْ كَانَ مُوَافِقًا لِلْآيَةِ.
Dan riwayat ini bertentangan dengan riwayat sebelumnya, meskipun sesuai dengan ayat.
فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ يَتَرَتَّبُ هَذَانِ الْخَبَرَانِ مَعَ الْآيَةِ، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنْ يَنْسَخَ الْقُرْآنَ السُّنَةُ فَلِأَصْحَابِنَا عَنْ ذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ:
Jika dikatakan: Bagaimana dua riwayat ini dapat diselaraskan dengan ayat, padahal menurut mazhab asy-Syāfi‘ī tidak sah al-Qur’an dinasakh oleh sunnah? Maka menurut para ulama kami, ada tiga jawaban:
أَحَدُهَا: أَنَّ مَا جَاءَتْ بِهِ الْآيَةُ، وَالْخَبَرُ مِنْ إِبَاحَةِ الضَّرْبِ فَوَارِدٌ فِي النُّشُوزِ وَمَا وَرَدَ بِهِ الْخَبَرُ الْآخَرُ مِنَ النَّهْيِ عَنِ الضَّرْبِ فَفِي غَيْرِ النُّشُوزِ، فَأَبَاحَ الضَّرْبَ مَعَ وُجُودِ سَبَبِهِ، وَنَهَى عَنْهُ مَعَ ارْتِفَاعِ سَبَبِهِ، وَهَذَا مُتَّفِقٌ لَا يُعَارِضُ بَعْضُهُ بَعْضًا.
Pertama: Bahwa apa yang disebutkan dalam ayat dan riwayat tentang kebolehan memukul itu berkaitan dengan nusyūz (pembangkangan), sedangkan larangan memukul dalam riwayat lain berkaitan dengan selain nusyūz. Maka dibolehkan memukul jika ada sebabnya, dan dilarang jika sebabnya tidak ada. Ini konsisten dan tidak saling bertentangan.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَبَاحَ الضَّرْبَ جَوَازًا وَنَهَى عَنْهُ اخْتِيَارًا فَيَكُونُ الضَّرْبُ وَإِنْ كَانَ مُبَاحًا بِالْإِذْنِ فِيهِ، فَتَرْكُهُ أَوْلَى لِلنَّهْيِ عَنْهُ، وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ مُتَنَافِيًا وَلَا نَاسِخًا وَمَنْسُوخًا.
Kedua: Bahwa kebolehan memukul itu bersifat boleh (jawāz), sedangkan larangannya bersifat pilihan (ikhtiyār). Maka meskipun memukul itu dibolehkan dengan adanya izin, meninggalkannya lebih utama karena adanya larangan, dan hal ini tidak bertentangan serta tidak termasuk nasakh-mansūkh.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ خَبَرَ النَّهْيِ عَنِ الضَّرْبِ مَنْسُوخٌ بِخَبَرِ عُمَرَ الْوَارِدِ بِإِبَاحَتِهِ ثُمَّ جَاءَتِ الْآيَةُ مُبَيِّنَةً لِسَبَبِ الْإِبَاحَةِ فَكَانَتِ السُّنَّةُ نَاسِخَةً لِلسُّنَّةِ، والكتاب مبيناً لم ينسخ الكتاب السنة، والله أعلم.
Ketiga: Bahwa riwayat larangan memukul telah dinasakh oleh riwayat ‘Umar yang membolehkan, kemudian datanglah ayat yang menjelaskan sebab kebolehan itu. Maka sunnah menasakh sunnah, dan al-Kitāb (al-Qur’an) menjelaskan, bukan menasakh sunnah. Dan Allah Maha Mengetahui.
Bab: Hukum dalam perselisihan antara suami istri, dari al-Jāmi‘ dalam Kitab ath-Thalāq, dari Ahkām al-Qur’ān, dan dari pembangkangan suami terhadap istri.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” فَلَمَّا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا خِفْنَا الشِّقَاقَ بَيْنَهُمَا بِالْحَكَمَيْنِ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ حُكْمَهُمَا غَيْرُ حُكْمِ الْأَزْوَاجِ فإذا اشتبه حالاهما فَلَمْ يَفْعَلِ الرَّجُلُ الصُّلْحَ وَلَا الْفُرْقَةَ وَلَا الْمَرْأَةُ تَأْدِيَةَ الْحَقِّ وَلَا الْفِدْيَةَ وَصَارَا مِنَ الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ إِلَى مَا لَا يَحِلُّ لَهُمَا وَلَا يَحْسُنُ وَتَمَادَيَا بَعَثَ الْإِمَامُ حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا مَأْمُونَيْنِ بِرِضَا الزَّوْجَيْنِ وَتَوْكِيلِهِمَا إِيَّاهُمَا بِأَنْ يَجْمَعَا أَوْ يُفَرِّقَا إِذَا رأيا ذلك واحتج بِقَوْلِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه ابعثوا حكماً من أهله وحكماً من أهلها ثم قال للحكمين هل تدريان ما عليكما؟ عليكما أن تجمعا إن رأيتما أن تجمعا وأن تفرقا إن رأيتما أن تفرقا فقالت المرأة رضيت بكتاب الله بما علي فيه ولي فقال الرجل أما الفرقة فلا فقال علي كذبت والله حتى تقر بمثل الذي أقرت به فدل أن ذلك ليس للحاكم إلا برضا الزوجين ولو كان ذلك لبعث بغير رضاهما “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Ketika Allah Ta‘ala memerintahkan untuk mengangkat dua orang hakam dalam perkara yang dikhawatirkan terjadi perselisihan antara suami istri, hal itu menunjukkan bahwa keputusan keduanya berbeda dengan keputusan para suami. Maka, jika keadaan keduanya (suami istri) tidak jelas, di mana suami tidak melakukan islah (perdamaian) maupun perpisahan, dan istri pun tidak menunaikan hak maupun memberikan fidyah, lalu keduanya terus berada dalam ucapan dan perbuatan yang tidak halal dan tidak baik bagi mereka, serta berlarut-larut, maka imam (penguasa) mengutus seorang hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga istri yang terpercaya, dengan persetujuan kedua pasangan dan penunjukan mereka kepada kedua hakam itu, agar keduanya dapat memutuskan untuk menyatukan atau memisahkan jika mereka berdua memandang demikian. Dalilnya adalah perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu: ‘Utuslah seorang hakam dari keluarganya dan seorang hakam dari keluarganya (istri).’ Kemudian beliau berkata kepada kedua hakam: ‘Tahukah kalian apa kewajiban kalian? Kewajiban kalian adalah menyatukan jika kalian melihat perlu menyatukan, dan memisahkan jika kalian melihat perlu memisahkan.’ Maka sang istri berkata: ‘Aku ridha dengan Kitab Allah atas apa yang menjadi hakku dan kewajibanku.’ Lalu sang suami berkata: ‘Adapun perpisahan, aku tidak setuju.’ Maka ‘Ali berkata: ‘Demi Allah, engkau dusta, sampai engkau mengakui seperti yang diakui oleh istrimu.’ Maka hal ini menunjukkan bahwa keputusan itu tidak boleh dilakukan oleh hakam kecuali dengan keridhaan kedua pasangan. Jika tidak demikian, tentu (imam) akan mengutus tanpa persetujuan mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا الْبَابُ يَشْتَمِلُ عَلَى الْحُكْمِ فِي نُشُوزِ الزَّوْجَيْنِ، وَهُوَ الشِّقَاقُ وَفِي تَسْمِيَتِهِ شِقَاقًا تَأْوِيلَانِ:
Al-Mawardi berkata: Bab ini mencakup hukum tentang nusyūz (pembangkangan) suami istri, yaitu perselisihan (syiqāq). Dalam penamaan syiqāq terdapat dua penafsiran:
أَحَدُهُمَا: لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ فَعَلَ مَا شَقَّ عَلَى صَاحِبِهِ.
Pertama: Karena masing-masing dari keduanya telah melakukan sesuatu yang memberatkan pasangannya.
وَالثَّانِي: لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ صَارَ فِي شِقٍّ بِالْعَدَاوَةِ وَالْمُبَايَنَةِ.
Kedua: Karena masing-masing dari keduanya telah berada di pihak yang berseberangan karena permusuhan dan perpisahan.
وَالْأَصْلُ فِي ذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَاْبْعَثُوا حَكَماً مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُريدَا إصْلاَحاً يُوَفِقُ اللهُ بَيْنَهُمَا) {النساء: 35) فَإِذَا شَاقَّ الزَّوْجَانِ وَشِقَاقُهُمَا يَكُونُ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ بِنُشُوزِهَا عَنْهُ، وَتَرْكِ لُزُومِهَا لِحَقِّهِ، وَيَكُونُ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجِ بِعُدُولِهِ عَنْ إِمْسَاكٍ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٍ بِإِحْسَانٍ، فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ:
Dasar dalam hal ini adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kalian khawatir terjadi perselisihan antara keduanya, maka utuslah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan; jika keduanya bermaksud islah (perdamaian), niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya} (an-Nisā’: 35). Maka, jika suami istri saling berselisih, perselisihan itu bisa berasal dari pihak istri dengan cara nusyūz terhadap suaminya dan tidak menunaikan haknya, atau dari pihak suami dengan tidak mempertahankan istri secara baik atau tidak melepaskan dengan cara yang baik. Maka, hal ini terbagi menjadi dua keadaan:
أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَكُونَ قد خرجا من الْمُشَاقَّةِ إِلَى قُبْحٍ مِنْ فِعْلٍ كَالضَّرْبِ وَلَا إِلَى قَبِيحٍ مِنْ قَوْلٍ كَالسَّبِّ، فَإِنَّ الْحَاكِمَ يُنَصِّبُ لَهُمَا أَمِينًا يَأْمُرُهُ بِالْإِصْلَاحِ بَيْنَهُمَا، وَأَنْ يَسْتَطِيبَ نَفْسَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ مِنْ عفوٍ أَوْ هبةٍ فَإِنَّ سَوْدَةَ لَمَّا هَمَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بطلاقها اسْتَعْطَفَتْهُ بِأَنْ وَهَبَتْ يَوْمَهَا مِنْهُ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لِعِلْمِهَا بِشِدَّةِ مَيْلِهِ إِلَيْهَا فَعَطَفَ لَهَا، وَأَمْسَكَهَا فَنَزَلَ فِيهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَإنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلحُ خَيْرٌ) {النساء: 128) .
Pertama: Keduanya belum sampai pada tahap permusuhan yang buruk dalam perbuatan seperti memukul, atau dalam ucapan yang buruk seperti mencaci maki. Maka, hakim mengangkat seorang yang terpercaya untuk memerintahkan keduanya melakukan islah (perdamaian), dan agar masing-masing dari keduanya berlapang dada kepada pasangannya, baik dengan memaafkan atau memberikan sesuatu. Sebagaimana Saudah, ketika Rasulullah ﷺ hendak menceraikannya, ia meluluhkan hati beliau dengan memberikan gilirannya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha karena ia tahu kecenderungan beliau yang besar kepada ‘Aisyah. Maka Rasulullah ﷺ pun luluh dan menahannya (tidak menceraikan). Maka turunlah firman Allah Ta‘ala: {Dan jika seorang wanita khawatir suaminya akan berlaku nusyūz atau berpaling darinya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan islah (perdamaian) di antara mereka, dan islah itu lebih baik} (an-Nisā’: 128).
وَالضَّرْبُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الشِّقَاقُ قَدْ أَخْرَجَهُمَا إِلَى قَبِيحِ الْفِعْلِ فَتَضَارَبَا، وَإِلَى قَبِيحِ الْقَوْلِ فَتَشَاتَمَا، وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ: وَصَارَا مِنَ الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ إِلَى مَا لَا يَحِلُّ لَهُمَا، وَلَا يَحْسُنُ فَهِيَ الْحَالُ الَّتِي قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا {وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنَهُمَا فَابْعَثُوا حَكَماً مِنْ أهْلَهِ وَحَكَماً مِنْ أهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِقُ اللهُ بَيْنَهُمَا) {النساء: 35) فَيَجِبُ عَلَى الْحَاكِمِ إِذَا تَرَافَعَا إِلَيْهِ فِيهَا أَنْ يَخْتَارَ مِنْ أَهْلِ الزَّوْجِ حَكَمًا مَرْضِيًّا وَمِنْ أَهْلِهَا حَكَمًا مَرْضِيًّا فَإِنْ جَعَلَ الْحَاكِمُ إِلَى الْحَكَمَيْنِ الْإِصْلَاحَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ دُونَ الْفُرْقَةِ جَازَ بَلْ لَوْ فَعَلَهُ الْحَاكِمُ مُبْتَدِئًا قَبْلَ تَرَافُعِ الزَّوْجَيْنِ إِلَيْهِ أَوْ فَعَلَهُ الْحُكَمَاءُ مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِهِمَا مِنْ غَيْرِ إِذْنِ الْحَاكِمِ لَهُمَا جَازَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {لاَ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلاِّ مَنْ أَمَرَ بَصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ) {النساء: 114) وَإِنْ أَرَادَ الْحَاكِمُ أَنْ يَرُدَّ إِلَى الْحَكَمَيْنِ الْإِصْلَاحَ إِنْ رَأَيَاهُ أَوْلَى، وَالَفُرْقَةَ إِنْ رَأَيَاهَا أَصْلَحَ أَوِ الْخُلْعَ إِنْ رَأَيَاهُ أَنْجَحَ، فَهَلْ يَصِحُّ ذَلِكَ مِنَ الْحَكَمَيْنِ بِإِذْنِ الْحَاكِمِ مِنْ غَيْرِ تَوْكِيلِ الزَّوْجَيْنِ أَمْ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِتَوْكِيلِهِمَا عَلَى قَوْلَيْنِ:
Jenis kedua: yaitu ketika perselisihan telah membawa keduanya pada perbuatan buruk sehingga mereka saling memukul, dan pada ucapan buruk sehingga mereka saling mencaci, dan inilah maksud dari perkataan asy-Syafi‘i: “Keduanya telah sampai pada ucapan dan perbuatan yang tidak halal dan tidak pantas bagi mereka.” Inilah keadaan yang dimaksud oleh firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu khawatir akan terjadi perselisihan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan; jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya} (an-Nisā’: 35). Maka wajib bagi hakim, jika keduanya mengadukan perkara ini kepadanya, untuk memilih dari keluarga suami seorang hakam yang diridhai dan dari keluarganya (istri) seorang hakam yang diridhai. Jika hakim menyerahkan kepada kedua hakam tersebut untuk memperbaiki hubungan antara suami istri tanpa memutuskan perceraian, maka itu boleh. Bahkan, jika hakim melakukannya terlebih dahulu sebelum suami istri mengadukan perkara kepadanya, atau para hakam dari pihak mereka sendiri melakukannya tanpa izin hakim, maka itu juga boleh. Allah Ta‘ala berfirman: {Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia} (an-Nisā’: 114). Jika hakim ingin menyerahkan kepada kedua hakam tersebut untuk melakukan perbaikan jika ia memandang itu lebih utama, atau perceraian jika ia memandang itu lebih baik, atau khulu‘ jika ia memandang itu lebih berhasil, maka apakah hal itu sah dilakukan oleh kedua hakam dengan izin hakim tanpa adanya perwakilan dari suami istri, ataukah tidak sah kecuali dengan perwakilan dari keduanya? Ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا: يَصِحُّ ذَلِكَ مِنَ الْحَكَمَيْنِ بِإِذْنِ الْحَاكِمِ مِنْ غَيْرِ تَوْكِيلِ الزَّوْجَيْنِ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَدَلِيلُهُ قَوْله تَعَالَى: فَاْبْعَثُوا حَكَماً مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُريدَا إصْلاَحاً يُوَفِقُ اللهُ بَيْنَهُمَا} (النساء: 35) فَكَانَ الدَّلِيلُ فِيهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:
Salah satunya: Hal itu sah dilakukan oleh kedua hakam dengan izin hakim tanpa perwakilan dari suami istri. Ini adalah pendapat yang ditegaskan oleh asy-Syafi‘i dalam Kitab ath-Thalāq dari Ahkām al-Qur’ān, dan juga pendapat Mālik. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan; jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya} (an-Nisā’: 35). Maka dalil dalam ayat ini ada dari tiga sisi:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ خِطَابٌ تُوِجَّهَ إِلَى الْحَاكِمِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَا يَضْمَنُهُ مِنْ إِنْفَاذِ الْحَكَمَيْنِ مِنْ جِهَةِ الْحَاكِمِ دُونَ الزَّوْجَيْنِ.
Pertama: Ayat ini merupakan seruan yang ditujukan kepada hakim, sehingga mengharuskan bahwa pelaksanaan keputusan kedua hakam berasal dari pihak hakim, bukan dari suami istri.
وَالثَّانِي: قَوْلُهُ: {إِنْ يُرِيدَا إصْلاَحاً} رَاجِعٌ إِلَى الْحَكَمَيْنِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْإِرَادَةَ لَهُمَا دُونَ الزَّوْجَيْنِ.
Kedua: Firman-Nya: {Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan} kembali kepada kedua hakam, sehingga menunjukkan bahwa kehendak itu milik mereka berdua, bukan milik suami istri.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ إِطْلَاقَ اسْمِ الْحَكَمَيْنِ عَلَيْهِمَا لِنُفُوذِ الْحُكْمِ جَبْرًا مِنْهُمَا كَالْحَاكِمِ فَلَمْ يَفْتَقِرْ ذَلِكَ إِلَى تَوْكِيلِ الزَّوْجَيْنِ.
Ketiga: Penamaan keduanya sebagai “hakam” karena keputusan mereka berlaku secara paksa seperti hakim, sehingga tidak membutuhkan perwakilan dari suami istri.
وَرُوِيَ أَنَّهُ شَجَرَ بَيْنَ عَقِيلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ فَاطِمَةَ بِنْتِ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ خُصُومَةٌ تَنَافَرَا فِيهَا، وَكَانَ سَبَبُهَا أَنَّ فَاطِمَةَ كَانَتْ ذَاتَ مَالٍ تَدِلُّ بِمَالِهَا عَلَى عَقِيلٍ وَتُكْثِرُ إِذْكَارَهُ بِمَنْ قُتِلَ يَوْمَ بَدْرٍ مِنْ أَهْلِهَا فَتَقُولُ لَهُ: مَا فَعَلَ عُتْبَةُ مَا فَعَلَ الْوَلِيدُ، مَا فَعَلَ شَيْبَةُ، وَعَقِيلٌ يُعْرِضُ عَنْهَا إِلَى أَنْ دَخَلَ ذَاتَ يَوْمٍ ضَجِرًا، فَقَالَتْ لَهُ: مَا فَعَلَ عُتْبَةُ وَالْوَلِيدُ وَشَيْبَةُ؟
Diriwayatkan bahwa pernah terjadi perselisihan antara ‘Aqīl bin Abī Ṭālib dan istrinya Fāṭimah binti ‘Utbah bin Rabī‘ah, mereka saling bersengketa. Penyebabnya adalah Fāṭimah adalah seorang wanita kaya yang membanggakan hartanya di hadapan ‘Aqīl dan sering menyebut-nyebut keluarganya yang terbunuh pada hari Badar, ia berkata kepadanya: “Apa yang terjadi dengan ‘Utbah? Apa yang terjadi dengan al-Walīd? Apa yang terjadi dengan Syaibah?” Sementara ‘Aqīl mengabaikannya, hingga suatu hari ia masuk ke rumah dalam keadaan kesal, lalu Fāṭimah berkata kepadanya: “Apa yang terjadi dengan ‘Utbah, al-Walīd, dan Syaibah?”
فَقَالَ لَهَا: إِذَا دَخَلْتِ النَّارَ فَعَلَى يَسَارِكِ، فَجَمَعَتْ رَحْلَهَا وَبَلَغَ ذَلِكَ عُثْمَانَ فَقَرَأَ قَوْله تَعَالَى: {وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَاْبْعَثُوا حَكَماً مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِنْ أَهْلِهَا) {النساء: 35) فَاخْتَارَ مِنْ أَهْلِ عَقِيلٍ: عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ، وَمِنْ أَهْلِ فَاطِمَةَ، مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَقَالَ: عَلَيْكُمَا أَنْ تَجْمَعَا إِنْ رَأَيْتُمَا، أَوْ تُفَرِّقَا إِنْ رَأَيْتُمَا.
Maka ‘Aqīl berkata kepadanya: “Jika engkau masuk neraka, mereka ada di sebelah kirimu.” Lalu Fāṭimah mengemasi barang-barangnya, dan hal itu sampai kepada ‘Utsmān. Maka ia membaca firman Allah Ta‘ala: {Dan jika kamu khawatir akan terjadi perselisihan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan} (an-Nisā’: 35). Maka ia memilih dari keluarga ‘Aqīl: ‘Abdullāh bin ‘Abbās, dan dari keluarga Fāṭimah: Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān, lalu ia berkata: “Kalian berdua hendaknya menyatukan mereka jika kalian memandang itu baik, atau memisahkan mereka jika kalian memandang itu lebih baik.”
فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عباس والله لأحرصن على الفرقة بينهما.
Maka ‘Abdullāh bin ‘Abbās berkata: “Demi Allah, aku akan berusaha agar mereka berdua berpisah.”
فقال مُعَاوِيَةُ: وَاللَّهِ لَا فَرَّقْتُ بَيْنَ شَيْخَيْنِ مِنْ قُرَيْشٍ فَمَضَيَا إِلَيْهِمَا وَقَدِ اصْطَلَحَا.
Mu‘āwiyah berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memisahkan dua orang tua dari Quraisy.” Maka keduanya mendatangi mereka dan ternyata mereka telah berdamai.
فَدَلَّ هَذَا الْقَوْلُ مِنْهُمَا عَلَى أَنَّ الْحَكَمَيْنِ يَمْلِكَانِ الْفُرْقَةَ إِنْ رَأَيَاهَا، وَذَلِكَ بِمَشْهَدٍ مِنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ وَقَدْ حَضَرَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ مَنْ حَضَرَ فَلَمْ يُنْكِرْهُ؛ وَلِأَنَّ لِلْحَاكِمِ مَدْخَلًا فِي إِيقَاعِ الْفُرْقَةِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ بِالْعُيُوبِ وَالْعُنَّةِ وَفِي الْإِيلَاءِ فَجَازَ أَنْ يَمْلِكَ بِهَا تَفْوِيضَ ذَلِكَ إِلَى الْحَكَمَيْنِ.
Maka pernyataan dari keduanya ini menunjukkan bahwa kedua ḥakam (penengah) memiliki kewenangan untuk memutuskan perpisahan jika mereka melihatnya perlu, dan hal itu terjadi di hadapan ‘Utsmān raḍiyallāhu ta‘ālā ‘anhu, dan di situ hadir pula sebagian sahabat yang lain, namun tidak ada yang mengingkarinya; dan karena hakim memiliki peran dalam menjatuhkan perpisahan antara suami istri karena cacat, ‘unnah (impotensi), dan dalam kasus īlā’, maka boleh juga baginya untuk memberikan wewenang tersebut kepada kedua ḥakam.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَصِحُّ مِنَ الْحَكَمَيْنِ إِيقَاعُ الْفُرْقَةِ وَالْخُلْعِ إِلَّا بِتَوْكِيلِ الزَّوْجَيْنِ وَلَا يَمْلِكُ الْحَاكِمُ الْإِذْنَ لَهُمَا فِيهِ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ والإملاء وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {إِنْ يُريدَا إصْلاَحاً يُوَفِقُ اللهُ بَيْنَهُمَا) {النساء: 35) فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمَرْدُودَ إِلَى الْحَكَمَيْنِ الْإِصْلَاحُ دُونَ الْفُرْقَةِ.
Pendapat kedua: Bahwa tidak sah bagi kedua ḥakam untuk menjatuhkan perpisahan dan khulu‘ kecuali dengan perwakilan dari kedua suami istri, dan hakim tidak berwenang memberi izin kepada keduanya dalam hal itu. Ini dinyatakan oleh al-Shāfi‘ī dalam kitab al-Umm dan al-Imlā’, dan pendapat ini juga dipegang oleh Abū Ḥanīfah, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {Jika keduanya menghendaki islah (perdamaian), niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya} (QS. al-Nisā’: 35), maka ini menunjukkan bahwa yang dikembalikan kepada kedua ḥakam adalah islah, bukan perpisahan.
وَلِمَا رَوَى ابْنُ عَوْنٍ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ السَّلْمَانِيِّ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ إِلَى عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قِيَامٌ مِنَ الناس يعني جمعاً فتلى الْآيَةَ، وَبَعَثَ إِلَى الْحَكَمَيْنِ وَقَالَ: رُوَيْدَكُمَا حَتَّى أُعْلِمَكُمَا مَاذَا عَلَيْكُمَا إِنْ رَأَيْتُمَا أَنْ تَجْمَعَا جمعتكما وإن رأيتما أن تفرقا فرقتكما ثم أقبل على المرأة، وقال: أقد رَضِيتِ بِمَا حَكَمَا، قَالَتْ: نَعَمْ، رَضِيتُ بِكِتَابِ اللَّهِ عَلَيَّ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى الرَّجُلِ، فَقَالَ: قَدْ رَضِيتَ بِمَا حَكَمَا فَقَالَ: لَا، وَلَكِنْ أَرْضَى أَنْ تَجْمَعَا وَلَا أَرْضَى أَنْ تُفَرِّقَا، فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ: كَذَبْتَ، وَاللَّهِ لَا تَبْرَحُ حَتَّى تَرْضَى بِمِثْلِ الَّذِي رَضِيَتْ.
Dan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn ‘Awn dari Ibn Sīrīn dari ‘Ubaydullāh al-Salmanī, ia berkata: Seorang laki-laki dan seorang perempuan datang kepada ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu, masing-masing didampingi oleh sekelompok orang, lalu ia membacakan ayat tersebut, kemudian mengutus kepada kedua ḥakam dan berkata: “Tunggu sebentar, sampai aku memberitahu kalian apa yang menjadi tugas kalian. Jika kalian berdua melihat untuk menyatukan, maka satukanlah kalian berdua, dan jika kalian berdua melihat untuk memisahkan, maka pisahkanlah kalian berdua.” Lalu ia menghadap kepada perempuan itu dan berkata: “Apakah engkau rela dengan keputusan keduanya?” Ia menjawab: “Ya, aku rela dengan Kitab Allah atas diriku.” Lalu ia menghadap kepada laki-laki itu dan berkata: “Apakah engkau rela dengan keputusan keduanya?” Ia menjawab: “Tidak, tetapi aku rela jika kalian menyatukan, dan aku tidak rela jika kalian memisahkan.” Maka ‘Alī berkata kepadanya: “Engkau dusta, demi Allah, engkau tidak akan pergi sampai engkau rela seperti kerelaan yang telah ia berikan.”
فَمَوْضِعُ الدَّلِيلِ مِنْ هَذَا الْخَبَرِ أَنَّهُ لَوْ مَلَكَ الْحَكَمَانِ ذَلِكَ بِغَيْرِ تَوْكِيلِ الزَّوْجَيْنِ لَمْ يَكُنْ لِرُجُوعِ علي رضي الله عنه إلى رضى الزَّوْجِ وَجْهٌ، وَلَكَانَ بِإِذْنِ الْحَكَمَيْنِ فِيهِ، وَإِنِ امْتَنَعَ.
Maka letak dalil dari riwayat ini adalah bahwa jika kedua ḥakam memiliki kewenangan itu tanpa perwakilan dari kedua suami istri, niscaya tidak ada alasan bagi ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu untuk kembali kepada kerelaan suami, dan seharusnya cukup dengan izin kedua ḥakam dalam hal itu, meskipun suami menolak.
فَإِنْ قِيلَ: فَمَا مَعْنَى قَوْلِهِ كَذَبْتَ وَاللَّهِ حَتَّى تَرْضَى بِمِثْلِ الَّذِي رَضِيتَ، وَكَيْفَ يكون امتناعه. من الرضى كَذِبًا فَعَنْهُ جَوَابَانِ:
Jika dikatakan: Apa makna ucapan beliau “Engkau dusta, demi Allah, sampai engkau rela seperti kerelaan yang telah ia berikan”, dan bagaimana penolakan kerelaannya dianggap sebagai dusta? Maka ada dua jawaban:
أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ تقدم منه الرضى ثُمَّ أَنْكَرَهُ فَصَارَ كَذِبًا وَزَالَ بِالْإِنْكَارِ مَا تَقَدَّمَ مِنَ التَّوْكِيلِ.
Pertama: Boleh jadi sebelumnya ia telah rela, kemudian ia mengingkarinya, sehingga menjadi dusta, dan dengan pengingkaran itu batal pula perwakilan yang telah diberikan sebelumnya.
وَالثَّانِي: أَنَّ قَوْلَهُ كَذَبْتَ بِمَعْنَى أَخْطَأَتْ، وَقَدْ يُعَبَّرُ عَنِ الْخَطَأِ بِالْكَذِبِ؛ لِأَنَّهُ بِخِلَافِ الْحَقِّ وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Kedua: Ucapan beliau “Engkau dusta” bermakna “engkau keliru”, dan terkadang kesalahan diungkapkan dengan kata dusta, karena itu bertentangan dengan kebenaran. Seperti ucapan penyair:
(كَذَبَتْكَ عَيْنُكَ أَمْ رَأَيْتَ بواسطٍ … غَلَسَ الظَّلَامِ مِنَ الرَّبَابِ خَيَالَا)
(“Matamu berdusta, ataukah engkau melihat di Wāsith … dalam gelapnya malam, bayangan dari al-Rabāb?”)
يَعْنِي أَخْطَأَتْكَ عَيْنُكَ، وَيَدُلُّ عَلَى مَا ذَكَرْنَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَجْعَلِ الطَّلَاقَ إِلَّا إِلَى الْأَزْوَاجِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْلِكَهُ غَيْرُهُمْ، وَلِأَنَّ الْحَاكِمَ لَا يَمْلِكُ إِيقَاعَ الطَّلَاقِ وَالْخُلْعِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ إِلَّا عَنْ رِضَاهُمَا فَلِأَنْ لَا يَمْلِكَهُ الْحَكَمَانِ مِنْ قِبَلِهِ أَوْلَى.
Maksudnya adalah “matamu keliru”, dan yang menunjukkan apa yang kami sebutkan adalah bahwa Allah Ta‘ālā tidak menjadikan talak kecuali di tangan para suami, maka tidak boleh dimiliki oleh selain mereka. Dan karena hakim tidak berwenang menjatuhkan talak dan khulu‘ antara suami istri kecuali dengan kerelaan keduanya, maka lebih utama lagi bahwa kedua ḥakam tidak berwenang melakukannya atas nama mereka.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ كَانَ الْحَكَمَانِ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ حَاكِمَيْنِ وَعَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي وَكِيلَيْنِ، وَلَا بُدَّ من اعتبار شروط في صحته تَحْكِيمِهِمَا وَهِيَ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ.
Jika penjelasan kedua pendapat telah jelas, maka kedua ḥakam menurut pendapat pertama adalah sebagai hakim, dan menurut pendapat kedua sebagai wakil, dan harus memperhatikan syarat-syarat yang menentukan keabsahan penunjukan mereka, yang terbagi menjadi tiga bagian.
قِسْمٌ يَجِبُ اعْتِبَارُهُ فِيهِمَا.
Bagian yang wajib diperhatikan pada keduanya.
وَقِسْمٌ يُسْتَحَبُّ اعْتِبَارُهُ فِيهِمَا.
Bagian yang disunnahkan untuk diperhatikan pada keduanya.
وَقِسْمٌ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْقَوْلِ فِيهِمَا فَأَمَّا مَا يَجِبُ اعْتِبَارُهُ فِيهِمَا مِنَ الشُّرُوطِ فَثَلَاثَةٌ:
Dan bagian yang berbeda-beda menurut perbedaan pendapat tentang keduanya. Adapun syarat-syarat yang wajib diperhatikan pada keduanya ada tiga:
أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ، فَإِنْ كَانَا أَوْ أَحَدُهُمَا امْرَأَةً لَمْ يَجُزْ.
Pertama: Keduanya harus laki-laki. Jika keduanya atau salah satunya perempuan, maka tidak sah.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَا حُرَّيْنِ فَإِنْ كَانَا أَوْ أَحَدُهُمَا عَبْدًا لَمْ يَجُزْ.
Kedua: Keduanya harus orang merdeka. Jika keduanya atau salah satunya adalah budak, maka tidak sah.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَا عَدْلَيْنِ فَإِنْ كَانَا أَوْ أَحَدُهُمَا غَيْرَ عَدْلٍ لَمْ يَجُزْ.
Ketiga: Keduanya harus orang yang adil. Jika keduanya atau salah satunya bukan orang yang adil, maka tidak sah.
وَإِنَّمَا اعْتَبَرْنَا هَذِهِ الشُّرُوطَ الثَّلَاثَةَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا؛ لِأَنَّهُمَا إِنْ كَانَا حَاكِمَيْنِ فَلَا بُدَّ مِنِ اعْتِبَارِ هَذِهِ الشُّرُوطِ فِي الْحَاكِمِ، وَإِنْ كَانَا وَكِيلَيْنِ فَقَدِ اقْتَرَنَ بِوَكَالَتِهِمَا وِلَايَةُ اخْتِيَارِ الْحَاكِمِ لَهُمَا، وَلَا يَصِحُّ فِيمَنْ رُدَّ الْحُكْمُ إِلَيْهِ نَظَرٌ إِلَّا أَنْ يَكُونَ بِهَذِهِ الصِّفَاتِ أَلَا تَرَى أَنَّ الْحَاكِمَ لَوْ أَرَادَ أَنْ يَرُدَّ النَّظَرَ فِي مَالِ يَتِيمٍ إِلَى عَبْدٍ أَوْ فَاسْقٍ لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ وَكِيلًا.
Kami menetapkan tiga syarat ini pada kedua pendapat sekaligus; karena jika keduanya adalah hakim, maka syarat-syarat ini harus dipenuhi pada hakim. Dan jika keduanya adalah wakil, maka pada perwakilan mereka telah disertai dengan wewenang memilih hakim bagi keduanya, dan tidak sah bagi siapa pun yang dikembalikan kepadanya urusan hukum kecuali ia memiliki sifat-sifat ini. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seorang hakim ingin mengembalikan urusan harta anak yatim kepada seorang budak atau seorang fasik, maka itu tidak diperbolehkan, meskipun boleh saja mereka menjadi wakil.
وَأَمَّا مَا يُسْتَحَبُّ اعْتِبَارُهُ فَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْحَكَمَانِ مِنْ أَهْلِ الزَّوْجَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: فَاْبْعَثُوا حَكَماً مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِنْ أَهْلِهَا} وَلِأَنَّ الْأَوَّلَ أَخَصُّ بِطَلَبِ الْحَظِّ مِنَ الْأَجَانِبِ؛
Adapun yang dianjurkan untuk dipertimbangkan adalah agar kedua hakam berasal dari keluarga suami istri, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka utuslah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan,” dan karena keluarga lebih khusus dalam mencari kemaslahatan dibandingkan orang luar;
وَلِأَنَّ الْأُنْسَ بِالْأَهْلِ وَالِاسْتِجَابَةَ لَهُمْ، وَشَرْحَ الْحَالِ مَعَهُمْ أَكْثَرُ مِنَ الْأَجَانِبِ، فَلِهَذِهِ الْأُمُورِ اخْتَرْنَا أَنْ يَكُونَ الْحَكَمَانِ مِنْ أَهْلِ الزَّوْجَيْنِ، فَإِنْ كَانَا أَجْنَبِيَّيْنِ جَازَ، لِأَنَّهُ إِنْ جَرَى التَّحْكِيمُ مَجْرَى الْحَاكِمِ فَحُكْمُ الْأَجْنَبِيِّ نَافِذٌ، وَإِنْ جَرَى مَجْرَى الْوَكَالَةِ فَوَكَالَةُ الْأَجْنَبِيِّ جَائِزَةٌ؛ وَلِأَنَّهُ قَدْ لَا يَكُونُ لِوَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ أَهْلٌ وَلَا إنه كَانُوا حَضَرُوا وَلَا إِنْ حَضَرُوا كَانُوا عُدُولًا فَدَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى جَوَازِ تَحْكِيمِ غَيْرِ الْأَهْلِ.
Dan karena adanya keakraban dengan keluarga, kesiapan untuk menerima nasihat mereka, serta kemudahan dalam menjelaskan keadaan kepada mereka lebih besar dibandingkan dengan orang luar. Oleh karena itu, kami memilih agar kedua hakam berasal dari keluarga suami istri. Namun jika keduanya orang luar, maka itu tetap sah, karena jika proses tahkim berjalan seperti hakim, maka keputusan orang luar tetap sah, dan jika berjalan seperti perwakilan, maka perwakilan orang luar juga diperbolehkan. Selain itu, bisa jadi salah satu dari suami istri tidak memiliki keluarga, atau jika pun ada, mereka tidak hadir, atau jika hadir, mereka tidak adil, sehingga kebutuhan mendesak mengharuskan bolehnya memilih hakam dari selain keluarga.
وَأَمَّا مَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْقَوْلِ فِيهِمَا فَهُوَ أَنْ يَكُونَا فَقِيهَيْنِ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فِي الْأَحْكَامِ.
Adapun yang berbeda menurut perbedaan pendapat tentang keduanya adalah bahwa keduanya haruslah faqih dari kalangan ahli ijtihad dalam hukum-hukum.
فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُمَا يَجْرِيَانِ مَجْرَى الْحَاكِمَيْنِ، فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَا مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ، فَإِنْ لَمْ يَكُونَا مِنْ أَهْلِهِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ حُكْمٌ فَلَمْ يَنْفُذْ إِلَّا مِنْ مُجْتَهِدٍ وَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُمَا يَجْرِيَانِ مَجْرَى الْوَكِيلَيْنِ جَازَ أن يَكُونَا مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ، لِأَنَّ وَكَالَةَ الْعَامَّةِ جَائِزَةٌ، فَإِنْ عَدَلَ الْحَاكِمُ عَنْ أَهْلِهَا إِلَى أَجْنَبِيَّيْنِ اخْتَارَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَكَمًا يَثِقُ بِهِ وَيَأْنَسُ إِلَيْهِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحَكِّمَ عليهما عدويين للتهمة اللاحقة بهما.
Jika kita mengatakan bahwa keduanya berperan seperti dua hakim, maka keduanya harus dari kalangan ahli ijtihad. Jika bukan dari kalangan tersebut, maka tidak sah; karena ini adalah hukum, maka tidak berlaku kecuali dari seorang mujtahid. Namun jika kita mengatakan bahwa keduanya berperan seperti dua wakil, maka boleh saja keduanya dari kalangan ahli ijtihad, karena perwakilan umum itu diperbolehkan. Jika hakim memilih selain dari keluarga kepada dua orang luar, maka ia memilih untuk masing-masing dari keduanya seorang hakam yang ia percaya dan merasa nyaman dengannya, dan tidak boleh mengangkat dua orang yang bermusuhan karena adanya tuduhan yang melekat pada keduanya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ فَوَّضَا مَعَ الْخُلْعِ وَالْفُرْقَةِ إِلَى الْحَكَمَيْنِ الْأَخْذَ لِكُلِّ واحدٍ مِنْهُمَا مِنْ صَاحِبِهِ كَانَ عَلَى الْحَكَمَيْنِ الِاجْتِهَادُ فِيمَا يَرَيَانِهِ أَنَّهُ صلاحٌ لَهُمَا بَعْدَ مَعْرِفَةِ اخْتِلَافِهِمَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika keduanya (suami istri) menyerahkan kepada dua hakam, bersamaan dengan khulu‘ dan perpisahan, hak untuk mengambil dari masing-masing dari pasangannya, maka wajib bagi kedua hakam untuk berijtihad dalam hal yang mereka pandang sebagai kemaslahatan bagi keduanya setelah mengetahui perbedaan di antara mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالْكَلَامُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ:
Al-Mawardi berkata: Pembahasan dalam masalah ini mencakup dua bagian:
أَحَدُهُمَا: عَلَى مَا يَتِمُّ بِهِ وِلَايَةُ الْحَكَمَيْنِ.
Pertama: tentang apa yang menjadi dasar sahnya wewenang dua hakam.
وَالثَّانِي: مَا يَجُوزُ أَنْ يَفْعَلَهُ الْحَكَمَانِ وَمَا لَا يَجُوزُ لَهُمَا فِعْلُهُ.
Kedua: apa yang boleh dilakukan oleh kedua hakam dan apa yang tidak boleh mereka lakukan.
فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِيمَا يَتِمُّ بِهِ وِلَايَةُ الْحَكَمَيْنِ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِاخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ فِيهِمَا.
Adapun bagian pertama, yaitu tentang apa yang menjadi dasar sahnya wewenang dua hakam, maka hal itu dipertimbangkan berdasarkan perbedaan dua pendapat tentang keduanya.
فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّهُمَا حَكَمَانِ تَمَّتْ وِلَايَتُهُمَا بِتَقْلِيدِ الْحَاكِمِ لَهُمَا، وَلَا يُعْتَبَرُ فِيهِمَا إِذَنُ الزَّوْجَيْنِ وَلَا رِضَاهُمَا، لَكَانَ لَا بُدَّ لِلْحَاكِمِ أَنْ يُعَيِّنَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْحَكَمَيْنِ أَنْ يَكُونَ مُخْتَصًّا بِأَحَدِ الزَّوْجَيْنِ، فَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْهُ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَنُوبُ عَنْ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ فِي اسْتِيفَاءِ حَقِّهِ مِنَ الْآخَرِ، وَالنَّظَرِ فِي مَصْلَحَتِهِ ثُمَّ يَرُدُّ إِلَيْهِمَا مَا رَأَيَاهُ صَلَاحًا مِنْ إِصْلَاحٍ أَوْ طَلَاقٍ أَوْ خُلْعٍ، فَإِنْ أَرَادَ بَعْدَ تَحْكِيمِهِمَا أن يستدل بِهِمَا غَيْرَهُمَا فَإِنْ كَانَ لِتَغَيُّرِ حَالِهِمَا أَوْ لِوُجُودِ مَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُمَا جَازَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِتَغَيُّرِ حَالٍ وَلَا لِوُجُودِ مَنْ هُوَ أَوْلَى لَمْ يَجُزْ وَلَوِ اعْتَزَلَ الْحَكَمَانِ جَازَ وَمَا يُسْتَحَبُّ ذَلِكَ لَهُمَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ لِعَجْزٍ مِنْهُمَا أَوْ لِاشْتِبَاهِ الْأَصْلَحِ عَلَيْهِمَا، وَلَيْسَ لَهُمَا بَعْدَ أَنْ عُزِلَا أَوِ اعْتَزَلَا أَنْ يَحْكُمَا عَلَيْهِمَا بِشَيْءٍ، فَإِنْ حَكَمَا لَمْ يُنَفَّذْ حُكْمُهُمَا وَإِنْ قُلْتُ إِنَّ الْحَكَمَيْنِ وَكِيلَانِ لَمْ يَتِمَّ وِلَايَتُهُمَا إِلَّا بِتَوْكِيلِ الزَّوْجَيْنِ إِلَى إِذَنِ الْحَاكِمِ وَإِنَّمَا افْتَقَرَا مَعَ تَوْكِيلِ الزَّوْجَيْنِ إِلَى إِذْنِ الْحَاكِمِ لَهُمَا لِأَنَّ لَهُ مَعَ الْوَكَالَةِ وِلَايَةً لَا تَصِحُّ إِلَّا بِالْحَاكِمِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ احْتَاجَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِتَوْكِيلِ الْحَكَمِ الَّذِي يَنُوبُ عَنْهُ، فَيَأْذَنُ الزَّوْجُ لِحَكَمِهِ فِي الطَّلَاقِ وَعَدَدِهِ، وَفِي الْخُلْعِ وَمِقْدَارِهِ وَلَا يَكْتَفِي فِي الْإِذْنِ بِالطَّلَاقِ عَنِ الْإِذْنِ فِي الْخُلْعِ لِأَنَّ الْخُلْعَ يُسْقِطُ الرَّجْعَةَ فَلَا يَفْعَلُ ذَلِكَ إِلَّا بِإِذْنِ مُسْتَحِقِّيهَا، وَتَأْذَنُ الزَّوْجَةُ لِحَكَمِهَا أَنْ يُخَالِعَ عَنْهَا مِنْ مَالِهَا بِمَا تُقَدِّرُهُ لَهُ أَوْ تُعَيِّنُهُ ثُمَّ يَأْذَنُ الْحَاكِمُ لِلْحَكَمَيْنِ بَعْدَ تَوْكِيلِ الزَّوْجَيْنِ فِي فِعْلِ مَا وُكِّلَا فِيهِ وَإِمْضَائِهِ فَيَكُونُ التَّوْكِيلُ مِنَ الزَّوْجَيْنِ وَالْوِلَايَةُ مِنَ الْحَاكِمِ.
Jika kita katakan bahwa keduanya adalah dua ḥakam yang telah sah kewenangannya dengan pengangkatan dari hakim, maka tidak disyaratkan adanya izin atau kerelaan dari kedua suami istri terhadap mereka berdua. Maka, hakim harus menetapkan masing-masing dari dua ḥakam itu agar khusus mewakili salah satu dari suami istri. Jika hakim tidak menetapkannya, maka tidak boleh, karena masing-masing dari mereka mewakili salah satu dari suami istri dalam menuntut haknya dari yang lain dan memperhatikan kemaslahatannya, lalu mengembalikan kepada keduanya apa yang mereka pandang baik, baik berupa ishlāḥ (perdamaian), ṭalāq, atau khulu‘. Jika setelah pengangkatan keduanya, hakim ingin mengganti mereka dengan yang lain, maka jika karena perubahan keadaan mereka atau karena adanya orang yang lebih utama dari mereka, maka boleh. Namun jika bukan karena perubahan keadaan atau bukan karena adanya yang lebih utama, maka tidak boleh. Jika kedua ḥakam itu mengundurkan diri, maka boleh, namun tidak dianjurkan kecuali karena ketidakmampuan dari mereka atau karena kesulitan dalam menentukan mana yang lebih maslahat. Setelah keduanya dicopot atau mengundurkan diri, maka mereka tidak lagi berwenang memutuskan sesuatu atas suami istri tersebut. Jika mereka tetap memutuskan, maka keputusan mereka tidak berlaku. Jika dikatakan bahwa kedua ḥakam itu adalah wakil, maka kewenangan mereka tidak sah kecuali dengan adanya perwakilan dari kedua suami istri, selain juga memerlukan izin dari hakim. Mereka tetap membutuhkan izin hakim meskipun sudah ada perwakilan dari suami istri, karena dalam perwakilan itu terdapat kewenangan yang tidak sah kecuali dengan persetujuan hakim. Dalam hal ini, masing-masing dari suami istri harus secara mandiri mewakilkan kepada ḥakam yang mewakilinya. Maka suami memberi izin kepada ḥakamnya untuk melakukan ṭalāq dan menentukan jumlahnya, serta untuk melakukan khulu‘ dan menentukan kadarnya. Tidak cukup izin untuk ṭalāq saja tanpa izin untuk khulu‘, karena khulu‘ menggugurkan hak rujuk, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dengan izin dari yang berhak. Istri memberi izin kepada ḥakamnya untuk melakukan khulu‘ atas dirinya dari hartanya sesuai yang ia tentukan atau ia tetapkan. Setelah itu, hakim memberi izin kepada kedua ḥakam setelah adanya perwakilan dari suami istri untuk melakukan apa yang telah diwakilkan kepada mereka dan mengeksekusinya. Maka perwakilan berasal dari suami istri, sedangkan kewenangan berasal dari hakim.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا مَا يُسْتَحَقُّ عَلَى الْحَكَمَيْنِ فِعْلُهُ فَهُوَ الِاجْتِمَاعُ عَلَى فِعْلِ الْأَصْلَحِ لِلزَّوْجَيْنِ فَإِنْ كَانَ الْأَصْلَحُ لَهُمَا الْإِصْلَاحَ بَيْنَهُمَا فَلَيْسَ لَهُمَا أَنْ يَعْدِلَا عَنِ الْإِصْلَاحِ إِلَى طَلَاقٍ أَوْ خُلْعٍ فَإِنْ طَلَّقَا أَوْ خَالَعَا لَمْ يَجُزْ وَكَانَ مَرْدُودًا وَإِنْ كَانَ الْأَصْلَحُ لَهُمَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ خُلِعٍ اتَّفَقَا عَلَيْهِ تَفَرَّدَ حَكَمُ الزَّوْجِ بِإِيقَاعِهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُخَالِعَا، وَإِنْ كَانَ الْأَصْلَحُ لَهُمَا الْخُلْعَ اجْتَمَعَا عَلَى عَقْدِ الْخُلْعِ بَعْدَ اتِّفَاقِهِمَا عَلَى عَدَدِ الطَّلَاقِ، وَقَدْرِ الْعِوَضِ وَتَفَرَّدَ حَكَمُ الزَّوْجَةِ بِالْبَذْلِ وَحَكَمُ الزَّوْجِ بِالْقَبُولِ وَإِيقَاعِ الطَّلَاقِ.
Adapun hal yang wajib dilakukan oleh kedua ḥakam adalah bermusyawarah untuk melakukan yang paling maslahat bagi suami istri. Jika yang paling maslahat bagi keduanya adalah ishlāḥ (perdamaian) di antara mereka, maka keduanya tidak boleh beralih dari ishlāḥ kepada ṭalāq atau khulu‘. Jika mereka melakukan ṭalāq atau khulu‘, maka tidak sah dan dianggap batal. Jika yang paling maslahat bagi keduanya adalah ṭalāq tanpa khulu‘ dan keduanya sepakat atas hal itu, maka ḥakam dari pihak suami yang melaksanakan ṭalāq tersebut secara mandiri, dan tidak boleh melakukan khulu‘. Jika yang paling maslahat bagi keduanya adalah khulu‘, maka keduanya bermusyawarah untuk mengadakan akad khulu‘ setelah sepakat tentang jumlah ṭalāq dan besaran kompensasi, lalu ḥakam dari pihak istri yang menyerahkan (harta), dan ḥakam dari pihak suami yang menerima dan melaksanakan ṭalāq.
فَلَوْ أَرَادَ الْحَكَمَانِ فَسْخَ النِّكَاحِ بِغَيْرِ طَلَاقٍ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَأْذُونٍ فِيهِ، فَإِنْ أَذِنَ لَهُمَا الْحَاكِمُ فِي الْفَسْخِ جَازَ إِنْ قِيلَ: إِنَّ التَّحْكِيمَ حُكْمٌ؛ لِأَنَّ الْحَاكِمَ بِالْفَسْخِ أَخَصُّ مِنْهُ بِالطَّلَاقِ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ التَّحْكِيمَ وَكَالَةٌ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ الْمُوَكِّلَ لَمْ يُرِدِ الْفَسْخَ إِلَيْهِمَا فَلَوْ رَدَّ الزَّوْجَانِ إِلَيْهِمَا الْفَسْخَ لَمْ يَجُزْ؛ وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ التَّحْكِيمَ وَكَالَةٌ؛ لِأَنَّ الزَّوْجَيْنِ لَا يَمْلِكَانِ الْفَسْخَ إِلَّا بِالْعَيْبِ.
Jika kedua ḥakam ingin memfasakh (membatalkan) pernikahan tanpa ṭalāq, maka tidak boleh, karena hal itu tidak diizinkan. Namun jika hakim mengizinkan keduanya untuk melakukan fasakh, maka boleh, jika dikatakan bahwa taḥkīm (penunjukan ḥakam) adalah suatu hukum, karena hakim yang memutuskan fasakh lebih khusus daripada yang memutuskan ṭalāq. Namun jika dikatakan bahwa taḥkīm adalah perwakilan, maka tidak boleh, karena pihak yang mewakilkan tidak menghendaki fasakh kepada mereka. Jika suami istri menyerahkan urusan fasakh kepada mereka, maka tidak boleh, dan jika dikatakan bahwa taḥkīm adalah perwakilan, karena suami istri tidak memiliki hak untuk melakukan fasakh kecuali karena cacat (‘aib).
فَأَمَّا إِنْ ظَهَرَ لِأَحَدِ الزَّوْجَيْنِ عَلَى صَاحِبِهِ مَالٌ لَمْ يَكُنْ لِلْحَكَمَيْنِ أَنْ يَسْتَوْفِيَاهُ إِلَّا عَنْ إِذْنِ مُسْتَحِقِّهِ مِنَ الزَّوْجَيْنِ دُونَ الْحَاكِمِ؛ لِأَنَّهُ رَشِيدٌ لَا يُوَلَّى عَلَيْهِ، فَإِنْ أَخَذَهُ الْحَاكِمُ لَمْ يَبْرَأْ مِنْهُ الدَّافِعُ فَإِنْ جَعَلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ إِلَى حَكَمِهِ أَنْ يَسْتَوْفِيَ مَا وَجَبَ لَهُ مِنْ حَقٍّ عَلَى صَاحِبِهِ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى إِذْنِ الْحَاكِمِ فِيهِ، وَجَازَ لَهُ اسْتِيفَاؤُهُ وَلَوْ جَعَلَ الْحَاكِمُ ذَلِكَ إِلَيْهِ لَمْ يَجُزْ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا سَوَاءٌ قِيلَ: إِنَّ الْحَكَمَ حَاكِمٌ أَوْ وَكِيلٌ؛ لِأَنَّ الْحَاكِمَ لَا مَدْخَلَ لَهُ فِي اسْتِيفَاءِ حُقُوقِ أَهْلِ الرُّشْدِ، وَإِنْ كَانَ لَهُ مَدْخَلٌ فِي إِيقَاعِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمْ، وَهَكَذَا لَا يَجُوزُ لِلْحَكَمَيْنِ الْإِبْرَاءُ مِنْ حَقٍّ وَجَبَ لِأَحَدِ الزَّوْجَيْنِ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ دَيْنٍ؛ لِأَنَّ الْإِبْرَاءَ لَا يَصِحُّ إِلَّا مِنْ مَالِكٍ أَوْ بإذن مالك.
Adapun jika salah satu dari suami istri memiliki harta atas pasangannya, maka kedua hakam tidak boleh mengambilnya kecuali dengan izin dari pihak yang berhak di antara suami istri, bukan dari hakim; karena ia adalah orang yang berakal sehat sehingga tidak perlu ada wali atasnya. Jika hakim mengambilnya, maka pihak yang menyerahkan harta tersebut belum terbebas dari tanggung jawab. Jika masing-masing dari suami istri memberikan wewenang kepada hakamnya untuk mengambil hak yang menjadi miliknya dari pasangannya, maka tidak diperlukan izin hakim dalam hal ini, dan boleh bagi hakam untuk mengambilnya. Namun jika hakim yang memberikan wewenang tersebut kepada hakam, maka hal itu tidak diperbolehkan menurut kedua pendapat, baik dikatakan bahwa hakam itu adalah hakim ataupun wakil; karena hakim tidak memiliki wewenang dalam mengambil hak-hak orang yang berakal sehat, meskipun ia memiliki wewenang dalam menjatuhkan perpisahan di antara mereka. Demikian pula, kedua hakam tidak boleh membebaskan hak yang menjadi milik salah satu dari suami istri, baik berupa nafkah maupun utang; karena pembebasan hak tidak sah kecuali dari pemilik harta atau dengan izinnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَلَوْ غَابَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ وَلَمْ يَفْسَخِ الْوَكَالَةَ أَمْضَى الْحَكَمَانِ رَأْيَهُمَا “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika salah satu dari suami istri tidak hadir dan tidak mencabut kuasa, maka kedua hakam tetap melaksanakan pendapat mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ، إِذَا اسْتَقَرَّتْ ولاية الحكمين في شقاق الزوجين فعاف الزَّوْجَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا وَأَرَادَ الْحَكَمَانِ تَنْفِيذَ مَا إِلَيْهِمَا فَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى اخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ فِيهِمَا فَإِنْ قُلْنَا: إِنَّ التَّحْكِيمَ وَكَالَةٌ جَازَ لَهُمَا مَعَ غَيْبَةِ الزَّوْجَيْنِ أَنْ يَفْعَلَا مَا رَأَيَاهُ صَلَاحًا؛ لِأَنَّ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَسْتَوْفِيَ حَقَّ مُوَكِّلِهِ، وَيُوَفِّيَ مَا عَلَيْهِ مِنْ حَقٍّ وَإِنْ كَانَ غائباً هذا إذا كان مفترقين في الغيبة، فأما إذا كان فِي غَيْبَتِهِمَا مُجْتَمِعَيْنِ لَمْ يَكُنْ لِلْحَكَمَيْنِ إِيقَاعُ طَلَاقٍ وَلَا خُلْعٍ لِجَوَازِ أَنْ يَصْطَلِحَا فِي الْغَيْبَةِ، وَإِنْ قِيلَ: إِنَّ التَّحْكِيمَ حُكْمٌ لَمْ يَجُزْ لِلْحَكَمَيْنِ أَنْ يَحْكُمَا مَعَ غَيْبَتِهِمَا سَوَاءٌ كَانَا فِيهِمَا مُجْتَمِعَيْنَ أَوْ مُفْتَرِقَيْنِ؛ لِأَنَّهُ وَإِنْ جَازَ الْحُكْمُ عِنْدَنَا عَلَى الْغَائِبِ فَالْحُكْمُ لَهُ لَا يَجُوزُ حَتَّى يَحْضُرَ فَإِنْ رَجَعَ الزَّوْجَانِ عَنِ التَّحْكِيمِ فَإِنْ كَانَ مَعَ اصْطِلَاحِهِمَا بَطَلَتْ وِلَايَةُ الْحَكَمَيْنِ سَوَاءٌ قِيلَ: إِنَّ التَّحْكِيمَ حُكْمٌ أَوْ وَكَالَةٌ؛ لِأَنَّ الشِّقَاقَ قَدْ زَالَ، وَإِنْ كَانَ مَعَ مُقَامِهَا عَلَى الشِّقَاقِ بَطَلَ التَّحْكِيمُ إِنْ قِيلَ: إِنَّهُ وَكَالَةٌ وَلَمْ يَبْطُلْ إِنْ قِيلَ: إِنَّهُ حُكْمٌ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini sebagaimana yang beliau katakan, apabila wewenang kedua hakam telah tetap dalam perselisihan suami istri, lalu keduanya atau salah satunya tidak hadir, dan kedua hakam ingin melaksanakan apa yang menjadi tugas mereka, maka hal ini didasarkan pada perbedaan dua pendapat tentang mereka. Jika dikatakan bahwa tahkim (penunjukan hakam) adalah bentuk perwakilan (wakalah), maka boleh bagi keduanya, meskipun suami istri tidak hadir, untuk melakukan apa yang mereka pandang baik; karena seorang wakil boleh menagih hak kliennya dan melunasi kewajiban yang ada atasnya meskipun kliennya tidak hadir. Ini jika keduanya tidak hadir secara terpisah. Adapun jika keduanya tidak hadir secara bersamaan, maka kedua hakam tidak boleh menjatuhkan talak atau khulu‘, karena mungkin saja keduanya berdamai saat tidak hadir. Dan jika dikatakan bahwa tahkim adalah hukum (putusan), maka tidak boleh bagi kedua hakam untuk memutuskan perkara saat keduanya tidak hadir, baik keduanya tidak hadir secara bersamaan maupun terpisah; karena meskipun menurut kami boleh memutuskan perkara atas orang yang tidak hadir, namun memutuskan perkara untuk kepentingannya tidak boleh kecuali ia hadir. Jika suami istri mencabut tahkim, maka jika pencabutan itu disertai dengan perdamaian di antara mereka, maka wewenang kedua hakam batal, baik dikatakan tahkim itu hukum maupun wakalah; karena perselisihan telah hilang. Namun jika pencabutan itu dilakukan sementara perselisihan masih ada, maka tahkim batal jika dikatakan sebagai wakalah, dan tidak batal jika dikatakan sebagai hukum.
وَلَوْ رَجَعَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ دُونَ الْآخَرِ كَانَ كَرُجُوعِهِمَا مَعًا يَبْطُلُ بِهِ التَّحْكِيمُ إِنْ قِيلَ: إِنَّهُ وَكَالَةٌ وَلَمْ يَبْطُلْ بِهِ إِنْ قِيلَ: إِنَّهُ حُكْمٌ لِأَنَّ التَّحْكِيمَ لا يصح إلا بحكمين.
Dan jika salah satu dari suami istri mencabut (tahkim) tanpa yang lain, maka hukumnya seperti jika keduanya mencabut bersama-sama, yaitu tahkim batal jika dikatakan sebagai wakalah, dan tidak batal jika dikatakan sebagai hukum, karena tahkim tidak sah kecuali dengan dua hakam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي: ” وَأَيُّهُمَا غُلِبَ عَلَى عَقْلِهِ لَمْ يَمْضِ الْحَكَمَانِ بَيْنَهُمَا شَيْئًا حَتَّى يَفِيقَ ثُمَّ يُحْدِثُ الْوَكَالَةَ “.
Imam Syafi‘i berkata: “Jika salah satu dari mereka kehilangan akal, maka kedua hakam tidak boleh memutuskan apa pun di antara mereka sampai ia sadar kembali, lalu ia memperbarui kuasa.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، إِذَا جُنَّ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ بَعْدَ تَحْكِيمِ الْحَكَمَيْنِ أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ لَمْ يَجُزْ لِلْحَكَمَيْنِ أَنْ يُنَفِّذَا حُكْمَ الشِّقَاقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا؛ لِأَنَّهُ إِنْ قِيلَ: إِنَّ التَّحْكِيمَ وَكَالَةٌ فَقَدْ بَطَلَتْ بِجُنُونِ الْمُوَكِّلِ.
Al-Mawardi berkata: Dan ini benar, jika salah satu dari suami istri menjadi gila setelah penunjukan kedua hakam atau pingsan, maka tidak boleh bagi kedua hakam untuk melaksanakan putusan perselisihan di antara suami istri menurut kedua pendapat; karena jika dikatakan tahkim adalah wakalah, maka batal dengan kegilaan pihak yang mewakilkan.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ حُكْمٌ فَالْجُنُونُ قَدْ قَطَعَ الشِّقَاقَ فَإِنْ أَفَاقَ الْمَجْنُونُ مِنْهُمَا بَطَلَ التَّحْكِيمُ إِنْ قِيلَ: إِنَّهُ وَكَالَةٌ حَتَّى يَسْتَأْنِفَهَا الْمُفِيقُ مِنْهُمَا دُونَ الْآخَرِ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى اسْتِئْنَافِ إِذْنٍ مِنَ الْحَاكِمِ، وَلَمْ يَبْطُلِ التَّحْكِيمُ إِنْ قِيلَ: إِنَّهُ حُكْمٌ، وَجَازَ لِلْحَكَمَيْنِ بِالْإِذْنِ الْأَوَّلِ إِمْضَاءُ حُكْمِهِمَا عَلَى الزَّوْجَيْنِ وَلَمْ يُؤَثِّرِ الْجُنُونُ فِي إِبْطَالِ تَحْكِيمِهِمَا، وَإِنَّمَا أَثَّرَ التَّوَقُّفَ إِلَى إِفَاقَتِهِمَا لِيَعْلَمَ حَالَهُمَا بَعْدَ الْإِفَاقَةِ فِي مُقَامِهِمَا عَلَى الشِّقَاقِ أَوْ إِقْلَاعِهِمَا عَنْهُ.
Dan jika dikatakan: Sesungguhnya itu adalah hukum, maka kegilaan telah memutuskan perselisihan. Jika salah satu dari keduanya yang gila telah sadar, maka tahkim (arbitrase) menjadi batal. Jika dikatakan: Itu adalah wakalah (perwakilan), maka yang sadar dari keduanya harus memulai kembali (tahkim) tanpa perlu memulai kembali izin dari hakim. Dan tahkim tidak batal jika dikatakan bahwa itu adalah hukum, dan kedua hakam (arbitrator) boleh dengan izin yang pertama melanjutkan keputusan mereka atas kedua suami istri, dan kegilaan tidak berpengaruh dalam membatalkan tahkim mereka. Yang berpengaruh hanyalah penundaan hingga keduanya sadar, agar diketahui keadaan mereka setelah sadar, apakah mereka tetap dalam perselisihan atau telah berhenti darinya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي: ” وَعَلَى السُّلْطَانِ إِنْ لَمْ يَرْضَيَا حَكَمَيْنِ أَنْ يَأْخُذَ لِكُلِّ واحدٍ مِنْهُمَا مِنْ صَاحِبِهِ مَا يَلْزَمُ وَيُؤَدِّبَ أَيَّهُمَا رَأَى أَدَبَهُ إِنِ امْتَنَعَ بقدر ما يجب عليه (وقال) في كتاب الطلاق من أحكام القرآن ولو قال قائلٌ نجبرهما على الحكمين كان مذهباً (قال المزني) رحمه الله هذا ظاهر الآية والقياس ما قال علي رضي الله عنه لأن الله تعالى جعل الطلاق للأزواج فلا يكون إلا لهم “.
Imam Syafi‘i berkata: “Dan wajib bagi penguasa, jika keduanya tidak ridha kepada dua hakam, untuk mengambil dari masing-masing mereka dari pasangannya apa yang menjadi kewajibannya, dan mendidik siapa pun dari mereka yang menurutnya perlu dididik jika menolak, sesuai kadar yang wajib atasnya. (Dan beliau berkata) dalam Kitab Thalaq dari Ahkam al-Qur’an: Jika ada yang berkata, ‘Kami memaksa mereka untuk menerima dua hakam’, maka itu adalah suatu mazhab. (Al-Muzani berkata) rahimahullah: Ini adalah zahir ayat dan qiyās sebagaimana yang dikatakan Ali radhiyallahu ‘anhu, karena Allah Ta‘ala menjadikan thalaq untuk para suami, maka itu tidak boleh kecuali oleh mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَصُورَتُهَا أَنْ يَمْتَنِعَ الزَّوْجَانِ مِنَ الرضى بِالْحَكَمَيْنِ مَعَ مُقَامِهِمَا عَلَى الشِّقَاقِ.
Al-Mawardi berkata: Bentuknya adalah jika kedua suami istri menolak untuk ridha kepada dua hakam, sementara mereka tetap dalam perselisihan.
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ التَّحْكِيمَ حَكَمٌ، لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ امْتِنَاعُ الزَّوْجَيْنِ وَأَمْضَى الْحَاكِمُ رَأْيَهُ عَنِ اخْتِيَارِ الْحَكَمَيْنِ.
Jika dikatakan: Sesungguhnya tahkim adalah hukum, maka penolakan kedua suami istri tidak berpengaruh padanya, dan hakim menjalankan pendapatnya berdasarkan pilihan dua hakam.
وَإِنْ قِيلَ: إِنَّهُ وَكَالَةٌ، لَمْ يَصِحَّ مَعَ امْتِنَاعِ الزَّوْجَيْنِ وَلَا يَجُوزُ إِجْبَارُهُمَا عَلَيْهِ لِأَنَّ الْوَكَالَةَ لَا تَصِحُّ مَعَ الْإِجْبَارِ، وَكَذَلِكَ لَوِ امْتَنَعَ أَحَدُهُمَا كَانَ كَامْتِنَاعِهِمَا، وَإِذَا لَمْ يَصِحَّ التحكيم على هذا القول إلا عن رضى الزَّوْجَيْنِ فَعَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يَنْظُرَ بَيْنَهُمَا وَيَسْتَوْفِيَ الْحَقَّ لِمَنْ وَجَبَ لَهُ عَلَى مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُوقِعُ بَيْنَهُمَا طَلَاقًا وَلَا خُلْعًا، لِأَنَّ الْحَاكِمَ مَنْدُوبٌ إِلَى اسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ فَإِنْ عَلِمَ مِنْ أَحَدِهِمَا عُدْوَانًا عَلَى صَاحِبِهِ مَنَعَهُ مِنْهُ فَإِنْ لَمْ يمتنع أدبه عليه.
Dan jika dikatakan: Itu adalah wakalah, maka tidak sah dengan penolakan kedua suami istri dan tidak boleh memaksa mereka atasnya, karena wakalah tidak sah dengan paksaan. Demikian pula jika salah satu dari mereka menolak, maka itu seperti penolakan keduanya. Dan jika tahkim tidak sah menurut pendapat ini kecuali dengan keridhaan kedua suami istri, maka hakim harus memutuskan perkara di antara mereka dan menunaikan hak kepada yang berhak atasnya dari yang berkewajiban, hanya saja ia tidak boleh menjatuhkan thalaq atau khulu‘ di antara mereka, karena hakim ditugaskan untuk menunaikan hak-hak dan menegakkan keadilan bagi yang teraniaya. Jika ia mengetahui salah satu dari mereka berbuat zalim terhadap pasangannya, ia mencegahnya dari itu. Jika tidak mau berhenti, maka ia mendidiknya.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَلَوِ اسْتَكْرَهَهَا عَلَى شيءٍ أَخَذَهُ مِنْهَا عَلَى أَنْ طَلَّقَهَا وَأَقَامَتْ عَلَى ذَلِكَ بَيِّنَةً رَدَّ مَا أَخَذَهُ وَلَزِمَهُ مَا طَلَّقَ وَكَانَتْ لَهُ الرَّجْعَةُ “.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia (suami) memaksanya (istri) atas sesuatu yang diambil darinya dengan syarat ia menceraikannya, dan ia (istri) mendatangkan bukti atas hal itu, maka apa yang diambil dikembalikan dan talak yang dijatuhkan tetap berlaku, dan ia (suami) berhak untuk merujuknya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مِنَ الْخُلْعِ، وَكَثِيرًا مَا يَخْتِمُ الْمُزَنِيُّ بِمَسْأَلَةٍ مِنَ الْكِتَابِ الَّذِي يَلِيهِ.
Al-Mawardi berkata: Ini adalah salah satu masalah dari khulu‘, dan sering kali Al-Muzani menutup suatu masalah dengan masalah dari kitab yang berikutnya.
وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَكْرَهَ زَوْجَتَهُ عَلَى الْخُلْعِ بِضَرْبٍ أَوْ حَبْسٍ أَوْ أَحَدِ أَنْوَاعِ الْإِكْرَاهِ حَتَّى بَذَلَتْ لَهُ مَالًا عَلَى طَلَاقِهَا فَالْخُلْعُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ عُقُودَ الْمُعَارَضَاتِ لَا تَصِحُّ مَعَ الْإِكْرَاهِ وَعَلَيْهِ رَدُّ الْمَالِ عَلَيْهَا وَطَلَاقُهُ وَاقِعٌ؛ لِأَنَّهُ أَوْقَعَهُ بِاخْتِيَارِهِ وَلَهُ الرَّجْعَةُ إِنْ كَانَ الطَّلَاقُ دُونَ الثَّلَاثِ، لِأَنَّ الْبَذْلَ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ، فَإِنِ ادَعَتْ عَلَيْهِ أَنَّهُ خَالَعَهَا مُكْرَهًا فَذَكَرَ أَنَّهُ خَالَعَهَا مُخْتَارَةً فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا؛ لِأَنَّهَا تُنْكِرُ اسْتِحْقَاقَ الْبَذْلِ وَهُوَ يَدَّعِيهِ وَطَلَاقُهُ قَدْ وَقَعَ بَائِنًا وَلَا رَجْعَةَ لَهُ مُقِرٌّ بِطَلَاقٍ لَا يَسْتَحِقُّ فِيهِ الرَّجْعَةَ وَالْفَرْقُ بَيْنَ هذه المسألة والتي تقدمها فِي الرَّجْعَةِ أَنَّهُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى مُقِرٌّ بِفَسَادِ الْخُلْعِ فَثَبَتَ لَهُ الرَّجْعَةُ، وَفِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مُقِرٌّ بِصِحَّةِ الْخُلْعِ فَلَمْ يَثْبُتْ لَهُ الرَّجْعَةُ فَلَوِ ادَّعَتْ عَلَيْهِ أَنَّهُ خَالَعَهَا مُكْرَهًا لَهَا فَأَنْكَرَهَا الْخُلْعَ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مُنْكِرٌ لِلطَّلَاقِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ، وَفِي الَّتِي تقدمها مقر بالطلاق فلزمه، وبالله التوفيق.
Contohnya adalah seorang laki-laki yang memaksa istrinya untuk melakukan khulu‘ dengan cara memukul, memenjarakan, atau salah satu bentuk pemaksaan lainnya, sehingga sang istri memberikan harta kepadanya sebagai imbalan atas talaknya. Maka khulu‘ tersebut batal, karena akad-akad mu‘āradah (pertukaran) tidak sah jika disertai pemaksaan, dan harta tersebut harus dikembalikan kepada istri, sedangkan talaknya tetap jatuh, karena ia menjatuhkan talak atas pilihannya sendiri. Ia berhak melakukan rujuk jika talaknya kurang dari tiga kali, karena pemberian harta itu tidak benar-benar terjadi untuknya. Jika istri mengklaim bahwa ia dicerai dengan khulu‘ secara paksa, sedangkan suaminya mengaku bahwa khulu‘ itu terjadi atas kehendak istri, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan istri dengan sumpahnya, karena ia mengingkari hak suami atas harta tersebut, sedangkan suami mengakuinya, dan talaknya telah jatuh secara bain (tidak bisa rujuk), sehingga suami tidak berhak rujuk, karena ia mengakui talak yang tidak berhak untuk rujuk. Perbedaan antara masalah ini dan masalah sebelumnya dalam hal rujuk adalah bahwa pada masalah pertama, suami mengakui rusaknya khulu‘ sehingga ia berhak rujuk, sedangkan pada masalah ini, suami mengakui sahnya khulu‘ sehingga ia tidak berhak rujuk. Jika istri mengklaim bahwa ia dicerai dengan khulu‘ secara paksa untuk dirinya, namun suami mengingkari adanya khulu‘, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan suami dengan sumpahnya, dan tidak jatuh talak atasnya, karena dalam masalah ini suami mengingkari adanya talak sehingga tidak wajib baginya, sedangkan dalam masalah sebelumnya ia mengakui adanya talak sehingga wajib baginya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.