Bab Larangan Membunuh
وَمَنْ يَجِبُ عليه القصاص ومن لا يجب
Dan siapa yang wajib qisas dan siapa yang tidak wajib.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ومن يقتل مؤمناً متعمداً فجزاؤه جهنم الْآيَةَ وَقَالَ تَعَالَى وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إلا بالحق وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٌ بَعْدَ إِيمَانٍ أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam…” (ayat). Dan Dia berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga alasan: kufur setelah beriman, zina setelah menikah, atau membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ الْأَصْلُ فِي ابْتِدَاءِ الْقَتْلِ وَتَحْرِيمِهِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ جَلَّ اسْمُهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ قِصَّةِ ابْنَيْ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ هَابِيلَ وَقَابِيلَ حَتَّى بَلَّغَ الْأُمَّةَ وَأَنْذَرَهَا فَقَالَ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ المائدة 27 يَعْنِي بِالصِّدْقِ وَيُرِيدُ بِابْنَيْ آدَمَ قَابِيلَ الْقَاتِلَ وَهَابِيلَ الْمَقْتُولَ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ المائدة 27 وَسَبَبُ قُرْبَانِهِمَا أَنَّ آدَمَ أَقَرَّ أَنْ يُزَوِّجَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ وَلَدِهِ بِتَوْأَمَةِ أَخِيهِ فَلَمَّا هَمَّ هَابِيلُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِتَوْأَمَةِ قَابِيلَ مَنَعَهُ مِنْهَا وَقَالَ أَنَا أَحَقُّ بِهَا مِنْكَ
Al-Mawardi berkata bahwa dasar dalam memulai pembunuhan dan pengharamannya adalah apa yang Allah, Maha Suci Nama-Nya, turunkan kepada Rasulullah SAW dari kisah dua putra Adam AS, Habil dan Qabil, hingga menyampaikan kepada umat dan memperingatkannya. Dia berfirman, “Dan bacakanlah kepada mereka kisah dua putra Adam dengan sebenarnya” (Al-Ma’idah: 27), yang berarti dengan kebenaran, dan yang dimaksud dengan dua putra Adam adalah Qabil si pembunuh dan Habil si terbunuh. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, diterima dari salah satu dari mereka dan tidak diterima dari yang lain (Al-Ma’idah: 27). Penyebab persembahan kurban mereka adalah bahwa Adam telah menetapkan untuk menikahkan setiap anaknya dengan saudara kembar dari saudaranya. Ketika Habil hendak menikahi saudara kembar Qabil, Qabil melarangnya dan berkata, “Aku lebih berhak atasnya daripadamu.”
وَفِي سَبَبِ هَذَا الْقَوْلِ مِنْهُ قَوْلَانِ
Dan mengenai sebab pernyataan ini darinya, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لِأَنَّ قَابِيلَ وَتَوْأَمَتَهُ كَانَا مِنْ وِلَادَةِ الْجَنَّةِ؛ وَهَابِيلَ وَتَوْأَمَتَهُ كَانَا مِنْ وِلَادَةِ الْأَرْضِ
Salah satunya karena Qabil dan saudara kembarnya berasal dari kelahiran surga; sedangkan Habil dan saudara kembarnya berasal dari kelahiran bumi.
وَالثَّانِي لِأَنَّ تَوْأَمَةَ قَابِيلَ كَانَتْ أَحْسَنَ مِنْ تَوْأَمَةِ هَابِيلَ فَاخْتَصَمَا إِلَى آدَمَ فَأَمَرَهُمَا أَنْ يُقَرِّبَا قُرْبَانًا وَكَانَ هَابِيلُ راعياً فقرب هابيل سَمِينَةً مِنْ خِيَارِ مَالِهِ وَكَانَ قَابِيلُ حَرَّاثًا فَقَرَّبَ حِزْمَةَ زَرْعٍ فَنَزَلَتْ نَارٌ مِنَ السَّمَاءِ فَرَفَعَتْ قُرْبَانَ هَابِيلَ وَتَرَكَتْ قُرْبَانَ قَابِيلَ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَامَةَ الْقَبُولِ فَازْدَادَ حَسَدُ قَابِيلَ لِهَابِيلَ فقال لأقتلنك قال إنما يتقبل الله من المتقين لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ المائدة 27 28 فَلَمْ يَمْنَعْ عَنْ نَفْسِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فِي الْمَنْعِ مِنْهَا وَهُوَ مَأْذُونٌ فِيهِ الْآنَ؛ وَفِي وُجُوبِهِ لِلْفُقَهَاءِ قَوْلَانِ فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ المائدة 30 فِيهِ تَأْوِيلَانِ
Dan yang kedua karena saudari kembar Qabil lebih cantik daripada saudari kembar Habil, maka mereka berselisih di hadapan Adam. Adam memerintahkan mereka untuk mempersembahkan kurban. Habil adalah seorang penggembala, maka ia mempersembahkan hewan gemuk dari ternaknya yang terbaik. Qabil adalah seorang petani, maka ia mempersembahkan seikat hasil panennya. Kemudian turunlah api dari langit yang mengangkat kurban Habil dan meninggalkan kurban Qabil. Itu adalah tanda penerimaan. Maka bertambah iri hati Qabil terhadap Habil, lalu ia berkata, “Aku akan membunuhmu.” Habil menjawab, “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. Jika engkau mengulurkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan mengulurkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Maidah 27-28). Habil tidak menahan diri karena ia tidak diizinkan untuk menahan diri, dan sekarang diizinkan; dan dalam kewajibannya, ada dua pendapat di kalangan fuqaha. Maka jiwa Qabil mendorongnya untuk membunuh saudaranya. (Al-Maidah 30) Dalam hal ini ada dua tafsiran.
أَحَدُهُمَا شَجَّعَتْ قَالَهُ مُجَاهِدٌ
Salah satunya didukung oleh perkataan Mujahid.
وَالثَّانِي زينت قاله قتادة
Yang kedua adalah perhiasan, demikian kata Qatadah.
فقتله فَقَتَلَهُ المائدة 30 قِيلَ بِحَجَرٍ شَرَخَ بِهِ رَأْسَهُ فأصبح من الْخَاسِرِينَ المائدة 30 لِأَنَّهُ خَسِرَ أَخَاهُ وَدِينَهُ فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ المائدة 31 لِأَنَّهُ تَرَكَ أَخَاهُ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ وَلَمْ يَدْفِنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرَ قَبْلَهُ مَقْتُولًا وَلَا مَيِّتًا وَفِي بَحْثِ الْغُرَابِ قَوْلَانِ
Maka ia membunuhnya. (Al-Maidah: 30) Dikatakan bahwa ia membunuhnya dengan batu yang memecahkan kepalanya, sehingga ia menjadi termasuk orang-orang yang merugi. (Al-Maidah: 30) Karena ia kehilangan saudaranya dan agamanya. Maka Allah mengutus seekor burung gagak yang menggali di tanah untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana cara menguburkan jenazah saudaranya. (Al-Maidah: 31) Karena ia meninggalkan saudaranya di atas permukaan tanah dan tidak menguburkannya; karena ia belum pernah melihat sebelumnya orang yang terbunuh atau mati. Mengenai penggalian burung gagak, ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا بَحَثَ الْأَرْضَ عَلَى مَا يَدْفِنُهُ فِيهَا لِقُوَّتِهِ فَتَنَبَّهَ بِذَلِكَ عَلَى دَفْنِ أَخِيهِ
Salah satu dari mereka mencari tanah untuk menguburkan saudaranya di dalamnya demi kekuatannya, maka dia menyadari hal itu untuk menguburkan saudaranya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ بَحَثَ عَلَى غُرَابٍ مَيِّتٍ حتى دفنه قال يا ويلتي أعجزت أن أكون مثل هذا الغرب فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي المائدة 31 فَدَفَنَهُ حِينَئِذٍ وَوَارَاهُ فأصبح من النادمين فِيهِ وَجْهَانِ
Dan yang kedua adalah bahwa ia mencari burung gagak mati hingga ia menguburkannya. Ia berkata, “Aduhai celakanya aku, apakah aku tidak mampu menjadi seperti burung gagak ini, lalu aku menutupi jenazah saudaraku?” (Al-Mā’idah: 31). Maka ia menguburkannya saat itu juga dan menutupinya, sehingga ia menjadi orang yang menyesal. Dalam hal ini ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا مِنَ النَّادِمِينَ عَلَى قَتْلِ أَخِيهِ
Salah satunya adalah dari orang-orang yang menyesal karena membunuh saudaranya.
وَالثَّانِي مِنَ النَّادِمِينَ عَلَى أَنْ تَرَكَ مُوَارَاةَ سَوْأَةِ أَخِيهِ ثُمَّ قَالَ تَعَالَى بَعْدَ مَا أَنْهَاهُ مِنْ حَالِ ابْنَيْ آدَمَ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا المائدة 32 أَنْ خَلَّصَهَا مِنْ قَتْلٍ وَهَلَكَةٍ وَسَمَّاهُ إِحْيَاءً لِمَا فِيهِ مِنْ بَقَاءِ الْحَيَاةِ وَإِنْ كَانَ اللَّهُ تَعَالَى هُوَ الْمُحْيِي وَفِي تَسْمِيَتِهِ بِقَتْلِ النَّاسِ جَمِيعًا وَإِحْيَاءِ النَّاسِ جَمِيعًا تَأْوِيلَانِ
Dan yang kedua dari orang-orang yang menyesal karena tidak menutupi aib saudaranya, kemudian Allah Ta’ala berfirman setelah menyelesaikan kisah kedua putra Adam: “Karena itu Kami tetapkan atas Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa memeliharanya, maka seakan-akan dia telah memelihara seluruh manusia.” (Al-Maidah: 32) yaitu menyelamatkannya dari pembunuhan dan kebinasaan, dan disebut sebagai “menghidupkan” karena di dalamnya terdapat keberlangsungan hidup, meskipun Allah Ta’ala adalah yang menghidupkan. Dalam penamaan “membunuh seluruh manusia” dan “menghidupkan seluruh manusia” terdapat dua penafsiran.
أَحَدُهُمَا فَكَأَنَّمَا قَتَلَ جَمِيعَ النَّاسِ عِنْدَ الْمَقْتُولِ وَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ عِنْدَ الْمُسْتَنْقَذِ وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ مَسْعُودٍ
Salah satu dari keduanya, seolah-olah telah membunuh seluruh manusia menurut yang terbunuh, dan seolah-olah telah menghidupkan manusia menurut yang diselamatkan. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud.
وَالثَّانِي أَنَّ عَلَى جَمِيعِ النَّاسِ دَمَ الْقَاتِلِ كَمَا لَوْ قَتَلَهُمْ جَمِيعًا وَعَلَيْهِمْ شُكْرَ الْمُحْيِي كَمَا لَوْ أَحْيَاهُمْ جَمِيعًا وَهَذَا أَصْلٌ فِي تَحْرِيمِ الْقَتْلِ
Dan yang kedua adalah bahwa darah pembunuh menjadi tanggungan semua orang, seolah-olah dia telah membunuh mereka semua, dan mereka harus bersyukur kepada yang menghidupkan, seolah-olah Dia telah menghidupkan mereka semua. Ini adalah dasar dalam pengharaman pembunuhan.
وَقَدْ رَوَى مَعْمَرٌ عَنِ الْحَسَنُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ ابْنَيْ آدَمَ ضُرِبَا مَثَلًا لِهَذِهِ الْأُمَّةِ فَخُذُوا مِنْ خَيْرِهِمَا وَدَعُوا شَرَّهُمَا
Dan telah meriwayatkan Ma‘mar dari al-Hasan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya dua putra Adam dijadikan perumpamaan bagi umat ini, maka ambillah dari yang terbaik di antara mereka dan tinggalkanlah yang terburuk di antara mereka.”
وَقَالَ وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا النساء 92 الْآيَةَ وَهَذَا أَغْلَظُ وَعِيدٍ يَجِبُ فِي أَغْلَظِ تَحْرِيمٍ حَتَّى قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِأَجْلِ مَا تَضَمَّنَتْهُ هَذِهِ الْآيَةُ مِنَ الوَعِيدِ إِنَّ تَوْبَةَ الْقَاتِلِ غَيْرُ مَقْبُولَةٍ وَتَعَلُّقًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ مَا نَازَلْتُ رَبِّي فِي شَيْءٍ كَمَا نَازَلْتُهُ فِي تَوْبَةِ قَاتِلِ الْعَمْدِ فَأَبَى عَلَيَّ وَذَهَبَ مَنْ سِوَاهُ إِلَى قَبُولِ تَوْبَتِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ الفرقان 68 إِلَى قَوْلِهِ إلا من تاب فَاسْتَثْنَاهُ مِنَ الوَعِيدِ فَدَلَّ عَلَى قَبُولِ تَوْبَتِهِ
Dan Dia berfirman, “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja…” (An-Nisa: 92). Ini adalah ancaman paling keras yang harus ada dalam larangan paling keras, hingga Ibnu Abbas berkata bahwa karena ancaman yang terkandung dalam ayat ini, taubat pembunuh tidak diterima. Hal ini terkait dengan riwayat dari Nabi ﷺ yang bersabda, “Aku tidak pernah memohon kepada Tuhanku dalam sesuatu seperti aku memohon kepada-Nya dalam taubat pembunuh dengan sengaja, namun Dia menolak permohonanku.” Selain itu, ada yang berpendapat bahwa taubatnya diterima berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain bersama Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak…” (Al-Furqan: 68) hingga firman-Nya, “kecuali orang yang bertaubat,” sehingga dikecualikan dari ancaman tersebut, menunjukkan bahwa taubatnya diterima.
فَإِنْ قِيلَ هَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ قَبْلَ الْآيَةِ الْأُولَى بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تَنْسَخَ ما بعدها
Jika dikatakan ayat ini turun enam bulan sebelum ayat pertama, maka tidak mungkin ayat ini menghapus hukum yang datang setelahnya.
قِيلَ لَيْسَ فِيهَا نَسْخٌ وَإِنَّمَا فِيهَا إِثْبَاتُ شَرْطٍ وَالشَّرْطُ مَعْمُولٌ عَلَيْهِ تَقَدَّمَ أَوْ تَأَخَّرَ فأما الخبر المحمول عَلَى الْمُبَالَغَةِ فِي الزَّجْرِ لِئَلَّا يُسَارِعَ النَّاسُ على الْقَتْلِ تَعْوِيلًا عَلَى التَّوْبَةِ مِنْهُ وَفِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحٌ مَا يَقْتَضِي حَمْلَهُ عَلَى هَذَا مَعَ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ الشورى 25 وَقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَنْزَعِ التَّوْبَةَ عَنْ أُمَّتِي إِلَّا عِنْدَ الْحَشْرَجَةِ يَعْنِي وَقْتَ الْمُعَايَنَةِ
Dikatakan bahwa tidak ada nasakh di dalamnya, melainkan penetapan syarat, dan syarat tersebut berlaku baik sebelumnya maupun sesudahnya. Adapun berita yang dibawa dengan maksud berlebihan dalam larangan agar orang-orang tidak tergesa-gesa dalam membunuh dengan mengandalkan taubat darinya, dan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa pintu taubat terbuka, menunjukkan hal ini, bersama dengan firman Allah Ta’ala: “Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan” (Asy-Syura: 25), serta sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mencabut taubat dari umatku kecuali saat sakaratul maut,” yaitu saat menghadapi kematian.
وَأَمَّا تَحْرِيمُ الْقَتْلِ بِالسُّنَّةِ فَرَوَى أَبُو أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ عَنْ عُثْمَانَ وَرَوَى مَسْرُوقٌ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَرَوَى عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَرَوَى عُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ عَنْ عَائِشَةَ كُلُّهُمْ يَتَّفِقُونَ مَعَ اخْتِلَافِ الْأَلْفَاظِ عَلَى مَعْنًى وَاحِدٍ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِأحَدَ ثَلَاثٍ كُفْرٌ بَعْدَ إِيمَانٍ أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ
Adapun pengharaman pembunuhan berdasarkan sunnah, Abu Umamah bin Sahl meriwayatkan dari Utsman, Masruq meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan Ubaid bin Umair meriwayatkan dari Aisyah. Semuanya sepakat meskipun dengan perbedaan lafaz pada satu makna bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak halal darah seorang Muslim kecuali dengan salah satu dari tiga hal: kekufuran setelah beriman, zina setelah menikah, atau membunuh jiwa tanpa hak.”
وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ وَأَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مر بقتيل فقال من لهذا قلم يُذْكَرْ لَهُ أَحَدٌ فَغَضِبَ ثُمَّ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ تَمَالَأَ عَلَيْهِ أَهْلُ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَأَكَبَّهُمُ اللَّهُ فِي النَّارِ
Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ melewati seseorang yang terbunuh, lalu beliau bertanya, “Siapa yang bertanggung jawab atas ini?” Tidak ada yang menyebutkan siapa pun, maka beliau marah dan berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika penduduk langit dan bumi bersekongkol atasnya, Allah pasti akan melemparkan mereka ke dalam neraka.”
وَرَوَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ زَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seorang mukmin.”
وَرَوَى ابْنُ مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَيُّ الْكَبَائِرِ أَعْظَمُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيْ قَالَ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ مَخَافَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيْ قَالَ أَنْ تَزْنِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Dosa besar apa yang paling besar?” Beliau menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia yang menciptakanmu.” Aku bertanya, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu.” Aku bertanya, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ مَنْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ لَقِيَ اللَّهَ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa membantu dalam pembunuhan seorang Muslim meskipun dengan setengah kata, maka ia akan bertemu Allah dengan tertulis di antara kedua matanya: ‘Putus asa dari rahmat Allah.'”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ أَلَا إِنَّ دماءكم وأموالكم وأعراضكم حراماً عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا اللَّهُمَّ اشْهَدْ
Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda dalam Haji Wada’: “Ketahuilah bahwa darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini. Ya Allah, saksikanlah.”
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ تَحْرِيمُ الْقَتْلِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مَعَ انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ وَشَوَاهِدِ الْعُقُولِ فَالْقِصَاصُ فِيهِ وَاجِبٌ لِقَوْلِ الله تعالى يأيها الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ من أخيه شيء فاتباع بمعروف وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ البقرة 178 يَعْنِي أَنَّ الْعَفْوَ عَنِ الْقَوَدِ يُوجِبُ اسْتِحْقَاقَ الدِّيَةِ يُطَالِبُ بِهَا الْوَلِيُّ بِمَعْرُوفٍ وَيُؤَدِّيهَا الْقَاتِلُ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ يَعْنِي التَّخْيِيرُ بَيْنَ الْقِصَاصِ وَالدِّيَةِ تَخْفِيفٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ؛ لِأَنَّ قَوْمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ أَوْجَبَ عَلَيْهِمُ الْقِصَاصَ دُونَ الدِّيَةِ وَقَوْمَ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ أَوْجَبَ عَلَيْهِمِ الدِّيَةَ دُونَ الْقِصَاصِ وَخُيِّرَتْ هَذِهِ الْأُمَّةُ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ فَكَانَ تَخْفِيفًا من الله تعالى ورحمة وقال وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ البقرة 179 لِأَنَّ الْقِصَاصَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي اسْتِيفَائِهِ حَيَاةٌ فَوُجُوبُهُ سَبَبٌ لِلْحَيَاةِ لِأَنَّ الْقَاتِلَ إِذَا عَلِمَ بِوُجُوبِ الْقِصَاصِ عَلَيْهِ كَفَّ عَنِ الْقَتْلِ وَلَمْ يُقْتَصَّ مِنْهُ فَصَارَ حَيَاةً لَهُمَا وَهَذَا مِنْ أَوْجَهِ كَلَامٍ وَأَوْضَحِ مَعْنًى
Jika telah ditetapkan haramnya pembunuhan berdasarkan kitab dan sunnah dengan adanya ijmā‘ dan bukti-bukti akal, maka qishāsh wajib dilakukan, sesuai firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishāsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan perempuan. Maka barang siapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah: 178). Artinya, pemaafan dari qishāsh mewajibkan hak atas diyat yang dituntut oleh wali dengan cara yang baik dan dibayarkan oleh pembunuh kepadanya dengan cara yang baik. Itu adalah keringanan dari Tuhanmu dan rahmat. Artinya, pilihan antara qishāsh dan diyat adalah keringanan dari Allah Ta’ala bagi umat ini; karena kaum Musa ‘alaihis salam diwajibkan atas mereka qishāsh tanpa diyat, dan kaum Isa ‘alaihis salam diwajibkan atas mereka diyat tanpa qishāsh, sedangkan umat ini diberi pilihan antara keduanya, sehingga menjadi keringanan dari Allah Ta’ala dan rahmat. Dan Dia berfirman: “Dan dalam qishāsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu.” (Al-Baqarah: 179). Karena qishāsh, meskipun dalam pelaksanaannya tidak ada kehidupan, kewajibannya menjadi sebab kehidupan, karena pembunuh jika mengetahui kewajiban qishāsh atasnya, ia akan menahan diri dari membunuh dan tidak dilakukan qishāsh terhadapnya, sehingga menjadi kehidupan bagi keduanya. Ini adalah perkataan yang paling tepat dan makna yang paling jelas.
وَقِيلَ إِنَّهُ فِي التَّوْرَاةِ يا بني إسرائيل لاتقتلوا تُقْتَلُوا وَبَيْنَ الْمَعْنَيَيْنِ فَرْقٌ إِذَا سُبِرَ وَتَعَاطَتِ الْعَرَبُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالُوا الْقَتْلُ أَنْفَى لِلْقَتْلِ وَكَانَ لَفْظُ الْقِرَآنُ أَفْصَحَ وَمَعْنَاهُ أَوْضَحَ وَكَلَامُهُ أوجز وقال وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا الإسراء 33 فِيهِ تَأْوِيلَانِ
Dikatakan bahwa dalam Taurat tertulis, “Wahai Bani Israil, janganlah kalian membunuh agar kalian tidak dibunuh.” Antara kedua makna tersebut terdapat perbedaan jika diteliti, dan orang Arab juga mengungkapkan hal serupa dengan mengatakan, “Pembunuhan menghilangkan pembunuhan.” Namun, lafaz Al-Qur’an lebih fasih, maknanya lebih jelas, dan bahasanya lebih ringkas. Allah berfirman, “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya.” (Al-Isra: 33) Ayat ini memiliki dua tafsiran.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ الْقِصَاصُ وَهُوَ قَوْلُ قَتَادَةَ
Salah satunya adalah bahwa itu adalah qishāṣ, dan ini adalah pendapat Qatādah.
وَالثَّانِي أَنَّهُ الْخِيَارُ بَيْنَ الْقِصَاصِ وَالدِّيَةِ أَوِ الْعَفْوِ عَنْهُمَا وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عباس فلا يسرف في القتل فِيهِ تَأْوِيلَانِ
Pilihan kedua adalah antara qishāsh dan diyat atau memaafkan keduanya, dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas. Maka jangan berlebihan dalam pembunuhan, terdapat dua tafsiran mengenai hal ini.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْتُلَ غَيْرَ قَاتِلِهِ وَهُوَ قَوْلُ طَلْقِ بْنِ حَبِيبٍ وَالثَّانِي يُمَثِّلُ بِهِ إِذَا اقْتَصَّ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ
Salah satunya adalah membunuh orang yang bukan pembunuhnya, ini adalah pendapat Thalq bin Habib. Yang kedua adalah melakukan mutilasi ketika melakukan qishash, ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
وَتَأَوَّلَهُ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَدَاوُدُ تَأْوِيلًا ثَالِثًا أَنْ يَقْتُلَ الْجَمَاعَةَ بِالْوَاحِدِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا فِيهِ تَأْوِيلَانِ
Sa‘īd bin Jubair dan Dawud menafsirkan dengan tafsiran ketiga bahwa boleh membunuh sekelompok orang karena satu orang. Dalam hal ini, terdapat dua tafsiran yang didukung.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْوَلِيَّ كَانَ مَنْصُورًا بِتَمْكِينِهِ مِنَ القِصَاصِ وَهُوَ قَوْلُ قَتَادَةَ
Salah satunya adalah bahwa wali diberi dukungan dengan diberikannya kemampuan untuk melakukan qishash, dan ini adalah pendapat Qatadah.
وَالثَّانِي أَنَّ الْمَقْتُولَ كَانَ مَنْصُورًا بِقَتْلِ قَاتِلِهِ وَهُوَ قول مجاهد وقال وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بالعين إِلَى قَوْلِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ المائدة 45 لَهُ فِيهِ تَأْوِيلَانِ
Kedua, bahwa orang yang dibunuh mendapatkan kemenangan dengan dibunuhnya pembunuhnya, dan ini adalah pendapat Mujahid. Dan Kami telah menetapkan atas mereka di dalamnya bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, dan mata dengan mata hingga firman-Nya, maka itu adalah penebusan (al-Mā’idah 45). Ada dua penafsiran mengenai hal ini.
أَحَدُهُمَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ لِلْمَجْرُوحِ وَهُوَ قَوْلُ الشَّعْبِيِّ
Salah satunya adalah sebagai kafarat baginya untuk orang yang terluka, dan ini adalah pendapat al-Sya‘bi.
وَالثَّانِي فَهُوَ كَفَّارَةٌ لِلْجَارِحِ؛ لِأَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَ أَخْذِ الْحَقِّ مِنْهُ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ
Yang kedua adalah sebagai penebus bagi pelaku pelanggaran; karena ia berfungsi sebagai pengganti pengambilan hak darinya, dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
فَإِنْ قِيلَ فَهَذَا إِخْبَارٌ عَنْ شَرِيعَةِ مَنْ قَبْلَنَا وَهِيَ غَيْرُ لَازِمَةٍ لَنَا
Jika dikatakan bahwa ini adalah pemberitahuan tentang syariat umat sebelum kita, dan itu tidak wajib bagi kita.
قِيلَ فِي لُزُومِهَا لَنَا وَجْهَانِ
Dikatakan bahwa ada dua sudut pandang mengenai kewajibannya bagi kita.
أَحَدُهُمَا يَلْزَمُنَا مَا لَمْ يَرِدْ نَسْخٌ
Salah satunya mengikat kita selama tidak ada naskh (pembatalan).
وَالثَّانِي لَا يَلْزَمُنَا إِلَّا أَنْ يَقُومَ دَلِيلٌ وَقَدْ قَامَ الدَّلِيلُ بِوُجُوبِ ذَلِكَ عَلَيْنَا مِنْ وَجْهَيْنِ
Dan yang kedua, tidak wajib bagi kita kecuali jika ada dalil, dan telah ada dalil yang mewajibkan hal itu atas kita dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَدْ قَرَأَ أَبُو عَمْرٍو وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ المائدة 45 بِالرَّفْعِ وَهَذَا خَارِجٌ عَنِ الْخَبَرِ إِلَى الْأَمْرِ
Salah satunya adalah bahwa Abu Amr telah membaca “wal-jurūḥu qiṣāṣun” (Al-Maidah 45) dengan rafa‘, dan ini keluar dari berita menjadi perintah.
وَالثَّانِي مَا رَوَى حُمَيْدٌ عن أنس قال كسرت الربيع بنت مسعود وَهِيَ عَمَّةُ أَنَسٍ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَطَلَبَ الْقَوْمُ الْقِصَاصَ فَأَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَمَرَ بِالْقِصَاصِ فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ عَمُّ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ لَا وَاللَّهِ لَا تُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
Dan yang kedua adalah riwayat dari Humayd dari Anas yang berkata bahwa Rabi’ binti Mas’ud, yang merupakan bibi Anas, mematahkan gigi seri seorang gadis dari kalangan Anshar. Kaum tersebut menuntut qishash, lalu mereka mendatangi Nabi ﷺ, dan beliau memerintahkan qishash. Anas bin An-Nadhr, paman Anas bin Malik, berkata, “Tidak, demi Allah, gigi serinya tidak akan dipatahkan, wahai Rasulullah.”
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ فَرَضِيَ وَقَبِلُوا الْأَرْشَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّ قَسَمَهُ ذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيحِ
Rasulullah ﷺ bersabda, “Kitab Allah menetapkan qishash.” Mereka pun setuju dan menerima diyat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang jika bersumpah atas nama Allah, Allah akan memenuhinya.” Hal ini disebutkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya.
فَمَوْضِعُ الدَّلِيلِ مِنْ أَنَّهُ أَخْبَرَ بِأَنَّ كِتَابَ اللَّهِ مُوجِبٌ لِلْقِصَاصِ فِي السِّنِّ وَلَمْ يَذْكُرْهُ إِلَّا فِي هَذِهِ الْآيَةِ فَدَلَّ عَلَى لُزُومِهَا لَنَا وَيَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الْقِصَاصِ مِنَ السُّنَّةِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ثَمَّ أَنْتُمْ يَا خُزَاعَةُ قَدْ قَتَلْتُمْ هَذَا الْقَتِيلَ مِنْ هُذَيْلٍ وَأَنَا وَاللَّهِ عَاقِلُهُ فَمَنْ قَتَلَ قَتِيلًا فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ
Maka, tempat dalil dari bahwa ia mengabarkan bahwa Kitab Allah mewajibkan qishash pada gigi dan tidak menyebutkannya kecuali dalam ayat ini, menunjukkan kewajibannya bagi kita. Dan yang menunjukkan kewajiban qishash dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Kemudian kalian, wahai Khuza’ah, telah membunuh orang ini dari Hudzail, dan aku, demi Allah, adalah penanggungnya. Maka barang siapa membunuh seseorang, keluarganya memiliki dua pilihan: jika mereka mau, mereka membunuh, dan jika mereka mau, mereka mengambil diyat.”
وروي عن البني أَنَّهُ قَالَ مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا فَهُوَ بِهِ بِسَوَاءٍ يَعْنِي سَوَاءً فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْقِصَاصِ وهو معتبر بالتكافئ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ تَعَلَّقَ بِالْقَتْلِ حَقَّانِ
Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Barang siapa membunuh seseorang, maka ia setara dengannya,” yang berarti setara. Jika kewajiban qishāṣ telah ditetapkan, yang dipertimbangkan dengan kesetaraan sebagaimana akan kami sebutkan, maka terkait dengan pembunuhan ada dua hak.
أَحَدُهُمَا لِلَّهِ
Salah satunya untuk Allah.
وَالثَّانِي لِلْمَقْتُولِ
Dan yang kedua untuk orang yang terbunuh.
فَأَمَّا حَقُّ اللَّهِ فَشَيْئَانِ الكفارة والمأثم
Adapun hak Allah adalah dua hal: kifarat dan dosa.
فَأَمَّا الْكَفَّارَةُ فَلَا تَسْقُطُ بِالتَّوْبَةِ وَأَمَّا الْمَأْثَمُ فَيَسْقُطُ بِالتَّوْبَةِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ
Adapun kafarat, tidak gugur dengan taubat, sedangkan dosa gugur dengan taubat sebagaimana yang telah kami jelaskan.
وَالتَّوْبَةُ مُعْتَبَرَةٌ بثلاثة شروط
Tobat dianggap sah dengan tiga syarat.
أحدها النَّدَمُ عَلَى قَتْلِهِ وَتَرْكُ الْعَزْمِ عَلَى مِثْلِهِ وَتَسْلِيمُ نَفْسِهِ إِلَى وَلِيِّ الْمَقْتُولِ؛ لِيَقْتَصَّ مِنْهُ أَوْ يَعْفُوَ عَنْهُ
Salah satunya adalah penyesalan atas pembunuhan, meninggalkan tekad untuk melakukan hal serupa, dan menyerahkan diri kepada wali dari yang terbunuh agar ia dapat menuntut qishash darinya atau memaafkannya.
وَأَمَّا حَقُّ الْمَقْتُولِ فَأَحَدُ أَمْرَيْنِ يَرْجِعُ فِيهَا إِلَى خِيَارِ وَلِيِّهِ فِي الْقِصَاصِ أَوِ الدِّيَةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ
Adapun hak orang yang terbunuh, maka ada dua hal yang kembali kepada pilihan wali dalam hal qishash atau diyat, dan tidak boleh menggabungkan kedua hal tersebut.
وَرُوِيَ أَنْ مِقْيَسَ بْنَ صُبَابَةَ آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يُطَالِبُهِ بِدَمِ أَخِيهِ وَقَدْ قَتَلَهُ بَعْضُ الْأَنْصَارِ فَحَكَمَ لَهُ بِالدِّيَةِ فَأَخَذَهَا ثُمَّ عَدَا عَلَى قاتل أخيه وعاد إلى مكة مرتداً
Diriwayatkan bahwa Miqyas bin Subabah mendatangi Rasulullah ﷺ menuntut darah saudaranya yang telah dibunuh oleh salah seorang Anshar. Beliau memutuskan untuk memberikan diyat kepadanya, lalu dia menerimanya. Kemudian dia menyerang pembunuh saudaranya dan kembali ke Mekah dalam keadaan murtad.
وأنشأ يَقُولُ
Dan ia mulai berkata.
شَفَى النَفْسَ أَنْ قَدْ بَاتَ بِالْقَاعِ مُسْنِدًا تُضَرِّجُ ثَوْبَيْهِ دِمَاءُ الْأَخَادِعِ
Menyembuhkan jiwa bahwa dia telah berbaring di tanah, bersandar, dengan kedua pakaiannya berlumuran darah dari urat leher.
ثَأَرْثُ بِهِ قَهْرًا وَحَمَّلْتُ عَقْلَهُ سَرَاةَ بَنِي النَّجَّارِ أَرْبَابَ فَارِعِ
Aku membalas dendam dengan paksa dan menyerahkan akalnya kepada para pemimpin Bani Najjar, para penguasa yang mulia.
حَلَلْتُ بِهِ وِتْرِي وَأَدْرَكْتُ ثُؤْرَتِي وَكُنْتُ عَنِ الْإِسْلَامِ أَوَّلَ رَاجِعِ
Aku telah menyelesaikan urusanku dengannya, mencapai tujuanku, dan menjadi orang pertama yang kembali kepada Islam.
فَقَتَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِمَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ صَبْرًا
Rasulullah ﷺ membunuhnya di Mekah pada tahun penaklukan dengan cara sabar.
وَهُوَ أَحَدُ السِّتَّةِ الَّذِينَ أَمَرَ بِقَتْلِهِمْ وَإِنْ تَعَلَّقُوا بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ
Dan dia adalah salah satu dari enam orang yang diperintahkan untuk dibunuh meskipun mereka berlindung di tirai Ka’bah.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى وَإِذَا تَكَافَأَ الدَّمَانِ مِنَ الأَحْرَارِ الْمُسْلِمِينَ أَوِ الْعَبِيدِ الْمُسْلِمِينَ أَوِ الْأَحْرَارِ مِنَ المُعَاهَدِينَ أَوِ الْعَبِيدِ مِنْهُمْ قُتِلَ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ مُكَافِئُ دَمِهِ مِنْهُمُ الذَّكَرُ قُتِلَ بِالذَّكَرِ وَبِالْأُنْثَى وَالْأُنْثَى إِذَا قَتَلَتْ بِالْأُنْثَى وَبِالذَّكَرِ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْمُكَافَأَةُ مُعْتَبَرَةٌ فِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ عَلَى تَفْصِيلِ أَقْسَامِهَا وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ مُكَافَأَةٌ فِي الْأَجْنَاسِ وَمُكَافَأَةٌ فِي الْأَنْسَابِ وَمُكَافَأَةٌ فِي الْأَحْكَامِ
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila darah dari orang-orang merdeka Muslim atau budak Muslim atau orang merdeka dari mu’ahadīn atau budak dari mereka setara, maka dari setiap golongan, yang setara darahnya dibunuh. Laki-laki dibunuh dengan laki-laki dan dengan perempuan, dan perempuan jika membunuh, dibunuh dengan perempuan dan dengan laki-laki.” Al-Mawardi berkata, “Kesetaraan dipertimbangkan dalam kewajiban qishāṣ sesuai dengan rincian bagiannya, dan ini terbagi menjadi tiga bagian: kesetaraan dalam jenis, kesetaraan dalam nasab, dan kesetaraan dalam hukum.”
فَأَمَّا مُكَافَأَةُ الْأَجْنَاسِ فَهُوَ الذُّكُورُ بِالذُّكُورِ وَالْإِنَاثُ بِالْإِنَاثِ؛ فَهُوَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ بِأَسْرِهِمْ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَيَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ الذَّكَرُ بِالذَّكَرِ وَبِالْأُنْثَى وَتُقْتَلَ الْأُنْثَى بِالْأُنْثَى وَبِالذَّكَرِ
Adapun kesetaraan jenis kelamin adalah laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan; hal ini tidak dianggap oleh para fuqaha secara keseluruhan dan merupakan pendapat mayoritas sahabat dan tabi’in. Maka diperbolehkan membunuh laki-laki dengan laki-laki dan dengan perempuan, dan perempuan dengan perempuan dan dengan laki-laki.
وَحَكَى الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ لَا يُقْتَلُ الذَّكَرُ بِالْأُنْثَى إِلَّا أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهَا نِصْفُ الدِّيَةِ ثُمَّ يُقْتَلُ بِهَا
Al-Hasan al-Bashri meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, semoga damai atasnya, bahwa ia berkata, “Seorang laki-laki tidak dibunuh karena membunuh perempuan kecuali diambil darinya setengah diyat, kemudian ia dibunuh karenanya.”
وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى البقرة 178 فَلَمَّا لَمْ يَتَكَافَأِ الْأَحْرَارُ وَالْعَبِيدُ لَمْ يَتَكَافَأِ الذُّكُورُ وَالْإِنَاثُ وَلِأَنَّ تَفَاضُلَ الدِّيَاتِ تَمْنَعُ مِنَ التَّمَاثُلِ فِي الْقِصَاصِ كَمَا يَمْنَعُ تَفَاضُلَ الْقِيَمِ فِي الْمُتْلَفَاتِ مِنَ التَّسَاوِي فِي الْغُرْمِ
Dan demikian pula yang dikatakan oleh ‘Aṭā’, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Diwajibkan atas kamu qishāṣ dalam kasus pembunuhan: orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan perempuan dengan perempuan.” (Al-Baqarah 178). Maka ketika orang merdeka dan budak tidak setara, demikian pula laki-laki dan perempuan tidak setara. Dan karena perbedaan diyat menghalangi kesetaraan dalam qishāṣ, sebagaimana perbedaan nilai dalam kerugian menghalangi kesetaraan dalam ganti rugi.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أن النفس بالنفس فَعَمَّ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ
Dalil kami adalah firman Allah Ta’ala: “Dan Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya bahwa jiwa dibalas dengan jiwa” (Al-Maidah: 45), maka ini bersifat umum tanpa pengecualian.
وَرَوَى أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَتَبَ كِتَابًا إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ فِيهِ الْفَرَائِضُ وَالسُّنَنُ وَأَنْفَذَهُ مَعَ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَكَانَ فِيهِ يُقْتَلُ الذَّكَرُ بِالْأُنْثَى وَهَذَا نَصٌّ
Diriwayatkan oleh Abu Bakar Muhammad bin Amru bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi ﷺ menulis sebuah surat kepada penduduk Yaman yang berisi tentang kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnah, dan mengutusnya bersama Amru bin Hazm. Di dalamnya disebutkan bahwa laki-laki dibunuh karena perempuan, dan ini adalah nash.
وَرَوَى قَتَادَةُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ يَهُودِيًّا مَرَّ بِجَارِيَةٍ عَلَيْهَا حُلِيٌّ لَهَا فَأَخَذَ حُلِيَّهَا وَأَلْقَاهَا فِي بِئْرٍ فَأُخْرِجَتْ وَبِهَا رَمَقٌ فَقِيلَ مَنْ قَتَلَكِ قَالَتْ فُلَانٌ الْيَهُودِيُّ فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَاعْتَرَفَ فَأَمَرَ بِهِ فَقُتِلَ
Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas bin Malik bahwa seorang Yahudi melewati seorang budak perempuan yang mengenakan perhiasan, lalu dia mengambil perhiasannya dan melemparkannya ke dalam sumur. Budak perempuan itu dikeluarkan dari sumur dalam keadaan sekarat. Ketika ditanya siapa yang membunuhnya, dia menjawab, “Si Fulan, orang Yahudi itu.” Maka orang itu dibawa kepada Rasulullah ﷺ dan dia mengakui perbuatannya, lalu Rasulullah memerintahkan agar dia dihukum mati.
وَلِأَنَّ الْأَحْكَامَ ضَرْبَانِ ضَرْبٌ تَعَلَّقَ بِحُرْمَةٍ كَالْحُدُودِ فَيَسْتَوِي فِيهِ الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَضَرْبٌ تَعَلَّقَ بِالْمَالِ كَالْمِيرَاثِ؛ فَتَكُونُ الْمَرْأَةُ فِيهِ عَلَى النِّصْفِ مِنَ الرَّجُلِ وَالْقَوَدُ مُتَعَلِّقٌ بِالْحُرْمَةِ فَاسْتَوَتْ فِيهِ الْمَرْأَةُ وَالرَّجُلُ
Karena hukum itu ada dua jenis: satu jenis berkaitan dengan kehormatan seperti hudud, di mana laki-laki dan perempuan sama, dan satu jenis berkaitan dengan harta seperti warisan; maka perempuan mendapatkan setengah dari laki-laki. Qisas berkaitan dengan kehormatan, sehingga perempuan dan laki-laki sama di dalamnya.
وَالدِّيَةُ مُتَعَلِّقَةٌ بِالْمَالِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ فِيهِ عَلَى النِّصْفِ مِنَ الرَّجُلِ
Diyat terkait dengan harta, sehingga perempuan dalam hal ini mendapatkan setengah dari laki-laki.
وَلِأَنَّ الْقِصَاصَ إِنْ وَجَبَ فَبَذْلُ الْمَالِ مَعَهُ لَا يَجِبُ وَإِنْ لَمْ يَجِبِ الْقِصَاصُ فَبَذْلُ الْمَالِ لَا يَجِبُ
Karena jika qishāṣ diwajibkan, maka pembayaran harta bersamanya tidak diwajibkan, dan jika qishāṣ tidak diwajibkan, maka pembayaran harta tidak diwajibkan.
فَأَمَّا قَوْلُهُ وَالأُنْثَى بالأنثى فَلَيْسَ يَمْنَعُ قَتْلُ الْأُنْثَى بِالْأُنْثَى مِنْ قَتْلِ الذَّكَرِ بِالْأُنْثَى؛ لِأَنَّ الْحُكْمَ الْمُعَلَّقَ بِعَيْنٍ لَا يَقْتَضِي نَفْيَهُ عَمَّا عَدَاهَا
Adapun ucapannya “dan perempuan dengan perempuan” tidak menghalangi pembunuhan perempuan dengan perempuan dari pembunuhan laki-laki dengan perempuan; karena hukum yang terkait dengan sesuatu tertentu tidak meniadakannya dari yang lain.
وَأَمَّا اخْتِلَافُ الدِّيَاتِ فَلَا يَمْنَعُ مِنَ التَّمَاثُلِ فِي الْقِصَاصِ كَتَفَاضُلِ الدِّيَاتِ بَيْنَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمَجُوسِ وَهُمْ مُتَسَاوُونَ فِي الْقِصَاصِ
Adapun perbedaan diyat tidak menghalangi kesetaraan dalam qishash, seperti perbedaan diyat antara Ahlul Kitab dan Majusi, padahal mereka setara dalam qishash.
فَصْلٌ
Bagian
وَأَمَّا التَّكَافُؤُ بِالْأَنْسَابِ فَغَيْرُ مُعْتَبَرٍ بِالْإِجْمَاعِ فَيُقْتَلُ الشَّرِيفُ بِالدَّنِيءِ وَالدَّنِيءُ بِالشَّرِيفِ وَالْعَرَبِيُّ بِالْعَجَمِيِّ وَالْعَجَمِيُّ بِالْعَرَبِيِّ
Adapun kesetaraan dalam nasab tidak dianggap menurut ijmā‘, sehingga seorang bangsawan dapat dibunuh karena orang biasa, dan orang biasa dapat dibunuh karena bangsawan, orang Arab dapat dibunuh karena orang non-Arab, dan orang non-Arab dapat dibunuh karena orang Arab.
رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ائْتُونِي بِأَعْمَالِكُمْ وَلَا تَأْتُونِي بِأَنْسَابِكُمْ
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ: “Darah kaum Muslimin setara.” Dan beliau ﷺ bersabda: “Datanglah kepadaku dengan amal-amal kalian, dan jangan datang kepadaku dengan nasab kalian.”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مَنْ لَهُ عَلَيَّ مَظْلَمَةٌ أَوْ لَهُ قِبَلِي حَقٌّ فَلْيَقُمْ لِيَأْخُذَ حَقَّهُ فَقَامَ لَهُ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ عُكَّاشَةُ فَقَالَ لِي عَلَيْكَ مَظْلَمَةٌ ضَرْبَتَين بِالسَّوْطِ عَلَى بَطْنِي يَوْمَ كَذَا فَكَشَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ بَطْنِهِ وَقَالَ قُمْ فَاقْتَصَّ فَبَكَى الرَّجُلُ وَقَالَ عَفَا اللَّهُ عَنْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda dalam Haji Wada’: “Barang siapa yang memiliki kezaliman terhadapku atau memiliki hak atas diriku, hendaklah ia berdiri untuk mengambil haknya.” Maka berdirilah seorang lelaki bernama ‘Ukasyah dan berkata, “Aku memiliki kezaliman atasmu, yaitu dua kali pukulan dengan cambuk di perutku pada hari ini.” Maka Rasulullah ﷺ membuka perutnya dan berkata, “Berdirilah dan balaslah.” Lalu lelaki itu menangis dan berkata, “Semoga Allah memaafkanmu, wahai Rasulullah.”
وروي عنه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِأَنَّ الشَّرِيفَ كَانَ إِذَا أَتَى الْحَدَّ لَمْ يُحَدَّ وَحُدَّ الدَّنِيءُ
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena ketika orang yang terpandang melakukan pelanggaran, dia tidak dihukum, sedangkan orang yang rendah dihukum.”
وَأَمَّا تَكَافُؤُ الْأَحْكَامِ فَكَالْأَحْرَارِ مَعَ الْعَبِيدِ وَالْمُسْلِمِينَ مَعَ الْمُعَاهِدِينَ فَهُوَ عِنْدَنَا مُعْتَبَرٌ وَإِنْ خُولِفْنَا فِيهِ وَسَنَذْكُرُهُ فِيمَا يَلِيهِ
Adapun kesetaraan hukum seperti antara orang merdeka dengan budak dan antara Muslim dengan mu‘āhid, maka menurut kami hal ini dianggap penting meskipun ada yang berbeda pendapat dengan kami, dan kami akan menyebutkannya pada bagian berikutnya.
وَأَصْلُ التَّكَافُؤِ فِي الْحُرِّيَّةِ عَلَى مَا سَيَأْتِي بيانه
Asal kesetaraan dalam kebebasan akan dijelaskan kemudian.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَلَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ
Imam Syafi’i berkata, “Seorang mukmin tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir,” berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang mukmin tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir.”
وَإِنَّهُ لَا خِلَافَ أَنَّهُ لَا يُقْتَلُ بِالْمُسْتَأْمَنِ وَهُوَ فِي التَّحْرِيمِ مثل المعاهد
Tidak ada perselisihan bahwa seseorang tidak dibunuh karena membunuh musta’min, dan dalam hal keharaman, musta’min sama dengan mu‘āhad.
قال المزني رحمه الله فإذا لم يقتل بأحد الكافرين المحرمين لم يقتل بالآخر
Dikatakan oleh al-Muzani rahimahullah, “Jika seseorang tidak dibunuh karena salah satu dari orang kafir yang dilindungi, maka ia juga tidak dibunuh karena yang lainnya.”
قال الشافعي رحمه الله قال قائل عنى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لا يقتل مؤمن بكافر حربي فهل من بيان في مثل هذا يثبت
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Seseorang mengatakan bahwa Nabi ﷺ bermaksud bahwa seorang mukmin tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir harbi. Apakah ada penjelasan dalam hal seperti ini yang dapat dibuktikan?
قلت نعم قول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لا يرث المؤمن الكافر ولا الكافر المؤمن فهل تزعم أنه أراد أهل الحرب لأن دماءهم وأموالهم حلال قال لا ولكنها على جميع الكافرين لأن اسم الكفر يلزمهم
Saya berkata, “Ya, sabda Nabi ﷺ: ‘Orang mukmin tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang mukmin.’ Apakah Anda mengklaim bahwa ini ditujukan kepada orang-orang yang memerangi karena darah dan harta mereka halal?” Dia menjawab, “Tidak, tetapi ini berlaku untuk semua orang kafir karena nama kekafiran melekat pada mereka.”
قلنا وكذلك لا يقتل مؤمن بكافر لأن اسم الكفر يلزمهم فما الفرق
Kami mengatakan demikian pula bahwa seorang mukmin tidak dibunuh karena seorang kafir, karena nama kekufuran melekat pada mereka, jadi apa bedanya?
قال قائل روينا حديث ابن البيلماني قلنا منقطع وخطأ إنما روي فيما بلغنا أن عمرو بن أمية قتل كافراً كان له عهد إلى مدة وكان المقتول رسولاً فقتله النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ به فلو كان ثابتاً كنت قد خالفته وكان منسوخاً لأنه قتل قبل الفتح بزمان وخطبة رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لا يقتل مؤمن بكافر عام الفتح وهو خطأ لأن عمرو بن أمية عَاشَ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دهراً وَأَنْتَ تَأْخُذُ الْعِلْمَ مِمَّنْ بَعُدَ لَيْسَ لَكَ به معرفة أصحابنا
Seorang berkata, “Kami meriwayatkan hadis Ibn al-Baylamani.” Kami katakan, “Itu terputus dan salah. Sesungguhnya yang diriwayatkan kepada kami adalah bahwa Amr bin Umayyah membunuh seorang kafir yang memiliki perjanjian hingga waktu tertentu, dan yang dibunuh adalah seorang utusan. Maka Nabi ﷺ membunuhnya karenanya. Jika itu benar, maka Anda telah menentangnya dan itu telah dihapuskan karena pembunuhan itu terjadi sebelum penaklukan dalam waktu yang lama, dan khutbah Rasulullah ﷺ ‘Seorang mukmin tidak dibunuh karena seorang kafir’ pada tahun penaklukan. Itu adalah kesalahan karena Amr bin Umayyah hidup setelah Nabi ﷺ dalam waktu yang lama, dan Anda mengambil ilmu dari orang yang jauh yang tidak Anda kenal dari sahabat kami.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا تَكَافُؤُ الْأَحْكَامِ بِالْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ فَمُعْتَبَرٌ عِنْدَنَا فَيُقْتَصُّ مِنَ الأَدْنَى بِالْأَعْلَى وَلَا يُقْتَصُّ مِنَ الأَعْلَى بِالْأَدْنَى وَهُوَ أَنْ يُقْتَلَ الْكَافِرُ بِالْمُسْلِمِ وَلَا يُقْتَلُ الْمُسْلِمُ بِالْكَافِرِ وَسَوَاءٌ كَانَ الْكَافِرُ ذِمِّيًّا أَوْ مُعَاهِدًا أَوْ حَرْبِيًّا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ
Al-Mawardi berkata, “Adapun kesetaraan hukum dalam hal kebebasan dan Islam dianggap penting menurut kami, sehingga dapat dilakukan qishash dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, tetapi tidak sebaliknya. Artinya, seorang kafir dapat dibunuh karena membunuh seorang Muslim, tetapi seorang Muslim tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir, baik kafir tersebut adalah dzimmi, mu’ahid, atau harbi. Pendapat ini juga dipegang oleh Malik, Ahmad, dan Ishaq.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يُقْتَلُ الْمُسْلِمُ بِالذِّمِّيِّ وَلَا يُقْتَلُ بِالْمُعَاهِدِ وَالْحَرْبِيِّ
Abu Hanifah berkata bahwa seorang Muslim dapat dihukum mati karena membunuh seorang dzimmi, tetapi tidak dihukum mati karena membunuh seorang mu‘āhid dan harbi.
وَقَالَ الشَّعْبِيُّ يُقْتَلُ الْمُسْلِمُ بِالْكِتَابِيِّ وَلَا يُقْتَلُ بِالْمَجُوسِيِّ
Dan al-Sya‘bi berkata, “Seorang Muslim dapat dihukum mati karena membunuh seorang ahli kitab, tetapi tidak dihukum mati karena membunuh seorang Majusi.”
وَاسْتَدَلُّوا بِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ المائدة 45 وَبِقَوْلِهِ وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ البقرة 179 وَرِوَايَةِ ابْنِ الْبَيْلَمَانِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَتَلَ مُسْلِمًا بِكَافِرٍ وَقَالَ أَنَا أَحَقُّ مَنْ وَفَّى بِذِمَّتِهِ
Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya bahwa jiwa dibalas dengan jiwa” (Al-Maidah: 45) dan firman-Nya, “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu” (Al-Baqarah: 179), serta riwayat Ibnu Al-Baylamani bahwa Nabi ﷺ membunuh seorang Muslim karena seorang kafir dan berkata, “Aku lebih berhak untuk memenuhi janjinya.”
وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ قَتَلَ مُشْرِكًا فَقَتَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ
Dan berdasarkan riwayat bahwa Amr bin Umayyah ad-Damri membunuh seorang musyrik, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuhnya.
وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ كَتَبَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَسْأَلُهُ عَنْ مُسْلِمٍ قَتَلَ نَصْرَانِيًّا فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ أَنْ يَقْتَادَ مِنْهُ
Diriwayatkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari menulis kepada Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu menanyakan tentang seorang Muslim yang membunuh seorang Nasrani, maka Umar menulis kepadanya agar melakukan qishash terhadapnya.
وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّ كُلَّ مَنْ قُتِلَ بِهِ الْكَافِرُ جَازَ أَنْ يُقْتَلَ بِالْكَافِرِ كَالْكَافِرِ
Dan dari qiyās, bahwa setiap orang yang dengannya seorang kafir dibunuh, maka boleh dibunuh dengan kafir seperti kafir.
وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ قُتِلَ بِأَهْلِ مِلَّتِهِ جَازَ أَنْ يُقْتَلَ بِغَيْرِ أَهْلِ مِلَّتِهِ كَقَتْلِ الْيَهُودِيِّ بِالنَّصْرَانِيِّ
Dan karena setiap orang yang dibunuh oleh orang dari agamanya sendiri boleh dibunuh oleh orang dari agama lain, seperti pembunuhan seorang Yahudi terhadap seorang Nasrani.
وَلِأَنَّ الْمُسْلِمَ قَدْ سَاوَى الذِّمِّيَّ فِي حَقْنِ دَمِهِمَا عَلَى التَّأْبِيدِ؛ فَوَجَبَ أَنْ يَجْرِيَ الْقِصَاصُ بَيْنَهُمَا كَالْمُسْلِمِينَ
Karena seorang Muslim setara dengan dzimmi dalam perlindungan darah mereka secara permanen; maka wajib diberlakukan qishash antara mereka seperti halnya di antara sesama Muslim.
وَلِأَنَّ حُرْمَةَ نَفْسِ الذِّمِّيِّ أَغْلَظُ مِنْ حُرْمَةِ مَالِهِ وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ يَدَ الْمُسْلِمِ تُقْطَعُ بِسَرِقَةِ مَالِهِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يُقْتَصَّ مِنْ يَدِهِ بِيَدِهِ وَلِأَنَّ كَافِرًا لَوْ قَتَلَ كَافِرًا ثُمَّ أَسْلَمَ الْقَاتِلُ لَمْ يَمْنَعْ إِسْلَامُهُ مِنَ الاسْتِيفَاءِ لِلْقَوَدِ كَذَلِكَ لَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْقَوَدِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ لِلْكَافِرِ قَتْلُ الْمُسْلِمِ دَفْعًا عَنْ نفسه كان قبله قَوَدًا بِنَفْسِهِ؛ لِأَنَّهُمَا فِي الْحَالَيْنِ قَتْلُ مُسْلِمٍ بِكَافِرٍ
Karena kehormatan jiwa dzimmi lebih besar daripada kehormatan hartanya, dan telah ditetapkan bahwa tangan seorang Muslim dipotong karena mencuri hartanya, maka lebih utama untuk menuntut balas dari tangannya dengan tangannya. Dan karena seorang kafir jika membunuh kafir lain kemudian si pembunuh masuk Islam, keislamannya tidak menghalangi pelaksanaan qishash, demikian pula tidak menghalangi kewajiban qishash. Dan karena ketika diperbolehkan bagi kafir membunuh Muslim untuk membela diri, maka sebelumnya ada qishash dengan dirinya; karena dalam kedua keadaan tersebut adalah pembunuhan seorang Muslim oleh seorang kafir.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُهُ لا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ الحشر 20 فَكَانَ نَفْيُ التَّسَاوِي بَيْنَهُمَا يَمْنَعُ مِنْ تَسَاوِي نُفُوسِهِمَا وَتَكَافُؤِ دِمَائِهِمَا فَإِنْ قِيلَ لَيْسَ يَجُوزُ أَنْ يُقْطَعَ عَلَى هَذَا الْمُسْلِمِ بِالْجَنَّةِ لِجَوَازِ كُفْرِهِ وَلَا عَلَى الْكَافِرِ بِالنَّارِ لِجَوَازِ إِسْلَامِهِ
Dalil kami adalah firman-Nya: “Tidaklah sama penghuni neraka dan penghuni surga” (Al-Hasyr: 20). Maka penafian kesetaraan antara keduanya mencegah kesetaraan jiwa mereka dan kesetaraan darah mereka. Jika dikatakan tidak boleh memastikan seorang Muslim masuk surga karena kemungkinan ia murtad, dan tidak pula memastikan seorang kafir masuk neraka karena kemungkinan ia masuk Islam.
قِيلَ الْحُكْمُ وَارِدٌ فِي عُمُومِ الْجِنْسَيْنِ دُونَ أَعْيَانِ الْأَشْخَاصِ وَقَدْ قَطَعَ لِأَهْلِ الْإِيمَانِ بِالْجَنَّةِ وَأَهْلِ الْكُفْرِ بِالنَّارِ وَقَالَ تَعَالَى وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا النساء 141 وَهَذَا وَإِنْ كَانَ بِلَفْظِ الْخَبَرِ فَالْمُرَادُ بِهِ النَّهْيُ؛ لِأَنَّ الْخَبَرَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِخِلَافِ مُخْبِرِهِ وَقَدْ نَرَى لِلْكَافِرِ سَبِيلًا عَلَى الْمُسْلِمِ بِالتَّسَلُّطِ وَالْيَدِ وَنَفْيُ السَّبِيلِ عَنْهُ يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْقِصَاصِ عَلَيْهِ
Dikatakan bahwa hukum berlaku untuk kedua jenis secara umum, bukan untuk individu tertentu. Telah dipastikan bahwa orang-orang beriman akan masuk surga dan orang-orang kafir akan masuk neraka. Allah Ta’ala berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman” (An-Nisa: 141). Meskipun ini dalam bentuk berita, yang dimaksud adalah larangan; karena berita tidak boleh bertentangan dengan kenyataannya. Kita dapat melihat bahwa orang kafir memiliki jalan untuk menguasai dan mengendalikan orang Muslim, dan meniadakan jalan tersebut mencegah kewajiban qishash terhadapnya.
فإن قيل وهو مَحْمُولٌ عَلَى أَنْ لَا سَبِيلَ لَهُ عَلَيْهِ فِي الْحُجَّةِ وَالْبُرْهَانِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Jika dikatakan bahwa ini ditafsirkan sebagai tidak ada jalan baginya dalam hujah dan burhan, maka ada dua jawaban untuk itu.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْعُمُومِ اعْتِبَارًا بِعُمُومِ اللَّفْظِ
Salah satunya adalah bahwa hal itu dianggap bersifat umum berdasarkan keumuman lafaz.
وَالثَّانِي أَنَّنَا نَعْلَمُ أَنَّهُ لَا سَبِيلَ لَهُ عَلَيْهِ بِالْحُجَّةِ الدَّالَّةِ بِهَذِهِ الْآيَةِ فَلَمْ يَجُزْ حَمْلُهَا عَلَى مَا هُوَ مَعْلُومٌ بِغَيْرِهَا
Yang kedua adalah bahwa kita mengetahui bahwa tidak ada jalan baginya dengan argumen yang menunjukkan melalui ayat ini, maka tidak boleh menafsirkannya pada apa yang sudah diketahui dengan selainnya.
وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنَ السُّنَّةِ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ فِي الْمَسْأَلَةِ مَا رَوَاهُ أَبُو هُرَيْرَةَ وَعِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ
Dan yang menunjukkan hal ini dari sunnah, yang menjadi rujukan dalam masalah ini, adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Imran bin Hushain bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Seorang mukmin tidak dibunuh karena seorang kafir.”
وَرَوَى مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ
Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Seorang mukmin tidak dibunuh karena seorang kafir, dan tidak pula orang yang memiliki perjanjian dalam masa perjanjiannya.”
وَرَوَى قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ قَيْسٍ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَالْأَشْتَرُ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَقُلْنَا لَهُ هَلْ عَهِدَ إِلَيْكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ شيئاً لم يعهده إلى الناس عامة فَقَالَ لَا إِلَّا مَا فِي هَذَا الْكِتَابِ وَأَخْرَجَ كِتَابًا مِنْ قِرَابِ سَيْفِهِ فَإِذَا فِيهِ المسلمون تتكافأ دماءهم وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أدناهم ألا لا يقتل مؤمن بكافرن ولا ذو عهد في عهده
Diriwayatkan oleh Qatadah dari al-Hasan dari Qais, ia berkata: Aku dan al-Asytar pergi kepada Ali bin Abi Thalib, semoga Allah meridainya, lalu kami berkata kepadanya: Apakah Rasulullah ﷺ mewasiatkan kepadamu sesuatu yang tidak diwasiatkan kepada orang-orang secara umum? Ia menjawab: Tidak, kecuali apa yang ada dalam kitab ini. Lalu ia mengeluarkan sebuah kitab dari sarung pedangnya, dan di dalamnya tertulis: “Darah kaum Muslimin setara, mereka bersatu melawan selain mereka, dan perlindungan mereka berlaku bagi yang paling rendah di antara mereka. Ketahuilah, tidak boleh seorang mukmin dibunuh karena seorang kafir, dan tidak boleh orang yang memiliki perjanjian dibunuh selama masa perjanjiannya.”
وَرَوَى حَمَّادٌ عَنْ جَابِرٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ قَالَ أَخْرَجَ أَبِي سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَإِذَا فِيهِ الْعَقْلُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ عَامَّةً وَلَا يُتْرَكُ مُفْرَجٌ فِي الْإِسْلَامِ وَلَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
Diriwayatkan oleh Hammad dari Jabir dari Sya’bi dari Ali bin Husain, ia berkata: Ayahku mengeluarkan pedang Rasulullah ﷺ, dan di dalamnya tertulis bahwa diyat berlaku bagi kaum mukminin secara umum, tidak boleh ada yang dibiarkan terpecah dalam Islam, dan seorang Muslim tidak boleh dibunuh karena seorang kafir.
وَالْمُفْرَجُ الَّذِي لَا يَكُونُ لَهُ قَبِيلَةٌ يَنْضَمُّ إِلَيْهَا فَأَمَرَ أَنْ يُضَمَّ إِلَى قَبِيلَةٍ يُضَافُ إِلَيْهَا حَتَّى لَا يَكُونَ مُفْرَدًا
Orang yang terasing yang tidak memiliki kabilah untuk bergabung, maka diperintahkan agar dia bergabung dengan kabilah yang dapat dia sandarkan, sehingga dia tidak menjadi sendirian.
فَدَلَّتْ هَذِهِ النُّصُوصُ كُلُّهَا عَلَى أَنْ لَا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
Teks-teks ini semuanya menunjukkan bahwa seorang Muslim tidak boleh dibunuh karena seorang kafir.
فَإِنْ قَالُوا الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ أَيْ بِكَافِرٍ حَرْبِيٍّ؛ لِأَنَّهُ قَالَ وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ وَذُو الْعَهْدِ يُقْتَلُ بِالْمُعَاهَدِ وَلَا يُقْتَلُ بِالْحَرْبِيِّ؛ لِيَكُونَ حُكْمُ الْعَطْفِ مُوَافِقًا لِحُكْمِ الْمَعْطُوفِ عَلَيْهِ فَعَنْهُ جوابان
Jika mereka berkata bahwa maksud dari perkataan “tidak dibunuh seorang mukmin karena seorang kafir” adalah karena kafir harbi; karena dia berkata “dan tidak pula orang yang memiliki perjanjian dalam perjanjiannya”, dan orang yang memiliki perjanjian dibunuh karena mu’ahad dan tidak dibunuh karena harbi; agar hukum ‘athaf sesuai dengan hukum yang di’athafkan kepadanya, maka ada dua jawaban untuk itu.
أَحَدُهُمَا أَنَّ قَوْلَهُ لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ يَقْتَضِي عُمُومَ الْكُفَّارِ مِنَ المُعَاهَدِينَ وَأَهْلِ الْحَرْبِ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى عُمُومِهِ وَلَمْ يَجُزْ تَخْصِيصُهُ بِإِضْمَارٍ وَتَأْوِيلٍ وَقَوْلُهُ وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عهده كلام مبتدأ أي لا يقبل ذُو الْعَهْدِ لِأَجْلِ عَهْدِهِ وَأَنَّ الْعَهْدَ مِنْ قِبَلِهِ حَقْنًا لِدِمَاءِ ذَوِي الْعُهُودِ
Salah satunya adalah bahwa pernyataan “seorang mukmin tidak dibunuh karena seorang kafir” mencakup semua orang kafir, baik yang memiliki perjanjian (mu‘āhad) maupun yang dalam keadaan perang (ahl al-ḥarb). Maka, harus dipahami secara umum dan tidak boleh dikhususkan dengan asumsi atau penafsiran. Pernyataan “dan tidak pula orang yang memiliki perjanjian dalam masa perjanjiannya” adalah kalimat yang berdiri sendiri, artinya orang yang memiliki perjanjian tidak dibunuh karena perjanjiannya, dan perjanjian itu dari pihaknya adalah untuk melindungi darah orang-orang yang memiliki perjanjian.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي أَنَّ قَوْلَهُ لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ مَحْمُولٌ عَلَى الْعُمُومِ فِي كُلِّ كَافِرٍ مِنْ مُعَاهَدٍ وَحَرْبِيٍّ
Jawaban kedua adalah bahwa pernyataannya “tidak dibunuh seorang mukmin karena seorang kafir” berlaku secara umum untuk setiap kafir, baik yang terikat perjanjian (mu‘āhad) maupun yang dalam keadaan perang (harbī).
وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ مَحْمُولٌ عَلَى الْخُصُوصِ فِي أَنَّهُ لَا يُقْتَلُ بِالْحَرْبِيِّ وَإِنْ قُتِلَ بِالْمُعَاهَدِ لِأَنَّهُ لَيْسَ تَخْصِيصُ أَحَدِ الْمَذْكُورَيْنِ مُوجِبًا لِتَخْصِيصِ الْآخَرِ
Dan tidak ada orang yang memiliki perjanjian dalam perjanjiannya yang dibawa kepada kekhususan bahwa ia tidak dibunuh karena orang harbi, meskipun ia dibunuh oleh orang mu’ahad, karena kekhususan salah satu dari yang disebutkan tidak mengharuskan kekhususan yang lain.
وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ لَوْ كُنْتُ قَاتِلًا مُسْلِمًا بِكَافِرٍ لَقَتَلْتُ خِدَامًا بِالْهُذَلِيِّ وَلَوْ جَازَ قَتْلُهُ بِبَعْضِ الْكُفَّارِ دُونَ بَعْضٍ غيره وَلَمْ يُطْلِقْهُ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الِاعْتِبَارِ أَنَّ الْمُسْلِمَ لَمَّا لم يقتل بالمستأمن لم يقتل بالذمي
Dan hal ini ditunjukkan oleh riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Seandainya aku membunuh seorang Muslim karena seorang kafir, niscaya aku akan membunuh Khidam karena al-Hudzali. Dan jika diperbolehkan membunuhnya karena sebagian orang kafir dan bukan yang lainnya, maka beliau tidak akan membebaskannya.” Dan hal ini juga ditunjukkan melalui pertimbangan bahwa seorang Muslim tidak dibunuh karena seorang musta’min, maka ia juga tidak dibunuh karena seorang dzimmi.
وللجمع بَيْنَهُمَا ثَلَاثُ عِلَلٍ
Untuk menggabungkan keduanya terdapat tiga ‘illah.
إِحْدَاهُنَّ أَنَّهُ مَنْقُوضٌ بِالْكُفْرِ؛ فَوَجَبَ إِذَا قَتَلَهُ مُسْلِمٌ أَنْ لَا يُقَادَ بِهِ كَالْمُسْتَأْمَنِ
Salah satunya adalah bahwa hal itu dibatalkan oleh kekufuran; maka wajib jika seorang Muslim membunuhnya, tidak dikenakan qishash seperti musta’man.
وَالْعِلَّةُ الثَّانِيَةُ أَنَّ مَنْ لَمْ يَمْنَعْ دِينُهُ مِنَ اسْتِرْقَاقِهِ لَمْ يُقْتَلْ بِهِ مَنْ مَنَعَ دِينُهُ مِنَ اسْتِرْقَاقِهِ كَالْمُسْتَأْمَنِ
Alasan kedua adalah bahwa orang yang agamanya tidak melarang perbudakan terhadapnya tidak dibunuh oleh orang yang agamanya melarang perbudakan terhadapnya, seperti musta’min.
فَإِنْ قِيلَ هَذَا مُنْتَقَضٌ بِالْكَافِرِ إِذَا قَتَلَ كَافِرًا ثُمَّ أَسْلَمَ الْقَاتِلُ فَإِنَّهُ يُقْتَلُ بِهِ وَإِنْ كَانَ مُسْلِمًا فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Jika dikatakan bahwa ini dibatalkan dengan kasus orang kafir yang membunuh orang kafir lain kemudian si pembunuh masuk Islam, maka ia tetap dihukum mati karenanya. Dan jika ia seorang Muslim, ada dua jawaban mengenai hal ini.
أَحَدُهُمَا أَنَّ فِي شَرْطِ الْعِلَّةِ إِذَا قَتَلَهُ مُسْلِمٌ وَهَذَا قَتَلَهُ وَهُوَ كَافِرٌ فَلَمْ تَنْتَقِضْ بِهِ الْعِلَّةُ
Salah satunya adalah bahwa dalam syarat ‘illah, jika seorang Muslim membunuhnya, dan ini membunuhnya sementara dia kafir, maka ‘illah tersebut tidak batal karenanya.
وَالثَّانِي أَنَّ التَّعْلِيلَ لِلْجِنْسِ فَلَا تَنْتَقِضُ إِلَّا بِمِثْلِهِ
Yang kedua adalah bahwa penalaran (ta‘līl) berlaku untuk jenis (jins), sehingga tidak dapat dibatalkan kecuali dengan yang sejenis.
فَإِنْ قِيلَ الْمُسْتَأْمَنُ نَاقِصُ الْحُرْمَةِ؛ لِأَنَّ دَمَهُ مَحْقُونٌ إِلَى مُدَّةٍ بِخِلَافِ الذِّمِّيِّ فَإِنَّهُ تَامُّ الْحُرْمَةِ مَحْقُونُ الدَّمِ عَلَى التَّأْبِيدِ فَأَشْبَهَ الْمُسْلِمَ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Jika dikatakan bahwa musta’man (orang yang diberi perlindungan sementara) memiliki kehormatan yang kurang, karena darahnya dilindungi hingga waktu tertentu, berbeda dengan dzimmi yang memiliki kehormatan penuh dan darahnya dilindungi selamanya, sehingga menyerupai Muslim, maka ada dua jawaban mengenai hal ini.
أَحَدُهُمَا أَنَّ اخْتِلَافَ الْحُرْمَتَيْنِ فِي الْمُدَّةِ لَا يَمْنَعُ مِنْ تَسَاوِيهِمَا فِي الْحُكْمِ مَعَ بَقَاءِ الْمُدَّةِ أَلَا تَرَى أَنَّ تَحْرِيمَ الْأَجْنَبِيَّةِ مُؤَقَّتٌ وَتَحْرِيمَ ذَاتِ الْمَحْرَمِ مُؤَبَّدٌ وَقَدِ اسْتَوَيَا فِي وُجُوبِ الْحَدِّ فِي الزِّنَا كَذَلِكَ ها هنا
Salah satunya adalah bahwa perbedaan dalam durasi keharaman tidak menghalangi kesetaraan keduanya dalam hukum selama durasi tersebut tetap ada. Tidakkah kamu melihat bahwa keharaman wanita asing bersifat sementara dan keharaman wanita mahram bersifat permanen, namun keduanya setara dalam kewajiban hukuman dalam kasus zina. Demikian pula di sini.
وَالثَّانِي أَنَّ لِلنَّفْسِ بَدَلَيْنِ الْقَوَدَ وَالدِّيَةَ فَلَمَّا لَمْ يَمْنَعِ اخْتِلَافُهُمَا فِي الْحُرْمَةِ مِنْ تَسَاوِيهِمَا فِي الدِّيَةِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ تَسَاوِيهِمَا فِي الْقَوَدِ؛ وَلِأَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ يَجِبُ بِهَتْكِ حُرْمَةِ الْعِرْضِ وَالْقَوَدُ يَجِبُ بِهَتْكِ حُرْمَةِ النَّفْسِ فَلَمَّا سَقَطَ عَنِ الْمُسْلِمِ حَدُّ قَذْفِهِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ الْقَوَدُ فِي نَفْسِهِ؛ لِأَنَّ أَخْذَ النَّفْسِ أَغْلَظُ مِنِ اسْتِيفَاءِ الْحَدِّ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ المائدة 45 فَمِنْ وَجْهَيْنِ
Paragraf kedua menyatakan bahwa jiwa memiliki dua pengganti, yaitu qisas dan diyat. Ketika perbedaan dalam kehormatan tidak menghalangi kesetaraan mereka dalam diyat, maka tidak menghalangi kesetaraan mereka dalam qisas. Karena hukuman qazaf diwajibkan karena pelanggaran kehormatan harga diri, dan qisas diwajibkan karena pelanggaran kehormatan jiwa. Ketika hukuman qazaf tidak dikenakan pada seorang Muslim, maka lebih utama qisas tidak dikenakan pada jiwanya, karena mengambil jiwa lebih berat daripada menegakkan hukuman. Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa” (Al-Maidah: 45), dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ عَائِدٌ إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَانُوا أَكْفَاءَ فَلَمْ يَجُزْ حُكْمُهُمْ عَلَى غَيْرِ الْأَكْفَاءِ
Salah satunya adalah bahwa ia kembali kepada Bani Israil dan mereka adalah orang-orang yang setara, sehingga hukum mereka tidak berlaku atas orang-orang yang tidak setara.
وَالثَّانِي أَنَّهُ عُمُومٌ خُصَّ بِدَلِيلٍ
Yang kedua adalah bahwa itu merupakan keumuman yang dikhususkan dengan dalil.
فَأَمَّا قَوْله تَعَالَى وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ البقرة 179 فَهُوَ قِصَاصٌ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُفْعَلَ قِصَاصًا عَلَيْهِمْ
Adapun firman Allah Ta’ala, “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu” (Al-Baqarah 179), maka itu adalah qishash bagi mereka, sehingga tidak boleh dilakukan qishash terhadap mereka.
وأما حديث عبد الرحمن بن الْبَيْلَمَانِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَتَلَ مُسْلِمًا بِكَافِرٍ فَهُوَ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ لَا يُثْبِتُهُ أَصْحَابُ الْحَدِيثِ ثُمَّ مُرْسَلٌ؛ لِأَنَّ ابْنَ الْبَيْلَمَانِيِّ لَيْسَ بِصَحَابِيٍّ وَالْمَرَاسِيلُ عِنْدَنَا لَيْسَتْ بِحُجَّةٍ وَلَوْ سُلِّمَ الِاحْتِجَاجُ بِهِ لَمَا كَانَ فِيهِ دَلِيلٌ؛ لِأَنَّهَا قَضِيَّةٌ فِي عَيْنٍ لَا تَجْرِي عَلَى الْعُمُومِ
Adapun hadis dari Abdurrahman bin al-Baylami bahwa Nabi ﷺ membunuh seorang Muslim karena seorang kafir, itu adalah hadis yang lemah yang tidak diteguhkan oleh para ahli hadis. Selain itu, hadis tersebut mursal; karena Ibnu al-Baylami bukanlah seorang sahabat, dan mursal menurut kami bukanlah hujjah. Bahkan jika diterima sebagai hujjah, tidak ada bukti di dalamnya; karena itu adalah kasus tertentu yang tidak berlaku secara umum.
وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ أَسْلَمَ بَعْدَ قَتْلِهِ فَقَتَلَهُ بِهِ وَإِذَا احْتُمِلَ هَذَا وَجَبَ التَّوَقُّفُ عَنِ الِاحْتِجَاجِ
Mungkin saja pembunuh tersebut telah masuk Islam setelah melakukan pembunuhan, sehingga ia dibunuh karenanya. Jika kemungkinan ini ada, maka wajib menahan diri dari berargumen.
وَأَمَّا حَدِيثُ عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ فَقَدْ أَجَابَ الشَّافِعِيُّ عَنْهُ بِثَلَاثَةِ أَجْوِبَةٍ
Adapun hadis Amr bin Umayyah ad-Dhamri, maka asy-Syafi’i telah menjawabnya dengan tiga jawaban.
أَحَدُهَا أَنَّ طَرِيقَهُ ضَعِيفٌ وَرُوَاتَهُ مَجْهُولُونَ
Salah satunya adalah bahwa jalurnya lemah dan para perawinya tidak dikenal.
وَالثَّانِي أَنَّ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ عَاشَ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَمَاتَ فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ؛ فَاسْتَحَالَ مَا أُضِيفَ إِلَيْهِ
Kedua, Amr bin Umayyah ad-Dhamri hidup setelah Nabi ﷺ dan meninggal pada masa Muawiyah; maka mustahil apa yang dinisbahkan kepadanya.
وَلِهَذَا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَنْتَ تَأْخُذُ الْعِلْمَ من بَعُدَ لَيْسَ لَكَ بِهِ مَعْرِفَةُ أَصْحَابِنَا يَعْنِي أَهْلَ الْحَرَمَيْنِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ بَيْنَهُمْ فَكَانُوا بِأَقْوَالِهِ وَأَصْحَابِهِ أَعْرَفَ
Oleh karena itu, Imam Syafi’i berkata, “Dan engkau mengambil ilmu dari orang yang jauh, padahal engkau tidak memiliki pengetahuan tentang sahabat-sahabat kami,” yang dimaksud adalah penduduk Haramain; karena Rasulullah ﷺ berada di antara mereka, sehingga mereka lebih mengetahui perkataan dan sahabat-sahabatnya.
وَالثَّالِثُ أَنَّ فِي رِوَايَتِهِمْ أَنَّهُ قَتَلَهُ رَسُولٌ مُسْتَأْمَنٌ وَعِنْدَهُمْ أَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يُقْتَلُ بِالْمُسْتَأْمَنِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ فِيهِ دَلِيلٌ
Ketiga, dalam riwayat mereka disebutkan bahwa ia dibunuh oleh seorang rasul yang diberi perlindungan, dan menurut mereka seorang Muslim tidak dibunuh karena membunuh orang yang diberi perlindungan, sehingga mereka tidak memiliki bukti dalam hal ini.
وَأَمَّا حَدِيثُ عُمَرَ فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ أَنْكَرَ عَلَيْهِ
Adapun hadis Umar, telah diriwayatkan bahwa Mu’adz bin Jabal mengingkarinya.
وَرَوَى لَهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ وَأَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ قَالَ لَهُ لَا تَقْتُلْ أَخَاكَ بِعَبْدِكَ فَرَجَعَ عَنْهُ وَكَتَبَ إِلَى أَبِي مُوسَى أَنْ لَا تَقْتُلَهُ بِهِ فَصَارَ ذَلِكَ إِجْمَاعًا
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Seorang mukmin tidak dibunuh karena seorang kafir.” Dan Zaid bin Tsabit berkata kepadanya, “Jangan bunuh saudaramu karena hambamu.” Maka ia kembali dari pendapatnya dan menulis kepada Abu Musa agar tidak membunuhnya karenanya, sehingga hal itu menjadi ijmā‘.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُسْلِمِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ حُقِنَ دَمُهُ بِدِينِهِ وَأَنَّ دِينَهُ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِرْقَاقِهِ فَخَالَفَ الْكَافِرَ
Adapun qiyās mereka terhadap seorang Muslim, maknanya adalah bahwa darahnya dilindungi oleh agamanya dan agamanya mencegah dari perbudakan, sehingga berbeda dengan orang kafir.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى قَتْلِ الْيَهُودِيِّ بِالنَّصْرَانِيِّ فَلَا يَصِحُّ لِأَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ عِنْدَنَا مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ وَإِنْ تَنَوَّعَ فَلِذَلِكَ جَرَى الْقَوَدُ بَيْنَهُمَا وَمِلَّةُ الْإِسْلَامِ مُخَالِفَةٌ لَهُمَا وَمُفَضَّلَةٌ عَلَيْهِمَا
Adapun qiyās mereka mengenai pembunuhan seorang Yahudi oleh seorang Nasrani, itu tidak sah karena menurut kami, semua bentuk kekufuran adalah satu agama meskipun bervariasi. Oleh karena itu, qishāsh berlaku di antara mereka, sedangkan agama Islam berbeda dan lebih diutamakan daripada keduanya.
وَقَوْلُهُمْ إِنَّ حُرْمَةَ النَّفْسِ أَغْلَظُ مِنْ حُرْمَةِ الْمَالِ وَالْمُسْلِمُ يُقْطَعُ فِي مَالِ الْكَافِرِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يُقْتَلَ بِنَفْسِ الْكَافِرِ
Dan pernyataan mereka bahwa kehormatan jiwa lebih besar daripada kehormatan harta, serta seorang Muslim dipotong tangannya karena mencuri harta orang kafir, maka lebih utama lagi jika ia dibunuh karena membunuh jiwa orang kafir.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ
Jawabannya ada dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَطْعَ فِي السَّرِقَةِ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى لَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ فَجَازَ أَنْ يُسْتَحَقَّ فِي مَالِ الْكَافِرِ كَمَا يُسْتَحَقُّ فِي مَالِ الْمُسْلِمِ وَالْقَوَدُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ لِجَوَازِ الْعَفْوِ عَنْهُ فَلَمْ يَسْتَحِقَّهُ كَافِرٌ عَلَى مُسْلِمٍ
Salah satunya adalah bahwa hukuman potong tangan dalam pencurian adalah hak Allah Ta’ala yang tidak boleh dimaafkan, sehingga dapat diterapkan pada harta orang kafir sebagaimana pada harta orang Muslim. Sedangkan qishash termasuk hak-hak manusia karena boleh dimaafkan, sehingga orang kafir tidak berhak menuntutnya terhadap seorang Muslim.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا جَازَ قَطْعُ الْمُسْلِمِ بِسَرِقَةِ مَالِ الْمُسْتَأْمَنِ وَلَمْ يُقْتَلْ بِهِ جَازَ أَنْ يُقْطَعَ فِي مَالِ الذِّمِّيِّ وَإِنْ لَمْ يُعْتَدَّ بِهِ
Kedua, ketika diperbolehkan memotong tangan seorang Muslim karena mencuri harta musta’min dan tidak dibunuh karenanya, maka diperbolehkan juga memotong tangan dalam kasus harta dzimmi meskipun tidak dianggap setara dengannya.
وَقِيَاسُهُمْ عَلَى الْكَافِرِ فَالْمَعْنَى فِيهِ تَسَاوِيهِمَا فِي الدِّينِ
Qiyās mereka terhadap orang kafir adalah bahwa maknanya terletak pada kesetaraan mereka dalam agama.
وَقَوْلُهُمْ إِنَّهُ يُقْتَلُ بِهِ لَوْ أَسْلَمَ بَعْدَ قَتْلِهِ فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا قَبْلَ قَتْلِهِ لَا وَجْهَ لَهُ لَأَنَّ الْقَوَدَ حَدٌّ وَالْحُدُودُ تُعْتَبَرُ بِحَالِ الْوُجُوبِ وَلَا تُعْتَبَرُ بِمَا بَعْدَهُ؛ لِأَنَّ مَجْنُونًا لَوْ قَتَلَ ثُمَّ عَقَلَ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَلَوْ كَانَ عَاقِلًا وَقْتَ الْقَتْلِ ثُمَّ جُنَّ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَقَدْ ذَهَبَ الْأَوْزَاعِيُّ إِلَى أَنَّهُ لَا يُقْتَلُ بِهِ الْكَافِرُ إِذَا أَسْلَمَ تَمَسُّكًا بِظَاهِرِ قَوْلِهِ لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ وَإِنْ خَالَفْنَاهُ فِيهِ بِالْمَعْنَى الَّذِي قَدَّمْنَاهُ
Dan pernyataan mereka bahwa dia dibunuh karenanya jika dia masuk Islam setelah membunuhnya, maka demikian pula jika dia sudah Muslim sebelum membunuhnya, tidak ada alasan untuk itu karena qishash adalah hudud dan hudud dipertimbangkan berdasarkan keadaan wajibnya dan tidak dipertimbangkan berdasarkan apa yang terjadi setelahnya; karena jika seorang gila membunuh kemudian sembuh, tidak wajib baginya qishash, dan jika dia berakal saat membunuh kemudian menjadi gila, wajib baginya qishash. Al-Auza’i berpendapat bahwa orang kafir tidak dibunuh karenanya jika dia masuk Islam, berpegang pada makna lahir dari pernyataan bahwa seorang mukmin tidak dibunuh karena seorang kafir, meskipun kami berbeda pendapat dengannya dalam hal ini berdasarkan makna yang telah kami kemukakan.
وَقَوْلُهُمْ لَمَّا جَازَ أَنْ يَقْتُلَهُ دَفْعًا جَازَ أَنْ يَقْتُلَهُ قَوَدًا فَيُفَسَّرُ مِنْ وَجْهَيْنِ
Dan pernyataan mereka bahwa ketika diperbolehkan membunuhnya untuk membela diri, maka diperbolehkan membunuhnya sebagai qishāṣ, dapat dijelaskan dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُسْتَأْمَنَ يَجُوزُ لَهُ قَتْلُ الْمُسْلِمِ دَفْعًا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ بِهِ قَوَدًا
Salah satunya adalah bahwa orang yang mendapatkan perlindungan (musta’man) diperbolehkan membunuh seorang Muslim untuk membela diri, tetapi tidak boleh dihukum mati sebagai qisas.
وَالثَّانِي بِالْمَالِ يَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ الْمُسْلِمُ بِدَفْعِهِ عَنْهُ وَلَا يُقْتَلُ مَا بِدَفْعِهِ عَلَيْهِ
Yang kedua, dengan harta, diperbolehkan membunuh seorang Muslim untuk membela diri darinya, dan tidak dibunuh jika membela diri darinya.
وَفِيمَا تَتَجَافَاهُ النُّفُوسُ مِنْ قَتْلِ الْمُسْلِمِ بِالْكَافِرِ مَا يَمْنَعُ مِنَ القَوْلِ بِهِ وَالْعَمَلِ عَلَيْهِ
Dan mengenai hal yang dihindari oleh jiwa dari membunuh seorang Muslim karena seorang kafir, terdapat hal yang mencegah untuk mengatakan dan melakukannya.
حَكَى يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا السَّاجِيُّ عَنْ مُوسَى بْنِ إِسْحَاقَ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ رُفِعَ إِلَى أَبِي يُوسُفَ الْقَاضِي مُسْلِمٌ قَتَلَ كَافِرًا فَحَكَمَ عَلَيْهِ بِالْقَوَدِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ بِرُقْعَةٍ أَلْقَاهَا إِلَيْهِ مِنْ شاعر بغدادي يكنى أبو الْمُضَرِّجِي فِيهَا مَكْتُوبٌ
Yahya bin Zakariya al-Saji meriwayatkan dari Musa bin Ishaq al-Anshari dari Ali bin Amru al-Anshari bahwa seorang Muslim yang membunuh seorang kafir dihadapkan kepada Abu Yusuf al-Qadhi, dan dia memutuskan hukuman qisas atasnya. Kemudian datanglah seorang pria dengan secarik kertas yang dilemparkannya kepadanya dari seorang penyair Baghdad yang dikenal dengan Abu al-Mudarriji, di dalamnya tertulis.
يَا قَاتِلَ الْمُسْلِمِ بِالْكَافِرِ جُرْتَ وَمَا الْعَادِلُ كَالْجَائِرِ
Wahai pembunuh Muslim dengan orang kafir, engkau telah berlaku zalim, dan orang yang adil tidaklah sama dengan orang yang zalim.
يَا مَنْ بِبَغْدَادَ وَأَطْرَافِهَا مِنْ فُقَهَاءِ النَّاسِ أَوْ شَاعِرِ
Wahai orang-orang di Baghdad dan sekitarnya dari kalangan fuqahā’ atau penyair.
جَارَ عَلَى الدِّينِ أَبُو يُوسُفَ إِذْ يَقْتُلُ الْمُسْلِمَ بِالْكَافِرِ
Abu Yusuf bertindak melampaui batas agama ketika ia membunuh seorang Muslim demi seorang kafir.
فَاسْتَرْجِعُوا وَابْكُوا عَلَى دِينِكُمْ وَاصْطَبِرُوا فَالْأَجْرُ للصابر فَأَخَذَ أَبُو يُوسُفَ الرُّقْعَةَ وَدَخَلَ عَلَى الرَّشِيدِ فَأَخْبَرَهُ بِالْحَالِ وَقَرَأَ عَلَيْهِ الرُّقْعَةَ فَقَالَ لَهُ الرَّشِيدُ تَدَارَكْ هَذَا الْأَمْرَ بِحِيلَةٍ لِئَلَّا يَكُونَ مِنْهُ فِتْنَةٌ
Maka kembalilah dan tangisilah agama kalian serta bersabarlah, karena pahala adalah bagi orang yang sabar. Lalu Abu Yusuf mengambil catatan itu dan masuk menemui Ar-Rasyid, memberitahukan kepadanya tentang keadaan tersebut dan membacakan catatan itu kepadanya. Ar-Rasyid berkata kepadanya, “Atasilah masalah ini dengan cara yang bijaksana agar tidak timbul fitnah darinya.”
فَخَرَجَ أَبُو يُوسُفَ وَطَالَبَ أَوْلِيَاءَ الْمَقْتُولِ بِالْبَيِّنَةِ عَلَى صِحَّةِ الذِّمَّةِ وَأَدَاءِ الْجِزْيَةِ فلم يأتوا بها فأسقط القود وحكم الدية وَهَذَا إِذَا كَانَ مُفْضِيًا إِلَى اسْتِنْكَارِ النُّفُوسِ وَانْتِشَارِ الْفِتَنِ كَانَ الْعُدُولُ عَنْهُ أَحَقَّ وَأَصْوَبَ
Abu Yusuf keluar dan meminta para wali dari yang terbunuh untuk memberikan bukti tentang kebenaran status dzimmah dan pembayaran jizyah, tetapi mereka tidak dapat memberikannya. Maka, ia membatalkan qisas dan memutuskan diyat. Ini jika mengarah pada penolakan jiwa dan penyebaran fitnah, maka menghindarinya lebih tepat dan benar.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يُقْتَلُ بِالْكَافِرِ فَحَالُهُمَا تَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ
Maka, jika telah ditetapkan bahwa seorang Muslim tidak dibunuh karena seorang kafir, maka keadaan mereka terbagi menjadi empat bagian.
أَحَدُهَا مَا لَا يُقْتَلُ بِهِ وَتَجِبُ عَلَيْهِ دِيَةُ كَافِرٍ وهو أن يبتدئ المسلم بقتل الكافر توجيه فَلَا يَجِبُ الْقَوَدُ لِإِسْلَامِ الْقَاتِلِ وَتَجِبُ بِهِ دِيَةُ كَافِرٍ لِكُفْرِ الْمَقْتُولِ
Salah satunya adalah sesuatu yang tidak menyebabkan pembunuhan dan wajib membayar diyat kafir, yaitu ketika seorang Muslim memulai membunuh seorang kafir dengan sengaja. Maka tidak wajib qisas karena pelakunya adalah seorang Muslim, dan wajib membayar diyat kafir karena yang dibunuh adalah seorang kafir.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا لَا يَجِبُ فِيهِ الْقَوَدُ وَتَجِبُ فِيهِ دِيَةُ مُسْلِمٍ وَهُوَ أَنْ يَجْرَحَ الْمُسْلِمُ كَافِرًا ثُمَّ يُسْلِمُ الْمَجْرُوحُ وَيَمُوتُ مُسْلِمًا فَلَا قَوَدَ عَلَى الْمُسْلِمِ؛ لِأَنَّ الْمَقْتُولَ وَقْتَ الْجُرْحِ كَانَ كَافِرًا وَفِيهِ دِيَةُ مُسْلِمٍ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنَ الجُرْحِ مُسْلِمًا؛ لِأَنَّ الِاعْتِبَارَ فِي الْقَوَدِ بِحَالِ الِابْتِدَاءِ وَفِي الدِّيَةِ بِحَالِ الِانْتِهَاءِ
Bagian kedua adalah yang tidak mewajibkan qishash tetapi mewajibkan diyat seorang Muslim, yaitu ketika seorang Muslim melukai seorang kafir, kemudian yang terluka masuk Islam dan meninggal sebagai seorang Muslim. Maka tidak ada qishash atas Muslim tersebut karena yang terbunuh pada saat terluka adalah seorang kafir, dan ada diyat seorang Muslim karena ia meninggal dari luka tersebut sebagai seorang Muslim. Hal ini karena pertimbangan dalam qishash adalah keadaan pada awalnya, sedangkan dalam diyat adalah keadaan pada akhirnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا يقتل به المسلم ولا يجب فيه الدية كافر وذلك في حالتين
Bagian ketiga adalah apa yang dengannya seorang Muslim dibunuh dan tidak ada diyat yang wajib bagi orang kafir, dan itu dalam dua keadaan.
أحدهما أَنْ يَقْتُلَ كَافِرٌ كَافِرًا ثُمَّ يُسْلِمَ الْقَاتِلُ بِهِ وَإِنْ كَانَ مُسْلِمًا اعْتِبَارًا بِحَالِ الْقَتْلِ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ إِلَّا دِيَةُ كَافِرٍ؛ لِأَنَّ الْمَقْتُولَ مَاتَ كَافِرًا
Salah satunya adalah ketika seorang kafir membunuh kafir lain, kemudian si pembunuh masuk Islam. Jika dia seorang Muslim, maka dianggap berdasarkan keadaan saat pembunuhan, dan dia hanya wajib membayar diyat seorang kafir, karena yang terbunuh mati dalam keadaan kafir.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَطْلُبَ المسلم نفس الكافر فيجوز للكافر أن يقبل طَالِبَ نَفْسِهِ وَإِنْ كَانَ مُسْلِمًا فَلَوْ قَتَلَهُ الْمُسْلِمُ الطَّالِبُ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ إِلَّا دِيَةُ كَافِرٍ وَلَوْ قَتَلَ الْمُسْلِمَ لَمْ يَجِبْ لَهُ دِيَةٌ لِأَنَّ نَفْسَ الْمَطْلُوبِ مَضْمُونَةٌ وَنَفْسَ الطَّالِبِ هَدَرٌ
Keadaan kedua adalah ketika seorang Muslim mengejar nyawa seorang kafir, maka diperbolehkan bagi kafir tersebut untuk membunuh pengejarnya meskipun ia seorang Muslim. Jika Muslim yang mengejar itu membunuhnya, maka ia hanya wajib membayar diyat seorang kafir. Namun, jika ia membunuh Muslim, maka tidak ada diyat yang harus dibayarkan karena nyawa yang dikejar itu dijamin dan nyawa pengejar dianggap sia-sia.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مَا اخْتَلَفَ الْقَوْلُ فِيهِ وَهُوَ أَنْ يَقْتُلَ مُسْلِمٌ كَافِرًا فِي الْحِرَابَةِ فَفِي قَتْلِهِ بِهِ قَوْلَانِ لِلشَّافِعِيِّ
أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْمَشْهُورُ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يُقْتَلُ بِهِ لِعُمُومِ النَّهْيِ
Salah satu pendapat yang masyhur darinya adalah bahwa ia tidak dibunuh karenanya, berdasarkan larangan yang umum.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي مَوْضِعٍ وَقَالَ هَذَا مِمَّا أَسْتَخِيرُ اللَّهَ فِيهِ أَنْ يُقْتَلَ بِهِ؛ لِأَنَّ فِي قَتْلِ الْحِرَابَةِ حَقًّا لِلَّهِ تَعَالَى يَجِبُ أَنْ يُسْتَوْفَى وَلَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ فَاسْتَوَى فِيهِ قَتْلُ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ وَهُوَ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ حَقٌّ لِآدَمِيٍّ يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ فَسَقَطَ فِي حَقِّ الْكَافِرِ وَلَوْ قَتَلَ مُرْتَدٌّ كَافِرًا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى الْكُفْرِ لِمَا ثَبَتَ لَهُ مِنْ حُرْمَةِ الْإِسْلَامِ وَمَا أُجْرِيَ عَلَيْهِ مِنْ أحكامه
Pendapat kedua disebutkan oleh Imam Syafi’i di suatu tempat dan beliau berkata, “Ini adalah sesuatu yang aku memohon petunjuk kepada Allah tentangnya, bahwa ia harus dibunuh; karena dalam pembunuhan pelaku hirabah terdapat hak Allah Ta’ala yang harus dipenuhi dan tidak boleh dimaafkan. Maka, pembunuhan terhadap Muslim dan kafir dalam hal ini adalah sama. Sedangkan dalam kasus selain hirabah, itu adalah hak manusia yang boleh dimaafkan, sehingga gugur dalam hak kafir. Jika seorang murtad membunuh seorang kafir, maka qishas tidak wajib atasnya, meskipun keduanya sepakat dalam kekafiran, karena ia memiliki kehormatan Islam dan hukum-hukumnya yang diterapkan padanya.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي قَالَ وَلَا يُقْتَلُ حُرٌّ بِعَبْدٍ
Imam Syafi’i berkata, “Dan seorang merdeka tidak dibunuh karena membunuh seorang budak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لَا يُقْتَلُ الْحُرُّ بِعَبْدِهِ وَبِعَبْدِ غَيْرِهِ
Al-Mawardi berkata bahwa seorang merdeka tidak dibunuh karena membunuh budaknya sendiri maupun budak orang lain.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يُقْتَلُ الْحُرُّ بِعَبْدِ غَيْرِهِ وَلَا يُقْتَلُ بِعَبْدِ نَفْسِهِ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أن النَّفْسَ بِالنَّفْسِ المائدة 45 وَرِوَايَةِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ قال المسلمون بتكافؤ دماؤهم يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ فَاعْتَبَرَ الْمُكَافَأَةَ بِالْإِسْلَامِ وَقَدِ اسْتَوَى الْحُرُّ وَالْعَبْدُ فِيهِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَكَافَأَ دَمُهُمَا وَيَجْرِيَ الْقَوَدُ بَيْنَهُمَا وَمِنَ الِاعْتِبَارِ أَنَّ كُلَّ مَنْ قُتِلَ بِالْحُرِّ قُتِلَ بِهِ الْحُرُّ كَالْحُرِّ وَلِأَنَّ الرِّقَّ مُؤَثِّرٌ فِي ثُبُوتِ الْحَجْرِ وَمَا ثَبَتَ بِهِ الْحَجْرُ يَمْنَعُ مِنِ اسْتِحْقَاقِ الْقَوَدِ عَلَى مَنِ ارْتَفَعَ عَنْهُ الْحَجْرُ كَالْجُنُونِ وَالصِّغَرِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُقْتَلَ بِهِ الْحُرُّ دَفْعًا جَازَ أَنْ يُقْتَلَ بِهِ قَوَدًا
Abu Hanifah berkata bahwa seorang merdeka dapat dibunuh karena membunuh budak orang lain, tetapi tidak dapat dibunuh karena membunuh budaknya sendiri, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: “Dan Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya bahwa jiwa dibalas dengan jiwa” (Al-Maidah: 45) dan riwayat Ali bin Abi Thalib, semoga damai atasnya, yang mengatakan bahwa kaum Muslimin setara darahnya, satu tangan atas yang lainnya, dan mereka bertanggung jawab dengan jaminan yang paling rendah di antara mereka. Maka, ia mempertimbangkan kesetaraan dengan Islam, dan merdeka serta budak sama dalam hal ini, sehingga darah mereka harus setara dan qisas berlaku di antara mereka. Dari pertimbangan bahwa siapa pun yang dibunuh karena orang merdeka, maka orang merdeka juga dibunuh karenanya, seperti halnya orang merdeka. Karena perbudakan mempengaruhi penetapan pembatasan, dan apa yang ditetapkan dengan pembatasan mencegah hak qisas atas orang yang tidak lagi terikat pembatasan, seperti kegilaan dan anak kecil. Dan karena ketika diperbolehkan membunuh orang merdeka untuk mencegah bahaya, maka diperbolehkan juga membunuhnya sebagai qisas.
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ البقرة 178 فَاقْتَضَى هَذَا الظَّاهِرُ أَنْ لَا يُقْتَلَ حُرٌّ بِعَبْدٍ
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta’ala: “Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, dan hamba dengan hamba.” (Al-Baqarah: 178) Maka, zahir ayat ini menunjukkan bahwa orang merdeka tidak dibunuh karena membunuh hamba.
وَرَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا يُقْتَلُ حُرٌّ بِعَبْدٍ
Diriwayatkan oleh Sulaiman bin Muslim dari Amr bin Dinar dari Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tidak dibunuh orang merdeka karena budak.”
وَرَوَاهُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ وهذا نَصٌّ لَا يَسُوغُ خِلَافُهُ
Diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dan ini adalah nash yang tidak boleh diperselisihkan.
وَرَوَى إِسْرَائِيلُ عَنْ جَابِرٍ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ قَالَ مِنَ السُّنَّةِ أَلَّا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ وَمِنَ السُّنَّةِ أَلَّا يُقْتَلَ حُرٌّ بِعَبْدٍ يَعْنِي سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَهَذَا يَقُومُ مَقَامَ الرِّوَايَةِ عَنْهُ وَلَيْسَ لَهُ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فَصَارَ مَعَ السُّنَّةِ إِجْمَاعًا وَمِنَ الِاعْتِبَارِ أَنَّ حُرْمَةَ النَّفْسِ أَغْلَظُ مِنْ حُرْمَةِ الْأَطْرَافِ فَلَمَّا لَمْ يَجِبِ الْقَوَدُ بَيْنَهُمَا فِي الْأَطْرَافِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَجْرِيَ بَيْنَهُمَا فِي النَّفْسِ
Diriwayatkan oleh Israil dari Jabir dari Amir dari Ali bin Abi Thalib, semoga Allah memuliakan wajahnya, ia berkata bahwa termasuk sunnah adalah seorang Muslim tidak dibunuh karena seorang kafir, dan termasuk sunnah adalah seorang merdeka tidak dibunuh karena seorang budak, yang dimaksud adalah sunnah Rasulullah ﷺ. Ini berfungsi sebagai riwayat darinya dan tidak ada sahabat yang menentangnya, sehingga menjadi ijmā‘ bersama sunnah. Dari pertimbangan bahwa kehormatan jiwa lebih besar daripada kehormatan anggota tubuh, maka ketika qiyās tidak diwajibkan di antara mereka dalam hal anggota tubuh, lebih utama lagi tidak berlaku di antara mereka dalam hal jiwa.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّ كُلَّ شَخْصَيْنِ امْتَنَعَ الْقَوَدُ بَيْنَهُمَا فِي الْأَطْرَافِ امْتَنَعَ فِي النَّفْسِ كَالْوَالِدِ مَعَ وَلَدِهِ طَرْدًا وَكَالْحَرْبِيِّ عَكْسًا وَلِأَنَّ كُلَّ قَوَدٍ سَقَطَ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ الْمُسْتَأْمَنِ سَقَطَ بَيْنَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ كَالْأَطْرَافِ
Dan penjelasannya secara qiyās adalah bahwa setiap dua orang yang tidak dapat dikenakan qisas di antara mereka dalam hal anggota tubuh, maka tidak dapat dikenakan juga dalam hal jiwa, seperti orang tua dengan anaknya secara langsung, dan seperti orang yang berperang secara kebalikan. Dan karena setiap qisas yang gugur antara seorang Muslim dan seorang kafir musta’man, maka gugur juga antara orang merdeka dan budak, seperti halnya anggota tubuh.
فَإِنْ قِيلَ الْأَطْرَافُ تُعْتَبَرُ فِيهَا الْمُمَاثَلَةُ لِأَنَّهُ لَا تُؤْخَذُ السَّلِيمَةُ بِالشَّلَّاءِ الْمَرِيضَةِ وَلَا تُؤْخَذُ الْأَيْدِي بِيَدٍ وَاحِدَةٍ وَالْمُمَاثَلَةُ غَيْرُ مُعْتَبَرَةٍ فِي النُّفُوسِ لِقَتْلِ الصَّحِيحِ بِالْمَرِيضِ وَالْجَمَاعَةِ بِالْوَاحِدِ فَكَذَلِكَ جَرَى الْقَوَدُ بَيْنَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ فِي النَّفْسِ وَسَقَطَ فِي الْأَطْرَافِ
Jika dikatakan bahwa anggota tubuh harus dipertimbangkan kesetaraannya karena tidak boleh mengambil yang sehat dengan yang cacat atau sakit, dan tidak boleh mengambil tangan dengan satu tangan, sedangkan kesetaraan tidak dipertimbangkan dalam jiwa untuk membunuh yang sehat dengan yang sakit dan kelompok dengan satu orang, maka demikian pula berlaku qisas antara orang merdeka dan budak dalam hal jiwa, tetapi tidak berlaku dalam hal anggota tubuh.
قِيلَ هُمَا عِنْدَنَا سَوَاءٌ وَالْمُمَاثَلَةُ الْمُعْتَبَرَةُ فِيهِمَا وَاحِدَةٌ؛ لِأَنَّنَا نَقْطَعُ الْأَيْدِي بِيَدٍ وَاحِدَةٍ؛ وَإِنْ خَالَفْتُمُونَا فِيهِ وَنَقْتُلُ الصَّحِيحَ بِالْمَرِيضِ كَمَا نَقْطَعُ الْيَدَ الصَّحِيحَةَ بِالْعَلِيلَةِ وَلَا نَقْطَعُهَا بِالْيَدِ الشَّلَّاءِ كَمَا لَا يُقْتَلُ الْحَيُّ بِالْمَيِّتِ؛ لِأَنَّ الشَّلَّاءَ مَيِّتَةٌ
Dikatakan bahwa keduanya bagi kami sama, dan kesetaraan yang dianggap dalam keduanya adalah satu; karena kami memotong tangan dengan satu tangan; dan jika kalian berbeda dengan kami dalam hal ini, kami membunuh yang sehat dengan yang sakit sebagaimana kami memotong tangan yang sehat dengan yang sakit, dan kami tidak memotongnya dengan tangan yang lumpuh sebagaimana yang hidup tidak dibunuh dengan yang mati; karena yang lumpuh dianggap mati.
فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ فَرَّقْتُمْ بَيْنَ قَطْعِ الشَّلَّاءِ فِي وُجُوبِ الْأَرْشِ فِيهِمَا وَبَيْنَ اسْتِهْلَاكِ الْمَيِّتِ فِي سُقُوطِ الْأَرْشِ فِيهِ
Jika dikatakan, “Kalian telah membedakan antara memotong anggota tubuh yang lumpuh dalam kewajiban membayar kompensasi dan antara menghilangkan mayat dalam gugurnya kewajiban kompensasi.”
قِيلَ لِأَنَّ الشَّلَّاءَ مُتَّصِلَةٌ بِحَيٍّ وَفِيهَا جَمَالٌ فَجَازَ أَنْ يَجِبَ الْأَرْشُ بِقَطْعِهَا مَعَ مَوْتِهَا؛ كَمَا يَجِبُ فِي الشَّعْرِ مَعَ كَوْنِهِ عِنْدَكُمْ مَيِّتًا وَلِأَنَّ الرِّقَّ حَادِثٌ عَنِ الْكُفْرِ فَلَمَّا سَقَطَ بِهِ الْقَوَدُ عَنِ الْمُسْلِمِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَا حَدَثَ فِيهِ مِنَ الرِّقِّ بِمَثَابَتِهِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عَنِ الْحُرِّ وَلِأَنَّ النَّقْصَ بِالرِّقِّ يَمْنَعُ مِنِ اسْتِحْقَاقِ الْقَوَدِ عَلَى الْحُرِّ كَالسَّيِّدِ مَعَ عَبْدِهِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا سَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ بِقَذْفِهِ فَأَوْلَى أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ الْقَوَدُ بِقَتْلِهِ لِأَنَّ حُرْمَةَ النَّفْسِ أَغْلَظُ
Dikatakan bahwa anggota tubuh yang lumpuh terhubung dengan yang hidup dan memiliki keindahan, sehingga mungkin wajib membayar kompensasi jika dipotong meskipun mati; seperti halnya rambut yang dianggap mati menurut kalian, tetapi tetap wajib membayar kompensasi. Dan karena perbudakan muncul dari kekufuran, ketika pembalasan tidak berlaku bagi seorang Muslim, maka seharusnya apa yang terjadi dalam perbudakan memiliki kedudukan yang sama dalam menggugurkan pembalasan dari orang merdeka. Dan karena kekurangan akibat perbudakan mencegah hak pembalasan terhadap orang merdeka, seperti tuan terhadap budaknya. Dan karena ketika hukuman tidak berlaku baginya karena menuduh, maka lebih utama lagi pembalasan tidak berlaku baginya karena membunuh, karena kehormatan jiwa lebih berat.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ أَنَّهَا تَضَمَّنَتْ نَفْسًا وَأَطْرَافًا فَلَمَّا خَرَجَ الْعَبِيدُ مِنْ حُكْمِ الْأَطْرَافِ خَرَجُوا مِنْ حُكْمِ النُّفُوسِ
Adapun jawaban mengenai ayat tersebut adalah bahwa ayat itu mencakup jiwa dan anggota tubuh. Ketika para hamba keluar dari hukum anggota tubuh, mereka juga keluar dari hukum jiwa.
وَأَمَّا الْخَبَرُ فَقَدْ قَالَ فِيهِ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ يُرِيدُ بِهِ الْعَبِيدَ وَمَنْ كَانَ أَدْنَاهُمْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤْخَذَ بِالْأَعْلَى
Adapun mengenai khabar, telah dikatakan bahwa “dan mereka terikat dengan perjanjian yang dibuat oleh orang yang paling rendah di antara mereka,” yang dimaksud adalah para budak. Dan jika yang paling rendah di antara mereka tidak boleh diambil sebagai yang tertinggi.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْحُرِّ فَالْمَعْنَى فِيهِ جَرَيَانُ الْقَوَدِ فِي الْأَطْرَافِ فَجَرَى فِي النُّفُوسِ وَلَا يَجْرِي فِي الْأَطْرَافِ بَيْنَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ فَلَمْ يَجْرِ فِي النُّفُوسِ وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنْ تَعْلِيلِهِمْ بِتَأْثِيرِ الْحَجْرِ كَالْجُنُونِ وَالصِّغَرِ وَقَدْ مَضَى الْجَوَابُ عَنْ جَمْعِهِمْ بَيْنَ قَتْلِ الدَّفْعِ وَقَتْلِ الْقَوَدِ وَلَيْسَ لِمَا تَنَاكَرَتْهُ الْعَامَّةُ وَنَفَرَتْ مِنْهُ الخاصة مساغاً فِي اخْتِلَافِ الْفُقَهَاءِ
Adapun qiyās mereka terhadap orang merdeka, maknanya adalah berlakunya qishāsh pada anggota tubuh sehingga berlaku pada jiwa, dan tidak berlaku pada anggota tubuh antara orang merdeka dan budak, maka tidak berlaku pada jiwa. Demikian pula jawaban atas alasan mereka dengan pengaruh pembatasan seperti kegilaan dan kekanak-kanakan, dan telah dijelaskan jawaban atas penggabungan mereka antara pembunuhan untuk pertahanan diri dan pembunuhan qishāsh. Tidak ada ruang bagi apa yang ditolak oleh masyarakat umum dan dihindari oleh kalangan khusus dalam perbedaan pendapat para fuqahā’.
حُكِيَ أَنَّ بَعْضَ فُقَهَاءِ خُرَاسَانَ سُئِلَ فِي مَجْلِسِ أَمِيرِهَا عَنْ قَتْلِ الْحُرِّ بِالْعَبْدِ فَمَنَعَ مِنْهُ وَطُولِبَ بِالدَّلِيلِ عَلَيْهِ فَقَالَ أُقَدِّمُ قَبْلَ الدَّلِيلِ حِكَايَةً إِنِ احْتَجْتُ بَعْدَهَا إِلَى دَلِيلٍ فَعَلْتُ ثُمَّ قَالَ كُنْتُ أَيَّامَ تَفَقُّهِي بِبَغْدَادَ نَائِمًا ذَاتَ لَيْلَةٍ عَلَى شَاطِئِ دِجْلَةَ فَسَمِعْتُ مَلَّاحًا يَتَرَنَّمُ وَهُوَ يَقُولُ
Dikisahkan bahwa beberapa fuqaha dari Khurasan ditanya di majelis amirnya tentang pembunuhan seorang merdeka oleh seorang budak, dan dia melarangnya. Ketika diminta dalilnya, dia berkata, “Saya akan menyampaikan sebuah kisah sebelum dalil. Jika setelahnya saya masih memerlukan dalil, saya akan memberikannya.” Kemudian dia berkata, “Pada masa saya belajar fiqh di Baghdad, suatu malam saya tidur di tepi Sungai Tigris dan mendengar seorang pelaut bernyanyi sambil berkata…”
خُذُوا بِدَمِي هَذَا الْغُلَامَ فَإِنَّهُ رَمَانِي بِسَهْمَيْ مُقْلَتَيْهِ عَلَى عَمْدِ
Ambillah darahku dari pemuda ini, karena dia telah melemparku dengan panah kedua matanya dengan sengaja.
وَلَا تَقْتُلُوهُ إِنِّي أَنَا عَبْدُهُ وَلَمْ أَرَ حُرًّا قَطُّ يُقْتَلُ بِالْعَبْدِ
Dan janganlah kalian membunuhnya, sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, dan aku belum pernah melihat seorang merdeka dibunuh karena seorang hamba.
وما انتشر في العامة تناكره حَتَّى نَظَمُوهُ شِعْرًا وَجَعَلُوهُ فِي الْأَمْثَالِ شَاهِدًا كَانَ مِنِ اخْتِلَافِ الْفُقَهَاءِ خَارِجًا فَقَالَ الْأَمِيرُ حَسْبُكَ فَقَدْ أَغْنَيْتَ عَنْ دَلِيلٍ
Apa yang tersebar di kalangan umum hingga mereka menolaknya, bahkan mereka membuatnya dalam bentuk syair dan menjadikannya sebagai peribahasa, adalah sesuatu yang berada di luar perbedaan para fuqahā’. Maka sang amir berkata, “Cukup, engkau telah memberikan bukti yang memadai.”
فَصْلٌ
Bagian
وَاسْتَدَلَّ النَّخَعِيُّ وَدَاوُدُ عَلَى قَتْلِ السَّيِّدِ بِعَبْدِهِ بِمَا رَوَاهُ قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَنْ قَتَلَ عَبْدَهُ قَتَلْنَاهُ وَمَنْ جَدَعَ عَبْدَهُ جَدَعْنَاهُ وَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى وَمَنْ خَصَا عَبْدَهُ خَصَيْنَاهُ
An-Nakha’i dan Dawud berargumen tentang hukuman mati bagi tuan yang membunuh budaknya dengan merujuk pada riwayat Qatadah dari Al-Hasan dari Samurah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa membunuh budaknya, kami akan membunuhnya; barang siapa memotong hidung budaknya, kami akan memotong hidungnya.” Dalam riwayat lain: “Barang siapa mengebiri budaknya, kami akan mengebirinya.”
وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِمَا رِوَايَةُ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جده أن رَجُلًا قَتَلَ عَبْدَهُ فَجَلَدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَلَمْ يَقُدْهُ بِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يُعْتِقَ رَقَبَةً وَهَذَا نَصٌّ وَمَا أَمَرَ بِهِ مِنْ جَلْدِهِ وَنَفْيِهِ تَعْزِيرٌ
Dan dalil mengenai keduanya adalah riwayat al-Auza’i dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa seorang laki-laki membunuh budaknya, maka Nabi ﷺ mencambuknya dan tidak menjatuhkan qishash kepadanya, serta memerintahkannya untuk memerdekakan seorang budak. Ini adalah nash, dan apa yang diperintahkan berupa mencambuk dan mengasingkannya adalah ta’zir.
فَأَمَّا الْخَبَرُ الْمُسْتَدَلُّ بِهِ فَضَعِيفٌ؛ لِأَنَّ الْحَسَنَ لَمْ يَرْوِ عَنْ سَمُرَةَ إِلَّا ثَلَاثَةَ أَحَادِيثَ لَيْسَ هَذَا مِنْهَا
Adapun hadis yang dijadikan dalil itu lemah; karena Hasan hanya meriwayatkan tiga hadis dari Samurah, dan ini bukan salah satunya.
وَقَدْ رَوَى قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا يُقْتَلُ حُرٌّ بِعَبْدٍ
Diriwayatkan dari Qatadah dari al-Hasan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tidak dibunuh orang merdeka karena budak.”
وَلَوْ صَحَّ لَحُمِلَ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ إِمَّا عَلَى طَرِيقِ التَّغْلِيظِ وَالزَّجْرِ لِئَلَّا يَتَسَرَّعَ النَّاسُ إِلَى قَتْلِ عَبِيدِهِمْ وَإِمَّا عَلَى مَنْ كَانَ عَبْدُهُ فَأَعْتَقَهُ فَإِنَّهُ يُقَادُ بِهِ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَبْلِ عِتْقِهِ لَا يُقَادُ بِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan jika benar, maka dapat ditafsirkan dengan dua cara: pertama, sebagai cara untuk memperberat dan mencegah agar orang-orang tidak terburu-buru membunuh budak mereka; atau kedua, bagi seseorang yang budaknya telah dimerdekakan, maka ia dapat dikenakan qishash, sedangkan jika sebelum dimerdekakan, ia tidak dikenakan qishash. Dan Allah lebih mengetahui.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْحُرَّ لَا يُقْتَلُ بِالْعَبْدِ فَكَذَلِكَ لَا يُقْتَلُ بِكُلِّ مَنْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الرِّقِّ مِنَ الْمُدَبَّرُ وَالْمُكَاتَبُ وَأُمُّ الْوَلَدِ وَمَنْ رَقَّ بَعْضُهُ وَإِنْ قَلَّ فَلَوْ قَتَلَ حُرٌّ كَافِرٌ عَبْدًا مُسْلِمًا لَمْ يُقْتَلْ بِهِ لِحُرِّيَّتِهِ وَلَوْ قَتَلَهُ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ لَمْ يُقْتَلْ بِهِ لِإِسْلَامِهِ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِصَاحِبِهِ وَإِذَا قَتَلَ عَبْدٌ نِصْفُهُ حُرٌّ عَبْدًا نِصْفُهُ حُرٌّ قُتِلَ بِهِ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي الْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ وَلَوْ كَانَ نِصْفُ الْقَاتِلِ حُرًّا وَثُلُثُ الْمَقْتُولِ حُرًّا لَمْ يُقْتَلْ لِفَضْلِ حُرِّيَّةِ الْقَاتِلِ وَإِنْ كَانَ ثُلُثُ الْقَاتِلِ حُرًّا وَنِصْفُ الْمَقْتُولِ حُرًّا قُتِلَ بِهِ لِفَضْلِ حُرِّيَّةِ الْمَقْتُولِ عَلَى الْقَاتِلِ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ النَّاقِصُ بِالْكَامِلِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ الْكَامِلُ بِالنَّاقِصِ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ الْعَبْدُ بِالْحُرِّ وَلَا يَجُوزَ أَنْ يُقْتَلَ الْحُرُّ بِالْعَبْدِ
Jika telah ditetapkan bahwa orang merdeka tidak dibunuh karena membunuh budak, maka demikian pula tidak dibunuh karena membunuh siapa pun yang berada di bawah hukum perbudakan, seperti mudabbar, mukatab, umm al-walad, dan orang yang sebagian dirinya merdeka meskipun sedikit. Jika seorang kafir merdeka membunuh seorang budak Muslim, dia tidak dibunuh karena kemerdekaannya, dan jika budak Muslim membunuhnya, dia tidak dibunuh karena Islamnya. Maka, qisas gugur dari masing-masing mereka. Jika seorang budak yang setengahnya merdeka membunuh budak yang setengahnya merdeka, dia dibunuh karena kesetaraan mereka dalam kemerdekaan dan perbudakan. Jika setengah dari pembunuh merdeka dan sepertiga dari yang dibunuh merdeka, dia tidak dibunuh karena kelebihan kemerdekaan pembunuh. Jika sepertiga dari pembunuh merdeka dan setengah dari yang dibunuh merdeka, dia dibunuh karena kelebihan kemerdekaan yang dibunuh atas pembunuh, karena boleh membunuh yang kurang dengan yang lebih sempurna, dan tidak boleh membunuh yang lebih sempurna dengan yang kurang, seperti boleh membunuh budak karena orang merdeka dan tidak boleh membunuh orang merdeka karena budak.
وَلَوْ قَتَلَ حراً عَبْدًا فِي الْحِرَابَةِ كَانَ فِي وُجُوبِ قَتْلِهِ بِهِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى فِي قَتْلِ الذِّمِّيِّ فِي الْحِرَابَةِ وَلَوْ جَرَحَ عَبْدٌ حُرٌّ عَبْدًا فَأُعْتِقَ الْمَجْرُوحُ وَمَاتَ حُرًّا فَلَا قَوَدَ عَلَى الْقَاتِلِ وَعَلَيْهِ دِيَةُ حُرٍّ وَلَوْ جَرَحَ عَبْدٌ عَبْدًا فَأُعْتِقَ الْجَارِحُ وَمَاتَ قُتِلَ بِهِ
Dan jika seseorang merdeka membunuh seorang budak dalam kasus hirabah, ada dua pendapat mengenai kewajiban membunuhnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam kasus pembunuhan dzimmi dalam hirabah. Jika seorang budak melukai seorang merdeka yang kemudian dibebaskan dan meninggal dalam keadaan merdeka, maka tidak ada qisas atas pembunuh tersebut, tetapi dia harus membayar diyat seorang merdeka. Jika seorang budak melukai budak lain, kemudian pelaku dibebaskan dan korban meninggal, maka pelaku dibunuh sebagai qisas.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وفيه قيمته وإن بلغت ديات قال المزني رحمه الله تعالى وفي إجماعهم أن يده لا تقطع بيد العبد قضاء على أن الحر لا يقتل بالعبد فإذا منع أن يقتص من يده وهي أقل لفضل الحرية على العبودية كانت النفس أعظم وهي أن تقتص بنفس العبد أبعد
Imam Syafi’i berkata bahwa dalam hal ini adalah nilainya, meskipun mencapai diyat. Al-Muzani, semoga Allah merahmatinya, berkata bahwa dalam ijmā‘ mereka, tangan orang merdeka tidak dipotong karena tangan budak, menunjukkan bahwa orang merdeka tidak dibunuh karena budak. Jika dilarang untuk melakukan qishās terhadap tangannya yang lebih rendah karena kelebihan kemerdekaan atas perbudakan, maka jiwa lebih besar, dan melakukan qishās terhadap jiwa budak lebih jauh.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا قَتَلَ الْعَبْدُ بِجِنَايَةٍ أَوْ مَاتَ فِي يَدِهَا مِنْهُ فَفِيهِ قِيمَةُ مَا بَلَغَتْ وَإِنْ زَادَتْ عَلَى دِيَةِ الْحُرِّ ضِعَافًا وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَهْلِ الْحِجَازِ وَبِهِ قَالَ مِنَ العِرَاقِيِّينَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو يُوسُفَ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ
Al-Mawardi berkata, “Ini seperti yang dikatakan, jika seorang budak membunuh dengan suatu kejahatan atau mati di tangannya, maka ada nilai dari apa yang dicapai, meskipun melebihi diyat orang merdeka berkali-kali lipat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hijaz, dan dari kalangan Irak, pendapat ini dipegang oleh Sufyan ats-Tsauri, Abu Yusuf, Ahmad, dan Ishaq.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٌ يُضْمَنُ فِي الْيَدِ جَمِيعَ قِيمَتِهِ مَا بَلَغَتْ وَيُضْمَنُ فِي الْجِنَايَةِ بِقِيمَتِهِ إِلَّا أَنْ تبلغ دية حر أو تزيد عليها فتنتقض عن دية الحر عشر دَرَاهِمَ حَتَّى لَا يُسَاوِيَهُ فِي دِيَتِهِ
Abu Hanifah dan Muhammad berkata bahwa dalam kasus barang yang dipegang, seluruh nilainya harus dijamin, berapa pun jumlahnya. Dalam kasus jinayah, dijamin dengan nilainya kecuali jika mencapai diyat orang merdeka atau lebih, maka dikurangi dari diyat orang merdeka sepuluh dirham agar tidak menyamainya dalam diyat.
وَإِنْ كَانَتْ أَمَةً قَدْ زَادَتْ قِيمَتُهَا عَلَى نِصْفِ الدِّيَةِ نَقَصَتْ عَنْهَا عَشَرَةَ دَرَاهِمَ
Jika seorang budak perempuan, dan nilainya melebihi setengah diyat, maka dikurangi darinya sepuluh dirham.
وَقِيلَ خَمْسَةَ دراهم؛ لأن لا تُسَاوِيَ دِيَةَ الْحُرِّ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ آدَمِيٌّ مَضْمُونٌ بِالْجِنَايَةِ فَلَمْ يُضْمَنْ بِأَكْثَرَ مِنْ دِيَةِ حُرٍّ كَالْحُرِّ وَلِأَنَّهُ يُضْمَنُ بِالْجِنَايَةِ ضَمَانَ النُّفُوسِ لِوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ فِيهِ فَوَجَبَ أَنْ يُضْمَنَ بِمُقَدَّرٍ كَالْأَطْرَافِ وَلِأَنَّ نَقْصَهُ بِالرِّقِّ يَمْنَعُ مِنْ كَمَالِ بَدَلِهِ كَالنَّاقِصِ الْقِيمَةِ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ لَا أُوجِبُ فِي الْمَمْلُوكِ مِمَّا أُوجِبُ فِي الْمَالِكِ
Dikatakan lima dirham; karena tidak setara dengan diyat orang merdeka, berdasarkan bahwa ia adalah manusia yang dijamin dengan jinayah, maka tidak dijamin lebih dari diyat orang merdeka seperti orang merdeka. Dan karena ia dijamin dengan jinayah sebagai jaminan jiwa karena kewajiban kafarat padanya, maka wajib dijamin dengan ukuran tertentu seperti anggota tubuh. Dan karena kekurangannya dengan perbudakan mencegah kesempurnaan penggantinya seperti yang kurang nilainya, dan ini adalah makna dari perkataan Abu Hanifah: “Saya tidak mewajibkan pada budak apa yang diwajibkan pada pemilik.”
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ البقرة 194 والمثل في الشرع مثلان مثل يفي الصُّورَةَ وَمِثْلٌ فِي الْقِيمَةِ فَإِذَا لَمْ يُعْتَبَرِ الْمِثْلُ فِي الصُّورَةِ اعْتُبِرَ فِي الْقِيمَةِ مَا بَلَغَتْ وَلِأَنَّ حُرْمَةَ الْآدَمِيِّ أَغْلَظُ مِنْ حُرْمَةِ الْبَهِيمَةِ ثُمَّ كَانَتِ الْبَهِيمَةُ مَضْمُونَةً بِجَمِيعِ قِيمَتِهَا فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يُضْمَنَ الْعَبْدُ بِجَمِيعِ قِيمَتِهِ
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta’ala: “Maka barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah 194). Dalam syariat, ada dua jenis kesetaraan: kesetaraan dalam bentuk dan kesetaraan dalam nilai. Jika kesetaraan dalam bentuk tidak dapat dipertimbangkan, maka dipertimbangkan dalam nilai sesuai dengan yang dicapai. Karena kehormatan manusia lebih besar daripada kehormatan hewan, dan jika hewan harus diganti dengan seluruh nilainya, maka lebih utama jika seorang hamba diganti dengan seluruh nilainya.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا بِأَحَدِ مَعْنَيَيْنِ أَنْ تَقُولَ فِي أَحَدِهِمَا إِنَّهُ مَمْلُوكٌ مَضْمُونٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا تتقدر قِيمَتُهُ كَالْبَهِيمَةِ
Dan penetapannya secara qiyās dengan salah satu dari dua makna adalah bahwa Anda mengatakan dalam salah satunya bahwa ia adalah milik yang dijamin, sehingga seharusnya nilainya tidak ditentukan seperti hewan.
وَالثَّانِي أَنَّ مَا لَمْ يَتَقَدَّرْ أَقَلُّ قِيمَتِهِ لَمْ تَتَقَدَّرْ أَكْثَرُهَا كَالْبَهِيمَةِ وَلِأَنَّ ضَمَانَ الْعَبْدِ بِالْجِنَايَةِ أَغْلَظُ مِنْ ضَمَانِهِ بِالْيَدِ ثُمَّ كَانَ فِي الْيَدِ مَضْمُونًا بِجَمِيعِ قِيمَتِهِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يُضَمَّنَ فِي الْجِنَايَةِ بِجَمِيعِ قِيمَتِهِ وَيَتَحَرَّرُ مِنْهُ قِيَاسَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ الضَّمَانِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوْفِيَ بِهِ قِيمَةَ الْمَضْمُونِ كَالضَّمَانِ بِالْيَدِ
Kedua, sesuatu yang tidak ditentukan nilai terendahnya, maka nilai tertingginya juga tidak ditentukan, seperti hewan ternak. Karena tanggungan budak akibat jinayah lebih berat daripada tanggungan akibat kepemilikan, maka dalam kepemilikan, ia dijamin dengan seluruh nilainya. Oleh karena itu, lebih utama jika dalam jinayah ia dijamin dengan seluruh nilainya. Dari sini muncul dua qiyās: salah satunya adalah bahwa ini merupakan salah satu jenis tanggungan, sehingga wajib untuk memenuhi nilai yang dijamin, seperti tanggungan akibat kepemilikan.
وَالثَّانِي أَنَّ مَا ضُمِنَتْ قيمته باليد ضمنت قيمه بِالْجِنَايَةِ كَالنَّاقِصِ الْقِيمَةِ وَلِأَنَّ الْعَبْدَ مُتَرَدِّدُ الْحَالِ بَيْنَ أَصْلَيْنِ
Yang kedua adalah bahwa sesuatu yang dijamin nilainya dengan tangan juga dijamin nilainya dengan jinayah, seperti yang kurang nilainya, karena budak berada dalam keadaan yang terombang-ambing antara dua prinsip.
أَحَدُهُمَا الْحُرُّ لِأَنَّهُ آدَمِيٌّ مُكَلَّفٌ يَجِبُ فِي قَتْلِهِ الْقَوَدُ وَالْكَفَّارَةُ
Salah satunya adalah orang merdeka karena ia adalah manusia yang mukallaf, sehingga dalam pembunuhannya diwajibkan qishash dan kaffarah.
وَالثَّانِي الْبَهِيمَةُ لِأَنَّهُ مَمْلُوكٌ يُبَاعُ وَيُوهَبُ وَيُورَثُ وَهُوَ فِي الْقِيمَةِ مُلْحَقٌ بِأَحَدِ أَصْلَيْنِ
Dan yang kedua adalah hewan ternak karena ia adalah milik yang dapat dijual, dihibahkan, dan diwariskan, serta dalam hal nilai, ia disamakan dengan salah satu dari dua asal.
فَلَمَّا أُلْحِقَ بِالْبَهِيمَةِ فِي ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ
Ketika disamakan dengan hewan dalam tiga keadaan.
أَحَدُهَا إِذَا قَلَّتْ قِيمَتُهُ
Salah satunya adalah ketika nilainya berkurang.
وَالثَّانِيَةُ إِذَا ضُمِّنَ بِالْيَدِ
Dan yang kedua adalah jika dijamin dengan tangan.
وَالثَّالِثَةُ إِذَا ضَمِنَهُ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ بِالْعِتْقِ
Paragraf ketiga adalah ketika salah satu dari dua mitra menjamin dengan pembebasan.
وَجَبَ أَنْ يُلْحَقَ بِالْبَهِيمَةِ فِي الْحَالِ الرَّابِعَةِ وَهُوَ إِذَا أَرَادَتْ قِيمَتُهُ فِي ضَمَانِهِ بِالْجِنَايَةِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُلْحَقَ بِالْبَهِيمَةِ فِي أَقَلِّهَا وَيُلْحَقَ بِالْحُرِّ فِي أَكْثَرِهَا وَلِأَنَّهُمْ لَا يُلْحِقُونَهُ بِالْحُرِّ فِي أَكْثَرِهَا حَتَّى يُنْقِصُوا مِنْ قِيمَتِهِ عَشَرَةً فَلَمْ يَسْلَمْ لَهُمْ أَحَدُ الْأَصْلَيْنِ
Harus disamakan dengan hewan dalam keadaan keempat, yaitu ketika nilainya diinginkan dalam jaminan karena tindak pidana; karena tidak boleh disamakan dengan hewan dalam jumlah yang lebih sedikit dan disamakan dengan orang merdeka dalam jumlah yang lebih banyak. Dan karena mereka tidak menyamakannya dengan orang merdeka dalam jumlah yang lebih banyak sampai mereka mengurangi nilainya sepuluh, sehingga tidak ada satu pun dari dua prinsip yang tersisa bagi mereka.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْحُرِّ فَهُمْ لَا يُسَاوُونَهُ بِالْحُرِّ لِمَا يَعْتَبِرُونَهُ مِنْ نُقْصَانِ قِيمَتِهِ عَنْ دِيَةِ الْحُرِّ فَهَذَا جَوَابٌ
Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap orang merdeka, mereka tidak menyamakannya dengan orang merdeka karena mereka mempertimbangkan kekurangan nilainya dibandingkan dengan diyat orang merdeka. Ini adalah jawabannya.
وَجَوَابٌ ثَانٍ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُلْحَقْ بِالْحُرِّ فِي ضَمَانِهِ بِالْيَدِ لَمْ يُلْحَقْ فِي ضَمَانِهِ بِالْجِنَايَةِ وَلَمَّا امْتَنَعَ أَنْ يُلْحَقَ بِهِ إِذَا نَقَصَتْ قِيمَتُهُ امْتَنَعَ أَنْ يُلْحَقَ بِهِ إِذَا زَادَتْ
Jawaban kedua adalah bahwa ketika dia tidak disamakan dengan orang merdeka dalam tanggung jawabnya dengan tangan, maka dia juga tidak disamakan dalam tanggung jawabnya dengan jinayah. Dan ketika tidak mungkin dia disamakan jika nilainya berkurang, maka tidak mungkin dia disamakan jika nilainya bertambah.
وَقِيَاسُهُمْ عَلَى ضَمَانِ أَطْرَافِهِ فَأَطْرَافُهُ مُعْتَبَرَةٌ بِقِيمَتِهِ وَقِيمَتُهُ غَيْرُ مُقَدَّرَةٍ فَلَمْ تَتَقَدَّرْ بِهَا أَطْرَافُهُ وَقَوْلُهُمْ إِنَّهُ ناقص بالرق فلم يساوي الْحُرَّ فِي دِيَتِهِ فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Dan qiyās mereka terhadap jaminan anggota tubuhnya adalah bahwa anggota tubuhnya dianggap berdasarkan nilainya, dan nilainya tidak ditentukan, maka anggota tubuhnya tidak ditentukan olehnya. Dan pernyataan mereka bahwa ia kurang karena perbudakan sehingga tidak setara dengan orang merdeka dalam diyatnya adalah salah dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ جَعَلُوهُ كَامِلًا فِي الْقِصَاصِ وَنَاقِصًا فِي الدِّيَةِ وَهَذَا تَنَاقُضٌ
Salah satunya adalah bahwa mereka menganggapnya sempurna dalam qishāṣ dan kurang dalam diyat, dan ini adalah kontradiksi.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ نَقْصُهُ فِي ضَمَانِهِ بِالْيَدِ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَى دِيَةِ الْحُرِّ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ ذَلِكَ فِي ضَمَانِهِ بِالْجِنَايَةِ
Yang kedua, ketika kekurangan dalam tanggungannya dengan tangan tidak menghalangi penambahan di atas diyat orang merdeka, maka hal itu juga tidak menghalangi dalam tanggungannya dengan jinayah.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْعَبْدَ مَضْمُونٌ بِالْقِيمَةِ وَإِنْ زَادَتْ عَلَى الدِّيَةِ لَمْ يَخْلُ الضَّمَانُ أَنْ يَكُونَ نَفْسَهُ أَوْ لِمَا دُونَهَا فَإِنْ ضُمِنَتْ نَفْسُهُ اسْتَوَى ضَمَانُهَا بِالْيَدِ إِذَا غُصِبَ وَبِالْجِنَايَةِ إِذَا قُتِلَ فَتَجِبُ فِيهِ جَمِيعُ قِيمَتِهِ مَا بَلَغَتْ لَكِنْ يُعْتَبَرُ فِي الْجِنَايَةِ قِيمَتُهُ وَقْتَ الْقَتْلِ وَتُعْتَبَرُ فِي الْيَدِ قِيمَتُهُ أَكْثَرَ مَا كَانَتْ مِنْ وَقْتِ الْغَصْبِ إِلَى وَقْتِ التَّلَفِ
Jika telah ditetapkan bahwa seorang budak dijamin dengan nilai meskipun melebihi diyat, maka jaminan itu tidak lepas dari dirinya sendiri atau kurang darinya. Jika jiwanya dijamin, maka jaminannya sama baik dengan tangan jika dirampas maupun dengan jinayah jika dibunuh, sehingga wajib seluruh nilainya berapa pun besarnya. Namun, dalam jinayah, nilainya dipertimbangkan pada saat pembunuhan, dan dalam kasus tangan, nilainya dipertimbangkan pada saat tertinggi dari waktu perampasan hingga waktu kerusakan.
فَأَمَّا مَا دُونَ نَفْسِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun selain dirinya sendiri, maka terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ جُرْحًا لَا يَتَقَدَّرُ فِيهِ مِنَ الحُرِّ دِيَةٌ فَتَجِبُ فِيهِ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ فِي ضَمَانِهِ بِالْيَدِ وَالْجِنَايَةِ جَمِيعًا
Salah satunya adalah bahwa luka tersebut tidak memiliki diyat yang ditentukan dari orang merdeka, maka wajib mengganti kerugian dari nilai yang berkurang dalam jaminan dengan tangan dan jinayah secara keseluruhan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ طَرَفًا يَتَقَدَّرُ فِيهِ مِنَ الحُرِّ دِيَةٌ كَالْيَدِ الَّتِي يَجِبُ فِيهَا مِنَ الحُرِّ نِصْفُ الدِّيَةِ
Jenis yang kedua adalah bagian tubuh yang memiliki nilai diyat tertentu, seperti tangan yang wajib dikenakan setengah diyat bagi orang merdeka.
فَلَا يَخْلُو ضَمَانُهَا فِي الْعَبْدِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Maka tanggung jawabnya dalam hal budak tidak terlepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ تُضْمَنَ بِالْجِنَايَةِ فَتُضْمَنَ بِنِصْفِ قِيمَتِهِ كَالْحُرِّ فِي ضَمَانِهَا بِنِصْفِ دِيَتِهِ
Salah satunya adalah bahwa ia dijamin dengan jinayah, sehingga dijamin dengan setengah dari nilainya seperti halnya orang merdeka dalam penjaminannya dengan setengah diyatnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تُضْمَنَ بِالْيَدِ فَتُضْمَنَ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ سَوَاءٌ زَادَ عَلَى نِصْفِ الْقِيمَةِ أَوْ نَقَصَ كَالْبَهِيمَةِ
Bagian kedua adalah jaminan dengan tangan, sehingga dijamin apa yang berkurang dari nilainya, baik lebih dari setengah nilai atau kurang, seperti hewan ternak.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تُضْمَنَ بِالْيَدِ وَالْجِنَايَةِ فَيَضْمَنُهَا بِأَكْثَرِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ؛ أَوْ مَا نَقَصَ مِنْهَا لِأَنَّهُ لَمَّا جَمَعَ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ أَغْلَظُهُمَا لوجود موجبه
Bagian ketiga adalah bahwa jaminan dilakukan dengan tangan dan pelanggaran, maka ia menjaminnya dengan yang lebih besar dari dua hal: setengah dari nilainya; atau apa yang berkurang darinya karena ketika menggabungkan dua hal tersebut, wajib baginya untuk mengikuti yang lebih berat karena adanya sebab yang mewajibkannya.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَا يُقْتَلُ وَالِدٌ بِوَلَدٍ لِأَنَّهُ إِجْمَاعٌ وَلَا جَدٌّ مِنْ قِبَلِ أُمٍّ وَلَا أَبٍ بِوَلَدِ وَلَدٍ وَإِنْ بَعُدَ لأنه والد قال المزني رحمه الله هذا يؤكد ميراث الجد لأن الأخ يقتل بأخيه ولا يقتل الجد بابن ابنه ويملك الأخ أخاه في قوله ولا يملك جده وفي هذا دليل على أن الجد كالأب في حجب الإخوة وليس كالأخ
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seorang ayah tidak dibunuh karena membunuh anaknya, karena ini adalah ijmā‘. Begitu pula seorang kakek dari pihak ibu atau ayah tidak dibunuh karena membunuh cucunya, meskipun jauh, karena dia adalah ayah.” Al-Muzani rahimahullah berkata, “Ini menegaskan warisan kakek, karena saudara dibunuh karena membunuh saudaranya, tetapi kakek tidak dibunuh karena membunuh cucu. Saudara memiliki hak atas saudaranya menurut pendapatnya, tetapi kakek tidak. Ini menunjukkan bahwa kakek seperti ayah dalam menghalangi saudara, dan bukan seperti saudara.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَلَا يُقْتَلُ وَالِدٌ وَلَا وَالِدَةٌ وَلَا جَدٌّ وَلَا جَدَّةٌ بِوَلَدٍ وَلَا بِوَلَدِ وَلَدٍ وَإِنْ سَفُلَ سَوَاءٌ قَتَلَهُ ذَبْحًا أَوْ حَذْفًا وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ ذَبَحَهُ غِيلَةً قُتِلَ بِهِ وَإِنْ حَذَفَهُ بِسَيْفٍ فَقَتَلَهُ لَمْ يُقْتَلْ بِهِ اسْتِدْلَالًا بِعُمُومِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَلِأَنَّ تَسَاوِيَهُمَا فِي الْإِسْلَامِ وَالْحُرِّيَّةِ يُوجِبُ تَسَاوِيَهُمَا فِي الْقَوَدِ كَالْأَجَانِبِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا قُتِلَ الْوَلَدُ بِالْوَالِدِ جَازَ قَتْلُ الْوَالِدِ بِالْوَلَدِ
Al-Mawardi berkata bahwa seorang ayah, ibu, kakek, atau nenek tidak dibunuh karena membunuh anak atau cucu, meskipun turunannya lebih rendah, baik membunuhnya dengan cara menyembelih atau melempar. Malik mengatakan bahwa jika membunuhnya dengan cara pengkhianatan, maka ia dibunuh karenanya, tetapi jika membunuhnya dengan pedang dan menyebabkan kematian, maka tidak dibunuh karenanya. Ini berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan karena kesetaraan mereka dalam Islam dan kebebasan mengharuskan kesetaraan mereka dalam qisas seperti orang asing. Dan karena ketika anak dibunuh oleh orang tua, maka diperbolehkan membunuh orang tua karena anak.
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَى قَتَادَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا تُقَامُ الْحُدُودُ فِي الْمَسَاجِدِ وَلَا يُقَادُ بِالْوَلَدِ الْوَالِدُ
Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh Qatadah dari Amr bin Dinar dari Thawus dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ditegakkan hudud di masjid-masjid dan tidak dibalas anak dengan orang tua.”
وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ عَجْلَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي مُدْلِجٍ أَوْلَدَ جَارِيَةً فَأَصَابَ مِنْهَا ابْنًا وَكَانَ يَسْتَخْدِمُهَا فَلَمَّا شَبَّ الْغُلَامُ قَالَ إِلَى مَتَى تَسْتَأْمِي أُمِّي أَيْ تَسْتَخْدِمُهَا خِدْمَةَ الْإِمَاءِ فَغَضِبَ فَحَذَفَهُ بِسَيْفٍ أَصَابَ رِجْلَهُ فَقَطَعَهَا وَمَاتَ فَانْطَلَقَ فِي رَهْطٍ إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ يَا عَدُوَّ نَفْسِهِ أَنْتَ الَّذِي قَتَلْتَ ابْنَكَ لَوْلَا أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ لَا يُقَادُ الْأَبُ مِنَ ابْنِهِ لَقَتَلْتُكَ هَلُمَّ دِيَتَهُ قَالَ فَأَتَاهُ بِعِشْرِينَ وَمِائَةِ بَعِيرٍ قَالَ فَخَيَّرَ مِنْهَا مِائَةً فَدَفَعَهَا إِلَى وَرَثَتِهِ وَتَرَكَ أَبَاهُ فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا أَسْقَطَ عَنْهُ الْقَوَدَ لِلْحَذْفِ وَدُخُولِ الشُّبْهَةِ فِيهِ بِمَا جُعِلَ لَهُ مِنْ تَأْدِيبِهِ وَهَذَا الْمَعْنَى مَفْقُودٌ فِي ذبحه غيلة
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ajlan dari Amr bin Syu’aib dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash bahwa seorang laki-laki dari Bani Mudlij memiliki seorang budak perempuan yang melahirkan seorang anak laki-laki darinya. Dia biasa mempekerjakannya. Ketika anak itu tumbuh besar, dia berkata, “Sampai kapan ibuku diperlakukan seperti budak?” Laki-laki itu marah dan memukulnya dengan pedang hingga mengenai kakinya dan memotongnya, lalu dia meninggal. Kemudian dia pergi bersama sekelompok orang menemui Umar radhiyallahu ‘anhu. Umar berkata, “Wahai musuh dirimu sendiri, kamu yang membunuh anakmu. Jika bukan karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa seorang ayah tidak dihukum mati karena membunuh anaknya, pasti aku akan membunuhmu. Berikan diyatnya.” Lalu dia membawa seratus dua puluh unta. Umar memilih seratus dari unta tersebut dan memberikannya kepada ahli warisnya, dan membiarkan ayahnya. Jika dikatakan bahwa hukuman qisas tidak dijatuhkan karena ada keraguan dalam tindakan tersebut yang dianggap sebagai bagian dari mendidik, maka makna ini tidak berlaku dalam kasus pembunuhan secara sengaja.
قيل هذا فاسد من وجهين إنَّهُ لَيْسَ فِي عُرْفِ التَّأْدِيبِ حَذْفُهُ بِالسَّيْفِ فَلَمْ يَجُزْ حَمْلُهُ عَلَيْهِ
Dikatakan bahwa ini keliru dari dua sisi: tidak ada dalam ‘urf (kebiasaan) ta’dib (pendisiplinan) penghapusan dengan pedang, sehingga tidak boleh diartikan demikian.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ جَازَ لِمَا اسْتَحَقَّهُ مِنْ تَأْدِيبِهِ أَنْ لَا يُقَالَ لِحَذْفِهِ يَسْقُطُ بِهِ الْقَوَدُ عَنْ كُلِّ مُسْتَحِقٍّ لِلتَّأْدِيبِ مِنْ وَالٍ وَحَاكِمٍ وَهُمْ يُقَادُونَ بِهِ مَعَ اسْتِحْقَاقِهِمْ لِلتَّأْدِيبِ فَكَذَلِكَ الْأَبُ وَلِأَنَّهُ لَا يَخْلُو سُقُوطُ الْقَوَدِ عَنِ الْأَبِ فِي الْحَذْفِ أَنْ يَكُونَ لِشُبْهَةٍ فِي الْفِعْلِ أَوْ فِي الْفَاعِلِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ لِشُبْهَةٍ فِي الْفِعْلِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ شُبْهَةً فِيهِ مَعَ غَيْرِ الْوَلَدِ فَثَبَتَ أَنَّهُ لِشُبْهَةٍ فِي الْفَاعِلِ وَهُوَ الْأُبُوَّةُ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ الْقَوَدُ مَعَ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِ وَلِأَنَّ الْوَلَدَ بَعْضُ أَبِيهِ وَلَا قَوَدَ عَلَى الْإِنْسَانِ فِيمَا جَنَاهُ عَلَى نَفْسِهِ كَذَلِكَ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي وَلَدِهِ لِأَنَّهُ بَعْضُ نَفْسِهِ
Kedua, jika diperbolehkan karena haknya untuk mendidik, maka tidak dapat dikatakan bahwa dengan menghapusnya, qisas tidak berlaku bagi setiap orang yang berhak mendapatkan pendidikan dari wali dan hakim, dan mereka dikenakan qisas meskipun mereka berhak mendapatkan pendidikan. Demikian pula halnya dengan ayah. Dan karena tidak mungkin qisas terhadap ayah dalam penghapusan itu disebabkan oleh syubhat dalam perbuatan atau pelaku, maka tidak mungkin disebabkan oleh syubhat dalam perbuatan; karena tidak ada syubhat dalam perbuatan tersebut dengan selain anak. Maka, terbukti bahwa itu disebabkan oleh syubhat dalam pelaku, yaitu ayah, sehingga wajib qisas tidak berlaku padanya meskipun dalam berbagai keadaan. Dan karena anak adalah bagian dari ayahnya, dan tidak ada qisas terhadap seseorang atas apa yang dilakukannya terhadap dirinya sendiri, demikian pula tidak ada qisas terhadapnya dalam hal anaknya karena anak adalah bagian dari dirinya sendiri.
وَاسْتِدْلَالُهُ بِالظَّوَاهِرِ مَخْصُوصٌ وَقِيَاسُهُ عَلَى الْأَجَانِبِ مَمْنُوعٌ بِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ البَعْضِيَّةِ وَاعْتِبَارُهُ بِقَتْلِ الْوَلَدِ بِالْوَالِدِ فَاسِدٌ لِتَسْوِيَتِهِ فِي الْوَلَدِ بَيْنَ الذَّبْحِ وَالْحَذْفِ وَفَرْقِهِ فِي الْأَبِ بَيْنَ الذَّبْحِ وَالْحَذْفِ وَأَنَّهُ يُحَدُّ الْوَلَدُ بِقَذْفِ الْوَالِدِ وَلَا يُحَدُّ الْوَالِدُ بِقَذْفِ الْوَلَدِ وَهَذَا انْفِصَالٌ وَدَلِيلٌ
Penggunaan dalil dengan zhahir adalah khusus, dan qiyās terhadap orang asing dilarang karena alasan yang telah kami sebutkan mengenai sebagian. Pertimbangan dengan membunuh anak oleh orang tua adalah rusak karena menyamakan dalam hal anak antara penyembelihan dan pelemparan, serta membedakan dalam hal orang tua antara penyembelihan dan pelemparan. Dan bahwa anak dikenai hukuman karena menuduh orang tua, sedangkan orang tua tidak dikenai hukuman karena menuduh anak. Ini adalah pemisahan dan bukti.
فَإِنْ قِيلَ فَكَيْفَ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِيمَا خَالَفَ فِيهِ مَالِكٌ لِأَنَّهُ إِجْمَاعٌ وَكَيْفَ يَنْعَقِدُ الْإِجْمَاعُ مَعَ خِلَافِ مِثْلِهِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Jika dikatakan, bagaimana Syafi’i berpendapat dalam hal yang berbeda dengan Malik karena itu adalah ijmā‘, dan bagaimana ijmā‘ dapat terbentuk dengan adanya perbedaan seperti itu, maka ada dua jawaban darinya.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ الصَّحَابَةَ لِأَنَّهُ قَوْلُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ وَلَمْ يخالف أَحَدُهُمْ
Salah satunya adalah bahwa ia menginginkan para sahabat karena itu adalah perkataan Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhu dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menentangnya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ قَتْلُهُ حَذْفًا إِجْمَاعٌ لَا يُعْرَفُ فِيهِ خِلَافٌ فَكَانَ الذَّبْحُ بِمَثَابَتِهِ
Yang kedua adalah bahwa pembunuhan dengan cara melempar adalah ijmā‘ yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di dalamnya, sehingga penyembelihan dianggap setara dengannya.
فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ لَمَّا رَأَى الشَّافِعِيَّ يَقُولُ إِنَّ الْجَدَّ كَالْأَبِ فِي أَنَّهُ لَا يُقْتَلُ بِوَلَدِ وَلَدِهِ قَالَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْجَدُّ كَالْأَبِ فِي حَجْبِ الْإِخْوَةِ عَنِ الْمِيرَاثِ
Adapun al-Muzani, ketika ia melihat al-Syafi’i mengatakan bahwa kakek seperti ayah dalam hal tidak dibunuh karena cucunya, ia berkata bahwa seharusnya kakek juga seperti ayah dalam menghalangi saudara-saudara dari warisan.
قِيلَ؛ إِنَّمَا قَالَ إِنَّ الْجَدَّ كَالْأَبِ لِأَجْلِ الْوِلَادَةِ وَلَا يَقْتَضِي أَنْ يُحْجَبَ بِهِ الْإِخْوَةُ كَمَا تَجْعَلُ الْأُمَّ وَأَبَاهَا كَالْأَبِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ وَلَا تَجْعَلُهَا كَالْأَبِ فِي حَجْبِ الْإِخْوَةِ
Dikatakan; sesungguhnya kakek dianggap seperti ayah karena hubungan kelahiran, tetapi ini tidak berarti bahwa kakek menghalangi saudara-saudara seperti halnya ibu dan ayahnya dianggap seperti ayah dalam menggugurkan qisas, namun tidak dianggap seperti ayah dalam menghalangi saudara-saudara.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَا قَوَدَ عَلَى الْأَبَوَيْنِ وَمَنْ عَلَا مِنَ الأَجْدَادِ وَالْجَدَّاتِ مَنْ وَرِثَ مِنْهُمْ أَوْ لَمْ يَرِثْ فَسَوَاءٌ كَانَ الْوَالِدُ الْقَاتِلُ حُرًّا أَوْ عَبْدًا مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا وَيُعَزَّرُ لِإِقْدَامِهِ عَلَى مَعْصِيَةٍ وَعَلَيْهِ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ وَلَا مِيرَاثَ لَهُ مِنْهُ؛ لِأَنَّ الْقَاتِلَ لَا يَرِثُ
Maka jika telah ditetapkan bahwa tidak ada qishash atas kedua orang tua dan para kakek-nenek yang lebih tinggi, baik mereka mewarisi atau tidak, maka sama saja apakah orang tua yang membunuh itu merdeka atau budak, Muslim atau kafir. Ia dihukum ta’zir karena melakukan maksiat, dan ia wajib membayar diyat dan kafarat dari hartanya sendiri, serta tidak berhak mewarisi darinya; karena pembunuh tidak mewarisi.
فَصْلٌ
Bagian
وَإِذَا تَنَازَعَ رَجُلَانِ فِي أُبُوَّةِ وَلَدٍ ثُمَّ قَتَلَاهُ أَوْ أَحَدُهُمَا فَلَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Dan jika dua orang laki-laki berselisih mengenai ayah dari seorang anak, kemudian mereka membunuhnya atau salah satu dari mereka, maka tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَقِيطًا قَدِ ادَّعَاهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَدًا أَوْ إِمَّا أَنْ يَكُونَ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي افْتِرَاشِ أَمَةٍ بِشُبْهَةٍ فَإِنْ كَانَ لَقِيطًا وَادَّعَاهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَدًا فَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ يَلْحَقُ بِهِمَا
Entah itu seorang anak terlantar yang diakui oleh masing-masing dari mereka sebagai anak, atau karena mereka berdua berhubungan dengan seorang budak perempuan dengan syubhat. Jika itu adalah seorang anak terlantar dan masing-masing dari mereka mengakuinya sebagai anak, menurut Abu Hanifah, anak tersebut dihubungkan kepada keduanya.
وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُعْرَضُ عَلَى الْقَافَةِ وَيُلْحَقُ بِمَنْ أَلْحَقُوهُ بِهِ مِنْهُمَا فَإِنْ عُدِمَتِ الْقَافَةُ وَأَشْكَلَ عَلَيْهِمْ وُقِفَ إِلَى زَمَانِ الِانْتِسَابِ لِيَنْتَسِبَ إِلَى أَحَدِهِمَا بِطَبْعِهِ وَلِلْكَلَامِ مَعَهُ مَوْضِعٌ غَيْرُ هَذَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلِلْمُدَّعِي أُبُوَّتَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ
Menurut mazhab Syafi’i, jika ada perselisihan, maka kasus tersebut diajukan kepada ahli qafah dan anak tersebut dihubungkan dengan salah satu dari mereka berdasarkan keputusan ahli qafah. Jika ahli qafah tidak ada dan sulit untuk menentukan, maka ditunda sampai waktu anak tersebut dapat menisbatkan dirinya secara alami kepada salah satu dari mereka. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini berada di tempat lain. Dalam situasi seperti ini, pihak yang mengklaim sebagai ayah memiliki tiga keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ يكون مُقِيمَيْنِ عَلَى ادِّعَائِهِ وَالتَّنَازُعِ فِيهِ فَإِنْ قَتَلَاهُ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِمَا؛ لِجَرَيَانِ حُكْمِ الْأُبُوَّةِ عَلَيْهِمَا وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ فِي أَحَدِهِمَا؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَبَاهُ وَإِنْ قَتَلَهُ أَحَدُهُمَا قَبْلَ الْبَيَانِ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ سَوَاءٌ لَحِقَ بِالْقَاتِلِ أَوْ بِالْآخَرِ؛ لِثُبُوتِ الشُّبْهَةِ فِيهِ عِنْدَ قَتْلِهِ
Salah satunya adalah bahwa keduanya tetap bersikeras pada klaim dan perselisihan mereka. Jika mereka membunuhnya, maka tidak ada qisas atas keduanya, karena hukum kebapakan berlaku atas mereka, meskipun tidak ditentukan pada salah satu dari mereka, karena masing-masing dari mereka mungkin adalah ayahnya. Jika salah satu dari mereka membunuhnya sebelum penjelasan, maka tidak ada qisas atasnya, baik ia bergabung dengan pembunuh atau yang lainnya, karena adanya syubhat dalam pembunuhan tersebut.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يُسَلِّمَهُ أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ قَبْلَ الْقَتْلِ فَيَلْحَقُ بِمَنْ سُلِّمَ إِلَيْهِ وَيَصِيرُ ابْنًا لَهُ دُونَ الْآخَرِ فَإِنْ قَتَلَهُ مَنْ أُلْحِقَ بِهِ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ أَبٌ لَهُ
Keadaan kedua adalah ketika salah satu dari mereka menyerahkannya kepada yang lain sebelum pembunuhan, maka ia bergabung dengan orang yang diserahkan kepadanya dan menjadi anaknya, bukan yang lain. Jika orang yang diserahkan kepadanya membunuhnya, maka tidak ada qishāsh atasnya, karena ia adalah ayahnya.
وَإِنْ قَتَلَهُ مَنْ نُفِيَ عَنْهُ أُقِيدَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ أَجْنَبِيٌّ مِنْهُ وَإِنْ قَتَلَاهُ مَعًا فَلَا قَوَدَ عَلَى الْأَبِ وَيُقَادُ مِنَ الآخَرِ
Jika seseorang yang diasingkan membunuhnya, maka ia harus dihukum qishash; karena ia adalah orang asing baginya. Namun, jika keduanya membunuhnya bersama-sama, maka tidak ada qishash atas ayah, dan qishash dilakukan terhadap yang lain.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَرْجِعَا جَمِيعًا عَنِ ادِّعَائِهِ فَلَا يُقْبَلُ رُجُوعُهُمَا وَإِنْ قبل رجوع أحدهما؛ لأنه قد صاراً بِدَعْوَاهُمَا مُسْتَحِقًّا لِأُبُوَّةِ أَحَدِهِمَا فَإِذَا سَلَّمَهُ أَحَدُهُمَا صار مُتَّفِقَيْنِ عَلَى إِثْبَاتِ أُبُوَّتِهِ فَقُبِلَ مِنْهُمَا وَإِذَا رجع عَنْهَا صَارَا مُتَّفِقَيْنِ عَلَى إِسْقَاطِ أُبُوَّتِهِ فَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُمَا
Keadaan ketiga adalah ketika keduanya menarik kembali pengakuan mereka, maka penarikan kembali mereka tidak diterima meskipun penarikan kembali salah satu dari mereka diterima; karena dengan pengakuan mereka, mereka telah menjadi berhak atas pengakuan salah satu dari mereka sebagai ayah. Jika salah satu dari mereka menyerahkannya, maka mereka menjadi sepakat untuk menetapkan pengakuan ayahnya, sehingga diterima dari mereka. Namun, jika mereka menarik kembali pengakuan tersebut, mereka menjadi sepakat untuk membatalkan pengakuan ayahnya, sehingga tidak diterima dari mereka.
فَإِنْ قَتَلَاهُ أَوْ أَحَدُهُمَا لَمْ يُقْتَلْ بِهِ لِبَقَاءِ حُكْمِ الْأُبُوَّةِ بَيْنَهُمَا
Jika mereka berdua atau salah satu dari mereka membunuhnya, maka tidak dibunuh sebagai balasan karena tetap adanya hukum hubungan ayah-anak di antara mereka.
وَإِنْ تَنَازَعَا لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْفِرَاشِ أَوْ تَنَاكَرَاهُ مَعَ اشْتِرَاكِهِمَا فِي الْفِرَاشِ فَالْحُكْمُ فِيهِمَا سَوَاءٌ وَكَذَلِكَ لَوْ سَلَّمَهُ أَحَدُهُمَا إِلَى الْآخَرِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ بِخِلَافِهِمَا فِي دَعْوَى اللَّقِيطِ؛ لَأَنَّ حُكْمَ الْأُبُوَّةِ فِي اللَّقِيطِ يَثْبُتُ بِالدَّعْوَى؛ فَجَازَ تَسْلِيمُهُ لِأَحَدِهِمَا
Jika keduanya berselisih karena berbagi tempat tidur atau saling menyangkal meskipun berbagi tempat tidur, maka hukumnya sama. Demikian pula, jika salah satu dari mereka menyerahkannya kepada yang lain, tidak diterima darinya berbeda dengan perselisihan mereka dalam klaim anak temuan; karena status kebapakan dalam kasus anak temuan ditetapkan dengan klaim; maka diperbolehkan menyerahkannya kepada salah satu dari mereka.
وَفِي وَلَدِ الْمَوْطُوءَةِ ثَبَتَ حُكْمُ الْأُبُوَّةِ بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْفِرَاشِ فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ التَّسْلِيمُ وَالْإِنْكَارُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلِبَيَانِ نَسَبِهِ فِي لحوقه بأحدهما حالتان
Dalam hal anak dari wanita yang digauli, status kebapakan ditetapkan dengan adanya hubungan ranjang, sehingga penyerahan dan penolakan tidak mempengaruhinya. Jika demikian, maka untuk menjelaskan nasabnya dalam kaitannya dengan salah satu dari keduanya terdapat dua keadaan.
أحدهما بِالْوِلَادَةِ وَهُوَ أَنْ تَلِدَهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْءِ أَحَدِهِمَا وَلِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ وَطْءِ الْآخَرِ؛ فَيَكُونُ لَاحِقًا بِمَنْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ وَطْئِهِ وَهَذَا بَيَانٌ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَأَخَّرَ عَنْ زَمَانِ الْوِلَادَةِ فَلَا يَكُونُ الْقَتْلُ إِلَّا بَعْدَ اسْتِقْرَارِ نَسَبِهِ؛ فَإِنْ قَتَلَهُ مَنْ لَحِقَ بِهِ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَتَلَهُ مَنِ انْتَفَى عَنْهُ أُقِيدَ به وإن اشتركا في قتله بِهِ غَيْرُ أَبِيهِ وَسَقَطَ الْقَوَدُ عَنْ أَبِيهِ
Salah satu cara adalah dengan kelahiran, yaitu jika seorang wanita melahirkan anak kurang dari enam bulan setelah berhubungan dengan salah satu dari mereka, dan enam bulan atau lebih setelah berhubungan dengan yang lain; maka anak tersebut dinisbatkan kepada yang berhubungan dengannya selama enam bulan atau lebih. Ini adalah penjelasan yang tidak boleh ditunda dari waktu kelahiran, sehingga pembunuhan tidak terjadi kecuali setelah nasabnya ditetapkan. Jika yang dinisbatkan kepadanya membunuh anak tersebut, maka tidak ada qisas atasnya. Namun, jika yang tidak diakui nasabnya membunuh anak tersebut, maka ia dikenakan qisas. Jika mereka berdua terlibat dalam pembunuhan, maka qisas tidak dikenakan kepada ayahnya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ لَا يُبَيَّنَ نَسَبُهُ بِالْوِلَادَةِ؛ لِوِلَادَتِهِ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْئِهِمَا مَعًا؛
Dan keadaan kedua adalah ketika nasabnya tidak dapat ditetapkan melalui kelahiran; karena kelahirannya terjadi setelah enam bulan dari hubungan keduanya bersama.
فَيُوقَفُ نَسَبُهُ عَلَى الْبَيَانِ بِالْقَافَةِ أَوِ الِانْتِسَابِ فَإِنْ قُتِلَ بَعْدَ الْبَيَانِ أُقِيدَ بِهِ غَيْرُ أَبِيهِ وَإِنْ قُتِلَ قَبْلَ الْبَيَانِ فَلَا قَوَدَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا سَوَاءٌ بَانَ مِنْ بَعْدُ أَنَّهُ أَبٌ أَوْ غَيْرُ أَبٍ؛ لِثُبُوتِ الشُّبْهَةِ حَالَ الْقَتْلِ
Maka nasabnya ditentukan dengan penjelasan oleh al-qāfah atau pengakuan. Jika ia dibunuh setelah penjelasan, maka qishāsh dilakukan terhadap selain ayahnya. Namun, jika ia dibunuh sebelum penjelasan, maka tidak ada qishāsh terhadap salah satu dari mereka, baik kemudian terbukti bahwa ia adalah ayah atau bukan ayah, karena adanya syubhat pada saat pembunuhan.
فَصْلٌ
Bagian
وَإِذَا قَتَلَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ وَتَرَكَتْ وَلَدًا فَلَهُ حَالَتَانِ
Jika seorang pria membunuh istrinya dan ia meninggalkan seorang anak, maka ada dua keadaan.
إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ مِنَ القَاتِلِ
Salah satunya adalah berasal dari pembunuh.
وَالثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِهِ
Dan yang kedua adalah berasal dari selain dirinya.
فَإِنْ كَانَ مِنَ القَاتِلِ سَقَطَ الْقَوَدُ عَنْهُ؛ لِأَنَّ وَارِثَهَا ابْنُ قَاتِلِهَا وَإِذَا لَمْ يَثْبُتِ لِلِابْنِ عَلَى أَبِيهِ قَوَدٌ فِي حَقِّ نَفْسِهِ لَمْ يَثْبُتْ عَلَيْهِ بِإِرْثِهِ عَنْ غَيْرِهِ وَلَوْ كَانَ الزَّوْجُ قَدْ قَذَفَهَا قَبْلَ الْقَتْلِ سَقَطَ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ إِذَا وَرِثَهَا ابْنُهُ؛ لِأَنَّ الِابْنَ لَمَّا لَمْ يَسْتَحِقَّ عَلَيْهِ الْحَدُّ فِي قَذْفِ نَفْسِهِ؛ فَكَذَلِكَ لَا يَسْتَحِقُّهُ بِإِرْثِهِ عَنْ غَيْرِهِ وَإِنْ كَانَ وَلَدُ الْمَقْتُولَةِ مِنْ غَيْرِ الْقَاتِلِ ثَبَتَ لَهُ عَلَى الْقَاتِلِ الْقَوَدُ وَحَدُّ الْقَذْفِ؛ لِأَنَّهُ لَا نَسَبَ لَهُ بَيْنَهُمَا؛ وَلَا بَعْضِيَّةَ
Jika pembunuhan dilakukan oleh pelaku, maka qisas gugur darinya; karena ahli warisnya adalah anak dari pembunuhnya. Jika anak tersebut tidak memiliki hak qisas terhadap ayahnya untuk dirinya sendiri, maka tidak ada hak baginya melalui warisan dari orang lain. Jika suami telah menuduhnya sebelum pembunuhan, maka hukuman tuduhan tersebut gugur darinya ketika anaknya mewarisinya; karena anak tersebut tidak berhak atas hukuman tuduhan terhadap dirinya sendiri, maka demikian pula tidak berhak melalui warisan dari orang lain. Jika anak dari yang terbunuh bukan dari pembunuh, maka ia berhak atas qisas dan hukuman tuduhan terhadap pelaku; karena tidak ada hubungan nasab di antara mereka, dan tidak ada hubungan sebagian.
وَلَوْ تَرَكَتِ الْمَقْتُولَةُ وَلَدَيْنِ أَحَدُهُمَا مِنَ القَاتِلِ وَالْآخَرُ مِنْ غَيْرِهِ وَرِثَهَا الْوَلَدَانِ مَعًا وَسَقَطَ عَنِ الزَّوْجِ الْقَوَدُ وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ حَدُّ الْقَذْفِ لِأَنَّ الْقَوَدَ فِي حَقِّ ابْنِهِ قَدْ سَقَطَ فَسَقَطَ فِي حَقِّ الْآخَرِ مِنْهُمَا كما لو عفى أَحَدُ الْوَلِيَّيْنِ عَنِ الْقَاتِلِ سَقَطَ الْقَوَدُ فِي حَقِّ الْآخَرِ وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدِ الْوَلِيَّيْنِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ
Jika perempuan yang dibunuh meninggalkan dua anak, salah satunya dari pembunuh dan yang lainnya bukan, maka kedua anak tersebut mewarisinya bersama. Hak qishash dari suami gugur, tetapi hukuman qadzaf tidak gugur darinya. Karena qishash terhadap anaknya telah gugur, maka gugur pula terhadap yang lainnya, seperti jika salah satu dari dua wali memaafkan pembunuh, maka qishash gugur terhadap yang lainnya. Dan tidak diperbolehkan bagi salah satu dari dua wali untuk menuntutnya.
وَحَدُّ الْقَذْفِ بِخِلَافِهِ لِأَنَّ عَفْوَ أَحَدِ الْوَارِثِينَ عَنْهُ لَا يُوجِبُ سُقُوطَ حَقِّ الْآخَرِ منه ويجوز لأحدهما أن يستوفه فَافْتَرَقَا فِيهِ وَيَتَّصِلُ بِهَذَا الْمَوْضِعِ فَرُوعٌ قَدَّمْنَاهَا في كتاب الفرائض
Batasan hukuman bagi tuduhan zina berbeda karena pemaafan dari salah satu ahli waris tidak menyebabkan gugurnya hak ahli waris lainnya. Salah satu dari mereka boleh menuntut pelaksanaan hukuman tersebut, sehingga keduanya berbeda dalam hal ini. Terkait dengan ini, ada cabang-cabang yang telah kami sebutkan sebelumnya dalam kitab faraidh.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَيُقْتَلُ الْعَبْدُ وَالْكَافِرُ بِالْحُرِّ الْمُسْلِمِ وَالْوَلَدُ بِالْوَالِدِ
Imam Syafi’i berkata, “Seorang budak dan orang kafir dapat dihukum mati karena membunuh seorang Muslim merdeka, dan seorang anak dapat dihukum mati karena membunuh orang tua.”
قال الماوردي وإذا مَضَى الْكَلَامُ فِي الْإِيقَادِ مِنَ الأَكْمَلِ بِالْأَنْقَصِ فَلَا يَمْنَعُ أَنْ يُقَادَ مِنَ الأَنْقَصِ بِالْأَكْمَلِ فَيَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ الْكَافِرُ بِالْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْتَلَ الْمُسْلِمُ بِالْكَافِرِ وَيَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ الْعَبْدُ بِالْحُرِّ وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْتَلَ الْحُرُّ بِالْعَبْدِ وَيَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ الْوَلَدُ بالولد وإن لم يجر أَنْ يُقْتَلَ الْوَالِدُ بِالْوَلَدِ؛ لِأَنَّ أَخْذَ الْأَنْقَصِ بِالْأَكْمَلِ اقْتِصَارٌ عَلَى بَعْضِ الْحَقِّ وَأَخْذَ الْأَكْمَلِ بِالْأَنْقَصِ اسْتِفْضَالٌ عَلَى الْحَقِّ فَيَجُوزُ الِاقْتِصَارُ فِيهِ وَمَنَعَ مِنَ الاسْتِفْضَالِ عَلَيْهِ؛ فَلَوْ بَذَلَ الْأَكْمَلُ نَفْسَهُ بِالْأَنْقَصِ فَبَذَلَ الْحُرُّ نَفْسَهُ بِقَتْلِ الْعَبْدِ وَبَذَلَ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ بِقَتْلِ الْكَافِرِ وَبَذَلَ الْوَالِدُ نَفْسَهُ بِقَتْلِ الْوَلَدِ؛ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَادَ مِنْ وَاحِدٍ مِنْهُمْ؛ لِأَنَّ الْقَوَدَ إِذْ لَمْ يَجِبْ لَمْ يُسْتَبَحْ بِالْبَذْلِ؛ كَمَا لَوْ بَذَلَ نَفْسَهُ أَنْ يُقْتَلَ بِغَيْرِ قَوَدٍ لِقَوْلِ اللَّهِ ولا تقتلوا أنفسكم النساء 29
Al-Mawardi berkata, “Jika pembahasan mengenai qishash dari yang lebih sempurna kepada yang kurang sempurna telah berlalu, maka tidak ada halangan untuk melakukan qishash dari yang kurang sempurna kepada yang lebih sempurna. Maka diperbolehkan membunuh orang kafir karena membunuh seorang Muslim, meskipun tidak diperbolehkan membunuh seorang Muslim karena membunuh orang kafir. Diperbolehkan membunuh seorang budak karena membunuh orang merdeka, meskipun tidak diperbolehkan membunuh orang merdeka karena membunuh budak. Diperbolehkan membunuh anak karena membunuh anak lain, meskipun tidak diperbolehkan membunuh orang tua karena membunuh anak; karena mengambil yang kurang sempurna dengan yang lebih sempurna adalah pembatasan pada sebagian hak, dan mengambil yang lebih sempurna dengan yang kurang sempurna adalah kelebihan atas hak, sehingga diperbolehkan pembatasan dalam hal ini dan dilarang kelebihan atasnya. Jika yang lebih sempurna menyerahkan dirinya untuk yang kurang sempurna, seperti orang merdeka menyerahkan dirinya karena membunuh budak, Muslim menyerahkan dirinya karena membunuh kafir, dan orang tua menyerahkan dirinya karena membunuh anak, maka tidak diperbolehkan melakukan qishash dari salah satu dari mereka; karena qishash ketika tidak wajib, tidak dapat dibenarkan dengan penyerahan; seperti jika seseorang menyerahkan dirinya untuk dibunuh tanpa qishash, berdasarkan firman Allah, ‘Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri’ (An-Nisa: 29).”
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَمَنْ جَرَى عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ جَرَى عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي الْجِرَاحِ
Imam Syafi’i berkata, “Barang siapa yang dikenakan qishash pada jiwa, maka ia juga dikenakan qishash pada luka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ كُلُّ شَخْصَيْنِ جَرَى بَيْنَهُمَا الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ جَرَى الْقِصَاصُ بَيْنَهُمَا فِي الْأَطْرَافِ وَالْجِرَاحِ سَوَاءٌ اتَّفَقَا فِي الدِّيَةِ كَالْحُرَّيْنِ الْمُسْلِمَيْنِ أَوِ اخْتَلَفَا فِي الدِّيَةِ كَالرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ وَالْعَبِيدِ إِذَا تَفَاضَلَتْ فِيهِمْ وَإِنْ لَمْ يَجُزِ الْقِصَاصُ بَيْنَهُمَا فِي النَّفْسِ لَمْ يَجُزْ فِي الْأَطْرَافِ كَالْمُسْلِمِ مَعَ الْكَافِرِ وَالْعَبْدِ مَعَ الْحُرِّ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, setiap dua orang yang di antara mereka berlaku qishash dalam hal jiwa, maka berlaku juga qishash di antara mereka dalam hal anggota tubuh dan luka, baik mereka setara dalam diyat seperti dua orang merdeka yang muslim, atau berbeda dalam diyat seperti antara laki-laki dan perempuan serta budak jika ada perbedaan di antara mereka. Jika qishash tidak diperbolehkan di antara mereka dalam hal jiwa, maka tidak diperbolehkan juga dalam hal anggota tubuh, seperti antara muslim dengan kafir dan budak dengan orang merdeka.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنِ اخْتَلَفَتْ دِيَاتُهُمَا جَرَى الْقِصَاصُ بَيْنَهُمَا فِي النَّفْسِ دُونَ الْأَطْرَافِ كَالرَّجُلِ مَعَ الْمَرْأَةِ بِقَتْلِهِ بِهَا وَلَا يُقْطَعُ يَدُهُ بِيَدِهَا وَالْعَبِيدُ إِذَا تَفَاضَلَتْ قِيَمُهُمْ وَقَلَّ أَنْ تَكُونَ مُتَّفِقَةً فَيُوجِبُ الْقَوَدَ بَيْنَهُمْ فِي النُّفُوسِ وَيُسْقِطُهُ فِي الْأَطْرَافِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ التَّسَاوِيَ مُعْتَبَرٌ فِي الْأَطْرَافِ دُونَ النُّفُوسِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ تُؤْخَذَ الْيَدُ السَّلِيمَةُ بِالشَّلَّاءِ وَتُؤْخَذُ النَّفْسُ السَّلِيمَةُ بِالنَّفْسِ السَّقِيمَةِ فَلَمْ يَمْنَعْ تَفَاضُلُ الدِّيَاتِ مِنَ القَوَدِ فِي النُّفُوسِ وَمَنَعَ مِنَ القَوَدِ فِي الْأَطْرَافِ وَلِأَنَّ أَطْرَافَ الرَّجُلِ أَعَمُّ نَفْعًا مِنْ أَطْرَافِ الْمَرْأَةِ لِاخْتِصَاصِهَا بِالتَّصَرُّفِ فِي الْأَعْمَالِ وَالِاكْتِسَابِ فَلَمْ تُكَافِئْهَا أَطْرَافُ الْمَرْأَةِ فَسَقَطَ الْقَوَدُ فِيهَا
Abu Hanifah berkata, jika diyat keduanya berbeda, qisas berlaku di antara mereka dalam hal jiwa, tetapi tidak dalam hal anggota tubuh, seperti seorang pria dengan seorang wanita, dengan membunuhnya, tetapi tangannya tidak dipotong karena tangannya. Adapun budak, jika nilai mereka berbeda dan jarang sama, maka qisas diwajibkan di antara mereka dalam hal jiwa dan tidak dalam hal anggota tubuh. Ini didasarkan pada argumen bahwa kesetaraan dipertimbangkan dalam anggota tubuh, bukan dalam jiwa; karena tidak boleh tangan yang sehat diambil dengan tangan yang cacat, dan jiwa yang sehat diambil dengan jiwa yang sakit. Maka perbedaan diyat tidak menghalangi qisas dalam jiwa, tetapi menghalangi qisas dalam anggota tubuh. Dan karena anggota tubuh pria lebih bermanfaat daripada anggota tubuh wanita karena pria memiliki keahlian dalam pekerjaan dan penghasilan, maka anggota tubuh wanita tidak setara dengan anggota tubuh pria, sehingga qisas tidak berlaku dalam hal ini.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ المائدة 45 إِلَى قَوْلِهِ والجروح قصاص فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّ كُلَّ شَخْصَيْنِ جَرَى الْقِصَاصُ بَيْنَهُمَا فِي النَّفْسِ جَرَى فِي الْأَطْرَافِ كَالرَّجُلَيْنِ وَلِأَنَّ كُلَّ قِصَاصٍ جَرَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ وَالْمَرْأَتَيْنِ جَازَ أَنْ يَجْرِيَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ كَالنُّفُوسِ وَكُلَّ قِصَاصٍ جَرَى بَيْنَ الْحُرَّيْنِ جَرَى بَيْنَ الْعَبْدَيْنِ كَالنُّفُوسِ وَقَدْ مَضَى الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِاعْتِبَارِ التَّكَافُؤِ فِي الْأَطْرَافِ دُونَ النَّفْسِ بِأَنَّهُ مُعْتَبَرٌ فِي الْأَمْرَيْنِ وَفِي الشَّلَلِ حُكْمٌ نَذْكُرُهُ فِي مَوْضِعِهِ وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ اخْتِصَاصِ أَطْرَافِ الرَّجُلِ بِالْمَنَافِعِ فَيَفْسُدُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ
Dalil kami adalah firman Allah Ta’ala: “Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata…” (Al-Maidah: 45) hingga firman-Nya: “…dan luka-luka (pun) ada qishashnya.” Maka itu berlaku secara umum. Karena setiap dua orang yang berlaku qishash di antara mereka dalam hal jiwa, juga berlaku dalam hal anggota tubuh, seperti dua laki-laki. Dan setiap qishash yang berlaku antara dua laki-laki dan dua perempuan, boleh juga berlaku antara laki-laki dan perempuan, seperti halnya jiwa. Dan setiap qishash yang berlaku antara dua orang merdeka, juga berlaku antara dua budak, seperti halnya jiwa. Telah dijelaskan jawaban mengenai dalilnya dengan mempertimbangkan kesetaraan dalam anggota tubuh, bukan jiwa, bahwa itu dipertimbangkan dalam kedua hal tersebut. Dan dalam hal kelumpuhan ada hukum yang akan kami sebutkan pada tempatnya. Apa yang disebutkan tentang kekhususan anggota tubuh laki-laki dengan manfaat, rusak dari tiga sisi.
أَحَدُهَا مَا اتَّفَقُوا عَلَيْهِ مِنْ أَخْذِ يَدِ الْكَاتِبِ وَالصَّانِعِ وَالْمُحَارِبِ بِيَدِ مَنْ لَيْسَ بِكَاتِبٍ وَلَا صَانِعٍ وَلَا مُحَارِبٍ
Salah satunya adalah apa yang mereka sepakati mengenai mengambil tangan penulis, pengrajin, dan pejuang dengan tangan orang yang bukan penulis, bukan pengrajin, dan bukan pejuang.
وَالثَّانِي أَنَّ فِي يَدِ الْمَرْأَةِ مَنَافِعَ لَيْسَتْ فِي يَدِ الرَّجُلِ فَتَقَابَلَا
Kedua, bahwa di tangan perempuan terdapat manfaat yang tidak ada di tangan laki-laki, sehingga keduanya saling melengkapi.
وَالثَّالِثُ أَنَّ أَطْرَافَ الْعَبِيدِ تُمَاثِلُ فِي الْمَنَافِعِ وَلَا يَجْرِي فِيهَا قَوَدٌ فَبَطَلَ هَذَا الاعتبار وبالله التوفيق
Paragraf ketiga menyatakan bahwa anggota tubuh para budak memiliki kesamaan dalam manfaatnya dan tidak berlaku qishash padanya, sehingga pertimbangan ini menjadi batal. Dengan pertolongan Allah.
مسألة
Masalah
قال الشافعي ويقتل بِالْوَاحِدِ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قتل خمسة أَوْ سَبْعَةً بِرَجُلٍ قَتَلُوهُ غِيلَةً وَقَالَ لَوْ تَمَالَأَ عَلَيْهِ أَهْلُ صَنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ جَمِيعًا
Imam Syafi’i berkata bahwa seseorang dapat dibunuh karena membunuh satu orang, dan ia berargumen dengan peristiwa ketika Umar radhiyallahu ‘anhu membunuh lima atau tujuh orang karena mereka membunuh seseorang dengan cara licik. Umar berkata, “Jika seluruh penduduk Shan’a bersekongkol untuk membunuhnya, aku akan membunuh mereka semua.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا قَالَ إِذَا اشْتَرَكَ الْجَمَاعَةُ فِي قَتْلِ وَاحِدٍ قُتِلُوا بِهِ جَمِيعًا إِذَا كَانُوا لَهُ أَكْفَاءَ وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلِيُّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَالْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ
Al-Mawardi berkata, dan sebagaimana yang dia katakan, jika sekelompok orang bersekutu dalam membunuh satu orang, maka mereka semua harus dihukum mati jika mereka setara dengannya. Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, dan Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ta’ala ‘anhum.
وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَعَطَاءٌ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ
Dan dari kalangan tabi’in adalah Sa’id bin al-Musayyib, al-Hasan al-Bashri, dan ‘Atha’. Dari kalangan fuqaha adalah Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad, dan Ishaq.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَقْتُلَ بِهِ مِنَ الجَمَاعَةِ وَاحِدًا يَرْجِعُ فِيهِ إِلَى خِيَارِهِ وَيَأْخُذَ مِنَ البَاقِينَ قِسْطَهُمْ مِنَ الدِّيَةِ وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَفِي التَّابِعِينَ قَوْلُ ابْنِ سِيرِينَ وَالزُّهْرِيِّ وَقَالَ آخَرُونَ لَا قود على واحد من الجماعة بحال وتؤخذ مِنْهُمُ الدِّيَةُ بِالسَّوِيَّةِ وَبِهِ قَالَ رَبِيعَةُ بْنُ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَدَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ وَأَهْلُ الظَّاهِرِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ المائدة 45 وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ البقرة 178 فَاقْتَضَى هَذَا الظَّاهِرُ أَنْ لَا تُقْتَلَ بِالنَّفْسِ أَكْثَرُ مِنْ نَفْسٍ وَلَا بِالْحُرِّ أَكْثَرُ مِنْ حُرٍّ وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ الإسراء 33 وَمِنَ السَّرَفِ قَتْلُ الْجَمَاعَةِ بِالْوَاحِدِ
Sekelompok orang berpendapat bahwa wali boleh membunuh satu orang dari kelompok tersebut sesuai pilihannya dan mengambil bagian diyat dari yang lain. Ini adalah pendapat sahabat Mu’adz bin Jabal dan Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma, serta dari kalangan tabi’in adalah pendapat Ibnu Sirin dan Az-Zuhri. Sementara yang lain berpendapat tidak ada qisas terhadap satu orang dari kelompok dalam keadaan apapun, dan diyat diambil dari mereka secara merata. Ini adalah pendapat Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, Dawud bin Ali, dan Ahluzh-Zhahir, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya bahwa jiwa dibalas dengan jiwa” (Al-Maidah: 45) dan firman-Nya: “Diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba” (Al-Baqarah: 178). Ini menunjukkan bahwa tidak boleh dibunuh lebih dari satu jiwa untuk satu jiwa, dan tidak lebih dari satu orang merdeka untuk satu orang merdeka. Dan firman-Nya: “Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah ia melampaui batas dalam membunuh” (Al-Isra: 33). Termasuk melampaui batas adalah membunuh kelompok dengan satu orang.
وَرَوَى جُوَيْبِرٌ عَنِ الضَّحَّاكِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا يُقْتَلُ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ وَهَذَا نَصٌّ ولأن الواحد لا يكافئ الجماعة لا يُقْتَلُ بِالْجَمَاعَةِ إِذَا قَتَلَهُمْ وَيُقْتَلُ بِأَحَدِهِمْ وَيُؤْخَذُ مِنْ مَالِهِ دِيَاتُ الْبَاقِينَ؛ كَذَلِكَ إِذَا قَتَلَهُ جَمَاعَةٌ لَمْ يُقْتَلُوا بِهِ وَلِأَنَّ زِيَادَةَ الْوَصْفِ إِذَا مَنَعَتْ مِنَ القَوَدِ حَتَّى لَمْ يُقْتَلْ حُرٌّ بِعَبْدٍ وَلَا مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ كَانَ زِيَادَةُ الْعَدَدِ أَوْلَى أَنْ تَمْنَعَ مِنَ القَوَدِ فَلَا يُقْتَلُ جَمَاعَةٌ بِوَاحِدٍ وَلِأَنَّ لِلنَّفْسِ بَدَلَيْنِ قَوَدٌ وَدِيَةٌ فَلَمَّا لَمْ يَجِبْ عَلَى الِاثْنَيْنِ بِقَتْلِ الْوَاحِدِ دِيَتَانِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِمَا قَوَدَانِ
Diriwayatkan oleh Juwaibir dari adh-Dhahhak bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tidak dibunuh dua orang karena satu orang.” Ini adalah nash, dan karena satu orang tidak sebanding dengan kelompok, maka ia tidak dibunuh oleh kelompok jika ia membunuh mereka, tetapi ia dibunuh karena salah satu dari mereka dan diambil dari hartanya diyat untuk yang lainnya. Demikian pula, jika sekelompok orang membunuhnya, mereka tidak dibunuh karenanya. Karena tambahan sifat jika menghalangi qishash sehingga tidak dibunuh orang merdeka karena budak dan tidak dibunuh Muslim karena kafir, maka tambahan jumlah lebih utama untuk menghalangi qishash, sehingga tidak dibunuh sekelompok orang karena satu orang. Dan karena jiwa memiliki dua pengganti, yaitu qishash dan diyat, maka ketika tidak wajib atas dua orang karena membunuh satu orang dua diyat, maka tidak wajib atas mereka dua qishash.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهُ تَعَالَى وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ البقرة 179 وَسَبَبُ الْحَيَاةِ أَنَّهُ إِذَا عَلِمَ الْقَاتِلُ بِوُجُوبِ الْقِصَاصِ عَلَيْهِ إِذَا قَتَلَ كَفَّ عَنِ القتل فحي القاتل والمقتول فلو لم تقتص مِنَ الجَمَاعَةِ بِالْوَاحِدِ لَمَا كَانَ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ وَلَكَانَ الْقَاتِلُ إِذَا هَمَّ بِالْقَتْلِ شَارَكَ غَيْرَهُ فَسَقَطَ الْقِصَاصُ عَنْهُمَا وَصَارَ رَافِعًا لِحُكْمِ النَّصِّ
Dalil kami adalah firman Allah Ta’ala: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu.” (Al-Baqarah: 179). Sebab adanya kehidupan adalah bahwa ketika pembunuh mengetahui kewajiban qishash atas dirinya jika ia membunuh, ia akan menahan diri dari pembunuhan, sehingga pembunuh dan yang dibunuh tetap hidup. Jika tidak dilakukan qishash dari kelompok dengan satu orang, maka tidak ada kehidupan dalam qishash, dan pembunuh ketika berniat membunuh akan melibatkan orang lain, sehingga qishash tidak berlaku atas keduanya dan ini akan menghilangkan hukum dari teks tersebut.
وَرَوَى أَبُو شُرَيْحٍ الْكَعْبِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ثَمَّ أَنْتُمْ يَا خُزَاعَةُ قَدْ قَتَلْتُمْ هَذَا الْقَتِيلَ مِنْ هُذَيْلٍ وَأَنَا وَاللَّهِ عَاقِلُهُ فمن قتل بعده قَتِيلًا فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ
Diriwayatkan dari Abu Syuraikh al-Ka‘bi bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Kemudian kalian, wahai Khuza‘ah, telah membunuh orang dari Hudzail ini, dan demi Allah, aku yang menanggung diyatnya. Maka barang siapa yang membunuh setelahnya, keluarganya memiliki dua pilihan: jika mereka mau, mereka bisa membunuh (pembalasannya), dan jika mereka mau, mereka bisa mengambil diyat.”
وَهَذَا الْخَبَرُ وَارِدٌ فِي قَتْلِ الْجَمَاعَةِ لِوَاحِدٍ لِأَنَّهُ قَالَ ثَمَّ أَنْتُمْ يَا خُزَاعَةُ قَدْ قَتَلْتُمْ هَذَا الْقَتِيلَ مِنْ هُذَيْلٍ ثُمَّ قَالَ فَمَنْ قَتَلَ بَعْدَهُ قَتِيلًا ومَنْ يَنْطَلِقُ عَلَى الْجَمَاعَةِ كَانْطِلَاقِهِ عَلَى الْوَاحِدِ ثُمَّ قَالَ فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أحبوا أَخَذُوا الْعَقْلَ فَدَلَّ عَلَى قَتْلِ الْجَمَاعَةِ بِالْوَاحِدِ؛ لِأَنَّ الْحُكْمَ إِذَا وَرَدَ عَلَى سَبَبٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ السَّبَبُ خَارِجًا مِنْ ذَلِكَ الْحُكْمِ
Dan berita ini berkaitan dengan pembunuhan oleh sekelompok orang terhadap satu orang, karena dikatakan, “Kemudian kalian, wahai Khuza’ah, telah membunuh orang yang terbunuh ini dari Hudzail.” Kemudian dikatakan, “Barang siapa yang membunuh setelahnya, maka hukuman berlaku pada kelompok sebagaimana berlaku pada satu orang.” Kemudian dikatakan, “Keluarganya memiliki dua pilihan: jika mereka mau, mereka dapat membunuh, dan jika mereka mau, mereka dapat mengambil diyat.” Ini menunjukkan bahwa sekelompok orang dapat dihukum karena membunuh satu orang, karena jika suatu hukum berlaku atas suatu sebab, maka tidak boleh sebab tersebut berada di luar hukum itu.
وَرَوَى ابْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَتَلَ خَمْسَةً أَوْ سَبْعَةً بِرَجُلٍ قَتَلُوهُ غِيلَةً وَقَالَ لَوْ تَمَالَأَ عَلَيْهِ أَهْلُ صَنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ جَمِيعًا بِهِ
Diriwayatkan dari Ibnu al-Musayyib bahwa Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu membunuh lima atau tujuh orang karena mereka membunuh seseorang secara licik, dan dia berkata, “Seandainya seluruh penduduk Shan’a bersekongkol untuk membunuhnya, niscaya aku akan membunuh mereka semua karenanya.”
وَالْقَتْلُ عَلَى أَنْوَاعٍ غِيلَةٌ وَفَتْكٌ وَغَدْرٌ وَصَبْرٌ
Pembunuhan terbagi menjadi beberapa jenis: gīlah, fatk, ghadar, dan ṣabr.
فَالْغِيلَةُ الْحِيلَةُ وَهُوَ أَنْ يَحْتَالُوا لَهُ بِالتَّمَكُّنِ مِنَ الاسْتِخْفَاءِ حَتَّى يَقْتُلُوهُ
Al-ghīlah adalah tipu daya, yaitu ketika mereka merencanakan untuk bisa bersembunyi hingga mereka dapat membunuhnya.
وَالْفَتْكُ أَنْ يَكُونَ آمِنًا فَيُرَاقَبَ حَتَّى يُقْتَلَ
Pembunuhan mendadak adalah ketika seseorang merasa aman kemudian diawasi hingga dibunuh.
وَالْغَدْرُ أَنْ يُقْتَلَ بَعْدَ أَمَانَةٍ
Pengkhianatan adalah membunuh setelah adanya amanah.
وَالصَّبْرُ قَتْلُ الْأَسِيرِ مُحَاصَرَةً
Kesabaran adalah membunuh tawanan dengan pengepungan.
وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ قَتَلَ ثَلَاثَةً قَتَلُوا واحد وَكَتَبَ إِلَى أَهْلِ النَّهْرَوَانِ حِينَ قَتَلُوا عَامِلَهُ خَبَّابَ بْنَ الْأَرَتِّ سَلِّمُوا إِلَيَّ قَاتِلَهُ قَالُوا كُلُّنَا قَتَلَهُ قَالَ فَاسْتَسْلِمُوا إِذَنْ أَقُدُّ مِنْكُمْ وَسَارَ إِلَيْهِمْ فَقَتَلَ أَكْثَرَهُمْ
Diriwayatkan dari Ali, semoga damai atasnya, bahwa ia membunuh tiga orang yang membunuh satu orang, dan ia menulis kepada penduduk Nahrawan ketika mereka membunuh wakilnya, Khabbab bin al-Arat, “Serahkan kepadaku pembunuhnya.” Mereka berkata, “Kami semua yang membunuhnya.” Ia berkata, “Kalau begitu, menyerahlah agar aku bisa menuntut balas dari kalian.” Lalu ia bergerak menuju mereka dan membunuh sebagian besar dari mereka.
وَقَتَلَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ سَبْعَةً بِوَاحِدٍ
Al-Mughirah bin Syu’bah membunuh tujuh orang dengan satu orang.
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِذَا قَتَلَ جَمَاعَةٌ وَاحِدًا قُتِلُوا بِهِ وَلَوْ كَانُوا مِائَةً
Ibnu Abbas berkata, jika sekelompok orang membunuh satu orang, maka mereka semua harus dihukum mati karenanya, meskipun jumlah mereka seratus orang.
وَهَذَا قَوْلُ أَرْبَعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ فِيهِمْ إِمَامَانِ عَمِلَا بِمَا قَالَا بِهِ فَلَمْ يُقَابِلْهُمْ قول معاذ ابن الزُّبَيْرِ وَصَارَ رَبِيعَةُ وَدَاوُدُ خَارِجَيْنِ مِنْ قَوْلِ الْفَرِيقَيْنِ بِإِحْدَاثِ قَوْلٍ ثَالِثٍ خَالَفَ فِيهِ الْفَرِيقَيْنِ فَصَارَا مُخَالِفَيْنِ لِلْإِجْمَاعِ لِأَنَّ مَنْ أَحْدَثَ قَوْلًا ثَالِثًا بَعْدَ قَوْلَيْنِ أَحْدَثَ قَوْلًا ثَانِيًا بَعْدَ أَوَّلٍ وَلِأَنَّ قَتْلَ النَّفْسِ أَغْلَظُ مِنْ هَتْكِ العرض بالقذف فلما حد الجماعة بقتل الْوَاحِدِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُقْتَلُوا بِقَتْلِ الْوَاحِدِ
Ini adalah pendapat dari empat sahabat, di antara mereka ada dua imam yang mengamalkan apa yang mereka katakan, sehingga tidak ada yang menentang mereka seperti pendapat Mu’adz bin Zubair. Rabi’ah dan Dawud keluar dari pendapat kedua kelompok dengan membuat pendapat ketiga yang berbeda dengan kedua kelompok tersebut, sehingga mereka menjadi berbeda dengan ijmā‘. Karena siapa pun yang membuat pendapat ketiga setelah dua pendapat, berarti telah membuat pendapat kedua setelah yang pertama. Dan karena pembunuhan jiwa lebih berat daripada merusak kehormatan dengan tuduhan, maka ketika kelompok menetapkan hukuman mati untuk pembunuhan satu orang, lebih utama mereka dibunuh karena membunuh satu orang.
وَلِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الجَمَاعَةِ يَنْطَلِقُ اسْمُ الْقَتْلِ عَلَيْهِ فَوَجَبَ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُهُ كَالْوَاحِدِ وَلِأَنَّ مَا وَجَبَ فِي قَتْلِ الْوَاحِدِ لَمْ يَسْقُطْ فِي قَتْلِ الْجَمَاعَةِ كَالدِّيَةِ
Karena setiap individu dari kelompok tersebut dapat disebut sebagai pelaku pembunuhan, maka harus diterapkan hukum yang sama padanya seperti pada satu orang. Dan karena apa yang wajib dalam pembunuhan satu orang tidak gugur dalam pembunuhan oleh kelompok, seperti diyat.
فَأَمَّا قوله تعالى النفس بالنفس وقوله الحر بالحر المائدة 45 فَمُسْتَعْمَلٌ فِي الْجِنْسِ لِأَنَّ النَّفْسَ تَنْطَلِقُ عَلَى النُّفُوسِ وَالْحُرَّ يَنْطَلِقُ عَلَى الْأَحْرَارِ وَقَوْلُهُ فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ الإسراء 33 يُرِيدُ أَنْ لَا يَقْتُلَ غَيْرَ قَاتِلِهِ عَلَى أَنَّ قوله تعالى قد جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا الإسراء 33 يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ سُلْطَانُهُ فِي الْجَمَاعَةِ كَسُلْطَانِهِ فِي الْوَاحِدِ فَصَارَتِ الْآيَةُ دَلِيلَنَا
Adapun firman Allah Ta’ala “jiwa dengan jiwa” dan “orang merdeka dengan orang merdeka” (Al-Maidah: 45) digunakan dalam jenisnya, karena “jiwa” mencakup semua jiwa dan “orang merdeka” mencakup semua orang merdeka. Firman-Nya “maka janganlah berlebihan dalam membunuh” (Al-Isra: 33) berarti agar tidak membunuh selain pembunuhnya. Firman Allah Ta’ala “Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya” (Al-Isra: 33) mengindikasikan bahwa kekuasaannya dalam kelompok sama dengan kekuasaannya dalam individu, sehingga ayat tersebut menjadi dalil bagi kami.
وَأَمَّا حَدِيثُ الضَّحَّاكِ فَمُرْسَلٌ مَنْكُورٌ وإن صح كان محمولاً على المسك والقاتل فيقتل به دون المسك
Adapun hadis dari al-Dhahhak adalah mursal dan munkar, dan jika sahih, maka ditafsirkan untuk pembunuh yang dihukum mati, bukan untuk yang hanya menyebabkan luka.
وَقَوْلُهُمْ إِنَّ دَمَ الْوَاحِدِ لَا يُكَافِئُ دَمَ الْجَمَاعَةِ غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْوَاحِدِ كَحُرْمَةِ الْجَمَاعَةِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا المائدة 32 فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْقَوَدُ فِيهِمَا وَاحِدًا وَلَيْسَ يُوجِبُ قَتْلُ الْجَمَاعَةِ بِالْوَاحِدِ أَنْ تُقْتَلَ الْوَاحِدُ بِالْجَمَاعَةِ وَإِنْ قَالَ بِهِ أَبُو حَنِيفَةَ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْقَوَدِ حَقْنُ الدِّمَاءِ وَأَنْ لَا تُهْدَرَ فَقَتْلُ الْجَمَاعَةِ بِالْوَاحِدِ لِئَلَّا تُهْدَرَ دِمَاؤُهُمْ
Dan pernyataan mereka bahwa darah satu orang tidak setara dengan darah banyak orang adalah tidak benar; karena kehormatan satu orang sama dengan kehormatan banyak orang berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Oleh karena itu Kami tetapkan bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia” (Al-Maidah: 32). Maka wajib bahwa qishash di antara keduanya adalah sama, dan tidak berarti bahwa pembunuhan banyak orang oleh satu orang mengharuskan satu orang dibunuh oleh banyak orang, meskipun Abu Hanifah berpendapat demikian, karena tujuan dari qishash adalah untuk melindungi darah dan agar tidak disia-siakan, sehingga pembunuhan banyak orang oleh satu orang agar darah mereka tidak disia-siakan.
وَقَوْلُهُمْ لَمَّا مَنَعَ زيادة الوصف ممن القَوَدِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَمْنَعَ مِنْ زِيَادَةِ الْعَدَدِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ زِيَادَةَ الْوَصْفِ مَنَعَتْ مِنْ وُجُودِ الْمُمَاثَلَةِ فِي الْوَاحِدِ فَلَمْ تَمْنَعْ فِي الْجَمَاعَةِ أَلَا تَرَى أَنَّ زِيَادَةَ الْوَصْفِ فِي الْقَاذِفِ تَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ وَزِيَادَةَ الْعَدَدِ لَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِمْ وَقَوْلُهُمْ لَمَّا لَمْ تُسْتَحَقَّ بِقَتْلِهِ دِيَتَانِ لَمْ تُسْتَحَقَّ بِهِ قَوَدَانِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Dan pernyataan mereka bahwa ketika tambahan sifat mencegah qiyās dalam qisas, maka lebih utama untuk mencegah dari tambahan jumlah. Perbedaannya adalah bahwa tambahan sifat mencegah adanya kesetaraan dalam satu individu, sehingga tidak mencegah dalam kelompok. Tidakkah kamu melihat bahwa tambahan sifat pada pencemaran nama baik mencegah kewajiban had atasnya, sedangkan tambahan jumlah tidak mencegah kewajiban had atas mereka. Dan pernyataan mereka bahwa ketika tidak berhak mendapatkan dua diyat karena pembunuhan, maka tidak berhak mendapatkan dua qisas, ada dua jawaban untuk itu.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الدِّيَةَ تَتَبَعَّضُ فَلَمْ يَجِبْ أَكْثَرُ مِنْهَا وَالْقَوَدُ لَا يَتَبَعَّضُ فَعَمَّ حُكْمُهُ كَسَرِقَةِ الْجَمَاعَةِ لَمَّا أَوْجَبَتْ غُرْمًا يَتَبَعَّضُ وَقَطْعًا لَا يَتَبَعَّضُ اشْتَرَكُوا فِي غُرْمٍ وَاحِدٍ وَقَطْعِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ
Salah satunya adalah bahwa diyat dapat dibagi-bagi sehingga tidak wajib lebih dari itu, sedangkan qisas tidak dapat dibagi-bagi sehingga hukumnya berlaku umum. Seperti dalam kasus pencurian oleh sekelompok orang yang mengharuskan pembayaran ganti rugi yang dapat dibagi-bagi, sedangkan pemotongan tangan tidak dapat dibagi-bagi. Mereka berbagi dalam satu ganti rugi dan pemotongan tangan masing-masing dari mereka.
وَالثَّانِي أَنَّ الْقَوَدَ مَوْضُوعٌ لِلزَّجْرِ وَالرَّدْعِ فَلَزِمَ فِي الْجَمَاعَةِ كَلُزُومِهِ فِي الْوَاحِدِ وَالدِّيَةُ بَدَلٌ مِنَ النَّفْسِ فَلَمْ يَلْزَمْ فِيهَا إِلَّا بَدَلٌ وَاحِدٌ فَإِذَا ثَبَتَ قَتْلُ الْجَمَاعَةِ بِالْوَاحِدِ كَانَ الْوَلِيُّ فِيهِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ إما أن يقتص من جميعهم أو يعفوا عن جميعهم إلى الدِّيَةِ فَتَسْقُطُ الدِّيَةُ الْوَاحِدَةُ بَيْنَهُمْ عَلَى أَعْدَادِهِمْ أَوْ يَعْفُوَ عَنْ بَعْضِهِمْ وَيَقْتَصَّ مِنْ بَعْضِهِمْ ويأخذ ممن عفى عنه من الدية بقسطه
Kedua, qisas ditetapkan untuk mencegah dan menahan, sehingga berlaku pada kelompok sebagaimana berlaku pada individu. Diyat adalah pengganti jiwa, maka tidak diperlukan kecuali satu pengganti. Jika terbukti pembunuhan dilakukan oleh kelompok terhadap satu orang, wali memiliki tiga pilihan: menuntut qisas dari semuanya, memaafkan semuanya dengan menerima diyat yang dibagi di antara mereka sesuai jumlah mereka, atau memaafkan sebagian dan menuntut qisas dari sebagian lainnya serta mengambil bagian diyat dari yang dimaafkan.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ جَرَحَهُ أَحَدُهُمَا مِائَةَ جُرْحٍ وَالْآخَرُ جُرْحًا وَاحِدًا فَمَاتَ كَانُوا فِي الْقَوَدِ سَوَاءً
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika salah satu dari mereka melukai seratus luka dan yang lainnya satu luka, lalu orang tersebut meninggal, maka mereka sama dalam qishash.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ اشْتِرَاكَ الْجَمَاعَةِ فِي قَتْلِ الْوَاحِدِ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, ketahuilah bahwa keterlibatan kelompok dalam pembunuhan satu orang terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مُوجَبًا مِثْلَ أَنْ يَذْبَحَهُ أَحَدُهُمَا وَيَبْقُرَ الْآخَرُ بَطْنَهُ وَيَقْطَعَ حَشْوَتَهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Salah satunya adalah bahwa masing-masing dari mereka melakukan tindakan yang menyebabkan akibat, seperti salah satu dari mereka menyembelihnya dan yang lainnya membelah perutnya dan memotong isinya. Ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَفْعَلَا ذَلِكَ مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ فَيَكُونَا جَمِيعًا قَاتِلَيْنِ وَيَجِبُ الْقَوَدُ عَلَيْهِمَا وَتُؤْخَذُ الدِّيَةُ مِنْهُمَا
Salah satu dari keduanya adalah melakukan hal itu bersama dalam satu keadaan sehingga keduanya menjadi pembunuh, dan qishāṣ wajib atas mereka berdua serta diambil diyat dari mereka berdua.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَتَقَدَّمَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ فَيَوْجَئَهُ ثُمَّ يَتْلُوهُ الْآخَرُ مَعَ بَقَاءِ النَّفَسِ وَوُجُودِ الْحَرَكَةِ فَيَوْجَئَهُ حَتَّى يَطْفَأ وَيَبْرُدَ فَالْأَوَّلُ مِنْهُمَا هُوَ الْقَاتِلُ وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ وَجَمِيعُ الدِّيَةِ دُونَ الثَّانِي لِأَنَّ فَوَاتَ الْحَيَاةِ مَنْسُوبٌ إِلَى فِعْلِ الْأَوَّلِ وَلَا يَجْرِي عَلَى مَا بَقِيَ مِنَ النَّفَسِ وَالْحَرَكَةِ حُكْمُ الْحَيَاةِ وَلَوْ مَاتَ لَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَيِّتٌ لَمْ يَرِثْهُ وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِمَالٍ لَمْ يَمْلِكْهُ وَلَوِ انْقَلَبَ عَلَى طِفْلٍ فَقَتَلَهُ لَمْ يَضْمَنْهُ وَيُعَزَّرُ الثَّانِي أَدَبًا وَزَجْرًا
Jenis kedua adalah ketika salah satu dari mereka mendahului yang lain dan menusuknya, kemudian diikuti oleh yang lain sementara napas dan gerakan masih ada, lalu menusuknya hingga mati dan dingin. Maka yang pertama dari mereka adalah pembunuh dan atasnya qisas dan seluruh diyat, bukan yang kedua, karena hilangnya nyawa dinisbatkan kepada tindakan yang pertama. Tidak berlaku hukum kehidupan pada sisa napas dan gerakan. Jika dalam keadaan ini ada yang meninggal, dia tidak mewarisinya. Jika dia berwasiat untuknya dengan harta, dia tidak memilikinya. Jika dia menimpa seorang anak dan membunuhnya, dia tidak menanggungnya. Yang kedua dihukum sebagai pelajaran dan pencegahan.
فَصْلٌ
Bagian
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ جَارِحًا أَوْ قَاطِعًا غَيْرَ مُوجٍ فَيَكُونُ جَمِيعُهُمْ قَتَلَهُ سَوَاءٌ اجْتَمَعُوا فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ أَوْ تفرقوا وسواء اتفقوا في عدد الجرح أَوِ اخْتَلَفُوا حَتَّى لَوْ جَرَحَهُ أَحَدُهُمْ جِرَاحَةً وَاحِدَةً وَجَرَحَهُ الْآخَرُ مِائَةَ جِرَاحَةٍ كَانُوا فِي قَتْلِهِ سَوَاءً وَعَلَيْهِمُ الْقَوَدُ وَالدِّيَةُ بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ لَا عَلَى عَدَدِ الْجِرَاحِ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَمُوتَ مِنَ الجُرْحِ الْوَاحِدِ وَيَحْيَا مِنْ مِائَةِ جُرْحٍ إِمَّا لِاخْتِلَافِ الْمَوَاضِعِ الْقَاتِلَةِ وَإِمَّا لِاخْتِلَافِ مَوْرِ الْحَدِيدِ فِي دُخُولِهِ فِي جَسَدِهِ وَذَلِكَ غَيْرُ مُشَاهَدٍ
Bagian kedua adalah ketika masing-masing dari mereka melukai atau memotong tanpa menyebabkan kematian langsung, maka semuanya dianggap membunuhnya, baik mereka melakukannya pada waktu yang sama atau berbeda, dan baik jumlah luka mereka sama atau berbeda. Bahkan jika salah satu dari mereka melukainya sekali dan yang lainnya seratus kali, mereka tetap dianggap sama dalam pembunuhan tersebut. Mereka bertanggung jawab atas qishash dan diyat yang dibagi rata di antara mereka, bukan berdasarkan jumlah luka, karena bisa saja seseorang mati karena satu luka dan selamat dari seratus luka, baik karena perbedaan lokasi luka yang mematikan atau perbedaan cara masuknya besi ke dalam tubuhnya, dan hal itu tidak dapat dipastikan.
فَلِهَذَيْنِ لَمْ تُقَسَّطِ الدِّيَةُ عَلَى عدد الجراح وتقسطت على عدد الجناة الْجِنَايَةُ
Oleh karena itu, diyat tidak dibagi berdasarkan jumlah luka, tetapi dibagi berdasarkan jumlah pelaku kejahatan.
فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ الْجَلَّادُ لَوْ حَدَّ الْقَاذِفَ أَحَدًا وَثَمَانِينَ سَوْطًا فَمَاتَ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الدِّيَةِ جُزْءٌ مِنْ إِحْدَى وَثَمَانِينَ جُزْءًا فَهَلَّا كَانَ الْجُنَاةُ فِي أَعْدَادِ الْجِرَاحِ كَذَلِكَ قِيلَ فِي الْجَلَّادِ قَوْلَانِ
Jika dikatakan, bukankah algojo yang mencambuk penuduh dengan delapan puluh satu cambukan hingga mati harus membayar diyat sebesar satu bagian dari delapan puluh satu bagian? Mengapa para pelaku dalam kasus luka-luka tidak diperlakukan demikian? Dikatakan bahwa ada dua pendapat mengenai algojo.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ لِفَوَاتِ النَّفْسِ مِنْ وَجْهَيْنِ مُبَاحٌ وَمَحْظُورٌ وَلَا اعْتِبَارَ بِعَدَدِ الْجَلْدِ وَتَسَاوِي حُكْمِ الْجُنَاةِ
Salah satunya dikenakan setengah diyat karena hilangnya nyawa dari dua sisi, yaitu yang diperbolehkan dan yang dilarang, dan tidak diperhitungkan jumlah cambukan serta kesetaraan hukuman para pelaku kejahatan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ تَتَقَسَّطُ الدِّيَةُ عَلَى عَدَدِ الْجَلْدِ وَلَا تَتَقَسَّطُ عَلَى أَعْدَادِ الْجِرَاحِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ مَحَلَّ الْجَلْدِ مُشَاهَدٌ يُعْلَمُ بِهِ التَّسَاوِي فَتَقَسَّطَتِ الدِّيَةُ عَلَى عَدَدِهِ وَمَوْرُ الْجِرَاحِ غَيْرُ مُشَاهَدٍ لَا يُعْلَمُ بِهِ التَّسَاوِي فَلَمْ تَتَقَسَّطِ الدِّيَةُ فِيهِ عَلَى عَدَدِهِ
Pendapat kedua adalah bahwa diyat dibagi berdasarkan jumlah pukulan dan tidak dibagi berdasarkan jumlah luka. Perbedaannya adalah bahwa tempat pukulan dapat dilihat dan diketahui kesetaraannya, sehingga diyat dibagi berdasarkan jumlahnya. Sedangkan tempat luka tidak dapat dilihat dan tidak diketahui kesetaraannya, sehingga diyat tidak dibagi berdasarkan jumlahnya.
فَصْلٌ
Bagian
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا جَارِحًا وَالْآخَرُ مُوجٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bagian ketiga adalah ketika salah satu dari keduanya melukai dan yang lainnya menyembuhkan, maka ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَقَدَّمَ الْجَارِحُ عَلَى الْمُوجِي فَيُؤْخَذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحُكْمِ جِنَايَتِهِ فَيَكُونُ الْأَوَّلُ جَارِحًا فَيُقْتَصَّ مِنْهُ فِي الجراح إن كان مثله قصاص أَوْ يُؤْخَذُ مِنْهُ دِيَتُهُ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ قِصَاصٌ وَيَكُونُ الثَّانِي قَاتِلًا يُقْتَصُّ مِنْهُ فِي النَّفْسِ أَوْ تُؤْخَذُ مِنْهُ جَمِيعُ الدِّيَةِ وَكَذَلِكَ لَوِ اجْتَمَعَا مَعًا لَمْ يَسْقُطْ حكم الجرح لأن التوجيه لَمْ تَتَقَدَّمْهُ
Salah satunya adalah ketika pelaku luka mendahului pelaku pembunuhan, maka masing-masing dari mereka diambil berdasarkan hukum tindakannya. Yang pertama adalah pelaku luka, maka diambil qisas darinya dalam kasus luka jika memungkinkan qisas, atau diambil diyatnya jika tidak ada qisas. Sedangkan yang kedua adalah pelaku pembunuhan, maka diambil qisas darinya dalam kasus jiwa atau diambil seluruh diyatnya. Demikian pula jika keduanya terjadi bersamaan, hukum luka tidak gugur karena tindakan pembunuhan tidak mendahuluinya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَتَقَدَّمَ الْمُوجِئُ على الجارح فيسقط حكم الجرح بعد التوجبة وَيُؤْخَذُ الْمُوجِئُ بِالْقَوَدِ أَوْ جَمِيعِ الدِّيَةِ
Jenis kedua adalah ketika orang yang menyebabkan luka mendahului pelaku luka, sehingga hukum luka menjadi gugur setelah penetapan, dan orang yang menyebabkan luka tersebut dikenakan qisas atau seluruh diyat.
فَصْلٌ
Bagian
وَلَوْ جَرَحَهُ أَحَدُهُمَا مُوضِحَةً وَجَرَحَهُ الْآخَرُ جَائِفَةً ثُمَّ مَاتَ قَبْلَ انْدِمَالِهِمَا كَانَا قَاتِلَيْنِ وَالدِّيَةُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَبْرَأَ مِنَ الجَائِفَةِ وَيَمُوتَ مِنَ المُوضِحَةِ وَالْوَلِيُّ فِي صَاحِبِ الْمُوضِحَةِ بَيْنَ خِيَارَيْنِ بَيْنَ أَنْ يَبْدَأَ بِقَتْلِهِ أَوْ يُوضِحَهُ ثُمَّ يَقْتُلَهُ وَفِي صَاحِبِ الْجَائِفَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ
Jika salah satu dari mereka melukainya dengan luka yang menampakkan tulang dan yang lainnya melukainya dengan luka dalam, kemudian dia meninggal sebelum kedua luka tersebut sembuh, maka keduanya dianggap sebagai pembunuh dan diyat dibagi dua di antara mereka. Hal ini karena mungkin saja dia sembuh dari luka dalam dan meninggal karena luka yang menampakkan tulang. Ahli waris dari pelaku luka yang menampakkan tulang memiliki dua pilihan: memulai dengan membunuhnya atau melukainya terlebih dahulu kemudian membunuhnya. Sedangkan untuk pelaku luka dalam terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ بِالْخِيَارِ فِيهِ بَيْنَ قَتْلِهِ ابْتِدَاءً وَبَيْنَ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الجَائِفَةِ ثُمَّ يَقْتُلَهُ
Salah satunya adalah bahwa ia memiliki pilihan antara membunuhnya langsung atau menuntut qishash dari luka dalam (jāifah) kemudian membunuhnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ إِجَافَتُهُ؛ لِأَنَّ الْجَائِفَةَ لَا قِصَاصَ فِيهَا وَيُعْتَدُّ لَهُ بِالْقَتْلِ فَلَوِ انْدَمَلَتِ الْمُوضِحَةُ ثُمَّ مَاتَ قَبْلَ انْدِمَالِ الْجَائِفَةِ صَارَ الَّذِي أَوْضَحَهُ جَارِحًا وَيَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْهُ فِي الْمُوضِحَةِ أَوْ تُؤْخَذَ دِيَتُهَا وَصَارَ الَّذِي أَجَافَهُ قَاتِلًا عَلَيْهِ الْقَوَدُ أَوِ الدِّيَةُ وَهَلْ لَهُ إِجَافَتُهُ قَبْلَ قَتْلِهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ
Pendapat kedua adalah bahwa tidak ada hak baginya untuk melakukan ijāfah; karena luka dalam (jāifah) tidak ada qishāsh di dalamnya dan dianggap sebagai pembunuhan. Jika luka terbuka (mūdhihah) sembuh kemudian mati sebelum luka dalam (jāifah) sembuh, maka orang yang menyebabkan luka terbuka menjadi pelaku luka dan boleh di-qishāsh dalam kasus mūdhihah atau diambil diyatnya. Sedangkan orang yang menyebabkan luka dalam menjadi pembunuh yang harus dikenakan qishāsh atau diyat. Apakah dia memiliki hak untuk melakukan ijāfah sebelum pembunuhan atau tidak, ada dua pendapat.
وَلَوِ انْدَمَلَتِ الْجَائِفَةُ وَمَاتَ قَبْلَ انْدِمَالِ الْمُوضِحَةِ كَانَ فِي انْدِمَالِ الْمُوضِحَةِ فِي الْجَائِفَةِ دِيَتُهَا دُونَ القود وصار الموضع قَاتِلًا وَالْوَلِيُّ مَعَهُ بَيْنَ خِيَارَيْنِ إِمَّا أَنْ يَبْدَأَ بِقَتْلِهِ أَوْ يَقْتَصَّ مِنَ المُوضِحَةِ ثُمَّ يَقْتُلُهُ
Dan jika luka dalam sembuh dan meninggal sebelum sembuhnya luka yang menampakkan tulang, maka dalam sembuhnya luka yang menampakkan tulang pada luka dalam ada diyatnya tanpa qisas, dan tempat tersebut menjadi pembunuh. Ahli waris memiliki dua pilihan: memulai dengan membunuhnya atau menuntut qisas dari luka yang menampakkan tulang, kemudian membunuhnya.
فَلَوِ ادَّعَى صَاحِبُ الْجَائِفَةِ أَنَّ جِرَاحَتَهُ انْدَمَلَتْ وَمَاتَ مِنَ المُوضِحَةِ فَصَدَّقَهُ الْوَلِيُّ وَكَذَّبَهُ صَاحِبُ الْمُوضِحَةِ نَظَرَ فِي حَالِ الْوَلِيِّ فَإِنْ أَرَادَ الْقَوَدَ قَبْلَ قَوْلِ الْوَلِيِّ فِي تَصْدِيقِهِ لِصَاحِبِ الْجَائِفَةِ وَكَانَ لَهُ أَنْ يَقْتَصَّ مَنْ صَاحِبِ الْمُوضِحَةِ وَحْدَهُ وَيَأْخُذَ مَنْ صَاحِبِ الْجَائِفَةِ أَرْشَ جَائِفَتِهِ؛ لِأَنَّ لَهُ لَوْ لَمْ تَنْدَمِلِ الْجَائِفَةُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ صَاحِبِ الْمُوضِحَةِ وَحْدَهُ وَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ قَدْ عَفَا عَنِ الْقَوَدِ وَأَرَادَ الدِّيَةَ لَمْ يَقْبَلْ تَصْدِيقَهُ لِصَاحِبِ الْجَائِفَةِ لِأَمْرَيْنِ
Jika pemilik luka dalam mengklaim bahwa lukanya telah sembuh dan meninggal karena luka terbuka, dan wali membenarkannya sementara pemilik luka terbuka menyangkalnya, maka dilihat keadaan wali. Jika ia ingin melakukan qisas sebelum pernyataan wali dalam membenarkan pemilik luka dalam, maka ia dapat menuntut qisas dari pemilik luka terbuka saja dan mengambil kompensasi dari pemilik luka dalam untuk lukanya; karena jika luka dalam tidak sembuh, ia dapat menuntut qisas dari pemilik luka terbuka saja. Jika wali telah memaafkan qisas dan menginginkan diyat, maka pembenarannya terhadap pemilik luka dalam tidak diterima karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَجُرُّ بِهَا إِلَى نَفْسِهِ نَفْعًا فِي أَخْذِ أَرْشِ الْجَائِفَةِ بَعْدَ انْدِمَالِهَا مَعَ دِيَةِ النَّفْسِ
Salah satunya adalah bahwa ia menarik manfaat bagi dirinya sendiri dengan mengambil kompensasi luka setelah sembuhnya, bersama dengan diyat jiwa.
وَالثَّانِي أَنَّهُ يُدْخِلُ عَلَى صَاحِبِ الْمُوضِحَةِ ضَرَرًا لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ مُلْتَزِمًا مَا لَوْ لَمْ تَنْدَمِلِ الْجَائِفَةُ نِصْفَ الدِّيَةِ فَأَلْزَمَهُ جَمِيعًا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ حَلَفَ صَاحِبُ الْمُوضِحَةِ بِاللَّهِ لَقَدْ مَاتَ الْمَجْرُوحُ قَبْلَ انْدِمَالِ الْجَائِفَةِ وَلَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا نِصْفُ الدِّيَةِ فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الْوَلِيِّ؛ لِأَنَّ الْحَقَّ لَهُ دُونَ صَاحِبِ الْجَائِفَةِ وَقَضي لَهُ بجميع الدية
Kedua, hal itu menimbulkan kerugian bagi pemilik luka terbuka karena ia telah berkomitmen untuk membayar setengah diyat jika luka dalam tidak sembuh. Namun, ia diwajibkan membayar seluruhnya. Dalam hal ini, pemilik luka terbuka bersumpah demi Allah bahwa orang yang terluka telah meninggal sebelum luka dalam sembuh, sehingga ia hanya diwajibkan membayar setengah diyat. Jika ia menolak bersumpah, sumpah itu dikembalikan kepada wali, karena hak itu miliknya, bukan milik pemilik luka dalam, dan ia diputuskan untuk menerima seluruh diyat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَيُجْرَحُونَ بِالْجُرْحِ الْوَاحِدِ إِذَا كَانَ جُرْحُهُمْ إِيَّاهُ مَعًا لَا يَتَجَزَّأُ
Imam Syafi’i berkata, “Mereka dicela dengan satu celaan jika celaan mereka itu bersama-sama dan tidak terbagi.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا اشْتَرَكَ الْجَمَاعَةُ فِي جُرْحٍ أَوْ قَطْعِ طَرَفٍ اقْتُصَّ مِنْ جَمِيعِهِمْ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَالثَّوْرِيُّ لَا قِصَاصَ عَلَيْهِمْ إِذَا اشْتَرَكُوا فِي الْأَطْرَافِ وَإِنْ وَجَبَ عَلَيْهِمُ الْقِصَاصُ إِذَا اشْتَرَكُوا فِي النَّفْسِ اسْتِدْلَالًا بِمَا قُدِّمَ ذِكْرُهُ مِنْ أَنَّ التَّسَاوِيَ مُعْتَبَرٌ فِي الْأَطْرَافِ دُونَ النَّفْسِ؛ لِأَنَّ الْيَدَ السَّلِيمَةَ لَا تُؤْخَذُ بِالشَّلَّاءِ وَتُقْتَلُ النَّفْسُ السَّلِيمَةُ بِالنَّفْسِ السَّقِيمَةِ وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلَيْنِ شَهِدَا عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ عَلَى رَجُلٍ بِالسَّرِقَةِ فَقَطَعَ يَدَهُ ثُمَّ عَادَا وَمَعَهُمَا آخَرُ فَقَالَا أَخْطَأْنَا فِي الشَّهَادَةِ عَلَى الْأَوَّلِ وَهَذَا هُوَ السَّارِقُ فَرَدَّ شَهَادَتَهُمَا وَلَمْ يَقْطَعِ الثَّانِي وَقَالَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّكُمَا تَعَمَّدْتُمَا لَقَطَعْتُكُمَا فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ قَطْعِ الْيَدَيْنِ بِالْيَدِ الْوَاحِدَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ جِنَايَةٍ لَوِ انْفَرَدَ بِهَا الْوَاحِدُ أُقِيدَ وَجَبَ إِذَا اشْتَرَكَ فِيهَا الْجَمَاعَةُ أَنْ يُقَادُوا كَالْجِنَايَةِ عَلَى النُّفُوسِ وَلِأَنَّهُ قَوَدٌ يُسْتَحَقُّ فِي النَّفْسِ فَوَجَبَ أَنْ يُسْتَحَقَّ فِي الطَّرَفِ كَالْوَاحِدِ وَلِأَنَّ حُرْمَةَ النَّفْسِ أَغْلَظُ مِنْ حُرْمَةِ الطَّرَفِ فَلَمَّا أُقِيدَتِ النُّفُوسُ بِنَفْسٍ فَأَوْلَى أَنْ تُقَادَ الْأَطْرَافُ بِطَرَفٍ وَقَدْ أَجَبْنَا عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ التَّسَاوِيَ مُعْتَبَرٌ فِي الْأَطْرَافِ دُونَ النُّفُوسِ بِأَنَّهُمَا سَوَاءٌ عِنْدَنَا فِي اعْتِبَارِ التَّسَاوِي فِيهِمَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ
Al-Mawardi berkata, ini seperti yang dikatakan bahwa jika sekelompok orang terlibat dalam melukai atau memotong anggota tubuh, maka qishash dilakukan terhadap mereka semua. Abu Hanifah dan Ats-Tsauri berpendapat bahwa tidak ada qishash atas mereka jika mereka terlibat dalam anggota tubuh, meskipun qishash wajib atas mereka jika terlibat dalam jiwa, berdasarkan apa yang telah disebutkan bahwa kesetaraan dipertimbangkan dalam anggota tubuh, bukan dalam jiwa; karena tangan yang sehat tidak diambil dengan yang lumpuh, dan jiwa yang sehat dibunuh dengan jiwa yang sakit. Dalil kami adalah riwayat bahwa dua orang bersaksi di hadapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu terhadap seorang pria atas pencurian, maka tangannya dipotong. Kemudian mereka kembali dengan orang lain dan berkata, “Kami salah dalam kesaksian terhadap yang pertama, dan inilah pencurinya.” Maka Ali menolak kesaksian mereka dan tidak memotong yang kedua, dan berkata, “Seandainya aku tahu bahwa kalian sengaja, aku akan memotong kalian.” Ini menunjukkan kebolehan memotong dua tangan dengan satu tangan. Dan karena setiap kejahatan jika dilakukan oleh satu orang, maka ia dihukum, wajib jika dilakukan oleh sekelompok orang, mereka harus dihukum seperti kejahatan terhadap jiwa. Dan karena qishash yang berhak dalam jiwa, maka wajib berhak dalam anggota tubuh seperti satu orang. Dan karena kehormatan jiwa lebih besar daripada kehormatan anggota tubuh, maka ketika jiwa dihukum dengan jiwa, lebih utama anggota tubuh dihukum dengan anggota tubuh. Kami telah menjawab dalil mereka bahwa kesetaraan dipertimbangkan dalam anggota tubuh, bukan dalam jiwa, bahwa keduanya sama menurut kami dalam mempertimbangkan kesetaraan di antara mereka sebagaimana telah kami jelaskan.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ قَطْعُ الْأَطْرَافِ بِطَرَفٍ فَاعْتِبَارُ الِاشْتِرَاكِ فِيهِ أَنْ يَجْتَمِعُوا عَلَى أَخْذِ السَّيْفِ بِأَيْدِيهِمْ كُلِّهِمْ وَيَعْتَمِدُوا جَمِيعًا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ عَلَى قطع اليد فحينئذ يصيروا شُرَكَاءَ فِي قَطْعِهَا فَتُقْطَعُ أَيْدِيَهُمْ بِهَا
Maka jika telah ditetapkan pemotongan anggota tubuh dengan satu anggota, pertimbangan keterlibatan di dalamnya adalah mereka berkumpul untuk memegang pedang dengan tangan mereka semua dan bersama-sama menekankan pada pemotongan tangan dalam satu keadaan. Pada saat itu, mereka menjadi mitra dalam pemotongannya, sehingga tangan mereka dipotong karenanya.
فَأَمَّا إِذَا انْفَرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِقَطْعِ مَوْضِعٍ مِنْهَا حَتَّى بَانَتْ إِمَّا فِي مَوْضِعٍ مِنْهَا أَوْ فِي مَوَاضِعَ أَوْ يُقْطَعُ أَحَدُهُمَا مِنْ بَاطِنِ الْيَدِ وَالْآخَرُ مِنْ ظَاهِرِهَا حَتَّى يَلْتَقِيَ الْقَطْعَانِ فَتَبِينُ الْيَدُ وَتَسْقُطُ فَلَيْسَ هَذَا اشْتِرَاكًا فِي الْفِعْلِ الْوَاحِدِ فَلَمْ يَجِبْ عَلَى الْوَاحِدِ مِنْهُمْ قَوَدٌ وَأُخِذَ بِأَرْشِ جِنَايَتِهِ
Apabila masing-masing dari mereka memotong bagian dari tangan hingga terpisah, baik di satu tempat atau beberapa tempat, atau salah satunya memotong dari bagian dalam tangan dan yang lainnya dari bagian luar hingga kedua potongan bertemu dan tangan terpisah serta jatuh, maka ini bukanlah partisipasi dalam satu tindakan. Oleh karena itu, tidak ada qishash yang wajib atas salah satu dari mereka, dan mereka dikenakan diyat atas tindakan pelanggaran mereka.
فَأَمَّا اشْتِرَاكُهُمْ فِي جُرْحِ مُوضِحَةٍ فَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى سَيْفٍ وَاحِدٍ أَوْضَحُوهُ بِهِ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ وَجَبَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمُ الْقِصَاصُ فِي مِثْلِ تِلْكَ الْمُوضِحَةِ وَإِنْ عَفي عَنِ الْقِصَاصِ كَانَ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ دِيَةُ مُوضِحَةٍ وَاحِدَةٍ وَإِنْ تَفَرَّدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِأَنْ أَوْضَحَ مِنْهَا مَوْضِعًا حَتَّى اتَّسَعَ اقْتُصَّ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِثْلُ مَا أَوْضَحَ لِأَنَّ الْقِصَاصَ يَجِبُ فِي صَغِيرِ الْمُوضِحَةِ كَمَا يَجِبُ فِي كَبِيرِهَا فَإِنْ عَفي عَنِ الْقِصَاصِ كَانَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ دِيَةُ مُوضِحَةٍ لِأَنَّ دِيَةَ الْمُوضِحَةِ إِذَا صغرت كديتها إذا كبرت
Adapun keterlibatan mereka dalam melukai dengan luka yang membekas, jika mereka bersama-sama menggunakan satu pedang dan melukai dalam satu keadaan, maka setiap dari mereka wajib qishash dengan luka yang sama. Jika dimaafkan dari qishash, maka atas mereka bersama-sama dikenakan diyat satu luka. Jika masing-masing melukai di tempat yang berbeda hingga melebar, maka diqishash dari masing-masing sesuai dengan luka yang dibuatnya, karena qishash wajib pada luka kecil sebagaimana pada luka besar. Jika dimaafkan dari qishash, maka setiap dari mereka dikenakan diyat luka, karena diyat luka kecil sama dengan diyat luka besar.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَلَا يُقْتَصُّ إِلَّا مِنْ بَالِغٍ وَهُوَ مَنِ احْتَلَمَ مِنَ الذُّكُورِ أَوْ حَاضَ مِنَ النِّسَاءِ أو بَلَغَ أَيُّهُمَا كَانَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً
Imam Syafi’i berkata, “Qishash tidak dilakukan kecuali terhadap orang yang baligh, yaitu laki-laki yang sudah bermimpi basah atau perempuan yang sudah haid, atau keduanya telah mencapai usia lima belas tahun.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وُجُوبُ الْقِصَاصِ مُعْتَبَرٌ بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ الْمُعْتَبَرَيْنِ فِي التَّكْلِيفِ فَإِنْ كَانَ الْجَانِي صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي نَفْسٍ وَلَا طَرَفٍ لِرِوَايَةِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يحتلم وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَنْتَبِهَ فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ قَطَعَ أُنْمُلَةَ صَبِيٍّ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, kewajiban qisas dipertimbangkan dengan baligh dan akal yang dipertimbangkan dalam taklif. Jika pelaku adalah anak kecil atau orang gila, maka tidak wajib atasnya qisas dalam jiwa maupun anggota tubuh, berdasarkan riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, ‘Pena diangkat dari tiga: dari anak kecil hingga ia baligh, dari orang gila hingga ia sadar, dan dari orang yang tidur hingga ia bangun.’ Jika dikatakan, telah diriwayatkan dari Ali ‘alaihis salam bahwa ia memotong jari anak kecil…”
قِيلَ لَيْسَ بِثَابِتٍ وَلَوْ صَحَّ لَاحْتَمَلَ وَجْهَيْنِ
Dikatakan bahwa itu tidaklah kuat, dan jika benar, maka dapat memiliki dua kemungkinan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ قَطْعُهَا لِأَكَلَةٍ وَقَعَتْ فِيهَا لِتَسْلَمَ مِنْ سَرَايَتِهَا وَلَمْ يَقْطَعْهَا قَوَدًا
Salah satunya adalah memotongnya karena penyakit yang menyerangnya agar selamat dari penyebarannya dan tidak memotongnya sebagai qisas.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ غُلَامًا صَغِيرًا فِي الْمَنْظَرِ وَإِنْ بَلَغَ وَلِأَنَّ عَدَمَ التَّكْلِيفِ يَمْنَعُ مِنَ الوَعِيدِ وَالزَّجْرِ؛ فَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ قَوَدٌ كَمَا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ حَدٌّ وَلِأَنَّ حُقُوقَ الْأَبْدَانِ تَسْقُطُ بِالْجُنُونِ وَالصِّغَرِ كَالْعِبَادَاتِ
Kedua, haruslah seorang anak kecil dalam penampilan meskipun sudah baligh. Karena ketiadaan taklif mencegah dari ancaman dan teguran; maka tidak wajib qisas atasnya sebagaimana tidak wajib had atasnya. Dan karena hak-hak badan gugur dengan kegilaan dan usia kecil seperti halnya ibadah.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنْ لَا قَوَدَ عَلَيْهِمَا إِذَا جَنَيَا لَمْ يُؤْخَذَا بِهِ بَعْدَ الْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ وَوَجَبَ الْقَوَدُ عَلَى الْبَالِغِ الْعَاقِلِ إِذَا قَتَلَهُمَا؛ لِأَنَّ التَّكْلِيفَ مُعْتَبَرٌ فِي الْقَاتِلِ دُونَ الْمَقْتُولِ فَلَوِ ادَّعَى الْقَاتِلُ أَنَّهُ قَتَلَ وَهُوَ صَغِيرٌ وَادَّعَى الْوَلِيُّ أَنَّهُ قَتَلَ وَكَانَ بَالِغًا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَاتِلِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَمْرَيْنِ
Maka jika telah ditetapkan bahwa tidak ada qisas atas keduanya jika mereka melakukan kejahatan, mereka tidak diambil setelah baligh dan berakal, dan wajib qisas atas orang dewasa yang berakal jika membunuh keduanya; karena taklif dianggap pada pembunuh, bukan pada yang dibunuh. Jika pembunuh mengklaim bahwa dia membunuh saat masih kecil dan wali mengklaim bahwa dia membunuh saat sudah dewasa, maka pernyataan pembunuh yang diterima dengan sumpahnya karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْأَصْلَ الصِّغَرُ حَتَّى يُعْلَمَ الْبُلُوغُ
Salah satunya adalah bahwa asalnya adalah kecil hingga diketahui baligh.
وَالثَّانِي أَنَّ الْأَصْلَ سُقُوطُ الْقَوَدِ حَتَّى يُعْلَمَ اسْتِحْقَاقُهُ وَلَوِ ادَّعَى الْقَاتِلُ أَنَّهُ قَتَلَ وَهُوَ مَجْنُونٌ وَادَّعَى الْوَلِيُّ أَنَّهُ قَتَلَ وَكَانَ عَاقِلًا؛ فَإِنْ عُلِمَ بِجُنُونِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ لِلْأَمْرَيْنِ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ جُنُونُهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الْأَصْلَ السَّلَامَةُ؛ فَإِذَا سَقَطَ الْقَوَدُ عَنْهُمَا فِي الْعَمْدِ لَزِمَتْهُمَا الدِّيَةُ لِأَنَّهَا مِنْ حُقُوقِ الْأَمْوَالِ الَّتِي تَجِبُ عَلَى غَيْرِ الْمُكَلَّفِ كَوُجُوبِهَا عَلَى الْمُكَلَّفِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي حُقُوقِ الْأَبْدَانِ وَفِي الدِّيَةِ اللَّازِمَةِ لَهُمَا قَوْلَانِ
Kedua, pada dasarnya qisas tidak diterapkan sampai terbukti kelayakannya. Jika pembunuh mengklaim bahwa dia membunuh dalam keadaan gila dan wali mengklaim bahwa dia membunuh dalam keadaan sadar; jika diketahui bahwa dia gila, maka pernyataannya diterima dengan sumpahnya untuk dua alasan. Namun, jika kegilaannya tidak diketahui, maka pernyataan wali yang diterima dengan sumpahnya karena pada dasarnya dianggap sehat. Jika qisas tidak diterapkan kepada keduanya dalam kasus pembunuhan sengaja, maka diwajibkan membayar diyat karena itu termasuk hak-hak harta yang wajib dipenuhi oleh orang yang tidak mukallaf sebagaimana wajibnya bagi orang yang mukallaf. Jika terjadi perbedaan pendapat mengenai hak-hak badan dan diyat yang wajib bagi keduanya, ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهَا تَكُونُ فِي أَمْوَالِهِمَا
Salah satunya adalah bahwa itu berada dalam harta mereka.
وَالثَّانِي عَلَى عَوَاقِلِهِمَا بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي عَمْدِهِمَا هَلْ يَكُونُ خَطَأً أَوْ عَمْدًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Yang kedua adalah atas tanggungan keluarga mereka, berdasarkan perbedaan pendapat Imam Syafi’i mengenai tindakan sengaja mereka, apakah dianggap sebagai kesalahan atau kesengajaan. Dan Allah lebih mengetahui.
بَابُ صِفَةِ الْقَتْلِ الْعَمْدِ وَجِرَاحِ الْعَمْدِ الَّتِي فيها قصاص وغير ذلك
Bab tentang sifat pembunuhan sengaja dan luka sengaja yang di dalamnya ada qishash dan lain-lain.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَإِذَا عَمَدَ رَجُلٌ بِسَيْفٍ أَوْ خِنْجَرٍ أَوْ سِنَانِ رُمْحٍ أَوْ مَا يُشَقُّ بِحَدِّهِ إِذَا ضُرِبَ أَوْ رُمِيَ بِهِ الْجِلْدُ وَاللَّحْمُ دُونَ الْمَقْتَلِ فَجَرَحَهُ جُرْحًا كَبِيرًا أَوْ صَغِيرًا فَمَاتَ مِنْهُ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika seseorang dengan sengaja menggunakan pedang, belati, ujung tombak, atau benda tajam lainnya yang dapat melukai kulit dan daging ketika dipukul atau dilemparkan, dan melukai orang lain dengan luka besar atau kecil hingga menyebabkan kematian, maka ia harus dikenakan qisas.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ آلَةَ الْقَتْلِ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Ketahuilah bahwa alat pembunuh terbagi menjadi dua jenis.”
أَحَدُهُمَا الْمُثَقَّلُ وَيَأْتِي
Salah satunya adalah yang diberatkan dan datang.
وَالثَّانِي الْمُحَدَّدُ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ
أَحَدُهُمَا مَا شَقَّ بِحَدِّهِ
Salah satunya adalah yang membelah dengan ketajamannya.
وَالثَّانِي مَا نَفَذَ بِدَفْنِهِ
Dan yang kedua adalah apa yang telah selesai dengan penguburannya.
فَأَمَّا مَا شَقَّ بِحَدِّهِ فَقَطَعَ الْجِلْدَ وَمَارَ فِي اللَّحْمِ كَالسَّيْفِ وَالسِّكِّينِ وَالسِّنَانِ وَالْحَرْبَةِ وَهَذَا يَجْمَعُ نُفُوذًا وَقَطْعًا فَالْقَوَدُ فِيهِ وَاجِبٌ بِاتِّفَاقٍ سَوَاءٌ كَانَ بِحَدِيدٍ أَوْ بِمَا يَقُومُ مَقَامَ الْحَدِيدِ مِنْ مُحَدَّدِ الْخَشَبِ وَالزُّجَاجِ وَالْقَصَبِ
Adapun sesuatu yang melukai dengan ujung tajamnya sehingga memotong kulit dan menembus daging, seperti pedang, pisau, mata tombak, dan lembing, yang menggabungkan penetrasi dan pemotongan, maka qishāsh wajib dilakukan berdasarkan kesepakatan, baik itu dengan besi atau dengan sesuatu yang menggantikan fungsi besi dari kayu yang tajam, kaca, dan bambu.
وَأَمَّا مَا نَفَذَ بِدَفْنِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun apa yang telah terlaksana dengan penguburannya, maka terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا مَا كَبُرَ وَبَعُدَ غَوْرُ نُفُوذِهِ كَالسَّهْمِ وَالْمِسَلَّةِ إِذَا وَصَلَا إِلَى الْجَسَدِ فَنَفَذَ فِيهِ وَجَبَ فِيهَا الْقَوَدُ بَعْدَ نُفُوذِهَا سَوَاءٌ خَرَجَ مِنْهَا دَمٌ أَوْ لَمْ يَخْرُجْ؛ لِأَنَّ خُرُوجَ الدَّمِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ كَمَا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي اسْتِحْقَاقِ الدِّيَةِ
Salah satunya adalah sesuatu yang besar dan dalam pengaruhnya seperti panah dan jarum ketika menembus tubuh. Jika keduanya menembus, maka wajib qisas setelah penembusannya, baik keluar darah atau tidak; karena keluarnya darah tidak dianggap dalam kewajiban qisas sebagaimana tidak dianggap dalam penetapan diyat.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي مَا صَغُرَ مِنْهُ كَالْإِبْرَةِ فَإِنْ كَانَتْ فِي مَقْتَلٍ كَالنَّحْرِ وَالصَّدْرِ وَالْخَاصِرَةِ وَالْعَيْنِ فَفِيهِمَا الْقَوَدُ وَإِنْ كَانَتْ فِي غَيْرِ مَقْتَلٍ كَالْأَلْيَةِ وَالْفَخْذِ نُظِرَ حَالُهَا فَإِنِ اشْتَدَّ أَلَمُهَا وَلَمْ يَزَلِ الْمَجْرُوحُ بِهَا زَمَنًا مِنْهَا حَتَّى مَاتَ فَفِيهَا الْقَوَدُ وَإِنْ لَمْ تُؤْلِمْ نُظِرَ فِي الْمَوْتِ فَإِنْ تَأَخَّرَ زَمَانُهُ بَعْدَ الْجُرْحِ بِهَا فَلَا قَوَدَ فِيهَا وَلَا دِيَةَ لِعَدَمِ تَأْثِيرِهَا فِي الْحَالِ وَإِنْ مَاتَ مَعَهَا فِي الْحَالِ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ وَجْهَانِ
Jenis kedua adalah yang kecil seperti jarum. Jika berada di tempat yang mematikan seperti leher, dada, pinggang, dan mata, maka ada qisas. Jika berada di tempat yang tidak mematikan seperti bokong dan paha, dilihat kondisinya. Jika rasa sakitnya parah dan orang yang terluka terus menderita karenanya hingga meninggal, maka ada qisas. Jika tidak menyakitkan, dilihat pada kematiannya. Jika kematiannya tertunda setelah luka tersebut, maka tidak ada qisas dan tidak ada diyat karena tidak berpengaruh langsung. Jika meninggal seketika, ada dua pendapat mengenai kewajiban qisas.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ الْقَوَدَ فِيهَا وَاجِبٌ لِأَنَّ لَهَا سَرَايَةً وَمَوْرًا وَلِأَنَّ فِي الْبَدَنِ مَقَاتِلُ خَافِيَةٌ فِي عُرُوقٍ ضَارِبَةٍ قَالَ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ جُرْحًا كَبِيرًا أَوْ صَغِيرًا
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa qisas dalam hal ini wajib karena memiliki dampak dan pengaruh, serta karena dalam tubuh terdapat bagian-bagian vital yang tersembunyi di dalam pembuluh darah yang berdenyut. Dia mengatakan bahwa ini adalah makna dari perkataan Imam Syafi’i, baik luka besar maupun kecil.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ إنَّهُ لَا قَوَدَ فِيهَا لِأَنَّ مِثْلَهَا لَا يَقْتُلُ غَالِبًا وَلِأَنَّهُ لَمَّا فَرَّقَ فِي الْمُثَقَّلِ بَيْنَ صَغِيرَةٍ وَكَبِيرَةٍ وَجَبَ الْفَرْقُ فِي الْمُحَدَّدِ بَيْنَ صَغِيرَةٍ وَكَبِيرَةٍ فَعَلَى هَذَا فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ عِنْدَ سُقُوطِ الْقَوَدِ وَجْهَانِ
Paragraf kedua adalah pendapat Abu al-Abbas bin Surayj dan Abu Sa’id al-Istakhri bahwa tidak ada qisas dalam kasus ini karena benda seperti itu biasanya tidak mematikan. Karena ketika membedakan antara benda berat kecil dan besar, maka harus ada perbedaan dalam benda tajam antara kecil dan besar. Berdasarkan hal ini, dalam kewajiban diyat ketika qisas tidak diterapkan, ada dua pandangan.
أَحَدُهُمَا تَجِبُ الدِّيَةُ مُغَلَّظَةً لِتَرَدُّدِهِ بَيْنَ احْتِمَالَيْ قَتْلٍ وَسَلَامَةٍ
Salah satunya diwajibkan diyat yang diperberat karena keraguannya antara kemungkinan membunuh dan keselamatan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا دِيَةَ فِيهِ؛ لِأَنَّ أَقَلَّ مَا يَنْفُذُ مِنَ المُحَدَّدِ كَأَقَلِّ مَا يُضْرَبُ بِهِ مِنَ الثِّقَلِ فَلَمَّا لَمْ تَجِبِ الدِّيَةُ فِي أَقَلِّ الْمُثَقَّلِ لَمْ تَجِبْ في أقل المحدد
Paragraf kedua menyatakan bahwa tidak ada diyat dalam hal ini; karena yang paling sedikit menembus dari benda tajam sama dengan yang paling sedikit dipukul dengan benda berat. Maka ketika diyat tidak wajib pada yang paling sedikit dari benda berat, tidak wajib pula pada yang paling sedikit dari benda tajam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَإِنْ شَدَخَهُ بِحَجَرٍ أَوْ تَابَعَ عَلَيْهِ الْخَنْقَ أَوْ وَالَى عَلَيْهِ بِالسَّوْطِ حَتَّى يَمُوتَ أَوْ طَيَّنَ عَلَيْهِ بَيْتًا بِغَيْرِ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ مُدَّةً الْأَغْلَبُ أَنَّهُ يَمُوتُ مِنْ مِثْلِهِ أَوْ ضَرَبَهُ بِسَوْطٍ فِي شِدَّةِ بَرْدٍ أَوْ حَرٍّ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا الْأَغْلَبُ أَنَّهُ يَمُوتُ مِنْهُ فَمَاتَ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ
Imam Syafi’i berkata, “Jika seseorang memukul dengan batu atau mencekik terus-menerus, atau memukul dengan cambuk hingga mati, atau mengurung dalam rumah tanpa makanan dan minuman dalam jangka waktu yang biasanya menyebabkan kematian, atau memukul dengan cambuk dalam cuaca sangat dingin atau panas, dan hal-hal serupa yang biasanya menyebabkan kematian, lalu orang tersebut mati, maka pelaku harus dikenai qisas.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْقَتْلُ بِالْمُثَقَّلِ وَمَا يَقْتُلُ مِثْلُهُ فِي الْأَغْلَبِ مِنَ الخَنْقِ وَالْحَرْقِ وَالتَّغْرِيقِ وَمَا أَشْبَهَ فَفِيهِ الْقَوَدُ عَلَى مَا سَنَصِفُهُ
Al-Mawardi berkata, “Adapun pembunuhan dengan benda berat dan yang biasanya mematikan seperti mencekik, membakar, menenggelamkan, dan yang serupa, maka di dalamnya ada qishash sebagaimana yang akan kami jelaskan.”
وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى وَأَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ
Dan pendapat ini dipegang oleh Malik, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, dan Muhammad.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا قَوَدَ فِي الْمُثَقَّلِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَدِيدًا كَالْعَمُودِ وَلَا قَوَدَ فِي غَيْرِ الْمُثَقَّلِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ بِالنَّارِ اسْتِدْلَالًا بِظَاهِرِ مَا رَوَاهُ الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عن ابن أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا قَوَدَ إِلَّا بِالسَّيْفِ
Abu Hanifah berkata bahwa tidak ada qisas dalam kasus pembunuhan dengan benda berat kecuali jika terbuat dari besi seperti tongkat, dan tidak ada qisas dalam kasus selain benda berat kecuali jika dilakukan dengan api. Ini berdasarkan pemahaman dari riwayat yang disampaikan oleh Zuhri dari Sa’id bin al-Musayyib dari Ibn Abi Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tidak ada qisas kecuali dengan pedang.”
وَرَوَى عَاصِمُ بْنُ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ لَا قَوَدَ إِلَّا بِحَدِيدَةٍ
Diriwayatkan oleh ‘Āṣim bin Ḍamrah dari ‘Alī bin Abī Ṭālib, semoga damai menyertainya, bahwa ia berkata, “Tidak ada qishāṣ kecuali dengan besi.”
وَرَوَى جَابِرٌ عَنْ أَبِي عَازِبٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ كُلُّ شَيْءٍ خَطَأٌ إِلَّا السَّيْفَ وَفِي كُلِّ خَطَأٍ أَرْشٌ
Diriwayatkan oleh Jabir dari Abu Azib dari Nu’man bin Basyir bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Segala sesuatu adalah kesalahan kecuali pedang, dan dalam setiap kesalahan ada diyat.”
وَرَوَى الْقَاسِمُ بْنُ رَبِيعَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ عَلَى دَرَجِ الْكَعْبَةِ يَوْمَ الْفَتْحِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ أَلَا إِنَّ فِي قَتِيلِ الْعَمْدِ الْخَطَأِ بِالسَّوْطِ أَوِ الْعَصَا مِائَةً مِنَ الإِبِلِ مُغَلَّظَةً مِنْهَا أَرْبَعُونَ خَلِفَةً فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا
Diriwayatkan oleh al-Qasim bin Rabi’ah dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi ﷺ berkata di tangga Ka’bah pada hari penaklukan: “Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan golongan-golongan sendirian. Ketahuilah bahwa dalam kasus pembunuhan sengaja yang keliru dengan cambuk atau tongkat, diyatnya adalah seratus unta yang diperberat, di antaranya empat puluh unta betina yang sedang mengandung.”
وَرَوَى إِبْرَاهِيمُ عَنْ عُبَيْدٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ ضَرَبَتِ امْرَأَةٌ ضَرَّتَهَا بِعَمُودِ فُسْطَاطٍ وَهِيَ حُبْلَى فَقَتَلَتْهَا فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِدِيَتِهَا عَلَى عَصَبَتِهَاٍ
Diriwayatkan dari Ibrahim, dari ‘Ubaid, dari al-Mughirah bin Syu‘bah, ia berkata: Seorang wanita memukul madunya dengan tiang kemah sementara ia sedang hamil, lalu membunuhnya. Maka Rasulullah ﷺ memutuskan diyatnya atas ‘aqilahnya.
وَهَذِهِ كُلُّهَا نُصُوصٌ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ بِالْمُثَقَّلِ
Ini semua adalah teks-teks mengenai gugurnya qisas dengan alat berat.
وَمِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ فِي الْمُحَدَّدِ بَيْنَ صَغِيرَةٍ وَكَبِيرَةٍ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ اقْتَضَى أَنْ لَا يَقَعَ الْفَرْقُ فِي الْمُثَقَّلِ بَيْنَ صَغِيرَةٍ وَكَبِيرَةٍ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ
Dari segi makna, ketika tidak ada perbedaan dalam hal yang ditentukan antara kecil dan besar dalam kewajiban qishash, maka seharusnya tidak ada perbedaan dalam hal yang diperberat antara kecil dan besar dalam gugurnya qishash.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا الإسراء 33 وَهَذَا قُتِلَ مَظْلُومًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لِوَلِيِّهِ الْقَوَدُ
Dalil kami adalah firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya.” (Al-Isra: 33) Dan orang ini dibunuh secara zalim, maka wajib bagi walinya untuk mendapatkan qishash.
وَرَوَى شُعْبَةُ عَنْ هِشَامِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ جَدِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَارِيَةً كَانَ عَلَيْهَا أَوْضَاحٌ فَرَضَخَ رَأْسَهَا يَهُودِيٌّ بِحَجَرٍ فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَبِهَا رَمَقٌ فَقَالَ لَهَا مَنْ قَتَلَكِ وَذَكَرَ لَهَا جَمَاعَةً وَهِيَ تُشِيرُ بِرَأْسِهَا إِلَى أَنْ ذَكَرَ الْيَهُودِيَّ فَأَشَارَتْ بِرَأْسِهَا نَعَمْ فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقُتِلَ بَيْنَ حَجَرَيْنِ
Diriwayatkan oleh Syu’bah dari Hisyam bin Zaid dari kakeknya Anas bin Malik bahwa seorang budak perempuan yang mengenakan perhiasan perak kepalanya dipukul oleh seorang Yahudi dengan batu. Rasulullah SAW masuk menemuinya saat ia masih bernapas. Beliau bertanya kepadanya, “Siapa yang membunuhmu?” dan menyebutkan beberapa orang, sementara ia mengisyaratkan dengan kepalanya sampai disebutkan orang Yahudi, lalu ia mengangguk. Maka Rasulullah SAW memerintahkan agar orang Yahudi itu dibunuh di antara dua batu.
فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا قَتَلَهُ لِنَقْضِ عَهْدِهِ لَا لِقَتْلِهِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Jika dikatakan bahwa ia membunuhnya karena melanggar perjanjiannya, bukan karena membunuhnya, maka ada dua jawaban untuk itu.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ حُكْمٌ وَرَدَ عَلَى سَبَبٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَيْهِ
Salah satunya adalah bahwa itu adalah hukum yang datang karena suatu sebab, maka wajib untuk dikaitkan dengannya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا قَتَلَهُ بِمِثْلِ مَا قَتَلَ مِنَ الحَجَرِ دَلَّ عَلَى أنه مماثلة قود لا لنقض عَهْدِهِ
Yang kedua adalah bahwa ketika dia membunuhnya dengan cara yang sama seperti dia membunuh dengan batu, ini menunjukkan bahwa itu adalah qiyās qishāṣ, bukan untuk membatalkan janjinya.
وَحَكَى السَّاجِيُّ عَنْ بِشْرِ بْنِ الْمُفَضَّلِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي حَنِيفَةَ يَجِبُ الْقَوَدُ عَلَى مَنْ قَتَلَ بِالْمُثَقَّلِ قَالَ لَوْ رَمَاهُ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقَوَدُ
Saji meriwayatkan dari Bisyr bin al-Mufadhdhal yang berkata: Saya bertanya kepada Abu Hanifah, apakah qisas wajib bagi orang yang membunuh dengan benda berat? Dia menjawab, jika dia melemparnya, maka qisas tidak wajib baginya.
قُلْتُ قَدْ رَوَى شُعْبَةُ عَنْ هِشَامِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ جَدِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ يَهُودِيًّا رَضَّ رَأْسَ جَارِيَةٍ بِحَجَرٍ فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقُتِلَ بَيْنَ حَجَرَيْنِ فَقَالَ هَذَا بِهَذَا
Saya berkata, telah meriwayatkan Syu’bah dari Hisyam bin Zaid dari kakeknya Anas bin Malik bahwa seorang Yahudi memukul kepala seorang budak perempuan dengan batu, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar dia dibunuh dengan dua batu. Beliau bersabda, “Ini dengan ini.”
وَبِمِثْلِ هذا القول لا تدفع أخبار الرسول وَرَوَى ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ حَمَلِ بْنِ مَالِكِ بْنِ نَابِغَةَ الْكِلَابِيِّ قَالَ كُنْتُ بَيْنَ جَارِيَتَيْنِ لِي يَعْنِي زَوْجَتَيْنِ فَضَرَبَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى بِمِسْطَحٍ وَالْمِسْطَحُ عَمُودُ الْخَيْمَةِ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي جَوْفِهَا فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْجَنِينِ بِغُرَّةِ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ وَأَنْ يُقْتَلَ مَكَانَهَا
Dengan perkataan seperti ini, berita dari Rasul tidak dapat ditolak. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Amr bin Dinar dari Thawus dari Haml bin Malik bin Nabighah al-Kilabi, ia berkata: “Aku berada di antara dua budakku, maksudnya dua istriku, lalu salah satu dari mereka memukul yang lain dengan mistah (tiang tenda) sehingga membunuhnya dan janin yang ada dalam perutnya. Maka Rasulullah ﷺ memutuskan untuk janin tersebut dengan diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan, dan agar pelaku dibunuh sebagai gantinya.”
وَلَا يُعَارِضُ حَدِيثَ الْمُغِيرَةِ لِأَنَّهُ أجنبي من المرأتين وحمل ابن مَالِكٍ زَوْجُ الضَّرَّتَيْنِ فَكَانَ بِحَالِهِمَا أَعْرَفَ
Tidak bertentangan dengan hadis al-Mughirah karena dia adalah orang asing dari kedua wanita tersebut, dan Ibnu Malik menganggap suami dari dua istri tersebut lebih mengetahui keadaan mereka.
وَمِنَ الْمَعْنَى أَنَّ الْمُثَقَّلَ أَحَدُ نَوْعَيْ مَا يُقْصَدُ بِهِ الْقَتْلُ فِي الْغَالِبِ فَوَجَبَ أَنْ يُسْتَحَقَّ فِيهِ الْقَوَدُ كَالْمُحَدَّدِ وَلِأَنَّ مَا وَجَبَ الْقَوَدُ فِي مُحَدَّدِهِ وَجَبَ فِي مُثَقَّلِهِ كَالْحَدِيدِ وَلِأَنَّ الْقَوَدَ مَوْضُوعٌ لِحِرَاسَةِ النُّفُوسِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ البقرة 179 فَلَوْ سَقَطَ بِالْمُثَقَّلِ لَمَا انْحَرَسَتِ النُّفُوسُ وَلَسَارَعَ كُلُّ مَنْ يُرِيدُ الْقَتْلَ إِلَى الْمُثَقَّلِ ثِقَةً بِسُقُوطِ الْقَوَدِ وَمَا أَدَّى إِلَى إِبْطَالِ مَعْنَى النَّصِّ كَانَ مُطَّرَحًا فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ لَا قَوَدَ إِلَّا بِالسَّيْفِ فَظَاهِرُهُ حَالَ اسْتِيفَاءِ الْقَوَدِ أَنَّهُ لَا يَكُونُ إِلَّا بِالسَّيْفِ وَنَحْنُ نَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ وَقَوْلُهُ كُلُّ شَيْءٍ خَطَأٍ إِلَّا السَّيْفَ فَقَدْ رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِي مُسْنَدِهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ خَطَأٍ إِلَّا السَّيْفَ وَهَذَا أَوْلَى لِزِيَادَتِهِ وَلَوْ لَمْ تُنْقَلِ الزِّيَادَةُ لَكَانَ الْخَبَرُ مَحْمُولًا عَلَيْهِ بِأَدِلَّتِنَا وَقَوْلُهُ أَلَا إِنَّ فِي قَتِيلِ الْخَطَأِ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةً مِنَ الإِبِلِ فَلَا دَلِيلَ فِيهِ مِنْ وَجْهَيْنِ
Dan dari makna bahwa alat berat adalah salah satu dari dua jenis yang biasanya digunakan untuk membunuh, maka wajib dikenakan qishash padanya seperti halnya alat tajam. Karena apa yang wajib dikenakan qishash pada alat tajam, juga wajib pada alat berat seperti besi. Dan karena qishash ditetapkan untuk menjaga jiwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu” (Al-Baqarah 179). Jika qishash dihapuskan dengan alat berat, maka jiwa tidak akan terjaga dan setiap orang yang ingin membunuh akan beralih ke alat berat dengan keyakinan bahwa qishash tidak akan dikenakan. Apa yang menyebabkan pembatalan makna teks harus ditolak. Adapun jawaban atas perkataannya “tidak ada qishash kecuali dengan pedang”, maka yang dimaksud adalah ketika pelaksanaan qishash, itu tidak dilakukan kecuali dengan pedang, dan kami akan menyebutkannya nanti. Dan perkataannya “segala sesuatu adalah kesalahan kecuali pedang” telah diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya “segala sesuatu dari kesalahan kecuali pedang”, dan ini lebih utama karena tambahan tersebut. Jika tambahan itu tidak diriwayatkan, maka berita itu akan dibawa sesuai dengan dalil kami. Dan perkataannya “ketahuilah bahwa dalam pembunuhan karena kesalahan dengan cambuk dan tongkat ada seratus unta”, maka tidak ada dalil di dalamnya dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ جَعَلَ فِي عَمْدِ الْخَطَأِ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا الدِّيَةَ وَلَمْ يَجْعَلِ السَّوْطَ وَالْعَصَا عَمْدًا خَطَأً
Salah satunya adalah bahwa dia menetapkan diyat dalam kasus kesalahan yang disengaja dengan cambuk dan tongkat, dan tidak menjadikan cambuk dan tongkat sebagai kesalahan yang disengaja.
وَالثَّانِي مَا قَدَّمْنَاهُ أَنَّ فِي السَّوْطِ وَالْعَصَا عَمْدًا خَطَأً وَلَيْسَ بِمَانِعٍ أَنْ يَكُونَ عَمْدًا مَحْضًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَتَنَوَّعُ وَالسَّيْفُ لَا يَتَنَوَّعُ وَقَدْ دَفَعْنَا حَدِيثَ الْمُغِيرَةِ بِرِوَايَةِ حَمَلِ بْنِ مَالِكٍ
Dan yang kedua adalah apa yang telah kami sampaikan bahwa dalam cambuk dan tongkat terdapat unsur sengaja yang tidak disengaja dan ini tidak menghalangi untuk dianggap sebagai sengaja murni; karena bisa bervariasi, sedangkan pedang tidak bervariasi. Kami telah menolak hadis al-Mughirah dengan riwayat Hamal bin Malik.
وَاسْتِدْلَالُهُمْ بِالْجَمْعِ بَيْنَ صَغِيرِ الْمُثَقَّلِ وَكَبِيرِهِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ كَمَا جَمَعَ بَيْنَ صَغِيرِ الْمُحَدَّدِ وَكَبِيرِهِ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ صَغِيرُ الْمُحَدَّدِ وَكَبِيرُهُ يَقْتُلُ غَالِبًا فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا وَصَغِيرُ الْمُثَقَّلِ لَا يَقْتُلُ غَالِبًا وَيَقْتُلُ كَبِيرُهُ فِي الْغَالِبِ فَافْتَرَقَا
Dan dalil mereka dengan menggabungkan antara kecilnya alat berat dan besarnya dalam menggugurkan qishash, sebagaimana mereka menggabungkan antara kecilnya alat tajam dan besarnya dalam kewajiban qishash, maka jawabannya adalah bahwa kecilnya alat tajam dan besarnya biasanya mematikan, sehingga digabungkan keduanya. Sedangkan kecilnya alat berat tidak biasanya mematikan, dan besarnya biasanya mematikan, sehingga keduanya berbeda.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ فِي الْقَتْلِ بِالْمُثَقَّلِ قَوَدًا فَالْمُثَقَّلُ يَنْقَسِمُ ثمانية أَقْسَامٍ
Jika telah ditetapkan dalam pembunuhan dengan alat berat adanya qishash, maka alat berat tersebut terbagi menjadi delapan bagian.
أَحَدُهَا قَتْلُ مِثْلِهِ فِي الْأَغْلَبِ كَالصَّخْرَةِ الثَّقِيلَةِ وَالْخَشَبَةِ الْكَبِيرَةِ وَيَقْتُلُ فِي أَيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَتْ عَلَيْهِ مِنَ الجَسَدِ وَعَلَى مَنْ وَقَعَتْ عَلَيْهِ مِنْ جَمِيعِ النَّاسِ فَالْقَوَدُ وَاجِبٌ
Salah satunya adalah membunuh dengan benda serupa yang biasanya mematikan, seperti batu besar dan kayu besar, yang dapat membunuh di bagian tubuh mana pun yang terkena, dan kepada siapa pun yang terkena dari semua orang, maka qishash wajib dilakukan.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا لَا يَقْتُلُ مِثْلُهُ فِي الْغَالِبِ كَالْحَصَاةِ مِثْلُ النَّوَاةِ وَالْخَشَبَةِ مِثْلُ الْقَلَمِ لَا يَقْتُلُ فِي أَيِّ مَوْقِعٍ وَقَعَتْ عَلَيْهِ مِنَ الجَسَدِ وَلَا عَلَى مَنْ وَقَعَتْ عَلَيْهِ مِنْ جَمِيعِ النَّاسِ فَلَا قَوَدَ فِيهِ وَلَا دِيَةَ
Bagian kedua adalah sesuatu yang biasanya tidak mematikan, seperti kerikil seukuran biji kurma dan kayu seukuran pena, yang tidak mematikan di bagian tubuh mana pun yang terkena, dan tidak mematikan bagi siapa pun yang terkena dari semua orang, sehingga tidak ada qisas dan tidak ada diyat.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتُلَ مِثْلُهُ وَيَجُوزُ أَنْ لَا يَقْتُلَ مِثْلُهُ ويجوز أن يقتل وَهُوَ مَا تَوَسَّطَ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ فَلَا قَوَدَ وَفِيهِ الدِّيَةُ مُغْلَّظَةٌ وَهُوَ الْمُرَادُ بقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَلَا إِنَّ فِي قَتِيلِ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ بِالسَّوْطِ والعصا مائة من الإبل مغلظة مِنْهَا أَرْبَعُونَ خَلِفَةً فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا
Bagian ketiga adalah sesuatu yang boleh membunuh sejenisnya dan boleh juga tidak membunuh sejenisnya, dan boleh membunuh. Ini adalah yang berada di antara dua keadaan tersebut, sehingga tidak ada qishash, tetapi ada diyat yang diperberat. Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi ﷺ: “Ketahuilah bahwa dalam kasus pembunuhan sengaja dan tidak sengaja dengan cambuk dan tongkat, diyatnya adalah seratus ekor unta yang diperberat, di antaranya empat puluh ekor unta yang sedang mengandung anaknya.”
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مَا يَقْتُلُ إِذَا رُدِّدَ وَلَا يَقْتُلُ إِذَا أُفْرِدَ كَالسَّوْطِ وَالْعَصَا فَإِنْ رَدَّدَهُ وَجَبَ فِيهِ الْقَوَدُ وَإِنْ لَمْ يُرَدِّدْهُ وَجَبَ فِيهِ الدِّيَةُ دُونَ الْقَوَدِ
Bagian keempat adalah sesuatu yang membunuh jika digunakan berulang kali dan tidak membunuh jika digunakan sekali, seperti cambuk dan tongkat. Jika digunakan berulang kali, maka wajib qishash. Jika tidak digunakan berulang kali, maka wajib diyat tanpa qishash.
وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ مَا يَقْتُلُ الصَّغِيرَ وَالْمَرِيضَ وَيَجُوزُ أَنْ لَا يَقْتُلَ الْكَبِيرَ وَالصَّحِيحَ فَيُرَاعَى الْمَقْتُولُ بِهِ فَإِنْ كَانَ صَغِيرًا أَوْ مَرِيضًا وَجَبَ فِيهِ الْقَوَدُ وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا صَحِيحًا فَفِيهِ الدِّيَةُ دُونَ الْقَوَدِ
Bagian kelima adalah sesuatu yang dapat membunuh anak kecil dan orang sakit, dan mungkin tidak membunuh orang dewasa dan sehat. Maka, yang diperhatikan adalah siapa yang terbunuh olehnya. Jika yang terbunuh adalah anak kecil atau orang sakit, maka wajib qishash. Namun, jika yang terbunuh adalah orang dewasa yang sehat, maka dikenakan diyat tanpa qishash.
وَالْقِسْمُ السَّادِسُ مَا يَقْتُلُ إِذَا وَقَعَ فِي الْمَوَاضِعِ الْقَاتِلَةِ وَلَا يَقْتُلُ إِذَا وَقَعَ فِي غَيْرِهَا فَيُرَاعَى مَوْضِعُ وُقُوعِهَا فَإِنْ كَانَ فِي مَقْتَلٍ وَجَبَ فِيهِ الْقَوَدُ وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ مَقْتَلٍ وَجَبَتْ فِيهِ الدِّيَةُ دُونَ الْقَوَدِ
Bagian keenam adalah sesuatu yang mematikan jika mengenai bagian tubuh yang mematikan, dan tidak mematikan jika mengenai bagian lain. Maka, perlu diperhatikan tempat terjadinya. Jika mengenai bagian yang mematikan, wajib qishash, dan jika tidak mengenai bagian yang mematikan, wajib diyat tanpa qishash.
وَالْقِسْمُ السَّابِعُ مَا يَقْتُلُ بِقُوَّةِ الضَّارِبِ وَلَا يَقْتُلُ مَعَ ضَعْفِهِ فَيُرَاعَى حَالُ الضَّارِبِ فَإِنْ كَانَ قَوِيًّا وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا وَجَبَ عَلَيْهِ الدِّيَةُ دُونَ الْقَوَدِ وَالْقِسْمُ الثَّامِنُ مَا يَقْتُلُ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ وَالْبَرْدِ وَلَا يَقْتُلُ مَعَ سُكُونِهِمَا فَيُرَاعَى وَقْتُ الضَّرْبِ فَإِنْ كَانَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ وَالْبَرْدِ وَجَبَ فِيهِ الْقَوَدُ وَإِنْ كَانَ مَعَ سُكُونِهِمَا وَجَبَ فِيهِ الدِّيَةُ دُونَ الْقَوَدِ
Bagian ketujuh adalah sesuatu yang membunuh karena kekuatan pemukul dan tidak membunuh dengan kelemahannya, maka diperhatikan keadaan pemukul. Jika ia kuat, wajib baginya qishash, dan jika ia lemah, wajib baginya diyat tanpa qishash. Bagian kedelapan adalah sesuatu yang membunuh dalam kondisi panas atau dingin yang ekstrem dan tidak membunuh ketika keduanya tenang, maka diperhatikan waktu pemukulan. Jika terjadi dalam kondisi panas atau dingin yang ekstrem, wajib qishash, dan jika dalam keadaan tenang, wajib diyat tanpa qishash.
وَجُمْلَتُهُ أَنْ يُرَاعَى حَالُ الضَّارِبِ وَالْمَضْرُوبِ وَمَا وَقَعَ بِهِ الضَّرْبُ لِيُفْصَلَ لَكَ بِهَا أَحْكَامُ هَذِهِ الْأَقْسَامِ
Secara keseluruhan, perlu diperhatikan keadaan orang yang memukul, orang yang dipukul, dan alat yang digunakan untuk memukul agar dapat ditentukan hukum dari berbagai bagian ini.
فَصْلٌ ثَانٍ
Bagian Kedua
وَأَمَّا الْخَنْقُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun khanq (pencekikan) terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا بِآلَةٍ وَهُوَ أَنْ يَرْبِطَ حَلْقَهُ بِحَبْلٍ حَتَّى يَخْتَنِقَ فَيَمْنَعَ النَّفَسَ فَفِيهِ الْقَوَدُ؛ لِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ أَوْجَى مِنَ السَّيْفِ وَسَوَاءٌ عَلَّقَهُ بِحَبْلٍ أَوْ أَرْسَلَهُ فَإِنْ عَفَي عَنْهُ صَحَّ الْعَفْوُ وَسَقَطَ الْقَوَدُ وَسَوَاءٌ تَكَرَّرَ مِنْهُ الْخَنْقُ أَوْ لَمْ يَتَكَرَّرْ
Salah satunya dengan alat, yaitu dengan mengikat lehernya dengan tali hingga tercekik sehingga menghalangi napas, maka dalam hal ini ada qishash; karena mungkin lebih menyakitkan daripada pedang. Baik dia menggantungnya dengan tali atau melepaskannya, jika dimaafkan darinya, maka maaf itu sah dan qishash gugur, baik tindakan mencekiknya diulang atau tidak diulang.
وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ إِنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ الْخَنْقُ لَمْ يَصِحَّ الْعَفْوُ عَنْهُ وَتَحَتَّمَ عَلَيْهِ الْقَتْلُ كَالْمُحَارِبِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ سَاعِيًا فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Abu Yusuf berkata, jika seseorang mengulangi tindakan mencekik, maka pengampunan atasnya tidak sah dan wajib baginya hukuman mati seperti muharib; karena ia telah menjadi pelaku kerusakan di bumi, dan ini salah dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَوِ انْحَتَمَ قَتْلُ مَنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ الْخَنْقُ لَانْحَتَمَ قَتْلُ مَنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ الْقَتْلُ بِالسَّيْفِ وَهُوَ غَيْرُ مُنْحَتِمٍ وَإِنَّ تَكَرَّرَ وَكَذَلِكَ الْخَنْقُ
Salah satunya adalah bahwa jika diwajibkan hukuman mati bagi orang yang berulang kali melakukan pencekikan, maka seharusnya diwajibkan hukuman mati bagi orang yang berulang kali melakukan pembunuhan dengan pedang, padahal itu tidak diwajibkan meskipun berulang kali, demikian pula dengan pencekikan.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ صَارَ فِي انْحِتَامِ قَتْلِهِ كَالْمُحَارِبِ لَمَا اعْتُبِرَ تَكْرَارٌ مِنْهُ كَمَا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الْمُحَارِبِ
Yang kedua adalah bahwa jika ia dianggap harus dibunuh seperti muḥārib, maka tidak diperlukan pengulangan darinya, sebagaimana tidak diperlukan pada muḥārib.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَخْنُقَهُ بِغَيْرِ آلَةٍ مِثْلَ أَنْ يُمْسِكَ حَلْقَهُ بِيَدِهِ حَتَّى يَمْنَعَ نَفَسَهُ وَلَا يَرْفَعُهَا عَنْهُ حَتَّى يَمُوتَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah mencekiknya tanpa alat, seperti memegang lehernya dengan tangan hingga menghalangi napasnya dan tidak melepaskannya sampai ia mati. Ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْدِرَ الْمَخْنُوقُ عَلَى خَلَاصِ نَفْسِهِ لِفَضْلِ قُوَّتِهِ عَلَى قُوَّةِ الْخَانِقِ فَهَذَا هُوَ قَاتِلُ نَفْسِهِ وَلَا قَوَدَ لَهُ وَفِي وُجُوبِ الدِّيَةِ قَوْلَانِ مِمَّنْ أَمَرَ غَيْرَهُ بِقَتْلِهِ
Salah satunya adalah jika orang yang dicekik mampu melepaskan diri karena kekuatannya lebih besar daripada kekuatan orang yang mencekik. Maka, ini adalah orang yang membunuh dirinya sendiri dan tidak ada qishāsh baginya. Mengenai kewajiban membayar diyat, terdapat dua pendapat dari mereka yang memerintahkan orang lain untuk membunuhnya.
فَإِنْ قِيلَ فَمَنْ أُرِيدَتْ نَفْسُهُ فَلَمْ يَدْفَعْ عَنْهَا حَتَّى قُتِلَ لَمْ يَسْقُطْ عَنْ قَاتِلِهِ الْقَوَدُ فَهَلَّا كَانَ حَالُ هَذَا الْمَخْنُوقِ كَذَلِكَ
Jika dikatakan bahwa seseorang yang diinginkan nyawanya tetapi tidak membela diri hingga terbunuh, maka qishash tidak gugur dari pembunuhnya, mengapa keadaan orang yang tercekik ini tidak demikian?
قُلْنَا لِأَنَّ سَبَبَ الْقَتْلِ فِي الْمَخْنُوقِ مَوْجُودٌ فَكَانَ تَرْكُهُ إِبْرَاءً وَسَبَبُهُ فِي الطَّالِبِ غَيْرُ مَوْجُودٍ فَلَمْ يَكُنْ فِي الْإِمْسَاكِ قَبْلَ حُدُوثِ السَّبَبِ إِبْرَاءٌ
Kami mengatakan bahwa sebab pembunuhan pada yang tercekik ada, maka meninggalkannya adalah pembebasan, sedangkan sebabnya pada penuntut tidak ada, sehingga menahan sebelum terjadinya sebab bukanlah pembebasan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى خَلَاصِ نَفْسِهِ لِفَضْلِ الْخَانِقِ عَلَى قُوَّتِهِ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ فَلَوْ رَفَعَ الْخَانِقُ يَدَهُ أَوْ حَلَّ خِنَاقَهُ وَفِي الْمَخْنُوقِ حَيَاةٌ ثُمَّ مَاتَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah ketika seseorang tidak mampu melepaskan diri karena kekuatan pencekik lebih besar darinya, maka baginya ada qisas. Jika pencekik melepaskan tangannya atau melonggarkan cekikannya sementara orang yang dicekik masih hidup kemudian meninggal, maka ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ نَفَسُهُ ضَعِيفًا كَالْأَنِينِ وَالشَّهِيقِ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ وَيَكُونُ بَقَاءُ هَذَا النَّفَسِ كَبَقَاءِ حَرَكَةِ الْمَذْبُوحِ
Salah satunya adalah jika napasnya lemah seperti rintihan dan desahan, maka ia harus dihukum qisas, dan keberadaan napas ini seperti keberadaan gerakan hewan yang disembelih.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ نَفَسُهُ قَوِيًّا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah ketika jiwanya kuat, dan ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْرُبَ مَوْتُهُ مِنْ حَلِّ خِنَاقِهِ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ لِدُنُوِّهِ مِنْ سَبَبِ الْقَتْلِ
Salah satunya adalah jika kematiannya mendekati pembebasan dari jeratnya, maka ia harus dikenakan qishāṣ karena mendekati sebab pembunuhan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَتَأَخَّرَ مَوْتُهُ عَنْ حَلِّ خِنَاقِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah ketika kematiannya tertunda setelah dilepaskannya ikatan lehernya, dan ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ ضَمِينًا مَرِيضًا مِنْ وَقْتِ خِنَاقِهِ إِلَى حِينِ مَوْتِهِ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ لِأَنَّ اسْتِدَامَةَ مَرَضِهِ دَلِيلٌ عَلَى سِرَايَةِ خِنَاقِهِ
Salah satu dari keduanya adalah bahwa ia menjadi penjamin yang sakit sejak saat dicekik hingga kematiannya, maka ia bertanggung jawab atas qishash karena berlanjutnya penyakitnya merupakan bukti adanya pengaruh dari cekikan tersebut.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ بَعْدَ خِنَاقِهِ عَلَى مَعْهُودِ صِحَّتِهِ ثُمَّ يَمُوتُ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ كَمَا لَوْ جُرِحَ فَانْدَمَلَ جُرْحُهُ ثُمَّ مَاتَ
Jenis yang kedua adalah ketika seseorang meninggal setelah dicekik dalam keadaan sehat seperti biasanya, maka tidak ada qisas dan tidak ada diyat, sebagaimana jika seseorang terluka lalu lukanya sembuh kemudian meninggal.
وَهَكَذَا لَوْ وَضَعَ عَلَى نَفَسِهِ ثَوْبًا أَوْ وِسَادَةً وَجَلَسَ عَلَيْهَا وَلَمْ يُرْسِلْهُ حَتَّى مَاتَ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ إِذَا لَمْ يُمْكِنْ دَفْعُهُ فَإِنْ أَرْسَلَهُ وَنَفَسُهُ بَاقٍ فَهُوَ كَالْمَخْنُوقِ بَعْدَ حَلِّ خِنَاقِهِ
Demikian pula, jika seseorang meletakkan kain atau bantal di atas orang lain dan duduk di atasnya, lalu tidak melepaskannya hingga orang tersebut meninggal, maka wajib baginya qishāṣ jika tidak mungkin mencegahnya. Namun, jika dia melepaskannya sementara orang tersebut masih bernapas, maka itu seperti orang yang tercekik setelah ikatannya dilepaskan.
فَإِنْ لَطَمَهُ فَمَاتَ من لطمته هذا على ثلاثة أقسام
Jika seseorang menamparnya lalu ia meninggal akibat tamparan tersebut, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian.
أحدها ايكون مِثْلُهَا قَاتِلًا فِي الْغَالِبِ لِقُوَّةِ اللَّاطِمِ وَضَعْفِ الْمَلْطُومِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ
Salah satunya adalah jika pukulan tersebut biasanya mematikan karena kekuatan orang yang memukul dan kelemahan orang yang dipukul, maka wajib baginya qisas.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ لَا يَقْتُلَ مِثْلُهَا فِي الْغَالِبِ لِضَعْفِ اللَّاطِمِ وَقُوَّةِ الْمَلْطُومِ فَلَا قَوَدَ فِيهِ وَلَا دِيَةَ
Bagian kedua adalah bahwa biasanya tidak membunuh orang seperti itu karena kelemahan penampar dan kekuatan yang ditampar, maka tidak ada qishāṣ dan tidak ada diyat.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَقْتُلَ مِثْلُهَا وَلَا يَقْتُلَ لِقُوَّةِ اللَّاطِمِ وَقُوَّةِ الْمَلْطُومِ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وفي الدِّيَةُ فَصْلٌ ثَالِثٌ وَأَمَّا إِذَا طَيَّنَ عَلَيْهِ بَيْتًا حَبَسَهُ فِيهِ حَتَّى مَاتَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bagian ketiga adalah ketika seseorang membunuh orang lain yang serupa dengannya, tetapi tidak membunuh karena kekuatan penampar atau kekuatan yang ditampar, maka tidak ada qishash atasnya. Dalam hal diyat, ada bagian ketiga. Adapun jika seseorang menutup rumah dengan tanah liat dan mengurung orang di dalamnya hingga mati, maka ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يُمَكِّنَهُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَلَا يَمْنَعَهُ مِنْهُمَا فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ سَوَاءٌ كَانَ الْمَحْبُوسُ كَبِيرًا أَوْ صَغِيرًا مَا لَمْ يَكُنْ طِفْلًا لَا يَهْتَدِي بِنَفْسِهِ إِلَى الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَيَلْزَمُهُ فِيهِ الْقَوَدُ
Salah satu dari keduanya adalah membiarkannya mendapatkan makanan dan minuman dan tidak menghalanginya dari keduanya, maka tidak ada qishash atasnya dan tidak ada diyat, baik yang dipenjara itu orang dewasa atau anak-anak, selama bukan anak kecil yang tidak bisa makan dan minum sendiri, maka dalam hal ini wajib qishash.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يُضْمَنُ الصَّغِيرُ وَإِنْ كَانَ يَهْتَدِي إِلَى الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ إِذَا اقْتَرَنَ مَوْتُهُ بِسَبَبِ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِهَتِهِ كَنَهْشَةِ حَيَّةٍ وَلَدْغَةِ عَقْرَبٍ لَمْ يَضْمَنْهُ وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الْحُرَّ لَا يُضْمَنُ بِالْيَدِ وَلَوْ ضُمِنَ بِهَا كَالْمَمْلُوكِ لَلَزِمَ ضَمَانُهُ فِي مَوْتِهِ بِسَبَبٍ وَغَيْرِ سَبَبٍ
Abu Hanifah berkata bahwa anak kecil harus dijamin meskipun ia sudah bisa makan dan minum jika kematiannya disebabkan oleh hal tersebut. Namun, jika kematiannya bukan karena hal itu, seperti gigitan ular atau sengatan kalajengking, maka tidak ada jaminan baginya. Ini adalah pandangan yang salah, karena orang merdeka tidak dijamin dengan tangan. Jika ia dijamin seperti budak, maka harus ada jaminan atas kematiannya baik karena sebab maupun tanpa sebab.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَمْنَعَهُ فِي حَبْسِهِ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Jenis kedua adalah menahannya dalam penjara dari makanan dan minuman, sehingga keadaannya tidak lepas dari empat bagian.
أَحَدُهَا أَنْ تَطُولَ مُدَّةُ حَبْسِهِ حَتَّى لَا يَعِيشَ فِي مِثْلِهَا حَيٌّ بِغَيْرِ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ وَلَيْسَ لِأَقَلِّهِ حَدٌّ وَإِنْ حَدَّهُ الطِّبُّ بِاثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ سَاعَةً مُتَّصِلَةَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَاصَلَ الصِّيَامَ سَبْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا ثُمَّ أَفْطَرَ عَلَى سَمْنٍ وَلَبَنٍ وَصَبِرٍ وَذَهَبَ فِي السَّمْنِ إِلَى أَنَّهُ يَفْتُقُ الْأَمْعَاءَ وَيُلَيِّنُهَا وَفِي اللَّبَنِ إِلَى أَنَّهُ أَلْطَفُ غِذَاءٍ وَفِي الصَّبِرِ إِلَى أَنَّهُ يَشُدُّ الْأَعْضَاءَ فَإِذَا مَاتَ مَعَ طُولِ الْمُدَّةِ وَجَبَ فِيهِ الْقَوَدُ؛ لِأَنَّهُ قَتْلُ عَمْدٍ
Salah satu syaratnya adalah masa penahanannya berlangsung lama sehingga tidak ada yang dapat hidup dalam kondisi tersebut tanpa makanan dan minuman. Tidak ada batas minimal untuk ini, meskipun ilmu kedokteran menetapkannya selama tujuh puluh dua jam berturut-turut siang dan malam. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Zubair melakukan puasa terus-menerus selama tujuh belas hari, kemudian berbuka dengan mentega, susu, dan sabir. Disebutkan bahwa mentega dapat membuka dan melunakkan usus, susu adalah makanan yang paling lembut, dan sabir dapat menguatkan anggota tubuh. Jika seseorang meninggal karena lamanya masa tersebut, maka wajib dikenakan qisas, karena itu dianggap pembunuhan sengaja.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَقْصُرَ مُدَّةُ حَبْسِهِ عَنْ مَوْتِ مِثْلِهِ بِغَيْرِ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ كَالْيَوْمِ الْوَاحِدِ وَمَا دُونَهُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَوْجَبَ إِمْسَاكَهُ فِي الصَّوْمِ وَلَوْ كَانَ قَاتِلًا مَا أَوْجَبَهُ؛ فَهَذَا لَا قَوَدَ فِيهِ وَلَا دِيَةَ
Bagian kedua adalah ketika masa penahanannya lebih singkat dari waktu yang menyebabkan kematian orang sepertinya tanpa makanan dan minuman, seperti satu hari atau kurang; karena Allah Ta’ala telah mewajibkan menahan diri dalam puasa, dan jika itu membunuh, tentu tidak akan diwajibkan; maka dalam hal ini tidak ada qishash dan tidak ada diyat.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ مُدَّةً يَجُوزُ أَنْ يَمُوتَ فِي مِثْلِهَا وَيَعِيشَ فَلَا قَوَدَ وَفِيهِ الدِّيَةُ لِأَنَّهُ عَمْدٌ كَالْخَطَأِ
Bagian ketiga adalah ketika jangka waktu memungkinkan seseorang bisa meninggal atau tetap hidup, maka tidak ada qishash, tetapi ada diyat karena dianggap sebagai kesengajaan seperti kesalahan.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ فِي مُدَّةٍ يَمُوتُ فِي مِثْلِهَا الصَّغِيرُ وَالْمَرِيضُ وَلَا يَمُوتُ فِي مِثْلِهَا الْكَبِيرُ الصَّحِيحُ فَيُرَاعَى حَالُ الْمَحْبُوسِ فَإِنْ كان صغيراً أو مريضاً وجب في الْقَوَدُ وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا صَحِيحًا لَمْ يَجِبْ وَهَكَذَا الْحُكْمُ لَوْ مَنَعَهُ الطَّعَامَ دُونَ الشَّرَابِ أو مَنَعَهُ الشَّرَابَ دُونَ الطَّعَامِ؛ لِأَنَّ النُّفُوسَ لَا تَحْيَا إِلَّا بِهِمَا إِلَّا أَنَّ الصَّبْرَ عَنِ الطَّعَامِ إِذَا وَجَبَ شَرَابًا أَمَدُّ زَمَانًا مِنَ الصبر عن الشارب إِذَا وَجَدَ الطَّعَامَ
Bagian keempat adalah ketika dalam jangka waktu tertentu, anak kecil dan orang sakit bisa meninggal, tetapi orang dewasa yang sehat tidak akan meninggal dalam waktu yang sama. Maka, kondisi orang yang ditahan harus diperhatikan. Jika ia anak kecil atau sakit, qisas wajib dilakukan. Namun, jika ia orang dewasa yang sehat, qisas tidak wajib. Demikian pula hukumnya jika ia dicegah dari makanan tanpa minuman, atau dicegah dari minuman tanpa makanan; karena jiwa tidak dapat bertahan hidup kecuali dengan keduanya. Namun, ketahanan terhadap makanan ketika ada minuman lebih lama daripada ketahanan terhadap minuman ketika ada makanan.
رُوِيَ أَنَّ أَبَا ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا أَرَادَ الْإِسْلَامَ اخْتَفَى مِنَ المُشْرِكِينَ تَحْتَ أَسْتَارِ الْكَعْبَةِ بِضْعَةَ عَشْرَةَ يَوْمًا فَكَانَ يَخْرُجُ فِي اللَّيْلِ مِنْ بَيْنِ الأستار فيشرب مَاءَ زَمْزَمَ قَالَ فَسَمِنْتُ حَتَّى تَكَسَّرَتْ عُكَنُ بَطْنِي فَأَخْبَرْتُ بِذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ وَشِفَاءُ سُقْمٍ فَبَانَ أَنَّ الْمَاءَ يُمْسِكُ الرَّمَقَ فَيُرَاعَى حُكْمُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِذَا انْفَرَدَ بِالْعُرْفِ الْمَعْهُودِ فِي الْأَغْلَبِ
Diriwayatkan bahwa Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu ketika ingin memeluk Islam, bersembunyi dari kaum musyrik di bawah tirai Ka’bah selama beberapa belas hari. Ia keluar pada malam hari dari antara tirai untuk meminum air Zamzam. Ia berkata, “Aku menjadi gemuk hingga lipatan perutku pecah.” Aku memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau bersabda, “Sesungguhnya air Zamzam adalah makanan yang mengenyangkan dan penyembuh penyakit.” Maka jelaslah bahwa air tersebut dapat menahan rasa lapar, sehingga harus diperhatikan hukum masing-masing jika terpisah menurut kebiasaan yang berlaku pada umumnya.
فَصْلٌ رَابِعٌ
Bagian Keempat
إِذَا أَلْقَاهُ فِي نَارٍ مؤجحة أَوْ أَلْقَى عَلَيْهِ نَارًا أَجاجَهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Apabila ia melemparkannya ke dalam api yang menyala-nyala atau melemparkan api kepadanya yang menyulutnya, maka ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْهَا حَتَّى يَمُوتَ فِيهَا وَذَلِكَ لِإِحْدَى خَمْسَةِ أَحْوَالٍ
Salah satunya adalah bahwa ia tidak mampu keluar darinya hingga ia meninggal di dalamnya, dan itu terjadi dalam salah satu dari lima keadaan.
إِمَّا أَنْ يُلْقِيَهُ فِي حُفْرَةٍ قَدْ أَجَّجَهَا
Entah dia melemparkannya ke dalam lubang yang telah dinyalakannya.
وَإِمَّا أَنْ يَرْبِطَهُ فَلَا يَقْدِرُ مَعَ الرِّبَاطِ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْهَا
Atau dia mengikatnya sehingga tidak dapat keluar darinya dengan ikatan tersebut.
وَإِمَّا أَنْ يَطُولَ مَدَى النَّارِ فَلَا يَنْتَهِي إِلَى الْخُرُوجِ مِنْهَا
Atau bisa jadi masa tinggal di neraka itu panjang sehingga tidak berakhir dengan keluar darinya.
وَإِمَّا أَنْ يَقِفَ فِي طَرَفِهَا فَيَمْنَعَهُ مِنَ الخُرُوجِ
Atau dia berdiri di ujungnya dan mencegahnya keluar.
وَإِمَّا أَنْ تُثَبِّطَ بَدَنَهُ فَيَعْجَزُ عَنِ النُّهُوضِ فِيهَا فَهَذَا قَاتِلٌ عَمْدًا وَهُوَ أَشَدُّ الْقَتْلِ عَذَابًا وَلِذَلِكَ عَذَّبَ اللَّهُ تَعَالَى بِالنَّارِ مَنْ عَصَاهُ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا تُعَذِّبُوا عِبَادَ اللَّهِ بِعَذَابِ اللَّهِ فِعْلَيْهِ الْقَوَدُ
Atau jika ia melemahkan tubuhnya sehingga tidak mampu bangkit, maka ini adalah pembunuhan sengaja dan ini adalah jenis pembunuhan yang paling berat hukumannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menghukum dengan api neraka bagi siapa saja yang mendurhakai-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyiksa hamba-hamba Allah dengan siksaan Allah.” Maka baginya ada qishash.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقْدِرَ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْهَا فَهَذَانَ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis yang kedua adalah ketika seseorang mampu keluar darinya, maka ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَخْرُجَ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْخُرُوجِ حَتَّى يَمُوتَ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَفِي الدِّيَةِ قَوْلَانِ فَمَنْ أَذِنَ لِغَيْرِهِ فِي قَتْلِهِ أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الدِّيَةُ كَمَا لَوْ قَدَرَ عَلَى مُدَاوَاةِ جُرْحِهِ فَامْتَنَعَ مِنَ الدَّوَاءِ حَتَّى مَاتَ وَجَبَتِ الدِّيَةُ
Salah satunya adalah tidak keluar meskipun mampu keluar hingga ia mati, maka tidak ada qishash atasnya. Mengenai diyat, ada dua pendapat. Barang siapa yang mengizinkan orang lain untuk membunuhnya, salah satunya adalah ia harus membayar diyat, seperti jika ia mampu mengobati lukanya tetapi menolak pengobatan hingga mati, maka diyat wajib dibayar.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا دِيَةَ وَعَلَيْهِ أَرْشُ مَا لَفَحَتْهُ النَّارُ عِنْدَ إِلْقَائِهِ فِيهَا؛ لِأَنَّ التَّلَفَ بِاسْتِدَامَةِ النَّارِ وَالَّتِي يُنْسَبُ اسْتِدَامَتُهَا إليه دُونَ مُلْقِيهِ وَخَالَفَ تَرْكَهُ لِدَوَاءِ الْجُرْحِ لِأَنَّهُ لَمْ يُنْسَبْ إِلَى زِيَادَةٍ عَلَيْهِ
Pendapat kedua menyatakan tidak ada diyat, tetapi ada kompensasi (arsh) untuk luka bakar yang disebabkan oleh api ketika dilemparkan ke dalamnya; karena kerusakan terjadi akibat keberlanjutan api yang dinisbatkan kepada orang yang dilempar, bukan kepada orang yang melempar. Ini berbeda dengan meninggalkan pengobatan luka, karena tidak dinisbatkan sebagai penambahan terhadapnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَخْرُجَ مِنْهَا حَيًّا ثُمَّ يَمُوتَ بَعْدَ الْخُرُوجِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ تَثْبِيطَ بَدَنِهِ بَاقِيًا فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ كَالْجُرْحِ إِذَا مَاتَ مِنْهُ قَبْلَ أَنْ يَنْدَمِلَ وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَبْرَأَ مِنَ التَّثْبِيطِ فَلَا قَوَدَ فِيهِ كَالْجُرْحِ إِذَا مَاتَ بَعْدَ انْدِمَالِهِ وَعَلَيْهِ أَرْشُ مَا لَفَحَتْهُ النَّارُ وَتَثْبِيطُ جَسَدِهِ
Salah satunya adalah jika kelemahan tubuhnya masih ada, maka wajib qisas seperti luka jika meninggal sebelum sembuh. Jenis kedua adalah jika sembuh dari kelemahan tersebut, maka tidak ada qisas seperti luka jika meninggal setelah sembuh, dan dia harus membayar denda atas apa yang terbakar oleh api dan kelemahan tubuhnya.
فَصْلٌ خَامِسٌ إِذَا أَلْقَاهُ فِي الْمَاءِ فَغَرِقَ فِيهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bagian Kelima: Jika seseorang melemparkannya ke dalam air hingga tenggelam, maka ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يُلْقِيَهُ فِي لُجَّةِ بَحْرٍ يَبْعُدُ سَاحِلُهُ فَهَذَا قَاتِلُ عَمْدٍ وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ سَوَاءٌ كَانَ يُحْسِنُ الْعَوْمَ أَوْ لَا يُحْسِنُ لِأَنَّهُ بِالْعَوْمِ لَا يَصِلُ إِلَى السَّاحِلِ مَعَ بُعْدِهِ
Salah satunya adalah melemparkannya ke dalam lautan yang jauh dari pantai, maka ini adalah pembunuhan sengaja dan pelakunya harus dihukum qishash, baik dia bisa berenang maupun tidak, karena dengan berenang pun dia tidak akan mencapai pantai karena jaraknya yang jauh.
وَلِذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْبَحْرُ نَارٌ فِي نَارٍ فَشَبَّهَهُ بِالنَّارِ لِإِتْلَافِهِ
Oleh karena itu, Nabi ﷺ bersabda, “Laut adalah api di dalam api,” beliau menyamakannya dengan api karena kemampuannya menghancurkan.
وَأَغْزَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ جَيْشًا فِي الْبَحْرِ وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ فَلَمَّا عَادَ سَأَلَهُ عَنْ أَحْوَالِهِمْ فَقَالَ دُودٌ عَلَى عُودٍ بَيْنَ غَرَقٍ أَوْ فرق فآلا عَلَى نَفْسِهِ أَنْ لَا يُغْزِيَ فِي الْبَحْرِ أَحَدًا
Umar bin Khattab radhiyallahu ta’ala ‘anhu mengirim pasukan ke laut dan menunjuk Amr bin Ash sebagai pemimpin mereka. Ketika mereka kembali, Umar bertanya tentang keadaan mereka. Amr menjawab, “Seperti ulat di atas kayu, antara tenggelam atau selamat.” Maka Umar bersumpah pada dirinya untuk tidak mengirim siapa pun berperang di laut.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يُلْقِيَهُ فِي نَهْرٍ أَوْ بَحْرٍ يَقْرُبُ مِنَ السَّاحِلِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah melemparkannya ke sungai atau laut yang dekat dengan pantai, dan ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَرْبِطَهُ أَوْ يُثْقِلَهُ حَتَّى لا يقدر على الخلاص من الماء غرير فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ أَيْضًا كَالْمُلْقَى فِي لُجَّةِ الْبَحْرِ
Salah satunya adalah mengikat atau memberatkannya sehingga ia tidak mampu melepaskan diri dari air yang dalam, maka baginya juga ada qisas seperti orang yang dilemparkan ke dalam lautan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مُطْلَقًا غَيْرَ مَرْبُوطٍ وَلَا مُثْقَلٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis yang kedua adalah yang bersifat mutlak, tidak terikat dan tidak dibebani, dan ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يُحْسِنَ الْعَوْمَ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ أَيْضًا لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْخَلَاصِ
Salah satunya adalah jika dia tidak pandai berenang, maka dia juga harus menanggung qisas karena dia tidak mampu menyelamatkan diri.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يُحْسِنَ الْعَوْمَ فَلَا يَعُومُ فَلَا قَوَدَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ قَدَرَ عَلَى خَلَاصِ نَفْسِهِ فَصَارَ مُتْلِفًا لَهَا
Jenis yang kedua adalah seseorang yang pandai berenang tetapi tidak berenang, maka tidak ada qishash padanya; karena ia mampu menyelamatkan dirinya sendiri sehingga ia menjadi penyebab hilangnya nyawanya sendiri.
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ فَخَرَّجَهَا بَعْضُهُمْ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْمُلْقَى فِي النَّارِ إِذَا قَدَرَ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْهَا وَمَنَعَ الْبَاقُونَ مِنْ وُجُوبِهَا قَوْلًا وَاحِدًا وَفَرَّقُوا بَيْنَ الْمَاءِ وَالنَّارِ بِأَنَّ الْإِلْقَاءَ فِي النَّارِ جِنَايَةٌ مُتْلِفَةٌ لَا يُقْدِمُ النَّاسُ عَلَيْهَا مُخْتَارِينَ وَلَيْسَ الْإِلْقَاءُ فِي الْمَاءِ لِمَنْ يُحْسِنُ الْعَوْمَ جِنَايَةً عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ النَّاسَ قَدْ يَعُومُونَ فِيهِ مُخْتَارِينَ لِتَبَرُّدٍ أَوْ تنظف فلا ينسون إِلَى تَغْرِيرٍ
Para ulama kami berbeda pendapat mengenai kewajiban diyat. Sebagian dari mereka mengeluarkan dua pendapat seperti orang yang dilemparkan ke dalam api jika ia mampu keluar darinya, sementara yang lain melarang kewajibannya dengan satu pendapat. Mereka membedakan antara air dan api dengan mengatakan bahwa melemparkan ke dalam api adalah tindakan kriminal yang mematikan yang tidak dilakukan orang dengan sukarela, sedangkan melemparkan ke dalam air bagi orang yang bisa berenang bukanlah tindakan kriminal terhadapnya; karena orang-orang mungkin berenang di dalamnya secara sukarela untuk mendinginkan diri atau membersihkan diri, sehingga tidak dianggap sebagai tindakan berisiko.
فَلَوْ أَلْقَاهُ فِي الْمَاءِ فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jika dia melemparkannya ke dalam air dan ikan paus menelannya, maka ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْإِلْقَاءُ فِي ذَلِكَ الْمَاءِ غَيْرَ مُوجِبٍ لِلْقَوَدِ عَلَى مَا فَصَّلْنَا فَلَا قَوَدَ فِيهِ إِذَا الْتَقَمَهُ الْحُوتُ؛ لِأَنَّهُ تَلِفَ مِنْ غَيْرِهِ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِ الدِّيَةُ لِأَنَّهُ سَبَبٌ مِنْ جِهَتِهِ أَفْضَى إلى تلفه
Salah satunya adalah bahwa melemparkan ke dalam air tersebut tidak menyebabkan qisas sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka tidak ada qisas jika ia dimakan oleh ikan paus; karena ia binasa bukan karena dirinya, dan ia harus membayar diyat karena ia adalah sebab dari pihaknya yang mengakibatkan kematiannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْإِلْقَاءُ فِي ذَلِكَ الماء موجب لِلْقَوَدِ فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ قَبْلَ التَّلَفِ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ قَوْلَانِ
Jenis yang kedua adalah ketika melemparkan ke dalam air tersebut menyebabkan qisas, lalu ikan paus menelannya sebelum kematian terjadi. Dalam hal kewajiban qisas, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ ظَاهِرُ مَنْصُوصِ الشَّافِعِيِّ عَلَيْهِ الْقَوَدُ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَلْتَقِمْهُ الْحُوتُ لَوَجَبَ فَلَمْ يَسْقُطْ بِالْتِقَامِهِ
Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat zahir dari teks Imam Syafi’i, adalah bahwa qisas wajib dilakukan karena jika ikan paus tidak menelannya, maka kewajiban itu tetap ada dan tidak gugur dengan ditelannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي حَكَاهُ الرَّبِيعُ أَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِأَنَّ مُبَاشَرَةَ تَلَفِهِ حَصَلَتْ بِغَيْرِ فِعْلِهِ وَتَلْزَمُهُ الدِّيَةُ
وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ حَمَلَ الْقَوْلَيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَالْقَوْلُ الَّذِي أَوْجَبَ فِيهِ الْقَوَدَ مَحْمُولٌ عَلَى نِيلِ مِصْرَ الَّذِي يَغْلِبُ عَلَيْهِ التَّمَاسِيحُ فَلَا يَسْلَمُ مِنْهَا أَحَدٌ وَالْقَوْلُ الَّذِي أَسْقَطَ فِيهِ الْقَوَدَ مَحْمُولٌ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ البِحَارِ وَالْأَنْهَارِ الَّتِي تَخْلُو غَالِبًا مِنْ مِثْلِهِ
Di antara sahabat kami ada yang membawa dua pendapat ini pada perbedaan dua keadaan. Pendapat yang mewajibkan qisas diterapkan pada Sungai Nil di Mesir yang banyak buayanya sehingga tidak ada yang selamat darinya. Sedangkan pendapat yang menggugurkan qisas diterapkan pada laut dan sungai lainnya yang umumnya bebas dari hal semacam itu.
فَصْلٌ
Bagian
إِذَا أَرْسَلَ عَلَيْهِ سَبُعًا فَافْتَرَسَهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jika seseorang mengirimkan binatang buas kepadanya dan binatang itu menerkamnya, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى الْخَلَاصِ مِنْهُ لِقُصُورِ خُطْوَتِهِ عَنْ وَثْبَةِ السَّبُعِ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ لِأَنَّهُ بِمَثَابَةِ مَنْ أَرْسَلَ سَهْمًا قَاتِلًا
Salah satunya adalah jika ia tidak mampu melepaskan diri darinya karena langkahnya yang pendek dibandingkan dengan loncatan binatang buas, maka ia harus menanggung qishash karena ia dianggap seperti orang yang melepaskan anak panah yang mematikan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقْدِرَ عَلَى الْخَلَاصِ مِنْهُ إِمَّا بِسُرْعَةِ الْعَدْوِ وَإِمَّا بِالدُّخُولِ إِلَى بَيْتٍ أَوْ بِالصُّعُودِ إِلَى شَجَرَةٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah ketika seseorang mampu melepaskan diri darinya, baik dengan berlari cepat, masuk ke dalam rumah, atau memanjat pohon. Ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مَضْعُوفَ الْقَلْبِ إِمَّا بِصِغَرٍ أَوْ بَلَهٍ يُدْهِشُ فِي مِثْلِ ذَلِكَ عَنْ تَوَقِّيهِ فَالْقَوَدُ فِيهِ وَاجِبٌ لِأَنَّهُ عَاجِزٌ عَنِ الْخَلَاصِ وَإِنْ قَدَرَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ
Salah satunya adalah bahwa seseorang memiliki kelemahan hati, baik karena masih kecil atau kebodohan yang membuatnya terkejut dalam situasi seperti itu sehingga tidak dapat menghindarinya. Maka qisas wajib baginya karena ia tidak mampu menyelamatkan diri meskipun orang lain bisa melakukannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ ثَابِتَ النَّفَسِ قَوِيَّ الْقَلْبِ يَقْدِرُ عَلَى الْخَلَاصِ فَلَمْ يَفْعَلْ حَتَّى افْتَرَسَهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis yang kedua adalah seseorang yang memiliki ketenangan jiwa dan keberanian hati, mampu melepaskan diri namun tidak melakukannya hingga ia diterkam. Ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَقِفَ السَّبُعُ بِقَدْرِ إِرْسَالِهِ زَمَانًا ثُمَّ يَسْتَرْسِلُ فَلَا قَوَدَ وَلَا دِيَةَ لِأَنَّ حُكْمَ إِرْسَالِهِ قَدِ انْقَطَعَ بِوُقُوفِهِ فَصَارَ هُوَ الْمُسْتَرْسِلَ بِنَفْسِهِ
Salah satunya adalah ketika binatang buas berhenti sejenak selama waktu yang cukup untuk dilepaskan, kemudian bergerak sendiri, maka tidak ada qishash dan tidak ada diyat, karena hukum pelepasannya telah terputus dengan berhentinya, sehingga ia menjadi bergerak sendiri.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَسْتَرْسِلَ عَلَيْهِ مَعَ إِرْسَالِهِ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ فَلَا قَوَدَ لِقُدْرَتِهِ عَلَى الْخَلَاصِ وَفِي وُجُوبِ الدِّيَةِ وَجْهَانِ تَخْرِيجًا مِنَ القَوْلَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ أَحَدُهُمَا لَا يَجِبُ؛ لِأَنَّ قُدْرَتَهُ عَلَى الْخَلَاصِ تَقْطَعُ حُكْمَ الْإِرْسَالِ
Jenis kedua adalah ketika seseorang membiarkan dirinya terjerat tanpa berhenti, maka tidak ada qishash karena kemampuannya untuk melepaskan diri. Dalam hal kewajiban membayar diyat, terdapat dua pendapat yang diambil dari dua pandangan sebelumnya. Salah satunya adalah tidak wajib, karena kemampuannya untuk melepaskan diri membatalkan hukum jeratan tersebut.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي تَجِبُ عَلَيْهِ الدِّيَةُ لِاتِّصَالِ التَّلَفِ بِالْإِرْسَالِ
Wajah kedua, diwajibkan membayar diyat karena kerusakan yang terjadi berhubungan langsung dengan tindakan pelepasan.
فَأَمَّا إِذَا كَتَفَهُ وَأَلْقَاهُ فِي الأرض مُسْبِعَةٍ فَافْتَرَسَهُ السَّبُعُ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ وَيَكُونُ كَالْمُمْسِكِ وَالذَّابِحِ لَا يَجِبُ عَلَى الممسك قود كذلك ها هنا وَإِذَا وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ بِإِرْسَالِ السَّبُعِ عَلَيْهِ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِتَوْجِيهِ السَّبُعِ لَهُ فَأَمَّا إِنْ جرحه السبع فمات من جراحته لم يخل جِرَاحَتُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Adapun jika ia mengikatnya dan melemparkannya ke tanah yang terbuka lalu diterkam oleh binatang buas, maka tidak ada qishash atasnya dan tidak ada diyat. Ia dianggap seperti orang yang menahan dan menyembelih, di mana tidak ada qishash atas orang yang menahan, demikian pula di sini. Jika wajib qishash atasnya karena melepaskan binatang buas kepadanya, maka hal itu dipertimbangkan dengan mengarahkan binatang buas kepadanya. Namun, jika binatang buas melukainya dan ia meninggal karena lukanya, maka lukanya tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْتُلَ مِثْلُهَا فِي الْغَالِبِ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ
Salah satunya adalah jika ia membunuh orang yang sejenisnya secara umum, maka ia harus dikenakan qishash.
وَالثَّانِي أَنْ لَا يَقْتُلَ مِثْلُهَا فِي الْغَالِبِ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ
Yang kedua adalah bahwa biasanya tidak membunuh seperti itu, maka tidak ada qishāsh dan tidak ada diyat.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَقْتُلَ مِثْلُهَا وَلَا يَقْتُلَ فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ دُونَ الْقَوَدِ
Dan yang ketiga adalah jika seseorang membunuh orang lain yang setara dengannya dan tidak dibunuh sebagai balasan, maka ia harus membayar diyat tanpa qisas.
فَأَمَّا إِذَا أَلْقَى عَلَيْهِ حَيَّةً فَنَهَشَتْهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun jika seseorang melemparkan ular kepadanya sehingga ular itu menggigitnya, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يُلْقِيَهَا بَيْنَ يَدَيْهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ بِخِلَافِ السَّبُعِ لَا يَضُرُّ أَوِ الْحَيَّةُ تَهْرُبُ
Salah satunya adalah meletakkannya di depannya, maka tidak ada tanggungan atasnya, berbeda dengan binatang buas yang tidak membahayakan atau ular yang melarikan diri.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يُلْقِيَهَا عَلَى جَسَدِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah meletakkannya pada tubuhnya, dan ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ نَهْشُهَا مُوجِبًا مِثْلَ حَيَّاتِ الطَّائِفِ وَأَفَاعِي مَكَّةَ وَثَعَابِينِ مِصْرَ وَعَقَارِبِ نَصِيبِينَ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ
Salah satunya adalah jika gigitannya menyebabkan kematian, seperti ular di Tha’if, ular berbisa di Mekah, ular di Mesir, dan kalajengking di Nasibin, maka harus ada qishash.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ غَيْرَ مُوجِبَةٍ قَدْ يَسْلَمُ النَّاسُ مِنْهَا كَحَيَّاتِ الدُّودِ وَالْمَاءِ فَفِيهِ قَوْلَانِ
Jenis kedua adalah yang tidak menyebabkan bahaya, di mana orang dapat selamat darinya seperti ular kecil dan air, maka ada dua pendapat mengenai hal ini.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الْقَوَدُ اعْتِبَارًا لجنس القاتل
Salah satunya dikenakan qishash berdasarkan jenis pembunuh.
والقول الثاني لا قود عليه الدِّيَةُ لِإِمْكَانِ السَّلَامَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Pendapat kedua adalah tidak ada qishash, melainkan diyat karena kemungkinan keselamatan. Wallāhu a‘lam.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ قَطَعَ مَرِيئَهَ وَحُلْقُومَهُ أَوْ قَطَعَ حَشْوَتَهُ فَأَبَانَهَا مِنْ جَوْفِهِ أَوْ صَيَّرَهُ فِي حَالِ الْمَذْبُوحِ ثُمَّ ضَرَبَ عُنُقَهُ آخَرُ فَالْأَوَّلُ قَاتِلٌ دُونَ الْآخَرِ
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika seseorang memotong kerongkongan dan tenggorokannya atau memotong bagian dalam tubuhnya lalu memisahkannya dari tubuhnya atau menjadikannya dalam keadaan seperti hewan yang disembelih, kemudian orang lain memukul lehernya, maka yang pertama adalah pembunuh, bukan yang kedua.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَتْ جِنَايَةُ الْأَوَّلِ قَدْ أَتَتْ عَلَى النَّفَسِ بِقَطْعِ حُلْقُومِهِ أَوْ مَرِيئِهِ أَوْ قَطْعِ حَشَوْتِهِ فَهُوَ فِي حُكْمِ الْمَيِّتِ لِانْتِقَاضِ بِنْيَتِهِ الَّتِي تَحْفَظُ حَيَاتَهُ وَلَا حُكْمَ لِمَا بَقِيَ مِنَ الحَيَاةِ؛ لِأَنَّهَا تَجْرِي مَجْرَى حَرَكَةِ الْمَذْبُوحِ الَّتِي لَا يُنْسَبُ مَعَهَا إِلَى الْحَيَاةِ وَتَجْرِي مَجْرَى الِاخْتِلَاجِ وَإِنْ كَانَتْ أَقْوَى فَلَوْ جَاءَ آخَرُ بَعْدَ أَنْ صَيَّرَهُ الْأَوَّلُ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ فَضَرَبَ عُنُقَهُ كَانَ الْأَوَّلُ قَاتِلًا يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ أَوِ الدِّيَةُ وَالثَّانِي عَابِثًا فَجَرَى مَجْرَى ضَرْبِ عُنُقِ مَيِّتٍ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ قَوَدٌ وَلَا دِيَةٌ لَكِنْ يُعَزَّرُ أَدَبًا لِانْتِهَاكِهِ الْحُرْمَةَ الَّتِي يَجِبُ حِفْظُهَا فِي الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ وَسَوَاءٌ كَانَ مَعَ جِنَايَةِ الْأَوَّلِ يَتَكَلَّمُ لِأَنَّ كَلَامَهُ مَعَ انْتِهَائِهِ إِلَى هَذِهِ الْحَالِ يَجْرِي مَجْرَى الْهَذَيَانِ الَّذِي لَا يَصْدُرُ مِنْ عَقْلٍ صَحِيحٍ وَلَا قَلْبٍ ثَابِتٍ حَكَى ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قُطِعَ وَسْطُهُ نِصْفَيْنِ فَتَكَلَّمَ وَاسْتَسْقَى مَاءٍ فَسُقِيَ وَقَالَ هَكَذَا يُفْعَلُ بِالْجِيرَانِ وَهَذَا إِنْ صَحَّ فَهُوَ كَلَامٌ تَصَوَّرَ فِي النَّفَسِ قَبْلَ قَطْعِهِ فَنَطَقَ بِهِ اللِّسَانُ بَعْدَهُ فَلَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ حُكْمٌ وَلَوْ وَصَّى لَمْ تَمْضِ وَصِيَّتُهُ وَلَا يَصِحُّ مِنْهُ إِسْلَامٌ وَلَا كُفْرٌ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar jika kejahatan pertama telah menyebabkan kematian dengan memotong tenggorokan, kerongkongan, atau organ dalamnya, maka dia dianggap mati karena struktur yang menjaga kehidupannya telah rusak, dan tidak ada hukum untuk sisa kehidupan; karena itu seperti gerakan hewan yang disembelih yang tidak dianggap hidup, dan seperti kejang meskipun lebih kuat. Jika orang lain datang setelah yang pertama membuatnya dalam keadaan ini dan memenggal lehernya, maka yang pertama adalah pembunuh yang harus dihukum qisas atau membayar diyat, sedangkan yang kedua dianggap bermain-main seperti memenggal leher orang mati, sehingga tidak ada qisas atau diyat baginya, tetapi dia dihukum ta’zir sebagai pelajaran karena melanggar kehormatan yang harus dijaga baik pada yang hidup maupun yang mati. Sama saja jika dengan kejahatan pertama dia masih bisa berbicara, karena bicaranya dalam keadaan ini dianggap seperti omong kosong yang tidak keluar dari akal sehat atau hati yang stabil. Ibnu Abi Hurairah menceritakan bahwa ada seorang pria yang terpotong tubuhnya menjadi dua bagian, lalu dia berbicara dan meminta air, kemudian diberi minum, dan berkata, ‘Begitulah yang dilakukan kepada tetangga.’ Jika ini benar, maka itu adalah ucapan yang terbayang dalam jiwa sebelum terpotong, dan lidah mengucapkannya setelah itu, sehingga tidak ada hukum yang berlaku padanya. Jika dia berwasiat, wasiatnya tidak berlaku, dan tidak sah baginya untuk masuk Islam atau menjadi kafir.”
وَهَكَذَا لَوِ افْتَرَسَهُ سَبُعٌ فَقَطَعَ حَشَوْتَهُ أَوْ قَطَعَ مَرِيئَهُ أَوْ حُلْقُومَهُ ثُمَّ ضَرَبَ إِنْسَانٌ عُنُقَهُ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ السَّبُعَ قَدْ أَتَى عَلَى حَيَاتِهِ وَالْبَاقِي مِنْهَا غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ فَلَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ حُكْمٌ
Demikian pula jika seekor binatang buas menerkamnya lalu memotong isi perutnya atau memotong kerongkongannya atau tenggorokannya, kemudian seseorang memukul lehernya, maka tidak ada qishash atasnya; karena binatang buas tersebut telah menghabisi hidupnya dan sisa hidupnya tidak stabil sehingga tidak berlaku hukum atasnya.
وَمِثَالُهُ فِي مَأْكُولَةِ السَّبُعِ إِذَا قَطَعَ حَشَوْتَهَا ثُمَّ ذُبِحَتْ لَمْ تُؤْكَلْ؛ لِأَنَّ الْبَاقِيَ مِنْ حَيَاتِهَا غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ فَلَمْ يَجُزْ عَلَيْهَا حُكْمُ الزَّكَاةِ
Contohnya dalam hewan yang dimakan oleh binatang buas, jika bagian dalamnya terpotong kemudian disembelih, maka tidak boleh dimakan; karena sisa kehidupannya tidak stabil sehingga tidak berlaku padanya hukum zakat.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي وَلَوْ أَجَافَهُ أَوْ خَرَقَ أَمْعَاءَهُ مَا لَمْ يَقْطَعْ حَشْوَتَهُ فَيُبِينُهَا مِنْهُ ثُمَّ ضَرَبَ آخَرُ عُنُقَهُ فَالْأَوَّلُ جَارِحٌ وَالْآخَرُ قَاتِلٌ قَدْ جُرِحَ مَعِيُّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي مَوْضِعَيْنِ وَعَاشَ ثَلَاثًا فَلَوْ قَتَلَهُ أَحَدٌ فِي تِلْكَ الْحَالِ كَانَ قَاتِلًا وَبَرِئَ الَّذِي جَرَحَهُ مِنَ القَتْلِ
Imam Syafi’i berkata, “Jika seseorang melukai atau merobek usus orang lain tanpa memutuskan bagian dalamnya sehingga terpisah darinya, kemudian orang lain memukul lehernya, maka yang pertama adalah peluka dan yang kedua adalah pembunuh. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah terluka di dua tempat dan hidup selama tiga hari. Jika ada yang membunuhnya dalam keadaan tersebut, maka orang itu adalah pembunuh, dan orang yang melukainya terbebas dari tuduhan pembunuhan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَتْ جِرَاحَةُ الْأَوَّلِ لَمْ تَأْتِ عَلَى النَّفَسِ وَلَا نَقَضَتْ بِنْيَةَ الْجَسَدِ وَكَانَتِ الْحَيَاةُ مَعَهَا مُسْتَقِرَّةً ثُمَّ ضَرَبَ عُنُقَهُ آخَرُ وَذَبَحَهُ أَوْ قَطَعَ حَشْوَتَهُ فَالثَّانِي هُوَ الْقَاتِلُ يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ أَوِ الدِّيَةُ كَامِلَةً وَالْأَوَّلُ جَارِحٌ يُؤْخَذُ بِحُكْمِ جِرَاحِهِ؛ فَإِنْ كَانَتْ مِمَّا فِيهِ الْقَوَدُ كَقَطْعِ يَدٍ وَرِجْلٍ أَوْ شَجَّةٍ مُوضِحَةٍ اقْتُصَّ مِنْهُ أَوْ أُخِذَتْ مِنْهُ الدِّيَةُ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا لَا قَوَدَ فِيهِ أُخِذَ مِنْهُ دِيَتُهَا وَلَا تَدْخُلُ فِي دِيَةِ النَّفْسِ لِاخْتِلَافِ الْجَانِبَيْنِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ جِرَاحَةُ الْأَوَّلِ مِمَّا يَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ مِنْهَا أَوْ لَا يَعِيشَ؛ لِأَنَّهُ بَاقِي الْحَيَاةِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar jika luka yang pertama tidak mematikan dan tidak merusak struktur tubuh, serta kehidupan tetap stabil bersamanya. Kemudian orang lain memenggal lehernya atau menyembelihnya atau memotong organ dalamnya, maka yang kedua adalah pembunuh yang harus dikenakan qisas atau diyat penuh. Sedangkan yang pertama adalah peluka yang diambil berdasarkan hukum lukanya. Jika termasuk yang ada qisas seperti memotong tangan dan kaki atau luka yang memperlihatkan tulang, maka diqisas atau diambil diyatnya. Jika termasuk yang tidak ada qisas, diambil diyatnya dan tidak termasuk dalam diyat jiwa karena perbedaan pihak. Baik luka yang pertama memungkinkan untuk hidup atau tidak, karena kehidupan masih ada.”
وَإِنْ قَطَعَ بِمَوْتِهِ مِنْهَا فَجَرَى مَجْرَى الْمَرِيضِ الْمُدْنِفِ الْمَقْطُوعِ بِمَوْتِهِ إِذَا قُتِلَ وَجَبَ الْقَوَدُ عَلَى قَاتِلِهِ؛ لِأَنَّهُ الْمُبَاشِرُ لِنَقْصِ بِنْيَتِهِ وَإِفَاتَةِ حَيَاتِهِ وَقَدْ جُرِحَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ فِي مَوْضِعَيْنِ مِنْ أَمْعَائِهِ فَسَقَاهُ الطَّبِيبُ لَبَنًا فَخَرَجَ مِنْ جُرْحِهِ أَبْيَضَ فَقَالَ لَهُ الطَّبِيبُ أَنْتَ مَيِّتٌ فَاعْهَدْ بِمَا شِئْتَ فَعَهِدَ بِالشُّورَى وَوَصَّى بِوَصَايَا وَعَاشَ ثَلَاثًا ثُمَّ مَاتَ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَأَمْضَى الْمُسْلِمُونَ عُهُودَهُ وَنَفَّذُوا وَصَايَاهُ
Jika kematiannya sudah dipastikan, maka ia diperlakukan seperti orang sakit parah yang kematiannya sudah dipastikan. Jika ia dibunuh, qisas wajib atas pembunuhnya, karena dialah yang langsung menyebabkan kerusakan tubuhnya dan menghilangkan nyawanya. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah terluka di dua tempat pada ususnya. Dokter memberinya susu, dan susu itu keluar dari lukanya dalam keadaan putih. Dokter berkata kepadanya, “Engkau akan meninggal, maka berwasiatlah sesuai keinginanmu.” Maka Umar berwasiat tentang syura dan memberikan wasiat-wasiat lainnya. Ia hidup selama tiga hari kemudian meninggal, rahmat Allah atasnya. Kaum Muslimin melaksanakan wasiat-wasiatnya dan menjalankan pesan-pesannya.
قَالَ الشَّافِعِيُّ فَلَوْ قَتَلَهُ أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْحَالِ كَانَ قَاتِلًا وَبَرِئَ الَّذِي جَرَحَهُ مِنَ القَتْلِ
Imam Syafi’i berkata, “Jika seseorang membunuhnya dalam keadaan tersebut, maka orang itu dianggap sebagai pembunuh dan orang yang melukainya terbebas dari tuduhan pembunuhan.”
وَهَكَذَا لَوِ افْتَرَسَ السَّبُعُ رَجُلًا فَجَرَحَهُ جُرْحًا يَعِيشُ مِنْهُ أَوْ لَا يَعِيشُ لَكِنَّهُ بَاقِيَ الْحَشْوَةِ وَالْحُلْقُومِ فَضَرَبَ عُنُقَهُ رَجُلٌ أَوْ ذَبَحَهُ أَوْ قَطَعَ حَشْوَتَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ؛ لِأَنَّهُ هُوَ النَّاقِضُ لِبِنْيَتِهِ وَالْمُفَوِّتُ لِحَيَاتِهِ وَلَوْ تَقَدَّمَتْ جِنَايَةُ الرَّجُلِ عَلَيْهِ فَجَرَحَهُ جُرْحًا يَعِيشُ مِنْهُ ثُمَّ أَكَلَهُ السَّبُعُ فَلَا قَوَدَ عَلَى الْجَارِحِ لِأَنَّ نَقْضَ الْبِنْيَةِ وَفَوَاتَ الْحَيَاةِ كَانَ مِنْ غَيْرِهِ وَيُؤْخَذُ الْجَارِحُ بِالْقِصَاصِ مِنْ جُرْحِهِ إِنْ كَانَ فِي مِثْلِهِ قِصَاصٌ أَوْ دِيَةُ جُرْحِهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ قِصَاصٌ
Demikian pula, jika seekor binatang buas menyerang seorang pria dan melukainya dengan luka yang mungkin bisa atau tidak bisa membuatnya bertahan hidup, tetapi masih ada bagian tubuh dan tenggorokan yang utuh, kemudian seseorang memenggal lehernya, menyembelihnya, atau memotong bagian tubuhnya, maka orang tersebut wajib dikenakan qishash; karena dialah yang merusak struktur tubuhnya dan menyebabkan hilangnya nyawanya. Namun, jika sebelumnya ada tindakan kriminal dari seseorang yang melukainya dengan luka yang bisa membuatnya bertahan hidup, kemudian binatang buas memakannya, maka tidak ada qishash atas orang yang melukai, karena kerusakan struktur tubuh dan hilangnya nyawa disebabkan oleh pihak lain. Orang yang melukai akan dikenakan qishash atas lukanya jika ada qishash untuk luka tersebut, atau membayar diyat luka jika tidak ada qishash untuk itu.
وَمِثَالُ ذَلِكَ فِي فَرِيسَةِ السَّبُعِ أَنْ يَجْرَحَ بَهِيمَةً لَا تَعِيشُ مِنْ جِرَاحَتِهِ لَكِنَّهَا بَاقِيَةُ الحلقوم والحشوة فتذكا حَلَّ أَكْلُهَا لِوُرُودِهَا عَلَى حَيَاةٍ مُسْتَقِرَّةٍ وَإِنْ لم تدم
Contoh dari hal ini adalah pada binatang buruan yang dilukai oleh binatang buas, di mana binatang tersebut terluka sehingga tidak dapat hidup dari lukanya, tetapi tenggorokan dan isi perutnya masih utuh. Jika disembelih, maka halal dimakan karena dianggap masih dalam keadaan hidup yang stabil, meskipun tidak bertahan lama.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَلَوْ جَرَحَهُ جِرَاحَاتٍ فَلَمْ يَمُتْ حَتَّى عَادَ إِلَيْهِ فَذَبَحَهُ صَارَ وَالْجِرَاحَ نَفْسًا
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ابْتَدَأَ الْجَانِي فَجَرَحَهُ جِرَاحَاتٍ لَمْ يَمُتْ مِنْهَا وَكَانَتْ عَلَى حَالِهَا لَمْ تَنْدَمِلْ حَتَّى عَادَ إِلَيْهِ فَذَبَحَهُ أَوْ ضَرَبَ عُنُقَهُ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي الْجِرَاحِ وَفِي النَّفْسِ وَيُدْخِلُ دِيَةَ الْجِرَاحِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ وَلَا يَلْزَمُهُ أَكْثَرُ مِنْهَا
Al-Mawardi berkata, “Ini benar jika pelaku memulai dengan melukai korban dengan luka-luka yang tidak menyebabkan kematian, dan luka-luka tersebut tetap dalam keadaan seperti itu tanpa sembuh hingga pelaku kembali dan menyembelih atau memenggal leher korban. Maka, pelaku dikenakan qishash atas luka-luka dan atas jiwa, dan diyat luka-luka dimasukkan ke dalam diyat jiwa, dan tidak diwajibkan lebih dari itu.”
وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ وَذَكَرَهُ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ إنَّ دِيَةَ الْجِرَاحِ لَا تَدْخُلُ فِي دِيَةِ النَّفْسِ كَمَا لَمْ يَدْخُلْ قَوَدُ الْجِرَاحِ فِي قَوَدِ النَّفْسِ فَيُؤْخَذُ بِدِيَةِ الْجِرَاحِ وَبِدِيَةِ النَّفْسِ كَمَا أُقِيدَ بِالْجِرَاحِ وَأُقِيدَ بِالنَّفْسِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ جِنَايَةَ الْوَاحِدِ إِذَا لَمْ تَسْتَقِرَّ بُنِيَ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَدَخَلَ الْأَقَلُّ فِي الْأَكْثَرِ فَإِذَا صَارَتْ بَعْدَ الْجِرَاحِ نَفْسًا كَانَ مَأْخُوذًا بِدِيَةِ النَّفْسِ وَدَخَلَ دِيَةُ الْجِرَاحِ فِيهَا لِأَنَّ دِيَةَ الْجِرَاحِ لَا تَسْتَقِرُّ إِلَّا بَعْدَ انْتِهَاءِ سِرَايَتِهَا وَهِيَ قَبْلَ الِانْدِمَالِ غَيْرُ مُنْتَهِيَةٍ فَلِذَلِكَ سَقَطَ أَرْشُهَا وَصَارَ دَاخِلًا فِي دِيَةِ مَا انْتَهَتْ
Abu Sa’id al-Istakhri berkata, dan disebutkan oleh Abu al-Abbas bin Suraij, bahwa diyat untuk luka tidak termasuk dalam diyat jiwa, sebagaimana qisas untuk luka tidak termasuk dalam qisas jiwa. Maka diambil diyat untuk luka dan diyat jiwa, sebagaimana dilakukan qisas untuk luka dan qisas jiwa. Ini adalah kesalahan karena jika pelanggaran seseorang belum selesai, sebagian dari pelanggaran tersebut dibangun di atas sebagian lainnya dan yang lebih sedikit masuk ke dalam yang lebih banyak. Jika setelah luka menjadi jiwa, maka diambil diyat jiwa dan diyat luka masuk ke dalamnya, karena diyat luka tidak selesai kecuali setelah berakhirnya penyebarannya, dan sebelum sembuh, ia belum selesai. Oleh karena itu, kompensasinya gugur dan menjadi bagian dari diyat yang telah selesai.
فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا يُعْتَبَرُ الِانْدِمَالُ فِيهَا لِانْقِطَاعِ سِرَايَتِهَا وَالتَّوْجِيَةُ بَعْدَهَا قَطْعٌ لِسِرَايَتِهَا فَصَارَتْ كَالِانْدِمَالِ
Jika dikatakan bahwa yang dipertimbangkan adalah penyembuhan dalam hal ini untuk menghentikan penyebarannya, dan pengobatan setelahnya adalah pemutusan penyebarannya, maka hal itu menjadi seperti penyembuhan.
قِيلَ التَّوْجِيَةُ عَلَيْهِ سِرَايَةُ الْجِرَاحِ وَلَمْ تَقْطَعْهَا وَالِانْدِمَالُ قَطَعَ سِرَايَتَهَا فَافْتَرَقَا
Dikatakan bahwa pengarahan itu terkait dengan penyebaran luka dan tidak memutuskannya, sedangkan penyembuhan memutus penyebarannya, sehingga keduanya berbeda.
فَأَمَّا قَوَدُ الْجِرَاحِ فَيَجُوزُ أَنْ يُسْتَوْفَى مَعَ قَوَدِ النَّفْسِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي حُكْمِ اسْتِيفَائِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Adapun qisas luka, boleh dilaksanakan bersamaan dengan qisas jiwa. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai hukumnya dalam dua pandangan.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الإسفرييني إنَّهُ يُسْتَوْفَى بِهِ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ لِيُقَابَلَ الْقَاتِلُ بِمِثْلِ فِعْلِهِ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ قَوَدًا فِي الْجِرَاحِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْقَوَدُ فِي الْجِرَاحِ دَاخِلًا فِي قَوَدِ النَّفْسِ كَمَا دَخَلَتْ دِيَةُ الْجِرَاحِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfaryaini, adalah bahwa qishash dalam jiwa dapat dipenuhi agar pembunuh dibalas dengan tindakan yang serupa, dan itu tidak dianggap sebagai qishash dalam luka. Berdasarkan hal ini, qishash dalam luka termasuk dalam qishash jiwa, sebagaimana diyat luka termasuk dalam diyat jiwa.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ إنَّهُ يَكُونُ قَوَدًا فِي الْجِرَاحِ يُسْتَوْفَى لِأَجْلِهَا لَا لِأَجْلِ النَّفْسِ لِتَمَيُّزِهَا فَعَلَى هَذَا لَا يَدْخُلُ قَوَدُ الْجِرَاحِ فِي قَوَدِ النَّفْسِ وَإِنْ دَخَلَتْ دِيَةُ الْجِرَاحِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ
Paragraf kedua, yang merupakan pendapat mayoritas, menyatakan bahwa qisas dalam kasus luka-luka dilakukan untuk luka tersebut, bukan untuk jiwa, karena perbedaannya. Oleh karena itu, qisas untuk luka tidak termasuk dalam qisas untuk jiwa, meskipun diyat untuk luka termasuk dalam diyat untuk jiwa.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ حُكْمَ الْقَوَدِ أَعَمُّ مِنْ حُكْمِ الدِّيَةِ لِأَنَّ الْجَمَاعَةَ يُقَادُونَ بِالْوَاحِدِ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهُمْ إِلَّا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ فَجَازَ لِأَجْلِ ذَلِكَ أَنْ تَدْخُلَ دِيَةُ الْجِرَاحِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ قَوَدُ الْجِرَاحِ فِي قَوَدِ النَّفْسِ
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa hukum qisas lebih umum daripada hukum diyat, karena sekelompok orang dapat dikenakan qisas atas satu orang, dan dari mereka hanya diambil satu diyat. Oleh karena itu, dimungkinkan untuk memasukkan diyat luka dalam diyat jiwa, meskipun qisas luka tidak termasuk dalam qisas jiwa.
فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْجِرَاحُ مِنْ رَجُلٍ وَالتَّوْجِيَةُ مِنْ آخَرَ أُخِذَ الْجَارِحُ بِحُكْمِ جِرَاحَتِهِ فِي الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ وَأُخِذَ الْمُوجِي بِحُكْمِ الْقَتْلِ فِي الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ وَلَمْ تَدْخُلْ دِيَةُ الْجِرَاحِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ كَمَا لَمْ يَدْخُلْ قَوَدُ الْجِرَاحِ فِي قَوَدِ النَّفْسِ بِخِلَافِ الْوَاحِدِ وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا تَفَرُّدُ الْوَاحِدِ وَتَمَيُّزُ الِاثْنَيْنِ
Adapun jika luka disebabkan oleh satu orang dan pembunuhan diarahkan oleh orang lain, maka pelaku luka dikenakan hukuman atas lukanya dalam bentuk qishash dan diyat, dan pelaku yang mengarahkan pembunuhan dikenakan hukuman atas pembunuhan dalam bentuk qishash dan diyat. Diyat luka tidak termasuk dalam diyat jiwa, sebagaimana qishash luka tidak termasuk dalam qishash jiwa, berbeda dengan satu orang, dan ini disepakati. Perbedaan antara keduanya adalah keterlibatan satu orang dan perbedaan dua orang.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَلَوْ بَرِأَتِ الْجِرَاحَاتُ ثُمَّ عَادَ فَقَتَلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مَا عَلَى الْجَارِحِ مُنْفَرِدًا وَمَا عَلَى الْقَاتِلِ مُنْفَرِدًا
Imam Syafi’i berkata, “Jika luka-luka sembuh kemudian kembali dan membunuhnya, maka berlaku atasnya apa yang berlaku atas peluka secara terpisah dan apa yang berlaku atas pembunuh secara terpisah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ الْجِرَاحَاتِ إِذَا انْدَمَلَتْ وَبَرِأَتِ اسْتَقَرَّ حُكْمُهَا فِي الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ فَإِذَا طَرَأَ بَعْدَهَا الْقَتْلُ لَمْ يَسْقُطْ حُكْمُ مَا اسْتَقَرَّ مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ لِأَنَّ الْحُقُوقَ الْمُسْتَقِرَّةَ لَا تَسْقُطُ بِحُقُوقٍ مُسْتَجَدَّةٍ كَالدُّيُونِ وَالْحُدُودِ فَيَسْتَوْفِي قَوَدَ الْجِرَاحِ وَدِيَتَهَا وَقَوَدَ النَّفْسِ وَدِيَتَهَا وَلَا يَدْخُلُ دِيَةُ الْجِرَاحِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ كَمَا لَمْ يَدْخُلْ قَوَدُ الْجِرَاحِ فِي قَوَدِ النَّفْسِ وَسَوَاءٌ كَانَا مِنْ وَاحِدٍ أَوِ اثْنَيْنِ بِخِلَافِ مَا لَمْ يَنْدَمِلْ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الْوَاحِدِ وَالِاثْنَيْنِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ التَّعْلِيلِ بِالِاسْتِقْرَارِ فَلَوِ انْدَمَلَ بَعْضُ الْجِرَاحِ وَبَقِيَ بَعْضُهَا حَتَّى طَرَأَتِ التَّوْجِيَةُ سِوَى فِيمَا انْدَمَلَ بَيْنَ الْوَاحِدِ وَالِاثْنَيْنِ وَفَرَّقَ فِيمَا لَمْ يَنْدَمِلْ بين الواحد والاثنين
Al-Mawardi berkata, “Ini benar; karena ketika luka-luka sembuh dan pulih, hukumnya tetap dalam qishas dan diyat. Jika setelah itu terjadi pembunuhan, hukum yang telah ditetapkan dari qishas dan diyat tidak gugur, karena hak-hak yang telah ditetapkan tidak gugur oleh hak-hak baru, seperti utang dan hudud. Maka, qishas luka dan diyatnya dipenuhi, serta qishas jiwa dan diyatnya, dan diyat luka tidak termasuk dalam diyat jiwa, sebagaimana qishas luka tidak termasuk dalam qishas jiwa, baik berasal dari satu orang atau dua orang. Berbeda dengan yang belum sembuh dalam perbedaan antara satu dan dua orang, berdasarkan alasan yang telah kami sampaikan tentang penetapan. Jika sebagian luka sembuh dan sebagian lainnya masih ada hingga terjadi pembunuhan, maka yang sembuh diperlakukan sama antara satu dan dua orang, dan dibedakan dalam yang belum sembuh antara satu dan dua orang.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَلَوْ تَدَاوَى الْمَجْرُوحُ بِسُمٍّ فَمَاتَ أَوْ خَاطَ الْجُرْحَ فِي لَحْمِ حَيٍّ فَمَاتَ فَعَلَى الْجَانِي نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ فِعْلَيْنِ وَإِنْ كَانَتِ الْخِيَاطَةُ فِي لَحْمٍ مَيِّتٍ فَالدِّيَةُ عَلَى الْجَانِي
Imam Syafi’i berkata, “Jika orang yang terluka mengobati dirinya dengan racun lalu meninggal, atau menjahit lukanya pada daging yang masih hidup lalu meninggal, maka pelaku dikenakan setengah diyat karena kematian terjadi akibat dua tindakan. Namun, jika jahitan dilakukan pada daging yang sudah mati, maka diyat sepenuhnya ditanggung oleh pelaku.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Masalah ini mencakup dua bagian.”
أَحَدُهُمَا فِي التَّدَاوِي بِسُمٍّ
Salah satunya adalah tentang pengobatan dengan racun.
وَالثَّانِي فِي خِيَاطَةِ الْجِرَاحِ
Yang kedua adalah dalam menjahit luka.
فَأَمَّا التَّدَاوِي بِالسُّمِّ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Adapun pengobatan dengan racun, keadaannya tidak lepas dari empat bagian.
أَحَدُهَا مَا كَانَ قَاتِلًا مُوجِبًا فِي الْحَالِ
Salah satunya adalah yang menyebabkan pembunuhan yang mengharuskan hukuman segera.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا كَانَ قَاتِلًا يَتَأَخَّرُ قَتْلُهُ عَنِ التَّوْجِئَةِ فِي الْحَالِ
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا كَانَ قَاتِلًا فِي الْأَغْلَبِ وَإِنْ جَازَ أَلَّا يُقْتَلَ
Bagian ketiga adalah sesuatu yang pada umumnya mematikan meskipun mungkin tidak selalu menyebabkan kematian.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مَا كَانَ غَيْرَ قَاتِلٍ فِي الْأَغْلَبِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يُقْتَلَ
Bagian keempat adalah sesuatu yang pada umumnya tidak mematikan, meskipun mungkin dapat menyebabkan kematian.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ الْقَاتِلُ الْمُوجِي فِي الْحَالِ فَهَذَا هُوَ قَاتِلُ نَفْسِهِ بِالتَّوْجِيَةِ بَعْدَ جُرْحِهِ بِالْجِنَايَةِ فَيَسْقُطُ عَنِ الْجَارِحِ حُكْمُ النَّفْسِ فِي الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ وَيَلْزَمُهُ حُكْمُ الْجُرْحِ فِي الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ فَالْجَارِحُ إِذَا تَعَقَّبَهُ قَاتِلٌ مُوجٍ وَسَوَاءٌ تَدَاوَى بِهِ الْمَجْرُوحُ عَالِمًا بِحَالِهِ أَوْ جَاهِلًا شُرْبَهُ أَوْ طِلَاءَهُ عَلَى ظَاهِرِ جَسَدِهِ إِذَا كَانَ مُوجِيًا فِي الحالين
فَصْلٌ
Bagian
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ الْقَاتِلُ الَّذِي لَا يُوجِي فِي الْحَالِ وَيَقْتُلُ فِي ثَانِي حَالٍ فَهَذَا مِمَّا يَجُوزُ أَنْ تَتَقَدَّمَ فِيهِ سِرَايَةُ الْجُرْحِ عَلَى سِرَايَةِ السُّمِّ وَيَجُوزُ أَنْ يَتَقَدَّمَ سِرَايَةُ السُّمِّ عَلَى سِرَايَةِ الْجُرْحِ وَلَيْسَ أَحَدُهُمَا أَغْلَبَ مِنَ الآخَرِ فَاسْتَوَيَا وَصَارَ الْقَتْلُ مَنْسُوبًا إِلَيْهِمَا فَيُعْتَبَرُ حَالُ التَّدَاوِي بِالسُّمِّ فَلَا يخلو مستعلمه مِنْ أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِحَالِهِ أَوْ غَيْرَ عَالِمٍ فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِحَالِهِ فَاسْتِعْمَالُهُ عَمْدٌ شِبْهُ الْخَطَأِ لِأَنَّهُ عَامِدٌ فِي الْفِعْلِ خَاطِئٌ فِي النَّفْسِ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنِ الْجَارِحِ لِأَنَّهُ قَدْ شَارَكَ فِي النَّفْسِ خَاطِئًا وَلَا قَوَدَ عَلَى الْعَامِدِ إِذَا شَارَكَهُ الْخَاطِئُ
Adapun bagian kedua, yaitu pembunuh yang tidak langsung mematikan saat itu juga dan membunuh di waktu lain, ini adalah kasus di mana bisa jadi penyebaran luka mendahului penyebaran racun, atau bisa juga penyebaran racun mendahului penyebaran luka, dan tidak ada yang lebih dominan dari yang lain, sehingga keduanya setara dan pembunuhan dinisbatkan kepada keduanya. Maka, dipertimbangkan keadaan pengobatan dengan racun, dan penggunaannya tidak lepas dari apakah ia mengetahui keadaannya atau tidak. Jika ia tidak mengetahui keadaannya, maka penggunaannya dianggap sengaja yang mirip dengan kesalahan, karena ia sengaja dalam perbuatan tetapi salah dalam niat. Maka, qishas tidak berlaku bagi peluka, karena ia telah berpartisipasi dalam niat secara salah, dan tidak ada qishas bagi yang sengaja jika ia berpartisipasi dengan yang salah.
وَسَوَاءٌ كَانَ الْمُدَاوِي هُوَ الْمَجْرُوحُ أَوْ غَيْرُهُ وَإِنْ عُلِمَ بِأَنَّهُ سُمٌّ قَاتِلٌ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Baik penyembuh itu adalah orang yang terluka atau orang lain, dan jika diketahui bahwa itu adalah racun mematikan, maka ada dua kemungkinan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْمُدَاوِي بِهِ طَبِيبَ غَيْرِ الْمَجْرُوحِ فَيَجِبُ عَلَيْهِمَا الْقَوَدُ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ إِلَى الدِّيَةِ كَانَتْ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ جِنَايَتِهِمَا بِفِعْلٍ تَعَمَّدَاهُ فَصَارَا كَالْجَارِحَيْنِ
Salah satunya adalah jika yang mengobati adalah dokter selain yang terluka, maka wajib atas keduanya qishash. Jika dimaafkan dengan diat, maka diat tersebut dibagi dua; karena ia meninggal akibat tindakan keduanya yang disengaja, sehingga keduanya seperti dua orang yang melukai.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْمَجْرُوحُ هُوَ الْمُدَاوِي لِنَفْسِهِ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْجَارِحِ قَوْلَانِ
Jenis yang kedua adalah ketika orang yang terluka merawat dirinya sendiri, maka ada dua pendapat mengenai kewajiban qishāsh terhadap pelaku.
أَحَدُهُمَا يُقَادُ مِنْهُ فِي النَّفْسِ لِمُشَارَكَتِهِ فِيهَا لِلْعَامِدِ وَلَا يَكُونُ سُقُوطُهُ عَنِ الشَّرِيكِ مُوجِبًا لِسُقُوطِهِ عَنْهُ كَشَرِيكِ الْأَبِ فِي قَتْلِ الِابْنِ
Salah satunya diqishāsh darinya dalam hal jiwa karena keterlibatannya di dalamnya dengan sengaja, dan tidak berarti gugurnya dari rekan menyebabkan gugurnya darinya, seperti rekan ayah dalam pembunuhan anak.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي النَّفْسِ وَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ أَحَدَ الْقَاتِلَيْنِ فَإِنْ أَرَادَ الْوَلِيُّ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ مِنَ الجُرْحِ دُونَ النَّفْسِ نَظَرَ فِي الْجُرْحِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ قِصَاصٌ إِذَا انْفَرَدَ كَالْجَائِفَةِ فَلَا قِصَاصَ عَلَيْهِ لِانْفِرَادِ حُكْمِهِ بِسُقُوطِ الْقَوَدِ فِي النَّفْسِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qishāsh atasnya dalam hal jiwa, tetapi ia wajib membayar setengah diyat dan juga wajib membayar kafārah; karena ia telah menjadi salah satu dari dua pembunuh. Jika wali korban ingin menuntut qishāsh darinya atas luka, bukan atas jiwa, maka dilihat pada lukanya; jika luka tersebut tidak ada qishāsh-nya apabila dilakukan sendirian, seperti luka yang menembus rongga tubuh (jā’ifah), maka tidak ada qishāsh atasnya karena hukum khususnya adalah gugurnya qishāsh dalam hal jiwa.
وَإِنْ كَانَ الْجُرْحُ مِمَّا يُوجِبُ الْقِصَاصَ إِذَا انْفَرَدَ كَالْمُوضِحَةِ أَوْ كَقَطْعِ يَدٍ أَوْ رِجْلٍ فَفِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ مِنْهُ مَعَ سُقُوطِهِ فِي النَّفْسِ وَجْهَانِ
Dan jika luka tersebut termasuk yang mewajibkan qishāsh apabila berdiri sendiri, seperti luka yang menampakkan tulang (mudhīhah) atau seperti memotong tangan atau kaki, maka dalam hal kewajiban qishāsh darinya ketika gugur pada jiwa (pembunuhan) terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ لَا يَجِبُ وَتَسْقُطُ بِسُقُوطِهِ فِي النَّفْسِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا انْفَرَدَ عَنْهَا رُوعِيَ فِيهِ الِانْدِمَالُ وَلَمْ يَنْدَمِلْ
Salah satunya adalah pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, yaitu tidak wajib dan gugur dengan gugurnya pada diri; karena jika ia terpisah darinya, maka yang diperhatikan adalah penyembuhan, dan itu tidak sembuh.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ لِأَنَّهُ قَدِ انْتَهَتْ غَايَتُهُ بِالْمَوْتِ فَصَارَ كَالْمُنْدَمِلِ فَعَلَى هَذَا لَا يَخْلُو حَالُ الْجُرْحِ الْمُسْتَحَقِّ فِيهِ الْقِصَاصُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Pendapat kedua menyatakan bahwa qishāsh wajib diterapkan karena akibatnya telah berakhir dengan kematian, sehingga keadaannya seperti luka yang telah sembuh. Berdasarkan hal ini, kondisi luka yang berhak dikenakan qishāsh tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ دِيَةُ مِثْلِهِ نِصْفَ دِيَةِ النَّفْسِ كَإِحْدَى الْيَدَيْنِ أَوِ الرِّجْلَيْنِ فَقَدِ اسْتَوْفَى الْوَلِيُّ بِالِاقْتِصَاصِ مِنْهُ جَمِيعَ حَقِّهِ؛ لِأَنَّهُ اسْتَحَقَّ نِصْفَ دِيَةِ النَّفْسِ وَقَدِ اسْتَوْفَاهُ بِقَطْعِ إِحْدَى الْيَدَيْنِ
Salah satunya adalah apabila diyat anggota tubuh yang sejenis itu setengah dari diyat jiwa, seperti salah satu dari dua tangan atau dua kaki, maka wali korban telah memperoleh seluruh haknya dengan melakukan qishāsh terhadap pelaku; karena ia berhak atas setengah diyat jiwa dan telah memperolehnya dengan memotong salah satu dari kedua tangan.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ دِيَتُهُ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ دِيَةِ النَّفْسِ كَالْإِصْبَعِ فِيهَا عُشْرُ دِيَةِ النَّفْسِ فَإِذَا اقْتَصَّ مِنْهَا اسْتَوْفَى بِهَا خُمُسَ حَقِّهِ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ فَيَرْجِعُ عَلَيْهِ بِالْبَاقِي مِنْهَا وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ النِّصْفِ لِيَسْتَكْمِلَ بِهَا جَمِيعَ النِّصْفِ
Bagian kedua adalah apabila diyatnya kurang dari setengah diyat jiwa, seperti jari yang diyatnya sepersepuluh dari diyat jiwa. Maka jika dilakukan qishāsh atasnya, ia hanya memperoleh seperlima haknya dari setengah diyat. Oleh karena itu, ia dapat menuntut sisanya, yaitu empat perlima dari setengah diyat, agar ia dapat melengkapi seluruh setengah diyat tersebut.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ دِيَتُهُ أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Bagian ketiga adalah apabila diyatnya lebih dari setengah diyat, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ يَقْتَصُّ مِنْهُ وَإِنَّ زَادَ عَلَى دِيَةِ النَّفْسِ لِانْفِرَادِهِ بِالْحَاكِمِ عَنْ سُقُوطِ الْقَوَدِ فِي النَّفْسِ كَمَا لَوِ انْفَرَدَ بِالِانْدِمَالِ
Salah satunya adalah qiyās menurut pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri, yaitu pelaku tetap dikenai qishāsh meskipun luka yang ditimbulkan melebihi diyat jiwa, karena ia sendiri bersama hakim dalam menetapkan tidak gugurnya qishāsh pada jiwa, sebagaimana jika ia sendiri dalam hal penyembuhan luka.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ عِنْدِي أَشْبَهُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصَّ بِنِصْفِ الدِّيَةِ مِنَ الأَعْضَاءِ إِلَّا مَا قَابَلَهَا لِأَنَّهَا تُؤْخَذُ بَدَلًا مِنْهَا فَعَلَى هَذَا تَكُونُ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Pendapat kedua, yang menurut saya lebih mendekati kebenaran, adalah bahwa tidak boleh dilakukan qishāsh dengan setengah diyat pada anggota tubuh kecuali pada anggota tubuh yang sepadan dengannya, karena diyat diambil sebagai pengganti anggota tubuh tersebut. Dengan demikian, hal ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا مَا أَمْكَنَ تَبْعِيضُهُ وَأَنْ تُسْتَوْفَى مِنْهُ بِقَدْرِ حَقِّهِ كَالْيَدَيْنِ إِذَا قَطَعَهُمَا فَفِيهِمَا الدِّيَةُ وَيُمْكِنُ أَنْ تُؤْخَذَ إِحْدَاهُمَا وَفِيهِمَا نِصْفُ الدية فها هنا يَجِبُ الْقِصَاصُ عَلَيْهِ فِي إِحْدَى الْيَدَيْنِ وَيَسْقُطُ فِي الْأُخْرَى؛ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى بِهَا نِصْفَ الدِّيَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَزِيدَ عَلَيْهَا فَوْقَ حَقِّهِ وَيَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ الِاقْتِصَاصِ مِنَ اليُمْنَى أَوِ الْيُسْرَى وَلَا خِيَارَ لَهُ فِي غَيْرِ هَذَا الْمَوْضِعِ
Salah satunya adalah anggota tubuh yang memungkinkan untuk dibagi dan dapat diambil darinya sesuai kadar haknya, seperti kedua tangan; jika seseorang memotong kedua tangan, maka atas keduanya dikenakan diyat, dan memungkinkan untuk diambil salah satunya, dan atas keduanya setengah diyat. Dalam hal ini, wajib qishāsh atas salah satu tangan dan gugur pada tangan yang lain, karena dengan itu telah terpenuhi setengah diyat, sehingga tidak boleh menambah lebih dari haknya. Ia diberi pilihan antara menuntut qishāsh pada tangan kanan atau kiri, dan tidak ada pilihan baginya selain dalam kasus ini.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي مَا لَمْ يُمْكِنْ تَبْعِيضُهُ كَجَدْعِ الْأَنْفِ وَقَطْعِ الذَّكَرِ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ فِيهِ لِمَا تَضَمَّنَهُ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَى الْقَدْرِ الْمُسْتَحَقِّ مِنَ الدِّيَةِ
Jenis kedua adalah apa yang tidak mungkin dibagi-bagi, seperti memotong hidung atau memotong kemaluan, maka qishāsh gugur padanya karena mengandung tambahan atas kadar diyat yang semestinya.
فَصْلٌ
Bab
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ مِنْ أَقْسَامِ السُّمِّ وَهُوَ الْقَاتِلُ فِي الْأَغْلَبِ وَإِنْ جَازَ أَنْ لَا يَقْتُلَ فَهَذَا قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَمُوتَ مِنَ الجُرْحِ دُونَ السُّمِّ وَيَجُوزُ أَنْ يَمُوتَ مِنَ السُّمِّ دُونَ الْجُرْحِ وَلَيْسَ أَحَدُهُمَا أَغْلَبَ مِنَ الآخَرِ فَجَرَى السُّمُّ مَجْرَى الْجُرْحِ الْآخَرِ وَالْحُكْمُ فِي مُسْتَعْمِلِهِ عَلَى مَا مَضَى؛ لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ هَلْ يَكُونُ فِي حُكْمِ الْعَمْدِ الْمَحْضِ أَوْ خَطَأِ الْعَمْدِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Adapun bagian ketiga dari jenis-jenis racun, yaitu racun yang pada umumnya mematikan, meskipun mungkin saja tidak menyebabkan kematian, maka dalam hal ini bisa saja seseorang meninggal karena luka tanpa racun, dan bisa juga meninggal karena racun tanpa luka, dan tidak ada salah satu dari keduanya yang lebih dominan dari yang lain. Maka racun diperlakukan seperti luka yang lain, dan hukum bagi orang yang menggunakannya mengikuti apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini: apakah termasuk dalam hukum ‘amdu maḥḍ (pembunuhan sengaja murni) atau khatā’ al-‘amdi (sengaja yang keliru), dan terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ فِي حُكْمِ خَطَأِ الْعَمْدِ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ دِيَةُ التَّدَاوِي فَصَارَ خَطَأً فِي الْقَصْدِ عَمْدًا فِي الْقَتْلِ يَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنِ الْجَارِحِ فِي النَّفْسِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ مَعَ الْكَفَّارَةِ لِأَنَّ جُرْحَهُ صَارَ قَتْلًا وَيَكُونُ حُكْمُ شَرِيكِ عَمْدِ الْخَطَأِ كَشَرِيكِ الْخَطَأِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ فَإِنْ أَرَادَ الْوَلِيُّ الْقِصَاصَ فِي الْجُرْحِ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ شَرِيكَ الْخَطَأِ فِي الْجُرْحِ كَشَرِيكِهِ فِي النَّفْسِ
Salah satunya adalah bahwa hal itu dihukumi sebagai khathā’ al-‘amdi; karena yang dimaksud adalah diyat pengobatan, maka menjadi kesalahan dalam niat namun kesengajaan dalam pembunuhan, sehingga qishāsh gugur dari pelaku luka pada jiwa, dan ia wajib membayar setengah diyat beserta kafārah, karena lukanya berubah menjadi pembunuhan. Hukum bagi sekutu dalam ‘amdu al-khathā’ sama dengan sekutu dalam khathā’ dalam hal gugurnya qishāsh. Jika wali ingin melakukan qishāsh pada luka, maka ia tidak berhak melakukannya dengan alasan apapun; karena sekutu dalam khathā’ pada luka sama dengan sekutunya dalam jiwa.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ السُّمَّ يَكُونُ فِي حُكْمِ الْعَمْدِ الْمَحْضِ فَعَلَى هَذَا فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْجَارِحِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى يُقَادُ مِنْ نَفْسِهِ فِي أَحَدِهِمَا لِخُرُوجِهَا بِعَمْدٍ مَحْضٍ وَلَا يُقَادُ مِنْهَا فِي الْآخَرِ لِسُقُوطِهِ فِي حُكْمِ السُّمِّ إِذَا كَانَ الْمُتَدَاوِي بِهِ هُوَ الْمَجْرُوحُ فَإِنْ أَرَادَ الْوَلِيُّ الْقَوَدَ فِي الْجُرْحِ كَانَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا من الوجهين
Pendapat kedua adalah bahwa racun termasuk dalam hukum ‘amdan murni. Berdasarkan hal ini, dalam kewajiban qishāsh atas pelaku penganiayaan terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan: pada salah satunya, pelaku dikenai qishāsh karena perbuatannya merupakan ‘amdan murni; dan pada pendapat lain, tidak dikenai qishāsh karena gugurnya kewajiban tersebut dalam hukum racun apabila yang mengobati dengan racun itu adalah orang yang terluka sendiri. Jika wali ingin menuntut qishāsh dalam kasus luka, maka hal itu kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan.
فَصْلٌ
Bab
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ مِنْ أَقْسَامِ السُّمِّ وَهُوَ أَنْ لَا يَقْتُلَ فِي الْأَغْلَبِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَقْتُلَ فَهَذَا خَطَأٌ مَحْضٌ اشْتَرَكَ فِيهِ عَمْدٌ مَحْضٌ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنِ الْجَارِحِ فِي النَّفْسِ وَالْجُرْحِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ حَالَّةً مُغَلَّظَةً فِي مَالِهِ؛ لِأَنَّهَا دِيَةُ عَمْدٍ مَحْضٍ وَلَا يُعْتَبَرُ حُكْمُهَا بِمُشَارَكَةِ الْخَطَأِ الْمَحْضِ وَتَجِبُ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ؛ لِأَنَّ جُرْحَهُ صَارَ قَتْلًا
Adapun bagian keempat dari jenis-jenis racun adalah racun yang pada umumnya tidak mematikan, meskipun mungkin saja dapat membunuh. Maka ini termasuk kesalahan murni yang di dalamnya terdapat unsur kesengajaan murni, sehingga qishāsh gugur dari pelaku yang melukai, baik dalam hal jiwa maupun luka, dan ia wajib membayar setengah diyat secara langsung dan diperberat dari hartanya; karena itu adalah diyat atas kesengajaan murni dan tidak dianggap hukumnya dengan adanya unsur kesalahan murni. Ia juga wajib membayar kafārah, karena lukanya telah menyebabkan kematian.
فَإِنْ جُهِلَ حَالُ السُّمِّ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْ أَيِّ هَذِهِ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ هُوَ أُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ أَخَفِّهَا وَهُوَ هَذَا الْقِسْمُ الرَّابِعُ؛ لِأَنَّهَا عَلَى يَقِينٍ مِنْهُ وَفِي شَكٍّ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ
Jika keadaan racun tidak diketahui dan tidak diketahui termasuk dalam salah satu dari empat kategori tersebut, maka diterapkan hukum yang paling ringan, yaitu kategori keempat ini; karena kategori ini sudah pasti, sedangkan kategori lainnya masih diragukan adanya tambahan di atasnya.
فَصْلٌ
Bab
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي مِنْ فَصْلَيِ الْمَسْأَلَةِ وَهُوَ أَنْ يَخِيطَ الْمَجْرُوحُ جُرْحَهُ فَيَمُوتَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun bagian kedua dari dua bagian permasalahan ini, yaitu apabila orang yang terluka menjahit lukanya sendiri lalu ia meninggal, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يُخَاطَ فِي لَحْمٍ مَيِّتٍ فَلَا تَأْثِيرَ لِهَذِهِ الْخِيَاطَةِ؛ لِأَنَّهَا فِي اللَّحْمِ الْمَيِّتِ لَا تُؤْلِمُ وَلَا تَسْرِي فَيَصِيرُ الْجَارِحُ مُنْفَرِدًا بِقَتْلِهِ بِسِرَايَةِ جُرْحِهِ فَوَجَبَ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ فَجَمِيعُ الدِّيَةِ مُغَلَّظَةٌ حَالَّةٌ فِي مَالِهِ وَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ
Salah satunya adalah jika seseorang menjahit pada daging yang sudah mati, maka jahitan tersebut tidak berpengaruh; karena jahitan itu dilakukan pada daging yang mati, tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak menyebar, sehingga orang yang melukai menjadi satu-satunya yang menyebabkan kematian dengan penyebaran lukanya, maka wajib atasnya qishāsh dalam hal jiwa. Jika dimaafkan darinya, maka seluruh diyat yang diperberat harus segera dibayarkan dari hartanya, dan ia wajib membayar kafārah.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَخِيطَ فِي لَحْمٍ حَيٍّ فَالْخِيَاطَةُ جُرْحٌ وَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْعَمْدِ الْمَحْضِ وَعِنْدِي أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ عَمْدِ الْخَطَأِ؛ لِأَنَّهُ قَصَدَ بِهِ حِفْظَ الْحَيَاةِ فَأَفْضَى بِهِ إِلَى التَّلَفِ؛ فَصَارَ عَمْدًا فِي الْفِعْلِ خَطَأً فِي القصد
Jenis kedua adalah menjahit pada daging yang masih hidup; maka jahitan itu merupakan luka, dan menurut jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan mazhab kami, berlaku padanya hukum ‘amdu maḥḍ (kesengajaan murni). Namun menurut pendapat saya, berlaku padanya hukum ‘amdu al-khaṭa’ (kesengajaan yang keliru); karena ia bermaksud menjaga kehidupan, namun justru menyebabkan kerusakan; sehingga perbuatannya disengaja, tetapi maksudnya keliru.
فإن قيل فبهذا فَالْجَارِحُ قَدْ صَارَ قَاتِلًا شَرِيكًا لِعَمْدِ الْخَطَأِ فَسَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ وَتَجِبُ عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ حَالَّةً مُغَلَّظَةً مَعَ الْكَفَّارَةِ وَإِنْ قِيلَ بِمَا عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ إنَّ الْخِيَاطَةَ عَمْدٌ مَحْضٌ رُوعِيَ مَنْ تَوَلَّى الْخِيَاطَةَ أَوْ إِبْرَتَهَا فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Jika dikatakan, dengan demikian maka pelaku yang melukai telah menjadi pembunuh yang turut serta dalam pembunuhan yang disengaja namun keliru, sehingga gugur darinya qishāsh dan wajib atasnya membayar setengah diyat secara tunai dan diperberat, beserta kewajiban kafārah. Namun jika dikatakan sebagaimana pendapat jumhur bahwa tindakan menjahit adalah perbuatan sengaja murni, maka yang diperhatikan adalah siapa yang melakukan penjahitan atau menusukkan jarumnya, karena tidak lepas dari salah satu dari empat keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ الْمَجْرُوحُ تَوَلَّاهَا أَوْ أَمَرَ بِهَا
Salah satunya adalah jika orang yang dipersaksikan cacat itu sendiri yang melakukannya atau memerintahkannya.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ أَبُو الْمَجْرُوحِ تَوَلَّاهَا
Dan yang kedua adalah ayah dari orang yang terluka yang melaksanakannya.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ تَوَلَّاهَا أَوْ أَمَرَ بِهَا
Ketiga, yaitu apabila imam melaksanakannya atau memerintahkannya.
وَالرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ أَجْنَبِيٌّ تَوَلَّاهَا أَوْ أَمَرَ بِهَا
Keempat, yaitu orang asing yang melakukannya atau memerintahkannya.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَتَوَلَّاهَا الْمَجْرُوحُ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْجَارِحِ قَوْلَانِ
Adapun bagian pertama, yaitu apabila orang yang terluka sendiri yang melaksanakan hukuman qisas, maka dalam hal kewajiban qisas atas pelaku penganiayaan terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ إِذَا اعْتُبِرَ فِي الْقَوَدِ خُرُوجُ النَّفْسِ عَنْ عَمْدٍ مَحْضٍ
Salah satunya adalah dikenakannya qawad (balasan setimpal) atas jiwa apabila dalam qawad dipertimbangkan keluarnya jiwa karena kesengajaan murni.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا قَوَدَ عَلَيْهِ إِذَا اعْتُبِرَ فِيهِ خُرُوجُ النَّفْسِ عَنْ عَمْدٍ مَضْمُونٍ لِأَنَّ عَمْدَ الْمَجْرُوحِ غَيْرُ مَضْمُونٍ وَكَذَلِكَ الْحُكْمُ لَوْ تَوَلَّاهَا مَنْ أَمَرَهُ الْجَارِحُ بِهَا وَلَا يَكُونُ الْمَأْمُورُ ضَامِنًا؛ لِأَنَّهُ فَعَلَهُ عَنْ أَمْرِ مَنْ يَمْلِكُ التَّصَرُّفَ فِي نَفْسِهِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qishāsh atasnya jika disyaratkan keluarnya nyawa secara sengaja yang dijamin, karena kesengajaan dari pihak yang terluka tidak dijamin. Demikian pula hukumnya jika yang melakukannya adalah orang yang diperintahkan oleh peluka, maka orang yang diperintah tidak menjadi penanggung, karena ia melakukannya atas perintah orang yang memiliki hak untuk bertindak atas dirinya sendiri.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ أَبُو الْمَجْرُوحِ تَوَلَّاهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun bagian kedua, yaitu apabila ayah dari orang yang terluka yang menangani perkara tersebut, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْمَجْرُوحُ غَيْرَ مُوَلَّى عَلَيْهِ لِبُلُوغِهِ وَعَقْلِهِ فَيَكُونُ الْأَبُ ضَامِنًا لِنِصْفِ الدِّيَةِ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَا قَوَدَ لِلِابْنِ عَلَى أَبِيهِ وَعَلَى الْجَارِحِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ شَارَكَ فِي عَمْدٍ مَضْمُونٍ فَإِنْ عَفَا عَنِ الْقَوَدِ فَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهُ أَحَدُ الْقَاتِلِينَ وَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ لِأَنَّ جُرْحَهُ صَارَ نَفْسًا
Salah satunya adalah jika orang yang terluka bukanlah seseorang yang berada di bawah perwalian karena ia sudah baligh dan berakal, maka sang ayah wajib menanggung setengah diyat dan tidak ada qishāsh atasnya; karena tidak ada qishāsh bagi anak terhadap ayahnya. Adapun pelaku luka, atasnya qishāsh dalam hal jiwa menurut satu pendapat, karena ia turut serta dalam pembunuhan yang disengaja dan wajib diyat. Jika dimaafkan dari qishāsh, maka atasnya setengah diyat, karena ia adalah salah satu dari dua pembunuh, dan atasnya juga kafārah karena lukanya telah menyebabkan kematian.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْمَجْرُوحُ مُوَلًّى عَلَيْهِ بِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ
Jenis kedua adalah apabila orang yang dicacatkan itu berada dalam perwalian karena masih kecil atau karena gila.
فَفِي ضَمَانِ الْأَبِ لَهَا وَجْهَانِ
Dalam hal tanggungan ayah terhadapnya, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَضْمَنُهَا تَغْلِيبًا لِحُسْنِ النَّظَرِ بِمَقْصُودِ وِلَايَتِهِ فَعَلَى هَذَا فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْجَارِحِ قَوْلَانِ
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia bertanggung jawab atas hal itu sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga tujuan dari wewenangnya. Berdasarkan pendapat ini, terdapat dua pendapat mengenai kewajiban qishāsh atas pelaku penganiayaan.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الْقَوَدُ إِذَا رُوعِيَ مُشَارَكَتُهُ فِي عَمْدٍ غَيْرِ مَضْمُونٍ
Salah satunya dikenai qisas jika diperhatikan adanya keterlibatan bersama dalam pembunuhan sengaja yang tidak menimbulkan kewajiban membayar diyat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْأَبَ ضامنا لَهَا تَغْلِيبًا لِلْفِعْلِ الْمَضْمُونِ فَعَلَى هَذَا يَجِبُ عَلَى الْجَارِحِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ شَارَكَ فِي عَمْدٍ مَضْمُونٍ وَكَذَلِكَ لَوْ تَوَلَّاهَا مَنْ أَمَرَهُ الْأَبُ؛ لَأَنَّ لِلْأَبِ فِي النَّظَرِ عَلَى وَلَدِهِ مَا لَيْسَ لِغَيْرِهِ
Pendapat kedua adalah bahwa ayah menjadi penanggung jawab atas perbuatan tersebut, dengan mengutamakan perbuatan yang mengandung tanggungan. Berdasarkan hal ini, wajib atas pelaku penganiayaan untuk dikenakan qishāsh dalam kasus pembunuhan, menurut satu pendapat, karena ia turut serta dalam perbuatan sengaja yang mengandung tanggungan. Demikian pula, jika pelaksanaan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang diperintahkan oleh ayah, karena ayah memiliki hak dalam mengurus anaknya yang tidak dimiliki oleh orang lain.
فَصْلٌ
Bab
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَتَوَلَّاهَا الْإِمَامُ أَوْ مَنْ يَقُومُ مَقَامَهُ مِنْ خُلَفَائِهِ أَوْ مَنْ يَأْمُرُهُ الْإِمَامُ بِهَا؛ لِأَنَّ أَمْرَ الْإِمَامِ مُطَاعٌ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun bagian ketiga, yaitu apabila urusan itu dipegang oleh imam atau orang yang menggantikannya dari para khalifahnya, atau orang yang diperintahkan oleh imam untuk mengurusnya; karena perintah imam itu harus ditaati, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْمَجْرُوحُ غَيْرَ مُوَلًّى عَلَيْهِ لِبُلُوغِهِ وَعَقْلِهِ فَعَلَى الْإِمَامِ الْقَوَدُ؛ لِإِقْدَامِهِ عَلَى مَا لَا نَظَرَ لَهُ فِيهِ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ كَانَ عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ حَالَّةً فِي مَالِهِ وَالْكَفَّارَةُ وَعَلَى الْجَارِحِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ؛ لِأَنَّهُمَا قَاتِلَا عَمْدٍ
Salah satunya adalah apabila orang yang terluka bukanlah seseorang yang berada di bawah perwalian karena telah baligh dan berakal, maka bagi imam berlaku hukum qawad; karena ia telah melakukan sesuatu yang tidak memiliki pertimbangan baginya. Jika ia memaafkannya, maka wajib atasnya membayar setengah diyat secara tunai dari hartanya dan membayar kafarat, dan atas pelaku penganiayaan berlaku hukum qawad dalam hal jiwa; karena keduanya adalah pelaku pembunuhan sengaja.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْمَجْرُوحُ مُوَلًّى عَلَيْهِ بِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ قَوْلَانِ ذَكَرَهُمَا الشَّافِعِيُّ فِي قَطْعِ السَّلْعَةِ
Jenis yang kedua adalah apabila orang yang terluka berada di bawah perwalian karena masih kecil atau karena gila, maka dalam hal kewajiban qishāsh terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh Imam Syafi‘i dalam pembahasan pemotongan benjolan.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ وعلى الجارح القود؛ فإن عفى عَنْهُمَا كَانَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ الدِّيَةِ حَالَّةً فِي مَالِهِ وَالْكَفَّارَةُ
Salah satunya, atasnya dan atas pelaku luka berlaku qishāsh; jika keduanya dimaafkan, maka atas masing-masing dari mereka wajib membayar setengah diyat secara tunai dari hartanya, serta kafārah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا قَوَدَ عَلَى الْإِمَامِ لِشُبْهَةِ وِلَايَتِهِ وَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَأَيْنَ تَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qishāsh terhadap imam karena adanya syubhat wilayahnya, dan atasnya wajib membayar setengah diyat, sedangkan di mana setengah diyat itu dibebankan terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا فِي مَالِهِ مَعَ الْكَفَّارَةِ
Salah satunya adalah pada hartanya disertai dengan pembayaran kaffārah.
وَالثَّانِي فِي بَيْتِ الْمَالِ وَالْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ لَوْ عَزَّرَ فَتَلِفَ الْمُعَزَّرُ فَأَمَّا الْجَارِحُ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّهُ شَارَكَ فِي عَمْدٍ مَضْمُونٍ
Yang kedua (ganti rugi) diambil dari Baitul Mal, sedangkan kafarat diambil dari hartanya sendiri. Jika seseorang dijatuhi hukuman ta‘zir lalu ia meninggal dunia, maka pelaku yang menyebabkan luka wajib dikenai qisas secara sepakat, karena ia turut serta dalam perbuatan sengaja yang harus ditanggung.
فَأَمَّا الْمَأْمُورُ بِهَا مِنْ قِبَلِ الْإِمَامِ فَمَنْسُوبُ الْفِعْلِ إِلَى الْإِمَامِ لِمَا يَجِبُ عَلَى الْمَأْمُورِ مِنَ الْتِزَامِ طَاعَتِهِ
Adapun perkara yang diperintahkan oleh imam, maka perbuatan tersebut dinisbatkan kepada imam karena kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang yang diperintah untuk menaati imam.
فَصْلٌ
Bab
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ أَنْ يَتَوَلَّاهَا أَجْنَبِيٌّ أَوْ مَنْ لَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَيْهِ مِنْ أَقَارِبِهِ فَهُمَا سَوَاءٌ وَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Adapun bagian keempat, yaitu apabila perwalian itu dipegang oleh orang asing atau oleh kerabat yang tidak memiliki hak perwalian atasnya, maka keduanya sama saja, dan keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَتَوَلَّاهَا بِنَفْسِهِ أَوْ يَأْمُرَ بِهَا غَيْرَهُ فَإِنْ تَوَلَّاهَا بِنَفْسِهِ كَانَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَعَلَى الْجَارِحِ مَعًا لِأَنَّهُمَا قَاتِلَا عَمْدٍ وَالدِّيَةُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَإِنْ أَمَرَ بِهَا غَيْرَهُ وَجَبَ الْقَوَدُ عَلَى الْمَأْمُورِ؛ لِأَنَّهُ لَا شُبْهَةَ لَهُ فِي طَاعَةِ الْأَمْرِ وَعُزِّرَ الْآمِرُ لِمُعَاوَنَتِهِ عَلَى مَا أَفْضَى إِلَى الْقَتْلِ وَوَجَبَ الْقَوَدُ عَلَى الْجَارِحِ فإن عفا عنهما كانت الدية سنة وَبَيْنَ الْمَأْمُورِ نِصْفَيْنِ وَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفَّارَةٌ
Bisa saja ia melakukannya sendiri atau memerintahkannya kepada orang lain. Jika ia melakukannya sendiri, maka qishāsh wajib atas dirinya dan atas pelaku luka bersama-sama, karena keduanya adalah pembunuh sengaja, dan diyat dibagi rata di antara mereka berdua. Jika ia memerintahkannya kepada orang lain, maka qishāsh wajib atas orang yang diperintah, karena tidak ada syubhat baginya dalam menaati perintah tersebut, dan orang yang memerintah diberi ta‘zīr karena telah membantu dalam sesuatu yang berujung pada pembunuhan. Qishāsh juga wajib atas pelaku luka. Jika keduanya dimaafkan, maka diyat menjadi satu tahun dan dibagi rata antara orang yang diperintah, dan atas masing-masing dari mereka wajib membayar kafārah.
فَصْلٌ
Bab
وَإِذَا اخْتَلَفَ الْجَارِحُ وَالْوَلِيُّ فِي الْخِيَاطَةِ فَقَالَ الْوَلِيُّ كَانَتْ فِي لَحْمٍ مَيِّتٍ فَعَلَيْكَ الْقَوَدُ أَوْ جَمِيعُ الدِّيَةِ وَقَالَ الْجَارِحُ بَلْ كَانَتْ فِي لَحْمٍ حَيٍّ فَلَيْسَ عَلَيَّ إِلَّا نِصْفُ الدِّيَةِ وَعَدِمَا الْبَيِّنَةَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الجارح مع يمنيه وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَمْرَيْنِ
Apabila terjadi perselisihan antara pelaku luka (jārih) dan wali (korban) mengenai jahitan, lalu wali berkata, “Jahitan itu pada daging yang sudah mati, maka engkau wajib qishāsh atau membayar seluruh diyat,” sedangkan pelaku luka berkata, “Bahkan jahitan itu pada daging yang masih hidup, sehingga aku hanya wajib membayar setengah diyat,” dan tidak ada bukti (bayyinah), maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pelaku luka dengan sumpahnya, dan ia hanya wajib membayar setengah diyat karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ فِي وُجُوبِ النِّصْفِ وَفِي شَكٍّ مِنَ الزِّيَادَةِ
Salah satunya adalah bahwa kita yakin akan kewajiban setengah, sedangkan kita ragu terhadap tambahan di atasnya.
وَالثَّانِي أَنَّ الْأَصْلَ حَيَاةُ اللَّحْمِ حَتَّى يَطْرَأَ عَلَيْهِ الْمَوْتُ فَصَارَ الظَّاهِرُ مَعَ الْجَارِحِ دُونَ الْوَلِيِّ وَلَوِ اخْتَلَفَا فِي الدواء فقال الجارح كان سما موحياً وَلَيْسَ عَلَيَّ إِلَّا دِيَةُ الْجُرْحِ وَلَا قَوَدَ فِي النَّفْسِ وَقَالَ الْوَلِيُّ بَلْ كَانَ دَوَاءً غَيْرَ قَاتِلٍ وَأَنْتَ الْقَاتِلُ فَعَلَيْكَ الْقَوَدُ أَوْ دِيَةُ النَّفْسِ فَالْقَوْلُ مَعَ عَدَمِ الْبَيِّنَةِ قَوْلُ الْوَلِيِّ دُونَ الْجَارِحِ وَعَلَى الْجَارِحِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ أَوْ جَمِيعُ الدِّيَةِ لِأَمْرَيْنِ اقْتَضَيَا عَكْسَ مَا اخْتَلَفَا فِيهِ مِنَ الخِيَاطَةِ
Kedua, bahwa hukum asal daging adalah hidup sampai datang kematian padanya. Maka yang tampak adalah berpihak kepada pihak yang melukai, bukan kepada wali. Jika keduanya berbeda pendapat tentang obat, misalnya pihak yang melukai berkata: “Itu adalah racun yang mematikan, dan aku hanya wajib membayar diyat luka, tidak ada qishash pada jiwa.” Sedangkan wali berkata: “Itu adalah obat yang tidak mematikan, dan engkaulah yang membunuhnya, maka atasmu qishash atau diyat jiwa.” Maka jika tidak ada bukti, yang dipegang adalah perkataan wali, bukan pihak yang melukai, dan atas pihak yang melukai dikenakan qishash pada jiwa atau seluruh diyat, karena dua hal yang menyebabkan kebalikan dari apa yang mereka perselisihkan dalam kasus menjahit luka.
أَحَدُهُمَا أَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ مِنْ جِنَايَةِ الْجَارِحِ وَفِي شَكٍّ مِنْ غَيْرِهَا
Salah satunya adalah bahwa kita yakin terhadap perbuatan melukai yang dilakukan oleh hewan buas tersebut, sementara kita ragu terhadap selainnya.
وَالثَّانِي أَنَّ الظَّاهِرَ فِي التَّدَاوِي أَنَّهُ بِالنَّافِعِ دُونَ الْقَاتِلِ فَصَارَ الظَّاهِرُ هُوَ المغلب والله أعلم
Yang kedua, bahwa yang tampak dalam pengobatan adalah menggunakan sesuatu yang bermanfaat, bukan yang mematikan, sehingga yang tampak adalah yang lebih kuat (kemanfaatannya). Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَلَوْ قُطِعَ يَدُ نَصْرَانِيٍّ فَأَسْلَمَ ثُمَّ مَاتَ لَمْ يَكُنْ قَوَدٌ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ كَانَتْ وَهُوَ مِمَّنْ لَا قَوَدَ فِيهِ وَعَلَيْهِ دِيَةُ مُسْلِمٍ وَلَا يُشْبِهُ الْمُرْتَدَّ لِأَنَّ قَطْعَهُ مُبَاحٌ كَالْحَدِّ وَالنَّصْرَانِيُّ يَدُهُ مَمْنُوعَةٌ
Imam Syafi‘i berkata: Jika tangan seorang Nasrani dipotong, lalu ia masuk Islam kemudian meninggal, maka tidak ada qishāsh, karena tindak pidana tersebut terjadi ketika ia termasuk golongan yang tidak berlaku qishāsh atasnya, dan wajib baginya diyat seorang Muslim. Hal ini tidak serupa dengan murtad, karena pemotongan (anggota tubuh) murtad itu dibolehkan seperti hudud, sedangkan tangan seorang Nasrani itu terjaga (tidak boleh dipotong tanpa hak).
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا قَطَعَ مُسْلِمٌ يَدَ نَصْرَانِيٍّ فَأَسْلَمَ ثُمَّ سَرَى الْقَطْعُ إِلَى نَفْسِهِ فَمَاتَ لَمْ يَجِبْ فِيهِ الْقَوَدُ وَوَجَبَ فِيهِ دِيَةُ مُسْلِمٍ اعْتِبَارًا فِي الْقَوَدِ بِحَالِ الْجِنَايَةِ وَفِي الدِّيَةِ باستقرار السراية وإنما اعتبر في القود بحال الْجِنَايَةِ لِأَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Ini seperti yang dikatakan: Jika seorang Muslim memotong tangan seorang Nasrani, lalu si Nasrani masuk Islam, kemudian luka potongannya menjalar hingga menyebabkan kematiannya, maka tidak wajib qishāsh atasnya, tetapi wajib membayar diyat seorang Muslim. Dalam hal qishāsh, yang dijadikan pertimbangan adalah keadaan saat terjadinya jināyah, sedangkan dalam hal diyat, yang dijadikan pertimbangan adalah saat luka itu menetap dan menjalar. Adapun dalam qishāsh, yang dijadikan pertimbangan adalah keadaan saat jināyah karena dua hal.”
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا كَانَ النَّصْرَانِيُّ لَوْ قَطَعَ يَدَ نَصْرَانِيٍّ ثُمَّ أَسْلَمَ الْقَاطِعُ ومات الْمَقْطُوعُ لَمْ يَسْقُطِ الْقَوَدُ عَنِ الْقَاطِعِ بِإِسْلَامِهِ اعْتِبَارًا بِوُجُوبِهِ حَالَ الْجِنَايَةِ وَوَجَبَ إِذَا انْعَكَسَ فِي الْمُسْلِمِ إِذَا قَطَعَ يَدَ نَصْرَانِيٍّ ثُمَّ أَسْلَمَ الْمَقْطُوعُ أَنْ لَا يَجِبَ عَلَى الْقَاطِعِ الْقَوَدُ اعْتِبَارًا بِسُقُوطِهِ عَنْهُ حَالَ الْجِنَايَةِ
Salah satunya adalah bahwa ketika seorang Nasrani memotong tangan Nasrani lain, lalu pelaku pemotongan masuk Islam dan korban yang tangannya dipotong meninggal dunia, maka qishāsh tidak gugur dari pelaku karena masuk Islamnya, dengan pertimbangan bahwa kewajiban qishāsh itu telah ada saat terjadinya tindak pidana. Maka sebaliknya, jika seorang Muslim memotong tangan seorang Nasrani, lalu korban yang tangannya dipotong masuk Islam, maka tidak wajib atas pelaku untuk dikenai qishāsh, dengan pertimbangan bahwa kewajiban qishāsh telah gugur darinya saat terjadinya tindak pidana.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا صَحَّ فِي هَذِهِ الْجِنَايَةِ إِسْقَاطٌ بِالْكُفْرِ عِنْدَ الْجِنَايَةِ وَإِيجَابٌ بِالْإِسْلَامِ عِنْدَ السِّرَايَةِ وَجَبَ أَنْ يُغَلَّبَ حُكْمُ الْإِسْقَاطِ عَلَى حُكْمِ الْإِيجَابِ لِأَنَّهُ يَصِحُّ فِيهِ إِسْقَاطُ مَا وَجَبَ وَلَا يَصِحُّ فِيهِ إِيجَابُ مَا سَقَطَ وَاعْتَبَرْنَا فِي الدِّيَةِ اسْتِقْرَارَهَا بَعْدَ السِّرَايَةِ لِأَمْرَيْنِ
Kedua, karena telah tetap dalam kasus jinayah ini adanya pengguguran (hukuman) karena kekufuran pada saat terjadinya jinayah, dan adanya kewajiban (hukuman) karena Islam pada saat terjadinya sirayah, maka harus didahulukan hukum pengguguran atas hukum kewajiban, karena dalam hal ini sah untuk menggugurkan sesuatu yang telah diwajibkan, namun tidak sah untuk mewajibkan sesuatu yang telah gugur. Dan kami mempertimbangkan dalam masalah diyat (tebusan) adalah ketetapannya setelah terjadinya sirayah karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا اعْتَبَرْنَا اسْتِقْرَارَ السِّرَايَةِ فِيمَا زَادَ فِي الْمُوضِحَةِ إِذَا صَارَتْ نَفْسًا فِي إِيجَابِ الدِّيَةِ الْكَامِلَةِ بَعْدَ أَنْ وَجَبَ نِصْفُ عُشْرِهَا وَفِيمَا نَقَصَ بِقَطْعِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ إِذَا سَرَتْ إِلَى النَّفْسِ فِي إِيجَابِ دِيَةٍ وَاحِدَةٍ بَعْدَ وُجُوبِ دِيَتَيْنِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِمَثَابَتِهِمَا مَا حَدَثَ مِنْ زِيَادَةِ الدِّيَةِ بِالْإِسْلَامِ
Salah satunya adalah bahwa ketika kita mempertimbangkan terjadinya kesinambungan pengaruh (sirāyah) pada tambahan luka muḍīḥah apabila berubah menjadi sebab kematian dalam penetapan diyat (ganti rugi) yang sempurna setelah sebelumnya wajib setengah sepersepuluhnya, dan pada pengurangan akibat pemotongan kedua tangan dan kedua kaki apabila pengaruhnya sampai menyebabkan kematian dalam penetapan satu diyat setelah sebelumnya wajib dua diyat, maka seharusnya apa yang terjadi berupa penambahan diyat karena masuk Islam diperlakukan seperti keduanya.
وَالثَّانِي أَنَّ حُدُوثَ الزِّيَادَةِ فِي الْمَضْمُونِ مُلْتَزَمَةٌ كَزِيَادَةِ الْمَغْصُوبِ فَلَمَّا ذَكَرْنَا مِنْ هَذَيْنِ وَقَعَ الْفَرْقُ فِي اعْتِبَارِ الْقَوَدِ بِحَالِ الْجِنَايَةِ وَاعْتِبَارِ الدِّيَةِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهَا بِالسِّرَايَةِ وَهَكَذَا لَوْ جَرَحَ الْحُرُّ عَبْدًا فَأُعْتِقَ ثُمَّ مَاتَ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقَوَدُ؛ لِأَنَّهُ جَرَحَهُ وَهُوَ عَبْدٌ وَوَجَبَتْ عَلَيْهِ دِيَةُ حُرٍّ لِاسْتِقْرَارِهَا فِيهِ وَهُوَ حُرٌّ
Kedua, bahwa terjadinya penambahan pada sesuatu yang dijamin adalah hal yang diterima, seperti penambahan pada barang yang digasak. Maka, berdasarkan dua hal yang telah kami sebutkan ini, terdapat perbedaan dalam mempertimbangkan qawad (pembalasan setimpal) menurut keadaan saat terjadinya tindak pidana, dan mempertimbangkan diyat (denda) setelah diyat itu tetap karena adanya sirayah (penyebaran luka). Demikian pula, jika seorang merdeka melukai seorang budak, lalu budak itu dimerdekakan kemudian meninggal, maka tidak wajib atasnya qawad; karena ia melukainya saat masih berstatus budak. Namun, wajib atasnya membayar diyat seorang merdeka, karena diyat itu telah tetap padanya saat ia telah menjadi merdeka.
فَصْلٌ
Bab
فَأَمَّا إِذَا جَرَحَ الْمُسْلِمُ مُرْتَدًّا فَأَسْلَمَ ثُمَّ مَاتَ لَمْ يَجِبْ فِيهِ قَوَدٌ وَلَا دِيَةٌ فَشَابَهَ النَّصْرَانِيَّ إِذَا أَسْلَمَ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْجِنَايَةِ وَخَالَفَهُ فِي الدِّيَةِ فِي تَرْكِ الِاعْتِبَارِ بِهَا عِنْدَ اسْتِقْرَارِهَا بِالسِّرَايَةِ
Adapun jika seorang Muslim melukai seorang murtad, lalu si murtad masuk Islam kemudian meninggal dunia, maka tidak wajib qishāsh maupun diyat atasnya. Dalam hal gugurnya qishāsh, ia serupa dengan seorang Nasrani yang masuk Islam, dengan mempertimbangkan keadaan saat terjadinya tindak pidana. Namun, berbeda dalam hal diyat, karena tidak mempertimbangkan keadaan tersebut ketika diyat itu menjadi tetap akibat luka yang berlanjut.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ نَفْسَ النَّصْرَانِيِّ مَضْمُونَةٌ بِحَقْنِ دَمِهِ فَضُمِّنَ مَا حَدَثَ بِالْإِسْلَامِ مِنْ زِيَادَةِ دِيَتِهِ وَنَفْسُ الْمُرْتَدِّ هَدَرٌ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ فَصَارَ مَا حَدَثَ مِنْ سِرَايَتِهَا فِي الْإِسْلَامِ هَدَرًا غَيْرَ مَضْمُونٍ كَالسَّارِقِ إِذَا سَرَى إِلَى نَفْسِهِ الْقَطْعُ لَمْ يُضَمَّنْ لِأَنَّ قَطْعَهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ وَكَالْحَرْبِيِّ إِذَا قُطِعَتْ يَدُهُ فَأَسْلَمَ ثُمَّ مَاتَ لَمْ يُضَمَّنْ بِقَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ؛ لِأَنَّهُ عِنْدَ الْجِنَايَةِ غَيْرُ مَضْمُونٍ بِقَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa jiwa seorang Nasrani dijamin dengan perlindungan darahnya, sehingga apa yang terjadi setelah ia masuk Islam berupa tambahan diyatnya tetap dijamin. Sedangkan jiwa seorang murtad adalah sia-sia, tidak dijamin, sehingga apa yang terjadi akibat penularannya setelah masuk Islam juga menjadi sia-sia dan tidak dijamin, seperti pencuri yang jika hukum potong tangan menular kepada dirinya, maka tidak ada jaminan baginya karena pemotongan tangannya tidak dijamin. Demikian pula seorang harbi, jika tangannya dipotong lalu ia masuk Islam kemudian meninggal, maka tidak ada jaminan berupa qishash atau diyat, karena pada saat terjadinya tindak pidana, ia tidak dijamin dengan qishash maupun diyat.
فَأَمَّا إِذَا جُرِحَ مقراً بِالزِّنَا وَهُوَ مُحْصَنٌ فَرَجَعَ عَنْ إِقْرَارِهِ ثُمَّ مَاتَ فَفِي ضَمَانِ نَفْسِهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ
Adapun jika seseorang terluka setelah mengakui perzinaan dan ia adalah muhshan, lalu ia menarik kembali pengakuannya kemudian meninggal dunia, maka dalam hal jaminan atas jiwanya terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Hurairah.
أَحَدُهُمَا لَا يُضْمَنُ بِقَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ لِإِبَاحَةِ نَفْسِهِ وَقْتَ الْجِنَايَةِ كَالْمُرْتَدِّ
Salah satunya tidak dikenakan qisas maupun diyat karena ia telah menghalalkan dirinya sendiri saat melakukan tindak pidana, seperti orang murtad.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُضْمَنُ دِيَتُهُ وَإِنْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِبَاحَةِ وَقْتَ الْجِنَايَةِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa diyatnya tetap wajib dibayar, meskipun pada saat terjadinya tindak pidana berlaku hukum kebolehan.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمُرْتَدِّ أَنَّ الْمُرْتَدَّ مُبَاحُ الدَّمِ إِلَّا أَنْ يَتُوبَ مِنْ رِدَّتِهِ وَالزَّانِي مَحْظُورُ النَّفْسِ إِلَّا أَنْ يقيم على إقراره
Perbedaan antara dia dan murtad adalah bahwa murtad halal darahnya kecuali jika ia bertobat dari kemurtadannya, sedangkan pezina terlarang untuk dibunuh kecuali jika ia tetap pada pengakuannya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَلَوْ أَرْسَلَ سَهْمًا فَلَمْ يَقَعْ عَلَى نَصْرَانِيٍّ حَتَّى أَسْلَمَ أَوْ عَلَى عَبْدٍ فَلَمْ يَقَعْ حَتَّى أُعْتِقَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ قِصَاصٌ لِأَنَّ تَخْلِيَةَ السَهْمِ كَانَتْ وَلَا قِصَاصَ وَفِيهِ دِيَةُ حُرٍّ مُسْلِمٍ وَالْكَفَّارَةُ وَكَذَلِكَ الْمُرْتَدُّ يُسْلِمُ قَبْلَ وُقُوعِ السَهْمِ لِتَحَوُّلِ الْحَالِ قَبْلَ وُقُوعِ الرَّمْيَةِ
Syafi‘i berkata: Jika seseorang melepaskan anak panah lalu anak panah itu belum mengenai seorang Nasrani hingga ia masuk Islam, atau mengenai seorang budak lalu belum mengenainya hingga ia dimerdekakan, maka tidak ada qishāsh atas pelakunya, karena pelepasan anak panah terjadi ketika belum ada qishāsh. Dalam kasus ini, wajib membayar diyat seorang Muslim merdeka dan juga kafārah. Demikian pula jika seorang murtad masuk Islam sebelum anak panah mengenainya, karena telah terjadi perubahan keadaan sebelum anak panah mengenai sasaran.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ جَمَعَ الشَّافِعِيُّ فِي إِرْسَالِ السَّهْمِ بَيْنَ ثَلَاثِ مَسَائِلَ وَضَمَّ إِلَيْهَا أَصْحَابُنَا رَابِعَةً تَظْهَرُ بِاسْتِمْرَارِ الْقِيَاسِ
Al-Mawardi berkata, “Imam Syafi‘i mengumpulkan dalam masalah pembagian saham (warisan) antara tiga permasalahan, lalu para ulama mazhab kami menambahkan satu permasalahan keempat yang tampak melalui kelanjutan qiyās.”
فَإِحْدَاهُمَا مُسْلِمٌ أَرْسَلَ سَهْمَهُ عَلَى نَصْرَانِيٍّ فَأَسْلَمَ ثَمَّ وَصَلَ السَّهْمُ إِلَيْهِ فَمَاتَ
Salah satunya adalah seorang Muslim yang melepaskan anak panahnya kepada seorang Nasrani, lalu orang Nasrani itu masuk Islam di tempat itu, kemudian anak panah tersebut mengenainya hingga ia meninggal.
وَالثَّانِيَةُ فِي حُرٍّ أَرْسَلَ سَهْمَهُ عَلَى عَبْدٍ فَأُعْتِقَ ثُمَّ وَصَلَ السَّهْمُ إِلَيْهِ فَمَاتَ فَلَا قَوَدَ فِيهَا عَلَى الْمُسْلِمِ وَالْحُرِّ اعْتِبَارًا بِإِرْسَالِ السَّهْمِ؛ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ أَرْسَلَهُ عَلَى نَصْرَانِيٍّ وَالْحُرُّ أَرْسَلَهُ عَلَى عَبْدٍ وَعَلَيْهِمَا دِيَةُ مُسْلِمٍ وَدِيَةُ حُرٍّ اعْتِبَارًا بِوُصُولِ السَّهْمِ
Yang kedua adalah tentang seorang merdeka yang melepaskan anak panahnya kepada seorang budak, lalu budak itu dimerdekakan, kemudian anak panah tersebut mengenainya hingga ia meninggal. Maka tidak ada qishāsh atas muslim dan orang merdeka dalam kasus ini, berdasarkan pada saat pelepasan anak panah; karena seorang muslim melepaskannya kepada seorang Nasrani, dan orang merdeka melepaskannya kepada seorang budak. Namun, keduanya wajib membayar diyat seorang muslim dan diyat seorang merdeka, berdasarkan pada saat anak panah itu mengenai.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِذَا أُعْتِقَ الْعَبْدُ بَعْدَ إِرْسَالِ السَّهْمِ وَقَبْلَ الْإِصَابَةِ فَفِيهِ قِيمَتُهُ لِسَيِّدِهِ اعْتِبَارًا بِإِرْسَالِ السَّهْمِ دُونَ الْإِصَابَةِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَدِيَتُهُ وَدِيَةُ الْمُسْلِمِ عِنْدَهُ سَوَاءٌ وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ النَّصْرَانِيَّ لَمْ يَصِلِ السَّهْمُ إِلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ إِسْلَامِهِ وَالْعَبْدَ لَمْ يَصِلِ السَّهْمُ إِلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ عِتْقِهِ وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْقَوَدَ مُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْجِنَايَةِ وَهُوَ وَقْتَ الْإِرْسَالِ وَالدِّيَةُ مُعْتَبَرَةٌ بِحَالِ الِاسْتِقْرَارِ وَهُوَ الْإِصَابَةُ
Abu Hanifah berpendapat bahwa jika seorang budak dimerdekakan setelah anak panah dilepaskan namun sebelum mengenai sasaran, maka yang berlaku adalah nilai budak tersebut untuk tuannya, dengan mempertimbangkan pelepasan anak panah, bukan saat mengenai sasaran. Adapun untuk orang kafir, menurut beliau diyatnya sama dengan diyat seorang muslim. Pendapat ini tidak benar, karena seorang Nasrani tidak terkena anak panah kecuali setelah ia masuk Islam, dan budak tidak terkena anak panah kecuali setelah ia dimerdekakan. Telah kami sebutkan bahwa qisas dipertimbangkan berdasarkan keadaan saat terjadinya tindak pidana, yaitu pada saat pelepasan anak panah, sedangkan diyat dipertimbangkan berdasarkan keadaan saat ketetapan, yaitu saat mengenai sasaran.
فَأَمَّا مَا ظَهَرَ فِيهِ اشْتِبَاهُ الْقِيَاسِ فَمَسْأَلَتَانِ اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا فِي إِحْدَاهُمَا وَظَهَرَ الْخِلَافُ فِي الْأُخْرَى
Adapun perkara yang tampak di dalamnya adanya kesamaran qiyās, maka terdapat dua permasalahan: para ulama kami sepakat dalam salah satunya, dan tampak perbedaan pendapat dalam yang lainnya.
فَأَمَّا الَّتِي اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَيْهَا مَعَ ظُهُورِ الِاشْتِبَاهِ فِيهَا فَهِيَ فِي مُسْلِمٍ أَرْسَلَ سَهْمَهُ عَلَى مُرْتَدٍّ فَأَسْلَمَ ثُمَّ وَصَلَ السَّهْمُ إِلَيْهِ فَمَاتَ قَالَ الشَّافِعِيُّ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ اعْتِبَارًا بِإِرْسَالِ السَّهْمِ وَعَلَيْهِ الدِّيَةُ اعْتِبَارًا بِإِصَابَةِ السَّهْمِ وَهَذَا مُشْتَبَهٌ؛ لِأَنَّ ابْتِدَاءَ الْجِنَايَةِ إِنْ كَانَ عِنْدَ إِرْسَالِ السَّهْمِ فَيَنْبَغِي أَنْ لَا تَجِبَ فِيهِ الدِّيَةُ لِأَنَّهُ كَانَ عِنْدَ إِرْسَالِهِ مُرْتَدًّا وَإِنْ كَانَ ابْتِدَاؤُهَا عِنْدَ الْإِصَابَةِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَجِبَ فِيهِ الْقَوَدُ لِأَنَّهُ كَانَ عِنْدَ إِصَابَتِهِ مُسْلِمًا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ ابْتِدَاؤُهَا فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عِنْدَ الْإِرْسَالِ وَفِي وُجُوبِ الدِّيَةِ عِنْدَ الْإِصَابَةِ لِتَنَافِيهِمَا وَهَذَا الِاشْتِبَاهُ وَإِنْ كَانَ مُحْتَمَلًا وَكَادَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ يُخَرِّجَهُ وَجْهًا ثَانِيًا أَنَّهُ لَا قَوَدَ وَلَا دِيَةَ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْإِرْسَالِ كَمَا اعْتُبِرَ فِي النَّصْرَانِيِّ وَالْعَبْدِ حَالَ الْإِرْسَالِ وَيُحْمَلُ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَكَذَلِكَ الْمُرْتَدُّ يَعْنِي فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ مَعًا وَهَذَا الِاحْتِمَالُ وَإِنْ كَانَ لَوْ قَالَهُ قَائِلٌ مَذْهَبًا فَلَمْ يُصَرِّحْ بِهِ مِنْ أَصْحَابِنَا أَحَدٌ؛ لَأَنَّ الدِّيَةَ تُضْمَنُ ضَمَانَ الْأَمْوَالِ فَرُوعِيَ فِيهَا وَقْتُ الْمُبَاشَرَةِ وَذَلِكَ عِنْدَ الْإِصَابَةِ وَالْقَوَدَ يُضْمَنُ ضَمَانَ الْحُدُودِ فَرُوعِيَ فِيها وَقْتُ الْفِعْلِ وَذَلِكَ عِنْدَ الْإِرْسَالِ فَلِذَلِكَ سَقَطَ الْقَوَدُ فِي الْمُرْتَدِّ اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الْإِرْسَالِ وَوَجَبَ فِيهِ الدِّيَةُ اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الْإِصَابَةِ
Adapun kasus yang para ulama kami sepakat atasnya, meskipun terdapat kerancuan di dalamnya, adalah tentang seorang Muslim yang melepaskan anak panahnya kepada seorang murtad, lalu orang itu masuk Islam, kemudian anak panah tersebut mengenainya hingga ia meninggal. Imam Syafi‘i berkata: Tidak ada qishāsh atas pelakunya, karena mempertimbangkan saat melepaskan anak panah, dan wajib membayar diyat karena mempertimbangkan saat anak panah itu mengenai korban. Ini adalah perkara yang musytabih (samar), karena jika permulaan tindak pidana dianggap saat melepaskan anak panah, maka seharusnya tidak wajib diyat, karena saat itu korban masih berstatus murtad. Namun jika permulaan tindak pidana dianggap saat terkena anak panah, maka seharusnya wajib qishāsh, karena saat itu korban sudah Muslim. Tidak boleh pula menjadikan permulaan tindak pidana sebagai alasan gugurnya qishāsh saat melepaskan anak panah, dan sebagai alasan wajibnya diyat saat terkena, karena keduanya saling bertentangan. Kerancuan ini, meskipun mungkin terjadi, hampir saja Ibn Abi Hurairah mengeluarkan pendapat kedua, yaitu tidak ada qishāsh dan tidak ada diyat, dengan mempertimbangkan keadaan saat melepaskan anak panah, sebagaimana dipertimbangkan pada kasus Nasrani dan budak saat melepaskan anak panah. Pendapat Imam Syafi‘i bahwa demikian pula pada kasus murtad, maksudnya adalah dalam gugurnya qishāsh dan diyat sekaligus. Kemungkinan ini, meskipun seandainya ada yang berpendapat demikian sebagai suatu mazhab, tidak ada seorang pun dari ulama kami yang secara tegas menyatakannya; karena diyat dijamin seperti jaminan harta, maka yang dipertimbangkan adalah waktu terjadinya langsung (yaitu saat terkena), sedangkan qishāsh dijamin seperti jaminan hudūd, maka yang dipertimbangkan adalah waktu perbuatan (yaitu saat melepaskan anak panah). Oleh karena itu, qishāsh gugur pada kasus murtad dengan mempertimbangkan waktu melepaskan anak panah, dan diyat tetap wajib dengan mempertimbangkan waktu terkena.
وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ مِنْ مَسْأَلَتَيِ الِاشْتِبَاهِ فَهِيَ الَّتِي ضَمَّهَا أَصْحَابُنَا إِلَى الثَّلَاثِ الْمَنْصُوصَاتِ وَظَهَرَ فِيهَا مِنْ بَعْضِهِمْ خِلَافٌ
Adapun masalah kedua dari dua permasalahan syubhat adalah yang telah digabungkan oleh para ulama kami dengan tiga masalah yang telah disebutkan secara nash, dan dalam masalah ini tampak adanya perbedaan pendapat dari sebagian mereka.
وَهِيَ فِي مُسْلِمٍ أَرْسَلَ سَهْمَهُ عَلَى حَرْبِيٍّ فَأَسْلَمَ ثُمَّ وَصَلَ السَّهْمُ إِلَيْهِ فَمَاتَ فَقَدْ جَمَعَ أَصْحَابُنَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمُرْتَدِّ فَأَسْقَطُوا فِيهِ الْقَوَدَ اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الْإِرْسَالِ وَأَوْجَبُوا فِيهِ دِيَةَ مُسْلِمٍ اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الْإِصَابَةِ
Dalam kasus seorang Muslim yang melepaskan anak panahnya kepada seorang harbi (orang yang memerangi Islam), lalu orang itu masuk Islam, kemudian anak panah tersebut mengenainya hingga ia meninggal, para ulama kami menggabungkan hukumnya dengan hukum murtad. Mereka menggugurkan qishash dalam kasus ini dengan mempertimbangkan waktu pelepasan anak panah, dan mewajibkan diyat seorang Muslim dengan mempertimbangkan waktu terjadinya luka.
وَفَرَّقَ أَبُو جَعْفَرٍ التِّرْمِذِيُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمُرْتَدِّ فَأَسْقَطَ فِي الْحَرْبِيِّ الْقَوَدَ وَالدِّيَةَ مَعًا وَأَوْجَبَ فِي الْمُرْتَدِّ الدِّيَةَ وَأَسْقَطَ الْقَوَدَ فَصَارَ جَامِعًا بَيْنَهُمَا فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ وَمُفَرِّقًا بَيْنَهُمَا فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ احْتِجَاجًا بِأَنَّ قَتْلَ الْحَرْبِيِّ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ فِي حَقِّ الْإِمَامِ وَغَيْرِهِ وَقَتْلَ الْمُرْتَدِّ مَنْهِيٌّ عَنْهُ إِلَّا فِي حَقِّ الْإِمَامِ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ التِّرْمِذِيُّ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمَا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ تَسَاوِيهِمَا قَبْلَ الْإِسْلَامِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ تَسَاوِيهِمَا بَعْدَ الْإِسْلَامِ فِي وُجُوبِ الدية
Abu Ja‘far at-Tirmidzi membedakan antara keduanya (yaitu antara orang harbi dan murtad), sehingga ia menggugurkan qishāsh dan diyat sekaligus pada orang harbi, sedangkan pada orang murtad ia mewajibkan diyat dan menggugurkan qishāsh. Dengan demikian, ia menyamakan keduanya dalam hal gugurnya qishāsh, namun membedakan keduanya dalam hal kewajiban diyat. Ia beralasan bahwa membunuh orang harbi dianjurkan bagi imam maupun selainnya, sedangkan membunuh orang murtad dilarang kecuali bagi imam. Namun, pendapat yang dikemukakan oleh at-Tirmidzi ini adalah rusak, karena perbedaan antara keduanya dari sisi ini, ketika tidak mencegah persamaan keduanya sebelum masuk Islam dalam hal gugurnya qishāsh, maka tidak pula mencegah persamaan keduanya setelah masuk Islam dalam hal kewajiban diyat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَلَوْ جَرَحَهُ مُسْلِمًا فَارْتَدَّ ثُمَّ أَسْلَمَ ثُمَّ مَاتَ فَالدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ وَلَا قَوَدَ لِلْحَالِ الْحَادِثَةِ
Syafi‘i berkata: Jika seseorang melukai seorang Muslim, lalu orang itu murtad, kemudian masuk Islam kembali, lalu meninggal dunia, maka diyat dan kafarat tetap berlaku, namun tidak ada qishash karena keadaan yang baru terjadi.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي مُسْلِمٍ جَرَحَ مُسْلِمًا ثُمَّ ارْتَدَّ ثُمَّ أَسْلَمَ ثُمَّ مَاتَ مُسْلِمًا فَلَا يَخْلُو زَمَانُ رِدَّتِهِ مِنْ أَنْ تَسْرِيَ فِيهِ الْجِنَايَةُ أَوْ لَا تَسْرِي
Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah seorang Muslim yang melukai Muslim lain, kemudian ia murtad, lalu masuk Islam kembali, kemudian meninggal dalam keadaan Muslim. Maka, masa kemurtadannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah tindak kejahatan itu berlanjut padanya atau tidak berlanjut.
فَإِنْ كَانَ زَمَانًا لَا تَسْرِي فِيهِ الْجِنَايَةُ فِي مِثْلِهِ لِقُرْبِهِ وَقِصَرِهِ فَالدِّيَةُ تَامَّةٌ؛ لِأَنَّ النَّفْسَ تَلِفَتْ مِنْ جِنَايَةٍ وَسِرَايَةٍ وَهُوَ مَضْمُونُ النَّفْسِ فِي حَالِ الْجِنَايَةِ وَحَالِ السِّرَايَةِ فَوَجَبَ أَنْ تَكْمُلَ فِيهِ الدِّيَةُ وَلَا يُؤَثِّرَ فِيهَا زَمَانُ الرِّدَّةِ إذا لَيْسَ لَهُ تَأْثِيرٌ فِي السِّرَايَةِ
Jika waktunya adalah masa yang tidak memungkinkan terjadinya sirayah (penyebaran luka) pada kasus serupa karena dekat dan singkatnya, maka diyat (tebusan jiwa) tetap sempurna; karena jiwa telah binasa akibat jinayah (kejahatan) dan sirayah, dan pelaku wajib menanggung jiwa baik pada saat terjadinya jinayah maupun saat sirayah, sehingga diyat wajib dibayarkan secara penuh dalam kasus ini dan masa riddah (kemurtadan) tidak berpengaruh terhadapnya, sebab masa tersebut tidak berpengaruh pada sirayah.
فَأَمَّا الْقَوَدُ فَفِيهِ قَوْلَانِ
Adapun mengenai qawad, terdapat dua pendapat di dalamnya.
أَحَدُهُمَا يَجِبُ فِيهِ الْقَوَدُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تُؤَثِّرِ الرِّدَّةُ فِي الدِّيَةِ لَمْ تُؤَثِّرْ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ
Salah satunya wajib dikenakan qishāsh, karena ketika riddah tidak berpengaruh terhadap diyat, maka riddah juga tidak berpengaruh terhadap gugurnya qishāsh.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَسْقُطُ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالرِّدَّةِ فِي حَالٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهَا سَقَطَ الْقَوَدُ فَلَمْ يَسْتَحِقَّهُ بِالِانْتِقَالِ عَنْهَا كَالْمَبْتُوتَةِ إِذَا ارْتَدَّتْ ثُمَّ أَسْلَمَتْ قَبْلَ مَوْتِ زَوْجِهَا لَمْ تَرِثْهُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ مَاتَ فِي رِدَّتِهَا لَمْ تَرِثْهُ وَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ فِي الْأَحْوَالِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ ضَمِنَ دِيَةَ النَّفْسِ كَامِلًا فَصَارَ قَاتِلًا وَإِنْ كَانَتِ الرِّدَّةُ فِي زَمَانٍ تَسْرِي الْجِنَايَةُ فِي مِثْلِهِ لِطُولِهِ فَلَا قَوَدَ فِيهِ؛ لِأَنَّ مُسْتَحَقَّ ضَمَانِ النَّفْسِ فِي حَالِ الْجِنَايَةِ وَالسِّرَايَةِ وَبَعْضِ السِّرَايَةِ الْمُقَابِلِ لِزَمَانِ الرِّدَّةِ غَيْرُ مَضْمُونٍ فَصَارَ الضَّمَانُ مُخْتَصًّا بِالْجِنَايَةِ وَبَعْضِ السِّرَايَةِ وَسَاقِطًا عَنْ بَعْضِ السِّرَايَةِ فَسَقَطَ فِي الْحَالَيْنِ لِأَنَّ الْقَوَدَ لَا يَتَبَعَّضُ وَجَرَى مَجْرَى عَفْوِ أَحَدِ الْوَلِيَّيْنِ عَنِ الْقَوَدِ يُوجِبُ سُقُوطَهُ فِي حَقِّهِمَا لِأَنَّ الْقَوَدَ لَا يَصِحُّ فِيهِ التَّبْعِيضُ فَإِذَا سَقَطَ الْقَوَدُ فَفِي قَدْرِ مَا تَسْتَحِقُّهُ مِنَ الدِّيَةِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ
Pendapat kedua menyatakan bahwa qawad (qisas jiwa) gugur, karena dengan terjadinya riddah (kemurtadan), ia berada dalam keadaan yang jika ia mati dalam keadaan itu, qawad akan gugur, sehingga ia tidak berhak mendapatkannya dengan berpindah dari keadaan tersebut. Hal ini seperti wanita yang ditalak tiga, jika ia murtad lalu masuk Islam kembali sebelum suaminya meninggal, ia tidak mewarisinya; karena jika suaminya meninggal saat ia dalam keadaan riddah, ia tidak mewarisinya. Dalam hal ini, wajib membayar kafarat dalam segala keadaan, karena ia telah menanggung diyat jiwa secara penuh, sehingga ia menjadi pembunuh. Jika riddah terjadi pada waktu di mana jinayah (penganiayaan) seperti itu bisa menular karena lamanya, maka tidak ada qawad di dalamnya, karena yang berhak atas jaminan jiwa pada saat jinayah dan penularannya, serta sebagian penularan yang bertepatan dengan masa riddah, tidak dijamin. Maka jaminan itu menjadi khusus pada jinayah dan sebagian penularan, dan gugur pada sebagian penularan lainnya, sehingga gugur pada kedua keadaan tersebut, karena qawad tidak dapat dibagi-bagi. Hal ini seperti pemaafan salah satu dari dua wali terhadap qawad yang menyebabkan gugurnya hak keduanya, karena qawad tidak sah untuk dibagi-bagi. Jika qawad gugur, maka dalam hal bagian diyat yang berhak ia terima terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا جَمِيعُ الدِّيَةِ لِاعْتِبَارِهَا بِحَالِ الْجِنَايَةِ وَاسْتِقْرَارِ السِّرَايَةِ وَهُوَ فِيهِمَا مُسْلِمٌ مَضْمُونُ الدِّيَةِ فَعَلَى هَذَا عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ؛ لِأَنَّهُ قَاتِلٌ
Salah satunya adalah seluruh diyat, karena diyat dipertimbangkan berdasarkan keadaan saat terjadinya jinayah dan setelah menetapnya pengaruh luka, sedangkan pada kedua keadaan itu ia adalah seorang Muslim yang wajib membayar diyat. Maka berdasarkan hal ini, ia juga wajib membayar kafarat, karena ia adalah seorang pembunuh.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ جِنَايَةٍ وَسِرَايَةٍ بَعْضُهَا مَضْمُونٌ وَبَعْضُهَا غَيْرُ مَضْمُونٍ فَصَارَ كَمَجْرُوحٍ جَرَحَ نَفْسَهُ ثُمَّ مَاتَ كَانَ عَلَى جَارِحِهِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَعَلَى هَذَا يَجِبُ الْكَفَّارَةُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ فِي حُكْمِ أَحَدِ الْقَاتِلَيْنِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa atasnya dikenakan setengah diyat, karena ia meninggal akibat suatu tindak pidana dan akibat yang sebagian darinya wajib ditanggung dan sebagian lagi tidak wajib ditanggung. Maka keadaannya seperti seseorang yang melukai dirinya sendiri lalu meninggal, maka atas pelukanya dikenakan setengah diyat. Berdasarkan hal ini, wajib membayar kafarat, karena ia telah dianggap sebagai salah satu dari dua pembunuh.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ عَلَيْهِ أَرْشُ الْجُرْحِ وَيَسْقُطُ ضَمَانُ السِّرَايَةِ؛ لِأَنَّ سِرَايَةَ الْإِسْلَامِ حَادِثَةٌ عَنْ سِرَايَةِ الرِّدَّةِ فَصَارَتْ تَبَعًا لَهَا فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ فَعَلَى هَذَا لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ جَارِحٌ وَلَيْسَ بِقَاتِلٍ
Pendapat ketiga: atasnya dikenakan denda luka (arsh al-jarh) dan gugur tanggungan atas kerusakan lanjutan (dhamān al-sirāyah); karena kerusakan lanjutan setelah masuk Islam terjadi akibat kerusakan lanjutan saat murtad, sehingga menjadi ikutannya dalam gugurnya tanggungan. Berdasarkan pendapat ini, tidak ada kewajiban kafarat atasnya; karena menurut pendapat ini, ia adalah peluka, bukan pembunuh.
فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَمَا اسْتَحَقَّ فِيهِ مِنْ قَوَدٍ وِدِيَةٍ فَهُوَ لِوَارِثِهِ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ مُسْلِمًا فَوَرِثَهُ
Maka apabila hal ini telah tetap, maka apa yang menjadi haknya berupa qishāsh atau diyat adalah milik ahli warisnya; karena ia meninggal dalam keadaan Muslim, sehingga ahli warisnya berhak mewarisinya.
فَصْلٌ
Bagian
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ تَنْعَكِسَ الرِّدَّةُ فَتَكُونَ فِي الْجَانِي دُونَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَهُوَ أَنْ يَجْرَحَ مُسْلِمًا خَطَأً ثُمَّ يَرْتَدَّ الْجَارِحُ وَيَرْجِعَ إِلَى الْإِسْلَامِ وَيَمُوتَ الْمَجْرُوحُ فَعَلَى الْجَارِحِ جَمِيعُ الدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ؛ لِأَنَّهُ قَتَلَ مُسْلِمًا خَطَأً وَمَا تَحْمِلُهُ عَاقِلَتُهُ الْمُسْلِمُونَ لَهَا مُعْتَبَرٌ بِزَمَانِ رِدَّتِهِ فَإِنْ كَانَ يَسِيرًا لَا تَسْرِي الْجِنَايَةُ فِي مِثْلِهِ تَحَمَّلَتِ الْعَاقِلَةُ عَنْهُ جَمِيعَ الدِّيَةِ كَمَا لَوْ كَانَتْ هَذِهِ الرِّدَّةُ فِي الْمَجْرُوحِ تَحَمَّلَ الْجَارِحُ جَمِيعَ الدِّيَةِ
Dari permasalahan ini bercabang suatu kasus bahwa riddah (kemurtadan) terjadi pada pelaku, bukan pada korban, yaitu ketika seseorang secara tidak sengaja melukai seorang Muslim, lalu pelaku tersebut murtad, kemudian kembali masuk Islam, dan korban yang terluka itu meninggal dunia. Maka, pelaku wajib membayar seluruh diyat (tebusan jiwa) tanpa dikenai qishāsh, karena ia telah membunuh seorang Muslim secara tidak sengaja. Apa yang ditanggung oleh ‘āqilah-nya (keluarga penanggung diyat) yang Muslim, dihitung berdasarkan masa kemurtadannya. Jika masa riddah itu singkat dan luka tersebut tidak mungkin menyebabkan kematian dalam waktu sesingkat itu, maka ‘āqilah menanggung seluruh diyat atas nama pelaku, sebagaimana jika riddah itu terjadi pada korban, maka pelaku menanggung seluruh diyat.
وَإِنْ كَانَ زَمَانُ رِدَّتِهِ كَثِيرًا تَسْرِي الْجِنَايَةُ فِي مِثْلِهِ فَفِيمَا تَتَحَمَّلُهُ الْعَاقِلَةُ عَنْد ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ
Dan jika masa riddah-nya cukup lama sehingga kejahatan dapat berlaku pada masa seperti itu, maka dalam hal apa yang ditanggung oleh ‘āqilah terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا أَنْ تَحْمِلَ عَلَيْهِ عَاقِلَتُهُ جَمِيعَ الدِّيَةِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يُضْمَنُ فِي رِدَّةِ الْمَجْرُوحِ جَمِيعُ الدِّيَةِ
Salah satunya adalah bahwa ‘āqilah-nya menanggung seluruh diyat jika dikatakan bahwa dalam kasus luka yang menyebabkan kemurtadan korban, seluruh diyat menjadi tanggungan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إنَّهُ يَتَحَمَّلُ عَنْهُ عَاقِلَتُهُ نِصْفَ الدِّيَةِ وَيَتَحَمَّلُ الْجَانِي نِصْفَهَا الْمُقَابِلَ لِزَمَانِ رِدَّتِهِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يُضْمَنُ فِي رِدَّةِ الْمَجْرُوحِ نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَنَّ عُصْبَتَهُ الْمُسْلِمِينَ يَعْقِلُونَ عَنْهُ فِي إِسْلَامِهِ وَلَا يَعْقِلُونَ عَنْهُ فِي رِدَّتِهِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa ‘āqilah dari pelaku menanggung setengah diyat, dan pelaku sendiri menanggung setengahnya lagi yang bertepatan dengan masa riddah korban, jika dikatakan bahwa dalam masa riddah orang yang terluka itu dijamin setengah diyat, karena ‘ashabah-nya yang muslim menanggung diyat pada masa Islamnya, namun mereka tidak menanggungnya pada masa riddah-nya.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ إنَّهُمْ يَعْقِلُونَ عَنْهُ أَرْشَ الْجُرْحِ وَيَتَحَمَّلُ هُوَ مَا بَقِيَ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ إِذَا قِيلَ إِنَّ رِدَّةَ الْمَجْرُوحِ تُوجِبُ أَرْشَ جُرْحِهِ
Pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka (ahli waris) berhak menerima arsy (ganti rugi) atas luka yang diderita, dan pelaku menanggung sisa dari diyat jiwa, jika dikatakan bahwa riddah (kemurtadan) orang yang terluka mewajibkan adanya arsy atas lukanya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَلَوْ مَاتَ مُرْتَدًّا كَانَ لِوَلِيِّهِ الْمُسْلِمِ أَنْ يقتص بالجرح قال المزني القياس عندي على أصل قوله أن لا ولاية لمسلم على مرتد كما لا وراثة له منه وكما أن ماله للمسلمين فكذلك الولي في القصاص من جرحه ولي المسلمين
Syafi‘i berkata, “Jika seseorang mati dalam keadaan murtad, maka wali Muslimnya berhak melakukan qishāsh atas luka yang ditimbulkan.” Al-Muzani berkata, “Menurutku, berdasarkan qiyās atas pendapat dasarnya, seorang Muslim tidak memiliki kewalian atas orang murtad, sebagaimana ia tidak mewarisi darinya, dan sebagaimana hartanya menjadi milik kaum Muslimin, maka demikian pula wali dalam qishāsh atas lukanya adalah wali kaum Muslimin.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي مُسْلِمٍ جَرَحَ مُسْلِمًا ثُمَّ ارْتَدَّ الْمَجْرُوحُ وَمَاتَ عَلَى رِدَّتِهِ فَلَا يَجِبُ فِي النَّفْسِ قَوَدٌ وَلَا دِيَةٌ لِأَنَّ تَلَفَهَا كَانَ بِجِنَايَةٍ فِي الْإِسْلَامِ وَسِرَايَةٍ فِي الردة والردة يسقط حُكْمُ مَا حَدَثَ فِيهَا مِنَ السِّرَايَةِ فَسَقَطَ بِهَا مَا زَادَ عَلَى الْجِنَايَةِ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا الْجِنَايَةُ وَلَيْسَتْ عَلَى النَّفْسِ فَسَقَطَ حُكْمُ النَّفْسِ
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah seorang Muslim melukai Muslim lain, kemudian orang yang terluka itu murtad dan meninggal dalam keadaan murtad. Maka tidak wajib qishāsh maupun diyat atas jiwanya, karena kematiannya terjadi akibat luka saat masih Islam dan berlanjut (menjadi sebab kematian) saat dalam keadaan murtad. Kemurtadan menggugurkan hukum atas apa yang terjadi selama masa murtad berupa kelanjutan (dari luka tersebut), sehingga yang gugur hanyalah apa yang melebihi tindak pidana (luka) itu, dan yang tersisa hanyalah tindak pidananya saja, dan itu bukan atas jiwa, maka gugurlah hukum atas jiwa.
فَأَمَّا الْجِنَايَةُ الْوَاقِعَةُ فِي الْإِسْلَامِ عَلَى مَا دُونَ النَّفْسِ مِنْ جُرْحٍ أَوْ طَرَفٍ فالمنصوص عليه من مذهب الشافعي ها هنا وَفِي كِتَابِ الْأُمِّ أَنَّهَا مَضْمُونَةٌ بِالْقِصَاصِ وَالْأَرْشِ وَهُوَ الصَّحِيحُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا لِحُدُوثِهَا فِي الْإِسْلَامِ الْمُوجِبِ لِضَمَانِهَا وَتَكُونُ الرِّدَّةُ مُخْتَصَّةً بِسُقُوطِ مَا حَدَثَ مِنَ السِّرَايَةِ فِيهَا
Adapun jinayah yang terjadi dalam Islam terhadap selain jiwa, seperti luka atau anggota tubuh, maka yang dinyatakan dalam mazhab Syafi‘i di sini dan dalam Kitab al-Umm adalah bahwa hal itu dijamin dengan qishāsh dan arsy, dan inilah pendapat yang benar yang dianut oleh mayoritas ulama kami, karena kejadiannya dalam Islam mewajibkan adanya jaminan atasnya. Sedangkan riddah (kemurtadan) hanya khusus menyebabkan gugurnya apa yang terjadi dari dampak lanjutan (sarayah) dalam kasus tersebut.
وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ يَسْقُطُ الْقِصَاصُ وَيَجِبُ الْأَرْشُ لِأَنَّ الْجُرْحَ إِذَا صَارَ نَفْسًا دَخَلَ فِي حُكْمِهَا وَصَارَ تَبَعًا لَهَا فَإِذَا سَقَطَ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ الْمَتْبُوعَةِ سَقَطَ فِي الْجُرْحِ التَّابِعِ
Abu al-‘Abbas bin Surayj berkata, qishāsh gugur dan wajib membayar diyat karena jika luka itu berubah menjadi menyebabkan kematian, maka ia masuk dalam hukum kematian dan menjadi pengikutnya. Maka jika qishāsh gugur pada jiwa yang menjadi pokok, maka gugur pula pada luka yang mengikutinya.
وَحَكَى أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا وَجْهًا ثَالِثًا أَنَّهُ يَسْقُطُ حُكْمُ الجناية في القصاص الأرش جَمِيعًا لِأَنَّهَا لَمَّا صَارَتْ نَفْسًا دَخَلَتْ فِي حُكْمِهَا وَقَدْ سَقَطَ حُكْمُ النَّفْسِ فَسَقَطَ حُكْمُ مَا دُونَهَا
Abu Hamid al-Isfara’ini menukil dari sebagian ulama mazhab kami pendapat ketiga, yaitu bahwa hukum jinayah dalam qishash dan arsy seluruhnya gugur, karena ketika telah menjadi jiwa (nyawa), maka masuk dalam hukum jiwa, dan apabila hukum jiwa telah gugur, maka hukum selainnya pun ikut gugur.
وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ فَاسِدٌ وَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَصَحُّ؛ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ أَصْلٌ وَالسِّرَايَةَ فَرْعٌ فَلَمْ يَسْقُطْ حُكْمُ الْأَصْلِ بِسُقُوطِ فَرْعِهِ وَإِنْ سَقَطَ حُكْمُ الْفَرْعِ بِسُقُوطِ أَصْلِهِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ جَنَى عَلَيْهِ فِي الرِّدَّةِ وَسَرَتْ فِي الْإِسْلَامِ سَقَطَ حُكْمُ السِّرَايَةِ لِسُقُوطِ حُكْمِ الْجِنَايَةِ وَكَذَلِكَ إِذَا جَنَى عَلَيْهِ فِي الْإِسْلَامِ وَسَرَتْ فِي الرِّدَّةِ ثَبَتَ حُكْمُ الْجِنَايَةِ وَإِنْ سَقَطَ حُكْمُ السِّرَايَةِ
Kedua mazhab tersebut rusak, dan pendapat yang ditegaskan oleh asy-Syafi‘i lebih benar; karena jinayah adalah pokok, sedangkan sirayah adalah cabang, maka hukum pokok tidak gugur dengan gugurnya cabang, meskipun hukum cabang gugur dengan gugurnya pokok. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang melakukan jinayah terhadap orang lain saat dalam keadaan murtad lalu sirayah terjadi ketika ia telah masuk Islam, maka hukum sirayah gugur karena gugurnya hukum jinayah. Demikian pula jika ia melakukan jinayah saat dalam keadaan Islam lalu sirayah terjadi ketika ia murtad, maka hukum jinayah tetap berlaku meskipun hukum sirayah gugur.
فَصْلٌ
Bab
فَإِذَا ثَبَتَ أن الجناية مضمونة بالأمرين وإن سقط الحكم السِّرَايَةِ فِي الْأَمْرَيْنِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْجِنَايَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Maka apabila telah tetap bahwa jinayah dijamin dengan dua hal, dan meskipun hukum sirayah gugur dalam kedua hal tersebut, keadaan jinayah tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ فِي مِثْلِهَا قِصَاصٌ أَوْ لَا يَكُونَ
Bisa jadi pada kasus seperti itu terdapat qishāsh, atau bisa juga tidak ada.
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي مِثْلِهَا قِصَاصٌ كَالْجَائِفَةِ وَجَبَ أَرْشُهَا وَكَانَ لِبَيْتِ الْمَالِ دُونَ الْوَرَثَةِ؛ لِأَنَّ الْمُرْتَدَّ لَا يُورَثُ وَلَمْ يَجُزِ الْعَفْوُ عَنِ الْأَرْشِ؛ لِأَنَّهُ لِكَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ
Jika pada luka seperti itu tidak ada qishāsh, seperti luka yang menembus rongga tubuh (jā’ifah), maka wajib diberikan ganti rugi (arsh) dan itu menjadi hak Baitul Mal, bukan ahli waris; karena orang murtad tidak dapat diwarisi dan tidak boleh memaafkan ganti rugi tersebut, sebab itu adalah hak seluruh kaum Muslimin.
وَإِنْ كَانَ فِي مِثْلِهَا قِصَاصٌ كَقَطْعِ يَدٍ أَوْ رِجْلٍ وَجَبَ فِيهِ الْقِصَاصُ
Dan jika pada kasus yang serupa terdapat qishāsh, seperti memotong tangan atau kaki, maka wajib dilakukan qishāsh.
وَفِي مُسْتَحِقِّ اسْتِيفَائِهِ وَجْهَانِ
Dalam hal pihak yang berhak untuk menagihnya, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ مَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ وَابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لِلْإِمَامِ؛ لِأَنَّ الْقِصَاصَ مَوْرُوثٌ كَالْمَالِ وَمَالُ الْمُرْتَدِّ لِبَيْتِ الْمَالِ دُونَ وَرَثَتِهِ فَتَوَلَّى الْإِمَامُ كما يَتَوَلَّى أَخْذَ أَرْشِهِ وَيَكُونُ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ كَانَ لِوَلِيِّهِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَقْتَصَّ بِالْجُرْحِ إِشَارَةً إِلَى الْإِمَامِ؛ لِأَنَّهُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat al-Muzani, Ibn Abi Hurairah, dan mayoritas ulama mazhab kami, menyatakan bahwa hak tersebut menjadi milik imam; karena qishāsh diwariskan seperti harta, dan harta orang murtad menjadi milik Baitul Māl, bukan ahli warisnya, maka imam yang mengurusnya sebagaimana imam juga yang mengambil diyatnya. Makna perkataan asy-Syafi‘i bahwa wali muslimnya boleh menuntut qishāsh atas luka adalah isyarat kepada imam; karena imam adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ مُسْتَحِقَّ الْقِصَاصِ وَمُسْتَوْفِيَهُ أَوْلِيَاؤُهُ الْمُسْلِمُونَ وَإِنْ لَمْ يَرِثُوهُ لِأَنَّ الْقِصَاصَ مَوْضُوعٌ لِلتَّشَفِّي وَدَفْعِ الِاسْتِطَالَةِ فَاخْتَصَّ بِهِ الْأَوْلِيَاءُ دُونَ غَيْرِهِمْ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَقْتَصُّوا أَوْ يَعْفُوا عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْأَرْشِ وَلَا يَصِحُّ عَفْوُهُمْ عَنِ الْأَمْرَيْنِ؛ لِأَنَّهُمْ مَلَكُوا الْقِصَاصَ وَلَمْ يَمْلِكُوا الْأَرْشَ فَصَحَّ عَفْوُهُمْ عَمَّا مَلَكُوهُ مِنَ القِصَاصِ وَلَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُمْ عَمَّا لَمْ يَمْلِكُوهُ مِنَ الأَرْشِ؛ فَإِنْ سَقَطَ الْقِصَاصُ بِعَفْوِهِمْ أَوْ بِعَفْوِ الْإِمَامِ إِنْ كَانَ هُوَ الْمُسْتَوْفِيَ لَهُ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ تَعَيَّنَ اسْتِحْقَاقُ الْأَرْشِ وَلَمْ يَصِحَّ عَفْوُ الْإِمَامِ عَنْهُ كَمَا لَا يَصِحُّ عَفْوُ الْأَوْلِيَاءِ؛ لِأَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِكَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ
Pendapat kedua adalah bahwa pihak yang berhak menuntut qishāsh dan yang melaksanakannya adalah para wali korban yang beragama Islam, meskipun mereka tidak mewarisinya. Sebab, qishāsh ditetapkan untuk tujuan membalas dendam dan mencegah kezaliman, sehingga hal itu menjadi hak khusus para wali, bukan selain mereka. Dengan demikian, para wali memiliki pilihan antara menuntut qishāsh atau memaafkan pelaku dengan menerima diyat (arsh). Namun, tidak sah jika mereka memaafkan kedua-duanya sekaligus, karena mereka hanya memiliki hak atas qishāsh dan tidak memiliki hak atas diyat. Maka sah jika mereka memaafkan apa yang mereka miliki dari qishāsh, dan tidak sah jika mereka memaafkan apa yang bukan menjadi hak mereka dari diyat. Jika qishāsh gugur karena dimaafkan oleh para wali atau oleh imam (jika imam yang berwenang menuntutnya menurut pendapat pertama), maka diyat menjadi hak yang pasti, dan tidak sah jika imam memaafkan diyat tersebut, sebagaimana tidak sah pula para wali memaafkannya, karena diyat itu menjadi hak seluruh kaum Muslimin.
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْأَرْشِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Jika demikian, maka keadaan arsy tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ كَقَطْعِ إِحْدَى الْيَدَيْنِ فِيهَا نِصْفُ الدِّيَةِ فَيُوجِبُهَا وَيَسْقُطُ مَا زَادَ عَلَيْهَا بِالسِّرَايَةِ
Salah satunya adalah apabila jumlahnya kurang dari diyat jiwa, seperti memotong salah satu tangan yang diyatnya setengah dari diyat jiwa, maka diyat tersebut diwajibkan dan kelebihan dari diyat itu yang terjadi karena sirayah (penyebaran luka) gugur.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِثْلَ دِيَةِ النَّفْسِ كَقَطْعِ الْيَدَيْنِ فِيهِمَا كَمَالُ الدِّيَةِ فَيُوجِبُ الدِّيَةَ الْكَامِلَةَ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِلسِّرَايَةِ تَأْثِيرٌ فِي الزِّيَادَةِ وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ كَقَطْعِ الْيَدَيْنِ وَجَدْعِ الْأَنْفِ وَمِنْ حُكْمِ ذَلِكَ فِي الْمُسْلِمِ أَنَّهَا إِذَا انْدَمَلَتْ وَجَبَ فِيهَا دِيَتَانِ وَإِنْ سَرَتْ إِلَى النَّفْسِ وَجَبَ فِيهَا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ نَفْسًا فَلَمْ تَزِدْ عَلَى دِيَةِ النَّفْسِ فَأَمَّا إِذَا سَرَتْ إِلَى النَّفْسِ فِي حَالِ الرِّدَّةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Bagian kedua adalah apabila (kerusakan) itu setara dengan diyat jiwa, seperti memotong kedua tangan, yang mana pada keduanya berlaku diyat sempurna, maka wajib membayar diyat sempurna karena tidak ada pengaruh seraya (penyebaran luka) dalam menambah (diyat). Bagian ketiga adalah apabila (kerusakan) itu lebih besar dari diyat jiwa, seperti memotong kedua tangan dan memotong hidung. Hukum dalam kasus ini pada seorang Muslim adalah apabila luka tersebut sembuh, maka wajib membayar dua diyat; namun jika luka itu menyebar hingga menyebabkan kematian, maka hanya wajib membayar satu diyat, karena telah menjadi (hukuman atas) jiwa sehingga tidak melebihi diyat jiwa. Adapun jika luka itu menyebar hingga menyebabkan kematian dalam keadaan riddah (murtad), maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ أَنَّهُ يَغْلِبُ حُكْمُ السِّرَايَةِ فِي الدِّيَةِ عَلَى حُكْمِ الْجِنَايَةِ فَلَا يَجَبُ فِيهَا أَكْثَرُ مِنْ دِيَةٍ؛ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ نَفْسًا فَتَصِيرُ الْجِنَايَةُ مَضْمُونَةً بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ أَرْشِهَا أَوْ دِيَةِ النَّفْسِ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat mayoritas ulama, menyatakan bahwa hukum sirāyah dalam diyat lebih diutamakan daripada hukum jināyah, sehingga tidak wajib membayar lebih dari satu diyat; karena sirāyah itu telah menyebabkan kematian, maka jināyah tersebut menjadi tanggungan dengan nilai yang lebih kecil antara arsy-nya atau diyat jiwa.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنَّهَا تُضْمَنُ بِمَا بَلَغَ مِنْ أَرْشِهَا وَإِنْ زَادَ عَلَى دِيَةِ النَّفْسِ أَضْعَافًا لِأَمْرَيْنِ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri, menyatakan bahwa diyat anggota tubuh itu wajib dibayar sesuai dengan besarnya diyat anggota tersebut, meskipun melebihi diyat jiwa beberapa kali lipat, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ سُقُوطَ الْقَوَدِ فِي النَّفْسِ يُجْرِي عَلَى الْجُرْحِ حُكْمَ الِانْدِمَالِ
Salah satunya adalah bahwa gugurnya qishāsh pada jiwa menyebabkan pada luka berlaku hukum penyembuhan.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا سَقَطَ حُكْمُ السِّرَايَةِ إِذَا نَقَصَ أَرْشُ الْجُرْحِ عَنْ دِيَةِ النَّفْسِ سَقَطَ حُكْمُ السِّرَايَةِ إِذَا زَادَ الْأَرْشُ عَلَى دِيَةِ النَّفْسِ وَتَصِيرُ الْجِنَايَةُ مَضْمُونَةً بِمَبْلَغِ أَرْشِهَا فِي الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ وَرَدَّ أَصْحَابُنَا عَلَيْهِ هَذَا الِاسْتِدْلَالَ بِأَنَّ حُرْمَةَ نَفْسِهِ لَوِ اسْتَدَامَ الْإِسْلَامَ أَغْلَظَ مِنْ حُرْمَتِهَا إِذَا ارْتَدَّ فَلَا يَجِبُ فِيهِ مَعَ اسْتِدَامَةِ إِسْلَامِهِ أَكْثَرُ مِنَ الدِّيَةِ فَلِأَنْ لَا يَجِبَ فِيهَا مَعَ الرِّدَّةِ أَكْثَرُ مِنَ الدِّيَةِ أَوْلَى وَأَشْبَهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Kedua, bahwa ketika hukum sirayah gugur jika besaran diyat luka lebih kecil dari diyat jiwa, maka hukum sirayah juga gugur jika besaran diyat luka melebihi diyat jiwa. Dengan demikian, tindak pidana tersebut menjadi tanggungan sesuai besaran diyatnya, baik lebih maupun kurang. Para ulama mazhab kami membantah argumentasi ini dengan mengatakan bahwa kehormatan jiwa seseorang jika tetap dalam Islam lebih besar daripada kehormatannya jika ia murtad. Maka, tidak wajib membayar lebih dari diyat ketika ia tetap dalam Islam, sehingga lebih utama dan lebih sesuai pula untuk tidak mewajibkan lebih dari diyat ketika ia murtad. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ فَقَأَ عَيْنَيْ عَبْدٍ قِيمَتُهُ مِائَتَانِ مِنَ الإِبِلِ فَأُعْتِقَ فَمَاتَ لَمْ يَكُنْ فِيهِ إِلَّا دِيَةٌ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ تَنْقُصُ بِمَوْتِهِ حُرًّا وَكَانَتِ الدِّيَةُ لِسَيِّدِهِ دُونَ ورثته قال المزني رحمه الله القياس عندي أن السيد قد ملك قيمة العبد وهو عبد فلا ينقص ما وجب له بالعتق
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang mencungkil kedua mata seorang budak yang nilainya dua ratus ekor unta, lalu budak itu dimerdekakan kemudian meninggal dunia, maka tidak ada kewajiban selain membayar diyat, karena tindak pidana tersebut berkurang akibat kematiannya dalam keadaan merdeka. Diyat itu menjadi hak tuannya, bukan ahli warisnya.” Al-Muzani rahimahullah berkata: “Menurut qiyās saya, tuan telah memiliki nilai budak tersebut ketika ia masih menjadi budak, sehingga apa yang telah menjadi haknya tidak berkurang karena kemerdekaan budak itu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ كُلَّ مَا وَجَبَ فِي الْحُرِّ مِنْهُ دِيَةٌ وَجَبَ فِي الْعَبْدِ مِنْهُ قِيمَةٌ وَمَا وَجَبَ فِي الْحُرِّ مِنْهُ نِصْفُ الدِّيَةِ كَانَ فِي الْعَبْدِ مِنْهُ نِصْفُ الْقِيمَةِ وَمَا وَجَبَ فِي الْحُرِّ مِنْهُ حُكُومَةٌ كَانَ فِي الْعَبْدِ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ وَيَجْتَمِعُ فِي الْعَبْدِ قِيَمٌ كَمَا تَجْتَمِعُ في الحر ديات فَإِنْ سَرَتِ الْجِنَايَةُ إِلَى النَّفْسِ لَمْ تَجِبْ فِيهَا أَكْثَرُ مِنْ قِيمَةٍ فِي الْعَبْدِ وَدِيَةٍ فِي الْحُرِّ
Al-Mawardi berkata: Dasar dari hal ini adalah bahwa setiap hal yang mewajibkan diyat pada orang merdeka, maka pada budak diwajibkan nilai (harganya); dan setiap hal yang mewajibkan setengah diyat pada orang merdeka, maka pada budak diwajibkan setengah dari nilainya; dan setiap hal yang mewajibkan hukūmah pada orang merdeka, maka pada budak diwajibkan sebesar kekurangan dari nilainya. Pada budak dapat terkumpul beberapa nilai sebagaimana pada orang merdeka dapat terkumpul beberapa diyat. Jika tindak pidana itu berlanjut hingga menyebabkan kematian, maka tidak wajib atasnya lebih dari satu nilai pada budak dan satu diyat pada orang merdeka.
فَإِذَا اسْتَقَرَّ هَذَا الْأَصْلُ فَصُورَةُ مسئلتنا فِي حُرٍّ فَقَأَ عَيْنَيْ عَبْدٍ قِيمَتُهُ دِيَتَانِ قَدَّرَهُمَا الشَّافِعِيُّ بِمِائَتَيْنِ مِنَ الإِبِلِ وَإِنْ لَمْ يقوم العبد بالإبل وذلك بقدرهما بِأَلْفَيْ دِينَارٍ لِأَنَّهُ أَشْبَهُ بِالْقِيَمِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jika prinsip ini telah ditetapkan, maka gambaran masalah kita adalah tentang seorang merdeka yang mencolok kedua mata seorang budak yang nilainya setara dengan dua diyat, yang menurut penetapan Imam Syafi‘i adalah dua ratus ekor unta, meskipun budak tersebut tidak dinilai dengan unta, melainkan dengan taksiran dua ribu dinar karena itu lebih mendekati penilaian (qiyām). Maka, masalah ini terbagi menjadi dua bentuk.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَبْقَى الْعَبْدُ عَلَى رِقِّهِ حَتَّى تَسْتَقِرَّ الْجِنَايَةُ إِمَّا بِالِانْدِمَالِ أَوْ بِالسِّرَايَةِ فَيَجِبُ عَلَى الْجَانِي إِنِ انْدَمَلَتْ أَلْفَا دِينَارٍ وَإِنْ سَرَتْ إِلَى النَّفْسِ فَمَاتَ أَلْفَا دِينَارٍ أَيْضًا وَيَسْتَوِي حُكْمُ الْجِنَايَةِ فِي الِانْدِمَالِ أَوِ السِّرَايَةِ لِأَنَّ الْوَاجِبَ فِيهِمَا قِيمَةٌ كَامِلَةٌ وَلَوْ فَقَأَ إِحْدَى عَيْنَيْهِ وَجَبَ فِيهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ إِنِ انْدَمَلَتْ وَهُوَ أَلْفُ دِينَارٍ وَإِنْ سَرَتْ إِلَى نَفْسِهِ وَجَبَ فِيهَا جَمِيعُ قِيمَتِهِ وَهُوَ أَلْفَا دِينَارٍ
Salah satu dari keduanya adalah bahwa budak tetap dalam status perbudakannya hingga akibat jinayah (kejahatan) itu menjadi jelas, baik dengan sembuhnya luka atau dengan menyebarnya luka tersebut. Maka, wajib atas pelaku jinayah, jika luka itu sembuh, membayar dua ribu dinar, dan jika luka itu menyebar hingga mengenai nyawa lalu budak itu meninggal, juga wajib membayar dua ribu dinar. Hukum jinayah sama saja baik pada kasus sembuhnya luka maupun menyebarnya luka, karena yang wajib pada keduanya adalah nilai (budak) secara penuh. Jika pelaku mencolok salah satu matanya, maka wajib membayar setengah dari nilainya jika luka itu sembuh, yaitu seribu dinar, dan jika luka itu menyebar hingga menyebabkan kematian, maka wajib membayar seluruh nilainya, yaitu dua ribu dinar.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يُعْتِقَهُ السَّيِّدُ بَعْدَ الْجِنَايَةِ عَلَيْهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah apabila tuan memerdekakan budak setelah terjadinya tindak pidana terhadapnya, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَسْتَقِرَّ الْجِنَايَةُ بِالِانْدِمَالِ فَيَجِبُ فِيهَا الْقِيمَةُ الْكَامِلَةُ أَلْفَا دِينَارٍ سَوَاءٌ كَانَ الْعِتْقُ قَبْلَ الِانْدِمَالِ أَوْ بَعْدَهُ لِأَنَّ مَا انْدَمَلَ وَلَمْ يَسْرِ اعْتُبِرَ فِيهِ وَقْتُ الْجِنَايَةِ وَكَانَ الِانْدِمَالُ مُعْتَبَرًا فِي الِاسْتِقْرَارِ دُونَ الْوُجُوبِ كَمَا لَوْ فَقَأَ عَيْنَيْ نَصْرَانِيٍّ فَأَسْلَمَ ثُمَّ انْدَمَلَتْ عَيْنَاهُ وَجَبَ فِيهِمَا دِيَةُ نَصْرَانِيٍّ وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الِانْدِمَالِ مُسْلِمًا كَذَلِكَ الْعَبْدُ إِذَا انْدَمَلَتْ عَيْنَاهُ بَعْدَ عِتْقِهِ وَجَبَ فِيهِمَا قِيمَتُهُ عَبْدًا وَإِنْ كَانَ عِنْدَ الِانْدِمَالِ حُرًّا
Salah satunya adalah jika luka akibat tindak pidana itu telah sembuh, maka wajib membayar nilai penuh, yaitu seribu dinar, baik kemerdekaan (budak) terjadi sebelum maupun setelah sembuhnya luka tersebut. Sebab, untuk luka yang telah sembuh dan tidak menyebar, yang dijadikan acuan adalah waktu terjadinya tindak pidana, dan sembuhnya luka hanya dipertimbangkan dalam hal kepastian (kewajiban membayar), bukan dalam hal penetapan kewajiban itu sendiri. Sebagaimana jika seseorang mencungkil kedua mata seorang Nasrani, lalu orang itu masuk Islam, kemudian kedua matanya sembuh, maka yang wajib dibayar adalah diyat seorang Nasrani, meskipun saat sembuh ia telah menjadi Muslim. Demikian pula dengan seorang budak, jika kedua matanya sembuh setelah ia merdeka, maka yang wajib dibayar adalah nilai dirinya sebagai budak, meskipun saat sembuh ia telah menjadi orang merdeka.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَسْرِيَ الْجِنَايَةُ إِلَى نَفْسِهِ وَقَدْ أَعْتَقَهُ السَّيِّدُ قَبْلَ مَوْتِهِ فَيَجِبُ فِيهَا دِيَةُ حُرٍّ وَذَلِكَ أَلْفُ دِينَارٍ لِأَنَّهَا إِذَا سَرَتْ إِلَى النَّفْسِ اعْتُبِرَ بِهَا وَقْتُ السِّرَايَةِ دُونَ الْجِنَايَةِ لِدُخُولِ الْأَطْرَافِ فِي النَّفْسِ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ
Jenis kedua adalah apabila luka tersebut menjalar hingga menyebabkan kematian, sedangkan tuannya telah memerdekakannya sebelum ia meninggal, maka wajib dibayar diyat orang merdeka, yaitu seribu dinar. Sebab, apabila luka itu menjalar hingga menyebabkan kematian, yang dijadikan acuan adalah waktu terjadinya penularan (menjalar), bukan waktu terjadinya luka, karena anggota tubuh menjadi bagian dari jiwa. Inilah mazhab Syafi‘i dan mayoritas pengikutnya.
وَقَالَ الْمُزَنِيُّ يَجِبُ فِيهَا أَلْفَا دِينَارٍ اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الْجِنَايَةِ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ
Al-Muzani berkata, “Wajib pada kasus tersebut dua ribu dinar, dengan mempertimbangkan waktu terjadinya tindak pidana, berdasarkan dua alasan.”
أَحَدُهُمَا أَنَّ السَّيِّدَ قَدْ مَلَكَ بِالْجِنَايَةِ أَلْفَيْ دِينَارٍ هِيَ قِيمَةُ عَبْدِهِ وَالْعِتْقُ الَّذِي هُوَ قُرْبَةٌ إِنْ لَمْ يَزِدْهُ خَيْرًا لَمْ يَزِدْهُ شَرًّا
Salah satunya adalah bahwa tuan telah memiliki, melalui tindak pidana, dua ribu dinar yang merupakan nilai dari hambanya, dan pembebasan budak yang merupakan suatu bentuk pendekatan diri (kepada Allah), jika tidak menambah kebaikan baginya, maka tidak pula menambah keburukan baginya.
وَالثَّانِي أَنَّ الِانْدِمَالَ غَايَةٌ كَالسِّرَايَةِ ثُمَّ كَانَ الِانْدِمَالُ بَعْدَ الْعِتْقِ يَقْتَضِي نَقْصَ قِيمَتِهِ كَذَلِكَ السِّرَايَةُ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Kedua, bahwa penyembuhan adalah batas akhir seperti halnya penularan, kemudian jika penyembuhan terjadi setelah pembebasan, hal itu menuntut pengurangan nilainya, demikian pula penularan. Namun, hal ini rusak (tidak benar) dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا اخْتَلَفَ الِانْدِمَالُ وَالسِّرَايَةُ فِي نُقْصَانِ الْقِيمَةِ وَجَبَ أَنْ يَخْتَلِفَا فِي زِيَادَةِ الْقِيمَةِ قِيمَتِهِ عَبْدًا لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ قِيمَتُهُ مِائَةَ دِينَارٍ ثُمَّ انْدَمَلَتْ بَعْدَ عِتْقِهِ وَجَبَ فِيهَا مِائَةُ دِينَارٍ وَلَوْ سَرَتْ إِلَى نَفْسِهِ وَجَبَ فِيهَا أَلْفُ دِينَارٍ دِيَتُهُ حُرًّا كَذَلِكَ إِذَا كَانَتْ قِيمَتُهُ أَلْفَا دِينَارٍ وَجَبَ فِيهَا إِذَا انْدَمَلَتْ أَلْفَانِ وَإِذَا سَرَتْ إِلَى النَّفْسِ أَلْفٌ
Salah satu alasannya adalah bahwa ketika perbedaan terjadi antara penyembuhan dan penyebaran luka dalam hal pengurangan nilai, maka harus pula ada perbedaan dalam hal peningkatan nilai, yaitu nilai seorang budak. Sebab, jika nilai budak itu seratus dinar, kemudian lukanya sembuh setelah ia dimerdekakan, maka wajib membayar seratus dinar. Namun jika lukanya menyebar hingga menyebabkan kematian, maka wajib membayar seribu dinar, yaitu diyat seorang merdeka. Demikian pula, jika nilai budak itu dua ribu dinar, maka jika lukanya sembuh, wajib membayar dua ribu dinar, dan jika lukanya menyebar hingga menyebabkan kematian, maka wajib membayar seribu dinar.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا اخْتَلَفَ الِانْدِمَالُ وَالسِّرَايَةُ فِي دِيَاتِ الْأَطْرَافِ حَتَّى لَوْ قَطَعَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ وَجَبَ فِي الِانْدِمَالِ دِيَتَانِ وَفِي السِّرَايَةِ دِيَةٌ وَاحِدَةٌ وجب أَنْ يَخْتَلِفَا فِي قَدْرِ الدِّيَةِ فَيَجِبُ إِذَا انْدَمَلَتْ أَلْفَا دِينَارٍ وَإِذَا سَرَتْ أَلْفٌ وَاحِدٌ وَهَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ وَالْخَيْرُ الْمُسْتَزَادُ بِالْعِتْقِ هُوَ الثَّوَابُ وَنُقْصَانُ الْقِيمَةِ فِيهِ لَيْسَ بِشَرٍّ وَإِنَّمَا هُوَ الْإِبْرَاءُ وَالْمَعُونَةُ فَصَارَ خَيْرًا أَيْضًا
Kedua, ketika terdapat perbedaan antara penyembuhan (indimāl) dan penularan (sirāyah) dalam diyat anggota tubuh, sehingga jika seseorang memotong kedua tangan dan kedua kakinya, maka pada kasus penyembuhan dikenakan dua diyat, sedangkan pada kasus penularan hanya satu diyat, maka harus ada perbedaan dalam besaran diyat. Maka, jika sembuh, wajib membayar dua ribu dinar, dan jika menular, seribu satu dinar. Ini adalah dalil dan pemisahan. Kebaikan tambahan yang didapatkan melalui pembebasan (itq) adalah pahala, dan berkurangnya nilai di dalamnya bukanlah keburukan, melainkan pelepasan dan pertolongan, sehingga itu juga menjadi kebaikan.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْوَاجِبَ فِيهَا بَعْدَ السِّرَايَةِ أَلْفُ دِينَارٍ وَإِنْ وَجَبَ بِالِانْدِمَالِ أَلْفَانِ فَهَذِهِ الْأَلِفُ مِلْكٌ لِلسَّيِّدِ الْمُعْتِقِ دُونَ وَرَثَةِ الْعَبْدِ
Maka apabila telah tetap bahwa yang wajib dibayarkan setelah terjadinya penyebaran (luka) adalah seribu dinar, meskipun yang wajib dibayarkan karena sembuhnya luka adalah dua ribu dinar, maka seribu dinar ini menjadi milik tuan yang memerdekakan, bukan milik para ahli waris budak.
فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَتْ لِوَرَثَتِهِ الْمُسْلِمِينَ دُونَ النَّصَارَى لِأَنَّهُ مَاتَ مُسْلِمًا
Jika dikatakan, “Mengapa warisan itu tidak diberikan kepada ahli warisnya yang Muslim saja, bukan kepada yang Nasrani, karena ia wafat dalam keadaan Muslim?”
قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ النَّصْرَانِيَّ كَانَ مَالِكًا لِلْأَرْشِ فِي الْجِنَايَةِ قَبْلَ إِسْلَامِهِ فَوُرِثَتْ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ مُسْلِمًا وَالْجِنَايَةُ عَلَى الْعَبْدِ كَانَتْ مِلْكًا لِسَيِّدِهِ فَلَمْ تُورَثْ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ حُرًّا
Dikatakan bahwa perbedaan antara keduanya adalah bahwa seorang Nasrani memiliki hak atas diyat dalam kasus jinayah sebelum ia masuk Islam, sehingga hak itu diwariskan darinya setelah ia meninggal dalam keadaan Muslim. Adapun jinayah terhadap seorang budak, maka hak itu adalah milik tuannya, sehingga tidak diwariskan darinya setelah ia meninggal dalam keadaan merdeka.
فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا جَعَلْتُمُوهَا بَيْنَ السَّيِّدِ وَالْوَرَثَةِ نِصْفَيْنِ لِأَنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ بِجِنَايَةٍ فِي مِلْكِ السَّيِّدِ وَسرائهِ بَعْدَ الْعِتْقِ فِي مِلْكِ الْمُعْتِقِ فَيَكُونُ مَا قَابَلَ زَمَانَ الرِّقِّ مِلْكًا لِلسَّيِّدِ وَمَا قَابَلَ زَمَانَ الْعِتْقِ لِلْوَارِثِ كَمَا لَوْ كَسَبَ مَالًا فِي الْعِتْقِ وَمَالًا فِي الرِّقِّ كَانَ مَا كَسَبَهُ فِي الرِّقِّ لِسَيِّدِهِ وَمَا كَسَبَهُ فِي الْعِتْقِ لِوَارِثِهِ قِيلَ السِّرَايَةُ أَثَّرَتْ نُقْصَانًا فِي حَقِّ السَّيِّدِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُشَارِكَهُ الْوَارِثُ وَلَوْ أَثَّرَتْ زِيَادَةً كَانَتْ لِلْوَارِثِ مِثْلَ أَنْ تَكُونَ قِيمَتُهُ مِائَةَ دِينَارٍ وَقْتَ الْجِنَايَةِ ثُمَّ يَسْرِي بَعْدَ الْعِتْقِ إِلَى نَفْسِهِ فَيَجِبُ فِيهَا أَلْفُ دِينَارٍ دِيَتُهُ حُرًّا فَيَكُونُ لِلسَّيِّدِ مِنْهَا مِائَةُ دينار هي قيمته عبداً والباقي وهو تسع مائة دِينَارٍ لِوَرَثَتِهِ لِحُدُوثِهَا بَعْدَ عِتْقِهِ
Jika dikatakan, “Mengapa kalian tidak membaginya antara tuan dan ahli waris menjadi dua bagian, karena hal itu merupakan hak yang timbul akibat jinayah (kejahatan) yang terjadi saat masih dalam kepemilikan tuan, dan dampaknya setelah merdeka berada dalam kepemilikan mu‘tiq (orang yang memerdekakan), sehingga bagian yang terjadi pada masa perbudakan menjadi milik tuan, dan bagian yang terjadi pada masa kemerdekaan menjadi milik ahli waris, sebagaimana jika ia memperoleh harta saat merdeka dan harta saat masih budak, maka apa yang diperolehnya saat masih budak menjadi milik tuannya, dan apa yang diperolehnya saat merdeka menjadi milik ahli warisnya?” Maka dijawab: “Sirayah (penularan hukum) menyebabkan berkurangnya hak tuan, sehingga tidak boleh ahli waris mengambil bagian bersamanya. Namun, jika sirayah menyebabkan adanya tambahan, maka tambahan itu menjadi milik ahli waris, seperti misalnya nilai dirinya seratus dinar pada saat terjadinya jinayah, kemudian setelah merdeka sirayah mengenai dirinya sehingga wajib membayar seribu dinar sebagai diyat orang merdeka. Maka bagian tuan adalah seratus dinar, yaitu nilai dirinya saat masih budak, dan sisanya, yaitu sembilan ratus dinar, menjadi milik ahli warisnya karena hal itu terjadi setelah ia merdeka.”
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ قُطِعَ يَدُ عَبْدٍ وَأُعْتِقَ ثَمَّ مَاتَ فَلَا قَوَدَ إِذَا كَانَ الْجَانِي حُرًّا مُسْلِمًا أَوْ نَصْرَانِيًّا حُرًّا أَوْ مُسْتَأْمَنًا حُرًّا وَعَلَى الْحُرِّ الدِّيَةُ كَامِلَةً فِي مَالِهِ لِلسَّيِّدِ مِنْهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ يَوْمَ قَطْعِهِ وَالْبَاقِي لِوَرَثَتِهِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika tangan seorang budak dipotong, lalu ia dimerdekakan, kemudian meninggal dunia, maka tidak ada qishāsh apabila pelakunya adalah seorang merdeka Muslim, atau seorang merdeka Nasrani, atau seorang merdeka musta’man. Atas orang merdeka tersebut wajib membayar diyat secara penuh dari hartanya; kepada tuan budak diberikan setengah dari nilai budak pada hari pemotongan, dan sisanya diberikan kepada ahli warisnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِي الْقِصَاصِ حَالُ الْجِنَايَةِ وَالْمُعْتَبَرَ فِي الدِّيَةِ حَالُ الِاسْتِقْرَارِ إِمَّا بِالِانْدِمَالِ أَوْ بِالسِّرَايَةِ إِلَى النَّفْسِ؛ لِأَنَّ الْمَقْطُوعَ كَانَ وَقْتَ الْجِنَايَةِ عَبْدًا وَعَلَى الْقَاطِعِ دِيَةُ حُرٍّ؛ لِأَنَّ الْمَقْطُوعَ مَاتَ حُرًّا وَلِلسَّيِّدِ مِنْهَا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَجِبْ لَهُ وَقْتَ الْجِنَايَةِ أَكْثَرُ مِنْهَا أَوْ جَمِيعُ دِيَتِهِ حُرًّا؛ لِأَنَّ السِّرَايَةَ لَمْ تَسْتَقِرَّ فِي أَكْثَرَ مِنْهَا
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa yang menjadi acuan dalam qishāsh adalah keadaan saat terjadinya tindak pidana, sedangkan yang menjadi acuan dalam diyat adalah keadaan saat diyat itu menjadi tetap, baik karena luka telah sembuh atau karena luka itu menjalar hingga menyebabkan kematian. Sebab, anggota tubuh yang terpotong saat tindak pidana terjadi adalah seorang budak, namun yang wajib atas pelaku adalah diyat seorang merdeka, karena orang yang terpotong itu meninggal dalam keadaan merdeka. Adapun hak tuan budak dari diyat tersebut adalah yang paling sedikit dari dua hal: setengah nilai budak saat masih menjadi budak—karena pada saat tindak pidana tidak wajib baginya lebih dari itu—atau seluruh diyat orang merdeka, karena luka yang menjalar tidak menetap lebih dari itu.
وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ لِلسَّيِّدِ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ حُرًّا
Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: Untuk sayyid, yang diambil adalah yang lebih sedikit di antara dua hal, yaitu setengah dari nilainya sebagai budak atau setengah dari diyatnya sebagai orang merdeka.
وَهَذَا زَلَلٌ مِنْ أَبِي عَلِيٍّ؛ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ مِنْ شَخْصٍ وَاحِدٍ وَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ أَحَدِ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Ini adalah kekeliruan dari Abu ‘Ali; karena tindak pidana itu berasal dari satu orang, dan keadaannya tidak lepas dari salah satu dari empat bagian.
إِمَّا أَنْ يُعْتَبَرَ بِهَا وَقْتُ الْجِنَايَةِ فَنِصْفُ الْقِيمَةِ قَلَّتْ أَوْ كَثُرَتْ أَوْ يُعْتَبَرَ بِهَا وَقْتُ الْمَوْتِ فَجَمِيعُ الدِّيَةِ قَلَّتْ أَوْ كَثُرَتْ أَوْ يُعْتَبَرَ بِهَا أَكْثَرُ الْأَمْرَيْنِ فَلَا يَجُوزُ وَهُوَ مَرْدُودٌ بِالِاتِّفَاقِ أَوْ يُعْتَبَرَ بِهَا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ وَهُوَ الْمُتَّفَقُ عَلَيْهِ فَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْأَقَلُّ مَا وَجَبَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهُوَ نِصْفُ الْقِيمَةِ أَوْ بِمَا اسْتَقَرَّ فِي الِانْتِهَاءِ وَهُوَ جَمِيعُ الدِّيَةِ
Bisa jadi yang dijadikan patokan adalah waktu terjadinya jināyah, maka yang wajib adalah setengah dari nilai (qimah), baik nilainya sedikit maupun banyak. Atau yang dijadikan patokan adalah waktu kematian, maka yang wajib adalah seluruh diyat, baik jumlahnya sedikit maupun banyak. Atau yang dijadikan patokan adalah yang lebih besar di antara keduanya, maka hal ini tidak boleh dan telah ditolak berdasarkan ijmā‘. Atau yang dijadikan patokan adalah yang lebih kecil di antara keduanya, dan inilah yang disepakati, sehingga yang wajib adalah yang lebih kecil dari apa yang diwajibkan pada awalnya, yaitu setengah dari nilai, atau yang telah ditetapkan pada akhirnya, yaitu seluruh diyat.
فَأَمَّا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ أَوْ نِصْفِ الدِّيَةِ فَلَا يُعْتَبَرُ إِلَّا فِي جِنَايَةِ الِاثْنَيْنِ وَهُوَ أَنْ يَقْطَعَ حُرٌّ يَدَهُ قَبْلَ الْعِتْقِ وَيَقْطَعَ آخَرُ يَدَهُ الْأُخْرَى بعد العتق ثم يموت فتكون عليها دِيَةُ حُرٍّ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَلِلسَّيِّدِ مِنْهَا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ؛ لِأَنَّهُمَا جِنَايَتَانِ أَحَدُهُمَا فِي الرِّقِّ يَخْتَصُّ بِهَا السَّيِّدُ وَالْأُخْرَى فِي الْحُرِّيَّةِ يَخْتَصُّ بِهَا الْوَرَثَةُ
Adapun yang paling sedikit dari dua hal, yaitu setengah nilai atau setengah diyat, maka itu hanya dipertimbangkan dalam kasus jinayah yang dilakukan oleh dua orang, yaitu ketika seorang hamba sahaya dipotong tangannya oleh seseorang sebelum dimerdekakan, lalu tangan yang satunya lagi dipotong oleh orang lain setelah dimerdekakan, kemudian ia meninggal dunia. Maka atas keduanya dikenakan diyat seorang merdeka yang dibagi dua, dan bagi tuan (pemilik) dari diyat tersebut mendapat bagian yang paling sedikit dari dua hal, yaitu setengah dari nilainya atau setengah dari diyatnya; karena keduanya merupakan dua jinayah, salah satunya terjadi saat masih menjadi budak yang menjadi hak khusus tuan, dan yang lainnya terjadi saat sudah merdeka yang menjadi hak khusus ahli waris.
فَأَمَّا الْجَانِي الْوَاحِدُ فَلَيْسَ لِلسَّيِّدِ إِلَّا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ أَوْ جَمِيعِ دِيَتِهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ نِصْفُ قِيمَتِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Adapun jika pelakunya satu orang, maka tuan (pemilik budak) hanya berhak mendapatkan salah satu dari dua hal yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu yang lebih kecil antara setengah dari nilai budak tersebut atau seluruh diyat-nya. Jika demikian, maka setengah dari nilainya tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ نِصْفُ قِيمَتِهِ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ دِيَتِهِ أَوْ مِثْلَهَا فَمَا دُونَ فَيَسْتَحِقُّ السَّيِّدُ نِصْفَ قِيمَتِهِ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ وَيَكُونُ مَا بَقِيَ مِنْ دِيَتِهِ لِوَرَثَتِهِ
Salah satunya adalah jika setengah dari nilai budak itu lebih sedikit dari setengah diyatnya atau sama dengannya atau kurang dari itu, maka tuan budak berhak mendapatkan setengah dari nilainya menurut dua mazhab, dan sisanya dari diyatnya menjadi hak ahli warisnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ نِصْفُ قِيمَتِهِ يَزِيدُ عَلَى نِصْفِ دِيَتِهِ وَلَا تَزِيدُ عَلَى جَمِيعِهَا فَيَسْتَحِقُّ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ نِصْفَ قِيمَتِهِ؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ جَمِيعِ دِيَتِهِ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَسْتَحِقُّ نِصْفَ دِيَتِهِ؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ
Bagian kedua adalah apabila setengah dari nilai (barang) tersebut lebih besar daripada setengah diyat-nya, namun tidak melebihi seluruh diyat-nya. Maka menurut mazhab Syafi‘i, yang berhak diterima adalah setengah dari nilainya, karena itu lebih kecil daripada seluruh diyat-nya. Sedangkan menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yang berhak diterima adalah setengah dari diyat-nya, karena itu lebih kecil daripada setengah dari nilainya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ نِصْفُ قِيمَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ جَمِيعِ دِيَتِهِ فَيَسْتَحِقُّ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ جَمِيعَ دِيَتِهِ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَسْتَحِقُّ نِصْفَ دِيَتِهِ
Bagian ketiga adalah apabila setengah dari nilai barang tersebut lebih besar daripada seluruh diyatnya, maka menurut mazhab Syafi‘i, ia berhak mendapatkan seluruh diyatnya, sedangkan menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, ia berhak mendapatkan setengah diyatnya.
فَصْلٌ
Bagian
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَقْطَعَ حُرٌّ إِحْدَى يَدَيْ عَبْدٍ فَيُعْتَقُ ثُمَّ يَعُودُ الْحُرُّ الْجَانِي فَتُقْطَعُ إِحْدَى رِجْلَيْهِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْقَطْعَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Dan permasalahan ini memiliki cabang, yaitu apabila seorang merdeka memotong salah satu tangan seorang budak, lalu budak itu dimerdekakan, kemudian orang merdeka yang menjadi pelaku kembali dan memotong salah satu kaki budak tersebut, maka keadaan dua pemotongan itu tidak lepas dari empat bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَنْدَمِلَا
Salah satunya adalah keduanya sembuh.
وَالثَّانِي أَنْ يَسْرِيَا إِلَى النَّفْسِ
Dan yang kedua adalah keduanya merambat sampai kepada jiwa.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَنْدَمِلَ الْأَوَّلُ وَيَسْرِيَ الثَّانِي إِلَى النَّفْسِ
Ketiga, luka yang pertama telah sembuh dan yang kedua menjalar hingga menyebabkan kematian.
وَالرَّابِعُ أَنْ يَنْدَمِلَ الثَّانِي وَيَسْرِيَ الْأَوَّلُ إِلَى النَّفْسِ
Keempat, luka kedua telah sembuh dan luka pertama menjalar hingga menyebabkan kematian.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَنْدَمِلَ الْقَطْعَانِ فَالْأَوَّلُ مِنْهُمَا لَا قَوَدَ فِيهِ؛ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى عَبْدٍ وَفِيهِ نِصْفُ قِيمَتِهِ قَلَّتْ أَوْ كَثُرَتْ تَكُونُ لِسَيِّدِهِ وَإِنْ زَادَ عَلَى دِيَتِهِ حُرًّا؛ لِأَنَّ انْدِمَالَهَا يُوجِبُ اسْتِحْقَاقَ مَا وَجَبَ بِهَا وَقْتَ الْجِنَايَةِ
Adapun bagian pertama, yaitu jika kedua luka itu sembuh, maka pada luka yang pertama tidak ada qishāsh; karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap seorang budak, dan atasnya dikenakan setengah dari nilai budak tersebut, baik nilainya sedikit maupun banyak, yang menjadi hak tuannya, meskipun melebihi diyat seorang merdeka; karena sembuhnya luka itu menyebabkan berhaknya apa yang telah diwajibkan atasnya pada saat terjadinya tindak pidana.
وَأَمَّا الْقَطْعُ الثَّانِي فَفِيهِ الْقَوَدُ؛ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى حُرٍّ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ فَفِيهِ نِصْفُ دِيَتِهِ حُرًّا تَكُونُ لَهُ دُونَ سَيِّدِهِ فَيَصِيرُ الْجَانِي فِي هَذَا الْقِسْمِ ضَامِنًا بِالْقَطْعِ الْأَوَّلِ نِصْفَ الْقِيمَةِ دُونَ الْقِصَاصِ وَبِالْقَطْعِ الثَّانِي الْقِصَاصَ أَوْ نِصْفَ الدِّيَةِ
Adapun pemotongan yang kedua, maka padanya berlaku qishāsh, karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap merdeka. Jika dimaafkan darinya, maka padanya ada setengah diyatnya sebagai orang merdeka, yang menjadi miliknya tanpa tuannya. Maka pelaku dalam bagian ini menjadi wajib menanggung pada pemotongan pertama setengah nilai tanpa qishāsh, dan pada pemotongan kedua qishāsh atau setengah diyat.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَسْرِيَ الْقَطْعَانِ إِلَى نَفْسِهِ فَيَمُوتُ فِيهَا فَلَا قَوَدَ عَلَى الْجَانِي فِي النَّفْسِ لِخُرُوجِهَا بِسِرَائهِ قَطْعَيْنِ لَا قِصَاصَ فِي سِرَايَةِ أَحَدِهِمَا فَيَسْقُطُ الْقِصَاصُ فِي سِرَايَةِ الْآخَرِ كَمَا لَوْ عَفَا أَحَدُ الْوَلِيَّيْنِ سَقَطَ الْقِصَاصُ فِي حَقِّهَا وَعَلَى الْجَانِي دِيَةُ حُرٍّ؛ لِاسْتِقْرَارِهَا بَعْدَ السِّرَايَةِ فِي حُرٍّ فَإِنْ أَرَادَ الْمَوْلَى أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ القَطْعِ الثَّانِي فِي الْحُرِّيَّةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Adapun bagian kedua, yaitu apabila luka yang menular itu kembali kepada dirinya sendiri sehingga ia meninggal karenanya, maka tidak ada qishāsh atas pelaku dalam hal jiwa, karena kematiannya terjadi akibat penularan dua luka yang tidak dikenakan qishāsh pada penularan salah satunya, maka gugurlah qishāsh pada penularan yang lainnya, sebagaimana jika salah satu dari dua wali memaafkan, maka gugur hak qishāsh atasnya. Atas pelaku dikenakan diyat seorang merdeka, karena diyat itu menjadi tetap setelah penularan pada seorang merdeka. Jika tuan (pemilik budak) ingin menuntut qishāsh atas luka kedua setelah budaknya merdeka, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ لَا قِصَاصَ لَهُ فِيهِ لِدُخُولِهِ بِالسِّرَايَةِ فِي نَفْسٍ لَا يُسْتَحَقُّ فِيهَا قَوَدٌ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Ibnu Surayj, menyatakan bahwa tidak ada qishāsh baginya karena hal itu termasuk dalam kategori sirāyah pada jiwa yang tidak berhak dikenai qishāsh.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ إنَّهُ يُسْتَحَقُّ فِيهِ الْقِصَاصُ وَإِنْ سَقَطَ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ لِتَمْيِيزِهَا فِي الْقَطْعِ وَإِنِ اشْتَرَكَا فِي النَّفْسِ
Pendapat kedua, yang merupakan pendapat jumhur, adalah bahwa qishāsh tetap berhak diberlakukan dalam hal ini, meskipun qawad (balasan setimpal) atas jiwa telah gugur karena adanya pembedaan dalam hal pemotongan, meskipun keduanya sama dalam hal jiwa.
فَإِنْ قِيلَ بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ إنَّهُ يَسْقُطُ الْقِصَاصُ فِي الطَّرَفِ لِسُقُوطِهِ فِي النَّفْسِ وَجَبَ الدِّيَةُ وَكَانَ لِلسَّيِّدِ مِنْهُمَا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ وَجْهًا وَاحِدًا بِخِلَافِهِ لَوْ تَفَرَّدَ بِالْجِنَايَةِ عَلَيْهِ قبل عتقه؛ لأن نصف الجناية ها هنا فِي حَالِ الرِّقِّ وَنِصْفَهَا بَعْدَ الْعِتْقِ فَلَمْ يَسْتَحِقَّ إِلَّا أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ أَوْ نِصْفِ الدِّيَةِ وَيَكُونُ الْبَاقِي لِلْوَرَثَةِ وَلَعَلَّ ابْنَ أَبِي هُرَيْرَةَ خَالَفَ فِي تِلْكَ الْمَسْأَلَةِ حَمْلًا عَلَى هَذِهِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَاضِحٌ
Jika dikatakan menurut pendapat pertama bahwa qishāsh gugur pada anggota tubuh karena gugur pula pada jiwa, maka wajib membayar diyat, dan bagi tuan dari keduanya (yaitu tuan dan ahli waris) hanya berhak atas yang lebih sedikit di antara dua hal: setengah dari nilai budak atau setengah dari diyat, menurut satu pendapat, berbeda halnya jika ia sendirian melakukan jinayah terhadap budak sebelum dimerdekakan; karena setengah jinayah terjadi saat budak masih dalam keadaan budak, dan setengahnya lagi setelah dimerdekakan, maka ia tidak berhak kecuali atas yang lebih sedikit di antara setengah nilai atau setengah diyat, dan sisanya menjadi hak ahli waris. Mungkin Ibnu Abi Hurairah berbeda pendapat dalam masalah tersebut karena menganggapnya sama dengan kasus ini, padahal perbedaan antara keduanya jelas.
وَإِنْ قِيلَ بِالْوَجْهِ الثَّانِي إنَّهُ لَا يَسْقُطُ الْقِصَاصُ فِي الطَّرَفِ الثَّانِي وَإِنْ سَقَطَ فِي النَّفْسِ فَهُوَ مُسْتَحَقٌّ لِلْوَارِثِ دُونَ السَّيِّدِ فَإِنِ اقْتَصَّ مِنْهُ فَقَدِ اسْتَوْفَى بِهِ نِصْفَ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ مَا أَخَذَهُ السَّيِّدُ مِنْ أَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ هُوَ نِصْفُ الدِّيَةِ فَقَدِ اسْتَوْفَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ السَّيِّدِ وَالْوَارِثِ حَقَّهُ وَإِنْ كَانَ السَّيِّدُ قَدْ أَخَذَ نِصْفَ الْقِيمَةِ؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ كَانَ زَائِدًا عَلَيْهِ مَنْ نِصْفِ الدِّيَةِ رَاجِعًا عَلَى الْوَارِثِ؛ لِأَنَّهَا زِيَادَةٌ حَدَثَتْ بِالْحُرِّيَّةِ
Dan jika dikatakan menurut pendapat kedua bahwa qishāsh pada anggota tubuh yang kedua tidak gugur meskipun qishāsh pada jiwa telah gugur, maka qishāsh tersebut menjadi hak ahli waris, bukan hak tuan. Jika ahli waris menuntut qishāsh darinya, berarti ia telah mengambil setengah diyat. Jika apa yang diambil oleh tuan dari dua kemungkinan yang lebih kecil adalah setengah diyat, maka masing-masing, baik tuan maupun ahli waris, telah mengambil haknya. Namun jika tuan mengambil setengah nilai (harga budak), karena itu lebih kecil dari setengah diyat, maka kelebihan dari setengah diyat dikembalikan kepada ahli waris, karena kelebihan itu terjadi akibat kemerdekaan.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَنْدَمِلَ الْقَطْعُ الْأَوَّلُ وَيَسْرِيَ الثَّانِي إِلَى النَّفْسِ فَعَلَى الْجَانِي فِي الْقَطْعِ الْأَوَّلِ نِصْفُ الْقِيمَةِ قَلَّتْ أَوْ كَثُرَتْ لِانْدِمَالِهَا فِي عَبْدٍ وَلَا قِصَاصَ فِيهَا؛ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى عَبْدٍ
Adapun bagian ketiga, yaitu apabila luka potong yang pertama telah sembuh dan luka potong yang kedua menjalar hingga menyebabkan kematian, maka atas pelaku pada potongan pertama dikenakan setengah dari nilai (budak), sedikit atau banyak, karena telah sembuhnya luka tersebut pada seorang budak, dan tidak ada qishāsh padanya; karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap seorang budak.
وَعَلَيْهِ فِي الْقَطْعِ الثَّانِي الْقَوَدُ فِي الْنفسِ لِسِرَايَتِهِ إِلَيْهَا وَأَنَّهَا مِنْ حُرٍّ إِلَى حُرٍّ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ فَعَلَيْهِ جَمِيعُ الدِّيَةِ لِاسْتِقْرَارِهَا فِي نَفْسِ حُرٍّ فَيَصِيرُ بِالْقَطْعَيْنِ مُلْتَزِمًا لِنِصْفِ الْقِيمَةِ وَجَمِيعِ الدِّيَةِ يَخْتَصُّ السَّيِّدُ بِنِصْفِ الدِّيَةِ وَالْوَرَثَةُ بِجَمِيعِ الدِّيَةِ
Oleh karena itu, pada pemotongan kedua, berlaku qishāsh pada jiwa karena luka tersebut menjalar hingga menyebabkan kematian, dan hal itu terjadi antara seorang merdeka dengan merdeka. Jika ahli waris memaafkannya, maka pelaku wajib membayar seluruh diyat karena diyat itu telah tetap pada jiwa seorang merdeka. Dengan demikian, dengan dua pemotongan tersebut, pelaku menjadi wajib membayar setengah nilai dan seluruh diyat; tuan (pemilik budak) berhak atas setengah diyat, sedangkan para ahli waris berhak atas seluruh diyat.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ أَنْ يَنْدَمِلَ الْقَطْعُ الثَّانِي وَيَسْرِيَ الْقَطْعُ الْأَوَّلُ فِي النَّفْسِ فَفِي الْقَطْعِ الثَّانِي نِصْفُ الدِّيَةِ وَفِيهِ الْقِصَاصُ وَجْهًا وَاحِدًا لِاسْتِقْرَارِهَا مِنْ حُرٍّ عَلَى حُرٍّ
Adapun bagian keempat, yaitu apabila luka potongan kedua telah sembuh dan potongan pertama menjalar hingga menyebabkan kematian, maka pada potongan kedua dikenakan setengah diyat, dan padanya juga berlaku qishāsh menurut satu pendapat, karena luka tersebut telah menetap dari seorang merdeka kepada seorang merdeka.
فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَقَدْ صَارَ نَفْسًا فَلَا قِصَاصَ فِيهِ؛ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى عَبْدٍ وَفِيهِ دِيَةُ حُرٍّ لِاسْتِقْرَارِهَا فِي حُرٍّ يَكُونُ لِلسَّيِّدِ مِنْهَا الْأَقَلُّ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ أو نصف ديته
Adapun yang pertama, maka ia telah menjadi jiwa, sehingga tidak ada qishāsh padanya; karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap seorang budak, dan atasnya dikenakan diyat seorang merdeka karena telah tetap pada seorang merdeka, yang menjadi hak tuannya adalah yang lebih sedikit antara setengah dari nilainya atau setengah dari diyatnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي وَلَوْ قَطَعَ ثَانٍ بَعْدَ الْحُرِّيَّةِ رِجْلَهُ وَثَالِثٌ بَعْدَهُمَا يَدَهُ فَمَاتَ فَعَلَيْهِمْ دِيَةُ حُرٍّ وَفِيمَا لِلسَّيِّدِ مِنَ الدِّيَةِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّ لَهُ الْأَقَلَّ مِنْ ثُلُثِ الدِّيَةِ وَنِصْفَ قِيمَتِهِ عَبْدًا وَلَا يُجْعَلُ لَهُ أَكْثَرُ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عبداً ولو كان لا يبلغ إلا بعيراً لأنه لم يكن في ملكه جناية غيرها ولا يجاوز به ثلث دية حر ولو كان نصف قيمته مائة بعير من أجل أنه تنقص بالموت والقول الثاني أن لسيده الأقل مِنْ ثُلُثِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثُلُثِ دِيَتِهِ حراً لأنه مات من جناية ثالثة قال المزني رحمه الله وقد قطع في موضع آخر أنه لو جرحه ما الحكومة فيه بعير ولزمه بالحرية ومن شركه عشر من الإبل لم يأخذ السيد إلا البعير الذي وجب بالجرح وهو عبده قال المزني رحمه الله فهذا أقيس بقوله وأولى عندي بأصله وإن لم يزده على بعير لأنه وجب بالجرح وهو عبده ففي القياس أن لا ينقصه وإن جاوز عقل حر لأنه وجب له بالجرح وهو عبد
Imam Syafi‘i berkata: Jika ada orang kedua setelah merdeka memotong kakinya, lalu orang ketiga setelah keduanya memotong tangannya, kemudian ia meninggal dunia, maka atas mereka diwajibkan membayar diyat seorang merdeka. Mengenai bagian diyat yang menjadi hak tuan (pemilik budak), terdapat dua pendapat. Salah satunya adalah bahwa ia berhak atas yang paling sedikit antara sepertiga diyat dan setengah nilai budaknya, dan tidak diberikan kepadanya lebih dari setengah nilai budaknya, meskipun setengah nilai itu hanya seekor unta, karena tidak ada kejahatan lain yang terjadi saat budak itu masih menjadi miliknya, dan tidak boleh melebihi sepertiga diyat orang merdeka, meskipun setengah nilainya seratus ekor unta, sebab nilainya berkurang karena kematian. Pendapat kedua menyatakan bahwa tuannya berhak atas yang paling sedikit antara sepertiga nilai budaknya atau sepertiga diyat orang merdeka, karena ia meninggal akibat kejahatan ketiga. Al-Muzani rahimahullah berkata: Ia juga telah memutuskan di tempat lain bahwa jika seseorang melukainya dan hukumannya seekor unta, lalu ia menjadi merdeka, dan ada orang lain yang ikut serta sebanyak sepersepuluh ekor unta, maka tuan budak itu hanya mengambil seekor unta yang wajib dibayar karena luka tersebut, karena ia adalah budaknya. Al-Muzani rahimahullah berkata: Ini lebih sesuai dengan qiyās menurut pendapatnya dan lebih utama menurutku berdasarkan asal usulnya, meskipun tidak lebih dari seekor unta, karena kewajiban itu timbul karena luka dan ia masih budak. Maka menurut qiyās, tidak boleh dikurangi, meskipun melebihi diyat orang merdeka, karena kewajiban itu timbul karena luka dan ia masih budak.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي عَدَدٍ مِنَ الأَحْرَارِ جَنَوْا عَلَى مُعْتَقٍ بَعْضُهُمْ فِي الرِّقِّ وَبَعْضُهُمْ بَعْدَ الْعِتْقِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah sekelompok orang merdeka melakukan pelanggaran terhadap seseorang yang telah dimerdekakan, sebagian dari mereka melakukannya saat masih dalam keadaan budak dan sebagian lagi setelah dimerdekakan. Maka kasus ini terbagi menjadi dua bentuk.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَا اثْنَيْنِ
Salah satunya adalah keduanya harus berjumlah dua.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونُوا أَكْثَرَ مِنِ اثنين
Dan yang kedua adalah bahwa mereka berjumlah lebih dari dua orang.
فإن كان الجاني عليه اثنان فَقَطَعَ أَحَدُهُمَا فِي حَالِ الرِّقِّ إِحْدَى يَدَيْهِ وَقَطَعَ الْآخَرُ بَعْدَ الْعِتْقِ إِحْدَى رِجْلَيْهِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْقَطْعَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Jika yang melakukan kejahatan itu dua orang, lalu salah satu dari mereka memotong salah satu tangan korban saat masih berstatus budak, dan yang lainnya memotong salah satu kakinya setelah korban merdeka, maka keadaan kedua pemotongan itu tidak lepas dari empat bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَنْدَمِلَا فَيَكُونُ الْأَوَّلُ قَاطِعًا فِي الرِّقِّ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِ نِصْفُ الْقِيمَةِ قَلَّتْ أَوْ كَثُرَتْ تَكُونُ لِسَيِّدِهِ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى عَبْدٍ وَالْقَاطِعُ الثَّانِي عَلَيْهِ الْقَوَدُ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ فَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ تَكُونُ لِلْمُعْتَقِ؛ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى حُرٍّ
Salah satunya adalah jika keduanya sembuh, maka yang pertama menjadi pemotong (anggota badan) ketika masih dalam status budak, sehingga tidak ada qishāsh atasnya dan ia wajib membayar setengah dari nilai (budak), baik nilainya sedikit maupun banyak, yang menjadi hak tuannya, karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap seorang budak. Sedangkan pemotong kedua, atasnya berlaku qishāsh. Jika dimaafkan darinya, maka ia wajib membayar setengah diyat yang menjadi hak orang yang memerdekakan, karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap seorang merdeka.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَنْدَمِلَ الْقَطْعُ الْأَوَّلُ وَيَسْرِي الثَّانِي إِلَى النَّفْسِ فَيَكُونُ عَلَى الْأَوَّلِ نِصْفُ الْقِيمَةِ لِسَيِّدِهِ دُونَ الْقِصَاصِ وَعَلَى الثَّانِي الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ أَوِ الدِّيَةُ لِوَرَثَتِهِ
Bagian kedua adalah apabila luka potong yang pertama telah sembuh, lalu luka potong yang kedua menyebabkan kematian, maka atas pelaku pertama wajib membayar setengah nilai budak kepada tuannya tanpa dikenai qishāsh, sedangkan atas pelaku kedua dikenakan qishāsh jiwa atau diyat kepada ahli warisnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَنْدَمِلَ الْقَطْعُ الثَّانِي وَيَسْرِيَ الْأَوَّلُ إِلَى النَّفْسِ فَيَكُونُ فِي الْقَطْعِ الثَّانِي الْقَوَدُ لِأَنَّهُ مِنْ حُرٍّ عَلَى حُرٍّ فَإِنْ عَفَي عَنْهُ فَفِيهِ نِصْفُ الدِّيَةِ لِوَرَثَةِ الْمُعْتَقِ لِاسْتِحْقَاقِهِمَا بَعْدَ الْعِتْقِ
Bagian ketiga adalah apabila luka potong yang kedua telah sembuh, lalu luka potong yang pertama menjalar hingga menyebabkan kematian. Maka pada luka potong yang kedua berlaku hukum qishāsh, karena dilakukan oleh orang merdeka terhadap orang merdeka. Jika dimaafkan, maka bagiannya adalah setengah diyat untuk ahli waris orang yang dimerdekakan, karena mereka berhak mendapatkannya setelah kemerdekaan.
وَأَمَّا الْقَطْعُ الْأَوَّلُ فَقَدْ صَارَ نَفْسًا وَجَبَتْ فِيهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً لِاسْتِقْرَارِهَا فِي حُرٍّ وَلِلسَّيِّدِ مِنْهَا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنَ القِيمَةِ أَوِ الدِّيَةِ كَمَا لَوْ تَفَرَّدَ الْأَوَّلُ بِقَطْعِهِ دُونَ الثَّانِي وَلَهُ عَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ جَمِيعِ قِيمَتِهِ أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ
Adapun potongan pertama, maka ia telah menjadi jiwa yang wajib dibayar diyat secara penuh karena telah menetap pada seorang merdeka. Dan bagi tuannya dari diyat tersebut adalah yang lebih sedikit dari dua hal, yaitu nilai atau diyat, sebagaimana jika yang pertama saja yang memotong tanpa yang kedua. Dan menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, baginya adalah yang lebih sedikit dari seluruh nilainya atau setengah diyatnya.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنَّ يَسْرِيَ الْقَطْعَانِ إِلَى نَفْسِهِ فَيَمُوتَ فَالْكَلَامُ فِي فَصْلَيْنِ
Bagian keempat adalah apabila luka yang memutus itu merambat ke dirinya sendiri lalu ia meninggal dunia, maka pembahasan ada pada dua bagian.
أَحَدُهُمَا فِي الْقِصَاصِ
Salah satunya adalah dalam masalah qishāsh.
وَالثَّانِي فِي الدِّيَةِ
Dan yang kedua tentang diyat.
فَأَمَّا الْقِصَاصُ فَلَا يَجِبُ عَلَى الْأَوَّلِ الْقَاطِعِ فِي الرِّقِّ قِصَاصٌ فِي الْيَدِ وَلَا قَوَدٌ فِي النَّفْسِ لِأَنَّهُ قَاطِعٌ فِي الرِّقِّ فَتَبِعَهُ حُكْمُ السِّرَايَةِ بَعْدَ الْعِتْقِ لِأَنَّهَا لَمَّا لَمْ تُضْمَنْ جِنَايَتُهُ بِالْقِصَاصِ لَمْ تُضْمَنْ سِرَايَتُهُ بِالْقَوَدِ كَمَا أَنَّ مَا لَمْ تُضْمَنْ جِنَايَتُهُ بِالْأَرْشِ لَمْ تُضْمَنْ سِرَايَتُهُ بِالدِّيَةِ
Adapun qishāsh, maka tidak wajib atas orang pertama yang memotong (anggota tubuh) dalam keadaan budak untuk dikenakan qishāsh pada tangan, dan tidak pula qawad pada jiwa, karena ia melakukan pemotongan saat masih berstatus budak, sehingga hukum sirāyah (penyebaran luka hingga menyebabkan kematian) setelah ia merdeka mengikuti status sebelumnya. Karena ketika tindak pidananya tidak dijamin dengan qishāsh, maka sirāyah-nya pun tidak dijamin dengan qawad, sebagaimana jika tindak pidananya tidak dijamin dengan arsy, maka sirāyah-nya pun tidak dijamin dengan diyat.
وَأَمَّا الْقَاطِعُ الثَّانِي بَعْدَ الْعِتْقِ فَعَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي الرِّجْلِ وَالْقَوَدُ فِي النَّفْسِ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى حُرٍّ فِي حَالِ الْقَطَعِ وَالسِّرَايَةِ
Adapun pemotong kedua setelah merdeka, maka atasnya berlaku qishāsh pada kaki dan qawad pada jiwa, karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap merdeka lainnya pada saat pemotongan dan penyebarannya.
وَقَالَ أَبُو الطَّيِّبِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي الرِّجْلِ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي النَّفْسِ لِأَنَّ النَّفْسَ تَلِفَتْ بِسِرَايَةِ جُرْحَيْنِ مُمْتَزِجَيْنِ فَأَوْجَبَ سُقُوطُ الْقَوَدِ فِي أَحَدِهِمَا سُقُوطَهُ فِي الْآخَرِ كَاشْتِرَاكِ الْعَامِدِ وَالْخَاطِئِ وَهَذَا فَاسِدٌ بِاشْتِرَاكِ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ فِي قَتْلِ عَبْدٍ وَالْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ فِي قَتْلِ الْكَافِرِ لَا يَكُونُ سُقُوطُ الْقَوَدِ عَنِ الْحُرِّ وَالْمُسْلِمِ مُوجِبًا لِسُقُوطِهِ عَنِ الْعَبْدِ وَالْكَافِرِ لِأَنَّهُمَا تَسَاوَيَا فِي الْفَضْلِ وَاخْتَلَفَا فِي الْكَفَّارَةِ كَذَلِكَ فِي سِرَايَةِ الْقَطْعِ وَخَالَفَ اشْتِرَاكَ الْعَامِدِ وَالْخَاطِئِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْفَضْلِ
Abu Thayyib bin Abi Salamah berkata: “Atasnya berlaku qishāsh pada kaki, namun tidak berlaku qishāsh atasnya dalam hal jiwa, karena jiwa itu binasa akibat gabungan dua luka yang saling bercampur, sehingga gugurnya qishāsh pada salah satunya menyebabkan gugurnya qishāsh pada yang lainnya, seperti keterlibatan pelaku sengaja dan pelaku tidak sengaja. Pendapat ini rusak (tidak benar) jika dibandingkan dengan keterlibatan orang merdeka dan budak dalam membunuh seorang budak, serta keterlibatan seorang Muslim dan kafir dalam membunuh seorang kafir; tidaklah gugurnya qishāsh dari orang merdeka dan Muslim menyebabkan gugurnya qishāsh dari budak dan kafir, karena keduanya sama dalam keutamaan namun berbeda dalam kafārah. Demikian pula dalam kasus penularan (dampak) pemotongan anggota tubuh, berbeda dengan keterlibatan pelaku sengaja dan pelaku tidak sengaja karena keduanya berbeda dalam keutamaan.”
وَأَمَّا الدِّيَةُ فَعَلَيْهَا دِيَةُ حُرٍّ لِاسْتِقْرَارِ جِنَايَتِهَا فِي حُرٍّ يَجِبُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُهَا وَلَا يَتَحَمَّلُ الْقَاطِعُ فِي الرِّقِّ أَقَلَّ مِمَّا يَتَحَمَّلُهُ الْقَاطِعُ بَعْدَ الْعِتْقِ
Adapun diyat, maka atasnya dikenakan diyat seorang merdeka karena kejahatannya telah tetap pada seorang merdeka. Masing-masing dari keduanya wajib membayar setengahnya, dan pemotong dalam keadaan budak tidak menanggung lebih sedikit daripada yang ditanggung oleh pemotong setelah merdeka.
فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا اخْتَلَفَا فِي قَدْرِ مَا يَتَحَمَّلَانِهِ لاختلافهما في رقه وحريته؛ كما لو عَبْدًا فِي الْحَالَتَيْنِ كَانَ عَلَى الْأَوَّلِ نِصْفُ قِيمَتِهِ سَلِيمًا وَعَلَى الثَّانِي نِصْفُ قِيمَتِهِ مَقْطُوعًا
Jika dikatakan, “Mengapa keduanya tidak berbeda dalam kadar tanggungan yang harus mereka pikul karena perbedaan antara keduanya dalam hal status budak dan merdeka? Sebagaimana jika seseorang adalah budak dalam kedua keadaan, maka pada keadaan pertama setengah dari nilai dirinya dalam keadaan sehat, dan pada keadaan kedua setengah dari nilai dirinya dalam keadaan terpotong.”
قُلْنَا لِأَنَّ قِيمَةَ الْعَبْدِ تَخْتَلِفُ بِالسَّلَامَةِ وَالنُّقْصَانِ وَدِيَةَ الْحُرِّ لَا تَخْتَلِفُ بِالسَّلَامَةِ وَالنُّقْصَانِ فَلِذَلِكَ تَسَاوَيَا فِي دِيَةِ الْحُرِّ وَتَفَاضَلَا فِي قِيمَةِ الْعَبْدِ
Kami katakan: Karena nilai seorang budak berbeda-beda tergantung pada kesempurnaan atau kekurangannya, sedangkan diyat orang merdeka tidak berbeda-beda berdasarkan kesempurnaan atau kekurangannya. Oleh karena itu, keduanya (budak dan orang merdeka) disamakan dalam diyat orang merdeka, namun berbeda dalam nilai budak.
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الدِّيَةَ عَلَيْهِمَا نِصْفَيْنِ فَهِيَ بَيْنَ السَّيِّدِ وَالْوَرَثَةِ لِحُدُوثِ الْجِنَايَةِ فِي رِقٍّ وَحُرِّيَّةٍ وَلِلسَّيِّدِ مِنْهَا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ أَوْ نِصْفِ الدِّيَةِ فَإِنْ كَانَ نِصْفُ الدِّيَةِ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ اسْتَوْفَى مِنَ القَاطِعِينَ الدِّيَةَ إِبِلًا وَأَعْطَى السَّيِّدَ نِصْفَهَا إِبِلًا وَلِلْوَرَثَةِ نِصْفَهَا إِبِلًا
Jika telah tetap bahwa diyat itu atas keduanya terbagi dua, maka diyat tersebut dibagi antara tuan dan para ahli waris, karena terjadinya tindak pidana itu dalam keadaan budak dan merdeka. Bagian tuan dari diyat itu adalah yang lebih sedikit di antara dua hal: setengah nilai atau setengah diyat. Jika setengah diyat adalah yang lebih sedikit di antara keduanya, maka dari para pelaku pemotongan diambil diyat berupa unta, lalu diberikan kepada tuan setengahnya berupa unta dan kepada para ahli waris setengahnya berupa unta.
وَهَلْ يَخْتَصُّ السَّيِّدُ بِالنِّصْفِ الَّذِي عَلَى الْقَاطِعِ الْأَوَّلِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ مُحْتَمَلَيْنِ
Apakah tuan (pemilik budak) secara khusus berhak atas separuh (diyat) yang menjadi tanggungan pelaku pemotongan pertama, atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang mungkin.
أَحَدُهُمَا يَخْتَصُّ بِهِ لِاخْتِصَاصِهِ بِالْجِنَايَةِ فِي مِلْكِهِ فَيَكُونُ النِّصْفُ الَّذِي عَلَى الْقَاطِعِ الْأَوَّلِ لِلسَّيِّدِ وَالنِّصْفُ الَّذِي عَلَى الْقَاطِعِ الثَّانِي لِلْوَرَثَةِ وَلَا يَقَعُ اشْتِرَاكٌ بَيْنَ السَّيِّدِ وَالْوَرَثَةِ
Salah satunya bersifat khusus baginya karena kekhususannya dalam melakukan jināyah pada miliknya, sehingga separuh yang menjadi tanggungan pelaku pemotongan pertama adalah untuk tuan, dan separuh yang menjadi tanggungan pelaku pemotongan kedua adalah untuk para ahli waris, dan tidak terjadi persekutuan antara tuan dan para ahli waris.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُمَا مُشْتَرِكَانِ فِيهِمَا عَلَى الْقَاطِعَيْنِ وَلَا يختص واحد منهما بما على أحدهما؛ لأنها اشْتَرَكَا فِي قَتْلِ نَفْسٍ مُشْتَرَكَةٍ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْدَلَ بِالسَّيِّدِ عَنْ نِصْفِ الدِّيَةِ مِنَ الإِبِلِ إِلَى نِصْفِ الْقِيمَةِ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مِنَ الإِبِلِ مُسْتَحَقَّةً فِي قِيَمِ الْعَبِيدِ لِأَنَّهُ صَارَ مَعْدُولًا بِهِ عَنِ الْقِيمَةِ إِلَى الدِّيَةِ وَجَبَ أَنْ يَعْدِلَ بِهِ عَنْ جِنْسِ الْقِيمَةِ إِلَى جِنْسِ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ نِصْفُ الْقِيمَةِ وَجَبَ أَنْ يَأْخُذَ السَّيِّدُ مِنْ إِبِلِ الدِّيَةِ نِصْفَ قِيمَةِ عَبْدِهِ وَرِقًا أَوْ ذَهَبًا فَإِنْ عَدَلَ إِلَى الْإِبِلِ لَمْ يَجُزْ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ؛ لِأَنَّ حَقَّهُ مِنْ غَيْرِهَا فَإِنْ قِيلَ بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ إنَّ حَقَّهُ مُخْتَصٌّ بِالْجَانِي الْأَوَّلِ رَجَعَ عَلَيْهِ بِنِصْفِ قِيمَةِ عَبْدِهِ وَقَوَّمَ بِهَا مِنَ الإِبِلِ مَا قَابَلَهَا وَدَفَعَ مَا بَقِيَ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ مَعَ جَمِيعِ النِّصْفِ الْآخَرِ إِلَى الْوَرَثَةِ وَإِنْ قِيلَ بِالْوَجْهِ الثَّانِي إنَّ السَّيِّدَ وَالْوَرَثَةَ مُشْتَرِكَانِ فِيمَا عَلَى الْقَاطِعَيْنِ أُخِذَتْ مِنْهُمَا الدِّيَةُ إِبِلًا وَكَانَ السَّيِّدُ شَرِيكًا فِيهَا لِلْوَارِثِ بِنِصْفِ قِيمَةِ عَبْدِهِ وَالْوَارِثُ بِالْخِيَارِ فِي أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهِ نِصْفَ الْقِيمَةِ مِنْ مَالِهِ وَيَأْخُذَ جَمِيعَ الدِّيَةِ وَبَيْنَ أَنْ يَبِيعَ مِنْهَا بِقَدْرِ نِصْفِ الْقِيمَةِ وَيَأْخُذَ الْبَاقِيَ فَإِنْ أَرَادَ الْوَارِثُ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى السَّيِّدِ بِنِصْفِ الْقِيمَةِ إِبِلًا لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ لِأَنَّ حَقَّهُ فِي غَيْرِهَا فَهَذَا حُكْمُ الْجِنَايَةِ إِذَا كَانَتْ مِنِ اثْنَيْنِ
Pendapat kedua adalah bahwa keduanya (yaitu, dua pelaku) sama-sama menanggung kewajiban atas keduanya secara pasti, dan tidak ada salah satu dari mereka yang khusus menanggung apa yang menjadi kewajiban salah satunya; karena keduanya telah bersama-sama dalam membunuh satu jiwa yang sama, dan tidak boleh dialihkan dari hak tuan (pemilik budak) berupa setengah diyat dari unta kepada setengah nilai (budak) kecuali atas dasar kerelaan, meskipun diyat dari unta itu tidak wajib dalam penilaian budak, karena telah dialihkan dari nilai kepada diyat, maka wajib pula dialihkan dari jenis nilai kepada jenis diyat. Jika yang paling sedikit dari dua hal itu adalah setengah nilai, maka wajib bagi tuan untuk mengambil dari unta diyat sebesar setengah nilai budaknya, baik berupa perak maupun emas. Jika dialihkan kepada unta, maka tidak boleh kecuali atas dasar kerelaan, karena haknya bukan pada unta. Jika dikatakan menurut pendapat pertama bahwa haknya khusus pada pelaku pertama, maka ia menuntut kepada pelaku pertama setengah nilai budaknya, lalu menilai dengan unta sejumlah yang sepadan, dan menyerahkan sisa dari setengah diyat bersama seluruh setengah lainnya kepada ahli waris. Namun jika dikatakan menurut pendapat kedua bahwa tuan dan ahli waris sama-sama menanggung kewajiban atas dua pelaku, maka diambil dari keduanya diyat berupa unta, dan tuan menjadi sekutu dalam diyat itu bersama ahli waris sebesar setengah nilai budaknya, dan ahli waris berhak memilih antara memberikan kepada tuan setengah nilai dari hartanya dan mengambil seluruh diyat, atau menjual dari diyat sebesar setengah nilai dan mengambil sisanya. Jika ahli waris ingin memberikan kepada tuan setengah nilai berupa unta, maka itu tidak wajib kecuali atas dasar kerelaan, karena haknya bukan pada unta. Inilah hukum jinayah (kejahatan) jika dilakukan oleh dua orang.
فَصْلٌ
Bagian
وَأَمَّا إِذَا كَانَ عَدَدُ الْجُنَاةِ أَكْثَرَ مِنِ اثْنَيْنِ كَالثَّلَاثَةِ فَصَاعِدًا فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Adapun jika jumlah pelaku kejahatan lebih dari dua orang, seperti tiga orang atau lebih, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ الْجُنَاةُ فِي الرِّقِّ أَقَلَّ مِنَ الجُنَاةِ بَعْدَ الْعِتْقِ
Salah satunya adalah para pelaku kejahatan dalam keadaan budak lebih sedikit dibandingkan para pelaku kejahatan setelah merdeka.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْجُنَاةُ فِي الرِّقِّ أَكْثَرَ من الجناة بعد العتق
Yang kedua, para pelaku kejahatan dari kalangan budak lebih banyak dibandingkan para pelaku kejahatan setelah dimerdekakan.
والثالث أن يتساوى عَدَدُهُمْ فِي الرِّقِّ وَبَعْدَ الْعِتْقِ فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ إِذَا كَانُوا فِي الرِّقِّ أَقَلَّ فَهُوَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ
Yang ketiga adalah jumlah mereka sama dalam keadaan sebagai budak dan setelah merdeka. Adapun bagian yang pertama, yaitu jika mereka dalam keadaan sebagai budak lebih sedikit, maka itulah masalah yang dibahas dalam kitab.
وَصُورَتُهَا أَنْ يَقْطَعَ حُرٌّ يَدَهُ فِي حَالِ الرِّقِّ ثُمَّ يُعْتَقَ فَيَقْطَعَ ثَانٍ يَدَهُ الْأُخْرَى وَيَقْطَعَ ثَالِثٌ إِحْدَى رِجْلَيْهِ وَتَسْرِي الْجِنَايَاتُ الثَّلَاثُ إِلَى نَفْسِهِ فَيَمُوتُ فَالْجَانِي فِي حَالِ الرِّقِّ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي نَفْسٍ وَلَا طَرَفٍ؛ لِأَنَّهُ جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى عَبْدٍ
Gambaran kasusnya adalah seorang merdeka memotong tangannya sendiri saat dalam keadaan budak, kemudian ia dimerdekakan, lalu orang kedua memotong tangan satunya lagi, dan orang ketiga memotong salah satu kakinya, kemudian ketiga tindak pidana tersebut berlanjut pada dirinya hingga ia meninggal dunia. Maka pelaku pada saat ia masih budak tidak dikenakan qishāsh baik atas jiwa maupun anggota tubuh, karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap seorang budak.
وَأَمَّا الْجَانِيَانِ بَعْدَ الْعِتْقِ فَعَلَيْهِمَا الْقِصَاصُ فِي الطَّرَفِ وَالْقَوَدُ فِي النَّفْسِ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى حُرٍّ
Adapun dua pelaku jinayah setelah merdeka, maka atas keduanya berlaku qishāsh pada anggota tubuh dan qawad pada jiwa, karena ini merupakan jinayah seorang merdeka terhadap merdeka.
وَعِنْدَ أَبِي الطَّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ أَنَّهُ يُقْتَصُّ مِنْ طَرَفِهِ وَلَا يُقَادُ مِنْ نَفْسِهِ
Menurut Abu Thayyib bin Salamah, pelaku dapat dikenai qishāsh pada anggota tubuhnya, namun tidak dikenai qishāsh pada jiwanya.
وَقَدْ رَدَدْنَا عَلَيْهِ فَأَمَّا الدِّيَةُ فَعَلَى الثَّلَاثَةِ دِيَةُ حُرٍّ بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ مُشْتَرِكٌ فِي الْتِزَامِهَا الْجَانِي فِي الرِّقِّ وَالْجَانِيَانِ بَعْدَ الْعِتْقِ
Kami telah membantah pendapatnya. Adapun diyat, maka atas ketiganya diwajibkan satu diyat orang merdeka yang dibagi rata di antara mereka; kewajiban membayar diyat itu ditanggung bersama oleh pelaku (jāni) saat masih berstatus budak dan dua pelaku lainnya setelah mereka merdeka.
وَهُمَا لِلسَّيِّدِ مِنْهُمَا قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ
Keduanya menurut asy-Sayyid terdapat dua pendapat yang dinyatakan secara eksplisit.
أَحَدُهُمَا لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثُلُثِ دِيَتِهِ لِحُرٍّ؛ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ فِي مِلْكِهِ بِقَطْعِ يَدِهِ أَوْجَبَتْ نِصْفَ قِيمَتِهِ فَإِنْ حَدَثَ لَهُ بِالسِّرَايَةِ زِيَادَةٌ لَمْ يَمْلِكْهَا لِزَوَالِ مِلْكِهِ عِنْدَ وُجُوبِهَا وَإِنْ حَدَثَ نُقْصَانٌ عَادَ عَلَيْهِ كَمَا لَوْ جَنَى عَلَيْهِ جِنَايَاتٍ تُوجِبُ قِيَمًا ثُمَّ سَرَتْ إِلَى نَفْسِهِ وَجَبَ قِيمَةٌ وَاِحِدَةٌ وَعَادَ الْبَعْضُ عَلَيْهِ كَذَلِكَ هَاهُنَا
Salah satunya adalah ia berhak mendapatkan yang lebih sedikit dari dua hal: setengah nilai budak tersebut atau sepertiga diyat orang merdeka; karena tindak pidana yang terjadi dalam kepemilikannya dengan memotong tangannya mewajibkan setengah dari nilainya. Jika kemudian terjadi tambahan akibat sirayah (penyebaran luka) maka ia tidak memilikinya karena kepemilikannya telah hilang saat kewajiban itu muncul. Namun jika terjadi pengurangan, maka itu kembali kepadanya, sebagaimana jika seseorang melakukan beberapa tindak pidana terhadap budak yang mewajibkan pembayaran nilai, lalu luka itu menyebar hingga menyebabkan kematian, maka yang wajib hanya satu nilai saja, dan sebagian dari nilai itu kembali kepadanya; demikian pula halnya dalam kasus ini.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لِلسَّيِّدِ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ ثُلُثِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثُلُثِ دِيَتِهِ حُرًّا لِأَمْرَيْنِ
Pendapat kedua menurut as-Sayyid adalah yang paling sedikit dari dua hal: sepertiga dari nilainya sebagai budak atau sepertiga dari diyatnya sebagai orang merdeka, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْجِنَايَاتِ إِذَا صَارَتْ نَفْسًا سَقَطَ اعْتِبَارُ أُرُوشِهَا كَمَا لَوْ جَرَحَهُ أَحَدُهُمَا مُوضِحَةً وَالْآخَرُ جَائِفَةً وَمَاتَ كَانَا فِي دِيَتِهِ سَوَاءً
Salah satunya adalah bahwa jināyah, jika telah menyebabkan kematian, maka pertimbangan terhadap diyat luka-lukanya gugur, sebagaimana jika salah satu dari mereka melukainya dengan luka muḍīḥah dan yang lain dengan luka jā’ifah, lalu ia meninggal, maka keduanya sama dalam diyatnya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا اعْتُبِرَ أَعْدَادُ الْجُنَاةِ فِيمَنْ يَجِبُ عَلَيْهِ الدِّيَةُ وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ أَعْدَادُهُمْ فِيمَنْ يَسْتَحِقُّ لِلدِّيَةِ فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا وَجَنَى عَلَيْهِ رَابِعٌ بَعْدَ الْعِتْقِ وَجَبَتِ الدِّيَةُ عَلَى أَرْبَعَةٍ بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ
Kedua, ketika jumlah pelaku kejahatan diperhitungkan dalam hal siapa yang wajib membayar diyat, maka jumlah mereka juga harus diperhitungkan dalam hal siapa yang berhak menerima diyat. Berdasarkan hal ini, jika kasusnya tetap seperti semula, lalu ada orang keempat yang melakukan kejahatan terhadapnya setelah ia merdeka, maka diyat wajib dibayarkan oleh empat orang tersebut secara merata di antara mereka.
وَفِيمَا لِلسَّيِّدِ مِنْهَا قَوْلَانِ
Dalam hal apa yang menjadi hak tuan (pemilik budak) dari hal-hal tersebut, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ رُبْعِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ
Salah satunya adalah ia mendapatkan yang lebih sedikit dari dua hal, yaitu setengah dari nilainya sebagai budak atau seperempat dari diyatnya sebagai orang merdeka, dengan mempertimbangkan ʾarsy al-jināyah.
وَالثَّانِي لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ من ربع قيمته عبدا أو ربع ديته حراً اعتباراً ولو كان مَعَ الرَّابِعِ خَامِسٌ لَكَانَ لَهُ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ خُمُسِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ
Dan yang kedua, baginya adalah yang paling kecil dari dua hal: seperempat nilai dirinya jika ia adalah budak, atau seperempat diyat jika ia adalah orang merdeka, sebagai pertimbangan. Dan jika bersama yang keempat ada yang kelima, maka menurut pendapat pertama, baginya adalah yang paling kecil dari dua hal: setengah nilai dirinya jika ia adalah budak, atau seperlima diyat jika ia adalah orang merdeka, sebagai pertimbangan dengan arsy jinayah.
وَلَهُ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ خُمُسِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ خُمُسِ دِيَتِهِ حُرًّا؛ اعْتِبَارًا بِأَعْدَادِ الْجُنَاةِ
Menurut pendapat kedua, baginya adalah yang paling sedikit dari dua hal: seperlima dari nilai budaknya atau seperlima dari diyat seorang merdeka; dengan mempertimbangkan jumlah pelaku kejahatan.
وَلَوْ كَانَ الْجَانِي الْأَوَّلُ قَطَعَ فِي الرِّقِّ إِحْدَى أَصَابِعِهِ ثُمَّ أُعْتِقَ فَقَطَعَ ثَانٍ بَعْدَ الْعِتْقِ بيَدَهُ وَقَطَعَ ثَالِثٌ رِجْلَهُ ثُمَّ مَاتَ
Jika pelaku pertama memotong salah satu jarinya saat ia masih berstatus budak, kemudian ia dimerdekakan, lalu pelaku kedua setelah ia merdeka memotong tangannya, dan pelaku ketiga memotong kakinya, kemudian ia meninggal dunia.
فَفِيمَا لِلسَّيِّدِ مِنَ الدِّيَةِ قَوْلَانِ
Mengenai bagian diyat yang menjadi hak tuan, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ عُشْرِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثُلُثِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ لِأَنَّ فِي الْإِصْبَعِ عُشْرَ الْقِيمَةِ
Salah satunya adalah ia mendapatkan yang lebih kecil dari dua hal, yaitu sepersepuluh dari nilainya jika ia seorang budak, atau sepertiga dari diyatnya jika ia seorang merdeka, berdasarkan perhitungan arsy (ganti rugi) dalam jinayah, karena pada jari terdapat sepersepuluh dari nilai.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ ثُلُثِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثُلُثِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَعْدَادِ الْجُنَاةِ وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْجُنَاةُ فِي الرِّقِّ أَكْثَرَ مِنْهُمْ بَعْدَ الْعِتْقِ فَصُورَتُهُ أَنْ يَقْطَعَ حُرٌّ إِحْدَى يَدَيْهِ فِي الرِّقِّ ثُمَّ يَقْطَعُ ثَانٍ إِحْدَى رِجْلَيْهِ ثُمَّ يُعْتَقُ فَيَقْطَعُ ثَالِثٌ يَدَهُ الْأُخْرَى ثُمَّ تَسْرِي إِلَى نَفْسِهِ فَيَمُوتُ فَعَلَى الثَّلَاثَةِ الدِّيَةُ بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa baginya (pelaku) dikenakan yang lebih kecil dari dua hal, yaitu sepertiga dari nilai dirinya sebagai budak atau sepertiga dari diyatnya sebagai orang merdeka, dengan mempertimbangkan jumlah pelaku. Adapun bagian kedua, yaitu jika jumlah pelaku saat masih budak lebih banyak daripada setelah merdeka, maka contohnya adalah: seorang merdeka memotong salah satu tangan korban saat korban masih budak, kemudian orang kedua memotong salah satu kakinya, lalu korban dimerdekakan, kemudian orang ketiga memotong tangan korban yang lain, lalu luka itu menjalar hingga menyebabkan kematian korban. Maka diyat dibebankan kepada ketiga pelaku tersebut secara merata.
وَفِيمَا لِلسَّيِّدِ مِنْهَا قَوْلَانِ
Dalam hal bagian yang menjadi hak tuan, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ جَمِيعِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثُلُثَيْ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ لِأَنَّ فِي إِحْدَى الْيَدَيْنِ وَإِحْدَى الرِّجْلَيْنِ قِيمَتَهُ
Salah satunya adalah yang paling sedikit dari dua hal, yaitu dari seluruh nilainya sebagai budak atau sepertiga diyatnya sebagai orang merdeka, dengan mempertimbangkan ʾarsy jināyah, karena pada salah satu tangan dan salah satu kaki terdapat nilainya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ ثُلْثَيْ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثُلُثَيْ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَعْدَادِ الجناة؛ لأن في الرق من الثلاثة اثنان وبعد العتق واحد
Pendapat kedua menyatakan bahwa baginya adalah yang paling sedikit dari dua hal: sepertiga dari dua pertiga nilainya ketika masih sebagai budak, atau dua pertiga diyatnya ketika sudah merdeka, dengan mempertimbangkan jumlah pelaku; karena dalam keadaan sebagai budak, dari tiga orang terdapat dua, sedangkan setelah merdeka hanya satu.
وَلَوْ جَنَى عَلَيْهِ فِي الرِّقِّ ثَلَاثَةٌ قَطَعَ أَحَدُهُمْ إِحْدَى يَدَيْهِ وَقَطَعَ الْآخَرُ يَدَهُ الْأُخْرَى وَقَطَعَ الثَّالِثُ إِحْدَى رِجْلَيْهِ ثُمَّ أُعْتِقَ فَقَطَعَ رَابِعٌ بَعْدَ الْعِتْقِ رِجْلَهُ الْأُخْرَى وَمَاتَ
Jika ada tiga orang yang melakukan penganiayaan terhadapnya saat ia masih berstatus budak: salah satu dari mereka memotong salah satu tangannya, yang lain memotong tangan yang satunya lagi, dan yang ketiga memotong salah satu kakinya. Kemudian ia dimerdekakan, lalu orang keempat setelah ia merdeka memotong kaki yang satunya lagi, lalu ia meninggal dunia.
فَفِيمَا لِلسَّيِّدِ قَوْلَانِ
Maka dalam hal ini, terdapat dua pendapat bagi tuan.
أَحَدُهُمَا لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ جَمِيعِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ
Salah satunya adalah ia mendapatkan yang lebih sedikit dari dua hal, yaitu dari seluruh nilainya sebagai budak atau tiga perempat diyatnya sebagai orang merdeka, berdasarkan pertimbangan ‘arsh al-jināyah.
فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ وَجَبَ لِجِنَايَاتِ الرِّقِّ قِيمَةٌ وَنِصْفٌ فَهَلَّا أَوْجَبْتُمُوهَا لَهُ إِذَا اعْتَبَرْتُمْ أَرْشَ الْجِنَايَةِ
Jika ada yang berkata, “Telah diwajibkan untuk jinayah budak berupa nilai dan setengahnya, maka mengapa kalian tidak mewajibkannya juga baginya ketika kalian mempertimbangkan arsy jinayah?”
قُلْنَا لِأَنَّهَا إِذَا صَارَتْ نَفْسًا بَطَلَ اعْتِبَارُ مَا زَادَ عَلَى الْقِيمَةِ فَلِذَلِكَ سَقَطَ حُكْمُهُمَا
Kami katakan: Karena jika ia telah menjadi jiwa (manusia), maka tidak lagi dipertimbangkan apa yang melebihi nilai (harga), sehingga sebab itulah gugur hukum keduanya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَرْبَاعِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثَلَاثَةِ أَرْبَاعِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَعْدَادِ الْجُنَاةِ
Pendapat kedua adalah ia dikenai yang lebih sedikit dari dua hal, yaitu tiga perempat dari nilainya sebagai budak atau tiga perempat dari diyatnya sebagai orang merdeka, dengan mempertimbangkan jumlah pelaku kejahatan.
وَلَوْ قَطَعَ الْأَوَّلُ فِي الرِّقِّ إِحْدَى أَصَابِعِهِ وَقَطَعَ ثَانٍ أصْبَعًا ثَانِيَةً ثُمَّ أُعْتِقَ فَقَطَعَ ثَالِثٌ أصْبَعًا ثَالِثَةً ثُمَّ مَاتَ وَجَبَتْ عَلَيْهِمُ الدِّيَةُ
Dan jika orang pertama memotong salah satu jarinya ketika ia masih berstatus budak, lalu orang kedua memotong jari yang kedua, kemudian ia dimerdekakan, lalu orang ketiga memotong jari yang ketiga, kemudian ia meninggal dunia, maka wajib atas mereka membayar diyat.
وَفِيمَا لِلسَّيِّدِ مِنْهَا قَوْلَانِ
Dalam hal apa yang menjadi hak tuan dari hal-hal tersebut, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ خُمْسِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثُلْثَيْ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ
Salah satunya adalah ia berhak mendapatkan yang lebih kecil dari dua hal, yaitu seperlima dari nilainya jika ia seorang budak, atau dua pertiga dari diyatnya jika ia seorang merdeka, dengan mempertimbangkan besaran ganti rugi (arsh) dalam kasus jinayah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ ثُلْثَيِ الْقِيمَةِ أَوْ ثُلْثَيِ الدِّيَةِ اعْتِبَارًا بِأَعْدَادِ الْجُنَاةِ
Pendapat kedua adalah bahwa batas minimumnya adalah yang lebih kecil di antara dua hal, yaitu dua pertiga dari nilai (barang) atau dua pertiga dari diyat, dengan mempertimbangkan jumlah pelaku kejahatan.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَسْتَوِيَ أَعْدَادُ الْجُنَاةِ فِي الرِّقِّ وَبَعْدَ الْعِتْقِ
Adapun bagian ketiga, yaitu apabila jumlah para pelaku kejahatan sama dalam keadaan mereka sebagai budak maupun setelah mereka merdeka.
وَصُورَتُهُ أَنْ يَقْطَعَ إِحْدَى يَدَيْهِ فِي الرِّقِّ وَيَقْطَعَ ثَانٍ يَدَهُ الْأُخْرَى ثُمَّ يُعْتَقُ فَيَقْطَعَ ثَالِثٌ إِحْدَى رِجْلَيْهِ وَيَقْطَعَ رَابِعٌ رِجْلَهُ الْأُخْرَى ثُمَّ يَمُوتُ فَعَلَيْهِمُ الدِّيَةُ وَفِيمَا لِلسَّيِّدِ مِنْهَا قَوْلَانِ
Gambaran kasusnya adalah: seseorang memotong salah satu tangan budak saat ia masih berstatus budak, lalu orang kedua memotong tangan budak yang satunya, kemudian budak itu dimerdekakan, lalu orang ketiga memotong salah satu kakinya, dan orang keempat memotong kaki yang satunya, kemudian budak itu meninggal dunia. Maka atas mereka (para pelaku) diwajibkan membayar diyat, dan mengenai bagian diyat yang menjadi hak tuan (mantan pemilik budak) terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ جَمِيعِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ لِأَنَّ فِي الْيَدَيْنِ الْقِيمَةَ
Salah satunya adalah ia mendapatkan yang lebih kecil dari dua hal, yaitu antara seluruh nilainya sebagai budak atau setengah diyatnya sebagai orang merdeka, berdasarkan perhitungan arsy jinayah, karena pada kedua tangan terdapat nilai.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَعْدَادِ الْجُنَاةِ لِأَنَّ فِي الرِّقِّ مِنْهُمُ اثْنَيْنِ وَفِي الْحُرِّيَّةِ اثْنَيْنِ
Pendapat kedua adalah bahwa baginya dikenakan yang lebih sedikit dari dua hal, yaitu setengah dari nilainya sebagai budak atau setengah dari diyatnya sebagai orang merdeka, dengan mempertimbangkan jumlah pelaku, karena dalam status budak terdapat dua orang dari mereka, dan dalam status merdeka juga terdapat dua orang.
وَلَوْ قَطَعَ الْأَوَّلُ فِي الرِّقِّ إِحْدَى أَصَابِعِهِ وَقَطَعَ الثَّانِي إِحْدَى رِجْلَيْهِ ثُمَّ أُعْتِقَ فَقَطَعَ الثَّالِثُ رِجْلَهُ الْأُخْرَى وَقَطَعَ الرَّابِعُ يَدَهُ الْأُخْرَى وَمَاتَ فَفِيمَا لِلسَّيِّدِ مِنْهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَخْمَاسِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ لِأَنَّ فِي الْإِصْبَعِ عُشْرَ الْقِيمَةِ وَفِي الْيَدِ نِصْفَهَا
Jika yang pertama memotong salah satu jarinya ketika masih berstatus budak, lalu yang kedua memotong salah satu kakinya, kemudian ia dimerdekakan, lalu yang ketiga memotong kaki satunya lagi, dan yang keempat memotong tangan satunya lagi, lalu ia meninggal, maka mengenai bagian yang menjadi hak tuannya dari anggota-anggota tersebut terdapat dua pendapat. Salah satunya adalah: bagi tuan berhak atas yang lebih sedikit dari dua hal, yaitu tiga per lima dari nilainya sebagai budak atau setengah diyatnya sebagai orang merdeka, dengan mempertimbangkan besarnya ganti rugi (arsh) atas tindak kejahatan, karena untuk satu jari adalah sepersepuluh dari nilai, dan untuk satu tangan adalah setengahnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَعْدَادِ الْجُنَاةِ لِأَنَّ فِي الرِّقِّ مِنْهُمُ اثْنَيْنِ وَفِي الْحُرِّيَّةِ اثْنَيْنِ
Pendapat kedua adalah bahwa yang wajib adalah yang lebih sedikit di antara dua hal: setengah dari nilai budaknya atau setengah dari diyat sebagai orang merdeka, dengan mempertimbangkan jumlah pelaku, karena dalam status budak terdapat dua orang dari mereka, dan dalam status merdeka juga terdapat dua orang.
وَلَوْ قَطَعَ الْأَوَّلُ فِي الرِّقِّ إِحْدَى أَصَابِعِهِ وَقَطَعَ الثَّانِي إِحْدَى رِجْلَيْهِ ثُمَّ أُعْتِقَ فَقَطَعَ الثَّالِثُ رِجْلَهُ الْأُخْرَى وَقَطَعَ الرَّابِعُ يَدَهُ الْأُخْرَى وَمَاتَ فَفِيمَا لِلسَّيِّدِ مِنْهَا قَوْلَانِ
Jika orang pertama memotong salah satu jarinya saat ia masih berstatus budak, lalu orang kedua memotong salah satu kakinya, kemudian ia dimerdekakan, lalu orang ketiga memotong kaki yang satunya lagi, dan orang keempat memotong tangan yang satunya lagi, kemudian ia meninggal dunia, maka mengenai bagian-bagian yang menjadi hak tuan (majikan) dari anggota-anggota tubuh tersebut terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَخْمَاسِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ لِأَنَّ فِي الْإِصْبَعِ عُشْرَ الْقِيمَةِ وَفِي الرِّجْلِ نِصْفَهَا
Salah satunya adalah yang lebih sedikit dari dua hal berikut: tiga per lima dari nilainya jika sebagai budak, atau setengah dari diyat-nya jika sebagai orang merdeka, berdasarkan perhitungan arsy al-jinayah, karena pada jari terdapat sepersepuluh nilai, dan pada kaki terdapat setengahnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَعْدَادِ الْجُنَاةِ لِأَنَّ فِي الرِّقِّ مِنْهُمُ اثْنَيْنِ وَفِي الْحُرِّيَّةِ اثْنَيْنِ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ
Pendapat kedua adalah ia dikenai yang lebih sedikit dari dua hal, yaitu setengah dari nilai dirinya sebagai budak atau setengah dari diyatnya sebagai orang merdeka, dengan mempertimbangkan jumlah pelaku, karena dalam kasus perbudakan terdapat dua orang dari mereka, dan dalam kemerdekaan juga terdapat dua orang, kemudian berdasarkan qiyās seperti ini.
فَصْلٌ
Bab
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَا الْأَصْلِ فَرْعٌ يُحْمَلُ عَلَيْهِ نَظَائِرُهُ
Dari prinsip ini bercabang satu cabang yang padanya disandarkan berbagai kasus yang serupa.
وَصُورَتُهُ فِي حُرٍّ قَطَعَ إِحْدَى يَدَيْ عَبْدٍ ثُمَّ أُعْتِقَ؛ فَقَطَعَ ثَانٍ يَدَهُ الْأُخْرَى ثُمَّ ذُبِحَ الْمَقْطُوعُ فَمَاتَ تَوْجِئَةً بِالذَّبْحِ
Adapun contohnya adalah pada kasus seorang merdeka memotong salah satu tangan seorang budak, kemudian budak itu dimerdekakan; lalu orang lain memotong tangan budak yang lain, kemudian budak yang telah terpotong itu disembelih sehingga meninggal dunia akibat sembelihan tersebut.
فَلَا يَخْلُو حَالُ الذَّابِحِ مِنْ أَحَدِ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Maka keadaan orang yang menyembelih tidak lepas dari salah satu dari tiga bagian.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ هَذَا الْقَاطِعَ الْأَوَّلَ فَقَدْ صَارَ بِالذَّبْحِ قَاطِعًا لِسِرَايَةِ الْقَاطِعِ الثَّانِي سَوَاءٌ انْدَمَلَ قَطْعُهُ أَوْ لَمْ يَنْدَمِلْ فَيَجِبُ عَلَى الثَّانِي لِلْوَارِثِ دُونَ السَّيِّدِ الْقِصَاصُ فِي الْيَدِ أَوْ نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَطَعَهُ بَعْدَ الْحُرِّيَّةِ وَأَمَّا الْأُولَ فَقَدْ قَطَعَ ثُمَّ ذَبَحَ فَيُعْتَبَرُ الْقَطْعُ فَإِنْ كَانَ قَدِ انْدَمَلَ قَبْلَ الذَّبْحِ اسْتَقَرَّ حُكْمُهُ وَوَجَبَ فِيهِ لِلسَّيِّدِ نِصْفُ الْقِيمَةِ دُونَ الْقَوَدِ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى عَبْدٍ وَوَجَبَ عَلَى الْقَاطِعِ بِذَبْحِهِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ لِلْوَارِثِ فَإِنْ عَفَا فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ؛ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى حُرٍّ وَإِنْ لَمْ يَنْدَمِلْ قَطْعُهُ حَتَّى ذَبَحَهُ سَقَطَ الْقِصَاصُ فِي الْقَطْعِ لِأَنَّهُ حُرٌّ جَنَى عَلَى عَبْدٍ وَدَخَلَ أَرْشُهُ فِي دِيَةِ النَّفْسِ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ مَعَ دِيَةِ النَّفْسِ أَرْشُ قَطْعٍ لَمْ يَنْدَمِلْ وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى حُرٍّ يَسْتَحِقُّهُ الْوَارِثُ دُونَ السَّيِّدِ لِحُدُوثِ سَبَبِهِ بَعْدَ الْعِتْقِ فَإِنِ اقْتَصَّ الْوَارِثُ سَقَطَ حَقُّ السَّيِّدِ مِنْ أَرْشِ الْقَطْعِ لِأَنَّهُ لَا يَجْتَمِعُ قِصَاصٌ وَأَرْشٌ
Jika yang memotong pertama itu adalah orang yang sama, maka dengan penyembelihan tersebut ia telah menjadi pemutus bagi penularan akibat pemotongan kedua, baik lukanya telah sembuh maupun belum. Maka wajib atas pelaku kedua untuk membayar qishāsh pada tangan atau setengah diyat kepada ahli waris, bukan kepada tuan, karena ia memotongnya setelah orang tersebut merdeka. Adapun pelaku pertama, ia telah memotong lalu menyembelih, maka yang diperhitungkan adalah pemotongannya. Jika lukanya telah sembuh sebelum penyembelihan, maka hukumnya tetap dan wajib atasnya kepada tuan setengah dari nilai (budak) tanpa qishāsh, karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap seorang budak. Dan wajib atas pelaku pemotongan dengan penyembelihan itu qishāsh jiwa kepada ahli waris; jika dimaafkan, maka wajib membayar diyat, karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap merdeka. Jika lukanya belum sembuh hingga ia disembelih, maka gugur qishāsh dalam pemotongan, karena itu adalah tindak pidana seorang merdeka terhadap budak, dan ganti rugi pemotongan itu masuk dalam diyat jiwa, karena tidak berhak mendapatkan ganti rugi pemotongan yang belum sembuh bersamaan dengan diyat jiwa. Dan atasnya qishāsh jiwa, karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap merdeka yang menjadi hak ahli waris, bukan tuan, karena sebabnya terjadi setelah kemerdekaan. Jika ahli waris menuntut qishāsh, maka gugur hak tuan dari ganti rugi pemotongan, karena tidak boleh berkumpul antara qishāsh dan ganti rugi.
فَإِنْ عَفَا الْوَارِثُ عَنِ الْقَوَدِ كَانَ لَهُ دِيَةُ حُرٍّ لِلسَّيِّدِ مِنْهَا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ نِصْفِ دِيَتِهِ حُرًّا قَوْلًا وَاحِدًا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْيَدِ وَلَوْ كَانَ الْقَطْعُ لِإِصْبَعٍ مِنَ اليَدِ كَانَ لَهُ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ عُشْرِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ عُشْرِ دِيَتِهِ حُرًّا اعْتِبَارًا بِأَرْشِ الْإِصْبَعِ وَإِنْ كَانَ الذَّابِحُ هُوَ الْقَاطِعَ الثَّانِي فَقَدِ اسْتَقَرَّ قَطْعُ الْأَوَّلِ الْقَاطِعِ فِي الرِّقِّ سَوَاءٌ انْدَمَلَ أَوْ لَمْ يَنْدَمِلْ لِأَنَّ حُدُوثَ الذَّبْحِ بَعْدَهُ قَاطِعٌ لِسِرَايَتِهِ فَاسْتَقَرَّ حُكْمُهُ وَوَجَبَ فِيهِ نِصْفُ قِيمَتِهِ قَلَّتْ أَوْ كَثُرَتْ وَلَا قَوَدَ لِأَنَّهُ قَطْعُ حُرٍّ لِعَبْدٍ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الْقَطْعِ الثَّانِي بَعْدَ الْعِتْقِ فَإِنْ كَانَ قَدِ انْدَمَلَ قَبْلَ الذَّبْحِ اسْتَقَرَّ حُكْمُهُ فِي حَقِّ الْوَارِثِ مَعَ حُكْمِ الذَّبْحِ وَكَانَ لِلْوَارِثِ الْخِيَارُ فِي الْقِصَاصِ وَالدِّيَةِ بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ
Jika ahli waris memaafkan qishāsh, maka ia berhak mendapatkan diyat seorang merdeka, dan bagi tuan (pemilik budak) dari diyat tersebut, ia mendapatkan yang lebih sedikit dari dua hal: setengah nilai budak sebagai budak atau setengah diyatnya sebagai orang merdeka, menurut satu pendapat, dengan pertimbangan seperti ganti rugi tangan. Jika yang terpotong adalah satu jari tangan, maka ia mendapatkan yang lebih sedikit dari dua hal: sepersepuluh nilai budak sebagai budak atau sepersepuluh diyatnya sebagai orang merdeka, dengan pertimbangan seperti ganti rugi jari. Jika orang yang menyembelih adalah orang yang memotong kedua kalinya, maka pemotongan pertama yang dilakukan oleh pemotong pertama tetap berlaku dalam status budak, baik luka itu sudah sembuh atau belum, karena terjadinya penyembelihan setelahnya memutus kemungkinan penyebaran (luka), sehingga hukumnya tetap dan wajib atasnya setengah nilai budak, sedikit atau banyak, dan tidak ada qishāsh karena itu adalah pemotongan orang merdeka terhadap budak. Kemudian dilihat pada pemotongan kedua setelah dimerdekakan, jika luka itu telah sembuh sebelum penyembelihan, maka hukumnya tetap berlaku bagi ahli waris bersamaan dengan hukum penyembelihan, dan ahli waris memiliki pilihan dalam qishāsh dan diyat di antara empat hal.
بَيْنَ الْقِصَاصِ فِي الْيَدِ وَالْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ فَيَسْتَوِي بِهِمَا حَقَّيِ الْقَطْعِ وَالذَّبْحِ لِأَنَّهُمَا مِنْ حُرٍّ عَلَى حُرٍّ وَبَيْنَ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ اليَدِ وَيَأْخُذَ دِيَةَ النَّفْسِ وَبَيْنَ أَنْ يقتص مِنَ النَّفْسِ وَيَأْخُذَ نِصْفَ الدِّيَةِ فِي الْيَدِ وَبَيْنَ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهَا فَيَأْخُذَ نِصْفَ الدِّيَةِ فِي الْيَدِ وَدِيَةً كَامِلَةً فِي النَّفْسِ فَيَحْصُلُ لَهُ بِانْدِمَالِ الْيَدِ دِيَةٌ وَنِصْفٌ
Antara qishāsh pada tangan dan qishāsh pada jiwa, maka keduanya setara dalam hak untuk memotong dan menyembelih, karena keduanya berasal dari seorang merdeka terhadap seorang merdeka. Juga antara menuntut qishāsh pada tangan dan mengambil diyat jiwa, atau menuntut qishāsh pada jiwa dan mengambil setengah diyat pada tangan, atau memaafkan keduanya lalu mengambil setengah diyat pada tangan dan diyat penuh pada jiwa, sehingga dengan sembuhnya tangan ia memperoleh diyat satu setengah.
وَلَوْ لَمْ تَنْدَمِلِ الْيَدُ فَالْوَارِثُ بِالْخِيَارِ فِي الْقِصَاصِ بَيْنَ أربعة أشياء
Dan jika tangan tersebut tidak sembuh, maka ahli waris memiliki pilihan dalam qishāsh di antara empat hal.
أحدها أن يقتص من النفس واليد فَيَسْتَوْفِيَ بِهِمَا حَقَّيِ الْقَطْعِ وَالذَّبْحِ وَالثَّانِي أَنْ يقتص من اليد ويعفوا عَنِ الْقَوَدِ فِي النَّفْسِ فَيُحْكَمُ لَهُ بِدِيَةِ النَّفْسِ وَعِنْدِي أَنَّهُ سَهْوٌ إِلَّا عَلَى قَوْلِ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ
Pertama, dilakukan qishāsh terhadap jiwa dan tangan, sehingga dengan keduanya terpenuhi hak pemotongan tangan dan penyembelihan. Kedua, dilakukan qishāsh terhadap tangan dan dimaafkan qishāsh terhadap jiwa, sehingga diputuskan baginya diyat jiwa. Menurutku, ini adalah kekeliruan kecuali menurut pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ النَّفْسِ وَيَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ فِي الْعَبْدِ فَيَسْقُطُ أَرْشُ الْيَدِ لِاخْتِصَاصِهَا قَبْلَ الِانْدِمَالِ بِالْقِصَاصِ دُونَ الْأَرْشِ وَالرَّابِعُ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ فِي اليد والنفس فيحكم له بدية النفس ويقسط أَرْشُ الْيَدِ لِدُخُولِهِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ
Ketiga, jika ia melakukan qishāsh terhadap jiwa dan memaafkan qishāsh pada budak, maka gugurlah diyat tangan karena telah dikhususkan sebelumnya dengan qishāsh sebelum sembuh, tanpa diyat. Keempat, jika ia memaafkan qishāsh pada tangan dan jiwa, maka ditetapkan baginya diyat jiwa dan gugurlah diyat tangan karena telah termasuk dalam diyat jiwa.
وَإِنْ كَانَ الذَّابِحُ أَجْنَبِيًّا اسْتَقَرَّ حُكْمُ الْقَطْعَيْنِ وَصَارَا وَإِنْ لَمْ يَنْدَمِلَا كَالْمُنْدَمِلَيْنِ لِمَا تَعَقَّبَهُمَا مِنَ التَّوْجِئَةِ الْقَاطِعَةِ لِسِرَايَتِهَا وَكَانَ عَلَى الْقَاطِعِ الْأَوَّلِ لِلسَّيِّدِ نِصْفُ قِيمَتِهِ عَبْدًا دُونَ الْقَوَدِ؛ لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى عَبْدٍ وَعَلَى الْقَاطِعِ الثَّانِي لِلْوَارِثِ الْقِصَاصُ فِي الْيَدِ؛ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ فَنِصْفُ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهَا جِنَايَةٌ عَلَى حُرٍّ وَعَلَى الذَّابِحِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ فَإِنْ عَفَا الْوَارِثُ عَنْهُ فَلَهُ دِيَةُ النَّفْسِ كَامِلَةً لِأَنَّهَا جِنَايَةُ حُرٍّ عَلَى حُرٍّ وَلَا تَنْقُصُ بِالْمَأْخُوذِ مَنْ أَرْشِ الْيَدَيْنِ لِمَا جَرَى عَلَيْهِمَا مِنْ حُكْمِ الِانْدِمَالِ
Jika yang menyembelih adalah orang lain (bukan tuan atau ahli waris), maka hukum atas kedua potongan itu tetap berlaku dan keduanya dianggap seperti sudah sembuh, meskipun sebenarnya belum sembuh, karena adanya tindakan lanjutan berupa penyembelihan yang memutus kemungkinan penyebaran (luka). Maka, orang yang pertama kali memotong (tangan) wajib membayar kepada tuan budak setengah dari nilai budak sebagai budak, tanpa dikenai qishāsh, karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap budak. Sedangkan orang kedua yang memotong, kepada ahli waris berlaku qishāsh pada tangan; jika ahli waris memaafkannya, maka wajib membayar setengah diyat, karena itu merupakan tindak pidana terhadap orang merdeka. Adapun kepada penyembelih, berlaku qishāsh jiwa; jika ahli waris memaafkannya, maka ia berhak atas diyat jiwa secara penuh, karena itu merupakan tindak pidana seorang merdeka terhadap merdeka, dan diyat tersebut tidak berkurang dengan diyat tangan yang telah diambil, karena kedua tangan itu telah dianggap sembuh menurut hukum.
فَصْلٌ
Fasal
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ أَنْ يَكُونَ عَبْدٌ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ فَيَقْطَعُ حُرٌّ إِحْدَى يَدَيْهِ ثَمَّ يُعْتِقُ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ حِصَّتَهُ وَهُوَ مُعْسِرٌ وَيَأْتِي آخَرُ فَيَقْطَعُ يَدَهُ الْأُخْرَى ثُمَّ يَمُوتُ وَنِصْفُهُ حُرٌّ وَنِصْفُهُ مَمْلُوكٌ فَلَا قَوَدَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِبَقَاءِ الرِّقِّ فِي نِصْفِهِ وَالْمُسْتَحَقُّ مِنْهُ نِصْفُ قِيمَتِهِ عَبْدًا مَا بَلَغَتْ وَنِصْفُ دِيَتِهِ حُرًّا لِاسْتِقْرَارِهَا فِيهِ بَعْدَ عِتْقِ نِصْفِهِ وَرِقِّ نِصْفِهِ وَيَتَحَمَّلُ الْقَاطِعَانِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ فَيَكُونُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُبْعُ الْقِيمَةِ وَرُبْعُ الدِّيَةِ وَلَا يُفَضَّلُ وَاحِدٌ عَلَى الْآخَرِ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ جِنَايَتُهُمَا فِي الرِّقِّ وَالْعِتْقِ لِاسْتِقْرَارِهَا فِيمَنْ رَقَّ نِصْفُهُ وَعُتِقَ نِصْفُهُ وَيَكُونُ لِلْمُسْتَرِقِّ مِنَ الشَّرِيكَيْنِ نِصْفُ قِيمَتِهِ
Berdasarkan apa yang telah kami kemukakan, jika ada seorang budak yang dimiliki oleh dua orang sekutu, lalu seorang merdeka memotong salah satu tangannya, kemudian salah satu dari dua sekutu itu memerdekakan bagiannya sementara ia dalam keadaan tidak mampu, lalu orang lain datang dan memotong tangan budak yang satunya lagi, kemudian budak itu meninggal dunia dalam keadaan setengahnya merdeka dan setengahnya lagi masih budak, maka tidak ada qishash atas salah satu dari keduanya karena status perbudakan masih ada pada setengah dirinya. Yang berhak diambil darinya adalah setengah dari nilai budak tersebut, berapapun nilainya, dan setengah dari diyatnya sebagai orang merdeka, karena status itu telah tetap padanya setelah setengahnya dimerdekakan dan setengahnya lagi masih budak. Kedua pelaku pemotongan menanggung bersama secara adil, sehingga masing-masing dari mereka wajib membayar seperempat nilai dan seperempat diyat, dan tidak ada yang diutamakan atas yang lain, meskipun kejahatan mereka berbeda dalam hal perbudakan dan kemerdekaan, karena status itu telah tetap pada orang yang setengahnya budak dan setengahnya merdeka. Dan bagi sekutu yang masih memiliki bagian budak, ia berhak atas setengah dari nilai budak tersebut.
فَأَمَّا نِصْفُ الدِّيَةِ فَيَشْتَرِكُ فِيهَا الْمُعَتِقُ وَالْوَارِثُ إِذَا جَعَلْنَا مَنْ عُتِقَ بَعْضُهُ مَوْرُوثًا فَيَأْخُذُ مِنْهَا الْمُعَتِقُ أَقَلَّ الأمرين من ربع قيمته عبدا أو ربع دِيَتِهِ حُرًّا لِأَنَّ إِحْدَى الْجِنَايَتَيْنِ كَانَتْ فِي مِلْكِهِ وَالْأُخْرَى بَعْدَ عِتْقِهِ
Adapun setengah diyat, maka di dalamnya terdapat hak bersama antara mu‘tiq dan ahli waris apabila kita menganggap orang yang dimerdekakan sebagian itu bisa diwarisi. Maka mu‘tiq mengambil dari diyat tersebut jumlah yang lebih sedikit di antara dua hal: seperempat dari nilainya ketika masih menjadi budak atau seperempat dari diyatnya sebagai orang merdeka, karena salah satu dari dua tindak pidana terjadi ketika ia masih dalam kepemilikan mu‘tiq, dan yang lainnya setelah ia dimerdekakan.
وَيَعُودُ عَلَى الْوَارِثِ رُبْعُ الدِّيَةِ وَمَا فَضَلَ مِنْ رُبْعِ الْقِيمَةِ إن كان
Dan ahli waris mendapatkan seperempat diyat dan sisa dari seperempat nilai (barang), jika ada.
فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا فَعَادَ الْقَاطِعُ الْأَوَّلُ فَقَطَعَ إِحْدَى رِجْلَيْهِ وَمَاتَ فَقَدْ مَاتَ مِنْ جِنَايَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا بَعْدَ الْعِتْقِ وَالْأُخْرَى نِصْفُهَا فِي الرِّقِّ وَنِصْفُهَا بَعْدَ الْعِتْقِ فَيَكُونُ عَلَيْهِمَا نِصْفُ الْقِيمَةِ وَنِصْفُ الدِّيَةِ لِاسْتِقْرَارِهَا فِيمَنْ نِصْفُهُ حُرٌّ وَنِصْفُهُ مَمْلُوكٌ وَهُمَا فِي تَحَمُّلِهَا بِالسَّوِيَّةِ لِأَنَّ أَفْعَالَ الْجَانِي يُبْنَى بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ إِذَا صَارَتْ نَفْسًا
Maka berdasarkan hal ini, jika permasalahan tetap seperti semula, lalu pelaku pemotongan pertama kembali dan memotong salah satu kakinya, kemudian ia meninggal, maka ia meninggal karena dua tindak pidana; salah satunya terjadi setelah merdeka dan yang lainnya setengahnya saat masih menjadi budak dan setengahnya lagi setelah merdeka. Maka atas keduanya dikenakan setengah nilai (budak) dan setengah diyat, karena kematiannya terjadi pada seseorang yang setengahnya merdeka dan setengahnya lagi budak. Keduanya menanggungnya secara merata, karena perbuatan pelaku tindak pidana saling berkaitan satu sama lain apabila berujung pada kematian seseorang.
وَلَا يَتَقَسَّطُ الْأَرْشُ على أعداد الجرح كَمَا لَوْ جَرَحَهُ أَحَدُهُمَا جُرْحًا وَالْآخَرُ عُشْرًا
Dan diyat (ganti rugi) tidak dibagi rata berdasarkan jumlah luka, seperti halnya jika salah satu dari mereka melukainya satu luka dan yang lainnya sepuluh luka.
وَيَكُونُ لِمَالِكِ رِقِّهِ نِصْفُ قِيمَتِهِ مَا بَلَغَتْ
Dan pemilik budaknya berhak mendapatkan setengah dari nilainya, berapapun nilainya.
فَأَمَّا نِصْفُ الدِّيَةِ فَيَكُونُ مِنْهَا لِمُعْتِقِهِ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رُبْعِ قِيمَتِهِ أَوْ ثُمْنِ دِيَتِهِ لِاسْتِقْرَارِ ثَلَاثَةِ أَرْبَاعِ الْجِنَايَةِ فِي نِصْفٍ بَعْدَ عِتْقِهِ
Adapun setengah diyat, maka bagian dari setengah itu diberikan kepada mu‘tiq-nya (orang yang memerdekakannya) sebesar yang lebih sedikit dari dua hal, yaitu seperempat dari nilainya atau seperdelapan dari diyatnya, karena telah tetap tiga perempat tanggungan jinayah pada setengah bagian setelah ia dimerdekakan.
فَصْلٌ
Bagian
فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ يُحْكَمُ عَلَى فَصْلَيْنِ
Adapun al-Muzani, maka ia memberikan keputusan terhadap dua bagian.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ إِذَا فَقَأَ عَيْنَيْهِ فِي الرِّقِّ وَقِيمَتُهُ أَلْفَا دِينَارٍ ثُمَّ أُعْتِقَ كَانَتْ عَلَيْهِ الْأَلِفَانِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ عَلَيْهِ
Salah satunya adalah bahwa jika seseorang mencungkil kedua matanya ketika masih berstatus budak dan nilainya dua ribu dinar, kemudian ia dimerdekakan, maka ia tetap wajib membayar dua ribu dinar, dan pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya.
وَالثَّانِي هِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ إِذَا جَنَى وَاحِدٌ عَلَيْهِ فِي الرِّقِّ وَاثْنَانِ بَعْدَ الْعِتْقِ أَنَّهُ يُخْتَارُ مِنَ القَوْلَيْنِ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ أَرْشُ الْجِنَايَةِ فِي الرِّقِّ وَلَا يُعْتَبَرُ بِأَعْدَادِ الْجُنَاةِ تَمَسُّكًا بِأَمْرَيْنِ
Yang kedua adalah masalah kitab, yaitu apabila seseorang melakukan jinayah terhadapnya saat ia masih berstatus budak, lalu dua orang melakukannya setelah ia merdeka, maka dipilih dari dua pendapat bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah besaran diyat jinayah saat masih budak, dan tidak mempertimbangkan jumlah pelaku jinayah, dengan berpegang pada dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ ذَكَرَهُ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَهَذَا لَيْسَ بِشَيْءٍ لِأَنَّ ذِكْرَ أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فِي مَوْضِعَيْنِ وَذِكْرَ الْآخَرِ فِي مَوْضِعٍ لَا يَقْتَضِي إِثْبَاتَ مَا تَكَرَّرَ وَنَفَيَ الْآخَرِ
Salah satu alasannya adalah bahwa asy-Syafi‘i telah menyebutkannya di tempat lain, namun hal ini tidak berarti apa-apa, karena menyebutkan salah satu dari dua pendapat di dua tempat dan menyebutkan pendapat yang lain di satu tempat tidaklah mengharuskan penetapan apa yang diulang dan menafikan yang lain.
وَالثَّانِي أَنْ قَالَ لَمَّا كَانَ الزَّائِدُ بِالْحُرِّيَّةِ لَا يَعُودُ عَلَى السَّيِّدِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ النَّاقِصُ بِالْحُرِّيَّةِ لَا يَعُودُ عَلَيْهِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الزَّائِدَ بِالْحُرِّيَّةِ حَادِثٌ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ فَلَمْ يَسْتَحِقَّهُ وَالنَّاقِصَ بِالْحُرِّيَّةِ مِنْ فِعْلِهِ فَعَادَ عليه نقصه والله أعلم
Yang kedua, ia berkata: “Karena tambahan dalam hal kemerdekaan tidak kembali kepada tuan, maka kekurangan dalam hal kemerdekaan pun seharusnya tidak kembali kepadanya.” Ini adalah kekeliruan, karena tambahan dalam hal kemerdekaan itu terjadi di luar kepemilikannya sehingga ia tidak berhak atasnya, sedangkan kekurangan dalam hal kemerdekaan berasal dari perbuatannya sendiri, maka kekurangannya kembali kepadanya. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَعَلَى الْمُتَغَلِّبِ بِاللُّصُوصِيَّةِ وَالْمَأْمُورِ الْقَوَدُ إِذَا كَانَ قَاهِرًا لِلْمَأْمُورِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Wajib atas orang yang berkuasa dengan cara perampokan dan atas orang yang memerintahkan untuk melakukan pembunuhan, dikenakan hukuman qishāsh jika ia mampu menguasai orang yang diperintahkannya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مِنْ أَمْرِ غَيْرِهِ بِقَتْلِ نَفْسٍ ظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ لَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata: Secara keseluruhan, perintah seseorang kepada orang lain untuk membunuh jiwa secara zalim tanpa hak tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ إِمَامًا مُلْتَزَمَ الطَّاعَةِ
Salah satunya adalah bahwa ia harus merupakan seorang imam yang ditaati.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مُتَغَلِّبًا نَافِذَ الْأَمْرِ
Yang kedua adalah bahwa ia merupakan pihak yang berkuasa dan perintahnya berlaku.
وَالثَّالِثُ أَنْ يُسَاوِيَ الْمَأْمُورَ وَلَا يَعْلُوَ عَلَيْهِ بِطَاعَةٍ وَلَا قُدْرَةٍ
Ketiga, hendaknya yang diperintahkan setara dan tidak melebihi yang memerintah dalam hal ketaatan maupun kekuasaan.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْآمِرُ بِالْقَتْلِ إِمَامًا مُلْتَزَمَ الطَّاعَةِ
Adapun bagian pertama, yaitu apabila yang memerintahkan pembunuhan adalah seorang imam yang wajib ditaati.
فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَأْمُورِ فِي قَتْلِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Maka, keadaan orang yang diperintahkan untuk membunuh tidak lepas dari salah satu dari dua hal.
إِمَّا أَنْ يَجْهَلَ حَالَ الْمَقْتُولِ وَلَا يَعْلَمَ أَنَّهُ مَظْلُومٌ وَيَعْتَقِدَ أَنَّ الْإِمَامَ لَا يَقْتُلُ إِلَّا بِحَقٍّ فَلَا قَوَدَ عَلَى الْمَأْمُورِ وَلَا دِيَةَ وَلَا كَفَّارَةَ لِأَنَّ طَاعَةَ الْإِمَامِ وَاجِبَةٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ النساء 59 وَعَلَى الْإِمَامِ الْقَوَدُ لِأَنَّ أَمْرَهُ إِذَا كَانَ مُلْتَزَمَ الطَّاعَةِ يَقُومُ مَقَامَ فِعْلِهِ لِنُفُوذِهِ وَحُدُوثِ الْفِعْلِ عَنْهُ وَجَرَى الْمَأْمُورُ مَعَهُ جَرْيَ الْآلَةِ
Bisa jadi seseorang tidak mengetahui keadaan orang yang dibunuh, tidak tahu bahwa ia dizalimi, dan meyakini bahwa imam tidak akan membunuh kecuali dengan alasan yang benar. Maka, tidak ada qishāsh atas orang yang diperintah, tidak ada diyat, dan tidak ada kafārah, karena ketaatan kepada imam adalah wajib baginya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian” (an-Nisā’ 59). Adapun atas imam, maka berlaku qishāsh, karena perintahnya, selama wajib ditaati, menempati posisi perbuatannya sendiri, sebab perintah itu berlaku dan perbuatan itu terjadi darinya, dan orang yang diperintah bersamanya seperti alat saja.
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَهَكَذَا قَتْلُ الْأَئِمَّةِ وَيُسْتَحَبُّ لِلْمَأْمُورِ أَنْ يُكَفِّرَ لِمَا تَوَلَّاهُ مِنَ المُبَاشَرَةِ
Imam Syafi‘i berkata, demikian pula halnya dengan pembunuhan para imam, dan disunnahkan bagi orang yang diperintah untuk melakukan kafarat atas apa yang telah ia lakukan secara langsung.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ الْمَأْمُورُ عَالِمًا بِأَنَّهُ مَظْلُومٌ يُقْتَلُ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلِهَذَا الْمَأْمُورِ حَالَتَانِ
Keadaan kedua adalah apabila orang yang diperintahkan mengetahui bahwa ia dizalimi dan akan dibunuh tanpa hak, maka bagi orang yang diperintahkan ini terdapat dua keadaan.
إِحْدَاهُمَا أَنْ يَقْتُلَهُ مُخْتَارًا
Salah satunya adalah ia membunuhnya secara sengaja.
والثاني مُكْرَهًا
Dan yang kedua adalah dalam keadaan dipaksa.
فَإِنْ قَتَلَهُ مُخْتَارًا غَيْرَ مُكْرَهٍ فَهُوَ الْقَاتِلُ دُونَ الْإِمَامِ لِأَنَّ طَاعَةَ الْإِمَامِ لَا تَلْزَمُ فِي الْمَعَاصِي قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
Jika seseorang membunuh dengan pilihannya sendiri, tanpa dipaksa, maka dialah yang dianggap sebagai pembunuh, bukan imam. Sebab, ketaatan kepada imam tidak wajib dalam perkara maksiat. Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.”
وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَطِيعُونِي مَا أَطَعْتُ اللَّهَ فَإِذَا عَصَيْتُ اللَّهَ فَلَا طَاعَةَ لِي عَلَيْكُمْ وَيَكُونُ الْإِمَامُ بِأَمْرِهِ آثِمًا وَيَتَمَكَّنُ الْمَأْمُورُ مِنَ القَتْلِ عَاصِيًا وَإِنْ لَمْ يَلْزَمْهُ قَوَدٌ وَلَا دِيَةَ وَلَا كَفَّارَةَ
Abu Bakar radhiyallāhu ta‘ālā ‘anhu berkata, “Taatilah aku selama aku taat kepada Allah. Jika aku bermaksiat kepada Allah, maka tidak ada ketaatan bagiku atas kalian.” Dan apabila imam memerintahkan (sesuatu yang maksiat), maka ia berdosa, dan orang yang diperintah dapat melakukan pembunuhan dalam keadaan berdosa, meskipun ia tidak wajib menjalani qishāsh, membayar diyat, ataupun kafārah.
وَهُوَ ظَاهِرٌ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَوْلِ جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ
Hal ini jelas merupakan pendapat mazhab Syafi‘i dan pendapat mayoritas para pengikutnya.
وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ إِلَى وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْإِمَامِ بِمُجَرَّدِ أَمْرِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْهُ إِكْرَاهٌ لِلُزُومِ طَاعَتِهِ وَنُفُوذِ أَمْرِهِ وَجَعَلَ الْقَوَدَ وَاجِبًا عَلَى الْآمِرِ وَالْمَأْمُورِ مَعًا وَلِهَذَا الْقَوْلِ وَجْهٌ فِي اعْتِبَارِ الْمَصْلَحَةِ وَحَسْمِ عُدْوَانِ الْأَئِمَّةِ وَإِنْ كَانَ فِي الْقِيَاسِ ضَعِيفًا
Sebagian sahabatnya berpendapat bahwa qawad wajib dijatuhkan kepada imam hanya karena perintahnya, meskipun tidak ada unsur pemaksaan darinya, karena kewajiban menaati dan berlakunya perintahnya. Mereka menjadikan qawad sebagai kewajiban bagi yang memerintah dan yang diperintah sekaligus. Pendapat ini memiliki sisi pertimbangan dalam memperhatikan kemaslahatan dan mencegah kezaliman para pemimpin, meskipun dalam qiyās pendapat ini lemah.
وَإِنْ كَانَ الْمَأْمُورُ مُكْرَهًا عَلَى الْقَتْلِ بِأَنْ قَالَ لَهُ الْإِمَامُ إِنْ لَمْ تَقْتُلْهُ قَتَلْتُكَ فَالْقَوَدُ عَلَى الْإِمَامِ الْآمِرِ وَاجِبٌ
Jika orang yang diperintah berada dalam keadaan terpaksa untuk membunuh, misalnya imam berkata kepadanya, “Jika kamu tidak membunuhnya, aku akan membunuhmu,” maka qishash wajib dijatuhkan kepada imam yang memerintahkan.
وَفِي وُجُوبِهِ عَلَى الْمَأْمُورِ قَوْلَانِ
Dalam kewajiban hal itu atas orang yang diperintahkan, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَاجِبٌ كَالْإِمَامِ يُقَادُ مِنْهُمَا جَمِيعًا فَإِنْ عَفَا عَنْهُمَا اشْتَرَكَا فِي الدِّيَةِ وَكَانَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفَّارَةٌ
Salah satunya wajib, seperti imam yang diikuti oleh keduanya. Jika ia memaafkan keduanya, maka keduanya berbagi dalam pembayaran diyat, dan masing-masing dari mereka wajib membayar kafarat.
وَبِهِ قَالَ زُفَرُ بن الهذيل والقود الثَّانِي أَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَى الْمَأْمُورِ وَالْمُكْرَهِ وَيَخْتَصُّ الْقَوَدُ بِالْإِمَامِ الْمُكْرِهِ
Demikian pula pendapat Zufar bin al-Hudzail, dan pendapat kedua dalam masalah qisas adalah bahwa tidak ada qisas atas orang yang diperintah dan orang yang dipaksa, dan qisas hanya khusus bagi imam yang memaksa.
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَعْلِيلِ هَذَا الْقَوْلِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عَنِ الْمَأْمُورِ فَذَهَبَ الْبَغْدَادِيُّونَ بِأَسْرِهِمْ إِلَى أَنَّ الْعِلَّةَ فِيهِ أَنَّ الْإِكْرَاهَ شُبْهَةٌ تُدْرَأُ بِهَا الْحُدُودُ
Para ulama kami berbeda pendapat dalam memberikan alasan terhadap pendapat ini mengenai gugurnya qawad dari orang yang diperintah. Ulama Baghdad seluruhnya berpendapat bahwa sebabnya adalah karena ikrah (paksaan) merupakan syubhat yang dapat menggugurkan penerapan hudud.
فَعَلَى هَذَا التَّعْلِيلِ يَجِبُ عَلَيْهِ إِذَا سَقَطَ القود عنه نصف الدية لأنه أحد القائلين وَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ وَذَهَبَ الْبَصْرِيُّونَ مِنْهُمْ إِلَى أَنَّ الْعِلَّةَ فِيهِ أَنَّ الْإِكْرَاهَ إِلْجَاءٌ وَضَرُورَةٌ تَنْقُلُ حُكْمَ الْفِعْلِ عَنِ الْمُبَاشِرِ إِلَى الْآمِرِ كَالْحَاكِمِ إِذَا أَلْجَأَهُ شُهُودُ الزُّورِ إِلَى الْقَتْلِ
Berdasarkan alasan ini, jika qishāsh gugur darinya, maka ia wajib membayar setengah diyat karena ia termasuk salah satu yang berpendapat demikian, dan ia juga wajib membayar kafārah. Para ulama Basrah di antara mereka berpendapat bahwa illat dalam hal ini adalah bahwa ikrāh merupakan paksaan dan keadaan darurat yang memindahkan hukum perbuatan dari pelaku langsung kepada orang yang memerintahkannya, seperti halnya hakim yang dipaksa oleh para saksi palsu untuk melakukan pembunuhan.
فَعَلَى هَذَا التَّعْلِيلِ تَسْقُطُ عَنْهُ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ كَمَا تَسْقُطُ عَنْهُ الْقَوَدُ وَتَكُونُ الدِّيَةُ كُلُّهَا عَلَى الْإِمَامِ الْمُكْرِهِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ
Berdasarkan alasan ini, gugurlah dari pelaku kewajiban membayar diyat dan kafarat, sebagaimana gugur pula darinya kewajiban qisas, dan seluruh diyat menjadi tanggungan imam yang memaksa. Inilah pendapat Abu Hanifah dan Muhammad.
وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ لَا قَوَدَ عَلَى الْإِمَامِ الْآمِرِ وَلَا عَلَى الْمَأْمُورِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ أَمْرَ الْإِمَامِ سَبَبٌ وَمُبَاشَرَةُ الْمَأْمُورِ إِلْجَاءٌ فَسَقَطَ حُكْمُ السَّبَبِ بِحُدُوثِ الْمُبَاشَرَةِ وَسَقَطَ حُكْمُ الْمُبَاشَرَةِ بِوُجُودِ الْإِلْجَاءِ فَسَقَطَ الْقَوَدُ عَنْهُمَا
Abu Yusuf berkata, “Tidak ada qishāsh atas imam yang memerintah maupun atas orang yang diperintah, dengan alasan bahwa perintah imam adalah sebab, sedangkan pelaksanaan oleh orang yang diperintah adalah paksaan. Maka, gugurlah hukum sebab karena adanya pelaksanaan langsung, dan gugurlah hukum pelaksanaan langsung karena adanya paksaan, sehingga gugurlah qishāsh dari keduanya.”
وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ الله تَعَالَى وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا الإسراء 33 فَلَوْ سَقَطَ الْقَوَدُ عَنْهُمَا مَعَ وُجُودِ الظُّلْمِ فِي الْقَتْلِ لَبَطَلَ سُلْطَانُهُ وَلَمَّا انْزَجَرَ عَنِ الْقَتْلِ ظَالِمٌ وَلِأَنَّ إِجْمَاعَ الصَّحَابَةِ يَمْنَعُ مِنْ قَوْلِ أَبِي يُوسُفَ
Ini adalah kesalahan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya” (al-Isra’ 33). Maka, jika qishāsh gugur dari keduanya padahal terdapat kezaliman dalam pembunuhan itu, niscaya kekuasaan walinya menjadi batal dan tidak ada lagi yang dapat mencegah orang zalim dari melakukan pembunuhan. Selain itu, ijmā‘ para sahabat juga menolak pendapat Abu Yusuf.
وَهُوَ مَا رُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ وَلَّى رَجُلًا الْيَمَنَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ مِنْهَما مَقْطُوعُ الْيَدِ فَقَالَ إِنَّ خَلِيفَتَكَ ظَلَمَنِي فَقَطَعَنِي فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّهُ ظَلَمَكَ لَقَطَعْتُهُ
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra. pernah mengangkat seorang laki-laki sebagai gubernur di Yaman. Lalu datanglah seorang laki-laki dari sana yang tangannya terpotong, ia berkata, “Khalifahmu telah menzalimiku dan memotong tanganku.” Maka Abu Bakar berkata, “Seandainya aku tahu bahwa ia telah menzalimimu, niscaya aku akan memotong tangannya.”
فَدَلَّ عَلَى مُؤَاخَذَةِ الْوَالِي بِظُلْمِهِ فِيمَا أَمَرَ بِهِ
Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang penguasa akan dimintai pertanggungjawaban atas kezalimannya dalam perkara yang ia perintahkan.
وَقَدْ أَنْفَذَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ رَسُولًا إِلَى امْرَأَةٍ أَرْهَبَهَا فَأَجْهَضَتْ مَا فِي بَطْنِهَا فَزَعًا فَالْتَزَمَ عُمَرُ دِيَتَهُ
Umar radhiyallāhu ta‘ālā ‘anhu pernah mengutus seorang utusan kepada seorang wanita yang merasa ketakutan hingga ia mengalami keguguran karena rasa takut tersebut, maka Umar menanggung diyat (tebusan) atas janin yang gugur itu.
وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلَيْنِ شَهِدَا عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى رَجُلٍ بِالسَّرِقَةِ فَقَطَعَهُ بِشَهَادَتِهِمَا ثُمَّ عَادَا وَقَالَا غَلِطْنَا وَالسَّارِقُ هُوَ هَذَا فَرَدَّ شَهَادَتَهُمَا وَلَمْ يَقْطَعِ الثَّانِي وَقَالَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّكُمَا تَعَمَّدْتُمَا لَقَطَعْتُكُمَا
Diriwayatkan bahwa dua orang laki-laki memberikan kesaksian di hadapan Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam terhadap seorang laki-laki atas tuduhan pencurian, maka beliau memotong tangan orang itu berdasarkan kesaksian mereka berdua. Kemudian keduanya kembali dan berkata, “Kami keliru, pencurinya adalah orang ini.” Maka Ali menolak kesaksian mereka berdua dan tidak memotong tangan orang yang kedua, serta berkata, “Seandainya aku tahu bahwa kalian berdua sengaja, niscaya aku akan memotong kalian berdua.”
فَجَعَلَ الْجَهْلَ لَهُمَا بِالشَّهَادَةِ مُوجِبًا لِإِضَافَةِ الْحُكْمِ إِلَيْهِمَا وَأَخْذِهِمَا بِمُوجِبِهَا وَوَافَقَهُ عَلَى ذَلِكَ مَنْ عَاصَرَهُ فَصَارَ مَعَ مَا تَقَدَّمَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ إِجْمَاعًا وَلِأَنَّ الْقَتْلَ قَدْ يَكُونُ بِالْمُبَاشَرَةِ تَارَةً وَبِالسَّبَبِ أُخْرَى فَلَمَّا وَجَبَ الْقَوَدُ بِالْمُبَاشَرَةِ جَازَ أَنْ يَجِبَ بِالسَّبَبِ لِأَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ الْقَتْلِ
Maka ketidaktahuan mereka berdua terhadap kesaksian dijadikan alasan untuk menetapkan hukum atas keduanya dan memberlakukan konsekuensinya kepada mereka. Hal ini juga disetujui oleh orang-orang sezaman dengan mereka, sehingga bersama dengan apa yang telah dinukil dari Abu Bakar dan Umar, hal itu menjadi ijmā‘. Selain itu, pembunuhan terkadang terjadi secara langsung dan terkadang melalui sebab. Maka ketika qishāsh diwajibkan atas pembunuhan langsung, boleh juga diwajibkan atas pembunuhan karena sebab, karena itu merupakan salah satu dari dua jenis pembunuhan.
فَصْلٌ
Bagian
فَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَقَدْ وَافَقَ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْإِمَامِ الْآمِرِ رَدًّا عَلَى أَبِي يُوسُفَ وَأَسْقَطَ الْقَوَدَ عَنِ الْمَأْمُورِ الْمُكْرَهِ وَسَلَبَهُ حُكْمَ الْمُبَاشَرَةِ فَلَمْ يُوجِبْ عَلَيْهِ دِيَةً وَلَا كَفَّارَةً وَهَذَا أَحَدُ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ
Adapun Abu Hanifah, beliau berpendapat wajibnya qawad atas imam yang memerintahkan, sebagai bantahan terhadap Abu Yusuf, dan menggugurkan qawad dari orang yang diperintah yang dipaksa serta mencabut darinya hukum pelaku langsung, sehingga tidak mewajibkan atasnya diyat maupun kafarat. Ini adalah salah satu dari dua pendapat asy-Syafi‘i tentang gugurnya qawad.
وَمُوجِبُ تعليل البصريين في سقوط الدية والكفارة ومخالف لِتَعْلِيلِ الْبَغْدَادِيِّينَ فِي وُجُوبِ نِصْفِ الدِّيَةِ وَالْكَفَّارَةِ مَعَ سُقُوطِ الْقَوَدِ وَهُوَ مُخَالِفٌ لِلْقَوْلِ الثَّانِي لِلشَّافِعِيِّ فِي جَمِيعِ أَحْكَامِهِ لِأَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِمَامِ الْآمِرِ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ وَالْكَفَّارَةِ وَأَبُو حَنِيفَةَ يَسْلُبُهُ بِالْإِكْرَاهِ جَمِيعَ أَحْكَامِ الْإِمَامِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عُفِيَ لِأُمَّتِي عَنِ الْخَطَأِ وَالنِّسْيَانِ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ وَلِأَنَّهُ قَتَلَهُ لِإِحْيَاءِ نَفْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ الْقَوَدُ كَالْمَقْتُولِ دَفْعًا عَنْ نَفْسِهِ وَلِأَنَّ مَا أَوْجَبَ الْقَتْلَ بِفِعْلِ الْمُخْتَارِ سَقَطَ فِيهِ الْقَتْلُ بِفِعْلِ الْمُكْرَهِ كَالزِّنَا وَلِأَنَّ الْإِكْرَاهَ قَدْ نَقَلَ حُكْمَ الْمُبَاشَرَةِ إِلَى الْآمِرِ فَوَجَبَ أَنْ يَزُولَ حُكْمُهَا عَنِ الْمَأْمُورِ لِأَنَّ الْفِعْلَ وَاحِدٌ وَيَصِيرُ الْمَأْمُورُ فِيهِ كَالْآلَةِ أَوْ كَالسَّبُعِ الْمُرْسَلِ وَالْكَلْبِ الشَّلَّاءِ وَلِأَنَّ الْإِكْرَاهَ يَتَنَوَّعُ نَوْعَيْنِ إِكْرَاهُ حُكْمٍ وَإِكْرَاهُ قَهْرٍ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ إِكْرَاهَ الْحُكْمِ وَهُوَ إِلْجَاءُ الْحَاكِمِ إِلَى الْقَتْلِ بِشَهَادَةِ الزُّورِ يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْقَتْلِ عَلَيْهِ مَعَ أَمْنِهِ عَلَى نَفْسِهِ فَكَانَ إِكْرَاهُ الْقَهْرِ أَوْلَى أَنْ يَمْنَعَ مِنْ وُجُوبِ الْقَوَدِ مَعَ خَوْفِهِ عَلَى نَفْسِهِ وَلِأَنَّ الْإِكْرَاهَ يَكُونُ تَارَةً عَلَى الْقَوْلِ بِأَنْ يَتَلَفَّظَ بِكَلِمَةِ الْكُفْرِ وَتَارَةً عَلَى الْقَتْلِ بِأَنْ يُؤْمَرَ بِالْقَتْلِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ حُكْمَ الْكُفْرِ يَزُولُ بِالْإِكْرَاهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْقَتْلِ يَزُولُ بِالْإِكْرَاهِ
Alasan yang dikemukakan oleh para ulama Basrah mengenai gugurnya diyat dan kafarat berbeda dengan alasan para ulama Baghdad yang mewajibkan setengah diyat dan kafarat dengan gugurnya qishash. Hal ini juga berbeda dengan pendapat kedua Imam Syafi‘i dalam seluruh hukumnya, karena menurut pendapat tersebut berlaku hukum imam yang memerintahkan dalam kewajiban qishash, diyat, dan kafarat. Sedangkan Abu Hanifah menggugurkan seluruh hukum imam karena adanya paksaan, dengan berdalil pada sabda Nabi ﷺ: “Diampuni dari umatku kesalahan, lupa, dan apa yang dipaksakan atas mereka.” Juga karena ia membunuh untuk menyelamatkan dirinya, maka wajib gugur darinya qishash sebagaimana orang yang terbunuh dalam rangka membela diri. Dan karena apa yang mewajibkan hukuman mati atas perbuatan orang yang memilih, maka gugur hukuman mati itu atas perbuatan orang yang dipaksa, seperti dalam kasus zina. Juga karena paksaan telah memindahkan hukum pelaku langsung kepada orang yang memerintah, maka wajib hilang hukumnya dari orang yang diperintah, karena perbuatannya satu, dan orang yang diperintah menjadi seperti alat atau seperti binatang buas yang dilepas atau anjing pemburu. Dan karena paksaan itu ada dua macam: paksaan hukum dan paksaan kekerasan. Telah tetap bahwa paksaan hukum, yaitu hakim yang memaksa untuk membunuh dengan kesaksian palsu, mencegah kewajiban hukuman mati atasnya selama ia aman atas dirinya, maka paksaan kekerasan lebih utama untuk mencegah kewajiban qishash ketika ia takut atas dirinya. Dan karena paksaan terkadang terjadi pada ucapan, seperti dipaksa mengucapkan kata-kata kufur, dan terkadang pada pembunuhan, seperti diperintah untuk membunuh. Telah tetap bahwa hukum kekufuran hilang karena paksaan, maka wajib pula hukum pembunuhan hilang karena paksaan.
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قول الله تَعَالَى وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا الإسراء 33 وَلِأَنَّهُ عَمْدٌ قَتَلَهُ ظُلْمًا لِإِحْيَاءِ نَفْسِهِ فَلَمْ يَمْنَعْ إِحْيَاؤُهُ لَهَا مِنْ قَتْلِهِ قَوَدًا قِيَاسًا عَلَى الْمُفْطِرِ إِذَا أَكَلَ مِنَ الجُوعِ مَحْظُورَ النَّفْسِ ثُمَّ هَذَا أَوْلَى بِالْقَتْلِ مِنَ المُضْطَرِّ لِأَنَّ الْمُضْطَرَّ عَلَى يَقِينٍ مِنَ التَّلَفِ إِنْ لَمْ يَأْكُلْ وَلَيْسَ الْمَأْمُورُ عَلَى يَقِينٍ مِنَ القَتْلِ إِنْ لَمْ يَقْتُلْ وَعَلَى أَنَّ الْأُصُولَ تَشْهَدُ لِصِحَّةِ هَذَا التَّعْلِيلِ أَلَّا تَرَى أَنَّ رُكَّابَ السَّفِينَةِ إِذَا خَافُوا الْغَرَقَ مِنْ ثِقَلِهَا فَأَلْقَوْا بَعْضَهُمْ فِي الْبَحْرِ لِيَسْلَمَ بَاقِيهِمْ لَزِمَهُمُ الْقَوَدُ وَلَوْ صَادَفَهُمْ سَبُعٌ خَافُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَأَلْقَوْا عَلَيْهِ أَحَدَهُمْ لِيَتَشَاغَلَ بِهِ عَنْهُمْ وَجَبَ عَلَيْهِمُ الْقَوَدُ كَذَلِكَ الْمُكْرَهُ الْمُفْتَدِي نَفْسَهُ بِغَيْرِهِ وَلِأَنَّهُ لَا عُذْرَ لَهُ فِي إِحْيَاءِ نَفْسِهِ بِقَتْلِ غَيْرِهِ لِأَنَّ حُرْمَةَ غَيْرِهِ مِثْلُ حُرْمَةِ نَفْسِهِ فَلَمْ يَكُنْ إِحْيَاءُ نَفْسِهِ بِالْغَيْرِ أَوْلَى مِنْ إِحْيَاءِ الْغَيْرِ بِنَفْسِهِ فَاسْتَوَيَا وَصَارَ وُجُودُ الْعُذْرِ كَعَدَمِهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَجِبَ الْقَوَدُ بَيْنَهُمَا كَوُجُوبِهِ لَوْ لَمْ يكن مكرهاً
Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya” (al-Isra’ 33). Karena ia sengaja membunuh orang lain secara zalim demi menyelamatkan dirinya, maka upaya menyelamatkan dirinya itu tidak menghalanginya dari dikenai hukuman qishāsh, sebagaimana qiyās atas orang yang berbuka puasa dengan makan karena lapar yang membahayakan jiwa; kemudian, kasus ini lebih layak dikenai hukuman mati daripada orang yang dalam keadaan terpaksa, karena orang yang terpaksa benar-benar yakin akan binasa jika tidak makan, sedangkan orang yang diperintah membunuh tidak yakin pasti akan dibunuh jika tidak membunuh. Selain itu, prinsip-prinsip dasar (al-uṣūl) mendukung kebenaran alasan ini. Tidakkah engkau melihat bahwa para penumpang kapal, jika mereka khawatir tenggelam karena beratnya kapal lalu mereka melemparkan sebagian dari mereka ke laut agar yang lain selamat, maka mereka tetap wajib dikenai qishāsh. Jika mereka dihadang binatang buas dan khawatir terhadap keselamatan diri mereka, lalu mereka melemparkan salah satu dari mereka kepada binatang itu agar binatang itu sibuk dengannya dan tidak menyerang yang lain, maka mereka tetap wajib dikenai qishāsh. Begitu pula orang yang dipaksa dan menebus dirinya dengan membunuh orang lain. Karena tidak ada alasan baginya untuk menyelamatkan dirinya dengan membunuh orang lain, sebab kehormatan orang lain sama dengan kehormatan dirinya sendiri, maka menyelamatkan diri dengan membunuh orang lain tidak lebih utama daripada menyelamatkan orang lain dengan mengorbankan dirinya sendiri. Keduanya sama saja, sehingga adanya alasan sama dengan tidak adanya alasan, maka wajib dikenai qishāsh di antara mereka sebagaimana wajibnya qishāsh jika ia tidak dipaksa.
فَأَمَّا الْخَبَرُ فَمَحْمُولٌ عَلَى مَا اخْتَصَّ بِحُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى دُونَ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَقِيَاسُهُمْ عَلَى قَتْلِهِ دَفْعًا عَنْ نَفْسِهِ مُنْتَقِضٌ بِأَكْلِهِ مِنَ الجُوعِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْمَدْفُوعِ أَنَّهُ قَدْ أَبَاحَ نَفْسَهُ بِالطَّلَبِ فَصَارَ مَقْتُولًا بِحَقٍّ وَهَذَا مقتول بظلم فافترقا
Adapun hadis tersebut dimaknai khusus untuk hak-hak Allah Ta‘ala, bukan untuk hak-hak manusia. Qiyās mereka dengan membunuh (penyerang) sebagai bentuk pembelaan diri tidak tepat, karena dapat dibantah dengan kasus seseorang yang makan karena lapar. Selanjutnya, makna pada orang yang dihalau (penyerang) adalah bahwa ia telah menghalalkan dirinya sendiri dengan melakukan penyerangan, sehingga ia terbunuh dengan hak. Sedangkan yang ini terbunuh secara zalim, maka keduanya berbeda.
وقياسهم عَلَى الْإِكْرَاهِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صِحَّةِ الْإِكْرَاهِ عَلَيْهِ فَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى اسْتِحَالَتِهِ لِأَنَّ إِيلَاجَ الذَّكَرِ لَا يَكُونُ إِلَّا مَعَ انْتِشَارِهِ وَانْتِشَارُ الذَّكَرِ وَإِنْزَالُ مَائِهِ لَا يَكُونُ إِلَّا مَعَ قُوَّةِ الشَّهْوَةِ الْمُنَافِيَةِ لِلْإِكْرَاهِ فَاسْتَحَالَ فِيهِ الْإِكْرَاهُ
Mengenai qiyās mereka terhadap ikrah, para ulama kami berbeda pendapat tentang sah atau tidaknya ikrah dalam hal ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu mustahil, karena memasukkan zakar tidak mungkin terjadi kecuali dalam keadaan ereksi, dan ereksi zakar serta keluarnya mani tidak akan terjadi kecuali dengan adanya dorongan syahwat yang kuat, yang bertentangan dengan kondisi ikrah. Maka, ikrah dalam hal ini dianggap mustahil.
وَذَهَبَ آخَرُونَ مِنْهُمْ إِلَى صِحَّةِ الْإِكْرَاهِ فِيهِ لِأَنَّ انْتِشَارَ الذَّكَرِ قَدْ يَكُونُ مِنَ الطَّبْعِ الْمُحَرِّكِ الَّذِي لَا يَقْدِرُ عَلَى دَفْعِهِ عَنْ نَفْسِهِ وَهُوَ مُؤَاخَذٌ بِفِعْلِ نَفْسِهِ لَا بِمَا رَكَّبَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي طَبْعِهِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمَعْنَى فِي سُقُوطِ الْحَدِّ بِالْإِكْرَاهِ اخْتِصَاصَهُ بِحُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى وَالْقَتْلُ بِحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَافْتَرَقَا وَقَوْلُهُمْ إِنَّ الْإِكْرَاهَ قَدْ نَقَلَ حُكْمَ الْمُبَاشَرَةِ عَنِ الْمَأْمُورِ إِلَى الْآمِرِ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ بَلْ تَعَدَّى عَنِ الْمَأْمُورِ إِلَى الْآمِرِ وَالْفِعْلُ إِذَا تَعَدَّى حُكْمُهُ إِلَى غَيْرِ الْفَاعِلِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُؤَاخَذَ بِهِ الْفَاعِلُ لِأَنَّ تَعَدِّيِهِ لِفَضْلِ قوته
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ikrah (paksaan) tetap sah dalam hal ini, karena ereksi bisa saja terjadi secara alami akibat dorongan tabiat yang tidak mampu dikendalikan oleh seseorang, dan seseorang itu dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya sendiri, bukan atas apa yang telah Allah tanamkan dalam tabiatnya. Dengan demikian, makna gugurnya had karena ikrah adalah karena had berkaitan dengan hak-hak Allah Ta‘ala, sedangkan qishash berkaitan dengan hak-hak manusia, sehingga keduanya berbeda. Adapun pendapat mereka yang mengatakan bahwa ikrah telah memindahkan hukum pelaku langsung dari orang yang diperintah kepada orang yang memerintah, itu tidak benar. Justru hukum tersebut meluas dari orang yang diperintah kepada orang yang memerintah, dan jika suatu perbuatan hukumnya meluas kepada selain pelakunya, maka lebih utama lagi pelakunya sendiri dimintai pertanggungjawaban, karena meluasnya hukum itu menunjukkan kelebihan kekuatannya.
وجمعهم بَيْنَ الْمُكْرَهِ وَالْحَاكِمِ إِلْجَاءٌ غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ مَنْ قَتَلَهُ الْحَاكِمُ بِالشَّهَادَةِ قَدْ كَانَ وَاجِبًا عَلَيْهِ لَا يَسُوغُ لَهُ تَرْكُهُ فَلَمْ يُؤَاخَذْ بِالْقَوَدِ وَمَنْ قَتَلَهُ الْمُكْرَهُ مَظْلُومٌ وَالْقَاتِلُ فِيهِ مَأْثُومٌ فَوَجَبَ الْقَوَدُ عَلَيْهِ لِأَنَّهُمَا لَمَّا افْتَرَقَا فِي جَوَازِ الْقَتْلِ افْتَرَقَا فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ
Menggabungkan antara orang yang dipaksa (al-mukrah) dan hakim adalah pemaksaan yang tidak benar, karena siapa yang dibunuh oleh hakim berdasarkan kesaksian, maka itu memang wajib atasnya dan tidak boleh baginya untuk meninggalkannya, sehingga ia tidak dikenai qishāsh. Adapun siapa yang dibunuh oleh orang yang dipaksa, maka ia adalah orang yang dizalimi dan si pembunuh berdosa, sehingga wajib atasnya qishāsh. Karena keduanya berbeda dalam kebolehan membunuh, maka keduanya juga berbeda dalam kewajiban qishāsh.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ حُكْمِ إِكْرَاهِ الْإِمَامِ فَكَذَلِكَ الْحُكْمُ فِيمَنِ اسْتَخْلَفَهُ الْإِمَامُ وَوَلَّاهُ إِذَا أَكْرَهَ رَجُلًا عَلَى الْقَتْلِ كَانَ الْحُكْمُ فِيهِ كَالْحُكْمِ فِي إِكْرَاهِ الْإِمَامِ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْآمِرِ وَفِي وُجُوبِهِ عَلَى الْمَأْمُورِ قَوْلَانِ لِأَنَّ طَاعَةَ مَنِ اسْتَخْلَفَهُ الْإِمَامُ تَلْزَمُ كَلُزُومِ طَاعَةِ الْإِمَامِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ
Jika telah jelas apa yang kami sebutkan tentang hukum paksaan oleh imam, maka demikian pula hukumnya bagi orang yang diangkat sebagai pengganti oleh imam dan diberi wewenang olehnya; jika ia memaksa seseorang untuk membunuh, maka hukumnya sama dengan hukum paksaan oleh imam, yaitu kewajiban qishāsh atas orang yang memerintah, dan mengenai kewajiban qishāsh atas orang yang diperintah terdapat dua pendapat. Sebab, ketaatan kepada orang yang diangkat sebagai pengganti oleh imam itu wajib sebagaimana wajibnya ketaatan kepada imam, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa taat kepada amirku, maka sungguh ia telah taat kepadaku, dan barang siapa taat kepadaku, maka sungguh ia telah taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada amirku, maka sungguh ia telah durhaka kepadaku, dan barang siapa durhaka kepadaku, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah.”
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْإِكْرَاهِ عَلَى الْقَتْلِ بِمَاذَا يَكُونُ عَلَى وَجْهَيْنِ
Para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai pemaksaan untuk membunuh, dengan apa hal itu terjadi, menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَكُونُ بِكُلِّ مَا كَرِهَتْهُ النَّفْسُ وَشَقَّ عَلَيْهَا مِنْ قَتْلٍ أَوْ ضَرْبٍ أَوْ حَبْسٍ أَوْ أَخْذِ مَالٍ كَالْإِكْرَاهِ فِي الطَّلَاقِ وَالْبَيْعِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ
Salah satunya adalah bahwa ikrah terjadi pada segala sesuatu yang dibenci oleh jiwa dan terasa berat baginya, seperti pembunuhan, pemukulan, penahanan, atau pengambilan harta, sebagaimana ikrah dalam talak dan jual beli sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا يَكُونُ الْإِكْرَاهُ عَلَى الْقَتْلِ إِلَّا بِالْقَتْلِ أَوْ بِمَا أَفْضَى إِلَيْهِ مِنْ قَطْعٍ أَوْ جُرْحٍ وَلَا يَكُونُ الضَّرْبُ وَالْحَبْسُ وَأَخْذُ الْمَالِ فِيهِ إِكْرَاهًا لِأَنَّ حُرْمَةَ النفوس من أَغْلَظُ مِنْ حُرْمَةِ الْأَمْوَالِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْإِكْرَاهُ عَلَى الْقَتْلِ أَغْلَظَ مِنَ الإِكْرَاهِ فِيمَا عَدَاهُ
Pendapat kedua adalah bahwa pemaksaan untuk membunuh tidak terjadi kecuali dengan ancaman pembunuhan atau dengan sesuatu yang mengarah kepadanya, seperti pemotongan anggota tubuh atau melukai. Adapun pemukulan, penahanan, dan pengambilan harta tidak termasuk dalam kategori pemaksaan dalam hal ini, karena kehormatan jiwa lebih agung daripada kehormatan harta. Oleh karena itu, pemaksaan untuk membunuh lebih berat daripada pemaksaan dalam perkara selainnya.
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي إِكْرَاهِ الْإِمَامِ عَلَى قَتْلِ الظُّلْمِ هَلْ يَخْرُجُ بِهِ مِنْ إِمَامَتِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ
Para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai pemaksaan imam untuk melakukan pembunuhan secara zalim, apakah hal itu menyebabkan ia kehilangan jabatannya sebagai imam atau tidak. Terdapat dua pendapat dalam hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hurairah.
وَكَذَلِكَ فِي ارْتِكَابِهِ لِلْكَبَائِرِ الَّذِي يَفْسُقُ بِهَا
Demikian pula dalam melakukan dosa-dosa besar yang menyebabkan seseorang menjadi fāsiq karenanya.
أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ أَنَّهُ يَخْرُجُ مِنَ الإِمَامَةِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ البقرة 124
Salah satu pendapat menyatakan bahwa seseorang keluar dari keimaman karena firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi manusia.” Ia berkata, “Dan juga dari keturunanku?” Allah berfirman, “Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (Al-Baqarah: 124)
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ بِهَا مِنَ الإِمَامَةِ حَتَّى يُخْرِجَهُ مِنْهَا أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ لانعقادها بهم وعليهم أن يستنيبوه فإن تاب وإلا خعلوه
Pendapat kedua menyatakan bahwa seseorang tidak keluar dari jabatan imamah hanya karena hal tersebut, sampai ia dikeluarkan dari jabatan itu oleh ahl al-hall wa al-‘aqd, karena imamah diadakan dengan persetujuan mereka dan merekalah yang berwenang untuk menggantikannya; jika ia bertobat, maka ia tetap dipertahankan, namun jika tidak, maka mereka mencopotnya.
فَصْلٌ
Bab
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْآمِرُ بِالْقَتْلِ مُتَغَلِّبًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun bagian kedua, yaitu apabila pihak yang memerintahkan pembunuhan adalah seorang yang berkuasa secara paksa, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مُتَغَلِّبًا بِتَأْوِيلٍ كَمَنْ نَدَبَ نَفْسَهُ لِإِمَامَةِ أَهْلِ الْبَغْيِ إِذَا أَمَرَ بِقَتْلِ رَجُلٍ ظُلْمًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَأْمُورِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Salah satunya adalah jika seseorang menjadi penguasa dengan takwil, seperti orang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai imam bagi kelompok pemberontak; apabila ia memerintahkan untuk membunuh seseorang secara zalim, maka keadaan orang yang diperintahkan itu tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَرَى رَأْيَهُ وَيَعْتَقِدُ طَاعَتَهُ أَوْ يَكُونُ مُخَالِفًا لَهُ فَإِنْ كان موافقا لرأيه معتقد الطَّاعَةَ فَحُكْمُ الْمَأْمُورِ مَعَهُ كَحُكْمِهِ مَعَ إِمَامِ أَهْلِ الْعَدْلِ إِنْ لَمْ يَكُنْ مِنَ الآمِرِ إِكْرَاهٌ وَجَبَ الْقَوَدُ عَلَى الْمَأْمُورِ دُونَ الْآمِرِ وَإِنْ كَانَ مِنْهُ إِكْرَاهٌ وَجَبَ الْقَوَدُ عَلَى الْآمِرِ وَفِي وُجُوبِهِ عَلَى الْمَأْمُورِ قَوْلَانِ
Bisa jadi seseorang termasuk golongan yang mengikuti pendapatnya dan meyakini ketaatan kepadanya, atau termasuk golongan yang menentangnya. Jika ia sependapat dengannya dan meyakini kewajiban taat, maka hukum orang yang diperintah bersamanya sama seperti hukumnya bersama imam Ahl al-‘Adl; jika dari pihak yang memerintah tidak ada unsur paksaan, maka qishāsh wajib atas orang yang diperintah, bukan atas yang memerintah. Namun jika ada unsur paksaan dari pihak yang memerintah, maka qishāsh wajib atas yang memerintah, dan mengenai kewajibannya atas orang yang diperintah terdapat dua pendapat.
وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُخَالِفُهُ فِي رَأْيِهِ وَلَا يَعْتَقِدُ طَاعَتَهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Dan jika ia termasuk orang yang berbeda pendapat dengannya dan tidak meyakini kewajiban taat kepadanya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَغْلِبَ فِيهِ حَالُ الْمَأْمُورِ لِمَا يَعْتَقِدُهُ مِنْ مُخَالَفَةِ الْآمِرِ ويجري عليه حكمه مع الآمر إذا كان مُتَغَلِّبًا بِاللُّصُوصِيَّةِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ
Salah satunya adalah keadaan orang yang diperintah lebih dominan karena ia meyakini adanya penyimpangan dari pihak yang memerintah, dan hukum berlaku padanya bersama pihak yang memerintah jika pihak yang memerintah tersebut berkuasa dengan cara perampokan, sebagaimana akan kami jelaskan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ يَغْلِبَ فِيهِ حَالُ الْآمِرِ وَيَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُهُ مَعَ الْآمِرِ إِذَا كَانَ إِمَامًا لِأَهْلِ الْعَدْلِ لِأَمْرَيْنِ
Adapun pendapat kedua adalah bahwa keadaan sang pemberi perintah lebih dominan, sehingga hukum tersebut berlaku bersamanya jika ia adalah imam bagi Ahl al-‘Adl, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْبَاغِي مَعَ إِمَامِ أَهْلِ الْعَدْلِ فِي حُكْمِ أَهْلِ الْعَدْلِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَهْلُ الْعَدْلِ مَعَ إِمَامِ أَهْلِ الْبَغْيِ فِي حُكْمِ أَهْلِ الْبَغْيِ
Salah satunya adalah bahwa ketika pihak yang memberontak bersama imam dari Ahl al-‘Adl (kelompok yang adil) berada dalam hukum Ahl al-‘Adl, maka wajib pula Ahl al-‘Adl bersama imam dari Ahl al-Baghy (kelompok pemberontak) berada dalam hukum Ahl al-Baghy.
وَالثَّانِي أَنَّ الشَّافِعِيَّ أَمْضَى أَحْكَامَ قَضَائِهِمْ عَلَى أَهْلِ الْعَدْلِ وَأَهْلِ الْبَغْيِ وَجَوَازَ أَخْذِ الزَّكَاةِ وَجِبَايَةِ الْخَرَاجِ مِنْهُمَا فَاسْتَوَيَا فِي الْحُكْمِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الْمُعْتَقَدِ
Kedua, bahwa asy-Syafi‘i menetapkan keabsahan keputusan hukum mereka atas Ahlul ‘Adl dan Ahlul Baghy, serta membolehkan pengambilan zakat dan pemungutan kharaj dari keduanya, sehingga keduanya sama dalam hukum, meskipun berbeda dalam keyakinan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مُتَغَلِّبًا بِاللُّصُوصِيَّةِ إِذَا أَمَرَ بِقَتْلِ رَجُلٍ
Jenis yang kedua adalah seseorang yang berkuasa dengan cara perampokan; apabila ia memerintahkan untuk membunuh seseorang.
فَالْفَرْقُ بَيْنَ أَمْرِهِ وَأَمْرِ الْإِمَامِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا وَرَابِعٍ مُخْتَلَفٍ فِيهِ
Perbedaan antara perintahnya dan perintah imam ada pada tiga aspek yang disepakati dan satu aspek yang diperselisihkan.
فَأَمَّا الثَّلَاثَةُ الْمُتَّفَقُ عَلَيْهَا
Adapun tiga hal yang telah disepakati.
فَأَحَدُهَا أَنَّ طَاعَةَ الْإِمَامِ وَاجِبَةٌ إِلَّا فِيمَا يُعْلَمُ أَنَّهُ ظُلْمٌ وَطَاعَةُ هَذَا الْمُتَغَلِّبِ غَيْرُ وَاجِبَةٍ إِلَّا فِيمَا يُعْلَمُ أَنَّهُ حَقٌّ
Salah satunya adalah bahwa ketaatan kepada imam itu wajib kecuali dalam hal yang diketahui sebagai kezaliman, sedangkan ketaatan kepada penguasa yang merebut kekuasaan tidaklah wajib kecuali dalam hal yang diketahui sebagai kebenaran.
وَالثَّانِي أَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ أَمْرِ الْإِمَامِ بِالْقَتْلِ أَنَّهُ يَحِقُّ إِلَّا أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ ظَلَمَ وَالظَّاهِرُ مِنْ أَمْرِ الْمُتَغَلِّبِ بِالْقَتْلِ أَنَّهُ يَظْلِمُ إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ أَنَّهُ حَقٌّ وَالثَّالِثُ أَنَّ اجْتِهَادَ الْإِمَامِ فِيمَنْ يَسْتَبِيحُ قَتْلَهُ مِنْ مُسْلِمٍ بِكَافِرٍ وَحُرٍّ بِعَبْدٍ نَافِذٍ وَاجْتِهَادُ هَذَا الْمُتَغَلِّبِ فِيهِ غَيْرُ نَافِذٍ
Kedua, bahwa yang tampak dari perintah imam untuk membunuh adalah bahwa itu benar, kecuali jika diketahui bahwa ia telah berbuat zalim; dan yang tampak dari perintah orang yang berkuasa secara paksa untuk membunuh adalah bahwa ia berbuat zalim, kecuali jika diketahui bahwa itu benar. Ketiga, ijtihad imam dalam hal siapa yang boleh dibunuh, seperti membunuh seorang muslim dengan seorang kafir atau seorang merdeka dengan seorang budak, adalah sah dan berlaku, sedangkan ijtihad orang yang berkuasa secara paksa dalam hal ini tidak sah dan tidak berlaku.
فَإِذَا افْتَرَقَا مِنْ هَذِهِ الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ اعْتُبِرَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْآمِرِ إِنْ كَانَ إِمَامًا أَوْ مُتَغَلِّبًا فَأَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَهُ عَلَى اخْتِلَافِ أَحْكَامِهِمَا فِي الْجِهَتَيْنِ
Maka apabila keduanya berbeda dalam tiga aspek tersebut, maka masing-masing dari keduanya dipertimbangkan dalam hal penguasa, apakah ia seorang imam atau seorang penguasa yang merebut kekuasaan, lalu diterapkan hukum sesuai dengan statusnya, sesuai dengan perbedaan hukum keduanya dalam dua aspek tersebut.
وَأَمَّا الرَّابِعُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَهُوَ الْإِكْرَاهُ وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي حُكْمِ الْإِكْرَاهِ هَلْ يَسْتَوِيَانِ فِيهِ أَوْ يَخْتَلِفَانِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Adapun yang keempat, yaitu perkara yang diperselisihkan, maka itu adalah ikrah (paksaan). Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum ikrah, apakah keduanya (yaitu pelaku dan yang dipaksa) disamakan hukumnya ataukah berbeda, dan hal ini memiliki dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُمَا يَسْتَوِيَانِ فِي الْإِكْرَاهِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الْآمِرِ مِنْ غَيْرِ إِكْرَاهٍ فَعَلَى هَذَا إِذَا أَمَرَ الْمُتَغَلِّبُ رَجُلًا بِالْقَتْلِ مِنْ غَيْرِ إِكْرَاهٍ وَجَبَ عَلَى الْمَأْمُورِ الْقَوَدُ سَوَاءٌ عَلِمَ بِظُلْمِهِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ أَمْرِهِ بِالْقَتْلِ أَنَّهُ بِغَيْرِ حَقٍّ وَلَا قَوَدَ عَلَى الْآمِرِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُطَاعٍ فِي الظَّاهِرِ مَا لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ حَقٌّ فَصَارَ الْمَأْمُورُ هُوَ الْمُنْفَرِدُ بِالْقَتْلِ وَالْآمِرُ مُشِيرٌ بِهِ وَإِنْ أَكْرَهَهُ الْآمِرُ الْمُتَغَلِّبُ عَلَى الْقَتْلِ وَجَبَ عَلَى الْآمِرِ الْقَوَدُ وَفِي وُجُوبِهِ عَلَى الْمَأْمُورِ قَوْلَانِ لِاسْتِوَاءِ الْإِمَامِ وَالْمُتَغَلِّبِ فِي الْإِكْرَاهِ
Pertama, keduanya (imam dan penguasa yang merebut kekuasaan) sama dalam hal pemaksaan. Namun, jika berbeda dalam hal perintah tanpa adanya pemaksaan, maka dalam hal ini, apabila seorang penguasa yang merebut kekuasaan memerintahkan seseorang untuk membunuh tanpa adanya pemaksaan, maka wajib atas orang yang diperintah untuk dikenakan qishāsh, baik ia mengetahui kezaliman perintah tersebut maupun tidak, karena yang tampak dari perintah membunuh itu adalah tanpa hak. Tidak ada qishāsh atas orang yang memerintah, karena secara lahiriah ia bukan pihak yang ditaati selama tidak diketahui bahwa perintah itu benar. Maka, orang yang diperintah menjadi satu-satunya pelaku pembunuhan, sedangkan yang memerintah hanya memberi saran. Namun, jika penguasa yang merebut kekuasaan memaksa untuk membunuh, maka wajib atas orang yang memerintah dikenakan qishāsh, dan mengenai kewajiban qishāsh atas orang yang diperintah terdapat dua pendapat, karena imam dan penguasa yang merebut kekuasaan sama dalam hal pemaksaan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُمَا مُخْتَلِفَانِ فِي حُكْمِ الْإِكْرَاهِ كَمَا اخْتَلَفَا فِي حُكْمِ الِاخْتِيَارِ لِأَمْرَيْنِ
Adapun alasan kedua adalah bahwa keduanya berbeda dalam hukum ikrah, sebagaimana keduanya juga berbeda dalam hukum ikhtiyar, karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ فِي طَاعَةِ الْإِمَامِ شُبْهَةً لَيْسَتْ فِي طَاعَةِ الْمُتَغَلِّبِ
Salah satunya adalah bahwa dalam ketaatan kepada imam terdapat syubhat yang tidak terdapat dalam ketaatan kepada penguasa yang merebut kekuasaan (al-mutaġallib).
وَالثَّانِي أَنَّ أَمْرَ الْإِمَامِ عَامٌّ فِي جَمِيعِ الْبِلَادِ لَا يُقْدَرُ عَلَى الْخَلَاصِ مِنْهُ وَأَمْرُ الْمُتَغَلِّبِ خَاصٌّ فِي بَعْضِهَا يُقْدَرُ عَلَى الْخَلَاصِ مِنْهُ إِذَا انْتَقَلَ إِلَى غَيْرِهَا
Kedua, bahwa perintah imam bersifat umum di seluruh negeri sehingga tidak mungkin melepaskan diri darinya, sedangkan perintah penguasa yang menguasai secara paksa bersifat khusus di sebagian negeri saja, sehingga memungkinkan untuk melepaskan diri darinya jika berpindah ke negeri lain.
فَعَلَى هَذَا إِذَا أَكْرَهَ الْمُتَغَلِّبُ رَجُلًا عَلَى الْقَتْلِ وَجَبَ الْقَوَدُ عَلَى الْآمِرِ وَالْمَأْمُورِ جَمِيعًا وَإِنْ كَانَ فِي مُكْرَهِ الْإِمَامِ قَوْلَانِ لِمَا ذُكِرَ مِنَ الفَرْقَيْنِ وَإِنْ كَانَا ضَعِيفَيْنِ
Dengan demikian, jika seorang penguasa yang zalim memaksa seseorang untuk membunuh, maka qishāsh wajib dijatuhkan kepada orang yang memerintah dan yang diperintah, keduanya sekaligus. Meskipun dalam kasus orang yang dipaksa oleh imam terdapat dua pendapat, sebagaimana telah disebutkan perbedaan antara keduanya, meskipun kedua pendapat tersebut lemah.
فَصْلٌ
Bagian
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْآمِرُ بِالْقَتْلِ مُسَاوِيًا لِلْمَأْمُورِ لَا يَفْضُلُ عَلَيْهِ بِقُدْرَةٍ وَلَا يَدٍ فَالْإِكْرَاهُ مِنْ مِثْلِهِ مَعْدُومٌ وَالْمَأْمُورُ هُوَ الْمُنْفَرِدُ بِالْقَتْلِ دُونَ الْآمِرِ وَالْآمِرُ أَضْعَفُ حَالًا مِنَ المُمْسِكِ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ قَوَدٌ وَلَا دِيَةٌ وَلَا كَفَّارَةٌ لكن يكون آثِمًا بِالرِّضَا وَالْمَشُورَةِ وَعَلَى الْمَأْمُورِ الْقَوَدُ أَوِ الدِّيَةُ وَيَخْتَصُّ بِالْتِزَامِهَا مَعَ الْكَفَّارَةِ
Adapun bagian ketiga adalah apabila orang yang memerintahkan pembunuhan setara dengan orang yang diperintah, tidak lebih unggul darinya dalam kekuatan atau kekuasaan, maka paksaan dari orang semisalnya dianggap tidak ada, dan orang yang diperintah adalah satu-satunya pelaku pembunuhan tanpa keterlibatan orang yang memerintah. Orang yang memerintah dalam hal ini keadaannya lebih lemah daripada orang yang menahan, sehingga tidak wajib atasnya qishāsh, diyat, maupun kafārah, tetapi ia berdosa karena ridha dan musyawarahnya. Adapun atas orang yang diperintah, wajib qishāsh atau diyat, dan ia secara khusus yang menanggungnya beserta kafārah.
فَإِنْ غَرَّ الْآمِرُ الْمَأْمُورَ وَقَالَ اقْتُلْ هَذَا فَإِنَّهُ حَرْبِيٌّ أَوْ مُرْتَدٌّ فَقَتَلَهُ وَكَانَ مُسْلِمًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jika orang yang memerintah menipu orang yang diperintah dan berkata, “Bunuhlah orang ini, karena dia adalah harbi atau murtad,” lalu orang yang diperintah membunuhnya, padahal ternyata ia adalah seorang Muslim, maka kasus ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَالْقَوَدُ عَلَى الْمَأْمُورِ وَاجِبٌ وَلَا قَوَدَ عَلَى الْآمِرِ فَإِنْ عَفَي عَنِ الْقَوَدِ وَجَبَ عَلَيْهِ الدِّيَةُ وَلَا يَرْجِعُ بِهَا عَلَى الْآمِرِ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ دَارِ الْإِسْلَامِ إِسْلَامُ أَهْلِهَا فَضَعُفَ غُرُورُ الْآمِرِ فِيهَا
Salah satunya adalah jika peristiwa itu terjadi di wilayah Islam, maka qishāsh wajib dijatuhkan kepada pelaku yang diperintah, dan tidak ada qishāsh atas orang yang memerintah. Jika qishāsh dimaafkan, maka wajib baginya membayar diyat, dan ia tidak boleh menuntut kembali diyat tersebut kepada orang yang memerintah, karena yang tampak dari wilayah Islam adalah keislaman penduduknya, sehingga unsur penipuan dari pihak yang memerintah menjadi lemah di dalamnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَلَا قَوَدَ عَلَى الْمَأْمُورِ وَلَا عَلَى الْآمِرِ وَتَجِبُ عَلَى الْمَأْمُورِ الدِّيَةُ كَالْخَاطِئِ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ كُفْرُ أَهْلِهَا
Jenis yang kedua adalah apabila hal itu terjadi di wilayah perang (dār al-ḥarb), maka tidak ada qishāsh atas orang yang diperintah maupun atas yang memerintah, dan wajib atas orang yang diperintah membayar diyat seperti orang yang bersalah tanpa sengaja, karena yang tampak dari wilayah perang adalah kekafiran penduduknya.
فَإِذَا غَرِمَ الْمَأْمُورُ الدِّيَةَ فَفِي رُجُوعِهِ بِهَا عَلَى الْآمِرِ الْغَارِّ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَنْ غَرَّ رَجُلًا فِي النكاح على أن المنكوحة حرة فباتت أَمَةً هَلْ يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِمَا غَرَّمَهُ مِنْ صَدَاقِهَا فِيهَا قَوْلَانِ كَذَلِكَ هَاهُنَا يَتَخَرَّجُ فِيهِ وجهان والله أعلم
Jika orang yang diperintah membayar diyat, maka mengenai apakah ia boleh menuntut kembali pembayaran tersebut kepada orang yang memerintahkannya dan menyesatkannya, terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan dua pendapat mengenai seseorang yang menyesatkan orang lain dalam pernikahan dengan mengatakan bahwa wanita yang dinikahi adalah seorang merdeka, namun ternyata ia adalah seorang budak; apakah ia boleh menuntut kembali mahar yang telah dibayarkan darinya, dalam hal ini terdapat dua pendapat. Demikian pula di sini, terdapat dua pendapat yang dapat diambil. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَعَلَى السَّيِّدِ الْقَوَدُ إِذَا أَمَرَ عَبْدَهُ صَبِيًّا أَوْ أَعْجَمِيًّا لَا يَعْقِلُ بِقَتْلِ رَجُلٍ فَقَتَلَهُ فَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ يَعْقِلُ فَعَلَى الْعَبْدِ الْقَوَدُ وَلَوْ كَانَا لِغَيْرِهِ فَكَانَا يُمَيِّزَانِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَيِّدِهِمَا فَهُمَا قَاتِلَانِ وَإِنْ كَانَا لَا يُمَيِّزَانِ فَالْآمِرُ الْقَاتِلُ وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Wajib atas tuan (majikan) untuk dikenai qishāsh apabila ia memerintahkan budaknya yang masih anak-anak atau orang asing yang tidak berakal untuk membunuh seseorang, lalu budak itu membunuhnya. Namun, jika budak tersebut berakal, maka qishāsh wajib atas budak itu. Jika keduanya (budak dan tuan) adalah milik orang lain, dan keduanya dapat membedakan antara dirinya dan tuannya, maka keduanya adalah pembunuh. Tetapi jika keduanya tidak dapat membedakan, maka yang memerintah adalah pembunuh dan atasnyalah qishāsh.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَمَرَ عَبْدَهُ بِالْقَتْلِ فَامْتَثَلَ أَمْرَهُ فِيهِ فَلِلْعَبْدِ الْمَأْمُورِ حَالَتَانِ
Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada seorang laki-laki yang memerintahkan budaknya untuk membunuh, lalu budak tersebut melaksanakan perintahnya. Maka bagi budak yang diperintah itu terdapat dua keadaan.
إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ لَا يُمَيِّزُ فِي طَاعَةِ سَيِّدِهِ بَيْنَ الْمَحْظُورِ وَالْمُبَاحِ إِمَّا لِصِغَرِهِ وَإِمَّا لِأَعْجَمِيَّتِهِ فَيَكُونُ السَّيِّدُ الْآمِرُ هُوَ الْقَاتِلَ وَيَكُونُ الْعَبْدُ مَعَهُ كَالْآلَةِ الَّتِي يَسْتَعْمِلُهَا أَوْ كَالْبَهِيمَةِ الَّتِي يُشْلِيهَا فَيَكُونُ الْقَوَدُ فِي الْمَقْتُولِ وَاجِبًا عَلَى السَّيِّدِ دُونَ الْعَبْدِ فَإِنْ عَفَي عَنْهُ إِلَى الدِّيَةِ كَانَتْ حَالَّةً فِي مَالِهِ وَلَا تَرْتَهِنُ رَقَبَةُ الْعَبْدِ بِهَا وَيَكُونُ كَسَائِرِ أَمْوَالِ السَّيِّدِ
Salah satunya adalah apabila seorang hamba tidak dapat membedakan dalam ketaatannya kepada tuannya antara yang terlarang dan yang diperbolehkan, baik karena usianya yang masih kecil maupun karena ia adalah orang asing (tidak memahami bahasa). Maka, tuan yang memerintahkan itulah yang dianggap sebagai pembunuh, dan hamba tersebut bersamanya seperti alat yang digunakan atau seperti hewan yang ia suruh. Oleh karena itu, kewajiban qishāsh atas korban pembunuhan menjadi tanggung jawab tuan, bukan hamba. Jika dimaafkan dan diganti dengan diyat, maka diyat itu menjadi kewajiban yang harus dibayarkan dari harta tuan, dan leher hamba tidak menjadi jaminan atasnya, sehingga diyat itu seperti harta tuan yang lain.
وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ السَّيِّدُ لِهَذَا الْعَبْدِ اقْتُلْنِي فَقَتَلَ سَيِّدَهُ بِأَمْرِهِ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَيَكُونُ السَّيِّدُ قَاتِلَ نَفْسِهِ
Dengan demikian, jika seorang tuan berkata kepada budaknya, “Bunuhlah aku,” lalu budak itu membunuh tuannya atas perintahnya, maka tidak ada qishāsh atas budak tersebut, dan tuan itu dianggap sebagai orang yang membunuh dirinya sendiri.
وَلَوْ قَالَ لَهُ السَّيِّدُ اقْتُلْ نَفْسَكَ فَقَتَلَ نَفْسَهُ عَنْ أَمْرِهِ كَانَ السَّيِّدُ هُوَ الْقَاتِلَ لِعَبْدِهِ فَيُؤْخَذُ بِمَا يُؤْخَذُ بِهِ قَاتِلُ عَبْدِهِ
Dan jika tuan berkata kepada hambanya, “Bunuhlah dirimu,” lalu sang hamba membunuh dirinya atas perintah tuannya, maka tuan tersebut dianggap sebagai pembunuh hambanya, sehingga ia dikenai hukuman sebagaimana hukuman bagi orang yang membunuh hambanya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنَّ يَكُونَ هَذَا الْعَبْدُ يُمَيِّزُ فِي طَاعَةِ سَيِّدِهِ بَيْنَ الْمُبَاحِ وَبَيْنَ الْمَحْظُورِ وَيَعْلَمُ أَنَّ الْقَتْلَ مَحْظُورٌ لَا يُطَاعُ فِيهِ السَّيِّدُ إِمَّا لِبُلُوغِهِ وَعَقْلِهِ وإما لِمُرَاهَقَتِهِ وَتَمْيِيزِهِ فَيَكُونُ الْعَبْدُ هُوَ الْقَاتِلَ دُونَ السَّيِّدِ فَإِنْ كَانَ بَالِغًا وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَإِنْ كَانَ مُرَاهِقًا لَمْ يَبْلُغْ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَتَكُونُ الدِّيَةُ فِي رَقَبَتِهِ يُبَاعُ فِيهَا
Keadaan kedua adalah ketika seorang budak dapat membedakan dalam ketaatan kepada tuannya antara yang mubah dan yang terlarang, dan ia mengetahui bahwa membunuh adalah perbuatan terlarang yang tidak boleh ditaati perintah tuan dalam hal itu, baik karena ia telah baligh dan berakal, atau karena ia telah mendekati baligh dan dapat membedakan. Maka budak itulah yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan, bukan tuannya. Jika ia sudah baligh, maka wajib atasnya qishāsh. Namun jika ia baru mendekati baligh dan belum baligh, maka tidak ada qishāsh atasnya, dan diyat menjadi tanggungan dirinya, sehingga ia dapat dijual untuk membayar diyat tersebut.
وَعَلَى هَذَا لَوْ قَالَ لَهُ السَّيِّدُ اقْتُلْنِي فَقَتَلَ سَيِّدَهُ بِأَمْرِهِ كَانَ الْعَبْدُ هُوَ الْقَاتِلُ إِلَّا أَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِأَنَّ فِي أَمْرِ السَّيِّدِ إِبْرَاءً مِنَ القَوَدِ وَلَا يَثْبُتُ فِي رَقَبَتِهِ الدِّيَةُ لِأَنَّهُ مَمْلُوكٌ لِمُسْتَحِقِّهَا مِنَ الوَرَثَةِ وَلَوْ قَالَ لَهُ السَّيِّدُ اقْتُلْ نَفْسَكَ فَقَتَلَ نَفْسَهُ كَانَ هُوَ الْقَاتِلَ لِنَفْسِهِ دُونَ السَّيِّدِ وَهَكَذَا حُكْمُ الْأَبِ مَعَ ابْنِهِ إِذَا أَمَرَهُ بِالْقَتْلِ فِي أَنْ يُرَاعَى تَمْيِيزُ الِابْنِ فَإِنْ كَانَ مُمَيِّزًا يَعْلَمُ أَنَّ طَاعَةَ الْأَبِ فِي الْقَتْلِ لَا تَجِبُ فَالِابْنُ هُوَ الْقَاتِلُ دُونَ الْأَبِ وَإِنْ كَانَ لَا يُمَيِّزُ لِصِغَرِهِ أَوْ بَلَهِهِ فَالْأَبُ هُوَ الْقَاتِلُ دُونَ الِابْنِ
Berdasarkan hal ini, jika seorang tuan berkata kepada hambanya, “Bunuhlah aku,” lalu sang hamba membunuh tuannya atas perintahnya, maka hamba tersebutlah yang dianggap sebagai pembunuh. Namun, tidak ada qishāsh atasnya karena perintah tuan mengandung pembebasan dari qishāsh, dan tidak pula diwajibkan diyat atas dirinya karena ia adalah milik orang yang berhak menerima diyat dari kalangan ahli waris. Jika tuan berkata kepada hambanya, “Bunuhlah dirimu sendiri,” lalu ia membunuh dirinya sendiri, maka dialah yang dianggap membunuh dirinya sendiri, bukan tuannya. Demikian pula hukum ayah terhadap anaknya jika ia memerintahkannya untuk membunuh; harus diperhatikan apakah anak tersebut sudah dapat membedakan (mumayyiz) atau belum. Jika anak tersebut sudah mumayyiz dan mengetahui bahwa menaati ayah dalam hal membunuh tidaklah wajib, maka anak itulah yang dianggap sebagai pembunuh, bukan ayahnya. Namun, jika anak tersebut belum dapat membedakan karena masih kecil atau bodoh, maka ayahnyalah yang dianggap sebagai pembunuh, bukan anaknya.
فَصْلٌ
Bab
وَإِذَا أَمَرَ أَجْنَبِيٌّ عَبْدَ غَيْرِهِ بِالْقَتْلِ فَأَطَاعَ الْعَبْدُ غَيْرَ سَيِّدِهِ فِي الْقَتْلِ رُوعِيَ حَالُ الْعَبْدِ فَإِنْ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ طَاعَةِ سَيِّدِهِ وَطَاعَةِ غَيْرِهِ لِصِغَرِهِ أَوْ أَعْجَمِيَّتِهِ أَوِ اعْتَقَدَ أَنَّ كُلَّ آمِرٍ مُطَاعٌ كَانَ الْآمِرُ هُوَ الْقَاتِلَ وَإِنْ فَرَّقَ بَيْنَ سَيِّدِهِ وَبَيْنَ غَيْرِهِ فِي الْتِزَامِ طَاعَتِهِ فَالْعَبْدُ هُوَ الْقَاتِلُ دُونَ الْآمِرِ فَإِنْ تَشَبَّهَ الْأَجْنَبِيُّ بِالسَّيِّدِ وَدَلَّسَ نفسه على العبد حين أمره القتل كَانَ الْآمِرُ هُوَ الْقَاتِلَ دُونَ الْعَبْدِ إِنْ كَانَ الْعَبْدُ لَا يُفَرِّقُ فِي طَاعَةِ السَّيِّدِ بَيْنَ الْمُبَاحِ وَالْمَحْظُورِ وَإِنْ كَانَ يُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا فَالْعَبْدُ هُوَ الْقَاتِلُ دُونَ الْآمِرِ
Jika seorang asing memerintahkan budak milik orang lain untuk membunuh, lalu budak itu menaati perintah membunuh dari selain tuannya, maka keadaan budak tersebut diperhatikan. Jika budak itu tidak dapat membedakan antara ketaatan kepada tuannya dan ketaatan kepada selain tuannya karena masih kecil, atau karena tidak memahami bahasa, atau karena meyakini bahwa setiap orang yang memerintah harus ditaati, maka yang dianggap sebagai pembunuh adalah orang yang memerintah. Namun, jika budak itu dapat membedakan antara tuannya dan selain tuannya dalam hal ketaatan, maka budaklah yang dianggap sebagai pembunuh, bukan orang yang memerintah. Jika orang asing itu menyerupai tuan budak dan menipu budak dengan menyamar sebagai tuannya ketika memerintahkan pembunuhan, maka yang dianggap sebagai pembunuh adalah orang yang memerintah, bukan budak, jika budak tersebut memang tidak dapat membedakan dalam ketaatan kepada tuannya antara perkara yang boleh dan yang terlarang. Namun, jika budak itu dapat membedakan antara keduanya, maka budaklah yang dianggap sebagai pembunuh, bukan orang yang memerintah.
وَلَوْ قَالَ الْأَجْنَبِيُّ لِلْعَبْدِ قَدْ أَمَرَكَ سَيِّدُكَ بِالْقَتْلِ فَقَتَلَ كَانَ هَذَا الْقَوْلُ فِي حَقِّ الْعَبْدِ كَأَمْرِ سَيِّدِهِ وَفِي حَقِّ الْأَجْنَبِيِّ كَأَمْرِ نَفْسِهِ فَيَكُونُ عَلَى مَا تَفَصَّلَ مِنَ الحُكْمَيْنِ
Dan jika seorang asing berkata kepada seorang budak, “Tuanku telah memerintahkanmu untuk membunuh,” lalu budak itu membunuh, maka ucapan ini bagi budak diperlakukan seperti perintah tuannya, dan bagi orang asing diperlakukan seperti perintah dirinya sendiri. Maka berlaku atas keduanya hukum yang telah dirinci sebelumnya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَتَلَ مُرْتَدٌّ نَصْرَانِيًّا ثُمَّ رَجَعَ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّ عَلَيْهِ الْقَوَدَ وَهُوَ أَوْلَاهُمَا لِأَنَّهُ قَتَلَ وَلَيْسَ بِمُسْلِمٍ وَالثَّانِي أَنْ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَى دِينِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَدْ أَبَانَ أَنَّ الْأَوَّلَ أَوْلَاهُمَا فَالْأَوْلَى أَحَقُّ بِالصَّوَابِ وَقَدْ دَلَّ قَوْلُهُ فِي رَفْعِ الْقَوَدِ عَنْهُ لِأَنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَى دِينِهِ عَلَى أَنَّهُ لَوْ كَانَ الْقَاتِلُ نَصْرَانِيًّا يُقَرُّ عَلَى دِينِهِ لَكَانَ الْقَوَدُ عَلَيْهِ وَإِنْ أَسْلَمَ قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فَإِذَا كَانَ النَّصْرَانِيُّ الَّذِي يُقَرُّ عَلَى دِينِهِ الْحَرَامُ الدَّمِ إِذَا أَسْلَمَ يُقْتَلُ بِالنَّصْرَانِيِّ فَالْمُبَاحُ الدَّمِ بِالرِّدَّةِ أَحَقُّ أَنْ يُقَادَ بِالنَّصْرَانِيِّ وَإِنْ أَسْلَمَ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seorang murtad membunuh seorang Nasrani, kemudian ia kembali (masuk Islam), maka ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama, ia wajib dikenakan qishāsh, dan ini adalah pendapat yang lebih utama, karena ia membunuh dalam keadaan bukan Muslim. Pendapat kedua, tidak ada qishāsh atasnya, karena ia tidak diakui tetap dalam agamanya. Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Beliau telah menjelaskan bahwa pendapat pertama adalah yang lebih utama, maka yang utama lebih berhak untuk dianggap benar. Dan pernyataannya tentang tidak dikenakannya qishāsh atasnya karena ia tidak diakui tetap dalam agamanya menunjukkan bahwa jika pembunuhnya adalah seorang Nasrani yang diakui tetap dalam agamanya, maka qishāsh berlaku atasnya, meskipun ia masuk Islam. Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Jika seorang Nasrani yang diakui tetap dalam agamanya dan darahnya haram (untuk ditumpahkan), apabila ia masuk Islam, maka ia dibunuh karena membunuh Nasrani, maka orang yang darahnya halal karena riddah lebih utama untuk dikenakan qishāsh karena membunuh Nasrani, meskipun ia masuk Islam, menurut qiyās pendapat beliau.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا قَتَلَ مُرْتَدٌّ نَصْرَانِيًّا صَاحِبَ عَهْدٍ أَوْ جِزْيَةٍ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ
Al-Mawardi berkata, “Jika seorang murtad membunuh seorang Nasrani yang merupakan ahl al-‘ahd atau pembayar jizyah, maka dalam kewajiban qishāsh atasnya terdapat dua pendapat.”
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْمُزَنِيِّ أَنَّ الْقَوَدَ عَلَى الْمُرْتَدِّ وَاجِبٌ سَوَاءٌ أَقَامَ عَلَى رِدَّتِهِ أَوْ رَجَعَ إِلَى الْإِسْلَامِ لِأَمْرَيْنِ
Salah satunya, yaitu pendapat al-Muzani, bahwa qisas terhadap orang murtad adalah wajib, baik ia tetap dalam kemurtadannya maupun kembali kepada Islam, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا اجْتِمَاعُهُمَا عَلَى الْكُفْرِ وَإِنْ تَنَوَّعَ وَاخْتَلَفَ لِأَنَّ جَمِيعَ الْكُفْرِ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ ثُمَّ النَّصْرَانِيُّ أَحْسَنُ حَالًا مِنَ المُرْتَدِّ لِأَنَّهُ يُقَرُّ عَلَى نَصْرَانِيَّتِهِ وَالْمُرْتَدُّ لَا يُقَرُّ عَلَى رِدَّتِهِ
Salah satunya adalah bahwa keduanya sama-sama berada dalam kekufuran, meskipun bentuk dan ragamnya berbeda, karena seluruh kekufuran itu merupakan satu golongan. Namun, seorang Nasrani (Kristen) keadaannya lebih baik daripada seorang murtad, karena seorang Nasrani tetap diakui atas keagamaannya, sedangkan seorang murtad tidak diakui atas kemurtadannya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا كَانَ حُدُوثُ إِسْلَامِ النَّصْرَانِيِّ بَعْدَ أَنْ قَتَلَ نَصْرَانِيًّا لَا يَمْنَعُ مِنَ القَوَدِ لِاجْتِمَاعِهِمَا عَلَى الْكُفْرِ عِنْدَ الْقَتْلِ كَذَلِكَ تَقَدُّمُ إِسْلَامِ الْمُرْتَدِّ عَلَى قَتْلِهِ أَوْلَى أَنْ لَا يَمْنَعَ مِنَ القَوَدِ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْإِسْلَامِ عِنْدَ ثُبُوتِهِ أَوْكَدُ مِنْ حُرْمَتِهِ بَعْدَ زَوَالِهِ
Kedua, ketika masuk Islamnya seorang Nasrani setelah ia membunuh seorang Nasrani tidak menghalangi pelaksanaan qishāsh karena keduanya sama-sama dalam keadaan kafir saat pembunuhan terjadi, maka demikian pula, masuk Islamnya seorang murtad sebelum ia membunuh lebih utama untuk tidak menghalangi pelaksanaan qishāsh, karena kehormatan Islam ketika telah tetap (pada seseorang) lebih kuat daripada kehormatannya setelah hilang (karena murtad).
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَى الْمُرْتَدِّ فِي قَتْلِ النَّصْرَانِيِّ لِأَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ مَنْ جَرَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ لَمْ تَزُلْ عَنْهُ بِالرِّدَّةِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qishāsh atas murtad dalam kasus membunuh seorang Nasrani karena dua alasan: Pertama, siapa pun yang telah berlaku atasnya hukum-hukum Islam, maka hukum tersebut tidak hilang darinya karena riddah, seperti shalat dan puasa.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا أَجْرَى عَلَى الْمُرْتَدِّ أَحْكَامَ الْإِسْلَامِ فِي غَيْرِ الْقَوَدِ بِمَا يُؤْخَذُ مِنْ زَكَاةِ مَالِهِ وَيُؤْخَذُ بِقَضَاءِ مَا تَرَكَ مِنْ صَلَوَاتِ وَقْتِهِ ولا يؤخذ منه الجزية لأن لا يجري عليه صغر الْكُفْرِ وَتُمْنَعُ الْمُرْتَدَّةُ مِنْ نِكَاحِ كَافِرٍ لِثُبُوتِ حُرْمَةِ الْإِسْلَامِ لَهَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْإِسْلَامِ جَارِيًا عَلَيْهِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ بِقَتْلِ الْكَافِرِ وَبِهَذَا يُدْفَعُ احْتِجَاجُ الْمُزَنِيِّ
Kedua, ketika hukum-hukum Islam diterapkan kepada orang murtad selain dalam hal qishāsh, seperti diambil zakat dari hartanya dan ia diwajibkan mengqadha salat yang ditinggalkannya pada waktunya, serta tidak diambil darinya jizyah karena tidak diterapkan status kehinaan kekufuran kepadanya, dan perempuan murtad dilarang menikah dengan orang kafir karena tetapnya kehormatan Islam baginya, maka wajib hukum Islam juga diterapkan kepadanya dalam hal gugurnya qishāsh karena membunuh orang kafir. Dengan ini, bantahan terhadap dalil al-Muzani dapat dijawab.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ كَانَتْ دِيَةُ النَّصْرَانِيِّ فِي مَالِهِ سَوَاءٌ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ أَوْ رَجَعَ عَنْهَا وَيَكُونُ بَاقِي مَالِهِ بَعْدَ الرِّدَّةِ إِنْ قَلَّ لِبَيْتِ الْمَالِ وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْقَوَدَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ فَوَلِيُّ النَّصْرَانِيِّ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الْقَوَدِ وَالْعَفْوِ فَإِنْ عفى عَنْهُ إِلَى الدِّيَةِ فَعَلَى مَا مَضَى وَإِنْ أَرَادَ الْقَوَدَ فَلِلْمُرْتَدِّ حَالَتَانِ
Jika telah tetap penjelasan kedua pendapat tersebut, maka jika kita mengatakan bahwa tidak ada qishāsh atasnya, maka diyat orang Nasrani diambil dari hartanya, baik ia dibunuh karena riddah maupun ia kembali dari riddah, dan sisa hartanya setelah riddah—jika sedikit—menjadi milik Baitul Māl. Namun jika kita mengatakan bahwa qishāsh wajib atasnya, maka wali orang Nasrani diberi pilihan antara qishāsh dan memaafkan. Jika ia memaafkan hingga menerima diyat, maka berlaku seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun jika ia menghendaki qishāsh, maka bagi murtad ada dua keadaan.
إِحْدَاهُمَا أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الْإِسْلَامِ فَيَسْقُطَ قَتْلُ الرِّدَّةِ وَيُقْتَلَ قَوَدًا
Salah satunya adalah ia kembali kepada Islam, sehingga hukuman mati karena riddah gugur dan ia dihukum mati sebagai qishāsh.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يُقِيمَ عَلَى رِدَّتِهِ فَيُقَالُ لِوَلِيِّ الْمَقْتُولِ إِنْ عَدَلْتَ إِلَى الدِّيَةِ قَتَلْنَاهُ بِالرِّدَّةِ وَإِنْ أَقَمْتَ عَلَى طَلَبِ الْقَوَدِ قَتَلْنَاهُ قَوَدًا وَدَخَلَ فِيهِ قَتْلُ الرِّدَّةِ وَكَانَ جَمِيعُ مَالِهِ فَيْئًا فِي بَيْتِ الْمَالِ وَيُقَدَّمُ قَتْلُهُ بِالْقَوَدِ عَلَى قَتْلِهِ بِالرِّدَّةِ لِأَمْرَيْنِ
Adapun keadaan kedua adalah apabila ia tetap dalam kemurtadannya, maka dikatakan kepada wali korban: “Jika engkau memilih diyat, kami akan membunuhnya karena riddah; dan jika engkau tetap menuntut qisas, kami akan membunuhnya dengan qisas, dan termasuk di dalamnya juga hukuman mati karena riddah.” Seluruh hartanya menjadi fai’ yang masuk ke Baitul Mal, dan pelaksanaan hukuman mati dengan qisas didahulukan daripada hukuman mati karena riddah karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْخَصْمَ فِي الْقَوَدِ آدَمِيٌّ حَاضِرٌ فَكَانَ أَوْكَدَ
Salah satunya adalah bahwa pihak lawan dalam kasus qawad (pembalasan) adalah manusia yang hadir, sehingga hal itu lebih kuat.
وَالثَّانِي أَنَّ الْمُرَادَ بِقَتْلِ الرِّدَّةِ أَنْ لَا يُوجَدُ مِنْهُ الْإِقَامَةُ عَلَيْهَا وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي قَتْلِهِ قَوَدًا
Yang kedua, maksud dari hukuman mati karena riddah adalah agar tidak ada lagi orang yang tetap berada dalam keadaan tersebut, dan hal ini juga terdapat dalam hukuman mati qishash atas dirinya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا قَتَلَ نَصْرَانِيٌّ مُرْتَدًّا فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ لِأَصْحَابِنَا
Adapun jika seorang Nasrani membunuh seorang murtad, maka menurut para ulama kami terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ لِأَنَّهُ مُبَاحُ الدَّمِ فَسَقَطَ عَنْهُ الضَّمَانُ كَمَا لَوْ قَتَلَهُ مُسْلِمٌ
Salah satu pendapat, yang dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa tidak ada qishash atasnya dan tidak ada diyat, karena ia adalah orang yang darahnya halal, sehingga gugurlah kewajiban ganti rugi darinya, sebagaimana jika ia dibunuh oleh seorang Muslim.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ عَلَى النَّصْرَانِيِّ الْقَوَدَ أَوِ الدِّيَةَ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي قَتْلِهِ قَوَدٌ وَلَا دِيَةٌ لِأَنَّ الْمُرْتَدَّ مُبَاحُ الدَّمِ فِي حُقُوقِ الْمُسْلِمِينَ دُونَ الْكُفَّارِ كَالْقَاتِلِ مُبَاحُ الدَّمِ فِي حُقُوقِ الْأَوْلِيَاءِ دُونَ غَيْرِهِمْ فَإِنْ قَتَلَهُ الْأَوْلِيَاءُ لَمْ يَضْمَنُوا وَإِنْ قَتَلَهُ غَيْرُهُمْ ضَمِنُوا كَذَلِكَ الْمُرْتَدُّ إِنْ قَتَلَهُ أَوْلِيَاؤُهُ الْمُسْلِمُونَ لَمْ يَضْمَنُوهُ وَإِنْ قَتَلَهُ غَيْرُهُمْ ضَمِنُوهُ
Pendapat kedua, yang merupakan pilihan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, adalah bahwa atas orang Nasrani berlaku qishāsh atau diyat, meskipun terhadap Muslim yang membunuhnya tidak wajib qishāsh maupun diyat, karena murtad itu halal darahnya dalam hak-hak kaum Muslimin, tidak terhadap orang kafir, sebagaimana pembunuh yang halal darahnya dalam hak-hak para wali, tidak terhadap selain mereka. Maka jika para wali membunuhnya, mereka tidak menanggung apa-apa, namun jika selain mereka yang membunuh, maka mereka menanggung. Demikian pula orang murtad, jika dibunuh oleh para walinya yang Muslim, mereka tidak menanggungnya, tetapi jika dibunuh oleh selain mereka, maka mereka menanggungnya.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطِّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ أَنَّهُ مَضْمُونٌ فِي حَقِّ النَّصْرَانِيِّ بِالْقَوَدِ دُونَ الدِّيَةِ فَيُقَادُ بِهِ النَّصْرَانِيُّ لِأَنَّ الْقَوَدَ مُعْتَبَرٌ بِالْمُعْتَقَدِ وَقَدْ تَكَافَآ فِيهِ فَوَجَبَ فَإِنْ عَفَي عَنْهُ سَقَطَتِ الدِّيَةُ لِأَنَّهَا بِوُجُوبِ الْحُرْمَةِ وَلَا حُرْمَةَ لِنَفْسِ الْمُرْتَدِّ فَلَمْ تَجِبْ فِي قَتْلِهِ دِيَةٌ وَعَكْسُ مَا قَالَهُ ابْنُ سَلَمَةَ أَشْبَهُ لِأَنَّ وُجُوبَ الْقَوَدِ أَغْلَظُ مِنْ وُجُوبِ الدِّيَةِ لِأَنَّ عَمْدَ الْخَطَأِ يُوجِبُ الدِّيَةَ وَلَا يُوجِبُ الْقَوَدَ فَلَوْ قَالَ إِنَّ الدِّيَةَ وَاجِبَةٌ لِبَيْتِ الْمَالِ دُونَ الْقَوَدِ لَكَانَ أَشْبَهَ بِالْأُصُولِ
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu Thayyib bin Salamah, menyatakan bahwa terhadap seorang Nasrani, yang menjadi tanggungan adalah qisas, bukan diyat. Maka, seorang Nasrani dapat dikenai qisas, karena qisas dipertimbangkan berdasarkan keyakinan, dan dalam hal ini keduanya setara, sehingga qisas wajib diterapkan. Jika dimaafkan darinya, maka diyat gugur, karena diyat itu wajib karena adanya kehormatan jiwa, sedangkan jiwa murtad tidak memiliki kehormatan, sehingga tidak wajib diyat atas pembunuhannya. Namun, kebalikan dari pendapat Ibn Salamah lebih mendekati kebenaran, karena kewajiban qisas lebih berat daripada kewajiban diyat, sebab pembunuhan karena kesalahan menyebabkan wajibnya diyat tetapi tidak menyebabkan wajibnya qisas. Maka, jika dikatakan bahwa diyat wajib untuk baitul mal tanpa qisas, itu lebih sesuai dengan prinsip-prinsip dasar.
فَصْلٌ
Bab
فَأَمَّا إِذَا وَجَبَ قَتْلُ الزَّانِي الْمُحْصَنِ فَقَتَلَهُ رَجُلٌ بِغَيْرِ أَمْرِ الْإِمَامِ
Adapun jika telah wajib hukuman mati bagi pezina muhshan, lalu seseorang membunuhnya tanpa perintah imam,
فَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّ الْقَوَدَ عَلَى قَاتِلِهِ وَاجِبٌ لِأَنَّ وَلِيَّ قَتْلِهِ هُوَ الْإِمَامُ فَإِذَا تَوَلَّاهُ غَيْرُهُ أُقِيدَ مِنْهُ كَالْعَامِلِ إِذَا قَتَلَهُ غَيْرُ وَلِيِّ الْمَقْتُولِ أُقِيدَ بِهِ
Sebagian ulama dari kalangan kami berpendapat bahwa qishāsh atas pembunuhnya adalah wajib, karena wali dari orang yang dibunuh itu adalah imam. Maka jika ada selain imam yang melaksanakan qishāsh tersebut, maka ia dikenai qishāsh sebagaimana seorang pejabat apabila dibunuh oleh selain wali korban, maka pelakunya juga dikenai qishāsh.
وَظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ أَنَّهُ لَا قَوَدَ لِرِوَايَةِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَجَدْتُ مَعَ امْرَأَتِي رَجُلًا أَقْتُلُهُ أَمْ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا حَتَّى تَأْتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ كَفَى بِالسَّيْفِ شَا يَعْنِي شَاهِدًا هَذَا فَانْصَرَفَ سَعْدٌ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لَوْ وَجَدْتُهُ لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفَحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِلْأَنْصَارِ أَمَا تَسْمَعُونَ مَا يَقُولُ سَيِّدُكُمْ فَقَالُوا اعْذُرْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنَّهُ رَجُلٌ غَيُورٌ وَمَا طَلَّقَ امْرَاةً فَتَزَوَّجَهَا رَجُلٌ مِنَّا
Pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i dan yang dipegang oleh mayoritas para pengikutnya adalah bahwa tidak ada qishash berdasarkan riwayat Abu Shalih dari Abu Hurairah, bahwa Sa‘d bin ‘Ubadah berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku mendapati seorang laki-laki bersama istriku, apakah aku boleh membunuhnya atau harus mendatangkan empat orang saksi?” Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Tidak, sampai engkau mendatangkan empat orang saksi. Cukuplah pedang sebagai saksi,” maksudnya sebagai satu saksi saja. Lalu Sa‘d pun pergi sambil berkata, “Demi Allah, jika aku menemukannya, pasti aku akan memukulnya dengan pedang tanpa ragu.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada kaum Anshar, “Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh pemimpin kalian?” Mereka pun berkata, “Maafkanlah dia, wahai Rasulullah, karena dia adalah seorang laki-laki yang sangat pencemburu, dan tidaklah dia menceraikan seorang wanita, melainkan wanita itu kemudian dinikahi oleh salah seorang dari kami.”
فَمَوْضِعُ الدليل منه أنه أباح قَتْلَهُ بَعْدَ الْبَيِّنَةِ
Maka letak dalil dari bagian ini adalah bahwa ia membolehkan pembunuhan setelah adanya al-bayyinah (bukti yang jelas).
وَرَوَى الشَّعْبِيُّ أَنَّ رَجُلًا غَزَا وَاسْتَخْلَفَ عَلَى امْرَأَتِهِ أَخَاهُ فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ لَهُ أَدْرِكِ امْرَأَةَ أَخِيكَ عِنْدَهَا رَجُلٌ يُحَدِّثُهَا فَتَسَوَّرَ السَّطْحَ فَإِذَا هِيَ تَصْنَعُ لَهُ دَجَاجَةً وَهُوَ يَرْتَجِزُ وَيَقُولُ
Diriwayatkan dari asy-Sya‘bi bahwa ada seorang laki-laki yang pergi berperang dan meninggalkan saudaranya untuk menjaga istrinya. Lalu datanglah seorang wanita kepada saudaranya itu dan berkata, “Segeralah, istri saudaramu sedang bersama seorang laki-laki yang sedang berbicara dengannya.” Maka ia memanjat atap rumah, dan ternyata istrinya sedang memasak ayam untuk laki-laki itu, sementara laki-laki itu melantunkan syair dan berkata:
وَأَشْعَثَ غَرَّهُ الْإِسْلَامُ مِنِّي خَلَوْتُ بِعِرْسِهِ لَيْلَ التَّمَامِ
Dan seorang yang kusut telah terpedaya oleh Islam dariku; aku pernah berduaan dengan istrinya pada malam purnama.
أَبِيتُ عَلَى ترائبها ويمسي على جرد الأعنة والحزام
Aku bermalam di atas dada-dadanya, sementara dia bermalam di atas kuda-kuda yang tanpa pelana dan sabuk.
كَأَنَّ مَوَاضِعَ الرَّبَلَاتِ مِنْهَا فِئَامٌ يَنْهَضُونَ إِلَى فئام
Seolah-olah di tempat-tempat yang berpasir itu terdapat kelompok-kelompok yang bangkit menuju kelompok-kelompok lainnya.
بِجِيفَتِهِ إِلَى الطَّرِيقِ فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ أُنْشِدُ اللَّهَ امْرَأً عِنْدَهُ عِلْمُ هَذَا الْقَتِيلِ إِلَّا أَخْبَرَنِي فَقَامَ الرَّجُلُ فَأَخْبَرَهُ بِمَا كَانَ فَأَهْدَرَ عُمَرُ دَمَهُ وَقَالَ أَبْعَدَهُ اللَّهُ وَسَحَقَهُ
Mayatnya dilemparkan ke jalan, lalu hal itu sampai kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Maka beliau berkata, “Aku memohon kepada Allah, siapa pun yang memiliki pengetahuan tentang pembunuhan ini hendaklah memberitahuku.” Maka seorang laki-laki berdiri dan memberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi. Lalu Umar membebaskan dari tuntutan darahnya dan berkata, “Semoga Allah menjauhkannya dan membinasakannya.”
وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الشَّامِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ خَيْبَرِيٍّ وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا فَقَتَلَهُ وَقَتَلَهَا فَأَشْكَلَ عَلَى مُعَاوِيَةَ الْقَضَاءُ فَكَتَبَ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ يَسْأَلُهُ أَنْ يَسْأَلَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنْهَا فَسَأَلَهُ فَقَالَ لَيْسَتْ هَذِهِ بِأَرْضِنَا حَلَفْتُ عَلَيْكَ لَتُخْبِرْنِي بِهَا فَقَالَ كَتَبَ بِهَا إِلَيَّ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ عَلِىٌّ يَرْضَوْنَ بِحُكْمِنَا وَيَنْقِمُونَ عَلَيْنَا إِنْ لَمْ يَأْتِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَلْيُعْطَ بِرُمَّتِهِ
Said bin al-Musayyab meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Syam yang bernama Ibnu Khaibari mendapati seorang laki-laki bersama istrinya, lalu ia membunuh laki-laki itu dan membunuh istrinya. Maka perkara ini menjadi sulit bagi Muawiyah untuk memutuskan hukumnya, lalu ia menulis surat kepada Abu Musa al-Asy‘ari meminta agar ia menanyakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam. Maka Abu Musa menanyakannya kepada Ali, lalu Ali berkata, “Ini bukan perkara di negeri kita. Aku bersumpah atasmu, beritahukanlah kepadaku tentangnya.” Abu Musa berkata, “Muawiyah menulis surat kepadaku tentang perkara ini.” Maka Ali berkata, “Mereka rela dengan keputusan kita, tetapi mencela kita. Jika ia tidak mendatangkan empat orang saksi, maka ia harus diserahkan seluruhnya (untuk dihukum).”
وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ
Di dalamnya terdapat dua penafsiran.
أَحَدُهُمَا فَلْيَضْرِبْ عَلَى رُمَّتِهِ يَعْنِي بِالسَّيْفِ قَوَدًا
Salah satunya, maka hendaklah ia memukul pada persendiannya, yaitu dengan pedang sebagai qishāsh.
وَالثَّانِي مَعْنَاهُ فَلْيُسَلَّمْ بِرُمَّتِهِ حَتَّى يُقَادَ مِنْهُ
Dan yang kedua maksudnya adalah hendaklah diserahkan seluruhnya sampai dapat diambil qishāsh darinya.
وَأَمَّا الْجَمْعُ بَيْنَ الزَّانِي وَالْقَاتِلِ فَقَدْ فَرَّقَ مَنْ خَالَفَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ عَلَى الْقَاتِلِ قَوَدًا وِدِيَةً فَلَمْ يَجُزْ تَفْوِيتُ الدِّيَةِ بِالْقَوَدِ وَلَيْسَ عَلَى الزَّانِي إِلَّا الْقَتْلُ الَّذِي لَا تَخْيِيرَ فِيهِ وَالْأَصَحُّ عِنْدِي مِنْ إِطْلَاقِ هَذَيْنِ الْمَذْهَبَيْنِ أَنْ يُقَالَ إِنْ وَجَبَ قَتْلُ الزَّانِي بِالْبَيِّنَةِ فَلَا قَوَدَ عَلَى قَاتِلِهِ لِانْحِتَامِ قَتْلِهِ وَإِنْ وَجَبَ بِإِقْرَارِهِ أُقِيدَ مِنْ قَاتَلِهِ لِأَنَّ قَتْلَهُ بِإِقْرَارِهِ غَيْرُ مُنْحَتِمٍ لِسُقُوطِهِ عَنْهُ بِرُجُوعِهِ عَنْ إِقْرَارِهِ
Adapun penggabungan antara pezina dan pembunuh, maka orang yang berbeda pendapat membedakan antara keduanya dengan alasan bahwa atas pembunuh ada qishāsh dan diyat, sehingga tidak boleh menggugurkan diyat dengan qishāsh. Sedangkan atas pezina hanya ada hukuman mati yang tidak ada pilihan di dalamnya. Pendapat yang lebih sahih menurutku dari dua mazhab ini adalah dikatakan: jika hukuman mati atas pezina wajib karena adanya bukti yang jelas, maka tidak ada qishāsh atas orang yang membunuhnya karena hukuman matinya sudah pasti. Namun jika hukuman matinya wajib karena pengakuannya sendiri, maka pelaku pembunuhan terhadapnya dikenai qishāsh, karena hukuman matinya dengan pengakuan tidaklah pasti, sebab hukuman itu bisa gugur darinya jika ia menarik kembali pengakuannya.
وَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ مُحَارِبًا مِنْ قُطَّاعِ الطَّرِيقِ قَتَلَ فِي الْحِرَابَةِ رَجُلًا فَلِلْإِمَامِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِقَتْلِهِ دُونَ وَلِيِّ الْمَقْتُولِ لِمَا قَدْ تَعَلَّقَ بِقَتْلِهِ مِنْ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى الَّذِي لَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ وَلِوَلِيِّ الْمَقْتُولِ أَنْ يَقْتُلَهُ بِغَيْرِ إِذْنِ الْإِمَامِ لِمَا تَعَلَّقَ بِهِ مِنْ حَقِّهِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ
Dengan demikian, jika seorang perampok dari kelompok perampok jalanan membunuh seseorang dalam tindak hirabah, maka imam berhak mengeksekusi pembunuh tersebut tanpa melibatkan wali korban, karena dalam pembunuhan itu terdapat hak Allah Ta‘ala yang tidak boleh dimaafkan. Namun, wali korban juga berhak membunuh pelaku tanpa izin imam, karena di dalamnya terdapat haknya yang tidak boleh dihalangi darinya.
فَإِنْ قَتَلَهُ غَيْرُهُمَا مِنَ الأَجَانِبِ فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَوْلِ جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ لا قود عليه
Jika yang membunuhnya adalah orang lain selain keduanya dari pihak luar, maka menurut pendapat pertama wajib atasnya qishāsh, sedangkan menurut mazhab Syafi‘i dan pendapat mayoritas para pengikutnya tidak ada qishāsh atasnya.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَيُقْتَلُ الذَّابِحُ دُونَ الْمُمْسِكِ كَمَا يُحَدُّ الزَّانِي دُونَ الْمُمْسِكِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Yang dibunuh adalah pelaku penyembelihan, bukan orang yang sekadar memegangi, sebagaimana pelaku zina yang dijatuhi had, bukan orang yang sekadar memegangi.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ أَمْسَكَ رَجُلًا حَتَّى قَتَلَهُ آخَرُ فَعَلَى الْقَاتِلِ الْقَوَدُ فَأَمَّا الْمُمْسِكُ فَإِنْ كَانَ الْقَاتِلُ يَقْدِرُ عَلَى الْقَتْلِ مِنْ غَيْرِ إِمْسَاكٍ أَوْ كَانَ الْمَقْتُولُ يَقْدِرُ عَلَى الْهَرَبِ بَعْدَ الْإِمْسَاكِ فَلَا قَوَدَ عَلَى الْمُمْسِكِ بِالْإِجْمَاعِ
Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada seorang laki-laki yang menahan seseorang hingga orang lain membunuhnya. Maka atas pelaku pembunuhan dikenakan qishāsh. Adapun yang menahan, jika si pembunuh mampu membunuh tanpa penahanan, atau si korban mampu melarikan diri setelah ditahan, maka tidak ada qishāsh atas yang menahan menurut ijmā‘.
وَإِنْ كَانَ الْقَاتِلُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْقَتْلِ إِلَّا بِالْإِمْسَاكِ وَكَانَ الْمَقْتُولُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْهَرَبِ بَعْدَ الْإِمْسَاكِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي الْمُمْسِكِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ وَيُعَزَّرُ أَدَبًا
Jika pembunuh tidak mampu melakukan pembunuhan kecuali dengan menahan (korban), dan korban tidak mampu melarikan diri setelah ditahan, maka para fuqaha berbeda pendapat mengenai orang yang menahan tersebut. Menurut mazhab Syafi‘i dan Abu Hanifah, tidak ada qishāsh atasnya dan tidak pula diyat, namun ia dikenai ta‘zīr sebagai bentuk pendidikan.
وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَرَبِيعَةُ بْنُ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ بِحَبْسِ الْمُمْسِكِ حَتَّى يَمُوتَ لِأَنَّهُ أَمْسَكَ الْمَقْتُولَ حَتَّى مَاتَ فَوَجَبَ أَنْ يُجَازَى بِمِثْلِهِ فَيُحْبَسُ حَتَّى يَمُوتَ
Ibrahim an-Nakha’i dan Rabi’ah bin Abi Abdurrahman berpendapat bahwa orang yang menahan (seseorang hingga mati) harus dipenjara sampai ia mati, karena ia telah menahan orang yang dibunuh hingga mati, maka wajib baginya untuk dibalas dengan yang semisal, sehingga ia dipenjara sampai mati.
وَقَالَ مَالِكٌ يُقْتَلُ الْمُمْسِكُ قَوَدًا كَمَا يُقْتَلُ الْقَاتِلُ إِلَّا أَنْ يُمْسِكَ مَازِحًا مُلَاعِبًا فَلَا يُقَادُ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ الله تعالى فقد جعلنا لوليه سلطانا الإسراء 33
Malik berkata, “Orang yang menahan (korban) dihukum qishāsh sebagaimana pembunuh, kecuali jika ia menahan dengan bercanda atau bermain-main, maka tidak dikenakan qishāsh, berdasarkan firman Allah Ta’ala: ‘Maka Kami telah memberikan kekuasaan kepada wali (korban pembunuhan)’ (QS. Al-Isra’ 33).”
وَبِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ قَتَلَ جَمَاعَةً بِوَاحِدٍ
Dan berdasarkan riwayat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ta‘ala ‘anhu bahwa beliau pernah membunuh sekelompok orang karena membunuh satu orang.
وَقَالَ لَوْ تَمَالَأَ عَلَيْهِ أَهْلُ صَنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ بِهِ أَيْ لَوْ تَعَاوَنُوا عَلَيْهِ
Dan ia berkata, “Seandainya seluruh penduduk Shan‘ā’ bersekongkol untuk membunuhnya, niscaya aku akan membunuh mereka semua karenanya,” yakni jika mereka bekerja sama untuk membunuhnya.
وَالْمُمْسِكُ قَدْ عَاوَنَ عَلَى الْقَتْلِ وَلِأَنَّهُمَا تَعَاوَنَا فِي قَتْلِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْقَوَدِ كَمَا لَوِ اشْتَرَكَا فِي قَتْلِهِ وَلِأَنَّ مُمْسِكَ الصَّيْدِ لَمَّا جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْقَاتِلِ فِي وُجُوبِ الْجَزَاءِ وَلَوْ أَمْسَكَهُ أَحَدُ الْمُجْرِمَيْنِ وَقَتَلَهُ الْآخَرُ اشْتَرَكَا فِي الْجَزَاءِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُمْسِكُ الْمَقْتُولِ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْقَاتِلِ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ وَيَكُونَا فِيهِ سَوَاءً وَلِأَنَّ الْإِمْسَاكَ سَبَبٌ أَفْضَى إِلَى الْقَتْلِ فَلَمْ يَمْنَعْ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْمُبَاشَرَةِ لِلْقَتْلِ كَالشُّهُودِ إِذَا شَهِدُوا عِنْدَ الْحَاكِمِ عَلَى رَجُلٍ بِالْقَتْلِ فَقُتِلَ ثُمَّ رَجَعُوا قُتِلُوا قَوَدًا بِالشَّهَادَةِ وَإِنْ كَانَتْ سَبَبًا كَذَلِكَ الْمُمْسِكُ
Orang yang menahan telah membantu dalam pembunuhan, dan karena keduanya telah bekerja sama dalam membunuh, maka wajib bagi keduanya untuk disamakan dalam qishāsh, sebagaimana jika keduanya bersama-sama melakukan pembunuhan. Dan karena orang yang menahan hewan buruan, ketika berlaku atasnya hukum sebagai pembunuh dalam kewajiban membayar denda, jika salah satu dari dua pelaku kejahatan menahan dan yang lain membunuh, keduanya berbagi dalam kewajiban denda, maka wajib pula bahwa orang yang menahan korban pembunuhan berlaku atasnya hukum sebagai pembunuh dalam kewajiban qishāsh, dan keduanya sama dalam hal itu. Dan karena penahanan adalah sebab yang mengantarkan kepada pembunuhan, maka tidak menghalangi untuk diberlakukannya hukum pelaku langsung pembunuhan atasnya, seperti para saksi yang bersaksi di hadapan hakim atas seseorang bahwa ia telah membunuh, lalu orang itu dibunuh, kemudian para saksi itu menarik kembali kesaksiannya, maka mereka dibunuh dengan qishāsh karena kesaksian mereka, meskipun itu hanya sebab. Demikian pula halnya dengan orang yang menahan.
وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ يُقْتَلُ الْقَاتِلُ وَيُصْبَرُ الصَّابِرُ
Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pembunuh dibunuh dan orang yang bersabar disabarkan.”
قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ يَعْنِي يُحْبَسُ لِأَنَّ الْمَصْبُورَ هُوَ الْمَحْبُوسُ يُرِيدُ بِالْحَبْسِ التَّأْدِيبَ لَا كَمَا تَأَوَّلَهُ رَبِيعَةُ عَلَى الْحَبْسِ إِلَى الْمَوْتِ وَلِأَنَّ الْإِمْسَاكَ سَبَبٌ وَالْقَتْلَ مُبَاشَرَةٌ فَإِذَا اجْتَمَعَا وَلَمْ يَكُنْ فِي السَّبَبِ إِلْجَاءٌ كَالشُّهُودِ سَقَطَ حُكْمُ السَّبَبِ بِوُجُودِ الْمُبَاشَرَةِ كَمَا لَوْ حَفَرَ رَجُلٌ بِئْرًا فَدَفَعَ رَجُلٌ فِيهَا إِنْسَانًا فَمَاتَ كَانَ الْقَوَدُ عَلَى الدَّافِعِ دُونَ الْحَافِرِ وَلِأَنَّ هَذَا الْقَاتِلَ قَدْ يَصِلُ إِلَى الْقَتْلِ تَارَةً بِالْإِمْسَاكِ وَتَارَةً بِالْحَبْسِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ قَتَلَهُ بَعْدَ الْحَبْسِ لَمْ يُقْتَلِ الْحَابِسُ كَذَلِكَ إِذَا قَتَلَهُ بَعْدَ الْإِمْسَاكِ لَمْ يُقْتَلِ الْمُمْسِكُ وَلِأَنَّ حُكْمَ الْمُمْسِكِ مُخَالِفٌ لِحُكْمِ الْمُبَاشِرِ فِي الزِّنَا لِأَنَّهُ لَوْ أَمْسَكَ امْرَأَةً حَتَّى زَنَا بِهَا رَجُلٌ وَجَبَ الْحَدُّ عَلَى الزَّانِي دُونَ الْمُمْسِكِ وَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْمُمْسِكِ فِي الْقَتْلِ بِمَثَابَتِهِ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْقَاتِلِ دُونَ الْمُمْسِكِ وَلَوْ جَازَ أَنْ يُسَاوِيَهُ فِي الْقَوَدِ جَازَ أَنْ يُسَاوِيَهُ فِي الْحَدِّ
Abu ‘Ubaidah berkata, maksudnya adalah ditahan, karena “al-mashbūr” adalah orang yang ditahan. Ia menginginkan dengan penahanan itu sebagai bentuk ta’dib (pendidikan/disiplin), bukan seperti yang ditafsirkan oleh Rabi‘ah sebagai penahanan hingga mati. Sebab, penahanan adalah sebab, sedangkan pembunuhan adalah tindakan langsung. Maka, jika keduanya berkumpul dan dalam sebab itu tidak ada unsur paksaan seperti para saksi, maka hukum sebab gugur dengan adanya tindakan langsung. Seperti jika seseorang menggali sumur lalu orang lain mendorong seseorang ke dalamnya hingga mati, maka qishāsh (balasan setimpal) dijatuhkan kepada yang mendorong, bukan kepada yang menggali. Dan karena pembunuh ini kadang sampai pada pembunuhan dengan cara menahan, dan kadang dengan cara memenjarakan. Kemudian telah tetap bahwa jika ia membunuh setelah penahanan, maka yang memenjarakan tidak dibunuh, demikian pula jika ia membunuh setelah penahanan, maka yang menahan tidak dibunuh. Dan hukum orang yang menahan berbeda dengan hukum pelaku langsung dalam kasus zina, karena jika seseorang menahan seorang wanita hingga seorang laki-laki berzina dengannya, maka had dijatuhkan kepada pezina, bukan kepada yang menahan. Maka seharusnya hukum orang yang menahan dalam pembunuhan sama seperti dalam kewajiban qishāsh atas pembunuh, bukan atas yang menahan. Jika boleh disamakan dalam qishāsh, maka boleh pula disamakan dalam had.
وَلِأَنَّ الْإِمْسَاكَ غَيْرُ مَضْمُونٍ لَوِ انْفَرَدَ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يُضْمَنَ إِذَا تَعَقَّبَهُ الْقَتْلُ
Dan karena penahanan itu sendiri tidak dijamin jika berdiri sendiri, maka lebih utama untuk tidak dijamin apabila setelahnya diikuti dengan pembunuhan.
وَلِأَنَّ مَا لَا يضمن خطاؤه لم يضمن عمده كالضرب بما لا يقبل
Dan karena sesuatu yang kesalahannya tidak menimbulkan kewajiban ganti rugi, maka perbuatannya yang disengaja pun tidak menimbulkan kewajiban ganti rugi, seperti memukul dengan sesuatu yang tidak dapat menyebabkan kerusakan.
فَأَمَّا الْآيَةُ فَقَدْ قَالَ فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ الإسراء 33 وَالسَّرَفُ أَنْ يَتَجَاوَزَ الْقَاتِلُ إِلَى مَنْ لَيْسَ بِقَاتِلٍ
Adapun ayat tersebut, Allah berfirman: “Maka janganlah ia melampaui batas dalam pembunuhan” (QS. Al-Isra’ 33). Yang dimaksud dengan israf adalah apabila seseorang yang membunuh melampaui batas hingga membunuh orang yang bukan pelaku pembunuhan.
وَقَوْلُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ لَوْ تَمَالَأَ عَلَيْهِ أَهْلُ صَنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ بِهِ مَحْمُولٌ عَلَى اشْتِرَاكِهِمْ فِي قَتْلِهِ لَأَنَّ الْمُعَاوَنَةَ هِيَ التَّسَاوِي فِي الْفِعْلِ وَبِهِ يُجَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الِاشْتِرَاكِ فِي الْقَتْلِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْمُشْتَرِكِينَ فِي الْقَتْلِ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يُضْمَنُ إِذَا انْفَرَدَ فَضُمِنَ إِذَا شَارَكَ وَالْمُمْسِكُ لَا يُضْمَنُ إِذَا انْفَرَدَ فَلَمْ يُضْمَنْ إِذَا تَعَقَّبَهُ قَاتِلٌ
Ucapan Umar radhiyallahu ta‘ala ‘anhu, “Seandainya seluruh penduduk Shan‘a’ bersekongkol membunuhnya, niscaya aku akan membunuh mereka semua karenanya,” dimaknai atas dasar keterlibatan mereka bersama dalam pembunuhan itu, karena kerja sama berarti kesetaraan dalam perbuatan. Dengan ini pula dijawab qiyās mereka atas keterlibatan dalam pembunuhan. Kemudian, makna pada orang-orang yang terlibat bersama dalam pembunuhan adalah bahwa masing-masing dari mereka wajib menanggung jika ia melakukannya sendiri, maka ia juga wajib menanggung jika ia melakukannya bersama. Sedangkan orang yang hanya menahan (korban) tidak wajib menanggung jika ia melakukannya sendiri, maka ia pun tidak wajib menanggung jika setelahnya ada pembunuh yang melakukan pembunuhan.
وَأَمَّا إِمْسَاكُ الْعَبْدِ فَإِنَّمَا يُضْمَنُ بِهِ الْعَبْدُ لِأَنَّهُ مَضْمُونٌ بِالْيَدِ إِذَا انْفَرَدَتْ وَالْمَقْتُولُ غَيْرُ مَضْمُونٍ بِالْيَدِ وَإِنَّمَا يُضْمَنُ بِالْجِنَايَةِ وَلَوْ كَانَ الْإِمْسَاكُ جَارِيًا مَجْرَى مُبَاشَرَةِ الْقَتْلِ لَوَجَبَ إِذَا أَمْسَكَ الْمَجُوسِيُّ شَاةً فَذَبَحَهَا مُسْلِمٌ أَنْ لَا تُؤْكَلَ كَمَا لَوِ اشْتَرَكَ فِي ذَبْحِهَا مَجُوسِيٌّ وَمُسْلِمٌ وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى جَوَازِ أَكْلِهَا دَلِيلٌ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الْمُمْسِكِ وَالْمُشَارِكِ
Adapun menahan seorang budak, maka budak itu menjadi tanggungan (dijamin) karenanya, karena ia menjadi tanggungan dengan sebab penguasaan (tangan) jika berdiri sendiri, sedangkan orang yang terbunuh tidak menjadi tanggungan dengan sebab penguasaan, melainkan menjadi tanggungan karena tindak kejahatan (jinayah). Seandainya menahan itu setara dengan langsung membunuh, niscaya ketika seorang Majusi menahan seekor kambing lalu seorang Muslim menyembelihnya, maka kambing itu tidak boleh dimakan, sebagaimana jika seorang Majusi dan seorang Muslim bersama-sama menyembelihnya. Namun, adanya ijmā‘ mereka atas bolehnya memakan kambing tersebut merupakan dalil adanya perbedaan antara orang yang menahan dan orang yang ikut serta (dalam penyembelihan).
وَمَا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنَ الشَّاهِدَيْنِ فَلَا يَصِحُّ لِأَنَّهُمَا أَلْجَآ الْحَاكِمَ إِلَى الْقَتْلِ وَلَمْ يَكُنْ مِنَ المُمْسِكِ إِلْجَاءٌ فَافْتَرَقَا
Apa yang mereka jadikan dalil berupa dua saksi tidaklah sah, karena keduanya memaksa hakim untuk menjatuhkan hukuman mati, sedangkan dari pihak yang menahan (korban) tidak ada unsur pemaksaan, sehingga keduanya berbeda.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ ضَرَبَهُ بِمَا الْأَغْلَبُ أَنَّهُ يَقْطَعُ عُضْوًا أَوْ يُوضِحُ رَأْسًا فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang memukul orang lain dengan sesuatu yang pada umumnya dapat memotong anggota badan atau melukai kepala hingga tampak tulangnya, maka ia wajib dikenai qishāsh.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْقَوَدَ يَجِبُ فِي الْقَتْلِ بالمحدود وَالْمُثَقَّلِ كَذَلِكَ الْقِصَاصُ فِي الْجِرَاحِ وَالْأَطْرَافِ يَجِبُ فِي الْمُحَدَّدِ وَالْمُثَقَّلِ فَلَوْ رَمَى رَأْسَهُ بِحَجَرٍ فَأَوْضَحَهُ وَمِثْلُهُ يُوضِحُ وَجَبَ فِيهِ الْقِصَاصُ وَإِنْ كَانَ مِثْلُهُ لَا يُوضِحُ فِي الْغَالِبِ وَرُبَّمَا أَوْضَحَ فَهُوَ عَمْدٌ شِبْهُ الْخَطَأِ فَفِيهِ دِيَةُ الْمُوضِحَةِ دُونَ الْقَوَدِ كَذَا لَوْ ضَرَبَ يَدَهُ بِخَشَبَةٍ فَأَبَانَهَا كَانَ مِثْلُهَا يَقْطَعُ فِي الْغَالِبِ وَجَبَ فِيهَا الْقِصَاصُ وَإِنْ كَانَ مِثْلُهَا لَا يَقْطَعُ فِي الْغَالِبِ وَجَبَ فِيهَا الدِّيَةُ كَمَا قُلْنَا فِي تَلَفِ النُّفُوسِ
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa qisas wajib dalam kasus pembunuhan baik dengan alat tajam maupun alat berat, demikian pula qisas dalam luka dan anggota tubuh juga wajib baik dengan alat tajam maupun alat berat. Maka jika seseorang melempar kepala orang lain dengan batu lalu menyebabkan luka terbuka, dan alat sejenis itu biasanya memang dapat menyebabkan luka terbuka, maka wajib qisas atasnya. Namun jika alat sejenis itu pada umumnya tidak menyebabkan luka terbuka, meskipun kadang-kadang bisa, maka itu termasuk pembunuhan semi-sengaja (amdu syibhul khatha’), sehingga yang wajib adalah diyat luka terbuka, bukan qisas. Demikian pula jika seseorang memukul tangan orang lain dengan kayu lalu memutusnya, dan alat sejenis itu pada umumnya memang dapat memutus, maka wajib qisas atasnya. Namun jika alat sejenis itu pada umumnya tidak dapat memutus, maka yang wajib adalah diyat, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam kerusakan jiwa.
فَلَوْ ضَرَبَ يَدَهُ فَشُلَّتْ فَلَا قِصَاصَ فِيهَا وَعَلَيْهِ دِيَتُهَا لِأَنَّ الشَّلَلَ لَا يُمْكِنُ فِي مِثْلِهِ الْقِصَاصُ فَلَوْ شَجَّهُ بِحَجَرٍ فَأَوْضَحَ رَأْسَهُ وَسَرَى إِلَى نَفْسِهِ فمات
Maka jika seseorang memukul tangan orang lain lalu tangan itu menjadi lumpuh, maka tidak ada qishāsh atasnya, namun ia wajib membayar diyat tangan tersebut, karena kelumpuhan tidak memungkinkan dilakukan qishāsh yang serupa. Jika ia melukai kepala seseorang dengan batu hingga tengkoraknya terlihat dan luka itu menjalar hingga menyebabkan kematiannya, maka ia dianggap menyebabkan kematian.
فَإِنْ كَانَ مِثْلُ الْحَجَرِ يُوضِحُ وَيَقْتُلُ غَالِبًا وَجَبَ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي الْمُوضِحَةِ وَالْقَوَدُ فِي النَّفْسِ
Jika benda itu seperti batu yang dapat melukai dan biasanya mematikan, maka wajib atas pelakunya dikenakan qishāsh dalam kasus luka yang menampakkan tulang (mudhihah) dan hukuman balasan (qawad) dalam kasus pembunuhan jiwa.
وَإِنْ كَانَ مِثْلُهُ يُوضِحُ غَالِبًا وَلَا يَقْتُلُ فِي الْغَالِبِ وَجَبَ فِيهِ الْقِصَاصُ فِي الْمُوضِحَةِ لِأَنَّهَا عَمْدٌ مَحْضٌ وَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ وَوَجَبَتِ الدِّيَةُ؛ لِأَنَّهُ عَمْدٌ يُشْبِهُ الْخَطَأَ وَهَذَا إِذَا حَدَثَ مِنْهُ الْقَتْلُ فِي الْحَالِ مِنْ غَيْرِ سِرَايَةٍ
Dan jika alat sejenis itu biasanya hanya melukai dan tidak membunuh pada umumnya, maka wajib qishāsh dalam kasus luka yang menyingkap tulang (mudhihah), karena itu merupakan pembunuhan sengaja murni. Namun, tidak wajib qishāsh atas jiwa, melainkan wajib membayar diyat, karena itu adalah pembunuhan sengaja yang menyerupai kesalahan. Hal ini berlaku jika kematian terjadi seketika akibat perbuatannya, tanpa ada penyebaran luka (sirāyah).
فَأَمَّا إِذَا سَرَتِ الْمُوضِحَةُ إِلَى نَفْسِهِ فَالْقِصَاصُ فِيهَا وَفِي النَّفْسِ وَاجِبٌ بِحُدُوثِ الْقَتْلِ عَنْ جُرْحٍ يُوجِبُ الْقِصَاصَ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ سِرَايَتُهُ مُوجِبَةٌ لِلْقِصَاصِ اعْتِبَارًا بِمُوجِبِهَا
Adapun jika luka mudhihah itu menjalar hingga menyebabkan kematian, maka qishash wajib diterapkan baik atas luka tersebut maupun atas jiwa, karena terjadinya pembunuhan berasal dari luka yang mewajibkan qishash. Maka wajib pula bahwa penularan (dampak) luka tersebut juga mewajibkan qishash, dengan mempertimbangkan sebab yang mewajibkannya.
فَصْلٌ
Bab
فَأَمَّا إِذَا سَقَاهُ سُمًّا فَمَاتَ فَالسُّمُّ عَلَى سِتَّةِ أَقْسَامٍ
Adapun jika seseorang memberinya racun lalu ia mati, maka racun itu terbagi menjadi enam jenis.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ قَاتِلًا فِي الْغَالِبِ مُنْفَرِدًا وَمَعَ غَيْرِهِ فَهَذَا يُوجِبُ الْقَوَدَ وَيَكُونُ هَذَا السُّمُّ مِنْ آلَةِ الْقَتْلِ كَالسَّيْفِ
Salah satunya adalah apabila seseorang biasanya membunuh, baik sendiri maupun bersama orang lain, maka hal ini mewajibkan qishāsh, dan racun ini dianggap sebagai alat pembunuh seperti pedang.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ هَذَا السُّمُّ قَاتِلًا بِانْفِرَادِهِ وَلَا يَقْتُلُ إِذَا كُسِرَ بِغَيْرِهِ فَيَجِبُ بِهِ الْقَوَدُ إِنْ أَفْرَدَهُ وَلَا يَجِبُ بِهِ الْقَوَدُ إِنْ كَسَرَهُ
Bagian kedua adalah apabila racun tersebut mematikan dengan sendirinya dan tidak mematikan jika dicampur dengan zat lain, maka wajib qishāsh jika racun itu digunakan sendiri, dan tidak wajib qishāsh jika racun itu dicampur.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَقْتُلَ إِذَا خُلِطَ بِغَيْرِهِ وَلَا يَقْتُلَ إِذَا أُفْرِدَ فَلَا يَجِبُ بِهِ الْقَوَدُ إِذَا أُفْرِدَ وَيَجِبُ بِهِ الْقَوَدُ إِذَا خُلِطَ بِمَا يَقْتُلُ مَعَهُ
Bagian ketiga adalah sesuatu yang dapat membunuh jika dicampur dengan yang lain, namun tidak membunuh jika digunakan sendiri. Maka, tidak wajib qishāsh jika digunakan sendiri, dan wajib qishāsh jika dicampur dengan sesuatu yang dapat membunuh bersamanya.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَقْتُلُ الْعُضْوَ الضَّعِيفَ وَلَا يَقْتُلُ الْجَلْدَ الْقَوِيَّ فَلَا يَجِبُ بِهِ الْقَوَدُ فِي الْجَلْدِ الْقَوِيِّ وَيَجِبُ بِهِ الْقَوَدُ فِي الْعُضْوِ الضَّعِيفِ
Bagian keempat adalah apabila sesuatu itu dapat membunuh anggota tubuh yang lemah namun tidak membunuh kulit yang kuat, maka tidak wajib qishāsh pada kulit yang kuat, tetapi wajib qishāsh pada anggota tubuh yang lemah.
وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَقْتُلُ فِي بَعْضِ الْفُصُولِ فِي السَّنَةِ وَلَا يَقْتُلُ فِي بَعْضِهَا فَيَجِبُ بِهِ الْقَوَدُ فِي الْفَصْلِ الْقَاتِلِ وَلَا يَجِبُ فِي غَيْرِ الْفَصْلِ الْقَاتِلِ
Bagian kelima adalah apabila sesuatu dapat membunuh pada sebagian musim dalam setahun dan tidak membunuh pada musim lainnya, maka qishāsh wajib diterapkan pada musim yang mematikan tersebut, dan tidak wajib pada musim selain musim yang mematikan.
وَالْقِسْمُ السَّادِسُ أَنْ يَكُونَ مِمَّا يَقْتُلُ تَارَةً وَلَا يَقْتُلُ أُخْرَى فَلَا يَجِبُ بِهِ الْقَوَدُ وَتَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ وَيَكُونُ كَعَمْدِ الْخَطَأِ فَإِنِ اخْتَلَفَ السَّاقِي لِلسُّمِّ وَوَلِيُّ الْمَسْقِيِّ فِي السُّمِّ
Bagian keenam adalah jika sesuatu itu kadang-kadang dapat membunuh dan kadang-kadang tidak membunuh, maka tidak wajib qishāsh atasnya, tetapi wajib membayar diyat, dan hal itu dianggap seperti ‘amdu al-khathā’. Jika terjadi perselisihan antara orang yang memberikan racun dan wali dari orang yang diberi racun mengenai racun tersebut…
فَقَالَ السَّاقِي لَيْسَ بِقَاتِلٍ عَلَى مَا مَضَى مِنْ أَقْسَامِ مَا لَا يَقْتُلُ
Maka dikatakan bahwa pelayan minuman itu bukanlah pembunuh, berdasarkan penjelasan sebelumnya tentang jenis-jenis perbuatan yang tidak menyebabkan hukuman mati.
وَقَالَ وَلِيُّ الْمَسْقِيِّ هُوَ قَاتِلٌ عَلَى مَا مَضَى مِنْ أَقْسَامِ مَا يَقْتُلُ فَإِنْ كَانَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا بَيِّنَةٌ عَلَى مَا ادَّعَاهُ عُمِلَ عَلَيْهَا وَإِنْ عَدِمَا الْبَيِّنَةَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ السَّاقِي مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ ذِمَّتِهِ مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ
Wali dari pihak yang terkena siraman dianggap sebagai pembunuh menurut pembagian-pembagian yang telah disebutkan mengenai apa yang menyebabkan kematian. Jika salah satu dari keduanya memiliki bukti atas apa yang ia klaim, maka keputusan diambil berdasarkan bukti tersebut. Namun, jika keduanya tidak memiliki bukti, maka perkataan pihak yang menyiram air diterima dengan sumpahnya, karena pada dasarnya ia bebas dari tanggungan qishāsh dan diyat.
فَلَوِ اتَّفَقَا عَلَى أَنَّهُ قَاتِلٌ وَقَالَ السَّاقِي لَمْ أَعْلَمْ أَنَّهُ قَاتِلٌ فَفِيهِ قَوْلَانِ
Jika keduanya sepakat bahwa dia adalah seorang pembunuh, namun si pemberi minum berkata, “Aku tidak tahu bahwa dia adalah seorang pembunuh,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا قَوَدَ عَلَيْهِ إِذَا حَلَفَ أَنَّهُ لم يعلم لأنه شُبْهَةٌ مُحْتَمَلَةٌ وَعَلَيْهِ الدِّيَةُ كَالْخَاطِئِ
Salah satunya adalah tidak dikenakan qishāsh jika ia bersumpah bahwa ia tidak mengetahui, karena terdapat syubhat yang mungkin, dan ia wajib membayar diyat seperti orang yang bersalah tanpa sengaja.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي عَلَيْهِ الْقَوَدُ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَقْدِرُ عَلَى اسْتِعْلَامِ حَالِهِ فَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ مَنْ عَلِمَ بِهِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa atasnya berlaku qishāsh, karena sebenarnya ia mampu untuk menanyakan keadaannya, sehingga berlaku padanya hukum seperti orang yang telah mengetahui hal tersebut.
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ أَقْسَامِ السُّمِّ الْقَاتِلِ وَأَحْكَامِهِ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ وَإِسْقَاطِهِ فَالْكَلَامُ بَعْدَهُ فِي صِفَةِ وَصُولِ السُّمِّ إِلَى الْمَسْمُومِ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Setelah apa yang telah kami jelaskan mengenai macam-macam racun mematikan dan hukum-hukumnya terkait kewajiban qishāsh dan gugurnya, maka pembahasan selanjutnya adalah tentang cara sampainya racun kepada orang yang diracuni, yang terbagi menjadi dua bentuk.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مِنَ السَّاقِي إِكْرَاهٌ عَلَى شُرْبِهِ أَوْ أَكْلِهِ فَهُوَ قَاتِلُ عَمْدٍ وَالْقَوَدُ عَلَيْهِ وَاجِبٌ
Salah satunya adalah jika dari pihak yang menuangkan terdapat unsur paksaan untuk meminum atau memakannya, maka ia termasuk pembunuh sengaja dan qishāsh wajib atasnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَكُونَ مِنْهُ إِكْرَاهٌ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Jenis yang kedua adalah tidak adanya unsur paksaan darinya, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَدْفَعَ السُّمَّ مِنْ يَدِهِ إِلَى الْمَسْمُومِ فَيَشْرَبَهُ الْمَسْمُومُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Salah satunya adalah seseorang memberikan racun dari tangannya kepada orang yang diracuni, lalu orang yang diracuni itu meminumnya. Dalam hal ini terdapat dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ صَغِيرًا أَوْ أَبْلَهَ لَا يُمَيِّزُ وَيُطِيعُ كُلَّ أَمْرٍ فَعَلَى السَّاقِي الْقَوَدُ كَمَا لَوْ أَمَرَ صَبِيًّا أَوْ أَبْلَهَ أَنْ يَقْتُلَ نَفْسَهُ فَقَتَلَهَا كَانَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ
Salah satunya adalah jika orang itu masih kecil atau bodoh yang tidak dapat membedakan dan selalu menaati setiap perintah, maka atas si pemberi minum berlaku qisas, sebagaimana jika seseorang memerintahkan anak kecil atau orang bodoh untuk membunuh dirinya sendiri lalu ia melakukannya, maka atas orang yang memerintah itu berlaku qisas.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ عَاقِلًا مُمَيِّزًا فَلِلسَّاقِي حَالَتَانِ
Jenis yang kedua adalah apabila ia berakal dan sudah dapat membedakan, maka bagi orang yang menyirami ada dua keadaan.
إِحْدَاهُمَا أَنْ يُعْلِمَهُ بِأَنَّهُ سُمٌّ فَيَشْرَبَهُ بَعْدَ إِعْلَامِهِ بِهِ فَلَا قَوَدَ عَلَى السَّاقِي وَلَا دِيَةَ وَيَكُونُ شَارِبُ السُّمِّ هُوَ الْقَاتِلَ لِنَفْسِهِ سَوَاءٌ أَعْلَمَهُ السَّاقِي بَعْدَ تَسْمِيَتِهِ بِالسُّمِّ أَنَّهُ قَاتِلٌ أَوْ لَمْ يُعْلِمْهُ لِأَنَّ اسْمَ السُّمِّ يَنْطَلِقُ عَلَى مَا يَقْتُلُ
Salah satunya adalah bahwa ia memberitahukan kepadanya bahwa itu adalah racun, lalu ia meminumnya setelah diberi tahu, maka tidak ada qishāsh atas orang yang menuangkan dan tidak ada diyat, dan orang yang meminum racun itulah yang membunuh dirinya sendiri, baik si penuang telah memberitahunya setelah menamai zat itu sebagai racun bahwa itu mematikan atau tidak memberitahunya, karena nama racun berlaku untuk sesuatu yang mematikan.
وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ أَنْ لَا يُعْلِمَهُ عِنْدَ دَفْعِهِ إِلَيْهِ أَنَّهُ سُمٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ لِدِيَتِهِ وَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ
Keadaan kedua adalah ketika ia tidak memberitahukan kepadanya saat memberikannya bahwa itu adalah racun, maka ia wajib menanggung diyat-nya, dan dalam hal wajibnya qisas atasnya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الْقَوَدُ لِمُبَاشَرَةِ الدَّفْعِ وَإِخْفَاءِ الْحَالِ
Salah satunya wajib dikenai qishāsh karena secara langsung melakukan penyerangan dan menyembunyikan keadaan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِشُرْبِ الْمَسْمُومِ لَهُ بِاخْتِيَارِهِ فَهَذَا قِسْمٌ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qishāsh atasnya karena ia meminum racun itu atas pilihannya sendiri, maka ini adalah satu bagian.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَخْلِطَهُ السَّاقِي بِطَعَامٍ لِنَفْسِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bagian kedua adalah ketika si penyaji mencampurnya dengan makanan untuk dirinya sendiri, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَأْكُلَهُ الْمَسْمُومُ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَلَا قَوَدَ عَلَى السَّاقِي وَلَا دِيَةَ وَالْآكِلُ هُوَ الْقَاتِلُ نَفْسَهُ
Salah satunya adalah apabila orang yang diracun memakannya tanpa izin, maka tidak ada qishāsh atas orang yang memberi minum, dan tidak ada diyat; orang yang memakan itulah yang membunuh dirinya sendiri.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي أَكْلِ الطَّعَامِ فَيَكُونَ كَمَا لَوْ دَفَعَهُ مِنْ يَدِهِ لَأَنَّ الْإِذْنَ فِي الطَّعَامِ أَمْرٌ بِأَكْلِهِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ الدِّيَةُ وَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ قَوْلَانِ
Jenis kedua adalah jika ia mengizinkannya untuk memakan makanan, maka hal itu seperti menyerahkannya langsung dari tangannya, karena izin untuk memakan makanan berarti perintah untuk memakannya. Maka ia wajib membayar diyat, dan mengenai kewajiban qishāsh terdapat dua pendapat.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَضَعَهُ فِي طَعَامِ الْمَسْمُومِ فَيَأْكُلَهُ الْمَسْمُومُ وَهُوَ لَا يعلم بِسُمِّهِ فَيَكُونُ السَّاقِي ضَامِنًا لِقِيمَةِ الطَّعَامِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالسُّمِّ كَالْمُسْتَهْلِكِ وَفِي ضَمَانِهِ لِنَفْسِ الْمَسْمُومِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ
Bagian ketiga adalah apabila seseorang meletakkan racun ke dalam makanan beracun, lalu orang yang diracuni memakannya tanpa mengetahui adanya racun tersebut. Maka, orang yang memberikan makanan itu wajib mengganti nilai makanan tersebut, karena makanan itu dengan adanya racun dianggap seperti telah dimusnahkan. Adapun mengenai kewajiban mengganti jiwa orang yang diracuni, terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا يَضْمَنُهَا بِالْقَوَدِ وَهَكَذَا يَكُونُ الْقَتْلُ بِالسُّمِّ فِي الْأَغْلَبِ
Salah satunya adalah menjaminnya dengan qawad, dan demikian pula pembunuhan dengan racun pada umumnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَضْمَنُهَا بِالدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ لِعَدَمِ الْمُبَاشَرَةِ مِنْ جِهَتِهِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa ia wajib menanggungnya dengan membayar diyat, bukan dengan qishāsh, karena tidak adanya tindakan langsung dari pihaknya.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ أَنَّهُ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ مِنْ قَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ وَيَكُونُ الْفَرْقُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ بَيْنَ وَضْعِ السُّمِّ فِي طَعَامِ السَّاقِي وَوَضْعِهِ فِي طَعَامِ الْمَسْمُومِ أَنَّهُ أَكَلَ طَعَامَ السَّاقِي بِأَمْرِهِ فَصَارَ بِالْأَمْرِ ضَامِنًا لِدِيَتِهِ وَأَكَلَ طَعَامَ نَفْسِهِ بِغَيْرِ أَمْرِهِ فَلَمْ يَضْمَنْ ديته والله أعلم
Pendapat ketiga menyatakan bahwa tidak ada tanggungan atasnya, baik qisas maupun diyat. Perbedaan menurut pendapat ini antara meletakkan racun pada makanan orang yang menuang dan meletakkannya pada makanan orang yang diracuni adalah bahwa ia memakan makanan orang yang menuang atas perintahnya, sehingga dengan perintah itu ia menjadi penanggung diyatnya. Sedangkan ia memakan makanannya sendiri tanpa perintahnya, maka ia tidak menanggung diyatnya. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ عَمَدَ عَيْنَهُ بِإِصْبَعِهِ فَفَقَأَهَا اقْتُصَّ مِنْهُ لِأَنَّ الْأُصْبُعَ يَأْتِي مِنْهَا عَلَى مَا يَأْتِي بِهِ السِّلَاحُ مِنَ النَّفْسِ وَإِنْ لَمْ تَنْفَقِئْ وَاعْتَلَّتْ حَتَّى ذَهَبَ بَصَرُهَا أَوِ انْتَجَفَتْ فَفِيهَا الْقِصَاصُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang dengan sengaja menusukkan jarinya ke mata orang lain hingga mata itu pecah, maka ia dikenai qiṣāṣ, karena jari dapat menimbulkan akibat yang sama seperti senjata terhadap jiwa. Dan jika mata itu tidak pecah, namun menjadi sakit hingga penglihatannya hilang atau menjadi kering, maka tetap berlaku qiṣāṣ atasnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا فَقَأَ عَيْنَ رَجُلٍ بِأُصْبُعِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ لِأَنَّ الْإِصْبَعَ يَأْتِي مِنَ العَيْنِ عَلَى مَا يَأْتِي عَلَيْهِ الْحَدِيدُ مِنَ النَّفْسِ وَالْعَيْنُ تَتَمَيَّزُ عَنْ غَيْرِهَا مِنَ الجَسَدِ وَتَنْفَصِلُ كَالْأَعْضَاءِ فَوَجَبَ الْقَوَدُ فِيهَا كَالْأَطْرَافِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ المائدة 45 قَرَأَ الْكِسَائِيُّ بِالرَّفْعِ وَقَرَأَ غَيْرُهُ بِالنَّصْبِ وَهُوَ عَلَى قِرَاءَةِ الْكِسَائِيِّ ابْتِدَاءُ حُكْمٍ فِي شَرِيعَتِنَا وَعَلَى قَوْلِ مَنْ قَرَأَ بِالنَّصْبِ إِخْبَارٌ عَنْ شَرِيعَةِ غَيْرِنَا وَهِيَ لَازِمَةٌ لَنَا فِي أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ مَا لَمْ يَرِدْ نَسْخٌ وَإِذَا كَانَ الْقَوَدُ فِيهَا وَاجِبًا فَلَهَا حَالَتَانِ
Al-Mawardi berkata, “Ini seperti yang dikatakan: Jika seseorang mencungkil mata orang lain dengan jarinya, maka wajib atasnya qisas, karena jari dapat mengenai mata sebagaimana besi mengenai tubuh, dan mata itu berbeda dari anggota tubuh lainnya serta dapat terpisah seperti anggota-anggota tubuh lainnya. Maka wajib qisas padanya seperti pada anggota tubuh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, dan mata dengan mata’ (Al-Ma’idah: 45). Al-Kisā’ī membaca ayat ini dengan rafa‘, sedangkan selainnya membaca dengan nashab. Menurut bacaan Al-Kisā’ī, ini merupakan permulaan hukum dalam syariat kita, sedangkan menurut yang membaca dengan nashab, ini adalah pemberitaan tentang syariat selain kita, dan hukum ini tetap berlaku bagi kita menurut pendapat yang paling sahih, selama tidak ada naskh (penghapusan hukum). Jika qisas wajib dalam kasus ini, maka ada dua keadaan baginya.”
إِحْدَاهُمَا أن تنقلع الحدقة بالفقإ فَيَجُوزُ الِاقْتِصَاصُ مِنْهَا بِالْإِصْبَعِ مُقَابَلَةً لِلْجِنَايَةِ بِمِثْلِهَا وَيَجُوزُ قَلْعُهَا بِالْحَدِيدِ لِأَنَّهُ أَسْهَلُ وَأَسْرَعُ فَإِنَّ الْمَجْنِيَّ عَلَيْهِ يُبْصِرُ بِالْعَيْنِ الْأُخْرَى جَازَ أَنْ يَتَوَلَّى الِاقْتِصَاصَ بِنَفْسِهِ وَإِنْ كَانَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَوَلَّاهُ لِخَوْفِ تَعَدِّيهِ وَتَوَلَّاهُ وَكِيلُهُ
Salah satunya adalah jika bola mata tercabut karena ditusuk, maka boleh melakukan qishāsh dengan mencabutnya menggunakan jari sebagai balasan atas kejahatan dengan yang serupa, dan boleh juga mencabutnya dengan besi karena itu lebih mudah dan lebih cepat. Jika korban masih dapat melihat dengan mata yang lain, maka boleh baginya melaksanakan qishāsh sendiri. Namun jika ia buta dan tidak dapat melihat, maka tidak boleh ia melakukannya sendiri karena dikhawatirkan akan melampaui batas, sehingga pelaksanaannya diwakilkan kepada wakilnya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ تَكُونَ الْحَدَقَةُ بَاقِيَةً فِي مَوْضِعِهَا وَأَذْهَبَتِ الْأصْبَعُ ضَوْءَ بَصَرِهَا أَوْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَلَى رَأْسِهِ فَأَذْهَبَتْ ضَوْءَ بَصَرِهِ أَوْ لَطَمَهُ عَلَى وَجْهِهِ فَذَهَبَ ضَوْءُ نَاظِرِهِ فَالْقِصَاصُ فِيهِ وَاجِبٌ لِأَنَّ ضَوْءَ الْعَيْنِ يَجْرِي مِنْهَا مَجْرَى الرُّوحِ مِنَ الجَسَدِ فَلَمَّا وَجَبَ الْقَوَدُ بِإِفَاتَةِ الرُّوحِ مَعَ بَقَاءِ الْجَسَدِ وَجَبَ الْقِصَاصُ بِإِذْهَابِ الضَّوْءِ مَعَ بَقَاءِ الْعَيْنِ فَيُفْعَلُ بِالْجَانِي مِثْلُ فِعْلِهِ بِإِصْبَعٍ كَإِصْبَعِهِ أَوْ لَطْمَةٍ مِثْلِ لَطْمَتِهِ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِوُجُوبِ الْقِصَاصِ وَاللَّطْمِ وَلَكِنْ لِيُسْتَوْفَى بِاللَّطْمِ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ
Keadaan kedua adalah ketika bola mata tetap berada di tempatnya, namun jari tangan telah menghilangkan cahaya penglihatannya, atau kejahatan itu terjadi pada kepala sehingga menghilangkan cahaya penglihatannya, atau seseorang menampar wajahnya sehingga cahaya penglihatannya hilang. Maka dalam hal ini, qishāsh wajib dilakukan, karena cahaya mata menempati posisi seperti ruh dalam tubuh. Sebagaimana qishāsh wajib atas hilangnya ruh meskipun tubuh masih ada, demikian pula qishāsh wajib atas hilangnya cahaya mata meskipun matanya masih ada. Maka terhadap pelaku kejahatan dilakukan tindakan yang serupa dengan perbuatannya, seperti dengan jari yang serupa atau tamparan yang serupa dengan tamparannya. Hal itu bukan karena wajibnya qishāsh pada tamparan, tetapi agar dengan tamparan tersebut dapat diambil hak qishāsh yang wajib.
فَإِنْ ذَهَبَتْ بِالْأصْبَعِ وَاللَّطْمَةِ ضَوْءُ عَيْنِ الْجَانِي فَقَدِ اسْتَوْفَى مِنْهُ الْقِصَاصَ
Jika cahaya mata pelaku hilang karena jari atau tamparan, maka qishash telah terpenuhi darinya.
وَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ بِهَا ضَوْءُ عَيْنِهِ عُدِلَ إِلَى إِذْهَابِ ضوءها بِمَا تَبْقَى مَعَهُ الْحَدَقَةُ مِنْ عِلَاجٍ وَدَوَاءٍ فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ إِلَّا بِذَهَابِ الْحَدَقَةِ فَلَا قِصَاصَ فِيهَا وَعَلَيْهِ دِيَتُهَا لِأَنَّ مَا لَمْ يُمْكِنِ الِاقْتِصَاصُ مِنْهُ إِلَّا بِالتَّعَدِّي إِلَى غَيْرِهِ سَقَطَ الْقِصَاصُ فِيهِ لِعَدَمِ الْمُمَاثَلَةِ
Jika cahaya mata tidak hilang karenanya, maka dialihkan kepada menghilangkan cahayanya dengan pengobatan dan obat yang masih menyisakan bola mata. Jika tidak bisa hilang kecuali dengan hilangnya bola mata, maka tidak ada qishāsh padanya dan wajib membayar diyatnya, karena sesuatu yang tidak mungkin dilakukan qishāsh kecuali dengan melampaui kepada selainnya, maka gugur qishāsh padanya karena tidak adanya kemiripan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ كَانَ الْجَانِي مَغْلُوبًا عَلَى عَقْلِهِ فَلَا قِصَاصَ عَلَيْهِ إِلَّا السَّكْرَانُ فَإِنَّهُ كَالصَّحِيحِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika pelaku kejahatan kehilangan akal (tidak sadar), maka tidak ada qishāsh atasnya, kecuali orang yang mabuk, maka ia diperlakukan seperti orang yang sehat akalnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ كُلُّ مَنْ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ قَلَمٌ بِجُنُونٍ أَوْ صِغَرٍ فَلَا قِصَاصَ عَلَيْهِ إِذَا جُرِحَ أَوْ قُتِلَ وَسَوَاءٌ كَانَ الصَّغِيرُ مُمَيِّزًا أَوْ غَيْرَ مُمَيِّزٍ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَنْتَبِهَ
Al-Mawardi berkata: Setiap orang yang tidak berlaku padanya pena (pencatatan dosa dan pahala) karena gila atau masih kecil, maka tidak ada qishāsh atasnya jika ia melukai atau membunuh. Sama saja apakah anak kecil itu sudah mumayyiz (dapat membedakan) atau belum, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Pena diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia bermimpi (baligh), dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang yang tidur sampai ia bangun.”
وَلِأَنَّ الْقِصَاصَ حَدٌّ فَأَشْبَهَ فِي سُقُوطِهِ عَنِ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ سَائِرَ الْحُدُودِ
Dan karena qishāsh adalah hudud, maka dalam hal gugurnya dari anak kecil dan orang gila, ia serupa dengan hudud yang lain.
وَلِأَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِحُقُوقِ الْأَبْدَانِ لَا يَجِبُ عَلَى غَيْرِ مُكَلَّفٍ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ فَإِذَا سَقَطَ الْقِصَاصُ عَنْهُمَا فَعَلَيْهِمَا الدِّيَةُ لِأَنَّ حُقُوقَ الْأَمْوَالِ لَا تَسْقُطُ بِعَدَمِ التَّكْلِيفِ كَقِيَمِ الْمُتْلَفَاتِ وَلِأَنَّ الْقَصْدَ فِيهَا غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فَلَمْ تَسْقُطْ بِعَدَمِ الْقَصْدِ كَالْخَاطِئِ
Karena hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak badan tidak wajib atas selain orang yang mukallaf, seperti salat dan puasa. Maka apabila qishāsh gugur dari keduanya, wajib atas mereka membayar diyat, karena hak-hak harta tidak gugur dengan ketiadaan taklif, seperti nilai barang-barang yang dirusak. Selain itu, unsur kesengajaan dalam hal ini tidak dianggap, sehingga tidak gugur karena tidak adanya unsur kesengajaan, seperti pada orang yang melakukan kesalahan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الدِّيَةِ عَلَيْهِمَا لَمْ تَخْلُ جِنَايَتُهُمَا مِنْ أَنْ تَكُونَ عَلَى وَجْهِ الْخَطَأِ أَوِ الْعَمْدِ فَإِنْ كَانَتْ مِنْهُمَا عَلَى وَجْهِ الْخَطَأِ فَالدِّيَةُ مُتَحَقِّقَةٌ عَلَى عَوَاقِلِهِمَا وَإِنْ كَانَتْ عَلَى وَجْهِ الْعَمْدِ فَفِي عَمْدِهِمَا قَوْلَانِ
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ كَالْخَطَأِ لِعَدَمِ قَصْدِهِمَا فَتَكُونُ الدِّيَةُ مُحَقَّقَةً عَلَى عَوَاقِلِهِمَا
Salah satunya adalah bahwa hal itu seperti kesalahan karena keduanya tidak bermaksud, sehingga diyat menjadi kewajiban yang pasti atas ‘āqilah mereka.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ كَعَمْدِ غَيْرِهِمَا وَإِنْ سَقَطَ الْقِصَاصُ عَنْهُمَا لِعَدَمِ تَكْلِيفِهِمَا فَتَجِبُ الدِّيَةُ عَلَيْهِمَا مُغَلَّظَةً فِي أَمْوَالِهِمَا حَالَّةً
Pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu seperti pembunuhan sengaja yang dilakukan selain keduanya, meskipun qishāsh gugur dari keduanya karena keduanya belum mukallaf, maka diwajibkan atas keduanya membayar diyat yang diperberat dari harta mereka secara tunai.
فَلَوْ بَلَغَ الصَّبِيُّ بَعْدَ صِغَرِهِ وَأَفَاقَ الْمَجْنُونُ بَعْدَ قَتْلِهِ لَمْ يُسْتَحَقَّ عَلَيْهَا الْقِصَاصُ فِيمَا جَنَاهُ فِي الصِّغَرِ وَالْجُنُونِ فَلَوِ اخْتَلَفَا بَعْدَ الْبُلُوغِ وَالْإِفَاقَةِ مَعَ وَلِيِّ الْمَقْتُولِ
Maka jika seorang anak kecil mencapai usia baligh setelah masa kecilnya, atau orang gila sembuh setelah melakukan pembunuhan, maka tidak wajib atasnya qishāsh atas apa yang dilakukannya ketika masih kecil atau dalam keadaan gila. Maka jika terjadi perselisihan setelah baligh dan sembuh dengan wali korban,
فَقَالَ الْقَاتِلُ قَتَلْتُ قَبْلَ الْبُلُوغِ فَلَا قَوَدَ عَلَيَّ
Maka si pembunuh berkata, “Aku membunuh sebelum baligh, maka tidak ada qishash atas diriku.”
وَقَالَ الْوَلِيُّ قَتَلْتَ بَعْدَ الْبُلُوغِ فَعَلَيْكَ الْقَوَدُ
Dan jika wali berkata, “Engkau membunuh setelah balig, maka atasmu qishāsh.”
فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَاتِلِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الصِّغَرَ صِفَةٌ مُتَحَقِّقَةٌ وَالْأَصْلُ أَنَّ جَنْبَ الْمُؤْمِنِ حِمًى
Maka, yang dijadikan pegangan adalah pernyataan si pembunuh dengan sumpahnya, karena usia muda adalah sifat yang nyata, dan pada dasarnya tubuh seorang mukmin adalah sesuatu yang harus dijaga.
وَلَوْ قَالَ الْقَاتِلُ كُنْتُ عِنْدَ الْقَتْلِ مَجْنُونًا وَقَالَ الْوَلِيُّ بَلْ كُنْتَ مُفِيقًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْقَاتِلِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Jika si pembunuh berkata, “Saat membunuh aku sedang gila,” dan wali korban berkata, “Bahkan, kamu sedang sadar,” maka keadaan si pembunuh tidak lepas dari tiga kemungkinan.
أَحَدُهَا أَنْ لَا يُعْلَمَ لَهُ جُنُونٌ مُتَقَدِّمٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ وَعَلَى الْقَاتِلِ الْقَوَدُ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ السَّلَامَةُ
Salah satunya adalah tidak diketahui adanya kegilaan sebelumnya, maka perkataan wali yang diterima dan atas pembunuh berlaku qishāsh; karena pada dasarnya seseorang dianggap sehat.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يُعْلَمَ جُنُونُهُ طَبَقًا مُسْتَدِيمًا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَاتِلِ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ فِيهِ أَصْلًا فَشَابَهَ دَعْوَى الصِّغَرِ
Bagian kedua adalah apabila diketahui bahwa kegilaannya berlangsung terus-menerus, maka pernyataan pelaku pembunuhanlah yang diterima dan tidak ada qishāsh atasnya, karena kegilaan itu telah menjadi sifat dasar pada dirinya, sehingga serupa dengan klaim masih anak-anak.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُعْلَمَ مِنْهُ أَنَّهُ كَانَ يُجَنُّ فِي زَمَانٍ وَيُفِيقُ فِي زَمَانٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Bagian ketiga adalah jika diketahui bahwa seseorang mengalami gangguan jiwa pada suatu waktu dan sadar pada waktu yang lain, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَوْلَ فِيهِ قَوْلُ الْقَاتِلِ مع يمينه لاحتماله وأن جنبه رحمى
Salah satunya adalah bahwa pendapat yang diambil dalam hal ini adalah pendapat si pembunuh dengan sumpahnya, karena adanya kemungkinan, dan karena pihak lawan adalah kerabat dekat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ السَّلَامَةَ أَغْلَبُ
Pendapat kedua adalah bahwa pernyataan wali diterima disertai sumpahnya, karena keselamatan lebih dominan.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا السَّكْرَانُ مِنْ شُرْبِ الْمُسْكِرِ مِنْ خَمْرٍ أَوْ نَبِيذٍ فَالْقَوَدُ عَلَيْهِ إِذَا قَتَلَ وَاجِبٌ لِجَرَيَانِ الْقَلَمِ عَلَيْهِ إِلَّا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي خَرَّجَهُ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ أَنَّ ظِهَارَ السَّكْرَانِ لَا يَصِحُّ وَطَلَاقَهُ لَا يَقَعُ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ إِنَّ صَحَّ تَخْرِيجُهُ قَوَدٌ وَتَخْرِيجُهُ مُسْتَنْكَرٌ عِنْدَ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا وَإِنَّمَا هُوَ مَذْهَبُ الْمُزَنِيِّ لَمْ يَرْوِهِ عَنِ الشَّافِعِيِّ سواء في قدم وَلَا جَدِيدٍ فَيُقَالُ فِيهِ قَوْلًا وَاحِدًا
Adapun orang yang mabuk karena meminum minuman memabukkan, baik khamar maupun nabidz, maka qishāsh wajib atasnya jika ia membunuh, karena tanggung jawab hukum tetap berlaku atasnya. Kecuali menurut pendapat yang dinukil oleh al-Muzani dari asy-Syafi‘i dalam pendapat lama, bahwa zhihār orang mabuk tidak sah dan talaknya tidak jatuh, maka menurut pendapat ini, jika benar penukilannya, tidak wajib atasnya qishāsh. Namun penukilan ini dianggap tidak dapat diterima oleh mayoritas ulama mazhab kami, dan itu hanyalah pendapat al-Muzani sendiri, tidak dinukil dari asy-Syafi‘i baik dalam pendapat lama maupun baru, sehingga dalam masalah ini hanya ada satu pendapat saja.
فَأَمَّا النَّائِمُ إِذَا انْقَلَبَ عَلَى صَغِيرٍ أَوْ مَرِيضٍ فَقَتَلَهُ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُ وَعَلَيْهِ الدِّيَةُ مُحَقَّقَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ لِأَنَّهُ خَطَأٌ مَحْضٌ وَكَذَلِكَ الْمُغْمَى عَلَيْهِ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ فَأَمَّا مَنْ شَرِبَ دَوَاءً فَزَالَ بِهِ عَقْلُهُ فَإِنْ قَصَدَ بِهِ التَّدَاوِي فَهُوَ كَالْمُغْمَى عَلَيْهِ إِنْ أَفَاقَ وَكَالْمَجْنُونِ إِنِ اسْتَمَرَّ بِهِ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَصَدَ بِهِ زَوَالَ الْعَقْلِ وَاسْتِدَامَةَ الْجُنُونِ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ
Adapun orang yang sedang tidur, jika ia berguling lalu menimpa anak kecil atau orang sakit sehingga menyebabkan kematian, maka tidak ada qishāsh atasnya karena pena (catatan dosa) terangkat darinya, namun ia wajib membayar diyat yang ditanggung oleh ‘āqilah-nya, karena hal itu merupakan kesalahan murni. Demikian pula orang yang pingsan, tidak ada qishāsh atasnya. Adapun orang yang meminum obat hingga akalnya hilang, jika ia bermaksud berobat maka hukumnya seperti orang yang pingsan jika ia sadar kembali, dan seperti orang gila jika hilangnya akal itu berlangsung terus-menerus, sehingga tidak ada qishāsh atasnya. Namun jika ia sengaja menghilangkan akalnya dan berupaya terus-menerus dalam kegilaan, maka dalam kewajiban qishāsh atasnya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الْقَوَدُ كَالسَّكْرَانِ لِمَعْصِيَتِهِمَا بِمَا أَزَالَ عَقْلَهُمَا
Salah satunya wajib dikenai qishāsh, seperti orang mabuk, karena keduanya melakukan maksiat dengan sesuatu yang menghilangkan akal mereka.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِأَنَّ حُكْمَ السَّكْرَانِ أَغْلَظُ لِمَا اقْتَرَنَ بِسُكْرِهِ مِنَ الطَّرَبِ الدَّاعِي إِلَيْهِ فِي حَالِ مَنْ شَرِبَ مَا أَزَالَ الْعَقْلَ وَأَحْدَثَ الْجُنُونَ لِفَقْدِ هَذَا الْمَعْنَى فِيهِ وَأَنَّهُ نَادِرٌ مِنْ فَاعِلِيهِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qishāsh atasnya, karena hukum bagi orang yang mabuk lebih berat disebabkan oleh kegembiraan yang menyertai kemabukannya, yang mendorongnya melakukan perbuatan itu pada keadaan orang yang meminum sesuatu yang menghilangkan akal dan menyebabkan kegilaan, sebab makna ini tidak terdapat padanya, dan perbuatan tersebut jarang terjadi pada pelakunya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَطَعَ رَجُلٌ ذَكَرَ خُنْثَى مُشْكِلٍ وَأُنْثَيَيْهِ وَشُفْرَيْهِ عَمْدًا قِيلَ إِنْ شِئْتَ وَقَفْنَاكَ فَإِنْ بِنْتَ ذَكَرًا أَقَدْنَاكَ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ وَجَعَلْنَا لك حكومة في الشفرين وإن بنت أنثى فلا قود لك وجعلنا لك دية امرأة في الشفرين وحكومة في الذكر والأنثيين قال المزني رحمه الله بقية هذه المسألة في معناه أن يقال له وإن لم تشأ أن تقف حتى يتبين أمرك وعفوت عن القصاص وبرأت فلك دية شفري امرأة وحكومة في الذكر والأنثيين لأنه الأقل وإن قلت لا أعفو ولا أقف قيل لا يجوز أن يقص مما لا يدري أي القصاص لك فلا بد لك من الأمرين على ما وصفنا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang memotong kemaluan khuntsa musykil, kedua testisnya, dan kedua bibir kemaluannya dengan sengaja, dikatakan kepadanya, “Jika engkau mau, kami akan menangguhkan (hukuman) atasmu; jika kemudian terbukti bahwa ia laki-laki, maka kami akan menuntut qishāsh atas kemaluan dan kedua testisnya, dan kami tetapkan bagimu ḥukūmah pada kedua bibir kemaluannya. Jika terbukti ia perempuan, maka tidak ada qishāsh bagimu, dan kami tetapkan bagimu diyat perempuan pada kedua bibir kemaluannya serta ḥukūmah pada kemaluan dan kedua testisnya.” Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Sisa permasalahan ini dalam maknanya adalah, dikatakan kepadanya, “Jika engkau tidak ingin menunggu hingga jelas perkara (jenis kelamin) dan engkau memaafkan dari qishāsh serta membebaskan (pelaku), maka bagimu diyat kedua bibir kemaluan perempuan dan ḥukūmah pada kemaluan dan kedua testis, karena itu yang paling sedikit. Namun jika engkau berkata, ‘Aku tidak memaafkan dan tidak mau menunggu,’ maka dikatakan, ‘Tidak boleh dilakukan qishāsh pada sesuatu yang tidak diketahui mana yang menjadi hakmu, maka harus memilih salah satu dari dua hal sebagaimana telah kami jelaskan.’”
قال الماوردي لهذه المسألة خمس مقدمات
Al-Mawardi berkata: Masalah ini memiliki lima pendahuluan.
إحداهما في ذكر الرجل القود فإن عفى عَنْهُ فَفِيهِ دِيَةُ الرَّجُلِ تَامَّةً
Salah satunya adalah dalam menyebutkan qishāsh terhadap seorang laki-laki; jika dia dimaafkan, maka baginya diyat laki-laki secara penuh.
وَالثَّانِيَةُ أَنَّ فِي أُنْثَيَيِ الرَّجُلِ الْقَوَدُ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ فَفِيهِ دِيَةُ الرَّجُلِ تَامَّةً
Dan yang kedua, bahwa pada kedua buah zakar laki-laki terdapat hukum qishāsh; jika dimaafkan darinya, maka wajib membayar diyat laki-laki secara penuh.
وَالثَّالِثَةُ أَنْ فِي إِسْكَتَيِ الْمَرْأَةِ وَهُمَا شُفْرَاهَا الْقَوَدَ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ فَفِيهِ دِيَةُ الْمَرْأَةِ تَامَّةً
Ketiga, jika seseorang memotong kedua bibir kemaluan perempuan (yaitu kedua syafaatnya), maka berlaku hukum qishāsh. Jika dimaafkan, maka wajib membayar diyat perempuan secara penuh.
وَوَهِمَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ فَأَسْقَطَ الْقَوَدَ فِي الشُّفْرَيْنِ؛ لِأَنَّهُ لَحْمٌ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ يَنْتَهِي إِلَيْهِ
Abu Hamid al-Isfara’ini telah keliru dengan menggugurkan qisas pada kedua bibir, karena menurutnya bibir adalah daging yang tidak memiliki batas tertentu yang dapat dijadikan patokan.
وَهَذَا زَلَلٌ مِنْهُ خَالَفَ بِهِ نَصَّ الشَّافِعِيِّ فِي كتاب الأم لأن الشفرين هما المحيطا بِالْفَرْجِ مِنْ جَانِبَيْهِ بِمَنْزِلَةِ الشَّفَتَيْنِ مِنَ الفَمِ وَفِي الشَّفَتَيْنِ الْقَوَدُ كَذَلِكَ فِي الشُّفْرَيْنِ فَإِنْ تَعَذَّرَ الْقَوَدُ فَالدِّيَةُ
Ini adalah kekeliruan darinya yang bertentangan dengan nash Imam Syafi‘i dalam kitab Al-Umm, karena kedua syafarat (bibir kemaluan) adalah bagian yang mengelilingi farj dari kedua sisinya, seperti halnya kedua bibir pada mulut. Pada kedua bibir terdapat hukum qawad (qishash), demikian pula pada kedua syafarat. Jika qawad tidak memungkinkan, maka dikenakan diyat.
وَزَعَمَ بَعْضُ أَهْلِ اللُّغَةِ أَنَّ الشُّفْرَيْنِ دَاخِلُ الْإِسْكَتَيْنِ فَيَكُونُ الْمُحِيطُ بِالْفَرْجِ الْإِسْكَتَانِ وَدَاخِلُهُمَا الشُّفْرَانِ وَالْخِلَافُ فِي الِاسْمِ لَا يُغَيِّرُ الْحُكْمَ
Sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa kedua bibir kemaluan (syafran) termasuk bagian dalam dari kedua pelipis kemaluan (iskatain), sehingga yang mengelilingi kemaluan adalah kedua iskatain, dan di dalamnya terdapat kedua syafran. Perbedaan dalam penamaan tidak mengubah hukum.
وَالْمُقَدِّمَةُ الرَّابِعَةُ أَنَّ الْعُضْوَ الزَّائِدَ عَلَى الْخِلْقَةِ لَا يُكَافِئُ عُضْوًا مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ فِي قَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ فَلَا يُقَادُ بِالذَّكَرِ الزَّائِدِ ذَكَرًا مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ وَفِيهِ حُكُومَةٌ وَكَذَلِكَ مَا زَادَ مِنَ الأُنْثَيَيْنِ وَالشُّفْرَيْنِ
Pendahuluan keempat: Anggota tubuh yang melebihi ciptaan asal tidak sebanding dengan anggota tubuh yang merupakan bagian dari ciptaan asal, baik dalam qawad (pembalasan) maupun diyat (denda). Maka, tidak boleh dilakukan qawad terhadap penis tambahan dengan penis yang merupakan bagian dari ciptaan asal, dan dalam hal ini berlaku hukumah (penilaian ganti rugi oleh hakim). Demikian pula halnya dengan tambahan pada dua alat kelamin perempuan dan dua bibir kemaluan.
وَالْمُقَدِّمَةُ الْخَامِسَةُ أَنْ لَا يَجُوزَ أَنْ يَقْضِيَ بِالْقَوْلِ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ وَلَا بِالدِّيَةِ حَتَّى يَتَحَقَّقَ وَيُعْطِيَ مَعَ الْإِشْكَالِ أَقَلَّ الْحَقَّيْنِ
Pendahuluan kelima: Tidak boleh memutuskan perkara hanya berdasarkan ucapan sampai benar-benar yakin, dan tidak boleh menetapkan diyat sampai kebenarannya betul-betul terbukti. Jika terdapat keraguan, maka diberikan hak yang paling sedikit dari dua kemungkinan hak.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَاتُ الْخَمْسُ اشْتَمَلَ مَسْطُورُ الْمَسْأَلَةِ عَلَى خَمْسَةِ فُصُولٍ
Maka apabila lima pendahuluan ini telah ditetapkan, pembahasan masalah ini mencakup lima bagian.
أَحَدُهَا رَجُلٌ جَنَى عَلَى خُنْثَى مُشْكِلٍ
Salah satunya adalah seorang laki-laki yang melakukan tindak pidana terhadap seorang khuntsa musykil.
وَالثَّانِي امْرَأَةٌ جَنَتْ عَلَى خُنْثَى مُشْكِلٍ
Yang kedua adalah seorang perempuan yang melakukan tindak pidana terhadap seorang khuntsa musykil.
وَالثَّالِثُ خُنْثَى مُشْكِلٌ جَنَى عَلَى رَجُلٍ
Ketiga, khuntsā musykil yang melakukan tindak pidana terhadap seorang laki-laki.
وَالرَّابِعُ خُنْثَى مُشْكِلٌ جَنَى عَلَى امْرَأَةٍ
Keempat, khuntsā musykil yang melakukan tindak pidana terhadap seorang perempuan.
وَالْخَامِسُ خُنْثَى مُشْكِلٌ جَنَى عَلَى خُنْثَى مُشْكِلٍ
Kelima, khuntsā musykil yang melakukan tindak pidana terhadap khuntsā musykil.
فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ وَهُوَ الْمَسْطُورُ إِذَا قَطَعَ رَجُلٌ ذَكَرَ خُنْثَى مُشْكِلٍ وَأُنْثَيَيْهِ وَشُفْرَيْهِ وَطَالَبَ بَعْدَ الِانْدِمَالِ بِحَقِّهِ مِنَ القَوَدِ وَالدِّيَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمَ لَهُ مَعَ بَقَاءِ الْإِشْكَالِ بِالْقَوَدِ حَتَّى يَبِينَ أَمْرُهُ فَإِنْ بَانَ رَجُلًا وَجَبَ لَهُ الْقَوَدُ فِي ذَكَرِهِ وَأُنْثَيَيْهِ؛ لِأَنَّهُمَا مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ فَأُقِيدَ بِمَا كَافَأَهُمَا وَأُعْطِيَ حُكُومَةً فِي الشُّفْرَيْنِ لِأَنَّهُمَا زَائِدَانِ عَلَى الْخِلْقَةِ فَإِنْ عَفَا عَنِ الْقَوَدِ أُعْطِيَ دِيَتَيْ رَجُلٍ إِحْدَاهُمَا فِي الذَّكَرِ وَالْأُخْرَى فِي الْأُنْثَيَيْنِ وَحُكُومَةً فِي الشُّفْرَيْنِ
Adapun bagian pertama, yaitu sebagaimana yang tertulis: Jika seseorang memotong kemaluan khuntsa musykil, kedua testisnya, dan kedua labia-nya, lalu setelah luka sembuh ia menuntut haknya atas qishash dan diyat, maka tidak boleh diputuskan untuknya qishash selama statusnya masih belum jelas, hingga keadaannya menjadi terang. Jika ternyata ia adalah laki-laki, maka ia berhak mendapatkan qishash pada kemaluannya dan kedua testisnya, karena keduanya merupakan bagian asal dari penciptaan, sehingga pelaku dibalas dengan yang sepadan dengannya, dan diberikan hukuman (ta‘zīr) pada kedua labia-nya karena keduanya merupakan tambahan dari penciptaan. Jika ia memaafkan qishash, maka diberikan dua diyat laki-laki: satu untuk kemaluannya dan satu lagi untuk kedua testisnya, serta hukuman (ta‘zīr) pada kedua labia-nya.
وَإِنْ بَانَ الْخُنْثَى امْرَأَةً فَلَا قَوَدَ عَلَى الرَّجُلِ الْجَانِي فِي ذَكَرِهِ وَلَا فِي أُنْثَيَيْهِ لِأَنَّهُمَا زَائِدَانِ فِي خِلْقَةِ الْمَرْأَةِ وَأُعْطِيَتْ دِيَةُ امْرَأَةٍ فِي الشُّفْرَيْنِ وَحُكُومَةٌ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ
Jika ternyata khuntsa tersebut adalah perempuan, maka tidak ada qishash atas laki-laki pelaku pada penisnya maupun pada kedua alat kelamin perempuannya, karena keduanya merupakan tambahan dalam penciptaan perempuan. Maka diberikan diyat perempuan pada kedua labia (syafaat), dan diberikan hukuman taksiran (hukūmah) pada penis dan kedua alat kelamin perempuannya.
وَإِنْ بَقِيَ الْخُنْثَى عَلَى إِشْكَالِهِ وَلَمْ يَتَعَجَّلْ بَيَانَهُ وَطَالَبَ بِحَقِّهِ نُظِرَ فَإِنْ عَفَا عَنِ الْقَوَدِ أُعْطِيَ أَقَلَّ حَقَّيْهِ وهو أن يجري عليه حُكْمِ الْمَرْأَةِ فَيُعْطَى دِيَةً فِي الشُّفْرَيْنِ وَحُكُومَةً فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ بَانَ امْرَأَةً فَقَدِ اسْتَوْفَتْ حَقَّهَا وَإِنْ بَانَ رَجُلًا كَمُلَ لَهُ دِيَتَيْ رَجُلٍ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ وَحُكُومَةً فِي الشُّفْرَيْنِ
Jika khuntsa (orang dengan kelamin ganda) tetap dalam keadaan samar dan belum jelas jenis kelaminnya, lalu ia menuntut haknya, maka dilihat keadaannya. Jika ia memaafkan dari qawad (pembalasan setimpal), maka diberikan kepadanya hak yang paling sedikit dari dua kemungkinan haknya, yaitu diberlakukan hukum perempuan atasnya, sehingga ia diberikan diyat pada dua labia (bagian kemaluan perempuan) dan hukūmah pada penis serta kedua testis. Jika kemudian ternyata ia adalah perempuan, maka ia telah menerima seluruh haknya. Namun jika ternyata ia adalah laki-laki, maka ia berhak mendapatkan dua diyat laki-laki pada penis dan kedua testis, serta hukūmah pada dua labia.
فَإِنْ تَعَجَّلَ الطَّلَبَ وَلَمْ يَعْفُ عَنِ الْقَوَدِ كَانَ الْقَوَدُ مَوْقُوفًا عَلَى زَوَالِ الْإِشْكَالِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي إِعْطَاءِ الْمَالِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Jika ahli waris segera menuntut (qishāsh) dan tidak memaafkan pelaku dari qishāsh, maka pelaksanaan qishāsh ditangguhkan sampai hilangnya kesamaran (masalah menjadi jelas). Para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai pemberian harta (diyat) dalam hal ini menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا يُعْطَى الْمَالَ وَيَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى زَوَالِ الْإِشْكَالِ كَمَا وَقَفَ الْقَوَدُ لِأَنَّ فِي إِعْطَاءِ الْمَالِ سُقُوطَ الْقَوَدِ وَهُوَ يُطَالِبُ بِالْقَوَدِ فَسَقَطَتِ الْمُطَالَبَةُ بِالْمَالِ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa harta tidak diberikan dan statusnya tetap ditangguhkan sampai hilangnya kerancuan, sebagaimana penangguhan pelaksanaan qawad, karena jika harta diberikan berarti gugur hak atas qawad, sementara ia masih menuntut qawad, sehingga gugurlah tuntutan atas harta.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ يُعْطَى مِنَ المَالِ أَقَلَّ مَا يَسْتَحِقُّهُ مَعَ الْقَوَدِ لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ الْقَوَدَ فِي عُضْوٍ وَيَسْتَحِقُّ الْمَالَ فِي غَيْرِهِ فَلَمْ يَكُنْ فِي إِعْطَائِهِ عَفْوٌ عَنِ الْقَوَدِ وَالَّذِي يُعْطَاهُ مِنَ المَالِ حُكُومَةٌ فِي الشُّفْرَيْنِ كَوُقُوفِ الْقَوَدِ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ إِذَا بَانَ رَجُلًا
Pendapat kedua, yang merupakan pendapat mayoritas ulama mazhab kami, adalah bahwa diberikan dari harta (pelaku) jumlah paling sedikit yang berhak diterima bersamaan dengan qishāsh, karena ia berhak mendapatkan qishāsh pada salah satu anggota tubuh dan berhak mendapatkan harta pada anggota tubuh lainnya. Maka, dalam pemberian tersebut tidak ada pengampunan terhadap qishāsh. Adapun harta yang diberikan adalah berupa ḥukūmah pada kedua bibir, sebagaimana tertahannya qishāsh pada alat kelamin laki-laki dan perempuan apabila seorang laki-laki terputus alat kelaminnya.
وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ فِي جَامِعِهِ يُعْطَى دِيَةَ الشُّفْرَيْنِ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الَّذِي يُعْطَاهُ مَالًا يُسْتَرْجَعُ مِنْهُ إِنْ أُقِيدَ وَقَدْ تَبَيَّنَ رَجُلًا فَيُقَادُ مِنْ ذَكَرِهِ وَأُنْثَيَيْهِ وَيَسْتَحِقُّ الْحُكُومَةَ فِي شُفْرَيْهِ وَلَوْ أَعْطَاهُ الدِّيَةَ لَا يَسْتَرْجِعُ مِنْهَا مَا زَادَ عَلَى الْحُكُومَةِ فَلِذَلِكَ اقْتُصَّ بِهِ عَلَى قَدْرِ الْحُكُومَةِ وَرُوعِيَ مَا سَبَقَ مِنْ أَمْرِهِ فَإِنْ بَانَ رَجُلًا أُقِيدَ مِنْ ذَكَرِهِ وَأُنْثَيَيْهِ وَقَدِ اسْتَوْفَى حُكُومَةَ شُفْرَيْهِ وَإِنْ بَانَ امْرَأَةً سَقَطَ الْقَوَدُ وَكَمُلَ لَهَا دِيَةُ الشُّفْرَيْنِ وَحُكُومَةٌ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ
Abu Hamid al-Marwazi berkata dalam kitab Jami‘-nya: “Diberikan diyat dua syafrah.” Namun, ini adalah kekeliruan; karena harta yang diberikan itu akan diambil kembali darinya jika kemudian dilakukan qishash, dan ternyata orang tersebut adalah laki-laki, maka dilakukan qishash pada dzakar dan dua buah zakarnya, dan ia berhak mendapatkan hukūmah pada dua syafrah. Jika diberikan diyat, maka tidak dapat diambil kembali kelebihan dari hukūmah. Oleh karena itu, qishash dilakukan sesuai kadar hukūmah dan memperhatikan keadaan sebelumnya. Jika ternyata ia laki-laki, maka dilakukan qishash pada dzakar dan dua buah zakarnya, dan ia telah menerima hukūmah untuk dua syafrah. Jika ternyata ia perempuan, maka gugur qishash dan ia berhak mendapatkan diyat dua syafrah serta hukūmah pada dzakar dan dua buah zakar.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ تَقْطَعَ امْرَأَةٌ ذَكَرَ خُنْثَى مُشْكِلٍ وَأُنْثَيَيْهِ وَشُفْرَيْهِ فَيَصِيرُ الْقَوَدُ مَوْقُوفًا عَلَى الشُّفْرَيْنِ كَمَا كَانَ الْقَوَدُ فِي جِنَايَةِ الرَّجُلِ مَوْقُوفًا عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ اعْتِبَارًا بِالتَّجَانُسِ
Adapun bagian kedua, yaitu apabila seorang perempuan memotong kemaluan khuntsa musykil, kedua testisnya, dan kedua bibir kemaluannya, maka qishash menjadi tergantung pada kedua bibir kemaluan, sebagaimana qishash dalam kasus jinayah pada laki-laki tergantung pada kemaluan dan kedua testisnya, dengan pertimbangan adanya kesamaan.
فَإِنْ بَانَ الْخُنْثَى رَجُلًا سَقَطَ الْقَوَدُ فِي الشُّفْرَيْنِ لِزِيَادَتِهِمَا عَلَى الْخِلْقَةِ وَكَانَ لَهُ دِيَتَا رجل في الذكر والأنثيين وحكومة في الشفرين
Jika ternyata khuntsa tersebut adalah laki-laki, maka qishash gugur pada kedua sisi kemaluan (syafarat) karena keduanya merupakan tambahan dari penciptaan asal, dan ia berhak mendapatkan diyat laki-laki pada penis dan kedua testisnya, serta diyat taksiran (hukūmah) pada kedua sisi kemaluan.
وَإِنْ بَانَ امْرَأَةً أُقِيدَ مِنَ الشُّفْرَيْنِ وَأُعْطِيَ حُكُومَةً فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ
Jika yang terluka adalah perempuan, maka qishāsh dilakukan pada kedua bibir kemaluan, dan diberikan diyat taksiran (hukūmah) baik pada laki-laki maupun perempuan.
وَإِنْ بَقِيَ عَلَى إِشْكَالِهِ وَعَفَا عَنِ الْقَوَدِ أُعْطِيَ أَقَلَّ الْحَقَّيْنِ وَهُوَ دِيَةُ امْرَأَةٍ فِي الشُّفْرَيْنِ وَحُكُومَةٌ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ وَرُوعِيَ مَا تَبَيَّنَ مِنْ أَمْرِهِ فَإِنْ بَانَ امْرَأَةً فَقَدِ اسْتَوْفَتْ حَقَّهَا وَإِنْ بَانَ رَجُلًا كَمُلَ لَهُ دِيَتَا رَجُلٍ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ وَحُكُومَةٌ فِي الشُّفْرَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَعْفُ عَنِ الْقَوَدِ كَانَ مَوْقُوفًا عَلَى الشُّفْرَيْنِ وَأُعْطِيَ إِذَا قِيلَ بِإِعْطَاءِ الْمَالِ مَعَ الْوَقْفِ عَلَى الْقَوَدِ حُكُومَةً فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ بَانَ امْرَأَةً أُقِيدَ مِنَ الشُّفْرَيْنِ وَقَدِ اسْتَوْفَى حُكُومَةَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ
Jika ia tetap dalam keadaan samar dan memaafkan dari qishāsh, maka diberikan hak yang paling sedikit di antara dua kemungkinan, yaitu diyat perempuan pada kedua bibir kemaluan, dan hukūmah pada alat kelamin laki-laki dan perempuan, serta diperhatikan apa yang kemudian tampak dari keadaannya. Jika ternyata ia perempuan, maka ia telah menerima haknya secara penuh. Jika ternyata ia laki-laki, maka ia berhak mendapatkan diyat laki-laki secara penuh pada alat kelamin laki-laki dan perempuan, serta hukūmah pada kedua bibir kemaluan. Jika tidak memaafkan dari qishāsh, maka perkara tersebut tergantung pada kedua bibir kemaluan, dan jika dikatakan boleh memberikan harta bersamaan dengan menangguhkan qishāsh, maka diberikan hukūmah pada alat kelamin laki-laki dan perempuan. Jika kemudian ternyata ia perempuan, maka dilakukan qishāsh pada kedua bibir kemaluan dan telah terpenuhi hukūmah pada alat kelamin laki-laki dan perempuan.
وَإِنْ بَانَ رَجُلًا أُسْقِطَ الْقَوَدُ فِي الشُّفْرَيْنِ وَكَمُلَ لَهُ دِيَتَا رَجُلٍ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ وَحُكُومَةٌ فِي الشُّفْرَيْنِ فَلَوِ اشْتَرَكَ فِي الْجِنَايَةِ عَلَى الْخُنْثَى رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فَقَطَعَا مَعًا ذَكَرَهُ وَأُنْثَيَيْهِ وَشُفْرَيْهِ سَقَطَ عَنِ الرَّجُلِ الْقَوَدُ فِي الشُّفْرَيْنِ وَكَانَ الْقَوَدُ مَعَهَا مَوْقُوفًا عَلَى التَّعْيِينِ
Jika ternyata seorang laki-laki, maka qishāsh gugur pada bagian syafarat (bibir kemaluan) dan ia berhak mendapatkan dua diyat laki-laki pada penis dan kedua testis, serta hukuman (ta‘zīr) pada syafarat. Jika seorang laki-laki dan perempuan bersama-sama melakukan kejahatan terhadap khuntsa lalu mereka memotong penis, kedua testis, dan syafaratnya secara bersama-sama, maka dari laki-laki gugur qishāsh pada syafarat, dan qishāsh dari perempuan bergantung pada penetapan jenis kelamin.
فَإِنْ بَانَ رَجُلًا أُقِيدَ بِذَكَرِهِ وَأُنْثَيَيْهِ مِنَ الرَّجُلِ وَأُخِذَ مِنَ المَرْأَةِ نِصْفُ حُكُومَةِ الشُّفْرَيْنِ مَعَ النِّصْفِ مِنْ دِيَتَيْ رَجُلٍ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ لِأَنَّهَا أَحَدُ جَانِبَيْنِ وَإِنْ بَانَ امْرَأَةً أُقِيدَ بِشُفْرَيْهِ مِنَ المَرْأَةِ وَكَانَ عَلَى الرَّجُلِ نِصْفُ حُكُومَةِ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ مَعَ النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ امْرَأَةٍ عَلَى الشُّفْرَيْنِ؛ لِأَنَّهُ أَحَدُ الْجَانِبَيْنِ
Jika yang terpotong adalah laki-laki, maka pelaku dikenai qishāsh dengan memotong zakar dan kedua testis laki-laki, dan dari perempuan diambil setengah dari ḥukūmah syafrain beserta setengah dari diyat laki-laki pada zakar dan kedua testis, karena itu merupakan salah satu dari dua sisi. Dan jika yang terpotong adalah perempuan, maka pelaku dikenai qishāsh dengan memotong kedua syafrain perempuan, dan laki-laki dikenai setengah dari ḥukūmah zakar dan kedua testis beserta setengah dari diyat perempuan pada syafrain, karena itu merupakan salah satu dari dua sisi.
فَصْلٌ
Bagian
فَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ وَهُوَ خُنْثَى مُشْكِلٌ جَنَى عَلَى رَجُلٍ فَقَطَعَ ذَكَرَهُ وَأُنْثَيَيْهِ
Adapun bagian ketiga, yaitu tentang khuntsa musykil yang melakukan penganiayaan terhadap seorang laki-laki dengan memotong zakar dan kedua buah zakarnya.
فَإِنْ طَلَبَ الْقَوَدَ وُقِفَ عَلَى الْبَيَانِ
Jika ia menuntut qisas, maka pelaksanaan hukuman tersebut ditangguhkan hingga ada penjelasan.
فَإِنْ بَانَ رَجُلًا أُقِيدَ مِنْ ذَكَرِهِ وَأُنْثَيَيْهِ
Jika ternyata (yang terbunuh) adalah seorang laki-laki, maka pelaku qishāsh dibalas dari laki-laki dan dua perempuan.
وَإِنْ بَانَ امْرَأَةً فلا قود عليها ديتان فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ
Dan jika yang membunuh adalah seorang wanita, maka tidak ada qishāsh atasnya, melainkan dia wajib membayar dua diyat pada kasus laki-laki dan dua diyat pada kasus dua perempuan.
فَإِنْ بَقِيَ الْخُنْثَى عَلَى إِشْكَالِهِ لَمْ يَكُنْ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ الْمُطَالَبَةُ بِمَالٍ إلا أن يعفوا عَنِ الْقَوَدِ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ مَعَ الْقَوَدِ مالاً بخلاف ما مضى ولكن لو عفى عَنِ الْقَوَدِ فِي الْأُنْثَيَيْنِ وَطَلَبَ الْقَوَدَ فِي الذَّكَرِ أُعْطِيَ دِيَةَ الْأُنْثَيَيْنِ وَوُقِفَ الْقَوَدُ فِي الذَّكَرِ عَلَى الْبَيَانِ فَإِنْ بَانَ رَجُلًا أُقِيدَ مِنْهُ وَإِنْ بَانَ امْرَأَةً أُخِذَ مِنْهَا دِيَةُ الذَّكَرِ وَسَقَطَ فِيهِ الْقَوَدُ
Jika khuntsa masih dalam keadaan samar, maka pihak yang menjadi korban tidak berhak menuntut harta kecuali jika ia memaafkan qisas, karena ia tidak berhak mendapatkan harta bersamaan dengan qisas, berbeda dengan yang telah lalu. Namun, jika ia memaafkan qisas pada dua perempuan dan menuntut qisas pada laki-laki, maka ia diberikan diyat dua perempuan dan pelaksanaan qisas pada laki-laki ditangguhkan sampai ada kejelasan. Jika ternyata ia laki-laki, maka qisas dilaksanakan darinya, dan jika ternyata ia perempuan, maka diambil darinya diyat laki-laki dan gugur qisas padanya.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْفَصْلُ الرَّابِعُ فَهُوَ خُنْثَى مُشْكِلٌ جَنَى عَلَى امْرَأَةٍ فَقَطَعَ شُفْرَيْهَا فَإِنْ طَلَبَتِ الْقَوَدَ وُقِفَ عَلَى الْبَيَانِ
Adapun pada bagian keempat, yaitu tentang khuntsa musykil yang melakukan penganiayaan terhadap seorang wanita dengan memotong kedua bibir kemaluannya, maka jika wanita tersebut menuntut qishash, maka perkara tersebut harus menunggu penjelasan lebih lanjut.
فَإِنْ بَانَ امْرَأَةً أُقِيدَ مِنْ شُفْرَيْهَا
Jika seorang wanita dicerai secara bain, maka qishash dilakukan dari kedua bibirnya.
وَإِنْ كَانَ رَجُلًا فَلَا قَوَدَ وَأُخِذَتْ مِنْهُ دِيَةُ امْرَأَةٍ فِي الشُّفْرَيْنِ فَلَوْ قَطَعَ مَعَ شُفْرَيِ الْمَرْأَةِ أَعْلَى الرُّكَبِ وَهُوَ مَنَابِتُ الشَّعْرِ لَمْ يُسْتَحَقَّ فِيهِ قَوَدٌ لِأَنَّهُ لَحْمٌ لَيْسَ لِانْتِهَائِهِ حَدٌّ وَوَجَبَتْ فِيهِ حُكُومَةٌ وَلَمْ تَجِبْ فِيهِ دِيَةٌ لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِغَيْرِهِ فَإِنْ قُطِعَ مَعَ الشُّفْرَيْنِ وَجَبَ الْقَوَدُ فِي الشُّفْرَيْنِ وَالْحُكُومَةُ فِي الرَّكَبِ فَإِنْ سَقَطَ الْقَوَدُ فِي الشُّفْرَيْنِ وَجَبَ فِي الشُّفْرَيْنِ دِيَةٌ وَفِي الرَّكَبِ حُكُومَةٌ
Jika pelakunya adalah laki-laki, maka tidak ada qishāsh, dan diambil darinya diyat perempuan untuk kedua bibir kemaluan. Jika ia memotong bersama kedua bibir kemaluan perempuan bagian atas lutut, yaitu tempat tumbuhnya rambut, maka tidak berhak atas qishāsh di situ karena itu adalah daging yang tidak memiliki batas akhir, dan wajib di situ hukūmah, serta tidak wajib diyat karena ia mengikuti bagian lainnya. Jika dipotong bersama kedua bibir kemaluan, maka wajib qishāsh pada kedua bibir kemaluan dan hukūmah pada bagian lutut. Jika gugur qishāsh pada kedua bibir kemaluan, maka wajib diyat pada kedua bibir kemaluan dan hukūmah pada bagian lutut.
فَصْلٌ
Bagian
وَأَمَّا الْفَصْلُ الْخَامِسُ وَهُوَ خُنْثَى مُشْكِلٌ جَنَى عَلَى خُنْثَى مُشْكِلٍ فَقَطَعَ ذَكَرَهُ وَأُنْثَيَيْهِ وَشُفْرَيْهِ وُقِفَ الْقَوَدُ على البيان ولهما ثلاثة أحوال
Adapun bab kelima, yaitu tentang khuntsa musykil yang melakukan tindak pidana terhadap khuntsa musykil lainnya, lalu memotong zakar, dua alat kelamin wanitanya, dan dua bibir kemaluannya, maka pelaksanaan qisas ditangguhkan sampai ada penjelasan, dan bagi keduanya terdapat tiga keadaan.
أحدهما أَنْ يَبِينَا رَجُلَيْنِ فَيُسْتَحَقُّ الْقَوَدُ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ وَحُكُومَةٌ فِي الشُّفْرَيْنِ إِلَّا أَنْ يُمْكِنَ الْقَوَدُ مِنْهُمَا لِتَمَاثُلِهِمَا فِي الزِّيَادَةِ مِنْهُمَا فَيُقَادُ مِنَ الزَّائِدِ بِالزَّائِدِ عِنْدَ التَّمَاثُلِ كَمَا قِيدَ مِنَ الأَصْلِ بِالْأَصْلِ لِأَجْلِ التَّمَاثُلِ
Pertama, jika yang dibahas adalah dua laki-laki, maka berlaku qishāsh pada zakar dan dua perempuan, serta berlaku ḥukūmah pada dua syafaat, kecuali jika memungkinkan dilakukan qishāsh pada keduanya karena adanya kesamaan pada kelebihan yang ada pada keduanya, maka dilakukan qishāsh pada bagian yang lebih dengan bagian yang lebih pula ketika terdapat kesamaan, sebagaimana dilakukan qishāsh pada bagian pokok dengan bagian pokok karena adanya kesamaan.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَبِينَا امْرَأَتَيْنِ فَيُقَادُ مِنَ الشُّفْرَيْنِ وَيُؤْخَذُ حُكُومَةٌ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ إِلَّا أَنْ يَتَمَاثَلَا فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَيُقَادَا بِالزَّائِدِ كَمَا قِيدَ بِالْأَصْلِ
Keadaan kedua adalah jika yang terlibat adalah dua perempuan, maka dilakukan qishāsh pada kedua bibir kemaluan, dan diambil diyat berdasarkan penilaian (hukūmah) pada laki-laki dan dua perempuan, kecuali jika keduanya sama dalam setiap bagian, maka dilakukan qishāsh pada bagian yang lebih, sebagaimana telah dijelaskan dalam sumber aslinya.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَبِينَ أَحَدُهُمَا رَجُلًا وَالْآخَرُ امْرَأَةً فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ لِاخْتِلَافِ التَّجَانُسِ وَعَدَمِ التَّمَاثُلِ فِي الْأَصْلِ وَالزَّائِدِ
Keadaan ketiga adalah apabila salah satu dari keduanya jelas-jelas laki-laki dan yang lainnya perempuan, maka qishāsh gugur karena perbedaan jenis dan tidak adanya kesamaan baik pada anggota pokok maupun tambahan.
وَيُنْظَرُ فِي الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَإِنْ بَانَ رَجُلًا أُعْطِيَ دِيَتَيْ رجل في الذكر والأنثيين وحكومة في الشفرين
Dan diperhatikan pada korban, jika ternyata ia seorang laki-laki maka diberikan diyat dua orang laki-laki pada penis dan kedua testisnya, serta diberikan hukuman (ganti rugi) pada kedua bibir kemaluannya.
وَإِنْ بَانَ امْرَأَةً أُعْطِيَتْ دِيَةَ امْرَأَةٍ فِي الشُّفْرَيْنِ وَحُكُومَةً فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ
Dan jika yang terluka adalah seorang perempuan, maka diberikan diyat perempuan pada kedua bibir kemaluannya, dan diberikan hukuman (ta‘zīr) pada kemaluan laki-laki dan kedua testisnya.
فَإِنْ مَاتَا مَعَ بَقَاءِ إِشْكَالِهِمَا جَازَ أَنْ يُعْتَبَرَ بَعْدَ الْمَوْتِ بَيَانُ حَالِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ دُونَ الْجَانِي؛ لِأَنَّ بَيَانَ الْجَانِي مَوْقُوفٌ عَلَى الْقَوَدِ وَقَدْ سَقَطَ بِالْمَوْتِ وَبَيَانَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِأَجْلِ الدِّيَةِ وَهِيَ مُسْتَحَقَّةٌ بَعْدَ الْمَوْتِ فَإِنْ لَمْ يَبِنْ بَعْدَ الْمَوْتِ أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ وَجَبَ أَقَلُّ الْحَقَّيْنِ
Jika keduanya meninggal dunia sementara keadaan mereka masih belum jelas, maka boleh setelah kematian memperhatikan penjelasan keadaan korban (al-majnu ‘alayh) saja, bukan pelaku (al-jānī); karena penjelasan tentang pelaku bergantung pada pelaksanaan qishāsh dan itu telah gugur dengan kematian, sedangkan penjelasan tentang korban adalah demi pembayaran diyat, dan diyat tetap menjadi hak setelah kematian. Jika setelah kematian tidak juga jelas salah satu dari dua keadaan tersebut, maka wajib diberikan hak yang paling sedikit di antara keduanya.
فإن اختلف وارثهما فادعا وَارِثُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَكْثَرَهُمَا وَاعْتَرَفَ وَارِثُ الْجَانِي بِأَقَلِّهِمَا لَمْ يَكُنْ لِلدَّعْوَى وَالْإِقْرَارِ تَأْثِيرٌ أَلَا تَرَى أَنْ يَصِفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَالَ الْخُنْثَى بِمَا يُوَافِقُ قَوْلَهُ فَإِنْ أَخَلَّا بِالصِّفَةِ اطُّرِحَ قَوْلُهُمَا وَوَجَبَ أَقَلُّ الْحَقَّيْنِ وَإِنْ وَصَفَاهُ بِمَا يُوَافِقُ قَوْلَهُمَا وَعَدِمَا الْبَيِّنَةَ عَلَيْهِ عُرِضَتِ الْيَمِينُ عَلَيْهِمَا فَإِنْ حَلَفَ أَحَدُهُمَا وَنَكَلَ الْآخَرُ قُضِيَ بِيَمِينِ الْحَالِفِ عَلَى النَّاكِلِ وَإِنْ حَلَفَا مَعًا تَعَارَضَتِ الْيَمِينَانِ وَسَقَطَتَا وَأَوْجَبْنَا أَقَلَّ الْحَقَّيْنِ اعْتِبَارًا بِالْيَقِينِ
Jika para ahli waris keduanya berselisih, lalu ahli waris korban mengklaim jumlah yang lebih besar dan ahli waris pelaku mengakui jumlah yang lebih kecil, maka klaim dan pengakuan tersebut tidak berpengaruh. Tidakkah engkau melihat bahwa masing-masing dari mereka dapat menggambarkan keadaan khuntsa sesuai dengan pendapatnya? Jika mereka berdua lalai dalam memberikan deskripsi, maka perkataan mereka berdua ditolak dan yang diwajibkan adalah hak yang paling sedikit di antara keduanya. Jika mereka menggambarkannya sesuai dengan pendapat mereka dan tidak ada bukti atasnya, maka sumpah ditawarkan kepada keduanya. Jika salah satu dari mereka bersumpah dan yang lain menolak, maka diputuskan berdasarkan sumpah yang bersumpah atas yang menolak. Jika keduanya sama-sama bersumpah, maka kedua sumpah itu saling bertentangan dan gugur, sehingga yang diwajibkan adalah hak yang paling sedikit di antara keduanya, berdasarkan pertimbangan keyakinan.
فَصْلٌ
Bagian
وَإِذَا خُلِقَ لِرَجُلٍ ذَكَرَانِ فَإِنْ كَانَ يَبُولُ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَا يَبُولُ مِنَ الآخَرِ فَالذَّكَرُ هُوَ الَّذِي يَبُولُ مِنْهُ وَفِيهِ الْقَوَدُ أَوِ الدِّيَةُ وَلَا قَوَدَ فِي الْآخَرِ وَفِيهِ حُكُومَةٌ
Jika seorang laki-laki diciptakan dengan dua alat kelamin laki-laki, lalu ia kencing dari salah satunya dan tidak kencing dari yang lain, maka alat kelamin yang digunakan untuk kencing itulah yang dianggap sebagai alat kelaminnya, dan padanya berlaku hukum qawad atau diyat, sedangkan pada yang lainnya tidak berlaku qawad, melainkan berlaku hukumah.
وَإِنْ كَانَ يَبُولُ مِنْهُمَا فَأَكْثَرُهُمَا بَوْلًا وَأَقْوَاهُمَا خُرُوجًا هُوَ الذَّكَرُ وَفِيهِ الْقَوَدُ أَوِ الدِّيَةُ وَفِي الْآخَرِ حُكُومَةٌ فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الْبَوْلِ فَالَّذِي يَنْتَشِرُ مِنْهُمَا وَيَنْقَبِضُ هو الذكر
Jika keduanya dapat mengeluarkan air seni, maka yang paling banyak dan paling kuat keluarnya adalah penis, dan pada penis berlaku hukum qawad atau diyat, sedangkan pada yang lain berlaku hukum ḥukūmah. Jika keduanya sama dalam hal air seni, maka yang dapat menegang dan mengendur adalah penis.
وَإِنْ كَانَا فِي الِانْتِشَارِ وَالِانْقِبَاضِ سَوَاءٌ فَالثَّابِتُ فِي مَحَلِّ الذَّكَرِ الْمُنْفَرِدِ هُوَ الذَّكَرُ وَالْمُنْحَرِفُ زَائِدٌ فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي مَحَلِّ الذَّكَرِ وَلَمْ يَتَمَيَّزْ أَحَدُهُمَا عَنِ الْآخَرِ بِوَصْفٍ زَائِدٍ فَهُمَا جَمِيعًا ذَكَرٌ زَائِدٌ لَا يَجِبُ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَوَدٌ وَفِيهِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ لِأَنَّهُ أَزْيَدُ مِنْ نِصْفِ ذَكَرٍ فَإِنْ قُطِعَا مَعًا وَجَبَ فِيهِمَا الْقَوَدُ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ فِي الزِّيَادَةِ كَالْكَفَّيْنِ عَلَى ذِرَاعٍ
Jika keduanya sama dalam hal penyebaran dan penyusutan, maka yang tetap pada tempat penis yang tunggal adalah penis, sedangkan yang miring dianggap tambahan. Jika keduanya sama pada tempat penis dan tidak ada salah satunya yang dapat dibedakan dari yang lain dengan sifat tambahan, maka keduanya dianggap sebagai penis tambahan, sehingga tidak wajib qishāsh pada salah satunya, dan pada keduanya dikenakan setengah diyat serta tambahan hukūmah, karena itu lebih dari setengah penis. Jika keduanya terpotong bersamaan, maka wajib qishāsh pada keduanya dan tambahan hukūmah pada bagian tambahan, seperti dua telapak tangan pada satu lengan.
Bab tentang hak memilih dalam qishāsh
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمُقْبُرِيَّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ثُمَّ أَنْتُمْ يَا بَنِي خُزَاعَةُ قَدْ قَتَلْتُمْ هَذَا الْقَتِيلَ مِنْ هُذَيْلٍ وَأَنَا وَاللَّهِ عَاقِلُهُ فَمَنْ قَتَلَ قَتِيلًا بَعْدَهُ فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أحبوا أخذوا الْعَقْلَ
Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Fudayk dari Ibnu Abi Dhi’b dari Sa‘id bin Abi Sa‘id al-Maqburi dari Abu Syuraih al-Ka‘bi radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kemudian kalian, wahai Bani Khuza‘ah, telah membunuh orang dari Hudzail ini, dan demi Allah, aku yang menanggung diyatnya. Maka barang siapa membunuh seseorang setelah itu, maka keluarganya diberi dua pilihan: jika mereka menghendaki, mereka membunuh (pelaku), dan jika mereka menghendaki, mereka mengambil diyat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَتْلُ الْعَمْدِ مُوجِبٌ لِلْقَوَدِ وَلِوَلِيِّ الْمَقْتُولِ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُ إِلَى الدِّيَةِ وَلَا يَفْتَقِرَ إِلَى مُرَاضَاةِ الْقَاتِلِ
Al-Mawardi berkata, pembunuhan sengaja mewajibkan qishāsh, dan wali dari orang yang terbunuh berhak memaafkan pelaku hingga diganti dengan pembayaran diyat, tanpa memerlukan persetujuan dari pembunuh.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ قَتْلُ الْعَمْدِ مُوجِبٌ لِلْقَوَدِ وَحْدَهُ وَلَا تَجِبُ لَهُ الدِّيَةُ إِلَّا بِمُرَاضَاةِ الْقَاتِلِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ المائدة 45 وَهَذَا نَصٌّ فِي أَنْ لَا يَجِبَ فِي النَّفْسِ غَيْرُ النَّفْسِ
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pembunuhan sengaja hanya mewajibkan qishāsh saja, dan diyat tidak wajib kecuali dengan kerelaan dari pihak pembunuh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa” (al-Mā’idah: 45). Ini adalah nash yang menunjukkan bahwa dalam kasus jiwa, tidak wajib selain jiwa (sebagai balasan).
وَقَالَ تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ البقرة 178 وَفِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْقِصَاصِ إِيجَابُ مَا لَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الأَبْدَالِ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ
Allah Ta‘ala berfirman: “Diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus orang-orang yang terbunuh: orang merdeka dengan orang merdeka…” (Al-Baqarah: 178). Dan dalam hal menambah atas qishāsh, berarti mewajibkan sesuatu yang tidak boleh dialihkan kepada pengganti lain kecuali dengan kerelaan.
وَلِأَنَّ الْقَتْلَ مُوجِبٌ للقود في عمده والدية في خطأه فَلَمَّا لَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ عَنِ الدِّيَةِ فِي خطأ إِلَى غَيْرِهَا إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ لَمْ يَجِبْ أَنْ يُعْدَلَ عَنِ الْقَوَدِ إِلَى غَيْرِهِ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ
Karena pembunuhan mewajibkan qishāsh pada kasus sengaja dan diyat pada kasus tidak sengaja, maka ketika tidak boleh beralih dari diyat pada kasus tidak sengaja kepada selainnya kecuali dengan kerelaan, demikian pula tidak wajib beralih dari qishāsh kepada selainnya kecuali dengan kerelaan.
وَلِأَنَّ الْقَتْلَ يُسْتَحَقُّ بِالْقَوَدِ تَارَةً وَبِالدَّفْعِ عَنِ النَّفْسِ أُخْرَى فَلَمَّا لَمْ يُمْلَكْ بَدَلُ قَتْلِهِ دَفْعًا لَمْ يُمْلَكْ بَدَلُ قَتْلِهِ قَوَدًا
Dan karena pembunuhan kadang-kadang dapat dibenarkan melalui qawad (pembalasan setimpal) dan kadang-kadang melalui pembelaan diri, maka ketika pengganti dari pembunuhan tersebut tidak dapat dimiliki dalam kasus pembelaan diri, demikian pula pengganti dari pembunuhan tersebut tidak dapat dimiliki dalam kasus qawad.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ البقرة 178 مَعْنَاهُ فَمَنْ عَفَا لَهُ عَنِ الْقِصَاصِ فَلْيُتْبِعِ الْوَلِيُّ الدِّيَةَ بِمَعْرُوفٍ وَيُؤَدِّيَهَا الْقَاتِلُ بِإِحْسَانٍ فَجَعَلَ لِلْوَلِيِّ الْإِتْبَاعَ وَعَلَى الْقَاتِلِ الْأَدَاءُ فَلَمَّا تَفَرَّدَ الْقَاتِلُ بِالْأَدَاءِ وَجَبَ أَنْ يَنْفَرِدَ الْوَلِيُّ بِالْإِتْبَاعِ وَلَا يَقِفَ عَلَى الْمُرَاضَاةِ
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Diwajibkan atas kalian qishāsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, perempuan dengan perempuan. Maka barang siapa yang mendapat suatu keringanan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah: 178). Maknanya: barang siapa yang dimaafkan dari qishāsh, maka hendaklah wali (korban) menuntut diat dengan cara yang baik, dan pelaku pembunuhan membayarnya dengan cara yang baik. Maka Allah menjadikan bagi wali hak menuntut, dan atas pelaku pembunuhan kewajiban membayar. Ketika pelaku pembunuhan sendiri yang berkewajiban membayar, maka wajib pula wali sendiri yang menuntut, dan tidak bergantung pada kesepakatan bersama.
وَحَدِيثُ أَبِي شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ثَمَّ أَنْتُمْ يَا خُزَاعَةُ قَدْ قَتَلْتُمْ هَذَا الْقَتِيلَ مِنْ هُذَيْلٍ وَأَنَا وَاللَّهِ عَاقِلُهُ فَمَنْ قَتَلَ قَتِيلًا بَعْدَهُ فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ فَجَعَلَ الْوَلِيَّ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ وَهَذَا نَصٌّ
Dan hadis Abu Syuraih al-Ka‘bi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalian, wahai Khuza‘ah, telah membunuh orang dari Hudzail ini, dan demi Allah, akulah yang menanggung diyatnya. Maka barang siapa membunuh seseorang setelah itu, keluarganya diberi dua pilihan: jika mereka mau, mereka boleh membunuh (qishāsh), dan jika mereka mau, mereka boleh mengambil diyat. Maka beliau menjadikan wali (keluarga korban) diberi pilihan antara qishāsh dan diyat, dan ini adalah nash (teks yang jelas).
فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رُوِيَ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا فَادَوْا وَالْمُفَادَاةُ لَا تَكُونُ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ
Jika dikatakan, “Telah diriwayatkan bahwa jika mereka menghendaki, mereka membunuh, dan jika mereka menghendaki, mereka menebus; dan penebusan itu tidak terjadi kecuali atas dasar kerelaan.”
قِيلَ هَذِهِ رِوَايَةٌ شَاذَّةٌ وَتُحْمَلُ الْمُفَادَاةُ فِيهَا عَلَى بَذْلِ الدِّيَةِ الَّتِي لَا تُسْتَحَقُّ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ وَيُحْمَلُ خَبَرُنَا فِي خِيَارِ الْوَلِيِّ عَلَى أَصْلِ الدِّيَةِ الَّتِي لَا تَفْتَقِرُ إِلَى مُرَاضَاةٍ لِيُسْتَعْمَلَ الْخَبَرَيْنِ وَلَا يَسْقُطُ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ وَلِأَنَّ الْقَوَدَ قَدْ يَسْقُطُ بعفو الولي إذا كان واحداً ويعفوا أَحَدُهُمْ إِذَا كَانُوا جَمَاعَةً ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ سُقُوطَهُ بِعَفْوِ أَحَدِهِمْ مُوجِبٌ لِلدِّيَةِ بِغَيْرِ مُرَاضَاةٍ فَكَذَلِكَ يَكُونُ وُجُوبُهَا بِعَفْوِ جَمِيعِهِمْ
Dikatakan bahwa ini adalah riwayat yang syadz dan pemaknaan mufādah di dalamnya diarahkan pada pemberian diyat yang tidak berhak kecuali dengan kerelaan. Sedangkan hadis kami tentang pilihan wali diarahkan pada asal diyat yang tidak memerlukan kerelaan, sehingga kedua hadis tersebut dapat diamalkan dan tidak saling menggugurkan. Karena qisas bisa gugur dengan pemaafan wali jika hanya satu orang, dan salah satu dari mereka dapat memaafkan jika mereka berkelompok. Kemudian telah tetap bahwa gugurnya qisas dengan pemaafan salah satu dari mereka mewajibkan diyat tanpa kerelaan, maka demikian pula kewajiban diyat dengan pemaafan seluruh wali.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ قَوَدٌ سَقَطَ بِالْعَفْوِ عَنْهُ فَلَمْ تَقِفِ الدِّيَةُ فِيهِ عَلَى مُرَاضَاةٍ كَمَا لَوْ عَفَا عَنْهُ أَحَدُهُمْ
Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa ini merupakan qishāsh yang gugur karena dimaafkan darinya, sehingga diyat tidak bergantung pada kesepakatan, sebagaimana jika salah satu dari mereka memaafkannya.
وَلِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْقَوَدِ لَا يَمْنَعُ مِنِ اخْتِيَارِ الدِّيَةِ كَمَا لَوْ قَطَعَ كَفًّا كَامِلَةَ الْأَصَابِعِ وَفِي كَفِّهِ أَرْبَعَةُ أَصَابِعَ كَانَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عِنْدَنَا وَعِنْدَهُمْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْقِصَاصِ وَالدِّيَةِ
Karena hak untuk menuntut qishāsh tidak menghalangi pilihan untuk menerima diyat, sebagaimana jika seseorang memotong telapak tangan yang lengkap dengan jari-jarinya, dan pada telapak tangan itu terdapat empat jari, maka menurut kami dan menurut mereka, pihak yang menjadi korban memiliki pilihan antara qishāsh dan diyat.
فَإِنْ أَحَبَّ الدِّيَةَ أَخَذَ دِيَةً كَامِلَةً وَإِنْ أَحَبَّ الْقِصَاصَ اقْتُصَّ عِنْدَهُمْ بِالْكَفِّ النَّاقِصَةِ ولا شي لَهُ غَيْرُهَا وَعِنْدَنَا يُقْتَصُّ مِنْهَا وَيُؤْخَذُ دِيَةُ الْأُصْبُعِ النَّاقِصَةِ مِنْ كَفِّ الْجَانِي وَلِأَنَّ لِلْقَتْلِ بدلين وأغلظهما الْقَوَدُ وَأَخَفُّهُمَا الدِّيَةُ فَلَمَّا مَلَكَ الْقَوَدَ الْأَغْلَظَ بِغَيْرِ مُرَاضَاةٍ كَانَ بِأَنْ يَمْلِكَ الدِّيَةَ الْأَخَفَّ بِغَيْرِ مُرَاضَاةٍ أَوْلَى وَلِأَنَّ قَتْلَ الْعَمْدِ أَغْلَظُ وَقَتْلَ الْخَطَأِ أَخَفُّ فَلَمَّا مَلَكَ الدِّيَةَ فِي أَخَفِّهِمَا فَأَوْلَى أَنْ يَمْلِكَهَا فِي أَغْلَظِهِمَا
Jika ia memilih diyat, maka ia berhak menerima diyat secara penuh. Namun jika ia memilih qishāsh, maka menurut mereka dilakukan qishāsh dengan memotong telapak tangan yang kurang, dan ia tidak berhak mendapatkan apa pun selain itu. Sedangkan menurut kami, dilakukan qishāsh terhadapnya dan diambil diyat jari yang kurang dari telapak tangan pelaku. Karena dalam kasus pembunuhan terdapat dua pengganti, yang lebih berat adalah qawad (balasan setimpal) dan yang lebih ringan adalah diyat. Maka ketika ia berhak mendapatkan qawad yang lebih berat tanpa kerelaan, tentu lebih utama baginya untuk berhak mendapatkan diyat yang lebih ringan tanpa kerelaan. Dan karena pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd) lebih berat, sedangkan pembunuhan karena kelalaian (qatl al-khata’) lebih ringan, maka ketika ia berhak mendapatkan diyat pada kasus yang lebih ringan, tentu lebih utama baginya untuk berhak mendapatkannya pada kasus yang lebih berat.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَتَيْنِ فَهُوَ أَنَّ وُجُوبَ الْقِصَاصِ فِيهِمَا لَا يَمْنَعُ مِنَ العَفْوِ عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ كَالْمُرَاضَاةِ
Adapun jawaban mengenai kedua ayat tersebut adalah bahwa kewajiban qishāsh pada keduanya tidak menghalangi adanya pemaafan terhadapnya kepada selainnya, seperti dalam hal kerelaan bersama.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى إِتْلَافِ الْمَالِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ الْعَمْدُ وَالْخَطَأُ إِلَّا بَدَلٌ وَاحِدٌ وَلِلْقَتْلِ بَدَلَانِ فَافْتَرَقَا
Adapun qiyās mereka terhadap perusakan harta, maka maksudnya adalah bahwa dalam perusakan harta, baik sengaja maupun tidak sengaja, hanya ada satu bentuk pengganti, sedangkan dalam pembunuhan ada dua bentuk pengganti, sehingga keduanya berbeda.
وَقَوْلُهُمْ لَمَّا لَمْ يَمْلِكِ الْعُدُولَ عَنْ دِيَةِ الْخَطَأِ إِلَّا بِالْمُرَاضَاةِ كَذَلِكَ الْقَوَدُ الْعَمْدُ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْقَوَدَ أَغْلَظُ وَالِدِّيَةَ أَخَفُّ فَمَلَكَ إِسْقَاطَ الْأَغْلَظِ بِالْأَخَفِّ وَلَمْ يَمْلِكْ إِسْقَاطَ الْأَخَفِّ بِالْأَغْلَظِ وَمَا اعْتَبَرُوهُ مِنْ قَتْلِ الدَّفْعِ الَّذِي لَا يَمْلِكُ فِيهِ الدِّيَةَ فَلَا يُشْبِهُ قَتْلَ الْقَوَدِ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ بِقَتْلِ الدَّفْعِ إِحْيَاءَ نَفْسِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُبْدِلَهَا بِالدِّيَةِ مُرَاضَاةً وَلَا اخْتِيَارًا وَلَيْسَ كَذَلِكَ قَتْلُ الْقَوَدِ لِأَنَّهُ مَلَكَ بِهِ اسْتِيفَاءَ حَقٍّ يَجُوزُ أَنْ يَعْدِلَ عَنْهُ بِالْمُرَاضَاةِ فَجَازَ أَنْ يَعْدِلَ عَنْهُ بِغَيْرِ مُرَاضَاةٍ
Dan pernyataan mereka bahwa ketika tidak diperbolehkan beralih dari diyat kesalahan kecuali dengan kerelaan, maka demikian pula qisas pada pembunuhan sengaja, jawabannya adalah bahwa qisas itu lebih berat dan diyat itu lebih ringan. Maka diperbolehkan menggugurkan yang lebih berat dengan yang lebih ringan, dan tidak diperbolehkan menggugurkan yang lebih ringan dengan yang lebih berat. Adapun yang mereka jadikan pertimbangan berupa pembunuhan karena pembelaan diri, di mana tidak diperbolehkan diyat di dalamnya, maka itu tidak sama dengan pembunuhan karena qisas, karena dalam pembunuhan karena pembelaan diri seseorang memiliki hak untuk menyelamatkan dirinya, sehingga tidak boleh menggantinya dengan diyat baik dengan kerelaan maupun pilihan. Tidak demikian halnya dengan pembunuhan karena qisas, karena dengan itu seseorang memiliki hak untuk menuntut hak yang boleh dialihkan darinya dengan kerelaan, maka boleh juga dialihkan darinya tanpa kerelaan.
فَصْلٌ
Bab
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ اسْتِحْقَاقَ الدِّيَةِ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ لَا يَقِفُ عَلَى مُرَاضَاةِ الْقَاتِلِ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيمَا يُوجِبُهُ قَتْلُ الْعَمْدِ عَلَى قَوْلَيْنِ
Maka apabila telah tetap bahwa hak memperoleh diyat dalam kasus pembunuhan sengaja tidak bergantung pada kerelaan pelaku pembunuhan, maka pendapat Imam Syafi‘i berbeda mengenai apa yang diwajibkan oleh pembunuhan sengaja, yaitu ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مُوجِبٌ لِأَحَدِ أَمْرَيْنِ مِنَ القَوَدِ أَوِ الدِّيَةِ وَكِلَاهُمَا بَدَلٌ مِنَ النَّفْسِ وَلَيْسَتِ الدِّيَةُ بَدَلًا مِنَ القَوَدِ وَالْوَلِيُّ فِيهِمَا بِالْخِيَارِ كَالْحَالِفِ مُخَيَّرٌ فِي الْكَفَّارَةِ بَيْنَ الْإِطْعَامِ وَالْكُسْوَةِ وَالْعِتْقِ
Salah satunya adalah bahwa hal itu mewajibkan salah satu dari dua hal, yaitu qawad atau diyat, dan keduanya merupakan pengganti dari jiwa, bukan diyat sebagai pengganti dari qawad. Dalam hal ini, wali memiliki pilihan, seperti halnya orang yang bersumpah diberi pilihan dalam kafarat antara memberi makan, memberi pakaian, atau membebaskan budak.
وَوَجْهُ ذَلِكَ شَيْئَانِ
Adapun alasannya ada dua hal.
أَحَدُهُمَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فمن قتل بعده قَتِيلًا فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ وَتَخَيُّرُهُمْ بَيْنَ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَدَلًا مِنَ القَتْلِ كَالْكَفَّارَةِ
Salah satunya adalah sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa setelahnya terjadi pembunuhan, maka keluarganya memiliki dua pilihan: jika mereka menghendaki, mereka dapat membunuh (pelaku), dan jika mereka menghendaki, mereka dapat mengambil diyat.” Pilihan mereka antara qawad (qisas) dan diyat menunjukkan bahwa masing-masing dari keduanya merupakan pengganti dari pembunuhan, seperti halnya kafarat.
وَالثَّانِي أَنَّ الدِّيَةَ بَدَلٌ مِنْ نَفْسِ الْمَقْتُولِ دُونَ الْقَاتِلِ بِدَلِيلِ أَنَّ الْمَرْأَةَ لَوْ قَتَلَتْ رَجُلًا وَجَبَ عَلَيْهَا دِيَةُ الرَّجُلِ فَلَوْ جُعِلَتِ الدِّيَةُ بَدَلًا مِنَ القَوَدِ صَارَتْ بَدَلًا مِنْ نَفْسِ الْقَاتِلِ دُونَ الْمَقْتُولِ وَلَوْ وَجَبَ عَلَى الْمَرْأَةِ إِذَا قَتَلَتْ رَجُلًا أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهَا دية امرأة إذا ثبت أن الدية بدلاً مِنْ نَفْسِ الْمَقْتُولِ جَرَتْ مَجْرَى الْقَوَدِ فَصَارَا وَاجِبَيْنِ بِالْقَتْلِ
Kedua, bahwa diyat adalah pengganti dari jiwa korban yang terbunuh, bukan pengganti dari jiwa pelaku pembunuhan. Dalilnya adalah jika seorang wanita membunuh seorang laki-laki, maka wajib atasnya membayar diyat laki-laki. Jika diyat dijadikan sebagai pengganti dari qishāsh, maka diyat itu menjadi pengganti dari jiwa pelaku pembunuhan, bukan jiwa korban. Seandainya atas wanita yang membunuh laki-laki itu diwajibkan diambil darinya diyat wanita, maka jika diyat itu benar-benar sebagai pengganti dari jiwa korban, maka kedudukannya sama seperti qishāsh, sehingga keduanya menjadi kewajiban karena pembunuhan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إنَّ قَتْلَ الْعَمْدِ مُوجِبٌ لِلْقَوَدِ وَحْدَهُ وَهُوَ بَدَلُ النَّفْسِ فَإِنْ عُدِلَ عَنْهُ إِلَى الدِّيَةِ كَانَتْ بَدَلًا مِنَ القَوَدِ فَيَصِيرُ بَدَلًا عَنِ النَّفْسِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa pembunuhan sengaja hanya mewajibkan qishāsh semata, dan qishāsh itu adalah pengganti jiwa. Jika kemudian dialihkan dari qishāsh kepada diyat, maka diyat itu menjadi pengganti dari qishāsh, sehingga diyat itu pun menjadi pengganti jiwa.
وَوَجْهُهُ شَيْئَانِ
Dan aspeknya ada dua hal.
أَحَدُهُمَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى فدل على أن الَّذِي يَجِبُ لَهُ الْقِصَاصُ وَحْدَهُ
Salah satunya adalah firman Allah Ta‘ala: “Diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus orang-orang yang terbunuh,” maka ini menunjukkan bahwa orang yang berhak mendapatkan qishāsh hanyalah dia sendiri.
وَالثَّانِي أَنَّ قَتْلَ الْخَطَأِ لَمَّا أَوْجَبَ بَدَلًا وَاحِدًا وَهُوَ الدية اعتباراً بالمتلفات التي ليس لها مِثْلٌ اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ قَتْلُ الْعَمْدِ مُوجِبًا لِبَدَلٍ وَاحِدٍ وَهُوَ الْقَوَدُ اعْتِبَارًا بِالْمُتْلَفَاتِ الَّتِي لَهَا مِثْلٌ
Yang kedua, bahwa pembunuhan karena kesalahan mewajibkan satu bentuk pengganti, yaitu diyat, dengan pertimbangan terhadap barang-barang yang rusak dan tidak memiliki padanan, maka hal itu menuntut agar pembunuhan sengaja juga mewajibkan satu bentuk pengganti, yaitu qishāsh, dengan pertimbangan terhadap barang-barang yang rusak dan memiliki padanan.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ كَانَ الْقَوَدُ مُسْتَحَقًّا عَلَى كِلَا الْقَوْلَيْنِ وَتَرَتَّبَ اسْتِحْقَاقُ الدِّيَةِ عَلَى اخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ
Maka apabila penjelasan dua pendapat itu telah ditetapkan, maka qawad (hak untuk melakukan qishash) menjadi sesuatu yang berhak didapatkan menurut kedua pendapat tersebut, dan hak atas diyat (tebusan) bergantung pada perbedaan kedua pendapat itu.
فَإِنْ قُلْنَا بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ إنَّ قَتْلَ الْعَمْدِ مُوجِبٌ لِأَحَدِ شَيْئَيْنِ إِمَّا الْقَوَدُ أَوِ الدِّيَةُ فَلِوَلِيِّ الْمَقْتُولِ فِي الِاخْتِيَارِ وَالْعَفْوِ سَبْعَةُ أَحْوَالٍ
Jika kita mengikuti pendapat pertama bahwa pembunuhan sengaja mewajibkan salah satu dari dua hal, yaitu qishāsh atau diyat, maka bagi wali korban dalam memilih dan memaafkan terdapat tujuh keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ يَخْتَارَ الْقَوَدَ فَلَا يَسْقُطُ حَقُّهُ مِنَ الدِّيَةِ إِلَّا أَنْ يَقْتَصَّ فَإِنْ عَدَلَ عَنِ الْقَوَدِ إِلَى الدِّيَةِ اسْتَحَقَّهَا لِأَنَّهُ قَدْ عَدَلَ بِهَا عَنِ الْأَغْلَظِ إِلَى الْأَخَفِّ
Salah satunya adalah bahwa ia memilih qisas, maka haknya atas diyat tidak gugur kecuali jika qisas telah dilaksanakan. Jika ia beralih dari qisas kepada diyat, maka ia berhak mendapatkannya, karena ia telah beralih dari hukuman yang lebih berat kepada yang lebih ringan.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَخْتَارَ الدِّيَةَ فَيُعْطَاهَا وَيَسْقُطَ حَقُّهُ مِنَ القَوَدِ لِمَا فِي الْعُدُولِ إِلَيْهِ مِنَ الانْتِقَالِ عَنِ الْأَخَفِّ إِلَى الْأَغْلَظِ
Keadaan kedua adalah apabila ia memilih diyat, maka diyat itu diberikan kepadanya dan gugurlah haknya atas qishāsh, karena beralih dari diyat kepada qishāsh berarti berpindah dari yang lebih ringan kepada yang lebih berat.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَخْتَارَ الْقَوَدَ وَالدِّيَةَ فَلَا يَكُونُ لِاخْتِيَارِهِ تَأْثِيرٌ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يُعَيِّنْ بِالِاخْتِيَارِ أَحَدَهُمَا
Keadaan ketiga adalah ketika ia memilih qisas dan diyat sekaligus, maka pilihannya itu tidak berpengaruh, karena ia tidak berhak untuk menggabungkan keduanya dan ia pun tidak menentukan salah satunya dengan pilihannya.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ أَنْ يعفوا عَنِ الْقَوَدِ فَيَتَعَيَّنُ حَقُّهُ فِي الدِّيَةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْتَقِلَ عَنْهَا إِلَى الْقَوَدِ إِلَّا بَعْدَ سُقُوطِهِ بِالْعَفْوِ وَلِأَنَّهُ انْتِقَالٌ عَنِ الْأَخَفِّ إِلَى الْأَغْلَظِ
Keadaan keempat adalah ketika ia memaafkan dari qishāsh, maka haknya menjadi tetap pada diyat dan tidak boleh berpindah darinya kepada qishāsh kecuali setelah gugur dengan pemaafan, karena hal itu merupakan perpindahan dari yang lebih ringan kepada yang lebih berat.
وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الدِّيَةِ فَلَهُ الْقَوَدُ وَلَا يَكُونُ لِعَفْوِهِ عَنِ الدِّيَةِ تَأْثِيرٌ وَلَهُ أَنْ يَنْتَقِلَ مِنَ القَوَدِ إِلَى الدِّيَةِ لِأَنَّهُ انْتِقَالٌ مِنَ الأَغْلَظِ إِلَى الْأَخَفِّ
Keadaan kelima adalah ketika ia memaafkan dari denda (diyah), maka ia tetap berhak menuntut qishāsh, dan pemaafannya dari diyah tidak berpengaruh apa pun. Ia juga berhak beralih dari qishāsh ke diyah, karena hal itu merupakan perpindahan dari hukuman yang lebih berat ke yang lebih ringan.
وَالْحَالُ السَّادِسَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ فَيَصِحُّ عَفْوُهُ عَنْهُمَا وَلَا يَسْتَحِقُّ بَعْدَ الْعَفْوِ وَاحِدًا مِنْهُمَا مِنْ قَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ
Keadaan keenam adalah apabila ia memaafkan dari qisas dan diyat, maka sah pemaafannya dari keduanya dan setelah pemaafan tersebut, ia tidak berhak lagi mendapatkan salah satu dari keduanya, baik qisas maupun diyat.
وَالْحَالُ السَّابِعَةُ أَنْ يَقُولَ قَدْ عَفَوْتُ عَنْ حَقِّي فَيَكُونُ عَفْوًا عَنِ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ مَعًا لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّهُمَا
Keadaan ketujuh adalah apabila seseorang berkata, “Aku telah memaafkan hakku,” maka itu berarti memaafkan baik dari qishāsh maupun diyat sekaligus, karena ia berhak atas keduanya.
وَإِنْ قُلْنَا بِالْقَوْلِ الثَّانِي إنَّ قتل العمد موجب للقود وحده ولا تجب الدِّيَةُ إِلَّا بِالِاخْتِيَارِ بَدَلًا مِنَ القَوَدِ فَلِلْوَلِيِّ فِي اخْتِيَارِهِ وَعَفْوِهِ سَبْعَةُ أَحْوَالٍ
Dan jika kita mengikuti pendapat kedua, yaitu bahwa pembunuhan sengaja hanya mewajibkan qishāsh saja dan diyat tidak wajib kecuali jika dipilih sebagai pengganti qishāsh, maka bagi wali dalam memilih dan memaafkan terdapat tujuh keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ يَخْتَارَ الْقَوَدَ فَلَا يَسْقُطُ بِهَذَا الِاخْتِيَارِ حَقُّهُ مِنِ اخْتِيَارِ الدِّيَةِ وَقْتَ اسْتِحْقَاقِهَا لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ اخْتِيَارَهَا بَعْدَ سُقُوطِ حَقِّهِ مِنَ القَوَدِ فَصَارَ كَالْإِبْرَاءِ مِنَ الحَقِّ قَبْلَ وُجُوبِهِ لَا يُبْرِئُهُ مِنْ ذَلِكَ الْحَقِّ بَعْدَ وُجُوبِهِ وَلَا يَتَحَتَّمُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ بِهَذَا الِاخْتِيَارِ لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهُ وَلَيْسَ بِحَقٍّ عَلَيْهِ فَصَارَ هَذَا الِاخْتِيَارُ لَا تَأْثِيرَ لَهُ
Salah satunya adalah jika ia memilih qisas, maka dengan pilihan ini tidak gugur haknya untuk memilih diyat pada saat ia berhak mendapatkannya, karena ia berhak memilih diyat setelah gugur haknya dari qisas. Maka hal ini seperti membebaskan hak sebelum kewajibannya, yang tidak membebaskannya dari hak tersebut setelah menjadi wajib. Dan tidak menjadi wajib baginya untuk melaksanakan qisas dengan pilihan ini, karena itu adalah hak baginya dan bukan kewajiban atasnya. Maka pilihan ini tidak berpengaruh.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَخْتَارَ الدِّيَةَ فَيَكُونُ فِي اخْتِيَارِهَا إِسْقَاطٌ لِحَقِّهِ مِنَ القَوَدِ فَيُحْكَمُ لَهُ بِالدِّيَةِ وَيَسْقُطُ الْقَوَدُ
Keadaan kedua adalah ketika ia memilih diyat, maka dengan pilihannya tersebut berarti ia menggugurkan haknya atas qishāsh, sehingga diputuskan baginya untuk mendapatkan diyat dan gugurlah qishāsh.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَخْتَارَ الْقَوَدَ وَالدِّيَةَ فَلَا يَكُونُ لِهَذَا الِاخْتِيَارِ تَأْثِيرٌ فِي الْقَوَدِ وَلَا فِي الدِّيَةِ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يُعَيِّنْ بِالِاخْتِيَارِ أَحَدَهُمَا فَيَسْتَوِي حُكْمُ الِاخْتِيَارِ وَهَذِهِ الْأَحْوَالُ الثَّلَاثُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا وَإِنَّمَا يَفْتَرِقَانِ فِي الْأَحْوَالِ الْأَرْبَعِ فِي الْعَفْوِ
Keadaan ketiga adalah ketika seseorang memilih qishāsh dan diyat sekaligus, maka pilihan ini tidak berpengaruh pada qishāsh maupun diyat, karena ia tidak berhak menggabungkan keduanya dan tidak menentukan salah satunya dengan pilihannya. Maka, hukum pilihan ini sama saja. Ketiga keadaan ini berlaku menurut kedua pendapat, dan perbedaan antara keduanya hanya terjadi pada empat keadaan dalam hal pemaafan.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقَوَدِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Keadaan keempat adalah memaafkan dari qawad (hak pembalasan), dan ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَخْتَارَ الدِّيَةَ مَعَ عَفْوِهِ عَنِ الْقَوَدِ فَيَسْقُطُ حَقُّهُ مِنَ القَوَدِ بِالْعَفْوِ وَتَجِبُ لَهُ الدية بالاختيار
Salah satunya adalah ia memilih diyat dengan memaafkan dari qawad, maka gugurlah haknya atas qawad karena pemaafan, dan ia berhak mendapatkan diyat karena pilihannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى الْعَفْوِ عَنِ الْقَوَدِ وَلَا يُعِلَّهُ بِاخْتِيَارِ الدِّيَةِ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ بِالْعَفْوِ عَنْهُ وَفِي الدِّيَةِ قَوْلَانِ
Jenis kedua adalah memaafkan hanya dalam hal qishāsh tanpa mengaitkannya dengan memilih diyat, maka gugurlah qishāsh karena dimaafkan, dan mengenai diyat terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي جِرَاحِ الْعَمْدِ أَنَّ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ الدِّيَةَ مِنْ بَعْدُ
Salah satunya adalah beliau menegaskan dalam kasus luka sengaja bahwa korban berhak memilih diyat setelahnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي ذَكَرَهُ فِي كِتَابِ الْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ أَنَّهُ قَدْ سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الدِّيَةِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَهَا مِنْ بَعْدُ
Pendapat kedua disebutkan dalam Kitab al-Yamīn bersama dengan saksi bahwa haknya atas diyat telah gugur, sehingga ia tidak berhak lagi memilihnya setelah itu.
وَأَصْلُ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ فِي الْمُدَّعِي إِذَا قَامَ شَاهِدًا وَامْتَنَعَ أَنْ يَحْلِفَ مَعَ شَاهِدِهِ وَعُرِضَتِ الْيَمِينُ عَلَى الْمُنْكَرِ فَنَكَلَ عَنْهَا فَهَلْ تُرَدُّ عَلَى الْمُدَّعِي أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ
Dasar dari dua pendapat ini adalah tentang seorang penggugat yang telah menghadirkan satu orang saksi, namun ia enggan bersumpah bersama saksinya, lalu sumpah ditawarkan kepada pihak yang mengingkari, namun ia menolak bersumpah. Maka, apakah sumpah itu dikembalikan kepada penggugat atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الدِّيَةِ فَلَا يَكُونُ لِعَفْوِهِ تَأْثِيرٌ فِي الْقَوَدِ وَلَا فِي الدِّيَةِ لِأَنَّ الْقَوَدَ لَمْ يُعْفَ عَنْهُ وَالدِّيَةَ لَمْ يَسْتَحِقَّهَا مَعَ بَقَاءِ الْقَوَدِ فَلَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ عَنْهَا
Keadaan kelima adalah ketika seseorang memaafkan dari pembayaran diyat, maka pemaafannya itu tidak berpengaruh terhadap qishāsh maupun terhadap diyat, karena qishāsh belum dimaafkan dan diyat belum menjadi haknya selama qishāsh masih ada, sehingga tidak sah pemaafannya dari diyat tersebut.
وَالْحَالُ السَّادِسَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقَوَدِ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ بِعَفْوِهِ عَنْهُ وفي سقوط الدية بعفوه عنهما قَوْلَانِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ فِي جَامِعِهِ
Keadaan keenam adalah ketika ia memaafkan dari qisas, maka gugurlah qisas itu karena pemaafannya. Adapun mengenai gugurnya diyat karena pemaafannya terhadap keduanya, terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh Abu Hamid al-Marwazi dalam kitab Jami‘-nya.
أَحَدُهُمَا يَصِحُّ عَفْوُهُ عَنْهَا لِاقْتِرَانِهِ بِالْعَفْوِ عَنِ الْقَوَدِ
Salah satunya boleh dimaafkan karena berkaitan dengan pemaafan atas qishāsh.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا يَصِحُّ الْعَفْوُ عَنْهَا لِأَنَّهُ لَمْ يَقَعْ فِي وَقْتِ الِاخْتِيَارِ بَعْدَ القود
Pendapat kedua menyatakan bahwa pemaafan terhadapnya tidak sah karena tidak terjadi pada waktu pilihan setelah qisas.
فعلى هذا إن اختيار الدِّيَةَ فِي الْحَالِ وَجَبَتْ لَهُ فَإِنِ اخْتَارَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَعَلَى مَا مَضَى مِنَ القَوْلَيْنِ
Maka berdasarkan hal ini, jika ia memilih diyat pada saat itu, maka diyat wajib baginya. Namun jika ia memilihnya setelah itu, maka berlaku sesuai dengan dua pendapat yang telah lalu.
وَالْحَالُ السَّابِعَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْ حَقِّهِ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّهُ وَلَا يَسْقُطُ الدِّيَةَ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَحِقَّهَا فَإِنْ عَجَّلَ اخْتِيَارَهَا وَجَبَتْ لَهُ وإن لم يعجله فعلى القولين
Keadaan ketujuh adalah ketika ia memaafkan haknya, maka qishāsh gugur karena ia memang berhak atasnya, namun diyat tidak gugur karena ia tidak berhak atasnya. Jika ia segera memilihnya (diyat), maka diyat itu menjadi wajib baginya. Namun jika ia tidak segera memilihnya, maka ada dua pendapat (di kalangan ulama).
أَحَدُهُمَا تَجِبُ لَهُ الدِّيَةُ إِنِ اخْتَارَهَا
Salah satunya berhak mendapatkan diyat jika ia memilihnya.
وَالثَّانِي لَا تَجِبُ لَهُ وَقَدْ سَقَطَ حَقُّهُ مِنْهَا بتأخير الاختيار والله أعلم
Dan yang kedua, tidak wajib baginya, dan haknya atasnya telah gugur karena menunda memilih, dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَمْ يَخْتَلِفُوا فِي أَنَّ الْعَقْلَ يُورَثُ كَالْمَالِ وَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَكُلُّ وَارِثٍ وَلِيَ زَوْجَةً أَوِ ابْنَةً لَا يَخْرُجُ أَحَدٌ مِنْهُمْ مِنْ وِلَايَةِ الدَّمِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Mereka tidak berselisih pendapat bahwa ‘aql (hak waris karena hubungan kekerabatan) diwariskan seperti harta. Jika demikian, maka setiap ahli waris yang memiliki istri atau anak perempuan, tidak ada seorang pun dari mereka yang keluar dari wilayah hak atas darah (wilāyat ad-dam).
قَالَ الماوردي أما الدية فموروثة مِيرَاثَ الْأَمْوَالِ بَيْنَ جَمِيعِ الْوَرَثَةِ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ مِنْ ذَوِي الْأَنْسَابِ وَالْأَسْبَابِ وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Al-Mawardi berkata: Adapun diyat, maka ia diwariskan seperti warisan harta di antara seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, dari kalangan kerabat nasab maupun sebab, dan hal ini telah menjadi kesepakatan (ijmā‘).
وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ لَمْ يَخْتَلِفُوا فِي أَنَّ الْعَقْلَ مَوْرُوثٌ إِلَّا حِكَايَةً شَاذَّةً عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّهُ لَمْ يُوَرِّثِ الزَّوْجَ وَالزَّوْجَةَ وَالْإِخْوَةَ مِنَ الأُمِّ شَيْئًا مِنَ الدِّيَةِ وَهُوَ مَحْجُوجٌ بِالنَّصِّ وَالْإِجْمَاعِ
Ini adalah maksud dari perkataan Imam Syafi‘i bahwa para ulama tidak berselisih pendapat bahwa diyat adalah harta warisan, kecuali riwayat yang ganjil dari al-Hasan al-Bashri yang tidak mewariskan bagian diyat kepada suami, istri, dan saudara seibu. Pendapat ini tertolak oleh nash dan ijmā‘.
رَوَى سُفْيَانُ بْنُ حُسَيْنٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَجُلًا قَتَلَ خَطَأً فَقَضَى عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ بِدِيَتِهِ عَلَى عَاقِلَتِهِ فَجَاءَتِ امْرَأَتُهُ تَطْلُبُ مِيرَاثَهَا مِنْ عَقْلِ زَوْجِهَا فَقَالَ عُمَرُ لَا أَعْلَمُ لَكِ شَيْئًا إِنَّمَا الدِّيَةُ لِلْعَصَبَةِ الَّذِينَ يَعْقِلُونَ عَنْهُ فَقَامَ الضَّحَّاكُ بْنُ سُفْيَانَ الْكِلَابِيُّ فَقَالَ كَتَبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَأْمُرُنِي أَنْ أُوَرِّثَ امْرَأَةَ أَشْيَمَ الضِّبَابِيِّ مِنْ عَقْلِ زَوْجِهَا أَشْيَمَ فَوَرَّثَهَا عُمَرُ وَرَوَى عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ الْمَرْأَةُ تَرِثُ مِنْ مَالِ زَوْجِهَا وَعَقْلِهِ وَيَرِثُ هُوَ مِنْ مَالِهَا وَعَقْلِهَا
Diriwayatkan oleh Sufyan bin Husain dari az-Zuhri dari Sa‘id bin al-Musayyab bahwa ada seorang laki-laki membunuh secara tidak sengaja, lalu Umar radhiyallahu ta‘ala ‘anhu memutuskan diyatnya dibebankan kepada ‘āqilah-nya. Kemudian istrinya datang menuntut warisannya dari ‘aql (diyat) suaminya. Maka Umar berkata, “Aku tidak mengetahui ada bagian untukmu, sesungguhnya diyat itu untuk ‘ashabah yang menanggung diyat darinya.” Lalu berdirilah adh-Dhahhak bin Sufyan al-Kilabi dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat kepadaku memerintahkanku untuk mewariskan kepada istri Asyam adh-Dhibabi dari ‘aql (diyat) suaminya Asyam.” Maka Umar pun mewariskan kepadanya. Dan Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita mewarisi dari harta suaminya dan ‘aql-nya, dan suami mewarisi dari harta istrinya dan ‘aql-nya.”
وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى أَنَّ الْعَقْلَ مِيرَاثٌ بَيْنَ وَرَثَةِ الْقَتِيلِ عَلَى فَرَائِضِهِمْ
Amr bin Syu‘aib meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ memutuskan bahwa diyat (uang darah) merupakan warisan di antara para ahli waris korban sesuai dengan bagian waris mereka.
وَرَوَى الشَّعْبِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَرَّثَ امْرَأَةً مِنْ دِيَةِ زَوْجِهَا وَوَرَّثَ زَوْجًا من دية امرأته
Asy-Sya‘bi meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mewariskan kepada seorang istri dari diyat suaminya, dan mewariskan kepada seorang suami dari diyat istrinya.
فَصْلٌ
Bab
فَأَمَّا الْقَوَدُ فَهُوَ عِنْدَنَا مَوْرُوثٌ مِيرَاثَ الْأَمْوَالِ بَيْنَ جَمِيعِ الْوَرَثَةِ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ عَلَى فَرَائِضِهِمْ
Adapun qawad, menurut kami, diwariskan seperti warisan harta di antara seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, sesuai dengan bagian-bagian mereka.
وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ
Dan demikian pula pendapat Abu Hanifah dan mayoritas fuqaha.
وَقَالَ مَالِكٌ يَرِثُهُ رِجَالُ الْعَصَبَاتِ مِنْ ذَوِي الْأَنْسَابِ دُونَ النِّسَاءِ وَدُونَ الْأَسْبَابِ
Malik berkata, “Harta warisan tersebut diwarisi oleh para laki-laki ‘ashabah dari kalangan kerabat nasab, bukan oleh perempuan dan bukan pula oleh kerabat sebab.”
وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى يَرِثُهُ ذَوُوا الْأَنْسَابِ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ دُونَ ذَوِي الْأَسْبَابِ
Ibnu Abi Laila berkata, “Yang mewarisinya adalah para kerabat nasab dari laki-laki dan perempuan, bukan para kerabat sebab.”
وَاسْتَدَلَّ مَالِكٌ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا الإسراء 33 وَالْوَلِيُّ يَتَنَاوَلُ الرِّجَالَ مِنَ العَصَبَاتِ فَدَلَّ عَلَى أَنْ لَا حَقَّ فِيهِ لِغَيْرِهِمْ وَلِأَنَّ الْقَوَدَ مَوْضُوعٌ لِدَفْعِ الْعَارِ فَأَشْبَهَ وِلَايَةَ النِّكَاحِ فِي اخْتِصَاصِهَا بِرِجَالِ الْعَصَبَاتِ وَلِأَنَّ النِّسَاءَ لَوْ وَرِثْنَ الْقَوَدَ لَتَحَمَّلْنَ الْعَقْلَ كَالْعَصَبَاتِ وَهُنَّ لَا يَتَحَمَّلْنَ الْعَقْلَ فَوَجَبَ أَنْ يسقط ميراثهم مِنَ القَوَدِ كَالْأَجَانِبِ
Malik berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya.” (Al-Isra’ 33). Kata “wali” mencakup para laki-laki dari kalangan ‘ashabah, sehingga menunjukkan bahwa tidak ada hak dalam hal ini bagi selain mereka. Karena qawad (hak menuntut qisas) ditetapkan untuk menghilangkan aib, maka hal itu serupa dengan wilayah nikah yang dikhususkan bagi laki-laki dari kalangan ‘ashabah. Dan karena jika perempuan mewarisi qawad, maka mereka juga harus menanggung diyat seperti para ‘ashabah, padahal mereka tidak menanggung diyat, maka wajiblah gugur warisan mereka dari qawad sebagaimana orang-orang asing.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَمَنْ قَتَلَ قَتِيلًا بَعْدَهُ فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ
Dan dalil kami adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa membunuh seseorang setelahnya, maka keluarganya memiliki dua pilihan: jika mereka menghendaki, mereka dapat membunuh (sebagai qishāsh), dan jika mereka menghendaki, mereka dapat mengambil diyat.”
وَمِنْ هَذَا الْخَبَرِ دَلِيلَانِ
Dari hadis ini terdapat dua dalil.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْأَهْلَ عِبَارَةٌ عَنِ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ مِنْ ذَوِي الْأَنْسَابِ وَالْأَسْبَابِ
Salah satunya adalah bahwa yang dimaksud dengan “ahli” adalah laki-laki dan perempuan dari kalangan kerabat nasab maupun sebab.
وَالثَّانِي أَنَّهُ خَيَّرَهُمْ بَيْنَ الدِّيَةِ وَالْقَوَدِ وَالدِّيَةُ تَكُونُ بَيْنَ جَمِيعِهِمْ فَكَذَلِكَ الْقَوَدُ
Yang kedua, bahwa beliau memberi pilihan kepada mereka antara diyat dan qisas, dan diyat itu dibebankan kepada mereka semua, maka demikian pula qisas.
وَرَوَى الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ حُصَيْنٍ عَنِ ابْنِ سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ وَلِأَهْلِ الْقَتِيلِ أَنْ يَنْحَجِزُوا الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ وَلَوْ كَانَتِ امْرَأَةً وَمَعْنَى قَوْلِهِ لِيَنْحَجِزُوا أَنْ يَتْرُكُوا يَعْنِي بِتَرْكِهِمْ فِيمَا يَجِبُ عَلَى الْقَاتِلِ مِنْ قَوَدٍ وِدِيَةٍ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ وَرِثَ الدِّيَةَ وَرِثَ الْقَوَدَ كَالْعَصَبَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ حَقٍّ وَرِثَهُ الْعَصَبَةُ وَرِثَهُ غَيْرُهُمْ مِنَ الوَرَثَةِ كَالدِّيَةِ
Al-Auza‘i meriwayatkan dari Husain, dari Ibnu Salamah, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Keluarga korban berhak untuk memilih secara berurutan, yang pertama kemudian berikutnya, meskipun yang memilih itu seorang wanita.” Makna sabda beliau “hendaklah mereka memilih” adalah hendaklah mereka meninggalkan, maksudnya dengan meninggalkan apa yang menjadi kewajiban atas pembunuh berupa qishāsh atau diyat. Karena setiap orang yang mewarisi diyat juga mewarisi hak qishāsh seperti ‘ashabah, dan setiap hak yang diwarisi oleh ‘ashabah juga diwarisi oleh ahli waris lainnya seperti diyat.
فَأَمَّا قَوْله تَعَالَى فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا الإسراء 33 فَقَدْ يَنْطَلِقُ اسْمُ الْوَلِيِّ عَلَى الْمَرْأَةِ كَمَا يَنْطَلِقُ عَلَى الرَّجُلِ لِأَنَّهَا تَلِيهِ وَإِنْ لَمْ تَلِ عَلَيْهِ وَلَوْ تَنَاوَلَتْ مَنْ يَلِي عَلَيْهِ لَخَرَجَ مِنْهُمُ الْأَبْنَاءُ وَالْإِخْوَةُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ مُبَاشَرَةُ الِاسْتِيفَاءِ وَذَلِكَ يَخْتَصُّ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ
Adapun firman Allah Ta‘ala: “Maka Kami telah memberikan kepada walinya kekuasaan…” (al-Isra’ 33), maka istilah wali dapat berlaku pada perempuan sebagaimana berlaku pada laki-laki, karena ia (perempuan) juga dapat menjadi wali, meskipun tidak menjadi wali atasnya. Jika yang dimaksud mencakup siapa saja yang menjadi wali atasnya, maka anak-anak dan saudara-saudara juga termasuk di dalamnya. Namun yang dimaksud di sini adalah pelaksanaan langsung dalam menuntut hak, dan hal itu khusus bagi laki-laki, tidak berlaku bagi perempuan.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالنِّكَاحِ فِي وَضْعِهِ لِنَفْيِ الْعَارِ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ الْقَوَدَ يُسْتَحَقُّ لِلتَّشَفِّي لَا لِنَفْيِ الْعَارِ عَلَى أَنَّ وِلَايَةَ النِّكَاحِ لَا تُورَثُ إِنَّمَا تُسْتَفَادُ بِالنَّسَبِ وَالْقَوَدُ مَوْرُوثٌ فَافْتَرَقَا
Adapun dalil mereka dengan pernikahan dalam penetapannya untuk menolak aib, maka itu tidaklah benar, karena qawad (hak qisas) itu diperoleh untuk pelampiasan, bukan untuk menolak aib. Selain itu, wilayah (hak perwalian) dalam pernikahan tidak diwariskan, melainkan didapatkan melalui nasab, sedangkan qawad itu diwariskan, maka keduanya berbeda.
وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ اخْتِصَاصِ الْقَوَدِ مَنْ يَتَحَمَّلُ الْعَقْلَ فَاسِدٌ بِالْآبَاءِ وَالْأَبْنَاءِ وَالصِّغَارِ وَالْفُقَرَاءِ كُلُّ هَؤُلَاءِ يَرِثُونَ الْقَوَدَ وَلَا يَتَحَمَّلُونَ الْعَقْلَ كَذَلِكَ النِّسَاءُ
Apa yang disebutkan tentang kekhususan qawad (hak pembalasan) bagi orang yang menanggung ‘aql (diyat) adalah tidak benar, karena para ayah, anak-anak, anak kecil, dan orang-orang fakir—semua mereka mewarisi qawad tetapi tidak menanggung ‘aql. Demikian pula halnya dengan para perempuan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَوَدَ مَوْرُوثٌ كَالْمَالِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْقَتِيلِ من ثلاثة أحوال
Maka jika telah tetap bahwa qawad (hak pembalasan) itu diwariskan seperti harta, maka keadaan korban (yang terbunuh) tidak lepas dari tiga keadaan.
أَنْ يَكُونَ لَهُ وَرَثَةٌ يَسْتَحِقُّونَ جَمِيعَ مَالِهِ فَلَهُمُ الْخِيَارُ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ إِمَّا الْقَوَدُ أَوِ الدِّيَةُ أَوِ الْعَفْوُ عَنْهُمَا
Jika ia memiliki ahli waris yang berhak atas seluruh hartanya, maka mereka memiliki pilihan di antara tiga hal: qishāsh, diyat, atau memaafkan keduanya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ وَارِثٌ بِحَالٍ فَالْإِمَامُ وَلِيُّهُ لِأَنَّهُ مَوْرُوثٌ لِبَيْتِ الْمَالِ وَلِلْإِمَامِ الِاخْتِيَارُ فِي اعْتِبَارِ الْأَصْلَحِ مِنْ أَمْرَيْنِ الْقَوَدِ أَوِ الدِّيَةِ وَهَلْ لَهُ الْخِيَارُ فِي الْعَفْوِ عَنْهُ عَلَى وَجْهَيْنِ
Keadaan kedua adalah apabila seseorang tidak memiliki ahli waris sama sekali, maka imam menjadi walinya, karena harta warisannya menjadi milik baitul mal. Imam memiliki hak memilih untuk mempertimbangkan mana yang lebih maslahat dari dua perkara: qishāsh atau diyat. Adapun apakah imam juga memiliki pilihan untuk memaafkan, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا لَهُ الْخِيَارُ فِي الْعَفْوِ عَنْهُمَا كَالْوَرَثَةِ
Salah satu dari keduanya memiliki hak untuk memilih memaafkan keduanya, seperti halnya para ahli waris.
وَالثَّانِي لَا خِيَارَ لَهُ فِي الْعَفْوِ عَنْهُمَا؛ لِأَنَّهُ نَائِبٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْقِطَ الْحَقَّ بِغَيْرِ بَدَلٍ
Dan yang kedua, ia tidak memiliki hak untuk memaafkan keduanya; karena ia adalah wakil, maka tidak boleh baginya menggugurkan hak tanpa adanya pengganti.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَكُونَ لَهُ مِنَ الوَرَثَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ بَعْضَ تَرِكَتِهِ كَالزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ فَلَيْسَ لِهَذَا الْوَارِثِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالْقَوَدِ لِأَنَّهُ لَا يَنْفَرِدُ بِالْمِيرَاثِ وَشَرِيكُهُ فِي اسْتِيفَائِهِ الْإِمَامُ لِأَنَّ بَاقِيَ التَّرِكَةِ مِيرَاثٌ لِبَيْتِ الْمَالِ
Keadaan ketiga adalah apabila di antara para ahli waris terdapat seseorang yang berhak atas sebagian dari harta warisan, seperti suami atau istri. Maka, ahli waris ini tidak berhak secara sendiri mengambil qishāsh, karena ia pun tidak sendiri dalam menerima warisan. Pasangannya dalam pelaksanaan qishāsh adalah imam, karena sisa harta warisan menjadi milik Baitul Māl.
فَإِنِ اتَّفَقَ الْوَارِثُ وَالْإِمَامُ عَلَى الْقَوَدِ وَجَبَ وَإِنْ أَرَادَهُ أَحَدُهُمَا دُونَ الْآخَرِ سَقَطَ وَاسْتَحَقَّ الدِّيَةَ وَكَانَ الْوَارِثُ فِي حَقِّهِ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ بَيْنَ الِاسْتِيفَاءِ وَالْعَفْوِ وَفِي خِيَارِ الْإِمَامِ فِي حَقِّ بَيْتِ الْمَالِ فِيهِمَا وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى
Jika ahli waris dan imam sepakat atas pelaksanaan qisas, maka qisas wajib dilakukan. Namun jika hanya salah satu dari keduanya yang menghendakinya, maka qisas gugur dan sebagai gantinya berhak mendapatkan diyat. Dalam hal ini, ahli waris memiliki pilihan antara menuntut pelaksanaan hukuman atau memaafkan, sedangkan imam memiliki dua pendapat dalam memilih untuk kepentingan baitul mal, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه ولا يقتل إلا باجتماعهم ويحبس الْقَاتِلُ حَتَّى يَحْضُرَ الْغَائِبُ وَيَبْلُغَ الطِّفْلُ وَإِنْ كَانَ فِيهِمْ مَعْتُوهٌ فَحَتَّى يُفِيقَ أَوْ يَمُوتَ فَيَقُومُ وَارِثُهُ مَقَامَهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Tidak boleh dilakukan qishāsh kecuali dengan kesepakatan mereka, dan si pembunuh ditahan sampai yang tidak hadir datang dan anak kecil mencapai usia baligh. Jika di antara mereka ada yang kurang akal, maka ditunggu sampai ia sadar atau meninggal dunia, lalu ahli warisnya menggantikan posisinya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا إِذَا كَانَ وَرَثَةُ الْقَتِيلِ أَهْلَ رُشْدٍ لَا وِلَايَةَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ فَلَيْسَ لِبَعْضِهِمْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالْقَوَدِ دُونَ شُرَكَائِهِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْذِنَ مَنْ حَضَرَ وَيَنْتَظِرَ مَنْ غَابَ وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ فَأَمَّا إِنْ كَانَ فِيهِمْ مَوْلًى عَلَيْهِ لِعَدَمِ رُشْدِهِ بِجُنُونٍ أَوْ صِغَرٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ الْفُقَهَاءُ
Al-Mawardi berkata: Adapun jika para ahli waris korban adalah orang-orang yang berakal sehat dan tidak ada wali atas salah satu dari mereka, maka tidak boleh bagi sebagian mereka untuk melaksanakan qishash secara mandiri tanpa melibatkan rekan-rekannya. Ia harus meminta izin kepada yang hadir dan menunggu yang tidak hadir. Hal ini telah menjadi kesepakatan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Keluarganya berada di antara dua pilihan; jika mereka menghendaki, mereka membunuh (pelaku), dan jika mereka menghendaki, mereka mengambil diyat.” Adapun jika di antara mereka terdapat seseorang yang memiliki wali karena tidak berakal sehat, baik karena gila atau masih kecil, maka para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini.
فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ الْقَوَدَ مَوْقُوفٌ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ الرَّشِيدُ حَتَّى يَبْلُغَ الصَّغِيرُ وَيُفِيقَ الْمَجْنُونُ وَيَجْتَمِعُونَ عَلَى اسْتِيفَائِهِ وَلَا يَجُوزُ لِوَلِيِّ الصَّغِيرِ أَنْ يَنُوبَ عَنْهُ فِي الِاسْتِيفَاءِ
Syafi‘i berpendapat bahwa qawad (pembalasan setimpal) adalah perkara yang ditangguhkan, tidak boleh dilakukan secara mandiri oleh orang yang berakal sehat sampai anak kecil mencapai usia baligh, orang gila sadar kembali, dan mereka semua berkumpul untuk menuntut pelaksanaannya. Tidak boleh bagi wali anak kecil untuk mewakilinya dalam menuntut pelaksanaan qawad.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ يَجُوزُ لِلرَّشِيدِ مِنْهُمْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِاسْتِيفَاءِ الْقَوَدِ وَلَا يَنْتَظِرَ بُلُوغَ الصَّغِيرِ وَإِفَاقَةَ الْمَجْنُونِ وَلَوْ كَانَ مُسْتَحِقُّهُ صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا جَازَ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَنُوبَ عَنْهُ فِي اسْتِيفَائِهِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا الإسراء 33 فَذَكَرَهُ بِلَفْظِ الْوَاحِدِ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ الْوَلِيُّ الْوَاحِدُ
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa diperbolehkan bagi salah satu ahli waris yang sudah dewasa di antara mereka untuk secara mandiri menuntut pelaksanaan qishash, dan tidak perlu menunggu anak kecil mencapai usia baligh atau orang gila sembuh. Jika yang berhak mendapatkannya adalah anak kecil atau orang gila, maka wali mereka boleh mewakili dalam menuntut pelaksanaannya, dengan dalil firman Allah Ta‘ala: “Maka sungguh telah Kami berikan kepada walinya kekuasaan” (QS. al-Isra’ 33). Allah menyebutkannya dengan bentuk tunggal, sehingga menunjukkan bolehnya wali tunggal menuntut pelaksanaannya.
وَلِأَنَّ ابْنَ مُلْجِمٍ قَتَلَ عَلِيًّا رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَاقْتَصَّ مِنْهُ ابْنُهُ الْحَسَنُ وَقَدْ شَارَكَهُ مِنْ إِخْوَتِهِ صِغَارٌ لَمْ يَبْلُغُوا وَلَمْ يَقِفِ الْقَوَدُ عَلَى بُلُوغِهِمْ وَلَمْ يُخَالِفْهُ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَصَارَ إِجْمَاعًا عَلَى جَوَازِ تَفَرُّدِهِ به
Karena Ibnu Muljam telah membunuh Ali radhiyallahu ‘anhu, maka putranya, Hasan, menuntut qishash darinya. Ada pula saudara-saudara Hasan yang masih kecil dan belum baligh turut serta, namun pelaksanaan qishash tidak menunggu mereka baligh. Tidak ada seorang pun dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menentang hal ini, sehingga menjadi ijmā‘ atas bolehnya seseorang melakukannya sendiri.
قال ولأن للقود حق يَصِحُّ فِيهِ النِّيَابَةُ فَجَازَ إِذَا لَمْ يَتَبَعَّضْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ بَعْضُهُمْ كَوِلَايَةِ النِّكَاحِ وَلِأَنَّ الْقَوَدَ إِذَا وَجَبَ لِجَمَاعَةٍ لَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ ينفرد بِاسْتِيفَائِهِ وَاحِدٌ كَالْقَتِيلِ إِذَا لَمْ يَتْرُكْ وَارِثًا اسْتَحَقَّ قَوَدَهُ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِينَ وَكَانَ لِلْإِمَامِ أَنْ ينفرد باسيتفائه
Karena qisas adalah hak yang sah untuk diwakilkan, maka boleh jika tidak terbagi-bagi, sebagian dari mereka melaksanakannya sendiri, seperti halnya dalam perwalian nikah. Dan karena qisas, jika menjadi hak bagi sekelompok orang, tidak terlarang bagi salah satu dari mereka untuk melaksanakannya sendiri, seperti kasus korban pembunuhan yang tidak meninggalkan ahli waris, maka hak qisasnya menjadi milik seluruh kaum Muslimin, dan imam berhak untuk melaksanakannya sendiri.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فمن قتل بعده قَتِيلًا فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ فَجَعَلَ ذَلِكَ لِجَمَاعَتِهِمْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ بَعْضُهُمْ لِمَا فِيهِ مِنَ العدول عن مقتضى الخير
Dan dalil kami adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa setelah itu membunuh seseorang, maka keluarganya memiliki dua pilihan: jika mereka menghendaki, mereka dapat membunuh (qishāsh), dan jika mereka menghendaki, mereka dapat mengambil diyat.” Maka Nabi menjadikan hal itu bagi kelompok mereka, sehingga tidak boleh sebagian dari mereka mengambil keputusan sendiri, karena di dalamnya terdapat penyimpangan dari konsekuensi pilihan yang telah ditetapkan.
وَلِأَنَّ الْقَوَدَ إِذَا تَعَيَّنَ لِجَمَاعَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ بَعْضُهُمْ كَمَا لَوْ كَانُوا جَمِيعًا أَهْلَ رُشْدٍ
Dan karena qisas apabila telah ditetapkan bagi suatu kelompok, maka tidak boleh sebagian dari mereka melakukannya sendiri, sebagaimana jika mereka semua adalah orang-orang yang berakal sehat.
وَلِأَنَّ الْقَوَدَ أَحَدُ بَدَلَيِ النَّفْسِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ بَعْضُ الْوَرَثَةِ كَالدِّيَةِ
Karena qawad (qisas jiwa) adalah salah satu dari dua pengganti jiwa, maka tidak boleh sebagian ahli waris menuntutnya, sebagaimana halnya diyat.
وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يَنْفَرِدْ بِاسْتِيفَاءِ الدِّيَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِاسْتِيفَاءِ الْقَوَدِ كَالْأَجَانِبِ
Dan karena setiap orang yang tidak sendirian dalam memperoleh diyat, maka tidak boleh sendirian dalam menuntut qishāsh, seperti halnya orang-orang asing.
وَأَمَّا الْآيَةُ فَمَحْمُولَةٌ عَلَى الْوَلِيِّ إِذَا كَانَ وَاحِدًا
Adapun ayat tersebut dimaknai berkaitan dengan wali jika hanya satu orang.
وَأَمَّا تَفَرُّدُ الْحَسَنِ بِقَتْلِ ابْنِ ملجم لعنه الله فعنه جوابان
Adapun tindakan Hasan sendiri yang membunuh Ibnu Muljam—semoga Allah melaknatnya—maka mengenai hal itu terdapat dua jawaban.
أحدهما أَنَّهُ قَدْ كَانَ فِي شُرَكَائِهِ مِنَ البَالِغِينَ مَنْ لَمْ يَسْتَأْذِنْهُ لِأَنَّ عَلِيًّا خَلَّفَ حِينَ قُتِلَ عَلَى مَا حَكَاهُ بَعْضُ أَهْلِ النَّقْلِ سِتَّةَ عَشَرَ ذَكَرًا وَسِتَّ عَشْرَةَ أُنْثَى فَيَكُونُ جَوَابُهُمْ عَنْ تَرْكِ اسْتِئْذَانِهِ لِلْأَكَابِرِ جَوَابَنَا فِي تَرْكِ وُقُوفِهِ عَلَى بُلُوغِ الْأَصَاغِرِ
Pertama, di antara para ahli warisnya yang sudah dewasa ada yang tidak dimintai izinnya, karena Ali, menurut sebagian ahli riwayat, meninggalkan setelah wafatnya enam belas laki-laki dan enam belas perempuan. Maka jawaban mereka tentang tidak meminta izin kepada yang lebih tua sama dengan jawaban kami tentang tidak menunggu balighnya yang lebih muda.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي أَنَّ ابْنَ مُلْجِمٍ انْحَتَمَ قَتْلُهُ لِسَعْيِهِ بِالْفَسَادِ لِأَنَّ مَنْ قَتَلَ إِمَامَ عَدْلٍ فَقَدْ سَعَى فِي الْأَرْضِ فَسَادًا فَصَارَ مَحْتُومَ الْقَتْلِ لَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ فَلَا يَلْزَمُ اسْتِئْذَانُ الْوَرَثَةِ فِيهِ
Jawaban kedua adalah bahwa Ibnu Muljam telah dipastikan harus dibunuh karena usahanya dalam membuat kerusakan, sebab siapa saja yang membunuh seorang imam yang adil, maka sungguh ia telah berbuat kerusakan di muka bumi, sehingga ia menjadi orang yang pasti harus dibunuh dan tidak boleh dimaafkan, maka tidak disyaratkan meminta izin kepada para ahli waris dalam hal ini.
وَالْجَوَابُ الثَّالِثُ أَنَّ ابْنَ مُلْجِمٍ اسْتَحَلَّ قَتْلَ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَصَارَ بِاسْتِحْلَالِهِ قَتْلَهُ كَافِرًا لِأَنَّ مَنِ اسْتَحَلَّ قَتْلَ إِمَامِ عَدْلٍ كَانَ كَافِرًا فَقَتَلَهُ الْحَسَنُ لِكُفْرِهِ وَلَمْ يَقْتُلْهُ قَوَدًا وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَيْقَظَ عَلِيًّا مِنْ نَوْمِهِ فِي بَعْضِ الْأَسْفَارِ وَقَدْ سِيقَتِ الرِّيحُ عَلَيْهِ التُّرَابُ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ أَتَعْرِفُ أَشْقَى الْأَوَّلِينَ وَالْآخَرِينَ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَشْقَى الْأَوَّلِينَ عَاقِرُ نَاقَةِ صَالِحٍ وَأَشْقَى الْآخِرِينَ مَنْ خَضَّبَ هَذِهِ مِنْ هَذَا وَأَشَارَ إِلَى خِضَابِ لِحْيَتِهِ مِنْ دَمِ رَأْسِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْحَسَنُ عَرَفَ بِهَذَا الْخَبَرِ كُفْرَ ابْنِ مُلْجِمٍ لَعَنَهُ اللَّهُ لِاعْتِقَادِهِ اسْتِبَاحَةَ قَتْلِ عَلِيٍّ فَقَتَلَهُ بِذَلِكَ
Jawaban yang ketiga adalah bahwa Ibnu Muljam menghalalkan pembunuhan terhadap Ali ‘alaihissalam, sehingga dengan penghalalannya tersebut ia menjadi kafir, karena siapa pun yang menghalalkan pembunuhan terhadap seorang imam yang adil maka ia menjadi kafir. Maka Hasan membunuhnya karena kekafirannya, bukan sebagai qishāsh. Telah diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah membangunkan Ali dari tidurnya dalam suatu perjalanan, sementara angin telah menutupi tubuhnya dengan debu, lalu beliau bersabda, “Bangunlah, wahai Abu Turab.” Kemudian beliau bersabda, “Tahukah engkau siapa orang paling celaka dari orang-orang terdahulu dan yang terakhir?” Ali menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Orang paling celaka dari orang-orang terdahulu adalah pembunuh unta Nabi Shalih, dan orang paling celaka dari orang-orang terakhir adalah orang yang akan mewarnai janggut ini dengan darah dari kepala ini,” seraya beliau menunjuk pada janggutnya dan kepalanya. Maka boleh jadi Hasan mengetahui dari hadis ini tentang kekafiran Ibnu Muljam—semoga Allah melaknatnya—karena keyakinannya yang menghalalkan pembunuhan terhadap Ali, sehingga ia membunuhnya karena hal itu.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى وِلَايَةِ النِّكَاحِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Adapun qiyās mereka terhadap wilayah pernikahan, maka terdapat dua jawaban atasnya.
أَحَدُهُمَا أَنَّ وِلَايَةَ النِّكَاحِ يَسْتَحِقُّهَا الْأَكَابِرُ دُونَ الْأَصَاغِرِ فَجَازَ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهَا الْأَكَابِرُ وَالْقَوَدُ يَسْتَحِقُّهُ الْأَكَابِرُ وَالْأَصَاغِرُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ الْأَكَابِرُ
Salah satu alasannya adalah bahwa wilayah (hak perwalian) dalam nikah hanya berhak dimiliki oleh orang-orang dewasa (al-akābir) dan bukan anak-anak (al-aṣāghir), sehingga boleh bagi orang dewasa untuk melakukannya sendiri. Sedangkan hak qawad (hak membalas pembunuhan) dimiliki oleh baik orang dewasa maupun anak-anak, sehingga tidak boleh hanya dilakukan oleh orang dewasa saja.
وَالثَّانِي أَنَّ وِلَايَةَ النِّكَاحِ يَسْتَحِقُّهَا كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ فَجَازَ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهَا أَحَدُهُمْ وَالْقَوَدُ يَسْتَحِقُّهُ جَمِيعُهُمْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ بَعْضُهُمْ
Yang kedua, bahwa hak perwalian dalam pernikahan dapat dimiliki oleh masing-masing dari mereka, sehingga boleh salah satu dari mereka melakukannya sendiri. Sedangkan hak qawad (tuntutan qisas) dimiliki oleh semuanya, sehingga tidak boleh sebagian dari mereka melakukannya sendiri.
فَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ مِنْ تَفَرُّدِ الْإِمَامِ بِالْقَوَدِ فِيمَنْ وَرِثَهُ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِينَ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَعَيَّنْ مُسْتَحِقُّهُ وَكَانَ لِلْكَافَّةِ تَفَرَّدَ بِهِ مَنْ وَلِيَ أُمُورَهُمْ وَهَذَا قَدْ تَعَيَّنَ مُسْتَحِقُّهُ فَافْتَرَقَا
Adapun apa yang disebutkan tentang kekhususan imam dalam pelaksanaan qisas terhadap seseorang yang ahli warisnya adalah sekelompok kaum muslimin, maka jawabannya adalah: karena ketika belum ditentukan siapa yang berhak, dan hak itu milik seluruh kaum muslimin, maka yang berhak melaksanakannya adalah orang yang memegang urusan mereka. Namun dalam kasus ini, sudah ditentukan siapa yang berhak, sehingga keduanya berbeda.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ وُقُوفُ الْقَوَدِ عَلَى بُلُوغِ الصَّبِيِّ وَإِفَاقَةِ الْمَجْنُونِ وَجَبَ حَبْسُ الْقَاتِلِ إِلَى وَقْتِ الْبُلُوغِ وَالْإِفَاقَةِ لِيُحْفَظَ حَقُّهُمَا بِحَبْسِهِ وَلَا يُطْلَقُ وَإِنْ أَعْطَى كَفِيلًا بِنَفْسِهِ لِأَنَّهُ حَقٌّ لَا يُمْلَكُ اسْتِيفَاؤُهُ إِلَّا مِنْهُ وَالْمُتَوَلِّي لِحَبْسِهِ الْإِمَامُ دُونَ الْوَلِيِّ لِأَنَّ أَمْرَ الْحَاكِمِ أَنْفَذُ مِنْ أَمْرِهِ فَإِنْ أَرَادَ الْوَلِيُّ أَنْ يُلَازِمَهُ لَمْ يُمْنَعْ وَلَا يَقِفُ حَبْسُ الْحَاكِمِ لَهُ عَلَى الِاسْتِعْدَاءِ إِلَيْهِ وَيَنْفَرِدُ بِهِ إِذَا ثَبَتَ عِنْدَهُ الْقَتْلُ لِمَا يَجِبُ عَلَيْهِ مِنْ حِفْظِ الْحُقُوقِ عَلَى مَنْ يُوَلَّى عَلَيْهِ وَلَوْ كَانَ فِي الْوَرَثَةِ رَشِيدٌ غَائِبٌ لَمْ يلزم الحاكم حبس القاتل إلا بعد الاستدعاء إِلَيْهِ لِأَنَّ مُسْتَحِقَّ الْقَوَدِ رَشِيدٌ لَا يُوَلَّى عَلَيْهِ وَهَكَذَا لَوْ غَصَبَ دَارًا لِغَائِبٍ جَازَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَنْزِعَهَا مِنَ الغَاصِبِ إِنْ كَانَ مَالِكُهَا مُوَلِّيًا عَلَيْهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَزِعَهَا مِنْهُ إِنْ كَانَ مَالِكُهَا رَشِيدًا فَإِنْ أَرَادَ وَلِيُّ الصَّغِيرِ وَالْمَجْنُونِ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقَوَدِ إِلَى غَيْرِ مَالٍ لَمْ يَجُزْ وَإِنْ أَرَادَ الْعَفْوَ عَنِ الْقَوَدِ إِلَى الدِّيَةِ نُظِرَ فِي الصَّغِيرِ وَالْمَجْنُونِ فَإِنْ كَانَا مُوسِرَيْنِ غَيْرَ مُحْتَاجَيْنِ إِلَى الْمَالِ لَمْ يَكُنْ لِلْوَلِيِّ الْعَفْوُ عَنِ الْقَوَدِ وَإِنْ عَفَا بَطَلَ عَفْوُهُ وَإِنْ كَانَا فَقِيرَيْنِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jika telah tetap bahwa pelaksanaan qishāsh bergantung pada balighnya anak kecil dan sembuhnya orang gila, maka wajib menahan pembunuh sampai waktu baligh dan sembuhnya mereka, agar hak keduanya terjaga dengan penahanan itu dan tidak boleh ia dilepaskan, meskipun ia memberikan penjamin atas dirinya, karena ini adalah hak yang tidak dapat dipenuhi kecuali oleh mereka sendiri. Yang berwenang menahan adalah imam (penguasa), bukan wali, karena keputusan hakim lebih kuat daripada keputusan wali. Jika wali ingin mendampinginya, maka tidak dilarang. Penahanan oleh hakim tidak bergantung pada permintaan kepada hakim, dan hakim dapat menahan sendiri jika telah tetap di sisinya adanya pembunuhan, karena ia wajib menjaga hak-hak orang yang berada di bawah kekuasaannya. Jika di antara ahli waris ada orang dewasa yang berakal namun sedang tidak hadir, maka hakim tidak wajib menahan pembunuh kecuali setelah ada permintaan kepadanya, karena yang berhak atas qishāsh adalah orang dewasa yang berakal dan tidak berada di bawah kekuasaan wali. Demikian pula, jika seseorang merampas rumah milik orang yang tidak hadir, maka hakim boleh mengambilnya dari perampas jika pemiliknya berada di bawah kekuasaan wali, dan tidak boleh mengambilnya jika pemiliknya adalah orang dewasa yang berakal. Jika wali anak kecil dan orang gila ingin memaafkan qishāsh tanpa imbalan harta, maka tidak boleh. Namun jika ingin memaafkan qishāsh dengan menerima diyat, maka dilihat keadaan anak kecil dan orang gila itu; jika keduanya kaya dan tidak membutuhkan harta, maka wali tidak boleh memaafkan qishāsh, dan jika ia memaafkan maka batal maafnya. Jika keduanya miskin, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ لَهُمَا مَنْ يَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمَا فَلَا يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقَوَدِ لِاسْتِغْنَائِهِمَا مِمَّنْ وَجَبَ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمَا
Salah satunya adalah apabila keduanya memiliki seseorang yang wajib menafkahi mereka, maka tidak boleh bagi wali mereka untuk memaafkan qishāsh karena keduanya telah tercukupi oleh orang yang wajib menafkahi mereka.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَكُونَ لَهُمَا مَنْ يَلْتَزِمُ نَفَقَتَهُمَا وَهُمَا مِنْ ذَوِي الْفَاقَةِ إِلَى قَدْرِ نَفَقَتِهِمَا فَفِي جَوَازِ عَفْوِ وَلِيِّهِمَا عَنِ الْقَوَدِ وَجْهَانِ
Jenis kedua adalah apabila keduanya (korban dan wali) tidak memiliki seseorang yang menanggung nafkah mereka, sementara mereka termasuk orang-orang yang sangat membutuhkan hingga sebatas kebutuhan nafkah mereka. Maka, dalam hal kebolehan wali mereka memaafkan qishāsh, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَجُوزُ لِلضَّرُورَةِ اعْتِبَارًا بِمَصْلَحَتِهِمَا
Salah satunya diperbolehkan karena darurat, dengan mempertimbangkan kemaslahatan keduanya.
وَالثَّانِي لَا يَجُوزُ لِمَا فِيهِ مِنْ إِسْقَاطِ حَقِّهِمَا وَيَحْتَمِلُ وَجْهًا ثَالِثًا أَنْ يُعْتَبَرَ حَالُ الْمُولي فَإِنْ كَانَ مُنَاسِبًا أَوْ وَصِيًّا لَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ وَإِنْ كَانَ حَاكِمًا صَحَّ عَفْوُهُ لِأَنَّهُ حَكَمٌ يَجُوزُ أَنْ ينفرد باجتهاده والله أعلم
Yang kedua tidak diperbolehkan karena di dalamnya terdapat pengguguran hak mereka berdua. Namun, ada kemungkinan pendapat ketiga, yaitu memperhatikan keadaan wali. Jika ia adalah kerabat yang sesuai atau washi (wali yang ditunjuk), maka pengampunannya tidak sah. Tetapi jika ia adalah hakim, maka pengampunannya sah karena ia adalah seorang hakim yang boleh berijtihad sendiri. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَأَيُّهُمْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ كَانَ عَلَى حَقِّهِ مِنَ الدِّيَةِ وَإِنْ عَفَا عَلَى غَيْرِ مَالٍ كَانَ الْبَاقُونَ عَلَى حُقُوقِهِمْ مِنَ الدِّيَةِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Siapa pun di antara mereka yang memaafkan dari qishāsh, maka ia tetap berhak atas bagian diyatnya. Dan jika ia memaafkan tanpa menerima harta (diyat), maka yang lainnya tetap berhak atas bagian diyat mereka.
قَالَ الماوردي وإن عفى عَلَى غَيْرِ مَالٍ كَانَ الْبَاقُونَ عَلَى حُقُوقِهِمْ مِنَ الدِّيَةِ إِذَا كَانَ أَوْلِيَاءُ الْمَقْتُولِ جَمَاعَةً فعفى أَحَدُهُمْ عَنِ الْقَوَدِ سَقَطَ جَمِيعُ الْقَوَدِ فِي حُقُوقِ جَمَاعَتِهِمْ وَلَمْ يَكُنْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ أَنْ يقتص سواء عفى أَقَلُّهُمْ أَوْ أَكْثَرُهُمْ
Al-Mawardi berkata: Jika ada pemaafan tanpa imbalan harta, maka para ahli waris yang lain tetap berhak atas diyat, apabila para wali dari korban pembunuhan itu adalah sekelompok orang, lalu salah satu dari mereka memaafkan dari qishash, maka gugurlah seluruh hak qishash dalam hak kelompok mereka, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berhak menuntut qishash, baik yang memaafkan itu sedikit maupun banyak dari mereka.
وَقَالَ مَالِكٌ يَجُوزُ لِمَنْ لَمْ يَعْفُ أَنْ يقتص ولو كان واحد مِنْ جَمَاعَةٍ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سلطانا فَلَوْ سَقَطَ حَقُّهُ بِعَفْوِ غَيْرِهِ لَكَانَ السُّلْطَانُ عَلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِأَنَّ الْقَوَدَ مَوْضُوعٌ لِنَفْيِ الْمَعَرَّةِ كَحَدِّ الْقَذْفِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ لَا يَسْقُطُ بِعَفْوِ بَعْضِ الْوَرَثَةِ كَذَلِكَ الْقَوَدُ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ بِمَثَابَتِهِمْ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ عَفْوُ بَعْضِهِمْ عَنِ الدِّيَةِ مُؤَثِّرًا فِي حَقِّ غَيْرِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَفْوُهُ عَنِ الْقَوَدِ غَيْرَ مُؤَثِّرٍ فِي حَقِّ غَيْرِهِ
Malik berpendapat bahwa boleh bagi siapa saja yang tidak memaafkan untuk menuntut qishāsh, meskipun ia hanya satu orang dari sekelompok ahli waris, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya.” Maka, jika haknya gugur karena pemaafan orang lain, berarti kekuasaan itu menjadi milik orang lain dan bukan miliknya. Karena qishāsh ditetapkan untuk menghilangkan aib, sebagaimana hudud qazaf, dan telah tetap bahwa hudud qazaf tidak gugur dengan pemaafan sebagian ahli waris, demikian pula qishāsh harus diperlakukan sama. Dan karena ketika pemaafan sebagian ahli waris terhadap diyat tidak berpengaruh pada hak ahli waris lainnya, maka pemaafan terhadap qishāsh juga tidak boleh berpengaruh pada hak ahli waris lainnya.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إليه بإحسان وَهُوَ مَحْمُولٌ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنَ المُفَسِّرِينَ عَلَى عَفْوِ بَعْضِ الْوَرَثَةِ لِأَنَّهُ جَاءَ بِذِكْرِ الشَّيْءِ مُنْكِرًا وَجَعَلَ عَفْوَهُ مُوجِبًا لِاتِّبَاعِ الدِّيَةِ بِمَعْرُوفٍ وَأَنْ تُؤَدَّى إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ وَيُحْمَلُ عَلَى عُمُومِ الْعَفْوِّ مِنَ الوَاحِدِ وَالْجَمَاعَةِ
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Maka barang siapa yang dimaafkan oleh saudaranya sesuatu, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah (yang membayar) membayar kepadanya dengan baik.” Ayat ini, menurut banyak mufassir, dimaknai sebagai pemaafan sebagian ahli waris, karena ayat tersebut menyebutkan “sesuatu” secara umum dan menjadikan pemaafan itu sebagai sebab untuk mengikuti pembayaran diyat dengan cara yang baik dan agar diyat itu dibayarkan kepadanya dengan kebaikan. Ayat ini juga mencakup pemaafan baik dari satu orang maupun dari kelompok (ahli waris).
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فمن قتل بعده قَتِيلًا فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ فَجَعَلَ الْخِيَارَ فِي الْقَوَدِ لِجَمِيعِ أَهْلِهِ لَا لِبَعْضِهِمْ وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا قَتَلَ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَطَالَبَ أَوْلِيَاؤُهُ بِالْقَوَدِ فَقَالَتْ أُخْتُ الْمَقْتُولِ وَهِيَ زَوْجَةُ الْقَاتِلِ عَفَوْتُ عَنْ حَقِّي مِنَ القَوَدِ فَقَالَ عُمَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ عُتِقَ الرَّجُلُ يَعْنِي مِنَ القَوَدِ وَلَمْ يُخَالِفْهُ مِنَ الصَّحَابَةِ أَحَدٌ مَعَ انْتِشَارِهِ فِيهِمْ فَثَبَتَ أَنَّهُ إِجْمَاعٌ وَلِأَنَّ الْقَوَدَ أَحَدُ بَدَلَيِ النَّفْسِ فَلَمْ يَكُنْ لِبَعْضِ الْوَرَثَةِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِاسْتِيفَاءِ جَمِيعِهِ كَالدِّيَةِ وَلِأَنَّ الْقَاتِلَ قَدْ مَلَكَ بِالْعَفْوِ بَعْضَ نَفْسِهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَسْتَوِيَ فِي الْبَاقِي مِنْهَا كَالْعِتْقِ وَلِأَنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ فِي نَفْسِ الْقَاتِلِ إِيجَابُ الْقَوَدِ وَإِسْقَاطُهُ فَوَجَبَ أَنْ يَغْلِبَ حُكْمُ الْإِسْقَاطِ عَلَى الْإِيجَابِ لِأَمْرَيْنِ
Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa setelahnya membunuh seseorang, maka keluarganya memiliki dua pilihan: jika mereka menghendaki, mereka boleh membunuh (qishāsh), dan jika mereka menghendaki, mereka boleh mengambil diyat.” Maka Nabi menjadikan pilihan dalam qishāsh itu bagi seluruh ahli warisnya, bukan hanya sebagian dari mereka. Hal ini juga merupakan ijmā‘ para sahabat ra. Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki membunuh orang lain pada masa Umar ra, lalu para wali korban menuntut qishāsh. Saudari korban, yang juga istri si pembunuh, berkata: “Aku memaafkan hakku atas qishāsh.” Maka Umar berkata: “Allāhu Akbar, laki-laki itu telah merdeka,” maksudnya terbebas dari qishāsh. Tidak ada seorang pun dari para sahabat yang menentang hal itu, padahal peristiwa itu tersebar di antara mereka, sehingga tetaplah bahwa itu adalah ijmā‘. Qishāsh adalah salah satu pengganti jiwa, maka tidak boleh bagi sebagian ahli waris untuk mengambil seluruhnya secara sendiri-sendiri, sebagaimana halnya diyat. Karena si pembunuh telah memiliki sebagian dari dirinya sendiri melalui pemaafan, maka konsekuensinya adalah ia harus diperlakukan sama dalam sisanya, seperti dalam masalah pembebasan budak. Dan karena pada diri si pembunuh telah berkumpul antara kewajiban qishāsh dan penggugurannya, maka wajiblah hukum pengguguran itu lebih diutamakan daripada kewajiban, karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَوَدَ يَسْقُطُ بِالشُّبْهَةِ وَهَذَا مِنْ أَقْوَى الشُّبَهِ
Salah satunya adalah bahwa qawad gugur karena adanya syubhat, dan ini termasuk syubhat yang paling kuat.
وَالثَّانِي أَنَّ لِسُقُوطِ مَا وَجَبَ مِنْهُ بَدَلًا وَهُوَ الدِّيَةُ وَلَيْسَ لِلْإِيجَابِ مَا سَقَطَ مِنْهُ بَدَلٌ
Yang kedua, bahwa gugurnya kewajiban itu memiliki pengganti, yaitu diyat, sedangkan untuk penetapan kewajiban tidak ada pengganti bagi apa yang telah gugur darinya.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَقَدْ مَضَى
Adapun jawaban terhadap ayat tersebut telah dijelaskan.
وَأَمَّا الْجَمْعُ بَيْنَ الْقَوَدِ وَحَدِّ الْقَذْفِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُمْ فِي الْقَوَدِ مُشْتَرِكُونَ وَفِي الْحَدِّ مُنْفَرِدُونَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفَرِدَ أَحَدُهُمْ بِاسْتِيفَاءِ الْقَوَدِ وَجَازَ أَنْ يَنْفَرِدَ بِاسْتِيفَاءِ الْحَدِّ وإنما اشتركوا جميعها فِي الْقَوَدِ وَانْفَرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ فِي الْحَدِّ لأمرين
Adapun menggabungkan antara qisas dan had qazaf, maka itu tidak sah, karena mereka dalam qisas adalah bersama-sama, sedangkan dalam had masing-masing berdiri sendiri. Maka tidak boleh salah satu dari mereka secara sendiri-sendiri melaksanakan qisas, namun boleh secara sendiri-sendiri melaksanakan had. Mereka bersama-sama dalam qisas dan masing-masing sendiri dalam had karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ مَلَكُوا الْقَوَدَ مِيرَاثًا عَنْ مَيِّتِهِمْ لِأَنَّهُ بَدَلٌ عَنْ نَفْسِهِ فَاشْتَرَكُوا فِيهِ كَالدِّيَةِ وَمَلَكُوا الْحَدَّ نِيَابَةً عَنْ مَيِّتِهِمْ لِنَفْيِ الْعَارِ عَنْهُ فَانْفَرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِهِ
Salah satu alasannya adalah bahwa mereka memiliki hak atas qisas sebagai warisan dari orang yang telah meninggal karena qisas itu sebagai pengganti jiwa, sehingga mereka berbagi di dalamnya seperti halnya diyat. Sedangkan mereka memiliki hak atas hudud sebagai perwakilan dari orang yang telah meninggal untuk menghilangkan aib darinya, sehingga masing-masing dari mereka berhak secara sendiri-sendiri atasnya.
وَالثَّانِي أَنَّ الْقَوَدَ بَدَلٌ فَلَمْ يَسْقُطْ بِالْعَفْوِ حَقُّ مَنْ لَمْ يَعْفُ فَلِذَلِكَ مَا اشْتَرَكُوا وَلَيْسَ لِلْحَدِّ بَدَلٌ فَانْفَرَدَ وَلِئَلَّا يَسْقُطَ بِالْعَفْوِ حَقُّ مَنْ لَمْ يَعْفُ وَأَمَّا الدِّيَةُ فَإِنَّمَا لَمْ تُسْقِطْ بِالْعَفْوِ حَقَّ مَنْ لَمْ يَعْفُ لِأَنَّهَا تَتَبَعَّضُ فَصَحَّ أَنْ يَنْفَرِدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِاسْتِيفَائِهِ حَقَّهُ لِأَنَّهُ لَا يَتَعَدَّى اسْتِيفَاؤُهُ إِلَى حَقِّ شَرِيكِهِ وَالْقَوَدُ لَا يَتَبَعَّضُ وَلَا يُمْكِنُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِاسْتِيفَاءِ حَقِّهِ مِنْهُ إِلَّا بِالتَّعَدِّي إِلَى حَقِّ شَرِيكِهِ فَسَرَى الْعَفْوُ عَنِ الْقَوَدِ وَلَمْ يَسْرِ الْعَفْوُ عَنِ الدِّيَةِ
Kedua, bahwa qawad (qisas) adalah pengganti, sehingga dengan adanya pemaafan tidak gugur hak orang yang tidak memaafkan. Oleh karena itu, mereka tidak berserikat (dalam hak tersebut). Sedangkan had tidak memiliki pengganti, maka ia berdiri sendiri, agar hak orang yang tidak memaafkan tidak gugur karena pemaafan. Adapun diyat, maka pemaafan tidak menggugurkan hak orang yang tidak memaafkan karena diyat dapat dibagi-bagi, sehingga sah bagi masing-masing dari mereka untuk secara mandiri menuntut haknya, sebab penunaian haknya tidak berimbas pada hak rekannya. Sedangkan qawad tidak dapat dibagi-bagi dan tidak mungkin masing-masing dari mereka secara mandiri menunaikan haknya kecuali dengan melanggar hak rekannya. Maka, pemaafan berlaku pada qawad dan tidak berlaku pada diyat.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ عَفْوَ أَحَدِهِمْ مُوجِبٌ لِسُقُوطِ الْقَوَدِ فِي حَقِّ جَمِيعِهِمُ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى الدِّيَةِ أَمَّا مَنْ لَمْ يَعْفُ فَقَدْ مَلَكُوا حُقُوقَهُمْ مِنَ الدِّيَةِ بِسُقُوطِ الْقَوَدِ وَلَا يَقِفُ مِلْكُ الدِّيَةِ عَلَى اخْتِيَارِهِمْ لِأَنَّ الْقَتْلَ قَدْ صَارَ فِي حُقُوقِهِمْ بِسُقُوطِ الْقَوَدِ مِنْ غَيْرِ اخْتِيَارِهِمْ جَارِيًا مَجْرَى قَتْلِ عَمْدِ الْخَطَأِ الَّذِي لَا يَجِبُ فِيهِ قَوَدٌ وَيَمْلِكُ بِهِ الدِّيَةَ بِنَفْسِ الْقَتْلِ كَذَلِكَ هَاهُنَا وَأَمَّا الدِّيَةُ فِي حَقِّ الْعَافِي فَمُعْتَبَرَةٌ بِعَفْوِهِ عَنِ الْقَوَدِ فَإِنْ قَرَنَهُ بِاخْتِيَارِ الدِّيَةِ وَجَبَ لَهُ حَقُّهُ مِنْهَا وَإِنْ لَمْ يَقْرِنْهُ بِاخْتِيَارِ الدِّيَةِ كَانَ عَلَى مَا مَضَى مِنَ القَوْلَيْنِ فِي الَّذِي أَوْجَبَهُ قَتْلُ الْعَمْدِ ثُمَّ عَلَى مَا مضى من التفصيل
Jika telah tetap bahwa pemaafan salah satu dari mereka menyebabkan gugurnya qishash bagi seluruhnya, maka pembahasan berpindah kepada diyat. Adapun bagi mereka yang tidak memaafkan, maka mereka berhak atas bagian mereka dari diyat karena gugurnya qishash, dan kepemilikan diyat tidak bergantung pada pilihan mereka, karena pembunuhan itu telah menjadi hak mereka dengan gugurnya qishash tanpa pilihan mereka, sebagaimana halnya pembunuhan sengaja yang menyerupai kesalahan (amdu al-khatha’) yang tidak wajib qishash di dalamnya dan diyat menjadi hak mereka karena pembunuhan itu sendiri, demikian pula dalam hal ini. Adapun diyat bagi pihak yang memaafkan, maka diperhitungkan dengan pemaafannya terhadap qishash; jika ia menggabungkannya dengan memilih diyat, maka ia berhak atas bagiannya dari diyat tersebut. Namun jika ia tidak menggabungkannya dengan memilih diyat, maka kembali kepada dua pendapat yang telah lalu mengenai apa yang diwajibkan oleh pembunuhan sengaja, kemudian mengikuti rincian yang telah disebutkan sebelumnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ عَفَوْا جَمِيعًا وَعَفَا الْمُفْلِسُ يُجْنِي عَلَيْهِ أَوْ عَلَى عَبْدِهِ الْقِصَاصُ جَازَ ذَلِكَ لَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لِأَهْلِ الدَّيْنِ وَالْوَصَايَا مَنْعُهُمْ لِأَنَّ الْمَالَ لَا يُمْلَكُ بِالْعَمْدِ إِلَّا بِمَشِيئَةِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ حَيًّا وَبِمَشِيئَةِ الْوَرَثَةِ إِنْ كان ميتاً قال المزني رحمه الله ليس يشبه هذا الاعتلال أصله لأنه احتج في أن العفو يوجب الدية بأن الله تعالى لما قال فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بالمعروف وأداء إليه بإحسان لم يجز أن يقال عفا إن صولح على مال لأن العفو ترك بلا عوض فلم يجز إذا عفا عن القتل الذي هو أعظم الأمرين إلا أن يكون له مال في مال القاتل أحب أو كره ولو كان إذا عفا لم يكن له شيء لم يكن للعافي ما يتبعه بمعروف ولا على القاتل ما يؤديه بإحسان قال المزني رحمه الله فهذا مال بلا مشيئة أو لا تراه يقول إن عفو المحجور جائز لأنه زيادة في ماله وعفوه المال لا يجوز لأنه نقص في ماله وهذا مال بغير مشيئة فأقرب إلى وجه ما قال عندي في العفو الذي ليس لأهل الدين منعه منه هو أن يبرئه من القصاص ويقول بغير مال فيسقطان وبالله التوفيق
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika semua ahli waris memaafkan, dan orang yang bangkrut juga memaafkan, baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap budaknya, maka qishāsh boleh dilakukan bagi mereka, dan tidak ada hak bagi para pemilik utang dan wasiat untuk melarang mereka, karena harta tidak dimiliki secara sengaja kecuali dengan kehendak korban jika ia masih hidup, dan dengan kehendak para ahli waris jika ia telah wafat. Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Alasan ini tidak serupa dengan asalnya, karena ia berdalil bahwa pemaafan mewajibkan diyat berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Barang siapa yang dimaafkan oleh saudaranya sesuatu, maka hendaklah (ada) pengikutan yang baik dan pembayaran kepadanya dengan cara yang baik.” Maka tidak boleh dikatakan bahwa pemaafan terjadi jika berdamai atas harta, karena pemaafan adalah meninggalkan tanpa imbalan. Maka tidaklah sah jika ia memaafkan pembunuhan, yang merupakan perkara yang lebih besar, kecuali jika ia mendapatkan harta dari harta si pembunuh, baik ia suka maupun tidak. Seandainya jika ia memaafkan lalu tidak mendapatkan apa-apa, maka tidak ada sesuatu yang dapat diikuti dengan cara yang baik oleh yang memaafkan, dan tidak ada sesuatu yang harus dibayarkan dengan cara yang baik oleh si pembunuh. Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Maka ini adalah harta tanpa kehendak. Tidakkah engkau melihat bahwa ia mengatakan pemaafan orang yang terhalang (dari mengelola hartanya) itu sah karena menambah hartanya, sedangkan pemaafan terhadap harta tidak sah karena mengurangi hartanya? Maka ini adalah harta tanpa kehendak, sehingga lebih dekat dengan pendapat yang ia katakan menurutku dalam pemaafan yang tidak boleh dihalangi oleh para pemilik utang adalah bahwa ia membebaskan dari qishāsh dan berkata tanpa harta, maka keduanya gugur. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ الْوَارِثِ لِقَتْلِ الْعَمْدِ فِي عَفْوِهِ مِنْ أَحَدِ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, “Ketahuilah bahwa keadaan ahli waris dalam kasus pembunuhan sengaja ketika memberikan maaf tidak lepas dari salah satu dari tiga bagian.”
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ جَائِزَ الْأَمْرِ مَالِكَ التَّصَرُّفِ فَيَصِحُّ عَفْوُهُ عَنِ الْقَوَدِ وَعَنِ الدِّيَةِ جَمِيعًا
Salah satunya adalah apabila ia adalah orang yang berwenang dan memiliki hak penuh untuk bertindak, maka sah baginya memaafkan dari qishāsh maupun dari diyat sekaligus.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَحْجُورًا عَلَيْهِ لَا يَجْرِي عَلَيْهِ قَلَمٌ كَالصَّغِيرِ وَالْمَجْنُونِ فَلَا يَصِحُّ عَفْوُهُ عَنِ الْقَوَدِ وَلَا عَنِ الدِّيَةِ جَمِيعًا
Bagian kedua adalah apabila seseorang berada dalam keadaan yang terhalangi (tidak memiliki kewenangan hukum), sehingga hukum tidak berlaku atasnya, seperti anak kecil dan orang gila. Maka, pengampunan mereka terhadap qishāsh maupun terhadap diyat, semuanya tidak sah.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ حَجْرٌ مِنْ وَجْهٍ وَإِنْ جَرَى عَلَيْهِ الْقَلَمُ فَهَذَا قَدْ يُسْتَحَقُّ مِنْ أَحَدِ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ
Bagian ketiga adalah sesuatu yang dikenai pembatasan dari satu sisi, meskipun telah berlaku hukum padanya. Hal ini bisa menjadi hak seseorang dari salah satu dari empat sisi.
أَحَدُهَا أَنْ يَتَعَلَّقَ بِتَرِكَةِ الْمَقْتُولِ دُيُونٌ وَوَصَايَا فَتَتَعَلَّقُ بِدَيْنِهِ كَمَا يَتَعَلَّقُ بِتَرِكَتِهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فَيَصِيرُ الْوَارِثُ فِي حُكْمِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ فِيهَا حَتَّى تُقْضَى الدُّيُونُ وَتُنَفَّذَ الْوَصَايَا
Salah satunya adalah jika pada harta warisan orang yang terbunuh terdapat utang-utang dan wasiat-wasiat, maka diyat itu terkait dengan utangnya sebagaimana terkait dengan harta warisannya, sebagaimana akan dijelaskan nanti. Maka ahli waris berada dalam posisi seperti orang yang dibatasi haknya atas harta tersebut sampai utang-utang dilunasi dan wasiat-wasiat dilaksanakan.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْوَارِثُ مَحْجُورًا عَلَيْهِ بِالْفَلَسِ فِي حُقُوقِ غُرَمَائِهِ حَتَّى يَسْتَوْعِبُوا مَالَهُ فِي دُيُونِهِمْ
Yang kedua adalah apabila ahli waris sedang dalam keadaan dibatasi (diharamkan) karena pailit dalam hak para krediturnya, hingga seluruh hartanya habis untuk melunasi utang-utang mereka.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْوَارِثُ مَحْجُورًا عَلَيْهِ لِسَفَهٍ فِي حَقِّ نَفْسِهِ حِفْظًا لِمَالِهِ
Dan yang ketiga adalah apabila ahli waris berada dalam keadaan dibatasi (mahjūr) karena kebodohan (safah) demi menjaga hartanya sendiri.
وَالرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ الْوَارِثُ مَرِيضًا يُمْنَعُ فِي حَقِّ الْوَرَثَةِ مِنَ العَطَاءِ إِلَّا فِي ثُلْثِهِ فَهَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةِ يَصِحُّ عَفْوُهُمْ عَنِ الْقَوَدِ إِلَى الدِّيَةِ لِأَنَّ الْقَوَدَ لَا يُؤَثِّرُ فِي حُقُوقِهِمْ وَالْعَفْوَ عَنْهُ أَرْفَقُ بِهِمْ وَفِي صِحَّةِ عَفْوِهِمْ عَنِ الدِّيَةِ قَوْلَانِ
Keempat, apabila ahli waris sedang sakit yang menghalanginya untuk memberikan harta kepada para ahli waris lain kecuali sepertiganya, maka keempat golongan ini sah memaafkan pelaku qishāsh menuju pembayaran diyat, karena qishāsh tidak berpengaruh terhadap hak-hak mereka dan memaafkan qishāsh lebih memberikan kemudahan bagi mereka. Adapun mengenai keabsahan mereka memaafkan diyat, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَصِحُّ مِنْ جَمِيعِهِمْ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُ قَتْلَ الْعَمْدِ فِيهِ مُوجِبًا لِلْقَوَدِ وَحْدَهُ وَالدِّيَةُ لَا تَجِبُ إِلَّا بِاخْتِيَارِ الْوَارِثِ فَيَصِحُّ عَفْوُهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَمْلِكْهَا فَيُعَارَضُ فِيهِ وَلَا يَمْلِكُهَا إِلَّا بِالِاخْتِيَارِ وَهُوَ لَا يُجْبَرُ عَلَى الِاخْتِيَارِ لِأَنَّهُ اكْتِسَابٌ عَمَّا لَا يُجْبَرُ عَلَى قَبُولِ الْوَصَايَا وَالْهِبَاتِ
Salah satunya sah dari semua ahli waris, dan ini menurut pendapat yang menetapkan bahwa pembunuhan sengaja hanya mewajibkan qishāsh saja, dan diyat tidak wajib kecuali jika dipilih oleh ahli waris. Maka, pemaafan dari ahli waris itu sah karena ia belum memilikinya, sehingga bisa dipertentangkan dalam hal ini, dan ia tidak memilikinya kecuali dengan memilih, dan ia tidak dipaksa untuk memilih karena itu merupakan perolehan atas sesuatu yang tidak diwajibkan untuk menerima wasiat dan hibah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ عَفْوَ الثَّلَاثَةِ بَاطِلٌ لَا يَصِحُّ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي يَجْعَلُ قَتْلَ الْعَمْدِ فِيهِ مُوجِبًا لِلْقَوَدِ أَوِ الدِّيَةَ لِأَنَّهُ عَفْوٌ عَنْ مَالٍ قَدْ تَعَلَّقَ بِهِ حَقُّ غَيْرِهِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa pemaafan oleh tiga orang itu batal dan tidak sah, dan ini menurut pendapat yang menetapkan bahwa pembunuhan sengaja mewajibkan qishāsh atau diyat, karena pemaafan tersebut merupakan penghapusan hak atas harta yang di dalamnya terdapat hak orang lain.
فَأَمَّا الْمَرِيضُ فَعَفْوُهُ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ مُعْتَبَرٌ مِنْ ثُلْثِهِ فَإِنِ احْتَمَلَ ثُلْثُهُ جَمِيعَ الدِّيَةِ صَحَّ عَفْوُهُ عَنْهَا وَإِنْ لَمْ يَمْلِكْ غَيْرَهَا صَحَّ عَفْوُهُ عَنْ ثُلْثِهَا وَبَطَلَ عَنْ بَاقِيهَا فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ تَكَلَّمَ عَلَى فَصْلَيْنِ
Adapun orang yang sakit, maka pemaafannya menurut pendapat ini dihitung dari sepertiganya. Jika sepertiganya mencukupi seluruh diyat, maka sah pemaafannya atas seluruh diyat tersebut. Jika ia tidak memiliki selain itu, maka sah pemaafannya atas sepertiganya dan batal untuk sisanya. Adapun al-Muzani, ia berbicara mengenai dua bagian.
أَحَدُهُمَا الرَّدُّ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ فِي مَنْعِهِ مِنَ الدِّيَةِ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ
Salah satunya adalah bantahan terhadap Abu Hanifah dalam pendapatnya yang melarang pemberian diyat kecuali atas dasar kerelaan.
وَالثَّانِي فِي اخْتِيَارِهِ لِأَحَدِ الْقَوْلَيْنِ إن قَتلَ الْعَمْد مُوجِبٌ لِأَحَدِ أَمْرَيْنِ مِنَ القَوَدِ أَوِ الدِّيَةِ
Yang kedua, dalam memilih salah satu dari dua pendapat, bahwa pembunuhan sengaja mewajibkan salah satu dari dua hal, yaitu qisas atau diyat.
فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فَسَلِمَ كَلَامُهُ فِيهِ وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فَالْتَبَسَ عَلَيْهِ حَتَّى اخْتَلَطَ تَعْلِيلُهُ وَضَعُفَ دَلِيلُهُ وَفِي كَشْفِهِ إِطَالَةٌ يُقْتَصَرُ فِيهَا عَلَى سَيرِهِ عِنْدَ تَأَمُّلِهِ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ
Adapun pada bagian pertama, ucapannya benar. Namun pada bagian kedua, ia mengalami kebingungan sehingga alasannya menjadi rancu dan dalilnya menjadi lemah. Penjelasan rinci tentang hal ini akan menjadi panjang, sehingga cukup disampaikan sesuai dengan penelusurannya ketika direnungkan. Hanya kepada Allah-lah pertolongan dimohon.
Bab Qishāsh dengan Pedang dan Selainnya
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سلطاناً قَالَ وَإِذَا خَلَّى الْحَاكِمُ الْوَلِيَّ وَقَتَلَ الْقَاتِلَ فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَأْمُرَ مَنْ يَنْظُرُ إِلَى سَيْفِهِ فَإِنْ كَانَ صَارِمًا وَإِلَّا أَمَرَهُ بِصَارِمٍ لِئَلَّا يُعَذِّبَهُ ثُمَّ يَدَعُهُ وَضَرْبَ عُنُقِهِ
Imam Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: Allah Ta‘ala berfirman, “Barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya.” Beliau berkata: Jika hakim membiarkan wali (korban) dan ia membunuh si pembunuh, maka sebaiknya hakim memerintahkan seseorang untuk memeriksa pedangnya; jika pedang itu tajam, maka digunakan, jika tidak, hakim memerintahkannya menggunakan pedang yang tajam agar tidak menyiksanya, kemudian hakim membiarkannya dan mempersilakan untuk menebas lehernya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ مَا أَوْجَبَ الْقِصَاصَ مِنَ الجِنَايَاتِ ضَرْبَانِ طَرَفٌ وَنَفْسٌ
Al-Mawardi berkata, “Hal-hal yang mewajibkan qishāsh dari tindak pidana ada dua macam: anggota tubuh dan jiwa.”
فَأَمَّا الطَّرَفُ فَلَا يُمْكِنُ مُسْتَحِقُّ الْقِصَاصِ مِنَ اسْتِيفَائِهِ بِنَفْسِهِ لِمَا يَخَافُ مِنْ تَعَدِّيهِ إِلَى مَا لَا يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُهُ وَأَمَّا النَّفْسُ فَيَجُوزُ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَتَوَلَّى اسْتِيفَاءَ الْقَوَدِ مِنْهَا بِنَفْسِهِ إِذَا قَدَرَ عَلَى مُبَاشَرَتِهِ لِلْآيَةِ ولقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَكَمَا يَسْتَوْفِي جَمِيعَ حُقُوقِهِ بِنَفْسِهِ وَلِأَنَّ الْقَوَدَ مَوْضُوعٌ لِلتَّشَفِّي فَكَانَتِ الْمُبَاشَرَةُ فِيهِ أَشْفَى وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَاسْتِيفَاؤُهُ لِلْقَوَدِ مُعْتَبَرٌ بِسِتَّةِ شُرُوطٍ
Adapun anggota tubuh, maka tidak memungkinkan bagi pihak yang berhak atas qishāsh untuk melaksanakannya sendiri karena dikhawatirkan akan melampaui batas kepada sesuatu yang tidak dapat diperbaiki lagi. Adapun jiwa, maka wali boleh melaksanakan qishāsh atasnya sendiri jika mampu melakukannya secara langsung, berdasarkan ayat Al-Qur’an dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Keluarganya diberi dua pilihan, jika mereka menghendaki, mereka membunuh (pelaku).” Sebagaimana seseorang dapat menunaikan seluruh haknya sendiri, dan karena qishāsh ditetapkan untuk memberikan kepuasan (bagi korban atau keluarganya), maka pelaksanaan secara langsung lebih memuaskan. Jika demikian, maka pelaksanaan qishāsh itu disyaratkan dengan enam syarat.
أَحَدُهَا أَنْ يَحْكُمَ بِهِ الْحَاكِمُ لِيُمَيِّزَ الْعَمْدَ الْمَحْضَ مِنْ عَمْدِ الْخَطَأِ وَلِيَتَعَيَّنَ بِالْحُكْمِ مَا اخْتَلَفَ فِيهِ الْفُقَهَاءُ وَلِئَلَّا يَتَسَرَّعَ النَّاسُ إِلَى اسْتِبَاحَةِ الدِّمَاءِ
Salah satunya adalah agar hakim memutuskan perkara tersebut untuk membedakan antara kesengajaan murni dengan kesengajaan karena kelalaian, agar dengan putusan itu dapat ditetapkan apa yang diperselisihkan oleh para fuqaha, dan supaya orang-orang tidak gegabah dalam menghalalkan darah.
وَالشَّرْطُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مُسْتَوْفِيهِ رَجُلًا فَإِنْ كَانَتِ امْرَأَةً مُنِعَتْ لِمَا فِيهِ مِنْ بَذْلَتِهَا وَظُهُورِ عَوْرَتِهَا
Syarat kedua adalah harus dilakukan oleh seorang laki-laki. Jika yang melakukannya adalah perempuan, maka hal itu dilarang karena di dalamnya terdapat unsur membuka diri dan tampaknya auratnya.
وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ ثَابِتَ النَّفْسِ عِنْدَ مُبَاشَرَةِ الْقَتْلِ فَإِنْ ضَعُفَتْ مُنِعَ
Syarat ketiga adalah harus tetap teguh jiwa ketika melakukan pembunuhan, maka jika jiwa itu melemah, hal tersebut dilarang.
وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ أَنْ يَعْرِفَ الْقَوَدَ وَيُحْسِنَ إِصَابَةَ الْمَفْصِلِ فَإِنْ لَمْ يُحْسِنْ مُنِعَ
Syarat keempat adalah mengetahui cara melakukan qawad dan mahir mengenai letak persendian. Jika tidak mahir, maka tidak diperbolehkan.
وَالشَّرْطُ الْخَامِسُ أَنْ يَكُونَ قَوِيَّ الْيَدِ نَافِذَ الضَّرْبَةِ فَإِنْ ضَعُفَتْ يَدُهُ لِشَلَلٍ أَوْ مَرَضٍ مُنِعَ
Syarat kelima adalah harus kuat tangan dan pukulannya dapat menembus. Jika tangannya lemah karena lumpuh atau sakit, maka tidak diperbolehkan.
فَإِذَا تَكَامَلَتْ فِيهِ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْخَمْسَةُ وَصَارَ بِهَا مِنْ أَهْلِ الِاسْتِيفَاءِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْوَلِيِّ أَنْ يَكُونَ وَاحِدًا أَوْ عَدَدًا فَإِنْ كان واحداً قام باستيائه وَإِنْ كَانُوا عَدَدًا خَرَجَ مِنْهُمْ مَنْ لَمْ يَتَكَامَلْ فِيهِ شُرُوطُ الِاسْتِيفَاءِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْتَرِكَ الْبَاقُونَ فِيهِ حَتَّى يَتَوَلَّاهُ أَحَدُهُمْ فَإِنْ سَلَّمُوهُ لِأَحَدِهِمْ كَانَ أَحَقَّهُمْ بِهِ وَإِنْ تَنَازَعُوا فِيهِ أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ فَمَنْ قَرَعَ كَانَ أَحَقَّهُمْ بِاسْتِيفَائِهِ فَإِذَا تَعَيَّنَ الِاسْتِيفَاءُ لِوَاحِدٍ مِنْهُمُ اعْتُبِرَ فِي اسْتِيفَائِهِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ
Apabila lima syarat ini telah terpenuhi pada dirinya dan ia telah menjadi termasuk orang yang berhak melakukan istifā’, maka keadaan wali tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa satu orang atau beberapa orang. Jika hanya satu orang, maka ia sendiri yang melaksanakannya. Jika mereka beberapa orang, maka yang tidak terpenuhi syarat istifā’ pada dirinya dikeluarkan dari kelompok itu, dan tidak boleh sisanya melaksanakan bersama-sama hingga salah satu dari mereka yang mengambil alih. Jika mereka menyerahkannya kepada salah satu dari mereka, maka dialah yang paling berhak melakukannya. Namun jika mereka berselisih, maka diundi di antara mereka, dan siapa yang keluar namanya dalam undian, dialah yang paling berhak melaksanakannya. Setelah istifā’ ditetapkan untuk salah satu dari mereka, maka dalam pelaksanaannya harus memperhatikan sepuluh hal.
أَحَدُهَا حُضُورُ الْحَاكِمِ الَّذِي حَكَمَ لَهُ بِالْقَوَدِ أَوْ نَائِبٌ عَنْهُ لِيَكُونَ حُضُورُهُ تَنْفِيذًا لِحُكْمِهِ
Salah satunya adalah kehadiran hakim yang telah memutuskan qisas untuknya atau wakilnya, agar kehadirannya menjadi pelaksanaan atas putusannya.
وَالثَّانِي أَنْ يَحْضُرَهُ شَاهِدَانِ لِيَكُونَا بَيِّنَةً فِي اسْتِيفَاءِ الْحَقِّ أَوْ فِي التَّعَدِّي بِظُلْمٍ
Kedua, hendaknya dihadirkan dua orang saksi agar keduanya menjadi bukti dalam pelaksanaan hak atau dalam tindakan melampaui batas secara zalim.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَحْضُرَ مَعَهُ مِنَ الأَعْوَانِ مَنْ إِنِ احْتَاجَ إِلَيْهِمْ أَعَانُوا فَرُبَّمَا حَدَثَ مَا يَحْتَاجُ إِلَى كَفٍّ وَرَدْعٍ
Ketiga, hendaknya ia menghadirkan bersamanya para pembantu yang, jika ia membutuhkan mereka, mereka dapat membantunya. Sebab, bisa jadi terjadi sesuatu yang memerlukan penahanan dan pencegahan.
وَالرَّابِعُ أَنْ يُؤْمَرَ الْمُقْتَصُّ مِنْهُ بِمَا تَعَيَّنَ عَلَيْهِ مِنْ صَلَاةِ يَوْمِهِ لِيَحْفَظَ حُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الإِضَاعَةِ
Keempat, orang yang akan dikenai qishāsh diperintahkan untuk menunaikan salat yang wajib atasnya pada hari itu, agar ia menjaga hak-hak Allah Ta‘ala dari kelalaian.
وَالْخَامِسُ أَنْ يُؤْمَرَ بِالْوَصِيَّةِ فِيمَا لَهُ وَعَلَيْهِ مِنَ الحُقُوقِ لِيَحْفَظَ بِهَا حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ
Kelima, hendaknya ia diperintahkan untuk berwasiat mengenai hak-hak yang menjadi miliknya maupun yang menjadi tanggungannya, agar dengan wasiat itu dapat menjaga hak-hak sesama manusia.
وَالسَّادِسُ أَنْ يُؤْمَرَ بِالتَّوْبَةِ مِنْ ذُنُوبِهِ لِيَزُولَ عِنْدَ مَآثِمِ الْمَعَاصِي
Keenam, hendaknya ia diperintahkan untuk bertobat dari dosa-dosanya agar dampak buruk dari maksiat-maksiatnya hilang.
وَالسَّابِعُ أَنْ يُسَاقَ إِلَى مَوْضِعِ الْقِصَاصِ سَوْقًا رَفِيقًا وَلَا يُكَلَّمُ بِخَنَا وَلَا شَتْمٍ
Ketujuh, orang yang akan dikenai qishāsh harus dibawa ke tempat pelaksanaan qishāsh dengan perlakuan yang lembut, dan tidak boleh diajak bicara dengan kata-kata kasar atau makian.
وَالثَّامِنُ أَنْ تُسْتَرَ عَوْرَتُهُ بِشِدَادٍ حَتَّى لَا تَبْرُزَ لِلْأَبْصَارِ
Kedelapan, menutup auratnya dengan penutup yang rapat sehingga tidak tampak oleh pandangan mata.
وَالتَّاسِعُ أَنْ تُشَدَّ عَيْنَيْهِ بِعِصَابَةٍ حَتَّى لَا يَرَى الْقَتْلَ وَيُتْرَكُ مَمْدُودَ الْعُنُقِ حَتَّى لَا يَعْدِلَ السَّيْفُ عَنْ عُنُقِهِ
Kesembilan, kedua matanya ditutup dengan kain agar ia tidak melihat proses eksekusi, dan ia dibiarkan dengan leher terjulur agar pedang tidak meleset dari lehernya.
وَالْعَاشِرُ أَنْ يَكُونَ سَيْفُ الْقِصَاصِ صَارِمًا لَيْسَ بِكَالٍّ وَلَا مَسْمُومٍ لِأَنَّ الْكَالَّ وَالْمَسْمُومَ يُفْسِدُ لَحْمَهُ وَيَمْنَعُ مِنْ غُسْلِهِ فَيُرَاعَى سَيْفُ الْوَلِيِّ فَإِنْ كَانَ عَلَى الصِّفَةِ الْمَطْلُوبَةِ وَإِلَّا الْتَمَسَ سَيْفًا عَلَى صِفَتِهِ أَوْ أُعْطِيَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ إِنْ كَانَ مَوْجُودًا وَإِنَّمَا اعْتَبَرْنَا هَذِهِ الشُّرُوطَ وَالْأَوْصَافَ إِحْسَانًا فِي الِاسْتِيفَاءِ وَمَنْعًا مِنَ التَّعْذِيبِ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْإِحْسَانَ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ
Kesepuluh, pedang untuk qishāsh haruslah tajam, tidak tumpul dan tidak beracun, karena pedang yang tumpul atau beracun dapat merusak dagingnya dan menghalangi dari dimandikan. Maka harus diperhatikan pedang milik wali, jika sesuai dengan sifat yang disyaratkan, maka digunakan, jika tidak, maka dicari pedang lain yang sesuai, atau diberikan dari baitul māl jika tersedia. Syarat-syarat dan sifat-sifat ini dipertimbangkan sebagai bentuk ihsān dalam pelaksanaan qishāsh dan untuk mencegah penyiksaan, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ālā telah mewajibkan kalian berbuat ihsān dalam segala hal, maka jika kalian membunuh, lakukanlah dengan cara yang baik.”
وَرُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَعْذِيبِ الْبَهَائِمِ فَكَانَ النَّهْيُ عن تعذيب الآدميين أحق
Diriwayatkan dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang menyiksa hewan, maka larangan menyiksa manusia tentu lebih utama.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ ضَرَبَهُ بِمَا لَا يُخْطَئُ بِمِثْلِهِ مِنْ قطع رجل أو سط عُزِّرَ وَإِنْ كَانَ مِمَّا يَلِي الْعُنُقَ مِنْ رَأْسِهِ أَوْ كَتِفِهِ فَلَا عُقُوبَةَ عَلَيْهِ وَأَجْبَرَهُ الْحَاكِمُ عَلَى أَنْ يَأْمُرَ مَنْ يُحْسِنُ ضَرْبَ الْعُنُقِ لِيُوجِيَهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang memukul dengan sesuatu yang biasanya tidak meleset dari memutuskan kaki atau membelah tubuh, maka ia dikenai ta‘zīr. Namun, jika pukulan itu mengenai bagian yang dekat dengan leher, seperti kepala atau bahu, maka tidak ada hukuman atasnya, dan hakim mewajibkan pelaku untuk memerintahkan seseorang yang ahli dalam memenggal leher agar melakukannya dengan tepat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَمَّا مَحَلُّ الْقِصَاصِ مِنَ النَّفْسِ فَهُوَ الْعُنُقُ يُضْرَبُ بِالسَّيْفِ مِنْ جِهَةِ الْقَفَا لِأَنَّهُ أَمْكَنُ وَالسَّيْفُ فِيهِ أَمْضَى حَتَّى يَقْطَعَ الْمَرِيءَ وَالْوَدَجَيْنِ وَلَا يُرَاعِي قَطْعَ الْحُلْقُومِ إِذَا لَمْ يَنْتَهِ السَّيْفُ إِلَيْهِ لِأَنَّ فِي قَطْعِ الْمَرِيءِ وَالْوَدَجَيْنِ تَوْجِئَةً وَإِنْ كَانَ قَطْعُ الْحُلْقُومِ مَعَهُ أَوْجَى وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَعْدِلَ بِهِ إِلَى الذَّبْحِ الْمُعْتَبَرِ فِي تَذْكِيَةِ البهائم لِافْتِرَاقِهِمَا فِي الْحُرْمَةِ وَاخْتِلَافِهِمَا فِي الْحُكْمِ فَإِنْ وَصَلَ بِالضَّرْبَةِ الْوَاحِدَةِ إِلَى مَحَلِّ التَّوْجِئَةِ اقْتَصَرَ عَلَيْهَا وَلَمْ يَزِدْ وَإِنْ لَمْ تَصِلْ إِلَى مَحَلِّ التَّوْجِئَةِ ضَرَبَهُ ثَانِيَةً فَإِنْ لَمْ تَصِلِ الثَّانِيَةُ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Adapun tempat pelaksanaan qishāsh pada jiwa adalah leher, yang dipukul dengan pedang dari arah tengkuk, karena itu lebih memungkinkan dan pedang lebih tajam di situ, hingga memutuskan kerongkongan dan dua urat leher. Tidak disyaratkan harus memutuskan halkum jika pedang tidak sampai ke sana, karena memutuskan kerongkongan dan dua urat leher sudah cukup mematikan, meskipun memutuskan halkum bersamaan dengannya lebih mematikan. Tidak boleh mengalihkannya kepada cara penyembelihan yang berlaku pada penyembelihan hewan, karena keduanya berbeda dalam hal kehormatan dan berbeda pula dalam hukum. Jika dengan satu pukulan telah sampai ke tempat yang mematikan, maka cukup dengan itu dan tidak perlu menambah lagi. Jika belum sampai ke tempat yang mematikan, maka dipukul kedua kalinya. Jika pukulan kedua pun belum sampai, maka tidak lepas dari dua kemungkinan.”
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ كَلَالِ سَيْفِهِ فَيُعْطَى غَيْرَهُ مِنَ السُّيُوفِ الصَّارِمَةِ وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ ضَعْفِ يَدِهِ فَيُعْدَلُ إِلَى غَيْرِهِ مِنْ ذَوِي الْقُوَّةِ
Bisa jadi karena pedangnya sudah tumpul, maka diberikan kepadanya pedang lain yang tajam; atau bisa jadi karena kelemahan tangannya, maka digantikan dengan orang lain yang memiliki kekuatan.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِنْ ضَرَبَهُ فَوَقَعَ السَّيْفُ فِي غَيْرِ عُنُقِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Jika ia memukulnya lalu pedang itu mengenai selain lehernya, maka ada dua kemungkinan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَقَعَ فِي مَوْضِعٍ لَا يَجُوزُ الْغَلَطُ فِي مِثْلِهِ كَضَرْبِهِ لِرِجْلِهِ أَوْ ظَهْرِهِ أَوْ بَطْنِهِ فَيُعَزَّرُ لِتَعَدِّيهِ وَلَا تُقْبَلُ دَعْوَى الْغَلَطِ فِيهِ وَلَا يَحْلِفُ عَلَيْهِ لِاسْتِحَالَةِ صِدْقِهِ وَالْيَمِينُ تَدْخُلُ فِيمَا احْتَمَلَ الصِّدْقَ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِيمَا قَطَعَ أَوْ جَرَحَ وَلَا غُرْمَ لِأَرْشٍ وَلَا دِيَةٍ؛ لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَ إِتْلَافَ نَفْسِهِ وَإِنْ تَعَدَّى بِالسَّيْفِ فِي غَيْرِ مَحَلِّهِ
Salah satunya adalah jika terjadi pada tempat yang tidak boleh terjadi kesalahan padanya, seperti memukul kaki, punggung, atau perutnya, maka ia dikenai ta‘zīr karena telah melampaui batas, dan klaim kesalahan tidak diterima dalam hal ini, serta tidak disumpah atasnya karena mustahil klaimnya benar, dan sumpah hanya berlaku pada perkara yang mungkin benar. Tidak ada qishāsh atasnya jika terjadi pemotongan atau luka, juga tidak ada kewajiban membayar ganti rugi (‘arsh) atau diyat, karena ia telah memiliki hak untuk membinasakan dirinya sendiri, meskipun ia melampaui batas dengan menggunakan pedang pada tempat yang tidak semestinya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقَعَ السَّيْفُ فِي مَوْضِعٍ يَجُوزُ الْغَلَطُ بِمِثْلِهِ كَأَعْلَى الْكَتِفِ وَأَسْفَلِ الرَّأْسِ سُئِلَ فَإِنْ قَالَ عَمَدْتُ عُزِّرَ وَمُنِعَ وَإِنْ قَالَ أَخْطَأْتُ أُحْلِفَ عَلَى الْخَطَأِ لِإِمْكَانِهِ وَلَمْ يُعَزَّرْ وَلَمْ يُمْنَعْ مِنَ القِصَاصِ فَإِنْ تَابَ بَعْدَ عَمْدِهِ وَأَرَادَ الْعَوْدَ إِلَى الْقِصَاصِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا مَا يَدُلُّ عَلَى سُقُوطِ حَقِّهِ مِنَ الاسْتِيفَاءِ بِقَوْلِهِ وَأَجْبَرَهُ الْحَاكِمُ عَلَى أَنْ يَأْمُرَ مَنْ يُحْسِنُ ضَرْبَ الْعُنُقِ لِيُوجِيَهُ يُرِيدُ بِهِ الِاسْتِتَابَةَ فِيهِ
Jenis kedua adalah apabila pedang mengenai bagian tubuh yang memungkinkan terjadinya kesalahan, seperti bagian atas bahu dan bagian bawah kepala. Maka orang tersebut ditanya; jika ia berkata, “Saya sengaja,” maka ia diberi ta‘zir dan dicegah (dari melanjutkan qishāsh). Namun jika ia berkata, “Saya keliru,” maka ia disuruh bersumpah atas kesalahan itu karena hal itu mungkin terjadi, dan ia tidak diberi ta‘zir serta tidak dicegah dari qishāsh. Jika ia bertobat setelah sengaja dan ingin kembali melaksanakan qishāsh, maka menurut pendapat asy-Syāfi‘ī di sini, terdapat petunjuk bahwa haknya untuk melakukan istifā’ (penuntutan pelaksanaan qishāsh) gugur, berdasarkan ucapannya, dan hakim memaksanya untuk memerintahkan orang yang ahli dalam menebas leher untuk melakukannya, yang dimaksudkan adalah agar ia bertobat dalam hal ini.
وَقَالَ فِي كِتَابِ الْأُمِّ يُمَكِّنُهُ الْحَاكِمُ مِنَ الاسْتِيفَاءِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ هَذَيْنِ النَّصَّيْنِ فَخَرَّجَهُ الْبَصْرِيُّونَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَخَرَّجَهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَالْمَنْعُ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ بَانَ لِلْحَاكِمِ أَنَّهُ لَا يُحْسِنُ الْقِصَاصَ وَالتَّمْكِينُ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ يُحْسِنُ الْقِصَاصَ
Dan ia berkata dalam kitab al-Umm: Hakim mempersilakan pelaku untuk melakukan qishāsh. Maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenai perbedaan dua nash ini. Ulama Bashrah menganggapnya sebagai perbedaan dua pendapat, sedangkan Abu Hamid al-Isfirayini menganggapnya sebagai perbedaan dua keadaan. Larangan itu ditafsirkan apabila telah jelas bagi hakim bahwa pelaku tidak mampu melaksanakan qishāsh dengan baik, sedangkan pemberian izin ditafsirkan apabila pelaku mampu melaksanakan qishāsh dengan baik.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ كَانَ الْجَانِي قَدْ قَطَعَ يَدَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَقَتَلَهُ فَأَرَادَ الْوَلِيُّ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ القَطْعِ وَالْقَتْلِ جَازَ أَنْ يَتَوَلَّى الْقَتْلَ بِنَفْسِهِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الْقَطْعَ بِنَفْسِهِ وَإِذَا مُنِعَ مِنَ القَطْعِ وَالْقَتْلِ كَانَ لَهُ أَنْ يَسْتَنِيبَ فِيهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ غَيْرِ اعْتِرَاضٍ إِذَا اجْتَمَعَ فِيهِ أَمْرَانِ
Jika pelaku telah memotong tangan korban lalu membunuhnya, kemudian wali korban ingin menuntut qishāsh atas pemotongan dan pembunuhan tersebut, maka wali boleh melaksanakan hukuman mati (qishāsh) sendiri, namun tidak boleh melaksanakan pemotongan tangan sendiri. Jika ia terhalang untuk melaksanakan pemotongan dan pembunuhan tersebut, maka ia boleh mewakilkan siapa saja yang ia kehendaki tanpa ada keberatan, apabila kedua perkara itu terkumpul bersamaan.
الْإِمَاتَةُ وَشُرُوطُ الِاسْتِيفَاءِ فَلَوْ بَادَرَ الْوَلِيُّ وَقَدْ عَدِمَ شُرُوطَ الِاسْتِيفَاءِ فَاقْتَصَّ بِنَفْسِهِ مِنَ النَّفْسِ وَالْأَطْرَافِ لَمْ يُضْمَنْ قَوَدًا وَلَا دِيَةً لِأَنَّهُ اسْتَوْفَى ما استحق ويعزره الحاكم لافتياته وَلَوْ كَانَ الْوَلِيُّ مِنْ أَهْلِ الِاسْتِيفَاءِ فَامْتَنَعَ مِنَ اسْتِيفَائِهِ بِنَفْسِهِ لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهِ وَجَازَ أَنْ يَسْتَنِيبَ فِيهِ فَإِنِ اسْتَنَابَ وَإِلَّا اخْتَارَ لَهُ الْحَاكِمُ مَنْ يَنُوبُ عَنْهُ فِي مُبَاشَرَةِ الِاسْتِيفَاءِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَوْفِهِ النَّائِبُ إِلَّا بِأُجْرَةٍ أُعْطِيَ أُجْرَتَهُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ لِأَنَّهُ مِنَ المَصَالِحِ الْعَامَّةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي بَيْتِ الْمَالِ مَا يُعْطَاهُ كَانَتْ أُجْرَتُهُ فِي مَالِ المقتص منه دون المتقص لَهُ
Pelaksanaan hukuman mati dan syarat-syarat pelaksanaannya: Jika wali korban segera melaksanakan qishash sendiri sebelum terpenuhinya syarat-syarat pelaksanaan, lalu ia menuntut balas terhadap jiwa atau anggota tubuh, maka ia tidak dikenai tanggungan qishash maupun diyat, karena ia telah menunaikan hak yang memang menjadi haknya, namun hakim tetap memberikan ta‘zīr kepadanya karena telah melangkahi wewenang. Jika wali korban termasuk orang yang berhak melaksanakan qishash, namun ia enggan melakukannya sendiri, maka ia tidak dipaksa untuk itu dan boleh mewakilkan kepada orang lain. Jika ia mewakilkan, maka tidak masalah; jika tidak, maka hakim memilihkan seseorang yang akan mewakilinya dalam pelaksanaan qishash. Jika orang yang mewakili itu tidak mau melaksanakan kecuali dengan upah, maka upahnya diambilkan dari Baitul Mal karena hal itu termasuk kemaslahatan umum. Jika di Baitul Mal tidak ada dana untuk membayarnya, maka upahnya diambil dari harta orang yang dikenai qishash, bukan dari harta wali korban.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَكُونُ الْأُجْرَةُ فِي مَالِ الْمُقْتَصِّ لَهُ دُونَ الْمُقْتَصِّ مِنْهُ وَسَيَأْتِي الكلام معه
Abu Hanifah berkata, “Upah itu diambil dari harta orang yang menjadi korban qishash, bukan dari harta orang yang dikenai qishash, dan penjelasan tentang hal ini akan datang.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه قال وَلَوْ أُذِنَ لِرَجُلٍ فَتَنَحَّى بِهِ فَعَفَاهُ الْوَلِيُّ فَقَتَلَهُ قَبْلَ أَنْ يَعْلَمَ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ لَيْسَ لَهُ عَلَى الْقَاتِلِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يَحْلِفَ بِاللَّهِ مَا عَلِمَهُ عَفَا وَلَا عَلَى الْعَافِي وَالثَّانِي أَنْ لَيْسَ عَلَى الْقَاتِلِ قَوَدٌ لِأَنَّهُ قَتَلَهُ عَلَى أَنَّهُ مُبَاحٌ وَعَلَيْهِ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ وَلَا يَرْجِعُ بِهَا عَلَى الْوَلِيِّ لأنه متطوع وهذا أشبههما قال المزني رحمه الله فَالْأَشْبَهُ أَوْلَى بِهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang telah diizinkan (untuk melakukan qishāṣ), lalu ia membawa (terpidana) menjauh, kemudian wali (korban) memaafkannya, namun ia membunuhnya sebelum mengetahui bahwa telah dimaafkan, maka ada dua pendapat dalam hal ini. Pertama, tidak ada kewajiban apa pun atas si pembunuh kecuali ia harus bersumpah dengan nama Allah bahwa ia tidak mengetahui telah ada pemaafan, dan tidak ada kewajiban apa pun atas orang yang memaafkan. Kedua, tidak ada qishāṣ atas si pembunuh karena ia membunuh dengan anggapan bahwa itu telah dibolehkan, namun ia wajib membayar diyat dan kafārah, dan ia tidak boleh menuntut pengembalian diyat dari wali karena ia telah melakukannya secara sukarela. Dan pendapat kedua ini yang lebih mendekati kebenaran. Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Maka yang lebih mendekati kebenaran itulah yang lebih utama diikuti.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا التَّوْكِيلُ فِي الْقِصَاصِ فَضَرْبَانِ
Al-Mawardi berkata, “Adapun perwakilan (tawkil) dalam qishash itu terbagi menjadi dua macam.”
أَحَدُهُمَا تَوْكِيلٌ فِي إِثْبَاتِهِ
Salah satunya adalah mewakilkan dalam penetapannya.
وَالثَّانِي تَوْكِيلٌ فِي اسْتِيفَائِهِ
Yang kedua adalah mewakilkan dalam pengambilannya.
وَقَدْ ذَكَرْنَا كِلَا الضَّرْبَيْنِ فِي كِتَابِ الْوَكَالَةِ وَنَحْنُ نُشِيرُ إِلَيْهِمَا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ
Kami telah menyebutkan kedua jenis tersebut dalam Kitab al-Wakālah, dan kami akan mengisyaratkan keduanya pada bagian ini.
أَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ وَهُوَ التَّوْكِيلُ فِي إِثْبَاتِ الْقِصَاصِ فَهُوَ جَائِزٌ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ إِلَّا أَبَا يُوسُفَ وَحْدَهُ فَإِنَّهُ مَنَعَ مِنْهُ لِأَنَّهُ حَدٌّ يُدْرَأُ بِالشُّبْهَةِ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ الشُّبْهَةَ مَا اخْتَصَّتْ بِالْفِعْلِ أَوْ بِالْفَاعِلِ فَلَمْ يَتَعَدَّ إِلَى التَّوْكِيلِ وَالْمُوَكِّلِ وَلِأَنَّ التَّوْكِيلَ فِي الْإِثْبَاتِ مُخْتَصٌّ بِإِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ وَإِثْبَاتِ الْحُجَّةِ وَهَذَا يَجُوزُ أَنْ يَفْعَلَهُ الْمُوَكِّلُ وَتَصِحُّ فِيهِ النِّيَابَةُ
Adapun jenis pertama, yaitu perwakilan (tawkil) dalam penetapan qishash, maka hal itu diperbolehkan menurut jumhur fuqaha, kecuali Abu Yusuf saja yang melarangnya karena menurutnya qishash adalah hudud yang gugur dengan adanya syubhat. Namun pendapat ini tidak tepat, karena syubhat itu hanya berkaitan dengan perbuatan atau pelaku, sehingga tidak berpengaruh pada perwakilan dan orang yang mewakilkan. Selain itu, perwakilan dalam penetapan hanya terbatas pada penyampaian bukti dan penetapan hujjah, dan hal ini boleh dilakukan oleh orang yang mewakilkan serta sah di dalamnya adanya perwakilan.
فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ التَّوْكِيلِ فِي إِثْبَاتِ الْقِصَاصِ لَمْ يَكُنْ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ بَعْدَ ثُبُوتِهِ إِلَّا بِإِذْنِ مُوَكِّلِهِ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ إِلَّا ابْنَ أَبِي لَيْلَى وَحْدَهُ فَإِنَّهُ جَوَّزَ لَهُ اسْتِيفَاءَ الْقِصَاصِ وَحْدَهُ بَعْدَ إِثْبَاتِهِ لِأَنَّهُ مَقْصُودُ الْإِثْبَاتِ فَأَشْبَهَ الْوَكِيلَ فِي الْبَيْعِ يَجُوزُ لَهُ قَبْضُ الثَّمَنِ مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ لِأَنَّهُ مَقْصُودُ الْبَيْعِ وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ فِعْلَ الْمُوَكِّلِ مَقْصُورٌ عَلَى مَا تَضَمَّنَهُ التَّوْكِيلُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَعَدَّاهُ وَلِأَنَّ إِثْبَاتَ الْقِصَاصِ يَقِفُ مُوجِبُهُ عَلَى خِيَارِ الْمُوَكِّلِ دُونَ الْوَكِيلِ وَلِأَنَّ فِي اسْتِيفَائِهِ لِلْقِصَاصِ إِتْلَافَ مَا لَا يُسْتَدْرَكُ وَخَالَفَ قَبْضُ الثَّمَنِ فِي الْبَيْعِ مِنْ وجهين
Apabila telah tetap kebolehan melakukan wakalah dalam penetapan qishāsh, maka wakil tidak boleh melaksanakan qishāsh setelah penetapannya kecuali dengan izin dari muwakkil (pemberi kuasa), dan ini adalah pendapat jumhur fuqahā’, kecuali Ibnu Abī Lailā saja, karena ia membolehkan wakil untuk melaksanakan qishāsh sendirian setelah penetapannya, karena pelaksanaan qishāsh adalah tujuan dari penetapan tersebut, sehingga ia menyerupai wakil dalam jual beli yang boleh menerima pembayaran tanpa izin, karena menerima pembayaran adalah tujuan dari jual beli. Namun, pendapat ini tidak benar, karena tindakan muwakkil terbatas pada apa yang tercakup dalam akad wakalah, sehingga tidak boleh melampauinya. Selain itu, penetapan qishāsh bergantung pada pilihan muwakkil, bukan wakil. Juga, dalam pelaksanaan qishāsh terdapat unsur menghilangkan sesuatu yang tidak dapat dikembalikan, berbeda dengan menerima pembayaran dalam jual beli dari dua sisi.
أحدها أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الْبَيْعِ قَبْضُ الثَّمَنِ وَالْمَقْصُودَ فِي الْقِصَاصِ مُخْتَلِفٌ
Salah satunya adalah bahwa tujuan dalam jual beli adalah menerima pembayaran, sedangkan tujuan dalam qishāsh berbeda.
وَالثَّانِي أَنَّ رَدَّ الثَّمَنِ مُسْتَدْرَكٌ وَرَدَّ الْقِصَاصِ غَيْرُ مُسْتَدْرَكٍ فَعَلَى هَذَا لَوِ اقْتَصَّ الْوَكِيلُ كَانَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَيَنْتَقِلُ حَقُّ الْمُوَكِّلِ إِلَى الدِّيَةِ لِفَوَاتِ الْقِصَاصِ
Kedua, bahwa pengembalian harga dapat diperbaiki, sedangkan pelaksanaan qishāsh tidak dapat diperbaiki. Maka, berdasarkan hal ini, jika wakil telah melaksanakan qishāsh, maka atasnya (wakil) berlaku qawad, dan hak muwakkil (pemberi kuasa) berpindah kepada diyat karena hilangnya kesempatan pelaksanaan qishāsh.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ التَّوْكِيلُ فِي اسْتِيفَاءِ الْقِصَاصِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun jenis kedua, yaitu mewakilkan dalam pelaksanaan qishāsh, maka terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ بمشهد الْمُوَكِّلِ فَيَصِحُّ الْوَكِيلُ لِأَنَّهَا اسْتِنَابَةٌ فِي مُبَاشَرَةِ الِاسْتِيفَاءِ وَالْمُوَكِّلُ هُوَ الْمُسْتَوْفِي
Salah satunya adalah bahwa wakil mengambilnya di hadapan muwakkil, maka hal itu sah bagi wakil, karena ini merupakan pendelegasian dalam pelaksanaan pengambilan secara langsung, dan muwakkil adalah pihak yang mengambil.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يُوَكِّلَهُ فِي اسْتِيفَائِهِ مَعَ غَيْبَتِهِ عَنْهُ فَظَاهِرُ مَا قَالَهُ هَاهُنَا صِحَّةُ الْوِكَالَةِ وَظَاهَرُ مَا قَالَهُ فِي كِتَابِ الْوِكَالَةِ فَسَادُهَا فَخَرَّجَهُ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا عَلَى قَوْلَيْنِ
Jenis kedua adalah seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menagihnya sementara ia sendiri tidak hadir, maka zahir dari apa yang beliau katakan di sini adalah sahnya wakālah, dan zahir dari apa yang beliau katakan dalam Kitab al-Wakālah adalah batalnya wakālah tersebut. Maka mayoritas ulama kami mengeluarkan masalah ini menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ فَسَادُهَا
Salah satunya, yaitu pendapat Abu Hanifah, adalah batalnya (akad tersebut).
وَالثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ جَوَازِهَا وَقَدْ مَضَى تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ وَمَنْ عَدَلَ بِهِمَا مِنْ أصحابنا إلى اختلاف تأويلين وعلى كلى الْقَوْلَيْنِ مِنْ صِحَّةِ الْوِكَالَةِ وَفَسَادِهَا إِذَا اسْتَوْفَاهُ الْوَكِيلُ كَانَ مُسْتَوْفِيًا لِحَقِّ مُوَكِّلِهِ لِتَصَرُّفِهِ فِيهِ عَنْ إِذْنِهِ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ مِنْ قَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ
Pendapat kedua, yang lebih sahih, adalah bolehnya (wakalah). Penjelasan kedua pendapat telah disebutkan sebelumnya, begitu pula siapa saja dari kalangan ulama kami yang menempuh dua penafsiran berbeda. Berdasarkan kedua pendapat, baik yang menyatakan sah maupun batalnya wakalah, apabila wakil telah melaksanakan tugasnya, maka ia dianggap telah memenuhi hak muwakkilnya karena ia bertindak atas izinnya. Maka, tidak ada tanggungan atasnya berupa qishāsh maupun diyat.
فَصْلٌ
Bab
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَصُورَةُ مَسْأَلَتِنَا أَنْ يُوَكِّلَهُ فِي الْقِصَاصِ ثُمَّ يَعْفُوَ عَنْهُ وَيَسْتَوْفِيَهُ الْوَكِيلُ مِنْهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Setelah apa yang telah kami jelaskan menjadi jelas, maka gambaran masalah kita adalah seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk melaksanakan qishāsh, kemudian ia memaafkan (pelaku), namun wakil tersebut tetap melaksanakan qishāsh terhadapnya. Maka, kasus ini terbagi menjadi dua bentuk.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَعْفُوَ بَعْدَ اقْتِصَاصِ الْوَكِيلِ فَيَكُونُ عَفْوُهُ بَاطِلًا لِأَنَّ عَفْوَهُ بَعْدَ الِاسْتِيفَاءِ كَعَفْوِهِ عَنْ دَيْنٍ قَدِ اسْتَوْفَاهُ وَكِيلُهُ وَيَكُونُ عَفْوُهُ بَعْدَ الْقَبْضِ بَاطِلًا
Salah satunya adalah jika ia memaafkan setelah wakilnya melakukan qishāsh, maka pemaafannya menjadi batal, karena pemaafannya setelah pelaksanaan sama seperti pemaafan atas utang yang telah ditagih oleh wakilnya, dan pemaafannya setelah menerima (qishāsh) menjadi batal.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَعْفُوَ قَبْلَ أَنْ يَقْتَصَّ الْوَكِيلُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah apabila pemaafan terjadi sebelum wakil melaksanakan qishash, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ مَسَافَةُ الْوَكِيلِ أَبْعَدَ مِنْ زَمَانِ الْعَفْوِ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ الْوَكِيلُ عَلَى مَسَافَةِ عَشَرَةِ أَيَّامٍ وَيَعْفُوَ الْمُوَكِّلُ قَبْلَ الْقِصَاصِ بِخَمْسَةِ أَيَّامٍ فَيَكُونُ عَفْوُهُ بَاطِلًا لَا حُكْمَ لَهُ كَمَا لَوْ رَمَى سِلَاحَهُ عَلَى المتقص مِنْهُ ثُمَّ عَفَا عَنْهُ قَبْلَ وُصُولِ السِّلَاحِ إِلَيْهِ كَانَ عَفْوُهُ هَدَرًا؛ لِأَنَّهُ عَفْوٌ عَمَّا لَا يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُهُ
Salah satunya adalah jika jarak sang wakil lebih jauh dari waktu pemberian maaf, seperti misalnya wakil berada pada jarak sepuluh hari perjalanan, lalu pemberi kuasa memaafkan sebelum pelaksanaan qishāsh dalam waktu lima hari. Maka, pemaafan tersebut menjadi batal dan tidak memiliki kekuatan hukum, sebagaimana jika seseorang melemparkan senjatanya kepada orang yang akan dikenai qishāsh, kemudian ia memaafkannya sebelum senjata itu sampai kepadanya, maka pemaafan itu menjadi sia-sia; karena itu adalah pemaafan terhadap sesuatu yang tidak mungkin dapat dicegah lagi.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ مَسَافَةُ الْوَكِيلِ أَقْصَرَ مِنْ زَمَانِ الْعَفْوِ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ الْوَكِيلُ عَلَى مَسَافَةِ خَمْسَةِ أَيَّامٍ وَيَعْفُوَ الْمُوَكِّلُ قَبْلَ اقْتِصَاصِ الْوَكِيلِ بِعَشَرَةِ أَيَّامٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah apabila jarak tempuh wakil lebih singkat daripada waktu pemaafan, seperti misalnya wakil berada pada jarak lima hari perjalanan, sedangkan pemberi kuasa memaafkan sebelum wakil melaksanakan qishāsh dalam waktu sepuluh hari. Maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَعْلَمَ الْوَكِيلُ بِعَفْوِ مُوَكِّلِهِ قَبْلَ الْقِصَاصِ فَيَبْطُلُ حُكْمُ الْإِذْنِ وَيَصِيرُ قَاتِلًا بِغَيْرِ حَقٍّ فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَيَكُونُ الْمُوَكِّلُ عَلَى حَقِّهِ مِنَ الدِّيَةِ إِنْ لَمْ يَعْفُ عَنْهَا عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ شَرْحِ الْقَوْلَيْنِ
Salah satunya adalah apabila wakil mengetahui bahwa pemberi kuasa telah memaafkan sebelum pelaksanaan qishāsh, maka batalah ketentuan izin tersebut dan ia menjadi pembunuh tanpa hak, sehingga wajib atasnya qawad (qishāsh), dan pemberi kuasa tetap berhak atas diyat jika ia tidak memaafkannya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam penjelasan dua pendapat.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَعْلَمَ الْوَكِيلُ بِعَفْوِ الْمُوَكِّلِ حَتَّى يَقْتَصَّ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مُسْتَصْحِبٌ حَالَةَ إِبَاحَةٍ فَكَانَتْ أَقْوَى شُبْهَةً فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ وَفِي وُجُوبِ الدِّيَةِ عليه قولان
Jenis kedua adalah ketika wakil tidak mengetahui adanya pemaafan dari muwakkil hingga ia telah melakukan qishāsh, maka tidak ada qishāsh atasnya, karena ia tetap berada dalam keadaan yang membolehkannya, sehingga hal itu menjadi syubhat yang lebih kuat dalam menggugurkan qishāsh. Adapun mengenai kewajiban membayar diyat atasnya, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا دِيَةَ عَلَيْهِ اسْتِصْحَابًا لِحَالِ الْإِبَاحَةِ كَالْقَوَدِ
Salah satu pendapat menyatakan bahwa tidak ada diyat atasnya, berdasarkan istishab terhadap keadaan kebolehan, seperti dalam kasus qawad.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي عَلَيْهِ الدِّيَةُ لِأَنَّهُ صَادِقُ الْحَظْرِ بَعْدَ الْإِبَاحَةِ فَصَارَ بِعَمْدِ الْخَطَأِ أَشْبَهَ وَكَالْحَرْبِيِّ إِذَا أَسْلَمَ وَقَتَلَهُ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ بِإِسْلَامِهِ ضَمِنَهُ بِالدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ قَدْ أَسْلَمَ الْيَمَانُ أَبُو حُذَيْفَةَ بْنُ الْيَمَانِ فَقَتَلَهُ قَوْمٌ مِنَ المُسْلِمِينَ لَمْ يَعْلَمُوا بِإِسْلَامِهِ فَقَضَى عَلَيْهِمْ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِدِيَتِهِ وَمِنْ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ خَرَّجَ أَصْحَابُنَا بَيْعَ الْوَكِيلِ بَعْدَ عَزْلِهِ وَقَبْلَ عِلْمِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa wajib membayar diyat, karena perbuatan tersebut termasuk pelanggaran setelah sebelumnya dibolehkan, sehingga lebih menyerupai kesengajaan yang tidak disengaja (‘amdu al-khata’). Hal ini seperti seorang harbi yang masuk Islam, lalu dibunuh oleh seseorang yang tidak mengetahui keislamannya, maka ia wajib menanggung diyat, bukan qishash. Sebagaimana kisah Yaman, ayah Hudzayfah bin al-Yaman, yang telah masuk Islam, lalu dibunuh oleh sekelompok kaum Muslimin yang tidak mengetahui keislamannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan diyat atas mereka. Dari dua pendapat ini, para ulama kami mengeluarkan hukum jual beli yang dilakukan oleh wakil setelah ia diberhentikan, namun sebelum ia mengetahui pemberhentiannya, menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّ بَيْعَهُ بَاطِلٌ لِمُصَادَفَتِهِ حَالَ الْعَزْلِ وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ
Salah satunya adalah bahwa jual belinya batal karena terjadi pada saat pemecatan, meskipun ia tidak mengetahuinya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ صَحِيحٌ مَا لَمْ يَعْلَمْ بِعَزْلِهِ وَمَسْأَلَةُ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي نَسْخِ الْحُكْمِ هَلْ يَلْزَمُ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ بِالنَّسْخِ أَمْ لَا يَلْزَمُهُ إِلَّا بَعْدَ عِلْمِهِ بِنَسْخِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Kedua, bahwa hal itu sah selama belum diketahui adanya pencabutan. Adapun permasalahan perbedaan pendapat di antara para sahabat kami mengenai nasakh hukum, apakah orang yang belum mengetahui adanya nasakh tetap terikat dengan hukum tersebut, ataukah ia baru terikat setelah mengetahui adanya nasakh, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا لَا يَلْزَمُ إِلَّا بَعْدَ انْتِشَارِهِ وَالْعِلْمِ بِهِ لِأَنَّ أَهْلَ قُبَاءٍ اسْتَدَارُوا فِي صَلَاتِهِمْ إِلَى الْكَعْبَةِ حِينَ بَلَغَهُمْ تَحْوِيلُ الْقِبْلَةِ إِلَيْهَا
Salah satunya tidak menjadi kewajiban kecuali setelah tersebar dan diketahui, karena penduduk Quba’ berputar dalam salat mereka menghadap Ka‘bah ketika sampai kepada mereka berita tentang pemindahan kiblat ke arahnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ فَرْضَ النَّسْخِ لَازِمٌ لِلْكَافَّةِ مَعَ الْبَلَاغِ وَإِنْ لَمْ يَنْتَشِرْ فِي جَمِيعِهِمْ وَلَا عَلِمَهُ أَكْثَرُهُمْ لِأَنَّ حُكْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْجَمَاعَةِ وَاحِدٌ
Adapun pendapat kedua, bahwa kewajiban nasakh berlaku bagi seluruh umat setelah sampai penyampaiannya, meskipun tidak tersebar di antara mereka semua dan mayoritas mereka tidak mengetahuinya, karena hukum Allah Ta‘ala atas suatu kelompok adalah satu.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قِيلَ بِالْأَوَّلِ إِنَّهُ لَا ضَمَانَ عَلَى الْوَكِيلِ مِنْ قَوَدٍ وَلَا عَقْلٍ فَقَتْلُ الْوَكِيلِ لِلْجَانِي يَكُونُ قَوَدًا وَيَكُونُ عَفْوُ الْمُوَكِّلِ بَاطِلًا وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى هَذَا الْقَوْلِ فِي الْوَكِيلِ هَلْ تَلْزَمُهُ الْكَفَّارَةُ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Jika telah ditetapkan apa yang telah kami sebutkan dari dua pendapat tersebut, maka jika dipilih pendapat pertama bahwa tidak ada tanggungan atas wakil, baik berupa qisas maupun diyat, maka pembunuhan yang dilakukan wakil terhadap pelaku kejahatan dianggap sebagai qisas, dan pemaafan dari muwakkil menjadi batal. Para ulama kami berbeda pendapat dalam masalah ini mengenai wakil, apakah ia wajib membayar kafarat atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ قَدْ أَجْرَى عَلَى قَتْلِهِ حُكْمَ اسْتِيفَائِهِ قَوَدًا
Salah satunya tidak wajib membayar kafarat karena atas pembunuhannya telah diberlakukan hukum qishash.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ كَمَنْ رَمَى دَارَ الْحَرْبِ فَقَتَلَ مُسْلِمًا ضَمِنَهُ وَكَفَّرَ عَنْهُ
Pendapat kedua: ia wajib membayar kafarat, seperti seseorang yang melempar ke rumah wilayah perang lalu membunuh seorang Muslim, maka ia wajib menanggungnya dan membayar kafarat atasnya.
وَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي إِنَّ الْوَكِيلَ ضَامِنٌ لِلدِّيَةِ فَعَفْوُ الْمُوَكِّلِ صَحِيحٌ وَحَقُّهُ فِي الدِّيَةِ إِذَا اسْتَوْجَبَهَا عَلَى مَا مَضَى مِنَ التَّفْصِيلِ مُسْتَحَقٌّ عَلَى الْجَانِي قَاتِلِ أَبِيهِ يَرْجِعُ بِهَا فِي مَالِهِ وَلَا يَرْجِعُ بِهَا عَلَى وَكِيلِهِ وَيَرْجِعُ أَوْلِيَاءُ الْقَاتِلِ الْمَقْتُولِ بِدِيَتِهِ عَلَى الْوَكِيلِ وَهَلْ تَكُونُ حَالَّةً فِي مَالِ الْوَكِيلِ أَوْ مُؤَجَّلَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Dan jika dikatakan menurut pendapat kedua bahwa wakil bertanggung jawab atas diyat, maka pemaafan dari muwakkil adalah sah, dan haknya atas diyat jika ia berhak menerimanya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tetap menjadi hak atas pelaku (jāni) yang membunuh ayahnya; ia dapat menuntutnya dari hartanya dan tidak dapat menuntutnya dari wakilnya. Sedangkan para ahli waris dari korban pembunuhan dapat menuntut diyat dari wakil. Apakah diyat itu harus segera dibayarkan dari harta wakil atau ditangguhkan atas ‘āqilah-nya, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ تَكُونُ حَالَّةً فِي مَالِهِ مَعَ الْكَفَّارَةِ لِأَنَّهُ عَامِدٌ فِي فِعْلِهِ وَإِنَّمَا سَقَطَ الْقَوَدُ فِيهِ بِشُبْهَتِهِ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq, menyatakan bahwa diyat menjadi wajib atas hartanya beserta kafarat, karena ia sengaja melakukan perbuatannya, dan qisas gugur dalam kasus ini karena adanya syubhat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِيَ هُرَيْرَةَ تَكُونُ مُؤَجَّلَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ وَالْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ لِأَنَّهُ قَتَلَهُ مُعْتَقِدًا لِاسْتِبَاحَةِ قَتْلِهِ فَصَادَفَ الْحَظْرَ فَصَارَ خَاطِئًا فَإِذَا أُغْرِمَ الْوَكِيلُ الدِّيَةَ فَفِي رُجُوعِهِ عَلَى مُوَكِّلِهِ بِهَا قَوْلَانِ كَالزَّوْجِ الْمَغْرُورِ إِذَا أُغْرِمَ مَهْرَ الْمِثْلِ بِالْغُرُورِ هَلْ يَرْجِعُ بِهِ عَلَى الْغَارِمِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ لِأَنَّ الْمُوَكِّلَ قَدْ صَارَ بِعَفْوِهِ غاراً لِلْوَكِيلِ حِينَ لَمْ يُعْلِمْهُ بِعَفْوِهِ وَسَوَاءٌ كَانَ هَذَا الْوَكِيلُ مُسْتَعْمَلًا أَوْ مُتَطَوِّعًا وَهَكَذَا الْحُكْمُ فِي الْأَطْرَافِ إِذَا اقْتَصَّ مِنْهَا الْوَكِيلُ بَعْدَ العفو
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, adalah bahwa diyat menjadi tanggungan yang ditangguhkan atas ‘āqilah-nya, sedangkan kafarat diambil dari hartanya sendiri. Sebab, ia membunuh dengan keyakinan bahwa pembunuhan itu boleh, namun ternyata perbuatannya terlarang, sehingga ia menjadi bersalah. Jika wakil diwajibkan membayar diyat, maka ada dua pendapat mengenai apakah ia boleh menuntut kembali kepada orang yang mewakilkannya, sebagaimana suami yang tertipu apabila diwajibkan membayar mahar mitsil karena tertipu, apakah ia boleh menuntut kembali kepada pihak yang menipunya atau tidak, ada dua pendapat. Sebab, orang yang mewakilkan telah menjadi penipu bagi wakilnya karena tidak memberitahukan bahwa ia telah memaafkan (pihak yang dibunuh). Sama saja apakah wakil tersebut dipekerjakan atau sukarela. Demikian pula hukum pada kasus anggota badan, jika wakil melakukan qishash setelah adanya pemaafan.
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَا تُقْتَلُ الْحَامِلُ حَتَّى تَضَعَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِوَلَدِهَا مُرْضِعٌ فَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ لَوْ تُرِكَتْ بِطِيبِ نَفْسِ الْوَلِيِّ حَتَّى يُوجَدَ لَهُ مُرْضِعٌ فَإِنْ لَمْ يفعل قتلت قال المزني رحمه الله إِذَا لَمْ يُوجَدْ لِلْمَوْلُودِ مَا يَحْيَا بِهِ لَمْ يَحِلَّ عِنْدِي قَتْلُهُ بِقَتْلِ أُمِّهِ حَتَّى يُوجَدَ مَا يَحْيَا بِهِ فَتُقْتَلَ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Perempuan hamil tidak boleh dihukum mati sampai ia melahirkan. Jika anaknya tidak memiliki ibu susu, maka yang lebih aku sukai adalah jika ia dibiarkan (tidak dihukum mati) dengan kerelaan wali sampai ditemukan ibu susu untuk anak tersebut. Jika tidak dilakukan demikian, maka ia boleh dihukum mati.” Al-Muzani rahimahullah berkata: “Jika tidak ditemukan sesuatu yang dapat membuat bayi itu hidup, menurutku tidak halal membunuhnya dengan membunuh ibunya sampai ditemukan sesuatu yang dapat membuatnya hidup, lalu barulah ibunya boleh dihukum mati.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا وَجَبَ الْقِصَاصُ عَلَى حَامِلٍ أَوْ وَجَبَ عَلَيْهَا وَهِيَ حَائِلٌ فَحَمَلَتْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْهَا حَامِلًا حَتَّى تَضَعَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ الإسراء 33 وَفِي قَتْلِ الْحَامِلِ سَرَفٌ لِلتَّعَدِّي بِقَتْلِ الْحَمْلِ مَعَهَا وَلِأَنَّ الْغَامِدِيَّةَ أَقَرَّتْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بالزنا وهي حامل وقالت طهرني يا رسو ل اللَّهِ فَقَالَ لَهَا اذْهَبِي حَتَّى تَضَعِي حَمْلَكِ وَأَمَرَ عُمَرُ بِرَجْمِ امْرَأَةٍ أَقَرَّتْ بِالزِّنَا وَهِيَ حَامِلٌ فَرَدَّهَا عَلِيٌّ وَقَالَ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِنَّهُ لَا سَبِيلَ لَكَ عَلَى مَا فِي بَطْنِهَا فَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا عَلِيٌّ لَهَلَكَ عُمَرُ
Al-Mawardi berkata: Jika qishāsh wajib atas seorang wanita hamil, atau qishāsh wajib atasnya saat ia tidak hamil lalu ia hamil, maka tidak boleh dilaksanakan qishāsh terhadapnya dalam keadaan hamil sampai ia melahirkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka Kami telah memberikan kekuasaan kepada wali (korban), maka janganlah ia melampaui batas dalam pembunuhan” (QS. Al-Isra’ 33). Membunuh wanita hamil termasuk melampaui batas, karena berarti membunuh janin bersamanya. Selain itu, seorang wanita dari suku Ghamidiyah pernah mengakui perzinaan di hadapan Rasulullah ﷺ saat ia sedang hamil, lalu ia berkata, “Sucikanlah aku, wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda kepadanya, “Pergilah hingga engkau melahirkan kandunganmu.” Umar juga pernah memerintahkan untuk merajam seorang wanita yang mengakui perzinaan dalam keadaan hamil, namun Ali menolaknya dan berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Engkau tidak berhak atas apa yang ada di dalam kandungannya.” Maka Umar berkata, “Seandainya bukan karena Ali, niscaya binasalah Umar.”
وَقِيلَ بَلْ كَانَ الْقَائِلُ ذَلِكَ مُعَاذ بْن جَبَلٍ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ كَادَ النِّسَاءَ يعجزون أَنْ يَلِدْنَ مِثْلَكَ وَالْأَوَّلُ أَشْهَرُ وَلِأَنَّهُ قَدْ تَقَابَلَ فِي الْحَامِلِ حَقَّانِ
Dan dikatakan pula bahwa yang mengatakan hal itu adalah Mu‘ādz bin Jabal, lalu ‘Umar berkata kepadanya, “Hampir-hampir para wanita tidak mampu melahirkan orang sepertimu.” Namun pendapat pertama lebih masyhur, karena pada wanita hamil terdapat dua hak yang saling berhadapan.
أَحَدُهُمَا يُوجِبُ تَعْجِيلَ قَتْلِهَا وَهُوَ الْقِصَاصُ
Salah satunya mewajibkan percepatan pembunuhan terhadapnya, yaitu qishāsh.
وَالثَّانِي اسْتِبْقَاءُ حَيَاتِهَا وَهُوَ الْحَمْلُ فَقُدِّمَ حَقُّ الْحَمْلِ فِي الِاسْتِيفَاءِ عَلَى حَقِّ الْقِصَاصِ فِي التَّعْجِيلِ لِأَنَّ فِي تَعْجِيلِ قَتْلِهَا إِسْقَاطَ أَحَدِ الْحَقَّيْنِ وَفِي إِنْظَارِهَا اسْتِيفَاءَ الْحَقَّيْنِ فَكَانَ الْإِنْظَارُ أَوْلَى مِنَ التَّعْجِيلِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ فِي أَوَّلِ الْحَمْلِ أَوْ فِي آخِرِهِ عُلِمَ ذَلِكَ بِحَرَكَةِ الْحَمْلِ أَوْ لَمْ يُعْلَمْ إِلَّا بِقَوْلِهَا لِيُسْتَبْرَأَ صِحَّةُ دَعْوَاهَا
Yang kedua adalah menjaga kelangsungan hidupnya, yaitu janin yang dikandungnya. Maka, hak janin dalam memperoleh kehidupannya didahulukan atas hak qishāsh dalam hal percepatan pelaksanaan, karena jika pelaksanaan qishāsh disegerakan berarti menggugurkan salah satu dari dua hak tersebut. Sedangkan dengan menunda pelaksanaan qishāsh, kedua hak tersebut dapat terpenuhi. Oleh karena itu, penundaan lebih utama daripada percepatan. Hal ini berlaku baik ia berada pada awal kehamilan maupun pada akhir kehamilan, baik diketahui dengan gerakan janin maupun hanya berdasarkan pengakuannya saja, agar dapat dipastikan kebenaran pengakuannya.
وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ لَا تُقْبَلُ دَعْوَاهَا لِلْحَمْلِ حَتَّى يَشْهَدَ بِهِ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ عُدُولٍ وَيُعَجَّلُ قَتْلُهَا إِنْ لَمْ يَشْهَدْنَ لَهَا وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ البقرة 228 فَكَانَ هَذَا الْوَعِيدُ عَلَى مَا وَجَبَ مِنْ قَبُولِ قَوْلِهَا فِيهِ وَتَحْلِفُ عَلَيْهِ إِنِ اتُّهِمَتْ فَإِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا أُمْهِلَتْ حَتَّى تُرْضِعَ وَلَدَهَا اللَّبَأَ الَّذِي لَا يَحْيَا الْمَوْلُودُ إِلَّا بِهِ وَيَتَعَذَّرُ وُجُودُهُ مِنْ غَيْرِهَا فِي الْأَغْلَبِ فَإِذَا أَرْضَعَتْهُ مَا لَا يَحْيَا إِلَّا بِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ فِي رَضَاعِهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Abu Sa‘id al-Ishthakhri berkata, “Pengakuan seorang perempuan mengenai kehamilannya tidak diterima kecuali disaksikan oleh empat perempuan yang adil, dan jika tidak ada yang bersaksi untuknya, maka hukuman mati segera dilaksanakan atasnya.” Namun, pendapat ini keliru, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Al-Baqarah: 228). Ancaman ini menunjukkan kewajiban menerima pengakuan perempuan dalam hal ini, dan ia harus bersumpah jika dituduh. Apabila ia telah melahirkan kandungannya, maka ia diberi waktu hingga menyusui anaknya dengan susu awal (colostrum) yang tanpanya bayi tidak dapat hidup, dan pada umumnya tidak mungkin didapatkan dari selain ibunya. Setelah ia menyusui anaknya dengan susu yang menjadi syarat kelangsungan hidupnya, maka keadaan menyusui itu tidak lepas dari empat kemungkinan.
أَحَدُهَا أَنْ لَا يُوجَدُ لَهُ مُرْضِعٌ سِوَاهَا فَالْوَاجِبُ الصَّبْرُ عَلَيْهَا حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رَضَاعَةَ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِأَنَّهُ لَمَّا أَخَّرْنَاهَا لِحِفْظِ حَيَاتِهِ حَمْلًا فَأَوْلَى أَنْ نؤخرها لحفظ حَيَاتِهِ مَوْلُودًا وَلِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِلْغَامِدِيَّةِ حِينَ عَادَتْ إِلَيْهِ بَعْدَ وَضْعِ حَمْلِهَا اذْهَبِي حَتَّى تُرْضِعِيهِ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Salah satunya adalah jika tidak ada wanita lain yang dapat menyusuinya selain dia, maka yang wajib adalah bersabar terhadapnya sampai ia menyempurnakan masa penyusuan selama dua tahun penuh. Karena ketika kita menangguhkan pelaksanaan hukuman terhadapnya demi menjaga kehidupannya saat masih dalam kandungan, maka lebih utama lagi untuk menangguhkannya demi menjaga kehidupannya setelah lahir. Dan karena Nabi ﷺ berkata kepada wanita Ghamidiyah ketika ia kembali setelah melahirkan, “Pergilah hingga engkau menyusuinya selama dua tahun penuh.”
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يُوجَدَ لَهُ مُرْضِعٌ قَدْ تَعَيَّنَتْ وَسُلِّمَ إِلَيْهَا مُلَازِمَةً لِرَضَاعِهِ فَيُقْتَصُّ مِنْهَا فِي الْحَالِ وَإِنْ كَانَتْ فِي بَقِيَّةِ نِفَاسِهَا لِأَنَّهُ لَمْ يَبْقَ لِلْوَلَدِ عَلَيْهَا حَقٌّ وَلَا لِحَيَاتِهِ بِهَا تَعَلُّقٌ
Bagian kedua adalah apabila telah ada seorang ibu susu yang telah ditetapkan dan anak tersebut telah diserahkan kepadanya untuk senantiasa disusui, maka qishāsh dapat dilaksanakan terhadap ibu kandungnya saat itu juga, meskipun ia masih dalam masa nifas, karena anak tersebut tidak lagi memiliki hak atasnya dan kehidupannya tidak lagi bergantung padanya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُوجَدَ لَهُ مَنْ لَا يَتَرَتَّبُ لِرَضَاعِهِ مِنَ النِّسَاءِ عَلَى الدَّوَامِ أَوْ يُوجَدُ لَهُ بَهِيمَةٌ ذَاتُ لَبَنٍ يَكْتَفِي بِلَبَنِهَا وَلَا يُوجَدُ لِرَضَاعِهِ أَحَدُ النِّسَاءِ فيقال لولي القصاص الأولى بك أن تصر عَلَيْهَا لِتَقُومَ بِرَضَاعِهِ لِئَلَّا يَخْتَلِفَ عَلَيْهِ لَبَنُ النِّسَاءِ إِذَا لَمْ يَتَرَتَّبْ لَهُ إِحْدَاهُنَّ أَوْ يُعْدَلْ بِهِ إِلَى لَبَنِ بَهِيمَةٍ وَلَبَنُ النِّسَاءِ أَوْثَقُ لَهُ وَلَا يَلْزَمُكَ الصَّبْرُ لِأَنَّ فِيمَا يُوجَدُ مِنْ لَبَنِ الْبَهِيمَةِ وَمَنْ لَا يَتَرَتَّبُ لَهُ مِنَ النِّسَاءِ حِفْظٌ لِحَيَاتِهِ فَإِنْ صَبَرَ مُخْتَارًا أُخِّرَ قَتْلُهَا وَإِنِ امْتَنَعَ وَطَلَبَ التَّعْجِيلَ قُتِلَتْ وَلَمْ تُؤَخَّرْ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِوَلَدِهَا مُرْضِعٌ فَأَحَبُّ إِلَيَّ لَوْ تُرِكَتْ بِطِيبِ نَفْسِ الْوَلِيِّ حَتَّى يُوجَدَ لَهُ مُرْضِعٌ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ قُتِلَتْ وَلَيْسَ كَمَا تَوَهَّمَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّهُ أَرَادَ إِذَا لَمْ يُوجَدْ لَهُ مُرْضِعٌ أَبَدًا
Bagian ketiga adalah apabila ada seorang anak yang tidak ada wanita yang dapat menyusui secara tetap untuknya, atau ada hewan betina yang memiliki susu yang cukup untuknya dan tidak ada wanita yang dapat menyusuinya. Maka dikatakan kepada wali qishāsh: “Yang lebih utama bagimu adalah menahan (pelaku) agar ia dapat menyusui anak itu, supaya anak tersebut tidak berganti-ganti susu wanita jika tidak ada satu pun dari mereka yang tetap menyusuinya, atau dialihkan kepada susu hewan. Namun, susu wanita lebih terpercaya baginya. Dan kamu tidak wajib bersabar, karena dalam susu hewan atau wanita yang tidak tetap menyusuinya itu sudah terdapat penjagaan atas kehidupannya. Jika wali bersabar secara sukarela, maka pelaksanaan hukuman ditunda. Namun jika ia menolak dan meminta percepatan, maka pelaku dibunuh dan tidak ditunda. Inilah maksud perkataan asy-Syāfi‘ī: ‘Jika anaknya tidak memiliki ibu susu, maka yang lebih aku sukai adalah jika pelaku dibiarkan dengan kerelaan wali sampai didapatkan ibu susu untuknya. Jika tidak dilakukan, maka pelaku dibunuh.’ Dan bukan seperti yang disangka oleh al-Muzanī bahwa maksudnya adalah jika sama sekali tidak didapatkan ibu susu untuknya.”
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ سَيُوجَدُ لَهُ مُرْضِعٌ يَتَرَتَّبُ لِرَضَاعِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ فِي الْحَالِ وَلَا تَسَلَّمَتْهُ فَفِي تَعْجِيلِ قَتْلِهَا قَبْلَ تَعْيِينِ مُرْضِعَةٍ وَتَسْلِيمِهِ وَجْهَانِ
Bagian keempat adalah ketika diketahui bahwa akan ada seorang ibu susu yang akan menyusui anak itu, namun pada saat itu belum ditentukan siapa orangnya dan anak tersebut belum diserahkan kepadanya. Maka, dalam hal mempercepat pembunuhan ibu sebelum penunjukan ibu susu dan penyerahan anak kepadanya, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ أَظْهَرُهُمَا تَعْجِيلُ قَتْلِهَا إِلَّا أَنْ يَرْضَى الْوَلِيُّ بِإِنْظَارِهَا إِلَى تَعْيِينِ الْمُرْضِعِ وَتَسْلِيمِهِ لِأَنَّنَا لَا نَأْمَنُ عَلَى الْمَوْلُودِ مِنْ تَلَفِ النَّفْسِ
Salah satu pendapat, dan ini yang paling kuat, adalah segera melaksanakan hukuman mati terhadapnya, kecuali jika wali setuju untuk menunda pelaksanaannya sampai ditentukan ibu susu dan diserahkannya anak tersebut, karena kita tidak dapat menjamin keselamatan jiwa bayi tersebut.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجِبُ تَأْخِيرُ قَتْلِهَا حَتَّى يَتَعَيَّنَ الْمُرْضِعُ وَتَتَسَلَّمُهُ رَضِيَ بِهِ الْوَلِيُّ أَوْ لَمْ يَرْضَ لِأَنَّهُ رُبَّمَا تَأَخَّرَ تَعْيِينُ المرضع وتسليمه إليها زماناً لا يصير الْمَوْلُودُ فِيهِ عَلَى فَقْدِ الرَّضَاعِ فَيَتْلَفُ
Pendapat kedua menyatakan bahwa wajib menunda pelaksanaan hukuman mati terhadapnya sampai pengasuh (ibu susu) benar-benar ditetapkan dan bayi tersebut telah diserahkan kepadanya, baik wali bayi rela maupun tidak, karena bisa jadi penetapan pengasuh dan penyerahan bayi kepadanya memerlukan waktu tertentu, di mana selama waktu itu bayi tidak mendapatkan asupan susu sehingga dapat menyebabkan kematiannya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رحمه الله ولوعجل الْإِمَامُ فَاقْتَصَّ مِنْهَا حَامِلًا فَعَلَيْهِ الْمَأْثَمُ فَإِنْ أَلْقَتْ جَنِينًا ضَمِنَهُ الْإِمَامُ عَلَى عَاقِلَتِهِ دُونَ المقتص قال المزني رحمه الله بل على الولي لأنه اقتص لنفسه مختاراً فجنى على من لا قصاص له عليه فهو بغرم ما أتلف أولى من إمام حكم له بحقه فأخذه وما ليس له
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika imam tergesa-gesa lalu menegakkan qishash terhadap seorang wanita hamil, maka ia berdosa. Jika wanita itu kemudian melahirkan janin (yang gugur), maka imam wajib menanggung diyat janin tersebut yang dibayarkan oleh ‘aqilah-nya, bukan oleh pelaku qishash.” Al-Muzani rahimahullah berkata: “Bahkan, yang wajib menanggung adalah wali (yang menuntut qishash), karena ia menegakkan qishash untuk dirinya sendiri secara sukarela, sehingga ia telah menyebabkan kerugian pada pihak yang tidak berhak menerima qishash darinya. Maka, ia lebih berhak menanggung ganti rugi atas apa yang telah ia rusak, dibandingkan imam yang memutuskan haknya lalu ia mengambilnya, atau mengambil sesuatu yang bukan haknya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا عُجِّلَ قَتْلُ الْحَامِلِ قَوَدًا ولم تسهل حَتَّى تَضَعَ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا بَعْدَ الْقَتْلِ من أن تلق وَلَدًا أَوْ لَا تُلْقِيَهُ فَإِنْ لَمْ تُلْقِ وَلَدًا فَلَا ضَمَانَ فِي الْحَمْلِ لِأَنَّهُ مَوْهُومٌ وَيُنْظَرُ حَالُهَا فَإِنْ كَانَتْ أَمَارَاتُ الْحَمْلِ ظَاهِرَةً عَلَيْهَا كَانَ قَاتِلُهَا آثِمًا إِذَا عَلِمَ بِالْأَمَارَاتِ لِأَنَّهُ عَجَّلَ بِقَتْلٍ وَجَبَ تَأْخِيرُهُ وَإِنْ لَمْ تَظْهَرْ أَمَارَاتُهُ فَلَا مَأْثَمَ فِيهِ لِأَنَّ الظَّاهِرَ خُلُوُّهَا مِنَ الحَمْلِ وَإِنْ أَلْقَتْ وَلَدًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Jika pembunuhan terhadap wanita hamil dipercepat sebagai qishāsh dan tidak ditunda hingga ia melahirkan, maka setelah pembunuhan itu keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia melahirkan anak atau tidak. Jika ia tidak melahirkan anak, maka tidak ada kewajiban diyat atas janin, karena keberadaan janin itu masih diragukan. Namun, keadaannya perlu diperhatikan; jika tanda-tanda kehamilan tampak jelas padanya, maka orang yang membunuhnya berdosa jika ia mengetahui tanda-tanda tersebut, karena ia telah mempercepat pembunuhan yang seharusnya ditunda. Tetapi jika tanda-tanda kehamilan tidak tampak, maka tidak ada dosa baginya, karena yang tampak adalah wanita itu tidak sedang hamil. Jika ia melahirkan anak, maka ada dua kemungkinan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ حَيًّا يَبْقَى بعد قتلها فلاضمان فِيهِ لِبَقَاءِ حَيَاتِهِ فَإِنْ مَاتَ بَعْدَهَا رُوعِيَ أمره فيما يبين وَضْعِهِ وَمَوْتِهِ فَإِنْ لَمْ يَزَلْ فِيهِ ضَمِنًا يَحْدُثُ بِهِ ضَعْفٌ بَعْدَ ضَعْفٍ فَالظَّاهِرُ مِنْ مَوْتِهِ أَنَّهُ كَانَ يِقَتل أُمَّه فَيَكُونُ مَضْمُونًا بِالدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ فِيمَا بَيْنَ وَضْعِهِ وَمَوْتِهِ سَلِيمًا يَزْدَادُ قُوَّةً بَعْدَ قُوَّةٍ ثُمَّ مَاتَ فَالظَّاهِرُ مِنْ حَالِ مَوْتِهِ أَنَّهُ عَنْ سَبَبٍ حَادِثٍ بَعْدَ وِلَادَتِهِ فَلَا يَضْمَنُ دِيَتَهُ
Salah satunya adalah jika ia (anak) hidup dan tetap hidup setelah ibunya dibunuh, maka tidak ada kewajiban membayar diyat atasnya karena ia masih hidup. Jika ia meninggal setelah itu, maka keadaannya dilihat pada saat kelahiran dan kematiannya. Jika sejak lahir ia terus-menerus dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dari waktu ke waktu, maka yang tampak dari kematiannya adalah bahwa ia terbunuh karena ibunya, sehingga diyatnya menjadi tanggungan. Namun, jika antara kelahirannya dan kematiannya ia dalam keadaan sehat dan justru bertambah kuat, lalu kemudian meninggal, maka yang tampak dari keadaannya saat meninggal adalah bahwa kematiannya disebabkan oleh sebab lain yang terjadi setelah kelahirannya, sehingga tidak ada kewajiban membayar diyat atasnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَضَعَهُ جَنِينًا لَا يَبْقَى لَهُ حَيَاةٌ فَيَكُونُ مَضْمُونًا؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ إِلْقَائِهِ أنه كان بقتل أُمّه لِأَمْرَيْنِ
Jenis yang kedua adalah jika ia melahirkannya dalam keadaan janin yang tidak lagi memiliki kehidupan, maka janin itu menjadi tanggungan (diyat); karena yang tampak dari peristiwa keluarnya janin tersebut adalah bahwa ia keluar akibat terbunuhnya sang ibu karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ حَيَاتَهُ كَانَتْ مُتَّصِلَةً بِحَيَاتِهَا
Salah satunya adalah bahwa kehidupannya terhubung dengan kehidupannya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ فَقَدَ غِذَاءَهُ مِنْهَا وَإِنْ كَانَ مَضْمُونًا نُظِرَ فِيهِ فَإِنْ وَضَعَتْهُ مَيِّتًا وَجَبَ فِيهِ غُرَّةُ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ قِيمَتُهَا خَمْسُونَ دِينَارًا هِيَ عُشْرُ دِيَةِ أُمِّهِ وَنِصْفُ عُشْرِ دِيَةِ أَبِيهِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْجَنِينُ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى وَإِنِ اسْتَهَلَّ الْجَنِينُ صَارِخًا ضُمِنَ بِكَمَالِ دِيَتِهِ فَإِنْ كَانَ ذَكَرًا ضُمِنَ بِدِيَةِ رَجُلٍ وَإِنْ كَانَ أُنْثَى ضُمِنَ بِدِيَةِ امْرَأَةٍ
Kedua, bahwa ia telah kehilangan asupannya dari ibunya, meskipun hal itu telah dijamin. Maka, jika janin itu lahir dalam keadaan mati, wajib membayar diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan yang nilainya lima puluh dinar, yaitu sepersepuluh dari diyat ibunya dan setengah dari sepersepuluh diyat ayahnya. Tidak ada perbedaan apakah janin itu laki-laki atau perempuan. Namun, jika janin itu lahir dan menangis, maka diyatnya wajib dibayarkan secara penuh; jika ia laki-laki, maka diyatnya sebesar diyat seorang laki-laki, dan jika perempuan, maka diyatnya sebesar diyat seorang perempuan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْجَنِينَ مَضْمُونٌ بِالْغُرَّةِ إِنْ لَمْ يَسْتَهِلَّ وَبِالدِّيَةِ إِنِ اسْتَهَلَّ كَانَ لُزُومُهَا مَقْصُورًا عَلَى الْإِمَامِ لحكمه بالقصاص وعلى الوليد لِاسْتِيفَائِهِ الْقِصَاصَ وَلَا يَخْلُو حَالُهُمَا فِي الْحَمْلِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Maka apabila telah tetap bahwa janin dijamin dengan pembayaran al-ghurrah jika ia tidak menangis saat lahir, dan dengan diyat jika ia menangis, maka kewajiban pembayaran itu terbatas pada imam karena ia yang menetapkan hukum qishash, dan pada wali korban untuk menuntut pelaksanaan qishash. Keadaan keduanya dalam kasus kehamilan tidak lepas dari empat bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَعْلَمَ الْوَلِيُّ بِالْحَمْلِ وَلَا يَعْلَمَ بِهِ الْإِمَامُ فَالضَّمَانُ عَلَى الْوَلِيِّ دُونَ الْإِمَامِ لِمُبَاشَرَتِهِ لِقَتْلٍ عُلِمَ حَظْرُهُ
Salah satunya adalah apabila wali mengetahui adanya kehamilan, sedangkan imam tidak mengetahuinya, maka tanggungan (diyat) menjadi kewajiban wali, bukan imam, karena wali secara langsung melakukan pembunuhan yang telah diketahui larangannya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَعْلَمَ الْإِمَامُ بِالْحَمْلِ وَلَا يَعْلَمَ بِهِ الْوَلِيُّ فَالضَّمَانُ عَلَى الْإِمَامِ لِحُكْمِهِ بِقَتْلٍ عُلِمَ حَظْرُهُ كَالشُّهُودِ بِالْقَتْلِ إِذَا اسْتَوْفَاهُ الْحَاكِمُ بِشَهَادَتِهِمْ ثُمَّ رَجَعُوا ضَمِنُوهُ دُونَ الْحَاكِمِ
Bagian kedua adalah apabila imam mengetahui adanya kehamilan, sedangkan wali tidak mengetahuinya, maka tanggung jawab (dhaman) ada pada imam karena ia telah memutuskan hukuman mati yang diketahui terlarang, seperti para saksi dalam kasus pembunuhan: jika hakim mengeksekusi hukuman berdasarkan kesaksian mereka, lalu para saksi itu menarik kembali kesaksiannya, maka merekalah yang menanggung (dhaman), bukan hakim.
وَقَالَ الْمُزَنِيُّ فِي هَذَا الْقِسْمِ يَكُونُ ضَمَانُهُ عَلَى الْوَلِيِّ دُونَ الْإِمَامِ لِمُبَاشَرَتِهِ وَهُوَ فَاسِدٌ بِمَا ذَكَرْنَاهُ
Al-Muzani berkata dalam bagian ini bahwa tanggung jawab jaminannya berada pada wali, bukan pada imam, karena wali yang langsung melakukannya. Namun, pendapat ini rusak (tidak benar) sebagaimana yang telah kami sebutkan.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَعْلَمَ الْإِمَامُ وَالْوَلِيُّ بِالْحَمْلِ فَالضَّمَانُ عَلَى الْإِمَامِ دُونَ الْوَلِيِّ وَقَالَ الْمُزَنِيُّ عَلَى الْوَلِيِّ دُونَ الْإِمَامِ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ الْوَلِيَّ مُطَالِبٌ بِحَقِّهِ وَالْإِمَامَ هُوَ الْمُمَكِّنُ مِنْهُ وَالْحَاكِمُ بِهِ فَكَانَ بِالْتِزَامِ الضَّمَانِ أَحَقَّ
Bagian ketiga adalah apabila imam dan wali mengetahui adanya kehamilan, maka tanggungan (dhaman) ada pada imam, bukan pada wali. Al-Muzani berpendapat bahwa tanggungan ada pada wali, bukan pada imam. Pendapat ini tidak benar, karena wali hanya menuntut haknya, sedangkan imam adalah pihak yang memberikan izin dan memutuskan perkara tersebut, sehingga imam lebih berhak untuk menanggung tanggungan tersebut.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ لَا يَعْلَمَ الْإِمَامُ وَلَا الْوَلِيُّ بِالْحَمْلِ فَفِي مَا يُلْزِمُ الضَّمَانَ ثلاثة أوجه
Bagian keempat adalah apabila imam maupun wali tidak mengetahui adanya kehamilan, maka dalam hal yang mewajibkan penjaminan (dhaman) terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَى الْوَلِيِّ لِمُبَاشَرَتِهِ لَهُ
Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa hal itu menjadi tanggungan wali karena ia yang langsung melakukannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة إنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَى الْإِمَامِ دُونَ الْوَلِيِّ بِتَسْلِيطِهِ عَلَيْهِ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa hal itu menjadi tanggungan imam, bukan wali, karena imam yang memberikan kewenangan atasnya.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ إنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَى الْإِمَامِ وَعَلَى الْوَلِيِّ نِصْفَيْنِ لِوُجُودِ التَّسْلِيطِ مِنَ الإِمَامِ وَوُجُودِ الْمُبَاشَرَةِ مِنَ الوَلِيِّ فَصَارَا فِيهِ شَرِيكَيْنِ
Pendapat ketiga, yaitu pendapat para ulama Bashrah, menyatakan bahwa tanggung jawab itu ditanggung oleh imam dan wali masing-masing setengah, karena adanya pemberian wewenang dari imam dan adanya pelaksanaan langsung dari wali, sehingga keduanya menjadi sekutu dalam hal ini.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا اسْتَقَرَّ تَعْيِينُ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الضَّمَانُ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ التَّقْسِيمِ كَانَ مَا ضَمِنَهُ الْوَلِيُّ مِنْ دِيَتِهِ أَوْ غُرَّتِهِ عَلَى عَاقِلَتِهِ لِأَنَّهُ مِنْ خَطَئِهِ الَّذِي تَتَحَمَّلُهُ الْعَاقِلَةُ عَنْهُ وَكَانَتِ الْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ لِأَنَّ الْعَاقِلَةَ تَتَحَمَّلُ الْعَقْلَ دُونَ الْكَفَّارَةِ
Apabila telah tetap penetapan siapa yang wajib menanggung ganti rugi sesuai dengan pembagian yang telah kami sebutkan, maka apa yang dijamin oleh wali berupa diyat atau ghurrah menjadi tanggungan ‘āqilah-nya, karena itu merupakan kesalahan yang wajib ditanggung oleh ‘āqilah atas dirinya. Sedangkan kafārah diambil dari hartanya sendiri, karena ‘āqilah hanya menanggung diyat, bukan kafārah.
فَأَمَّا مَا ضَمِنَهُ الْإِمَامُ مِنَ الدِّيَةِ أَوِ الْغُرَّةِ فَفِيهِ قَوْلَانِ
Adapun mengenai diyat atau ghurrah yang dijamin oleh imam, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مَضْمُونٌ عَلَى عَاقِلَتِهِ يَتَحَمَّلُونَهُ عَنْهُ لِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ ضَمِنَ جَنِينَ الْمَرْأَةِ الَّتِي أَرْهَبَهَا فَأَلْقَتْهُ مَيِّتًا قَالَ لَعَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ عزمت عليه لَا تَبْرَحْ حَتَّى تَضْرِبَهَا عَلَى قَوْمِكَ يَعْنِي مِنْ قُرَيْشٍ لِأَنَّهُمْ عَاقِلَةُ عُمَرَ وَكَمَا يَتَحَمَّلُونَ عَنْهُ الْعَقْلَ لَوْ لَمْ يَكُنْ إِمَامًا فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ كَغَيْرِ الْإِمَامِ
Salah satunya adalah bahwa diyat itu menjadi tanggungan ‘āqilah-nya, mereka menanggungnya atas namanya. Sebab, ketika ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu menjamin diyat janin perempuan yang ditakut-takuti hingga ia gugur dalam keadaan mati, ia berkata kepada ‘Ali ‘alayhis salām, “Aku bersumpah atasmu, janganlah engkau pergi sampai engkau membebankan diyat itu kepada kaummu,” maksudnya dari Quraisy, karena mereka adalah ‘āqilah ‘Umar. Sebagaimana mereka menanggung diyat atas namanya jika ia bukan seorang imam, maka berdasarkan hal ini, kafārah diambil dari hartanya seperti selain imam.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي تَكُونُ الدِّيَةُ أَوِ الْغُرَّةُ مَضْمُونَةً فِي بَيْتِ الْمَالِ لِأَنَّهُ يَكْثُرُ مِنَ الإِمَامِ لِمَا يَتَوَلَّاهُ مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ الَّتِي لَا يَجِدُ مِنْ مُبَاشَرَتِهَا وَالِاجْتِهَادِ فِيهَا بُدًّا فَلَوْ تَحَمَّلَتْ عَاقِلَتُهُ مَا لَزِمَهُ مِنْ خَطَأِ اجْتِهَادِهِ عَجَزُوا عَنْهُ وَلَمْ يُطِيقُوهُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي مَالِ مَنْ يَنُوبُ عَنْهُمْ وَيَقُومُ بِمَصَالِحِهِمْ مِنَ المُسْلِمِينَ فَلِذَلِكَ كَانَ فِي بَيْتِ مَالِهِمْ
Pendapat kedua menyatakan bahwa diyat atau ghurrah menjadi tanggungan Baitul Mal, karena seorang imam sering kali menghadapi berbagai urusan kaum Muslimin yang tidak mungkin ia hindari untuk langsung menanganinya dan berijtihad di dalamnya. Jika ‘āqilah-nya harus menanggung kesalahan ijtihad yang dilakukannya, tentu mereka tidak akan mampu dan tidak sanggup memikulnya. Oleh karena itu, wajib agar diyat tersebut diambil dari harta orang yang mewakili mereka dan mengurus kemaslahatan kaum Muslimin, yaitu dari Baitul Mal mereka.
فَإِنْ قِيلَ لَيْسَ هَذَا مِنْ مَصَالِحِهِمْ فَيَكُونُ فِي بَيْتِ مَالِهِمْ
Jika dikatakan bahwa ini bukan termasuk kemaslahatan mereka, maka hal itu akan dimasukkan ke dalam baitul mal mereka.
قِيلَ لَمَّا كَانَ سَبَبُهُ الْقِصَاصَ الَّذِي فِيهِ حِفْظُ حَيَاتِهِمْ وَصَلَاحُ أَنْفُسِهِمْ كَانَ مُوجِبُ الْخَطَأِ فِيهِ مِنْ جُمْلَةِ مَصَالِحِهِمْ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ فِي بَيْتِ الْمَالِ مَا ضَمِنَهُ مِنَ الدِّيَةِ أَوِ الْغُرَّةِ عَلَى تَأْجِيلِ الْخَطَأِ وَفِي الْكَفَّارَةِ وَجْهَانِ
Dikatakan bahwa karena sebabnya adalah qishāsh yang di dalamnya terdapat penjagaan kehidupan mereka dan kebaikan jiwa mereka, maka kewajiban akibat kesalahan termasuk dalam kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, diyat atau ghurrah yang menjadi tanggungan karena kesalahan dibayarkan dari Baitul Mal, dengan penundaan pembayaran kesalahan tersebut, dan dalam hal kafārah terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا فِي بَيْتِ الْمَالِ كَالدِّيَةِ لِاتِّفَاقِهِمَا فِي مَعْنَى الْوُجُوبِ
Salah satunya berada di Baitul Mal seperti diyat, karena keduanya sepakat dalam makna kewajiban.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا تَكُونُ فِي مَالِ الْإِمَامِ دُونَ بَيْتِ الْمَالِ لِأَنَّ بَيْتَ الْمَالِ عَاقِلَتُهُ وَالْعَاقِلَةُ تتحمل الدية دون الكفارة
Pendapat kedua adalah bahwa ia dibebankan pada harta imam, bukan pada Baitul Mal, karena Baitul Mal adalah ‘āqilah-nya, dan ‘āqilah menanggung diyat, bukan kafarat.
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ قَتَلَ نَفَرًا قُتِلَ لِلْأَوَّلِ وَكَانَتِ الدِّيَاتُ لِمَنْ بَقِيَ فِي مَالِهِ فَإِنْ خَفِيَ الْأَوَّلُ مِنْهُمْ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ فَأَيُّهُمْ قَتَلَ أَوَّلًا قُتِلَ بِهِ وَأُعْطِيَ الْبَاقُونَ الدِّيَاتِ مِنْ مَالِهِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika seseorang membunuh beberapa orang, maka ia dihukum qisas karena yang pertama, dan diyat diberikan kepada keluarga korban yang lain dari hartanya. Jika tidak diketahui siapa yang pertama di antara mereka, maka diundi di antara mereka; siapa pun yang terbukti dibunuh pertama kali, pelaku dihukum qisas karena dirinya, dan keluarga korban yang lain diberikan diyat dari hartanya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا قَتَلَ الْوَاحِدُ جَمَاعَةً إِمَّا فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ بِأَنْ أَلْقَى عَلَيْهِمْ حَائِطًا أَوْ أَلْقَاهُمْ فِي نَارٍ أَوْ غَرَّقَهُمْ فِي سَفِينَةٍ أَوْ قَتَلَهُمْ فِي أَوْقَاتٍ شَتَّى وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ وَجَبَ أَنْ يُقْتَلَ بِأَحَدِهِمْ وَتُؤْخَذَ مِنْ مَالِهِ دِيَاتُ الْبَاقِينَ
Al-Mawardi berkata: Jika seseorang membunuh sekelompok orang, baik dalam satu waktu dengan cara menjatuhkan tembok kepada mereka, atau melemparkan mereka ke dalam api, atau menenggelamkan mereka di kapal, atau membunuh mereka pada waktu yang berbeda satu per satu, maka wajib baginya untuk dibunuh sebagai qishāsh karena salah satu dari mereka, dan diambil dari hartanya diyat untuk sisanya.
وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ يُقْتَلُ بِجَمَاعَتِهِمْ وَقَدِ اسْتَوْفَوْا بِهِ حُقُوقَهُمْ وَلَا دِيَةَ لَهُمْ فِي مَالِهِ فَإِنْ بَادَرَ أَحَدُهُمْ فَقَتَلَهُ كَانَ مُسْتَوْفِيًا لِحَقِّهِ وَحُقُوقِهِمْ وَبَنَى أَبُو حَنِيفَةَ ذَلِكَ عَلَى أَصْلَيْنِ
Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ia boleh dibunuh oleh kelompok mereka setelah mereka menuntut hak-haknya darinya, dan tidak ada diyat bagi mereka dari hartanya. Jika salah satu dari mereka segera membunuhnya, maka ia telah menunaikan haknya dan hak-hak mereka. Abu Hanifah mendasarkan hal itu pada dua prinsip.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ أَنَّهُ لَا يُوجِبُ غَيْرَ الْقَوَدِ وَأَنَّ الدِّيَةَ لَا تُسْتَحَقُّ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ
Salah satunya adalah bahwa dalam kasus pembunuhan sengaja, tidak ada yang diwajibkan selain qishāsh, dan diyat tidak berhak didapatkan kecuali atas dasar kerelaan.
وَالثَّانِي أَنَّ الْقَاتِلَ إِذَا فَاتَ الِاقْتِصَاصُ مِنْهُ بِالْمَوْتِ لَمْ يَجِبْ فِي مَالِهِ دِيَةٌ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي الْأَصْلِ الْأَوَّلِ وَيَأْتِي الْكَلَامُ مَعَهُ فِي الْأَصْلِ الثَّانِي وَاسْتَدَلَّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِأَنَّ الْجَمَاعَةَ إِنْ كَانُوا كُفُؤًا لِلْوَاحِدِ إِذَا قَتَلُوهُ قُتِلُوا بِهِ وَجَبَ أن يكون الواحد كفوءاً لِلْجَمَاعَةِ إِذَا قَتَلَهُمْ قُتِلَ بِهِمْ وَلِأَنَّ الْقِصَاصَ إِذَا تَرَادَفَ عَلَى نَفْسٍ وَاحِدَةٍ تَدَاخَلَ بَعْضُهُ في بعض كالعبد إذا قتل جَمَاعَةٌ وَكَالْمُحَارِبِ إِذَا قَتَلَ فِي الْحِرَابَةِ جَمَاعَةً وَلِأَنَّ الْقِصَاصَ حَدٌّ فَوَجَبَ أَنْ يَتَدَاخَلَ بَعْضُهُ فِي بَعْضٍ كَحَدِّ الزِّنَا وَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ وَلِأَنَّهُمُ اشْتَرَكُوا فِي عَيْنٍ ضَاقَتْ عَنْ حُقُوقِ جَمِيعِهِمْ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونُوا فِيهَا أُسْوَةً كَغُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أن النفس بالنفس فَمَنْ جَعَلَ نَفْسًا بِأَنْفُسٍ خَالَفَ الظَّاهِرَ وَقَالَ تَعَالَى وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سلطاناً وَمَنْ قَتَلَهُ بِجَمَاعَتِهِمْ أَبْطَلَ سُلْطَانَ كُلِّ وَاحِدٍ منهم ولأنها جنايات لا يتداخل خطأها فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَدَاخَلَ عَمْدُهَا كَالْأَطْرَافِ لِأَنَّ وَاحِدًا لَوْ قَطَعَ أَيْدِيَ جَمَاعَةٍ قُطِعَ عِنْدَنَا بِأَحَدِهِمْ وَأُخِذَ مِنْهُ دِيَاتُ الْبَاقِينَ وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ يُقْطَعُ يَدُهُ بِجَمَاعَتِهِمْ ثُمَّ يُؤْخَذُ مِنْ مَالِهِ إِن كَانُوا عَشَرَةً تِسْعُ دِيَاتِ يَدٍ تُقْسَمُ بَيْنَ جَمَاعَتِهِمْ فَصَارَ هَذَا الِاخْتِلَافُ إِجْمَاعًا عَلَى أَنْ لَا تَتَدَاخَلَ الْأَطْرَافُ وَلِأَنَّهَا جِنَايَاتٌ لَا تَتَدَاخَلُ فِي الْأَطْرَافِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَتَدَاخَلَ فِي النُّفُوسِ كَالْخَطَأِ وَلِأَنَّ جِنَايَاتِ الْعَمْدِ أَغْلَظُ مِنَ الخَطَأِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ أَضْعَفَ مِنْ مُوجِبِ الْخَطَأِ وَلِأَنَّ حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ إِذَا أَمْكَنَ اسْتِيفَاؤُهَا لَمْ تَتَدَاخَلْ كَالدُّيُونِ وَلِأَنَّ الْقِصَاصَ مَوْضُوعٌ لِإِحْيَاءِ النُّفُوسِ
Yang kedua, bahwa apabila pelaku pembunuhan telah luput dari qishāsh karena kematian, maka tidak wajib membayar diyat dari hartanya. Pembahasan mengenai hal ini telah dijelaskan pada prinsip pertama, dan akan dijelaskan pula pada prinsip kedua. Dalam masalah ini, ia berdalil bahwa jika sekelompok orang setara dengan satu orang, maka apabila mereka membunuh satu orang, mereka semua dibunuh sebagai qishāsh. Maka sudah seharusnya satu orang juga setara dengan sekelompok orang; jika ia membunuh mereka, maka ia dibunuh karena mereka. Karena qishāsh, jika menimpa satu jiwa secara berulang, maka sebagian hukuman itu masuk ke dalam sebagian yang lain, seperti budak yang membunuh sekelompok orang, atau muḥārib yang membunuh sekelompok orang dalam peristiwa ḥirābah. Dan karena qishāsh adalah ḥadd, maka wajib hukuman itu saling masuk satu sama lain, seperti ḥadd zina dan pemotongan tangan dalam pencurian. Dan karena mereka bersama-sama dalam satu objek yang tidak cukup untuk memenuhi hak semua pihak, maka wajib mereka diperlakukan sama, seperti para kreditur orang yang bangkrut. Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa.” Maka siapa yang menjadikan satu jiwa dibalas dengan beberapa jiwa, berarti menyelisihi makna lahir ayat tersebut. Dan firman-Nya Ta‘ala: “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya.” Maka siapa yang membunuh seseorang bersama kelompoknya, berarti telah membatalkan kekuasaan setiap wali dari mereka. Dan karena ini adalah tindak pidana yang kesalahan (khathā’)nya tidak saling masuk, maka wajib pula kesengajaannya (‘amdu) tidak saling masuk, seperti pada kasus anggota tubuh. Karena jika seseorang memotong tangan sekelompok orang, menurut kami, ia dipotong karena salah satu dari mereka dan diambil darinya diyat untuk sisanya. Sedangkan menurut Abū Ḥanīfah, tangannya dipotong karena mereka semua, kemudian diambil dari hartanya, jika mereka sepuluh orang, sembilan diyat tangan yang dibagi di antara mereka. Maka perbedaan ini menjadi ijmā‘ bahwa anggota tubuh tidak saling masuk. Dan karena ini adalah tindak pidana yang tidak saling masuk pada anggota tubuh, maka wajib pula tidak saling masuk pada jiwa, seperti pada kasus khathā’. Dan karena tindak pidana sengaja (‘amdu) lebih berat daripada khathā’, maka tidak boleh lebih lemah dari akibat khathā’. Dan karena hak-hak manusia, jika memungkinkan untuk dipenuhi, maka tidak saling masuk, seperti utang-piutang. Dan karena qishāsh ditetapkan untuk menjaga kehidupan jiwa.
كَمَا قَالَ تَعَالَى ولكم في القصاص حياة فَلَوْ قُتِلَ الْوَاحِدُ بِالْجَمَاعَةِ لَكَانَ فِيهِ إِغْرَاءٌ بِقَتْلِ الْجَمَاعَةِ لِأَنَّهُ لَا يَلْتَزِمُ بَعْدَ قَتْلِ الْأَوَّلِ شَيْئًا فِي جَمِيعِ مَنْ قَتَلَ وَلِيُسَارِعَ النَّاسُ بَعْدَ ابْتِدَائِهِمْ بِالْقَتْلِ إِلَى قَتْلِ النُّفُوسِ وَلَمْ يَكُفُّوا وَلَمْ يَصِرِ الْقِصَاصُ حَيَاةً وَهَذَا اسْتِدْلَالٌ وَانْفِصَالٌ عَنْ جَمْعِهِ بَيْنَ قَتْلِ الْجَمَاعَةِ بِالْوَاحِدِ وَقَتْلِ الْوَاحِدِ بِالْجَمَاعَةِ
Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan dalam qishāsh itu ada kehidupan bagi kalian.” Maka, jika satu orang dibunuh oleh sekelompok orang lalu mereka semua dibunuh sebagai balasan, hal itu akan menjadi dorongan untuk membunuh secara berkelompok, karena setelah membunuh yang pertama, mereka tidak akan menanggung apa pun atas semua orang yang mereka bunuh. Maka, orang-orang akan berlomba-lomba membunuh jiwa setelah mereka memulai pembunuhan, dan mereka tidak akan berhenti, sehingga qishāsh tidak lagi menjadi kehidupan. Ini adalah argumentasi dan penjelasan tentang perbedaan antara membunuh sekelompok orang dengan satu orang dan membunuh satu orang dengan sekelompok orang.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى قَتْلِ الْعَبْدِ وَالْمُحَارِبِ فَإِنْ جُعِلَ الْأَصْلُ فِيهِ الْعَبْدَ
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan membandingkan kasus ini pada pembunuhan budak dan muḥārib, maka jika yang dijadikan sebagai asal dalam hal ini adalah budak…
فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمَّا تَدَاخَلَتْ جِنَايَاتُ خَطَئِهِ تَدَاخَلَتْ جِنَايَاتُ عَمْدِهِ وَإِنْ جُعِلَ الْأَصْلُ قَتْلَ الْمُحَارِبِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَدَاخُلِ جِنَايَتِهِ فَذَهَبَ ابْنُ سُرَيْجٍ إِلَى أَنَّهَا لَا تَتَدَاخَلُ وَيَتَحَتَّمُ قَتْلُهُ بِالْأَوَّلِ وَيُؤْخَذُ مِنْ مَالِهِ دِيَاتُ الْبَاقِينَ وَذَهَبَ جُمْهُورُهُمْ إِلَى تَدَاخُلِهَا لِأَنَّهَا صَارَتْ بِانْحِتَامِ قَتْلِهِ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى وَحُقُوقُهُ تَتَدَاخَلُ وَإِذَا قِيلَ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ لَمْ يَنْحَتِمْ قَتْلُهُ فَكَانَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَحُقُوقُهُمْ لَا تَتَدَاخَلُ وَكَذَا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْحُدُودِ وَقِيَاسِهِمْ عَلَى غُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ
Maka jawabannya adalah bahwa ketika jinayah (kejahatan) yang dilakukan karena kesalahan bisa saling masuk (berkumpul), demikian pula jinayah yang dilakukan dengan sengaja juga bisa saling masuk. Meskipun hukum asalnya adalah membunuh pelaku hirabah, para ulama kami berbeda pendapat tentang apakah jinayah-nya bisa saling masuk. Ibnu Surayj berpendapat bahwa jinayah tersebut tidak saling masuk, sehingga wajib dibunuh karena korban pertama, lalu diambil dari hartanya diyat untuk korban-korban lainnya. Sementara mayoritas ulama mereka berpendapat bahwa jinayah tersebut saling masuk, karena dengan wajibnya hukuman mati atasnya, maka itu menjadi hak Allah Ta‘ala, dan hak-hak Allah bisa saling masuk. Jika dikatakan bahwa dalam kasus selain hirabah, hukuman mati tidak menjadi wajib, maka itu termasuk hak manusia, dan hak-hak manusia tidak bisa saling masuk. Demikian pula jawaban atas qiyās mereka terhadap hudud dan qiyās mereka terhadap para kreditur orang yang bangkrut.
فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمْ يَبْقَ لِغُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ عَيْنٌ يَسْتَوْفُونَ حُقُوقَهُمْ مِنْهَا فَاسْتَهَمُوا فِي الْمَوْجُودِ مِنْهَا وَلَوْ كَانَ الْقَاتِلُ مُفْلِسًا لَكَانَ الْأَوْلِيَاءُ مَعَهُ بِمَثَابَتِهِمْ وَإِذَا فَارَقَ الْمُفْلِسُ يَسَارَهُ وَجَدَ الْأَوْلِيَاءُ سَبِيلًا إِلَى اسْتِيفَاءِ حُقُوقِهِمْ فَافْتَرَقَ الْجَمْعَانِ
Maka jawabannya adalah bahwa para kreditur dari orang yang bangkrut tidak lagi memiliki harta yang dapat mereka ambil untuk memenuhi hak-hak mereka, sehingga mereka melakukan undian atas harta yang masih ada. Seandainya si pembunuh itu bangkrut, para ahli waris (korban) akan berada bersamanya dalam kedudukan yang sama. Namun, ketika orang yang bangkrut itu sudah tidak lagi dalam keadaan bangkrut (memiliki kemampuan), para ahli waris menemukan jalan untuk menunaikan hak-hak mereka, sehingga kedua kelompok itu pun berbeda keadaannya.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ قَاتِلَ الْجَمَاعَةِ يُقْتَلُ بِأَحَدِهِمْ لَمْ يَخْلُ حَالُ قَتْلِهِ لِجَمَاعَتِهِمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Maka apabila telah tetap bahwa seseorang yang membunuh sekelompok orang dapat dibunuh sebagai qisas karena salah satu dari mereka, maka keadaan pembunuhannya terhadap kelompok tersebut tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَقْتُلَهُمْ وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ
Salah satunya adalah membunuh mereka satu per satu.
وَالثَّانِي أَنْ يقتلهم في دُفْعَة وَاحِدَة
Dan yang kedua adalah membunuh mereka dalam satu waktu sekaligus.
وَالثَّالِثُ أَنْ يُشْكِلَ حَالُ قَتْلِهِ لَهُمْ وَمَنْ يُقَدَّمُ قَتْلُهُ مِنْهُمْ
Ketiga, apabila keadaan pembunuhan terhadap mereka menjadi samar bagi mereka, dan siapa di antara mereka yang didahulukan untuk dibunuh.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَقْتُلَهُمْ وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ فَأَحَقُّهُمْ بِالِاقْتِصَاصِ مِنْهُ وَلِيُّ الْأَوَّلِ فَلَا يُخَاطَبُ أَوْلِيَاءُ الْبَاقِينَ إِلَّا بَعْدَ عَرْضِ الْقِصَاصِ عَلَى الْأَوَّلِ فَإِنْ طَلَبَهُ اقْتَصَّ مِنْهُ لِلْأَوَّلِ وَكَانَ فِي مَالِهِ دِيَاتُ الْبَاقِينَ فَإِنِ اتَّسَعَ مَالُهُ لِجَمِيعِ دِيَاتِهِمُ اسْتَوْفَوْهَا وَإِنْ ضَاقَ عَنْهَا اسْتَهَمُوا فِيهَا بِالْحِصَصِ وَصَارَ الْمُتَقَدِّمُونَ وَالْمُتَأَخِّرُونَ فِيهَا أُسْوَةً وَإِنَّمَا تَقَدَّمَ الْأَسْبَقُ فِي الْقِصَاصِ وَلَمْ يَتَقَدَّمْ فِي الدِّيَةِ لِأَنَّ مَحَلَّ الدِّيَةِ فِي الذِّمَّةِ وَهِيَ تَتَّسِعُ لِجَمِيعِهَا فَشَارَكَ الْمُتَأَخِّرُ الْأَسْبَقَ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الذِّمَّةِ وَمَحَلُّ الْقَوَدِ الرَّقَبَةُ وَهِيَ تَضِيقُ عَنِ اقْتِصَاصِ الْجَمَاعَةِ وَلَا يَتَّسِعُ إِلَّا لِوَاحِدٍ فَيُقَدَّمُ الْأَسْبَقُ بِهَا عَلَى الْمُتَأَخِّرِ فَإِنْ عَفَا الْأَوَّلُ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الدِّيَةِ عُرِضَ الْقِصَاصُ عَلَى الثَّانِي فَإِنِ اسْتَوْفَاهُ رَجَعَ الْأَوَّلُ وَمَنْ بَعْدَ الثَّانِي بَدِيَاتِهِمْ فِي مَالِ الْقَاتِلِ وَإِنْ عَفَا الثَّانِي عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الدِّيَةِ عُرِضَ الْقِصَاصُ عَلَى الثَّالِثِ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ فِي وَاحِدٍ بَعْدَ وَاحِدٍ إِلَى آخِرِهِمْ فَلَوْ عَمَدَ الْإِمَامُ فَقَتَلَهُ لِلْأَخِيرِ فَقَدْ أَسَاءَ وَأَثِمَ إِنْ عَلِمَ بِتَقَدُّمِ غَيْرِهِ وَلَا يَأْثَمُ إِنْ لَمْ يَعْلَمْ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِي الْحَالَيْنِ وَهَكَذَا لَوْ بَادَرَ وَلِيُّ الْأَخِيرِ فَقَتَلَهُ قِصَاصًا لَمْ يَضْمَنْهُ وَعُزِّرَ عَلَيْهِ وَرَجَعَ الْبَاقُونَ بَدِيَاتِهِمْ فِي مَالِ الْقَاتِلِ وَلَوْ كَانَ وَلِيُّ الْأَوَّلِ صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا أَوْ غَائِبًا وَقَفَ الِاقْتِصَاصُ مِنَ القَاتِلِ عَلَى إِفَاقَةِ الْمَجْنُونِ وَبُلُوغِ الصَّبِيِّ وَقُدُومِ الْغَائِبِ ثُمَّ عَرَضَ الْإِمَامُ عَلَيْهِمِ الْقِصَاصَ عَلَى مَا مَضَى فَإِنْ لَمْ يَنْتَظِرْ بِهِ الْإِمَامُ بُلُوغَ الصَّبِيِّ وَإِفَاقَةَ الْمَجْنُونِ وَقُدُومَ الْغَائِبِ وَعَجَّلَ قَتْلَهُ قِصَاصًا لَمْ يَخْلُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Adapun bagian pertama, yaitu apabila ia membunuh mereka satu per satu, maka yang paling berhak melakukan qishāsh terhadapnya adalah wali dari korban pertama. Maka para wali korban berikutnya tidak diajak bicara kecuali setelah qishāsh ditawarkan kepada wali pertama. Jika ia menuntut qishāsh, maka pelaksanaan qishāsh dilakukan untuk korban pertama, dan diyat untuk korban-korban berikutnya diambil dari harta si pembunuh. Jika hartanya cukup untuk membayar seluruh diyat mereka, maka semuanya mendapatkannya. Namun jika hartanya tidak mencukupi, maka mereka melakukan undian dalam pembagian diyat, sehingga yang lebih dahulu dan yang belakangan kedudukannya sama. Yang didahulukan hanyalah yang lebih dahulu dalam qishāsh, bukan dalam diyat, karena tempat diyat adalah tanggungan (dzimmah) dan dzimmah itu cukup luas untuk menampung semuanya, sehingga yang belakangan pun bisa berbagi dengan yang terdahulu karena mereka sama-sama dalam tanggungan. Adapun tempat pelaksanaan qishāsh adalah leher (jiwa) si pembunuh, yang tidak cukup untuk pelaksanaan qishāsh bagi banyak orang, melainkan hanya untuk satu orang saja, sehingga yang lebih dahulu didahulukan dari yang belakangan. Jika wali pertama memaafkan qishāsh dengan diyat, maka qishāsh ditawarkan kepada wali kedua. Jika ia menuntut qishāsh, maka qishāsh dilaksanakan untuknya, dan wali pertama serta yang setelahnya mengambil diyat dari harta si pembunuh. Jika wali kedua juga memaafkan qishāsh dengan diyat, maka qishāsh ditawarkan kepada wali ketiga, dan begitu seterusnya satu per satu hingga yang terakhir. Jika imam sengaja membunuh si pembunuh untuk wali terakhir, maka ia telah berbuat salah dan berdosa jika ia mengetahui adanya yang lebih dahulu, namun tidak berdosa jika ia tidak tahu, dan dalam kedua keadaan itu tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Demikian pula jika wali terakhir segera membunuh si pembunuh sebagai qishāsh, maka ia tidak menanggung ganti rugi, namun ia diberi ta‘zīr, dan para wali yang lain mengambil diyat mereka dari harta si pembunuh. Jika wali pertama masih kecil, gila, atau sedang tidak ada, maka pelaksanaan qishāsh terhadap si pembunuh ditunda sampai si gila sembuh, si anak kecil baligh, dan yang tidak ada kembali. Setelah itu imam menawarkan qishāsh kepada mereka sebagaimana telah dijelaskan. Jika imam tidak menunggu sampai si anak kecil baligh, si gila sembuh, dan yang tidak ada kembali, lalu segera melaksanakan qishāsh, maka tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَقْتُلَهُ لَهُمْ أَوْ يَقْتُلَهُ لِأَوْلِيَاءِ مَنْ بَعْدَهُمْ فَإِنْ قَتَلَهُ لَهُمْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ قِصَاصًا فِي حَقِّهِمْ وَلَا حَقِّ غَيْرِهِمْ لِأَنَّ لَهُمُ الْعُدُولَ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الدِّيَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُفَوِّتَ عَلَيْهِمْ حَقَّهُمْ مِنْهَا وَيَصِيرُ الْإِمَامُ ضَامِنًا لِدِيَةِ الْمُقْتَصِّ مِنْهُ لِأَنَّ قَتْلَهُ لَمْ يَكُنْ قِصَاصًا وَهَلْ تَكُونُ الدِّيَةُ عَلَى عَاقِلَتِهِ أَوْ فِي بَيْتِ الْمَالِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ القَوْلَيْنِ وَإِنْ قَتَلَهُ لِمَنْ حَضَرَ أَوْلِيَاؤُهُ عَنْ أَمْرِهِمْ جَازَ وَقَدْ أَسَاءَ بِتَقْدِيمِهِمْ عَلَى مَنْ تَقَدَّمَهُمْ وَإِنْ قَتَلَهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِمْ كَانَ عَلَى مَا مَضَى مِنْ قَتْلِهِ فِي حَقِّ الصَّغِيرِ وَالْمَجْنُونِ وَالْغَائِبِ
Bisa jadi ia membunuhnya untuk mereka, atau membunuhnya untuk para wali setelah mereka. Jika ia membunuhnya untuk mereka, maka itu tidak dianggap sebagai qishāsh bagi mereka maupun bagi selain mereka, karena mereka memiliki hak untuk beralih dari qishāsh kepada diyat, sehingga tidak boleh ia menghilangkan hak mereka atas diyat tersebut. Maka imam menjadi penanggung diyat dari orang yang dibalas tersebut, karena pembunuhannya tidak dianggap sebagai qishāsh. Apakah diyat itu ditanggung oleh ‘āqilah-nya atau dari Baitul Māl, sesuai dua pendapat yang telah lalu. Jika ia membunuhnya untuk orang yang hadir dari para wali atas perintah mereka, maka itu boleh, namun ia telah berbuat buruk dengan mendahulukan mereka atas yang lebih berhak. Jika ia membunuhnya tanpa perintah mereka, maka hukumnya seperti yang telah lalu dalam kasus pembunuhan terhadap anak kecil, orang gila, dan orang yang ghaib.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ قَدْ قَتَلَ الْجَمَاعَةَ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ فَإِنْ سَلَّمُوا الْقَوَدَ لِأَحَدِهِمْ كَانَ أَحَقَّهُمْ بِهِ وَرَجَعَ الْبَاقُونَ بِالدِّيَاتِ فِي تَرِكَتِهِ وَإِنْ تَشَاحُّوا فِيهِ وَطَلَبَ كُلُّ وَاحِدٍ أَنْ يُقَادَ بِقَتِيلِهِ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ وَاخْتَصَّ بِقَتْلِهِ مَنْ قَرَعَ مِنْهُمْ وَرَجَعَ الْبَاقُونَ بَدِيَاتِهِمْ فِي تَرِكَتِهِ فَإِنْ بَادَرَ أَحَدُهُمْ فَاقْتَصَّ مِنْهُ بِقَتِيلِهِ مِنْ غَيْرِ قُرْعَةٍ فَإِنْ كَانَ بِأَمْرِ الْإِمَامِ فَقَدْ أَسَاءَ الْإِمَامُ وَلَمْ يُعَزَّرِ الْمُقْتَصُّ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ أَمْرِهِ عُزِّرَ وَقَدِ اسْتَوْفَى بِالِاقْتِصَاصِ حَقَّهُ وَرَجَعَ الْبَاقُونَ بَدِيَاتِهِمْ فِي تَرِكَتِهِ فَإِنْ ضَاقَتِ اقْتَسَمُوهَا بَيْنَهُمْ بِالْحِصَصِ مِنْ غَيْرِ قُرْعَةٍ فِي التَّقَدُّمِ وَإِنْ كَانَ لِلْمُقْتَصِّ مِنْهُ غُرْمًا ضَرَبُوا بِدُيُونِهِمْ مَعَ أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُولِينَ بَدِيَاتِهِمْ فِي التَّرِكَةِ لِيَتَوَزَّعُوهَا بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ حُقُوقِهِمْ
Adapun bagian kedua, yaitu apabila seseorang membunuh sekelompok orang dalam satu waktu, maka jika para ahli waris korban menyerahkan hak qishāsh kepada salah satu dari mereka, dialah yang paling berhak atasnya, dan sisanya berhak menuntut diyat dari harta peninggalan pelaku. Jika mereka berselisih dan masing-masing menuntut qishāsh untuk korban mereka, maka dilakukan undian di antara mereka, dan yang terpilih melalui undianlah yang berhak menuntut qishāsh, sedangkan yang lain berhak menuntut diyat dari harta peninggalan pelaku. Jika salah satu dari mereka segera menuntut qishāsh tanpa undian, maka jika itu atas perintah imam, imam telah berbuat salah namun pelaku qishāsh tidak dikenai ta‘zīr; dan jika tanpa perintah imam, maka ia dikenai ta‘zīr, namun dengan pelaksanaan qishāsh tersebut haknya telah terpenuhi, dan sisanya berhak menuntut diyat dari harta peninggalan pelaku. Jika harta peninggalan tidak mencukupi, maka mereka membaginya sesuai bagian masing-masing tanpa undian dalam hal prioritas. Jika yang menuntut qishāsh memiliki tanggungan utang, maka para krediturnya bersama para ahli waris korban menuntut diyat dari harta peninggalan pelaku, agar dibagikan di antara mereka sesuai dengan hak masing-masing.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يُشْكِلَ حَالُ قَتْلِهِ لَهُمْ هَلْ تَرَتَّبُوا أَوِ اشْتَرَكُوا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun bagian ketiga, yaitu ketika keadaan pembunuhan yang mereka lakukan menjadi samar, apakah mereka melakukannya secara berurutan atau bersama-sama, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَعْتَرِفَ أَوْلِيَاءُ جَمِيعِهِمْ بِالْإِشْكَالِ فَيُقَالُ لَهُمْ إِنْ سَلَّمْتُمِ القصاص لأحدكم كان أحققكم بِهِ وَإِنْ تَشَاحَحْتُمْ أُقْرِعَ بَيْنَكُمْ وَاقْتَصَّ مِنْهُ مَنْ قَرَعَ مِنْكُمْ
Salah satu caranya adalah para wali dari seluruh korban mengakui adanya kesulitan (dalam menentukan siapa yang berhak), lalu dikatakan kepada mereka: Jika kalian menyerahkan hak qishāsh kepada salah satu dari kalian, maka dialah yang paling berhak mendapatkannya. Namun jika kalian saling bersikeras, maka diadakan undian di antara kalian, dan yang namanya keluar dari undian itulah yang melaksanakan qishāsh.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَخْتَلِفُوا وَيَدَّعِيَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَنَّهُ الْأَوَّلُ فَإِنْ كَانَتْ لِأَحَدِهِمْ بَيِّنَةٌ عُمِلَ عَلَيْهَا وَإِنْ عَدِمُوهَا رُجِعَ إِلَى الْجَانِي الْقَاتِلِ فَإِنِ اعْتَرَفَ بِالتَّقَدُّمِ لِأَحَدِهِمْ كَانَ أَحَقَّهُمْ بِالْقِصَاصِ وَإِنْ لَمْ يَعْتَرِفْ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ لِتَكَافُئِهِمْ وَاخْتَصَّ بِالْقِصَاصِ مَنْ قَرَعَ مِنْهُمْ فَلَوْ شَهِدَ اثْنَانِ مِنْهُمْ بِالتَّقَدُّمِ لِأَحَدِهِمْ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُمَا لِأَنَّهُمَا غَيْرُ مُتَّهَمَيْنِ فِيهَا فَإِنْ رُدَّتْ شَهَادَتُهُمَا بِجُرْحٍ سَقَطَ حَقُّهُمَا مِنَ القِصَاصِ بِالِاعْتِرَافِ بِهِ لِغَيْرِهِمَا وَالِاعْتِبَارُ بِالتَّقَدُّمِ أَنْ يُرَاعي وَقْت الْمَوْتِ لَا وَقْت الْجِنَايَةِ فَلَوْ قَطَعَ يَدَ زَيْدٍ ثُمَّ قَطَعَ يَدَ عَمْرٍو فَمَاتَ عَمْرٌو ثُمَّ مَاتَ زَيْدٌ اسْتَحَقَّ زَيْدٌ الْقِصَاصَ فِي الْيَدِ دُونَ عَمْرٍو لِأَنَّ قَطْعَ يَدِهِ أَسْبَقُ وَاسْتَحَقَّ عَمْرٌو الْقِصَاصَ فِي النَّفْسِ دُونَ زَيْدٍ لِأَنَّ مَوْتَهُ أَسْبَقُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Jenis kedua adalah apabila mereka berselisih dan masing-masing mengklaim bahwa dialah yang pertama. Jika salah satu dari mereka memiliki bukti, maka diputuskan berdasarkan bukti tersebut. Jika tidak ada bukti, maka dikembalikan kepada pelaku (jāni) pembunuhan; jika ia mengakui telah mendahului salah satu dari mereka, maka orang yang diakui itulah yang lebih berhak atas qishāsh. Jika pelaku tidak mengakui, maka diundi di antara mereka karena kedudukan mereka setara, dan yang terpilih melalui undianlah yang berhak atas qishāsh. Jika dua orang dari mereka bersaksi bahwa salah satu dari mereka lebih dahulu, maka kesaksian keduanya diterima karena mereka tidak memiliki kepentingan dalam hal ini. Jika kesaksian keduanya ditolak karena ada cacat, maka gugurlah hak mereka atas qishāsh karena pengakuan diberikan kepada selain mereka. Yang menjadi pertimbangan dalam mendahului adalah memperhatikan waktu kematian, bukan waktu terjadinya tindak pidana. Jika seseorang memotong tangan Zaid, lalu memotong tangan Amr, kemudian Amr meninggal dunia, lalu Zaid meninggal dunia, maka Zaid berhak atas qishāsh pada tangan, bukan Amr, karena tangan Zaid yang lebih dahulu dipotong. Sedangkan Amr berhak atas qishāsh pada jiwa, bukan Zaid, karena kematian Amr lebih dahulu. Dan Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَطَعَ يَدَ رَجُلٍ وَقَتَلَ آخَرَ قُطِعَتْ يَدُهُ بِالْيَدِ وَقُتِلَ بِالنَّفْسِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang memotong tangan seseorang dan membunuh orang lain, maka tangannya dipotong karena tangan (yang dipotongnya), dan ia dibunuh karena jiwa (yang dibunuhnya).
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا قَطَعَ الْجَانِي يَدَ رَجُلٍ ثُمَّ قَتَلَ آخَرَ قُطِعَتْ يَدُهُ لِلْأَوَّلِ وَقُتِلَ لِلثَّانِي
Al-Mawardi berkata, “Ini seperti yang dikatakan: jika seorang pelaku kejahatan memotong tangan seseorang, kemudian membunuh orang lain, maka tangannya dipotong sebagai qishāsh untuk yang pertama, dan ia dibunuh sebagai qishāsh untuk yang kedua.”
وَقَالَ مَالِكٌ يُقْتَلُ بِالثَّانِي وَيَدْخُلُ فِيهِ الْقَطْعُ لِأَنَّ الْقَتْلَ أَعَمُّ فَاسْتَوْعَبَ الْحَقَّيْنِ وَلِأَنَّ الغرض إفاتة نفسه والزيادة عليه ومثلة وَلِأَنَّهُ لَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَطْعُ فِي السَّرِقَةِ وَالْقَتْلِ فِي الرِّدَّةِ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ وَدَخَلَ فِيهِ قَطْعُ السَّرِقَةِ كَذَلِكَ فِي الْجِنَايَةِ عَلَى الْيَدِ وَعَلَى النَّفْسِ يَجِبُ أَنْ يَدْخُلَ قَطْعُ الْيَدِ فِي قَتْلِ النَّفْسِ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تعالى وجزاء سيئة سيئة مثلها وَقَالَ تَعَالَى فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ ما اعتدى عليكم فَوَجَبَ أَنْ يُجَازَى بِالْأَمْرَيْنِ وَيُسْتَوْفَى مِنْهُ الْحَقَّانِ وَلِأَنَّ الْقَطْعَ وَالْقَتْلَ حَقَّانِ لِشَخْصَيْنِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَدَاخَلَا كَالدُّيُونِ وَسَائِرِ الْحُقُوقِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا امْتَنَعَ تَدَاخُلُهُمَا فِي الدِّيَةِ امْتَنَعَ تَدَاخُلُهُمَا فِي الْقَوَدِ وَلِأَنَّ الْخَطَأَ أَخَفُّ مِنَ العَمْدِ وَهُمَا لَا يَتَدَاخَلَانِ فِي الْخَطَأِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَتَدَاخَلَا فِي الْعَمْدِ فَبَطَلَ بِهِ الِاسْتِدْلَالُ الْأَوَّلُ وَلَا يَكُونُ نَكَالًا ومثلة لِأَنَّهُ جَزَاءٌ فَاجْتِمَاعُ قَطْعِ السَّرِقَةِ وَقَتْلِ الرِّدَّةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَدَاخُلِهِمَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Malik berkata, “Dihukum mati karena yang kedua, dan termasuk di dalamnya hukuman potong tangan, karena hukuman mati lebih umum sehingga mencakup kedua hak tersebut. Sebab tujuannya adalah menghilangkan nyawanya, menambah hukuman atasnya, dan melakukan tindakan serupa terhadapnya. Jika seseorang wajib dipotong tangannya karena mencuri dan dihukum mati karena riddah, maka ia dibunuh karena riddah dan hukuman potong tangan karena mencuri juga termasuk di dalamnya. Demikian pula dalam kasus jinayah terhadap tangan dan terhadap jiwa, maka seharusnya hukuman potong tangan termasuk dalam hukuman mati. Namun, ini adalah kekeliruan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa dengannya,’ dan firman-Nya: ‘Maka barang siapa menyerang kalian, seranglah dia dengan serangan yang serupa dengan apa yang dia lakukan kepada kalian.’ Maka wajib untuk membalas dengan kedua hukuman tersebut dan menunaikan kedua hak itu darinya. Karena hukuman potong tangan dan hukuman mati adalah dua hak untuk dua orang yang berbeda, maka tidak boleh keduanya digabungkan, sebagaimana dalam kasus utang dan hak-hak lainnya. Dan karena ketika tidak boleh digabungkan dalam diyat, maka tidak boleh pula digabungkan dalam qisas. Dan karena kesalahan (pembunuhan tidak sengaja) lebih ringan daripada sengaja, dan keduanya tidak digabungkan dalam kasus kesalahan, maka lebih utama lagi untuk tidak digabungkan dalam kasus sengaja. Dengan demikian, batalah dalil pertama tersebut, dan hukuman itu tidak menjadi pencegah dan tidak pula tindakan serupa, karena itu adalah balasan. Maka dalam penggabungan hukuman potong tangan karena mencuri dan hukuman mati karena riddah, para ulama kami berbeda pendapat tentang penggabungan keduanya dalam dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا يَتَدَاخَلَانِ وَيُسْتَوْفَيَانِ فَيُقْطَعُ بِالسَّرِقَةِ وَيُقْتَلُ بِالرِّدَّةِ
Salah satunya tidak saling beririsan dan masing-masing dapat dilaksanakan, maka pelaku dipotong tangannya karena mencuri dan dibunuh karena riddah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَتَدَاخَلَانِ لِأَنَّهُمَا مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى فَجَازَ تَدَاخُلُهُمَا وَحُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ لَا تَتَدَاخَلُ وَهَكَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَنْ زَنَا بِكْرًا ثُمَّ زَنَا ثَيِّبًا هَلْ يَدْخُلُ الْجَلْدُ فِي الرَّجْمِ مَعَ اخْتِلَافِهِمَا فِي الْحُكْمِ وَاتِّفَاقِهِمَا فِي الْمُوجِبِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Pendapat kedua, keduanya dapat saling masuk (berkaitan) karena keduanya termasuk hak-hak Allah Ta‘ala, sehingga boleh terjadi tumpang tindih antara keduanya. Adapun hak-hak manusia tidak dapat saling tumpang tindih. Demikian pula para ulama kami berbeda pendapat mengenai seseorang yang berzina dengan perempuan yang masih perawan kemudian berzina lagi dengan perempuan yang sudah menikah, apakah hukuman cambuk dapat termasuk dalam hukuman rajam, meskipun keduanya berbeda dalam hukum namun sama dalam sebab yang mewajibkannya, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
فَصْلٌ
Bab
وَلَوِ ابْتَدَأَ الْجَانِي فَقَتَلَ رَجُلًا ثُمَّ قَطَعَ يَدَ آخَرَ اقْتُصَّ مِنْ يَدِهِ بِالْقَطْعِ ثُمَّ مِنْ نَفْسِهِ بِالْقَتْلِ وَيُقَدَّمُ الْقَطْعُ وَإِنْ تَأَخَّرَ عَنِ الْقَتْلِ وَإِنْ تَقَدَّمَ بِخِلَافِ الْقَتِيلَيْنِ فِي تَقْدِيمِ الْأَسْبَقِ فَالْأَسْبَقِ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاءُ الْقَوَدِ فِي الْقَتِيلَيْنِ فَقُدِّمَ أَسْبَقُهُمَا وَيُمْكِنُ اسْتِيفَاءُ الْقَوَدِ فِي الْيَدِ وَالنَّفْسِ فَرُبَّمَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهُمَا
Jika seorang pelaku memulai dengan membunuh seseorang, lalu memotong tangan orang lain, maka pelaku tersebut dikenai qishāsh pada tangannya dengan dipotong terlebih dahulu, kemudian pada jiwanya dengan dibunuh. Pemotongan tangan didahulukan, meskipun peristiwanya terjadi setelah pembunuhan, atau sebelumnya. Berbeda halnya jika korbannya dua orang yang dibunuh, maka didahulukan yang lebih dahulu (dibunuh), karena tidak mungkin melaksanakan qishāsh pada dua korban pembunuhan sekaligus, sehingga didahulukan yang lebih dahulu di antara keduanya. Adapun pada kasus tangan dan jiwa, memungkinkan untuk melaksanakan qishāsh pada keduanya, sehingga bisa dilakukan dengan cara yang memungkinkan pelaksanaan keduanya.
وَلَوْ قُدِّمَ الْقَتْلُ سَقَطَ الْقَطْعُ وَإِذَا قُدِّمَ الْقَطْعُ لَمْ يَسْقُطِ الْقَتْلُ فَلِذَلِكَ قُدِّمَ الْقَطْعُ وَإِنْ تَأَخَّرَ عَلَى الْقَتْلِ وَإِنْ تَقَدَّمَ وَلَكِنْ مِثَالُ الْقَتْلَيْنِ مِنَ الأَطْرَافِ أَنْ يَقْطَعَ طَرَفَيْنِ مُتَمَاثِلَيْنِ مِنَ اثْنَيْنِ مِثْلَ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ رَجُلٍ يُمْنَى يَدَيْهِ وَمِنْ آخَرَ يُمْنَى يَدَيْهِ فَلَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاءُ الْقِصَاصِ مِنَ اليَدِ الْوَاحِدَةِ فَيُقَدَّمُ الِاقْتِصَاصُ مِنْهَا لِأَسْبَقِهِمَا كَالْقَتْلَيْنِ لِتَعَذُّرِ الْقِصَاصِ فَإِنْ عَفَا الْأَوَّلُ اقْتُصَّ مِنْهَا لِلثَّانِي
Jika hukuman mati didahulukan, maka hukuman potong tangan gugur; namun jika hukuman potong tangan didahulukan, hukuman mati tidak gugur. Oleh karena itu, hukuman potong tangan didahulukan meskipun terlambat dari hukuman mati atau meskipun lebih dahulu. Adapun contoh dua pembunuhan yang berasal dari anggota tubuh adalah jika seseorang memotong dua anggota tubuh yang sama dari dua orang, misalnya memotong tangan kanan dari satu orang dan tangan kanan dari orang lain, maka tidak mungkin melaksanakan qishāsh dari satu tangan saja. Maka, pelaksanaan qishāsh didahulukan untuk yang lebih dahulu di antara keduanya, sebagaimana dalam kasus dua pembunuhan karena tidak mungkin melaksanakan qishāsh. Jika yang pertama memaafkan, maka qishāsh dilaksanakan untuk yang kedua.
فَإِنْ قِيلَ فَالْمَقْتُولُ كَانَ كَامِلَ الْأَطْرَافِ فَوَجَبَ أَنْ يُقْتَصَّ لَهُ مِنْ نَفْسٍ كَامِلَةِ الْأَطْرَافِ
Jika dikatakan: “Korban yang terbunuh itu adalah seseorang yang anggota tubuhnya lengkap, maka wajib untuk melakukan qishash dari jiwa yang juga anggota tubuhnya lengkap.”
قِيلَ كَمَالُ النُّفُوسِ لَا يُعْتَبَرُ بِكَمَالِ الْأَطْرَافِ لِأَنَّ الْقَاتِلَ لَوْ كَانَ كَامِلَ الْأَطْرَافِ وَالْمَقْتُولُ نَاقِصَ الْأَطْرَافِ قُتِلَ بِهِ مَعَ كَمَالِ أَطْرَافِهِ وَلَوْ كَانَ الْقَاتِلُ نَاقِصَ الْأَطْرَافِ وَالْمَقْتُولُ كَامِلَ الْأَطْرَافِ قُتِلَ بِهِ وَلَا شَيْءَ لَهُ فِي زِيَادَةِ أَطْرَافِهِ؛ لِأَنَّ دِيَةَ النَّفْسِ وَإِنْ نَقَصَتْ أَطْرَافُهَا كَدِيَةِ النَّفْسِ وَإِنْ كَمُلَتْ أَطْرَافُهَا
Dikatakan bahwa kesempurnaan jiwa tidak diukur dengan kesempurnaan anggota tubuh, karena jika seorang pembunuh memiliki anggota tubuh yang sempurna dan korban memiliki anggota tubuh yang kurang, maka si pembunuh tetap dihukum qisas meskipun anggota tubuhnya sempurna. Dan jika si pembunuh memiliki anggota tubuh yang kurang dan korban memiliki anggota tubuh yang sempurna, maka si pembunuh tetap dihukum qisas dan kelebihan anggota tubuh korban tidak memberikan hak tambahan apa pun baginya; karena diyat jiwa, meskipun anggota tubuhnya kurang, sama dengan diyat jiwa yang anggota tubuhnya sempurna.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا ابْتَدَأَ الْجَانِي فَقَطَعَ أُصْبُع رَجُلٍ مِنْ يَدِهِ الْيُمْنَى وَقَطَعَ مِنْ آخَرَ يَدَهُ الْيُمْنَى قُدِّمَ الْقِصَاصُ فِي الْأُصْبُع لِتَقَدُّمِ اسْتِحْقَاقِهِ فَإِنِ اقْتَصَّ صَاحِبُ الْأُصْبُعِ مِنْهَا اقْتُصَّ بَعْدَهُ لِصَاحِبِ الْيَدِ وَقَدِ اقْتُصَّ مِنْ يَدٍ نَقَصَتْ أُصْبُعا بِيَدِهِ الْكَامِلَةِ فَيُرْجَعُ بَعْدَ الْقِصَاصِ عَلَى الْجَانِي بِدِيَةِ أُصْبُع وَهِيَ عُشْرُ الدِّيَةِ وَهَذَا بِخِلَافِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ القِصَاصِ فِي النَّفْسِ إِذَا نَقَصَتْ أَطْرَافُهَا لِأَنَّ الْكَمَالَ مُعْتَبَرٌ فِي تَكَافُؤِ الْأَطْرَافِ وَغَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِي تَكَافُؤِ النُّفُوسِ لِأَنَّ دِيَةَ الْأَطْرَافِ مُسَاوِيَةٌ لِدِيَةِ النَّفْسِ الْكَامِلَةِ الْأَطْرَافِ فَلَوْ عَفَا صَاحِبُ الْأُصْبُع عَنِ الْقِصَاصِ كَانَ لَهُ دِيَتُهَا وَقُطِعَ لِصَاحِبِ الْيَدِ وَلَا شَيْءَ لَهُ سِوَاهُ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى الْقِصَاصَ فِي يَدٍ كَامِلَةٍ بِيَدِهِ الْكَامِلَةِ وَلَوْ تَرَتَّبَ الْقَطْعَانِ بِالضِّدِّ فَبَدَأَ الْجَانِي فَقَطَعَ مِنْ رَجُلٍ يَدَهُ الْيُمْنَى ثُمَّ مِنْ آخَرَ أُصْبُعا مِنْ يَدِهِ الْيُمْنَى قَدَّمَ الْقِصَاصَ لِصَاحِبِ الْيَدِ عَلَى الْقِصَاصِ لِصَاحِبِ الْأُصْبُع لِتَقَدُّمِ قَطْعِ الْيَدِ عَلَى قَطْعِ الْأُصْبُع اعْتِبَارًا بِالْأَسْبَقِ
Apabila pelaku kejahatan memulai dengan memotong satu jari seorang laki-laki dari tangan kanannya, lalu memotong tangan kanan orang lain, maka pelaksanaan qishāsh didahulukan pada jari karena haknya lebih dahulu. Jika pemilik jari telah melakukan qishāsh atas jarinya, maka setelah itu dilakukan qishāsh untuk pemilik tangan, sehingga telah dilakukan qishāsh pada tangan yang telah berkurang satu jari dengan tangan pelaku yang masih utuh. Maka setelah qishāsh, pelaku wajib membayar diyat jari, yaitu sepersepuluh dari diyat. Hal ini berbeda dengan yang telah kami sebutkan sebelumnya tentang qishāsh pada jiwa apabila anggota tubuhnya berkurang, karena kesempurnaan dianggap dalam kesetaraan anggota tubuh, namun tidak dianggap dalam kesetaraan jiwa, sebab diyat anggota tubuh sama dengan diyat jiwa yang anggota tubuhnya lengkap. Jika pemilik jari memaafkan qishāsh, maka ia berhak atas diyatnya, dan tangan pelaku dipotong untuk pemilik tangan, dan ia tidak berhak atas apa pun selain itu, karena ia telah mendapatkan qishāsh pada tangan yang utuh dengan tangannya yang utuh. Jika urutan pemotongan terjadi sebaliknya, yaitu pelaku memotong tangan kanan seseorang terlebih dahulu, lalu memotong satu jari dari tangan kanan orang lain, maka qishāsh didahulukan untuk pemilik tangan atas qishāsh untuk pemilik jari, karena pemotongan tangan lebih dahulu daripada pemotongan jari, dengan mempertimbangkan yang lebih dulu terjadi.
فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا قَدَّمْتُمُ الْقِصَاصَ فِي الْأُصْبُع وَإِنْ تَأَخَّرَتْ عَلَى الْقِصَاصِ فِي الْيَدِ لِيَسْتَوْفِيَ بِهِ الْحَقَّانِ كَمَا قَدَّمْتُمُ الْقِصَاصَ فِي الْيَدِ وَإِنْ تَأَخَّرَ عَلَى الْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ لِاسْتِيفَاءِ الْحَقَّيْنِ
Jika ada yang bertanya, “Mengapa kalian tidak mendahulukan qishāsh pada jari meskipun waktunya lebih lambat daripada qishāsh pada tangan, agar kedua hak dapat terpenuhi, sebagaimana kalian mendahulukan qishāsh pada tangan meskipun waktunya lebih lambat daripada qishāsh pada jiwa demi terpenuhinya kedua hak?”
قِيلَ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ اعْتِبَارِ الْكَمَالِ فِي تَكَافُؤِ الْأَطْرَافِ وَسُقُوطِ اعْتِبَارِهِ فِي تَكَافُؤِ النُّفُوسِ وَقَدِ اسْتَحَقَّ صَاحِبُ الْيَدِ بِكَمَالِ يَدِهِ الِاقْتِصَاصَ مِنْ يَدٍ كَامِلَةٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْتَصَّ لَهُ مِنْ يَدٍ نَاقِصَةٍ مَعَ إِمْكَانِ الِاقْتِصَاصِ مِنْهُمَا وَهِيَ كَامِلَةٌ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَاقْتَصَّ صَاحِبُ الْيَدِ سَقَطَ الْقِصَاصُ لِصَاحِبِ الْأُصْبُع وَرَجَعَ بِدِيَتِهَا وَإِنْ عَفَا صَاحِبُ الْيَدِ عَنِ الْقِصَاصِ رَجَعَ بِدِيَتِهَا وَاقْتُصَّ لِصَاحِبِ الْأُصْبُع وَهَكَذَا قَطْعُ الْأُنْمُلَةِ مِنْ رَجُلٍ وَقَطْعُ تِلْكَ الْأُصْبُع مِنْ آخَرَ يَكُونُ عَلَى قِيَاسِ الْأُصْبُع مَعَ الْكَفِّ
Dikatakan demikian karena apa yang telah kami kemukakan mengenai pertimbangan kesempurnaan dalam kesetaraan anggota tubuh dan gugurnya pertimbangan tersebut dalam kesetaraan jiwa. Pemilik tangan yang sempurna berhak mendapatkan qishāsh dari tangan yang juga sempurna, sehingga tidak boleh dilakukan qishāsh untuknya dari tangan yang cacat, padahal memungkinkan untuk melakukan qishāsh dari keduanya ketika keduanya sama-sama sempurna. Jika demikian, dan pemilik tangan telah mendapatkan qishāsh, maka gugurlah hak qishāsh bagi pemilik jari dan ia berhak menuntut diyatnya. Namun jika pemilik tangan memaafkan qishāsh, maka ia berhak menuntut diyatnya dan qishāsh diberikan kepada pemilik jari. Demikian pula halnya dengan pemotongan ruas jari dari seseorang dan pemotongan jari tersebut dari orang lain, maka hukumnya mengikuti qiyās antara jari dan telapak tangan.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فَإِنْ مَاتَ الْمَقْطُوعَةُ يَدُهُ الْأَوَّلُ بَعْدَ أَنِ اقْتَصَّ مِنَ اليَدِ فَقِيَاسُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ عِنْدِي أَنَّ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِ الدِّيَةِ فِي مَالِ قَاطِعِهِ لِأَنَّ الْمَقْطُوعَ قَدِ اسْتَوْفَى قَبْلَ مَوْتِهِ مَا فِيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ بِاقْتِصَاصِهِ بِهِ قَاطِعَهُ
Al-Muzani rahimahullah berkata: Jika orang yang tangannya telah dipotong pertama kali itu meninggal setelah dilakukan qishash pada tangan, maka menurut qiyās pendapat asy-Syafi‘i menurutku, wali dari orang yang dipotong tangannya itu berhak menuntut setengah diyat dari harta orang yang memotongnya. Karena orang yang dipotong tangannya itu telah mendapatkan sebelum wafatnya apa yang di dalamnya terdapat setengah diyat dengan pelaksanaan qishash terhadap pelakunya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ قَطَعَ يَدَ رَجُلٍ وَقَتَلَ آخَرَ فَقُطِعَتْ يَدُهُ قِصَاصًا لِلْأَوَّلِ وَقُتِلَ قَوَدًا لِلثَّانِي ثُمَّ مَاتَ الْأَوَّلُ مِنْ سِرَايَةِ يَدِهِ صَارَ الْقَطْعُ قَتْلًا وَقَدْ فَاتَ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ بِالْقَوَدِ الثَّانِي فَوَجَبَ لِلْمَقْطُوعِ دِيَةُ نَفْسِهِ بِسِرَايَةِ الْقَطْعِ إِلَيْهَا وَقَدْ أَخَذَ بِالِاقْتِصَاصِ مِنْ يَدِهِ مَا يُقَابِلُ نِصْفَ دِيَةِ نَفْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَرْجِعَ وَلِيُّهُ فِي تَرِكَةِ الْجَانِي بِنِصْفِهَا لِيَصِيرَ مُسْتَوْفِيًا بِالْقَطْعِ وَالْأَخْذِ بِمَا يُقَابِلُ جَمِيعَ دِيَةِ النَّفْسِ وَلَوْ كَانَ الْجَانِي قَطَعَ مِنَ الأَوَّلِ إِحْدَى أَصَابِعِهِ وَقَتَلَ آخَرَ فَاقْتُصَّ لِلْأَوَّلِ مِنْ أُصْبُعهِ وَقُتِلَ لِلثَّانِي ثُمَّ مَاتَ الْأَوَّلُ مِنْ سِرَايَةِ أصْبعهِ كَانَ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَرْجِعَ فِي تَرِكَةِ الْجَانِي تِسْعَةَ أَعْشَارِ دينه لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى بِقَطْعِ الْأصبع عُشْرَهَا فَصَارَ مُسْتَوْفِيًا لِجَمِيعِ الدِّيَةِ وَلَوْ كَانَ الْجَانِي قَطَعَ يَدَيْ رَجُلٍ ثُمَّ قَتَلَ آخَرَ فَقُطِعَتْ يَدَاهُ لِلْأولَ وَقُتِلَ لِلثَّانِي ثُمَّ سَرَتْ يَدُ الْمَقْطُوعِ إِلَى نَفْسِهِ فَمَاتَ فَلَا شَيْءَ لِوَلِيِّهِ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى بِقَطْعِ الْيَدِ كَمَالَ الدِّيَةِ لِأَنَّ فِي الْيَدَيْنِ جَمِيعَ الدِّيَةِ
Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada seorang laki-laki yang memotong tangan seseorang dan membunuh orang lain, lalu tangannya dipotong sebagai qishash untuk yang pertama dan ia dibunuh sebagai qishash untuk yang kedua. Kemudian, orang pertama meninggal dunia akibat dampak luka pada tangannya, maka pemotongan itu menjadi setara dengan pembunuhan, dan qishash atas jiwa telah gugur karena telah dilaksanakan qishash untuk yang kedua. Maka, bagi korban yang tangannya dipotong, berhak mendapatkan diyat jiwa karena kematian yang disebabkan oleh dampak pemotongan tersebut. Ia telah menerima qishash pada tangannya yang setara dengan setengah diyat jiwa, sehingga wali korban berhak menuntut setengah diyat dari harta peninggalan pelaku agar diyat yang diterima melalui pemotongan dan diyat yang diambil menjadi genap seluruh diyat jiwa. Jika pelaku memotong salah satu jari korban pertama dan membunuh orang lain, lalu dilakukan qishash pada jari untuk korban pertama dan pelaku dibunuh untuk korban kedua, kemudian korban pertama meninggal akibat dampak luka pada jarinya, maka wali korban berhak menuntut sembilan persepuluh diyat dari harta peninggalan pelaku, karena dengan pemotongan satu jari telah terpenuhi sepersepuluh diyat, sehingga genaplah seluruh diyat. Jika pelaku memotong kedua tangan seseorang lalu membunuh orang lain, kemudian kedua tangannya dipotong untuk korban pertama dan ia dibunuh untuk korban kedua, lalu luka pada tangan korban pertama menjalar hingga menyebabkan kematiannya, maka tidak ada hak apa pun bagi walinya, karena dengan pemotongan kedua tangan telah terpenuhi seluruh diyat, sebab pada kedua tangan terdapat nilai seluruh diyat.
فَصْلٌ
Bab
وَإِذَا قَطَعَ إِحْدَى يَدَيْ رَجُلٍ فَاقْتُصَّ مِنْهَا ثُمَّ سَرَتْ إِلَى نَفْسِهِ فَمَاتَ كَانَ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ نَفْسِ الْقَاطِعِ لِأَنَّ الْقَطْعَ صَارَ قَتْلًا فَإِنْ عَفَا عَنِ الْقَوَدِ فِي النَّفْسِ إِلَى الدِّيَةِ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِنِصْفِ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى بِقَطْعِ الْيَدِ مَا يُقَابِلُ نِصْفَ الدِّيَةِ فَصَارَ مُسْتَوْفِيًا لِجَمِيعِ الدِّيَةِ وَلَوْ كَانَ الْمَقْطُوعُ يَدُهُ أَخَذَ دِيَةَ يَدِهِ وَلَمْ يَقْتَصَّ ثُمَّ سَرَى الْقَطْعُ إِلَى نَفْسِهِ فَمَاتَ سَقَطَ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ لِأَنَّ عُدُولَهُ إِلَى دِيَةِ الْقَطْعِ عَفْوٌ عَنِ الْقَوَدِ فِي النَّفْسِ وَلَوْ قَطَعَ يَد رَجُلٍ فَاقْتُصَّ مِنْهُمَا ثُمَّ سَرَى الْقَطْعُ إِلَى نَفْسِهِ فَمَاتَ كَانَ لِوَلِيِّهِ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ فَإِنْ عَفَا إِلَى الدِّيَةِ لَمْ يستحقها لأنه يقطع الْيَدَيْنِ قَدِ اسْتَوْفَاهُمَا وَهَذَا مَوْضِعٌ يَجِبُ فِيهِ الْقَوَدُ وَلَا تَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ وَهُوَ نَادِرٌ
Apabila seseorang memotong salah satu tangan seorang laki-laki, lalu dilakukan qishāsh atasnya, kemudian luka tersebut menjalar hingga menyebabkan kematian, maka wali korban berhak melakukan qishāsh atas jiwa pelaku, karena pemotongan tersebut telah berubah menjadi pembunuhan. Jika wali korban memaafkan qishāsh jiwa dengan diganti diyat, maka ia berhak menuntut setengah diyat, karena dengan pemotongan tangan ia telah menerima bagian yang setara dengan setengah diyat, sehingga ia telah menerima seluruh diyat. Jika orang yang tangannya dipotong mengambil diyat tangannya dan tidak dilakukan qishāsh, lalu luka tersebut menjalar hingga menyebabkan kematian, maka gugurlah hak qishāsh jiwa, karena pilihannya untuk menerima diyat pemotongan tangan merupakan bentuk pemaafan atas qishāsh jiwa. Jika seseorang memotong kedua tangan seorang laki-laki, lalu dilakukan qishāsh atas keduanya, kemudian luka tersebut menjalar hingga menyebabkan kematian, maka wali korban berhak melakukan qishāsh atas jiwa pelaku. Jika ia memaafkan dengan diyat, maka ia tidak berhak mendapatkannya, karena kedua tangan telah diqishāsh dan telah terpenuhi. Ini adalah kasus di mana qishāsh wajib dilakukan dan diyat tidak wajib, dan kasus ini jarang terjadi.
وَلَوْ كَانَ الْمَقْطُوعُ أَخَذَ دِيَةَ يَدِهِ ثُمَّ سَرَتْ إِلَى نَفْسِهِ لَمْ يَكُنْ لِوَلِيِّهِ قَوَدٌ وَلَا دِيَةٌ لِسُقُوطِ الْقَوَدِ بِدِيَةِ الْقَطْعِ وَاسْتِيفَاءِ دِيَةِ النَّفْسِ بِدِيَةِ الْيَدَيْنِ
Jika orang yang terpotong anggota tubuhnya telah menerima diyat tangannya, kemudian luka itu menjalar hingga menyebabkan kematiannya, maka wali (ahli waris)nya tidak berhak menuntut qishāsh maupun diyat, karena gugurnya hak qishāsh dengan telah diterimanya diyat pemotongan, dan diyat jiwa telah tercukupi dengan diyat kedua tangan.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ قَطَعَ إِحْدَى يَدَيْ رَجُلٍ فَأَخَذَ الْمَقْطُوعُ دِيَتَهَا نِصْفَ الدِّيَةِ ثُمَّ عَادَ الْجَانِي إِلَيْهِ فَقَتَلَهُ قَبْلَ انْدِمَالِ يَدِهِ فَفِيمَا يَلْزَمُهُ بِقَتْلِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ
Jika seseorang memotong salah satu tangan seorang laki-laki, lalu orang yang tangannya terpotong itu mengambil diyat untuk tangannya, yaitu setengah diyat, kemudian pelaku kembali kepadanya dan membunuhnya sebelum tangan yang terpotong itu sembuh, maka dalam hal kewajiban pelaku atas pembunuhan tersebut terdapat tiga pendapat, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Hurairah.
أَحَدُهَا وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي النَّفْسِ لِأَخْذِهِ نِصْفَ الدِّيَةِ فِي قَطْعِ الْيَدِ وَيَرْجِعُ وَلَيُّهُ بِنِصْفِ الدِّيَةِ وَهُوَ الْبَاقِي مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ
Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang jelas dalam mazhab Syafi‘i, adalah bahwa tidak ada qishāsh atasnya dalam kasus jiwa karena ia telah mengambil setengah diyat dalam kasus pemotongan tangan, dan wali korban berhak mendapatkan setengah diyat, yaitu sisa dari diyat jiwa.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ عَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ فَعَلَيْهِ جَمِيعُ دِيَةِ النَّفْسِ وَجَعَلَ جِنَايَةَ الْوَاحِدِ كَجِنَايَةِ الِاثْنَيْنِ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Ibn Surayj: pelaku dikenai qisas dalam kasus jiwa, maka jika dimaafkan darinya, ia wajib membayar seluruh diyat jiwa, dan beliau menyamakan tindak pidana satu orang dengan tindak pidana dua orang.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ وَلَا يَلْزَمُهُ إِنْ عَفَا عَنِ الْقَوَدِ إِلَّا نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَنَّ النَّفْسَ لَا تَكُونُ تَبَعًا لِلْأَعْضَاءِ فَلَمْ يُوجِبْ سُقُوطُ الْقَوَدِ فِي الْيَدِ سُقُوطَهُ فِي النَّفْسِ وَلَمْ يَسْتَحِقَّ إِلَّا نِصْفَ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ مَا فِيهِ نِصْفُهَا
Pendapat ketiga adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: pelaku dikenai qishāsh dalam kasus jiwa, dan jika dimaafkan dari qishāsh, maka ia hanya wajib membayar setengah diyat. Sebab, jiwa tidak mengikuti anggota tubuh, sehingga gugurnya qishāsh pada tangan tidak menyebabkan gugurnya qishāsh pada jiwa, dan ia hanya berhak atas setengah diyat karena ia telah mengambil bagian yang mengandung setengah diyat tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
إِذَا قَطَعَ نَصْرَانِيٌّ يَدَ مُسْلِمٍ فَاقْتَصَّ الْمُسْلِمُ مِنَ النَّصْرَانِيِّ ثُمَّ مَاتَ الْمُسْلِمُ مِنْ سِرَايَةِ الْقَطْعِ كَانَ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ نَفْسِ النَّصْرَانِيِّ لِأَنَّ الْقَطْعَ قَدْ صَارَ بِالسِّرَايَةِ نَفْسًا فَإِنْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ كَانَ فِيمَا يَرْجِعُ بِهِ عَلَى النَّصْرَانِيِّ وَجْهَانِ
Jika seorang Nasrani memotong tangan seorang Muslim, lalu Muslim tersebut melakukan qishāsh terhadap Nasrani itu, kemudian Muslim tersebut meninggal dunia akibat dampak luka potongan itu, maka wali Muslim tersebut berhak menuntut qishāsh jiwa terhadap Nasrani itu, karena potongan tersebut dengan dampaknya telah berubah menjadi kasus jiwa. Jika wali memaafkan qishāsh jiwa, maka dalam hal tuntutan yang dapat diajukannya kepada Nasrani itu terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِخَمْسَةِ أَسْدَاسِ الدِّيَةِ لِأَنَّ دِيَةَ الْمُسْلِمِ اثْنَا عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَدِيَةَ النَّصْرَانِيِّ ثُلْثُهَا أَرْبَعَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ وَقَدِ اقْتَصَّ مِنْ إِحْدَى يَدَيْهِ بِنِصْفِهَا وَهُوَ أَلْفَا دِرْهَمٍ وَقَدْرُهُمَا سُدْسُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ فَصَارَ الْبَاقِي لَهُ خَمْسَةَ أَسْدَاسِهَا
Salah satunya berhak menuntut lima perenam diyat darinya, karena diyat seorang Muslim adalah dua belas ribu dirham, sedangkan diyat seorang Nasrani sepertiganya, yaitu empat ribu dirham. Telah diqishash dari salah satu tangannya dengan setengah diyatnya, yaitu dua ribu dirham, dan jumlah itu adalah seperenam dari diyat seorang Muslim. Maka sisanya baginya adalah lima perenam dari diyat tersebut.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَشْبَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى النَّصْرَانِيِّ بِنِصْفِ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ لَمَّا رَضِيَ الْمُسْلِمُ أَنْ يَأْخُذَ يَدَ النَّصْرَانِيِّ بِيَدِهِ وَدِيَةُ الْيَدِ نِصْفُ دِيَةِ النَّفْسِ صَارَ الْبَاقِي لَهُ نِصْفَ الدِّيَةِ أَلَا تَرَاهُ لَوِ ابْتَدَأَ النَّصْرَانِيُّ بِقَتْلِ الْمُسْلِمِ فَرَضِيَ وَلِيُّهُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ كَانَتْ نَفْسُهُ بِنَفْسِ الْمُسْلِمِ وَلَمْ يَرْجِعْ وَلِيُّهُ بِفَاضِلِ دِيَتِهِ كَذَلِكَ فِي الْيَدِ وَلَوْ كَانَ النَّصْرَانِيُّ قَطَعَ يَدَيِ الْمُسْلِمِ فَاقْتَصَّ الْمُسْلِمُ مِنْهَا ثُمَّ مَاتَ الْمُسْلِمُ كَانَ لِوَلِيِّهِ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ إِلَى الدِّيَةِ كَانَ عَلَى الْوَجْهَيْنِ أَيْضًا
Pendapat kedua, yang lebih mendekati, adalah bahwa orang Nasrani harus membayar setengah diyat, karena ketika seorang Muslim rela mengambil tangan orang Nasrani dengan tangannya, sedangkan diyat tangan adalah setengah dari diyat jiwa, maka sisanya menjadi haknya berupa setengah diyat. Tidakkah engkau melihat, jika orang Nasrani memulai dengan membunuh Muslim, lalu wali Muslim rela melakukan qishash terhadapnya, maka jiwanya dibalas dengan jiwa Muslim dan walinya tidak menuntut kelebihan diyatnya? Begitu pula dalam kasus tangan. Jika orang Nasrani memotong kedua tangan Muslim, lalu Muslim melakukan qishash atasnya, kemudian Muslim itu meninggal, maka walinya berhak melakukan qishash atas jiwanya. Jika ia memaafkannya dengan diyat, maka berlaku dua pendapat juga.
أَحَدُهُمَا يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِثُلْثَيِ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ مِنْهَا بِالْيَدَيْنِ دِيَةَ نَصْرَانِيٍّ قَدْرُهَا أَرْبَعَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ وَذَلِكَ ثُلْثُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ فَبَقِيَ لَهُ ثُلْثَاهَا
Salah satunya harus membayar kembali dua pertiga diyat; karena ia telah mengambil dari diyat tersebut, melalui kedua tangan, diyat seorang Nasrani yang jumlahnya empat ribu dirham, dan itu adalah sepertiga dari diyat seorang Muslim, sehingga sisanya adalah dua pertiganya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا شَيْءَ لَهُ عَلَيْهِ لِأَنَّ فِي يَدَيِ النَّصْرَانِيِّ دِيَةَ نَفْسِهِ فَصَارَ فِي الِاقْتِصَاصِ مِنْهَا كَالْمُقْتَصِّ مِنْ نَفْسِهِ وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَوْ قَطَعَتِ امْرَأَةٌ يَدَ رَجُلٍ فَاقْتَصَّ مِنْهَا ثُمَّ مَاتَ الرَّجُلُ كَانَ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ نَفْسِ الْمَرْأَةِ فَإِنْ عَفَا عَنْهَا إِلَى الدِّيَةِ رَجَعَ عَلَيْهَا فِي الْوَجْهِ الْأَوَّلِ بِثَلَاثَةِ أَرْبَاعِ الدِّيَةِ لِأَنَّ دِيَةَ الْمَرْأَةِ نِصْفُ دِيَةِ الرَّجُلِ وَقَدْ أَخَذَ بِيَدِهَا نِصْفَ دِيَتِهَا وَهِيَ رُبْعُ دِيَةِ الرَّجُلِ فَبَقِيَ لَهُ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِهَا
Pendapat kedua adalah bahwa tidak ada hak baginya atas orang tersebut, karena di tangan orang Nasrani itu terdapat diyat (tebusan) atas dirinya sendiri, sehingga dalam pelaksanaan qishāsh terhadapnya, ia seperti orang yang melaksanakan qishāsh atas dirinya sendiri. Berdasarkan dua pendapat ini, jika seorang wanita memotong tangan seorang laki-laki lalu dilaksanakan qishāsh terhadapnya, kemudian laki-laki itu meninggal, maka wali laki-laki tersebut berhak melaksanakan qishāsh terhadap jiwa wanita itu. Jika ia memaafkannya dengan menerima diyat, maka menurut pendapat pertama, ia berhak menuntut tiga perempat diyat dari wanita itu, karena diyat wanita adalah setengah dari diyat laki-laki, dan dengan dipotongnya tangannya, telah diambil setengah dari diyatnya, yaitu seperempat dari diyat laki-laki, sehingga yang tersisa baginya adalah tiga perempatnya.
وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ بِالْيَدِ نِصْفَ الدِّيَةِ وَالدِّيَتَانِ مَعَ تَفَاضُلِهِمَا يَتَمَاثَلَانِ فِي الْقِصَاصِ وَلَوْ قَطَعَتِ الْمَرْأَةُ يَدَيِ الرَّجُلِ فَاقْتَصَّ مِنْهَا ثُمَّ مَاتَ فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يَرْجِعُ وَلِيُّهُ عَلَيْهَا إِنْ لَمْ يَقْتَصَّ مِنْ نَفْسِهَا بِنِصْفِ الدِّيَةِ وَلَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا فِي الْوَجْهِ الثَّانِي بِشَيْءٍ لِاقْتِصَاصِهِ مِنْ يَدَيْنِ يَجِبُ فِيهَا دِيَةُ النَّفْسِ
Menurut pendapat kedua, ia berhak menuntut kembali setengah diyat darinya, karena ia telah menerima setengah diyat secara langsung, dan kedua diyat tersebut, meskipun berbeda nilainya, tetap setara dalam hal qishāsh. Jika seorang wanita memotong kedua tangan seorang laki-laki, lalu dilakukan qishāsh terhadapnya, kemudian laki-laki itu meninggal dunia, maka menurut pendapat pertama, walinya dapat menuntut kembali setengah diyat darinya jika belum dilakukan qishāsh terhadap jiwanya. Namun menurut pendapat kedua, tidak ada tuntutan apapun terhadapnya karena telah dilakukan qishāsh terhadap kedua tangan yang diyatnya setara dengan diyat jiwa.
فَصْلٌ
Bagian
سِرَايَةُ الْجِنَايَةِ مضمونة على الجاني وسراية القصاص غير مضمونة عَلَى الْمُقْتَصِّ فَإِذَا قَطَعَ رَجُلٌ يَدَ رَجُلٍ فَاقْتَصَّ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ مِنَ الجَانِي ثُمَّ مَاتَ المجني عَلَيْهِ مِنَ القَطْعِ كَانَتْ نَفْسُهُ مَضْمُونَةً عَلَى الْجَانِي وَلَوْ مَاتَ الْجَانِي مِنَ القِصَاصِ كَانَتْ نَفْسُهُ هَدَرًا لَا يَضْمَنُهَا الْمُقْتَصُّ
Akibat lanjutan dari tindak pidana dijamin atas pelaku, sedangkan akibat lanjutan dari pelaksanaan qishāsh tidak dijamin atas orang yang menuntut qishāsh. Jika seseorang memotong tangan orang lain, lalu korban menuntut qishāsh kepada pelaku, kemudian korban meninggal dunia akibat pemotongan tersebut, maka jiwa korban dijamin atas pelaku. Namun jika pelaku meninggal dunia akibat pelaksanaan qishāsh, maka jiwanya menjadi sia-sia dan tidak dijamin oleh orang yang menuntut qishāsh.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ سِرَايَةُ الْقِصَاصِ مَضْمُونَةٌ عَلَى الْمُقْتَصِّ كَمَا أَنَّ سِرَايَةَ الْجِنَايَةِ مَضْمُونَةٌ عَلَى الْجَانِي فَإِذَا مَاتَ الْجَانِي مَعَ سِرَايَةِ الْقِصَاصِ ضَمِنَ الْمُقْتَصُّ جَمِيعَ دِيَةِ نَفْسِهِ عَلَى عَاقِلَتِهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَا حَدَثَ عَنِ الْمُبَاشَرَةِ كَانَ مَضْمُونًا عَلَى الْمُبَاشِرِ كَالْجَانِي
Abu Hanifah berkata, “Akibat lanjutan dari pelaksanaan qishāsh menjadi tanggungan orang yang melaksanakan qishāsh, sebagaimana akibat lanjutan dari tindak pidana menjadi tanggungan pelaku pidana. Maka apabila pelaku pidana meninggal dunia bersamaan dengan terjadinya akibat lanjutan dari pelaksanaan qishāsh, orang yang melaksanakan qishāsh wajib menanggung seluruh diyat jiwa pelaku pidana melalui ‘āqilah-nya, berdasarkan dalil bahwa segala sesuatu yang terjadi akibat tindakan langsung menjadi tanggungan pelaku langsung, sebagaimana halnya pelaku pidana.”
وَلِأَنَّ الْقِصَاصَ مُبَاحٌ وَلَيْسَ بِلَازِمٍ لِتَخْيِيرِ وَلِيِّهِ بَيْنَ فِعْلِهِ وَتَرْكِهِ كَضَرْبِ الرَّجُلِ لِزَوْجَتِهِ وَالْأَبِ لِوَلَدِهِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ مَا حَدَثَ مِنَ التَّلَفِ عَنْ ضَرْبِ الزَّوْجِ وَالْأَبِ مَضْمُونٌ عَلَيْهِمَا كَذَلِكَ مَا حَدَثَ عَنِ الْقِصَاصِ يجب أن يكون مضموناً على المتقص
Karena qishāsh itu dibolehkan dan bukan sesuatu yang wajib, sehingga wali korban diberi pilihan antara melaksanakannya atau meninggalkannya, seperti halnya seorang suami memukul istrinya atau seorang ayah memukul anaknya. Kemudian telah tetap bahwa kerusakan yang terjadi akibat pukulan suami atau ayah menjadi tanggungan mereka berdua, maka demikian pula kerusakan yang terjadi akibat pelaksanaan qishāsh harus menjadi tanggungan pelaku qishāsh.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ الشورى 41 وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا قَالَا مَنْ مَاتَ مِنْ حَدٍّ أَوْ قِصَاصٍ فَلَا دِيَةَ لَهُ الْحَقُّ قَتلهُ وَلَيْسَ لَهُمَا مُخَالِفٌ فَصَارَ إِجْمَاعًا وَلِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّ قَطْعُهُ بِالنَّصِّ لَمْ يُضْمَنْ سِرَايَتُهُ كَالسَّرِقَةِ وَلِأَنَّ السِّرَايَةَ مُعْتَبَرَةٌ بِأَصْلِهَا فَإِنْ كَانَ مَضْمُونًا لِحَظْرِهِ ضُمِنَتْ سِرَايَتُهُ وَإِنْ كَانَ هَدَرًا لِإِبَاحَتِهِ لَمْ يُضْمَنْ سِرَايَتُهُ اعْتِبَارًا بِالْمُسْتَقَرِّ فِي أُصُولِ الشَّرْعِ بِأَنَّ مَنْ أَوْقَدَ نَارًا فِي مِلْكِهِ فَتَعَدَّتْ إِلَى جَارِهِ أَوْ أَجْرَى الْمَاءَ فِي أَرْضِهِ فَجَرَى إِلَى أَرْضِ غَيْرِهِ لَمْ يَضْمَنْ وَلَوْ أَوْقَدَ النَّارَ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ وَأَجْرَى الْمَاءَ فِي غَيْرِ أَرْضِهِ ضُمِنَ بِتَعَدِّيهِمَا وَلَوْ حَفَرَ بِئْرًا فِي مِلْكِهِ لَمْ يَضْمَنْ مَا سَقَطَ فِيهَا وَلَوْ حَفَرَهَا فِي غَيْرِ مِلْكِهِ ضَمِنَ مَا سَقَطَ فِيهَا كَذَلِكَ سِرَايَةُ الْقِصَاصِ عَنْ مُبَاحٍ فَلَمْ يَضْمَنْ وَسِرَايَةُ الْجِنَايَةِ عَنْ مَحْظُورٍ فَضُمِنَتْ وَهَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ السِّرَايَتَيْنِ وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ ضَرْبِ الزَّوْجِ وَالْأَبِ فَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِصَاصِ تَقْدِيرُ الْقِصَاصِ بِالشَّرْعِ نَصًّا فَلَمْ يَضْمَنْ وَالضَّرْبُ عَنِ اجْتِهَادٍ فَضَمِنَ كَمَا لَا يُضْمَنُ مَا حَدَثَ عَنْ جَلْدِ الزَّانِي وَيُضْمَنُ ضَرْبُ التَّعْزِيرِ
Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa membela diri setelah teraniaya, maka tidak ada dosa atas mereka.” (Asy-Syura: 41). Diriwayatkan dari ‘Umar dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma bahwa keduanya berkata, “Barang siapa mati karena hudud atau qishash, maka tidak ada diyat baginya; haklah yang membunuhnya, dan tidak ada yang menyelisihi keduanya, sehingga menjadi ijmā‘.” Dan karena apa yang diputuskan untuk dipotong berdasarkan nash, maka tidak dijamin akibat lanjutannya, seperti dalam kasus pencurian. Dan karena akibat lanjutan (sirayah) itu dinilai berdasarkan asalnya; jika asalnya dijamin karena terlarang, maka akibat lanjutannya pun dijamin; dan jika asalnya sia-sia karena dibolehkan, maka akibat lanjutannya tidak dijamin, sesuai dengan yang telah mapan dalam ushul syar‘i, bahwa siapa yang menyalakan api di tanah miliknya lalu merambat ke tetangganya, atau mengalirkan air di tanahnya lalu mengalir ke tanah orang lain, maka ia tidak menanggungnya. Namun jika menyalakan api di tanah orang lain atau mengalirkan air di tanah orang lain, maka ia menanggung akibatnya karena melampaui batas. Jika menggali sumur di tanah miliknya, ia tidak menanggung apa yang jatuh ke dalamnya; namun jika menggali di tanah orang lain, ia menanggung apa yang jatuh ke dalamnya. Demikian pula akibat qishash yang berasal dari sesuatu yang mubah, maka tidak dijamin; dan akibat jinayah yang berasal dari sesuatu yang terlarang, maka dijamin. Ini adalah dalil dan penjelasan tentang perbedaan antara dua akibat tersebut. Adapun yang disebutkan tentang pemukulan oleh suami atau ayah, maka perbedaannya dengan qishash adalah bahwa qishash ditetapkan secara nash syar‘i sehingga tidak dijamin, sedangkan pemukulan berdasarkan ijtihad sehingga dijamin, sebagaimana tidak dijamin apa yang terjadi akibat cambukan pezina, dan dijamin akibat pemukulan ta‘zir.
فَصْلٌ
Fasal
إِذَا قَطَعَ رَجُلٌ يَدَ رَجُلٍ فَاقْتَصَّ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ مِنَ الجَانِي ثُمَّ سَرَى الْقَطْعَانِ إِلَى النَّفْسِ فَمَاتَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ وَمَاتَ الْجَانِي فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Apabila seorang laki-laki memotong tangan laki-laki lain, lalu korban melakukan qishāsh terhadap pelaku, kemudian luka potongan itu menjalar hingga menyebabkan kematian, sehingga korban meninggal dunia dan pelaku juga meninggal dunia, maka kasus ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَقَدَّمَ مَوْتُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ عَلَى موت الجاني فيجزي قَطْعُ الْقِصَاصِ وَسِرَايَتُهُ عَنْ قَطْعِ الْجَانِي وَسِرَايَتِهِ لِأَنَّهُ لَمَّا قَامَتِ السِّرَايَةُ فِي الْجِنَايَةِ مَقَامَ الْمُبَاشَرَةِ وَجَبَ أَنْ تَقُومَ السِّرَايَةُ فِي الْقِصَاصِ مَقَامَ الْمُبَاشَرَةِ وَلِأَنَّ الْمُسْتَحَقَّ عَلَى الْجَانِي أَخْذُ نَفْسِهِ وَقَدْ أَخَذَهَا وَلِيُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِسِرَايَةِ قَوَدِهِ هَذَا مَا قَالَهُ أَصْحَابُنَا وَعِنْدِي فِيهِ نَظَرٌ لِأَنَّ سِرَايَةَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَوْفِيَ بِهَا سِرَايَةَ الْجَانِي وهي مَضْمُونَةٌ
Salah satunya adalah apabila kematian korban mendahului kematian pelaku, maka cukup dengan pemotongan dalam qishāsh dan akibat lanjutannya sebagai ganti pemotongan pelaku dan akibat lanjutannya. Sebab, ketika akibat lanjutan dalam tindak pidana menempati posisi langsung, maka seharusnya akibat lanjutan dalam qishāsh juga menempati posisi langsung. Selain itu, yang menjadi hak atas pelaku adalah pengambilan jiwanya, dan wali korban telah mengambilnya melalui akibat lanjutan qishāsh. Demikian pendapat para ulama kami. Namun menurut saya, ada pertimbangan lain, karena akibat lanjutan pada korban tidak dijamin, sehingga tidak boleh menuntut akibat lanjutan pada pelaku yang justru dijamin.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَوْتُ الْجَانِي قَبْلَ مَوْتِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Jenis kedua adalah apabila pelaku meninggal sebelum korban meninggal, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لا يجزى مَا تَقَدَّمَ مِنْ سِرَايَةِ الْقِصَاصِ فِي الْقَوَدِ عَمَّا حَدَثَ بَعْدَهُ مِنْ سِرَايَةِ الْجِنَايَةِ لِأَنَّ تقديم القصاص من قبل استحقاقه لا يجزي بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهِ لِأَنَّهُ يَصِيرُ سَلَفًا وَالسَّلَفُ فِي الْقِصَاصِ لَا يَجُوزُ فَعَلَى هَذَا يُؤْخَذُ مِنْ تَرِكَةِ الْجَانِي نِصْفُ الدِّيَةِ
Salah satunya adalah bahwa qishāsh yang telah dilakukan sebelumnya karena penyebaran akibat luka tidak dapat menggantikan apa yang terjadi setelahnya dari penyebaran jināyah, karena pelaksanaan qishāsh sebelum haknya diperoleh tidak mencukupi setelah hak itu diperoleh, sebab hal itu menjadi seperti pembayaran di muka, dan pembayaran di muka dalam qishāsh tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, dari harta peninggalan pelaku diambil setengah diyat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ تجزي سِرَايَةُ الْقِصَاصِ وَإِنْ تَقَدَّمَتْ عَمَّا وَجَبَ بِالسِّرَايَةِ عَنِ الْجِنَايَةِ وَإِنْ تَأَخَّرَتْ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنَ السِّرَايَتَيْنِ تَابِعَةٌ لِأَصْلِهَا وَقَطْعَ الْقِصَاصِ مُتَأَخِّرٌ فَجَرَى عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ سِرَايَتِهِ حُكْمُ المتأخر والله أعلم
Pendapat kedua adalah bahwa siksaan qishāsh tetap berlaku meskipun dampak lanjutan (sirāyah) terjadi sebelum atau sesudah qishāsh itu sendiri, karena masing-masing dari dua sirāyah tersebut mengikuti asalnya. Pemotongan akibat qishāsh terjadi belakangan, sehingga hukum atas sirāyah yang telah terjadi sebelumnya mengikuti hukum yang belakangan. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ قَتَلَهُ عَمْدًا وَمَعَهُ صَبِيٌّ أَوْ مَعْتُوهٌ أَوْ كَانَ حُرٌّ وَعَبْدٌ قَتَلَا عَبْدًا أَوْ مُسْلِمٌ وَنَصْرَانِيٌّ قَتَلَا نَصْرَانِيًّا أَوْ قَتَلَ ابْنَهُ وَمَعَهُ أَجْنَبِيٌّ فَعَلَى الَّذِي عَلَيْهِ الْقِصَاصُ الْقِصَاصُ وَعَلَى الْآخَرِ نِصْفُ الدِّيَةِ فِي مَالِهِ وَعُقُوبَةٌ إِنْ كَانَ الضَّرْبُ عمداً قال المزني رحمه الله وشبه الشافعي أخذ القود من البالغ دون الصبي بالقاتلين عمداً يعفو الولي عن أحدهما إن له قتل الآخر فإن قيل وجب عليهما القود فزال عن أحدهما بإزالة الولي قيل فإذا أزاله الولي عنه أزاله عن الآخر فإن قال لا قيل فعلهما واحد فقد حكمت لكل واحد منها بحكم نفسه لا بحكم غيره قال فإن شركه قاتل خطأ فعلى العامد نصف الدية في ماله وجناية المخطئ على عاقلته واحتج على محمد بن الحسن في منع القود من العامد إذا شاركه صبي أو مجنون فقال إن كنت رفعت عنه القود لأن القلم عنهما مرفوع وإن عمدهما خطأ على عاقلتهما فهلا أقدت من الأجنبي إذا قتل عمداً مع الأب لأن القلم عن الأب ليس بمرفوع وهذا ترك أصلك قال المزني رحمه الله قد شرك الشافعي رحمه الله محمد بن الحسن فيما أنكر عليه في هذه المسألة لأن رفع القصاص عن الخاطئ والمجنون والصبي واحد فكذلك حكم من شاركهم بالعمد واحد
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika seseorang membunuh dengan sengaja bersama seorang anak kecil atau orang yang tidak berakal, atau seorang merdeka dan seorang budak bersama-sama membunuh seorang budak, atau seorang Muslim dan seorang Nasrani bersama-sama membunuh seorang Nasrani, atau seseorang membunuh anaknya bersama orang lain yang bukan kerabat, maka orang yang wajib atasnya qishāsh dikenakan qishāsh, dan atas yang lainnya dikenakan setengah diyat dari hartanya serta hukuman jika pemukulan itu dilakukan dengan sengaja. Al-Muzani rahimahullah berkata: Imam Syafi‘i menyerupakan pengambilan qishāsh dari orang dewasa tanpa anak kecil dengan dua orang yang membunuh dengan sengaja, lalu wali korban memaafkan salah satunya, maka ia berhak membunuh yang lainnya. Jika dikatakan, “Keduanya wajib qishāsh, lalu gugur dari salah satunya karena penghapusan dari wali,” maka dikatakan, “Jika wali menghapuskan dari salah satunya, maka gugur pula dari yang lainnya.” Jika ia berkata, “Tidak,” maka dikatakan, “Perbuatan keduanya sama, maka engkau telah menetapkan hukum untuk masing-masing berdasarkan dirinya sendiri, bukan berdasarkan orang lain.” Ia berkata, “Jika yang berserikat adalah pembunuh karena kelalaian, maka atas pelaku sengaja wajib setengah diyat dari hartanya, dan kejahatan pelaku kelalaian ditanggung oleh ‘āqilah-nya.” Ia berdalil atas Muhammad bin al-Hasan dalam larangan qishāsh dari pelaku sengaja jika disertai anak kecil atau orang gila, seraya berkata, “Jika engkau menggugurkan qishāsh dari mereka karena pena tidak berlaku atas mereka, dan perbuatan sengaja mereka dianggap kelalaian yang ditanggung oleh ‘āqilah mereka, maka mengapa engkau tidak menegakkan qishāsh atas orang lain yang membunuh dengan sengaja bersama ayah korban, padahal pena tidak diangkat dari ayah?” Ini berarti meninggalkan prinsipmu sendiri. Al-Muzani rahimahullah berkata: Imam Syafi‘i rahimahullah telah sependapat dengan Muhammad bin al-Hasan dalam hal yang ia ingkari dalam masalah ini, karena pengguguran qishāsh dari pelaku kelalaian, orang gila, dan anak kecil adalah satu hal, maka demikian pula hukum bagi siapa saja yang berserikat dengan mereka dalam pembunuhan sengaja adalah sama.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا اشْتَرَكَ اثْنَانِ فِي قَتْلِ نَفْسٍ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, “Jika dua orang bersama-sama dalam membunuh seseorang, maka keadaan keduanya tidak lepas dari tiga bagian.”
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَوِ انْفَرَدَ بِقَتْلِهِ قُتِلَ بِهِ كَحُرَّيْنِ قَتَلَا حُرًّا أَوْ عَبْدَيْنِ قَتَلَا عَبْدًا أَوْ كَافِرَيْنِ قَتَلَا كَافِرًا فَعَلَيْهِمَا إِذَا اشْتَرَكَا فِي قَتْلِهِ الْقَوَدُ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَوِ انْفَرَدَ بِقَتْلِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ
Salah satunya adalah apabila masing-masing dari keduanya, jika membunuh sendiri, akan dikenai qishāsh, seperti dua orang merdeka yang membunuh seorang merdeka, atau dua budak yang membunuh seorang budak, atau dua orang kafir yang membunuh seorang kafir. Maka keduanya, jika bersama-sama dalam membunuh, wajib dikenai qishāsh, karena masing-masing dari mereka, jika membunuh sendiri, wajib atasnya qishāsh.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَوِ انْفَرَدَ بِقَتْلِهِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقَوَدُ كَحُرَّيْنِ قَتَلَا عَبْدًا أَوْ مُسْلِمَيْنِ قَتَلَا كَافِرًا فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِمَا إِذَا اشْتَرَكَا لِسُقُوطِ الْقَوَدِ عَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِذَا انْفَرَدَ
Bagian kedua adalah apabila masing-masing dari keduanya, jika membunuh sendiri, tidak wajib atasnya qishāsh, seperti dua orang merdeka yang membunuh seorang budak, atau dua orang Muslim yang membunuh seorang kafir. Maka tidak ada qishāsh atas mereka berdua jika mereka bersekutu (dalam pembunuhan), karena gugurnya kewajiban qishāsh dari masing-masing mereka jika dilakukan sendiri.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَجِبَ الْقَوَدُ عَلَى أَحَدِهِمَا لَوِ انْفَرَدَ وَلَا يَجِبُ عَلَى الْآخَرِ إِذَا انْفَرَدَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bagian ketiga adalah apabila qawad (hukuman balasan) wajib atas salah satu dari keduanya jika ia sendiri, dan tidak wajib atas yang lain jika ia sendiri; maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ سُقُوطُ الْقَوَدِ عَنْهُ لَوِ انْفَرَدَ لِمَعْنًى فِي نَفْسِهِ كَالْأَبِ إِذَا شَارَكَ أَجْنَبِيًّا فِي قَتْلِ وَلَدِهِ وَكَالْحُرِّ إِذَا شَارَكَ عَبْدًا فِي قَتْلِ عَبْدِهِ وَكَالْمُسْلِمِ إِذَا شَارَكَ كَافِرًا فِي قَتْلِ كَافِرٍ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنْهُ لِمَعْنًى فِي نَفْسِهِ لَا فِي فِعْلِهِ
Salah satunya adalah gugurnya qishāsh darinya jika ia sendirian karena suatu alasan yang ada pada dirinya sendiri, seperti seorang ayah yang bersekutu dengan orang lain dalam membunuh anaknya, atau seorang merdeka yang bersekutu dengan seorang budak dalam membunuh budaknya, atau seorang muslim yang bersekutu dengan seorang kafir dalam membunuh seorang kafir. Maka gugurlah qishāsh darinya karena suatu alasan yang ada pada dirinya sendiri, bukan karena perbuatannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ سُقُوطُ الْقَوَدِ عَنْهُ لَوِ انْفَرَدَ لِمَعْنًى فِي فِعْلِهِ كالخاطئ إذا شارك عاملاً فِي الْقَتْلِ أَوْ تَعَمَّدَ الْخَطَأَ إِذَا شَارَكَ عَمْدًا مَحْضًا فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنْهُ لِمَعْنًى فِي فِعْلِهِ لَا فِي نَفْسِهِ فَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي شَرِيكِ مَنْ سَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ بِأَحَدِ هَذَيْنِ الضَّرْبَيْنِ هَلْ تُوجِبُ الشَّرِكَةُ سُقُوطَ الْقَوَدِ عَنْهُ بِسُقُوطِهَا عَنْ شَرِيكِهِ أَمْ لَا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ
Jenis yang kedua adalah apabila gugurnya qisas darinya, jika berdiri sendiri, disebabkan oleh suatu alasan dalam perbuatannya, seperti orang yang membunuh karena keliru apabila bersekutu dengan pelaku pembunuhan, atau orang yang sengaja melakukan kesalahan apabila bersekutu dengan pelaku pembunuhan yang benar-benar disengaja. Maka gugurlah qisas darinya karena suatu alasan dalam perbuatannya, bukan pada dirinya sendiri. Para fuqaha pun berbeda pendapat mengenai sekutu dari orang yang gugur darinya qisas dengan salah satu dari dua jenis ini: apakah kemitraan tersebut menyebabkan gugurnya qisas darinya karena gugur dari sekutunya atau tidak, terdapat tiga pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهُ لَا يَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنْهُ بِسُقُوطِهِ عَنْ شَرِيكِهِ سَوَاءٌ كَانَ سُقُوطُ الْقَوَدِ عَنْهُ لِمَعْنًى فِي نَفْسِهِ كَالْأَبِ إِذَا شَارَكَ أَجْنَبِيًّا أَوْ لِمَعْنًى فِي فِعْلِهِ كَالْخَاطِئِ إِذَا شَارَكَ عَامِدًا
Salah satu pendapat, yaitu mazhab Malik, menyatakan bahwa qisas tidak gugur darinya karena gugur dari rekannya, baik gugurnya qisas darinya disebabkan oleh suatu alasan yang ada pada dirinya sendiri seperti ayah apabila bersekutu dengan orang lain yang bukan kerabat, atau karena suatu alasan yang terdapat pada perbuatannya seperti orang yang membunuh karena keliru apabila bersekutu dengan orang yang membunuh dengan sengaja.
وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ يَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنْهُ لِسُقُوطِهِ عَنْ شَرِيكِهِ سَوَاءٌ سَقَطَ الْقَوَدُ عَنْهُ لِمَعْنًى فِي نَفْسِهِ كَالْأَبِ إِذَا شَارَكَ أَجْنَبِيًّا أَوْ لِمَعْنًى فِي فِعْلِهِ كَالْخَاطِئِ إِذَا شَارَكَ عَامِدًا
Pendapat kedua, yaitu mazhab Abu Hanifah, menyatakan bahwa qisas gugur darinya karena gugur dari rekannya, baik qisas itu gugur darinya karena suatu alasan yang ada pada dirinya sendiri, seperti ayah jika bersekutu dengan orang lain yang bukan kerabat, ataupun karena suatu alasan yang terdapat pada perbuatannya, seperti pelaku pembunuhan karena keliru jika bersekutu dengan pelaku pembunuhan yang sengaja.
وَالثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ إِذَا شَارَكَ مَنْ سَقَطَ الْقَوَدُ عَنْهُ لِمَعْنًى فِي نَفْسِهِ كَالْأَبِ إِذَا شَارَكَ أَجْنَبِيًّا لَمْ يَسْقُطِ الْقَوَدُ عَنِ الْأَجْنَبِيِّ وَإِنْ شَارَكَ مَنْ سَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ لِمَعْنًى فِي فِعْلِهِ كَالْخَاطِئِ إِذَا شَارَكَ عَامِدًا لَمْ يَجِبِ الْقَوَدُ عَلَى الْعَامِدِ فَصَارَ الْخِلَافُ مَعَ مَالِكٍ فِي شَرِيكِ الْخَاطِئِ عِنْدَهُ يُقْتَلُ وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَا يُقْتَلُ وَمَعَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي شَرِيكِ الْأَبِ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ لَا يُقْتَلُ وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ يُقْتَلُ
Pendapat ketiga, yaitu mazhab Syafi‘i, menyatakan bahwa jika seseorang yang gugur hak qishash darinya karena suatu alasan yang melekat pada dirinya, seperti ayah, bersekutu dengan orang lain yang bukan kerabat (ajnabi), maka qishash tidak gugur dari orang ajnabi tersebut. Namun, jika ia bersekutu dengan orang yang gugur hak qishash darinya karena suatu alasan yang berkaitan dengan perbuatannya, seperti pelaku salah (khathi’) yang bersekutu dengan pelaku sengaja (‘amid), maka qishash tidak wajib atas pelaku sengaja. Dengan demikian, perbedaan pendapat dengan Malik adalah pada rekan pelaku salah; menurut Malik, ia dihukum mati, sedangkan menurut Syafi‘i, ia tidak dihukum mati. Adapun perbedaan dengan Abu Hanifah adalah pada rekan ayah; menurut Abu Hanifah, ia tidak dihukum mati, sedangkan menurut Syafi‘i, ia dihukum mati.
فَأَمَّا مَالِكٌ فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ شَرِيكَ الْخَاطِئِ يُقْتَلُ بِأَنَّ كُلَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ إِذَا انْفَرَدَ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ إِذَا شَارَكَ فَمَنْ لَيْسَ عَلَيْهِ قَوَدٌ كَشَرِيكِ الْأَبِ وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يَتَعَدَّى حُكْمُ الْخَاطِئِ إِلَى الْعَامِدِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ لَجَازَ أَنْ يَتَعَدَّى حُكْمُ الْعَامِدِ إِلَى الْخَاطِئِ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَغَيَّرْ حُكْمُ الدِّيَةِ بِمُشَارَكَةِ الْخَاطِئِ لَمْ يَتَغَيَّرْ بِهَا حُكْمُ الْقَوَدِ
Adapun Malik, ia berdalil bahwa rekan pelaku kesalahan (syarīk al-khāṭi’) tetap dikenai hukuman qishāsh, dengan alasan bahwa setiap orang yang wajib dikenai qishāsh jika bertindak sendiri, maka ia juga wajib dikenai qishāsh jika bersekutu (dalam pembunuhan). Maka, siapa yang tidak dikenai qishāsh seperti rekan ayah (syarīk al-ab), juga tidak dikenai qishāsh. Dan karena jika boleh hukum pelaku kesalahan berpindah kepada pelaku sengaja dalam hal gugurnya qishāsh, maka boleh juga hukum pelaku sengaja berpindah kepada pelaku kesalahan dalam hal wajibnya qishāsh. Dan karena ketika hukum diyat tidak berubah dengan adanya keterlibatan pelaku kesalahan, maka hukum qishāsh pun tidak berubah karenanya.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ شَرِيكَ الْخَاطِئِ لَا يُقْتَلُ قول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَلَا إِنَّ فِي قَتِيلِ الْعَمْدِ الْخَطَأِ قَتِيلِ السَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةً مِنَ الإِبِلِ مُغَلَّظَةً وَهَذَا الْقَتِيلُ قَدِ اجْتَمَعَ فِيهِ عَمْدٌ وَخَطَأٌ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ فِيهِ الدِّيَةَ دُونَ الْقَوَدِ وَلِأَنَّهَا نفس خرجت بعدم وخطأ فوجب أن يسقط فيه الْقَوَدُ كَمَا لَوْ جَرَحَهُ الْوَاحِدُ عَمْدًا وَجَرَحَهُ خَطَأً وَلِأَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ فِي النَّفْسِ مُوجِبٌ وَمُسْقِطٌ يَغْلِبُ حُكْمُ الْمُسْقِطِ عَلَى حُكْمِ الْمُوجَبِ كَالْحُرِّ إِذَا قَتَلَ مَنْ نِصْفُهُ مَمْلُوكٌ وَنِصْفُهُ حُرٌّ وَلِأَنَّ سُقُوطَ الْقَوَدِ فِي الْخَطَأِ يَجْرِي فِي حَقِّ الْقَاتِلِ مَجْرَى عَفْوِ بَعْضِ الْأَوْلِيَاءِ وَسُقُوطُهُ عَنِ الْأَبِ يَجْرِي مَجْرَى الْعَفْوِ عَنْ أَحَدِ الْقَاتِلَيْنِ وَعَفْوُ بَعْضِ الْأَوْلِيَاءِ يُوجِبُ سُقُوطَ الْقَوَدِ فِي حَقِّ مَنْ بَقِيَ مِنَ الأَوْلِيَاءِ وَالْعَفْوُ عَنْ أَحَدِ الْقَتَلَةِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَ الْقَوَدِ عَمَّنْ بَقِيَ مِنَ القَتَلَةِ وَهَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ عَنْ جَمِيعِهِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ
Dalil bahwa rekan pelaku pembunuhan karena kesalahan tidak dihukum qishash adalah sabda Nabi ﷺ: “Ketahuilah, pada kasus pembunuhan yang disengaja namun keliru, yaitu korban yang dibunuh dengan cambuk atau tongkat, terdapat kewajiban membayar seratus ekor unta yang diperberat.” Dalam kasus ini, terdapat unsur kesengajaan dan kesalahan sekaligus, sehingga yang wajib diberikan adalah diyat, bukan qishash. Sebab, jiwa yang hilang itu terjadi karena unsur kesengajaan dan kesalahan, maka qishash gugur sebagaimana jika seseorang melukai korban secara sengaja dan yang lain melukainya secara tidak sengaja. Jika dalam satu jiwa berkumpul sebab yang mewajibkan dan yang menggugurkan, maka hukum yang menggugurkan lebih diutamakan, seperti seorang merdeka yang membunuh seseorang yang setengahnya budak dan setengahnya merdeka. Gugurnya qishash dalam kasus kesalahan berlaku bagi pelaku sebagaimana pengampunan sebagian ahli waris, dan gugurnya qishash dari ayah berlaku seperti pengampunan terhadap salah satu dari dua pembunuh. Pengampunan sebagian ahli waris menyebabkan gugurnya qishash bagi ahli waris yang lain, sedangkan pengampunan terhadap salah satu pembunuh tidak menyebabkan gugurnya qishash bagi pembunuh yang lain. Ini merupakan dalil dan penjelasan yang membedakan antara kedua perkara tersebut.
وَقَوْلُهُ لَوْ تَعَدَّى الْخَطَأ إِلَى الْعَمْدِ لَتَعَدَّى الْعَمْد إِلَى الْخَطَأِ فَهُوَ خَطَأٌ بِمَا ذَكَرْنَاهُ وَأَنَّ اجْتِمَاعَ الْإِيجَابِ وَالْإِسْقَاطِ يَقْتَضِي تَغْلِيبَ حُكْمِ الْإِسْقَاطِ عَلَى الْإِيجَابِ
Dan ucapannya: “Jika kesalahan dapat beralih menjadi sengaja, maka perbuatan sengaja pun dapat beralih menjadi kesalahan; maka itu adalah kesalahan sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan bahwa berkumpulnya kewajiban dan pengguguran menuntut untuk menguatkan hukum pengguguran atas kewajiban.”
وَقَوْلُهُ لَمَّا لَمْ يَتَغَيَّرْ حُكْمُ الدِّيَةِ لَمْ يَتَغَيَّرْ حُكْمُ الْقَوَدِ لَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ الدِّيَةَ تَتَبَعَّضُ وَالْقَوَدُ لَا يَتَبَعَّضُ
Dan pernyataannya bahwa ketika hukum diyat tidak berubah maka hukum qawad juga tidak berubah, itu tidaklah benar, karena diyat dapat terbagi-bagi sedangkan qawad tidak dapat terbagi-bagi.
فَإِذَا ثَبَتَ سُقُوطُ الْقَوَدِ عَنِ الْعَامِدِ لِسُقُوطِهِ عَنِ الْخَاطِئِ فَعَلَى الْعَامِدِ نِصْفُ الدِّيَةِ مُغَلَّظَةً حَالَّةً فِي مَالِهِ وَعَلَى عَاقِلَةِ الْخَاطِئِ نِصْفُ الدِّيَةِ مُخَفَّفَةً إِلَى أَجَلِهَا
Maka apabila telah tetap gugurnya qishāsh dari pelaku sengaja karena gugurnya dari pelaku tidak sengaja, maka atas pelaku sengaja wajib membayar setengah diyat yang diperberat, secara tunai dari hartanya, dan atas ‘āqilah pelaku tidak sengaja wajib membayar setengah diyat yang diringankan dalam tempo yang telah ditentukan.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ شَرِيكَ الْأَبِ لَا يُقْتَلُ بِأَنَّهُ شَارَكَ مَنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقَوَدُ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ الْقَوَدُ كَشَرِيكِ الْخَاطِئِ وَلِأَنَّ مُشَارَكَةَ الْأَبِ كَمُشَارَكَةِ الْمَقْتُولِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الْمَقْتُولَ لَوْ شَارَكَ قَاتِلَهُ لَسَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ كَذَلِكَ الْأَبُ إِذَا شَارَكَ الْأَجْنَبِيَّ وَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ الْقَوَدُ
Adapun Abu Hanifah, beliau berdalil bahwa rekan ayah (dalam pembunuhan) tidak dikenai qishāsh, karena ia telah bersekutu dengan orang yang tidak wajib atasnya qishāsh, maka wajiblah gugur darinya qishāsh, seperti rekan orang yang membunuh karena keliru. Dan karena keterlibatan ayah itu seperti keterlibatan korban (yang terbunuh). Kemudian telah tetap bahwa jika korban turut serta bersama pembunuhnya, maka gugurlah qishāsh darinya; demikian pula ayah, jika ia turut serta bersama orang lain (bukan kerabat), maka wajiblah gugur darinya qishāsh.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ شَرِيكَ الْأَبِ يُقْتَلُ عُمُومُ قَوْله تَعَالَى وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا الإسراء 33 وَلِأَنَّهَا نَفْسٌ مَضْمُونَةٌ خَرَجَتْ بِعَمْدٍ مَحْضٍ فَلَمْ يَكُنْ سُقُوطُ الْقَوَدِ عَنْ أَحَدِ الْقَاتِلَيْنِ مُوجِبًا لِسُقُوطِهِ عَنِ الْآخَرِ كَالْعَفْوِ عَنْ أَحَدِهِمَا لَا يُوجِبُ سُقُوطَ الْقَوَدِ عَنْهُمَا وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَغَيَّرْ حُكْمُ الْأَبِ بِمُشَارَكَةِ الْأَجْنَبِيِّ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ لَمْ يَتَغَيَّرْ حُكْمُ الْأَجْنَبِيِّ بِمُشَارَكَةِ الْأَبِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عَنْهُ
Dalil bahwa rekan ayah (dalam pembunuhan) harus dihukum mati adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya…” (QS. Al-Isra’: 33). Karena jiwa yang dijamin itu telah hilang dengan pembunuhan yang disengaja sepenuhnya, maka gugurnya qishāsh dari salah satu pembunuh tidak menyebabkan gugurnya qishāsh dari yang lain, sebagaimana pemaafan terhadap salah satu dari mereka tidak menyebabkan gugurnya qishāsh dari keduanya. Dan karena ketika hukum ayah tidak berubah dengan adanya keterlibatan orang lain dalam kewajiban qishāsh atasnya, maka hukum orang lain pun tidak berubah dengan keterlibatan ayah dalam gugurnya qishāsh darinya.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْخَاطِئِ فَهُوَ أَنَّ سُقُوطَهُ عَنِ الْخَاطِئِ لِمَعْنًى فِي فِعْلِهِ وَقَدِ امْتَزَجَ الْفِعْلَانِ فِي السِّرَايَةِ فَلَمْ يَتَمَيَّزَا وَسُقُوطُهُ عَنِ الْأَبِ لِمَعْنًى فِي نَفْسِهِ وَقَدْ تَمَيَّزَ الْقَاتِلَانِ فَلَمْ يَسْتَوِيَا وَجَمْعُهُ بَيْنَ شَرِكَةِ الْأَبِ وَشَرِكَةِ الْمَقْتُولِ فَفِيهِ قَوْلَانِ
Adapun jawaban atas qiyās yang menyamakannya dengan orang yang bersalah adalah bahwa gugurnya (hukuman) dari orang yang bersalah disebabkan adanya makna tertentu dalam perbuatannya, dan kedua perbuatan itu telah bercampur dalam penularannya sehingga tidak dapat dibedakan. Sedangkan gugurnya (hukuman) dari ayah disebabkan adanya makna tertentu dalam dirinya sendiri, dan kedua pelaku pembunuhan itu telah dapat dibedakan sehingga keduanya tidak sama. Adapun penggabungan antara kepemilikan ayah dan kepemilikan korban, dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّ شَرِيكَ الْمَقْتُولِ يُقْتَلُ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ
Salah satunya adalah bahwa rekan si terbunuh juga dibunuh, maka dengan demikian dalil tersebut gugur.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ الْأَصَحُّ لَا يُقْتَلُ وَإِنْ قُتِلَ شَرِيكُ الْأَبِ لِأَنَّ شَرِكَةَ الْمَقْتُولِ إِبْرَاءٌ وَلَيْسَتْ شَرِكَةُ الْأَبِ إِبْرَاءً
Pendapat kedua, dan inilah yang paling sahih, adalah tidak dibunuh (si ayah) meskipun rekan ayah dalam pembunuhan juga terbunuh, karena keterlibatan korban dalam pembunuhan merupakan bentuk pembebasan (dari hukuman), sedangkan keterlibatan ayah bukanlah pembebasan.
فَصْلٌ
Bab
فَأَمَّا الْبَالِغُ الْعَاقِلُ إِذَا شَارَكَ فِي الْقَتْلِ صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا فَإِنْ كَانَ قَتْلُ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ عَلَى صِفَةِ الْخَطَأِ فَلَا قَوَدَ عَلَى شَرِيكِهِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الْخَطَأُ مِنْ بَالِغٍ عَاقِلٍ سَقَطَ بِهِ الْقَوَدُ عَنِ الْعَامِدِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يَسْقُطَ بِهِ غَيْرُ الصَّغِيرِ وَالْمَجْنُونِ وَإِنْ كَانَ قَتْلُ الصَّغِيرِ وَالْمَجْنُونِ عَلَى صِفَةِ الْعَمْدِ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي عَمْدِهِمَا هَلْ يَكُونُ عَمْدًا أَوْ خَطَأً عَلَى قَوْلَيْنِ
Adapun orang dewasa yang berakal, jika ia turut serta dalam pembunuhan bersama anak kecil atau orang gila, maka jika pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil dan orang gila itu dalam bentuk kesalahan (tidak sengaja), maka tidak ada qishāsh atas rekannya, karena seandainya kesalahan itu dilakukan oleh orang dewasa yang berakal, qishāsh gugur dari pelaku sengaja, maka lebih utama lagi jika gugur dari selain anak kecil dan orang gila. Namun jika pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil dan orang gila itu dalam bentuk sengaja, maka terdapat perbedaan pendapat dari Imam Syafi‘i mengenai perbuatan sengaja mereka, apakah dianggap sebagai perbuatan sengaja atau sebagai kesalahan, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ إنَّ عَمْدَهَا خَطَأٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ عَمْدًا لَتَعَلَّقَ بِهِ الْقَوَدُ وَالْمَأْثَمُ وَبِسُقُوطِهِمَا عَنْهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْخَطَأِ فَعَلَى هَذَا لَا قَوَدَ فِي الْعَمْدِ عَلَى الْبَالِغِ الْعَاقِلِ إِذَا شَارَكَهُمَا وَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ حَالَّةً فِي مَالِهِ وَعَلَيْهِمَا نِصْفُ دِيَةِ الْخَطَأِ مُخَفَّفَةً عَلَى عَوَاقِلِهِمَا
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Hanifah, menyatakan bahwa kesengajaan mereka dianggap sebagai kesalahan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Pena diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia bermimpi (baligh)…”; dan karena jika itu dianggap sebagai kesengajaan, maka akan terkait dengan qishāsh dan dosa, namun karena kedua hal tersebut tidak berlaku atas mereka, maka berlaku atas mereka hukum kesalahan. Maka, menurut pendapat ini, tidak ada qishāsh dalam kasus kesengajaan terhadap orang dewasa yang berakal jika keduanya (anak kecil dan orang gila) ikut serta, dan atasnya (anak kecil/orang gila) dikenakan setengah diyat yang harus dibayar tunai dari hartanya, sedangkan atas keduanya (wali mereka) dikenakan setengah diyat kesalahan yang diringankan, yang dibebankan kepada ‘āqilah mereka.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ عَمْدَهَا عَمْدٌ لِأَنَّهُمَا قَدْ يُمَيِّزَانِ مَضَارَّهُمَا مِنْ مَنَافِعِهِمَا وَلِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ جَعَلَ لِلصَّبِيِّ تَمْيِيزًا فِي اخْتِيَارِ الْأَبَوَيْنِ وَقَدَّمَهُ لِلصَّلَاةِ إِمَامًا وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ عَمْدُهُ لِلْأَكْلِ فِي الصِّيَامِ عَمْدًا وَعَمْدُهُ لِلْكَلَامِ فِي الصَّلَاةِ عَمْدًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَمْدُهُ لِلْقَتْلِ عَمْدًا وَلَوْ جَعَلَ عَمْدَ الصَّبِيِّ عَمْدًا وَعَمْدَ الْمَجْنُونِ خَطَأً لَكَانَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَشْبَهُ لِأَنَّ الْعِبَادَاتِ تَصِحُّ مِنَ الصَّبِيِّ وَلَا تَصِحُّ مِنَ المَجْنُونِ لَكِنَّ الْقَوْلَ فِي الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا مُطْلَقٌ فَأَطْلَقْنَاهُ مَعَ الْفَرْقِ الَّذِي أَرَاهُ فَعَلَى هَذَا يَجِبُ عَلَى الْعَامِدِ إِذَا شَارَكَهُمَا فِي الْقَتْلِ الْقَوَدُ بِخُرُوجِ النَّفْسِ بِعَمْدٍ مَحْضٍ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِمَا لِأَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِالْأَبْدَانِ سَاقِطٌ عَنْهُمَا وَعَلَيْهِمَا نِصْفُ الدِّيَةِ مُغَلَّظَةً حَالَّةً مِنْ أَمْوَالِهِمَا لِأَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِالْأَمْوَالِ وَاجِبٌ عَلَيْهَا فَصَارَ سقوط القود وعنهما عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ لِمَعْنًى فِي فِعْلِهِمَا فَلِذَلِكَ سَقَطَ الْقَوَدُ عَمَّنْ شَارَكَهُمَا وَسُقُوطُهُ عَنْهُمَا عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي مَعْنًى فِي أَنْفُسِهِمَا فَلِذَلِكَ وَجَبَ الْقَوَدُ عَلَى مَنْ شَارَكَهُمَا
Pendapat kedua menyatakan bahwa perbuatan sengaja mereka adalah perbuatan sengaja, karena keduanya dapat membedakan antara mudarat dan manfaat bagi diri mereka, dan karena Nabi ﷺ telah memberikan hak memilih kepada anak dalam memilih kedua orang tuanya, serta mendahulukannya menjadi imam dalam shalat. Juga, karena ketika perbuatan sengaja anak dalam makan saat puasa dianggap sebagai perbuatan sengaja, dan perbuatan sengaja berbicara dalam shalat juga dianggap sebagai perbuatan sengaja, maka perbuatan sengaja membunuh pun harus dianggap sebagai perbuatan sengaja. Jika perbuatan sengaja anak dianggap sebagai perbuatan sengaja, sedangkan perbuatan sengaja orang gila dianggap sebagai kesalahan, maka perbedaan antara keduanya lebih sesuai, karena ibadah sah dari anak, tetapi tidak sah dari orang gila. Namun, pendapat yang menggabungkan keduanya bersifat mutlak, maka kami pun memutlakkan dengan perbedaan yang saya lihat. Berdasarkan hal ini, wajib atas orang yang sengaja jika ia turut serta dengan keduanya dalam pembunuhan untuk dikenakan qishāsh karena hilangnya nyawa secara sengaja sepenuhnya, dan tidak ada qishāsh atas keduanya, karena segala sesuatu yang berkaitan dengan badan gugur dari keduanya, dan atas keduanya wajib membayar setengah diyat yang diperberat secara tunai dari harta mereka, karena segala sesuatu yang berkaitan dengan harta wajib atas mereka. Maka, gugurnya qishāsh dari keduanya menurut pendapat pertama karena suatu makna dalam perbuatan mereka, sehingga qishāsh juga gugur dari orang yang turut serta dengan mereka. Adapun gugurnya qishāsh dari keduanya menurut pendapat kedua karena suatu makna dalam diri mereka, sehingga wajib qishāsh atas orang yang turut serta dengan mereka.
فَصْلٌ
Bagian
فَأَمَّا الْعَامِدُ إِذَا شَارَكَ فِي الْقَتْلِ سَبُعًا أَوْ ذِئْبًا أَوْ نَمِرًا لَمْ يَخْلُ حَالُ الرَّجُلِ الْعَامِدِ وَمَنْ شَارَكَهُ مِنْ سَبُعٍ أَوْ ذِئْبٍ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Adapun seseorang yang sengaja (membunuh), jika ia bersekutu dalam pembunuhan dengan binatang buas seperti singa, serigala, atau macan tutul, maka keadaan orang yang sengaja membunuh dan binatang buas yang bersekutu dengannya tidak lepas dari empat keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ مُوجِئًا وَالسَّبُعُ جَارِحًا فَعَلَى الرَّجُلِ الْقَوَدُ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ إِلَى الدِّيَةِ فَعَلَيْهِ جَمِيعُهَا
Salah satunya adalah jika seseorang melukai dan binatang buas mencabik, maka atas orang tersebut berlaku qishāsh. Jika ia dimaafkan hingga membayar diyat, maka seluruh diyat menjadi tanggungannya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ جَارِحًا وَالسَّبُعُ مُوجِئًا فَيُنْظَرُ فَإِنْ تَقَدَّمَتْ تَوْجِئَةُ السَّبُعِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الرَّجُلِ مِنْ قَوَدٍ وَلَا أَرْشٍ وَإِنْ تَقَدَّمَتْ جِرَاحَةُ الرَّجُلِ ضَمِنَ الْجِرَاحَةَ وَحْدَهَا بِقَوَدِهَا أَوْ أرشها
Bagian kedua adalah apabila seseorang melukai dan binatang buas menyebabkan luka berat, maka dilihat keadaannya: jika luka berat dari binatang buas terjadi lebih dahulu, maka tidak ada tanggungan atas orang tersebut, baik berupa qishāsh maupun denda. Namun jika luka dari orang tersebut terjadi lebih dahulu, maka ia bertanggung jawab atas lukanya saja, baik dengan qishāsh maupun dendanya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَا مُوجَئَيْنِ فَيُنْظَرُ فَإِنْ تَقَدَّمَتْ تَوْجِئَةُ السَّبُعِ فَلَا شَيْءَ عَلَى الرَّجُلِ مِنْ قَوَدٍ وَلَا عَقْلٍ وَإِنْ تَقَدَّمَتْ تَوْجِئَةُ الرَّجُلِ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ أَوْ جَمِيعُ الدِّيَةِ
Bagian ketiga adalah apabila keduanya sama-sama menyebabkan luka yang dalam, maka dilihat: jika luka yang dalam dari binatang buas terjadi lebih dahulu, maka tidak ada kewajiban qishāsh maupun diyat atas laki-laki tersebut. Namun jika luka yang dalam dari laki-laki terjadi lebih dahulu, maka ia wajib menjalani qishāsh atau membayar seluruh diyat.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَكُونَا جَارِحَيْنِ يَجُوزُ أَنْ يَمُوتَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَيَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الرَّجُلِ قَوْلَانِ
Bagian keempat adalah apabila keduanya merupakan luka yang dapat menyebabkan kematian dari masing-masing keduanya, dan juga mungkin untuk tetap hidup. Maka, dalam hal kewajiban qawad (balasan setimpal) atas pelaku, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ أَظْهَرُهُمَا عَلَيْهِ الْقَوَدُ لِخُرُوجِ النَّفْسِ بِالْعَمْدِ
Salah satu dari keduanya, dan ini yang paling jelas, adalah bahwa atasnya berlaku qisas karena hilangnya nyawa secara sengaja.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَا تَمْيِيزَ لِلسَّبُعِ فَصَارَ كَاشْتِرَاكِ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ وَهَكَذَا مُشَارَكَتُهُ لِلْحَيَّةِ إِذَا نَهَشَتْ يَكُونُ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qishāsh atasnya karena binatang buas tidak memiliki kemampuan membedakan, sehingga keadaannya seperti gabungan antara perbuatan sengaja dan tidak sengaja. Demikian pula, jika seekor ular menggigit, terdapat dua pendapat mengenai kewajiban qishāsh atasnya.
أَحَدُهُمَا تَجِبُ
Salah satunya adalah wajib.
وَالثَّانِي لَا تَجِبُ وَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ حَالَّةً فِي مَالِهِ
Yang kedua, tidak wajib, dan atasnya dikenakan setengah diyat yang harus segera dibayarkan dari hartanya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا اشْتَرَكَ فِي قَتْلِ الْعَبْدِ سَيِّدُهُ وَعَبْدٌ آخَرُ فَلَا ضَمَانَ عَلَى السَّيِّدِ مِنْ قَوَدٍ وَلَا قِيمَةٍ وَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْعَبْدِ الْمُشَارِكِ لَهُ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى شَرِيكِ السَّبُعِ لِأَنَّ فِعْلَ السَّيِّدِ غَيْرُ مَضْمُونٍ كَمَا كَانَ فِعْلُ السَّبُعِ غَيْرَ مَضْمُونٍ
Apabila dalam pembunuhan seorang budak, tuannya dan budak lain turut serta, maka tidak ada tanggungan atas tuan tersebut, baik berupa qishāsh maupun pembayaran nilai (budak). Adapun mengenai kewajiban qishāsh atas budak lain yang turut serta, terdapat dua pendapat, berdasarkan kasus rekan serigala; karena perbuatan tuan tidak menimbulkan tanggungan, sebagaimana perbuatan serigala juga tidak menimbulkan tanggungan.
أَحَدُهُمَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ لِخُرُوجِ النَّفْسِ بِعَمْدٍ مَحْضٍ
Salah satunya wajib dikenai qisas karena menyebabkan hilangnya nyawa dengan sengaja sepenuhnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِمُشَارَكَةِ مَنْ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَهَكَذَا لَوْ أَنَّ مُسْلِمًا جَرَحَ مُرْتَدًّا ثُمَّ أَسْلَمَ فَجَرَحَهُ مُسْلِمٌ آخَرُ وَمَاتَ فَلَا قَوَدَ عَلَى الْأَوَّلِ لِأَنَّ جُرْحَهُ فِي الرِّدَّةِ غَيْرُ مَضْمُونٍ وَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الثَّانِي قَوْلَانِ؛ لِأَنَّهُ شَارَكَ مَنْ لَمْ يُضْمَنْ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qishāsh atasnya karena adanya keterlibatan orang yang tidak wajib membayar diyat. Demikian pula, jika seorang Muslim melukai seorang murtad, kemudian murtad tersebut masuk Islam, lalu dilukai lagi oleh Muslim lain dan kemudian meninggal, maka tidak ada qishāsh atas orang pertama karena lukanya terjadi saat dalam keadaan murtad yang tidak dijamin (tidak wajib diyat). Adapun mengenai kewajiban qishāsh atas orang kedua, terdapat dua pendapat, karena ia telah berpartisipasi dengan orang yang tidak wajib membayar diyat.
أَحَدُهُمَا يُقَادُ مِنْهُ
Salah satunya dapat menjadi dasar untuk qishāsh.
وَالثَّانِي لَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ رُجَلًا قُطِعَتْ يَدُهُ قَوَدًا وَقَطَعَ آخَرُ يَدَهُ الْأُخْرَى ظُلْمًا وَمَاتَ الْمَقْطُوعُ فَقَدْ خَرَجَتِ النَّفْسُ عَنْ قِصَاصٍ مُبَاحٍ وَظُلْمٍ مَحْظُورٍ فَفِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ عَلَى ظَالِمِهِ بِالْقَطْعِ قَوْلَانِ
Dan yang kedua, tidak ada qishāsh atasnya, tetapi ia wajib membayar setengah diyat. Berdasarkan hal ini, jika ada seseorang yang tangannya dipotong karena qishāsh, lalu orang lain memotong tangan satunya secara zalim, kemudian orang yang tangannya terpotong itu meninggal, maka jiwa tersebut telah hilang karena qishāsh yang dibolehkan dan kezaliman yang dilarang. Maka, dalam hal kewajiban qishāsh atas pelaku kezaliman karena pemotongan itu, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَقْتَصُّ مِنْ نَفْسِهِ
Salah satunya menuntut qishāsh atas dirinya sendiri.
وَالثَّانِي لَا يَقْتَصُّ مِنْ نَفْسِهِ وَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ اليَدِ وَجَبَ لَهُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا
Yang kedua, tidak boleh melakukan qishāsh terhadap dirinya sendiri dan ia wajib membayar setengah diyat. Jika ia ingin melakukan qishāsh pada tangan, maka itu wajib baginya menurut kedua pendapat.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا كَلَامُ الْمُزَنِيِّ فَيَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ
Adapun perkataan al-Muzani mencakup dua bagian.
أَحَدُهُمَا مَا حَكَاهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي مُنَاظَرَتِهِ لِمُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ فِي شَرِيكِ الصَّبِيِّ لِمَ أُسْقِطُ عَنْهُ الْقَوَدَ؛ فَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ لِأَنَّ الْقَلَمَ عَنْهُ مَرْفُوعٌ فَأَجَابَهُ الشَّافِعِيُّ
Salah satunya adalah apa yang diriwayatkan dari asy-Syafi‘i dalam perdebatan beliau dengan Muhammad bin al-Hasan mengenai rekan anak kecil; mengapa qawad (hukuman qisas) tidak diberlakukan atasnya? Maka Muhammad bin al-Hasan menjawab, “Karena pena (beban hukum) diangkat darinya.” Lalu asy-Syafi‘i pun menjawabnya.
بِأَنَّ شَرِيكَ الْأَبِ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ عِنْدَكَ وَلَيْسَ الْقَلَمُ مَرْفُوعًا عَنِ الْأَبِ فَأَبْطَلَ عَلَيْهِ تَعْلِيلَهُ بِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ
Bahwa menurutmu, tidak ada qishāsh atas sekutu ayah, dan pena (tanggung jawab hukum) tidak diangkat dari ayah, maka batal alasan yang dikemukakan olehnya dengan dalih diangkatnya pena.
قَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ لَا يُلْزَمُ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ هَذِهِ الْمُنَاقَضَةَ لِأَنَّهَا نَقِيضُ الْعَكْسِ دُونَ الطَّرْدِ وَالنَّقِيضُ إِنَّمَا يُلْزَمُ فِي الطَّرْدِ بِأَنْ تُوجَدَ الْعِلَّةُ وَلَا حُكْمَ وَلَا يُلْزَمُ فِي الْعَكْسِ بِأَنْ يُوجَدَ الْحُكْمُ وَلَا عِلَّةَ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Para sahabat Abu Hanifah berkata, “Muhammad bin al-Hasan tidak wajib menerima kontradiksi ini, karena kontradiksi tersebut adalah lawan dari ‘aks (kebalikan), bukan dari ṭard (kesesuaian). Kontradiksi itu hanya wajib dalam ṭard, yaitu ketika ditemukan ‘illat (alasan hukum) namun tidak ditemukan hukum, dan tidak wajib dalam ‘aks, yaitu ketika ditemukan hukum namun tidak ditemukan ‘illat. Dari beliau terdapat dua jawaban.”
أَحَدُهُمَا أَنَّ مِنْ مَذْهَبِهِمْ نَقْضَ الْعِلَّةِ بِطَرْدِهَا وَعَكْسِهَا فَأَلْزَمَهُمُ الشَّافِعِيُّ عَلَى مَذْهَبِهِمْ
Salah satunya adalah bahwa di antara mazhab mereka terdapat pendapat membatalkan ‘illat dengan menerapkan qiyās secara mutlak dan sebaliknya, maka Imam Syafi‘i mewajibkan mereka untuk konsisten dengan mazhab mereka sendiri.
وَالْجَوَابُ الثَّانِي أَنَّ التَّعْلِيلَ إِذَا كَانَ لِعَيْنٍ انْتَقَضَ بِإِيجَادِ الْعِلَّةِ وَلَا حُكْمَ وَلَا يَنْتَقِضُ بِإِيجَادِ الْحُكْمِ وَلَا عِلَّةَ وَإِذَا كَانَ التَّعْلِيلُ لِجِنْسٍ انْتَقَضَ بِإِيجَادِ الْعِلَّةِ وَلَا حُكْمَ بِإِيجَادِ الْحُكْمِ وَلَا عِلَّةَ وَتَعْلِيلُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ قَدْ كَانَ لِلْجِنْسِ دُونَ الْعَيْنِ فَصَحَّ انْتِقَاضُهُ بِكِلَا الْأَمْرَيْنِ
Jawaban kedua adalah bahwa apabila ta‘līl (penyandaran hukum pada suatu ‘illat) ditujukan pada sesuatu yang spesifik (‘ayn), maka ia dapat dibatalkan dengan adanya ‘illat namun tidak ada hukum, dan tidak dapat dibatalkan dengan adanya hukum namun tidak ada ‘illat. Dan apabila ta‘līl ditujukan pada jenis (jins), maka ia dapat dibatalkan dengan adanya ‘illat namun tidak ada hukum, dan dengan adanya hukum namun tidak ada ‘illat. Ta‘līl yang dilakukan oleh Muhammad bin al-Hasan adalah untuk jenis, bukan untuk sesuatu yang spesifik, maka sah pembatalannya dengan kedua hal tersebut.
وَالْفَصْلُ الثَّانِي مِنْ كَلَامِ الْمُزَنِيِّ أَنِ اعْتُرِضَ بِهِ عَلَى الشافعي فقال قد شارك محمد ابن الْحَسَنِ فِيمَا أُنْكِرَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ رَفَعَ الْقِصَاصَ عَنِ الْخَاطِئِ حَتَّى أَسْقَطَ بِهِ الْقَوَدَ عَنِ الْعَامِدِ وَرَفَعَ الْقِصَاصَ عَنِ الصَّبِيِّ وَلَمْ يُسْقِطْ بِهِ الْقَوَدَ عَنِ الْبَالِغِ وَهَذَا الِاعْتِرَاضُ وَهْمٌ مِنَ المُزَنِيِّ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ حَمَلَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي عَمْدِ الصَّبِيِّ هَلْ يَكُونُ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَجَعَلَهُ فِي أَحَدِ قَوْلَيْهِ عَمْدًا فَلَمْ يَسْقُطْ بِهِ الْقَوَدُ عَنِ الْبَالِغِ إِذَا شَارَكَهُ لِوُجُودِ الشُّبْهَةِ فِي الْفَاعِلِ دُونَ الْفِعْلِ بِخِلَافِ الْخَاطِئِ وَإِنْ جُعِلَ عَمْدُهُ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي خَطَأً سَقَطَ بِهِ الْقَوَدُ عَنِ الْبَالِغِ لِوُجُودِ الشُّبْهَةِ فِي الْقَتْلِ دُونَ الْفَاعِلِ كَالْخَاطِئِ فَكَانَ اعْتِرَاضُهُ زَلَلًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Bagian kedua dari pembahasan al-Muzani adalah bahwa ia mengajukan keberatan terhadap asy-Syafi‘i, dengan mengatakan bahwa asy-Syafi‘i telah sejalan dengan Muhammad bin al-Hasan dalam hal yang diingkari darinya, karena ia menggugurkan qishāsh dari pelaku kesalahan sehingga dengan itu ia juga menggugurkan qawad dari pelaku yang sengaja, dan ia menggugurkan qishāsh dari anak kecil namun tidak menggugurkan qawad dari orang dewasa. Keberatan ini merupakan kekeliruan dari al-Muzani, karena asy-Syafi‘i mengaitkan hal itu dengan perbedaan dua pendapatnya tentang perbuatan sengaja yang dilakukan oleh anak kecil, apakah dianggap sebagai perbuatan sengaja atau sebagai kesalahan. Dalam salah satu pendapatnya, ia menganggapnya sebagai perbuatan sengaja, sehingga qawad tidak gugur dari orang dewasa jika ia bersekutu dengannya, karena adanya syubhat pada pelaku, bukan pada perbuatannya, berbeda dengan pelaku kesalahan. Namun jika perbuatan sengaja anak kecil itu dalam pendapat kedua dianggap sebagai kesalahan, maka qawad gugur dari orang dewasa karena adanya syubhat dalam pembunuhan, bukan pada pelaku, sebagaimana pelaku kesalahan. Maka keberatan al-Muzani itu adalah kekeliruan, dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ قَتَلَ أَحَدُ الْوَلِيَّيْنِ الْقَاتِلَ بِغَيْرِ أَمْرِ صَاحِبِهِ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ لَا قِصَاصَ بِحَالٍ لِلشُّبْهَةِ قَالَ الله تعالى فقد جعلنا لوليه سلطاناً يَحْتَمِلُ أَيَّ وَلِيٍّ قَتَلَ كَانَ أَحَقَّ بِالْقَتْلِ وَهُوَ مَذْهَبُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ يُنْزِلُونَهُ مَنْزِلَةَ الْحَدِّ لَهُمْ عَنْ أَبِيهِمْ إِنْ عَفوا إِلَّا واحدا كان له أن يحده قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لا يجهل عزر وقيل للولاة معه لكم حصصكم والقول من أين يأخذونها واحد من قولين أحدهما أنها لهم من مال القاتل يرجع بها ورثة القاتل في مال قاتله ومن قال هذا فإن عفوا عن القاتل الدية رجع ورثة قاتل المقتول على قاتل صاحبهم بحصة الورثة معه من الدية والقول الثاني في حصصهم أنها لهم في مال أخيهم القاتل قاتل أبيهم لأن الدية إنما كانت تلزمه لو كان لم يقتله ولي فإذا قتله ولي فلا يجتمع عليه القتل والغرم والقول الثاني أن على من قتل من الأولياء قاتل أبيه القصاص حتى يجتمعوا على القتل قال المزني رحمه الله وأصل قوله إن القاتل لو مات كانت الدية في ماله قال المزني رحمه الله وليس تعدي أخيه بمبطل حقه ولا بمزيله عمن هو عليه ولا قود للشبهة
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika salah satu dari dua wali membunuh pembunuh (qātil) tanpa persetujuan wali yang lain, maka ada dua pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah tidak ada qishāsh sama sekali karena adanya syubhat. Allah Ta‘ala berfirman: “Maka Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya,” yang dapat diartikan bahwa wali mana pun yang membunuh, dialah yang paling berhak melakukan pembunuhan. Ini adalah mazhab mayoritas penduduk Madinah, mereka memposisikannya seperti hadd yang diberikan kepada mereka atas nama ayah mereka; jika mereka memaafkan kecuali satu orang, maka orang itu berhak menegakkan hadd. Imam Syafi‘i rahimahullah juga berkata: Jika ia termasuk orang yang tidak bodoh, maka ia diberi ta‘zīr, dan dikatakan kepada para penguasa bersamanya: “Bagian kalian ada,” dan ada dua pendapat dari mana mereka mengambil bagian itu. Salah satunya adalah bagian itu diambil dari harta pembunuh, yang kemudian ahli waris pembunuh dapat menuntutnya dari harta pembunuh tersebut. Siapa yang berpendapat demikian, maka jika mereka memaafkan pembunuh dari diyat, maka ahli waris korban dapat menuntut bagian mereka dari diyat kepada pembunuh yang membunuh kerabat mereka. Pendapat kedua mengenai bagian mereka adalah bahwa bagian itu diambil dari harta saudara mereka yang membunuh ayah mereka, karena diyat hanya wajib jika pembunuhnya bukan wali. Jika yang membunuh adalah wali, maka tidak mungkin berkumpul antara hukuman mati dan kewajiban membayar diyat atas dirinya. Pendapat kedua menyatakan bahwa wali yang membunuh pembunuh ayahnya tetap dikenai qishāsh sampai mereka semua sepakat untuk membunuh. Al-Muzani rahimahullah berkata: Dasar pendapatnya adalah jika pembunuh meninggal dunia, maka diyat diambil dari hartanya. Al-Muzani rahimahullah juga berkata: Tindakan melampaui batas yang dilakukan saudaranya tidak membatalkan haknya dan tidak menghilangkan hak itu dari orang yang berhak, dan tidak ada qishāsh karena adanya syubhat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْقَوَدَ لَا يَسْتَحِقُّهُ الْأَوْلِيَاءُ إِلَّا بِاجْتِمَاعِهِمْ عَلَيْهِ وَأَنْ لَيْسَ لِأَحَدِهِمْ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ فَإِنْ بَادَرَ أَحَدُ الْوَلِيَّيْنِ فَقَتَلَ الْقَاتِلَ انْقَسَمَتْ حَالُهُ فِيهِ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan bahwa qawad (hak menuntut qisas) tidak berhak dimiliki oleh para wali kecuali jika mereka sepakat atasnya, dan tidak boleh salah satu dari mereka melakukannya secara sendiri-sendiri. Jika salah satu dari dua wali segera membunuh si pembunuh, maka keadaannya terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ عَنْ إِذَنْ أَخِيهِ وَشَرِيكِهِ فِيهِ فَلَا يَكُونُ بِقَتْلِهِ مُتَعَدِّيًا وَقَدِ اسْتَوْفَى الْقَوَدَ فِي حَقِّهِمَا
Salah satunya adalah jika dilakukan dengan izin saudaranya dan rekannya dalam hal itu, maka dengan membunuhnya ia tidak dianggap melampaui batas, dan ia telah menunaikan qishāsh atas hak keduanya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ بَعْدَ عَفْوِ أَخِيهِ وَعِلْمِهِ بِعَفْوِهِ فَهُوَ مُتَعَدٍّ بِهَذَا الْقَتْلِ وَالصَّحِيحُ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَوَدَ لِسُقُوطِهِ فِي حَقِّهِمَا بِعَفْوِ أَحَدِهِمَا
Bagian kedua adalah jika (pembunuhan) terjadi setelah pemaafan dari saudaranya dan setelah ia mengetahui adanya pemaafan tersebut, maka ia telah melampaui batas dengan pembunuhan ini. Pendapat yang benar adalah bahwa ia tetap dikenai qishāsh, karena gugurnya (hak qishāsh) itu hanya berlaku bagi keduanya (yang memaafkan), dengan pemaafan salah satu dari mereka.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ لَا يَكُونَ مِنْ أَخِيهِ إِذْنٌ وَلَا عَفْوٌ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Bagian ketiga adalah apabila tidak ada izin maupun pemaafan dari saudaranya, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَحْكُمَ لَهُ الْحَاكِمُ بِالْقَوَدِ فَالصَّحِيحُ أَنْ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِنُفُوذِ حُكْمِهِ بِمُخْتَلَفٍ فِيهِ
Salah satunya adalah apabila seorang hakim memutuskan qisas atasnya, maka pendapat yang benar adalah tidak ada qisas atasnya karena putusan hakim telah berlaku dalam perkara yang diperselisihkan.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَحْكُمَ عَلَيْهِ الْحَاكِمُ بِالْمَنْعِ مِنَ القَوَدِ فَالصَّحِيحُ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَوَدَ لِنُفُوذِ حُكْمِهِ بِرَفْعِ الشُّبْهَةِ فِيهِ
Bagian kedua adalah apabila hakim memutuskan untuk melarang pelaksanaan qishāsh terhadapnya, maka pendapat yang benar adalah bahwa tetap wajib dilaksanakan qishāsh atasnya, karena keputusan hakim tersebut berlaku dalam menghilangkan syubhat pada kasus itu.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ لَا يَكُونَ مِنَ الحَاكِمِ فِيهِ حُكْمٌ بِتَمْكِينٍ وَلَا مَنْعٍ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ
Bagian ketiga adalah apabila dari hakim tidak ada keputusan berupa pemberian izin maupun pencegahan, maka dalam hal wajibnya qawad atasnya terdapat dua pendapat yang dinyatakan secara eksplisit.
أَحَدُهُمَا لَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ لِأَمْرَيْنِ
Salah satunya tidak wajib dikenai qisas, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ شَرِيكٌ فِي اسْتِحْقَاقِ النَّفْسِ الَّتِي قَتَلَهَا فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ شُبْهَةً فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عَنْهُ كَالْأَمَةِ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ إِذَا وَطِئَهَا أَحَدُهُمَا سَقَطَ الْحَدُّ عَنْهُ لِشُبْهَةِ الشَّرِكَةِ
Salah satu alasannya adalah bahwa ia merupakan sekutu dalam hak atas jiwa yang dibunuh, sehingga seharusnya keberadaan sekutu menjadi syubhat dalam gugurnya qishāsh darinya, sebagaimana budak perempuan yang dimiliki bersama oleh dua orang sekutu; jika salah satu dari mereka menyetubuhinya, maka hukuman had gugur darinya karena adanya syubhat kepemilikan bersama.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا قَتَلَ نَفْسًا اسْتُحِقَّ بَعْضُهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَادَ مِنْ نَفْسِهِ الَّتِي لَمْ يُسْتَحَقَّ بَعْضُهَا لِعَدَمِ التَّكَافُؤِ كَمَا لَا يُقَادُ الْحُرُّ بِمَنْ نِصْفُهُ عَبْدٌ وَنِصْفُهُ حُرٌّ
Kedua, ketika seseorang membunuh jiwa yang sebagian darinya berhak (untuk dibalas), maka tidak boleh dilakukan qishāsh terhadap bagian jiwanya yang tidak berhak (untuk dibalas) karena tidak adanya kesetaraan, sebagaimana seorang merdeka tidak dikenai qishāsh karena membunuh seseorang yang setengahnya budak dan setengahnya merdeka.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَإِنْ كَانَ شَرِيكًا لِأَمْرَيْنِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa qishāsh wajib atasnya meskipun ia adalah seorang mitra karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَوَدَ يَجِبُ فِي قَتْلِ بَعْضِ النَّفْسِ كَمَا يَجِبُ فِي قَتْلِ جَمِيعِهَا لِأَنَّ الشَّرِيكَيْنِ فِي الْقَتْلِ يُقَادُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَهُوَ مُتْلِفٌ لِبَعْضِ النَّفْسِ كَمَا يُقَادُ بِهِ إِذَا انْفَرَدَ بِقَتْلِهِ كَذَلِكَ هَذَا الشَّرِيكُ قَدْ صَارَ قَاتِلًا لِبَعْضِ النَّفْسِ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِ بَعْضِهَا فَوَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ
Salah satunya adalah bahwa qawad (qisas) wajib dalam pembunuhan sebagian jiwa sebagaimana wajib dalam pembunuhan seluruhnya, karena dua orang yang bersekutu dalam pembunuhan, masing-masing dari mereka dikenai qawad, padahal masing-masing hanya membinasakan sebagian jiwa, sebagaimana qawad juga dikenakan jika ia membunuh sendiri. Demikian pula, sekutu ini telah menjadi pembunuh sebagian jiwa setelah sebagian lainnya menjadi hak, maka wajib atasnya qawad.
وَالثَّانِي أَنَّ اسْتِحْقَاقَهُ لِبَعْضِ النَّفْسِ كَاسْتِحْقَاقِهِ لِلْقَوَدِ مِنْ بَعْضِ الْجَسَدِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوِ اسْتَحَقَّ الْقَوَدَ مِنْ بَعْضِ الْجَسَدِ فَقَتَلَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ كَذَلِكَ إِذَا اسْتَحَقَّ بَعْضَ نَفْسِهِ فَقَتَلَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَقَدْ خَرَجَ مِنْ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ قَوْلٌ فِيمَا ذَكَرْنَا صِحَّةَ حُكْمِهِ مِنَ الأَقْسَامِ الْمُتَقَدِّمَةِ إِيجَابًا وَإِسْقَاطًا
Yang kedua, bahwa haknya atas sebagian jiwa itu seperti haknya atas qisas dari sebagian anggota tubuh, kemudian telah tetap bahwa jika seseorang berhak mendapatkan qisas dari sebagian anggota tubuh lalu ia membunuhnya, maka wajib atasnya qisas; demikian pula jika ia berhak atas sebagian jiwanya lalu ia membunuhnya, maka wajib atasnya qisas. Dari dua pendapat ini lahir satu pendapat mengenai apa yang telah kami sebutkan tentang sahnya hukum tersebut dari bagian-bagian yang telah lalu, baik dalam hal penetapan maupun pengguguran.
فصل
Bab
فإذا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ تَفَرَّعَ الْحُكْمُ عَلَيْهِمَا فَإِذَا قبل بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ أَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَى الْوَلِيِّ الْقَاتِلِ وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ وَقَدْ سَقَطَ عَنْهُ نِصْفُهَا وَهُوَ مَا اسْتَحَقَّهُ مِنْ دِيَةِ أَبِيهِ إِذَا جَعَلَ الدَّيْنَ الْمُتَمَاثِلَ قَصَاصًا وَبَقِيَ عَلَيْهِ نِصْفُ دِيَةِ قَاتِلِ أَبِيهِ وَبَقِيَ لِأَخِيهِ نِصْفُ دِيَةِ أَبِيهِ وَفِي انْتِقَالِ حَقِّهِ مِنْ هَذَا النِّصْفِ عَنْ قَاتِلِ أَبِيهِ إِلَى أَخِيهِ الْقَاتِلِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ
Jika telah dijelaskan argumentasi kedua pendapat, maka hukum bercabang darinya. Jika mengikuti pendapat pertama bahwa tidak ada qishāsh atas wali yang membunuh, yang merupakan pilihan al-Muzani, maka atasnya wajib membayar diyat, dan telah gugur setengahnya darinya, yaitu bagian yang menjadi haknya dari diyat ayahnya jika diyat yang sepadan itu dijadikan sebagai qishāsh. Maka yang tersisa atasnya adalah setengah diyat pembunuh ayahnya, dan yang tersisa bagi saudaranya adalah setengah diyat ayahnya. Adapun perpindahan haknya dari setengah ini atas pembunuh ayahnya kepada saudaranya yang juga pembunuh, terdapat dua pendapat yang dinukilkan.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهَا لَا تَنْتَقِلُ وَيَرْجِعُ الْأَخُ بِحَقِّهِ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ فِي تَرِكَةِ قَاتِلِ أَبِيهِ وَيَرْجِعُ وَرَثَةُ قَاتِلِ الْأَبِ بِنِصْفِ الدِّيَةِ عَلَى الْأَخِ الْقَاتِلِ وَإِنَّمَا لَمْ يَنْتَقِلْ حَقُّ الْأَخِ الَّذِي لَيْسَ بِقَاتِلٍ إِلَى الْأَخِ الْقَاتِلِ لِأَنَّ حَقَّهُ عَلَى قَاتِلِ أَبِيهِ فَلَمْ يَنْتَقِلْ إِلَى قَاتِلِهِ كَمَا لَوْ قَتَلَهُ غَيْرُ أَخِيهِ فَعَلَى هَذَا لَوْ أَبْرَأَ وَرَثَةُ قَاتِلِ الْأَبَ لِلْأَخِ الْقَاتِلِ بَرِئَ وَلَوْ أَبْرَأَهُ أَخُوهُ لَمْ يَبْرَأْ لِأَنَّ مَا عَلَيْهِ مِنَ الدِيةِ مُسْتَحَقٌّ لِوَرَثَةِ قَاتِلِ أَبِيهِ دُونَ أَخِيهِ وَلَوْ أَبْرَأَ الْأَخُ ورثة قاتل أبيه برؤا لِأَنَّ حَقَّهُ عَلَى قَاتِلِ أَبِيهِ دُونَ أَخِيهِ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat yang dipilih oleh al-Muzani, menyatakan bahwa hak tersebut tidak berpindah, dan saudara (yang bukan pembunuh) berhak menuntut bagiannya dari setengah diyat dalam harta peninggalan pembunuh ayahnya, dan ahli waris pembunuh ayah berhak menuntut setengah diyat dari saudara yang membunuh. Hak saudara yang bukan pembunuh tidak berpindah kepada saudara yang membunuh karena haknya ada pada pembunuh ayahnya, sehingga tidak berpindah kepada orang yang membunuhnya, sebagaimana jika yang membunuhnya bukan saudaranya. Berdasarkan hal ini, jika ahli waris pembunuh ayah memaafkan saudara yang membunuh, maka ia bebas dari tuntutan. Namun jika saudaranya yang memaafkan, maka ia tidak bebas, karena diyat yang menjadi tanggungannya adalah hak ahli waris pembunuh ayah, bukan hak saudaranya. Jika saudara tersebut memaafkan ahli waris pembunuh ayah, maka mereka pun bebas, karena haknya ada pada pembunuh ayahnya, bukan pada saudaranya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ قَدِ انْتَقَلَ حَقُّ الْأَخِ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ عَنْ قَاتِلِ أَبِيهِ إِلَى أَخِيهِ الْقَاتِلِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالْقَتْلِ مُسْتَوْفِيًا لِحَقِّهِمَا مِنْ قَتْلِ أَبِيهِمَا كَمَا لَوْ كَانَتْ لَهُمَا وَدِيعَةٌ فَأَخَذَهَا أَحَدُهُمَا مِنَ المُودِعِ كَانَ قَابِضًا لِحَقِّهِمَا وَلِلْأَخِ مُطَالَبَتُهُ بِحَقِّهِ مِنْهَا دُونَ الْمُودِعِ فَعَلَى هَذَا قَدْ بَرِئَ وَرَثَةُ قَاتِلِ الْأَبِ مِنْ جَمِيعِ الدِّيَةِ وَصَارَ مَا عَلَى الْقَاتِلِ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ لِأَخِيهِ دُونَهُ فَلَوْ أَبْرَأَهُ أَخُوهُ بَرِئَ وَلَوْ أَبْرَأَهُ وَرَثَةُ قَاتِلِ أَبِيهِ لَمْ يَبْرَأْ وَإِذَا قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي إنَّ الْقَوَدَ عَلَى وَلِيِّ الْقَاتِلِ وَاجِبٌ فَلِوَرَثَةِ الْقَاتِلِ لِأَبِيهِ الْخِيَارُ بَيْنَ أَنْ يَقْتَصُّوا أَوْ يَعْفُوا عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الدِّيَةِ أَوْ يَعْفُوا عَنِ الْقِصَاصِ وَالدِّيَةِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa hak saudara atas setengah diyat dari pembunuh ayahnya telah berpindah kepada saudaranya yang menjadi pembunuh, karena dengan melakukan pembunuhan, ia telah mengambil hak keduanya dari pembunuhan terhadap ayah mereka, sebagaimana jika keduanya memiliki titipan lalu salah satu dari mereka mengambilnya dari penitip, maka ia telah menerima hak keduanya, dan saudaranya berhak menuntut bagiannya darinya, bukan dari penitip. Berdasarkan hal ini, para ahli waris pembunuh ayah telah bebas dari seluruh diyat, dan kewajiban setengah diyat atas pembunuh menjadi milik saudaranya saja, bukan yang lain. Maka jika saudaranya memaafkannya, ia terbebas, namun jika yang memaafkan adalah ahli waris pembunuh ayah, maka ia tidak terbebas. Dan jika mengikuti pendapat kedua bahwa qishāsh atas wali pembunuh adalah wajib, maka para ahli waris pembunuh ayah memiliki pilihan antara menuntut qishāsh, atau memaafkan dari qishāsh dengan diyat, atau memaafkan dari qishāsh dan diyat sekaligus.
فَإِنِ اقْتَصُّوا فَقَدِ اسْتَوْفَوْا حَقَّهُمْ قَوَدًا وَعَلَيْهِمْ فِي تَرِكَةِ أَبِيهِمْ دِيَةُ قَتِيلِهِ يَكُونُ نِصْفُهَا لِوَلِيِّهِ الْبَاقِي وَنِصْفُهَا لِوَرَثَةِ وَلِيِّهِ الْمَقْتُولِ قَوَدًا وَإِنْ عَفَوْا عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الدِّيَةِ وَجَبَتْ لَهُمْ دِيَةُ أَبِيهِمْ عَلَى قَاتِلِهِ وَوَجَبَ عَلَيْهِمْ فِي تَرِكَةِ أَبِيهِمْ دِيَةُ مقتولة فيبرؤوا مِنْ نِصْفِهَا وَهُوَ حَقُّ الْقَاتِلِ وَيَبْقَى لَهُمْ نِصْفُ الدِّيَةِ وَفِي انْتِقَالِ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ نِصْفِهَا لِلْوَلِيِّ الَّذِي لَيْسَ بِقَاتِلٍ إِلَى مَنْ لَهُمْ عَلَيْهِ نِصْفُهَا وَهُوَ الْوَلِيُّ الْقَاتِلُ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى لَوْ قِيلَ بِسُقُوطِ الْقَوَدِ حُكْمًا وَتَفْرِيعًا فَإِنْ عَفَوْا عَنِ الْقِصَاصِ وَالدِّيَةِ جميعاً سقط فِي قَتْلِ أَبِيهِمْ وَوَجَبَ فِي تَرِكَتِهِ دِيَةُ قَتِيلِهِ لِوَلِيِّهِ لِيَسْتَوِيَ فِيهَا الْقَاتِلُ وَغَيْرُ الْقَاتِلِ وَيَجْرِيَ قَتْلُ أَبِيهِمْ بَعْدَ عَفْوِهِمْ مَجْرَى مَوْتِهِ وَلَوْ مَاتَ الْقَاتِلُ وَجَبَتِ الدِّيَةُ فِي تَرِكَتِهِ وَإِنْ سَقَطَ الْقَوَدُ بِمَوْتِهِ
Jika mereka menuntut qishāsh, maka mereka telah mengambil hak mereka berupa qishāsh, dan atas mereka dalam warisan ayah mereka terdapat diyat (tebusan) atas korban yang dibunuh oleh ayah mereka, di mana setengahnya menjadi hak wali korban yang masih hidup, dan setengahnya lagi menjadi hak ahli waris wali korban yang terbunuh dengan qishāsh. Jika mereka memaafkan qishāsh dengan menerima diyat, maka mereka berhak mendapatkan diyat ayah mereka dari pembunuhnya, dan mereka juga wajib membayar diyat korban yang dibunuh oleh ayah mereka dari harta warisan ayah mereka, sehingga mereka terbebas dari setengah diyat tersebut, yang merupakan hak pembunuh, dan sisanya setengah diyat menjadi hak mereka. Dalam hal perpindahan kewajiban mereka atas setengah diyat kepada wali yang bukan pembunuh kepada pihak yang berhak atas setengah diyat tersebut, yaitu wali yang juga pembunuh, terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan jika dikatakan bahwa qishāsh gugur secara hukum dan cabang hukumnya. Jika mereka memaafkan baik qishāsh maupun diyat sekaligus, maka gugurlah tuntutan atas pembunuhan ayah mereka, dan wajib atas warisan ayah mereka membayar diyat korban kepada walinya, sehingga dalam hal ini pembunuh dan selain pembunuh mendapatkan bagian yang sama, dan pembunuhan ayah mereka setelah pemaafan mereka diperlakukan seperti kematian biasa. Jika pembunuh meninggal dunia, maka diyat wajib diambil dari harta warisannya, meskipun qishāsh gugur karena kematiannya.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِذَا مَاتَ الْقَاتِلُ سَقَطَتْ عَنْهُ الدِّيَةُ وَكَذَلِكَ لَوْ قَتَلَهُ أَجْنَبِيٌّ سَقَطَتْ عَنْهُ دِيَةُ قَتِيلِهِ وَوَجَبَت لَهُ الْقِصَاصُ عَلَى قَاتِلِهِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ بِالْمُرَاضَاةِ عِنْدَ النُّزُولِ عَنِ الْقِصَاصِ الْمُمْكِنِ وَالْمَوْتُ قَدْ مَنَعَ إِمْكَانَ الْقِصَاصِ فَمَنَعَ مِنْ وُجُوبِ الدِّيَةِ وَاسْتِدْلَالًا بَعْدَهُ بِأَمْرَيْنِ
Abu Hanifah berpendapat bahwa jika pelaku pembunuhan meninggal dunia, maka gugurlah kewajiban membayar diyat darinya. Demikian pula, jika pelaku pembunuhan dibunuh oleh orang lain yang tidak ada hubungan, maka gugurlah kewajiban membayar diyat korban darinya, dan wajib atas pembunuhnya untuk menjalani qishash. Hal ini didasarkan pada prinsip beliau bahwa kewajiban membayar diyat terjadi karena adanya kesepakatan (murādhah) ketika qishash yang mungkin dilakukan telah ditinggalkan, sedangkan kematian telah menghalangi kemungkinan pelaksanaan qishash, sehingga menggugurkan kewajiban membayar diyat, dan beliau juga berdalil setelah itu dengan dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ سُقُوطَ الْقِصَاصِ بِتَلَفِ الْمُقْتَصِّ مِنْهُ يُوجِبُ سُقُوطَ الدِّيَةِ كَالْعَبْدِ الْجَانِي إِذَا مَاتَ قَبْلَ الْقِصَاصِ
Salah satunya adalah bahwa gugurnya qishāsh karena hilangnya orang yang menjadi objek qishāsh menyebabkan gugurnya diyat, sebagaimana budak pelaku kejahatan jika ia meninggal sebelum pelaksanaan qishāsh.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوِ انْتَقَلَ الْقِصَاصُ مِنْ نَفْسِهِ إِلَى الدِّيَةِ عِنْدَ تَلَفِهِ لَصَارَتْ نَفْسُهُ مَضْمُونَةً عَلَيْهِ وَمَا أَحَدٌ يَضْمَنُ نَفْسَهُ وَإِنَّمَا يَضْمَنُهَا غَيْرُهُ
Yang kedua, jika qishāsh atas dirinya sendiri berpindah menjadi diyat ketika ia binasa, maka berarti jiwanya menjadi tanggungan atas dirinya sendiri, padahal tidak ada seorang pun yang menanggung jiwanya sendiri, melainkan yang menanggungnya adalah orang lain.
وَدَلِيلُنَا مَعَ بِنَائِهِ عَلَى أَصْلِنَا فِي أَنَّ الدِّيَةَ تَجِبُ عَلَى الْقَاتِلِ مِنْ غَيْرِ مُرَاضَاةٍ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فمن قتل بعده قَتِيلًا فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ وَمَنْ خُيِّرَ بَيْنَ حَقَّيْنِ إِذَا فَاتَهُ أَحَدُهُمَا تَعَيَّنَ حَقُّهُ فِي الْآخَرِ وَلِأَنَّ سُقُوطَ الْقِصَاصِ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهِ بِغَيْرِ اخْتِيَارِ مُسْتَحِقِّهِ يُوجِبُ الِانْتِقَالَ إِلَى الدِّيَةِ كَمَا لَوْ عَفَا بَعْضُ الْوَرَثَةِ انْتَقَلَ حَقُّ مَنْ لَمْ يَعْفُ إِلَى الدِّيَةِ وَلِأَنَّ الدِّيَةَ لَمَّا وَجَبَتْ فِي أَخَفِّ الْقَتْلَيْنِ مِنَ الخَطَأِ كَانَ وُجُوبُهَا فِي أَغْلَظِهِمَا مِنَ العَمْدِ أَوْلَى وَلِأَنَّ الْقِصَاصَ مُمَاثَلَةٌ لِجِنْسٍ مُتْلَفٍ فَوَجَبَ إِذَا تَعَذَّرَ اسْتِيفَاءُ الْمِثْلِ أَنْ يُسْتَحَقَّ الِانْتِقَالُ إِلَى بَدَلِهِ مِنَ المَالِ كَمَنِ اسْتَهْلَكَ ذَا مِثْلٍ مِنَ الطَّعَامِ فَأَعْوَزَ انْتَقَلَ إِلَى قِيمَتِهِ
Dan dalil kami, beserta pembangunannya atas dasar kami bahwa diyat wajib atas pembunuh tanpa adanya kerelaan (dari ahli waris), adalah sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa setelah itu membunuh seseorang, maka keluarganya (korban) diberi dua pilihan: jika mereka menghendaki, mereka membunuh (qishāsh), dan jika mereka menghendaki, mereka mengambil ‘aql (diyat).” Barang siapa diberi pilihan antara dua hak, jika salah satunya hilang, maka haknya menjadi tetap pada yang lain. Dan karena gugurnya qishāsh setelah menjadi hak tanpa pilihan dari yang berhak, mewajibkan beralih kepada diyat, sebagaimana jika sebagian ahli waris memaafkan, maka hak yang tidak memaafkan beralih kepada diyat. Dan karena diyat ketika diwajibkan pada pembunuhan yang lebih ringan, yaitu karena kesalahan, maka kewajibannya pada pembunuhan yang lebih berat, yaitu sengaja (‘amd), lebih utama. Dan karena qishāsh adalah kesetaraan terhadap jenis yang dibinasakan, maka wajib jika tidak memungkinkan mendapatkan yang serupa, beralih kepada gantinya berupa harta, seperti orang yang menghabiskan makanan yang ada padanannya, lalu tidak ditemukan, maka beralih kepada nilainya.
فَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى مَوْتِ الْعَبْدِ الْجَانِي فَلَمْ تَسْقُطِ الدِّيَةُ بِمَوْتِهِ وَلَكِنْ لِتَعَذُّرِ وَجُودِهَا بِعَدَمِ مِلْكِهِ وَقَفَ اسْتِحْقَاقُهَا بَعْدَ مَوْتِهِ وَكَذَلِكَ لَوْ مَاتَ الْحُرُّ مُعْسِرًا
Adapun qiyās atas kematian budak yang melakukan kejahatan, maka diyat tidak gugur karena kematiannya, tetapi karena tidak mungkin mendapatkannya akibat ketiadaan kepemilikan atas dirinya, maka hak atas diyat itu terhenti setelah kematiannya. Demikian pula jika seorang merdeka meninggal dalam keadaan tidak mampu.
وَقَوْلُهُ إِنَّ نَفْسَهُ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ عَلَيْهِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Dan pernyataannya bahwa jiwanya tidak menjadi tanggungannya, maka mengenai hal ini terdapat dua jawaban darinya.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَضْمَنَهَا حَيًّا بِبَذْلِ الدِّيَةِ جَازَ أَنْ يَضْمَنَهَا مَيِّتًا بِوُجُوبِ الدِّيَةِ
Salah satunya adalah bahwa ketika diperbolehkan menanggungnya saat masih hidup dengan membayar diyat, maka diperbolehkan pula menanggungnya setelah meninggal dengan kewajiban diyat.
وَالثَّانِي أَنَّهُ يَضْمَنُ الدِّيَةَ بَدَلًا مِنْ نَفْسِ قَتِيلِهِ لا من نفسه
Kedua, bahwa ia menanggung diyat sebagai pengganti jiwa orang yang dibunuhnya, bukan dari dirinya sendiri.
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ قَطَعَ يَدَهُ من مفصل الكوع فلم يبرأ حتى قطعها آخَرُ مِنَ المِرْفَقِ ثَمَّ مَاتَ فَعَلَيْهِمَا الْقَوَدُ يُقْطَعُ قَاطِعُ الْكَفِّ مِنَ الكُوعِ وَيَدِ الْآخَرِ مِنَ المِرْفَقِ ثُمَّ يُقْتَلَانِ لِأَنَّ أَلَمَ الْقَطْعِ الْأَوَّلِ وَاصِلٌ إِلَى الْجَسَدِ كُلِّهِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika seseorang memotong tangan orang lain dari sendi pergelangan tangan (kū‘), lalu lukanya belum sembuh hingga orang lain memotongnya lagi dari siku (mirfaq), kemudian orang itu meninggal dunia, maka keduanya wajib menjalani qishāsh. Pemotong telapak tangan dipotong dari pergelangan tangan, dan tangan orang kedua dipotong dari siku, kemudian keduanya dihukum mati. Hal ini karena rasa sakit dari pemotongan pertama menjalar ke seluruh tubuh.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا تَوَالَتْ جِنَايَتَانِ فَأَزَالَتِ الثَّانِيَةُ مِنْهُمَا مَحَلَّ الْأُولَى مِثْلَ أَنْ يَقْطَعَ أَحَدُهُمَا يَدَهُ مِنْ مَفْصِلِ الْكُوعِ ويقطع الثاني بقيتهما مِنَ الكَتِفِ أَوِ الْمِرْفَقِ أَوْ يَقْطَعَ أَحَدُهُمَا أصْبعهُ وَيَقْطَعَ الثَّانِي بَقِيَّةَ كَفِّهِ أَوْ يَكُونَ مِثْلُ ذَلِكَ فِي قَطْعِ الْقَدَمِ وَالسَّاقِ ثُمَّ يَمُوتُ الْمَقْطُوعُ وَدَمُهُ سَائِلٌ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُمَا قَاتِلَانِ وَعَلَيْهِمَا الْقِصَاصُ فِي الطَّرَفِ وَفِي النَّفْسِ
Al-Mawardi berkata: Ini seperti yang dikatakan, apabila terjadi dua tindak kejahatan secara berurutan, lalu yang kedua menghilangkan bekas yang pertama, misalnya salah satu dari mereka memotong tangan korban dari pergelangan tangan, kemudian yang kedua memotong sisa tangannya dari bahu atau siku, atau salah satu dari mereka memotong jarinya lalu yang kedua memotong sisa telapak tangannya, atau semisal itu pada pemotongan kaki dan betis, kemudian orang yang dipotong itu meninggal dunia sementara darahnya masih mengalir, maka menurut mazhab Syafi‘i, keduanya dianggap sebagai pembunuh dan atas keduanya dikenakan qishāsh baik pada anggota tubuh maupun pada jiwa.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ الْأَوَّلُ قَاطِعٌ يَجِبُ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي الْيَدِ دُونَ النَّفْسِ
Abu Hanifah berkata: Yang pertama adalah pemotong (anggota badan) yang wajib dikenai qishash pada tangan, bukan pada jiwa.
وَالثَّانِي يَجِبُ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ دُونَ الْيَدِ احْتِجَاجًا بِأَنَّ السِّرَايَةَ تَحْدُثُ عَنْ مَحَلِّ الْجِنَايَةِ فَإِذَا زَالَ مَحَلُّهَا زَالَتْ سِرَايَتُهَا لِانْقِطَاعِ مَادَّتِهَا أَلَا تَرَى أَنَّ سِرَايَةَ الْأَكَلَةِ تَزُولُ بِقَطْعِ مَحَلِّهَا فَصَارَ انْقِطَاعُهَا كَالِانْدِمَالِ وَصَارَ الثَّانِي كَالْمُنْفَرِدِ أَوِ الْمُوجِئِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْقَاتِلَ دُونَ الْأَوَّلِ
Yang kedua, wajib atasnya qishāsh dalam hal jiwa, bukan pada tangan, dengan alasan bahwa penyebaran (dampak luka) terjadi dari tempat terjadinya jināyah (kejahatan/pelanggaran), maka apabila tempatnya telah hilang, penyebarannya pun hilang karena terputusnya sumbernya. Tidakkah engkau melihat bahwa penyebaran penyakit ‘akalāh’ (sejenis gangren) akan hilang dengan memotong tempatnya? Maka terputusnya (penyebaran) itu seperti sembuhnya luka, dan yang kedua menjadi seperti pelaku tunggal atau pelaku yang menyebabkan kematian, sehingga wajiblah ia yang dianggap sebagai pembunuh, bukan yang pertama.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الْمَوْتَ بِالسِّرَايَةِ حَادِثٌ عَنْ أَلَمِهَا وَأَلَمُ الْقَطْعِ الْأَوَّلِ قَدْ سَرَى فِي الْحَالِ إِلَى الْجَسَدِ كُلِّهِ قَبْلَ الْقَطْعِ الثَّانِي فَانْتَقَلَ مَحَلُّهُ إِلَى الْقَلْبِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ الْحَيَاةِ فَإِذَا حَدَثَ الْقَطْعُ الثَّانِي أَحْدَثَ أَلَمًا ثَانِيًا زَادَ عَلَى الْأَلَمِ الْأَوَّلِ فَصَارَ الْمَوْتُ حَادِثًا عَنْهُمَا لَا عَنِ الثَّانِي مِنْهُمَا كَمَنْ سَجَّرَ تَنُّورًا بِنَارٍ حَمِيَ بِهَا ثُمَّ أَخْرَجَ سَجَارَهُ وَسَجَرَهُ بِأُخْرَى تَكَامَلَ حِمَاهُ بِهِمَا لَمْ يَكُنْ تَكَامُلُ الْحَمى مَنْسُوبًا إِلَى السَّجَارِ الثَّانِي وَإِنْ زَالَ السَّجَارُ الْأَوَّلُ بَلْ كَانَ مَنْسُوبًا إِلَيْهِمَا كَذَلِكَ تَكَامُلُ الْأَلَمِ فِي الْقَلْبِ لَمْ يَكُنْ بِالْقَطْعِ الثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ بَلْ كَانَ بِالثَّانِي وَالْأَوَّلِ
Dalil kami adalah bahwa kematian karena penyebaran (penyakit atau luka) terjadi akibat rasa sakitnya, dan rasa sakit dari pemotongan pertama telah menyebar seketika ke seluruh tubuh sebelum pemotongan kedua, sehingga tempatnya berpindah ke jantung yang merupakan sumber kehidupan. Maka ketika terjadi pemotongan kedua, timbullah rasa sakit kedua yang menambah rasa sakit pertama, sehingga kematian terjadi karena keduanya, bukan hanya karena yang kedua saja. Hal ini seperti seseorang yang menyalakan tungku dengan api, lalu memanaskannya, kemudian mengeluarkan kayu bakar yang pertama dan menggantinya dengan kayu bakar lain, maka panasnya menjadi sempurna karena keduanya, bukan hanya karena kayu bakar kedua, meskipun kayu bakar pertama telah diangkat. Begitu pula kesempurnaan rasa sakit di jantung tidak hanya disebabkan oleh pemotongan kedua tanpa yang pertama, melainkan karena keduanya, yaitu pemotongan pertama dan kedua.
فَإِنْ قِيلَ فَزِيَادَةُ الْأَلَمِ الْأَوَّلِ مُنْقَطِعَةٌ وَزِيَادَةُ الْأَلَمِ الثَّانِي مُسْتَدِيمَةٌ فَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْمَوْتُ مَنْسُوبًا إِلَى الْأَلَمِ الثَّانِي لِاتِّصَالِ مَادَّتِهِ دُونَ الْأَلَمِ الْأَوَّلِ لِانْقِطَاعِ مَادَّتِهِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Jika dikatakan: “Tambahan rasa sakit yang pertama itu terputus, sedangkan tambahan rasa sakit yang kedua itu terus-menerus, maka seharusnya kematian dinisbatkan kepada rasa sakit yang kedua karena kesinambungan sebabnya, bukan kepada rasa sakit yang pertama karena sebabnya telah terputus,” maka terhadap hal ini ada dua jawaban.
أَحَدُهُمَا أَنَّ هَذَا يَقْتَضِي زِيَادَةَ الْأَلَمِ الثَّانِي وَقِلَّةَ الْأَوَّلِ وَلَيْسَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ مَانِعًا مِنْ تَسَاوِيهِمَا فِي الْقَتْلِ كَمَا لَوْ جَرَحَاهُ فَكَانَتْ جِرَاحَةُ أَحَدِهِمَا أَكْثَرَ أَلَمًا كَانَا سَوَاءً فِي قَتْلِهِ
Salah satunya adalah bahwa hal ini mengakibatkan bertambahnya rasa sakit yang kedua dan berkurangnya rasa sakit yang pertama, dan perbedaan keduanya dalam hal sedikit atau banyaknya rasa sakit tidaklah menghalangi keduanya untuk disamakan dalam hal pembunuhan, sebagaimana jika keduanya melukainya lalu luka salah satunya lebih menyakitkan, maka keduanya tetap sama dalam hal membunuhnya.
وَالثَّانِي أَنَّ انْقِطَاعَ أَسْبَابِ الْأَلَمِ لَا يَمْنَعُ مِنْ مُسَاوَاةِ مَا بَقِيَتْ أَسْبَابُهُ فِي إِضَافَةِ الْقَتْلِ إِلَيْهِمَا كَمَا لَوْ ضَرَبَهُ أَحَدُهُمَا بِخَشَبَةٍ وَجَرَحَهُ الْآخَرُ بِسَيْفٍ كَانَا شَرِيكَيْنِ فِي قَتْلِهِ وَإِنْ كَانَ أَثَرُ الْخَشَبَةِ مُرْتَفِعًا وَأَثَرُ السَّيْفِ بَاقِيًا وَفِي هَذَيْنِ الْجَوَابَيْنِ دَلِيلٌ فِي الْمَسْأَلَةِ وَانْفِصَالٌ عَنِ الِاعْتِرَاضِ وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ قَطْعِ الْأَكَلَةِ لِانْقِطَاعِ سِرَايَتِهَا فَالْمَقْصُودُ بِهِ قَطْعُ الزِّيَادَةِ دُونَ الْإِزَالَةِ وَأَنْ لَا يَسْرِيَ إِلَى مَا جَاوَزَهُ وَأَمَّا الِانْدِمَالُ فَلَا يَكُونُ إِلَّا بَعْدَ زَوَالِ الْأَلَمِ وَالْقَطْعُ لَا يُزِيلُ الْأَلَمَ وَإِنَّمَا يَقْطَعُ زِيَادَتَهُ فافترقا
Kedua, terputusnya sebab-sebab rasa sakit tidak menghalangi untuk menyamakan antara yang sebab-sebabnya masih ada dalam hal penyandaran pembunuhan kepada keduanya. Sebagaimana jika salah satu dari keduanya memukul dengan kayu dan yang lain melukai dengan pedang, maka keduanya menjadi sekutu dalam pembunuhan itu, meskipun bekas kayu telah hilang dan bekas pedang masih ada. Dalam dua jawaban ini terdapat dalil dalam masalah ini dan penjelasan terhadap sanggahan. Adapun yang mereka sebutkan tentang memotong bagian tubuh yang terkena penyakit (al-akalah) karena telah terputusnya penyebarannya, maka yang dimaksud adalah memotong bagian yang bertambah, bukan menghilangkannya seluruhnya, dan agar tidak menyebar ke bagian lain. Adapun penyembuhan (indimāl) tidak terjadi kecuali setelah hilangnya rasa sakit, sedangkan pemotongan tidak menghilangkan rasa sakit, melainkan hanya menghentikan pertambahannya. Maka keduanya berbeda.
وَأَمَّا التَّوْجِئَةُ فَلَا بَقَاءَ لِلنَّفْسِ مَعَهَا فَارْتَفَعَ بِهَا حُكْمُ السِّرَايَةِ وَنَاظَرَنِي فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ الْأَشْعَرِيُّ وَقَدِ اسْتَدْلَلْتُ فِيهَا بِمَا تَقَدَّمَ فَاعْتَرَضَ عَلَيَّ بِأَنَّ الْأَلَمَ عَرَضٌ لَا يَبْقَى زَمَانَيْنِ فَاسْتَحَالَ أَنْ يَبْقَى مَعَ انْقِطَاعِ مَادَّتِهِ فَأَجَبْتُهُ عَنْهُ بِأَنَّ الْأَلَمَ لَمَّا وَصَلَ إِلَى الْقَلْبِ صَارَ مَحَلًّا لَهُ فَتَوَالَتْ مِنْهُ مَوَادُّهُ كَمَا يَتَوَالَى مِنْ مَحَلِّ الْقَطْعِ
Adapun tawji’ah, maka tidak ada lagi keberlangsungan jiwa bersamanya, sehingga dengan itu hilanglah hukum penularan. Dalam masalah ini, Qadhi Abu Bakar al-Asy’ari berdiskusi denganku, dan aku telah berdalil di dalamnya dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya. Ia membantahku dengan mengatakan bahwa rasa sakit adalah sesuatu yang tidak dapat bertahan dalam dua waktu, sehingga mustahil ia tetap ada setelah sumbernya terputus. Aku menjawabnya bahwa ketika rasa sakit telah sampai ke hati, maka hati menjadi tempat bagi rasa sakit itu, sehingga sumber-sumbernya terus-menerus muncul darinya, sebagaimana terus-menerus muncul dari tempat terjadinya luka.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُمَا قَاتِلَانِ فَلِلْوَلِيِّ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الأَوَّلِ فَيَقْطَعَ يَدَهُ بِالْجِنَايَةِ وَيَقْتُلَهُ بِالسِّرَايَةِ فَأَمَّا الثَّانِي فَإِنْ كَانَ أَقْطَعَ الْكَفِّ فَلِلْوَلِيِّ أَنْ يَقْطَعَ ذِرَاعَهُ مِنَ المِرْفَقِ بِالْجِنَايَةِ وَيَقْتُلَهُ بِالسِّرَايَةِ وَإِنْ كَانَتْ كَفُّهُ بَاقِيَةً عَلَى ذِرَاعِهِ جَازَ لَهُ أَنْ يَقْتُلَهُ وَفِي جَوَازِ قَطْعِ ذِرَاعِهِ قَبْلَ قَتْلِهِ قَوْلَانِ
Jika telah tetap bahwa keduanya adalah pembunuh, maka wali (ahli waris korban) berhak melakukan qishāsh terhadap yang pertama, yaitu memotong tangannya karena tindak pidana, dan membunuhnya karena akibat yang ditimbulkan. Adapun yang kedua, jika ia telah memotong telapak tangan, maka wali berhak memotong lengannya dari siku karena tindak pidana, dan membunuhnya karena akibat yang ditimbulkan. Jika telapak tangannya masih tetap pada lengannya, maka wali boleh membunuhnya, dan dalam hal kebolehan memotong lengannya sebelum membunuhnya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ هَاهُنَا يَجُوزُ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ إِفَاتَةُ نَفْسِهِ فَلَمْ تُعْتَبَرْ زِيَادَتُهُ
Salah satunya, yaitu yang dinyatakan secara eksplisit di sini, diperbolehkan karena yang dimaksudkan darinya adalah memberikan manfaat pada dirinya sendiri, sehingga tambahan tersebut tidak dianggap.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا يَجُوزُ أَنْ يَقْطَعَ لِأَنَّهُ إِيجَابُ قِصَاصٍ فِيمَا لَيْسَ فِيهِ قِصَاصٌ وَهَكَذَا كُلُّ جُرْحٍ إِذَا انْفَرَدَ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْهُ كَالْجَائِفَةِ وَالْمَأْمُومَةِ إِذَا صَارَتَا نَفْسًا فَفِي جَوَازِ الْقِصَاصِ مِنْهُ عند إرادة قتله قولان
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak boleh memotong, karena hal itu berarti mewajibkan qishāsh pada sesuatu yang sebenarnya tidak dikenai qishāsh. Demikian pula setiap luka jika berdiri sendiri tidak dikenai qishāsh, seperti luka ja’ifah dan ma’mūmah; jika keduanya menyebabkan kematian, maka dalam hal kebolehan melakukan qishāsh ketika hendak membunuhnya terdapat dua pendapat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِذَا تَشَاحَّ الْوُلَاةُ قِيلَ لَهُمْ لَا يَقْتُلُهُ إِلَّا وَاحِدٌ مِنْكُمْ فَإِنْ سَلَّمْتُمْ لِوَاحِدٍ أَوْ لِأَجْنَبِيٍّ جَازَ قَتْلُهُ وَإِنْ تَشَاحَحْتُمْ أَقْرَعْنَا بَيْنَكُمْ فَأَيُّكُمْ خَرَجَتْ قُرْعَتُهُ خَلَّيْنَاهُ وَقَتْلَهُ وَيُضْرَبُ بِأَصْرَمِ سَيْفٍ وَأَشَدِّ ضَرْبٍ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Apabila para wali berselisih, dikatakan kepada mereka: ‘Tidak boleh ada yang membunuhnya kecuali salah satu dari kalian.’ Jika kalian menyerahkan kepada salah satu dari kalian atau kepada orang lain (yang bukan wali), maka boleh dilakukan pembunuhan. Namun jika kalian tetap berselisih, maka kami akan mengundi di antara kalian; siapa pun yang keluar undiannya, dialah yang kami biarkan untuk membunuhnya, dan hendaknya ia membunuh dengan pedang yang paling tajam dan dengan pukulan yang paling keras.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَهِيَ تَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas sebelumnya dan mencakup dua bagian.
أَحَدُهُمَا صِفَةُ الْقِصَاصِ وَقَدِ اسْتَوْفَيْنَاهُ وَذَكَرْنَا أَنَّهُ إِنْ كَانَ فِي طَرَفٍ اسْتَوْفَاهُ الْإِمَامُ وَإِنْ كَانَ فِي نَفْسٍ اسْتَوْفَاهُ الْأَوْلِيَاءُ
Salah satunya adalah sifat qishāsh, dan kami telah membahasnya serta menyebutkan bahwa jika qishāsh itu berkaitan dengan anggota tubuh, maka pelaksanaannya dilakukan oleh imam, dan jika berkaitan dengan jiwa, maka pelaksanaannya dilakukan oleh para wali.
وَالْفَصْلُ الثَّانِي فِي مُسْتَحِقِّهِ مِنَ الأَوْلِيَاءِ وَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِأَحْوَالِهِمْ وَهُمْ ثلاثة أصناف
Bab kedua membahas tentang para wali yang berhak menerimanya, yang penetapannya didasarkan pada keadaan mereka, dan mereka terbagi menjadi tiga golongan.
أحدهما أَنْ لَا يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ الْقِصَاصِ وَقَدْ بَيَّنَّاهُمْ
Salah satunya adalah bahwa mereka bukan termasuk ahli qisās, dan kami telah menjelaskan siapa mereka.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ الْقِصَاصِ وَقَدْ بَيَّنَّاهُمْ
Kedua, mereka harus termasuk golongan ahli qishāsh, dan kami telah menjelaskan siapa mereka.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ بَعْضُهُمْ مِنْ أَهْلِهِ وَبَعْضُهُمْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ فَإِنْ كَانُوا جَمِيعًا مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ كَانُوا إِذَا جَازَ أَمْرُهُمْ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُوَكِّلُوا مَنْ يَخْتَارُونَهُ مِنْ أَهْلِ الْقِصَاصِ وَبَيْنَ أَنْ يُفَوِّضُوهُ إِلَى الْإِمَامِ لِيَسْتَنِيبَ لَهُمْ مَنْ يَخْتَارُهُ وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ مِنْ أَهْلِهِ وَبَعْضُهُمْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ خَرَجَ مِنْهُمْ مَنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ وَبَقِيَ أَهْلُهُ هُمُ الْمُبَاشِرُونَ لَهُ وَيَكُونُ التَّنَازُعُ فِيهِ مَقْصُورًا عَلَيْهِمْ فَإِنْ قَالَ مَنْ لَيْسَ مِنْ أَهْلِهِ أَنَا أَدْخُلُ فِي التَّنَازُعِ لِأَسْتَنِيبَ مَنْ يُبَاشِرُهُ احْتَمَلَ وَجْهَيْنِ
Ketiga, jika sebagian dari mereka adalah keluarganya dan sebagian lagi bukan keluarganya, maka jika semuanya bukan keluarganya, mereka boleh memilih antara menunjuk siapa pun yang mereka kehendaki dari kalangan ahli qisās, atau menyerahkan urusan itu kepada imam agar imam menunjuk orang yang ia pilih untuk mereka. Namun, jika sebagian dari mereka adalah keluarganya dan sebagian lagi bukan keluarganya, maka yang bukan keluarganya dikeluarkan dari urusan itu, dan yang tersisa hanyalah keluarganya yang langsung menangani perkara tersebut, sehingga perselisihan hanya terbatas di antara mereka. Jika ada yang bukan keluarganya berkata, “Saya ingin ikut serta dalam perselisihan agar dapat menunjuk orang yang akan melaksanakannya,” maka hal ini memiliki dua kemungkinan pendapat.
أَحَدُهُمَا لَهُ ذَلِكَ لِمُشَارَكَتِهِ لَهُمْ فِي الِاسْتِحْقَاقِ
Salah satunya berhak atas hal itu karena ia turut serta bersama mereka dalam hak kepemilikan.
وَالثَّانِي لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ لِلتَّشَفِّي فَكَانَ مُبَاشَرَةُ الْمُسْتَحِقِّ لَهُ أَوْلَى مِنْ مُبَاشَرَةِ النَّائِبِ عَنْ مُسْتَحِقِّهِ وَإِنْ كَانُوا جَمِيعًا مِنْ أَهْلِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْتَرِكُوا فِي اسْتِيفَائِهِ لِأَنَّهُ قَتْلُ وَاحِدٍ لَمْ يَقْتَصَّ مِنْهُ إِلَّا وَاحِدٌ وَتَوَلَّاهُ أَحَدُهُمْ فَإِنْ فَوَّضُوهُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ كَانَ أَحَقَّهُمْ بِاسْتِيفَائِهِ وَالْأَوْلَى أَنْ يَخْتَارُوا أَشَدَّهُمْ وَأَقْوَاهُمْ وَأَدْيَنَهُمْ فَإِنْ عَدَلُوا عَنْهُ إِلَى أَدْوَنِهِمْ جَازَ وَإِنْ تَنَازَعُوا فِيهِ وَتَشَاجَرُوا عَلَيْهِ أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ فَإِذَا خَرَجَتِ الْقَرْعَةُ لِأَحَدِهِمْ صَارَ أَحَقَّهُمْ بِاسْتِيفَائِهِ لَكِنْ لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الْقِصَاصَ بَعْدَ خُرُوجِ قُرْعَتِهِ إِلَّا عَنْ إِذْنٍ مِنْ جَمِيعِهِمْ لِأَنَّ الْإِقْرَاعَ بَيْنَهُمْ لَا يَكُونُ إِذْنًا مِنْهُمْ فِي الِاسْتِيفَاءِ وَإِنَّمَا يَتَعَيَّنُ بِهِ مُبَاشَرَةُ الِاسْتِيفَاءِ وَيَكُونُ الِاسْتِيفَاءُ مَوْقُوفًا عَلَى اتِّفَاقِهِمْ
Adapun yang kedua, ia tidak memiliki hak tersebut karena qishash ditetapkan untuk tujuan pelampiasan (balas dendam yang dibenarkan syariat), sehingga pelaksanaan oleh pihak yang berhak lebih utama daripada pelaksanaan oleh wakil dari pihak yang berhak. Jika semua ahli waris adalah pihak yang berhak, maka tidak boleh mereka bersama-sama melaksanakan qishash, karena ini adalah pembunuhan terhadap satu orang, dan tidak boleh qishash dilaksanakan kecuali oleh satu orang saja, dan salah satu dari mereka yang melakukannya. Jika mereka menyerahkan pelaksanaan kepada salah satu dari mereka, maka dialah yang paling berhak melaksanakannya. Yang utama adalah mereka memilih orang yang paling kuat, paling tegas, dan paling bertakwa di antara mereka. Namun jika mereka memilih yang derajatnya lebih rendah di antara mereka, itu pun boleh. Jika mereka berselisih dan saling bertengkar dalam memilih, maka dilakukan undian di antara mereka. Jika undian jatuh kepada salah satu dari mereka, maka dialah yang paling berhak melaksanakan qishash. Namun, tidak boleh ia melaksanakan qishash setelah keluar undian kecuali dengan izin dari seluruh ahli waris, karena undian di antara mereka bukanlah izin untuk pelaksanaan, melainkan hanya menentukan siapa yang akan melaksanakan secara langsung. Adapun pelaksanaan qishash tetap harus menunggu kesepakatan mereka.
Bab Qishash dengan Selain Pedang
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَإِنْ طَرَحَهُ فِي نَارٍ حَتَّى يَمُوتَ طُرِحَ فِي النَّارِ حَتَّى يَمُوتَ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika ia dilemparkan ke dalam api hingga mati, maka ia harus dilemparkan ke dalam api hingga mati.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ فِي الْقَتْلِ بِجَمِيعِ مَا يَقْتُلُ مِثْلُهُ مِنْ حَدِيدٍ وَغَيْرِ حَدِيدٍ وَذَكَرْنَا خِلَافَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي أَنْ لَا قِصَاصَ إِلَّا فِي الْقَتْلِ بِالْحَدِيدِ وَالنَّارِ وَلَا قَوَدَ فِي الْقَتْلِ بِمُثَقَّلَاتٍ وَغَيْرِهَا إِلَّا بِمُثَقَّلِ الْحَدِيدِ وَحْدَهُ فَأَمَّا اسْتِيفَاءُ الْقِصَاصِ فَمُعْتَبَرٌ بِحَالِ الْقَتْلِ فَإِنْ كَانَ بِالْحَدِيدِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الْقِصَاصَ إِلَّا بِمِثْلِهِ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ الْحَدِيدِ كَانَ الْوَلِيُّ مُخَيَّرًا فِي اسْتِيفَائِهِ بِمِثْلِهِ أَوْ بِالْحَدِيدِ
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang wajibnya qishāsh dalam kasus pembunuhan dengan segala sesuatu yang dapat membunuh sejenisnya, baik dari besi maupun selain besi. Kami juga telah menyebutkan perbedaan pendapat Abu Hanifah yang berpendapat bahwa tidak ada qishāsh kecuali dalam pembunuhan dengan besi dan api, dan tidak ada qawad dalam pembunuhan dengan benda berat dan selainnya kecuali dengan benda berat dari besi saja. Adapun pelaksanaan qishāsh, maka disesuaikan dengan cara pembunuhannya. Jika pembunuhan dilakukan dengan besi, maka tidak boleh melaksanakan qishāsh kecuali dengan benda sejenisnya. Namun jika pembunuhan dilakukan dengan selain besi, maka wali (ahli waris korban) diberi pilihan untuk melaksanakan qishāsh dengan benda sejenis atau dengan besi.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِذَا قَتَلَهُ بِمُثَقَّلِ الْحَدِيدِ أَوْ بِالنَّارِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الْقِصَاصَ مِنْهُ إِلَّا بِمُحَدَّدِ الْحَدِيدِ دُونَ مُثَقَّلِهِ وَدُونَ النَّارِ اسْتِدْلَالًا بِمَا رَوَاهُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا قَوَدَ إِلَّا بِالسَّيْفِ
Abu Hanifah berpendapat bahwa jika seseorang membunuh dengan benda berat dari besi atau dengan api, maka tidak boleh menegakkan qishash terhadapnya kecuali dengan benda tajam dari besi, bukan dengan benda berat dan bukan dengan api, berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Sa‘id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tidak ada qishash kecuali dengan pedang.”
وَرُوِيَ عَنْ عَاصِمُ بْنُ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا قَوَدَ إِلَّا بِحَدِيدَةٍ
Diriwayatkan dari ‘Ashim bin Dhamrah, dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada qishāsh kecuali dengan besi.”
وَرُوِيَ أَنَّ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ حَرَّقَ قَوْمًا بِالنَّارِ ادَّعَوْهُ إِلَهًا فَقَالَ لَهُ ابْنُ الْعَبَّاسِ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أَقْتُلْهُمْ إِلَّا بِالسَّيْفِ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ لَا يُعَذِّبُ بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ وَلِأَنَّ اسْتِحْقَاقَ الْقَتْلِ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِيفَائِهِ بِغَيْرِ السَّيْفِ كَالْمُرْتَدِّ وَكَالْقَاتِلِ بِالسَّيْفِ وَلِأَنَّ تَفْوِيتَ النُّفُوسِ الْمُبَاحَةِ لَا يَجُوزُ إِلَّا بِالْمُحَدَّدِ كَالذَّبَائِحِ مَعَ أَنَّ نُفُوسَ الْآدَمِيِّينَ أَغْلَظُ حُرْمَةً مِنْ نُفُوسِ الْبَهَائِمِ
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu membakar suatu kaum dengan api karena mereka mengakuinya sebagai Tuhan. Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Seandainya aku, aku tidak akan membunuh mereka kecuali dengan pedang, karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak ada yang boleh mengazab dengan api kecuali Rabb pemilik api.’ Dan karena orang yang berhak dibunuh tidak boleh dieksekusi kecuali dengan pedang, seperti halnya orang murtad dan pembunuh yang dihukum dengan pedang. Dan karena mencabut nyawa yang halal tidak boleh dilakukan kecuali dengan alat yang tajam, seperti hewan sembelihan, padahal nyawa manusia lebih besar kehormatannya daripada nyawa hewan.”
وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ البقرة 194 وَقَالَ تَعَالَى وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا الشورى 40 وَرَوَى الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ مَنْ حَرَّقَ حَرَّقْنَاهُ وَمَنْ غَرَّقَ غَرَّقْنَاهُ
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Maka barang siapa menyerang kalian, maka seranglah dia dengan serangan yang setimpal dengan apa yang dia lakukan kepada kalian.” (Al-Baqarah: 194). Dan firman-Nya Ta‘ala: “Dan balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal dengannya.” (Asy-Syura: 40). Al-Bara’ bin ‘Azib meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa membakar (orang lain), maka kami akan membakarnya; dan barang siapa menenggelamkan (orang lain), maka kami akan menenggelamkannya.”
وَرَوَى أَنَسٌ أَنَّ رَجُلًا مِنَ اليَهُودِ شَدَخَ رَأْسَ جَارِيَةٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَتَلَهَا وَأَخَذَ حُلِيَّهَا فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَشدخَ رَأْسهُ بَيْنَ حَجَرَيْنِ حَتَّى قُتِلَ وَلِأَنَّ كُلَّ آلَةٍ قَتَلَ مِثْلُهَا جَازَ اسْتِيفَاءُ الْقِصَاصِ بِمِثْلِهَا كَالسَّيْفِ
Anas meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari kalangan Yahudi memukul kepala seorang budak perempuan dari kalangan Anshar hingga membunuhnya dan mengambil perhiasannya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kepala laki-laki itu dipukul di antara dua batu hingga ia terbunuh. Hal ini karena setiap alat yang digunakan untuk membunuh, boleh dilakukan qishāsh dengan alat yang sejenis, seperti pedang.
وَلِأَنَّ الْقِصَاصَ مَوْضُوعٌ لِلْمُمَاثَلَةِ وَهِيَ مُعْتَبَرَةٌ فِي النَّفْسِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ تُعْتَبَرَ فِي آلَةِ الْقَتْلِ
Karena qishāsh ditetapkan untuk menciptakan kesetaraan, dan kesetaraan itu diperhitungkan dalam hal jiwa, maka lebih utama lagi untuk diperhitungkan dalam alat yang digunakan untuk membunuh.
وَلِأَنَّ الْقَتْلَ مُسْتَحَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى تَارَةً وَلِلْآدَمِيِّينَ تَارَةً فَلَمَّا تَنَوَّعَ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى نَوْعَيْنِ بِالْحَدِيدِ تَارَةً وَبِالْمُثَقَّلِ فِي رَجْمِ الزَّانِي الْمُحْصَنِ وَجَبَ أَنْ يَتَنَوَّعَ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ نَوْعَيْنِ بِمُثَقَّلٍ وَغَيْرِ مُثَقَّلٍ
Karena hukuman mati kadang-kadang menjadi hak Allah Ta‘ala dan kadang-kadang menjadi hak manusia, maka ketika dalam hak Allah Ta‘ala terdapat dua jenis pelaksanaan—kadang dengan besi dan kadang dengan benda berat seperti dalam rajam terhadap pezina muhshan—maka sudah seharusnya dalam hak-hak manusia juga terdapat dua jenis pelaksanaan, yaitu dengan benda berat dan selain benda berat.
وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَحَدُ الْقَتْلَيْنِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَنَوَّعَ اسْتِيفَاءُ نَوْعَيْنِ كَالْقَتْلِ فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى
Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa ini merupakan salah satu dari dua jenis pembunuhan, maka wajib pula pelaksanaannya beragam menjadi dua jenis, sebagaimana pembunuhan dalam hak-hak Allah Ta‘ala.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ لَا قَوَدَ إِلَّا بِالسَّيْفِ
Adapun jawaban terhadap ucapannya “tidak ada qishāsh kecuali dengan pedang”…
وَقَوْلُهُ إِلَّا بِحَدِيدَةٍ فَمَحْمُولٌ عَلَى الْقَتْلِ إذا كان بسيف أو حديدة ورواية ابْنِ عَبَّاسٍ أَنْ لَا يُعَذِّبَ بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ فَوَارِدٌ فِي غَيْرِ الْقِصَاصِ لِأَنَّ القصاص مماثلة ليس بعذاب وَإِنَّمَا هُوَ اسْتِيفَاءُ حَقٍّ وَكَذَا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى قَتْلِ الْمُرْتَدِّ
Adapun sabdanya “kecuali dengan besi” maka itu dimaknai untuk pembunuhan jika dilakukan dengan pedang atau besi. Riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa “tidak ada yang boleh mengazab dengan api kecuali Tuhan pemilik api” berlaku untuk selain kasus qishāsh, karena qishāsh adalah tindakan yang setara, bukan penyiksaan, melainkan penunaian hak. Demikian pula jawaban terhadap qiyās mereka atas pembunuhan terhadap orang murtad.
وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الذبائح مع فساده يرجم الزَّانِي الْمُحْصَنُ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ الْمُمَاثَلَةَ غَيْرُ مُعْتَبَرَةٍ فِيهِ وَأَنَّ مَحَلَّ الذَّبْحِ مُعَيَّنٌ فَجَازَ أَنْ تَكُونَ الْآلَةُ مُعَيَّنَةً وَلَمَّا اعْتُبِرَتِ الْمُمَاثَلَةُ بمحل الجناية اعتبرت بمثل آلتها
Adapun qiyās terhadap hewan sembelihan, meskipun tidak sah, yaitu bahwa pezina muḥṣan dirajam, maka maknanya adalah bahwa kesamaan (mumātsalah) tidak dianggap di dalamnya, dan tempat penyembelihan telah ditentukan, sehingga boleh saja alatnya juga ditentukan. Namun, ketika kesamaan itu dianggap pada tempat terjadinya tindak pidana (jināyah), maka kesamaan itu juga dianggap pada jenis alatnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ اعْتِبَارُ الْمُمَاثَلَةِ فِي الْقِصَاصِ بِكُلِّ مَا يُقْتَلُ بِمِثْلِهِ فَهُوَ عَلَى الْعُمُومِ بِكُلِّ مَا قَتَلَ إِلَّا بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ
Maka apabila telah tetap pertimbangan kemiripan dalam qishāsh pada setiap sesuatu yang dapat dibunuh dengan yang sejenisnya, maka hal itu berlaku secara umum pada segala sesuatu yang digunakan untuk membunuh, kecuali pada tiga hal.
أَنْ يُقْتَلَ بِالسِّحْرِ أَوْ بِاللِّوَاطِ أَوْ بِسَقْيِ الْخَمْرِ فَلَا يُقْتَلُ بِالسِّحْرِ وَإِنْ قَتَلَ وَلَا يُقْتَلُ باللواط وإن لاط به ولا يقتب بِسَقْيِ الْخَمْرِ وَإِنْ سَقَاهُ وَيُعْدَلُ إِلَى قَتْلِهِ بِالسَّيْفِ
Jika seseorang dibunuh dengan sihir, atau dengan liwath (homoseksualitas), atau dengan diberi minum khamr, maka pelaku tidak dibunuh dengan sihir meskipun ia telah membunuh, dan tidak dibunuh dengan liwath meskipun ia telah melakukannya, dan tidak dibunuh dengan memberi minum khamr meskipun ia telah melakukannya, melainkan dialihkan kepada hukuman mati dengan pedang.
وَحُكِيَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ يُقْتَلُ فِي قَتْلِ اللِّوَاطِ بِإِيلَاجِ خَشَبَةٍ وَفِي سَقْيِ الْخَمْرِ بِسَقْيِ الْخَلِّ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّهُ لَمَّا تَعَذَّرَتِ الْمُمَاثَلَةُ لِحَظْرِهَا عَلَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُولِ بِهِ وَلَمْ يَكُنْ فِي الْعُدُولِ عَنْهَا مُمَاثَلَةٌ كَانَ السَّيْفُ أَحَقَّ فَأَمَّا إِذَا قَتَلَ بِالسُّمِّ الْمَهْرِيِّ احْتَمَلَ الْقِصَاصُ بِمِثْلِهِ وَجْهَيْنِ
Diriwayatkan dari Abu Ishaq al-Marwazi bahwa seseorang dibunuh dalam kasus pembunuhan karena liwāṭ (homoseksualitas) dengan memasukkan kayu, dan dalam kasus memberi minum khamr (minuman keras) dengan memberi minum cuka. Namun, pendapat ini rusak (tidak benar), karena ketika tidak memungkinkan adanya kesetaraan (mumātsalah) akibat larangan terhadap pelaku dan objek, dan tidak ada kesetaraan dalam berpaling darinya, maka pedang lebih layak digunakan. Adapun jika membunuh dengan racun mahrī, maka qishāsh dengan cara yang sama memungkinkan untuk dilakukan menurut dua pendapat.
أَحَدُهُمَا جَوَازُهُ اعْتِبَارًا بِإِمْكَانِهِ
Salah satunya adalah kebolehannya dengan mempertimbangkan kemungkinannya.
وَالثَّانِي لَا يَجُوزُ لِأَمْرَيْنِ
Dan yang kedua tidak diperbolehkan karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَا يُمْكِنُ غُسْلُهُ كَذَلِكَ وَهُوَ حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى عَلَيْنَا
Salah satunya adalah bahwa tidak mungkin untuk memandikannya seperti itu, padahal itu adalah hak Allah Ta‘ala atas kita.
وَالثَّانِي أَنَّهُ رُبَّمَا تَعَدَّى ذَلِكَ إِلَى مَنْ بَاشَرَ غُسْلَهُ وَتَكْفِينَهُ
Dan yang kedua, mungkin hal itu juga dapat menimpa orang yang memandikan dan mengafani jenazahnya.
فَصْلٌ
Fasal
نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ بِهِ الْمُزَنِيُّ مِنْ حَرْقِهِ بِالنَّارِ فَيَكُونُ الْوَلِيُّ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَعْدِلَ عَنْ حَرْقِهِ بِالنَّارِ إِلَى قَتْلِهِ بِالسَّيْفِ فَلَهُ ذَاكَ؛ لِأَنَّهُ أَوْجَى وَأَسَلُّ فَيَضْرِبُ عُنُقَهُ وَلَا يَعْدِلُ عَنْهُ فَإِنْ عَدَلَ عَنِ الْعُنُقِ إِلَى غَيْرِهِ مِنْ جَسَدِهِ أَسَاءَ وَعُزِّرَ وَقَدِ اسْتَوْفَى قِصَاصَهُ وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ بِإِحْرَاقِهِ بِالنَّارِ كَانَ لَهُ وَرُوعِيَ مَا فَعَلَهُ الْجَانِي مِنْ إِحْرَاقِهِ فَإِنَّهُ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Kita mulai dengan apa yang dimulai oleh al-Muzani tentang membakar dengan api, maka wali (ahli waris korban) memiliki pilihan antara beralih dari membakar dengan api kepada membunuh dengan pedang, maka itu dibolehkan baginya; karena itu lebih cepat dan lebih mudah, sehingga ia memenggal lehernya dan tidak beralih dari itu. Jika ia beralih dari leher ke bagian tubuh lain, maka ia berbuat buruk dan dikenai ta‘zīr, namun ia telah menunaikan qishāsh-nya. Jika ia ingin melakukan qishāsh dengan membakar pelaku dengan api, maka itu dibolehkan baginya, dan dipertimbangkan apa yang telah dilakukan pelaku berupa pembakaran, karena hal itu ada dua bentuk.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ قَدْ أَلْقَى عَلَيْهِ نَارًا فَيَكُونُ الْوَلِيُّ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُلْقِيَ عَلَيْهِ النَّارَ حَتَّى يَمُوتَ وَبَيْنَ إِلْقَائِهِ فِي النَّارِ لِأَنَّهُ أَوْجَى
Salah satunya adalah jika seseorang telah melemparkan api kepadanya, maka wali berhak memilih antara melemparkan api kepadanya hingga ia mati atau melemparkannya ke dalam api, karena hal itu lebih mematikan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ قَدْ أَلْقَاهُ فِي النَّارِ فَلِوَلِيِّهِ أَنْ يُلْقِيَهُ فِي النَّارِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُلْقِيَ عَلَيْهِ النَّارَ لِأَنَّهُ أَغْلَظُ عَذَابًا وَإِذَا أَلْقَاهُ فِي النَّارِ كَانَ لَهُ أَنْ يُلْقِيَهُ فِي مِثْلِهَا وَمَا هُوَ أَكْثَرُ مِنْهَا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُلْقِيَهُ فِيمَا هُوَ أَقَلُّ مِنْهَا لِأَنَّهُ أَغْلَظُ عَذَابًا كَمَا لَوْ قَتَلَهُ بِسَيْفٍ كَانَ لَهُ أَنْ يَقْتُلَهُ بِمِثْلِهِ وَمَا هُوَ أَمْضَى وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَقْتُلَهُ بِمَا هُوَ أَقَلُّ وَيُخْرَجُ مِنَ النَّارِ إِذَا مَاتَ قَبْلَ أَنْ يُشْوَى جِلْدُهُ لِيُمْكِنَ غُسْلُهُ وَتَكْفِينُهُ وَلَا تَمَاثُلَ بِالْمُحَرَّقِ إِنْ أَكلتهُ النَّارُ لِمَا عَلَيْنَا مِنِ اسْتِيفَاءِ جَسَدِهِ في حقوق الله تعالى
Jenis kedua adalah jika seseorang melemparkannya ke dalam api, maka wali korban berhak melemparkannya ke dalam api pula, namun tidak berhak menuangkan api ke atasnya, karena itu merupakan siksaan yang lebih berat. Jika ia melemparkannya ke dalam api, maka wali korban berhak melemparkannya ke dalam api yang serupa atau yang lebih besar, namun tidak berhak melemparkannya ke dalam api yang lebih kecil, karena itu merupakan siksaan yang lebih berat. Sebagaimana jika ia membunuhnya dengan pedang, maka wali korban berhak membunuhnya dengan pedang yang serupa atau yang lebih tajam, namun tidak berhak membunuhnya dengan yang lebih tumpul. Jenazahnya dikeluarkan dari api jika ia telah meninggal sebelum kulitnya hangus, agar memungkinkan untuk dimandikan dan dikafani. Tidak dilakukan qishāsh dengan cara dibakar jika tubuhnya telah dimakan api, karena kita berkewajiban menjaga keutuhan jasadnya dalam hak-hak Allah Ta‘ala.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وإن ضَرَبَهُ بِحَجَرٍ فَلَمْ يُقْلِعْ عَنْهُ حَتَّى مَاتَ أعطي وليه حجراً مثله فقتله به وقال بعض أصحابنا إن لم يمت من عدد الضرب قتل بالسيف
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang memukul orang lain dengan batu dan tidak berhenti hingga orang itu mati, maka wali korban diberi batu yang serupa untuk membunuh pelaku dengannya. Sebagian sahabat kami berpendapat, jika korban tidak mati karena jumlah pukulan tersebut, maka pelaku dihukum mati dengan pedang.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا قَتَلَهُ بِحَجَرٍ يَقْتُلُ مِثْلُهُ فِي الْغَالِبِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ بِمِثْلِهِ وَكَانَ لِوَلِيِّهِ الْخِيَارُ إِنْ شَاءَ عَدَلَ إِلَى الِاقْتِصَاصِ مِنْهُ بِالسَّيْفِ لِأَنَّهُ أَوْجَى وَإِنْ شَاءَ رَمَاهُ بِحَجَرٍ مِثْلِهِ فِي مِثْلِ الْمَوْضِعِ الَّذِي رَمَاهُ مِنْ بَدَنِ الْمَقْتُولِ إِنْ كَانَ فِي الرَّأْسِ رَمَاهُ عَلَى رَأْسِهِ وَإِنْ كَانَ فِي الظَّهْرِ رَمَاهُ عَلَى ظَهْرِهِ وَإِنْ كَانَ فِي الْبَطْنِ رَمَاهُ عَلَى بَطْنِهِ وَلَا يَعْدِلُ عَنْ مَوْضِعِ الرَّمْيِ إِلَى غَيْرِهِ فَإِنْ رَمَاهُ بِمِثْلِ مَا رمي فَمَاتَ فَقَدِ اسْتَوْفَى حَقَّهُ وَإِنْ لَمْ يَمُتْ فَفِيهِ قَوْلَانِ
Al-Mawardi berkata: Jika seseorang membunuh orang lain dengan batu yang umumnya dapat membunuh, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, maka wajib atasnya qishāsh dengan cara yang sama. Ahli waris korban memiliki pilihan: jika ia menghendaki, ia dapat memilih untuk melakukan qishāsh dengan pedang karena itu lebih mematikan; dan jika ia menghendaki, ia dapat melempar pelaku dengan batu yang serupa pada bagian tubuh yang sama dengan tempat korban dilempar. Jika korban dilempar di kepala, maka pelaku dilempar di kepalanya; jika di punggung, maka dilempar di punggungnya; jika di perut, maka dilempar di perutnya. Tidak boleh mengganti tempat lemparan ke bagian tubuh lain. Jika pelaku dilempar dengan batu yang serupa pada tempat yang sama sebagaimana korban dilempar lalu ia mati, maka haknya telah terpenuhi. Namun jika pelaku tidak mati, maka ada dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا يُوَالِي رَمْيَهُ بِالْحَجَرِ وَيُكَرِّرُهُ حَتَّى يَمُوتَ أَوْ يَنْتَهِيَ إِلَى حَالَةٍ يَعْلَمُ قَطْعًا أَنَّهُ يَمُوتُ مِنْهَا وَلَا تَطُولُ حَيَاتُهُ بَعْدَهَا فَيُمْسِكُ عَنْهُ كَمَا يُمْسَكُ عَنِ الْمَضْرُوبِ الْعُنُقِ إِذَا بَقِيَتْ فِيهِ حَيَاةٌ وَلَوْ قَتَلَهُ بِرَمْيِهِ حَتَّى يَمُوتَ كَانَ لَهُ وَجْهٌ كَالزَّانِي
Salah satunya adalah terus-menerus melemparinya dengan batu dan mengulanginya hingga ia mati atau sampai mencapai keadaan di mana diyakini secara pasti bahwa ia akan mati karenanya dan hidupnya tidak akan lama setelah itu, maka ia dihentikan sebagaimana dihentikan dari orang yang dipenggal lehernya jika masih ada sisa kehidupan padanya. Jika ia membunuhnya dengan lemparan batunya hingga mati, maka ada pendapat (wajh) baginya seperti pada kasus pezina.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنْ يَعْدِلَ إِلَى قَتْلِهِ بِالسَّيْفِ إِذَا لَمْ يَمُتْ مِنْ رَمْيه بِمِثْلِ مَا رَمَى لِأَنَّ السَّيْفَ أَوْجَى وَهَكَذَا لَوْ كَانَ قَدْ ضَرَبَهُ بِعَصًا حَتَّى مَاتَ ضُرِبَ بِمِثْلِهَا وَبِمِثْلِ عَدَدِهَا فَإِنْ ضَرَبَهُ ذَلِكَ الْعَدَدَ فَلَمْ يَمُتْ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ
Pendapat kedua adalah beralih kepada membunuhnya dengan pedang jika ia tidak mati akibat dilempari dengan sesuatu yang serupa dengan apa yang ia lemparkan, karena pedang lebih mematikan. Demikian pula, jika ia memukulnya dengan tongkat hingga mati, maka ia dipukul dengan tongkat yang serupa dan dengan jumlah pukulan yang sama. Jika ia telah dipukul dengan jumlah tersebut namun tidak mati, maka ada dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا يُوَالِي عَلَيْهِ الضَّرْبَ حَتَّى يَمُوتَ
Salah satunya adalah terus-menerus memukulnya hingga ia mati.
وَالثَّانِي يَعْدِلُ إِلَى قَتْلِهِ بِالسَّيْفِ إِذَا لَمْ يَمُتْ مِنْ رَمْيه بِمِثْلِ مَا رَمَى لِأَنَّ السَّيْفَ أَوْجَى وَهَكَذَا لَوْ كَانَ قَدْ ضَرَبَهُ بِعَصًا حَتَّى مَاتَ ضُرِبَ بِمِثْلِهَا وَبِمِثْلِ عَدَدِهَا فَإِنْ ضَرَبَهُ ذَلِكَ الْعَدَدَ فَلَمْ يَمُتْ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ
Yang kedua, pelaksanaan qishāsh dialihkan kepada pembunuhan dengan pedang apabila korban tidak mati akibat dilempari dengan benda yang sama seperti yang digunakan pelaku, karena pedang lebih mematikan. Demikian pula, jika pelaku memukul korban dengan tongkat hingga meninggal, maka ia dihukum dengan dipukul menggunakan tongkat yang sama dan dengan jumlah pukulan yang sama. Jika setelah dipukul dengan jumlah yang sama korban tidak mati, maka terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا يُوَالِي عَلَيْهِ الضَّرْبَ حَتَّى يَمُوتَ
Salah satunya adalah terus-menerus memukulnya hingga ia mati.
وَالثَّانِي يَعْدِلُ إِلَى قَتْلِهِ بِالسَّيْفِ لَوْ أَلْقَاهُ مِنْ جَبَلٍ حَتَّى تَرَدَّى فَمَاتَ أَوْ مِنْ جِدَارٍ أَوْ سَطْحِ دَارٍ وَأَرَادَ الْوَلِيُّ قَتْلَهُ فَعَلَ وَإِنْ أَرَادَ إِلْقَاءَهُ مِنْ مِثْلِ ذَلِكَ الْمَوْضِعِ فَعَلَ فَإِنْ لَمْ يَمُتْ فَعَلَى قَوْلَيْنِ
Yang kedua, ia boleh mengganti hukuman dengan membunuhnya menggunakan pedang, misalnya jika ia melemparkannya dari gunung hingga terjatuh lalu mati, atau dari tembok, atau dari atap rumah, dan wali korban ingin membunuhnya, maka ia boleh melakukannya. Jika wali ingin melemparkannya dari tempat serupa, maka ia juga boleh melakukannya. Namun, jika pelaku tidak mati, maka ada dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا يُلْقَى حَتَّى يَمُوتَ
Salah satunya dilemparkan hingga mati.
وَالثَّانِي يَعْدِلُ بِهِ إِلَى قَتْلِهِ بِالسَّيْفِ فَلَوْ أَلْقَاهُ مِنْ جِدَارٍ فَتَلَقَّاهُ رَجُلٌ مِنَ الأَرْضِ بِسَيْفِهِ فَقَدَّهُ نِصْفَيْنِ رُوعِيَ مَدَى الْعُلُوِّ فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ مَنْ أُلْقِيَ مِنْهُ فَالْمُسْتَقْبِلُ لَهُ بِسَيْفِهِ هُوَ الْقَاتِلُ وَإِنْ كان ذلك المدى بعيد لَا يَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ مَنْ أُلْقِيَ مِنْهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Yang kedua adalah membunuhnya dengan pedang. Jika seseorang melemparkannya dari atas tembok, lalu ada seorang laki-laki di bawah yang menyambutnya dengan pedang hingga membelahnya menjadi dua, maka harus diperhatikan sejauh mana ketinggian tembok itu. Jika ketinggian tersebut memungkinkan orang yang dilempar dari sana masih bisa hidup, maka orang yang menyambutnya dengan pedang itulah yang dianggap sebagai pembunuh. Namun jika ketinggiannya sangat jauh sehingga tidak mungkin orang yang dilempar dari sana bisa hidup, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُلْقِيَ هُوَ الْقَاتِلُ لِأَنَّهُ بِإِلْقَائِهِ كَالْمُوجِي
Salah satunya adalah bahwa orang yang melemparkan itu adalah pembunuh, karena dengan melemparkan, ia seperti orang yang menusukkan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْمُسْتَقْبِلَ لَهُ بِالسَّيْفِ هُوَ الْقَاتِلُ لِمُبَاشَرَةِ التَّوْجِئَةِ
Pendapat kedua adalah bahwa orang yang menghadapkan pedang kepadanya adalah pelaku pembunuhan karena secara langsung melakukan tindakan tersebut.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال المزني هكذا قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي الْمَحْبُوسِ بِلَا طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ حَتَّى مَاتَ إِنَّهُ يُحْبَسُ فَإِنْ لَمْ يَمُتْ فِي تِلْكَ الْمُدَّةِ قُتِلَ بِالسَّيْفِ
Al-Muzani berkata: Demikianlah yang dikatakan oleh asy-Syafi‘i rahimahullah tentang orang yang dipenjara tanpa makanan dan minuman hingga ia mati, yaitu ia dipenjara, lalu jika ia tidak mati dalam jangka waktu tersebut, maka ia dibunuh dengan pedang.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا إِذَا أَرَادَ الْوَلِيُّ أَنْ يَعْدِلَ عَنْ حَبْسِهِ إِلَى قَتْلِهِ بِالسَّيْفِ كَانَ لَهُ وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَحْبِسَهُ بِلَا طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ جَازَ أَنْ يَحْبِسَهُ فِي ذَلِكَ الْمَحْبِسِ وَفِي غَيْرِهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي اخْتِلَافِ الْمَحَابِسِ زِيَادَةٌ ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُهُ إذا حبس من ثلاثة أحوال
Al-Mawardi berkata: Adapun jika wali (penguasa) ingin beralih dari menahan (seseorang) kepada membunuhnya dengan pedang, maka itu boleh baginya. Dan jika ia ingin menahannya tanpa makanan dan minuman, maka boleh baginya menahan orang itu di penjara tersebut maupun di penjara lain, karena perbedaan tempat penahanan tidak menambah apa pun. Kemudian, keadaan orang yang ditahan itu tidak lepas dari tiga kemungkinan.
أحدها أَنْ يَمُوتَ كَأَنَّهُ قَدْ حَبَسَ الْمَقْتُولَ عَشَرَةَ أَيَّامٍ مَاتَ فِيهَا فَحُبِسَ هُوَ فَمَاتَ فِي خَمْسَةِ أَيَّامٍ فَالْوَاجِبُ إِخْرَاجُهُ لِيُوَارَى وَيُدْفَنَ وَلَا يُتْرَكُ بَقِيَّةَ الْمُدَّةِ فَيَتَغَيَّرُ لَحْمُهُ
Salah satunya adalah jika ia meninggal dunia, misalnya seseorang menahan korban selama sepuluh hari hingga korban meninggal dalam rentang waktu itu, lalu pelaku ditahan dan ia meninggal dalam lima hari, maka yang wajib adalah mengeluarkannya agar dapat dikafani dan dikuburkan, dan tidak dibiarkan selama sisa waktu penahanan sehingga dagingnya membusuk.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَمُوتَ فِي مِثْلِهَا فَقَدْ تَسَاوَيَا فِي الْمُدَّةِ وَالتَّلَفِ
Keadaan kedua adalah jika ia meninggal dalam waktu yang sama, maka keduanya sama dalam hal jangka waktu dan kerusakan.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يُحْبَسَ مِثْلَ تِلْكَ الْمُدَّةِ فَلَا يَمُوتُ فِيهَا فَفِيهِ قَوْلَانِ
Keadaan ketiga adalah jika ia ditahan selama waktu seperti itu namun tidak mati di dalamnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يُسْتَدَامُ حَبْسُهُ حَتَّى يَمُوتَ
Salah satunya adalah tetap ditahan hingga ia meninggal.
وَالثَّانِي يُقْتَلُ بِالسَّيْفِ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ
Dan yang kedua dihukum mati dengan pedang setelah berakhirnya tenggat waktu.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِنْ حبسته فِي بَيْتٍ مَفْعًى فَنَهَشَتْهُ أَفْعَى فَمَاتَ نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ أَفَاعِيهِ تَغِيبُ عَنْهُ وَتَعُودُ إِلَيْهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ مُقِيمَةً فِيهِ نُظِرَ حَالُ الْبَيْتِ فَإِنْ كَانَ وَاسِعًا يَزِيدُ على طول الجبة وَمُنْتَهَى نَفْخِهَا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِتَمَكُّنِهِ مِنَ البُعْدِ عَنْهَا إِذَا قَرَبَتْ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا يَقْصُرُ عَنْ طُولِهَا وَمَدَى نَفْخِهَا رُوعِيَ الْبَيْتُ فَإِنْ كَانَ فِيهِ كُوًى وَنِقَابٌ تَتَسَرَّبُ فِيهِ الْأَفَاعِي فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِأَنَّ مِنْ عَادَةِ الْأَفْعَى أَنْ تَغِيبَ عَنْ مُشَاهَدَةِ الْإِنْسَانِ وَإِنْ كَانَ مُمْلِسًا لَا كُوَّةَ فِيهِ وَلَا نَقْبَ فَعَلَيْهِ ضَمَانُ دِيَتِهِ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي نَفْسِهِ لِأَنَّهُ كَعَمْدِ الْخَطَأِ إِلَّا إِنْ نَهَشَتْهُ الْأَفْعَى بِيَدِهِ وَهِيَ مِنَ الأَفَاعِي الْقَاتِلَةِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا يُقَادُ بِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Jika ia mengurungnya di dalam rumah yang biasa digunakan untuk buang air, lalu ia digigit ular dan mati, maka perlu diteliti: jika ular-ular di tempat itu biasa pergi dan kembali, maka tidak ada tanggungan atasnya. Namun jika ular-ular itu memang menetap di situ, maka dilihat keadaan rumahnya: jika rumah itu luas, melebihi panjang jubah dan jangkauan semburan ular, maka tidak ada tanggungan atasnya karena ia masih bisa menjauh dari ular jika ular itu mendekat. Tetapi jika rumah itu sempit, kurang dari panjang ular dan jangkauan semburannya, maka dilihat lagi rumahnya: jika di dalamnya ada lubang atau celah yang memungkinkan ular masuk, maka tidak ada tanggungan atasnya karena sudah menjadi kebiasaan ular untuk bersembunyi dari pandangan manusia. Namun jika rumah itu licin, tidak ada lubang maupun celah, maka ia wajib menanggung diyat (denda pembunuhan), tetapi tidak dikenakan qishāsh (hukuman balasan) atas nyawanya, karena hal itu seperti kesengajaan yang keliru, kecuali jika ular itu menggigitnya dengan tangannya sendiri dan ular tersebut termasuk ular berbisa yang mematikan, maka ia wajib dikenakan qishāsh. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai cara pelaksanaan qishāsh dalam kasus ini, ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يُقَادُ بِالسَّيْفِ لِأَنَّ الْأَفَاعِيَ غَيْرُ مُتَمَاثِلَةٍ وَلَا نَهَشَاتِهَا مُتَسَاوِيَةٌ
Salah satunya dihukum dengan pedang karena ular-ular itu tidaklah sama, dan gigitan-gigitannya pun tidak setara.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ يُقَادَ بِإِنْهَاشِ الْأَفْعَى لَهُ فَإِنْ كَانَتْ تِلْكَ الْأَفْعَى مَوْجُودَةً لَمْ يُعْدَلْ إِلَى غَيْرِهَا وَإِنْ فُقِدَتِ الْتُمِسَ مِثْلُهَا فَإِنْ نَهَشَتْهُ فَمَاتَ فَقَدِ اسْتَوْفَى وَإِنْ لَمْ يَمُتْ فَعَلَى قَوْلَيْنِ
Pendapat kedua adalah bahwa pelaku qishāsh dibalas dengan cara digigit ular yang sama. Jika ular tersebut masih ada, maka tidak boleh diganti dengan yang lain. Jika ular itu tidak ada, maka dicari ular yang sejenis. Jika ular itu menggigitnya lalu ia mati, maka qishāsh telah terlaksana. Namun jika ia tidak mati, maka ada dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا يُعَادُ عَلَيْهِ نَهَشُهَا حَتَّى يَمُوتَ
Salah satunya akan terus diterkam olehnya hingga ia mati.
وَالثَّانِي يُقْتَلُ بِالسَّيْفِ
Dan yang kedua dihukum mati dengan pedang.
فَأَمَّا إِذَا حَبَسَهُ فِي بَيْتٍ مَعَ سَبُعٍ حَتَّى افْتَرَسَهُ فَهَذَا قَاتِلٌ لِأَنَّ ضَرَاوَةَ السَّبُعِ طَبْعٌ لَا تَزُولُ فِي الْأَغْلَبِ وَفِي الْقَوَدِ مِنْهُ بِإِضْرَارِ السَّبُعِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي نَهْشَةِ الْأَفْعَى لِعَدَمِ التَّمَاثُلِ فِي الْجِنَايَةِ وَالْقودِ وَيُمْنَعُ السَّبُعُ مِنْ أَكْلِ لَحْمِهِ بَعْدَ قَتْلِهِ لِحُرْمَتِهِ
Adapun jika seseorang mengurung orang lain di dalam rumah bersama seekor binatang buas hingga binatang itu menerkamnya, maka orang tersebut dianggap sebagai pembunuh, karena sifat buas binatang tersebut pada umumnya tidak akan hilang. Dalam hal qishāsh terhadap pelaku karena menyebabkan binatang buas menyerang korban, terdapat dua pendapat, sebagaimana telah disebutkan dalam kasus gigitan ular, karena tidak adanya kesetaraan dalam tindak pidana dan qishāsh. Binatang buas juga harus dicegah dari memakan daging korban setelah ia terbunuh, karena kehormatan korban.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رحمه الله وكذا قال لو غرقه في الماء وكذلك يلقيه في مهواة في البعد أو مثل سدة الأرض وكذا عدد الضرب بالصخرة فإن مات وإلا ضربت عنقه فالقياس على ما مضى في أول الباب أن يمنعه الطعام والشراب حتى يموت كما قال في النار والحجر والخنق بالحبل حتى يموت إذا كان ما صنع به من المتلف الوحي
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata demikian pula, jika seseorang menenggelamkannya ke dalam air, atau melemparkannya ke tempat yang dalam dari kejauhan, atau seperti menimbunnya di dalam tanah, demikian pula jika memukulnya berkali-kali dengan batu; jika ia mati, maka selesai, jika tidak, maka lehernya dipenggal. Maka qiyās terhadap apa yang telah disebutkan di awal bab adalah mencegahnya dari makan dan minum hingga ia mati, sebagaimana yang dikatakan dalam kasus api, batu, dan mencekiknya dengan tali hingga mati, jika apa yang dilakukan padanya termasuk tindakan yang membinasakan secara langsung.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ صَحِيحٌ مَوْلَى الْغَرِيقِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ قَتْلِ الْمُغَرِّقِ بِالسَّيْفِ لِأَنَّهُ أَوْجَى وَبَيْنَ تَغْرِيقِهِ لِأَنَّ الْمُمَاثَلَةَ فِي التَّغْرِيقِ مُمْكِنَةٌ وَيَجُوزُ أَنْ يُغَرِّقَهُ فِي ذَلِكَ الْمَاءِ وَفِي غَيْرِهِ فَإِنْ غَرَّقَهُ فِي مَاءٍ مِلْحٍ كَانَ لَهُ أَنْ يُغَرِّقَهُ فِي مَاءِ الْمِلْحِ وَفِي الْعَذْبِ لِأَنَّ الْعَذْبَ أَسْهَلُ وَإِنْ غَرَّقَهُ فِي الْعَذْبِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُغَرِّقَهُ فِي الْمِلْحِ لِأَنَّهُ أَشَقُّ وَإِنْ كَانَ يُحْسِنُ الْعَوْمَ رُبِطَ حَتَّى لَا يَنْجُوَ مِنْهُ ثُمَّ يُخْرَجُ بَعْدَ مَوْتِهِ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُوَارَى سَوَاءٌ فُعِلَ ذَلِكَ بِالْغَرِيقِ الْأَوَّلِ أَوْ لَمْ يُفْعَلْ فَإِنْ كَانَ في الماء من حيتانه ما يأكل غرقاً فَإِنْ لَمْ يَأْكُلِ الْحِيتَانُ الْغَرِيقَ الْأَوَّلَ لَمْ يلق المقتص منه إلا في ماء يُؤْمَنُ أَنْ يَأْكُلَهُ حِيتَانُهُ وَإِنْ أَكَلَتهُ الْحِيتَانُ فَفِي جَوَازِ إِلْقَائِهِ فِيهِ لِتَأْكُلَهُ حِيتَانُهُ وَجْهَانِ إِذَا اقْتَصَرَتِ الْحِيتَانُ عَلَى إِفَاتَةِ نَفْسِهِ دُونَ اسْتِهْلَاكِ جَسَدِهِ فَإِنِ اسْتَهْلَكَتْهُ لَمْ يَجُزْ لِوُجُوبِ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فِي مُوَارَاةِ جَسَدِهِ
Al-Mawardi berkata, dan ini adalah pendapat yang sahih: wali dari korban tenggelam memiliki pilihan antara membunuh pelaku penenggelaman dengan pedang—karena itu lebih mematikan—atau menenggelamkannya, karena kesetaraan dalam penenggelaman memungkinkan. Ia boleh menenggelamkannya di air yang sama atau di air lain. Jika pelaku menenggelamkan korban di air asin, wali korban boleh menenggelamkannya di air asin maupun air tawar, karena air tawar lebih mudah. Namun, jika pelaku menenggelamkan korban di air tawar, tidak boleh menenggelamkannya di air asin, karena itu lebih berat. Jika pelaku pandai berenang, ia harus diikat agar tidak bisa lolos, lalu dikeluarkan setelah meninggal dunia agar dapat dishalatkan dan dikuburkan, baik hal itu dilakukan pada korban pertama atau tidak. Jika di air tersebut terdapat ikan-ikan yang memakan orang tenggelam, maka jika ikan-ikan itu tidak memakan korban pertama, pelaku qishash tidak boleh dilempar ke air kecuali ke air yang aman dari ikan-ikan tersebut. Namun, jika ikan-ikan itu memakannya, maka ada dua pendapat tentang kebolehan melempar pelaku ke air agar dimakan ikan: jika ikan hanya menyebabkan kematian tanpa menghabiskan jasadnya, maka boleh; tetapi jika ikan-ikan itu menghabiskan jasadnya, maka tidak boleh, karena wajib menjaga hak Allah Ta‘ala dalam menguburkan jasadnya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَطَعَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ فَمَاتَ فَعَلَ بِهِ الْوَلِيُّ مَا فَعَلَ بِصَاحِبِهِ فَإِنْ مَاتَ وَإِلَّا قُتِلَ بِالسَّيْفِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang memotong kedua tangan dan kedua kaki orang lain, lalu orang itu meninggal, maka wali korban boleh melakukan terhadap pelaku sebagaimana yang dilakukan pelaku terhadap korbannya. Jika korban meninggal, maka pelaku diperlakukan demikian; jika tidak meninggal, maka pelaku dihukum mati dengan pedang.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَلِيُّ الْمَقْطُوعِ يَدَاهُ وَرِجْلَاهُ إِذَا سَرَتْ إِلَى نَفْسِهِ بالخيار بين ثلاثة أحوال
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, wali dari orang yang terpotong kedua tangan dan kakinya, apabila lukanya merambat hingga mengancam jiwanya, memiliki pilihan di antara tiga keadaan.”
أحدها أَنْ يَضْرِبَ عُنُقَهُ فَيَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ بِاتِّفَاقٍ لِأَنَّ النَّفْسَ يُقْتَصُّ مِنْ تَلَفِهَا بِالسِّرَايَةِ كَمَا يُقْتَصُّ مِنْ تَلَفِهَا بِالتَّوْجِيَةِ
Pertama, jika ia memenggal lehernya, maka hal itu boleh baginya secara ijmā‘, karena jiwa dapat diqishāsh akibat kematiannya yang disebabkan oleh dampak (saraayah), sebagaimana jiwa juga diqishāsh akibat kematiannya yang disebabkan secara langsung (tawjīh).
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ يَدَيْهِ وَرِجْليه وَيَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ فَيَجُوزُ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الِاقْتِصَاصُ مِنْهَا مَعَ عَدَمِ السِّرَايَةِ كَانَ مَعَ السِّرَايَةِ أولى فإن اقتص وعفى عَنِ النَّفْسِ إِلَى الدِّيَةِ لَمْ يَسْتَحِقَّهَا لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى بِقَطْعِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ أَكْثَرَ مِنْهَا وَهَذَا مِنَ المَوَاضِعِ النَّادِرَةِ الَّتِي يَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ فِيهَا مِنَ النَّفْسِ وَلَا يُمَلَّكَ دِيَتُهَا وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِذَا عفي عَنِ النَّفْسِ بَعْدَ الِاقْتِصَاصِ مِنَ الطَّرَفِ لَزِمَتْهُ دِيَةُ الْأَطْرَافِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْأَطْرَافَ تَبَعٌ لِلنَّفْسِ فَإِذَا سَقَطَ بِالْعَفْوِ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ الَّتِي هِيَ أَصْلٌ سَقَطَ فِي الْأَطْرَافِ التَّابِعَةِ لَهَا لِأَنَّ الْقِصَاصَ لَا يَتَبَعَّضُ فَصَارَ آخذًا لَهَا بِغَيْرِ قِصَاصٍ فَلَزِمَهُ دِيَتُهَا وَلَا دِيَةَ عَلَيْهِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ لِلْأَطْرَافِ مَعَ الْعَفْوِ عَنِ النَّفْسِ
Keadaan kedua adalah ketika dilakukan qishāsh pada kedua tangan dan kakinya, lalu dimaafkan qishāsh pada jiwa, maka hal itu diperbolehkan. Sebab, jika qishāsh pada anggota tubuh saja dibolehkan ketika tidak ada penyebaran (dampak kematian), maka dengan adanya penyebaran (hingga menyebabkan kematian) tentu lebih utama. Jika telah dilakukan qishāsh dan kemudian dimaafkan pada jiwa dengan diganti diyat, maka ia tidak berhak mendapat diyat tersebut, karena dengan memotong kedua tangan dan kakinya, ia telah mengambil lebih dari diyat jiwa. Ini termasuk kasus yang langka, di mana boleh dilakukan qishāsh pada jiwa namun tidak berhak atas diyatnya. Abu Hanifah berpendapat, jika dimaafkan pada jiwa setelah dilakukan qishāsh pada anggota tubuh, maka wajib baginya membayar diyat anggota tubuh, dengan alasan bahwa anggota tubuh adalah pengikut jiwa. Maka, jika qishāsh pada jiwa yang merupakan pokok gugur karena pemaafan, maka gugur pula pada anggota tubuh yang mengikutinya, karena qishāsh tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian, ia mengambil (hak) anggota tubuh tanpa qishāsh, sehingga wajib baginya membayar diyatnya. Sedangkan menurut Syafi‘i, tidak ada diyat atas anggota tubuh bersamaan dengan pemaafan pada jiwa.
وَبِهِ قَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ
Dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Yusuf dan Muhammad.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ مَا لَمْ يُضْمَنْ مِنَ الأَطْرَافِ إِذَا انْدَمَلَتْ فَأَوْلَى أَنْ لَا يُضْمَنَ إِذَا سَرَتْ لِأَنَّ الْقِصَاصَ فِي النَّفْسِ يَسْقُطُ بِالِانْدِمَالِ كَمَا يَسْقُطُ بِالْعَفْوِ وَلِأَنَّهُمَا حَقَّانِ يُسْتَوْفَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِذَا انْفَرَدَ فَجَازَ مَعَ الْعَفْوِ عَنْ أَحَدِهِمَا أَنْ يُسْتَوْفَى الْآخَرُ مِنْهُمَا كَالطَّرَفَيْنِ الْمُخْتَلِفَيْنِ وَكَالدَّيْنِ وَإِذَا جَازَ ذَلِكَ سَقَطَ فِيهِ الضَّمَانُ
Dalil kami adalah bahwa anggota tubuh yang tidak wajib diganti jika telah sembuh, maka lebih utama lagi untuk tidak diganti jika luka itu menjalar, karena qishāsh pada jiwa gugur dengan sembuhnya luka sebagaimana gugur dengan pemaafan. Keduanya adalah dua hak yang masing-masing dapat dipenuhi jika berdiri sendiri, maka boleh dengan pemaafan atas salah satunya untuk dipenuhi yang lain, seperti dua anggota tubuh yang berbeda dan seperti utang. Jika hal itu boleh, maka gugurlah kewajiban ganti rugi di dalamnya.
وَالْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِدُخُولِ الْأَطْرَافِ فِي النَّفْسِ هُوَ أَنَّ حُكْمَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ يَنْفَرِدُ عَنِ الْآخَرِ فَلَمْ يَصِرْ بَعْضًا مِنْهُ ولا تابعاً له
Jawaban atas argumentasinya dengan memasukkan anggota-anggota tubuh ke dalam jiwa adalah bahwa hukum masing-masing dari keduanya bisa saja berdiri sendiri dan terpisah dari yang lain, sehingga tidak menjadi bagian darinya dan tidak pula mengikuti kepadanya.
والحال الثالثة أن يتقص مِنَ اليَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ ثُمَّ يَقْتُلُهُ قِصَاصًا مِنْ نَفْسِهِ فَيَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ عِنْدَنَا
Keadaan ketiga adalah ketika ia memotong kedua tangan dan kedua kaki, kemudian membunuhnya sebagai qishāsh atas dirinya sendiri, maka hal itu diperbolehkan menurut kami.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْقَوَدِ فِي الْأَطْرَافِ وَالنَّفْسِ وَيَقْتَصُّ مِنْ نَفْسِهِ دُونَ أَطْرَافِهِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ لِلطَّرَفِ بَدَلَيْنِ الْقَوَدَ وَالدِّيَةَ فَلَمَّا دَخَلَتْ دِيَةُ الْأَطْرَافِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ وَجَبَ أَنْ يَدْخُلَ قَوَدُ الْأَطْرَافِ فِي قَوَدِ النَّفْسِ لِأَنَّهُ أَحَدُ الْبَدَلَيْنِ فَأَشْبَهَ الدِّيَةَ
Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh menggabungkan antara qishāsh pada anggota tubuh dan jiwa, serta tidak boleh melakukan qishāsh pada jiwa tanpa anggota tubuh, dengan alasan bahwa pada anggota tubuh terdapat dua pengganti, yaitu qishāsh dan diyat. Maka ketika diyat anggota tubuh telah termasuk dalam diyat jiwa, wajib pula qishāsh anggota tubuh termasuk dalam qishāsh jiwa, karena ia adalah salah satu dari dua pengganti, sehingga menyerupai diyat.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ كُلَّ طَرَفٍ اقْتُصَّ مِنْهُ لَوِ انْفَرَدَ عَنِ النَّفْسِ جَازَ الِاقْتِصَاصُ مِنْهُ وَإِنِ اقْتُصَّ مِنَ النَّفْسِ كَمَا لَوْ قَتَلَ النَّفْسَ بِالتَّوْجِئَةِ كَذَلِكَ إِذَا قَتَلَهَا بِالسِّرَايَةِ فَإِنَّ أَبَا حَنِيفَةَ يُوَافِقُ إِذَا عَادَ إِلَيْهِ فَذَبَحَهُ بَعْدَ قَطْعِ أَطْرَافِهِ أَنَّهُ يُقْتَصُّ مِنْ نَفْسِهِ وَأَطْرَافِهِ وَإِنَّمَا يُخَالِفُ فِي ذَهَابِ النَّفْسِ بِالسِّرَايَةِ إِلَى الْقِصَاصِ فِيمَا يُسْقِطُ الْقِصَاصَ فِي الْأَطْرَافِ وَإِنْ كَانَ أَبُو يُوسُفَ يُسَوِّي بَيْنَهُمَا وَيُسْقِطُ الْقِصَاصَ مِنَ الأَطْرَافِ فِيهِمَا ثُمَّ يُقَالُ لِأَبِي حَنِيفَةَ إِذَا لَمْ يَسْقُطِ الْقِصَاصُ فِي الْأَطْرَافِ بِالتَّوْجِئَةِ الَّتِي لَمْ تَحْدُثْ عَنِ الْأَطْرَافِ فَلِأَنْ لَا تَسْقُطَ بِالسِّرَايَةِ الْحَادِثَةِ عَنِ الْأَطْرَافِ أَوْلَى وَلِأَنَّ الْمُمَاثَلَةَ فِي الْقِصَاصِ مُسْتَحَقَّةٌ وَالْأَطْرَافُ بِالْأَطْرَافِ أَشْبَهُ بِالْمُمَاثَلَةِ مِنَ النَّفْسِ بِالْأَطْرَافِ
Dalil kami adalah bahwa setiap anggota tubuh yang di-qishash darinya, jika berdiri sendiri terpisah dari jiwa, maka boleh dilakukan qishash atasnya. Dan jika dilakukan qishash atas jiwa, seperti halnya jika seseorang membunuh jiwa dengan cara langsung, demikian pula jika ia membunuhnya dengan cara sirayah (kematian yang terjadi akibat luka pada anggota tubuh yang kemudian menjalar hingga menyebabkan kematian), maka Abu Hanifah pun setuju bahwa jika orang itu kembali lalu menyembelih korban setelah memotong anggota tubuhnya, maka ia di-qishash atas jiwanya dan anggota tubuhnya. Abu Hanifah hanya berbeda pendapat dalam hal hilangnya jiwa karena sirayah, yaitu pada kasus yang menggugurkan qishash pada anggota tubuh. Adapun Abu Yusuf menyamakan keduanya dan menggugurkan qishash atas anggota tubuh pada kedua kasus tersebut. Kemudian dikatakan kepada Abu Hanifah: Jika qishash pada anggota tubuh tidak gugur karena pembunuhan langsung yang tidak terjadi akibat anggota tubuh, maka lebih utama lagi untuk tidak gugur karena sirayah yang terjadi akibat anggota tubuh. Karena kesetaraan dalam qishash itu adalah sesuatu yang wajib, dan anggota tubuh dengan anggota tubuh lebih mirip dalam kesetaraan daripada jiwa dengan anggota tubuh.
وَالْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عن الدِّيَةِ مَعَ فَسَادِهِ بِالْقَتْلِ تَوْجِئَةً هُوَ أَنَّ الْقِصَاصَ أَوْسَعُ حُكْمًا مِنَ الدِّيَةِ لِأَنَّ الْجَمَاعَةَ لَوْ قَتَلُوا وَاحِدًا قُتِلُوا بِهِ جَمِيعًا وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ مَعَ الْعَفْوِ إِلَّا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ
Jawaban terhadap qiyās mereka mengenai diyat, meskipun qiyās tersebut rusak dalam kasus pembunuhan, adalah bahwa qishāsh memiliki hukum yang lebih luas daripada diyat. Sebab, jika sekelompok orang membunuh satu orang, maka semuanya dibunuh sebagai qishāsh, meskipun jika dimaafkan, hanya satu diyat yang wajib atas mereka.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يُقْتَصُّ مِنْ أَطْرَافِهِ ثُمَّ مِنْ نَفْسِهِ فَإِنَّ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الْقِصَاصَ مِنَ النَّفْسِ وَفِي جَوَازِ مُبَاشَرَتِهِ لِقَطْعِ الْأَطْرَافِ إِذَا اتَّصَلَتْ بِالنَّفْسِ وَجْهَانِ
Maka apabila telah tetap bahwa pelaku dapat dikenai qishāsh atas anggota tubuhnya, kemudian atas jiwanya, maka wali (ahli waris korban) berhak menuntut pelaksanaan qishāsh atas jiwa. Adapun mengenai kebolehan wali secara langsung melakukan pemotongan anggota tubuh apabila anggota tersebut masih menyatu dengan jiwa, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا يَجُوزُ كَمَا لَوِ انْفَرَدَتْ وَيَسْتَنِيبُ مَنْ يَسْتَوْفِي لَهُ الْقِصَاصَ فِي الْأَطْرَافِ
Salah satunya tidak diperbolehkan sebagaimana jika berdiri sendiri, dan ia dapat mewakilkan seseorang untuk menunaikan qishāsh baginya pada anggota tubuh.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجُوزُ لِاتِّصَالِهَا بِالنَّفْسِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهَا وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْجَوَائِفِ إِذَا صَارَتْ نَفْسًا هَلْ يُقْتَصُّ مِنْهَا أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ فَلَوْ كَانَ الْجَانِي حِينَ قَطَعَ يَدَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَرِجْلَيْهِ جَنَى عَلَيْهِ أَجْنَبِيٌّ فَقَطَعَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ كَانَ لِلْجَانِي أَنْ يَقْتَصَّ لِيَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ أَوْ يَأْخُذَ دِيَتَهُمَا وَيَسْقُطَ عَنْهُ الْقِصَاصُ فِيهِمَا لِعَدَمِهِمَا وَكَانَ مَا أَخَذَهُ مِنْ دِيَتِهِمَا إِذَا اقْتَصَّ مِنْ نَفْسِهِ خَالِصًا لِوَرَثَتِهِ وَإِنْ كَانَ قَطْعُ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ مُسْتَحَقًّا لِأَوْلِيَاءِ قَتِيلِهِ لِأَنَّهُمُ اسْتَحَقُّوهَا قِصَاصًا لَا مَالًا وَهَكَذَا لو قطع أَوْلِيَاءُ الْمَقْتُولِ يَدَيِ الْجَانِي وَرِجْلَيْهِ قِصَاصًا ثُمَّ جَنَى عَلَيْهِ أَجْنَبِيٌّ فَقَتَلَهُ اقْتَصَّ مِنْهُ فِي النفس فإن عفى عَنْهُ كَانَ عَلَيْهِ مَا يَلْزَمُهُ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ وَهُوَ أَنْ يُنْظَرَ قَطْعُ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ فِي الْقِصَاصِ إِنِ انْدَمَلَتَا كَانَ عَلَى مَا قَابَلَهُ جَمِيعُ الدِّيَةِ وَإِنْ لَمْ يَنْدَمِلَا كَانَ عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ تَخْتَصُّ بِهَا وَرَثَتُهُ وَلَا شَيْءَ فِيهَا لِأَوْلِيَاءِ قَتِيلِهِ لِاسْتِيفَائِهِمْ بِقَطْعِ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ أَكْثَرَ مِنْ دِيَةِ نَفْسِهِ
Pendapat kedua membolehkan, karena anggota-anggota tubuh itu masih terhubung dengan jiwa, sehingga boleh diambil hak qishash atasnya. Kedua pendapat ini merupakan cabang dari perbedaan pendapat beliau mengenai luka dalam (al-jawā’if) yang menyebabkan kematian, apakah boleh dilakukan qishash atasnya atau tidak, terdapat dua pendapat. Jika, ketika pelaku memotong tangan dan kedua kaki korban, lalu ada orang lain yang juga melakukan kejahatan terhadap korban dengan memotong kedua tangan dan kakinya, maka pelaku pertama berhak menuntut qishash atas kedua tangan dan kakinya atau mengambil diyat (ganti rugi) atas keduanya, dan gugur hak qishash atas anggota-anggota tersebut karena sudah tidak ada lagi. Apa yang diambilnya dari diyat kedua tangan dan kakinya, jika kemudian dilakukan qishash atas jiwanya, menjadi milik penuh ahli warisnya. Jika pemotongan kedua tangan dan kakinya memang menjadi hak ahli waris korban karena mereka berhak menuntut qishash, bukan harta, maka demikian pula jika ahli waris korban memotong kedua tangan dan kaki pelaku sebagai qishash, lalu ada orang lain yang melakukan kejahatan terhadap pelaku hingga membunuhnya, maka dilakukan qishash atas jiwa pelaku kedua. Jika dimaafkan, maka pelaku kedua wajib membayar diyat jiwa, dan perlu dilihat apakah pemotongan kedua tangan dan kakinya dalam qishash sudah sembuh atau belum; jika sudah sembuh, maka wajib membayar diyat penuh, dan jika belum sembuh, maka wajib membayar setengah diyat yang menjadi hak ahli warisnya, dan tidak ada bagian apa pun bagi ahli waris korban, karena mereka telah mengambil hak mereka dengan memotong kedua tangan dan kaki pelaku, yang nilainya lebih besar dari diyat jiwanya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ كَانَ أَجَافَهُ أَوْ قَطَعَ ذِرَاعَهُ فَمَاتَ كَانَ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بِهِ عَلَى أَنْ يَقْتُلَهُ فَأَمَّا عَلَى أَنْ لَا يَقْتُلَهُ فَلَا يُتْرَكُ وَإِيَّاهُ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ فِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا هذا والآخر لا نقصه من ذلك بحال لعله إذا فعل ذلك به أن يدع قتله فيكون قد عذبه بما ليس في مثله قصاص قال المزني رحمه الله قَدْ أَبَى أَنْ يُوَالِيَ عَلَيْهِ بِالْجَوَائِفِ كَمَا والى عليه بالنار والحجر والخنق بمثل ذلك الحبل حتى يموت ففرق بين ذلك والقياس عندي على معناه أن يؤالي عليه بالجوائف إذا والى بها عليه حتى يموت كما يوالي عليه بالحجر والنار والخنق حتى يموت قال المزني أولاهما بالحق عندي فيما كان في ذلك من جراح أن كل ما كان فيه القصاص أو برئ أقصصته منه فإن مات وإلا قتلته بالسيف وما لا قصاص في مثله لم أقصه منه وقتلته بالسيف قياساً على ما قال في أحد قوليه في الجائفة وقطع الذراع أنه لا يقصه منهما بحال ويقتله بالسيف
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika seseorang melukai orang lain dengan luka dalam (jā’ifah) atau memotong lengannya, lalu korban meninggal, maka wali korban berhak melakukan hal yang sama kepada pelaku, yaitu membunuhnya. Namun, jika tidak untuk membunuhnya, maka tidak boleh dibiarkan begitu saja antara pelaku dan wali korban. Beliau juga berkata di tempat lain bahwa dalam masalah ini ada dua pendapat: salah satunya adalah pendapat di atas, dan yang lain adalah tidak boleh melakukan hal yang sama dalam keadaan apa pun, karena dikhawatirkan jika hal itu dilakukan, wali korban akan membiarkan pelaku hidup sehingga pelaku hanya disiksa tanpa ada qishāsh yang setara. Al-Muzani rahimahullah berkata: Imam Syafi‘i menolak untuk melakukan luka dalam secara berturut-turut kepada pelaku sebagaimana ia membolehkan membunuh dengan api, batu, atau dicekik dengan tali sampai mati. Maka beliau membedakan antara keduanya. Menurut pemahamanku, qiyās dalam hal ini adalah boleh melakukan luka dalam secara berturut-turut sampai pelaku mati, sebagaimana boleh membunuh dengan batu, api, atau dicekik sampai mati. Al-Muzani berkata: Menurutku, yang paling tepat dalam masalah luka-luka seperti ini adalah, setiap luka yang ada qishāsh-nya atau pelaku sembuh darinya, maka aku melakukan qishāsh darinya; jika korban mati, maka pelaku dibunuh dengan pedang. Adapun luka yang tidak ada qishāsh-nya, aku tidak melakukan qishāsh darinya dan pelaku dibunuh dengan pedang, berdasarkan qiyās terhadap salah satu pendapat Imam Syafi‘i tentang luka dalam dan pemotongan lengan, yaitu tidak dilakukan qishāsh dalam kedua kasus tersebut dalam keadaan apa pun, dan pelaku dibunuh dengan pedang.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لَا يَخْلُو حَالُ الْجُرْحِ إِذَا صَارَ نَفْسًا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Keadaan luka ketika telah mengenai jiwa (menyebabkan kematian) tidak lepas dari dua kemungkinan.”
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُوجِبًا لِلْقِصَاصِ إِذَا انْفَرَدَ أَوْ لَا يُوجِبُهُ فَإِنْ أَوْجَبَ الْقِصَاصَ إِذَا انْفَرَدَ كَالْمُوضِحَةِ وَقَطْعِ الْأَطْرَافِ مِنْ مَفْصِلٍ فَيَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْهُمَا وَمِنَ النَّفْسِ بَعْدَهَا عَلَى مَا مَضَى وَإِنْ لَمْ يُوجِبِ الْقِصَاصَ إِذَا انْفَرَدَ عَنِ النَّفْسِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bisa jadi perbuatan itu mewajibkan qishāsh jika dilakukan sendiri, atau tidak mewajibkannya. Jika perbuatan itu mewajibkan qishāsh jika dilakukan sendiri, seperti melukai kepala hingga tampak tulang (mudhiḥah) atau memotong anggota badan dari sendi, maka boleh dilakukan qishāsh terhadap keduanya, dan terhadap jiwa setelahnya sebagaimana telah dijelaskan. Namun jika perbuatan itu tidak mewajibkan qishāsh jika dilakukan sendiri tanpa menyebabkan kematian, maka hal itu terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مُوجِبًا فِي الْغَالِبِ كَشَدْخِ الرَّأْسِ بِالْحِجَارَةِ فَيُوجِبُ الْقِصَاصَ إِذَا صَارَ نَفْسًا وَإِنْ لَمْ يُوجِبْهُ إِذَا انْفَرَدَ لِأَنَّهُ مُوجٍ فِي الْقِصَاصِ كَمَا كَانَ مُوجِيًا فِي الْجِنَايَةِ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اقْتَصَّ مِنَ اليَهُودِيِّ الَّذِي شَدَخَ رَأْسَ الْأَنْصَارِيَّةِ بِشَدْخِ رَأْسِهِ
Salah satunya adalah perbuatan yang pada umumnya menyebabkan kematian, seperti memukul kepala dengan batu, maka perbuatan itu mewajibkan qishāsh jika menyebabkan kematian, meskipun tidak mewajibkannya jika berdiri sendiri. Sebab, perbuatan itu menjadi penyebab dalam qishāsh sebagaimana ia menjadi penyebab dalam jināyah. Dan karena Nabi ﷺ menegakkan qishāsh terhadap orang Yahudi yang memukul kepala seorang perempuan Anshar dengan memukul kepalanya pula.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي مَا كَانَ غَيْرَ مُوجٍ كَالْجَائِفَةِ وَالْمَأْمُومَةِ وَقَطْعِ الْأَطْرَافِ مِنْ غَيْرِ مَفْصِلٍ فَإِذَا صَارَتْ نَفْسًا جَازَ أَنْ يُقْتَصَّ مِنَ النَّفْسِ فَأَمَّا الِاقْتِصَاصُ مِنَ الجَوَائِفِ وَقَطْعِ الْأَطْرَافِ مِنْ غَيْرِ مَفْصِلٍ فَإِنْ أَرَادَهُ مَعَ عَفْوِهِ عَنِ الْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالْعَفْوِ عَنِ النَّفْسِ كَالْمُنْفَرِدِ عَنِ السِّرَايَةِ إِلَى النَّفْسِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْهُ كَالْمُنْفَرِدِ فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْهُ مَعَ الِاقْتِصَاصِ مِنَ النَّفْسِ فَفِي جَوَازِهِ قولان
Jenis kedua adalah luka yang tidak mematikan, seperti luka dalam (jā’ifah), luka yang sampai ke otak (ma’mūmah), dan pemotongan anggota tubuh selain pada persendian. Jika luka tersebut menyebabkan kematian, maka boleh dilakukan qishāsh terhadap jiwa. Adapun pelaksanaan qishāsh terhadap luka dalam dan pemotongan anggota tubuh selain pada persendian, jika korban menginginkannya bersamaan dengan memaafkan qishāsh atas jiwa, maka tidak diperbolehkan, karena dengan memaafkan qishāsh atas jiwa, hukumnya menjadi seperti kasus yang terpisah dari penyebaran luka hingga menyebabkan kematian, sehingga tidak boleh dilakukan qishāsh seperti pada kasus yang terpisah. Namun jika ingin dilakukan qishāsh bersamaan dengan qishāsh atas jiwa, maka terdapat dua pendapat mengenai kebolehannya.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ قَدْ يَعْفُو بَعْدَ الِاقْتِصَاصِ مِنْهُمَا عَنِ النَّفْسِ فَيَصِيرُ مُقْتَصًّا فِيمَا لَا قِصَاصَ فِيهِ
Salah satu pendapat, yaitu pilihan al-Muzani, tidak boleh (dilakukan), karena bisa jadi setelah pelaksanaan qishāsh terhadap keduanya dalam hal jiwa, ada pemaafan, sehingga orang yang telah dikenai qishāsh menjadi terkena qishāsh dalam perkara yang sebenarnya tidak ada qishāsh di dalamnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهَا لِدُخُولِهَا فِي النَّفْسِ فَخَالَفَتْ مَا انْفَرَدَ عَنْهَا وَلَيْسَ مَا يُتَوَهَّمُ مِنْ جَوَازِ الْعَفْوِ عَنِ النَّفْسِ مَانِعًا مِنْ دُخُولِهَا فِي حُكْمِ النَّفْسِ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ لَوْ أَرَادَ الْقِصَاصَ عَنْ نَفْسِهِ أَنْ يَعْفُوَ بَعْدَ حَزِّ رَقَبَتِهِ بِالسَّيْفِ حَزًّا لَا قِصَاصَ فِيهِ ثُمَّ يَعْفُوَ بَعْدَ فِعْلِ مَا لَا قِصَاصَ فِيهِ وَلَا يَمْنَعُ هَذَا التَّوَهُّمُ مِنْ جَوَازِ الْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ كَذَلِكَ فِي الْجَوَائِفِ وَفِي هَذَا انْفِصَالٌ عَمَّا احْتَجَّ بِهِ الْمُزَنِيُّ لِلْقَوْلِ الْأَوَّلِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh melakukan qishāsh terhadapnya karena ia termasuk dalam kategori jiwa, sehingga berbeda dengan apa yang dikecualikan darinya. Apa yang diduga sebagai kebolehan memaafkan dalam perkara jiwa tidaklah menghalangi masuknya dalam hukum jiwa, karena bisa saja seseorang yang berhak menuntut qishāsh atas dirinya memilih memaafkan setelah lehernya ditebas dengan pedang dalam tebasan yang tidak termasuk qishāsh, lalu ia memaafkan setelah melakukan sesuatu yang tidak ada qishāsh di dalamnya. Dugaan ini tidak menghalangi kebolehan qishāsh dalam perkara jiwa, demikian pula dalam kasus luka dalam (al-jawā’if). Dalam hal ini terdapat penjelasan yang memisahkan dari apa yang dijadikan dalil oleh al-Muzani untuk pendapat pertama.
فَصْلٌ
Fashl (Bagian)
قَالَ الْمُزَنِيُّ قَدْ أَبَى أَنْ يُوَالِيَ عَلَيْهِ بِالْجَوَائِفِ كَمَا يُوَالِي عليه بالنار والحجر والخنق بمثل ذلك الحبل حتى يموت ففرق بين ذلك إذا والى بها عليه وَالْقِيَاسُ عِنْدِي عَلَى مَعْنَاهُ أَنْ يُوَالِيَ عَلَيْهِ الْجَوَائِفَ وَالْكَلَامُ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ هَذَا الْجَمْعِ مِنْ وَجْهَيْنِ
Al-Muzani berkata, “Ia menolak untuk menyamakan perlakuan terhadapnya dengan luka yang menembus tubuh (al-jawā’if), sebagaimana ia menyamakannya dengan api, batu, dan pencekikan dengan tali serupa hingga mati. Maka, ia membedakan antara hal-hal tersebut jika dilakukan secara berulang-ulang kepadanya. Menurut saya, qiyās atas maknanya adalah bahwa perlakuan dengan luka yang menembus tubuh (al-jawā’if) juga dilakukan secara berulang-ulang kepadanya. Pembahasan tentang perbedaan antara penggabungan hal-hal ini ada pada dua sisi.”
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَقْتَصُّ مِنْهُ بِالْحِجَارَةِ إِذَا صَارَتْ نَفْسًا قَوْلًا وَاحِدًا وَفِي الِاقْتِصَاصِ مِنَ الجَوَائِفِ إِذَا صَارَتْ نَفْسًا قَوْلَانِ
Salah satunya adalah bahwa pelaku qishāsh dengan batu jika menyebabkan kematian adalah satu pendapat, sedangkan dalam qishāsh terhadap luka dalam yang menyebabkan kematian terdapat dua pendapat.
وَالْفَرْقُ بينهما أن الحجارة موجية فَجَازَ الِاقْتِصَاصُ بِهَا وَالْجَوَائِفُ غَيْرُ مُوجِئَةٍ فَعُدِلَ عَنْهَا
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa batu dapat menyebabkan luka berat sehingga boleh melakukan qishāsh dengannya, sedangkan luka dalam (jawā’if) tidak menyebabkan luka berat, maka tidak diterapkan qishāsh padanya.
وَالثَّانِي أَنَّ الْحِجَارَةَ يَجُوزُ أَنْ تُوَالَى إِلَى التَّلَفِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تُوَالَى الْجَوَائِفُ إِلَى التَّلَفِ قَوْلًا وَاحِدًا
Yang kedua, bahwa hukuman dengan batu (rajm) boleh dilakukan secara terus-menerus hingga menyebabkan kematian menurut salah satu pendapat, sedangkan hukuman dengan benda tajam yang menembus tubuh (jawā’if) tidak boleh dilakukan secara terus-menerus hingga menyebabkan kematian menurut satu pendapat.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ
Perbedaan antara keduanya terdapat pada dua aspek.
أَحَدُهُمَا مَا قَدَّمْنَاهُ وَأَنَّ مُوَالَاةَ الْحِجَارَةِ مُوجٍ وَمُوَالَاةُ الْجَوَائِفِ غَيْرُ مُوجٍ
Salah satunya adalah apa yang telah kami kemukakan, yaitu bahwa muwālah pada bagian-bagian yang terkena najis dari batu adalah wajib, sedangkan muwālah pada bagian-bagian rongga tubuh tidaklah wajib.
وَالثَّانِي أَنَّ لِلْحِجَارَةِ تَأْثِيرًا إِذَا أُعِيدَتْ فِي مَوَاضِعِهَا وَلَا يَجُوزُ الْعُدُولُ بِهَا إِلَى غَيْرِ مَوَاضِعِهَا وَإِنْ تَأَثَّرَتْ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ
Yang kedua, bahwa batu-batu itu memiliki pengaruh apabila dikembalikan ke tempatnya semula, dan tidak boleh memindahkannya ke tempat lain meskipun batu-batu itu telah mengalami perubahan. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan.
بَابُ الْقِصَاصِ فِي الشِّجَاجِ وَالْجِرَاحِ وَالْأَسْنَانِ وَمَنْ بِهِ نَقْصٌ أَوْ شَلَلٌ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ
Bab Qishāsh dalam Luka-luka di Kepala, Luka-luka pada Tubuh, Gigi, dan Terhadap Orang yang Memiliki Kekurangan, Lumpuh, atau Selain Itu
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْقِصَاصُ دُونَ النَّفْسِ شَيْئَانِ جُرْحٌ يُشَقُّ وَطَرَفٌ يُقْطَعُ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Qishāsh selain jiwa ada dua macam: luka yang dibelah dan anggota tubuh yang dipotong.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَى الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ وَهُوَ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ وَاجِبٌ كَوُجُوبِهِ فِي النَّفْسِ لِقَوْلِ اللَّهُ تَعَالَى وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ البقرة 194 وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ البقرة 194 وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنْفَ بِالأَنْفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ المائدة 45 فَجَمَعَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عُمُومَ الْقِصَاصِ فِيمَا اسْتُحِقَّ مِنَ الوُجُوهِ الثَّلَاثِ وَهِيَ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ وَالْقِصَاصُ فِي الْأَطْرَافِ وَالْقِصَاصُ في الجروح ولا قصاص فيما عداهما وَهِيَ ضَرْبَانِ
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan tentang qishāsh pada jiwa, dan qishāsh pada selain jiwa juga wajib sebagaimana kewajibannya pada jiwa, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan dalam qishāsh itu ada kehidupan bagimu” (al-Baqarah: 194), dan firman-Nya: “Maka barang siapa yang menyerang kalian, seranglah dia dengan serangan yang setimpal dengan apa yang dia lakukan kepada kalian” (al-Baqarah: 194), serta firman-Nya: “Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishāsh-nya” (al-Mā’idah: 45). Maka ayat ini mencakup keumuman qishāsh pada tiga bentuk yang berhak mendapatkannya, yaitu qishāsh pada jiwa, qishāsh pada anggota tubuh, dan qishāsh pada luka, dan tidak ada qishāsh selain pada ketiganya. Dan qishāsh itu terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا مَا أَوْجَبَ الْأَرْشَ دُونَ الْقِصَاصِ إِمَّا بِمُقَدَّرٍ كَالْجَائِفَةِ أَوْ بِغَيْرِ مُقَدَّرٍ كَالْحَارِضَةِ
Salah satunya adalah yang mewajibkan pembayaran arsy tanpa qishāsh, baik dengan kadar tertentu seperti luka yang menembus rongga tubuh (jā’ifah), maupun tanpa kadar tertentu seperti luka yang mengelupas kulit (hāridhah).
وَالضَّرْبُ الثَّانِي مَا لَا يُوجِبُ أَرْشًا وَلَا قِصَاصًا كَالضَّرْبِ الَّذِي لَا أَثَرَ لَهُ فِي الْجَسَدِ فَصَارَتِ الْجِنَايَاتُ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ يَجِبُ الْقِصَاصُ مِنْهَا فِي ثَلَاثَةٍ وَالْأَرْشُ فِي أَرْبَعٍ وَالْعَفْوُ عَنْهُ فِي الْخَامِسِ وَفِيهِ يَسْتَحِقُّ التَّعْزِيرَ أَدَبًا
Jenis kedua adalah (penganiayaan) yang tidak mewajibkan pembayaran arsy maupun qishash, seperti pukulan yang tidak meninggalkan bekas pada tubuh. Maka, tindak pidana (jinayah) terbagi menjadi lima bagian: qishash wajib pada tiga di antaranya, arsy pada empat di antaranya, dan pemaafan pada bagian kelima. Pada bagian ini, pelaku berhak mendapatkan ta‘zir sebagai bentuk pendidikan.
فَإِذَا ثَبَتَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ فَالْمُكَافَأَةُ فِي الْقِصَاصِ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jika ketentuan ini telah tetap, maka kesetaraan dalam qishāsh terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا فِي الْأَحْكَامِ
Salah satunya dalam hukum-hukum.
وَالثَّانِي فِي الْأَوْصَافِ
Dan yang kedua dalam hal sifat-sifat.
فَأَمَّا الْمُكَافَأَةُ فِي الْأَحْكَامِ فَهُوَ اعْتِبَارُ التَّكَافُؤِ فِي الْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ فَهَذَا مُعْتَبَرٌ فِي جَمِيعِ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَوَدُ مِنَ الأَقْسَامِ فِي النُّفُوسِ وَالْأَطْرَافِ وَالْجِرَاحِ فَإِذَا مَنَعَ الرِّقُّ وَالْكُفْرُ مِنَ القِصَاصِ فِي النَّفْسِ مَنَعَ مِنْهُ فِي الْأَطْرَافِ وَالْجِرَاحِ فَلَا يُؤْخَذُ طَرَفُ حُرٍّ وَلَا مُسْلِمٍ بِطَرَفِ عَبْدٍ وَلَا كَافِرٍ وَكَذَلِكَ فِي الْجِرَاحِ وَأَمَّا الْمُكَافَأَةُ فِي الْأَوْصَافِ فَتَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Adapun al-mukāfa’ah dalam hukum-hukum adalah mempertimbangkan kesetaraan dalam hal kebebasan dan keislaman. Hal ini menjadi pertimbangan dalam seluruh perkara yang mewajibkan qawad, baik dalam kategori jiwa, anggota tubuh, maupun luka. Maka, jika status budak dan kekafiran mencegah pelaksanaan qishāsh dalam kasus jiwa, maka keduanya juga mencegah pelaksanaan qishāsh dalam kasus anggota tubuh dan luka. Tidak diambil anggota tubuh seorang merdeka atau seorang Muslim sebagai balasan atas anggota tubuh seorang budak atau kafir, demikian pula dalam kasus luka. Adapun al-mukāfa’ah dalam sifat-sifat, maka terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا فِي الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ
Salah satunya adalah dalam keadaan sehat dan sakit.
وَالثَّانِي فِي الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ
Yang kedua adalah dalam hal penambahan dan pengurangan.
وَالثَّالِثُ فِي الصِّغَرِ وَالْكِبَرِ فَلَا يُعْتَبَرُ وَاحِدٌ مِنْ هَذِهِ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ فِي الْقِصَاصِ مِنَ النَّفْسِ فَيُقْتَص مِنَ الصَّحِيحِ بِالْمَرِيضِ وَمِنَ الْمَرِيضِ بِالصَّحِيحِ وَمِنَ الْكَامِلِ بِالْأَقْطَعِ وَمِنَ الْأَقْطَعِ بِالْكَامِلِ وَمِنَ السَّلِيمِ بِالْأَشَلِّ وَمِنَ الْأَشَلِّ بِالسَّلِيمِ وَمِنَ الْأَعْمَى بِالْبَصِيرِ وَمِنَ الْبَصِيرِ بِالْأَعْمَى وَمِنَ الْكَبِيرِ بِالصَّغِيرِ وَالْعَاقِلِ بِالْمَجْنُونِ وَلَا يَقْتَصُّ مِنَ الصَّغِيرِ وَالْمَجْنُونِ بِالْكَبِيرِ وَلَا بِالْعَاقِلِ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُمَا بِالصِّغَرِ وَالْجُنُونِ
Yang ketiga berkaitan dengan kecil dan besar, maka tidak satu pun dari tiga kategori ini dianggap dalam pelaksanaan qishāsh terhadap jiwa. Maka qishāsh dapat dilakukan terhadap orang sehat dengan orang sakit, terhadap orang sakit dengan orang sehat, terhadap orang yang anggota tubuhnya lengkap dengan orang yang terpotong anggota tubuhnya, terhadap orang yang terpotong anggota tubuhnya dengan orang yang anggota tubuhnya lengkap, terhadap orang yang sehat dengan orang yang lumpuh, terhadap orang yang lumpuh dengan orang yang sehat, terhadap orang buta dengan orang yang dapat melihat, terhadap orang yang dapat melihat dengan orang buta, terhadap orang dewasa dengan anak kecil, dan terhadap orang berakal dengan orang gila. Namun, tidak dilakukan qishāsh terhadap anak kecil dan orang gila kepada orang dewasa atau kepada orang berakal, karena tanggung jawab hukum (qalam) telah terangkat dari keduanya disebabkan oleh kecil dan gila.
وَأَمَّا الْأَطْرَافُ فَيُعْتَبَرُ فِي الْقِصَاصِ مِنْهَا السَّلَامَةُ مِنَ النُّقْصَانِ وَالزِّيَادَةِ وَلَا يُعْتَبَرُ فِيهَا الصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ وَلَا الصِّغَرُ وَالْكِبَرُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تُؤْخَذَ الْيَدُ الْكَامِلَةُ الْأَصَابِعِ بِالْيَدِ النَّاقِصَةِ الْأَصَابِعِ وَلَا الْيَدُ الزَّائِدَةُ الْأَصَابِعِ بِالْيَدِ الْكَامِلَةِ حَتَّى يَقَعَ التَّسَاوِي فِي الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ وَتُؤْخَذُ الْيَدُ الْكَبِيرَةُ بِالْيَدِ الصَّغِيرَةِ وَالْيَدُ الصَّغِيرَةُ بِالْيَدِ الْكَبِيرَةِ وَالْيَدُ الصَّحِيحَةُ بِالْيَدِ الْمَرِيضَةِ إِذَا سَلِمَتْ مِنْ شَلَلٍ وَيَأْخُذُ الْيَدَ الْمَرِيضَةَ إِذَا سَلِمَتْ مِنْ شَلَلٍ بِالْيَدِ الصَّحِيحَةِ وَلَا تُؤْخَذُ سَلِيمَةٌ بِشَلَّاءَ وَتُؤْخَذُ الشَّلَّاءُ بِالسَّلِيمَةِ إِذَا رضى مستحق القصاص بها
Adapun anggota tubuh, dalam pelaksanaan qishāsh terhadapnya disyaratkan adanya kesamaan dalam hal tidak ada kekurangan maupun kelebihan. Tidak disyaratkan kesamaan dalam hal sehat atau sakit, juga tidak dalam hal kecil atau besar. Maka tidak boleh mengambil tangan yang lengkap jarinya sebagai balasan atas tangan yang kurang jarinya, dan tidak pula tangan yang lebih jarinya sebagai balasan atas tangan yang lengkap, kecuali jika terdapat kesetaraan dalam kelebihan dan kekurangannya. Tangan yang besar dapat diqishāsh dengan tangan yang kecil, dan tangan yang kecil dengan tangan yang besar, serta tangan yang sehat dengan tangan yang sakit selama tidak lumpuh. Begitu pula tangan yang sakit selama tidak lumpuh dapat diqishāsh dengan tangan yang sehat. Tidak boleh tangan yang sehat diqishāsh dengan tangan yang lumpuh, namun tangan yang lumpuh dapat diqishāsh dengan tangan yang sehat jika pihak yang berhak atas qishāsh merelakannya.
وأما الجراح فيعتبر في القصاص فيها الصغر والكبر والزيادة والنقصان فلا يؤخذ بالصغير إلا صغيراً وبالناقص إلا ناقصاً وبالكبير إلا كبيراً على ما سنذكره
Adapun luka, dalam qishāsh terhadapnya diperhatikan ukuran kecil, besar, penambahan, dan pengurangan; maka tidak diqishāsh luka kecil kecuali dengan luka kecil, dan luka yang kurang kecuali dengan yang kurang, serta luka besar kecuali dengan yang besar, sebagaimana akan dijelaskan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِذَا شَجَّهُ مُوضِحَةً فَبَرِئَ حُلِقَ مَوْضِعُهَا مِنْ رَأْسِ الشَّاجِّ ثُمَّ شُقَّ بِحَدِيدَةٍ قَدْرَ عَرْضِهَا وطولها فإن أخذت رأس الشاج كله وبقي شيء منه أخذ منه أرشه
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang melukai kepala orang lain hingga tampak tulangnya (mudhiḥah), lalu sembuh, maka bagian yang terluka pada kepala pelaku dicukur, kemudian dibelah dengan besi seukuran lebar dan panjang luka tersebut. Jika seluruh kepala pelaku sudah diambil (dilukai) dan masih tersisa sebagian dari luka korban, maka diambil diyat (ganti rugi) untuk bagian yang tersisa itu.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَإِذَا قَدْ مَضَى الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ فَمَا دُونَهَا ضَرْبَانِ طَرَفٌ يُقْطَعُ بِطَرَفٍ وَجُرْحٌ يُشَقُّ بِجُرْحٍ
Al-Mawardi berkata, “Apabila qishāsh telah berlaku pada jiwa, maka pada selain jiwa terdapat dua macam: anggota tubuh yang dibalas dengan anggota tubuh, dan luka yang dibalas dengan luka.”
فَأَمَّا الْقِصَاصُ فِي الْأَطْرَافِ فَقَدْ مَضَى وُجُوبُهُ وَسَيَأْتِي اسْتِيفَاؤُهُ
Adapun qishāsh pada anggota tubuh, maka kewajibannya telah dijelaskan dan cara pelaksanaannya akan dibahas selanjutnya.
وَأَمَّا الْجِرَاحُ فَقَدَّمَ الشَّافِعِيُّ فِيهِ شِجَاجَ الرَّأْسِ وَهِيَ إِحْدَى عَشْرَةَ شَجَّةً فِي قَوْلِ الْأَكْثَرِينَ الْحَارِصَةُ
Adapun mengenai luka, Imam Syafi‘i mendahulukan pembahasan tentang luka-luka di kepala, yaitu sebelas jenis luka menurut pendapat mayoritas ulama, dimulai dari al-hārishah.
وَالدَّامِيَةُ
Dan (darah) yang mengalir.
والدامغة
Dan dalil-dalil yang bersifat mematahkan (argumen lawan).
وَالْبَاضِعَةُ
Wanita yang membedah.
وَالْمُتَلَاحِمَةُ
Yang saling melekat.
وَالسِّمْحَاقُ
As-simḥāq.
وَالْمُوضِحَةُ
Al-mudhihah.
وَالْهَاشِمَةُ
Al-hāshimah.
وَالْمُنَقِّلَةُ
Dan al-munaqqilah.
وَالْمَأْمُومَةُ
Makmum perempuan
وَالدَّامِغَةُ
Dan yang membantah secara telak.
فَأَمَّا الْحَارِصَةُ فَهِيَ الَّتِي تَحْرِصُ جِلْدَ الرَّأْسِ أَيْ تَكْشِطُهُ وَلَا تُدْمِيهِ مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِمْ حَرَصَ الْقَصَّارُ الثَّوْبَ إِذَا شَقَّهُ
Adapun al-ḥāriṣah adalah yang mengikis kulit kepala, yaitu mengelupasnya tanpa membuatnya berdarah, diambil dari ucapan mereka: “ḥaraṣa al-qaṣṣār al-thawb” jika ia merobek kain.
ثُمَّ تَلِيهَا الدَّامِيَةُ وَهِيَ الَّتِي تَخْدِشُ الْجِلْدَ حَتَّى يُدْمى وَلَا يَجْرِي
Kemudian setelah itu adalah luka yang mengeluarkan darah, yaitu luka yang menggores kulit hingga berdarah, namun darahnya tidak mengalir.
ثم تليها الدامغة وَهِيَ الَّتِي يَجْرِي دَمُهَا كَجَرَيَانِ الدُّمُوعِ
Kemudian setelah itu adalah damighah, yaitu hewan yang darahnya mengalir seperti mengalirnya air mata.
ثُمَّ تَلِيهَا الْبَاضِعَةُ وَهِيَ الَّتِي تَبْضَعُ اللَّحْمَ أَيْ تَشُقُّهُ
Kemudian setelahnya adalah al-bādi‘ah, yaitu yang membelah daging, maksudnya yang membukanya.
ثُمَّ تَلِيهَا الْمُتَلَاحِمَةُ وَهِيَ الَّتِي تَغُوصُ فِي اللَّحْمِ وَقَدْ يُسَمِّيهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ الْبَاذِلَةُ لِأَنَّهَا تَبْذُلُ أَيْ يُشَقُّ فِيهَا اللَّحْمُ وَيُحْتَمَلُ أن تكون البازلة بَيْنَ الْبَاضِعَةِ وَالْمُتَلَاحِمَةِ وَهِيَ الَّتِي يَتَبَذَّلُ الدَّمُ مِنْهَا فَتَكُونُ أَقْوَى مِنَ الدَّامِغَةِ لِأَنَّ دَمَ الْبَاذِلَةِ مَا اتَّصَلَ وَدَمَ الدَّامِغَةِ مَا انْقَطَعَ وَهَذَا أَشْبَهُ بِالْمَعْنَى وَالِاشْتِقَاقِ فَيَصِيرُ الشِّجَاجُ عَلَى هَذَا اثْنَتَيْ عَشْرَةَ شَجَّةً
Kemudian setelah itu adalah al-mutalāḥimah, yaitu luka yang menembus ke dalam daging. Penduduk Madinah kadang menyebutnya al-bādzilah, karena luka ini “memberikan” maksudnya dagingnya terbelah. Ada kemungkinan bahwa al-bādzilah berada di antara al-bāḍi‘ah dan al-mutalāḥimah, yaitu luka yang mengalirkan darah darinya, sehingga lebih kuat daripada ad-dāmighah, karena darah pada al-bādzilah masih mengalir, sedangkan darah pada ad-dāmighah sudah terputus. Ini lebih sesuai dengan makna dan asal katanya. Maka, menurut ini, jenis luka menjadi dua belas macam.
ثُمَّ تَلِيهَا السِّمْحَاقُ وَهِيَ الَّتِي تَسْتَوْعِبُ جَمِيعَ اللَّحْمِ حَتَّى تَصِلَ إِلَى سِمْحَاقِ الرَّأْسِ وَهِيَ جِلْدَةٌ رَقِيقَةٌ تَغْشَى عَظْمَ الرَّأْسِ مَأْخُوذَةٌ مِنْ سَمَاحِيقِ الْبَطْنِ وَهُوَ الشَّحْمُ الرَّقِيقُ وَغَيْرُ سَمَاحِيقَ إِذَا كَانَ رَقِيقًا وَقَدْ يُسَمِّيهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ الْبلْطَاء وَمِنْهُمْ مَنْ جَعَلَهَا بَيْنَ الْمُتَلَاحِمَةِ وَالسِّمْحَاقِ فَيَصِيرُ الشِّجَاجُ ثَلَاثَ عَشْرَةَ شَجَّةً
Kemudian setelah itu adalah simḥāq, yaitu luka yang mengenai seluruh daging hingga mencapai simḥāq kepala, yaitu lapisan kulit tipis yang menutupi tulang kepala, diambil dari kata samāḥīq al-baṭn yang berarti lemak tipis, dan selain samāḥīq jika tipis. Penduduk Madinah menyebutnya al-bilṭā’, dan ada juga yang menempatkannya di antara al-mutalāḥimah dan simḥāq, sehingga jumlah jenis luka kepala menjadi tiga belas.
ثُمَّ تَلِيهَا الْمُوضِحَةُ وَهِيَ الَّتِي تُوضِحُ عَظْمَ الرَّأْسِ حَتَّى يَظْهَرَ
Kemudian setelah itu adalah al-mudhihah, yaitu luka yang menampakkan tulang kepala hingga terlihat.
ثُمَّ تَلِيهَا الْهَاشِمَةُ وَهِيَ الَّتِي تَزِيدُ عَلَى الْمُوضِحَةِ حَتَّى تَهْشِمَ الْعَظْمَ أَيْ تَكْسِرُهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَجْعَلُ بين الموضحة والهاشمة شجة تسمى المفرشة وهي الَّتِي إِذَا أَوْضَحَتْ صَدَعَتِ الرَّأْسَ وَلَمْ تُهَشِّمْهُ فَيَصِيرُ شِجَاجُ الرَّأْسِ عَلَى هَذَا أَرْبَعَ عَشْرَةَ شَجَّةً
Kemudian setelah itu adalah al-hāshimah, yaitu luka yang melebihi al-mūdhihah hingga menghancurkan tulang, yaitu mematahkannya. Sebagian ulama ada yang menambahkan antara al-mūdhihah dan al-hāshimah satu jenis luka yang disebut al-mufarrisyah, yaitu luka yang jika telah menampakkan tulang, membelah kepala namun tidak menghancurkannya. Maka, berdasarkan pendapat ini, jenis luka di kepala menjadi empat belas macam.
ثُمَّ تَلِيهَا الْمُنَقِّلَةُ وَهِيَ الَّتِي تَزِيدُ عَلَى الْهَاشِمَةِ بِنَقْلِ الْعِظَامِ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ
Kemudian setelah itu adalah al-munaqqilah, yaitu cedera yang melebihi al-hāshimah dengan memindahkan tulang dari satu tempat ke tempat lain.
ثُمَّ تَلِيهَا الْمَأْمُومَةُ وَيُقَالُ لَهَا الْأمَّةُ وَهِيَ الَّتِي تَصِلُ إِلَى أُمِّ الدِّمَاغِ وَهِيَ جِلْدَةٌ رَقِيقَةٌ مُحِيطَةٌ بِالدِّمَاغِ ثُمَّ تَلِيهَا الدَّامِغَةُ وَهِيَ الَّتِي خَرَقَتْ غِشَاوَةَ الدِّمَاغِ حَتَّى وَصَلَتْ إِلَى مُخِّهِ
Kemudian setelah itu adalah al-ma’mūmah, yang juga disebut al-ummāh, yaitu luka yang sampai ke selaput otak. Ia adalah lapisan tipis yang melingkupi otak. Setelah itu adalah al-dāmighah, yaitu luka yang menembus selaput otak hingga mencapai sumsum otak.
فَهَذِهِ إِحْدَى عَشْرَةَ شَجَّةً فِي قَوْلِ الْأَكْثَرِينَ مِنْهَا سِتَّةٌ قَبْلَ الْمُوضِحَةِ وَأَرْبَعَةٌ بَعْدَهَا وَهِيَ أَرْبَعَ عَشْرَةَ شَجَّةً فِي قَوْلِ آخَرِينَ مِنْهَا ثَمَانِيَةُ قَبْلَ الْمُوضِحَةِ وَخَمْسَةٌ بَعْدَهَا وَلَيْسَ فِيمَا قَبْلَ الْمُوضِحَةِ قِصَاصٌ وَلَا أَرْشٌ مُقَدَّرٌ وَفِيهَا حُكُومَةٌ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فِيمَا بَعْدُ وَلَيْسَ فِيمَا بَعْدَ الْمُوضِحَةِ قِصَاصٌ وَفِيهَا أَرْشٌ مُقَدَّرٌ إِلَّا الْمُفَرِّشَةُ عَلَى قَوْلِ مَنْ زَادَهَا فَفِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْمُوضِحَةِ مِنْهَا حُكُومَةٌ غَيْرُ مُقَدَّرَةٍ
Ini adalah sebelas jenis luka di menurut pendapat mayoritas ulama; enam di antaranya sebelum al-mudhihah dan empat setelahnya. Menurut pendapat lain, jumlahnya ada empat belas jenis luka; delapan di antaranya sebelum al-mudhihah dan lima setelahnya. Tidak ada qishash maupun diyat yang ditetapkan untuk luka-luka sebelum al-mudhihah, melainkan hanya ada penilaian (hukūmah) sebagaimana akan dijelaskan nanti. Adapun luka-luka setelah al-mudhihah, tidak ada qishash, tetapi ada diyat yang ditetapkan, kecuali al-mufarrishah menurut pendapat yang menambahkannya; adapun tambahan atas al-mudhihah di antaranya hanya ada penilaian (hukūmah) yang tidak ditetapkan kadarnya.
فَأَمَّا الْمُوضِحَةُ فَيَجْتَمِعُ فِيهَا الْقِصَاصُ إِنْ شَاءَ وَالْأَرْشُ الْمُقَدَّرُ إِنَّ عُدِلَ إِلَيْهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فَصَارَتِ الشِّجَاجُ مُنْقَسِمَةً عَلَى هَذِهِ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ
Adapun al-mudhihah, maka padanya terkumpul qishāsh jika pelaku menghendaki, dan diyat yang telah ditetapkan jika dialihkan kepadanya, sebagaimana akan kami sebutkan. Dengan demikian, luka-luka kepala terbagi menjadi tiga bagian ini.
قِسْمٌ لَا قِصَاصَ فِيهِ وَلَا يَتَقَدَّرُ أَرْشُهُ وَهُوَ مَا قَبْلَ الْمُوضِحَةِ وَيَجِبُ فِيهِ حُكُومَةٌ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ حُكْمِهَا
Bagian yang tidak ada qishāsh di dalamnya dan tidak ditentukan besaran diyatnya adalah luka yang berada sebelum sampai pada tingkat mudhihah, dan dalam hal ini wajib dikenakan hukūmah, sebagaimana akan dijelaskan nanti mengenai ketentuannya.
وَقِسْمٌ لَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَيَتَقَدَّرُ أَرْشُهُ وَهُوَ بَعْدَ الْمُوضِحَةِ فَيَجِبُ فِي الْهَاشِمَةِ عَشْرٌ مِنَ الإِبِلِ وَفِي الْمُنَقِّلَةِ خَمْسَةَ عَشَرَ بَعِيرًا وَفِي الْمَأْمُومَةِ ثُلْثُ الدِّيَةِ ثَلَاثَةٌ وَثَلَاثُونَ بَعِيرًا وَثُلُثٌ وَكَذَلِكَ فِي الدَّامِغَةِ وَكِتَابُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ يَجْعَلُ الدَّامِغَةَ وَالْمَأْمُومَةَ سَوَاءً وَيَجْعَلُهَا الدَّامِغَةَ غَيْرَ مُعَمَّمَةٍ وَهِيَ الثَّالِثَةُ الَّتِي تَلِي الدَّامِيَةَ وَلِقَوْلِهِ وَجْهٌ لِأَنَّهَا لَوْ زَادَتْ عَلَى الْمَأْمُومَةِ لَزَادَتْ عَلَى أَرْشِهَا
Dan ada bagian yang tidak wajib qishāsh di dalamnya, tetapi ditetapkan besaran diyatnya, yaitu setelah luka mudhihah. Maka wajib pada luka hasyimah sepuluh ekor unta, pada luka munqillah lima belas ekor unta, pada luka ma’mūmah sepertiga diyat, yaitu tiga puluh tiga ekor unta dan sepertiganya, demikian pula pada luka dāmighah. Kitab Abu al-‘Abbas Ibn Surayj menyamakan antara luka dāmighah dan ma’mūmah, dan menjadikan dāmighah sebagai luka yang tidak mengenai seluruh kepala, yaitu yang ketiga setelah luka dāmiyah. Dan menurut pendapatnya, ada sisi alasan, karena jika luka dāmighah melebihi ma’mūmah, maka diyatnya pun akan melebihi besaran diyat ma’mūmah.
وَقِسْمٌ يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَيَتَقَدَّرُ أَرْشُهُ وَهُوَ الْمُوضِحَةُ يَجِبُ فِيهَا خَمْسٌ مِنَ الإِبِلِ
Dan ada bagian yang wajib dikenakan qishāsh dan ditetapkan nilai kompensasinya, yaitu luka muḍīḥah, yang wajib padanya adalah lima ekor unta.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا أَرَادَ القصاص من الموضحة فيقدر اعتباراها من رأس المشجوج فَاعْتُبِرَ فِيهَا ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ
Maka apabila ingin melakukan qishāsh terhadap luka yang menyingkap tulang (mudhihah), maka luka itu diukur dengan mempertimbangkan letaknya dari kepala orang yang terluka, dan dalam hal ini dipertimbangkan tiga hal.
أَحَدُهَا مَوْضِعُهَا مِنْ رَأْسِهِ هَلْ هِيَ فِي مُقَدَّمِه أَوْ مُؤَخَّرِهِ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ يَسَارِهِ وَفِي يَافُوخِهِ أَوْ فِي هَامَتِهِ أَوْ قَرَعَتِهِ لِاسْتِحْقَاقِ الْمُمَاثَلَةِ فِي مَحَلِّهَا فَلَا يُؤْخَذُ مُقَدَّمٌ بِمُؤَخَّرٍ وَلَا مُؤَخَّرٌ بِمُقَدَّمٍ وَلَا يُمْنَى بِيُسْرَى كَمَا لا يؤخذ يمنى اليدين يسراها
Salah satunya adalah letak (bagian) di kepala, apakah berada di bagian depan, belakang, kanan, kiri, di ubun-ubun, di puncak kepala, atau di bagian kepala yang botak, karena harus ada kesesuaian pada tempatnya. Maka, tidak boleh diambil bagian depan sebagai ganti bagian belakang, atau sebaliknya, dan tidak boleh bagian kanan diganti dengan bagian kiri, sebagaimana tidak boleh tangan kanan diganti dengan tangan kiri.
وَالثَّانِي أَنْ يُقَدَّرَ مَا بَيْنَ طَرَفَيْهَا طُولًا لِئَلَّا يُزَادَ عَلَيْهَا أَوْ يُنْقَصَ مِنْهَا لِأَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَيْهَا عُدْوَانٌ وَالنَّقْصَ مِنْهَا بَخْسٌ
Kedua, hendaknya diukur jarak antara kedua ujungnya secara panjang agar tidak ditambah atau dikurangi darinya, karena penambahan atasnya merupakan tindakan melampaui batas, dan pengurangan darinya adalah pengurangan hak.
وَالثَّالِثُ أَنْ يُقَدَّرَ مَا بَيْنَ جَانِبَيْهَا عَرْضًا لِأَنَّهُ قد يوضح بالشي الْغَلِيظِ فَتُعَوَّضُ الْمُوِضِحَةُ وَيُوضَعُ بِالشَّيْءِ الدَّقِيقِ فَيَقِلُّ عَرْضُهَا فَيُعْتَبَرُ مِنْ مُوضِحِهِ الْمَشْجُوجِ لِهَذِهِ الْأُمُورِ الثَّلَاثَةِ وَلَا يُعْتَبَرُ عُمْقُهَا لِأَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الموضحة الْوُصُولُ إِلَى الْعَظْمِ فَسَقَطَ اعْتِبَارُ الْعُمْقِ لِأَنَّهُ قَدْ تَغْلُظُ جِلْدَةُ الرَّأْسِ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ وترق من آخر فصار عتق الرَّأْسِ فِي سُقُوطِ اعْتِبَارِهِ جَارِيًا مَجْرَى مِسَاحَةِ الْأَطْرَافِ الَّتِي لَا تُعْتَبَرُ فِي الْقِصَاصِ ثُمَّ يُعْدَلُ بَعْدَ ذَلِكَ إِلَى الشِّجَاجِ فَيُحْلَقُ شَعْرُ رَأْسِهِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَشْجُوجُ أَشْعَرَ أَوْ مَحْلُوقًا لِأَنَّ الْمُمَاثَلَةَ فِي اسْتِيفَاءِ الْقِصَاصِ لَا تَتَحَقَّقُ إِلَّا بِمَعْرِفَةِ مَوْضِعِهَا عَنْ رَأْسِ الْمُقْتَصِّ مِنْهُ فَيُعْلَمُ فِي رَأْسِ الشَّاجِّ مَا قَدَّمْنَا اعْتِبَارَهُ مِنْ رَأْسِ الْمَشْجُوجِ وَهُوَ مَوْضِعُهَا وَطُولُهَا وَعَرْضُهَا وَيُخَطُّ عَلَيْهِ بِسَوَادٍ أَوْ حُمْرَةٍ وَيُبْضَعُ الْقِصَاصُ بِالْمُوسَى وَلَمْ يُضْرَبْ بِالسَّيْفِ وَإِنْ كَانَ الْجَانِي شَجَّ بِالسَّيْفِ؛ لِأَنَّ ضَرْبَ السَّيْفِ رُبَّمَا هَشَّمَ وَلَا يَسْتَوْفِيهِ الْمَشْجُوجُ بِنَفْسِهِ وَيَسْتَنِيبُ فِيهِ مَنْ يُؤْمَنُ تَعَدِّيهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَنِبْ نَدَبَ الْإِمَامُ مَأْمُومًا يَنُوبُ عَنْهُ فِي اسْتِيفَائِهِ
Ketiga, harus ditentukan ukuran lebar antara kedua sisinya, karena kadang-kadang luka itu dibuat dengan benda yang tebal sehingga luka menjadi jelas, dan kadang-kadang dibuat dengan benda yang tipis sehingga lebarnya menjadi sedikit. Maka yang dijadikan ukuran adalah luka yang jelas pada orang yang terluka karena tiga hal ini, dan tidak diperhitungkan kedalamannya, karena yang dimaksud dalam luka yang jelas (al-mudhihah) adalah sampai ke tulang, sehingga tidak perlu memperhitungkan kedalamannya, sebab kulit kepala pada sebagian orang bisa tebal dan pada sebagian lain bisa tipis, sehingga tipisnya kulit kepala dalam tidak diperhitungkannya kedalaman itu seperti halnya luas anggota badan yang tidak diperhitungkan dalam qishāsh. Kemudian setelah itu beralih kepada luka-luka di kepala, maka rambut kepala orang yang terluka dicukur, baik yang terluka itu berambut atau sudah dicukur, karena kesamaan dalam pelaksanaan qishāsh tidak dapat terwujud kecuali dengan mengetahui letak lukanya pada kepala orang yang menjadi korban, sehingga dapat diketahui pada kepala pelaku apa yang telah dijadikan ukuran pada kepala korban, yaitu letaknya, panjangnya, dan lebarnya, lalu diberi tanda dengan warna hitam atau merah, dan pelaksanaan qishāsh dilakukan dengan pisau, tidak dengan pedang, meskipun pelaku melukai dengan pedang; karena pukulan pedang bisa saja meremukkan, dan korban tidak dapat melakukannya sendiri, maka ia boleh mewakilkan kepada orang yang dipercaya tidak akan melampaui batas. Jika ia tidak mewakilkan, maka imam menganjurkan seseorang yang dapat mewakilinya dalam pelaksanaan qishāsh tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا يُعْتَبَرُ فِي الِاقْتِصَاصِ فِيهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَنْ تَكُونَ فِي بَعْضِ الرَّأْسِ أَوْ فِي جَمِيعِهِ
Maka apabila telah ditetapkan apa yang menjadi pertimbangan dalam qishāsh padanya, keadaannya tidak lepas dari kemungkinan terjadi pada sebagian kepala atau pada seluruhnya.
فَإِنْ كَانَتْ فِي بَعْضِهِ اقْتُصَّ بِقَدْرِهَا فِي مَحَلِّهَا مِنْ رَأْسِ الشَّاجِّ وَإِنْ كَانَتْ فِي جَمِيعِهِ قَدْ أَخَذَتْ طُولًا مَا بَيْنَ الْجَبْهَةِ وَالْقَفَا وَأَخَذَتْ عَرْضًا مَا بَيْنَ الْأُذُنَيْنِ لَمْ يَخْلُ رَأْسُ الشَّاجِّ وَالْمَشْجُوجِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Jika luka itu hanya mengenai sebagian kepala, maka dilakukan qishāsh (pembalasan setimpal) sesuai kadar luka tersebut pada bagian yang sama dari kepala orang yang melukai. Namun jika luka itu mengenai seluruh kepala, memanjang dari dahi hingga tengkuk dan melebar dari telinga ke telinga, maka kepala orang yang melukai dan yang terluka tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَتَمَاثَلَ رَأْسَاهُمَا فِي الطُّولِ وَالْعَرْضِ فَاسْتِيعَابُ الْقِصَاصِ مُمْكِنٌ فَإِذَا كَانَتْ طُولًا مَا بَيْنَ الْجَبْهَةِ وَالْقَفَا اقْتُصَّ مِنَ الشَّاجِّ طُولُ رَأْسِهِ مِنْ جبهته إلى قفاه واختلف أصحابنا في هذه الْقِصَاصِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Salah satunya adalah kedua kepala pelaku dan korban memiliki kesamaan dalam panjang dan lebar, sehingga pelaksanaan qishāsh memungkinkan. Jika ukuran antara dahi dan tengkuk sama panjang, maka pelaku dilaksanakan qishāsh sepanjang kepala dari dahinya hingga tengkuknya. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai pelaksanaan qishāsh ini menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يُبْدَأُ بِهِ مِنَ المَوْضِعِ الَّذِي بَدَأَ بِهِ الْجَانِي إِمَّا مِنْ نَاحِيَةِ الْجَبْهَةِ أَوِ الْقَفَا لِيُمَاثِلَ فِي الِابْتِدَاءِ كَمَا يُمَاثِلُ فِي الِاسْتِيفَاءِ فَإِنْ أَشْكَلَ رُجِعَ إِلَى الْجَانِي دُونَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ
Salah satunya adalah bahwa pelaksanaan dimulai dari tempat yang sama dengan tempat pelaku memulai, baik dari arah dahi maupun belakang kepala, agar terdapat kesesuaian dalam permulaan sebagaimana terdapat kesesuaian dalam pelaksanaan. Jika terjadi kesamaran, maka dikembalikan kepada pelaku, bukan kepada korban.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ وَبِهِ قَالَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْمُسْتَوْفَى لَهُ الْقِصَاصُ مُخَيَّرٌ فِي الِابْتِدَاءِ بِأَيِّ الْمَوْضِعَيْنِ شَاءَ لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ بَعْضِهَا فِي أَيِّ الْمَوْضِعَيْنِ شَاءَ
Pendapat kedua, yang lebih shahih dan dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama mazhab kami, adalah bahwa pihak yang berhak mendapatkan qishāsh diberi pilihan pada awalnya untuk memulai dari salah satu dari dua tempat mana pun yang ia kehendaki, karena ia memang berhak melakukan qishāsh pada sebagian dari keduanya di tempat mana pun yang ia inginkan.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ رَأْسُ الْمَشْجُوجِ أَصْغَرَ مِنْ رَأْسِ الشَّاجِّ فَيستوْفي بِمِقْدَارِهَا مِنْ رَأْسِ الشَّاجِّ وَيُتْرَكُ لَهُ بَاقِي رَأْسِهِ بَعْدَ اسْتِيفَاءِ مِقْدَارِ رَأْسِ الْمَشْجُوجِ
Bagian kedua adalah apabila kepala orang yang terluka (al-mashjūj) lebih kecil daripada kepala pelaku (as-syājj), maka diambil bagian yang seukuran dari kepala pelaku sesuai dengan ukuran kepala orang yang terluka, dan sisanya dari kepala pelaku setelah diambil seukuran kepala orang yang terluka dibiarkan untuknya.
مِثَالُهُ أَنْ يَكُونَ طُولُ رَأْسِ الشَّاجِّ عِشْرِينَ أصْبعا وَطُولُ رَأْسِ الْمَشْجُوجِ خَمْسَةَ عَشَرَ أصْبعا فَيُقْتَصُّ مِنْ رَأْسِ الشَّاجِّ قَدْرَ خَمْسَةَ عَشَرَ أصْبعا وَيَبْقَى مِنْ رَأْسِهِ مِقْدَارَ خَمْسِ أَصَابِعَ لَا قِصَاصَ عَلَيْهِ فِيهَا لِفَضْلِهَا بَعْدَ اسْتِيفَاءِ الْقِصَاصِ وَيَكُونُ مَحَلُّ هَذَا الْمَتْرُوكِ بِنَاءً عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الوَجْهَيْنِ فِي الِابْتِدَاءِ بِمَوْضِعِ الْقِصَاصِ
Contohnya adalah apabila panjang kepala pelaku luka adalah dua puluh jari, sedangkan panjang kepala korban luka adalah lima belas jari, maka diambil qishāsh dari kepala pelaku luka sebanyak lima belas jari, dan tersisa dari kepalanya sebanyak lima jari yang tidak dikenai qishāsh karena kelebihannya setelah pelaksanaan qishāsh. Adapun tempat bagian yang ditinggalkan ini didasarkan pada apa yang telah kami sebutkan sebelumnya dari dua pendapat dalam memulai pada tempat pelaksanaan qishāsh.
فَإِنْ قِيلَ بِالْوَجْهِ الْأَوَّلِ إِنَّهُ يُبْدَأُ فِي الْقِصَاصِ بِالْمَوْضِعِ بِدَايَةَ الْجَانِي نُظِرَ فَإِنْ بدأ بِمُقَدَّمِ الرَّأْسِ كَانَ الْمَتْرُوكُ مِنْ مُؤَخَّرِهِ وَإِنْ بدأ بِمُؤَخَّرِهِ كَانَ الْمَتْرُوكُ مِنْ مُقَدَّمِهِ
Jika dikatakan menurut pendapat pertama bahwa dalam pelaksanaan qishāsh dimulai dari bagian tubuh pelaku yang menjadi awal (bagian yang terkena), maka diperhatikan: jika dimulai dari bagian depan kepala, maka bagian yang tersisa adalah dari bagian belakangnya; dan jika dimulai dari bagian belakangnya, maka bagian yang tersisa adalah dari bagian depannya.
وَإِنْ قِيلَ بِالْوَجْهِ الثَّانِي الَّذِي هُوَ أَصَحُّ إِنَّ الْمُقْتَصَّ لَهُ مُخَيَّرٌ فِي الِابْتِدَاءِ بِأَيِّ الْمَوْضِعَيْنِ شَاءَ كَانَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ ثلاثة أحوال
Dan jika dikatakan dengan pendapat kedua yang lebih sahih, bahwa pihak yang dizalimi (yang berhak melakukan qishāsh) diberi pilihan dalam memulai dari salah satu dari dua tempat mana pun yang ia kehendaki, maka ia memiliki pilihan di antara tiga keadaan.
إِمَّا أَنْ يَسْتَوْفِيَ قِصَاصَهُ مِنْ مُقَدَّمِ الرَّأْسِ وَيَتْرُكَ فَاضِلَهُ مِنْ مُؤَخَّرِهِ أَوْ يَسْتَوْفِيَهُ مِنْ مُؤَخَّرِهِ وَيَتْرُكَ فَاضِلَهُ مِنْ مُؤَخَّرِهِ أَوْ يَسْتَوْفِيَهُ من مؤخره وبترك فَاضِلَهُ مِنْ مُقَدَّمِهِ أَوْ يَسْتَوْفِيَهُ مِنْ وَسَطِهِ وَيَتْرُكَ فَاضِلَهُ مِنْ مُقَدَّمِهِ وَمُؤَخَّرِهِ فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ مِنْ طَرَفَيْهِ وَيَتْرُكَ فَاضِلَهُ مِنْ وَسَطِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ إِذَا فُصِلَ بَيْنَهُمَا صَارَتَا مُوضِحَتَيْنِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْ مُوضِحَةٍ بِمُوضِحَتَيْنِ وَيَجِيءُ عَلَى تَخْرِيجِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي دِيَةِ هَذَا الْقَاتِلِ أن يَجُوز لَهُ ذَلِكَ لِيَجْرِيَ عَلَى كُلِّ مَوْضِعٍ من الجناية حكم الموضحة وليس بصحيح لما ذَكَرْنَاهُ مِنَ التَّعْلِيلِ
Bisa saja ia menuntut qishāsh dari bagian depan kepala dan meninggalkan sisanya di bagian belakang, atau menuntutnya dari bagian belakang dan meninggalkan sisanya di bagian belakang, atau menuntutnya dari bagian belakang dan meninggalkan sisanya di bagian depan, atau menuntutnya dari bagian tengah dan meninggalkan sisanya di bagian depan dan belakang. Namun, jika ia ingin menuntutnya dari kedua sisi dan meninggalkan sisanya di bagian tengah, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena jika dipisahkan antara keduanya maka akan menjadi dua luka muwaddiḥah, dan tidak boleh qishāsh dari satu muwaddiḥah dengan dua muwaddiḥah. Menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dalam masalah diyat pembunuh ini, hal itu diperbolehkan agar pada setiap bagian tindak pidana berlaku hukum muwaddiḥah, namun pendapat ini tidak benar karena alasan yang telah kami sebutkan.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ رَأْسُ الْمَشْجُوجِ أَكْبَرَ مِنْ رَأْسِ الشَّاجِّ
Bagian ketiga adalah apabila kepala orang yang terluka lebih besar daripada kepala orang yang melukai.
مِثَالُهُ أَنْ يَكُونَ طُولُ رَأْسِ الْمَشْجُوجِ عِشْرِينَ أصْبعا وَطُولُ رَأْسِ الشَّاجِّ خَمْسَةَ عَشْرَةَ أصْبعا فَيَسْتَوْعِبُ فِي الِاقْتِصَاصِ طُولَ رَأْسِ الشَّاجِّ وَقَدْرُهُ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْمُوضِحَةِ فَلَا يَسْتَوْفِي الرُّبْعَ الْبَاقِيَ مِنَ الجَبْهَةِ وَلَا مِنَ القَفَا وَلَا يَخْرُجُ مِنَ الرَّأْسِ لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ فِي غَيْرِ مَحَلِّ الْقِصَاصِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ فِي مُوضِحَةِ الْوَجْهِ مِنَ الرَّأْسِ وَلَا فِي مُوضِحَةِ الرَّأْسِ مِنَ الوَجْهِ وَيُرْجَعُ عَلَى الْجَانِي بِقِسْطِ ذَلِكَ مِنْ أَرْشِ الْمُوضِحَةِ وَهُوَ رُبْعُ أَرْشِهَا لِأَنَّ الْبَاقِيَ مِنْهَا رُبْعُهَا وَلَوْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهَا ثُلْثَهَا رَجَعَ بِثُلْثِ أَرْشِهَا وَخَرَّجَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ احْتِمَالَ وَجْهٍ ثَانٍ أَنَّهُ يَرْجِعُ عَنِ الْبَاقِي مِنْهَا بِجَمِيعِ أَرْشِ الْمُوِضِحَةِ لِأَنَّ أَرْشَ الْمُوضِحَةِ يَكْمُلُ فِيمَا قَلَّ مِنْهَا وَكَثُرَ وَهَذَا فَاسِدٌ وَالْفَصْلُ فِيهَا أَنَّ اسْمَ الْمُوضِحَةِ يَنْطَلِقُ عَلَى صَغِيرِهَا وَكَبِيرِهَا فَاسْتَوَى الْأَرْشُ فِي جَمِيعِهَا وَلَا يَنْطَلِقُ عَلَى الْبَاقِي مِنْ هَذِهِ الْمُوضِحَةِ اسْمُ الْمُوضِحَةِ وَإِنَّمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ بَعْضِهَا فَلَمْ يُسْتَحَقَّ فِيهِ إِلَّا بَعْضُ أَرْشِهَا وَهَكَذَا لَوْ كَانَتْ مُوضِحَةُ الْمَشْجُوجِ بَيْنَ قَرْنَيْ رَأْسِهِ وَكَانَ مَا بَيْنَ قَرْنَيْ رَأْسِ الشَّاجِّ أَضْيَقَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ بَعْدَ اسْتِيفَاءِ مَا بَيْنَ الْقَرْنَيْنِ إِلَى مَا يُجَاوِزُهُمَا وَإِنْ كَانَ مِنْ جُمْلَةِ الرَّأْسِ لِخُرُوجِهِ عَنْ مَحَلِّ الْقِصَاصِ وَرَجَعَ بِقِسْطِهِ مِنْ أَرْشِ الْمُوضِحَةِ
Contohnya adalah apabila panjang kepala orang yang terluka (al-mashjūj) dua puluh jari, sedangkan panjang kepala peluka (as-syāj) lima belas jari, maka dalam pelaksanaan qishāsh diambil sepanjang kepala peluka, yaitu seukuran tiga perempat dari al-mudhihah, sehingga tidak diambil seperempat sisanya, baik dari bagian dahi, tengkuk, maupun keluar dari kepala, karena semua itu bukan merupakan tempat qishāsh. Sebagaimana tidak boleh melakukan qishāsh pada al-mudhihah wajah dari kepala, atau pada al-mudhihah kepala dari wajah. Maka pelaku dikembalikan (diminta ganti rugi) sebesar bagian tersebut dari diyat al-mudhihah, yaitu seperempat diyatnya, karena sisa yang ada adalah seperempatnya. Jika sisanya sepertiga, maka dikembalikan dengan sepertiga diyatnya. Abu ‘Ali bin Abī Hurairah mengemukakan kemungkinan pendapat kedua, yaitu dikembalikan atas sisa tersebut dengan seluruh diyat al-mudhihah, karena diyat al-mudhihah menjadi sempurna baik sedikit maupun banyak. Namun, pendapat ini rusak (tidak benar). Keputusan dalam masalah ini adalah bahwa nama al-mudhihah berlaku untuk yang kecil maupun besar, sehingga diyatnya sama untuk semuanya, dan nama al-mudhihah tidak berlaku untuk sisa dari al-mudhihah ini, melainkan hanya berlaku atas sebagian darinya, sehingga yang berhak hanya sebagian diyatnya. Demikian pula jika al-mudhihah orang yang terluka berada di antara dua tanduk kepalanya, sedangkan jarak antara dua tanduk kepala peluka lebih sempit, maka tidak boleh setelah mengambil bagian antara dua tanduk tersebut, beralih ke bagian yang melebihi keduanya, meskipun masih termasuk bagian kepala, karena telah keluar dari tempat qishāsh, dan dikembalikan dengan bagian dari diyat al-mudhihah.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا اسْتُوفِيَ الْقِصَاصُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا لَمْ يُعْتَبَرْ بَعْدَ الِاقْتِصَاصِ اخْتِلَافُ الشَّجَّتَيْنِ قبل الاندمال فلو اندمل جرح المشجوج شائناً ظاهر العظم غير ملتحم الجلد واندمل جُرْحُ الشَّاجِّ حَسَنًا قَدْ تَغَطَّى لَحْمُهُ وَالْتَحَمَ جِلْدُهُ فَلَا شَيْءَ لِلْمَشْجُوجِ فِي زِيَادَةِ الشَّيْنِ لِأَنَّ حَقَّهُ كَانَ فِي الْقِصَاصِ وَقَدِ اسْتَوْفَاهُ
Apabila qishāsh telah dilaksanakan sebagaimana telah kami sebutkan, maka setelah pelaksanaan qishāsh tidak lagi diperhitungkan perbedaan antara dua luka sebelum sembuh. Maka jika luka orang yang dilukai sembuh dengan cacat yang tampak hingga tulangnya terlihat dan kulitnya tidak menyatu, sedangkan luka pelaku sembuh dengan baik, dagingnya menutupi dan kulitnya menyatu, maka orang yang dilukai tidak berhak mendapatkan apa pun atas tambahan cacat tersebut, karena haknya ada pada qishāsh dan telah ia terima.
وَكَذَلِكَ لَوِ انْعَكَسَ فَكَانَ الشَّيْنُ فِي جِرَاحَةِ الشَّاجِّ دُونَ الْمَشْجُوجِ وَكَانَتْ زِيَادَةُ الشَّيْنِ هَدَرًا كَمَا تَكُونُ سِرَايَتُهَا هَدَرًا فَلَوْ تَجَاوَزَ مُسْتَوْفِي الْقِصَاصِ مِقْدَارَ الْمُوضِحَةِ وَأَخَذَ أَكْثَرَ مِنْهَا مِنْ رَأْسِ الشَّاجِّ كَانَ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي الزِّيَادَةِ إِنْ عَمَدَ وَأَرْشُ الْمُوضِحَةِ كَامِلَةً إِنْ أَخْطَأَ وَهَذَا بِخِلَافِ الْبَاقِي مِنْ مُوضِحَةِ الْمَشْجُوجِ حَيْثُ رَجَعَ مِنْ أَرْشِهَا بِقِسْطِ الْبَاقِي مِنْهَا
Demikian pula, jika keadaannya terbalik, yaitu cacat terdapat pada luka orang yang melukai, bukan pada orang yang dilukai, maka tambahan cacat itu dianggap sia-sia sebagaimana penyebarannya juga dianggap sia-sia. Maka jika orang yang menuntut qishāsh melebihi batas luka muḍīḥah dan mengambil lebih dari itu dari kepala orang yang melukai, maka ia wajib dikenai qishāsh atas kelebihan tersebut jika sengaja, dan wajib membayar diyat muḍīḥah secara penuh jika tidak sengaja. Ini berbeda dengan sisa dari muḍīḥah pada orang yang dilukai, di mana ia mendapatkan bagian diyat sesuai sisa luka tersebut.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ مُجَاوَزَةَ الْقِصَاصِ إِلَى الزِّيَادَةِ لَمَّا أَوْجَبَ اخْتِلَافَ الْحُكْمِ فِي الْمُسْتَحَقِّ وَالْعُدْوَانِ تَمَيَّزَا فَصَارَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مُوضِحَةً غَيْرَ الْأُخْرَى فَلِذَلِكَ كَمُلَ أَرْشُهَا وَمَا نَقَصَ عَنِ اسْتِيفَاءٍ لَمْ يَخْتَلِفْ حُكْمُهُ فِي الِاسْتِحْقَاقِ وَالْعُدْوَانِ فَلَمْ يَتَمَيَّزْ وَصَارَ مُوضِحَةً وَاحِدَةً فَرَجَعَ بِقِسْطِ بَاقِيهَا مِنْ أَرْشِهَا فَإِنْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ مِنِ اضْطِرَابِ الْمُسْتَوْفَى مِنْهُ عِنْدَ الْقِصَاصِ كَانَتْ هَدَرًا فَلَوِ اخْتَلَفَا وَالْحَالُ مُشْتَبَهٌ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُسْتَوْفِي؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ ذِمَّتِهِ وَيَحْتَمِلُ وَجْهًا ثَانِيًا مِنَ المَقْلُوفِ إِذَا قُطِعَ وَاخْتُلِفَ فِي وُجُودِ جِنَايَةٍ عِنْدَ الْقَطْعِ أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُسْتَقَادِ مِنْهُ إِذَا قيل في الملقوف إنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ وَلِيِّهِ وَإِنْ كَانَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا لَائِحًا فَلَوْ كَانَتْ مُوضِحَةُ الْمَشْجُوجِ قَدْ وُضِحَ وَسَطُهَا حَتَّى بَرَزَ الْعَظْمُ وَتَلَاحَمَ طَرَفَاهَا حَتَّى بَقِيَ عَلَيْهِ اللَّحْمُ وَجَبَ الْقِصَاصُ فِيمَا وَضَحَ عَنِ الْعَظْمِ وَالْأَرْشُ دُونَ الْقِصَاصِ فِيمَا تَلَاحَمَ مِنَ الطَّرَفَيْنِ لِأَنَّ الْمُتَلَاحِمَةَ لَمَّا سَقَطَ فِيهَا الْقِصَاصُ إِذَا انْفَرَدَتْ سَقَطَ فِيهَا إِذَا اتَّصَلَتْ بِالْمُوضِحَةِ وَكَانَتْ حُكُومَتُهَا أَقَلَّ مِنْ قِسْطِهَا وَأَرْشِ الْمُوضِحَةِ لِنُقْصَانِهَا عَنْ حُكْمِ الْمُوضِحَةِ
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa melampaui batas qishāsh hingga menambah hukuman menyebabkan perbedaan hukum antara yang berhak dan yang melampaui batas, sehingga keduanya menjadi berbeda dan masing-masing menjadi mudhihah (luka yang menampakkan tulang) yang berbeda dari yang lain. Oleh karena itu, diyatnya menjadi sempurna. Adapun yang kurang dari pemenuhan (qishāsh), tidak ada perbedaan hukumnya dalam hal hak dan pelanggaran, sehingga tidak menjadi berbeda dan dianggap sebagai satu mudhihah saja, sehingga sisa diyatnya kembali kepada bagian yang tersisa dari diyatnya. Jika kelebihan itu terjadi karena ketidaksengajaan orang yang melaksanakan qishāsh, maka kelebihan itu dianggap sia-sia (tidak ada diyat). Jika keduanya berbeda pendapat dan keadaannya samar, maka pendapat yang diambil adalah pendapat orang yang melaksanakan qishāsh, karena asalnya adalah bebasnya tanggungan dia. Namun, ada kemungkinan pendapat kedua dari pihak yang terkena qishāsh, jika terjadi pemotongan dan terjadi perbedaan pendapat tentang adanya tindak pidana saat pemotongan, maka pendapat yang diambil adalah pendapat orang yang diambil darinya (yang terkena qishāsh), jika dikatakan dalam kasus orang yang terkena qishāsh bahwa pendapat yang diambil adalah pendapat walinya, meskipun perbedaan antara keduanya jelas. Jika mudhihah pada orang yang terluka telah tampak bagian tengahnya hingga tulangnya terlihat, lalu kedua ujungnya menyatu kembali sehingga hanya tersisa daging di atasnya, maka qishāsh wajib pada bagian yang tulangnya tampak, dan diyat tanpa qishāsh pada bagian yang kedua ujungnya telah menyatu, karena bagian yang menyatu, ketika qishāsh gugur padanya jika berdiri sendiri, maka gugur pula jika bersambung dengan mudhihah, dan diyatnya lebih sedikit dari bagiannya dan dari diyat mudhihah karena kekurangannya dari hukum mudhihah.
فَصْلٌ
Fasal
وإذا أوضحه موضحتين وأكثر كان المشجوج مخير فيها بين ثلاثة أحوال
Jika seseorang menyebabkan luka yang menimbulkan dua atau lebih luka yang menembus hingga ke tulang, maka orang yang terluka (musyjaj) memiliki pilihan di antara tiga keadaan.
أحدها أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الِاقْتِصَاصِ عَنْ جَمِيعِهَا إِلَى الدِّيَةِ فَيَسْتَحِقُّ فِي كُلِّ مُوضِحَةٍ أَرْشًا كَمَا يَسْتَوِي فِيهِ أَرْشُ مَا صَغُرَ مِنْهَا وَمَا كَبُرَ وَسَوَاءٌ تَقَارَبَتْ أَوْ تَبَاعَدَتْ
Pertama, ia memaafkan dari qishāsh seluruhnya menuju diyat, maka ia berhak atas setiap mudhihah (luka yang menampakkan tulang) berupa arsy (ganti rugi), sebagaimana arsy untuk luka yang kecil maupun besar adalah sama, baik luka-luka itu berdekatan maupun berjauhan.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أن يقتص من جميعهما فيقاد في يوم واحد إنشاء أَوْ فِي أَيَّامٍ شَتَّى إِلَّا أَنْ يَخَافَ عَلَى نَفْسِ الشَّاجِّ إِنِ اقْتَصَّ مِنْ جَمِيعِهَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ إِمَّا الْمَرَضَ أَوْ شِدَّةَ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ فَلَا يُجْمَعُ عَلَيْهِ بَيْنَ الِاقْتِصَاصِ مِنْ جَمِيعِهِمَا وَيَقْتَصُّ مِنْ وَاحِدَةٍ فَإِذَا انْدَمَلَتِ اقْتَصَّ مِنْ غَيْرِهَا وَهَكَذَا لَوْ كَانَتِ الْمُوضِحَةُ وَاحِدَةً قَدِ اسْتَوْعَبَتْ طُولَ الرَّأْسِ وَعَرْضَهُ وَخِيفَ عَلَى نَفْسِهِ إِنِ اقْتَصَّ مِنْ جَمِيعِهَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ جَازَ أَنْ يُفَرِّقَ الِاقْتِصَاصَ مِنْهَا وَيَسْتَوْفِيَ فِي وَقْتٍ بَعْدَ وَقْتٍ وَلَوْ قِيلَ يَسْتَوْفِي الْمُوضِحَةَ الْوَاحِدَةَ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ وَإِنْ خِيفَ مِنْهَا كَمَا يَقْطَعُ الْيَدَ قِصَاصًا وَإِنْ خِيفَ مِنْهَا كَانَ لَهُ وَجْهٌ
Keadaan kedua adalah jika qishāsh dilakukan terhadap keduanya sekaligus, maka boleh dilaksanakan dalam satu hari atau dalam beberapa hari yang berbeda, kecuali jika dikhawatirkan akan membahayakan jiwa pelaku qishāsh apabila qishāsh terhadap semuanya dilakukan dalam satu hari, baik karena sakit, cuaca yang sangat panas, atau sangat dingin. Maka dalam keadaan seperti itu, tidak boleh menggabungkan pelaksanaan qishāsh terhadap semuanya sekaligus, melainkan dilakukan terhadap salah satunya terlebih dahulu. Jika luka tersebut telah sembuh, barulah dilakukan qishāsh terhadap yang lainnya. Demikian pula jika luka mudhiḥah hanya satu, namun meliputi seluruh panjang dan lebar kepala, dan dikhawatirkan akan membahayakan jiwa pelaku qishāsh jika dilakukan sekaligus dalam satu hari, maka boleh memisahkan pelaksanaan qishāsh tersebut dan menunaikannya pada waktu yang berbeda-beda. Namun, jika dikatakan bahwa qishāsh terhadap satu mudhiḥah harus dilakukan dalam satu waktu meskipun ada kekhawatiran bahaya, sebagaimana pemotongan tangan dalam qishāsh meskipun ada kekhawatiran bahaya, maka pendapat tersebut juga memiliki dasar.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ بَعْضِهَا وَيَعْفُوَ إِلَى الدِّيَةِ عَنْ بَاقِيهَا فَيَكُونُ مُخَيَّرًا فِي الِاقْتِصَاصِ مِنْ أَيِّهِمَا شَاءَ مِنْ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ شَائِنٍ وَغَيْرِ شَائِنٍ وَيَرْجِعُ بِأُرُوشِ بَاقِيهَا مُتَسَاوِيَةً عَلَى أعدادها والله أعلم
Keadaan ketiga adalah jika ia menuntut qishāsh dari sebagian mereka dan memaafkan sisanya hingga diganti dengan diyat, maka ia berhak memilih untuk melakukan qishāsh terhadap siapa saja yang ia kehendaki, baik yang masih kecil maupun dewasa, yang memiliki cacat maupun yang tidak, dan ia berhak menuntut ganti rugi (urūsh) dari sisanya secara seimbang sesuai jumlah mereka. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَكَذَا كُلُّ جُرْحٍ يُقْتَصُّ مِنْهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Demikian pula setiap luka yang dapat dilakukan qishāsh darinya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَالْجِرَاحُ مَا كَانَ فِي الْجَسَدِ والشجاج ما كان في الرأس وقد مضى حكم الشجاج فِي الرَّأْسِ وَأَنَّهُ يَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ قِسْمٌ يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَأَرْشٌ مُقَدَّرٌ وَهُوَ الْمُوضِحَةُ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar. Luka (al-jirāḥ) adalah apa yang terjadi pada tubuh, sedangkan syijāj adalah apa yang terjadi pada kepala. Hukum syijāj pada kepala telah dijelaskan sebelumnya, yaitu terbagi menjadi tiga bagian: bagian yang wajib di dalamnya qishāsh, bagian yang ada diyat yang telah ditentukan, yaitu al-mudhīhah.”
وَقِسْمٌ لَا قِصَاصَ فِيهِ وَيَجِبُ فِيهِ مُقَدَّرٌ وَهُوَ مَا فَوْقَ الْمُوضِحَةِ وَهَذَا حُكْمُ شجاج الرأس وكذلك إذا كان في الوجه واللحين يَكُونُ فِي حُكْمِ شِجَاجِ الرَّأْسِ وَإِنْ كَانَ جُرْحًا وَيَصِيرُ الْوَجْهُ وَالرَّأْسُ فِي حُكْمِ الشِّجَاجِ وَالْجِرَاحِ سَوَاءٌ يَجِبُ الْقِصَاصُ فِي مُوضِحَةِ الْوَجْهِ وَالْمُقَدَّرُ مِنَ الأَرْشِ فَيَجِبُ فِي مُوضِحَةِ الْوَجْهِ خَمْسٌ مِنَ الإِبِلِ وَفِي هَاشِمَتِهِ عَشْرٌ مِنَ الإِبِلِ وَفِي مُنَقِّلَتِهِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنَ الإِبِلِ
Dan ada bagian yang tidak ada qishāsh di dalamnya, tetapi wajib membayar diyat yang telah ditetapkan, yaitu luka yang melebihi al-mudhīhah. Ini adalah hukum luka di kepala, demikian pula jika terjadi pada wajah dan kedua rahang, maka hukumnya sama dengan luka di kepala, meskipun berupa luka. Maka wajah dan kepala dalam hukum luka dan cedera adalah sama; wajib qishāsh pada al-mudhīhah di wajah, dan diyat yang telah ditetapkan. Maka wajib pada al-mudhīhah di wajah lima ekor unta, pada al-hāshimah sepuluh ekor unta, dan pada al-munaqqilah lima belas ekor unta.
فَأَمَّا جِرَاحُ الْبَدَنِ فَتَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Adapun luka pada badan terbagi menjadi tiga bagian.
قِسْمٌ يَجِبْ فِيهِ مُقَدَّرٌ وَلَا يَجِبْ فِيهِ الْقِصَاصُ وَهُوَ الْجَائِفَةُ الْوَاصِلَةُ إِلَى الْجَوْفِ لَا قِصَاصَ فِيهَا وَفِيهَا ثُلْثُ الدِّيَةِ
Bagian yang wajib di dalamnya ada kadar tertentu, tetapi tidak wajib di dalamnya qishāsh, yaitu luka yang menembus hingga ke rongga tubuh; tidak ada qishāsh padanya, dan pada luka tersebut dikenakan sepertiga diyat.
وَقِسْمٌ لَا قِصَاصَ فِيهِ وَلَا مُقَدَّرَ وَهُوَ مَا عَدَا الْمُوضِحَةَ وَالْجَائِفَةِ مِنَ البَاضِعَةِ وَالْمُتَلَاحِمَةِ؛ لِأَنَّ مَا لَا يَجِبُ فِيهِ مِنَ الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ قِصَاصٌ وَلَا مُقَدَّرٌ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَجِبَ فِيهِ مِنَ البَدَنِ قِصَاصٌ وَلَا مُقَدَّرَ لِشَرَفِ الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ عَلَى جَمِيعِ الْبَدَنِ وَأَنَّ الشَّيْنَ فِيهِمَا أَقْبَحُ مِنَ الشَّيْنِ فِي سَائِرِ الْبَدَنِ
Dan ada bagian yang tidak ada qishāsh maupun diyat yang telah ditetapkan, yaitu selain luka muḍīḥah dan jā’ifah dari jenis bāḍi‘ah dan mutalāḥimah; karena apa yang tidak diwajibkan qishāsh maupun diyat yang telah ditetapkan pada kepala dan wajah, maka lebih utama untuk tidak diwajibkan pada anggota badan lainnya, sebab kepala dan wajah lebih mulia dibanding seluruh anggota badan, dan cacat pada keduanya lebih buruk daripada cacat pada bagian tubuh lainnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَلَا يَجِبُ فِيهِ الْمُقَدَّرُ وَهُوَ الْمُوضِحَةُ إِذَا كَانَتْ فِي ذِرَاعٍ أَوْ عَضُدٍ أَوْ سَاقٍ أَوْ فَخِذٍ يَجِبُ فِيهَا الْقِصَاصُ لِإِمْكَانِهِ كَالرَّأْسِ وَتَجِبُ حُكُومَةٌ وَلَا تَجِبُ فِيهَا مُقَدَّرٌ بِخِلَافِ الرَّأْسِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ شَرَفِ الرَّأْسِ وَقُبْحِ شَيْنِهِ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَنْصُوصِهِ
Bagian ketiga adalah apa yang wajib di dalamnya qishāsh dan tidak wajib di dalamnya diyat yang telah ditetapkan, yaitu luka muḍīḥah apabila terjadi pada lengan bawah, lengan atas, betis, atau paha. Dalam hal ini, qishāsh wajib karena memungkinkan untuk dilakukan, seperti pada kepala. Namun, yang wajib adalah pembayaran ḥukūmah dan tidak wajib diyat yang telah ditetapkan, berbeda dengan kepala, karena sebagaimana telah disebutkan tentang kemuliaan kepala dan buruknya cacat padanya. Inilah mazhab Syafi‘i dan pendapat yang dinyatakannya.
وَقَالَ كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ لَا قِصَاصَ فِي مُوضِحَةِ الْبَدَنِ لِأَنَّهَا لَمَّا خَالَفَتْ مُوضِحَةَ الرَّأْسِ فِي الْأَرْشِ الْمُقَدَّرِ خَالَفَتْهَا فِي الْقَوَدِ وَهَذَا فَاسِدٌ مَذْهَبًا وَحِجَاجًا
Dan banyak dari para pengikutnya berpendapat bahwa tidak ada qishāsh pada luka yang menyingkap tulang di badan, karena ketika luka tersebut berbeda dengan luka yang menyingkap tulang di kepala dalam hal diyat yang telah ditetapkan, maka ia pun berbeda dengannya dalam hal qishāsh. Namun, pendapat ini rusak baik dari segi mazhab maupun argumentasi.
أَمَّا الْمَذْهَبُ فَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ إِنَّ الْمُوضِحَةَ إِذَا كَانَتْ عَلَى السَّاقِ لَمْ تَصْعَدْ إِلَى الْفَخِذِ وَلَمْ تَنْزِلْ إِلَى الْقَدَمِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى الذِّرَاعِ لَمْ تَصْعَدْ إِلَى الْعَضُدِ وَلَمْ تَنْزِلْ إِلَى الْكَتِفِ
Adapun pendapat mazhab, menurut perkataan Imam Syafi‘i dalam kitab al-Umm, sesungguhnya luka muḍīḥah apabila berada di betis, maka tidak naik ke paha dan tidak turun ke kaki; dan apabila berada di lengan bawah, maka tidak naik ke lengan atas dan tidak turun ke bahu.
وَأَمَّا الْحِجَاجُ فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ فِي الْبَدَنِ جُرْحٌ مُقَدَّرٌ وَهُوَ الْجَائِفَةُ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِيهَا مَا يُوجِبُ القصاص وهو الموضحة كالرأس
Adapun alasan (hujjah) adalah bahwa ketika pada badan terdapat luka tertentu, yaitu jaifah, maka wajib ada pada bagian tersebut sesuatu yang mewajibkan qishash, yaitu luka muḍīḥah seperti pada kepala.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه ولو جرحه فلم يوضحه منه أقص مِنْهُ بِقَدْرِ مَا شَقَّ مِنَ المُوضِحَةِ فَإِنْ أَشْكَلَ لَمْ أَقُدْ إِلَّا مِمَّا اسْتُيْقِنَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang melukai orang lain namun tidak sampai menimbulkan luka yang jelas (mudīḥah), maka pelaku dikenai qishāsh sesuai dengan kadar luka yang setara dengan mudīḥah. Jika terdapat keraguan, maka aku tidak menetapkan qishāsh kecuali pada bagian yang diyakini kepastiannya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَا تَقَدَّمَ مُوضِحَةَ الرَّأْسِ مِنَ الشِّجَاجِ السِّتَّةِ وَهِيَ الْحَارِصَةُ وَالدَّامِيَةُ وَالدَّامِغَةُ وَالْبَاضِعَةُ وَالْمُتَلَاحِمَةُ وَالسِّمْحَاقُ لَا قِصَاصَ فِيهَا لِأَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa luka-luka di kepala yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu enam jenis luka—al-harisah, ad-damiyah, ad-damighah, al-badhi‘ah, al-mutalahimah, dan as-simhaq—tidak ada qishash di dalamnya karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا إنَّ مَوْرَهَا فِي اللَّحْمِ وَقُصُورَهَا عَنْ حَدِّ الْعَظْمِ يَمْنَعُ مِنَ التَّمَاثُلِ لِعَدَمِ الْغَايَةِ فِيهِ كَالْجَائِفَةِ
Salah satunya adalah bahwa tempatnya berada pada daging dan keterbatasannya dari batas tulang mencegah terjadinya tamatsul karena tidak adanya batas akhir padanya, seperti luka yang menembus.
وَالثَّانِي أَنَّ إِثْبَاتَ الْقِصَاصِ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ يَنْقُصُ إِلَى أَنْ يَصِيرَ الِاقْتِصَاصُ مِنْهَا مُوضِحَةً لِاخْتِلَافِ الْحَلْقَةِ فِي جِلْدَةِ الرَّأْسِ لِأَنَّهَا تَغْلُظُ مِنْ قَوْمٍ وَتَرِقُّ مِنْ آخَرِينَ وَلَا بُدَّ فِي الِاقْتِصَاصِ مِنْ تَقْدِيرِ عُمْقِهَا حَتَّى لَا يَتَجَاوَزَ وَقَدْ يَكُونُ عُمْقُهَا مِنْ رَأْسِ الْمَشْجُوجِ يَبْلُغُ إِلَى الْمُوضِحَةِ مِنْ رَأْسِ الشَّاجِّ فَنَكُونُ قَدِ اقْتَصَصْنَا مِنَ المُتَلَاحِمَةِ بِالْمُوضِحَةِ وَهَذَا غَيْرُ جَائِزٍ فَلِهَذَيْنِ الْمَعْنَيَيْنِ سَقَطَ الْقِصَاصُ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمُقْتَضَى أُصُولِهِ وَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَغَيْرِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِ حَرْمَلَةَ لِأَنَّ ذَلِكَ فِي لَحْمٍ غَيْرَ أَنَّ الْمُزَنِيَّ نَقَلَ عَنْهُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَلَوْ جَرَحَهُ فَلَمْ يُوضِحْهُ اقْتُصَّ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا شَقَّ مِنَ المُوضِحَةِ وَظَاهِرُ هَذَا يَقْتَضِي وُجُوبَ الْقِصَاصِ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ
Kedua, penetapan qishāsh pada luka yang kurang dari mudhihah akan berkurang hingga akhirnya qishāsh atas luka tersebut menjadi mudhihah, karena perbedaan ketebalan kulit kepala; sebab kulit kepala itu tebal pada sebagian orang dan tipis pada yang lain. Dalam pelaksanaan qishāsh, harus ada taksiran kedalaman luka agar tidak melebihi batas, dan bisa jadi kedalaman luka pada kepala korban mencapai mudhihah, sedangkan pada kepala pelaku tidak demikian. Maka, kita telah melakukan qishāsh pada luka yang tidak sampai mudhihah dengan mudhihah, dan ini tidak diperbolehkan. Karena dua alasan inilah, qishāsh pada luka yang kurang dari mudhihah tidak diberlakukan. Ini adalah mazhab Syafi‘i, sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya, dan sebagaimana yang dinyatakan dalam Kitab al-Umm dan kitab lainnya. Dalam Kitab Harmalah, beliau berkata, “Karena itu terjadi pada daging.” Namun, al-Muzani meriwayatkan darinya dalam masalah ini: “Jika seseorang melukai orang lain namun tidak sampai mudhihah, maka dilakukan qishāsh sesuai kadar yang dibuka dari mudhihah.” Secara lahiriah, pendapat ini mengharuskan adanya qishāsh pada luka yang kurang dari mudhihah. Maka, para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat.
أَحَدُهَا إِنَّهُ وَهْمٌ مِنَ المُزَنِيِّ فِي نَقْلِهِ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ لَمْ يَذْكُرْهُ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِهِ وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ لِأَنَّ الْمُزَنِيَّ أَضْبَطُ منْ نَقَلَ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَأَثْبَتُهُمْ رِوَايَةً
Salah satunya adalah bahwa hal itu merupakan kekeliruan dari al-Muzani dalam meriwayatkannya, karena asy-Syafi‘i tidak menyebutkannya dalam salah satu kitabnya. Namun, pendapat ini tidak berdasar, karena al-Muzani adalah orang yang paling teliti dalam meriwayatkan dari asy-Syafi‘i dan paling kuat dalam periwayatannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ هَذَا مَحْمُولٌ عَلَى قَوْلٍ ثَانٍ فَيَكُونُ الْقِصَاصُ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ
Adapun pendapat kedua, hal ini dimaknai sebagai pendapat lain, sehingga qishāsh pada luka selain mudhīhah terdapat dua pendapat.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهُ لَيْسَ بِقَوْلٍ ثَانٍ بِخِلَافِ نَصِّهِ فِي جَمِيعِ كُتُبِهِ وَإِنَّمَا هُوَ مَحْمُولٌ عَلَى اسْتِيفَائِهِ إِذَا أَمْكَنَ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلَا قِصَاصَ وَلَيْسَ يُمْكِنُ اسْتِيفَاءُ الْقِصَاصِ مِنْهُ إِلَّا عَلَى وَجْهٍ وَاحِدٍ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الشَّاجُّ قَدْ جَرَحَ الْمَشْجُوجَ مُوضِحَةً وَمُتَلَاحِمَةً فَيُنْظَرُ عُمْقُ الْمُوضِحَةِ مِنْ رَأْسِ الْمَشْجُوجِ وَعُمْقِ الْمُتَلَاحِمَةِ فَإِذَا كَانَ عُمْقُ الْمُوضِحَةِ أَنْمُلَةً وَعُمْقُ الْمُتَلَاحِمَةِ نِصْفَ أَنْمُلَةٍ عُلِمَ أَنَّ الْمُتَلَاحِمَةَ مِنْ رَأْسِهِ هِيَ نِصْفُ مُوضِحَةٍ فَيُقْتَصُّ مِنْ رَأْسِ الشَّاجِّ مُوضِحَةً وَيُنْظَرُ عُمْقُهَا فَإِنْ كَانَ أَنْمُلَةً فَقَدِ اسْتَوْفَى فِي عُمْقِ جِلْدَةِ الرَّأْسِ فَإِذَا أَرَدْنَا الِاقْتِصَاصَ مِنَ المُتَلَاحِمَةِ بَعْدَ الْمُوضِحَةِ اقْتُصَّ إِلَى نِصْفِ أَنْمُلَةٍ مِنْ جِلْدِ رَأْسِهِ وَإِنْ كَانَ رَأْسُ الشَّاجِّ أَرَقَّ جِلْدًا وَلَحْمًا وَكَانَ عُمْقُ مُوضِحَتِهِ نِصْفَ أَنْمُلَةٍ اقْتُصَّ مِنْ مُتَلَاحِمَتِهِ رُبْعُ أَنْمُلَةٍ لِيَكُونَ نِصْفَ مُوضِحَةٍ كَمَا كَانَتْ مِنَ المَشْجُوجِ نِصْفَ مُوضِحَةٍ لَا يُمْكِنُ الِاقْتِصَاصُ مِنْهَا إِذَا لَمْ يَنْضَمَّ إِلَيْهَا مُوضِحَةٌ فِي الْجِنَايَةِ عَلَى الْمَشْجُوجِ وَالْقِصَاصِ مِنَ الشَّاجِّ وَإِذَا تَقَدَّرَتِ الْمُتَلَاحِمَةُ فِي الْقِصَاصِ إِمَّا بِالنِّصْفِ عَلَى مَا مَثَّلْنَاهُ أَوْ بِالثُّلْثِ إِنْ نَقَصَ أَوْ بِالثُّلُثَيْنِ إِنْ زَادَ تَقَدَّرَ أَرْشُهَا بِقِسْطِهَا مِنْ أَرْشِ الْمُوضِحَةِ مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ ثُلُثَيْنِ وَإِذَا لَمْ يَتَقَدَّرِ الْمُتَلَاحِمَةُ مِنَ المُوضِحَةِ فِي الْقِصَاصِ لَمْ يَتَقَدَّرْ أَرْشُهَا وَكَانَ فِيهَا حُكُومَةٌ يُقَدِّرُهَا الْحَاكِمُ بِاجْتِهَادِهِ كَمَا يُقَدِّرُ حُكُومَاتِ سَائِرِ الْجِرَاحِ الَّذِي لَا قِصَاصَ فِيهِ وَلَا دِيَةَ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ
Pendapat ketiga adalah bahwa hal itu bukanlah pendapat kedua yang bertentangan dengan nash beliau dalam semua kitabnya, melainkan hal itu dimaknai sebagai upaya memenuhi (tuntutan) jika memungkinkan. Inilah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, Abu Ali bin Abi Hurairah, dan mayoritas ulama mazhab kami. Jika tidak memungkinkan, maka tidak ada qishāsh. Tidak mungkin melaksanakan qishāsh darinya kecuali dengan satu cara, yaitu jika pelaku melukai korban dengan luka mudhihah dan mutalahimah. Maka dilihat kedalaman mudhihah di kepala korban dan kedalaman mutalahimahnya. Jika kedalaman mudhihah satu ruas jari dan kedalaman mutalahimah setengah ruas jari, maka diketahui bahwa mutalahimah di kepalanya adalah setengah mudhihah. Maka dilaksanakan qishāsh pada kepala pelaku dengan mudhihah, lalu dilihat kedalamannya. Jika satu ruas jari, maka telah terpenuhi pada kedalaman kulit kepala. Jika ingin melaksanakan qishāsh pada mutalahimah setelah mudhihah, maka diqishāsh hingga setengah ruas jari dari kulit kepalanya. Jika kepala pelaku lebih tipis kulit dan dagingnya, dan kedalaman mudhihahnya setengah ruas jari, maka diqishāsh pada mutalahimahnya seperempat ruas jari, agar menjadi setengah mudhihah sebagaimana pada korban juga setengah mudhihah. Tidak mungkin diqishāsh darinya jika tidak disertai mudhihah dalam tindak pidana terhadap korban dan qishāsh terhadap pelaku. Jika mutalahimah dapat diukur dalam qishāsh, baik setengah seperti contoh yang kami sebutkan, atau sepertiga jika kurang, atau dua pertiga jika lebih, maka diyatnya diukur sesuai bagiannya dari diyat mudhihah, baik setengah, sepertiga, atau dua pertiga. Jika mutalahimah tidak dapat diukur dari mudhihah dalam qishāsh, maka diyatnya pun tidak dapat diukur, dan padanya berlaku hukum yang ditetapkan oleh hakim berdasarkan ijtihadnya, sebagaimana hakim menetapkan hukum pada luka-luka lain yang tidak ada qishāsh dan tidak ada diyat, sebagaimana akan kami sebutkan.
وَحَكَى أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَلَمْ أَرَهُ فِي شَرْحِهِ أَنَّهُ إِذَا أَشْكَلَ مَوْرُ الْمُتَلَاحِمَةِ وَلَمْ يَتَحَقَّقْ قَدْرُ عُمْقِهَا اعْتُبِرَ مَا يُتَيَقَّنُ قَدْرُ مَوْرِهَا وَمَا يُشَكُّ فِيهِ وَجُمِعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ تَقْوِيمِ الْحُكُومَةِ لِيُعْتَبَرَ بِيَقِينِ الْمَوْرِ صِحَّةُ التَّقْوِيمِ فِي الْحُكُومَةِ وَيُعْتَبَرَ بِتَقْوِيمِ الْحُكُومَةِ حُكْمُ الشَّكِّ فِي الْمَوْرِ فَإِذَا تَيَقَّنَّا أَنَّ مَوْرَ الْمُتَلَاحِمَةِ نِصْفُ عُمْقِ الْمُوضِحَةِ وَشَكَكْنَا فِي الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ اعْتَبَرْنَا تَقْوِيمَ الْحُكُومَةِ فنجده لا يخلوا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Abu Hamid al-Isfara’ini meriwayatkan dari Abu Ishaq al-Marwazi—meskipun aku tidak menemukannya dalam syarahnya—bahwa jika kedalaman luka yang saling menempel (al-mulāhimah) masih samar dan tidak dapat dipastikan seberapa dalamnya, maka yang dijadikan acuan adalah kadar kedalaman yang diyakini, sedangkan yang masih diragukan digabungkan dengan penilaian taqwīm al-ḥukūmah. Dengan demikian, keyakinan tentang kadar luka menjadi tolok ukur kebenaran penilaian dalam taqwīm al-ḥukūmah, dan penilaian taqwīm al-ḥukūmah menjadi tolok ukur dalam menentukan hukum atas keraguan pada luka tersebut. Jika kita meyakini bahwa kedalaman luka yang saling menempel adalah setengah dari kedalaman al-muḍīḥah, lalu kita ragu apakah ada tambahan di atas itu, maka yang dijadikan acuan adalah penilaian taqwīm al-ḥukūmah. Maka, kita akan mendapati bahwa hal itu tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ قَدْرُ نِصْفِ أَرْشِ الْمُوضِحَةِ فَيَتَّفِقَانِ فِي وُجُوبِ النِّصْفِ وَيَدُلُّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صِحَّةِ الْآخَرِ وَيَكُونُ الشَّكُّ فِي زِيَادَةِ الْمَوْرِ مُطَّرَحًا بِالتَّقْوِيمِ
Salah satunya adalah jika kadarnya sebesar setengah dari diyat luka yang menampakkan tulang (al-mudhihah), maka keduanya sepakat dalam kewajiban membayar setengah, dan masing-masing dari keduanya menunjukkan kebenaran yang lain, sedangkan keraguan tentang adanya tambahan pada diyat dapat diabaikan dengan penilaian (taqwim).
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ تَقْوِيمُ الْحُكُومَةِ أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ أَرْشِ الْمُوضِحَةِ فَيُوجِبُ مَا زَادَ عَلَى نِصْفِ الْأَرْشِ وَيَكُونُ التَّقْوِيمُ دَلِيلًا عَلَى أَنَّ مَا شَكَكْنَا فِيهِ مِنْ زِيَادَةِ الْمَوْرِ عَلَى النِّصْفِ قَدْ صَارَ بِالتَّقْوِيمِ مَعْلُومًا
Bagian kedua adalah apabila taksiran pemerintah lebih dari setengah diyat untuk luka muḍīḥah, maka yang diwajibkan adalah kelebihan dari setengah diyat tersebut. Penaksiran itu menjadi bukti bahwa apa yang sebelumnya kita ragukan tentang kelebihan luka dari setengahnya, kini telah menjadi jelas melalui penaksiran tersebut.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ تَقْوِيمُ الْحُكُومَةِ أَقَلَّ مِنَ النِّصْفِ وَيُسْتَدَلُّ بِيَقِينِ الْمَوْرِ عَلَى أَنَّ تَقْوِيمَ الحكومة خطأ لأن اليقين لا يتغير بِالِاجْتِهَادِ وَيُسْتَفَادُ بِالتَّقْوِيمِ إِسْقَاطُ الشَّكِّ فِيمَا زَادَ على النصف والله أعلم
Bagian ketiga adalah apabila penilaian pemerintah (taqwīm al-ḥukūmah) kurang dari setengah, maka diyakini berdasarkan kepastian dari pemilik barang bahwa penilaian pemerintah itu keliru, karena kepastian tidak berubah dengan ijtihad. Dari penilaian tersebut diambil manfaat untuk menghilangkan keraguan terhadap apa yang melebihi setengah. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَتُقْطَعُ الْيَدُ بِالْيَدِ وَالرِّجْلُ بِالرِّجْلِ مِنَ المَفَاصِلِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Tangan dipotong dengan tangan, dan kaki dengan kaki, dari bagian persendian.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا وُجُوبَ الْقِصَاصِ فِي الْأَطْرَافِ كَوُجُوبِهِ فِي النُّفُوسِ لِأَنَّ الْأَطْرَافَ مَفَاصِلُ يُمْكِنُ الْمُمَاثَلَةُ بِهَا فَإِذَا قَطَعَ يَدَهُ فَلَهُ خَمْسَةُ أَحْوَالٍ
Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan kewajiban qishāsh pada anggota tubuh sebagaimana kewajibannya pada jiwa, karena anggota tubuh adalah persendian yang memungkinkan adanya kesetaraan dalam pelaksanaan qishāsh. Maka apabila seseorang memotong tangan orang lain, terdapat lima keadaan yang mungkin terjadi.
أَحَدُهَا أَنْ يَقْطَعَهَا مِنْ مَفْصِلِ الْكُوعِ فَيُقْتَصُّ مِنْهَا وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الصِّغَرِ وَالْكِبَرِ وَالصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ إِذَا كَانَتْ سَلِيمَةً مِنْ نَقْصٍ أَوْ شَلَلٍ فَيُقْتَصُّ مِنَ الكَبِيرَةِ بِالصَّغِيرَةِ وَمِنَ الْقَوِيَّةِ بِالضَّعِيفَةِ وَمِنْ ذَاتِ الصَّنْعَةِ وَالْكِتَابَةِ بِغَيْرِ ذَاتِ الصَّنْعَةِ وَالْكِتَابَةِ كَمَا يَجْرِي مِثْلُهُ فِي النُّفُوسِ وَلَا تُؤْخَذُ سَلِيمَةٌ بِشَلاء وَلَا كَامِلَةٌ بِنَاقِصَةٍ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ بَعْدُ
Salah satunya adalah memotongnya dari sendi siku, maka dilakukan qishāsh atasnya, meskipun terdapat perbedaan dalam hal kecil dan besar, sehat dan sakit, selama anggota tersebut selamat dari kekurangan atau kelumpuhan. Maka dilakukan qishāsh atas yang besar dengan yang kecil, yang kuat dengan yang lemah, dan yang memiliki keahlian atau kemampuan menulis dengan yang tidak memiliki keahlian atau kemampuan menulis, sebagaimana berlaku pula pada jiwa. Tidak diambil anggota yang sehat sebagai balasan atas anggota yang lumpuh, dan tidak pula anggota yang sempurna sebagai balasan atas anggota yang kurang, sebagaimana akan kami jelaskan nanti.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَقْطَعَهَا مِنْ نِصْفِ الذِّرَاعِ فَيُقْتَصُّ مِنْ كَفِّ الْقَاطِعِ وَلَا يُقْتَصُّ مِنْ نِصْفِ ذِرَاعِهِ لِأَمْرَيْنِ
Keadaan kedua adalah jika ia memotongnya dari pertengahan lengan bawah, maka dilakukan qishāsh pada telapak tangan pelaku pemotongan, dan tidak dilakukan qishāsh pada setengah lengan bawahnya karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا لِأَنَّهُ لَا مَفْصِلَ فِيهَا فَيُسْتَوْفَى وَرُبَّمَا وَقَعَ التَّجَاوُزُ فِيهِ
Salah satunya adalah karena tidak ada batasan yang jelas di dalamnya sehingga dapat diambil secara penuh, dan mungkin saja terjadi pelampauan di dalamnya.
وَالثَّانِي أنه قد يتشظا الْعَظْمُ إِذَا قُطِعَ وَلَا يَتَمَاثَلُ فِي الْقَاطِعِ وَالْمَقْطُوعِ
Kedua, bahwa tulang bisa pecah-pecah ketika dipotong dan tidak sama antara yang memotong dan yang dipotong.
فَإِنْ قِيلَ قَدْ وَضَعْتُمِ الْقَطْعَ فِي الْقِصَاصِ فِي غَيْرِ مَوْضِعِ الْقَطْعِ مِنَ الجِنَايَةِ وَلَيْسَتْ هَذِهِ مُمَاثَلَةً قُلْنَا لَمَّا تَعَذَّرَتِ الْمُمَاثَلَةُ فِي مَوْضِعِ الْجِنَايَةِ كَانَ الْعُدُولُ إِلَى مَا دُونَهَا إِذَا أَمْكَنَتْ لِدُخُولِهَا فِي الْجِنَايَةِ فَإِذَا اقْتُصَّ مِنْ كَفِّ الْجَانِي أُخِذَتْ مِنْهُ حُكُومَةٌ فِي نِصْفِ الذِّرَاعِ لَا يُبْلَغُ بِهَا دِيَةُ الْكَفِّ وَلَوْ عَفَا الْمَقْطُوعُ عَنِ الْقِصَاصِ أُعْطِيَ نِصْفَ الدِّيَةِ فِي الْكَفِّ وَحُكُومَةً هِيَ أَقَلُّ مِنْهَا فِي نِصْفِ الذِّرَاعِ
Jika dikatakan, “Kalian menetapkan hukuman potong dalam qishāsh pada selain tempat yang terkena potong akibat jināyah, dan ini bukanlah suatu kemiripan (mumātsalah),” maka kami katakan, ketika kemiripan pada tempat jināyah tidak memungkinkan, maka berpindah ke bagian di bawahnya jika memungkinkan, karena bagian itu masih termasuk dalam jināyah. Maka, jika qishāsh dilakukan pada telapak tangan pelaku, diambil darinya hukumah pada setengah lengan yang nilainya tidak sampai pada diyat telapak tangan. Dan jika orang yang terpotong anggota tubuhnya memaafkan dari qishāsh, maka diberikan setengah diyat untuk telapak tangan dan hukumah yang nilainya lebih rendah dari itu untuk setengah lengan.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَقْطَعَهَا مِنْ مَفْصِلِ الْمِرْفَقِ فَيُقْتَصُّ مِنْ جَمِيعِهَا وَيُقْطَعُ الْجَانِي مِنْ مِرْفَقِهِ لِأَنَّهُ مَفْصِلٌ لَا يُمْكِنُ فِيهِ الْمُمَاثَلَةُ فَإِنْ عُدِلَ إِلَى الدِّيَةِ أُعْطِيَ نِصْفَ الدِّيَةِ فِي كَفٍّ وَحُكُومَةً فِي الذِّرَاعِ وَلَوْ طَلَبَ الْقِصَاصَ مِنَ الكَفِّ وَأَرش فِي الذِّرَاعِ فِي الْمِرْفَقِ لَمْ يَجُزْ بِخِلَافِ الْمَقْطُوعِ مِنْ نِصْفِ الذِّرَاعِ لِأَنَّهُ إِذَا أَمْكَنَ فِي الْقِصَاصِ وَضْعُ السِّكِّينِ فِي مَحَلِّهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ بِهَا عَنْ مَحَلِّهَا
Keadaan ketiga adalah jika tangan dipotong dari sendi siku, maka qishāsh dilakukan atas seluruhnya dan pelaku dipotong dari sikunya, karena itu adalah sendi yang tidak memungkinkan adanya kemiripan (dalam pelaksanaan qishāsh). Jika dialihkan kepada pembayaran diyat, maka diberikan setengah diyat untuk telapak tangan dan hukūmah untuk lengan. Jika korban meminta qishāsh pada telapak tangan dan ‘arsh pada lengan di bagian siku, maka itu tidak diperbolehkan, berbeda dengan yang terpotong dari setengah lengan, karena jika memungkinkan dalam qishāsh untuk meletakkan pisau pada tempatnya, maka tidak boleh dialihkan dari tempat tersebut.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ أَنْ يَقْطَعَ يَدُهُ مِنَ المَنْكِبِ فَيُقْتَصُّ مِنْهَا فِي الْمَنْكِبِ لِأَنَّهُ مَفْصِلٌ فَإِنْ طَلَبَ الْقِصَاصِ مِنَ الكَفِّ أَوِ الْمِرْفَقِ وَحُكُومَةً فِي الزِّيَادَةِ لَمْ يَجُزْ لِمَا ذَكَرْنَا وَإِنْ عَفَا عَنِ الْقَوَدِ إِلَى الدِّيَةِ أُعْطِيَ نِصْفَ الدِّيَةِ فِي الْكَفِّ وَحُكُومَةً فِي الذِّرَاعِ وَالْعَضُدُ يَكُونُ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ فَلَوْ كَانَ قَدْ أَجَافَهُ حِينَ قَطَعَ يَدَهُ مِنَ الكَفِّ لَمْ يُقْتَصَّ مِنَ الجَائِفَةِ وَأُعْطِيَ أَرْشَهَا ثُلْثَ الدِّيَةِ بَعْدَ الِاقْتِصَاصِ مِنَ المَنْكِبِ
Keadaan keempat adalah apabila ia memotong tangan seseorang dari pundak, maka qishash dilakukan pada bagian pundak karena itu adalah sendi. Jika korban meminta qishash pada telapak tangan atau siku, serta meminta kompensasi (hukūmah) untuk kelebihan yang dipotong, maka hal itu tidak diperbolehkan sebagaimana telah dijelaskan. Jika korban memaafkan qishash dan memilih diyat, maka ia diberikan setengah diyat untuk telapak tangan dan kompensasi (hukūmah) untuk lengan bawah, sedangkan lengan atas (bahu) nilainya kurang dari setengah diyat. Jika pelaku juga melukai korban dengan luka dalam (jā’ifah) ketika memotong tangannya dari telapak, maka tidak dilakukan qishash untuk luka dalam tersebut, melainkan diberikan ganti rugi (arsh) sebesar sepertiga diyat setelah dilakukan qishash pada pundak.
وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ أَنْ يَقْطَعَ يَدَهُ مِنْ نِصْفِ الْعَضُدِ فَيَجِبُ بِالْقِصَاصِ من المرفق لإمكانه فيه وَتَعَذُّره فِي نِصْفِ الْعَضُدِ كَمَا قُلْنَا فِي قَطْعِهَا مِنْ نِصْفِ الذِّرَاعِ فَإِنْ طَلَبَ الْقِصَاصَ مِنَ الكَفِّ وَأَخَذَ حُكُومَةً فِي الزِّيَادَةِ أُجِيب وَيَكُونُ فِي الْقِصَاصِ مُخَيَّرًا بَيْنَ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ المِرْفَقِ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى مَحَلِّ الْجِنَايَةِ وبين أن يقتص من الكف للفرق بينهما بأن ما أمكن وضع السكين في القصاص في موضعها لِأَنَّهُ أَقَلُّ وَخَالَفَ الْجِنَايَةَ مِنْ الْمرفق حيث لَمْ يَجُز أن يقتص فيها من الكف في الجناية لم يجز العدول عنه وإذا لم يمكن جاز وضعها فيما قرب منها وإذا جاز وضعها فِي الْأَكْثَرِ جَازَ وَضْعُهَا فِي الْأَقَلِّ
Keadaan kelima adalah apabila seseorang memotong tangan orang lain dari pertengahan lengan atas, maka qishash wajib dilakukan dari siku karena memungkinkan dilakukan di situ, sedangkan tidak memungkinkan dilakukan di pertengahan lengan atas, sebagaimana telah dijelaskan pada kasus pemotongan dari pertengahan lengan bawah. Jika korban meminta qishash dari pergelangan tangan dan menerima kompensasi (hukūmah) atas kelebihan yang dipotong, permintaannya dikabulkan. Dalam pelaksanaan qishash, korban diberi pilihan antara melakukan qishash dari siku karena itu lebih dekat ke tempat terjadinya tindak pidana, atau dari pergelangan tangan, karena ada perbedaan antara keduanya, yaitu pada bagian yang memungkinkan diletakkannya pisau untuk qishash pada tempatnya karena lebih sedikit dan berbeda dari tindak pidana yang dilakukan dari siku, di mana tidak boleh dilakukan qishash dari pergelangan tangan dalam kasus tersebut. Jika tidak memungkinkan, maka boleh diletakkan pada bagian yang paling dekat darinya. Jika boleh diletakkan pada bagian yang lebih banyak, maka boleh pula diletakkan pada bagian yang lebih sedikit.
فَصْلٌ
Bagian
وَهَكَذَا الْقِصَاصُ فِي الرِّجْلِ تَنْقَسِمُ عَلَى هَذِهِ الْأَحْوَالِ الْخَمْسِ فَإِنْ كَانَتْ مِنَ القَدَمِ اقْتُصَّ مِنْهَا فَتُؤْخَذُ الْقَدَمُ الْكَبِيرَةُ بِالصَّغِيرَةِ وَالْمَاشِيَةُ بِغَيْرِ الْمَاشِيَةِ وَالصَّحِيحَةُ بِالْمَرِيضَةِ وَالْمُعْتَدِلَةُ بِالْعَرْجَاءِ وَالْمُسْتَقِيمَةُ بِالْحَتْفَاءِ فَإِنْ كَانَتْ فِي نِصْفِ السَّاقِ اقْتُصَّ مِنَ القَدَمِ وَأُعْطِيَ حُكُومَةً فِي نِصْفِ السَّاقِ وَإِنْ كَانَتْ مِنَ الرُّكْبَةِ اقْتُصَّ مِنْهَا لِأَنَّهَا مَفْصِلٌ وَإِنْ كَانَتْ مِنْ نِصْفِ الْفَخِذِ اقْتُصَّ مِنَ الرُّكْبَةِ فَإِنْ سَأَلَ مِنَ القَدَمِ أُجِيبَ وَإِنْ كَانَتْ مِنَ الوَرِكِ اقْتُصَّ مِنْهَا فَإِنْ سَأَلَ الْقِصَاصَ مِنَ الرُّكْبَةِ وَالْقَدَمِ لَمْ يُجَبْ إِلَيْهِ
Demikian pula qishāsh pada kaki terbagi ke dalam lima keadaan ini. Jika luka terjadi pada telapak kaki, maka dilakukan qishāsh padanya, sehingga diambil kaki yang besar dengan yang kecil, kaki yang biasa berjalan dengan yang tidak biasa berjalan, kaki yang sehat dengan yang sakit, kaki yang lurus dengan yang pincang, dan kaki yang normal dengan yang cacat. Jika luka terjadi pada pertengahan betis, maka dilakukan qishāsh pada telapak kaki dan diberikan ḥukūmah pada pertengahan betis. Jika luka terjadi pada lutut, maka dilakukan qishāsh padanya karena ia adalah sendi. Jika luka terjadi pada pertengahan paha, maka dilakukan qishāsh pada lutut. Jika korban meminta qishāsh pada telapak kaki, maka permintaannya dikabulkan. Jika luka terjadi pada pangkal paha, maka dilakukan qishāsh padanya. Namun, jika korban meminta qishāsh pada lutut dan telapak kaki, maka permintaannya tidak dikabulkan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَالْأَنْفُ بِالْأَنْفِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Hidung dibalas dengan hidung.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ الْقِصَاصُ فِي الْأَنْفِ وَاجِبٌ بِالنَّصِّ فَإِذَا جَدَعَ أَنْفَهُ مِنَ العَظْمِ حَتَّى اسْتَوْعَبَ جَمِيعَ مَارِنِهِ اقْتُصَّ مِنْهُ بِمِثْلِهِ وَقُطِعَ جَمِيعُ مَارِنِهِ وَيُقْتَصُّ مِنْ أَنْفِ الشَّامِّ بِأَنْفِ الْأَخْشَمِ وَمِنَ الْكَبِيرِ بِالصَّغِيرِ وَمِنَ الْأَقْنَى بِالْأَفْطَسِ وَمِنَ الصَّحِيحَةِ بِالْخَرْمَاءِ إِذَا لَمْ يَذْهَبْ بِالْخَرَمِ مِنْهَا شَيْءٌ فَإِنْ قَطَعَ أَنْفَهُ مِنْ نِصْفِ الْمَارِنِ اقْتُصَّ مِنْ نِصْفِ مَارِنِهِ بِخِلَافِ الْقَاطِعِ مِنْ نِصْفِ الذِّرَاعِ لِأَنَّ فِي الذِّرَاعِ عَظْمًا يَمْنَعُ مِنْ مُمَاثَلَةِ الْقِصَاصِ وَمَارِنُ الْأَنْفِ لَيْسَ يُمْكِنُ فِيهِ الْقِصَاصُ فَلَوْ قَطَعَهُ مِنْ نِصْفِ الْعَظْمِ صَارَ حِينَئِذٍ كَالْقَاطِعِ مِنْ نِصْفِ الذِّرَاعِ فَيُقْتَصُّ لَهُ مِنْ حَدِّ الْعَظْمِ وَيُسْتَوْعَبُ بِهِ جَمِيعُ الْمَارِنِ وَيُعْطَى حُكُومَةً فِيمَا قُطِعَ مِنَ العَظْمِ فَلَوْ أَوْضَحَ عَنِ الْعَظْمِ وَلَمْ يَقْطَعْهُ أَخَذَ مِنْهُ دِيَةَ مُوضِحَةٍ وَلَوْ هَشَّمَهُ أَخَذَ مِنْهُ دِيَةَ هَاشِمَةٍ وَلَوْ نَقَّلَهُ أَخَذَ مِنْهُ دِيَةَ مُنَقِّلَةٍ وَفِي حُكُومَةِ قَطْعٍ أَكْثَرُ مِنْ دِيَةِ مُنَقِّلَةً وَإِذَا قَطَعَ أَحَدَ شِقَّيْ أَنْفِهِ اقْتُصَّ مِنْهُ لِأَنَّ حَاجِزَ الْمِنْخَرَيْنِ حَدٌّ يَنْتَهِي الْقِصَاصُ إِلَيْهِ وَلَوْ قَطَعَ حَاجِزَ الْمِنْخَرَيْنِ اقْتُصَّ مِنْهُ إِلَى الْحَدِّ الَّذِي قَطَعَهُ لِإِمْكَانِ الِاقْتِصَاصِ مِنْ جَمِيعِهِ وَلَوْ ضَرَبَ أَنْفَهُ فَاسْتَحْشَفَ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْهُ وَكَانَ لَهُ الدِّيَةُ كَمَا لَوْ ضَرَبَ يَدَهُ فَشُلَّتْ وَيَحْتَمِلُ أن يتخرج فيه قول آخر من استشحاف الْأُذُنِ أَنَّ لَهُ حُكُومَةً وَلَوْ كَسَرَ أَنْفَهُ مُجَبَّرَةً أُعْطِيَ حُكُومَةً وَلَا قَوَدَ لَهُ فَلَوِ انْجَبَرَ مُعْوَجًّا كَانَتِ الْحُكُومَةُ أَكْثَرَ مِنْهَا لَوِ انجبر مستقيماً
Al-Mawardi berkata: Ini benar, qishāsh pada hidung adalah wajib berdasarkan nash. Jika seseorang memotong hidung orang lain sampai ke tulangnya sehingga seluruh bagian lunak hidung terputus, maka dilakukan qishāsh dengan cara yang sama, yaitu seluruh bagian lunak hidungnya dipotong. Qishāsh juga dilakukan antara hidung orang Syam dengan hidung orang Akhsyam, antara yang besar dengan yang kecil, antara yang mancung dengan yang pesek, dan antara yang normal dengan yang berlubang, selama lubang tersebut tidak menghilangkan bagian dari hidungnya. Jika seseorang memotong hidung dari setengah bagian lunaknya, maka qishāsh dilakukan pada setengah bagian lunak hidungnya, berbeda dengan kasus pemotongan setengah lengan, karena pada lengan terdapat tulang yang menghalangi kesamaan dalam qishāsh, sedangkan pada bagian lunak hidung tidak memungkinkan dilakukan qishāsh. Jika ia memotong hidung dari setengah tulangnya, maka keadaannya seperti orang yang memotong setengah lengan, sehingga qishāsh dilakukan pada batas tulang dan seluruh bagian lunaknya dihabiskan, dan diberikan ḥukūmah (ganti rugi) atas bagian tulang yang terpotong. Jika ia hanya melukai hingga tulang tanpa memotongnya, maka ia harus membayar diyat mudhīhah (ganti rugi luka yang menampakkan tulang). Jika ia menghancurkan tulangnya, maka ia harus membayar diyat hāshimah (ganti rugi luka yang menghancurkan tulang). Jika ia memindahkan tulangnya, maka ia harus membayar diyat munaqqilah (ganti rugi luka yang memindahkan tulang). Dalam ḥukūmah pemotongan, jumlahnya lebih besar dari diyat munaqqilah. Jika seseorang memotong salah satu sisi hidungnya, maka dilakukan qishāsh, karena sekat antara kedua lubang hidung adalah batas yang menjadi akhir qishāsh. Jika ia memotong sekat antara kedua lubang hidung, maka dilakukan qishāsh sesuai batas yang dipotong, karena memungkinkan dilakukan qishāsh pada seluruhnya. Jika ia memukul hidung sehingga menjadi kering dan keras, maka tidak dilakukan qishāsh, melainkan ia harus membayar diyat, sebagaimana jika ia memukul tangan hingga menjadi lumpuh. Namun, ada kemungkinan muncul pendapat lain dalam kasus kekeringan pada telinga, yaitu dikenakan ḥukūmah. Jika ia mematahkan hidung yang kemudian bisa disambung kembali, maka diberikan ḥukūmah dan tidak ada qishāsh. Jika hidung yang patah itu sembuh dalam keadaan bengkok, maka ḥukūmah lebih besar daripada jika sembuh dalam keadaan lurus.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه والأذن بالأذن
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Telinga dibalas dengan telinga.”
قال الماوردي وهذا نص الكتاب؛ لأن للأذن حداً يَتَمَيَّزُ بِهِ عَمَّا سِوَاهُ فَيُقْتَصُّ مِنْ أُذُنِ السَّمِيعِ بِأُذُنِ الْأَصَمِّ لِأَنَّ مَحَلَّ السَّمْعِ فِي غَيْرِ الْأُذُنِ وَيُقْتَصُّ مِنَ الكَبِيرَةِ بِالصَّغِيرَةِ وَمِنَ الصَّحِيحَةِ بِالْمَثْقُوبَةِ ثُقْبَ قُرْطٍ أَوْ شَنْفٍ فَأَمَّا الْمَخْرُومَةُ فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ بِالْخُرْمِ مِنْهَا شَيْء اقْتُصَّ بِهَا مِنَ الصَّحِيحَةِ فَإِذَا أَذْهَبَ الْخُرْمُ شَيْئًا مِنْهَا قِيلَ لِلْأَخْرَمِ إِنْ شِئْتَ الْقِصَاصَ قَطَعْنَا لَكَ مِنْ أُذُنِ الْجَانِي إِلَى مَوْضِعِ خرمتك وأعطيناك دية ما بقي منها بعد الخرم وإِنْ شِئْتَ أَعْطَيْنَاكَ دِيَةَ الْأُذُنِ وَلَوْ قَطَعَ بعض أذنيه اقْتُصَّ مِنْ أُذُنِ الْجَانِي بِقَدْرِهِ لِإِمْكَانِ الِاقْتِصَاصِ مِنْهُ وَلَوْ قَطَعَ أُذُنَهُ فَذَهَبَ مِنْهَا سَمْعُهُ اقْتُصَّ مِنْ أُذُنِهِ وَلَمْ يُقْتَصَّ مِنْ سَمْعِهِ لِتَعَذُّرِهِ وَلَوْ ضَرَبَ أُذُنَهُ فَاسْتَحْشَفَتْ وَيَئِسَتْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا قِصَاصٌ كَالْيَدِ إِذَا شُلَّتْ وَفِيمَا يَجِبُ فِيهَا قَوْلَانِ
Al-Mawardi berkata: Inilah nash dari kitab; karena telinga memiliki batas yang membedakannya dari selainnya, maka qishāsh dilakukan pada telinga orang yang mendengar dengan telinga orang yang tuli, karena tempat pendengaran itu bukan hanya di telinga. Qishāsh juga dilakukan dari telinga yang besar dengan telinga yang kecil, dan dari telinga yang sehat dengan telinga yang berlubang, baik lubang anting maupun syanf. Adapun telinga yang robek, jika robekannya tidak menghilangkan bagian apapun darinya, maka qishāsh dilakukan dengannya terhadap telinga yang sehat. Namun jika robekan itu menghilangkan sebagian darinya, maka dikatakan kepada orang yang telinganya robek: Jika engkau menghendaki qishāsh, kami potongkan untukmu dari telinga pelaku sampai ke tempat robekanmu, dan kami berikan kepadamu diyat atas sisa bagian yang hilang setelah robekan itu. Jika engkau menghendaki, kami berikan kepadamu diyat penuh telinga. Jika seseorang memotong sebagian telinga orang lain, maka qishāsh dilakukan dari telinga pelaku sesuai kadar yang dipotong, karena memungkinkan dilakukan qishāsh. Jika seseorang memotong telinga orang lain hingga pendengarannya hilang, maka qishāsh dilakukan pada telinganya, namun tidak pada pendengarannya karena hal itu tidak mungkin dilakukan. Jika seseorang memukul telinga orang lain hingga menjadi kasar dan tidak berfungsi lagi, maka tidak ada qishāsh padanya, sebagaimana tangan jika menjadi lumpuh. Dalam hal apa yang wajib atasnya, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا دِيَتُهَا كَشَلَلِ الْيَدِ
Salah satunya diyatnya seperti diyat lumpuh tangan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي حُكُومَةٌ لِأَنَّ شَلَلَ الْيَدِ يُذْهِبُ مَنَافِعَهَا فِي الْقَبْضِ وَالْبَسْطِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي اسْتِحْشَافِ الْأُذُنِ فَإِنْ قُطِعَتْ بَعْدَ اسْتِحْشَافِهَا كَانَ فِيهَا حُكُومَةٌ وَلَا تَنْقُصُ الْحُكُومَتَانِ عَنْ دِيَةِ الأذن ويجوز أن يكونا أكثر
Pendapat kedua adalah ḥukūmah, karena lumpuhnya tangan menghilangkan manfaatnya dalam menggenggam dan merenggangkan, sedangkan tidak demikian halnya pada hilangnya pendengaran telinga. Jika telinga dipotong setelah hilang pendengarannya, maka padanya berlaku ḥukūmah, dan kedua ḥukūmah tersebut tidak kurang dari diyat telinga, bahkan boleh jadi keduanya lebih besar.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَالسِّنُّ بِالسِّنِ كَانَ الْقَاطِعُ أَفْضَلَ طَرَفًا أَوْ أَدْنَى مَا لَمْ يَكُنْ نَقْصٌ أَوْ شَلَلٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Gigi dibalas dengan gigi, baik yang memotong itu lebih baik atau lebih rendah tingkatannya, selama tidak ada kekurangan atau kelumpuhan.
قال الماوردي وهذا نص الكتاب فِي السِّنِّ لِتَمْيِيزِهِ عَنْ غَيْرِهِ فَيَجُوزُ الْقِصَاصُ فِيهِ فِي الثَّنَايَا وَالرُّبَاعِيَّاتِ وَالْأَنْيَابِ وَالْأَضْرَاسِ فَيُقْتَصُّ بِهَا إِذَا أُقْلِعَتْ بِمِثْلِهَا مِنْ أَسْنَانِ الْجَانِي فَيُقْلَعُ مِنْ أَسْنَانِهِ مِثْلُ مَا قَلَعَ فَيُقْتَصُّ مِنَ البَيْضَاءِ بِالسَّوْدَاءِ وَالْخَضْرَاءِ وَمِنَ الشَّابِّ بِسِنِّ الشَّيْخِ وَمِنَ الْقَوِيَّةِ بِالضَّعِيفَةِ وَمِنَ الْكَبِيرَةِ بِالصَّغِيرَةِ وَمِنَ الْمُشْتَدَّةِ بِالْمُتَحَرِّكَةِ إِذَا كَانَتْ مَنَافِعُهما بَاقِيَةً وَلَا قَوَدَ فِي السِّنِّ الزَّائِدَةِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ لِلْجَانِي مِثْلُهَا فِي مِثْلِ مَوْضِعِهَا فَيُقْتَصَّ مِنْهَا فَإِنْ كَسَرَ سِنَّهُ وَأَمْكَنَ أَنْ يَكْسِرَ سَنَّ الْجَانِي مِثْلَ كَسْرِهِ اقْتَصَّ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ فَلَا قِصَاصَ وَكَانَ عَلَيْهِ دِيَةُ السِّنِّ وَهِيَ خَمْسٌ مِنَ الإِبِلِ بِقِسْطِ مَا كُسِرَ مِنْهَا مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبْعٍ وَيَكُونُ بِقِسْطِهِ عَلَى مَا جُرِحَ فِي اللِّثَةِ وَظَهَرَ مِنْهَا وَإِنْ كَانَ لَوْ قَطَعَهَا مِنْ أَصْلِهَا يَجِبُ فِيهَا أَكْثَرُ مِنْهَا كَمَا لَوْ قَطَعَ أَصَابِعَ كَفِّهِ وَجَبَ فِيهَا دِيَتُهَا وَلَوْ قَطَعَهَا مَعَ الْكَفِّ لَمْ يَجِبْ فِيهَا أَكْثَرُ مِنْهَا وَلَا تُؤْخَذُ ثَنِيَّةٌ بِرُبَاعِيَّةٍ وَلَا نَابٌ بِضِرْسٍ وَلَا يُمْنَى بِيُسْرَى وَلَا عُلْيَا بسفلى
Al-Mawardi berkata, “Ini adalah nash (teks) kitab tentang gigi, untuk membedakannya dari selainnya. Maka qishash diperbolehkan padanya, baik pada gigi seri, gigi taring, gigi geraham, maupun gigi lainnya. Maka dilakukan qishash jika gigi itu dicabut, yaitu dengan mencabut gigi pelaku pada jenis yang sama dari giginya, sehingga dicabut dari giginya sebanyak yang ia cabut. Maka boleh dilakukan qishash antara gigi putih dengan gigi hitam atau hijau, antara gigi orang muda dengan gigi orang tua, antara gigi yang kuat dengan yang lemah, antara gigi besar dengan yang kecil, dan antara gigi yang kokoh dengan yang goyah, selama manfaat keduanya masih ada. Tidak ada qishash pada gigi tambahan kecuali jika pelaku juga memiliki gigi tambahan di tempat yang sama, maka boleh dilakukan qishash padanya. Jika ia mematahkan giginya dan memungkinkan untuk mematahkan gigi pelaku dengan cara yang sama, maka dilakukan qishash padanya. Namun jika tidak memungkinkan, maka tidak ada qishash, dan pelaku wajib membayar diyat gigi, yaitu lima ekor unta, sesuai bagian gigi yang patah, baik setengah, sepertiga, atau seperempat, dan diyat itu juga sesuai bagian yang terluka pada gusi dan yang tampak darinya. Jika ia memotong gigi dari akarnya, maka wajib membayar lebih banyak daripada itu, sebagaimana jika ia memotong jari-jarinya, maka wajib membayar diyatnya. Namun jika ia memotongnya bersama telapak tangan, maka tidak wajib membayar lebih dari itu. Tidak boleh diambil gigi seri sebagai ganti gigi taring, atau taring sebagai ganti geraham, atau gigi kanan sebagai ganti gigi kiri, atau gigi atas sebagai ganti gigi bawah.”
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ قاطع اليد نَاقِصًا أصْبعا قُطِعَتْ يَدُهُ وَأُخِذَ مِنْهُ أَرْشُ أصبع
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika pemotong tangan itu tangannya kurang satu jari, maka tangannya tetap dipotong dan darinya diambil diyat (ganti rugi) satu jari.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو كَفُّ الْقَاطِعِ وَالْمَقْطُوعِ مِنْ أَرْبَعَة أَحْوَالٍ
Al-Mawardi berkata, ketahuilah bahwa tidak lepas telapak tangan pelaku pemotongan dan yang dipotong dari empat keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَا كَامِلَتَيِ الْأَصَابِعِ
Salah satunya adalah keduanya harus memiliki jari-jari yang lengkap.
وَالثَّانِي أَنَّ تَكُونَا نَاقِصَتَيِ الْأَصَابِعِ
Dan yang kedua adalah keduanya memiliki jumlah jari yang kurang.
وَالثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ كَفُّ الْمَقْطُوعِ كَامِلَةً وكف القاطع ناقصة
Ketiga, telapak tangan orang yang dipotong haruslah utuh, sedangkan telapak tangan orang yang memotong tidak utuh.
والرابع أن يكون كَفُّ الْمَقْطُوعِ نَاقِصَةً وَكَفُّ الْقَاطِعِ كَامِلَةً فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الْكَمَالِ وَالنَّقْصِ جَرَى الْقِصَاصُ بَيْنَهُمَا فِي الْكَامِلَةِ بِالْكَامِلَةِ وَالنَّاقِصَةِ بِالنَّاقِصَةِ إِذَا كَانَ النَّقْصُ فِيهِمَا مُتَسَاوِيًا وَإِنْ كَانَتْ يَدُ الْمَقْطُوعِ كَامِلَةَ الْأَصَابِعِ وَيَدُ الْقَاطِعِ نَاقِصَةً أصبعا فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ وَلَهُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ كَفِّهِ النَّاقِصَةِ وَيَأْخُذَ مِنْهُ دِيَةَ الْأُصْبُعِ الَّتِي نَقَصَتْ
Keempat, jika telapak tangan yang terpotong itu kurang (tidak sempurna) dan telapak tangan pelaku pemotongan itu sempurna, maka jika keduanya sama dalam kesempurnaan atau kekurangan, maka qishāsh berlaku di antara keduanya: yang sempurna dibalas dengan yang sempurna, dan yang kurang dibalas dengan yang kurang, apabila kekurangan pada keduanya sama. Namun, jika tangan korban yang terpotong itu sempurna seluruh jarinya, sedangkan tangan pelaku kurang satu jari, maka ini adalah masalah yang disebutkan dalam kitab, dan korban boleh melakukan qishāsh pada telapak tangan pelaku yang kurang, serta mengambil diyat (tebusan) untuk jari yang kurang tersebut.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَقْتَصُّ مِنْ كَفِّهِ النَّاقِصَةِ بِكَفِّهِ الْكَامِلَةِ وَلَا شَيْءَ لَهُ فِي الْأصْبع النَّاقِصَةِ احْتِجَاجًا بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي قَوَدِ النُّفُوسِ نُقْصَانُ الْأَطْرَافِ لِدُخُولِهَا فِي النَّفْسِ لَمْ يُعْتَبَرْ فِي قِصَاصِ الْأَطْرَافِ مَا تَخَلَّلَهَا مِنْ نَقْصٍ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ أَخْذُ الشَّلَّاءِ بِالسَّلِيمَةِ إِذَا رَضِيَ بِهَا الْمَقْطُوعُ لَا يُوجِبُ الرُّجُوعَ بِنَقْصِ الشَّلَلِ كَذَلِكَ أَخْذُ النَّاقِصَةِ بِالْكَامِلَةِ لَا يُوجِبُ الرُّجُوعَ بِأَرْشِ النَّقْصِ وَلِأَنَّ الْقِصَاصَ يُوجِبُ وَضْعَ السِّكِّينِ مِنَ القَاطِعِ فِي مَوْضِعِهِمَا مِنَ المَقْطُوعِ وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي الْكَفِّ النَّاقِصَةِ فَصَارَ مُسْتَوْفِيًا لِلْحَقِّ
Abu Hanifah berpendapat bahwa qishash dilakukan terhadap telapak tangan yang cacat dengan telapak tangan yang sempurna, dan tidak ada hak apa pun baginya pada jari yang cacat, dengan alasan bahwa ketika kekurangan pada anggota tubuh tidak diperhitungkan dalam qishash jiwa karena anggota-anggota tersebut termasuk dalam jiwa, maka kekurangan yang ada pada anggota tubuh juga tidak diperhitungkan dalam qishash anggota tubuh. Selain itu, ketika pengambilan anggota yang lumpuh dengan anggota yang sehat, jika orang yang terpotong ridha dengannya, tidak mengharuskan adanya pengembalian atas kekurangan kelumpuhan, maka demikian pula pengambilan anggota yang cacat dengan anggota yang sempurna tidak mengharuskan adanya pengembalian berupa diyat atas kekurangan tersebut. Dan karena qishash mengharuskan peletakan pisau oleh pelaku pemotongan pada tempatnya dari anggota yang terpotong, dan hal itu telah dilakukan pada telapak tangan yang cacat, maka ia telah memenuhi haknya.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ النحل 136 وَالْمِثْلُ مِثْلَانِ مِثْلٌ فِي الْخِلْقَةِ وَمِثْلٌ فِي الْقِيمَةِ وَلَيْسَتِ الْكَفُّ النَّاقِصَةُ مِثْلًا فِي الْخِلْقَةِ وَلَا مِثْلًا فِي الْقِيمَةِ فَلَمْ تُكَافِئْ مَا فُضِّلَتْ عَنْهَا فِي الْخِلْقَةِ وَالْقِيمَةِ وَإِذَا عُدِمَ مِثْلُ الْخِلْقَةِ فِي النَّاقِصَةِ أَوْجَبَ الْعُدُولَ إِلَى مِثْلِهَا فِي الْقِيمَةِ وَهِيَ الدِّيَةُ وَلِأَنَّ كُلَّ عُضْوٍ أُخِذَ قَوَدًا إِذَا كَانَ مَوْجُودًا أُخِذَتْ دِيَتُهُ إِذَا كَانَ مَفْقُودًا كَمَا لَوْ قُطِعَ أَصَابِعُهُ وَكَانَ لِلْقَاطِعِ بَعْضُهَا وَلِأَنَّ الْمَقْطُوعَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الْقِصَاصِ وَالدِّيَةِ فَلَمَّا لَمْ يُؤَثِّرْ نُقْصَانُ كَفِّهِ فِي نُقْصَانِ الدِّيَةِ لَمْ يُؤَثِّرْ نُقْصَانُهَا فِي نُقْصَانِ الْقِصَاصِ
Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Jika kamu membalas, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (an-Nahl: 126). Kesamaan itu ada dua macam: kesamaan dalam bentuk fisik dan kesamaan dalam nilai. Tangan yang cacat bukanlah sama dalam bentuk fisik maupun dalam nilai, sehingga tidak sebanding dengan yang lebih utama darinya baik dari segi bentuk maupun nilai. Jika tidak ditemukan kesamaan bentuk fisik pada anggota tubuh yang cacat, maka wajib beralih kepada kesamaan dalam nilai, yaitu diyat. Setiap anggota tubuh yang diambil sebagai qishāsh jika masih ada, maka diambil diyat-nya jika sudah tidak ada, seperti jika jari-jarinya terpotong dan pelaku pemotongan hanya memiliki sebagian jari. Dan karena orang yang anggota tubuhnya terpotong diberi pilihan antara qishāsh dan diyat, maka ketika kekurangan pada tangannya tidak mempengaruhi pengurangan diyat, maka kekurangan itu juga tidak mempengaruhi pengurangan pada qishāsh.
فَأَمَّا جَمْعُهُ بَيْنَ النُّفُوسِ وَالْأَطْرَافِ فَقَدْ تَقَدَّمَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَأَمَّا اعْتِبَارُهُ بِالشَّلَلِ فَلَا يَصِحُّ لِأَنَّ الشَّلَّاءَ تَامَّةُ الْأَصَابِعِ نَاقِصَةُ الْمَنَافِعِ وَهَذِهِ نَاقِصَةُ الْأَصَابِعِ وَالْمَنَافِعِ فَافْتَرَقَا وَأَمَّا اعْتِبَارُهُ بِوَضْعِ السِّكِّينِ فِي مَوْضِعِهِمَا مِنَ المَقْطُوعِ فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الْوَضْعِ فَقَدِ اخْتَلَفَا فِي التَّمَامِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يستوفي الناقص بالتام
Adapun menggabungkan antara jiwa dan anggota tubuh, maka telah dijelaskan perbedaan di antara keduanya. Adapun mengqiyaskan dengan kasus lumpuh, maka tidak sah, karena orang yang lumpuh itu jari-jarinya lengkap tetapi manfaatnya kurang, sedangkan dalam kasus ini jari-jarinya kurang dan manfaatnya juga kurang, maka keduanya berbeda. Adapun mengqiyaskan dengan meletakkan pisau pada tempat anggota yang terpotong, jika keduanya sama dalam letak, maka tetap berbeda dalam kesempurnaan, sehingga tidak boleh yang kurang disamakan dengan yang sempurna.
فصل
Bab
وإن كان كَفُّ الْمَقْطُوعِ نَاقِصَةَ الْأَصَابِعِ وَكَفُّ الْقَاطِعِ كَامِلَةَ الْأَصَابِعِ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْ كَفِّهِ الْكَامِلَةِ بِكَفٍّ نَاقِصَةٍ وَيُلْزِمْ أَبَا حَنِيفَةَ أَنْ يَقُولَ بِهَذَا كَمَا قَالَهُ فِي نُقْصَانِ كَفِّ الْقَاطِعِ وَكَمَالِ كَفِّ الْمَقْطُوعِ فَإِنْ قَالَهُ فَقَدْ جَرَى فِيهِمَا عَلَى قِيَاسٍ وَإِنْ لَمْ يَقُلْهُ فَقَدْ نَاقَضَ وَمَذْهَبُهُ فِي الْمَوْضِعَيْنِ مُسَمًّى عَلَى الْقِيَاسِ
Jika telapak tangan orang yang terpotong jari-jarinya kurang, sedangkan telapak tangan pelaku pemotongan lengkap jari-jarinya, maka tidak boleh dilakukan qishāsh pada telapak tangan yang lengkap dengan telapak tangan yang kurang. Abu Hanifah harus berpendapat demikian sebagaimana ia berpendapat dalam kasus kurangnya telapak tangan pelaku pemotongan dan lengkapnya telapak tangan korban. Jika ia berpendapat demikian, berarti ia telah mengikuti qiyās dalam kedua kasus tersebut. Namun jika ia tidak berpendapat demikian, berarti ia telah bertentangan, dan pendapatnya dalam kedua kasus tersebut dinamakan berdasarkan qiyās.
فَإِذَا كَانَتْ كَفُّ الْمَقْطُوعِ نَاقِصَةً أصْبعا سَقَطَ الْقِصَاصُ فِي كَفِّ الْقَاطِعِ لِزِيَادَةِ أُصْبُعِهِ الَّتِي لَا قِصَاصَ فِيهَا وَلَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهَا مع قطع الكف فوجب استيفاء الكف بهائا لِحِفْظِ الْأصْبع الزَّائِدَةِ وَاقْتُصَّ مِنْ أَصَابِعِهِ الَّتِي لِلْمَقْطُوعِ مِثْلُهَا وَاسْتَبْقَى لِلْقَاطِعِ الْأُصْبُعَ الَّتِي فُقِدَتْ مِنَ المَقْطُوعِ وَأُخِذَ مِنْهُ أَرْشُ الْكَفِّ الْمُسْتَبْقَاةِ لَهُ وَلَا يُبْلَغُ بِأَرْشِهَا دِيَةُ أصْبع لِأَنَّهَا تبع للأصابع
Jika telapak tangan orang yang terpotong itu kurang satu jari, maka qishāsh pada telapak tangan pelaku tidak dapat dilakukan karena kelebihan satu jarinya yang tidak bisa dikenai qishāsh dan tidak mungkin diqishāsh bersamaan dengan pemotongan telapak tangan. Maka wajib mengambil telapak tangan pelaku secara utuh untuk menjaga jari yang lebih tersebut, lalu diqishāsh dari jarinya yang sama dengan milik korban, dan dibiarkan pada pelaku jari yang hilang dari korban. Dari pelaku juga diambil ‘arsh (ganti rugi) untuk telapak tangan yang masih tersisa padanya, dan nilai ‘arsh tersebut tidak sampai sebesar diyat satu jari karena ia mengikuti (bagian) jari-jari lainnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ كَانَتْ شَلَّاءَ فَلَهُ الْخِيَارُ إِنْ شَاءَ اقْتَصَّ بِأَنْ يَأْخُذَ أَقَلَّ مِنْ حَقِّهِ وَإِنْ شَاءَ أَخَذَ دِيَةَ الْيَدِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika tangan yang terkena cacat lumpuh, maka orang yang berhak (mendapatkan qishāṣ) memiliki pilihan; jika ia mau, ia dapat melakukan qishāṣ dengan mengambil kurang dari haknya, dan jika ia mau, ia dapat mengambil diyat tangan.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَطَعَ الْأَشَلُّ الْيَدِ يَدًا سَلِيمَةً لَمْ تَكُنِ الشَّلَّاءُ مُكَافِئَةً لَهَا لِنَقْصِهَا عَنْ كَمَالِ السَّلَامَةِ فَإِنْ أَرَادَ الْمَقْطُوعُ أُعْطِيَ دِيَةَ يد سلمية فَإِنْ أَرَادَ الْقِصَاصَ مِنَ الشَّلَّاءِ بِيَدِهِ السَّلِيمَةِ كَانَ لَهُ لِأَنَّ أَخْذَ الْأَنْقَصِ بِالْأَكْمَلِ يَجُوزُ وَأَخْذَ الْأَكْمَلِ بِالْأَنْقَصِ لَا يَجُوزُ فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الشَّلَّاءِ لِيَأْخُذَ مَعَ الْقِصَاصِ مِنَ الكَامِلَةِ أَرْشَ النَّقْصِ لَمْ يَجُزْ كَمَا لَوْ قَتَلَ كَافِرٌ مُسْلِمًا فَأَرَادَ وَلِيُّ الْمُسْلِمِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الكَافِرِ وَيَأْخُذَ فَضْلَ الدِّيَةِ لَمْ يَجُزْ فَإِنْ خِيفَ عَلَى الْقَاطِعِ الْأَشَلِّ إِنْ قُطِعَتْ يَدُهُ الشَّلَّاءُ أَنْ لَا تَنْدَمِلَ عُرُوقُ الدَّمِ بِالشَّلَلِ الَّذِي لَا يَلْتَحِمُ وَيَتَحَقَّقُ تَلَفُهُ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْهُ لِأَنَّهُ يَصِيرُ اقْتِصَاصًا من يد بنفس
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, yaitu apabila seseorang yang tangannya lumpuh memotong tangan seseorang yang sehat, maka tangan yang lumpuh tidak sepadan dengan tangan yang sehat karena kekurangannya dari kesempurnaan kesehatan. Jika orang yang terpotong menghendaki, ia diberikan diyat tangan yang sehat. Jika ia menghendaki qishāsh terhadap tangan yang lumpuh dengan tangan sehatnya, maka itu boleh, karena mengambil yang kurang dengan yang lebih sempurna diperbolehkan, sedangkan mengambil yang lebih sempurna dengan yang kurang tidak diperbolehkan. Jika ia ingin melakukan qishāsh terhadap tangan yang lumpuh lalu mengambil bersama qishāsh dari tangan yang sempurna juga arsy kekurangan, maka itu tidak diperbolehkan, sebagaimana jika seorang kafir membunuh seorang muslim lalu wali muslim ingin melakukan qishāsh terhadap kafir tersebut dan mengambil kelebihan diyat, maka itu tidak diperbolehkan. Jika dikhawatirkan pada pelaku pemotongan yang tangannya lumpuh, apabila tangannya yang lumpuh dipotong, pembuluh darahnya tidak akan menutup karena kelumpuhan yang tidak menyatu dan dipastikan akan rusak, maka tidak dilakukan qishāsh terhadapnya, karena itu menjadi qishāsh dari tangan dengan diri.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ كَانَ الْمَقْطُوعُ أَشَلَّ لَمْ يَكُنْ لَهُ الْقَوَدُ فَيَأْخُذُ أَكْثَرَ وَلَهُ حُكُومَةُ يَدٍ شَلَّاءَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika anggota tubuh yang terpotong itu adalah anggota yang lumpuh, maka tidak ada qishāsh baginya, sehingga ia mengambil ganti rugi yang lebih besar, dan baginya berlaku hukum diyat untuk tangan yang lumpuh.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ مِنَ اليَدِ السَّلِيمَةِ بِالْيَدِ الشَّلَّاءِ
Al-Mawardi berkata, tidak boleh dilakukan qishash terhadap tangan yang sehat dengan tangan yang lumpuh.
وَقَالَ دَاوُدُ يُقْتَصُّ مِنَ السَّلِيمَةِ بِالشَّلَّاءِ اعْتِبَارًا بِمُطْلَقِ الِاسْمِ كَمَا يُقْتَصُّ مِنَ القَوِيَّةِ بِالضَّعِيفَةِ وَمِنَ الصَّحِيحَةِ بِالْمَرِيضَةِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا اقْتُصَّ مِنَ الأُذُنِ السَّلِيمَةِ بِالْأُذُنِ الْمُسْتَحْشِفَةِ وَالِاسْتِحْشَافُ شَلَلٌ كَذَلِكَ شَلَلُ الْيَدِ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا الشورى 40 وَلَيْسَتِ الشَّلَّاءُ مِثْلًا لِسَلِيمَةٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُؤْخَذَ بِهَا وَلِأَنَّ الْبَصِيرَ إِذَا قَلَعَ عَيْنًا قَائِمَةً لَا تُبْصِرُ لَمْ يُقْتَصَّ بِهَا مِنْ عَيْنِهِ الْمُبْصِرَةِ مَعَ وُجُودِ الْحَيَاةِ فِيمَا قَلَعَ فَكُلُّ شَلَلِ الْيَدِ مَعَ هَذِهِ الْحَيَاةِ فِيهَا أَوْلَى أَنْ لَا يُقْتَصَّ مِنْهَا مِنْ يَدِ ذَاتِ حَيَاةٍ
Daud berpendapat bahwa boleh dilakukan qishāsh antara anggota tubuh yang sehat dengan yang lumpuh, dengan pertimbangan berdasarkan kesamaan nama secara mutlak, sebagaimana boleh dilakukan qishāsh antara yang kuat dengan yang lemah, dan antara yang sehat dengan yang sakit. Karena ketika dilakukan qishāsh pada telinga yang sehat dengan telinga yang tipis (mengalami penipisan), sedangkan penipisan itu adalah sejenis kelumpuhan, maka demikian pula kelumpuhan pada tangan. Namun, pendapat ini keliru berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa dengannya” (asy-Syūrā: 40), sedangkan anggota yang lumpuh tidaklah sama dengan yang sehat, sehingga tidak boleh diqishāsh dengannya. Selain itu, jika seseorang yang dapat melihat mencabut mata seseorang yang berdiri namun tidak dapat melihat, maka tidak dilakukan qishāsh pada matanya yang dapat melihat, meskipun pada mata yang dicabut itu masih ada kehidupan. Maka setiap kelumpuhan tangan yang masih memiliki kehidupan di dalamnya lebih utama untuk tidak dilakukan qishāsh terhadap tangan yang memiliki kehidupan.
فَإِنْ قِيلَ لَوْ كَانَتِ الشَّلَّاءُ مَيِّتَةً لَمَّا حَلَّ أَكْلُهَا مِنَ الحَيَوَانِ الْمُذَكَّى
Jika dikatakan: “Seandainya anggota yang lumpuh itu termasuk bangkai, tentu tidak halal memakannya dari hewan yang telah disembelih secara syar‘i.”
قِيلَ إِنَّمَا حَلَّ أَكْلُهَا لَحْمًا وَإِنْ كَانَتْ مَيِّتَةً؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ تَبَعًا لِمُذَكًّى كالجنين إذا مَاتَ بِذَكَاةِ أُمِّهِ وَلِأَنَّ قَطْعَ الشَّلَّاءِ مِنْ حَيٍّ كَقَطْعِهَا مِنْ مَيِّتٍ لِأَنَّهَا فِي الْحَالَيْنِ مَيِّتَةٌ وَقَطْعُهَا مِنَ المَيِّتِ لَا يُوجِبُ الْقِصَاصَ فَكَذَلِكَ قَطْعُهَا مِنَ الحَيِّ
Dikatakan bahwa dagingnya halal dimakan meskipun dalam keadaan mati, karena ia menjadi ikut pada hewan yang disembelih, seperti janin yang mati karena penyembelihan induknya. Dan karena memotong anggota yang lumpuh dari hewan hidup itu sama seperti memotongnya dari hewan mati, sebab pada kedua keadaan itu anggota tersebut dianggap mati. Memotongnya dari hewan mati tidak mewajibkan qishāsh, maka demikian pula memotongnya dari hewan hidup.
فَإِنْ قِيلَ فَقَطْعُهَا مِنَ المَيِّتِ لَا يُضْمَنُ بِالْأَرْشِ وَقَطْعُهَا مِنَ الحَيِّ مَضْمُونٌ بِالْأَرْشِ فَجَازَ أَنْ تُضْمَنَ بِالْقَوَدِ وَإِنْ لَمْ تُضْمَنْ بِهِ يَدُ الْمَيِّتِ
Jika dikatakan: memotongnya dari mayit tidak wajib diganti dengan diyat (arsh), sedangkan memotongnya dari orang hidup wajib diganti dengan diyat (arsh), maka boleh jadi ia wajib diganti dengan qishāsh, meskipun tangan mayit tidak wajib diganti dengan qishāsh.
قِيلَ لِأَنَّ الْيَدَ تَبَعٌ لِلْجَسَدِ وَجَسَدُ الْمَيِّتِ غَيْرُ مَضْمُونٍ فَلَمْ تُضْمَنْ يَدُهُ وَجَسَدُ الْأَشَلِّ مَضْمُونٌ فَضُمِنَتْ يَدُهُ وَخِلَافُ نَفْسِ الضَّعْفِ وَالْمَرَضِ لِوُجُودِ الْحَيَاةِ مَعَهُمَا وَحُصُولِ النَّفْعِ بِهِمَا فَأَمَّا الْأُذُنُ الْمُسْتَحْشِفَةُ فَفِي الِاقْتِصَاصِ بِهَا مِنَ السَّلِيمَةِ قَوْلَانِ
Dikatakan bahwa tangan merupakan bagian dari tubuh, dan tubuh mayit tidak dijamin (tanggungannya), maka tangan mayit pun tidak dijamin. Sedangkan tubuh orang lumpuh dijamin, maka tangannya pun dijamin. Adapun kelemahan dan penyakit berbeda, karena masih terdapat kehidupan pada keduanya dan masih ada manfaat darinya. Adapun telinga yang tidak berfungsi, terdapat dua pendapat mengenai apakah qishāsh dapat diterapkan padanya jika dibandingkan dengan telinga yang sehat.
أَحَدُهُمَا لَا قِصَاصَ كَالْيَدِ الشَّلَّاءِ
Salah satunya adalah tidak ada qishāsh, seperti pada tangan yang lumpuh.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُقْتَصُّ بِهَا مِنَ السَّلِيمَةِ بِخِلَافِ الْيَدِ الشَّلَّاءِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa qishāsh dapat diterapkan terhadap tangan yang lumpuh pada tangan yang sehat, berbeda halnya dengan tangan yang benar-benar mati (tidak berfungsi sama sekali).
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ مَنْفَعَةَ الْأُذُنِ هُوَ حُصُولُ الْجَمَالِ بِهَا وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي الْمُسْتَحْشِفَةِ كَوُجُودِهِ فِي السَّلِيمَةِ وَمَنْفَعَةُ الْيَدِ قَبْضُهَا وَبَسْطُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا وَهَذَا مَفْقُودٌ فِي الشَّلَّاءِ مَوْجُودٌ فِي السَّلِيمَةِ فَافْتَرَقَا
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa manfaat telinga terletak pada tercapainya keindahan dengannya, dan hal ini terdapat pada telinga yang robek sebagaimana terdapat pada telinga yang utuh. Adapun manfaat tangan adalah untuk menggenggam, merenggangkan, dan bekerja dengannya, dan hal ini tidak terdapat pada tangan yang lumpuh, sedangkan terdapat pada tangan yang sehat, maka keduanya pun berbeda.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا قَطَعَ الْأَشَلُّ يَدًا شَلَّاءَ فَفِي الْقِصَاصِ وَجْهَانِ
Adapun jika seseorang yang lumpuh memotong tangan yang lumpuh, maka dalam hal qishāsh terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أنه لا قِصَاصَ بَيْنَهُمَا وَاعَتَلَّ بِأَنَّ الْعِلَّةَ فِي الْأَبْدَانِ تَتَفَاوَتُ وَلَا يُعْرَفُ مُنْتَهَاهَا فَصَارَ الشَّلَلَانِ مُخْتَلِفَيْنِ غَيْرَ مُتَمَاثِلَيْنِ فَسَقَطَ الْقِصَاصُ فِيهِ
Salah satu pendapat, yang dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa tidak ada qishāsh di antara keduanya. Ia beralasan bahwa sebab pada tubuh itu berbeda-beda dan tidak diketahui batas akhirnya, sehingga kedua kondisi lumpuh tersebut menjadi berbeda dan tidak serupa, maka gugurlah qishāsh dalam hal ini.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْقِصَاصَ فِيهِ وَاجِبٌ لِأَنَّ تَفَاوُتَ الشَّلَلِ يَكُونُ فِي نِهَايَتِهِ وَيَكُونُ فِي أَحَدِهِمَا أَكْثَرُ سِرَايَةً مِنْهُ فِي الْآخَرِ وَلَسْنَا نَسْتَوْفِي الْقِصَاصَ إِلَّا مِنْ حَدِّ الْقَطْعِ فَقَدْ تَسَاوَيَا فِي نَقْصِهِ فَيَجْرِي الْقِصَاصُ بَيْنَهُمَا فِي الشَّلَلِ كَمَا يَجْرِي مَعَ السَّلَامَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الشَّلَّاءُ مِنَ المَقْطُوعِ يُمْنَاهُ وَمِنَ الْقَاطِعِ يُسْرَاهُ فَلَا قِصَاصَ بَيْنَهُمَا لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْ يُمْنَى بِيُسْرَى وَسَوَاءٌ كَانَ الشَّلَلُ حَادِثًا مَعَ الْوِلَادَةِ أَوْ طَارِئًا بَعْدَهَا
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan mayoritas ulama mazhab kami, menyatakan bahwa qishāsh wajib diterapkan dalam kasus ini. Sebab, perbedaan tingkat kelumpuhan terjadi pada akhirnya, dan pada salah satunya bisa jadi penyebaran (dampak) kelumpuhan lebih besar dibandingkan yang lain. Namun, kami hanya menunaikan qishāsh sebatas batas pemotongan saja, sehingga keduanya setara dalam hal kekurangan (kerusakan anggota tubuh), maka qishāsh berlaku di antara keduanya dalam kasus kelumpuhan sebagaimana berlaku pada anggota tubuh yang sehat, kecuali jika anggota yang lumpuh adalah tangan kanan dari pihak yang terpotong dan tangan kiri dari pihak yang memotong, maka tidak ada qishāsh di antara keduanya, karena tidak boleh membalas tangan kanan dengan tangan kiri. Sama saja apakah kelumpuhan itu sudah ada sejak lahir atau terjadi setelahnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ قَطَعَ أُصْبُعَهُ فَتَأكلَتْ فَذَهَبَتْ كَفُّهُ أُقِيدَ مِنَ الأُصْبُعِ وَأُخِذَ أَرْشُ يَدِهِ إِلَّا أُصْبُعًا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang memotong jarinya lalu luka itu membusuk sehingga telapak tangannya hilang, maka pelaku dikenai qishāsh atas jarinya dan diambil diyat untuk tangannya kecuali satu jari.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيمَنْ قَطَعَ أصْبع رَجُلٍ فَسَرَى الْقَطْعُ إِلَى أَنْ تَآكَلَتْ كَفُّهُ ثُمَّ انْدَمَلَتْ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى وُجُوبِ الْقِصَاصِ عَلَيْهِ فِي الْأصْبع دُونَ الْكَفِّ فَأَوْجَبَهُ فِي الْجِنَايَةِ دُونَ السِّرَايَةِ
Al-Mawardi berkata, “Sebagaimana telah disebutkan, para fuqaha berbeda pendapat mengenai seseorang yang memotong jari seorang laki-laki, lalu potongan itu menjalar hingga telapak tangannya rusak, kemudian sembuh. Imam Syafi’i berpendapat bahwa wajib dikenakan qishāsh atas pelaku hanya pada jari, bukan pada telapak tangan. Maka, ia mewajibkan qishāsh atas tindak pidana (asal) dan bukan atas akibat yang menjalar.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا قِصَاصَ عَلَيْهِ فِي الْأصْبع وَلَا فِي الْكَفِّ فَأَسْقَطَهُ فِي الْجِنَايَةِ والسراية
Abu Hanifah berkata, tidak ada qishash atasnya pada jari maupun pada telapak tangan, maka beliau menggugurkannya dalam kasus jinayah dan saryah.
وقال آخرون يحب عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي جَمِيعِ الْكَفِّ فَأَوْجَبُوهُ فِي الْجِنَايَةِ وَالسِّرَايَةِ
Dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa qishāsh wajib dilakukan pada seluruh telapak tangan, maka mereka mewajibkannya baik dalam kasus kejahatan langsung maupun yang merambat.
وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى سُقُوطِ الْقِصَاصِ فِي الْجِنَايَةِ وَالسِّرَايَةِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ قَطْعَ الْيَدِ إِذَا سَرَى إِلَى النَّفْسِ وَجَبَ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ دُونَ الْيَدِ فَكَانَ الْقِصَاصُ عِنْدَهُ مُعْتَبَرًا بِالسِّرَايَةِ دُونَ الْجِنَايَةِ وَلَيْسَ فِي السِّرَايَةِ هَاهُنَا قِصَاصٌ فَسَقَطَ فِي الْجِنَايَةِ وَاحْتَجَّ بَعْدَهُ بِأَمْرَيْنِ
Abu Hanifah berdalil tentang gugurnya qishash dalam tindak pidana dan akibat lanjutannya berdasarkan pendapat dasarnya, yaitu bahwa apabila pemotongan tangan berlanjut hingga menyebabkan kematian, maka wajib qishash atas jiwa, bukan atas tangan. Maka menurutnya, qishash itu dipertimbangkan berdasarkan akibat lanjutan (sirāyah), bukan berdasarkan tindak pidananya (jināyah). Dan karena dalam akibat lanjutan di sini tidak ada qishash, maka gugurlah qishash dalam tindak pidananya. Setelah itu, ia berdalil dengan dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْجِنَايَةَ إِذَا لَمْ تُضْمَنْ سِرَايَتُهَا بِالْقَوَدِ لَمْ يُضْمَنْ أَصْلُهَا بِالْقَوَدِ كَالْخَطَأِ
Salah satunya adalah bahwa jika suatu tindak pidana tidak dijamin akibat lanjutannya dengan qishāsh, maka asal tindak pidananya pun tidak dijamin dengan qishāsh, seperti pada kasus kesalahan.
وَالثَّانِي أَنَّ هَذِهِ الْجِنَايَةَ قَدِ اجْتَمَعَ فِيهَا مُوجِبُ الْقِصَاصِ بِالْمُبَاشَرَةِ وَسَقَطَ لَهُ بِالسِّرَايَةِ وَإِذَا اجْتَمَعَ فِي الْجِنَايَةِ مُوجِبٌ وَمُسْقِطٌ غَلَبَ حُكْمُ الْإِسْقَاطِ عَلَى الْإِيجَابِ كَالْعَامِدِ إِذَا شَارَكَ خَاطِئًا
Kedua, bahwa dalam tindak pidana ini telah terkumpul sebab yang mewajibkan qishāsh karena tindakan langsung, namun gugur baginya karena dampak lanjutan. Apabila dalam suatu tindak pidana terkumpul sebab yang mewajibkan dan sebab yang menggugurkan, maka hukum pengguguran lebih diutamakan daripada kewajiban, seperti halnya seseorang yang sengaja melakukan kejahatan namun disertai oleh orang yang tidak sengaja.
وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ الْقِصَاصِ فِي الْجِنَايَةِ دُونَ السِّرَايَةِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ المائدة 45 وَالْجُرْحُ مُخْتَصٌّ بِالْجِنَايَةِ دُونَ السِّرَايَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ جِنَايَةٍ وَجَبَ الْقِصَاصُ فِيهَا مَعَ عَدَمِ السِّرَايَةِ وَجَبَ الْقِصَاصُ فِيهَا مَعَ وُجُودِ السِّرَايَةِ قِيَاسًا عَلَى قَطْعِ يَدِ الْحَامِلِ إِذَا سَرَى إِلَى إِسْقَاطِ حَمْلِهَا وَلِأَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ وُجُوبُ الْقِصَاصِ فِي الْجِنَايَةِ وَإِنِ انْتَهَتْ إِلَى مَا لَا قِصَاصَ فِيهِ كَمَنْ رَمَى رَجُلًا بِسَهْمٍ فَنَفَذَ السَّهْمُ إِلَى آخَرَ وَمَاتَا وَجَبَ الْقِصَاصُ لِلْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي وَلِأَنَّنَا نَبْنِيهِ عَلَى أَصْلِنَا فِي أَنَّهُ لَا يَسْقُطُ الْقِصَاصُ في الجناية وإن اقتص في السراية نقابل أَصْلَهُمْ وَقِيَاسُهُمْ عَلَى الْخَطَأِ فَاسِدٌ بِسِرَايَةِ الْجِنَايَةِ إِلَى الْحَمْلِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْخَطَأِ سُقُوطُ الْقِصَاصِ مَعَ الِانْدِمَالِ فَسَقَطَ مَعَ السِّرَايَةِ وَوُجُوبِ الْقِصَاصِ فِي الْعَمْدِ مَعَ الِانْدِمَالِ فَوَجَبَ مَعَ السِّرَايَةِ
Dalil tentang wajibnya qishāsh dalam tindak pidana (jināyah) dan bukan pada akibat lanjutannya (sirāyah) adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan luka-luka pun ada qishāshnya.” (Al-Mā’idah: 45). Luka di sini khusus untuk jināyah, bukan untuk sirāyah. Karena setiap jināyah yang mewajibkan qishāsh tanpa adanya sirāyah, maka qishāsh juga wajib jika terdapat sirāyah, dengan qiyās pada kasus pemotongan tangan wanita hamil yang menyebabkan gugurnya kandungan. Dan tidak terhalang wajibnya qishāsh dalam jināyah meskipun berujung pada sesuatu yang tidak ada qishāsh di dalamnya, seperti seseorang yang melempar orang lain dengan anak panah, lalu anak panah itu menembus hingga mengenai orang lain dan keduanya meninggal, maka qishāsh wajib untuk yang pertama, bukan yang kedua. Dan kami membangun pendapat ini di atas prinsip kami bahwa qishāsh tidak gugur dalam jināyah meskipun telah dilakukan qishāsh pada sirāyah, sebagai lawan dari prinsip mereka. Qiyās mereka terhadap kesalahan (khathā’) adalah rusak, karena sirāyah jināyah kepada janin. Adapun makna dalam kasus khathā’ adalah gugurnya qishāsh ketika luka telah sembuh, maka gugur pula dengan adanya sirāyah. Sedangkan wajibnya qishāsh dalam pembunuhan sengaja (‘amd) meskipun luka telah sembuh, maka wajib pula dengan adanya sirāyah.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى شَرِيكِ الْخَاطِئِ فَالْمَعْنَى فِيهِ مَعَ فَسَادِهِ بِالسِّرَايَةِ إِلَى الْحَمْلِ هُوَ أَنَّ قَتْلَ الشَّرِيكَيْنِ حَادِثٌ بِالسِّرَايَةِ وَلَمْ يَتَمَيَّزْ سِرَايَةُ الْعَمْدِ مِنْ سِرَايَةِ الْخَطَأِ فَسَقَطَ الْقَوَدُ عَنْهُمَا بِسُقُوطِهِ عَنْ أَحَدِهِمَا وَحُكْمُ الْجِنَايَةِ فِي مَسْأَلَتِنَا مُتَمَيِّزٌ عَنِ السِّرَايَةِ فَلَمْ يَكُنْ سُقُوطُ الْقَوَدِ فِي أَحَدِهِمَا مُوجِبًا لِسُقُوطِهِ فِيهِمَا كَمَا لَوْ قَطَعَ أَحَدُهُمَا يَدَهُ عَمْدًا وَقَطَعَ الْآخَرُ يَدَهُ الْأُخْرَى خَطَأً لَمَّا تَمَيَّزَ فِعْلُ أَحَدِهِمَا مِنْ فِعْلِ الْآخَرِ لَمْ يَكُنْ سُقُوطُ الْقَوَدِ عَنْ أَحَدِهِمَا مُوجِبًا لِسُقُوطِ الْقَوَدِ عَنِ الْآخَرِ
Adapun qiyās mereka terhadap rekan yang melakukan kesalahan, maka maknanya—di samping rusaknya qiyās tersebut karena adanya penyebaran (dampak) kepada janin—adalah bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh dua orang rekan terjadi karena penyebaran (dampak perbuatan), dan tidak dapat dibedakan antara penyebaran unsur sengaja dengan penyebaran unsur keliru, sehingga qishāsh gugur dari keduanya karena gugur dari salah satunya. Adapun hukum jināyah dalam permasalahan kita ini berbeda dengan penyebaran (dampak perbuatan), sehingga gugurnya qishāsh pada salah satunya tidak menyebabkan gugurnya pada keduanya. Sebagaimana jika salah satu dari keduanya memotong tangan korban secara sengaja dan yang lain memotong tangan korban yang lain secara keliru, maka ketika perbuatan masing-masing dapat dibedakan, gugurnya qishāsh dari salah satunya tidak menyebabkan gugurnya qishāsh dari yang lain.
فَصْلٌ
Fasal
وَاسْتَدَلَّ مَنْ أَوْجَبَ الْقِصَاصَ فِي الْجِنَايَةِ والسراية بأمرين
Orang yang mewajibkan qishāsh dalam tindak pidana dan akibat lanjutannya berdalil dengan dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ الْقِصَاصُ فِي السِّرَايَةِ إِذَا انْتَهَتْ إِلَى النَّفْسِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَجِبَ فِيهَا إِذَا كَانَتْ دُونَ النَّفْسِ
Salah satunya adalah bahwa ketika qishāsh wajib diterapkan pada kasus luka yang berlanjut hingga menyebabkan kematian, maka lebih utama lagi qishāsh itu wajib diterapkan pada luka yang tidak sampai menyebabkan kematian.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ الْقِصَاصُ فِيهَا إِذَا سَرَتْ إِلَى ذَهَابِ الْبَصَرِ وَجَبَ فِيهَا إِذَا سَرَتْ إِلَى طَرَفٍ
Dan yang kedua, bahwa ketika qishāsh wajib diterapkan padanya jika luka tersebut menjalar hingga menyebabkan hilangnya penglihatan, maka qishāsh juga wajib diterapkan padanya jika luka tersebut menjalar hingga mengenai anggota tubuh lainnya.
وَالدَّلِيلُ عَلَى سُقُوطِ الْقِصَاصِ فِي السِّرَايَةِ وَإِنْ وَجَبَ فِي الْجِنَايَةِ أَنَّ مَا أَمْكَنَ مُبَاشَرَةَ أَخْذِهِ بِغَيْرِ سِرَايَةٍ كَانَ انْتِهَاءُ السِّرَايَةِ إِلَيْهِ غَيْرَ مَقْصُودٍ وَمَا لَمْ يُقْصَدْ بِالْجِنَايَةِ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْخَطَأِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى قَدْ فَرَّقْنَا بَيْنَ السِّرَايَةِ إِلَى النَّفْسِ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ لِأَنَّ النَّفْسَ لَا تُؤْخَذُ إِلَّا بِالسِّرَايَةِ لِأَنَّهَا مُغَيَّبَةٌ تَسْرِي فِي جَمِيعِ الْبَدَنِ وَبَيْنَ السِّرَايَةِ إِلَى الطَّرَفِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يُؤْخَذَ بِالْمُبَاشَرَةِ دُونَ السِّرَايَةِ وَكَذَلِكَ السِّرَايَةُ إِلَى ذَهَابِ الْبَصَرِ لِأَنَّهُ مَحْسُوسٌ غَيْرُ مُشَاهَدٍ لَا يُؤْخَذُ فِي الْأَغْلَبِ إِلَّا بِالسِّرَايَةِ
Dalil tentang gugurnya qishāsh dalam kasus sirāyah, meskipun diwajibkan dalam tindak pidana asal, adalah bahwa sesuatu yang memungkinkan untuk diambil secara langsung tanpa sirāyah, maka terjadinya sirāyah padanya bukanlah sesuatu yang dimaksudkan. Dan apa yang tidak dimaksudkan dalam tindak pidana, maka berlaku atasnya hukum kesalahan (khathā’) dalam hal gugurnya qishāsh. Dengan makna inilah kami membedakan antara sirāyah yang menyebabkan kematian dalam kewajiban qishāsh—karena jiwa tidak dapat diambil kecuali melalui sirāyah, sebab jiwa itu tersembunyi dan menyebar di seluruh tubuh—dan antara sirāyah yang mengenai anggota tubuh dalam gugurnya qishāsh—karena anggota tubuh dapat diambil secara langsung tanpa sirāyah. Demikian pula sirāyah yang menyebabkan hilangnya penglihatan, karena penglihatan itu sesuatu yang dapat dirasakan namun tidak tampak, dan pada umumnya tidak dapat diambil kecuali melalui sirāyah.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْقِصَاصِ فِي الْجِنَايَةِ دُونَ السِّرَايَةِ قِيلَ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَنْتَ بِالْخِيَارِ فِي الْجِنَايَةِ بَيْنَ الْقِصَاصِ أَوِ الدِّيَةِ فَإِنْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ فِيهَا إِلَى الدِّيَةِ كَانَ لَهُ دِيَةُ الْكَفِّ كُلِّهَا وَهِيَ نِصْفُ الدِّيَةِ خَمْسُونَ مِنَ الإِبِلِ وَكَانَ دِيَةُ الْجِنَايَةِ مِنْهَا وَهِيَ دِيَةُ الْأُصْبُع الْمَقْطُوعَةِ عَشْر مِنَ الإِبِلِ دِيَةَ عَمْدٍ مَحْضٍ تَجِبُ فِي مَالِ الْجَانِي حَالَّةً وَفِي دِيَةِ السِّرَايَةِ إِلَى الْكَفِّ وَهِيَ أَرْبَعُونَ مِنَ الإِبِلِ وَجْهَانِ
Jika telah tetap kewajiban qishāsh dalam tindak pidana tanpa adanya sirāyah, maka dikatakan kepada korban: “Engkau berhak memilih dalam tindak pidana ini antara qishāsh atau diyat.” Jika ia memaafkan qishāsh dalam hal ini dengan mengambil diyat, maka ia berhak mendapatkan diyat seluruh tangan, yaitu setengah diyat, sebanyak lima puluh ekor unta. Adapun diyat untuk tindak pidananya sendiri, yaitu diyat untuk satu jari yang terpotong, adalah sepuluh ekor unta sebagai diyat ‘amd murni yang wajib dibayarkan dari harta pelaku secara tunai. Sedangkan dalam diyat sirāyah yang sampai ke tangan, yaitu empat puluh ekor unta, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إنَّهَا لِسُقُوطِ الْقِصَاصِ فِيهَا دِيَةُ خَطَأٍ تَجِبُ مُؤَجَّلَةً عَلَى الْعَاقِلَةِ
Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa karena gugurnya qishāsh dalam kasus ini, maka diwajibkan diyat khathā’ yang harus dibayarkan secara tangguh oleh ‘āqilah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إنَّهَا دِيَةُ عَمْدٍ تَجِبُ حَالَّةً فِي مَالِ الْجَانِي لِأَنَّهَا جِنَايَةٌ وَاحِدَةٌ فَلَمْ يَخْتَلِفْ حُكْمُ أَرْشِهَا وَإِنْ طَلَبَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ الْقِصَاصَ فِي الْجِنَايَةِ اقْتُصَّ لَهُ مِنْ أصْبع الْجَانِي وَأُخِذَ مِنْهُ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ دِيَةِ الْكَفِّ لِذَهَابِهَا بِالسِّرَايَةِ عَنْ جِنَايَةٍ وَذَلِكَ أَرْبَعُونَ مِنَ الإِبِلِ هِيَ دِيَةُ أَرْبَعِ أَصَابِعَ وَأُصُولِهَا مِنَ الكَفِّ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَدْخُلُ فِيهَا أَرْشُ أَصْلِ الْأصْبع الْمَأْخُوذِ قَوَدًا أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang tampak dari Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, adalah bahwa itu merupakan diyat ‘amdan yang wajib dibayarkan secara tunai dari harta pelaku, karena ini merupakan satu tindak pidana, sehingga hukum arsy-nya tidak berbeda. Jika korban meminta qishāsh atas tindak pidana tersebut, maka akan dilakukan qishāsh pada satu jari pelaku, dan diambil darinya empat per lima diyat telapak tangan karena hilangnya akibat penyebaran (kerusakan) dari satu tindak pidana, dan itu adalah empat puluh ekor unta, yaitu diyat untuk empat jari beserta pangkalnya dari telapak tangan. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah dalam hal ini termasuk arsy pangkal jari yang diambil dengan qishāsh atau tidak, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَدْ دَخَلَ فِي حُكْمِ الْقِصَاصِ تَبَعًا لِدُخُولِهِ في حكم الدية تبعاً وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إنَّ أُصُولَ الْأَصَابِعِ مِنَ الكَفِّ تَكُونُ تَبَعًا لَهَا فِي الدِّيَةِ وَلَا تَكُونُ تَبَعًا لَهَا فِي الْقِصَاصِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ قَطَعَ أصابعه الْخَمْسَ كَانَ عَلَيْهِ خَمْسُونَ مِنَ الإِبِلِ وَلَوْ قَطَعَهَا مَعَ الْكَفِّ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْخَمْسُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ فَصَارَتِ الْكَفُّ تَبَعًا لِلْأَصَابِعِ فِي الدِّيَةِ وَلَوْ قَطَعَ أَصَابِعَهُ الْخَمْسَ ثُمَّ سَرَتْ إِلَى الْكَفِّ اقْتُصَّ مِنْ خَمْسِ أَصَابِعِهِ وَوَجَبَ عَلَيْهِ أَرْشُ الْكَفِّ وَلَمْ يَكُنْ أَرْشُ الْكَفِّ تَبَعًا لِلْقِصَاصِ فَاقْتَضَى هَذَا التَّعْلِيلُ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ أَرْشُ مَا يَجِبُ لِلْأصْبع الْمُقْتَصِّ مِنْهَا مِنَ الكَفِّ مُضَافًا إِلَى دِيَةِ الْأَصَابِعِ الْأَرْبَعِ وَهَلْ يَكُونُ جَمِيعُهُ حَالًّا فِي مَالِ الْجَانِي أَوْ مُؤَجَّلًا عَلَى عَاقِلَتِهِ عَلَى الْوَجْهَيْنِ الْمَاضِيَيْنِ
Salah satu pendapat menyatakan bahwa telapak tangan telah termasuk dalam hukum qishāsh karena telah termasuk dalam hukum diyat secara turutan. Pendapat kedua, yang merupakan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa pangkal-pangkal jari dari telapak tangan mengikuti jari-jari dalam diyat, tetapi tidak mengikutinya dalam qishāsh. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang memotong kelima jarinya, maka ia wajib membayar lima puluh ekor unta, dan jika ia memotong kelima jari tersebut beserta telapak tangannya, maka ia tetap wajib membayar lima puluh ekor unta tanpa tambahan. Maka telapak tangan menjadi mengikuti jari-jari dalam diyat. Jika seseorang memotong kelima jarinya lalu luka itu menjalar ke telapak tangan, maka dilakukan qishāsh atas kelima jarinya dan ia wajib membayar arsy (ganti rugi) untuk telapak tangan, dan arsy telapak tangan tidak mengikuti qishāsh. Maka penjelasan ini menuntut agar diambil darinya arsy untuk bagian telapak tangan yang wajib bagi jari yang dikenai qishāsh, ditambahkan kepada diyat empat jari lainnya. Adapun apakah seluruhnya harus dibayar langsung dari harta pelaku atau ditangguhkan kepada ‘āqilah-nya, maka hal ini mengikuti dua pendapat yang telah lalu.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه ولم ينتظر به أن يراقى إلى مثل جِنَايَتِهِ أَوَّلًا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Dan tidak perlu menunggu sampai dilakukan qiyās terhadap perbuatannya terlebih dahulu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا اقْتُصَّ مِنْ أصْبع الْجَانِي فَسَرَتْ إِلَى كَفّهِ كَسِرَايَةِ جِنَايَتِهِ مِنْ أصْبع الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ إِلَى كَفِّهِ لَمْ تَكُنِ السِّرَايَةُ قِصَاصًا مِنَ السِّرَايَةِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, yaitu apabila telah dilakukan qishāsh pada jari pelaku, lalu luka tersebut menjalar ke telapak tangannya, sebagaimana penyerangan yang dilakukan pelaku terhadap jari korban yang juga menjalar ke telapak tangannya, maka penularan luka tersebut tidak dianggap sebagai qishāsh atas penularan luka.”
فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَتِ السِّرَايَةُ إِلَى الْأَطْرَافِ قِصَاصًا كَمَا كَانَتِ السِّرَايَةُ إِلَى النَّفْسِ قِصَاصًا
Jika dikatakan, “Mengapa penularan (kerusakan) ke anggota tubuh tidak dianggap sebagai qishāsh sebagaimana penularan (kerusakan) yang sampai pada jiwa dianggap sebagai qishāsh?”
قِيلَ النَّفْسُ لَا تُؤْخَذُ بِالْمُبَاشَرَةِ وَإِنَّمَا تُؤْخَذُ بِالسِّرَايَةِ وَالْأَطْرَافُ تُؤْخَذُ بِالْمُبَاشَرَةِ دُونَ السِّرَايَةِ وَلِذَلِكَ وَجَبَ الْقِصَاصُ فِي سِرَايَةِ النَّفْسِ وَلَمْ تَجِبْ فِي سِرَايَةِ الْأَطْرَافِ فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ لَوْ شَجَّهُ مُوضِحَةً فَسَرَتْ إِلَى ذَهَابِ بَصَرِهِ فَاقْتُصَّ مِنْ مُوضِحَةِ الْجَانِي فَسَرَتْ إِلَى بَصَرِهِ كَانَتِ السِّرَايَةُ قِصَاصًا وَلَيْسَ ذَلِكَ سِرَايَةً إِلَى نَفْسٍ فَهَلَّا كَانَ فِي السِّرَايَةِ إِلَى الطَّرَفِ كَذَلِكَ
Dikatakan bahwa jiwa tidak diqisas karena tindakan langsung, melainkan diqisas karena dampak lanjutan (sirāyah), sedangkan anggota tubuh diqisas karena tindakan langsung, bukan karena dampak lanjutan. Oleh karena itu, qisas wajib dalam kasus dampak lanjutan yang menyebabkan kematian, namun tidak wajib dalam dampak lanjutan pada anggota tubuh. Jika dikatakan, bukankah jika seseorang melukai orang lain dengan luka muḍīḥah (luka yang menampakkan tulang) lalu luka itu menyebabkan hilangnya penglihatan, kemudian dilakukan qisas pada luka muḍīḥah pelaku, lalu luka itu menyebabkan pelaku kehilangan penglihatan, maka dampak lanjutan itu dianggap sebagai qisas, dan itu bukanlah dampak lanjutan yang menyebabkan kematian? Lalu mengapa dalam dampak lanjutan pada anggota tubuh tidak berlaku seperti itu juga?
قِيلَ لِأَنَّ أَخْذَ الْبَصَرِ يَكُونُ بِالسِّرَايَةِ كَالنَّفْسِ لِأَنَّ ضَوْءَ الْبَصَرِ غَيْرُ مُشَاهَدٍ وَلِذَلِكَ وَجَبَ الْقِصَاصُ فِي السِّرَايَةِ إِلَى ذَهَابِ الْبَصَرِ قِصَاصًا بِالسِّرَايَةِ إِلَى ذَهَابِ الْبَصَرِ قِصَاصًا بِالسِّرَايَةِ إِلَى ذَهَابِ الْبَصَرِ قِصَاصًا
Dikatakan bahwa hilangnya penglihatan dapat terjadi melalui proses penularan (sirāyah), seperti halnya jiwa, karena cahaya penglihatan itu sendiri tidak tampak. Oleh karena itu, diwajibkan qishāsh dalam kasus penularan yang menyebabkan hilangnya penglihatan, sebagai qishāsh atas penularan yang menyebabkan hilangnya penglihatan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ سِرَايَةَ الْقِصَاصِ إِلَى الْكَفِّ لَا تَكُونُ قِصَاصًا مِنْ سِرَايَةِ الْجِنَايَةِ إِلَى الْكَفِّ فَإِذَا اقْتَصَصْنَا مِنْ أصْبع الْجَانِي أَخَذْنَا الْبَاقِيَ مِنْ دِيَةِ الْكَفِّ عَلَى مَا وَصَفْنَا وَلَمْ يُنْتَظَرْ بِأصْبعهِ أَنْ يَنْتَهِيَ فِي السِّرَايَةِ إِلَى مِثْلِ سِرَايَةِ جِنَايَتِهِ لِأَنَّهَا لَوِ انْتَهَتْ إِلَيْهِ لَمْ يَكُنْ قِصَاصًا فَلَمْ يَكُنْ لِلِانْتِظَارِ وَجْهٌ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَلِمَ يُنْتَظَرْ بِهِ أَنْ يُرَاقَى إِلَى مِثْلِ جِنَايَتِهِ أَوَّلًا فَإِنْ سَرَتْ أَكَلَةُ الْكَفِّ إِلَى نَفْسِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بَعْدَ الِاقْتِصَاصِ مِنْ أصْبع الْجَانِي نُظِرَ فَإِنْ كَانَتِ السِّرَايَةُ إِلَى نَفْسِهِ بَعْدَ أَخْذِ دِيَةِ بَاقِي كَفِّهِ فَلَا قِصَاصَ لَهُ فِي النَّفْسِ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى بَعْضَ دِيَتِهَا فَيَسْتَوْفِي مَا بَقِيَ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ وَذَلِكَ نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ بِالْقِصَاصِ وَالْأَرْشِ نِصْفَهَا الْآخَرَ وَإِنْ كَانَتِ السِّرَايَةُ قَبْلَ أَخْذِ الْبَاقِي مِنْ دِيَةِ كَفِّهِ فَفِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي دِيَةِ السِّرَايَةِ إِلَى الْكَفِّ هَلْ يَكُونُ دِيَةَ عَمْدٍ أَوْ خَطَأٍ
Jika telah tetap bahwa penyebaran (sarayah) qishāsh ke telapak tangan tidak dianggap sebagai qishāsh dari penyebaran jināyah ke telapak tangan, maka apabila kita telah melakukan qishāsh pada jari pelaku, kita mengambil sisa diyat telapak tangan sebagaimana telah dijelaskan, dan tidak perlu menunggu apakah jarinya akan mengalami penyebaran seperti penyebaran jināyahnya, karena jika memang penyebaran itu terjadi, maka itu tidak dianggap sebagai qishāsh, sehingga tidak ada alasan untuk menunggu. Inilah maksud dari perkataan Imam Syafi‘i: “Tidak perlu menunggu hingga penyebaran itu mencapai seperti jināyahnya semula.” Jika setelah dilakukan qishāsh pada jari pelaku, penyakit (akalah) pada telapak tangan menyebar hingga menyebabkan kematian korban, maka dilihat lagi: jika penyebaran ke jiwa terjadi setelah diambil diyat sisa telapak tangannya, maka tidak ada qishāsh atas jiwa, karena sebagian diyatnya telah terpenuhi, sehingga yang diambil hanyalah sisa dari diyat jiwa, yaitu setengah diyat, karena dengan qishāsh dan arsy (ganti rugi), setengahnya yang lain telah diambil. Namun jika penyebaran terjadi sebelum diambil sisa diyat telapak tangannya, maka dalam kewajiban qishāsh atas jiwa terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat ulama kami mengenai diyat penyebaran ke telapak tangan, apakah termasuk diyat ‘amdan (sengaja) atau khathā’ (tidak sengaja).
أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهَا دِيَةُ خَطَأٍ فَعَلَى هَذَا لَا قَوَدَ فِي السِّرَايَةِ إِلَى النَّفْسِ وَيُعْدَلُ إِلَى اسْتِكْمَالِ الدِّيَةِ لِيَأْخُذَ تِسْعِينَ من الإبل لاقتصاصه من إصبع ديتها عشر مِنَ الإِبِلِ وَعَلَى هَذَا لَوْ سَرَى الْقِصَاصُ مِنَ الجَانِي إِلَى نَفْسِهِ لَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ الدِّيَةُ وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ مُقْتَضَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَوْلِ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيِّ إنَّهَا دِيَةُ عَمْدٍ فَعَلَى هَذَا يَسْتَحِقُّ الْقِصَاصَ فِي النَّفْسِ إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ إِلَى الدية فيعطاها إلى دِيَةَ أصْبع وَعَلَى هَذَا لَوْ سَرَى الْقِصَاصُ مِنْ أصْبع الْجَانِي إِلَى نَفْسِهِ كَانَتْ سِرَايَتُهُ قِصَاصًا لَأَنَّ سِرَايَةَ جِنَايَتِهِ مُوجِبَةٌ لِلْقِصَاصِ وَاللَّهُ أعلم
Salah satu dari dua pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa itu adalah diyat khata’ (diyat karena kesalahan). Berdasarkan pendapat ini, tidak ada qishash dalam kasus siraayah (penyebaran luka) yang menyebabkan kematian, dan sebagai gantinya, diyat disempurnakan sehingga pelaku membayar sembilan puluh ekor unta, karena untuk satu jari diyatnya adalah sepuluh ekor unta. Berdasarkan ini, jika qishash yang dijatuhkan kepada pelaku menyebabkan kematian dirinya sendiri, maka diyat tidak gugur darinya. Pendapat kedua, yang merupakan konsekuensi dari pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan Abu Hamid al-Isfara’ini, menyatakan bahwa itu adalah diyat ‘amdan (diyat karena kesengajaan). Berdasarkan pendapat ini, pelaku berhak dijatuhi qishash pada jiwa, kecuali jika dimaafkan dengan membayar diyat, maka ia membayar diyat sebesar diyat satu jari. Berdasarkan ini, jika qishash pada jari pelaku menyebabkan kematian dirinya, maka penyebaran akibat tersebut dianggap sebagai qishash, karena penyebaran akibat tindakannya mewajibkan qishash. Dan Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي عنه وَلَوْ سَأَلَ الْقَوَدَ سَاعَةَ قَطْعِ أصْبعهِ أَقَدْتُهُ فَإِنْ ذَهَبَتْ كَفُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ جَعَلْتُ عَلَى الْجَانِي أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِ دِيَتِهَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika (korban) meminta qishāsh pada saat jarinya dipotong, aku akan melaksanakan qishāsh. Namun jika telapak tangan korban hilang (terpotong seluruhnya), maka aku menetapkan atas pelaku untuk membayar empat per lima dari diyat telapak tangan tersebut.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كما قال يجوز القصاص في الأطراف قَبْلَ انْدِمَالِهَا
Al-Mawardi berkata, “Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan, diperbolehkan melakukan qishāsh pada anggota tubuh sebelum lukanya sembuh.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَالْمُزَنِيُّ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْ طَرَفٍ أَوْ جُرْحٍ حَتَّى يَنْدَمِلَ أَوْ يَسْرِيَ إِلَى النَّفْسِ وَبَنَاهُ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى أَصْلِهِ الَّذِي تَقَدَّمَ فِيهِ الْكَلَامُ مَعَهُ مِنْ أَنَّ سِرَايَتَهُ إِلَى مَا دُونَ النَّفْسِ مُوجِبَةٌ لِسُقُوطِ الْقَوَدِ فِيهِ احْتِجَاجًا بِرِوَايَةِ ابْنُ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَجُلًا جُرِحَ فَأَرَادَ أَنْ يَسْتَقِيدَ فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يُسْتَقَادَ مِنَ الجَارِحِ حَتَّى يَبْرَأَ الْمَجْرُوحُ
Abu Hanifah, Malik, dan al-Muzani berpendapat bahwa tidak boleh dilakukan qishash pada anggota tubuh atau luka hingga luka tersebut sembuh atau hingga menyebar ke jiwa. Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya pada prinsip yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu bahwa jika luka tersebut menyebar ke selain jiwa, maka hal itu menyebabkan gugurnya qishash padanya, dengan berdalil pada riwayat Ibnu Juraij dari Ibnu Zubair dari Jabir bahwa ada seorang laki-laki yang terluka dan ingin melakukan qishash, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk melakukan qishash terhadap pelaku hingga orang yang terluka tersebut sembuh.
وَرَوَى يَزِيدُ بْنُ عِيَاضٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال يتسانا بِالْجِرَاحَاتِ سَنَةً وَلِأَنَّ الْقَوَدَ أَحَدُ الْبَدَلَيْنِ فَلَمْ يَجُزِ اسْتِيفَاؤُهُ قَبْلَ اسْتِقْرَارِ الْجِنَايَةِ كَالدِّيَةِ وَلِأَنَّ الْقَوَدَ مِنَ الطَّرَفِ قَبْلَ اسْتِقْرَارِ الْجِنَايَةِ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَسْرِيَ إِلَى نَفْسِ الْجَانِي قَبْلَ سِرَايَتِهِ إِلَى نَفْسِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَإِنْ جَعَلْتُمُوهُ قصاصاً في النفس كان سالفاً في قتل قبل استحقاقه وذلك غير جائز قصاصاً إن أَخَذْتُمُ الدِّيَةَ كُنْتُمْ قَدْ جَمَعْتُمْ بَيْنَ الْقِصَاصِ وَالدِّيَةِ وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ
Yazid bin ‘Iyadh meriwayatkan dari Abu az-Zubair dari Jabir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dalam kasus luka-luka, dilakukan qiyas (penyerupaan hukum) selama satu tahun.” Karena qisas adalah salah satu dari dua pengganti (hukuman), maka tidak boleh dilaksanakan sebelum kepastian terjadinya tindak pidana, sebagaimana halnya diyat. Dan karena qisas pada anggota tubuh sebelum kepastian terjadinya tindak pidana bisa saja menyebabkan luka itu menyebar ke tubuh pelaku sebelum menyebar ke tubuh korban. Jika kalian menjadikannya sebagai qisas jiwa, maka itu berarti mendahulukan pembunuhan sebelum haknya diperoleh, dan itu tidak boleh dalam qisas. Jika kalian mengambil diyat, berarti kalian telah menggabungkan antara qisas dan diyat, dan itu tidak diperbolehkan.
وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَيُّوبَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَجُلًا طَعَنَ رَجُلًا بِقَرْنٍ فِي رُكْبَتِهِ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَسْتَقِيدُ فَقِيلَ لَهُ حَتَّى تَبْرَأَ فَأَبَى وَعَجَّلَ فَاسْتَقَادَ فَعَرَجَتْ رِجْلُهُ وَبَرِئَتْ رِجْلُ الْمُسْتَقَادِ مِنْهُ فأتى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ لَيْسَ لَكَ شَيْءٌ أَنْتَ أَبَيْتَ فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ
Dan dalil kami adalah riwayat dari Ayyub, dari ‘Amr bin Dinar, dari Jabir, bahwa seorang laki-laki menusuk lutut laki-laki lain dengan tanduk, lalu ia datang kepada Nabi ﷺ untuk meminta qishāsh. Maka dikatakan kepadanya, “Tunggulah sampai sembuh.” Namun ia menolak dan meminta agar segera dilakukan qishāsh, lalu qishāsh pun dilaksanakan. Akibatnya, kaki pelaku qishāsh menjadi pincang, sedangkan kaki orang yang diqishāsh darinya sembuh. Kemudian ia datang kepada Nabi ﷺ, maka beliau bersabda, “Engkau tidak mendapatkan apa-apa, karena engkau telah menolak (untuk menunggu).” Hadis ini menunjukkan tiga hal.
أَحَدُهَا جَوَازُ تَعْجِيلِ الْقَوَدِ قَبْلَ الِانْدِمَالِ
Salah satunya adalah bolehnya pelaksanaan qisas sebelum luka sembuh.
وَالثَّانِي أَنَّ تَأْخِيرَهُ إِلَى وَقْتِ الِانْدِمَالِ اسْتِحْبَابٌ
Yang kedua, bahwa menunda (penyembelihan) hingga waktu sembuhnya (luka) adalah sesuatu yang dianjurkan.
وَالثَّالِثُ جَوَازُ الْقَوَدِ مِنَ الجِنَايَةِ بِغَيْرِ الْحَدِيدِ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ كَانَتْ بِقَرْنٍ وَهَذَا الْحَدِيثُ ذَكَرَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ فِي سُنَنِهِ وَلِأَنَّ الْقَوَدَ وَاجِبٌ بِالْجِنَايَةِ وَالِانْدِمَالَ عَافِيَةٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى لَا تُوجِبُ سُقُوطَ الْقَوَدِ وَسِرَايَتُهَا لَا تَمْنَعُ مِنِ اسْتِيفَائِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ اسْتِقْرَارُ الْجِنَايَةِ عَلَى أَحَدِ الْحَالَيْنِ غَيْرُ مَانِعٍ مِنْ تَعْجِيلِ الْقَوَدِ وَلِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّ فِيهِ الْقَوَدُ لَمْ يَلْزَمْ تَأْخِيرُهُ كَالْمُنْدَمِلِ
Ketiga, bolehnya melakukan qisas atas tindak pidana dengan selain besi, karena tindak pidananya dilakukan dengan tanduk. Hadis ini disebutkan oleh ad-Daraquthni dalam Sunan-nya. Qisas wajib dilakukan atas tindak pidana, dan sembuhnya luka adalah karunia dari Allah Ta‘ala yang tidak menyebabkan gugurnya qisas, serta penyebaran luka tidak menghalangi pelaksanaan qisas. Maka, haruslah ketetapan tindak pidana pada salah satu dari dua keadaan itu tidak menjadi penghalang untuk menyegerakan qisas. Dan sesuatu yang berhak dikenakan qisas di dalamnya tidak mesti ditunda pelaksanaannya, seperti pada kasus luka yang telah sembuh.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْخَبَرِ الْأَوَّلِ فَمَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ بِدَلِيلِ خَبَرِنَا
Adapun dalil mereka dengan hadis pertama, maka itu dimaknai sebagai anjuran (istihbāb), berdasarkan dalil dari hadis kami.
وَأَمَّا الْخَبَرُ الثَّانِي فَمَتْرُوكٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Adapun khabar yang kedua, maka ditinggalkan dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا ضَعْفُ رَاوِيِهِ قَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ يَزِيدُ بْنُ عِيَاضٍ ضَعِيفٌ مَتْرُوكٌ
Salah satunya adalah kelemahan perawi hadis tersebut. Al-Daraquthni berkata, Yazid bin ‘Iyadh adalah perawi yang lemah dan ditinggalkan.
وَالثَّانِي أَنَّ تَقْدِيرَ تَأْخِيرِهِ بِالسَّنَةِ لَا يَلْزَمُ بِالْإِجْمَاعِ
Yang kedua, bahwa penetapan penundaan selama satu tahun tidaklah wajib menurut ijmā‘.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الدِّيَةِ فَهُوَ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ فِي أَخْذِ دِيَةِ الطَّرَفِ قَبْلَ انْدِمَالِهِ قَوْلَانِ
Adapun jawaban terhadap qiyās mereka atas diyat adalah bahwa menurut Imam Syafi‘i dalam hal pengambilan diyat anggota tubuh sebelum sembuhnya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا قَالَهُ فِي كِتَابِ الْمُكَاتِبِ لَوْ جَنَى السَّيِّدُ عَلَى عَبْدِهِ الْمُكَاتِبِ فَقَطَعَ يَدَهُ كَانَ لَهُ أَنْ يُعَجِّلَ أَرْشَ يَدِهِ قِصَاصًا مِنْ كِتَابَتِهِ فَخَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا قَوْلًا فِي جَوَازِ تَعْجِيلِ الْأَرْشِ قَبْلَ الِانْدِمَالِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ أَقَلَّ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ أُخِذَ جَمِيعُهَا وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ كَقَطْعِ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي أَخْذِ مَا زَادَ عَلَى دِيَةِ النَّفْسِ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ
Salah satunya disebutkan dalam Kitab al-Mukatib: Jika seorang tuan melakukan jinayah terhadap budaknya yang mukatab lalu memotong tangannya, maka ia boleh mempercepat pembayaran arsy (ganti rugi) atas tangannya sebagai qishash dari akad mukatabnya. Para sahabat kami mengeluarkan pendapat tentang bolehnya mempercepat pembayaran arsy sebelum luka sembuh. Berdasarkan hal ini, jika arsy jinayah itu kurang dari diyat jiwa, maka diambil seluruhnya. Namun jika lebih dari diyat jiwa, seperti memotong kedua tangan dan kedua kakinya, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentang pengambilan kelebihan dari diyat jiwa, ada dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfirayini.
أَحَدُهُمَا يُؤْخَذُ مِنْهُ دِيَاتُ الْأَطْرَافِ وَإِنْ كَانَتْ أربعا فوق دية النفس اعتبارا بحال الجناية كالقود
Salah satunya adalah diambil darinya diyat anggota tubuh, meskipun jumlahnya mencapai empat kali lipat dari diyat jiwa, dengan mempertimbangkan keadaan tindak pidana, sebagaimana dalam kasus qishāsh.
والثاني حكاه عن أبي إسحاق المروزي أَنَّهُ لَا يُؤْخَذُ مِنْهُ أَكْثَرُ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ لِجَوَازِ السِّرَايَةِ إِلَيْهَا فَلَا يَجِبُ أَكْثَرُ مِنْهَا فَلَا يُؤْخَذُ مَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَرْجَعَ فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ قَدْ بَطَلَ أَصْلُ الْقِيَاسِ لِلتَّسْوِيَةِ بَيْنَ الدِّيَةِ وَالْقَوَدِ فِي اسْتِيفَائِهِمَا قَبْلَ الِانْدِمَالِ
Pendapat kedua, yang dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, adalah bahwa tidak boleh diambil darinya lebih dari diyat jiwa karena dimungkinkan terjadinya penyebaran (luka) hingga menyebabkan kematian, sehingga tidak wajib diambil lebih dari itu. Maka tidak diambil sesuatu yang mungkin harus dikembalikan. Berdasarkan pendapat ini, dasar qiyās untuk menyamakan antara diyat dan qisas dalam pelaksanaannya sebelum luka sembuh menjadi batal.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي جَمِيعِ كُتُبِهِ وَالْمَعْمُولُ عَلَيْهِ عِنْدَ سَائِرِ أَصْحَابِنَا إنَّهُ لَا يَجُوزُ أَخْذُ الدِّيَةِ قَبْلَ الِانْدِمَالِ وَإِنْ كَانَ الْقَوَدُ قَبْلَهُ
Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang benar dan dinyatakan secara tegas dalam seluruh kitab-kitabnya serta dijadikan pegangan oleh seluruh ulama mazhab kami, adalah bahwa tidak boleh mengambil diyat sebelum luka sembuh, meskipun qishāsh boleh dilakukan sebelumnya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْقَوَدَ لَا يَسْقُطُ بِمَا حَدَثَ بَعْدَ الْجِنَايَةِ مِنِ انْدِمَالٍ أَوْ سِرَايَةٍ فَجَازَ أَنْ يُسْتَوْفَى قَبْلَ اسْتِقْرَارِهَا وِدِيَةُ الطَّرَفِ لَا تَسْتَقِرُّ إِلَّا بَعْدَ الِانْدِمَالِ لِأَنَّهُ إِن قَطَعَ أصْبعا أَرْشُهَا عُشْرُ الدِّيَةِ فَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يُشَارِكَهُ فِي قَتْلِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مِائَةُ نَفْسٍ فَلَا يَلْزَمُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الجَمَاعَةِ مِنَ الدِّيَةِ إِلَّا عُشْرُ عُشْرِهَا فَيَحْتَاجُ إِلَى أَنْ يَرُدَّ عَلَى قَاطِعِ الْأصْبع الزِّيَادَةَ عَلَيْهِ فَافْتَرَقَا
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa qawad tidak gugur karena sesuatu yang terjadi setelah terjadinya tindak pidana, seperti sembuhnya luka atau menyebarnya luka, sehingga boleh dilaksanakan sebelum keadaan luka itu benar-benar menetap. Sedangkan diyat anggota tubuh tidak menjadi tetap kecuali setelah luka itu sembuh, karena jika seseorang memotong satu jari yang diyatnya sepersepuluh dari diyat penuh, bisa jadi ada seratus orang yang turut serta dalam membunuh korban, sehingga masing-masing dari kelompok itu hanya wajib membayar sepersepuluh dari sepersepuluh diyat. Maka, perlu mengembalikan kelebihan pembayaran kepada pemotong jari tersebut. Dengan demikian, keduanya berbeda.
فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَحْدُثَ فِي الْقَوَدِ مِثْلُهُ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُشْرِكَهُ قَبْلَ انْدِمَالِ الْأصْبع خَاطِئٌ فَتَسْرِي الْجِنَايَتَانِ إِلَى نَفْسِهِ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ عَلَى الْعَامِدِ قِيلَ إِنَّمَا يَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنِ الْعَامِدِ فِي النَّفْسِ إِذَا شَارَكَهُ خَاطِئٌ بِخُرُوجِ النَّفْسِ بِعَمْدِهِ وَخَطَئِهِ فَأَمَّا الطَّرَفُ الَّذِي تَفَرَّدَ الْعَامِدُ بِأَخْذِهِ فَلَا يَسْقُطُ الْقَوَدُ فِيهِ بِمُشَارَكَةِ الْخَاطِئِ لَهُ فِي النَّفْسِ وَصَارَ الْقَوَدُ فِي الطَّرَفِ مَحْتُوم الِاسْتِحْقَاقِ
Jika dikatakan, “Bisa jadi dalam kasus qawad (pembalasan setimpal) terjadi hal serupa, karena mungkin saja sebelum luka pada jari itu sembuh, ada orang lain yang secara tidak sengaja turut serta melukai, sehingga dua tindak pidana itu berakibat pada orang yang sama, lalu gugurlah qawad atas pelaku yang sengaja,” maka dijawab: Sesungguhnya qawad atas pelaku yang sengaja hanya gugur dalam kasus jiwa apabila ada pelaku tidak sengaja yang turut serta, sehingga kematian terjadi karena gabungan antara perbuatan sengaja dan tidak sengaja. Adapun pada anggota tubuh yang diambil secara khusus oleh pelaku sengaja, maka qawad tidak gugur hanya karena ada pelaku tidak sengaja yang turut serta dalam kasus jiwa. Dengan demikian, qawad pada anggota tubuh tetap menjadi hak yang pasti untuk diperoleh.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ هَذَا يُفْضِي عِنْدَ السِّرَايَتَيْنِ إلى السلف في القصاص فهو أن تقول لَا تَخْلُو السِّرَايَتَانِ بَعْدَ الْجِنَايَةِ وَالْقِصَاصِ مِنْ أن تتقدم سِرَايَةُ الْجِنَايَةِ أَوْ سِرَايَةُ الْقِصَاصِ فَإِنْ تَقَدَّمَتْ سراية الجناية على سراية القصاص فقد استوفى بسراية القصاص ما وجب في سراية الجناية من القصاص وإن تقدمت سراية القصاص على سراية الجناية فَفِيهِ وَجْهَانِ
Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa hal ini akan mengakibatkan, ketika terjadi dua penyebaran (sarayatain), adanya utang dalam pelaksanaan qishash, maka dapat dikatakan: Tidak lepas dua penyebaran tersebut setelah terjadinya tindak pidana dan pelaksanaan qishash, dari kemungkinan salah satunya mendahului yang lain, yaitu apakah penyebaran akibat tindak pidana terjadi lebih dahulu atau penyebaran akibat qishash yang lebih dahulu. Jika penyebaran akibat tindak pidana terjadi sebelum penyebaran akibat qishash, maka dengan penyebaran akibat qishash itu telah terpenuhi apa yang wajib dari qishash atas penyebaran akibat tindak pidana. Namun jika penyebaran akibat qishash terjadi sebelum penyebaran akibat tindak pidana, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أنها تكون قصاصاً وإن تقدمت على سراية الجناية فَلَا يَكُونُ ذَلِكَ سَلَفًا لِحُدُوثِهَا عَنْ قِصَاصٍ قَدِ اسْتُوفِيَ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهِ وَالسَّلَفُ أَنْ يَقُولَ اقْطَعْ يَدِي لِيَكُونَ قِصَاصًا مِنْ سِرَايَةِ الْجِنَايَةِ لتقدمها عليه
Salah satu pendapat, yang dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa hal itu dianggap sebagai qishāsh meskipun terjadi sebelum terjadinya sirāyah jināyah (penyebaran akibat tindak pidana), sehingga hal tersebut tidak dianggap sebagai pembayaran di muka, karena sirāyah itu terjadi akibat qishāsh yang telah dilaksanakan setelah haknya ditetapkan. Adapun pembayaran di muka adalah jika seseorang berkata, “Potonglah tanganku agar menjadi qishāsh dari sirāyah jināyah,” karena pelaksanaannya mendahului terjadinya sirāyah.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ أَنَّهَا لَا تَكُونُ قِصَاصًا لِتَقَدُّمِهَا عَلَى سِرَايَةِ الْجِنَايَةِ وَتَمَيُّزِ الطَّرَفَيْنِ عَنِ السِّرَايَتَيْنِ فَعَلَى هَذَا يَصِيرُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ مُسْتَحِقًّا لِدِيَةِ النَّفْسِ لِفَوَاتِ الْقِصَاصِ فِيهَا بِالسِّرَايَةِ إِلَيْهَا وَهِيَ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ لِحُدُوثِهَا عَنْ مُبَاحٍ وَقَدِ اسْتَوْفَى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ عُشْرَهَا وَهِيَ دِيَةُ الْأصْبع الْمُقْتَصِّ مِنْهَا فَيَرْجِعُ فِي مَالِ الْجَانِي بِتِسْعَةِ أَعْشَارِ الدِّيَةِ وَقَدِ اسْتَوْفَيْنَا هَذَيْنِ الْجَوَابَيْنِ لِمَا تَعَلَّقَ بِهِمَا مِنْ شَرْحِ الْمَذْهَبِ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Khairan, menyatakan bahwa hal itu tidak dianggap sebagai qishāsh karena mendahului terjadinya sirāyah jināyah dan karena perbedaan antara kedua pihak dengan dua sirāyah tersebut. Berdasarkan pendapat ini, korban berhak mendapatkan diyat jiwa karena qishāsh tidak dapat dilakukan akibat adanya sirāyah kepadanya, dan hal itu tidak dijamin karena terjadi dari sesuatu yang mubah. Korban telah menerima sepersepuluh dari diyat jiwa, yaitu diyat jari yang di-qishāsh darinya, sehingga ia dapat menuntut sembilan persepuluh diyat dari harta pelaku. Kami telah menyampaikan dua jawaban ini beserta penjelasan mazhab yang berkaitan dengannya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ كَانَ مَاتَ مِنْهَا قَتَلْتُهُ بِهِ لِأَنَّ الْجَانِيَ ضَامِنٌ لِمَا حَدَثَ مِنْ جِنَايَتِهِ وَالْمُسْتَقَادَ مِنْهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ لَهُ مَا حَدَثَ مِنَ القَوَدِ بِسَبَبِ الْحَقِّ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seandainya ia mati karenanya, niscaya aku akan membunuhnya sebagai qishāsh, karena pelaku kejahatan bertanggung jawab atas apa yang terjadi akibat kejahatannya, sedangkan orang yang mengambil hak darinya tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi dari pelaksanaan qishāsh karena alasan hak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ سِرَايَةَ الْجِنَايَةِ مَضْمُونَةٌ عَلَى الْجَانِي وَسِرَايَةَ الْقِصَاصِ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ عَلَى الْمُقْتَصِّ لَهُ لِحُدُوثِ سِرَايَةِ الْجِنَايَةِ عَنْ مَحْظُورٍ وَحُدُوثِ سِرَايَةِ الْقِصَاصِ عَنْ مُبَاحٍ وَإِنْ سَوَّى أَبُو حَنِيفَةَ بَيْنَ ضمان السرايتين فعلى هذا صورة مسئلتنا أَنْ يَقْطَعَ أصْبعهُ فَيَقْتَصُّ مِنْ أصْبعهِ ثُمَّ تَسْرِي الْجِنَايَةُ إِلَى نَفْسِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَيَجِبُ أَنْ يُقْتَصَّ لَهُ مِنْ نَفْسِ الْجَانِي وَلَوْ كَانَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ قَدْ أَخَذَ دِيَةَ أصْبعهِ ثُمَّ مَاتَ مِنْ سِرَايَتِهَا لَمْ يُقْتَصَّ لَهُ مِنْ نَفْسِ الْجَانِي لِأَنَّ أَخْذَهُ لِدِيَةِ أصْبعهِ عَفْوٌ عَنِ الْقِصَاصِ فِيهَا وَسِرَايَةُ مَا لَا قِصَاصَ فِيهِ غَيْرُ مُوجِبَةٍ لِلْقِصَاصِ وَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِتِسْعَةِ أَعْشَارِ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ فِي دِيَةِ الْأُصْبُع عُشْرَهَا فَصَارَ مُسْتَوْفِيًا لِجَمِيعِ الدية
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa dampak lanjutan dari tindak pidana (jinayah) menjadi tanggungan pelaku, sedangkan dampak lanjutan dari pelaksanaan qishash tidak menjadi tanggungan bagi pihak yang menuntut qishash, karena terjadinya dampak lanjutan dari jinayah berasal dari sesuatu yang terlarang, sedangkan terjadinya dampak lanjutan dari qishash berasal dari sesuatu yang dibolehkan. Meskipun Abu Hanifah menyamakan tanggungan atas kedua dampak lanjutan tersebut, maka dalam kasus yang sedang kita bahas adalah seseorang memotong jari orang lain, lalu dilakukan qishash pada jarinya, kemudian dampak jinayah itu menjalar hingga menyebabkan kematian korban, maka wajib dilakukan qishash atas jiwa pelaku. Namun, jika korban telah menerima diyat (tebusan) jarinya, lalu ia meninggal akibat dampak tersebut, maka tidak dilakukan qishash atas jiwa pelaku, karena penerimaan diyat atas jarinya merupakan pengampunan dari qishash atasnya, dan dampak lanjutan dari sesuatu yang tidak ada qishash di dalamnya tidak mewajibkan qishash. Korban berhak menuntut sembilan persepuluh diyat, karena ia telah menerima sepersepuluh diyat untuk jarinya, sehingga ia telah menerima seluruh diyat.
مسألة
Masalah
قال المزني رضي الله عنه وَسَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ يَقُولُ لَوْ شَجَّهُ مُوضِحَةً فَذَهَبَتْ مِنْهَا عَيْنَاهُ وَشَعْرُهُ فَلَمْ يَنْبُتْ ثم برئ أقص مِنَ المُوضِحَةِ فَإِنْ ذَهَبَتْ عَيْنَاهُ وَلَمْ يَنْبُتْ شَعْرُهُ فَقَدِ اسْتَوْفَى حَقَّهُ وَإِنْ لَمْ تَذْهَبْ عَيْنَاهُ وَنَبَتَ شَعْرُهُ زِدْنَا عَلَيْهِ الدِّيَةَ وَفِي الشعر حكومة
Al-Muzani raḍiyallāhu ‘anhu berkata: Aku mendengar asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seseorang melukainya dengan luka yang menembus tulang (mudhiḥah) lalu akibatnya kedua matanya hilang dan rambutnya rontok serta tidak tumbuh lagi, kemudian ia sembuh, maka qishāsh dilakukan atas luka mudhiḥah tersebut. Jika kedua matanya hilang dan rambutnya tidak tumbuh lagi, maka ia telah mendapatkan haknya secara penuh. Namun jika kedua matanya tidak hilang dan rambutnya tumbuh kembali, maka kami tambahkan diyat kepadanya, dan untuk rambut ada keputusan hukum tersendiri (ḥukūmah).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ سِرَايَةَ الْجِنَايَةِ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa dampak lanjutan dari tindak pidana terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ تَسْرِيَ إِلَى النَّفْسِ فَيَجِبُ الْقِصَاصُ لَهُ فِي السِّرَايَةِ كَوُجُوبِهِ فِي الْجِنَايَةِ لِأَنَّ النَّفْسَ تُؤْخَذُ تَارَةً بِالتَّوْجِئَةِ وَتَارَةً بِالسِّرَايَةِ فَوَجَبَ الْقِصَاصُ فِي الْحَالَيْنِ وَلَيْسَتِ النَّفْسُ عَيْنًا تَرَى فَتَنْفَرِدُ بِالْأَخْذِ فَلَوْ سَرَى قِصَاصُ الْجِنَايَةِ إِلَى النَّفْسِ كَانَ وَفَاءً لِحَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ
Salah satunya adalah jika (luka) itu menjalar hingga menyebabkan kematian jiwa, maka wajib dilaksanakan qishāsh atasnya karena pengaruh penularan itu, sebagaimana wajibnya qishāsh atas tindak pidana itu sendiri. Sebab, jiwa kadang diambil (nyawanya) karena luka langsung, dan kadang karena penularan luka tersebut, sehingga qishāsh wajib dilakukan dalam kedua keadaan itu. Jiwa bukanlah sesuatu yang dapat dilihat dengan mata sehingga bisa diambil secara terpisah. Maka, jika akibat dari qishāsh atas tindak pidana itu menjalar hingga menyebabkan kematian jiwa, hal itu merupakan pemenuhan hak korban.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَسْرِيَ الْجِنَايَةُ إِلَى عُضْوٍ فِي الْجَسَدِ كَسِرَايَةِ قَطْعِ الْأصْبع إِلَى الْكَفِّ وَسِرَايَةِ قَطْعِ الْكَفِّ إِلَى الْمِرْفَقِ فَالْقِصَاصُ فِي الْجِنَايَةِ دُونَ السِّرَايَةِ وَيُؤْخَذُ أَرْشُ السِّرَايَةِ مَعَ الْقِصَاصِ فِي الْجِنَايَةِ عَلَى مَا مَضَى فَلَوْ سَرَى قِصَاصُ الْجِنَايَةِ مِثْلَ سِرَايَةِ الْجِنَايَةِ لَمْ يَسْقُطْ بِهِ أَرْشُ سِرَايَةِ الْجِنَايَةِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ حُدُوثِ سِرَايَةِ الْجِنَايَةِ غَيْرُ مَضْمُونٍ فَصَارَ مَضْمُونًا وَحُدُوثُ سِرَايَةِ الْقِصَاصِ عَنْ غَيْرِ مَضْمُونٍ فَلَمْ يَصِرْ مَضْمُونًا
Bagian kedua adalah ketika luka (jināyah) menyebar ke anggota tubuh lain, seperti menyebarnya pemotongan jari ke telapak tangan, atau menyebarnya pemotongan telapak tangan ke siku. Maka qishāsh hanya berlaku pada luka asal, tidak pada penyebarannya, dan diambil diyat (arsh) atas penyebaran tersebut bersamaan dengan qishāsh pada luka asal sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jika penyebaran qishāsh atas luka terjadi seperti penyebaran luka itu sendiri, maka hal itu tidak menggugurkan diyat atas penyebaran luka, karena sebagaimana telah disebutkan, terjadinya penyebaran luka pada awalnya tidak dijamin (tidak pasti), lalu menjadi dijamin (pasti), sedangkan terjadinya penyebaran akibat qishāsh berasal dari sesuatu yang tidak dijamin, sehingga tidak menjadi dijamin.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَسْرِيَ الْجِنَايَةُ إِلَى ذَهَابِ ضَوْءِ الْعَيْنِ كَالْمُوضِحَةِ فِي الرَّأْسِ إِذَا ذَهَبَ بِهَا ضَوْءُ الْعَيْنِ فَالَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ نَصًّا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّ الْقِصَاصَ فِي السِّرَايَةِ إِلَيْهِ وَاجِبٌ لِأَنَّ ضَوْءَ الْعَيْنِ لَيْسَ بشخص يرى فيؤخذ بقلع العين تارة وَبِالسِّرَايَةِ أُخْرَى فَأَشْبَهَ النَّفْسَ فَاقْتَضَى أَنْ يَجِبَ الْقِصَاصُ فِي السِّرَايَةِ إِلَيْهِ كَمَا يَجِبُ فِي السِّرَايَةِ إِلَى النَّفْسِ فَيَصِيرُ هَذَا مُلْحَقًا بِالْقِسْمِ الْأَوَّلِ
Bagian ketiga adalah ketika tindak pidana (jināyah) menjalar hingga menyebabkan hilangnya penglihatan mata, seperti luka muḍīḥah di kepala yang menyebabkan hilangnya penglihatan mata. Pendapat yang dinukil oleh al-Muzani dari asy-Syafi‘i secara tekstual dalam masalah ini adalah bahwa qishāsh atas akibat yang menjalar tersebut wajib dilakukan, karena cahaya mata bukanlah sesuatu yang dapat dilihat secara fisik sehingga kadang diambil dengan mencabut mata dan kadang dengan akibat yang menjalar. Maka hal ini menyerupai jiwa, sehingga menuntut wajibnya qishāsh atas akibat yang menjalar kepadanya sebagaimana wajibnya qishāsh atas akibat yang menjalar kepada jiwa. Dengan demikian, hal ini termasuk dalam bagian pertama.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا قِصَاصَ فِي الْمُوضِحَةِ وَلَا فِي السِّرَايَةِ كَمَا لَا يَجِبُ فِي الْأصْبع وَلَا فِي السِّرَايَةِ إِلَى الْكَفِّ
Abu Hanifah berkata, tidak ada qishāsh dalam kasus luka yang menampakkan tulang (mudhihah) dan tidak pula dalam kasus penyebaran luka (sirāyah), sebagaimana tidak diwajibkan qishāsh pada jari dan tidak pula pada penyebaran luka hingga ke telapak tangan.
وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ يَجِبُ الْقِصَاصُ فِي الْمُوضِحَةِ وَفِي السِّرَايَةِ إِلَى ضَوْءِ الْعَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ فِي الْأصْبع وَالسِّرَايَةِ إِلَى الْكَفِّ وَخَرَجَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ قَوْلًا ثَانِيًا لَمْ يُسَاعِدْهُ عَلَيْهِ غَيْرُهُ إنَّ السِّرَايَةَ إِلَى ضَوْءِ الْعَيْنِ لَا تُوجِبُ الْقِصَاصَ كَمَا لَا تُوجِبُهُ السِّرَايَةُ إِلَى أَعْضَاءِ الْجَسَدِ لِأَنَّهُمَا سِرَايَتَانِ إِلَى مَا لَا دُونَ النَّفْسِ وَجَعَلَ ذَلِكَ مُلْحَقًا بِالْقِسْمِ الثَّانِي فَأَمَّا السِّرَايَةُ إِلَى ذَهَابِ الشَّعْرِ فَلَا توجب القصاص لأن الشعر عين تَرَى يُمْكِنُ أَنْ يُقْصَدَ بِالْأَخْذِ فَصَارَ كَسَائِرِ الْأَعْضَاءِ
Abu Yusuf berpendapat bahwa qishāsh wajib diterapkan pada luka yang menampakkan tulang (mudhihah) dan pada penyebaran luka hingga ke cahaya mata, meskipun tidak wajib pada jari dan penyebaran luka hingga ke telapak tangan. Abu Ishaq al-Marwazi mengemukakan pendapat kedua—yang tidak didukung oleh ulama lain—bahwa penyebaran luka hingga ke cahaya mata tidak mewajibkan qishāsh, sebagaimana penyebaran luka ke anggota tubuh lainnya juga tidak mewajibkannya, karena keduanya merupakan penyebaran luka ke sesuatu yang bukan jiwa. Ia menggolongkan hal itu ke dalam bagian kedua. Adapun penyebaran luka hingga menyebabkan rontoknya rambut, maka tidak mewajibkan qishāsh, karena rambut adalah sesuatu yang dapat dilihat dan bisa saja sengaja diambil, sehingga hukumnya seperti anggota tubuh lainnya.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةِ فَصُورَةُ مَسْأَلَتِنَا فِي رَجُلٍ شَجَّ رَجُلًا مُوضِحَةً فَذَهَبَ مِنْهَا ضَوْءُ عَيْنَيْهِ وَشَعْرُ رَأْسِهِ فَعَلَى مَنْصُوصِ الشَّافِعِيِّ فِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ فِي السِّرَايَةِ إِلَى ضَوْءِ الْعَيْنِ يُقْتَصُّ مِنْ مُوضِحَةِ الْجَانِي فَإِنْ ذَهَبَ مِنْهَا ضَوْءُ عَيْنَيْهِ وَشَعْرُ رَأْسِهِ فَقَدِ اسْتَوْفَى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ حَقَّهُ وَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ مِنْهَا ضَوْءُ عَيْنَيْهِ وَلَا شَعْرُ رَأْسِهِ أُخِذَ مِنْهَا حُكُومَةٌ فِي الشَّعْرِ الزَّائِدِ عَلَى مَوْضِعِ الْمُوضِحَةِ لِأَنَّ الشَّعْرَ الَّذِي فِي مَوْضِعِ الْمُوضِحَةِ قَدْ دَخَلَ فِي الْقِصَاصِ مِنْهَا أَوْ فِي أَرْشِ دِيَتِهَا وَلَا يُعَالَجُ شعره حَتَّى يَذْهَبَ وَلَا يَعُودَ نَبَاتُهُ لِأَنَّهُ قِصَاصٌ فِي السِّرَايَةِ إِلَى الشَّعْرِ وَقَدْ كَانَ الْقِيَاسُ يَقْتَضِي أَنْ يُؤْخَذَ مِنَ الجَانِي حُكُومَةٌ وَإِنْ لَمْ يَنْبُتْ شَعْرٌ غَيْرَ أَنَّ الشَّافِعِيَّ جَعَلَهُ تَبَعًا لِخِفَّةِ حُكْمِهِ مِنْ أَحْكَامِ الْأَعْضَاءِ فَأَمَّا ضَوْءُ الْعَيْنِ إِذَا لَمْ يَذْهَبْ بِسِرَايَةِ الْقِصَاصِ فَإِنْ أَمْكَنَ يُعَالِجُ الْعَيْنَ بِمَا يُذْهِبُ ضَوْءَهَا مِنْ غَيْرِ جِنَايَةٍ عَلَى الْحَدَقَةِ مِثْلَ الْكَافُورِ أَوْ مِيلٍ يُحْمَى بِالنَّارِ وَيُقَرَّبُ إِلَى الْعَيْنِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَذُوبَ بِهِ شَحْمُهَا اقْتُصَّ مِنْهُ بِذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ إِلَّا بِقَلْعِ الْحَدَقَةِ لَمْ يَجُزْ قَطْعُهَا لِأَحَدِ أَمْرَيْنِ
Setelah apa yang telah kami sebutkan dalam pendahuluan ini menjadi jelas, maka gambaran masalah kita adalah tentang seorang laki-laki yang melukai kepala laki-laki lain hingga tampak tulangnya (mudhihah), lalu akibat luka itu hilanglah penglihatan kedua matanya dan rambut kepalanya. Berdasarkan pendapat yang ditegaskan oleh Imam Syafi‘i tentang wajibnya qishāsh dalam kasus penyebaran (dampak luka) hingga menyebabkan hilangnya penglihatan, maka dilakukan qishāsh pada mudhihah pelaku. Jika dari luka itu juga hilang penglihatan kedua matanya dan rambut kepalanya, maka korban telah mendapatkan haknya secara sempurna. Namun, jika dari luka itu tidak hilang penglihatan kedua matanya dan tidak pula rambut kepalanya, maka diambil dari pelaku sejumlah diyat (ganti rugi) untuk rambut yang tumbuh di luar area mudhihah, karena rambut yang berada di area mudhihah sudah termasuk dalam qishāsh atau diyatnya. Rambutnya tidak boleh diobati sampai benar-benar hilang dan tidak tumbuh kembali, karena ini adalah qishāsh atas penyebaran luka pada rambut. Menurut qiyās, seharusnya diambil dari pelaku sejumlah diyat meskipun rambut tidak tumbuh lagi, namun Imam Syafi‘i menjadikannya sebagai bagian dari keringanan hukum anggota tubuh. Adapun penglihatan mata, jika tidak hilang akibat penyebaran qishāsh, maka jika memungkinkan untuk mengobati mata dengan sesuatu yang dapat menghilangkan penglihatannya tanpa melukai bola mata, seperti kapur barus atau besi panas yang didekatkan ke mata tanpa melelehkan lemaknya, maka dilakukan qishāsh dengan cara itu. Namun jika tidak memungkinkan kecuali dengan mencabut bola matanya, maka tidak boleh dipotong karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْحَدَقَةَ عُضْوٌ لَمْ يُجْنَ عَلَيْهِ فَلَمْ يقتص منه
Salah satunya adalah bahwa bola mata merupakan anggota tubuh yang tidak dikenai tindak pidana, sehingga tidak dilakukan qishāsh terhadapnya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ تُوضَعَ حَدِيدَةُ الْقِصَاصِ فِي غَيْرِ مَحَلِّهَا مِنَ الجِنَايَةِ
Yang kedua, tidak diperbolehkan meletakkan besi qishāsh pada selain tempat terjadinya jināyah.
فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ لَوْ سَرَتْ إِلَى نَفْسِهِ وَلَمْ يسر القصاص إلى نفس الجاني
Jika dikatakan: Bukankah jika (hukuman) itu sampai kepada dirinya sendiri, namun qishāsh tidak sampai kepada jiwa pelaku?
قيل ووضع حَدِيد الْقِصَاصِ فِي غَيْرِ مَوْضِعِهِ مِنَ الجِنَايَةِ
Dikatakan: meletakkan besi qishāsh pada selain tempat terjadinya jināyah.
قيل لأن القصاص في النفس يستهلك به جميع الجسد وفيما دون النَّفْسِ لَا يُسْتَهْلَكُ بِهِ إِلَّا عُضْوُ الْجِنَايَةِ وَحْدَهُ فَافْتَرَقَا وَإِذَا تَعَذَّرَ الْقِصَاصُ فِي ضَوْءِ الْعَيْنِ أُخِذَ مِنْهُ دِيَتُهَا مَعَ حُكُومَةِ الشَّعْرِ بَعْدَ الْقِصَاصِ مِنَ المُوضِحَةِ وَلَوْ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْهَا يُضَمُّ إِلَى ذَلِكَ دِيَةُ الْمُوضِحَةِ
Dikatakan bahwa qishāsh pada jiwa menyebabkan seluruh tubuh menjadi hilang, sedangkan pada selain jiwa, yang hilang hanyalah anggota yang menjadi objek tindak pidana itu saja, maka keduanya berbeda. Jika qishāsh pada cahaya mata tidak memungkinkan, maka diambil darinya diyat mata tersebut beserta hukumah rambut setelah qishāsh dari luka muḍīḥah. Jika tidak dilakukan qishāsh atasnya, maka ditambahkan pula diyat muḍīḥah tersebut.
فَأَمَّا عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي الَّذِي خَرَّجَهُ الْمَرْوَزِيُّ إنَّهُ لَا قِصَاصَ فِي ذَهَابِ ضَوْءِ الْعَيْنِ بِالسِّرَايَةِ فَيُقْتَصُّ مِنَ المُوضِحَةِ وَيُؤْخَذُ مِنَ الجَانِي دِيَةٌ فِي ذَهَابِ ضَوْءِ الْعَيْنِ وَحُكُومَةٌ فِي ذَهَابِ الشَّعْرِ سَوَاءٌ سَرَى قِصَاصُ الْمُوضِحَةِ إِلَى ذَهَابِ ضَوْءِ عَيْنِ الْجَانِي وَذَهَابِ شَعْرِهِ أَمْ لَا كَمَا قُلْنَا فِي السِّرَايَةِ إِلَى الْكَفِّ بِقَطْعِ الْأصْبع لَمَّا لَمْ يَجِبْ فِيهِ الْقِصَاصُ لَمْ تَكُنْ سِرَايَةُ الْقِصَاصِ إِلَى الْكَفِّ مُسْقِطًا لِمَا وَجَبَ مِنْ أَرْشِ الْكَفِّ فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ السِّرَايَةِ فِي النَّفْسِ فِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ فِيهِمَا وَهُوَ الْأَصَحُّ
Adapun menurut pendapat kedua yang dinukil oleh al-Marwazi, bahwa tidak ada qishāsh dalam hilangnya penglihatan mata karena penyebaran luka, maka dilakukan qishāsh atas luka muḍīḥah, dan dari pelaku diambil diyat atas hilangnya penglihatan mata, serta hukūmah atas hilangnya rambut, baik penyebaran qishāsh atas luka muḍīḥah itu menyebabkan hilangnya penglihatan mata pelaku dan hilangnya rambutnya atau tidak, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam kasus penyebaran luka ke telapak tangan akibat pemotongan jari; ketika qishāsh tidak wajib atasnya, maka penyebaran qishāsh ke telapak tangan tidak menggugurkan kewajiban pembayaran arsy telapak tangan. Adapun al-Muzani, ia menggabungkan antara penyebaran luka pada jiwa dalam kewajiban qishāsh pada keduanya, dan inilah yang paling benar.
فَصْلٌ
Bagian
فَأَمَّا إِنْ لَطَمَهُ فَأَذْهَبَ ضَوْءَ عَيْنِهِ فَإِنْ كَانَتِ اللَّطْمَةُ يَذْهَبُ بِمِثْلِهَا ضَوْءُ الْعَيْنِ فِي الْغَالِبِ وَجَبَ الْقِصَاصُ فِيهَا بِلَطْمَةٍ يُقْصَدُ بِهَا ذَهَابُ ضَوْءِ العين ولا يقصد بها القصاص في اللطمة فَإِنْ ذَهَبَ بِهَا ضَوْءُ الْعَيْنِ فَقَدِ اسْتَوْفَى الْقِصَاصَ مِنْهَا وَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ مِنْهَا ضَوْءُ العين وأمكن أن يؤخذ ضؤها مَعَ بَقَاءِ الْحَدَقَةِ بِغَيْرِ حَدِيدٍ فُعِلَ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ أُخِذَتْ مِنْهُ دِيَةُ الْعَيْنِ وَلَا أَرْشَ عَلَيْهِ فِي اللَّطْمَةِ لِاسْتِيفَاءِ مَا حَدَثَ عَنْهَا وَإِنْ كَانَتِ اللَّطْمَةُ لَا يَذْهَبُ فِي الْأَغْلَبِ مِنْهَا ضَوْءُ الْعَيْنِ وَيَجُوزُ أَنْ يَذْهَبَ فَلَا قِصَاصَ فِيهَا؛ لِأَنَّهَا عَمْدُ الْخَطَأِ وَتُؤْخَذُ مِنْهُ دِيَةُ الْعَيْنِ وَلَا يُعَزَّرُ فِي اللَّطْمَةِ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتُوفِيَ مِنْهُ حَقُّهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Adapun jika seseorang menampar orang lain sehingga menyebabkan hilangnya penglihatan matanya, maka jika tamparan tersebut pada umumnya memang dapat menghilangkan penglihatan mata, maka wajib dilakukan qishāsh dengan tamparan yang dimaksudkan untuk menghilangkan penglihatan mata, bukan untuk membalas tamparan itu sendiri. Jika dengan tamparan tersebut penglihatan mata hilang, maka qishāsh telah terpenuhi. Namun, jika penglihatan mata tidak hilang dan masih memungkinkan untuk menghilangkan penglihatannya dengan tetap menjaga bola mata tanpa menggunakan besi, maka hal itu dilakukan. Jika tidak memungkinkan, maka diambil diyat (denda) mata darinya dan tidak ada ‘arsh (ganti rugi tambahan) atas tamparan tersebut karena akibatnya telah terpenuhi. Jika tamparan tersebut pada umumnya tidak menyebabkan hilangnya penglihatan mata, meskipun mungkin saja menyebabkan, maka tidak ada qishāsh atasnya karena termasuk sengaja yang menyerupai kesalahan, dan diambil darinya diyat mata, serta tidak dikenakan ta‘zīr atas tamparan itu karena haknya telah terpenuhi. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَا أَبْلُغَ بِشَعْرِ رأسه ولا بشعر لحيته دية قال المزني رحمه الله هذا أشبه بقوله عندي قياساً على قوله إذا قطع يده فمات عنها أنه يقطع فإن مات منها فقد استوفى حقه فكذلك إذا شجه مقتصا فذهبت منها عيناه وشعره فقد أخذ حقه غير أني أقول إن لم ينبت شعره فعليه حكومة الشعر ما خلا موضع الموضحة فإنه داخل في الموضحة فلا نغرمه مرتين
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Saya tidak menetapkan diyat (denda penuh) untuk rambut kepala maupun rambut jenggot.” Al-Muzani rahimahullah berkata: “Menurut saya, ini lebih mendekati pendapat beliau berdasarkan qiyās atas ucapannya bahwa jika seseorang memotong tangannya lalu ia meninggal karenanya, maka pelaku dipotong juga; jika ia meninggal karena itu, berarti haknya telah terpenuhi. Demikian pula jika seseorang membalas luka lalu kedua matanya dan rambutnya hilang karena luka itu, maka ia telah mengambil haknya. Namun saya berpendapat, jika rambutnya tidak tumbuh kembali, maka wajib membayar ganti rugi (hukumah) untuk rambut, kecuali pada bagian luka yang membelah (maudhiha), karena itu sudah termasuk dalam maudhiha, sehingga tidak diwajibkan membayar dua kali.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لَا خِلَافَ أَنَّ الشَّعْرَ إِذَا عَادَ نَبَاتُهُ فَلَا دِيَةَ فِيهِ فَأَمَّا الْحُكُومَةُ فَمُعْتَبَرَةٌ بِحَالِ الشَّعْرِ فَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا شَيْنَ فِي أَخْذِهِ كَشَعْرِ الرَّأْسِ وَالْجَسَدِ وَالشَّارِبِ فَلَا يَجِبُ فِي أَخْذِهِ حُكُومَةٌ وَإِنْ كَانَ مِمَّا يَشِينُ أَخْذُهُ كَاللِّحْيَةِ وَالْحَاجِبَيْنِ وَأَهْدَابِ الْعَيْنَيْنِ فَلَا يَخْلُو حَالُ نَبَاتِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika rambut tumbuh kembali, maka tidak ada diyat atasnya. Adapun hukumah, maka hal itu dipertimbangkan berdasarkan keadaan rambut. Jika rambut yang diambil itu tidak menimbulkan cacat, seperti rambut kepala, tubuh, dan kumis, maka tidak wajib hukumah atas pengambilannya. Namun jika pengambilan rambut tersebut menimbulkan cacat, seperti jenggot, alis, dan bulu mata, maka keadaan tumbuhnya rambut itu tidak lepas dari tiga keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ يَعُودَ مِثْلَ مَا كَانَ فَلَا حُكُومَةَ فِيهِ وَيُعَزَّرُ جَانِبُهُ
Salah satunya adalah jika kembali seperti semula, maka tidak ada ḥukūmah di dalamnya dan pelakunya dikenai ta‘zīr.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَعُوَدَ أَخَفَّ مِمَّا كَانَ وَأَقَلَّ فَعَلَيْهِ حُكُومَةُ مَا نَقَصَ مِنْهُ سَوَاءٌ عَادَ أَقْبَحَ مِمَّا كَانَ أَوْ أَجْمَلَ لِأَنَّهُ قَدْ زَالَ مِنْ جَسَدِهِ مَا لَمْ يَعُدْ
Bagian kedua adalah jika luka itu kembali lebih ringan dari sebelumnya dan lebih sedikit, maka berlaku hukum kompensasi atas apa yang berkurang darinya, baik luka itu kembali dalam keadaan lebih buruk dari sebelumnya atau lebih baik, karena telah hilang dari tubuhnya sesuatu yang tidak kembali.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَعُودَ أَكْثَفَ مِمَّا كَانَ وَأَكْثَرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الزِّيَادَةِ قُبْحٌ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَيُعَزَّرُ وَإِنْ كَانَ فِي الزِّيَادَةِ قَبَاحَةٌ وَشَيْنٌ فَعَلَيْهِ حُكُومَةُ مَا نَقَصَ بِالْقَبَاحَةِ وَالشَّيْنِ وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّ نَبَاتَ الشَّعْرِ بَعْدَ ذَهَابِهِ لَا يُسْقِطُ مَا وَجَبَ فِيهِ مِنْ حُكُومَةِ أَخْذِهِ
Bagian ketiga adalah jika rambut tumbuh kembali lebih lebat dan lebih banyak dari sebelumnya. Jika pada pertambahan itu tidak ada keburukan, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya dan ia hanya dikenai ta‘zīr. Namun jika pada pertambahan itu terdapat keburukan dan cacat, maka ia wajib membayar ganti rugi atas kekurangan yang disebabkan oleh keburukan dan cacat tersebut. Sebagian ulama kami berpendapat bahwa tumbuhnya rambut kembali setelah hilang tidak menggugurkan kewajiban membayar ganti rugi atas pengambilan rambut tersebut.
وَقَدْ رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمٍ الطَّائِفِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مَيْسَرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ مَنْ مَثَّلَ بِالشَّعْرِ فَلَيْسَ لَهُ خَلَاقٌ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ
Muhammad bin Muslim ath-Tha’ifi meriwayatkan dari Ibrahim bin Maisarah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa mempermainkan rambut, maka ia tidak akan mendapatkan bagian apa pun di sisi Allah pada hari kiamat.” Dalam hal ini terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا أَنَّ مُثْلَةَ الشَّعْرِ تَغْيِيرُهُ بِالسَّوَادِ
Salah satunya adalah bahwa muslah (perubahan) rambut adalah mengubahnya dengan warna hitam.
وَالثَّانِي أَنَّهُ نَتْفُهُ
Dan yang kedua adalah mencabutnya.
وَالثَّالِثُ أَنَّهُ حَلْقُهُ فِي الْخُدُودِ وَغَيْرِهَا
Ketiga, yaitu mencukurnya pada bagian pipi dan selainnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِنْ قَلَعَ شَعْرَهُ قَلْعًا لَمْ يَعُدْ نَبَاتُهُ فَإِنْ أَمْكَنَ فِيهِ الْقِصَاصُ حَتَّى يَذْهَبَ فَلَا يَعُودُ نَبَاتُهُ اقْتُصَّ مِنْهُ مَعَ التَّمَاثُلِ وَالْمُكْنَةِ وَإِنْ تَعَذَّرَ الْقِصَاصُ مِنْهُ إِلَّا أَنْ يَعُودَ نَبَاتُهُ فَعَلَيْهِ فِي جَمِيعِهِ حُكُومَةٌ وَلَا تَبْلُغُ حُكُومَتُهُ دِيَةً وَأَوْجَبَ أَبُو حَنِيفَةَ الدِّيَةَ فِي الشَّعْرِ فِي أَرْبَعَةِ مَوَاضِعَ فِي شَعْرِ الرَّأْسِ وَاللِّحْيَةِ وَالْحَاجِبَيْنِ وَأَهْدَابِ الْعَيْنَيْنِ فَجُعِلَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا الدِّيَةُ إِلَّا فِي الْعَبْدِ فَإِنَّهُ أَوْجَبَ فِي شَعْرِهِ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ احْتِجَاجًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ رجلاً أفرغ قدر يَغْلِي عَلَى رَأْسِ رَجُلٍ فَتَمَعَّطَ مِنْهَا شَعْرُهُ فَأَتَى عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ لَهُ اصْبِرْ سَنَةً فَصَبَرَ فَلَمْ يَنْبُتْ فَقَضَى عَلي لَهُ بِالدِّيَةِ وَلَمْ يَظْهَرْ لَهُ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فكان إجماعاً
Adapun jika seseorang mencabut rambut orang lain hingga tidak tumbuh kembali, maka jika memungkinkan dilakukan qishāsh sehingga rambutnya hilang dan tidak tumbuh lagi, maka dilakukan qishāsh terhadapnya dengan syarat adanya kesetaraan dan kemampuan. Namun jika qishāsh tidak mungkin dilakukan kecuali rambutnya akan tumbuh kembali, maka atas seluruh rambut itu dikenakan hukuman berupa ḥukūmah, dan nilainya tidak mencapai diyat. Abu Hanifah mewajibkan diyat pada rambut di empat tempat, yaitu rambut kepala, jenggot, kedua alis, dan bulu mata, sehingga pada masing-masing bagian tersebut dikenakan diyat, kecuali pada budak, maka ia mewajibkan pada rambut budak sebesar nilai yang berkurang dari harganya. Hal ini didasarkan pada riwayat bahwa ada seorang laki-laki yang menuangkan air mendidih ke kepala orang lain hingga rambutnya rontok, lalu ia menghadap Ali ‘alaihis salam, maka Ali berkata kepadanya, “Bersabarlah selama setahun.” Ia pun bersabar, namun rambutnya tidak tumbuh kembali, maka Ali memutuskan baginya diyat, dan tidak ada sahabat yang menentang keputusan tersebut, sehingga menjadi ijmā‘.
قَالَ وَلِأَنَّ الدِّيَةَ تَجِبُ بِإِتْلَافِ مَا فِيهِ مَنْفَعَةٌ كَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَبِإِتْلَافِ مَا فِيهِ جَمَالٌ كَالْأَنْفِ وَالْأُذُنَيْنِ وَفِي هَذَا الشَّعْرِ جَمَالٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَنْفَعَةٌ فَاقْتَضَى أَنْ يَجِبَ فِيهِ الدِّيَةُ كَالْأَنْفِ وَالْأُذُنَيْنِ
Ia berkata: Karena diyat wajib atas perusakan sesuatu yang memiliki manfaat seperti kedua tangan dan kedua kaki, dan atas perusakan sesuatu yang memiliki unsur keindahan seperti hidung dan kedua telinga. Pada rambut ini terdapat unsur keindahan, meskipun tidak memiliki manfaat, maka hal itu menuntut agar diyat wajib atasnya sebagaimana pada hidung dan kedua telinga.
قَالَ وَلِأَنَّ كُلَّ ما فرق بين رجل وَالْمَرْأَةِ وَجَبَتْ فِيهِ الدِّيَةُ كَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى
Ia berkata: Dan karena setiap hal yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, maka wajib di dalamnya diyat, sebagaimana pada laki-laki dan perempuan.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الدِّيَةَ لَا تَجِبُ إِلَّا تَوْقِيفًا كَدِيَاتِ الشِّجَاجِ وَالْأَطْرَافِ وَلَيْسَ فِي الشَّعْرِ تَوَقُّفٌ فَلَمْ يَجِبْ فِيهِ دِيَةٌ وَلِأَنَّ الدِّيَةَ تَجِبُ فِيمَا يُؤْلِمُ وَلَيْسَ فِي أَخْذِ الشَّعْرِ أَلَمٌ وَمَا اخْتَصَّ بِالْجَمَالِ دُونَ الْأَلَمِ لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الدِّيَةُ كَالْيَدِ الشَّلَّاءِ وَلِأَنَّهُ شَعْرٌ لَا يَجِبُ فِي الْعَبْدِ مِنْهُ مُقَدَّرٌ فَلَمْ يَجِبْ فِي الْحُرِّ مِنْهُ مُقَدَّرٌ كَشَعْرِ الْجَسَدِ وَلِأَنَّ مَنْ لَا يَجِبُ فِي شَعْرِ جَسَدِهِ مُقَدَّرٌ لَمْ يَجِبْ فِي شَعْرِ وَجْهِهِ مُقَدَّرٌ كَالْعَبْدِ وَلِأَنَّ مَا جَرَتِ الْعَادَةُ بِإِزَالَتِهِ عِنْدَ تَجَاوُزِهِ حَدَّهُ لَمْ تَجِبِ الدِّيَةُ فِي إِزَالَةِ أَصْلِهِ كَالْأَظْفَارِ ثُمَّ فِي الْأَظْفَارِ مَعَ الْجَمَالِ نَفْعٌ لَيْسَ فِي الشَّعْرِ لِأَنَّ الْأَنَامِلَ لَا يُتَصَرَّفُ إِلَّا بِهَا فَنَقَصَ حُكْمُ الشَّعْرِ عَنْهَا
Dalil kami adalah bahwa diyat tidak wajib kecuali berdasarkan penetapan (tawqīf), seperti diyat untuk luka-luka (syijāj) dan anggota tubuh, sedangkan pada rambut tidak ada penetapan, maka tidak wajib diyat padanya. Selain itu, diyat diwajibkan pada sesuatu yang menimbulkan rasa sakit, sedangkan mencabut rambut tidak menimbulkan rasa sakit. Apa yang hanya berkaitan dengan keindahan tanpa menimbulkan rasa sakit, maka diyatnya tidak sempurna, seperti tangan yang lumpuh. Selain itu, rambut adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan diyatnya pada budak, maka tidak ada pula ketentuan diyatnya pada orang merdeka, seperti rambut tubuh. Dan siapa yang tidak ada ketentuan diyat pada rambut tubuhnya, maka tidak ada pula ketentuan diyat pada rambut wajahnya, seperti budak. Selain itu, sesuatu yang secara kebiasaan dihilangkan ketika melebihi batasnya, maka tidak wajib diyat atas penghilangan asalnya, seperti kuku. Kemudian, pada kuku, selain untuk keindahan, juga ada manfaat yang tidak terdapat pada rambut, karena jari-jari tidak dapat digunakan kecuali dengan kuku, sehingga hukum rambut lebih rendah darinya.
فَأَمَّا احْتِجَاجُهُمْ بِقَضَاءِ عَلِيٍّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَقَدْ خَالَفَهُ فِيهِ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فقضى فيه بعشر من الإبل فَقَدْ خَالَفَهُ فِيهِ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه فقضى فيه بعشر من الإبل وخالفها فِيهِ زَيْدٌ فَقَضَى فِيهِ بِثُلْثِ الدِّيَةِ وَلَيْسَ مَعَ الْخِلَافِ إِجْمَاعٌ وَقِيَاسُهُ عَلَى الذَّكَرِ لِاخْتِصَاصِ الرِّجَالِ بِهِ فَيَفْسُدُ بِشَعْرِ الشَّارِبِ يَخْتَصُّ بِهِ الرِّجَالُ وَلَا يَجِبْ فِيهِ الدِّيَةُ
Adapun hujjah mereka dengan putusan Ali radhiyallahu ‘anhu, maka hal itu telah diselisihi oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, yang memutuskan dalam kasus tersebut dengan sepuluh ekor unta. Zaid juga berbeda pendapat dalam hal ini, ia memutuskan dengan sepertiga diyat. Maka, ketika terdapat perbedaan pendapat, tidak ada ijmā‘. Qiyās terhadap laki-laki tidak tepat karena hal itu khusus bagi laki-laki, sehingga qiyās dengan rambut kumis juga tidak sah karena itu khusus bagi laki-laki dan tidak wajib diyat padanya.
ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الذَّكَرِ أَنَّ فِيهِ مَنْفَعَةً وَإِنَّمَا يُخَافُ مِنْهُ لِلسِّرَايَةِ إِلَى النَّفْسِ فَخَالَفَ الشَّعْرَ وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ القِيَاسِ عَلَى الْأَنْفِ وَالْأُذُنَيْنِ فَلَا تَسْوِيَةَ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الشَّعْرِ لِأَمْرَيْنِ
Kemudian, makna pada zakar adalah bahwa padanya terdapat manfaat, dan yang dikhawatirkan darinya hanyalah penularan ke jiwa, sehingga berbeda dengan rambut. Adapun qiyās yang disebutkan atas hidung dan kedua telinga, maka tidak ada penyamaan antara keduanya dengan rambut karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ فِي الْأَنْفِ وَالْأُذُنَيْنِ مَنْفَعَةً لَيْسَتْ فِي الشَّعْرِ لِأَنَّ الْأَنْفَ يَحْفَظُ النَّفْسَ وَالشَّمَّ وَالْأُذُنَ يَحْفَظُ السَّمْعَ وَيَدْفَعُ الْأَذَى
Salah satunya adalah bahwa pada hidung dan kedua telinga terdapat manfaat yang tidak ada pada rambut, karena hidung menjaga jiwa dan penciuman, sedangkan telinga menjaga pendengaran dan menolak gangguan.
وَالثَّانِي أَنَّ فِي قَطْعِهِمَا أَلَمًا رُبَّمَا أَفْضَى إِلَى النَّفْسِ بِخِلَافِ الشَّعْرِ الَّذِي لَا يُؤْلِمُ وَلَا يُخَافُ مِنْهُ التَّلَفُ
Yang kedua, memotong keduanya (tangan dan kaki) menimbulkan rasa sakit yang mungkin dapat membahayakan jiwa, berbeda dengan rambut yang tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak dikhawatirkan menyebabkan kerusakan.
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ أَصَابَتْهُ مِنْ جُرْحِ يَدِهِ أَكَلَةٌ فَقُطِعَتِ الْكَفُّ لِئَلَّا تَمْشِيَ الْأَكَلَةُ فِي جَسَدِهِ لَمْ يَضْمَنِ الْجَانِي مِنْ قَطْعِ الْكَفِّ شَيْئًا فَإِنْ مَاتَ مِنْ ذَلِكَ فَنِصْفُ الدِّيَةِ عَلَى الْجَانِي وَيَسْقُطُ نِصْفُهَا لِأَنَّهُ جَنَى عَلَى نَفْسِهِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika seseorang terkena penyakit ‘akalah’ (sejenis infeksi yang memakan daging) pada luka di tangannya, lalu telapak tangannya dipotong agar penyakit itu tidak menyebar ke tubuhnya, maka pelaku (yang menyebabkan luka) tidak menanggung apa pun akibat pemotongan telapak tangan tersebut. Namun, jika orang itu meninggal karena hal tersebut, maka setengah diyat menjadi tanggungan pelaku, dan setengahnya gugur karena ia juga telah menyebabkan kematian pada dirinya sendiri.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ قَطَعَ أصْبع رَجُلٍ فَتَآكَلَتْ وَخَافَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ سِرَايَتَهَا إِلَى نَفْسِهِ فَقَطَعَ كَفَّهُ لِيَقْطَعَ سِرَايَتَهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Contoh kasusnya adalah seorang laki-laki memotong jari laki-laki lain, lalu jari itu membusuk dan korban khawatir infeksinya menyebar ke tubuhnya, sehingga ia memotong tangannya untuk menghentikan penyebarannya. Kasus ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَنْدَمِلَ بقَطْع كَفِّهِ فَيَجِبُ عَلَى الْجَانِي الْقِصَاصُ فِي الإصبع التي قَطَعَهَا وَعَلَيْهِ الْأَرْشُ فِيمَا سَرَتْ إِلَيْهِ الْجِنَايَةُ مِنْ كَفِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ كَأَنَّهَا سَرَتْ إِلَى أصْبع ثَانِيَةٍ فَيَلْزَمُهُ دِيَتُهَا لِذَهَابِهَا بِسِرَايَةِ جِنَايَتِهِ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِيهَا وَيَكُونُ بَاقِي الْكَفِّ الَّتِي قَطَعَهَا صَاحِبُهَا هَدَرًا لَا يَضْمَنُهَا الْجَانِي
Salah satunya adalah jika luka pada telapak tangannya sembuh setelah dipotong, maka pelaku wajib menjalani qishāsh pada jari yang telah dipotongnya, dan ia juga wajib membayar arsy atas bagian telapak tangan korban yang terkena dampak akibat tindakannya, seolah-olah dampaknya menjalar ke jari yang lain, sehingga ia wajib membayar diyat untuk jari tersebut karena hilangnya akibat dampak tindakannya, dan tidak ada qishāsh atasnya dalam hal ini. Adapun sisa telapak tangan yang dipotong oleh pemiliknya sendiri, maka itu dianggap sia-sia dan pelaku tidak menanggung ganti rugi atasnya.
فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا قَطَعَهَا مِنَ الخَوْفِ الْحَادِثِ عَنْ جِنَايَتِهِ فَهَلَّا كَانَتْ مِنْ ضَمَانِهِ كَالسِّرَايَةِ
Jika dikatakan bahwa ia memotongnya karena rasa takut yang timbul akibat kejahatannya, maka mengapa hal itu tidak menjadi tanggungannya seperti halnya sirāyah?
قِيلَ تَلَفُ السِّرَايَةِ حَادِثٌ عَنْ فِعْلِهِ فَضَمِنَهُ وَتَلَفُ الْخَوْفِ حَادِثٌ عَنْ فِعْلِ غَيْرِهِ فَلَمْ يَضْمَنْهُ
Dikatakan bahwa kerusakan yang terjadi karena serangan (al-sirāyah) merupakan akibat dari perbuatannya sendiri, maka ia wajib menanggungnya, sedangkan kerusakan yang terjadi karena rasa takut (al-khawf) merupakan akibat dari perbuatan orang lain, maka ia tidak wajib menanggungnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنَّ يَسْرِيَ قَطْعُ الْكَفِّ إِلَى نَفْسِهِ فَيَمُوتَ فَيَكُونُ الْمَوْتُ حَادِثًا مِنْ سِرَايَتَيْنِ قَطْعِ الْجِنَايَةِ وَقَطْعِ الِاسْتِصْلَاحِ فَيَصِيرُ الْجَانِي أَحَدَ الْقَاتِلَيْنِ وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ يَكُونُ الثَّانِي قَاتِلًا دُونَ الْأَوَّلِ لِأَنَّهُ قَطَعَ مَحَلَّ الْجِنَايَةِ فَأَزَالَ سِرَايَتَهَا وَهَذَا فَاسِدٌ بِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الدَّلَالَةِ عَلَيْهِ فَإِنَّ الْمَوْتَ كَانَ بِسِرَايَةِ الْأَلَمَيْنِ فَلِذَلِكَ صَارَ الْأَوَّلُ أَحَدَ الْقَاتِلَيْنِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَفِي قَطْعِ الْجَانِي نِصْفُ الدِّيَةِ فَأَمَّا الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ فَقَدْ صَارَ مُشَارِكًا فِي النَّفْسِ لِمَنْ لَمْ يَلْزَمْهُ ضَمَانُهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يُخْرِجُهُ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ شَرِيكِ السَّبُعِ وَمِنْ جَارِحِ نَفْسِهِ بَعْدَ الْجِنَايَةِ عَلَيْهِ
Jenis kedua adalah apabila pemotongan tangan merambat hingga menyebabkan kematian, sehingga kematian itu terjadi karena dua sebab, yaitu akibat merambatnya luka jinayah dan pemotongan untuk tujuan islah (perbaikan/hukum). Maka pelaku jinayah menjadi salah satu dari dua pembunuh. Menurut Abu Hanifah, yang menjadi pembunuh adalah yang kedua saja, bukan yang pertama, karena ia telah memotong bagian yang terkena jinayah sehingga menghilangkan dampak perambatannya. Namun, pendapat ini tidak benar sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, karena kematian terjadi akibat perambatan dua luka tersebut, sehingga yang pertama menjadi salah satu dari dua pembunuh. Jika demikian, maka pada pemotongan yang dilakukan pelaku jinayah, ia wajib membayar setengah diyat. Adapun qishash dalam kasus jiwa, maka ia telah menjadi salah satu pihak yang turut menyebabkan kematian bersama orang yang tidak wajib menanggung diyat. Para ulama kami berbeda pendapat tentang wajib tidaknya qishash atasnya. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah mengeluarkan dua pendapat berdasarkan kasus orang yang berbagi dalam pembunuhan hewan buas dan orang yang melukai dirinya sendiri setelah terkena jinayah.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ
Salah satunya wajib dikenai qawad (balasan setimpal) dalam kasus jiwa.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَقَدْ مَضَى تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ مِنْ قَبْلُ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qishāsh atasnya, dan penjelasan mengenai kedua pendapat tersebut telah disebutkan sebelumnya.
وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ كَانَ شَرِيكَ السَّبُعِ وَشَرِيكَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ النَّفْسَ فِي شَرِكَةِ السَّبُعِ وَالْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ خَرَجَتْ عَنْ قَصْدِ التَّلَفِ فَصَارَ جَمِيعُهَا عَمْدًا مَحْضًا فَجَازَ أَنْ يَجِبَ فِيهَا الْقَوَدُ وَفِي هَذَا الْمَوْضِعِ خَرَجَتْ عَنْ قَصْدِ الِاسْتِصْلَاحِ دُونَ التَّلَفِ فَإِذَا أَفْضَى إِلَى التَّلَفِ صَارَ عَمْدَ الْخَطَأِ وَلَا قَوَدَ عَلَى شَرِيكِ الْخَاطِئِ وَكَذَلِكَ هَاهُنَا
Abu Ishaq al-Marwazi berkata, “Tidak ada qisas atasnya menurut satu pendapat, meskipun ia adalah rekan serigala dan rekan korban menurut dua pendapat.” Ia membedakan antara keduanya dengan penjelasan bahwa jiwa dalam kasus kerja sama antara serigala dan korban telah keluar dari tujuan membinasakan, sehingga seluruhnya menjadi pembunuhan sengaja murni, maka boleh jadi qisas wajib atasnya. Sedangkan dalam kasus ini, tujuannya adalah untuk memperbaiki, bukan untuk membinasakan. Maka jika hal itu berujung pada kebinasaan, maka itu menjadi pembunuhan karena kesalahan yang disengaja, dan tidak ada qisas atas rekan yang bersalah, demikian pula dalam kasus ini.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا قَطَعَ الْجَانِي قِطْعَةَ لَحْمٍ مِنْ بَدَنِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَخَافَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ سِرَايَتَهَا فَقَطَعَ مَا يَلِيهَا فَمَاتَ فَيُنْظَرُ فَإِنْ قَطَعَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ لَحْمًا مَيِّتًا فَلَا تَأْثِيرَ لِلْقِطْعَةِ لِأَنَّ قَطْعَ الْمَيِّتِ لَا سِرَايَةَ لَهُ وَالْجَانِي هُوَ الْقَاتِلُ وَحْدَهُ وَالْقَوَدُ عَلَيْهِ فِي النَّفْسِ وَاجِبٌ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ فَجَمِيعُ الدِّيَةِ وَإِنْ قَطَعَ لَحْمًا حَيًّا فَالْمَوْتُ مِنْ سِرَايَتِهَا وَالْجَانِي أَحَدُ الْقَاتِلَيْنِ بِوِفَاقِ أَبِي حَنِيفَةَ لِأَنَّ مَحَلَّ الْجِنَايَةِ عِنْدَهُ إِذَا كَانَ بَاقِيًا حَدَثَتِ السِّرَايَةُ عَنْهُمَا وَإِنْ أَزَالَهُ الثَّانِي كَانَتِ السِّرَايَةُ عَنِ الثَّانِي وَعِنْدَنَا أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ بَقَاءِ مَحَلِّ الْجِنَايَةِ وَزَوَالِهِ فِي حُدُوثِ السِّرَايَةِ عَنْهُمَا وَيَكُونُ الْقَوَدُ هَاهُنَا عَلَى الْجَانِي مَحْمُولًا عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنِ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فَيَكُونُ عَلَى قَوْلِ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَعِنْدَ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ قَوْلًا وَاحِدًا وَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَهَكَذَا لَوْ أَنَّ الْمَجْرُوحَ خَاطَ جُرْحَهُ فَمَاتَ فَإِنْ خَاطَهُ فِي لَحْمٍ مَيِّتٍ فَالْجَارِحُ هُوَ الْقَاتِلُ وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ أَوْ جَمِيعِ الدِّيَةِ وَإِنْ خَاطَهُ فِي لَحْمٍ حَيٍّ كَانَ الْجَارِحُ أَحَدَ الْقَاتِلَيْنِ وَكَانَ وُجُوبُ الْقَوَدِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنِ اختلاف أصحابنا في القولين
Adapun jika pelaku kejahatan memotong sepotong daging dari tubuh korban, lalu korban khawatir akan penyebaran (bahaya) luka tersebut sehingga ia memotong bagian di sekitarnya, kemudian ia meninggal dunia, maka hal ini perlu diteliti. Jika korban memotong daging yang sudah mati, maka potongan tersebut tidak berpengaruh, karena memotong bagian yang sudah mati tidak menyebabkan penyebaran (bahaya), dan pelaku kejahatan adalah satu-satunya pembunuh, sehingga qishāsh atas jiwa wajib baginya. Jika dimaafkan darinya, maka seluruh diyat menjadi tanggungannya. Namun jika ia memotong daging yang masih hidup, maka kematian terjadi karena penyebaran (bahaya) luka tersebut, dan pelaku kejahatan menjadi salah satu dari dua pembunuh menurut pendapat Abū Ḥanīfah, karena menurutnya, jika tempat terjadinya kejahatan masih ada, maka penyebaran (bahaya) terjadi dari keduanya, dan jika yang kedua menghilangkannya, maka penyebaran berasal dari yang kedua. Sedangkan menurut kami, tidak ada perbedaan antara tetapnya tempat kejahatan atau hilangnya dalam terjadinya penyebaran dari keduanya, dan qishāsh di sini atas pelaku kejahatan disandarkan pada apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan pendapat para sahabat kami, sehingga menurut pendapat Ibn Abī Hurairah ada dua pendapat, dan menurut Abū Isḥāq al-Marwazī, tidak ada qishāsh atasnya secara mutlak, dan ia menanggung setengah diyat. Demikian pula jika orang yang terluka menjahit lukanya lalu meninggal dunia, maka jika ia menjahitnya pada daging yang sudah mati, maka yang melukai adalah pembunuh dan atasnya qishāsh atas jiwa atau seluruh diyat. Namun jika ia menjahitnya pada daging yang masih hidup, maka yang melukai menjadi salah satu dari dua pembunuh, dan kewajiban qishāsh sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan pendapat para sahabat kami dalam dua pendapat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه ولو كان في يد المقطوع أُصْبُعانِ شَلَّاوَانِ لَمْ تُقْطَعْ يَدُ الْجَانِي وَلَوْ رَضِيَ فَإِنْ سَأَلَ الْمَقْطُوعُ أَنْ يُقْطَعَ لَهُ أصْبع الْقَاطِعِ الثَّالِثِ وَيُؤْخَذَ لَهُ أَرْشُ الِإصْبَعَيْنِ وَالْحُكُومَةِ فِي الْكَفِّ كَانَ ذَلِكَ لَهُ وَلَا أَبْلُغُ بِحُكُومَةِ كَفِّهِ دِيَةَ أصْبع لِأَنَّهَا تَبَعٌ لِلْأَصَابِعِ وَكُلُّهَا مُسْتَوِيَةٌ وَلَا يَكُونُ أَرْشُهَا كَوَاحِدَةٍ مِنْهَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika pada tangan orang yang terpotong terdapat dua jari yang lumpuh, maka tangan pelaku tidak dipotong, meskipun korban merelakannya. Namun, jika korban meminta agar jari ketiga pelaku dipotong dan diambilkan baginya diyat untuk dua jari yang lumpuh serta ḥukūmah pada telapak tangan, maka itu boleh baginya. Aku tidak menentukan ḥukūmah telapak tangannya sebesar diyat satu jari, karena telapak tangan mengikuti jari-jari dan semuanya setara, sehingga diyatnya tidak sama dengan salah satu jari.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ السَّلِيمَةَ لَا تُقَادُ بِالشَّلَّاءِ وَيَجُوزُ أَنْ تُقَادَ الشَّلَّاءُ بِالسَّلِيمَةِ فَإِذَا قَطَعَ كَفًّا فِيهَا أصْبعانِ شَلَّاوَانِ فَلَا تَخْلُو كَفُّ الْقَاطِعِ مِنْ أَنْ تَكُونَ سَلِيمَةً أَوْ فيهَا شَلَلٌ فَإِنْ كَانَتْ سَلِيمَةً فَلَا قِصَاصَ عَلَيْهِ فِي كَفِّهِ وَإِنْ بَذَلَهَا لِأَنَّ سَلَامَةَ مَا قَابَلَ الْأَشَلَّ يُوجِبُ سُقُوطَ الْقِصَاصِ عَنْهُ وَمَنْ سَقَطَ الْقِصَاصُ عَنْهُ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْهُ وَإِنْ رَضِيَ لِأَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa orang yang sehat (anggota tubuhnya) tidak dapat dikenai qishāsh karena orang yang lumpuh, dan boleh orang yang lumpuh dikenai qishāsh karena orang yang sehat. Maka jika seseorang memotong telapak tangan yang di dalamnya terdapat dua jari yang lumpuh, maka telapak tangan pelaku tidak lepas dari dua kemungkinan: sehat atau terdapat kelumpuhan. Jika telapak tangannya sehat, maka tidak ada qishāsh atasnya pada telapak tangannya, meskipun ia rela menyerahkannya, karena sehatnya anggota tubuh yang diqishāshkan terhadap anggota yang lumpuh menyebabkan gugurnya qishāsh darinya. Dan siapa yang telah gugur qishāsh darinya, maka tidak diqishāsh darinya meskipun ia rela, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا كَانَ سُقُوطُ الْقَوَدِ عَنِ الْأَبِ بِالِابْنِ وَعَنِ الْحُرِّ بِالْعَبْدِ يَمْنَعُ مِنَ القَوَدِ مَعَ رِضَا الْأَبِ وَالْحُرِّ كَذَلِكَ يَمْنَعُ مِنْهُ مَعَ رِضَا السَّلِيمِ بِالْأَشَلِّ
Salah satunya adalah bahwa ketika gugurnya qishāsh dari seorang ayah terhadap anaknya, dan dari seorang merdeka terhadap budaknya, mencegah pelaksanaan qishāsh meskipun ada kerelaan dari ayah dan orang merdeka, demikian pula hal itu mencegah pelaksanaan qishāsh meskipun ada kerelaan dari orang yang sehat terhadap orang yang cacat.
وَالثَّانِي أَنَّ سُقُوطَ الْقَوَدِ في السليم عن الجاني قد أجب الْمَالَ أَرْشًا فِي الْأَشَلِّ مِنَ المَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَصَارَ كَالدَّيْنِ الْمُسْتَحَقِّ وَلَوْ بَذَلَ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ أَنْ يُؤْخَذَ بِهِ شَيْءٌ مِنْ أَعْضَائِهِ لَمْ يَجُزْ كَذَلِكَ هُنَا وَإِذَا سَقَطَ الْقِصَاصُ مِنَ السَّلِيمِ الْمُقَابِلِ لِلْأَشَلِّ لَمْ يَسْقُطْ مِنَ السَّلِيمِ الْمُقَابِلِ لِلسَّلِيمِ فَيُقَالُ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَنْتَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْقِصَاصِ أَوِ الدِّيَةِ فَإِنْ طَلَبَ الدِّيَةَ وَعَفَا عَنِ الْقِصَاصِ أُعْطِيَ دِيَةَ ثَلَاثَةِ أَصَابِعَ ثَلَاثِينَ بَعِيرًا يَدْخُلُ فِيهَا حُكُومَةُ مَا تَحْتَهَا مِنَ الكَفِّ وَأُعْطِيَ حُكُومَة أُصْبُعيْنِ شَلَّاوَيْنِ لا يبلغ بهادية أُصْبُعيْنِ سَلِيمَتَيْنِ وَيُدْخِلُ فِي حُكُومَتِهِمَا حُكُومَةُ مَا تَحْتَهُمَا مِنَ الكَفِّ وَإِنْ أَرَادَ الْقِصَاصَ اقْتَصَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَصَابِعَ مِنْ كَفِّ الْجَانِي الْمُمَاثِلَةِ لِلسَّلِيمَةِ مِنْ كَفِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَأَخَذَ مِنْهُ حُكُومَةً فِي الْأصْبعيْنِ الشَّلَّاوَيْنِ يُدْخِلُ فِيهِمَا حُكُومَةَ مَا تَحْتَهُمَا مِنَ الكَفِّ وَهَلْ يَدْخُلُ فِي الْقِصَاصِ فِي الْأَصَابِعِ الثَّلَاثِ حُكُومَةُ مَا تَحْتَهُمَا مِنَ الكَفِّ عَلَى وَجْهَيْنِ ذَكَرْنَاهُمَا مِنْ قَبْلُ
Yang kedua, bahwa gugurnya qishāsh pada anggota tubuh yang sehat dari pelaku terhadap korban telah mewajibkan pembayaran harta sebagai arsy pada anggota tubuh korban yang lumpuh, sehingga hal itu menjadi seperti utang yang wajib dibayar. Jika orang yang berutang menawarkan agar diambil sebagian anggota tubuhnya sebagai ganti utang, maka hal itu tidak diperbolehkan; demikian pula dalam kasus ini. Apabila qishāsh gugur pada anggota tubuh yang sehat yang berhadapan dengan anggota tubuh yang lumpuh, maka qishāsh tidak gugur pada anggota tubuh yang sehat yang berhadapan dengan anggota tubuh yang sehat. Maka dikatakan kepada korban, “Kamu boleh memilih antara qishāsh atau diyat.” Jika ia meminta diyat dan memaafkan qishāsh, maka ia diberikan diyat tiga jari, yaitu tiga puluh ekor unta, yang di dalamnya termasuk hukum bagian telapak tangan di bawahnya. Ia juga diberikan hukum untuk dua jari yang lumpuh, namun nilainya tidak sampai pada diyat dua jari yang sehat, dan di dalam hukum keduanya juga termasuk hukum bagian telapak tangan di bawahnya. Jika ia menginginkan qishāsh, maka ia menuntut qishāsh atas tiga jari dari telapak tangan pelaku yang sepadan dengan jari-jari sehat dari telapak tangan korban, dan ia mengambil dari pelaku hukum untuk dua jari yang lumpuh, yang di dalamnya juga termasuk hukum bagian telapak tangan di bawahnya. Adapun apakah dalam qishāsh pada tiga jari tersebut juga termasuk hukum bagian telapak tangan di bawahnya, terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya.
أَحَدُهُمَا تَدْخُلُ حُكُومَتُهَا فِي الْقِصَاصِ كَمَا تَدْخُلُ حُكُومَتُهَا فِي الدِّيَةِ
Salah satunya adalah bahwa penetapan nilainya masuk dalam qishāsh sebagaimana penetapan nilainya juga masuk dalam diyat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ لَا تَدْخُلُ حُكُومَتُهَا فِي الْقِصَاصِ لِبَقَائِهَا بَعْدَ اسْتِيفَائِهِ وَلَا يَبْلُغُ بِحُكُومَةِ الْكَفِّ دِيَةَ أُصْبُع لِأَنَّهَا تَبَعٌ لِلْأَصَابِعِ فَلَمْ يَبْلُغْ بِالتَّابِعِ حُكْمَ الْمَتْبُوعِ وَإِذَا كَانَ هَذَا فِي جَمِيعِ الْكَفِّ فَالْمُسْتَحَقُّ هَاهُنَا حُكُومَةُ ثَلَاثَةِ أَخْمَاسِ الْكَفِّ لِأَنَّ حُكُومَةَ خُمُسِهَا قَدْ دَخَلَ فِي حُكُومَةِ الْأصْبعيْنِ الشَّلَّاوَيْنِ إِذَا كَانَ قَدْ أَدْخَلَهُ فِي اعْتِبَارِ حُكُومَتِهِمَا فَلَا تَبْلُغُ بِحُكُومَةِ ثَلَاثَةِ أَخْمَاسِ دِيَةِ أصْبع وَثَلَاثَةِ أَخْمَاسِ دِيَتِهَا سِتٌّ مِنَ الإِبِلِ فَيَنْقُصُ مِنْهَا شَيْءٌ وَإِنْ قَلَّ
Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i, adalah bahwa hukuman (ganti rugi) untuk telapak tangan tidak termasuk dalam qishāsh karena telapak tangan masih tetap ada setelah pelaksanaan qishāsh, dan hukuman untuk telapak tangan tidak mencapai diyat satu jari karena telapak tangan merupakan pengikut dari jari-jari, sehingga hukuman untuk sesuatu yang mengikuti tidak bisa disamakan dengan yang diikuti. Jika hal ini berlaku untuk seluruh telapak tangan, maka yang berhak di sini adalah hukuman untuk tiga per lima telapak tangan, karena hukuman untuk seperlima telapak tangan telah termasuk dalam hukuman untuk dua jari yang lumpuh, jika memang telah dimasukkan dalam pertimbangan hukuman keduanya. Maka hukuman untuk tiga per lima telapak tangan tidak mencapai diyat satu jari, dan tiga per lima diyatnya adalah enam ekor unta, sehingga jumlahnya berkurang sedikit, meskipun hanya sedikit.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ كَانَ فِي كَفِّ الْجَانِي شَلَلٌ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Jika pada telapak tangan pelaku terdapat kelumpuhan, maka ada dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَسَاوَى الشَّلَلَانِ مِنْ كَفِّ الْجَانِي وَكَفِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَيَكُونُ الشَّلَلُ مِنْ أَصَابِعِ الْجَانِي وَالْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فِي الْخِنْصَرِ وَالْبِنْصَرِ وَالْبَاقِي مِنْهَا سَلِيمٌ فَيُقْتَصُّ مِنْ كَفِّ الْجَانِي لِتَكَافُئِهِمَا فِي الْأَشَلِّ وَالسَّلِيمِ
Salah satu syaratnya adalah kedua tangan yang mengalami kelumpuhan, yaitu tangan pelaku dan tangan korban, harus sama; misalnya, kelumpuhan terjadi pada jari kelingking dan jari manis pelaku maupun korban, sedangkan jari-jari lainnya dalam keadaan sehat. Maka, qishash dapat diterapkan pada tangan pelaku karena keduanya setara dalam hal jari yang lumpuh dan yang sehat.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَخْتَلِفَ الشَّلَلَانِ فَيَكُونُ الْأَشَلُّ مِنَ المَجْنِيِّ عَلَيْهِ الْخِنْصَرَ وَالْبِنْصَرَ وَمِنَ الْجَانِي الْإِبْهَامَ وَالسَّبَّابَةَ فَإِنْ رَضِيَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَنْ يَأْخُذَ الْأَشَلَّ بِالسَّلِيمِ اقْتُصَّ لَهُ مِنْ أَصَابِعِ الْجَانِي الثَّلَاثَةِ وَهِيَ الْوُسْطَى سَلِيمَةٌ بِسَلِيمَةٍ وَالسَّبَّابَةُ وَالْإِبْهَامُ شَلَّاوَانِ بِسَلِيمَتَيْنِ وَأُعْطِيَ حُكُومَةً فِي أصْبعيْهِ الشَّلَّاوَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ أَخْذَ الْأَشَلِّ بِالسَّلِيمِ اقْتُصَّ لَهُ مِنْ أصْبع وَاحِدَةٍ وَهِيَ الْوُسْطَى لِسَلَامَتِهَا مِنْهُمَا مَعًا وَأُعْطِيَ دِيَتَيْ أصْبعيْنِ عِشْرِينَ بَعِيرًا فِي السَّبَّابَةِ وَالْإِبْهَامِ لِسَلَامَتِهِمَا مِنَ المَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَشَلَلِهِمَا مِنَ الجَانِي وَأُعْطِيَ حُكُومَةَ أصْبعيْنِ شَلَّاوَيْنِ لِنَقْصِهِمَا مِنَ المَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَسَلَامَتِهِمَا مِنَ الجَانِي وَيُدْخِلُ فِي دِيَةِ السَّلِيمَتَيْنِ مَا تَحْتَهُمَا مِنَ الكَفِّ وَفِي حُكُومَةِ الشَّلَّاوَيْنِ مَا تَحْتَهُمَا مِنَ الكَفِّ فِي سُقُوطِ حُكُومَةِ مَا تَحْتَ الْمُقْتَصِّ مِنْهَا وَجْهَانِ على ما مضى
Jenis kedua adalah apabila kedua jari yang lumpuh itu berbeda, misalnya jari yang lumpuh pada korban adalah kelingking dan manis, sedangkan pada pelaku adalah ibu jari dan telunjuk. Jika korban rela mengambil jari yang lumpuh sebagai ganti jari yang sehat, maka dilakukan qishāsh pada tiga jari pelaku, yaitu jari tengah (yang sehat ditukar dengan yang sehat), sedangkan telunjuk dan ibu jari (yang lumpuh) ditukar dengan dua jari yang sehat, dan korban diberikan kompensasi (hukūmah) atas dua jarinya yang lumpuh. Namun jika korban tidak rela mengambil jari lumpuh sebagai ganti jari sehat, maka dilakukan qishāsh pada satu jari saja, yaitu jari tengah karena keduanya sama-sama sehat, dan korban diberikan diyat dua jari, yaitu dua puluh unta untuk telunjuk dan ibu jari karena keduanya sehat pada korban dan lumpuh pada pelaku, serta diberikan kompensasi (hukūmah) atas dua jari lumpuh karena kekurangannya pada korban dan kesehatannya pada pelaku. Termasuk dalam diyat dua jari sehat adalah bagian telapak tangan di bawahnya, dan dalam kompensasi dua jari lumpuh juga termasuk bagian telapak tangan di bawahnya, sedangkan dalam gugurnya kompensasi bagian di bawah jari yang di-qishāsh terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ كَانَ الْقَاطِعُ مَقْطُوعَ الْأُصْبُعَيْنِ قُطِعَتْ لَهُ كَفُّهُ وَأُخِذَتْ لِلْمَقْطُوعَة يَدُهُ أَرْشُ أصْبعيْنِ تَامَّتَيْنِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika pelaku pemotongan adalah seseorang yang kedua jarinya telah terpotong, maka dipotonglah telapak tangannya sebagai qishāsh, dan bagi orang yang tangannya terpotong diberikan diyat (ganti rugi) dua jari yang utuh.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَطَعَ كَفًّا كَامِلَةَ الْأَصَابِعِ وَكَفُّ الْقَاطِعِ نَاقِصَةٌ أصْبعيْنِ كَانَ لِلْمَقْطُوعِ الْخِيَارُ فِي الدِّيَةِ وَالْقِصَاصِ فَإِنِ اخْتَارَ الدِّيَةَ أُعْطِيَ دِيَةَ يَدٍ كَامِلَةٍ لِكَمَالِهَا مِنَ المَقْطُوعِ وَإِنْ نَقَصَتْ مِنَ القَاطِعِ وَوَافَقَنَا أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى أَنَّ دِيَتَهَا لَا تَقِفُ عَلَى مُرَاضَاةِ الْقَاطِعِ وَهُوَ أَصْلٌ مَعَهُ فِيمَا خَالَفَنَا عَلَيْهِ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ فَإِنِ اخْتَارَ الْقَوَدَ مِنْ كَفِّ الْقَاطِعِ أُقِيدَ مِنْهَا وَهِيَ أَنْقَصُ مِنْ حَقِّهِ فَيُقَادُ مِنَ النَّاقِصِ بِالْكَامِلِ وَيُعْطَى بَعْدَ الْقِصَاصِ دِيَةَ أصْبعيْنِ لِوُجُودِهِمَا فِي كَفِّ الْمَقْطُوعِ وَنُقْصَانِهِمَا مِنْ كَفِّ الْقَاطِعِ
Al-Mawardi berkata, “Hal ini benar apabila seseorang memotong telapak tangan yang lengkap dengan seluruh jari, sedangkan telapak tangan pelaku pemotongan kurang dua jari. Maka, pihak yang terpotong memiliki pilihan antara menerima diyat atau qishash. Jika ia memilih diyat, maka ia diberikan diyat tangan yang sempurna karena kesempurnaan tangan yang terpotong, meskipun tangan pelaku kurang. Abu Hanifah sependapat dengan kami bahwa diyat tersebut tidak bergantung pada kerelaan pelaku, dan ini adalah prinsip yang ia setujui bersama kami, berbeda dengan pendapatnya tentang diyat jiwa. Jika pihak yang terpotong memilih qishash atas telapak tangan pelaku, maka qishash dilaksanakan pada tangan yang kurang tersebut, meskipun itu lebih sedikit dari haknya. Maka, qishash dilakukan antara yang kurang dengan yang sempurna, dan setelah qishash, ia diberikan diyat dua jari karena dua jari tersebut ada pada tangan yang terpotong dan tidak ada pada tangan pelaku.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا شَيْءَ لَهُ بَعْدَ الْقِصَاصِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ وَاعْتُبِرَ فَقْدُ الْأصْبعيْنِ بِشَلَلِهِمَا وَلَا يَلْزَمُ بَعْدَ الِاقْتِصَاصِ نَقْصُ شَلَلِهِمَا كَذَلِكَ لا يلزم بعده دية فقدهما وهذا فساد بِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الفَرْقِ بَيْنَ شَلَلِهِمَا وَفَقْدِهِمَا بِكَمَالِ الْعَدَدِ مَعَ الشَّلَلِ وَنُقْصَانِهِ مَعَ الْفَقْدِ
Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban apa pun setelah pelaksanaan qishāsh, dan telah dijelaskan sebelumnya pembahasan bersamanya. Kehilangan dua jari dianggap sama dengan lumpuhnya kedua jari tersebut, dan tidak wajib setelah pelaksanaan qishāsh untuk mengurangi akibat lumpuhnya kedua jari itu. Demikian pula, tidak wajib setelahnya membayar diyat atas kehilangan keduanya. Ini adalah pendapat yang rusak, sebagaimana telah kami jelaskan perbedaan antara lumpuhnya kedua jari dan hilangnya keduanya, baik dalam hal jumlah yang sempurna dengan kelumpuhan maupun kekurangannya dengan kehilangan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ كَانَ لِلْقَاطِعِ سِتُّ أَصَابِعَ لَمْ تُقْطَعْ لِزِيَادَةِ الْأصْبع
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seorang pencuri memiliki enam jari, maka tidak dipotong (tangannya) karena adanya tambahan satu jari.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لِأَنَّ الْقِصَاصَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنَ الجَانِي مِثْلُ مَا أَخَذَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ فَإِذَا كَانَ لِلْقَاطِعِ سِتُّ أَصَابِعَ وَلِلْمَقْطُوعِ خُمْسٌ لَمْ يَجُزْ أَنْ تُؤْخَذَ سِتٌّ بِخَمْسٍ
Al-Mawardi berkata: Qishash adalah mengambil dari pelaku kejahatan sesuatu yang setara dengan apa yang diambilnya, tanpa ada tambahan. Maka jika pelaku pemotongan memiliki enam jari dan korban yang dipotong memiliki lima jari, tidak boleh diambil enam jari sebagai balasan atas lima jari.
فَإِنْ قِيلَ إِذَا جَازَ إِذَا اشْتَرَكَ رَجُلَانِ فِي قَطْعِ يَدٍ أَنْ يُقْطَعُوا يَدَيْنِ يد فَهَلَّا جَازَ أَنْ يَأْخُذُوا سِتَّ أَصَابِعَ بِخَمْسٍ
Jika dikatakan: Jika diperbolehkan ketika dua orang bersama-sama memotong satu tangan, maka keduanya dipotong dua tangan (masing-masing satu tangan), lalu mengapa tidak diperbolehkan mengambil enam jari dengan lima?
قُلْنَا لِأَنَّ يَدَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُمَاثِلَةٌ لِيَدِ الْمَقْطُوعِ فَقَطَعْنَاهَا وَلَيْسَتْ يَدُهُ مُمَاثِلَةً لِلْيَدِ الزَّائِدَةِ فَلَمْ يَقْطَعْهَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ نُظِرَ فِي السَّادِسَةِ الزَّائِدَةِ فَإِنْ كَانَتْ تَحْتَ الْكَفِّ فِي طَرَفِ الذِّرَاعِ وَأَصْلِ الزَّنْدِ اقْتُصَّ مِنْ كَفِّ الْقَاطِعِ لِبَقَاءِ الزَّائِدَةِ بَعْدَ أَخْذِ الْكَفِّ وَإِنْ كَانَتِ الزَّائِدَةُ فِي الْكَفِّ مَعَ أَصَابِعِهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Kami katakan: Karena tangan masing-masing dari keduanya serupa dengan tangan yang terpotong, maka kami potong tangan tersebut, sedangkan tangannya tidak serupa dengan tangan tambahan, maka kami tidak memotongnya. Jika demikian, maka diperhatikan pada tangan keenam yang tambahan; jika letaknya di bawah telapak tangan, di ujung lengan dan pangkal pergelangan, maka diambil qishāsh dari telapak tangan pelaku pemotongan, karena tangan tambahan masih tersisa setelah telapak tangan diambil. Namun jika tangan tambahan itu berada di telapak tangan beserta jari-jarinya, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ ثَابِتَةً فِي الْكَفِّ فَيُقْتَصُّ مِنْ أَصَابِعِ الْقَاطِعِ الْخَمْسِ وَتُسْتَبْقَى الزَّائِدَةُ عَلَى كَفِّهِ وَهَلْ تُؤْخَذُ مِنْهُ حُكُومَةُ كَفِّهِ الْمُسْتَبْقَاةِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا وَهُوَ مَنْصُوصُ الشَّافِعِيِّ يُؤْخَذُ حُكُومَةُ كَفِّهِ لِبَقَائِهَا بَعْدَ اسْتِحْقَاقِ الْقَوَدِ فِيهَا وَلَا يَبْلُغُ بِهَا دِيَةَ أصْبع لِأَنَّهَا تَبَعٌ لِلْأَصَابِعِ
Pertama, jika jari tambahan itu tetap berada di telapak tangan, maka qishāsh dilakukan pada lima jari pelaku pemotongan, dan jari tambahan yang ada di telapak tangannya dibiarkan. Apakah dari pelaku juga diambil ḥukūmah (denda) atas telapak tangannya yang masih tersisa? Dalam hal ini ada dua pendapat; salah satunya, yang merupakan pendapat yang dinyatakan oleh asy-Syāfi‘ī, diambil ḥukūmah atas telapak tangannya karena masih tersisa setelah berhak dikenai qishāsh padanya, namun nilainya tidak sampai sebesar diyat satu jari karena ia hanya mengikuti (tabi‘) jari-jari lainnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا تُؤْخَذُ مِنْهُ حُكُومَةُ كَفِّهِ فَتَكُونُ تَبَعًا لِلِاقْتِصَاصِ مِنْ أَصَابِعِهِ كَمَا تَكُونُ تَبَعًا لَهَا لَوْ أُخِذَتْ دِيَتُهَا
Pendapat kedua, tidak diambil dari telapak tangannya hukum diyat secara terpisah, sehingga menjadi ikutannya dalam pelaksanaan qishāsh terhadap jari-jarinya, sebagaimana telapak tangan juga menjadi ikutan jika diambil diyatnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الْأُصْبُع الزَّائِدَةُ مُلْتَصِقَةً بِإِحْدَى أَصَابِعِهِ الْخَمْسِ فَيَسْقُطُ الْقِصَاصُ فِي الْأُصْبُع الزَّائِدَةِ مَعَ الْمُلْتَصِقَةِ بِهَا وَلَا يُقْتَصُّ مِنْهَا لِدُخُولِ الضَّرَرِ عَلَى الزَّائِدَةِ وَيُقْتَصُّ مِنْ أَرْبَعِ أَصَابِعِ الْقَاطِعِ وَتُؤْخَذُ مِنْهُ دِيَةُ أُصْبُع وَهِيَ الْمُسْتَبْقَاةُ لَهُ مَعَ الزَّائِدَةِ وَتَدْخُلُ حُكُومَةُ مَا تَحْتَهَا مِنَ الكَفِّ فِي دِيَتِهَا وَفِي دُخُولِ حُكُومَةِ بَاقِي كَفِّهِ فِي الِاقْتِصَاصِ مِنْ أَصَابِعِهِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الوَجْهَيْنِ
Bagian kedua adalah apabila jari tambahan itu menempel pada salah satu dari lima jarinya, maka qishāsh tidak diterapkan pada jari tambahan beserta jari yang menempel padanya, dan tidak di-qishāsh dari keduanya karena akan menimbulkan mudarat pada jari tambahan tersebut. Qishāsh hanya diterapkan pada empat jari pelaku pemotongan, dan diambil darinya diyat satu jari, yaitu jari yang tersisa bersamanya beserta jari tambahan. Nilai hukum bagian telapak tangan di bawahnya masuk dalam diyatnya, dan mengenai masuknya nilai hukum sisa telapak tangannya dalam qishāsh pada jarinya, berlaku sebagaimana dua pendapat yang telah kami sebutkan.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ الْأُصْبُع الزَّائِدَةُ ثَابِتَةً عَلَى إِحْدَى أَنَامِلِ أُصْبُع فَيُقْتَصُّ مِنْ أَصَابِعِ الْقَاطِعِ الْأَرْبَعِ فَأَمَّا الْأُصْبُع الَّتِي تَثْبُتُ الزَّائِدَةُ فِي أَنَامِلِهَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الزَّائِدَةِ عَلَيْهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Bagian ketiga adalah apabila jari tambahan menempel pada salah satu ruas jari, maka qishāsh dilakukan pada keempat jari pelaku. Adapun jari yang pada ruasnya terdapat jari tambahan, maka keadaan jari tambahan tersebut tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ ثَابِتَةً مِنْهَا فِي الْأَنْمُلَةِ الْعُلْيَا فَلَا قِصَاصَ عَلَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْهَا وَتُؤْخَذُ مِنْهُ دِيَةُ الْأُصْبُع وَلَوْ بَذَلَهَا قِصَاصًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْهَا
Salah satunya adalah jika bagian itu tetap ada pada ruas jari yang paling atas, maka tidak ada qishāsh atasnya pada bagian manapun darinya, dan diambil darinya diyat jari. Dan jika ia menyerahkannya untuk qishāsh, maka tidak boleh dilakukan qishāsh padanya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الزَّائِدَةُ ثَابِتَةً عَلَى الْأَنْمُلَةِ الْوُسْطَى فَيُقْتَصُّ مِنْ أنملته الْعُلْيَا وَيُؤْخَذُ مِنْهُ دِيَةُ ثُلْثَيْ أُصْبُع سِتَّةِ أَبْعِرَةٍ وَثُلْثَيْنِ لِبَقَاءِ الْأَنْمُلَةِ الْوُسْطَى وَالْأَنْمُلَةِ السُّفْلَى
Bagian kedua adalah jika jari tambahan itu tumbuh di atas ruas tengah, maka qishāsh dilakukan pada ruas atas jarinya, dan diambil darinya diyat dua pertiga jari, yaitu enam unta dan dua pertiga, karena masih tersisa ruas tengah dan ruas bawah.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ الزَّائِدَةُ ثَابِتَةً فِي الْأَنْمُلَةِ السُّفْلَى فَيُقْتَصُّ مِنْ أَنْمُلَتِهِ الْعُلْيَا وَالْوُسْطَى وَيُؤْخَذُ مِنْهُ ثُلْثُ دِيَةِ أُصْبُع لِبَقَاءِ الْأَنْمُلَةِ السفلى وهو ثلاثة أبعرة وثلث
Bagian ketiga adalah apabila jari tambahan itu tetap berada di ruas jari paling bawah, maka qishāsh dilakukan pada ruas jari atas dan tengah, dan diambil darinya sepertiga diyat satu jari karena masih tersisanya ruas jari bawah, yaitu tiga ekor unta dan sepertiganya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ كَانَ الَّذِي لَهُ خَمْسُ أَصَابِعَ هُوَ الْقَاطِعَ كَانَ لِلْمَقْطُوعِ قَطْعُ يَدِهِ وَحُكُومَةُ الْأُصْبُع الزَّائِدَةِ وَلَا أَبْلغ بِهَا أَرْشَ أُصْبُع
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika orang yang memiliki lima jari itu adalah pelaku pemotongan, maka bagi orang yang terpotong berhak memotong tangannya dan mendapatkan ḥukūmah untuk jari tambahan tersebut, dan aku tidak menetapkan untuknya diyat sebesar diyat satu jari.
قَالَ الماوردي إذا كان الإصبع الزائدة فِي كَفِّ الْمَقْطُوعِ دُونَ الْقَاطِعِ اقْتَصَصْنَا مِنْ كَفِّ الْقَاطِعِ وَأَخَذْنَا مِنْهُ حُكُومَةَ الْأُصْبُع الزَّائِدَةِ ولا تبلغ بها دية أصبع من أصل الخلقة فلو قطع الْأُصْبُع الزَّائِدَةِ وحدها فَلَا قِصَاصَ فِيهَا لِعَدَمِ مِثْلِهَا فِي أَصَابِعِ الْقَاطِعِ وَتُؤْخَذُ حُكُومَتُهَا فَإِنْ بَقِيَ لَهَا بَعْدَ انْدِمَالِهَا شَيْنٌ وَكَانَتْ كَفُّهُ بَعْدَ أَخْذِهَا أَجْمَلَ مِنْهَا مَعَ بَقَائِهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ
Al-Mawardi berkata: Jika jari tambahan terdapat pada telapak tangan orang yang terpotong, tetapi tidak ada pada tangan pelaku pemotongan, maka kami melakukan qishāsh pada telapak tangan pelaku pemotongan dan mengambil dari pelaku tersebut nilai hukum (hukūmah) dari jari tambahan itu, namun nilainya tidak mencapai diyat satu jari yang asli. Jika pelaku hanya memotong jari tambahan saja, maka tidak ada qishāsh padanya karena tidak ada padanan pada jari pelaku, dan diambil nilai hukūmah jari tersebut. Jika setelah sembuhnya jari tambahan itu masih tersisa cacat, dan telapak tangan menjadi lebih indah setelah jari itu diambil dibandingkan ketika masih ada, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ لَا شَيْءَ فِيهَا وَيُعَزَّرُ الْجَانِي عَنْهُمَا لِأَنَّ الْحُكُومَةَ أَرْشٌ لِلنَّقْصِ وَلَمْ يَحْدُثْ مِنْ جِنَايَتِهِ نَقْصٌ وَإِنَّمَا يُعَزَّرُ لِلْأَلَمِ وَيَكُونُ مَثَابَة مَنْ قَطَعَ سِلْعَةً يَضْمَنُ إِنْ أَفْضَتْ إِلَى التلف ولا يضمن إن برأت
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, menyatakan bahwa tidak ada kewajiban apa pun atas pelaku, namun pelaku dikenai ta‘zīr oleh hakim. Sebab, hukūmah adalah bentuk kompensasi (‘arsh) atas kekurangan, sedangkan dari perbuatannya tidak terjadi kekurangan apa pun. Ia hanya dikenai ta‘zīr karena menyebabkan rasa sakit. Keadaannya seperti orang yang memotong benjolan; ia wajib mengganti rugi jika menyebabkan kerusakan, namun tidak wajib jika sembuh.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَالسَّاجِيِّ عَلَيْهِ حُكُومَةٌ لِأَنَّهُ قَدْ أَرَاقَ دَمًا بِجِنَايَةٍ وَاخْتَلَفَا فِي اعْتِبَارِ حُكُومَتِهَا فَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ اعْتُبِرَ حُكُومَتُهَا وَالدَّمُ جَارٍ
Pendapat kedua adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan as-Saji, yaitu dikenakan hukūmah, karena ia telah menumpahkan darah akibat suatu jināyah. Namun, keduanya berbeda pendapat dalam mempertimbangkan hukūmah-nya. Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat bahwa hukūmah-nya dipertimbangkan selama darah masih mengalir.
وَقَالَ السَّاجِيُّ اعْتُبِرَ حُكُومَتُهَا فِي أَوَّلِ أَحْوَالِ انْدِمَالِهَا لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى الِانْدِمَالِ الْمُعْتَبَرِ فِي غَيْرِهَا
As-Sāji berkata, “Ditetapkan hukumannya pada awal keadaan lukanya mulai sembuh, karena itu lebih mendekati penyembuhan yang dianggap sah pada selainnya.”
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ كَانَتِ الْأُصْبُع الزَّائِدَةُ فِي كَفِّ الْقَاطِعِ وَالْمَقْطُوعِ مَعًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Dan jika jari tambahan terdapat pada telapak tangan pelaku pemotongan dan yang dipotong sekaligus, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَمَاثَلَ مَحَلُّ الزَّائِدَةِ مِنْ كَفَّيْهِمَا فَتَكُونُ مَعَ الْخِنْصَرَيْنِ أَوْ مَعَ الْإِبْهَامَيْنِ فَيُقْتَصُّ مِنْ كَفِّ الْقَاطِعِ بِكَفِّ الْمَقْطُوعِ وَيُسْتَوْفَى الْقِصَاصُ فِي الْأَصْلِ وَالزِّيَادَةِ
Salah satunya adalah apabila letak jari tambahan pada kedua tangan mereka sama, yaitu berada di samping kelingking atau di samping ibu jari, maka dilakukan qishāsh pada tangan pelaku dengan tangan korban, dan qishāsh dilaksanakan baik pada anggota asal maupun pada tambahan tersebut.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَخْتَلِفَ مَحَلُّ الزَّائِدَةِ مِنْ كَفَّيْهِمَا فَتَكُونُ الزَّائِدَةُ مِنَ القَاطِعِ مع خِنْصَرِهِ وَالزَّائِدَةُ مِنَ المَقْطُوعِ مَعَ إِبْهَامِهِ فَلَا قِصَاصَ فِي الزَّائِدَةِ لِاخْتِلَافِهِمَا بِاخْتِلَافِ مَحَلِّهِمَا وَيُقْتَصُّ مِنْ أَصَابِعِهِ الْخَمْسِ وَيُؤْخَذُ مِنْهُ حُكُومَةُ الْأُصْبُعِ الزَّائِدَةِ
Jenis kedua adalah apabila letak jari tambahan pada kedua tangan mereka berbeda, misalnya jari tambahan pada pelaku pemotongan berada di samping kelingkingnya, sedangkan jari tambahan pada korban berada di samping ibu jarinya. Maka tidak ada qishāsh pada jari tambahan karena perbedaan letaknya, dan qishāsh hanya dilakukan pada kelima jarinya, serta dari pelaku diambil diyat (ganti rugi) atas jari tambahan tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَ لِرَجُلٍ أَرْبَعُ أَصَابِعَ من أصل الخلقة وإصبع زائدة في محل الخامسة الناقصة والعلم بزيادتها وإن كانت في مَحَلِّ الْخَامِسَةِ النَّاقِصَةِ يَكُونُ إِمَّا بِضَعْفِهَا وَقِلَّةِ حَرَكَتِهَا وَإِمَّا بِدِقِّهَا وَصِغَرِهَا وَإِمَّا بِغِلَظِهَا وَطُولِهَا وَإِمَّا بِسَلْبِهَا عَنِ اسْتِوَاءِ الْأَصَابِعِ فَإِنْ قَطَعَ هَذَا الْكَفَّ رَجُلٌ سَلِيمُ الْكَفِّ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْ كَفِّهِ لِأَنَّ فِيهَا أُصْبُعا مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ قَدْ قَابَلَتْهَا أُصْبُع زَائِدَةُ الْخِلْقَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْخُذَ الْكَامِلَةَ بِالنَّاقِصَةِ كَمَا لَا يَأْخُذُ السَّلِيمَةَ بِالشَّلَّاءِ فَإِنْ أَرَادَ الدِّيَةَ أُعْطِيَ دِيَةَ أَرْبَعِ أَصَابِعَ أَرْبَعِينَ مِنَ الإِبِلِ وَأُعْطِيَ حُكُومَةً فِي الزَّائِدَةِ وَيَدْخُلُ فِي ذَلِكَ حُكُومَةُ الْكَفِّ فَإِنْ أَرَادَ الْقِصَاصَ اقْتَصَّ مِنْ أَرْبَعِ أَصَابِعِ الْقَاطِعِ وَأُخِذَتْ مِنْهُ حُكُومَةٌ فِي الْأُصْبُع الزَّائِدَةِ وَلَوْ قَطَعَ كَفًّا كَامِلَةَ الْأَصَابِعِ وَلَهُ كَفٌّ قَدْ نَقَصَتْ أُصْبُعا وَزَادَ فِي مَحَلِّهَا أُصْبُع فَإِنْ رَضِيَ الْمَقْطُوعُ أَنْ يَأْخُذَ الزَّائِدَةَ بِالْكَامِلَةِ اقْتُصَّ لَهُ مِنْ كَفِّ الْقَاطِعِ وَلَا شَيْءَ لَهُ فِي نَقْصِ الزَّائِدَةِ كَمَا لَوِ اقْتُصَّ مِنْ شَلَّاءَ بِسَلِيمَةٍ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ يأخذها بَدَلًا مِنْ أُصْبُعهِ اقْتُصَّ لَهُ مِنْ أَرْبَعِ أَصَابِعِ الْقَاطِعِ وَأُخِذَ مِنْهُ دِيَةُ أُصْبُع عَشْرًا مِنَ الإِبِلِ وَلَوْ كَانَتِ الزَّائِدَةُ فِي غَيْرِ مَحَلِّ النَّاقِصَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْهَا بِالْكَامِلَةِ وَإِنْ تَرَاضَيَا لِسُقُوطِ الْقِصَاصِ فِيهَا بِاخْتِلَافِ الْمَحَلِّ وَلَوْ كَانَتْ كَفُّ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ القَاطِعِ وَالْمَقْطُوعِ نَاقِصَةً أُصْبُعا وَزَائِدَةً أُصْبُعا فَإِنْ تَسَاوَيَا فِي النَّاقِصَةِ وَالزَّائِدَةِ جَرَى الْقِصَاصُ بَيْنَهُمَا فِي الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ وَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الزَّائِدَةِ وَاخْتَلَفَا فِي النَّاقِصَةِ اقْتُصَّ مِنَ الزَّائِدَةِ بِالزَّائِدَةِ وَيُؤْخَذُ مِنَ القَاطِعِ دِيَةُ أُصْبُع وَاحِدَةٍ وَهِيَ النَّاقِصَةُ مِنْ كَفِّ الْقَاطِعِ وَيُقْتَصُّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَصَابِعِ الْمُتَمَاثِلَةِ فِيهِمَا وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الزَّائِدَةِ وَاسْتَوَيَا فِي النَّاقِصَةِ فَلَا قِصَاصَ بَيْنَهُمَا فِي الزَّائِدَةِ وَيُقْتَصُّ مِنْ أَصَابِعِ الْقَاطِعِ الْأَرْبَعِ وَيُؤْخَذُ مِنْهُ حُكُومَةُ الزَّائِدَةِ مِنَ المَقْطُوعِ
Apabila seorang laki-laki memiliki empat jari sejak asal penciptaannya dan satu jari tambahan di tempat jari kelima yang hilang, dan diketahui bahwa jari tersebut adalah tambahan meskipun berada di tempat jari kelima yang hilang—baik karena lemahnya, sedikit gerakannya, tipis dan kecilnya, tebal dan panjangnya, atau karena tidak sejajar dengan jari-jari lainnya—maka jika seseorang yang tangannya sempurna memotong telapak tangan orang tersebut, tidak dilakukan qishāsh pada telapak tangan pelaku, karena di dalamnya terdapat satu jari asli yang dihadapinya oleh satu jari tambahan, sehingga tidak boleh mengambil yang sempurna dengan yang kurang, sebagaimana tidak boleh mengambil yang sehat dengan yang lumpuh. Jika korban menginginkan diyat, maka diberikan diyat untuk empat jari, yaitu empat puluh ekor unta, dan diberikan pula nilai hukum (hukūmah) untuk jari tambahan, yang termasuk juga nilai hukum telapak tangan. Jika korban menginginkan qishāsh, maka dilakukan qishāsh pada empat jari pelaku, dan diambil darinya nilai hukum untuk jari tambahan. Jika pelaku memotong telapak tangan yang sempurna jari-jarinya, sedangkan pelaku memiliki telapak tangan yang kekurangan satu jari dan di tempatnya terdapat jari tambahan, maka jika korban rela mengambil jari tambahan sebagai ganti dari yang sempurna, dilakukan qishāsh pada telapak tangan pelaku, dan tidak ada hak baginya atas kekurangan jari tambahan, sebagaimana jika dilakukan qishāsh dari tangan lumpuh dengan tangan yang sehat. Namun jika ia tidak rela mengambilnya sebagai pengganti jarinya, maka dilakukan qishāsh pada empat jari pelaku dan diambil darinya diyat satu jari, yaitu sepuluh ekor unta. Jika jari tambahan itu berada bukan di tempat jari yang hilang, maka tidak boleh dilakukan qishāsh antara jari tambahan dengan yang sempurna, meskipun keduanya rela, karena gugurnya qishāsh pada kasus perbedaan tempat. Jika telapak tangan pelaku dan korban masing-masing kekurangan satu jari dan memiliki satu jari tambahan, maka jika keduanya sama dalam kekurangan dan tambahan, qishāsh berlaku di antara keduanya dalam hal kelebihan dan kekurangan. Jika keduanya sama dalam tambahan dan berbeda dalam kekurangan, maka dilakukan qishāsh antara tambahan dengan tambahan, dan diambil dari pelaku diyat satu jari, yaitu jari yang hilang dari telapak tangan pelaku, serta dilakukan qishāsh pada tiga jari yang serupa pada keduanya. Jika keduanya berbeda dalam tambahan dan sama dalam kekurangan, maka tidak ada qishāsh antara keduanya dalam tambahan, dan dilakukan qishāsh pada empat jari pelaku serta diambil darinya nilai hukum jari tambahan milik korban.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَطَعَ لَهُ أَنْمُلَةٌ لَهَا طَرَفَانِ فَلَهُ الْقَوَدُ مِنْ أُصْبُعهِ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ وَإِنْ كَانَ لِلْقَاطِعِ مِثْلُهَا أُقِيدَ بِهَا وَلَا حُكُومَةَ فَإِنْ كَانَ لِلْقَاطِعِ طَرَفَانِ وَلِلْمَقْطُوعِ وَاحِدٌ فَلَا قَوَدَ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang memotong ruas jari yang memiliki dua ujung, maka bagi korban berhak mendapatkan qishāsh dari jarinya dan tambahan diyat berdasarkan ḥukūmah. Jika pelaku juga memiliki ruas yang sama, maka dilakukan qishāsh tanpa tambahan ḥukūmah. Namun, jika pelaku memiliki dua ujung sedangkan korban hanya satu, maka tidak ada qishāsh karena milik pelaku lebih banyak.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَ الطرفان في أنملة المقطوع اقتص من القاطع وأخذ منه حكومة الطرف الزائد وإن كَانَ الطَّرَفَانِ فِي أَنْمُلَةِ الْقَاطِعِ فَلَا قِصَاصَ عليه وتؤخذ منه دية أنملة وإن كانا الطرفان في أنملة القاطع والمقطوع اعتبر تماثل الطرفي فإن كان متماثلين جرى القصاص بينهما في الطرفين وإن كانا غير متماثلين فلا لِأَنَّ الطَّرَفَ الزَّائِدَ مِنْ أَحَدِهِمَا مُتَيَامِنٌ وَمِنَ الْآخَرِ مُتَيَاسِرٌ فَلَا قِصَاصَ بَيْنَهُمَا وَيُؤْخَذُ مِنَ القَاطِعِ دِيَةُ أَنْمُلَةٍ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ فِي الطَّرَفِ الزائد
Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana yang dikatakan, yaitu jika kedua ujung jari berada pada ruas jari orang yang terpotong, maka dilakukan qishash terhadap pelaku pemotongan dan diambil darinya nilai ganti rugi (hukūmah) untuk bagian ujung jari yang lebih. Namun, jika kedua ujung jari berada pada ruas jari pelaku pemotongan, maka tidak ada qishash atasnya dan diambil darinya diyat (denda) sebesar satu ruas jari. Jika kedua ujung jari berada pada ruas jari pelaku pemotongan dan yang terpotong, maka dilihat kesamaan kedua ujung tersebut; jika keduanya sama, maka dilakukan qishash di antara keduanya pada kedua ujung tersebut. Jika tidak sama, maka tidak dilakukan qishash, karena ujung jari tambahan pada salah satu dari keduanya berada di sisi kanan dan pada yang lain di sisi kiri, sehingga tidak ada qishash di antara keduanya, dan diambil dari pelaku pemotongan diyat satu ruas jari serta tambahan nilai ganti rugi (hukūmah) untuk bagian ujung jari yang lebih.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَطَعَ أَنْمُلَ طَرَفٍ وَمِنْ آخَرَ الْوُسْطَى من أصبع واحد فَإِنْ جَاءَ الْأَوَّلُ قَبْلُ اقْتُصَّ لَهُ ثُمَّ الْوُسْطَى وَإِنْ جَاءَ صَاحِبُ الْوُسْطَى قِيلَ لَا قِصَاصَ لَكَ إِلَّا بَعْدَ الطَّرَفِ وَلَكَ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang memotong ruas ujung dan ruas tengah dari satu jari, maka jika pemilik ruas ujung datang lebih dahulu, dilakukan qishāsh untuknya, kemudian untuk ruas tengah. Namun jika pemilik ruas tengah datang lebih dahulu, dikatakan kepadanya: “Tidak ada qishāsh bagimu kecuali setelah (qishāsh) untuk ruas ujung,” dan bagimu adalah diyat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا ابْتَدَأَ فَقَطَعَ أَنْمُلَةً عُلْيَا من سباية رجل ثم قطع أنملة وسطى من سبابة آخر ليس لها عليا كان القصاص لصاحب العليا مستحقا في الحال وقصاص صاحب الْوُسْطَى مُعْتبر بِصَاحِبِ الْعُلْيَا فَإِنِ اقْتَصَّ صَاحِبُ الْعُلْيَا اقْتُصَّ بَعْدَهُ لِصَاحِبِ الْوُسْطَى وَإِنْ طَالَبَ صَاحِبُ الْوُسْطَى بِالْقِصَاصِ قَبْلَ اقْتِصَاصِ صَاحِبِ الْعُلْيَا لَمْ يَخْلُ صَاحِبُ الْعُلْيَا مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ أَوْ لَمْ يَعْفُ فَإِنْ عَفَا سَقَطَ قِصَاصُ صَاحِبِ الْوُسْطَى لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ أَنَمُلَتَيْنِ عُلْيَا وَوُسْطَى بِأَنْمُلَةٍ وَاحِدَةٍ وُسْطَى وَإِنْ لَمْ يَعْفُ صَاحِبُ الْعُلْيَا قِيلَ لِصَاحِبِ الْوُسْطَى لَا قِصَاصَ لَكَ فِي الْحَالِ مَعَ بَقَاءِ الْعُلْيَا وَأَنْتَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ تَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الدِّيَةِ وَبَيْنَ أَنْ تَنْتَظِرَ بِهَا قِصَاصَ صَاحِبِ الْعُلْيَا
Al-Mawardi berkata: Jika seseorang memulai dengan memotong ruas jari paling atas dari telunjuk seorang laki-laki, kemudian memotong ruas jari tengah dari telunjuk orang lain yang tidak memiliki ruas atas, maka qishash bagi pemilik ruas atas berhak dilakukan saat itu juga, sedangkan qishash bagi pemilik ruas tengah bergantung pada pemilik ruas atas. Jika pemilik ruas atas telah melakukan qishash, maka setelahnya dilakukan qishash untuk pemilik ruas tengah. Namun jika pemilik ruas tengah menuntut qishash sebelum qishash dilakukan untuk pemilik ruas atas, maka pemilik ruas atas tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia telah memaafkan qishash atau belum. Jika ia memaafkan, maka gugurlah qishash bagi pemilik ruas tengah, karena tidak boleh mengambil dua ruas, yaitu atas dan tengah, dengan satu ruas tengah saja. Namun jika pemilik ruas atas tidak memaafkan, maka dikatakan kepada pemilik ruas tengah: “Tidak ada qishash bagimu saat ini selama ruas atas masih ada, dan engkau boleh memilih antara memaafkan qishash dengan menerima diyat, atau menunggu hingga qishash dilakukan untuk pemilik ruas atas.”
فَإِنْ قِيلَ إِذَا كَانَ غَيْرَ مُسْتَحِقٍّ لِلْقِصَاصِ فِي الْحَالِ فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَحِقَّهُ فِي ثَانِي حَالٍ وَهَلَّا كَانَ بِاخْتِلَافِ الْحَالَيْنِ كَالْحُرِّ إِذَا قَطَعَ يَدَ عَبْدٍ لَمَّا سَقَطَ الْقِصَاصُ عَنْهُ فِي الْحَالِ لَمْ يُنْتَظَرْ بِهَا عِتْقُ الْعَبْدِ مِنْ بَعْدُ حَتَّى يُقْتَصَّ مِنْهُ قِيلَ الْقِصَاصُ فِي الْوُسْطَى قَدْ وَجَبَ بَعْدَ قَطْعِ الْعُلْيَا وَإِنَّمَا أُخِّرَ اسْتِيفَاؤُهُ لِأَجْلِ صَاحِبِ الْعُلْيَا وَمَا أُخِّرَ اسْتِيفَاؤُهُ مِنَ القِصَاصِ لِسَبَبٍ لَمْ يُوجِبْ تَأْخِيرُهُ بُطْلَانَهُ كَتَأْخِيرِ الِاقْتِصَاصِ مِنَ الحَامِلِ حَتَّى تَضَعَ وَخَالَفَ قَطْعَ الْحُرِّ الْعَبْدَ لِأَنَّ الْقِصَاصَ لَهُ يَجِبُ فَافْتَرَقَا فَإِنْ بَادَرَ صَاحِبُ الْوُسْطَى فَاقْتُصَّ مِنَ القَاطِعِ فَقَدْ تَعَدَّى بِأَخْذِ العليا مع الوسطى إذا لَا قَوَدَ لَهُ عَلَيْهِ فِيهَا لِعَدَمِ مَحَلِّهَا مِنْهُ وَعَلَيْهِ دِيَتُهَا لِلْقَاطِعِ وَيَرْجِعُ صَاحِبُ الْعُلْيَا بِدِيَتِهَا عَلَى الْقَاطِعِ
Jika dikatakan: Jika seseorang pada keadaan sekarang tidak berhak mendapatkan qishāsh, bagaimana mungkin ia bisa berhak mendapatkannya pada keadaan berikutnya? Mengapa tidak disamakan saja dengan kasus seorang merdeka yang memotong tangan seorang budak, di mana ketika qishāsh gugur darinya pada saat itu, tidak ditunggu hingga budak tersebut dimerdekakan lalu baru dilakukan qishāsh terhadapnya? Maka dijawab: Qishāsh pada tangan tengah telah menjadi wajib setelah tangan atas dipotong, hanya saja pelaksanaannya ditunda demi kepentingan pemilik tangan atas. Penundaan pelaksanaan qishāsh karena suatu sebab tidaklah menyebabkan batalnya qishāsh, sebagaimana penundaan pelaksanaan qishāsh terhadap wanita hamil hingga ia melahirkan. Hal ini berbeda dengan kasus orang merdeka yang memotong tangan budak, karena qishāsh tidak wajib baginya, sehingga keduanya berbeda. Jika pemilik tangan tengah segera menuntut qishāsh dari pelaku, maka ia telah melampaui batas dengan mengambil tangan atas bersama tangan tengah, karena ia tidak berhak qishāsh atas tangan atas tersebut, sebab tidak ada tempatnya pada pelaku. Maka ia wajib membayar diyat tangan atas kepada pelaku, dan pemilik tangan atas dapat menuntut diyat tangannya dari pelaku.
فَصْلٌ
Bagian
وَلَوِ ابْتَدَأَ الْجَانِي فَقَطَعَ الْأَنْمُلَةَ الْوُسْطَى مِنْ سَبَّابَةِ رَجُلٍ لَيْسَ لَهُ عُلْيَا ثُمَّ قَطَعَ الْعُلْيَا مِنْ سَبَّابَةِ آخَرَ فَلَا قِصَاصَ لِصَاحِبِ الْوُسْطَى سَوَاءٌ اقْتَصَّ صَاحِبُ الْعُلْيَا أَوْ لَمْ يَقْتَصَّ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَحِقَّ الْقِصَاصَ فِي الْحَالِ فَلَمْ تَسْتَحِقَّهُ فِي ثَانِي حَالٍ كَالْعَبْدِ إِذَا أُعْتِقَ وَكَمَا لَوْ قَطَعَ أُصْبُعا شَلَّاءَ ثُمَّ شُلَّتْ أُصْبُع الْقَاطِعِ بَعْدَ الْجِنَايَةِ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْهَا وَحَكَى ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي السَّلِيمَةِ إِذَا شُلَّتْ وَجْهًا ثَانِيًا إنَّهُ يُقْتَصُّ مِنْهَا وَلَا وَجْهَ لَهُ اعتباراً بِمَا ذَكَرْنَا وَلَوْ قَطَعَهُمَا مِنْ رِجْلَيْنِ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ وَجَبَ لِصَاحِبِ الْوُسْطَى الْقِصَاصُ إِذَا اسْتَوْفَاهُ صَاحِبُ الْعُلْيَا وَيَصِيرُ كَمَا لَوْ تَقَدَّمَ بِقَطْعِ الْعُلْيَا ثُمَّ الْوُسْطَى لَأَنَّ الْقِصَاصَ مُسْتَحَقٌّ بَعْدَ الْقَطْعِ وَالْعُلْيَا بَعْدَهُ مُسْتَحَقَّةُ الْقَطْعِ
Jika seorang pelaku kejahatan memulai dengan memotong ruas tengah dari jari telunjuk seorang laki-laki yang tidak memiliki ruas atas, kemudian memotong ruas atas dari jari telunjuk orang lain, maka tidak ada qishāsh bagi pemilik ruas tengah, baik pemilik ruas atas telah menuntut qishāsh atau belum, karena ia tidak berhak mendapatkan qishāsh pada saat itu, sehingga ia juga tidak berhak mendapatkannya pada waktu berikutnya, seperti budak yang dimerdekakan, dan seperti jika seseorang memotong jari yang lumpuh, lalu setelah kejadian itu jari pelaku menjadi lumpuh, maka tidak dilakukan qishāsh atasnya. Ibn Abi Hurairah meriwayatkan dalam kasus jari yang sehat lalu menjadi lumpuh menurut pendapat kedua bahwa qishāsh tetap dilakukan, namun pendapat ini tidak kuat jika mempertimbangkan apa yang telah disebutkan. Jika pelaku memotong keduanya dari dua kaki dalam satu waktu, maka pemilik ruas tengah berhak atas qishāsh jika pemilik ruas atas telah menuntutnya, dan hal ini seperti jika pelaku lebih dulu memotong ruas atas lalu ruas tengah, karena qishāsh menjadi hak setelah pemotongan, dan ruas atas setelah itu menjadi hak untuk dipotong.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَا أُقِيدُ بِيُمْنَى يُسْرَى وَلَا بِيُسْرَى يُمْنَى
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Aku tidak menetapkan qishāsh dengan tangan kanan karena tangan kiri, dan tidak pula dengan tangan kiri karena tangan kanan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْمُمَاثَلَةُ فِي الْقِصَاصِ مُعْتَبَرَةٌ فِي الْجِنْسِ وَالنَّوْعِ فَالْجِنْسُ أَنْ تُؤْخَذَ الْيَدُ بِالْيَدِ وَلَا تُؤْخَذُ يَدٌ بِرِجْلٍ وَالنَّوْعُ أَنْ تُؤْخَذَ يُمْنَى بِيُمْنَى وَلَا تُؤْخَذُ يُمْنَى بِيُسْرَى فَإِذَا قَطَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ لِلْقَاطِعِ يَدٌ يُمْنَى أَخَذْنَاهَا قَوَدًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ يُمْنَى سَقَطَ الْقِصَاصُ إِلَى الدِّيَةِ وَلَمْ يُؤْخَذْ بِهَا الْيُسْرَى لِعَدَمِ الْمُمَاثَلَةِ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ
Al-Mawardi berkata: Kesetaraan dalam qishash diperhatikan pada jenis dan macamnya. Jenis maksudnya adalah, misalnya tangan dibalas dengan tangan, dan tidak boleh tangan dibalas dengan kaki. Sedangkan macam maksudnya adalah tangan kanan dibalas dengan tangan kanan, dan tidak boleh tangan kanan dibalas dengan tangan kiri. Maka jika seseorang memotong tangan kanan orang lain, dan pelaku juga memiliki tangan kanan, maka tangan kanan pelaku diambil sebagai qishash. Namun jika pelaku tidak memiliki tangan kanan, maka qishash gugur dan diganti dengan diyat, dan tidak boleh mengambil tangan kirinya karena tidak ada kesetaraan. Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).
وَقَالَ شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَقْطَعُ الْيُمْنَى بِالْيُمْنَى وَلَا أَعْدِلُ عَنْهَا إِلَى الْيُسْرَى فَإِنْ عَدِمْتُ الْيُمْنَى قَطَعْتُ الْيُسْرَى بِهَا لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الاسم وَتَمَاثُلِهِمَا فِي الْخِلْقَةِ وَتَقَارُبِهِمَا فِي الْمَنْفَعَةِ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ النحل 126 وَلِأَنَّ مَا تَمَيَّزَ مَحَلُّهُ وَتَفَرَّدَ بِنَوْعِهِ لَمْ يَكُنِ الِاشْتِرَاكُ فِي الِاسْمِ الْعَامِّ مُوجِبًا لِلْقِصَاصِ كَالْأُصْبُع لَا تُؤْخَذُ السَّبَّابَةُ بِالْوُسْطَى وَإِنِ اشْتَرَكَا فِي الِاسْمِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْمَحَلِّ وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَخْذُ الْيُسْرَى بِالْيُمْنَى عِنْدَ عَمْدِهَا لَجَازَ أَنْ تُؤْخَذَ بِهَا مَعَ وُجُودِهَا وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ مَعَ الوجود فكذلك مع العدم
Syariq bin Abdullah berkata, “Tangan kanan dibalas dengan tangan kanan, dan aku tidak akan menggantinya dengan tangan kiri. Jika tangan kanan tidak ada, maka aku balas dengan tangan kiri, karena keduanya sama-sama disebut tangan, bentuknya serupa, dan manfaatnya hampir sama.” Namun, pendapat ini keliru, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Jika kamu membalas, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (an-Nahl: 126). Selain itu, sesuatu yang tempatnya berbeda dan jenisnya khusus, maka kesamaan dalam nama umum tidak cukup untuk menetapkan qishāsh, seperti jari telunjuk tidak boleh dibalas dengan jari tengah, meskipun keduanya sama-sama disebut jari, karena tempatnya berbeda. Jika dibolehkan membalas tangan kiri dengan tangan kanan ketika tangan kanan tidak ada, maka akan dibolehkan juga membalasnya dengan tangan kiri padahal tangan kanan masih ada, dan itu tidak boleh selama tangan kanan masih ada, maka demikian pula ketika tidak ada.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قُلِعَ سِنُّهُ أَوْ قُطِعَ أُذُنُهُ ثُمَّ إِنَّ الْمَقْطُوعَ ذَلِكَ مِنْهُ أَلْصَقَهُ بِدَمِهِ وَسَأَلَ الْقَوَدَ فَلَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ وَجَبَ لَهُ بِإِبَانَتِهِ وَكَذَلِكَ الْجَانِي لَا يُقْطَعُ ثَانِيَةً إِذَا أُقِيدَ مِنْهُ مَرَّةً إِلَّا بِأَنْ يُقْطَعَ لِأَنَّهَا مَيِّتَةٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika giginya dicabut atau telinganya dipotong, kemudian bagian yang terpotong itu ditempelkan kembali dengan darahnya dan ia meminta qishāsh, maka ia berhak mendapatkannya, karena hak itu telah menjadi miliknya sejak bagian itu terpisah. Demikian pula, pelaku tidak dipotong untuk kedua kalinya jika sudah dikenai qishāsh sekali, kecuali jika bagian yang dipotong itu telah mati.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ يَشْتَمِلُ فِي الْقَاطِعِ وَالْمَقْطُوعِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, “Masalah ini mencakup pada pelaku pemotongan dan yang dipotong dalam tiga bagian.”
أَحَدُهَا أَنْ يَقْطَعَ أُذُنَهُ فَيُبِينُهَا ثُمَّ إِنَّ الْمَقْطُوعَ أُذُنَهُ أَلْصَقَهَا بديها فَالْتَحَمَتْ مُنْدَمِلَةً ثُمَّ سَأَلَ الْقِصَاصَ مِنَ القَاطِعِ اقْتُصَّ لَهُ مِنْهُ لِوُجُوبِ الْقِصَاصِ بِالْإِبَانَةِ فَإِنْ سَأَلَ الْمُقْتَصُّ مِنْهُ أَنْ تُزَالَ أُذُنُ الْمُقْتَصِّ لَهُ
Salah satunya adalah seseorang memotong telinga orang lain hingga terpisah, kemudian orang yang telinganya terpotong itu menempelkannya kembali pada tubuhnya sehingga menyatu dan sembuh, lalu ia menuntut qishāsh terhadap pelaku pemotongan tersebut, maka qishāsh dilaksanakan untuknya karena kewajiban qishāsh atas pemisahan anggota tubuh. Jika orang yang dikenai qishāsh meminta agar telinga orang yang menuntut qishāsh itu dihilangkan,
قِيلَ لَا حَقَّ لَكَ فِي إِزَالَتِهَا وَإِنَّمَا تُزَالُ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى لِأَنَّهَا بَعْدَ الْإِبَانَةِ مَيِّتَةٌ نَجِسَةٌ يَلْزَمُ أَخْذُهُ بِإِزَالَتِهَا لِمَا عَلَيْهِ مِنِ اجْتِنَابِ الْأَنْجَاسِ فِي الصَّلَاةِ وَهُوَ حُقٌّ يَسْتَوْفِيهِ الْإِمَامُ دُونَكَ وَهَكَذَا لَوِ اقْتَصَّ مِنْ أُذُنِ الْجَانِي فَأَلْصَقَهَا بِدَمِهَا فَسَأَلَ الْمُقْتَصُّ لَهُ أَنْ تُعَادَ إِزَالَتُهَا قِيلَ لَهُ قَدِ اسْتَوْفَيْتَ حَقَّكَ مِنَ القِصَاصِ بِالْإِبَانَةِ وَإِنَّمَا تُزَالُ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى لَا فِي حَقِّكَ فَلَوْ قَطَعَ هَذِهِ الْأُذُنَ الْمُلْصَقَةَ قَاطِعٌ مِنَ المُقْتَصِّ لَهُ أَوْ مِنَ المُقْتَصِّ مِنْهُ لَمْ يَضْمَنْهَا بِقَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ وَيُعَزَّرُ لِافْتِيَاتِهِ عَلَى الْإِمَامِ لَا لِتَعَدِّيهِ عَلَى الْمَقْطُوعِ لِأَنَّهُ مستحق عَلَيْهِ فَلَمْ يَكُنْ تَعَدِّيًا فِي حَقِّهِ وَكَانَ افْتِيَاتًا فِي حَقِّ الْإِمَامِ لِمُدَاخَلَتِهِ فِي سُلْطَانِهِ
Dikatakan bahwa kamu tidak memiliki hak untuk menghilangkannya, melainkan ia dihilangkan karena hak Allah Ta‘ala, karena setelah dipisahkan, ia menjadi bangkai yang najis sehingga wajib baginya untuk menghilangkannya karena kewajiban menghindari najis dalam shalat, dan itu adalah hak yang dipenuhi oleh imam, bukan olehmu. Demikian pula, jika seseorang menuntut qishāsh pada telinga pelaku lalu menempelkannya kembali dengan darahnya, kemudian orang yang menuntut qishāsh meminta agar telinga itu dihilangkan lagi, maka dikatakan kepadanya, “Kamu telah mengambil hakmu dari qishāsh dengan pemisahan itu, dan penghilangan itu hanya dilakukan karena hak Allah Ta‘ala, bukan karena hakmu.” Maka jika ada yang memotong telinga yang telah ditempelkan itu, baik dari pihak yang menuntut qishāsh maupun dari pihak yang dikenai qishāsh, ia tidak wajib menanggungnya dengan qishāsh maupun diyat, namun ia dikenai ta‘zīr karena telah mendahului imam, bukan karena melampaui batas terhadap anggota tubuh yang telah dipotong, karena anggota itu memang sudah tidak menjadi haknya lagi, sehingga tidak dianggap melampaui batas terhadap haknya, melainkan merupakan pelanggaran terhadap hak imam karena telah mencampuri kewenangannya.
فَصْلٌ
Fasal
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تُقْطَعَ أُذُنُهُ إِلَى نِصْفِهَا ثُمَّ يَتْرُكُهَا فَيُلْصِقُهَا الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ بِدَمِهَا فَتَلْتَحِمُ وَتَنْدَمِلُ فَلَا قِصَاصَ عَلَى الْجَانِي لِأَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا عَدَمُ الْإِبَانَةِ
Bagian kedua adalah jika telinga seseorang dipotong hingga setengahnya, lalu pelaku meninggalkannya, kemudian korban menempelkan kembali telinganya dengan darahnya sehingga menyatu dan sembuh, maka tidak ada qishāsh atas pelaku karena dua hal; salah satunya adalah tidak terpisahnya (anggota tubuh tersebut).
وَالثَّانِي إِقْرَارُهَا مُنْدَمِلَةً وَتُؤْخَذُ مِنْهُ حُكُومَةُ مَا حَدَثَ مِنَ الشَّيْنِ بَعْدَ الِانْدِمَالِ فَلَوْ جَنَى عَلَيْهَا آخَرُ فَقَطَعَهَا إِلَى آخِرِ الْمَوْضِعِ الَّذِي قَطَعَهَا الْأَوَّلُ أَخَذَ بِحُكُومَتِهَا دُونَ الْقَوَدِ كَالْأَوَّلِ وَلَوْ أَبَانَهَا اقْتُصَّ مِنْهُ بِهَا فَلَوْ بَلَغَ الْقِصَاصُ إِلَى نِصْفِ أُذُنِ الْقَاطِعِ فَأَلْصَقَهَا بِدَمِهَا أُعِيدَ قَطْعُهَا مِنْهُ قَوَدًا لِأَنَّهَا مُقَرَّةٌ فِي غَيْرِ الْقِصَاصِ فَوَجَبَ أَنْ تُؤْخَذَ فِي الْقِصَاصِ
Kedua, jika luka itu telah sembuh, maka diambil dari pelakunya nilai ganti rugi (ḥukūmah) atas cacat yang terjadi setelah sembuh. Jika ada orang lain yang melukainya lagi dan memotongnya sampai batas yang sama dengan potongan pertama, maka ia hanya dikenai ḥukūmah, bukan qishāsh, seperti pelaku pertama. Namun jika ia memotongnya hingga terpisah, maka dilakukan qishāsh terhadapnya. Jika qishāsh itu sampai pada setengah telinga pelaku, lalu ia menempelkannya kembali dengan darahnya, maka pemotongan itu diulang sebagai qishāsh, karena anggota tubuh itu tetap dianggap ada dalam selain qishāsh, sehingga wajib diambil dalam qishāsh.
فَصْلٌ وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تُقْطَعَ أُذُنُهُ وَتَتَعَلَّقَ بِالْجِلْدِ فَلَا تَنْفَصِلُ مِنْهُ فَإِنْ أَعَادَهَا الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ فَالْتَصَقَتْ أُقِرَّتْ لِأَنَّهَا إِذَا لَمْ تَنْفَصِلْ فَهِيَ طَاهِرَةٌ لِبَقَاءِ الْحَيَاةِ فِيهَا وَإِذَا أُقِرَّتْ بَعْدَ الِالْتِحَامِ فَلَا قِصَاصَ فِيهَا وَفِيهَا حُكُومَةٌ بِقَدْرِ الشَّيْنِ وَإِنْ لَمْ تَلْتَحِمْ وَجَبَ الْقِصَاصُ فِيهَا فَيُقْتَصُّ مِنْ أُذُنِ الْجَانِي حَتَّى تَتَعَلَّقَ بِجِلْدَتِهَا وَلَا يَقْطَعُ الْجِلْدَةَ كَمَا لَمْ يَقْطَعْهَا لِأَنَّ غَضَارِيفَ الْأُذُنِ مَحْدُودَةٌ فَجَرَى الْقِصَاصُ فِيهَا مَعَ بَقَاءِ الْجِلْدِ الْمُغَشِّي لَهَا كَمَا يُقْتَصُّ مِنَ المُوضِحَةِ لِانْتِهَائِهَا إِلَى الْعَظْمِ كَذَلِكَ يُقْتَصُّ مِنْ غُضْرُوفِ الْأُذُنِ لِانْتِهَائِهِ إلى اللحم فإذا اقتضى مِنْهَا وَأَعَادَهَا الْجَانِي فَأَلْصَقَهَا حَتَّى الْتَحَمَتْ أُعِيدَ قَطْعُهَا ثَانِيَةً لِأَنَّ حَقَّهُ فِي بَقَائِهَا بَائِنَةً كَمَا بَقِيَتْ أُذُنُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بَائِنَةً
Bagian ketiga: Jika telinga seseorang terpotong dan masih tergantung pada kulitnya sehingga tidak terlepas sepenuhnya, lalu orang yang menjadi korban mengembalikannya dan telinga itu menempel kembali, maka telinga itu tetap diakui karena selama belum terlepas, ia masih suci karena masih ada kehidupan di dalamnya. Jika setelah menempel kembali dan menyatu, maka tidak ada qishāsh atasnya, tetapi ada penetapan hukum (hukūmah) sesuai kadar cacat yang terjadi. Namun, jika tidak menyatu, maka wajib dilakukan qishāsh, yaitu telinga pelaku dipotong hingga hanya tergantung pada kulitnya, dan kulitnya tidak dipotong sebagaimana pelaku juga tidak memotong kulit korban, karena tulang rawan telinga itu terbatas, sehingga qishāsh berlaku padanya dengan tetap membiarkan kulit yang melapisinya, sebagaimana qishāsh dilakukan pada luka muḍīḥah karena sampai ke tulang, demikian pula qishāsh dilakukan pada tulang rawan telinga karena sampai ke daging. Jika setelah dilakukan qishāsh, pelaku mengembalikan telinganya dan menempelkannya hingga menyatu kembali, maka telinga itu harus dipotong lagi untuk kedua kalinya, karena hak korban adalah agar telinga pelaku tetap terpisah sebagaimana telinga korban juga tetap terpisah.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَيُقَادُ بِذَكَرِ رَجُلٍ شَيْخٍ وَخَصِيٍّ وَصَبِيٍّ وَالَّذِي لَا يَأْتِي النِّسَاءَ كَانَ الذَّكَرُ يَنْتَشِرُ أَوْ لَا يَنْتَشِرُ مَا لَمْ يَكُنْ بِهِ شَلَلٌ يمنعه من أن ينقبض أو ينسبط
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Qishāsh (hukuman balasan) diberlakukan atas penis laki-laki dewasa, laki-laki tua, kasim, anak kecil, dan orang yang tidak mendatangi perempuan, baik penisnya dapat ereksi maupun tidak, selama tidak ada kelumpuhan yang menghalanginya untuk mengerut atau menegang.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ الْقِصَاصُ فِي الذَّكَرِ وَاجِبٌ لِأَنَّهُ عُضْوٌ لَهُ حَدٌّ وَغَايَةٌ فَإِذَا اسْتَوْعَبَهُ مِنْ أَصْلِ الْقَضِيبِ اقْتُصَّ مِنْهُ وَيُؤْخَذُ الطَّوِيلُ بِالْقَصِيرِ وَالْغَلِيظُ بِالدَّقِيقِ وَذَكَرُ الشَّابِّ بِذَكَرِ الشَّيْخِ وَذَكَرُ الَّذِي يَأْتِي النِّسَاءَ بِذَكَرِ الْعَنِّينِ وَالذَّكَرُ الَّذِي يَنْتَشِرُ بِالَّذِي لَا يَنْتَشِرُ مَا لَمْ يَكُنْ بِهِ شَلَلٌ وَذَكَرُ الْفَحْلِ بِذَكَرِ الْخَصِيِّ
Al-Mawardi berkata: Qishāsh pada kemaluan laki-laki adalah wajib, karena ia merupakan anggota tubuh yang memiliki batas dan ukuran tertentu. Jika seluruhnya terpotong dari pangkal kemaluan, maka dilakukan qishāsh atasnya. Kemaluan yang panjang dibalas dengan yang pendek, yang tebal dengan yang tipis, kemaluan pemuda dengan kemaluan orang tua, kemaluan orang yang mampu berhubungan dengan wanita dengan kemaluan orang yang impoten, dan kemaluan yang bisa ereksi dengan yang tidak bisa ereksi, selama tidak ada kelumpuhan padanya, serta kemaluan laki-laki yang subur dengan kemaluan laki-laki yang dikebiri.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ لَا أَقْتَصُّ مِنْ ذَكَرِ الفحل بذكر الخصي ولا الذكر المنتشر بغير المنتشر لنقصهما وقلة النفع بهما فلم يقتص من كامل بناقص وهذا فاسد لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ النحل 126 وَلِأَنَّهُمَا قَدِ اشْتَرَكَا فِي الِاسْمِ الْخَاصِّ مَعَ تَمَامِ الْخِلْقَةِ وَالسَّلَامَةِ مِنَ الشَّلَلِ فَجَرَى الْقِصَاصُ بَيْنَهُمَا كَسَائِرِ الْأَطْرَافِ وَلِأَنَّ ذَكَرَ الْعَنِّينِ صَحِيحٌ وَعَدَمَ الْإِنْزَالِ لِعِلَّةٍ فِي الصُّلْبِ لِأَنَّهُ مَحَلُّ الْمَاءِ وَكَذَلِكَ ذَكَرُ الْخَصِيِّ صَحِيحٌ وَالنَّقْصُ فِي غَيْرِهِ وَهُوَ عَدَمُ الْأُنْثَيَيْنِ وَلِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْعُنَّةِ وَالْخَصِيِّ أَكْثَرُ مِنْ فَقْدِ الْوَلَدِ وَهَذَا الْمَعْنَى لَا يُؤَثِّرُ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ كَمَا يُؤْخَذُ ذَكَرُ مَنْ وُلِدَ لَهُ بِذَكَرِ الْعَقِيمِ وَكَمَا يُؤْخَذُ ثَدْيُ الْمُرْضِعَةِ ذَاتِ اللَّبَنِ بِثَدْيِ مَنْ لَا تُرْضِعُ وَلَيْسَ لَهَا لَبَنٌ وَفِيمَا ذَكَرْنَاهُ انْفِصَالٌ
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa tidak boleh dilakukan qishash terhadap kemaluan jantan sempurna dengan kemaluan kasim, atau kemaluan yang ereksi dengan yang tidak ereksi, karena keduanya kurang dan manfaatnya sedikit, sehingga tidak boleh membalas yang sempurna dengan yang kurang. Namun, pendapat ini tidak benar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Jika kamu membalas, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan apa yang ditimpakan kepadamu” (an-Nahl: 126). Selain itu, keduanya sama-sama memiliki nama khusus dengan kesempurnaan penciptaan dan bebas dari kelumpuhan, sehingga qishash berlaku di antara keduanya seperti pada anggota tubuh lainnya. Kemaluan laki-laki yang impoten pun sebenarnya sehat, hanya saja tidak bisa mengeluarkan mani karena ada sebab pada tulang belakang, sebab tulang belakang adalah tempat air mani. Demikian pula kemaluan kasim juga sehat, kekurangannya ada pada hal lain, yaitu tidak adanya dua testis. Tidak ada pada impoten dan kasim kecuali hanya kehilangan keturunan, dan makna ini tidak berpengaruh pada gugurnya qishash, sebagaimana kemaluan orang yang punya anak bisa diqishash dengan kemaluan orang mandul, dan sebagaimana payudara wanita menyusui yang memiliki air susu bisa diqishash dengan payudara wanita yang tidak menyusui dan tidak memiliki air susu. Dalam hal yang kami sebutkan ini terdapat penjelasan yang memadai.
فَأَمَّا الذَّكَرُ الْأَشَلُّ فَلَا قِصَاصَ فِيهِ مِنَ السَّلِيمِ كَمَا لَا يُقْتَصُّ مِنَ اليَدِ السَّلِيمَةِ بِالشَّلَّاءِ وَشَلَلُ الذَّكَرِ هُوَ أَنْ يَسْتَحْشِفَ أَوْ يَنْقَبِضَ فَلَا يَنْبَسِطَ بِحَالٍ وَيَنْبَسِطُ فَلَا يَنْقَبِضُ بِحَالٍ أَوْ يَنْقَبِضُ بِالْيَدِ فَإِذَا فَارَقَتْهُ انْبَسَطَ أَوْ يَنْبَسِطُ بِالْيَدِ فَإِذَا فَارَقَتْهُ انقبض فهذا هو الأشل على اختلاف أنوع شَلَلِهِ فَلَا يُقْتَصُّ مِنْهُ إِلَّا بِأَشَلَّ وَلَا يَمْنَعُ اخْتِلَافُ أَنْوَاعِ الشَّلَلِ مِنْ جَرَيَانِ الْقِصَاصِ بَيْنَهُمَا لِعُمُومِ النَّقْصِ وَعَدَمِ الْمَنْفَعَةِ
Adapun zakar yang lumpuh, maka tidak ada qishāsh padanya dari orang yang sehat, sebagaimana tidak dilakukan qishāsh pada tangan yang sehat dengan tangan yang lumpuh. Lumpuhnya zakar adalah ketika ia mengerut atau menguncup sehingga sama sekali tidak dapat meregang, atau ia meregang tetapi sama sekali tidak dapat menguncup, atau ia menguncup dengan bantuan tangan, lalu ketika tangan dilepaskan ia meregang, atau ia meregang dengan bantuan tangan, lalu ketika tangan dilepaskan ia menguncup. Inilah yang disebut lumpuh, dengan berbagai jenis kelumpuhannya. Maka tidak dilakukan qishāsh padanya kecuali dengan yang sama-sama lumpuh, dan perbedaan jenis kelumpuhan tidak menghalangi berlakunya qishāsh di antara keduanya karena sama-sama mengalami kekurangan dan tidak ada manfaatnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنْ قطع حشفة الذكر كان فيها القصاص لأنه مَعْلُومَةُ الْغَايَةِ وَلَا يَمْنَعُ اخْتِلَافُهُمَا فِي الصِّغَرِ وَالْكِبَرِ مِنْ جَرَيَانِ الْقِصَاصِ بَيْنَهُمَا وَلَوْ قَطَعَ بَعْضَ ذَكَرِهِ اقْتُصَّ مِنْهُ إِذَا أَمْكَنَ لِأَنَّهُ عَصَبٌ يُمْكِنُ قَطْعُهُ وَلَيْسَ فِيهِ عَظْمٌ يَتَشَظَّى كَالذِّرَاعِ فَيُقَدَّرُ الْمَقْطُوعُ مِنْ ذَكَرِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فإن كان نصفه قطع نصف الذكر الْجَانِي سَوَاءٌ كَانَ أَكْبَرَ مِنْ ذَكَرِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَوْ أَقَلَّ وَإِنْ كَانَ ثُلْثُهُ قُطِعَ ثُلْثُ ذَكَرِ الْجَانِي وَلَا يُؤْخَذُ بِقَدْرِ الْمَقْطُوعِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ نِصْفُ ذَكَرِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِقَدْرِ الثُّلْثِ مِنْ ذَكَرِ الْجَانِي فَيُؤْخَذُ نِصْفُ ذَكَرِهِ وَلَا يُقْتَصَرُ عَلَى ثُلْثِهِ اعْتِبَارًا بِمِقْدَارِ الْمَقْطُوعِ مِنْ بَقِيَّةِ ذَكَرِهِ لَا مِنْ ذَكَرِ الجاني
Jika seseorang memotong hasyafah (kepala) zakar, maka berlaku qishash atasnya karena batasannya jelas. Perbedaan ukuran besar atau kecil antara keduanya tidak menghalangi pelaksanaan qishash di antara mereka. Jika ia memotong sebagian zakar, maka dilakukan qishash terhadapnya jika memungkinkan, karena itu adalah urat yang bisa dipotong dan tidak ada tulang yang dapat hancur seperti lengan. Maka bagian zakar korban yang terpotong diukur; jika yang terpotong adalah setengahnya, maka dipotong setengah zakar pelaku, baik zakar pelaku lebih besar atau lebih kecil dari zakar korban. Jika yang terpotong sepertiganya, maka dipotong sepertiga zakar pelaku. Tidak diambil berdasarkan ukuran bagian yang terpotong, karena bisa jadi setengah zakar korban sama dengan sepertiga zakar pelaku, sehingga yang diambil adalah setengah zakarnya, dan tidak cukup hanya sepertiganya, dengan mempertimbangkan ukuran bagian yang terpotong dari sisa zakar korban, bukan dari zakar pelaku.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَبِأُنْثَيَيِ الْخَصِيِّ لِأَنَّ ذَلِكَ طَرَفٌ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى أَنْ يُقَادَ مِنْ إِحْدَى أُنْثَيَيْ رَجُلٍ بِلَا ذَهَابِ الْأُخْرَى أُقِيدَ مِنْهُ وَإِنْ قَطَعَهُمَا فَفِيهِمَا الْقِصَاصُ أَوِ الدِّيَةُ تَامَّةً
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Demikian pula pada kedua buah zakar orang yang dikebiri, karena itu adalah anggota tubuh. Jika memungkinkan untuk melakukan qishāsh pada salah satu dari kedua buah zakar seorang laki-laki tanpa menghilangkan yang lainnya, maka dilakukan qishāsh pada yang satu itu. Namun jika keduanya dipotong, maka atas keduanya berlaku qishāsh atau diyat secara penuh.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْقَوَدُ فِي الْأُنْثَيَيْنِ فَوَاجِبٌ لِأَنَّهُمَا عُضْوَانِ مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ فِيهِمَا مَنْفَعَةٌ وَيُخَافُ مِنْ قَطْعِهِمَا عَلَى النَّفْسِ فَأَشْبَهَا الذَّكَرَ فَيُؤْخَذُ أُنْثَيَا الشاب بأنثيي الشيخ وأنثيي الرجل بأنثيي الصبي وأنثيي من يأتي النساء بأنثيي العنين وأنثيي الْفَحْلِ بأُنْثَيَيِ الْمَجْبُوبِ وَهُوَ الَّذِي عَنَاهُ الشَّافِعِيُّ بِالْخَصِيِّ وَمَنَعَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ مِنْ أَخْذِ أُنْثَيَيِ الْفَحْلِ بأُنْثَيَيِ الْمَجْبُوبِ وَمِنْ أَخْذِ أُنْثَيَيِ الَّذِي يَأْتِي النِّسَاءَ بأُنْثَيَيِ الْعَنِّينِ كَمَا مَنَعَا مِنْهُ فِي الذَّكَرِ وَالْكَلَامُ فِيهِمَا وَاحِدٌ
Al-Mawardi berkata: Adapun qawad (pembalasan setimpal) pada kedua buah zakar, maka hukumnya wajib, karena keduanya merupakan anggota tubuh yang secara asal penciptaan ada pada manusia, memiliki manfaat, dan dikhawatirkan jika dipotong dapat membahayakan jiwa, sehingga kedudukannya serupa dengan penis. Maka, kedua buah zakar seorang pemuda dibalas dengan kedua buah zakar orang tua, dan kedua buah zakar laki-laki dewasa dibalas dengan kedua buah zakar anak laki-laki, dan kedua buah zakar orang yang mampu berhubungan dengan perempuan dibalas dengan kedua buah zakar orang yang impoten, dan kedua buah zakar pejantan dibalas dengan kedua buah zakar orang yang telah dikebiri, dan inilah yang dimaksud oleh asy-Syafi‘i dengan istilah al-khasi (orang yang dikebiri). Abu Hanifah dan Malik melarang pembalasan kedua buah zakar pejantan dengan kedua buah zakar orang yang telah dikebiri, dan melarang pula pembalasan kedua buah zakar orang yang mampu berhubungan dengan perempuan dengan kedua buah zakar orang yang impoten, sebagaimana keduanya juga melarang hal itu pada kasus penis, dan pembahasan dalam kedua kasus ini adalah sama.
فَإِنْ قَطَعَ إِحْدَى الْأُنْثَيَيْنِ اقْتُصَّ مِنْهَا إِذَا عُلِمَ أَنَّ الْقِصَاصَ مِنْهُمَا لَا يَتَعَدَّى إِلَى ذَهَابِ الْأُخْرَى لِأَنَّ كُلَّ عُضْوَيْنِ جَرَى الْقِصَاصُ فِيهِمَا جَرَى فِي أَحَدِهِمَا كَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ فَإِنْ عُلِمَ أَنَّ الْقِصَاصَ مِنْ إِحْدَاهُمَا يَتَعَدَّى إِلَى ذَهَابِ الْأُخْرَى فَلَا قِصَاصَ فِيهِمَا لِأَنَّهُ يَصِيرُ قِصَاصًا مِنْ عُضْوَيْنِ بِعُضْوٍ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَيُؤْخَذُ مِنْهُ دِيَتُهَا وَهِيَ نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَنَّ فِي الْأُنْثَيَيْنِ جَمِيعَ الدِّيَةِ
Jika seseorang memotong salah satu dari dua testis, maka qishāsh dilaksanakan atasnya apabila diketahui bahwa pelaksanaan qishāsh pada salah satunya tidak menyebabkan hilangnya yang lain. Sebab, setiap dua anggota tubuh yang qishāsh dapat diterapkan pada keduanya, maka qishāsh juga dapat diterapkan pada salah satunya, seperti kedua tangan dan kedua kaki. Namun, jika diketahui bahwa pelaksanaan qishāsh pada salah satunya akan menyebabkan hilangnya yang lain, maka tidak ada qishāsh pada keduanya, karena hal itu berarti qishāsh atas dua anggota dengan satu anggota, dan itu tidak diperbolehkan. Maka diambil darinya diyat untuk anggota yang dipotong, yaitu setengah diyat, karena pada kedua testis terdapat diyat penuh.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ قَالَ الْجَانِي جَنَيْتُ عَلَيْهِ وَهُوَ مَوْجُوءٌ وَقَالَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ بَلْ صَحِيحٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ هَذَا يَغِيبُ عَنْ أَبْصَارِ النَّاسِ وَلَا يَجُوزُ كَشْفُهُ لَهُمْ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika pelaku (jānī) berkata, “Aku telah melukainya dan ia telah menjadi impoten (mawjū’),” sedangkan korban (majnī ‘alayh) berkata, “Tidak, aku masih sehat,” maka yang dipegang adalah pernyataan korban dengan sumpahnya, karena hal ini tersembunyi dari pandangan manusia dan tidak boleh dibuka (auratnya) kepada mereka.
قال الماوردي إذا اختلف فِي سَلَامَةِ الْعُضْوِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَقَالَ الْجَانِي هُوَ أَشَلٌّ وَهُوَ مَوْجُوءٌ قَدْ بَطَلَتْ مَنَافِعُهُ فَلَا قَوَدَ عَلَيَّ وَلَا دِيَةَ وَعَلَيَّ حُكُومَةٌ
Al-Mawardi berkata: Jika terjadi perbedaan pendapat mengenai keselamatan anggota tubuh korban, lalu pelaku berkata, “Anggota tubuh itu sudah lumpuh dan tidak berfungsi lagi, manfaatnya telah hilang, maka tidak ada qishash atas diriku dan tidak ada diyat, yang wajib atasku hanyalah hukuman (hukūmah).”
وَقَالَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ بَلْ هُوَ سَلِيمٌ اسْتَحِقَّ فِيهِ الْقَوَدَ أَوِ الدِّيَةَ عَامَّةً فَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ فِي الْأَعْضَاءِ الْبَاطِنَةِ كَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ عَلَى سَلَامَتِهَا وَلَهُ الْقَوَدُ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْجَانِي الْبَيِّنَةَ عَلَى مَا ادَّعَاهُ مِنَ الشَّلَلِ وَنَصَّ فِي الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ كَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَالْأَنْفِ وَالْعَيْنَيْنِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهَا غَيْرُ سَلِيمَةٍ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ عَلَى سَلَامَتِهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ هَذَيْنِ النَّصَّيْنِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Dan apabila korban berkata, “Bahkan anggota tubuh itu masih sehat,” sehingga ia berhak mendapatkan qawad atau diyat secara umum, maka asy-Syafi‘i telah menegaskan bahwa untuk anggota tubuh bagian dalam seperti kemaluan laki-laki dan dua kemaluan perempuan, perkataan korbanlah yang diterima disertai sumpahnya atas kesehatannya, dan ia berhak mendapatkan qawad, kecuali jika pelaku kejahatan mendatangkan bukti atas klaimnya mengenai kelumpuhan. Dan asy-Syafi‘i juga menegaskan bahwa untuk anggota tubuh yang tampak seperti kedua tangan, kedua kaki, hidung, dan kedua mata, perkataan pelaku kejahatanlah yang diterima disertai sumpahnya bahwa anggota tersebut tidak sehat, sehingga tidak ada qawad dan tidak ada diyat atasnya, kecuali jika korban mendatangkan bukti atas kesehatannya. Maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenai perbedaan dua nash ini menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّ اخْتِلَافَهُمَا مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ
Salah satunya adalah bahwa perbedaan keduanya dianggap sebagai perbedaan dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ فِي الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ أَنَّهَا غَيْرُ سَلِيمَةٍ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأَعْضَاءِ الْبَاطِنَةِ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ
Salah satu pendapat menyatakan bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pelaku (jānī) disertai sumpahnya, baik pada anggota tubuh yang tampak maupun yang tersembunyi, bahwa anggota tersebut tidak dalam keadaan sehat, sebagaimana telah ditegaskan dalam masalah anggota tubuh yang tersembunyi; maka tidak ada qishāsh (pembalasan setimpal) dan tidak ada diyat (denda) atasnya.
وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ فَكَانَ الظَّاهِرُ صِدْقَهُ
Dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah; karena pada dasarnya tanggungan seseorang bebas dari qishash dan diyat, maka yang tampak adalah kebenaran ucapannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ فِي الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأَعْضَاءِ الْبَاطِنَةِ لِأَنَّ الْأَصْلَ سَلَامَةُ الْخِلْقَةِ وَثُبُوتُ الصِّحَّةِ وَهَكَذَا لَوْ قَطَعَ رَجُلًا مَلْفُوفًا فِي ثَوْبٍ فَادَّعَى أَنَّهُ كَانَ مَيِّتًا وَادَّعَى وَلِيُّهُ أَنَّهُ كَانَ حَيًّا فَهُوَ عَلَى قَوْلَيْنِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan korban dengan sumpahnya, baik pada anggota tubuh yang tampak maupun yang tersembunyi, sebagaimana ditegaskan dalam kasus anggota tubuh yang tersembunyi, karena pada dasarnya penciptaan manusia itu dalam keadaan sehat dan utuh. Demikian pula, jika seseorang memotong tubuh orang lain yang sedang terbungkus kain, lalu ia mengaku bahwa orang itu sudah mati, sedangkan wali korban mengaku bahwa ia masih hidup, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا إنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْجَانِي
Salah satunya adalah bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat pelaku pelanggaran.
وَالثَّانِي أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْوَلِيِّ وَأَصْلُهُمَا اخْتِلَافُ قَوْلَيْهِ فِي أَيِّهِمَا هُوَ الْمُدَّعِي
Kedua, bahwa pendapat yang dipegang adalah pendapat wali, dan asal perbedaan keduanya adalah perbedaan pendapat mengenai siapa di antara mereka yang merupakan pihak penggugat.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْجَانِيَ هُوَ الْمُدَّعِي لِحُدُوثِ الْمَوْتِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الْوَلِيِّ
Salah satunya adalah bahwa pelaku tindak pidana merupakan pihak yang mengklaim terjadinya kematian, sehingga dalam hal ini pernyataan yang dipegang adalah pernyataan wali.
وَالثَّانِي أَنَّ الْوَلِيَّ هُوَ الْمُدَّعِي لِلْقَوَدِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْجَانِي فَهَذَا أَحَدُ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا
Kedua, bahwa wali adalah pihak yang menuntut qisas, sehingga pernyataan pelaku tindak pidana yang dijadikan pegangan. Inilah salah satu dari dua pendapat ulama mazhab kami.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إنَّ اخْتِلَافَ النَّصَّيْنِ محمول على اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ فِي الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ قول الجاني مع يمينه أنها غير سليمة وَالْقَوْلُ فِي الْأَعْضَاءِ الْبَاطِنَةِ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهَا سَلِيمَةٌ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa perbedaan dua nash itu ditafsirkan sebagai perbedaan dua keadaan. Maka, dalam hal anggota tubuh yang tampak, pendapat yang dipegang adalah pendapat pelaku (jāni) beserta sumpahnya bahwa anggota tersebut tidak sehat, sedangkan dalam hal anggota tubuh yang tersembunyi, pendapat yang dipegang adalah pendapat korban (majnu ‘alayh) beserta sumpahnya bahwa anggota tersebut sehat.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا تَقْدِيرُ إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ فِي الْأَعْضَاءِ الْبَاطِنَةِ وَإِمْكَانِهَا فِي الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ فَيَقْوي فِي الْبَاطِنِ جَنَبَةُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَقَوِيَ فِي الظَّاهِرِ جَنَبَةُ الْجَانِي كَمَا لَوْ قَالَ إِنْ وَلَدْت فَأَنْتِ طَالِقٌ فَادَّعَتِ الْوِلَادَةَ وَأَنْكَرَهَا كَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَهَا لِتَعَذُّرِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهَا
Perbedaan antara keduanya terletak pada kemungkinan menghadirkan bukti pada anggota tubuh bagian dalam yang sulit, sedangkan pada anggota tubuh bagian luar memungkinkan untuk menghadirkan bukti. Maka, pada bagian dalam, posisi korban lebih kuat, sedangkan pada bagian luar, posisi pelaku lebih kuat. Sebagaimana jika seseorang berkata, “Jika engkau melahirkan, maka engkau tertalak,” lalu sang istri mengaku telah melahirkan dan suaminya mengingkarinya, maka dalam hal ini perkataan istri yang diterima karena sulitnya menghadirkan bukti atasnya.
وَإِنْ قَالَ إِنْ وَلَدْتِ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَادَّعَتِ الْوِلَادَةَ وَأَنْكَرَهَا كَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَهُ دُونَهَا لِإِمْكَانِ إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَى وِلَادَتِهَا
Jika seorang suami berkata, “Jika kamu melahirkan, maka kamu tertalak,” lalu sang istri mengaku telah melahirkan sementara suami mengingkarinya, maka dalam hal ini yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami, bukan ucapan istri, karena memungkinkan untuk didatangkan bukti atas kelahiran sang istri.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ شَرْحِ الْمَذْهَبِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فِي سَلَامَتِهَا مَعَ يَمِينِهِ حَلَفَ لَقَدْ كَانَ سَلِيمًا عِنْدَ الْجِنَايَةِ عَلَيْهِ وَحُكِمَ لَهُ بِالْقَوَدِ أَوِ الدِّيَةِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ لِلْجَانِي بَيِّنَةٌ عَلَى مَا ادَّعَاهُ مِنَ الشَّلَلِ وَعَدَمِ السلامة فإن شهدوا أنه كان أشلا عِنْدَ الْجِنَايَةِ أَوْ قَبْلَهَا حُكِمَ بِشَهَادَتِهِمْ وَسَقَطَ الْقَوَدُ وَالدِّيَةُ وَوَجَبَ الْأَرْشُ لِأَنَّ الشَّلَلَ إِذَا ثبت قبل الجناية يَزُل وَكَانَ بَاقِيًا إِلَى وَقْتِ الْجِنَايَةِ فَلِذَلِكَ مَا اسْتَوَى حُكْمُ الشَّهَادَةِ فِي الْحَالَتَيْنِ وَالْبَيِّنَةُ هَاهُنَا إِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ مُوجِبَةً لِلْقَوَدِ شَاهِدَانِ وَإِنْ كَانَتْ مُوجِبَةً لِلدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ شَاهِدَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْجَانِي فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَدِ اعْتَرَفَ بِالسَّلَامَةِ قَبْلَ الْجِنَايَةِ أَوْ لَمْ يَعْتَرِفْ بِهَا فَإِنْ لَمْ يَعْتَرِفْ لَهُ بِالسَّلَامَةِ وَقَالَ لَمْ تَزُلْ سَلَامَتُهُ وَحَلَفَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَإِنِ اعْتَرَفَ لَهُ بِالسَّلَامَةِ وَادَّعَى حُدُوثَ الشَّلَلِ عِنْدَ الْجِنَايَةِ فَفِي قَبُولِ قَوْلِهِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ
Apabila telah dipastikan apa yang telah kami jelaskan mengenai penjelasan mazhab, maka jika kita mengatakan bahwa yang dipegang adalah pernyataan korban dalam hal keselamatannya dengan sumpahnya, maka ia bersumpah bahwa anggota tubuhnya benar-benar dalam keadaan sehat saat terjadi tindak pidana terhadapnya, dan diputuskan baginya untuk mendapatkan qishāsh atau diyat, kecuali jika pelaku memiliki bukti atas klaimnya tentang adanya kelumpuhan dan tidak adanya keselamatan. Jika para saksi bersaksi bahwa korban memang sudah lumpuh saat atau sebelum terjadinya tindak pidana, maka diputuskan berdasarkan kesaksian mereka dan gugurlah qishāsh dan diyat, serta wajib diberikan arsy, karena jika kelumpuhan telah terbukti sebelum terjadinya tindak pidana dan tetap ada hingga waktu terjadinya tindak pidana, maka sebab itulah hukum kesaksian sama dalam kedua keadaan tersebut. Bukti di sini, jika tindak pidana tersebut mewajibkan qishāsh, maka harus ada dua orang saksi; dan jika mewajibkan diyat tanpa qishāsh, maka cukup dua orang saksi, atau satu orang saksi dan dua perempuan, atau satu orang saksi dan sumpah. Jika kita mengatakan bahwa yang dipegang adalah pernyataan pelaku, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia telah mengakui keselamatan korban sebelum terjadinya tindak pidana atau belum mengakuinya. Jika ia tidak mengakui keselamatan korban dan mengatakan bahwa keselamatannya tidak hilang, lalu ia bersumpah, maka pernyataannya diterima dengan sumpahnya. Jika ia mengakui keselamatan korban dan mengklaim terjadinya kelumpuhan saat tindak pidana, maka dalam hal diterimanya pernyataannya terdapat dua pendapat yang dinyatakan secara eksplisit.
أَحَدُهُمَا لَا تُقْبَلُ لِلِاعْتِرَافِ بِالسَّلَامَةِ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بِاعْتِرَافِهِ بِهَا أَصْلُ اسْتِصْحَابِهِ فَيَصِيرُ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ
Salah satunya adalah tidak diterima pengakuan atas keselamatan, karena dengan pengakuannya itu, hal tersebut telah menjadi dasar istishhab baginya, sehingga dalam hal ini yang dijadikan pegangan adalah perkataan pihak yang menjadi korban.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنْ يُقْبَلَ دَعْوَاهُ فِي حُدُوثِ الشَّلَلِ مَعَ اعْتِرَافِهِ بِتَقَدُّمِ السلامة لأننا لما قدمناه قَوْلَهُ فِي الشَّلَلِ وَإِنْ كَانَ الظَّاهِرُ سَلَامَةَ الْخِلْقَةِ قَبِلْنَا قَوْلَهُ مَعَ اعْتِرَافِهِ بِسَلَامَةِ الْخِلْقَةِ لِاعْتِرَافِهِ بِمَا وَافَقَ الظَّاهِرَ مِنَ السَّلَامَةِ فَيَكُونُ القول قوله مع يمينه لقد كان اشلاً وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ يَمِينُهُ عَلَى شَلَلِهِ وَقْتَ الْجِنَايَةِ لِأَنَّ الشَّلَلَ لَا يَزُولُ بَعْدَ حُدُوثٍ فَإِنْ أَقَامَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ بَيِّنَةً عَلَى سَلَامَتِهِ سَمِعْنَاهَا إِنْ شَهِدَتْ بِسَلَامَتِهِ وَقْتَ الْجِنَايَةِ
Pendapat kedua adalah menerima pengakuannya tentang terjadinya kelumpuhan meskipun ia mengakui sebelumnya dalam keadaan sehat, karena sebagaimana yang telah kami sebutkan, pendapatnya diterima dalam hal kelumpuhan meskipun secara lahiriah tampak sehat. Maka kami menerima pengakuannya meskipun ia mengakui sebelumnya dalam keadaan sehat, karena ia mengakui sesuatu yang sesuai dengan kenyataan lahiriah berupa kesehatan. Maka pendapatnya diterima dengan sumpahnya bahwa ia memang telah mengalami kelumpuhan, dan tidak disyaratkan sumpahnya atas kelumpuhan itu terjadi pada saat terjadinya jināyah, karena kelumpuhan tidak hilang setelah terjadi. Jika pihak korban mendatangkan bukti atas kesehatannya, maka bukti itu didengar jika bersaksi bahwa ia memang sehat pada saat terjadinya jināyah.
وَإِنْ شَهِدَتْ بِسَلَامَتِهِ قَبْلَهَا فَعَلَى قَوْلَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ إِذَا اعْتَرَفَ بِتَقَدُّمِ سَلَامَتِهِ هَلْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي حُدُوثِ شَلَلِهِ
Dan jika ia bersaksi tentang keselamatannya sebelum itu, maka terdapat dua pendapat berdasarkan perbedaan pendapatnya mengenai jika ia mengakui bahwa keselamatannya telah ada sebelumnya, apakah diterima pengakuannya tentang terjadinya kelumpuhannya.
فَإِنْ قِيلَ بِقَبُولِ قَوْلِهِ فِيهِ لَمْ يُحْكَمْ عَلَيْهِ بِهَذِهِ الْبَيِّنَةِ وَإِنْ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِيهِ حُكِمَ عَلَيْهِ بِهَذِهِ الْبَيِّنَةِ وَكَانَ لَهُ إِحْلَافُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لَقَدْ كَانَ سَلِيمًا إِلَى وَقْتِ الْجِنَايَةِ عَلَيْهِ وَلَا يُقْبَلُ فِيمَا أَوْجَبَ الْقَوَدَ إِلَّا شَاهِدَانِ وَيُقْبَلُ فِيمَا أَوْجَبَ الدِّيَةَ دُونَ الْقَوَدِ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Jika dikatakan bahwa perkataannya diterima dalam hal ini, maka tidak diputuskan atasnya dengan bukti ini. Namun jika perkataannya tidak diterima dalam hal ini, maka diputuskan atasnya dengan bukti ini, dan ia berhak meminta sumpah dari korban bahwa benar-benar ia dalam keadaan sehat hingga waktu terjadinya tindak pidana terhadapnya. Tidak diterima dalam perkara yang mewajibkan qishāsh kecuali dengan dua orang saksi, sedangkan dalam perkara yang mewajibkan diyat tanpa qishāsh diterima satu orang saksi dan dua orang perempuan, atau satu orang saksi dan sumpah. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَيُقَادُ أَنْفُ الصَّحِيحِ بِأَنْفِ الْأَخْرَمِ مَا لَمْ يَسْقُطْ أَنْفُهُ أَوْ شَيْءٌ مِنْهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Hidung orang yang sehat dapat dikenakan qishāsh dengan hidung orang yang terpotong (sebagian), selama hidungnya atau sebagian darinya belum hilang.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنْفَ بالأنف المائدة 45 ولأن الأنف حدا يُنْتَهَى إِلَيْهِ وَهُوَ الْمَارِنُ الْمُتَّصِلُ بِقَصَبَةِ الْأَنْفِ الَّذِي يَحْجِزُ بَيْنَ الْمِنْخَرَيْنِ وَالْمَارِنُ مَا لَانَ مِنَ الأَنْفِ مِنَ القَصَبَةِ الَّذِي بَعْدَهُ مِنَ العَظْمِ فَشَابَهَ حَدَّ الْكَفِّ مِنْ زَنْدِ الذِّرَاعِ فَلِذَلِكَ وَجَبَ فِيهِ الْقَوَدُ فَيُؤْخَذُ الْأَنْفُ الْكَبِيرُ بِالصَّغِيرِ وَالْغَلِيظُ بِالدَّقِيقِ وَالْأَقْنَى بِالْأَفْطَسِ وَالشَّامِّ بِالْأَخْشَمِ الَّذِي لَا يَشُمُّ لِأَنَّ الْخَشْمَ عِلَّةٌ فِي غَيْرِ الْأَنْفِ وَيُؤْخَذُ أَنْفُ الصَّحِيحِ بِأَنْفِ الْأَجْذَمِ وَالْأَخْرَمِ إِذَا لَمْ يَذْهَبْ بِالْجُذَامِ وَالْخَرْمِ شَيْءٌ مِنْهُ لِأَنَّ الْجُذَامَ مَرَضٌ لَا يَمْنَعُ مِنَ القَوَدِ فَإِنْ ذَهَبَ بِالْجُذَامِ وَالْخَرْمِ شَيْءٌ مِنْ أَنْفِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ رُوعِيَ مَا ذَهَبَ مِنْهُ وَمَا بَقِيَ فَإِنْ أَمْكَنَ فِيهِ الْقَوَدُ اسْتُوفِيَ وَهُوَ أَنْ يَذْهَبَ أَحَدُ الْمِنْخَرَيْنِ وَيَبْقَى أَحَدُهُمَا فَيُقَادُ مِنَ المِنْخَرِ الْبَاقِي وَيُؤْخَذُ مِثْلُهُ مِنَ الجَانِي وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ الْقَوَدُ لِذَهَابِ أَرْنَبَةِ الْأَنْفِ وَهُوَ مُقَدَّمُهُ سَقَطَ الْقَوَدُ فِيهِ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاءُ الْأَرْنَبَةِ مَعَ الْقَوَدِ فِيمَا بَعْدَهَا وَكَانَ عَلَيْهِ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِ مَا أَبْقَاهُ الْجُذَامُ مِنْ أَنْفِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلْثٍ أَوْ رُبْعٍ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung…’ (al-Ma’idah: 45). Karena hidung memiliki batas yang jelas, yaitu bagian lunak yang menyatu dengan batang hidung yang memisahkan kedua lubang hidung. Bagian lunak adalah bagian hidung yang lembut dari batang hidung, sedangkan setelahnya adalah tulang. Ini serupa dengan batas telapak tangan dari pergelangan lengan, sehingga wajib qawad (pembalasan setimpal) padanya. Maka hidung yang besar dibalas dengan yang kecil, yang tebal dengan yang tipis, yang mancung dengan yang pesek, dan yang bisa mencium dengan yang tidak bisa mencium, karena ketidakmampuan mencium adalah penyakit yang tidak berkaitan dengan hidung itu sendiri. Hidung orang sehat diqisas dengan hidung orang yang terkena lepra atau yang berlubang, selama lepra atau lubang itu tidak menghilangkan bagian dari hidungnya, karena lepra adalah penyakit yang tidak menghalangi qawad. Jika lepra atau lubang itu telah menghilangkan sebagian dari hidung korban, maka diperhatikan bagian yang hilang dan yang tersisa. Jika memungkinkan dilakukan qawad, maka dilakukan, yaitu jika salah satu lubang hidung hilang dan satu lagi masih ada, maka qawad dilakukan pada lubang hidung yang tersisa dan diambil yang serupa dari pelaku. Jika tidak mungkin dilakukan qawad karena hilangnya ujung hidung (bagian depannya), maka qawad gugur karena tidak mungkin mengambil ujung hidung bersamaan dengan qawad pada bagian setelahnya. Maka pelaku wajib membayar diyat sesuai bagian hidung korban yang masih tersisa akibat lepra, baik setengah, sepertiga, atau seperempat.
وَلَوْ كَانَ أَنْفُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ صَحِيحًا وَأَنْفُ الْجَانِي أَجْذَمَ فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ بِالْجُذَامِ شَيْءٌ مِنْهُ أُقِيدَ بِهِ أَنْفُ الصَّحِيحِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ بَعْدَهُ وَإِنْ أَذْهَبَ الْجُذَامُ بَعْضَهُ أُقِيدَ مِنْ أَنْفِهِ وَأُخِذَ مِنْ دِيَةِ الْأَنْفِ بِقِسْطِ مَا أَذْهَبَهُ الْجُذَامُ مِنْ أَنْفِ الْجَانِي مِنْ رُبْعٍ أَوْ ثُلْثٍ أَوْ نِصْفٍ وَلَوْ قَطَعَ الْجَانِي بَعْضَ أَنْفِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَكَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَحِيحَ الْأَنْفِ قُدِّرَ الْمَقْطُوعُ مِنْ أَنْفِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَمَا بَقِيَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ الْمَقْطُوعُ ثُلْثَ أَنْفِهِ أُقِيدَ مِنَ الجَانِي ثُلْثُ أَنْفِهِ وَإِنْ كَانَ نِصْفًا فَالنِّصْفُ وَلَا يُقَادُ بِقَدْرِ الْمَقْطُوعِ لِأَنَّهُ رُبَّمَا كَبُرَ أَنْفُ الْمَجْنِيِّ علي فَكَانَ نِصْفُهُ مُسْتَوْعِبًا لِأَنْفِ الْجَانِي فَيُفْضِي إِلَى أَخْذِ الْأَنْفِ بِنِصْفِ أَنْفٍ وَهَذَا لَا يَجُوزُ فَلَوْ قَطَعَ الْمَارِنَ وَبَعْضَ الْقَصَبَةِ أُقِيدَ مِنْ مَارِنِ الْجَانِي وَأُخِذَ مِنْهُ أَرْشُ الْمَقْطُوعِ مِنَ القَصَبَةِ لِأَنَّهُمَا عَظْمٌ لَا يَتَمَاثَلُ فَلَمْ يَجِبْ فِيهِ الْقَوَدُ كَمَا لَوْ قَطَعَ يَدًا مِنْ عَظْمِ الذِّرَاعِ أُقِيدَ مِنْ كَفِّهِ وَأُخِذَ مِنْهُ أَرْشُ مَا زَادَ عَلَيْهَا مِنْ عَظْمِ الذِّرَاعِ
Jika hidung korban dalam keadaan sehat dan hidung pelaku dalam keadaan terkena lepra, maka jika lepra tersebut tidak menghilangkan bagian apa pun dari hidung pelaku, maka dilakukan qishāsh pada hidung yang sehat itu dan tidak ada kewajiban apa pun setelahnya. Namun jika lepra telah menghilangkan sebagian dari hidung pelaku, maka dilakukan qishāsh pada bagian hidungnya, dan diambil dari diyat hidung sesuai dengan bagian yang dihilangkan oleh lepra dari hidung pelaku, baik seperempat, sepertiga, atau setengahnya. Jika pelaku memotong sebagian hidung korban, dan keduanya sama-sama memiliki hidung yang sehat, maka bagian yang terpotong dari hidung korban dan sisa hidungnya diukur. Jika yang terpotong adalah sepertiga hidungnya, maka sepertiga hidung pelaku juga dikenai qishāsh; jika setengahnya, maka setengahnya pula. Tidak dilakukan qishāsh sesuai ukuran bagian yang terpotong, karena bisa jadi hidung korban lebih besar sehingga setengahnya mencakup seluruh hidung pelaku, sehingga menyebabkan pengambilan seluruh hidung pelaku hanya karena setengah hidung korban, dan ini tidak diperbolehkan. Jika yang dipotong adalah bagian ujung hidung (mārin) dan sebagian tulang hidung (qashabah), maka dilakukan qishāsh pada bagian ujung hidung pelaku dan diambil darinya arsy (ganti rugi) atas bagian tulang hidung yang terpotong, karena keduanya adalah tulang yang tidak sama persis, sehingga tidak wajib qishāsh padanya, sebagaimana jika seseorang memotong tangan dari tulang lengan, maka dilakukan qishāsh pada telapak tangannya dan diambil darinya arsy atas kelebihan yang terpotong dari tulang lengan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَأُذُنُ الصَّحِيحِ بِأُذُنِ الْأَصَمِّ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Telinga orang yang sehat (pendengarannya) disamakan dengan telinga orang tuli.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْقَوَدُ فِي الْأُذُنِ وَاجِبٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ فَيَأْخُذُ الْأُذُنَ الْكَبِيرَةَ بِالصَّغِيرَةِ وَالْغَلِيظَةَ بِالدَّقِيقَةِ وَالسَّمِينَةَ بِالْهَزِيلَةِ وَالسَّمِيعَةَ بِالصَّمَّاءِ
Al-Mawardi berkata, qawad (pembalasan yang setimpal) pada telinga adalah wajib berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “dan telinga dibalas dengan telinga.” Maka diambil telinga yang besar dengan yang kecil, yang tebal dengan yang tipis, yang gemuk dengan yang kurus, dan yang mendengar dengan yang tuli.
وَقَالَ مَالِكٌ لَا أُقِيدُ أُذُنَ السَّمِيعِ بِأُذُنِ الْأَصَمِّ لِنَقْصِهَا بِذَهَابِ السَّمْعِ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ مَحَلَّ السَّمْعِ فِي الرَّأْسِ وَالصَّمُّ يَكُونُ إِمَّا بِسَدَادِ مَنَافِذِهِ وَإِمَّا لِذَهَابِهِ مِنْ مَحَلِّهِ فَلَمْ يَكُنْ نَقْصًا فِي الْأُذُنِ وَإِنَّمَا هُوَ نَقْصٌ فِي غَيْرِهَا فَجَرَى الْقَوَدُ بَيْنَهُمَا فِيهَا وَمَنْفَعَةُ الْأُذُنِ تَجْمَعُ الْأَصْوَاتَ لِتَصِلَ إلى السبع وَتُؤْخَذُ الْأُذُنُ الَّتِي لَا ثُقْبَ فِيهَا بِالْأُذُنِ الْمَثْقُوبَةِ إِذَا لَمْ يَذْهَبْ بِالثُّقْبِ شَيْءٌ مِنْهَا فَإِنْ أَذْهَبَ الثُّقْبُ مِنْهَا شَيْئًا فَهِيَ كَالْأَنْفِ إِذَا أَذْهَبَ الْجُذَامُ شَيْئًا مِنْهُ وَكَذَلِكَ قَطْعُ بعضها على ما بيناه في الأنف لتشابهما
Malik berkata, “Aku tidak menetapkan qishāsh pada telinga orang yang mendengar dengan telinga orang yang tuli, karena kekurangannya akibat hilangnya pendengaran.” Namun, pendapat ini tidak benar, karena tempat pendengaran itu berada di kepala, dan ketulian itu terjadi baik karena tersumbatnya saluran-saluran pendengaran maupun karena hilangnya pendengaran dari tempatnya, sehingga hal itu bukanlah kekurangan pada telinga, melainkan kekurangan pada selainnya. Maka qishāsh tetap berlaku antara keduanya pada telinga tersebut. Manfaat telinga adalah mengumpulkan suara agar sampai ke pendengaran. Telinga yang tidak berlubang dapat diqishāsh dengan telinga yang berlubang jika lubang tersebut tidak menghilangkan bagian apapun darinya. Namun, jika lubang itu menghilangkan sebagian dari telinga, maka hukumnya seperti hidung yang sebagian bagiannya hilang karena lepra. Begitu pula pemotongan sebagian telinga, sebagaimana telah dijelaskan pada kasus hidung karena keduanya serupa.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ قَلَعَ سِنَّ مَنْ قَدْ أَثْغَرَ سِنُّهُ فَإِنْ كَانَ الْمَقْلُوعُ سِنُّهُ لَمْ يَثْغَرْ فَلَا قَوَدَ حَتَّى يَثْغَرَ فَيَتَتَامَّ طَرْحَةُ أَسْنَانِهِ وَنَبَاتُهَا فَإِنْ لَمْ يَنْبُتْ وَقَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ بِهِ لَا يَنْبُتُ أَقَدْنَاهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang mencabut gigi orang yang giginya sudah tumbuh sempurna, maka jika gigi yang dicabut itu milik orang yang giginya belum tumbuh sempurna, tidak ada qishāsh sampai giginya tumbuh sempurna, sehingga seluruh giginya sudah tanggal dan tumbuh kembali. Jika tidak tumbuh kembali, dan para ahli ilmu dalam bidang ini mengatakan bahwa gigi itu tidak akan tumbuh lagi, maka pelaku dapat dikenai qishāsh.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْقِصَاصُ فِي الْأَسْنَانِ فَوَاجِبٌ بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ المائدة 45
Al-Mawardi berkata, “Adapun qishash pada gigi, maka hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘dan gigi dibalas dengan gigi’ (Al-Ma’idah: 45).”
وَلِرِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي السِّنِّ الْقِصَاصُ وَلِأَنَّ فِيهَا مَنْفَعَةً وَجَمَالًا فَأَشْبَهَتْ سَائِرَ الْأَعْضَاءِ
Dan berdasarkan riwayat Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada gigi berlaku qishāsh.” Selain itu, karena pada gigi terdapat manfaat dan keindahan, maka ia disamakan dengan anggota tubuh lainnya.
فَإِنْ قِيلَ فَالسِّنُّ عَظْمٌ وَالْعَظْمُ لَا قِصَاصَ فِيهِ
Jika dikatakan, “Gigi itu adalah tulang, dan tulang tidak ada qishāsh padanya.”
قِيلَ السِّنُّ لِانْفِرَادِهِ كَالْأَعْضَاءِ الْمُنْفَرِدَةِ الَّتِي يَجْرِي الْقِصَاصُ فِيهَا وَغَيْرُهُ مِنَ العِظَامِ مُمْتَزِجٌ وَمَسْتُورٌ بِمَا يَمْنَعُ مِنْ مُمَاثَلَةِ الْقِصَاصِ فَلَمْ يَجِبْ فِيهِ الْقِصَاصُ فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْقِصَاصِ فِيهِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِقَلْعِ سِنِّهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Dikatakan bahwa gigi (diperlakukan khusus) karena sifatnya yang terpisah, seperti anggota tubuh lain yang terpisah yang dapat dikenai qishāsh, sedangkan tulang-tulang lainnya bercampur dan tertutup sehingga tidak memungkinkan adanya kesetaraan dalam qishāsh, maka tidak diwajibkan qishāsh padanya. Maka, apabila telah tetap kewajiban qishāsh pada gigi, keadaan korban yang dicabut giginya tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ ثَغَرَ أَوْ لم يثغر والمثغور أن يطرح أَسْنَانَ اللَّبَنِ وَيَنْبُتَ بَعْدَهَا أَسْنَانَ الْكِبَرِ فَإِنْ كَانَ مَثْغُورًا قَدْ طَرَحَ أَسْنَانَ اللَّبَنِ وَنَبَتَتْ أَسْنَانُ الْكِبَرِ فَقُلِعَتْ سِنُّهُ وَجَبَ الْقِصَاصُ فِيهَا مِنْ مِثْلِهَا مِنْ سِنِّ الْجَانِي وَأَسْنَانُ الْفَمِ إِذَا تَكَامَلَتِ اثْنَانِ وَثَلَاثُونَ سِنًّا مِنْهَا أَرْبَعُ ثَنَايَا وَأَرْبَعُ رُبَاعِيَّاتٍ وَأَرْبَعَةُ أَنْيَابٍ وَأَرْبَعَةُ ضَوَاحِكَ وَاثْنَيْ عَشَرَ ضِرْسًا وَهِيَ الطَّوَاحِنُ وَأَرْبَعَةُ نَوَاجِذَ وَهِيَ أَوَاخِرُ أَسْنَانِ الْفَمِ فَتُؤْخَذُ الثَّنِيَّةُ بِالثَّنِيَّةِ وَلَا تُؤْخَذُ ثَنِيَّةٌ بِرُبَاعِيَّةٍ وَلَا نَابٌ بِضَاحِكٍ كَمَا لَا يُؤْخَذُ إِبْهَامٌ بِخِنْصَرٍ وَتُؤْخَذُ الْيُمْنَى بِالْيُمْنَى وَلَا تُؤْخَذُ يُمْنَى بِيُسْرَى وَتُؤْخَذُ الْعُلْيَا بِالْعُلْيَا وَلَا تُؤْخَذُ عُلْيَا بِسُفْلَى وَتُؤْخَذُ السِّنُّ الْكَبِيرَةُ بِالصَّغِيرَةِ وَالْقَوِيَّةُ بِالضَّعِيفَةِ كَمَا تُؤْخَذُ الْيَدُ الصَّحِيحَةُ بِالْمَرِيضَةِ لِأَنَّ الِاعْتِبَارَ بِالِاسْمِ الْمُطْلَقِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ السِّنِّ الْمَقْلُوعَةِ بِالْجِنَايَةِ مِنْ أَنْ تُقْلَعَ مِنْ أَصْلِهَا أَوْ يُكْسَرَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا فَإِنْ قُلِعَتْ مِنْ أَصْلِهَا قُلِعَتْ سِنُّ الْجَانِي مِنْ أَصْلِهَا الدَّاخِلِ فِي لَحْمِ الْعُمُورِ وَمَنَابِتِ الْأَسْنَانِ وَإِنْ كُسِرَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَبَرَزَ مِنْ لَحْمِ الْعُمُورِ كُسِرَ مِنْ سِنِّ الْجَانِي مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَتُرِكَ عَلَيْهِ مَا سَتَرَهُ اللَّحْمُ مِنْ أَصْلِهَا فَإِنْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الدِّيَةِ كَانَتْ فِيهِ دِيَةُ السِّنِّ خَمْسًا مِنَ الإِبِلِ كَمَا لَوْ قَلَعَهَا مِنْ أَصْلِهَا لَأَنَّ مَنْفَعَتَهَا وَجَمَالَهَا بِالظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ فَإِنْ عَادَ وَقَطَعَ مَا بَطَنَ مِنْ بَقِيَّتِهَا كَانَ فِيهِ حُكُومَةٌ كَمَنْ قَطَعَ أَصَابِعَ الْكَفِّ وَجَبَ عَلَيْهِ دِيَةُ كَفٍّ فَإِنْ عَادَ فَقَطَعَ بَقِيَّةَ الْكَفِّ كَانَتْ عَلَيْهِ حُكُومَةٌ وَلَوْ كَانَ قَدْ قَطَعَهَا مِنْ أَصْلِ الْكَفِّ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنَ الدِّيَةِ وَلَوْ كُسِرَ نِصْفُ سِنّه بِالطُّولِ فَإِنْ أَمْكَنَ الْقِصَاصُ مِنْهَا اقْتُصَّ وَإِنْ تَقَدَّرَ كَانَ عَلَيْهِ نِصْفُ دِيَتِهَا
Seseorang bisa jadi telah berganti gigi atau belum, dan yang dimaksud dengan telah berganti gigi adalah telah tanggal gigi susu dan tumbuh setelahnya gigi dewasa. Jika seseorang telah berganti gigi, yaitu telah tanggal gigi susu dan tumbuh gigi dewasa, lalu giginya dicabut, maka wajib dilakukan qishāsh pada gigi tersebut dengan mencabut gigi yang sepadan dari pelaku. Jumlah gigi dalam mulut jika telah lengkap adalah tiga puluh dua, terdiri dari empat gigi seri, empat gigi taring kecil, empat gigi taring besar, empat gigi geraham depan, dua belas gigi geraham tengah (yang disebut thawāhin), dan empat gigi geraham belakang (yang disebut nawājidz, yaitu gigi paling belakang di mulut). Maka, gigi seri dibalas dengan gigi seri, tidak boleh gigi seri dibalas dengan gigi taring kecil, dan tidak boleh gigi taring besar dibalas dengan gigi geraham depan, sebagaimana tidak boleh ibu jari dibalas dengan kelingking. Gigi kanan dibalas dengan gigi kanan, tidak boleh gigi kanan dibalas dengan gigi kiri. Gigi atas dibalas dengan gigi atas, tidak boleh gigi atas dibalas dengan gigi bawah. Gigi besar dibalas dengan gigi kecil, dan gigi kuat dibalas dengan gigi lemah, sebagaimana tangan yang sehat dibalas dengan tangan yang sakit, karena yang menjadi pertimbangan adalah nama umum. Jika demikian, maka keadaan gigi yang dicabut karena jināyah tidak lepas dari dua kemungkinan: dicabut dari akarnya atau yang patah hanya bagian yang tampak. Jika dicabut dari akarnya, maka gigi pelaku juga dicabut dari akarnya yang berada di dalam gusi dan tempat tumbuhnya gigi. Jika yang patah hanya bagian yang tampak dan menonjol dari gusi, maka dari gigi pelaku juga dipatahkan bagian yang tampak dan dibiarkan bagian yang tertutup daging dari akarnya. Jika korban memaafkan qishāsh dan memilih diyat, maka diyat gigi adalah lima ekor unta, sebagaimana jika dicabut dari akarnya, karena manfaat dan keindahan gigi terletak pada bagian yang tampak, bukan yang tersembunyi. Jika pelaku kembali dan memotong sisa bagian yang tersembunyi, maka dikenakan hukuman taksiran (hukūmah), seperti orang yang memotong jari-jari tangan dan wajib membayar diyat tangan. Jika pelaku kembali dan memotong sisa tangan, maka dikenakan hukuman taksiran. Jika ia memotong tangan dari pangkalnya, maka tidak wajib membayar lebih dari diyat. Jika setengah gigi patah secara memanjang, jika memungkinkan dilakukan qishāsh maka dilakukan qishāsh, dan jika hanya bisa ditaksir, maka wajib membayar setengah diyatnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ قُلِعَ سِنُّ مَنْ لَمْ يَثْغَرْ فَلَا قِصَاصَ فِي الْحَالِ وَلَا دِيَةَ لِأَنَّهَا مِنْ أَسْنَانِ اللَّبَنِ الَّتِي جَرَتِ الْعَادَةُ بِنَبَاتِهَا بَعْدَ سُقُوطِهَا وَوَجَبَ الِانْتِظَارُ إِلَى أَقْصَى الْمُدَّةِ الَّتِي يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ بِهَا مِنَ الطِّبِّ أَنَّهَا تَنْبُتُ فِيهِ فَإِنْ نَبَتَتْ فَلَا قِصَاصَ فِيهَا وَلَا دِيَةَ لِأَنَّ الْقِصَاصَ وَالدِّيَةَ إِنَّمَا يَجِبَانِ فِيمَا يَدُومُ ضَرَرُهُ وَعَيْنُهُ وَلَا يَجِبَانِ فِيمَا يَزُولُ ضَرَرُهُ وَشيْنُهُ كَالسِّنِّ إِذَا نَبَتَتْ وَكَاللَّطْمَةِ إِذَا آلَمَتْ لِزَوَالِ ذَلِكَ وَعَوْدِهِ إِلَى الْمَعْهُودِ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ قَدْ خَرَجَ مَعَ سِنِّ اللَّبَنِ حِينَ قُلِعَتْ دَمٌ نُظِرَ فِيهِ فَإِنْ خَرَجَ مِنْ لَحْمِ الْعُمُورِ وَجَبَ فِيهِ أَرْشٌ كَمَنْ جُرِحَ فِي لَحْمِ بَدَنِهِ فَأَنْهَرَ دَمَهُ وَإِنْ خَرَجَ مِنْ مَحَلِّ السِّنِّ الْمَقْلُوعَةِ فَفِي وُجُوبِ الْأَرْشِ وَجْهَانِ حَكَاهَا أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ
Jika gigi seseorang yang belum tumbuh gigi tetap dicabut, maka tidak ada qishāsh pada saat itu dan tidak ada diyat, karena itu termasuk gigi susu yang secara kebiasaan akan tumbuh kembali setelah tanggal. Maka wajib menunggu hingga batas waktu terlama yang menurut para ahli di bidang kedokteran gigi, gigi tersebut akan tumbuh kembali. Jika gigi itu tumbuh kembali, maka tidak ada qishāsh dan tidak ada diyat, karena qishāsh dan diyat hanya wajib pada sesuatu yang kerusakannya bersifat permanen dan nyata, dan tidak wajib pada sesuatu yang kerusakannya dapat hilang dan kembali seperti semula, seperti gigi yang tumbuh kembali atau tamparan yang hanya menimbulkan rasa sakit sementara karena hal itu akan hilang dan kembali seperti keadaan semula. Namun, jika saat gigi susu itu dicabut keluar darah, maka perlu diperhatikan: jika darah itu keluar dari daging gusi, maka wajib membayar arsy, seperti orang yang terluka pada daging tubuhnya hingga mengalirkan darah. Jika darah keluar dari tempat gigi yang dicabut, maka dalam kewajiban membayar arsy terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfirayini.
أَحَدُهُمَا لَا يَجِبُ فِيهِ أَرْشٌ كَمَنْ لُطِمَ فَرَعَفَ لَمْ يَجِبْ فِيهِ أَرْشٌ
Salah satunya adalah tidak wajib membayar arsy, seperti seseorang yang ditampar lalu mimisan, maka tidak wajib membayar arsy atasnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي فِيهِ الْأَرْشُ لِأَنَّهُ قَدْ قَلَعَ بِقَلْعِهِ مَا اتَّصَلَ بِهِ مِنْ عُرُوقِ مَحَلِّهِ وَمَرَابَطِهِ فَلَزِمَهُ الْأَرْشُ وَعَلَى مُقْتَضَى هَذَا التَّعْلِيلِ يَجِبُ عَلَيْهِ الْأَرْشُ وَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ دَمٌ لِقَطْعِ تِلْكَ الْمَرَابِطِ وَالْعُرُوقِ
Pendapat kedua adalah bahwa dalam kasus ini wajib membayar arsy, karena dengan mencabutnya, ia telah mencabut pula akar-akar dan jaringan yang terhubung dengannya di tempat tersebut, sehingga ia wajib membayar arsy. Berdasarkan alasan ini, ia tetap wajib membayar arsy meskipun tidak keluar darah, karena telah terputusnya jaringan dan akar-akar tersebut.
فَإِنْ قِيلَ بِهِ كَانَ هَذَا الْوَجْهُ الثَّانِي أَصَحَّ وَإِنْ لَمْ يَقُلْ بِهِ كَانَ الْوَجْهُ الْأَوَّلُ أَصَحَّ وَالْقَوْلُ الثَّانِي عِنْدِي أَوْلَى
Jika pendapat tersebut dipegangi, maka pendapat kedua ini lebih kuat; namun jika tidak dipegangi, maka pendapat pertama lebih kuat. Menurut saya, pendapat kedua lebih utama.
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الِانْتِظَارِ بِالسِّنِّ الْمَقْلُوعَةِ وَقْتَ نَبَاتِهَا لَمْ يَخْلُ حَالُ صَاحِبِهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Maka apabila telah tetap kewajiban menunggu tumbuhnya gigi yang tercabut pada waktu tumbuhnya, maka keadaan pemiliknya tidak lepas dari salah satu dari dua hal.
إِمَّا أَنْ يَعِيشَ إِلَى ذَلِكَ الْوَقْتِ أَوْ يَمُوتَ قَبْلَهُ فَإِنْ عَاشَ إِلَيْهِ لَمْ يَخْلُ حَالُ تِلْكَ السِّنِّ الْمَقْلُوعَةِ مِنْ أحد أمرين
Bisa jadi ia hidup sampai waktu itu atau meninggal sebelumnya. Jika ia hidup sampai waktu itu, maka keadaan gigi yang dicabut itu tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ تَنْبُتَ أَوْ لَا تَنْبُتَ فَإِنْ لَمْ تَنْبُتْ وَجَبَ فِيهَا الْقِصَاصُ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ فَالدِّيَةُ تَامَّةٌ لِأَنَّهُ قَلَعَ سِنًّا لَمْ تَعُدْ فَصَارَتْ كَسِنِّ الْمَثْغُورِ وَإِنْ نَبَتَتْ فَلَهَا ثلاثة أحوال
Bisa jadi gigi itu tumbuh kembali atau tidak tumbuh. Jika tidak tumbuh, maka wajib dikenakan qishāsh. Jika dimaafkan, maka dikenakan diyat secara penuh, karena ia telah mencabut gigi yang tidak tumbuh kembali, sehingga keadaannya seperti gigi yang tanggal secara permanen. Namun jika gigi itu tumbuh kembali, maka ada tiga keadaan.
أحدها أَنْ تَنْبُتَ كَأَخَوَاتِهَا فِي الْقَدِّ وَاللَّوْنِ فَلَا قَوَدَ فِيهَا وَلَا دِيَةَ
Salah satunya adalah jika ia tumbuh seperti saudara-saudaranya dalam ukuran dan warna, maka tidak ada qishāsh (balasan setimpal) dan tidak ada diyat (denda) atasnya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ تَنْبُتَ أَقْصَرَ مِنْ أَخَوَاتِهَا فَالظَّاهِرُ مِنْ قِصَرِهَا أَنَّهُ مَنْ قَلَعَ مَا قَبْلَهَا قَبْلَ أَوَانِهِ فَصَارَ مَنْسُوبًا إِلَى الْجَانِي فَيَلْزَمُهُ دِيَةُ السِّنِّ بِقَدْرِ مَا نَقَصَ مِنَ السَّنِّ الْعَائِدِ فَإِنْ كَانَ النِّصْفُ فَنِصْفُ دِيَتِهَا وَإِنْ كَانَ الثُّلْثُ فثلثها
Keadaan kedua adalah apabila gigi yang tumbuh kembali lebih pendek dari gigi-gigi lainnya, maka yang tampak dari pendeknya itu adalah bahwa siapa pun yang mencabut gigi sebelumnya sebelum waktunya, maka kekurangan itu dinisbatkan kepada pelaku (yang mencabut), sehingga ia wajib membayar diyat gigi sebesar kekurangan dari gigi yang tumbuh kembali. Jika kekurangannya setengah, maka ia wajib membayar setengah diyatnya, dan jika sepertiga, maka sepertiga diyatnya.
والحال الثالثة أن تنبت في قد أَخَوَاتِهَا لَكِنَّهَا مُتَغَيِّرَةُ اللَّوْنِ بِخُضْرَةٍ أَوْ سَوَادٍ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ مِنَ الجِنَايَةِ فَيُؤْخَذُ الْجَانِي بِأَرْشِ تَغْيِيِرهَا وَإِنْ مَاتَ الْمَقْلُوعُ سِنُّهُ قَبْلَ الْوَقْتِ الَّذِي قَدَّرَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ بِالطِّبِّ لِعَوْدِهَا فَلَا قَوَدَ فِيهَا لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّهُ لَوْ بَقِيَ لَعَادَتْ وَالْقِصَاصُ حَدٌّ يُدْرَأُ بِالشُّبْهَةِ
Keadaan ketiga adalah ketika gigi itu tumbuh kembali di tempat gigi-gigi lainnya, namun warnanya berubah menjadi kehijauan atau kehitaman. Maka yang tampak adalah bahwa perubahan itu disebabkan oleh tindakan pelaku, sehingga pelaku dikenakan diyat atas perubahan tersebut. Jika orang yang giginya dicabut meninggal sebelum waktu yang diperkirakan oleh para ahli ilmu kedokteran untuk tumbuh kembalinya gigi itu, maka tidak ada qishāsh atasnya, karena yang tampak adalah seandainya ia masih hidup, giginya akan tumbuh kembali. Sedangkan qishāsh adalah hukuman yang digugurkan karena adanya syubhat.
وَأَمَّا الدِّيَةُ فَفِي اسْتِحْقَاقِهَا وَجْهَانِ
Adapun diyat, dalam hal berhak mendapatkannya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يُسْتَحَقُّ لِأَنَّ قَلْعَهَا مُسْتَحَقٌّ وَعَوْدَهَا مَعَ الْبَقَاءِ مُتَوَهَّمٌ فَلَمْ يَسْقُطْ بِالظَّنِّ حُكْمُ الْيَقِينِ
Salah satunya berhak didapatkan karena pencabutannya memang berhak dilakukan, sedangkan kemungkinan kembalinya bersama keberadaannya hanyalah dugaan, maka hukum yang sudah pasti tidak gugur hanya karena dugaan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَسْتَحِقُّ الدِّيَةَ اعْتِبَارًا بِالظَّاهِرِ كَمَا لَمْ يَجِبِ الْقَوَدُ اعْتِبَارًا بِهِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak berhak mendapatkan diyat dengan mempertimbangkan keadaan lahiriah, sebagaimana qisas juga tidak diwajibkan dengan pertimbangan tersebut.
فَصْلٌ
Bagian
وَإِذَا كَانَ الْمَقْلُوعُ سِنُّهُ مَثْغُورًا فَعَادَتْ سِنُّهُ وَنَبَتَتْ فَفِيهَا قَوْلَانِ
Jika seseorang yang giginya tercabut masih dalam masa pertumbuhan, lalu giginya tumbuh kembali, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَصِيرُ كَغَيْرِ الْمَثْغُورِ إِذَا عَادَتْ سِنُّهُ بَعْدَ قَلْعِهَا تَكُونُ هِيَ الْحَادِثَةَ عَنِ الْمَقْلُوعَةِ فَلَا يَجِبُ فِيهَا قِصَاصٌ وَلَا دِيَةٌ كَمَا لَوْ جَنَى عَلَى عَيْنِهِ فَأَذْهَبَ ضَوْءَهَا ثُمَّ عَادَ الضَّوْءُ كَانَ هُوَ الْأَوَّلَ وَلَمْ يَكُنْ حَادِثًا عَنْ غَيْرٍ فَلَوْ كَانَ قَدْ تَقَدَّمَ الِاقْتِصَاصُ مِنْهَا لَمْ يُقْتَصَّ لِلْجَانِي مِنْهَا لِأَنَّ الْمُسْتَوْفَى عَلَى وَجْهِ الْقِصَاصِ لَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ لَكِنْ لَهُ الدِّيَةُ يَرْجِعُ بِهَا عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِأَخْذِهِ الْقِصَاصَ مِنْ سِنٍّ لَا يُسْتَحَقُّ فِيهَا الْقِصَاصُ
Salah satunya adalah bahwa ia menjadi seperti orang yang tidak ompong apabila giginya tumbuh kembali setelah dicabut; gigi yang baru itu dianggap sebagai pengganti dari yang telah dicabut, sehingga tidak wajib qishāsh maupun diyat atasnya, sebagaimana jika seseorang melakukan kejahatan pada mata orang lain sehingga menghilangkan penglihatannya, lalu penglihatan itu kembali, maka yang kembali itu adalah yang pertama dan bukan sesuatu yang baru dari selainnya. Maka, jika sebelumnya telah dilakukan qishāsh atasnya, tidak dilakukan qishāsh terhadap pelaku atasnya, karena sesuatu yang telah diambil melalui qishāsh tidak wajib dikenai qishāsh lagi. Namun, ia berhak mendapatkan diyat yang dapat dituntut dari orang yang menjadi korban, karena ia telah mengambil qishāsh dari gigi yang seharusnya tidak berhak dikenai qishāsh.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إنَّ هَذِهِ السِّنَّ الْحَادِثَةَ هِبَةٌ مِنَ اللَّهِ مُسْتَجَدَّةٌ وَلَيْسَتْ حَادِثَةً مِنَ المَقْلُوعَةِ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ حَالِ الْمَثْغُورِ أَنَّ سِنَّهُ إِذَا انْقَلَعَتْ لَمْ تَعُدْ فَلَا يَسْقُطُ بِعَوْدِهَا قِصَاصٌ وَلَا دِيَةٌ فَيُقْتَصُّ مِنَ الجَانِي وَإِنْ عَادَتْ مِنَ المَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِخِلَافِ مَنْ لَمْ يَثْغَرْ لِأَنَّ سِنَّ الْمَثْغُورِ لَا تَعُودُ فِي غَالِبِ الْعَادَةِ وَسنَّ غَيْرِ الْمَثْغُورِ تَعُودُ فِي الْأَغْلَبِ وَخَالَفَ ضَوْءَ الْعَيْنِ إِذَا عَادَ بَعْدَ ذَهَابِهِ لِأَنَّهُ كَانَ مَسْتُورًا بِحَائِلٍ زَالَ فَأَبْصَرَ بِالضَّوْءِ الْأَوَّلِ لَا بِضَوْءٍ تَجَدَّدَ وَهَذِهِ سِنٌّ تَجَدَّدَتْ فَافْتَرَقَا وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ فَرْعَانِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa gigi baru yang tumbuh ini adalah karunia baru dari Allah dan bukan merupakan gigi lama yang tercabut. Sebab, yang tampak dari keadaan orang yang giginya telah tanggal adalah bahwa jika giginya tercabut, maka tidak akan tumbuh kembali. Oleh karena itu, dengan tumbuhnya kembali gigi tersebut tidak menggugurkan qishāsh maupun diyat, sehingga pelaku tetap dikenai qishāsh meskipun gigi korban tumbuh kembali. Hal ini berbeda dengan orang yang belum pernah tanggal giginya, karena gigi orang yang sudah pernah tanggal biasanya tidak tumbuh kembali, sedangkan gigi orang yang belum pernah tanggal umumnya bisa tumbuh kembali. Ini berbeda dengan cahaya mata, jika kembali setelah hilang, karena cahaya mata itu sebelumnya hanya tertutup oleh penghalang yang kemudian hilang, sehingga ia dapat melihat kembali dengan cahaya yang lama, bukan dengan cahaya yang baru. Sedangkan gigi ini adalah gigi yang benar-benar baru tumbuh, sehingga keduanya berbeda. Dari dua pendapat ini, terdapat dua cabang hukum yang berkaitan.
أحدهما أن يقلع رجل سن فَيُقْتَصُّ مِنْ سِنِّ الْجَانِي بِسِنِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ ثُمَّ تَعُودُ سِنُّ الْجَانِي فَتَنْبُتُ
Pertama, seseorang mencabut gigi orang lain, lalu dilakukan qishāsh pada gigi pelaku dengan mencabut giginya, kemudian gigi pelaku tumbuh kembali.
فَإِنْ قِيلَ إِنَّ السِّنَّ الْعَائِدَةَ فِي الْمَثْغُورِ هِيَ هِبَةٌ مستجدة وليست حادثة عن الأولة فَلَا شَيْءَ عَلَى الْجَانِي بِعَوْدِ سَنِّهِ مِنْ قِصَاصٍ وَلَا دِيَةٍ لِاسْتِيفَاءِ الْقِصَاصِ مِنْهُ وَمَا حَدَثَ بَعْدَهُ هِبَةٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى لَهُ
Jika dikatakan bahwa gigi yang tumbuh kembali pada orang yang giginya tanggal adalah anugerah baru dan bukan akibat dari gigi yang pertama, maka tidak ada kewajiban apa pun atas pelaku (penganiayaan) karena tumbuhnya kembali gigi tersebut, baik berupa qishāsh maupun diyat, karena qishāsh telah dilaksanakan atasnya, dan apa yang terjadi setelahnya adalah anugerah dari Allah Ta‘ala untuknya.
وَإِنْ قِيلَ إِنَّ السِّنَّ الْعَائِدَةَ فِي الْمَثْغُورِ هِيَ الْحَادِثَةُ عَنِ الْأُولَى فَفِي وُجُوبِ الِاقْتِصَاصِ مِنْهَا ثَانِيًا وَجْهَانِ
Dan jika dikatakan bahwa gigi yang tumbuh kembali di tempat yang tanggal adalah gigi yang baru menggantikan yang pertama, maka dalam kewajiban melakukan qishāsh atasnya untuk kedua kalinya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يُقْتَصُّ مِنْهَا إِذَا عادت ثانية كما اقتص منها في الأولة وَكَذَلِكَ لَوْ عَادَتْ ثَالِثَةً وَرَابِعَةً لِأَنَّهُ قَدْ أَفْقَدَ الْمَجْنِيَّ عَلَيْهِ سِنَّهُ فَوَجَبَ أَنْ يُقَابَلَ بِمَا يُفْقِدُ سِنَّهُ
Salah satunya adalah bahwa pelaku dapat dikenai qishāsh darinya jika ia mengulangi perbuatannya untuk kedua kali, sebagaimana ia dikenai qishāsh pada kali pertama. Demikian pula jika ia mengulangi untuk ketiga atau keempat kalinya, karena ia telah menyebabkan korban kehilangan giginya, maka wajib dibalas dengan sesuatu yang menyebabkan kehilangan gigi pelaku.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا قِصَاصَ فِيهَا لِاسْتِيفَائِهِ مِنْهَا وَأَنَّهُ جَنَى دُفْعَةً وَاحِدَةً فَلَمْ يَجُزْ أَنَّ يُقْتَصَّ مِنْهُ أَكْثَرَ مِنْ دُفْعَةٍ وَاحِدَةٍ فَعَلَى هَذَا هَلْ تُؤْخَذُ مِنْهُ دِيَتُهَا أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Pendapat kedua: tidak ada qishāsh padanya karena telah diambil darinya, dan karena ia melakukan kejahatan dalam satu kali perbuatan, maka tidak boleh di-qishāsh darinya lebih dari satu kali perbuatan. Berdasarkan hal ini, apakah diambil diyat darinya atau tidak, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا تُؤْخَذُ مِنْهُ الدِّيَةُ لِتَرْكِ سِنِّهِ عَلَيْهِ
Salah satunya diambil darinya diyat karena membiarkan giginya tetap pada dirinya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُؤْخَذُ بِالدِّيَةِ كَمَا لَمْ يُؤْخَذْ بِالْقِصَاصِ لأن لا يُجْمَعَ بَيْنَ دِيَةٍ وَقِصَاصٍ
Pendapat kedua, tidak diambil diyat sebagaimana tidak diambil qishāsh, agar tidak digabungkan antara diyat dan qishāsh.
وَالْفَرْعُ الثَّانِي أَنْ يُقْتَصَّ مِنْ سِنِّ الْجَانِي بِسِنِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَتَعُودُ سَنُّ الْجَانِي وَتَعُودُ سِنُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَلَا قِصَاصَ هُنَا مِنَ الثَّانِيَةِ وَلَا دِيَةَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا لِأَنَّنَا إِنْ قُلْنَا بِأَنَّ الْعَائِدَةَ هِبَةٌ مُسْتَجَدَّةٌ فَهِيَ هِبَةٌ فِي حَقِّ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهَا حَادِثَةٌ عَنِ الْأُولَى فَقَدْ عَادَتْ سِنُّ كُلِّ وَاحِدٍ منهما والله أعلم
Cabang kedua adalah jika dilakukan qishāsh pada gigi pelaku dengan gigi korban, lalu gigi pelaku tumbuh kembali dan gigi korban juga tumbuh kembali, maka tidak ada qishāsh untuk yang kedua kalinya dan tidak ada diyat menurut kedua pendapat, karena jika kita mengatakan bahwa tumbuhnya kembali itu adalah hibah (pemberian) yang baru, maka itu adalah hibah bagi masing-masing dari keduanya. Dan jika kita mengatakan bahwa itu adalah akibat dari yang pertama, maka gigi masing-masing dari keduanya telah tumbuh kembali. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَلَعَ لَهُ سِنًّا زَائِدَةً فَفِيهَا حُكُومَةٌ إِلَّا أَنْ يَكُونَ لِلْقَالِعِ مِثْلُهَا فَيُقَادُ مِنْهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang mencabutkan gigi tambahan milik orang lain, maka di dalamnya ada ḥukūmah, kecuali jika si pencabut juga memiliki gigi tambahan yang serupa, maka ia dikenai qiṣāṣ darinya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا السِّنُّ الزَّائِدَةُ فَهِيَ مَا زَادَتْ عَلَى الِاثْنَيْنِ وَالثَّلَاثِينَ سِنًّا الْمَعْدُودَةِ الَّتِي عَيَّنَّاهَا مِنْ أَسْنَانِ الْفَمِ وَتَنْبُتُ فِي غَيْرِ نِظَامِ الْأَسْنَانِ إِمَّا خَارِجَةً أَوْ دَاخِلَةً وَتُسَمَّى هَذِهِ الزِّيَادَةُ سِنًّا ثَانِيَةً قَالَ الشَّاعِرُ
Al-Mawardi berkata: Adapun gigi tambahan adalah gigi yang melebihi tiga puluh dua gigi yang telah kami tentukan sebagai jumlah gigi di mulut, dan tumbuh tidak sesuai dengan susunan gigi, baik tumbuh di luar maupun di dalam. Tambahan ini disebut sebagai gigi kedua. Penyair berkata:
فَلَا يُعْجِبَنْ ذَا الْبُخْلِ كَثْرَةُ مَالِهِ فَإِنَّ الشَّغَا نَقْصٌ وَإِنْ كَانَ زَائِدًا
Maka janganlah orang yang kikir terpesona oleh banyaknya hartanya, karena kekikiran itu adalah kekurangan, meskipun hartanya bertambah.
فَإِذَا جَنَى عَلَيْهَا جَانٍ فَقَلَعَهَا لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ لِلْجَانِي مِثْلُهَا أَوْ لَا يَكُونَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثْلُهَا فَلَا قَوَدَ فِيهَا لِعَدَمِ مَا يُمَاثِلُهَا كَمَا لَوْ قَطَعَ نَابَهُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ نَابٌ لَمْ يُؤْخَذْ بِهِ غَيْرُ النَّابِ فَإِذَا سَقَطَ الْقِصَاصُ فِي الشَّاغِبَةِ فَعَلَيْهِ فِيهَا حُكُومَةٌ لَا يَبْلُغُ بِهَا دِيَةَ سِنٍّ غَيْرِ شَاغِبَةٍ لِنَقْصِ الْأَعْضَاءِ الزَّائِدَةِ عَنْ أَعْضَاءِ الْخِلْقَةِ الْمَعْهُودَةِ وَإِنْ كَانَ لِلْجَانِي سِنٌّ زَائِدَةٌ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ تَكُونَ فِي مِثْلِ مَحَلِّهَا مِنَ المَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَوْ غَيْرِ مَحَلِّهَا فَإِنْ كَانَتْ فِي غَيْرِ مَحَلِّهَا مِنْهُ مِثْلَ أَنْ تَكُونَ الزَّائِدَةُ مِنَ الجَانِي مَعَ الْأَسْنَانِ الْعُلْيَا وَمِنَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ الْأَسْنَانِ السُّفْلَى أَوْ تَكُونَ مِنَ الجَانِي يُمْنَى وَمِنَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ يُسْرَى أَوْ تَكُونَ مِنَ الجَانِي مُقْتَرِنَةً بِالنَّابِ وَمِنَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مُقْتَرِنَةً بِالثَّنِيَّةِ فَلَا قِصَاصَ فِيهَا لِأَنَّ اخْتِلَافَ مَحَلِّهِمَا يمنع من تماثلهما فإن كانت من الجاني في مثل محلها من المجني عليه ففيها القصاص لثماثلهما فِي الْمَحَلِّ وَسَوَاءٌ اتَّفَقَا فِي الْقَدْرِ وَالْمَنْفَعَةِ أَوْ تَفَاضَلَا لِتَسَاوِيهِمَا فِي الِاسْمِ الْخَاصِّ كَمَا قلناه فيما كان من أصل الخلقة المعهودة
Apabila seseorang melakukan tindak pidana terhadap seseorang lalu mencabut giginya, maka pelaku bisa jadi memiliki gigi tambahan seperti itu atau tidak. Jika pelaku tidak memiliki gigi tambahan seperti itu, maka tidak ada qishāsh atasnya karena tidak ada yang sepadan dengannya, sebagaimana jika seseorang memotong taring orang lain sementara ia sendiri tidak memiliki taring, maka tidak bisa diambil selain taring tersebut. Jika qishāsh gugur dalam kasus gigi tambahan, maka atas pelaku dikenakan hukuman berupa pembayaran ganti rugi (ḥukūmah) yang nilainya tidak sampai pada diyat gigi yang bukan tambahan, karena kekurangan anggota tubuh tambahan dibandingkan anggota tubuh yang lazim menurut penciptaan yang dikenal. Jika pelaku memiliki gigi tambahan, maka bisa jadi gigi itu berada di tempat yang sama dengan korban atau tidak. Jika gigi tambahan itu berada di tempat yang berbeda, seperti gigi tambahan pelaku berada di deretan atas sementara korban di deretan bawah, atau pelaku di sisi kanan sementara korban di sisi kiri, atau pelaku giginya berdekatan dengan taring sementara korban berdekatan dengan gigi seri, maka tidak ada qishāsh karena perbedaan tempat menghalangi kesepadanan. Namun, jika gigi tambahan pelaku berada di tempat yang sama dengan korban, maka berlaku qishāsh karena kesepadanan tempat, baik keduanya sama dalam ukuran dan manfaat atau berbeda, karena keduanya sama dalam nama khusus sebagaimana telah dijelaskan pada anggota tubuh yang merupakan bagian dari penciptaan yang dikenal.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَمَنِ اقْتَصَّ حَقَّهُ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ عُزِّرَ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Barang siapa menuntut haknya sendiri tanpa melalui penguasa, maka ia dikenai ta‘zīr, namun tidak ada kewajiban apa pun atasnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لَيْسَ لِمُسْتَحِقِّ الْقِصَاصِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِاسْتِيفَائِهِ مِنْ غَيْرِ إِذْنِ السُّلْطَانِ سَوَاءٌ كَانَ فِي نَفْسٍ أَوْ طَرَفٍ ثَبَتَ ذَلِكَ عِنْدَ سُلْطَانٍ أَوْ لَمْ يَثْبُتْ لِأَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, tidak boleh bagi orang yang berhak mendapatkan qishāsh untuk melaksanakannya sendiri tanpa izin dari penguasa, baik dalam kasus jiwa maupun anggota tubuh, baik hal itu telah terbukti di hadapan penguasa maupun belum, karena dua alasan.”
أَحَدُهُمَا إنَّ فِي الْقِصَاصِ مَا اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي اسْتِيفَائِهِ فَلَمْ يُتَيَقَّنْ فِيهِ الْحُكْمُ بِاجْتِهَادِ الْوُلَاةِ
Salah satunya adalah bahwa dalam qishāsh terdapat perkara yang para fuqaha berbeda pendapat mengenai pelaksanaannya, sehingga tidak dapat dipastikan hukumnya hanya dengan ijtihad para penguasa.
وَالثَّانِي إنَّهُ مَوْجُودٌ فِي تَعْدِيَتِهِ فِي الِاقْتِصَاصِ مِنْهُ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ الْقِصَاصُ إِلَّا بِحُضُورِ مَنْ يَزْجُرُهُ عَنِ التَّعَدِّي فَإِنْ تَفَرَّدَ بِاسْتِيفَائِهِ فَقَدْ وَصَلَ إِلَى حَقِّهِ وَيُعَزَّرُ عَلَى افْتِيَاتِهِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ مَا اسْتَوْفَاهُ مِنَ القِصَاصِ ثَابِتًا فَإِنِ ادَّعَاهُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ بَيِّنَةٌ لَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ وَصَارَ جَانِيًا فَيُؤْخَذُ بِمَا جَنَاهُ مِنْ قِصَاصٍ أَوْ دِيَةٍ وَلَا تَكُونُ دَعْوَاهُ شُبْهَةً فِي سُقُوطِ الْقِصَاصِ عَنْهُ لِأَنَّ سَعْدًا قَالَ للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَرَأَيْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ وَجَدْتُ مَعَ امْرَأَتِي رَجُلًا أَقْتُلُهُ قَالَ لَا حَتَّى تَأْتِيَ بِأَرْبَعَةٍ مِنَ الشُّهَدَاءِ كَفَى بِالسَّيْفِ شَا يَعْنِي شَاهِدًا عَلَيْكَ بِالْقَتْلِ وَقَالَ مَنْصُورُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ التَّمِيمِيُّ الْمِصْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا لَا يُعَزَّرُ الْوَلِيُّ إِذَا اسْتَوْفَاهُ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ؛ لِأَنَّهُ اسْتَوْفَى حَقَّهُ فَلَا يُمْنَعُ مِنْهُ كَاسْتِرْجَاعِ الْمَغْصُوبِ وَهَذَا فَاسِدٌ بما قدمناه من الأمرين
Kedua, sesungguhnya hal itu terdapat dalam pelampauan batas ketika melakukan qishāsh terhadapnya, sehingga tidak boleh baginya melakukan qishāsh kecuali dengan kehadiran orang yang dapat mencegahnya dari melampaui batas. Jika ia melakukannya sendiri dalam menunaikan qishāsh, maka ia telah memperoleh haknya, namun ia tetap dikenai ta‘zīr karena bertindak tanpa izin, dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya jika qishāsh yang ia lakukan memang terbukti. Namun, jika ia mengakuinya dan tidak memiliki bukti, maka pengakuannya tidak diterima dan ia dianggap sebagai pelaku kejahatan, sehingga ia dikenai hukuman qishāsh atau diyat atas kejahatan yang dilakukannya. Pengakuannya tidak dianggap sebagai syubhat yang dapat menggugurkan qishāsh darinya, karena Sa‘d berkata kepada Nabi ﷺ: “Bagaimana menurutmu, wahai Rasulullah, jika aku mendapati seorang laki-laki bersama istriku lalu aku membunuhnya?” Beliau menjawab: “Tidak, sampai engkau mendatangkan empat orang saksi.” Cukuplah pedang sebagai saksi, maksudnya: sebagai saksi atas pembunuhan yang dilakukan terhadapmu. Manshur bin Isma‘il at-Tamimi al-Mishri dari kalangan ulama kami berkata: “Wali tidak dikenai ta‘zīr jika menunaikan qishāsh tanpa izin penguasa, karena ia telah mengambil haknya sehingga tidak dilarang, seperti mengambil kembali barang yang dirampas.” Pendapat ini rusak (tidak benar) sebagaimana telah kami jelaskan pada dua poin sebelumnya.
بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
صلى الله على سيدنا محمد وآله
Semoga Allah mencurahkan shalawat kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ قَالَ الْمُقْتَصُّ أَخْرِجْ يَمِينَكَ فَأَخْرَجَ يَسَارَهُ فَقَطَعَهَا وَقَالَ عَمَدْتُ وَأَنَا عَالِمٌ فَلَا عَقْلَ وَلَا قِصَاصَ فَإِذَا بَرأ اقْتُصَّ مِنْ يَمِينِهِ وَإِنْ قَالَ لَمْ أَسْمَعْ أَوْ رَأَيْتُ أَنَّ الْقِصَاصَ بِهَا يَسْقُطُ عَنْ يَمِينِي لَزِمَ الْمُقْتَصَّ دِيَةُ الْيَدِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika orang yang menuntut qishāsh berkata, “Keluarkan tangan kananmu,” lalu ia mengeluarkan tangan kirinya, kemudian tangan kirinya itu dipotong dan ia berkata, “Saya sengaja dan saya tahu,” maka tidak ada diyat dan tidak ada qishāsh. Jika ia telah sembuh, maka qishāsh dilakukan pada tangan kanannya. Namun jika ia berkata, “Saya tidak mendengar,” atau “Saya mengira bahwa qishāsh pada tangan kiri menggugurkan qishāsh pada tangan kanan saya,” maka orang yang menuntut qishāsh wajib membayar diyat tangan.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ وَجَبَ الْقِصَاصُ عَلَيْهِ فِي يُمْنَاهُ فَأَخْرَجَ يُسْرَاهُ فَقَطَعَهَا الْمُقْتَصُّ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْيُسْرَى قِصَاصًا بِالْيُمْنَى لِاسْتِحْقَاقِ الْمُمَاثَلَةِ فِيهِ كَمَا لَا تَكُونُ الْيَدُ قِصَاصًا بِالرَّجُلِ وَإِنْ وَقَعَ بِهِ التَّرَاضِي وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ بُدِئَ بِسُؤَالٍ فَخَرَجَ يَدَهُ قَبْلَ سُؤَالِ الْمُقْتَصِّ الْقَاطِعَ هَلْ أَخْرَجَ يَدَهُ بَاذِلًا لِقَطْعِهَا أَوْ غَيْرَ بَاذِلٍ فَإِنْ قَالَ أَخْرَجْتُهَا غَيْرَ بَاذِلٍ لِقَطْعِهَا وَإِنَّمَا أَرَدْتُ بِإِخْرَاجِهَا التَّصَرُّفَ بِهَا سئلَ حِينَئِذٍ الْمُقْتَصُّ الْقَاطِعَ هَلْ عَلِمَ أَنَّهَا الْيُسْرَى أَوْ لَمْ يَعْلَمْ فَإِنْ قَالَ لَمْ أَعْلَمْ أَنَّهَا الْيُسْرَى وَظَنَنْتُهَا الْيُمْنَى فَقَطَعْتُهَا قِصَاصًا فَلَا قِصَاصَ عَلَى هَذَا الْمُقْتَصِّ فِي الْيُسْرَى وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قِصَاصًا فِي الْيُمْنَى لِأَنَّهَا شُبْهَةٌ تُدْرَأُ بِهَا الْحُدُودُ وَعَلَيْهِ دِيَتُهَا لِأَنَّهُ قَطَعَهَا خَطَأً بِغَيْرِ حَقٍّ وَهَلْ يَسْقُطُ بِذَلِكَ حَقُّهُ مِنْ قَطْعِ الْيُمْنَى أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seorang laki-laki yang wajib dikenakan qishāsh atas tangan kanannya, lalu ia mengulurkan tangan kirinya dan orang yang menuntut qishāsh memotongnya. Maka tidak boleh tangan kiri dijadikan qishāsh atas tangan kanan karena syarat kesamaan yang harus dipenuhi di dalamnya, sebagaimana tangan tidak bisa dijadikan qishāsh atas kaki, meskipun terjadi kerelaan di antara keduanya. Jika demikian, maka dimulai dengan pertanyaan: jika ia mengulurkan tangannya sebelum penuntut qishāsh (pemotong) meminta, apakah ia mengulurkan tangannya dengan maksud menyerahkan untuk dipotong atau tidak? Jika ia berkata, “Aku mengulurkannya bukan untuk dipotong, tetapi hanya ingin menggunakannya,” maka penuntut qishāsh (pemotong) ditanya: apakah ia tahu bahwa itu tangan kiri atau tidak? Jika ia berkata, “Aku tidak tahu bahwa itu tangan kiri, aku mengira itu tangan kanan, maka aku memotongnya sebagai qishāsh,” maka tidak ada qishāsh atas penuntut qishāsh dalam kasus tangan kiri ini, meskipun tidak terjadi qishāsh pada tangan kanan, karena ini adalah syubhat yang dapat menggugurkan hudūd. Namun, ia wajib membayar diyatnya karena ia telah memotongnya secara keliru tanpa hak. Apakah dengan demikian gugur haknya untuk menuntut pemotongan tangan kanan atau tidak, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا قَدْ سَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الاقْتِصَاصِ مِنْهَا لِاعْتِقَادِهِ اسْتِيفَاءَ قِصَاصِهِ فَعَلَى هَذَا يَرْجِعُ الْمُقْتَصُّ عَلَى مُخْرِجِ يَدِهِ الْيُمْنَى حَالَّةً فِي مَالِهِ لِأَنَّهَا دِيَةُ عَمْدٍ وَيَرْجِعُ مُخْرِجُ يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى عَاقِلَةِ الْمُقْتَصِّ لِأَنَّهَا دِيَةُ خَطَأٍ وَلَا يَكُونَا قِصَاصًا لِاخْتِلَافِ مَحَلِّهِمَا
Salah satu dari keduanya telah gugur haknya untuk melakukan qishāsh darinya karena ia meyakini telah terpenuhi qishāsh-nya. Maka, berdasarkan hal ini, orang yang melakukan qishāsh dapat menuntut orang yang memotong tangan kanannya secara tunai dari hartanya, karena itu merupakan diyat ‘amdan. Sedangkan orang yang memotong tangan kirinya dapat menuntut ‘āqilah dari orang yang melakukan qishāsh, karena itu merupakan diyat khathā’. Keduanya tidak dianggap sebagai qishāsh karena perbedaan tempatnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ حَقَّهُ فِي الِاقْتِصَاصِ مِنَ اليُمْنَى بَاقٍ لِبَقَائِهَا وَأَنَّ الْخَطَأَ بِغَيْرِهَا لَا يُزِيلُ الْحَقَّ مِنْهَا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِلْمُقْتَصِّ أَنْ يَقْطَعَ يَمِينَ الْجَانِي الْمُخْرِجِ لِيُسْرَاهُ إِذَا انْدَمَلَتِ الْيُسْرَى لأن لا يُوَالِيَ عَلَيْهِ بَيْنَ قَطْعَيْنِ فَيَسْرِيَ قَطْعُهُمَا إِلَى تَلَفِهِ وَهَذَا بِخِلَافِ مَا لَوِ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِ قَطْعُ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُوَالِيَ عَلَيْهِ فِي الِاقْتِصَاصِ مِنْهُمَا بَيْنَ قَطْعِهِمَا وَلَا يَنْتَظِرُ انْدِمَالَ أُولَاهُمَا لِأَنَّ قَطْعَهُمَا مُسْتَحَقٌّ فَلَمْ يُنْتَظَرْ بِهِ الِانْدِمَالُ وَفِي مَسْأَلَتِنَا الْأُولَى غَيْرُ مُسْتَحَقٍّ فَانْتُظِرَ انْدِمَالُهُ لِاسْتِيفَاءِ الْمُسْتَحَقِّ بَعْدَهُ فَإِذَا اقْتُصَّ مِنَ اليُمْنَى كَانَ عَلَى عَاقِلَتِهِ دِيَةُ يُسْرَى الْجَانِي
Pendapat kedua adalah bahwa hak untuk melakukan qishāsh pada tangan kanan masih tetap ada karena tangan kanan masih ada, dan kesalahan yang terjadi pada selainnya tidak menghilangkan hak tersebut. Maka, menurut pendapat ini, pihak yang berhak melakukan qishāsh boleh memotong tangan kanan pelaku yang telah kehilangan tangan kirinya, jika tangan kirinya sudah sembuh, agar tidak dilakukan pemotongan dua kali secara berurutan sehingga kedua tangannya rusak dan menyebabkan kematiannya. Hal ini berbeda dengan kasus jika pelaku memang berhak dipotong kedua tangannya, maka boleh dilakukan pemotongan kedua tangan secara berurutan dalam qishāsh tanpa harus menunggu sembuhnya tangan yang pertama, karena pemotongan keduanya memang menjadi hak, sehingga tidak perlu menunggu sembuh. Sedangkan dalam permasalahan kita yang pertama, pemotongan kedua tangan bukanlah hak, sehingga harus menunggu sembuhnya tangan yang pertama untuk menunaikan hak yang kedua setelahnya. Jika telah dilakukan qishāsh pada tangan kanan, maka keluarga pelaku wajib membayar diyat tangan kiri pelaku.
وَإِنْ قَالَ الْمُقْتَصُّ الْقَاطِعُ لِلْيُسْرَى عَلِمْتُ حِينَ قَطَعْتُهَا أَنَّهَا الْيُسْرَى
Dan jika pelaku qishāsh yang memotong tangan kiri berkata, “Aku mengetahui saat memotongnya bahwa itu adalah tangan kiri.”
قِيلَ عَلَيْكَ مِنْهَا الْقِصَاصُ لِأَنَّكَ أَخَذْتَهَا عَمْدًا بغير حق سواء علم تحريم قطع اليسرى باليمنى أَوْ جَهِلَ فَيُقْتَصُّ مِنْ يُسْرَاهُ بِيُسْرَى الْجَانِي فَأَمَّا حَقُّهُ فِي الِاقْتِصَاصِ مِنْ يَمِينِ الْجَانِي فَمُعْتَبَرٌ بِحَالِهِ فِي قَطْعِ الْيُسْرَى هَلْ قَصَدَ بقطعها القصاص من اليمنى أو لَمْ يَقْصِدْ بقطعها أن تكون قِصَاصًا بِالْيُمْنَى فإن لم يقصد قِصَاصًا بِالْيُمْنَى كَانَ عَلَى حَقِّهِ مِنَ الاقْتِصَاصِ مِنْ يَمِينِ الْجَانِي وَإِنْ قَصَدَ بِقَطْعِ الْيُسْرَى أَنْ يَكُونَ قِصَاصًا مِنَ اليُمْنَى فَفِي سُقُوطِ حَقِّهِ مِنَ الاقْتِصَاصِ مِنْهَا وَجْهَانِ
Dikatakan kepadamu bahwa atas perbuatan itu berlaku qishāsh, karena engkau telah melakukannya dengan sengaja tanpa hak, baik engkau mengetahui keharaman memotong tangan kiri sebagai ganti tangan kanan maupun tidak mengetahuinya. Maka dilakukan qishāsh pada tangan kirimu dengan tangan kiri pelaku. Adapun hakmu untuk melakukan qishāsh pada tangan kanan pelaku, maka hal itu tergantung pada keadaanmu ketika memotong tangan kiri: apakah engkau bermaksud dengan pemotongan itu sebagai qishāsh atas tangan kanan atau tidak bermaksud demikian. Jika tidak bermaksud sebagai qishāsh atas tangan kanan, maka engkau tetap berhak melakukan qishāsh pada tangan kanan pelaku. Namun jika engkau bermaksud dengan pemotongan tangan kiri itu sebagai qishāsh atas tangan kanan, maka dalam gugurnya hakmu untuk melakukan qishāsh atas tangan kanan terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا قَدْ سَقَطَ حَقُّهُ مِنْ قَطْعِ الْيُمْنَى قِصَاصًا لِاعْتِقَادِهِ اسْتِيفَاءَ بَدَلِهِ وَيَكُونُ لَهُ عَلَى الْجَانِي دِيَتُهَا
Salah satunya telah gugur haknya untuk dipotong tangan kanannya sebagai qishāsh karena diyakini telah menerima penggantiannya, dan ia berhak mendapatkan diyat atas tangan kanannya dari pelaku.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ عَلَى حَقِّهِ فِي الِاقْتِصَاصِ مِنَ اليُمْنَى لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَكُنِ الْيُسْرَى بَدَلًا عَنْهُمَا وَاسْتَوْفَى الْقِصَاصَ لَهَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَلَى حَقِّهِ مِنَ القِصَاصِ مِنَ اليُمْنَى
Pendapat kedua adalah bahwa ia tetap berhak melakukan qishāsh pada tangan kanan, karena ketika tangan kiri tidak menjadi pengganti bagi keduanya dan qishāsh untuk tangan kiri telah terpenuhi, maka wajib baginya untuk tetap memiliki hak qishāsh pada tangan kanan.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ قَالَ الْجَانِي الْمُخْرِجُ لِيُسْرَاهُ أَخْرَجْتُهَا بَاذِلًا لِقَطْعِهَا سُئِلَ عَنْ بَذْلِهَا هَلْ جَعَلْتَهُ بَدَلًا مِنَ اليُمْنَى أَوْ غَيْرَ بَدَلٍ فَإِنْ قَالَ لَمْ أَجْعَلْهُ بَدَلًا لِعِلْمِي بِأَنَّهُ لَا يُقْتَصُّ مِنْ يُسْرَى بِيُمْنَى قِيلَ فَقَطْعُ يَدِكَ هَدَرٌ لِإِبَاحَتِكَ لَهَا فَلَا قَوَدَ لَكَ فِيهَا وَلَا دِيَةَ وَيُعَزَّرُ قَاطِعُهَا زَجْرًا فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى مَعَ عِلْمِهِ بِالْحَظْرِ وَلَا يُعْذَرُ مَعَ جَهْلِهِ بِهِ ثُمَّ يُسْأَلُ قَاطِعُهَا هَلْ قَطَعَهَا قِصَاصًا أَوْ غَيْرَ قِصَاصٍ فَإِنْ قَالَ قَطَعْتُهَا غَيْرَ قِصَاصٍ كَانَ عَلَى حَقِّهِ فِي الِاقْتِصَاصِ مِنَ اليُمْنَى بَعْدَ انْدِمَالِ الْيُسْرَى وَإِنْ قَالَ قَطَعْتُهَا قِصَاصًا مِنَ اليُمْنَى قِيلَ لَهُ عَلِمْتَ أَنَّهَا الْيُسْرَى أَوْ لَمْ تَعْلَمْ فَإِنْ قَالَ عَلِمْتُ أَنَّهَا الْيُسْرَى صَارَ ذَلِكَ عَفْوًا مِنْهُ عَنْ قَطْعِ الْيُمْنَى فَسَقَطَ حَقُّهُ مِنَ الاقْتِصَاصِ مِنْهَا وَلَهُ دِيَتُهَا حَالَّةً فِي مَالِ الْجَانِي وَإِنْ قَالَ ظَنَنْتُهَا الْيُمْنَى وَلَمْ أَعْلَمْ أَنَّهَا الْيُسْرَى فَهَلْ يَسْقُطُ بِذَلِكَ حَقُّهُ مِنَ القِصَاصِ فِي الْيُمْنَى عَلَى مَا مَضَى مِنَ الوَجْهَيْنِ
Jika pelaku yang mengeluarkan tangan kirinya berkata, “Aku mengeluarkannya dengan sukarela untuk dipotong,” maka ia akan ditanya tentang penyerahan tangannya itu: “Apakah engkau menjadikannya sebagai pengganti dari tangan kanan atau bukan sebagai pengganti?” Jika ia menjawab, “Aku tidak menjadikannya sebagai pengganti karena aku tahu bahwa tidak boleh dilakukan qishāsh antara tangan kiri dengan tangan kanan,” maka dikatakan kepadanya, “Pemotongan tanganmu itu sia-sia karena engkau telah menghalalkannya, sehingga tidak ada qishāsh bagimu atasnya dan tidak ada diyat, dan orang yang memotongnya diberi ta‘zīr sebagai pencegahan demi hak Allah Ta‘ālā karena ia mengetahui adanya larangan, dan tidak diberi uzur jika ia tidak mengetahuinya.” Kemudian orang yang memotongnya ditanya, “Apakah engkau memotongnya sebagai qishāsh atau bukan sebagai qishāsh?” Jika ia berkata, “Aku memotongnya bukan sebagai qishāsh,” maka haknya untuk melakukan qishāsh atas tangan kanan tetap ada setelah tangan kiri sembuh. Jika ia berkata, “Aku memotongnya sebagai qishāsh dari tangan kanan,” maka ditanyakan kepadanya, “Apakah engkau tahu bahwa itu adalah tangan kiri atau tidak?” Jika ia menjawab, “Aku tahu bahwa itu adalah tangan kiri,” maka hal itu dianggap sebagai pengampunan darinya atas pemotongan tangan kanan, sehingga gugurlah haknya untuk melakukan qishāsh atasnya, dan ia berhak mendapatkan diyat yang harus segera dibayarkan dari harta pelaku. Jika ia berkata, “Aku mengira itu tangan kanan dan aku tidak tahu bahwa itu tangan kiri,” maka apakah dengan demikian gugur haknya untuk melakukan qishāsh atas tangan kanan, maka hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah lalu.
أَحَدُهُمَا لَا يَسْقُطُ وَلَهُ الِاقْتِصَاصُ مِنْهَا بَعْدَ انْدِمَالِ الْيُسْرَى
Salah satunya tidak gugur, dan ia berhak melakukan qishāsh terhadapnya setelah tangan kiri sembuh.
وَالثَّانِي يَسْقُطُ الْقِصَاصُ مِنْهَا وَيَرْجِعُ بِدِيَتِهَا وَإِنْ قَالَ الْمُخْرِجُ لِلْيُسْرَى أَخْرَجْتُهَا لِتَكُونَ بَدَلًا مِنَ اليُمْنَى سُئِلَ قَاطِعُهَا هَلْ قَطَعْتَهَا بَدَلًا مِنَ اليُمْنَى أَمْ لَا فَإِنْ قَالَ لَمْ أَقْطَعْهَا بَدَلًا كَانَ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي يُسْرَاهُ وَلَهُ الْقِصَاصُ فِي يُمْنَى الْجَانِي لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَسْقُطْ بِذَلِكَ حَقُّهُ مِنَ القِصَاصِ فِي الْيُمْنَى لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْقِصَاصُ فِي الْيُسْرَى وَلَمْ يَكُنْ بَذْلُ مُخْرِجِهَا مُسْقِطًا لقصاصه نها لِأَنَّهُ بَذَلَهَا لِتَكُونَ مُعَاوَضَةً بِالْيُمْنَى فَإِذَا لَمْ تكن عوضاً سقط حكم البذل وإن قال قطعتها بدلا لتكون قصاصاً من اليمنى سئل هل عَلِمْتَ أَنَّهَا الْيُسْرَى أَوْ لَمْ تَعْلَمْ فَإِنْ علم أنها اليسرى سقط قصاصه من اليمنى وَكَانَ عَلَيْهِ دِيَةُ الْيُسْرَى وَلَهُ دِيَةُ الْيُمْنَى فَيَتَقَاصَّانِ لِأَنَّهُمَا دِيَتَا عَمْدٍ فِي أَمْوَالِهِمَا فَإِنْ تَفَاضَلَتْ دِيَةُ أَيْدِيهِمَا لِكَوْنِ أَحَدِهِمَا رَجُلًا وَالْآخَرِ امْرَأَةً تَرَاجَعَا فَضْلَ الدِّيَةِ وَإِنْ ظَنَّهَا الْيُمْنَى وَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا الْيُسْرَى فَفِي سُقُوطِ الْقِصَاصِ ما قدمناه من الوجهين
Yang kedua, qishāsh gugur darinya dan ia berhak menuntut diyatnya. Jika orang yang mengeluarkan tangan kiri berkata, “Saya mengeluarkannya untuk menjadi pengganti tangan kanan,” maka penebasnya ditanya, “Apakah kamu memotongnya sebagai pengganti tangan kanan atau tidak?” Jika ia menjawab, “Saya tidak memotongnya sebagai pengganti,” maka atasnya berlaku qishāsh pada tangan kirinya, dan ia berhak menuntut qishāsh pada tangan kanan pelaku, karena ketika haknya atas qishāsh pada tangan kanan tidak gugur dengan hal itu, maka qishāsh pada tangan kirinya pun tidak gugur darinya. Penyerahan tangan oleh orang yang mengeluarkannya juga tidak menggugurkan hak qishāsh-nya, karena ia menyerahkannya untuk menjadi pengganti tangan kanan. Jika ternyata tidak menjadi pengganti, maka hukum penyerahan itu gugur. Jika ia berkata, “Saya memotongnya sebagai pengganti, agar menjadi qishāsh dari tangan kanan,” maka ia ditanya, “Apakah kamu tahu bahwa itu tangan kiri atau tidak?” Jika ia tahu bahwa itu tangan kiri, maka qishāsh-nya atas tangan kanan gugur, dan ia wajib membayar diyat tangan kiri, sedangkan ia berhak atas diyat tangan kanan, sehingga keduanya saling mengimbangi, karena keduanya adalah diyat ‘amd (sengaja) dari harta masing-masing. Jika diyat tangan mereka berbeda karena salah satunya laki-laki dan yang lain perempuan, maka kelebihan diyat dikembalikan. Jika ia mengira itu tangan kanan dan tidak tahu bahwa itu tangan kiri, maka dalam hal gugurnya qishāsh terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ فِي سَرِقَةٍ لَمْ يُقْطَعْ يَمِينُهُ وَلَا يُشْبِهُ الْحَدُّ حُقُوقَ الْعِبَادِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seandainya hal itu terjadi dalam kasus pencurian, maka tangan kanannya tidak dipotong, dan hukuman ḥadd tidak serupa dengan hak-hak para hamba.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا أَنْ يُسْتَحَقَّ قَطْعُ يَمِينِ السَّارِقِ فَيُخْرِجُ يُسْرَاهُ فَتُقْطَعُ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي موضع القديم القياس أن تقطع يمناه والاستحان إلا تقطع فصار قوله في القديم لم يلزم من تقديم عَلَى الِاسْتِحْسَانِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُؤْخَذَ يُسْرَى السَّارِقِ بِيُمْنَاهُ كَالْقِصَاصِ وَتقطعُ الْيُمْنَى بَعْدَ قَطْعِ الْيُسْرَى إِذَا انْدَمَلَتْ فَعَلَى هَذَا إِذَا أَخْرَجَهَا السَّارِقُ مُبِيحًا لَهَا لَا قِصَاصَ فِيهَا وَلَهَا دِيَةٌ وَإِنْ أَخْرَجَهَا لِتُقْطَعَ فِي السَّرِقَةِ بَدَلًا مِنْ يُمْنَاهُ فَلْيُسْتَقَدْ بِهَا مِنْهُ
Al-Mawardi berkata, “Kejadiannya adalah ketika seseorang berhak dipotong tangan kanannya karena mencuri, lalu ia mengeluarkan tangan kirinya sehingga yang dipotong adalah tangan kirinya. Imam Syafi’i dalam pendapat lama mengatakan bahwa menurut qiyās yang seharusnya dipotong adalah tangan kanannya, dan menurut istihsān tidak dipotong. Maka, pendapat beliau dalam pendapat lama tidak mesti didahulukan atas istihsān, karena tidak boleh mengambil tangan kiri pencuri dengan tangan kanannya sebagaimana dalam kasus qishāsh, dan tangan kanannya dipotong setelah tangan kirinya jika sudah sembuh. Berdasarkan hal ini, jika pencuri mengeluarkan tangan kirinya untuk dihalalkan (dipotong) maka tidak ada qishāsh atasnya, tetapi ada diyat (denda) baginya. Namun, jika ia mengeluarkan tangan kirinya untuk dipotong dalam kasus pencurian sebagai pengganti tangan kanannya, maka hendaknya diambil qishāsh darinya.”
وَإِنْ عَمَدَ الْجَلَّادُ قَطْعَ الْيُسْرَى وَعَلِمَ بِهَا اقْتُصَّ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلَا قِصَاصَ عَلَيْهِ وَفِي وُجُوبِ الدِّيَةِ وَجْهَانِ
Jika algojo sengaja memotong tangan kiri dan ia mengetahui hal itu, maka ia harus dikenai qishāsh. Namun jika ia tidak mengetahuinya, maka tidak ada qishāsh atasnya. Adapun mengenai kewajiban membayar diyat, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَجِبُ عَلَيْهِ دِيَةٌ لِلسَّيِّدِ لِأَنَّ مَا وَجَبَ فِي الْقَوَدِ فِي عَمْدِهِ وَجَبَتِ الدِّيَةُ فِي خَطَئِهِ وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا دِيَةَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ فِي الْخَطَأِ مُتَسَلِّطٌ وَفِي الْعَمْدِ مَمْنُوعٌ هَذَا مَا يَقْتَضِيهِ مَذْهَبُهُ فِي الْقَدِيمِ
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia wajib membayar diyat kepada tuan, karena apa yang diwajibkan qishāsh pada pembunuhan sengaja, maka diwajibkan diyat pada pembunuhan tidak sengaja. Pendapat kedua menyatakan tidak ada diyat atasnya, karena dalam kasus tidak sengaja ia memiliki otoritas, sedangkan dalam kasus sengaja ia dilarang. Inilah yang ditunjukkan oleh mazhabnya dalam pendapat lama.
فَأَمَّا قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ فَلَمْ يَخْتَلِفْ أَنَّ أَخْذَ الْيُسْرَى فِي السَّرِقَةِ مُجْزِئٌ عَنْ قَطْعِ الْيُمْنَى وَإِنْ لَمْ يَجُزْ فِي الْقِصَاصِ
Adapun pendapat beliau dalam kitab al-Jadid, tidak terdapat perbedaan pendapat bahwa memotong tangan kiri dalam kasus pencurian sudah mencukupi sebagai pengganti pemotongan tangan kanan, meskipun hal itu tidak diperbolehkan dalam kasus qishāsh.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ
Perbedaan antara keduanya terdapat pada tiga aspek.
أَحَدُهَا إِنَّ حُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى مَوْضُوعَةٌ عَلَى الْمُسَاهَلَةِ وَالْمُسَامَحَةِ وَحُقُوقَ الْعِبَادِ مَوْضُوعَةٌ عَلَى الِاسْتِقْصَاءِ وَالْمُشَاحَّةِ
Salah satunya adalah bahwa hak-hak Allah Ta‘ala didasarkan pada kemudahan dan keringanan, sedangkan hak-hak manusia didasarkan pada ketelitian dan kehati-hatian.
وَالثَّانِي أَنَّ قَطْعَ الْيُمْنَى فِي السَّرِقَةِ يَسْقُطُ بِذَهَابِهَا إِذَا تَآكَلَتْ وَلَا يَسْقُطُ حُكْمُ الْجِنَايَةِ بِذَهَابِهَا فِي الْقِصَاصِ إِذَا تَآكَلَتْ
Yang kedua, bahwa pemotongan tangan kanan dalam kasus pencurian gugur apabila tangan tersebut telah hilang karena membusuk, sedangkan hukuman jināyah tidak gugur karena hilangnya anggota tubuh tersebut dalam kasus qiṣāṣ apabila anggota itu telah membusuk.
وَالثَّالِثُ أَنَّ يُسْرَى السَّارِقِ تُقْطَعُ إِذَا عَدِمَ الْيُمْنَى وَلَا تُقْطَعُ يُسْرَى السَّارِقِ بِجَانِي إِذَا عَدِمَ الْيُمْنَى فَلِهَذِهِ الْمَعَانِي الثَّلَاثَةِ افْتَرَقَا
Dan yang ketiga, tangan kiri pencuri dipotong jika tangan kanannya tidak ada, dan tidak dipotong tangan kiri pelaku kejahatan jika tangan kanannya tidak ada. Maka karena tiga alasan ini, keduanya berbeda.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَالَ الْجَانِي مَاتَ مِنْ قَطْعِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَقَالَ الْوَلِيُّ مَاتَ مِنْ غَيْرِهِمَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika pelaku kejahatan berkata, “Korban meninggal karena dipotong kedua tangan dan kakinya,” sedangkan wali korban berkata, “Korban meninggal bukan karena keduanya,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan wali.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ قَطَعَ يَدَيْ رَجُلٍ وَرِجْلَيْهِ ثُمَّ مَاتَ الْمَجْنِيُّ عليه فلا يخلو موته من خمسة أحوال
Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada seorang laki-laki yang memotong kedua tangan dan kedua kaki seorang laki-laki lain, kemudian orang yang menjadi korban tersebut meninggal dunia. Maka kematiannya tidak lepas dari lima keadaan.
أحدها أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ انْدِمَالِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ فَيَكُونُ الْجَانِي قَاطِعًا وَلَيْسَ بِقَاتِلٍ فَيَلْزَمُهُ إِنْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ فِي يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ دِيَتَانِ إِحْدَاهُمَا فِي الْيَدَيْنِ وَالْأُخْرَى فِي الرِّجْلَيْنِ
Pertama, jika korban meninggal setelah tangan dan kakinya sembuh, maka pelaku dianggap sebagai pemotong (anggota badan) dan bukan sebagai pembunuh. Maka, jika korban memaafkan pelaku dari qishāsh atas tangan dan kakinya, pelaku wajib membayar dua diyat: satu untuk tangan dan satu lagi untuk kaki.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ انْدِمَالِهِمَا فَيَصِيرُ الْجَانِي قَاتِلًا يُقْتَصُّ مِنْ نَفْسِهِ بَعْدَ الِاقْتِصَاصِ مِنَ اليَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ فَإِنْ عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ كَانَتْ عَلَيْهِ دِيَةٌ وَاحِدَةٌ لِأَنَّ دِيَاتِ الْأَطْرَافِ تَدْخُلُ فِي دِيَاتِ النَّفْسِ إِذَا سَرَتِ الْجِنَايَةُ إِلَيْهَا
Keadaan kedua adalah apabila korban meninggal sebelum lukanya sembuh, maka pelaku menjadi pembunuh dan dikenakan qishāsh atas dirinya setelah dilakukan qishāsh pada kedua tangan dan kedua kakinya. Jika dimaafkan dari qishāsh, maka atasnya dikenakan satu diyat, karena diyat anggota tubuh masuk ke dalam diyat jiwa apabila kejahatan itu merambat kepadanya.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ انْدِمَالِ أَحَدِهِمَا وَبَقَاءِ الْأُخْرَى كَمَوْتِهِ بَعْدَ انْدِمَالِ يَدَيْهِ وَبَقَاءِ رِجْلَيْهِ فَيَصِيرُ الْجَانِي قَاتِلًا بِسِرَايَةِ الرِّجْلَيْنِ قَاطِعًا بِانْدِمَالِ الْيَدَيْنِ وَتَلْزَمُهُ دِيَتَانِ إِحْدَاهُمَا فِي النَّفْسِ لِسِرَايَةِ الرِّجْلَيْنِ إِلَيْهِمَا وَالْأُخْرَى فِي الْيَدَيْنِ لِاسْتِقْرَارِ دِيَتِهَا بِانْدِمَالِهِمَا لِأَنَّهَا تَدْخُلُ فِي دِيَةِ النَّفْسِ مَا لَمْ تَنْدَمِلْ وَلَا تَدْخُلُ فِيهَا إِذَا انْدَمَلَتْ
Keadaan ketiga adalah apabila seseorang meninggal setelah salah satu dari dua anggota tubuhnya sembuh dan yang lainnya masih ada, seperti kematian setelah kedua tangannya sembuh dan kedua kakinya masih ada. Maka pelaku menjadi pembunuh karena pengaruh (sirāyah) dari kedua kakinya, dan menjadi pemotong karena sembuhnya kedua tangannya. Ia wajib membayar dua diyat: salah satunya untuk jiwa karena pengaruh kedua kakinya terhadap kematian, dan yang lainnya untuk kedua tangan karena diyatnya telah tetap dengan sembuhnya kedua tangan tersebut. Sebab, diyat kedua tangan masuk ke dalam diyat jiwa selama belum sembuh, dan tidak masuk ke dalamnya jika sudah sembuh.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ أَنْ يَخْتَلِفَا فَيَدَّعِي الْوَلِيُّ أَنَّهُ مَاتَ بَعْدَ انْدِمَالِهِمَا فَاسْتَحَقَّ عَلَى الْجَانِي دِيَتَيْنِ وَادَّعَى الْجَانِي أَنَّهُ مَاتَ قَبْلَ انْدِمَالِهِمَا لِيَلْتَزِمَ دِيَةً وَاحِدَةً فَالْوَاجِبُ مَعَ هَذَا الِاخْتِلَافِ أَنْ يُعْتَبَرَ الزَّمَانُ الَّذِي بَيْنَ الْجِنَايَةِ وَالْمَوْتِ فَإِنِ اتَّسَعَ لِلِانْدِمَالِ كَالشَّهْرِ فَمَا زَادَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ لَقَدْ مَاتَ بَعْدَ انْدِمَالِ الْجِنَايَةِ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَحَقَّ بِابْتِدَاءِ الْجِنَايَةِ دِيَتَيْنِ وَمَا ادَّعَاهُ مِنَ الانْدِمَالِ مُحْتَمَلٌ فَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَى الْجَانِي فِي إِسْقَاطِ أَحَدِهِمَا إِلَّا أَنْ يُقِيمَ بَيِّنَةً أَنَّ الْمَقْطُوعَ لَمْ يَزَلْ مَرِيضًا حَتَّى مَاتَ مِنَ الجِنَايَةِ فَيُحْكَمُ بِهَا وَلَا يَلْزَمُهُ إِلَّا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ وَإِنْ ضَاقَ الزَّمَانُ عَنِ الِانْدِمَالِ كَمَوْتِهِ بَعْدَ يَوْمٍ أَوْ أُسْبُوعٍ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْجَانِي لِأَنَّ مَا ادَّعَاهُ الْوَلِيُّ مُخَالِفٌ لِلظَّاهِرِ وَيَحْلِفُ الْجَانِي وَإِنْ كَانَ الظَّاهِرُ مَعَهُ لِجَوَازِ أَنْ يَمُوتَ الْمَقْطُوعُ مَخْنُوقًا أَوْ مَسْمُومًا فَإِنِ ادَّعَى الْوَلِيُّ مَعَ ضِيقِ الزمان عن الاندمال أن المقطوع مات موجا بِذَبْحٍ أَوْ سُمٍّ أَوْ خَنْقٍ صَارَ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ظَاهِرٌ يُوجِبُ الْعَمَلَ عَلَيْهِ فَيَكُونُ عَلَى وَجْهَيْنِ
Keadaan keempat adalah apabila keduanya berselisih: wali korban mengklaim bahwa korban meninggal setelah lukanya sembuh sehingga ia berhak atas dua diyat dari pelaku, sedangkan pelaku mengklaim bahwa korban meninggal sebelum lukanya sembuh agar ia hanya wajib membayar satu diyat. Dalam kondisi perselisihan ini, yang harus dilakukan adalah mempertimbangkan waktu antara terjadinya tindak pidana dan kematian. Jika waktu tersebut cukup untuk proses penyembuhan, seperti satu bulan atau lebih, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat wali korban dengan sumpahnya atas nama Allah bahwa korban benar-benar meninggal setelah luka akibat tindak pidana itu sembuh, karena sejak awal tindak pidana ia telah berhak atas dua diyat, dan klaim pelaku tentang terjadinya penyembuhan masih mungkin terjadi sehingga klaim pelaku untuk menggugurkan salah satu diyat tidak diterima kecuali ia dapat menghadirkan bukti bahwa anggota tubuh yang terpotong itu terus-menerus sakit hingga korban meninggal akibat tindak pidana tersebut, maka diputuskan sesuai hal itu dan pelaku hanya wajib membayar satu diyat. Namun, jika waktu tersebut tidak cukup untuk proses penyembuhan, seperti kematian korban setelah satu hari atau satu minggu, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pelaku, karena klaim wali korban bertentangan dengan kenyataan yang tampak, dan pelaku harus bersumpah, meskipun kenyataan yang tampak mendukungnya, karena bisa saja korban yang terpotong itu meninggal karena dicekik atau diracun. Jika wali korban mengklaim, dalam waktu yang tidak cukup untuk penyembuhan, bahwa korban meninggal karena luka, disembelih, diracun, atau dicekik, maka masing-masing dari keduanya memiliki kenyataan yang tampak yang mengharuskan untuk dipertimbangkan, sehingga kasus ini memiliki dua kemungkinan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ وَهُوَ الْأَظْهَرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَحَقَّ فِي الظَّاهِرِ بِابْتِدَاءِ الْجِنَايَةِ دِيَتَيْنِ وَمَا ادَّعَاهُ مِنْ حُدُوثِ التَّوْجِيَةِ مُحْتَمَلٌ
Salah satu pendapat adalah bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan wali dengan sumpahnya, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Syafi‘i, karena secara lahiriah ia telah berhak atas dua diyat sejak awal terjadinya tindak pidana, sedangkan apa yang diklaimnya berupa terjadinya perubahan masih bersifat kemungkinan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مَوْتُهُ مِنَ الجِنَايَةِ وَمَا ادَّعَاهُ الْوَلِيُّ مِنْ حُدُوثِ التَّوْجِيَةِ غَيْرُ مَعْلُومٍ فَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فَعَلَى هَذَا لَوِ اخْتَلَفَا فِي اتِّسَاعِ الزَّمَانِ وَضِيقِهِ فَقَالَ الْوَلِيُّ اتَّسَعَ الزَّمَانُ لِلِانْدِمَالِ فَالْقَوْلُ قَوْلِي فِي اسْتِحْقَاقِ الدِّيَتَيْنِ وَقَالَ الْجَانِي ضَاقَ الزَّمَانُ عَنِ الِانْدِمَالِ فَالْقَوْلُ قَوْلِي فِي أَنْ لَا تَلْزَمَنِي إِلَّا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ دُونَ الْوَلِيِّ وَلَا يَلْزَمُهُ إِلَّا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ لِأَمْرَيْنِ
Pendapat kedua adalah bahwa pernyataan pelaku (jānī) diterima dengan sumpahnya, karena yang tampak adalah kematian korban disebabkan oleh tindak pidana, sedangkan apa yang diklaim oleh wali berupa terjadinya penyebab baru tidak dapat dipastikan, sehingga klaimnya tidak diterima. Berdasarkan hal ini, jika keduanya berselisih tentang lamanya waktu yang cukup atau tidak cukup untuk sembuh, lalu wali berkata, “Waktunya cukup untuk sembuh, maka aku berhak atas dua diyat,” dan pelaku berkata, “Waktunya tidak cukup untuk sembuh, maka aku hanya wajib membayar satu diyat,” maka yang diterima adalah pernyataan pelaku dengan sumpahnya, bukan wali, dan ia hanya diwajibkan membayar satu diyat saja karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْأَصْلَ قُرْبُ الزَّمَانِ حَتَّى يُعْلَمَ بُعْدُهُ
Salah satunya adalah bahwa pada dasarnya waktu itu dianggap dekat sampai diketahui jauhnya.
وَالثَّانِي أَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْجِنَايَةِ حَتَّى يُعْلَمَ انْدِمَالُهَا
Yang kedua, bahwa hukum asalnya adalah tetapnya jināyah sampai diketahui telah sembuhnya.
وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ أَنْ يَخْتَلِفَا فَيَدَّعِي الْوَلِيُّ أَنَّهُ مَاتَ مِنَ الجِنَايَةِ فَاسْتَحَقَّ الْقِصَاصَ فِي النَّفْسِ وَيَدَّعِي الْجَانِي أَنَّهُ مَاتَ مِنْ غَيْرِ الْجِنَايَةِ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي النَّفْسِ فَإِنْ ضَاقَ الزَّمَانُ عَنِ الِانْدِمَالِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مَعَهُ فَإِنِ اتَّسَعَ الزَّمَانُ لِلِانْدِمَالِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنْ لَا قِصَاصَ عَلَيْهِ فِي النَّفْسِ
Keadaan kelima adalah ketika terjadi perbedaan pendapat, yaitu wali korban mengklaim bahwa korban meninggal karena tindak pidana sehingga pelaku berhak dikenai qishāsh jiwa, sedangkan pelaku mengklaim bahwa korban meninggal bukan karena tindak pidana sehingga tidak ada qishāsh jiwa atasnya. Jika waktu yang tersedia tidak cukup untuk proses penyembuhan, maka pernyataan wali korban diterima dengan sumpahnya, karena bukti lahiriah mendukungnya. Namun, jika waktu yang tersedia cukup untuk proses penyembuhan, maka pernyataan pelaku diterima dengan sumpahnya, karena pada dasarnya tidak ada qishāsh jiwa atasnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَلَوْ كَانَتِ الْمَسْأَلَةُ بِضِدِّ الْمَسْطُورِ وَكَانَتِ الْجِنَايَةُ مُوضِحَةً تُوجِبُ خَمْسًا مِنَ الإِبِلِ وَمَاتَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ وَاخْتَلَفَ الْوَلِيُّ وَالْجَانِي فَقَالَ الْوَلِيُّ مَاتَ مِنْ جِنَايَتِكَ فَعَلَيْكَ دِيَةُ النَّفْسِ أَوِ الْقِصَاصُ فِيهَا وَقَالَ الْجَانِي بَلْ مَاتَ مِنْ غَيْرِ جِنَايَتِي فَلَيْسَ عَلَيَّ إِلَّا دِيَةُ الْمُوضِحَةِ فَإِنْ ضَاقَ الزَّمَانُ عَنِ الِانْدِمَالِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ وَلَهُ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ أَوِ الدِّيَةُ كَامِلَةً لِأَنَّ الظَّاهِرَ مَعَهُ وَإِنِ اتَّسَعَ الزَّمَانُ لِلِانْدِمَالِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْجَانِي لِأَنَّ الظَّاهِرَ مَعَهُ فِي أَنْ لَمْ يَجِبْ بِالْجِنَايَةِ إِلَّا دِيَةُ مُوضِحَةٍ وَأَنَّ النَّفْسَ لَا قِصَاصَ فِيهَا فَصَارَ الْجَوَابُ بِضِدِّ مَا تَقَدَّمَ لِأَنَّهَا بضده والله أعلم
Jika kasusnya berlawanan dengan yang telah disebutkan, yaitu jika luka yang terjadi adalah luka muḍīḥah yang mewajibkan pembayaran lima ekor unta, lalu korban meninggal dunia, dan wali serta pelaku berselisih pendapat—wali berkata, “Ia meninggal karena perbuatanmu, maka atasmu diyat jiwa atau qishāsh atasnya,” sedangkan pelaku berkata, “Bahkan ia meninggal bukan karena perbuatanku, maka aku hanya wajib membayar diyat muḍīḥah”—maka jika waktu yang tersedia tidak cukup untuk sembuh, perkataan wali yang diterima dengan sumpahnya, dan ia berhak menuntut qishāsh atas jiwa atau diyat secara penuh, karena bukti lahiriah berpihak kepadanya. Namun jika waktu yang tersedia cukup untuk sembuh, maka perkataan pelaku yang diterima, karena bukti lahiriah berpihak kepadanya bahwa yang wajib atas perbuatannya hanyalah diyat muḍīḥah dan tidak ada qishāsh atas jiwa. Maka jawabannya menjadi kebalikan dari yang telah disebutkan sebelumnya, karena memang demikian keadaannya. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَيُحْضِرُ الْإِمَامُ الْقِصَاصَ عَدْلَيْنِ عَاقِلَيْنِ حَتَّى لَا يُقَادَ إِلَّا بِحَدِيدَةٍ حَادَّةٍ مُسْقَاةٍ وَيَتَفَقَّدَ حَدِيدَهُ لِئَلَّا يُسَمَّ فَيُقْتَلَ مِنْ حَيْثُ قُطِعَ بِأَيْسَرَ مَا يَكُونُ بِهِ الْقَطْعُ
Imam asy-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Hendaknya imam menghadirkan dua orang saksi yang adil dan berakal dalam pelaksanaan qishāsh, agar pelaksanaan qishāsh tidak dilakukan kecuali dengan besi yang tajam dan telah diasah. Imam juga harus memeriksa alat besinya agar tidak berkarat, sehingga orang yang dihukum tidak terbunuh kecuali pada bagian yang dipotong, dan dengan cara yang paling mudah untuk memotong.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَإِنَّمَا اخْتَارَ الشَّافِعِيُّ أَنْ يُحْضِرَ الْقِصَاصَ عَدْلَيْنِ شَاهِدَيْنِ لِيَشْهَدَا بِاسْتِيفَائِهِ إِنِ اسْتُوفِيَ وَبِالتَّعَدِّي فِيهِ إِنْ تُعُدِّيَ فَإِنْ قِيلَ فَمَا مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ عَدْلَيْنِ عَاقِلَيْنِ وَالْعَدْلُ لَا يَكُونُ إِلَّا عَاقِلًا فمنه ثلاثة أجوبة
Al-Mawardi berkata, “Sesungguhnya asy-Syafi‘i memilih untuk menghadirkan dua orang saksi yang adil dalam pelaksanaan qishash, agar keduanya dapat memberikan kesaksian atas pelaksanaan qishash jika memang telah dilaksanakan, dan atas adanya pelampauan batas jika memang terjadi pelampauan. Jika ada yang bertanya, ‘Apa maksud perkataan asy-Syafi‘i: dua orang yang adil dan berakal, padahal seseorang yang adil itu pasti berakal?’ Maka terdapat tiga jawaban mengenai hal itu.”
أحدهما أَنَّهُ قَالَهُ عَلَى طَرِيقِ التَّأْكِيدِ كَمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَخَرَّ عَلَيْهِمُ السَّقْفُ مِنْ فَوْقِهِمْ النحل 26 وَ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ آل عمران 167
Salah satunya adalah bahwa ia mengatakannya sebagai bentuk penegasan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Maka atap itu roboh menimpa mereka dari atas mereka” (an-Nahl: 26), dan firman-Nya: “Mereka mengatakannya dengan mulut mereka” (Ali ‘Imran: 167).
وَالثَّانِي أَنَّهُ أَرَادَ بِالْعَقْلِ ثَبَاتَ النَّفْسِ وَسُكُونَ الْجَأْشِ عِنْدَ مُشَاهَدَةِ الْقِصَاصِ وَلَيْسَ كُلُّ عَدْلٍ يَمْكُنُ جَأْشُهُ عِنْدَ مُشَاهَدَةِ الْقَتْلِ وَالْقَطْعِ قَالَهُ أَبُو الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيُّ
Kedua, bahwa yang dimaksud dengan ‘akal’ adalah keteguhan jiwa dan ketenangan hati ketika menyaksikan pelaksanaan qishāsh, dan tidak setiap orang yang adil dapat tetap tenang hatinya ketika menyaksikan pembunuhan dan pemotongan. Hal ini dikatakan oleh Abu al-Qāsim al-Shaymarī.
وَالثَّالِثُ أَنَّهُ أَرَادَ بِالْعَقْلِ الْفِطْنَةَ وَالتَّيَقُّظَ لِيَفْطِنَ بِمَا يَجْرِي مِنِ اسْتِيفَائِهِ مِنْ حَقٍّ أَوْ تَعَدٍّ إِذْ لَيْسَ كُلُّ عَدْلٍ يَفْطِنُ لِذَلِكَ قَالَهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ فَإِنْ غَابَ الشَّاهِدَانِ عَنِ اسْتِيفَاءِ الْقِصَاصِ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ وَكَانَ الْمُسِيءُ هُوَ الْحَاكِمَ بِالْقِصَاصِ دُونَ الْمُسْتَوْفِي لَهُ فَأَمَّا صِفَةُ مَا يُسْتَوْفَى بِهِ الْقِصَاصُ مِنَ الحَدِيدِ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ حَكَمَ بِاسْتِيفَائِهِ مِنْ سُلْطَانٍ أَوْ قَاضٍ أَنْ يَتَفَقَّدَهُ حَتَّى لَا يَكُونَ مَثْلُومًا كَالًّا وَلَا مَسْمُومًا لِأَنَّ الْكَالَّ يُعَذِّبُ الْمُقْتَصَّ مِنْهُ وَالْمَسْمُومَ يَهْرِي لَحْمَهُ فَإِنِ اقْتَصَّ بِكَالٍّ مَثْلُومٍ لَمْ يُعَزَّرْ وَإِنِ اقْتَصَّ بِمَسْمُومٍ فَإِنْ كَانَ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ فَقَدِ اسْتَوْفَى وَلَا غُرْمَ فِي السُّمِّ لَكِنْ يُعَزَّرُ الْمُقْتَصُّ أَدَبًا كَمَا لَوْ قَطَعَ الْمُقْتَصُّ مِنْهُ بَعْدَ قَتْلِهِ قِطَعًا وَإِنْ كَانَ فِي طَرَفٍ فَأَفْضَى السُّمُّ إِلَى تَلَفِهِ وَصَارَ التَّلَفُ حَادِثًا عَنِ الْقِصَاصِ الَّذِي لَا يُضْمَنُ وَعَنِ السُّمِّ الَّذِي يُضْمَنُ فَيَلْزَمُ نِصْفُ الدِّيَةِ لحدوث لتلف عَنْ مُبَاحٍ وَمَحْظُورٍ كَمَنْ جَرَحَ مُرْتَدًّا ثُمَّ أَسْلَمَ وَجَرَحَهُ بَعْدَ إِسْلَامِهِ أُخْرَى ثُمَّ مَاتَ ضَمِنَ نِصْفَ دِيَتِهِ لِتَلَفِهِ عَنْ سَبَبَيْنِ أَحَدُهُمَا مباح والآخر محظور
Ketiga, maksud dari ‘akal’ di sini adalah kecerdasan dan kewaspadaan, agar ia dapat memahami apa yang terjadi dalam pelaksanaan qishāsh, baik berupa pemenuhan hak atau pelanggaran, karena tidak setiap orang yang adil mampu memahami hal itu. Demikian dikatakan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini. Jika dua saksi tidak hadir saat pelaksanaan qishāsh, hal itu tidak berpengaruh, dan yang melakukan kesalahan adalah hakim yang memutuskan qishāsh, bukan pelaksana qishāsh. Adapun sifat alat besi yang digunakan untuk pelaksanaan qishāsh, telah kami sebutkan bahwa sebaiknya orang yang memutuskan pelaksanaan qishāsh, baik itu penguasa atau qādī, memeriksa alat tersebut agar tidak tumpul, rusak, atau beracun. Sebab, alat yang tumpul akan menyiksa orang yang dikenai qishāsh, dan alat yang beracun akan merusak dagingnya. Jika qishāsh dilakukan dengan alat tumpul atau rusak, maka tidak dikenakan ta‘zīr. Namun jika qishāsh dilakukan dengan alat beracun, apabila qishāsh itu pada jiwa (menghilangkan nyawa), maka qishāsh telah terpenuhi dan tidak ada kewajiban ganti rugi atas racunnya, tetapi pelaksana qishāsh tetap dikenai ta‘zīr sebagai bentuk pendidikan, sebagaimana jika pelaksana qishāsh memotong bagian tubuh orang yang dikenai qishāsh setelah ia dibunuh. Namun jika qishāsh dilakukan pada anggota tubuh, lalu racun itu menyebabkan kerusakan hingga anggota tubuh itu rusak, maka kerusakan itu terjadi karena qishāsh yang tidak menimbulkan tanggungan ganti rugi dan karena racun yang menimbulkan tanggungan ganti rugi, sehingga wajib membayar setengah diyat karena kerusakan yang terjadi akibat sebab yang mubah dan yang terlarang, seperti seseorang yang melukai seorang murtad lalu ia masuk Islam, kemudian ia melukainya lagi setelah masuk Islam, lalu orang itu meninggal, maka ia wajib membayar setengah diyat karena kematian itu disebabkan oleh dua sebab, salah satunya mubah dan yang lainnya terlarang.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَيُرْزَقُ مَنْ يُقِيمُ الْحُدُودَ وَيَأْخُذُ الْقِصَاصَ مِنْ سَهْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنَ الخُمُسِ كَمَا يُرْزَقُ الْحُكَّامُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَعَلَى الْمُقْتَصِّ مِنْهُ الْأَجْرُ كَمَا عَلَيْهِ أَجْرُ الْكَيَّالِ وَالْوَزَّانِ فِيمَا يَلْزَمُهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Orang yang menegakkan hudūd dan melaksanakan qishāṣ diberi nafkah dari bagian Nabi ﷺ dari khumus, sebagaimana para hakim diberi nafkah. Jika ia tidak melakukannya, maka orang yang melaksanakan qishāṣ berhak mendapatkan upah, sebagaimana ia berhak atas upah tukang takar dan penimbang dalam hal yang menjadi kewajibannya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَنْدُبَ لِاسْتِيفَاءِ الْحُدُودِ وَالْقِصَاصِ رَجُلًا أَمِينًا يُرْزَقُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ إِنْ لَمْ يَجِدْ مُتَطَوِّعًا لِأَنَّهُ مِنَ المَصَالِحِ الْعَامَّةِ وَيَكُونُ مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ وَهُوَ خُمْسِ الْخُمْسِ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنَ الفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ الْمُعَدِّ بَعْدَهُ لِلْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ فَإِذَا اسْتَوْفَى الْجَلَّادُ الْقِصَاصَ أُعْطِيَ أُجْرَتَهُ مِنْهُ فَإِنْ أَعْوَزَ بَيْتُ الْمَالِ أَوْ كَانَ فِيهِ وَلَزِمَ صَرْفُهُ فِيمَا هُوَ أَوْلَى مِنْهُ مِنْ سَدِّ الثُّغُورِ وَفِي أَرْزَاقِ الْجُيُوشِ مِنْهُ كَانَتْ عَلَى الْمُقْتَصِّ مِنْهُ أُجْرَتُهُ دُونَ الْمُقْتَصِّ لَهُ
Al-Mawardi berkata, sebaiknya imam menunjuk seorang laki-laki yang terpercaya untuk melaksanakan hudud dan qishash, yang diberi gaji dari Baitul Mal jika tidak ditemukan sukarelawan, karena hal itu termasuk kemaslahatan umum. Gaji tersebut diambil dari harta kemaslahatan, yaitu seperlima dari seperlima bagian Rasulullah saw. dari fai’ dan ghanimah yang setelah beliau wafat dialokasikan untuk kemaslahatan umum. Maka jika algojo telah melaksanakan qishash, ia diberikan upah dari harta tersebut. Namun jika Baitul Mal kekurangan dana atau dana yang ada harus digunakan untuk hal yang lebih utama seperti menjaga perbatasan dan gaji pasukan, maka upah algojo dibebankan kepada pihak yang menuntut qishash, bukan kepada pihak yang dikenai qishash.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ أُجْرَتُهُ عَلَى الْمُقْتَصِّ لَهُ دُونَ الْمُقْتَصِّ مِنْهُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ حَقَّهُ مُتَعَيِّنٌ وَإِنَّمَا يُحْتَاجُ إِلَى الْفَصْلِ بَيْنَ حَقِّهِ مِنْ حَقِّ غَيْرِهِ فَكَانَتْ أُجْرَةُ الْفَاضِلِ عَلَى مُسْتَوْفِيهِ كَمُشْتَرِي الثَّمَرَةِ يَلْزَمُهُ أُجْرَةُ لُقَاطِهَا وَجِذَاذِهَا وَكَمُشْتَرِي الصُّبْرَةِ يَلْزَمُهُ أُجْرَةُ حَمَّالِهَا وَنَقَّالِهَا وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتْ أُجْرَةُ مُتَعَدِّ الْمَالِ عَلَى مُسْتَوْفِيهِ دُونَ مُوفِيهِ كَذَلِكَ الْقِصَاصُ وَلِأَنَّ الْعَامِلَ فِي الصَّدَقَاتِ مُسْتَوْفٍ مِنْ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ لَأَهْلِ السُّهْمَانِ ثُمَّ كَانَتْ أُجْرَتُهُ فِي مَالِ أَهْلِ السُّهْمَانِ الْمُسْتَوْفَى لَهُمْ دُونَ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ الْمُسْتَوْفَى مِنْهُمْ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ أُجْرَةُ الْمُقْتَصِّ فِي مَالِ الْمُسْتَوْفَى لَهُ دُونَ الْمُسْتَوْفَى مِنْهُ
Abu Hanifah berpendapat bahwa upahnya dibebankan kepada orang yang mendapatkan qishāsh, bukan kepada orang yang dikenai qishāsh, dengan alasan bahwa haknya sudah tertentu dan yang dibutuhkan hanyalah memisahkan antara haknya dengan hak orang lain. Maka, upah kelebihan itu menjadi tanggungan orang yang mengambil manfaatnya, seperti pembeli buah yang wajib membayar upah pemetik dan pemotong buahnya, dan seperti pembeli barang yang wajib membayar upah pemikul dan pengangkutnya. Karena upah orang yang mengambil harta secara berulang dibebankan kepada orang yang mengambil manfaatnya, bukan kepada yang memberikannya, demikian pula dalam kasus qishāsh. Juga karena amil zakat adalah orang yang mengambil (harta) dari para pemilik harta untuk diberikan kepada para penerima zakat, lalu upahnya diambil dari harta para penerima zakat yang diambilkan untuk mereka, bukan dari para pemilik harta yang diambil darinya. Maka, seharusnya upah pelaksana qishāsh diambil dari harta orang yang diambilkan untuknya, bukan dari orang yang diambil darinya.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الْقِصَاصَ اسْتِيفَاءُ حَقٍّ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ أُجْرَتُهُ عَلَى الْمُوفِي دُونَ الْمُسْتَوْفي كَأُجْرَةِ الْكَيَّالِ وَالْوَزَّانِ وَلِأَنَّهُ قَطْعٌ مُسْتَحَقٌّ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ أُجْرَتُهُ عَلَى الْمَقْطُوعِ مِنْهُ كَالْخِتَانِ وَحَلْقِ شَعْرِ الْمُحْرِمِ
Dalil kami adalah bahwa qishāsh merupakan penunaian suatu hak, maka wajib agar biayanya ditanggung oleh pihak yang menunaikan, bukan oleh pihak yang menerima penunaian, sebagaimana upah bagi tukang takar dan penimbang. Dan karena qishāsh adalah pemotongan yang memang berhak dilakukan, maka wajib agar biayanya ditanggung oleh pihak yang dipotong, seperti dalam khitān (sunat) dan mencukur rambut orang yang sedang ihram.
فَإِنْ قِيلَ فَالْخِتَانُ وَحَلْقُ شَعْرِ الْمُحْرِمِ حَقٌّ لِلْمَقْطُوعِ مِنْهُ فَلِذَلِكَ وَجَبَ عَلَيْهِ أُجْرَتُهُ وَالْقِصَاصُ حَقٌّ لِلْمَقْطُوعِ لَهُ دُونَ الْمَقْطُوعِ مِنْهُ فَكَانَ الْمَقْطُوعُ لَهُ أَوْلَى بِالْتِزَامِ أُجْرَتِهِ مِنَ المَقْطُوعِ منه
Jika dikatakan bahwa khitan dan mencukur rambut orang yang berihram adalah hak bagi yang bagian tubuhnya dipotong, maka karena itulah wajib baginya membayar upahnya; sedangkan qishāsh adalah hak bagi orang yang mendapatkan bagian (qishāsh), bukan bagi yang bagian tubuhnya dipotong, maka orang yang mendapatkan bagian (qishāsh) lebih berhak untuk menanggung upahnya daripada orang yang bagian tubuhnya dipotong.
قُلْنَا هُمَا سَوَاءٌ لِأَنَّ الْخِتَانَ وَحَلْقَ الشَّعْرِ حَقٌّ عَلَى الْمَقْطُوعِ مِنْهُ كَمَا أَنَّ الْقِصَاصَ حَقٌّ عَلَى الْمَقْطُوعِ مِنْهُ غَيْرَ أَنَّ الْحَقَّ فِي الْخِتَانِ وَالْحَلْقِ لِلَّهِ تَعَالَى وَفِي الْقِصَاصِ لِلْوَلِيِّ فَكَمَا الْتُزِمَ حَقُّ اللَّهِ الْتُزِمَ حَقُّ الْآدَمِيِّ
Kami katakan bahwa keduanya sama, karena khitan dan mencukur rambut adalah hak atas anggota tubuh yang dipotong, sebagaimana qishāsh juga merupakan hak atas anggota tubuh yang dipotong. Hanya saja, hak dalam khitan dan mencukur rambut adalah milik Allah Ta‘ala, sedangkan dalam qishāsh adalah milik wali. Maka sebagaimana hak Allah wajib dipenuhi, demikian pula hak manusia wajib dipenuhi.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِأُجْرَةِ الْجِذَاذِ وَالنَّقْلِ فَهُوَ أَنَّ ذَلِكَ تَصَرُّفٌ فِيمَا قَدِ اسْتَقَرَّ مِلْكُهُ عَلَيْهِ فَاخْتُصَّ بِمُؤْنَةِ تَصَرُّفِهِ فِيهِ وَكَذَلِكَ أُجْرَةُ مُنْتَقِدِ الثَّمَنِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْقِصَاصُ لِأَنَّهُ إِبْقَاءٌ لِلْحَقِّ وَمَؤُونَةُ الْإِبْقَاءِ مُسْتَحَقَّةٌ عَلَى الْمُوَفِّي كَمَا قَالَ تَعَالَى فَأَوْفِ لَنَا الْكَيْلَ وَتَصَدَّقْ يوسف 88 ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ أُجْرَةَ الْكَيَّالِ عَلَى الْمُوفي دُونَ الْمُسْتَوْفِي كَذَلِكَ فِي الْقِصَاصِ وَأَمَّا عَامِلُ الصَّدَقَاتِ فَهُوَ نَائِبٌ عَنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ فِي الِاسْتِيفَاءِ لَهُمْ وَلَيْسَ بِنَائِبٍ عَنْ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ فِي الْإِبْقَاءِ عَنْهُمْ فَكَانَتْ أُجْرَتُهُ وَاجِبَةً عَلَى مَنْ نَابَ عَنْهُ كَأُجْرَةِ الْوَكِيلِ وَخَالَفَ الْمُقْتَصَّ لِأَنَّهُ يَقُومُ بِالْإِبْقَاءِ دُونَ الِاسْتِيفَاءِ فَصَارَ بِالْكَيَّالِ وَالْوَزَّانِ أَشْبَهَ
Adapun jawaban atas argumentasi dengan upah memetik dan mengangkut (hasil panen) adalah bahwa hal itu merupakan tindakan terhadap sesuatu yang kepemilikannya telah tetap, sehingga biaya tindakan tersebut menjadi tanggungannya sendiri. Demikian pula upah bagi penukar harga. Tidak demikian halnya dengan qishāsh, karena qishāsh adalah mempertahankan hak, dan biaya mempertahankan hak itu menjadi tanggungan pihak yang memenuhi, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Maka penuhilah takaran untuk kami dan bersedekahlah…” (Yusuf: 88). Telah tetap bahwa upah penakar menjadi tanggungan pihak yang memenuhi, bukan pihak yang menerima. Demikian pula dalam qishāsh. Adapun petugas zakat, ia adalah wakil dari para penerima bagian dalam mengambil hak mereka, bukan wakil dari para pemilik harta dalam mempertahankan hak mereka, sehingga upahnya wajib ditanggung oleh pihak yang diwakilinya, seperti upah seorang wakil. Berbeda dengan pihak yang dikenai qishāsh, karena ia bertugas mempertahankan (hak), bukan mengambilnya, sehingga ia lebih mirip dengan penakar dan penimbang.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا أَنَّ أُجْرَةَ الْقِصَاصِ عَلَى الْمُقْتَصِّ مِنْهُ دُونَ الْمُقْتَصِّ لَهُ فَقَالَ الْمُقْتَصُّ مِنْهُ أَنَا أَقْتَصُّ لَكَ مِنْ نَفْسِي لِتَسْقُطَ عَنِّي أُجْرَةُ الْقِصَاصِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُ لِأَمْرَيْنِ
Maka apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan bahwa biaya pelaksanaan qishāsh itu dibebankan kepada orang yang dikenai qishāsh, bukan kepada orang yang menuntut qishāsh, lalu orang yang dikenai qishāsh berkata, “Aku akan melaksanakan qishāsh untukmu terhadap diriku sendiri agar gugur dariku biaya pelaksanaan qishāsh,” maka hal itu tidak dibenarkan baginya karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ مُوجِبَ الْمُمَاثَلَةِ فِي الْقِصَاصِ يَقْتَضِي أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ مَا أَخَذَهُ مِنْ غَيْرِهِ وَلَا يَكُونُ هُوَ الْآخِذَ لَهُمَا مَعًا
Salah satunya adalah bahwa tuntutan kesetaraan dalam qishāsh mengharuskan diambil darinya apa yang telah diambilnya dari orang lain, dan tidak mungkin dia menjadi pihak yang mengambil untuk keduanya sekaligus.
وَالثَّانِي أَنَّهُ حَقٌّ عَلَيْهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمُسْتَوْفِي لَهُ كَمَا لَوْ أَرَادَ بَائِعُ الصُّبْرَةِ أَنْ يَكِيلَهَا بِنَفْسِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ فَلَوْ قَالَ السَّارِقُ وَقَدْ وَجَبَ قَطْعُ يَدِهِ أَنَا أَقْطَعُ يَدَ نَفْسِي وَلَا أَلْتَزِمُ أُجْرَةَ قَاطِعِي فَفِيهِ وَجْهَانِ
أَحَدُهُمَا لَا يَجُوزُ كَالْقِصَاصِ
Salah satunya tidak diperbolehkan, seperti qishāsh.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجُوزُ لِأَنَّ قَطْعَ السَّرِقَةِ حَقٌّ لِلَّهِ يُقْصَدُ بِهِ النَّكَالُ وَالزَّجْرُ فَجَازَ أَنْ يَقُومَ بِحَقِّ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ وَخَالَفَ القصاص المستحق للآدمي وبالله التوفيق
Pendapat kedua membolehkan, karena hukuman potong tangan bagi pencuri adalah hak Allah yang dimaksudkan untuk memberikan efek jera dan pencegahan, sehingga boleh seseorang menegakkan hak Allah atas dirinya. Ini berbeda dengan qishāsh yang merupakan hak manusia. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan dimohon.
بَابُ عَفْوِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ ثَمَّ يَمُوتُ وَغَيْرِ ذلك
Bab tentang pemaafan oleh korban kemudian ia meninggal dunia dan selainnya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ قَالَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عَمْدًا قَدْ عَفَوْتُ عَنْ جِنَايَتِهِ مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ ثُمَّ صَحَّ جَازَ فِيمَا لَزِمَهُ بِالْجِنَايَةِ وَلَمْ يَجُزْ فِيمَا لَزِمَهُ مِنَ الزِّيَادَةِ لِأَنَّهَا لَمْ تَكُنْ وَجَبَتْ حِينَ عَفَا
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika korban tindak pidana dengan sengaja berkata, “Aku telah memaafkan pelaku atas tindak pidananya, baik dari qishāsh maupun diyat,” kemudian hal itu terbukti benar, maka pemaafan itu sah terhadap kewajiban yang timbul dari tindak pidana tersebut, dan tidak sah terhadap kewajiban tambahan, karena kewajiban tambahan itu belum menjadi wajib pada saat ia memaafkan.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَتْ جِنَايَةُ العمد على طرف كإصبع فعفى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عَنْهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, “Ini sebagaimana yang telah dikatakan: jika tindak pidana sengaja dilakukan terhadap anggota tubuh seperti jari, lalu korban memaafkannya, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.”
أَحَدُهَا أَنْ تَنْدَمِلَ
Salah satunya adalah luka itu sembuh.
وَالثَّانِي أَنْ تَسْرِيَ إِلَى مَا دُونَ النَّفْسِ
Kedua, bahwa (hukum) itu berlaku pada selain jiwa.
وَالثَّالِثُ أَنْ تَسْرِيَ إِلَى النَّفْسِ
Dan yang ketiga adalah bahwa hal itu merambat ke jiwa.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ تَنْدَمِلَ الْجِنَايَةُ وَلَا تَسْرِيَ فَهُوَ مَسْطُورُ الْمَسْأَلَةِ فَإِذَا كَانَتْ عَلَى أُصْبُع قَطَعَهَا فَانْدَمَلَتْ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْعَفْوِ عَنْهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Adapun bagian pertama, yaitu ketika luka akibat jinayah itu sembuh dan tidak menyebar, maka inilah yang menjadi pokok permasalahan. Jika luka itu terjadi pada sebuah jari yang terpotong lalu sembuh, maka keadaan pemaafan terhadapnya tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَعْفُوَ عَمَّا وَجَبَ بِهَا مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ
Salah satunya adalah memaafkan apa yang menjadi kewajiban akibatnya, baik berupa qishāsh maupun diyat.
وَالثَّانِي أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقَوَدِ وَحْدَهُ
Yang kedua adalah memaafkan dari qawad saja.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَعْفُوَ عَمَّا وَجَبَ بِهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ
Ketiga, memaafkan apa yang telah menjadi kewajiban karenanya secara mutlak.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَعْفُوَ عَمَّا وَجَبَ بِهَا مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ فَيَصِحُّ عَفْوُهُ عَنْهُمَا جَمِيعًا فَلَا يَسْتَحِقُّ بِهَا قَوَدًا وَلَا دِيَةً وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ
Adapun bagian pertama, yaitu seseorang memaafkan apa yang menjadi kewajiban berupa qishāsh dan diyat, maka sah baginya untuk memaafkan keduanya sekaligus, sehingga tidak berhak lagi mendapatkan qishāsh maupun diyat. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan mayoritas fuqahā’.
وَقَالَ الْمُزَنِيُّ يَصِحُّ عَفْوُهُ عَنِ الْقَوَدِ وَلَا يَصِحُّ عَفْوُهُ عَنِ الدِّيَةِ لِأَنَّ الْقَوَدَ وَجَبَ قَبْلَ عَفْوِهِ وَالدِّيَةَ لَمْ تَجِبْ إِلَّا بَعْدَ عَفْوِهِ لِأَنَّهُ لَوْ طَلَبَ الْقَوَدَ قَبْلَ الِانْدِمَالِ اسْتَحَقَّهُ وَلَوْ طَلَبَ الدِّيَةَ قَبْلَ الِانْدِمَالِ لَمْ يَسْتَحِقَّهَا وَالْعَفْوُ عَمَّا وَجَبَ صَحِيحٌ وَعَمَّا لَمْ يَجِبْ مَرْدُودٌ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ الدِّيَةَ مُسْتَحَقَّةٌ بِالْجِنَايَةِ وَإِنَّمَا يَتَأَخَّرُ اسْتِيفَاؤُهَا إِلَى الِانْدِمَالِ كَالدُّيُونِ الْمُؤَجَّلَةِ بِدَلِيلِ أَنَّ عَبْدًا لَوْ جُنِيَ عَلَيْهِ فَبَاعَهُ سَيِّدُهُ قَبْلَ انْدِمَالِ جِنَايَتِهِ ثُمَّ انْدَمَلَتْ فِي يَدِ مُشْتَرِيهِ كَانَ أَرْشُهَا لِبَائِعِهِ دُونَ مُشْتَرِيهِ لِأَنَّهُ اسْتَحَقَّهَا بِالْجِنَايَةِ الْحَادِثَةِ فِي مِلْكِهِ وَلَمْ يَسْتَحِقَّهَا الْمُشْتَرِي وَإِنِ انْدَمَلَتْ فِي مِلْكِهِ فَصَارَ ذَلِكَ عَفْوًا عَمَّا وَجَبَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَحِقَّ قَبْضَهَا وَفِيهِ انْفِصَالٌ عَمَّا احْتَجَّ لَهُ
Al-Muzani berkata: “Pemaafan terhadap qisas sah, namun pemaafan terhadap diyat tidak sah, karena qisas telah menjadi kewajiban sebelum adanya pemaafan, sedangkan diyat baru menjadi kewajiban setelah adanya pemaafan. Sebab, jika ia menuntut qisas sebelum luka sembuh, ia berhak mendapatkannya; namun jika ia menuntut diyat sebelum luka sembuh, ia tidak berhak mendapatkannya. Pemaafan terhadap sesuatu yang telah menjadi kewajiban adalah sah, sedangkan pemaafan terhadap sesuatu yang belum menjadi kewajiban adalah tertolak.” Pendapat ini tidak benar, karena diyat telah menjadi hak akibat tindak pidana (jinayah), hanya saja pelaksanaannya ditunda hingga luka sembuh, sebagaimana utang yang jatuh tempo. Buktinya, jika seorang budak mengalami tindak pidana, lalu tuannya menjualnya sebelum luka itu sembuh, kemudian luka itu sembuh di tangan pembeli, maka ganti rugi (arsh) menjadi milik penjual, bukan pembeli, karena hak itu timbul akibat tindak pidana yang terjadi saat budak masih dalam kepemilikannya, dan pembeli tidak berhak atasnya. Jika luka itu sembuh saat budak sudah dalam kepemilikan pembeli, maka hal itu dianggap sebagai pemaafan atas hak yang telah menjadi miliknya, meskipun ia belum berhak menerima diyat tersebut. Dalam masalah ini terdapat penjelasan terpisah dari apa yang dijadikan dalil oleh al-Muzani.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقَوَدِ فَلَا يَكُونُ ذَلِكَ عَفْوًا عَنِ الدِّيَةِ وَيَكُونُ عَفْوًا مَقْصُورًا عَلَى الْقَوَدِ وَحْدَهُ لِأَنَّهُ لَمَّا خَصَّهُ بِالذِّكْرِ اخْتُصَّ بِالْحُكْمِ
Adapun bagian kedua, yaitu memaafkan dari qishāsh, maka hal itu tidak berarti memaafkan dari diyat, dan merupakan pemaafan yang terbatas hanya pada qishāsh saja, karena ketika ia menyebutkannya secara khusus, maka hukumnya pun menjadi khusus.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَعْفُوَ عَمَّا وَجَبَ بِالْجِنَايَةِ وَلَا يُسَمَّى قَوَدًا وَلَا عَقْلًا فَيَكُونُ ذَلِكَ عَفْوًا عَنِ الْقَوَدِ وَهَلْ يَكُونُ عَفْوًا عَنِ الدِّيَةِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَا تُوجِبُهُ جِنَايَةُ الْعَمْدِ
Adapun bagian ketiga, yaitu memaafkan apa yang menjadi kewajiban akibat jināyah dan tidak disebut sebagai qawad maupun ‘aql, maka itu merupakan pemaafan atas qawad. Apakah hal itu juga termasuk pemaafan atas diyat atau tidak, terdapat dua pendapat, yang didasarkan pada perbedaan dua pendapat mengenai apa yang diwajibkan oleh jināyah ‘amdan.
فإن قيل إنها توجب أحد الأمرين مِنَ الْقَوَدِ أَوِ الْعَقْلِ كَانَ ذَلِكَ عَفْوًا عَنِ الدِّيَةِ كَمَا كَانَ عَفْوًا عَنِ الْقَوَدِ لوجوب الدية بالجناية كوجوب الْقَوَدِ بِهَا
Jika dikatakan bahwa ia mewajibkan salah satu dari dua hal, yaitu qawad atau ‘aql, maka hal itu merupakan pengampunan terhadap diyat, sebagaimana pengampunan terhadap qawad, karena kewajiban diyat akibat tindak pidana sama dengan kewajiban qawad akibat tindak pidana tersebut.
وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا تُوجِبُ الْقَوَدَ وحده على التعيين وَلَا تَجِبُ الدِّيَةُ إِلَّا بِاخْتِيَارِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ عَنِ الدِّيَةِ وَإِنْ صَحَّ عَفْوُهُ عَنِ الْقَوَدِ لِأَنَّ الْقَوَدَ وَجَبَ وَالدِّيَةَ لَمْ تَجِبْ فَهَذَا حُكْمُ الْجِنَايَةِ إِذَا انْدَمَلَتْ
Dan jika dikatakan bahwa hal itu hanya mewajibkan qawad saja secara pasti dan diyat tidak wajib kecuali jika dipilih oleh korban, maka tidak sah pengampunannya atas diyat meskipun sah pengampunannya atas qawad, karena qawad telah menjadi wajib sedangkan diyat belum wajib. Inilah hukum jinayah jika luka telah sembuh.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ تَسْرِيَ إِلَى مَا دُونَ النَّفْسِ كَسِرَايَتِهَا مِنَ الْأُصْبُع إِلَى الْكَفِّ فَلَا قَوَدَ فِي الْكَفِّ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ
Adapun bagian kedua, yaitu jika luka itu menjalar ke selain jiwa, seperti menjalar dari jari ke telapak tangan, maka tidak ada qishāsh pada telapak tangan karena tiga alasan.
أَحَدُهَا أَنَّ سُقُوطَ الْقَوَدِ فِي أَصْلِ الْجِنَايَةِ مُوجِبٌ لِسُقُوطِهِ فِيمَا حَدَثَ عَنْهَا
Salah satunya adalah bahwa gugurnya qishāsh pada asal tindak pidana menyebabkan gugurnya pula pada akibat yang ditimbulkannya.
وَالثَّانِي أَنَّ السِّرَايَةَ إِلَى الْأَطْرَافِ لَا تُوجِبُ الْقَوَدَ وَإِنْ وَجَبَ بِالسِّرَايَةِ إِلَى النَّفْسِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا
Kedua, bahwa penyebaran (luka) ke anggota tubuh tidak mewajibkan qishāsh, meskipun qishāsh wajib jika penyebaran itu sampai menyebabkan kematian, karena telah dijelaskan sebelumnya adanya perbedaan antara keduanya.
وَالثَّالِثُ أَنَّ أَخْذَ الْكَفِّ مَعَ اسْتِيفَاءِ الْأُصْبُع غَيْرُ مُمْكِنٍ فَأَمَّا دِيَةُ مَا ذَهَبَ بِالسِّرَايَةِ مِنَ الْكَفِّ فَوَاجِبٌ مُسْتَحَقٌّ لَا يَسْقُطُ بِالْعَفْوِ عَنْ دِيَةِ الْأُصْبُع لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ
Ketiga, bahwa mengambil (mengqishash) telapak tangan bersamaan dengan (telah) terpenuhinya (hukuman) pada jari adalah tidak mungkin. Adapun diyat atas bagian telapak tangan yang hilang karena penyebaran (luka) maka itu tetap wajib dan menjadi hak yang tidak gugur meskipun ada pemaafan atas diyat jari, karena tiga alasan.
أَحَدُهَا إنَّهُ لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِ عَفْوٌ
Salah satunya adalah bahwa tidak ada pengampunan yang ditujukan kepadanya.
وَالثَّانِي إنَّهُ لَمْ يَجِبْ عِنْدَ الْعَفْوِ وَلَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِ عَفْوٌ
Yang kedua, sesungguhnya tidak wajib ketika ada pemaafan, dan tidak ada pemaafan yang ditujukan kepadanya.
وَالثَّالِثُ إنَّ الدِّيَةَ لَمَّا تَبَعَّضَتْ لَمْ يَسْرِ الْعَفْوُ عَنْ بَعْضِهَا إِلَى جَمِيعِهَا وَالْقَوَدَ لَمَّا لَمْ يَتَبَعَّضْ سَرَى الْعَفْوُ عَنْ بَعْضِهِ إِلَى جَمِيعِهِ وَيَلْزَمُهُ أَرْبَعَةُ أَعْشَارِ الدِّيَةِ أَرْبَعُونَ مِنَ الْإِبِلِ لِأَنَّ فِي الْأُصْبُع الْمَعْفُوِّ عَنْهَا عُشْرَ الدِّيَةِ
Ketiga, karena diyat dapat terbagi-bagi, maka pemaafan atas sebagian diyat tidak berlaku untuk seluruhnya. Sedangkan qisas, karena tidak dapat terbagi-bagi, maka pemaafan atas sebagian darinya berlaku untuk seluruhnya. Maka, ia wajib membayar empat persepuluh diyat, yaitu empat puluh ekor unta, karena pada satu jari yang dimaafkan terdapat sepersepuluh diyat.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ تَسْرِيَ جِنَايَةُ الْأُصْبُع إِلَى النَّفْسِ فَيَمُوتُ مِنْهَا فَلَا قَوَدَ فِي النَّفْسِ لِمَعْنًى وَاحِدٍ وَهُوَ أَنَّ سُقُوطَ الْقَوَدِ فِي أَصْلِ الْجِنَايَةِ يوجب سقوط فِيمَا حَدَثَ عَنْهَا وَعَلَيْهِ دِيَةُ النَّفْسِ إِلَّا قَدْرَ دِيَةِ الْأُصْبُع إِذَا صَحَّ الْعَفْوُ عَنْ دِيَتِهَا لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنِ الْمَعَانِي الثَّلَاثَةِ فَيَلْزَمُهُ تِسْعَةُ أَعْشَارِ الدِّيَةِ لِأَنَّ دِيَةَ الْأُصْبُع عُشْرُهَا إِلَّا أَنْ يُمْنَعَ مِنَ الْوَصِيَّةِ لِلْقَاتِلِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فَيَلْزَمُهُ جميعها
Adapun bagian ketiga, yaitu apabila luka pada jari menjalar hingga menyebabkan kematian, maka tidak ada qishash atas jiwa karena satu alasan, yaitu bahwa gugurnya qishash pada asal jinayah menyebabkan gugurnya pula pada akibatnya. Oleh karena itu, wajib membayar diyat jiwa kecuali sebesar diyat jari jika telah sah pemaafan atas diyatnya, sebagaimana telah kami sebutkan tiga alasan sebelumnya. Maka, ia wajib membayar sembilan persepuluh dari diyat, karena diyat jari adalah sepersepuluhnya, kecuali jika wasiat untuk pembunuh dilarang, sebagaimana akan kami sebutkan, maka ia wajib membayar seluruh diyat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَالَ قَدْ عَفَوْتُ عَنْهَا وَمَا يَحْدُثُ مِنْهَا مِنْ عَقْلٍ وَقَوَدٍ ثُمَّ مَاتَ مِنْهَا فَلَا سَبِيلَ إِلَى الْقَوَدِ لِلْعَفْوِ وَنُظِرَ إِلَى أرش الجناية فكان فيها قولان أحدهما أنه جائز العفو عنه من ثلث مال العافي كأنها موضحة فهي نصف العشر ويؤخذ بباقي الدية والقول الثاني أن يؤخذ بجميع الجناية لأنها صارت نفساً وهذا قاتل لا يجوز له وصية بحال قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ لأن كل ذلك وصية لقاتل فلما بطل بعضها بطل جميعها
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang berkata, “Aku telah memaafkannya dan apa yang terjadi darinya berupa diyat dan qishāsh,” kemudian orang itu meninggal karenanya, maka tidak ada jalan untuk qishāsh karena telah ada pemaafan. Lalu dilihat kepada arsy (ganti rugi) atas tindak pidana tersebut, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama, boleh dimaafkan dari sepertiga harta orang yang memaafkan, seperti kasus luka muḍīḥah, yaitu setengah dari sepersepuluh diyat, dan sisanya diambil dari diyat. Pendapat kedua, diambil dari seluruh diyat karena telah menjadi jiwa (nyawa), dan ini adalah pembunuh yang tidak boleh baginya wasiat dalam keadaan apa pun. Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Pendapat ini lebih utama menurut pendapat beliau, karena semua itu adalah wasiat kepada pembunuh, maka ketika sebagian wasiat itu batal, batal pula seluruhnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تُخَالِفُ مَا تَقَدَّمَهَا فِي صِفَةِ الْعَفْوِ وَإِنْ وَافَقَتْهَا فِي الصُّورَةِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ وَقَدْ قُطِعَتْ أُصْبُعهُ عَمْدًا قَدْ عَفَوْتُ عَنْهَا وَعَمَّا يَحْدُثُ عَنْهَا مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ وَكَانَ عَفْوُهُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى مَقْصُورًا عَلَى الْعَفْوِ عَنْهَا دُونَ ما حث مِنْهَا فَيَنْقَسِمُ حَالُ الْجِنَايَةِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ
Al-Mawardi berkata: Masalah ini berbeda dengan masalah sebelumnya dalam hal sifat pemaafan, meskipun serupa dalam bentuknya. Yaitu ketika korban, yang jarinya telah dipotong secara sengaja, berkata: “Aku telah memaafkannya dan juga memaafkan segala akibat yang timbul darinya, baik qishāsh maupun diyat.” Sedangkan pemaafan dalam masalah pertama hanya terbatas pada pemaafan terhadap perbuatannya saja, tidak termasuk akibat yang timbul darinya. Maka, keadaan tindak pidana ini terbagi sesuai dengan tiga bagian yang telah kami sebutkan sebelumnya.
أَحَدُهَا أَنْ تَنْدَمِلَ فَيَكُونَ عَلَى مَا مَضَى مِنْ صِحَّةِ عَفْوِهِ عَنِ الْقَوَدِ فِي الْأُصْبُع وَعَنْ دِيَتِهَا
Salah satunya adalah luka itu sembuh, sehingga tetap berlaku hukum sebelumnya tentang sahnya pemaafan atas qishash pada jari tersebut dan atas diyatnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَسْرِيَ الْجِنَايَةُ إِلَى مَا دُونَ النَّفْسِ كَسِرَايَتِهَا إِلَى الْكَفِّ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ فِيهَا بِالْعَفْوِ عَنْهُ وَيَبْرَأُ مِنْ دِيَةِ الْأُصْبُع لِعَفْوِهِ عَنْهُ وَيُؤْخَذُ بِدِيَةِ الْبَاقِي مِنْ أَصَابِعِ الْكَفِّ وَهِيَ أَرْبَعٌ ذَهَبَتْ بِالسِّرَايَةِ مَعَ الْكَفِّ وَذَلِكَ أَرْبَعُونَ مِنَ الْإِبِلِ وَلَا يَبْرَأُ مِنْهُ بِالْعَفْوِ عَنْهُ لِأَنَّهُ إِبْرَاءٌ مِمَّا لَمْ يَجِبْ وَالْإِبْرَاءُ مِنَ الْحُقُوقِ قَبْلَ وُجُوبِهَا بَاطِلٌ مَرْدُودٌ
Bagian kedua adalah ketika tindak pidana menyebar ke selain jiwa, seperti menyebarnya ke telapak tangan, maka qishāsh gugur padanya karena adanya pemaafan terhadapnya, dan pelaku terbebas dari pembayaran diyat jari karena telah dimaafkan, namun ia tetap diwajibkan membayar diyat untuk sisa jari-jari telapak tangan, yaitu empat jari yang hilang akibat penyebaran bersama telapak tangan, dan itu sebesar empat puluh ekor unta. Ia tidak terbebas dari kewajiban ini hanya dengan pemaafan, karena itu merupakan pembebasan dari sesuatu yang belum menjadi kewajiban, dan pembebasan dari hak-hak sebelum menjadi kewajiban adalah batal dan tidak diterima.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ وهو مسألة الكتاب أن تسري الْجِنَايَةُ إِلَى النَّفْسِ فَيَمُوتُ مِنْهُمَا وَقَدْ عَفَا عَنْهَا وَعَمَّا يَحْدُثُ مِنْهَا مِنْ قَوَدٍ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنْهُ فِي النَّفْسِ وَالْأُصْبُع بِالْعَفْوِ عَنْهُ وَأَمَّا الدِّيَةُ فَقَدْ صَارَ هَذَا الْجَانِي قَاتِلًا وَالْعَفْوُ عَنْهُ مِنْ عَطَايَا الْمَرِيضِ الْمُعْتَبَرَةِ مِنَ الثُّلُثِ كَالْوَصَايَا وَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي الْوَصِيَّةِ لِلْقَاتِلِ عَلَى قَوْلَيْنِ
Bagian ketiga, yaitu permasalahan dalam kitab ini, adalah jika jināyah (kejahatan) itu mengenai jiwa sehingga menyebabkan kematian salah satu dari keduanya, dan telah dimaafkan atasnya serta atas segala akibat yang timbul darinya berupa qawad (qishash), maka gugurlah qawad atasnya baik dalam hal jiwa maupun jari karena telah dimaafkan. Adapun diyat, maka pelaku jināyah ini telah menjadi seorang pembunuh, dan pemaafan atasnya termasuk pemberian orang sakit yang dihitung dari sepertiga harta, seperti wasiat. Terdapat perbedaan pendapat Imam Syafi‘i mengenai wasiat kepada pembunuh, yaitu ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا بَاطِلَةٌ كَالْمِيرَاثِ لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَيْسَ لِقَاتِلٍ شَيْءٌ فَعَمَّ الْمِيرَاثَ وَالْوَصِيَّةَ وَلِأَنَّ الْمِيرَاثَ أَقْوَى وَأَثْبَتُ مِنَ الْوَصِيَّةِ لِدُخُولِهِ فِي مِلْكِ الْوَارِثِ بِغَيْرِ قَبُولٍ وَلَا اخْتِيَارٍ وَوُقُوفِ الْوَصِيَّةِ عَلَى الْقَبُولِ وَالِاخْتِيَارِ فَلَمَّا مَنَعَ الْقَتْلُ مِنَ الْمِيرَاثِ الَّذِي هُوَ أَقْوَى كَانَ بِأَنْ يَمْنَعَ مِنَ الْوَصِيَّةِ الَّتِي هِيَ أَضْعَفُ أَوْلَى
Salah satunya batal, seperti warisan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Pembunuh tidak mendapatkan apa-apa.” Maka larangan itu mencakup warisan dan wasiat. Selain itu, warisan lebih kuat dan lebih tetap dibandingkan wasiat, karena warisan masuk ke dalam kepemilikan ahli waris tanpa perlu penerimaan dan tanpa pilihan, sedangkan wasiat bergantung pada penerimaan dan pilihan. Maka ketika pembunuhan mencegah seseorang dari mendapatkan warisan yang kedudukannya lebih kuat, maka mencegah dari mendapatkan wasiat yang kedudukannya lebih lemah tentu lebih utama.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إنَّ الْوَصِيَّةَ لِلْقَاتِلِ جَائِزَةٌ وَإِنْ لَمْ يَرْثِ لِتَخْصِيصِ النَّصِّ بِرَدِّهَا لِلْوَارِثِ لِقَوْلِ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقِّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ فَدَلَّ عَلَى عُمُومِ جَوَازِهَا لِغَيْرِ الْوَارِثِ وَلِأَنَّ الْكُفْرَ يَمْنَعُ مِنَ الْمِيرَاثِ وَلَا يَمْنَعُ مِنَ الْوَصِيَّةِ كَذَلِكَ الْقَتْلُ
Pendapat kedua menyatakan bahwa wasiat kepada pembunuh itu diperbolehkan meskipun ia tidak mewarisi, karena nash telah mengkhususkan larangan wasiat hanya kepada ahli waris, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Ini menunjukkan secara umum bolehnya wasiat kepada selain ahli waris. Selain itu, kekufuran menghalangi dari warisan tetapi tidak menghalangi dari wasiat, demikian pula halnya dengan pembunuhan.
فَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ وَهُوَ أَنَّ الْوَصِيَّةَ لِلْقَاتِلِ بَاطِلَةٌ لَزِمَتْهُ الدِّيَةُ كُلُّهَا وَلَمْ يَبْرَأْ مِنْهَا بِالْعَفْوِ عَنْهَا وَسَوَاءٌ مَا وَجَبَتْ بِالْجِنَايَةِ قَبْلَ الْعَفْوِ وَمَا حَدَثَ بَعْدَهُ بِالسِّرَايَةِ لِأَنَّ سِرَايَةَ جِنَايَتِهِ إِلَى النَّفْسِ قَدْ جَعَلَتْهُ قَاتِلًا
Jika dikatakan menurut pendapat pertama, yaitu bahwa wasiat kepada pembunuh adalah batal, maka seluruh diyat wajib atasnya dan ia tidak terbebas darinya dengan adanya pemaafan atas diyat tersebut. Sama saja apakah diyat itu wajib karena tindak pidana sebelum adanya pemaafan, atau terjadi setelahnya karena dampak lanjutan, karena dampak tindak pidananya yang berlanjut hingga menyebabkan kematian telah menjadikannya sebagai pembunuh.
فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا أَبْطَلْتُمُ الْوَصِيَّةَ لِلْقَاتِلِ وَأَسْقَطْتُمْ عَفْوَهُ عَنِ الدِّيَةِ فَهَلَّا بَطَلَ الْعَفْوُ عَنِ الْقَوَدِ لِأَنَّهُ وَصِيَّةٌ لِقَاتِلٍ كَمَا أَبْطَلْتُمْ عَفْوَهُ عَنِ الدِّيَةِ أَوْ أَخَّرْتُمْ عَفْوَهُ عَنِ الدِّيَةِ كَمَا أَخَّرْتُمْ عَفْوَهُ عَنِ الْقَوَدِ قِيلَ لأنه الدِّيَةَ مَالٌ وَالْقَوَدُ لَيْسَ بِمَالٍ لِأَمْرَيْنِ
Jika dikatakan: “Jika kalian membatalkan wasiat bagi pembunuh dan menggugurkan pemaafannya atas diyat, mengapa tidak pula batal pemaafan atas qisas karena itu juga merupakan wasiat kepada pembunuh, sebagaimana kalian membatalkan pemaafannya atas diyat? Atau mengapa kalian tidak menunda pemaafan atas diyat sebagaimana kalian menunda pemaafan atas qisas?” Maka dijawab: Karena diyat adalah harta, sedangkan qisas bukanlah harta, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَوْ وَصَّى لِرَجُلٍ بِثُلُثِ مَالِهِ كَانَ الْمُوصِي لَهُ شَرِيكًا فِي الدِّيَةِ وَلَمْ يَكُنْ شَرِيكًا فِي الْقَوَدِ
Salah satunya adalah bahwa jika seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki dengan sepertiga hartanya, maka orang yang diberi wasiat tersebut menjadi sekutu dalam diyat, namun tidak menjadi sekutu dalam qisas.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ وَصَّى لِرَجُلٍ بِالدِّيَةِ صَحَّ وَلَوْ وَصَّى لَهُ بِالْقَوَدِ لَمْ يَصِحَّ فَلِذَلِكَ صَحَّ الْعَفْوُ عَنِ الْقَوَدِ وَلَمْ يَصِحَّ عَنِ الدِّيَةِ فَهَذَا حُكْمُ عَفْوِهِ عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي تَرِدُ فِيهِ الْوَصِيَّةَ لِلْقَاتِلِ
Kedua, jika seseorang berwasiat kepada seseorang agar diberikan diyat, maka wasiat itu sah. Namun, jika ia berwasiat agar diberikan qisas, maka wasiat itu tidak sah. Oleh karena itu, sah memaafkan dari qisas dan tidak sah memaafkan dari diyat. Inilah hukum pemaafannya menurut pendapat yang membolehkan wasiat kepada pembunuh.
وَإِنْ قِيلَ بِجَوَازِ الْوَصِيَّةِ لِلْقَاتِلِ اعْتُبِرَ حَالُ عَفْوِهِ فَإِنْ خَرَجَ مَخْرَجَ الْوَصِيَّةِ فَقَالَ قَدْ وَصَّيْتُ لَهُ بِهَا وَبِمَا يَحْدُثُ عَنْهَا مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ صَحَّ عَفْوُهُ عَنْ جَمِيعِ الدِّيَةِ مَا وَجَبَ مِنْهَا قَبْلَ الْعَفْوِ مِنْ دِيَةِ الْأُصْبُع وَمَا حَدَثَ بَعْدَهُ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ قَدْ وَجَبَتْ عِنْدَ الْعَفْوِ لِأَنَّ الْوَصَايَا تَصِحُّ بِمَا وَجَبَ وَبِمَا سَيَجِبُ وبما ملك وبما سيملك وإذا صار ذلك وصية كانت الدية معتبرة من الثلث كَسَائِرِ الْوَصَايَا فَإِنِ احْتَمَلَهَا الثُّلُثُ صَحَّ جَمِيعُهَا فَيُبرئ الْجَانِي مِنَ الدِّيَةِ كُلِّهَا وَإِنْ لَمْ يَحْتَمِلْهَا الثُّلُثُ أَمْضَى مِنْهَا قَدْرَ مَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ وَرَدَّ فِيمَا عَجَزَ إِلَّا أَنْ يُجِيزَهُ الْوَرَثَةُ وَإِنْ لَمْ يُخْرِجْهُ مَخْرَجَ الْوَصِيَّةِ وَجَعَلَهُ عَفْوًا أَوْ إِبْرَاءً مَحْضًا فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي عَفْوِهِ وَإِبْرَائِهِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى الْوَصِيَّةِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ
Jika dikatakan bahwa wasiat kepada pembunuh itu boleh, maka yang menjadi pertimbangan adalah keadaan saat pemaafan. Jika pemaafan itu dilakukan dalam bentuk wasiat, misalnya ia berkata, “Aku telah mewasiatkan kepadanya (pembunuh) hak atas diyat ini dan apa yang timbul darinya, baik qawad maupun ‘aql,” maka sah pemaafannya atas seluruh diyat, baik yang telah menjadi kewajiban sebelum pemaafan, seperti diyat jari, maupun yang terjadi setelahnya, seperti diyat jiwa, meskipun diyat jiwa itu belum menjadi kewajiban saat pemaafan. Sebab, wasiat itu sah untuk sesuatu yang telah menjadi hak maupun yang akan menjadi hak, juga untuk sesuatu yang telah dimiliki maupun yang akan dimiliki. Jika hal itu menjadi wasiat, maka diyat tersebut dihitung dari sepertiga harta, seperti wasiat-wasiat lainnya. Jika sepertiga harta mencukupi, maka seluruhnya sah, sehingga pelaku (pembunuhan) terbebas dari seluruh diyat. Namun, jika sepertiga harta tidak mencukupi, maka yang dijalankan hanya sebesar yang tertampung oleh sepertiga harta, dan sisanya dikembalikan kecuali jika ahli waris mengizinkan. Jika pemaafan itu tidak dilakukan dalam bentuk wasiat, melainkan sebagai pemaafan atau pembebasan murni, maka terdapat perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi‘i mengenai pemaafan dan pembebasan tersebut: apakah hukumnya sama dengan wasiat atau tidak, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَجْرِي مَجْرَى الْوَصِيَّةِ لِاعْتِبَارِهِ مِنَ الثُّلُثِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَلَى مَا مَضَى مِنْ صِحَّةِ جَمِيعِهِ إِذَا احْتَمَلَهُ الثُّلُثُ
Salah satunya berlaku seperti wasiat, karena dianggap berasal dari sepertiga harta. Dengan demikian, maka tetap sah seluruhnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jika sepertiga harta dapat menanggungnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إنَّهُ لَا يَصِيرُ وَصِيَّةً وَإِنِ اعْتُبِرَ مِنَ الثُّلُثِ لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ عَطِيَّةٌ وَهُوَ الْعَفْوُ وَالْإِبْرَاءُ هُوَ تَرْكٌ وَإِسْقَاطٌ فَخَرَجَ عَنْ عَطَايَا الْوَصَايَا فَعَلَى هَذَا يَبْرَأُ الْجَانِي فِيمَا وَجَبَ قَبْلَ الْعَفْوِ وَهُوَ دِيَةُ الْأُصْبُع وَلَا يَبْرَأُ فِيمَا وَجَبَ بَعْدَهُ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ لِأَنَّهُ إِبْرَاءٌ مِنْهُ قَبْلَ وُجُوبِهِ وَاسْتِحْقَاقِهِ وَيَلْزَمُهُ مِنَ الدِّيَةِ تِسْعَةُ أَعْشَارِهَا وَاعْتَرَضَ الْمُزَنِيُّ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ حِينَ رَأَى الشَّافِعِيَّ قَدْ بَعَّضَ عَفْوَهُ فَأَجَازَ بَعْضَهُ وَرَدَّ بَعْضَهُ اعْتِرَاضًا وَهِمَ فِيهِ فَقَالَ إِنْ صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ صَحَّتْ فِي الْجَمِيعِ وَإِنْ بَطَلَتْ رُدَّتْ فِي الْجَمِيعِ وَلَمْ يَكُنْ لِتَبْعِيضِهَا وَتَفْرِيقِهَا وَجْهٌ وَهَذَا وَهْمٌ مِنْهُ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ مَا بَعَّضَ عَفْوَهُ وَفَرَّقَهُ إِذَا كَانَ وَصِيَّةً وَالْحَاكِمُ فِي جَمِيعِهِ عَلَى مَا ذَكَرَهُ مِنْ صِحَّتِهِ فِي الْكُلِّ وَإِنْ جَازَتِ الْوَصِيَّةُ لَهُ أَوْ إِبْطَالُهُ فِي الْكُلِّ وَإِنْ رُدَّتْ وَإِنَّمَا فَرَّقَهُ إِذَا جُعِلَ إِسْقَاطًا وَإِبْرَاءً لِأَنَّ مِنْ حُكْمِ الْإِبْرَاءِ عَلَى مَذْهَبِهِ أَنْ يَصِحَّ فِيمَا وَجَبَ وَيَبْطُلَ فِيمَا لَمْ يَجِبْ فَبَطَلَ اعتراضه
Pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu tidak menjadi wasiat, meskipun dihitung dari sepertiga harta, karena wasiat adalah pemberian, sedangkan pengampunan dan pembebasan adalah bentuk pelepasan dan pengguguran, sehingga keluar dari kategori pemberian dalam wasiat. Berdasarkan hal ini, pelaku (kejahatan) terbebas dari kewajiban yang telah ditetapkan sebelum adanya pengampunan, yaitu diyat (denda) jari, dan tidak terbebas dari kewajiban yang muncul setelahnya berupa diyat jiwa, karena itu merupakan pembebasan dari sesuatu sebelum kewajiban dan haknya muncul. Maka, yang wajib baginya dari diyat adalah sembilan persepuluhnya. Al-Muzani mengkritik pendapat ini ketika melihat Imam Syafi‘i membagi pengampunannya, sehingga membolehkan sebagian dan menolak sebagian sebagai bentuk keberatan, namun ia keliru dalam hal ini. Ia berkata, “Jika wasiat kepada pembunuh itu sah, maka sah untuk seluruhnya, dan jika batal, maka batal untuk seluruhnya, dan tidak ada alasan untuk membaginya atau memisahkannya.” Ini adalah kekeliruan darinya, karena Imam Syafi‘i tidak membagi atau memisahkan pengampunannya jika itu berupa wasiat, dan hakim dalam seluruhnya mengikuti apa yang disebutkan tentang keabsahannya secara keseluruhan, baik wasiat itu dibolehkan atau dibatalkan secara keseluruhan jika ditolak. Ia hanya membedakannya jika dijadikan sebagai pengguguran dan pembebasan, karena menurut pendapatnya, hukum pembebasan adalah sah untuk sesuatu yang sudah menjadi kewajiban dan batal untuk sesuatu yang belum menjadi kewajiban, sehingga keberatan tersebut menjadi batal.
مسألة
Masalah
قال المزني رضي الله عنه قال يعني الشافعي ولأنه قطع بِأَنَّهُ لَوْ عَفَا وَالْقَاتِلُ عَبْدٌ جَازَ الْعَفْوُ من ثلث الميت قال وإنما أجزنا ذلك لأنه وصية لسيد العبد مع أهل الوصايا
Al-Muzani raḥimahullāh berkata, ia maksudkan Imam Syafi‘i, “Karena beliau menegaskan bahwa jika wali korban memaafkan sedangkan pelaku pembunuhan adalah seorang budak, maka pemaafan itu sah dari sepertiga harta peninggalan mayit.” Ia berkata, “Kami membolehkan hal itu karena pemaafan tersebut merupakan wasiat kepada tuan si budak bersama para ahli wasiat lainnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مِنْ إِحْدَى ثَلَاثِ مَسَائِلَ أَوْرَدَهَا الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا لِاعْتِرَاضِهِ الَّذِي قَدَّمْتُهُ وصورتها في عبد جنى على حر فعفى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عَنْهَا وَعَمَّا يَحْدُثُ مِنْهَا مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ ثُمَّ سَرَتِ الْجِنَايَةُ إِلَى نَفْسِهِ فَمَاتَ عَنْهَا فَهَذَا الْعَفْوُ قَدْ تَضَمَّنَ إِسْقَاطَ الْقَوَدِ وَإِسْقَاطَ الدِّيَةِ وَالْقَوَدُ مُسْتَحَقٌّ عَلَى الْعَبْدِ الْجَانِي وَالدِّيَةُ مُسْتَحَقَّةٌ عَلَى سَيِّدِهِ لِتَعَلُّقِهَا بِرَقَبَةِ عَبْدِهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْعَفْوِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata: Ini adalah salah satu dari tiga masalah yang dikemukakan oleh al-Muzani di sini karena keberatannya yang telah saya sebutkan sebelumnya. Gambarannya adalah tentang seorang budak yang melakukan tindak pidana terhadap seorang merdeka, lalu orang yang menjadi korban memaafkannya, baik atas tindak pidana itu sendiri maupun atas segala akibat yang mungkin timbul darinya, seperti qishāsh dan diyat. Kemudian, akibat tindak pidana itu, luka tersebut menjalar hingga menyebabkan kematian korban. Maka, pemaafan ini mencakup pengguguran qishāsh dan pengguguran diyat. Qishāsh menjadi hak atas budak pelaku, sedangkan diyat menjadi hak atas tuannya karena berkaitan dengan leher budaknya. Jika demikian keadaannya, maka pemaafan ini tidak lepas dari tiga keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مُطْلَقًا
Salah satunya adalah bersifat mutlak.
وَالثَّانِي أَنْ يُضَافَ إِلَى الْعَبْدِ
Dan yang kedua adalah dinisbatkan kepada hamba.
وَالثَّالِثُ أَنْ يُضَافَ إِلَى السَّيِّدِ
Dan yang ketiga adalah dinisbatkan kepada tuan.
فَإِنْ كَانَ مُطْلَقًا بِأَنْ قَالَ الْجَانِي عَفَوْتُ عَنْهَا وَعَمَّا يَحْدُثُ عَنْهَا مِنْ عَقْلٍ وَقَوَدٍ صَحَّ الْعَفْوُ عَنِ الْقَوَدِ فِي حَقِّ الْعَبْدِ وَصَحَّ عَنِ الدِّيَةِ فِي حَقِّ السَّيِّدِ وَسَوَاءٌ جَازَتِ الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ أَوْ لَمْ تَجُزْ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لِلسَّيِّدِ وَالسَّيِّدُ غَيْرُ قَاتِلٍ وَإِنْ كَانَ الْعَفْوُ مُضَافًا إِلَى الْعَبْدِ بِأَنْ قَالَ لَهُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ قَدْ عَفَوْتُ عَنْكَ وَعَمَّا يَجِبُ لِي عَلَيْكَ مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ صَحَّ الْعَفْوُ عَنِ الْقَوَدِ وَلَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ عَنِ الدِّيَةِ لِوُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْعَبْدِ وَوُجُوبِ الدِّيَةِ عَلَى السَّيِّدِ وَإِنْ كَانَ الْعَفْوُ مُضَافًا إِلَى السَّيِّدِ بِأَنْ قَالَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ قَدْ عَفَوْتُ عَمَّا وَجَبَ لِي عَلَى سَيِّدِكَ مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ صَحَّ عَفْوُهُ عَنِ الدِّيَةِ وَلَمْ يَصِحَّ عَفْوُهُ عَنِ الْقَوَدِ لِوُجُوبِ الدِّيَةِ عَلَى السَّيِّدِ وَوُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْعَبْدِ
Jika pemaafan itu bersifat mutlak, yaitu ketika pelaku berkata, “Aku memaafkan darinya dan dari segala sesuatu yang timbul darinya berupa diyat dan qishāsh,” maka sah pemaafan dari qishāsh atas hak budak, dan sah pula pemaafan dari diyat atas hak tuan. Sama saja apakah wasiat kepada pembunuh itu diperbolehkan atau tidak, karena itu adalah wasiat kepada tuan, dan tuan bukanlah pembunuh. Jika pemaafan itu ditujukan kepada budak, yaitu ketika korban berkata kepadanya, “Aku telah memaafkanmu dan apa yang menjadi hakku atasmu berupa qishāsh dan diyat,” maka sah pemaafan dari qishāsh, tetapi tidak sah pemaafan dari diyat, karena qishāsh wajib atas budak dan diyat wajib atas tuan. Jika pemaafan itu ditujukan kepada tuan, yaitu ketika korban berkata, “Aku telah memaafkan apa yang menjadi hakku atas tuanmu berupa qishāsh dan diyat,” maka sah pemaafan dari diyat, tetapi tidak sah pemaafan dari qishāsh, karena diyat wajib atas tuan dan qishāsh wajib atas budak.
مسألة
Masalah
قال المزني رضي الله عنه قال يعني الشافعي ولأنه قال فِي قَتْلِ الْخَطَأِ لَوْ عَفَا عَنْ أَرْشِ الْجِنَايَةِ جَازَ عَفْوُهُ لَأنَهَا وَصِيَّةٌ لِغَيْرِ قَاتِلٍ
Al-Muzani raḥimahullāh berkata, ia maksudnya asy-Syafi‘i, “Dan karena beliau berkata dalam kasus pembunuhan karena kesalahan, jika ahli waris memaafkan diyat jinayah, maka maafnya sah, karena itu merupakan wasiat untuk selain pembunuh.”
وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ الَّتِي أَوْرَدَهَا الْمُزَنِيُّ لِحِجَاجِهِ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْجِنَايَةُ خَطَأً فَيَعْفُو عَنْهَا الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ ثُمَّ تَسْرِي إِلَى نَفْسِهِ فَيَمُوتُ مِنْهَا فَلَا يَخْلُو ثُبُوتُ هَذِهِ الْجِنَايَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا بِأَنْ تَكُونَ بِإِقْرَارٍ أَوْ بَيِّنَةٍ فَإِنْ أَقَرَّ بِهَا الْجَانِي وَعُدِمَتْ فِيهَا الْبَيِّنَةُ لَزِمَتْ بِإِقْرَارِهِ كَمَا يَلْزَمُ جِنَايَةُ الْعَمْدِ
Inilah permasalahan kedua yang dikemukakan oleh al-Muzani sebagai argumen, yaitu apabila suatu tindak pidana (jinayah) terjadi karena kesalahan (khatha’), lalu korban memaafkannya, kemudian akibat tindak pidana itu berlanjut pada dirinya sendiri hingga ia meninggal karenanya. Maka, penetapan tindak pidana ini tidak lepas dari dua kemungkinan: yaitu ditetapkan berdasarkan pengakuan atau berdasarkan bukti (bayyinah). Jika pelaku mengakuinya dan tidak ada bukti dalam kasus itu, maka tindak pidana tersebut tetap wajib berdasarkan pengakuannya, sebagaimana wajibnya tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja (jinayah al-‘amd).
وَقَالَ مَالِكٌ لَا يَلْزَمُ إِقْرَارُهُ بِجِنَايَةِ الْخَطَأِ وَإِنْ لَزِمَ بِجِنَايَةِ الْعَمْدِ لِأَنَّ دِيَةَ الْخَطَأِ عَلَى الْعَاقِلَةِ فَصَارَ مُقِرًّا بِهَا عَلَى غَيْرِهِ فَبَطَلَ إِقْرَارُهُ وَهَذَا فَاسِدٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا تَحْمِلُ الْعَاقِلَةُ عَبْدًا وَلَا عَمْدًا وَلَا صُلْحًا وَلَا اعْتِرَافًا فَأَثْبَتَ لِلِاعْتِرَافِ حُكْمًا وَنَفَاهُ عَنِ الْعَاقِلَةِ فَدَلَّ عَلَى لُزُومِهِ وَلِأَنَّ لِلْقَتْلِ الْخَطَأَ حُكْمَيْنِ الْكَفَّارَةَ وَالدِّيَةَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ النساء 92 فَإِذَا وَجَبَتِ الْكَفَّارَةُ بِإِقْرَارِهِ وَجَبَتْ بِهِ الدِّيَةُ وَلِأَنَّ مَا وَجَبَ بِالْبَيِّنَةِ وَجَبَ بِالْإِقْرَارِ كَالدَّيْنِ وَإِذَا لَزِمَ إِقْرَارُهُ بِهَا وَجَبَتِ الدِّيَةُ عَلَيْهِ دُونَ عَاقِلَتِهِ إِذَا لَمْ يُصَدِّقُوهُ لِتَوَجُّهِ التُّهْمَةِ إِلَيْهِ وَلِذَلِكَ أَسْقَطَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْهُمْ وَإِذَا لَزِمَتْهُ الدِّيَةُ وَقَدْ صَارَ قَاتِلًا جَرَى عَلَى الْعَفْوِ عَنْهَا حُكْمُ الْعَفْوِ عَنْ دِيَةِ الْعَمْدِ فِي إِبْطَالِهِ إِنْ رُدَّتِ الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ وَجَوَازِهِ إِنْ أُمْضِيَتْ
Malik berkata: Pengakuan seseorang atas tindak pidana karena kesalahan tidak wajib diterima, meskipun pengakuan atas tindak pidana sengaja wajib diterima, karena diyat atas kesalahan menjadi tanggungan ‘āqilah, sehingga ia menjadi orang yang mengakui atas tanggungan orang lain, maka batal pengakuannya. Pendapat ini rusak, karena sabda Nabi ﷺ: “’Āqilah tidak menanggung (diyat) budak, tidak pula (diyat) karena sengaja, tidak pula (diyat) karena sulh, dan tidak pula (diyat) karena pengakuan.” Maka Nabi menetapkan adanya hukum bagi pengakuan dan menafikannya dari ‘āqilah, sehingga menunjukkan kewajibannya. Dan karena pembunuhan karena kesalahan memiliki dua hukum, yaitu kafārah dan diyat, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Maka (wajib) memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (an-Nisā’ 92). Jika kafārah wajib karena pengakuannya, maka diyat juga wajib karenanya. Dan karena apa yang wajib dengan bayyinah, juga wajib dengan pengakuan, seperti utang. Jika pengakuannya wajib, maka diyat menjadi tanggungannya, bukan tanggungan ‘āqilah-nya, jika mereka tidak membenarkannya karena adanya tuduhan terhadapnya. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ menggugurkan diyat dari mereka. Jika diyat menjadi tanggungannya dan ia telah menjadi pembunuh, maka hukum pemaafan atasnya mengikuti hukum pemaafan atas diyat pembunuhan sengaja dalam hal pembatalannya jika wasiat dikembalikan kepada pembunuh, dan kebolehannya jika wasiat itu dijalankan.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ ثَبَتَتْ جِنَايَةُ الْخَطَأِ بِالْبَيِّنَةِ وَجَبَتِ الدِّيَةُ عَلَى الْعَاقِلَةِ وَفِي وُجُوبِهَا قَوْلَانِ
Dan jika terbukti adanya tindak pidana karena kesalahan dengan bukti yang jelas, maka diwajibkan membayar diyat atas ‘āqilah, dan dalam kewajiban ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمِ ابْتِدَاءً مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَوَجَّهَ وُجُوبُهَا عَلَى الْجَانِي
Salah satunya wajib atas mereka sejak awal tanpa harus kewajibannya itu tertuju kepada pelaku pelanggaran.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى الْجَانِي ثُمَّ تَحَمَّلَتْهَا الْعَاقِلَةُ عَنْهُ وَعَاقِلَتُهُ عَصَبَتُهُ فَإِنْ عَدِمُوا فَجَمِيعُ الْمُسْلِمِينَ فِي بَيْتِ مَالِهِمْ لِأَنَّ دِينَ الْحَقِّ قَدْ عَقَدَ الْمُوَالَاةَ بَيْنَهُمْ فَصَارَ الْمُسْلِمُ لَا يَعْدِمُ عَصَبَةً وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ مَخْرَجُ عَفْوِهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ وَصِيَّةً أَوْ إِبْرَاءً فَإِنْ كَانَ وَصِيَّةً عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَلَا يَخْلُو حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Pendapat kedua menyatakan bahwa diyat itu wajib atas pelaku, kemudian ditanggung oleh ‘āqilah-nya, dan ‘āqilah-nya adalah para ‘ashabah-nya. Jika mereka tidak ada, maka seluruh kaum Muslimin menanggungnya dari Baitul Mal mereka, karena agama yang benar telah menetapkan adanya hubungan loyalitas di antara mereka, sehingga seorang Muslim tidak akan kehilangan ‘ashabah. Jika demikian, maka pengeluaran diyat karena pemaafan tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah berupa wasiat atau pembebasan. Jika berupa wasiat seperti yang telah kami sebutkan, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَجْعَلَهَا لِلْعَاقِلَةِ فَيَقُولُ قَدْ وَصَّيْتُ بِهَا وَبِمَا يَحْدُثُ مِنْهَا لِعَاقِلَتِهِ فَتَصِحُّ هَذِهِ الْوَصِيَّةُ فِي ثُلُثِهِ إِذَا احْتَمَلَهَا وَتُبَرَّأُ الْعَاقِلَةُ مِنْهَا سَوَاءٌ أُجِيزَتِ الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ أَوْ رُدَّتْ لِأَنَّ الْعَاقِلَةَ غَيْرُ قَتَلَةٍ
Salah satunya adalah menjadikannya untuk ‘āqilah, lalu ia berkata: “Aku telah berwasiat dengannya dan dengan apa yang timbul darinya untuk ‘āqilah-nya.” Maka wasiat ini sah pada sepertiganya jika memungkinkan, dan ‘āqilah terbebas darinya, baik wasiat untuk pembunuh itu disetujui maupun ditolak, karena ‘āqilah bukanlah pembunuh.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَجْعَلَهَا لِلْقَاتِلِ فَيَقُولُ قَدْ وَصَّيْتُ بِهَا وَبِمَا يَحْدُثُ مِنْهَا لِلْجَانِي فَإِنْ رُدَّتِ الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ وَجَبَتِ الدِّيَةُ عَلَى الْعَاقِلَةِ لِوَرَثَةِ الْمَقْتُولِ فَإِنْ أُجِيزَتِ الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ فَإِنَّ لَهُ اسْتِيفَاءَهَا مِنْ عَاقِلَتِهِ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لَهُ بِمَا عَلَيْهِمْ سَوَاءٌ قِيلَ بِوُجُوبِهَا عَلَيْهِمْ تَحَمُّلًا أَوِ ابْتِدَاءً لِأَنَّهُمْ تَحَمَّلُوهَا سَاعَةَ وُجُوبِهَا عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ مُهْلَةٍ فَصَارَتِ الْوَصِيَّةُ بِهَا بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهَا عَلَيْهِمْ
Bagian kedua adalah jika ia menjadikannya untuk si pembunuh, lalu ia berkata: “Aku telah mewasiatkan harta ini dan apa yang dihasilkannya untuk pelaku pembunuhan.” Jika wasiat kepada si pembunuh ditolak, maka diwajibkan pembayaran diyat atas ‘āqilah untuk ahli waris korban. Namun, jika wasiat kepada si pembunuh disetujui, maka ia berhak mengambilnya dari ‘āqilah-nya, karena itu adalah wasiat untuknya atas tanggungan mereka, baik dikatakan kewajiban itu atas mereka sebagai tanggungan atau sejak awal, karena mereka telah menanggungnya pada saat kewajiban itu jatuh atas mereka tanpa penundaan, sehingga wasiat itu menjadi hak mereka setelah kewajiban itu ditetapkan atas mereka.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَجْعَلَ الْوَصِيَّةَ بِهَا مُطْلَقَةً فَيَقُولُ قَدْ وَصَّيْتُ بِهَا وَمَا يَحْدُثُ مِنْهَا وَلَا يُسَمَّى الْمُوصِي لَهُ بِهَا فَهَذِهِ وَصِيَّةٌ بَاطِلَةٌ لِأَنَّهَا لِغَيْرِ مُسَمًّى وَلِلْوَرَثَةِ اسْتِيفَاؤُهَا مِنَ الْعَاقِلَةِ
Bagian ketiga adalah ketika seseorang membuat wasiat secara mutlak, misalnya dengan mengatakan, “Aku telah berwasiat dengannya dan apa yang terjadi darinya,” tanpa menyebutkan siapa penerima wasiat tersebut. Maka wasiat seperti ini adalah batal karena ditujukan kepada pihak yang tidak disebutkan secara jelas, dan para ahli waris berhak menagihnya dari ‘āqilah.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ عَفْوُهُ مَخْرَجَ الْوَصِيَّةِ بَلْ كَانَ عَفْوًا وَإِبْرَاءً مَحْضًا فَالْعَفْوُ وَالْإِبْرَاءُ لَا يَنْتَقِلُ مِنْ جِهَةِ مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الدِّيَةُ إِلَى غَيْرِهِ بِخِلَافِ الْوَصِيَّةِ سَوَاءٌ أُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمَ الْوَصِيَّةِ أَوْ حُكْمَ الْإِسْقَاطِ إِلَّا أَنَّهُ إِنْ جَرَى عَلَيْهِ حكم الوصية كان عفوا عن جميع الدية وَإِنْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْقَاطِ كَانَ عَفْوًا عَمَّا وَجَبَ بِابْتِدَاءِ الْجِنَايَةِ دُونَ مَا حَدَثَ عَنْهَا لِأَنَّ الْإِبْرَاءَ مِنْهُ كَانَ قَبْلَ وُجُوبِهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ عَفْوِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Jika pemaafan itu tidak keluar dalam bentuk wasiat, melainkan berupa pemaafan dan pembebasan murni, maka pemaafan dan pembebasan tidak berpindah dari pihak yang wajib membayar diyat kepada pihak lain, berbeda halnya dengan wasiat, baik diberlakukan atasnya hukum wasiat maupun hukum pengguguran. Hanya saja, jika diberlakukan atasnya hukum wasiat, maka itu merupakan pemaafan atas seluruh diyat. Namun jika diberlakukan hukum pengguguran, maka itu merupakan pemaafan atas apa yang telah wajib sejak awal terjadinya jinayah, bukan atas apa yang terjadi setelahnya, karena pembebasan darinya terjadi sebelum kewajibannya. Dengan demikian, keadaan pemaafannya tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَتَوَجَّهَ إِلَى الْجَانِي فَيَقُولُ قَدْ عَفَوْتُ عَنْكَ وَعَمَّا يَحْدُثُ بِجِنَايَتِكَ فَإِنْ قِيلَ إِن الدِّيَة وَجَبَتِ ابْتِدَاءً على العاقلة لم يبرأوا مِنْهَا وَكَانُوا مَأْخُوذِينَ بِهَا لِأَنَّ الْعَفْوَ عَنْ غَيْرِهِمْ وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا وَجَبَتْ فِي الِابْتِدَاءِ عَلَى الْجَانِي ثُمَّ تَحْمِلُهَا الْعَاقِلَةُ عَنْهُ صَحَّ الْعَفْوُ عَنْهَا وَبَرأتِ الْعَاقِلَةُ مِنْهَا لِتَوَجُّهِ الْعَفْوِ إِلَى مَحَلِّ الْوُجُوبِ سَوَاءٌ جُعِلَ هَذَا الْعَفْوُ فِي حُكْمِ الْوَصَايَا أَوِ الْإِبْرَاءِ وَسَوَاءٌ أُجِيزَتِ الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ أَوْ رُدَّتْ لِأَنَّ وُجُوبَ الدِّيَةِ عَلَى الْجَانِي غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ لِانْتِقَالِهَا فِي الْحَالِ عَنْهُ إِلَى عَاقِلَتِهِ فَلَمْ يَكُنْ فِي الْوَصِيَّةِ بِهَا مَا يَمْنَعُ الْقَتْلَ مِنْهَا إِذَا لَمْ يَنْتَقِلْ إِلَيْهِ مَالُهَا لَكِنْ إِنْ أُجْرِي عَلَيْهِ حكم الوصية كان عفوا عن جميع الدية وَإِنْ أُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِبْرَاءِ أَوِ الْإِسْقَاطِ كَانَ عَفْوًا عَمَّا وَجَبَ بِابْتِدَاءِ الْجِنَايَةِ دُونَ مَا حَدَثَ بَعْدَهَا بِالسِّرَايَةِ فَيَلْزَمُ الْعَاقِلَةَ مَا حَدَثَ بِالسِّرَايَةِ دُونَ مَا لَزِمَ بِابْتِدَاءِ الْجِنَايَةِ
Salah satunya adalah bahwa ia (wali korban) menghadap kepada pelaku dan berkata, “Aku telah memaafkanmu dan apa pun yang terjadi akibat perbuatanmu.” Jika dikatakan bahwa diyat wajib sejak awal atas ‘āqilah, maka mereka tidak terbebas darinya dan tetap dituntut karena pemaafan itu bukan ditujukan kepada mereka. Namun, jika dikatakan bahwa diyat sejak awal wajib atas pelaku, kemudian ‘āqilah menanggungnya dari pelaku, maka pemaafan itu sah dan ‘āqilah terbebas darinya, karena pemaafan itu ditujukan kepada pihak yang menjadi tempat kewajiban. Baik pemaafan ini dianggap sebagai wasiat atau pembebasan utang, dan baik wasiat kepada pembunuh diterima atau ditolak, karena kewajiban diyat atas pelaku belum tetap, sebab langsung berpindah darinya kepada ‘āqilah. Maka, dalam wasiat tersebut tidak ada yang menghalangi pembunuh dari diyat jika hartanya tidak berpindah kepadanya. Namun, jika diberlakukan hukum wasiat atasnya, maka itu adalah pemaafan atas seluruh diyat. Jika diberlakukan hukum pembebasan utang atau pengguguran, maka itu adalah pemaafan atas apa yang wajib sejak awal tindak pidana, bukan atas apa yang terjadi setelahnya karena penyebaran (sarayah), sehingga ‘āqilah tetap menanggung apa yang terjadi karena penyebaran, bukan apa yang wajib sejak awal tindak pidana.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَتَوَجَّهَ الْعَفْوُ إِلَى الْعَاقِلَةِ فَيَقُولُ قَدْ عَفَوْتُ عَنْ عَاقِلَتِكَ فِي جِنَايَتِكَ وَمَا يَحْدُثُ مِنْهَا فَيَصِحُّ الْعَفْوُ عَنْهُمْ سَوَاءٌ قِيلَ بِوُجُوبِهَا عَلَيْهِمِ ابْتِدَاءً أَوْ تَحَمُّلًا لِأَنَّهُمْ مَحَلُّ اسْتِقْرَارِهَا وَلَا مُطَالَبَةَ عَلَى الْجَانِي بِهَا لِانْتِقَالِهَا عَنْهُ إِلَى مَنْ بَرِئَ مِنْهَا لَكِنْ إِنْ أُجْرِيَ عَلَى الْعَفْوِ حُكْمَ الْوَصِيَّةِ كَانَ عفوا عن جميع الدية وإن أجري عليه حُكْمَ الْإِبْرَاءِ كَانَ عَفْوًا عَمَّا وَجَبَ بِابْتِدَاءِ الْجِنَايَةِ وَتُؤْخَذُ الْعَاقِلَةُ بِمَا حَدَثَ بِالسِّرَايَةِ
Bagian kedua adalah apabila pemaafan ditujukan kepada ‘āqilah, lalu ia berkata: “Aku telah memaafkan ‘āqilah-mu atas tindak pidanamu dan apa yang terjadi darinya.” Maka pemaafan dari mereka sah, baik dikatakan bahwa diyat wajib atas mereka sejak awal maupun karena menanggung, karena mereka adalah pihak yang menjadi tempat tetapnya diyat, dan tidak ada tuntutan kepada pelaku kejahatan atasnya karena telah berpindah darinya kepada orang yang telah terbebas darinya. Namun, jika pemaafan itu diperlakukan seperti wasiat, maka itu merupakan pemaafan atas seluruh diyat. Dan jika diperlakukan seperti pembebasan (ibrā’), maka itu adalah pemaafan atas apa yang telah wajib sejak awal terjadinya tindak pidana, dan ‘āqilah tetap bertanggung jawab atas apa yang terjadi akibat penyebaran (sarayah).
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْعَفْوُ مُطْلَقًا فَيَقُولُ قَدْ عَفَوْتُ عَنْهَا وَعَمَّا يَحْدُثُ مِنْهَا فَيَصِحُّ الْعَفْوُ عَلَى الْأَحْوَالِ كُلِّهَا لِتُوَجِّهِ الْعَفْوِ الْمُطْلَقِ إِلَى مَحَلِّ الْحَقِّ لَكِنْ إِنْ أَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَ الْوَصِيَّةِ صَحَّ فِي جَمِيعِ الدِّيَةِ وَإِنْ أَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَ الْإِبْرَاءِ صَحَّ فِيمَا وَجَبَ بِالْجِنَايَةِ وَبَطَلَ فِيمَا حَدَثَ بِالسِّرَايَةِ
Bagian ketiga adalah apabila pemaafan itu bersifat mutlak, misalnya seseorang berkata, “Aku telah memaafkannya dan apa pun yang timbul darinya.” Maka pemaafan itu sah dalam segala keadaan, karena pemaafan mutlak diarahkan pada objek hak tersebut. Namun, jika pemaafan itu diperlakukan seperti wasiat, maka sah untuk seluruh diyat. Dan jika diperlakukan seperti ibrā’, maka sah untuk apa yang telah menjadi kewajiban karena jināyah, tetapi batal untuk apa yang timbul kemudian akibat penyebaran (sarayah).
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَلَوْ كَانَ الْقَاتِلُ خَطَأً ذِمِّيًّا لَا يَجْرِي عَلَى عَاقِلَتِهِ الْحُكْمُ أَوْ مُسْلِمًا أَقَرَّ بِجِنَايَةِ خَطَأٍ فَالدِّيَةُ فِي أَمْوَالِهِمَا والعفو باطل لأنه وصية للقاتل ولو كان لهما عاقلة لم يكن عفوا عن العاقلة إلا أن يريد بقوله عفوت عنه أرش الجناية أو ما يلزم من أرش الجناية قد عفوت ذلك عن عاقلته فيجوز ذلك لها قال المزني رحمه الله قد اثبت أنها وصية وأنها باطلة لقاتل
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika pembunuh karena tidak sengaja itu adalah seorang dzimmi, maka hukum tidak berlaku atas ‘aqilah-nya, atau seorang Muslim yang mengakui telah melakukan tindak pidana karena kesalahan, maka diyat diambil dari harta mereka berdua, dan pemaafan itu batal karena dianggap sebagai wasiat kepada pembunuh. Jika keduanya memiliki ‘aqilah, maka pemaafan itu bukanlah pemaafan terhadap ‘aqilah kecuali jika maksud dari ucapannya “aku memaafkannya” adalah memaafkan ganti rugi tindak pidana atau apa yang menjadi kewajiban dari ganti rugi tindak pidana, maka boleh baginya memaafkan ‘aqilah-nya. Al-Muzani rahimahullah berkata: Telah ditetapkan bahwa itu adalah wasiat dan batal bagi pembunuh.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ مِنْ مَسَائِلِ حِجَاجِهِ وَهِيَ مُصَوَّرَةٌ فِي الذِّمِّيِّ إِذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ عَاقِلَةٌ وَفِي الْمُسْلِمِ إِذَا أَقَرَّ بِالْجِنَايَةِ وَلَمْ يُقِمْ بِهَا بَيِّنَةً وَهُمَا يَسْتَوِيَانِ فِي حُكْمِ جِنَايَةِ الْخَطَأِ وَإِنِ افْتَرَقَا فِيهَا مِنْ وَجْهٍ آخَرَ وَاسْتِوَاؤُهُمَا فِيهَا أَنَّ الذِّمِّيَّ إِذَا كَانَتْ لَهُ عَاقِلَةٌ لَا يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُنَا كَانَتْ جِنَايَةُ خَطَئِهِ فِي مَالِهِ فَلَوْ جَرَى عَلَيْهِمْ حُكْمُنَا كَانَتْ جِنَايَتُهُ عَلَى عَاقِلَتِهِ وَالْمُسْلِمُ إِذَا أَقَرَّ بِجِنَايَةِ الْخَطَأِ كَانَتِ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ وَلَوْ قَامَتْ بِهَا بَيِّنَةٌ كَانَتْ عَلَى عَاقِلَتِهِ فَصَارَ الْمُسْلِمُ إِذَا أَقَرَّ بِجِنَايَةِ الْخَطَأِ كَالذِّمِّيِّ إِذَا لَمْ يَجْرِ عَلَى عَاقِلَتِهِ حُكْمٌ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ عَلَيْهِمَا فِي أَمْوَالِهِمَا فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَهُمَا قَاتِلَانِ فَإِنْ رُدَّتِ الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ وَجَبَتِ الدِّيَةُ عَلَيْهِمَا سَوَاءٌ خَرَجَ الْعَفْوُ مَخْرَجَ الْوَصِيَّةِ أَوْ مَخْرَجَ الْإِبْرَاءِ وَإِنْ أُجِيزَتِ الْوَصِيَّةُ لِلْقَاتِلِ صَحَّ الْعَفْوُ عَنْ جَمِيعِ الدِّيَةِ وَإِنْ أُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْوَصِيَّةِ وَإِنْ أُجْرِيَ عَلَى الْعَفْوِ حُكْمُ الْإِبْرَاءِ صَحَّ فِيمَا وَجَبَ بِالْجِنَايَةِ وَبَطَلَ فِيمَا حَدَثَ بِالسِّرَايَةِ وَأَمَّا مَا يَفْتَرِقُ الْمُسْلِمُ وَالذِّمِّيُّ فِيهِ مِنْ جِنَايَةِ الْخَطَأِ فَهُوَ أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ عَاقِلَةٌ كَانَتْ جِنَايَتُهُ فِي مَالِهِ لِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ أَوْلِيَاءُ الْمُسْلِمِ دُونَ الْكَافِرِ فَعَقَلُوا عَنِ الْمُسْلِمِ وَلَمْ يَعْقِلُوا عَنِ الْكَافِرِ وَلَئِنْ صَارَ مَالُهُمَا بِالْمَوْتِ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُمَا وَارِثٌ فَحُكْمُهُ مُخْتَلِفٌ لِأَنَّ مَالَ الْمُسْلِمِ يَنْتَقِلُ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ مِيرَاثًا وَيَنْتَقِلُ مَالُ الذِّمِّيِّ إِلَيْهِ فَيْئًا وَفِيمَا أَوْرَدْنَاهُ مَنْ شَرْحِ الْمَذْهَبِ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ الَّتِي احْتَجَّ بِهَا الْمُزَنِيُّ مَا يَزُولُ بِهِ احْتِجَاجُ وهمه وبالله التوفيق
Al-Mawardi berkata: Inilah masalah ketiga dari permasalahan-permasalahan hujjahnya, yaitu digambarkan pada kasus dzimmi jika ia tidak memiliki ‘aqilah, dan pada kasus muslim jika ia mengakui perbuatan jinayah namun tidak mendatangkan bukti. Keduanya sama dalam hukum jinayah khatha’ (kesalahan), meskipun berbeda dari sisi lain. Kesamaan keduanya adalah bahwa jika dzimmi memiliki ‘aqilah, maka hukum kita tidak berlaku atas mereka; jinayah khatha’-nya menjadi tanggungan hartanya sendiri. Jika hukum kita berlaku atas mereka, maka jinayahnya menjadi tanggungan ‘aqilah-nya. Adapun muslim, jika ia mengakui jinayah khatha’, maka diyat menjadi tanggungan hartanya; namun jika ada bukti, maka diyat menjadi tanggungan ‘aqilah-nya. Maka, seorang muslim yang mengakui jinayah khatha’ adalah seperti dzimmi yang tidak berlaku hukum atas ‘aqilah-nya, dalam hal kewajiban diyat atas keduanya dari harta mereka masing-masing. Jika demikian, maka keduanya adalah pembunuh. Jika wasiat kepada pembunuh ditolak, maka diyat wajib atas keduanya, baik pemaafan itu diposisikan sebagai wasiat maupun sebagai pembebasan (ibra’). Jika wasiat kepada pembunuh dibolehkan, maka sah pemaafan atas seluruh diyat, meskipun berlaku hukum wasiat atasnya. Jika pemaafan diperlakukan sebagai ibra’, maka sah pada diyat yang wajib karena jinayah, dan batal pada diyat yang timbul karena sirayah (penyebaran luka). Adapun perbedaan antara muslim dan dzimmi dalam jinayah khatha’ adalah bahwa jika seorang muslim tidak memiliki ‘aqilah, maka jinayahnya menjadi tanggungan hartanya, karena kaum muslimin adalah wali bagi sesama muslim, bukan bagi kafir; maka mereka menanggung diyat muslim, namun tidak menanggung diyat kafir. Jika harta keduanya (muslim dan dzimmi) setelah wafat berpindah ke Baitul Mal karena tidak memiliki ahli waris, maka hukumnya berbeda: harta muslim berpindah ke Baitul Mal sebagai warisan, sedangkan harta dzimmi berpindah ke Baitul Mal sebagai fai’. Dalam penjelasan madzhab yang kami sampaikan terkait tiga masalah yang dijadikan hujjah oleh al-Muzani, terdapat penjelasan yang menghilangkan kerancuan hujjahnya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik diberikan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله ولو جنا عبد على حر فابتاعه بأرش الجرح فَهُوَ عَفْوٌ وَلَمْ يَجُزِ الْبَيْعُ إِلَّا أَنْ يَعْلَمَا أَرْشَ الْجُرْحِ لِأَنَّ الْأَثْمَانَ لَا تَجُوزُ إِلَّا مَعْلُومَةً فَإِنْ أَصَابَ بِهِ عَيْبًا رَدَّهُ وَكَانَ لَهُ فِي عُنُقِهِ أَرْشُ جِنَايَتِهِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika seorang budak melakukan tindak pidana terhadap seorang merdeka, lalu orang yang merdeka itu membeli budak tersebut dengan harga ganti rugi luka, maka itu dianggap sebagai pemaafan. Namun, jual beli itu tidak sah kecuali keduanya mengetahui besaran ganti rugi luka, karena harga-harga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan diketahui. Jika ternyata pada budak itu terdapat cacat, maka ia boleh mengembalikannya, dan ia tetap berhak atas ganti rugi tindak pidana yang ada pada budak tersebut.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي عَبْدٍ جَنَى عَلَى حُرٍّ جِنَايَةَ عَمْدٍ فَالْتَمَسَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَنْ يَبْتَاعَهُ مِنْ سَيِّدِهِ فَالسَّيِّدُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ بَيْعِهِ عَلَيْهِ أَوْ مَنْعِهِ مِنْهُ سَوَاءٌ أَرَادَ السَّيِّدُ أَنْ يَفْدِيَهُ مِنْ جِنَايَتِهِ أَوْ أَنْ يَبِيعَهُ فِيهَا لِأَنَّ الْبَيْعَ عَقْدُ مُرَاضَاةٍ لَا يَلْزَمُ إِلَّا بِالِاخْتِيَارِ فَإِنْ أَجَابَ سَيِّدُهُ إِلَى بَيْعِهِ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَهَذَا عَلَى ضربين
Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah seorang budak yang melakukan kejahatan sengaja terhadap seorang merdeka, lalu orang yang menjadi korban meminta agar ia dapat membeli budak tersebut dari tuannya. Maka, tuan budak tersebut memiliki pilihan antara menjual budak itu kepadanya atau menolak permintaannya, baik tuan itu ingin menebus budaknya dari kejahatannya atau ingin menjualnya karena kejahatan tersebut. Sebab, jual beli adalah akad yang didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak dan tidak menjadi wajib kecuali dengan pilihan. Jika tuannya menyetujui untuk menjual budak itu kepada korban, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.
أحدهما أن بيعه عَلَيْهِ بِثَمَنٍ فِي الذِّمَّةِ
Pertama, bahwa ia menjual kepadanya dengan harga yang menjadi tanggungan (piutang)
وَالثَّانِي أَنَّ بَيْعَهُ بِأَرْشِ الْجِنَايَةِ فَإِنْ كَانَ الْبَيْعُ بِثَمَنٍ فِي الذِّمَّةِ لَمْ يَكُنِ الِابْتِيَاعُ عَفْوًا عَنِ الْقَوَدِ لِاسْتِحْقَاقِهِ عَلَى الْعَبْدِ لَوْ كَانَ فِي مِلْكِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَلَمْ يَسْقُطْ بِانْتِقَالِهِ إِلَيْهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ الْقِصَاصُ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُسْتَحَقًّا فِي طَرَفٍ أَوْ نَفْسٍ فَإِنْ كَانَ مُسْتَحَقًّا فِي طَرَفٍ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ وَلِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ أَطْرَافِهِ إِذَا صَارَ فِي مِلْكِهِ كَمَا كَانَ لَهُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْهُ فِي مِلْكِ بَائِعِهِ وَلَا خِيَارَ لَهُ في نقصه بهذا القصاص لعلمه باستحقاقه وإن كَانَ الْقِصَاصُ فِي نَفْسِهِ لَمْ يَمْنَعْ ذَلِكَ مِنْ جَوَازِ بَيْعِهِ لِتَرَدُّدِ حَالِهِ بَيْنَ عَفْوٍ واقتصاص كالمريض المدمن يَجُوزُ بَيْعُهُ مَعَ خَوْفِ مَوْتِهِ لِتَرَدُّدِ حَالِهِ بَيْنَ بُرْءٍ وَعَطَبٍ وَإِذَا كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا فَوَلِيُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بَعْدَ ابْتِيَاعِهِ عَلَى حَقِّهِ مِنَ الْقِصَاصِ وَهُوَ فِيهِ بِالْخِيَارِ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ اسْتَقَرَّ الْبَيْعُ فِيهِ وَكَانَ لَهُ مُطَالَبَةُ بَائِعِهِ بِالدِّيَةِ إِنْ كَانَتْ بِقَدْرِ ثَمَنِهِ فَمَا دُونَهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْهُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ
Kedua, bahwa penjualannya dengan nilai ganti rugi jinayah. Jika penjualan dilakukan dengan harga yang menjadi tanggungan (utang), maka pembelian itu tidak dianggap sebagai pengampunan atas qishāsh, karena hak itu tetap dimiliki atas budak tersebut seandainya ia masih dalam kepemilikan korban, dan hak itu tidak gugur dengan berpindahnya kepemilikan kepada pembeli. Jika demikian, maka qishāsh tidak lepas dari dua kemungkinan: hak itu terkait dengan anggota tubuh atau dengan jiwa. Jika hak itu terkait dengan anggota tubuh, maka penjualan sah dan korban berhak melakukan qishāsh atas anggota tubuh budak itu setelah menjadi miliknya, sebagaimana ia berhak melakukannya ketika budak itu masih milik penjual, dan ia tidak memiliki hak khiyār (membatalkan jual beli) karena kekurangan akibat qishāsh tersebut, karena ia mengetahui haknya atas qishāsh itu. Jika qishāsh itu terkait dengan jiwa, hal itu tidak menghalangi keabsahan penjualan, karena statusnya masih antara kemungkinan dimaafkan atau dilakukan qishāsh, seperti orang sakit yang kronis, yang penjualannya tetap sah meskipun dikhawatirkan meninggal dunia, karena statusnya masih antara kemungkinan sembuh atau binasa. Jika penjualan itu sah, maka wali korban setelah membeli budak tersebut tetap memiliki hak qishāsh, dan ia dalam posisi memilih. Jika ia memaafkan, maka penjualan itu tetap berlaku, dan ia berhak menuntut penjual untuk membayar diyat jika diyat itu sebesar atau kurang dari harga budak tersebut. Namun jika diyat itu lebih besar dari harga budak, maka ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يُطَالِبُهُ بِجَمِيعِهَا
Salah satunya menuntutnya untuk seluruhnya.
وَالثَّانِي لَيْسَ لَهُ إِلَّا قَدْرُ ثَمَنِهِ وَسَيِّدُهُ الْبَائِعُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ دَفْعِ الثَّمَنِ الَّذِي قَبَضَهُ بِعَيْنِهِ وَبَيْنَ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ غَيْرُهُ وَيَكُونُ الْبَاقِي مِنَ الدِّيَةِ بَعْدَ ثَمَنِهِ هَدَرًا وَإِنِ اقْتَصَّ مِنْهُ وَلِيُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ الْمُشْتَرِي لَهُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الِاقْتِصَاصِ مِنْهُ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى مُسْتَهْلِكِهِ بِالْغَصْبِ أَوْ مَجْرَى مَوْتِهِ بِالْمَرَضِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Dan yang kedua, ia tidak berhak kecuali atas sejumlah harga budaknya, dan tuan penjualnya diberi pilihan antara mengembalikan harga yang telah diterimanya itu secara langsung atau memberikan yang lain sebagai gantinya. Sisa dari diyat setelah harga budak tersebut menjadi gugur. Jika wali korban menuntut qishāsh terhadap pembeli budak itu, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai pelaksanaan qishāsh terhadapnya: apakah diperlakukan seperti orang yang menghabiskan budak itu dengan cara merampas, atau seperti kematian budak itu karena sakit, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى اسْتِحْقَاقِهِ بِالْغَصْبِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِوَلِيِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْبَائِعِ بِثَمَنِهِ مَعَ عِلْمِهِ بِحَالِهِ لِأَنَّ مَنِ اشْتَرَى عَبْدًا مِنْ غَاصِبِهِ مَعَ عِلْمِهِ بِغَصْبِهِ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ بِثَمَنِهِ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa hal itu berlaku seperti hak kepemilikan karena ghasb (perampasan). Berdasarkan pendapat ini, wali dari korban berhak menuntut kembali harga dari penjual jika ia mengetahui keadaannya, karena siapa pun yang membeli seorang budak dari orang yang merampasnya dengan mengetahui perampasan tersebut, maka ia berhak menuntut kembali harga tersebut.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ الْقِصَاصَ يَجْرِي مَجْرَى مَوْتِهِ بِالْمَرَضِ فَعَلَى هَذَا لَا يَرْجِعُ بِثَمَنِهِ لِتَلَفِهِ فِي يَدِهِ وَلَا بِأَرْشِ عَيْنِهِ لِعِلْمِهِ بِجِنَايَتِهِ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa qishāsh diperlakukan seperti kematian karena sakit. Berdasarkan hal ini, tidak ada hak untuk menuntut ganti rugi atas nilainya karena kerusakannya terjadi di tangannya, dan juga tidak ada hak untuk menuntut diyat atas matanya karena ia mengetahui adanya jinayah (kejahatan) yang dilakukannya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنِ اشْتَرَاهُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَوْ وَلِيُّهُ بِأَرْشِ جِنَايَتِهِ فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَيَكُونُ ذَلِكَ عَفْوًا عَنِ الْقِصَاصِ بِمُجَرَّدِ الطَّلَبِ سَوَاءٌ تَمَّ الْبَيْعُ بَيْنَهُمَا أَمْ لَا؛ لِأَنَّهُ عُدُولٌ إِلَى الْأَرْشِ وَالْعُدُولُ إِلَيْهِ عَفْوٌ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي أَرْشِ الْجِنَايَةِ فَإِنْ جَهِلَهَا الْمُتَبَايِعَانِ كَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا لِلْجَهْلِ بِقَدْرِ الثَّمَنِ وَإِنْ عَلِمَاهَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Jika orang yang menjadi korban atau walinya membeli (anggota tubuh) dengan harga diyat dari tindak pidana tersebut, maka ini adalah permasalahan yang disebutkan dalam kitab, sehingga hal itu dianggap sebagai pengampunan terhadap qishāsh hanya dengan permintaan, baik jual beli itu terjadi di antara keduanya atau tidak; karena hal itu merupakan peralihan kepada diyat, dan peralihan kepadanya adalah pengampunan. Kemudian, dilihat pada diyat tindak pidana tersebut; jika kedua pihak yang bertransaksi tidak mengetahui nilainya, maka jual beli itu batal karena ketidaktahuan terhadap besaran harga. Namun jika keduanya mengetahuinya, maka ada dua kemungkinan.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ مُقَدَّرَةً وَرِقًا أَوْ ذَهَبًا فَالْبَيْعُ جَائِزٌ
Salah satunya adalah jika nilainya ditetapkan dalam bentuk perak atau emas, maka jual beli tersebut diperbolehkan.
وَالثَّانِي أَنْ تَكُونَ مُقَدَّرَةً إِبِلًا كَالْجِنَايَةِ عَلَى الْأُصْبُع مُقَدَّرَةً بِعَشْرٍ مِنَ الْإِبِلِ أَثْلَاثًا فِي الْعَمْدِ وَأَخْمَاسًا فِي الْخَطَأِ فَإِذَا ابْتَاعَهُ بِهَا فَهِيَ مَعْلُومَةُ الْجِنْسِ وَالسِّنِّ مَجْهُولَةُ النَّوْعِ وَالصِّفَةِ وَفِي جَوَازِ جَعْلِهَا صَدَاقًا قَوْلَانِ
Kedua, yaitu jika mahar itu ditetapkan berupa unta, seperti dalam kasus jinayah (pelanggaran) terhadap jari yang ditetapkan sepuluh ekor unta, sepertiga dalam kasus sengaja dan seperlima dalam kasus tidak sengaja. Jika seseorang membeli mahar dengan unta tersebut, maka jenis dan umur unta itu sudah diketahui, tetapi jenis spesifik dan sifatnya tidak diketahui. Dalam hal kebolehan menjadikannya sebagai mahar, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَجُوزُ لِلْعِلْمِ بِجِنْسِهَا وَسِنِّهَا وَثُبُوتِهَا فِي الذِّمَّةِ وَاسْتِحْقَاقِ الْمُطَالَبَةِ بِهَا
Salah satunya diperbolehkan karena telah diketahui jenisnya, ukurannya, telah tetap sebagai tanggungan, dan berhak untuk ditagih.
وَالثَّانِي لَا يَجُوزُ لِلْجَهْلِ بِنَوْعِهَا وَحَبْسِهَا وَأَنَّ حُكْمَ الْعُقُودِ أَضْيَقُ وأغلط
Yang kedua tidak diperbolehkan karena ketidaktahuan terhadap jenisnya dan penahanannya, serta karena hukum akad lebih ketat dan lebih berat.
فَأَمَّا الْبَيْعُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَكَانَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يُخْرِجُهُ على قَوْلَيْنِ كَالصَّدَاقِ لِأَنَّهُمَا عَقْدَا مُعَاوَضَةٍ وَذَهَبَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ إِلَى بُطْلَانِهِ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ كَانَ الصَّدَاقُ عَلَى قَوْلَيْنِ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا بِاتِّسَاعِ حُكْمِ الصَّدَاقِ لِثُبُوتِهِ بِعَقْدٍ وَغَيْرِ عَقْدٍ وَضِيقِ حُكْمِ الْبَيْعِ الَّذِي لَا يُسْتَحَقُّ الثَّمَنُ فِيهِ إِلَّا بِعَقْدٍ
Adapun mengenai jual beli, para ulama kami berbeda pendapat tentangnya. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah mengeluarkannya dalam dua pendapat seperti halnya mahar, karena keduanya merupakan akad mu‘āwaḍah (pertukaran). Sedangkan Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat batal secara pasti, meskipun dalam masalah mahar ada dua pendapat, karena adanya perbedaan antara keduanya: hukum mahar lebih luas karena dapat ditetapkan dengan akad maupun tanpa akad, sedangkan hukum jual beli lebih sempit, di mana harga tidak dapat menjadi hak kecuali dengan adanya akad.
فَإِنْ قِيلَ بِبُطْلَانِ الْبَيْعِ كَانَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ يُبَاعُ فِيهَا إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ السَّيِّدُ مِنْهَا
Jika dikatakan bahwa jual belinya batal, maka diyat (ganti rugi) atas tindak pidana yang terjadi pada leher budak itu diambil dari hasil penjualannya, kecuali jika tuannya menebusnya dari diyat tersebut.
فَإِنْ قِيلَ بِجَوَازِ الْبَيْعِ بَرِئَ الْعَبْدُ وَبَائِعُهُ مِنْ أَرْشِ جِنَايَتِهِ فَإِنْ وَجَدَ بِهِ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَوْ وَلَيُّهُ عَيْبًا سِوَى الْجِنَايَةِ كَانَ لَهُ أَنْ يَرُدَّهُ بِهِ وَيَعُودَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ فِي رَقَبَتِهِ فَيُبَاعُ فِيهَا أَوْ يَفْدِيهِ السَّيِّدُ مِنْهَا
Jika dikatakan bahwa penjualan itu boleh, maka budak dan penjualnya terbebas dari kewajiban membayar diyat atas tindak pidana (jinayah) yang dilakukannya. Namun, jika orang yang menjadi korban atau walinya menemukan cacat lain pada budak tersebut selain jinayah, maka ia berhak mengembalikannya karena cacat itu, dan kewajiban diyat atas jinayah kembali menjadi tanggungan budak tersebut. Maka budak itu dapat dijual untuk menutupi diyat tersebut, atau tuannya dapat menebusnya dari diyat itu.
فَإِنْ قِيلَ فَمَا الْفَائِدَةُ فِي رَدِّهِ بِعَيْبِهِ وَلَيْسَ لِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ غَيْرُ ثَمَنِهِ مَعِيبًا
Jika dikatakan, “Lalu apa manfaat mengembalikannya karena cacatnya, padahal bagi korban tidak ada hak selain harga barang itu dalam keadaan cacat?”
قِيلَ لِجَوَازِ أَنْ يَرْغَبَ فِي ابْتِيَاعِهِ مَنْ يَرْضَى بِعَيْبِهِ فَيَبْرَأُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ مِنْ ضَمَانِ دَرْكِهِ وَبِاللَّهِ التوفيق
Dikatakan bahwa hal itu diperbolehkan agar mungkin ada orang yang berkeinginan membeli barang tersebut dan rela dengan cacatnya, sehingga pihak yang terkena pelanggaran terbebas dari tanggungan jaminan atas barang itu. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan.
تم كتاب جراح العمد والحمد لله
Kitab Jirāḥ al-‘Amad telah selesai, segala puji bagi Allah.
كِتَابُ الدِّيَاتِ
Kitab Diyat
بَابُ أَسْنَانِ الْإِبِلِ الْمُغَلَّظَةِ
Bab Gigi Unta yang Berat (Diyatnya Diperberat)
وَالَعَمْدِ وكيف يشبه العمد الخطأ
Dan al-‘amdu (kesengajaan), serta bagaimana al-‘amdu menyerupai al-khathā’ (ketidaksengajaan).
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ أَلَا إِنَّ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ الْخَطَأِ بالسوط والعصا مائة من الإبل مغلظة منها أربعون خلقة فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فَهَذَا خَطَأٌ فِي الْقَتْلِ وَإِنْ كَانَ عَمْدًا فِي الضَّرْبِ
Syafi‘i rahimahullah berkata: Ibnu ‘Uyaynah telah memberitakan kepada kami, dari ‘Ali bin Zaid bin Jud‘an, dari al-Qasim bin Rabi‘ah, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Ketahuilah, dalam kasus pembunuhan yang disengaja namun keliru dengan cambuk dan tongkat, diyatnya adalah seratus ekor unta yang diperberat, di antaranya empat puluh ekor unta betina yang sedang mengandung.” Syafi‘i rahimahullah berkata: Ini adalah kesalahan dalam pembunuhan, meskipun ada unsur kesengajaan dalam pemukulan.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْأَصْلُ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ
Al-Mawardi berkata: Dasar kewajiban pembayaran diyat adalah al-Qur’an dan sunnah.
فَأَمَّا الْكِتَابُ فَقَوْلُهُ تَعَالَى وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ النساء 92 فَنَصَّ عَلَى دِيَةٍ أَجْمَلَ بَيَانَهَا حَتَّى أَخَذَ مِنَ السُّنَّةِ الَّذِي قَدَّمَهُ الشَّافِعِيُّ بِإِسْنَادِهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ أَلَا إِنَّ فِي قَتِيلِ الْعَمْدِ الْخَطَأِ بالسوط والعصا مائة من الإبل مغلظة منها أَرْبَعُونَ خَلِفَةً فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا
Adapun dalil dari al-Kitab adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tersalah; dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (an-Nisā’ 92). Maka Allah telah menetapkan adanya diyat secara global, lalu penjelasannya diambil dari as-Sunnah sebagaimana yang diriwayatkan oleh asy-Syāfi‘ī dengan sanadnya dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Ketahuilah, dalam kasus pembunuhan yang menyerupai kesengajaan (al-‘amdu al-khaṭa’) dengan cambuk dan tongkat, diyatnya adalah seratus ekor unta yang diperberat, di antaranya empat puluh ekor unta bunting yang di dalam perutnya ada anaknya.”
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الدِّيَةِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَالْقَتْلُ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Maka apabila telah tetap kewajiban diyat berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, pembunuhan terbagi menjadi tiga jenis.
قِسْمٌ يَكُونُ عَمْدًا مَحْضًا
Bagian yang merupakan kesengajaan murni.
وَقِسْمٌ يَكُونُ خَطَأً مَحْضًا
Dan sebagian lagi merupakan kesalahan murni.
وَقِسْمٌ يَكُونُ عَمْدَ الْخَطَأِ يَأْخُذُ مِنَ الْعَمْدِ شَبَهًا وَمِنِ الْخَطَأِ شَبَهًا
Dan ada pula suatu bagian yang disebut ‘amdu al-khathā’, yang memiliki kemiripan dengan ‘amdu’ (kesengajaan) dan juga kemiripan dengan ‘khathā’ (ketidaksengajaan).
فَأَمَّا الْعَمْدُ الْمَحْضُ فَهُوَ أَنْ يَكُونَ عَامِدًا فِي فِعْلِهِ بِمَا يَقْتُلُ مِثْلُهُ قَاصِدًا لِقَتْلِهِ وَذَلِكَ أَنْ يَضْرِبَهُ بِسَيْفٍ أَوْ مَا يَقْتُلُ مِثْلُهُ مِنَ الْمُثْقَلِ عَامِدًا فِي الْفِعْلِ قَاصِدًا لِلنَّفْسِ
Adapun pembunuhan sengaja murni adalah ketika seseorang dengan sengaja melakukan perbuatan dengan sesuatu yang biasanya dapat membunuh, dengan maksud untuk membunuhnya. Contohnya adalah memukul dengan pedang atau dengan benda berat yang lazimnya dapat membunuh, dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut dan dengan maksud terhadap jiwa (korban).
وَأَمَّا الْخَطَأُ الْمَحْضُ فَهُوَ أَنْ لَا يَعْمِدَ الْفِعْلَ وَلَا يَقْصِدَ النَّفْسَ وَذَلِكَ بِأَنْ يَرْمِيَ هَدَفًا أَوْ صَيْدًا أَوْ يُلْقِيَ حَجَرًا فَيَعْتَرِضُهُ إِنْسَانٌ فَتُصِيبُهُ الرَّمْيَةُ فَيَمُوتُ مِنْهَا فَيَكُونُ مُخْطِئًا فِي الْفِعْلِ وَالْقَصْدِ
Adapun kesalahan murni adalah ketika seseorang tidak sengaja melakukan perbuatan dan tidak bermaksud mengenai jiwa seseorang, yaitu seperti ketika seseorang melempar ke arah sasaran atau binatang buruan, atau melemparkan batu, lalu tiba-tiba ada seseorang yang melintas sehingga lemparan itu mengenainya dan menyebabkan ia meninggal karenanya. Maka dalam hal ini, ia dianggap bersalah baik dalam perbuatan maupun dalam maksudnya.
وَأَمَّا عَمْدُ الْخَطَأِ فَهُوَ أن يكون عامداً في الفعل غير قاصداً لِلْقَتْلِ وَذَلِكَ بِأَنْ يَعْمِدَ ضَرْبَهُ بِمَا لَا يقتل في الأغلب وإن جاز أن يقتل كَالسَّوْطِ وَالْعَصَا وَمَا تَوَسَّطَ مِنَ الْمُثْقَلِ الَّذِي يجوز أن يقتل ويجوز أن لا يقتل فَيَأْخُذُ شَبَهًا مِنَ الْعَمْدِ لِعَمْدِهِ لِلْفِعْلِ وَيَأْخُذُ شَبَهًا مِنَ الْخَطَأِ لِعَدَمِ قَصْدِهِ لِلْقَتْلِ فَسُمِّيَ عَمْدَ الْخَطَأِ لِوُجُودِ صِفَةِ الْعَمْدِ فِي الْفِعْلِ وَصِفَةِ الْخَطَأِ فِي عَدَمِ الْقَصْدِ فَصَارَ الْعَمْدُ مَا كَانَ عَامِدًا فِي فِعْلِهِ وَقَصْدِهِ وَالْخَطَأُ مَا كَانَ مُخْطِئًا فِي فِعْلِهِ وَقَصْدِهِ وَعَمْدُ الْخَطَأِ مَا كَانَ عَامِدًا فِي فِعْلِهِ خَاطِئًا فِي قَصْدِهِ وَوَافَقَ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى عَمْدِ الْخَطَأِ وَخَالَفَ فِيهِ مَالِكٌ وَقَالَ لَا أَعْرِفُ عَمْدَ الْخَطَأِ وَلَيْسَ الْقَتْلُ إِلَّا عَمْدًا أَوْ خَطَأً وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا ثَالِثٌ كَمَا قَالَ لَا أَعْرِفُ الْخُنْثَى وَمَا هُوَ إِلَّا ذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى اسْتِدْلَالًا بِاسْتِحَالَةِ اجْتِمَاعِ الضِّدَّيْنِ فِي حَالَةٍ لِأَنَّ الْخَطَأَ ضِدُّ الْعَمْدِ فَاسْتَحَالَ أَنْ يَجْتَمِعَا كَمَا اسْتَحَالَ أَنْ يَكُونَ قَائِمًا قَاعِدًا وَمُتَحَرِّكًا سَاكِنًا وَنَائِمًا مُسْتَيْقِظًا قَالَ وَلِذَلِكَ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ حُكْمَ الْعَمْدِ الْمَحْضِ وَحُكْمَ الْخَطَأِ الْمَحْضِ وَلَمْ يَذْكُرْ حُكْمَ عَمْدِ الْخَطَأِ لِاسْتِحَالَتِهِ
Adapun ‘amdu al-khathā’ (sengaja yang keliru) adalah seseorang sengaja melakukan perbuatan tetapi tidak bermaksud membunuh, yaitu dengan sengaja memukul dengan sesuatu yang pada umumnya tidak mematikan, meskipun mungkin saja bisa mematikan, seperti cambuk, tongkat, atau benda berat yang tingkat bahayanya sedang, yang bisa saja mematikan atau tidak. Maka, ia memiliki kemiripan dengan ‘amdu (sengaja) karena kesengajaan dalam perbuatannya, dan juga memiliki kemiripan dengan khathā’ (keliru) karena tidak ada niat membunuh. Oleh karena itu, dinamakan ‘amdu al-khathā’ karena terdapat sifat sengaja dalam perbuatannya dan sifat keliru dalam tidak adanya niat. Maka, ‘amdu adalah apa yang disengaja dalam perbuatan dan niatnya, khathā’ adalah apa yang keliru dalam perbuatan dan niatnya, dan ‘amdu al-khathā’ adalah apa yang disengaja dalam perbuatannya namun keliru dalam niatnya. Abu Hanifah menyetujui adanya ‘amdu al-khathā’, sedangkan Malik berbeda pendapat dalam hal ini dan berkata, “Aku tidak mengenal ‘amdu al-khathā’; pembunuhan itu hanya ada dua, yaitu sengaja (‘amdu) atau keliru (khathā’), dan tidak ada yang ketiga di antara keduanya, sebagaimana aku tidak mengenal khuntsā (interseks), dan manusia itu hanya laki-laki atau perempuan.” Ia berdalil dengan mustahilnya berkumpul dua hal yang bertentangan dalam satu keadaan, karena khathā’ adalah lawan dari ‘amdu, maka mustahil keduanya berkumpul, sebagaimana mustahil seseorang berdiri sekaligus duduk, bergerak sekaligus diam, tidur sekaligus terjaga. Ia berkata, “Karena itu Allah Ta‘ala dalam Kitab-Nya hanya menyebutkan hukum ‘amdu yang murni dan hukum khathā’ yang murni, dan tidak menyebutkan hukum ‘amdu al-khathā’ karena kemustahilannya.”
وَدَلِيلُنَا السُّنَّةُ الْمَعْمُولُ بِهَا ثُمَّ الْإِجْمَاعُ الْمُنْعَقِدُ بَعْدَهَا ثُمَّ الِاعْتِبَارُ الْمُوجِبُ لِمُقْتَضَاهَا
Dalil kami adalah sunnah yang diamalkan, kemudian ijmā‘ yang telah disepakati setelahnya, lalu i‘tibār yang mewajibkan konsekuensinya.
فَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَا قَدَّمَهُ الْمُزَنِيُّ وَرَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زيد ابن جُدْعَانَ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ أَلَا إِنَّ فِي قَتِيلِ الْعَمْدِ الْخَطَأِ بالسوط والعصا مائة من الإبل مغلظة منها أَرْبَعُونَ خَلِفَةً فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا فَدَلَّ عَلَى مَالِكٍ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ
Adapun sunnah adalah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh al-Muzani dan diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Sufyan bin ‘Uyaynah, dari ‘Ali bin Zaid bin Jud‘an, dari al-Qasim bin Rabi‘ah, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah, pada kasus pembunuhan sengaja yang menyerupai kesalahan (al-‘amdu al-khata’) dengan cambuk dan tongkat, diyatnya adalah seratus ekor unta yang diperberat, di antaranya empat puluh ekor unta betina yang sedang bunting di dalam perutnya ada anaknya.” Maka hadis ini menunjukkan pendapat Malik dari tiga sisi.
أَحَدُهَا وَصْفُهُ بِالْعَمْدِ الْخَطَأِ وَمَالِكٌ يُنْكِرُهَا
Salah satunya adalah penyifatan dengan ‘amdu al-khathā’, dan Malik mengingkarinya.
وَالثَّانِي إِيجَابُ الدِّيَةِ فِيهِ وَمَالِكٌ يُوجِبُ الْقَوَدَ
Yang kedua adalah mewajibkan pembayaran diyat dalam kasus ini, sedangkan Malik mewajibkan qisas.
وَالثَّالِثُ أَنَّهُ قَدَّرَ الدِّيَةَ بِمِائَةٍ مِنَ الْإِبِلِ وَمَالِكٌ يُوجِبُ مَا تَرَاضَيَا بِهِ كَالْأَثْمَانِ فَإِنْ قِيلَ فَهَذَا الْحَدِيثُ لَا يَصِحُّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ مِنْ وَجْهَيْنِ
Ketiga, bahwa dia telah menetapkan diyat sebesar seratus ekor unta, sedangkan Malik mewajibkan apa yang disepakati oleh kedua belah pihak seperti harga-harga barang. Jika dikatakan, “Hadis ini tidak sah dijadikan hujah dari dua sisi…”
أَحَدُهُمَا أَنَّ عَلِيَّ بْنَ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ ضَعِيفٌ لَا يُؤْخَذُ بِحَدِيثِهِ
Salah satunya adalah bahwa Ali bin Zaid bin Jud‘an adalah perawi yang lemah sehingga hadisnya tidak dapat dijadikan pegangan.
وَالثَّانِي أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ رَبِيعَةَ لَمْ يَلْقَ ابْنَ عُمَرَ فَكَانَ الْحَدِيثُ مُنْقَطِعًا
Yang kedua, bahwa Al-Qasim bin Rabi‘ah tidak pernah bertemu dengan Ibnu ‘Umar, sehingga hadis tersebut berstatus munqathi‘ (terputus sanadnya).
قِيلَ أَمَّا الْوَجْهُ الْأَوَّلُ فِي ضَعْفِ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ بَلْ هُوَ ثِقَةٌ قَدْ نَقَلَ عَنْهُ سُفْيَانُ وَغَيْرُهُ
Dikatakan bahwa alasan pertama mengenai kelemahan Ali bin Zaid tidak dapat diterima, bahkan ia adalah seorang yang tepercaya; Sufyan dan yang lainnya telah meriwayatkan darinya.
وَأَمَّا الْوَجْهُ الثَّانِي فِي انْقِطَاعِهِ فَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ الْقَاسِمُ بْنُ رَبِيعَةَ قَدْ لَقِيَ ابْنَ عُمَرَ وَعَلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ مِنْ طَرِيقِ أَبِي دَاوُدَ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ عُقْبَةَ بن أوس فَصَارَ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مُتَّصِلًا وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ قَدْ رَوَاهُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ تَارَةً وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ أَوْسٍ أُخْرَى
Adapun sisi kedua mengenai terputusnya sanad, tidak mustahil bahwa al-Qasim bin Rabi‘ah telah bertemu dengan Ibnu Umar. Selain itu, telah diriwayatkan melalui jalur Abu Dawud dari al-Qasim bin Rabi‘ah dari ‘Uqbah bin Aws, sehingga dari sisi ini sanadnya menjadi bersambung. Juga dimungkinkan bahwa ia pernah meriwayatkannya dari Ibnu Umar pada suatu waktu dan dari ‘Uqbah bin Aws pada waktu yang lain.
وَأَمَّا الْإِجْمَاعُ فَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَالْمُغِيرَةَ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ أَنَّهُمُ اتَّفَقُوا عَلَى عَمْدِ الْخَطَأِ وَإِنِ اخْتَلَفُوا فِي بَعْضِ أَحْكَامِهِ وَلَمْ يُعْرَفْ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فَصَارَ إِجْمَاعًا وَأَمَّا الِاعْتِبَارُ فَهُوَ أَنَّ الْعَمْدَ الْمَحْضَ لَمَّا جَمَعَ صِفَتَيْنِ مِنِ اعْتِمَادِ الْفِعْلِ وَقَصْدِ النَّفْسِ وَسُلِبَ الْخَطَأُ الْمَحْضُ الصِّفَتَيْنِ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ مَا وُجِدَ فِيهِ إِحْدَى الصِّفَتَيْنِ وَهُوَ اعْتِمَادُ الْفِعْلِ وَسُلِبُ الْأُخْرَى وَهُوَ قَصْدُ النَّفْسِ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْعَمْدِ مِنْ وَجْهٍ وَهُوَ تَغْلِيظُ الدِّيَةِ لِاعْتِمَادِ الْفِعْلِ وَحُكْمُ الْخَطَأِ مِنْ وَجْهٍ وَهُوَ سُقُوطُ الْقَوَدِ لِأَنَّهُ خَاطِئٌ فِي النَّفْسِ فَصَارَ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ عَمْدَ الخطأ ولا يكون ذلك جميعاً بَيْنَ ضِدَّيْنِ مُمْتَنِعَيْنِ لِأَنَّهُ لَيْسَ يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا في حكم واحد فيمتنعان
Adapun ijmā‘, maka hal itu diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Utsmān, ‘Alī, Ibnu Mas‘ūd, Zaid bin Tsābit, dan Mughirah bin Syu‘bah radhiyallāhu ‘anhum, bahwa mereka sepakat mengenai ‘amdu al-khathā’ (kesengajaan yang menyerupai kekeliruan), meskipun mereka berbeda pendapat dalam sebagian hukumnya, dan tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihi mereka, sehingga hal itu menjadi ijmā‘. Adapun pertimbangan (‘itibār), maka sesungguhnya kesengajaan murni (‘amdu al-mahdh) mengandung dua sifat, yaitu kesengajaan dalam perbuatan dan niat dalam hati, sedangkan kekeliruan murni (al-khathā’ al-mahdh) tidak memiliki kedua sifat tersebut. Maka, apabila terdapat satu sifat saja, yaitu kesengajaan dalam perbuatan namun tidak ada niat dalam hati, maka wajib hukumnya bahwa pada kasus tersebut berlaku hukum kesengajaan dari satu sisi, yaitu pemberatan diyat karena adanya kesengajaan dalam perbuatan, dan berlaku hukum kekeliruan dari sisi lain, yaitu gugurnya qishāsh karena ia keliru dalam niat. Maka dari sisi ini, disebut ‘amdu al-khathā’ (kesengajaan yang menyerupai kekeliruan), dan hal itu tidak berarti menggabungkan dua hal yang saling bertentangan secara bersamaan, karena keduanya tidak digabungkan dalam satu hukum sehingga menjadi mustahil.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ ثُبُوتُ حُكْمِ الْعَمْدِ الْخَطَأِ فَالدِّيَةُ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ اعْتِبَارًا بِأَقْسَامِ الْقَتْلِ
Maka apabila telah dipastikan bahwa hukum pembunuhan sengaja berlaku pada pembunuhan karena kesalahan, maka diyat terbagi menjadi tiga bagian sesuai dengan jenis-jenis pembunuhan.
أَحَدُهَا دِيَةُ الْعَمْدِ الْمَحْضِ وَهِيَ مُخْتَصَّةٌ بِثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ
Salah satunya adalah diyat untuk pembunuhan sengaja murni, yang memiliki kekhususan pada tiga hukum.
أَحَدُهَا تَغْلِيظُهَا عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ
Salah satunya adalah penegasannya sebagaimana yang akan kami sebutkan.
وَالثَّانِي تَعْجِيلُهَا
Yang kedua adalah menyegerakannya.
وَالثَّالِثُ وُجُوبُهَا فِي مَالِ الْجَانِي
Ketiga, kewajiban tersebut dibebankan pada harta pelaku.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي دِيَةُ الْخَطَأِ وَهِيَ مُخْتَصَّةٌ بِثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ تُخَالِفُ تِلْكَ الْأَحْكَامَ
Bagian kedua adalah diyat karena kesalahan, yang memiliki tiga ketentuan khusus yang berbeda dari ketentuan-ketentuan tersebut.
أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ مُخَفَّفَةً
Salah satunya adalah bahwa ia dalam bentuk yang diringankan.
وَالثَّانِي أَنْ تَكُونَ مُؤَجَّلَةً
Dan yang kedua adalah harus ditangguhkan.
وَالثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ عَلَى الْعَاقِلَةِ
Dan yang ketiga adalah ditanggung oleh ‘āqilah.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ دِيَةُ الْعَمْدِ الْخَطَأِ وَهِيَ مُخْتَصَّةٌ بِثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ
Bagian ketiga adalah diyat ‘amdu al-khathā’, yang memiliki tiga ketentuan khusus.
أَحَدُهَا مَأْخُوذٌ مِنْ أَحْكَامِ الْعَمْدِ الْمَحْضِ وَهُوَ تَغْلِيظُهَا
Salah satunya diambil dari hukum-hukum al-‘amdu al-mahdh, yaitu penegasan hukumannya.
وَالثَّانِي وَالثَّالِثُ مَأْخُوذَانِ مِنْ أَحْكَامِ الْخَطَأِ الْمَحْضِ وَهُوَ تَأْجِيلُهَا ووجوبها على العاقلة
Kedua dan ketiga diambil dari hukum-hukum kesalahan murni, yaitu penundaan pelaksanaannya dan kewajibannya atas ‘āqilah.
مسألة
Masalah
قال المزني رضي الله عنه واحتج الشافعي بعمر بن الخطاب وعطاء رضي الله عنهما أَنَّهُمَا قَالَا فِي تَغْلِيظِ الْإِبِلِ أَرْبَعُونَ خَلِفَةً وَثَلَاثُونَ حِقَّةً وَثَلَاثُونَ جَذَعَةً قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْخَلِفَةُ الْحَامِلُ وَقَلَّ مَا تَحْمِلُ إِلَّا ثَنِيَّةً فَصَاعِدًا فَأَيَّةُ نَاقَةٍ مِنْ إِبِلِ الْعَاقِلَةِ حَمَلَتْ فَهِيَ خَلِفَةٌ تُجْزِئُ فِي الدِّيَةِ مَا لَمْ تَكُنْ مَعِيبَةً
Al-Muzani raḍiyallāhu ‘anhu berkata: Imam Syafi‘i berdalil dengan pendapat ‘Umar bin al-Khattab dan ‘Aṭā’ raḍiyallāhu ‘anhumā, bahwa keduanya berkata dalam hal penegasan diyat unta: empat puluh ekor khalifah, tiga puluh ekor ḥiqqah, dan tiga puluh ekor jadza‘ah. Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Khalifah adalah unta betina yang sedang bunting, dan jarang sekali unta bunting kecuali yang sudah berumur thaniyyah ke atas. Maka unta betina mana pun dari unta ‘āqilah yang sedang bunting, maka ia termasuk khalifah yang sah untuk diyat, selama tidak cacat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ تَغْلِيظُ الدِّيَةِ فِي الْإِبِلِ يَكُونُ بِزِيَادَةِ السِّنِّ وَالصِّفَةِ مَعَ اتِّفَاقِ الْقَدْرِ وَتَغْلِيظُهَا فِي الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ يَكُونُ بِزِيَادَةِ الْعَيْنِ مَعَ اتِّفَاقِ الصِّفَةِ
Al-Mawardi berkata, pemberatan diyat pada unta dilakukan dengan menambah usia dan sifatnya, dengan tetap sama jumlahnya, sedangkan pemberatan diyat pada dirham dan dinar dilakukan dengan menambah nilainya, dengan tetap sama sifatnya.
فَأَمَّا الدِّيَةُ مِنَ الْإِبِلِ فَهِيَ مِائَةُ بَعِيرٍ لَا يَخْتَلِفُ قَدْرُهَا بِالتَّغْلِيظِ وَالتَّخْفِيفِ وَاخْتُلِفَ فِي تَغْلِيظِهَا بِالسِّنِّ وَالصِّفَةِ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إلى أنها أثلاث ثَلَاثُونَ حِقَّةً وَثَلَاثُونَ جَذَعَةً وَأَرْبَعُونَ خَلِفَةً وَالْخَلِفَاتُ الْحَوَامِلُ الَّتِي فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا وَهَلْ مَا تَحْمِلُ إِلَّا ثَنِيَّةً
Adapun diyat dari unta adalah seratus ekor unta, jumlahnya tidak berbeda antara diyat yang diperberat maupun yang diringankan. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai penetapan diyat berdasarkan umur dan sifat unta. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa diyat itu terdiri dari tiga bagian: tiga puluh ekor hiqqah, tiga puluh ekor jadza‘ah, dan empat puluh ekor khalifah. Khalifah adalah unta betina yang sedang bunting dan di dalam perutnya terdapat anaknya. Adapun apakah yang dimaksud dengan unta bunting itu haruslah unta tsaniyyah, masih diperselisihkan.
وَهُوَ فِي الصَّحَابَةِ قَوْلُ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَزَيْدٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَالْمُغِيرَةِ
Ini adalah pendapat di kalangan sahabat, yaitu pendapat Umar, Utsman, Ali, Zaid, Ibnu Abbas, dan Mughirah.
وَفِي التَّابِعِينَ قَوْلُ عَطَاءٍ وَمُجَاهِدٍ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَالْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ وَعُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ
Dan di kalangan tabi’in terdapat pendapat ‘Aṭā’, Mujāhid, Sa‘īd bin al-Musayyab, al-Qāsim bin Muḥammad, dan ‘Urwah bin az-Zubair.
وَفِي الْفُقَهَاءِ قَوْلُ مَالِكٍ وَرَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَأَهْلِ الْحَرَمَيْنِ وَمُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ
Di antara para ahli fiqh terdapat pendapat Malik, Rabi‘ah bin ‘Abd ar-Rahman, para ulama Haramain, dan Muhammad bin al-Hasan.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَغْلِيظُهَا أَنْ تَكُونَ أَرْبَاعًا خَمْسٌ وَعِشْرُونَ بِنْتَ مَخَاضٍ وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ بِنْتَ لَبُونٍ وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ حِقَّةً وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ جَذَعَةً وَلَمْ يُوجِبِ الْخَلِفَاتِ فَخَالَفَ فِي السِّنِّ وَالصِّفَةِ وَبِهِ قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو يُوسُفَ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ بَدَلَ النَّفْسِ لَا يُسْتَحَقُّ فِيهِ الْحَوَامِلُ كَالْخَطَأِ لِأَنَّ الْحَوَامِلَ لَا تُسْتَحَقُّ فِي الزَّكَاةِ فَلَمْ تَسْتَحِقَّ فِي الدِّيَةِ كَالزَّائِدِ عَلَى الثَّنَايَا وَلِأَنَّ الْحَمْلَ صِفَةٌ مَجْهُولَةٌ فَلَمْ يُسْتَحَقَّ ثُبُوتُهَا فِي الذِّمَّةِ كَالْمُسَعَّرِ
Abu Hanifah berpendapat bahwa bentuk pemberatan diyat adalah dengan membaginya menjadi empat bagian: dua puluh lima ekor unta betina umur setahun (bint makhādh), dua puluh lima ekor unta betina umur dua tahun (bint labūn), dua puluh lima ekor unta betina umur tiga tahun (hiqqah), dan dua puluh lima ekor unta betina umur empat tahun (jadzā‘ah). Ia tidak mewajibkan unta yang sedang bunting (khilāfāt), sehingga ia berbeda pendapat dalam hal umur dan sifat hewan tersebut. Pendapat ini juga dipegang oleh Sufyan ats-Tsauri dan Abu Yusuf, dengan alasan bahwa pengganti jiwa tidak berhak atas unta yang sedang bunting, sebagaimana pada kasus pembunuhan tidak sengaja, karena unta bunting juga tidak diwajibkan dalam zakat, maka tidak pula diwajibkan dalam diyat, sebagaimana hewan yang lebih dari umur tsanāyā. Selain itu, kehamilan adalah sifat yang tidak diketahui secara pasti, sehingga tidak dapat dijadikan dasar kewajiban dalam tanggungan, sebagaimana barang yang harganya ditentukan.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَلَا إِنَّ فِي قَتِيلِ الْعَمْدِ الْخَطَأِ بِالسَّوْطِ والعصا مائة من الإبل مغلظة منها أربعون خَلِفَةً فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا
Dan dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Ketahuilah, pada kasus pembunuhan sengaja yang menyerupai tidak sengaja dengan cambuk dan tongkat, diyatnya adalah seratus ekor unta yang diperberat, di antaranya empat puluh ekor unta betina yang sedang bunting di dalam perutnya ada anaknya.”
وَقَدْ رُوِيَ أَنَّهُ قَالَ عَلَى دَرَجِ الْكَعْبَةِ لِيَعُمَّ بَيَانُهُ فَلَمْ يَجُزْ خِلَافُهُ وَلَا دَفْعُهُ بِالتَّأَوُّلِ فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا عَوَّلْتُمْ عَلَى هَذَا النَّصِّ فِي الْخَلِفَاتِ الْأَرْبَعِينَ فَبِأَيِّ دَلِيلٍ أَوْجَبْتُمْ ثَلَاثِينَ حِقَّةً وَثَلَاثِينَ جَذَعَةً قِيلَ لِأَمْرَيْنِ
Diriwayatkan bahwa beliau mengucapkannya di atas tangga Ka’bah agar penjelasannya bersifat umum, sehingga tidak boleh menyelisihinya dan tidak boleh menolaknya dengan takwil. Jika dikatakan, “Jika kalian berpegang pada nash ini dalam empat puluh unta betina, maka dengan dalil apa kalian mewajibkan tiga puluh hiqqah dan tiga puluh jadza‘ah?” Maka dijawab: karena dua hal.
أَحَدُهُمَا قَوْلُ عُمَرَ وَمَنْ تَابَعَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ
Salah satunya adalah pendapat Umar dan orang-orang yang mengikutinya dari kalangan sahabat dan tabi’in.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا نَصَّ عَلَى الْخَلِفَاتِ لِتَغْلِيظِهَا عُلِمَ أَنَّ الْبَاقِيَ دُونَهَا وَدُونَ الثَّنَايَا هِيَ الْجِذَاعُ وَدُونَ الْجِذَاعِ الْحِقَاقُ فَلَمْ يَقْتَصِرْ بِالْبَاقِي عَلَى سِنٍّ وَاحِدَةٍ لِأَنَّهُ خِلَافٌ لِلْإِجْمَاعِ فَجَعَلْنَاهُ مِنْ سِنِينَ مُتَوَالِيِينَ فَلِذَلِكَ أَوْجَبْنَا ثَلَاثِينَ جَذَعَةً وَثَلَاثِينَ حِقَّةً عَلَى أَنَّهُ قَدْ رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ رَاشِدٍ عَنْ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَنْ قَتَلَ مُتَعَمِّدًا دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُولِ فَإِنْ شَاءُوا قَتَلُوا وَإِنْ شَاءُوا أَخَذُوا الدِّيَةَ وَهِيَ ثَلَاثُونَ حِقَّةً وَثَلَاثُونَ جَذَعَةً وَأَرْبَعُونَ خَلِفَةً وَمَا صُولِحُوا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ تَغْلِيظُ الدِّيَةِ ضِدَّ تَخْفِيفِهَا اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ أَدْنَى مَا فِي الْمُغَلَّظَةِ مِنَ الْأَسْنَانِ هُوَ أَعْلَى أَسْنَانِ الْمُخَفَّفَةِ لِأَجْلِ الْعِلَّتَيْنِ فَوَجَبَ بِأَنْ يَكُونَ الْمُسْتَحَقُّ فِيهَا الْجِذَاعَ وَالْحِقَاقَ دُونَ بَنَاتِ لَبُونٍ وَبَنَاتِ مَخَاضٍ وَهَذَا يَمْنَعُ مِنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْخَطَأِ وَيَمْنَعُ قِيَاسَهُمْ عَلَى الزَّكَاةِ أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ فِي الدِّيَةِ الثَّنَايَا وَإِنْ لَمْ تَجِبْ فِي الزَّكَاةِ وَمَا ذَكَرُوهُ مِنَ الْجَهْلِ بِالْحَمْلِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ لِلْحَمْلِ أَمَارَاتٍ تَدُلُّ عَلَيْهِ لَهُ أَحْكَامٌ تَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَثْبُتَ فِي الذِّمَّةِ مِنْهَا مَا يَثْبُتُ فِيهَا مِنْ غَيْرِ الدِّيَةِ كَمَا ثَبَتَ فِيهَا الْجِذَاعُ وَالثَّنَايَا كَالْمُطْلَقَةِ مِنْ غَيْرِ نَعْتٍ وَلَا صِفَةٍ
Yang kedua, ketika disebutkan secara tegas tentang khalifah karena beratnya hukuman, maka diketahui bahwa yang tersisa di bawahnya dan di bawah tsanaya adalah jidza‘, dan di bawah jidza‘ adalah hiqqah. Maka, tidak dibatasi sisa yang ada hanya pada satu usia saja, karena hal itu bertentangan dengan ijmā‘. Oleh karena itu, kami menetapkan bahwa yang diwajibkan adalah dari beberapa usia yang berurutan. Karena itu, kami mewajibkan tiga puluh jidza‘ dan tiga puluh hiqqah. Adapun telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Rasyid dari Sulaiman bin Musa dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka ia diserahkan kepada para wali korban. Jika mereka menghendaki, mereka membunuhnya, dan jika mereka menghendaki, mereka mengambil diyat, yaitu tiga puluh hiqqah, tiga puluh jidza‘, dan empat puluh khalifah, serta apa yang mereka sepakati maka itu menjadi hak mereka.” Karena pemberatan diyat adalah kebalikan dari keringanannya, maka hal itu menuntut agar usia termuda dalam diyat yang berat adalah usia tertua dalam diyat yang ringan karena dua alasan tersebut. Maka wajiblah bahwa yang berhak dalam hal ini adalah jidza‘ dan hiqqah, bukan banāt labūn dan banāt makhādh. Hal ini juga mencegah qiyās mereka terhadap kasus pembunuhan tidak sengaja, dan mencegah qiyās mereka terhadap zakat, karena dalam diyat diwajibkan tsanaya meskipun tidak diwajibkan dalam zakat. Adapun apa yang mereka sebutkan tentang ketidaktahuan terhadap kehamilan, itu tidak benar, karena kehamilan memiliki tanda-tanda yang menunjukkannya dan ada hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Tidaklah mustahil untuk menetapkan dalam tanggungan seseorang dari kehamilan sebagaimana yang ditetapkan dalam hal lain selain diyat, sebagaimana telah ditetapkan dalam hal jidza‘ dan tsanaya secara mutlak tanpa sifat dan tanpa keterangan khusus.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ تَغْلِيظُهَا فِي الْإِبِلِ بِمَا وَصَفْنَا فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَلْ يُعْتَبَرُ فِي الْحَوَامِلِ السِّنُّ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ
Jika telah tetap adanya penegasan (kewajiban) zakat pada unta sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka pendapat Imam Syafi‘i berbeda mengenai apakah pada unta betina yang sedang bunting disyaratkan umur tertentu atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَا يُعْتَبَرُ فِيهَا السِّنُّ وَأَيُّ نَاقَةٍ حَمَلَتْ مِنْ ثَنِيَّةٍ أَوْ مَا دُونَهَا لَزِمَ أَخْذُهَا فِي تَغْلِيظِ الدِّيَةِ لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْهَا أَرْبَعُونَ خَلِفَةً فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا
Salah satunya adalah bahwa umur tidak menjadi pertimbangan di dalamnya, dan unta betina mana pun yang sedang bunting, baik dari jenis tsaniyyah atau di bawahnya, wajib diambil dalam penetapan diyat yang diperberat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Di antaranya ada empat puluh unta betina bunting yang di dalam perutnya ada anak-anaknya.”
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِيهَا السِّنُّ أَنَّ تَكُونَ ثَنِيَّةً فَمَا فَوْقَهَا وَلَا يُقْبَلُ مَا دُونَ هَذَا السِّنِّ مِنَ الْحَوَامِلِ لِرِوَايَةِ عُقْبَةَ بْنِ أَوْسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ مِنْهَا أَرْبَعُونَ خَلِفَةً فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا مَا بَيْنَ الثَّنِيَّةِ إِلَى بَازِلِ عَامِهَا
Pendapat kedua menyatakan bahwa dalam hal ini yang dipertimbangkan adalah usia, yaitu harus berupa hewan yang telah mencapai usia tsaniyyah atau lebih, dan tidak diterima hewan yang usianya di bawah itu dari jenis hewan hamil, berdasarkan riwayat ‘Uqbah bin Aws bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Di antaranya ada empat puluh ekor yang sedang hamil, di dalam perutnya terdapat anak-anaknya, antara usia tsaniyyah hingga bazil tahunannya.”
فَأَمَّا تَغْلِيظُهَا فِي الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَيَكُونُ زِيَادَةَ ثُلُثِهَا عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ
Adapun pengetatan (kadar zakat) pada emas dan perak, maka hal itu berupa penambahan sepertiganya dari apa yang akan kami sebutkan.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذْ قَدْ تَقَرَّرَ صِفَةُ الدِّيَةِ الْمُغَلَّظَةِ فَهِيَ تَتَغَلَّظُ فِي الْعَمْدِ الْمَحْضِ إِذَا سَقَطَ فِيهِ الْقَوَدُ وَتَكُونُ فِي مَالِ الْجَانِي حَالَّةً وَتَتَغَلَّظُ فِي عَمْدِ الْخَطَأِ وَتَكُونُ عَلَى الْعَاقِلَةِ مُؤَجَّلَةً وَلَا يَجِبُ فِيهِ الْقَوَدُ وَأَوْجَبَ مَالِكٌ فِيهِ الْقَوَدَ وَجَعَلَهَا ابْنُ شُبْرُمَةَ فِي مَالِ الْجَانِي دُونَ عَاقِلَتِهِ
Setelah sifat diyat yang diperberat telah dijelaskan, maka diyat tersebut menjadi berat dalam kasus pembunuhan sengaja murni apabila qishāsh gugur di dalamnya, dan diyat itu wajib dibayarkan secara tunai dari harta pelaku. Diyat juga menjadi berat dalam kasus pembunuhan semi-sengaja dan dibebankan kepada ‘āqilah secara tangguh, serta tidak wajib qishāsh di dalamnya. Malik mewajibkan qishāsh dalam kasus ini, sedangkan Ibnu Syubrumah mewajibkan diyat tersebut diambil dari harta pelaku, bukan dari ‘āqilah-nya.
وَالدَّلِيلُ عَلَيْهَا مَا رَوَاهُ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ مَنْ قُتِلَ فِي عِمِّيَّةٍ أَوْ رَمْيًا بِحَجَرٍ أَوْ ضَرْبًا بِعَصًا أَوْ سَوْطٍ فَعَلَيْهِ عَقْلُ الْخَطَأِ وَمَنْ قُتِلَ عَمْدًا فَهُوَ قَوَدٌ لَا يُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَاتِلِهِ فَمَنْ حَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَاتِلِهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ والناس أجمعين لا يقبل الله منه صرف ولا عدل
Dan dalil tentang hal itu adalah riwayat yang disampaikan oleh ‘Amr bin Dinar dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa terbunuh dalam keadaan ‘imiyyah, atau karena lemparan batu, atau dipukul dengan tongkat, atau cambuk, maka baginya berlaku diyat karena kesalahan. Dan barang siapa dibunuh dengan sengaja, maka berlaku qishāsh, tidak ada penghalang antara dia dan pembunuhnya. Barang siapa menghalangi antara dia dan pembunuhnya, maka atasnya laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia; Allah tidak akan menerima darinya tebusan maupun keadilan.”
وَرَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَقْلُ شِبْهِ الْعَمْدِ مُغَلَّظٌ مِثْلُ الْعَمْدِ وَلَا يُقْتَلْ صَاحِبُهُ
Sulaiman bin Musa meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Diyat syibh al-‘amd (pembunuhan semi sengaja) diperberat seperti diyat al-‘amd (pembunuhan sengaja), namun pelakunya tidak dibunuh.”
ذَكَرَهُمَا الدَّارَقُطْنِيُّ فِي سُنَنِهِ فَسَقَطَ بهما قول مالك وابن شبرمة
Keduanya disebutkan oleh ad-Daraquthni dalam Sunan-nya, sehingga pendapat Malik dan Ibnu Syubrumah menjadi gugur karenanya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا صَحَّ مَا ذَكَرْنَاهُ فَدِيَةُ الْعَمْدِ الْمَحْضِ مُغَلَّظَةٌ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ بِالسِّنِّ وَالصِّفَةِ وَالتَّعْجِيلِ وَالْمَحَلِّ فَتَكُونُ فِي مَالِ الْجَانِي دُونَ عَاقِلَتِهِ وَدِيَةُ الْخَطَأِ الْمَحْضِ مُخَفَّفَةٌ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ بِالسِّنِّ وَالصِّفَةِ وَالتَّأْجِيلِ وَالْمَحَلِّ فَتَكُونُ عَلَى عَاقِلَتِهِ دُونَهُ وَدِيَةُ عَمْدِ الْخَطَأِ مُغَلَّظَةٌ بِشَيْئَيْنِ الصِّفَةِ وَالسِّنِّ وَمُخَفَّفَةٌ بِشَيْئَيْنِ التَّأْجِيلِ وَالْمَحَلِّ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ عَامِدًا فِي فِعْلِهِ بِخِلَافِ الْخَطَأِ وَمُخْطِئًا فِي قَصْدِهِ بِخِلَافِ الْعَمْدِ تَوَسَّطَ فِيهَا بَيْنَ حُكْمِ الخطأ والعمد
Jika apa yang telah kami sebutkan itu benar, maka diyat untuk pembunuhan sengaja murni (al-‘amdu al-mahdh) diperberat dengan empat hal: dari segi usia, sifat, percepatan pembayaran, dan tempat pembayaran; sehingga diyat tersebut diambil dari harta pelaku, bukan dari ‘āqilah-nya. Sedangkan diyat untuk pembunuhan tidak sengaja murni (al-khathā’ al-mahdh) diringankan dengan empat hal: dari segi usia, sifat, penundaan pembayaran, dan tempat pembayaran; sehingga diyat tersebut dibebankan kepada ‘āqilah-nya, bukan kepada dirinya sendiri. Adapun diyat untuk pembunuhan semi-sengaja (amdu al-khathā’) diperberat dengan dua hal, yaitu sifat dan usia, serta diringankan dengan dua hal, yaitu penundaan pembayaran dan tempat pembayaran. Karena dalam hal ini, pelaku sengaja dalam perbuatannya, berbeda dengan kesalahan, namun keliru dalam niatnya, berbeda dengan sengaja, maka hukumnya berada di tengah-tengah antara hukum kesalahan dan hukum sengaja.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وكذلك لو ضَرَبَهُ بِعَمُودٍ خَفِيفٍ أَوْ بِحَجَرٍ لَا يَشْدَخُ أَوْ بِحَدِّ سَيْفٍ لَمْ يَجْرَحْ أَوْ أَلْقَاهُ فِي بَحْرٍ قُرْبَ الْبَرِّ وَهُوَ يُحْسِنُ الْعَوْمَ أَوْ مَاءٍ الْأَغْلَبُ أَنَّهُ لَا يَمُوتُ مِنْ مِثْلِهِ فَمَاتَ فَلَا قَوَدَ وَفِيهِ الدِّيَةُ عَلَى الْعَاقِلَةِ وَكَذَلِكَ الْجِرَاحُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Demikian pula jika seseorang memukul orang lain dengan tongkat yang ringan, atau dengan batu yang tidak dapat memecahkan kepala, atau dengan sisi tajam pedang namun tidak melukainya, atau melemparkannya ke laut dekat dengan daratan sementara ia pandai berenang, atau ke air yang umumnya tidak menyebabkan kematian, lalu orang itu meninggal, maka tidak ada qishāsh, tetapi ada diyat yang menjadi tanggungan ‘āqilah. Begitu pula dalam kasus luka-luka.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَصَدَ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا بَيَانَ عَمْدِ الْخَطَأِ بِأَنْ يَكُونَ عَامِدًا فِي فِعْلِهِ خَاطِئًا فِي قَصْدِهِ وَجُمْلَتُهُ أَنَّ آلَةَ الْقَتْلِ عَلَى ضَرْبَيْنِ مُحَدَّدٍ وَمُثَقَّلٍ
Al-Mawardi berkata, “Imam Syafi‘i bermaksud dengan hal ini untuk menjelaskan tentang kesengajaan dalam kesalahan, yaitu seseorang sengaja dalam perbuatannya namun keliru dalam maksudnya. Secara ringkas, alat pembunuhan itu terbagi menjadi dua jenis: yang tajam dan yang berat.”
فَأَمَّا الْمُحَدَّدُ مِنَ الْحَدِيدِ إِذَا ضُرِبَ بِحَدِّهِ أَوْ بِرُمَّتِهِ فَهُوَ عَمْدٌ مَحْضٌ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَا يُضْرَبُ بِحَدِّهِ إِلَّا لِقَصْدِ الْقَتْلِ صَارَ عَامِدًا فِي فِعْلِهِ وَقَصْدِهِ فَصَارَ عَمْدًا مَحْضًا وَأَمَّا الْمُثْقَلُ فَيَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Adapun benda tajam dari besi, jika digunakan untuk memukul dengan bagian tajamnya atau seluruh bagiannya, maka itu termasuk pembunuhan sengaja murni, karena benda tersebut tidak digunakan untuk memukul dengan bagian tajamnya kecuali dengan tujuan membunuh. Maka pelakunya dianggap sengaja dalam perbuatan dan tujuannya, sehingga termasuk pembunuhan sengaja murni. Adapun benda tumpul, maka terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا مَا يَقْتُلُ وَلَا يَسْلَمُ مِنْهُ مَضْرُوبُهُ كَالْحَجَرِ الْعَظِيمِ وَالْخَشَبَةِ الْكَبِيرَةِ إِذَا ضَرَبَهُ بِهِمَا فَهَذَا كَالْمُحَدَّدِ فِي أَنَّهُ عَمْدٌ مَحْضٌ لِأَنَّهُ لَا يَقْصِدُ بِهِ الضَّرْبَ إِلَّا لِلْقَتْلِ فَصَارَ عَامِدًا فِي الْفِعْلِ وَالْقَصْدِ
Salah satunya adalah benda yang dapat membunuh dan tidak mungkin orang yang terkena pukulannya selamat darinya, seperti batu besar dan kayu besar; jika seseorang memukul dengan keduanya, maka ini seperti senjata tajam dalam hal bahwa perbuatannya dianggap sebagai ‘amdu maḥḍ (pembunuhan sengaja) karena tidak ada tujuan dari memukul dengan benda tersebut kecuali untuk membunuh. Maka pelaku dianggap sengaja dalam perbuatan dan niatnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا كَانَ خَفِيفًا لَا يَقْتُلُ مِثْلُهُ مَنْ ضُرِبَ بِهِ كَالنَّوَاةِ مِنَ الْحِجَارَةِ وَالْقَلَمِ مِنَ الْخَشَبِ فَهَذَا هَدَرٌ لَا يُضْمَنُ
Bagian kedua adalah sesuatu yang ringan, yang benda sejenisnya tidak membunuh jika digunakan untuk memukul, seperti biji kurma dari batu atau pena dari kayu. Maka ini dianggap sia-sia (tidak ada tuntutan), tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا كَانَ مُتَوَسِّطًا مِنَ الْحَجَرِ وَالْخَشَبِ يَجُوزُ أَنْ يَقْتُلَ وَيَجُوزُ أَنْ لَا يَقْتُلَ فَإِذَا قَتَلَ فَهُوَ عَمْدُ الْخَطَأِ لِأَنَّهُ عَامِدٌ فِي فِعْلِهِ خَاطِئٌ فِي قَصْدِهِ
Bagian ketiga adalah benda yang berada di tengah-tengah, seperti batu dan kayu, yang bisa saja menyebabkan kematian dan bisa juga tidak. Jika benda tersebut menyebabkan kematian, maka itu termasuk ‘amdu al-khathā’, karena pelaku sengaja dalam perbuatannya namun keliru dalam maksudnya.
وَأَمَّا إِنْ أَلْقَاهُ فِي بَحْرٍ بِقُرْبِ الْبَرِّ وَهُوَ يُحْسِنُ الْعَوْمَ فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Adapun jika ia melemparkannya ke laut di dekat daratan sementara orang itu pandai berenang, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مِمَّا لَا يُسْلَمُ مِنْ مِثْلِهِ لِعَظَمِ مَوْجِهِ وَقِلَّةِ خَلَاصِ مَنْ يُلْقَى فِي مِثْلِهِ فَهَذَا قَاتِلُ عَمْدٍ يَجِبُ عليه القود له مدة فِي فِعْلِهِ وَقَصْدِهِ
Salah satunya adalah jika (orang yang melempar) melakukannya ke tempat yang tidak mungkin seseorang selamat darinya karena besarnya gelombang dan kecilnya kemungkinan selamat bagi siapa pun yang dilempar ke tempat seperti itu, maka ini termasuk pembunuhan sengaja (qatl ‘amd) yang mewajibkan qishāsh atas pelakunya, karena perbuatannya dan niatnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِمَّا لَا يَمُوتُ فِيهِ مَنْ يُحْسِنُ الْعَوْمَ فَلَا شَيْءَ فِيهِ
Bagian kedua adalah jika (air) tersebut tidak menyebabkan kematian bagi orang yang pandai berenang, maka tidak ada masalah di dalamnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا جَازَ أَنْ يَمُوتَ مِنْهُ وَجَازَ أَنْ يَسْلَمَ فَهَذَا مِنْ عَمْدِ الْخَطَأِ لِعَمْدِهِ فِي فِعْلِهِ وَخَطَئِهِ فِي قَصْدِهِ
Bagian ketiga adalah sesuatu yang mungkin menyebabkan kematian dan mungkin juga selamat, maka ini termasuk ‘amdu al-khathā’ karena sengaja dalam perbuatannya namun keliru dalam maksudnya.
وَأَمَّا شِجَاجُ الرَّأْسِ إِذَا كَانَ بِالْمُثْقَلِ فَهُوَ عَلَى ضربين
Adapun luka-luka di kepala apabila disebabkan oleh benda tumpul, maka terbagi menjadi dua jenis.
أحدهما أن يكون مثله يشج في الأغلب فإذا ضربه به فأوضحه كانت موضحة عمد يجب فيها القود لأنه عامد في فعله وقصده
Pertama, jika benda semacam itu pada umumnya dapat menyebabkan luka di kepala, maka apabila seseorang memukul dengan benda tersebut hingga menyebabkan luka terbuka di kepala (mudhah), maka itu termasuk mudhah ‘amdan (luka disengaja) yang mewajibkan qishash, karena pelaku sengaja dalam perbuatan dan maksudnya.
والثاني أن يكون مثله يجوز أن يشج ويجوز أن لا يَشُجَّ فَإِذَا أَوْضَحَهُ فَهُوَ مُوضِحَةُ عَمْدٍ الْخَطَأُ فيها الدية دون القود
Kedua, jika orang seperti itu memungkinkan untuk terluka di kepala dan juga memungkinkan untuk tidak terluka, maka apabila ia menyebabkan luka yang menampakkan tulang kepala, itu disebut mudihah ‘amdan. Dalam kasus kesalahan (khathā’), hukumannya adalah diyat, bukan qishash.
فأما الضرب الثالث الَّذِي قَسَّمْنَاهُ فِي النَّفْسِ وَهُوَ أَنْ لَا يَقْتُلَ مِثْلُهُ فِي الْأَغْلَبِ فَيَقْتَرِنَ بِهِ الْمَوْتُ فَيَسْتَحِيلُ الشِّجَاجُ أَنْ يَكُونَ مَا لَا يُشَجُّ مِثْلُهُ فَيَقْتَرِنُ بِهِ الشِّجَاجُ لِأَنَّ الْمَوْتَ قَدْ يَكُونُ بِالطَّبْعِ وَبِالْأَسْبَابِ الْخَفِيَّةِ مِنْ أَمْرَاضٍ وَأَعْرَاضٍ فَجَازَ أَنْ يَقْتَرِنَ بِالضَّرْبِ وَإِنْ لَمْ يَحْدُثْ عَنْهُ وَالشِّجَاجُ لَا تَحْدُثُ بِالطَّبْعِ وَلَا بِالْأَسْبَابِ الْخَافِيَةِ فَلَمْ يَكُنْ حُدُوثُهُ إِلَّا مِنَ الضَّرْبِ وَقَدْ يَكُونُ الْحَجَرُ عَمْدًا مَحْضًا فِي الشِّجَاجِ لِأَنَّ مِثْلَهُ يُوضِحُ الرَّأْسَ لَا مَحَالَةَ وَيَكُونُ ذلك الحجر عمداً الْخَطَأِ فِي النَّفْسِ فَإِنْ كَانَ فِي النَّفْسِ لِأَنَّ مِثْلَهُ يَجُوزُ أَنْ يَقْتُلَ وَيَجُوزَ أَنْ لَا يَقْتُلَ فَلَا يَجِبُ بِهِ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ وَإِنْ كَانَ فِي شِجَاجِ الْمُوضِحَةِ وَجَبَ بِهِ الْقَوَدُ فَيَصِيرُ الْفَرْقُ بَيْنَ النَّفْسِ وَمَا دُونَهَا مِنْ وَجْهَيْنِ
Adapun jenis ketiga yang telah kami bagi dalam hal jiwa, yaitu apabila sesuatu pada umumnya tidak membunuh, namun kematian terjadi bersamaan dengannya, maka tidak mungkin luka di kepala (syijāj) terjadi dari sesuatu yang biasanya tidak menyebabkan luka seperti itu, lalu luka tersebut terjadi bersamaan dengannya. Sebab, kematian bisa terjadi secara alami atau karena sebab-sebab tersembunyi seperti penyakit dan gejala-gejala, sehingga mungkin saja kematian itu bersamaan dengan pukulan meskipun bukan akibat langsung darinya. Sedangkan luka di kepala (syijāj) tidak terjadi secara alami maupun karena sebab-sebab tersembunyi, sehingga kejadiannya pasti karena pukulan. Batu bisa menjadi alat pembunuh yang disengaja secara murni dalam kasus luka di kepala, karena benda seperti itu pasti dapat melukai kepala. Namun, batu tersebut bisa menjadi alat pembunuh tidak sengaja dalam kasus jiwa, karena benda seperti itu mungkin saja membunuh dan mungkin juga tidak membunuh, sehingga tidak wajib qishāsh dalam kasus jiwa. Tetapi jika terjadi pada luka di kepala (syijāj muwaddiḥah), maka wajib qishāsh. Dengan demikian, perbedaan antara kasus jiwa dan selainnya ada pada dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَدْ يَكُونُ الْفِعْلُ فِي النَّفْسِ هَدَرًا وَلَا يَكُونُ الشِّجَاجُ هَدَرًا
Salah satunya adalah bahwa suatu perbuatan bisa saja dianggap sia-sia dalam jiwa, namun luka di kepala tidak dianggap sia-sia.
وَالثَّانِي أَنَّهُ قَدْ يَكُونُ الْمُثْقَلُ فِي النَّفْسِ عَمْدَ الْخَطَأِ وَفِي الشِّجَاجِ عَمْدًا مَحْضًا ثُمَّ يَكُونُ تَغْلِيظُ الدِّيَةِ فِيهِمَا دُونَ النَّفْسِ مِنَ الْأَطْرَافِ وَالْجِرَاحِ لِتَغْلِيظِهَا فِي النَّفْسِ عَلَى ما سنذكره
Kedua, bisa jadi diyat yang diperberat pada kasus jiwa adalah karena pembunuhan yang disengaja namun keliru, sedangkan pada kasus luka-luka berat adalah karena benar-benar disengaja. Kemudian, pemberatan diyat pada keduanya (jiwa dan luka berat) lebih ringan dibandingkan pada jiwa dalam kasus anggota tubuh dan luka-luka, karena pemberatan diyat pada jiwa lebih besar, sebagaimana akan dijelaskan nanti.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَكَذَلِكَ التَّغْلِيظُ فِي النَّفْسِ وَالْجِرَاحِ فِي الشَّهْرِ الحرام والبلد الحرام وذي الرحم وَرُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أنه قضى في دية امرأة وطئت بمكة بدية وثلث قال وهكذا أسنان دية العمد حالة في ماله إذا زال عنه القصاص قال المزني رحمه الله إذا كانت المغلظة أعلى سنا من سن الخطإ للتغليظ فالعامد أحق بالتغليظ إذا صارت عليه وبالله التوفيق
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Demikian pula pemberatan (hukuman) dalam kasus jiwa dan luka-luka pada bulan haram, di tanah haram, dan terhadap kerabat dekat. Diriwayatkan dari ‘Utsmān bin ‘Affān raḍiyallāhu ‘anhu bahwa beliau memutuskan diyat (tebusan) untuk seorang wanita yang dizinai di Mekah sebesar diyat penuh ditambah sepertiganya. Ia berkata: Demikian pula kadar diyat pembunuhan sengaja menjadi tanggungan hartanya jika qishāṣ telah gugur darinya. Al-Muzanī raḥimahullāh berkata: Jika diyat yang diperberat lebih tinggi dari diyat kesalahan karena adanya pemberatan, maka pelaku sengaja lebih berhak atas pemberatan itu jika telah menjadi tanggungannya. Dan hanya kepada Allah-lah segala taufik.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ الدِّيَةَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, “Ketahuilah bahwa diyat terbagi menjadi tiga bagian.”
أَحَدُهَا دِيَةُ الْعَمْدِ الْمَحْضِ وَهِيَ مُغَلَّظَةٌ تَجِبُ عَلَى الْجَانِي حَالَّةً
Salah satunya adalah diyat pembunuhan sengaja murni, yaitu diyat yang diperberat dan wajib dibayarkan oleh pelaku secara tunai.
وَالثَّانِي دِيَةُ الْعَمْدِ الْخَطَأِ وَهِيَ مُغَلَّظَةٌ تَجِبُ مُؤَجَّلَةً عَلَى الْعَاقِلَةِ فَتَسَاوَى الدِّيَتَانِ فِي التَّغْلِيظِ وَيَخْتَلِفَانِ فِي التَّأْجِيلِ وَالتَّحَمُّلِ فَتَكُونُ فِي الْعَمْدِ الْمَحْضِ حَالَّةً فِي مَالِ الْجَانِي وَفِي عَمْدِ الْخَطَأ مُؤَجَّلَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ عَمْدُ الْخَطَأِ أَخَفَّ مِنَ الْعَمْدِ الْمَحْضِ وَقَدْ سَاوَاهُ فِي تَغْلِيظِ الدِّيَةِ لِعَمْدِهِ فِي الْفِعْلِ خَالَفَهُ فِي التَّأْجِيلِ وَالْمَحَلِّ لِخَطَئِهِ فِي الْقَصْدِ
Kedua, diyat ‘amdu al-khata’ (pembunuhan sengaja yang menyerupai tidak sengaja), yaitu diyat yang diperberat dan wajib dibayarkan secara tangguh oleh ‘aqilah. Maka kedua diyat tersebut sama dalam hal pemberatan, namun berbeda dalam hal penangguhan dan pihak yang menanggung. Pada pembunuhan sengaja murni, diyat dibayarkan secara tunai dari harta pelaku, sedangkan pada ‘amdu al-khata’, diyat dibayarkan secara tangguh oleh ‘aqilah pelaku. Hal ini karena ‘amdu al-khata’ lebih ringan daripada pembunuhan sengaja murni, dan meskipun disamakan dalam pemberatan diyat karena unsur kesengajaan dalam perbuatan, namun berbeda dalam penangguhan dan pihak yang menanggung karena unsur kesalahan dalam niat.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ دِيَةُ الْخَطَأِ الْمَحْضِ فَهِيَ مُخَفَّفَةٌ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ صِفَةِ التَّخْفِيفِ تَتَحَمَّلُهَا الْعَاقِلَةُ مُؤَجَّلَةً فِي ثَلَاثَةِ سِنِينَ وَلَا تَتَغَلَّظُ إِلَّا فِي ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ
Bagian ketiga adalah diyat karena kesalahan murni, yaitu diyat yang diringankan sebagaimana akan kami sebutkan bentuk keringanannya. Diyat ini ditanggung oleh ‘āqilah secara tangguhan dalam tiga tahun, dan tidak menjadi berat kecuali dalam tiga keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ قَتْلُ الْخَطَأِ فِي الْحَرَمِ
Salah satunya adalah apabila pembunuhan karena tidak sengaja terjadi di Tanah Haram.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ
Dan yang kedua adalah (bahwa) itu terjadi pada bulan-bulan haram.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْمُحَرَّمِ فَتَكُونُ مُغَلَّظَةً فِي الْخَطَأِ الْمَحْضِ كَمَا تَتَغَلَّظُ دِيَةُ الْعَمْدِ الْمَحْضِ وَدِيَةُ الْعَمْدِ الْخَطَأِ فَيَصِيرُ تَغْلِيظُ الدِّيَةِ فِي خَمْسَةِ أَحْوَالٍ فِي الْعَمْدِ الْمَحْضِ وَفِي الْعَمْدِ الْخَطَأِ وَفِي الْخَطَأِ الْمَحْضِ وَفِي الْحَرَمِ وَفِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ الْمُحَرَّمِ
Ketiga, apabila (pembunuhan) itu terjadi terhadap kerabat mahram, maka diyatnya menjadi diperberat dalam kasus kesalahan murni, sebagaimana diyat pada pembunuhan sengaja murni dan diyat pada pembunuhan semi-sengaja juga diperberat. Dengan demikian, pemberatan diyat terjadi dalam lima keadaan: pada pembunuhan sengaja murni, pada pembunuhan semi-sengaja, pada kesalahan murni, di tanah haram, di bulan-bulan haram, dan terhadap kerabat mahram.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا تَتَغَلَّظُ دِيَةُ الْخَطَأِ الْمَحْضِ بِالْحَرَمِ وَلَا بِالْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَلَا عَلَى ذِي الرَّحِمِ
Abu Hanifah berkata, diyat karena kesalahan murni tidak menjadi lebih berat karena terjadi di tanah haram, atau pada bulan-bulan haram, atau terhadap kerabat dekat.
وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالنَّخَعِيُّ وَالشَّعْبِيُّ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ ابْنُ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ دِيَةُ الْخَطَأِ أَخْمَاسٌ وَلَمْ يُفَرِّقْ وَلِأَنَّ مَا وَجَبَ بِقَتْلِ الْخَطَأِ لَمْ يَتَغَلَّظْ بِالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ كَالْكَفَّارَةِ وَلِأَنَّ قَتْلَ الْخَطَأِ أَخَفُّ مِنْ قَتْلِ الْعَمْدِ فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلْحَرَمِ وَالرَّحِمِ وَالْأَشْهُرِ الْحُرُمِ زِيَادَةُ تَأْثِيرٍ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ لَهَا زِيَادَةُ تأثير في قَتْلِ الْخَطَأِ وَلِأَنَّ لِحَرَمِ الْمَدِينَةِ حُرْمَةً كَمَا لِحَرَمِ مَكَّةَ حُرْمَةٌ وَلِشَهْرِ رَمَضَانَ حُرْمَةٌ كَمَا لِلْأَشْهُرِ الْحُرُمِ حُرْمَةٌ وَلِشَرَفِ النَّسَبِ حُرْمَةٌ كَمَا للرحم حرمة ثم لم يتغلظ الدِّيَةُ بِحُرْمَةِ الْمَدِينَةِ وَحُرْمَةِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَحُرْمَةِ شَرَفِ النَّسَبِ كَذَلِكَ لَا تَتَغَلَّظُ بِحُرْمَةِ الْحَرَمِ وَحُرْمَةِ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَحُرْمَةِ الرَّحِمِ لِأَنَّ الْقَتْلَ كَالزِّنَا لِوُجُوبِ الْقَتْلِ بِهِ تَارَةً وَمَا دُونَهُ أُخْرَى فَلَمَّا لَمْ يَتَغَلَّظْ حُكْمُ الزِّنَا بِالْمَكَانِ وَالزَّمَانِ وَالرَّحِمِ لَمْ يَتَغَلَّظْ حُكْمُ الْقَتْلِ وَلِأَنَّهُ لَوْ تَغَلَّظَ حُكْمُ الْقَتْلِ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ لَوَجَبَ إِذَا جَمَعَهَا أَنْ يُضَاعِفَ التغليظ بِهَا وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى سُقُوطِ هَذَا دَلِيلٌ عَلَى سُقُوطِ ذَلِكَ وَلِأَنَّ الْأَمْوَالَ تُضْمَنُ كَالنُّفُوسِ وَالْعَبْدَ يُضْمَنُ بِالْقَتْلِ كَالْحُرِّ وَلَمْ يَتَغَلَّظْ ضَمَانُ الْأَمْوَالِ وَقَتْلُ الْعَبْدِ بِهَذِهِ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ لَا يَتَغَلَّظُ بِهَا ضَمَانُ النُّفُوسِ فِي الْأَحْرَارِ
Pendapat ini juga dipegang oleh Malik, An-Nakha‘i, dan Asy-Sya‘bi, dengan berdalil pada riwayat Ibnu Mas‘ud dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Diyat karena pembunuhan tidak sengaja adalah lima bagian,” dan beliau tidak membedakan. Selain itu, apa yang diwajibkan karena pembunuhan tidak sengaja tidak menjadi lebih berat karena waktu dan tempat, sebagaimana kafarah. Sebab, pembunuhan tidak sengaja lebih ringan daripada pembunuhan sengaja. Maka, ketika tanah haram, hubungan rahim, dan bulan-bulan haram tidak memberikan tambahan pengaruh pada pembunuhan sengaja, maka lebih utama lagi tidak memberikan tambahan pengaruh pada pembunuhan tidak sengaja. Selain itu, tanah haram Madinah memiliki kehormatan sebagaimana tanah haram Makkah, bulan Ramadan memiliki kehormatan sebagaimana bulan-bulan haram, dan kemuliaan nasab memiliki kehormatan sebagaimana hubungan rahim, namun diyat tidak menjadi lebih berat karena kehormatan Madinah, kehormatan bulan Ramadan, dan kehormatan kemuliaan nasab. Demikian pula, diyat tidak menjadi lebih berat karena kehormatan tanah haram, bulan-bulan haram, dan hubungan rahim. Sebab, pembunuhan itu seperti zina, di mana terkadang diwajibkan hukuman mati dan terkadang kurang dari itu. Maka, ketika hukum zina tidak menjadi lebih berat karena tempat, waktu, dan hubungan rahim, demikian pula hukum pembunuhan tidak menjadi lebih berat. Selain itu, jika hukum pembunuhan menjadi lebih berat karena masing-masing dari tiga hal ini, niscaya ketika semuanya berkumpul, harus dilipatgandakan pemberatannya. Padahal, ijma‘ mereka atas gugurnya hal ini menjadi dalil atas gugurnya pemberatan tersebut. Selain itu, harta benda dijamin seperti jiwa, dan budak dijamin dengan pembunuhan sebagaimana orang merdeka, namun jaminan harta benda dan pembunuhan budak tidak menjadi lebih berat karena tiga hal ini. Demikian pula, jaminan jiwa pada orang merdeka tidak menjadi lebih berat karena tiga hal tersebut.
وَدَلِيلُنَا عَلَيْهِ انْعِقَادُ الْإِجْمَاعِ بِهِ
Dan dalil kami atas hal itu adalah terjadinya ijmā‘ atasnya.
رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَابْنِ عَبَّاسٍ
Hal itu telah diriwayatkan dari Umar, Utsman, dan Ibnu Abbas.
فَأَمَّا عُمَرُ فَرَوَى لَيْثٌ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ مَنْ قَتَلَ فِي الْحَرَمِ أَوْ قَتَلَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ أَوْ قَتَلَ ذَا رَحِمٍ فَعَلَيْهِ دِيَةٌ وَثُلُثٌ
Adapun Umar, Laits meriwayatkan dari Mujahid dari Umar bin Khattab bahwa ia berkata: Barang siapa membunuh di tanah haram, atau membunuh pada bulan-bulan haram, atau membunuh kerabat, maka atasnya diyat dan sepertiganya.
وَأَمَّا عُثْمَانُ فَرَوَى ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عُثْمَانَ قَضَى فِي دِيَةِ امْرَأَةٍ قُتِلَتْ بِمَكَّةَ بِسِتَّةِ آلَافِ دِرْهَمٍ وَأَلْفَيْ دِرْهَمٍ تَغْلِيظًا لِأَجْلِ الْحَرَمِ
Adapun ‘Utsman, Ibnu Abi Najih meriwayatkan dari ayahnya bahwa ‘Utsman memutuskan dalam perkara diyat seorang wanita yang terbunuh di Makkah dengan enam ribu dirham, dan menambahkan dua ribu dirham sebagai bentuk penegasan karena kehormatan tanah haram.
وَفِي رِوَايَةِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَضَى فِي دِيَةِ امْرَأَةٍ دِيسَتْ فِي الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ فَهَلَكَتْ بِثَمَانِيَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ
Dalam riwayat asy-Syafi‘i disebutkan bahwa beliau memutuskan dalam kasus diyat seorang wanita yang terinjak-injak saat thawaf di Ka‘bah lalu meninggal dunia, sebesar delapan ribu dirham.
وَأَمَّا ابْنُ عَبَّاسٍ فَرَوَى نَافِعُ بْنُ جُبَيْرٍ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ فِي الْحَرَمِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ الدِّيَةُ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا وَأَرْبَعَةُ آلَافٍ تَغْلِيظًا لِأَجْلِ الحرم وأربعة آلاف للشهر الحرام
Adapun Ibnu ‘Abbas, Nafi‘ bin Jubair meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dibunuh pada bulan haram di tanah haram, maka Ibnu ‘Abbas berkata: diyatnya adalah dua belas ribu dan empat ribu sebagai penegasan karena kehormatan tanah haram, dan empat ribu lagi karena bulan haram.
وليس لقول لِهَؤُلَاءِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَعَ انْتِشَارِهِ عَنْهُمْ لِأَنَّ فِيهِمْ إِمَامَيْنِ مُخَالِفٌ فَثَبَتَ أَنَّهُ إِجْمَاعٌ لَا يَجُوزُ خِلَافُهُ
Pendapat para sahabat ini, meskipun tersebar dari mereka, tidak dapat dijadikan hujjah karena di antara mereka terdapat dua imam yang berbeda pendapat, sehingga tetaplah bahwa itu adalah ijmā‘ yang tidak boleh diselisihi.
فَإِنْ قِيلَ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ التَّغْلِيظُ الَّذِي أَجْمَعُوا عَلَيْهِ هُوَ فِي الْعَمْدِ الْمَحْضِ أَوْ فِي عَمْدِ الْخَطَأِ فَلَا يَكُونُ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى تَغْلِيظِهِ بِهَذِهِ الْأَسْبَابِ الثَّلَاثَةِ فِي الْخَطَأِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Jika dikatakan: Boleh jadi penegasan hukuman yang telah disepakati itu berlaku pada pembunuhan sengaja murni atau pada pembunuhan semi-sengaja, sehingga tidak terdapat dalil di dalamnya tentang penegasan hukuman dengan tiga sebab ini pada pembunuhan karena kesalahan, maka terhadap hal ini terdapat dua jawaban.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ قَدْ نَصُّوا عَلَى تَغْلِيظِهَا بِهَذِهِ الْأَسْبَابِ وَلَوْ كَانَتْ فِي عَمْدِ الْخَطَأِ لَمَا تَغَلَّظَتْ بِهَا
Salah satunya adalah bahwa mereka telah menegaskan adanya pemberatan hukuman karena sebab-sebab ini, dan jika hal itu termasuk dalam kategori kesengajaan yang keliru (‘amdu al-khathā’), maka hukuman tidak akan diperberat karenanya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ حُكْمُ نَقْلٍ مَعَ سَبَبٍ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَيْهِ كَمَا نُقِلَ عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ سَهَى فَسَجَدَ فَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى سُجُودِهِ لِأَجْلِ السَّهْوِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتْ هَذِهِ الْأَسْبَابُ الثَّلَاثَةُ مَخْصُوصَةً بِتَغْلِيظِ الْحُرْمَةِ فِي الْقَتْلِ جَازَ أَنْ يَتَغَلَّظَ بِهَا حُكْمُ الْقَتْلِ
Yang kedua adalah bahwa itu merupakan hukum yang dinukil beserta sebabnya, sehingga menuntut untuk dibawa kepada sebab tersebut, sebagaimana dinukil dari Nabi ﷺ bahwa beliau lupa lalu sujud, maka hal itu dibawa kepada sujud beliau karena lupa. Dan karena tiga sebab ini dikhususkan dengan penegasan larangan keras dalam pembunuhan, maka boleh hukum pembunuhan diperberat dengan sebab-sebab tersebut.
أَمَّا الْحَرَمُ فَلِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ البقرة 191
Adapun tanah haram, maka berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan janganlah kalian memerangi mereka di sekitar Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di dalamnya.” (Al-Baqarah: 191)
وَلِرِوَايَةِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الكعبي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَرَّمَ مَكَّةَ فَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخر فلا يسفك فيها دماً ولا يعضدن فِيهَا شَجَرًا فَإِنْ رَخَّصَ مُتَرَخِّصٌ فَقَالَ إِنَّهَا أحلت لرسول الله فَإِنَّ اللَّهَ أَحَلَّهَا لِي سَاعَةً ثُمَّ هِيَ حَرَامٌ إِلَى أَنْ تَقُومَ السَّاعَةُ وَلِأَنَّهُ لَمَّا تغلظ بِالْحَرَمِ حُرْمَةُ الصَّيْدِ كَانَ أَوْلَى أَنْ تُغَلَّظَ بِهِ نُفُوسُ الْآدَمِيِّينَ
Dan berdasarkan riwayat Abu Sa‘id al-Maqburi dari Abu Syuraih al-Ka‘bi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan Makkah, maka barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah menumpahkan darah di dalamnya dan jangan pula menebang pohon di dalamnya. Jika ada yang meminta keringanan lalu berkata, “Sesungguhnya Makkah dihalalkan untuk Rasulullah,” maka sesungguhnya Allah hanya menghalalkannya untukku satu jam saja, kemudian setelah itu ia kembali haram hingga hari kiamat. Dan karena ketika di Tanah Haram ditekankan keharaman berburu hewan, maka lebih utama lagi untuk ditekankan keharaman terhadap jiwa manusia.
وَأَمَّا الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَلِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السموات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ التوبة 36
Adapun bulan-bulan haram, hal itu berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi; di antaranya ada empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kalian menzalimi diri kalian dalam bulan-bulan itu.” (at-Taubah: 36)
وَقَالَ تَعَالَى يسئلونك عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ البقرة 217 وَقَدْ قَالَ الْقِتَالُ فِيهَا محرما فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ لِعَظَمِ حُرْمَتِهَا وَأَمَّا ذُو الرَّحِمِ فَلِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ الرعد 21 فَقِيلَ هِيَ الرَّحِمُ أَمَرَ اللَّهُ بِوَصْلِهَا وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ فِي قَطْعِهَا وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ فِي الْمُعَاقَبَةِ عَلَيْهَا وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَنَعَ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ مِنْ قَتْلِ أَبِيهِ يَوْمَ بَدْرٍ وَقَالَ دَعْهُ يَلِي قَتْلَهُ غَيْرُكَ حَتَّى قَتَلَهُ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَمَنَعَ أَبَا بَكْرٍ مِنْ قَتْلِ ابْنِهِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ يَوْمَ أُحُدٍ وَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ الثَّلَاثَةُ مَخْصُوصَةً بِزِيَادَةِ الْحُرْمَةِ وَعِظَمِ الْمَأْثَمِ فِي الْقَتْلِ جَازَ أَنْ يُخْتَصَّ بِتَغْلِيظِ الدِّيَةِ كَالْعَمْدِ وَعَمْدِ الْخَطَأِ
Allah Ta‘ala berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan haram, tentang berperang di dalamnya. Katakanlah: ‘Berperang di dalamnya adalah dosa besar.’” (Al-Baqarah: 217). Telah disebutkan bahwa berperang di bulan-bulan tersebut diharamkan pada permulaan Islam karena besarnya kehormatan bulan-bulan itu. Adapun tentang kerabat, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang menyambung apa yang Allah perintahkan untuk disambung, mereka takut kepada Tuhannya dan takut akan buruknya perhitungan.” (Ar-Ra‘d: 21). Dikatakan bahwa yang dimaksud adalah silaturahmi, Allah memerintahkan untuk menyambungnya, mereka takut kepada Tuhannya jika memutusnya, dan takut akan buruknya perhitungan atas sanksi yang diberikan karenanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi‘ah membunuh ayahnya pada hari Perang Badar, dan beliau bersabda: “Biarkan orang lain yang membunuhnya,” hingga akhirnya Hamzah bin ‘Abdul Muththalib yang membunuhnya. Beliau juga melarang Abu Bakar membunuh putranya, ‘Abdurrahman, pada hari Uhud. Jika tiga hal ini (bulan haram, tanah haram, dan kerabat) memiliki kekhususan berupa tambahan kehormatan dan besarnya dosa dalam pembunuhan, maka boleh saja diistimewakan dengan pemberatan diyat, sebagaimana pada pembunuhan sengaja dan sengaja yang keliru.
وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ أَنَّهُ قَتْلٌ فِي الْحَرَمِ فَكَانَ الْعَمْدُ وَالْخَطَأُ فِي قَدْرِ غُرْمِهِ سَوَاءً كَقَتْلِ الصَّيْدِ
Dan hal ini juga ditunjukkan melalui qiyās, yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan pembunuhan di tanah haram, sehingga baik disengaja maupun tidak disengaja dalam hal besarnya ganti rugi adalah sama, seperti halnya membunuh hewan buruan.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ عُمُومِ جَوَابِ ابْنِ مَسْعُودٍ فَتَخْصِيصُهُ بِدَلِيلِنَا
Adapun jawaban terhadap keumuman jawaban Ibnu Mas‘ūd adalah dengan mengkhususkannya berdasarkan dalil kami.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْكَفَّارَةِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهَا لَمَّا لَمْ تَتَغَلَّظْ بِالْعَمْدِ لَمْ تَتَغَلَّظْ بِهَذِهِ الأٍسباب وَالدِّيَةُ لَمَّا تَغَلَّظَتْ بِالْعَمْدِ تَغَلَّظَتْ بِهَذِهِ الْأَسْبَابِ
Adapun qiyās mereka terhadap kafārah, maka jawabannya adalah bahwa karena kafārah tidak menjadi lebih berat dengan unsur kesengajaan, maka ia juga tidak menjadi lebih berat dengan sebab-sebab ini. Sedangkan diyat, karena ia menjadi lebih berat dengan unsur kesengajaan, maka ia juga menjadi lebih berat dengan sebab-sebab ini.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْعَمْدِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ قَدِ اسْتَوْفَى غَايَةَ التَّغْلِيظِ فَلَمْ يَبْقَ لِلتَّغْلِيظِ تَأْثِيرٌ وَالْخَطَأُ بِخِلَافِهِ
Adapun qiyās mereka terhadap pembunuhan sengaja, maka maksudnya adalah bahwa dalam kasus tersebut telah terpenuhi puncak penegasan hukuman, sehingga tidak tersisa lagi pengaruh penegasan hukuman itu; sedangkan dalam kasus kesalahan, keadaannya berbeda.
وَأَمَّا اعْتِبَارُهُمْ حَرَمَ مَكَّةَ بِحَرَمِ الْمَدِينَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَمِنْهُمْ مَنْ غَلَّظَ الدِّيَةَ فِيهَا كَتَغْلِيظِهَا بِمَكَّةَ مِنْ قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ صَيْدَهَا مَضْمُونٌ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ
Adapun penyamaan mereka antara Tanah Haram Makkah dengan Tanah Haram Madinah, para ulama kami berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian dari mereka memberatkan diyat di dalamnya sebagaimana pemberatan diyat di Makkah, berdasarkan pendapat Imam Syafi‘i dalam qaul qadim bahwa binatang buruan di Madinah wajib diganti. Maka, berdasarkan pendapat ini, dalil tersebut menjadi gugur.
وَقَالَ الْأَكْثَرُونَ لَا تَتَغَلَّظُ الدِّيَةُ فِيهَا وَإِنْ تَغَلَّظَتْ بِحَرَمِ مَكَّةَ لِأَنَّ حَرَمَ مَكَّةَ أَغْلَظُ حُرْمَةً لِاخْتِصَاصِهِ بِنُسُكَيِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَتَحْرِيمُ الدُّخُولِ إِلَيْهِ إِلَّا بِإِحْرَامٍ فَلِذَلِكَ تَغَلَّظَتِ الدِّيَةُ فِيهِ بِخِلَافِ الْمَدِينَةِ وَهَكَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَغْلِيظِ الدِّيَةِ بِالْقَتْلِ فِي الْإِحْرَامِ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ
Mayoritas ulama berpendapat bahwa diyat tidak diperberat di dalamnya (Tanah Haram Madinah), meskipun diyat diperberat di Tanah Haram Makkah, karena Tanah Haram Makkah memiliki kehormatan yang lebih agung disebabkan kekhususannya dengan dua ibadah, yaitu haji dan umrah, serta larangan masuk ke dalamnya kecuali dengan ihram. Oleh karena itu, diyat diperberat di dalamnya, berbeda dengan Madinah. Demikian pula, para ulama kami berbeda pendapat mengenai pemberatan diyat atas pembunuhan dalam keadaan ihram, berdasarkan dua pendapat ini.
وَأَمَّا اعْتِبَارُهُمُ الْأَشْهُرَ الْحُرُمَ بِشَهْرِ رَمَضَانَ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ حُرْمَةَ شَهْرِ رَمَضَانَ مُخْتَصَّةٌ بِالْعِبَادَةِ دُونَ الْقَتْلِ وَحُرْمَةُ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ مُخْتَصَّةٌ بِالْقَتْلِ فَلِذَلِكَ تَغَلَّظَتِ الدِّيَةُ بِالْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَلَمْ تَتَغَلَّظْ بِشَهْرِ رَمَضَانَ
Adapun anggapan mereka bahwa bulan-bulan haram diqiyāskan dengan bulan Ramadan, maka itu tidak benar, karena kehormatan bulan Ramadan khusus terkait dengan ibadah, bukan dengan pembunuhan. Sedangkan kehormatan bulan-bulan haram khusus terkait dengan pembunuhan. Oleh karena itu, diyat menjadi lebih berat pada bulan-bulan haram dan tidak menjadi lebih berat pada bulan Ramadan.
وَأَمَّا اعْتِبَارُهُمْ ذَا الرَّحِمِ بِذِي النَّسَبِ فَلَا يَصِحُّ لِأَنَّ حُرْمَةَ الرَّحِمِ أَقْوَى لِاخْتِصَاصِهَا بِالتَّوَارُثِ وَالنَّفَقَةِ
Adapun anggapan mereka yang menyamakan dzurrahim dengan dzunnasab, maka itu tidak sah, karena kehormatan rahim lebih kuat disebabkan kekhususannya dalam hal warisan dan nafkah.
وَأَمَّا اعْتِبَارُ الْقَتْلِ بِالزِّنَا فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الزِّنَا لَمَّا لَمْ يَخْتَلِفْ حُكْمُهُ بِاخْتِلَافِ الْأَعْيَانِ لَمْ يَخْتَلِفِ الْمَكَانُ وَالزَّمَانُ وَلَمَّا اخْتَلَفَ حُكْمُ الْقَتْلِ بِاخْتِلَافِ الْأَعْيَانِ جَازَ أَنْ يَخْتَلِفَ بِالْمَكَانِ وَالزَّمَانِ
Adapun mengenai penyamaan hukuman pembunuhan dengan zina, perbedaannya adalah bahwa zina, karena hukumnya tidak berbeda-beda tergantung pada individu pelakunya, maka hukumnya juga tidak berbeda-beda menurut tempat dan waktu. Sedangkan pembunuhan, karena hukumnya berbeda-beda tergantung pada individu pelakunya, maka boleh jadi hukumnya juga berbeda-beda menurut tempat dan waktu.
وَأَمَّا اعْتِبَارُهُمْ نُفُوسَ الْأَحْرَارِ بِنُفُوسِ الْعَبِيدِ وَالْأَمْوَالِ
Adapun pertimbangan mereka yang menyamakan jiwa orang-orang merdeka dengan jiwa para budak dan harta benda.
فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَخْتَلِفْ فِي نُفُوسِ الْعَبِيدِ وَالْأَمْوَالِ غُرْمُ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ لَمْ يَخْتَلِفْ بِالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ وَلَمَّا اخْتَلَفَ فِي نُفُوسِ الْأَحْرَارِ غُرْمُ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ اخْتَلَفَ بِالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa ketika diyat (ganti rugi) atas budak dan harta, baik karena sengaja maupun tidak sengaja, tidak berbeda dalam pandangan, maka tidak berbeda pula menurut waktu dan tempat. Namun, ketika diyat atas jiwa orang merdeka, antara sengaja dan tidak sengaja itu berbeda, maka perbedaannya pun mengikuti waktu dan tempat. Dan Allah lebih mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا اسْتِيفَاءُ الْقِصَاصِ وَالْحُدُودِ فِي الْحَرَمِ فَيَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ فِي الْحَرَمِ مِنَ الْقَاتِلِ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ وَكَذَلِكَ إِقَامَةُ الْحُدُودِ
Adapun pelaksanaan qishāsh dan hudūd di wilayah Haram, maka diperbolehkan melaksanakan qishāsh di Haram terhadap pelaku pembunuhan, baik kejahatan itu terjadi di luar Haram maupun di dalam Haram, demikian pula pelaksanaan hudūd.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ مِنَ الْقَاتِلِ فِي الْحِلِّ إِذَا لَجَأَ إِلَى الْحَرَمِ وَيُلْجَأُ إِلَى الْخُرُوجِ مِنْهُ بِالْهَجْرِ وَتَرْكِ الْمُبَايَعَةِ وَالْمُشَارَاةِ مَعَهُ حَتَّى يَخْرُجَ فَيُقْتَصَّ مِنْهُ فِي الْحِلِّ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كان آمنا آل عمرا 96
Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh dilakukan qishash terhadap pembunuh di tanah halal (di luar tanah haram) apabila ia berlindung ke tanah haram. Ia didorong untuk keluar dari tanah haram dengan cara dijauhi, tidak diajak berjual beli, dan tidak diajak berinteraksi hingga ia keluar, lalu qishash dilakukan terhadapnya di tanah halal. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya rumah pertama yang dibangun untuk manusia adalah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya, ia menjadi aman.” (Ali Imran: 96)
وقوله تعالى أو لم يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ العنكبوت 67 فَوَجَبَ بِهَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ أَنْ يَكُونَ دَاخِلُهُ آمِنًا وَلَيْسَ قَتْلُهُ فِيهِ أَمْنًا
Dan firman Allah Ta‘ala: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Kami telah menjadikan (negeri) Haram yang aman, sementara manusia diculik dari sekeliling mereka?” (al-‘Ankabut: 67). Maka dengan dua ayat ini, wajiblah bahwa siapa pun yang masuk ke dalamnya harus merasa aman, dan membunuh di dalamnya bukanlah suatu keamanan.
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ أَعْتَى النَّاسِ عَلَى اللَّهِ الْقَاتِلُ غَيْرَ قَاتِلِهِ وَالضَّارِبُ غَيْرَ ضَارِبِهِ وَالْقَاتِلُ فِي الْحَرَمِ وَالْقَاتِلُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Manusia yang paling durhaka kepada Allah adalah orang yang membunuh bukan karena dibunuh, orang yang memukul bukan karena dipukul, orang yang membunuh di tanah haram, dan orang yang membunuh pada masa jahiliyah.”
وَقَوْلُهُ الْقَاتِلُ فِي الْحَرَمِ يَعْنِي قَوَدًا وَقِصَاصًا لِأَنَّ ابْتِدَاءَ الْقَاتِلِ دَاخِلٌ فِي قَوْلِهِ الْقَاتِلُ غَيْرُ قَاتِلِهِ وَلِأَنَّ حُرْمَةَ الْحَرَمِ مُنْتَشِرَةٌ عَنْ حُرْمَةِ الْكَعْبَةِ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ قَتْلُهُ فِي الْكَعْبَةِ لَمْ يَجُزْ قَتْلُهُ فِيمَا انْتَشَرَتْ حُرْمَتُهَا إِلَيْهِ مِنْ جَمِيعِ الْحَرَمِ وَلِأَنَّ حُرْمَةَ الْآدَمِيِّينَ أَغْلَظُ مِنْ حُرْمَةِ الصَّيْدِ فَلَمَّا حُرِّمَ قَتْلُ الصيد إذا ألجأ إِلَى الْحَرَمِ كَانَ قَتْلُ الْآدَمِيِّ أَشَدَّ تَحْرِيمًا
Dan ucapannya “pembunuh di dalam wilayah Haram” maksudnya adalah qishāsh dan pembalasan, karena permulaan tindakan pembunuhan termasuk dalam ucapannya “pembunuh, bukan orang yang membunuhnya”, dan karena kehormatan wilayah Haram bersumber dari kehormatan Ka‘bah. Maka, ketika tidak diperbolehkan membunuh di dalam Ka‘bah, tidak diperbolehkan pula membunuh di tempat yang kehormatannya meluas dari Ka‘bah ke seluruh wilayah Haram. Dan karena kehormatan manusia lebih besar daripada kehormatan hewan buruan, maka ketika diharamkan membunuh hewan buruan jika ia berlindung ke wilayah Haram, maka membunuh manusia lebih terlarang lagi.
وَدَلِيلُنَا عُمُومُ الظَّوَاهِرِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فِي الْقِصَاصِ وَإِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهَا تَخْصِيصُ الْحِلِّ مِنَ الْحَرَمِ وَلِأَنَّ كُلَّ قِصَاصٍ جَازَ اسْتِيفَاؤُهُ فِي الْحِلِّ جَازَ اسْتِيفَاؤُهُ فِي الْحَرَمِ كَالْقَاتِلِ فِي الْحَرَمِ وَلِأَنَّ كُلَّ قِصَاصٍ اسْتُوفِيَ مِنْ جَانِبِهِ فِي الْحَرَمِ اسْتُوفِيَ مِنْهُ إِذَا لَجَأَ إِلَى الْحَرَمِ كَالْأَطْرَافِ لِأَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ وَافَقَ عَلَيْهَا وَلِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ كَانَ مَحَلًّا لِلْقِصَاصِ إِذَا جَنَى فِيهِ كَانَ مَحَلًّا لَهُ وَإِنْ جَنَى فِي غَيْرِهِ كَالْحِلِّ وَلِأَنَّ النَّصَّ وَارِدٌ بتحريم الهجرة وَإِبَاحَةِ الْبَيْعِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا البقرة 275 وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمَرَ أَبُو حَنِيفَةَ بِهَجْرِهِ وَهُوَ مَحْظُورٌ وَمَنَعَ مِنْ بَيْعِهِ وَهُوَ مُبَاحٌ وَأَخَّرَ الِاقْتِصَاصَ مِنْهُ وَهُوَ وَاجِبٌ فَصَارَ فِي الْكُلِّ مُخَالِفًا لِلنَّصِّ
Dalil kami adalah keumuman zhahir dari Al-Qur’an dan Sunnah tentang qishāsh, meskipun tidak disertai dengan pengecualian antara wilayah halal (al-hill) dan haram (al-haram). Setiap qishāsh yang boleh dilaksanakan di wilayah halal, maka boleh pula dilaksanakan di wilayah haram, seperti pelaku pembunuhan di wilayah haram. Setiap qishāsh yang telah dilaksanakan terhadap pelaku di wilayah haram, maka boleh pula dilaksanakan terhadapnya jika ia berlindung ke wilayah haram, seperti pada kasus pemotongan anggota badan, karena Abu Hanifah pun sepakat dalam hal ini. Setiap tempat yang menjadi lokasi pelaksanaan qishāsh jika pelanggaran terjadi di sana, maka tempat itu juga menjadi lokasi pelaksanaan qishāsh meskipun pelanggaran terjadi di tempat lain, seperti wilayah halal. Dalil nash juga menunjukkan pengharaman hijrah (memutus hubungan) dan kebolehan jual beli. Allah Ta‘ala berfirman: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah: 275). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang Muslim memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari.” Abu Hanifah memerintahkan untuk memutus hubungan, padahal itu terlarang, dan melarang jual beli, padahal itu dibolehkan, serta menunda pelaksanaan qishāsh, padahal itu wajib. Maka dalam semua hal tersebut, ia bertentangan dengan nash.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا آل عمران 96 فَهُوَ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْبَيْتِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا آل عمران 96
Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa memasukinya (Baitullah), maka ia aman” (Ali ‘Imran: 96), maka maksudnya adalah merujuk kepada Baitullah, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: “Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk manusia adalah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi” (Ali ‘Imran: 96).
فَإِنْ قِيلَ فَالْمُرَادُ بِهِ الْحَرَمُ لِأَنَّهُ قَالَ فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ آل عمران 96 وَمَقَامُهُ خَارِجَ الْبَيْتِ لَا فِيهِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Jika dikatakan bahwa yang dimaksud adalah al-Haram, karena di dalamnya disebutkan: “Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim” (Ali Imran: 96), sedangkan Maqam Ibrahim berada di luar Ka’bah, bukan di dalamnya, maka terhadap hal ini terdapat dua jawaban.
أَحَدُهُمَا أَنَّ مَقَامَ إِبْرَاهِيمَ حَجَرٌ مَنْقُولٌ لَا يَسْتَقِرُّ مَكَانَهُ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِي وَقْتِ وَضْعِ الْحَجَرِ فِي الْبَيْتِ ثُمَّ أُخْرِجَ مِنْهُ
Salah satunya adalah bahwa Maqam Ibrahim merupakan batu yang dapat dipindahkan dan tidak tetap di tempatnya, sehingga mungkin saja pada saat peletakan batu itu berada di dalam Ka’bah, kemudian dikeluarkan darinya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ فِي مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ
Yang kedua, bahwa hal itu dimaknai sebagai di Maqam Ibrahim terdapat tanda-tanda yang jelas.
وَأَمَّا قَوْله تَعَالَى أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا العنكبوت 67 فَهُوَ دَلِيلُنَا لِأَنَّ مُقْتَضَى الْأَمْنِ أَنْ لَا يُؤَخَّرَ فِيهِ الْحُقُوقُ وَيُعَجَّلَ اسْتِيفَاؤُهَا لِأَهْلِهَا وَإِذَا أُخِّرَتْ صَارَتْ مُضَاعَةً فَخَرَجَ الْحَرَمُ عَنْ أَنْ يَكُونَ آمِنًا
Adapun firman Allah Ta‘ala: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Kami telah menjadikan (tanah) Haram yang aman?” (al-‘Ankabut: 67), maka ini adalah dalil bagi kami, karena konsekuensi dari keamanan adalah bahwa hak-hak tidak boleh ditunda dan harus segera dipenuhi kepada pemiliknya. Jika hak-hak itu ditunda, maka akan terjadi penzaliman, sehingga tanah Haram keluar dari sifatnya sebagai tempat yang aman.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ وَقَوْلِهِ الْقَاتِلُ فِي الْحَرَمِ فَمَحْمُولٌ عَلَى ابْتِدَاءِ الْقَتْلِ ظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ دُونَ الْقِصَاصِ لِأَمْرَيْنِ
Adapun jawaban terhadap hadis dan perkataan “pembunuh di tanah haram” maka itu dimaknai sebagai permulaan pembunuhan secara zalim tanpa hak, bukan pada kasus qishāsh, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ لِقَتْلِ الْقِصَاصِ أَسْمَاءً هُوَ أَخَصُّ إِطْلَاقِهِ عَلَى غَيْرِهِ
Salah satunya adalah bahwa pembunuhan karena qishāsh memiliki beberapa nama, dan penggunaan istilah tersebut lebih khusus jika dibandingkan dengan penggunaannya untuk selainnya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ جَعَلَهُ مِنْ أَعْتَى النَّاسِ وَلَيْسَ الْمُقْتَصُّ مِنْ أَعْتَى النَّاسِ لِأَنَّهُ مستوف لِحَقِّهِ وَمُسْتَوْفِي الْحَقِّ لَا يَكُونُ عَاتِيًا وَإِنَّمَا الْعَاتِي الْمُبْتَدِئُ وَلَئِنْ كَانَ دَاخِلًا فِي قَوْلِهِ مَنْ قَتَلَ غَيْرَ قَاتِلِهِ فَأُعِيدَ ذِكْرُ قَتْلِهِ فِي الْحَرَمِ تَغْلِيظًا وَتَأْكِيدًا كَمَا قَالَ تَعَالَى حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ والوسطى البقرة 238 وَأَمَّا جَمْعُهُ بَيْنَ الْكَعْبَةِ وَالْحَرَمِ فَقَدْ أَجْمَعْنَا عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا لِأَنَّهُ يُقْتَصُّ مِنْهُ فِي الْحَرَمِ إِذَا قَتَلَ فِيهِ فَجَازَ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْهُ فِيهِ إِذَا لَجَأَ إِلَيْهِ وَلَا يُقْتَصُّ مِنْهُ فِي الْكَعْبَةِ إِذَا قَتَلَ فِيهَا فَلَمْ يُقْتَصَّ مِنْهُ فِيهَا إِذَا لَجَأَ إِلَيْهَا وَمَا ذَكَرُوهُ مِنَ الصَّيْدِ وَتَغْلِيظِ حُرْمَةِ الْآدَمِيِّ عَلَيْهِ فَاسِدٌ بِالْإِحْرَامِ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنْ قَتْلِ الصَّيْدِ وَلَا يَمْنَعُ مِنَ الْقِصَاصِ مَعَ تَغْلِيظِ حُرْمَةِ الْآدَمِيِّ عَلَى الصَّيْدِ كَذَلِكَ حَالُ الْإِحْرَامِ والله أعلم
Kedua, bahwa ia (pembalas) dianggap sebagai orang yang paling durhaka, padahal orang yang melakukan qishāsh bukanlah termasuk orang yang paling durhaka, karena ia hanya menuntut haknya, dan orang yang menuntut hak tidaklah disebut durhaka. Yang disebut durhaka adalah orang yang memulai (kezaliman). Jika pun ia termasuk dalam firman-Nya “Barang siapa membunuh selain pembunuhnya…”, maka penyebutan kembali pembunuhan di dalam wilayah haram adalah untuk menegaskan dan mempertegas, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Peliharalah shalat-shalat (kalian) dan shalat wustha” (al-Baqarah: 238). Adapun penggabungan antara Ka‘bah dan wilayah haram, maka kami telah berijmā‘ bahwa keduanya berbeda, karena qishāsh dapat dilakukan di wilayah haram jika pembunuhan terjadi di sana, maka boleh dilakukan qishāsh di sana jika pelaku berlindung di dalamnya. Namun, qishāsh tidak dapat dilakukan di dalam Ka‘bah jika pembunuhan terjadi di dalamnya, maka tidak dilakukan qishāsh di dalamnya jika pelaku berlindung di sana. Adapun apa yang mereka sebutkan tentang perburuan dan penegasan keharaman membunuh manusia atasnya, maka itu tidak benar dalam keadaan ihrām, karena ihrām melarang membunuh binatang buruan, tetapi tidak melarang qishāsh, meskipun keharaman membunuh manusia lebih berat daripada membunuh binatang buruan. Demikian pula hukum ihrām. Allah Maha Mengetahui.
بَابُ أَسْنَانِ الْخَطَأِ وَتَقْوِيمِهَا وَدِيَاتِ النُّفُوسِ وَالْجِرَاحِ وغيرها
Bab tentang gigi yang rusak karena kesalahan, cara memperbaikinya, diyat jiwa dan luka, serta hal-hal lainnya.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ فَأَبَانَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّ الدِّيَةَ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ وَرُوِيَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ إِنَّهُمْ كَانُوا يَقُولُونَ دِيَةُ الْخَطَأِ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ عِشْرُونَ ابْنَةَ مَخَاضٍ وَعِشْرُونَ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِشْرُونَ ابْنَ لَبُونٍ وَعِشْرُونَ حِقَّةً وَعِشْرُونَ جَذَعَةً قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ الله فبهذا نأخذ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Allah Ta‘ala berfirman, “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” Maka Allah telah menjelaskan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa diyat itu seratus ekor unta. Diriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata: Dahulu mereka mengatakan bahwa diyat karena pembunuhan tidak sengaja adalah seratus ekor unta, yaitu dua puluh ekor unta betina umur satu tahun (ibnah makhādh), dua puluh ekor unta betina umur dua tahun (bint labūn), dua puluh ekor unta jantan umur dua tahun (ibn labūn), dua puluh ekor unta betina umur tiga tahun (ḥiqqah), dan dua puluh ekor unta betina umur empat tahun (jadhā‘ah). Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Dengan inilah kami berpegang.
قال الماوردي أما الدية من الإبل فمائة بَعِيرٍ فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ وَفِي عَمْدِ الْخَطَأِ قَضَى بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَيَانًا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ النساء 92 وَكَانَ أَوَّلُ مَنْ قَضَى بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى مَا حَكَاهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ فِي كِتَابِ الْمَعَارِفِ أَبُو سَارَةَ الْعُدْوَانِيُّ الَّذِي كَانَ يُفِيضُ بِالنَّاسِ مِنْ مُزْدَلِفَةَ
Menurut al-Mawardi, diyat dari unta adalah seratus ekor unta, baik dalam kasus pembunuhan sengaja (al-‘amd) maupun tidak sengaja (al-khathā’). Dalam kasus pembunuhan semi-sengaja (‘amd al-khathā’), Rasulullah saw. menetapkan diyat tersebut sebagai penjelasan atas firman Allah Ta‘ala: “dan diyat yang diserahkan kepada keluarganya” (an-Nisā’ 92). Orang pertama yang menetapkan diyat ini pada masa Jahiliyah, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab al-Ma‘ārif, adalah Abu Sārah al-‘Adwānī, yang memimpin manusia dari Muzdalifah.
وَقِيلَ إِنَّ عَبْدَ الْمُطَّلِبِ أَوَّلُ مَنْ سَنَّهَا فَجَاءَ الشَّرْعُ بِهَا وَاسْتَقَرَّ الْحُكْمُ عَلَيْهَا إِلَّا أَنَّ دِيَةَ الْعَمْدِ مُغَلَّظَةٌ عَلَى الْجَانِي وَقَدْ ذَكَرْنَا تَغْلِيظَهَا وَدِيَةَ الْخَطَأِ مُخَفَّفَةٌ عَلَى الْعَاقِلَةِ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي صِفَةِ تَخْفِيفِهَا فَقَالَتْ طَائِفَةٌ تَكُونُ أَرْبَاعًا وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا فِي صِفَةِ أَرْبَاعِهَا فَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصَرِيِّ أَنَّهَا خَمْسٌ وَعِشْرُونَ ابْنَةَ مَخَاضٍ وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ ابْنَةَ لَبُونٍ وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ حِقَّةً وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ جَذَعَةً
Dikatakan bahwa Abdul Muththalib adalah orang pertama yang menetapkannya, kemudian syariat datang membawanya dan hukum pun tetap berlaku atasnya, kecuali bahwa diyat pembunuhan sengaja (al-‘amdu) diperberat atas pelaku, sebagaimana telah kami sebutkan bentuk pemberatannya, sedangkan diyat pembunuhan tidak sengaja (al-khathā’) diringankan atas ‘āqilah. Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk keringanannya; sebagian kelompok mengatakan bahwa diyat tersebut dibagi menjadi empat bagian, dan mereka yang berpendapat demikian pun berbeda pendapat tentang rincian empat bagian tersebut. Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri bahwa diyat itu terdiri dari dua puluh lima ekor unta betina umur satu tahun (ibnah makhādh), dua puluh lima ekor unta betina umur dua tahun (ibnah labūn), dua puluh lima ekor unta betina umur tiga tahun (hiqqah), dan dua puluh lima ekor unta betina umur empat tahun (jadz‘ah).
وَبِهِ قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَحُكِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهَا عِشْرُونَ ابْنَةَ مَخَاضٍ وَعِشْرُونَ ابْنَ لَبُونٍ وَثَلَاثُونَ ابْنَةَ لَبُونٍ وَثَلَاثُونَ حِقَّةً وَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهَا أَخْمَاسٌ لِرِوَايَةِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ دِيَةُ الْخَطَأِ أَخْمَاسٌ وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا فِي صِفَةِ أَخْمَاسِهَا فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ أَنَّهَا عِشْرُونَ ابْنَةَ مَخَاضٍ وَعِشْرُونَ ابْنَةَ لَبُونٍ وَعِشْرُونَ ابْنَ لَبُونٍ وَعِشْرُونَ حِقَّةً وَعِشْرُونَ جَذَعَةً
Pendapat ini juga dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, dan dinukil dari Utsman bin ‘Affan serta Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhuma bahwa diyat itu terdiri dari dua puluh ekor anak unta betina yang berumur satu tahun (ibnah makhādh), dua puluh ekor anak unta jantan yang berumur dua tahun (ibn labūn), tiga puluh ekor anak unta betina yang berumur dua tahun (ibnah labūn), dan tiga puluh ekor unta betina yang berumur tiga tahun (ḥiqqah). Mayoritas ulama berpendapat bahwa diyat itu dibagi menjadi lima bagian, berdasarkan riwayat Ibnu Mas‘ūd bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Diyat karena kesalahan (al-khaṭa’) itu terdiri dari lima bagian.” Namun, terjadi perbedaan pendapat di antara yang berpendapat demikian mengenai rincian lima bagian tersebut. Imam Syāfi‘ī berpendapat bahwa diyat itu terdiri dari dua puluh ekor anak unta betina yang berumur satu tahun (ibnah makhādh), dua puluh ekor anak unta betina yang berumur dua tahun (ibnah labūn), dua puluh ekor anak unta jantan yang berumur dua tahun (ibn labūn), dua puluh ekor unta betina yang berumur tiga tahun (ḥiqqah), dan dua puluh ekor unta betina yang berumur empat tahun (jadhā‘ah).
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu dari kalangan sahabat.
وَمِنَ التَّابِعِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ وَالزُّهْرِيُّ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَرَبِيعَةُ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَالثَّوْرِيُّ
Dan dari kalangan tabi‘in adalah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Sulaiman bin Yasar, dan az-Zuhri. Dan dari kalangan fuqaha adalah Malik, Rabi‘ah, al-Laits bin Sa‘d, dan ats-Tsauri.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ بِمِثْلِ ذَلِكَ إِلَّا فِي ابْنِ اللَّبُونِ فَإِنَّهُ جَعَلَ مَكَانَهُ عِشْرِينَ ابْنَ مَخَاضٍ
Abu Hanifah berpendapat sama seperti itu, kecuali dalam hal ibnu labūn, karena ia menetapkan sebagai gantinya dua puluh ibnu makhādh.
وَبِهِ قَالَ النَّخَعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَضَافُوهُ إِلَى ابْنِ مَسْعُودٍ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ أَرْطَأَةَ عَنْ زيد بن جبير عن خشف بن مالك الطَّائِيِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ دِيَةُ الْخَطَأِ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ عِشْرُونَ جَذَعَةً وَعِشْرُونَ حِقَّةً وَعِشْرُونَ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِشْرُونَ بِنْتَ مَخَاضٍ وَعِشْرُونَ ابْنَ مَخَاضٍ
Pendapat ini juga dipegang oleh An-Nakha‘i, Ahmad, dan Ishaq, serta mereka menisbatkannya kepada Ibnu Mas‘ud, dengan berdalil pada riwayat Abdurrahman bin Sulaiman dari Al-Hajjaj bin Artha’ah dari Zaid bin Jubair dari Khushaf bin Malik Ath-Tha’i dari Ibnu Mas‘ud, bahwa Nabi ﷺ bersabda: Diyat (tebusan) karena pembunuhan tidak sengaja adalah seratus ekor unta, yaitu dua puluh ekor unta jadz‘ah, dua puluh ekor hiqqah, dua puluh ekor bintu labūn, dua puluh ekor bintu makhādh, dan dua puluh ekor ibnu makhādh.
وَلِأَنَّ بِنْتَ اللَّبُونِ سِنٌّ يَجِبُ دُونَهَا فِي الدِّيَاتِ سِنٌّ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ ذَكَرٌ مِنْ هَذَا السِّنِّ كَالْجِذَاعِ وَالْحِقَاقِ وَلِأَنَّ مَوْضُوعَ دِيَةِ الْخَطَأِ عَلَى التَّخْفِيفِ لِتَحَمُّلِ الْعَاقِلَةِ لَهَا فَكَانَ إِيجَابُ بَنِي الْمَخَاضِ أَقْرَبَ إِلَى التَّخْفِيفِ مِنْ بَنِي اللَّبُونِ
Dan karena bintu labūn adalah umur hewan yang di bawahnya ada umur lain yang wajib dalam diyat, maka seharusnya tidak diwajibkan jantan dari umur ini, seperti halnya jadza‘ dan hiqqah. Selain itu, ketentuan diyat karena kesalahan memang didasarkan pada keringanan, karena diyat tersebut ditanggung oleh ‘āqilah, sehingga mewajibkan bani makhādh lebih dekat kepada keringanan daripada bani labūn.
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ قَتَادَةُ عَنْ لَاحِقِ بْنِ حُمَيْدٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ دِيَةُ الْخَطَأِ أَخْمَاسٌ عِشْرُونَ جَذَعَةً وَعِشْرُونَ حِقَّةً وَعِشْرُونَ بنات لبون وعشرون بنو لبون ذكر وَعِشْرُونَ بَنَاتِ مَخَاضٍ هَذَا مَوْقُوفٌ عَلَيْهِ
Dan dalil kami adalah riwayat yang disampaikan oleh Qatadah dari Lahik bin Humaid dari Abu Ubaidah dari ayahnya, Abdullah bin Mas‘ud, bahwa ia berkata: Diyat karena pembunuhan tidak sengaja adalah lima bagian: dua puluh ekor unta jadz‘ah, dua puluh ekor unta hiqqah, dua puluh ekor unta betina bintu labun, dua puluh ekor unta jantan ibnu labun, dan dua puluh ekor unta betina bintu makhad. Riwayat ini mauquf padanya.
وَقَدْ رَوَى إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ أرطأة عن زيد بن جبير عن خشف ابن مَالِكٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قضى في دية الخطأ أخماساً خمساً جذاع وخمساً حقاق وَخُمْسًا بَنَاتِ لَبُونٍ وَخُمْسًا بَنَاتِ مَخَاضٍ وَخَمْسًا بني لبون ذكر
Isma‘il bin ‘Ayyasy meriwayatkan dari al-Hajjaj bin Artha’ah, dari Zaid bin Jubair, dari Khashaf bin Malik, dari Ibnu Mas‘ud, bahwa Nabi ﷺ memutuskan dalam perkara diyat karena pembunuhan tidak sengaja (al-khata’) menjadi lima bagian: sepertiga berupa lima ekor unta jadz‘a, sepertiga berupa lima ekor unta hiqqah, sepertiga berupa lima ekor bintu labun, sepertiga berupa lima ekor bintu makhad, dan sepertiga berupa lima ekor banu labun jantan.
وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ أَثْبَتُ مِنْ رِوَايَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سُلَيْمَانَ وَأَشْبَهُ بِمَا رَوَاهُ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ابْنُهُ أَبُو عُبَيْدَةَ وَعَلْقَمَةُ وَهُوَ لَا يُفْتِي بِخِلَافِ مَا يَرْوِي ثُمَّ يَدُلُّ عَلَيْهِ مَا حَكَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ مِنْ إِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُولُونَ دِيَةُ الْخَطَأِ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ عِشْرُونَ بِنْتَ مَخَاضٍ وَعِشْرُونَ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِشْرُونَ ابْنَ لَبُونٍ وَعِشْرُونَ حِقَّةً وَعِشْرُونَ جَذَعَةً وَسُلَيْمَانُ تَابِعِيٌّ وَإِشَارَتُهُ إِلَى مَنْ تَقَدَّمَهُ مَحْمُولٌ عَلَى الصَّحَابَةِ فَصَارَ ذَلِكَ إِجْمَاعًا نَقَلَهُ عَنْهُمْ
Riwayat ini lebih kuat daripada riwayat ‘Abdurrahman bin Sulaiman dan lebih sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud oleh putranya, Abu ‘Ubaidah, dan ‘Alqamah, di mana ia tidak berfatwa bertentangan dengan apa yang ia riwayatkan. Kemudian hal ini juga didukung oleh apa yang dikisahkan oleh asy-Syafi‘i dari Sulaiman bin Yasar tentang ijmā‘ para sahabat, bahwa mereka mengatakan diyat karena pembunuhan tidak sengaja adalah seratus ekor unta: dua puluh ekor unta betina umur setahun (bint makhādh), dua puluh ekor unta betina umur dua tahun (bint labūn), dua puluh ekor unta jantan umur dua tahun (ibn labūn), dua puluh ekor unta betina umur tiga tahun (ḥiqqah), dan dua puluh ekor unta betina umur empat tahun (jadza‘ah). Sulaiman adalah seorang tabi‘in, dan isyaratnya kepada orang-orang sebelum dirinya dimaknai kepada para sahabat, sehingga hal itu menjadi ijmā‘ yang ia riwayatkan dari mereka.
وَمِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ أَنَّ كُلَّ مَا لَا يَجِبُ فِي الزَّكَاةِ لَا يَجِبُ فِي دِيَةِ الْخَطَأِ كَالثَّنَايَا وَالْفِصَالِ وَلِأَنَّ مَا اسْتَحَقَّ مِنَ الْإِبِلِ مُوَاسَاةً لَمْ يَجِبْ فِيهِ بَنُو الْمَخَاضِ كَالزَّكَاةِ وَلِأَنَّ بَنَاتِ الْمَخَاضِ أَحَدُ طَرَفَيِ الزَّكَاةِ فَلَمْ يَجِبْ ذُكُورُهَا فِي الدِّيَةِ كَالْجِذَاعِ فِي الطَّرَفِ الْأَعْلَى
Dan berdasarkan qiyās, segala sesuatu yang tidak wajib dalam zakat juga tidak wajib dalam diyat kesalahan, seperti ats-tsanāyā dan al-fishāl. Karena apa yang menjadi hak dari unta sebagai bentuk solidaritas tidak diwajibkan di dalamnya banu al-makhādh, sebagaimana dalam zakat. Dan karena banāt al-makhādh adalah salah satu dari dua jenis dalam zakat, maka tidak diwajibkan jantan dari jenis itu dalam diyat, sebagaimana al-jidzā‘ pada jenis yang lebih tinggi.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِهِمْ مَعَ ضَعْفِ الْحَجَّاجِ بْنِ أَرْطَأَةَ وَأَنَّ خَشْفَ بْنَ مَالِكٍ مَجْهُولٌ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ إِلَّا زَيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ فَهُوَ أَنَّ مَا رَوَيْنَاهُ عَنْهُ مِنْ خِلَافِهِ وَأَنَّهُ وَافَقَ فِيهِ الْجَمَاعَةَ مِنْ إِبْدَالِ بَنِي اللَّبُونِ مَكَانَ بَنِي الْمَخَاضِ أَوْلَى
Adapun jawaban terhadap hadis mereka, selain karena lemahnya Hajjāj bin Artha’ah dan karena Khushaf bin Mālik adalah seorang yang majhul (tidak dikenal), yang mana tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Zaid bin Jubair, maka yang kami riwayatkan darinya berupa pendapat yang berbeda dan bahwa ia dalam hal itu sejalan dengan jumā‘ah (mayoritas ulama) dalam hal mengganti banu labūn sebagai pengganti banu makhādh adalah lebih utama.
وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْجِذَاعِ وَالْحِقَاقِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ مَالٌ أُقِيمَ فِي الزَّكَاةِ الذَّكَرُ مِنْهَا مَقَامَ سِنٍّ دُونَهَا فَلِذَلِكَ لَمْ تَجِبْ فِي الدِّيَةِ وَبَنُو اللَّبُونِ بِخِلَافِهَا وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهَا مَوْضُوعَةٌ عَلَى التَّخْفِيفِ فَإِذَا تَخَفَّفَتْ مِنْ وَجْهٍ لَمْ يَجِبْ تَخْفِيفُهَا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ لِأَنَّنَا نُوجِبُ فِيهَا مَعَ التَّخْفِيفِ مَا نُوجِبُهُ فِي الْمُغَلَّظَةِ مِنَ الجذاع والحقاق والله أعلم
Adapun qiyās mereka terhadap al-jidā‘ dan al-hiqāq, maknanya adalah bahwa itu merupakan harta yang dalam zakatnya, jantan dari jenis tersebut ditempatkan sebagai pengganti umur yang di bawahnya. Oleh karena itu, tidak wajib dalam diyat, sedangkan banū al-labūn berbeda dengannya. Adapun pernyataan mereka bahwa itu ditetapkan untuk keringanan, maka apabila telah diringankan dari satu sisi, tidak wajib untuk diringankan dari semua sisi, karena kami mewajibkan di dalamnya, bersama keringanan tersebut, apa yang kami wajibkan dalam diyat yang berat dari al-jidā‘ dan al-hiqāq. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَا يُكَلَّفُ أَحَدٌ مِنَ الْعَاقِلَةِ غَيْرَ إِبِلِهِ ولا يقبل منه دونها فإن لم يكن لبلده إبل كلف إلى أقرب البلدان إليه
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Tidak dibebankan kepada seseorang dari ‘āqilah selain unta miliknya, dan tidak diterima darinya selain itu. Jika di negerinya tidak ada unta, maka dibebankan kepadanya dari negeri terdekat yang ada unta.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي مَقَادِيرِ الدِّيَةِ مِنَ الْإِبِلِ وَأَسْنَانِهَا فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ وَنَقْلِهَا نَصًّا فَأَمَّا أَنْوَاعُهَا فَلَمْ يَرِدْ فِيهِ نَصٌّ لِأَنَّهَا مَوْكُولَةٌ إِلَى الْعُرْفِ اعْتِبَارًا بِنَظَائِرِهَا فِي الشَّرْعِ فَتُؤْخَذُ الدِّيَةُ مِنْ إِبِلِ الْعَاقِلَةِ فِي الْخَطَأِ وَإِبِلِ الْقَاتِلِ فِي الْعَمْدِ فَإِنْ كَانَتْ إِبِلُهُ عِرَابًا أُخِذَتْ عِرَابًا وَإِنْ كَانَتْ بِخَاتِيَّ أُخِذَتْ بُخْتًا وَإِنْ كَانَتْ عِرَابًا مَهْرِيَّةً أُخِذَتْ مَهْرِيَّةً وَإِنْ كَانَتْ مُحْتَدَبَةً أُخِذَتْ مُحْتَدَبَةً تُؤْخَذُ مِنْ جِنْسِ مَالِهِ وَنَوْعِهِ كَالزَّكَاةِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ إِبِلُهُ خَيْرَ الْأَنْوَاعِ أَوْ أَدْوَنِهَا فَإِنْ عَدَلَ عَنْ إِبِلِهِ إِلَى مَا هُوَ أَعْلَى قُبِلَ مِنْهُ وَإِنْ عَدَلَ إِلَى مَا هُوَ أَدْوَنُ لَمْ يُقْبَلْ كَالزَّكَاةِ وَإِنْ طُولِبَ بِمَا هُوَ أَعْلَى لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ وَإِنْ طُولِبَ بِمَا هُوَ أَدْوَنُ كَانَ مُخَيَّرًا فِيهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ إِبِلٌ كُلِّفَ الْغَالِبَ مِنْ إِبِلِ الْبَلَدِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لِبَلَدِهِ إِبِلٌ كُلِّفَ الْأَغْلَبَ مِنْ إِبِلِ أَقْرَبِ الْبِلَادِ إِلَيْهِ كَمَا قِيلَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya mengenai kadar diyat dari unta dan tingkatan umurnya dalam kasus pembunuhan sengaja (‘amdu) dan tidak sengaja (khatā’), serta penukilannya secara tekstual. Adapun jenis-jenisnya, tidak terdapat nash (teks) khusus tentang hal itu karena hal tersebut dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat) dengan mempertimbangkan keserupaannya dalam syariat. Maka diyat diambil dari unta milik ‘āqilah dalam kasus khatā’ dan dari unta milik pelaku pembunuhan dalam kasus ‘amdu. Jika untanya adalah unta ‘irāb, maka diambil dari unta ‘irāb; jika untanya adalah bukht, maka diambil dari bukht; jika untanya adalah ‘irāb mahrīyah, maka diambil dari mahrīyah; jika untanya muhtadabah, maka diambil dari muhtadabah. Diyat diambil dari jenis dan tipe harta yang dimiliki, sebagaimana zakat. Sama saja apakah untanya termasuk jenis terbaik atau terendah. Jika ia mengganti dari untanya kepada yang lebih tinggi nilainya, maka diterima darinya; namun jika ia mengganti kepada yang lebih rendah, maka tidak diterima, sebagaimana zakat. Jika ia diminta untuk memberikan yang lebih tinggi, maka ia tidak wajib memberikannya; namun jika diminta untuk memberikan yang lebih rendah, maka ia diberi pilihan. Jika ia tidak memiliki unta, maka ia dibebani untuk memberikan unta yang paling banyak terdapat di negeri itu; jika di negerinya tidak ada unta, maka ia dibebani untuk memberikan unta yang paling banyak terdapat di negeri terdekat, sebagaimana yang dikatakan dalam zakat fitri. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ كَانَتْ إِبِلُ الْعَاقِلَةِ مُخْتَلِفَةٌ أَدَّى كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ مِنْ إِبِلِهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika unta-unta ‘āqilah berbeda-beda, maka setiap orang dari mereka membayar dari unta miliknya sendiri.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَاخْتِلَافُ إِبِلِ الْعَاقِلَةِ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Perbedaan unta ‘āqilah terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نَوْعٌ مِنَ الْإِبِلِ فَيُؤْخَذُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِنَ النَّوْعِ الَّذِي فِي مِلْكِهِ وَلَا يُكَلَّفُ أَحَدُهُمْ إِبِلَ غَيْرِهِ كَمَا لَوْ كَانَتْ إِبِلُ جَمِيعِهِمْ نَوْعًا وَاحِدًا
Salah satunya adalah apabila masing-masing dari mereka memiliki jenis unta yang berbeda, maka diambil dari masing-masing mereka dari jenis yang ada dalam kepemilikannya, dan tidak dibebani salah satu dari mereka untuk memberikan unta milik orang lain, sebagaimana jika seluruh unta mereka adalah dari satu jenis.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ إِبِلُ الْوَاحِدِ مِنْهُمْ مُخْتَلِفَةَ الْأَنْوَاعِ فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ كُلِّ نَوْعٍ مِنْهَا جَازَ وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُعْطِيَ مِنْ أَحَدِ أَنْوَاعِهَا فَإِنْ كَانَ هُوَ الأغلب من إِبِلِهِ جَازَ سَوَاءٌ كَانَ أَعْلَى أَوْ أَدْنَى وَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَغْلَبَ إِبِلِهِ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَعْلَاهَا جَازَ قَبُولُهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَدْنَاهَا قُبِلَ مِنَ الْعَاقِلَةِ فِي الْخَطَأِ وَلَمْ يُقْبَلْ مِنَ الْجَانِي فِي الْعَمْدِ لِأَنَّهَا تُؤْخَذُ مِنَ الْعَاقِلَةِ مُوَاسَاةً وَمِنِ الْجَانِي اسْتِحْقَاقًا
Jenis kedua adalah apabila unta milik seseorang berbeda-beda jenisnya. Jika ia ingin memberikan dari setiap jenis unta yang dimilikinya, maka itu diperbolehkan. Jika ia ingin memberikan dari salah satu jenis saja, maka jika jenis itu yang paling banyak dari unta miliknya, diperbolehkan, baik itu jenis yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Namun, jika bukan jenis yang paling banyak, maka jika itu termasuk jenis yang paling tinggi, boleh diterima. Jika termasuk jenis yang paling rendah, maka diterima dari ‘āqilah dalam kasus kesalahan, tetapi tidak diterima dari pelaku dalam kasus pembunuhan sengaja, karena dalam kasus ‘āqilah diambil sebagai bentuk solidaritas, sedangkan dari pelaku diambil sebagai hak yang wajib.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فإن كانت عِجَافًا أَوْ جُرْبًا قِيلَ إِنْ أُدِّيَتْ صِحَاحًا جُبِرَ عَلَى قَبُولِهَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika unta-unta itu kurus atau berpenyakit kudis, dikatakan bahwa jika diserahkan dalam keadaan sehat, maka ia dipaksa untuk menerimanya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ الْمُسْتَحَقُّ فِي إِبِلِ الدِّيَةِ مَا كَانَ سَلِيمًا مِنَ الْعُيُوبِ لِأَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Unta yang berhak untuk diambil sebagai diyat adalah unta yang bebas dari cacat, karena dua alasan.”
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَدُلُّ عَنِ النَّفْسِ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْأَعْوَاضِ
Salah satunya adalah bahwa ia menunjukkan pada diri (jiwa), sehingga menyerupai berbagai kompensasi lainnya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ ثَابِتٌ فِي الذِّمَّةِ فَأَشْبَهَ زَكَاةَ الْفِطْرِ وَالنَّفَقَاتِ فَإِذَا كَانَتْ إِبِلُ العاقلة كلها مراضاة أَوْ عِجَافًا أَوْ جَرْبَى لَمْ يَأْخُذْ مِنْهَا مِرَاضًا وَلَا عِجَافًا وَإِنْ أَخَذْنَاهَا فِي الزَّكَاةِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي مَالِهِ غَيْرُهَا لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا فِي الْوَجْهَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ وَأَخَذْنَا مِثْلَ إِبِلِهِ سَلِيمَةً مِنَ الْعُيُوبِ وَلَا يَعْدِلُ إِلَى الْغَالِبِ مِنْ إِبِلِ بَلَدِهِ لِأَنَّ النَّوْعَ مُعْتَبَرٌ بِمَالِهِ وَإِنْ مُنِعَ الْعَيْبُ أَخَذَهُ فَصَارَ أَصْلًا مُعْتَبَرًا
Kedua, bahwa ia tetap menjadi tanggungan, sehingga serupa dengan zakat fitrah dan nafkah. Maka jika seluruh unta milik ‘āqilah adalah unta yang sakit, kurus, atau berpenyakit kudis, tidak diambil darinya unta yang sakit atau kurus, meskipun kita mengambilnya dalam zakat jika tidak ada harta lain selain itu, karena terdapat perbedaan antara keduanya dalam dua sisi yang telah disebutkan sebelumnya. Kita mengambil unta yang sejenis dengan untanya, yang selamat dari cacat, dan tidak berpindah kepada jenis yang dominan dari unta di negerinya, karena jenis yang dipertimbangkan adalah yang ada pada hartanya. Jika cacat itu dihalangi, maka ia mengambilnya, sehingga menjadi asal yang dipertimbangkan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ أَعْوَزَتِ الْإِبِلُ فَقِيمَتُهَا دَنَانِيرُ أَوْ دَرَاهِمُ كَمَا قَوَّمَهَا عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى وَالْعِلْمُ مُحِيطٌ بِأَنَّهُ لَمْ يُقَوِّمْهَا إِلَّا قِيمَةَ يومها فإذا قومها كذلك فاتباعه أن تقوم متى وجبت ولعله أن لا يكون قومها إلا في حين وبلد أعوزت فيه أو يتراضى الجاني والولي فيدل على تقويمه للإعواز قوله لا يكلف أعرابي الذهب ولا الورق لأنه يجد الإبل وأخذه ذلك من القروي لإعواز الإبل فيما أرى والله أعلم ولو جاز أن يقوم بغير الدراهم والدنانير جعلنا على أهل الخيل الخيل وعلى أهل الطعام الطعام قال المزني رحمه الله وقوله القديم على أهل الذهب ألف دينار وعلى أهل الورق اثنا عشر ألف درهم وَرُجُوعُهُ عَنِ الْقَدِيمِ رَغْبَةً عَنْهُ إِلَى الْجَدِيدِ وهو بالسنة أشبه
Imam Syafi‘i raḍiyallāhu ‘anhu berkata: Jika unta sulit didapatkan, maka nilainya diganti dengan dinar atau dirham sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu. Imam Syafi‘i raḥimahullāh ta‘ālā juga berkata: Pengetahuan menunjukkan bahwa beliau tidak menaksirnya kecuali berdasarkan nilai pada hari itu. Jika dinilai seperti itu, maka yang diikuti adalah penilaian pada saat kewajiban itu muncul. Barangkali beliau tidak menilainya kecuali pada waktu dan tempat di mana unta sulit didapatkan, atau ketika pelaku dan wali korban saling sepakat, sehingga hal itu menunjukkan bahwa penilaian dilakukan karena kelangkaan, sebagaimana ucapannya: “Orang Arab Badui tidak dibebani membayar emas atau perak karena mereka dapat menemukan unta, sedangkan pengambilan itu dari penduduk desa karena kelangkaan unta menurut pendapatku, dan Allah lebih mengetahui.” Jika boleh menilai dengan selain dirham dan dinar, tentu kami akan mewajibkan kepada pemilik kuda dengan kuda, dan kepada pemilik makanan pokok dengan makanan pokok. Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Dalam pendapat lama beliau, kepada pemilik emas wajib seribu dinar, dan kepada pemilik perak dua belas ribu dirham. Kembalinya beliau dari pendapat lama karena lebih memilih pendapat baru, dan pendapat baru itu lebih sesuai dengan sunnah.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الدِّيَةُ مِنَ الْإِبِلِ فَمُقَدَّرَةٌ بِمِائَةِ بَعِيرٍ وَرَدَتْ بِهَا السُّنَّةُ وَانْعَقَدَ عَلَيْهَا الْإِجْمَاعُ فَإِذَا وُجِدَتْ لَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ عَنْهَا عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ فَإِنْ أَعْوَزَتْ إِمَّا بِعَدَمِهَا وَإِمَّا بِوُجُودِهَا بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ مِثْلِهَا عُدِلَ عَنْهَا إِلَى الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ الَّتِي هِيَ أَثْمَانٌ وَقِيَمٌ دُونَ غَيْرِهِمَا مِنَ الْعُرُوضِ وَالسِّلَعِ ثُمَّ اخْتُلِفَ فِي كَيْفِيَّةِ الْعُدُولِ عَنِ الْإِبِلِ إِلَيْهَا عَلَى قَوْلَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Adapun diyat dari unta telah ditetapkan sebanyak seratus ekor unta, sebagaimana yang telah disebutkan dalam sunnah dan telah disepakati melalui ijmā‘. Maka, jika unta itu ada, tidak boleh beralih darinya menurut mazhab Syafi‘i, baik pendapat lama maupun baru. Namun, jika unta itu sulit didapatkan, baik karena tidak ada atau karena harganya jauh lebih mahal dari harga biasanya, maka boleh beralih kepada dinar dan dirham yang merupakan alat tukar dan nilai, bukan kepada barang dagangan atau komoditas lainnya. Kemudian, terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara beralih dari unta kepada dinar dan dirham, ada dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهَا تُعْتَبَرُ مِنَ الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ عِنْدَ إِعْوَازِ الْإِبِلِ بَدَلًا مِنَ النَّفْسِ وَلَا تَكُونُ بَدَلًا مِنَ الْإِبِلِ فَتَكُونُ الدِّيَةُ مِنَ الذَّهَبِ أَلْفَ دِينَارٍ وَمِنِ الْوَرِقِ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَتَصِيرُ الدِّيَةُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ ثَلَاثَةَ أُصُولٍ مُقَدَّرَةً بِالشَّرْعِ دُونَ التَّقْوِيمِ
Salah satu pendapat, dan ini yang beliau (Imam Syafi‘i) katakan dalam pendapat lama, adalah bahwa dinar dan dirham dianggap sebagai pengganti jiwa ketika unta tidak tersedia, bukan sebagai pengganti unta. Maka diyat (tebusan) dari emas adalah seribu dinar, dan dari perak adalah dua belas ribu dirham. Dengan demikian, menurut pendapat beliau dalam pendapat lama, diyat terdiri dari tiga pokok yang telah ditetapkan oleh syariat, tanpa perlu penilaian harga.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ إِعْوَازَ الْإِبِلِ يُوجِبُ الْعُدُولَ إِلَى قِيمَتِهَا بِالدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ مَا بَلَغَتْ بِحَسَبِ اخْتِلَافِهَا فِي الْبُلْدَانِ وَالْأَزْمَانِ فَتَكُونُ الدَّنَانِيرُ وَالدَّرَاهِمُ بَدَلًا مِنَ الْإِبِلِ لَا مِنَ النَّفْسِ وَلَا تَكُونُ لِلدِّيَةِ أَصْلًا وَاحِدًا وَهُوَ الْإِبِلُ
Pendapat kedua, yang juga dinyatakan dalam pendapat baru, adalah bahwa jika unta sulit didapatkan, maka wajib beralih kepada nilai unta tersebut dengan dinar dan dirham, sesuai dengan perbedaan nilainya di berbagai negeri dan masa. Maka dinar dan dirham menjadi pengganti dari unta, bukan dari jiwa, dan diyat tidak memiliki asal kecuali unta.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لِلدِّيَةِ ثَلَاثَةُ أُصُولٍ مِائَةُ بَعِيرٍ أَوْ أَلْفُ دِينَارٍ أَوْ عَشَرَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ يَكُونُ الْجَانِي فِيهَا مُخَيَّرًا فِي دَفْعِ أيهما شاء فخالفهم الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ فِي شَيْئَيْنِ
Abu Hanifah berkata bahwa diyat memiliki tiga dasar: seratus unta, atau seribu dinar, atau sepuluh ribu dirham, di mana pelaku diberi pilihan untuk membayar salah satu yang ia kehendaki. Syafi‘i dalam pendapat lamanya berbeda dengan mereka dalam dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ خَيَّرَ بَيْنَ الْإِبِلِ وَغَيْرِهَا وَالشَّافِعِيُّ لَا يُخَيِّرُ فِيهَا مَعَ إِمْكَانِهَا
Salah satunya adalah bahwa ia memberikan pilihan antara unta dan selainnya, sedangkan Imam Syafi‘i tidak memberikan pilihan dalam hal itu selama unta masih memungkinkan.
وَالثَّانِي أَنَّهُ قَدَّرَهَا بِالْوَرِقِ عَشَرَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ وَالشَّافِعِيُّ قَدَّرَهَا اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا وَوَافَقَهُ أَنَّ الثَّلَاثَةَ بَدَلٌ مِنَ النَّفْسِ فَأَمَّا عَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ فَقَدْ خَالَفَهُ أَبُو حَنِيفَةَ فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ
Kedua, ia menetapkan nilainya dengan perak sebanyak sepuluh ribu dirham, sedangkan asy-Syafi‘i menetapkannya dua belas ribu, dan ia sepakat bahwa tiga hal tersebut merupakan pengganti dari jiwa. Adapun menurut pendapat asy-Syafi‘i dalam pendapat barunya, maka Abu Hanifah berbeda dengannya dalam tiga hal.
أَحَدُهَا التَّخْيِيرُ فَإِنَّهُ جَعَلَهُ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْإِبِلِ وَغَيْرِهَا وَالشَّافِعِيُّ لَا يُخَيِّرُهُ
Salah satunya adalah takhyir, yaitu ia diberikan pilihan antara unta dan selainnya, sedangkan menurut Syafi‘i tidak memberinya pilihan.
وَالثَّانِي فِي الْبَدَلِ فَإِنَّهُ جَعَلَ الدَّرَاهِمَ وَالدَّنَانِيرَ بَدَلًا مِنَ النَّفْسِ وَالشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ يَجْعَلُهَا بَدَلًا مِنَ الْإِبِلِ
Yang kedua adalah dalam hal pengganti, yaitu ia (Abu Hanifah) menjadikan dirham dan dinar sebagai pengganti dari jiwa (nyawa), sedangkan asy-Syafi‘i dalam pendapat barunya menjadikannya sebagai pengganti dari unta.
وَالثَّالِثُ فِي التَّقْدِيرِ لِأَنَّهُ يُقَدِّرُ الدَّرَاهِمَ وَالدَّنَانِيرَ وَالشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ لَا يُقَدِّرُهَا لِأَنَّهُ يَجْعَلُهَا قِيمَةً تَقِلُّ وَتَكْثُرُ
Dan yang ketiga dalam hal penetapan ukuran, karena ia menetapkan ukuran dengan dirham dan dinar, sedangkan asy-Syafi‘i dalam pendapat barunya tidak menetapkannya, karena ia menganggapnya sebagai nilai yang bisa berkurang dan bertambah.
وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ الدِّيَةُ عَلَى أَهْلِ الْإِبِلِ مِائَةُ بَعِيرٍ وَعَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفُ دِينَارٍ وَعَلَى أَهْلِ الْوَرِقِ عَشَرَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ وعلى أهل البقر مائتي بَقَرَةٍ وَعَلَى أَهْلِ الْغَنَمِ أَلْفُ شَاةٍ وَعَلَى أَهْلِ الْحُلَلِ مِائَتَا حُلَّةٍ فَجَعَلُوا لِلدِّيَةِ سِتَّةَ أُصُولٍ وَنَحْنُ نَبْدَأُ بِتَوْجِيهِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ ثُمَّ نَعْدِلُ إِلَى خِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ
Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Ahmad bin Hanbal berkata: diyat bagi penduduk yang memiliki unta adalah seratus ekor unta, bagi penduduk yang memiliki emas adalah seribu dinar, bagi penduduk yang memiliki perak adalah sepuluh ribu dirham, bagi penduduk yang memiliki sapi adalah dua ratus ekor sapi, bagi penduduk yang memiliki kambing adalah seribu ekor kambing, dan bagi penduduk yang memiliki pakaian adalah dua ratus helai pakaian. Maka mereka menjadikan diyat itu memiliki enam bentuk pokok. Kita akan memulai dengan penjelasan pendapat asy-Syafi‘i, kemudian beralih kepada pendapat Abu Hanifah.
وَوَجْهُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ مَا رَوَاهُ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابِنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي عَدِيٍّ قُتِلَ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دِيَتَهُ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ
Dasar pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qadim adalah riwayat dari Amru bin Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki dari Bani Adi telah terbunuh, lalu Nabi ﷺ menetapkan diyatnya sebesar dua belas ribu dirham.
وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَمْرِو ابن حَزْمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ أَنَّ الرَّجُلَ يُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ وَعَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفَ دِينَارٍ وَعَلَى أَهْلِ الْوَرَقِ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ
Az-Zuhri meriwayatkan dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dari ayahnya, dari kakeknya Amr bin Hazm, bahwa Rasulullah ﷺ menulis surat kepada penduduk Yaman bahwa seorang laki-laki dibunuh karena membunuh seorang perempuan, dan bagi penduduk yang menggunakan emas, diyatnya adalah seribu dinar, sedangkan bagi penduduk yang menggunakan perak, diyatnya adalah dua belas ribu dirham.
وَإِذَا صَحَّ هَذَانِ الْحَدِيثَانِ فَالذَّهَبُ وَالْوَرِقُ أَصْلَانِ مُقَدَّرَانِ كَالْإِبِلِ وَلِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّ فِي الدِّيَةِ أَصْلًا مُقَدَّرًا كَالْإِبِلِ
Jika kedua hadis ini sahih, maka emas dan perak adalah dua pokok yang telah ditetapkan ukurannya seperti unta, dan karena apa yang ditetapkan sebagai hak dalam diyat adalah pokok yang telah ditetapkan ukurannya seperti unta.
وَوَجْهُ قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ مَا رَوَاهُ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ يُقَوِّمُ دِيَةَ الْخَطَأِ عَلَى أَهْلِ الْقُرَى أَرْبَعَمِائَةِ دِينَارٍ أَوْ عَدْلِهَا مِنَ الْوَرِقِ وَيُقَوِّمُهَا عَلَى أَثْمَانِ الْإِبِلِ فَإِذَا قَلَّتِ الْإِبِلُ رَفَعَ في قيمتها وإذا هانت برخص منها نقص فَبَلَغَتِ الدِّيَةُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ما بين أربعمائة دينار إلى ثَمَانِمِائَةِ دِينَارٍ أَوْ عَدْلِهَا
Adapun alasan pendapat beliau dalam pendapat baru adalah riwayat dari Sulaiman bin Musa dari Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ menetapkan diyat karena pembunuhan tidak sengaja atas penduduk desa sebesar empat ratus dinar atau yang setara dengannya dari perak, dan beliau menilainya berdasarkan harga unta. Jika jumlah unta sedikit, maka beliau menaikkan nilainya, dan jika harganya murah, maka beliau menguranginya. Maka diyat pada masa Rasulullah ﷺ mencapai antara empat ratus dinar hingga delapan ratus dinar atau yang setara dengannya.
وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَوَّمَ لَمَّا كَثُرَ الْمَالُ وَغَلَتِ الْإِبِلُ مِائَةً مِنَ الْإِبِلِ مِنْ سِتِّمِائَةِ دِينَارٍ إِلَى ثَمَانِمِائَةِ دِينَارٍ حَكَاهُ أَبُو إِسْحَاقَ فِي شَرْحِهِ
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra. pernah menetapkan harga, ketika harta sudah banyak dan harga unta naik, seratus ekor unta dari enam ratus dinar menjadi delapan ratus dinar. Hal ini disebutkan oleh Abu Ishaq dalam syarahnya.
وَرَوَى سُفْيَانُ بْنُ الْحُسَيْنِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ كَانَتْ قِيمَةُ الدِّيَةِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثَمَانَمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَتْ كَذَلِكَ حَتَّى اسْتُخْلِفَ عُمَرُ فَغَلَتِ الْإِبِلُ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَخَطَبَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ الْإِبِلَ قَدْ غَلَتْ فَقَضَى يَعْنِي فِي الدِّيَةِ عَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ بِأَلْفِ دِينَارٍ وَعَلَى أهل الورق أثنى عشر ألف درهم
Sufyan bin Al-Husain meriwayatkan dari Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: Nilai diyat pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah delapan ratus dinar, dan tetap demikian hingga Umar diangkat menjadi khalifah. Kemudian harga unta menjadi mahal, maka Umar naik ke mimbar lalu berkhutbah dan berkata: Ketahuilah, harga unta telah naik. Maka beliau memutuskan, yaitu dalam perkara diyat, bagi pemilik emas sebesar seribu dinar, dan bagi pemilik perak sebesar dua belas ribu dirham.
لأن الْإِبِلَ إِذَا كَانَتْ هِيَ الْمُسْتَحَقَّةَ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْعُدُولُ عَنْهَا عِنْدَ إِعْوَازِهَا إِلَى قِيمَتِهَا اعْتِبَارًا بِسَائِرِ الْحُقُوقِ وَبِالْحُرِّيَّةِ الْمُقَدَّرَةِ بِالذَّهَبِ إِذَا عَدَلَ عَنْهُ رَجَعَ إِلَى قِيمَتِهِ فَهَذَا تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ
Karena unta jika memang itulah yang menjadi hak yang harus dipenuhi, maka wajib beralih darinya ketika tidak tersedia kepada nilainya, sebagaimana berlaku pada hak-hak lainnya dan pada kebebasan yang ditetapkan dengan emas; jika beralih darinya, maka kembali kepada nilainya. Inilah penjelasan dari dua pendapat tersebut.
فَصْلٌ
Bagian
مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ لَا يُعْدَلُ عَنْ إِبِلِ الدِّيَةِ إِذَا وُجِدَتْ وَخَيَّرَ أَبُو حَنِيفَةَ بَيْنَ الْإِبِلِ وَبَيْنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى بِجَمِيعِهَا فَدَلَّ عَلَى التَّخْيِيرِ فِيهَا وَلِأَنَّ الْعَاقِلَةَ تَتَحَمَّلُهَا مُوَاسَاةً مَكَانَ التَّخْيِيرِ فِيهَا أَرْفَقُ كَكَفَّارَةِ الْيَمِينِ وَلِأَنَّ الدَّرَاهِمَ وَالدَّنَانِيرَ أُصُولُ الْأَمْوَالِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُجْعَلَ فَرْعًا لِلْإِبِلِ
Menurut Abu Hanifah, tidak boleh beralih dari unta sebagai diyat jika unta itu ada. Namun, Abu Hanifah memberikan pilihan antara unta, dirham, dan dinar, dengan alasan bahwa Rasulullah saw. telah memutuskan dengan semua jenis itu, sehingga menunjukkan adanya pilihan di dalamnya. Selain itu, karena ‘āqilah menanggungnya sebagai bentuk solidaritas, maka adanya pilihan di dalamnya lebih memudahkan, seperti dalam kafārah sumpah. Dan karena dirham dan dinar adalah pokok harta, maka tidak boleh dijadikan cabang dari unta.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَلَا إِنَّ فِي قَتِيلِ الْعَمْدِ الْخَطَأِ بِالسَّوْطِ والعصا مائة من الإبل مغلظة منها أربعون خَلِفَةً فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ الْإِبِلُ أَصْلًا لَا يَعْدِلُ عَنْهَا إِلَّا بَعْدَ الْعَدَمِ
Dan dalil kami adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah, pada kasus pembunuhan sengaja yang menyerupai tidak sengaja dengan cambuk atau tongkat, diyatnya adalah seratus ekor unta yang diperberat, di antaranya empat puluh ekor unta betina yang sedang bunting.” Maka hal ini menunjukkan bahwa unta adalah asal (dalam pembayaran diyat) dan tidak boleh beralih darinya kecuali setelah tidak adanya (unta).
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ أَكْرِمُوا الْإِبِلَ فَإِنَّ فِيهَا رَقُوءَ الدَّمِ فَخَصُّهَا بِهَذِهِ الصِّفَةِ لِأَنَّهَا تُبْذَلُ فِي الدِّيَةِ فَيُعْفَى بِهَا عَنِ الْقَوَدِ فَدَلَّ عَلَى اختصاصها بالحكم
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Muliakanlah unta, karena pada unta terdapat penebus darah.” Beliau mengkhususkan unta dengan sifat ini karena unta diberikan sebagai diyat, sehingga dengan unta itu dimaafkan dari qishāsh. Maka hal ini menunjukkan kekhususan unta dalam hukum tersebut.
وَرَوَى عَطَاءٌ قَالَ كَانَتِ الدِّيَةُ بِالْإِبِلِ حَتَّى قَوَّمَهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ الشَّافِعِيُّ مَا قَوَّمَهَا إِلَّا قِيمَةَ يَوْمِهَا وَإِذَا كَانَ الْعُدُولُ عَنْهَا قِيمَةً لَهَا لَمْ تَسْتَحِقَّ الْقِيَمَ إِلَّا بَعْدَ الْعَدَمِ لِأَنَّ مَا اسْتَحَقَّهُ الْآدَمِيُّونَ مِنْ حُقُوقِ الْأَمْوَالِ إِذَا تَعَيَّنَتْ لَمْ يَدْخُلْهَا تَخْيِيرٌ كَسَائِرِ الْحُقُوقِ وَلَيْسَ لِمَا احْتِيجَ بِهِ مِنْ قضاء النبي
Atha’ meriwayatkan bahwa diyat dahulu dibayarkan dengan unta, hingga Umar bin Khattab menilainya. Asy-Syafi‘i berkata, “Ia menilainya hanya berdasarkan nilai pada hari itu.” Jika berpindah dari unta ke nilai (uang), maka nilai itu hanya menjadi hak setelah unta tidak ada, karena hak-hak harta yang telah ditetapkan bagi manusia, jika sudah ditentukan, tidak boleh dipilih-pilih lagi seperti hak-hak lainnya. Tidak ada pula yang dapat dijadikan dasar selain apa yang telah diputuskan oleh Nabi.
بِجَمِيعِهَا وَجْهٌ لِاحْتِمَالِ قَضَائِهِ بِذَلِكَ مَعَ الْإِعْوَازِ وَالْعَدَمِ وَلَا تُوجِبُ الْمُوَاسَاةُ بِهَا التَّخْيِيرَ فِيهَا كَمَا لَا يُخَيَّرُ بَيْنَ مَا سِوَى الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ وَبَيْنَ غَيْرِهَا مِنَ الْعُرُوضِ وَالسِّلَعِ وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ إِنَّهَا أَرْفَقُ
Pada semuanya itu terdapat kemungkinan untuk memutuskan dengan hal tersebut ketika terjadi kesulitan dan ketiadaan, dan kewajiban untuk saling membantu dengan hal itu tidak menyebabkan adanya pilihan di dalamnya, sebagaimana tidak boleh memilih antara selain dinar dan dirham dengan barang-barang dan komoditas lainnya. Demikian pula dengan ucapannya bahwa hal itu lebih memberikan kemudahan.
فَصْلٌ
Fasal
قَدَّرَ أَبُو حَنِيفَةَ الدِّيَةَ مِنَ الْوَرِقِ عَشَرَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا إِذَا تَقَدَّرَتْ كَانَتِ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَقَوَّمَ الشَّافِعِيُّ كُلَّ دِينَارٍ بِاثْنَيْ عَشَرَ دِرْهَمًا وَقَوَّمَهُ أَبُو حَنِيفَةَ بِعَشَرَةِ دَرَاهِمَ اسْتِدْلَالًا بِقَضَاءِ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الدِّيَةِ بِعَشَرَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ وَبِقَوْلِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَدِدْتُ أَنَّ لِي بِكُلِّ عَشَرَةٍ مِنْكُمْ وَاحِدًا مِنْ بَنِي فِرَاسِ بْنِ غَنْمٍ صَرْفَ الدِّينَارَ بِالدَّرَاهِمِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ قِيمَةَ الدِّينَارِ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ وَلِأَنَّ الشَّرْعَ قَدْ قَدَّرَ فِي الزَّكَاةِ وَالسَّرِقَةِ كُلَّ دِينَارٍ فِي مُقَابَلَةِ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ أَمَّا الزَّكَاةُ فَلِأَنَّ نِصَابَ الذَّهَبِ عِشْرُونَ مِثْقَالًا وَنِصَابَ الْوَرِقِ مِائَتَا دِرْهَمٍ
Abu Hanifah menetapkan diyat dari perak sebanyak sepuluh ribu dirham, sedangkan menurut asy-Syafi‘i, jika diyat ditetapkan, maka jumlahnya adalah dua belas ribu dirham. Asy-Syafi‘i menilai setiap dinar setara dengan dua belas dirham, sedangkan Abu Hanifah menilainya dengan sepuluh dirham, berdasarkan keputusan Umar bin al-Khaththab ra. dalam diyat sebesar sepuluh ribu dirham, dan juga berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib as., “Aku berharap setiap sepuluh orang dari kalian digantikan dengan satu orang dari Bani Firas bin Ghanm,” yang menunjukkan penukaran dinar dengan dirham, sehingga menunjukkan bahwa nilai satu dinar adalah sepuluh dirham. Selain itu, syariat juga telah menetapkan dalam zakat dan pencurian bahwa setiap dinar setara dengan sepuluh dirham. Adapun dalam zakat, karena nishab emas adalah dua puluh mitsqal dan nishab perak adalah dua ratus dirham.
وَأَمَّا السَّرِقَةُ فَمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ الْقَطْعُ فِي دِينَارٍ أَوْ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ
Adapun pencurian, maka telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pemotongan (tangan) itu pada (pencurian) satu dinar atau sepuluh dirham.”
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَى سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جَعَلَ الدِّيَةَ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَحَدِيثُ عمرو بن حزم أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جَعَلَ الدِّيَةَ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَلِأَنَّهُ قَوْلُ سَبْعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ إِنَّهُمْ حَكَمُوا فِي الدِّيَةِ بِاثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ مِنْهُمُ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَظْهَرْ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا لَا يُسَوَّغُ خِلَافُهُ
Dan dalil kami adalah riwayat Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah ﷺ menetapkan diyat sebesar dua belas ribu dirham, dan juga hadis ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi ﷺ menetapkan diyat sebesar dua belas ribu dirham. Selain itu, hal ini juga merupakan pendapat tujuh sahabat yang memutuskan diyat sebesar dua belas ribu dirham, di antaranya adalah imam-imam yang empat, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum, dan tidak tampak adanya yang menyelisihi, sehingga hal itu menjadi ijmā‘ yang tidak boleh diperselisihkan.
فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَضَى فِي الدِّيَةِ بِعَشَرَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ قِيلَ الْمَشْهُورُ عَنْهُ مَا رَوَيْنَاهُ وَقَدْ رَوَاهُ عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ وَحَضَرَ السِّيرَةَ فِيهِ فَكَانَ أَثْبَتَ نَقْلًا وَأَصَحَّ عَمَلًا وَلَوْ تَعَارَضَتْ عَنْهُ الرِّوَايَتَانِ كَانَ خَارِجًا مِنْ خِلَافِهِمْ وَوِفَاقِهِمْ وَلَكَانَ قَوْلُ مَنْ عَدَاهُمْ إجماعاً منعقداً
Jika dikatakan bahwa telah diriwayatkan dari Umar bahwa beliau memutuskan diyat sebesar sepuluh ribu dirham, maka dijawab: Riwayat yang masyhur dari beliau adalah sebagaimana yang kami riwayatkan, dan riwayat tersebut juga diriwayatkan oleh Amru bin Syu‘aib yang turut hadir dalam peristiwa tersebut, sehingga riwayatnya lebih kuat dan amalnya lebih sahih. Seandainya kedua riwayat dari beliau itu saling bertentangan, maka hal itu keluar dari khilaf dan kesepakatan mereka, dan pendapat selain mereka akan menjadi ijmā‘ yang terwujud.
فإن قيل فتحمل الاثني عَشَرَ أَلْفًا عَلَى وَزْنِ سِتَّةٍ وَالْعَشَرَةُ آلَافٍ عَلَى وَزْنِ سَبْعَةٍ فَيَكُونُ وِفَاقًا فِي الْقَدْرِ وَإِنْ كَانَ خِلَافًا فِي الْعَدَدِ
Jika dikatakan: Maka dua belas ribu dibebankan menurut ukuran enam, dan sepuluh ribu dibebankan menurut ukuran tujuh, sehingga menjadi kesesuaian dalam kadar meskipun terdapat perbedaan dalam jumlah.
قِيلَ لَيْسَ تُعْرَفُ دَرَاهِمَ الْإِسْلَامِ إِلَّا وِزَانٌ سَبْعَةٌ وَلَوْ جَازَ لَكُمْ أَنْ تَتَأَوَّلُوهُ عَلَى هَذَا لَجَازَ لَنَا أَنْ نُقَابِلَكُمْ بِمِثْلِهِ فَتَأَوَّلَ مَنْ رَوَى عشرة آلاف درم عَلَى أَنَّهَا وَزْنُ ثَمَانِيَةٍ وَمَنْ رَوَى اثْنَيْ عشر ألف عَلَى أَنَّهَا وَزْنُ سَبْعَةٍ
Dikatakan bahwa dirham Islam tidak dikenal kecuali dengan timbangan tujuh. Jika kalian boleh menakwilkannya seperti ini, maka kami pun boleh membalas kalian dengan hal yang serupa, sehingga orang yang meriwayatkan sepuluh ribu dirham menakwilkannya sebagai timbangan delapan, dan orang yang meriwayatkan dua belas ribu menakwilkannya sebagai timbangan tujuh.
وَقَوْلُهُمْ إِنِ الدِّينَارَ مَوْضُوعٌ فِي الشَّرْعِ عَلَى مُقَابَلَةِ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ فِي الزَّكَاةِ وَالسَّرِقَةِ فَلَيْسَتِ الزَّكَاةُ أَصْلًا لِلدِّيَةِ لِأَنَّ نِصَابَ الْإِبِلِ فِيهَا خَمْسٌ وَنِصَابُ الذَّهَبِ عِشْرُونَ مِثْقَالًا يَكُونُ الْبَعِيرُ الْوَاحِدُ فِي مُقَابَلَةِ أَرْبَعَةِ دَنَانِيرَ وَالدِّيَةُ مِنَ الْإِبِلِ مِائَةُ بَعِيرٍ تَقْتَضِي عَلَى اعْتِبَارِ الزَّكَاةِ أَنْ تَكُونَ الدِّيَةُ مِنَ الذَّهَبِ أَرْبَعَمِائَةِ دِينَارٍ وَهَذَا مَدْفُوعٌ بِالْإِجْمَاعِ فَكَذَلِكَ اعْتِبَارُ نِصَابِ الْوَرِقِ بِنِصَابِ الذَّهَبِ
Dan pernyataan mereka bahwa dinar ditetapkan dalam syariat sebagai setara dengan sepuluh dirham dalam zakat dan pencurian, maka zakat bukanlah asal bagi diyat, karena nisab unta dalam zakat adalah lima ekor, sedangkan nisab emas adalah dua puluh mitsqal, sehingga satu ekor unta setara dengan empat dinar. Adapun diyat dari unta adalah seratus ekor, yang jika didasarkan pada zakat, maka diyat dari emas adalah empat ratus dinar. Namun hal ini tertolak dengan ijmā‘, demikian pula halnya dengan perbandingan antara nisab perak dengan nisab emas.
وَأَمَّا السَّرِقَةُ فَالْحَدِيثُ فِيهَا مَدْفُوعٌ وَالنَّقْلُ مَرْدُودٌ فِيمَا وَرَدَ فِيهِ فَكَيْفَ يُجْعَلُ أَصْلًا لِغَيْرِهِ وَقَدْ رَوَيْنَا أَنَّهُ قَالَ الْقَطْعُ فِي رُبْعِ دِينَارٍ أَوْ ثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ قَالَ وَرُجُوعُهُ عَنِ الْقَدِيمِ رَغْبَةً عَنْهُ إِلَى الْجَدِيدِ وَهُوَ أَشْبَهُ بِالسَّنَةِ يَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ
Adapun mengenai pencurian, hadis tentangnya tertolak dan riwayat yang ada pun ditolak dalam hal yang berkaitan dengannya. Maka bagaimana mungkin hal itu dijadikan sebagai dasar bagi yang lainnya? Kami telah meriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Pemotongan (tangan) itu pada seperempat dinar atau tiga dirham.” Adapun al-Muzani, ia berkata: “Kembalinya (Imam Syafi‘i) dari pendapat lama karena lebih memilih pendapat baru, dan itu lebih sesuai dengan sunnah, dapat dimaknai dengan dua kemungkinan.”
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْقَدِيمُ أَشْبَهَ بِالسُّنَّةِ فَيَكُونُ اخْتِيَارًا لَهُ
Salah satunya adalah bahwa pendapat lama lebih sesuai dengan sunnah, sehingga dipilih pendapat tersebut.
وَالثَّانِي يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْجَدِيدُ أَشْبَهَ بِالسُّنَّةِ فَيَكُونُ اخْتِيَارًا لَهُ وَاللَّهُ أعلم
Dan kemungkinan kedua adalah bahwa pendapat baru lebih mendekati sunnah, sehingga itu menjadi pilihannya. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَفِي الْمُوضِحَةِ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَهِيَ الَّتِي تُبْرِزُ الْعَظْمَ حَتَّى يُقْرَعَ بِالْمِرْوَدِ لِأَنَّهَا عَلَى الْأَسْمَاءِ صَغُرَتْ أَوْ كَبُرَتْ شَانَتْ أَوْ لَمْ تَشِنْ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Pada luka muḍiḥah (luka yang menampakkan tulang) terdapat lima ekor unta, yaitu luka yang menampakkan tulang hingga dapat diketuk dengan alat (seperti jarum besi), karena hukumnya berdasarkan nama (jenis luka tersebut), baik lukanya kecil maupun besar, buruk rupa atau tidak buruk rupa.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ شِجَاجَ الرَّأْسِ إِحْدَى عَشْرَةَ شَجَّةً فِي قَوْلِ الْأَكْثَرِينَ مِنْهَا سِتَّةٌ قَبْلَ الْمُوضِحَةِ وَأَرْبَعَةٌ بَعْدَهَا وَهِيَ أَرْبَعَ عَشْرَةَ شَجَّةً في قول آخرين منها ثمانية قبل الموضحة وَخَمْسٌ بَعْدَهَا فَأَوَّلُهَا الْحَارِصَةُ ثُمَّ الدَّامِيَةُ ثُمَّ الدَّامِغَةُ ثُمَّ الْبَاضِعَةُ ثُمَّ الْمُتَلَاحِمَةُ وَقَدْ يُسَمِّيهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ الْبَازِلَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَجْعَلُ بَيْنَ الْمُوضِحَةِ وَالْهَاشِمَةِ شَجَّةً زَائِدَةً وَهِيَ الْمُفَرِّشَةُ ثُمَّ الْمُنَقِّلَةُ ثُمَّ الْمَأْمُومَةُ ثُمَّ الدَّامِغَةُ وَكَانَ ابْنُ سُرَيْجٍ لَا يَجْعَلُ بَعْدَ الْمَأْمُومَةِ شَيْئًا وَلَا يُسْتَحَقُّ فِيمَا قَبْلَ الْمُوضِحَةِ وَبَعْدَهَا قِصَاصٌ
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa luka-luka di kepala ada sebelas jenis menurut pendapat mayoritas ulama; enam di antaranya sebelum al-mudhihah dan empat setelahnya. Menurut pendapat lain, jumlahnya ada empat belas jenis; delapan sebelum al-mudhihah dan lima setelahnya. Jenis yang pertama adalah al-harisah, kemudian ad-damiyah, lalu ad-damighah, kemudian al-badhi‘ah, lalu al-mutalahimah—yang oleh penduduk Madinah disebut al-bazilah. Ada juga yang menambahkan satu jenis luka di antara al-mudhihah dan al-hasyimah, yaitu al-mufarrisyah, kemudian al-munaqqilah, lalu al-ma’mumah, dan kemudian ad-damighah. Ibnu Surayj tidak memasukkan apapun setelah al-ma’mumah. Tidak ada qishash yang berlaku pada luka-luka sebelum dan sesudah al-mudhihah.
فَأَمَّا الدِّيَةُ الْمُقَدَّرَةُ فَلَا تَجِبُ فِيمَا قَبْلَ الْمُوضِحَةِ وَيَجِبْ فِيهَا وَفِيمَا بَعْدَهَا فَتَصِيرُ شِجَاجُ الرَّأْسِ مُنْقَسِمَةً ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Adapun diyat yang telah ditetapkan, maka tidak wajib pada luka sebelum al-mudhihah, dan wajib pada luka tersebut dan setelahnya. Dengan demikian, luka-luka di kepala terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا مَا لَا يَجِبُ فِيهِ قِصَاصٌ وَلَا دِيَةٌ مُقَدَّرَةٌ وَهُوَ مَا قَبْلَ الْمُوضِحَةِ
Salah satunya adalah luka yang tidak mewajibkan qishāsh maupun diyat yang telah ditetapkan, yaitu luka yang berada sebelum sampai pada tingkat mudhīhah.
وَالثَّانِي مَا يَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ الْمُقَدَّرَةُ وَلَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَهُوَ مَا بَعْدَ الْمُوضِحَةِ
Yang kedua adalah apa yang mewajibkan pembayaran diyat yang telah ditetapkan, namun tidak mewajibkan qishāsh, yaitu luka setelah al-mudhīhah.
وَالثَّالِثُ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَيَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ الْمُقَدَّرَةُ وَهُوَ الْمُوضِحَةُ وَدِيَةُ الْمُوضِحَةِ مُقَدَّرَةٌ بِخَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ لِرِوَايَةِ عمرو بن حزم أن فِي كِتَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ وَفِي الْمُوضِحَةِ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَرَوَاهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَفْظًا سَمِعَهُ مِنْهُ
Ketiga adalah apa yang mewajibkan qishāsh dan mewajibkan diyat yang telah ditetapkan, yaitu al-mudhihah. Diyat al-mudhihah telah ditetapkan sebesar lima ekor unta, berdasarkan riwayat ‘Amr bin Hazm bahwa dalam surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Yaman disebutkan: “Untuk al-mudhihah adalah lima ekor unta.” Hal ini juga diriwayatkan oleh Mu‘ādz bin Jabal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafaz yang ia dengar langsung dari beliau.
وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي الْمُوضِحَةِ خَمْسٌ خَمْسٌ وَإِذَا كَانَ هَذَا ثَابِتًا فَفِي الْمُوضِحَةِ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ سَوَاءٌ كَانَتْ فِي الرَّأْسِ أَوْ فِي الْوَجْهِ وَلَا تَجِبُ فِيهَا إِذَا كَانَتْ فِي غَيْرِهَا مِنَ الْبَدَنِ إِلَّا أَرْشٌ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فَفَرَّقَ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ مُوضِحَةِ الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ وَبَيْنَ مُوضِحَةِ الْجَسَدِ وَسَوَّى بَيْنَ مُوضِحَةِ الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ فِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَفَرَّقَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ بَيْنَهُمَا فَأَوْجَبَ فِي مُوضِحَةِ الرَّأْسِ خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ وَفِي مُوضِحَةِ الْوَجْهِ عَشْرًا وَفَرَّقَ مَالِكٌ بَيْنَهُمَا فَأَوْجَبَ فِي مُوضِحَةِ الرَّأْسِ خَمْسًا وَأَوْجَبَ فِي مُوضِحَةِ الْأَنْفِ خَمْسًا وَمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ عُمُومِ الْأَخْبَارِ دَلِيلٌ عَلَيْهَا
Amru bin Syu‘aib meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang luka muḍiḥah: “Lima ekor unta.” Jika hal ini telah tetap, maka untuk luka muḍiḥah adalah lima ekor unta, baik terjadi di kepala maupun di wajah. Tidak wajib diyat pada luka muḍiḥah jika terjadi di selain keduanya dari anggota badan, kecuali arsy sebagaimana akan disebutkan. Asy-Syafi‘i membedakan antara muḍiḥah di kepala dan wajah dengan muḍiḥah di badan, dan menyamakan antara muḍiḥah di kepala dan wajah, masing-masingnya lima ekor unta. Sa‘id bin al-Musayyab membedakan antara keduanya, ia mewajibkan pada muḍiḥah di kepala lima ekor unta, dan pada muḍiḥah di wajah sepuluh ekor unta. Malik juga membedakan antara keduanya, ia mewajibkan pada muḍiḥah di kepala lima ekor unta, dan pada muḍiḥah di hidung lima ekor unta. Apa yang telah kami kemukakan dari keumuman hadis-hadis merupakan dalil atas hal tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا صِفَةُ الْمُوضِحَةِ فَقَدْ قَدَّمْنَاهُ فِي حُكْمِ الْقِصَاصِ مِنْهَا وَهُوَ مَا أَوْضَحَ عَنِ الْعَظْمِ وَأَبْرَزَهُ حَتَّى يُقْرَعَ بِالْمِرْوَدِ وَإِنْ كَانَ الْعَظْمُ غَيْرَ مُشَاهَدٍ بِالدَّمِ الَّذِي يَسْتُرُهُ أَوْ أُوصِلَ الْمِرْوَدُ إِلَيْهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَهِيَ عَلَى الْأَسْمَاءِ صَغُرَتْ أَوْ كَبُرَتْ وَهَذَا صَحِيحٌ وَفِيهَا إِذَا صَغُرَتْ فَكَانَتْ كَالْمُحِيطِ أَوْ كَبُرَتْ فَأَخَذَتْ جَمِيعَ الرَّأْسِ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ لِأَنَّهَا عَلَى الْأَسْمَاءِ فَاسْتَوَى حُكْمُ صَغِيرِهَا وَكَبِيرِهَا كَالْأَطْرَافِ الَّتِي تَتَسَاوَى فِيهَا الدِّيَاتُ وَلَا تَخْتَلِفُ بِالصِّغَرِ وَالْكِبْرِ وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْمُوضِحَةِ فِي مُقَدَّمِ الرَّأْسِ أَوْ مُؤَخَّرِهِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ فِي جِهَةِ الْوَجْهِ أَوْ فِي لِحْيَتِهِ وَذَقْنِهِ سَتَرَهَا الشَّعْرُ أَوْ لَمْ يَسْتُرْهَا قَالَ الشَّافِعِيُّ شَانَتْ أَوْ لَمْ تَشِنْ هَذَا مَذْهَبُهُ أَنَّ فِيهَا خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ فِيمَا شَانَ أَوْ لَمْ يَشِنْ قَلَّ الشَّيْنُ أَوْ كَثُرَ وَحُكِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إِنَّ مُوضِحَةِ الْجَبْهَةِ إِذَا كَثُرَ شَيْنُهَا فِي الْوَجْهِ أَنَّ فِيهَا أَكْثَرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ دِيَتِهَا أَوْ أَرْشِ شَيْنِهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Adapun sifat luka mudhihah telah kami jelaskan sebelumnya dalam hukum qishash atasnya, yaitu luka yang menampakkan tulang dan memperlihatkannya sehingga dapat diketuk dengan alat (seperti jarum besi), meskipun tulangnya tidak terlihat karena darah yang menutupinya, atau alat tersebut dapat mencapai tulang itu. Imam Syafi‘i berkata: “Luka mudhihah itu berdasarkan nama (jenisnya), baik kecil maupun besar.” Dan ini benar. Jika luka itu kecil seperti mengelilingi (sebagian kepala), atau besar hingga mengenai seluruh kepala, maka diyatnya adalah lima ekor unta, karena hukumnya berdasarkan nama (jenis luka), sehingga hukum luka kecil dan besarnya sama, seperti anggota tubuh yang diyatnya sama dan tidak berbeda karena kecil atau besar. Sama saja apakah luka mudhihah itu berada di bagian depan kepala atau belakangnya, di bagian wajah atau di janggut dan dagunya, baik tertutup rambut atau tidak. Imam Syafi‘i berkata: “Baik luka itu merusak penampilan atau tidak.” Inilah madzhab beliau, bahwa pada luka mudhihah itu ada lima ekor unta, baik merusak penampilan atau tidak, sedikit atau banyak kerusakannya. Diriwayatkan dari beliau juga bahwa beliau berkata di tempat lain: “Jika mudhihah di dahi menyebabkan banyak kerusakan pada wajah, maka diyatnya adalah yang lebih besar antara dua hal: diyat luka itu atau arsy (ganti rugi) kerusakannya.” Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنْ خَرَّجُوا زِيَادَةَ الشَّيْنِ فِي الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ عَلَى قَوْلَيْنِ
Salah satunya adalah bahwa mereka mengeluarkan hukum tambahan tentang cacat pada kepala dan wajah menjadi dua pendapat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ فِي شَيْنِ الرَّأْسِ إِلَّا دِيَتُهَا وَيَلْزَمُهُ فِي شَيْنِ الْوَجْهِ أَكْثَرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ أَرْشِهَا أَوْ دِيَتِهَا لِأَنَّ شَيْنَهَا فِي الْوَجْهِ أَقْبَحُ وَهِيَ مِنَ الْعَيْنِ وَالْخَوْفُ عليها أقرن
Pendapat kedua adalah bahwa pelaku hanya wajib membayar diyat untuk cacat di kepala, sedangkan untuk cacat di wajah, ia wajib membayar yang lebih besar di antara dua hal, yaitu arsy (ganti rugi) atau diyat, karena cacat di wajah lebih buruk, dan wajah merupakan bagian yang paling tampak serta lebih dikhawatirkan kerusakannya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ كَانَ وَسَطَهَا مَا لَمْ يَنْخَرِقْ فَهِيَ موضحتان فإن قال شَقَقْتُهَا مِنْ رَأْسِي وَقَالَ الْجَانِي بَلْ تَأَكَّلَتْ مِنْ جِنَايَتِي فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُمَا وَجَبَتَا لَهُ فَلَا يُبْطِلُهُمَا إِلَّا إِقْرَارُهُ أَوْ بَيِّنَةٌ عَلَيْهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika berada di tengahnya selama belum berlubang, maka itu adalah dua luka yang menampakkan tulang (mauḍiḥatān). Jika korban berkata, “Aku membelahnya dari kepalaku,” dan pelaku berkata, “Justru luka itu terjadi akibat perbuatanku,” maka yang dipegang adalah pernyataan korban disertai sumpahnya, karena keduanya (diyat) wajib baginya, sehingga tidak dapat dibatalkan kecuali dengan pengakuannya sendiri atau adanya bukti yang menunjukkan hal itu.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا كَانَ فِي وَسَطِ الْمُوضِحَةِ حَاجِزٌ بَيْنَ طَرَفِهَا لَمْ يَخْلُ ذَلِكَ الْحَاجِزُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, “Jika di tengah-tengah luka muḍiḥah terdapat pembatas di antara kedua ujungnya, maka pembatas tersebut tidak lepas dari tiga bagian.”
أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ جِلْدَةَ الرَّأْسِ وَمَا تَحْتَهَا مِنَ اللَّحْمِ فَيَكُونُ هَذَا الْحَاجِزُ فَصْلًا بَيْنَهُمَا فَتَصِيرُ مُوضِحَتَيْنِ وَيَلْزَمُهُ فِيهِمَا دِيَتَانِ سَوَاءٌ صَغُرَ الْحَاجِزُ وَدَقَّ أَوْ كَبُرَ وَغَلُظَ
Salah satunya adalah kulit kepala dan daging yang ada di bawahnya, sehingga penghalang ini menjadi pemisah di antara keduanya. Maka, keduanya menjadi dua luka muḍiḥah, dan wajib atasnya membayar dua diyat, baik penghalangnya itu kecil dan tipis maupun besar dan tebal.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْحَاجِزُ بَيْنَهُمَا لَحْمًا بَعْدَ انْقِطَاعِ الْجِلْدِ عَنْهُ فَصَارَ بِهِ مَا بَقِيَ مِنَ اللَّحْمِ بَعْدَ انْقِطَاعِ الْجِلْدِ حَارِصَةً أَوْ مُتَلَاحِمَةً فَهِيَ مُوضِحَةٌ وَاحِدَةٌ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْ دِيَتِهَا سَوَاءٌ قَلَّ اللَّحْمُ أَوْ كَثُرَ انْكَشَفَ عِنْدَ الِانْدِمَالِ أَوْ لَمْ يَنْكَشِفْ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ ذَلِكَ فِي طَرَفَيِ الْمُوضِحَةِ مَعَ إِيضَاحِ وَسَطِهَا لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا دِيَتُهَا وَدَخَلَ حُكُومَةُ الْحَارِصَةِ وَالْمُتَلَاحِمَةِ وَالسِّمْحَاقِ فِيهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ لِأَنَّهُ لَوْ أَوْضَحَ مَا لَمْ يُوَضِّحْهُ مِنْهَا لَمْ يَلْزَمْهُ أَكْثَرُ مِنْ دِيَتِهَا فَبِأَنْ لَا يَلْزَمَهُ إِذَا لَمْ يُوَضِّحْهُ أَوْلَى
Bagian kedua adalah apabila pembatas antara keduanya berupa daging setelah kulit terlepas darinya, sehingga sisa daging yang ada setelah kulit terlepas menjadi luka harishah atau mutalahimah, maka itu dianggap sebagai satu mudhihah saja, dan tidak wajib atas pelakunya lebih dari diyat-nya, baik dagingnya sedikit maupun banyak, baik terbuka saat penyembuhan maupun tidak terbuka. Demikian pula, jika hal itu terjadi pada kedua ujung mudhihah bersamaan dengan penjelasan bagian tengahnya, maka tidak wajib atas pelakunya kecuali diyat-nya saja. Hukum harishah, mutalahimah, dan simhaq masuk di dalamnya, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi‘i, karena jika seseorang menjelaskan bagian yang belum dijelaskan dari mudhihah tersebut, maka tidak wajib atasnya lebih dari diyat-nya, maka lebih utama lagi jika ia tidak menjelaskannya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْحَاجِزُ بَيْنَهُمَا هُوَ الْجِلْدَ بَعْدَ انْخِرَاقِ مَا تَحْتَهُ مِنَ اللَّحْمِ حَتَّى وُضِعَ بِهِ الْعَظْمُ فَصَارَتْ مُوضِحَتَيْنِ فِي الظَّاهِرِ وَوَاحِدَةً فِي الْبَاطِنِ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Bagian ketiga adalah apabila pembatas antara keduanya adalah kulit, setelah daging di bawahnya robek hingga tampak tulangnya, sehingga pada bagian luar tampak seperti dua luka muḍīḥah, namun pada bagian dalam merupakan satu luka. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُمَا مُوضِحَتَانِ اعْتِبَارًا بِالظَّاهِرِ فِي الِانْفِصَالِ
Salah satunya adalah bahwa keduanya jelas jika dilihat dari segi lahiriah dalam hal perpisahan.
وَالثَّانِي أَنَّهَا مُوضِحَةٌ وَاحِدَةٌ اعْتِبَارًا بِالْبَاطِنِ فِي الِاتِّصَالِ
Yang kedua, bahwa ia adalah satu penjelasan yang dianggap sebagai satu kesatuan secara batin dalam keterhubungannya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ حُكْمِ الْمُوضِحَتَيْنِ بِالْحَاجِزِ بَيْنَهُمَا مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ فَانْخَرَقَ الْحَاجِزُ بَيْنَهُمَا حَتَّى اتَّصَلَتِ الْمُوَضِحَتَانِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan mengenai hukum dua luka yang menyingkap tulang dengan adanya pembatas di antara keduanya, baik sedikit maupun banyak, lalu pembatas di antara keduanya itu robek hingga kedua luka tersebut menyatu, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَنْخَرِقَ بِالسِّرَايَةِ الَّتِي تَآكَلَ بِهَا الْحَاجِزُ حَتَّى انْخَرَقَ فَتَكُونَ مُوضِحَةً وَاحِدَةً لِأَنَّ مَا حدث عن الجناية من سرائة كَانَ مُضَافًا إِلَيْهَا وَالْجَانِي مَأْخُوذٌ بِهَا
Salah satunya adalah bahwa lubang itu terjadi karena penularan (sarayah) yang menyebabkan penghalang itu terkikis hingga berlubang, sehingga menjadi satu luka muḍiḥah, karena segala sesuatu yang terjadi akibat tindak pidana dari penularannya tetap dikaitkan dengannya, dan pelaku tetap bertanggung jawab atasnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَنْخَرِقَ الْحَاجِزُ بِقَطْعِ قَاطِعٍ فَلَا يَخْلُو حَالُ قَاطِعِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Jenis kedua adalah apabila penghalang itu terobek karena dipotong oleh sesuatu yang memotong, maka keadaan orang yang memotongnya tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ هُوَ الْجَانِيَ يَعُودُ فَيَقْطَعُهُ فَتَكُونُ مُوضِحَةً وَاحِدَةً لِأَنَّ أَفْعَالَ الْجَانِي يُبْنَى بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ قَطَعَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ ثُمَّ عَادَ فَقَتَلَهُ لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ وَلَوْ قَتَلَهُ غَيْرُهُ لَزِمَهُ دِيَتَانِ فِي الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ
Salah satunya adalah jika pelakunya sendiri yang kembali lalu melukainya lagi, maka itu dianggap sebagai satu luka mudhihah saja, karena perbuatan-perbuatan pelaku dibangun satu di atas yang lain. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang memotong kedua tangan dan kedua kakinya, kemudian kembali lalu membunuhnya, maka ia hanya wajib membayar satu diyat saja. Namun jika orang lain yang membunuhnya, maka orang tersebut wajib membayar dua diyat untuk kedua tangan dan kedua kaki.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَقْطَعَهُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ فَيَلْزَمُ الْجَانِيَ مُوضِحَتَانِ لِأَنَّ فِعْلَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لَا يُبْنَى عَلَى فِعْلِ الْجَانِي كَمَا لَوْ قَطَعَ الْجَانِي يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ وَقَتَلَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ نَفْسَهُ كَانَ عَلَى الْجَانِي دِيَتَانِ فِي الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ
Bagian kedua adalah apabila yang memotongnya adalah korban, maka pelaku wajib membayar dua diyat mudhihah, karena perbuatan korban tidak dibangun atas perbuatan pelaku, sebagaimana jika pelaku memotong kedua tangan dan kedua kaki korban, lalu korban membunuh dirinya sendiri, maka atas pelaku tetap wajib membayar dua diyat untuk kedua tangan dan kedua kaki.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَقْطَعَهُ حَتَّى يَنْخَرِقَ بِجِنَايَتِهِ الْحَاجِزَ الَّذِي بَيْنَهُمَا فَتَكُونُ ثَلَاثَ مَوَاضِعَ يَلْزَمُ الْأَوَّلَ مِنْهَا مُوضِحَتَانِ وَيَلْزَمُ الثَّانِي مُوضِحَةٌ وَاحِدَةٌ لِأَنَّ فِعْلَ أَحَدِهِمَا لَا يُبْنَى عَلَى فِعْلِ الْآخَرِ وَفِعْلُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَضْمُونٌ كَمَا لَوْ قَطَعَ الْأَوَّلُ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ وَقَتَلَهُ الثَّانِي كَانَ عَلَى الْأَوَّلِ دِيَتَانِ فِي الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَعَلَى الثَّانِي دِيَةُ النَّفْسِ فَلَوِ اخْتَلَفَا بَعْدَ زَوَالِ الْحَاجِزِ الَّذِي بَيْنَهُمَا فَقَالَ الْجَانِي أَنَا قَطَعْتُهُ أَوِ انْخَرَقَ بِالسِّرَايَةِ فَلَيْسَ عَلَيَّ إِلَّا مُوضِحَةٌ وَاحِدَةٌ وَقَالَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَنَا قَطَعْتُهُ أَوْ قَطَعَهُ أَجْنَبِيٌّ فَعَلَيْكَ مُوضِحَتَانِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ إِذَا عَدِمَ الْجَانِي الْبَيِّنَةَ لِأَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ مِنِ اسْتِحْقَاقِ الْمُوضِحَتَيْنِ بِابْتِدَاءِ الْجِنَايَةِ وَفِي شَكٍّ مِنْ سُقُوطِ إِحْدَاهُمَا فَاعْتُبِرَ حُكْمُ الْيَقِينِ دُونَ الشَّكِّ كَمَا لَوْ قَطَعَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ ثُمَّ مَاتَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ فَاخْتَلَفَ الْجَانِي وَالْوَلِيُّ فَقَالَ الْوَلِيُّ مَاتَ مِنْ غَيْرِ جِنَايَتِكَ فَعَلَيْكَ دِيَتَانِ وَقَالَ الْجَانِي مَاتَ مِنْ جِنَايَتِي فَعَلَيَّ دِيَةٌ وَاحِدَةٌ وَأَمْكَنَ مَا قَالَهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ وَلَهُ دِيَتَانِ لِوُجُوبِهِمَا بِابْتِدَاءِ الْجِنَايَةِ
Bagian ketiga adalah apabila pelaku memotong hingga merobek penghalang yang ada di antara keduanya karena perbuatannya, sehingga terdapat tiga tempat luka: pada yang pertama wajib membayar dua mudhihah, dan pada yang kedua wajib membayar satu mudhihah, karena perbuatan salah satu dari mereka tidak dibangun di atas perbuatan yang lain, dan perbuatan masing-masing dari mereka dijamin, sebagaimana jika yang pertama memotong kedua tangan dan kedua kaki, lalu yang kedua membunuhnya, maka atas yang pertama diwajibkan dua diyat untuk tangan dan kaki, dan atas yang kedua diyat jiwa. Maka jika mereka berselisih setelah hilangnya penghalang yang ada di antara keduanya, lalu pelaku berkata, “Aku yang memotongnya” atau “terrobek karena sirayah (penyebaran luka), maka aku hanya wajib satu mudhihah,” dan korban berkata, “Aku yang memotongnya” atau “orang lain yang memotongnya, maka atasmu dua mudhihah,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan korban dengan sumpahnya apabila pelaku tidak memiliki bukti, karena kita yakin atas kewajiban dua mudhihah pada permulaan jinayah, dan masih ragu atas gugurnya salah satunya, maka yang dijadikan dasar adalah hukum keyakinan, bukan keraguan, sebagaimana jika seseorang memotong kedua tangan dan kedua kaki, lalu korban meninggal, kemudian pelaku dan wali berselisih, lalu wali berkata, “Ia meninggal bukan karena perbuatanmu, maka atasmu dua diyat,” dan pelaku berkata, “Ia meninggal karena perbuatanku, maka atasku satu diyat,” dan masing-masing dari mereka memungkinkan apa yang dikatakannya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan wali dengan sumpahnya, dan baginya dua diyat, karena keduanya wajib sejak awal terjadinya jinayah.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا شَجَّهُ مُوضِحَةً أَخَذَتْ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَأَعْلَى جَبْهَتِهِ فَصَارَ بِهَا مُوضِحًا لِرَأْسِهِ وَجَبْهَتِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Dan jika seseorang melukainya dengan luka muḍīḥah yang mengenai bagian depan kepalanya dan bagian atas dahinya, sehingga dengan luka itu menjadi muḍīḥah pada kepala dan dahinya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُمَا مُوضِحَتَانِ وَيَلْزَمُهُ دِيَتَاهُمَا لِأَنَّهُمَا عَلَى عُضْوَيْنِ فَانْفَرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحُكْمِهِ
Salah satunya adalah bahwa keduanya merupakan mudhihah dan wajib membayar diyat untuk keduanya, karena keduanya berada pada dua anggota tubuh yang berbeda, sehingga masing-masing memiliki hukum tersendiri.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا مُوضِحَةٌ وَاحِدَةٌ لِاتِّصَالِ بَعْضِهَا بِبَعْضِ فَلَمْ يَنْفَصِلْ حُكْمُهُمَا بِالْمَحَلِّ وَلَوْ شَجَّهُ مُوضِحَةً أَخَذَتْ مُؤَخَّرَ رَأْسِهِ وَأَعْلَى قَفَاهُ فَصَارَ بِهَا مُوضِحًا لِرَأْسِهِ وَقَفَاهُ لَزِمَهُ دِيَةُ الْمُوضِحَةِ فِي رَأْسِهِ وَحُكُومَةُ الْمُوضِحَةِ فِي قَفَاهُ وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّهُمَا عُضْوَانِ وَلِمُوضِحَتِهِمَا حُكْمَانِ لِأَنَّ فِي مُوضِحَةِ الرَّأْسِ دِيَةٌ وَفِي مُوضِحَةِ الْقَفَا حُكُومَةٌ فَلَمْ يَتَدَاخَلَا مَعَ اخْتِلَافِ حُكْمِهِمَا وَمَحَلِّهِمَا وَلَوْ شَجَّهُ مُوضِحَةً فِي طَرَفَيْهَا مَا دُونَ الْمُوضِحَةِ تَدَاخَلَا وَلَزِمَهُ دِيَةُ الْمُوضِحَةِ وَإِنْ كَانَ مَا دُونَهَا مُخَالِفًا لِحُكْمِهَا لَوِ انْفَرَدَ لِأَنَّ الْأَغْلَبَ مِنْ حَالِ الْمُوضِحَةِ أَنْ يَنْدَرِجَ طَرَفَاهَا حَتَّى يُوضِحَ وَسَطَهَا فَأَلْحَقَ الطَّرَفَانِ بِالْوَسَطِ فِي الْعُضْوِ الْوَاحِدِ وَهِيَ مُتَّصِلَةٌ فَهِيَ مُوضِحَتَانِ يَلْزَمُهُ أَرْشُهُمَا وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّ مَحَلَّهُمَا مُخْتَلِفٌ وَأَرْشُهُمَا مختلف لأن فِي مَوَاضِعِ الْجَسَدِ حُكُومَةً تَخْتَلِفُ أَرْشَهَا بِاخْتِلَافِ الشَّيْنِ فَلَمْ يَتَدَاخَلْ بَعْضُهَا فِي بَعْضٍ مَعَ اختلاف المحل والأرش
Pendapat kedua adalah bahwa itu merupakan satu luka muwaddiḥah (luka yang menampakkan tulang) yang utuh karena saling terhubung antara satu bagian dengan bagian lainnya, sehingga hukumnya tidak terpisah berdasarkan tempatnya. Jika seseorang melukai dengan satu muwaddiḥah yang mengenai bagian belakang kepala dan bagian atas tengkuknya, sehingga dengan luka itu menjadi muwaddiḥah pada kepala dan tengkuknya, maka ia wajib membayar diyat muwaddiḥah untuk kepala dan hukuman muwaddiḥah untuk tengkuk dalam satu pendapat, karena keduanya adalah dua anggota tubuh yang berbeda dan untuk masing-masing muwaddiḥah pada keduanya memiliki hukum yang berbeda; sebab pada muwaddiḥah kepala ada diyat, sedangkan pada muwaddiḥah tengkuk ada hukuman, sehingga keduanya tidak saling masuk meskipun hukum dan tempatnya berbeda. Jika ia melukai dengan muwaddiḥah dan pada kedua ujungnya ada luka yang kurang dari muwaddiḥah, maka keduanya saling masuk dan ia wajib membayar diyat muwaddiḥah, meskipun luka yang kurang dari muwaddiḥah itu berbeda hukumnya jika berdiri sendiri, karena umumnya pada muwaddiḥah kedua ujungnya termasuk ke dalam bagian tengahnya sehingga bagian tengahnya menjadi muwaddiḥah, maka kedua ujung itu disamakan dengan bagian tengah pada satu anggota tubuh yang utuh dan saling terhubung. Maka itu dianggap dua muwaddiḥah yang wajib dibayar arsy (ganti rugi) keduanya dalam satu pendapat, karena tempatnya berbeda dan arsy keduanya juga berbeda, sebab pada bagian-bagian tubuh ada hukuman yang nilai arsy-nya berbeda sesuai dengan tingkat cacatnya, sehingga sebagian tidak masuk ke dalam sebagian yang lain karena perbedaan tempat dan arsy.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فِي الْهَاشِمَةِ عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ وَهِيَ الَّتِي تُوضِحُ وَتُهَشِّمُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada kasus al-hāshimah, diyatnya adalah sepuluh ekor unta, yaitu luka yang menampakkan tulang dan menghancurkannya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْهَاشِمَةُ فَهِيَ الَّتِي أَوْضَحَتْ عَنِ الْعَظْمِ وَهَشَمَتْهُ حَتَّى كَسَرَتْهُ وَفِيهَا عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ
Al-Mawardi berkata: Adapun al-hāshimah adalah luka yang menampakkan tulang dan menghancurkannya hingga mematahkannya, dan pada kasus ini diyatnya adalah sepuluh ekor unta. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan jumhur fuqaha.
وَقَالَ مَالِكٌ وَطَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فِيهَا دِيَةُ الْمُوضِحَةِ وَحُكُومَةٌ فِي الْهَشْمِ غَيْرُ مُقَدَّرَةٍ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدَّرَ دِيَةَ الْمُوضِحَةِ بِخَمْسٍ وَدِيَةَ الْمُنَقِّلَةِ بِخَمْسَ عَشْرَةَ وَأَغْفَلَ الْهَاشِمَةَ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْمُقَدَّرَةُ فِيهَا مَا قَدَّرَهُ دُونَ مَا أَغْفَلَهُ
Malik dan sekelompok ahli Madinah berpendapat bahwa pada kasus luka yang menampakkan tulang (mudhihah) dikenakan diyat mudhihah, sedangkan pada kasus luka yang meremukkan tulang (hashm) dikenakan hukūmah yang tidak ditentukan kadarnya. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan diyat mudhihah sebesar lima (unta), dan diyat munqillah sebesar lima belas (unta), namun beliau tidak menyebutkan hashimah. Maka, yang ditetapkan kadarnya adalah apa yang telah beliau tentukan, sedangkan yang tidak disebutkan kadarnya tidak ditentukan.
وَدَلِيلُنَا أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ قَدَّرَ الْهَاشِمَةَ عَشْرًا مِنَ الْإِبِلِ وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتِ الْمُوضِحَةُ ذَاتَ وَصْفٍ وَاحِدٍ وَفِيهَا خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَكَانَتِ الْمُنَقِّلَةُ ذَاتَ ثَلَاثَةِ أَوْصَافِ إِيضَاحٍ وَهَشْمٍ وَتَنْقِيلٍ وَفِيهَا خَمْسَ عَشْرَةَ وَجَبَ إِذَا كَانَتِ الْهَاشِمَةُ ذَاتَ وَصْفَيْنِ أَنْ تَكُونَ دِيَتُهَا بَيْنَ الْمَنْزِلَتَيْنِ فَيَكُونُ فِيهَا عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ كَالَّذِي قُلْنَاهُ فِي نَفَقَةِ الْمُوسِرِ إِنَّهَا مُدَّانِ وَنَفَقَةُ الْمُعْسِرِ إِنَّهَا مُدٌّ فَأَوْجَبْنَا نَفَقَةَ الْمُتَوَسِّطِ مُدًّا وَنِصْفًا لِأَنَّهُ بَيْنَ الْمَنْزِلَتَيْنِ وَلِأَنَّ كَسْرَ الْعَظْمِ بِالْهَشْمِ مُلْحَقٌ بِكَسْرِ مَا تَقَدَّرَتْ دِيَتُهُ مِنَ السِّنِّ وَفِيهِ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ فَكَذَلِكَ فِي الْهَشْمِ فَصَارَ مَعَ الْمُوضِحَةِ عَشْرًا
Dalil kami adalah bahwa Zaid bin Tsabit menetapkan diyat untuk luka hasyimah sebesar sepuluh ekor unta, dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya, sehingga hal itu menjadi ijmā‘. Karena luka mudhihah memiliki satu sifat dan diyatnya lima ekor unta, sedangkan luka munqillah memiliki tiga sifat—yaitu membuka tulang, menghancurkan, dan memindahkan—dan diyatnya lima belas ekor unta, maka jika luka hasyimah memiliki dua sifat, diyatnya harus berada di antara kedua tingkatan tersebut, yaitu sepuluh ekor unta. Sebagaimana yang kami katakan dalam nafkah bagi orang yang mampu adalah dua mud, dan nafkah bagi orang yang tidak mampu adalah satu mud, maka kami wajibkan nafkah bagi orang yang pertengahan sebesar satu setengah mud, karena berada di antara dua tingkatan tersebut. Dan karena patah tulang dengan penghancuran (hasyim) disamakan dengan patah tulang yang diyatnya telah ditetapkan untuk gigi, yaitu lima ekor unta, maka demikian pula untuk hasyimah, sehingga bersama mudhihah menjadi sepuluh ekor unta.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ فِي الْهَاشِمَةِ عَشْرًا مِنَ الْإِبِلِ فَلَوْ هَشَمَ وَلَمْ يُوضِحْ فَفِيهِ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَأَوْجَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فِي الْهَاشِمَةِ إِذَا انْفَرَدَ حُكُومَةً كَهَشْمِ أَعْضَاءِ الْبَدَنِ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّهَا لَمَّا لَمْ تَتَقَدَّرْ مُوضِحَةُ الْخَدِّ وَهَاشِمَتُهُ لَمْ يَتَقَدَّرِ انْفِرَادُ هَشْمِهِ وَلَمَّا تَقَدَّرَتْ مُوضِحَةُ الرَّأْسِ وَهَاشِمَتُهُ تَقَدَّرَ انْفِرَادُ هَشْمِهِ وَهَذَا الْهَشْمُ مِمَّا لَا يُرَى فَلَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ إِلَّا بِإِقْرَارِ الْجَانِي أَوْ شَهَادَةِ عَدْلَيْنِ مِنَ الطِّبِّ يَشْهَدَانِ بِاخْتِيَارِ الشَّجَّةِ أَنَّ فِيهَا هَشْمًا يَقْطَعَانِ بِهِ فَلَوْ أَوْضَحَ وَهَشَمَ فَأَرَادَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الْمُوضِحَةِ فِي الْعَمْدِ حُكِمَ لَهُ بِالْقِصَاصِ وَأُغْرِمَ دِيَةَ الْهَشْمِ خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ وَلَوْ شَجَّهُ هَاشِمَتَيْنِ عَلَيْهِمَا مُوضِحَةٌ وَاحِدَةٌ كَانَتَا هَاشِمَتَيْنِ وَعَلَيْهِ دِيَتَاهُمَا لِأَنَّهُ زَادَ إِيضَاحَ مَا لَا هَشْمَ تَحْتَهُ وَلَوْ أَوْضَحَهُ مُوضِحَتَيْنِ تَحْتَهُمَا هَاشِمَةٌ وَاحِدَةٌ كَانَتْ مُوضِحَتَيْنِ لِأَنَّهُ قَدْ زَادَهُ هَشْمَ مَا لَا إِيضَاحَ عَلَيْهِ
Jika telah tetap bahwa pada luka hashimah (luka yang meremukkan tulang) terdapat sepuluh ekor unta, maka jika seseorang hanya meremukkan (tulang) tanpa menampakkan (tulangnya), maka wajib baginya lima ekor unta. Sebagian ulama mazhab kami mewajibkan pada hashimah jika berdiri sendiri berupa hukuman (ta‘zīr) seperti remuknya anggota badan, namun pendapat ini rusak, karena ketika tidak ditetapkan kadar mudhihah (luka yang menampakkan tulang) pada pipi dan hashimahnya, maka tidak ditetapkan pula kadar remuknya secara terpisah. Dan ketika telah ditetapkan kadar mudhihah pada kepala dan hashimahnya, maka ditetapkan pula kadar remuknya secara terpisah. Remuk ini termasuk sesuatu yang tidak tampak, maka hukumnya tidak dapat ditetapkan kecuali dengan pengakuan pelaku atau kesaksian dua orang ahli medis yang adil yang bersaksi dengan pilihan mereka terhadap luka tersebut bahwa di dalamnya terdapat remuk yang mereka pastikan. Jika pelaku menampakkan (tulang) dan meremukkan, lalu korban ingin melakukan qishāsh pada mudhihah dalam kasus sengaja, maka diputuskan baginya qishāsh dan pelaku wajib membayar diyat hashimah sebanyak lima ekor unta. Jika pelaku melukai dengan dua hashimah yang pada keduanya terdapat satu mudhihah, maka keduanya dihitung sebagai dua hashimah dan wajib membayar diyat keduanya, karena ia telah menambah penampakan pada bagian yang tidak ada remuk di bawahnya. Jika ia menampakkan dua mudhihah yang di bawahnya hanya ada satu hashimah, maka keduanya dihitung sebagai dua mudhihah, karena ia telah menambah remuk pada bagian yang tidak ada penampakan di atasnya.
فَإِنْ قِيلَ فَهَذَا هَشْمٌ فِي الْبَاطِنِ دُونَ الظَّاهِرِ فَهَلَّا كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ كَالْمُوضِحَةِ فِي الْبَاطِنِ دُونَ الظَّاهِرِ
Jika dikatakan, “Ini adalah luka hancur di bagian dalam tanpa tampak di bagian luar, maka mengapa tidak dihukumi dalam dua keadaan seperti luka muḍiḥah yang terjadi di bagian dalam tanpa tampak di bagian luar?”
قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا امْتِزَاجُ اللَّحْمِ بِالْجِلْدِ فِي الْمُوضِحَةِ وَانْفِصَالُ الْعَظْمِ عَنِ اللَّحْمِ وَالْجِلْدِ فِي الْهَاشِمَةِ
Dikatakan bahwa perbedaan antara keduanya adalah bercampurnya daging dengan kulit pada luka muḍiḥah, sedangkan pada luka hāshimah, tulang terpisah dari daging dan kulit.
فَصْلٌ
Fasal
وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ قَدْ جَعَلَ بين الموضحة والهاشمة شجة تسمى المفرشة وهي الْمُوضِحَةُ إِذَا اقْتَرَنَ بِهَا صُدَاعٌ فَيُنْظَرُ فِي الصُّدَاعِ الْحَادِثِ عَنْهَا فَإِنِ انْقَطَعَ وَلَمْ يَدُمْ فَلَا شَيْءَ فِيهِ سِوَى دِيَةِ الْمُوضِحَةِ كَمَا لَوْ ضَرَبَهُ فَآلَمَهُ وَإِنِ اسْتَدَامَ الصُّدَاعُ عَلَى الْأَبَدِ وَلَمْ يَسْكُنْ كَانَ فِيهِ مَعَ دِيَةِ الموضحة حكومة لا تبلع زِيَادَةَ الْهَاشِمَةِ لِأَنَّهُ بِالِاسْتِدَامَةِ قَدْ صَارَ كَالْجُرْحِ الثَّابِتِ فَإِنْ كَانَ يَضْرِبُ فِي زَمَانٍ وَيَسْكُنُ فِي زَمَانٍ نُظِرَ فَإِنْ عُلِمَ أَنَّ عَوْدَ الصُّدَاعِ مِنَ الْمُوضِحَةِ كَانَ فِيهِ حُكُومَةٌ وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ مِنْ غَيْرِهَا فَلَا حُكُومَةَ فِيهِ وَلَا فِيمَا تَقَدَّمَهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَدُمْ وَإِنْ شَكَّ فِيهِ فَلَا حُكُومَةَ فِيهِ لِأَنَّهَا لَا تَجِبُ بِالشَّكِّ
Telah kami sebutkan bahwa di antara luka kepala jenis muḍiḥah dan hāshimah terdapat jenis luka yang disebut mafriṣyah, yaitu muḍiḥah yang disertai dengan sakit kepala (ṣudā‘). Maka, diperhatikan sakit kepala yang timbul karenanya: jika sakit kepala itu berhenti dan tidak berlangsung lama, maka tidak ada kewajiban selain diyat muḍiḥah, sebagaimana jika seseorang memukul lalu menyebabkan rasa sakit. Namun, jika sakit kepala itu terus-menerus sepanjang waktu dan tidak mereda, maka selain diyat muḍiḥah, dikenakan pula ḥukūmah, tetapi nilainya tidak melebihi tambahan diyat hāshimah, karena dengan berlangsungnya sakit tersebut, ia telah menjadi seperti luka yang menetap. Jika sakit kepala itu kadang muncul dan kadang reda, maka diperhatikan: jika diketahui bahwa kembalinya sakit kepala itu berasal dari muḍiḥah, maka ada ḥukūmah; jika diketahui berasal dari selain muḍiḥah, maka tidak ada ḥukūmah atasnya dan juga tidak pada yang telah lalu, karena sakit itu tidak berlangsung terus-menerus. Jika ragu dalam hal ini, maka tidak ada ḥukūmah, karena ḥukūmah tidak wajib berdasarkan keraguan.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا شَجَّهُ فَهَشَمَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَأَعْلَى جَبْهَتِهِ فَصَارَ هَاشِمًا لِرَأْسِهِ وَجَبْهَتِهِ كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ كَمَا قُلْنَا فِي الْمُوضِحَةِ
Dan apabila seseorang melukainya sehingga meremukkan bagian depan kepalanya dan bagian atas dahinya, sehingga kepala dan dahinya menjadi remuk, maka ada dua kemungkinan sebagaimana yang telah kami sebutkan pada pembahasan tentang al-muḍiḥah.
أَحَدُهُمَا تَكُونُ هَاشِمَتَيْنِ لِأَنَّهَا عَلَى عُضْوَيْنِ
Salah satunya adalah berupa dua luka yang mematahkan tulang, karena terjadi pada dua anggota tubuh.
وَالثَّانِي تَكُونُ هَاشِمَةً وَاحِدَةً لِاتِّصَالِ بَعْضِهَا بِبَعْضٍ وَلَوْ شَجَّهُ فَأَوْضَحَ رَأْسَهُ وَهَشَمَ جَبْهَتَهُ أَوْ هَشَمَ رَأْسَهُ وَأَوْضَحَ جَبْهَتَهُ كَانَ مَأْخُوذًا بِدِيَةِ مُوضِحَةٍ فِي إِحْدَاهُمَا وَبِهَاشِمَةٍ فِي الْأُخْرَى لِأَنَّ مَحَلَّهَا مُخْتَلِفٌ وَدِيَتَهَا مُخْتَلِفَةٌ فَلَمْ يَتَدَاخَلَا مَعَ اختلاف المحل والدية
Kedua, luka hāsyimah dianggap satu jika bagian-bagiannya saling bersambung. Jika seseorang melukai kepala orang lain hingga menyebabkan luka mudhīhah di kepala dan hāsyimah di dahi, atau menyebabkan hāsyimah di kepala dan mudhīhah di dahi, maka ia dikenai diyat mudhīhah untuk salah satunya dan diyat hāsyimah untuk yang lainnya, karena letaknya berbeda dan diyatnya pun berbeda, sehingga keduanya tidak saling masuk satu sama lain karena perbedaan tempat dan diyat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي الْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنَ الْإِبِلِ وَهِيَ الَّتِي تَكْسِرُ عَظْمَ الرَّأْسِ حَتَّى يَتَشَظَّى فَيُنْقَلُ من عظامه ليلتئم
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada kasus al-munaqqilah, diyatnya adalah lima belas ekor unta, yaitu luka yang memecahkan tulang kepala hingga terbelah-belah sehingga sebagian tulangnya harus dipindahkan agar dapat menyatu kembali.
قال الماوردي أما المنقلة فهي التي تهشم العظم حتى يتشظى فينتقل حتى يلتئم
Menurut al-Mawardi, yang dimaksud dengan “al-manqilah” adalah cedera yang memecahkan tulang hingga hancur berkeping-keping, sehingga bagian-bagian tulang tersebut berpindah tempat sampai akhirnya menyatu kembali.
قَالَ الشَّافِعِيُّ تُسَمَّى الْمَنْقُولَةَ أَيْضًا وَفِيهَا خَمْسَ عَشْرَةَ مِنَ الْإِبِلِ وَقَدِ انْعَقَدَ عَلَيْهِ الْإِجْمَاعُ لِرِوَايَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنَ الْإِبِلِ
Syafi‘i berkata: Ia juga disebut al-manqulah, dan pada kasus ini terdapat lima belas ekor unta. Ijmā‘ telah terwujud atas hal ini karena riwayat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa pada al-munaqqilah terdapat lima belas ekor unta.
وَرَوَى عمرو بن حزم أن فِي كِتَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ فِي الْمُوضِحَةِ خَمْسٌ وَفِي الْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ وَفِي الْمَأْمُومَةِ ثُلُثُ الدِّيَةِ فَلَوْ أَرَادَ الْقِصَاصَ مِنَ الْمُوضِحَةِ سَقَطَ بِالْقِصَاصِ دِيَتُهَا وَهِيَ خَمْسٌ وَوَجَبَ الْبَاقِي مِنْ دِيَتِهَا وَذَلِكَ عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ فِي الْهَشْمِ وَالتَّنْقِيلِ وَلَوْ شَجَّهُ مُنَقِّلَةً لَا إِيضَاحَ عَلَيْهَا لَزِمَهُ كَمَالُ دِيَتِهَا بِخِلَافِ الْهَاشِمَةِ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا إِيضَاحٌ لِأَنَّ الْمُنَقِّلَةَ لَا بُدَّ مِنْ إِيضَاحِهَا لِتَنْقِيلِ الْعَظْمِ الَّذِي فِيهَا فَصَارَ الْإِيضَاحُ عَائِدًا إِلَى جَانِبِهَا فَلَزِمَهُ جَمِيعُ دِيَتِهَا وَالْهَاشِمَةُ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى إِيضَاحٍ فَلَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا قَدْرُ مَا جَنَى فِيهَا وَإِذَا شَجَّهُ فِي رَأْسِهِ شَجَّةً مُتَّصِلَةً كَانَ بَعْضُهَا مُوضِحَةً وَبَعْضُهَا هَاشِمَةً وَبَعْضُهَا مُنَقِّلَةً كَانَ جَمِيعُهَا مُنَقِّلَةً لَا يُؤْخَذُ أَكْثَرُ مِنْ دِيَتِهَا لِأَنَّهَا غَايَةُ جِنَايَتِهِ الَّتِي تَنْدَرِجُ حَالًا بَعْدَ حَالٍ وَسَوَاءٌ فِي دِيَةِ الْمُنَقِّلَةِ أَنْ يَتَشَظَّى عَظْمُهَا فَلَا يُعَادُ أَوْ يَتَشَظَّى فَيُعَادُ بِعَيْنِهِ أَوْ بِغَيْرِهِ أَنَّ فِي جَمِيعِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ مِنَ الْإِبِلِ كما يجب في ذلك في صغير الْمُوضِحَةِ وَكِبَرِهَا وَإِذَا انْتَقَلَتِ الشَّجَّةُ فِي مَوْضِعَيْنِ مِنْ رَأْسِهِ وَقَدِ اتَّصَلَ إِيضَاحُهَا كَانَتْ مُنَقِّلَتَيْنِ كَمَا قُلْنَا فِي الْهَاشِمَتَيْنِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الفرق والله أعلم
Amr bin Hazm meriwayatkan bahwa dalam surat Rasulullah ﷺ kepada penduduk Yaman disebutkan: pada luka mudhihah (luka yang menampakkan tulang) diyatnya lima ekor unta, pada luka munqillah (luka yang memindahkan tulang) lima belas ekor unta, dan pada luka ma’mumah (luka yang sampai ke selaput otak) sepertiga diyat. Jika seseorang menghendaki qishash atas luka mudhihah, maka dengan pelaksanaan qishash gugurlah diyatnya, yaitu lima ekor unta, dan yang tersisa dari diyatnya tetap wajib, yaitu sepuluh ekor unta untuk luka hashm (tulang remuk) dan tanqil (pemindahan tulang). Jika seseorang melukai dengan luka munqillah tanpa ada idhah (penampakan tulang) padanya, maka ia wajib membayar diyat secara penuh, berbeda dengan luka hashimah (tulang remuk) jika tidak ada idhah padanya, karena luka munqillah pasti ada idhah-nya karena perpindahan tulang yang ada padanya, sehingga idhah itu kembali kepada sisi luka tersebut, maka wajib baginya membayar seluruh diyatnya. Sedangkan hashimah tidak memerlukan idhah, sehingga ia hanya wajib membayar sesuai kadar kerusakan yang ditimbulkan. Jika seseorang melukai kepala dengan satu luka yang menyambung, sebagian berupa mudhihah, sebagian hashimah, dan sebagian munqillah, maka seluruhnya dihukumi sebagai munqillah, tidak diambil lebih dari diyatnya, karena itu adalah batas maksimal kerusakan yang terjadi secara bertahap. Sama saja dalam diyat munqillah, apakah tulangnya pecah lalu tidak kembali, atau pecah lalu kembali dengan tulang yang sama atau dengan tulang lain, semuanya diyatnya lima belas ekor unta, sebagaimana berlaku pada mudhihah kecil maupun besar. Jika luka itu berpindah di dua tempat di kepala dan penampakan tulangnya menyambung, maka dihukumi dua munqillah, sebagaimana yang telah kami sebutkan pada dua hashimah, berdasarkan perbedaan yang telah dijelaskan sebelumnya. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَذَلِكَ كُلُّهُ فِي الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ وَاللَّحْيِ الْأَسْفَلِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Semua itu berlaku pada kepala, wajah, dan rahang bawah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ يَعْنِي تَقْدِيرَ دِيَةِ الْمُوضِحَةِ بِخَمْسٍ وَالْهَاشِمَةِ بِعَشْرٍ وَالْمُنَقِّلَةِ بِخَمْسَ عَشْرَةَ إِنَّمَا يَكُونُ فِي الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ وَاللَّحْيِ الْأَسْفَلِ فَأَمَّا فِي الْجَسَدِ وَمَا قَارَبَ الرَّأْسَ مِنَ الْعُنُقِ فَلَا يَتَقَدَّرُ فِيهِ دِيَةُ الْمُوضِحَةِ وَلَا دِيَةُ الْهَاشِمَةِ وَلَا دِيَةُ الْمُنَقِّلَةِ وَيَجِبُ فِيهَا حُكُومَةٌ لَا يَبْلُغَ بِأَرْشِ مُوضِحِهَا خَمْسًا وَلَا بِأَرْشِ هَاشِمَتِهَا عَشْرًا وَلَا بِأَرْشِ مُنَقِّلَتِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ
Al-Mawardi berkata, maksudnya penetapan diyat untuk luka mudhihah sebesar lima, untuk luka hasyimah sebesar sepuluh, dan untuk luka munqillah sebesar lima belas, itu hanya berlaku pada kepala, wajah, dan rahang bawah. Adapun pada tubuh dan bagian leher yang dekat dengan kepala, maka tidak ditetapkan diyat mudhihah, diyat hasyimah, maupun diyat munqillah. Pada bagian-bagian tersebut wajib diberikan hukūmah, di mana besaran arsy untuk mudhihah tidak mencapai lima, untuk hasyimah tidak mencapai sepuluh, dan untuk munqillah tidak mencapai lima belas, karena adanya perbedaan antara keduanya dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهَا عَلَى الرَّأْسِ أخوف
Salah satunya adalah bahwa ia di kepala lebih menakutkan.
والثاني أن شينها فيه أقبح ويتغلظ هذه الشجاج في الرأس بالعمد ويتخفف بِالْخَطَأِ وَلَا تَتَغَلَّظُ فِي الْجَسَدِ بِعَمْدٍ وَلَا خَطَأٍ لِأَنَّ التَّغْلِيظَ يَخْتَصُّ بِالْمُقَدَّرِ مِنَ الدِّيَاتِ وَلَا يَدْخُلُ فِيهَا مَا لَا يَتَقَدَّرُ مِنْ أُرُوشِ الْجِنَايَاتِ فَيَتَغَلَّظُ خُمْسُ الْمُوضِحَةِ بِالْأَثْلَاثِ فَيَكُونُ فِيهَا خِلْفَتَانِ وَجَذَعَةٌ وَنِصْفٌ وَحِقَّةٌ وَنِصْفٌ فَتُخَفَّفُ فِيهَا بِالْأَخْمَاسِ فَيَكُونُ فِيهَا جَذَعَةٌ وَحِقَّةٌ وَبِنْتُ لَبُونٍ وَابْنُ لَبُونٍ وَبِنْتُ مَخَاضٍ وَتَتَغَلَّظُ غَيْرُ الْهَاشِمَةِ بِالْأَثْلَاثِ فَيَكُونُ فِيهَا أَرْبَعُ خُلُفَاتٍ وَثَلَاثُ جِذَاعٍ وَثَلَاثُ حِقَاقٍ وَيُتَخَفَّفُ بِالْأَخْمَاسِ فَيَكُونُ فِيهَا جَذَعَتَانِ وَحِقَّتَانِ وَبِنْتَا لَبُونٍ وَابْنَا لَبُونٍ وَبِنْتَا مَخَاضٍ وَيَتَغَلَّظُ فِي خَمْسَ عَشْرَةَ فِي الْمُنَقِّلَةِ بِالْأَثْلَاثِ فَيَكُونُ فِيهَا سِتُّ خَلِفَاتٍ وَأَرْبَعُ حِقَاقٍ وَنِصْفٌ وَأَرْبَعُ جِذَاعٍ وَنِصْفٌ وَيُتَخَفَّفُ فِيهَا بِالْأَخْمَاسِ فَيَكُونُ فِيهَا ثَلَاثَةُ جِذَاعٍ وَثَلَاثُ حِقَاقٍ وَثَلَاثُ بَنَاتِ لَبُونٍ وَثَلَاثَةُ بَنِي لَبُونٍ وَثَلَاثُ بَنَاتِ مَخَاضٍ وَعَلَى غَيْرِ هَذَا فِيمَا زَادَ وَنَقَصَ فِيمَا يُقَدَّرُ مِنْ دِيَاتِ الْأَعْضَاءِ وَالْأَطْرَافِ
Kedua, bahwa cacatnya pada bagian ini lebih buruk, dan luka-luka di kepala ini menjadi lebih berat jika dilakukan dengan sengaja, dan menjadi lebih ringan jika dilakukan karena kelalaian. Luka-luka tersebut tidak menjadi lebih berat pada tubuh, baik disengaja maupun tidak, karena pemberatan (hukuman) hanya khusus untuk diyat yang telah ditentukan ukurannya, dan tidak termasuk di dalamnya apa yang tidak ditentukan dari urūsy al-jināyāt. Maka seperlima dari al-mūdhihah diberatkan dengan pembagian sepertiga, sehingga di dalamnya terdapat dua khilfah, satu jadz’ah, setengah, satu hiqqah, dan setengah. Kemudian diringankan dengan pembagian seperlima, sehingga di dalamnya terdapat satu jadz’ah, satu hiqqah, satu bint labūn, satu ibn labūn, dan satu bint makhādh. Selain al-hāshimah, pemberatan dilakukan dengan pembagian sepertiga, sehingga di dalamnya terdapat empat khilfah, tiga jidzā’, dan tiga hiqqah. Kemudian diringankan dengan pembagian seperlima, sehingga di dalamnya terdapat dua jadz’ah, dua hiqqah, dua bint labūn, dua ibn labūn, dan dua bint makhādh. Pada lima belas dalam al-munaqqilah, pemberatan dilakukan dengan pembagian sepertiga, sehingga di dalamnya terdapat enam khilfah, empat setengah hiqqah, dan empat setengah jadz’ah. Kemudian diringankan dengan pembagian seperlima, sehingga di dalamnya terdapat tiga jadz’ah, tiga hiqqah, tiga bint labūn, tiga ibn labūn, dan tiga bint makhādh. Selain dari itu, pada apa yang lebih atau kurang dari diyat anggota tubuh dan anggota badan, berlaku ketentuan yang sama.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وفي المأمومة ثلث النفس وَهِيَ الَّتِي تَخْرِقُ إِلَى جِلْدِ الدِّمَاغِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada luka ma’mūmah, diyatnya sepertiga dari diyat jiwa, yaitu luka yang menembus hingga ke kulit otak.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْمَأْمُومَةُ فَهِيَ الْوَاصِلَةُ إِلَى أُمِّ الرَّأْسِ وَأُمُّ الرَّأْسِ هِيَ الْغِشَاوَةُ الْمُحِيطَةُ بِمُخِّ الدِّمَاغِ وَتُسَمَّى الْأُمَّةَ
Al-Mawardi berkata: Adapun al-ma’mūmah, yaitu luka yang sampai ke bagian atas kepala, dan ummu ar-ra’s adalah selaput yang melingkupi otak, yang juga disebut al-ummah.
وَأَمَّا الدَّامِغَةُ فَهِيَ الَّتِي خَرَقَتْ غِشَاوَةَ الدِّمَاغِ حَتَّى وَصَلَتْ إِلَى مُخِّهِ وَفِيهَا جَمِيعًا ثُلُثُ الدِّيَةِ لَا تُفَضَّلُ دِيَةُ الدَّامِغَةِ عَلَى دِيَةِ الْمَأْمُومَةِ وَإِنْ كُنْتُ أَرَى أَنْ يَجِبَ تَفْضِيلُهَا بِزِيَادَةِ حُكُومَةٍ فِي خَرْقِ غِشَاوَةِ الدِّمَاغِ لِأَنَّهُ وَصْفٌ زَائِدٌ عَلَى صِفَةِ الْمَأْمُومَةِ وَإِنْ لَمْ يُحْكَ عَنِ الشَّافِعِيِّ
Adapun damighah adalah luka yang menembus selaput otak hingga mencapai sumsum otak. Pada keduanya (damighah dan ma’mūmah) berlaku diyat sepertiga, tidak ada keutamaan diyat damighah atas diyat ma’mūmah. Meskipun aku berpendapat seharusnya damighah diutamakan dengan tambahan hukūmah karena menembus selaput otak, sebab itu merupakan sifat tambahan dibandingkan dengan sifat ma’mūmah, meskipun tidak dinukil dari Imam Syafi‘i.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْمَأْمُومَةَ ثُلُثُ الدِّيَةِ حَدِيثَانِ
Dan dalil bahwa diyat untuk perempuan adalah sepertiga dari diyat (laki-laki) adalah dua hadis.
أَحَدُهُمَا حَدِيثُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي الْآمَّةِ ثُلُثُ الدِّيَةِ
Salah satunya adalah hadis Umar bin al-Khattab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang al-ammah: sepertiga diyat.
وَالْآخَرُ حَدِيثُ عَمْرُو بْنُ حَزْمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ وَفِي الْمَأْمُومَةِ ثُلُثُ الدِّيَةِ وَلِأَنَّهَا وَاصِلَةٌ إِلَى جَوْفٍ فَأَشْبَهَتِ الْجَائِفَةَ فَلَوْ أَرَادَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الْإِيضَاحِ سَقَطَ مِنْ دِيَتِهَا إِذَا اقتص دية الموضحة خمس مِنَ الْإِبِلِ وَأَخْذَ بِالْبَاقِي مِنْهَا وَهُوَ ثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُونَ بَعِيرًا وَثُلُثٌ فَلَوْ شَجَّهُ رَجُلٌ مُوضِحَةً وَهَشَمَهُ ثَانٍ بَعْدِ الْإِيضَاحِ وَنَقَلَهُ ثَالِثٌ بَعْدِ الْهَشْمِ وَأَمَّهُ رَابِعٌ بَعْدِ التَّنْقِيلِ كَانَ عَلَى الأول دية الموضحة خمس مِنَ الْإِبِلِ وَعَلَى الثَّانِي مَا زَادَ عَلَيْهَا مِنْ دِيَةِ الْهَاشِمَةِ وَهِيَ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَعَلَى الثَّالِثِ مَا زَادَ عَلَيْهَا مِنْ دِيَةِ الْمُنَقِّلَةِ وَهِيَ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَعَلَى الرَّابِعِ مَا زَادَ عَلَيْهَا مِنْ دِيَةِ الْمَأْمُومَةِ وَهِيَ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ بَعِيرًا وَثُلُثٌ فَإِنْ أُرِيدَ الْقِصَاصُ اقْتُصَّ مِنَ الْأَوَّلِ الْمُوضِحِ دُونَ مَنْ عَدَاهُ وَأُخِذَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَا يَلْزَمُهُ مِنْ دِيَةِ جِنَايَتِهِ وَلَوْ جَرَحَهُ فِي وَجْنَتِهِ مِنْ وَجْهِهِ جِرَاحَةً حَرَقَتِ الْجِلْدَ وَاللَّحْمَ وَهَشَمَتِ الْعَظْمَ وَتنَقَلَّ الْعَظْمُ إِلَى أَنْ وَصَلَتْ إِلَى الْأُمِّ أَوْ كَانَتْ فِي إِحْدَى الْحِصَّتَيْنِ فَخَرَقَتْ كَذَلِكَ حَتَّى وَصَلَتْ إِلَى الْفَمِ فَفِيهَا قَوْلَانِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ فِي جَامِعِهِ
Hadis lainnya adalah hadis Amru bin Hazm bahwa Rasulullah ﷺ bersabda dalam suratnya kepada penduduk Yaman: “Pada luka ma’mūmah, diyatnya sepertiga dari diyat penuh.” Karena luka itu sampai ke rongga tubuh, maka ia disamakan dengan luka jā’ifah. Jika korban ingin melakukan qishāsh pada luka muḍīḥah, maka gugurlah bagian diyatnya yang telah diqishāsh, yaitu diyat muḍīḥah sebanyak lima ekor unta, dan ia mengambil sisanya, yaitu dua puluh delapan ekor unta dan sepertiganya. Jika seseorang melukainya dengan luka muḍīḥah, lalu orang kedua memecahkan tulangnya setelah muḍīḥah, lalu orang ketiga memindahkan tulangnya setelah tulang itu pecah, lalu orang keempat melukai bagian otaknya setelah tulang itu berpindah, maka atas orang pertama diyat muḍīḥah sebanyak lima ekor unta, atas orang kedua tambahan dari diyat hāshimah yaitu lima ekor unta, atas orang ketiga tambahan dari diyat munqillah yaitu lima ekor unta, dan atas orang keempat tambahan dari diyat ma’mūmah yaitu delapan belas ekor unta dan sepertiganya. Jika ingin dilakukan qishāsh, maka qishāsh hanya dilakukan pada orang pertama yang membuat luka muḍīḥah, tidak pada selainnya, dan dari masing-masing mereka diambil bagian diyat yang menjadi tanggungannya atas tindakannya. Jika seseorang melukainya di pipi wajahnya dengan luka yang membakar kulit dan daging, memecahkan tulang, lalu tulang itu berpindah hingga sampai ke otak, atau terjadi pada salah satu sisi kepala lalu menembus hingga sampai ke mulut, maka dalam hal ini ada dua pendapat yang dinukil oleh Abu Hamid al-Marwazi dalam kitab Jāmi‘-nya.
أَحَدُهُمَا إِنَّهَا مَأْمُومَةٌ يَجِبُ فِيهَا ثُلُثُ الدِّيَةِ وَيَكُونُ وُصُولُهَا إِلَى الْفَمِ كَوُصُولِهَا إِلَى الدِّمَاغِ لِأَنَّهَا عَمِلَتْ عَمَلَ الْمَأْمُومَةِ
Salah satunya adalah bahwa luka ma’mūmah mewajibkan pembayaran sepertiga diyat, dan jika luka tersebut sampai ke mulut, hukumnya sama dengan jika sampai ke otak, karena luka itu telah melakukan fungsi seperti luka ma’mūmah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهُ يَجِبُ فِيهَا دِيَةُ مُنْتَقِلَةٍ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ فِي وُصُولِهَا إِلَى الْفَمِ لَا يَبْلُغُ بِهَا دِيَةَ الْمَأْمُومَةِ لِأَنَّ وَصُولَ الْمَأْمُومَةِ إِلَى الدِّمَاغِ أَخْوَفُ عَلَى النَّفْسِ مِنْ وُصُولِهَا إِلَى الْفَمِ فَلَمْ يَبْلُغْ بِدِيَةِ مَا قَلَّ خَوْفُهُ دِيَةَ مَا هُوَ أخوف
Pendapat kedua menyatakan bahwa pada kasus ini wajib membayar diyat muntakilah dan tambahan hukūmah jika luka tersebut sampai ke mulut, namun tambahan itu tidak sampai pada kadar diyat ma’mūmah. Sebab, luka ma’mūmah yang sampai ke otak lebih berbahaya bagi jiwa daripada jika hanya sampai ke mulut. Maka, diyat untuk luka yang bahayanya lebih kecil tidak boleh disamakan dengan diyat untuk luka yang bahayanya lebih besar.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَمْ أَعْلَمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَكَمَ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ بِشَيْءٍ فَفِيمَا دُونَهَا حُكُومَةٌ لَا يَبْلُغُ بِهَا قَدْرَ مُوَضِحَةٍ وَإِنْ كَانَ الشَّيْنُ أَكْثَرَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Aku tidak mengetahui bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah menetapkan hukum pada luka yang kurang dari muḍiḥah dengan sesuatu (ketentuan khusus). Maka untuk luka yang kurang dari muḍiḥah, ditetapkan ḥukūmah (penilaian ganti rugi) yang nilainya tidak sampai sebesar muḍiḥah, meskipun cacat yang ditimbulkan lebih banyak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا شجاج الرأس قبل الموضحة وأنها ست
Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan luka-luka di kepala sebelum luka muḍiḥah dan bahwa jumlahnya ada enam.
الحارصة وَهِيَ الَّتِي تَشُقُّ الْجِلْدَ ثُمَّ الدَّامِيَةُ وَهِيَ الَّتِي يُدْمَى بِهَا مَوْضِعُ الشَّقِّ
Al-hāriṣah adalah luka yang merobek kulit, kemudian ad-dāmiyah adalah luka yang menyebabkan keluarnya darah pada tempat robekan tersebut.
ثُمَّ الدَّامِغَةُ وهي التي يدفع مِنْهَا الدَّمُ
Kemudian, ad-dāmighah adalah (bagian) yang darinya darah mengalir.
ثُمَّ الْبَاضِعَةُ وَهِيَ الَّتِي تُبَضِّعُ اللَّحْمُ فَتَشُقُّهُ
Kemudian al-bādi‘ah, yaitu hewan yang membelah daging sehingga memotongnya.
ثُمَّ الْمُتَلَاحِمَةُ وَهِيَ الَّتِي تَمُورُ فِي اللَّحْمِ حَتَّى تَنْزِلَ فِيهِ وَقَدْ تُسَمَّى البازلة ومنهم مَنْ جَعَلَ الْبَازِلَةَ شَجَّةً زَائِدَةً بَيْنَ الْبَاضِعَةِ وَالْمُتَلَاحِمَةِ فَيَجْعَلُ مَا قَبْلَ الْمُوضِحَةِ سَبْعًا
Kemudian ada luka mutalāḥimah, yaitu luka yang menembus daging hingga masuk ke dalamnya, dan kadang-kadang disebut juga sebagai bāzilah. Sebagian ulama ada yang menganggap bāzilah sebagai jenis luka tambahan yang berada di antara bāḍi‘ah dan mutalāḥimah, sehingga mereka menjadikan jumlah luka sebelum muḍīḥah menjadi tujuh.
ثُمَّ السِّمْحَاقُ وَهِيَ الَّتِي تَمُورُ جَمِيعَ اللَّحْمِ حَتَّى تَصِلَ إِلَى سِمْحَاقِ الرَّأْسِ وَهِيَ جِلْدَةٌ تَغْشَى عَظْمَ الدِّمَاغِ وَيُسَمِّيهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ الْمِلْطَاةَ وَمِنْهُمْ مَنْ جَعَلَهَا بَيْنَ الْمُتَلَاحِمَةِ وَالسِّمْحَاقِ فَيَجْعَلُ شِجَاجَ مَا قَبْلَ الْمُوضِحَةِ ثَمَانِيًا وَلَا أَعْرِفُ لِهَذِهِ الْمِلْطَاةِ حَدًّا يَزِيدُ عَلَى الْمُتَلَاحِمَةِ وَتَنْقُصُ عَنِ السمحاق فيصر وَسَطًا بَيْنَهُمَا وَلَيْسَ فِي جَمِيعِ هَذِهِ الشِّجَاجِ الَّتِي قَبْلَ الْمُوضِحَةِ أَرْشٌ مُقَدَّرٌ بِالنَّصِّ وَأَوَّلُ الشِّجَاجِ الَّتِي وَرَدَ النَّصُّ بِتَقْدِيرِ أَرْشِهَا الْمُوضِحَةُ لِانْتِهَائِهَا إِلَى حَدٍّ مُقَدَّرٍ فَصَارَ أَرْشُهَا مُقَدَّرًا كَالْأَطْرَافِ وَإِذَا لَمْ يَتَقَدَّرْ أَرْشُ مَا قَبْلَ الْمُوضِحَةِ نَصًّا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ
Kemudian ada as-simḥāq, yaitu luka yang mengikis seluruh daging hingga mencapai simḥāq kepala, yaitu lapisan kulit yang menutupi tulang otak. Penduduk Madinah menyebutnya al-milṭāh. Sebagian dari mereka menjadikannya berada di antara al-mutalāḥimah dan as-simḥāq, sehingga jumlah luka sebelum al-muḍiḥah menjadi delapan. Aku tidak mengetahui adanya batasan khusus untuk al-milṭāh yang melebihi al-mutalāḥimah dan kurang dari as-simḥāq, sehingga ia berada di tengah-tengah antara keduanya. Tidak ada diyat yang ditetapkan secara nash untuk seluruh jenis luka sebelum al-muḍiḥah. Luka pertama yang diyatnya ditetapkan secara nash adalah al-muḍiḥah, karena ia berakhir pada batas yang telah ditentukan, sehingga diyatnya pun menjadi pasti seperti anggota tubuh lainnya. Adapun diyat luka-luka sebelum al-muḍiḥah yang tidak ditetapkan secara nash, para ulama kami berbeda pendapat tentangnya menjadi tiga pendapat.
أَحَدُهَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ نُصُوصِ الشَّافِعِيِّ وَقَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ أَنَّ فِيهَا حُكُومَةً يَخْتَلِفُ قَدْرُهَا بِاخْتِلَافِ شَيْنِهَا تَتَقَدَّرُ بِالِاجْتِهَادِ وَلَا يَصِيرُ مَا قَدَّرُهُ الِاجْتِهَادُ فِيهَا مُقَدَّرًا مُعْتَبَرًا فِي غَيْرِهَا لِجَوَازِ زِيَادَةِ الشَّيْنِ وَنُقْصَانِهِ فَإِذَا أَفْضَى الِاجْتِهَادُ فِي حُكُومَةٍ أَرْشُهَا إِلَى مِقْدَارٍ يَنْقُصُ مِنْ دِيَةِ الْمُوضِحَةِ عَلَى مَا سَنَصِفُهُ مِنْ صِفَةِ الِاجْتِهَادِ أَوْجَبْنَا جَمِيعَهُ وَإِنْ زَادَ عَلَى دِيَةِ الْمُوضِحَةِ أَوْ سَاوَاهَا لَمْ يُحْكَمْ بِجَمِيعِهِ وَنُقِصَ مِنْ دِيَةِ الْمُوضِحَةِ بِحَسَبِ مَا يُؤَدِّيهِ الِاجْتِهَادُ إِلَيْهِ لِأَنَّ شَيْنَهَا لَوْ كَانَ فِي مُوضِحَةٍ لَمْ يَزِدْ عَلَى دِيَتِهَا فَإِذَا كَانَ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ وَجَبَ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ دِيَتِهَا
Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang tampak dari nash-nash Imam Syafi‘i dan juga pendapat mayoritas para pengikutnya, adalah bahwa dalam hal ini terdapat ḥukūmah, yang besar kecilnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan cacat yang terjadi, dan nilainya ditentukan melalui ijtihad. Apa yang telah ditetapkan melalui ijtihad dalam kasus ini tidak menjadi ukuran yang berlaku pada kasus lain, karena kemungkinan cacatnya bisa lebih besar atau lebih kecil. Jika hasil ijtihad dalam menentukan ḥukūmah dan besaran arsy-nya menghasilkan nilai yang kurang dari diyat al-muḍiḥah, sebagaimana akan kami jelaskan tentang sifat ijtihad tersebut, maka seluruhnya wajib dibayarkan. Namun jika nilainya melebihi atau sama dengan diyat al-muḍiḥah, maka tidak diputuskan untuk membayar seluruhnya, melainkan dikurangi dari diyat al-muḍiḥah sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh ijtihad. Sebab, jika cacat tersebut terjadi pada muḍiḥah, maka nilainya tidak akan melebihi diyat-nya; maka jika terjadi pada selain muḍiḥah, wajib untuk dikurangi dari diyat-nya.
فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ يَجِبُ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ أَكْثَرُ مِنَ الدِّيَةِ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ فِي النَّفْسِ إِلَّا الدِّيَةُ فَهَلَّا وَجَبَ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ بِحَسَبِ الشَّيْنِ أَكْثَرُ مِمَّا يَجِبُ فِي الْمُوضِحَةِ
Jika dikatakan: “Terkadang pada selain jiwa (nyawa) diwajibkan lebih dari diyat, padahal pada jiwa tidak diwajibkan kecuali diyat. Maka mengapa pada selain mudhihah (luka yang menampakkan tulang) tidak diwajibkan, sesuai dengan kadar cacatnya, lebih banyak dari apa yang diwajibkan pada mudhihah?”
قِيلَ لِأَنَّ مَا دُونُ الْمُوضِحَةِ بَعْضُ الْمُوضِحَةِ وَبَعْضُهَا لَا يُكَافِئُهَا وَلَيْسَتِ الْأَطْرَافُ بَعْضَ النَّفْسِ لِأَنَّ النَّفْسَ لَا تَتَبَعَّضُ فَجَازَ أَنْ يَجِبَ فِيهَا أَكْثَرُ مِمَّا يَجِبُ فِي النَّفْسِ
Dikatakan bahwa luka yang kurang dari al-mudhihah adalah bagian dari al-mudhihah, dan sebagian dari luka itu tidak sebanding dengannya. Sedangkan anggota tubuh (al-athraf) bukanlah bagian dari jiwa (an-nafs), karena jiwa tidak dapat dibagi-bagi. Maka boleh jadi diwajibkan pada anggota tubuh itu lebih banyak daripada yang diwajibkan pada jiwa.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّ أُرُوشَهَا مُقَدَّرَةٌ بِالِاجْتِهَادِ كَمَا تَقَدَّرَتِ الْمُوضِحَةُ وَمَا فَوْقَهَا بِالنَّصِّ وَلَا يَمْتَنِعُ إِثْبَاتُ الْمَقَادِيرِ اجْتِهَادًا كَمَا تُقَدَّرُ الْقُلَّتَانِ بِخَمْسِمِائَةِ رِطْلٍ اجْتِهَادًا فَجَعَلَ فِي الْحَارِصَةِ بَعِيرًا وَاحِدًا وَجَعَلَ فِي الدَّامِيَةِ وَالدَّامِغَةِ بَعِيرَيْنِ وَجَعَلَ فِي الْبَاضِعَةِ وَالْبَازِلَةِ وَالْمُتَلَاحِمَةِ ثَلَاثَةَ أَبْعِرَةٍ وَجَعَلَ فِي الْمِلْطَاةِ وَالسِّمْحَاقِ أَرْبَعَةَ أَبْعِرَةٍ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ الشِّجَاجِ مِنَ الْمُوضِحَةِ فَكَانَ أَرْشُهَا أَقْرَبَ الْأُرُوشِ إِلَى دِيَةِ الْمُوضِحَةِ وَلَمَّا كَانَتِ الْحَارِصَةُ أَوَّلَ الشِّجَاجِ كَانَ فِيهَا أَوَّلُ مَا فِي الْمُوضِحَةِ وَكَانَ فِيمَا بَيْنَ الطَّرَفَيْنِ مَا يَقْتَضِيهِ قُرْبَةً مِنْ أَحَدِهِمَا فَلِذَلِكَ رَتَّبَهُ فِي التَّقْدِيرِ عَلَى مَا ذَكَرَهُ وَهَذَا وَإِنْ كَانَ مُسْتَقِرًّا بالظاهر فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Pendapat kedua, yang dinukil dari Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, menyatakan bahwa besaran diyat untuk luka-luka tersebut ditentukan berdasarkan ijtihad, sebagaimana besaran diyat untuk luka muḍīḥah dan yang di atasnya telah ditentukan secara nash. Tidak terlarang menetapkan besaran diyat secara ijtihad, sebagaimana dua qullah ditetapkan sebanyak lima rithl berdasarkan ijtihad. Maka, untuk luka ḥāriṣah ditetapkan satu unta, untuk luka dāmiyah dan dāmighah ditetapkan dua unta, untuk luka bāḍi‘ah, bāzilah, dan mutalāḥimah ditetapkan tiga unta, dan untuk luka milṭāh dan simḥāq ditetapkan empat unta, karena luka-luka tersebut paling dekat dengan luka muḍīḥah, sehingga besaran diyatnya pun paling dekat dengan diyat muḍīḥah. Karena ḥāriṣah adalah luka pertama dari jenis luka-luka tersebut, maka diyatnya pun pertama dari apa yang ada pada muḍīḥah. Sedangkan untuk luka-luka di antara kedua ujung tersebut, ditetapkan sesuai dengan kedekatannya pada salah satu dari keduanya. Oleh karena itu, ia mengurutkan dalam penetapan besaran sebagaimana yang disebutkan. Meskipun pendapat ini tampak benar secara lahiriah, namun rusak dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّ مَا دَخَلَهُ الِاجْتِهَادُ بِحَسَبِ الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ كَانَ حُكْمُهُ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ
Salah satunya adalah bahwa perkara yang masuk ke dalam ranah ijtihad, baik dalam hal penambahan maupun pengurangan, maka hukumnya bergantung padanya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يَسْتَقِرَّ الِاجْتِهَادُ فِيهِ بِمِقْدَارٍ مَحْدُودٍ لَا يُزَادُ عَلَيْهِ ولا ينقص مِنْهُ لَكَانَ اجْتِهَادُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِيهِ أَمْضَى وَتَقْدِيرُهُمْ لَهُ أَلْزَمَ وَقَدْ رَوَى سعيد ابن الْمُسَيَّبِ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ أَنَّهُمَا قَضَيَا فِي الْمِلْطَاةِ وَالسِّمْحَاقِ بِنِصْفِ مَا فِي الْمُوضِحَةِ
Kedua, jika boleh ijtihad dalam hal ini ditetapkan dengan kadar tertentu yang tidak boleh ditambah atau dikurangi darinya, niscaya ijtihad para sahabat radhiyallāhu ‘anhum dalam hal ini lebih kuat dan penetapan mereka lebih wajib diikuti. Telah diriwayatkan oleh Sa‘īd bin al-Musayyab dari ‘Umar dan ‘Utsmān bahwa keduanya memutuskan dalam kasus al-miltaah dan as-simḥāq dengan setengah dari apa yang ada pada al-muḍiḥah.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ حَكَاهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنْ يُعْتَبَرَ قَدْرُ مَا انْتَهَتْ إِلَيْهِ فِي اللَّحْمِ مِنْ مِقْدَارِ مَا بَلَغَتْهُ الْمُوضِحَةُ حَتَّى وَصَلَتْ إِلَى الْعَظْمِ إِذَا أَمْكَنَ فَإِذَا عُرِفَ مِقْدَارُهُ مِنْ رُبُعٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ نِصْفٍ كَانَ فِيهِ بِقَدْرِ ذَلِكَ مِنْ دِيَةِ الْمُوضِحَةِ فَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ النِّصْفُ وَشَكَّ فِي الزِّيَادَةِ اعْتَبَرَ شَكَّهُ بِتَقْوِيمِ الْحُكُومَةِ فَإِنْ زَادَ عَلَى النِّصْفِ وَبَلَغَ الثُّلُثَيْنِ زَالَ حُكْمُ الشَّكِّ فِي الزِّيَادَةِ بِإِثْبَاتِهَا وَحُكِمَ بِهَا وَلَزِمَ ثُلُثَا دِيَةِ الْمُوضِحَةِ وَإِنْ بَلَغَتِ النِّصْفَ زَالَ حُكْمُ الشَّكِّ فِي الزِّيَادَةِ بِإِسْقَاطِهَا وَحُكِمَ بِنِصْفِ الدِّيَةِ وَإِنْ نَقَصَتْ عَنِ النِّصْفِ بَطَلَ حُكْمُ النُّقْصَانِ وَالزِّيَادَةِ وَثَبَتَ حُكْمُ النِّصْفِ فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ مِقْدَارَ ذَلِكَ مِنَ الْمُوضِحَةِ عُدِلَ حِينَئِذٍ إِلَى الْحُكُومَةِ الَّتِي يَتَقَدَّرُ الْأَرْشُ فِيهَا بِالتَّقْوِيمِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ وَلِهَذَا الْوَجْهِ وَجْهٌ إِنْ لَمْ يَدْفَعْهُ أَصْلٌ وَذَلِكَ أَنَّ مِقْدَارَ الْحُكُومَةِ مُعْتَبَرٌ بِشَيْئَيْنِ الضَّرَرِ وَالشَّيْنِ وَهُمَا لَا يَتَقَدَّرَانِ بِمِقْدَارِ الْمَوْرِ فِي اللَّحْمِ
Pendapat ketiga, yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dari asy-Syafi‘i, adalah bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah kadar luka pada daging sesuai dengan kadar yang dicapai oleh luka mudhihah hingga sampai ke tulang, jika memungkinkan. Jika diketahui kadarnya, apakah seperempat, sepertiga, atau setengah, maka dikenakan diyat mudhihah sesuai kadar tersebut. Jika diketahui bahwa kadarnya setengah dan masih ragu tentang adanya kelebihan, maka keraguan itu dipertimbangkan dengan penilaian hukumah. Jika ternyata melebihi setengah dan mencapai dua pertiga, maka hukum keraguan tentang kelebihan itu hilang dengan ditetapkannya kelebihan tersebut, dan diputuskan serta diwajibkan dua pertiga diyat mudhihah. Jika mencapai setengah, maka hukum keraguan tentang kelebihan itu hilang dengan menggugurkannya, dan diputuskan setengah diyat. Jika kurang dari setengah, maka hukum kekurangan dan kelebihan batal, dan yang berlaku adalah hukum setengah. Jika tidak diketahui kadar luka mudhihah tersebut, maka dialihkan kepada hukumah, yaitu diyat yang ditentukan dengan penilaian sebagaimana akan dijelaskan. Untuk pendapat ini ada sisi lain, jika tidak ditolak oleh dalil asal, yaitu bahwa kadar hukumah dipertimbangkan dengan dua hal: kerusakan dan cacat, dan keduanya tidak dapat diukur dengan kadar luka pada daging.
وَحُكِيَ عَنِ الشَّعْبِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَيْسَ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ أَرْشٌ وَلَيْسَ عَلَى الْجَانِي إِلَّا أُجْرَةُ الطَّبِيبِ لِعَدَمِ النَّصِّ فِيهِ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Diriwayatkan dari asy-Sya‘bi bahwa ia berkata: “Tidak ada diyat (ganti rugi) pada luka yang kurang dari al-mudhihah, dan tidak ada kewajiban atas pelaku kecuali membayar upah tabib, karena tidak adanya nash (teks) tentang hal itu.” Pendapat ini rusak dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمَنْصُوصَ عَلَيْهِ أَصْلٌ لِلْمَسْكُوتِ عَنْهُ
Salah satunya adalah bahwa yang disebutkan secara eksplisit (al-manshūsh ‘alayh) merupakan asal (ashl) bagi perkara yang tidak disebutkan (al-maskūt ‘anhu).
وَالثَّانِي أَنَّهُ قَدْ أَوْجَبَ أُجْرَةَ الطَّبِيبِ وَلَمْ يَرِدْ بِهَا شَرْعٌ وَأَسْقَطَ أَرْشَ الدَّمِ وَقَدْ وَرَدَ بِهِ شَرْعٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب
Yang kedua, ia telah mewajibkan upah bagi tabib padahal tidak ada syariat yang menetapkannya, dan ia menggugurkan diyat darah padahal ada syariat yang menetapkannya. Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي كُلِّ جُرْحٍ مَا عَدَا الرَّأْسَ وَالْوَجْهَ حُكُومَةٌ إِلَّا الْجَائِفَةَ فَفِيهَا ثُلُثُ النَّفْسِ وَهِيَ الَّتِي تَخْرِقُ إِلَى الْجَوْفِ مِنْ بَطْنٍ أَوْ ظَهْرٍ أَوْ صَدْرٍ أَوْ ثَغْرَةِ نَحْرٍ فَهِيَ جائفة
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada setiap luka selain kepala dan wajah, berlaku ḥukūmah, kecuali luka yang menembus (jā’ifah), maka padanya ada diyat sepertiga jiwa. Jā’ifah adalah luka yang menembus hingga ke rongga tubuh, baik dari perut, punggung, dada, atau celah leher, maka itu disebut jā’ifah.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَإِذْ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي شِجَاجِ الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ فَسَنَذْكُرُ مَا عَدَاهُ مِنْ جِرَاحِ الْبَدَنِ وَيَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata: Setelah pembahasan mengenai luka-luka di kepala dan wajah telah selesai, maka kami akan menyebutkan selainnya dari luka-luka pada badan, yang terbagi menjadi empat bagian.
أَحَدُهَا مَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَتَتَقَدَّرُ فِيهِ الدِّيَةُ وَهُوَ الْأَطْرَافُ
Salah satunya adalah apa yang wajib dikenai qishāsh dan di dalamnya ditetapkan diyat, yaitu anggota-anggota tubuh.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا لَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَلَا تَتَقَدَّرُ فِيهِ الدِّيَةُ وَهُوَ مَا دُونَ الْمُوضِحَةِ أَوْ فَوْقَهَا وَدُونَ الْجَائِفَةِ
Bagian kedua adalah apa yang tidak wajib di dalamnya qishāsh dan tidak ditetapkan diyat padanya, yaitu luka yang berada di bawah tingkat mudhihah atau di atasnya namun masih di bawah tingkat jaifah.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَلَا يَتَقَدَّرُ فِيهِ الدِّيَةُ وَهُوَ الْمُوضِحَةُ يَجِبُ فِيهَا الْقِصَاصُ فِي الْبَدَنِ كَالرَّأْسِ وَلَا تَتَقَدَّرُ فِيهَا الدِّيَةُ وَإِنْ تَقَدَّرَتْ فِي الرَّأْسِ وَيَجِبُ فِيهَا حُكُومَةٌ
Bagian ketiga adalah apa yang wajib dikenai qishāsh dan tidak ditetapkan diyat padanya, yaitu al-mudhihah. Dalam hal ini, qishāsh wajib diterapkan pada badan seperti halnya pada kepala, dan diyat tidak ditetapkan padanya, meskipun diyat ditetapkan pada kepala. Dalam hal ini, yang wajib adalah hukūmah.
وَالْفَرْقُ فِيهَا بَيْنَ الرَّأْسِ وَالْجَسَدِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ
Perbedaan di dalamnya antara kepala dan badan terdapat pada tiga aspek.
أَحَدُهَا أَنَّ الرَّأْسَ لِاشْتِمَالِهِ عَلَى حَوَاسِّ السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَالشَّمِّ وَالذَّوْقِ
Salah satunya adalah bahwa kepala, karena di dalamnya terdapat indera pendengaran, penglihatan, penciuman, dan pengecapan.
وَالثَّانِي أَنَّ الْجِنَايَةَ عَلَيْهِ أَخْوَفُ
Yang kedua, bahwa tindak kejahatan terhadapnya lebih dikhawatirkan.
وَالثَّالِثُ أَنَّ شَيْنَهَا فِيهِ أَقْبَحُ
Dan yang ketiga, bahwa cacatnya pada hal itu lebih buruk.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مَا تَتَقَدَّرُ فِيهِ الدِّيَةُ وَلَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَهُوَ الْجَائِفَةُ وَالْجَائِفَةُ وُصُولُ الْجُرْحِ إِلَى الْجَوْفِ مِنْ بَطْنٍ أَوْ ظَهْرٍ أَوْ ثَغْرَةِ نَحْرٍ تَخْرِقُ بِهِ غِطَاءَ الْجَوْفِ حَتَّى يَصِلَ إِلَيْهِ سَوَاءٌ كَانَ بِحَدِيدٍ أَوْ بِغَيْرِهِ مِنَ الْمُحَدَّدِ وَفِيهَا ثُلُثُ الدِّيَةِ صَغُرَتْ أَوْ كَبُرَتْ لِرِوَايَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال في الجائفة ثلث الدية وَفِيَّ الْمَأمُومَةِ ثُلُثُ الدِّيَةِ
Bagian keempat adalah luka yang di dalamnya ditetapkan diyat dan tidak wajib qishāsh, yaitu luka jaifah. Jaifah adalah luka yang sampai ke rongga tubuh, baik dari perut, punggung, atau celah tenggorokan, yang menembus penutup rongga hingga sampai ke dalamnya, baik dengan benda tajam dari besi maupun selainnya. Untuk luka ini, ditetapkan sepertiga diyat, baik kecil maupun besar, berdasarkan riwayat dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang luka jaifah: “Sepertiga diyat.” Demikian pula pada luka ma’mūmah, sepertiga diyat.
وَرَوَى عَمْرُو بْنُ حَزْمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ وَفِي الْجَائِفَةِ ثُلُثُ الدِّيَةِ وَلِأَنَّهَا وَاصِلَةٌ إِلَى غَايَةٍ مَخُوفَةٍ فَأَشْبَهَتِ الْمَأْمُومَةَ وَلَا قِصَاصَ فِيهَا لِتَعَذُّرِ الْمُمَاثَلَةِ بِنُفُوذِ الْحَدِيدِ إِلَى مَا لَا يُرَى انْتِهَاؤُهُ فَإِنْ أَجَافَهُ حَتَّى لَذَعَ الْحَدِيدُ كَبِدَهُ أَوْ طِحَالَهُ لَزِمَتْ ثُلُثُ الدِّيَةِ فِي الْجَائِفَةِ وَحُكُومَةٌ فِي لَذْعِ الْحَدِيدِ الْكَبِدَ وَالطِّحَالَ
Amr bin Hazm meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ menulis surat kepada penduduk Yaman, dan dalam kasus luka jaifah (luka yang menembus rongga tubuh) ditetapkan sepertiga diyat. Hal ini karena luka tersebut mencapai batas yang membahayakan, sehingga disamakan dengan luka ma’mūmah (luka yang sampai ke selaput otak). Tidak ada qishāsh dalam kasus ini karena sulitnya menyamakan akibatnya, sebab besi menembus ke bagian yang tidak terlihat ujungnya. Jika seseorang melukai hingga besi tersebut mengenai hati atau limpa, maka wajib membayar sepertiga diyat untuk luka jaifah dan juga membayar hukūmah (ganti rugi) atas luka yang mengenai hati dan limpa.
وَلَوْ أَجَافَهُ فَكَسَرَ أَحَدَ أَضْلَاعِهِ لَزِمَهُ دِيَةُ الْجَائِفَةِ وَتَكُونُ حُكُومَةُ الضِّلَعِ مُعْتَبَرَةً بِنُفُوذِ الْجَائِفَةِ فَإِنْ نَفَذَتْ مِنْ غَيْرِ ضِلَعٍ لَزِمَهُ حُكُومَةُ الضِّلَعِ وَإِنْ لَمْ تَنْفُذْ إِلَّا بِكَسْرِ الضِّلَعِ دَخَلَتْ حُكُومَتُهُ فِي دِيَةِ الْجَائِفَةِ وَإِذَا أَشْرَطَ بَطْنَهُ بِسِكِّينٍ ثُمَّ أَجَافَهُ فِي آخِرِ الشَّرْطَةِ كَانَ عَلَيْهِ فِي الْجَائِفَةِ دِيَتُهَا وَفِي الشَّرْطَةِ حُكُومَتُهَا لِأَنَّ الشَّرْطَةَ فِي غَيْرِ مَحَلِّ الْجَائِفَةِ مُتَمَيِّزَةٌ عَنْهَا فَتَمَيَّزَتْ بِحُكْمِهَا كَمَا قُلْنَا إِذَا أَوْضَحَ مُؤَخِّرَ رَأْسِهِ وَأَعْلَى قَفَاهُ وَلَوْ جَرَحَهُ بِخِنْجَرٍ لَهُ طَرَفَانِ فَأَجَافَهُ فِي مَوْضِعَيْنِ وَبَيْنَهُمَا حَاجِزٌ كَانَتْ جَائِفَتَيْنِ وَعَلَيْهِ ثُلُثَا الدِّيَةِ فَإِنْ خَرَقَهُ الْجَانِي أَوْ تَآكَلَ صَارَتْ جَائِفَةً وَاحِدَةً وَلَوْ خَرَقَهُ أَجْنَبِيٌّ كَانَتْ ثَلَاثَ جَوَائِفَ وَلَوْ خَرَقَهُ الْمَجْرُوحُ كَانَتْ جَائِفَتَيْنِ كَمَا قُلْنَا فِي الْمُوضِحَتَيْنِ
Jika seseorang menusukkan senjata hingga menembus dan mematahkan salah satu tulang rusuk, maka ia wajib membayar diyat jahifah, dan penilaian (hukūmah) atas tulang rusuk itu dipertimbangkan berdasarkan tembusnya jahifah. Jika jahifah itu menembus tanpa mengenai tulang rusuk, maka ia wajib membayar hukūmah tulang rusuk. Namun, jika jahifah itu hanya bisa menembus dengan mematahkan tulang rusuk, maka hukūmah tulang rusuk masuk dalam diyat jahifah. Jika seseorang menggores perut orang lain dengan pisau, lalu menusukkan hingga menembus pada ujung goresan itu, maka atas jahifah ia wajib membayar diyat-nya, dan atas goresan wajib membayar hukūmah-nya, karena goresan itu berada di tempat yang berbeda dari jahifah sehingga memiliki hukum tersendiri, sebagaimana telah dijelaskan jika seseorang melukai bagian belakang kepala dan bagian atas tengkuk. Jika seseorang melukai dengan belati yang memiliki dua ujung, lalu menusukkan hingga menembus di dua tempat yang terpisah oleh sekat, maka itu dihitung sebagai dua jahifah dan ia wajib membayar dua pertiga diyat. Jika sekat itu dilubangi oleh pelaku atau rusak dengan sendirinya, maka menjadi satu jahifah saja. Jika sekat itu dilubangi oleh orang lain, maka menjadi tiga jahifah. Jika sekat itu dilubangi oleh korban sendiri, maka menjadi dua jahifah, sebagaimana telah dijelaskan pada dua muḍīḥah.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا أَدْخَلَ فِي حَلْقِهِ خَشَبَةً أَوْ حَدِيدَةً حَتَّى وَصَلَتْ إِلَى الْجَوْفِ أَوْ أَدْخَلَهَا فِي سَبِيلِهِ حَتَّى بَلَغَتِ الْجَوْفَ لَمْ تَكُنْ جَائِفَةً وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مَا خُرِقَ بِهَا حَاجِزٌ فَإِنْ خَدَشَ بِهَا مَا حِيَالَهَا مِنْ دَاخِلِ الْجَوْفِ لَزِمَتْهُ حُكُومَتُهُ وَعُزِّرَ فِي الْحَالَيْنِ أَدَبًا وَإِنْ لَمْ يُعَزَّرِ الْجَانِي إِذَا أُغْرِمَ الدِّيَةَ لِأَنَّهُ قَدِ انْتَهَكَ مِنْهُ بِإِيلَاجِهَا مَا لَمْ يُقَابِلْهُ غُرْمٌ فَإِنْ خَرَقَ بِوُصُولِ الْخَشَبَةِ إِلَى الْجَوْفِ حَاجِزٌ مِنْ غِشَاوَةِ الْمَعِدَةِ أَوِ الْحَشْوَةِ فَفِي إِجْرَاءِ حُكْمِ الْجَائِفَةِ وَجْهَانِ
Jika seseorang memasukkan kayu atau besi ke dalam tenggorokannya hingga mencapai rongga tubuh, atau memasukkannya ke saluran tubuhnya hingga sampai ke rongga tubuh, maka itu tidak dianggap sebagai luka jâ’ifah dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya, karena tidak ada penghalang yang dilubangi olehnya. Namun, jika ia melukai bagian dalam rongga tubuh yang sejajar dengan benda tersebut, maka ia wajib membayar hukûmah dan dikenai ta‘zîr dalam kedua keadaan sebagai bentuk pendidikan. Pelaku tidak dikenai ta‘zîr jika telah membayar diyat, karena dengan memasukkan benda tersebut ia telah melakukan pelanggaran yang tidak diimbangi dengan ganti rugi. Jika dengan masuknya kayu ke dalam rongga tubuh menyebabkan robeknya penghalang berupa selaput lambung atau jaringan dalam, maka dalam penerapan hukum jâ’ifah terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْجَائِفَةِ وَيَلْزَمُهُ ثُلُثُ دِيَةٍ لِأَنَّهُ قَدْ خَرَقَ حَاجِزًا فِي الْجَوْفِ فَأَشْبَهَ حَاجِزَ الْبَطْنِ
Salah satunya dikenakan hukum al-jā’ifah dan wajib baginya membayar sepertiga diyat, karena ia telah menembus suatu penghalang di dalam rongga tubuh, sehingga serupa dengan penghalang perut.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْجَائِفَةِ وَيَلْزَمُهُ حُكُومَةٌ لِبَقَاءِ الْبَطْنِ الَّذِي هُوَ حَاجِزٌ عَلَى جَمِيعِ الْجَوْفِ وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي الْحَاجِزِ بَيْنَ الْمُوضِحَتَيْنِ إِذَا انْخَرَقَ بَاطِنُهُ مِنَ اللَّحْمِ وَهِيَ ظَاهِرَةٌ مِنَ الْجِلْدِ هَلْ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْمُوضِحَةِ فِي الْجَمِيعِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Pendapat kedua, tidak berlaku padanya hukum al-jā’ifah, dan wajib baginya hukūmah karena perut masih tetap ada, yang merupakan pembatas bagi seluruh rongga tubuh. Kedua pendapat ini didasarkan pada perbedaan dua pendapat dalam masalah pembatas antara dua al-mūḍiḥah, apabila bagian dalamnya yang berupa daging berlubang sementara bagian luarnya yang berupa kulit tampak, apakah berlaku padanya hukum al-mūḍiḥah secara keseluruhan atau tidak, terdapat dua pendapat.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ أَوْلَجَ خَشَبَةً فِي فَرْجِ عذراء خرق بها حاجز بكارتها عذر وَلَمْ يُحَدَّ إِلَّا أَنْ يَطَأَ فَيُحَدَّ وَيَلْزَمُهُ مَهْرُ الْمِثْلِ إِنْ أَكْرَهَهَا وَلَا تَلْزَمُهُ دِيَةُ الْجَائِفَةِ بِخَرْقِ حَاجِزِ الْبَكَارَةِ لِأَنَّهَا فِي مَسْلَكِ الْخَرْقِ وَأَمَّا الْحُكُومَةُ فَإِنْ كَانَتْ بِغَيْرِ وَطْءٍ لَزِمَهُ حُكُومَةُ بَكَارَتِهَا لِأَنَّهَا بِجِنَايَةٍ مِنْهُ وَإِنْ كَانَتْ بِوَطْءٍ لَمْ يَلْزَمْهُ لِأَنَّهُ لَا يَخْلُو فِي وَطْئِهِ مِنْ إِكْرَاهٍ أَوْ مُطَاوَعَةٍ فَإِنْ أُكْرِهَ دَخَلَ أَرْشُ الْحُكُومَةِ فِي الْمَهْرِ لِأَنَّهُ يَلْزَمُهُ مَهْرُ مِثْلِهَا مِنَ الْأَبْكَارِ وَإِنْ طَاوَعَتْهُ كَانَتْ بِالْمُطَاوَعَةِ كَالْمُبَرَّئَةِ مِنَ الْأَرْشِ لِأَنَّ الْمُطَاوَعَةَ إِذْنٌ وَإِذَا عَصَرَ بَطْنَهُ وَدَاسَهُ حَتَّى خَرَجَ الطَّعَامُ مِنْ فَمِهِ أَوِ النَّجْوِ مِنْ دُبُرِهِ فَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ وَيُعَزَّرُ أَدَبًا فَإِنْ زَالَ بِالدَّوْسِ أَحَدُ أَعْضَاءِ الْجَوْفِ عَنْ مَحَلِّهِ حَتَّى تَيَاسَرَ الْكَبِدُ أَوْ تَيَامَنَ الطِّحَالُ لِأَنَّ الْكَبِدَ مُتَيَامِنٌ وَالطِّحَالَ مُتَيَاسِرٌ فَعَلَيْهِ الْحُكُومَةُ إِنْ بَقِيَ عَلَى حَالِهِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِنْ عَادَ إِلَى مَحَلِّهِ
Jika seseorang memasukkan sebatang kayu ke dalam kemaluan seorang gadis perawan hingga merobek selaput daranya, maka ia hanya dikenai sanksi ta‘zīr dan tidak dijatuhi hukuman had, kecuali jika ia melakukan persetubuhan, maka ia dikenai hukuman had dan wajib membayar mahar mitsil jika ia memaksa gadis tersebut. Ia tidak wajib membayar diyat luka dalam (al-jā’ifah) karena merobek selaput dara, karena selaput dara berada di jalur lubang. Adapun hukum pemerintah (al-ḥukūmah), jika perobekan itu terjadi tanpa persetubuhan, maka ia wajib membayar ganti rugi atas kerusakan selaput dara, karena itu merupakan tindak kejahatan darinya. Namun jika perobekan itu terjadi karena persetubuhan, maka ia tidak wajib membayar, karena dalam persetubuhan pasti ada unsur paksaan atau kerelaan. Jika dipaksa, maka nilai ganti rugi (arsh al-ḥukūmah) masuk dalam mahar, karena ia wajib membayar mahar mitsil sebagaimana perawan lainnya. Jika gadis itu rela, maka dengan kerelaan tersebut ia dianggap telah menggugurkan hak atas ganti rugi, karena kerelaan adalah izin. Jika seseorang menekan perut orang lain dan menginjaknya hingga makanan keluar dari mulutnya atau kotoran keluar dari duburnya, maka ia tidak dikenai ganti rugi, tetapi tetap diberi hukuman ta‘zīr sebagai pelajaran. Jika akibat injakan tersebut salah satu organ dalam tubuh bergeser dari tempatnya, seperti hati bergeser ke kanan atau limpa bergeser ke kiri—karena hati biasanya di kanan dan limpa di kiri—maka ia wajib membayar ganti rugi jika organ tersebut tetap dalam keadaan bergeser, dan tidak ada kewajiban apa pun jika organ itu kembali ke tempat semula.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا جَرَحَهُ جَائِفَةً ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَأَوْلَجَ فِي الْجَائِفَةِ سِكِّينًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الثَّانِي بَعْدَ الْأَوَّلِ مِنْ أَحَدِ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Maka apabila seseorang melukainya dengan luka dalam (jaifah), kemudian datang orang lain dan menusukkan pisau ke dalam luka dalam tersebut, maka keadaan orang kedua setelah yang pertama tidak lepas dari salah satu dari empat keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ لَا يُؤَثِّرَ فِي سِعَتِهَا وَلَا فِي عُمْقِهَا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مَا جَرَحَ وَيُعَزَّرُ أَدَبًا لِلْأَذَى
Salah satunya adalah tidak berpengaruh pada luas atau kedalamannya, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya karena ia tidak melukai, namun ia tetap diberi ta‘zīr sebagai pelajaran atas perbuatannya yang menyakiti.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يُؤَثِّرَ فِي سِعَتِهَا وَلَا يُؤَثِّرَ فِي عُمْقِهَا فَعَلَيْهِ فِي زِيَادَةِ سِعَتِهَا إِذَا كَانَ ظَاهِرًا أَوْ بَاطِنًا دِيَةُ جَائِفَةٍ لِأَنَّهُ قَدْ أَجَافَهُ وَإِنِ اتَّصَلَتْ بِجَائِفَةٍ غَيْرِهِ فَإِنِ اتَّسَعَتْ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ أَوْ فِي الْبَاطِنِ دُونَ الظَّاهِرِ فَعَلَيْهِ حُكُومَةٌ لِأَنَّهُ جُرْحٌ لَمْ يَسْتَكْمِلْ جَائِفَةً
Bagian kedua adalah apabila luka itu mempengaruhi lebarnya tetapi tidak mempengaruhi kedalamannya, maka atas tambahan lebarnya, baik tampak maupun tersembunyi, wajib membayar diyat jā’ifah, karena ia telah menyebabkan luka jā’ifah. Namun, jika luka itu bersambung dengan jā’ifah lain, lalu melebar pada bagian luar saja tanpa bagian dalam, atau pada bagian dalam saja tanpa bagian luar, maka atasnya dikenakan hukuman (hukumah), karena itu adalah luka yang belum sempurna menjadi jā’ifah.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُؤَثِّرَ فِي عُمْقِهَا وَلَا يُؤَثِّرَ فِي سِعَتِهَا فَيَلْذَعُ بَعْضَ أَعْضَاءِ الْجَوْفِ مِنْ كَبِدٍ أَوْ طِحَالٍ فَعَلَيْهِ فِي لَذْعِ ذَلِكَ وَجُرْحِهِ حُكُومَةٌ
Bagian ketiga adalah apabila (luka) berpengaruh pada kedalamannya namun tidak berpengaruh pada lebarnya, sehingga melukai sebagian anggota rongga tubuh seperti hati atau limpa, maka atas luka dan cedera tersebut dikenakan ḥukūmah.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يُؤَثِّرَ فِي سِعَتِهَا وَيُؤَثِّرَ فِي عُمْقِهَا فَيَلْزَمُهُ دِيَةُ جَائِفَةٍ فِي زِيَادَةِ سَعَتِهَا وَحُكُومَةٌ فِي جِرَاحَةِ عمقها فإن قطع بها معا أو حشوته صار موجاً قَاتِلًا يَلْزَمُهُ الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ أَوْ جَمِيعُ الدِّيَةِ وَيَكُونُ الْأَوَّلُ جَارِحًا جَائِفًا يَلْزَمُهُ ثُلُثُ الدِّيَةِ وَلَوْ جَرَحَ الثَّانِي الْمِعَاءَ وَالْحَشْوَةَ وَلَمْ يَقْطَعْهُ صَارَ الثَّانِي وَالْأَوَّلُ قَاتِلَيْنِ وَعَلَيْهِمَا الْقَوَدُ فِي النَّفْسِ أَوِ الدِّيَةِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ لِحُدُوثِ التَّلَفِ بِسِرَايَةِ جِنَايَتِهِمَا
Bagian keempat adalah apabila luka tersebut memengaruhi lebarnya dan juga memengaruhi kedalamannya, maka pelakunya wajib membayar diyat luka ja’ifah atas tambahan lebarnya, dan hukūmah atas luka yang menambah kedalamannya. Jika keduanya terjadi bersamaan atau mengenai isi perutnya sehingga menyebabkan kematian, maka pelakunya wajib dikenai qawad (qishāsh) atas jiwa atau seluruh diyat. Dalam hal ini, pelaku pertama dianggap melukai dengan luka ja’ifah dan wajib membayar sepertiga diyat. Jika pelaku kedua melukai usus dan isi perut tanpa memotongnya, maka pelaku kedua dan pertama sama-sama dianggap sebagai pembunuh, dan keduanya wajib dikenai qawad atas jiwa atau diyat dibagi rata di antara mereka, karena kerusakan terjadi akibat gabungan tindak pidana mereka.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا خَاطَ الْمَجْرُوحُ جَائِفَةً فَفَتَقَهَا آخَرُ حَتَّى عَادَتْ جَائِفَةً لَمْ يَخْلُ حَالُهَا بَعْدَ الْخِيَاطَةِ مِنْ أَحَدِ أَرْبَعَةِ أقسام
Jika seseorang menjahit luka tusukan dalam (jā’ifah), lalu orang lain membukanya kembali hingga menjadi luka tusukan dalam (jā’ifah) lagi, maka setelah dijahit, keadaannya tidak lepas dari salah satu dari empat bagian.
أحدهما أَنْ يَفْتِقَهَا قَبْلَ الْتِحَامِ ظَاهِرِهَا وَبَاطِنِهَا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي الْجَائِفَةِ وَيُعَزَّرُ أَدَبًا لِلْأَذَى وَيُغْرَمُ قِيمَةَ الْخَيْطِ وَأُجْرَةَ مِثْلِ الْخِيَاطَةِ
Pertama, jika seseorang membukanya sebelum bagian luar dan dalamnya menyatu, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya dalam kasus luka yang menembus (al-jā’ifah), namun ia dikenai ta‘zīr sebagai pelajaran atas perbuatannya yang menyakiti, serta diwajibkan membayar ganti rugi senilai benang dan upah jahit yang sepadan.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَفْتِقَهَا بَعْدَ الْتِحَامِ ظَاهِرِهَا وَبَاطِنِهَا فَقَدْ صَارَ جَائِفًا وَعَلَيْهِ دِيَةُ الْجَائِفَةِ وَإِنْ كَانَتْ فِي مَحَلِّ جَائِفَةٍ مُتَقَدِّمَةٍ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بَعْدَ الِانْدِمَالِ كَحَالِهَا قَبْلَ الْجِنَايَةِ كَمَا لَوْ أَوْضَحَ رَأْسَهُ فَانْدَمَلَ ثُمَّ عَادَ فَأَوْضَحَهُ فِي مَوْضِعِ الِانْدِمَالِ لَزِمَهُ دِيَةُ مُوضِحَةٍ ثَانِيَةٍ وَيُغْرَمُ قِيمَةَ الْخَيْطِ وَلَا يُغْرَمُ أُجْرَةَ الْمِثْلِ لدخول أجرة فتقها في دية جائفتها بخلافه لَوْ لَمْ يَغْرَمْ دِيَتَهَا
Bagian kedua adalah apabila seseorang membelahnya setelah permukaan luar dan dalamnya telah menyatu, maka ia telah menjadi jâ’ifah dan wajib baginya membayar diyat jâ’ifah. Meskipun terjadi pada tempat jâ’ifah yang sebelumnya, karena setelah sembuh, keadaannya kembali seperti sebelum terjadinya jinâyah, sebagaimana jika seseorang melukai kepala orang lain hingga tampak tulangnya, lalu sembuh, kemudian ia melukainya lagi di tempat yang telah sembuh itu, maka ia wajib membayar diyat mudhîhah yang kedua. Ia juga wajib mengganti nilai benang jahitan, namun tidak wajib membayar upah sepadan, karena upah untuk membelahnya telah termasuk dalam diyat jâ’ifah, berbeda halnya jika ia tidak membayar diyatnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَلْتَحِمَ بَاطِنُهَا وَلَا يَلْتَحِمَ ظَاهِرُهَا فَيَلْزَمُهُ حُكُومَةٌ فِي فَتْحِ مَا الْتَحَمَ مِنْ بَاطِنِهَا وَيَغْرَمُ قِيمَةَ الْخَيْطِ وَأُجْرَةَ مِثْلِ الْخِيَاطَةِ لِأَنَّهُ مَا التزم في محله غرماً سواء
Bagian ketiga adalah apabila bagian dalamnya menyatu tetapi bagian luarnya tidak menyatu, maka wajib baginya membayar ḥukūmah atas pembukaan bagian dalam yang telah menyatu, serta mengganti nilai benang dan upah menjahit sepadan, karena apa yang menjadi tanggungannya di tempat tersebut tetap harus diganti, baik sama maupun berbeda.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَلْتَحِمَ ظَاهِرُهَا وَلَا يَلْتَحِمَ بَاطِنُهَا فَتَلْزَمُهُ حُكُومَةٌ فِي فَتْحِ مَا الْتَحَمَ مِنْ ظَاهِرِهَا وَيَغْرَمُ قِيمَةَ الْخَيْطِ وَلَا يُغْرَمُ أُجْرَةَ الْخِيَاطَةِ لِدُخُولِهِ فِي حُكُومَةِ مَحَلِّهِ
Bagian keempat adalah apabila bagian luar luka menyatu, tetapi bagian dalamnya tidak menyatu, maka wajib baginya membayar ḥukūmah atas pembukaan bagian luar yang telah menyatu, dan ia harus mengganti nilai benang, namun tidak wajib membayar upah jahitannya karena sudah termasuk dalam ḥukūmah pada tempatnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا جَرَحَهُ نَافِذَةً وَالنَّافِذَةُ أَنْ يَجْرَحَهُ بِسَهْمٍ أَوْ سِنَانٍ فَيَدْخُلُ فِي ظَهْرِهِ وَيَخْرُجُ مِنْ بَطْنِهِ أَوْ يَدْخُلُ فِي بَطْنِهِ وَيَخْرُجُ مِنْ ظَهْرِهِ أَوْ يَنْفُذُ مِنْ أَحَدِ خَصْرَيْهِ إِلَى الْآخَرِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ أَنَّ النَّافِذَةَ جَائِفَتَانِ وَيَلْزَمُهُ فِيهِمَا ثُلُثَا الدِّيَةِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَلْزَمُهُ دِيَةُ جَائِفَةٍ فِي الْوُصُولِ إِلَى الْجَوْفِ وَحُكُومَةٌ فِي النُّفُوذِ مِنْهُ وَبِهِ قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا لِأَنَّ الْجَائِفَةَ مَا وَصَلَتْ إِلَى الْجَوْفِ وَالنَّافِذَةُ خَارِجَةٌ مِنْهُ فَكَانَتْ أَقَلَّ مِنَ الْجَائِفَةِ وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَضَى عَلَى رَجُلٍ رَمَى رَجُلًا بِسَهْمٍ فَأَنْفَذَهُ بِثُلُثَيِ الدِّيَةِ وَلَمْ يَظْهَرْ لَهُ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا وَلِأَنَّ مَا خَرَقَ حِجَابَ الْجَوْفِ كَانَ جَائِفَةً كَالدَّاخِلَةِ فَإِنْ قَطَعَ سَهْمَ النَّافِذَةِ بِنُفُوذِهِ فِي الْجَوْفِ بَعْضَ حَشَوْتِهِ كَانَ عَلَيْهِ مَعَ دِيَةِ الْجَائِفَتَيْنِ حُكُومَةٌ فيما قطع من حشوته
Jika seseorang melukai orang lain dengan luka tembus—yakni melukainya dengan anak panah atau tombak sehingga masuk dari punggung dan keluar dari perut, atau masuk dari perut dan keluar dari punggung, atau menembus dari salah satu sisi pinggang ke sisi lainnya—maka menurut mazhab Syafi‘i dan mayoritas pengikutnya, luka tembus itu dihitung sebagai dua jaifah dan pelakunya wajib membayar dua pertiga diyat. Abu Hanifah berpendapat, pelaku wajib membayar diyat satu jaifah untuk luka yang sampai ke rongga tubuh, dan hukūmah untuk luka yang menembus keluar, dan sebagian ulama kami juga berpendapat demikian. Sebab, jaifah adalah luka yang sampai ke rongga tubuh, sedangkan luka tembus keluar dari rongga, sehingga nilainya lebih ringan dari jaifah. Namun, pendapat ini keliru berdasarkan riwayat dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memutuskan dalam kasus seseorang yang melempar orang lain dengan anak panah hingga menembus tubuhnya, maka ia dihukum membayar dua pertiga diyat, dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya, sehingga itu menjadi ijmā‘. Selain itu, setiap luka yang menembus rongga tubuh dihukumi sebagai jaifah seperti halnya luka yang masuk ke dalam. Jika anak panah luka tembus itu ketika menembus rongga tubuh juga memotong sebagian isi rongga, maka selain membayar diyat dua jaifah, pelaku juga wajib membayar hukūmah atas bagian isi rongga yang terpotong.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي الْأُذُنَيْنِ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada kedua telinga terdapat diyat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَقَالَ مَالِكٌ فِيهِمَا حُكُومَةٌ لِاخْتِصَاصِهِمَا بِالْجَمَالِ دُونَ الْمَنْفَعَةِ فَكَانَا كَالْيَدَيْنِ الشَّلَّاوَيْنِ وَهَذَا فَاسِدٌ لِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ وَفِي الْأُذُنَيْنِ الدِّيَةُ وَلِأَنَّهُمَا عُضْوَانِ يَجْتَمِعُ فِيهِمَا مَنْفَعَةٌ وَجَمَالٌ فَوَجَبَ أَنْ تَكْمُلَ فِيهِمَا الدِّيَةُ كَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ فَإِنْ قِيلَ الْمَنْفَعَةُ فِيهِمَا مَفْقُودَةٌ
Al-Mawardi berkata, dan Malik berpendapat bahwa pada keduanya (telinga) terdapat hukumah karena keduanya hanya memiliki keistimewaan pada keindahan, bukan pada manfaat, sehingga keduanya seperti dua tangan yang lumpuh. Namun, pendapat ini rusak (tidak benar) karena riwayat ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam suratnya kepada penduduk Yaman: “Pada kedua telinga ada diyat.” Selain itu, karena keduanya adalah dua anggota tubuh yang mengandung manfaat dan keindahan sekaligus, maka wajib sempurna diyat pada keduanya sebagaimana pada kedua tangan dan kedua kaki. Jika dikatakan bahwa manfaat pada keduanya tidak ada…
قِيلَ إِنَّ مَنْفَعَتَهُمَا مَوْجُودَةٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى مَا خَلَقَ الْأَعْضَاءَ عَبَثًا وَلَا قَدَّرَهَا إِلَّا لِحِكْمَةٍ وَمَنْفَعَةٍ وَمَنْفَعَةُ الْأُذُنِ جَمْعُ الصَّوْتِ حَتَّى يَلِجَ إِلَيْهَا فَيَصِلُ إِلَى السَّمْعِ وَهَذَا أَكْبَرُ الْمَنَافِعِ
Dikatakan bahwa manfaat keduanya itu ada, karena Allah Ta‘ala tidak menciptakan anggota tubuh secara sia-sia dan tidak menentukannya kecuali untuk suatu hikmah dan manfaat. Manfaat telinga adalah mengumpulkan suara hingga masuk ke dalamnya, lalu sampai kepada pendengaran, dan ini adalah manfaat yang paling besar.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الدِّيَةِ فِيهِمَا فَتَكْمُلُ الدية إذا استوصلنا صَغُرَتِ الْأُذُنَانِ أَوْ كَبُرَتَا وَالْمَثْقُوبَةُ وَذَاتُ الْخُرْمِ مُسَاوِيَةٌ لِغَيْرِ ذَاتِ الثُّقْبِ وَالْخُرْمِ إِذَا لَمْ يَذْهَبْ شَيْءٌ مِنَ الْأُذُنِ بِالثَّقْبِ وَالْخَرْمِ فَإِنْ أَذْهَبْ شَيْئًا مِنْهَا سَقَطَ مِنْ دِيَتِهَا بِقَدْرِ الذَّاهِبِ وَإِذَا قَطَعَ إِحْدَى الْأُذُنَيْنِ كَانَ فِيهَا نِصْفُ الدِّيَةِ يُمْنَى كَانَتْ أَوْ يُسْرَى كَالْيَدَيْنِ فَإِنْ قَطَعَ بَعْضَ أُذُنِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ دِيَتِهَا بِقِسْطِ مَا قَطَعَ مِنْهَا مِنْ رُبُعٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ نِصْفٍ سَوَاءٌ قَطَعَ مِنْ أَعْلَى أَوْ أَسْفَلَ وَلَا اعْتِبَارَ بِزِيَادَةِ الْجَمَالِ وَالْمَنْفَعَةِ فِي أَحَدِ النِّصْفَيْنِ كَمَا تَسْتَوِي دِيَاتُ الْأَصَابِعِ وَالْأَسْنَانِ مَعَ اخْتِلَافِ مَنَافِعِهِمَا وَسَوَاءٌ قَطَعَ أُذُنَ سَمِيعٍ أَوْ أَصَمَّ لِأَنَّ مَحَلَّ السَّمْعِ فِي الصِّمَاخِ لَا فِي الْأُذُنِ لِبَقَاءِ السَّمْعِ بَعْدَ قَطْعِهِمَا وَخَالَفَ حُلُولَ الْبَصَرِ فِي الْعَيْنِ وَحُلُولَ حَرَكَةِ الْكَلَامِ فِي اللِّسَانِ
Apabila telah tetap kewajiban membayar diyat pada keduanya (kedua telinga), maka diyat menjadi sempurna jika kedua telinga itu utuh, baik kecil maupun besar. Telinga yang berlubang atau memiliki lubang sama nilainya dengan telinga yang tidak berlubang, selama tidak ada bagian telinga yang hilang karena lubang tersebut. Jika ada bagian telinga yang hilang akibat lubang itu, maka nilai diyatnya berkurang sesuai dengan bagian yang hilang. Jika seseorang memotong salah satu telinga, maka baginya setengah diyat, baik telinga kanan maupun kiri, sebagaimana pada kedua tangan. Jika ia memotong sebagian telinga, maka ia wajib membayar diyat sesuai dengan bagian yang dipotong, apakah seperempat, sepertiga, atau setengah, baik yang dipotong dari atas maupun bawah. Tidak diperhitungkan tambahan keindahan atau manfaat pada salah satu bagiannya, sebagaimana diyat jari-jari dan gigi itu sama meskipun manfaatnya berbeda-beda. Sama saja apakah yang dipotong adalah telinga orang yang dapat mendengar atau tuli, karena tempat pendengaran ada di liang telinga, bukan di telinga luar, sebab pendengaran tetap ada setelah telinga luar dipotong. Hal ini berbeda dengan letak penglihatan pada mata dan letak kemampuan berbicara pada lidah.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا جَنَى عَلَى أُذُنَيْهِ فَاسْتَحْشَفَتَا وَصَارَ بِهِمَا مِنَ الْيُبْسِ وَعَدَمِ الْأَلَمِ مَا بِالْيَدَيْنِ مِنَ الشَّلَلِ فَفِيهِ قَوْلَانِ
Dan jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap kedua telinganya sehingga keduanya menjadi kaku dan mengalami kekeringan serta tidak ada rasa sakit, sebagaimana kondisi tangan yang mengalami kelumpuhan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً كَمَا يَلْزَمُهُ فِي شَلَلِ الْيَدَيْنِ الدِّيَةُ
Salah satunya wajib membayar diyat secara penuh, sebagaimana ia juga wajib membayar diyat dalam kasus lumpuh kedua tangan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي عَلَيْهِ حُكُومَةٌ لِبَقَاءِ مَنَافِعِهِمَا بَعْدَ الشَّلَلِ وَالِاسْتِحْشَافِ وَعَدَمُ مَنَافِعِ الْيَدِ بِالشَّلَلِ سَوَاءٌ فَلَوْ قُطِعَتِ الْأُذُنُ بَعْدَ اسْتِحْشَافِهَا كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa dikenakan ḥukūmah karena masih adanya manfaat dari keduanya setelah mengalami kelumpuhan dan kehilangan kepekaan, dan tidak adanya manfaat tangan akibat kelumpuhan adalah sama. Maka jika telinga dipotong setelah kehilangan kepekaannya, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا فِيهِمَا حُكُومَةٌ إِذَا قِيلَ فِي اسْتِحْشَافِهِمَا الدِّيَةُ كَالْيَدِ الشَّلَّاءِ إِذَا قُطِعَتْ
Salah satunya di antara keduanya terdapat ḥukūmah, apabila dikatakan dalam penetapan nilainya adalah diyat, seperti tangan yang lumpuh apabila dipotong.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِيهَا الدِّيَةُ إِذَا قِيلَ فِي الِاسْتِحْشَافِ حُكُومَةٌ وَلَا يَجْتَمِعُ فِيهَا دِيَتَانِ إِحْدَاهُمَا بِالِاسْتِحْشَافِ وَالْأُخْرَى بِالْقَطْعِ وَلَا حُكُومَتَانِ وَيَجْتَمِعُ فِيهِمَا دِيَةٌ وَحُكُومَةٌ فَإِنْ أُوجِبَتِ الدِّيَةُ فِي الِاسْتِحْشَافِ كَانَتِ الْحُكُومَةُ فِي الْقَطْعِ وَإِنْ أُوجِبَتِ الْحُكُومَةُ فِي الِاسْتِحْشَافِ كَانَتِ الدِّيَةُ فِي الْقَطْعِ
Pendapat kedua dalam masalah ini adalah adanya diyat jika dalam kasus istihsyaf ditetapkan hukumah, dan tidak boleh berkumpul dua diyat sekaligus, salah satunya karena istihsyaf dan yang lainnya karena pemotongan, begitu pula tidak boleh berkumpul dua hukumah. Namun, boleh berkumpul antara diyat dan hukumah. Jika diyat diwajibkan dalam kasus istihsyaf, maka hukumah berlaku pada pemotongan; dan jika hukumah diwajibkan dalam kasus istihsyaf, maka diyat berlaku pada pemotongan.
وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ فِي الْحَالَيْنِ إِلَّا حُكُومَةُ إِحْدَاهِمَا بِالِاسْتِحْشَافِ وَالْأُخْرَى بِالْقَطْعِ تَسْتَوْفِي بِالْحُكُومَةِ جَمِيعَ الدِّيَةِ لَا يَجُوزُ نُقْصَانُهَا وَيَجُوزُ زِيَادَتُهَا وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يَجْرِيَ عَلَى إِحْدَى الْحُكُومَتَيْنِ حُكْمُ الْجِنَايَةِ عَلَى الصِّحَّةِ وَذَلِكَ مُوجِبٌ لِكَمَالِ الدِّيَةِ
Sebagian ulama kami berpendapat bahwa dalam kedua keadaan tersebut tidak wajib kecuali hukumah; salah satunya dengan perkiraan (istihsyāf) dan yang lainnya dengan kepastian (qat‘), di mana seluruh diyat dapat dipenuhi dengan hukumah, tidak boleh dikurangi, namun boleh ditambah. Pendapat ini batil, karena harus ada salah satu dari dua hukumah yang berlaku atas hukum jinayah secara sah, dan hal itu mewajibkan sempurnanya diyat.
فَأَمَّا إِذَا جَنَى عَلَى أُذُنِهِ فَاسْوَدَّ لَوْنُهَا فَفِيهَا حُكُومَةٌ كَمَا لَوْ جَنَى عَلَى يَدِهِ لِأَنَّ سَوَادَ اللَّوْنِ فِي الْأَبْيَضِ شَيْنٌ وَكَذَلِكَ بَيَاضُ اللَّوْنِ فِي الْأَسْوَدِ شَيْنٌ وَالْحُكُومَةُ فِي الْحَالَيْنِ وَاجِبَةٌ وَإِنْ كَانَتِ الْمَنَافِعُ بَاقِيَةً
Adapun jika seseorang melakukan tindak pidana pada telinganya sehingga warnanya menjadi hitam, maka dikenakan ḥukūmah, sebagaimana jika melakukan tindak pidana pada tangannya. Sebab, perubahan warna menjadi hitam pada orang berkulit putih adalah cacat, demikian pula perubahan warna menjadi putih pada orang berkulit hitam adalah cacat. Dalam kedua keadaan tersebut, ḥukūmah tetap wajib meskipun fungsi anggota tubuh masih tetap ada.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي السَّمْعِ الدِّيَةُ وَيُتَغَفَّلُ وَيُصَابُ بِهِ فَإِنْ أَجَابَ عُرِفَ أَنَّهُ يَسْمَعُ وَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ قَوْلُهُ وَإِنْ لَمْ يُجِبْ عِنْدَ غَفَلَاتِهِ وَلَمْ يَفْزَعْ إِذَا صِيحَ بِهِ حَلَفَ لَقَدْ ذَهَبَ سَمْعُهُ وَأَخَذَ الدِّيَةَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada pendengaran terdapat diyat, dan seseorang bisa saja lengah atau terkena sesuatu pada pendengarannya. Jika ia merespons, maka diketahui bahwa ia masih bisa mendengar, dan tidak diterima pengakuannya (bahwa ia tuli). Namun jika ia tidak merespons ketika sedang lengah dan tidak terkejut ketika dipanggil dengan suara keras, maka ia boleh bersumpah bahwa pendengarannya telah hilang dan ia berhak menerima diyat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا جَنَى عَلَيْهِ فَأَذْهَبَ سَمْعَهُ إِمَّا بِفِعْلٍ بَاشَرَ بِهِ جَسَدَهُ أَوْ بِإِحْدَاثِ صَوْتٍ هَائِلٍ خَرَقَ الْعَادَةَ حَتَّى ذَهَبَ بِهِ السَّمْعُ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَهُ مُبَاشَرَةٌ فَالدِّيَةُ فِي الْحَالَيْنِ وَاجِبَةٌ لِأَنَّ الصَّوْتَ الْهَائِلَ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَهُ مُبَاشَرَةٌ قَدْ يُؤَثِّرُ فِي ذَهَابِ السَّمْعِ مَا تُؤَثِّرُهُ الْمُبَاشَرَةُ
Al-Mawardi berkata: Jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap orang lain sehingga menyebabkan hilangnya pendengaran, baik dengan perbuatan yang langsung mengenai tubuhnya atau dengan menimbulkan suara keras yang luar biasa hingga menyebabkan hilangnya pendengaran, meskipun tanpa kontak langsung, maka diyat wajib dibayarkan dalam kedua keadaan tersebut. Sebab, suara keras yang luar biasa, meskipun tanpa kontak langsung, dapat berpengaruh terhadap hilangnya pendengaran sebagaimana pengaruh kontak langsung.
وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ الدِّيَةِ الْكَامِلَةِ فِي ذَهَابِ السَّمْعِ رِوَايَةُ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ وَفِي السَّمْعِ الدِّيَةُ
Dalil tentang wajibnya membayar diyat secara penuh atas hilangnya pendengaran adalah riwayat dari Mu‘ādz bin Jabal bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Pada pendengaran itu ada diyat.”
وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا رَمَى رَأْسَ رَجُلٍ بِحَجَرٍ فِي زَمَانِ عُمَرَ فَأَذْهَبَ سَمْعَهُ وَعَقْلَهُ وَلِسَانَهُ وَذَكَرَهُ فَقَضَى عَلَيْهِ عُمَرُ بِأَرْبَعِ دِيَاتٍ وَلِأَنَّ السَّمْعَ مِنْ أَشْرَفِ الْحَوَاسِّ فَأَشْبَهَ حَاسَّةَ الْبَصَرِ وَاخْتُلِفَ فِي أَيِّهِمَا أَفْضَلُ فَقَالَ قَوْمٌ حَاسَّةُ الْبَصَرِ أَفْضَلُ؛ لِأَنَّ بِهِ تُدْرَكُ الْأَعْمَالُ وَقَالَ آخَرُونَ حَاسَّةُ السَّمْعِ أَفْضَلُ لِأَنَّ بِهِ يُدْرَكُ الْفَهْمُ وَقَدْ ذَكَرَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ فَقَرَنَهُ بِذَهَابِ الْبَصَرِ لِأَنَّ بِذَهَابِ الْبَصَرِ فَقَدَ النَّظَرَ وَبِذَهَابِ السَّمْعِ فَقَدَ الْعَقْلَ فَقَالَ تَعَالَى فِي الْبَصَرِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْظُرُ إِلَيْكَ أَفَأَنْتَ تَهْدِي الْعُمْيَ وَلَوْ كَانُوا لا يُبْصِرُونَ يونس 43 وَقَالَ فِي السَّمْعِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ أَفَأَنْتَ تُسْمِعُ الصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا لا يَعْقِلُونَ يونس 42
Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang melempar kepala seorang laki-laki lain dengan batu pada masa Umar, sehingga menyebabkan hilangnya pendengaran, akal, lidah, dan kemaluannya. Maka Umar memutuskan atas pelaku tersebut untuk membayar empat diyat. Sebab, pendengaran termasuk salah satu indra yang paling mulia, sehingga ia serupa dengan indra penglihatan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai mana yang lebih utama di antara keduanya. Sebagian orang berpendapat bahwa indra penglihatan lebih utama, karena dengan penglihatan seseorang dapat memahami perbuatan. Sementara yang lain berpendapat bahwa indra pendengaran lebih utama, karena dengan pendengaran seseorang dapat memahami makna. Allah Ta‘ala telah menyebutkan keduanya dalam Kitab-Nya, dan mengaitkan hilangnya pendengaran dengan hilangnya penglihatan, karena dengan hilangnya penglihatan seseorang kehilangan kemampuan melihat, dan dengan hilangnya pendengaran seseorang kehilangan akal. Allah Ta‘ala berfirman tentang penglihatan: “Dan di antara mereka ada orang yang memandangmu; apakah kamu dapat memberi petunjuk kepada orang-orang buta sekalipun mereka tidak dapat melihat?” (Yunus: 43). Dan Dia berfirman tentang pendengaran: “Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu; apakah kamu dapat memperdengarkan kepada orang-orang tuli sekalipun mereka tidak berakal?” (Yunus: 42).
فَصْلٌ
Fasal
وَالسَّمْعُ لَا يُرَى فَيُرَى ذَهَابُهُ فَلَمْ يَكُنْ لِلْبَيِّنَةِ فِيهِ مَدْخَلٌ مَعَ التَّنَازُعِ وَلَكِنْ لَهُ أَمَارَاتٌ تَدُلُّ عَلَيْهِ يُعْلَمُ بِهَا وُجُودُهُ مِنْ عَدَمِهِ فَإِذَا ادَّعَى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ ذَهَابَ سَمْعِهِ فَلِلْجَانِي حَالَتَانِ تَصْدِيقٌ وَتَكْذِيبٌ
Pendengaran tidak dapat dilihat sehingga hilangnya pun tidak dapat disaksikan secara langsung, maka tidak ada ruang bagi bukti (bayyinah) di dalamnya ketika terjadi perselisihan. Namun, ada tanda-tanda yang menunjukkan hal itu, yang dengannya dapat diketahui ada atau tidaknya pendengaran. Jika korban mengaku kehilangan pendengarannya, maka bagi pelaku ada dua kemungkinan: membenarkan atau mendustakan.
فَإِنْ صَدَّقَهُ عَلَى ذَهَابِ سَمْعِهِ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى الِاسْتِظْهَارِ بالأمارات وسأل عَنْهُ عُدُولُ الطِّبِّ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَعُودَ أَمْ لَا فَإِنْ نَفَوْا عَوْدَهُ حُكِمَ لَهُ بِالدِّيَةِ دُونَ الْقِصَاصِ لِتَعَذُّرِ اسْتِيفَائِهِ وَإِنْ جَوَّزُوا عَوْدَهُ إِلَى مُدَّةٍ قَدَّرُوهَا وَجَبَ الِانْتِظَارُ بِالدِّيَةِ إِلَى انْقِضَاءِ تِلْكَ الْمُدَّةِ فَإِنْ عَادَ السَّمْعُ فِيهَا سَقَطَتِ الدِّيَةُ وَإِنْ لَمْ يَعُدْ حَتَّى انْقَضَتِ اسْتَقَرَّ بِهَا ذَهَابُ السَّمْعِ وَاسْتَحَقَّ بِهَا دَفْعَ الدِّيَةِ وَإِنْ كَذَّبَ الْجَانِي عَلَى ذَهَابِ السَّمْعِ اعْتُبِرَ صِدْقُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِتَعَذُّرِ الْبَيِّنَةِ فِيهِ بِالْأَمَارَاتِ الدَّالَّةِ عَلَيْهِ وَذَلِكَ بِأَنْ يُتَغَفَّلَ ثُمَّ يُصَاحُ بِهِ بِأَزْعَجِ صَوْتٍ وَأَهْوَلِهِ يَتَضَمَّنُ إنذار أو تحذير فَإِنْ أُزْعِجَ بِهِ وَالْتَفَتَ لِأَجْلِهِ أَوْ أَجَابَ عَنْهُ دَلَّ عَلَى بَقَاءِ سَمْعِهِ فَصَارَ الظَّاهِرُ مَعَ الْجَانِي فَيَكُونُ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ أَنَّ سَمْعَهُ لَبَاقٍ مَا ذَهَبَ مِنْ جِنَايَتِهِ وَلَوِ اقْتَصَرَ فِي يَمِينِهِ عَلَى أَنَّهُ بَاقِي السَّمْعِ أَجْزَأَ وَلَوِ اقْتَصَرَ عَلَى أَنَّ سَمْعَهُ مَا ذَهَبَ بِجِنَايَتِهِ لَمْ يُجْزِهِ لِأَنَّ الْحَلِفَ عَلَى ذَهَابِ السَّمْعِ وَبَقَائِهِ لَا ذَهَابِهِ بِجِنَايَةِ غَيْرِهِ وَإِنَّمَا حَلَفَ الْجَانِي مع ظهور الأمارة في جنيته لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ إِزْعَاجُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِالصَّوْتِ بِالِاتِّفَاقِ وَإِنْ كَانَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عِنْدَ سَمَاعِ الْأَصْوَاتِ الْمُزْعِجَةِ فِي أَوْقَاتِ غَفَلَاتِهِ غَيْرُ مُنْزَعِجٍ بِهَا دَلَّ ذَلِكَ عَلَى ذَهَابِ سَمْعِهِ فَصَارَ الظَّاهِرُ مَعَهُ فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ فِي ذَهَابِ سَمْعِهِ مِنْ جِنَايَتِهِ فَإِنْ لَمْ يَقُلْ مِنْ جِنَايَتِهِ لَمْ يُحْكَمْ لَهُ بِالدِّيَةِ لِجَوَازِ ذَهَابِهِ بِغَيْرِ جِنَايَتِهِ وَلَزِمَهُ الْيَمِينُ مَعَ وجود الأمارات في جنيته لِجَوَازِ أَنْ يَتَصَنَّعَ لَهَا بِذَهَابِهِ وَجَلَدِهِ وَلَا يُقْتَصَرُ بِهَذِهِ الْأَصْوَاتِ الْمُزْعِجَةِ عَلَى مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ لِجَوَازِ التَّصَنُّعِ وَيَكُونُ ذَلِكَ مِنْ جِهَاتٍ وَفِي أَوْقَاتِ الْخَلَوَاتِ حَتَّى يَتَحَقَّقَ زَوَالَ السَّمْعِ بِهَا فَإِنَّ الطَّمَعَ يَظْهَرُ مِنْهَا فَيَزُولُ مَعَهُ التَّصَنُّعُ
Jika pelaku mengakui hilangnya pendengaran korban, maka tidak perlu mencari bukti tambahan melalui tanda-tanda, dan para dokter yang adil ditanya apakah pendengaran itu mungkin bisa kembali atau tidak. Jika mereka memastikan tidak akan kembali, maka diputuskan baginya untuk mendapatkan diyat tanpa qishash karena tidak mungkin menunaikannya. Namun jika mereka memperkirakan pendengaran bisa kembali dalam jangka waktu tertentu, maka wajib menunggu pembayaran diyat hingga waktu tersebut berakhir. Jika dalam waktu itu pendengaran kembali, maka diyat gugur, dan jika tidak kembali hingga waktu tersebut habis, maka hilangnya pendengaran dianggap tetap dan berhak menerima diyat. Jika pelaku mendustakan hilangnya pendengaran, maka kebenaran korban dipertimbangkan karena sulitnya menghadirkan bukti dalam hal ini, dengan memperhatikan tanda-tanda yang menunjukkan kebenarannya, yaitu dengan cara korban dilalaikan lalu diteriaki dengan suara paling keras dan menakutkan yang mengandung peringatan atau ancaman. Jika ia terkejut karenanya dan menoleh atau menjawab, itu menunjukkan pendengarannya masih ada, sehingga yang tampak adalah kebenaran pelaku, dan dalam hal ini ucapannya diterima dengan sumpah bahwa pendengarannya masih ada dan tidak hilang karena perbuatannya. Jika dalam sumpahnya ia hanya mengatakan bahwa pendengarannya masih ada, itu sudah cukup. Namun jika ia hanya bersumpah bahwa pendengarannya tidak hilang karena perbuatannya, itu tidak cukup, karena sumpah harus atas hilang atau tidaknya pendengaran, bukan atas hilangnya karena perbuatan orang lain. Pelaku hanya bersumpah jika ada tanda-tanda yang menunjukkan keterlibatannya, karena mungkin saja korban hanya pura-pura terkejut karena suara tersebut secara kebetulan. Jika korban tidak terkejut mendengar suara keras saat sedang lengah, itu menunjukkan pendengarannya memang hilang, sehingga yang tampak adalah kebenaran korban, dan ucapannya diterima dengan sumpah bahwa pendengarannya hilang karena perbuatan pelaku. Jika ia tidak mengatakan karena perbuatan pelaku, maka tidak diputuskan baginya diyat, karena mungkin saja pendengarannya hilang bukan karena perbuatan pelaku, dan ia wajib bersumpah jika ada tanda-tanda yang menunjukkan keterlibatan pelaku, karena mungkin saja ia berpura-pura kehilangan pendengaran dan pura-pura tegar. Tidak cukup hanya sekali menguji dengan suara keras, karena mungkin saja ia berpura-pura, dan harus dilakukan dari berbagai arah dan pada saat-saat sepi hingga benar-benar dipastikan hilangnya pendengaran, karena keinginan untuk mendapatkan diyat bisa terlihat dari sikapnya, sehingga kepura-puraannya pun hilang.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا ادَّعَى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ صَمَمَ إِحْدَى أذنيه سدت سميعته بِمَا يَمْنَعُ وُصُولَ الصَّوْتِ فِيهَا وَأُطْلِقَتْ ذَاتُ الْجِنَايَةِ وَأُزْعِجَ فِي غَفَلَاتِهِ بِالْأَصْوَاتِ الْهَائِلَةِ فَإِنِ انْزَعَجَ بِهَا كَانَ سَمْعُهُ بَاقِيًا بِظَاهِرِ الْأَمَارَةِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ فِي بَقَائِهِ قَوْلَ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ فَإِنْ لَمْ يَنْزَعِجْ بِهَا كَانَ سَمْعُهَا ذَاهِبًا بِظَاهِرِ الْأَمَارَةِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ فِي ذَهَابِهِ قَوْلَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ وَيَكُونُ عَلَى الجاني نصف الدية لأنه قد أذهب بضمها نِصْفَ مَنْفَعَةٍ فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ تَسْمَعُ الْأُخْرَى مَا كَانَ يُدْرِكُهُ بِهَا
Jika korban mengaku tuli pada salah satu telinganya, maka pendengarannya pada telinga tersebut ditutup dengan sesuatu yang menghalangi suara masuk ke dalamnya, lalu telinga yang diduga terkena tindak pidana dilepaskan, dan korban dikejutkan dalam keadaan lengah dengan suara-suara yang keras. Jika ia terkejut karena suara itu, berarti pendengarannya masih ada menurut indikasi lahiriah, sehingga dalam hal ini yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pelaku dengan sumpahnya. Namun jika ia tidak terkejut, berarti pendengarannya telah hilang menurut indikasi lahiriah, sehingga yang dijadikan pegangan adalah pernyataan korban dengan sumpahnya, dan pelaku wajib membayar setengah diyat karena ia telah menghilangkan setengah manfaat pendengaran. Jika ada yang berkata, “Bukankah telinga yang lain masih dapat mendengar apa yang sebelumnya dapat didengar dengan telinga tersebut?”
قِيلَ لَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنَ الِاسْتِحْقَاقِ لِلدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ الْإِدْرَاكُ بَاقِيًا كَمَا لَوْ أَذْهَبَ ضَوْءَ إِحْدَى عَيْنَيْهِ لَزِمَهُ دِيَتُهَا وَإِنْ كَانَ يُدْرِكُ بِالْبَاقِيَةِ مَا كَانَ يُدْرِكُهُ بِهِمَا
Dikatakan bahwa hal itu tidak menghalangi hak untuk mendapatkan diyat, meskipun kemampuan persepsi masih ada, sebagaimana jika seseorang menghilangkan penglihatan salah satu mata, maka ia tetap wajib membayar diyatnya, meskipun dengan mata yang tersisa orang tersebut masih dapat melihat seperti saat ia memiliki kedua matanya.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوِ ادَّعَى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ وَقْرًا فِي إِحْدَى أُذُنَيْهِ ذَهَبَ بِهِ بَعْضُ سَمْعِهَا اعْتُبِرَ مَا ذَهَبَ مِنْ قَدْرِ سَمْعِهَا تُصَمُّ ذَاتُ الْجِنَايَةِ وَسَدَّهَا وَإِطْلَاقُ السَّلِيمَةِ وَأَنْ يُنَادَى مِنْ بُعْدٍ فَإِذَا سَمِعَ الصَّوْتَ بَعْدَ الْمُنَادِي حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى أَقْصَرِ غَايَةٍ يَسْمَعُ صَوْتَهُ فِيهَا ثم صمت السميعة وَفُتِحَتْ ذَاتُ الْجِنَايَةِ وَنُودِيَ مِنْ ذَلِكَ الْمَكَانِ بِمِثْلِ ذَلِكَ الصَّوْتِ فَإِنْ سَمِعَهُ كَانَ سَمْعُهُمَا بَاقِيًا بِحَالِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْهُ قَرُبَ الْمُنَادِي مِنْهُ حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى حَيْثُ يَسْمَعُ صَوْتَهُ وَيُعْتَبَرُ مَا بَيْنَ الْمَسَافَتَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ دَفْعًا يَزُولُ مَعَهَا التَّصَنُّعُ وَيَتَّفِقُ فِيهَا النِّدَاءُ فَإِنِ اخْتَلَفَ عَمِلَ عَلَى أَقَلِّ الْوُجُوبِ فَإِنْ كَانَ بَيْنَ مَسَافَتَيِ السَّمِيعَةِ وَذَاتِ الْوَقْرِ النِّصْفُ كَانَ عَلَيْهِ رُبْعُ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَدْ أَذْهَبَ رُبْعَ سَمْعِهِ وَإِنْ كَانَ الثُّلُثُ كَانَ عَلَيْهِ سُدُسُ الدِّيَةِ
Jika korban mengaku mengalami gangguan pendengaran pada salah satu telinganya sehingga sebagian pendengarannya hilang, maka yang menjadi acuan adalah seberapa besar pendengaran yang hilang dari telinga tersebut. Caranya adalah dengan menutup telinga yang mengalami cedera dan menutupnya rapat, lalu membiarkan telinga yang sehat terbuka, kemudian seseorang memanggil dari kejauhan. Jika suara masih terdengar setelah pemanggil berjalan menjauh hingga mencapai jarak terpendek di mana suaranya masih terdengar, lalu telinga yang sehat ditutup dan telinga yang cedera dibuka, kemudian dipanggil dari tempat yang sama dengan suara yang serupa, maka jika ia masih bisa mendengarnya, berarti pendengaran kedua telinga masih normal. Namun jika tidak mendengarnya, pemanggil didekatkan hingga sampai pada jarak di mana suara bisa didengar. Yang menjadi acuan adalah selisih antara kedua jarak tersebut, setelah dilakukan dengan cara yang dapat menghilangkan rekayasa dan panggilan dilakukan dengan cara yang sama. Jika terdapat perbedaan, maka diambil yang paling sedikit sebagai ukuran kewajiban. Jika jarak antara pendengaran telinga sehat dan telinga yang mengalami gangguan adalah setengahnya, maka pelaku wajib membayar seperempat diyat, karena ia telah menghilangkan seperempat pendengarannya. Jika sepertiganya, maka wajib membayar seperenam diyat.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنِ ادَّعَى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ وَقْرًا فِي أُذُنَيْهِ مَعًا ذَهَبَ بِهِ بَعْضُ سَمْعِهِ مِنْهَا فَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ مَدَى سَمَاعِهِ قَبْلَ وَقْتِ الْجِنَايَةِ اعْتُبِرَ مَدَى سَمَاعِهِ بَعْدَ الْجِنَايَةِ وَاسْتَحَقَّ مِنْ دِيَةِ السَّمْعِ بِقَدْرِ مَا بَيْنَ الْمَسَافَتَيْنِ مِنْ رُبُعٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ نِصْفٍ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ مَدَى سَمَاعِهِ فِي حَالِ الصِّحَّةِ فَلَا سَبِيلَ إِلَى تَحْقِيقِ الْمُسْتَحَقِّ مِنَ الدِّيَةِ وَيُعْطَى فِي الذَّاهِبِ مِنْهُ حُكُومَةً يُقَدِّرُهَا الْحَاكِمُ بِاجْتِهَادِهِ
Jika korban mengaku mengalami gangguan pendengaran pada kedua telinganya sehingga sebagian pendengarannya hilang, maka jika sebelumnya diketahui sejauh mana pendengarannya sebelum terjadinya tindak pidana, maka yang dijadikan acuan adalah sejauh mana pendengarannya setelah terjadinya tindak pidana, dan ia berhak mendapatkan bagian dari diyat pendengaran sesuai dengan selisih antara kedua jarak tersebut, baik seperempat, sepertiga, atau setengah. Namun jika tidak diketahui sejauh mana pendengarannya dalam keadaan sehat, maka tidak mungkin menentukan secara pasti bagian diyat yang berhak ia terima, dan untuk bagian yang hilang darinya diberikan hukumah yang nilainya ditetapkan oleh hakim berdasarkan ijtihadnya.
فَلَوْ قَالَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَنَا أَعْرِفُ قَدْرَ مَا ذَهَبَ مِنْ سَمْعِي وَهُوَ النِّصْفُ أُحْلِفَ عَلَى دَعْوَاهُ وَحُكِمَ بِقَوْلِهِ لِأَنَّهُ لَا يُوصَلُ إِلَى مَعْرِفَتِهِ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ فَقُبِلَ قَوْلُهُ فِيهِ مَعَ يَمِينِهِ كَمَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْمَرْأَةِ فِي حَيْضِهَا
Maka jika korban berkata, “Saya mengetahui seberapa banyak pendengaran saya yang hilang, yaitu setengahnya,” maka ia disuruh bersumpah atas pengakuannya itu dan diputuskan berdasarkan ucapannya, karena tidak mungkin mengetahui hal itu kecuali dari dirinya sendiri. Maka ucapannya diterima dalam hal ini disertai sumpahnya, sebagaimana diterima ucapan perempuan tentang haidnya.
وَلَوِ ادَّعَى الْجَانِي عَوْدَ السَّمْعِ بَعْدَ ذَهَابِهِ وَأَنْكَرَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عَوْدَهُ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ وَهُوَ عَلَى حَقِّهِ مِنَ الدِّيَةِ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ الْيَمِينِ فَلَا يَمِينَ لَهُ عَلَى الْوَرَثَةِ إِنْ لَمْ يَدَّعِ عِلْمَهُمْ وَإِنِ ادَّعَاهُ أَحْلَفَهُمْ بِاللَّهِ مَا يَعْلَمُونَ سَمِعَ بَعْدَ ذَهَابِ سَمْعِهِ
Jika pelaku kejahatan mengaku bahwa pendengaran korban telah kembali setelah sebelumnya hilang, namun korban membantah bahwa pendengarannya telah kembali, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan korban disertai sumpahnya, dan ia tetap berhak atas diyat. Jika korban meninggal sebelum bersumpah, maka tidak ada sumpah atas ahli warisnya kecuali jika pelaku mengaku bahwa mereka mengetahui kembalinya pendengaran tersebut. Jika pelaku mengaku demikian, maka para ahli waris diminta bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengetahui pendengaran korban telah kembali setelah sebelumnya hilang.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا قَطَعَ أُذُنَيْهِ فَذَهَبَ بِقَطْعِهِمَا سَمْعُهُ لَزِمَتْهُ دِيَتَانِ
Jika seseorang memotong kedua telinga orang lain sehingga akibat pemotongan itu pendengarannya hilang, maka ia wajib membayar dua diyat.
إِحْدَاهُمَا فِي الْأُذُنَيْنِ
Salah satunya pada kedua telinga.
وَالْأُخْرَى فِي السَّمْعِ لِأَنَّهَا جِنَايَةٌ عَلَى مَحَلَّيْنِ فَصَارَتْ كَالْجِنَايَةِ عَلَى عُضْوَيْنِ وَخَالَفَ قَلْعَ الْعَيْنِ إِذَا ذهب ضؤها فَلَمْ تَلْزَمْهُ إِلَّا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ لِأَنَّ مَحَلَّ الضَّوْءِ فِي الْعَيْنِ وَمَحَلَّ السَّمْعِ فِي غَيْرِ الْأُذُنِ وَلِذَلِكَ كَمُلَتِ الدِّيَةُ فِي أُذُنِ الْأَصَمِّ والله أعلم
Adapun yang lain pada pendengaran, karena itu merupakan jinayah (kejahatan) terhadap dua tempat, sehingga menjadi seperti jinayah terhadap dua anggota tubuh. Hal ini berbeda dengan mencabut mata ketika cahayanya telah hilang, maka tidak wajib baginya kecuali satu diyat saja, karena tempat cahaya ada pada mata, sedangkan tempat pendengaran bukan pada telinga. Oleh karena itu, diyat menjadi sempurna pada telinga orang yang tuli. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي ذَهَابِ الْعَقْلِ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Dalam kasus hilangnya akal, dikenakan diyat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا جَنَى عَلَيْهِ فَأَذْهَبَ عَقْلَهُ ضَمِنَهُ بِالدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ وَإِنَّمَا سَقَطَ الْقَوَدُ فِيهِ لِأَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap orang lain sehingga menghilangkan akalnya, maka ia wajib menanggung diyat tanpa dikenai qishāsh. Qishāsh gugur dalam kasus ini karena dua alasan.”
أَحَدُهُمَا اخْتِلَافُ النَّاسِ فِي مَحَلِّهِ فَمِنْ طَائِفَةٍ تَقُولُ محله الدماغ
Salah satunya adalah perbedaan pendapat di kalangan manusia mengenai tempatnya; maka ada sekelompok yang berpendapat bahwa tempatnya adalah otak.
وَأُخْرَى تَقُولُ مَحَلُّهُ الْقَلْبُ
Dan pendapat lain mengatakan bahwa tempatnya adalah di hati.
وَأُخْرَى تَقُولُ مُشْتَرَكٌ فِيهِمَا وَإِنْ كَانَ الْأَصَحُّ مِنْ أَقَاوِيلِهِمْ أَنَّ مَحَلَّهُ الْقَلْبُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا الحج 46 وَلِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنَ الْعُلُومِ
Pendapat lain mengatakan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang dimiliki bersama oleh keduanya, meskipun pendapat yang lebih sahih di antara pendapat-pendapat mereka adalah bahwa tempatnya ada di hati, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami” (QS. al-Hajj: 46), dan karena ia merupakan salah satu jenis ilmu.
وَالثَّانِي تَعَذُّرُ اسْتِيفَائِهِ لِأَنَّهُ يَذْهَبُ يَسِيرَ الْجِنَايَةِ وَلَا يَذْهَبُ بِكَثِيرِهَا فَأَمَّا الدِّيَةُ فَوَاجِبَةٌ فِيهِ عَلَى كَمَالِهَا لِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى الْيَمَنِ فِي الْعَقْلِ الدِّيَةُ
Kedua, sulit untuk memenuhinya karena ia hanya hilang akibat pelanggaran yang ringan dan tidak hilang karena pelanggaran yang berat. Adapun diyat, maka wajib dibayarkan secara penuh berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam suratnya kepada penduduk Yaman tentang diyat: “Diyat itu adalah…”
وَرَوَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي الْعَقْلِ الدِّيَةُ مِائَةً مِنَ الْإِبِلِ
Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ‘aql (diyat): diyat itu seratus ekor unta.
وَقَضَى عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الْمَشْجُوجِ رَأْسُهُ حِينَ ذَهَبَ بِهَا سَمْعُهُ وَعَقْلُهُ وَلِسَانُهُ وَذَكَرُهُ بِأَرْبَعِ دِيَاتٍ وَلِأَنَّ الْعَقْلَ أَشْرَفُ مِنْ حَوَاسِّ الْجَسَدِ كُلِّهَا لِامْتِيَازِهِ بِهِ مِنَ الْحَيَوَانِ الْبَهِيمِ وَفَرْقِهِ بِهِ بَيْنَ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ وَتَوَصُّلِهِ بِهِ إِلَى اخْتِلَافِ الْمَنَافِعِ وَوَقْعِ الْمَضَارِّ وَتَعَلُّقِ التَّكْلِيفِ بِهِ فَكَانَ أَحَقَّ بِكَمَالِ الدِّيَةِ مِنْ جَمِيعِ الْحَوَاسِّ مَعَ تَأْثِيرِ ذَهَابِهِ فِيهَا وَفَقْدِ أَكْثَرِ مَنَافِعِهَا
Umar radhiyallahu ‘anhu memutuskan dalam kasus seseorang yang kepalanya terluka parah hingga menyebabkan hilangnya pendengaran, akal, kemampuan berbicara, dan kemaluannya, maka dikenakan empat diyat. Sebab, akal lebih mulia daripada seluruh indera tubuh karena dengannya manusia dibedakan dari hewan, dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, mampu memperoleh berbagai manfaat dan menghindari mudarat, serta menjadi dasar taklif. Oleh karena itu, akal lebih berhak mendapatkan diyat yang sempurna dibandingkan seluruh indera, apalagi hilangnya akal juga berdampak pada hilangnya fungsi-fungsi indera lainnya dan kebanyakan manfaatnya pun ikut hilang.
فَصْلٌ
Fasal
إِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الدِّيَةِ بِذَهَابِ الْعَقْلِ فَإِنَّمَا يَسْتَحِقُّ فِي الْعَقْلِ الْغَرِيزِيِّ الَّذِي يَتَعَلَّقُ بِهِ التَّكْلِيفُ وَهُوَ الْعِلْمُ بِالْمُدْرِكَاتِ الضَّرُورِيَّةِ فَأَمَّا الْعَقْلُ الْمُكْتَسَبُ الَّذِي هُوَ حُسْنُ التَّقْدِيرِ وَإِصَابَةُ التَّدْبِيرِ وَمَعْرِفَةُ حَقَائِقِ الْأُمُورِ فَلَا دِيَةَ فِيهِ مَعَ بَقَاءِ الْعَقْلِ الْغَرِيزِيِّ وَفِيهِ حُكُومَةٌ لِمَا أَحْدَثَ مِنَ الدَّهَشِ بَعْدَ التَّيَقُّظِ وَالِاسْتِرْسَالِ بَعْدَ التَّحَفُّظِ وَالْغَفْلَةِ بَعْدَ الْفِطْنَةِ يُعْتَبَرُ بِحُكُومَتِهِ قَدْرُ مَا حَدَثَ مِنْ ضَرَرِهِ وَلَا يُبْلَغُ بِهِ كَمَالُ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ تَابِعٌ لِلْعَقْلِ الْغَرِيزِيِّ وَلَا يَتَبَعَّضُ الْعَقْلُ الْغَرِيزِيُّ فِي ذَاتِهِ لِأَنَّهُ مَحْدُودٌ بِمَا لَا يَتَجَزَّأُ فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَذْهَبَ بَعْضُهُ وَيَبْقَى بَعْضُهُ وَلَكِنْ قَدْ يَتَبَعَّضُ زَمَانُهُ فَيَعْقِلُ يَوْمًا وَيُجَنُّ يَوْمًا فَإِنْ تَبَعَّضَ زَمَانُهُ بِالْجِنَايَةِ فَكَانَ يَوْمًا وَيَوْمًا لَزِمَ الْجَانِيَ عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ يَعْقِلُ فِي يَوْمٍ وَيُجَنُّ فِي يَوْمَيْنِ لَزِمَهُ ثُلُثَا دِيَتِهِ
Apabila telah tetap kewajiban membayar diyat karena hilangnya akal, maka yang berhak mendapatkan diyat adalah untuk akal fitri yang dengannya seseorang dikenai taklif, yaitu pengetahuan terhadap hal-hal yang diketahui secara pasti. Adapun akal yang diperoleh, yaitu kemampuan memperkirakan dengan baik, mengambil keputusan yang tepat, dan mengetahui hakikat berbagai perkara, maka tidak ada diyat atasnya selama akal fitri masih ada. Namun, terdapat hukūmah atas apa yang timbul berupa kebingungan setelah sebelumnya waspada, kelengahan setelah sebelumnya berhati-hati, dan kelalaian setelah sebelumnya cerdas. Hukūmah ini mempertimbangkan kadar kerugian yang terjadi, namun tidak sampai pada kadar diyat penuh, karena ia mengikuti akal fitri. Akal fitri sendiri tidak dapat terbagi-bagi dalam dirinya, karena ia terbatas pada sesuatu yang tidak dapat dipecah-pecah, sehingga tidak sah jika sebagian akal fitri hilang dan sebagian lainnya tetap ada. Akan tetapi, masa berfungsinya akal fitri dapat terbagi, sehingga seseorang bisa berakal pada suatu hari dan gila pada hari yang lain. Jika masa berfungsinya akal fitri terbagi akibat tindak pidana, misalnya sehari berakal dan sehari gila, maka pelaku wajib membayar setengah diyat. Jika seseorang berakal satu hari dan gila dua hari, maka pelaku wajib membayar dua pertiga diyat.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْجِنَايَةُ الَّتِي يَزُولُ بِهَا الْعَقْلُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun tindak pidana yang menyebabkan hilangnya akal terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ عَنْ مُبَاشَرَةٍ
Salah satunya adalah harus dilakukan secara langsung.
وَالثَّانِي عَنْ غَيْرِ مُبَاشِرَةٍ
Dan yang kedua adalah tanpa secara langsung.
فَأَمَّا مَا كَانَ عَنْ مُبَاشَرَةٍ فَكَضَرْبَةِ سَيْفٍ أو رمية بحجر أو قرعة بعصى إِمَّا عَلَى رَأْسِهِ أَوْ مَا قَرُبَ مِنْ قَلْبِهِ فَإِذَا ذَهَبَ بِهَا الْعَقْلُ كَانَ عَنْ جِنَايَتِهِ سَوَاءٌ أَثَّرَ ذَلِكَ فِي جَسَدِهِ أَوْ لَمْ يُؤَثِّرْ وَكَذَلِكَ لَوْ لَطَمَهُ بِيَدِهِ أَوْ رَكَلَهُ بِرِجْلِهِ حَتَّى أَزْعَجَهُ بِرَكْلَتِهِ أَوْ لَطْمَتِهِ الَّتِي يَقُولُ عُلَمَاءُ الطِّبِّ إِنَّ مِثْلَهَا يُذْهِبُ الْعَقْلَ كَانَ ذَاهِبًا عَنْ جِنَايَتِهِ وَمَأْخُوذًا بِدِيَتِهِ وَأَمَّا مَا كَانَ عَنْ غَيْرِ مُبَاشَرَةٍ فَكَالْإِشَارَةِ إِلَيْهِ بِسَيْفٍ أَوْ تَقْرِيبِ سَبُعٍ أَوْ إِدْنَاءِ أَفْعَى فَيُذْعَرُ مِنْهُ فَيَزُولُ عَقْلُهُ بِهِ فَيُعْتَبَرُ حَالُهُ فَإِنْ كَانَ طِفْلًا أَوْ مَضْعُوفًا مَذْعُورًا فَذَلِكَ مُزِيلٌ لِعَقْلِ مِثْلِهِ فَيُؤْخَذُ بِدِيَتِهِ وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ النَّفْسِ ثَابِتَ الْجَأْشِ فَعَقْلُ مِثْلِهِ لَا يَزُولُ بِهَذَا التَّفْزِيعِ فَلَا دِيَةَ فِيهِ وَهَكَذَا إِنْ زَعَقَ عَلَيْهِ بِصَوْتٍ مُهَوَّلٍ فَزَالَ عَقْلُهُ كَانَ مُعْتَبَرًا بِحَالِهِ فِي قُوَّةِ جَأْشِهِ أَوْ ذُعْرِهِ فَلَا تَلْزَمُهُ الدِّيَةُ فِي ذِي الْجَأْشِ وَتَلْزَمُهُ فِي الْمَذْعُورِ فَأَمَّا إِنْ أَخْبَرَهُ مُصِيبَةً حَزِنَ لَهَا فَزَالَ عَقْلُهُ أَوْ أَخْبَرَهُ بِمَسَرَّةٍ فَرِحَ بِهَا فَزَالَ عَقْلُهُ لِحُدُوثِ زَوَالِهِ عَنْ فَرَحٍ وَحُزْنٍ أَحْدَثَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ
Adapun yang terjadi karena tindakan langsung, seperti pukulan pedang, lemparan batu, atau tusukan tongkat, baik mengenai kepala atau bagian yang dekat dengan jantungnya, maka jika dengan sebab itu akalnya hilang, maka itu termasuk akibat tindakannya, baik hal itu berpengaruh pada tubuhnya maupun tidak. Demikian pula jika ia menamparnya dengan tangan atau menendangnya dengan kaki hingga membuatnya terguncang oleh tendangan atau tamparan yang menurut para ahli kedokteran, semisal itu dapat menghilangkan akal, maka hilangnya akal tersebut disebabkan oleh tindakannya dan ia wajib membayar diyat. Adapun yang terjadi bukan karena tindakan langsung, seperti mengancamnya dengan pedang, mendekatkan binatang buas, atau mendekatkan ular sehingga ia ketakutan lalu akalnya hilang karenanya, maka keadaannya harus diperhatikan. Jika ia seorang anak kecil atau orang lemah yang mudah takut, maka hal itu dapat menghilangkan akal orang semisalnya, sehingga ia wajib membayar diyat. Namun jika ia orang yang kuat jiwanya dan tabah, maka akal orang semisalnya tidak akan hilang hanya karena ketakutan seperti itu, sehingga tidak ada diyat atasnya. Demikian pula jika ia berteriak dengan suara yang menakutkan hingga akalnya hilang, maka hal itu juga dinilai berdasarkan keadaannya, apakah ia tabah atau penakut; maka tidak wajib diyat bagi yang tabah, dan wajib bagi yang penakut. Adapun jika ia memberitahukan suatu musibah yang membuatnya sedih hingga akalnya hilang, atau memberitahukan kabar gembira yang membuatnya senang hingga akalnya hilang, maka hilangnya akal itu terjadi karena perasaan senang atau sedih yang Allah Ta‘ala ciptakan dalam dirinya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا زَالَ عَقْلُهُ بِجِنَايَةِ مُبَاشَرَةٍ فَلَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَنْ يُوجِبَ غُرْمًا سِوَى دِيَةِ الْعَقْلِ أَوْ لَا يُوجِبُ فَإِنْ لَمْ يُوجِبْ سِوَى دِيَةِ الْعَقْلِ غُرْمًا كَاللَّطْمَةِ وَاللَّكْمَةِ وَمَا لَا يُؤَثِّرُ مِنَ الْخَشَبِ وَالْمُثْقَلِ فِي الْجَسَدِ غَيْرَ الْأَلَمِ فَتَسْتَقِرُّ بِهَا دِيَةُ الْعَقْلِ وَيَكُونُ مَا عَدَاهُ مِنْ أَلَمِ الضَّرْبِ هَدَرًا وَهَلْ يُعَزَّرُ بِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Jika akalnya hilang karena suatu tindak pidana yang dilakukan secara langsung, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah menimbulkan kewajiban ganti rugi selain diyat akal atau tidak. Jika tidak menimbulkan kewajiban ganti rugi selain diyat akal, seperti tamparan, pukulan, atau benda kayu dan benda berat yang tidak berpengaruh pada tubuh selain menimbulkan rasa sakit, maka diyat akal tetap wajib, dan selain itu dari rasa sakit akibat pukulan menjadi sia-sia (tidak ada ganti rugi). Adapun apakah pelakunya perlu dikenai ta‘zīr atau tidak, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا يُعَزَّرُ لِإِيجَابِهِ دِيَةَ الْعَقْلِ وَغُرْمُهَا أَغْلَظُ مِنَ التَّعْزِيرِ
Salah satunya adalah tidak dijatuhi ta‘zīr karena mewajibkan pembayaran diyat ‘aql, dan beban pembayarannya lebih berat daripada ta‘zīr.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُعَزَّرُ لِأَنَّ غُرْمَ الدِّيَةِ فِي غَيْرِ مَحَلِّ الْأَلَمِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَخْلُوَ مِنْ تَعْزِيرٍ إِذَا خَلَا مِنْ غُرْمٍ
Pendapat kedua menyatakan bahwa pelaku dikenai ta‘zīr karena kewajiban membayar diyat tidak berlaku pada selain tempat yang mengalami luka, sehingga wajib tetap ada hukuman ta‘zīr apabila tidak ada kewajiban membayar diyat.
وَإِنْ أَوْجَبَتِ الْجِنَايَةُ غُرْمًا سِوَى دِيَةِ الْعَقْلِ مِنْ مُقَدَّرٍ أَوْ غَيْرِ مُقَدَّرٍ فَفِيهِ قَوْلَانِ
Jika tindak pidana (jinayah) mewajibkan pembayaran ganti rugi selain diyat ‘aql, baik yang telah ditentukan kadarnya maupun yang belum ditentukan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ إِنَّهُ إِنْ كَانَ مَا وَجَبَ بِالْجِنَايَةِ أَقَلَّ مِنْ دِيَةِ الْعَقْلِ كَالْمُوضِحَةِ وَالْمَأْمُومَةِ أَوْ قَطَعَ إِحْدَى الْأُذُنَيْنِ دَخَلَ ذَلِكَ فِي دِيَةِ الْعَقْلِ وَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْهَا وَإِنْ كَانَ مُوجِبًا مِنَ الدِّيَةِ لقطع الأذنين وجذع الْأَنْفِ دَخَلَتْ فِيهِ دِيَةُ الْعَقْلِ وَأَخَذَ بِدِيَةِ الْأُذُنَيْنِ وَالْأَنْفِ لِيَكُونَ الْأَقَلُّ دَاخِلًا فِي الْأَكْثَرِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ زَوَالَ الْعَقْلِ مُسْقِطٌ لِلتَّكْلِيفِ فَأَشْبَهَ الْمَوْتَ
Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat lama beliau dan juga merupakan mazhab Abu Hanifah, menyatakan bahwa jika kewajiban yang timbul akibat jinayah (kejahatan) itu lebih sedikit dari diyat akal, seperti pada kasus luka muḍiḥah dan ma’mūmah, atau memotong salah satu telinga, maka hal itu termasuk dalam diyat akal dan tidak wajib membayar lebih dari itu. Namun, jika yang diwajibkan dari diyat adalah karena memotong kedua telinga atau memotong hidung, maka diyat akal termasuk di dalamnya, dan ia juga mengambil diyat kedua telinga dan hidung, sehingga yang lebih sedikit termasuk dalam yang lebih banyak. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa hilangnya akal menggugurkan taklif, sehingga menyerupai kematian.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ الْأَصَحُّ إِنَّ دِيَةَ الْعَقْلِ لَا تَسْقُطُ بِمَا عَدَاهَا وَلَا يَسْقُطُ بِهَا مَا عَدَاهَا سَوَاءٌ كَانَ مَا وَجَبَ بِالْجِنَايَةِ أَقَلَّ مِنْ دِيَةِ الْعَقْلِ كَالْمَأْمُومَةِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ ثُلُثُ الدِّيَةِ فِي الْمَأْمُومَةِ وَجَمِيعُ الدِّيَةِ فِي الْعَقْلِ أَوْ كَانَ مَا وَجَبَ بِالْجِنَايَةِ أَكَثَرَ مِنْ دِيَةِ الْعَقْلِ كَالْأُذُنَيْنِ وَالْأَنْفِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ ثَلَاثُ دِيَاتٍ وَاحِدَةٌ فِي الْعَقْلِ وَثَانِيَةٌ فِي الْأُذُنَيْنِ وَثَالِثَةٌ فِي الْأَنْفِ لِرِوَايَةِ أَبِي الْمُهَلَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَضَى عَلَى رَجُلٍ رَمَى رَجُلًا بِخِنْجَرٍ فِي رَأْسِهِ فَأَذْهَبَ عَقْلَهُ وَسَمْعَهُ وَلِسَانَهُ وَذَكَرَهُ بِأَرْبَعِ دِيَاتٍ وَلِأَنَّ مَا اخْتُلِفَ مَحَلُّهُ لَا يَتَدَاخَلُ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ كَالْأَطْرَافِ وَلِأَنَّ الْعَقْلَ عَرَضٌ يَخْتَصُّ بِمَحَلٍّ مَخْصُوصٍ فَلَمْ يَتَدَاخَلْ فِيهِ أَرْشُ الجنايات كالسمع والبصر
Pendapat kedua dinyatakan dalam kitab al-Jadid dan inilah yang paling sahih, yaitu bahwa diyat untuk hilangnya akal tidak gugur dengan sebab selainnya, dan tidak pula gugur dengan sebabnya hak selainnya. Baik yang wajib karena tindak pidana itu lebih sedikit dari diyat akal, seperti kasus ma’mūmah, maka wajib atas pelaku sepertiga diyat untuk ma’mūmah dan seluruh diyat untuk hilangnya akal; atau yang wajib karena tindak pidana itu lebih banyak dari diyat akal, seperti kedua telinga dan hidung, maka wajib atas pelaku tiga diyat: satu untuk akal, kedua untuk kedua telinga, dan ketiga untuk hidung. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu al-Muhallab bahwa Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu memutuskan atas seorang laki-laki yang melemparkan pisau ke kepala seseorang sehingga menghilangkan akal, pendengaran, lidah, dan kemaluannya, dengan empat diyat. Karena sesuatu yang berbeda tempatnya tidak saling menggugurkan dalam perkara selain jiwa, seperti anggota tubuh. Dan karena akal adalah sifat yang khusus pada tempat tertentu, maka tidak saling menggugurkan dengan arsy tindak pidana lain seperti pendengaran dan penglihatan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي الْعَيْنَيْنِ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Pada kedua mata terdapat diyat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِرِوَايَةِ عَلِيٌّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي الْعَيْنَيْنِ الدِّيَةُ وَلِأَنَّهُمَا مِنْ أَعْظَمِ الجوارح نفعاً وأجل الجوار قَدْرًا فَكَانَا بِإِيجَابِ الدِّيَةِ أَحَقَّ وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الصَّغِيرَةُ وَالْكَبِيرَةُ وَالْحَادَّةُ وَالْكَلِيلَةُ وَالصَّحِيحَةُ وَالْعَلِيلَةُ وَالْعَمْشَاءُ وَالْعَشْوَاءُ وَالْحَوْلَاءُ إِذَا كَانَ الْبَاطِنُ سَلِيمًا كَمَا لَا تَخْتَلِفُ دِيَاتُ الْأَطْرَافِ مَعَ اخْتِلَافِ أَوْصَافِهِمَا وَفِي إِحْدَى الْعَيْنَيْنِ نِصْفُ الدِّيَةِ لِرِوَايَةِ عمرو بن حزم أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ وَفِي الْعَيْنَيْنِ خَمْسُونَ مِنَ الْإِبِلِ قَالَ الشَّافِعِيُّ أَرَادَ الْعَيْنَ الْوَاحِدَةَ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar berdasarkan riwayat Ali dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: ‘Pada kedua mata ada diyat.’ Karena keduanya merupakan anggota tubuh yang paling besar manfaatnya dan paling mulia kedudukannya, maka keduanya lebih berhak untuk dikenakan diyat. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara mata yang kecil maupun besar, tajam maupun tumpul, sehat maupun sakit, rabun maupun buram, ataupun juling, selama bagian dalamnya masih sehat, sebagaimana diyat anggota tubuh lainnya tidak berbeda meskipun sifatnya berbeda-beda. Untuk satu mata, diyatnya adalah setengah diyat, berdasarkan riwayat Amr bin Hazm bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam suratnya kepada penduduk Yaman: ‘Pada kedua mata ada lima puluh ekor unta.’ Asy-Syafi’i berkata, yang dimaksud adalah satu mata.”
وَرَوَى مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ وَفِي إِحْدَى الْعَيْنَيْنِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ دِيَةٍ وَجَبَتْ فِي عُضْوَيْنِ وَجَبَ نِصْفُهَا فِي أَحَدِ الْعُضْوَيْنِ كَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَلَا فَضْلَ لِيُمْنَى عَلَى يُسْرَى وَلَا لِصَحِيحَةٍ عَلَى مَرِيضَةٍ
Mu‘ādz bin Jabal meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Pada salah satu mata terdapat setengah diyat.” Karena setiap diyat yang diwajibkan pada dua anggota tubuh, maka setengahnya diwajibkan pada salah satu dari kedua anggota tersebut, seperti pada kedua tangan dan kedua kaki. Tidak ada keutamaan bagi yang kanan atas yang kiri, dan tidak pula bagi yang sehat atas yang sakit.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي ذَهَابِ بَصَرِهِمَا الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Pada hilangnya penglihatan kedua mata, wajib membayar diyat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا جَنَى عَلَى عَيْنَيْهِ فَأَذْهَبَ بَصَرَهُمَا مَعَ بَقَاءِ الْحَدَقَةِ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الدِّيَةُ لِرِوَايَةِ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ وَفِي الْبَصَرِ الدِّيَةُ وَلِأَنَّ مَنْفَعَةَ الْعَيْنِ بِنَاظِرِهَا كَمَا قَالَ الشَّاعِرُ
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, yaitu apabila seseorang melakukan jinayah terhadap kedua mata lalu menghilangkan penglihatannya sementara bola matanya masih tetap ada, maka wajib atasnya membayar diyat berdasarkan riwayat Mu’adz bahwa Nabi ﷺ bersabda, ‘Pada penglihatan ada diyat,’ dan karena manfaat mata terletak pada penglihatannya, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair.”
وَمَا انْتِفَاعُ أَخِي الدنيا بمقلته إِذَا اسْتَوَتْ عِنْدَهُ الْأَنْوَارُ وَالظُّلَمُ
Apa gunanya saudara di dunia ini memiliki mata, jika cahaya dan kegelapan sama saja baginya?
وَإِذَا سَلَبَهَا مَنْفَعَتَهَا كَمُلَتْ عَلَيْهِ دِيَتُهَا كَالشَّلَلِ فِي الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ فَإِنْ عَادَ بَعْدَ ذَهَابِ الْبَصَرِ فَقَلَعَ الْعَيْنَ فَعَلَيْهِ حُكُومَةٌ كَمَا لَوْ أَشَلَّ يَدَهُ فَغَرِمَ دِيَتَهَا ثُمَّ عَادَ بَعْدَ الشَّلَلِ فَقَطَعَهَا لَزِمَهُ حُكُومَتُهَا وَلَوْ قَطَعَهَا ابْتِدَاءً لَمْ تَلْزَمْهُ إِلَّا دِيَتُهَا وَقَدْ قَدَّمْنَا الْفَرْقَ بَيْنَ قَطْعِ الأذنين فيذهب بما السَّمْعُ فَتَلْزَمُهُ دِيَتَانِ وَبَيْنَ قَلْعِ الْعَيْنَيْنِ فَيَذْهَبُ بِهِمَا الْبَصَرُ فَيَلْزَمُهُ دِيَةٌ وَاحِدَةٌ بِأَنَّ مَحَلَّ السَّمْعِ فِي غَيْرِ الْأُذُنَيْنِ فَلَمْ تَسْقُطْ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى وَمَحَلَّ الْبَصَرِ فِي الْعَيْنِ وَيَلْحَقُ بِالْأُذُنَيْنِ ذهاب الشم بجذع الْأَنْفِ فَتَلْزَمُهُ دِيَتَانِ وَيَلْحَقُ بِالْعَيْنِ ذَهَابُ الْكَلَامِ بِقَطْعِ اللِّسَانِ فَتَلْزَمُهُ دِيَةٌ وَاحِدَةٌ
Jika seseorang menghilangkan manfaat suatu anggota tubuh, maka ia wajib membayar diyat secara penuh, seperti kasus lumpuh pada tangan dan kaki. Jika setelah hilangnya penglihatan, ia kemudian mencabut mata, maka ia wajib membayar hukūmah, sebagaimana jika ia melumpuhkan tangan seseorang lalu membayar diyatnya, kemudian setelah tangan itu lumpuh ia memotongnya, maka ia wajib membayar hukūmah. Namun, jika ia langsung memotongnya sejak awal, maka ia hanya wajib membayar diyatnya saja. Telah dijelaskan perbedaan antara memotong kedua telinga sehingga menyebabkan hilangnya pendengaran, maka ia wajib membayar dua diyat, dan antara mencabut kedua mata sehingga menyebabkan hilangnya penglihatan, maka ia hanya wajib membayar satu diyat, karena tempat pendengaran bukan hanya di kedua telinga sehingga hilangnya salah satunya tidak menggugurkan yang lain, sedangkan tempat penglihatan ada pada mata. Yang disamakan dengan kasus telinga adalah hilangnya penciuman karena memotong batang hidung, maka ia wajib membayar dua diyat, dan yang disamakan dengan kasus mata adalah hilangnya kemampuan berbicara karena memotong lidah, maka ia wajib membayar satu diyat.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ فِي ذَهَابِ الْبَصَرِ الدِّيَةَ نُظِرَ فَإِنْ مُحِقَ ذَهَابُ الْبَصَرِ كَانَ الْمَحْقُ مِنْ شَوَاهِدِ ذَهَابِهِ الَّذِي يَقْطَعُ التَّنَازُعَ فِيهِ كَمَا لو استأصل عينه ففقأها وهو ما يؤس مِنْ عَوْدِهِ فَنَقْضِي فِيهِ بِالْقَوَدِ فِي الْعَمْدِ وَالدِّيَةِ فِي الْخَطَأِ وَإِنْ كَانَتِ الْعَيْنُ ظَاهِرَةً لَمْ تَمْحَقْهَا الْجِنَايَةُ فَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَذْهَبَ بَصَرُهَا مَعَ بَقَائِهَا عَلَى صُورَتِهَا فَيُوقَفُ عُلَمَاءُ الطِّبِّ عَلَيْهَا فَلَا يَخْلُو حَالُهُمْ فِيهَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Apabila telah tetap bahwa hilangnya penglihatan mewajibkan pembayaran diyat, maka perlu diperhatikan: jika hilangnya penglihatan itu benar-benar terjadi, maka hilangnya tersebut menjadi bukti nyata atas kehilangan penglihatan yang menghilangkan perselisihan tentangnya, seperti jika seseorang mencabut matanya lalu memecahkannya, yang tidak ada harapan untuk kembali lagi, maka dalam kasus ini diputuskan hukum qisas jika disengaja dan diyat jika tidak sengaja. Namun, jika mata masih tampak dan kejahatan tidak menghilangkannya, bisa jadi penglihatannya hilang sementara bentuk matanya masih ada. Maka para ahli medis diminta memeriksanya, dan keadaan mereka dalam hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُمْ مِنْهَا عِلْمٌ أَوْ لَا يَكُونُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ مِنْهَا عِلْمٌ لِإِشْكَالِهَا وَتَجْوِيزِهِمْ أَنْ يَكُونَ بَصَرُهَا ذَاهِبًا وَبَاقِيًا عَمِلْنَا عَلَى قَوْلِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ دُونَ الْجَانِي لِأَنَّ ذَهَابَ بَصَرِهَا لَا يُعْلَمُ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ فَجُعِلَ الْقَوْلُ فِيهَا قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ بَعْدَ الِاسْتِظْهَارِ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ بَالِغًا عَاقِلًا بِأَنْ يُسْتَقْبَلَ فِي أَوْقَاتِ غَفَلَاتِهِ بِمَا يُزْعِجُ الْبَصِيرَ رُؤْيَتُهُ وَيُشَارُ إِلَى عَيْنِهِ بِمَا يَتَوَقَّاهُ الْبَصِيرُ بِإِغْمَاضِهَا وَيُؤْمَرُ بِالْمَشْيِ في طريق الخطائر وَالْآبَارِ وَمَعَهُ مَنْ يَحُولُهُ مِنْهَا وَهُوَ لَا يَشْعُرُ فَإِذَا دَلَّتْ أَحْوَالُهُ بِأَنْ لَا يُطْبِقَ طَرْفَهُ بِالْإِشَارَةِ إِلَيْهِ وَلَا يَتَوَقَّى بِئْرًا إِنْ كَانَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ صَارَ ذَلِكَ مِنْ شَوَاهِدِ صِدْقِهِ فَيَحْلِفُ مَعَ ذَلِكَ لِجَوَازِ تَصَنُّعِهِ فِيهِ وَنَقْضِي لَهُ بَعْدَ يَمِينِهِ بِالْقَوَدِ فِي الْعَمْدِ والدية في الخطأ وإن كان يطيق طَرْفَهُ عِنْدَ الْإِشَارَةِ وَيَتَوَقَّى بِئْرًا إِنْ كَانَتْ وَيَعْدِلُ عَنْ حَائِطٍ إِنْ لَقِيَهُ صَارَتْ شَوَاهِدُ هَذَا الظَّاهِرِ مُنَافِيَةً لِدَعْوَاهُ فَانْتَقَلَ الظَّاهِرُ إِلَى جَنَبَةِ الْجَانِي فَكَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ بِاللَّهِ إِنَّ بَصَرَهُ لَبَاقٍ لَمْ يَذْهَبْ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ تَحَرُّزُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِالِاتِّفَاقِ فَاسْتَظْهَرَ لَهُ بِالْيَمِينِ فَإِنْ كَانَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا لَمْ يُرْجَعْ إِلَى قَوْلِهِمَا وَلَمْ يقبل دعواهما لأنه لا حكم لهما وَوُقِفَ أَمْرُهُمَا إِلَى وَقْتِ الْبُلُوغِ وَالْإِفَاقَةِ بَعْدَ حَبْسِ الْجَانِي لِيَرْجِعَ إِلَى قَوْلِهِمَا إِذَا بَلَغَ الصبي وأفاق المجنون أو يموتان فيقوم مَقَامَهُمَا فِيمَا يَدَّعِيَانِهِ مِنْ ذَهَابِ الْبَصَرِ وَإِحْلَافِهِمَا عليه إن كان معهما ظَاهِرٌ يَدُلُّ عَلَيْهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Bisa jadi mereka memiliki pengetahuan tentang hal itu atau tidak. Jika mereka tidak memiliki pengetahuan karena adanya keraguan dan kemungkinan bahwa penglihatannya bisa saja hilang atau masih ada, maka kita mengambil pendapat korban, bukan pelaku, karena hilangnya penglihatan itu hanya dapat diketahui dari pihak korban. Maka, pendapat korban yang diambil disertai sumpahnya setelah dilakukan pengujian terhadapnya, jika ia sudah baligh dan berakal, yaitu dengan menghadapkannya pada saat-saat lengah dengan sesuatu yang dapat mengejutkan orang yang melihat, dan ditunjukkan ke matanya dengan sesuatu yang biasanya dihindari oleh orang yang melihat dengan memejamkan mata, serta diperintahkan berjalan di jalan yang berbahaya dan dekat sumur, sementara ada orang yang menghalanginya tanpa sepengetahuannya. Jika keadaannya menunjukkan bahwa ia tidak menutup matanya ketika ditunjukkan sesuatu kepadanya dan tidak menghindari sumur jika ada di depannya, maka itu menjadi bukti kebenarannya. Ia pun bersumpah karena masih mungkin ia berpura-pura, lalu diputuskan untuknya setelah sumpahnya dengan qishāsh jika disengaja, dan diyat jika tidak sengaja. Namun, jika ia mampu menutup matanya ketika ditunjukkan sesuatu dan menghindari sumur jika ada, serta berbelok dari tembok jika menemuinya, maka tanda-tanda lahiriah ini bertentangan dengan pengakuannya, sehingga bukti lahiriah berpindah ke pihak pelaku, dan pendapat pelaku yang diambil disertai sumpahnya dengan nama Allah bahwa penglihatannya masih ada dan tidak hilang, karena mungkin saja kehati-hatian korban itu disengaja. Maka, pelaku diminta bersumpah. Jika korban masih kecil atau gila, maka tidak kembali pada pendapat keduanya dan tidak diterima pengakuan mereka karena tidak ada kekuatan hukum pada mereka. Urusan keduanya ditangguhkan sampai waktu baligh dan sadar setelah pelaku ditahan, agar dapat kembali pada pendapat mereka jika anak itu telah baligh dan orang gila itu telah sadar, atau keduanya meninggal dunia, maka yang mewakili mereka dapat menggantikan posisi mereka dalam pengakuan hilangnya penglihatan dan meminta sumpah jika ada bukti lahiriah yang mendukungnya. Dan Allah Maha Mengetahui.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ كَانَ عِنْدَ عُلَمَاءِ الطِّبِّ مِنْ حَالِ الْعَيْنِ فَلَا يَخْلُو عِلْمُهُمْ بِهَا مِنْ أَحَدِ أَرْبَعَةِ أقسام
Jika menurut para ahli kedokteran mengenai kondisi mata, maka pengetahuan mereka tentangnya tidak lepas dari salah satu dari empat kategori.
أحدها أن يشهد عدولهم ببقاء ببصرها فِي الْحَالِ وَفِي ثَانِي الْحَالِ
Salah satunya adalah para ‘adl dari mereka bersaksi bahwa penglihatannya masih ada pada saat ini dan pada saat berikutnya.
وَالثَّانِي أَنْ يَشْهَدُوا بِبَقَائِهِ فِي الْحَالِ وَجَوَازِ ذَهَابِهِ فِي ثَانِي حَالٍ
Kedua, hendaknya mereka menyaksikan keberadaannya pada saat ini dan kemungkinan hilangnya pada keadaan berikutnya.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَشْهَدُوا بِذَهَابِهِ فِي الْحَالِ وَفِي ثَانِي حَالٍ
Dan yang ketiga adalah mereka harus menyaksikan kepergiannya pada saat itu juga dan pada saat berikutnya.
وَالرَّابِعُ أَنْ يَشْهَدُوا بِذَهَابِهِ فِي الْحَالِ وَجَوَازِ عَوْدِهِ فِي ثَانِي حَالٍ
Keempat, mereka harus menyaksikan bahwa najis itu telah hilang pada saat itu juga, dan memungkinkan untuk kembali lagi pada waktu yang lain.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ إِذَا شَهِدُوا بِبَقَاءِ الْبَصَرِ فِي الْحَالِ وَمَا بَعْدَهَا حُكِمَ بِشَهَادَةِ عَدْلَيْنِ مِنْهُمْ فَبَرِئَ الْجَانِي مِنَ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ ونظر في الجناية فإن كان لها أثر يُوجِبُ حُكُومَةً غَرِمَهَا وَلَمْ يُعَزَّرْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا أَثَرٌ عُزِّرَ أَدَبًا وَلَمْ يُغَرَّمْ
Adapun bagian pertama, jika mereka bersaksi bahwa penglihatan masih ada saat ini dan setelahnya, maka diputuskan berdasarkan kesaksian dua orang yang adil di antara mereka, sehingga pelaku terbebas dari qishāsh dan diyat. Kemudian dilihat pada tindak pidananya, jika terdapat bekas yang mewajibkan hukūmah, maka pelaku wajib membayar ganti rugi tersebut dan tidak dikenai ta‘zīr. Namun jika tidak ada bekasnya, maka pelaku dikenai ta‘zīr sebagai bentuk pendidikan dan tidak dibebani ganti rugi.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي إِذَا شَهِدُوا بِبَقَاءِ بَصَرِهِ فِي حَالٍ وَجَوَازِ ذَهَابِهِ فِي ثَانِي حَالٍ لم يَخْلُ حَالُ تَجْوِيزِهِمْ لِذَهَابِهِ مِنْ أَنْ يُقَدِّرُوهُ بِمُدَّةٍ أَوْ لَا يُقَدِّرُوهُ فَإِنْ قَدَّرُوهُ بِمُدَّةٍ فَقَالُوا يَجُوزُ أَنْ يَذْهَبَ سَنَةً وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَذْهَبَ بَعْدَهَا فَإِنْ ذَهَبَ فِيهَا وَإِلَّا فَقَدَ سَلِمَ مِنْهَا عُمِلَ عَلَى شَهَادَتِهِمْ وَوُقِفَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ سَنَةً فَإِنْ ذَهَبَ بَصَرُهُ فِيهَا كَانَ الْجَانِي مَأْخُوذًا بِالْقَوَدِ فِي الْعَمْدِ وَالدِّيَةِ فِي الْخَطَأِ وَإِنْ ذَهَبَ بَصَرُهُ بَعْدَهَا فَلَا شَيْءَ عَلَى الْجَانِي وَيُؤْخَذُ بِالْحُكُومَةِ إِذَا كَانَ لِجِنَايَتِهِ أَثَرٌ وَلَا يُعَزَّرُ وَلَا حُكُومَةَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا أَثَرٌ وَيُعَزَّرُ فَعَلَى هَذَا لَوْ جَنَى عَلَى عَيْنِهِ آخَرُ فَفَقَأَهَا قَبْلَ ذَهَابِ بَصَرِهِ كَانَ الثَّانِي هُوَ الْمَأْخُوذَ فِيهَا بِالْقَوَدِ وَالدِّيَةِ دُونَ الْأَوَّلِ سَوَاءٌ فَقَأَهَا قَبْلَ السَّنَةِ أَوْ بَعْدَهَا لِأَنَّهُ جَنَى وَالْبَصَرُ بَاقٍ
Adapun bagian kedua, yaitu apabila mereka bersaksi bahwa penglihatan masih ada pada suatu keadaan dan memungkinkan hilang pada keadaan berikutnya, maka keadaan kemungkinan hilangnya itu tidak lepas dari dua hal: mereka menentukan batas waktu atau tidak. Jika mereka menentukan batas waktu, misalnya mereka berkata, “Bisa jadi penglihatan itu hilang dalam setahun dan tidak mungkin hilang setelah itu,” maka jika penglihatan itu hilang dalam waktu tersebut, atau jika tidak hilang maka ia telah selamat darinya, maka keputusan diambil berdasarkan kesaksian mereka dan korban ditunggu selama satu tahun. Jika penglihatannya hilang dalam waktu itu, pelaku dikenai qishāsh jika sengaja, dan diyat jika tidak sengaja. Namun jika penglihatannya hilang setelah waktu itu, maka tidak ada tanggungan apa pun atas pelaku, dan ia hanya dikenai hukuman pemerintah (ḥukūmah) jika perbuatannya masih menimbulkan dampak, dan tidak dikenai ta‘zīr maupun ḥukūmah jika tidak ada dampaknya, namun tetap dikenai ta‘zīr. Berdasarkan hal ini, jika ada orang lain yang melakukan kejahatan pada matanya lalu mencungkilnya sebelum penglihatannya hilang, maka orang kedua itulah yang dikenai qishāsh dan diyat, bukan yang pertama, baik ia mencungkilnya sebelum satu tahun atau setelahnya, karena ia melakukan kejahatan saat penglihatan masih ada.
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ إِذَا شَهِدُوا بِذَهَابِ بَصَرِهِ فِي الْحَالِ وَمَا بَعْدَهَا فَيُحْكَمُ لَهُ بِالْقَوَدِ فِي الْعَبْدِ إِذَا شَهِدَ مِنْ عُدُولِهِمْ رَجُلَانِ وَبِالدِّيَةِ فِي الْخَطَأِ إِذَا شَهِدَ مِنْهُمْ رَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ فَلَوْ عَادَ بَصَرُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بَعْدَ أَنْ قُضِي لَهُ بِالدِّيَةِ أَوِ الْقَوَدِ فَالْمَذْهَبُ أَنْ لَا دَرْكَ عَلَيْهِ بِعَوْدِهَا فِيمَا قَضَى لَهُ مِنْ قَوَدِهَا أَوْ دِيَتِهَا لِأَنَّ عَوْدَهَا بِهَا مِنْ عَطَايَا اللَّهِ تَعَالَى وَهِبَاتِهِ وَلِلشَّافِعِيِّ فِي سِنِّ الْمَثْغُورِ إِذَا قُلِعَتْ وَاقْتُصَّ مِنْهَا أو أخذ ديتها ثم عادت فيثبت قَوْلَانِ
Adapun bagian ketiga, jika mereka bersaksi bahwa penglihatan seseorang hilang saat itu juga dan setelahnya, maka diputuskan baginya qishāsh pada budak jika dua laki-laki adil dari mereka bersaksi, dan diputuskan diyat dalam kasus kesalahan jika satu laki-laki dan dua perempuan dari mereka bersaksi. Jika penglihatan korban kembali setelah diputuskan baginya diyat atau qishāsh, maka menurut mazhab, tidak ada tuntutan atasnya karena kembalinya penglihatan tersebut dalam hal qishāsh atau diyat yang telah diputuskan untuknya, karena kembalinya penglihatan itu merupakan pemberian dan anugerah dari Allah Ta‘ala. Adapun menurut pendapat Syafi‘i dalam kasus gigi yang tanggal, jika telah dicabut dan telah dilakukan qishāsh atau diambil diyatnya lalu gigi itu tumbuh kembali, maka terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَلْزَمُهُ رَدُّ دِيَتِهَا فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِهِ فِي الْعَيْنِ إِذَا عَادَ بَصَرُهَا هَلْ يَلْزَمُهُ رَدُّ دِيَتِهَا أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Salah satunya wajib mengembalikan diyatnya. Berdasarkan hal ini, para ulama kami berbeda pendapat dalam menafsirkan kasus pada mata apabila penglihatannya kembali, apakah wajib mengembalikan diyatnya atau tidak, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَلْزَمُهُ رَدُّهَا إِذَا عَادَ بَصَرُهَا كَمَا يَلْزَمُهُ رَدُّهَا فِي السِّنِّ
Salah satunya adalah ia wajib mengembalikannya jika penglihatannya telah kembali, sebagaimana ia wajib mengembalikannya pada usia tertentu.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَلْزَمُهُ رَدُّ الدِّيَةِ بِعَوْدِ الْبَصَرِ وَيَلْزَمُهُ رَدُّهَا بِعَوْدِ السِّنِّ
Pendapat kedua: tidak wajib mengembalikan diyat jika penglihatan kembali, namun wajib mengembalikannya jika gigi tumbuh kembali.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ عَوْدَ السِّنِّ مَعْهُودٌ فِي جِنْسِهِ وَعَوْدُ الْبَصَرِ غَيْرُ مَعْهُودٍ فِي جِنْسِهِ فَاخْتَلَفَا فِي الرَّدِّ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي مَعْهُودِ الْعَوْدِ وَعَلَى هَذَا لَوِ اقْتُصَّ مِنْ بَصَرِ الْجَانِي فَعَادَ بَصَرُهُ بَعْدَ الْقِصَاصِ لَمْ يُؤْخَذْ بِذَهَابِهِ ثَانِيَةً عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ وَهَلْ يُؤْخَذُ بِهِ عَلَى الْقَوْلِ الْمُخَرَّجِ فِي السِّنِّ أَمْ لَا عَلَى الْوَجْهَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ لَا يُؤْخَذُ بِهِ فِي أَحَدِهِمَا وَيُؤْخَذُ بِهِ فِي الْوَجْهِ الْآخَرِ وَيُقْتَصُّ مِنْهُ ثَانِيَةً فَإِنْ عَادَ بَعْدَهَا اقْتُصَّ مِنْهُ أَبَدًا حَتَّى يَذْهَبَ فَلَا يَعُودَ
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa tumbuhnya kembali gigi merupakan hal yang lazim terjadi pada jenisnya, sedangkan kembalinya penglihatan bukanlah hal yang lazim terjadi pada jenisnya. Maka keduanya berbeda dalam hal pembalasan karena perbedaan kebiasaan kembalinya. Berdasarkan hal ini, jika dilakukan qishāsh pada penglihatan pelaku dan penglihatannya kembali setelah qishāsh, maka tidak diambil lagi (qishāsh kedua kali) atas hilangnya penglihatan tersebut menurut pendapat yang sahih dalam mazhab. Adapun apakah diambil lagi menurut pendapat yang diqiyaskan pada kasus gigi atau tidak, maka menurut dua pendapat yang disebutkan: pada salah satunya tidak diambil lagi, dan pada pendapat lainnya diambil lagi dan dilakukan qishāsh kedua kali. Jika setelah itu penglihatannya kembali lagi, maka dilakukan qishāsh terus-menerus hingga penglihatannya hilang dan tidak kembali lagi.
وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ إِذَا شهدوا بِذَهَابِ بَصَرِهِ فِي الْحَالِ وَجَوَازِ عَوْدِهِ فِي ثاني حال فَلَا يَخْلُو حَالُهُمْ فِيهِ مِنْ أَنْ يُقَدِّرُوا زَمَانَ عَوْدِهِ أَوْ لَا يُقَدِّرُوا فَإِنْ لَمْ يُقَدِّرُوا وَقَالُوا يَجُوزُ أَنْ يَعُودَ عَلَى الْأَبَدِ إِلَى وَقْتِ الْمَوْتِ مِنْ غَيْرِ تَحْدِيدٍ وَلَا إِيَاسٍ لَمْ تُوجِبْ هَذِهِ الشَّهَادَةُ تَوَقُّفًا عَنِ الْقِصَاصِ أَوِ الدِّيَةِ وَأُخِذَ الْجَانِي بِهِمَا فِي الْحَالِ لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَهُ مَانِعٌ مِنْ تَعْلِيقِهِ بِشَرْطٍ يُفْضِي ثُبُوتُهُ إِلَى سُقُوطِهِ
Bagian keempat adalah jika para saksi bersaksi bahwa penglihatan seseorang hilang saat ini dan ada kemungkinan penglihatannya kembali di waktu lain, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan: mereka memperkirakan waktu kembalinya penglihatan atau tidak memperkirakannya. Jika mereka tidak memperkirakan dan mengatakan bahwa mungkin saja penglihatan itu kembali selamanya hingga waktu kematian tanpa batasan waktu dan tanpa keputusasaan, maka kesaksian ini tidak mewajibkan penundaan pelaksanaan qishāsh atau pembayaran diyat, dan pelaku diambil (dihukum) dengan keduanya saat itu juga. Sebab, hak untuk mendapatkannya (qishāsh atau diyat) menjadi penghalang untuk menggantungkan pelaksanaannya pada suatu syarat yang jika syarat itu terbukti, justru menyebabkan hak tersebut gugur.
وَإِنْ قَدَّرُوا الْمُدَّةَ وقالوا يجوز أن يعود إلى سنة إن كَانَ مِنْ ظُلْمَةٍ غَطَّتِ الْبَاطِنَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَعُودَ بَعْدَهَا لِأَنَّهُ مِنْ ذَهَابِ الْبَاطِنِ حُبِسَ الْجَانِي وَوُقِفَ الْبَصَرُ إِلَى سَنَةٍ فَإِنْ عَادَ فِيهَا بَرِئَ الْجَانِي مِنَ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ وَكَانَ مَأْخُوذًا بِحُكُومَةِ الْجِنَايَةِ إِنْ أَثَّرَتْ وَلَمْ يُعَزَّرْ وَإِنْ لَمْ تُؤَثِّرْ عُزِّرَ وَلَمْ يُغَرَّمْ وَإِنْ لَمْ يَعُدْ فِي السَّنَةِ حَتَّى انْقَضَّتْ أُخِذَ الْجَانِي بِالْقَوَدِ فِي الْعَمْدِ وَالدِّيَةِ فِي الْخَطَأِ فَعَلَى هَذَا لَوْ جَنَى عَلَيْهِ قَبْلَ انْقِضَاءِ السَّنَةِ آخَرُ فَفَقَأَ عَيْنَهُ فَدِيَةُ الْبَصَرِ وَالْقَوَدِ فِيهِ عَلَى الْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي لِأَنَّهُ ذَهَبَ بِجِنَايَةِ الْأَوَّلِ وَلَمْ يَعُدْ عِنْدَ جِنَايَةِ الثَّانِي فَلَوِ اخْتَلَفَ الْأَوَّلُ وَالثَّانِي فَقَالَ الْأَوَّلُ عَادَ الْبَصَرُ قَبْلَ جِنَايَتِكَ فَأَنْتَ الْمَأْخُوذُ بِالْقَوَدِ فِيهِ أَوِ الدِّيَةِ دُونِي
Jika mereka menentukan batas waktu dan berkata bahwa boleh jadi penglihatan akan kembali dalam waktu satu tahun, jika hal itu disebabkan oleh kegelapan yang menutupi bagian dalam mata, maka tidak boleh kembali setelah itu karena hal itu berarti bagian dalam mata telah rusak. Pelaku kejahatan ditahan dan penglihatan korban diamati hingga satu tahun. Jika dalam waktu itu penglihatan kembali, pelaku terbebas dari qishāsh dan diyat, dan hanya dikenakan hukuman taksiran kerugian jika terdapat pengaruh dari tindakannya, serta tidak dikenai ta‘zīr. Namun jika tidak ada pengaruhnya, maka ia dikenai ta‘zīr tanpa harus membayar ganti rugi. Jika dalam setahun penglihatan tidak kembali hingga waktu habis, maka pelaku dikenai qishāsh jika sengaja, dan diyat jika tidak sengaja. Berdasarkan hal ini, jika sebelum berakhirnya satu tahun ada orang lain yang melukai korban dan mencungkil matanya, maka diyat dan qishāsh atas hilangnya penglihatan dibebankan kepada pelaku pertama, bukan yang kedua, karena penglihatan hilang akibat kejahatan pelaku pertama dan belum kembali saat kejahatan kedua terjadi. Jika pelaku pertama dan kedua berselisih, lalu pelaku pertama berkata, “Penglihatan telah kembali sebelum engkau melukainya, maka engkaulah yang bertanggung jawab atas qishāsh atau diyat, bukan aku.”
وَقَالَ الثَّانِي بَلْ كَانَ الْبَصَرُ عِنْدَ جِنَايَتِي عَلَى ذَهَابِهِ فَأَنْتَ الْمَأْخُوذُ فِيهِ بِالْقَوَدِ أَوِ الدِّيَةِ دُونِي فَالْقَوْلُ قَوْلُ الثَّانِي مَعَ يَمِينِهِ دُونَ لأول لِأَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ مِنْ ذَهَابِهِ وَفِي شَكٍّ مِنْ عَوْدِهِ فَإِنِ ادَّعَيَا عِلْمَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ إِنْ أَجَابَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُصَدِّقَ الْأَوَّلَ أَوِ الثَّانِيَ فَإِنْ صَدَّقَ الثَّانِيَ أَنَّ بَصَرَهُ لَمْ يَعُدْ حَلَفَ لِلْأَوَّلِ وَإِنْ طَلَبَ يَمِينَهُ وَقُضِيَ عَلَيْهِ بِالْقَوَدِ أَوِ الدِّيَةِ
Dan yang kedua berkata, “Justru penglihatan itu telah hilang ketika aku melakukan tindakan yang menyebabkan hilangnya, maka engkaulah yang bertanggung jawab atas qishāsh atau diyat, bukan aku.” Maka pendapat yang dipegang adalah pendapat yang kedua dengan sumpahnya, bukan yang pertama, karena kita yakin penglihatan itu telah hilang dan masih ragu tentang kembalinya. Jika keduanya mengklaim bahwa korban mengetahui keadaannya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: jika korban membenarkan yang pertama atau yang kedua. Jika ia membenarkan yang kedua bahwa penglihatannya tidak kembali, maka ia bersumpah untuk yang pertama jika diminta sumpahnya, dan diputuskan atasnya qishāsh atau diyat.
وَإِنْ صَدَّقَ الْأَوَّلَ أَنَّ بَصَرَهُ عَادَ قَبْلَ جِنَايَةِ الثَّانِي بَرِئَ الْأَوَّلُ مِنَ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ بِتَصْدِيقِهِ وَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَى الثَّانِي وَصَارَتْ عَيْنُهُ هَدَرًا لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَأْنَفَ بِتَصْدِيقِ الْأَوَّلِ دَعْوَى عَلَى الثَّانِي وَشَهَادَةً لِلْأَوَّلِ فَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ عَلَى الثَّانِي وَلَمْ يُسْتَمَعْ شَهَادَتُهُ لِلْأَوَّلِ لِمَا فِيهَا مِنِ اجْتِلَابِ النَّفْعِ وَلَوْ لَمْ يَجْنِ عَلَيْهِ ثَانٍ وَلَكِنْ مَاتَ قَبْلَ انْقِضَاءِ السَّنَةِ كَانَ الْجَانِي مَأْخُوذًا بِالْقَوَدِ وَالدِّيَةِ لِأَنَّهُ أَذْهَبَ بَصَرًا لَمْ يَعُدْ وَفِي سِنِّ مَنْ لَمْ يَثَّغِرْ إِذَا قُلِعَتْ فُقِدَ عَوْدُهَا إِلَى مُدَّةٍ مَاتَ قَبْلَهَا قَوْلَانِ
Jika ia membenarkan orang pertama bahwa penglihatannya telah kembali sebelum orang kedua melakukan penganiayaan, maka orang pertama terbebas dari qishāsh dan diyat karena pembenarannya itu, dan perkataannya tidak diterima terhadap orang kedua, sehingga matanya menjadi sia-sia (tidak ada ganti rugi), karena dengan membenarkan orang pertama, ia telah memulai tuntutan baru terhadap orang kedua dan menjadi saksi bagi orang pertama. Maka tuntutannya terhadap orang kedua tidak diterima, dan kesaksiannya untuk orang pertama pun tidak didengarkan karena di dalamnya terdapat unsur mencari keuntungan. Namun, jika tidak ada orang kedua yang menganiayanya, melainkan ia meninggal sebelum genap satu tahun, maka pelaku penganiayaan tetap dikenai qishāsh dan diyat, karena ia telah menghilangkan penglihatan yang tidak kembali. Adapun pada usia anak yang belum tumbuh gigi, jika giginya dicabut dan tidak tumbuh kembali dalam jangka waktu tertentu lalu ia meninggal sebelum waktu itu, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا يَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ لِأَنَّ الظَّاهِرَ عَوْدُهَا فِي الْمُدَّةِ لَوْ عَاشَ إِلَيْهَا فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِهِ فِي الْعَيْنِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Salah satunya tidak wajib membayar diyat karena yang tampak adalah kemungkinan anggota tubuh itu akan kembali seperti semula dalam jangka waktu tertentu jika orang tersebut masih hidup sampai waktu itu. Berdasarkan pendapat ini, para ulama kami berbeda pendapat dalam mengeluarkan hukum pada kasus mata menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَجِيءُ تَخْرِيجُ قَوْلٍ ثَانٍ فِي الْعَيْنِ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ الْقَوَدُ وَلَا الدِّيَةُ وَتَلْزَمُهُ حُكُومَةٌ كَمَوْتِهِ فِي مُدَّةِ السِّنِّ
Salah satunya adalah hasil istinbat dari pendapat kedua dalam masalah mata, yaitu bahwa pelaku tidak wajib dikenai qishāsh maupun diyat, tetapi wajib membayar hukūmah, seperti halnya jika matanya mati dalam masa pertumbuhan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجِيءُ تَخْرِيجُ هَذَا الْقَوْلِ فِي الْعَيْنِ وَإِنْ خُرِّجَ فِي السِّنِّ لِمَا قَدَّمْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ السِّنِّ وَالْعَيْنِ فَلَوِ اخْتَلَفَ الْجَانِي وَوَلِيُّهُ بَعْدَ مَوْتِهِ
Pendapat kedua, tidak dapat diterapkan analogi pendapat ini pada kasus mata, meskipun diterapkan pada kasus gigi, karena telah dijelaskan perbedaan antara gigi dan mata. Maka, jika terjadi perselisihan antara pelaku dan walinya setelah kematiannya…
فَقَالَ الْجَانِي عَادَ بَصَرُهُ قَبْلَ الْمَوْتِ
Maka pelaku berkata, “Penglihatannya telah kembali sebelum meninggal.”
وَقَالَ الْوَلِيُّ لم يعد
Dan wali berkata, “Ia tidak kembali.”
فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّ بَصَرَهُ لَمْ يَعُدْ وَيَكُونُ الْجَانِي مَأْخُوذًا بِالْقَوَدِ أَوِ الدِّيَةِ فَإِنْ نَكَلَ الْوَلِيُّ حَلَفَ الْجَانِي وَبَرِئَ مِنْهُمَا وَلَوْ لَمْ يَذْهَبْ بَصَرُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فِي حَالِ الْجِنَايَةِ وَذَهَبَ بَعْدَهَا نُظِرَ فَإِنْ كَانَ لَمْ يَزَلْ عَلِيلَ الْعَيْنِ أَوْ شَدِيدَ الْأَلَمِ إِلَى أَنْ ذَهَبَ بَصَرُهُ فَالظَّاهِرُ ذَهَابُهُ مِنَ الْجِنَايَةِ فَيَكُونُ الْجَانِي مَأْخُوذًا بِالْقَوَدِ فِيهِ أَوِ الدِّيَةِ كَالْمَجْرُوحِ إِذَا لَمْ يَزَلْ صَبِيًّا حَتَّى مَاتَ
Maka, pernyataan wali diterima dengan sumpahnya bahwa penglihatan korban tidak kembali, dan pelaku dikenai qawad (pembalasan setimpal) atau diyat (denda). Jika wali enggan bersumpah, maka pelaku yang bersumpah dan terbebas dari keduanya. Jika penglihatan korban tidak hilang saat kejadian, tetapi hilang setelahnya, maka dilihat keadaannya: jika sejak kejadian matanya terus-menerus sakit atau sangat nyeri hingga akhirnya penglihatannya hilang, maka yang tampak adalah penglihatannya hilang akibat tindak pidana tersebut, sehingga pelaku dikenai qawad atau diyat, sebagaimana orang yang terluka yang tetap dalam keadaan lemah hingga meninggal dunia.
وَإِنْ بَرَأَتْ عَيْنُهُ وَزَالَ أَلَمُهَا ثُمَّ ذَهَبَ بَصَرُهَا كَانَ ذَاهِبًا مِنْ غَيْرِ الْجِنَايَةِ فِي الظَّاهِرِ فَلَا يَلْزَمُهُ قَوَدٌ وَلَا دِيَةٌ وَلِلْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ الْإِحْلَافُ بِاللَّهِ لَقَدْ ذَهَبَ الْبَصَرُ مِنْ غَيْرِ جِنَايَةٍ إِنِ ادَّعَى ذَهَابَهُ منها
Jika mata seseorang telah sembuh dan rasa sakitnya telah hilang, kemudian penglihatannya hilang, maka secara lahiriah, hilangnya penglihatan tersebut dianggap bukan akibat jinayah (penganiayaan). Oleh karena itu, tidak ada kewajiban qishāsh maupun diyat. Namun, bagi korban (yang terkena jinayah) berhak bersumpah atas nama Allah bahwa penglihatannya hilang bukan karena jinayah, jika ia mengklaim bahwa hilangnya penglihatan itu berasal dari jinayah tersebut.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ نَقَصَتْ إِحْدَاهُمَا عَنِ الْأُخْرَى اخْتَبَرْتُهُ بِأَنْ أَعْصِبَ عَيْنَهُ الْعَلِيلَةَ وَأُطْلِقَ الصَّحِيحَةَ وَأَنْصُبَ لَهُ شَخْصًا عَلَى رَبْوَةٍ أَوْ مُسْتَوًى فَإِذَا أَثْبَتَهُ بَعَّدْتُهُ حَتَّى يَنْتَهِيَ بَصَرُهَا ثَمَّ أَذْرَعُ بَيْنَهُمَا وَأُعْطِيهِ عَلَى قَدْرِ مَا نَقَصَتْ عَنِ الصَّحِيحَةِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika salah satu dari keduanya (mata) kurang dari yang lain, aku akan mengujinya dengan menutup mata yang sakit dan membiarkan yang sehat terbuka, lalu aku menempatkan sebuah objek di atas tempat yang tinggi atau di tempat yang datar. Jika ia dapat melihatnya, aku akan menjauhkan objek itu sampai batas pandangan mata tersebut berakhir, kemudian aku mengukur jarak antara keduanya, dan aku memberinya ganti rugi sesuai dengan kadar kekurangan dibandingkan dengan mata yang sehat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا أَنْ يَجْنِيَ عَلَى إِحْدَى عَيْنَيْهِ فَيَذْهَبُ بِبَعْضِ بَصَرِهَا فَيُمْكِنُ أَنْ يُخْتَبَرَ قَدْرُ الذَّاهِبِ مِنْهَا بِمَا وَصَفَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ تَعْصِيبِ عَيْنِهِ الْعَلِيلَةِ وَإِطْلَاقِ الصَّحِيحَةِ وَنَصْبِ شَخْصٍ لَهُ مِنْ بُعْدٍ عَلَى رَبْوَةٍ مُرْتَفِعَةٍ أَوْ فِي أَرْضٍ مُسْتَوِيَةٍ فَإِذَا رَأَى الشَّخْصَ بُوعِدَ مِنْهُ حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى أَبْعَدِ مَدَى رُؤْيَتِهِ الَّذِي لَا يَرَاهُ بَعْدَهَا وَاخْتُبِرَ صِدْقُهُ فِي مَدَى الرُّؤْيَةِ بِالصَّحِيحَةِ بِأَنْ يُعَادَ الشَّخْصُ مِنْ جِهَاتٍ شَتَّى وَلَوْ ضُمَّ إِلَى الشَّخْصِ بَعْدَ مَدَى رُؤْيَتِهِ شَخْصٌ آخَرُ يُخْتَبَرُ بِهِ صِدْقُهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ بِهِ كَانَ أَحْوَطَ لِأَنَّ قَصْدَهُ بُعْدَ مَدَى الْبَصَرِ بِالْعَيْنِ الصَّحِيحَةِ فَإِذَا أَوْثَقَ بِمَا قَالَهُ مِنْ هَذَا الِاخْتِبَارِ الَّذِي لَمْ يَخْتَلِفْ مَدَى الْبَصَرِ فِيهِ بِاخْتِلَافِ الْجِهَاتِ واختلاف الأشخاص مسح قدر الْمَسَافَةَ فَإِذَا كَانَتْ أَلْفَ ذِرَاعٍ عُلِمَ أَنَّهُ قَدْرُ مَدَى بَصَرِهِ مَعَ الصَّحِيحَةِ وَإِنِ اخْتَلَفَ عَمِلَ عَلَى الْأَقَلِّ احْتِيَاطًا ثُمَّ أُطْلِقَتِ الْعَلِيلَةُ الصَّحِيحَةُ فَإِنْ رَأَى الشَّخْصَ مِنْ مَدَاهُ عُلِمَ أَنَّهُ لَمْ يَذْهَبْ مِنْ بَصَرِ الْعَلِيلَةِ شَيْءٌ وَإِنْ لَمْ يَرَهُ قَرِّبَ مِنْهُ حَتَّى يَنْتَهِيَ إلى حد يراه وغرض في هذا تقليل مدى بَصَرِهِ بِالْعَلِيلَةِ كَمَا كَانَ غَرَضُهُ تَبْعِيدَ مَدَى بَصَرِهِ بِالصَّحِيحَةِ لِيَكُونَ نُقْصَانُ مَا بَيْنَ الْبَصَرَيْنِ أَكْثَرَ فَيَكُونُ أَكْثَرَ فِيمَا تَسْتَحِقُّهُ مِنَ الدِّيَةِ فَيَسْتَظْهِرُ عَلَيْهِ بِإِعَادَةِ الشَّخْصِ مِنْ جِهَاتٍ وَيُحْتَسَبُ بِأَكْثَرَ مِمَّا قَالَهُ مِنْ مَدَى بَصَرِهِ بِالْعَلِيلَةِ كَمَا احْتُسِبَ بِأَقَلِّ مَا قَالَهُ مِنْ مَدَى بَصَرِهِ بِالصَّحِيحَةِ حَتَّى يَكُونَ أَقَلَّ لِمَا يَسْتَحِقُّهُ لِيَشُكَّ فِيمَا زَادَ عَلَيْهِ بِالتَّصَنُّعِ لَهُ وَيُنْظَرُ قَدْرَ مَسَافَةِ الْعَلِيلَةِ فَإِنْ كَانَ خَمْسَمِائَةِ ذِرَاعٍ مِنْ أَلْفٍ كَانَ الذَّاهِبُ مِنْ بَصَرِهَا النِّصْفَ فَيُؤْخَذُ بِرُبُعِ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ نِصْفُ دِيَةِ إِحْدَى الْعَيْنَيْنِ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ ذِرَاعٍ مِنْ أَلْفٍ كَانَ الذَّاهِبُ مِنْ بَصَرِهَا تِسْعَةَ أَعْشَارٍ فَيُؤْخَذُ بِتِسْعَةِ أَعْشَارِ نِصْفِ الدِّيَةِ وَعَلَى هَذِهِ الْعِبْرَةُ فِيمَا زَادَ وَنَقَصَ فَإِنْ سَأَلَ الْجَانِي إِحْلَافَهُ عَلَى مَا ذَكَرَهُ مِنَ الْمَسَافَةِ أُحْلِفَ لَهُ وَلَا قِصَاصَ فِي هَذَا لِأَنَّ الِاسْتِيفَاءَ لِقَدْرِ مَا ذَهَبَ مِنَ الْبَصَرِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ غَيْرُ مُمْكِنٍ فَسَقَطَ الْقِصَاصُ فِيهِ
Al-Mawardi berkata, bentuk kasusnya adalah seseorang melakukan kejahatan pada salah satu mata orang lain sehingga sebagian penglihatannya hilang. Maka, memungkinkan untuk menguji seberapa besar penglihatan yang hilang dengan cara yang dijelaskan oleh asy-Syafi‘i, yaitu dengan menutup mata yang sakit dan membiarkan mata yang sehat terbuka, lalu menempatkan seseorang dari kejauhan di atas bukit yang tinggi atau di tanah yang rata. Jika orang yang diuji masih bisa melihat orang tersebut, maka orang itu dijauhkan hingga mencapai batas terjauh penglihatannya, di mana setelah itu ia tidak lagi dapat melihatnya. Kejujurannya dalam batas penglihatan dengan mata yang sehat diuji dengan mengulangi percobaan dari berbagai arah. Jika setelah batas penglihatannya ditambahkan orang lain yang berdiri di samping orang pertama tanpa sepengetahuannya, itu lebih hati-hati, karena tujuannya adalah mengetahui batas terjauh penglihatan dengan mata yang sehat. Jika telah diyakini kebenaran ucapannya dari hasil pengujian ini, di mana batas penglihatannya tidak berbeda meski arah dan orangnya berbeda, maka jarak tersebut diukur. Jika jaraknya seribu hasta, maka diketahui itulah batas penglihatannya dengan mata yang sehat. Jika berbeda, maka diambil yang paling sedikit sebagai bentuk kehati-hatian. Kemudian mata yang sakit dan yang sehat dibuka, jika ia dapat melihat orang tersebut dari jarak itu, maka diketahui bahwa tidak ada penglihatan yang hilang dari mata yang sakit. Jika tidak dapat melihatnya, maka orang itu didekatkan hingga sampai pada jarak di mana ia bisa melihatnya. Tujuannya di sini adalah memperkecil jarak penglihatan dengan mata yang sakit, sebagaimana tujuannya memperjauh jarak penglihatan dengan mata yang sehat, agar selisih antara kedua penglihatan menjadi lebih besar, sehingga hak yang didapatkan dari diyat menjadi lebih banyak. Untuk memastikan, orang yang diuji diulang dari berbagai arah, dan dihitung dengan jarak terjauh yang disebutkan untuk mata yang sakit, sebagaimana dihitung dengan jarak terpendek yang disebutkan untuk mata yang sehat, agar menjadi lebih sedikit hak yang didapatkan, sehingga jika ada tambahan karena rekayasa dapat diragukan. Kemudian dilihat berapa jarak mata yang sakit, jika lima ratus hasta dari seribu, maka yang hilang dari penglihatannya adalah setengah, sehingga diambil seperempat diyat, karena itu adalah setengah diyat dari salah satu mata. Jika seratus hasta dari seribu, maka yang hilang dari penglihatannya adalah sembilan per sepuluh, sehingga diambil sembilan per sepuluh dari setengah diyat. Demikianlah perhitungannya untuk yang lebih atau kurang. Jika pelaku meminta korban bersumpah atas jarak yang disebutkan, maka korban disumpahkan, dan tidak ada qishāsh dalam kasus ini, karena pemenuhan hak atas penglihatan yang hilang tanpa lebih dan kurang tidak mungkin dilakukan, maka qishāsh gugur dalam hal ini.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ جَنَى عَلَى عَيْنَيْهِ فَأَذْهَبَ بَعْضَ بَصَرِهِمَا فَيَعْتَذِرُ فِي الْحَالِ اعْتِبَارَ مَا ذَهَبَ مِنْهُمَا بِالْجِنَايَةِ لِأَنَّ النُّقْصَانَ فِي الْعَيْنَيْنِ مَعًا فَإِنْ كَانَ قَدْ عَرَفَ مَدَى بَصَرِهِ قَبْلَ الْجِنَايَةِ اعْتَبَرَ مَدَى بَصَرِهِ بَعْدَهَا وَلَزِمَهُ مِنَ الدِّيَةِ بِقَدْرِ مَا بَيْنَ الْمَسَافَتَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ ذَلِكَ قَبْلَ الْجِنَايَةِ لَمْ يَعْلَمْ بعدها قدر الذاهب منهما فيلزمه حكومة بمقدرها الْحَاكِمُ بِاجْتِهَادِهِ
Dan jika seseorang melakukan tindak pidana pada kedua matanya sehingga menghilangkan sebagian penglihatannya, maka pada saat itu juga dipertimbangkan bagian yang hilang dari keduanya akibat tindak pidana tersebut, karena kekurangan terjadi pada kedua mata sekaligus. Jika sebelumnya telah diketahui jarak pandangnya sebelum terjadinya tindak pidana, maka yang dipertimbangkan adalah jarak pandangnya setelah kejadian itu, dan ia wajib membayar diyat sesuai dengan selisih antara kedua jarak tersebut. Namun jika hal itu tidak diketahui sebelum terjadinya tindak pidana, maka setelahnya juga tidak diketahui berapa banyak yang hilang dari keduanya, sehingga ia wajib membayar ganti rugi (hukūmah) sesuai dengan kadar yang ditetapkan oleh hakim berdasarkan ijtihadnya.
فَصْلٌ
Bagian
وَلَوْ كَانَ فِي عَيْنِهِ قَبْلَ الْجِنَايَةِ عَلَيْهَا بَيَاضٌ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Dan jika pada matanya sebelum terjadi jinayah (penganiayaan) terhadapnya sudah terdapat bercak putih, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ لَا يُؤَثِّرَ فِي الْبَصَرِ وَيَرَى مَعَ الْبَيَاضِ مَا كَانَ يَرَاهُ قَبْلَهُ فَفِي بَصَرِهِ إِذَا ذَهَبَ بِالْجِنَايَةِ الدِّيَةُ تَامَّةً وَلَا يَكُونُ لِلْبَيَاضِ تَأْثِيرٌ فِي الدِّيَةِ كَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ تَأْثِيرٌ فِي الْبَصَرِ وَسَوَاءٌ كَانَ يَشُقُّ عَلَيْهِ النَّظَرُ أَوْ لَا يَشُقُّ لِأَنَّهُ يُدْرِكُ مَعَ الْمَشَقَّةِ مَا كَانَ يُدْرِكُهُ بِغَيْرِ مَشَقَّةٍ
Salah satunya adalah bahwa bercak putih itu tidak memengaruhi penglihatan, dan ia masih dapat melihat bersama bercak putih itu apa yang sebelumnya dapat ia lihat. Maka, jika penglihatannya hilang karena suatu tindak pidana, maka diyatnya tetap sempurna, dan bercak putih itu tidak berpengaruh terhadap diyat, sebagaimana ia juga tidak berpengaruh terhadap penglihatan. Sama saja apakah melihat itu menjadi sulit baginya atau tidak, karena ia tetap dapat melihat dengan kesulitan apa yang sebelumnya dapat ia lihat tanpa kesulitan.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْبَيَاضُ قَدْ مَنَعَهُ مِنَ النَّظَرِ حَتَّى صَارَ لَا يُبْصِرُ مِنْ قُرْبٍ وَلَا بُعْدٍ فَيَكُونُ بِالْجِنَايَةِ عَلَيْهِ كَالْبَصَرِ الذَّاهِبِ لَا تَجِبُ فِيهِ إِلَّا حُكُومَةٌ وَإِنْ كَانَ بَصَرُهُ بَاقِيًا تَحْتَ الْبَيَاضِ لِأَنَّهُ لَا يُبْصِرُ بِهِ كَمَا لَا يُبْصِرُ بِالذَّاهِبِ مِنْ أَصْلِهِ وَلَيْسَ مَا يُرْجَى مِنْ زَوَالِ الْبَيَاضِ بِالْعِلَاجِ فَيَعُودُ الْبَصَرُ بِمَانِعٍ مِنْ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ فِي الْحَالِ حُكْمُ الذَّاهِبِ الْبَصَرِ وَإِنَّمَا يَفْتَرِقَانِ فِي قَدْرِ الْحُكُومَةِ فَتَكُونُ حُكُومَةُ ذَاتِ الْبَيَاضِ أَكْثَرَ لِبَقَاءِ الْبَصَرِ تَحْتَهُ
Bagian kedua adalah ketika warna putih itu menghalangi penglihatan sehingga ia tidak dapat melihat baik dari jarak dekat maupun jauh. Dalam kasus ini, akibat dari cedera tersebut diperlakukan seperti hilangnya penglihatan, sehingga hanya wajib membayar ḥukūmah saja. Meskipun penglihatannya masih ada di balik warna putih itu, karena ia tidak dapat melihat dengannya sebagaimana ia tidak dapat melihat dengan penglihatan yang benar-benar hilang sejak awal. Harapan akan hilangnya warna putih itu melalui pengobatan sehingga penglihatan kembali, tidak menjadi penghalang untuk diberlakukannya hukum hilangnya penglihatan pada saat ini. Perbedaannya hanya terletak pada besaran ḥukūmah, di mana ḥukūmah bagi yang terdapat warna putih lebih besar karena penglihatannya masih ada di baliknya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْبَيَاضُ قَدْ أَذْهَبَ بَعْضَ بَصَرِهِ وَبَقِيَ بَعْضُهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bagian ketiga adalah apabila bagian putih itu telah menghilangkan sebagian penglihatannya dan sebagian lainnya masih tersisa, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ قَدْ غَشِيَ جَمِيعَ النَّاظِرِ وَهُوَ رَقِيقٌ فَصَارَ مُبْصِرًا أَقَلَّ مِنْ بَصَرِهِ قَبْلَ الْبَيَاضِ فَيَتَعَذَّرُ فِي هَذَا مَعْرِفَةٌ مِنْهُ بِالْبَيَاضِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ عَرَفَ مَدَى بَصَرِهِ قَبْلَ الْبَيَاضِ فَيَعْرِفُ مَا بَقِيَ مِنْهُ بَعْدَهُ أَوْ يَكُونُ ذَلِكَ فِي إِحْدَى عَيْنَيْهِ وَقَدِ اعْتُبِرَ ذَلِكَ بِالْعَيْنِ الصَّحِيحَةِ فَيَلْزَمُهُ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِهِ وَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ فَفِيهِ حُكُومَةٌ
Salah satunya adalah ketika putih itu telah menutupi seluruh penglihatan, namun ia tipis sehingga penglihatan masih ada, meskipun lebih lemah dari penglihatannya sebelum ada putih tersebut. Dalam keadaan ini, sulit untuk mengetahui kadar penglihatan yang tersisa kecuali jika sebelumnya ia telah mengetahui sejauh mana penglihatannya sebelum munculnya putih itu, sehingga ia dapat mengetahui sisa penglihatannya setelahnya. Atau, kondisi ini terjadi pada salah satu matanya, dan telah diperhitungkan dengan mata yang sehat, maka ia wajib membayar diyat sesuai bagiannya. Namun jika tidak diketahui, maka berlaku hukumah.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْبَيَاضُ قَدْ غَشِيَ بَعْضَ النَّاظِرِ فَلَا يُبْصِرُ بِمَا غشاه وَيُبْصِرُ بِمَا عَدَاهُ فَيَلْزَمُ الْجَانِي عَلَيْهَا إِذَا ذَهَبَ بَصَرُهَا مَا كَانَ بَاقِيًا مِنْهَا مِنْ نِصْفٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ رُبُعٍ إِذَا عَرَفَ ذلك وخير مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْبَصَرِ
Jenis yang kedua adalah apabila bagian putih telah menutupi sebagian penglihatan seseorang sehingga ia tidak dapat melihat dengan bagian yang tertutup itu, namun masih dapat melihat dengan bagian yang lain. Maka pelaku yang menyebabkan hal tersebut wajib mengganti bagian penglihatan yang masih tersisa, apakah setengah, sepertiga, atau seperempat, jika hal itu dapat diketahui dan ditentukan oleh orang yang ahli dalam ilmu penglihatan.
فَصْلٌ
Bab
وَإِذَا ضَرَبَ عَيْنَهُ فَأَشْخَصَهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهَا بَعْدَ الشُّخُوصِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Dan apabila seseorang memukul mata orang lain sehingga matanya menonjol keluar, maka setelah menonjol itu, keadaannya tidak lepas dari tiga kemungkinan.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ بَصَرُهَا بَاقِيًا بِحَالِهِ فَيَلْزَمُهُ فِي إِشْخَاصِهَا حُكُومَةٌ يَتَقَدَّرُ بقبح الإشخاص وَلَا قِصَاصَ فِيهِ لِتَعَذُّرِهِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي الْبَصَرِ لِبَقَائِهِ
Salah satunya adalah apabila penglihatan orang tersebut tetap seperti sediakala, maka dalam hal merusak bentuk fisiknya dikenakan hukuman berupa ta‘zir yang diukur berdasarkan buruknya kerusakan fisik tersebut, dan tidak ada qishāsh karena hal itu sulit dilakukan, serta tidak ada kewajiban apa pun atas penglihatan karena penglihatannya masih tetap ada.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَذْهَبَ بَصَرُهَا فَيَلْزَمُهُ جَمِيعُ دِيَتِهَا وَيَجُوزُ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْهُ فِي ذَهَابِ الْبَصَرِ دُونَ الْإِشْخَاصِ لِأَنَّ الْقَوَدَ فِيهِ غَيْرُ مُمْكِنٍ
Bagian kedua adalah jika penglihatannya hilang, maka wajib baginya membayar seluruh diyat, dan boleh dilakukan qishāsh atas hilangnya penglihatan tanpa melakukan iskhāsh, karena qawad dalam hal ini tidak mungkin dilakukan.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَذْهَبَ بَعْضُ بَصَرِهَا فَيَلْزَمُهُ أَكْثَرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ دِيَةِ الذَّاهِبِ مِنْ بَصَرِهَا أَوْ حُكُومَةِ إِشْخَاصِهَا وَلَا يُجْمَعُ عَلَيْهِ بَيْنَهُمَا لِاجْتِمَاعِ مَحَلِّهِمَا وَيَكُونُ أَقَلُّهُمَا دَاخِلًا فِي الْأَكْثَرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Bagian ketiga adalah apabila sebagian penglihatannya hilang, maka wajib baginya membayar yang lebih besar dari dua hal: diyat atas bagian penglihatan yang hilang atau hukūmah atas hilangnya fungsi penglihatan tersebut. Tidak boleh menggabungkan keduanya karena tempat keduanya sama, dan yang lebih sedikit di antara keduanya sudah termasuk dalam yang lebih banyak. Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَالَ جَنَيْتُ عَلَيْهِ وَهُوَ ذَاهِبُ الْبَصَرِ فَعَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ أَنَّهُ كَانَ يُبْصِرُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Aku telah melakukan jināyah terhadapnya, sedangkan dia sudah buta,’ maka yang wajib bagi korban jināyah adalah menghadirkan bukti bahwa sebelumnya ia dapat melihat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَذَكَرْنَا حُكْمَ الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ إِذَا اخْتَلَفَ الْجَانِي وَالْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ فِي سَلَامَتِهَا وَعَطَبِهَا وَالْعَيْنُ مِنْ جُمْلَةِ الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ فَإِذَا فَقَأَ رَجُلٌ عَيْنَ رَجُلٍ وَاخْتَلَفَ الْفَاقِئُ وَالْمَفْقُوءُ
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah berlalu, dan kami telah menyebutkan hukum anggota tubuh yang tampak apabila terjadi perbedaan antara pelaku dan korban mengenai keselamatan atau kerusakannya, dan mata termasuk bagian dari anggota tubuh yang tampak. Maka apabila seseorang mencolok mata orang lain dan terjadi perselisihan antara orang yang mencolok dan yang dicelok matanya…
فَقَالَ الْفَاقِئُ فَقَأْتُهَا وَبَصَرُهَا ذَاهِبٌ
Maka orang yang memecahkan (mata) itu berkata, “Aku telah memecahkannya, dan penglihatannya telah hilang.”
وَقَالَ الْمَفْقُوءُ بَلْ كَانَ سَلِيمًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْفَاقِئِ مِنْ أَنْ يَعْتَرِفَ لَهُ بِتَقَدُّمِ السَّلَامَةِ أَوْ لَا يَعْتَرِفَ فَإِنْ لَمْ يَعْتَرِفْ لَهُ بِهَا وَقَالَ خُلِقْتَ ذَاهِبَ الْبَصَرِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الْمَفْقُوءَ يُمْكِنُهُ إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَى سَلَامَةِ بَصَرِهِ وَإِنِ اعْتَرَفَ لَهُ بِالسَّلَامَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَادَّعَى ذَهَابَ بَصَرِهِ قَبْلَ جِنَايَتِهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ
Dan jika orang yang matanya dicederai berkata, “Bahkan aku sebelumnya sehat,” maka keadaan orang yang mencederai tidak lepas dari dua kemungkinan: mengakui bahwa sebelumnya ia sehat atau tidak mengakuinya. Jika ia tidak mengakui bahwa sebelumnya sehat dan berkata, “Engkau memang diciptakan dalam keadaan buta,” maka perkataan dipegang berdasarkan sumpahnya, karena orang yang matanya dicederai dapat mendatangkan bukti atas kesehatan matanya sebelumnya. Namun, jika ia mengakui bahwa sebelumnya memang sehat, lalu mengklaim bahwa kebutaan itu terjadi sebelum ia melakukan tindakannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْفَاقِئِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الْقَوَدِ وَبَرَاءَةُ الذِّمَّةِ حَتَّى يُقِيمَ الْمَفْقُوءُ الْبَيِّنَةَ عَلَى سَلَامَتِهِ عِنْدَ الْجِنَايَةِ
Salah satu pendapat menyatakan bahwa yang dipegang adalah pernyataan pihak yang memukul mata (al-fāqi’) disertai sumpahnya, karena pada dasarnya tidak ada qawad (pembalasan sepadan) dan tanggungan seseorang dianggap bebas sampai pihak yang matanya terkena (al-mafqū’) dapat menghadirkan bukti bahwa matanya dalam keadaan sehat saat terjadi tindak pidana.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَفْقُوءِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاؤُهُ عَلَى سَلَامَتِهِ حَتَّى يُقِيمَ الْفَاقِئُ الْبَيِّنَةَ عَلَى ذهاب بصر وأصل هذين القولين اختلاف قوليه في الملفوف إِذَا قُطِعَ وَقَالَ الْجَانِي قَطَعْتُهُ وَكَانَ مَيْتًا
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dipegang adalah pernyataan pihak yang matanya rusak, disertai sumpahnya, karena pada dasarnya ia tetap dalam keadaan sehat sampai pihak yang menyebabkan kerusakan dapat mendatangkan bukti atas hilangnya penglihatan. Asal-usul kedua pendapat ini adalah perbedaan pendapat beliau dalam kasus anggota tubuh yang terpotong, ketika pelaku berkata, “Aku memotongnya saat sudah mati.”
وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُ كَانَ حَيًّا
Dan para walinya berkata bahwa ia masih hidup.
أَوْ هَدَمَ عَلَى جَمَاعَةٍ بَيْتًا وَقَالَ هَدَمْتُهُ عَلَيْهِمْ وَكَانُوا مَوْتَى وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ كَانُوا أَحْيَاءً فَفِيهَا قَوْلَانِ
Atau seseorang merobohkan sebuah rumah di atas sekelompok orang, lalu ia berkata, “Aku merobohkannya ketika mereka sudah meninggal,” sedangkan para wali mereka berkata, “Mereka masih hidup,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أحدهما أن القول قول الجاني مع يمينه لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الْقَوَدِ وَبَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Salah satunya adalah bahwa yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pelaku kejahatan dengan sumpahnya, karena pada dasarnya tidak ada qawad dan seseorang bebas dari tanggungan.
وَالثَّانِي إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْأَوْلِيَاءِ مَعَ أَيْمَانِهِمْ لِأَنَّ الأصل بقاء الحياة
Dan yang kedua, sesungguhnya pendapat yang dipegang adalah pendapat para wali disertai sumpah mereka, karena pada dasarnya hukum asalnya adalah tetapnya kehidupan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَيَسَعُهَا أَنْ تَشْهَدَ إِذَا رَأَتْهُ يُتْبِعُ الشَّخْصَ بصره ويطرف عنه ويتوقاه وكذلك المعرفة بانبساط اليد والذكر وانقباضهما وكذلك المعتوه والصبي وَمَتَّى عَلِمَ أَنَّهُ صَحِيحٌ فَهُوَ عَلَى الصِّحَّةِ حتى يعلم غيرها
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Cukup baginya untuk bersaksi jika ia melihat seseorang mengikuti sosok dengan pandangannya, mengedipkan mata darinya, dan menghindarinya. Demikian pula pengetahuan tentang terbukanya tangan dan dzakar serta menutup keduanya, demikian pula orang yang kurang akal dan anak kecil. Dan kapan pun diketahui bahwa ia sehat, maka ia dianggap sehat sampai diketahui selain itu.”
قال الماوردي وَأَصْلُ الشَّهَادَةِ أَنَّهَا لَا تَصِحُّ إِلَّا بِأَقْصَى جِهَاتِ الْعِلْمِ بِهَا فَإِذَا شَهِدُوا بِسَلَامَةِ الْبَصَرِ وَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يُشَاهَدُ فَقَدْ يَقْتَرِنُ بِالشَّهَادَةِ مِنْ أَمَارَاتِ الْعِلْمِ بِهِ مَا لَا يَعْتَرِضُهُ شَكٌّ وَهُوَ أَنْ يَرَاهُ يَتْبَعُ الشَّخْصَ وَيَسَلُكُ الْمَعَاطِفَ وَيَتَوَقَّى الْآبَارَ وَيَقْرَأُ الْكُتُبَ وَيَتَطَرَّفُ عَيْنَهُ عَنِ الْأَذَى فَيَعْلَمُ بِهَذِهِ الْأَمَارَاتِ وَالدَّلَائِلِ عِلْمًا لَا يَدْخُلُهُ شَكٌّ أَنَّهُ يُبْصِرُ فَجَازَ أَنْ يَشْهَدَ لَهُ بِسَلَامَةِ بَصَرِهِ وَهَكَذَا فِي سَلَامَةِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ إِذَا رَآهُ يَمْشِي عَلَى قَدَمَيْهِ وَيَقْبِضُ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ وَيَعْمَلُ بِيَدَيْهِ قَبْضًا وَبَسْطًا وَرَفْعًا وَوَضْعًا عَلِمَ بِذَلِكَ سَلَامَتَهَا مِنْ شَلَلٍ فَجَازَ أَنْ يَشْهَدَ لَهُ بِالصِّحَّةِ وَهَكَذَا الذَّكَرُ وَهُوَ مِنَ الْأَعْضَاءِ يَجُوزُ إِذَا رَآهُ يَنْقَبِضُ وَيَنْبَسِطُ أَنْ يَشْهَدَ لَهُ بِالسَّلَامَةِ مِنَ الشَّلَلِ وَذَلِكَ بِأَنْ يُشَاهِدَهُ فِي إِحْدَى ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ
Al-Mawardi berkata: Pada dasarnya, kesaksian itu tidak sah kecuali dengan pengetahuan yang paling kuat tentangnya. Maka jika mereka bersaksi tentang kesehatan penglihatan, meskipun itu termasuk hal yang tidak dapat disaksikan secara langsung, bisa jadi dalam kesaksian itu terdapat tanda-tanda pengetahuan yang tidak dihinggapi keraguan, yaitu dengan melihat orang tersebut mengikuti seseorang, berjalan di tikungan, menghindari sumur, membaca buku, dan menggerakkan matanya dari bahaya. Dengan tanda-tanda dan bukti-bukti ini, dapat diketahui dengan pengetahuan yang tidak diragukan lagi bahwa ia dapat melihat, sehingga boleh bersaksi atas kesehatan penglihatannya. Demikian pula pada kesehatan kedua tangan dan kedua kaki, jika melihatnya berjalan di atas kedua kakinya, menggenggam jari-jari kakinya, bekerja dengan kedua tangannya dalam menggenggam, membuka, mengangkat, dan meletakkan, maka dengan itu diketahui kesehatannya dari kelumpuhan, sehingga boleh bersaksi atas kesehatannya. Demikian pula alat kelamin laki-laki, yang termasuk anggota tubuh, boleh jika melihatnya dapat mengerut dan mengembang, maka boleh bersaksi atas kesehatannya dari kelumpuhan, yaitu dengan menyaksikannya dalam salah satu dari tiga keadaan.
إِمَّا حَالَ الصِّغَرِ قَبْلَ تَغْلِيظِ عَوْرَتِهِ
Atau pada masa kecil sebelum auratnya menjadi berat.
أَوْ يُشَاهِدَهُ فِي الْكِبَرِ بِالِاتِّفَاقِ مِنْ غَيْرِ تَعَمُّدٍ لِمُشَاهَدَتِهِ
Atau ia melihatnya ketika sudah dewasa secara kebetulan tanpa sengaja untuk melihatnya.
أَوْ يَكُونُ طَبِيبًا قَدْ دَعَتْهُ الضَّرُورَةُ إِلَى مُشَاهَدَتِهِ فَأَمَّا إِنْ تَعَمَّدَ فِي الْكِبَرِ لِلنَّظَرِ بِغَيْرِ ضَرُورَةٍ فَقَدْ فَسَقَ وَلَا يُقْبَلُ لِلْفَاسِقِ شَهَادَةٌ وَكَذَلِكَ الشَّهَادَةُ لِلصَّبِيِّ وَالْمَعْتُوهِ بسلامة أعضائه لأنه يستبدل عَلَيْهَا بِحَرَكَاتِ طَبْعِهِ
Atau ia adalah seorang tabib (dokter) yang terpaksa harus melihatnya karena adanya kebutuhan mendesak. Adapun jika seseorang sengaja melihat pada usia dewasa tanpa adanya kebutuhan, maka ia telah berbuat fasik dan kesaksian orang fasik tidak diterima. Demikian pula kesaksian untuk anak kecil dan orang yang kurang akal tentang keselamatan anggota tubuhnya, karena mereka dapat menggantinya dengan gerakan-gerakan naluriah mereka.
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَتَّى عَلِمَ أَنَّهُ صَحِيحٌ فَهُوَ عَلَى الصِّحَّةِ وَشَهِدَ لَهُ شَاهِدَانِ بِهَا نُظِرَتْ شَهَادَتُهُمَا فَإِنْ شَهِدَا لَهُ بِالصِّحَّةِ عِنْدَ الْجِنَايَةِ حُكِمَ بِهَا وَلَمْ يُسْتَحْلَفِ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ مَعَهَا لِأَنَّ الْبَيِّنَةَ تُغْنِي عَنِ الْيَمِينِ فِيمَا تَضَمَّنَتْهُ وَإِنْ شَهِدَا بِالسَّلَامَةِ قَبْلَ الْجِنَايَةِ فَفِي سَمَاعِهَا وَالْحُكْمِ بِهَا قَوْلَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَنْ عَلِمَ بِتَقَدُّمِ سَلَامَتِهَا هَلْ يُحْكَمُ فِيهَا عِنْدَ الْجِنَايَةِ بِقَوْلِهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ
Asy-Syafi‘i berkata: Apabila diketahui bahwa (keadaannya) benar, maka ia tetap dianggap benar. Jika ada dua saksi yang memberikan kesaksian atasnya, maka kesaksian keduanya diteliti. Jika keduanya bersaksi tentang kebenarannya pada saat terjadinya jināyah, maka diputuskan berdasarkan kesaksian itu dan korban tidak diminta bersumpah bersamanya, karena bayyinah (alat bukti yang jelas) sudah mencukupi tanpa perlu sumpah dalam hal yang tercakup di dalamnya. Namun jika keduanya bersaksi tentang keselamatannya sebelum terjadinya jināyah, maka dalam hal mendengarkan dan memutuskan berdasarkan kesaksian itu terdapat dua pendapat, yang merupakan perbedaan dua pendapat asy-Syafi‘i tentang orang yang diketahui sebelumnya dalam keadaan selamat: apakah diputuskan berdasarkan ucapannya pada saat terjadi jināyah atau tidak, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا يُحْكَمُ بِقَوْلِهِ فَعَلَى هَذَا لَا تُسْمَعُ الشَّهَادَةُ لَهُ بِتَقَدُّمِ سَلَامَتِهِ
Salah satunya tidak dapat dijadikan dasar hukum dengan ucapannya, maka berdasarkan hal ini, kesaksian tentang keselamatannya sebelumnya tidak dapat diterima.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُحْكَمُ لَهُ بِقَوْلِهِ فَعَلَى هَذَا تُسْمَعُ الشَّهَادَةُ لَهُ بِتَقَدُّمِ سَلَامَتِهِ ثُمَّ يُسْتَحْلَفُ مَعَهَا عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ عَلَى السَّلَامَةِ إلى حين جنايته
Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum ditetapkan berdasarkan ucapannya. Dengan demikian, kesaksian tentang keselamatannya di masa lalu dapat diterima, kemudian ia diminta bersumpah bersamanya bahwa ia senantiasa berada dalam keadaan selamat hingga saat terjadinya pelanggaran.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي الْجُفُونِ إِذَا اسْتُؤْصِلَتِ الدِّيَةُ وَفِي كُلِّ واحد منهما ربع الدية لأن ذلك من تمام خلقته وما يألم بقطعه
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada kelopak mata, jika seluruhnya dicabut maka wajib membayar diyat, dan pada masing-masing dari keduanya (kelopak atas dan bawah) seperempat diyat, karena itu merupakan bagian dari kesempurnaan penciptaannya dan seseorang merasakan sakit jika dipotong.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا جُفُونُ الْعَيْنَيْنِ فَهِيَ أَرْبَعَةٌ تُحِيطُ بِالْعَيْنَيْنِ مِنْ أَعْلَى وَأَسْفَلَ وَتَحْفَظُهُمَا مِنَ الْأَذَى وَتَجْلِبُ إِلَيْهِمَا النَّوْمَ وَيَكْمُلُ بِهِنَّ جَمَالُ الوجه والعين وفيها إذا استوصلت الدِّيَةُ تَامَّةً
Al-Mawardi berkata: Adapun kelopak mata, jumlahnya ada empat yang mengelilingi kedua mata dari atas dan bawah, melindungi keduanya dari bahaya, mendatangkan tidur kepada keduanya, dan dengan kelopak-kelopak itu pula kesempurnaan keindahan wajah dan mata tercapai. Jika seluruh kelopak itu hilang, maka diyat (tebusan) dikenakan secara penuh.
وَقَالَ مَالِكٌ فِيهَا حُكُومَةٌ لِأَنَّ مَقَادِيرَ الدِّيَاتِ مَوْقُوفٌ عَلَى النَّصِّ وَلَيْسَ فِيهَا نَصٌّ وَلِأَنَّهَا تَبَعٌ لِلْعَيْنَيْنِ فَلَمْ تَجِبْ فِيهَا الدِّيَةُ الْوَاجِبَةُ فِي الْعَيْنَيْنِ لِأَنَّ حُكْمَ التَّبَعِ أَخَفُّ مِنْ حُكْمِ الْمَتْبُوعِ
Malik berkata bahwa dalam hal ini berlaku hukumah, karena kadar diyat ditentukan berdasarkan nash, sedangkan dalam hal ini tidak terdapat nash. Selain itu, bagian ini merupakan pengikut dari kedua mata, sehingga tidak wajib diyat yang diwajibkan pada kedua mata, karena hukum bagi sesuatu yang mengikuti lebih ringan daripada hukum bagi yang diikuti.
وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَفِي الجفون إذا استوصلت الدِّيَةُ وَلَيْسَ بِمَشْهُورٍ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ وَلِأَنَّهَا مِنْ تَمَامِ الْخِلْقَةِ فِيهَا مَنْفَعَةٌ وَجَمَالٌ تَأَلَّمَ بِقَطْعِهَا وَيُخَافُ عَلَى النَّفْسِ مِنْ سِرَايَةِ الْجِنَايَةِ عَلَيْهَا فَوَجَبَ أَنْ تَكْمُلَ الدِّيَةُ فِيهَا كَسَائِرِ الْأَعْضَاءِ وَلَا يُمْتَنَعُ وَإِنْ كَانَتْ تَبَعًا أَنْ تُسَاوِيَ مَتْبُوعًا فِي الدِّيَةِ إِذَا اخْتُصَّتْ بِزِيَادَةِ جَمَالٍ وَمَنْفَعَةٍ كَالْأَنْفِ فِي الشَّمِّ وَالْأُذُنَيْنِ فِي السَّمْعِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ فِيهَا الدِّيَةَ فَسَوَاءٌ استوصلت مِنْ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ أَوْ بَصِيرٍ لِأَنَّ لِلضَّرِيرِ بِهَا مَنْفَعَةً وَجَمَالًا وَإِنْ كَانَتْ مَنْفَعَةُ الْبَصَرِ بِهَا أَعَمَّ
Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat kami bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam surat ‘Amr bin Hazm: “Pada kelopak mata, jika terlepas seluruhnya, maka dikenakan diyat (denda penuh).” Namun hadis ini tidak masyhur di kalangan ahli hadis. Hal ini karena kelopak mata merupakan bagian penyempurna ciptaan, padanya terdapat manfaat dan keindahan, seseorang akan merasakan sakit jika terpotong, dan dikhawatirkan akan membahayakan jiwa jika luka tersebut menjalar. Maka wajib dikenakan diyat penuh padanya seperti anggota tubuh lainnya. Tidak menjadi halangan, meskipun kelopak mata merupakan bagian pengikut, untuk disamakan diyat-nya dengan anggota yang diikutinya jika memiliki kelebihan dalam keindahan dan manfaat, seperti hidung dalam penciuman dan kedua telinga dalam pendengaran. Jika telah tetap bahwa pada kelopak mata dikenakan diyat, maka hukumnya sama, baik terlepas dari anak kecil maupun orang dewasa, atau dari orang yang dapat melihat, karena bagi orang buta pun kelopak mata tetap memiliki manfaat dan keindahan, meskipun manfaat penglihatan pada kelopak mata lebih umum.
فَأَمَّا الْقَوَدُ فَإِنْ أَمْكَنَ فِيهَا وَلَمْ يَتَعَدَّ ضَرَرُهُ إِلَى الْعَيْنَيْنِ وَجَبَ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ سَقَطَ فَإِنْ قَلَعَ جَفْنًا وَاحِدًا فَفِيهِ رُبْعُ الدِّيَةِ لِأَنَّ كُلَّ ذِي عَدَدٍ مِنَ الْأَعْضَاءِ إِذَا كَمُلَتْ فِيهِ الدِّيَةُ تَقَسَّطَتْ عَلَى عَدَدِهَا كَالْيَدَيْنِ فِي تَقْسِيطِ دِيَتِهَا عَلَى الْأَصَابِعِ وَتُقَسَّطُ دِيَةُ الْإِصْبَعِ عَلَى الْأَنَامِلِ وَسَوَاءٌ كَانَ الْجَفْنُ أَعْلَى أَوْ أَسْفَلَ وَفِي الْجَفْنَيْنِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَفِي ثَلَاثَةِ جُفُونٍ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الدِّيَةِ فَلَوْ جَنَى عَلَى عَيْنَيْهِ فَقَطَعَ جُفُونَهُمَا وَأَذْهَبَ بَصَرَهُمَا لَزِمَتْهُ دِيَتَانِ
Adapun qawad, jika memungkinkan dilakukan padanya dan tidak menimbulkan bahaya yang melampaui kedua mata, maka wajib dilakukan. Namun jika tidak memungkinkan, maka gugur. Jika seseorang mencabut satu kelopak mata, maka baginya dikenakan seperempat diyat, karena setiap anggota tubuh yang berjumlah lebih dari satu, jika diyatnya sempurna, maka dibagi sesuai jumlahnya, seperti kedua tangan yang diyatnya dibagi pada jari-jarinya, dan diyat jari dibagi pada ruas-ruasnya. Sama saja apakah kelopak mata itu bagian atas atau bawah. Untuk dua kelopak mata, dikenakan setengah diyat, dan untuk tiga kelopak mata, dikenakan tiga perempat diyat. Jika seseorang melakukan kejahatan pada kedua mata lalu memotong kelopak keduanya dan menghilangkan penglihatannya, maka ia wajib membayar dua diyat.
إِحْدَاهُمَا فِي الْجُفُونِ
Salah satunya berada di kelopak mata.
وَالْأُخْرَى فِي الْعَيْنَيْنِ كَمَا لَوْ قَطَعَ أُذُنَيْهِ وَأَذْهَبَ سَمْعَهُ
Dan yang lainnya pada kedua mata, seperti halnya jika seseorang memotong kedua telinganya dan menghilangkan pendengarannya.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا أَهْدَابُ الْعَيْنَيْنِ وَأَشْفَارُهُمَا مِنَ الشَّعْرِ النَّابِتِ فِي أَجْفَانِهِمَا فَفِيهِمَا مِنَ الْمَنْفَعَةِ ذَبُّهَا عَنِ الْبَصَرِ وَمِنِ الْجَمَالِ حُسْنُ الْمَنْظَرِ وَفِيهَا إِذَا انْتَفَتْ فَلَمْ تَعُدْ حُكُومَةً
Adapun bulu mata dan bulu-bulu di sekitarnya yang tumbuh pada kelopak mata, maka pada keduanya terdapat manfaat berupa melindungi penglihatan dan dari segi keindahan memberikan penampilan yang bagus. Jika bulu-bulu itu hilang dan tidak tumbuh kembali, maka ada ketentuan hukum (ḥukūmah) terkait hal itu.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ فِيهَا الدِّيَةُ
Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus tersebut dikenakan diyat.
وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ الدِّيَةَ تَجِبُ فِي قَطْعِ مَا يُخَافُ مِنْ سِرَايَتِهِ وَيُؤْلَمُ فِي إِبَانَتِهِ وَهَذَا مَعْدُومٌ فِي الْأَهْدَابِ وَمَوْجُودٌ فِي الْجُفُونِ فَلِذَلِكَ وَجَبَ فِي الْأَجْفَانِ دِيَةٌ وَفِي الْأَهْدَابِ حُكُومَةٌ فَإِنْ نَتَفَ أَهْدَابَهُ فَعَادَ نَبَاتُهَا دُونَ مَا كَانَتْ فَفِيهَا مِنَ الْحُكُومَةِ أَقَلُّ مِمَّا فِيهَا لَوْ لَمْ تَعُدْ فَإِنْ عَادَ نَبَاتُهَا إِلَى ما كانت عليه ففيهما وجهان
Dan hal itu tidak benar, karena diyat wajib atas pemotongan anggota tubuh yang dikhawatirkan dapat menjalar bahayanya dan menimbulkan rasa sakit saat dipisahkan, dan hal ini tidak terdapat pada bulu mata, tetapi terdapat pada kelopak mata. Oleh karena itu, diyat diwajibkan pada kelopak mata, sedangkan pada bulu mata dikenakan hukuman ganti rugi (ḥukūmah). Jika seseorang mencabut bulu matanya lalu tumbuh kembali namun tidak seperti semula, maka hukuman ganti ruginya lebih ringan dibandingkan jika tidak tumbuh kembali. Jika bulu matanya tumbuh kembali seperti semula, maka ada dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا لَا شَيْءَ فِيهَا لِعَدَمِ التَّأْثِيرِ وَيُعَزَّرُ لِأَجْلِ الْأَذَى
Salah satunya tidak ada kewajiban apa-apa karena tidak ada pengaruh, namun ia tetap dikenai ta‘zīr karena telah menimbulkan gangguan.
وَالثَّانِي فِيهَا حُكُومَةٌ دُونَ حُكُومَتِهَا لَوْ عَادَ نَبَاتُهَا خَفِيفًا فَإِنِ اسْتَأْصَلَ أَجْفَانَهُ مع أهدابها فعليه دية الجفون تدل فِيهَا حُكُومَةُ الْأَهْدَابِ وَحَكَى أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَجْهًا آخَرَ أَنَّهُ يَجْمَعُ عَلَيْهِ بَيْنَ دِيَةِ الْجُفُونِ وَحُكُومَةِ الْأَهْدَابِ وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ لِأَنَّ الْجُفُونَ مَحَلُّ الْأَهْدَابِ فَلَمْ يَنْفَرِدْ بِالْحُكُومَةِ فِيهَا كَالْأَصَابِعِ مَعَ الْكَفِّ
Yang kedua, pada kasus ini ada ḥukūmah yang lebih rendah daripada ḥukūmah aslinya jika tumbuhannya (bulu matanya) tumbuh kembali dengan tipis. Jika seseorang mencabut bulu mata beserta ujung-ujungnya, maka ia wajib membayar diyat kelopak mata, dan dalam hal ini berlaku ḥukūmah untuk bulu mata. Abu Ḥāmid al-Isfarāyīnī rahimahullah meriwayatkan pendapat lain, yaitu bahwa ia harus menggabungkan antara diyat kelopak mata dan ḥukūmah bulu mata. Namun, pendapat ini tidak memiliki dasar, karena kelopak mata adalah tempat tumbuhnya bulu mata, sehingga tidak berdiri sendiri dalam ḥukūmah, sebagaimana jari-jari dengan telapak tangan.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا شَعْرُ الْحَاجِبَيْنِ فَيَخْتَصَّانِ بِالْجَمَالِ دُونَ الْمَنْفَعَةِ فَإِنْ نَتَفَهُ حَتَّى ذَهَبَ وَلَمْ يَعُدْ فَفِيهِ حُكُومَةٌ
Adapun rambut kedua alis, maka keduanya khusus berkaitan dengan keindahan, bukan manfaat. Jika seseorang mencabutnya hingga habis dan tidak tumbuh kembali, maka di dalamnya terdapat kewajiban membayar ḥukūmah.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ فِيهِ دِيَةٌ لِأَنَّهُ يُوجِبُهَا فِي أَرْبَعَةِ شُعُورٍ شَعْرِ الرَّأْسِ وَاللِّحْيَةِ وَالْحَاجِبَيْنِ وَأَهْدَابِ الْعَيْنَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَبْدًا فَيَجِبُ فِيهِ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ
Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam hal ini ada diyat, karena beliau mewajibkannya pada empat jenis rambut: rambut kepala, jenggot, kedua alis, dan bulu mata, kecuali jika yang terkena adalah seorang budak, maka yang diwajibkan adalah sebesar nilai yang berkurang dari harganya. Pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya.
فَلَوْ عَادَ شَعْرُ الْحَاجِبَيْنِ بَعْدَ نَتْفِهِ فَعَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ فَلَوْ كَشَطَ جِلْدَةَ الْحَاجِبَيْنِ وَلَمْ يَسْتَخْلِفْ كَانَ عَلَيْهِ حُكُومَةٌ بِحَسَبَ الشَّيْنِ هِيَ أَكْثَرُ مِنْ حُكُومَةِ الشَّعْرِ فَإِنَّ أَوْضَحَ مَحَلَّهُمَا كَانَ عَلَيْهِ دِيَةُ مُوضِحَتَيْنِ وَهَلْ يَدْخُلُ فِيهِمَا حُكُومَةُ الشَّيْنِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ ذَكَرْنَا نَظِيرَهُمَا مِنْ قَبْلُ
Jika rambut kedua alis tumbuh kembali setelah dicabut, maka hukumnya sesuai dengan dua pendapat yang telah kami sebutkan. Jika seseorang mengelupas kulit alis dan tidak tumbuh kembali, maka ia wajib membayar ganti rugi (ḥukūmah) sesuai kadar cacat yang terjadi, dan ini lebih besar daripada ganti rugi untuk rambut saja. Jika bagian yang paling jelas dari kedua alis itu terbuka, maka ia wajib membayar diyat untuk dua luka yang membuka tulang (muḍiḥatayn). Apakah dalam hal ini juga berlaku ḥukūmah karena cacat atau tidak, terdapat dua pendapat sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وفي الأنف إذا أوعب مارنه جدعا الدية
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Pada hidung, jika seluruh bagian lunaknya terpotong habis, maka wajib membayar diyat (denda penuh).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَفِي الْأَنْفِ الدِّيَةُ لِمَا رَوَى ابْنُ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ كَانَ عِنْدَهُ كِتَابٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وفي الأنف إذا أوعب مارنه جدعا الدية فَأَوْرَدَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ذَلِكَ بِلَفْظِ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِذَا أَمْكَنَ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ فَبِأَلْفَاظِ الصَّحَابَةِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَبِأَلْفَاظِ التَّابِعِينَ وَكَثِيرًا مَا يُورِدُهَا بِلَفْظِ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ
Al-Mawardi berkata, “Pada hidung terdapat diyat, berdasarkan riwayat Ibnu Thawus dari ayahnya bahwa ia memiliki sebuah kitab dari Rasulullah ﷺ yang di dalamnya disebutkan: ‘Pada hidung, jika seluruh bagian rawan hidung terpotong habis, maka diyat (dikenakan).’ Asy-Syafi‘i rahimahullah menyebutkan hal tersebut dengan lafaz Rasulullah ﷺ jika memungkinkan, jika tidak memungkinkan maka dengan lafaz para sahabat, dan jika tidak ditemukan maka dengan lafaz para tabi‘in. Seringkali ia juga meriwayatkannya dengan lafaz ‘Atha’ bin Abi Rabah.”
وَرَوَى عمرو بن حزم عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى الْيَمَنِ وَفِي الأنف إذا أوعب جذعاً مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ لِأَنَّ الْأَنْفَ عُضْوٌ فِيهِ مَنْفَعَةٌ وَجَمَالٌ تَأَلَّمَ بِقَطْعِهِ وَرُبَّمَا سَرَتِ الْجِنَايَةُ عَلَيْهِ إِلَى نَفْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ يُكْمِلَ فِيهِ الدِّيَةَ كَاللِّسَانِ وَالذَّكَرِ وَمَارِنُ الْأَنْفِ هُوَ مَا لَانَ مِنَ الْحَاجِزِ بَيْنَ الْمَنْخَرَيْنِ الْمُتَّصِلُ بِقَصَبَةِ الْأَنْفِ
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam suratnya kepada penduduk Yaman: “Pada hidung, jika terpotong seluruhnya hingga ke tulang, diyatnya adalah seratus ekor unta.” Karena hidung adalah anggota tubuh yang memiliki manfaat dan keindahan, seseorang merasakan sakit jika dipotong, dan terkadang luka padanya bisa berakibat pada kematian, maka wajib diberikan diyat penuh padanya, seperti halnya pada lidah dan kemaluan. Bagian lunak hidung adalah bagian yang lembut dari sekat di antara kedua lubang hidung yang terhubung dengan batang hidung.
وَالْقَصَبَةُ هِيَ الْعَظْمُ الْمُنْتَهِي إِلَى الْجَبْهَةِ وَكَمَالُ الدِّيَةِ فِيهِ يَجِبُ بِاسْتِيعَابِ الْمَارِنِ مَعَ الْمَنْخَرَيْنِ وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْأَنْفُ الْأَقْنَى وَالْأَفْطَسُ وَالْأَحْجَرُ وَالْأَخْنَسُ وَأَنْفُ الْأَشَمِّ وَالْأَخْشَمُ فَإِنْ قَطَعَ أَرْنَبَةَ الْأَنْفِ وَتَجَزَّأَ فِيهِ مِنَ الدِّيَةِ بِحِسَابِهِ وَقِسْطِهِ وَإِنْ لَمْ يَتَجَزَّأْ فَفِيهِ حُكُومَةٌ وَلَوْ قَطَعَ أَحَدَ الْمَنْخَرَيْنِ وَبَقِيَ الْمَنْخَرُ الْآخَرُ مَعَ الْمَارِنِ فَفِيمَا يَلْزَمُهُ مِنَ الدِّيَةِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ
Tulang hidung adalah tulang yang berakhir di dahi, dan diyat (denda) penuh padanya wajib jika seluruh bagian lunak hidung beserta kedua lubang hidungnya terkena. Hal ini berlaku sama baik pada hidung yang mancung, pesek, lebar, melengkung, maupun hidung yang tinggi atau rendah. Jika seseorang memotong ujung hidung dan bagian tersebut dapat dibagi, maka bagian diyat yang dikenakan disesuaikan dengan proporsinya. Namun jika tidak dapat dibagi, maka dikenakan hukuman berdasarkan penilaian (ḥukūmah). Jika seseorang memotong salah satu lubang hidung dan lubang yang lain beserta bagian lunaknya masih tersisa, maka dalam hal ini ada dua pendapat mengenai besaran diyat yang wajib, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfarayini.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَحَكَاهُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لِأَنَّهُ قَدْ أَذْهَبَ نِصْفَ مَنْفَعَتِهِ
Salah satunya wajib membayar setengah diyat, dan hal ini dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, karena ia telah menghilangkan setengah manfaatnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي عَلَيْهِ ثُلُثُ الدِّيَةِ تَقْسِيطًا عَلَى الْمَنْخَرَيْنِ وَالْمَارِنِ الَّذِي يَشْتَمِلُ الْأَنْفُ عَلَيْهَا فَكَانَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثُلُثُ الدِّيَةِ وَيَلْزَمُهُ عَلَى هَذَا فِي قَطْعِ الْمَارِنِ مَعَ بَقَاءِ الْمَنْخَرَيْنِ ثُلُثُ الدِّيَةِ وَلَوْ شَقَّ الْمَارِنَ وَلَمْ يَقْطَعْهُ فَفِيهِ حُكُومَةٌ انْدَمَلَ أَوْ لَمْ يَنْدَمِلْ غَيْرَ أَنَّهَا فِي الْمُنْدَمِلِ أَقَلُّ وَفِي غَيْرِ الْمُنْدَمِلِ أَكْثَرُ فَإِنْ خَرَمَ أَحَدٌ مَنْخَرَيْهِ فَإِنْ لم يذهب منه بالخرم شيء ويجزأ فَفِيهِ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِهِ وَإِنْ لَمْ يَتَجَزَّأْ فَفِيهِ حُكُومَةٌ بِحَسَبِ الشَّيْنِ لَا تَبْلُغُ بِهَا ثُلُثُ الدِّيَةِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَنَصِفُهَا فِي الْوَجْهِ الثَّانِي بِحَسَبِ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي قَطْعِ أَحَدِ الْمَنْخَرَيْنِ لِأَنَّ قَطْعَهُ أَكْثَرُ مَنْ خَرْمِهِ فَإِنِ اسْتَوْعَبَ قَطْعَ الْأَنْفِ مِنْ أَصْلِ الْمَارِنِ فَأَوْضَحَ عَظْمَ الْقَصَبَةِ فَعَلَيْهِ مَعَ دِيَةِ الْأَنْفِ دِيَةُ مُوضِحَةٍ وَلَوْ هَشَمَهُ لَزِمَهُ دِيَةُ هَاشِمَةٍ وَلَوْ نَقَّلَهُ لَزِمَهُ دِيَةُ مُنَقِّلَةٍ وَلَوْ أَجَافَ مَا تَحْتَهُ لَزِمَهُ دِيَةُ مَأْمُومَةٍ لِوُصُولِهِ إِلَى جَوْفِ الرَّأْسِ وَحَكَى أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ فِي جَامِعِهِ قَوْلًا ثَانِيًا أَنَّهُ يَلْزَمُهُ فِيهِ دِيَةُ مَأْمُومَةٍ وَيَلْزَمُهُ حُكُومَةٌ هِيَ أَكْثَرُ مِنْ دِيَةِ مُنَقِّلَةٍ فَإِنِ اسْتَوْعَبَ عَظْمَ الْقَصَبَةِ كُلَّهَا لَزِمَهُ مَعَ دِيَةِ الْأَنْفِ حُكُومَةُ الْقَصَبَةِ لَا يَبْلُغُ بِهَا دِيَةَ الْأَنْفِ لِأَنَّهَا تَبَعٌ لَهُ وَخَرَّجَ هَذَا التَّعْلِيلَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ قَوْلًا ثَانِيًا فِي قَصَبَةِ الْأَنْفِ إِذَا قُطِعَتْ مع الأنف قولاً ثانياً أَنَّهُ لَا يَجِبُ فِيهَا إِلَّا دِيَةٌ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي قَطْعِ الْحَلَمَةِ مَعَ الثَّدْيَيْنِ وَقَطْعِ الْحَشَفَةِ مَعَ بَعْضِ الذَّكَرِ وَلَيْسَ هَذَا التَّحْرِيمُ بِصَحِيحٍ لِأَمْرَيْنِ
Pendapat kedua, atasnya dikenakan sepertiga diyat yang dibagi pada kedua lubang hidung dan bagian lunak hidung (marin) yang mencakup hidung, sehingga pada masing-masing bagian tersebut terdapat sepertiga diyat. Berdasarkan ini, jika memotong bagian marin sementara kedua lubang hidung masih ada, maka dikenakan sepertiga diyat. Jika hanya membelah bagian marin tanpa memotongnya, maka dikenakan hukuman (ta‘zir) baik luka itu sembuh maupun tidak, hanya saja pada luka yang sudah sembuh nilainya lebih sedikit, sedangkan pada yang belum sembuh nilainya lebih banyak. Jika seseorang melubangi salah satu lubang hidung, dan tidak ada bagian yang hilang karena lubang tersebut serta masih bisa dibagi, maka dikenakan diyat sesuai bagiannya. Namun jika tidak bisa dibagi, maka dikenakan hukuman sesuai kadar cacatnya, yang tidak mencapai sepertiga diyat menurut salah satu pendapat, dan setengahnya menurut pendapat kedua, sesuai perbedaan dua pendapat dalam kasus memotong salah satu lubang hidung, karena memotongnya lebih berat daripada melubanginya. Jika memotong seluruh hidung dari pangkal bagian marin sehingga tampak tulang batang hidung, maka selain diyat hidung juga dikenakan diyat mudhihah (luka yang menampakkan tulang). Jika menghancurkannya, maka dikenakan diyat hashimah (luka yang menghancurkan tulang). Jika memindahkannya, maka dikenakan diyat munqillah (luka yang memindahkan tulang). Jika melukai bagian bawahnya hingga menembus, maka dikenakan diyat ma’mumah (luka yang sampai ke rongga kepala) karena telah sampai ke dalam kepala. Abu Hamid al-Marwazi dalam kitabnya meriwayatkan pendapat kedua bahwa dalam hal ini dikenakan diyat ma’mumah dan hukuman yang nilainya lebih besar dari diyat munqillah. Jika seluruh tulang batang hidung rusak, maka selain diyat hidung juga dikenakan hukuman untuk batang hidung, namun nilainya tidak sampai diyat hidung karena hukuman tersebut mengikuti diyat hidung. Abu Ali bin Abi Hurairah mengeluarkan alasan kedua dalam kasus batang hidung jika dipotong bersama hidung, yaitu hanya wajib membayar satu diyat, berdasarkan perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i dalam kasus memotong puting bersama kedua payudara dan memotong hasyafah (kepala zakar) bersama sebagian zakar. Namun pendapat ini tidak benar karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ مَحَلَّ الْحَلَمَةِ فِي الثَّدْيِ وَمَحَلَّ الْحَشَفَةِ عَلَى الذَّكَرِ وَلَيْسَ مَحَلُّ الْأَنْفِ عَلَى الْقَصَبَةِ وَإِنِ اتَّصَلَ بِهَا فَاخْتَلَفَا
Salah satunya adalah bahwa letak puting berada di payudara dan letak hasyafah berada pada zakar, sedangkan letak hidung tidak berada di atas batang hidung, meskipun ia tersambung dengannya, sehingga keduanya berbeda.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ فِي إِيضَاحِ الْمَارِنِ دِيَةُ مُوضِحَةٍ كَانَ الْتِزَامُ الْغُرْمِ فِي قَطْعِ أَصْلِهَا أَحَقَّ
Dan yang kedua, ketika pada penjelasan tentang luka yang menampakkan tulang (mārin) diwajibkan diyat muḍiḥah, maka kewajiban membayar ganti rugi pada pemotongan asalnya (bagian utama anggota tubuh) lebih layak untuk diterapkan.
فَصْلٌ
Bab
وَلَوْ جَنَى عَلَى أَنْفِهِ فَاسْتَحْشَفَ وَيَبِسَ فَفِيهِ قَوْلَانِ كَالْأُذُنَيْنِ إِذَا اسْتَحْشَفَتَا أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الدِّيَةُ تَامَّةً كَالْيَدَيْنِ إِذَا شُلَّتَا
Dan jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap hidungnya sendiri sehingga menjadi keras dan kering, maka ada dua pendapat dalam hal ini, seperti halnya pada kedua telinga jika keduanya menjadi keras; salah satu pendapat menyatakan bahwa wajib membayar diyat secara penuh, seperti halnya kedua tangan jika menjadi lumpuh.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي عَلَيْهِ حُكُومَةٌ لِبَقَاءِ نَفْعِهِ مَعَ ذَهَابِ جَمَالِهِ بِخِلَافِ شَلَلِ الْيَدِ الَّذِي قَدْ فَاتَ بِهِ الْجَمَالُ وَالْمَنْفَعَةُ وَعَلَى هَذَا لَوْ جَدَعَ أَنْفًا مُسْتَحْشَفًا كَانَ فِيمَا يَلْزَمُهُ قَوْلَانِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa atasnya dikenakan hukūmah karena masih tersisa manfaatnya meskipun keindahannya telah hilang, berbeda dengan kelumpuhan tangan yang telah hilang keindahan dan manfaatnya. Berdasarkan hal ini, jika seseorang memotong hidung yang pesek, maka dalam hal kewajiban yang harus ditanggungnya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا حُكُومَةٌ إِذَا قِيلَ فِي اسْتِحْشَافِهِ دِيَةٌ
Salah satunya adalah hukūmah, yaitu apabila dikatakan dalam penilaiannya: “ada diyat.”
وَالثَّانِي دِيَةٌ إِذَا قِيلَ فِي اسْتِحْشَافِهِ حُكُومَةٌ وَلَوْ جَنَى عَلَى أَنْفِهِ فاعوج لزمته حُكُومَةٌ فَإِنْ جُبِرَ حَتَّى عَادَ مُسْتَقِيمًا كَانَتْ حُكُومَتُهُ أَقَلُّ وَإِنْ بَقِيَ عَلَى عِوَجِهِ كَانَتْ حُكُومَتُهُ أَكْثَرَ بِحَسَبِ شَيْنِهِ
Yang kedua adalah diyat jika dikatakan dalam penilaiannya berupa ḥukūmah. Jika seseorang melakukan kejahatan pada hidungnya sehingga menjadi bengkok, maka ia wajib membayar ḥukūmah. Jika hidung itu diperbaiki hingga kembali lurus, maka nilai ḥukūmah-nya lebih sedikit. Namun jika tetap bengkok, maka nilai ḥukūmah-nya lebih besar sesuai dengan kadar cacatnya.
فَصْلٌ
Bagian
وَلَوْ جُدِعَ أَنْفُهُ فَأَعَادَهُ بِحَرَارَةِ دَمِهِ حَتَّى الْتَحَمَ نُظِرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَ الْجِنَايَةِ قَدْ بَانَ وَانْفَصَلَ فَفِيهِ حُكُومَةٌ كَالْجِرَاحَةِ الْمُنْدَمِلَةِ وَإِنْ بَانَ وانفصل ففيه الدية كامل لِأَنَّهُ لَا يُقِرُّ عَلَى تَرْكِهِ وَيُؤْخَذُ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى بِقَطْعِهِ لِأَنَّهُ صَارَ بِالِانْفِصَالِ مَيِّتًا نَجِسًا وَلَوْ أَلْصَقَهُ الْمُقْتَصُّ مِنْهُ حَتَّى الْتَحَمَ أُخِذَ بِقَطْعِهِ وَإِزَالَتِهِ فَإِنْ كَانَ إِلْصَاقُهُ قَبْلَ انْفِصَالِهِ كَانَ مَأْخُوذًا بِقَطْعِهِ فِي حَقِّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ انْفِصَالِهِ كَانَ مَأْخُوذًا بِقَطْعِهِ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى
Jika hidung seseorang terpotong lalu ia menempelkannya kembali dengan panas darahnya hingga menyatu, maka hal itu dilihat keadaannya: jika pada saat terjadinya tindak pidana hidung tersebut belum benar-benar terpisah dan terlepas, maka dikenakan hukuman berupa ḥukūmah seperti pada luka yang telah sembuh. Namun jika hidung tersebut benar-benar terpisah dan terlepas, maka dikenakan diyat (denda) secara penuh, karena tidak boleh dibiarkan begitu saja, dan harus dipotong demi hak Allah Ta‘ala, sebab dengan terpisahnya hidung itu menjadi mati dan najis. Jika orang yang terkena qiṣāṣ menempelkan kembali hidungnya hingga menyatu, maka tetap harus dipotong dan dihilangkan. Jika penempelan itu dilakukan sebelum hidung benar-benar terpisah, maka pemotongan dilakukan demi hak korban. Namun jika penempelan dilakukan setelah hidung benar-benar terpisah, maka pemotongan dilakukan demi hak Allah Ta‘ala.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي ذَهَابِ الشَّمِّ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Pada hilangnya indera penciuman, ada kewajiban membayar diyat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَقَدْ حَكَى بَعْضُ الرُّوَاةِ عَنْ عَمْرِو بن حزم أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى الْيَمَنِ وَفِي الشَّمِّ الدِّيَةُ وَلِأَنَّ الشَّمَّ مِنَ الْحَوَاسِّ النَّافِعَةِ فَأَشْبَهَ حَاسَّةَ السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَهُوَ مِنَ الْأُمُورِ الْمُغَيَّبَةِ الَّتِي لَا تُرَى وَلَا تُعْلَمُ إِلَّا مِنْ صَاحِبِهَا فَإِنِ ادَّعَى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ ذَهَابَ شَمِّهِ وأنكره الجاني وادعى بقاؤه كَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لِأَنَّ ذَهَابَهُ لَا يُعْرَفُ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ لَكِنْ يستظهر عليه بغاية ما يمكن في اختيار صِدْقِهِ بِأَنْ يُثَارَ عَلَيْهِ فِي أَوْقَاتِ غَفَلَاتِهِ الروائع الطَّيِّبَةُ وَالْمُنْتِنَةُ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى فَإِنْ كَانَ لَا يَرْتَاحُ إِلَى الرَّوَائِحِ الطَّيِّبَةِ وَلَا يَظْهَرُ مِنْهُ كَرَاهَةٌ لِلرَّوَائِحِ الْمُنْتِنَةِ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى صِدْقِهِ فَكَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ لِإِمْكَانِ تَصَنُّعِهِ وَإِنْ وُجِدَ مِنْهُ الِارْتِيَاحُ لِلرَّوَائِحِ الطَّيِّبَةِ وَالْكَرَاهَةُ لِلرَّوَائِحِ الْمُنْتِنَةِ صَارَ الظَّاهِرُ بِهَا فِي جَنَبَةِ الْجَانِي فَأُحْلِفَ عَلَى بَقَاءِ شَمِّهِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فَلَوْ أُحْلِفَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عَلَى ذَهَابِ شَمِّهِ ثُمَّ غَطَّى أَنْفَهُ عِنْدَ رَائِحَةٍ مُنْتِنَةٍ فَادَّعَى الْجَانِي أَنَّهُ غَطَّاهُ لِبَقَاءِ شَمِّهِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar.” Sebagian perawi meriwayatkan dari ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam suratnya ke Yaman: “Pada penciuman (yang hilang) ada diyat.” Karena penciuman termasuk indra yang bermanfaat, maka ia serupa dengan indra pendengaran dan penglihatan. Ia juga termasuk perkara gaib yang tidak dapat dilihat dan tidak diketahui kecuali dari pemiliknya. Jika korban mengaku kehilangan penciumannya, sementara pelaku menyangkal dan mengaku penciumannya masih ada, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan korban, karena hilangnya penciuman hanya diketahui dari pihaknya. Namun, untuk menguatkan kebenarannya, dilakukan pemeriksaan semaksimal mungkin, yaitu dengan mendekatkan kepadanya berbagai bau harum dan bau busuk pada saat-saat lengahnya, berulang kali. Jika ia tidak merasa senang dengan bau harum dan tidak tampak darinya rasa benci terhadap bau busuk, maka itu menunjukkan kebenarannya. Maka, yang dijadikan pegangan adalah ucapannya disertai sumpahnya, karena masih mungkin ia berpura-pura. Namun, jika tampak darinya rasa senang terhadap bau harum dan rasa benci terhadap bau busuk, maka yang tampak adalah kebenaran berada di pihak pelaku, sehingga pelaku disumpah atas tetapnya penciuman korban dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Jika korban telah disumpah atas hilangnya penciuman, lalu ia menutup hidungnya ketika mencium bau busuk, dan pelaku mengklaim bahwa ia menutupnya karena penciumannya masih ada…
وَقَالَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ بَلْ غَطَّيْتُهُ لِحَاجَةٍ أَوْ عَادَةٍ كَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ دُونَ الْجَانِي وَيُحْكَمُ لَهُ بِالدِّيَةِ لِاحْتِمَالِ مَا قَالَهُ
Dan jika korban berkata, “Aku menutupinya karena suatu kebutuhan atau kebiasaan,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan korban, bukan pelaku, dan diputuskan baginya hak mendapatkan diyat karena kemungkinan benar apa yang dikatakannya.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ ذَهَبَ شَمُّهُ وَقَضَى لَهُ بِالدِّيَةِ ثُمَّ عَادَ شَمُّهُ لَزِمَهُ رَدُّ الدِّيَةِ وَعُلِمَ أَنَّ ذَهَابَ شَمِّهِ كَانَ لِحَائِلٍ دُونَهُ وَلَا حُكُومَةَ لَهُ فِي الْمُدَّةِ الَّتِي لَمْ يَشُمَّ فِيهَا لِبَقَاءِ شَمِّهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ عَوْدِهِ أَضْعَفَ مِنْهُ قَبْلَ ذَهَابِهِ لِأَنَّهُ كَانَ يَشُمُّ مِنْ قَرِيبٍ وَبَعِيدٍ فَصَارَ يَشُمُّ مِنَ الْقَرِيبِ وَلَا يَشُمُّ مِنَ الْبَعِيدِ أَوْ كَانَ يَشُمُّ الرَّوَائِحَ الْقَوِيَّةَ وَالضَّعِيفَةَ فَصَارَ يَشُمُّ الرَّوَائِحَ الْقَوِيَّةَ دُونَ الضَّعِيفَةِ فَإِنْ عُلِمَ قَدْرُ الذَّاهِبِ مِنْهُ وَلَا أَحْسَبُهُ يُعْلَمُ كَانَ فِيهِ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِ الذَّاهِبِ فَإِنْ لَمْ يحلم فَفِيهِ حُكُومَةٌ
Jika indera penciumannya hilang dan telah diputuskan baginya untuk menerima diyat, kemudian indera penciumannya kembali, maka ia wajib mengembalikan diyat tersebut. Dengan demikian, diketahui bahwa hilangnya penciuman itu disebabkan oleh adanya penghalang, dan tidak ada hukuman (hukūmah) baginya selama masa ia tidak dapat mencium, karena penciumannya masih ada. Kecuali jika setelah kembali, penciumannya menjadi lebih lemah daripada sebelum hilang, misalnya sebelumnya ia dapat mencium dari jarak dekat dan jauh, lalu setelah itu hanya dapat mencium dari jarak dekat dan tidak dari jauh; atau sebelumnya ia dapat mencium bau yang kuat dan lemah, lalu setelah itu hanya dapat mencium bau yang kuat saja, tidak yang lemah. Jika dapat diketahui kadar penciuman yang hilang, meskipun saya kira hal itu sulit diketahui, maka ia berhak mendapatkan bagian diyat sesuai kadar yang hilang. Namun jika tidak dapat diketahui, maka dikenakan hukūmah.
وَلَوْ كَانَ فِي أَصْلِ خِلْقَتِهِ يَشُمُّ شَمًّا ضَعِيفًا وَذَلِكَ بِأَنْ يَشُمَّ مِنَ الْقَرِيبِ أَوِ الْقَوِيِّ مِنَ الرَّوَائِحِ دُونَ الضَّعِيفِ فَجَنَى عَلَيْهِ فَأَذْهَبَ شَمَّهُ صَارَ لَا يَشُمُّ قَوِيًّا وَلَا ضَعِيفًا مِنْ قَرِيبٍ وَلَا بَعِيدٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ
Dan jika sejak asal penciptaannya ia hanya dapat mencium bau dengan lemah, yaitu hanya dapat mencium bau yang dekat atau bau yang kuat saja, tidak bisa mencium bau yang lemah, lalu seseorang melakukan tindakan yang menghilangkan kemampuan penciumannya sehingga ia sama sekali tidak dapat mencium bau yang kuat maupun lemah, baik dari jarak dekat maupun jauh, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang mungkin (dalam fiqh).
أَحَدُهُمَا فِيهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً لِأَنَّ الْحَوَاسَّ تَخْتَلِفُ بِالْقُوَّةِ وَالضَّعْفِ كَالْأَعْضَاءِ الَّتِي لَا تَخْتَلِفُ الدِّيَةُ بِاخْتِلَافِ قُوَّتِهَا وَضَعْفِهَا
Salah satunya dikenakan diyat secara penuh, karena pancaindra berbeda-beda dalam hal kekuatan dan kelemahan, sebagaimana anggota tubuh yang diyatnya tidak berbeda-beda meskipun kekuatan dan kelemahannya berbeda.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْمَوْجُودَ كَانَ فِيهِ بَعْضِ الشَّمِّ فَلَمْ يَلْزَمْ فِي إِذْهَابِهِ إِلَّا بَعْضُ الدِّيَةِ بِخِلَافِ ضَعْفِ الْأَعْضَاءِ الَّذِي يُوجَدُ جِنْسُ الْمَنَافِعِ فِيهَا
Adapun pendapat kedua, bahwa pada anggota tubuh yang ada hanya sebagian dari indra penciuman, maka tidak wajib menggantinya kecuali dengan sebagian diyat saja, berbeda dengan anggota tubuh yang memiliki jenis manfaat di dalamnya.
فَعَلَى هَذَا إِنْ عُلِمَ قَدْرُ مَا كَانَ ذَاهِبًا مِنْ شَمِّهِ فَفِيهِ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِهِ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ فَفِيهِ حُكُومَةٌ يَجْتَهِدُ الْحَاكِمُ فِيهَا رَأْيَهُ
Maka berdasarkan hal ini, jika diketahui kadar penciuman yang hilang, maka dari diyat diambil sesuai bagiannya. Namun jika tidak diketahui, maka dikenakan hukūmah, di mana hakim berijtihad dengan pendapatnya dalam hal itu.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ جَدَعَ أَنْفَهُ فَذَهَبَ مِنْهُ شَمُّهُ لَزِمَهُ دِيَتَانِ إِحْدَاهُمَا فِي جَدْعِ الْأَنْفِ وَالْأُخْرَى فِي ذَهَابِ الشَّمِّ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْمَحَلِّ كَالْأُذُنَيْنِ وَالسَّمْعِ وَخَالَفَ ذَهَابَ الْبَصَرِ مَعَ الْعَيْنَيْنِ وَذَهَابَ الْكَلَامِ مع اللسان لاجتماعهما في المحل
Dan jika seseorang memotong hidungnya sehingga indera penciumannya hilang, maka ia wajib membayar dua diyat: salah satunya karena memotong hidung, dan yang lainnya karena hilangnya penciuman, karena keduanya berbeda tempat, seperti halnya dua telinga dan pendengaran. Ini berbeda dengan hilangnya penglihatan bersamaan dengan kedua mata, dan hilangnya kemampuan berbicara bersamaan dengan lidah, karena keduanya berkumpul pada satu tempat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي الشَّفَتَيْنِ الدِّيَةُ إِذَا اسْتُوعِبَتَا وَفِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا نِصْفُ الدِّيَةِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada kedua bibir ada diyat jika keduanya terpotong seluruhnya, dan pada masing-masing dari keduanya setengah diyat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِرِوَايَةِ عَمْرُو بْنُ حَزْمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى الْيَمَنِ وَفِي الشَّفَتَيْنِ الدِّيَةُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ وَعَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَلِأَنَّهُمَا عُضْوَانِ مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ فِيهِمَا مَنْفَعَةٌ وَجَمَالٌ يَأْلَمُ بِقَطْعِهِمَا وَيُخَافُ مِنْ سِرَايَتِهِمَا فَأَشْبَهَا الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْغَلِيظَتَانِ وَالدَّقِيقَتَانِ وَالطَّوِيلَتَانِ وَالْقَصِيرَتَانِ مِنْ نَاطِقٍ أَوْ أَخْرَسَ ذِي أَسْنَانٍ وَغَيْرِ أَسْنَانٍ وَفِي إِحْدَى الشَّفَتَيْنِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَلَا فَضْلَ لِلْعُلْيَا عَلَى السُّفْلَى وَحُكِيَ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ فِي السُّفْلَى ثُلُثَيِ الدِّيَةِ وَفِي الْعُلْيَا ثُلُثُهَا لِأَنَّ السُّفْلَى أَنْفَعُ مِنَ الْعُلْيَا لِحَرَكَتِهَا وَدَوَرَانِهَا وَحِفْظِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ بِهَا وَمَا فِيهَا مِنْ حُرُوفِ الْكَلَامِ الشَّفَوِيَّةِ وَهَذَا يَفْسَدُ مِنْ وَجْهَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar berdasarkan riwayat ‘Amr bin Hazm bahwa Rasulullah ﷺ bersabda dalam suratnya kepada penduduk Yaman: ‘Pada kedua bibir terdapat diyat (tebusan jiwa).’ Ini juga merupakan pendapat Abu Bakar, Ali, Ibnu Mas‘ud, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum. Sebab, keduanya (bibir) adalah anggota tubuh asal penciptaan yang memiliki manfaat dan keindahan, seseorang akan merasakan sakit jika keduanya terpotong dan dikhawatirkan akan menimbulkan dampak buruk, sehingga kedudukannya serupa dengan kedua tangan dan kedua kaki. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara bibir yang tebal maupun tipis, panjang maupun pendek, baik pada orang yang bisa berbicara maupun bisu, yang memiliki gigi maupun tidak. Untuk salah satu dari kedua bibir, diyat-nya adalah setengah diyat, dan tidak ada keutamaan antara bibir atas dan bawah. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa pada bibir bawah diyat-nya dua pertiga diyat, dan pada bibir atas sepertiganya, karena bibir bawah lebih bermanfaat daripada bibir atas karena gerakannya, perputarannya, menjaga makanan dan minuman, serta adanya huruf-huruf syafawiyah (huruf bibir) di dalamnya. Namun, pendapat ini rusak dari dua sisi.”
أَحَدُهُمَا أَنَّ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مَنْفَعَةً لَيْسَتْ لِلْأُخْرَى فَصَارَتَا مُتَسَاوِيَتَيْنِ
Salah satunya adalah bahwa masing-masing dari keduanya memiliki manfaat yang tidak dimiliki oleh yang lain, sehingga keduanya menjadi setara.
وَالثَّانِي لِأَنَّ تَفَاضُلَ الْمَنَافِعِ فِي الْأَعْضَاءِ الْمُتَجَانِسَةِ لَا يُوجِبُ تَفَاضُلَهَا فِي الدِّيَاتِ كَالْأَصَابِعِ وَالْأَسْنَانِ فَإِنْ قَطَعَ النِّصْفَ مِنْ إِحْدَى الشَّفَتَيْنِ كَانَ عَلَيْهِ رُبُعُ الدِّيَةِ وَإِنْ قَطَعَ أَكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الدِّيَةِ بِحَسَبِ مَا قَطَعَ
Kedua, karena perbedaan manfaat pada anggota tubuh yang sejenis tidak menyebabkan perbedaan dalam diyat, seperti jari-jari dan gigi. Jika seseorang memotong setengah dari salah satu bibir, maka ia wajib membayar seperempat diyat. Jika ia memotong lebih atau kurang dari itu, maka ia wajib membayar diyat sesuai dengan bagian yang dipotong.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ جَنَى عَلَيْهِمَا فَاسْتَحْشَفَتَا وَيَبِسَتَا حَتَّى لَمْ يَتَحَرَّكَا وَلَمْ يَأْلَمَا فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ الْأَنْفِ إِذَا اسْتَحْشَفَهُ أَنَّ عَلَيْهِ حُكُومَةً فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لِأَنَّ مَنْفَعَةَ الْأَنْفِ بَاقِيَةٌ وَمَنْفَعَةَ الشَّفَةِ ذَاهِبَةٌ وَإِنْ تَقَلَّصَتَا بِالْجِنَايَةِ حَتَّى صَارَ كَاشِرَ الْأَسْنَانِ نُظِرَ فَإِنِ انْبَسَطَتَا فَذَلِكَ نَقْصٌ فِي الْمَنْفَعَةِ تَجِبُ فِيهِ حُكُومَةٌ وَإِنْ لَمْ تَنْبَسِطْ بِالْمَدِّ فَهُوَ ذَهَابُ جَمِيعِ الْمَنْفَعَةِ فَتَكْمُلُ فِيهِمَا الدِّيَةُ وَلَوْ تَقَلَّصَ بَعْضُهَا وَلَمْ يَنْبَسِطْ بِالْمَدِّ فَفِيهِ مِنَ الدِّيَةِ بِحِسَابِ مَا تَقَلَّصَ وَلَوْ جَنَى عَلَيْهَا فَاسْتَرْخَتَا حَتَّى لَا يَنْفَصِلَا عَنِ الْأَسْنَانِ إِذَا كَشَّرَ أَوْ ضَحِكَ فَفِيهِمَا الدِّيَةُ كَامِلَةً نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَفِيهِ عِنْدِي نَظَرٌ لِبَقَاءِ مَنْفَعَتِهِمَا بِحِفْظِ الْأَسْنَانِ وَمَا يَدْخُلُ الْفَمَ مِنْ طَعَامٍ وَشَرَابٍ فَاقْتَضَى لِأَجْلِ ذَلِكَ أَنْ تَجِبَ فِيهِ حُكُومَةٌ بِخِلَافِ تَقَلُّصِهِمَا الْمُذْهِبِ لِجَمِيعِ مَنَافِعِهِمَا وَلَوْ شَقَّ الشَّفَةَ فَلَمْ يَنْدَمِلْ حَتَّى صَارَ كَالْأَعْلَمِ إِنْ كَانَ الشَّقُّ فِي الْعُلْيَا وَكَالْأَقْلَعِ إِنْ كَانَ الشَّقُّ فِي السُّفْلَى فَفِيهِ حُكُومَةٌ بِحَسَبِ الشَّيْنِ لَا يَبْلُغُ بِهَا إِحْدَى الشَّفَتَيْنِ وَإِنِ انْدَمَلَتْ فَفِيهِ حُكُومَةٌ أَنْ تَقِلَّ عَنْ حُكُومَةِ مَا لَمْ يَنْدَمِلْ وَتَقِلَّ إِنِ انْدَمَلَتْ مُلْتَئِمَةً وَتَكْثُرْ إِنِ انْدَمَلَتْ غَيْرَ مُلْتَئِمَةٍ وَلَوْ قطع شقة مَشْقُوقَةً لَزِمَهُ جَمِيعُ دِيَتِهَا إِنْ لَمْ يَذُبَّ الشَّقُّ شَيْئًا مِنْ مَنَافِعِهَا وَيُقَسِّطُهُ إِنْ أَذْهَبَ مَعْلُومَ الْقَدْرِ مِنْ مَنَافِعِهَا وَحُكُومَةً تَقِلُّ عَنْ دِيَتِهَا إِنْ لَمْ يُعْلَمْ قَدْرُ الذَّاهِبِ مِنْ مَنَافِعِهَا
Jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap kedua bibir sehingga keduanya menjadi kaku dan kering hingga tidak dapat bergerak dan tidak menimbulkan rasa sakit, maka wajib membayar diyat (denda) secara penuh menurut satu pendapat, berbeda dengan hidung yang jika menjadi kaku maka dikenakan hukuman (ta‘zīr) menurut salah satu dari dua pendapat, karena manfaat hidung masih ada sedangkan manfaat bibir telah hilang. Jika kedua bibir mengerut akibat tindak pidana hingga gigi menjadi tampak, maka dilihat: jika keduanya dapat kembali normal, itu merupakan kekurangan dalam fungsi sehingga wajib hukuman (ta‘zīr); namun jika tidak dapat kembali normal dengan ditarik, maka itu berarti hilangnya seluruh manfaat sehingga diyat keduanya menjadi penuh. Jika hanya sebagian bibir yang mengerut dan tidak dapat kembali normal dengan ditarik, maka diyatnya dihitung sesuai dengan bagian yang mengerut. Jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap bibir sehingga keduanya menjadi lemas hingga tidak dapat terpisah dari gigi ketika menyeringai atau tertawa, maka wajib membayar diyat penuh atas keduanya, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syafi‘i, namun menurut saya masih perlu ditinjau kembali karena manfaat keduanya masih ada dalam menjaga gigi dan apa yang masuk ke mulut berupa makanan dan minuman, sehingga seharusnya dalam kasus ini dikenakan hukuman (ta‘zīr), berbeda dengan pengerutan bibir yang menghilangkan seluruh manfaatnya. Jika seseorang membelah bibir lalu tidak sembuh hingga menjadi seperti orang yang memiliki tanda di bibir atas, atau seperti orang yang ompong jika belahan terjadi di bibir bawah, maka dikenakan hukuman (ta‘zīr) sesuai dengan kadar cacatnya, yang tidak sampai setara dengan hilangnya salah satu bibir. Jika luka tersebut sembuh, maka hukumannya lebih ringan daripada jika tidak sembuh, dan lebih ringan jika sembuh dengan sempurna, serta lebih berat jika sembuh namun tidak sempurna. Jika seseorang memotong bagian bibir yang sudah terbelah, maka ia wajib membayar seluruh diyat bibir tersebut jika belahan itu tidak menghilangkan sedikit pun manfaatnya, dan diyatnya dibagi sesuai dengan kadar manfaat yang hilang jika yang hilang dapat diketahui, serta dikenakan hukuman (ta‘zīr) yang lebih ringan dari diyat jika kadar manfaat yang hilang tidak diketahui.
فَصْلٌ
Fasal
وَحَدُّ الشَّفَتَيْنِ مَا وَصَفَهُ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ أَنَّهُ مَا زَايَلَ جِلْدَ الذَّقَنِ وَالْخَدَّيْنِ مِنَ الْأَعْلَى وَالْأَسْفَلِ مُسْتَدِيرًا بِالْفَمِ كُلِّهِ مِمَّا ارْتَفَعَ عَنِ الْأَسْنَانِ وَاللِّثَةِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَفِي جِنَايَةِ الْعَمْدِ عَلَيْهِمَا الْقَوَدُ
Batas kedua bibir adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi‘i dalam kitab al-Umm, yaitu bagian yang terpisah dari kulit dagu dan kedua pipi, baik dari atas maupun bawah, yang melingkari seluruh mulut, yaitu bagian yang terangkat dari gigi dan gusi. Imam Syafi‘i berkata, dalam kasus jinayah ‘amdan (penganiayaan sengaja) terhadap keduanya (bibir), berlaku hukum qishāsh.
وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ لَا قَوَدَ فِيهِمَا لِأَنَّهُ قَطْعُ لَحْمٍ مِنْ لَحْمٍ فَصَارَ كَقَطْعِ بِضْعَةٍ مِنْ لُحْمَةٍ
Abu Hamid al-Isfara’ini berkata, “Tidak ada qishāsh pada keduanya, karena itu adalah pemotongan daging dari daging, sehingga menjadi seperti memotong sebagian kecil dari daging.”
وَهَذَا خَطَأٌ وَمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ مِنْ وُجُوبِ الْقَوَدِ أَصَحُّ لِأَنَّهُ مَحْدُودٌ وَإِنْ كَانَ لَحْمًا مُتَّصِلًا بِلَحْمٍ فَشَابَهَ الْمَحْدُودَ بِالْمُنْفَصِلِ وَخَالَفَ الْبِضْعَةَ مِنَ اللَّحْمِ الَّتِي لَيْسَ لَهَا حد ولا مفصل
Ini adalah kesalahan, dan pendapat yang dikemukakan oleh Asy-Syafi‘i tentang wajibnya qawad (qisas) lebih benar, karena anggota tubuh tersebut memiliki batasan, meskipun berupa daging yang menyatu dengan daging lainnya, sehingga ia serupa dengan anggota tubuh yang terbatas namun terpisah, dan berbeda dengan potongan daging yang tidak memiliki batas maupun persendian.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي اللِّسَانِ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada (luka) di lidah terdapat diyat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِرِوَايَةِ عَمْرُو بْنُ حَزْمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى الْيَمَنِ وَفِي اللِّسَانِ الدِّيَةُ وَلِأَنَّهُ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَلَا مُخَالِفَ لَهُمْ وَلِأَنَّهُ عُضْوٌ مِنْ تَمَامِ الْخِلْقَةِ فِيهِ جَمَالٌ وَمَنْفَعَةٌ يَأْلَمُ بِقَطْعِهِ وَرُبَّمَا سَرَى إِلَى نَفْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ تَكْمُلَ فِيهِ الدِّيَةُ كَسَائِرِ الْأَعْضَاءِ فَأَمَّا جَمَالُ اللِّسَانِ فَقَدْ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar berdasarkan riwayat ‘Amr bin Hazm bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam suratnya ke Yaman: ‘Pada (kerusakan) lidah ada diyat.’ Dan karena ini adalah pendapat Abu Bakar, Umar, Ali, dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhum, serta tidak ada yang menyalahi mereka. Selain itu, lidah adalah anggota tubuh yang merupakan bagian dari kesempurnaan penciptaan, memiliki keindahan dan manfaat, seseorang merasakan sakit jika dipotong, bahkan bisa saja dampaknya menjalar ke jiwanya. Maka wajiblah diyat sempurna padanya seperti pada anggota tubuh lainnya. Adapun keindahan lidah, maka telah…”
رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِيمَ الجمال قال في اللسان
Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa ia berkata, “Wahai Rasulullah, di manakah letak keindahan itu?” Beliau bersabda, “Pada lisan.”
وروي عنه
Dan telah diriwayatkan darinya.
أَنَّهُ قَالَ الْمَرْءُ مَخْبُوءٌ تَحْتَ لِسَانِهِ
Sesungguhnya beliau berkata, “Seseorang tersembunyi di balik lisannya.”
وَأَمَّا مَنْفَعَةُ اللِّسَانِ فَالْمُعْتَمَدُ مِنْهَا ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ
Adapun manfaat lisan, yang pokok darinya ada tiga hal.
أَحَدُهَا الْكَلَامُ الَّذِي يُعَبِّرُ بِهِ عَمَّا فِي نَفْسِهِ وَيَتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى إِرَادَتِهِ وَلِأَهْلِ التَّأْوِيلِ في قوله تعالى خلق الإنسان عَلَّمَهُ الْبَيَانَ الرحمن 2 3 تَأْوِيلَانِ
Salah satunya adalah ucapan yang digunakan seseorang untuk mengungkapkan apa yang ada dalam dirinya dan dengan itu ia dapat mencapai kehendaknya. Para ahli ta’wil memiliki dua penafsiran terhadap firman Allah Ta’ala: “Dia menciptakan manusia, mengajarkannya al-bayan” (ar-Rahman: 2-3).
أَحَدُهُمَا الْخَطُّ
Salah satunya adalah tulisan.
وَالثَّانِي الْكَلَامُ
Dan yang kedua adalah pembicaraan.
وَالثَّانِي مِنْ مَنَافِعِ اللِّسَانِ حَاسَّةُ ذَوْقِهِ الَّذِي يُدْرِكُ بِهِ مَلَاذَ طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ وَيَعْرِفُ بِهِ فَرْقَ مَا بَيْنَ الْحُلْوِ وَالْحَامِضِ وَالَمُرِّ وَالْعَذْبِ
Manfaat kedua dari lidah adalah indra pengecapnya, yang dengannya seseorang dapat merasakan kenikmatan makanan dan minumannya, serta mengetahui perbedaan antara rasa manis, asam, pahit, dan segar.
وَالثَّالِثُ الِاعْتِمَادُ عَلَيْهِ فِي أَكْلِ الطَّعَامِ وَمَضْغِهِ وَإِدَارَتِهِ فِي لَهَوَاتِهِ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ طَحْنَهُ في الأضرس وَيَدْفَعَ بَقَايَاهُ مِنَ الْأَشْدَاقِ
Ketiga, mengandalkannya dalam makan makanan, mengunyahnya, dan mengedarkannya di langit-langit mulutnya hingga sempurna penggilingannya di gigi geraham, serta mendorong sisa-sisanya dari sela-sela mulut.
وَهَذِهِ الثَّلَاثَةُ مِنْ أَجْلِ الْمَنَافِعِ الَّتِي لَا يُتَوَصَّلُ بِغَيْرِ اللِّسَانِ إِلَيْهَا فَكَانَ مِنْ أَجَلِّ الْأَعْضَاءِ نَفْعًا فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ فِي اللِّسَانِ الدِّيَةَ فَفِيهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً إِذَا كَانَ نَاطِقًا سَلِيمًا وَلَا فَرْقَ بَيْنَ لِسَانِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْمُتَكَلِّمِ بِالْعَرَبِيَّةِ وَالْأَعْجَمِيَّةِ والفصيح والألكن والثقيل والعجل
Ketiga hal ini sangat penting karena manfaat-manfaat yang tidak dapat dicapai kecuali dengan lisan, sehingga lisan menjadi salah satu anggota tubuh yang paling besar manfaatnya. Jika telah tetap bahwa pada lisan ada diyat, maka diyatnya adalah diyat penuh apabila lisannya dapat berbicara dengan baik dan sehat. Tidak ada perbedaan antara lisan anak kecil dan orang dewasa, antara yang berbicara dengan bahasa Arab atau non-Arab, antara yang fasih, yang gagap, yang berat lidah, maupun yang cadel.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ خَرَسَ فَفِيهِ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menjadi bisu, maka baginya ada kewajiban membayar diyat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا جَنَى عَلَى لِسَانِهِ فَأَذْهَبَ كَلَامَهُ حَتَّى خَرِسَ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِحَرْفٍ فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ كاملة لأنه قد سلبه أعظم منافعه ذهابة لأن محل مِنَ اللِّسَانِ مَحَلُّ ذَهَابِ الْبَصَرِ مِنَ الْعَيْنِ ولو جنى عليه فأذهب حاسة ذوقه وسلمه لَذَّةَ طَعَامِهِ حَتَّى لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ طَعْمِ الْحُلْوِ وَالْحَامِضِ فَلَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ فِيهِ نَصٌّ وَالَّذِي يَقْتَضِيهِ مَذْهَبُهُ أَنْ يَكُونَ فِيهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً لِأَنَّ الذَّوْقَ أَحَدُ الْحَوَاسِّ الْمُخْتَصَّةِ بِعُضْوٍ خَاصٍّ فَأَشْبَهَ حَاسَّةَ السَّمْعِ وَالشَّمِّ وَالذَّوْقُ أَنْفَعُ مِنَ الشَّمِّ وَآكَدُ فَكَانَ بِكَمَالِ الدِّيَةِ أَحَقَّ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar apabila seseorang melakukan kejahatan terhadap lidah orang lain sehingga menghilangkan kemampuannya berbicara hingga menjadi bisu dan tidak dapat mengucapkan satu huruf pun, maka wajib baginya membayar diyat (denda) secara penuh, karena ia telah mencabut manfaat terbesar dari lidah tersebut, sebagaimana hilangnya penglihatan dari mata. Namun jika ia melakukan kejahatan sehingga menghilangkan indera pengecapnya dan menghilangkan kenikmatan makanannya sehingga ia tidak dapat membedakan antara rasa manis dan asam, maka menurut Imam Syafi‘i tidak ada nash (teks) khusus mengenai hal ini. Namun, yang dituntut oleh mazhab beliau adalah bahwa dalam hal ini juga wajib membayar diyat secara penuh, karena pengecapan adalah salah satu indera yang khusus dimiliki oleh anggota tubuh tertentu, sehingga ia serupa dengan indera pendengaran dan penciuman. Bahkan, pengecapan lebih bermanfaat daripada penciuman dan lebih kuat, sehingga lebih berhak untuk mendapatkan diyat secara penuh.”
فَإِنْ جَمَعَ فِي الْجِنَايَةِ عَلَى لِسَانِهِ بَيْنَ ذَهَابِ كَلَامِهِ وَذَهَابِ ذَوْقِهِ كَانَ عَلَيْهِ دِيَتَانِ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا دِيَةٌ وَقَدْ يَصِحُّ بَقَاءُ الذَّوْقِ مَعَ قَطْعِ اللِّسَانِ لِأَنَّ حَاسَّةَ الذَّوْقِ تُدْرَكُ بِعَصَبِ اللِّسَانِ فَإِذَا بَقِيَ مِنْ عَصَبِهِ فِي أَصْلِهِ بَقِيَّةٌ كَانَ الذَّوْقُ بِهَا بَاقِيًا فَلِذَلِكَ لَمْ يَتَحَتَّمُ قَطْعُهُ إِلَّا بِذَهَابِ كَلَامِهِ فَإِنِ اقْتَرَنَ بِقَطْعِهِ اسْتِئْصَالُ الْعَصَبِ حَتَّى ذَهَبَ ذوقه وجبت عليه حينئذ ديتان وإذ وَجَبَ بِمَا ذَكَرْتُ أَنْ يَلْزَمَ فِي ذَهَابِهِ الذَّوْقَ الدِّيَةُ وَأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَبْقَى مَعَ قَطْعِ اللِّسَانِ وَتَذْهَبَ مَعَ بَقَاءِ اللِّسَانِ إِذَا ذَهَبَ حِسُّ الْعَصَبِ تَعَلَّقَ بِكَمَالِ الدِّيَةِ بِذَهَابِ جَمِيعِ الذَّوْقِ فَلَا يُفَرِّقُ بَيْنَ مَذَاقِ الطُّعُومِ الْمُخْتَلِفَةِ فَعَلَى هَذَا لَوْ نَقَصَ ذَوْقُهُ بِالْجِنَايَةِ فنقصانه ضربان
Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap lidah sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan berbicara dan hilangnya kemampuan mengecap, maka ia wajib membayar dua diyat, masing-masing satu diyat untuk setiap kehilangan tersebut. Masih mungkin rasa pengecap tetap ada meskipun lidah terpotong, karena indera pengecap dirasakan melalui saraf lidah. Jika masih tersisa sebagian saraf pada pangkal lidah, maka rasa pengecap pun masih ada. Oleh karena itu, pemotongan lidah tidak otomatis menyebabkan hilangnya kemampuan berbicara kecuali jika memang kemampuan berbicara itu hilang. Jika pemotongan lidah disertai dengan pencabutan saraf sehingga rasa pengecap juga hilang, maka pada saat itu wajib membayar dua diyat. Berdasarkan penjelasan ini, wajib membayar diyat atas hilangnya rasa pengecap, dan mungkin saja rasa pengecap tetap ada meskipun lidah terpotong, atau rasa pengecap hilang meskipun lidah masih ada jika fungsi sarafnya hilang. Kewajiban membayar diyat penuh terkait dengan hilangnya seluruh rasa pengecap, yaitu ketika seseorang tidak dapat membedakan berbagai macam rasa. Berdasarkan hal ini, jika rasa pengecapnya berkurang akibat kejahatan, maka kekurangan itu terbagi menjadi dua jenis.
أحدهما أن يكون نقصان ضعيف وَهُوَ أَنْ يُدْرِكَ الْفَرْقَ مَا بَيْنَ الْحُلْوِ وَالْحَامِضِ وَلَا يُدْرِكُ حَقِيقَةَ الْحُلْوِ وَحَقِيقَةَ الْحَامِضِ فَذَا نَاقِصُ الْمَذَاقِ وَلَا يَنْحَصِرُ قَدْرُ نُقْصَانِهِ فَيَتَقَسَّطُ عَلَيْهِ الدِّيَةُ فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمُهُ حُكُومَةٌ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ النُّقْصَانِ فِي الْقَوَدِ وَالضَّعْفِ
Yang pertama adalah kekurangan yang lemah, yaitu seseorang dapat membedakan antara rasa manis dan asam, tetapi tidak dapat memahami hakikat rasa manis dan hakikat rasa asam. Maka orang ini disebut kurang dalam pengecapan, dan kadar kekurangannya tidak dapat ditentukan secara pasti sehingga diyat tidak dapat dibagi secara proporsional kepadanya. Oleh karena itu, wajib baginya untuk dikenakan ḥukūmah yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kekurangan dalam qawad dan kelemahan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَذْهَبَ بِهَا بَعْضُ ذَوْقِهِ مَعَ بَقَاءِ بَعْضِهِ فَيَصِيرُ مُدْرِكًا طَعْمَ الْحَامِضِ دُونَ الْحُلْوِ وَطَعْمَ الْمُرِّ دُونَ الْعَذْبِ فَيَلْزَمُهُ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِ مَا أَذْهَبَ مِنْ مَذَاقِهِ وَعَدَدُ الْمَذَاقِ خَمْسَةٌ رُبَّمَا فَرَّعَهَا أَهْلُ الطِّبِّ إِلَى ثَمَانِيَةٍ عَلَى أُصُولِهِمْ لَا نَعْتَبِرُهَا فِي الْأَحْكَامِ لِدُخُولِ بَعْضِهَا فِي بَعْضٍ كَالْحَرَافَةِ مَعَ الْمَرَارَةِ وَالْخَمْسَةُ الْمُعْتَبَرَةُ الْحُلْوُ وَالْحَامِضُ وَالْمُرُّ وَالْعَذْبُ وَالْمَالِحُ فَتَكُونُ دِيَةُ الذَّوْقِ مُقَسَّطَةً عَلَى هَذِهِ الْخَمْسَةِ فَإِنْ أُذْهِبَ وَاحِدٌ مِنْهَا وَجَبَ عَلَيْهِ خُمُسُ الدِّيَةِ وَفِي الِاثْنَيْنِ خُمُسَاهَا وَلَا يُفَضَّلُ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ كَمَا تُقَسَّطُ دِيَةُ الْكَلَامِ عَلَى أَعْدَادِ حُرُوفِهِ
Jenis yang kedua adalah hilangnya sebagian rasa, sementara sebagian lainnya masih tetap ada, sehingga seseorang dapat merasakan rasa asam tetapi tidak dapat merasakan rasa manis, atau dapat merasakan rasa pahit tetapi tidak dapat merasakan rasa tawar. Maka ia wajib membayar diyat sesuai dengan bagian rasa yang hilang darinya. Jumlah rasa ada lima, meskipun para ahli kedokteran mungkin membaginya menjadi delapan berdasarkan prinsip-prinsip mereka, namun kita tidak menganggapnya dalam hukum karena sebagian rasa tersebut saling masuk satu sama lain, seperti rasa pedas dengan rasa pahit. Lima rasa yang dianggap adalah manis, asam, pahit, tawar, dan asin. Maka diyat untuk rasa dibagi rata pada lima rasa ini. Jika salah satu dari rasa tersebut hilang, maka wajib membayar seperlima diyat; jika dua rasa yang hilang, maka wajib membayar dua perlima diyat. Tidak ada keutamaan antara satu rasa dengan yang lain, sebagaimana diyat untuk kemampuan berbicara dibagi rata berdasarkan jumlah hurufnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنِ ادَّعَى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ ذَهَابَ ذَوْقِهِ وَأَنْكَرَهُ الْجَانِي فَهُوَ مِنَ الْبَاطِنِ الَّذِي لَا يُعْرَفُ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ كَالشَّمِّ وَالسَّمْعِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مع يمنيه بَعْدَ الِاسْتِظْهَارِ عَلَيْهِ فِي غَفَلَاتِهِ بِأَنْ يُمْزَجَ بِحُلْوِ طَعَامِهِ مُرًّا وَبِعَذْبِهِ مِلْحًا وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَإِنِ اسْتَمَرَّ عَلَى تَنَاوُلِهَا وَلَمْ تُوجَدْ مِنْهُ أَمَارَاتُ كَرَاهَتِهَا دَلَّ عَلَى صِدْقِهِ وَأُحْلِفَ عَلَى ذَهَابِ ذَوْقِهِ وَإِنْ كَرِهَهَا وَظَهَرَتْ مِنْهُ أَمَارَاتُ كَرَاهَتِهَا صَارَ الظَّاهِرُ عَلَيْهِ لَا مَعَهُ فَيَصِيرُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ عَلَى بَقَاءِ ذَوْقِهِ كَمَا قُلْنَا فِي ذَهَابِ الشَّمِّ والسمع والله أعلم
Jika korban mengaku kehilangan indera perasanya dan pelaku menyangkalnya, maka hal ini termasuk perkara batin yang tidak dapat diketahui kecuali dari pihak korban sendiri, seperti halnya indera penciuman dan pendengaran. Maka, dalam hal ini, perkataan korban diterima dengan sumpahnya, setelah dilakukan pengujian terhadapnya secara diam-diam, misalnya dengan mencampurkan makanan manisnya dengan sesuatu yang pahit, atau minumannya yang tawar dengan sesuatu yang asin tanpa sepengetahuannya. Jika ia tetap memakannya dan tidak tampak tanda-tanda ketidaksukaannya, hal itu menunjukkan kebenaran pengakuannya dan ia disumpah atas hilangnya indera perasanya. Namun jika ia tidak menyukainya dan tampak tanda-tanda ketidaksukaannya, maka yang tampak adalah sebaliknya, sehingga perkataan pelaku yang diterima dengan sumpahnya bahwa indera perasa korban masih ada, sebagaimana telah dijelaskan dalam kasus hilangnya indera penciuman dan pendengaran. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ ذَهَبَ بَعْضُ كَلَامِهِ اعْتُبِرَ عَلَيْهِ بِحُرُوفِ الْمُعْجَمِ ثُمَّ كَانَ مَا ذَهَبَ مِنْ عَدَدِ الْحُرُوفِ بِحِسَابِهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika sebagian dari ucapannya hilang, maka diperhitungkan baginya dengan huruf-huruf mu‘jam, kemudian apa yang hilang dari jumlah huruf tersebut dihitung sesuai kadarnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا قَالَ إِذَا ذَهَبَ بِالْجِنَايَةِ عَلَى اللِّسَانِ بَعْضُ كَلَامِهِ اعْتُبِرَ قَدْرُ الذَّاهِبِ مِنْهُ بِعَدَدِ حُرُوفِ الْمُعْجَمِ الَّتِي عَلَيْهَا بِنَاءُ جَمِيعِ الْكَلَامِ وَهِيَ تِسْعَةٌ وَعِشْرُونَ حَرْفًا إِنْ كَانَ عَرَبِيَّ اللِّسَانِ وَإِنْ كَانَ أَعْجَمِيَّ اللِّسَانِ اعْتُبِرَ عَدَدُ حُرُوفِ كَلَامِهِ فَإِنَّ حُرُوفَ اللُّغَاتِ مُخْتَلِفَةُ الْأَعْدَادِ وَالْأَنْوَاعِ فَالضَّادُ مُخْتَصَّةٌ بِالْعَرَبِيَّةِ وَبَعْضُهَا مُخْتَصٌّ بِالْأَعْجَمِيَّةِ وَبَعْضُهَا مُشْتَرِكٌ بَيْنَ اللُّغَاتِ كُلِّهَا وَبَعْضُ اللُّغَاتِ يَكُونُ حُرُوفُ الكلام فيها أحد وعشرون حرفاً وبعضها ستة وعشرون حرفاً وبعضها أحد وَثَلَاثِينَ حَرْفًا فَيُعْتَبَرُ قَدْرُ مَا ذَهَبَ مِنَ الْكَلَامِ بِقَدْرِ حُرُوفِ اللُّغَةِ الَّتِي يَتَكَلَّمُ بِهَا الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ فَإِذَا كَانَ عَرَبِيَّ اللِّسَانِ يُقَسَّطُ عَلَى تِسْعَةٍ وَعِشْرِينَ حَرْفًا وَمِنْهُمْ مَنْ عَدَّهَا ثمانية وعشرون حَرْفًا وَأُسْقِطَ حَرْفٌ لَا لِدُخُولِهِ فِي الْأَلِفِ وَاللَّامِ وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ حُرُوفُ الْحَلْقِ وَالشَّفَةِ هَذَا ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَكُونُ مَا ذَهَبَ مِنَ الْكَلَامِ مُعْتَبَرًا بِعَدَدِ حُرُوفِ اللِّسَانِ وَيَسْقُطُ مِنْهَا حُرُوفُ الْحَلْقِ وَالشَّفَةِ وَهِيَ عَشَرَةُ أَحْرُفٍ سِتَّةٌ مِنْهَا حَلْقِيَّةٌ وَهِيَ هَمْزَةُ الألف والحاء والخاء والعين والعين وَالْهَاءُ
Al-Mawardi berkata, dan memang sebagaimana yang ia katakan: Jika akibat suatu jinayah pada lidah menyebabkan sebagian kemampuan berbicara hilang, maka yang menjadi pertimbangan adalah jumlah huruf yang hilang itu berdasarkan jumlah huruf mu‘jam yang menjadi dasar seluruh pembicaraan, yaitu dua puluh sembilan huruf jika ia berbahasa Arab. Jika ia berbahasa non-Arab, maka yang menjadi pertimbangan adalah jumlah huruf dalam bahasanya, karena huruf-huruf dalam berbagai bahasa berbeda-beda jumlah dan jenisnya; huruf ḍād khusus untuk bahasa Arab, sebagian huruf khusus untuk bahasa non-Arab, dan sebagian lagi digunakan bersama oleh seluruh bahasa. Dalam beberapa bahasa, jumlah hurufnya dua puluh satu, dalam bahasa lain dua puluh enam, dan dalam bahasa lain tiga puluh satu huruf. Maka yang menjadi pertimbangan atas hilangnya kemampuan berbicara adalah sesuai dengan jumlah huruf bahasa yang digunakan oleh korban. Jika ia berbahasa Arab, maka pembagiannya adalah atas dua puluh sembilan huruf, dan ada juga yang menghitungnya dua puluh delapan huruf dengan menghilangkan satu huruf karena masuk dalam alif dan lam, dan dalam hal ini sama saja antara huruf-huruf halqi (tenggorokan) dan syafawi (bibir). Inilah pendapat yang jelas dalam mazhab Syafi‘i dan pendapat mayoritas ulama pengikutnya. Abu Sa‘id al-Istakhri dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: Yang menjadi pertimbangan atas hilangnya kemampuan berbicara adalah jumlah huruf lidah, dan dikecualikan darinya huruf-huruf halqi dan syafawi, yaitu sepuluh huruf, enam di antaranya adalah huruf halqi, yaitu hamzah alif, ḥā’, khā’, ‘ain, ghain, dan hā’.
وَأَرْبَعَةٌ مِنْهَا شَفَوِيَّةٌ وَهِيَ الْبَاءُ وَالْفَاءُ وَالْمِيمُ وَالْوَاوُ
Dan empat di antaranya adalah huruf-huruf syafawiyyah, yaitu ba’, fa’, mim, dan wau.
وَيَبْقَى مِنْ حُرُوفِ الْكَلَامِ مَا يَخْتَصُّ بِاللِّسَانِ وَهُوَ تِسْعَةَ عَشَرَ حَرْفًا تَتَقَسَّطُ عَلَيْهَا مَا ذَهَبَ مِنَ الْكَلَامِ فَإِنْ ذَهَبَ مِنْهُ حَرْفٌ كَانَ عَلَيْهِ جُزْءًا مِنْ تِسْعَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ الدِّيَةِ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ ثلاثة أوجه
Dan yang tersisa dari huruf-huruf pembicaraan adalah yang khusus dengan lisan, yaitu sembilan belas huruf, yang mana bagian-bagian dari pembicaraan yang hilang terbagi padanya. Jika salah satu huruf tersebut hilang, maka atasnya dikenakan bagian dari dua puluh sembilan bagian dari diyat, dan ini rusak (tidak sah) dari tiga sisi.
أحدهما أَنَّ هَذِهِ وَإِنْ كَانَ مَخَارِجُهَا فِي الْحَلْقِ فَالشَّفَةُ وَاللِّسَانُ مُعَبِّرٌ عَنْهَا وَنَاطِقٌ بِهَا وَلِذَلِكَ لَمْ يَتَلَفَّظِ الْأَخْرَسُ بِهَا
Pertama, meskipun huruf-huruf ini keluarannya berasal dari tenggorokan, namun bibir dan lidahlah yang mengungkapkannya dan mengucapkannya; oleh karena itu, orang bisu tidak dapat melafalkannya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ يَقْتَضِي غَيْرَ قَوْلِهِمَا أَنْ لَا يَلْزَمَ بِالْجِنَايَةِ عَلَى لِسَانِهِ ضَمَانُ مَا ذَهَبَ مِنْ حُرُوفِ الْحَلْقِ وَالشَّفَةِ وَيَكُونُ ضَمَانُهُ مُخْتَصًّا بِمَا ذَهَبَ مِنْ حُرُوفِ اللِّسَانِ وَهِيَ تِسْعَةَ عَشَرَ وَيَكُونُ ضَمَانُ الْحُرُوفِ الْحَلْقِيَّةِ وَالشَّفَوِيَّةِ سَاقِطًا عَنْهُ لِأَنَّهُ لَمْ يجزء على محله قالاه لَمْ يَقُلْهُ غَيْرُهُمَا وَإِنْ لَمْ يَقُولَاهُ فَسَدَ تَعْلِيلُهُمَا
Kedua, bahwa menurut pendapat selain keduanya, tidak wajib membayar ganti rugi atas hilangnya huruf-huruf halk (tenggorokan) dan syafah (bibir) akibat kejahatan pada lidah, dan kewajiban ganti rugi hanya khusus pada huruf-huruf lidah yang berjumlah sembilan belas. Maka, kewajiban ganti rugi atas huruf-huruf halkiyah dan syafawiyah gugur darinya karena tidak terjadi kerusakan pada tempatnya, sebagaimana dikatakan oleh keduanya. Tidak ada yang berpendapat demikian selain mereka berdua, dan jika keduanya tidak mengatakannya, maka alasan mereka menjadi rusak.
وَالثَّالِثُ يَلْزَمُهُمَا فِي الْحُرُوفِ الشَّفَوِيَّةِ أَنْ يَضْمَنَهَا إِذَا جَنَى عَلَى شَفَتِهِ فَإِنْ قَالَاهُ رَكِبَا الْبَابَ وَإِنْ لَمْ يَقُولَاهُ فَسَدَ التَّعْلِيلُ وَصَحَّ مَا رَأَيْنَاهُ مِنِ اعْتِبَارِ جَمِيعِهَا بِاللِّسَانِ الْمُفْصِحِ عَنْهَا وَالْمُتَرْجِمِ لَهَا فَإِنْ أَذْهَبَ بِحَرْفٍ وَاحِدٍ مِنْهَا كَانَ عَلَيْهِ جُزْءًا مِنْ تِسْعَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ الدِّيَةِ وَإِنْ أَذْهَبْ بِعَشَرَةِ أَحْرُفٍ كَانَ عَلَيْهِ عَشَرَةُ أَجْزَاءٍ مِنْ تِسْعَةٍ وَعِشْرِينَ وَعَلَى قِيَاسِ هَذَا فِيمَا زَادَ وَنَقَصَ وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ مَا خَفَّ عَلَى اللِّسَانِ وَقَلَّ هِجَاؤُهُ أَوْ ثَقُلَ عَلَى اللِّسَانِ وَكَثُرَ هِجَاؤُهُ لَا يُفَضَّلُ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَتَكُونُ الدِّيَةُ مُقَسَّطَةً عَلَى أَعْدَادِ جَمِيعِهَا
Ketiga, wajib bagi keduanya dalam huruf-huruf syafawiyah untuk menanggungnya jika melakukan pelanggaran terhadap bibirnya. Jika mereka mengatakannya, maka mereka telah mengikuti kaidah, dan jika tidak mengatakannya, maka alasan tersebut rusak dan benarlah apa yang kami lihat, yaitu mempertimbangkan semuanya dengan lisan yang mengungkapkannya dan menerjemahkannya. Jika seseorang menghilangkan satu huruf darinya, maka ia wajib membayar satu bagian dari dua puluh sembilan bagian dari diyat. Jika ia menghilangkan sepuluh huruf, maka ia wajib membayar sepuluh bagian dari dua puluh sembilan, dan demikian pula seterusnya sesuai dengan penambahan atau pengurangan. Sama saja dalam hal ini, apakah huruf itu ringan diucapkan oleh lisan dan sedikit ejaannya, atau berat diucapkan dan banyak ejaannya, tidak ada keutamaan sebagian atas sebagian yang lain, dan diyat dibagi rata sesuai jumlah keseluruhannya.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْتَبِرَ كُلَّ حَرْفٍ مِنْهَا فِي بَقَائِهِ وَذَهَابِهِ لَمْ تَعْتَبِرْ مُفْرَدَاتُ الْحُرُوفِ لِأَنَّ للحرف الْوَاحِدِ يُجْمَعُ فِي الْهِجَاءِ حُرُوفًا لَكِنْ تَعْتَبِرُهُ بِكَلِمَةٍ يَكُونُ الْحَرْفُ مِنْ جُمْلَتِهَا إِمَّا فِي أَوَّلِهَا أَوْ فِي وَسَطِهَا أَوْ فِي آخِرِهَا وَلَوِ اعْتَبَرْتَهُ فِي الْأَوَّلِ وَالْوَسَطِ وَالْأَخِيرِ كَانَ أَحْوَطَ فَإِذَا أَرَدْتَ اعْتِبَارَهُ فِي أَوَّلِ الْكَلِمَةِ وَكَانَ الْمُعْتَبَرَ هُوَ الْأَلِفَ أَمَرْتَهُ أَنْ يَقُولَ أَحْمَدُ وَأَسْهَلُ وَأَبْصَرُ وَأَبْعَدُ لِيَكُونَ بَعْدَ الْأَلْفِ حُرُوفٌ مُتَغَايِرَةٌ يَزُولُ بِهَا الِاشْتِبَاهُ فَإِنْ لَمْ يَسْلَمْ لَهُ الْأَلِفُ فِي هَذِهِ الْأَسْمَاءِ وَالْأَفْعَالِ كَانَتْ ذَاهِبَةً وَإِنْ سَلِمَتْ كَانَتْ بَاقِيَةً
Maka jika kamu ingin mempertimbangkan setiap huruf dari huruf-huruf itu dalam hal tetap atau hilangnya, kamu tidak mempertimbangkan huruf-huruf secara terpisah, karena satu huruf dalam ejaan bisa terdiri dari beberapa huruf, tetapi kamu mempertimbangkannya dalam sebuah kata yang di dalamnya terdapat huruf tersebut, baik di awal, di tengah, atau di akhir kata. Jika kamu mempertimbangkannya di awal, tengah, dan akhir sekaligus, itu lebih hati-hati. Maka jika kamu ingin mempertimbangkannya di awal kata, dan huruf yang dimaksud adalah alif, kamu memerintahkannya untuk mengucapkan: Ahmad, As-hal, Abshar, dan Ab‘ad, agar setelah alif terdapat huruf-huruf yang berbeda sehingga tidak terjadi kekeliruan. Jika alif tidak tetap pada nama-nama dan kata kerja tersebut, berarti ia telah hilang; dan jika tetap, berarti ia masih ada.
وَإِذَا أَرَدْتَ اعْتِبَارَ الْبَاءِ أَمَرْتَهُ أَنْ يَقُولَ بَرَكَةً وَبَابًا وَبُعْدًا ثُمَّ عَلَى هَذِهِ الْعِبْرَةِ مِنْ جَمِيعِ الْحُرُوفِ فَإِنْ ثَقُلَ عَلَيْهِ الْحَرْفُ ثُمَّ يَأْتِي بِهِ سَلِيمًا عُدَّ فِي السَّلِيمِ دُونَ الذَّاهِبِ وَإِنْ قَلَبَهُ بِلُثْغَةٍ صَارَتْ فِي لِسَانِهِ عُدَّ فِي الذَّاهِبِ دُونَ السَّلِيمِ لِأَنَّ الْأَلْثَغَ يبدل الحروف بِاعْتِبَارِهَا فَصَارَ حَرْفُ اللُّثْغَةِ ذَاهِبًا وَكَذَلِكَ لَوْ صَارَ بِهِ أَرَتَّ لِأَنَّ مَا خَفِيَ بِالرَّتَّةِ مَعْدُودًا فِي الذَّاهِبِ دُونَ السَّلِيمِ لِأَنَّ الْأَرَتَّ يَأْتِي مِنَ الْكَلِمَةِ بَعْضَهَا وَيُسْقِطُ بَعْضَهَا وَلَوْ صَارَ أَرَدُّ يُرَدِّدُ الْكَلِمَةَ مِرَارًا أَوْ فَأْفَاءًا يُكَرِّرُ الْفَاءَ مِرَارًا أَوْ تِمْتَامًا يُكَرِّرُ التَّاءَ مِرَارًا عُدَّ ذَلِكَ مِنْهُ فِي السَّلِيمِ دُونَ الذَّاهِبِ لِأَنَّ الْحَرْفَ مِنْهُ سَلِيمٌ وَإِنْ تَكَرَّرَ فَفِيهِ حُكُومَةٌ لِأَنَّ فِيهِ مَعَ بَقَائِهِ نَقْصًا وَلَوْ كَانَ الْبَاقِي مِنْ حُرُوفِ كَلَامِهِ بَعْدَ الذَّاهِبِ مِنْهُ لَا يُفْهَمُ مَعْنَاهُ لَمْ يَضْمَنْهُ الْجَانِي لِلْعِلْمِ بِأَنَّ بَعْضَ الْحُرُوفِ لَا يَقُومُ مَقَامَ جَمِيعِهَا فَلَمْ يَلْزَمْ إِلَّا ضَمَانَ الذَّاهِبِ منها
Dan jika engkau ingin menguji huruf ba’, perintahkanlah ia untuk mengucapkan “barakah”, “bab”, dan “bu‘dan”, kemudian lakukanlah pengujian ini pada seluruh huruf. Jika suatu huruf terasa berat baginya, lalu ia dapat mengucapkannya dengan baik, maka ia termasuk dalam kategori yang selamat, bukan yang hilang. Namun jika ia mengucapkannya dengan cadel sehingga huruf itu berubah di lidahnya, maka ia termasuk dalam kategori yang hilang, bukan yang selamat, karena orang yang cadel mengganti huruf-huruf menurut pengujiannya, sehingga huruf yang dicadelkan dianggap hilang. Demikian pula jika ia menjadi pelo, maka apa yang samar karena pelo dihitung sebagai hilang, bukan yang selamat, karena orang yang pelo hanya dapat mengucapkan sebagian kata dan menjatuhkan sebagian lainnya. Jika ia menjadi orang yang gagap, mengulang-ulang kata berkali-kali, atau menjadi orang yang terbata-bata, mengulang-ulang huruf fa’ berkali-kali, atau menjadi orang yang gagap pada huruf ta’, mengulang-ulang huruf ta’ berkali-kali, maka hal itu tetap dianggap sebagai selamat, bukan yang hilang, karena huruf yang diucapkan masih selamat meskipun diulang-ulang, namun di dalamnya ada kekurangan karena meskipun masih ada, terdapat kekurangan. Jika sisa huruf dari ucapannya setelah sebagian huruf hilang tidak dapat dipahami maknanya, maka pelaku tidak wajib menanggungnya, karena diketahui bahwa sebagian huruf tidak dapat menggantikan seluruhnya, sehingga yang wajib hanyalah menanggung huruf yang hilang saja.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ قَطَعَ رُبُعَ اللِّسَانِ فَذَهَبَ بِأَقَلَّ مِنْ رُبُعِ الْكَلَامِ فَرُبُعُ الدِّيَةِ وَإِنْ ذَهَبَ نِصْفُ الْكَلَامِ فَنِصْفُ الدِّيَةِ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا قَطَعَ بَعْضَ لِسَانِهِ فَذَهَبَ بَعْضُ كَلَامِهِ كَانَ عَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَمْرَيْنِ مِمَّا قَطَعَ مِنَ اللِّسَانِ أَوْ ذَهَبَ مِنَ الْكَلَامِ فَإِنْ قَطَعَ نِصْفَ لِسَانِهِ فَذَهَبَ نِصْفُ كَلَامِهِ فَقَدِ اسْتَوَيَا وَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَإِنْ قَطَعَ رُبُعَ لِسَانِهِ فَذَهَبَ نِصْفُ كَلَامِهِ كَانَ عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ اعْتِبَارًا بِمَا ذَهَبَ مِنَ الْكَلَامِ دُونَ اللِّسَانِ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ وَإِنْ قَطَعَ نِصْفَ لِسَانِهِ فَذَهَبَ رُبُعُ كَلَامِهِ كَانَ عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ اعْتِبَارًا بِمَا قَطَعَ من اللِّسَانِ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ وَعَلَى هَذِهِ الْعِبْرَةِ فِيمَا زَادَ أَوْ نَقَصَ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْعِلَّةِ الَّتِي لِأَجْلِهَا اعْتُبِرَ وُجُوبُ أَكْثَرِ الْأَمْرَيْنِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang memotong seperempat lidah lalu yang hilang dari kemampuan berbicaranya kurang dari seperempat, maka wajib membayar seperempat diyat. Jika yang hilang adalah setengah kemampuan berbicara, maka wajib membayar setengah diyat. Al-Mawardi berkata: Jika seseorang memotong sebagian lidah lalu sebagian kemampuan berbicaranya hilang, maka yang wajib dibayar adalah yang lebih besar di antara dua hal: bagian lidah yang terpotong atau bagian kemampuan berbicara yang hilang. Jika ia memotong setengah lidah lalu yang hilang adalah setengah kemampuan berbicara, maka keduanya sama dan wajib membayar setengah diyat. Jika ia memotong seperempat lidah lalu yang hilang adalah setengah kemampuan berbicara, maka wajib membayar setengah diyat, dengan pertimbangan bagian kemampuan berbicara yang hilang karena itu lebih banyak. Jika ia memotong setengah lidah lalu yang hilang adalah seperempat kemampuan berbicara, maka wajib membayar setengah diyat, dengan pertimbangan bagian lidah yang terpotong karena itu lebih banyak. Ukuran ini berlaku untuk yang lebih atau kurang dari itu. Para ulama kami berbeda pendapat tentang ‘illat (alasan hukum) yang menjadi dasar kewajiban membayar yang lebih besar di antara dua hal tersebut, dengan dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ تَعْلِيلُ أَبِي كُنَيْزٍ وَظَاهِرُ تَعْلِيلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْأُمِّ أَنَّ مَنْفَعَةَ الْعُضْوِ إِذَا ضُمِنَتْ بِدِيَتِهِ اعْتُبِرَ فِيهَا الْأَكْثَرُ مِنْ ذَهَابِ الْمَنْفَعَةِ أَوْ ذَهَابِ الْعُضْوِ
Salah satunya, yaitu alasan Abu Kunais dan yang tampak dari alasan asy-Syafi‘i dalam kitab al-Umm, bahwa manfaat suatu anggota tubuh jika dijamin dengan diyatnya, maka yang dipertimbangkan di dalamnya adalah yang lebih banyak antara hilangnya manfaat atau hilangnya anggota tubuh tersebut.
أَلَّا تَرَى أَنَّهُ لَوْ قَطَعَ الْخِنْصَرَ مِنْ أَصَابِعِ الْيَدِ فَشُلَّ جَمِيعُهَا لَزِمَهُ دِيَةُ جَمِيعِهَا لِذَهَابِ جَمِيعِ مَنَافِعِهَا وَلَوْ لَمْ يُشَلَّ بَاقِيهَا لَزِمَهُ دِيَةُ الْإِصْبَعِ وَهُوَ خُمُسُ دِيَةِ الْيَدِ لِأَنَّهُ أَخَذَ خُمُسَ الْيَدِ وَإِذَا كَانَ الذَّاهِبُ بِهَا أَقَلَّ مِنْ خُمُسِ الْمَنْفَعَةِ كَذَلِكَ فِيمَا ذَهَبَ مِنَ اللِّسَانِ وَالْكَلَامِ
Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang memotong jari kelingking dari jari-jari tangan lalu seluruh jari tersebut menjadi lumpuh, maka ia wajib membayar diyat seluruh jari karena seluruh manfaatnya telah hilang. Namun jika jari-jari lainnya tidak menjadi lumpuh, maka ia hanya wajib membayar diyat jari tersebut, yaitu seperlima dari diyat tangan, karena ia telah mengambil seperlima bagian tangan. Jika yang hilang manfaatnya kurang dari seperlima, maka demikian pula ketentuannya pada bagian lidah dan kemampuan berbicara yang hilang.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ تَعْلِيلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ قَطْعَ رُبُعِ اللِّسَانِ إِذَا أَذْهَبَ نِصْفَ الْكَلَامِ دَلِيلٌ عَلَى شَلَلِ رُبُعِ اللِّسَانِ فِي الْبَاقِي مِنْهُ فَيَلْزَمُهُ نِصْفُ دِيَتِهِ رُبُعُهَا بِالْقَطْعِ وَرُبُعُهَا بِالشَّلَلِ وَفَائِدَةُ هَذَا الِاخْتِلَافِ فِي التَّعْلِيلِ مُؤَثِّرٌ فِي فِرْعَيْنِ
Pendapat kedua adalah penjelasan dari Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa pemotongan seperempat lidah jika menyebabkan hilangnya separuh kemampuan berbicara, maka hal itu menjadi bukti adanya kelumpuhan pada seperempat lidah yang tersisa. Maka, ia wajib membayar setengah diyat: seperempatnya karena pemotongan, dan seperempatnya lagi karena kelumpuhan. Manfaat dari perbedaan dalam penjelasan ini berpengaruh pada dua cabang masalah.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَقْطَعُ رُبُعَ لِسَانِهِ فَيَذْهَبُ نِصْفُ كَلَامِهِ فَيَلْزَمُهُ نِصْفُ الدِّيَةِ ثُمَّ يَأْتِي آخَرُ فَيَقْطَعُ بَاقِيَ لِسَانِهِ فَعَلَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ تَلْزَمُهُ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَطَعَ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِ اللِّسَانِ وَعَلَى التَّعْلِيلِ الثَّانِي يَلْزَمُهُ نِصْفُ الدِّيَةِ فِي نِصْفِ اللِّسَانِ وَحُكُومَةٌ فِي رُبُعِهِ لِأَنَّ نِصْفَهُ سَلِيمٌ وَرُبُعُهُ أَشَلُّ
Salah satunya adalah jika seseorang memotong seperempat lidah seseorang sehingga setengah kemampuan bicaranya hilang, maka ia wajib membayar setengah diyat. Kemudian datang orang lain dan memotong sisa lidahnya, maka menurut alasan pertama, ia wajib membayar tiga perempat diyat karena ia telah memotong tiga perempat lidah. Sedangkan menurut alasan kedua, ia wajib membayar setengah diyat untuk setengah lidah dan hukuman (ta‘zir) untuk seperempatnya, karena setengahnya masih sehat dan seperempatnya lumpuh.
وَالْفَرْعُ الثَّانِي أَنْ يَقْطَعَ نِصْفَ لِسَانِهِ فَيَذْهَبَ رُبُعُ كَلَامِهِ فَيَلْزَمَهُ نِصْفُ الدِّيَةِ ثُمَّ يَأْتِي آخَرُ فَيَقْطَعُ بَاقِيَ لسانه فعلى التعليل الأول في اعتبار الأغلظ تلزمه ثلاثة أرباع الدية لأنه أذهب ثلاثة أرباع كلامه وعلى التعليل الثاني في اعتبار الأجزاء تلزمه نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَطَعَ نِصْفَ لِسَانِهِ
Cabang kedua adalah jika seseorang memotong setengah dari lidah seseorang sehingga hilang seperempat kemampuannya berbicara, maka ia wajib membayar setengah diyat. Kemudian datang orang lain dan memotong sisa lidahnya; menurut alasan pertama yang mempertimbangkan kerusakan yang lebih besar, ia wajib membayar tiga perempat diyat karena telah menghilangkan tiga perempat kemampuan berbicara. Sedangkan menurut alasan kedua yang mempertimbangkan bagian-bagian, ia wajib membayar setengah diyat karena telah memotong setengah lidahnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنْ أَخَذَ دِيَةَ مَا ذَهَبَ مِنْ كَلَامِهِ ثم نطق به عد ذَلِكَ رَدَّ دِيَةَ مَا أَخَذَهُ وَلَوْ عَادَ بَعْضُهُ رَدَّ دِيَةَ مَا عَادَ وَاسْتَحَقَّ دِيَةَ مَا لَمْ يُعِدْ وَلَوْ أَخَذَ دِيَةَ مَا ذَهَبَ مِنْ كَلَامِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بَعْدَ ذَلِكَ حُرُوفٌ أُخَرُ مِنْ كَلَامِهِ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ انْدِمَالِ لِسَانِهِ وَسُكُونِ أَلَمِهِ ضَمِنَهَا وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الِانْدِمَالِ وَسُكُونِ الْأَلَمِ لَمْ يَضْمَنْ إِلَّا مَا تَقَدَّمَ
Jika seseorang telah menerima diyat atas hilangnya kemampuannya berbicara, kemudian ia dapat berbicara kembali, maka ia wajib mengembalikan diyat yang telah diterimanya. Jika hanya sebagian kemampuannya yang kembali, maka ia wajib mengembalikan diyat sebesar bagian yang kembali, dan tetap berhak atas diyat bagian yang belum kembali. Jika ia telah menerima diyat atas hilangnya kemampuan berbicara, kemudian setelah itu ada lagi huruf-huruf lain dari kemampuannya berbicara yang hilang, maka jika hal itu terjadi sebelum lukanya sembuh dan rasa sakitnya hilang, pelaku tetap bertanggung jawab atasnya. Namun jika terjadi setelah lukanya sembuh dan rasa sakitnya hilang, maka pelaku hanya bertanggung jawab atas kerusakan yang telah terjadi sebelumnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا خُلِقَ لِلِسَانِهِ طَرَفَانِ فَقَطَعَ أَحَدَهُمَا فَلَا يَخْلُو حَالُهُ بَعْدَ قَطْعِهِ من أن ينطلق بِجَمِيعِ كَلَامِهِ أَوْ لَا يَنْطِقَ فَإِنْ نَطَقَ بِجَمِيعِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الطَّرَفِ الْمَقْطُوعِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُسَاوِيًا لِلطَّرَفِ الثَّانِي فِي تَخْرِيجِهِ مِنْ أَصْلِ اللِّسَانِ أَوْ يَكُونَ خَارِجًا عَنْهُ فَإِنْ سَاوَاهُ لَزِمَهُ فِيهِ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِ الْمَقْطُوعِ مِنْ قَدْرِ اللِّسَانِ
Jika seseorang memiliki dua ujung pada lidahnya, lalu memotong salah satunya, maka setelah pemotongan itu, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia tetap dapat berbicara dengan seluruh ucapannya, atau tidak dapat berbicara. Jika ia tetap dapat berbicara sepenuhnya, maka keadaan ujung lidah yang terpotong itu tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ujung yang terpotong itu setara dengan ujung yang lain dalam hal keluarnya dari pangkal lidah, atau tidak. Jika keduanya setara, maka ia wajib membayar diyat sesuai dengan bagian lidah yang terpotong.
وَلَوْ قَطَعَ الطَّرَفَيْنِ مَعًا لَزِمَهُ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِهِمَا مِنْ جَمِيعِ اللِّسَانِ وَإِنْ كَانَ الطَّرَفُ الْمَقْطُوعُ خَارِجًا عَنِ الِاسْتِقَامَةِ فِي اللِّسَانِ فَهُوَ طَرَفٌ زَائِدٌ يَلْزَمُهُ فِي قَطْعِهِ حُكُومَةٌ لَا تَبْلُغُ قِسْطَهُ مِنَ الدِّيَةِ لَوْ كَانَ مِنْ أَصْلِ اللِّسَانِ وَلَوْ قَطَعَ الطَّرَفَيْنِ مَعًا لَزِمَهُ فِي الزَّائِدِ حُكُومَةٌ وَفِي طَرَفِ الْأَصْلِ قِسْطُهُ مِنَ الدِّيَةِ وَلَوْ قَطَعَ جَمِيعَ اللِّسَانِ مِنْ أَصْلِهِ لَزِمَهُ دِيَةُ اللِّسَانِ وَحُكُومَةٌ فِي الطَّرَفِ الزَّائِدِ وَإِنْ ذَهَبَ مَعَ قَطْعِ هَذَا الطَّرَفِ الزَّائِدِ شَيْءٌ مِنْ كَلَامِهِ لَزِمَهُ أَكْثَرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ دِيَةِ الذَّاهِبِ مِنْ كَلَامِهِ أَوِ الْمَقْطُوعِ مِنْ لِسَانِهِ
Jika seseorang memotong kedua ujung lidah sekaligus, maka ia wajib membayar diyat sesuai bagian kedua ujung tersebut dari keseluruhan lidah. Jika ujung yang terpotong itu berada di luar bagian utama lidah, maka itu dianggap sebagai ujung tambahan, dan untuk memotongnya dikenakan hukuman berupa ḥukūmah yang nilainya tidak mencapai bagian diyat seandainya ujung itu berasal dari bagian utama lidah. Jika seseorang memotong kedua ujung sekaligus, maka untuk bagian tambahan dikenakan ḥukūmah, dan untuk ujung utama dikenakan bagian diyat sesuai porsinya. Jika seseorang memotong seluruh lidah dari pangkalnya, maka ia wajib membayar diyat penuh untuk lidah dan ḥukūmah untuk ujung tambahan. Jika bersama dengan terpotongnya ujung tambahan itu hilang pula sebagian kemampuan berbicara, maka ia wajib membayar yang terbesar di antara dua hal: diyat atas hilangnya kemampuan berbicara atau diyat atas bagian lidah yang terpotong.
فَصْلٌ
Bagian
وَلَوْ قَطَعَ بَاطِنَ لِسَانِهِ لَزِمَهُ قِسْطُهُ مِنَ الدِّيَةِ فَإِنْ أَذْهَبْ بِشَيْءٍ مِنْ كَلَامِهِ لَزِمَهُ أَكْثَرُ الْأَمْرَيْنِ وَلَا قَوَدَ فِيهِ لِتَعَذُّرِهِ وَلَا قَوَدَ فِي ذَهَابِ الْكَلَامِ أَيْضًا إِذَا أَذْهَبَهُ مَعَ بَقَاءِ اللِّسَانِ فَعَلَى هَذَا لَوْ قَطَعَ نِصْفَ لِسَانِهِ فَذَهَبَ بِهِ نِصْفُ كَلَامِهِ قَطَعَ نِصْفَ لِسَانِ الْجَانِي؛ لِأَنَّ فِي جَمِيعِ اللِّسَانِ وَفِي بَعْضِهِ قَوَدٌ فَإِنْ ذَهَبَ بِالْقَوَدِ نِصْفُ كَلَامِهِ كَانَ وَفَاءَ جِنَايَتِهِ وَإِنْ ذَهَبَ بِرُبُعِ كَلَامِهِ لَزِمَهُ مَعَ الْقَوَدِ دِيَةُ رُبُعِ الْكَلَامِ وَلَوْ ذَهَبَ بِقَطْعِهِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ كَلَامِهِ فَقَدْ وَفَى الْمُسْتَحَقَّ بِجِنَايَتِهِ وَكَانَ الزَّائِدُ فِيمَا ذَهَبَ مِنْ كَلَامِهِ هَدَرًا لِحُدُوثِهِ عَنْ قَوَدٍ مُسْتَحَقٍّ فَأَمَّا قَطْعُ اللَّهَاةِ فَفِيهِ الْقَوَدُ إِنْ أَمْكَنَ وَفِيهِ حُكُومَةٌ لَا تَتَقَدَّرُ بِقِسْطٍ مِنْ دِيَةِ اللَّهَاةِ عَنِ الْأَعْضَاءِ الَّتِي قُدِّرَتْ فِيهَا الدِّيَاتُ
Jika seseorang memotong bagian dalam lidah orang lain, maka ia wajib membayar bagian diyat yang sesuai. Jika perbuatannya menyebabkan hilangnya sebagian kemampuan berbicara, maka ia wajib membayar yang lebih besar di antara dua hal tersebut. Tidak ada qishāsh dalam kasus ini karena tidak memungkinkan, dan juga tidak ada qishāsh atas hilangnya kemampuan berbicara jika lidahnya masih utuh. Berdasarkan hal ini, jika seseorang memotong setengah lidah orang lain sehingga setengah kemampuan bicaranya hilang, maka pelaku dipotong setengah lidahnya, karena pada seluruh lidah maupun sebagian lidah terdapat qishāsh. Jika dengan qishāsh tersebut hilang setengah kemampuan berbicara, maka itu sudah cukup untuk membalas kejahatannya. Jika yang hilang seperempat kemampuan berbicara, maka selain qishāsh, ia juga wajib membayar diyat seperempat kemampuan berbicara. Jika dengan pemotongan tersebut hilang tiga perempat kemampuan berbicara, maka hak korban telah terpenuhi dengan kejahatan yang dilakukan pelaku, dan kelebihan dari kemampuan berbicara yang hilang dianggap sia-sia karena terjadi akibat qishāsh yang memang berhak dilakukan. Adapun pemotongan langit-langit mulut (lahah), maka padanya berlaku qishāsh jika memungkinkan, dan padanya juga berlaku hukuman (hukūmah) yang tidak ditentukan dengan bagian diyat dari lahah sebagaimana anggota tubuh lain yang diyatnya telah ditentukan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي لِسَانِ الصَّبِيِّ إِذَا حَرَّكَهُ بِبُكَاءٍ أَوْ بِشَيْءٍ يُغَيِّرُ اللِّسَانَ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Pada lidah seorang anak kecil, jika lidah itu digerakkan karena menangis atau karena sesuatu yang mengubah lidah, maka wajib membayar diyat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ لِسَانَ الصَّبِيِّ الطِّفْلِ يَعْجِزُ عَنِ الْكَلَامِ لِضَعْفِ الصِّغَرِ كَمَا تَعْجِزُ أَعْضَاؤُهُ عَنِ اسْتِيفَاءِ الْحَرَكَةِ فَيَلْزَمُ فِي لِسَانِهِ إِذَا كَانَ مَعْرُوفَ السَّلَامَةِ جَمِيعُ الدِّيَةِ مِثْلَ مَا يَلْزَمُ فِي لِسَانِ النَّاطِقِ الْكَبِيرِ كَمَا يَلْزَمُ فِي رِجْلَيْهِ جَمِيعُ الدِّيَةِ إِذَا عُرِفَتْ سَلَامَتُهُمَا وَإِنْ كَانَ يَنْهَضُ لِلْمَشْيِ بِهِمَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَوَّلُ مَا يَظْهَرُ مِنَ الطِّفْلِ حَرْفُ الْحَلْقِ فِي الْبُكَاءِ ثُمَّ حُرُوفُ الشَّفَةِ فِي بَابَا وَمَامَا ثُمَّ حُرُوفُ اللِّسَانِ إِذَا تَكَلَّمَ وَبَعْضُ ذَلِكَ يَتْلُو بَعْضًا فَإِذَا عُرِفَ مِنْهُ أَحَدُ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ فِي زَمَانِهِ دَلَّ عَلَى سَلَامَةِ لِسَانِهِ فَكَمُلَتْ فِيهِ الدِّيَةُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَكْمِلِ الْكَلَامَ لِأَنَّهُ يَكْمُلُ فِي غَالِبِ الْعُرْفِ إِذَا بَلَغَ زَمَانَ الْكَمَالِ وَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُ فِي أَوْقَاتِ هَذِهِ الْحُرُوفِ مَا يَدُلُّ عَلَى سَلَامَةِ لِسَانِهِ كَانَ ظَاهِرُهُ دَلِيلًا عَلَى خَرَسِهِ فَيَلْزَمُهُ فِيهِ حُكُومَةٌ وَلَوْ قَطَعَهُ سَاعَةَ وِلَادَتِهِ قَبْلَ أَوْقَاتِ حَرَكَاتِ لِسَانِهِ صَارَ لِسَانُهُ وَإِنْ كَانَ مِنَ الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ مِنَ الْكَبِيرِ جَارِيًا مَجْرَى الْأَعْضَاءِ الْبَاطِنَةِ فَيَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ
Al-Mawardi berkata, secara keseluruhan, lidah anak kecil belum mampu berbicara karena lemahnya usia muda, sebagaimana anggota tubuhnya juga belum mampu bergerak secara sempurna. Maka, pada lidahnya, jika telah diketahui keselamatannya, wajib diberikan diyat (denda) penuh, sebagaimana yang berlaku pada lidah orang dewasa yang dapat berbicara. Demikian pula pada kedua kakinya, jika telah diketahui keselamatannya, wajib diberikan diyat penuh, meskipun ia baru mulai belajar berjalan dengan kedua kakinya. Jika demikian, maka yang pertama kali tampak dari anak kecil adalah huruf-huruf tenggorokan saat menangis, kemudian huruf-huruf bibir saat mengucapkan “baba” dan “mama”, lalu huruf-huruf lidah ketika mulai berbicara, dan sebagian dari itu saling berurutan. Jika telah diketahui salah satu dari tiga hal ini pada waktunya, maka itu menunjukkan keselamatan lidahnya, sehingga diyat menjadi sempurna baginya, meskipun ia belum sempurna berbicara, karena umumnya menurut kebiasaan, ia akan sempurna berbicara ketika mencapai usia sempurna. Namun, jika pada waktu-waktu tersebut tidak tampak darinya huruf-huruf yang menunjukkan keselamatan lidahnya, maka yang tampak darinya menjadi bukti atas bisunya, sehingga yang berlaku padanya adalah hukumah (penilaian ganti rugi), dan jika lidahnya dipotong saat baru lahir sebelum masa-masa pergerakan lidahnya, maka lidahnya, meskipun termasuk anggota tubuh yang tampak pada orang dewasa, diperlakukan seperti anggota tubuh bagian dalam, sehingga ada dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا يُحْمَلُ عَلَى الصِّحَّةِ لِتَعَذُّرِ الْبَيِّنَةِ فِيهِ اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ مِنْ أَحْوَالِ السَّلَامَةِ وَتَكْمُلُ فِيهِ الدِّيَةُ
Salah satunya dianggap sah karena tidak memungkinkan adanya bukti yang jelas di dalamnya, dengan mempertimbangkan keadaan yang paling umum yaitu keselamatan, dan dalam hal ini diyat menjadi sempurna.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهُ يُحْمَلُ عَلَى عَدَمِ الصِّحَّةِ لأن لا يَقْضِيَ بِالْإِلْزَامِ مَعَ إِمْكَانِ الْإِسْقَاطِ اعْتِبَارًا بِبَرَاءَةِ الذمة وتجب فيه حكومة
Pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu dimaknai sebagai tidak sah, agar tidak menetapkan kewajiban dengan paksaan padahal masih mungkin untuk menggugurkan (kewajiban tersebut), dengan mempertimbangkan kebebasan tanggungan, dan dalam hal ini wajib dilakukan penetapan hukum (ḥukūmah).
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي لِسَانِ الْأَخْرَسِ حُكُومَةٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Pada lisan orang bisu terdapat ḥukūmah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَإِنَّمَا لَمْ يَجِبْ فِي لِسَانِ الْأَخْرَسِ الدِّيَةُ لِأَنَّهُ قَدْ سُلِبَ الْكَلَامَ الَّذِي هُوَ الْأَخَصُّ الْأَغْلَبُ مِنْ مَنَافِعِ اللِّسَانِ وَإِنْ بَقِيَ بِالْخَرَسِ بَعْضُ مَنَافِعِهِ وَهُوَ الذَّوْقُ وَتَصَرُّفُهُ فِي مَضْغِ الطَّعَامِ فَلَمْ تَبْلُغْ دِيَتُهُ دِيَةَ لِسَانِ كَامِلِ الْمَنَافِعِ
Al-Mawardi berkata, “Tidak diwajibkan diyat atas lidah orang bisu karena ia telah kehilangan kemampuan berbicara, yang merupakan manfaat utama dan paling banyak dari lidah. Meskipun dengan kebisuannya masih tersisa sebagian manfaat lidah, yaitu untuk mengecap dan mengunyah makanan, maka diyatnya tidak mencapai diyat lidah yang sempurna manfaatnya.”
فَإِنْ قِيلَ فَمِثْلُهُ لِسَانُ الصَّبِيِّ فَهَلَّا كَانَ فِيهِ أَيْضًا حُكُومَةٌ
Jika dikatakan, “Begitu pula lidah anak kecil, mengapa di dalamnya juga tidak ada ḥukūmah?”
قِيلَ لِأَنَّ لِسَانَ الصَّبِيِّ سَلِيمُ الْكَلَامِ وَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ فِي زَمَانِهِ وَهَذَا مَعْدُومُ الْكَلَامِ لِأَنَّهُ مَفْقُودٌ فِي زَمَانِهِ فَافْتَرَقَا فَلَوْ كَانَ اللِّسَانُ مَسْلُوبَ الذَّوْقِ لَا يُحِسُّ بِهِ طُعُومَ الْمَأْكُولَاتِ وَالْمَشْرُوبَاتِ وَهُوَ نَاطِقٌ سَلِيمُ الْكَلَامِ لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الدِّيَةُ وَكَانَ فِيهِ حُكُومَةٌ كَالْأَخْرَسِ وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْهُ الشَّافِعِيُّ بِنَاءً عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ فِي الْجِنَايَةِ عَلَيْهِ إِذَا أَذْهَبَتْ بِذَوْقِهِ أَنَّ فِيهِ الدِّيَةَ وَحُكُومَةُ الْمَسْلُوبِ الذَّوْقِ أَقَلُّ مِنْ حُكُومَةِ الْمَسْلُوبِ الْكَلَامِ لِأَنَّ نَقْصَ الْكَلَامِ أَظْهَرُ وَالْحَاجَةُ إِلَيْهِ أَدْعَى وَلَوِ ابْتَدَأَ بِالْجِنَايَةِ عَلَى لِسَانِ نَاطِقٍ فَأَخْرَسَهُ وَضَمِنَ بِالْخَرَسِ دِيَتَهُ ثُمَّ عَادَ هُوَ فَقَطَعَ لِسَانَهُ لَزِمَهُ حُكُومَةٌ لِأَنَّهُ قَطَعَ بَعْدَ الْجِنَايَةِ الأولى لسان أَخْرَسَ كَمَا لَوْ أَشَلَّ يَدَهُ بِجِنَايَةٍ ثُمَّ قَطَعَهَا بَعْدَ الشَّلَلِ لَزِمَتْهُ دِيَةٌ فِي الشَّلَلِ وحكومة في القطع بعده
Dikatakan bahwa lidah seorang anak kecil masih sehat untuk berbicara, meskipun belum tampak pada masanya, sedangkan yang ini (orang bisu) tidak memiliki kemampuan berbicara karena memang tidak ada pada masanya, maka keduanya berbeda. Jika lidah seseorang kehilangan kemampuan mengecap sehingga tidak dapat merasakan rasa makanan dan minuman, namun ia masih dapat berbicara dengan baik, maka diyat tidak sempurna baginya, melainkan dikenakan hukuman (hukūmah) seperti pada orang bisu, meskipun hal ini tidak disebutkan oleh Imam Syafi‘i, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya dalam kasus kejahatan terhadap lidah, jika kejahatan itu menghilangkan kemampuan mengecap, maka baginya ada diyat dan hukūmah. Hukūmah bagi yang kehilangan kemampuan mengecap lebih ringan daripada hukūmah bagi yang kehilangan kemampuan berbicara, karena kekurangan dalam berbicara lebih jelas dan kebutuhan terhadapnya lebih besar. Jika seseorang memulai dengan melakukan kejahatan terhadap lidah orang yang dapat berbicara hingga membuatnya bisu, lalu ia menanggung diyat karena kebisuan itu, kemudian ia kembali dan memotong lidahnya, maka ia wajib membayar hukūmah, karena ia memotong lidah orang yang sudah bisu setelah kejahatan pertama, sebagaimana jika seseorang membuat tangan orang lain lumpuh dengan suatu kejahatan, lalu memotongnya setelah lumpuh, maka ia wajib membayar diyat atas kelumpuhan dan hukūmah atas pemotongan setelahnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ قَالَ لَمْ أَكُنْ أَبْكَمَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ فَإِنْ عُلِمَ أَنَّهُ نَاطِقٌ فَهُوَ نَاطِقٌ حَتَّى يُعْلَمَ خِلَافُ ذَلِكَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika (korban) berkata, “Aku bukan bisu,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pelaku (jāni) disertai sumpahnya. Jika diketahui bahwa ia dapat berbicara, maka ia dianggap dapat berbicara sampai diketahui sebaliknya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا مِنْ جُمْلَةِ مَا مَضَى إِذَا اخْتَلَفَا بَعْدَ قَطْعِ اللِّسَانِ فِي سَلَامَتِهِ وَخَرَسِهِ فَادَّعَى الْجَانِي أَنَّهُ كَانَ أَخْرَسَ وَادَّعَى الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَنَّهُ كَانَ نَاطِقًا فَاللِّسَانُ مِنَ الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ فِي الْكَبِيرِ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ بِنُطْقِهِ وَسَلَامَتِهِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ إِنْ لَمْ يَعْتَرِفْ لَهُ بِتَقَدُّمِ السَّلَامَةِ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ ذِمَّتِهِ مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ فَإِنِ اعْتَرَفَ لَهُ بِتَقَدُّمِ السَّلَامَةِ وَادَّعَى زَوَالَهَا قَبْلَ جِنَايَتِهِ فَهُوَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَنْ قَطَعَ مَلْفُوفًا فِي ثَوْبٍ وَادَّعَى أَنَّهُ كَانَ مَيِّتًا فِيهِ قَوْلَانِ كَذَلِكَ هَاهُنَا
Al-Mawardi berkata, “Ini termasuk dari apa yang telah lalu, yaitu apabila terjadi perbedaan pendapat setelah pemotongan lidah mengenai keselamatan dan kebisuan lidah tersebut. Jika pelaku mengklaim bahwa korban sebelumnya sudah bisu, sedangkan korban mengklaim bahwa ia sebelumnya dapat berbicara, maka lidah termasuk anggota tubuh yang tampak pada orang dewasa, karena ia mampu menghadirkan bukti atas kemampuannya berbicara dan keselamatan lidahnya. Maka dalam hal ini, perkataan pelaku diterima disertai sumpahnya, jika tidak ada pengakuan dari pelaku tentang keselamatan lidah korban sebelumnya, karena pada dasarnya pelaku bebas dari tanggungan qishash dan diyat. Namun, jika pelaku mengakui bahwa korban sebelumnya dalam keadaan selamat lalu mengklaim bahwa kemampuan berbicara itu hilang sebelum ia melakukan kejahatan, maka ada dua pendapat, sebagaimana orang yang memotong sesuatu yang terbungkus kain lalu mengklaim bahwa benda itu sudah mati sebelumnya; dalam kasus itu juga ada dua pendapat, demikian pula dalam masalah ini.”
فَإِنْ قِيلَ فَكَيْفَ يَصِحُّ مِنَ الْمَقْطُوعِ اللِّسَانِ أَنْ يَقُولَ لَمْ أَكُنْ أَبْكَمَ وَهُوَ لَا يَقْدِرُ بَعْدَ قَطْعِهِ عَلَى الْقَوْلِ
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin seseorang yang lidahnya telah terpotong dapat mengatakan, ‘Aku dulu bukan bisu,’ padahal setelah lidahnya terpotong ia tidak mampu lagi berbicara?”
قِيلَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ أَشَارَ بِالْعَيْنِ فَعَبَّرَ عَنِ الْإِشَارَةِ بِالْقَوْلِ كَمَا قَالَ الشَّاعِرُ
Dikatakan bahwa maksudnya adalah ia memberi isyarat dengan mata, lalu isyarat itu diungkapkan dengan ucapan, sebagaimana yang dikatakan oleh penyair.
وَقَالَتْ لَهُ الْعَيْنَانِ سَمْعًا وَطَاعَةً وَخِدْرُنَا كَالدُّرِّ لَمَّا يُثْقَبِ
Kedua mata berkata kepadanya, “Kami mendengar dan taat, dan kehormatan kami seperti mutiara yang belum pernah dilubangi.”
فَعَبَّرَ عَنْ إِشَارَةِ الْعَيْنَيْنِ بِالْقَوْلِ
Maka ia mengungkapkan isyarat mata dengan ucapan.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا قَطَعَ لِسَانَهُ فَأَخَذَ بِالْقَوَدِ أَوِ الدِّيَةِ ثُمَّ ثَبَتَ لِسَانُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ فَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى سِنِّ الْمَثْغُورِ إِذَا نَبَتَ بَعْدَ أَخْذِ دِيَتِهَا وَفِيهَا قَوْلَانِ
Jika seseorang memotong lidah orang lain, lalu korban memilih qishāsh atau diyat, kemudian lidah korban ternyata pulih kembali, maka kasus ini dianalogikan dengan kasus gigi yang tanggal lalu tumbuh kembali setelah diyatnya diambil. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا إِنَّهَا عَطِيَّةٌ مِنَ اللَّهِ لَا يَسْتَرْجِعُ بِهَا مَا أَخَذَهُ مِنْ دِيَتِهَا فَعَلَى هَذَا أَوْلَى فِي اللِّسَانِ أَنْ يَكُونَ عَطِيَّتُهُ مُسْتَجَدَّةً لَا يَسْتَرْجِعُ بَعْدَ نَبَاتِهِ بِمَا أَخَذَهُ مِنْ دِيَتِهِ
Salah satu pendapat menyatakan bahwa itu adalah pemberian dari Allah yang tidak dapat diambil kembali sebagai ganti dari apa yang telah diterima dari diyatnya. Oleh karena itu, lebih utama dalam penggunaan bahasa bahwa pemberiannya merupakan pemberian baru yang tidak dapat diambil kembali setelah tumbuhnya (harta tersebut) sebagai ganti dari apa yang telah diterima dari diyatnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ هَذِهِ السِّنَّ الثَّابِتَةَ خَلَفٌ مِنَ السِّنِّ الذَّاهِبَةِ دَلَّ عَلَى بَقَاءِ أَصْلِهَا فَيَسْتَرْجِعُ مِنْهُ بَعْدَ نَبَاتِهَا مَا أَخَذَهُ مِنْ دِيَتِهَا فَعَلَى هَذَا هَلْ يَكُونُ حُكْمُ اللِّسَانِ إِذَا نَبَتَ كَذَلِكَ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ ذَكَرْنَاهُمَا فِي عَوْدِ ضَوْءِ الْعَيْنِ بَعْدَ ذَهَابِهِ وَلَكِنْ لَوْ جَنَى عَلَى لِسَانِهِ فَخَرِسَ وَغَرِمَ دِيَتَهُ ثُمَّ عَادَ فَنَطَقَ رَدَّ مَا أَخَذَهُ مِنَ الدِّيَةِ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافِ اللِّسَانِ إِذَا نَبَتَ
Pendapat kedua menyatakan bahwa gigi tetap yang tumbuh kembali adalah pengganti dari gigi yang telah tanggal, yang menunjukkan bahwa asalnya masih ada. Maka, setelah gigi itu tumbuh kembali, diambil kembali dari orang tersebut apa yang telah diterimanya dari diyatnya. Berdasarkan hal ini, apakah hukum pada lidah jika tumbuh kembali juga demikian atau tidak, terdapat dua pendapat sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam kasus kembalinya penglihatan mata setelah hilang. Namun, jika seseorang melakukan kejahatan terhadap lidahnya sendiri sehingga menjadi bisu dan ia membayar diyatnya, kemudian lidahnya kembali normal dan ia dapat berbicara, maka ia wajib mengembalikan apa yang telah diterimanya dari diyat, menurut satu pendapat, berbeda dengan kasus lidah yang tumbuh kembali.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ ذَهَابَ اللِّسَانِ مُسْتَحَقٌّ وَأَنَّ النَّابِتَ غَيْرُهُ وَذَهَابُ الْكَلَامِ مَظْنُونٌ فَدَلَّ النطق على بقائه
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa hilangnya lidah merupakan sesuatu yang pasti, sedangkan yang tumbuh kembali bukanlah lidah itu, dan hilangnya kemampuan berbicara masih bersifat dugaan, sehingga ucapan menunjukkan bahwa kemampuan berbicara masih ada.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي السِّنِّ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ إِذَا كَانَ قد أثغر
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada unta yang telah tumbuh giginya, zakatnya adalah lima ekor.
قال الماوردي في كل سن من أسنان المثغور خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ لِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى الْيَمَنِ وَفِي السِّنِّ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ وَفِي الْأَسْنَانِ خَمْسٌ خَمْسٌ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا النَّصُّ فِي وُجُوبِ خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ فِي كُلِّ سِنٍّ فَإِنَّمَا هِيَ مِنْ أَسْنَانِ الْمَثْغُورِ الَّتِي لَا تَعُودُ فِي الْأَغْلَبِ بعد القلع وسوءا كَانَتْ صِغَارًا أَوْ كِبَارًا طِوَالًا أَوْ قِصَارًا كَمَا تُسَاوَى دِيَاتُ الْأَطْرَافِ مَعَ الصِّغَرِ وَالْكِبَرِ وَالطُّولِ وَالْقَصْرِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ بَيْضَاءَ مِلَاحًا أَوْ سَوْدَاءَ قِبَاحًا كَانَ ذَلِكَ مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ أَوْ طَارِئًا عَلَيْهَا بَاقِيَةَ الْمَنَافِعِ لِأَنَّ الْقَلْعَ قَدْ أَبْطَلَ مَنَافِعَهَا وَكَانَتْ كَامِلَةً وَازْدَادَ مَحَلُّهَا بِالْقَلْعِ قُبْحًا فَصَارَ مُذْهِبًا لِنَفْعِهَا وَجَمَالِهَا فَلِذَلِكَ كَمَّلَ دِيَتَهَا فَإِنْ قَلَعَهَا مِنْ أَصْلِهَا مَعَ سِنْخِهَا الدَّاخِلِ فِي لَحْمِ اللِّثَةِ الْمُمْسِكِ لَهَا بِمَرَابِطِ الْعَصَبِ فَفِيهَا دِيَتُهَا خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَلَا يَلْزَمُهُ فِي قَلْعِهَا مَعَ سِنْخِهَا الْمَغِيبِ حُكُومَةٌ زَائِدَةٌ لِأَنَّ السِّنْخَ تَابِعٌ لِمَا ظَهَرَ كَتَبَعِ الْكَفِّ لِلْأَصَابِعِ وَإِنْ قَلَعَ مَا ظَهَرَ مِنَ السِّنِّ وَخَرَجَ عَنْ لَحْمِ اللِّثَةِ وَبَقِيَ السِّنْخُ الْمَغِيبُ جَرَى مَجْرَى قَطْعِ الْأَصَابِعِ مِنَ الْكَفِّ فَإِنْ عَادَ أَوْ غَيْرُهُ فَقَلَعَ السِّنْخَ الْمَغِيبَ فَفِيهِ حُكُومَةٌ كَمَا لَوْ عَادَ بَعْدَ قَطْعِ الْأَصَابِعِ فَقَطَعَ الْكَفَّ لَزِمَهُ حُكُومَةٌ وَلَوْ كَسَرَ بَعْضَ سِنِّهِ لَزِمَهُ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِهِ وَهُوَ مُقَدَّرٌ مِنَ الظَّاهِرِ الْبَارِزِ عَنْ لَحْمِ اللِّثَةِ دُونَ السِّنْخِ الْمَغِيبِ فِيهَا لِأَنَّ الدِّيَةَ تَكْمُلُ بِقَلْعِ مَا ظَهَرَ فَكَانَ الْكَسْرُ مُعْتَبَرًا بِالظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ فَلَوْ تَقَلَّصَ عَمُودُ اللِّثَةِ حَتَّى ظَهَرَ مِنَ السِّنْخِ الْمَغِيبِ فِي اللِّثَةِ مَا لَمْ يَكُنْ ظَاهِرًا كَانَ الْمَكْسُورُ مِنَ السِّنِّ مُعْتَبَرًا بِمَا كَانَ بَارِزًا مِنْهَا قَلُوصُ الْعُمُورِ عَنْهَا وَلَا يَعْتَبَرُ بِمَا ظَهَرَ بَعْدَهُ قُلُوصُهُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَاعْتُبِرَ الْمَكْسُورُ مِنْهَا فَإِنْ كَانَ النِّصْفُ لَزِمَهُ نِصْفُ دِيَتِهَا وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ فَبِحِسَابٍ مِنْ دِيَتِهَا وَسَوَاءٌ كَانَ الْمَكْسُورُ مِنْ طُولِهَا أَوْ عَرْضِهَا فَلَوْ قَلَعَ آخَرُ بَقِيَّتَهَا مَعَ سِنْخِهَا بَعْدَ أَنْ كَسَرَ الْأَوَّلُ نِصْفَ ظَاهِرِهَا لَزِمَ الثَّانِيَ نِصْفُ دِيَتِهَا لِأَنَّهُ قَلَعَ نِصْفَهَا الْبَاقِيَ وَهَلْ تلزمه حكومة بقلع سنخها المعيب أَمْ لَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ
Al-Mawardi berkata: Pada setiap gigi dari gigi-gigi mulut, diyatnya adalah lima ekor unta, berdasarkan riwayat ‘Amr bin Hazm dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda dalam suratnya kepada penduduk Yaman: “Pada gigi, diyatnya adalah lima ekor unta.” Dan diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pada setiap gigi, lima (ekor unta).” Jika nash ini telah tetap tentang wajibnya lima ekor unta pada setiap gigi, maka yang dimaksud adalah gigi-gigi mulut yang umumnya tidak tumbuh kembali setelah dicabut, baik itu kecil maupun besar, panjang maupun pendek, sebagaimana diyat anggota tubuh lain disamakan tanpa memandang kecil, besar, panjang, atau pendeknya. Demikian pula, baik gigi itu putih dan indah atau hitam dan buruk rupa, baik itu asal penciptaannya atau terjadi kemudian, selama masih memiliki manfaat, karena pencabutan telah menghilangkan manfaatnya dan gigi itu sempurna, serta tempatnya menjadi lebih buruk karena pencabutan, sehingga hilanglah manfaat dan keindahannya, maka diyatnya pun sempurna. Jika ia mencabut gigi dari akarnya beserta bagian dalamnya yang tertanam di dalam gusi dan terikat dengan saraf, maka diyatnya adalah lima ekor unta, dan tidak wajib baginya membayar tambahan diyat atas pencabutan bagian dalamnya yang tersembunyi, karena bagian dalam itu mengikuti yang tampak, sebagaimana telapak tangan mengikuti jari-jari. Jika ia mencabut bagian yang tampak dari gigi yang telah keluar dari gusi dan masih tersisa bagian dalam yang tersembunyi, maka hukumnya seperti memotong jari-jari dari telapak tangan. Jika kemudian ia atau orang lain mencabut bagian dalam yang tersembunyi, maka wajib membayar diyat tambahan, sebagaimana jika setelah memotong jari-jari lalu memotong telapak tangan, maka wajib membayar diyat tambahan. Jika ia mematahkan sebagian giginya, maka ia wajib membayar bagian dari diyat sesuai bagian yang rusak, yang dihitung dari bagian yang tampak keluar dari gusi, bukan bagian dalam yang tersembunyi, karena diyat menjadi sempurna dengan mencabut bagian yang tampak, sehingga patahnya gigi dihitung dari yang tampak, bukan yang tersembunyi. Jika gusi menyusut sehingga bagian dalam gigi yang tersembunyi di gusi menjadi tampak, maka bagian gigi yang patah dihitung dari yang telah tampak sebelum gusi menyusut, dan tidak dihitung dari yang tampak setelahnya. Jika demikian, dan bagian yang patah telah dihitung, maka jika yang patah setengah, wajib membayar setengah diyatnya, dan jika kurang atau lebih, maka dihitung sesuai bagian dari diyatnya, baik yang patah itu dari panjang atau lebarnya. Jika orang lain mencabut sisa gigi beserta bagian dalamnya setelah yang pertama mematahkan setengah bagian yang tampak, maka orang kedua wajib membayar setengah diyatnya, karena ia mencabut setengah yang tersisa. Apakah ia juga wajib membayar diyat tambahan karena mencabut bagian dalam yang cacat atau tidak, ada tiga pendapat.
أَحَدُهَا لَا يلزمه حكومة في النسخ لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِلْمَضْمُونِ بِالْمُقَدَّرِ كَمَا لَا حُكُومَةَ فِيهِ إِذَا قُلِعَ مَعَ جَمِيعِ السِّنِّ
Salah satunya adalah tidak wajib membayar ḥukūmah dalam kasus nasakh, karena ia mengikuti isi yang telah ditetapkan, sebagaimana tidak ada ḥukūmah jika gigi dicabut beserta seluruh akarnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ الْمَنْصُوصُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عَلَيْهِ فِيهِ حُكُومَةً لِأَنَّ السِّنْخَ تَابِعٌ لِجَمِيعِ السِّنِّ فَصَارَ أَكْثَرَ مِنَ التَّابِعِ لِنِصْفِهِ فَلَزِمَتْهُ لِهَذِهِ الزِّيَادَةِ حُكُومَةٌ
Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang ditegaskan dalam mazhab Syafi‘i, adalah bahwa dalam hal ini wajib membayar ḥukūmah, karena akar gigi mengikuti seluruh gigi, sehingga menjadi lebih dari sekadar pengikut bagi setengahnya, maka karena adanya tambahan ini, wajib baginya membayar ḥukūmah.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ أَنَّ الْأَوَّلَ إِنْ كَانَ قَدْ كَسَرَ نِصْفَهُ عِوَضًا لَزِمَ الثَّانِيَ فِي سِنْخِهِ حُكُومَةٌ لِزِيَادَتِهِ عَلَى سِنْخِ مَا قَلَعَهُ وَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ قَدْ كَسَرَهُ طُولًا لَمْ يَلْزَمِ الثَّانِيَ حُكُومَةٌ فِي السِّنْخِ لِأَنَّهُ سِنْخٌ لِلْبَقِيَّةِ الَّتِي قَلَعَهَا
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, bahwa jika yang pertama telah mematahkan setengahnya sebagai ganti rugi, maka yang kedua wajib membayar ḥukūmah pada akar gigi karena kelebihannya atas akar gigi yang telah dicabut oleh yang pertama. Namun, jika yang pertama mematahkannya secara memanjang, maka yang kedua tidak wajib membayar ḥukūmah pada akar gigi, karena akar tersebut adalah milik sisa gigi yang telah dicabutnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا قَلَعَ سِنًّا قَدْ حَصَلَ فِيهَا شَقٌّ أَوْ ثُقْبٌ أَوْ أَكَلَةٌ فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ مِنْ أَجْزَائِهَا بِذَلِكَ شَيْءٌ فَعَلَيْهِ جَمِيعُ دِيَتِهَا كَالْيَدِ الْمَرِيضَةِ إِذَا قَطَعَهَا وَإِنْ ذَهَبَ بِالثَّقْبِ وَالتَّآكُلِ بَعْضُ أَجْزَائِهَا أُسْقِطَ مِنْ دِيَةِ السِّنِّ قَدْرُ الذَّاهِبِ مِنْهَا وَلَزِمَهُ بَاقِي دِيَتِهَا وَإِنْ كَانَتْ أَسْنَانُهُ قَدْ تَصَدَّعَتْ وَتَحَرَّكَتْ حَتَّى رَبَطَهَا بِالذَّهَبِ أَوْ لَمْ يَرْبُطْهَا فَقَلَعَهَا الْجَانِي نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ مَنَافِعُهَا بَاقِيَةً مَعَ حَرَكَتِهَا فِي الْمَضْغِ وَحِفْظِ الطَّعَامِ وَالرِّيقِ فَفِيهَا الدِّيَةُ تَامَّةً وَإِنْ ذَهَبَتْ مَنَافِعُهَا كُلُّهَا فَفِيهَا حُكُومَةٌ وَإِنْ نَقَصَتْ مَنَافِعُهَا فَذَهَبَ بَعْضُهَا وَبَقِيَ بَعْضُهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي كِتَابِ الْأُمِّ
Apabila seseorang mencabut gigi yang pada gigi tersebut terdapat retakan, lubang, atau kerusakan akibat dimakan ulat, maka jika tidak ada bagian dari gigi itu yang hilang karena hal tersebut, ia tetap wajib membayar seluruh diyat gigi itu, seperti halnya tangan yang sakit jika dipotong tetap wajib diyat penuh. Namun, jika akibat lubang atau kerusakan itu ada sebagian bagian gigi yang hilang, maka dari diyat gigi dikurangi sebesar bagian yang hilang tersebut, dan ia wajib membayar sisa diyatnya. Jika gigi seseorang telah retak dan goyang hingga ia mengikatnya dengan emas atau tidak mengikatnya, lalu pelaku mencabutnya, maka dilihat: jika manfaat gigi itu masih ada meskipun goyang, seperti untuk mengunyah, menjaga makanan, dan air liur, maka wajib diyat penuh. Jika seluruh manfaatnya telah hilang, maka berlaku hukum ḥukūmah. Jika manfaatnya berkurang, sebagian hilang dan sebagian masih ada, maka ada dua pendapat yang dinyatakan dalam Kitab al-Umm.
أَحَدُهُمَا فِيهَا الدِّيَةُ تَامَّةً لِأَنَّ مَنَافِعَ الْأَسْنَانِ مُخْتَلِفَةٌ بِالزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ
Salah satunya (kasus) dikenakan diyat secara penuh karena manfaat gigi berbeda-beda, ada yang lebih banyak dan ada yang lebih sedikit.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِيهَا حُكُومَةٌ لِقُصُورِهَا عَمَّا اخْتَصَّ بِهَا مِنْ مَنَافِعِهَا
Pendapat kedua menyatakan bahwa dalam hal ini terdapat ḥukūmah, karena manfaatnya yang khusus pada bagian tersebut tidak sempurna.
وَجَهْلُ قَدْرِ النَّاقِصِ فَوَجَبَ فِيهَا حُكُومَةٌ
Dan ketidaktahuan terhadap kadar bagian yang kurang, maka wajib di dalamnya hukumah.
فَإِنِ اخْتَلَفَا فَادَّعَى الجاني ذهاب منافعها وادعى المجني عليه بقائها فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ بَقَاءَ مَنَافِعِهَا لَا يُعْلَمُ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ وَلَهُ دِيَتُهَا تَامَّةً وَلَوْ كَانَتِ السِّنُّ كَامِلَةَ الْمَنَافِعِ فَجَنَى عَلَيْهَا حَتَّى تَصَدَّعَتْ وَتَحَرَّكَتْ وَهِيَ بَاقِيَةٌ فِي مَوْضِعِهَا نُظِرَ فَإِنْ ذَهَبَ بِالْجِنَايَةِ جَمِيعُ مَنَافِعِهَا حَتَّى صَارَ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْمَضْغِ بِهَا فَفِيهَا دِيَتُهَا تَامَّةً وَإِنْ ذَهَبَ مِنْهَا نِصْفُ مَنَافِعِهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ
Jika keduanya berselisih, lalu pelaku (jāni) mengklaim bahwa manfaatnya telah hilang, sedangkan korban (majnu ‘alayh) mengklaim manfaatnya masih ada, maka yang dipegang adalah perkataan korban dengan sumpahnya, karena keberadaan manfaat tersebut hanya dapat diketahui dari pihaknya. Dan ia berhak atas diyat (denda) secara penuh. Jika gigi itu masih utuh manfaatnya, lalu seseorang melakukan kejahatan terhadapnya hingga gigi itu retak dan goyah namun masih tetap pada tempatnya, maka dilihat: jika dengan kejahatan itu seluruh manfaatnya hilang sehingga tidak bisa lagi digunakan untuk mengunyah, maka wajib diyat penuh. Jika yang hilang hanya setengah manfaatnya, maka ada dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ دِيَتُهَا تَامَّةً لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ الْمَسْلُوبُ مِنْ مَنَافِعِهَا مُسَاوِيًا لِمَنَافِعِ غَيْرِهَا
Salah satunya wajib membayar diyat secara penuh, karena bisa jadi manfaat yang hilang darinya setara dengan manfaat orang lain.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِيهَا حُكُومَةٌ لِأَنَّ مَنْفَعَةَ كُلِّ شَيْءٍ مُعْتَبَرَةٌ بِهَا ولو قيل بوجه ثالث أنه إن أذهب أَكْثَرُ مَنَافِعِهَا كَمُلَتْ دِيَتُهَا وَإِنْ ذَهَبَ أَقَلُّهَا فَفِيهَا حُكُومَةٌ اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ كَانَ لَهُ وَجْهٌ فَإِنِ اخْتَلَفَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ ذَهَابَ مَنَافِعِهَا لَا يُعْلَمُ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ
Pendapat kedua dalam masalah ini adalah bahwa padanya berlaku ḥukūmah, karena manfaat setiap sesuatu itu diperhitungkan dengannya. Dan jika dikatakan dengan pendapat ketiga, yaitu jika yang hilang adalah sebagian besar manfaatnya maka diyatnya sempurna, dan jika yang hilang hanya sebagian kecil manfaatnya maka padanya berlaku ḥukūmah, dengan mempertimbangkan yang paling banyak terjadi, maka itu juga memiliki dasar. Jika terjadi perbedaan pendapat, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat korban (yang dirugikan) dengan sumpahnya, karena hilangnya manfaat tersebut hanya dapat diketahui dari pihaknya.
فَصْلٌ
Bagian
وَلَوِ اخْتَلَفَ نَبَاتُ أَسْنَانِهِ فَكَانَ بَعْضُهَا طِوَالًا وَبَعْضُهَا قِصَارًا فَدِيَاتُهَا مُتَسَاوِيَةٌ مَعَ اخْتِلَافِهِمَا فِي الطُّولِ وَالْقِصَرِ فَإِنْ كَسَرَ بَعْضَ الطَّوِيلَةِ حَتَّى عَادَلَتْ مَا جَاوَزَهَا مِنَ الْقِصَارِ لَزِمَهُ مِنْ دِيَتِهَا بِقَدْرِ مَا كَسَرَ مِنْهَا وَإِنْ زَادَتْ مَنَافِعُهَا بِكَسْرِ الزِّيَادَةِ عَنْ نَظَائِرِهَا وَكَذَلِكَ لَوْ كَسَرَ بَعْضَ الْقَصِيرَةِ حَتَّى كَانَ مَا كَسَرَ مِنْهَا مُعْتَبَرٌ بِهَا لَا بِمَا جَاوَرَهَا مِنَ الطُّولِ فَلَوْ كَانَ الْمَكْسُورُ نِصْفَهَا وَهُوَ مِنَ الطَّوِيلَةِ رُبُعُهَا لَزِمَهُ نِصْفُ دِيَتِهَا وَلَوْ جَنَى عَلَى سِنٍّ فَخَرَجَتْ عَنْ حَدِّ صَاحِبَتِهَا حَتَّى بَرَزَتْ عَمَّا جَاوَرَهَا فَإِنْ ذَهَبَتْ مَنَافِعُهَا مَعَ الْبُرُوزِ تَمَّتْ دِيَتُهَا وَإِنْ بَقِيَتْ مَنَافِعُهَا فَفِيهَا حُكُومَةٌ لِقُبْحِ بُرُوزِهَا
Jika pertumbuhan gigi seseorang berbeda-beda, sebagian giginya panjang dan sebagian lainnya pendek, maka diyat untuk masing-masing gigi tersebut tetap sama meskipun ada perbedaan dalam panjang dan pendeknya. Jika seseorang mematahkan sebagian dari gigi yang panjang hingga sejajar dengan gigi yang lebih pendek di sampingnya, maka ia wajib membayar diyat sesuai dengan bagian yang ia patahkan. Jika manfaat gigi tersebut bertambah karena bagian yang dipatahkan melebihi gigi-gigi sejenisnya, maka hukumnya juga demikian. Demikian pula jika seseorang mematahkan sebagian dari gigi yang pendek, maka bagian yang dipertimbangkan adalah bagian yang dipatahkan dari gigi itu sendiri, bukan dibandingkan dengan gigi yang panjang di sampingnya. Jika yang dipatahkan adalah setengah dari gigi pendek, sedangkan itu hanya seperempat dari gigi panjang, maka ia tetap wajib membayar setengah diyat dari gigi tersebut. Jika seseorang melakukan kejahatan pada sebuah gigi hingga gigi itu keluar dari barisan gigi lainnya dan menonjol melebihi gigi-gigi di sekitarnya, maka jika manfaat gigi tersebut hilang bersamaan dengan menonjolnya, maka diyatnya sempurna. Namun jika manfaatnya masih ada, maka dikenakan hukuman ta‘zīr karena buruknya penampilan gigi yang menonjol itu.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَتْ إِحْدَى رَبَاعِيَّتِهِ أَقْصَرَ مِنَ الْأُخْرَى فِي أَصْلِ خِلْقَتِهَا خَالَفَتْ قِصَرَ الثَّنِيَّةِ عَنِ الرَّبَاعِيَّةِ لِأَنَّ السِّنَّ مُعْتَبَرَةٌ بِأُخْتِهَا لِكَوْنِهَا شبه لَهَا فِي الِاسْمِ وَالْمَحَلِّ وَلَا تُعْتَبَرُ بِغَيْرِهَا فَإِذَا نَقَصَتْ إِحْدَى الرَّبَاعِيَّتَيْنِ عَنِ الْأُخْرَى عُلِمَ أَنَّهَا رَبَاعِيَّةٌ نَاقِصَةٌ فَإِذَا قُلِعَتْ وَعُرِفَ قَدْرُ نُقْصَانِهَا وَجَبَ فِيهَا مِنْ دِيَةِ السِّنِّ بِقَدْرِ مَا بَقِيَ مِنْهَا وَسَقَطَ مِنْهَا قَدْرُ مَا نقص ولو ذهب حِدَّةُ الْأَسْنَانِ حَتَّى كَلَّتْ بِمُرُورِ الزَّمَانِ كَانَ فِيهَا الدِّيَةُ تَامَّةً لِأَنَّ كَلَالَهَا مَعَ بَقَائِهَا عَلَى الصِّحَّةِ يَجْرِي مَجْرَى ضَعِيفِ الْأَعْضَاءِ وَلَوْ حَالَتْ حَتَّى ذَهَبَ مِنْهَا بِمُرُورِ الزَّمَانِ بَعْضُ أَضْرَاسِهَا سَقَطَ مِنْ دِيَتِهَا بِقِسْطِ مَا ذَهَبَ مِنْهَا وَوَجَبَ فِي قَلْعِهَا مَا بَقِيَ مِنْ ديتها
Apabila salah satu dari dua gigi seri samping (rabā‘iyyah) lebih pendek dari yang lainnya sejak asal penciptaannya, maka hal ini berbeda dengan kasus pendeknya gigi seri tengah (tsaniyyah) dibandingkan dengan gigi seri samping. Sebab, sebuah gigi dinilai berdasarkan pasangannya karena kemiripannya dalam nama dan letaknya, dan tidak dinilai berdasarkan selainnya. Maka, jika salah satu dari dua gigi seri samping lebih pendek dari yang lainnya, diketahui bahwa itu adalah gigi seri samping yang kurang. Jika gigi tersebut dicabut dan kadar kekurangannya diketahui, maka wajib dibayarkan diyat gigi sesuai dengan sisa yang masih ada, dan gugur bagian diyat sebesar yang hilang. Jika ketajaman gigi hilang karena usia sehingga menjadi tumpul, maka tetap wajib diyat secara penuh, karena ketumpulannya selama masih sehat dipandang seperti lemahnya anggota tubuh. Namun, jika keadaannya berubah sehingga sebagian akar giginya hilang karena usia, maka gugur dari diyatnya sebesar bagian yang hilang, dan jika dicabut, wajib dibayarkan diyat sesuai sisa yang masih ada.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ لَمْ يُثْغِرِ انْتَظَرَ بِهِ فَإِنْ لَمْ تنبت ثم عَقْلُهَا وَإِنْ نَبَتَتْ فَلَا عَقْلَ لَهَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika (gigi) belum tumbuh, maka ditunggu terlebih dahulu; jika setelah itu tetap tidak tumbuh, maka ada diyatnya. Namun jika gigi itu tumbuh, maka tidak ada diyat baginya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا قَالَ إِذَا قَلَعَ سِنَّ صَبِيٍّ لَمْ يَثَّغِرْ فَلَا قَوَدَ فِي الْحَالِ وَلَا دِيَةَ لِأَنَّ الْمَعْهُودَ مِنْ أَسْنَانِ اللَّبَنِ أَنَّهَا تَعُودُ بَعْدَ السُّقُوطِ فَلَمْ تَصِرْ مُسَاوِيَةً لِسِنِّ الْمَثْغُورِ الَّتِي لَا تَعُودُ وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ لَا تَعُودَ سِنُّ اللَّبَنِ إِذَا قُلِعَتْ وَإِنْ كَانَ نَادِرًا كَمَا يَجُوزُ أَنْ تَعُودَ سِنُّ الْمَثْغُورِ إِذَا قُلِعَتْ وَإِنْ كَانَ عَوْدُهَا نَادِرًا
Al-Mawardi berkata, dan memang sebagaimana yang ia katakan: Jika seseorang mencabut gigi anak kecil yang belum tumbuh gigi tetapnya, maka tidak ada qishāsh pada saat itu dan tidak ada diyat, karena yang biasa terjadi pada gigi susu adalah ia akan tumbuh kembali setelah tanggal, sehingga tidak sama dengan gigi tetap yang jika tercabut tidak akan tumbuh kembali. Namun, mungkin saja gigi susu tidak tumbuh kembali jika dicabut, meskipun itu jarang terjadi, sebagaimana mungkin juga gigi tetap tumbuh kembali jika tercabut, meskipun kembalinya itu sangat jarang.
وَوَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمُ الْأَغْلَبِ دُونَ النَّادِرِ وَهُوَ أَنَّ سن اللبن تعود سن الْمَثْغُورِ لَا تَعُودُ فَلِذَلِكَ وَجَبَ الِانْتِظَارُ بِسِنِّ اللَّبَنِ حَالَ عَوْدِهَا وَإِنْ جَازَ أَنْ لَا تَعُودَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ بِسِنِّ الْمَثْغُورِ حَالَ عَوْدِهَا وَإِنْ جَازَ أَنْ تَعُودَ فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ تَخْلُ سِنُّ الصَّبِيِّ إِذَا قُلِعَتْ مِنْ أَنْ يَعُودَ نَبَاتُهَا أَوْ لَا يَعُودَ فَإِنْ لَمْ يَعُدْ نَبَاتُهَا بَعْدَ نَبَاتِ أَخَوَاتِهَا وَقَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ قَدْ تَجَاوَزَتْ مُدَّةُ نَبَاتِهَا وَجَبَ فِيهَا الْقِصَاصُ وَكَمَالُ الدِّيَةِ وَكَانَتْ فِي حُكْمِ سِنِّ الْمَثْغُورِ لِأَنَّهَا سِنٌّ لَمْ تَعُدْ بَعْدَ الْقَلْعِ وَإِنْ عَادَ نَبَاتُهَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Wajib mempertimbangkan hukum yang berlaku pada kebanyakan kasus, bukan pada kasus yang jarang terjadi. Dalam hal ini, gigi susu biasanya akan tumbuh kembali, sedangkan gigi tetap tidak akan tumbuh kembali. Oleh karena itu, wajib menunggu pertumbuhan kembali gigi susu ketika dicabut, meskipun ada kemungkinan gigi tersebut tidak tumbuh kembali. Sedangkan pada gigi tetap, tidak perlu menunggu kemungkinan tumbuh kembali, meskipun secara teori bisa saja terjadi. Dengan demikian, jika gigi anak dicabut, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi giginya akan tumbuh kembali, atau tidak akan tumbuh kembali. Jika setelah tumbuhnya gigi-gigi lain ternyata gigi tersebut tidak tumbuh kembali, dan para ahli ilmu menyatakan bahwa masa tumbuhnya telah terlewati, maka wajib dikenakan qishāsh dan denda (diyah) yang sempurna, dan hukumnya sama seperti gigi tetap, karena ia adalah gigi yang tidak tumbuh kembali setelah dicabut. Namun, jika gigi tersebut tumbuh kembali, maka ada dua kemungkinan.
أَحَدُهُمَا أن يعود مُسَاوِيَةً لِأَخَوَاتِهَا فِي الْمِقْدَارِ وَالْمَكَانِ فَلَا دِيَةَ فِيهَا وَلَا قَوَدَ فَأَمَّا الْحُكُومَةُ فَإِنْ كَانَ قَدْ جُرِحَ مَحَلُّ الْمَقْلُوعَةِ حَتَّى أَدْمَاهُ لَزِمَتْهُ حُكُومَةُ جُرْحِهِ وَإِنْ لَمْ يَجْرَحْهُ فَفِي حُكُومَةِ الْمَقْلُوعَةِ وَجْهَانِ
Pertama, jika ia kembali setara dengan saudara-saudaranya dalam ukuran dan tempatnya, maka tidak ada diyat dan tidak ada qishash atasnya. Adapun hukumannya, jika tempat yang tercabut itu terluka hingga berdarah, maka wajib baginya membayar hukuman atas lukanya. Namun jika tidak melukainya, maka dalam hukuman atas yang tercabut itu terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا حُكُومَةَ فِيهَا لِأَنَّهَا تَسْقُطُ لَوْ لَمْ تُقْلَعْ
Salah satunya tidak ada hukuman di dalamnya karena ia gugur meskipun tidak dicabut.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي فِيهَا حُكُومَةٌ لِأَنَّهُ قَدْ أَفْقَدَهُ مَنْفَعَتَهَا
Adapun pendapat kedua dalam masalah ini adalah adanya ḥukūmah, karena ia telah menghilangkan manfaatnya.
وَلَوْ قِيلَ بِوَجْهٍ ثَالِثٍ إِنَّهُ إِنْ قَلَعَهَا فِي زَمَانِ سُقُوطِهَا فَلَا حُكُومَةَ فِيهَا وَإِنْ قَلَعَهَا قَبْلَ زَمَانِهَا فَفِيهَا حُكُومَةٌ كَانَ مَذْهَبًا لِأَنَّهَا قَبْلَ زَمَانِ السُّقُوطِ نَافِعَةٌ وَفِي زَمَانِهِ مَسْلُوبَةُ الْمَنْفَعَةِ
Dan jika dikatakan dengan pendapat ketiga, yaitu jika ia mencabutnya pada waktu telah gugur (masa gugurnya), maka tidak ada ḥukūmah (takaran denda) padanya. Namun jika ia mencabutnya sebelum waktunya, maka ada ḥukūmah padanya. Ini menjadi suatu mazhab, karena sebelum masa gugur, ia masih bermanfaat, sedangkan pada masanya (setelah gugur) manfaatnya telah hilang.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَعُودَ نَبَاتُهَا مُخَالِفًا لِنَبَاتِ أَخَوَاتِهَا وَهُوَ أَنْ يُقَاسَ الثَّنِيَّةُ بِالثَّنِيَّةِ وَالرَّبَاعِيَّةُ بِالرَّبَاعِيَّةِ وَالنَّابُ بِالنَّابِ وَلَا يُقَاسُ ثَنِيَّةٌ بِرَبَاعِيَّةٍ وَلَا نَابٍ وَيُقَاسُ سُفْلَى بِسُفْلَى وَلَا يُقَاسُ عُلْيَا بِسُفْلَى وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ اخْتِلَافِهِمَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Jenis kedua adalah apabila pertumbuhan giginya berbeda dengan pertumbuhan gigi-gigi sejenisnya, yaitu ketika dilakukan qiyās antara gigi taring dengan gigi taring, gigi seri kedua dengan gigi seri kedua, dan gigi geraham dengan gigi geraham, serta tidak dilakukan qiyās antara gigi seri kedua dengan gigi geraham atau gigi taring. Qiyās juga dilakukan antara gigi bawah dengan gigi bawah, dan tidak dilakukan antara gigi atas dengan gigi bawah. Jika demikian, maka keadaan perbedaan antara keduanya tidak lepas dari empat bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَخْتَلِفَ فِي الْمِقْدَارِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Salah satunya adalah perbedaan dalam hal kadar, dan ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَعُودَ أَطْوَلَ مِنْ أُخْتِهَا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِي زِيَادَةِ طُولِهَا وَإِنْ شَانَ أَوْ ضَرَّ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ لَا تَكُونُ مِنْ جِنَايَةٍ لأن الجناية نقص لا زيادة وكذلك نَبَتَ مَعَهَا سِنٌّ زَائِدَةٌ
Salah satunya adalah jika yang tumbuh kembali lebih panjang dari yang satunya, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya karena kelebihan panjang tersebut, meskipun hal itu dianggap buruk atau menimbulkan mudarat, karena kelebihan tidak termasuk dalam jinayah, sebab jinayah adalah kekurangan, bukan kelebihan. Demikian pula jika tumbuh bersamanya gigi tambahan.
وَالثَّانِي أَنْ تَعُودَ أَقْصَرَ مِنْ أُخْتِهَا فَعَلَيْهِ مِنْ دِيَتِهَا بِقَدْرِ مَا نَقَصَ مِنْ نَبَاتِهَا لِحُدُوثِهِ فِي الْأَغْلَبِ عَنْ جِنَايَتِهِ وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَخْتَلِفَ فِي المحل فثنيت هَذِهِ الْعَائِدَةُ خَارِجَةً عَنْ صَفِّ أَخَوَاتِهَا أَوْ دَاخِلَةً أَوْ رَاكِبَةً فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Kedua, jika yang tumbuh kembali itu lebih pendek dari yang sebelumnya, maka pelaku wajib membayar diyat sesuai dengan kadar kekurangan pertumbuhan yang terjadi, karena pada umumnya kekurangan itu disebabkan oleh tindakannya. Bagian kedua adalah jika perbedaan terjadi pada tempat tumbuhnya, misalnya yang tumbuh kembali itu keluar dari barisan saudara-saudaranya, baik di luar, di dalam, atau menumpuk, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَذْهَبَ مَنَافِعُهَا بِخُرُوجِهَا عَنْ مَحَلِّهَا لِخُلُوِّهِ وَانْكِشَافِهِ فَفِيهَا الدِّيَةُ تَامَّةٌ
Salah satunya adalah hilangnya manfaat anggota tubuh karena keluarnya anggota tersebut dari tempatnya sehingga tempat itu menjadi kosong dan terbuka, maka dalam kasus ini dikenakan diyat secara penuh.
وَالثَّانِي أَنْ تَكُونَ مَنَافِعُهَا بَاقِيَةً لِأَنَّهَا قَدْ سَدَّتْ مَحَلَّهَا وَقَامَتْ مقام أختهان فَلَا دِيَةَ فِيهَا لِكَمَالِ مَنَافِعِهَا وَفِيهَا حُكُومَةٌ لِقُبْحِ بُرُوزِهَا عَنْ مَحَلِّهَا
Kedua, manfaatnya masih tetap ada karena ia telah menutupi tempatnya dan menggantikan fungsinya, sehingga tidak ada diyat atasnya karena manfaatnya tetap sempurna. Namun, ada hukūmah karena buruknya penampakan bagian tersebut dari tempatnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الْمَنْفَعَةِ فَتَكُونُ أَقَلَّ مِنْ مَنْفَعَةِ أُخْتِهَا مَعَ نَبَاتِهَا فِي مَحَلِّهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ
Bagian ketiga adalah apabila keduanya berbeda dalam manfaat, sehingga manfaatnya lebih sedikit daripada manfaat saudaranya, meskipun tumbuh di tempatnya; dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا فِيهَا الدِّيَةُ تَامَّةً
Salah satunya dikenakan diyat secara penuh.
وَالثَّانِي فِيهَا حُكُومَةٌ وَلَوْ قِيلَ تَكْمُلُ دِيَتُهَا إِنْ ذَهَبَ أَكْثَرُ منافعها وحكومة إن ذهب أقلها كان مذهباً
Yang kedua di dalamnya ada ḥukūmah, dan jika dikatakan diyatnya menjadi sempurna apabila sebagian besar manfaatnya hilang, serta ḥukūmah jika yang hilang hanya sebagian kecil manfaatnya, maka itu adalah suatu pendapat.
والقسم الرابع أن يختلف في اللون فتغير لَوْنُهَا مَعَ بَيَاضِ غَيْرِهَا فَإِنْ تَغَيَّرَ بِصُفْرَةٍ كَانَ فِيهَا حُكُومَةٌ وَإِنْ تَغَيَّرَ بِخُضْرَةٍ كَانَتْ حُكُومَتُهَا أَكْثَرَ مِنْ حُكُومَةِ الصُّفْرَةِ وَإِنْ تَغَيَّرَ بِسَوَادٍ فَصَارَتْ سُودًا فَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ فِيهَا حُكُومَةً هِيَ أَزْيَدُ مِنْ حُكُومَةِ الصُّفْرَةِ وَالْخُضْرَةِ لِأَنَّ شَيْنَ السَّوَادِ أَقْبَحُ وَخُرِّجَ قَوْلٌ آخَرُ أَنَّ فِيهَا دِيَتَهَا تَامَّةً وَسَنَذْكُرُ ذَلِكَ فِي السِّنِّ إِذَا اسْوَدَّتْ بِجِنَايَتِهِ
Bagian keempat adalah jika terjadi perbedaan pada warna sehingga warnanya berubah sementara bagian lain tetap putih. Jika berubah menjadi kuning, maka ada hukuman (ḥukūmah) atasnya. Jika berubah menjadi hijau, maka hukumannya lebih besar daripada hukuman untuk warna kuning. Jika berubah menjadi hitam sehingga menjadi hitam pekat, maka pendapat yang sahih dalam mazhab Syafi‘i adalah bahwa atasnya ada hukuman yang lebih besar daripada hukuman untuk warna kuning dan hijau, karena cacat warna hitam lebih buruk. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa atasnya dikenakan diyat (diyat) penuh, dan hal ini akan kami sebutkan pada pembahasan tentang gigi jika menjadi hitam karena suatu tindak pidana.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنْ مَاتَ الصَّبِيُّ قَبْلَ أَنْ يَبْلُغَ زَمَانَ نَبَاتِهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ
Jika anak kecil itu meninggal sebelum sampai masa tumbuhnya (rambut), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا فِيهَا الدِّيَةُ تَامَّةً لِأَنَّهُ قَلَعَ سِنًّا لَمْ تَعُدْ
Salah satunya (kasus) di dalamnya dikenakan diyat secara penuh, karena ia telah mencabut sebuah gigi yang tidak dapat tumbuh kembali.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِيهَا حُكُومَةٌ لِأَنَّ الظَّاهِرَ عَوْدُهَا لَوْ بَلَغَ زَمَانَ نَبَاتِهَا
Pendapat kedua menyatakan bahwa di dalamnya terdapat ḥukūmah, karena yang tampak adalah ia akan tumbuh kembali jika sampai pada waktu tumbuhnya.
وَلَوْ مَاتَ بَعْدَ أَنْ طَلَعَ بَعْضُهَا وَبَقِيَ بَعْضُهَا فَهُوَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ يَجِبُ فِيهَا عَلَى أَحَدِهِمَا قِسْطُ مَا تَأَخَّرَ طُلُوعُهُ مِنَ الدِّيَةِ وَحُكُومَةٌ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي هِيَ أَقَلُّ مِنْ حُكُومَةِ مَا لَمْ يَعُدْ
Dan jika seseorang meninggal setelah sebagian giginya tumbuh dan sebagian lainnya belum tumbuh, maka menurut dua pendapat, pada salah satunya wajib membayar bagian diyat sesuai dengan bagian gigi yang pertumbuhannya terlambat, dan menurut pendapat kedua dikenakan hukūmah yang nilainya lebih sedikit daripada hukūmah bagi gigi yang belum tumbuh kembali.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَالضِّرْسُ سِنٌّ وَإِنْ سُمِّيَ ضِرْسًا كَمَا أَنَّ الثَّنِيَّةَ سِنٌّ وَإِنْ سُمِّيَتْ ثَنِيَّةً وَكَمَا أَنَّ اسْمَ الْإِبْهَامِ غَيْرُ اسْمِ الْخِنْصَرِ وَكِلَاهُمَا إِصْبَعٌ وَعَقْلُ كُلُّ إِصْبَعٍ سَوَاءٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Gigi geraham adalah gigi, meskipun dinamakan geraham, sebagaimana gigi seri juga merupakan gigi, meskipun dinamakan gigi seri. Sebagaimana pula nama ibu jari berbeda dengan nama kelingking, namun keduanya adalah jari, dan diyat (denda) setiap jari itu sama.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ دِيَاتُ الْأَسْنَانِ مُتَسَاوِيَةٌ مَعَ اخْتِلَافِ أَسْمَائِهَا وَمَنَافِعِهَا وَفِي كُلِّ سِنٍّ مِنْهَا خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ تَسْتَوِي فِيهِ الثَّنِيَّةُ وَالضِّرْسُ وَالنَّابُ وَالنَّاجِزُ وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَعَلَ فِيمَا ظَهَرَ مِنْ أَسْنَانِ الْفَمِ بِالْكَلَامِ وَالْأَكْلِ خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ فِي كُلِّ سِنٍّ وَجَعَلَ فِيمَا غَابَ مِنَ الْأَضْرَاسِ بَعِيرَيْنِ فِي كُلِّ ضِرْسٍ وَقِيلَ بَعِيرًا لأن مقاديم الأسنان تشارك مواخيرها فِي الْمَنْفَعَةِ وَتَخْتَصُّ بِالْجَمَالِ فَيُفَضِّلُ بَيْنَ دِيَاتِهَا وَاخْتُلِفَ عَنْهُ فِي مُفَاضَلَةِ دِيَاتِ الْأَصَابِعِ فَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ فَاضَلَ بَيْنَهُمَا كَالْأَسْنَانِ وَرُوِيَ أَنَّهُ سَوَّى بَيْنَهُمَا وَإِنْ فَاضَلَ بَيْنَ الْأَسْنَانِ وَاخْتُلِفَ عَنْهُ هَلْ رَجَعَ عَنْ هَذَا التَّفَاضُلِ أَمْ لَا فَحَكَى قَوْمٌ أَنَّهُ رَجَعَ عَنْهُ وَحَكَى آخَرُونَ أَنَّهُ لَمْ يَرْجِعْ وَقَدْ أَخَذَ بِمَا قَالَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَوْمٌ مِنْ شَوَاذِّ الْفُقَهَاءِ لِقَضَائِهِ بِذَلِكَ فِي إِمَامَتِهِ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana dikatakan bahwa diyat gigi itu sama, meskipun nama dan manfaatnya berbeda. Pada setiap gigi, diyatnya adalah lima ekor unta; ini berlaku sama untuk gigi taring, geraham, gigi seri, dan gigi belakang. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau menetapkan diyat untuk gigi yang tampak di mulut, yang digunakan untuk berbicara dan makan, adalah lima ekor unta untuk setiap gigi. Sedangkan untuk geraham yang tersembunyi, beliau menetapkan dua ekor unta untuk setiap geraham, dan ada pula yang mengatakan satu ekor unta, karena gigi depan dan gigi belakang sama-sama memiliki manfaat, namun gigi depan memiliki keistimewaan dalam hal keindahan, sehingga diyatnya dibedakan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai diyat jari-jari; diriwayatkan dari beliau bahwa beliau membedakan diyatnya seperti pada gigi, dan ada pula riwayat bahwa beliau menyamakannya, meskipun membedakan diyat gigi. Terdapat perbedaan pendapat apakah beliau kemudian menarik kembali perbedaan ini atau tidak; sebagian ulama mengatakan beliau menariknya, sementara yang lain mengatakan beliau tidak menariknya. Sebagian kecil fuqaha mengikuti pendapat Umar radhiyallahu ‘anhu karena beliau memutuskan demikian saat menjadi imam, namun pendapat ini rusak dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا عُمُومُ النَّصِّ مِنْ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي كُلِّ سِنٍّ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَهُوَ اسْمٌ يَعُمُّ كُلَّ سِنٍّ وَلِأَنَّ اخْتِلَافَ الْمَنَافِعِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِيمَا تَقَدَّرَتْ دِيَاتُهُ مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ مَنَافِعَ الْمَيَامِنِ مِنَ الْأَعْضَاءِ أَكْثَرُ مِنْ مَنَافِعِ مَيَاسِرِهَا مَعَ تَسَاوِي دِيَاتِهَا
Salah satunya adalah keumuman nash dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Pada setiap gigi ada lima ekor unta,” dan ini adalah lafaz yang mencakup setiap jenis gigi. Selain itu, perbedaan manfaat tidak dianggap dalam hal-hal yang telah ditetapkan diyatnya dari dua sisi: salah satunya adalah bahwa manfaat anggota tubuh bagian kanan lebih banyak daripada manfaat anggota tubuh bagian kiri, namun diyat keduanya tetap sama.
وَالثَّانِي أَنَّ مَنَافِعَهَا تَخْتَلِفُ بِالصِّغَرِ وَالْكِبْرِ وَالْقُوَّةِ وَالضَّعْفِ وَدِيَاتُهَا مَعَ اخْتِلَافِ مَنَافِعِهَا سَوَاءٌ كَذَلِكَ الْأَسْنَانُ وَعَلَى أَنَّ لِكُلِّ سِنٍّ مَنْفَعَةً لَيْسَتْ لِغَيْرِهِ فَلَمْ تَقُمْ مَنْفَعَةُ الثَّنِيَّةِ مَقَامَ مَنْفَعَةِ الضِّرْسِ
Kedua, bahwa manfaat-manfaatnya berbeda-beda tergantung kecil-besarnya, kuat-lemahnya, namun diyatnya tetap sama meskipun manfaatnya berbeda-beda; demikian pula dengan gigi-gigi. Padahal, setiap gigi memiliki manfaat yang tidak dimiliki oleh gigi lainnya, sehingga manfaat gigi seri tidak dapat menggantikan manfaat gigi geraham.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ ثَبَتَتْ سِنُّ رَجُلٍ قُلِعَتْ بَعْدَ أَخْذِهِ أَرْشَهَا قَالَ فِي مَوْضِعٍ يَرُدُّ مَا أَخَذَ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ لَا يَرُدُّ شَيْئًا قال المزني رحمه الله هذا أقيس في معناه عندي لأنه لم ينتظر بسن الرجل كما انتظر بسن من لم يثغر هل تنبت أم لا فدل ذلك عندي من قوله إن عقلها أو القود منها قد تم ولولا ذلك لانتظر كما انتظر بسن من لم يثغر وقياساً على قوله ولو قطع لسانه فأخذ أرشه ثم نبت صحيحا لم يرد شيئا ولو قطعه آخر ففيه الأرش تاماً ومن أصل قوله أن الحكم على الأسماء قال المزني وكذلك السن في القياس نبتت أو لم تنبت سواء إلا أن تكون في الصغير إذا نبتت لم يكن لها عقل أصلا فيترك له القياس
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika telah terbukti gigi seorang laki-laki tercabut setelah ia menerima kompensasi (arsh) atasnya, beliau berkata dalam satu tempat bahwa ia harus mengembalikan apa yang telah diambilnya, dan dalam tempat lain beliau berkata bahwa ia tidak perlu mengembalikan apa pun. Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Menurut saya, pendapat yang lebih sesuai dengan qiyās dalam hal ini adalah bahwa ia tidak perlu mengembalikan, karena pada gigi laki-laki tersebut tidak ditunggu seperti pada gigi orang yang belum tumbuh gigi, apakah akan tumbuh kembali atau tidak. Maka, menurut saya, hal itu menunjukkan dari ucapannya bahwa diyat atau qishāsh-nya telah sempurna, dan jika tidak demikian, tentu akan ditunggu sebagaimana pada gigi orang yang belum tumbuh. Dan berdasarkan qiyās terhadap ucapannya, jika lidah seseorang dipotong lalu ia menerima kompensasi, kemudian lidah itu tumbuh kembali dengan sempurna, maka ia tidak mengembalikan apa pun; namun jika dipotong oleh orang lain, maka ada arsh yang sempurna. Dan berdasarkan prinsip dasarnya, hukum ditetapkan atas nama-nama (anggota tubuh). Al-Muzani berkata: Demikian pula gigi, menurut qiyās, baik tumbuh kembali atau tidak, hukumnya sama, kecuali pada anak kecil, jika giginya tumbuh kembali maka tidak ada diyat sama sekali, sehingga qiyās tidak berlaku baginya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَقَدْ تَقَدَّمَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَقُلْنَا إِنَّ سِنَّ الْمَثْغُورِ إِذَا قُلِعَتْ لَمْ يُنْتَظَرْ عَوْدُهَا وَقُضِيَ لَهُ بِقَوَدِهَا أَوْ دِيَتِهَا لِأَنَّهَا لَا تَعُودُ فِي الْأَغْلَبِ بِخِلَافِ الصَّغِيرِ الَّذِي تَعُودُ سِنُّهُ فِي الْأَغْلَبِ
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya, dan kami telah mengatakan bahwa gigi orang dewasa jika dicabut, tidak perlu menunggu tumbuh kembali, dan diputuskan baginya untuk mendapatkan qishāsh atau diyatnya, karena pada umumnya gigi tersebut tidak akan tumbuh kembali, berbeda dengan anak kecil yang giginya pada umumnya akan tumbuh kembali.
فَلَوْ عَادَتْ سِنُّ الْمَثْغُورِ بَعْدَ أَخْذِ دِيَتِهَا فَفِي وُجُوبِ رَدِّهَا قَوْلَانِ
Jika gigi yang tanggal itu tumbuh kembali setelah diyatnya diambil, maka terdapat dua pendapat mengenai kewajiban mengembalikan diyat tersebut.
أَحَدُهُمَا يَجِبُ رَدُّهَا كَالصَّغِيرِ إِذَا عَادَتْ سِنُّهُ فَعَلَى هَذَا هَلْ يَبْقَى مِنْهَا شَيْءٌ لِلْأَلَمِ وَسَيَلَانِ الدَّمِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ
Salah satunya wajib dikembalikan, seperti gigi anak kecil jika tumbuh kembali. Berdasarkan hal ini, apakah masih tersisa sesuatu darinya karena rasa sakit dan keluarnya darah atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hurairah.
أَحَدُهُمَا يُرَدُّ الْكُلَّ وَلَا يُبْقَى شَيْءٌ مِنْهَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ هَاهُنَا
Salah satunya adalah seluruhnya dikembalikan dan tidak ada sedikit pun yang tersisa darinya, dan inilah yang tampak dari perkataan asy-Syafi‘i di sini.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُبْقَى مِنْهَا قَدْرُ حُكُومَةِ الْأَلَمِ وَسَيَلَانِ الدَّمِ وَيَرُدُّ مَا سِوَاهُ
Pendapat kedua adalah menyisakan dari diyat sejumlah yang sepadan dengan kadar rasa sakit dan mengalirnya darah, sedangkan selebihnya dikembalikan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي اخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّ الْمَثْغُورَ لَا يَرُدُّ مَا أَخَذَهُ مِنَ الدِّيَةِ لِقَوَدِ سِنِّهِ لِأَمْرَيْنِ ذَكَرَهُمَا الْمُزَنِيُّ
Pendapat kedua dipilih oleh al-Muzani, yaitu bahwa orang yang telah dicabut giginya tidak wajib mengembalikan bagian diyat yang telah diterimanya jika kemudian dilakukan qishash atas giginya, karena dua alasan yang disebutkan oleh al-Muzani.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَنْتَظِرْ بِالدِّيَةِ عَوْدَ سِنِّهِ لَمْ يَلْزَمْهُ ردها بعوده
Salah satunya adalah bahwa ketika dia tidak menunggu kembalinya giginya untuk membayar diyat, maka dia tidak wajib mengembalikannya ketika giginya tumbuh kembali.
أحدهما أَنَّ دِيَةَ اللِّسَانِ لَمَّا لَمْ يَلْزَمْ رَدُّهَا بَعْدَ نَبَاتِهِ لَمْ يَلْزَمْ رَدُّ دِيَةِ السِّنِّ بَعْدَ عَوْدِهِ وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ مَعْلُولٌ
Pertama, diyat untuk lidah, ketika tidak wajib dikembalikan setelah tumbuh kembali, maka tidak wajib pula mengembalikan diyat untuk gigi setelah tumbuh kembali; dan kedua hal tersebut memiliki sebab (‘illah).
أَمَّا الْأَوَّلُ فِي تَرْكِ الِانْتِظَارِ فَلِأَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِي الْجِنَايَاتِ الأغلب من أحوالهما دُونَ النَّادِرِ وَالْأَغْلَبُ مِنْ سِنِّ الْمَثْغُورِ أَنْ لَا تَعُودَ وَمِنْ سِنِّ الصَّغِيرِ أَنْ تَعُودَ فَانْتُظِرَ بِالصَّغِيرِ وَلَمْ يُنْتَظَرْ بِالْمَثْغُورِ وَأَمَّا نَبَاتُ اللِّسَانِ فَهُوَ أَكْثَرُ نُدُورًا وَأَبْعَدُ وُجُودًا
Adapun alasan pertama dalam tidak menunggu adalah karena yang dijadikan pertimbangan dalam kasus jinayah adalah keadaan yang paling umum dari keduanya, bukan yang jarang terjadi. Kebanyakan gigi orang dewasa tidak akan tumbuh kembali, sedangkan gigi anak kecil biasanya akan tumbuh kembali. Maka, pada anak kecil ditunggu (apakah giginya tumbuh kembali), sedangkan pada orang dewasa tidak ditunggu. Adapun pertumbuhan lidah, itu lebih jarang terjadi dan lebih kecil kemungkinan terjadinya.
قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَدْ كُنَّا نُنْكِرُ عَلَى الْمُزَنِيِّ حَتَّى وَجَدْنَا فِي زَمَانِنَا رَجُلًا مِنْ أَوْلَادِ الْخُلَفَاءِ قُطِعَ لِسَانَهُ فَنَبَتَ فَعَلِمْنَا أَنَّ مِثْلَهُ قَدْ يَكُونُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْحُكْمُ فِي نَبَاتِ اللِّسَانِ مَحْمُولٌ عَلَى عَوْدِ اللِّسَانِ
Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata, “Dulu kami mengingkari pendapat al-Muzani, hingga kami mendapati di zaman kami seorang laki-laki dari keturunan para khalifah yang lidahnya terpotong lalu tumbuh kembali. Maka kami pun mengetahui bahwa hal seperti itu memang bisa terjadi. Jika demikian, maka hukum mengenai tumbuhnya kembali lidah dianggap sebagai kembalinya lidah.”
فَإِنْ قِيلَ إِنَّ عَوْدَ السِّنِّ لَا يُوجِبُ رَدَّ دِيَتِهَا فَأَوْلَى أَنْ يَكُونَ نَبَاتُ اللِّسَانِ لَا يُوجِبُ رَدَّ دِيَتِهِ
Jika dikatakan bahwa tumbuhnya kembali gigi tidak mewajibkan pengembalian diyatnya, maka lebih utama lagi bahwa tumbuhnya kembali lidah tidak mewajibkan pengembalian diyatnya.
وَإِنْ قِيلَ إِنَّ عَوْدَ السِّنِّ يُوجِبُ رَدَّ دِيَتِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي عَوْدِ اللِّسَانِ هَلْ يُوجِبُ رَدَّ دِيَتِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Dan jika dikatakan bahwa tumbuhnya kembali gigi mewajibkan pengembalian diyatnya, maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai tumbuhnya kembali lidah: apakah hal itu mewajibkan pengembalian diyatnya atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يُوجِبُ نَبَاتُ اللِّسَانِ رَدَّ دِيَتِهِ كَمَا أَوْجَبَ عَوْدُ السِّنِّ رَدَّ دِيَتِهَا فَسَوَّى بَيْنَهُمَا وَأُسْقِطَ اسْتِدْلَالُ الْمُزَنِيِّ فَعَلَى هَذَا يُسْتَبْقَى قَدْرُ الْحُكُومَةِ فِي قَطْعِ الْأَوَّلِ وَجْهًا وَاحِدًا وَرُدَّ مَا زَادَ عَلَيْهَا
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa tumbuhnya kembali lidah mewajibkan pengembalian diyatnya, sebagaimana tumbuhnya kembali gigi mewajibkan pengembalian diyatnya. Ia menyamakan keduanya, dan pendalilan al-Muzani digugurkan. Berdasarkan pendapat ini, kadar hukumah pada pemotongan yang pertama tetap dipertahankan dalam satu sisi, dan kelebihan dari itu dikembalikan.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا تُرَدُّ دِيَةُ اللِّسَانِ وَإِنْ رَدَّ دِيَةَ السِّنِّ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ فِي جِنْسِ السِّنِّ مَا يَعُودُ فِي الْغَالِبِ فَأُلْحِقَ بِهِ النَّادِرُ وَلَيْسَ فِي جِنْسِ اللِّسَانِ مَا يَعُودُ فَصَارَ جَمِيعُهُ نَادِرًا وَلِذَلِكَ وُقِفَ سِنُّ الصَّغِيرِ دُونَ الْكَبِيرِ وَلَمْ يُوقَفْ لِسَانُ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ فَافْتَرَقَا وَاللَّهُ أعلم
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, adalah bahwa diyat (denda) untuk lidah tidak dikembalikan, meskipun diyat untuk gigi dikembalikan. Perbedaannya adalah bahwa pada jenis gigi, umumnya ada yang dapat tumbuh kembali, sehingga yang jarang pun disamakan dengannya. Sedangkan pada jenis lidah, tidak ada yang dapat tumbuh kembali, sehingga seluruhnya menjadi sesuatu yang jarang terjadi. Oleh karena itu, gigi anak kecil ditangguhkan (pembayaran diyat-nya), sedangkan gigi orang dewasa tidak, dan lidah baik anak kecil maupun orang dewasa tidak ditangguhkan. Maka keduanya berbeda, dan Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْأَسْنَانُ الْعُلْيَا فِي عَظْمِ الرَّأْسِ وَالسُّفْلَى فِي اللَّحْيَيْنِ مُلْتَصِقَتَيْنِ فَفِي اللَّحْيَيْنِ الدِّيَةُ وَفِي كُلِ سِنٍّ مِنْ أَسْنَانِهَا خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Gigi bagian atas berada pada tulang kepala, sedangkan gigi bagian bawah berada pada kedua rahang yang saling melekat. Maka, pada kedua rahang itu terdapat diyat, dan untuk setiap gigi dari gigi-giginya terdapat lima ekor unta.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا أَسْنَانُ الْفَمِ فَأَعْلَاهَا فِي عَظْمِ الرَّأْسِ وَأَسْفَلُهَا فِي اللَّحْيَيْنِ وَاللَّحْيَانِ يَجْتَمِعُ مُقَدَّمُهُمَا فِي الذَّقْنِ وَمُؤَخَّرُهُمَا فِي الْأُذُنِ فَإِنْ قَلَعَ الْأَسْنَانَ مَعَ بَقَاءِ اللَّحْيَيْنِ كَانَ فِي كُلِّ سِنٍّ مِنْهَا خَمْسٌ من الإبل إذا لم ترد عَلَى الْعِشْرِينَ سِنًّا وَيُسْتَكْمَلُ فِي الْعِشْرِينَ دِيَةٌ كَامِلَةٌ وَإِنْ زَادَتْ عَلَى الْعِشْرِينَ وَبَلَغَتِ اثْنَيْنِ وَثَلَاثِينَ سِنًّا وَهِيَ غَايَةُ الْأَسْنَانِ الْمَعْهُودَةِ فَإِنْ قَلَعَهَا وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ كَانَ فِي كُلِّ واحد منهما خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ فَيَجْتَمِعُ فِي جَمِيعِهَا مِائَةٌ وَسِتُّونَ بَعِيرًا وَإِنْ قَلَعَ جَمِيعِهَا دَفْعَةً وَاحِدَةً فَفِيهِ وَجْهَانِ
Al-Mawardi berkata: Adapun gigi-gigi mulut, bagian atasnya berada pada tulang kepala dan bagian bawahnya pada kedua rahang. Kedua rahang itu bagian depannya bertemu di dagu dan bagian belakangnya di telinga. Jika seseorang mencabut gigi-gigi dengan kedua rahang masih utuh, maka untuk setiap satu gigi dikenakan diyat lima ekor unta, jika jumlahnya tidak lebih dari dua puluh gigi. Jika mencapai dua puluh gigi, maka diyatnya menjadi satu diyat penuh. Jika lebih dari dua puluh dan mencapai tiga puluh dua gigi, yang merupakan jumlah maksimal gigi yang biasa ada, lalu ia mencabutnya satu per satu, maka untuk setiap satu gigi dikenakan diyat lima ekor unta, sehingga seluruhnya berjumlah seratus enam puluh ekor unta. Jika ia mencabut seluruhnya sekaligus, maka ada dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا يَجِبُ فِيهَا كَمَالُ الدِّيَةِ وَلَا يُزَادُ عَلَيْهَا لِأَنَّ مَا يُجَانَسُ فِي الْبَدَنِ مِنْ ذَوَاتِ الْأَعْدَادِ لَمْ تَجِبْ فِيهِ أَكْثَرُ مِنَ الدِّيَةِ كَسَائِرِ الْأَعْضَاءِ وَالْأَطْرَافِ
Salah satunya adalah wajib membayar diyat secara penuh dan tidak boleh melebihinya, karena bagian-bagian tubuh yang sejenis dan memiliki jumlah tertentu tidak diwajibkan diyat lebih dari satu diyat, seperti halnya anggota tubuh dan anggota badan lainnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يَجِبُ فِي كُلِّ سِنٍّ مِنْهُمَا خَمْسٌ وَإِنْ زَادَتْ عَلَى دِيَةِ النَّفْسِ لِأَنَّ لِكُلِّ سِنٍّ مِنْهَا حُكْمَهَا وَلَيْسَتْ بَعْضُهَا تَبَعًا لِبَعْضٍ وَكَمَا لَوْ قَلَعَهَا مُتَفَرِّقًا فَأَمَّا اللَّحْيَانِ إِذَا قَلَعَهُمَا فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِمَا أَسْنَانٌ أَوْ لَا يَكُونُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عليها أَسْنَانٌ إِمَّا فِي طِفْلٍ لَمْ تَطَلِعْ أَسْنَانُهُ أَوْ فِي شَيْخٍ قَدْ سَقَطَتْ أَسْنَانُهُ فَفِيهَا الدِّيَةُ لِمَا فِيهَا مِنْ كَثْرَةِ الْجَمَالِ وَعِظَمِ الْمَنْفَعَةِ وَأَنَّ ذَهَابَهَا أَخْوَفُ عَلَى النَّفْسِ وَأَسْلَبُ لِلْمَنَافِعِ مِنَ الْأُذُنِ فَكَانَ بِإِيجَابِ الدِّيَةِ أَوْلَى فَإِنْ قَلَعَ أَحَدَ اللَّحْيَيْنِ وَتَمَاسَكَ الْآخَرُ كَانَ عَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَنَّهَا لَمَّا كَمُلَتْ فِيهَا نُصِّفَتْ فِي أَحَدِهِمَا كَالْيَدَيْنِ
Pendapat kedua adalah bahwa pada setiap gigi dari keduanya (rahang atas dan bawah) wajib membayar lima (unta), meskipun jumlahnya melebihi diyat jiwa, karena setiap gigi dari keduanya memiliki hukum tersendiri dan tidak ada sebagian yang mengikuti sebagian lainnya, sebagaimana jika mencabutnya secara terpisah. Adapun kedua rahang, jika keduanya dicabut, maka tidak lepas dari dua keadaan: ada giginya atau tidak ada. Jika tidak ada giginya, baik pada anak kecil yang giginya belum tumbuh atau pada orang tua yang giginya telah tanggal, maka pada keduanya wajib membayar diyat, karena pada keduanya terdapat banyak keindahan dan besar manfaat, serta hilangnya lebih berbahaya bagi jiwa dan lebih banyak menghilangkan manfaat dibandingkan telinga, sehingga lebih utama untuk mewajibkan diyat. Jika ia mencabut salah satu dari kedua rahang dan yang lainnya masih utuh, maka wajib membayar setengah diyat, karena ketika keduanya sempurna wajib diyat penuh, maka jika hanya salah satunya, wajib setengah diyat, sebagaimana pada kedua tangan.
فَأَمَّا الْقَوَدُ فَإِنْ أَمْكَنَ فِيهِمَا أَوْ فِي أَحَدِهِمَا وَجَبَ وَإِنْ تَعَذَّرَ سَقَطَ وَإِنْ كَانَ فِي اللَّحْيَيْنِ أَسْنَانٌ فَمَعْلُومٌ أَنَّهَا لَا تَنْبُتُ مَعَ قَلْعِهَا فَعَلَيْهِ دِيَةُ اللَّحْيَيْنِ وَدِيَاتُ الْأَسْنَانِ وَلَا تَدْخُلُ دِيَاتُهَا فِي دِيَةِ اللَّحْيَيْنِ
Adapun qawad, jika memungkinkan dilakukan pada keduanya atau pada salah satunya, maka wajib dilakukan. Namun jika tidak memungkinkan, maka gugur. Jika pada kedua rahang terdapat gigi, maka sudah diketahui bahwa gigi tersebut tidak akan tumbuh kembali setelah dicabut, sehingga pelaku wajib membayar diyat kedua rahang dan diyat gigi-gigi tersebut, dan diyat gigi tidak termasuk dalam diyat kedua rahang.
فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا دَخَلَتْ دِيَتُهَا فِي دِيَةِ اللَّحْيَيْنِ لِحُلُولِهَا فِيهَا كَمَا دَخَلَتْ دِيَةُ الْأَصَابِعِ فِي دِيَةِ الْيَدِ
Jika ada yang bertanya, “Mengapa diyat untuknya (bagian itu) tidak dimasukkan ke dalam diyat kedua rahang karena letaknya di dalamnya, sebagaimana diyat jari-jari dimasukkan ke dalam diyat tangan?”
قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ
Dikatakan bahwa perbedaan antara keduanya ada pada tiga aspek.
أَحَدُهَا أَنَّ اسْمَ الْيَدِ يَنْطَلِقُ عَلَى الْكَفِّ وَالْأَصَابِعِ وَلَا يَنْطَلِقُ اسْمُ اللَّحْيَيْنِ عَلَى الْأَسْنَانِ وَلَا اسْمُ الْأَسْنَانِ عَلَى اللَّحْيَيْنِ
Salah satunya adalah bahwa nama “yad” (tangan) mencakup telapak tangan dan jari-jari, sedangkan nama “lahyain” (dua rahang) tidak mencakup gigi, dan nama “asnan” (gigi) tidak mencakup dua rahang.
وَالثَّانِي أَنَّ اللَّحْيَيْنِ قَدْ يَتَكَامَلُ خَلْقُهُمَا مَعَ عَدَمِ الْأَسْنَانِ فِي الصَّغِيرِ وَيَبْقَيَانِ عَلَى كَمَالِهِمَا بَعْدَ ذَهَابِ الْأَسْنَانِ مِنَ الْكَبِيرِ وَلَا يَكْمُلُ خَلْقُ الْيَدِ إِلَّا مَعَ أَصَابِعِهَا وَلَا تَكُونُ كَامِلَةً بَعْدَ ذَهَابِهَا
Yang kedua, bahwa kedua rahang bisa saja telah sempurna penciptaannya meskipun belum tumbuh gigi pada anak kecil, dan tetap dalam keadaan sempurna setelah gigi-gigi itu tanggal pada orang dewasa. Sedangkan tangan tidak akan sempurna penciptaannya kecuali bersama jari-jarinya, dan tidak dianggap sempurna setelah jari-jarinya hilang.
وَالثَّالِثُ أَنَّ لِلَّحْيَيْنِ مَنَافِعَ غَيْرَ حِفْظِ الْأَسْنَانِ وَلِلْأَسْنَانِ مَنَافِعَ غَيْرَ مَنَافِعِ اللَّحْيَيْنِ فَانْفَرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحِكْمَةٍ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فِي مَنَافِعَ الْكَفِّ لِأَنَّهُ يَحْفَظُ الْأَصَابِعَ فَإِذَا زَالَتْ بَطَلَتْ مَنَافِعُهَا فَصَارَتْ تَبَعًا لَهُمَا فَلَوْ جَنَى عَلَى لَحْيَيْهِ فَيَبِسَتَا حَتَّى لَمْ يَنْفَتِحَا وَلَمْ يَنْطَبِقَا ضَمِنَهُمَا بِالدِّيَةِ كَالْيَدِ إِذَا شُلَّتْ وَلَا يَضْمَنُ دِيَةَ الْأَسْنَانِ وَإِنْ ذَهَبَتْ مَنَافِعُهَا لِأَنَّهُ لَمْ يَجْنِ عَلَيْهَا وَإِنَّمَا وَقَفَ نَفْعُهَا بِذَهَابِ مَنَافِعِ غَيْرِهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ فَلَوِ اعْوَجَّ اللَّحْيَانِ لِجِنَايَتِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ حُكُومَةٌ بِحَسَبِ شَيْنِهِ وَضَرَرِهِ وَلَا يَبْلُغُ بِهَا الدِّيَةَ إِذَا كَانَا يَنْطَبِقَانِ وَيَنْفَتِحَانِ
Ketiga, bahwa kedua rahang memiliki manfaat selain menjaga gigi, dan gigi pun memiliki manfaat selain manfaat kedua rahang. Maka masing-masing dari keduanya memiliki hikmah tersendiri. Tidak demikian halnya dengan manfaat telapak tangan, karena telapak tangan berfungsi melindungi jari-jari; jika telapak tangan hilang, maka manfaatnya pun hilang, sehingga ia menjadi pengikut bagi jari-jari. Maka jika seseorang melakukan kejahatan terhadap kedua rahangnya sehingga keduanya menjadi kaku hingga tidak dapat terbuka dan tertutup, ia wajib menanggung diyat atas keduanya seperti halnya tangan jika menjadi lumpuh, dan ia tidak wajib menanggung diyat gigi meskipun manfaatnya hilang, karena ia tidak melakukan kejahatan terhadap gigi itu sendiri, melainkan manfaatnya terhenti akibat hilangnya manfaat bagian lain. Hal ini ditegaskan oleh asy-Syafi‘i dalam Kitab al-Umm. Jika kedua rahang menjadi bengkok karena kejahatannya, maka ia wajib membayar ganti rugi sesuai dengan cacat dan kerusakan yang ditimbulkan, dan tidak sampai pada diyat jika keduanya masih dapat terbuka dan tertutup.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ ضَرَبَهَا فَاسْوَدَّتْ فَفِيهَا حُكُومَةٌ وَقَالَ فِي كِتَابِ عُقُولِهَا ثُمَّ عَقَلَهَا قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ الله الحكومة أولى لأن منفعتها بالقطع والمضغ ورد الريق وسد موضعها قائمة كما لو اسود بياض العين لم يكن فيها إلا حكومة لأن منفعتها بالنظر قائمة
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ia memukulnya lalu menjadi hitam, maka di dalamnya ada ḥukūmah.” Dan beliau berkata dalam Kitab ‘Uqūliha, kemudian ‘aqalnya. Al-Muzani raḥimahullāh berkata: “Ḥukūmah lebih utama, karena manfaatnya seperti memotong, mengunyah, menahan air liur, dan menutup tempatnya masih tetap ada, sebagaimana jika bagian putih mata menjadi hitam maka di dalamnya hanya ada ḥukūmah, karena manfaatnya untuk melihat masih tetap ada.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا إِذَا ضَرَبَ سِنَّهُ فَاصْفَرَّتْ أَوِ اخْضَرَّتْ فَفِيهَا حُكُومَةٌ إِذَا لَمْ يَذْهَبْ شَيْءٌ مِنْ مَنَافِعِهَا وَحُكُومَةُ الْخُضْرَةِ أَكْثَرُ مِنْ حُكُومَةِ الصُّفْرَةِ لِأَنَّهَا أَقْبَحُ فَأَمَّا إِنْ ضَرَبَهَا فَاسْوَدَّتْ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا فِيهَا حُكُومَةٌ كَمَا لَوِ اصْفَرَّتْ أَوِ اخْضَرَّتْ وَقَالَ فِي كِتَابِ الْعَقْلِ ثُمَّ عَقَلَهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ الْمُزَنِيُّ وَالْمُتَقَدِّمُونَ مِنْهُمْ يُخَّرِجُونَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافٍ قَوْلَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Adapun jika seseorang memukul giginya lalu berubah menjadi kuning atau hijau, maka di dalamnya ada hukumah (penilaian ganti rugi) jika tidak ada bagian manfaatnya yang hilang. Hukumah untuk warna hijau lebih besar daripada hukumah untuk warna kuning karena lebih buruk. Adapun jika dipukul lalu menjadi hitam, maka asy-Syafi‘i berkata di sini: di dalamnya ada hukumah sebagaimana jika berubah menjadi kuning atau hijau. Dan beliau berkata dalam Kitab al-‘Aql: kemudian dikenakan diyat (ganti rugi penuh). Maka para sahabat kami berbeda pendapat; al-Muzani dan para pendahulu dari mereka mengembalikan hal itu kepada perbedaan dua pendapat.
أَحَدُهُمَا فِيهَا حُكُومَةٌ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ لِبَقَاءِ مَنَافِعِهَا بَعْدَ سَوَادِهَا كَمَا لَوْ جَنَى عَلَى عَيْنِهِ فَاسْوَدَّ بَيَاضُهَا لِبَقَاءِ نَظَرِهَا بَعْدَ سَوَادِ البياض
Salah satunya adalah di dalamnya terdapat ḥukūmah, dan pendapat ini dipilih oleh al-Muzanī karena masih adanya manfaat setelah warnanya menjadi hitam, sebagaimana jika seseorang melakukan jināyah terhadap matanya lalu bagian putihnya menjadi hitam, karena penglihatannya masih tetap ada meskipun warna putihnya telah menjadi hitam.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِيهَا الدِّيَةُ تَامَّةً لِذَهَابِ جِمَالِهَا بِالسَّوَادِ وَذَهَبَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا وَمُتَأَخَّرُوهُمْ إِلَى أَنَّ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافُ حَالَيْنِ وَلَيْسَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَالْمَوَاضِعِ الَّذِي أَوْجَبَ فِيهَا حُكُومَةً إِذَا كانت باقية المنافع والمواضع الذي أَوْجَبَ فِيهَا الدِّيَةَ إِذَا ذَهَبَتْ مَنَافِعُهَا وَهَذَا أَشْبَهُ لِأَنَّهُ قَدْ بَقِيَ بَعْدَ اسْوِدَادِهَا أَكْثَرُ جِمَالِهَا وَهُوَ سِرُّ مَوْضِعِهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجِبَ فِيهَا مَعَ بَقَاءِ أَكْثَرِ جِمَالِهَا وَجَمِيعِ مَنَافِعِهَا دِيَةٌ
Pendapat kedua dalam masalah ini adalah bahwa diyat yang sempurna wajib dibayarkan karena hilangnya keindahan mata akibat menjadi hitam. Mayoritas ulama dari kalangan kami dan para ulama belakangan berpendapat bahwa hal itu tergantung pada perbedaan dua keadaan, bukan perbedaan dua pendapat. Pada kasus di mana masih tersisa manfaatnya, maka yang wajib adalah hukūmah; sedangkan pada kasus di mana manfaatnya telah hilang, maka yang wajib adalah diyat. Pendapat ini lebih mendekati kebenaran, karena setelah mata menjadi hitam, sebagian besar keindahannya masih tetap ada, dan itulah inti dari keberadaannya. Maka tidak boleh diwajibkan diyat jika sebagian besar keindahan dan seluruh manfaatnya masih ada.
فَلَوْ قَلَعَ سِنًّا سَوْدَاءَ سُئِلَ عَنْهَا أَهْلُ الْعِلْمِ بِهَا فَإِنْ قَالُوا اسْوِدَادُهَا مِنْ غِذَاءٍ أَوْ طُولِ مُكْثٍ كَمُلَتْ فِيهَا الدِّيَةُ
Maka jika seseorang mencabut gigi yang berwarna hitam, maka para ahli yang memahami tentangnya ditanya mengenai hal itu. Jika mereka mengatakan bahwa kehitaman tersebut disebabkan oleh makanan atau karena telah lama berada di mulut, maka diyat atas gigi tersebut tetap sempurna.
وَإِنْ قَالُوا مِنْ مَرَضٍ كَانَ فِي كَمَالِ دِيَتِهَا قَوْلَانِ عَلَى اخْتِلَافِهِمَا فِي السِّنِّ إِذَا ذَهَبَ بَعْضُ مَنَافِعِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan jika mereka mengatakan karena penyakit, maka dalam hal sempurnanya diyatnya terdapat dua pendapat, sesuai perbedaan pendapat mereka mengenai gigi apabila sebagian manfaatnya hilang. Dan Allah lebih mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَفِي الْيَدَيْنِ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Pada kedua tangan terdapat diyat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَهُوَ نَصُّ السُّنَّةِ وَرَوَى مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ وَفِي الْيَدَيْنِ الدِّيَةُ وَلِأَنَّهُمَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْضَاءِ نَفْعًا فِي الْبَطْشِ وَالْعَمَلِ وَفِي إِحْدَى الْيَدَيْنِ نِصْفُ الدِّيَةِ لِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى الْيَمَنِ وَفِي الْيَدِ خَمْسُونَ مِنَ الْإِبِلِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْيَدُ الَّتِي تَكْمُلُ فِيهَا الدِّيَةُ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ مَفْصِلِ الْكَفِّ فَإِنْ قَطَعَهَا مِنَ الذِّرَاعِ أَوِ الْعَضُدِ وَجَبَ فِي الْكَفِّ دِيَةٌ وَفِيمَا زَادَ مِنَ الذِّرَاعِ حُكُومَةٌ فَإِنْ زَادَ إِلَى الْعَضُدِ كَانَتِ الْحُكُومَةُ فِيهِ أَكْثَرُ وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَطَعَهَا مِنَ الْمِرْفَقِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا دِيَةٌ وَإِنْ زَادَ عَلَى الْمِرْفَقِ فَفِي الزِّيَادَةِ حُكُومَةٌ لِأَنَّ حُكْمَ الْيَدِ يَسْتَوْعِبُهَا إِلَى الذِّرَاعِ وَيُفَارِقُهَا بَعْدَهُ كَالْوُضُوءِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan inilah nash as-sunnah.” Mu‘adz bin Jabal meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Pada kedua tangan terdapat diyat.” Karena keduanya merupakan anggota tubuh yang paling besar manfaatnya dalam memegang dan bekerja. Pada salah satu tangan terdapat setengah diyat, berdasarkan riwayat ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam suratnya kepada penduduk Yaman, “Pada tangan terdapat lima puluh ekor unta.” Jika demikian, maka tangan yang sempurna diyatnya adalah yang terpotong dari sendi telapak tangan. Jika dipotong dari lengan bawah atau lengan atas, maka pada telapak tangan wajib diyat, dan pada bagian yang melebihi dari lengan bawah dikenakan hukuman (hukūmah). Jika melebihi hingga ke lengan atas, maka hukuman (hukūmah) pada bagian itu lebih besar. Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika dipotong dari siku, maka tidak ada kewajiban kecuali diyat. Jika melebihi siku, maka pada kelebihan itu dikenakan hukuman (hukūmah), karena hukum tangan mencakup sampai lengan bawah dan berakhir setelahnya, seperti dalam wudhu.”
وَقَالَ أَبُو عُبَيْدِ بْنُ حَرْبَوَيْهِ مِنْ أَصْحَابِنَا الِاسْمُ يَتَنَاوَلُهَا إِلَى الْمَنْكِبِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ إِذَا اسْتَوْعَبَ قَطْعَهَا إِلَى الْمَنْكِبِ إِلَّا الدِّيَةُ دُونَ الْحُكُومَةِ لِأَنَّ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ تَيَمَّمَ حِينَ أَطْلَقَ ذِكْرَ الْيَدَ فِي التَّيَمُّمِ إِلَى الْمَنَاكِبِ تَعْوِيلًا عَلَى مُطْلَقِ الِاسْمِ حَتَّى قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّمَا يَكْفِيكَ ضَرْبَةٌ لِوَجْهِكَ وَضَرْبَةٌ لِذِرَاعِكَ وَكِلَا الْمَذْهَبَيْنِ خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ المائدة 6 فَلَوِ اقْتَضَى إِطْلَاقَ الْيَدِ إِلَى الْمِرْفَقِ لَاقْتَصَرَ عَلَى الْإِطْلَاقِ وَلَمَا قَيَّدَهَا بِالْمَرَافِقِ فَبَطَلَ قَوْلُ سُفْيَانَ وَلَمَا جَعَلَ الْمِرْفَقَ غَايَةً دَلَّ عَلَى أَنَّ حَدَّ الْيَدِ مَا دُونَ الْغَايَةِ فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ أَبِي عُبَيْدٍ وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا المائدة 38 وَقَطَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَدَهُ مِنْ مَفْصِلِ الْكَفِّ دَلَّ عَلَى أَنَّهَا هِيَ الْيَدُ لُغَةً وَشَرْعًا وَلِأَنَّ الدِّيَةَ تَكْمُلُ فِي الرِّجْلِ إِذَا قُطِعَتْ مِنْ مَفْصِلِ الْقَدَمِ؛ لِأَنَّهَا تُقْطَعُ مِنْهُ فِي السَّرِقَةِ كَذَلِكَ الْيَدُ لَمَّا قُطِعَتْ فِي السَّرِقَةِ مِنَ الْكَفِّ وَجَبَ أَنْ يُخْتَصَّ بِكَمَالِ الدِّيَةِ
Abu ‘Ubaid bin Harbawaih dari kalangan ulama kami berkata, “Nama (tangan) mencakup hingga ke pundak, dan tidak ada kewajiban selain diyat jika seluruhnya terpotong sampai ke pundak, tanpa adanya hukūmah, karena ‘Ammar bin Yasir bertayammum ketika lafaz ‘tangan’ dalam tayammum disebutkan secara mutlak hingga ke pundak, berdasarkan keumuman nama, sampai Nabi ﷺ bersabda kepadanya, ‘Cukup bagimu satu tepukan untuk wajahmu dan satu tepukan untuk lenganmu.’ Kedua pendapat ini keliru, berdasarkan firman Allah Ta‘ala, ‘Apabila kalian hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajah dan tangan kalian sampai siku’ (al-Mā’idah: 6). Seandainya keumuman lafaz ‘tangan’ mencakup sampai siku, tentu cukup dengan lafaz umum saja dan tidak perlu dibatasi dengan siku. Maka, pendapat Sufyan batal. Dan ketika siku dijadikan batas, itu menunjukkan bahwa batas tangan adalah sebelum batas tersebut, sehingga pendapat Abu ‘Ubaid juga batal. Dan karena Allah Ta‘ala berfirman, ‘Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya’ (al-Mā’idah: 38), dan Rasulullah ﷺ memotong tangannya dari pergelangan telapak tangan, ini menunjukkan bahwa itulah yang dimaksud dengan ‘tangan’ secara bahasa dan syariat. Dan karena diyat menjadi sempurna pada kaki jika dipotong dari pergelangan kaki, karena dalam kasus pencurian juga dipotong dari situ, maka demikian pula tangan, ketika dipotong dalam kasus pencurian dari telapak tangan, wajib disempurnakan diyatnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِنْ قَطَعَ أَصَابِعَ الْكَفِّ كَمُلَتْ فِيهَا دِيَةُ الْكَفِّ لِأَنَّ مَا أَبْقَاهُ مِنْهَا بَعْدَ قَطْعِ الْأَصَابِعِ مَسْلُوبُ الْمَنْفَعَةِ وَتَكُونُ دِيَةُ الْيَدِ مُقَسَّطَةً عَلَى أَعْدَادِ الْأَصَابِعِ بِالسَّوِيَّةِ فَيَجِبُ فِي كُلِّ إِصْبَعٍ عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ لِأَنَّهَا فِي الْمَعْهُودِ تَقَسَّطَتْ عَلَيْهَا خَمْسُونَ فَكَانَ قِسْطُ كل أصبع منها عشر وَلَا يُفَضَّلُ إِبْهَامٌ عَلَى خِنْصَرٍ
Jika seseorang memotong jari-jari tangan, maka sempurnalah diyat (denda) tangan padanya, karena sisa tangan setelah jari-jarinya terpotong sudah tidak memiliki manfaat. Diyat tangan dibagi rata pada jumlah jari-jari, sehingga untuk setiap jari wajib membayar sepuluh ekor unta, karena dalam kebiasaan diyat tangan dibagi menjadi lima puluh, maka bagian setiap jari adalah sepuluh. Tidak ada keutamaan antara ibu jari dengan kelingking.
وَحُكِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ فَاضِلٌ بَيْنَ دِيَاتِ الْأَصَابِعِ فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ فَجَعَلَ فِي الْخِنْصَرِ سِتًّا وَفِي الْبِنْصِرِ تِسْعًا وَفِي الْوُسْطَى عَشْرًا وَفِي السَّبَّابَةِ عَشْرًا وَفِي الْإِبْهَامِ ثلاثة عشر فقسط الخمسين على الأصابع الْكَفِّ هَذَا التَّقْسِيطَ الْمُخْتَلِفَ اعْتِبَارًا بِاخْتِلَافِ الْمَنَافِعِ وَلِأَنَّ الْبِنْصِرَ وَرَاءَ الْخِلَافِ وَهُوَ مَا رُوِيَ عن عمرو ابن شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ وَفِي الْيَدَيْنِ الدِّيَةُ وَفِي الرِّجْلَيْنِ الدِّيَةِ وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ مِمَّا هُنَالِكَ عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ
Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau membedakan antara diyat jari-jari dalam salah satu riwayat darinya, maka beliau menetapkan pada jari kelingking enam, pada jari manis sembilan, pada jari tengah sepuluh, pada jari telunjuk sepuluh, dan pada ibu jari tiga belas, sehingga beliau membagi lima puluh (unta) pada jari-jari tangan dengan pembagian yang berbeda-beda ini, dengan mempertimbangkan perbedaan manfaatnya. Adapun jari manis, menurut pendapat lain, tidak ada perbedaan (diyatnya). Inilah yang diriwayatkan dari Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada kedua tangan diyat, pada kedua kaki diyat, dan pada setiap jari dari keduanya sepuluh ekor unta.”
وَرَوَى أَوْسُ بْنُ مَسْرُوقٍ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ وَالْأَصَابِعُ سَوَاءٌ قَالَ شُعْبَةُ قُلْتُ لِغَالِبٍ التَّمَّارِ حِينَ رَوَى ذَلِكَ عَنْ أَوْسِ بْنِ مَسْرُوقٍ عَشْرًا عَشْرًا قَالَ نَعَمْ
Awas bin Masruq meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy‘ari dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jari-jari itu sama.” Syubah berkata: Aku berkata kepada Ghalib at-Tammar ketika ia meriwayatkan hal itu dari Awas bin Masruq, “Sepuluh-sepuluh?” Ia menjawab, “Ya.”
وَرَوَى يَزِيدُ النَّحْوِيُّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْأَصَابِعُ سَوَاءٌ وَالْأَسْنَانُ سَوَاءٌ وَهَذِهِ نُصُوصٌ لَا يَجُوزُ خِلَافُهَا وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يُفَاضَلَ بَيْنَهُمَا لِتَفَاضُلِ الْمَنْفَعَةِ لَكَانَ ذَلِكَ فِي أَصَابِعِ الرِّجْلَيْنِ وَلَفُضِّلَتِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَالْقَوِيَّةُ عَلَى الضَّعِيفَةِ وَالْكَبِيرَةُ عَلَى الصَّغِيرَةِ وَلَمْ يَقُلْ بِذَلِكَ أَحَدٌ اعْتِبَارًا بِمُطْلَقِ الِاسْمِ كَذَلِكَ فِي الْأَصَابِعِ
Yazid an-Nahwi meriwayatkan dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jari-jari itu sama, dan gigi-gigi itu sama.” Ini adalah nash yang tidak boleh diselisihi. Karena jika boleh membedakan antara keduanya karena perbedaan manfaat, tentu hal itu juga berlaku pada jari-jari kaki, dan tentu tangan kanan diutamakan atas tangan kiri, yang kuat diutamakan atas yang lemah, dan yang besar diutamakan atas yang kecil. Namun tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian, karena mempertimbangkan keumuman nama, demikian pula pada jari-jari.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ جَنَى عَلَى يَدِهِ فَشُلَّتْ كَمُلَتْ دِيَتُهَا وَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً بَعْدَ الشَّلَلِ لِذَهَابِ مَنَافِعِهَا كَمَا لَوْ جَنَى عَلَى عَيْنِهِ فَذَهَبَ بَصَرُهَا فَإِنْ شُلَّتْ إِصْبَعٌ مِنْهَا فَفِيهَا دِيَتُهَا فَإِنْ قُطِعَتْ بَعْدَ الشَّلَلِ كَانَ فِيهَا حُكُومَةٌ لا تبلغ دية السليمة
Jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap tangannya lalu tangannya menjadi lumpuh, maka diyatnya menjadi sempurna, meskipun tangan itu masih ada setelah lumpuh, karena hilangnya manfaatnya; sebagaimana jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap matanya lalu penglihatannya hilang. Jika salah satu jarinya menjadi lumpuh, maka atasnya dikenakan diyat jari tersebut. Jika kemudian jari itu dipotong setelah lumpuh, maka atasnya dikenakan hukuman (ta‘wīdh) yang nilainya tidak mencapai diyat jari yang sehat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي الرِّجْلَيْنِ الدِّيَةِ وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ مِمَّا هُنَالِكَ عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada kedua kaki terdapat diyat, dan pada setiap jari dari keduanya terdapat sepuluh ekor unta.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي الرِّجْلَيْنِ الدِّيَةِ وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ مِمَّا هُنَالِكَ عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar berdasarkan hadis ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: Pada kedua kaki ada diyat, dan pada setiap jari dari keduanya ada sepuluh ekor unta.”
وَلِرِوَايَةِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ وَفِي الرِّجْلَيْنِ الدِّيَةُ وَلِأَنَّ الرِّجْلَيْنِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْضَاءِ نَفْعًا لِأَنَّ عَلَيْهَا يَسْعَى وَبِهَا يَتَصَرَّفُ وَفِي إِحْدَى الرِّجْلَيْنِ نِصْفُ الدِّيَةِ لِرِوَايَةِ عمرو بن حزم عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى الْيَمَنِ وَفِي الرِّجْلِ خَمْسُونَ مِنَ الْإِبِلِ وَلِأَنَّهَا وَاحِدٌ مِنْ عُضْوَيْنِ كَالْيَدَيْنِ وَلَا فَضْلَ لِيُمْنَى عَلَى يُسْرَى وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ مِنْ أَصَابِعِهَا عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ كَأَصَابِعِ الْيَدَيْنِ وَلَا يُفَضَّلُ إِبْهَامٌ عَلَى خِنْصَرٍ فَإِنْ شُلَّتْ كَانَ فِيهَا دِيَتُهَا كَالْمَقْطُوعَةِ
Dan berdasarkan riwayat Mu‘ādz bin Jabal bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Pada kedua kaki terdapat diyat,” dan karena kedua kaki merupakan anggota tubuh yang paling besar manfaatnya, sebab dengannya seseorang berjalan dan beraktivitas. Adapun pada salah satu kaki, diyat-nya adalah setengah dari diyat, berdasarkan riwayat ‘Amr bin Hazm dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda dalam suratnya kepada penduduk Yaman, “Pada satu kaki terdapat lima puluh ekor unta,” dan karena kaki adalah salah satu dari dua anggota tubuh seperti kedua tangan, serta tidak ada keutamaan antara kaki kanan dan kiri. Pada setiap jari kaki terdapat sepuluh ekor unta, sebagaimana jari-jari tangan, dan tidak ada keutamaan antara ibu jari dan kelingking. Jika kaki menjadi lumpuh, maka diyat-nya sama seperti jika kaki itu terputus.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي كُلِّ أُنْمُلَةٍ ثُلُثُ عَقْلِ أُصْبُعٍ إِلَّا أُنْمُلَةَ الْإِبْهَامِ فَإِنَهَا مِفْصَلَانِ فَفِي أُنْمُلَةِ الْإِبْهَامِ نِصْفُ عَقْلِ الْإِصْبَعِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada setiap ruas jari terdapat sepertiga diyat jari, kecuali ruas ibu jari karena ia terdiri dari dua ruas, maka pada ruas ibu jari terdapat setengah diyat jari.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لَمَّا قَسَّطَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دِيَةَ الْكَفِّ عَلَى أَعْدَادِ أَصَابِعِهَا وَجَبَ أَنْ يُقَسِّطَ دِيَةَ الْإِصْبَعِ عَلَى أَعْدَادِ أَنَامِلِهَا وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ ثَلَاثُ أَنَامِلَ فَيَكُونُ فِي كُلِّ أُنْمُلَةٍ ثُلُثُ دِيَةِ إِصْبَعٍ ثَلَاثَةُ أَبْعِرَةٍ وَثُلُثٌ إِلَّا الْإِبْهَامَ فَإِنَّ فِيهَا أُنْمُلَتَيْنِ فَيَجِبُ فِي كُلِّ أُنْمُلَةٍ مِنْهَا نِصْفُ دِيَةِ إِصْبَعِ خَمْسَةِ أَبْعِرَةٍ
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, karena ketika Rasulullah saw. membagi diyat tangan sesuai jumlah jarinya, maka wajib membagi diyat jari sesuai jumlah ruasnya. Pada setiap jari terdapat tiga ruas, sehingga pada setiap ruas terdapat sepertiga diyat jari, yaitu tiga unta dan sepertiga, kecuali ibu jari, karena pada ibu jari terdapat dua ruas, maka wajib pada setiap ruasnya setengah diyat jari, yaitu lima unta.”
وَقَالَ مَالِكٌ أُنْمُلَةُ الْإِبْهَامِ كَغَيْرِهَا يَجِبُ فِيهَا ثُلُثُ دِيَةِ إِصْبَعٍ لِأَنَّهَا ثَلَاثُ أَنَامِلَ أَحَدُهَا بَاطِنَةٌ
Malik berkata, “Ruas jari ibu jari sama seperti ruas jari lainnya; wajib atasnya sepertiga diyat satu jari, karena ibu jari terdiri dari tiga ruas, salah satunya berada di bagian dalam.”
وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ لِجَمِيعِ الْأَصَابِعِ أَنَامِلَ بَاطِنَةً وَإِنَّمَا يُقَسَّطُ دِيَتُهَا عَلَى مَا ظَهَرَ مِنْ أَنَامِلِهَا وَالظَّاهِرُ مِنَ الْإِبْهَامِ أُنْمُلَتَانِ وَمِنْ غَيْرِهَا ثَلَاثُ أَنَامِلَ فَلَوْ خُلِقَ لِرَجُلٍ فِي إِبْهَامِهِ ثَلَاثُ أَنَامِلَ وَجَبَ فِي كُلِّ أُنْمُلَةٍ مِنْهَا ثُلُثُ دِيَةِ الْإِصْبَعِ وَلَوْ خُلِقَ فِي غَيْرِهَا أَرْبَعُ أَنَامِلَ كَانَ فِي كُلِّ أُنْمُلَةٍ مِنْهَا رُبُعُ دِيَةِ الْإِصْبَعِ وَلَوْ خُلِقَتْ لَهُ خَمْسُ أَنَامِلَ كَانَ فِي كُلِّ أُنْمُلَةٍ مِنْهَا خُمْسُ دِيَتِهَا تَقْسِيطًا لِدِيَةِ الْأَصَابِعِ عَلَى أَعْدَادِ أَنَامِلِهَا وَكَذَلِكَ لَوْ نَقَصَتْ فَكَانَتْ أُنْمُلَتَيْنِ كَانَ فِي إِحْدَاهُمَا نِصْفُ دِيَتِهَا
Ini tidak benar, karena semua jari memiliki ruas bagian dalam, dan diyatnya dibagi berdasarkan jumlah ruas yang tampak pada jari tersebut. Pada ibu jari, ruas yang tampak ada dua, sedangkan pada jari selain ibu jari ada tiga ruas. Jika seorang laki-laki diciptakan dengan tiga ruas pada ibu jarinya, maka pada setiap ruasnya dikenakan sepertiga diyat jari. Jika pada jari selain ibu jari terdapat empat ruas, maka pada setiap ruasnya dikenakan seperempat diyat jari. Jika ia memiliki lima ruas pada jarinya, maka pada setiap ruasnya dikenakan seperlima diyatnya, dengan cara membagi diyat jari sesuai jumlah ruasnya. Demikian pula jika jumlah ruasnya kurang, misalnya hanya dua ruas, maka pada masing-masing ruas dikenakan setengah diyatnya.
فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ قَسَّطْتُمْ دِيَةَ الْإِصْبَعِ عَلَى مَا زَادَ مِنْ أَنَامِلِهَا وَنَقَصَ وَلَمْ تَفْعَلُوا مِثْلَ ذَلِكَ فِي الْأَصَابِعِ إِذَا زَادَتْ وَنَقَصَتْ وَجَعَلْتُمْ فِي الإصبع الزائدة حكومة ولم يقسطوا دِيَةَ الْكَفِّ عَلَى مَا بَقِيَ مِنَ الْأَصَابِعِ بَعْدَ الْإِصْبَعِ النَّاقِصَةِ
Jika ada yang bertanya: Mengapa kalian membagi diyat jari berdasarkan jumlah ruas yang lebih atau kurang, namun tidak melakukan hal yang sama pada jari-jari jika jumlahnya bertambah atau berkurang? Mengapa kalian menetapkan hukumah pada jari tambahan, dan tidak membagi diyat telapak tangan berdasarkan sisa jari yang ada setelah ada jari yang kurang?
قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ
Dikatakan bahwa perbedaan antara keduanya ada pada dua aspek.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا اخْتَلَفَتِ الْأَنَامِلُ فِي أَصْلِ الْخِلْقَةِ الْمَعْهُودَةِ بِالزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ كَانَ كَذَلِكَ فِي الْخِلْقَةِ النَّادِرَةِ وَلَمَّا لَمْ يَخْتَلِفِ الْأَصَابِعُ فِي أَصْلِ الْخِلْقَةِ الْمَعْهُودَةِ فَارَقَهَا حُكْمُ الْخِلْقَةِ النادرة
Salah satunya adalah bahwa ketika ruas-ruas jari berbeda dalam penciptaan asal yang biasa, baik dalam hal kelebihan maupun kekurangan, maka demikian pula halnya pada penciptaan yang langka. Dan ketika ruas-ruas jari tidak berbeda dalam penciptaan asal yang biasa, maka hukum penciptaan yang langka tidak berlaku padanya.
وَالثَّانِي أَنَّ الزَّائِدَةَ مِنَ الْأَصَابِعِ مُتَمَيِّزَةٌ وَمِنِ الْأَنَامِلِ غَيْرُ مُتَمَيِّزَةٍ فَلِذَلِكَ مَا اشْتَرَكَتِ الْأَنَامِلُ وتفردت الأصابع
Kedua, bahwa jari tambahan itu berbeda (terpisah) dari jari-jari, sedangkan ruas-ruas (tulang) tidak berbeda (tidak terpisah), oleh karena itu ruas-ruas itu saling berserikat sedangkan jari-jari itu berdiri sendiri.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَأَيُّهَا شُلَّ تَمَّ عَقْلُهَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan siapa saja yang akalnya telah sempurna…”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ بِشَلَلِ الْأَنَامِلِ مُوجِبٌ لِدِيَتِهَا كَشَلَلِ الْأَصَابِعِ وَلَيْسَ يُشَلُّ بَعْضُ الْأَنَامِلِ إِلَّا فِي أَعَالِيهَا وَلَا يَصِحُّ أَنْ تُشَلَّ أُنْمُلَةٌ وُسْطَى مَعَ سَلَامَةِ الْعُلْيَا وَفِي الْأَنَامِلِ الْقَوَدُ عَلَى مَا مَضَى فَإِنْ قَطَعَ بَعْضَ أُنْمُلَةٍ لَمْ يَجِبْ فِيهَا قَوَدٌ لِأَنَّهَا مِنْ غَيْرِ مَفْصِلٍ فَإِنْ تَقَدَّرَ الْمَقْطُوعُ مِنْهَا لَزِمَ فِيهِ مِنْ دِيَتِهَا بِقَدْرِ الْمَقْطُوعِ مِنْهَا وَإِنْ لَمْ يَتَقَدَّرْ فَفِيهِ حكومة
Al-Mawardi berkata, “Hal ini benar, bahwa kelumpuhan pada ruas jari mewajibkan pembayaran diyat untuk ruas tersebut, sebagaimana kelumpuhan pada seluruh jari. Tidaklah sebagian ruas jari menjadi lumpuh kecuali pada bagian ujungnya, dan tidak sah jika satu ruas tengah menjadi lumpuh sementara ruas atasnya masih sehat. Pada ruas jari berlaku hukum qisas sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika seseorang memotong sebagian ruas jari, maka tidak wajib qisas karena pemotongan tersebut tidak sampai pada persendian. Jika bagian yang terpotong dapat diukur, maka wajib membayar diyat sesuai dengan bagian yang terpotong. Namun jika tidak dapat diukur, maka dikenakan hukuman berdasarkan keputusan hakim (hukumah).
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ قُطِعَتْ مِنَ الذِّرَاعِ فَفِي الْكَفِّ نِصْفُ الدِّيَةِ وَفِيمَا زَادَ حُكُومَةٌ وَمَا زَادَ عَلَى الْقَدَمِ حُكُومَةٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika yang terpotong adalah dari lengan, maka pada telapak tangan ada setengah diyat, dan pada bagian yang lebih dari itu dikenakan ḥukūmah, serta pada bagian yang lebih dari telapak kaki juga dikenakan ḥukūmah.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَقَدْ مَضَى وَذَكَرْنَا أَنَّ دِيَةَ الْيَدِ يَنْتَهِي كَمَالُهَا إِلَى مَفْصِلِ الْكُوعِ الَّذِي بَيْنَ الْكَفِّ وَالذِّرَاعِ فَإِنِ انْتَهَى الْقَطْعُ إِلَى الذِّرَاعِ كَانَ فِي الْكَفِّ دِيَتُهَا وَفِي الزِّيَادَةِ حُكُومَةٌ تَقِلُّ بِقِلَّةِ مَا قَطَعَهُ مِنَ الذِّرَاعِ وَتَزِيدُ بِزِيَادَتِهِ فَإِنْ قَطْعَهَا مِنَ الْمِرْفَقِ كَانَتِ الْحُكُومَةُ أَزْيَدُ وَيَجِبْ فِيهِ الْقَوَدُ وَلَا يَجِبُ فِيهِ إِذَا قَطَعَ مِنْ دُونِ الْمِرْفَقِ اعْتِبَارًا بِالْمِفْصَلِ فَإِنْ قَطَعَ مِنَ الْمَنْكِبِ حَتَّى اسْتَوْعَبَ بِالْقَطْعِ الذِّرَاعَ مَعَ الْعَضُدِ وَجَبَ فِيهِ الْقَوَدُ إِذَا كَانَ مِنْ مَفْصِلٍ وَلَا يَجِبُ فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْكَفِّ إِلَّا حُكُومَةٌ هِيَ أَقَلُّ مِنْ دِيَةِ الْكَفِّ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَيْهَا أَصْلٌ لَهَا يَتْبَعُهَا فِي حُكْمِهَا وَكَذَلِكَ دِيَةُ الرِّجْلِ يَنْتَهِي كَمَالُهَا إِلَى قَطْعِ الْقَدَمِ مِنْ مَفْصِلِ الْكَعْبِ فَإِنْ زَادَ بِقَطْعِهَا مِنَ السَّاقِ فَفِي الزِّيَادَةِ حُكُومَةٌ فَإِنْ قَطَعَهَا مِنْ مَفْصِلِ الرُّكْبَةِ كَانَتِ الْحُكُومَةُ أَكْثَرَ وَفِيهَا الْقَوَدُ فَإِنْ قَطَعَهَا مِنْ نِصْفِ الْفَخِذِ كَانَتِ الْحُكُومَةُ أَكْثَرَ وَلَا قَوَدَ فَإِنْ قَطَعَهَا مِنْ أَصْلِ الْوَرْكِ كَانَتِ الْحُكُومَةُ أَكْثَرَ وَفِيهِ الْقَوَدُ وَلَا يَبْلُغُ بِالْحُكُومَةِ دِيَةَ الْقَدَمِ كَمَا ذكرنا في اليد
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan telah kami sebutkan bahwa diyat tangan sempurna batasnya sampai pada sendi pergelangan (al-ku‘) yang terletak antara telapak tangan dan lengan bawah. Jika pemotongan sampai pada lengan bawah, maka untuk telapak tangan ada diyatnya, sedangkan untuk kelebihan (bagian yang terpotong dari lengan bawah) ada hukuman (ta‘wīdh) yang nilainya sedikit sesuai sedikitnya bagian lengan bawah yang terpotong, dan bertambah sesuai banyaknya bagian yang terpotong. Jika pemotongan dilakukan dari siku, maka hukuman (ta‘wīdh) lebih besar dan wajib qisas padanya, namun tidak wajib qisas jika pemotongan dari bawah siku, dengan pertimbangan pada sendi. Jika pemotongan dari pundak hingga seluruh lengan beserta lengan atas terpotong, maka wajib qisas jika dari sendi, dan tidak wajib pada kelebihan dari telapak tangan kecuali hukuman (ta‘wīdh) yang nilainya lebih kecil dari diyat telapak tangan, karena kelebihan tersebut merupakan asal yang mengikuti telapak tangan dalam hukumnya. Demikian pula diyat kaki, batas sempurnanya sampai pada pemotongan kaki dari sendi mata kaki. Jika pemotongan melebihi dengan memotong dari betis, maka pada kelebihan itu ada hukuman (ta‘wīdh). Jika dipotong dari sendi lutut, maka hukumannya lebih besar dan padanya ada qisas. Jika dipotong dari pertengahan paha, maka hukumannya lebih besar dan tidak ada qisas. Jika dipotong dari pangkal paha, maka hukumannya lebih besar dan padanya ada qisas. Nilai hukuman (ta‘wīdh) tidak mencapai diyat kaki, sebagaimana telah kami sebutkan pada tangan.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وفي قَدَمِ الْأَعْرَجِ وَيَدِ الْأَعْسَمِ إِذَا كَانَتَا سَالِمَتَيْنِ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada kaki orang pincang dan tangan orang kidal, jika keduanya dalam keadaan sehat, maka dikenakan diyat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْعَرَجُ فِي الرِّجْلِ فَقَدْ يَكُونُ تَارَةً مِنْ قُصُورِ أَحَدِ السَّاقَيْنِ عن الأخرى وَيَكُونُ تَارَةً مِنْ تَشَنُّجِ عَصَبِ أَحَدِ السَّاقَيْنِ فَتَصِيرُ إِحْدَى الرِّجْلَيْنِ أَقْصَرَ مِنَ الْأُخْرَى فَيَعْرُجُ إِذَا مَشَى بِالْمَيْلِ عَلَى الْقُصْرَى وَفِيهَا الدِّيَةُ كَامِلَةٌ لِأَنَّ الْقَدَمَ سَلِيمَةٌ وَالنَّقْصَ فِي غَيْرِهَا كما يكمل في ذكر العنين الدية وأذن الْأَصَمِّ لِأَنَّ النَّقْصَ فِي غَيْرِهِ وَأَمَّا يَدُ الأعسم فقد ذهب قوم إلى الْعَسَمَ قِصَرُ الْعَضُدِ أَوِ الذِّرَاعِ فَتَصِيرُ إِحْدَى الْيَدَيْنِ أَطْوَلَ مِنَ الْأُخْرَى وَذَهَبَ آخَرُونَ إِلَى أَنَّهُ اعْوِجَاجُ الرُّسْغِ إِلَى أَنْ يَخْرُجَ زَنْدُ الذِّرَاعِ عَنْ كُوعِ الْكَفِّ وَأَيُّهُمَا كَانَ فَالدِّيَةُ فِي كَفِّ الْأَعْسَمِ كَامِلَةٌ لِأَنَّ الْعَسَمَ نَقْصٌ فِي غَيْرِ الْكَفِّ فَسَاوَتْ غَيْرَهَا
Al-Mawardi berkata: Adapun pincang pada kaki, terkadang terjadi karena salah satu betis lebih pendek dari yang lain, dan terkadang terjadi karena salah satu saraf betis mengalami kejang sehingga salah satu kaki menjadi lebih pendek dari yang lain, sehingga ketika berjalan ia akan pincang dengan condong pada kaki yang lebih pendek. Dalam hal ini, diyatnya tetap utuh karena telapak kakinya masih sehat dan kekurangan itu terjadi pada bagian lain, sebagaimana diyat tetap utuh pada kasus impoten dan telinga orang tuli, karena kekurangan itu terjadi pada bagian lain. Adapun tangan orang yang cacat (al-a‘sam), sebagian ulama berpendapat bahwa cacat itu adalah pendeknya lengan atas atau lengan bawah sehingga salah satu tangan lebih panjang dari yang lain. Sementara ulama lain berpendapat bahwa cacat itu adalah bengkoknya pergelangan tangan hingga tulang lengan bawah keluar dari pergelangan tangan. Bagaimanapun keadaannya, diyat pada telapak tangan orang yang cacat tetap utuh karena cacat itu terjadi pada selain telapak tangan, sehingga sama dengan yang lainnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ خَلَعَ كَفَّهُ مِنَ الزَّنْدِ حَتَّى اعْوَجَّتْ لَمْ يَجِبْ فِيهِ الْقَوَدُ لِتَعَذُّرِهِ فِيهِ حُكُومَةٌ فَإِنْ جُبِرَتْ فَعَادَتْ بِالْجَبْرِ إِلَى اسْتِقَامَتِهَا قَلَّتِ الْحُكُومَةُ فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَعُدْ إِلَى الِاسْتِقَامَةِ كَثُرَتْ حُكُومَتُهَا فَإِنْ قَالَ الْجَانِي أَنَا أُعِيدُ خَلْعَهَا وَأُجْبِرُهَا لِتَعُودَ إِلَى اسْتِقَامَتِهَا مُنِعَ مِنْ ذَلِكَ لِأَنَّهُ ابْتِدَاءُ جِنَايَةٍ مِنْهُ فَإِنْ فَعَلَ وَخَلَعَهَا فَعَادَتْ بَعْدَ الْجَبْرِ مُسْتَقِيمَةً لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ مَا وَجَبَ مِنَ الْحُكُومَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَلَزِمَتْهُ حُكُومَةٌ ثَانِيَةٌ فِي الْخَلْعِ الثَّانِي غَيْرَ أَنَّ الْحُكُومَةَ الْأُولَى أَكْثَرُ لِأَنَّهَا عَادَتْ مُعْوَجَّةً وَالْحُكُومَةُ الثَّانِيَةُ أَقَلُّ لِأَنَّهَا عَادَتْ مُسْتَقِيمَةً وَهَكَذَا لَوْ كَسَرَ ذِرَاعَهُ مِنَ الْعَظْمِ حَتَّى انْقَصَفَ وَتَشَظَّى فَإِنْ جُبِرَتْ وَعَادَتْ إِلَى حَالِهَا فَفِيهَا حُكُومَةٌ بِقَدْرِ الْأَلَمِ وَالشَّيْنِ وَإِنْ عَادَتْ بَعْدَ الْجَبْرِ نَاقِصَةَ الْبَطْشِ زِيدَتِ الْحُكُومَةُ فِي ذَهَابِ الْبَطْشِ فَإِنْ ذَهَبَ جَمِيعُ بَطْشِهَا كَمُلَتْ دِيَتُهَا كَالشَّلَلِ وَكَذَلِكَ مِثْلُهُ إِذَا كَانَ فِي خَلْعِ الْقَدَمِ وَكَسْرِ الساق وبالله التوفيق
Jika seseorang mencabut telapak tangannya dari pergelangan hingga menjadi bengkok, maka tidak wajib qishāsh karena hal itu tidak mungkin dilakukan, melainkan dikenakan hukuman berupa ḥukūmah. Jika kemudian dipasang kembali dan menjadi lurus dengan pemasangan tersebut, maka nilai ḥukūmah-nya berkurang. Namun jika tidak kembali lurus, maka nilai ḥukūmah-nya bertambah. Jika pelaku berkata, “Saya akan mencabutnya kembali dan memasangnya agar kembali lurus,” maka ia dicegah dari melakukan hal itu karena itu merupakan permulaan tindak kejahatan darinya. Jika ia tetap melakukannya, mencabutnya kembali, lalu setelah dipasang kembali menjadi lurus, maka tidak gugur darinya kewajiban membayar ḥukūmah yang pertama, dan ia tetap wajib membayar ḥukūmah kedua atas pencabutan yang kedua. Hanya saja ḥukūmah yang pertama lebih besar karena tangan kembali dalam keadaan bengkok, sedangkan ḥukūmah yang kedua lebih kecil karena tangan kembali lurus. Demikian pula jika ia mematahkan lengan dari tulangnya hingga patah dan terpecah-pecah, lalu dipasang kembali dan kembali seperti semula, maka dikenakan ḥukūmah sesuai kadar rasa sakit dan cacatnya. Jika setelah dipasang kembali kekuatan lengan berkurang, maka nilai ḥukūmah ditambah karena hilangnya kekuatan tersebut. Jika seluruh kekuatannya hilang, maka diyat-nya menjadi sempurna seperti kasus lumpuh. Demikian pula hal yang sama berlaku pada pencabutan kaki dan patahnya tulang betis. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ خُلِقَتْ لِرَجُلٍ كَفَّانِ فِي ذِرَاعِ إِحْدَاهُمَا فَوْقَ الْأُخْرَى فَكَانَ يَبْطِشُ بِالسُّفْلَى وَلَا يَبْطِشُ بِالْعُلْيَا فَالسُّفْلَى هِيَ الْكَفُّ الَّتِي فِيهَا الْقَوَدُ وَالْعُلْيَا زَائِدَةٌ وَفِيهَا حُكُومَةٌ وَكَذَلَكِ قَدَمَانِ فِي ساق فإن استوتا فهما ناقصتان فإن قطعت إحداهما ففيها حكومة لا تجاوز نصف دية قدم وإن قطعتا معا ففيهما دية قدم ويجاوز بها دية قدم وإن قطعت إحداهما ففيها حكومة فإن عملت الأخرى لما انفردت ثم عاد فقطعها وهي سالمة يمشي عليها ففيها القصاص مع حكومة الأولى
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seorang laki-laki diciptakan dengan dua telapak tangan pada satu lengan, salah satunya di atas yang lain, lalu ia menggunakan yang bawah untuk beraktivitas dan tidak menggunakan yang atas, maka telapak tangan yang bawah itulah yang berlaku hukum qishāsh padanya, sedangkan yang atas adalah tambahan dan padanya berlaku ḥukūmah. Demikian pula jika ada dua kaki pada satu betis; jika keduanya sama, maka keduanya dianggap kurang. Jika salah satunya terpotong, maka padanya berlaku ḥukūmah yang tidak melebihi setengah diyat kaki. Jika keduanya terpotong sekaligus, maka keduanya mendapat diyat satu kaki dan boleh melebihi diyat satu kaki. Jika salah satunya terpotong, maka padanya berlaku ḥukūmah. Jika yang lain kemudian berfungsi sendiri, lalu setelah itu dipotong dalam keadaan masih sehat dan bisa digunakan untuk berjalan, maka padanya berlaku qishāsh beserta ḥukūmah untuk yang pertama.
قال الماوردي وهذا كما قال إذا خلق لرجل كفان في ذراع أو ذرعان فِي عَضُدٍ أَوْ عَضُدَانِ فِي مَنْكِبٍ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ فِيهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, “Ini sebagaimana yang telah disebutkan, jika seseorang diciptakan dengan dua telapak tangan pada satu lengan, atau dua lengan pada satu bahu, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.”
أَحَدُهَا أَنْ لَا يَبْطِشَ بِهِمَا وَلَا بِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فَهُمَا يَدٌ نَاقِصَةٌ لَا قَوَدَ فِيهِمَا وَلَا فِي وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَلَا دِيَةَ فِيهِمَا وَلَا فِي وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا لِأَنَّ عَدَمَ الْبَطْشِ قَدْ أَذْهَبَ بِمَنَافِعِهِمَا وَذَهَابُ الْمَنَافِعِ يَمْنَعُ مِنَ الْقَوَدِ وَالدِّيَةُ كَالشَّلَلِ وَفِيهِمَا حُكُومَةٌ لَا يَبْلُغُ بِهَا دِيَةَ يَدٍ بَاطِشَةٍ وَفِي إِحْدَاهُمَا حُكُومَةٌ عَلَى النِّصْفِ مِنْ حُكُومَتِهِمَا إِلَّا أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا أَزْيَدَ شَيْنًا فَيُزَادُ فِي حُكُومَتِهَا فَلَوْ بَطَشَتِ الْبَاقِيَةُ مِنْهُمَا بَعْدَ الْمَقْطُوعَةِ عُلِمَ أَنَّهَا هِيَ الْيَدُ مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ فَيَجِبُ فِيهَا الْقَوَدُ إِنْ قُطِعَتْ وَكَمَالُ الدِّيَةِ
Salah satunya adalah jika kedua tangan tersebut, atau salah satunya, tidak dapat digunakan untuk memukul atau memegang, maka keduanya dianggap sebagai tangan yang kurang sempurna, sehingga tidak ada qishāsh pada keduanya atau pada salah satunya, dan tidak ada diyat pada keduanya atau pada salah satunya. Sebab, hilangnya kemampuan untuk memukul telah menghilangkan manfaat dari keduanya, dan hilangnya manfaat mencegah adanya qishāsh dan diyat, sebagaimana pada kasus lumpuh. Pada keduanya hanya ada hukūmah yang nilainya tidak mencapai diyat tangan yang sempurna, dan pada salah satunya ada hukūmah sebesar setengah dari hukūmah keduanya, kecuali jika salah satunya lebih buruk keadaannya, maka hukūmahnya ditambah. Jika setelah salah satunya terpotong, yang tersisa ternyata dapat digunakan untuk memukul, maka diketahui bahwa tangan itu adalah tangan yang asli sejak penciptaan, sehingga jika dipotong, wajib qishāsh dan diyat yang sempurna.
فَصْلٌ
Fasal
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أن يبطش بأحدهما لا يَبْطِشَ بِالْأُخْرَى فَالْبَاطِشَةُ هِيَ الْيَدُ وَفِيهَا الْقَوَدُ أَوِ الدِّيَةُ وَغَيْرُ الْبَاطِشَةِ هِيَ الزَّائِدَةُ لَا قَوَدَ فِيهَا وَلَا دِيَةَ وَفِيهَا حُكُومَةٌ وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْبَاطِشَةُ فِي اسْتِوَاءِ الذِّرَاعِ أَوْ مُنْحَرِفَةً عَنْهُ لِأَنَّنَا نَسْتَدِلُّ عَلَى الْأَصْلِ بِمَنَافِعِهِ كَمَا نَسْتَدِلُّ عَلَى الْخُنْثَى الْمُشْكِلِ بِبَوْلِهِ فَإِنْ قُطِعَتِ الزَّائِدَةُ فَصَارَتِ الْبَاطِشَةُ غَيْرَ بَاطِشَةٍ لَزِمَ دِيَتَهَا كَامِلَةً مَعَ حُكُومَةِ الزَّائِدَةِ وَيَقُومُ ذَهَابُ بَطْشِهَا مَقَامَ الشَّلَلِ وَلَوْ قُطِعَتِ الْبَاطِشَةُ فَحُكِمَ فِيهَا بِالْقَوَدِ أَوْ كَمَالِ الدِّيَةِ ثُمَّ صَارَتْ غَيْرُ الْبَاطِشَةِ بَاطِشَةً وَجَبَ فِيهَا كَمَالُ الدِّيَةِ إِنْ قُطِعَتْ لِأَنَّهَا يَدٌ بَاطِشَةٌ وَيَجِيءُ فِي رَدِّ مَا أَخَذَهُ مِنَ الْأَوَّلِ مِنْ كَمَالِ الدِّيَةِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْمَثْغُورِ إِذَا أَخَذَ دِيَةَ سِنِّهِ فَعَادَتْ
Bagian kedua adalah jika seseorang melukai salah satu dari keduanya tanpa melukai yang lain. Anggota yang digunakan untuk melukai adalah tangan, dan padanya berlaku qishāsh atau diyat. Sedangkan anggota yang tidak digunakan untuk melukai adalah tambahan, tidak ada qishāsh maupun diyat padanya, tetapi ada hukūmah. Baik tangan yang digunakan untuk melukai itu sejajar dengan lengan atau menyimpang darinya, karena kita menetapkan keaslian anggota berdasarkan manfaatnya, sebagaimana kita menetapkan jenis kelamin khuntsā musykil berdasarkan urinnya. Jika anggota tambahan dipotong sehingga tangan yang digunakan untuk melukai menjadi tidak dapat melukai, maka wajib diyat penuh beserta hukūmah untuk anggota tambahan, dan hilangnya kemampuan melukai dianggap seperti lumpuh. Jika tangan yang digunakan untuk melukai dipotong dan telah diputuskan qishāsh atau diyat penuh atasnya, kemudian tangan yang tidak digunakan untuk melukai berubah menjadi tangan yang dapat melukai, maka jika dipotong wajib diyat penuh karena ia telah menjadi tangan yang digunakan untuk melukai. Dalam mengembalikan apa yang telah diambil dari diyat penuh yang pertama, terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat beliau tentang orang yang giginya tanggal lalu menerima diyat giginya, kemudian giginya tumbuh kembali.
أَحَدُهُمَا لَا يَرُدُّ مِنْ كَمَالِ دِيَتِهَا شَيْئًا وَتَكُونُ هَذِهِ قُوَّةً أَحْدَثَهَا اللَّهُ تَعَالَى بِهِ
Salah satunya tidak mengurangi sedikit pun dari kesempurnaan diyatnya, dan hal ini merupakan kekuatan yang Allah Ta‘ala ciptakan dengannya.
وَالثَّانِي يَرُدُّ مَا زَادَ عَلَى قَدْرِ حُكُومَتِهَا مِنْ كَمَالِ الدِّيَةِ لِأَنَّ الْبَطْشَ قَدِ انْتَقَلَ إِلَى الْبَاقِيَةِ فَلَمْ يَسْلُبْهُ الْأَوَّلُ بَطْشَهُ وَبَقَاءُ الْبَطْشِ يَمْنَعُ مِنْ كَمَالِ الدِّيَةِ
Yang kedua, ia mengembalikan kelebihan dari kadar penilaian (hukūmah) atas sempurna diyat, karena kekuatan (batsh) telah berpindah kepada yang tersisa, sehingga yang pertama tidak menghilangkan kekuatan yang dimilikinya. Keberadaan kekuatan tersebut mencegah dari sempurnanya diyat.
فَصْلٌ
Fasal
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ بَاطِشًا بِهِمَا جَمِيعًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bagian ketiga adalah jika seseorang menguasai keduanya sekaligus, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ بَطْشُهُ بِإِحْدَاهُمَا أَكْثَرَ مِنَ الْأُخْرَى فَأَكْثَرُهُمَا بَطْشًا هِيَ الْأَصْلُ يَجِبُ فِيهَا الْقَوَدُ أَوْ كَمَالُ الدِّيَةِ وَأَقَلُّهُمَا بَطْشًا هِيَ الزَّائِدَةُ لَا قَوَدَ فِيهَا وَفِيهَا حُكُومَةٌ كَمَا يُسْتَدَلُّ فِي إِشْكَالِ الْخُنْثَى بِقُوَّةِ بَوْلِهِ
Salah satunya adalah jika salah satu di antara keduanya lebih kuat dalam mencengkeram daripada yang lain, maka yang paling kuat cengkeramannya itulah yang dianggap sebagai anggota asal, sehingga padanya wajib qishāsh atau diyat yang sempurna. Sedangkan yang lebih lemah cengkeramannya dianggap sebagai tambahan, tidak ada qishāsh padanya, dan padanya berlaku hukumah, sebagaimana dijadikan dalil dalam kasus samar (musykil) khuntsa dengan kekuatan kencingnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَسْتَوِيَ بَطْشُهُ بِهِمَا فَيَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ بِالْبَطْشِ لِتَكَافُئِهِ وَيُعْدَلُ إِلَى غَيْرِهِ كَمَا إِذَا سَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ فِي الْخُنْثَى بِالْبَوْلِ عِنْدَ التَّسَاوِي عُدِلَ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْأَمَارَاتِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا مِنْ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْقَدْرِ أَوْ يَخْتَلِفَا فَإِنِ اخْتَلَفَا فَكَانَتْ إِحْدَى الْكَفَّيْنِ أَكْبَرَ مِنَ الْأُخْرَى فَالْكَبِيرَةُ هِيَ الْأَصْلُ تَكْمُلُ فِيهَا الدِّيَةُ وَالصَّغِيرَةُ هِيَ الزَّائِدَةُ يَجِبُ فِيهَا حُكُومَةٌ فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الْقَدْرِ وَلَمْ تَزِدْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah apabila kekuatan pukulan pada keduanya sama, maka tidak dapat dijadikan dasar istidlāl dengan pukulan karena keduanya seimbang, sehingga berpindah kepada dalil lain. Sebagaimana jika istidlāl pada khuntsa dengan air kencing tidak dapat digunakan karena sama, maka berpindah kepada tanda-tanda lain. Jika demikian, maka keadaan keduanya tidak lepas dari dua kemungkinan: sama besar atau berbeda. Jika berbeda, salah satu telapak tangan lebih besar dari yang lain, maka yang besar menjadi asal (pokok) sehingga diyat sempurna berlaku padanya, sedangkan yang kecil adalah tambahan sehingga wajib padanya hukumah. Jika keduanya sama besar dan tidak ada yang lebih besar dari yang lain, maka ada dua kemungkinan.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ إِحْدَى الْكَفَّيْنِ فِي اسْتِوَاءِ الذِّرَاعِ وَالْأُخْرَى عَادِلَةً عَنْهُ فَتَكُونُ الَّتِي فِي اسْتِوَاءِ الذِّرَاعِ هِيَ الْأَصْلُ تَكْمُلُ فِيهَا الدِّيَةُ وَالْخَارِجَةُ عَنِ اسْتِوَائِهِ زَائِدَةً يَجِبُ فِيهَا حُكُومَةٌ
Salah satunya adalah jika salah satu telapak tangan berada pada posisi sejajar dengan lengan, sedangkan yang lainnya menyimpang darinya. Maka telapak tangan yang sejajar dengan lengan itulah yang menjadi asal, di mana diyat disempurnakan padanya, sedangkan yang keluar dari kesejajarannya dianggap tambahan yang wajib dikenakan hukuman (hukumah) padanya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَسْتَوِيَا فِي مَخْرَجِ الذِّرَاعِ فَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا كَامِلَةَ الْأَصَابِعِ وَالْأُخْرَى نَاقِصَةً فَذَاتُ الْكَمَالِ هِيَ الْأَصْلُ وَذَاتُ النَّقْصِ هِيَ الزَّائِدَةُ وَلَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا كَامِلَةَ الْأَصَابِعِ وَالْأُخْرَى زَائِدَةَ الْأَصَابِعِ لَمْ يَكُنْ فِي الزِّيَادَةِ مَعَ الْكَمَالِ دَلِيلٌ وَإِنْ كَانَ فِي الْكَمَالِ مَعَ النُّقْصَانِ دَلِيلٌ؛ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ نَقْصٌ فَلَمْ يُسْتَدَلَّ بِهَا عَلَى أَصْلٍ فَإِذَا عُدِمَتِ الْأَمَارَاتُ الدَّالَّةُ عَلَى تَمَيُّزِ الْأَصْلِ مِنَ الزِّيَادَةِ وَاعْتَدَلَتْ فِي الْكَفَّيْنِ مَعًا فَهُمَا يَدَانِ زَائِدَتَانِ إِنْ قَطَعَهُمَا قَاطِعٌ كَانَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَحُكُومَةٌ فِي الزِّيَادَةِ وَإِنْ قَطَعَ إِحْدَاهُمَا فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِعَدَمِ الْمُمَاثَلَةِ وَعَلَيْهِ نِصْفُ دِيَةِ يَدٍ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ لِأَنَّهَا نِصْفُ يَدٍ زَائِدَةٍ فَإِنْ قَطَعَ إِصْبَعًا مِنْ إِحْدَاهُمَا فَعَلَيْهِ نِصْفُ دِيَةِ إِصْبَعٍ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ لِأَنَّهَا نِصْفُ إِصْبَعٍ زَائِدَةٍ وَإِنْ قَطَعَ أُنْمُلَةَ إِصْبَعٍ مِنْ إِحْدَاهُمَا فَعَلَيْهِ نِصْفُ دِيَةِ أُنْمُلَةٍ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ لِأَنَّهَا نِصْفُ أُنْمُلَةٍ زَائِدَةٍ فَأَمَّا الْقَوَدُ فِي ذَلِكَ فَيَسْقُطُ إِلَّا أَنْ يَقْطَعَ إِصْبَعَيْنِ مُتَمَاثِلَيْنِ مِنَ الْكَفَّيْنِ قَبْلَ أَنْ يَقْطَعَ إِبْهَامَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْكَفَّيْنِ فَيُقْتَصُّ مِنْ إِبْهَامِهِ وَيُؤْخَذُ مِنْهُ حُكُومَةٌ فِي الزِّيَادَةِ كَمَا يُقْتَصُّ مِنْ كَفِّهِ إِذَا قَطَعَ الْكَفَّيْنِ وَتُؤْخَذُ مِنْهُ حُكُومَةٌ فِي الزِّيَادَةِ وَلَوْ قَطَعَ مِنْ إِحْدَاهُمَا إِبْهَامًا وَمِنِ الْأُخْرَى خِنْصَرًا فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي الْإِبْهَامِ وَلَا فِي الْخِنْصَرِ لِنَقْصِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَيُؤْخَذُ مِنْهُ دِيَةُ إِصْبَعٍ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ لِأَنَّهَا إِصْبَعٌ زَائِدَةٌ
Jenis kedua adalah apabila keduanya sama dalam letak keluarnya dari lengan. Jika salah satunya lengkap jumlah jarinya dan yang lainnya kurang, maka yang sempurna menjadi asal (pokok), sedangkan yang kurang menjadi tambahan. Namun, jika salah satunya lengkap jumlah jarinya dan yang lainnya kelebihan jari, maka kelebihan tersebut bersama kesempurnaan tidak menjadi dalil, meskipun dalam kesempurnaan bersama kekurangan terdapat dalil; karena kelebihan itu sendiri adalah kekurangan, sehingga tidak dijadikan dalil atas asal. Apabila tidak ditemukan tanda-tanda yang menunjukkan perbedaan antara asal dan tambahan, dan keduanya seimbang pada kedua telapak tangan, maka keduanya adalah tangan tambahan. Jika seseorang memotong keduanya, maka ia dikenai qawad dan hukuman tambahan pada yang lebih. Jika ia memotong salah satunya, maka tidak ada qawad atasnya karena tidak adanya kemiripan, dan ia wajib membayar setengah diyat tangan serta tambahan hukuman, karena itu adalah setengah tangan tambahan. Jika ia memotong satu jari dari salah satunya, maka ia wajib membayar setengah diyat jari dan tambahan hukuman, karena itu adalah setengah jari tambahan. Jika ia memotong ruas jari dari salah satunya, maka ia wajib membayar setengah diyat ruas jari dan tambahan hukuman, karena itu adalah setengah ruas jari tambahan. Adapun qawad dalam hal ini gugur, kecuali jika ia memotong dua jari yang serupa dari kedua telapak tangan sebelum memotong ibu jari dari masing-masing telapak tangan, maka ia diqisas pada ibu jarinya dan diambil darinya hukuman tambahan pada yang lebih, sebagaimana ia diqisas pada telapak tangannya jika ia memotong kedua telapak tangan dan diambil darinya hukuman tambahan pada yang lebih. Jika ia memotong ibu jari dari salah satunya dan kelingking dari yang lain, maka tidak ada qawad atasnya pada ibu jari maupun kelingking karena masing-masing kurang, dan diambil darinya diyat satu jari serta tambahan hukuman karena itu adalah jari tambahan.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ خُلِقَ لَهُ قَدَمَانِ فِي سَاقٍ أَوْ سَاقَانِ فِي فَخِذٍ أَوْ فَخِذَانِ فِي وَرْكٍ فَحُكْمُ ذَلِكَ جَارٍ مَجْرَى الْكَفَّيْنِ فِي تَكَافُؤِ اعْتِبَارِ الْمَشْيِ بِهِمَا فَإِنْ كَانَ لَا يَمْشِي بِهِمَا فَهُمَا رِجْلٌ نَاقِصَةٌ لَا قَوَدَ فِيهَا وَلَا دِيَةَ وَفِيهَا حُكُومَةٌ وَإِنْ كَانَ يَمْشِي بِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا دُونَ الْأُخْرَى فَالَّتِي يَمْشِي بِهَا هِيَ الْقَدَمُ يَجِبُ فِيهَا الْقَوَدُ أَوِ الدِّيَةُ وَالْأُخْرَى زَائِدَةٌ لَا قَوَدَ فِيهَا وَلَا دِيَةَ وَفِيهَا حُكُومَةٌ فَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا طَوِيلَةً وَالْأُخْرَى قَصِيرَةً وَهُوَ يَمْشِي عَلَى الطَّوِيلَةِ دُونَ الْقَصِيرَةِ لِزِيَادَتِهَا فَقُطِعَتِ الطَّوِيلَةُ فَصَارَ يَمْشِي عَلَى الْقَصِيرَةِ فَفِي الْقَصِيرَةِ بَعْدَ الطَّوِيلَةِ دِيَةٌ كَامِلَةٌ وَفِي قَطْعِ الطَّوِيلَةِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ وَإِنْ كَانَ يَمْشِي عَلَى كِلَا الْقَدَمَيْنِ فَهُوَ كَبَطْشِهِ بِالْكَفَّيْنِ فِي اعْتِبَارِ الْكِبَرِ وَالصِّغَرِ ثُمَّ اعْتِبَارِ الِاسْتِوَاءِ وَالْعَرَجِ فَإِنْ حَصَلَ التَّسَاوِي فِيهِمَا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ فَهُمَا رِجْلَانِ زَائِدَتَانِ يَجِبُ فِيهِمَا الْقَوَدُ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ وَاللَّهُ أعلم
Jika seseorang diciptakan dengan dua telapak kaki pada satu betis, atau dua betis pada satu paha, atau dua paha pada satu pinggul, maka hukumnya sama seperti dua telapak tangan dalam hal kesetaraan pertimbangan berjalan dengan keduanya. Jika ia tidak berjalan dengan keduanya, maka keduanya dianggap sebagai kaki yang kurang, tidak ada qishāsh dan tidak ada diyat padanya, tetapi ada hukuman (ta‘zīr) padanya. Jika ia berjalan dengan salah satunya saja dan tidak dengan yang lain, maka yang digunakan untuk berjalan itulah yang dianggap sebagai kaki yang wajib qishāsh atau diyat, sedangkan yang lain adalah tambahan, tidak ada qishāsh dan tidak ada diyat padanya, tetapi ada hukuman. Jika salah satunya panjang dan yang lain pendek, dan ia berjalan di atas yang panjang saja karena kelebihannya, lalu yang panjang itu terpotong sehingga ia berjalan di atas yang pendek, maka pada yang pendek setelah yang panjang ada diyat penuh, dan pada pemotongan yang panjang berlaku ketentuan yang telah kami sebutkan dari dua sisi. Jika ia berjalan di atas kedua kakinya, maka hukumnya seperti menggunakan kedua telapak tangan dalam hal pertimbangan besar dan kecil, kemudian pertimbangan kesetaraan dan pincang. Jika keduanya sama dalam segala hal, maka keduanya adalah dua kaki tambahan yang wajib qishāsh dan tambahan hukuman padanya. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي الْإِلْيَتَيْنِ الدِّيَةُ وَهُمَا مَا أَشْرَفَ عَلَى الظَّهْرِ مِنَ الْمَأْكَمَتَيْنِ إِلَى مَا أَشْرَفَ عَلَى اسْتِوَاءِ الْفَخِذَيْنِ وَسَوَاءٌ قُطِعَتَا مِنْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada kedua pantat (ilyatain) terdapat diyat, yaitu bagian yang menonjol di atas punggung, mulai dari dua tulang ma’kamatain hingga bagian yang menonjol pada pertemuan kedua paha, dan hukumnya sama saja apakah dipotong dari laki-laki atau perempuan.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ فِي الْإِلْيَتَيْنِ الدِّيَةُ مِنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ لِأَنَّهُمَا عُضْوَانِ فِيهِمَا جَمَالٌ وَمَنْفَعَةٌ لِأَنَّهُمَا رِبَاطٌ لِمَفْصِلِ الْوَرْكِ وَبِهِمَا يَسْتَقِرُّ الْجُلُوسُ فَكَمُلَتِ الدِّيَةُ فِيهِمَا كَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَسَوَاءٌ ذَلِكَ مِنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَمَنْ كَانَ أَرْسَخَ الْإِلْيَةِ مَعْرُوقَهَا أَوْ لَحِيمَ الْإِلْيَةِ غَلِيظَهَا فَفِيهِمَا الْقِصَاصُ إِذَا اسْتَوْعَبَهُمَا مِنَ الْحَدِّ الَّذِي بَيَّنَهُ الشَّافِعِيُّ وَأَسْقَطَ الْمُزَنِيُّ الْقِصَاصُ فِيهِمَا لِأَنَّهُمَا لَحْمٌ مُتَّصِلٌ بِلَحْمٍ كَقَطْعِ لَحْمِ بَعْضِ الْفَخِذِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ لِأَنَّ حَدَّهُمَا يَمْنَعُ مِنْ تَجَاوُزِهِمَا فَإِنْ تَعَذَّرَ الْقِصَاصُ سَقَطَ وَوَجَبَتِ الدِّيَةُ فَإِنْ قَطَعَ إِحْدَى الْإِلْيَتَيْنِ فَنِصْفُ الدِّيَةِ كَقَطْعِ إِحْدَى الرِّجْلَيْنِ وَلَوْ قَطَعَ بَعْضَ إِحْدَاهُمَا وَعُلِمَ قَدْرُ الْمَقْطُوعِ مِنْهَا فَفِيهِ مِنَ الدِّيَةِ بِحِسَابِهِ فَإِنْ جُهِلَ فَفِيهِ حُكُومَةٌ وَلَوْ قَطَعَهُمَا حَتَّى أَبْقَاهُمَا عَلَى جِلْدٍ لَمْ تَنْفَصِلْ وَأُعِيدَتَا فَالْتَحَمَتَا كَانَ فيهما حكومة كالجراج الْمُنْدَمِلِ وَلَوْ ثَبَتَتِ الْإِلْيَتَانِ بَعْدَ قَطْعِهِمَا لَمْ يَرُدَّ الْمَأْخُوذَ مِنْ دِيَتِهِمَا وَقَدْ خُرِّجَ فِي رَدِّهَا قَوْلٌ آخَرُ كَاللِّسَانِ إِذَا نَبَتَ
Al-Mawardi berkata, “Pendapat ini benar bahwa untuk kedua pantat, diyat berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan, karena keduanya adalah anggota tubuh yang memiliki unsur keindahan dan manfaat, sebab keduanya merupakan pengikat sendi panggul dan dengan keduanya seseorang dapat duduk dengan stabil. Oleh karena itu, diyat untuk keduanya sempurna seperti halnya untuk kedua tangan dan kedua kaki, baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Barang siapa yang memiliki pantat yang lebih kokoh, uratnya tampak, atau pantat yang berdaging tebal, maka pada keduanya berlaku qishāsh jika pemotongan mencakup seluruh bagian sesuai batas yang dijelaskan oleh Imam Syafi‘i. Al-Muzani menggugurkan qishāsh pada keduanya karena keduanya adalah daging yang menyatu dengan daging lain, seperti memotong sebagian daging paha, namun hal itu tidak demikian, karena batasnya mencegah untuk melampauinya. Jika qishāsh tidak memungkinkan, maka gugur dan wajib membayar diyat. Jika seseorang memotong salah satu dari kedua pantat, maka setengah diyat, seperti memotong salah satu kaki. Jika ia memotong sebagian dari salah satunya dan diketahui kadar yang terpotong, maka diyat diberikan sesuai perhitungannya. Jika tidak diketahui, maka berlaku hukuman pemerintah (hukūmah). Jika ia memotong keduanya hingga hanya tersisa pada kulit dan belum terpisah, lalu keduanya dikembalikan dan menyatu kembali, maka berlaku hukūmah seperti luka yang telah sembuh. Jika kedua pantat tetap ada setelah dipotong, maka tidak dikembalikan diyat yang telah diambil, namun ada pendapat lain yang membolehkan pengembalian seperti pada kasus lidah yang tumbuh kembali.”
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَكُلُّ مَا قُلْتُ فِيهِمَا الدِّيَةُ فَفِي إِحْدَاهُمَا نِصْفُ الدِّيَةِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Setiap kali aku mengatakan bahwa pada keduanya ada diyat, maka pada salah satunya ada setengah diyat.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ النَّصَّ وَارِدٌ بِهِ وَالْإِجْمَاعَ مُنْعَقِدٌ عَلَيْهِ وَالِاعْتِبَارَ مُوجِبٌ لَهُ فَإِنْ وَجَبَتْ فِي ثَلَاثَةٍ كَالْأَنَامِلِ كَانَ فِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا الثُّلُثُ وَإِنْ وَجَبَتْ فِي أَرْبَعَةٍ كَالْجُفُونِ كَانَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُبُعُ الدِّيَةِ وَإِنْ وَجَبَتْ فِي خمسة كالأصابع كان في كل واحد منهما الْخُمُسُ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ لِأَنَّ مَا قَابَلَ الْجُمْلَةَ تَقَسَّطَتْ أَجْزَاؤُهُ عَلَى أَجْزَائِهَا كَالْأَثْمَانِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, karena nash telah menyatakannya, ijmā‘ telah menetapkannya, dan pertimbangan (‘itibār) juga mewajibkannya. Jika diwajibkan pada tiga bagian seperti ruas jari, maka pada masing-masing bagian terdapat sepertiga diyat; jika diwajibkan pada empat bagian seperti kelopak mata, maka pada masing-masing bagian terdapat seperempat diyat; dan jika diwajibkan pada lima bagian seperti jari-jari, maka pada masing-masing bagian terdapat seperlima diyat. Kemudian demikian pula seterusnya menurut qiyās, karena apa yang berhadapan dengan keseluruhan, maka bagian-bagiannya dibagi sesuai dengan bagian-bagiannya, seperti delapan bagian.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَا تُفَضَّلُ يُمْنَى عَلَى يُسْرَى
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Tangan kanan tidak diutamakan atas tangan kiri.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ مُطْلَقَ الِاسْمِ يَتَنَاوَلُهُمَا وَالنَّفْعَ وَالْجَمَالَ مُشْتَرَكٌ بَيْنَهُمَا وَلَئِنْ تَفَاضَلَا فِي الْمَنْفَعَةِ فَلَيْسَ ذَلِكَ بِمُوجِبٍ لِتُفَاضِلِ الدِّيَةِ كَمَا لَا تُفَضَّلُ يَدُ الْكَاتِبِ وَالصَّانِعِ عَلَى يَدِ مَنْ ليس بكاتب ولا صانع وكما لا نفضل يَدُ الْكَبِيرِ الْقَوِيِّ عَلَى يَدِ الصَّغِيرِ الضَّعِيفِ وَعَلَى أَنَّ لِمَيَاسِرِ الْأَعْضَاءِ نَفْعًا رُبَّمَا لَمْ يَكُنْ لِمَيَامِنِهَا
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, karena nama secara mutlak mencakup keduanya, dan manfaat serta keindahan adalah sesuatu yang dimiliki bersama oleh keduanya. Kalaupun ada perbedaan dalam manfaat, hal itu tidak menjadi alasan untuk membedakan diyat, sebagaimana tangan penulis dan pengrajin tidak diutamakan atas tangan orang yang bukan penulis atau pengrajin, dan sebagaimana kita tidak mengutamakan tangan orang dewasa yang kuat atas tangan anak kecil yang lemah. Selain itu, bisa jadi anggota tubuh sebelah kiri memiliki manfaat yang tidak dimiliki oleh anggota tubuh sebelah kanan.”
فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا تَسَاوَيَا فِي حُكْمِ الدِّيَةِ فَهَلَّا تَسَاوَيَا فِي الْقَوَدِ فَجَازَ أَخْذُ الْيُمْنَى بِالْيُسْرَى؛
Jika dikatakan: Jika keduanya sama dalam hukum diyat, mengapa keduanya tidak disamakan dalam qisas sehingga boleh mengambil tangan kanan dengan tangan kiri?
قِيلَ الْقَوَدُ يُعْتَبَرُ فِيهِ مَعَ التَّسَاوِي فِي الْحُكْمِ التَّسَاوِي فِي الْمَحَلِّ وَهُمَا وَإِنِ اشْتَرَكَا فِي الْحُكْمِ فَقَدِ افْتَرَقَا فِي الْمَحَلِّ فَكَذَلِكَ لَوِ اسْتَوَيَا فِي الدِّيَةِ وَاخْتَلَفَا فِي الْقَوَدِ وَكَمَا لَا تُفَضَّلُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَإِنِ اخْتَلَفَتَا فِي الْقَوَدِ كَذَلِكَ لَا تُفَضَّلُ الْعُلْيَا عَلَى السُّفْلَى فِي الْأَنَامِلِ وَالْأَسْنَانِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الْقَوَدِ
Dikatakan bahwa dalam qawad (pembalasan setimpal), selain kesetaraan dalam hukum, juga dipertimbangkan kesetaraan pada objeknya. Meskipun keduanya sama dalam hukum, namun berbeda pada objeknya. Demikian pula jika keduanya sama dalam diyat tetapi berbeda dalam qawad. Sebagaimana tangan kanan tidak diutamakan atas tangan kiri meskipun berbeda dalam qawad, demikian pula jari-jari dan gigi bagian atas tidak diutamakan atas bagian bawah meskipun berbeda dalam qawad.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رضي الله عنه وَلَا عَيْنُ أَعْوَرَ عَلَى عَيْنِ لَيْسَ بِأَعْوَرَ ولا يجوز أن يقال فيها دية تامة وإنما قضى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في العينين الدية وعين الأعور كيد الأقطع
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Tidak ada qishāsh atas mata orang yang buta sebelah terhadap mata orang yang tidak buta sebelah, dan tidak boleh dikatakan bahwa atasnya ada diyat penuh. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam hanya memutuskan diyat pada dua mata, dan mata orang yang buta sebelah itu seperti tangan orang yang terpotong.
قال الماوردي وهذا كما قال إذا فقئت عين الأعور ففيها دية عين واحدة وهي نصف الدية كعين من ليس بأعور وهو قول جمهور الفقهاء
Al-Mawardi berkata, “Ini sebagaimana yang telah dikatakan: jika mata orang yang bermata satu (a‘war) dicongkel, maka padanya berlaku diyat satu mata, yaitu setengah diyat, sebagaimana mata orang yang tidak bermata satu. Dan ini adalah pendapat jumhur fuqaha.”
وَقَالَ مَالِكٌ فِيهَا جَمِيعُ الدِّيَةِ وَهُوَ قَوْلُ الزُّهْرِيِّ وَاللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ احْتِجَاجًا بِأَنَّهُ قَوْلُ الْأَئِمَّةِ وَإِجْمَاعُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ
Malik berpendapat bahwa dalam kasus tersebut dikenakan diyat secara penuh, dan ini juga merupakan pendapat az-Zuhri, Al-Laits bin Sa‘d, Ahmad, dan Ishaq, dengan alasan bahwa itu adalah pendapat para imam dan merupakan ijmā‘ (konsensus) penduduk Madinah.
رُوِيَ عَنْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ أَوْجَبُوا فِي عَيْنِ الْأَعْوَرِ الدِّيَةَ وَأَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ خَيَّرَهُ إِذَا كَانَ لِلْجَانِي عَيْنَانِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ إِحْدَاهُمَا وَيَأْخُذَ نِصْفَ الدِّيَةِ وَبَيْنَ أَنْ يَعْدِلَ عَنِ الْقِصَاصِ وَيَأْخُذَ جَمِيعَ الدِّيَةِ وَلَيْسَ يُعْرَفُ لِقَوْلِهِمْ مَعَ انْتِشَارِهِ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا
Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Affan, dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka mewajibkan diyat penuh pada mata orang yang buta sebelah. Dan Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam memberikan pilihan, jika pelaku memiliki dua mata, maka korban boleh menuntut qishash pada salah satunya dan mengambil setengah diyat, atau memilih untuk tidak melakukan qishash dan mengambil seluruh diyat. Tidak diketahui adanya pendapat yang berbeda dari mereka meskipun pendapat ini telah tersebar luas, sehingga hal itu menjadi ijmā‘.
وَلِأَنَّ الْأَعْوَرَ يُدْرِكُ بِعَيْنِهِ جَمِيعَ مَا يُدْرِكُهُ ذُو الْعَيْنَيْنِ فَإِذَا قَلَعَ عَيْنَهُ فَقَدْ أَذْهَبَ بَصَرًا كَامِلًا فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَ فِيهِ دِيَةٌ كَامِلَةٌ وَخَالَفَ يَدَ الْأَقْطَعِ لِأَنَّهُ لَا يَعْمَلُ بِهَا مَا كَانَ يُعْمَلُ بِهِمَا وَلِذَلِكَ جَازَ فِي الْكَفَّارَةِ عِتْقُ الْعَوْرَاءِ وَلَمْ يَجُزْ عِتْقُ الْقَطْعَاءِ وَلِأَنَّ ضَوْءَ الْعَيْنَيْنِ يُحَوَّلُ فَيَنْتَقِلُ مِنْ إِحْدَى الْعَيْنَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ أَرَادَ تَحْدِيدَ نَظَرِهِ فِي رَمْيٍ أَوْ ثقب أغمض إِحْدَى عَيْنَيْهِ لِيُقَوِّيَ ضَوْءَ الْأُخْرَى فَيُدْرِكَ بِهَا نَظَرًا لِمَا يُدْرَكُ مَعَ فَتْحِ أُخْتِهَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ عُلِمَ أَنَّ ضَوْءَ الذَّاهِبَةِ انْتَقَلَ إِلَى الْبَاقِيَةِ فَلَزِمَ فِيهَا جَمِيعَ الدِّيَةِ وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي الْعَيْنِ خَمْسُونَ مِنَ الْإِبِلِ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ الْأَعْوَرِ وَغَيْرِهِ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَقَوْلُ الصَّحَابَةِ يُدْفَعُ بِعُمُومِ السُّنَّةِ وَلِأَنَّهَا عَيْنٌ وَاحِدَةٌ فَلَمْ تَكْمُلْ فِيهَا دِيَةُ الْعَيْنَيْنِ كَعَيْنِ ذِي الْعَيْنَيْنِ
Karena orang yang bermata satu dapat melihat dengan matanya segala sesuatu yang dapat dilihat oleh orang yang bermata dua, maka jika matanya dicabut, berarti telah hilang satu penglihatan yang sempurna, sehingga wajib dikenakan diyat (denda) yang sempurna atasnya. Hal ini berbeda dengan tangan orang yang buntung, karena tangan tersebut tidak dapat digunakan sebagaimana kedua tangan yang utuh. Oleh karena itu, dalam kafarat diperbolehkan memerdekakan budak perempuan yang bermata satu, namun tidak diperbolehkan memerdekakan budak perempuan yang buntung. Selain itu, cahaya kedua mata dapat berpindah dari salah satu mata ke mata yang lain. Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang ingin memfokuskan pandangannya saat melempar atau menembus sesuatu, ia akan menutup salah satu matanya untuk memperkuat cahaya mata yang lain, sehingga ia dapat melihat dengan mata itu sebagaimana ia melihat dengan kedua mata terbuka. Jika demikian, maka diketahui bahwa cahaya mata yang hilang telah berpindah ke mata yang tersisa, sehingga wajib dikenakan diyat penuh atasnya. Dalil kami adalah riwayat ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Pada (kerusakan) satu mata, diyatnya lima puluh ekor unta,” dan beliau tidak membedakan antara orang yang bermata satu dan yang bermata dua, sehingga hukumnya berlaku umum. Pendapat para sahabat dapat ditolak dengan keumuman sunnah, dan karena itu adalah satu mata, maka tidak sempurna diyat kedua mata seperti pada orang yang bermata dua.
وَلِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ عُضْوَيْنِ إِذَا وَجَبَ فِيهِمَا نِصْفُ الدِّيَةِ مَعَ بَقَاءِ نَظِيرِهِ وَجَبَ فِيهِ ذَلِكَ النِّصْفُ مَعَ عَدَمِ نَظِيرِهِ كَيَدِ الْأَقْطَعِ
Dan karena setiap salah satu dari dua anggota tubuh, apabila wajib atasnya setengah diyat sementara pasangannya masih ada, maka wajib pula atasnya setengah diyat itu meskipun pasangannya tidak ada, seperti tangan orang yang terputus sebelah.
وَلِأَنَّهُ لَوْ قَامَتْ عَيْنُ الْأَعْوَرِ مَقَامَ عَيْنَيْنِ لَوَجَبَ أَنْ يُقْتَصَّ بِهَا مِنْ عَيْنَيِ الْجَانِي لِقِيَامِهَا مَقَامَ عَيْنَيْهِ وَلَوَجَبَ إِذَا قَلَعَ عَيْنَ الْأَعْوَرِ إِحْدَى عَيْنَيْنِ أَنْ لَا يُقْتَصَّ مِنْهُ كَمَا لَا يُقْتَصُّ مِنْ عَيْنَيْنِ بِعَيْنٍ وَفِي الْإِجْمَاعِ عَلَى خِلَافِ هَذَا دَلِيلٌ عَلَى فَسَادِ مَا قَالُوهُ
Dan karena jika satu mata orang yang bermata satu (a‘war) dianggap setara dengan dua mata, maka wajib untuk melakukan qishāsh pada kedua mata pelaku kejahatan karena satu mata itu menempati posisi kedua matanya. Dan jika seseorang mencabut satu mata orang yang bermata satu, maka tidak boleh dilakukan qishāsh terhadapnya, sebagaimana tidak boleh dilakukan qishāsh terhadap dua mata dengan satu mata. Dan adanya ijmā‘ yang bertentangan dengan hal ini merupakan dalil atas rusaknya pendapat mereka.
وَلِأَنَّهُ لَوْ وَجَبَ فِي عَيْنِ الْأَعْوَرِ كَمَالُ الدِّيَةِ لَوَجَبَ عَلَى مَنْ قَلَعَ عَيْنَيْ رَجُلٍ وَاحِدَةً بَعْدَ الْأُخْرَى أَنْ تَلْزَمَهُ دِيَةٌ وَنَصِفٌ لِأَنَّهُ قَدْ جَعَلَهُ بِقَلْعِ الْأُولَى أَعْوَرَ فَلَزِمَهُ بِهَا نِصْفُ الدية ويقلع الْأُخْرَى بَعْدَ الْعَوَرِ جَمِيعُ الدِّيَةِ وَلَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ فَدَلَّ عَلَى فَسَادِ مَا اعْتَبَرُوهُ
Dan karena jika memang wajib pada mata orang yang buta sebelah untuk membayar diyat secara penuh, maka seharusnya orang yang mencabut kedua mata seseorang, satu setelah yang lain, wajib membayar satu setengah diyat. Sebab, dengan mencabut mata yang pertama, ia telah menjadikannya buta sebelah, sehingga wajib baginya setengah diyat. Kemudian, dengan mencabut mata yang kedua setelah menjadi buta sebelah, maka wajib baginya seluruh diyat. Namun, tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian, sehingga hal ini menunjukkan rusaknya apa yang mereka jadikan sebagai pertimbangan.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ احْتِجَاجِهِمْ بِالْإِجْمَاعِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَدْ خَالَفَ فِيهِ عَائِشَةَ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُغَفَّلٍ فَلَمْ يَكُنْ إِجْمَاعًا
Adapun jawaban terhadap argumentasi mereka dengan ijmā‘ adalah dari dua sisi. Pertama, bahwa dalam hal ini telah berbeda pendapat Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Mughaffal, sehingga hal itu tidak menjadi ijmā‘.
وَالثَّانِي أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ رَجَعَ عَمَّا قَالُوا وَخَالَفَهُمْ
Yang kedua, telah diriwayatkan dari Ali ‘alaihis salam bahwa beliau telah menarik kembali pendapat yang mereka sebutkan dan menyelisihi mereka.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ يُدْرِكُ بِالْبَاقِيَةِ مَا كَانَ يُدْرِكُهُ بِهِمَا فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Adapun pernyataan mereka bahwa ia dapat memahami dengan yang tersisa apa yang sebelumnya ia pahami dengan keduanya, maka terdapat dua jawaban atas hal itu.
أَحَدُهُمَا دَفْعُ هَذِهِ الدَّعْوَى لِأَنَّ الْأَعْوَرَ لَا يَرَى الْبَعِيدَ كَرُؤْيَةِ ذِي الْعَيْنَيْنِ وَقَدْ يَكُونُ بَيْنَهُمَا ضِعْفُ الْمَسَافَةِ فَلَمْ يَسْلَمْ مَا ادَّعَوْهُ
Salah satu di antaranya adalah menolak klaim ini, karena orang yang bermata satu tidak dapat melihat sesuatu yang jauh sebagaimana orang yang bermata dua, dan bisa jadi jarak antara keduanya dua kali lipat, sehingga apa yang mereka klaim tidak dapat diterima.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ أَوْجَبَ هَذَا كَمَالَ الدِّيَةِ فِي الْعَيْنِ الْبَاقِيَةِ لَوَجَبَ مِثْلُهُ فِيمَنْ بَقِيَ سَمْعُهُ مِنْ إِحْدَى أُذُنَيْهِ أَنْ يَلْزَمَ فِي ذَهَابِهِ مِنَ الْأُذُنِ الْأُخْرَى كَمَالُ الدِّيَةِ كَمَا قَالَهُ يَزِيدُ بْنُ أَبِي زِيَادٍ لِأَنَّهُ يَسْمَعُ بِهِمَا مَا كَانَ يَسْمَعُ بِهِمَا وَلَمْ يَقُلْ بِذَلِكَ فِي سَمْعِ الْأُذُنَيْنِ فَكَذَلِكَ فِي ضَوْءِ الْعَيْنَيْنِ
Yang kedua, jika hal ini mewajibkan pembayaran diyat secara penuh pada mata yang masih tersisa, maka seharusnya juga berlaku hal yang sama bagi seseorang yang pendengarannya masih tersisa pada salah satu telinganya, yaitu jika pendengaran pada telinga yang lain hilang, maka wajib membayar diyat secara penuh, sebagaimana yang dikatakan oleh Yazid bin Abi Ziyad, karena ia mendengar dengan kedua telinganya sebagaimana ia mendengar sebelumnya. Namun, tidak ada yang berpendapat demikian dalam hal pendengaran kedua telinga, maka demikian pula dalam hal penglihatan kedua mata.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنْ ضَوْءَ الْعَيْنِ يَنْتَقِلُ مِنَ الذَّاهِبَةِ إِلَى الْبَاقِيَةِ فَفَاسِدٌ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذَلِكَ لَكَانَ مَنْ قَلَعَ وَاحِدَةً مِنْ عَيْنَيْنِ أَنْ لَا يَلْزَمَهُ دِيَتُهَا لِأَنَّ ضَوْءَهَا قَدِ انْتَقَلَ إِلَى الْأُخْرَى فَصَارَ كَالْجَانِي عَلَى عَيْنٍ لَا ضَوْءَ لَهَا فَلَمْ يَلْزَمْهُ أَكْثَرُ مِنْ حُكُومَتِهَا وَهَذَا مَدْفُوعٌ بِالْإِجْمَاعِ فَدَلَّ عَلَى أن الضوء غير منتقل وإنما يغمض الرَّامِي إِحْدَى عَيْنَيْهِ وَكَذَلِكَ النَّاظِرُ فِي ثُقْبٍ حَتَّى لَا يَنْتَشِرَ ضَوْءُ الْعَيْنَيْنِ وَيَقْتَصِرَ عَلَى إِحْدَاهُمَا لِيَسْتَقِيمَ تَرَاجُعُ السَّهْمِ وَالثُّقْبِ وَلَا يَخْتَلِفَ السَّمْتُ بِاخْتِلَافِ النَّظَرَيْنِ
Adapun pernyataan mereka bahwa cahaya mata berpindah dari mata yang hilang ke mata yang tersisa adalah pendapat yang rusak, karena jika memang demikian, maka seseorang yang kehilangan salah satu dari kedua matanya tidak wajib membayar diyat untuk mata yang dicabut itu, sebab cahayanya telah berpindah ke mata yang lain, sehingga ia seperti orang yang melakukan kejahatan terhadap mata yang tidak memiliki cahaya, maka ia tidak wajib membayar lebih dari sekadar hukumnya saja. Namun, hal ini tertolak oleh ijmā‘, sehingga hal itu menunjukkan bahwa cahaya tidak berpindah, melainkan pemanah menutup salah satu matanya, demikian pula orang yang melihat melalui lubang, agar cahaya kedua matanya tidak menyebar dan hanya terbatas pada salah satunya, sehingga arah anak panah dan lubang menjadi lurus dan tidak berbeda arah karena perbedaan pandangan kedua mata.
وَأَمَّا فَرْقُهُمْ بَيْنَ الْعَوْرَاءِ وَالْقَطْعَاءِ لِفَرْقِ مَا بَيْنَهُمَا فِي الْكَفَّارَةِ فَقَدْ كَانَ الْأَوْزَاعِيُّ يُسَوِّي بَيْنَهُمَا فِي كَمَالِ الدِّيَةِ وَيَقُولُ إِنَّ مَنْ قُطِعَتْ يَدُهُ فِي الْجِهَادِ كَانَ فِي الْبَاقِيَةِ إِذَا قُطِعَتْ جَمِيعُ الدِّيَةِ وَنَحْنُ نُسَوِّي بَيْنَهُمَا فِي أَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا نِصْفُ الدِّيَةِ وَأَنْتَ تُخَالِفُ بَيْنَهُمَا لِافْتِرَاقِهِمَا فِي الْكَفَّارَةِ وَلَيْسَ ذَلِكَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ مَنْ قُطِعَتْ خِنْصَرُ أَصَابِعِهِ يُجْزِئُ فِي الْكَفَّارَةِ وَلَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ قَطَعَ الْكَفَّ بَعْدَ ذَهَابِ خِنْصَرِهَا يَلْزَمُهُ جَمِيعُ دِيَتِهَا لِإِجْزَائِهَا فِي الْكَفَّارَةِ كَذَلِكَ عَيْنُ الْأَعْوَرِ
Adapun perbedaan mereka antara orang yang bermata satu (al-a‘war) dan yang terpotong (al-qat‘ā’) karena perbedaan keduanya dalam hal kafārah, maka al-Awzā‘ī menyamakan keduanya dalam hal kesempurnaan diyat dan mengatakan bahwa siapa yang tangannya terpotong dalam jihad, maka pada tangan yang tersisa jika terpotong seluruhnya, wajib diyat penuh. Kami menyamakan keduanya bahwa masing-masing dari keduanya setengah diyat, sedangkan kamu membedakan keduanya karena perbedaan mereka dalam kafārah. Namun, hal itu tidaklah benar, karena siapa yang jari kelingkingnya terpotong, itu cukup dalam kafārah, dan tidak menunjukkan bahwa siapa yang memotong telapak tangan setelah hilangnya kelingkingnya, wajib baginya seluruh diyatnya hanya karena cukup dalam kafārah. Demikian pula halnya dengan mata orang yang bermata satu.
فَصْلٌ
Bagian
وَإِذَا قَلَعَ الْأَعْوَرُ عَيْنَ بَصِيرٍ ذِي عَيْنَيْنِ كَانَ لِلْبَصِيرِ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الْأَعْوَرِ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ كَانَ لَهُ عَلَى الْأَعْوَرِ نِصْفُ الدِّيَةِ
Apabila seseorang yang bermata satu mencabut mata orang yang bermata dua dan dapat melihat, maka orang yang bermata dua berhak melakukan qishash terhadap orang yang bermata satu. Namun, jika ia memaafkannya, maka ia berhak mendapatkan setengah diyat dari orang yang bermata satu.
وَقَالَ مَالِكٌ لَهُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنَ الْأَعْوَرِ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ وَجَبَ لَهُ عَلَى الْأَعْوَرِ بِعَيْنِهِ الْوَاحِدَةِ جَمِيعُ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَدْ عَفَا لَهُ عَنْ جَمِيعِ بَصَرِهِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْعَفْوَ عَنِ الْقِصَاصِ يُوجِبُ دِيَةَ الْعُضْوِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لَا دِيَةَ الْمُقْتَصِّ مِنْهُ أَلَا تَرَى أَنَّ رَجُلًا لَوْ قَطَعَ يَدَ امْرَأَةٍ كَانَ لَهَا عَلَيْهِ أَنْ تَقْتَصَّ مِنْ يَدِهِ فَإِنْ عَفَتْ عَنِ الْقِصَاصِ كَانَ لَهَا دِيَةُ يَدِهَا لَا دِيَةُ يَدِ الرَّجُلِ كَذَلِكَ وُجُوبُ الْقِصَاصِ عَلَى الْأَعْوَرِ وَهَكَذَا لَوْ قَطَعَ عَبْدٌ يَدَ حُرٍّ فَعَفَا الْحُرُّ عَنِ الْقِصَاصِ كَانَ لَهُ دِيَةُ يَدِ الْحُرِّ لَا دِيَةُ يَدِ الْعَبْدِ لِأَنَّ فِي الْعَيْنَيْنِ دِيَةً وَاحِدَةً وَمَا قَالَهُ مَالِكٌ يُفْضِي إِلَى إِيجَابِ دِيَتَيْنِ لِأَنَّهُ إِذَا قَلَعَ إحدى عينيه أَعْوَرَ أَوْجَبَ عَلَيْهِ دِيَةً ثُمَّ يَصِيرُ بَعْدَ قَلْعِهَا أَعْوَرَ فَيُوجِبُ فِيهَا إِذَا قُلِعَتْ دِيَةً ثَانِيَةً وَمَا أَفْضَى إِلَى هَذَا كَانَ مُطْرَحًا والله أعلم
Malik berkata: Seseorang berhak melakukan qishāsh terhadap orang yang bermata satu. Jika ia memaafkannya, maka wajib bagi orang yang bermata satu itu membayar seluruh diyat atas satu matanya, karena ia telah memaafkan seluruh penglihatannya. Namun, ini adalah kekeliruan, karena memaafkan qishāsh mewajibkan diyat anggota tubuh yang menjadi korban, bukan diyat anggota tubuh pelaku. Tidakkah engkau melihat, jika seorang laki-laki memotong tangan seorang perempuan, maka perempuan itu berhak melakukan qishāsh terhadap tangan laki-laki tersebut. Jika ia memaafkan qishāsh, maka ia berhak atas diyat tangannya, bukan diyat tangan laki-laki itu. Demikian pula kewajiban qishāsh atas orang yang bermata satu. Begitu pula, jika seorang budak memotong tangan seorang merdeka, lalu orang merdeka itu memaafkan qishāsh, maka ia berhak atas diyat tangan orang merdeka, bukan diyat tangan budak. Karena untuk kedua mata ada satu diyat. Apa yang dikatakan Malik akan berujung pada kewajiban dua diyat, sebab jika seseorang mencabut salah satu mata orang yang bermata satu, ia mewajibkan satu diyat, lalu setelah dicabut, orang itu menjadi bermata satu, sehingga jika mata satunya dicabut lagi, ia mewajibkan diyat kedua. Apa yang berujung pada hal seperti ini harus ditinggalkan. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ كُسِرَ صُلْبُهُ فَلَمْ يُطِقِ الْمَشْيَ فَفِيهِ الدِّيَةُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika tulang punggung seseorang patah sehingga ia tidak mampu berjalan, maka baginya ada diyat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّهُ قَدْ أَذْهَبَ جَمَالَهُ بِكَسْرِ صُلْبِهِ وَأَبْطَلَ تَصَرُّفَهُ بِذَهَابِ مَشْيِهِ فَكَمُلَتْ فِيهِ الدِّيَةُ فَإِنْ كُسِرَ صُلْبُهُ وَلَمْ يَذْهَبْ مَشْيُهُ وَصَارَ يَمْشِي كَالرَّاكِعِ وَجَبَ فِيهِ حُكُومَةٌ لِذَهَابِ الْجَمَالِ مَعَ بَقَاءِ الْمَنْفَعَةِ وَلَوْ صَارَ بَعْدَ كَسْرِ صُلْبِهِ مُنْتَصِبَ الظَّهْرِ لَكِنْ ذَهَبَ مَشْيُهُ فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ تَامَّةً لِذَهَابِ الْمَنْفَعَتَيْنِ مَعَ بَقَاءِ الْجَمَالِ كَمَا لَوْ ضَرَبَ يَدَهُ فَشُلَّتْ فَلَوْ صَارَ ضَعِيفَ الْمَشْيِ لَا يَقْدِرُ عَلَى السَّعْيِ وَلَا عَلَى السُّرْعَةِ فَفِيهِ حكومة لأنه قد أذهب من مشيه مالا يَنْحَصِرُ وَلَوِ انْحَصَرَ لَوَجَبَ فِيهِ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِهَا وَلَوْ صَارَ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْمَشْيِ إِلَّا مُعْتَمِدًا عَلَى عَصًا كَانَتْ عَلَيْهِ حُكُومَةٌ هِيَ أَكْثَرُ مِنْ حُكُومَتِهِ لَوْ مَشَى بِغَيْرِ عَصًا وَكُلَّمَا أَوْجَبْنَاهُ فِي ذَلِكَ مِنَ الدِّيَةِ أَوِ الْحُكُومَةِ فَإِنَّمَا نُوجِبُهُ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْجِنَايَةِ بِالتَّوَقُّفِ عَنِ الْحُكْمِ بِهَا حَتَّى يَنْظُرَ مَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ أَمْرُهَا فَلَوْ حَكَمَ لَهُ بِالدِّيَةِ لِذَهَابِ مَشْيِهِ ثُمَّ صَارَ يَمْشِي مِنْ بَعْدُ اسْتَرْجَعَ مِنْهُ مَا أَخَذَهُ مِنَ الدِّيَةِ إِلَّا قَدْرَ حُكُومَةِ الْأَلَمِ وَالشَّيْنِ فَإِنِ اقْتَرَنَ بِكَسْرِ الصُّلْبِ وَذَهَابِ الْمَشْيِ شَلَلُ الْقَدَمَيْنِ لَزِمَتْهُ دِيَتَانِ إِحْدَاهُمَا فِي ذَهَابِ الْمَشْيِ وَالْأُخْرَى فِي شَلَلِ الرِّجْلَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, karena ia telah menghilangkan keindahannya dengan mematahkan punggungnya dan membatalkan kemampuannya beraktivitas dengan hilangnya kemampuan berjalan, maka sempurnalah diyat atasnya. Jika punggungnya patah namun ia tidak kehilangan kemampuan berjalan dan ia berjalan seperti orang rukuk, maka wajib atasnya hukūmah karena hilangnya keindahan meskipun manfaatnya masih ada. Jika setelah punggungnya patah ia tetap tegak punggungnya namun hilang kemampuan berjalan, maka atasnya diyat sempurna karena hilangnya dua manfaat meskipun keindahan masih ada, sebagaimana jika seseorang memukul tangannya lalu menjadi lumpuh. Jika kemudian ia menjadi lemah dalam berjalan, tidak mampu berlari dan tidak mampu berjalan cepat, maka atasnya hukūmah karena telah hilang dari jalannya sesuatu yang tidak dapat dibatasi, dan jika dapat dibatasi maka wajib atasnya diyat sesuai bagiannya. Jika ia tidak mampu berjalan kecuali dengan bertumpu pada tongkat, maka atasnya hukūmah yang lebih besar daripada hukūmah jika ia berjalan tanpa tongkat. Semua diyat atau hukūmah yang kami wajibkan dalam hal ini, maka kami wajibkan setelah stabilnya jināyah dengan menunda penetapan hukumnya hingga terlihat bagaimana akhirnya keadaan tersebut. Jika telah diputuskan baginya diyat karena hilangnya kemampuan berjalan, kemudian setelah itu ia dapat berjalan kembali, maka diambil kembali darinya apa yang telah ia terima dari diyat kecuali sebesar hukūmah atas rasa sakit dan cacat. Jika patah punggung dan hilangnya kemampuan berjalan disertai kelumpuhan kedua kaki, maka wajib atasnya dua diyat: satu karena hilangnya kemampuan berjalan dan satu lagi karena kelumpuhan kedua kaki.
فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا وَجَبَتْ دِيَةُ الرِّجْلَيْنِ بِذَهَابِ الْمَشْيِ وَإِنْ لَمْ يَصِرْ فِيهِمَا شَلَلٌ لِأَنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ نَفْعَهُمَا
Jika dikatakan, “Mengapa tidak diwajibkan diyat kedua kaki karena hilangnya kemampuan berjalan, meskipun pada keduanya tidak terjadi kelumpuhan, karena sungguh manfaat keduanya telah hilang?”
قِيلَ لِأَنَّ مَنْفَعَةَ الرِّجْلَيْنِ بَاقِيَةٌ فِي انْقِبَاضِهِمَا وَبَسْطِهِمَا لَا تَذْهَبُ إِلَّا بِالشَّلَلِ وَإِنَّمَا ذَهَبَ الْمَشْيُ لِنَقْصٍ فِي غَيْرِهِمَا فَلِذَلِكَ لَمْ تَجِبْ دِيَتُهَا إِلَّا بِشَلَلِهِمَا
Dikatakan bahwa manfaat kedua kaki masih tetap ada dalam gerakan menekuk dan meluruskannya, dan manfaat itu tidak hilang kecuali dengan lumpuh. Adapun hilangnya kemampuan berjalan disebabkan oleh kekurangan pada selain keduanya, maka karena itu diyat atas keduanya tidak wajib kecuali jika keduanya lumpuh.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ كَسَرَ صُلْبَهُ فَعَجَزَ عَنِ الْجِمَاعِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Dan jika seseorang mematahkan punggungnya sehingga ia tidak mampu melakukan hubungan suami istri, maka ada dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ عَجْزُهُ عَنْهُ لِضَعْفِ حَرَكَتِهِ مَعَ بَقَاءِ مَنِيِّهِ وَانْتِشَارِ ذَكَرِهِ فَفِيهِ حُكُومَةٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَقْدِرُ عَلَى الْإِنْزَالِ بِاسْتِدْخَالِ ذَكَرِهِ
Salah satunya adalah ketidakmampuannya disebabkan oleh lemahnya gerakannya, sementara mani dan ereksi zakarnya masih ada; dalam hal ini terdapat hukumah, karena bisa jadi ia mampu melakukan ejakulasi dengan memasukkan zakarnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ عَجْزُهُ عَنِ الْجِمَاعِ لِذَهَابِ مَنِيِّهِ وَعَدَمِ انْتِشَارِ ذَكَرِهِ فَفِيهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً لِأَنَّهُ قَدْ أَذْهَبَ مَنْفَعَةَ الصُّلْبِ بِذَهَابِ الْمَنِيِّ فَإِنْ أَنْكَرَ الْجَانِي مَا ادَّعَاهُ نُظِرَ فَإِنِ اقْتَرَنَتْ بِدَعْوَاهُ عَلَامَةٌ تَدُلُّ عَلَيْهِ جُعِلَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ فِي ذَهَابِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُعْلَمُ إِلَّا مِنْ جِهَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ عَلَامَةٌ سُئِلَ عَنْهُ أَهْلُ الْعِلْمِ بِهِ فَإِنْ قَالُوا لَا يَذْهَبُ مِنْهُ الْجِمَاعُ حَلَفَ الْجَانِي وَلَمْ يَلْزَمِ الدِّيَةَ وَإِنْ قَالُوا يَجُوزُ أَنْ يَذْهَبَ مِنْهُ الْجِمَاعُ حَلَفَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ وَاسْتَحَقَّ الدِّيَةَ وَلَوْ كَسَرَ صُلْبَهُ فَأَذْهَبُ مَشْيَهُ وَجِمَاعَهُ مَعًا فَفِيهِ وَجْهَانِ
Jenis kedua adalah ketidakmampuan berjima‘ karena hilangnya mani dan tidak tegaknya zakar, maka dalam hal ini dikenakan diyat secara penuh, karena manfaat tulang punggung telah hilang akibat hilangnya mani. Jika pelaku kejahatan mengingkari apa yang didakwakan, maka dilihat; jika pengakuan tersebut disertai tanda yang menunjukkan kebenarannya, maka perkataan korban diterima dengan sumpahnya mengenai hilangnya kemampuan itu, karena hal tersebut hanya dapat diketahui dari pihaknya. Jika tidak disertai tanda, maka ditanyakan kepada ahli yang memahami masalah ini; jika mereka mengatakan bahwa jima‘ tidak akan hilang karenanya, maka pelaku kejahatan bersumpah dan tidak wajib membayar diyat. Namun jika mereka mengatakan bahwa mungkin saja jima‘ hilang karenanya, maka korban bersumpah dan berhak atas diyat. Jika ia mematahkan tulang punggungnya sehingga hilang kemampuan berjalan dan berjima‘ sekaligus, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا يَلْزَمُهُ إِلَّا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ لِأَنَّهُمَا مَنْفَعَةُ عُضْوٍ وَاحِدٍ حَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ
Salah satu pendapat menyatakan bahwa pelaku hanya wajib membayar satu diyat saja, karena keduanya merupakan manfaat dari satu anggota tubuh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfarayini.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي تَلْزَمُهُ دِيَتَانِ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّهُمَا مَنْفَعَتَانِ فِي مَحَلَّيْنِ فَلَزِمَتْ فِيهِمَا دِيَتَانِ وَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَلَى مَحَلٍّ وَاحِدٍ كَمَا لَوْ قَطَعَ أُذُنَهُ فَذَهَبَ سَمْعُهُ أَوْ جَدَعَ أَنْفَهُ فَذَهَبَ شَمُّهُ
Pendapat kedua, ia wajib membayar dua diyat, dan inilah pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i, karena keduanya merupakan dua manfaat pada dua tempat yang berbeda, sehingga wajib atasnya dua diyat. Meskipun tindak pidana itu terjadi pada satu tempat saja, seperti jika seseorang memotong telinga orang lain lalu pendengarannya hilang, atau memotong hidungnya lalu penciumannya hilang.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ جَنَى عَلَيْهِ فَالْتَوَتْ عُنُقُهُ وَانْعَطَفَ وَجْهُهُ فَصَارَ كَالْمُلْتَفِتِ وَجْهُهُ وَجَبَتْ فِيهِ حُكُومَةٌ بِحَسَبِ الشَّيْنِ وَالْأَلَمِ لَا تَبْلُغُ بِهَا الدِّيَةُ لِبَقَاءِ بَعْضِ الْمَنَافِعِ وَلَوْ كَانَ وَجْهُهُ بَعْدَ الْجِنَايَةِ عَلَى اسْتِقَامَتِهِ لَكِنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الِالْتِفَاتِ بِهِ كَانَتْ فِيهِ حُكُومَةٌ وَهِيَ أَقَلُّ مِنْ حُكُومَةِ انْعِطَافِهِ لِأَنَّ شَيْنَهُ أَقَلُّ فَإِنْ ذَهَبَ بِهَا بَعْضُ كَلَامِهِ لَزِمَهُ مَعَ حُكُومَةِ الْوَجْهِ دِيَةُ مَا ذَهَبَ مِنَ الْكَلَامِ فَإِنْ أَذْهَبَ جَمِيعَ كَلَامِهِ بِالْتِوَاءِ عُنُقِهِ كَمُلَتْ دِيَةُ الْكَلَامِ وَزِيدَ فِي حُكُومَةِ الِالْتِوَاءِ فَإِنْ كَانَ لَا يَقْدِرُ عَلَى مَضْغِ الطَّعَامِ إِلَّا بِشِدَّةٍ ضُمَّ إِلَى ذَلِكَ حُكُومَةٌ فِي نُقْصَانِ الْمَضْغِ فَإِنْ كَانَ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْمَضْغِ وَلَا يَصِلُ الطَّعَامُ إِلَى جَوْفِهِ إِلَّا بِالْوُجُورِ زِيدَ فِي حُكُومَتِهِ فإن كان لا ينساغ الطَّعَامُ وَلَا يَصِلُ إِلَى جَوْفِهِ بِوُجُورٍ وَلَا غَيْرِهِ قِيلَ هَذَا لَا يَعِيشُ وَيَنْتَظَرُ بِهِ فإن مات وجبت ديته
Jika seseorang melakukan penganiayaan terhadap orang lain sehingga lehernya terpelintir dan wajahnya membelok sehingga menjadi seperti orang yang wajahnya berpaling, maka wajib dikenakan hukuman berupa ḥukūmah sesuai dengan kadar cacat dan rasa sakit yang ditimbulkan, namun tidak sampai pada kadar diyat karena masih ada sebagian manfaat yang tersisa. Jika setelah penganiayaan wajahnya tetap lurus tetapi ia tidak mampu menolehkan wajahnya, maka tetap ada ḥukūmah, namun lebih ringan daripada ḥukūmah pada kasus wajahnya membelok, karena cacatnya lebih ringan. Jika akibat penganiayaan itu sebagian kemampuannya berbicara hilang, maka selain ḥukūmah untuk wajah, juga wajib membayar diyat atas bagian kemampuan bicara yang hilang. Jika seluruh kemampuan bicaranya hilang karena lehernya terpelintir, maka diyat untuk bicara menjadi sempurna dan ditambah lagi pada ḥukūmah untuk leher yang terpelintir. Jika ia tidak mampu mengunyah makanan kecuali dengan kesulitan, maka ditambahkan lagi ḥukūmah atas kekurangan kemampuan mengunyah. Jika ia sama sekali tidak mampu mengunyah dan makanan tidak bisa masuk ke perutnya kecuali dengan cara dituangkan, maka ḥukūmah-nya ditambah lagi. Jika makanan tidak bisa tertelan dan tidak bisa masuk ke perutnya baik dengan dituangkan maupun dengan cara lain, maka dikatakan bahwa orang ini tidak akan hidup dan ditunggu keadaannya; jika ia meninggal dunia, maka diyat-nya wajib dibayarkan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَدِيَةُ الْمَرْأَةِ وَجِرَاحُهَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ فِيمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Diyat perempuan dan luka-lukanya adalah setengah dari diyat laki-laki, baik sedikit maupun banyak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ دِيَةُ الْمَرْأَةِ فِي نَفْسِهَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَقَالَ الْأَصَمُّ وَابْنُ عُلَيَّةَ دِيَتُهَا كَدِيَةِ الرَّجُلِ لِأَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata, diyat perempuan pada dirinya adalah setengah dari diyat laki-laki, dan inilah pendapat jumhur. Sedangkan Al-Asham dan Ibnu ‘Ulayyah berpendapat bahwa diyat perempuan sama dengan diyat laki-laki karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ تَسَاوِيَهُمَا فِي الْقِصَاصِ يُوجِبُ تَسَاوِيَهُمَا فِي الدِّيَةِ
Salah satunya adalah bahwa kesetaraan mereka dalam qishāsh mewajibkan kesetaraan mereka dalam diyat.
وَالثَّانِي أَنَّ اسْتِوَاءَ الْغُرَّةِ فِي الْجَنِينِ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى يُوجِبُ تَسَاوِيَ الدِّيَةِ فِي الرَّجُلِ والمرأة لأن الغرة أحد الدِّيَتَيْنِ
Kedua, bahwa kesamaan kadar ghurrah pada janin laki-laki dan perempuan mewajibkan kesamaan diyat pada laki-laki dan perempuan, karena ghurrah adalah salah satu dari dua diyat.
وَالدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْجُمْهُورُ رِوَايَةُ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ وَدِيَةُ الْمَرْأَةِ عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ وَهَذَا نَصٌّ وَلِأَنَّهُ قَوْلُ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عنهم وليس بعرف لَهُمْ مُخَالِفٌ فَصَارَ إِجْمَاعًا وَلِأَنَّ الدِّيَةَ مَالٌ وَالْقِصَاصُ حَدٌّ وَالْمَرْأَةُ تُسَاوِي الرَّجُلَ فِي الْحُدُودِ فَسَاوَتْهُ فِي الْقِصَاصِ وَلَا تُسَاوِيهِ فِي الْمِيرَاثِ وَتَكُونُ عَلَى النِّصْفِ مِنْهُ فَلَمْ تُسَاوِهِ فِي الدية وَكَانَتْ عَلَى النِّصْفِ مِنْهَا وَفِيهِ انْفِصَالٌ
Dalil atas kebenaran pendapat yang dipegang oleh jumhur adalah riwayat Mu‘ādz bin Jabal dan ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Diyat perempuan adalah setengah dari diyat laki-laki.” Ini adalah nash (teks yang jelas). Selain itu, ini juga merupakan pendapat ‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Abbās, dan Zaid bin Tsabit radhiyallāhu ‘anhum, dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka, sehingga hal itu menjadi ijmā‘. Diyat adalah harta, sedangkan qishāsh adalah hudud (hukuman yang telah ditetapkan). Perempuan disamakan dengan laki-laki dalam hal hudud, maka ia pun disamakan dengannya dalam qishāsh. Namun, perempuan tidak disamakan dengan laki-laki dalam hal warisan, sehingga bagian warisannya setengah dari laki-laki. Maka, ia pun tidak disamakan dengannya dalam diyat, sehingga diyatnya menjadi setengah dari diyat laki-laki. Dalam hal ini terdapat perincian.
فَأَمَّا الْجَنِينُ فَلِأَنَّ اشْتِبَاهَ حَالِهِ فِي الْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ وَالذُّكُورِيَّةِ وَالْأُنُوثِيَّةِ أَوْجَبَتْ حَسْمَ الِاخْتِلَافِ بِإِيجَابِ الْغُرَّةِ مَعَ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَاسَ عليه ما زال عنه الاشتباه والحسم فِيهِ التَّنَازُعُ
Adapun janin, karena keadaannya yang samar dalam hal hidup dan mati, serta dalam hal kelelakian dan keperempuanan, maka hal itu menuntut untuk menghilangkan perbedaan pendapat dengan mewajibkan pembayaran ghurrah, meskipun keadaannya berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak boleh dilakukan qiyās terhadapnya pada perkara yang tidak lagi terdapat kesamaran dan telah diputuskan perselisihannya.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ دِيَتَهَا فِي النَّفْسِ عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي دِيَةِ أَطْرَافِهَا وَجِرَاحِهَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ فِيمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ
Maka apabila telah tetap bahwa diyat perempuan dalam kasus jiwa adalah setengah dari diyat laki-laki, para fuqaha telah berbeda pendapat mengenai diyat anggota tubuh dan luka-lukanya, apakah juga setengah dari diyat laki-laki, baik sedikit maupun banyak.
وَبِهِ قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ فِي أَهْلِ الْكُوفَةِ وَعُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَسَنِ الْعَنْبَرِيِّ فِي أَهْلِ الْبَصْرَةِ وَاللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ فِي أَهْلِ مِصْرَ
Pendapat ini juga dipegang oleh Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, dan merupakan pendapat Abu Hanifah untuk penduduk Kufah, Ubaidullah bin al-Hasan al-Anbari untuk penduduk Bashrah, serta Laits bin Sa‘d untuk penduduk Mesir.
وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَشُرَيْحٌ الْمَرْأَةُ تُعَاقِلُ الرَّجُلَ إِلَى نِصْفِ عُشْرِ دِيَتِهِ أَيْ تُسَاوِيهِ فِي الدِّيَةِ إِلَى نِصْفِ عُشْرِهَا وَهُوَ دِيَةُ السِّنِّ وَالْمُوضِحَةِ ثُمَّ تَكُونُ عَلَى النِّصْفِ مِنَ الرَّجُلِ فِيمَا زَادَ عَلَيْهِ
Ibnu Mas‘ud dan Syuraih berkata: Perempuan setara dengan laki-laki dalam diyat hingga setengah dari sepersepuluh diyatnya, yaitu ia sama dengannya dalam diyat hingga setengah dari sepersepuluhnya, yakni diyat untuk gigi dan luka yang menampakkan tulang, kemudian setelah itu diyat perempuan menjadi setengah dari diyat laki-laki untuk apa yang melebihi batas tersebut.
وَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ تُعَاقِلُ الرَّجُلَ إِلَى دِيَةِ الْمُنَقِّلَةِ وَذَلِكَ عُشْرُ الدِّيَةِ وَنِصْفُ عُشْرِهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَى النِّصْفِ فِيمَا زَادَ
Zaid bin Tsabit dan Sulaiman bin Yasar berkata, “Seorang laki-laki menanggung diyat bersama keluarganya sampai batas diyat al-munaqqilah, yaitu sepersepuluh diyat dan setengah dari sepersepuluhnya. Setelah itu, tanggungannya menjadi setengah dari sisa yang ada.”
وَقَالَ مَالِكٌ تُعَاقِلُهُ إِلَى ثُلُثِ الدِّيَةِ أَرْشِ الْمَأْمُومَةِ وَالْجَائِفَةِ ثُمَّ تَكُونُ عَلَى النِّصْفِ مِنْهُ فِيمَا زَادَ
Malik berkata, “Keluarga pelaku menanggung diyat bersama hingga sepertiga diyat, yaitu untuk luka ma’mūmah dan jā’ifah, kemudian selebihnya menjadi tanggungan setengah dari mereka.”
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Dan pendapat ini juga dipegang oleh Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dari kalangan sahabat.
وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالزُّهْرِيُّ
Dan dari kalangan tabi‘in adalah Sa‘id bin al-Musayyab dan az-Zuhri.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَقَدْ ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ فَمِنْ أَصْحَابِهِ مَنْ جَعَلَهُ مَذْهَبًا لَهُ فِي الْقَدِيمِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَهُ حِكَايَةً عَنْ مذهب غيره
Di antara para fuqaha terdapat Ahmad dan Ishaq, dan hal ini juga disebutkan oleh asy-Syafi‘i dalam pendapat lamanya. Di antara para pengikutnya ada yang menjadikannya sebagai mazhab beliau dalam pendapat lama, dan di antara para pengikut kami ada yang menganggapnya sebagai riwayat dari mazhab selain beliau.
قال ربيعة ابن أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ كَمْ فِي إِصْبَعِ الْمَرْأَةِ قَالَ عَشْرٌ قُلْتُ فَفِي إِصْبَعَيْنِ قَالَ عِشْرُونَ
Rabī‘ah bin Abī ‘Abd ar-Raḥmān berkata: Aku bertanya kepada Sa‘īd bin al-Musayyab, “Berapakah (diyat) pada satu jari perempuan?” Ia menjawab, “Sepuluh.” Aku bertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan dua jari?” Ia menjawab, “Dua puluh.”
قُلْتُ فَفِي ثَلَاثٍ قَالَ ثَلَاثُونَ قُلْتُ فَفِي أَرْبَعٍ قَالَ عِشْرُونَ فَقُلْتُ لَهُ لَمَّا عَظُمَتْ مُصِيبَتُهَا قَلَّ عَقْلُهَا قال هكذا السنة يا بن أَخِي وَاسْتَدَلَّ مَنْ ذَهَبَ إِلَى هَذَا بِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ الْمَرْأَةُ تُعَاقِلُ الرَّجُلَ إِلَى ثُلُثِ دِيَتِهَا وَلَعَلَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ أَشَارَ بِقَوْلِهِ هَكَذَا السُّنَّةُ إِلَى هَذِهِ الرِّوَايَةِ وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَمَّا سَاوَتِ الرَّجُلَ فِي الْمِيرَاثِ إِلَى الْمُقَدَّرِ بِالثُّلُثِ وَهُوَ مِيرَاثُ وَلَدِ الْأُمِّ الَّذِي يستوي فيه الذكر وَالْإِنَاثُ وَكَانَتْ عَلَى النِّصْفِ مِنَ الرَّجُلِ فِيمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ وَجَبَ أَنْ تَسَاوِيَهُ فِي الدِّيَةِ إِلَى الثُّلُثِ وَتَكُونَ عَلَى النِّصْفِ فِيمَا زَادَ
Aku berkata: “Bagaimana dengan tiga (orang)?” Ia menjawab: “Tiga puluh.” Aku berkata: “Bagaimana dengan empat (orang)?” Ia menjawab: “Dua puluh.” Maka aku berkata kepadanya: “Ketika musibahnya semakin besar, akalnya justru berkurang.” Ia berkata: “Begitulah sunnah, wahai anak saudaraku.” Dan orang yang berpendapat seperti ini berdalil dengan riwayat ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Perempuan menanggung diyat laki-laki hingga sepertiga dari diyatnya.” Barangkali Sa‘id bin al-Musayyab dengan ucapannya “begitulah sunnah” mengisyaratkan kepada riwayat ini. Dan karena perempuan, ketika disamakan dengan laki-laki dalam warisan hingga batas sepertiga—yaitu warisan anak dari ibu yang di dalamnya laki-laki dan perempuan sama—dan perempuan mendapat setengah dari laki-laki dalam hal yang melebihi sepertiga, maka wajib pula ia disamakan dalam diyat hingga sepertiga, dan menjadi setengah dari laki-laki dalam hal yang melebihi sepertiga.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ نَقْصَ الْأُنُوثَةِ لَمَّا مَنَعَ مِنْ مُسَاوَاةِ الرَّجُلِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَمْنَعَ مِنْ مُسَاوَاتِهِ فِيمَا دُونَهَا مِنْ دِيَاتِ الْأَطْرَافِ وَالْجِرَاحِ لِأَنَّ دِيَةَ النَّفْسِ أَغْلَظُ اعْتِبَارًا بِالْمُسْلِمِ مَعَ الْكَافِرِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْقِصَاصُ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ مُعْتَبَرًا بِالْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ الدِّيَةُ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ مُعْتَبَرَةً بِدِيَةٍ النَّفْسِ وَهِيَ فِيهِ عَلَى النِّصْفِ فَكَذَلِكَ فِيمَا دُونَهَا
Dalil kami adalah bahwa kekurangan sifat kewanitaan, ketika telah menghalangi persamaan dengan laki-laki dalam diyat jiwa, maka lebih utama lagi untuk menghalangi persamaan dengannya dalam diyat anggota tubuh dan luka, karena diyat jiwa lebih berat, sebagaimana pertimbangan antara muslim dan kafir. Dan karena ketika qishāsh dalam perkara selain jiwa dipertimbangkan dengan qishāsh dalam jiwa, maka wajib pula diyat dalam perkara selain jiwa dipertimbangkan dengan diyat jiwa, dan dalam hal ini (diyat perempuan) adalah setengahnya, maka demikian pula dalam perkara selainnya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ فَلَمْ يُسْنِدْهُ لِأَنَّ جَدَّهُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ لَا صُحْبَةَ لَهُ وَإِنَّمَا يَكُونُ مُسْنَدًا إِذَا رَوَاهُ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَلِأَنَّهُ هُوَ الصَّحَابِيُّ وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ لَمْ أَجِدْ لَهُ نَفَاذًا يَعْنِي طَرِيقًا لِصُحْبَتِهِ
Adapun jawaban mengenai hadis ‘Amr bin Syu‘aib, maka hadis tersebut tidak bersambung sanadnya karena kakeknya, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin al-‘Ash, tidak memiliki status sebagai sahabat. Hadis itu baru dianggap musnad jika diriwayatkan dari kakeknya, yaitu ‘Abdullah bin ‘Amr, karena dialah yang merupakan sahabat. Dan asy-Syafi‘i berkata, “Aku tidak menemukan baginya nafaż (yakni jalan yang menunjukkan bahwa ia adalah sahabat).”
وَأَمَّا الْمِيرَاثُ فَقَدْ تَكُونُ فِيهِ عَلَى النِّصْفِ مِنَ الرَّجُلِ فِيمَا نَقَصَ مِنَ الثُّلُثِ عِنْدِ مُقَاسَمَةِ الْإِخْوَةِ وَإِنَّمَا سَاوَتْ وَلَدَ الْأُمِّ لِأَنَّ الْإِدْلَاءَ فِيهِ بِالرَّحِمِ الَّذِي يُوجِبُ تَسَاوِيَ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ فِيهِ كَفَرْضِ الْأَبَوَيْنِ فَإِنْ تَكُنِ الْعِلَّةُ فِيهِ تَقْدِيرَهُ بِالثُّلْثِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْصُلَ اخْتِلَافٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Adapun dalam hal warisan, maka kadang-kadang bagian perempuan setengah dari laki-laki, yaitu pada bagian yang kurang dari sepertiga ketika berbagi dengan saudara-saudara. Namun, perempuan disamakan dengan anak dari ibu karena hubungan kekerabatan di situ adalah melalui rahim, yang menyebabkan laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama, seperti ketentuan untuk kedua orang tua. Jika sebabnya adalah penetapan bagian sepertiga, maka tidak boleh terjadi perbedaan. Dan Allah Maha Mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي ثَدْيَيْهَا دِيَتُهَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Pada kedua payudaranya terdapat diyatnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ فِي الثَّدْيَيْنِ جَمَالًا وَمَنْفَعَةً فَصَارَا فِي الدِّيَةِ كَالْيَدَيْنِ وَسَوَاءٌ كَانَا كَبِيرَيْنِ أَوْ صَغِيرَيْنِ مِنْ كَبِيرَةٍ أَوْ صَغِيرَةٍ نَزَلَ فِيهِمَا لَبَنٌ أَوْ لَمْ يَنْزِلْ فَإِنْ قَطَعَهُمَا وَأَجَافَ مَا تَحْتَهُمَا كَانَ عَلَيْهِ الدِّيَةُ فِيهِمَا وَأَرْشُ جَائِفَتَيْنِ تحتهما ولو ضربهما فاستحشفتا وَيَبِسَا حَتَّى صَارَا لَا يَأْلَمَانِ فَهَذَا شَلَلٌ وفيها الدِّيَةُ كَامِلَةً؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ مَنَافِعَهُمَا وَإِنْ بَقِيَ الْجَمَالُ فِيهِمَا كَمَا لَوْ أَشَلَّ يَدَهُ وَلَوْ ضَرَبَهُمَا فَذَهَبَا مَعَ بَقَاءِ الْأَلَمِ فِيهِمَا ففيهما حكومة ولو ضربها فَذَهَبَ لَبَنُهُمَا فَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ ذَهَابُهُ مِنَ الضَّرْبِ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِهِ فيسأل أَهْلُ الْعِلْمِ بِهِ فَإِنْ قَالُوا إِنَّهُ مِنَ الضَّرْبِ كَانَ فِيهِ حُكُومَةٌ وَإِنْ قَالُوا مِنْ غَيْرِهِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِيهِ وَلَوْ قَطَعَ إحدى الثَّدْيَيْنِ كَانَ فِيهِ نِصْفُ الدِّيَةِ كَإِحْدَى الْيَدَيْنِ وكذلك لو ضربه فشل
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, karena pada kedua payudara terdapat unsur keindahan dan manfaat, sehingga keduanya dalam diyat diposisikan seperti kedua tangan. Sama saja apakah keduanya besar atau kecil, berasal dari perempuan dewasa atau anak-anak, keluar air susunya atau tidak. Jika seseorang memotong keduanya dan melukai bagian bawahnya, maka ia wajib membayar diyat untuk keduanya dan juga membayar arsy untuk dua luka dalam di bawahnya. Jika ia memukul keduanya hingga menjadi rusak dan kering sampai tidak lagi terasa sakit, maka ini disebut lumpuh, dan wajib diyat penuh atasnya, karena ia telah menghilangkan manfaat keduanya meskipun keindahannya masih ada, sebagaimana jika seseorang melumpuhkan tangannya. Jika ia memukul keduanya hingga keduanya hilang namun rasa sakit masih ada, maka dalam hal ini berlaku hukum pemerintah (hukūmah). Jika ia memukulnya hingga air susunya hilang, mungkin saja hilangnya itu akibat pukulan, dan mungkin juga bukan karena pukulan, maka ditanyakan kepada ahli yang memahami hal itu. Jika mereka mengatakan bahwa hilangnya akibat pukulan, maka berlaku hukum pemerintah (hukūmah), dan jika mereka mengatakan bukan karena pukulan, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Jika seseorang memotong salah satu dari kedua payudara, maka wajib membayar setengah diyat, sebagaimana salah satu dari kedua tangan. Demikian pula jika ia memukulnya hingga menjadi lumpuh.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي حَلَمَتَيْهَا دِيَتُهَا لِأَنَّ فِيهِمَا مَنْفَعَةَ الرَّضَاعِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Pada kedua putingnya terdapat diyat penuh, karena pada keduanya terdapat manfaat menyusui.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ جَمَالَ الثَّدْيِ وَمَنْفَعَتُهُ بِالْحَلَمَةِ كَمَا أَنَّ مَنْفَعَةَ الْيَدِ بِالْأَصَابِعِ فَإِذَا قَطَعَ الْحَلَمَتَيْنِ كَانَ فِيهِمَا الدِّيَةُ كَامِلَةً كَمَا تَكْمُلُ الدِّيَةُ بِقَطْعِ الْأَصَابِعِ فَإِنْ عَادَ أَوْ غَيْرُهُ فَقَطَعَ مَا بَقِيَ مِنَ الثَّدْيَيْنِ بَعْدَ قَطْعِ الْحَلَمَتَيْنِ كَانَ فِي بَقِيَّتِهِمَا حُكُومَةٌ كَمَا يَجِبُ فِي قَطْعِ الْكَفِّ بَعْدَ قَطْعِ أَصَابِعِهَا حُكُومَةٌ وَكَذَلِكَ إِذَا اسْتَحْشَفَتِ الْحَلَمَتَانِ بِجِنَايَتِهِ كَمُلَتْ دِيَتَهُمَا لِذَهَابِ مَنَافِعِهِمَا فَإِنْ قَطَعَ إِحْدَى الْحَلَمَتَيْنِ أَوْ أَحْشَفَهُمَا كَانَ فِيهَا نِصْفُ الدِّيَةِ وَلَوْ قَطَعَ بَعْضَ أَجْزَائِهَا كَانَ فِيهِ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِهِ وَهَلْ يُعْتَبَرُ قِسْطُ الْمَقْطُوعِ مِنْ نَفْسِ الْحَلَمَةِ أَوْ مِنْ جَمِيعِ الثَّدْيِ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي قَطْعِ بَعْضِ حَشَفَةِ الذَّكَرِ هَلْ يَعْتَبِرُ قِسْطَهُ مِنَ الْحَشَفَةِ أَوْ مِنْ جَمِيعِ الذَّكَرِ عَلَى قَوْلَيْنِ نَذْكُرُهُمَا مِنْ بَعْدُ لِأَنَّ مَحَلَّ الْحَلَمَةِ مِنَ الثَّدْيِ مَحَلُّ الْحَشَفَةِ مِنَ الذَّكَرِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, karena keindahan dan manfaat payudara terletak pada putingnya, sebagaimana manfaat tangan terletak pada jari-jarinya. Maka jika kedua puting dipotong, maka atas keduanya dikenakan diyat (denda) secara penuh, sebagaimana diyat menjadi penuh dengan memotong jari-jari. Jika pelaku atau orang lain kemudian memotong sisa payudara setelah putingnya terpotong, maka atas sisa tersebut dikenakan hukuman (hukumah), sebagaimana wajib hukuman atas pemotongan telapak tangan setelah jari-jarinya terpotong. Demikian pula, jika kedua puting menjadi rusak total akibat suatu kejahatan, maka diyat keduanya menjadi sempurna karena hilangnya manfaat keduanya. Jika hanya satu puting yang dipotong atau dirusak, maka atasnya dikenakan setengah diyat. Jika hanya sebagian bagiannya yang dipotong, maka dikenakan diyat sesuai bagiannya. Apakah bagian yang dipotong itu dihitung dari puting itu sendiri atau dari seluruh payudara, terdapat dua pendapat, sebagaimana perbedaan pendapat dalam kasus pemotongan sebagian hasyafah (kepala zakar): apakah dihitung bagiannya dari hasyafah saja atau dari seluruh zakar, terdapat dua pendapat yang akan kami sebutkan kemudian. Sebab, kedudukan puting pada payudara sama seperti kedudukan hasyafah pada zakar.”
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَيْسَ ذَلِكَ فِي الرَّجُلِ فَفِيهِمَا مِنَ الرَّجُلِ حُكُومَةٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Hal itu tidak berlaku pada laki-laki, maka pada keduanya dari laki-laki terdapat ḥukūmah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا ثَدْيُ الرَّجُلِ فَهُوَ أَقَلُّ مَنْفَعَةً وَجَمَالًا مِنْ ثَدْيِ الْمَرْأَةِ وَإِنْ لَمْ يَخْلُ مِنْ مَنْفَعَةٍ وَجَمَالٍ وَفِي قَطْعِهِمَا مِنْهُ قَوْلَانِ
Al-Mawardi berkata: Adapun payudara laki-laki, maka ia lebih sedikit manfaat dan keindahannya dibandingkan payudara perempuan, meskipun tidak sepenuhnya tanpa manfaat dan keindahan. Dalam hal pemotongan keduanya dari laki-laki, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ فِيهِمَا حُكُومَةٌ لِأَنَّ كَمَالَ مَنْفَعَتِهِمَا بِالرَّضَاعِ وَذَلِكَ مُخْتَصٌّ بِالْمَرْأَةِ دُونَ الرَّجُلِ فَوَجَبَ فِيهِمَا مِنَ الرَّجُلِ حُكُومَةٌ وَمِنِ الْمَرْأَةِ دِيَةٌ
Salah satunya, yang merupakan pendapat yang ditegaskan dalam masalah ini, adalah bahwa pada keduanya (yaitu, bagian tubuh tersebut) berlaku hukum ḥukūmah, karena kesempurnaan manfaat keduanya terletak pada menyusui, dan hal itu khusus bagi perempuan, tidak bagi laki-laki. Maka, jika yang melakukannya adalah laki-laki, dikenakan hukum ḥukūmah, sedangkan jika perempuan, dikenakan diyat.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي قَالَهُ فِي كِتَابِ الدِّيَاتِ فِيهِمَا الدِّيَةُ كَامِلَةً لِكَمَالِ نَفْعِهِمَا فِي الْجِنْسِ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ نَفْعِهِمَا فِي غَيْرِ الْجِنْسِ ولو قطعهما وأجاف موضعهما فعليه في إحدى الْقَوْلَيْنِ حُكُومَةٌ فِي الثَّدْيَيْنِ وَدِيَةُ جَائِفَتَيْنِ
Pendapat kedua disebutkan dalam Kitab Diyat: pada keduanya (yaitu dua anggota tubuh tersebut) dikenakan diyat (denda) secara penuh karena sempurnanya manfaat keduanya dalam jenisnya, meskipun manfaatnya lebih sedikit dibandingkan manfaat keduanya pada selain jenisnya. Jika seseorang memotong keduanya dan melukai tempatnya hingga dalam, maka menurut salah satu dari dua pendapat, dikenakan hukuman (ta‘zīr) pada kedua payudara dan diyat untuk dua luka dalam.
وَفِي الْقَوْلِ الثَّانِي دِيَةٌ كَامِلَةٌ فِي الثَّدْيَيْنِ وَدِيَةُ جَائِفَتَيْنِ وَلَوْ قَطَعَ حَلَمَتَيْ ثَدْيَيْهِ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ
Menurut pendapat kedua, diyat penuh dikenakan atas kedua payudara, dan diyat dua luka dalam (jaifah). Jika seseorang memotong kedua puting payudaranya, maka terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا فِيهِمَا حُكُومَةٌ دُونَ حُكُومَةِ الثَّدْيَيْنِ
Salah satunya di antara keduanya terdapat ḥukūmah yang nilainya di bawah ḥukūmah dua payudara.
والثاني فيما دِيَةٌ كَامِلَةٌ كَدِيَةِ الْيَدَيْنِ وَفِي قَطْعِ إِحْدَاهُمَا نِصْفُ الْوَاجِبِ فِي قَطْعِهِمَا مِنْ حُكُومَةٍ أَوْ دية
Yang kedua adalah pada kasus yang memiliki diyat (denda) penuh seperti diyat untuk kedua tangan, dan dalam pemotongan salah satunya dikenakan setengah dari kewajiban yang berlaku pada pemotongan keduanya, baik berupa hukūmah maupun diyat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي إِسْكَتَيْهَا وَهُمَا شَفْرَاهَا إِذَا أُوعِبَتَا دِيَتُهَا وَالرَّتْقَاءُ الَّتِي لَا تُؤْتَى وَغَيْرُهَا سَوَاءٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada kedua bibir kemaluan wanita, yaitu kedua bagian yang menutupinya, jika keduanya rusak seluruhnya maka wajib membayar diyatnya. Adapun wanita yang rahimnya tertutup rapat (ratqā’) sehingga tidak dapat dijima‘, hukumnya sama dengan wanita yang tidak demikian.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْإِسْكَتَانِ وَهُمَا الشَّفْرَانِ فَهُمَا مَا غَطَّى الْفَرْجَ وَانْضَمَّ عَلَيْهِ مِنْ جَانِبَيْهِ كَالشَّفَتَيْنِ فِي غِطَاءِ الْفَمِ وَالْجُفُونِ فِي غِطَاءِ الْعَيْنَيْنِ وَفِيهِمَا الدِّيَةُ كَامِلَةً إِذَا قُطِعَا مِنَ الْجَانِبَيْنِ؛ لِمَا فِيهِمَا مِنْ كَمَالِ الْمَنْفَعَةِ كَالشَّفَتَيْنِ فَإِنْ كَانَ الْقَاطِعُ لَهُمَا امْرَأَةً وَجَبَ عَلَيْهَا الْقِصَاصُ إِنْ أَمْكَنَ وَقَالَ الْمُزَنِيُّ لَا قِصَاصَ مَعَ الْمُكْنَةِ لِأَنَّهُ قَطْعُ لَحْمٍ مِنْ لَحْمٍ وَلَيْسَ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّ أَحَدَهُمَا فِي الْخِلْقَةِ يَجْرِي عَلَيْهِمَا حُكْمُ الْمَفْصِلِ فِي الْقِصَاصِ وَسَوَاءٌ قُطِعَا مِنْ بِكْرٍ أَوْ ثَيِّبٍ صَغِيرَةٍ أَوْ كَبِيرَةٍ يُطَاقُ جِمَاعُهَا أَوْ لَا يُطَاقُ مِنْ رَتْقٍ أَوْ قَرْنٍ لِأَنَّ الرَّتْقَ وَالْقَرَنَ عَيْبٌ فِي الْفَرْجِ مَعَ سَلَامَةِ الْإِسْكَتَيْنِ فَجَرَيَا في كمال الدية مجرى شفتي الأخرس وأدنى الْأَصَمِّ وَأَنْفِ الْأَخْشَمِ وَلَوْ ضَرَبَ إِسْكَتَيْهَا فَشُلَّا كَمُلَتْ دِيَتُهَا وَلَا قِصَاصَ فِيهِمَا كَالْيَدِ إِذَا شُلَّتْ وَهُوَ بِخِلَافِ الْأُذُنِ إِذَا اسْتَحْشَفَتْ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لِأَنَّ شَلَلَهُمَا قَدْ أَذْهَبَ مِنْ مَنَافِعِهِمَا مَا لَمْ يُذْهِبِ اسْتِحْشَافُ الْأُذُنِ وَلَوْ قَطَعَ إِحْدَى الْإِسْكَتَيْنِ كَانَ فِيهِ نِصْفُ الدِّيَةِ كَمَا لَوْ قَطَعَ إِحْدَى الشَّفَتَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Adapun al-iskatān, yaitu dua bibir kemaluan, maka keduanya adalah bagian yang menutupi kemaluan dan saling menempel dari kedua sisinya, seperti dua bibir yang menutupi mulut dan kelopak mata yang menutupi mata. Pada keduanya terdapat diyat (denda) secara penuh jika keduanya terpotong dari kedua sisinya, karena pada keduanya terdapat kesempurnaan manfaat seperti dua bibir. Jika yang memotong keduanya adalah seorang perempuan, maka wajib atasnya qishāsh jika memungkinkan. Al-Muzani berpendapat tidak ada qishāsh meskipun memungkinkan, karena itu hanyalah memotong daging dari daging, dan itu tidak demikian; sebab salah satunya dalam penciptaan berlaku atas keduanya hukum persendian dalam qishāsh. Sama saja apakah keduanya terpotong dari perempuan perawan atau janda, kecil atau besar, yang mungkin dijima‘ atau tidak mungkin karena ratq atau qarn, karena ratq dan qarn adalah cacat pada kemaluan dengan tetapnya al-iskatān, sehingga keduanya dalam kesempurnaan diyat seperti dua bibir orang bisu, telinga orang tuli tingkat rendah, dan hidung orang yang tidak sempurna penciumannya. Jika ia memukul kedua al-iskatān hingga lumpuh, maka diyatnya tetap sempurna dan tidak ada qishāsh pada keduanya seperti tangan jika lumpuh, berbeda dengan telinga jika menjadi kasar menurut salah satu pendapat, karena kelumpuhan keduanya telah menghilangkan manfaat yang tidak dihilangkan oleh kekasaran telinga. Jika memotong salah satu dari al-iskatān, maka diyatnya setengah, sebagaimana jika memotong salah satu dari dua bibir.
فَأَمَّا الرَّكَبُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْعَانَةِ مِنَ الرَّجُلِ وَفِي قَطْعِهِ مِنَ الْمَرْأَةِ حُكُومَةٌ لَا يَبْلُغُ بِهِمَا الدِّيَةَ فَإِنْ قَطَعَهُ مَعَ الشَّفْرَيْنِ فَعَلَيْهِ دِيَةٌ فِي الشَّفْرَيْنِ وَحُكُومَةٌ فِي الرَّكَبِ وَالْمَخْفُوضَةُ وَغَيْرُهَا سَوَاءٌ وَالْخَفْضُ قَطْعُ جِلْدَةٍ نَابِتَةٍ فِي أَعْلَى الْفَرَجِ مِثْلِ عُرْفِ الدِّيكِ وَهِيَ الَّتِي وَرَدَ الشَّرْعُ بِأَخْذِهَا مِنَ النِّسَاءِ كَالْخِتَانِ فِي الرِّجَالِ وَلَا شَيْءَ فِيهَا إِنْ قُطِعَتْ بِجِنَايَةٍ مِنْ دِيَةٍ وَلَا حُكُومَةٍ لِوُرُودِ الشَّرْعِ بِأَخْذِهَا تَعَبُّدًا وَإِنْ كَانَ يَأْخُذُهَا مُتَعَدِّيًا إِلَّا أَنْ تَسْرِي فَيَضْمَنُ أرش سرايتها لتعديه
Adapun rukb (bagian tertentu pada wanita) posisinya setara dengan ‘anah (bagian kemaluan) pada laki-laki. Jika bagian ini terpotong pada wanita, maka dikenakan hukuman berupa ḥukūmah, yang nilainya tidak sampai pada diyat. Jika ia memotongnya bersamaan dengan dua syafratain (bibir kemaluan), maka ia wajib membayar diyat untuk dua syafratain dan ḥukūmah untuk rukb. Baik wanita yang dikhitan (makhfūḍah) maupun yang tidak, hukumnya sama. Khafḍ adalah pemotongan kulit yang tumbuh di bagian atas farj (kemaluan) wanita, seperti jengger ayam, dan inilah yang disyariatkan untuk diambil dari wanita, sebagaimana khitan pada laki-laki. Tidak ada kewajiban diyat maupun ḥukūmah jika bagian ini terpotong karena jinayah (penganiayaan), karena syariat memerintahkan untuk mengambilnya sebagai bentuk ibadah, meskipun yang mengambilnya melampaui batas. Kecuali jika pemotongan itu menyebabkan luka menyebar, maka ia wajib menanggung arsy (ganti rugi) atas penyebaran luka tersebut karena perbuatannya yang melampaui batas.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ أَفْضَى ثَيِّبًا كَانَ عَلَيْهِ دِيَتُهَا وَمَهْرُ مِثْلِهَا بِوَطْئِهِ إِيَّاهَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang menyebabkan kerusakan pada seorang perempuan yang sudah pernah menikah (tsayyib), maka ia wajib membayar diyatnya dan mahar yang sepadan dengannya karena telah menyetubuhinya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا إِفْضَاءُ الْمَرْأَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَذَهَبَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورُ الْمِصْرِيِّينَ إِلَى أَنَّهُ هَتْكُ الْحَاجِزِ الَّذِي بَيْنَ سَبِيلِ الْفَرْجَيْنِ الْقَبُلِ وَالدُّبُرِ وَذَهَبَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ وَجُمْهُورُ الْبَغْدَادِيِّينَ إِلَى أَنَّهُ هَتْكُ الْحَاجِزِ الَّذِي فِي الْفَرْجِ بَيْنَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ وَمَخْرَجِ الْبَوْلِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ لِأَنَّ خَرْقَ الْحَاجِزِ الَّذِي فِي الْقُبُلِ بَيْنَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ وَمَخْرَجِ الْبَوْلِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ لِأَنَّ خَرْقَ الْحَاجِزِ الَّذِي فِي الْقُبُلِ بَيْنَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ وَمَخْرَجِ الْبَوْلِ هُوَ اسْتِهْلَاكٌ لِبَعْضِ مَنَافِعِهِ وَلَيْسَ فِي أَعْضَاءِ الْجَسَدِ مَا تَكْمُلُ الدِّيَةُ فِي بَعْضِ مَنَافِعِهِ وَإِذَا خَرَقَ مَا بَيْنَ السَّبِيلَيْنِ كَانَ اسْتِهْلَاكًا لِجَمِيعِ الْمَنَافِعِ فَكَانَ بِكَمَالِ الدِّيَةِ أَحَقَّ
Al-Mawardi berkata: Adapun mengenai ifdā’ (kerusakan pada kemaluan) perempuan, para ulama kami berbeda pendapat tentangnya. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan mayoritas ulama Mesir berpendapat bahwa yang dimaksud adalah rusaknya pembatas antara dua saluran kemaluan, yaitu qubul (kemaluan depan) dan dubur (kemaluan belakang). Sedangkan Abu Hamid al-Isfara’ini dan mayoritas ulama Baghdad berpendapat bahwa yang dimaksud adalah rusaknya pembatas di dalam qubul, yaitu antara tempat masuknya zakar dan tempat keluarnya air kencing. Ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah. Pendapat pertama lebih kuat, karena merusak pembatas yang ada di qubul antara tempat masuknya zakar dan tempat keluarnya air kencing merupakan kerusakan pada sebagian manfaatnya, sedangkan tidak ada anggota tubuh yang jika sebagian manfaatnya rusak maka diyat (denda) menjadi sempurna. Jika yang dirusak adalah pembatas antara dua saluran, maka itu berarti menghilangkan seluruh manfaatnya, sehingga lebih berhak untuk dikenakan diyat secara penuh.
فَإِنْ قِيلَ بِهَذَا إِنَّهُ خَرَقَ مَا بَيْنَ السَّبِيلَيْنِ كَانَ عَلَى خَرْقِ الْحَاجِزِ الَّذِي فِي الْقُبُلِ حُكُومَةٌ
Jika dikatakan bahwa dengan hal ini ia telah merobek batas antara dua jalan, maka atas perobekan penghalang yang ada pada qubul (kemaluan depan) terdapat kewajiban membayar hukūmah.
وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ خَرْقُ حَاجِزِ الْقُبُلِ كَانَ خَرْقُ مَا بَيْنَ السَّبِيلَيْنِ أَوْلَى بِوُجُوبِ الدِّيَةِ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَالْإِفْضَاءُ مَضْمُونٌ بِالدِّيَةِ الْكَامِلَةِ وَإِنْ كَانَ الْبَوْلُ مَعَهُ مُسْتَمْسِكًا فَإِنِ اسْتَرْسَلَ الْبَوْلُ وَلَمْ يَسْتَمْسِكْ وَجَبَ مَعَ دِيَةِ الْإِفْضَاءِ حُكُومَةٌ فِي اسْتِرْسَالِ الْبَوْلِ
Jika dikatakan bahwa itu adalah merobek penghalang qubul, maka merobek bagian antara dua jalan (qubul dan dubur) lebih utama untuk mewajibkan pembayaran diyat. Jika hal ini telah tetap, maka ifdā’ (merusak penghalang antara qubul dan dubur) dijamin dengan diyat penuh, meskipun air kencing masih dapat ditahan bersamanya. Namun, jika air kencing mengalir terus dan tidak dapat ditahan, maka selain diyat ifdā’, wajib pula membayar ḥukūmah atas keluarnya air kencing yang terus-menerus itu.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنِ اسْتَرْسَلَ الْبَوْلُ بِالْإِفْضَاءِ فَفِيهِ الدِّيَةُ التَّامَّةُ وَحْدَهَا مِنْ غَيْرِ حُكُومَةٍ وَإِنِ اسْتَمْسَكَ الْبَوْلُ فَفِي الْإِفْضَاءِ ثُلُثُ الدِّيَةِ وَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا حُكُومَةَ عَلَيْهِ مَعَ اسْتِرْسَالِ الْبَوْلِ بِأَنَّ مَا ضُمِنَ إِتْلَافُهُ بِالدِّيَةِ دَخَلَ غُرْمُ مَنَافِعِهِ فِي دِيَتِهِ كَمَا لَوْ قَطَعَ لِسَانَهُ فَأَذْهَبَ كَلَامَهُ أَوْ فَقَأَ عَيْنَهُ فَأَذْهَبَ بَصَرَهُ وَاسْتَدَلَّ عَلَى أَنَّ فِيهِ مَعَ اسْتِمْسَاكِ الْبَوْلِ ثُلُثُ الدِّيَةِ بِأَنَّهُ لَيْسَ هَتْكُ هَذَا الْحَاجِزِ بِأَعْظَمَ مِنْ حَاجِزِ الْجَائِفَةِ فَلَمَّا وَجَبَتْ فِي الْجَائِفَةِ ثُلُثُ الدِّيَةِ كَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَجِبَ فِي الْإِفْضَاءِ أَكْثَرُ مِنْ ثُلُثِ الدِّيَةِ وَتُقَدَّرُ بِثُلُثِ الدِّيَةِ لِأَنَّهُمَا مَعًا هَتْكُ حَاجِزٍ فِي جَوْفٍ
Abu Hanifah berkata: Jika air seni mengalir terus akibat ifdā’ (merusak penahan air seni), maka wajib membayar diyat (denda) penuh saja tanpa adanya hukūmah (penilaian tambahan). Namun, jika air seni masih dapat tertahan, maka pada kasus ifdā’ tersebut wajib membayar sepertiga diyat. Ia berdalil bahwa tidak ada hukūmah pada kasus air seni yang mengalir terus, karena sesuatu yang kerusakannya dijamin dengan diyat, maka kerugian atas manfaatnya juga termasuk dalam diyat tersebut, sebagaimana jika seseorang memotong lidah orang lain hingga menghilangkan kemampuannya berbicara, atau mencungkil matanya hingga menghilangkan penglihatannya. Ia juga berdalil bahwa pada kasus air seni yang masih dapat tertahan, wajib membayar sepertiga diyat, karena merusak penahan ini tidak lebih besar dari penahan pada luka ja’ifah (luka tembus ke rongga tubuh). Maka, ketika pada luka ja’ifah diwajibkan sepertiga diyat, maka lebih utama jika pada ifdā’ tidak diwajibkan lebih dari sepertiga diyat. Keduanya diperkirakan dengan sepertiga diyat, karena keduanya sama-sama merupakan perusakan penahan dalam rongga tubuh.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ فِي اسْتِرْسَالِ الْبَوْلِ حُكُومَةً زَائِدَةً عَلَى دِيَةِ الْإِفْضَاءِ أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَسْتَمْسِكَ الْبَوْلُ مَعَ وُجُودِ الْإِفْضَاءِ وَجَازَ أَنْ يَسْتَرْسِلَ عُلِمَ أَنَّهُ فِي غَيْرِ مَحَلِّ الْإِفْضَاءِ فَصَارَ مِنْ مَنَافِعِ غَيْرِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَرْشُهُ زَائِدًا عَلَى أَرْشِ الْإِفْضَاءِ كَمَا لَوْ قَطَعَ أُذُنَهُ فَأَذْهَبَ سَمْعَهُ أَوْ جَدَعَ أَنْفَهُ فَأَذْهَبَ شَمَّهُ لَزِمَهُ غُرْمُهَا وَخَالَفَ ذَهَابَ الْكَلَامِ بِقَطْعِ اللِّسَانِ وَذَهَابَ الْبَصَرِ بِفَقْءِ الْعَيْنِ لِاخْتِصَاصِهِمَا بِمَحَلِّ الْجِنَايَةِ إِذْ لَيْسَ يَصِحُّ أَنْ يَتَكَلَّمَ مَعَ قَطْعِ لِسَانِهِ وَلَا يُبْصِرَ مَعَ فَقْءِ عَيْنِهِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَضْمَنْهَا بِزِيَادَةٍ عَلَى أَرْشِ الْجِنَايَةِ
Dan dalil bahwa pada keluarnya air seni secara terus-menerus terdapat ganti rugi (ḥukūmah) yang lebih dari diyat karena merusak kemampuan bersenggama (ifḍā’), adalah bahwa ketika memungkinkan air seni tetap tertahan meskipun terjadi ifḍā’, dan juga memungkinkan air seni keluar terus-menerus, maka diketahui bahwa hal itu berada di selain tempat terjadinya ifḍā’. Maka, hal itu menjadi bagian dari manfaat selainnya, sehingga wajib ganti rugi (arsh) yang lebih besar daripada arsh ifḍā’, sebagaimana jika seseorang memotong telinga orang lain lalu menghilangkan pendengarannya, atau memotong hidung lalu menghilangkan penciumannya, maka ia wajib menanggung kerugian keduanya. Hal ini berbeda dengan hilangnya kemampuan berbicara karena memotong lidah, atau hilangnya penglihatan karena mencungkil mata, karena keduanya khusus pada tempat terjadinya jināyah (kejahatan), sebab tidak mungkin seseorang bisa berbicara dengan lidah yang telah terpotong, atau bisa melihat dengan mata yang telah dicungkil. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban menanggung kerugian lebih dari arsh jināyah.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ فِي الْإِفْضَاءِ دِيَةً كَامِلَةً أَنَّ الْأَعْضَاءَ الْبَاطِنَةَ فِي الْجَسَدِ أَخْوَفُ عَلَى النَّفْسِ مِنَ الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ فَكَانَتْ بِكَمَالِ الدِّيَةِ أَحَقَّ وَهَذَا الْحَاجِزُ مِنْ تَمَامِ الْخِلْقَةِ وَمَخْصُوصٌ بِمَنْفَعَةٍ لَا تُوجَدُ فِي غَيْرِهِ لِامْتِيَازِ الْحَيْضِ وَمَخْرَجِ الْوَلَدِ عَنْ مَخْرَجِ الْبَوْلِ لِأَنَّ الْحَيْضَ وَالْوَلَدَ يَخْرُجَانِ مِنْ مَدْخَلِ الذَّكَرِ فَإِذَا انْخَرَقَ الْحَاجِزُ بِالْإِفْضَاءِ زَالَ بِالْجِنَايَةِ عَلَيْهِ مَا لَا يَقُومُ غَيْرُهُ مَقَامَهُ فَأَشْبَهَ الْأَعْضَاءَ الْمُفْرَدَةَ مِنَ اللِّسَانِ وَالْأَنْفِ وَلِأَنَّ الْإِفْضَاءَ يَقْطَعُ التَّنَاسُلَ لِأَنَّ النُّطْفَةَ لَا تَسْتَقِرُّ فِي مَحَلِّ الْعُلُوقِ لِامْتِزَاجِهَا بِالْبَوْلِ فَجَرَى مَجْرَى قَطْعِ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ وَفِي ذَلِكَ كَمَالُ الدِّيَةِ فَكَذَلِكَ الْإِفْضَاءُ
Dalil bahwa pada kasus ifdā’ (rusaknya dinding pemisah antara saluran kencing dan vagina) terdapat kewajiban membayar diyat (denda) secara penuh adalah karena anggota tubuh bagian dalam lebih berbahaya bagi jiwa dibandingkan anggota tubuh bagian luar, sehingga lebih berhak mendapatkan diyat yang sempurna. Dinding pemisah tersebut merupakan bagian dari kesempurnaan penciptaan dan memiliki manfaat khusus yang tidak terdapat pada selainnya, yaitu membedakan antara haid dan jalan lahir dengan jalan keluarnya air kencing, sebab haid dan anak keluar dari tempat masuknya zakar. Jika dinding pemisah itu robek akibat ifdā’, maka dengan terjadinya jinayah (penganiayaan) atasnya, hilanglah sesuatu yang tidak dapat digantikan oleh selainnya, sehingga ia serupa dengan anggota tubuh tunggal seperti lidah dan hidung. Selain itu, ifdā’ memutuskan kemungkinan keturunan karena air mani tidak dapat menetap di tempat pembuahan akibat bercampur dengan air kencing, sehingga hukumnya seperti memotong zakar dan dua alat kelamin perempuan, yang pada keduanya terdapat kewajiban diyat penuh. Maka demikian pula pada kasus ifdā’.
فَأَمَّا الِاسْتِشْهَادُ بِالْجَائِفَةِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ دِيَةَ الْجَائِفَةِ الثُّلُثُ لِانْدِمَالِهَا وَلَوْ لَمْ تَنْدَمِلْ لَأَفْضَتْ إِلَى النَّفْسِ فَكَمُلَ فِيهَا الدِّيَةُ وَالْإِفْضَاءُ غَيْرُ مُنْدَمِلٍ فَكَمُلَتْ فِيهِ الدِّيَةُ وَلَوِ انْدَمَلَ لَمَا كَمُلَتْ فِيهِ الدِّيَةُ وَلَوَجَبَ فِيهِ حُكُومَةٌ فَافْتَرَقَا
Adapun beristidlal dengan luka jaifah tidaklah benar, karena diyat luka jaifah adalah sepertiga disebabkan ia dapat sembuh. Jika tidak sembuh, maka akan berakibat pada kematian jiwa sehingga diyatnya menjadi sempurna. Sedangkan ifdā’ (melukai hingga menembus rongga tubuh) tidak dapat sembuh, sehingga diyatnya menjadi sempurna. Jika ia dapat sembuh, maka diyatnya tidak menjadi sempurna dan hanya wajib hukūmah (ganti rugi berdasarkan penilaian hakim). Maka keduanya berbeda.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ حُكْمِ الْإِفْضَاءِ فَلَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ بِوَطْءٍ أَوْ بِغَيْرِ وَطْءٍ فَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ وَطْءٍ وَهُوَ نَادِرٌ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَنْدَمِلَ أَوْ لَا يَنْدَمِلَ فَإِنِ انْدَمَلَ فَفِيهِ حُكُومَةٌ وَإِنْ لَمْ يَنْدَمِلْ فَفِيهِ الدِّيَةُ فَإِنِ اقْتَرَنَ بِهِ اسْتِرْسَالُ الْبَوْلِ فَفِيهِ مَعَ الدِّيَةِ حُكُومَةٌ فَإِنِ اقْتَرَنَ بِالْإِفْضَاءِ ذَهَابُ الْعُذْرَةِ مِنَ الْبِكْرِ وَجَبَ فِيهِ مَعَ دِيَةِ الْإِفْضَاءِ حُكُومَةُ الْعُذْرَةِ عَلَى غَيْرِ الزَّوْجِ وَلَمْ يَجِبْ فِيهِ عَلَى الزَّوْجِ حُكُومَةٌ لِأَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِإِزَالَتِهَا بِاسْتِمْتَاعِهِ فَاسْتَوَى الزَّوْجُ وَغَيْرُهُ فِي دِيَةِ الْإِفْضَاءِ وَحُكُومَةِ اسْتِرْسَالِ الْبَوْلِ وَلَمْ يَكُنْ لِهَذَا الْإِفْضَاءِ تَأْثِيرٌ فِي وُجُوبِ الْمَهْرِ عَلَى الْأَجْنَبِيِّ وَلَا فِي كَمَالِهِ عَلَى الزَّوْجِ لِخُلُوِّهِ مِنْ وَطْءٍ وَإِنْ كَانَ هَذَا الْإِفْضَاءُ بِوَطْءٍ وَهُوَ الْأَغْلَبُ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Jika telah tetap apa yang kami sebutkan mengenai hukum ifdā’, maka hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi karena hubungan badan atau bukan karena hubungan badan. Jika terjadi bukan karena hubungan badan, yang mana hal ini jarang terjadi, maka tidak lepas dari dua keadaan: bisa sembuh atau tidak bisa sembuh. Jika bisa sembuh, maka ada kewajiban membayar ḥukūmah; jika tidak bisa sembuh, maka wajib membayar diyat. Jika disertai dengan keluarnya air kencing secara terus-menerus, maka bersama diyat juga wajib membayar ḥukūmah. Jika ifdā’ tersebut menyebabkan hilangnya keperawanan pada seorang gadis, maka bersama diyat ifdā’ juga wajib membayar ḥukūmah keperawanan jika pelakunya bukan suami, dan tidak wajib membayar ḥukūmah jika pelakunya adalah suami, karena suami berhak menghilangkannya melalui hubungan suami istri. Maka, suami dan selain suami sama dalam kewajiban membayar diyat ifdā’ dan ḥukūmah akibat keluarnya air kencing, dan ifdā’ ini tidak berpengaruh pada kewajiban mahar atas orang lain (bukan suami) maupun pada kesempurnaan mahar atas suami karena tidak terjadi hubungan badan. Namun, jika ifdā’ ini terjadi karena hubungan badan, yang mana ini lebih sering terjadi, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مِنْ زَوْجٍ فِي نِكَاحٍ
Salah satunya adalah berasal dari suami dalam suatu pernikahan.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ
Dan yang kedua adalah berasal dari hubungan intim karena syubhat.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ مِنْ زِنًا
Dan yang ketiga adalah berasal dari zina.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مِنْ زَوْجٍ فِي عَقْدِ نِكَاحٍ فَعَلَيْهِ دِيَةُ الْإِفْضَاءِ وَكَمَالُ الْمَهْرِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِفْضَاؤُهَا غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى الزَّوْجِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَكْثَرُ الْمَهْرِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَا اسْتُبِيحَ مِنَ الْوَطْءِ لَمْ يُضْمَنْ بِهِ مَا حَدَثَ مِنِ اسْتِهْلَاكٍ كَزَوَالِ الْعُذْرَةِ وَلِأَنَّ الْفِعْلَ الْمُبَاحَ لَا تُضْمَنُ سِرَايَتُهُ كَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ
Adapun bagian pertama, yaitu jika dilakukan oleh suami dalam akad nikah, maka atasnya wajib membayar diyat al-ifdā’ dan mahar secara penuh. Abu Hanifah berpendapat bahwa ifdā’ (merusak kemaluan istri) tidak menjadi tanggungan suami dan ia tidak wajib membayar lebih dari mahar, dengan alasan bahwa apa yang telah dihalalkan dari hubungan suami istri tidak menimbulkan tanggungan atas apa yang terjadi akibat kerusakan, seperti hilangnya keperawanan. Selain itu, perbuatan yang mubah tidak menimbulkan tanggungan atas akibat yang ditimbulkannya, seperti pemotongan tangan dalam kasus pencurian.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهَا جِنَايَةٌ قَدْ يَتَجَرَّدُ الْوَطْءُ عَنْهَا فَلَمْ يَدْخُلْ أَرْشُهَا فِي حُكْمِهِ كَالْوَطْءِ بِشُبْهَةٍ لَا يَسْقُطُ بِالْمَهْرِ فِيهِ دِيَةُ الْإِفْضَاءِ وَلِأَنَّهُمَا حَقَّانِ مُخْتَلِفَانِ وَجَبَا بِسَبَبَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ لِأَنَّهُ مَهْرٌ مُسْتَحَقٌّ بالتقاء الختانين ودية مُسْتَحَقَّةٌ بِالْإِفْضَاءِ فَجَازَ اجْتِمَاعُهُمَا كَالْجَزَاءِ وَالْقِيمَةِ فِي قَتْلِ الْعَبْدِ الْمَمْلُوكِ وَلِأَنَّ الْجِنَايَاتِ إِذَا ضَمِنَهَا غَيْرُ الزَّوْجِ ضَمِنَهَا الزَّوْجُ كَقَطْعِ الْأَعْضَاءِ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ الْعُذْرَةُ لِأَنَّهَا مِنَ الزَّوْجِ مُسْتَحَقَّةٌ وَبِهَذَا فَرَّقْنَا بَيْنَهُمَا وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِحُدُوثِ سِرَايَتِهِ عَنْ فِعْلٍ مُبَاحٍ فَلَيْسَ مَا أَدَّى إِلَى الْإِفْضَاءِ مُبَاحًا وَجَرَى مَجْرَى ضَرْبِ الزَّوْجَةِ يُسْتَبَاحُ مِنْهُ مَا لَمْ يُؤَدِّ إِلَى التَّلَفِ وَلَا يُسْتَبَاحُ مَا أَدَّى إِلَيْهِ وَهُوَ يُضْمَنُ فِي الضَّرْبِ مَا أَدَّى إِلَى التَّلَفِ فَوَجَبَ أَنْ يُضْمَنَ بِالْوَطْءِ مَا أَدَّى إِلَى الْإِفْضَاءِ
Dalil kami adalah bahwa hal itu merupakan suatu jinayah (tindakan kriminal) yang terkadang hubungan seksual dapat terjadi tanpa adanya jinayah tersebut, sehingga kompensasinya tidak termasuk dalam hukumnya, seperti hubungan seksual karena syubhat yang diyat al-ifda’ (denda karena menyebabkan kerusakan) di dalamnya tidak gugur dengan mahar. Karena keduanya adalah dua hak yang berbeda dan wajib karena dua sebab yang berbeda; sebab yang satu adalah mahar yang menjadi hak karena bertemunya dua khitan, dan yang satu lagi adalah diyat yang menjadi hak karena terjadinya ifda’. Maka keduanya boleh berkumpul, seperti halnya diyat dan nilai budak dalam kasus pembunuhan budak milik orang lain. Dan karena jinayah, jika ditanggung oleh selain suami, maka suami pun menanggungnya, seperti pemotongan anggota tubuh. Dan tidak termasuk ke dalamnya keperawanan, karena itu merupakan hak yang menjadi milik suami. Dengan ini, kami membedakan antara keduanya. Adapun dalil mereka dengan terjadinya penyebaran akibat perbuatan yang mubah, maka tidak setiap yang menyebabkan ifda’ itu mubah. Hal itu seperti memukul istri, yang dibolehkan selama tidak menyebabkan kerusakan, dan tidak dibolehkan jika menyebabkan kerusakan. Maka dalam kasus memukul, wajib mengganti kerusakan yang ditimbulkan, maka wajib pula mengganti kerusakan akibat hubungan seksual yang menyebabkan ifda’.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْإِفْضَاءُ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ فَيَلْزَمُ الْوَاطِئَ بِالشُّبْهَةِ مَهْرُ الْمِثْلِ بِالْوَطْءِ وَدِيَةُ الْإِفْضَاءِ وَلَا يَسْقُطُ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ
Adapun bagian kedua, yaitu apabila terjadinya ifdā’ (kerusakan alat kelamin) disebabkan oleh hubungan intim karena syubhat, maka orang yang melakukan hubungan intim karena syubhat wajib membayar mahar mitsil karena hubungan tersebut dan juga membayar diyat atas ifdā’. Kewajiban yang satu tidak menggugurkan kewajiban yang lain.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَلْزَمُهُ دِيَةُ الْإِفْضَاءِ وَيَسْقُطُ بِهَا الْمَهْرُ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ ضَمَانَ الْعُضْوِ بِالْإِتْلَافِ يَدْخُلُ فِيهِ ضَمَانُ الْمَنْفَعَةِ كَمَا يَضْمَنُ يَدَهُ إِذَا قَطَعَهَا بِمَا يَضْمَنُهَا بِهِ لَوْ أَشَلَّهَا
Abu Hanifah berpendapat bahwa ia wajib membayar diyat karena ifdā’, dan dengan itu gugurlah mahar, dengan alasan bahwa jaminan atas anggota tubuh karena perusakan mencakup pula jaminan atas manfaatnya, sebagaimana ia wajib menjamin tangan jika memotongnya dengan apa yang wajib dijaminnya jika membuatnya lumpuh.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّهَا جِنَايَةٌ قَدْ تَنْفَكُّ عَنْ وَطْءٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَدْخُلَ الْمُهْرُ فِي أَرْشِهَا كَمَا لَوْ قَطَعَ أَحَدَ أَعْضَائِهَا وَلِأَنَّهُمَا حَقَّانِ مُخْتَلِفَانِ وَجَبَا بِسَبَبَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ فَلَمْ يَتَدَاخَلَا كَالْقِيمَةِ وَالْجَزَاءِ وَهَذَا يَمْنَعُ مِنْ جَمْعِهِمْ بَيْنَ قَطْعِ الْيَدِ وَشَلَلِهَا
Dan dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Maka baginya mahar karena telah dihalalkan kemaluannya.” Maka hukum ini berlaku secara umum. Selain itu, perbuatan tersebut merupakan jinayah yang bisa saja terpisah dari hubungan badan, sehingga mahar tidak boleh dimasukkan ke dalam diyatnya, sebagaimana jika salah satu anggota tubuhnya dipotong. Karena keduanya adalah dua hak yang berbeda dan wajib karena dua sebab yang berbeda, maka keduanya tidak saling masuk, seperti halnya antara nilai barang dan ganti rugi. Hal ini juga mencegah penggabungan antara pemotongan tangan dan kelumpuhannya.
فَإِذَا ثَبَتَ الْجَمْعُ بَيْنَ مَهْرِ الْمِثْلِ وَدِيَةِ الْإِفْضَاءِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمُفْضَاةِ مِنْ أَنْ تَكُونَ بِكْرًا أَوْ ثَيِّبًا فَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا الْتَزَمَ مُفْضِيهَا ثَلَاثَةَ أَحْكَامٍ مَهْرَ مِثْلِهَا وَدِيَةَ إِفْضَائِهَا وَحُكُومَةَ اسْتِرْسَالِ بَوْلِهَا وَإِنْ كَانْتَ بِكْرًا الْتَزَمَ الْأَحْكَامَ الثَّلَاثَةَ وَهَلْ يلتزم معها أرش بكارتها أو تكون دَاخِلًا فِي دِيَةِ إِفْضَائِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Jika telah tetap adanya penggabungan antara mahar mitsil dan diyat karena ifdā’, maka keadaan wanita yang mengalami ifdā’ tidak lepas dari dua kemungkinan: masih perawan atau sudah janda. Jika ia sudah janda, maka orang yang menyebabkan ifdā’ wajib menanggung tiga hal: mahar mitsil, diyat karena ifdā’, dan hukuman atas keluarnya air kencing secara terus-menerus. Jika ia masih perawan, maka ia juga wajib menanggung tiga hal tersebut. Adapun apakah ia juga wajib menanggung kompensasi atas keperawanannya ataukah itu sudah termasuk dalam diyat karena ifdā’, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَلْزَمُهُ أَرْشُ الْبَكَارَةِ لِأَنَّهُ يَلْزَمُهُ وَإِنْ لَمْ يُفْضِهَا فَكَانَ لُزُومُهُ مَعَ إِفْضَائِهَا أَوْلَى
Salah satunya wajib membayar arsy al-bakārah karena ia tetap wajib membayarnya meskipun tidak melakukan ifdā’, maka kewajiban membayar ketika melakukan ifdā’ tentu lebih utama.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَلْزَمُهُ مَعَ دِيَةِ الْإِفْضَاءِ أرش البكارة ويكون داخلاً في الدية لِأَنَّهَا جِنَايَةٌ وَاحِدَةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَدْخُلَ حُكْمُ ابْتِدَائِهَا فِي انْتِهَائِهَا كَدُخُولِ أَرْشِ الْمُوضِحَةِ فِي دِيَةِ الْمَأْمُومَةِ وَقَوْلُ الشَّافِعِيِّ لَوْ أَفْضَى ثَيِّبًا كَانَ عَلَيْهِ دِيَتُهَا لَيْسَ بِشَرْطٍ لِأَنَّ إِفْضَاءَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ فِي الدِّيَةِ سَوَاءٌ
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak wajib membayar arsy keperawanan selain diyat akibat ifdā’, karena hal itu merupakan satu tindak kejahatan, sehingga hukum permulaannya harus termasuk dalam hukum akhirnya, sebagaimana arsy luka muḍīḥah termasuk dalam diyat luka ma’mūmah. Pernyataan Imam Syafi’i bahwa jika seseorang menyebabkan ifdā’ pada perempuan yang sudah tidak perawan, maka wajib membayar diyatnya, bukanlah syarat, karena ifdā’ pada perempuan perawan dan tidak perawan dalam hal diyat adalah sama.
فَصْلٌ
Bagian
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْإِفْضَاءُ مِنْ وَطْءِ زِنًا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمَوْطُوءَةِ مِنْ أَنْ تَكُونَ مُطَاوِعَةً أَوْ مُكْرَهَةً فَإِنْ كَانَتْ مُطَاوِعَةً فَلَيْسَ لَهَا مَهْرٌ وَلَا أَرْشُ الْبَكَارَةِ لِأَنَّهَا مُبِيحَةٌ لَهُ بِالْمُطَاوَعَةِ وَلَهَا دِيَةُ الْإِفْضَاءِ لِأَنَّهُ قَدْ يَتَجَرَّدُ عَنِ الْوَطْءِ بِخِلَافِ الِافْتِضَاضِ وَذَهَابِ الْعُذْرَةِ فَصَارَتْ بِالْمُطَاوَعَةِ غَيْرَ مُبِيحَةٍ لِلْإِفْضَاءِ وَإِنْ أَبَاحَتْ ذَهَابَ الْعُذْرَةِ وَعَلَيْهَا الْحَدُّ وَإِنْ كَانَتْ مُكْرَهَةً وَجَبَ لَهَا مَهْرٌ وَدِيَةُ الْإِفْضَاءِ وَفِي وُجُوبِ أَرْشِ الْبَكَارَةِ وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى مِنْ وَطْءِ الشُّبْهَةِ يَجِبُ فِي أَحَدِهِمَا وَلَا يَجِبُ فِي الْآخَرِ وَعَلَيْهِ حَدُّ الزِّنَا دُونَهَا
Adapun bagian ketiga, yaitu apabila terjadinya ifdā’ (kerusakan alat kelamin perempuan) disebabkan oleh persetubuhan zina, maka keadaan perempuan yang disetubuhi tidak lepas dari dua kemungkinan: rela atau dipaksa. Jika ia rela, maka ia tidak berhak mendapatkan mahar maupun arsy al-bakārah (ganti rugi keperawanan), karena ia telah mengizinkan perbuatan itu dengan kerelaannya. Namun, ia berhak mendapatkan diyat ifdā’, karena ifdā’ bisa saja terjadi tanpa adanya persetubuhan, berbeda dengan hilangnya keperawanan. Dengan kerelaannya, ia tidak mengizinkan terjadinya ifdā’, meskipun ia mengizinkan hilangnya keperawanan. Ia juga dikenai hukuman had. Jika ia dipaksa, maka ia berhak mendapatkan mahar dan diyat ifdā’. Adapun mengenai kewajiban arsy al-bakārah, terdapat dua pendapat sebagaimana yang telah dijelaskan pada kasus wath’ syubhat: menurut salah satu pendapat wajib, dan menurut pendapat lain tidak wajib. Pelaku zina dikenai hukuman had, sedangkan perempuan tidak.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَسْقُطُ عَنْهُ الْمَهْرُ مَعَ وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ وَلَا يَسْقُطُ مَهْرُهَا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ بِسُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهَا وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِيهَا
Abu Hanifah berpendapat bahwa mahar gugur darinya bersamaan dengan wajibnya had atasnya, sedangkan menurut asy-Syafi‘i, maharnya tidak gugur dengan gugurnya had darinya, dan pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حُكْمِ الْإِفْضَاءِ وَوُجُوبِ الدِّيَةِ الْكَامِلَةِ فِيهِ مَعَ مَا يَقْتَرِنُ بِهِ مِنَ الْأُرُوَشِ الزَّائِدَةِ فِي اسْتِرْسَالِ الْبَوْلِ وَذَهَابِ الْعُذْرَةِ فَقَدْ يَنْقَسِمُ الْإِفْضَاءُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan mengenai hukum ifdā’ dan kewajiban membayar diyat secara penuh dalam hal itu, beserta tambahan kompensasi (‘urūsy) yang menyertainya seperti keluarnya air kencing secara terus-menerus dan hilangnya keperawanan, maka ifdā’ dapat terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا مَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْعَمْدِ الْمَحْضِ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْمَوْطُوءَةُ صغيرة والواطء كبير الذكر يعلم أن وطء مثله يُفْضِيهَا فَهُوَ عَامِدٌ فِي الْإِفْضَاءِ فَيَلْزَمُهُ دِيَةٌ مغلظة حالة في مالها وَإِنْ أَفْضَى الْإِفْضَاءُ إِلَى تَلَفِهَا كَانَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَدَخَلَتْ دِيَةُ الْإِفْضَاءِ فِي دِيَةِ النَّفْسِ وَكَذَلِكَ أَرْشُ الْبَكَارَةِ وَلَا يَدْخُلُ فِيهِ مَهْرُ الْمِثْلِ
Salah satunya adalah yang berlaku padanya hukum ‘amdan murni, yaitu jika perempuan yang digauli masih kecil dan laki-laki yang menggauli memiliki alat kelamin besar serta mengetahui bahwa hubungan seperti itu akan menyebabkan kerusakan padanya, maka ia dianggap sengaja dalam menyebabkan kerusakan tersebut. Maka ia wajib membayar diyat yang diperberat secara tunai dari hartanya. Jika kerusakan itu menyebabkan kematiannya, maka ia wajib dikenai qishāsh, dan diyat kerusakan tersebut termasuk dalam diyat jiwa, demikian pula arsy keperawanan, dan tidak termasuk di dalamnya mahar mitsil.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ عَمْدِ الْخَطَأِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ وَطْءُ مِثْلِهِ لِمِثْلِهَا يَجُوزُ أَنْ يُفْضِيَهَا وَيَجُوزُ أَنْ لَا يُفْضِيَهَا فَيَلْزَمُهُ دِيَةُ الْإِفْضَاءِ مُغَلَّظَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي النَّفْسِ إِنِ انْتَهَى الْإِفْضَاءُ إِلَى النَّفْسِ
Bagian kedua adalah apa yang berlaku padanya hukum sengaja dalam kesalahan, yaitu apabila hubungan badan seperti itu dengan orang seperti dia memungkinkan terjadinya ifdā’ (terbukanya jalan rahim) dan juga memungkinkan tidak terjadinya ifdā’, maka wajib baginya membayar diyat ifdā’ yang diperberat atas ‘āqilah-nya, dan tidak ada qishāsh atasnya dalam hal jiwa jika ifdā’ tersebut berujung pada kematian.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْخَطَأِ الْمَحْضِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ وَطْءُ مِثْلِهِ مُفْضِيًا لِلصَّغِيرَةِ وَغَيْرَ مُفْضٍ لِلْكَبِيرَةِ فَيَطَأُ الصَّغِيرَةَ وَهُوَ يَظُنُّهَا الْكَبِيرَةَ فَيُفْضِيهَا فَيَكُونُ إِفْضَاؤُهَا خَطَأً مَحْضًا فَتَكُونُ الدِّيَةُ فِيهِ مُخَفَّفَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ دُونَهُ وَلَا قَوَدَ فِي النَّفْسِ إِنِ انْتَهَى الْإِفْضَاءُ إِلَى التَّلَفِ وَتَجِبُ فِيهِ الْكَفَّارَةُ مَعَ الدِّيَةِ لِأَنَّ الْإِفْضَاءَ صَارَ قَتْلًا والله أعلم
Bagian ketiga adalah apa yang berlaku padanya hukum kesalahan murni, yaitu ketika hubungan badan semacam itu menyebabkan kerusakan pada anak kecil namun tidak menyebabkan kerusakan pada wanita dewasa, lalu seseorang menyetubuhi anak kecil dengan menyangka bahwa dia adalah wanita dewasa, sehingga menyebabkan kerusakan padanya. Maka kerusakan yang terjadi padanya adalah kesalahan murni, sehingga diyatnya menjadi ringan dan dibebankan kepada ‘āqilah-nya, bukan kepada dirinya sendiri, dan tidak ada qishāsh pada jiwa jika kerusakan tersebut berujung pada kematian. Dalam hal ini juga wajib membayar kafārah bersama diyat, karena kerusakan tersebut telah menjadi seperti pembunuhan. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي الْعَيْنِ الْقَائِمَةِ وَالْيَدِ وَالرِّجْلِ الشَّلَّاءِ حُكُومَةٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada mata yang sudah tidak berfungsi, serta tangan dan kaki yang lumpuh, berlaku ḥukūmah.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْعَيْنُ الْقَائِمَةُ فَهِيَ الَّتِي قَدْ ذَهَبَ بَصَرُهَا وَهِيَ صُورَةُ الصَّحِيحَةِ فَذَهَبَ نَفْعُهَا وَبَقِيَ جَمَالُهَا فَفِيهَا إِذَا قُلِعَتْ حُكُومَةٌ لِأَجْلِ الْأَلَمِ وَمَا أُذْهِبَ مِنْ جَمَالِهَا
Al-Mawardi berkata: Adapun mata yang masih ada (secara fisik) adalah mata yang telah hilang penglihatannya, yaitu bentuk mata yang masih utuh namun manfaatnya telah hilang dan hanya tersisa keindahannya. Maka, jika mata tersebut dicabut, terdapat ketetapan hukum (hukūmah) karena rasa sakit dan hilangnya keindahan mata tersebut.
وَحُكِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَنَّهُ أَوْجَبَ فِيهَا ثُلُثَ الدِّيَةِ وَحُكِيَ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّهُ أَوْجَبَ فِيهِمَا مِائَةَ دِينَارٍ وَهَذَا فِيهَا عَلَى وَجْهِ الْحُكُومَةِ إِنْ تَقَدَّرَتْ بِاجْتِهَادِ أَبِي بَكْرٍ ثُلُثَ الدِّيَةِ وَبِاجْتِهَادِ زَيْدٍ مِائَةَ دِينَارٍ وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ تَتَقَدَّرَ بِاجْتِهَادِ مَنْ بَعْدَهُمَا مِنَ الْحُكَّامِ بِهَذَا الْمِقْدَارِ وَبِأَقَلَّ مِنْهُ وَبِأَكْثَرَ بِحَسَبِ اخْتِلَافِهِ فِي الشَّيْنِ وَالْقُبْحِ وَالْأَلَمِ لِأَنَّ الِاجْتِهَادَ فِي الْحُكُومَاتِ لَا يَجْعَلُهَا مَحْدُودَةً فِي جَمِيعِ الْجِنَايَاتِ وَكَذَلِكَ الْيَدُ الشَّلَّاءُ الَّتِي لَا تَأْلَمُ وَالرِّجْلُ الشَّلَّاءُ إِذَا قَطَعَهَا لَا دِيَةَ فِيهَا لِذَهَابِ مَنْفَعَتِهَا لِأَنَّ مَنْفَعَةَ الْيَدِ الْبَطْشُ وَمَنْفَعَةَ الرِّجْلِ الْمَشْيُ وَقَدْ ذَهَبَ بَطْشُ الْيَدِ وَمَشْيُ الرِّجْلِ بِشَلَلِهِمَا وَبَقِيَ الْجَمَالُ فِيهِمَا فَسَقَطَتِ الدِّيَةُ لِذَهَابِ الْمَنْفَعَةِ وَوَجَبَتِ الحكومة لأجل الجمال
Diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau mewajibkan pada kasus tersebut sepertiga diyat, dan diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa beliau mewajibkan pada keduanya seratus dinar. Ketentuan ini didasarkan pada penetapan hukum (al-hukūmah), jika menurut ijtihad Abu Bakar adalah sepertiga diyat, dan menurut ijtihad Zaid adalah seratus dinar. Boleh jadi, ijtihad hakim-hakim setelah mereka berdua menetapkan kadar ini, atau kurang, atau lebih, sesuai perbedaan dalam hal cacat, keburukan, dan rasa sakit, karena ijtihad dalam penetapan hukum (al-hukūmah) tidak menjadikannya terbatas pada semua tindak pidana (jināyah). Demikian pula, tangan yang lumpuh yang tidak lagi terasa sakit dan kaki yang lumpuh, jika dipotong, tidak ada diyat atasnya karena manfaatnya telah hilang. Sebab, manfaat tangan adalah untuk memukul dan manfaat kaki adalah untuk berjalan, dan kedua manfaat tersebut telah hilang karena kelumpuhan, yang tersisa hanyalah keindahan bentuknya. Maka, diyat gugur karena manfaatnya telah hilang, dan yang wajib hanyalah penetapan hukum (al-hukūmah) karena keindahan bentuknya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلِسَانُ الْأَخْرَسِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan (demikian pula) lisan orang bisu…”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ يَعْنِي أَنَّ فِيهِ حُكُومَةً إِذَا قُطِعَ؛ لِأَنَّ ذَهَابَ الْكَلَامِ قَدْ سَلَبَهُ الْمَنْفَعَةَ فَصَارَ كَالْعَيْنِ الْقَائِمَةِ فَاقْتَضَى لِهَذَا التَّعْلِيلِ أَنْ تَجِبَ فِي قَطْعِهِ حُكُومَةٌ كَمَا يَجِبُ فِي الْعَيْنِ الْقَائِمَةِ وَهَذَا الْقَوْلُ عَلَى الْإِطْلَاقِ لَيْسَ بِصَحِيحٍ عِنْدِي لِأَنَّ مَقْصُودَ اللِّسَانِ أَفْعَالٌ
Al-Mawardi berkata, maksudnya adalah bahwa pada kasus ini terdapat ḥukūmah jika lidah terpotong; karena hilangnya kemampuan berbicara telah menghilangkan manfaatnya, sehingga menjadi seperti anggota tubuh yang masih ada. Oleh karena itu, menurut alasan ini, wajib menetapkan ḥukūmah atas pemotongan lidah sebagaimana wajib pada anggota tubuh yang masih ada. Namun, menurut saya, pendapat ini secara mutlak tidaklah benar, karena tujuan utama dari lidah adalah untuk melakukan berbagai fungsi.
أَحَدُهَا الْكَلَامُ وَالثَّانِي الذَّوْقُ وَيَقْتَرِنُ بِهِمَا ثَالِثٌ يَكُونُ اللِّسَانُ عَوْنًا فِيهِ وَهُوَ إِدَارَةُ الطَّعَامِ بِهِ فِي الْفَمِ لِلْمَضْغِ فَإِنْ كَانَ ذَوْقُ الْأَخْرَسِ بَعْدَ قَطْعِ لِسَانِهِ بَاقِيًا فَفِيهِ حُكُومَةٌ كَمَا أَطْلَقَهُ الشَّافِعِيُّ وَلِأَنَّهُ مَا سَلَبَهُ الْقَطْعُ أَحَدَ النَّفْعَيْنِ الْمَقْصُودِينَ وَإِنَّمَا سَلَبَهُ أَقَلَّ مَنَافِعِهِ وَهُوَ إِدَارَةُ الطَّعَامِ بِهِ فِي فَمِهِ وَإِنْ ذَهَبَ ذَوْقُ الْأَخْرَسِ بِقَطْعِ لِسَانِهِ فَفِيهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ وُجُوبِ الدِّيَةِ فِي ذَهَابِ الذَّوْقِ وَلِأَنَّهُ أَحَدُ الْحَوَاسِّ كَالشَّمِّ بَلْ هُوَ أَنْفَعُ فَيَكُونُ الْإِطْلَاقُ مَحْمُولًا عَلَى هذا التفصيل والله أعلم
Salah satunya adalah berbicara, yang kedua adalah pengecapan, dan keduanya disertai dengan yang ketiga, yaitu lidah membantu dalam hal ini, yaitu menggerakkan makanan di dalam mulut untuk dikunyah. Jika pengecapan orang bisu tetap ada setelah lidahnya dipotong, maka ada hukum tertentu sebagaimana dinyatakan oleh asy-Syafi‘i, karena pemotongan itu tidak menghilangkan salah satu dari dua manfaat utama yang dimaksudkan, melainkan hanya menghilangkan manfaat yang paling sedikit, yaitu menggerakkan makanan di dalam mulut. Namun, jika pengecapan orang bisu hilang karena lidahnya dipotong, maka wajib membayar diyat secara penuh, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tentang kewajiban diyat atas hilangnya pengecapan, dan karena pengecapan adalah salah satu pancaindra seperti penciuman, bahkan lebih bermanfaat. Maka, pernyataan mutlak itu harus dipahami dengan rincian ini. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَذَكَرُ الْأَشَلِّ فَيَكُونُ مُنْبَسِطًا لَا يَنْقَبِضُ أَوْ مُنْقَبِضًا لَا يَنْبَسِطُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan (tentang) zakar yang lumpuh, maka bisa jadi dalam keadaan terentang tidak dapat mengerut, atau dalam keadaan mengerut tidak dapat terentang.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الذَّكَرُ السَّلِيمُ مِنْ شَلَلٍ فَفِيهِ الدِّيَةُ تَامَّةً لِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى الْيَمَنِ وَفِي الذَّكَرِ الدِّيَةُ
Al-Mawardi berkata: Adapun kemaluan laki-laki yang sehat dari kelumpuhan, maka padanya dikenakan diyat (denda) secara penuh, berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam suratnya kepada penduduk Yaman: “Dan pada kemaluan laki-laki terdapat diyat.”
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَضَى فِي الْأُدَافِ الدِّيَةَ قَالَ قُطْرُبٌ الْأُدَافُ الذَّكَرُ وَلِأَنَّهُ مِنْ آلَةِ التَّنَاسُلِ وَذَلِكَ مِنْ أَعْظَمِ الْمَنَافِعِ وَلِأَنَّهُ أَحَدُ مَنَافِذِ الْجَسَدِ فَأَشْبَهَ الْأَنْفَ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ ذَكَرِ الصَّبِيِّ وَالرَّجُلِ وَالشَّيْخِ الْهَرِمِ وَالْعِنِّينِ الَّذِي لَا يَأْتِي النِّسَاءَ لِأَنَّ الْعُنَّةَ عَيْبٌ فِي غَيْرِ الذَّكَرِ لِأَنَّ الشَّهْوَةَ فِي الْقَلْبِ وَالْمَنِيَّ فِي الصُّلْبِ فَإِنْ كَانَتِ الْعُنَّةُ مِنْ قِلَّةِ الشَّهْوَةِ فَمَحَلُّهَا فِي الْقَلْبِ وَإِنْ كَانَتْ مِنْ قِلَّةِ الْمَاءِ فملحه في الصلب والذكر ليس بمحل لواحد منها فَكَانَ سَلِيمًا مِنَ الْعِنِّينِ كَسَلَامَتِهِ مِنْ غَيْرِ الْعِنِّينِ وَكَانَتِ الدِّيَةُ فِي قَطْعِهِ مِنْهُمَا عَلَى سَوَاءٍ فَإِنْ قَطَعَ حَشَفَةَ الذَّكَرِ حَتَّى اسْتَوْعَبَهَا مَعَ بَقَاءِ الْقَضِيبِ فَفِيهَا الدِّيَةُ لِأَنَّ نَفْعَ الذَّكَرِ بِحَشَفَتِهِ كَمَا تَكْمُلُ دِيَةُ الْكَفِّ بِقَطْعِ الْأَصَابِعِ فَإِنْ قَطَعَ بَعْضَ الْحَشَفَةِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِهَا وَهَلْ يَتَقَسَّطُ عَلَى الْحَشَفَةِ وَحْدَهَا أَمْ عَلَى جَمِيعِ الذَّكَرِ عَلَى قَوْلَيْنِ
Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau memutuskan diyat atas al-udāf. Quthrub berkata, al-udāf adalah zakar. Karena ia merupakan alat reproduksi dan itu termasuk manfaat terbesar, serta karena ia adalah salah satu saluran tubuh, sehingga disamakan dengan hidung. Tidak ada perbedaan antara zakar anak kecil, laki-laki dewasa, orang tua renta, maupun orang yang impoten yang tidak dapat mendatangi wanita, karena impotensi adalah cacat yang bukan terletak pada zakar, sebab syahwat berada di hati dan mani berada di tulang sulbi. Jika impotensi itu karena kurangnya syahwat, maka tempatnya di hati; dan jika karena kurangnya air mani, maka tempatnya di tulang sulbi, sedangkan zakar bukanlah tempat salah satu dari keduanya. Maka, zakar orang yang impoten sama sehatnya dari sisi ini seperti zakar orang yang tidak impoten, dan diyat atas pemotongan zakar keduanya sama. Jika seseorang memotong hasyafah (kepala zakar) secara keseluruhan dengan batang zakar masih tersisa, maka wajib diyat, karena manfaat zakar ada pada hasyafahnya, sebagaimana diyat telapak tangan menjadi sempurna dengan terpotongnya jari-jari. Jika hanya sebagian hasyafah yang dipotong, maka ia wajib membayar diyat sesuai bagiannya. Apakah pembagian itu hanya pada hasyafah saja atau pada seluruh zakar, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا تَتَقَسَّطُ عَلَى الْحَشَفَةِ لِأَنَّ الدِّيَةَ تَكْمُلُ بِقَطْعِهَا فَتُقَسَّطُ عَلَيْهَا أَبْعَاضُهَا فَيَلْزَمُهُ فِي نِصْفِ الْحَشَفَةِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ الذَّكَرِ
Salah satu pendapat menyatakan bahwa diyat dibagi pada hasyafah, karena diyat menjadi sempurna dengan terpotongnya hasyafah, sehingga bagian-bagiannya dibagi pada hasyafah. Maka, jika yang terpotong adalah setengah hasyafah, wajib membayar setengah diyat, meskipun itu kurang dari setengah zakar.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهُ تَتَقَسَّطُ دِيَةُ الْمَقْطُوعِ مِنَ الْحَشَفَةِ عَلَى جَمِيعِ الذَّكَرِ لِأَنَّهُ الْأَصْلُ الْمَقْصُودُ بِكَمَالِ الدِّيَةِ فَكَانَتْ أَبْعَاضُهُ مُقَسَّطَةً عَلَيْهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الْمَقْطُوعُ مِنْ نِصْفِ الْحَشَفَةِ هُوَ سُدُسُ الذَّكَرِ لَزِمَهُ سُدْسُ الدِّيَةِ وَكَذَلِكَ حُكْمُ الْحَلَمَةِ مِنَ الثَّدْيِ إِذَا قَطَعَ بَعْضَهَا كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa diyat bagian hasyafah yang terpotong dibagi secara proporsional terhadap seluruh penis, karena hasyafah adalah bagian pokok yang menjadi tujuan dalam penetapan diyat secara penuh, sehingga bagian-bagiannya pun dibagi secara proporsional padanya. Berdasarkan hal ini, jika bagian yang terpotong adalah setengah dari hasyafah, yaitu seperenam dari penis, maka wajib baginya membayar seperenam diyat. Demikian pula hukum pada puting payudara, jika sebagian darinya terpotong, maka berlaku dua pendapat ini.
فَصْلٌ
Bab
فَأَمَّا الْأُنْثَيَانِ وَهُمَا الْخُصْيَتَانِ فَفِيهِمَا الدِّيَةُ لِأَنَّهُمَا مِنْ تَمَامِ الْخِلْقَةِ وَهُمَا مَحَلُّ التَّنَاسُلِ لِانْعِقَادِ مَنِيِّ الصُّلْبِ فِي يُسْرَاهُمَا إِذَا نَزَلَ إِلَيْهَا فَصَارَ لِقَاحًا فِيهِمَا وَلِأَنَّ الْحَيَاةَ مَحَلُّهُمَا وَلِذَلِكَ كَانَ عَصْرُ الْأُنْثَيَيْنِ مُفْضِيًا إِلَى التَّلَفِ وَلَا فَرْقَ فِي الْأُنْثَيَيْنِ بَيْنَ قَطْعِهِمَا مِنْ كَبِيرٍ أَوْ صَغِيرٍ عِنِّينٍ وَغَيْرِ عِنِّينٍ سَوَاءٌ كَانَ بَاقِيَ الذَّكَرِ أَوْ مَجْبُوبًا لِأَنَّ جَبَّ الذَّكَرِ نَقْصٌ فِي غَيْرِهِ وَأَوْجَبَ مَالِكٌ فِي أُنْثَيَيِ الْمَجْبُوبِ الذَّكَرِ حُكُومَةً لِأَنَّ جَبَّ الذَّكَرِ قَدْ أَثَّرَ فِي نَقْصِ الْأُنْثَيَيْنِ بِعَدَمِ النَّسْلِ وَهَذَا فَاسِدٌ بِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَنَّهُ نَقْصٌ فِي غَيْرِهِ فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ مَعَ سَلَامَتِهِ وَفِي إِحْدَى الْأُنْثَيَيْنِ نِصْفُ الدِّيَةِ وَلَا فَضْلَ لِيُسْرَى عَلَى يُمْنَى
Adapun kedua anuts (testis), yaitu kedua buah zakar, maka pada keduanya dikenakan diyat, karena keduanya merupakan bagian dari kesempurnaan penciptaan dan merupakan tempat reproduksi, sebab mani yang kuat berkumpul di salah satunya ketika turun ke sana, lalu menjadi pembuahan di dalamnya. Selain itu, kehidupan juga berpusat pada keduanya, sehingga merusak kedua anuts dapat menyebabkan kebinasaan. Tidak ada perbedaan dalam hal kedua anuts, baik dipotong dari orang dewasa maupun anak-anak, baik yang impoten maupun yang tidak, baik sisa penisnya masih ada maupun sudah terpotong, karena pemotongan penis merupakan kekurangan pada bagian lain, bukan pada anuts itu sendiri. Malik mewajibkan hukuman taksiran (ḥukūmah) pada kedua anuts orang yang penisnya sudah terpotong, karena pemotongan penis dianggap berpengaruh dalam mengurangi fungsi kedua anuts akibat tidak adanya keturunan. Namun, pendapat ini tidak benar, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kekurangan itu terjadi pada bagian lain, sehingga tidak berpengaruh pada anuts selama keduanya masih utuh. Untuk salah satu anuts, dikenakan setengah diyat, dan tidak ada keutamaan antara anuts kiri dan kanan.
وَحُكِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّهُ أَوْجَبَ فِي الْبَيْضَةِ الْيُسْرَى ثُلُثَيِ الدِّيَةِ وَفِي الْيُمْنَى ثُلُثَهَا لِأَنَّ مَحَلَّ الْمَنِيِّ فِي الْيُسْرَى وَمَحَلَّ الشَّعْرِ فِي الْيُمْنَى وَهَذَا قَوْلٌ فَاسِدٌ لِأَنَّ كُلَّ عُضْوَيْنِ كَمُلَتْ فِيهِمَا الدِّيَةُ تَنَصَّفَتْ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى سَوَاءٍ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ مَنَافِعُهُمَا كَالْيَدَيْنِ وَعَلَى أَنَّ مَا ذكره من لقاح اليسرى مظنون بذكره الطب وَقَدْ حُكِيَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ عَجِبَتْ مَنْ يُفَضِّلُ الْبَيْضَةَ الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى؛ لِأَنَّ النَّسْلَ مِنْهَا كَانَ لَنَا غَنَمٌ فَخَصَيْنَاهَا مِنَ الْجَانِبِ الْأَيْسَرِ فَكُنَّ يُلَقِّحْنَ فَإِنْ قَطَعَ الذَّكَرَ مَعَ الْأُنْثَيَيْنِ لَزِمَهُ دِيَتَانِ إِحْدَاهُمَا في الذكر والأخرى في الأنثين سَوَاءٌ قَطَعَهُمَا مَعًا أَوْ قَطَعَ إِحْدَاهُمَا بَعْدَ الْأُخْرَى سَوَاءٌ قَدَّمَ قَطْعَ الذَّكَرِ أَوْ قَطْعَ الْأُنْثَيَيْنِ
Diriwayatkan dari Sa‘id bin al-Musayyab bahwa ia mewajibkan diyat dua pertiga untuk testis kiri dan sepertiga untuk testis kanan, karena tempat mani berada di testis kiri dan tempat tumbuhnya rambut di testis kanan. Namun, pendapat ini dianggap rusak, karena setiap dua anggota tubuh yang diyatnya sempurna, maka diyatnya dibagi rata pada masing-masing anggota tersebut, meskipun manfaat keduanya berbeda, seperti kedua tangan. Selain itu, apa yang disebutkan tentang pembuahan pada testis kiri hanyalah dugaan menurut keterangan ilmu kedokteran. Diriwayatkan pula dari ‘Amr bin Syu‘aib bahwa ia berkata, “Aku heran kepada orang yang mengutamakan testis kiri atas testis kanan karena keturunan berasal darinya. Kami dahulu memiliki kambing, lalu kami mengebiri dari sisi kiri, namun kambing-kambing itu tetap bisa membuahi.” Jika seseorang memotong penis beserta kedua testis, maka ia wajib membayar dua diyat: satu untuk penis dan satu lagi untuk kedua testis, baik ia memotong keduanya sekaligus maupun satu setelah yang lain, baik ia mendahulukan pemotongan penis atau pemotongan kedua testis.
وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ قَطَعَهُمَا مَعًا فَفِيهِ الدِّيَةُ وَحُكُومَةٌ وَإِنْ قَطَعَ الذَّكَرَ ثُمَّ الْأُنْثَيَيْنِ وَجَبَ دِيَةٌ فِي الْأُنْثَيَيْنِ وَحُكُومَةٌ فِي الذَّكَرِ
Malik berkata: Jika seseorang memotong keduanya sekaligus, maka dikenakan diyat dan hukūmah; dan jika ia memotong zakar terlebih dahulu kemudian dua buah pelir, maka wajib diyat pada dua pelir dan hukūmah pada zakar.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ قَطَعَهُمَا مَعًا أَوْ قَطَعَ الذَّكَرَ ثُمَّ الْأُنْثَيَيْنِ فَعَلَيْهِ دِيَتَانِ كَمَا قُلْنَا وَإِنْ قَطَعَ الْأُنْثَيَيْنِ أَوَّلًا ثُمَّ الذَّكَرَ فَعَلَيْهِ دِيَةٌ فِي الْأُنْثَيَيْنِ وَحُكُومَةٌ فِي الذَّكَرِ كَمَا قَالَ مَالِكٌ
Abu Hanifah berkata: Jika seseorang memotong keduanya (yakni kedua testis) sekaligus, atau memotong penis lalu kedua testis, maka ia wajib membayar dua diyat sebagaimana telah kami sebutkan. Namun jika ia memotong kedua testis terlebih dahulu kemudian penis, maka ia wajib membayar satu diyat untuk kedua testis dan membayar hukūmah untuk penis, sebagaimana pendapat Malik.
وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ مَا كَمُلَتْ فِيهِ الدِّيَةُ إِذَا انْفَرَدَ لَمْ تَنْقُصْ دِيَتُهُ إِذَا اقْتَرَنَ بِغَيْرِهِ كَالْيَدَيْنِ مَعَ الرِّجْلَيْنِ أَوْ قَطْعِ الْأُذُنَيْنِ مَعَ ذَهَابِ السَّمْعِ
Ini adalah sebuah kekeliruan; karena setiap anggota yang diyatnya sempurna jika berdiri sendiri, maka diyatnya tidak berkurang ketika digabungkan dengan anggota lain, seperti kedua tangan bersama kedua kaki, atau pemotongan kedua telinga bersamaan dengan hilangnya pendengaran.
وَعَلَى قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ إِنَّ كُلَّ عُضْوَيْنِ كَمُلَتْ دِيَتَاهُمَا إِذَا اجْتَمَعَا كَمُلَتْ دِيَتَاهُمَا إِذَا افْتَرَقَا كَمَا لَوْ قَدَّمَ قَطْعَ الذَّكَرِ وَهَكَذَا لَوْ وَجَأَ ذَكَرَهُ حَتَّى اسْتَحْشَفَ وَوَجَأَ أُنْثَيَيْهِ حَتَّى اسْتَحْشَفَتَا وَجَبَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا دِيَةٌ كَامِلَةٌ لِأَنَّهُ قَدْ أُذْهِبَتْ مَنَافِعُهُمَا بِالِاسْتِحْشَافِ وَالشَّلَلِ
Menurut pendapat Abu Hanifah, setiap dua anggota tubuh yang jika keduanya berkumpul maka sempurna diyatnya, maka jika keduanya terpisah pun diyatnya tetap sempurna. Seperti halnya jika mendahulukan pemotongan kemaluan, demikian pula jika seseorang melukai kemaluannya hingga rusak dan melukai kedua buah zakarnya hingga keduanya rusak, maka wajib atas masing-masing dari keduanya diyat yang sempurna, karena manfaat keduanya telah hilang akibat kerusakan dan kelumpuhan.
فَصْلٌ
Bagian
فَأَمَّا إِذَا قَطَعَ ذَكَرَ أَشَلَّ يَنْقَبِضُ فَلَا يَنْبَسِطُ أَوْ يَنْبَسِطُ فَلَا يَنْقَبِضُ فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ وَفِيهِ حُكُومَةٌ كَقَطْعِ الْيَدِ الشَّلَّاءِ لِأَنَّ شَلَلَ الذَّكَرِ قَدْ أَبْطَلَ مَنَافِعَهُ
Adapun jika yang dipotong adalah kemaluan yang lumpuh, yang hanya bisa mengerut tapi tidak bisa menegang, atau bisa menegang tapi tidak bisa mengerut, maka ini adalah masalah yang dibahas dalam kitab, dan di dalamnya terdapat penetapan hukum (ḥukūmah) seperti halnya pemotongan tangan yang lumpuh, karena kelumpuhan kemaluan tersebut telah menghilangkan manfaatnya.
فَإِنْ قِيلَ فَمَنَافِعُهُ بَاقِيَةٌ لِأَنَّهُ مَخْرَجُ الْبَوْلِ وَخُرُوجُهُ مِنَ الْأَشَلِّ كَخُرُوجِهِ مِنْ غَيْرِ الْأَشَلِّ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَكْمُلَ فِيهِ الدِّيَةُ
Jika dikatakan, “Manfaatnya masih ada karena itu adalah saluran keluarnya air kencing, dan keluarnya air kencing dari orang yang lumpuh sama seperti keluarnya dari orang yang tidak lumpuh, maka seharusnya diyat tidak diberikan secara penuh padanya.”
قِيلَ مَخْرَجُ الْبَوْلِ مِنْهُ هُوَ أَقَلُّ مَنَافِعِهِ لِأَنَّ الْبَوْلَ يَخْرُجُ مَعَ قَطْعِهِ وَقَدْ فَاتَ بِقَطْعِهِ أَكْثَرُهَا فَلَمْ يَلْزَمْ فِيهِ إِلَّا حُكُومَةً وَهَكَذَا لَوْ قَطَعَ خُصْيَتَيْنِ مُسْتَحْشِفَتَيْنِ كَانَ فِيهِمَا حُكُومَةٌ لذهاب منافعهما بالاستحشاف
Dikatakan bahwa saluran keluarnya air seni darinya adalah bagian yang paling sedikit manfaatnya, karena air seni tetap keluar meskipun dipotong, dan dengan pemotongan itu telah hilang sebagian besar manfaatnya. Maka, tidak diwajibkan padanya kecuali hukūmah saja. Demikian pula, jika seseorang memotong kedua buah zakar yang telah rusak, maka pada keduanya hanya dikenakan hukūmah karena hilangnya manfaat keduanya akibat kerusakan tersebut.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي الْأُذُنَيْنِ الْمُسْتَحْشِفَتَيْنِ بِهِمَا مِنَ الِاسْتِحْشَافِ مَا بِالْيَدِ مِنَ الشَّلَلِ وَذَلِكَ أَنْ تُحَرَّكَا فَلَا تَتَحَرَّكَا أَوْ تُغْمَزَا بِمَا يُؤْلِمُ فَلَا تَأْلَمَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada kedua telinga yang mengalami kelumpuhan, keadaannya dalam hal kehilangan kepekaan sama seperti tangan yang lumpuh, yaitu jika digerakkan tidak bergerak, atau ditekan dengan sesuatu yang menyakitkan namun tidak terasa sakit.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ شَلَلَ الْأَعْضَاءِ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa kelumpuhan anggota tubuh itu terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا مَا يَسْلُبُهَا جَمِيعَ الْمَنْفَعَةِ وَلَا يَبْقَى فِيهَا إِلَّا الْجَمَالُ وَحْدَهُ عَلَى نَقْصٍ فِيهِ كَشَلَلِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ لِأَنَّهُ قَدْ أَذْهَبَ مَنَافِعَهُمَا وَبَقِيَ بَعْضُ جَمَالِهِمَا لِأَنَّهُ لَيْسَ جَمَالُ السَّلِيمَةِ كَجَمَالِ الشَّلَّاءِ فَفِيهِمَا إِذَا شُلَّتْ بِجِنَايَتِهِ الدِّيَةُ لِذَهَابِ الْمَنْفَعَةِ وَلَوْ قَطَعَهُمَا بَعْدَ الشَّلَلِ كَانَ فِيهِمَا حُكُومَةٌ لِذَهَابِ الْجَمَالِ
Salah satunya adalah sesuatu yang menghilangkan seluruh manfaatnya dan tidak tersisa padanya kecuali hanya keindahan saja, itupun dengan kekurangan, seperti lumpuhnya kedua tangan dan kedua kaki, karena hal itu telah menghilangkan manfaat keduanya dan yang tersisa hanyalah sebagian keindahannya, sebab keindahan anggota tubuh yang sehat tidaklah sama dengan keindahan anggota tubuh yang lumpuh. Maka, jika keduanya lumpuh karena suatu tindak kejahatan, maka wajib membayar diyat karena hilangnya manfaat. Namun, jika keduanya dipotong setelah lumpuh, maka dikenakan hukuman berupa ḥukūmah karena hilangnya keindahan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي مَا يَبْقَى بَعْدَ الشَّلَلِ الْجَمَالُ وَالْمَنْفَعَةُ عَلَى نَقْصٍ فِيهِمَا كَاسْتِحْشَافِ الْأُذُنَيْنِ وَالْأَنْفِ لِأَنَّ الْأُذُنَيْنِ بَعْدَ اسْتِحْشَافِهِمَا تَجْمَعُ الصَّوْتَ وَالْأَنْفَ بَعْدَ اسْتِحْشَافِهِ يَجْذِبُ الرَّوَائِحَ الْمَشْمُومَةَ فَفِيهِمَا إِذَا جَنَى عَلَيْهِمَا فَاسْتَحْشَفَتَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا الدِّيَةُ كَامِلَةٌ كَغَيْرِهَا مِنَ الْأَعْضَاءِ إِذَا شُلَّتْ وَالثَّانِي حُكُومَةٌ لِبَقَاءِ الْجَمَالِ وَالْمَنْفَعَةِ وَلَوْ قَطَعَهُمَا بَعْدَ الِاسْتِحْشَافِ كَانَ عَلَى قَوْلَيْنِ أَيْضًا أَحَدُهُمَا فِيهِمَا الدِّيَةُ إِذَا قِيلَ فِي اسْتِحْشَافِهِمَا حُكُومَةٌ
Jenis kedua adalah apa yang masih tersisa setelah lumpuhnya anggota tubuh, yaitu keindahan dan manfaat yang masih ada meskipun berkurang pada keduanya, seperti menipisnya kedua telinga dan hidung. Sebab, kedua telinga setelah menipis masih dapat mengumpulkan suara, dan hidung setelah menipis masih dapat menarik aroma yang tercium. Maka, jika seseorang melakukan kejahatan pada keduanya sehingga keduanya menjadi tipis, terdapat dua pendapat: salah satunya adalah diyat (denda) penuh seperti anggota tubuh lainnya jika lumpuh, dan yang kedua adalah hukūmah (penilaian ganti rugi) karena masih tersisanya keindahan dan manfaat. Jika ia memotong keduanya setelah menipis, maka juga ada dua pendapat: salah satunya adalah diyat pada keduanya jika dalam kasus penipisan diputuskan hukūmah.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِيهِمَا حُكُومَةٌ إِذَا قِيلَ فِي اسْتِحْشَافِهِمَا الدِّيَةُ
Pendapat kedua menyatakan bahwa pada keduanya (yaitu kasus tersebut) terdapat ḥukūmah, apabila dikatakan dalam penilaiannya adalah diyat.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رضي الله عنه وَكُلُّ جُرْحٍ لَيْسَ فِيهِ أَرْشٌ مَعْلُومٌ حُكُومَةٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Setiap luka yang tidak ada nilai ganti (arsh) yang telah ditentukan, maka ditetapkan dengan ḥukūmah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ هَذَا صَحِيحٌ وَهُوَ مَا دُونَ الْمُوضِحَةِ فِي شِجَاجِ الرَّأْسِ وَمَا دُونَ الْجَائِفَةِ فِي جِرَاحِ الْجَسَدِ فَفِيهَا حُكُومَةٌ تَتَقَدَّرُ بِالِاجْتِهَادِ بِحَسَبِ الْأَلَمِ وَالشَّيْنِ لَا يَبْلُغُ بِمَا فِي شِجَاجِ الرَّأْسِ دِيَةَ الْمُوضِحَةِ وَلَا مِمَّا فِي جِرَاحِ الْبَدَنِ دِيَةَ الْجَائِفَةِ لِأَنَّ الْمُوضِحَةَ أَغْلَظُ مِمَّا تَقَدَّمَهَا وَالْجَائِفَةَ أَجْوَفُ مِمَّا دُونَهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْلُغَ بِالْأَقَلِّ دِيَةَ الْأَكْثَرِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, yaitu luka yang berada di bawah tingkat al-mudhihah pada luka kepala, dan luka yang berada di bawah tingkat al-jaifah pada luka tubuh. Untuk luka-luka tersebut, ditetapkan hukumah yang nilainya ditentukan berdasarkan ijtihad sesuai dengan tingkat rasa sakit dan cacat yang ditimbulkan, namun tidak sampai pada kadar diyat al-mudhihah untuk luka kepala, dan tidak pula sampai pada kadar diyat al-jaifah untuk luka tubuh. Sebab, al-mudhihah lebih berat daripada luka-luka sebelumnya, dan al-jaifah lebih dalam daripada luka-luka yang di bawahnya. Maka, tidak boleh kadar diyat untuk luka yang lebih ringan disamakan dengan diyat untuk luka yang lebih berat.”
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي شَعْرِ الرَّأْسِ وَالْحَاجِبَيْنِ وَاللِّحْيَةِ وَأَهْدَابِ الْعَيْنَيْنِ فِي كُلِّ ذَلِكَ حُكُومَةٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada rambut kepala, kedua alis, jenggot, dan bulu mata, dalam semua itu berlaku ḥukūmah.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا قَالَهُ رَدًّا عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ لِأَنَّهُ أَوْجَبَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الشُّعُورِ الْأَرْبَعَةِ الدِّيَةَ تَامَّةً وَأَوْجَبَ الشَّافِعِيُّ فِي جَمِيعِهَا حُكُومَةً تَتَقَدَّرُ بِحَسَبِ الشَّيْنِ وَلَمْ يُوجِبْ فِيهَا الدِّيَةَ؛ لِأَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Ini beliau katakan sebagai bantahan terhadap Abu Hanifah, karena Abu Hanifah mewajibkan diyat penuh pada masing-masing dari keempat jenis rambut ini. Sedangkan asy-Syafi‘i mewajibkan hukūmah pada semuanya, yang nilainya ditentukan sesuai dengan besarnya cacat, dan tidak mewajibkan diyat pada kasus-kasus tersebut karena dua alasan.”
أَحَدُهُمَا أَنَّ الدِّيَةَ تَجِبُ فِيمَا يَكُونُ لَهُ مَعَ الْجَمَالِ مَنْفَعَةٌ وَهَذَا مَسْلُوبُ الْمَنْفَعَةِ فَلَمْ تَجِبْ فِيهِ الدِّيَةُ
Salah satunya adalah bahwa diyat wajib pada sesuatu yang bersama unta memiliki manfaat, sedangkan ini tidak memiliki manfaat, maka diyat tidak wajib atasnya.
وَالثَّانِي أَنَّ الدِّيَةَ تَجِبُ فِيمَا يُؤْلِمُ قَطْعُهُ وَيُخَافُ سِرَايَتُهُ وَقَدْ عُدِمَ فِي الشَّعْرِ الْأَلَمُ وَالسِّرَايَةُ فَلَمْ يَجِبْ فِيهِ دِيَةٌ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الشَّعْرِ الْمَأْخُوذِ مِنَ الْجَسَدِ مِنْ ثَلَاثَةِ أقسام
Kedua, bahwa diyat wajib pada sesuatu yang jika dipotong menimbulkan rasa sakit dan dikhawatirkan akan menjalar (membahayakan), sedangkan pada rambut tidak terdapat rasa sakit maupun kekhawatiran akan menjalar, maka tidak wajib diyat atasnya. Jika demikian, maka keadaan rambut yang diambil dari tubuh tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا مَا لَا يُحْدِثُ أَخْذُهُ شَيْنًا فِي جَمِيعِ النَّاسِ وَذَلِكَ مِثْلُ شَعْرِ الْإِبِطِ وَالْعَانَةِ فَلَا شَيْءَ فِيهِ سَوَاءٌ عَادَ أَوْ لَمْ يَعُدْ إِلَّا أَنْ يُحْدِثَ فِي الْجِلْدِ أَثَرًا فَيَلْزَمُ فِي أَثَرِ الْجَلْدِ حُكُومَةٌ دُونَ الشَّعْرِ الْمَأْخُوذِ مِنْهُ وَقَدْ خَرَّجَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فِيهِ وَجْهًا ثَانِيًا أَنَّ فِيهِ إِذَا لَمْ يَعُدْ حُكُومَةً وَإِنْ كَانَ ذَهَابُهُ أَجْمَلَ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ أَوْجَبَ فِي لِحْيَةِ الْمَرْأَةِ إِذَا نُتِفَتْ فَلَمْ تَعُدْ حُكُومَةً وَإِنْ كَانَ ذَهَابُهَا أَجْمَلَ بِالْمَرْأَةِ مِنْ بَقَائِهَا وَهُمَا فِي الْمَعْنَى سَوَاءٌ
Salah satunya adalah sesuatu yang pengambilannya tidak menimbulkan cacat pada semua orang, seperti bulu ketiak dan bulu kemaluan. Maka tidak ada apa-apa dalam hal itu, baik bulu tersebut tumbuh kembali atau tidak, kecuali jika pengambilan tersebut menimbulkan bekas pada kulit, maka wajib ada pembayaran ganti rugi (ḥukūmah) atas bekas pada kulit, bukan atas rambut yang diambil darinya. Sebagian ulama kami mengemukakan pendapat kedua, yaitu bahwa jika bulu tersebut tidak tumbuh kembali, maka wajib ada pembayaran ganti rugi (ḥukūmah), meskipun hilangnya bulu tersebut justru memperindah, karena Imam Syafi‘i mewajibkan pembayaran ganti rugi (ḥukūmah) pada jenggot wanita jika dicabut dan tidak tumbuh kembali, meskipun hilangnya jenggot itu lebih memperindah wanita daripada tetap adanya, dan kedua kasus itu secara makna adalah sama.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا يُحْدِثُ أَخْذُهُ شَيْنًا فِي جَمِيعِ النَّاسِ كَشَعْرِ اللِّحْيَةِ وَالْحَاجِبَيْنِ وَأَهْدَابِ الْعَيْنَيْنِ فَفِيهِ إِذَا لَمْ يَعُدْ حُكُومَةٌ وَإِنْ عَادَ مِثْلَ نَبَاتِهِ قَبْلَ أَخْذِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Bagian kedua adalah sesuatu yang jika diambil akan menimbulkan cacat pada semua orang, seperti rambut jenggot, alis, dan bulu mata. Dalam hal ini, jika tidak tumbuh kembali, maka ada hukum diyat; namun jika tumbuh kembali seperti sebelum diambil, maka terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا شَيْءَ فِيهِ
Salah satunya tidak ada apa-apa di dalamnya.
وَالثَّانِي فِيهِ حُكُومَةٌ هِيَ دُونَ حُكُومَةِ مَا لَمْ يَعُدْ وَقَدْ لَوَّحَ الشَّافِعِيُّ إِلَى الْوَجْهَيْنِ مَعًا فَلَوْ خَرَجَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَانَ مُحْتَمَلًا فَلَوْ نَبَتَ بَعْضُهُ وَلَمْ يَنْبُتْ بَعْضُهُ لَزِمَتْهُ حُكُومَةُ مَا لَمْ يَنْبُتْ وَفِي حُكُومَةِ مَا نَبَتَ وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى
Yang kedua, padanya terdapat ḥukūmah yang nilainya di bawah ḥukūmah pada kasus yang belum tumbuh kembali. Asy-Syāfi‘ī telah memberi isyarat kepada kedua pendapat tersebut sekaligus. Maka, jika hal ini dikembangkan menjadi dua pendapat, itu masih mungkin. Jika sebagian tumbuh kembali dan sebagian lagi tidak, maka wajib dikenakan ḥukūmah atas bagian yang belum tumbuh, dan pada ḥukūmah bagian yang tumbuh kembali terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا يُحْدِثُ أَخْذُهُ شَيْنًا فِي بَعْضِ النَّاسِ وَلَا يُحْدِثُ شَيْنًا فِي بَعْضِهِمْ وَهُوَ شَعْرُ الرَّأْسِ وَالشَّارِبِ يُحْدِثُ شَيْنًا فِيمَنْ لَمْ تَجْرِ عَادَتُهُ بِحَلْقِ رَأَسِهِ وَحَفِّ شَارِبِهِ وَلَا يُحْدِثُ شَيْنًا فِيمَنْ جَرَتْ عَادَتُهُ بِذَلِكَ فَإِنْ أَخَذَهُ مَنْ لَا يُشِينُهُ أَخْذُهُ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إِنْ عَادَ وَإِنْ لَمْ يَعُدْ فَهَلْ فِيهِ حُكُومَةٌ هِيَ أَقَلُّ مِنْ حُكُومَةِ الشَّعْرِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ وَإِنْ أَخَذَهُ مِمَّنْ يَشِينُهُ أَخْذُهُ فَفِيهِ إِنْ لَمْ يَعُدْ حُكُومَةٌ وَهِيَ أَكْثَرُ مِنْ حُكُومَتِهِ فِيمَنْ لَا يُشِينُهُ أَخْذُهُ وَإِنْ عَادَ فَفِيهِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ
Bagian ketiga adalah sesuatu yang pengambilannya menyebabkan aib pada sebagian orang, namun tidak menyebabkan aib pada sebagian yang lain, yaitu rambut kepala dan kumis. Pengambilan rambut kepala dan kumis menyebabkan aib bagi orang yang tidak terbiasa mencukur kepala dan merapikan kumisnya, dan tidak menyebabkan aib bagi orang yang sudah terbiasa melakukannya. Jika diambil dari orang yang tidak menjadi aib baginya, maka tidak ada kewajiban apa pun, baik rambut itu tumbuh kembali maupun tidak. Namun, jika tidak tumbuh kembali, apakah ada kewajiban membayar ḥukūmah yang nilainya lebih sedikit dari ḥukūmah rambut, atau tidak, terdapat dua pendapat. Jika diambil dari orang yang menjadi aib baginya, maka jika rambut itu tidak tumbuh kembali, wajib membayar ḥukūmah, dan nilainya lebih besar daripada ḥukūmah pada orang yang tidak menjadi aib baginya. Jika rambut itu tumbuh kembali, maka berlaku hukum yang telah kami sebutkan sebelumnya dari dua pendapat tersebut.
فَأَمَّا الْقِصَاصُ فِي نَتْفِ الشَّعْرِ فَلَا يَجِبُ لِاخْتِلَافِ النَّاسِ فِي كَثَافَتِهِ وَخِفَّتِهِ وَطُولِهِ وَقِصَرِهِ وَشَيْنِهِ وَجَمَالِهِ وَذَهَابِهِ وَنَبَاتِهِ
Adapun qishāsh dalam mencabut rambut, maka tidak wajib karena perbedaan manusia dalam hal ketebalan dan tipisnya, panjang dan pendeknya, buruk dan indahnya, hilang dan tumbuhnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَمَعْنَى الْحُكُومَةِ أَنْ يُقَوَّمَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ كَمْ يُسَوِّي أَنْ لَوْ كَانَ عَبْدًا غَيْرَ مَجْنِيٍّ عَلَيْهِ ثُمَّ يُقَوِّمُ مَجْنِيًّا عَلَيْهِ فُيُنْظَرُ كَمْ بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ فَإِنْ كَانَ الْعُشْرَ فَفِيهِ عُشْرُ الدِّيَةِ أَوِ الْخُمُسَ فَعَلَيْهِ خُمُسُ الدِّيَةِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Makna al-ḥukūmah adalah menaksir berapa nilai orang yang menjadi korban seandainya ia adalah seorang budak yang tidak terkena kejahatan, kemudian menaksir nilainya setelah menjadi korban, lalu dilihat berapa selisih antara kedua nilai tersebut. Jika selisihnya sepersepuluh, maka wajib membayar sepersepuluh diyat; jika seperlima, maka wajib membayar seperlima diyat.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَةُ الْأُرُوشِ فِي الْجِنَايَاتِ ضَرْبَانِ
Al-Mawardi berkata: Secara keseluruhan, diyat dalam kasus jinayah terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِتَقْدِيرِهِ فَيَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الدِّيَةِ وَاسْمُ الْأَرْشِ إِلَّا دِيَةَ النَّفْسِ فَلَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهَا اسْمُ الْأَرْشِ لِأَنَّ الْأَرْشَ لِتَلَافِي خَلَلٍ وَلَمْ يَبْقَ مَعَ تَلَفِ النَّفْسِ مَا يُتَلَافَى فَلَمْ تُسَمَّ دِيَتُهَا أَرْشًا فَكُلُّ شَيْءٍ تقدرت ديته بالشرع زال الاجتهاد فيه وساوى حكم مَعَ قِلَّةِ الشَّيْنِ وَكَثْرَتِهِ فَمَا تَقَدَّرَتْ أُرُوشُهُ بِالدِّيَةِ الْكَامِلَةِ كَالْأَنْفِ وَاللِّسَانِ وَالذَّكَرِ فَفِيهِ مِنَ الْعَبْدِ جَمِيعُ قِيمَتِهِ وَمَا تَقَدَّرَ أَرْشُهُ بِنِصْفِ الدِّيَةِ كَإِحْدَى الْعَيْنَيْنِ وَإِحْدَى الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ فَفِيهِ مِنَ الْعَبْدِ نِصْفُ قِيمَتِهِ وَمَا تَقَدَّرَ أَرْشُهُ بِعُشْرِ الدِّيَةِ كَالْإِصْبَعِ فَفِيهِ مِنِ الْعَبْدِ عُشْرُ قِيمَتِهِ وَكَذَلِكَ فِيمَا زَادَ وَنَقَصَ فَيَصِيرُ الْحُرُّ أَصْلًا لِلْعَبْدِ فِي الْمُقَدَّرِ
Salah satunya adalah apa yang telah ditetapkan kadarnya oleh syariat, sehingga padanya berlaku istilah diyat dan istilah arsy, kecuali diyat jiwa, maka tidak berlaku padanya istilah arsy, karena arsy itu untuk menutupi kekurangan, sedangkan dengan hilangnya jiwa tidak ada lagi yang dapat ditutupi, maka diyatnya tidak disebut arsy. Maka segala sesuatu yang kadarnya telah ditetapkan diyatnya oleh syariat, ijtihad tidak berlaku padanya, dan hukumnya sama, baik sedikit maupun banyak cacatnya. Maka apa yang arsy-nya ditetapkan dengan diyat sempurna seperti hidung, lidah, dan kemaluan, maka pada budak berlaku seluruh nilainya. Dan apa yang arsy-nya ditetapkan dengan setengah diyat seperti salah satu mata, salah satu tangan, dan kaki, maka pada budak berlaku setengah nilainya. Dan apa yang arsy-nya ditetapkan dengan sepersepuluh diyat seperti jari, maka pada budak berlaku sepersepuluh nilainya. Demikian pula pada yang lebih atau kurang dari itu, sehingga orang merdeka menjadi acuan bagi budak dalam hal yang telah ditetapkan kadarnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي مَا لَمْ يَرِدِ الشَّرْعُ بِتَقْدِيرِ أَرْشِهِ فَالْوَاجِبُ فِيهِ حُكُومَةٌ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الشَّيْنِ لَا تَتَقَدَّرُ إِلَّا بِاجْتِهَادِ الْحُكَّامِ وَلِذَلِكَ سُمِّيَتْ حُكُومَةً لِاسْتِقْرَارِهَا بِالْحُكْمِ فَإِنِ اجْتَهَدَ فِيهَا مَنْ لَيْسَ بِحَاكِمٍ مُلْزَمٍ لَمْ يَسْتَقِرَّ تَقْدِيرُهُ لِأَنَّهُ لَا يَنْفُذُ حُكْمُهُ ثُمَّ إِذَا تَقَدَّرَتْ بِاجْتِهَادِ الْحَاكِمِ فِي وَاحِدٍ لَمْ يَصِرْ ذَلِكَ حُكْمًا مُقَدَّرًا فِي كُلِّ أَحَدٍ؛ لِأَمْرَيْنِ
Jenis yang kedua adalah apa yang tidak ditetapkan syariat kadar kompensasinya, maka yang wajib di dalamnya adalah ḥukūmah, yang nilainya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan cacat, dan tidak dapat ditentukan kecuali dengan ijtihad para hakim. Oleh karena itu, ia dinamakan ḥukūmah karena penetapannya melalui keputusan hakim. Jika yang berijtihad dalam hal ini bukan hakim yang berwenang, maka penetapannya tidak tetap, karena keputusannya tidak berlaku. Kemudian, jika kadarnya telah ditetapkan dengan ijtihad hakim dalam satu kasus, hal itu tidak menjadi ketetapan hukum yang berlaku untuk setiap orang, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا لِقُصُورِ مَرْتَبَةِ الِاجْتِهَادِ عَنِ النَّصِّ فَصَارَ الِاجْتِهَادُ خُصُوصًا وَالنَّصُّ عُمُومًا
Salah satunya adalah karena derajat ijtihad lebih rendah daripada nash, sehingga ijtihad menjadi khusus sedangkan nash bersifat umum.
وَالثَّانِي لِاعْتِبَارِ الشَّيْنِ فِي الِاجْتِهَادِ وَحَذْفِهِ مِنَ النَّصِّ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَمَعْرِفَةُ الْحُكُومَةِ أَنْ يُقَوَّمَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ لَوْ كَانَ عَبْدًا لَا جِنَايَةَ بِهِ فَإِذَا قِيلَ مِائَةُ دِينَارٍ قُوِّمَ وَبِهِ هَذِهِ الْجِنَايَةُ وَإِذَا قِيلَ تِسْعُونَ دِينَارًا عُلِمَ أَنَّ نَقْصَ الْجِنَايَةِ عَشَرَةٌ مِنْ مِائَةٍ هِيَ عُشْرُهَا مُعْتَبَرٌ مِنْ دِيَةِ نَفْسِ الْحُرِّ فَيَكُونُ أَرْشُهَا عُشْرَ الدِّيَةِ وَلَوْ نَقَصَ بَعْدَ الْجِنَايَةِ عِشْرُونَ مِنْ مِائَةٍ هِيَ خُمْسُهَا كَانَ أَرْشُهَا خُمُسَ الدِّيَةِ وَكَذَلِكَ فِيمَا زَادَ وَنَقَصَ وَلَوْ كَانَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عَبْدًا كَانَ النَّاقِصُ مِنْ قِيمَتِهِ هُوَ أَرْشَ حُكُومَتِهِ فَيَصِيرُ الْعَبْدُ أَصْلًا لِلْحُرِّ فِي الْحُكُومَةِ وَالْحُرُّ أَصْلًا لِلْعَبْدِ فِي التَّقْدِيرِ وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَجْعَلُ نَقْصَ الْجِنَايَةِ مُعْتَبَرًا مِنْ دِيَةِ الْعُضْوِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لَا مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ فَإِنْ كان على يد وهو العشر وأوجب عُشْرَ دِيَةِ الْيَدِ وَإِنْ كَانَ عَلَى إِصْبَعٍ أَوْجَبَ عُشْرَ دِيَةِ الْإِصْبَعِ وَإِنْ كَانَ عَلَى الرَّأْسِ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ أَوْجَبَ عُشْرَ دِيَةِ الْمُوضِحَةِ وَإِنْ كَانَ عَلَى الْجَسَدِ فِيمَا دُونَ الْجَائِفَةِ أَوْجَبَ عُشْرَ دِيَةِ الْجَائِفَةِ وَلَمْ يَعْتَبِرْهُ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ حَذَرًا مِنْ أَنْ يَبْلُغَ أَرْشُ الْحُكُومَةِ دِيَةَ ذَلِكَ الْعُضْوِ أَوْ زِيَادَةً عَلَيْهِ وَهَذَا الِاعْتِبَارُ فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Yang kedua adalah mempertimbangkan cacat dalam ijtihad dan menghilangkannya dari nash. Jika demikian, maka cara mengetahui hukumah adalah dengan menaksir nilai orang yang menjadi korban seandainya ia adalah seorang budak yang tidak terkena jinayah. Jika dikatakan nilainya seratus dinar, lalu dinilai lagi setelah terkena jinayah ini, dan jika dikatakan sembilan puluh dinar, maka diketahui bahwa kekurangan akibat jinayah adalah sepuluh dari seratus, yaitu sepersepuluhnya, yang dianggap dari diyat jiwa orang merdeka, sehingga arsy-nya adalah sepersepuluh diyat. Jika setelah jinayah nilainya berkurang dua puluh dari seratus, yaitu seperlimanya, maka arsy-nya adalah seperlima diyat, demikian pula untuk yang lebih atau kurang dari itu. Jika korban adalah seorang budak, maka kekurangan dari nilainya itulah arsy hukumah-nya. Maka budak menjadi asal bagi orang merdeka dalam hukumah, dan orang merdeka menjadi asal bagi budak dalam taksiran. Sebagian ulama kami menjadikan kekurangan akibat jinayah itu diukur dari diyat anggota tubuh yang terkena jinayah, bukan dari diyat jiwa. Jika pada tangan, yang nilainya sepersepuluh, maka ia mewajibkan sepersepuluh diyat tangan. Jika pada jari, ia mewajibkan sepersepuluh diyat jari. Jika pada kepala pada bagian selain mudhihah, ia mewajibkan sepersepuluh diyat mudhihah. Jika pada badan pada bagian selain jaifah, ia mewajibkan sepersepuluh diyat jaifah, dan tidak mengukurnya dari diyat jiwa, karena khawatir arsy hukumah itu mencapai diyat anggota tersebut atau bahkan melebihinya. Pertimbangan ini rusak dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا كَانَ التَّقْوِيمُ لِلنَّفْسِ دُونَ الْعُضْوِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ النَّقْصُ مُعْتَبَرًا مِنْ دِيَةِ النفس دون العضو
Salah satunya adalah bahwa karena penilaian (taqwīm) itu ditujukan untuk jiwa, bukan untuk anggota tubuh, maka kekurangan itu harus diperhitungkan dari diyat jiwa, bukan dari anggota tubuh.
والثاني أنه قد تقارب جِنَايَةُ الْحُكُومَةِ جِنَايَةَ الْمُقَدَّرِ كَالسِّمْحَاقِ مَعَ الْمُوضِحَةِ فَلَوِ اعْتُبِرَ النَّقْصُ مِنْ دِيَةِ الْمُوضِحَةِ لِبُعْدِ مَا بَيْنَ الْأَرْشَيْنِ مَعَ قُرْبِ مَا بَيْنَ الْجِنَايَتَيْنِ فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا اعْتَبَرْتُمُوهُ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ رُبَّمَا سَاوَاهُ وَزَادَ عَلَيْهِ
Kedua, bahwa kadang-kadang jinayah hukūmah (kerusakan yang ditetapkan dengan penilaian hakim) mendekati jinayah yang sudah ada ketentuannya, seperti kasus simḥāq dengan muḍīḥah. Maka, jika pengurangan itu dianggap dari diyat muḍīḥah karena jauhnya perbedaan antara kedua arsy (ganti rugi), padahal kedua jinayah itu saling berdekatan, maka jika dikatakan: jika kalian menganggapnya dari diyat jiwa, bisa jadi nilainya sama atau bahkan lebih besar darinya.
قِيلَ يَخْتَبِرُ زَمَنَ هَذِهِ الْمُسَاوَاةِ وَالزِّيَادَةُ حَدٌّ فِيهَا وَالنُّقْصَانُ فِيهَا عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فَلَا تُوجِبُ زِيَادَةً ولا مساواة
Dikatakan bahwa yang diuji adalah masa kesetaraan ini, dan penambahan merupakan batas di dalamnya, begitu pula pengurangan di dalamnya, sebagaimana akan kami sebutkan. Maka, tidak mewajibkan adanya penambahan maupun kesetaraan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنِ اخْتِيَارِ الْحُكُومَةِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الْجِنَايَةِ ذَاتِ الْحُكُومَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهَا تَأْثِيرٌ فِي نُقْصَانِ الْقِيمَةِ أَوْ لَا يَكُونَ فَإِنْ كَانَ لَهَا تَأْثِيرٌ فِي النُّقْصَانِ وَهُوَ الْعُشْرُ الْمُوجِبُ لِعُشْرِ الدِّيَةِ نُظِرَتْ فَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ دِيَةِ الْعُضْوِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ كَالْجِنَايَةِ عَلَى إِحْدَى الْعَيْنَيْنِ يُقَدَّرُ أَرْشُ الْحُكُومَةِ بِعُشْرِ الدِّيَةِ فَيَجِبُ بِهَا عُشْرُ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ مُسَاوِيًا لِدِيَةِ الْعُضْوِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ كَالْجِنَايَةِ عَلَى الْإِصْبَعِ لَمْ تُوجِبْ فِيهِ حُكُومَتُهَا عُشْرَ الدِّيَةِ لأن لا يُسَاوِيَ أَرْشُ حُكُومَتِهَا دِيَةَ قَطْعِهَا وَنَقَصَتْ مِنْ عُشْرِ الدِّيَةِ الَّتِي هِيَ دِيَةُ الْإِصْبَعِ مَا يَقْتَضِيهِ الِاجْتِهَادُ بِحَسَبِ كَثْرَةِ الشَّيْنِ وَقِلَّتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى الرَّأْسِ وَهِيَ دُونَ الْمُوضِحَةِ وَكَانَ نَقْصُهَا عُشْرَ الْقِيمَةِ لَمْ تُوجِبْ بِهَا عُشْرَ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ مِنْ دِيَةِ الْمُوضِحَةِ وَنَقَصَتْ مِنْ دِيَةِ الْمُوضِحَةِ بِحَسَبِ الشَّيْنِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْعَلَ النُّقْصَانَ نَاقِصًا حَقَّهُ أَوْ أَقَلَّهُ مَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ ثَمَنًا لِبَيْعٍ أَوْ صَدَاقًا لِزَوْجَةٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْجِنَايَةِ تَأْثِيرٌ فِي نُقْصَانِ الْقِيمَةِ وَذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ إِمَّا بِأَنْ لَا يَكُونَ لِلْجِرَاحِ بَعْدَ انْدِمَالِهَا تَأْثِيرٌ أَوْ يَكُونَ كَقَطْعِ إِصْبَعٍ زَائِدَةٍ أَوْ قَلْعِ سِنٍّ شَاغِبَةٍ أَوْ نَتْفِ لِحْيَةِ امْرَأَةٍ فَقَدْ أَذْهَبَتِ الْجِنَايَةُ شَيْنًا وَأَحْدَثَتْ جَمَالًا فَفِيهَا وَجْهَانِ
Jika telah ditetapkan apa yang telah kami jelaskan mengenai dipilihnya ḥukūmah, maka keadaan jinayah yang mengharuskan ḥukūmah tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi jinayah tersebut berpengaruh pada pengurangan nilai (harga), atau tidak berpengaruh. Jika jinayah itu berpengaruh pada pengurangan, yaitu sebesar sepersepuluh yang mewajibkan sepersepuluh diyat, maka dilihat: jika kurang dari diyat anggota tubuh yang menjadi korban, seperti jinayah pada salah satu mata, maka ʿarsh ḥukūmah ditetapkan sebesar sepersepuluh diyat, sehingga yang wajib adalah sepersepuluh diyat. Jika sama dengan diyat anggota tubuh yang menjadi korban, seperti jinayah pada jari, maka ḥukūmah tidak mewajibkan sepersepuluh diyat, karena ʿarsh ḥukūmah tidak sama dengan diyat pemotongan jari tersebut, dan dikurangi dari sepersepuluh diyat yang merupakan diyat jari sesuai dengan ijtihad, tergantung besar atau kecilnya cacat. Jika jinayah itu terjadi pada kepala dan di bawah tingkat al-muḍiḥah, dan pengurangannya sebesar sepersepuluh nilai, maka tidak wajib sepersepuluh diyat, karena itu lebih besar dari diyat al-muḍiḥah, dan dikurangi dari diyat al-muḍiḥah sesuai dengan kadar cacat. Tidak boleh menjadikan pengurangan itu kurang dari haknya atau kurang dari nilai yang boleh dijadikan harga jual atau mahar untuk istri. Jika jinayah tidak berpengaruh pada pengurangan nilai, dan itu ada beberapa bentuk: bisa jadi karena luka setelah sembuh tidak berpengaruh, atau seperti memotong jari tambahan, mencabut gigi yang mengganggu, atau mencabut janggut wanita, maka jinayah itu justru menghilangkan cacat dan menambah keindahan, maka dalam hal ini ada dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ لَا أَرْشَ لَهَا وَتَكُونُ هَدَرًا لِأَنَّهَا لَمْ تُحْدِثْ نَقْصًا وَقَدْ أَشَارَ الشَّافِعِيُّ إِلَى هَذَا فِي اللَّطْمَةِ تُوجِبُ الْحُكُومَةَ إِنْ أَثَّرَتْ فِي تَغْيِيرِ الْبَشَرَةِ وَتَكُونُ هَدَرًا إِنْ لَمْ تُؤَثِّرْ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, menyatakan bahwa tidak ada arsy (ganti rugi) baginya dan dianggap gugur (tidak ada tuntutan), karena tidak menimbulkan kekurangan. Imam Syafi‘i juga telah menyinggung hal ini dalam kasus tamparan, yaitu wajib hukūmah (penilaian ganti rugi) jika berpengaruh pada perubahan kulit, dan dianggap gugur jika tidak berpengaruh.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهَا تُضْمَنُ وَلَا تَكُونُ هَدَرًا لِاسْتِهْلَاكِ بَعْضِ الْخِلْقَةِ الَّتِي تُوجِبُ ضَمَانَ جُمْلَتِهَا ضَمَانَ أَجْزَائِهَا وَقَدْ أَشَارَ الشَّافِعِيُّ إِلَى هَذَا فِي لِحْيَةِ الْمَرْأَةِ إِذَا نُتِفَتْ أَنَّهَا تُوجِبُ حُكُومَةً دُونَ حُكُومَةِ لِحْيَةِ الرَّجُلِ وَإِنْ لَمْ يُحْدِثْ نَتْفُهَا فِي الْمَرْأَةِ شَيْنًا فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ عَدَمُ التَّأْثِيرِ فِي جُرْحٍ قَدِ انْدَمَلَ لَمْ يَبْقَ لَهُ بَعْدَ الِانْدِمَالِ أَثَرٌ اعْتَبَرَتْ نُقْصَانَ أَثَرِهِ قَبْلَ الِانْدِمَالِ وَبَعْدَ انْقِطَاعِ دَمِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَأْثِيرٌ اعْتَبَرَتْ نُقْصَانَهُ عِنْدَ سَيَلَانِ دَمِهِ فَنَجِدُ لَهُ فِي نُقْصَانِ الْقِيمَةِ أَثَرًا وَكَذَلِكَ فِي اعْتِبَارِ قَطْعِ الْإِصْبَعِ الزَّائِدَةِ يُعْتَبَرُ وَقْتُ سَيَلَانِ الدَّمَ وَإِنْ كَانَ قَلْعَ سِنٍّ شَاغِبَةٍ فَهِيَ وَإِنْ شَانَتْ فَقَدْ كَانَتْ مُقَوِّيَةً لِمَا وَرَاءَهَا مِنْ سِنِّ الْأَصْلِ فَصَارَتْ بَعْدَ قَلْعِهَا أَضْعَفَ فَيُعْتَبَرُ نُقْصَانُ تَأْثِيرِ قُوَّةِ تِلْكَ السِّنِّ وَضَعْفِهَا وَإِنْ كَانَتْ فِي نَتْفِ لِحْيَةِ امْرَأَةٍ فَهُوَ يُحْدِثُ فِي الْمَرْأَةِ زِيَادَةً وَفِي الرَّجُلِ نُقْصَانًا فَسَقَطَتِ الزِّيَادَةُ الْحَادِثَةُ فِي الْمَرْأَةِ مِنَ النُّقْصَانِ الْحَادِثِ فِي الرَّجُلِ وَيَنْظُرُ الْبَاقِيَ بَعْدَهُ فَيَعْتَبِرُهُ مِنْ دِيَتِهَا فَإِنْ لَمْ يَبْقَ بَعْدَ إِسْقَاطِ الزِّيَادَةِ شَيْءٌ مِنَ النُّقْصَانِ أَوْجَبَ حِينَئِذٍ مَا قَلَّ مِمَّا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ ثَمَنًا أَوْ صَدَاقًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa hal itu wajib diganti rugi dan tidak dianggap sia-sia, karena telah menghilangkan sebagian anggota tubuh yang mewajibkan ganti rugi secara keseluruhan, maka bagian-bagiannya pun wajib diganti rugi. Asy-Syafi‘i telah menyinggung hal ini dalam kasus janggut perempuan yang dicabut, bahwa hal itu mewajibkan pembayaran hukūmah, namun tidak seperti hukūmah pada janggut laki-laki, meskipun pencabutan tersebut tidak menimbulkan cacat pada perempuan. Berdasarkan hal ini, jika tidak ada pengaruh pada luka yang telah sembuh dan tidak tersisa bekas setelah sembuh, maka yang diperhitungkan adalah kekurangan akibat luka tersebut sebelum sembuh dan setelah darahnya berhenti. Jika memang tidak ada pengaruh, maka yang diperhitungkan adalah kekurangan pada saat darah mengalir, sehingga ditemukan adanya pengaruh pada penurunan nilai (diyat). Demikian pula dalam kasus pemotongan jari tambahan, yang diperhitungkan adalah waktu mengalirnya darah. Jika yang dicabut adalah gigi yang mengganggu, meskipun menimbulkan cacat, namun sebelumnya gigi itu memperkuat gigi asli di belakangnya, sehingga setelah dicabut menjadi lebih lemah, maka yang diperhitungkan adalah berkurangnya kekuatan dan kelemahan gigi tersebut. Jika dalam kasus mencabut janggut perempuan, hal itu justru menambah (kejelekan) pada perempuan dan mengurangi (keindahan) pada laki-laki, maka tambahan yang terjadi pada perempuan dihapuskan dari kekurangan yang terjadi pada laki-laki, lalu sisanya diperhitungkan dari diyat-nya. Jika setelah menghapus tambahan itu tidak tersisa kekurangan apa pun, maka diwajibkan membayar nilai paling sedikit dari sesuatu yang sah menjadi harga atau mahar. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَمَا كُسِرَ مِنْ سِنٍّ أَوْ قُطِعَ مِنْ شَيْءٍ لَهُ أَرْشٌ مَعْلُومٌ فَعَلَى حِسَابِ مَا ذهب منه
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Apabila ada gigi yang patah atau ada bagian tubuh yang terpotong dari sesuatu yang memiliki nilai diyat tertentu, maka diyatnya dihitung sesuai dengan bagian yang hilang darinya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَذَكَرْنَا أَنَّ مَا تَقَدَّرَتْ فِيهِ الدِّيَةُ مِنَ الْأَعْضَاءِ وَالْأَسْنَانِ كَانَ فِي أَبْعَاضِهَا إِذَا عُرِفَ مِقْدَارُهُ مِنْهَا قَسَّطَهُ مِنْ دِيَتِهَا لِأَنَّ مَا قَابَلَ جُمْلَةً تَقَسَّطَ عَلَى أَجْزَائِهَا كَالْأَثْمَانِ فَيَكُونُ فِي نِصْفِ السِّنِّ نِصْفُ دِيَةِ السِّنِّ وَفِي نِصْفِ الْأُذُنِ نِصْفُ دِيَةِ الْأُذُنِ وَكَذَلِكَ فِيمَا زَادَ وَنَقَصَ فَإِنْ جُهِلَ قَدْرُ الذَّاهِبِ مِنَ الْبَاقِي تُقَدَّرْ تَقْسِيطُ الدِّيَةِ عَلَيْهِ فَوَجَبَتْ فِيهِ حُكُومَةٌ
Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas sebelumnya, dan kami telah menyebutkan bahwa pada anggota tubuh dan gigi yang telah ditetapkan diyat-nya, jika diketahui kadar bagian yang terkena, maka diyat-nya dibagi sesuai bagian tersebut. Sebab, sesuatu yang berlaku untuk keseluruhan, maka pembagiannya juga berlaku pada bagian-bagiannya, seperti delapan bagian. Maka, pada setengah gigi berlaku setengah diyat gigi, dan pada setengah telinga berlaku setengah diyat telinga, demikian pula untuk yang lebih atau kurang dari itu. Jika tidak diketahui kadar bagian yang hilang dari yang tersisa, maka pembagian diyat diperkirakan atasnya, sehingga wajib diterapkan hukumah.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فِي التَّرْقُوَةِ جَمَلٌ وَفِي الضِّلَعِ جَمَلٌ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ يُشْبِهُ مَا حُكِيَ عَنْ عمر فيما وصفت حكومة لا توقيت قال المزني رحمه الله هذا أشبه بقوله كما يؤول قول زيد في العين القائمة مائة دينار أن ذلك على معنى الحكومة لا توقيت وقد قطع الشافعي رحمه الله بهذا المعنى فقال في كل عظم كسر سوى السن حكومة فإذا جبر مستقيماً ففيه حكومة بقدر الألم والشين وإن جبر معيباً بعجز أو عرج أو غير ذلك زيد في حكومته بقدر شينه وضره وألمه لا يبلغ به دية العظم لو قطع
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada tulang selangka (tarkuwah) ada jaminan (diyat), dan pada tulang rusuk juga ada jaminan (diyat). Dan beliau berkata di tempat lain, yang serupa dengan apa yang diriwayatkan dari ‘Umar tentang apa yang telah aku sebutkan, yaitu berupa ḥukūmah (penetapan ganti rugi berdasarkan penilaian, bukan ketetapan nominal tertentu). Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Ini lebih mirip dengan pendapat beliau, sebagaimana penafsiran terhadap pendapat Zaid bahwa pada mata yang masih utuh nilainya seratus dinar, bahwa itu bermakna ḥukūmah, bukan penetapan nominal tertentu. Imam Syafi‘i raḥimahullāh telah menegaskan makna ini, beliau berkata: Pada setiap tulang yang patah selain gigi, maka berlaku ḥukūmah. Jika tulang itu sembuh dengan lurus, maka berlaku ḥukūmah sesuai kadar rasa sakit dan cacatnya. Jika sembuh dengan cacat, seperti lemah, pincang, atau selainnya, maka ditambah nilai ḥukūmah sesuai kadar cacat, kerugian, dan rasa sakitnya, namun tidak sampai pada kadar diyat tulang jika dipotong.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ نَقَلَ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ فِي التَّرْقُوَةِ جَمَلٌ إِذَا كُسِرَتْ وَفِي الضِّلَعِ جَمَلٌ إِذَا كُسِرَ وَهَذَا قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ وَنُقِلَ عَنْهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّ فِيهِمَا حُكُومَةً فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَكَانَ الْمُزَنِيُّ وَطَائِفَةٌ مِنَ الْمُتَقَدِّمِينَ يُخَرِّجُونَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ
Al-Mawardi berkata, Al-Muzani meriwayatkan dari Asy-Syafi‘i bahwa beliau berkata: Pada tulang selangka (tarquwah) ada diyat unta jika patah, dan pada tulang rusuk (dila‘) juga ada diyat unta jika patah. Ini adalah pendapat beliau dalam qaul qadim. Dan diriwayatkan dari beliau dalam qaul jadid bahwa pada keduanya terdapat hukūmah. Maka para sahabat kami pun berbeda pendapat; Al-Muzani dan sekelompok ulama terdahulu mengeluarkan masalah ini menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا إِنَّ الْجَمَلَ مِنْهُمَا تَقْدِيرٌ يَقْطَعُ الِاجْتِهَادَ فِيهِ وَيَمْنَعُ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ وَالنُّقْصَانِ مِنْهُ؛ لِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَكَمَ فِيهِمَا بِالْجَمَلِ وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ قَوْلَ الصَّحَابِيِّ إِذَا انْتَشَرَ وَلَمْ يَظْهَرْ لَهُ مُخَالِفٌ وَجَبَ الْعَمَلُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَنْتَشِرْ فَعَلَى قَوْلَيْنِ وَهَذَا قَوْلٌ قَدِ انْتَشَرَ فَكَانَ الْعَمَلُ بِهِ وَاجِبًا
Salah satunya adalah bahwa penetapan jumlah unta tersebut merupakan ketetapan yang memutuskan ijtihad di dalamnya dan mencegah adanya penambahan atau pengurangan darinya; karena Umar radhiyallahu ‘anhu telah memutuskan perkara tersebut dengan jumlah unta itu. Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa perkataan sahabat, jika telah tersebar dan tidak tampak ada yang menyelisihinya, maka wajib diamalkan, dan jika belum tersebar maka ada dua pendapat. Dan ini adalah pendapat yang telah tersebar, sehingga wajib diamalkan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنْ فِيهِ حُكُومَةً لِأَنَّ مَقَادِيرَ الدِّيَاتِ تُؤْخَذُ عَنْ نَصٍّ أَوْ قِيَاسٍ وَلَيْسَ فِيهِ نَصٌّ عن الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَلَا أَصْلٌ يُقَاسُ عَلَيْهِ وُجُوبُ الْجَمَلِ فِيهِ وَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ وَأَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَكْثَرُ الْمُتَأَخِّرِينَ إِنَّهُ لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَمَذْهَبُهُ فِيهِ وُجُوبُ الْحُكُومَةِ وَإِنَّمَا ذَكَرَ فِيهِمَا الْجَمَلَ تَبَرُّكًا بِقَوْلِ عُمَرَ وَأَثْبَتَهُ عَلَى قَدْرِ الْحُكُومَةِ أَنَّهَا لَا تَبْلُغُ دِيَةَ السِّنِّ وَأَنَّ مَا نَفَذَ مِنَ الِاجْتِهَادِ فِيهِ بِهَذَا الْقَدْرِ كَانَ مَا تَعَقَّبَهُ عَنِ الِاجْتِهَادِ مقارناً له فإن زاد عليه فيصير وإن نقص عنه فيصير وَلَا يَصِيرُ حَدًّا لَا يُتَجَاوَزُ
Pendapat kedua menyatakan bahwa dalam hal ini berlaku ḥukūmah, karena kadar diyat diambil dari nash atau qiyās, sedangkan dalam masalah ini tidak terdapat nash dari Rasulullah ﷺ dan tidak ada asal yang dapat dijadikan qiyās untuk mewajibkan unta di dalamnya. Abu Ishaq al-Marwazi, Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, dan mayoritas ulama muta’akhkhirīn berpendapat bahwa hal ini bukanlah dua pendapat, dan mazhab mereka dalam masalah ini adalah wajibnya ḥukūmah. Mereka hanya menyebutkan unta di dalamnya sebagai bentuk tabarruk dengan perkataan ‘Umar, dan mereka menetapkannya sesuai kadar ḥukūmah, yaitu bahwa nilainya tidak mencapai diyat gigi. Apa yang telah diputuskan melalui ijtihad dalam kadar ini, maka apa yang datang setelahnya dari ijtihad yang sebanding dengannya, jika melebihi maka berlaku, jika kurang maka juga berlaku, dan tidak menjadi batas yang tidak boleh dilampaui.
فَأَمَّا الْعَيْنُ القائمة فلا تتقدر رقبتها فصارت يد بمائة دِينَارٍ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ خَالَفَهُ فَأَوْجَبَ فِيهَا ثُلُثَ الدِّيَةِ فَتَعَارَضَ قَوْلَاهُمَا وَلَزِمَتِ الْحُكُومَةُ وَخَالَفَ التَّرْقُوَةَ وَالضِّلَعَ الَّذِي لَمْ يَظْهَرْ فِيهِ مخالف لعمرو وَلَوْ قَدَّرَهُ عُمَرُ بِالْجَمَلِ تَقْدِيرًا عَامًّا فِي جَمِيعِ النَّاسِ مَا جَازَ خِلَافُهُ لِأَنَّهُ صَارَ إِجْمَاعًا وَلَكِنَّهُ قَضَى بِهِ فِي رَجُلٍ بِعَيْنِهِ انْتَهَتْ حُكُومَتُهُ إِلَيْهِ وَجَازَ أَنْ يُؤَدِّيَهُ اجْتِهَادُهُ فِي غَيْرِهِ إِلَى أَقَلَّ مِنْهُ أَوْ أَكْثَرَ بِحَسَبِ الشَّيْنِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَصِرْ حَدًّا وَخَالَفَ حُكْمَ الصَّحَابَةِ فِي جَزَاءِ الصَّيْدِ الَّذِي يَكُونُ اجْتِهَادُهُمْ فِيهِ مَتْبُوعًا لِأَنَّهُ عَلَى الْعُمُومِ دُونَ الْخُصُوصِ
Adapun mata yang masih utuh, maka diyatnya tidak ditentukan dengan nilai leher, sehingga diyat tangan menjadi seratus dinar menurut satu pendapat, karena Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berbeda pendapat dan mewajibkan sepertiga diyat padanya. Maka, dua pendapat mereka saling bertentangan dan diperlukan penetapan hukum (hukūmah). Ini berbeda dengan tulang selangka dan tulang rusuk yang tidak tampak, yang berbeda dengan pendapat Umar. Seandainya Umar menentukannya dengan unta sebagai ketetapan umum bagi seluruh manusia, maka tidak boleh ada perbedaan pendapat karena telah menjadi ijmā‘. Namun, ia memutuskan hal itu pada seorang tertentu saja, sehingga penetapan hukumnya hanya berlaku padanya, dan ijtihadnya terhadap orang lain bisa menghasilkan nilai yang lebih sedikit atau lebih banyak sesuai dengan tingkat cacatnya. Oleh karena itu, hal itu tidak menjadi batasan tetap, dan berbeda dengan hukum para sahabat dalam diyat hewan buruan, di mana ijtihad mereka diikuti karena bersifat umum, bukan khusus.
فَصْلٌ
Fashl (Bagian)
فَإِذَا ثَبَتَ فِي التَّرْقُوَةِ وَالضِّلَعِ حُكُومَةٌ فَإِنِ انْجَبَرَ مُسْتَقِيمًا قَلَّتْ حُكُومَتُهُ وَإِنِ انْجَبَرَ مُعَوَّجًا كَانَتْ حُكُومَتُهُ أَكْثَرَ وَإِنْ كَانَ مَعَ اعْوِجَاجِهِ قَدْ صَارَ ذَا عُقْدَةٍ كَانَتْ حُكُومَتُهُ أَكْثَرَ لِأَنَّ زِيَادَةَ الشَّيْنِ فِي الْحُكُومَاتِ معتبرة وَكَذَلِكَ إِذَا كَسَرَ سَائِرَ عِظَامِ الْجَسَدِ سِوَى الْأَسْنَانِ فَفِيهِ حُكُومَةٌ بِقَدْرِ ضَرَرِهِ وَشَيْنِهِ لَا يَبْلُغُ دِيَةَ ذَلِكَ الْعُضْوِ إِلَّا أَنْ يُشَلَّ فَلَوْ ضَرَبَ عَظْمَهُ حَتَّى تَشَظَّى لَمْ يَجِبْ فِيهِ دِيَةُ مُنَقِّلَةٍ وَلَا هَاشِمَةٍ كَمَا لَا تَجِبُ فِي مُوضِحَةِ الْجَسَدِ دِيَةُ الْمُوضِحَةِ فِي الرأس وكانت الحكومة فيه بقدر ألمه وضرره وشينه فلو أنفذ عظمه وأخرج مخه كانت الْحُكُومَةُ أَكْثَرَ لِأَنَّ الضَّرَرَ أَعْظَمُ وَالْخَوْفَ أَكْثَرُ وَلَوْ سَلَخَ جِلْدَهُ فَضَرَرُهُ أَعْظَمُ وَخَوْفُهُ أَكْثَرُ وَفِيهِ حُكُومَةٌ لَا تَبْلُغُ دِيَةَ النَّفْسِ وَيُعْتَبَرُ انْدِمَالُهُ فَإِنْ عَادَ جِلْدُهُ كَانَتْ حُكُومَتُهُ أَقَلَّ منها إذا لم يعده وَلَوْ لَطَمَهُ فَإِنْ أَثَّرَ فِي جِلْدِهِ أَثَرًا بَقِيَ شَيْنُهُ فَفِيهِ حُكُومَةٌ وَإِنْ لَمْ يَبْقَ لَهُ أَثَرٌ فَلَا شَيْءَ فِيهِ وَيُعَزَّرُ اللَّاطِمُ أَدَبًا فَصَارَ تَقْدِيرُ هَذَا الشَّرْحِ أَنَّهُ مَتَى بَقِيَ لِلْجِنَايَةِ أَثَرُ شَيْنٍ فِي الْجُرْحِ أَوْ فِي كَسْرِ الْعَظْمِ أَوْ فِي اللَّطْمِ وَجَبَتْ فِيهِ حُكُومَةٌ وَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنْ ذَلِكَ أَثَرُ شَيْنٍ فِي كَسْرِ الْعَظْمِ وَفِي جُرْحِ الْجَسَدِ وَفِي اللَّطْمِ وَجَبَ فِي كَسْرِ الْعَظْمِ حُكُومَةٌ وَلَمْ تَجِبْ فِي اللَّطْمَةِ حُكُومَةٌ وَفِي وُجُوبِ الْحُكُومَةِ فِي الْجُرْحِ وَجْهَانِ لِأَنَّ الْعَظْمَ وَإِنِ انْجَبَرَ مُسْتَقِيمًا فَهُوَ بَعْدَ الْجَبْرِ أَضْعَفُ مِنْهُ قَبْلَهُ فَلِذَلِكَ وَجَبَتْ فِيهِ الْحُكُومَةُ وَاللَّطْمَةُ لَمْ تُؤَثِّرْ فِي الْجَسَدِ شَيْئًا وَلَا ضَعْفًا فَلِذَلِكَ لَمْ يَجِبْ فِيهَا حُكُومَةٌ
Apabila pada tulang selangka dan tulang rusuk terdapat kewajiban ḥukūmah, maka jika tulang itu menyatu kembali dengan lurus, nilai ḥukūmah-nya menjadi lebih sedikit. Namun jika menyatu kembali dalam keadaan bengkok, nilai ḥukūmah-nya menjadi lebih banyak. Jika selain bengkok juga menjadi bertonjol (berbuku), maka nilai ḥukūmah-nya lebih banyak lagi, karena semakin besar cacat yang timbul, semakin besar pula nilai ḥukūmah-nya. Demikian pula jika seseorang mematahkan tulang-tulang tubuh lainnya selain gigi, maka di dalamnya ada ḥukūmah sesuai kadar kerusakan dan cacatnya, yang tidak sampai pada diyat anggota tersebut kecuali jika anggota itu menjadi lumpuh. Jika seseorang memukul tulang hingga remuk, tidak wajib diyat munqillah maupun hāshimah, sebagaimana pada luka muḍīḥah di tubuh tidak wajib diyat muḍīḥah seperti pada kepala, dan nilai ḥukūmah-nya sesuai dengan kadar rasa sakit, kerusakan, dan cacatnya. Jika tulangnya tertembus hingga otaknya keluar, maka nilai ḥukūmah-nya lebih besar karena kerusakannya lebih parah dan rasa takutnya lebih besar. Jika kulitnya dikuliti, maka kerusakannya lebih besar dan rasa takutnya lebih besar pula, dan di dalamnya ada ḥukūmah yang tidak sampai pada diyat jiwa, dan diperhatikan pula apakah kulitnya bisa pulih kembali; jika kulitnya tumbuh kembali, maka nilai ḥukūmah-nya lebih sedikit dibandingkan jika tidak tumbuh kembali. Jika seseorang menamparnya, lalu menimbulkan bekas pada kulitnya yang menyebabkan cacat, maka ada ḥukūmah di dalamnya. Namun jika tidak meninggalkan bekas, maka tidak ada apa-apa di dalamnya, dan pelaku tamparan diberi ta‘zīr sebagai pelajaran. Maka penjelasan dari uraian ini adalah bahwa kapan pun suatu tindak pidana meninggalkan bekas cacat pada luka, patah tulang, atau tamparan, maka wajib ada ḥukūmah. Jika tidak ada bekas cacat pada patah tulang, luka tubuh, atau tamparan, maka pada patah tulang tetap wajib ḥukūmah, namun pada tamparan tidak wajib ḥukūmah. Dalam kewajiban ḥukūmah pada luka terdapat dua pendapat, karena tulang meskipun telah menyatu kembali dengan lurus, setelah penyatuan itu tetap lebih lemah daripada sebelumnya, maka karena itu wajib ḥukūmah. Sedangkan tamparan tidak menimbulkan pengaruh atau kelemahan pada tubuh, maka tidak wajib ḥukūmah di dalamnya.
فَأَمَّا الْجُرْحُ فَمُتَرَدِّدٌ بَيْنَ هَذَيْنِ فَلِذَلِكَ كَانَ عَلَى وَجْهَيْنِ
Adapun cacat (al-jarh) itu berada di antara dua hal tersebut, maka karena itu ia memiliki dua bentuk.
أَحَدُهُمَا فِيهِ حُكُومَةٌ لِأَنَّهُ قَدْ أَسَالَ دَمًا وَأَحْدَثَ نَقْصًا كَالْعَظْمِ إِذَا انْجَبَرَ مُسْتَقِيمًا
Salah satunya terdapat hukumah karena ia telah mengalirkan darah dan menimbulkan kekurangan, seperti tulang yang jika tersambung kembali dengan lurus.
وَالثَّانِي لَا حُكُومَةَ فِيهِ لِأَنَّهُ مَا أَحْدَثَ شَيْنًا وَلَا ضَعْفًا كَاللَّطْمَةِ إِذَا لَمْ تُحْدِثْ أَثَرًا والله أعلم
Yang kedua, tidak ada ḥukūmah di dalamnya karena tidak menimbulkan cacat atau kelemahan apa pun, seperti tamparan jika tidak menimbulkan bekas. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ جَرَحَهُ فَشَانَ وَجْهَهُ أَوْ رَأْسَهُ شَيْنًا يَبْقَى فَإِنْ كَانَ الشَّيْنُ أَكْثَرَ مِنَ الْجُرْحِ أُخِذَ بِالشَّيْنِ وَإِنْ كَانَ الْجُرْحُ أَكْثَرَ مِنَ الشِّينِ أُخِذَ بِالْجُرْحِ وَلَمْ يُزَدْ لِلشَّيْنِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang melukainya sehingga menimbulkan cacat pada wajah atau kepalanya berupa cacat yang menetap, maka jika cacat itu lebih besar daripada lukanya, maka yang diambil adalah (ganti rugi) atas cacat tersebut. Namun jika luka itu lebih besar daripada cacatnya, maka yang diambil adalah (ganti rugi) atas luka tersebut dan tidak ditambah lagi untuk cacatnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ شِجَاجَ الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ تَتَقَدَّرُ دِيَاتُهَا فِي الْمُوضِحَةِ وَمَا فَوْقَهَا مِنَ الْهَاشِمَةِ وَالْمُنَقِّلَةِ وَالْمَأْمُومَةِ وَإِنْ لَمْ تَتَقَدَّرْ دِيَاتُهَا فِي الْجَسَدِ تَغْلِيظًا لِحُكْمِ الرَّأْسِ عَلَى حُكْمِ الْجَسَدِ فَاقْتَضَى ذَلِكَ فِيمَا لَا تَتَقَدَّرُ دِيَاتُهُ مِنْ شِجَاجِ الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ مِنَ الْحَارِصَةِ وَالدَّامِيَةِ وَالدَّامِغَةِ وَالْبَاضِعَةِ وَالْمُتَلَاحِمَةِ وَالسِّمْحَاقِ أَنْ تَكُونَ حُكُومَاتُهَا فِي الرَّأْسِ أَغْلَظَ مِنْ حُكُومَاتِهَا فِي الْجَسَدِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ فِي الرَّأْسِ أَنْ يُعْتَبَرَ فِيهَا أَغْلَظُ الْأَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa luka-luka di kepala dan wajah ditetapkan diyatnya pada luka mudhihah dan yang di atasnya, yaitu hasyimah, munqillah, dan ma’mumah, meskipun diyatnya tidak ditetapkan pada tubuh, sebagai bentuk penegasan hukum kepala dibandingkan hukum tubuh. Maka hal itu mengharuskan bahwa pada luka-luka kepala dan wajah yang diyatnya tidak ditetapkan, yaitu yang di bawah mudhihah seperti harishah, damiyah, damighah, badhi’ah, mutalahimah, dan simhaq, penetapan hukumannya di kepala harus lebih berat daripada penetapan hukumannya di tubuh. Jika demikian, maka wajib pada luka di kepala untuk mempertimbangkan yang lebih berat di antara dua perkara tersebut.
قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي تَفْصِيلِهِ الَّذِي قَدَّمَهُ مِنَ الشَّيْنِ أَوِ الْجِرَاحِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Syafi‘i berkata dalam penjelasan rinci yang telah ia sampaikan mengenai aib atau luka, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkan penjelasan tersebut menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورِ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهُ أَرَادَ أَكْثَرَ الْحُكُومَتَيْنِ مِنْ حَالِ الشَّيْنِ بَعْدَ انْدِمَالِهِ فِي الِانْتِهَاءِ أَوْ قَالَ الْجُرْحُ عِنْدَ سَيَلَانِ دَمِهِ فِي الِابْتِدَاءِ فَأَيُّهُمَا كَانَ أَكْثَرَ فَهُوَ القدر المستحق تغليظ لشجاج الرأس على شجاح الْبَدَنِ فِي غَيْرِ الْمُقَدَّرِ كَمَا تُغَلَّظُ فِي الْمُقَدَّرِ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan mayoritas ulama Basrah, menyatakan bahwa yang dimaksud adalah jumlah terbesar dari dua ketetapan hukum, yaitu keadaan cacat setelah luka sembuh pada akhirnya, atau luka ketika darah masih mengalir pada awalnya. Maka, mana saja yang lebih besar, itulah kadar yang berhak diberikan, sebagai bentuk penegasan (tegas) atas luka di kepala dibandingkan luka di badan pada perkara yang tidak ada ketetapan ukurannya, sebagaimana juga ditegaskan pada perkara yang sudah ada ketetapan ukurannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ وَطَائِفَةٍ مِنَ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّ مُرَادَ الشَّافِعِيِّ بِأَكْثَرِ الْحُكُومَتَيْنِ أَنْ يُعْتَبَرَ قَدْرُهَا فِي الْعُمْقِ مِنْ قَدْرِ الْمُوضِحَةِ فَإِنْ كَانَ نِصْفَهَا اعْتُبِرَ قَدْرُ شَيْنِهَا بَعْدَ الِانْدِمَالِ فَإِنْ نَقَصَتْ عَنْ نِصْفِ الْمُوضِحَةِ أَوْجَبَتْ نِصْفَ الْمُوضِحَةِ وَهُوَ الْجُرْحُ لِأَنَّهُ أَغْلَظُ مِنْ قَدْرِ الشَّيْنِ وَإِنْ كَانَ قَدْرُ شَيْنِهَا زَائِدًا عَلَى نِصْفِ الْمُوضِحَةِ وَبَلَغَ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِهَا أَوْجَبَتْ حُكُومَةَ الشَّيْنِ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أرباع الموضحة لأنه أغلظ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini dan sekelompok ulama Baghdad, bahwa maksud asy-Syafi’i dengan “lebih besar dari dua hukuman” adalah memperhitungkan ukurannya dalam hal kedalaman dibandingkan dengan ukuran al-mudhihah. Jika ukurannya setengah dari al-mudhihah, maka yang diperhitungkan adalah kadar cacatnya setelah luka sembuh. Jika kurang dari setengah al-mudhihah, maka wajib membayar setengah dari diyat al-mudhihah, karena luka tersebut lebih berat daripada kadar cacat. Jika kadar cacatnya melebihi setengah al-mudhihah dan mencapai tiga perempatnya, maka wajib membayar diyat cacat, yaitu tiga perempat dari diyat al-mudhihah, karena luka tersebut lebih berat.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ الشَّيْنُ أَكْثَرَ مِنْ مُوضِحَةٍ نَقَصْتُ مِنَ الْمُوضِحَةِ شَيْئًا مَا كَانَ الشَّيْنُ لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ مُوَضِحَةً مَعَهَا شَيْنٌ لَمْ أَزِدْ على موضحة فإذا كان الشين معها وهو أقل من موضحة لم يجز أن يبلغ به موضحة وفي الجراح على قدر دياتهم وَالْمَرْأَةُ مِنْهُمْ وَجِرَاحُهَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ فِيمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika cacat (luka) itu lebih besar dari muḍiḥah, maka aku kurangi dari muḍiḥah sejumlah kadar cacat itu, karena jika ada muḍiḥah yang disertai cacat, aku tidak menambah atas muḍiḥah. Maka jika cacat itu bersamanya dan kadarnya kurang dari muḍiḥah, tidak boleh dihitung hingga mencapai muḍiḥah. Dalam hal luka, hukumnya sesuai kadar diyat mereka, dan untuk perempuan, diyat dan lukanya adalah setengah dari diyat laki-laki, baik sedikit maupun banyak.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ مَا نَقَصَ عَنِ الْمُقَدَّرِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَجِبَ فِيهِ مَا يَجِبُ فِي الْمُقَدَّرِ لِأَنَّهُ يَقْضِي إِلَى تَفَاضُلِ الْجِنَايَاتِ وَتَسَاوِي الدِّيَاتِ وَهَذَا مُمْتَنِعٌ
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, karena sesuatu yang kurang dari kadar yang telah ditetapkan tidak boleh diwajibkan padanya apa yang diwajibkan pada kadar yang telah ditetapkan, sebab hal itu akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam jinayah, namun diyatnya tetap sama, dan ini tidak diperbolehkan.”
فَإِنْ قِيلَ فَلَيْسَ يَمْتَنِعُ هَذَا لِأَنَّكُمْ تُوجِبُونَ فِي قَطْعِ الْأَصَابِعِ مَا تُوجِبُونَهُ فِي جَمِيعِ الْكَفِّ وَهُوَ أَقَلُّ
Jika dikatakan, “Hal ini tidak mustahil, karena kalian mewajibkan pada pemotongan jari-jari apa yang kalian wajibkan pada seluruh telapak tangan, padahal itu lebih sedikit.”
قِيلَ لِأَنَّ مَنْفَعَةَ الْكَفِّ ذَاهِبَةٌ بِقَطْعِ الْأَصَابِعِ فَلِذَلِكَ وَجَبَ فِيهَا مَا يَجِبُ فِي جَمِيعِ الْكَفِّ وَخَالَفَ ذَلِكَ فِي مَسْأَلَتِنَا فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَجِبَ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ إِنْ كَثُرَ شَيْنُهَا دِيَةُ الْمُوضِحَةِ وَوَجَبَ أَنْ يَنْقُصَ مِنْهَا مَا يُؤَدِّي إِلَيْهِ الِاجْتِهَادُ وَكَذَلِكَ لَا يَبْلُغُ بِالْحُكُومَةِ عَلَى الْكَفِّ دِيَةَ الْكَفِّ وَلَا بِالْحُكُومَةِ عَلَى الْإِصْبَعِ دِيَةَ الْإِصْبَعِ وَلَا بِالْحُكُومَةِ عَلَى الْأُنْمُلَةِ دِيَةَ الْأُنْمُلَةِ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْجِرَاحِ عَلَى قَدْرِ دِيَاتِهِمْ يَعْنِي وَفِي الْجِرَاحِ عَلَى الْأَعْضَاءِ عَلَى قَدْرِ دِيَاتِهَا لَا يَبْلُغُ بِحُكُومَتِهَا قَدْرَ دِيَتِهَا وَتَأَوَّلَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ يَعْتَبِرُ نَقْصَ الْحُكُومَةِ مِنْ دِيَةِ الْعُضْوِ لَا مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ وَهُوَ قَوْلُ مَنْ قَدَّمْنَا مَذْهَبَهُ فِي اعْتِبَارِ الْحُكُومَةِ وَقَدْ أَبْطَلْنَاهُ بِمَا ذَكَرْنَاهُ
Dikatakan bahwa karena manfaat telapak tangan hilang dengan terpotongnya jari-jari, maka sebab itu wajib pada kasus tersebut apa yang wajib pada seluruh telapak tangan. Hal ini berbeda dengan permasalahan kita. Berdasarkan hal ini, tidak boleh menetapkan diyat muḍīḥah pada luka yang kurang dari muḍīḥah meskipun bekas lukanya besar; harus dikurangi dari diyat tersebut sesuai dengan hasil ijtihad. Demikian pula, tidak boleh dengan penetapan hukum (ḥukūmah) atas telapak tangan mencapai diyat telapak tangan, atau dengan penetapan hukum atas jari mencapai diyat jari, atau dengan penetapan hukum atas ruas jari mencapai diyat ruas jari. Inilah makna perkataan asy-Syāfi‘ī dalam masalah luka, yaitu sesuai kadar diyatnya; maksudnya, dalam luka pada anggota tubuh sesuai kadar diyat anggota tersebut, tidak boleh dengan penetapan hukum mencapai kadar diyatnya. Sebagian ulama kami menakwilkannya bahwa yang dimaksud adalah mengukur kekurangan penetapan hukum dari diyat anggota, bukan dari diyat jiwa. Inilah pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya dalam mempertimbangkan penetapan hukum, dan telah kami batalkan dengan apa yang telah kami jelaskan.
ثُمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْمَرْأَةُ مِنْهُمْ وَجِرَاحُهَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ فِيمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ
Kemudian asy-Syafi‘i berkata: “Perempuan di antara mereka, dan luka-lukanya, adalah setengah dari diyat laki-laki, baik sedikit maupun banyak.”
يَعْنِي أَنَّ دِيَةَ شِجَاجِ الْمَرْأَةِ وَجِرَاحِهَا وَأَطْرَافِهَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ لِأَنَّ دِيَتَهَا نِصْفُ دِيَةِ الرَّجُلِ فَيَجِبُ فِي مُوضِحَتِهَا بَعِيرَانِ وَنِصْفٌ وَفِي هَاشِمَتِهَا خَمْسٌ فَأَمَّا حُكُومَتُهَا فَهِيَ مُعْتَبَرَةٌ مِنْ دِيَتِهَا وَدِيَتُهَا عَلَى النِّصْفِ فَأَغْنَى ذَلِكَ عَنْ تَنْصِيفِ الْحُكُومَةِ
Artinya, diyat untuk luka-luka pada perempuan, baik luka di kepala, tubuh, maupun anggota tubuhnya, adalah setengah dari diyat laki-laki, karena diyat perempuan memang setengah dari diyat laki-laki. Maka untuk luka muḍiḥah pada perempuan wajib membayar dua setengah ekor unta, dan untuk luka hāsyimah wajib membayar lima ekor unta. Adapun hukumah (ganti rugi selain diyat yang ditetapkan hakim), maka nilainya dihitung dari diyat perempuan, dan diyat perempuan adalah setengah dari diyat laki-laki, sehingga hal itu sudah cukup tanpa perlu membagi dua nilai hukumah lagi.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَفِي الْجِرَاحِ فِي غَيْرِ الْوَجْهِ وَالرَّأْسِ بِقَدْرِ الشَّيْنِ الْبَاقِي بَعْدَ الْتِئَامِهِ لَا يَبْلُغُ بِهَا الدِّيَةَ إِنْ كَانَ حُرًّا وَلَا ثَمَنَهُ إِنْ كَانَ عَبْدًا وَلِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْجَسَدِ قَدْرٌ مَعْلُومٌ سِوَى الْجَائِفَةِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Pada luka-luka selain di wajah dan kepala, besarnya diyat ditentukan sesuai kadar cacat yang tersisa setelah luka itu sembuh, dan tidak sampai pada diyat penuh jika korbannya adalah orang merdeka, serta tidak sampai pada harga penuh jika korbannya adalah budak. Karena pada tubuh, tidak ada ukuran tertentu kecuali pada luka yang menembus rongga (ja’ifah).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ مَا اقْتَضَاهُ التَّعْلِيلُ الْمُتَقَدِّمُ مِنْ تَغْلِيظِ شِجَاجِ الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ عَلَى جِرَاحِ الْجَسَدِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ حُكُومَاتِهَا بِحَالِ الشَّيْنِ بَعْدَ الِانْدِمَالِ وَلَا يُعْتَبَرُ فِيهَا أَغْلَظُ الْأَمْرَيْنِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْجِرَاحِ فِي الْجَسَدِ مِنْ أَنْ تَكُونَ عَلَى عُضْوٍ أَوْ فِي الْبَدَنِ فَإِنْ كَانَتْ عَلَى عُضْوٍ اعْتُبِرْ فِي حُكُومَتِهَا حَالَ الشَّيْنِ بَعْدَ الِانْدِمَالِ فَقُوِّمَ سَلِيمًا وَشَائِنًا وَوَجَبَ بِقِسْطِ مَا بَيْنَهُمَا مِنْ دِيَةِ الْحُرِّ وَقِيمَةِ الْعَبْدِ إِلَّا أَنْ تَزِيدَ عَلَى دِيَةِ الْعُضْوِ فَيَنْقُصُ مِنْهَا قَدْرُ مَا يُؤَدِّي الِاجْتِهَادُ إِلَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى الْبَدَنِ كَالظَّهْرِ وَالْبَطْنِ وَالصَّدْرِ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, karena apa yang ditunjukkan oleh alasan sebelumnya tentang penegasan hukuman pada luka di kepala dan wajah dibandingkan dengan luka di tubuh, mengharuskan penetapan hukumannya berdasarkan keadaan cacat setelah sembuh, dan tidak dipertimbangkan yang paling berat di antara dua hal tersebut. Jika demikian, maka keadaan luka di tubuh tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi pada anggota tubuh tertentu atau pada badan secara umum. Jika terjadi pada anggota tubuh tertentu, maka dalam penetapan hukumannya dilihat keadaan cacat setelah sembuh, lalu dinilai antara keadaan sehat dan keadaan cacat, dan diwajibkan membayar bagian dari diyat orang merdeka dan nilai budak sesuai selisih antara keduanya, kecuali jika melebihi diyat anggota tubuh tersebut, maka dikurangi sebesar yang ditetapkan melalui ijtihad. Jika terjadi pada badan seperti punggung, perut, dan dada, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.”
أَحَدُهُمَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَنْصُوصِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَعْتَبِرُ حُكُومَةَ الشَّيْنِ مَا لَمْ تَبْلُغْ دِيَةَ النَّفْسِ فَإِنْ بَلَغَهَا نَقَصَ مِنْهَا وَلَا اعْتِبَارَ بِدِيَةِ الْجَائِفَةِ
Salah satu pendapat, dan inilah yang tampak dari nash Imam Syafi‘i, adalah bahwa yang diperhitungkan adalah hukumah atas cacat selama belum mencapai diyat jiwa. Jika telah mencapainya, maka dikurangi dari diyat tersebut, dan tidak diperhitungkan diyat luka dalam (jā’ifah).
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يَعْتَبِرُ حُكُومَةَ الشَّيْنَ مَا لَمْ تَبْلُغْ دِيَةَ الْجَائِفَةِ فَإِذَا بَلَغَهَا نقص فِيهَا مَا يُؤَدِّي الِاجْتِهَادُ إِلَيْهِ لِأَنَّهَا الْمُقَدَّرُ فِي جِرَاحِ الْجَسَدِ فَأَشْبَهَتِ الْمُوضِحَةَ فِي شِجَاجِ الرَّأْسِ وَقَدْ يُمْكِنُ أَنْ يُفَضَّلَ بَيْنَ الْمُوضِحَةِ مَعَ مَا تَقَدَّمَهَا وَبَيْنَ الْجَائِفَةِ مَعَ غَيْرِهَا أَنَّ مَا تَقَدَّمَ الْمُوَضِّحَةَ بَعْضُ الْمُوضِحَةِ فَلَمْ يَبْلُغْ دِيَتَهَا وَغَيْرُ الْجَائِفَةِ قَدْ لَا يَكُونُ بَعْضُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ كَسْرِ عَظْمٍ وَإِتْلَافِ لَحْمٍ فَجَازَ أَنْ تَزِيدَ حُكُومَتُهَا عَلَى دِيَتِهَا وَهُوَ الْأَصَحُّ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلشَّيْنِ بَعْدَ انْدِمَالِهِ أَثَرٌ وَلَا لِلْحُكُومَةِ فِيهِ قَدْرٌ فَفِيهِ وجهان ذكرناهما من قبل
Pendapat kedua adalah bahwa dalam hal ini, ditetapkan hukum atas cacat selama belum mencapai diyat luka yang menembus rongga tubuh (jā’ifah). Jika telah mencapainya, maka dikurangi dari nilai tersebut sesuai hasil ijtihad, karena itulah kadar yang ditetapkan untuk luka pada tubuh, sehingga serupa dengan luka muḍiḥah pada luka-luka di kepala. Mungkin juga dapat dibedakan antara muḍiḥah beserta luka-luka sebelumnya dengan jā’ifah beserta luka-luka selainnya, yaitu bahwa luka-luka sebelum muḍiḥah merupakan bagian dari muḍiḥah sehingga tidak mencapai diyat-nya, sedangkan luka selain jā’ifah bisa jadi bukan merupakan bagiannya, karena di dalamnya terdapat unsur patah tulang dan kerusakan daging, sehingga dimungkinkan nilai hukumnya melebihi diyat-nya, dan inilah pendapat yang paling benar. Jika setelah sembuh tidak ada bekas pada cacat tersebut dan tidak ada nilai hukum padanya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ تكون هدراً
Salah satunya, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, adalah bahwa hal itu menjadi sia-sia.
والثاني وهو قول أبي إسحاق المروزي يعتبر ما قبل الاندمال ولا يقدر مَعَ حَالِ الْأَلَمِ وَإِرَاقَةِ الدَّمِ فَيَعْتَبِرُ مَا قَبْلَ الِانْدِمَالِ حَالًا قَبْلَ حَالٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى وَقْتِ الْجَرْحِ وَسَيَلَانِ الدَّمِ لِلضَّرُورَةِ كَمَا يَلْزَمُ فِي حَمْلِ الْأَمَةِ إِذَا أَعْتَقَ بِوَطْءِ شُبْهَةٍ أَنْ يَعْتَبِرَ قِيمَتَهُ بَعْدَ ظُهُورِهِ لَمَّا تَقَدَّرَتْ قِيمَتُهُ عِنْدَ عُلُوقِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, mempertimbangkan keadaan sebelum luka sembuh dan tidak memperkirakan bersama dengan kondisi rasa sakit dan mengalirnya darah. Maka ia mempertimbangkan keadaan sebelum sembuh, tahap demi tahap, hingga sampai pada waktu terjadinya luka dan mengalirnya darah karena darurat, sebagaimana wajib dalam kasus budak perempuan yang hamil apabila dimerdekakan karena persetubuhan syubhat, maka harus dipertimbangkan nilainya setelah kehamilannya tampak, karena nilainya telah ditentukan saat kehamilan terjadi. Allah Maha Mengetahui.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَدِيَةُ النَّصْرَانِيِّ وَالْيَهُودِيِّ ثُلُثُ الدِّيَةِ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Diyat (tebusan jiwa) bagi orang Nasrani dan Yahudi adalah sepertiga dari diyat (orang Muslim),” dan beliau berdalil dalam hal ini dengan (pendapat) ‘Umar dan ‘Utsman raḍiyallāhu ‘anhumā.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي دِيَةِ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَالْمُعَاهِدِينَ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ
Al-Mawardi berkata: Para fuqaha berbeda pendapat mengenai diyat orang Yahudi dan Nasrani dari kalangan ahludz-dzimmah dan mu‘āhadīn menjadi empat mazhab.
أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهَا كَدِيَةِ الْمُسْلِمِ سَوَاءً
Salah satunya, yaitu mazhab Abu Hanifah, berpendapat bahwa (hukumnya) sama seperti diyat seorang Muslim, tidak ada perbedaan.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ ابْنُ مَسْعُودٍ
Dan pendapat ini juga dipegang oleh Ibnu Mas‘ūd dari kalangan sahabat.
وَمِنَ التَّابِعِينَ الزُّهْرِيُّ
Dan dari kalangan tabi‘in adalah az-Zuhri.
وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ
Di antara para fuqaha adalah ats-Tsauri, Abu Yusuf, dan Muhammad.
وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهَا نِصْفُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ وَبِهِ قَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ
Pendapat kedua, yaitu mazhab Malik, menyatakan bahwa diyatnya adalah setengah dari diyat seorang Muslim, dan pendapat ini juga dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz dan Urwah bin Zubair.
وَالثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ إِنْ قَتَلَ عَمْدًا فَمِثْلُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ كَقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَإِنْ قَتَلَ خَطَأً فَنِصْفُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ كَقَوْلِ مَالِكٍ
Pendapat ketiga, yaitu mazhab Ahmad bin Hanbal: jika membunuh dengan sengaja, maka diyatnya sama dengan diyat seorang Muslim, seperti pendapat Abu Hanifah; dan jika membunuh karena tidak sengaja, maka setengah dari diyat seorang Muslim, seperti pendapat Malik.
وَالرَّابِعُ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ دِيَتَهُ ثُلُثُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ
Dan pendapat keempat, yaitu mazhab Syafi‘i, bahwa diyatnya sepertiga dari diyat seorang Muslim, baik dalam kasus pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja.
وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عُمَرُ وَعُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
Dan pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat, yaitu ‘Umar dan ‘Utsman radhiyallāhu ‘anhumā.
وَمِنِ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَعَطَاءٌ وَمِنِ الْفُقَهَاءِ أَبُو ثَوْرٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى أَنَّ دِيَتَهُ مِثْلُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ النساء 92 ثُمَّ قَالَ تَعَالَى وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ النساء 92 فَلَمَّا أَطْلَقَ ذِكْرَ الدِّيَةِ فِيهَا دَلَّ عَلَى تَسَاوِيهِمَا وَبِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ دِيَةُ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ مِثْلُ نِصْفِ دِيَةِ الْمُسْلِمِ وَهَذَا نَصٌّ
Di antara para tabi’in adalah Sa’id bin al-Musayyab dan ‘Atha’, dan di antara para fuqaha adalah Abu Tsaur dan Ishaq bin Rahawaih. Abu Hanifah berdalil bahwa diyatnya sama dengan diyat seorang Muslim berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya” (an-Nisa’ 92). Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika ia (yang terbunuh) dari kaum yang ada perjanjian (damai) antara kamu dengan mereka, maka diyat yang diserahkan kepada keluarganya” (an-Nisa’ 92). Maka ketika Allah menyebutkan diyat secara mutlak dalam ayat tersebut, hal itu menunjukkan persamaan antara keduanya. Dan berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diyat orang Yahudi dan Nasrani adalah setengah dari diyat seorang Muslim.” Dan ini adalah nash.
وَرَوَى مِقْسَمٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ قَتَلَ كَافِرَيْنِ لَهُمَا أَمَانٌ وَلَمْ يَعْلَمْ بِأَمَانِهِمَا فَوَدَاهُمَا رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ عِنْدِهِ بِدِيَةِ حُرَّيْنِ مُسْلِمَيْنِ
Miqsam meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ‘Amr bin Umayyah adl-Dhamri membunuh dua orang kafir yang memiliki perlindungan (aman), sedangkan ia tidak mengetahui perlindungan mereka. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar diyat keduanya dari hartanya sendiri, sebesar diyat dua orang merdeka muslim.
وَلِأَنَّهُ حُرٌّ مَحْقُوقُ الدَّمِ عَلَى التَّأْبِيدِ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ دِيَتُهُ كَامِلَةً كَالْمُسْلِمِ وَلِأَنَّ الْحُرَّ مَضْمُونٌ يُضْمَنُ بِالدِّيَةِ وَالْعَبْدِ يُضْمَنُ بِالْقِيمَةِ فَلَمَّا كَمُلَتْ قِيمَةُ الْعَبْدِ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا وَجَبَ أَنْ تَكْمُلَ دِيَةُ الْحُرِّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا وَلِأَنَّ الْقَتْلَ مُوجِبٌ لِلدِّيَةِ وَالْكَفَّارَةِ فَلَمَّا تَمَاثَلَتِ الْكَفَّارَةُ فِي قَتْلِ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ وَجَبَ أَنْ يتماثل الدِّيَةُ فِي قَتْلِ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ وَلِأَنَّ الْكُفْرَ فِسْقٌ وَالْفِسْقَ لَا تَأْثِيرَ لَهُ فِي الدِّيَةِ فَكَذَلِكَ الْكُفْرُ وَلِأَنَّ الدِّيَةَ قَدْ أَوْجَبَتْ حَقْنَ دَمِهِ وَحِفْظَ مَالِهِ فَلَمَّا تَسَاوَى بِهَا الْمُسْلِمُ فِي ضَمَانِ مَالِهِ سَاوَاهُ فِي ضَمَانِ نَفْسِهِ وَأَمَّا مَالِكٌ فَدَلِيلُهُ مَا رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ دِيَةُ الْمُعَاهِدِ نِصْفُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ ذَكَرَهُ أَبُو دَاوُدَ وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَيْسَ فِي الْأَخْبَارِ أَصَحُّ مِنْ هَذَا وَرَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى أَنَّ عَقْلَ أَهْلِ الْكِتَابَيْنِ نِصْفُ عَقْلِ الْمُسْلِمِ وَهُمُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى ذَكَرَهُ رَجَاءُ بْنُ الْمُرَجَّى الْحَافِظُ وَلِأَنَّ النَّقْصَ نَوْعَانِ أُنُوثِيَّةٌ وَكُفْرٌ فَلَمَّا أَوْجَبَ نَقْصُ الْأُنُوثِيَّةِ إِسْقَاطَ نِصْفِ الدِّيَةِ كَذَلِكَ نَقْصُ الْكُفْرِ
Karena ia adalah orang merdeka yang darahnya terjaga untuk selamanya, maka wajib diyatnya sempurna seperti seorang Muslim. Dan karena orang merdeka dijamin dengan diyat, sedangkan budak dijamin dengan nilai (harga), maka ketika nilai budak telah sempurna, baik ia Muslim maupun kafir, wajib pula diyat orang merdeka disempurnakan, baik ia Muslim maupun kafir. Dan karena pembunuhan mewajibkan diyat dan kafarat, maka ketika kafarat dalam pembunuhan Muslim dan kafir itu sama, wajib pula diyatnya disamakan dalam pembunuhan Muslim dan kafir. Dan karena kekufuran adalah kefasikan, sedangkan kefasikan tidak berpengaruh pada diyat, demikian pula kekufuran. Dan karena diyat telah mewajibkan perlindungan darah dan penjagaan harta, maka ketika Muslim disamakan dalam jaminan hartanya, ia juga disamakan dalam jaminan jiwanya. Adapun Malik, dalilnya adalah riwayat yang disampaikan Muhammad bin Ishaq dari Amru bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Diyat mu‘āhad setengah dari diyat Muslim.” Hal ini disebutkan oleh Abu Dawud, dan Ahmad bin Hanbal berkata: “Tidak ada riwayat yang lebih sahih dari ini.” Dan diriwayatkan Sulaiman bin Musa dari Amru bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ memutuskan bahwa ‘aql (diyat) Ahli Kitab adalah setengah dari ‘aql Muslim, yaitu Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebutkan oleh Raja’ bin al-Murajja’ al-Hafizh. Dan karena kekurangan itu ada dua macam: karena perempuan dan karena kekufuran, maka ketika kekurangan karena perempuan mewajibkan pengurangan setengah diyat, demikian pula kekurangan karena kekufuran.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ دِمَاءَ الْكُفَّارِ لَا تُكَافِئُهُمْ
Dan dalil kami adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Darah kaum Muslimin setara.” Maka ini menunjukkan bahwa darah orang-orang kafir tidak setara dengan mereka.
وَرَوَى ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي كِتَابِهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي كِتَابِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَفِي النَّفْسِ الْمُؤْمِنَةِ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ فَجَعَلَ الْإِيمَانَ شَرْطًا فِي كَمَالِ الدِّيَةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَكْمُلَ بِعَدَمِهِ
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dalam kitabnya bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam surat Amr bin Hazm: “Untuk jiwa seorang mukmin, diyatnya seratus ekor unta.” Maka beliau menjadikan iman sebagai syarat dalam kesempurnaan diyat, sehingga wajib diyat itu tidak sempurna tanpa adanya iman.
وَرَوَى مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ يَحْيَى عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى أَنَّ دِيَةَ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ أَرْبَعَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ وَهَذَا نَصٌّ ذَكَرَهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ فِي شَرْحِهِ
Musa bin ‘Uqbah meriwayatkan dari Ishaq bin Yahya dari ‘Ubadah bin ash-Shamit bahwa Nabi ﷺ memutuskan bahwa diyat (tebusan jiwa) bagi seorang Yahudi dan Nasrani adalah empat ribu dirham, dan ini adalah nash yang disebutkan oleh Abu Ishaq al-Marwazi dalam syarahnya.
فَإِنْ قِيلَ حَدِيثُ مَنْ رَوَى كَمَالَ الدِّيَةِ أَزْيَدُ وَالْأَخْذُ بِالزِّيَادَةِ أَوْلَى
Jika dikatakan, “Hadis orang yang meriwayatkan jumlah diyat yang sempurna lebih banyak, dan mengambil jumlah yang lebih banyak itu lebih utama.”
فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ خَبَرَنَا أَزْيَدُ لَفْظًا فَكَانَ أَوْلَى مِنْ خَبَرِهِمْ وَإِنْ كَانَ أَزْيَدَهُمَا لِأَنَّ الْأَحْكَامَ مُسْتَنْبَطَةٌ مِنَ الْأَلْفَاظِ
Maka jawabannya adalah bahwa riwayat kami lebih banyak lafaznya, sehingga lebih utama daripada riwayat mereka, meskipun yang lebih banyak di antara keduanya, karena hukum-hukum diistinbat dari lafaz-lafaz.
فَإِنْ قِيلَ يُحْمَلُ عَلَى أَنَّهُ قَضَى فِي السَّنَةِ الْأُولَى ثُلُثَ الدِّيَةِ لِتَأْجِيلِ دِيَةِ الْخَطَأِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ قَضَاءَهُ بِأَنَّ دِيَةَ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ أَرْبَعَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ جَمِيعَ دِيَتِهِ هَذَا الْقَدْرُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى قَدْرِهَا وَهُوَ بَعْضُهَا عَلَى أَنَّ ثُلُثَ الدِّيَةِ عِنْدَهُمْ أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعَةِ آلَافٍ
Jika dikatakan bahwa hal itu dimaknai bahwa beliau memutuskan pada tahun pertama sepertiga diyat karena penundaan pembayaran diyat khata’ (pembunuhan tidak sengaja) selama tiga tahun, maka jawabannya adalah bahwa keputusan beliau bahwa diyat bagi Yahudi dan Nasrani adalah empat ribu dirham menunjukkan bahwa seluruh diyat mereka sebesar itu. Maka tidak boleh dimaknai bahwa itu adalah sebagian dari diyat, karena sepertiga diyat menurut mereka lebih sedikit dari empat ribu.
فَإِنْ قِيلَ يُحْمَلُ عَلَى أَنَّهُ قَوَّمَ إِبِلَ الدِّيَةِ بِأَرْبَعَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ قِيلَ لَا يَصِحُّ مِنْ وَجْهَيْنِ
Jika dikatakan bahwa hal itu dimaknai bahwa beliau menilai unta diyat dengan empat ribu dirham, maka dijawab: hal itu tidak sah dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقِيمَةَ تَخْتَلِفُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُقَدَّرَ فِي عُمُومِ الْأَحْوَالِ
Salah satunya adalah bahwa nilai (al-qīmah) itu berbeda-beda, sehingga tidak boleh ditetapkan secara umum dalam segala keadaan.
وَالثَّانِي أَنَّهُ قَضَى بِالدَّرَاهِمِ وَلَمْ يَقْضِ بِهَا قَيِّمَةً عَلَى أَنَّا رُوِّينَا عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى فِي دِيَةِ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ ثُلُثَ دِيَةِ الْمُسْلِمِ فَبَطَلَ هَذَا التَّأْوِيلُ
Yang kedua, bahwa beliau menetapkan diyat dengan dirham dan tidak menetapkannya sebagai nilai (qīmah). Selain itu, telah diriwayatkan dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit bahwa Nabi ﷺ menetapkan diyat bagi orang Yahudi dan Nasrani sepertiga dari diyat seorang Muslim, maka batalah takwil ini.
وَمِنِ الْقِيَاسِ أَنَّهُ مُكَلَّفٌ لَا يَكْمُلُ سَهْمُهُ مِنَ الْقِيمَةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَكْمُلَ دِيَتُهُ كَالْمَرْأَةِ وَلَا يُنْتَقَصَ بِالصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ لِعَدَمِ التَّكْلِيفِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا نَقَصَتْ دِيَةُ الْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ عَنْ دِيَةِ الرَّجُلِ لِنَقْصِهَا بِالْأُنُوثِيَّةِ وَجَبَ أَنْ تَنْقُصَ دِيَةُ الرَّجُلِ الْكَافِرِ عَنْ دِيَةِ الْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ لِنَقْصِهِ بِالْكُفْرِ لِأَنَّ الدِّيَةَ مَوْضُوعَةٌ عَلَى التَّفَاضُلِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا أَثَّرَ أَغْلَظُ الْكُفْرِ وَهُوَ الرِّدَّةُ فِي إِسْقَاطِ جَمِيعِ الدِّيَةِ وَجَبَ أَنْ يُؤَثِّرَ أَخَفُّهُ فِي تَخْفِيفِ الدِّيَةِ لِأَنَّ بَعْضَ الْجُمْلَةِ مُؤَثِّرٌ فِي بَعْضِ أَحْكَامِهَا وَلِأَنَّ اخْتِلَافَ الْأُمَّةِ فِي قَدْرِ الدِّيَةِ تُوجِبُ الْأَخْذَ بِأَقَلِّهَا كَاخْتِلَافِ الْمُقَوِّمِينَ يُوجِبُ الْأَخْذَ بِقَوْلِ أَقَلِّهِمْ تَقْوِيمًا لِأَنَّهُ الْيَقِينُ
Dan berdasarkan qiyās, ia adalah seorang mukallaf yang tidak sempurna bagian nilainya, maka wajib pula diyatnya tidak sempurna, seperti halnya perempuan. Tidak boleh dikurangi karena anak kecil dan orang gila, karena keduanya tidak mukallaf. Dan karena ketika diyat perempuan Muslim lebih rendah daripada diyat laki-laki karena kekurangannya dalam hal keperempuanan, maka wajib pula diyat laki-laki kafir lebih rendah daripada diyat perempuan Muslim karena kekurangannya dalam hal kekafiran, sebab diyat ditetapkan berdasarkan perbedaan derajat. Dan karena kekafiran yang paling berat, yaitu riddah, berpengaruh dalam menggugurkan seluruh diyat, maka kekafiran yang lebih ringan wajib berpengaruh dalam meringankan diyat, karena sebagian dari keseluruhan berpengaruh pada sebagian hukumnya. Dan karena perbedaan pendapat di kalangan umat tentang kadar diyat mewajibkan mengambil pendapat yang paling sedikit, sebagaimana perbedaan para penilai (muqawwimīn) mewajibkan mengambil pendapat yang paling rendah nilainya, karena itulah yang paling yakin.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِمُطْلَقِ الدِّيَةِ فِي الْآيَةِ فَلَا يَمْنَعُ إِطْلَاقُهَا مِنِ اخْتِلَافِ مَقَادِيرِهَا كَمَا لَمْ يَمْنَعْ مِنِ اخْتِلَافِ دِيَةِ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ وَدِيَةِ الْجَنِينِ لِأَنَّ الدِّيَةَ اسْمٌ لِمَا يُؤَدَّى مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ
Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan keumuman diyat dalam ayat tersebut adalah bahwa keumumannya tidak menghalangi adanya perbedaan kadar diyat, sebagaimana keumuman itu juga tidak menghalangi adanya perbedaan diyat antara laki-laki dan perempuan, serta diyat janin. Sebab, diyat adalah nama untuk sesuatu yang diberikan, baik sedikit maupun banyak.
وَأَمَّا حَدِيثُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ فَقَدِ اخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ عَنْهُ فَتَعَارَضَتْ وَيُمْكِنُ حَمْلُهَا عَلَى أَنَّهَا مِثْلُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ فِي التَّغْلِيظِ وَالتَّخْفِيفِ وَالْحُلُولِ وَالتَّأْجِيلِ حَتَّى لَا يَكُونَ نُقْصَانُ قَدْرِهَا مُوجِبًا لِإِسْقَاطِ حُلُولِهَا وَتَغْلِيظِهَا
Adapun hadis ‘Amr bin Syu‘aib, maka terdapat perbedaan riwayat darinya sehingga saling bertentangan, dan memungkinkan untuk memahaminya bahwa diyat tersebut seperti diyat seorang Muslim dalam hal penegasan, keringanan, pembayaran tunai, dan penundaan, sehingga kekurangan jumlahnya tidak menjadi alasan untuk menggugurkan pembayaran tunai dan penegasannya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ فَمِنْ وَجْهَيْنِ
Adapun jawaban terhadap hadis Amr bin Umayyah adalah dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا تَبَرَّعَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِتَحَمُّلِ الدِّيَةِ عَنْهُ جَازَ أَنْ يَتَبَرَّعَ بِالزِّيَادَةِ تَأَلُّفًا لِقَوْمِهِمَا
Salah satunya adalah bahwa ketika Rasulullah saw. secara sukarela menanggung diyat atas dirinya, maka diperbolehkan juga untuk memberikan tambahan secara sukarela sebagai bentuk pendekatan hati kepada kedua kaum mereka.
وَالثَّانِي يَجُوزُ أَنْ يَكُونَا أَسْلَمَا بَعْدَ الْجُرُوحِ وَقَبْلَ مَوْتِهِمَا فَكَمُلَ بِالْإِسْلَامِ دِيَتُهُمَا
Yang kedua, boleh jadi keduanya masuk Islam setelah terluka dan sebelum kematian mereka, maka dengan keislaman itu sempurnalah diyat keduanya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْمُسْلِمِ بِعِلَّةِ أَنَّهُ مَحْقُونُ الدَّمِ عَلَى التَّأْبِيدِ فَفَاسِدٌ بِالْمَرْأَةِ والعبد لا يقتضي حقن دماهما عَلَى التَّأْبِيدِ كَمَالَ دِيَتِهِمَا كَذَلِكَ الذِّمِّيُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْمُسْلِمِ كَمَالُ سَهْمِهِ فِي الْغَنِيمَةِ
Adapun jawaban terhadap qiyās yang menyamakan (dzimmi) dengan muslim dengan alasan bahwa keduanya sama-sama terjaga darahnya secara permanen, maka itu adalah qiyās yang rusak, karena perempuan dan budak tidak menuntut terjaganya darah mereka secara permanen sebagaimana tidak sempurnanya diyat mereka; demikian pula dzimmi. Selain itu, makna (yang membedakan) pada muslim adalah sempurnanya bagian (hak)nya dalam ghanīmah.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِالْعَبْدِ فِي اسْتِوَاءِ الْكُفْرِ وَالْإِسْلَامِ فِي كَمَالِ قِيمَتِهِ فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا تَسَاوَى فِيهِمَا الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى تَسَاوَى فِيهِمَا الْمُسْلِمُ وَالْكَافِرُ وَلِمَا اخْتَلَفَ فِي الدِّيَةِ الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى اخْتَلَفَ فِيهَا الْمُسْلِمُ وَالْكَافِرُ وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِالْكَفَّارَةِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْتَنِعِ التَّسَاوِي فِيهَا مِنِ اخْتِلَافِ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى فِي الدِّيَةِ كَذَلِكَ تَسَاوِي الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ فِيهَا لَا يَمْنَعُ مِنِ اخْتِلَافِهِمَا فِي الدِّيَةِ
Adapun jawaban terhadap argumentasinya dengan budak dalam hal persamaan antara kafir dan muslim dalam kesempurnaan nilai (harga) budak adalah bahwa ketika laki-laki dan perempuan sama dalam hal itu, maka muslim dan kafir pun sama dalam hal itu. Dan ketika terdapat perbedaan diyat antara laki-laki dan perempuan, maka terdapat pula perbedaan antara muslim dan kafir dalam diyat. Demikian pula jawaban terhadap argumentasinya dengan kaffarah, yaitu bahwa ketika tidak ada halangan untuk adanya persamaan dalam kaffarah meskipun terdapat perbedaan diyat antara laki-laki dan perempuan, maka demikian pula persamaan antara muslim dan kafir dalam kaffarah tidak menghalangi adanya perbedaan antara keduanya dalam diyat.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْفِسْقِ فَهُوَ أَنَّ الْفِسْقَ لا يسلبه أحكام الإسلام فساوى فِي الدِّيَةِ وَالْكُفْرُ يَسْلُبُ أَحْكَامَ الْإِسْلَامِ فَخَالَفَ فِي الدِّيَةِ
Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan kefasikan adalah bahwa kefasikan tidak menghilangkan hukum-hukum Islam darinya, sehingga ia tetap sama dalam hal diyat. Sedangkan kekufuran menghilangkan hukum-hukum Islam darinya, sehingga berbeda dalam hal diyat.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ ضَمَانِ مَالِهِ كَالْمُسْلِمِ فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَخْتَلِفْ ضَمَانُهُ فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ فِي حَقِّ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ لَمْ يَخْتَلِفْ فِي حَقِّ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ وَلَمَّا اخْتَلَفَ ضَمَانُ الدِّيَةِ فِي حَقِّ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ اخْتَلَفَ فِي حَقِّ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Adapun jawaban mengenai tanggungan harta yang sama seperti seorang Muslim adalah bahwa ketika tanggungan itu tidak berbeda antara sengaja dan tidak sengaja dalam hak laki-laki dan perempuan, maka tidak pula berbeda dalam hak Muslim dan kafir. Namun, ketika tanggungan diyat berbeda antara laki-laki dan perempuan, maka berbeda pula dalam hak Muslim dan kafir. Dan Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَدِيَةُ الْمَجُوسِيِّ ثَمَانِمَائَةِ دِرْهَمٍ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Diyat (tebusan jiwa) bagi seorang Majusi adalah delapan ratus dirham, dan beliau berdalil dalam hal ini dengan (pendapat) ‘Umar bin al-Khattab raḍiyallāhu ‘anhu.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اخْتُلِفَ فِي دِيَةِ الْمَجُوسِيِّ فَجَعَلَهَا أَبُو حَنِيفَةَ كَدِيَةِ الْمُسْلِمِ وَجَعَلَهَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ نِصْفَ دِيَةِ الْمُسْلِمِ كَالْيَهُودِيِّ والنصراني عنده وهي عند الشافعي ثمان مائة دِرْهَمٍ ثُلُثَا عُشْرِ دِيَةِ الْمُسْلِمِ وَتَكُونُ مِنَ الْإِبِلِ سِتَّةَ أَبْعِرَةٍ وَثُلُثَيْنِ وَمِنِ الدَّنَانِيرِ سِتَّةٌ وَسِتُّونَ دِينَارًا وَثُلُثَانِ لِرِوَايَةِ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَعَلَ دِيَةَ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ أَرْبَعَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ والمجوسي ثمان مائة دِرْهَمٍ
Al-Mawardi berkata dan berhujah dalam hal ini dengan (pendapat) Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Terjadi perbedaan pendapat mengenai diyat orang Majusi; Abu Hanifah menetapkannya sama dengan diyat seorang Muslim, sedangkan Umar bin Abdul Aziz menetapkannya setengah dari diyat seorang Muslim, sebagaimana diyat orang Yahudi dan Nasrani menurut beliau. Adapun menurut asy-Syafi‘i, diyat orang Majusi adalah delapan ratus dirham, yaitu sepertiga dari sepersepuluh diyat seorang Muslim. Jika dari unta, maka enam ekor unta dan dua pertiga ekor; jika dari dinar, maka enam puluh enam dinar dan dua pertiga, berdasarkan riwayat Sa‘id bin al-Musayyab bahwa Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu menetapkan diyat orang Yahudi dan Nasrani empat ribu dirham, dan orang Majusi delapan ratus dirham.
وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ دِيَةَ الْمَجُوسِيِّ ثمان مائة دِرْهَمٍ فَكَانَ هَذَا الْقَوْلُ مِنْهُمْ وَالْقَضَاءُ بِهِ عَلَيْهِمْ مَعَ انْتِشَارِهِ فِي الصَّحَابَةِ إِجْمَاعًا لَا يُسَوِّغُ خِلَافَهُ وَمَعَ أَنَّ حُكْمَ الْمَجُوسِيِّ فِي إِقْرَارِهِمْ وَأَخْذِ جِزْيَتِهِمْ مَنْقُولٌ عَنْ عُمَرَ وَمَعْمُولٌ بِهِ إِجْمَاعًا فَكَذَلِكَ حُكْمُهُ فِيهِمْ بِالدِّيَةِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا نَقَصَتْ رُتْبَةُ الْمَجُوسِيِّ عَنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فِي تَحْرِيمِ نِسَائِهِمْ وَأَكْلِ ذَبَائِحِهِمْ نَقَصَتْ دِيَتُهُمْ عَنْ دِيَاتِهِمْ لِأَنَّ الدِّيَاتِ مَوْضُوعَةٌ عَلَى التَّفَاضُلِ وَإِذَا نَقَصَتْ عَنْهُمْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا مَا قُلْنَاهُ لِقَضَاءِ الْأَئِمَّةِ بِهِ
Az-Zuhri meriwayatkan dari Umar, Utsman, dan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhum bahwa diyat (tebusan jiwa) bagi orang Majusi adalah delapan ratus dirham. Maka pendapat ini dari mereka dan keputusan hukum atas dasar itu terhadap mereka, serta tersebarnya hal tersebut di kalangan para sahabat, merupakan ijmā‘ yang tidak membenarkan adanya perbedaan pendapat. Selain itu, hukum terkait pengakuan orang Majusi dan pengambilan jizyah dari mereka juga dinukil dari Umar dan diamalkan secara ijmā‘. Maka demikian pula hukum diyat atas mereka. Karena kedudukan orang Majusi lebih rendah daripada Ahlul Kitab dalam hal keharaman menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka, maka diyat mereka pun lebih rendah daripada diyat Ahlul Kitab. Sebab diyat ditetapkan berdasarkan perbedaan derajat, dan jika diyat mereka lebih rendah, maka tidak ada ketetapan lain kecuali seperti yang telah kami sebutkan, karena para imam telah memutuskan demikian.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا لَمْ يَخْلُ حَالُ مَنْ خَالَفَ دِينَ الْإِسْلَامِ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَمَانٌ أولاً يَكُونَ فَإِنْ كَانَ لَهُ أَمَانٌ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Maka apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan, keadaan orang yang menyelisihi agama Islam tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia memiliki amān atau tidak. Jika ia memiliki amān, maka keadaannya tidak lepas dari tiga golongan.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَهُمُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَدِيَتُهُمْ ثُلُثُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ سَوَاءٌ كَانُوا أَصْحَابَ ذِمَّةٍ أَوْ عَهْدٍ
Salah satunya adalah bahwa ia berasal dari kalangan Ahlul Kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka diyat mereka adalah sepertiga dari diyat seorang Muslim, baik mereka termasuk ahlu dzimmah maupun yang memiliki perjanjian.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ لَا يَكُونُوا أَهْلَ كِتَابٍ وَلَكِنْ سَنَّ بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِي إِقْرَارِهِمْ بِالْجِزْيَةِ وَهُمُ الْمَجُوسِيَّةُ فَدِيَتُهُمْ ثُلُثَا عُشْرِ دِيَةِ الْمُسْلِمِ
Bagian kedua adalah mereka yang bukan Ahlul Kitab, namun terhadap mereka diterapkan perlakuan seperti Ahlul Kitab dalam hal pengakuan dengan pembayaran jizyah, yaitu kaum Majusi. Diyat mereka adalah dua pertiga dari sepersepuluh diyat seorang Muslim.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ لَا يَكُونُوا أَهْلَ كِتَابِ وَلَا سَنَّ بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ كِتَابٍ وَهُمْ عَبَدَةُ الْأَوْثَانِ الَّذِينَ لَا يُقِرُّونَ بِالْجِزْيَةِ وَيُقِرُّونَ بِالْأَمَانِ وَالْعَهْدِ فَدِيَتُهُمْ كَدِيَةِ الْمَجُوسِ ثُلُثَا عُشْرِ دِيَةِ الْمُسْلِمِ لِأَنَّهَا أَقَلُّ الدِّيَاتِ فَرُدُّوا إِلَيْهَا وَإِنْ كَانُوا أَنْقَصَ رُتْبَةً مِنَ الْمَجُوسِ فِي أَنَّهُمْ يُقِرُّونَ بِالْجِزْيَةِ فَأَمَّا الصَّابِئُونَ وَالسَّامِرَةُ فَإِنْ أُجْرُوا مَجْرَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فِي إِقْرَارِهِمْ بِالْجِزْيَةِ وَأَكْلِ ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحِ نِسَائِهِمْ لِمُوَافَقَتِهِمْ فِي أَصْلِ مُعْتَقَدِهِمْ كَانَتْ دِيَتُهُمْ ثُلُثَ دِيَةِ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يُقِرُّوا بِالْجِزْيَةِ لِمُخَالَفَتِهِمْ لِلْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فِي أَصْلِ مُعْتَقَدِهِمْ فَدِيَتُهُمْ إِذَا كَانَ لَهُمْ أَمَانٌ كَدِيَةِ الْمَجُوسِيِّ ثُلُثَا عُشْرِ دِيَةِ الْمُسْلِمِ
Golongan ketiga adalah mereka yang bukan Ahlul Kitab dan tidak berlaku atas mereka hukum-hukum Ahlul Kitab, yaitu para penyembah berhala yang tidak mengakui jizyah, tetapi mengakui perlindungan dan perjanjian. Maka diyat mereka sama dengan diyat Majusi, yaitu dua pertiga dari sepersepuluh diyat seorang Muslim, karena itu adalah diyat yang paling sedikit, sehingga mereka dikembalikan kepadanya, meskipun derajat mereka lebih rendah daripada Majusi dalam hal pengakuan terhadap jizyah. Adapun Shabi’un dan Samirah, jika mereka diperlakukan seperti Yahudi dan Nasrani dalam pengakuan terhadap jizyah, boleh memakan sembelihan mereka, dan menikahi wanita mereka karena kesesuaian dalam pokok keyakinan mereka, maka diyat mereka sepertiga diyat Muslim. Namun jika mereka tidak mengakui jizyah karena perbedaan pokok keyakinan dengan Yahudi dan Nasrani, maka diyat mereka, jika mereka memiliki perlindungan, sama dengan diyat Majusi, yaitu dua pertiga dari sepersepuluh diyat Muslim.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَمَانٌ وَلَا عَهْدٌ فَضَرْبَانِ
Adapun orang yang tidak memiliki aman dan tidak pula ‘ahd, maka terbagi menjadi dua golongan.
أَحَدُهُمَا مَنْ بَلَغَتْهُ دَعْوَةُ الْإِسْلَامِ فَنُفُوسُهُمْ مُبَاحَةٌ وَدِمَاؤُهُمْ هَدَرٌ لَا تُضْمَنُ بِقَوَدٍ وَلَا عَقْلٍ سَوَاءٌ كَانُوا أَهْلَ كِتَابٍ أَوْ لَمْ يَكُونُوا كَذَلِكَ دِمَاءُ الْمُرْتَدِّينَ عَنِ الْإِسْلَامِ
Salah satu dari keduanya adalah orang-orang yang telah sampai kepada mereka dakwah Islam, maka jiwa mereka boleh diambil (tidak terjaga), dan darah mereka sia-sia (tidak ada perlindungan), tidak dijamin dengan qishāsh maupun diyat, baik mereka itu Ahlul Kitab maupun bukan. Demikian pula darah orang-orang yang murtad dari Islam.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونُوا مِمَّنْ لَمْ تَبْلُغْهُ الدَّعْوَةُ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَا أَحْسَبُ أَحَدًا لَمْ تَبْلُغْهُ دَعْوَةُ الْإِسْلَامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَوْمٌ وَرَاءَ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَا مِنَ التُّرْكِ وَالْجُزُرِ فَدِمَاؤُهُمْ مَحْقُونَةٌ حَتَّى يُدْعَوْا إِلَى الْإِسْلَامِ فَيَمْتَنِعُوا فَإِنْ قُتِلُوا قَبْلَ دُعَائِهِمْ إِلَى الْإِسْلَامِ ضُمِنَتْ نُفُوسُهُمْ بِالدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ
Golongan kedua adalah mereka yang belum sampai kepada mereka dakwah. Asy-Syafi‘i berkata, “Aku tidak mengira ada seorang pun yang belum sampai kepadanya dakwah Islam kecuali mungkin suatu kaum yang berada di balik orang-orang yang memerangi kita dari bangsa Turki dan penduduk pulau-pulau. Maka darah mereka terjaga hingga mereka didakwahi kepada Islam lalu mereka menolak. Jika mereka terbunuh sebelum didakwahi kepada Islam, maka jiwa mereka dijamin dengan diyat, bukan dengan qishāsh.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا تُضَمَّنُ نُفُوسُهُمْ بِقَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ لِأَنَّ دِمَاءَ الْكُفَّارِ عَلَى الْإِبَاحَةِ إِلَّا مَنْ ثَبَتَ لَهُ عَهْدٌ أَوْ ذِمَّةٌ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الدِّمَاءَ مَحْقُونَةٌ إِلَّا مَنْ ظَهَرَ مِنْهُ الْمُعَانَدَةُ وَلِأَنَّهُ لَمَّا حَرَّمَ قَتْلَهُمْ قَبْلَ دُعَائِهِمْ ثَبَتَ حَقْنُ دِمَائِهِمْ وَوَجَبَ ضَمَانُ نُفُوسِهِمْ كَأَهْلِ الْعَهْدِ وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ تَأْتِي فِي كِتَابِ السِّيَرِ مُسْتَوْفَاةً فَإِذَا تَقَرَّرَ ضَمَانُ دِيَاتِهِمْ فَفِيهَا وَجْهَانِ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ أَطْلَقَهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهَا مِنْ بَعْدِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Abu Hanifah berpendapat bahwa jiwa mereka tidak wajib diganti dengan qishāsh maupun diyat, karena darah orang-orang kafir itu halal kecuali bagi yang memiliki perjanjian atau status dzimmah. Namun, pendapat ini keliru, karena darah mereka tetap terjaga kecuali bagi yang nyata-nyata memusuhi, dan karena ketika pembunuhan mereka diharamkan sebelum adanya ajakan (kepada Islam), maka darah mereka menjadi terjaga dan wajib mengganti jiwa mereka sebagaimana ahl al-‘ahd. Masalah ini akan dijelaskan secara rinci dalam Kitab al-Siyar. Jika telah ditetapkan kewajiban membayar diyat mereka, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat, karena asy-Syafi‘i membebaskannya secara mutlak, lalu para sahabat kami berbeda pendapat setelah beliau dalam dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ كَدِيَةِ الْمُسْلِمِ لِأَنَّهُ مَوْلُودٌ عَلَى الْفِطْرَةِ لَمْ تَظْهَرْ مِنْهُ مُعَانَدَةٌ
Salah satunya adalah bahwa ia seperti anak kecil Muslim, karena ia dilahirkan di atas fitrah dan belum tampak darinya sikap membangkang.
وَالثَّانِي أَنَّهَا كَدِيَةِ الْمَجُوسِ ثُلُثَا عُشْرِ دِيَةِ الْمُسْلِمِ لِأَنَّهَا يَقِينٌ مَعَ الْأَصْلِ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Dan yang kedua, bahwa diyatnya seperti diyat orang Majusi, yaitu dua pertiga dari sepersepuluh diyat seorang Muslim, karena hal itu berdasarkan keyakinan bersama dengan asal hukum berlepasnya tanggungan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَجِرَاحُهُمْ عَلَى قَدْرِ دِيَاتِهِمْ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Luka-luka mereka sesuai dengan kadar diyat mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ مَا دُونَ النَّفْسِ مُعْتَبَرٌ بِدِيَةِ النَّفْسِ فَيَكُونُ فِي دِيَةِ الْيَهُودِيِّ بَعِيرٌ وَثُلُثَانِ وَفِي هَاشِمَتِهِ ثَلَاثَةُ أَبْعِرَةٍ وَثُلُثٌ وَفِي مُنَقِّلَتِهِ خَمْسَةُ أَبْعِرَةٍ وَفِي مَأْمُومَتِهِ أَحَدَ عَشَرَ بَعِيرًا وَتُسْعٌ وَفِي إِصْبَعِهِ ثَلَاثَةُ أَبْعِرَةٍ وَثُلُثٌ وَفِي أنملته بعير وتسع وفي موضحة المجوس ثُلُثُ بَعِيرٍ وَفِي هَاشِمَتِهِ ثُلُثَا بَعِيرٍ وَفِي مُنَقِّلَتِهِ بَعِيرٌ وَفِي إِصْبَعِهِ ثُلُثُ بَعِيرٍ وَفِي أُنْمُلَتِهِ تُسْعَا بَعِيرٍ وَعَلَى قِيَاسِ هَذَا فِيمَا زاد ونقص
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, karena selain jiwa, nilainya diukur dengan diyat jiwa. Maka diyat untuk seorang Yahudi adalah satu unta dan dua pertiga, untuk tulang wajahnya yang retak tiga unta dan sepertiga, untuk tulang yang berpindah lima unta, untuk luka yang sampai ke otak sebelas unta dan sembilan, untuk jarinya tiga unta dan sepertiga, untuk ruas jarinya satu unta dan sembilan, untuk luka terbuka pada orang Majusi sepertiga unta, untuk tulang wajahnya yang retak dua pertiga unta, untuk tulang yang berpindah satu unta, untuk jarinya sepertiga unta, dan untuk ruas jarinya dua per sembilan unta. Dan berdasarkan qiyās ini, berlaku pula untuk yang lebih atau kurang dari itu.”
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَالْمَرْأَةُ مِنْهُمْ وَجِرَاحُهَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرجل فيما قل أو كثر واحتج في ديات أهل الكفر بأن الله تعالى فرق ثم رسوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بين المؤمنين والكافرين فجعل الكفار متى قدر عليهم المؤمنون صنفاً منهم يعبدون وتؤخذ أموالهم لا يقبل منهم غير ذلك وصنفاً يصنع ذلك بهم إلا أن يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون فلا يجوز أن يجعل من كان خولاً للمسلمين في حال أو خولاً بكل حال إلا أن يعطوا الجزية كالعبد المخارج في بعض حالاته كفيئاً لمسلم في دم ولا دية ولا يبلغ بدية كافر دية مؤمن إلا ما لا خلاف فيه
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Perempuan di antara mereka, dan luka-lukanya, adalah setengah dari diyat laki-laki, baik sedikit maupun banyak.” Ia berdalil dalam diyat orang-orang kafir bahwa Allah Ta‘ala telah membedakan, kemudian Rasulullah ﷺ juga membedakan antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Maka, orang-orang kafir, apabila dikuasai oleh orang-orang mukmin, ada golongan dari mereka yang dijadikan budak dan diambil hartanya, tidak diterima dari mereka selain itu; dan ada golongan yang diperlakukan demikian kecuali jika mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk. Maka tidak boleh disamakan antara orang yang menjadi budak bagi kaum muslimin dalam suatu keadaan atau dalam segala keadaan, kecuali jika mereka membayar jizyah, seperti budak mukhāraj dalam sebagian keadaannya, sebagai fai’ bagi seorang muslim, dalam hal darah dan diyat, dan tidak boleh diyat orang kafir disamakan dengan diyat orang mukmin kecuali pada perkara yang tidak ada perselisihan di dalamnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَتْ دِيَةُ الْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ فِي نَفْسِهَا وَأَطْرَافِهَا وَجِرَاحِهَا عَلَى النِّصْفِ مِنَ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ كَانَتْ دِيَةُ الْمَرْأَةِ الْكَافِرَةِ فِي نَفْسِهَا وَأَطْرَافِهَا وَجِرَاحِهَا عَلَى النِّصْفِ مِنَ الرَّجُلِ الْكَافِرِ فَيَجِبُ فِي مُوضِحَةِ الْيَهُودِيَّةِ خَمْسَةُ أَسْدَاسِ بَعِيرٍ وَفِي هَاشِمَتِهَا بَعِيرٌ وَثُلُثَانِ وَفِي مُوضِحَةِ الْمَجُوسِيَّةِ سُدُسُ بَعِيرٍ وَفِي هَاشِمَتِهَا ثُلُثُ بَعِيرٍ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, karena ketika diyat perempuan Muslim, baik pada jiwa, anggota tubuh, maupun lukanya adalah setengah dari laki-laki Muslim, maka diyat perempuan kafir, baik pada jiwa, anggota tubuh, maupun lukanya adalah setengah dari laki-laki kafir. Maka wajib pada luka muḍiḥah (luka yang menampakkan tulang) perempuan Yahudi lima per enam unta, dan pada luka hāshimah (luka yang memecahkan tulang) satu unta dan dua pertiga, dan pada luka muḍiḥah perempuan Majusi seperenam unta, dan pada luka hāshimah sepertiga unta, kemudian demikian pula seterusnya menurut qiyās.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى وَبِقَوْلِ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَقُولُ جِرَاحُ الْعَبْدِ مِنْ ثَمَنِهِ كَجِرَاحِ الْحُرِّ مِنْ دِيَتِهِ فِي كُلِّ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ وَقِيمَتُهُ مَا كَانَتْ وَهَذَا يُرْوَى عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Saya berpendapat sebagaimana pendapat Sa‘id bin al-Musayyab, bahwa luka pada seorang budak diambil dari harga dirinya, sebagaimana luka pada seorang merdeka diambil dari diyat-nya, baik luka itu sedikit maupun banyak, dan nilainya sesuai dengan apa adanya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari ‘Umar dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْجِنَايَةُ عَلَى نَفْسِ الْعَبْدِ فَمُوجِبَةٌ لِقِيمَتِهِ وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَأَمَّا الْجِنَايَةُ عَلَى مَا دُونَ نَفْسِهِ مِنْ أَطْرَافِهِ وَجِرَاحِهِ فَقَدِ اخْتُلِفَ فِيهَا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ
Al-Mawardi berkata, “Adapun tindak pidana terhadap jiwa seorang budak, maka hal itu mewajibkan pembayaran senilai dirinya, dan ini merupakan kesepakatan para ulama. Adapun tindak pidana terhadap selain jiwanya, seperti anggota tubuh atau lukanya, maka terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini menjadi tiga mazhab.”
أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا تَكُونُ مُقَدَّرَةً مِنْ قِيمَتِهِ كَمَا تَكُونُ مُقَدَّرَةً مِنَ الْحُرِّ مِنْ دِيَتِهِ فَيَجِبُ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ لِسَانِهِ وَأَنْفِهِ وَذَكَرِهِ قِيمَتُهُ وَفِي إِحْدَى يَدَيْهِ نِصْفُ قِيمَتِهِ كَمَا يَجِبُ فِي الْحُرِّ نِصْفُ دِيَتِهِ كَمَا يَجِبُ فِي الْحُرِّ دِيَتُهُ وَيَجِبُ فِي إِصْبَعِهِ عُشْرُ قِيمَتِهِ وَفِي أُنْمُلَتِهِ ثُلُثُ عُشْرِهَا وَعَلَى هَذَا الْقِيَاسِ وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَالْحَسَنِ وَابْنِ سِيرِينَ وَأَبِي حَنِيفَةَ
Salah satu pendapat, yaitu mazhab Syafi‘i, menyatakan bahwa diyat itu ditetapkan berdasarkan nilai budak tersebut, sebagaimana diyat orang merdeka ditetapkan berdasarkan diyatnya. Maka wajib pada masing-masing anggota seperti lidah, hidung, dan kemaluannya, diyatnya adalah sebesar nilai anggota tersebut. Pada salah satu tangannya, wajib setengah dari nilainya, sebagaimana pada orang merdeka wajib setengah dari diyatnya, dan pada orang merdeka juga wajib diyatnya. Pada salah satu jarinya, wajib sepersepuluh dari nilainya, dan pada ruas jarinya sepertiga dari sepersepuluhnya, dan demikianlah seterusnya menurut qiyās. Pendapat ini adalah pendapat Umar, Ali, Sa‘id bin al-Musayyab, al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Abu Hanifah.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي مَا قَالَهُ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ وَأَهْلُ الظَّاهِرِ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ الْوَاجِبُ فِي جَمِيعِهَا مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ مِنْ غَيْرِ تَقْدِيرٍ كَالْبَهَائِمِ
Mazhab kedua adalah pendapat yang dikemukakan oleh Dāwud bin ‘Alī dan para pengikut Zhāhiriyyah serta Muhammad bin al-Hasan dari kalangan sahabat Abū Hanīfah, yaitu bahwa yang wajib pada seluruhnya adalah mengganti apa yang berkurang dari nilainya tanpa ada ketentuan tertentu, sebagaimana pada hewan ternak.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ مَا قَالَهُ مَالِكٌ أَنَّ مَا لَا يَبْقَى لَهُ أَثَرٌ بَعْدَ الِانْدِمَالِ مِنْ شِجَاجِ الرَّأْسِ فَفِي مُقَدَّرٍ مِنْ قِيمَتِهِ كَمَا قُلْنَا وَمَا يَبْقَى أَثَرُهُ بَعْدَ الِانْدِمَالِ كَالْأَطْرَافِ فَفِيهِ مَا نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ كَأَهْلِ الظَّاهِرِ وَاسْتَدَلَّ أَهْلُ الظَّاهِرِ بِأَمْرَيْنِ
Mazhab ketiga adalah apa yang dikatakan oleh Malik, yaitu bahwa luka di kepala yang tidak meninggalkan bekas setelah sembuh, maka dikenakan diyat dalam kadar tertentu dari nilainya seperti yang telah kami sebutkan. Adapun yang masih meninggalkan bekas setelah sembuh, seperti pada anggota tubuh, maka dikenakan diyat sebesar kekurangan nilainya, sebagaimana pendapat Ahl azh-Zhahir. Ahl azh-Zhahir berdalil dengan dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مَمْلُوكٌ كَالْبَهَائِمِ
Salah satunya adalah bahwa ia adalah milik seperti hewan ternak.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَا يُضْمَنُ بِالْقِيمَةِ فَأَشْبَهَ ضَمَانَ الْغَصْبِ وَفَرَّقَ مَالِكٌ بَيْنَ شِجَاجِ رَأْسِهِ وَأَطْرَافِهِ بِأَنَّهُ قَوْلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ عِنْدَهُ حُجَّةٌ وَبِأَنَّهُ لَمَّا تَقَدَّرَ شِجَاجُ الرَّأْسِ فِي الْحُرِّ وَلَمْ تَتَقَدَّرْ جِرَاحُ جَسَدِهِ تَغَلَّظَ حُكْمُهُ على حكمة
Kedua, bahwa tidak dijamin dengan nilai (harga), sehingga serupa dengan tanggungan dalam kasus ghashb. Malik membedakan antara luka di kepala dan anggota badan dengan alasan bahwa itu adalah pendapat ahli Madinah, yang menurutnya merupakan hujjah, dan karena luka-luka di kepala telah ditetapkan kadarnya pada orang merdeka, sedangkan luka-luka di tubuhnya tidak ditetapkan kadarnya, maka hukumnya menjadi lebih berat berdasarkan hikmah tertentu.
والدليل عليهم أَنَّ مَنْ ضُمِنَتْ نَفْسُهُ بِالْقَوَدِ وَالْكَفَّارَةِ ضُمِنَتْ أَطْرَافُهُ بِالْمُقَدَّرِ كَالْحُرِّ وَعَلَى مَالِكٍ أَنَّ مَنْ تَقَدَّرَتْ شِجَاجُهُ تَقَدَّرَتْ أَطْرَافُهُ كَالْحُرِّ وَلِأَنَّ مَا تَقَدَّرَ فِي الْحُرِّ تَقَدَّرَ فِي الْعَبْدِ كَالشِّجَاجِ ثُمَّ يُقَالُ لِمَالِكٍ الْعَبْدُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَصْلَيْنِ
Dan dalil atas mereka adalah bahwa siapa yang jiwanya dijamin dengan qishāsh dan kaffārah, maka anggota tubuhnya juga dijamin dengan kadar tertentu seperti halnya orang merdeka. Dan menurut Mālik, siapa yang luka-lukanya telah ditentukan kadarnya, maka anggota tubuhnya pun ditentukan kadarnya seperti orang merdeka. Karena apa yang telah ditentukan kadarnya pada orang merdeka, juga ditentukan kadarnya pada budak, seperti luka-luka. Kemudian dikatakan kepada Mālik, budak itu berada di antara dua dasar hukum.
أَحَدُهُمَا الْحُرُّ
Salah satunya adalah orang merdeka.
وَالثَّانِي الْبَهِيمَةُ فَإِنْ أُلْحِقَ بِالْحُرِّ تَقَدَّرَتْ أَطْرَافُهُ وَشِجَاجُهُ وَإِنْ أُلْحِقَ بِالْبَهِيمَةِ لَمْ تَتَقَدَّرْ شِجَاجُهُ وَلَا أَطْرَافُهُ وَإِلْحَاقُهُ بِالْحُرِّ أَوْلَى مِنْ إِلْحَاقِهِ بِالْبَهَائِمِ لِمَا يَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ مِنَ التَّكْلِيفِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ مِنَ الْحُدُودِ وَيَلْزَمُ فِي قَتْلِهِ مِنَ الْقَوَدِ وَالْكَفَّارَةِ فَأَمَّا ضَمَانُهُ بِالْيَدِ إذا يغصب فَإِنَّمَا لَمْ يُضْمَنْ بِالْمُقَدَّرِ لِأَنَّهُ لَا يُضْمَنُ بِالْقَوَدِ وَالْكَفَّارَةِ فَأَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَ الْأَمْوَالِ الْمَحْضَةِ وَصَارَ فِيهَا مُلْحَقًا بِالْبَهَائِمِ وَيُضْمَنُ فِي الْجِنَايَاتِ بِالْقَوَدِ وَالْكَفَّارَةِ فَأُلْحِقَ بِالْأَحْرَارِ
Yang kedua adalah hewan ternak. Jika disamakan dengan manusia merdeka, maka anggota tubuh dan luka-lukanya ditetapkan kadarnya. Namun jika disamakan dengan hewan, maka luka-luka dan anggota tubuhnya tidak ditetapkan kadarnya. Menyamakan hewan ternak dengan manusia merdeka lebih utama daripada menyamakannya dengan hewan, karena adanya beban taklif yang diarahkan kepadanya, kewajiban hudud atasnya, serta kewajiban qishāsh dan kafārah jika ia membunuh. Adapun jaminan atasnya jika digadaikan, maka tidak dijamin dengan kadar tertentu karena tidak dijamin dengan qishāsh dan kafārah, sehingga diberlakukan hukum harta murni atasnya dan dalam hal ini ia disamakan dengan hewan. Namun dalam kasus jināyah, ia dijamin dengan qishāsh dan kafārah, sehingga disamakan dengan manusia merdeka.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ تَقْدِيرُ الْجِنَايَاتِ عَلَيْهِ مِنْ قِيمَتِهِ كَالْحُرِّ مِنْ دِيَتِهِ فَلِسَيِّدِهِ أَنْ يَأْخُذَ أَرْشَ الْجِنَايَاتِ عَلَيْهِ كُلِّهَا سَوَاءٌ زَادَتْ عَلَى قَدْرِ قِيمَتِهِ أَضْعَافًا أَوْ نَقَصَتْ وَهُوَ بَاقٍ عَلَى مِلْكِهِ
Maka apabila telah tetap penetapan ganti rugi jinayah atasnya berdasarkan nilainya, sebagaimana orang merdeka berdasarkan diyat-nya, maka tuannya berhak mengambil seluruh arsy (ganti rugi) jinayah atasnya, baik jumlahnya melebihi nilai budak tersebut beberapa kali lipat atau kurang darinya, selama budak itu masih menjadi miliknya.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ وَجَبَ فِيهَا جَمِيعُ قِيمَتِهِ كَانَ بِيَدِهِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ تَسْلِيمِهِ إِلَى الْجَانِي وَأَخْذِ قِيمَتِهِ مِنْهُ أَوْ إِمْسَاكِهِ بِغَيْرِ أرش لأن لا يَجْمَعَ بَيْنَ الْبَدَلِ وَالْمُبْدَلِ وَإِنْ وَجَبَ بِهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ كَانَ سَيِّدُهُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِمْسَاكِهِ وَأَخْذِ نِصْفِ قِيمَتِهِ وَبَيْنَ تَسْلِيمِهِ إِلَى الْجَانِي وَأَخْذِ جَمِيعِ قِيمَتِهِ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي كِتَابِ الْغَصْبِ مِمَّا أَغْنَى عَنْ إِعَادَتِهِ فَأَمَّا إِذَا تَبَعَّضَتْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ وَالْعِتْقُ فَكَانَ نِصْفُهُ حُرًّا وَنِصْفُهُ عَبْدًا فَفِي أَطْرَافِهِ نِصْفُ مَا فِي أَطْرَافِ الْحُرِّ وَنِصْفُ مَا فِي أَطْرَافِ الْعَبْدِ فَيَجِبُ فِي يَدِهِ رُبُعُ الدِّيَةِ وَرُبْعُ الْقِيمَةِ وَفِي إِصْبَعِهِ نِصْفُ عُشْرِ الدِّيَةِ وَنِصْفُ عُشْرِ الْقِيمَةِ وَفِي أُنْمُلَتِهِ سُدُسُ عُشْرِ الْقَيِّمَةِ وَسُدُسُ عُشْرِ الدِّيَةِ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ فِيمَا زَادَ مِنَ الْحُرِّيَّةِ وَنَقَصَ فَأَمَّا ضَمَانُ الْمُكَاتِبِ فَكَالْعَبْدِ وَكَذَلِكَ أُمُّ الْوَلَدِ
Abu Hanifah berkata, jika wajib baginya seluruh nilai (budak), maka pemiliknya berhak memilih antara menyerahkannya kepada pelaku (kejahatan) dan mengambil nilainya darinya, atau menahannya tanpa ganti rugi, agar tidak menggabungkan antara pengganti dan yang digantikan. Jika yang wajib adalah setengah dari nilainya, maka tuannya berhak memilih antara menahannya dan mengambil setengah nilainya, atau menyerahkannya kepada pelaku dan mengambil seluruh nilainya. Penjelasan tentang hal ini telah disebutkan dalam Kitab Ghashb sehingga tidak perlu diulangi. Adapun jika dalam dirinya terdapat kebebasan dan pembebasan sebagian, sehingga setengahnya merdeka dan setengahnya budak, maka pada anggota tubuhnya berlaku setengah dari apa yang berlaku pada anggota tubuh orang merdeka dan setengah dari apa yang berlaku pada anggota tubuh budak. Maka pada tangannya wajib seperempat diyat dan seperempat nilai, pada jarinya setengah sepersepuluh diyat dan setengah sepersepuluh nilai, pada ruas jarinya seperenam sepersepuluh nilai dan seperenam sepersepuluh diyat, dan demikian seterusnya menurut qiyās pada bagian kebebasan yang bertambah atau berkurang. Adapun tanggungan (jaminan) bagi mukatab sama seperti budak, demikian pula umm al-walad.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَتَحْمِلُ ثَمَنَهُ الْعَاقِلَةُ إِذَا قَتَلَ خَطَأً
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Dan yang menanggung diyatnya adalah ‘āqilah jika pembunuhan itu terjadi karena kesalahan (khathā’).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْعَبْدُ إِذَا قَتَلَ حُرًّا فَالدِّيَةُ فِي ذِمَّتِهِ وَمُرْتَهِنَةٌ رَقَبَتُهُ يُبَاعُ فِيهَا وَيُؤَدِّي الدِّيَةَ حَالَّةً فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ لَا تَتَحَمَّلُهَا الْعَاقِلَةُ عَنْهُ وَلَا السَّيِّدُ إِلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ بِاقْتِدَائِهِ مِنْهَا فَإِنْ عَجَزَ ثَمَنُهُ عَنِ الدِّيَةِ كَانَ الْبَاقِي فِي ذِمَّةِ الْعَبْدِ يُؤَدِّيهِ بَعْدَ عِتْقِهِ وَلَا يَكُونُ عَلَى سَيِّدِهِ
Al-Mawardi berkata: Adapun seorang budak apabila membunuh seorang merdeka, maka diyat menjadi tanggungannya dan lehernya menjadi jaminan; ia dijual untuk membayar diyat tersebut, dan ia wajib membayar diyat secara tunai baik dalam kasus pembunuhan sengaja (‘amdan) maupun tidak sengaja (khaṭa’). Diyat itu tidak ditanggung oleh ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) darinya, dan tidak pula oleh tuannya, kecuali jika tuannya secara sukarela membayarkannya. Jika harga budak tersebut tidak mencukupi untuk membayar diyat, maka sisanya tetap menjadi tanggungan budak tersebut dan ia membayarnya setelah dimerdekakan, dan tidak menjadi tanggungan tuannya.
فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ السَّيِّدُ ضَامِنًا لِجِنَايَةِ عَبْدِهِ كَمَا يَضْمَنُ جِنَايَةَ بَهِيمَتِهِ
Jika dikatakan, “Mengapa tuan tidak menanggung tanggungan atas tindak pidana budaknya sebagaimana ia menanggung tanggungan atas tindak pidana hewannya?”
قِيلَ لِأَنَّ جِنَايَةَ الْبَهِيمَةِ مضافة إِلَى مَالِكِهَا لِأَنَّهَا مَضْمُونَةٌ إِذَا نُسِبَ إِلَى التَّفْرِيطِ فِي حِفْظِهَا وَجِنَايَةُ الْعَبْدِ مُضَافَةٌ إِلَيْهِ دُونَ سَيِّدِهِ لِأَنَّ لَهُ اخْتِيَارًا يَتَصَرَّفُ بِهِ فَلِذَلِكَ ضَمِنَ جِنَايَةَ بَهِيمَتِهِ وَلَمْ يَضْمَنْ جِنَايَةَ عَبْدِهِ
Dikatakan bahwa perbuatan melukai yang dilakukan oleh hewan ternak disandarkan kepada pemiliknya, karena hewan tersebut menjadi tanggungannya jika kelalaian dalam menjaganya dinisbatkan kepadanya. Sedangkan perbuatan melukai yang dilakukan oleh budak disandarkan kepada budak itu sendiri, bukan kepada tuannya, karena budak memiliki kehendak dan dapat bertindak sendiri. Oleh karena itu, seseorang menanggung perbuatan melukai yang dilakukan oleh hewannya, namun tidak menanggung perbuatan melukai yang dilakukan oleh budaknya.
فَأَمَّا إِذَا قَتَلَ الْحُرُّ عَبْدًا فَإِنْ كَانَ الْقَتْلُ عَمْدًا مَحْضًا فَقِيمَتُهُ فِي مَالِ الْقَاتِلِ حَالَّةٌ وَإِنْ كَانَ خَطَأً مَحْضًا أَوْ عَمْدَ الْخَطَأِ فَفِي قِيمَتِهِ قَوْلَانِ
Adapun jika seorang merdeka membunuh seorang budak, maka jika pembunuhan itu benar-benar disengaja, maka nilai (budak) tersebut wajib dibayarkan dari harta si pembunuh secara tunai. Namun jika pembunuhan itu benar-benar tidak disengaja atau disengaja tetapi seperti tidak disengaja, maka dalam pembayaran nilai (budak) tersebut terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا إِنَّ قِيمَةَ نَفْسِهِ وَأُرُوشَ أَطْرَافِهِ عَلَى عَاقِلَةِ الْجَانِي مُؤَجَّلَةً وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ
Salah satunya adalah bahwa nilai jiwa seseorang dan diyat anggota tubuhnya dibebankan kepada ‘āqilah pelaku secara tangguh, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh al-Muzani.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ قِيمَةَ نَفْسِهِ وَأُرُوَشَ أَطْرَافِهِ فِي مَالِ الْجَانِي لَا تَحْمِلُهُ الْعَاقِلَةُ فِي مَالِ الْقَاتِلِ حَالَّةً وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ
Pendapat kedua menyatakan bahwa nilai jiwa seseorang dan diyat anggota tubuhnya yang terdapat dalam harta pelaku tidak ditanggung oleh ‘āqilah dalam harta pembunuh secara langsung, dan ini adalah mazhab Malik.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَحْمِلُ الْعَاقِلَةُ دِيَةَ نَفْسِهِ وَلَا تَحْمِلُ أُرُوشَ أَطْرَافِهِ فإذا قتل تحمله العاقلة
Abu Hanifah berkata, ‘Aqilah menanggung diyat jiwa seseorang, namun tidak menanggung urus (ganti rugi) anggota tubuhnya. Maka jika ia membunuh, diyatnya ditanggung oleh ‘aqilah.’
فدليله أَنَّ مَنْ وَجَبَتِ الْكَفَّارَةُ فِي قَتْلِهِ تَحَمَّلَتِ الْعَاقِلَةُ بَدَلَ نَفْسِهِ كَالْحُرِّ وَلِأَنَّ الْعَبْدَ مُتَرَدِّدُ الْحُكْمِ بَيْنَ الْحُرِّ لِكَوْنِهِ مُكَلَّفًا وَبَيْنَ الْبَهِيمَةِ لِأَنَّهُ مُقَوَّمٌ وَمَبِيعٌ فَكَانَ إِلْحَاقُهُ بِالْحُرِّ أَوْلَى لِمَا يَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ مِنَ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ وَلِمَا يَجِبُ فِي قَتْلِهِ مِنَ الْكَفَّارَةِ والقود فوجب إِلْحَاقُهُ بِالْحُرِّ أَوْلَى لِمَا يَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ مِنَ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ وَلِمَا يَجِبُ فِي قَتْلِهِ مِنَ الكفارة والقود فوجب إلحاقه به فِي تَحَمُّلِ الْعَاقِلَةِ لِبَدَلِ أَطْرَافِهِ وَنَفْسِهِ
Dalilnya adalah bahwa siapa pun yang wajib membayar kafarat atas pembunuhannya, maka ‘āqilah menanggung ganti rugi atas dirinya, seperti halnya orang merdeka. Karena budak itu status hukumnya berada di antara orang merdeka—karena ia mukallaf—dan antara hewan—karena ia dapat dinilai dan dijual—maka menyamakannya dengan orang merdeka lebih utama, karena ia juga menerima pahala dan siksa, serta atas pembunuhannya juga wajib kafarat dan qishāsh. Maka, menyamakannya dengan orang merdeka lebih utama karena ia juga menerima pahala dan siksa, serta atas pembunuhannya juga wajib kafarat dan qishāsh. Oleh karena itu, ia harus disamakan dengan orang merdeka dalam hal ‘āqilah menanggung ganti rugi atas anggota tubuh dan jiwanya.
فَإِذَا قِيلَ لَا تَحْمِلُهُ الْعَاقِلَةُ فَدَلِيلُهُ رِوَايَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا تَحْمِلُ الْعَاقِلَةُ عَمْدًا وَلَا عَبْدًا وَلَا صُلْحًا وَلَا اعْتِرَافًا وَلِأَنَّهُ مَضْمُونٌ بِالْقِيمَةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَحْمِلَهُ الْعَاقِلَةُ كَالْبَهِيمَةِ وَلِأَنَّهُ يُضْمَنُ بِالْيَدِ تَارَةً وَبِالْجِنَايَةِ أُخْرَى فَوَجَبَ أَنْ لَا تَحْمِلَ الْعَاقِلَةُ ضَمَانَهُ بِالْجِنَايَةِ كَمَا لَمْ تَحْمِلْ ضَمَانَهُ بِالْيَدِ كَالْأَمْوَالِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَتَحَمَّلْ عَنْهُ الْعَاقِلَةُ إِذَا كَانَ قَاتِلًا لَمْ تَتَحَمَّلْهُ الْعَاقِلَةُ إِذَا كَانَ مَقْتُولًا
Jika dikatakan bahwa ‘āqilah tidak menanggungnya, maka dalilnya adalah riwayat Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “’Āqilah tidak menanggung pembunuhan sengaja, tidak pula budak, tidak pula sulh (penyelesaian damai), dan tidak pula pengakuan.” Selain itu, karena hal itu dijamin dengan nilai (ganti rugi), maka wajib agar ‘āqilah tidak menanggungnya, seperti halnya hewan ternak. Dan karena kadang-kadang dijamin dengan tangan (perbuatan langsung), dan kadang-kadang dengan jināyah (tindak pidana), maka wajib agar ‘āqilah tidak menanggung jaminannya karena jināyah, sebagaimana ‘āqilah tidak menanggung jaminannya karena tangan, seperti halnya harta benda. Dan karena ketika ‘āqilah tidak menanggungnya jika pelaku adalah pembunuh, maka ‘āqilah juga tidak menanggungnya jika pelaku adalah korban.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رضي الله عنه وَفِي ذَكَرِهِ ثَمَنُهُ وَلَوْ زَادَ الْقَطْعُ فِي ثمنه أضعافاً
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Pada zakar terdapat diyatnya, meskipun pemotongan terhadapnya menyebabkan diyat menjadi berlipat ganda dari diyat aslinya.”
مسألة
Masalah
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا كنت تزعم أن ثمنه كثمن البعير إذا قتل فلم لم يحكم في جرحه كجرح البعير وبعضه قلت قد يجامع الحر البعير بقتل فيكون ثمنه مثل دية الحر فهو في الحر دية وفي البعير قيمة والقيمة دية العبد وقسته بالحر دون البهيمة بدليل من كتاب الله تعالى في قتل النفس الدية وتحرير رقبة وحكمت وحكمنا في الرجل والمرأة والعبد بديات مختلفات وجعلنا في كل نفس منهم دية ورقبة وإنما جعل الله في النفس الرقبة حيث جعل الدية وبدل البعير والمتاع قيمة لا رقبة معها فجامع العبد الأحرار في أن فيه كفارة وفي أنه إذا قتل قتل وإذا جرح جرح في قولنا وفي أن عليه حد الحر في بعض الحدود ونصف حد الحر في بعض الحدود وأن عليه الفرائض من الصلاة والصوم والتعبد وكان آدمياً كالأحرار فكان بالآدميين أشبه فقسته عليهم دون البهائم والمتاع قال المزني وقال في كتاب الديات والجنايات لا تحمله العاقلة كما لا تغرم قيمة ما استهلك من مال قال المزني الأول بقوله أشبه لأنه شبهه بالحر في أن جراحه من ثمنه كجراح الحر من ديته لم يختلف ذلك عندي من قوله
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika ada yang bertanya, “Jika engkau menganggap bahwa harganya seperti harga unta ketika dibunuh, mengapa engkau tidak memutuskan dalam kasus lukanya seperti luka pada unta atau sebagian darinya?” Aku katakan: Terkadang seorang hamba (budak) disamakan dengan orang merdeka dalam hal pembunuhan, sehingga harganya menjadi seperti diyat orang merdeka. Maka, untuk orang merdeka adalah diyat, sedangkan untuk unta adalah nilai (harga), dan nilai itu adalah diyat bagi budak. Aku melakukan qiyās terhadap orang merdeka, bukan terhadap hewan, berdasarkan dalil dari Kitab Allah Ta‘ala, bahwa dalam kasus pembunuhan jiwa ada diyat dan pembebasan budak. Kami juga menetapkan hukum diyat yang berbeda-beda untuk laki-laki, perempuan, dan budak, dan kami menetapkan untuk setiap jiwa di antara mereka diyat dan pembebasan budak. Allah hanya menetapkan pembebasan budak pada jiwa di mana diyat juga ditetapkan, sedangkan pada unta dan barang-barang, gantinya adalah nilai, tanpa ada pembebasan budak bersamanya. Maka, budak disamakan dengan orang-orang merdeka dalam hal adanya kafarat, dalam hal jika ia membunuh maka ia dibunuh, jika ia melukai maka ia dilukai menurut pendapat kami, dalam hal ia dikenai hudud seperti orang merdeka pada sebagian hudud, setengah hudud orang merdeka pada sebagian hudud lainnya, dan ia wajib melaksanakan kewajiban seperti shalat, puasa, dan ibadah lainnya, serta ia adalah manusia seperti orang-orang merdeka, sehingga ia lebih mirip dengan manusia daripada dengan hewan dan barang-barang. Al-Muzani berkata: Dan ia berkata dalam Kitab ad-Diyāt dan al-Jināyāt, “Aqilah tidak menanggungnya, sebagaimana tidak menanggung nilai harta yang telah dikonsumsi.” Al-Muzani berkata: Pendapat pertama lebih mirip dengan pendapatnya, karena ia menyerupakan budak dengan orang merdeka dalam hal bahwa luka-lukanya diambil dari harganya sebagaimana luka orang merdeka diambil dari diyatnya; menurutku, pendapatnya tidak berbeda dari hal itu.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّنَا قَدْ قَرَّرْنَا أَنَّ مَا فِي الْحُرِّ مِنْهُ دِيَةٌ كَانَ فِي الْعَبْدِ مِنْهُ قِيمَةٌ وَفِي ذَكَرِ الْحُرِّ دِيَتُهُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي ذَكَرِ الْعَبْدِ قِيمَتُهُ
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, karena kami telah menetapkan bahwa apa yang pada orang merdeka ada diyatnya, maka pada budak ada nilainya. Dan pada kemaluan laki-laki merdeka ada diyatnya, maka wajib pada kemaluan budak ada nilainya.”
فَإِنْ قِيلَ فَقَطْعُهُ مِنَ الْحُرِّ نَقْصٌ فَلِذَلِكَ ضُمِنَ بِالدِّيَةِ وَقَطْعُهُ مِنَ الْعَبْدِ زِيَادَةٌ لِأَنَّ ثَمَنَهُ يَزِيدُ بِقَطْعِهِ فَلَمْ يُضْمَنْ بِالْقِيمَةِ قِيلَ الْمَضْمُونُ بِالْجِنَايَةِ لَا يُرَاعَى فِيهِ النَّقْصُ وَالزِّيَادَةُ لِأَنَّ الْأَعْضَاءَ الزَّائِدَةَ تُضَمَنُ بِالْجِنَايَةِ وَإِنْ أحدثت زيادة
Jika dikatakan, “Memotongnya dari orang merdeka adalah suatu kekurangan, maka karena itu diganti dengan diyat; sedangkan memotongnya dari budak adalah suatu tambahan karena harganya bertambah dengan pemotongan itu, maka tidak diganti dengan nilai,” dijawab: Yang dijamin karena jinayah (tindak pidana) tidak memperhatikan kekurangan atau tambahan, karena anggota tubuh tambahan pun dijamin karena jinayah meskipun menimbulkan tambahan.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَكُلُّ جِنَايَةِ عَمْدٍ لَا قِصَاصَ فِيهَا فَالْأَرْشُ فِي مَالِ الْجَانِي
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Setiap tindak pidana sengaja yang tidak ada qishāsh di dalamnya, maka diyat (ganti rugi) menjadi tanggungan harta pelaku.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا جِنَايَةُ الْخَطَأِ الْمَحْضِ وَعَمْدِ الْخَطَأِ فَتَحْمِلُهَا الْعَاقِلَةُ وَأَمَّا جِنَايَةُ الْعَمْدِ الْمَحْضِ فَفِي مَالِ الْجَانِي وَلَا تَتَحَمَّلُهَا الْعَاقِلَةُ سَوَاءٌ وَجَبَ فِيهَا الْقِصَاصُ أَوْ لَمْ يَجِبْ كَالْجَائِفَةِ وَالْمَأْمُومَةِ
Al-Mawardi berkata: Adapun jinayah (kejahatan) karena kesalahan murni dan kesengajaan yang menyerupai kesalahan, maka yang menanggungnya adalah ‘aqilah. Adapun jinayah karena kesengajaan murni, maka ditanggung dari harta pelaku kejahatan dan tidak ditanggung oleh ‘aqilah, baik di dalamnya wajib qishash atau tidak, seperti pada kasus luka yang menembus rongga tubuh (jaifah) dan luka yang sampai ke otak (ma’mumah).
وَقَالَ مَالِكٌ مَا لَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ مِنَ الْعَمْدِ تَتَحَمَّلُهُ الْعَاقِلَةُ كَالْخَطَأِ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا تَحْمِلُ الْعَاقِلَةُ عَمْدًا وَلَا عَبْدًا وَلِأَنَّ مَا لَمْ تَتَحَمَّلْهُ الْعَاقِلَةُ مِنَ الْعَمْدِ إِذَا وَجَبَ فِيهِ الْقَوَدُ لَمْ تَتَحَمَّلْهُ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ فِيهِ الْقَوَدُ كَجِنَايَةِ الْوَالِدِ عَلَى الْوَلَدِ وَلِأَنَّ جِنَايَةَ الْعَمْدِ مُغَلَّظَةٌ وَتَحَمُّلُ الْعَاقِلَةِ تَخْفِيفٌ فتنافا اجْتِمَاعُهُمَا وَلِأَنَّ تَحَمُّلَ الْعَاقِلَةِ رِفْقٌ وَمَعُونَةٌ وَالْعَامِدُ مُعَاقَبٌ لَا يُعَانُ وَلَا يُرْفَقُ بِهِ وَالْخَاطِئُ مَعْذُورٌ فَلِذَلِكَ خُصَّ بِالْمَعُونَةِ وَالرِّفْقِ
Malik berkata: Pada kasus yang tidak wajib qishāsh karena pembunuhan sengaja, maka diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah sebagaimana pada kasus pembunuhan karena kesalahan. Namun, ini adalah kekeliruan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “‘Āqilah tidak menanggung diyat karena pembunuhan sengaja dan tidak pula karena budak.” Selain itu, apa yang tidak ditanggung oleh ‘āqilah dari pembunuhan sengaja, jika di dalamnya wajib qishāsh, maka tidak ditanggung oleh ‘āqilah; dan jika tidak wajib qishāsh, seperti tindak pidana orang tua terhadap anak, juga tidak ditanggung oleh ‘āqilah. Sebab, tindak pidana pembunuhan sengaja itu berat, sedangkan penanggungan oleh ‘āqilah adalah keringanan, sehingga keduanya tidak dapat digabungkan. Selain itu, penanggungan oleh ‘āqilah adalah bentuk kebaikan dan bantuan, sedangkan pelaku pembunuhan sengaja adalah orang yang dihukum, sehingga tidak layak dibantu dan tidak layak diberi keringanan. Adapun pelaku kesalahan adalah orang yang dimaafkan, maka karena itu ia dikhususkan dengan bantuan dan keringanan.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رضي الله عنه وَقِيلَ جِنَايَةُ الصَّبِيِّ وَالْمَعْتُوهِ عَمْدًا وَخَطَأً يَحْمِلُهَا الْعَاقِلَةُ وَقِيلَ لَا لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى أَنْ تَحْمِلَ الْعَاقِلَةُ الْخَطَأَ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ فَلَوْ قَضَيْنَا بِهَا إِلَى ثَلَاثِ سِنِينَ خَالَفْنَا دِيَةَ الْعَمْدِ لِأَنَّهَا حَالَّةٌ فَلَمْ يُقْضَ عَلَى الْعَاقِلَةِ بِدِيَةِ عَمْدٍ بِحَالٍ قَالَ الْمُزَنِيُّ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ قَوْلِهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Ada yang berpendapat bahwa jinayah (tindak pidana) yang dilakukan oleh anak kecil dan orang yang kurang akal, baik sengaja maupun tidak sengaja, ditanggung oleh ‘āqilah (kelompok penanggung diyat), dan ada juga yang berpendapat tidak demikian. Sebab Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa ‘āqilah menanggung diyat karena kesalahan (al-khaṭā’) dalam tiga tahun. Jika kita memutuskan untuk menanggungnya dalam tiga tahun, maka kita telah menyelisihi diyat karena sengaja (‘amd), karena diyat tersebut harus segera dibayarkan. Maka tidak pernah diputuskan atas ‘āqilah untuk menanggung diyat karena sengaja dalam keadaan apa pun. Al-Muzani berkata: Inilah pendapat beliau yang masyhur.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ فلا قود عليهما فيه لعدم تَكْلِيفِهِمَا وَفِيهِ قَوْلَانِ
Al-Mawardi berkata, “Maka tidak ada qishash atas keduanya dalam hal ini karena keduanya belum mukallaf, dan dalam masalah ini terdapat dua pendapat.”
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْخَطَأِ وَإِنْ كَانَ فِي صُورَةِ الْعَمْدِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَنْتَبِهَ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا سَقَطَ فِيهِ الْقَوَدُ بِكُلِّ حَالٍ كَانَ فِي حُكْمِ الْخَطَأِ كَالْخَطَأِ
Salah satunya adalah bahwa atasnya berlaku hukum kesalahan (khathā’) meskipun secara lahiriah tampak sebagai perbuatan sengaja, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Pena (pencatatan dosa) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia bermimpi (baligh), dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang yang tidur sampai ia bangun.” Dan karena setiap perkara yang dalam segala keadaan tidak dikenakan qishāsh, maka hukumnya dianggap sebagai kesalahan, seperti halnya kesalahan itu sendiri.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْعَمْدِ وَإِنْ سَقَطَ فِيهِ الْقَوَدُ لِأَنَّ صِفَةَ الْعَمْدِ مُتَمَيِّزَةٌ فَكَانَ حُكْمُهَا مُتَمَيِّزًا وَلِأَنَّ الصَّبِيَّ قَدْ وَقَعَ الْفَرْقُ فِيهِ بَيْنَ عَمْدِهِ وَنِسْيَانِهِ إِذَا تَكَلَّمَ فِي الصَّلَاةِ وَأَكَلَ فِي الصِّيَامِ وَتَطَيَّبَ فِي الْحَجِّ فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ عَمْدِهِ وَخَطَئِهِ فِي الْقَتْلِ لِأَنَّ كُلَّ مَنْ وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ عَمْدِهِ وَخَطَئِهِ فِي الْعِبَادَاتِ وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي الْجِنَايَاتِ كَالْبَالِغِ الْعَاقِلِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa padanya berlaku hukum sengaja (al-‘amdu), meskipun qishāsh gugur darinya, karena sifat sengaja itu berbeda, maka hukumnya pun berbeda. Selain itu, pada anak kecil telah terjadi pembedaan antara perbuatan sengaja dan lupa, seperti ketika ia berbicara dalam salat, makan saat puasa, dan memakai wewangian ketika haji. Maka wajib pula ada pembedaan antara perbuatan sengaja dan keliru dalam pembunuhan, karena setiap orang yang terdapat pembedaan antara perbuatan sengaja dan keliru dalam ibadah, maka berlaku pula pembedaan antara keduanya dalam jināyah, sebagaimana orang dewasa yang berakal.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا صَحَّ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ قُلْنَا بِالْأَوَّلِ مِنْهُمَا إنَّ عَمْدَهُ كَالْخَطَأِ فَالدِّيَةُ مُخَفَّفَةٌ تَجِبُ عَلَى عَاقِلَتِهِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ لِأَنَّ الْعَاقِلَةَ لَا تَتَحَمَّلُ إِلَّا مُؤَجَّلًا وَإِذَا قِيلَ بِالثَّانِي إنَّ عَمْدَهُ عَمْدٌ وَإِنْ سَقَطَ فِيهِ الْقَوَدُ فَالدِّيَةُ مُغَلَّظَةٌ حَالَّةٌ تَجِبُ فِي مَالِهِ دون عاقلته وَيَسْتَوِي فِي ذَلِكَ الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ وَسَوَاءٌ كَانَ الصبي مميزاً أو غير مميز
Jika kedua pendapat tersebut dapat dibenarkan, maka kami memilih pendapat pertama, yaitu bahwa pembunuhan sengaja yang dilakukan anak kecil atau orang gila diperlakukan seperti pembunuhan karena kesalahan, sehingga diyatnya adalah diyat ringan yang wajib ditanggung oleh ‘āqilah-nya dan dibayarkan dalam tiga tahun, karena ‘āqilah hanya menanggung diyat yang dibayar secara bertahap. Namun jika mengikuti pendapat kedua, yaitu bahwa pembunuhan sengaja oleh anak kecil atau orang gila tetap dianggap sebagai pembunuhan sengaja meskipun qishāsh tidak berlaku padanya, maka diyatnya adalah diyat berat yang harus dibayar tunai dari hartanya sendiri, bukan dari ‘āqilah-nya. Dalam hal ini, anak kecil dan orang gila diperlakukan sama, baik anak kecil tersebut sudah mumayyiz maupun belum.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه ولو صاح برجل فَسَقَطَ عَنْ حَائِطٍ لَمْ أَرَ عَلَيْهِ شَيْئًا وَلَوْ كَانَ صَبِيًّا أَوْ مَعْتُوهًا فَسَقَطَ مِنْ صَيْحَتِهِ ضُمِنَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang berteriak kepada seseorang lalu orang itu jatuh dari tembok, aku tidak melihat ada kewajiban apa pun atasnya. Namun, jika yang jatuh itu adalah anak kecil atau orang yang kurang akal, lalu ia jatuh karena teriakan tersebut, maka wajib mengganti kerugian.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا قَالَ إِذَا وَقَفَ إِنْسَانٌ عَلَى شَفِيرِ بِئْرٍ أَوْ حَافَّةِ نَهْرٍ أَوْ قُلَّةِ جَبَلٍ فَصَاحَ بِهِ صَائِحٌ فَخَرَّ سَاقِطًا وَوَقَعَ مَيِّتًا لَمْ يَخْلُ حال الواقع من أحد أمرين
Al-Mawardi berkata, dan memang sebagaimana yang ia katakan: Jika seseorang berdiri di tepi sumur, atau di pinggir sungai, atau di puncak gunung, lalu seseorang berteriak kepadanya sehingga ia terjatuh dan meninggal dunia, maka keadaan orang yang terjatuh itu tidak lepas dari dua kemungkinan.
أحدهما أَنْ يَكُونَ رَجُلًا قَوِيَّ النَّفْسِ ثَابِتَ الْجَأْشِ ثَابِتَ الْجَنَانِ فَلَا شَيْءَ عَلَى الصَّائِحِ لِأَنَّ صَيْحَتَهُ لَا تُسْقِطُ مِثْلَ هَذَا الْوَاقِعِ فَدَلَّ ذلك على وقوعه من غير صيحته
Pertama, jika seseorang adalah laki-laki yang kuat jiwa, teguh hati, dan mantap keberaniannya, maka tidak ada tanggungan apa pun atas orang yang berteriak, karena teriakannya tidak akan menjatuhkan orang seperti ini dari posisinya. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian itu tetap terjadi meskipun tanpa teriakannya.
والضرب الثَّانِي أَنْ يَكُونَ صَبِيًّا أَوْ مَجْنُونًا أَوْ مَرِيضًا أَوْ مَضْعُوفًا لَا يَثْبُتُ لِمِثْلِ هَذِهِ الصَّيْحَةِ فَالصَّائِحُ ضَامِنٌ لِدِيَتِهِ لِأَنَّ صَيْحَتَهُ تُسْقِطُ مِثْلَهُ مِنَ الْمَضْعُوفِينَ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِعَدَمِ الْمُبَاشَرَةِ لَكِنَّهُ إِنْ عَمَدَ الصَّيْحَةَ كَانَتِ الدِّيَةُ مُغَلَّظَةً وَإِنْ لَمْ يَعْمِدْ كَانَتْ مُخَفَّفَةً
Jenis kedua adalah jika korbannya seorang anak kecil, orang gila, orang sakit, atau orang lemah yang tidak mampu bertahan dari teriakan seperti itu, maka orang yang berteriak wajib menanggung diyatnya, karena teriakannya dapat menjatuhkan orang-orang lemah seperti itu. Namun, tidak ada qishāsh atasnya karena tidak terjadi secara langsung. Akan tetapi, jika ia sengaja berteriak, maka diyatnya menjadi diperberat; dan jika tidak sengaja, maka diyatnya menjadi diringankan.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُضْمَنُ بِهَا الصَّغِيرُ كَمَا لَا يُضْمَنُ بِهَا الْكَبِيرُ الْقَوِيُّ وَهَذَا جَمْعٌ فَاسِدٌ لِأَنَّ الصَّيْحَةَ تُؤَثِّرُ فِي الصَّغِيرِ الْمَضْعُوفِ وَلَا تُؤَثِّرُ فِي الْكَبِيرِ الْقَوِيِّ فَافْتَرَقَا فِي الضَّمَانِ؛ لِأَنَّ الْجِنَايَاتِ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَلَا تَرَى أَنَّ رَجُلًا لَوْ لَطَمَ صَبِيًّا فَمَاتَ ضَمِنَهُ وَلَوْ لَطَمَ رَجُلًا فَمَاتَ لَمْ يَضْمَنْهُ لِأَنَّ الصَّبِيَّ يَمُوتُ بِاللَّطْمَةِ وَالرَّجُلَ لَا يَمُوتُ بِهَا فَلَوِ اغْتَفَلَ إِنْسَانًا وَزَجَرَهُ بِصَيْحَةٍ هَائِلَةٍ فَزَالَ عَقْلُهُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَحَمَلَهُ أَكْثَرُهُمْ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ التَّفْسِيرِ أَنَّهُ يَضْمَنُ بِهَا عَقْلَ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ وَلَا يَضْمَنُ بِهَا عَقْلُ الرَّجُلِ الثَّابِتِ
Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban ganti rugi karena sebab itu pada anak kecil, sebagaimana tidak ada kewajiban ganti rugi karena sebab itu pada orang dewasa yang kuat. Namun, ini adalah qiyās yang rusak, karena teriakan itu berpengaruh pada anak kecil yang lemah dan tidak berpengaruh pada orang dewasa yang kuat, sehingga keduanya berbeda dalam hal tanggungan ganti rugi. Sebab, jināyah (tindak pidana) berbeda-beda tergantung pada siapa korbannya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seseorang menampar seorang anak kecil hingga mati, maka ia wajib menanggungnya, sedangkan jika ia menampar seorang laki-laki dewasa hingga mati, maka ia tidak wajib menanggungnya, karena anak kecil bisa mati karena tamparan, sedangkan laki-laki dewasa tidak mati karenanya. Jika seseorang menakut-nakuti orang lain dan menghardiknya dengan teriakan yang mengerikan hingga hilang akalnya, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang hal itu. Namun, mayoritas dari mereka mengembalikannya pada penjelasan yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu bahwa ia wajib menanggung hilangnya akal anak kecil dan orang gila karena sebab itu, dan tidak wajib menanggung hilangnya akal laki-laki dewasa yang kuat.
وَقَالَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَضَمَنُ بِهَا عَقْلَ الْفَرِيقَيْنِ مَعًا بِخِلَافِ الْوُقُوعِ لِأَنَّ فِي الْوُقُوعِ فِعْلًا لِلْوَاقِعِ فَجَازَ أَنْ يَنْسُبَ الْوُقُوعَ إِلَيْهِ وَلَيْسَ فِي زَوَالِ الْعَقْلِ فِعْلٌ مِنَ الزَّائِلِ الْعَقْلَ فَلَمْ يُنْسَبْ زَوَالُهُ إِلَّا إِلَى الصَّائِحِ الْمُذْعِرِ وَلَوْ قَذَفَ رَجُلٌ امْرَأَةً بِالزِّنَا فَمَاتَتْ لَمْ يَضْمَنْهَا وَلَوْ أَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا ضَمِنَهُ لِأَنَّ الْجَنِينَ يُلْقَى مِنْ ذُعْرِ الْقَذْفِ وَالْمَرْأَةَ لَا تَمُوتُ مِنْهُ قَدْ أَرْسَلَ عُمَرُ إِلَى امْرَأَةٍ قُذِفَتْ عِنْدَهُ رَسُولًا فَأَرْهَبُهَا فَأَجْهَضَتْ مَا فِي ذَاتِ بَطْنِهَا فَحَمَّلَ عُمَرُ عَاقِلَةَ نَفْسِهِ دِيَةَ جَنِينِهَا
Ibnu Abi Hurairah berkata, “Dalam kasus ini, ia wajib menanggung diyat dari kedua kelompok sekaligus, berbeda dengan kasus jatuh, karena dalam jatuh terdapat perbuatan dari orang yang jatuh sehingga jatuh itu bisa dinisbatkan kepadanya. Sedangkan dalam hilangnya akal, tidak ada perbuatan dari orang yang akalnya hilang, sehingga hilangnya akal itu hanya dinisbatkan kepada orang yang berteriak dan menakut-nakuti. Jika seorang laki-laki menuduh seorang wanita berzina lalu wanita itu meninggal, ia tidak menanggung diyatnya. Namun jika wanita itu melahirkan janin dalam keadaan mati, ia wajib menanggung diyat janin tersebut, karena janin bisa gugur akibat ketakutan dari tuduhan zina, sedangkan wanita tidak mati karenanya. Umar pernah mengirim utusan kepada seorang wanita yang dituduh zina, lalu utusan itu menakut-nakutinya sehingga ia mengalami keguguran, maka Umar membebankan diyat janinnya kepada ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) dari dirinya sendiri.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ طَلَبَ رَجُلًا بِسَيْفٍ فَأَلْقَى بِنَفْسِهِ عَنْ ظَهْرِ بَيْتٍ فَمَاتَ لَمْ يَضْمَنْ وَإِنْ كَانَ أَعْمَى فَوَقَعَ فِي حُفْرَةٍ ضَمِنَتْ عَاقِلَةُ الطَّالِبِ دِيَتَهُ لِأَنَّهُ اضْطَرَّهُ إِلَى ذَلِكَ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي رَجُلٍ شَهَرَ سَيْفًا وَطَلَبَ بِهِ إِنْسَانًا فَهَرَبَ مِنْهُ الْمَطْلُوبُ حَتَّى أَلْقَى نَفْسَهُ مِنْ سَطْحٍ أَوْ جَبَلٍ أَوْ فِي بَحْرٍ أَوْ نَارٍ حَتَّى هَلَكَ فَتَنْقَسِمُ حَالُ الْهَارِبِ الْمَطْلُوبِ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang dikejar oleh orang lain dengan pedang, lalu ia melemparkan dirinya dari atas rumah hingga meninggal, maka si pengejar tidak menanggung diyat. Namun, jika yang dikejar itu buta lalu terjatuh ke dalam lubang, maka ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) dari si pengejar wajib membayar diyatnya, karena ia telah memaksanya untuk melakukan hal itu.” Al-Māwardī berkata: “Gambaran kasusnya adalah seseorang menghunus pedang dan mengejar orang lain, lalu orang yang dikejar itu melarikan diri hingga melemparkan dirinya dari atap, gunung, ke laut, atau ke dalam api hingga ia binasa. Maka keadaan orang yang melarikan diri ini terbagi menjadi tiga bagian.”
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ بَالِغًا عَاقِلًا بَصِيرًا فَلَا ضَمَانَ عَلَى طَالِبِهِ مِنْ قَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ لِأَمْرَيْنِ
Salah satunya adalah bahwa ia harus baligh, berakal, dan dapat melihat, sehingga tidak ada tanggungan atas penuntutnya berupa qishāsh maupun diyat karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الطَّلَبَ سَبَبٌ وَالْإِلْقَاءَ مُبَاشَرَةٌ وَإِذَا اجْتَمَعَا سَقَطَ حُكْمُ السَّبَبِ بِالْمُبَاشَرَةِ
Salah satunya adalah bahwa permintaan merupakan sebab, sedangkan pelaksanaan langsung adalah tindakan langsung. Jika keduanya berkumpul, maka hukum sebab gugur karena adanya tindakan langsung.
وَالثَّانِي أَنَّهُ وَإِنْ أَلْجَأَهُ بِالطَّلَبِ إِلَى الْهَرَبِ فَلَمْ يُلْجِئْهُ إِلَى الْوُقُوعِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ أَدْرَكَهُ جَازَ أَنْ يَجِيءَ عَلَيْهِ وَجَازَ أَنْ يَكُفَّ عَنْهُ فَصَارَ مُلْقِي نَفْسِهِ هُوَ قَاتِلُهَا دُونَ طَالِبِهِ لِأَنَّهُ قَدْ عَجَّلَ إِتْلَافَ نَفْسِهِ بَدَلًا مِمَّا يَجُوزُ أَنْ لَا يُتْلَفَ بِهِ فَصَارَ كَالْمَجْرُوحِ إِذَا ذَبَحَ نَفْسَهُ
Kedua, meskipun ia terpaksa melarikan diri karena dikejar, namun ia tidak dipaksa untuk jatuh (ke dalam kebinasaan); sebab jika si pengejar berhasil menangkapnya, bisa jadi ia akan membunuhnya dan bisa jadi juga ia akan membiarkannya. Maka, orang yang melemparkan dirinya sendiri itulah yang membunuh dirinya sendiri, bukan pengejarnya, karena ia telah mempercepat kehancuran dirinya sebagai pengganti dari sesuatu yang mungkin saja tidak membinasakannya. Keadaannya seperti orang yang terluka lalu menyembelih dirinya sendiri.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْمَطْلُوبُ أَعْمَى فَيَهْرَبُ مِنَ الطَّالِبِ حَتَّى يَتَرَدَّى مِنْ سَطْحٍ أَوْ جَبَلٍ أَوْ يَقَعُ فِي بِئْرٍ أَوْ بَحْرٍ فَإِنْ أُعْلِمَ بِالسَّطْحِ وَالْجَبَلِ وَالْبِئْرِ وَالْبَحْرِ فَأَلْقَى نَفْسَهُ بَعْدَ عِلْمِهِ كَانَتْ نَفْسُهُ هَدَرًا كَالْبَصِيرِ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ بِذَلِكَ حَتَّى وَقَعَ فَمَاتَ فَعَلَى طَالِبِهِ الدِّيَةُ دُونَ الْقَوَدِ لِأَنَّهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُبَاشِرًا لِإِلْقَائِهِ فَقَدْ أَلْجَأَهُ إِلَيْهِ وَالْمُلْجِئُ إِلَى الْقَتْلِ ضَامِنٌ كَالْقَاتِلِ أَلَا تَرَى أَنَّ الشُّهُودَ إِذَا شَهِدُوا عِنْدَ الْحَاكِمِ عَلَى رَجُلٍ بِمَا يُوجِبُ الْقَتْلَ فَقَتَلَهُ ثُمَّ بَانَ أَنَّهُمْ شَهِدُوا بِزُورٍ ضَمِنُوهُ دُونَ الْحَاكِمِ؛ لأنهم ألجؤوه إِلَى قَتْلِهِ فَتَعَلَّقَ الْحُكْمُ بِالْمُلْجِئِ دُونَ الْمُبَاشِرِ
Bagian kedua adalah apabila orang yang dicari itu buta, lalu ia melarikan diri dari orang yang mengejarnya hingga ia terjatuh dari atap atau gunung, atau jatuh ke dalam sumur atau laut. Jika ia telah diberi tahu tentang adanya atap, gunung, sumur, dan laut tersebut, lalu ia menjatuhkan dirinya setelah mengetahui hal itu, maka jiwanya menjadi sia-sia seperti orang yang dapat melihat. Namun, jika ia tidak mengetahui hal itu hingga ia terjatuh dan meninggal, maka atas penuntutnya dikenakan diyat, bukan qishāsh, karena meskipun ia tidak secara langsung menyebabkan terjatuhnya, ia telah memaksanya untuk melakukan itu, dan orang yang memaksa kepada pembunuhan adalah penjamin seperti pembunuh. Tidakkah engkau melihat bahwa para saksi, jika mereka bersaksi di hadapan hakim terhadap seseorang dengan sesuatu yang mewajibkan hukuman mati, lalu hakim membunuhnya, kemudian ternyata mereka bersaksi dusta, maka merekalah yang menanggungnya, bukan hakim; karena merekalah yang memaksanya untuk membunuh, sehingga hukum itu terkait dengan yang memaksa, bukan yang melaksanakan secara langsung.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْمَطْلُوبُ صَبِيًّا أَوْ مَجْنُونًا فَفِي ضَمَانِ دِيَتِهِمَا عَلَى الطَّالِبِ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي قَصْدِهِمَا لِلْقَتْلِ هَلْ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْعَمْدِ أَمْ لَا
Bagian ketiga adalah apabila orang yang dicari adalah seorang anak kecil atau orang gila, maka dalam penjaminan diyat mereka berdua atas penuntut terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang maksud mereka untuk membunuh: apakah berlaku atas mereka hukum pembunuhan sengaja (‘amdan) atau tidak.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَضْمَنُ دِيَتَهُمَا إِذَا قِيلَ إِنَّهُ لَا يَجْرِي عَلَى قَصْدِهِمَا لِلْقَتْلِ حُكْمُ الْعَمْدِ
Salah satunya adalah bahwa ia wajib menanggung diyat keduanya jika dikatakan bahwa atas maksud keduanya untuk membunuh tidak berlaku hukum ‘amdu.
وَالثَّانِي لَا يَضْمَنُ دِيَتَهُمَا إِذَا قِيلَ إِنَّهُ يَجْرِي عَلَى قَصْدِهِمَا لِلْقَتْلِ حُكْمُ الْعَمْدِ
Dan yang kedua, ia tidak menanggung diyat keduanya jika dikatakan bahwa atas maksud keduanya untuk membunuh berlaku hukum al-‘amd.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ عَرَضَ لَهُ فِي طَلَبِهِ سَبُعٌ فَأَكَلَهُ لَمْ يَضْمَنْ لِأَنَّ الْجَانِيَ غَيْرُهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika dalam pencariannya (hewan buruan), tiba-tiba muncul seekor singa lalu memakannya, maka ia tidak wajib mengganti, karena pelakunya (yang merusak) adalah selain dia.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ يَحْتَاجُ إِلَى تَفْصِيلٍ فَإِذَا اعْتَرَضَ الْهَارِبَ الْمَطْلُوبَ سَبْعٌ فَافْتَرَسَهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, namun membutuhkan perincian. Jika seekor binatang buas menghadang orang yang melarikan diri yang sedang dicari, lalu menerkamnya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.”
أَحَدُهُمَا أَنْ يُلْجِئَهُ الطَّالِبُ إِلَى مَوْضِعِ السَّبُعِ فَيَضْمَنَهُ بِالدِّيَةِ كَمَا لَوْ أَلْقَاهُ عَلَيْهِ
Salah satunya adalah apabila si penuntut memaksa seseorang ke tempat binatang buas, maka ia wajib menanggung diyat, sebagaimana jika ia melemparkannya kepada binatang tersebut.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يُلْجِئَهُ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا هَرَبَ فِي صَحْرَاءَ وَافَقَ سَبُعًا مُعْتَرِضًا فِيهَا فَافْتَرَسَهُ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الطَّالِبِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَطْلُوبُ بَصِيرًا أَوْ ضَرِيرًا صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا لِأَنَّهُ غَيْرُ مُبَاشِرٍ وَلَا مُلْجِئٍ
Jenis yang kedua adalah apabila ia tidak memaksanya untuk melarikan diri, melainkan orang itu melarikan diri ke padang pasir lalu bertemu dengan binatang buas yang menghadangnya di sana, kemudian binatang itu menerkamnya. Maka tidak ada kewajiban ganti rugi atas orang yang mengejar, baik orang yang dikejar itu melihat ataupun buta, masih kecil ataupun sudah dewasa, karena ia (si pengejar) tidak secara langsung menyebabkan dan tidak pula memaksa.
فَإِنْ قِيلَ فَلَوْ أَلْقَاهُ فِي بَحْرٍ فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ ضَمِنَهُ فَهَلَّا قُلْتُمْ إِذَا اعْتَرَضَهُ السَّبُعُ ضَمِنَهُ
Jika dikatakan, “Lalu bagaimana jika ia melemparkannya ke laut lalu ikan besar menelannya, apakah ia wajib menggantinya?” Maka mengapa kalian tidak mengatakan, “Jika binatang buas menerkamnya, ia juga wajib menggantinya?”
قِيلَ لِأَنَّهُ بِإِلْقَائِهِ فِي الْبَحْرِ مُبَاشِرٌ فَجَازَ أَنْ يَضْمَنَ مَا حَدَثَ بِإِلْقَائِهِ لِأَنَّهُ صَارَ مُلْجِئًا وَفِي الْهَرَبِ مِنْهُ غَيْرُ مُبَاشِرٍ فَلَمْ يَضْمَنْ مَا حَدَثَ بِالْهَرَبِ إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ إِلْجَاءٌ وَلَوِ انْخَسَفَ مِنْ تَحْتِ الْهَارِبِ سَقْفٌ فَخَرَّ مِنْهُ مَيِّتًا فَفِي ضَمَانِ الطَّالِبِ لَهُ وَجْهَانِ
Dikatakan bahwa karena dengan melemparkannya ke laut, ia melakukan secara langsung, maka boleh jadi ia bertanggung jawab atas apa yang terjadi akibat perbuatannya itu, karena ia telah memaksa. Sedangkan dalam kasus melarikan diri darinya, ia tidak melakukan secara langsung, sehingga ia tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi akibat pelarian itu jika tidak disertai dengan paksaan. Jika atap runtuh di bawah orang yang melarikan diri lalu ia jatuh dan mati karenanya, maka dalam hal tanggung jawab orang yang mengejarnya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا يَضْمَنُهُ كَالسَّبُعِ إِذَا اعْتَرَضَهُ
Salah satunya tidak wajib menggantinya, seperti binatang buas jika menyerangnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ يَضْمَنُهُ لِأَنَّهُ مُلْجِئٌ إِلَى مَا لَا يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, menyatakan bahwa ia wajib menanggungnya karena hal itu memaksa kepada sesuatu yang tidak mungkin dihindari.
فَصْلٌ
Bagian
وَلَوْ رَمَاهُ مِنْ شَاهِقٍ فَاسْتَقْبَلَهُ آخَرُ بِسَيْفِهِ مِنْ تَحْتِهِ فَقَدَّهُ نِصْفَيْنِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Dan jika seseorang melemparkannya dari tempat yang tinggi, lalu orang lain menyambutnya dari bawah dengan pedangnya hingga membelahnya menjadi dua, maka kasus ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الشَّاهِقُ مِمَّا يَجُوزُ أَنْ يَسْلَمَ الْوَاقِعُ مِنْهُ فَضَمَانُهُ على القاطع دون الملقي؛ لأن القاطع موح وَالْمُلْقِيَ جَارِحٌ
Salah satunya adalah jika tempat yang tinggi itu memungkinkan seseorang yang jatuh darinya dapat selamat, maka tanggung jawabnya ada pada orang yang memotong (tali), bukan pada orang yang melempar; karena orang yang memotong adalah muḥī (penyebab langsung), sedangkan orang yang melempar adalah jāriḥ (pelaku cedera).
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الشَّاهِقُ مِمَّا لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْلَمَ الْوَاقِعُ مِنْهُ فَفِي ضَمَانِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ
Jenis kedua adalah jika tempat yang tinggi tersebut termasuk yang tidak mungkin seseorang yang jatuh darinya akan selamat, maka dalam hal jaminannya terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا عَلَى الْمُلْقِي ضَمَانُهُ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِإِلْقَائِهِ كَالْمُوجِي فَيَضْمَنُهُ بِالْقَوَدِ لِمُبَاشَرَتِهِ
Salah satunya adalah atas orang yang melempar, ia wajib menanggung (tanggung jawab) karena dengan melemparnya itu ia menjadi seperti pelaku langsung, sehingga ia wajib menanggungnya dengan qawad karena keterlibatan langsungnya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ ضَمَانَهُ بِالْقَوَدِ أَوِ الدِّيَةِ عَلَى الْقَاطِعِ دُونَ الْمُلْقِي لِأَنَّهُ قد سبقه إلى مباشرة موحيه
Pendapat kedua adalah bahwa tanggung jawab berupa qawad atau diyat dibebankan kepada pelaku pemotongan, bukan kepada orang yang melempar, karena pelaku pemotongan telah lebih dahulu melakukan tindakan langsung yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهُمَا يَضْمَنَانِهِ جَمِيعًا بِالْقَوَدِ أَوِ الدية لأنهما قد صارا كالشريكين في توحيته والله أعلم
Pendapat ketiga adalah bahwa keduanya wajib menanggung seluruhnya, baik dengan qawad maupun diyat, karena keduanya telah menjadi seperti dua orang yang berserikat dalam pembunuhan tersebut. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَيُقَالُ لِسَيِّدِ أُمِّ الْوَلَدِ إِذَا جَنَتْ أَفْدِهَا بِالْأَقَلِّ مِنْ قِيمَتِهَا أَوْ جِنَايَتِهَا ثَمَّ هَكَذَا كُلَّمَا جَنَتْ قَالَ الْمُزَنِيُّ هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ مِنْ أَحَدِ قَوْلَيْهِ وَهُوَ أَنَّ السَّيِّدَ إِذَا غَرِمَ قِيمَتَهَا ثُمَّ جَنَتْ شَرَكَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ الثاني المجني عليه الأول قال المزني فهذا عندي ليس بشيء لأن المجني عليه الأول قد ملك الأرش بالجناية فكيف تجني أمة غيره ويكون بعض الغرم عليه
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Kepada tuan dari umm al-walad, jika ia (umm al-walad) melakukan tindak pidana, maka tebuslah dengan nilai yang lebih rendah antara harga dirinya atau besarnya tindak pidananya. Demikianlah setiap kali ia melakukan tindak pidana.” Al-Muzani berkata: “Pendapat ini lebih utama menurut beliau daripada salah satu dari dua pendapatnya, yaitu bahwa jika tuan telah membayar harga dirinya, kemudian ia melakukan tindak pidana lagi, maka korban kedua menjadi sekutu korban pertama.” Al-Muzani berkata: “Menurut saya, ini tidak benar, karena korban pertama telah memiliki kompensasi (arsh) akibat tindak pidana tersebut, lalu bagaimana mungkin budak milik orang lain melakukan tindak pidana dan sebagian kerugiannya ditanggung oleh korban pertama?”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا جَنَتْ أُمُّ الْوَلَدِ وَجَبَ عَلَى سَيِّدِهَا أَنْ يَفْدِيَهَا وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ إِلَّا أَنَّ أَبَا ثَوْرٍ وَدَاوُدَ شَذا عَنِ الْجَمَاعَةِ وَأَوْجَبَا أَرْشَ جِنَايَتِهَا فِي ذِمَّتِهَا تُؤَدِّيهِ بَعْدَ عِتْقِهَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى فاطر 18 وَلِأَنَّهَا إِنْ جَرَتْ مَجْرَى الْإِمَاءِ لَمْ يَلْزَمِ السَّيِّدَ الْفِدَاءُ وَإِنْ جَرَتْ مَجْرَى الْأَحْرَارِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَلْزَمَهُ فَلَمَّا حَرُمَ بَيْعُهَا صَارَتْ كَالْأَحْرَارِ فِي تَعَلُّقِ الْجِنَايَةِ بِذِمَّتِهَا وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ مَنْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الرِّقِّ تَعَلَّقَتْ جِنَايَتُهُ بِرَقَبَتِهِ وَأُمُّ الْوَلَدِ قَدْ حَرُمَ بَيْعُهَا بِسَبَبٍ مِنْ جِهَتِهِ فَصَارَ كَمَنْعِهِ مِنْ بَيْعِ عَبْدِهِ وَأَمَتِهِ يَصِيرُ بِالْمَنْعِ ضَامِنًا لِجِنَايَتِهِ وَكَذَلِكَ الْمَنْعُ مِنْ بَيْعِ أُمِّ الْوَلَدِ وَلِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُسْتَهْلِكًا لِثَمَنِهَا بِالْإِيلَاءِ كَمَا يَصِيرُ مُسْتَهْلِكًا لِثَمَنِ عَبْدِهِ بِالْقَتْلِ وَلَوْ قَتَلَ عَبْدَهُ بَعْدَ جِنَايَتِهِ ضَمِنَهَا كَذَلِكَ إِذَا جَنَتْ أَمَتُهُ بَعْدَ إِيلَادِهَا ضَمِنَ جِنَايَتِهَا وَفِي هَذَا انْفِصَالٌ
Al-Mawardi berkata: Jika umm al-walad melakukan tindak pidana, maka wajib bagi tuannya untuk membayar diyat sebagai tebusan baginya, dan ini adalah pendapat jumhur, kecuali Abu Tsaur dan Dawud yang berbeda dari jamaah dan mewajibkan diyat tindak pidananya menjadi tanggungan umm al-walad itu sendiri, yang dibayarkan setelah ia merdeka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Fathir: 18). Mereka juga beralasan, jika umm al-walad diperlakukan seperti budak perempuan biasa, maka tidak wajib bagi tuannya membayar tebusan; dan jika diperlakukan seperti orang merdeka, maka lebih utama lagi tidak wajib baginya. Maka, ketika penjualan umm al-walad diharamkan, ia menjadi seperti orang merdeka dalam hal tanggungan tindak pidana pada dirinya. Namun, ini adalah kekeliruan; karena siapa pun yang masih berlaku hukum perbudakan atasnya, maka tindak pidananya tetap menjadi tanggungan dirinya (bukan dirinya secara pribadi, tetapi pada status budaknya). Umm al-walad diharamkan penjualannya karena sebab yang berasal dari tuannya, sehingga keadaannya seperti tuan yang melarang penjualan budak laki-laki atau perempuannya, maka dengan larangan itu ia menjadi penanggung atas tindak pidananya. Demikian pula larangan penjualan umm al-walad. Selain itu, tuan telah dianggap mengonsumsi harga umm al-walad dengan sebab hubungan suami-istri, sebagaimana ia dianggap mengonsumsi harga budaknya karena membunuhnya. Jika ia membunuh budaknya setelah budak itu melakukan tindak pidana, maka ia wajib menanggung diyatnya. Demikian pula jika budak perempuannya melakukan tindak pidana setelah melahirkan (menjadi umm al-walad), maka tuannya wajib menanggung diyat tindak pidananya. Dalam hal ini terdapat penjelasan lebih lanjut.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ ضَمَانِ السَّيِّدِ لِجِنَايَتِهَا فَإِنْ كَانَتْ عَمْدًا اقْتَصَّ مِنْهَا لِتَعَلُّقِ الْقِصَاصِ بِبَدَنِهَا وَإِنْ كَانَتْ خَطَأً أَوْ عَمْدًا عُفِي عَنِ الْقِصَاصِ فِيهِ فَعَلَى السَّيِّدِ أَنْ يَفْدِيَهَا بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهَا أَوْ أَرْشِ جِنَايَتِهِ فَإِنْ كَانَ أَرْشُ جِنَايَتِهَا أَقَلَّ ضَمِنَ أَرْشَ الْجِنَايَةِ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَكْثَرَ مِنْهَا وَإِنْ كَانَ أَرْشُ جِنَايَتِهَا أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهَا لَمْ يَضْمَنْ إِلَّا قَدْرَ قِيمَتِهَا لِأَنَّهُ يَمْنَعُ الْإِيلَادَ كَالْمُسْتَهْلِكِ لَهَا فَلَا يَلْزَمُهُ أَكْثَرُ مِنَ الْقِيمَةِ كَمَا لَوْ قَتَلَ عَبْدَهُ بَعْدَ جِنَايَتِهِ لَمْ يَضْمَنْ إِلَّا قَدْرَ قِيمَتِهِ
Apabila telah ditetapkan sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang tanggungan tuan atas tindak pidana (jinayah) yang dilakukan oleh budaknya, maka jika tindak pidana itu dilakukan dengan sengaja, maka qishash diterapkan padanya karena qishash berkaitan dengan tubuhnya. Namun jika tindak pidana itu dilakukan karena kelalaian atau disengaja tetapi telah dimaafkan dari qishash, maka tuan wajib menebusnya dengan yang lebih sedikit antara nilai budak tersebut atau diyat (ganti rugi) atas tindak pidananya. Jika diyat atas tindak pidananya lebih sedikit, maka tuan menanggung diyat tersebut, karena korban tidak berhak mendapatkan lebih dari itu. Namun jika diyat atas tindak pidananya lebih besar dari nilai budaknya, maka tuan hanya menanggung sebesar nilai budaknya, karena ia mencegah terjadinya kerugian seperti orang yang telah menghabiskan budaknya, sehingga ia tidak wajib menanggung lebih dari nilai budaknya, sebagaimana jika seseorang membunuh budaknya setelah melakukan tindak pidana, maka ia hanya menanggung sebesar nilai budaknya.
فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ لَوْ مَنَعَ مِنْ بَيْعِ عَبْدِهِ الْجَانِي ضَمِنَ جَمِيعَ الْجِنَايَةِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فَهَلَّا كَانَ فِي أُمِّ الْوَلَدِ كَذَلِكَ
Jika dikatakan, “Bukankah jika seseorang melarang penjualan budak laki-lakinya yang melakukan tindak pidana, maka ia wajib menanggung seluruh kerugian akibat tindak pidana tersebut menurut salah satu pendapat? Mengapa hal itu tidak berlaku pula pada umm al-walad?”
قِيلَ لِأَنَّهُ فِي الْمَنْعِ مِنْ بَيْعِ الْعَبْدِ مُفَوِّتٌ لِرَغْبَةِ رَاغِبٍ يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ لَوْ مَكَّنَ مِنْ بَيْعِهِ فَجَازَ أَنْ يَضْمَنَ جَمِيعَ جِنَايَتِهِ وَلَيْسَتْ أُمُّ الْوَلَدِ بِمَثَابَتِهِ لِعَدَمِ هَذِهِ الرَّغْبَةِ الَّتِي لَا يَجُوزُ الْإِجَابَةُ إِلَيْهَا فَافْتَرَقَا
Dikatakan bahwa larangan menjual budak dapat menghilangkan keinginan seseorang yang mungkin bersedia membelinya dengan harga lebih tinggi dari nilainya jika penjualannya diperbolehkan, sehingga memungkinkan untuk menanggung seluruh tanggungan akibat perbuatannya. Adapun umm al-walad tidaklah sama kedudukannya, karena tidak adanya keinginan seperti itu yang tidak boleh dipenuhi, maka keduanya berbeda.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا غَرِمَ فِي جِنَايَتِهَا أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ ثُمَّ جَنَتْ بَعْدَهُ عَلَى آخَرَ نُظِرَ فِيمَا غَرِمَهُ السَّيِّدُ لِلْأَوَّلِ مِنْ أَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ فَإِنْ كَانَ هُوَ أَرْشَ الْجِنَايَةِ لِأَنَّ قِيمَتَهَا أَلْفٌ وَأَرْشُ جِنَايَتِهَا خَمْسُمِائَةٍ لَزِمَ السَّيِّدَ أَنْ يَغْرَمَ لِلثَّانِي أَرْشَ جِنَايَتِهِ إِذَا كَانَ بِقَدْرِ الْبَاقِي مِنْ قِيمَتِهَا وَهُوَ أَنْ يَكُونَ أَرْشُهَا خَمْسَمِائَةٍ فَمَا دُونَ وَإِنْ كَانَ مَا غَرِمَهُ لِلْأَوَّلِ مِنْ أَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ هُوَ جَمِيعُ قِيمَتِهَا وَهِيَ أَلْفٌ فَإِذَا جَنَتْ عَلَى الثَّانِي فَفِيهَا قَوْلَانِ
Jika tuannya telah membayar ganti rugi atas jinayah (tindak pidana) yang dilakukan budaknya dengan jumlah yang lebih kecil dari dua kemungkinan, kemudian budak tersebut melakukan jinayah lagi terhadap orang lain, maka dilihat terlebih dahulu apa yang telah dibayarkan tuan kepada korban pertama dari dua kemungkinan yang lebih kecil itu. Jika yang dibayarkan adalah diyat jinayah karena nilai budak tersebut seribu dan diyat jinayahnya lima ratus, maka tuan wajib membayar kepada korban kedua diyat jinayahnya jika masih sebanding dengan sisa nilai budak tersebut, yaitu jika diyatnya lima ratus atau kurang. Namun, jika yang dibayarkan kepada korban pertama dari dua kemungkinan yang lebih kecil itu adalah seluruh nilai budak, yaitu seribu, maka jika budak tersebut melakukan jinayah terhadap korban kedua, terdapat dua pendapat dalam masalah ini.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ يَضْمَنُهَا كَضَمَانِ الْأَوَّلِ بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهَا أَوْ أَرْشِ جِنَايَتِهَا وَيَعْلَمُ لِلْأَوَّلِ مَا أَخَذَهُ مِنْ أَرْشِ الْجِنَايَةِ عَلَيْهِ لِأَمْرَيْنِ
Salah satunya, yaitu pendapat yang dipilih oleh al-Muzani, adalah bahwa ia menanggungnya seperti penjaminan yang pertama, dengan nilai yang paling rendah di antara dua hal: nilai barang tersebut atau diyat atas luka/cacatnya. Dan diketahui bagi pihak pertama apa yang telah diambilnya dari diyat atas luka/cacat yang terjadi padanya, karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهَا قَدْ عَادَتْ بَعْدَ الْفِدَاءِ إِلَى مَعْنَاهَا الْأَوَّلِ فَوَجَبَ أَنْ يَضْمَنَهَا كضمانه لِلْأَوَّلِ كَمَا لَوْ غَرِمَ قِيمَةَ عَبْدِهِ فِي جِنَايَتِهِ لِلْمَنْعِ مِنْ بَيْعِهِ ثُمَّ جَنَى ثَانِيَةً فَمَنَعَ مِنْ بَيْعِهِ غَرِمَ قِيمَتَهُ ثَانِيَةً
Salah satu alasannya adalah bahwa setelah fidā’, ia kembali kepada makna asalnya, sehingga wajib baginya untuk menanggungnya seperti tanggung jawabnya terhadap yang pertama. Hal ini seperti jika seseorang membayar nilai budaknya karena tindak pidananya untuk mencegah penjualannya, kemudian budak itu melakukan tindak pidana lagi sehingga penjualannya dicegah, maka ia harus membayar nilainya lagi untuk kedua kalinya.
وَالثَّانِي أَنَّ الْأَوَّلَ قَدْ مَلَكَ أَرْشَ جِنَايَتِهِ وَالْجَانِي عَلَى الثَّانِي غَيْرِهِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَضْمَنَ جِنَايَةَ غَيْرِهِ وَلَيْسَ بِجَانٍ وَلَا مِنْ عَاقِلَةِ الْجَانِي فَعَلَى هَذَا يَضْمَنُهَا السَّيِّدُ فِي كُلِّ جِنَايَةٍ تَجَدَّدَتْ مِنْهَا وَلَوْ كَانَتْ مِائَةَ جِنَايَةٍ بِأَقَلِّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهَا أَوْ أَرْشِ جِنَايَتِهَا
Yang kedua, bahwa orang pertama telah memiliki kompensasi atas luka yang ditimbulkan olehnya, dan pelaku kejahatan terhadap orang kedua adalah orang lain, maka tidak wajib baginya untuk menanggung kejahatan orang lain, karena ia bukan pelaku kejahatan dan juga bukan dari ‘āqilah pelaku kejahatan. Berdasarkan hal ini, maka tuan (pemilik) wajib menanggungnya pada setiap kejahatan baru yang dilakukan oleh budak tersebut, meskipun kejahatannya seratus kali, dengan nilai yang lebih kecil di antara dua hal: harga budak tersebut atau kompensasi atas kejahatannya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّ السَّيِّدَ لَا يَلْزَمُهُ ضَمَانُ الْجِنَايَةِ الثَّانِيَةِ وَيَرْجِعُ الثَّانِي عَلَى الْأَوَّلِ فَيُشَارِكُهُ فِي الْقِيمَةِ وَإِنَّمَا كَانَ هَكَذَا لِأَمْرَيْنِ
Pendapat kedua, yaitu mazhab Abu Hanifah, menyatakan bahwa tuan tidak wajib menanggung jaminan atas tindak pidana kedua, dan pihak kedua dapat menuntut pihak pertama sehingga keduanya berbagi dalam nilai (ganti rugi). Hal ini demikian karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ بِالْإِيلَادِ مُسْتَهْلِكٌ وَالْمُسْتَهْلِكُ لَا يَلْزَمُهُ أَكْثَرُ مِنْ قِيمَةٍ وَاحِدَةٍ
Salah satunya adalah bahwa dengan melakukan ilād, ia menjadi mustahlik, dan mustahlik tidak wajib membayar lebih dari satu nilai.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَلْزَمْهُ إِذَا تَقَدَّمَتِ الْجِنَايَةُ عَلَى الْغُرْمِ أَكْثَرَ مِنْ قِيَمْتِهَا كَذَلِكَ لَا يَلْزَمُهُ فِيمَا حَدَثَ بَعْدَ غُرْمِهِ أَكْثَرُ مِنْ قِيمَتِهَا وَقَدْ غَرِمَهَا وَخَالَفَ الْمَانِعَ مِنْ بَيْعِ غَيْرِهِ لِأَنَّ أُمَّ الْوَلَدِ مُسْتَهْلَكَةٌ وَالْمَمْنُوعَ مِنْ بَيْعِهِ غَيْرُ مُسْتَهْلَكٍ وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَرْجِعَ الثَّانِي عَلَى الْأَوَّلِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ جانباً وَلَا عَاقِلَةً كَمَا لَوْ مَاتَ رَجُلٌ فِي بئر تعدى حفره ضُمِنَ فِي تَرِكَتِهِ فَأُتْلِفَ فِيهَا بَعْدَ مَوْتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْوَرَثَةُ جُنَاةً وَلَا عَاقِلَةً فلو كانت قيمة ما تلف فيها ألف وجميع التركة ألف فَاسْتَوْعَبَهَا الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ ثُمَّ تَلِفَ فِيهَا مَا قِيمَتُهُ أَلْفٌ ثَانِيَةٌ رَجَعَ الثَّانِي عَلَى الْأَوَّلِ فَشَارَكَهُ فِي الْأَلْفِ الَّتِي أَخَذَهَا وَإِنْ لَمْ يكن جانباً وَلَا عَاقِلَةً كَذَلِكَ فِي جِنَايَةِ أُمِّ الْوَلَدِ فَعَلَى هَذَا لَوْ غَرِمَ قِيمَتَهَا لِلْأَوَّلِ وَهِيَ أَلْفٌ ثُمَّ جَنَتْ ثَانِيَةً بَعْدَ الْأَوَّلِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْجِنَايَتَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ أَحَدُهَا أَنْ يَتَسَاوَيَا فِي أَرْشِهَا فَيَكُونُ أَرْشُ الْأُولَى أَلْفًا وَأَرْشُ الثَّانِيَةِ أَلْفًا فَيَرْجِعُ الثَّانِي عَلَى الْأَوَّلِ بِنِصْفِ الْأَلْفِ وَيَتَسَاوَيَانِ فِيهَا لِتَسَاوِي جِنَايَتِهِمَا
Kedua, karena ketika tindak pidana (jināyah) terjadi sebelum kewajiban membayar ganti rugi (ghurm), tidak diwajibkan membayar lebih dari nilai barang tersebut, maka demikian pula tidak diwajibkan membayar atas apa yang terjadi setelah kewajiban membayar ganti rugi melebihi nilai barang itu, padahal ia telah menanggungnya. Ini berbeda dengan pendapat yang melarang menjual barang milik orang lain, karena umm al-walad adalah barang yang telah habis (mustahlakah), sedangkan barang yang dilarang untuk dijual bukanlah barang yang telah habis. Tidak mustahil orang kedua menuntut ganti rugi kepada orang pertama, meskipun ia bukan pihak yang menyebabkan atau bukan ‘āqilah, sebagaimana jika seseorang meninggal di dalam sumur yang digali secara melampaui batas, maka ganti rugi diambil dari harta peninggalannya, lalu terjadi kerusakan di dalamnya setelah kematiannya, meskipun ahli warisnya bukan pelaku jināyah dan bukan pula ‘āqilah. Jika nilai kerusakan di dalamnya seribu dan seluruh harta warisan juga seribu, maka pihak yang dirugikan mengambil seluruhnya, kemudian jika terjadi kerusakan lagi di dalamnya senilai seribu yang kedua, maka pihak kedua menuntut kepada pihak pertama dan berbagi dalam seribu yang telah diambilnya, meskipun ia bukan pihak yang menyebabkan atau bukan ‘āqilah. Demikian pula dalam kasus jināyah umm al-walad. Berdasarkan hal ini, jika ia telah membayar nilai umm al-walad kepada pihak pertama sebesar seribu, kemudian terjadi jināyah kedua setelah yang pertama, maka keadaan kedua jināyah itu tidak lepas dari tiga kemungkinan: pertama, keduanya sama besar dalam nilai diyat (arsh), sehingga arsh yang pertama seribu dan arsh yang kedua juga seribu, maka pihak kedua menuntut kepada pihak pertama setengah dari seribu itu, dan keduanya berbagi sama rata karena jināyah mereka sama nilainya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ الثَّانِيَةِ أَقَلَّ مِنْ أَرْشِ الْجِنَايَةِ الْأُولَى لِأَنَّ أَرْشَ الْأُولَى أَلْفَانِ وَأَرْشَ الثَّانِيَةِ أَلْفٌ فَيَرْجِعُ الثَّانِي عَلَى الْأَوَّلِ بِثُلُثِ الْأَلْفِ لِأَنَّ أَرْشَهُ ثُلُثُ الْأَرْشَيْنِ
Bagian kedua adalah ketika diyat (arsh) untuk jinayah (pelanggaran) kedua lebih sedikit daripada diyat untuk jinayah pertama, karena diyat untuk yang pertama adalah dua ribu dan diyat untuk yang kedua adalah seribu. Maka, pelaku kedua dapat menuntut pelaku pertama sepertiga dari seribu, karena diyatnya merupakan sepertiga dari kedua diyat tersebut.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ الثَّانِيَةِ أَكْثَرَ مِنَ الْجِنَايَةِ الْأُولَى لِأَنَّ أَرْشَ الْأُولَى أَلْفٌ وَأَرْشَ الثَّانِيَةِ أَلْفَانِ فَيَرْجِعُ الثَّانِي عَلَى الْأَوَّلِ بِثُلُثَيِ الْأَلْفِ لِأَنَّ أَرْشَهُ ثُلُثَا الْأَرْشَيْنِ لِتَكُونَ الْقِيمَةُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثِ مُقَسَّطَةً على قدر الأروش وهكذا لوجبت عَلَى ثَالِثٍ بَعْدِ اشْتِرَاكِ الْأَوَّلَيْنِ فِي الْقِيمَةِ رَجَعَ الثَّالِثُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الِاثْنَيْنِ بِقِسْطِ جِنَايَتِهِ مِمَّا أَخَذَهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَوَّلَيْنِ ثُمَّ كَذَلِكَ عَلَى رَابِعٍ وَخَامِسٍ وَبِاللَّهِ التوفيق
Bagian ketiga adalah jika diyat (arsh) untuk tindak pidana kedua lebih besar daripada tindak pidana pertama, karena diyat untuk yang pertama seribu dan diyat untuk yang kedua dua ribu. Maka, pelaku kedua dapat menuntut pelaku pertama sebesar dua pertiga dari seribu, karena diyatnya merupakan dua pertiga dari kedua diyat tersebut, agar nilai diyat dalam tiga keadaan tersebut terbagi sesuai dengan besarnya diyat. Demikian pula, jika ada pelaku ketiga setelah dua pelaku pertama berbagi dalam nilai diyat, maka pelaku ketiga dapat menuntut masing-masing dari dua pelaku sebelumnya sesuai dengan bagian tindak pidananya dari apa yang telah diambil oleh masing-masing dari dua pelaku pertama. Begitu pula jika ada pelaku keempat, kelima, dan seterusnya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik diberikan.
التقاء الفارسين والسفينتين
Pertemuan dua penunggang kuda dan dua kapal
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وإذا اصطدم الراكبان على أي دابة كانتا فَمَاتَا مَعًا فَعَلَى عَاقِلَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ دِيَةِ صَاحِبِهِ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ صَدْمَتِهِ وَصَدْمَةِ صَاحِبِهِ كَمَا لَوْ جَرَحَ نَفْسَهُ وَجَرَحَهُ صَاحِبُهُ فَمَاتَ وَإِنْ مَاتَتِ الدَّابَّتَانِ فَفِي مَالِ كل واحد منهما نصف قيمة دابة صاحبه
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika dua orang penunggang bertabrakan di atas hewan apa pun lalu keduanya meninggal bersama, maka ‘āqilah masing-masing dari keduanya wajib membayar setengah diyat dari temannya, karena ia meninggal akibat benturannya sendiri dan benturan temannya, sebagaimana jika ia melukai dirinya sendiri dan temannya juga melukainya lalu ia meninggal. Dan jika kedua hewan itu juga mati, maka dari harta masing-masing wajib membayar setengah nilai hewan milik temannya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا اصْطَدَمَ الْفَارِسَانِ فَمَاتَا وَمَاتَتْ دَابَّتَاهُمَا وَجَبَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ دِيَةِ صَاحِبِهِ وَنِصْفُ قِيمَةِ دَابَّتِهِ وَيَكُونُ النِّصْفُ الثَّانِي هَدَرًا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ
Al-Mawardi berkata: Jika dua penunggang kuda saling bertabrakan lalu keduanya meninggal dan hewan tunggangan mereka juga mati, maka masing-masing dari mereka wajib membayar setengah diyat kepada keluarga lawannya dan setengah dari nilai hewan tunggangannya, sedangkan setengah sisanya dianggap gugur (tidak ada tuntutan). Pendapat ini juga dikatakan oleh Malik.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجِبُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا جَمِيعُ دِيَةِ صَاحِبِهِ وَجَمِيعُ قِيمَةِ دَابَّتِهِ وَلَا يَكُونُ شَيْءٌ مِنْهَا هَدَرًا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ
Abu Hanifah berpendapat bahwa masing-masing dari keduanya wajib membayar seluruh diyat kepada keluarga korban dan seluruh nilai hewan tunggangan milik temannya, dan tidak ada sedikit pun dari keduanya yang dianggap sia-sia (tidak dituntut). Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Yusuf, Muhammad, Ahmad, dan Ishaq, dengan berdalil pada dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ مَوْتَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَنْسُوبٌ إِلَى فِعْلِ صَاحِبِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَضَمَنَ جَمِيعَ دِيَتِهِ كَمَا لَوْ جَلَسَ إِنْسَانٌ فِي طَرِيقٍ ضَيِّقَةٍ فَعَثَرَ بِهِ سَائِرٌ فَوَقَعَ عَلَيْهِ فَمَاتَا جَمِيعًا كَانَ عَلَى عَاقِلَةِ السَّائِرِ جَمِيعَ دِيَةِ الْجَالِسِ وَعَلَى عَاقِلَةِ الْجَالِسِ جَمِيعَ دِيَةِ السَّائِرِ وَلَا يَكُونُ شَيْءٌ مِنْ دِيَتِهِمَا هَدَرًا كَذَلِكَ اصْطِدَامُ الْفَارِسَيْنِ
Salah satu alasannya adalah bahwa kematian masing-masing dari keduanya disandarkan kepada perbuatan temannya, sehingga wajib bagi masing-masing untuk menanggung seluruh diyat temannya. Sebagaimana jika seseorang duduk di jalan yang sempit, lalu ada orang lain yang berjalan dan tersandung olehnya, kemudian keduanya jatuh dan meninggal, maka diwajibkan atas ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) orang yang berjalan untuk membayar seluruh diyat orang yang duduk, dan atas ‘āqilah orang yang duduk untuk membayar seluruh diyat orang yang berjalan. Tidak ada bagian dari diyat keduanya yang menjadi sia-sia. Demikian pula halnya dengan tabrakan antara dua penunggang kuda.
وَالثَّانِي أَنَّ حُدُوثَ التَّلَفِ إِذَا كَانَ بِفِعْلِهِ ويفعل صَاحِبِهِ سَقَطَ اعْتِبَارُ فِعْلِهِ فِي تَعْيِينِهِ وَكَانَ جَمِيعُهُ مُضَافًا إِلَى فِعْلِ صَاحَبِهِ وَهُوَ الْمَأْخُوذُ بِجَمِيعِ دِيَتِهِ كَمَا لَوْ تَعَدَّى رَجُلٌ بِحَفْرِ بئر فسقط فيها سائر ممات ضَمِنَ الْحَافِرُ جَمِيعَ دِيَةِ السَّائِرِ وَإِنْ كَانَ الْوُقُوعُ فِيهَا بِحَفْرِ الْحَافِرِ وَمَشْيِ السَّائِرِ كَذَلِكَ فِي اصْطِدَامِ الْفَارِسَيْنِ
Kedua, apabila terjadinya kerusakan disebabkan oleh perbuatan seseorang dan perbuatan temannya, maka perbuatan orang tersebut tidak lagi diperhitungkan dalam penentuan tanggung jawab, dan seluruhnya dikaitkan kepada perbuatan temannya, sehingga dialah yang menanggung seluruh diyatnya. Sebagaimana jika seseorang melanggar dengan menggali sumur lalu ada orang lain yang berjalan dan jatuh ke dalamnya hingga meninggal, maka penggali sumur wajib menanggung seluruh diyat orang yang berjalan itu, meskipun jatuhnya ke dalam sumur terjadi karena gabungan antara penggalian sumur dan berjalan orang tersebut. Demikian pula dalam kasus tabrakan antara dua penunggang kuda.
وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ أَنَّهُ قَالَ إِذَا اصْطَدَمَ الْفَارِسَانِ فَمَاتَا فَعَلَى عاقلة كل واحد منهما نصف دية صاحبه وَلَمْ يَظْهَرْ لَهُ مُخَالِفٌ فَإِنْ كَانَ هَذَا مُنْتَشِرًا فَهُوَ إِجْمَاعٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَشِرْ فَهُوَ حُجَّةٌ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَعَلَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ وَلِأَنَّ مَوْتَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَانَ بِفِعْلٍ اشْتَرَكَا فِيهِ لِأَنَّهُ مَاتَ بِصَدْمَتِهِ وَصَدْمَةِ صَاحِبِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَضْمَنَ مَا اخْتُصَّ بِفِعْلِهِ وَلَا يَضْمَنَ مَا اخْتُصَّ بِفِعْلِ صَاحِبِهِ وَعَلَى هَذَا شَوَاهِدُ الْأُصُولِ كُلُّهَا أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ رَجُلًا جَرَحَ رَجُلًا ثُمَّ جَرَحَ الْمَجْرُوحُ نَفْسَهُ وَمَاتَ كَانَ نِصْفُ دِيَتِهِ هَدَرًا لِأَنَّهَا فِي مُقَابَلَةِ جِرَاحَتِهِ لِنَفْسِهِ وَنِصْفُهَا على جارحه؛ لأن التلف كان يجرح اشتراكاً فِيهِ وَهَكَذَا لَوْ جَذَبَا حَجَرَ مَنْجَنِيقٍ فَعَادَ الْحَجَرُ عَلَيْهِمَا فَقَتَلَهُمَا كَانَ عَلَى عَاقِلَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ دِيَةِ صَاحِبِهِ وَنِصْفُهَا الْبَاقِي هَدْرًا لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْفِعْلِ الَّذِي كَانَ بِهِ تَلَفُهُمَا وَهَكَذَا لَوِ اصْطَدَمَ رَجُلَانِ مَعَهُمَا إِنَاءَانِ فَانْكَسَرَ الْإِنَاءَانِ بِصَدْمَتِهِمَا ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نصف قمة إِنَاءِ صَاحِبِهِ وَكَانَ نِصْفُهُ الْبَاقِي هَدَرًا وَإِذَا كَانَتِ الْأُصُولُ تَشْهَدُ بِصِحَّةِ مَا ذَكَرْنَاهُ دَلَّ عَلَى صِحَّتِهِ وَبُطْلَانِ مَا عَدَاهُ
Dalil kami adalah riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib, semoga Allah memuliakan wajahnya, bahwa ia berkata: “Jika dua penunggang kuda saling bertabrakan lalu keduanya meninggal, maka ‘aqilah masing-masing dari keduanya menanggung setengah diyat dari temannya.” Dan tidak tampak ada yang menyelisihinya. Jika hal ini tersebar luas, maka itu merupakan ijmā‘; dan jika tidak tersebar, maka itu tetap menjadi hujjah menurut Abu Hanifah dan menurut pendapat lama asy-Syafi‘i. Karena kematian masing-masing dari keduanya terjadi akibat perbuatan yang mereka lakukan bersama, sebab ia meninggal karena tabrakan dirinya dan tabrakan temannya. Maka wajib baginya menanggung apa yang diakibatkan oleh perbuatannya sendiri dan tidak menanggung apa yang diakibatkan oleh perbuatan temannya. Dan atas hal ini seluruh kaidah ushul memberikan kesaksian. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang melukai orang lain, kemudian orang yang terluka itu melukai dirinya sendiri lalu meninggal, maka setengah diyatnya menjadi gugur karena itu sebagai balasan atas lukanya terhadap dirinya sendiri, dan setengahnya lagi menjadi tanggungan orang yang melukainya; karena kematiannya terjadi akibat luka yang dilakukan bersama. Demikian pula jika keduanya menarik batu manjaniq lalu batu itu kembali menimpa mereka berdua hingga membunuh mereka, maka ‘aqilah masing-masing dari keduanya menanggung setengah diyat temannya dan setengah sisanya gugur karena keduanya sama-sama terlibat dalam perbuatan yang menyebabkan kematian mereka. Demikian pula jika dua orang saling bertabrakan sambil membawa dua bejana lalu kedua bejana itu pecah karena tabrakan mereka, maka masing-masing menanggung setengah harga bejana milik temannya dan setengah sisanya gugur. Jika kaidah-kaidah ushul membenarkan apa yang kami sebutkan, maka itu menunjukkan kebenarannya dan batilnya pendapat selainnya.
فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالسَّائِرِ إِذَا عَثَرَ بِالْجَالِسِ فَمَاتَا فَإِنَّمَا ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا جَمِيعَ دِيَةِ صَاحِبِهِ لِأَنَّهُمَا لَمْ يَشْتَرِكَا فِي فِعْلِ التَّلَفِ لِأَنَّ السَّائِرَ تَلِفَ بِعَثْرَتِهِ بِالْجَالِسِ فَضَمِنَ الْجَالِسُ جَمِيعَ دِيَتِهِ وَالْجَالِسَ تَلِفَ بِوُقُوعِ السَّائِرِ عَلَيْهِ فَضَمِنَ السَّائِرُ جَمِيعَ دِيَتِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ اصْطِدَامُ الْفَارِسَيْنِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي فِعْلِ التَّلَفِ
Adapun dalil mereka dengan peristiwa seseorang yang berjalan lalu tersandung orang yang sedang duduk sehingga keduanya meninggal, maka masing-masing dari mereka wajib membayar seluruh diyat (tebusan) kepada keluarga korban yang lain, karena keduanya tidak bersama-sama dalam melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian. Orang yang berjalan meninggal karena tersandung orang yang duduk, maka orang yang duduk wajib membayar seluruh diyatnya. Sedangkan orang yang duduk meninggal karena tertimpa orang yang berjalan, maka orang yang berjalan wajib membayar seluruh diyatnya. Tidak demikian halnya dengan tabrakan dua penunggang kuda, karena keduanya bersama-sama dalam melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian.
وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِالْوُقُوعِ فِي الْبِئْرِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ إنَّ الْحَافِرَ لَهَا مُلْجِئٌ للوقوع فيها مسقط اعتبار فعل الملجأ وصار الجميع مضافاً إلى فعل الملجيء فَفَارَقَ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مَا ذَكَرْنَا كَشَاهِدَيِ الزُّورِ بِالْقَتْلِ يُؤْخَذَانِ بِهِ دُونَ الْحَاكِمِ لِإِلْجَائِهِمَا لَهُ إِلَى الْقَتْلِ
Adapun dalil mereka dengan peristiwa jatuh ke dalam sumur, maka jawabannya adalah bahwa orang yang menggali sumur tersebut telah memaksa orang lain untuk jatuh ke dalamnya, sehingga perbuatan orang yang dipaksa tidak lagi dianggap, dan seluruh peristiwa itu dinisbatkan kepada perbuatan orang yang memaksa. Dari sisi ini, kasus tersebut berbeda dengan apa yang telah kami sebutkan, seperti dua saksi palsu dalam kasus pembunuhan yang keduanya dihukum karenanya, bukan hakimnya, karena keduanya telah memaksa hakim untuk menjatuhkan hukuman mati.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا فَلَا فَرْقَ بَيْنَ الرَّاكِبَيْنِ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْقُوَّةِ أَوْ يَخْتَلِفَا فَيَكُونُ أَحَدُهُمَا كَبِيرًا والآخر صغير أَوْ يَكُونُ أَحَدُهُمَا صَحِيحًا وَالْآخَرُ مَرِيضًا وَلَا فرق في المركوبين بين أَنْ يَتَمَاثَلَا أَوْ يَخْتَلِفَا فَيَكُونُ أَحَدُهُمَا عَلَى فَرَسٍ وَالْآخَرُ عَلَى حِمَارٍ أَوْ يَكُونُ أَحَدُهُمَا عَلَى فِيلٍ وَالْآخَرُ عَلَى كَبْشٍ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَا رَاكِبَيْنِ أَوْ رَاجِلَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا رَاكِبًا وَالْآخَرُ مَاشِيًا رَاجِلًا وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَصْطَدِمَا مُسْتَقْبِلَيْنِ أَوْ مُسْتَدْبِرَيْنِ أَوْ أحدهما مستقبلاً والآخر مستديراً وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَا بَصِيرَيْنِ أَوْ أَعْمَيَيْنِ أَوْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا بَصِيرًا وَالْآخَرُ أَعْمَى وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي صِفَةِ الضَّمَانِ دُونَ أَصْلِهِ لِأَنَّ الْأَعْمَى خَاطِئٌ وَقَدْ يَكُونُ الْبَصِيرُ عَامِدًا ولا فرق بين أن يقعا مستقليين على ظهورهما أو مكبوبين على وجوههما أن يَكُونَ أَحَدُهُمَا مُسْتَلْقِيًا عَلَى ظَهْرِهِ وَالْآخَرِ مَكْبُوبًا عَلَى وَجْهِهِ
Jika telah tetap apa yang telah kami jelaskan, maka tidak ada perbedaan antara dua orang yang berkendara, apakah keduanya sama kuat atau berbeda, seperti salah satunya dewasa dan yang lain anak-anak, atau salah satunya sehat dan yang lain sakit. Tidak ada perbedaan pula pada kendaraan yang digunakan, apakah keduanya sama atau berbeda, seperti salah satunya menunggang kuda dan yang lain keledai, atau salah satunya menunggang gajah dan yang lain domba. Tidak ada perbedaan apakah keduanya sama-sama berkendara, sama-sama berjalan kaki, atau salah satunya berkendara dan yang lain berjalan kaki. Tidak ada perbedaan apakah keduanya bertabrakan dari arah berhadapan, dari arah belakang, atau salah satunya dari depan dan yang lain dari samping. Tidak ada perbedaan apakah keduanya sama-sama dapat melihat, sama-sama buta, atau salah satunya dapat melihat dan yang lain buta. Jika mereka berbeda dalam sifat tanggungan (dhamān) namun tidak dalam pokoknya, karena orang buta itu bersifat tidak sengaja (khāṭi’), sedangkan yang dapat melihat bisa jadi sengaja (ʿāmid). Tidak ada perbedaan pula apakah keduanya jatuh secara terpisah di atas punggung mereka atau terjerembab di wajah mereka, baik salah satunya terlentang di punggungnya dan yang lain terjerembab di wajahnya.
وَقَالَ الْمُزَنِيُّ إِنْ كَانَا مُسْتَلْقِيَيْنِ أَوْ مَكْبُوبَيْنِ فَهُمَا سَوَاءٌ وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا مستلقيا على ظهره والآخر مكبوبا على وجهه فِدْيَةُ الْمُسْتَلْقِي كُلُّهَا عَلَى الْمَكْبُوبِ وَدِيَةُ الْمَكْبُوبِ هَدَرٌ لِأَنَّ الْمَكْبُوبَ دَافِعٌ وَالْمُسْتَلْقِيَ مَدْفُوعٌ وَهَذَا اعْتِبَارٌ فَاسِدٌ لِأَنَّ الِاسْتِلْقَاءَ قَدْ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ لِتُقَدِّمِ الْوُقُوعِ وَالِانْكِبَابَ لِتَأَخُّرِ الْوُقُوعِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الِاسْتِلْقَاءُ فِي الْوُقُوعِ لِشِدَّةِ صَدْمَتِهِ كَمَا يُرْفَعُ الْحَجَرُ مِنَ الْحَائِطِ لِشِدَّةِ رَمْيَتِهِ فَلَمْ يَسْلَمْ مَا اعْتُلَّ بِهِ
Al-Muzani berkata: Jika keduanya dalam keadaan telentang atau tertelungkup, maka hukumnya sama. Namun jika salah satunya telentang di atas punggungnya dan yang lain tertelungkup di atas wajahnya, maka diyat (tebusan) orang yang telentang seluruhnya menjadi tanggungan orang yang tertelungkup, sedangkan diyat orang yang tertelungkup gugur, karena orang yang tertelungkup dianggap sebagai pendorong dan yang telentang sebagai yang didorong. Namun, pertimbangan ini tidak benar, karena posisi telentang bisa jadi karena ia jatuh lebih dulu, dan posisi tertelungkup bisa jadi karena ia jatuh belakangan. Bisa juga posisi telentang saat jatuh disebabkan kerasnya benturan, sebagaimana batu yang terlempar dari tembok karena kerasnya lemparan. Maka alasan yang dijadikan dasar tersebut tidak dapat diterima.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ صِفَةِ الِاصْطِدَامِ وَحُكْمِهِ فِي ضَمَانِ النِّصْفِ وَسُقُوطِ النِّصْفِ هَدَرًا فَضَمَانُ الدَّابَّتَيْنِ يَسْتَوِي فِيهِ الْعَمْدُ وَالْخَطَأُ لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَالٍ وَيَفْتَرِقُ فِي النُّفُوسِ ضَمَانُ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ صَحَّ فِي الِاصْطِدَامِ الْخَطَأُ الْمَحْضُ وَتَكُونُ الدِّيَةُ فِيهِ عَلَى الْعَاقِلَةِ مُخَفَّفَةً وَصَحَّ فِيهِ عَمْدُ الْخَطَأِ وَتَكُونُ الدِّيَةُ فِيهِ عَلَى الْعَاقِلَةِ مُغَلَّظَةً وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَصِحُّ فِيهِ الْعَمْدُ الْمَحْضُ الْمُوجِبُ لِلْقَوَدِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Apabila telah jelas apa yang telah kami jelaskan mengenai sifat tabrakan dan hukumnya dalam penjaminan setengah (ganti rugi) dan gugurnya setengahnya sebagai sia-sia (tidak ada ganti rugi), maka penjaminan atas dua hewan tunggangan itu sama saja antara kesengajaan dan ketidaksengajaan, karena itu adalah penjaminan harta. Namun, dalam hal jiwa, penjaminan antara kesengajaan dan ketidaksengajaan berbeda. Jika demikian, maka dalam tabrakan yang murni tidak sengaja, diyat (ganti rugi jiwa) dibebankan kepada ‘āqilah secara ringan, dan dalam tabrakan yang disengaja namun menyerupai kesalahan, diyat dibebankan kepada ‘āqilah secara berat. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah sah dalam hal ini kesengajaan murni yang mewajibkan qishāsh, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَصِحُّ فِيهِ الْعَمْدُ الْمَحْضُ الْمُوجِبُ لِلْقَوَدِ لِأَنَّ الِاصْطِدَامَ قَاتِلٌ وَتَكُونُ الدِّيَةُ فِيهِ حَالَّةً فِي مَالِ الصَّادِمِ دُونَ عَاقِلَتِهِ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa dalam kasus ini sah dianggap sebagai pembunuhan sengaja murni yang mewajibkan qishāsh, karena tabrakan tersebut mematikan. Maka diyat (tebusan) dalam kasus ini menjadi kewajiban yang harus segera dibayarkan dari harta pelaku tabrakan, bukan dari ‘āqilah-nya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ إِنَّهُ لَا يَصِحُّ فِيهِ الْعَمْدُ الْمَحْضُ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَقْتُلَ وَيَجُوزَ أَنْ لَا يَقْتُلَ وَتَكُونُ الدِّيَةُ فِيهِ مُغَلَّظَةً عَلَى عَاقِلَةِ الصَّادِمِ
Pendapat kedua adalah pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, yaitu bahwa dalam hal ini tidak sah dianggap sebagai pembunuhan sengaja murni, karena bisa jadi perbuatan itu menyebabkan kematian dan bisa jadi tidak menyebabkan kematian, dan diyat dalam kasus ini diberlakukan secara berat atas ‘āqilah pelaku tabrakan.
وَصِفَةُ الْخَطَأِ الْمَحْضِ أَنْ يَكُونَا أَعْمَيَيْنِ أَوْ بَصِيرَيْنِ مستديرين
Adapun sifat kesalahan murni adalah ketika keduanya sama-sama buta atau sama-sama dapat melihat dengan pandangan yang bulat.
وَصِفَةُ عَمْدِ الْخَطَأِ أَنْ يَكُونَا بَصِيرَيْنِ مُسْتَقْبِلَيْنِ
Adapun sifat sengaja dan keliru adalah keduanya dalam keadaan sadar dan saling berhadapan.
وَصِفَةُ الْعَمْدِ الْمَحْضِ أَنْ يَكُونَا مُسْتَقْبِلَيْنِ يَقْصِدَانِ القتل فإن كان أحدهما مستقبلاً والآخر مستديراً كان المستدير خَاطِئًا وَالْمُسْتَقْبِلُ عَامِدًا فَإِنْ قَصَدَ الْقَتْلَ فَهُوَ عَمْدٌ مَحْضٌ وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْهُ فَهُوَ عَمْدُ الْخَطَأِ وَحُكْمُهُ مَا قَدْ مَضَى
Sifat dari ‘amdu maḥḍ adalah ketika keduanya saling berhadapan dan sama-sama berniat membunuh. Jika salah satu dari mereka berhadapan dan yang lain berputar, maka yang berputar adalah khāṭi’ (tidak sengaja) dan yang berhadapan adalah ‘āmid (sengaja). Jika ia memang berniat membunuh, maka itu adalah ‘amdu maḥḍ. Namun jika tidak berniat membunuh, maka itu adalah ‘amdu al-khaṭā’ dan hukumnya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الرَّاكِبَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Jika demikian, keadaan dua orang yang berkendara tidak lepas dari tiga macam keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَا حُرَّيْنِ
Salah satunya adalah bahwa keduanya harus berstatus merdeka.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَا مَمْلُوكَيْنِ
Dan yang kedua adalah keduanya merupakan budak.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا حُرًّا وَالْآخَرُ مَمْلُوكًا
Ketiga, salah satu dari keduanya adalah orang merdeka dan yang lainnya adalah budak.
فَإِنْ كَانَا حُرَّيْنِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Jika keduanya adalah orang merdeka, maka keadaan mereka tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَا بَالِغَيْنِ
Salah satunya adalah keduanya harus sudah baligh.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَا صَغِيرَيْنِ
Yang kedua adalah keduanya masih kecil.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ أحدهما بالغ والآخر صغير
Ketiga, salah satu dari keduanya adalah baligh dan yang lainnya masih kecil.
فَإِنْ كَانَا بَالِغَيْنِ عَاقِلَيْنِ فَلَهُمَا خَمْسَةُ أَحْوَالٍ
Jika keduanya telah baligh dan berakal, maka ada lima keadaan bagi mereka.
أَحَدُهَا أَنْ يَمُوتَ الرَّاكِبَانِ وَالدَّابَّتَانِ فَيَكُونُ فِي مَالِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ قِيمَةِ دَابَّةِ صَاحِبِهِ وَلَا تَحْمِلُهَا الْعَاقِلَةُ لِاخْتِصَاصِ الْعَاقِلَةِ بِحَمْلِ دِيَاتِ الْآدَمِيِّينَ دُونَ الْبَهَائِمِ فَيَتَقَاصُّ الْمُصْطَدِمَانِ بِمَا لَزِمَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ مِنْ قِيمَةِ نِصْفِ دَابَّتِهِ وَيَتَرَاجَعَانِ فَضْلًا إِنْ كَانَ فِيهِ وَيَجِبُ عَلَى عَاقِلَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ دِيَةِ صَاحِبِهِ مُخَفَّفَةً إِنْ كَانَ خَطَأً مَحْضًا وَمُغَلَّظَةً إِنْ كَانَ عَمْدًا شِبْهَ الْخَطَأِ وَلَا قِصَاصَ مِنَ الْعَاقِلَتَيْنِ فِيمَا تَحَمَّلَاهُ مِنْ ديتهما إلا أن يكون عاقلتهما ورثتهما فيتقاصان ذَلِكَ لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهُمَا وَعَلَيْهِمَا
Salah satunya adalah jika kedua penunggang dan kedua hewan tunggangan itu mati, maka dalam harta masing-masing dari keduanya terdapat setengah nilai hewan tunggangan milik temannya. Dan hal ini tidak ditanggung oleh ‘āqilah, karena ‘āqilah hanya khusus menanggung diyat manusia, bukan hewan. Maka kedua orang yang bertabrakan itu saling mengurangi apa yang menjadi tanggungan masing-masing kepada temannya dari nilai setengah hewan tunggangannya, dan mereka saling mengembalikan kelebihan jika ada. Dan wajib atas ‘āqilah masing-masing dari keduanya untuk membayar setengah diyat temannya, yang diringankan jika kejadiannya murni karena kesalahan, dan yang diperberat jika kejadiannya sengaja namun mirip kesalahan. Tidak ada qishāsh antara kedua ‘āqilah atas apa yang mereka tanggung dari diyat keduanya, kecuali jika ‘āqilah mereka adalah ahli waris mereka, maka keduanya saling mengurangi hal itu, karena itu adalah hak bagi mereka dan atas mereka.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَمُوتَ الرَّاكِبَانِ دُونَ الدَّابَّتَيْنِ فَيَلْزَمُ عَاقِلَةَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ دِيَةِ صَاحِبِهِ وَلَا يتقاضانها إلا أن تكون العاقلتان وارثي الْمُصْطَدِمَيْنِ
Keadaan kedua adalah apabila kedua penunggang meninggal dunia sedangkan kedua hewan tunggangan tetap hidup, maka diwajibkan kepada ‘āqilah masing-masing dari keduanya untuk membayar setengah diyat dari temannya, dan mereka tidak saling menuntut diyat tersebut kecuali jika kedua ‘āqilah merupakan ahli waris dari kedua orang yang bertabrakan.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ تَمُوتَ الدَّابَّتَانِ دُونَ الْمُصْطَدِمَيْنِ فَيَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ قِيمَةِ دابة صاحبه في ماله ويتقاضانها
Keadaan ketiga adalah jika kedua hewan mati tanpa kedua penunggangnya meninggal, maka masing-masing dari keduanya wajib membayar setengah dari nilai hewan milik temannya dari hartanya sendiri, dan mereka saling menuntutnya.
وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ أَنْ يَمُوتَ أَحَدُهُمَا وَدَابَّتُهُ دُونَ الْآخَرِ وَدُونَ دَابَّتِهِ فَيَضْمَنُ الْحَيُّ نِصْفَ قِيمَةِ الدَّابَّةِ الْمَيِّتَةِ وَتَضْمَنُ عَاقِلَتُهُ نِصْفَ دِيَةِ الْمَيِّتِ
Keadaan keempat adalah apabila salah satu dari keduanya dan hewan tunggangannya meninggal dunia, sedangkan yang lain beserta hewan tunggangannya tetap hidup, maka yang masih hidup wajib menanggung setengah dari nilai hewan tunggangan yang mati, dan ‘āqilah-nya wajib menanggung setengah dari diyat orang yang meninggal.
وَالْحَالُ الْخَامِسَةُ أَنْ يَمُوتَ أَحَدُهُمَا دُونَ دَابَّتِهِ وَتَمُوتَ دَابَّةُ الْآخَرِ دُونَهُ فَيَكُونُ نِصْفُ دِيَةِ الْمَيِّتِ عَلَى عَاقِلَةِ الْحَيِّ وَنِصْفُ قِيمَةِ دَابَّةِ الحي في مال الميت ولا يتقاضان قِيمَةَ الدَّابَّةِ مِنَ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَتِ الْعَاقِلَةُ وَارِثَةً لِأَنَّ الْحَيَّ لَا يُورَّثُ وَيَجِيءُ فِيهَا حَالٌ سَادِسَةٌ وَسَابِعَةٌ قَدْ بَانَ حُكْمُهُمَا بِمَا ذَكَرْنَاهُ فَإِنْ كَانَا صَغِيرَيْنِ وَقَدْ مَاتَا وَدَابَّتَاهُمَا فلهما ثلاثة أحوال
Keadaan kelima adalah jika salah satu dari keduanya meninggal tanpa hewannya, dan hewan milik yang lain mati tanpa pemiliknya, maka setengah diyat dari yang meninggal menjadi tanggungan ‘āqilah dari yang hidup, dan setengah nilai hewan milik yang hidup diambil dari harta peninggalan yang meninggal, dan keduanya tidak saling menuntut nilai hewan dari diyat, meskipun ‘āqilah merupakan ahli waris, karena yang hidup tidak diwarisi. Dalam hal ini juga terdapat keadaan keenam dan ketujuh yang hukumnya telah dijelaskan dengan apa yang telah kami sebutkan. Jika keduanya masih kecil dan keduanya telah meninggal beserta kedua hewan mereka, maka ada tiga keadaan bagi mereka.
أحدهما أَنْ يَرْكَبَا بِأَنْفُسِهِمَا
Salah satunya adalah keduanya menaiki (kendaraan) dengan diri mereka sendiri.
وَالثَّانِي أَنْ يَرْكَبَهُمَا وَلِيّهُمَا
Yang kedua adalah wali mereka berdua yang menunggangi keduanya.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَرْكَبَهُمَا أَجْنَبِيٌّ لَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَيْهِمَا
Ketiga, jika keduanya dinikahkan oleh seorang asing yang tidak memiliki wilayah (hak perwalian) atas mereka.
فَإِنْ رَكِبَا بِأَنْفُسِهِمَا فَحُكْمُهُمَا فِي الضَّمَانِ كَحُكْمِ الْبَالِغِ يَضْمَنُ عَاقِلَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ دِيَةِ الْآخَرِ وَيُضْمَنُ فِي مَالِهِ نِصْفُ قِيمَةِ دَابَّتِهِ وَإِنْ أَرْكَبَهُمَا وَلِيّهُمَا فَالضَّمَانُ فِي أَمْوَالِ الصَّغِيرَيْنِ وَعَلَى عَوَاقِلِهِمَا دُونَ الْوَلِيَّيْنِ لِأَنَّ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَقُومَ فِي تَأْدِيبِ الصَّغِيرَيْنِ بِالِارْتِيَاضِ لِلرُّكُوبِ وَلَا يَكُونُ بِهِ مُتَعَدِّيًا فَإِنْ أَرْكَبَهُمَا أَجْنَبِيٌّ لَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَيْهِمَا ضَمِنَ مَرْكِبَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ دِيَةِ مَنْ أَرْكَبَهُ وَنِصْفَ دِيَةِ الْآخَرِ وَنِصْفَ قِيمَةِ دَابَّتِهِ وَنِصْفَ قِيمَةِ دَابَّةِ الْآخَرِ وَلَا يَسْقُطُ شَيْءٌ مِنْ دِيَةِ أَحَدِهِمَا وَلَا مِنْ قِيمَةِ دَابَّتِهِ لِأَنَّهُ قَدْ تَعَدَّى بِإِرْكَابِهِ فَضَمِنَ جِنَايَتَهُ وَضَمِنَ الْجِنَايَةَ عَلَيْهِ
Jika keduanya menaiki (hewan tunggangan) sendiri, maka hukum tanggung jawab (dhamān) mereka sama seperti hukum orang dewasa: ‘āqilah masing-masing dari mereka menanggung setengah diyat dari yang lain, dan dari harta masing-masing dijamin setengah nilai hewan tunggangannya. Jika keduanya dinaikkan oleh wali mereka, maka tanggung jawab (dhamān) diambil dari harta kedua anak kecil tersebut dan dari ‘awāqil mereka, bukan dari kedua wali, karena wali berhak mendidik kedua anak kecil dengan melatih mereka menunggang (hewan), dan itu tidak dianggap melampaui batas. Namun jika keduanya dinaikkan oleh orang asing yang tidak memiliki wilayah (hak perwalian) atas mereka, maka orang yang menaikkan itu menanggung untuk setiap tunggangan setengah diyat dari yang dinaikkan dan setengah diyat dari yang lain, serta setengah nilai hewan tunggangannya dan setengah nilai hewan tunggangan yang lain. Tidak gugur sedikit pun dari diyat salah satu dari mereka, maupun dari nilai hewan tunggangannya, karena ia telah melampaui batas dengan menaikkan mereka, sehingga ia menanggung kejahatan yang dilakukannya dan juga kejahatan yang menimpa dirinya.
وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا صَغِيرًا وَالْآخَرُ كَبِيرًا كَانَ مَا اخْتُصَّ بِالصَّغِيرِ مَضْمُونًا عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ إِذَا كَانَا صَغِيرَيْنِ وَمَا اخْتُصَّ بِالْكَبِيرِ مَضْمُونًا عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ إِذَا كَانَا كَبِيرَيْنِ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْمُصْطَدِمَانِ امْرَأَتَيْنِ حَامِلَيْنِ فَأَلْقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا جَنِينًا مَيِّتًا لِمَ يَنْهَدِرْ شَيْءٌ مِنْ دِيَةِ الْجَنِينِ وَكَانَ عَلَى عَاقِلَةِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا نِصْفُ دِيَةِ جَنِينِهَا وَنِصْفُ دِيَةِ جَنِينِ صَاحِبَتِهَا لِأَنَّ جَنِينَهَا تَلِفَ بِصَدْمَتِهَا وَصَدْمَةِ الْأُخْرَى وَجَنِينَهَا مَضْمُونٌ عَلَيْهَا بِالْجِنَايَةِ لَوِ انْفَرَدَتْ بِاسْتِهْلَاكِهِ فَكَذَلِكَ تَضْمَنُهُ إِذَا شَارَكَتْ فِيهِ غَيْرَهَا وَلَا قِصَاصَ هَاهُنَا فِي الدِّيَتَيْنِ بِحَالٍ وَإِنْ كَانَا وَرَثَةَ الْجَنِينَ لِأَنَّ مَنْ وَجَبَتْ لَهُ غَيْرُ مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ
Jika salah satu dari keduanya masih kecil dan yang lainnya sudah dewasa, maka apa yang khusus terjadi pada yang kecil dijamin sebagaimana yang telah kami sebutkan jika keduanya sama-sama kecil, dan apa yang khusus terjadi pada yang dewasa dijamin sebagaimana yang telah kami sebutkan jika keduanya sama-sama dewasa. Demikian pula, jika dua wanita hamil saling bertabrakan lalu masing-masing dari mereka mengalami keguguran janin yang mati, maka tidak ada bagian dari diyat janin yang gugur, dan atas ‘āqilah masing-masing dari mereka wajib membayar setengah diyat janinnya sendiri dan setengah diyat janin milik temannya. Sebab, janinnya rusak akibat benturan dirinya dan benturan wanita lainnya, dan janinnya menjadi tanggungannya karena jināyah jika ia sendiri yang menyebabkan kematian janin itu, maka demikian pula ia menanggungnya jika ada orang lain yang turut serta dalam peristiwa itu. Tidak ada qishāsh di sini dalam dua diyat dalam keadaan apa pun, sekalipun mereka adalah ahli waris janin, karena yang berhak menerima diyat berbeda dengan yang wajib membayarnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ كَانَ الْمُصْطَدِمَانِ عَبْدَيْنِ فَمَاتَا صَارَ دَمُهُمَا هَدَرًا وَسَقَطَتْ قِيمَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا سَقَطَتْ نِصْفُ قِيمَتِهِ بِصَدْمَتِهِ وَوَجَبَ نِصْفُهَا فِي رَقَبَةِ الْآخَرِ لِصَدْمَتِهِ وَسَوَاءٌ مَاتَا مَعًا أَوْ مَاتَ أَحَدُهُمَا بَعْدَ الْآخَرِ إِذَا لَمْ يُمْكِنْ بَيْعُ الْمُتَأَخِّرِ مِنْهُمَا قَبْلَ مَوْتِهِ وَإِنْ كَانَ أَحَدُ الْمُصْطَدِمَيْنِ حُرًّا وَالْآخَرُ عَبْدًا لَمْ يَنْهَدِرْ مِنْ دَمِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَّا النِّصْفُ الْمُخْتَصُّ بِفِعْلِهِ لِأَنَّ الْعَبْدَ إِذَا مَاتَ وَجَبَ عَلَى الْحُرِّ نِصْفُ قِيمَتِهِ فَانْتَقَلَ الْعَبْدُ بَعْدَ مَوْتِهِ إِلَى نِصْفِ قِيمَتِهِ فَلَمْ يَبْطُلْ مَحَلُّ جِنَايَتِهِ فَوَجَبَ فِيهِ نِصْفُ دِيَةِ الْحُرِّ وَأَنْ تَكُونَ نِصْفُ قِيمَةِ الْعَبْدِ عَلَى قَوْلَيْنِ
Jika kedua orang yang saling bertabrakan itu adalah budak dan keduanya meninggal, maka darah keduanya menjadi sia-sia dan gugurlah nilai masing-masing dari mereka. Sebab, dari masing-masing mereka, setengah nilainya gugur karena tabrakan yang dilakukannya, dan setengahnya lagi wajib dibayarkan oleh pihak lain karena tabrakannya. Sama saja apakah keduanya meninggal bersamaan atau salah satunya meninggal setelah yang lain, selama tidak memungkinkan untuk menjual yang meninggal belakangan sebelum kematiannya. Jika salah satu dari dua orang yang bertabrakan itu adalah orang merdeka dan yang lainnya adalah budak, maka dari darah masing-masing tidak menjadi sia-sia kecuali setengah yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri. Karena jika budak itu meninggal, maka orang merdeka wajib membayar setengah dari nilai budak tersebut. Setelah kematiannya, budak itu berpindah status menjadi setengah dari nilainya, sehingga tempat terjadinya jinayah tidak batal, maka wajib atasnya setengah diyat orang merdeka, dan setengah nilai budak menurut dua pendapat.
أَحَدُهُمَا فِي مَالِ الْجَانِي
Salah satunya adalah pada harta pelaku pelanggaran.
وَالثَّانِي عَلَى عَاقِلَتِهِ
Dan yang kedua (dibebankan) kepada ‘āqilah-nya.
فَإِنْ قِيلَ إِنَّ نِصْفَ قِيمَةِ الْعَبْدِ فِي مَالِ الْجَانِي لَا تَتَحَمَّلُهُ عَاقِلَتُهُ فَقَدْ وَجَبَ فِي مَالِ الْحُرِّ نِصْفُ قِيمَةِ الْعَبْدِ وَوَجَبَ نِصْفُ دِيَةِ الْحُرِّ فِي الْمُسْتَحَقِّ مِنْ نِصْفِ قِيمَةِ الْعَبْدِ فَصَارَ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ نِصْفُ الْقِيمَةِ هُوَ الَّذِي وَجَبَ لَهُ نِصْفُ الدِّيَةِ فَيَكُونُ ذَلِكَ قِصَاصًا وَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ
Jika dikatakan bahwa setengah dari nilai budak yang ada pada harta pelaku tidak ditanggung oleh ‘āqilah-nya, maka telah diwajibkan pada harta orang merdeka setengah dari nilai budak, dan diwajibkan setengah diyat orang merdeka pada pihak yang berhak menerima setengah dari nilai budak. Maka, orang yang diwajibkan membayar setengah nilai itu adalah juga orang yang berhak menerima setengah diyat, sehingga hal itu menjadi qishāsh. Keadaan ini tidak lepas dari tiga kemungkinan.
أَحَدُهَا أَنْ يَتَسَاوَى نِصْفُ قِيمَةِ الْعَبْدِ وَنِصْفُ دِيَةِ الْحُرِّ فَيَقَعُ الْوَفَاءُ بِالْقِصَاصِ
Salah satunya adalah jika setengah dari nilai budak sama dengan setengah dari diyat orang merdeka, maka pelunasan dilakukan dengan qishāsh.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ نِصْفُ قِيمَةِ الْعَبْدِ أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ دِيَةِ الْحُرِّ فَيَرْجِعُ سَيِّدُ الْعَبْدِ فِي تَرِكَةِ الْحُرِّ بِالْفَاضِلِ مِنْ نِصْفِ قِيمَةِ عَبْدِهِ
Yang kedua, jika setengah dari nilai budak lebih besar daripada setengah diyat orang merdeka, maka tuan budak tersebut berhak mengambil kelebihan dari setengah nilai budaknya itu dari harta peninggalan orang merdeka.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ نِصْفُ دِيَةِ الْحُرِّ أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ قِيمَةِ الْعَبْدِ فَيَكُونُ الْفَاضِلُ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ هَدَرًا لِبُطْلَانِ مَحَلِّهِ
Ketiga, jika setengah diyat orang merdeka lebih besar daripada setengah nilai budak, maka kelebihan dari setengah diyat tersebut menjadi gugur karena tidak ada tempat yang sah untuknya.
وَإِنْ قِيلَ إِنَّ نِصْفَ قِيمَةِ الْعَبْدِ عَلَى عَاقِلَةِ الْحُرِّ فَإِنْ كَانَ عَاقِلَةُ الْحُرِّ هُمْ وَرَثَتُهُ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِمْ نِصْفُ قِيمَةِ الْعَبْدِ وَوَجَبَ لَهُمْ نِصْفُ دِيَةِ الْحُرِّ فَيَكُونُ ذَلِكَ قِصَاصًا فَإِنْ فَضَلَ لِلسَّيِّدِ مِنْ نِصْفِ قِيمَةِ الْعَبْدِ فَضْلٌ أَخَذَهُ مِنَ الْعَاقِلَةِ وَإِنْ فَضَلَ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ فَضْلٌ كَانَ هَدَرًا وَإِنْ لم يكن العاقلة ورثة الحر وكان وَرَثَةَ غَيْرِهِمْ وَجَبَ عَلَى الْعَاقِلَةِ لِسَيِّدِ الْعَبْدِ نِصْفُ قِيمَتِهِ وَوَجَبَ لِوَرَثَةِ الْحُرِّ فِي الْمُسْتَوْفَى مِنْ قِيمَةِ الْعَبْدِ نِصْفُ دِيَتِهِ وَلَا يَكُونُ قِصَاصًا لِأَنَّ مَنْ وَجَبَ لَهُ غَيْرُ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ فَإِنِ اسْتَوَى نِصْفُ قِيمَةِ الْعَبْدِ وَنِصْفُ دِيَةِ الْحُرِّ فَفِي كَيْفِيَّةِ الْقَبْضِ وَالْأَدَاءِ وجهان محتملان
Jika dikatakan bahwa setengah dari nilai budak menjadi tanggungan ‘āqilah orang merdeka, maka jika ‘āqilah orang merdeka itu adalah para ahli warisnya, wajib atas mereka membayar setengah dari nilai budak, dan wajib bagi mereka menerima setengah diyat orang merdeka, sehingga hal itu menjadi qishāsh. Jika ada kelebihan bagi tuan budak dari setengah nilai budak, maka ia mengambil kelebihan itu dari ‘āqilah. Dan jika ada kelebihan dari setengah diyat, maka kelebihan itu menjadi sia-sia (tidak diambil). Jika ‘āqilah bukanlah ahli waris orang merdeka, melainkan ahli waris selain mereka, maka wajib atas ‘āqilah membayar kepada tuan budak setengah dari nilainya, dan wajib bagi ahli waris orang merdeka menerima dari nilai budak yang telah diambil itu setengah dari diyatnya, dan itu tidak menjadi qishāsh, karena yang berhak menerima berbeda dengan yang wajib membayar. Jika setengah nilai budak dan setengah diyat orang merdeka sama besar, maka dalam tata cara penerimaan dan pembayaran terdapat dua pendapat yang mungkin.
أَحَدُهُمَا يَسْتَوْفِي سَيِّدُ الْعَبْدِ عَنْ عَاقِلَةِ الْحُرِّ نِصْفَ الْقِيمَةِ وَيُؤَدِّيهِ إِلَى وَرَثَةِ الْحُرِّ فِي نِصْفِ الدِّيَةِ لِيَقْبِضَهَا بِحَقِّ مِلْكِهِ وَيَدْفَعَهَا بِحَقِّ الْتِزَامِهِ
Salah satunya adalah tuan dari budak mengambil dari ‘āqilah orang merdeka setengah dari nilai (budak) dan memberikannya kepada ahli waris orang merdeka sebagai bagian dari setengah diyat, agar ia menerima (bagian itu) berdasarkan hak kepemilikannya dan menyerahkannya berdasarkan kewajiban yang harus dipenuhinya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ يَنْتَقِلَ الْحَقُّ إِلَى وَرَثَةِ الْحُرِّ وَلَيْسَ لِسَيِّدِ الْعَبْدِ أَنْ يَقْبِضَهُ لِأَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ وَرُبَّمَا تَلِفَ بَيْنَ قَبْضِهِ وَإِقْبَاضِهِ فَتَلِفَ عَلَى مُسْتَحَقِّهِ فَصَارَ مَا اسْتَحَقَّهُ السَّيِّدُ مِنْ نِصْفِ الْقِيمَةِ مُنْتَقِلًا إِلَى وَرَثَةِ الْحُرِّ بِمَا اسْتَحَقُّوهُ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ نِصْفُ قِيمَةِ الْعَبْدِ أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ الدِّيَةِ أَخَذَ سَيِّدُهُ الْفَاضِلَ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ بَعْدَ أَنْ يَسْتَوْفِيَ وَرَثَةُ الْحُرِّ نِصْفَ دِيَتِهِ وَإِنْ كَانَ نِصْفُ الدِّيَةِ أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ قِيمَةِ الْعَبْدِ كَانَ الْفَاضِلُ وَنِصْفُ الدِّيَةِ هَدَرًا وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ
Pendapat kedua adalah bahwa hak tersebut berpindah kepada ahli waris orang merdeka, dan tuan dari budak tidak berhak mengambilnya karena hak itu sudah menjadi milik yang berhak, dan mungkin saja harta itu rusak di antara waktu pengambilan dan penyerahan sehingga kerusakannya menjadi tanggungan yang berhak. Maka, apa yang menjadi hak tuan dari setengah nilai (budak) berpindah kepada ahli waris orang merdeka sesuai dengan apa yang mereka berhak dari setengah diyat. Jika setengah nilai budak lebih besar dari setengah diyat, maka tuannya mengambil kelebihan dari setengah nilainya setelah ahli waris orang merdeka menerima setengah diyatnya. Namun, jika setengah diyat lebih besar dari setengah nilai budak, maka kelebihan dan setengah diyat itu menjadi gugur. Dan hanya kepada Allah-lah taufik diberikan.
فَصْلٌ
Fasal
إِذَا جَذَبَ رَجُلَانِ ثَوْبًا بَيْنَهُمَا فَتَخَرَّقَ فَإِنْ كَانَ الثَّوْبُ لَهُمَا فَعَلَى كُلِّ واحد منهما لصحابه رُبُعُ أَرْشِ خَرْقِهِ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ نِصْفَ الثَّوْبِ وَخَرَقَهُ بِفِعْلِهِ وَفِعْلِ شَرِيكِهِ مُسْقِطًا مَا قَابَلَ فِعْلَهُ وَوَجَبَ لَهُ مَا قَابَلَ فِعْلَ شَرِيكِهِ فيتقاضان ذَلِكَ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَجِبُ عَلَيْهِ مِثْلُ مَا يَجِبُ لَهُ وَإِنْ كَانَ الثَّوْبُ لِأَحَدِهِمَا كَانَ نِصْفُ أَرْشِهِ هَدَرًا لِأَنَّهُ مُقَابِلٌ لِفِعْلِ مَالِكِهِ وَنِصْفُ الْأَرْشِ عَلَى الَّذِي لَا مِلْكَ لَهُ فِيهِ وَإِنْ كَانَ الثَّوْبُ لِغَيْرِهِمَا كَانَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ أَرْشِهِ لمالكه
Apabila dua orang menarik sebuah kain di antara mereka lalu kain itu robek, maka jika kain itu milik mereka berdua, masing-masing dari mereka wajib membayar kepada temannya seperempat diyat kerusakan kain, karena masing-masing memiliki setengah kain dan merobeknya dengan perbuatannya sendiri dan perbuatan temannya, sehingga bagian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri gugur, dan ia wajib membayar bagian yang disebabkan oleh perbuatan temannya; maka mereka saling menuntut hal itu, karena masing-masing dari mereka wajib membayar sebagaimana ia berhak menerima. Jika kain itu milik salah satu dari mereka, maka setengah diyatnya menjadi gugur karena itu merupakan akibat dari perbuatan pemiliknya, dan setengah diyatnya menjadi tanggungan orang yang tidak memiliki hak atas kain itu. Jika kain itu milik orang lain, maka masing-masing dari mereka wajib membayar setengah diyat kepada pemiliknya.
فصل
Bab
وإذا اصطدم رجلان بإنائين فِيهِمَا طَعَامٌ فَانْكَسَرَ الْإِنَاءَانِ وَاخْتَلَطَ الطَّعَامَانِ ضَمِنَ كل واحد منهما لصاحبه نصف قيمة إناثه وَكَانَ نِصْفُهُ الْبَاقِي هَدَرًا وَأَمَّا الطَّعَامَانِ فَضَرْبَانِ
Jika dua orang bertabrakan dengan membawa dua wadah yang berisi makanan, lalu kedua wadah itu pecah dan kedua makanan itu bercampur, maka masing-masing dari keduanya wajib mengganti kepada yang lain setengah dari nilai wadahnya, dan setengah sisanya menjadi hilang tanpa ganti (hadr). Adapun mengenai kedua makanan tersebut, maka terdapat dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يُمْكِنَ تَمْيِيزُ أَحَدِهِمَا عَنِ الْآخَرِ بَعْدَ اخْتِلَاطِهِ كَالسَّوِيقِ وَالسُّكَّرِ الصَّحِيحِ فَيُمَيِّزُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا طَعَامَهُ مِنْ طَعَامِ صَاحِبِهِ فَإِنِ احْتَاجَ تَمْيِيزُهُمَا إِلَى أُجْرَةِ صَانِعٍ كَانَتْ بَيْنَهُمَا فَإِنْ كَانَ لِتَمْيِيزِهِمَا بَعْدَ اخْتِلَاطِهِمَا نُقْصَانٌ فِي قِيمَتِهِمَا رَجَعَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ بِنِصْفِ أَرْشِ نُقْصَانِ طَعَامِهِ
Salah satunya adalah apabila salah satu dari keduanya dapat dibedakan dari yang lain setelah bercampur, seperti syaweeq dan gula yang masih utuh, sehingga masing-masing dapat membedakan makanannya dari makanan milik temannya. Jika untuk memisahkan keduanya diperlukan biaya tukang, maka biayanya ditanggung bersama. Jika dalam memisahkan keduanya setelah bercampur terjadi penurunan nilai pada keduanya, maka masing-masing dari mereka dapat menuntut temannya sebesar setengah dari ganti rugi atas penurunan nilai makanannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يُمْكِنَ تَمْيِيزُهُمَا بَعْدَ اخْتِلَاطِهِمَا كَالسَّوِيقِ وَالْعَسَلِ فَيُقَوَّمُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الطَّعَامَيْنِ عَلَى انْفِرَادِهِ ثُمَّ يُقَوَّمَانِ بَعْدَ الِاخْتِلَاطِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِمَا نُقْصَانٌ فَلَا غُرْمَ وَصَارَا شَرِيكَيْنِ فِيهِ بِتَقْدِيرِ الثَّمَنَيْنِ كَأَنَّ قِيمَةَ السَّوِيقِ خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَقِيمَةَ الْعَسَلِ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ فَيَكُونُ صَاحِبُ السَّوِيقِ شَرِيكًا فِيهِ بِالثُّلُثِ وَصَاحِبُ الْعَسَلِ شَرِيكًا فِيهِ بِالثُّلُثَيْنِ فَإِنْ بَاعَاهُ اقْتَسَمَا ثَمَنَهُ عَلَى قَدْرِ شركتهما وإن أراد قَسْمَهُ بَيْنَهُمَا جَبْرًا لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُعَاوِضٌ عَنْ سَوِيقٍ بِعَسَلٍ وَذَلِكَ بيع لا يدخله الإجبار وإن أراد قِسْمَةً عَنْ تَرَاضٍ فَفِي جَوَازِهِ قَوْلَانِ
Jenis kedua adalah apabila keduanya tidak dapat dibedakan setelah bercampur, seperti syaweeq dan madu. Maka, masing-masing dari kedua makanan itu dinilai secara terpisah, kemudian dinilai kembali setelah bercampur. Jika tidak terdapat kekurangan pada keduanya, maka tidak ada ganti rugi, dan keduanya menjadi sekutu di dalamnya berdasarkan taksiran harga masing-masing. Misalnya, nilai syaweeq adalah lima dirham dan nilai madu adalah sepuluh dirham, maka pemilik syaweeq menjadi sekutu sepertiga bagian, dan pemilik madu menjadi sekutu dua pertiga bagian. Jika keduanya menjualnya, maka hasil penjualannya dibagi sesuai kadar kepemilikan mereka. Jika mereka ingin membaginya secara paksa, maka itu tidak diperbolehkan, karena masing-masing dari mereka menukar syaweeq dengan madu, dan itu adalah jual beli yang tidak boleh dipaksakan. Namun, jika mereka ingin membaginya atas dasar kerelaan, maka terdapat dua pendapat mengenai kebolehannya.
أَحَدُهُمَا يَجُوزُ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْقِسْمَةَ بَيْعٌ بِدُخُولِ التَّفَاضُلِ فِيهِ وَإِنَ نَقَصَ بِاخْتِلَاطِهِمَا ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ نِصْفَ أرش الناقص من طعامه وتقاضا ثُمَّ كَانَا فِي الشَّرِكَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ وبالله التوفيق
Salah satu dari keduanya boleh jika dikatakan bahwa pembagian itu adalah jual beli dengan masuknya unsur kelebihan di dalamnya. Dan jika terjadi kekurangan karena tercampurnya keduanya, maka masing-masing dari mereka wajib menjamin kepada rekannya setengah dari ganti rugi atas kekurangan makanannya, lalu mereka saling menuntut. Kemudian mereka tetap berada dalam kemitraan seperti yang telah kami sebutkan. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَكَذَلِكَ لَوْ رَمَوْا بِالْمَنْجَنِيقِ مَعًا فَرَجَعَ الْحَجَرُ عَلَيْهِمْ فَقَتَلَ أَحَدَهُمْ فَتُرْفَعُ حِصَّتُهُ مِنْ جِنَايَتِهِ وَيَغْرَمُ عَاقِلَةُ الْبَاقِينَ بَاقِيَ دِيَتِهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Demikian pula jika mereka bersama-sama melempar dengan manjanik, lalu batu itu kembali mengenai mereka dan membunuh salah satu dari mereka, maka bagian dari tindakannya dihapuskan, dan ‘āqilah dari yang tersisa menanggung sisa diyatnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا جَذَبَ جَمَاعَةٌ حَجَرَ مَنْجَنِيقٍ فَأَصَابُوا بِهِ رَجُلًا فَقَتَلُوهُ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Ini seperti yang dikatakan: Jika sekelompok orang menarik batu manjaniq (alat pelontar batu) lalu mereka mengenainya pada seseorang sehingga membunuhnya, maka kasusnya terbagi menjadi dua keadaan.”
أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْتُلُوا بِهِ رَجُلًا مِنْ غَيْرِهِمْ فَضَمَانُ نَفْسِهِ عَلَى جَمِيعِهِمْ وَلَهُمْ فِي إِصَابَتِهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ
Salah satunya adalah jika mereka membunuh seorang laki-laki yang bukan dari golongan mereka, maka diyat atas jiwanya menjadi tanggungan seluruh mereka, dan dalam hal mengenai pembunuhan itu terdapat tiga keadaan bagi mereka.
أَحَدُهَا أَنْ يَقْصِدُوا بِحَجَرِ الْمَنْجَنِيقِ هَدْمَ جِدَارٍ فَيَعْتَرِضُهُ فَيُصِيبُهُ فَهَذَا خَطَأٌ مَحْضٌ تَجِبُ الدِّيَةُ عَلَى عَوَاقِلِهِمْ مُخَفَّفَةً بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ فَإِنْ كَانُوا عَشَرَةً تَحَمَّلَ عَاقِلَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عُشْرَ دِيَتِهِ
Salah satunya adalah jika mereka bermaksud dengan batu manjaniq untuk merobohkan sebuah dinding, lalu seseorang kebetulan melintas dan terkena lemparan itu, maka ini adalah kesalahan murni. Diat wajib ditanggung oleh ‘āqilah mereka secara ringan dan dibagi rata di antara mereka. Jika mereka berjumlah sepuluh orang, maka ‘āqilah masing-masing dari mereka menanggung sepersepuluh dari diatnya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يقصدوا قتله بعينه فينفقوا على اعتماده فهؤلاء عمد على جمعيهم الْقَوَدُ
Keadaan kedua adalah apabila mereka memang berniat membunuhnya secara spesifik dan mereka bersungguh-sungguh dalam melakukannya, maka mereka semua termasuk pembunuhan sengaja, dan qishāsh berlaku atas mereka seluruhnya.
فَإِنْ قَالَ بَعْضُهُمْ عَمَدْتُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَمْ أَعْمِدِ اقْتُصَّ مِنَ الْعَامِدِ وَلَزِمَ مَنْ أَنْكَرَ الْعَمْدَ دِيَةُ الْخَطَأِ فِي مَالِهِ بَعْدَ إِحْلَافِهِ وَلَا تَتَحَمَّلُهَا الْعَاقِلَةُ عَنْهُ لِأَنَّهُ اعْتِرَافٌ إِلَّا أَنْ يُصَدِّقُوهُ فَيَتَحَمَّلُوا عَنْهُ
Jika sebagian dari mereka berkata, “Saya melakukannya dengan sengaja,” dan sebagian lagi berkata, “Saya tidak sengaja melakukannya,” maka qishāsh dijatuhkan kepada yang sengaja, dan bagi yang mengingkari kesengajaan, diwajibkan membayar diyat khathā’ dari hartanya sendiri setelah ia disumpah, dan ‘āqilah tidak menanggung diyat tersebut untuknya karena itu merupakan pengakuan, kecuali jika mereka membenarkannya, maka mereka menanggungnya untuknya.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَقْصِدُوا بِحَجَرِ الْمَنْجَنِيقِ رَمْيَ جَمَاعَةٍ لِيَقْتُلُوا بِهِ أَحَدَهُمْ لَا بِعَيْنِهِ فَهَذِهِ هِيَ الْقِتْلَةُ الْعَمْيَاءُ تَكُونُ عَمْدَ الْخَطَأِ لِأَنَّهُمْ عَمَدُوا الْفِعْلَ فأخطأوا فِي تَعْيِينِ النَّفْسِ فَلَا قَوَدَ فِيهِ وَتَجِبُ الدِّيَةُ عَلَى عَوَاقِلِهِمْ مُغَلَّظَةً
Keadaan ketiga adalah ketika mereka bermaksud melempar sekelompok orang dengan batu manjaniq untuk membunuh salah satu dari mereka, namun tidak secara spesifik menargetkan individu tertentu. Inilah yang disebut pembunuhan buta, yang termasuk dalam kategori sengaja tetapi keliru, karena mereka sengaja melakukan perbuatan tersebut namun keliru dalam menentukan siapa korbannya. Maka dalam kasus ini tidak ada qishāsh, dan wajib membayar diyat yang diperberat atas ‘āqilah mereka.
رَوَى عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَنْ قُتِلَ فِي عَمْيَاءَ رَمْيًا بِحَجَرٍ أَوْ ضَرْبًا بِعَصًا فَعَلَيْهِ عَقْلُ الْخَطَأِ وَمَنْ قُتِلَ اعْتِبَاطًا فَهُوَ قَوَدٌ لَا يُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَاتِلِهِ فَمَنْ حَالَ بَيْنَهُمَا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلَا عَدْلٌ
Amru bin Dinar meriwayatkan dari Thawus dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa terbunuh dalam keadaan samar, dilempar dengan batu atau dipukul dengan tongkat, maka atas pelakunya dikenakan diyat karena kesalahan. Dan barang siapa terbunuh secara sengaja tanpa alasan yang benar, maka berlaku qishash, tidak ada yang dapat menghalangi antara korban dan pembunuhnya. Barang siapa yang menghalangi keduanya, maka atasnya laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia; tidak diterima darinya tebusan maupun keadilan.”
فَالْعَمْيَاءُ أَنْ يَرْمِيَ جَمَاعَةً فَيُصِيبَ أحدهم لا يعينه وَالِاعْتِبَاطُ أَنْ يَرْمِيَ أَحَدَهُمْ بِعَيْنِهِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ دِيَتَهُ عَلَى عَوَاقِلِ الْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَجِبُ عَلَى عَاقِلَةِ مَنْ جَذَبَ فِي الرَّمْيِ دُونَ مَنْ وَضَعَ الْحَجَرَ فِي كِفَّةِ الْمَنْجَنِيقِ وَدُونَ مَنْ يُصِيبُ الْمَنْجَنِيقُ لِأَنَّ وُقُوعَ الْحَجَرِ كَانَ مِنَ الْجَذْبِ فَاقْتَضَى أَنْ تَجِبَ الدِّيَةُ عَلَى مَنْ تَوَلَّاهُ وَوَضْعُ الْحَجَرِ يَجْرِي مَجْرَى وَضْعِ السَّهْمِ فِي وَتَرِ الْقَوْسِ فَإِنْ تَوَلَّى الرَّمْيَ غَيْرُهُ كَانَ الضَّمَانُ عَلَى الرَّامِي دُونَ وَاضِعِ السهم وناصب المنجنيق يجري مَجْرَى صَانِعِ الْقَوْسِ وَأَجْرَاهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا مَجْرَى الْمُمْسِكِ مَعَ الذَّابِحِ وَبِأَنَّهُ أَجْرَى فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ
Adapun ‘amya adalah ketika seseorang melempar ke arah sekelompok orang lalu mengenai salah satu dari mereka tanpa menentukannya, sedangkan i‘tiyāṭ adalah ketika seseorang melempar secara khusus kepada salah satu dari mereka. Jika telah tetap bahwa diyatnya menjadi tanggungan ‘āqilah kelompok tersebut, maka yang wajib menanggung adalah ‘āqilah orang yang menarik tali pelempar saat melempar, bukan yang meletakkan batu di wadah manjaniq, dan bukan pula yang mengarahkan manjaniq, karena jatuhnya batu itu disebabkan oleh tarikan, sehingga diyat wajib atas orang yang melakukannya. Meletakkan batu itu seperti halnya meletakkan anak panah pada tali busur; jika yang melempar adalah orang lain, maka tanggungan ada pada si pelempar, bukan pada yang meletakkan anak panah. Orang yang memasang manjaniq kedudukannya seperti pembuat busur, dan sebagian ulama kami menganggapnya seperti orang yang memegang hewan sembelihan bersama penyembelih, dan karena ia hanya menjalankan saja, maka tidak ada tanggungan atasnya.
فَصْلٌ
Bagian
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَعُودَ حَجَرُ الْمَنْجَنِيقِ عَلَى جَاذِبِيهِ فَيَقْتُلَ أَحَدَهُمْ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَيَكُونَ قَتْلُهُ بِجَذْبِهِ وَجَذْبِ الْجَمَاعَةِ فَإِذَا كَانُوا عَشَرَةً سَقَطَ مِنْ دِيَتِهِ عُشْرُهَا لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ جَذْبِهِ وَوَجَبَ تِسْعَةُ أَعْشَارِهَا عَلَى عَوَاقِلِ التِّسْعَةِ الْبَاقِينَ تَتَحَمَّلُ عَاقِلَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عُشْرَهَا وَلَوْ عَادَ حَجَرُ الْمَنْجَنِيقِ عَلَى اثْنَيْنِ مِنْ عَشَرَةٍ فَقَتَلَهُمَا سَقَطَ مِنْ دِيَةِ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عُشْرُهَا الْمُقَابِلُ لِجَذْبِهِ وَوَجَبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى عَاقِلَةِ الْآخَرِ عُشْرُ دِيَتِهِ لِأَنَّهُ أَحَدُ قَتَلَتِهِ وَوَجَبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى عَاقِلَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الثَّمَانِيَةِ الْبَاقِينَ عُشْرُ دِيَتِهِ فَيَتَحَمَّلُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الثَّمَانِيَةِ عُشْرَيْ دِيَتَيْنِ لِأَنَّهُ قَاتِلُ الِاثْنَيْنِ وَيَتَحَمَّلُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَاتِلِينَ عُشْرَ دِيَةٍ وَاحِدَةٍ لِأَنَّهُ قَاتِلٌ لِوَاحِدٍ وَعَلَى هَذَا الْقِيَاسِ لَوْ قَتَلَ ثَلَاثَةً فَأَكْثَرَ فَإِنْ عَادَ الْحَجَرُ عَلَى جَمِيعِ الْعَشَرَةِ فَقَتَلَهُمْ سَقَطَ الْعُشْرُ مِنْ دِيَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ لِمُقَابَلَتِهَا بِجَذْبِهِ فَوَجَبَ عَلَى عَاقِلَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ تِسْعَةُ أَعْشَارِ تِسْعِ دِيَاتٍ لِوَارِثِ كُلِّ قَتِيلٍ مِنْهُمَا تُسْعٌ
Jenis kedua adalah apabila batu manjaniq kembali mengenai para penariknya lalu membunuh salah satu dari mereka, inilah masalah yang dibahas dalam kitab. Maka kematiannya disebabkan oleh tarikan dirinya dan tarikan kelompok. Jika mereka berjumlah sepuluh orang, maka dari diyatnya gugur sepersepuluh bagian karena itu sebagai imbalan atas tarikan dirinya, dan sembilan persepuluhnya wajib ditanggung oleh ‘āqilah dari sembilan orang lainnya, di mana ‘āqilah masing-masing dari mereka menanggung sepersepuluhnya. Jika batu manjaniq kembali mengenai dua orang dari sepuluh orang itu lalu membunuh keduanya, maka dari diyat masing-masing gugur sepersepuluh bagian yang merupakan imbalan atas tarikan dirinya, dan untuk masing-masing dari mereka wajib atas ‘āqilah yang lain sepersepuluh diyatnya karena ia adalah salah satu pembunuhnya, dan untuk masing-masing dari mereka wajib atas ‘āqilah masing-masing dari delapan orang yang tersisa sepersepuluh diyatnya. Maka masing-masing dari delapan orang itu menanggung dua sepersepuluh dari dua diyat karena ia membunuh dua orang, dan masing-masing dari para pembunuh menanggung sepersepuluh dari satu diyat karena ia membunuh satu orang. Demikian pula dengan qiyās, jika yang terbunuh tiga orang atau lebih. Jika batu itu kembali mengenai seluruh sepuluh orang lalu membunuh mereka, maka gugur sepersepuluh dari diyat masing-masing dari mereka sebagai imbalan atas tarikan dirinya, sehingga wajib atas ‘āqilah masing-masing dari mereka sembilan persepuluh dari sembilan diyat untuk ahli waris masing-masing korban, masing-masing mendapat sepersembilan.
وَهَكَذَا لَوْ جَذَبَ جَمَاعَةٌ حَائِطًا أَوْ نَخْلَةً فَتَلِفَ أَحَدُهُمْ أَوْ جَمِيعُهُمْ كَانَ كَوُقُوعِ حَجَرِ الْمَنْجَنِيقِ عَلَى أَحَدِهِمْ أَوْ عَلَى جَمِيعِهِمْ فِي أَنْ يَسْقُطَ مِنْ دِيَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَا قَابَلَ فِعْلَهُ وَيَجِبُ عَلَى الْبَاقِينَ بَاقِي دِيَتِهِ
Demikian pula, jika sekelompok orang menarik sebuah dinding atau pohon kurma lalu salah satu atau semua dari mereka binasa, maka hukumnya seperti batu manjaniq yang jatuh menimpa salah satu atau semua dari mereka, yaitu dari diyat masing-masing dikurangi bagian yang sebanding dengan perbuatannya, dan sisanya wajib ditanggung oleh yang lainnya.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا وَاقِفًا فَصَدَمَهُ الْآخَرُ فَمَاتَا فَالصِّدَامُ هَدَرٌ وَدِيَةُ صَاحِبِهِ عَلَى عَاقِلَةِ الصَّادِمِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika salah satu dari keduanya sedang berhenti, lalu yang lain menabraknya sehingga keduanya meninggal, maka tabrakan itu dianggap sia-sia (tidak ada diyat), dan diyat pemilik yang ditabrak menjadi tanggungan ‘āqilah pihak yang menabrak.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لِأَنَّ الصَّادِمَ تَفَرَّدَ بِالْجِنَايَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَعَلَى الْوَاقِفِ الْمَصْدُومِ وَسَوَاءٌ كَانَ الْوُقُوفُ فِي مِلْكِ الْوَاقِفِ أَوْ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ أَوْ فِي طَرِيقٍ سَابِلٍ لِأَنَّ مَنْ وَقَفَ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ لَا يَسْتَوْجِبُ الْقَتْلَ فَأَمَّا إِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا جَالِسًا أَوْ نَائِمًا فِي طَرِيقٍ سَابِلٍ فَعَثَرَ بِهِ الْآخَرُ فَمَاتَا مَعًا فَدِيَةُ الْجَالِسِ عَلَى عَاقِلَةِ الْعَاثِرِ وَأَمَّا دِيَةُ الْعَاثِرِ فَقَدْ قَالَ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهَا عَلَى عَاقِلَةِ الْجَالِسِ أَوِ النَّائِمِ
Al-Mawardi berkata: Karena orang yang menabrak telah melakukan tindak pidana sendirian terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang yang berdiri yang ditabrak, dan sama saja apakah orang yang berdiri itu berada di dalam miliknya sendiri, atau di luar miliknya, atau di jalan umum, karena siapa pun yang berdiri di luar miliknya tidak berhak untuk dibunuh. Adapun jika salah satu dari keduanya duduk atau tidur di jalan umum, lalu yang lain tersandung olehnya sehingga keduanya meninggal bersama, maka diyat (denda) untuk yang duduk menjadi tanggungan ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) dari orang yang tersandung, sedangkan diyat untuk orang yang tersandung, menurut pendapat lama, menjadi tanggungan ‘āqilah dari orang yang duduk atau tidur.
وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ دِيَةُ الْعَاثِرِ هَدَرٌ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَخَرَّجَهُ بَعْضُهُمْ عَلَى قَوْلَيْنِ
Dan beliau berkata dalam pendapat baru: diyat orang yang tersandung adalah gugur. Maka para sahabat kami berbeda pendapat; sebagian mereka mengeluarkan masalah ini menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ فِي الْقَدِيمِ أَنَّ دِيَةَ الْعَاثِرِ عَلَى عَاقِلَةِ الْجَالِسِ كُلِّهَا وَدِيَةَ الْجَالِسِ عَلَى عَاقِلَةِ الْعَاثِرِ كُلِّهَا لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَاتَ بِفِعْلٍ انْفَرَدَ بِهِ الْآخَرُ وَلَمْ يَقَعْ فِيهِ اشْتِرَاكٌ فَالْجَالِسُ مَاتَ بِسُقُوطِ الْعَاثِرِ وَالْعَاثِرُ مَاتَ بِجُلُوسِ الْجَالِسِ وَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ الْجَالِسِ وَالْقَائِمِ أَنَّ الْقِيَامَ فِي الطُّرُقَاتِ لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ وَلَا يَجِدُ النَّاسُ بُدًّا مِنْهُ وَخَالَفَ الْجُلُوسَ وَالنَّوْمَ فِيهَا لِأَنَّ مَوَاضِعَ النَّوْمِ وَالْجُلُوسِ فِي غَيْرِ الْمَسَالِكِ الْمَطْرُوقَةِ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat lama, menyatakan bahwa diyat orang yang tersandung seluruhnya menjadi tanggungan ‘āqilah orang yang duduk, dan diyat orang yang duduk seluruhnya menjadi tanggungan ‘āqilah orang yang tersandung, karena masing-masing dari mereka meninggal akibat perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak lain, tanpa ada keterlibatan bersama di dalamnya. Maka orang yang duduk meninggal karena jatuhnya orang yang tersandung, dan orang yang tersandung meninggal karena duduknya orang yang duduk. Perbedaan antara orang yang duduk dan orang yang berdiri adalah bahwa berdiri di jalan tidak bisa dihindari dan orang-orang pasti membutuhkannya, berbeda dengan duduk dan tidur di jalan, karena tempat tidur dan duduk itu berada di luar jalur-jalur yang biasa dilalui.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ الْجَدِيدُ أَنَّ حُكْمَ الْوَاقِفِ وَالْجَالِسِ وَاحِدٌ وَأَنَّ دِيَةَ الْعَاثِرِ هَدَرٌ وَدِيَةَ الْجَالِسِ عَلَى عَاقِلَةِ الْعَاثِرِ لِأَنَّ عُرْفَ النَّاسِ جَارٍ بِجُلُوسِهِمْ فِي الطُّرُقَاتِ كَمَا تَقِفُونَ فِيهَا
Pendapat kedua, yaitu pendapat baru, menyatakan bahwa hukum bagi orang yang berdiri dan yang duduk adalah sama, dan bahwa diyat orang yang tersandung gugur, sedangkan diyat orang yang duduk menjadi tanggungan ‘āqilah orang yang tersandung, karena kebiasaan masyarakat memang duduk di jalan sebagaimana mereka juga berdiri di sana.
وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا لَيْسَ اخْتِلَافُ نَصِّهِ في القديم والجديد عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حالين فالقديم الَّذِي أَوْجَبَ فِيهِ دِيَةَ الْعَاثِرِ عَلَى الْجَالِسِ إِذَا جَلَسَ فِي طَرِيقٍ ضَيِّقَةٍ يُؤْذِي بِجُلُوسِهِ الْمَارَّةَ وَلَوْ كَانَ بَدَلُ جُلُوسِهِ فِيهِ قَائِمًا وَقِيَامُهُ مُضِرٌّ بِالْمَارَّةِ كَانَ فِي حُكْمِ الْجَالِسِ فَيَضْمَنُ دِيَةَ الْعَاثِرِ وَالْجَدِيدُ الَّذِي أَسْقَطَ فِيهِ دِيَةَ الْعَاثِرِ إِذَا كَانَ الْجَالِسُ قَدْ جَلَسَ فِي طَرِيقٍ وَاسِعَةٍ لَا يَضُرُّ جُلُوسُهُ بِالْمَارَّةِ؛ لِأَنَّ النَّاسَ لَا يَجِدُونَ مِنَ الْجُلُوسِ فِي الطُّرُقَاتِ الْوَاسِعَةِ بُدًّا وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ نَائِمًا؛ لِأَنَّ مَحِلَّ النَّوْمِ وَالْجُلُوسِ يَتَقَارَبَانِ وَإِذَا انْهَدَرَتْ دِيَةُ الْعَاثِرِ بِالنَّائِمِ وَالْجَالِسِ كَانَ أَوْلَى أَنْ ينهدر بالواقف
Dan sebagian lain dari ulama kami berkata, perbedaan nash beliau dalam pendapat lama dan baru bukanlah karena perbedaan dua pendapat, melainkan karena perbedaan dua keadaan. Pendapat lama, yaitu yang mewajibkan diyat bagi orang yang tersandung atas orang yang duduk, adalah jika ia duduk di jalan yang sempit sehingga dengan duduknya itu mengganggu orang yang lewat. Jika ia berdiri di tempat duduk tersebut dan berdirinya itu juga membahayakan orang yang lewat, maka hukumnya sama dengan orang yang duduk, sehingga ia wajib menanggung diyat orang yang tersandung. Sedangkan pendapat baru, yang menggugurkan diyat orang yang tersandung, adalah jika orang yang duduk itu duduk di jalan yang luas sehingga duduknya tidak membahayakan orang yang lewat; karena orang-orang tidak dapat menghindari duduk di jalan-jalan yang luas. Demikian pula jika ia sedang tidur, karena tempat tidur dan duduk itu berdekatan. Jika diyat orang yang tersandung gugur atas orang yang tidur dan duduk, maka lebih utama lagi gugur atas orang yang berdiri.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِذَا اصْطَدَمَتِ السَّفِينَتَانِ وَتَكَسَّرَتَا أَوْ إِحْدَاهُمَا فَمَاتَ مَنْ فِيهِمَا فَلَا يَجُوزُ فِيهَا إِلَّا وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَضْمَنَ الْقَائِمُ بِهِمَا في تلك الحال نصف كل ما أصاب سَفِينَتُهُ لِغَيْرِهِ أَوْ لَا يَضْمَنَ بِحَالٍ إِلَّا أَنْ يَقْدِرَ عَلَى تَصْرِيفِهَا بِنَفْسِهِ وَبِمَنْ يُطِيعُهُ فَأَمَّا إِذَا غَلَبَتْهُ فَلَا يَضْمَنُ فِي قَوْلِ من قال بهذا القول والقول قول الذي يصرفها أنها غلبته بريح أو موج وإذا ضمن غير النفوس في ماله ضمنت النفوس عاقلته إلا أن يكون عبداً فيكون ذلك في عنقه قال المزني رحمه الله وقد قال في كتابه الإجارات لا ضمان إلا أن يمكن صرفها
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Apabila dua kapal bertabrakan dan keduanya hancur atau salah satunya, lalu orang-orang yang ada di dalamnya meninggal, maka dalam hal ini hanya ada satu pendapat yang boleh diikuti dari dua pendapat, yaitu: orang yang bertanggung jawab atas kapal-kapal itu pada saat kejadian menanggung setengah dari kerugian yang menimpa kapalnya kepada pihak lain, atau tidak menanggung sama sekali kecuali jika ia mampu mengendalikan kapalnya sendiri dan bersama orang-orang yang mematuhinya. Adapun jika ia tidak mampu karena dikalahkan oleh angin atau ombak, maka menurut pendapat yang mengatakan demikian, ia tidak menanggung. Dan pendapat yang dipegang adalah pendapat orang yang mengendalikan kapal, bahwa ia dikalahkan oleh angin atau ombak. Jika ia menanggung kerugian selain jiwa dengan hartanya, maka kerugian jiwa ditanggung oleh ‘āqilah-nya, kecuali jika ia seorang budak, maka itu menjadi tanggungannya sendiri. Al-Muzani raḥimahullāh berkata: Dan ia juga mengatakan dalam kitab al-Ijārah, tidak ada tanggungan kecuali jika memungkinkan untuk mengendalikan kapal.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي سَفِينَتَيْنِ سَائِرَتَيْنِ اصْطَدَمَتَا فَتَكَسَّرَتَا وَغَرِقَتَا وَهَلَكَ مَنْ فِيهِمَا مِنَ النَّاسِ وتلف ما فيها مِنَ الْأَمْوَالِ فَلَهُمَا حَالَتَانِ
Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah dua kapal yang sedang berlayar kemudian bertabrakan sehingga keduanya hancur dan tenggelam, serta semua orang yang ada di dalamnya meninggal dan seluruh harta benda yang ada di dalamnya rusak. Maka, dalam kasus ini terdapat dua keadaan.
إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ مِنْهُمَا تَفْرِيطٌ
Salah satunya adalah jika dari keduanya terdapat kelalaian.
وَالثَّانِي أَنْ لَا يَكُونَ مِنْهُمَا تَفْرِيطٌ
Dan yang kedua adalah tidak ada kelalaian dari keduanya.
فَإِنْ كَانَ مَلَّاحُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ السَّفِينَتَيْنِ الْمُدَبِّرُ لِسَيْرِهَا مُفَرِّطًا وَتَفْرِيطُهُ قَدْ يَكُونُ مِنْ وُجُوهٍ مِنْهَا أَنْ يُقَصِّرَ فِي آلَتِهَا أَوْ يُقَلِّلَ مِنْ أَجْزَائِهَا أَوْ يَزِيدَ فِي حَمْلِهَا أَوْ يُسَيِّرَهَا فِي شِدَّةِ رِيحٍ لَا يَسَارُ فِي مِثْلِهَا أَوْ يَغْفُلَ عَنْهَا فِي وَقْتِ ضَبْطِهَا فَهَذَا كُلُّهُ وَمَا شَاكَلَهُ تَفْرِيطٌ يَجِبُ بِهِ الضَّمَانُ وَإِذَا وَجَبَ الضَّمَانُ بِالتَّفْرِيطِ تعلق بفصلين
Jika nakhoda masing-masing dari kedua kapal tersebut yang mengatur jalannya kapal bersikap lalai—dan kelalaian itu bisa terjadi dalam berbagai bentuk, di antaranya: kurang memperhatikan peralatan kapal, mengurangi bagian-bagian kapal, menambah muatan kapal, menjalankan kapal di tengah angin kencang yang biasanya tidak memungkinkan kapal berlayar, atau lengah terhadap kapal pada saat seharusnya mengawasinya—maka semua hal tersebut dan yang semisalnya termasuk kelalaian yang mewajibkan adanya tanggungan (ganti rugi). Dan apabila tanggungan itu wajib karena kelalaian, maka hal itu berkaitan dengan dua pembahasan.
أَحَدُهُمَا بِالنُّفُوسِ
Salah satunya berkaitan dengan jiwa-jiwa.
وَالثَّانِي بِالْأَمْوَالِ
Dan yang kedua berkaitan dengan harta.
فَأَمَّا النُّفُوسُ فَإِنَّ عَمْدَ الْمَلَّاحَانِ لِلصَّدْمِ وَالتَّغْرِيقِ لِنِزَاعٍ أَوْ شَحْنَاءَ فَهُمَا قَاتِلَانِ عَمْدًا لِمَنْ فِي السَّفِينَتَيْنِ مِنَ النُّفُوسِ فَيَجِبُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الْقَوَدُ لِمَنْ فِي سَفِينَتِهِ وَسَفِينَةِ صَاحِبِهِ فَيُقْتَلُ أَحَدُهُمْ بِالْقَرْعَةِ وَيُؤْخَذُ فِي مَالِهِ نِصْفُ دِيَاتِ الْبَاقِينَ وَيُؤْخَذُ النِّصْفُ الْآخَرُ مِنْ مَالِ الْمَلَّاحِ الْآخَرِ
Adapun jiwa-jiwa, maka jika dua nahkoda sengaja menabrakkan dan menenggelamkan (kapal) karena suatu perselisihan atau permusuhan, maka keduanya adalah pembunuh dengan sengaja terhadap jiwa-jiwa yang ada di kedua kapal tersebut. Maka wajib atas masing-masing dari keduanya qishāsh atas siapa saja yang ada di kapalnya dan kapal temannya. Salah satu dari mereka dibunuh dengan undian, dan dari hartanya diambil setengah diyat dari korban yang tersisa, dan setengah lainnya diambil dari harta nahkoda yang lain.
وإن لم يعمد الاصطدام فلا قود على عَاقِلَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ دِيَاتِ رُكَّابِ سَفِينَتِهِ وَرُكَّابِ السَّفِينَةِ الْأُخْرَى فَتَكُونُ دِيَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ رُكَّابِ السَّفِينَتَيْنِ عَلَى عَاقِلَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَلَّاحَيْنِ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ مِنْهُمَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْمَلَّاحَانِ عَبْدَيْنِ فَيَكُونُ الدِّيَاتُ فِي رَقَبَتهمَا فَإِنْ هَلَكَ الْمَلَّاحَانِ مَعَ الرُّكَّابِ وَكَانَا عَبْدَيْنِ كَانَتْ نُفُوسُ الرُّكَّابِ هَدَرًا لِتَلَفِ مَحَلِّ جنايتهما وإن كانا حرين تحملت عاقلة كل واحد منهما نصف دية كل واحد من الركاب فتكون عاقلة هذا نصف الدية وعلى عاقلة الآخر نصفها الآخر ويتحمل عاقلة كل واحدة منهما نصف دية الآخر وَيَكُونُ نِصْفُهَا الْبَاقِي هَدَرًا لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ جِنَايَةِ نَفْسِهِ
Jika tabrakan itu tidak disengaja, maka tidak ada qishāsh atas ‘āqilah masing-masing dari keduanya, melainkan setengah diyat penumpang kapalnya dan penumpang kapal lainnya. Maka diyat setiap penumpang dari kedua kapal itu menjadi tanggungan ‘āqilah masing-masing dari kedua nahkoda, karena tindak pidana berasal dari keduanya, kecuali jika kedua nahkoda itu adalah budak, maka diyat menjadi tanggungan mereka berdua. Jika kedua nahkoda itu juga meninggal bersama para penumpang dan keduanya adalah budak, maka jiwa para penumpang menjadi sia-sia (tidak ada diyat) karena hilangnya pelaku tindak pidana. Namun jika keduanya adalah orang merdeka, maka ‘āqilah masing-masing menanggung setengah diyat setiap penumpang, sehingga ‘āqilah yang satu menanggung setengah diyat dan ‘āqilah yang lain menanggung setengahnya lagi. ‘Āqilah masing-masing juga menanggung setengah diyat dari nahkoda lainnya, dan setengah sisanya menjadi sia-sia karena itu sebagai balasan atas tindak pidana terhadap dirinya sendiri.
وَأَمَّا الْأَمْوَالُ فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ تَكُونَ لَهُمَا أَوْ لِغَيْرِهِمَا
Adapun harta, maka tidak lepas dari kemungkinan bahwa harta itu milik keduanya atau milik selain keduanya.
فَإِنْ كَانَتْ لِغَيْرِهِمَا ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَلَّاحِينَ فِي مَالِهِ نِصْفَ قِيمَةِ الْمَتَاعِ الَّذِي فِي سَفِينَتِهِ وَنِصْفَ قِيمَةِ الْمَتَاعِ الَّذِي فِي سَفِينَةِ الْآخَرِ وَضَمِنَ الْمَلَّاحُ الْآخَرُ النِّصْفَ الْآخَرَ
Jika barang itu milik selain keduanya, maka masing-masing dari para pelaut menanggung dalam hartanya setengah dari nilai barang yang ada di kapalnya dan setengah dari nilai barang yang ada di kapal yang lain, dan pelaut yang lain menanggung setengah sisanya.
وَإِنْ كَانَ الْمَتَاعُ لَهُمَا ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ قِيمَةِ مَتَاعِ صَاحِبِهِ لِجِنَايَتِهِ عَلَى مَالِ غَيْرِهِ وَكَانَ النِّصْفُ الْبَاقِي هَدَرًا لِأَنَّهُ مِنْ جِنَايَتِهِ عَلَى مَالِ نَفْسِهِ
Jika barang itu milik mereka berdua, maka masing-masing dari mereka wajib menanggung setengah nilai barang milik pasangannya karena ia telah melakukan pelanggaran terhadap harta orang lain, sedangkan setengah sisanya menjadi gugur (tidak ada tanggungan) karena itu merupakan akibat pelanggarannya terhadap harta miliknya sendiri.
وَأَمَّا السَّفِينَتَانِ فَإِنْ كَانَتَا لِغَيْرِهِمَا ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ قِيمَةِ سَفِينَتِهِ وَسَفِينَةِ صَاحِبِهِ وَإِنْ كَانَتَا لَهُمَا ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ سَفِينَةِ صَاحِبِهِ وَكَانَ نِصْفُ سَفِينَتِهِ هَدَرًا كَمَا قُلْنَا فِي الْأَمْوَالِ
Adapun dua kapal itu, jika keduanya milik orang lain, maka masing-masing dari mereka wajib menanggung setengah dari nilai kapalnya sendiri dan kapal milik rekannya. Namun jika kedua kapal itu milik mereka berdua, maka masing-masing dari mereka wajib menanggung setengah dari kapal milik rekannya, dan setengah dari kapalnya sendiri menjadi gugur (tidak ditanggung), sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam kasus harta.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ كَانَ الْمَلَّاحَانِ غَيْرَ مُفَرِّطَيْنِ لِقِيَامِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ آلَةٍ وَأَعْوَانٍ وَحَمَّلَ سَفِينَتَهُ مَا تُقِلُّهُ وَتُسَيِّرُهَا فِي وَقْتِ الْعَادَةِ فَهَاجَتْ رِيحٌ عَاصِفَةٌ لَمْ يَقْدِرُوا مَعَهَا عَلَى ضَبْطِ السَّفِينَتَيْنِ حَتَّى غَرِقَتَا وَمَا فِيهِمَا مِنَ النُّفُوسِ وَالْأَمْوَالِ فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ قَوْلَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا فِيمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ
Jika kedua nahkoda tidak lalai karena masing-masing telah melakukan apa yang dibutuhkan, baik dari segi peralatan maupun pembantu, dan memuat kapalnya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan berlayar pada waktu yang lazim, lalu tiba-tiba datang angin kencang yang tidak mampu mereka kendalikan sehingga kedua kapal itu tenggelam beserta seluruh penumpang dan harta benda di dalamnya, maka mengenai kewajiban ganti rugi terdapat dua pendapat yang dinyatakan secara tegas dalam riwayat yang dinukil oleh al-Muzani pada bagian ini.
أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الضَّمَانُ وَنَصَّ عَلَيْهِ فِي الْإِمْلَاءِ وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا ضَمَانَ وَنَصَّ عَلَيْهِ فِي الْإِجَارَاتِ فَإِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ الضَّمَانِ فَدَلِيلُهُ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ اصْطِدَامُ الْفَارِسَيْنِ مُوجِبًا لِلضَّمَانِ وَإِنْ عَجَزَا عَنْ ضَبْطِ الْفَرَسَيْنِ وَجَبَ أَنْ يَضْمَنَ الْمَلَّاحَانِ وَإِنْ عَجَزَا عَنْ ضَبْطِ السَّفِينَتَيْنِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ ضَمَانُ النُّفُوسِ وَالْأَمْوَالِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ التَّفْرِيطِ إِلَّا فِي الْقَوَدِ بِأَنَّهُ لَا يَجِبُ بِخُرُوجِهِ عَنْ حُكْمِ الْغَيْرِ وَيَكُونُ دِيَاتُ النُّفُوسِ مُخَفَّفَةً عَلَى الْعَاقِلَةِ لِأَنَّهُ خَطَأٌ مَحْضٌ
Salah satu pendapat menyatakan ada kewajiban ganti rugi, dan hal ini dinyatakan dalam kitab al-Imlā’, sedangkan pendapat kedua menyatakan tidak ada kewajiban ganti rugi, dan hal ini dinyatakan dalam kitab al-Ijārāt. Jika dikatakan bahwa ganti rugi itu wajib, maka dalilnya adalah bahwa ketika tabrakan dua penunggang kuda mewajibkan adanya ganti rugi, meskipun keduanya tidak mampu mengendalikan kuda mereka, maka wajib pula bagi dua nahkoda kapal untuk menanggung ganti rugi, meskipun keduanya tidak mampu mengendalikan kedua kapal tersebut. Berdasarkan hal ini, maka ganti rugi atas jiwa dan harta berlaku sebagaimana yang telah dijelaskan terkait kelalaian, kecuali dalam kasus qawad, yaitu tidak wajib karena keluar dari hukum yang berlaku pada selainnya, dan diyat (denda) atas jiwa menjadi ringan dan ditanggung oleh ‘āqilah karena hal itu merupakan kesalahan murni.
وَإِذَا قِيلَ بِسُقُوطِ الضَّمَانِ فَدَلِيلُهُ أَنَّ مَا خَرَجَ عَنِ التَّعَدِّي وَالتَّفْرِيطِ فِي الْأَمَانَاتِ لَمْ يُضْمَنْ بِالْحَوَادِثِ الطَّارِقَةِ كَالْوَدَائِعِ وَلِأَنَّ التَّلَفَ لَوْ كَانَ بِصَاعِقَةٍ لَمْ يُضْمَنْ كَذَلِكَ بِالرِّيحِ العارضة وَخَالَفَ اصْطِدَامَ الْفَارِسَيْنِ لِأَنَّ عِنَانَ الدَّابَّةِ بِيَدِ رَاكِبِهَا تَتَصَرَّفُ عَلَى اخْتِيَارِهِ فَإِنْ قَهَرَتْهُ فَلِتَفْرِيطِهِ في آله ضبطها والريح العارضة لا يقدر على دفعها ولا يجد سبيلاً إلى ضبطها فَافْتَرَقَا فَعَلَى هَذَا تَكُونُ النُّفُوسُ هَدَرًا
Dan apabila dikatakan bahwa jaminan gugur, maka dalilnya adalah bahwa sesuatu yang keluar dari unsur kesengajaan dan kelalaian dalam hal amanah tidak dikenakan jaminan atas kejadian-kejadian yang datang secara tiba-tiba, seperti pada barang titipan. Karena jika kerusakan itu disebabkan oleh petir, maka tidak dikenakan jaminan, demikian pula jika disebabkan oleh angin yang datang secara tiba-tiba. Hal ini berbeda dengan tabrakan dua penunggang kuda, karena kendali hewan berada di tangan penunggangnya dan dapat dikendalikan sesuai kehendaknya. Jika hewan itu tidak dapat dikendalikan, maka itu karena kelalaian penunggang dalam menguasainya, sedangkan angin yang datang secara tiba-tiba tidak dapat dihalau dan tidak ada jalan untuk mengendalikannya. Maka, keduanya berbeda. Berdasarkan hal ini, jiwa-jiwa menjadi tidak ada tuntutan ganti rugi (hadr).
فَأَمَّا السُّفُنُ فَإِنْ كَانَتْ مِلْكًا أَوْ مُسْتَأْجَرَةً لَمْ يَضْمَنْ وَإِنْ كَانَتْ مُسْتَعَارَةً ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنَ الْمَلَّاحَيْنِ جَمِيعَ قِيمَةِ سَفِينَتِهِ الَّتِي اسْتَعَارَهَا لِأَنَّ الْعَارِيَةَ مَضْمُونَةٌ فِي الْأَصْلِ بِعُدْوَانٍ وَغَيْرِ عُدْوَانٍ
Adapun kapal, jika kapal itu milik sendiri atau disewa, maka tidak ada tanggungan. Namun jika kapal itu dipinjam, maka masing-masing dari kedua pelaut tersebut menanggung seluruh nilai kapal yang dipinjamnya, karena barang pinjaman pada dasarnya memang menjadi tanggungan, baik karena kesalahan maupun bukan karena kesalahan.
وَأَمَّا الْأَمْوَالُ فَإِنْ كَانَ مَعَهَا أَرْبَابُهَا لَمْ يَضْمَنْهَا الْمَلَّاحَانِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا أَرْبَابُهَا لَمْ يَضْمَنْ إِنْ كَانَ مُنْفَرِدًا كَالْأَجِيرِ الْمُنْفَرِدِ وَفِي ضَمَانِهِ إِنْ كَانَ مُشْتَرِكًا قَوْلَانِ كَالْأَجِيرِ الْمُشْتَرِكِ
Adapun harta benda, jika pemiliknya ikut serta, maka kedua pelaut tidak menanggungnya. Namun jika pemiliknya tidak ikut serta, maka pelaut tidak menanggungnya jika ia bekerja sendiri seperti ajīr munfarid (pekerja lepas). Sedangkan jika ia bekerja bersama-sama, terdapat dua pendapat mengenai tanggung jawabnya, seperti ajīr musytarak (pekerja bersama).
أَحَدُهُمَا يَضْمَنُ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْأَجِيرَ الْمُشْتَرِكَ ضَامِنٌ
Salah satunya wajib menanggung jika dikatakan bahwa ajīr musytarak itu penanggung.
وَالثَّانِي لَا يَضْمَنُ إِذَا قِيلَ إِنِ الْأَجِيرَ الْمُشْتَرِكَ لَيْسَ بِضَامِنٍ فَإِنْ كَانَ أَحَدُ الْمَلَّاحَيْنِ مُنْفَرِدًا وَالْآخَرُ مُشْتَرِكًا فَلَا ضَمَانَ عَلَى الْمُنْفَرِدِ وَفِي ضَمَانِ الْمُشْتَرِكِ قَوْلَانِ وَلَوْ فَرَّطَ أَحَدُ الْمَلَّاحَيْنِ وَلَمْ يُفَرِّطِ الْآخَرُ كَانَ الْمُفَرِّطُ ضَامِنًا وَفِي ضَمَانِ مَنْ لَمْ يُفَرِّطْ قَوْلَانِ فَإِنْ غَرِقَتْ إِحْدَى السَّفِينَتَيْنِ وَلَمْ تَغْرَقِ الْأُخْرَى كَانَ الْحُكْمُ فِي ضَمَانِ الَّتِي غَرِقَتْ كَالْحُكْمِ فِي ضَمَانِهَا لَوْ غَرِقَا مَعًا وَإِذَا كَانَ فِي السَّفِينَةِ مَالِكُهَا وَمَلَّاحُهَا فَإِنْ كَانَ مَالِكُهَا هُوَ الْمُرَاعِيَ لَهَا وَالْمُدَبِّرَ لِسَيْرِهَا كَانَ الضَّمَانَ إِنْ وَجَبَ عَلَى الْمَالِكِ دُونَ الْمَلَّاحِ وَإِنْ كَانَ الْمَلَّاحُ هُوَ الْمُدَبِّرَ لِسَيْرِهَا دُونَ الْمَالِكِ فَالضَّمَانُ وَاجِبٌ عَلَى الْمَلَّاحِ دُونَ الْمَالِكِ
Yang kedua, tidak ada tanggungan apabila dikatakan bahwa ajīr musytarak (pekerja bersama) tidak menanggung. Jika salah satu dari dua pelaut bekerja sendiri dan yang lainnya bekerja bersama, maka tidak ada tanggungan atas yang bekerja sendiri, dan dalam hal tanggungan bagi yang bekerja bersama terdapat dua pendapat. Jika salah satu dari dua pelaut melakukan kelalaian dan yang lainnya tidak, maka yang lalai wajib menanggung, dan dalam hal tanggungan bagi yang tidak lalai terdapat dua pendapat. Jika salah satu dari dua kapal tenggelam dan yang lainnya tidak, maka hukum tanggungan atas kapal yang tenggelam sama dengan hukum tanggungan seandainya keduanya tenggelam bersamaan. Jika di dalam kapal terdapat pemilik dan pelautnya, maka jika pemilik kapal yang mengawasi dan mengatur jalannya kapal, maka jika ada tanggungan, itu wajib atas pemilik kapal, bukan pelaut. Namun jika pelaut yang mengatur jalannya kapal tanpa campur tangan pemilik, maka tanggungan wajib atas pelaut, bukan pemilik kapal.
فَلَوِ اخْتَلَفَ فِي التَّفْرِيطِ الْمَلَّاحُ وَالرُّكَّابُ فَادَّعَاهُ الرُّكَّابُ وَأَنْكَرَهُ الْمَلَّاحُ فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الْمَلَّاحِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّهُ عَلَى أَصْلِ الْأَمَانَةِ إِلَّا أَنْ يَجِبَ عَلَيْهِ الضَّمَانُ مَعَ عَدَمِ التَّفْرِيطِ فَلَا يَكُونُ لِهَذَا الِاخْتِلَافِ تَأْثِيرٌ إِلَّا فِيمَا وَقَعَ الْفَرْقُ فِي صِفَةِ ضَمَانِهِ بين التفريط وغيره
Maka jika terjadi perselisihan antara nahkoda dan para penumpang tentang adanya kelalaian, lalu para penumpang mengklaim adanya kelalaian sedangkan nahkoda mengingkarinya, maka yang dipegang adalah pernyataan nahkoda dengan sumpahnya, karena pada dasarnya ia adalah orang yang dipercaya, kecuali jika ia memang wajib menanggung ganti rugi meskipun tanpa kelalaian, maka perselisihan ini tidak berpengaruh kecuali pada perbedaan sifat tanggung jawabnya antara kelalaian dan selainnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وإذا صدمت سَفِينَتُهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعْهَدَ بِهَا الصَّدْمُ لَمْ يَضْمَنْ شَيْئًا مِمَا فِي سَفِينَتِهِ بِحَالٍ لأن الذين دخلو غَيْرُ مُتَعَدًّى عَلَيْهِمْ وَلَا عَلَى أَمْوَالِهِمْ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika kapal seseorang menabrak tanpa ada kebiasaan sebelumnya kapal itu menabrak, maka ia tidak menanggung apa pun dari barang-barang yang ada di kapalnya dalam keadaan apa pun, karena orang-orang yang naik kapal tersebut tidak ada pelanggaran terhadap mereka maupun terhadap harta mereka.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صُورَةِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ
Al-Mawardi berkata, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai bentuk permasalahan ini menjadi tiga pendapat.
أَحَدُهَا أَنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِي اصْطِدَامِ السَّفِينَتَيْنِ السَّائِرَتَيْنِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مِنْهُمَا تَفْرِيطٌ فَلَا ضَمَانَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ وَيَكُونُ هَذَا بَقِيَّةَ الْمَسْأَلَةِ الْمَاضِيَةِ وَهَذَا تَأْوِيلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَطَائِفَةٍ
Salah satunya adalah bahwa kasus ini digambarkan pada tabrakan dua kapal yang sedang berjalan, jika tidak ada kelalaian dari keduanya, maka tidak ada tanggungan atas salah satu dari keduanya menurut pendapat yang paling sahih. Ini merupakan kelanjutan dari permasalahan sebelumnya, dan inilah penafsiran Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan sekelompok ulama.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِي سَفِينَةِ مُرْسَاةٍ إِلَى شَاطِئِ نَهْرٍ أَوْ سَاحِلِ بَحْرٍ قَدْ أُحْكِمَتْ رُبُطُهَا وَأُلْقِيَتْ أَنَاجِرُهَا فَعَصَفَتْ رِيحٌ قَطَعَتْ رَبُطُهَا وَقَلَعَتْ أَنَاجِرَهَا حَتَّى هَلَكَتْ وَمَنْ فِيهَا فَلَا ضَمَانَ هَاهُنَا عَلَى مَلَّاحِهَا قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ لَا فِعْلَ لَهُ فِيهَا عِنْدَ غَرَقِهَا وَخَالَفَ حَالَ السَّائِرَةِ الَّتِي هِيَ مُدَبَّرَةٌ بِفِعْلِهِ وَرُبَّمَا خَفِيَ فِيهِ وَجْهُ تَقْصِيرِهِ حَكَاهُ أَبُو الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيُّ
Adapun penjelasan kedua adalah bahwa kapal tersebut digambarkan sedang berlabuh di tepi sungai atau pantai laut, tali-tali pengikatnya telah diikat dengan kuat dan jangkarnya telah dilemparkan. Lalu datanglah angin kencang yang memutuskan tali-tali pengikatnya dan mencabut jangkarnya hingga kapal itu tenggelam bersama orang-orang di dalamnya. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada tanggungan (dhaman) atas nahkodanya menurut satu pendapat, karena ia tidak melakukan apa pun ketika kapal itu tenggelam. Keadaan ini berbeda dengan kapal yang sedang berlayar, yang dikendalikan oleh perbuatannya, dan mungkin saja tersembunyi sisi kelalaiannya di dalamnya. Hal ini diriwayatkan oleh Abu al-Qasim al-Shaymari.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهَا مُصَوَّرَةٌ فِي سَفِينَةٍ مُرْسَاةٍ إِلَى الشَّطِّ مُحْكَمَةُ الرَّبْطِ وَأُخْرَى سَائِرَةٍ عَصَفَتْ بِهَا الرِّيحُ فَأَلْقَتْهَا عَلَى الْوَاقِفَةِ حَتَّى غَرَّقَتْهَا فَلَا ضَمَانَ عَلَى صَاحِبِ الْوَاقِفَةِ وَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَى صَاحِبِ السَّائِرَةِ إِنْ لَمْ يُفَرِّطْ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الإسفراييني
Pendapat ketiga adalah bahwa kasus ini digambarkan seperti sebuah kapal yang berlabuh di tepi pantai dan diikat dengan kuat, lalu ada kapal lain yang sedang berjalan, kemudian angin kencang meniupnya hingga kapal itu menabrak kapal yang sedang berlabuh sampai menenggelamkannya. Maka tidak ada kewajiban ganti rugi atas pemilik kapal yang berlabuh. Adapun mengenai kewajiban ganti rugi atas pemilik kapal yang berjalan, jika ia tidak lalai, terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِذَا عَرَضَ لَهُمْ مَا يَخَافُونَ بِهِ التَّلَفَ عَلَيْهَا وَعَلَى مَنْ فِيهَا فَأَلْقَى أَحَدُهُمْ بَعْضَ مَا فِيهَا رَجَاءَ أَنْ تَخِفَّ فَتَسْلَمَ فَإِنْ كَانَ مَالَهُ فَلَا شَيْءَ عَلَى غَيْرِهِ وَكَذَلِكَ لَوْ قَالُوا لَهُ أَلْقِ مَتَاعَكَ فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهِ ضَمِنَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Apabila mereka menghadapi sesuatu yang mereka khawatirkan akan menyebabkan kebinasaan terhadap perahu dan orang-orang yang ada di dalamnya, lalu salah seorang dari mereka membuang sebagian barang yang ada di dalamnya dengan harapan agar perahu menjadi lebih ringan sehingga selamat, maka jika barang itu miliknya sendiri, tidak ada tanggungan apa pun atas orang lain. Demikian pula jika mereka berkata kepadanya, ‘Buanglah barangmu!’ maka jika barang itu milik orang lain, ia wajib menanggungnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا خَافَ رُكْبَانُ السَّفِينَةِ مِنْ غَرَقِهَا لِثِقَلِ مَا فِيهَا وَعُصُوفِ الرِّيحِ بِهَا فَأَلْقَى رَجُلٌ بَعْضَ مَتَاعِهَا لِتَخِفَّ فَتَسْلَمَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Hal ini seperti yang dikatakan: Jika para penumpang kapal takut kapalnya akan tenggelam karena berat muatan dan kencangnya angin, lalu seseorang membuang sebagian barang bawaannya agar kapal menjadi lebih ringan dan selamat, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.”
أَحَدُهُمَا أَنْ يُلْقِيَ مَتَاعَ نَفْسِهِ
Salah satunya adalah seseorang melemparkan barang miliknya sendiri.
وَالثَّانِي أَنْ يُلْقِيَ مَتَاعَ غَيْرِهِ
Dan yang kedua adalah melemparkan barang milik orang lain.
فَإِنْ أَلْقَى مَتَاعَ غَيْرِهِ كَانَ مُتَعَدِّيًا بِإِلْقَائِهِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُلْقِي صَاحِبَ السَّفِينَةِ أَوْ غَيْرَهُ وَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ سَوَاءٌ نَجَتِ السَّفِينَةُ أَوْ هَلَكَتْ مَنَعَهُ الْمَالِكُ مِنْ إِلْقَائِهِ أَوْ لَمْ يَمْنَعْهُ لِأَنَّ إِمْسَاكَهُ عَنْ مَنْعِهِ لَا يُبَرِّئْهُ مِنْ ضَمَانِهِ كَمَا لَوْ قَتَلَ لَهُ قَتِيلًا أَوْ قَطَعَ مِنْهُ عُضْوًا وَلَا يَجِبُ عَلَى رُكْبَانِ السَّفِينَةِ مِنْ ضَمَانِهِ شَيْءٌ وَإِنْ كَانَ سَبَبًا لِسَلَامَتِهِمْ فَلَوْ كَانُوا قَدْ أَمَرُوهُ بِإِلْقَائِهِ لَمْ يَضْمَنُوا لِأَنَّ الْمُلْقِيَ لَا يَسْتَبِيحُ الْإِلْقَاءَ بِأَمْرِهِمْ فَصَارَ وُجُودُ أَمْرِهِمْ وَعَدَمُهُ سَوَاءً
Jika seseorang melemparkan barang milik orang lain, maka ia telah bertindak melampaui batas dengan pelemparannya itu, baik yang melempar adalah pemilik kapal maupun bukan, dan ia wajib menanggung ganti rugi atas barang tersebut, baik kapal itu selamat maupun tenggelam, baik pemilik barang melarangnya untuk melemparkan atau tidak melarangnya. Sebab, sikap diam pemilik barang dan tidak melarang tidak membebaskannya dari kewajiban ganti rugi, sebagaimana jika seseorang membunuh orang lain miliknya atau memotong salah satu anggota tubuhnya. Para penumpang kapal tidak wajib menanggung ganti rugi atas barang tersebut, meskipun pelemparan itu menjadi sebab keselamatan mereka. Jika para penumpang memerintahkannya untuk melemparkan barang itu, mereka tetap tidak wajib menanggung ganti rugi, karena orang yang melempar tidak berhak melempar hanya karena perintah mereka, sehingga adanya perintah mereka atau tidak sama saja.
فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا سَقَطَ ضَمَانُ هَذَا الْمَالِ لِمَا فِي اسْتِهْلَاكِهِ مِنْ خَلَاصِ النُّفُوسِ كَالْفَحْلِ إِذَا صَالَ فَقَتَلَ لَمْ يُضْمَنْ
Jika ada yang bertanya, “Mengapa tidak gugur tanggungan atas harta ini karena dalam penggunaannya terdapat penyelamatan jiwa, seperti halnya seekor pejantan jika menyerang lalu membunuh maka tidak ada tanggungan atasnya?”
قِيلَ لِأَنَّ خَوْفَ الْفَحْلِ لِمَعْنًى فِيهِ فَسَقَطَ ضَمَانُهُ وَخَوْفَ الْغَرَقِ لِمَعْنًى فِي غَيْرِ الْمَالِكِ فَلَزِمَ ضَمَانُهُ كَمَا لَوِ اضْطُرَّ إِلَى أَكْلِ طَعَامِ غَيْرِهِ ضَمِنَهُ فَإِنْ أَلْقَى مَتَاعَ نَفْسِهِ فعَلَى ضَرْبَيْنِ
Dikatakan bahwa rasa takut terhadap pejantan disebabkan oleh sesuatu yang ada pada dirinya, sehingga gugurlah kewajiban ganti rugi atasnya. Sedangkan rasa takut terhadap tenggelam disebabkan oleh sesuatu yang ada pada selain pemilik, maka tetaplah kewajiban ganti rugi atasnya, sebagaimana jika seseorang terpaksa memakan makanan milik orang lain, ia tetap wajib menggantinya. Jika seseorang melemparkan barang miliknya sendiri, maka ada dua keadaan.
أَحَدُهُمَا بِأَمْرِهِمْ
Salah satunya adalah dengan perintah mereka.
وَالثَّانِي بِغَيْرِ أَمْرِهِمْ
Dan yang kedua adalah tanpa izin mereka.
فَإِنْ أَلْقَاهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِمْ كَانَ مُحْتَسِبًا فِي إِلْقَائِهِ لِمَا يُرْجَى مِنْ نَجَاتِهِ وَنَجَاتِهِمْ وَلَيْسَ لَهُ الرُّجُوعُ بِقِيمَتِهِ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ وَإِنْ كَانَ أَلْقَاهُ سَبَبًا لِنَجَاتِهِمْ؛ لِأَنَّهُ تَطَوَّعَ بِإِلْقَائِهِ وَإِنْ أَلْقَاهُ بِأَمْرِهِمْ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Jika ia melemparkannya tanpa perintah mereka, maka ia dianggap berbuat kebajikan dalam melemparkannya demi harapan keselamatan dirinya dan keselamatan mereka, dan ia tidak berhak menuntut penggantian nilainya dari salah satu dari mereka, meskipun pelemparan itu menjadi sebab keselamatan mereka; karena ia telah berbuat secara sukarela dalam melemparkannya. Namun, jika ia melemparkannya atas perintah mereka, maka ada dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَضْمَنُوا لَهُ قِيمَتَهُ
Salah satunya adalah mereka menjamin nilai barang itu untuknya.
وَالثَّانِي أَنْ لَا يَضْمَنُوهَا
Dan yang kedua adalah mereka tidak menanggungnya.
فَإِنْ لَمْ يَضْمَنُوهَا بَلْ قَالُوا أَلْقِ مَتَاعَكَ فَأَلْقَاهُ فَلَا غُرْمَ لَهُ عَلَيْهِمْ وَإِنْ أَمَرُوهُ بِهِ وَحُكِيَ عَنْ مَالِكٍ إنَّ عَلَيْهِمْ ضَمَانَهُ وَغُرْمَهُ لِأَنَّ الْآمِرَ كَالْفَاعِلِ وَلِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ عُمُومِ الصَّالِحِ وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَمْرَيْنِ
Jika mereka tidak menanggungnya, melainkan hanya berkata, “Lemparkan barangmu,” lalu ia melemparkannya, maka tidak ada ganti rugi atas mereka. Namun jika mereka memerintahkannya untuk melakukannya, dan telah dinukil dari Malik bahwa atas mereka kewajiban menanggung dan menggantinya, karena yang memerintah itu seperti pelaku, dan karena dalam hal itu terdapat keumuman maslahat. Namun pendapat ini batil karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ لَوْ أَمَرُوهُ بِاسْتِهْلَاكِهِ فِي غَيْرِ الْبَحْرِ لَمْ يَضْمَنُوهُ فَكَذَلِكَ فِي الْبَحْرِ
Salah satu alasannya adalah bahwa jika mereka memerintahkannya untuk membinasakannya bukan di laut, mereka tidak menanggung tanggung jawab atasnya; maka demikian pula halnya jika di laut.
وَالثَّانِي أَنَّهُمْ لَوْ أَمَرُوهُ بِعِتْقِ عَبْدِهِ أَوْ بِطَلَاقِ زَوْجَتِهِ لَمْ يَضْمَنُوا كَذَلِكَ بِإِلْقَاءِ مَالِهِ وَإِنْ ضَمِنُوهُ لَهُ فَقَالُوا لَهُ أَلْقِ مَتَاعَكَ وَعَلَيْنَا ضَمَانُهُ فَأَلْقَاهُ لَزِمَهُمْ ضَمَانُهُ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ لَا يَلْزَمُهُمْ ضَمَانُهُ لِأَنَّهُ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ كَمَا لَوْ قَالَ لَهُ قَدْ ضَمِنْتُ لَكَ مَا تُدَايِنُ بِهِ فُلَانًا لَمْ يَلْزَمْهُ ضَمَانُ مَا دَايَنَهُ بِهِ لِتَقَدُّمِ ضَمَانِهِ عَلَى الْوُجُوبِ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Kedua, jika mereka memerintahkannya untuk memerdekakan budaknya atau menceraikan istrinya, mereka juga tidak wajib menanggung (ganti rugi) sebagaimana jika mereka memerintahkannya untuk membuang hartanya. Namun, jika mereka menjamin kepadanya, lalu berkata kepadanya, “Buanglah barangmu dan kami yang akan menanggungnya,” kemudian ia membuangnya, maka mereka wajib menanggungnya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Abu Tsaur berpendapat bahwa mereka tidak wajib menanggungnya, karena itu adalah penjaminan terhadap sesuatu yang belum wajib, sebagaimana jika seseorang berkata kepadanya, “Aku telah menjamin untukmu apa yang akan kamu pinjamkan kepada si Fulan,” maka tidak wajib baginya menanggung apa yang dipinjamkannya, karena penjaminan itu mendahului kewajiban. Pendapat ini rusak dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّ أَحْكَامَ الضَّرُورَاتِ وَعُمُومَ الْمَصَالِحِ أَوْسَعُ مِنْ أَحْكَامِ الْعُقُودِ الْخَاصَّةِ فِي الِاخْتِيَارِ
Salah satunya adalah bahwa hukum-hukum darurat dan kemaslahatan umum lebih luas daripada hukum-hukum akad khusus dalam keadaan pilihan.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ قَالَ لَهُ اعْتِقْ عَبْدَكَ عَنِّي وَعَلَيَّ ضَمَانُهُ لَزِمَهُ الضَّمَانُ لِعِتْقِهِ كَذَلِكَ فِي مَسْأَلَتِنَا فَأَمَّا ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ هَاهُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Kedua, jika seseorang berkata kepadanya, “Merdekakanlah budakmu untukku dan aku akan menanggung jaminannya,” maka wajib baginya menanggung jaminan tersebut karena pembebasan budak itu; demikian pula dalam permasalahan kita. Adapun jaminan terhadap sesuatu yang belum wajib, para ulama kami berbeda pendapat di sini menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَيْسَ بِضَمَانٍ وَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْعَاءٌ لِلِاسْتِهْلَاكِ بِشَرْطِ الْغُرْمِ؛ لِأَنَّ الضَّمَانَ مَا كَانَ الضَّامِنُ فِيهِ فَرْعًا لِلْمَضْمُونِ عَنْهُ وَهَذَا غَيْرُ مَوْجُودٍ هَاهُنَا
Salah satunya adalah bahwa hal itu bukan merupakan dhaman, melainkan hanyalah permintaan untuk menggunakan (barang) dengan syarat menanggung kerugian; karena dhaman adalah ketika pihak penanggung menjadi cabang dari pihak yang ditanggung, dan hal ini tidak terdapat di sini.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ ضَمَانٌ وَإِنِ انْعَقَدَ قَبْلَ الْوُجُوبِ بِخِلَافِ الْمُدَايَنَةِ
Adapun alasan yang kedua adalah bahwa hal itu merupakan dhaman (jaminan), meskipun akadnya terjadi sebelum kewajiban itu ada, berbeda dengan transaksi utang-piutang.
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ ضَمَانَ الْمَتَاعِ بَعْدَ إِلْقَائِهِ لَا يَصِحُّ فَصَحَّ ضَمَانُهُ قَبْلَ إِلْقَائِهِ وَضَمَانَ الْمُدَايَنَةِ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهَا يَصِحُّ فَلَا يَصِحُّ ضَمَانُهَا قَبْلَ الِاسْتِحْقَاقِ وَيَشْهَدْ لَهُ مِنَ الْأُصُولِ أَنَّ بَيْعَ الثَّمَرِ لَمَّا صَحَّ بَعْدَ خَلْقِهَا لَمْ يَجُزْ بَيْعُهَا قَبْلَ خَلْقِهَا وَمَنَافِعُ الدَّارِ الْمُسْتَأْجَرَةِ لَمَّا لَمْ تَصِحَّ الْمُعَاوَضَةُ عَلَيْهَا بَعْدَ حُدُوثِهَا صَحَّ قَبْلَ حُدُوثِهَا كَذَلِكَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الضَّمَانِ
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa penjaminan barang setelah barang itu dilemparkan tidak sah, maka sah penjaminannya sebelum dilemparkan. Sedangkan penjaminan utang setelah utang itu menjadi hak (wajib dibayar) adalah sah, maka tidak sah penjaminannya sebelum menjadi hak. Dalil dari kaidah ushul adalah bahwa jual beli buah-buahan, ketika sah dilakukan setelah buah itu ada, maka tidak boleh menjualnya sebelum buah itu ada. Dan manfaat rumah yang disewa, ketika tidak sah melakukan akad pertukaran atasnya setelah manfaat itu terjadi, maka sah dilakukan sebelum manfaat itu terjadi. Demikian pula halnya dengan penjaminan yang telah kami sebutkan.
فَأَمَّا إِذَا قَالَ لَهُ وَقَدْ أَمِنُوا الْغَرَقَ أَلْقِ مَتَاعَكَ فِي الْبَحْرِ وَعَلَيَّ ضَمَانُهُ فَأَلْقَاهُ فَفِي لُزُومِ هَذَا الضَّمَانِ وَجْهَانِ
Adapun jika seseorang berkata kepadanya, sementara mereka telah aman dari tenggelam, “Lemparkanlah barangmu ke laut dan aku akan menanggung ganti ruginya,” lalu ia pun melemparkannya, maka dalam kewajiban ganti rugi ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ لَا يَلْزَمُهُ لِعَدَمِ الضَّرُورَةِ وَارْتِفَاعِ الْأَغْرَاضِ الصَّحِيحَةِ
Salah satunya adalah pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, yaitu tidak wajib baginya karena tidak ada kebutuhan yang mendesak dan tidak terdapat tujuan-tujuan yang benar.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَلْزَمُهُ ضَمَانٌ بِشَرْطِ الضَّمَانِ عِنْدَ الِاسْتِهْلَاكِ وَالْأَوَّلُ أَشْبَهُ وَالثَّانِي أَقْيَسُ
Pendapat kedua mengharuskan adanya tanggungan (jaminan) dengan syarat adanya perjanjian tanggungan pada saat barang tersebut habis digunakan, sedangkan pendapat pertama lebih mendekati kebenaran, dan pendapat kedua lebih sesuai dengan qiyās.
فَأَمَّا أَخْذُ الرَّهْنِ فِي هَذَا الضَّمَانِ فَلَا يَصِحُّ لِأَمْرَيْنِ
Adapun mengambil barang jaminan (rahn) dalam penjaminan (dhamān) ini, maka tidak sah karena dua hal.
أَحَدُهُمَا لِعَقْدِهِ قَبْلَ وُجُوبِ الْحَقِّ
Salah satunya adalah untuk akad yang dilakukan sebelum hak itu menjadi wajib.
وَالثَّانِي لِلْجَهْلِ بِمِقْدَارِ الْقِيمَةِ وَأَجَازَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا كَالضَّمَانِ وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الضَّمَانِ أَوْسَعُ مِنْ حُكْمِ الرَّهْنِ؛ لِأَنَّ ضَمَانَ الدَّرْكُ يَجُوزُ أَخْذُ الرَّهْنِ عَلَيْهِ
Alasan kedua adalah karena ketidaktahuan terhadap kadar nilai (barang), dan sebagian ulama kami membolehkannya seperti dalam kasus dhamān, namun pendapat ini tidak benar; karena hukum dhamān lebih luas daripada hukum rahn, sebab dalam dhamān dark diperbolehkan mengambil barang jaminan atasnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ قَالَ لِصَاحِبِهِ أَلْقِهِ عَلَى أَنْ أَضْمَنَهُ أَنَا وَرُكْبَانُ السَّفِينَةِ ضَمِنَهُ دُونَهُمْ إِلَّا أَنْ يَتَطَوَّعُوا قَالَ الْمُزَنِيُّ هَذَا عِنْدِي غَلَطٌ غَيْرُ مُشْكِلٍ وَقِيَاسُ مَعْنَاهُ أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ بِحِصَتِهِ فَلَا يَلْزَمُهُ مَا لَمْ يَضْمَنْ وَلَا يَضْمَنُ أَصْحَابُهُ مَا أَرَادَ أَنْ يُضَمِّنَهُمْ إِيَّاهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang berkata kepada temannya, ‘Lemparkanlah (barang itu) dengan syarat aku dan para penumpang kapal yang akan menanggungnya,’ maka ia sendirilah yang menanggungnya tanpa melibatkan mereka, kecuali jika mereka rela secara sukarela.” Al-Muzani berkata, “Menurutku, ini adalah kekeliruan yang tidak membingungkan, dan qiyās maknanya adalah bahwa ia hanya bertanggung jawab atas bagiannya, sehingga ia tidak wajib menanggung apa pun selama ia tidak menanggungnya, dan teman-temannya pun tidak menanggung apa yang ia ingin bebankan kepada mereka.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا أَنْ يُلْقِيَ مَتَاعَهُ فِي الْبَحْرِ بِشَرْطِ الضَّمَانِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَضْمَنَهُ جَمِيعُهُمْ أَوْ أَحَدُهُمْ فَإِنْ ضَمِنُوهُ جَمِيعًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Bentuknya adalah seseorang melemparkan barangnya ke laut dengan syarat adanya tanggungan (jaminan), maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah seluruh mereka menanggungnya atau salah satu dari mereka. Jika mereka semua menanggungnya, maka ada dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَشْتَرِكُوا فِيهِ فَيَقُولُوا أَلْقِهِ وَعَلَيْنَا ضَمَانُهُ فَيَكُونُ الضَّمَانُ مُقَسَّطًا بَيْنَ جَمِيعِهِمْ عَلَى أَعْدَادِهِمْ فَإِنْ كَانُوا عَشَرَةً ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عُشْرَ قِيمَتِهِ
Salah satu bentuknya adalah mereka bersama-sama dalam tanggungan, lalu mereka berkata, “Lemparkanlah (barang itu), dan kami semua menanggung jaminannya.” Maka tanggungan itu dibagi rata di antara mereka semua sesuai jumlah mereka. Jika mereka berjumlah sepuluh orang, maka masing-masing dari mereka menanggung sepersepuluh dari nilainya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَنْفَرِدُوا فِيهِ فَيَقُولُوا أَلْقِهِ وَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا ضَمَانُهُ فَيَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ضَمَانُ جَمِيعِ قِيمَتِهِ وَإِنْ ضَمِنَهُ أَحَدُهُمْ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَضْمَنَهُ عَنْ نَفْسِهِ أَوْ عَنْ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنْ ضَمِنَهُ عَنْ نَفْسِهِ اخْتُصَّ بِضَمَانِهِ وَغَرِمَهُ وَإِنْ عَادَ نَفْعُهُ عَلَى جَمِيعِهِمْ وَإِنْ ضَمِنَهُ عَنْهُ وَعَنْهُمْ لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ بِأَمْرِهِمْ أَوْ غَيْرِ أَمْرِهِمْ فَإِنْ كَانَ بِأَمْرِهِمْ كَانَ ضَمَانُهُ عَنْهُ وَعَنْهُمْ لَازِمًا لِجَمِيعِهِمْ وَإِنْ كَانَ عَلَى وَجْهِ الِاشْتِرَاكِ كَانَ مُتَقَسِّطًا عَلَى أَعْدَادِهِمْ وَإِنْ كَانَ عَلَى وَجْهِ الِانْفِرَادِ لَزِمَ جَمِيعُ الضَّمَانِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ وَإِنْ ضَمِنَ عَنْهُ وَعَنْهُمْ بِغَيْرِ أَمْرِهِمْ لَمْ يَلْزَمْهُمْ ضَمَانُهُ عَنْهُمْ لِأَنَّ الضَّمَانَ لَا يَلْزَمُ إِلَّا بِقَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ وَلَمْ يُوجَدْ مِنْهُمْ أَحَدُهُمَا وَأَمَّا الضَّامِنُ فَيَلْزَمُهُ ضَمَانُ نَفْسِهِ وَقَدْرُ مَا يَلْزَمُهُ مِنَ الضَّمَانِ مُعْتَبَرٌ بِلَفْظِهِ وَلَهُ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ
Jenis kedua adalah apabila mereka secara sendiri-sendiri mengatakan, “Lemparkanlah (barang itu), dan atas masing-masing dari kami tanggungannya.” Maka, masing-masing dari mereka wajib menanggung seluruh nilai barang tersebut. Jika salah satu dari mereka menanggungnya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: ia menanggungnya untuk dirinya sendiri atau untuk kelompok mereka. Jika ia menanggungnya untuk dirinya sendiri, maka tanggungan dan kerugiannya khusus baginya, meskipun manfaatnya kembali kepada seluruh kelompok mereka. Jika ia menanggungnya untuk dirinya dan untuk mereka, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: dengan persetujuan mereka atau tanpa persetujuan mereka. Jika dengan persetujuan mereka, maka tanggungannya atas dirinya dan mereka menjadi kewajiban bagi seluruh mereka. Jika dalam bentuk kebersamaan, maka tanggungan itu terbagi sesuai jumlah mereka. Jika dalam bentuk sendiri-sendiri, maka seluruh tanggungan menjadi kewajiban masing-masing dari mereka. Jika ia menanggung untuk dirinya dan mereka tanpa persetujuan mereka, maka tanggungannya atas mereka tidak menjadi kewajiban bagi mereka, karena tanggungan tidak menjadi wajib kecuali dengan ucapan atau perbuatan, dan tidak ditemukan salah satu dari keduanya dari mereka. Adapun penanggung, maka ia wajib menanggung untuk dirinya sendiri, dan kadar tanggungan yang wajib baginya ditentukan oleh ucapannya, dan dalam hal ini ada tiga keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ يُعَبِّرَ عَنْهُ بِلَفْظِ الِانْفِرَادِ فَيَقُولُ أَلْقِهِ وَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا ضَمَانُهُ فَعَلَيْهِ ضَمَانُ جَمِيعِهِ بِلَفْظِهِ وَلَهُ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ
Salah satunya adalah dengan mengungkapkannya menggunakan lafaz infirād, yaitu dengan mengatakan: “Berikanlah itu, dan atas masing-masing dari kami tanggungannya.” Maka ia wajib menanggung seluruhnya berdasarkan ucapannya tersebut, dan dalam hal ini terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا أَنْ يُعَبِّرَ عَنْهُ
Salah satunya adalah mengekspresikannya.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يُعَبِّرَ عَنْهُ بِلَفْظِ الِاشْتِرَاكِ فَيَقُولُ أَلْقِهِ وَعَلَى جَمَاعَتِنَا ضَمَانُهُ فَعَلَيْهِ مِنَ الضَّمَانِ بِقِسْطِهِ مِنْ عَدَدِهِمْ
Keadaan kedua adalah jika ia mengungkapkannya dengan lafaz yang bersifat musytarak (memiliki makna ganda), misalnya ia berkata, “Lemparkanlah, dan atas kelompok kami tanggungannya.” Maka ia wajib menanggung bagian dari tanggungan itu sesuai dengan porsi jumlah mereka.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يُعَبِّرَ عَنْهُ بِلَفْظٍ مُطْلَقٍ فَيَقُولُ أَلْقِهِ عَلَى أَنْ أَضْمَنَهُ أَنَا وَرُكْبَانُ السَّفِينَةِ فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ قَالَ الشَّافِعِيُّ ضَمِنَهُ دُونَهُمْ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُطْلَقِ هَذَا الضَّمَانِ هَلْ يَقْتَضِي حَمْلُهُ عَلَى الِانْفِرَادِ أَوِ الِاشْتِرَاكِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Keadaan ketiga adalah jika ia mengungkapkannya dengan lafaz yang mutlak, misalnya ia berkata, “Lemparkanlah (barang itu) dengan syarat aku dan para penumpang kapal yang menanggungnya.” Ini adalah masalah yang disebutkan dalam kitab. Imam Syafi‘i berkata, “Ia (sendiri) yang menanggungnya, bukan mereka.” Para ulama kami berbeda pendapat mengenai jaminan yang diungkapkan secara mutlak ini, apakah harus dipahami sebagai tanggungan secara individu atau bersama-sama, terdapat dua pendapat dalam hal ini.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَكُونُ مَحْمُولًا عَلَى الِاشْتِرَاكِ فَلَا يَلْزَمُهُ مِنْهُ إِلَّا بِحِصَّتِهِ وَيَكُونُ تَأْوِيلُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ ضَمِنَهُ دُونَهُمْ مَحْمُولًا عَلَى أَصْلِ الضَّمَانِ دُونَ قَدْرِهِ وَيَكُونُ الْمُزَنِيُّ مُوَافِقًا لِلشَّافِعِيِّ فِي حُكْمِ الضَّمَانِ وَمُخْطِئًا عَلَيْهِ فِي تَأْوِيلِ كَلَامِهِ
Salah satunya adalah bahwa hal itu dianggap sebagai kepemilikan bersama, sehingga ia hanya bertanggung jawab atas bagiannya saja. Maka, penafsiran atas perkataan asy-Syafi‘i “ia menanggungnya tanpa mereka” dibawa pada asal hukum dhamān (tanggung jawab), bukan pada kadar (jumlah) tanggung jawabnya. Dengan demikian, al-Muzani sejalan dengan asy-Syafi‘i dalam hukum dhamān, namun keliru dalam menafsirkan ucapannya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى ضَمَانِ الِانْفِرَادِ وَيَلْزَمُهُ ضَمَانُ جَمِيعِ الْقِيمَةِ وَيَكُونُ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ ضَمِنَهُ دُونَهُمْ مَحْمُولًا عَلَى ضَمَانِ جَمِيعِهِ وَيَكُونُ الْمُزَنِيُّ مُخَالِفًا لِلشَّافِعِيِّ فِي الْحُكْمِ مُصِيبًا فِي تَأْوِيلِ كَلَامِهِ وَوَجَدْتُ لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا وَجْهًا ثَالِثًا أَنَّهُ إِنْ كَانَ عِنْدَ ضَمَانِهِ عَنْهُ وَعَنْهُمْ ضَمِنَ أَنْ يَسْتَخْلِصَ ذَلِكَ مِنْ أَمْوَالِهِمْ لَزِمَهُ ضَمَانُ جَمِيعِهِ وَإِنْ لَمْ يَضْمَنِ اسْتِخْلَاصُهُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ لَمْ يَضْمَنْ إِلَّا قَدْرَ حِصَّتِهِ وَأَشَارَ إِلَى هَذَا الْوَجْهِ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ وَاسْتَشْهَدَ عَلَيْهِ بِقَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْخُلْعِ وَلَوْ قَالَ اخْلَعْ زَوْجَتَكَ عَلَى أَلْفٍ أُصَحِّحْهَا لَكَ مِنْ مَالِهَا لَزِمَهُ ضَمَانُهَا وَلَوْ قَالَ عَلَى أَلْفٍ فِي مَالِهَا لَمْ يَلْزَمْهُ ضَمَانُهَا
Pendapat kedua adalah bahwa hal itu dimaknai sebagai jaminan secara mandiri, sehingga ia wajib menanggung seluruh nilai (barang tersebut). Pernyataan Imam Syafi‘i bahwa “ia menanggungnya tanpa mereka” dimaknai sebagai penjaminan seluruhnya, dan Muzani berbeda pendapat dengan Imam Syafi‘i dalam hukum, namun benar dalam menafsirkan perkataannya. Saya juga menemukan dari sebagian ulama kami pendapat ketiga, yaitu jika pada saat penjaminan atas nama dirinya dan mereka, ia mampu mengambil kembali (nilai tersebut) dari harta mereka, maka ia wajib menanggung seluruhnya. Namun jika ia tidak mampu mengambilnya dari harta mereka, maka ia hanya menanggung sesuai bagiannya. Abu Hamid al-Isfara’ini juga mengisyaratkan pendapat ini dan menguatkannya dengan perkataan Imam Syafi‘i dalam masalah khulu‘: “Seandainya seseorang berkata, ‘Ceraikanlah istrimu dengan imbalan seribu, aku akan membayarnya untukmu dari hartanya,’ maka ia wajib menanggungnya. Namun jika ia berkata, ‘Dengan imbalan seribu dari hartanya,’ maka ia tidak wajib menanggungnya.”
فَصْلٌ
Bagian
وَلَوِ ابْتَدَأَ صَاحِبُ الْمَتَاعِ فَقَالَ لِرُكْبَانِ السَّفِينَةِ أَلْقي مَتَاعِي وَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْكُمْ ضَمَانُهُ
Dan jika pemilik barang memulai dengan berkata kepada para penumpang kapal, “Lemparkan barangku dan masing-masing dari kalian menanggung jaminannya.”
فَقَالُوا جَمِيعُهُمْ نَعَمْ أَوْ قَالُوا افْعَلْ فَهُمَا سَوَاءٌ وَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ضَمَانُ جَمِيعِ قِيمَتِهِ
Maka jika mereka semua berkata, “Ya,” atau mereka berkata, “Lakukanlah,” maka keduanya sama saja, dan masing-masing dari mereka wajib menanggung seluruh nilai barang tersebut.
وَلَوْ قَالَ أَحَدُهُمْ نَعَمْ أَوِ افْعَلْ وَأَمْسَكَ الْبَاقُونَ لَزِمَهُ الضَّمَانُ دُونَهُمْ
Jika salah seorang dari mereka berkata, “Ya” atau “Lakukanlah,” sementara yang lain diam, maka yang berkata itu saja yang wajib menanggung (jaminan), bukan yang lainnya.
وَلَوْ كَانَ صَاحِبُ الْمَتَاعِ قَالَ لَهُمْ أَلْقي مَتَاعِي وَعَلَيْكُمْ ضَمَانُهُ
Dan jika pemilik barang berkata kepada mereka, “Lemparkan barangku dan kalian bertanggung jawab atas jaminannya.”
فَقَالُوا جَمِيعًا نَعَمْ لَزِمَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الضَّمَانِ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ لِأَنَّ هَذَا ضَمَانُ اشْتَرَاكٍ وَالْأَوَّلَ ضَمَانُ انْفِرَادٍ وَلَوْ أَجَابَهُ أَحَدُهُمْ ضَمِنَ وَحْدَهُ قَدْرَ حِصَّتِهِ
Mereka semua berkata, “Ya, masing-masing wajib menanggung sesuai bagiannya, karena ini adalah dhaman (tanggungan) musytarak (bersama), sedangkan yang pertama adalah dhaman infirad (tanggungan individu). Jika salah satu dari mereka menjawabnya, maka ia sendiri menanggung sesuai bagiannya.”
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ خَرَقَ السَّفِينَةَ فَغَرِقَ أَهْلُهَا ضَمِنَ مَا فِيهَا وَضَمِنَ دِيَاتِ رُكْبَانِهَا عَاقِلَتُهُ وَسَوَاءُ مَنْ خرق ذلك منها
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang melubangi kapal sehingga para penumpangnya tenggelam, maka ia wajib mengganti kerugian atas barang-barang yang ada di dalamnya dan wajib membayar diyat para penumpangnya yang dibebankan kepada ‘āqilah-nya, tanpa membedakan siapa pun yang melakukan pelubangan tersebut dari kalangan mereka.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَلَهُ إِذَا خَرَقَهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ يَسْتَوِي ضَمَانُ الْأَمْوَالِ فِي جَمِيعِهَا وَيَخْتَلِفُ فِيهَا ضَمَانُ النُّفُوسِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan jika ia melubanginya, terdapat tiga keadaan yang dalam semuanya berlaku kewajiban ganti rugi terhadap harta, namun berbeda dalam kewajiban ganti rugi terhadap jiwa.”
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ خَرْقُهُ لَهَا عَمْدًا مَحْضًا
Salah satunya adalah jika pelanggaran terhadapnya dilakukan dengan sengaja sepenuhnya.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ خَطَأً مَحْضًا
Dan yang kedua adalah bahwa itu merupakan kesalahan murni.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ عَمْدَ الْخَطَأِ فإن كان عمد الخطإ فَهُوَ أَنْ يَعْمِدَ خَرْقَهَا وَفَتْحَهَا لِغَيْرِ إِصْلَاحٍ لَهَا وَلَا لِسَدِّ مَوْضِعٍ فِيهَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْخَرْقِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Ketiga, yaitu sengaja melakukan kesalahan. Jika yang dimaksud adalah sengaja melakukan kesalahan, maka itu adalah dengan sengaja merobek atau membuka (sesuatu) tanpa tujuan memperbaikinya dan tanpa menutup bagian yang ada padanya. Maka, keadaan merobek itu tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ وَاسِعًا لَا يَجُوزُ أَنْ تَسْلَمَ السَّفِينَةُ مِنْ مِثْلِهِ فَهَذَا قَاتِلٌ عَمْدًا وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ إِنْ سَلِمَ مِنْهَا وَإِنْ غَرِقَ مَعَهَا فَفِي مَالِهِ دِيَاتُ مَنْ غَرِقَ فِيهَا مَعَ قِيمَةِ الْأَمْوَالِ التَّالِفَةِ فِيهَا
Salah satunya adalah jika lautannya luas sehingga tidak mungkin kapal itu selamat darinya; maka ini termasuk pembunuhan sengaja (qatl ‘amdan) dan pelakunya wajib dikenai qishāsh jika ia selamat darinya. Namun, jika ia tenggelam bersama kapal itu, maka dari hartanya diambil diyat orang-orang yang tenggelam bersamanya, beserta nilai harta benda yang rusak di dalamnya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْخَرْقُ مِمَّا يَجُوزُ أَنْ تَسْلَمَ السَّفِينَةُ مَعَ مِثْلِهِ وَيَجُوزَ أَنْ تَغْرَقَ مِنْهُ فَهَذَا عَمْدُ الْخَطَأِ لِعَمْدِهِ فِي الْفِعْلِ وَخَطَئِهِ فِي الْقَصْدِ فَتَكُونُ دِيَاتُ النُّفُوسِ مُغَلَّظَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ وَضَمَانُ الْأَمْوَالِ مَعَ الْكَفَّارَاتِ فِي مَالِهِ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ
Bagian kedua adalah apabila kerusakan itu termasuk yang memungkinkan kapal tetap selamat dengannya, namun juga memungkinkan kapal tenggelam karenanya. Maka ini disebut kesengajaan dalam kesalahan, karena sengaja dalam perbuatannya namun keliru dalam tujuannya. Maka diyat jiwa-jiwa menjadi diperberat atas ‘āqilah-nya, dan ganti rugi harta beserta kafarat diambil dari hartanya, serta tidak ada qishāsh atasnya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْخَرْقُ مِمَّا لَا يُغْرَقُ مِنْ مِثْلِهِ فَيَتَّسِعُ وَيُغْرِقُ فَهَذَا خَطَأٌ مَحْضٌ تَكُونُ دِيَاتُ النُّفُوسِ مُخَفَّفَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ وَضَمَانُ الْأَمْوَالِ مَعَ الْكَفَّارَاتِ فِي مَالِهِ فَهَذَا حُكْمُ خَرْقِهِ إِذَا كَانَ عَامِدًا فِي فِعْلِهِ
Bagian ketiga adalah apabila lubang yang dibuat itu pada sesuatu yang biasanya tidak menyebabkan tenggelam, namun kemudian lubang itu melebar dan menyebabkan tenggelam. Maka ini adalah kesalahan murni, sehingga diyat jiwa-jiwa yang terbunuh menjadi ringan dan ditanggung oleh ‘āqilah-nya, sedangkan ganti rugi harta beserta kafarat ditanggung dari hartanya sendiri. Inilah hukum perbuatannya jika ia sengaja melakukan tindakan tersebut.
وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْخَرْقُ مِنْهُ خَطَأً مَحْضًا فَهُوَ أَنْ يَسْقُطَ مِنْ يَدِهِ حَجَرٌ فَيَفْتَحُهَا فَيَغْرَقُ فَتَكُونُ دِيَاتُ النُّفُوسِ مُخَفَّفَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ وَضَمَانُ الْأَمْوَالِ مَعَ الْكَفَّارَاتِ فِي مَالِهِ يَسْتَوِي فِيهِ الْحُكْمُ عَلَى اخْتِلَافِ حَالِ الْخَرْقِ فِي صِغَرِهِ وَكِبَرِهِ
Adapun keadaan kedua, yaitu apabila kerusakan itu terjadi darinya karena kesalahan murni, misalnya ia menjatuhkan batu dari tangannya sehingga melubangi (perahu itu) lalu menenggelamkannya, maka diyat jiwa-jiwa yang terbunuh menjadi ringan atas ‘āqilah-nya, sedangkan ganti rugi harta beserta kafārat ditanggung dari hartanya sendiri. Hukum ini berlaku sama, tanpa memandang perbedaan keadaan kerusakan itu, baik kecil maupun besar.
وَأَمَّا الْحَالُ الثَّالِثَةُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْخَرْقُ مِنْهُ عَمْدَ الْخَطَأِ فَهُوَ أَنْ يَعْمِدَ فَتْحَهَا لِعَمَلِ عَيْبٍ فِيهَا فَتَغْرَقُ أَوْ يُدَقُّ فِيهَا مِسْمَارٌ فَيَنْشَقُّ اللَّوْحُ وَتَغْرَقُ فَتَكُونُ دِيَاتُ النُّفُوسِ مُغَلَّظَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ وَضَمَانُ الْأَمْوَالِ مَعَ الْكَفَّارَاتِ فِي مَالِهِ وَلَوْ دَقَّ جَانِبًا مِنْهَا لِعَمَلٍ فَانْفَتَحَ الْجَانِبُ الْآخَرُ لَمْ يَكُنْ عَنْ قَصْدِهِ
Adapun keadaan ketiga, yaitu apabila kerusakan itu terjadi karena kesengajaan yang bercampur dengan kekeliruan, yaitu seseorang sengaja membuka bagian kapal untuk melakukan suatu perbaikan padanya, lalu kapal itu tenggelam; atau seseorang memaku bagian kapal sehingga papan kapal retak dan kapal itu tenggelam, maka diyat jiwa-jiwa yang menjadi korban dibebankan secara berat kepada ‘āqilah-nya, dan ganti rugi harta beserta kafarat dibebankan pada hartanya. Namun, jika ia memukul salah satu sisi kapal untuk suatu pekerjaan, lalu sisi lain yang terbuka tanpa disengaja, maka itu tidak termasuk dalam maksudnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا دَفَعَ الرَّجُلُ وَلَدَهُ إِلَى سَابِحٍ لِيُعَلِّمَهُ السِّبَاحَةَ فَغَرِقَ فَلِلْوَلَدِ حَالَتَانِ
Jika seorang laki-laki menyerahkan anaknya kepada seorang perenang untuk mengajarinya berenang, lalu anak itu tenggelam, maka anak tersebut memiliki dua keadaan.
إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ صَغِيرًا غَيْرَ بَالِغٍ فَتَجِبُ دِيَتُهُ عَلَى عَاقِلَةِ السَّابِحِ مُغَلَّظَةً كَالْمُعَلِّمِ إِذَا ضَرَبَ صَبِيًّا فَمَاتَ لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَحُطَّهُ فِي الْمَاءِ عَلَى شَرْطِ السَّلَامَةِ فَإِذَا أَفْضَى إِلَى التَّلَفِ كَانَ مَنْسُوبًا إِلَى تَقْصِيرِهِ فَضَمِنَ كَمَا يَكُونُ لِلْمُعَلِّمِ ضَرْبُ الصَّبِيِّ لِلتَّأْدِيبِ عَلَى شَرْطِ السَّلَامَةِ فَإِذَا أَفْضَى إِلَى التَّلَفِ صَارَ مَنْسُوبًا إِلَى التَّعَدِّي فَضَمِنَ
Salah satunya adalah jika anak itu masih kecil dan belum baligh, maka diyatnya wajib ditanggung oleh ‘āqilah dari orang yang mengajarinya berenang, dengan diyat yang diperberat, seperti halnya seorang guru yang memukul seorang anak kecil lalu anak itu meninggal. Sebab, ia diperbolehkan memasukkan anak itu ke dalam air dengan syarat keselamatan. Namun, jika hal itu berujung pada kematian, maka dianggap sebagai kelalaian darinya, sehingga ia wajib menanggung diyat, sebagaimana guru diperbolehkan memukul anak untuk tujuan mendidik dengan syarat keselamatan. Namun, jika hal itu berujung pada kematian, maka dianggap sebagai tindakan melampaui batas, sehingga ia wajib menanggung diyat.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ بَالِغًا فَلَا ضَمَانَ عَلَى السَّابِحِ لِأَنَّ حِفْظَهُ فِي الْمَاءِ إِذَا كَانَ بَالِغًا وَتَجَنُّبَهُ فِيهِ مِنَ الْغَرَقِ مُتَوَجَّهٌ إِلَيْهِ لَا إِلَى السَّابِحِ فَصَارَ التَّفْرِيطُ مِنْهُ لَا مِنْ غَيْرِهِ فَلَمْ يَضْمَنْ دِيَتَهُ
Keadaan kedua adalah apabila anak tersebut sudah baligh, maka tidak ada tanggungan (ganti rugi) atas perenang, karena menjaga dirinya di dalam air ketika ia sudah baligh dan menghindarkan dirinya dari tenggelam adalah tanggung jawabnya sendiri, bukan tanggung jawab perenang. Maka kelalaian berasal darinya, bukan dari orang lain, sehingga perenang tidak menanggung diyatnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا رَبَطَ رَجُلٌ يَدَيْ رَجُلٍ وَرِجْلَيْهِ وَأَلْقَاهُ عَلَى سَاحِلِ بَحْرٍ فَزَادَ الْمَاءُ فَغَرَّقَهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Dan apabila seseorang mengikat kedua tangan dan kedua kaki seseorang lalu melemparkannya ke tepi pantai, kemudian air laut naik hingga menenggelamkannya, maka kasus ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ زِيَادَةُ الْمَاءِ مَأْلُوفَةً فِي أَوْقَاتٍ رَاتِبَةٍ كَالْمَدِّ وَالْجَزْرِ بِالْبَصْرَةِ فَهَذَا قَاتِلٌ عَمْدًا وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ؛ لأنه فاسد لِتَغْرِيقِهِ
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ غَيْرَ مَأْلُوفَةٍ فَلَا قَوَدَ فِيهِ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah apabila tambahan tersebut tidak lazim, maka tidak ada qishāsh padanya, dan hal ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْأَغْلَبُ مِنْ حَالِ الْمَاءِ أَنْ يَزِيدَ وَإِنْ جَازَ أَنْ لَا يَزِيدَ فَيَكُونُ ذَلِكَ مِنْهُ عَمْدَ الْخَطَأِ تَجِبُ الدِّيَةُ فِيهِ مُغَلَّظَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ
Salah satunya adalah keadaan air yang umumnya bertambah, meskipun mungkin saja tidak bertambah. Maka hal itu termasuk kesengajaan yang keliru (‘amd al-khathā’), yang mewajibkan pembayaran diyat yang diperberat atas ‘āqilah-nya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْأَغْلَبُ مِنْ حَالِ الْمَاءِ أَنْ لَا يَزِيدَ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَزِيدَ فَيَكُونُ هَذَا خَطَأً مَحْضًا تَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ مُخَفَّفَةً عَلَى الْعَاقِلَةِ
Jenis kedua adalah apabila keadaan yang lebih dominan dari air itu tidak bertambah, meskipun mungkin saja bertambah, maka ini merupakan kesalahan murni yang mewajibkan pembayaran diyat yang diringankan atas ‘āqilah.
وَلَوْ رَبَطَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ وَأَلْقَاهُ فِي صَحْرَاءَ فَأَكَلَهُ السَّبُعُ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْمُتْلِفَ غَيْرُهُ ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَتِ الصَّحْرَاءُ مَسْبَعَةً فَهُوَ عَمْدُ الْخَطَأِ تَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ مُغَلَّظَةً عَلَى عَاقِلَتِهِ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَسْبَعَةٍ فَهُوَ خَطَأٌ مَحْضٌ تَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ مُخَفَّفَةً
Jika seseorang mengikat tangan dan kaki orang lain lalu melemparkannya ke padang pasir, kemudian orang itu dimakan binatang buas, maka tidak ada qishāsh atas pelakunya karena yang membinasakan adalah selain dia. Kemudian dilihat lagi, jika padang pasir itu memang tempat binatang buas, maka perbuatannya termasuk ‘amdu al-khathā’ (sengaja tetapi mirip kelalaian) yang mewajibkan pembayaran diyat yang diperberat atas ‘āqilah-nya. Namun jika padang pasir itu bukan tempat binatang buas, maka perbuatannya murni khathā’ (kelalaian) yang mewajibkan pembayaran diyat yang diringankan.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا تَجَارَحَ رَجُلَانِ وَادَّعَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنَّهُ جَرَحَ صَاحِبَهُ دَفْعًا عَنْ نَفْسِهِ وَالْآخَرُ مُنْكِرٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي إِنْكَارِ الطَّلَبِ وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ فَإِنْ نَكَلَ عَنْ يَمِينِ الطَّلَبِ حَلَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى أَنَّهُ مَطْلُوبٌ وَلَا قَوَدَ وَلَا أَرْشَ والله أعلم
Apabila dua orang saling melukai, dan masing-masing mengaku bahwa ia melukai lawannya untuk membela diri, sementara yang lain mengingkari, maka perkataan masing-masing diterima dalam pengingkaran tuntutan, dan atasnya berlaku qishāsh. Jika salah satu dari mereka enggan bersumpah atas tuntutan, maka masing-masing bersumpah bahwa ia hanya membela diri dan tidak ada qishāsh maupun diyat. Dan Allah lebih mengetahui.
Bab tentang siapa dari ‘āqilah yang menanggung pembayaran diyat
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه لم أعلم مخالفا أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى بِالدِّيَةِ عَلَى الْعَاقِلَةِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Aku tidak mengetahui adanya pihak yang berbeda pendapat bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menetapkan pembayaran diyat atas ‘āqilah.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْعَاقِلَةُ فَهُمْ ضُمَنَاءُ الدِّيَةِ وَمُتَحَمِّلُوهَا مِنْ عَصَبَاتِ الْقَاتِلِ وَاخْتُلِفَ فِي تَسْمِيَتِهِمْ عَاقِلَةً عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ
Al-Mawardi berkata: Adapun ‘āqilah, mereka adalah para penanggung diyat dan yang memikulnya dari kalangan ‘ashabah (kerabat laki-laki) pelaku pembunuhan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai penamaan mereka sebagai ‘āqilah dalam tiga pendapat.
أَحَدُهَا أَنَّ الْعَقْلَ اسْمٌ لِلدِّيَةِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثَمَّ أَنْتُمْ يَا خُزَاعَةُ قَدْ قَتَلْتُمْ هَذَا الْقَتِيلَ مِنْ هُذَيْلٍ وَأَنَا وَاللَّهِ عَاقِلُهُ أَيْ يَتَحَمَّلُ عَقْلَهُ وَهُوَ الدِّيَةُ
Salah satunya adalah bahwa ‘aql merupakan sebutan untuk diyat, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Kemudian kalian, wahai Khuza‘ah, telah membunuh orang dari Hudzail ini, dan aku, demi Allah, adalah ‘aqil-nya,” maksudnya beliau menanggung ‘aql-nya, yaitu diyat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُمْ سُمُّوا عَاقِلَةً لِأَنَّهُمْ يَقُودُونَ إِبِلَ الدِّيَةِ فَيَعْقِلُونَهَا عَلَى بَابِ الْمَقْتُولِ
Pendapat kedua adalah bahwa mereka disebut ‘āqilah karena mereka menggiring unta diyat lalu mengikatnya di depan rumah korban yang terbunuh.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهُمْ سُمُّوا عَاقِلَةً لِأَنَّهُمْ يَعْقِلُونَ الْقَاتِلَ أَيْ يَمْنَعُونَ عَنْهُ وَالْمَنْعُ الْعَقْلُ وَلِذَلِكَ سُمِّيَ الْعَقْلُ فِي النَّاسِ عَقْلًا لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنَ الْقَبَائِحِ
Adapun alasan ketiga adalah bahwa mereka disebut ‘āqilah karena mereka mencegah pelaku pembunuhan, yaitu mereka melindunginya, dan pencegahan itu disebut ‘aql. Oleh karena itu, akal pada manusia dinamakan ‘aql karena ia mencegah dari perbuatan keji.
فَصْلٌ
Bagian
لَا خِلَافَ أَنَّ دِيَةَ الْعَمْدِ لَا تَحْمِلُهَا الْعَاقِلَةُ سَوَاءٌ وَجَبَ فِيهَا الْقَوَدُ أَوْ لَمْ يَجِبْ كَجِنَايَةِ الْوَالِدِ عَلَى الْوَلَدِ وَمَا لَا قِصَاصَ فِيهِ مِنَ الْجَائِفَةِ وَسَائِرِ الْجِرَاحِ وَتَكُونُ الدِّيَةُ حَالَّةً فِي مَالِ الْجَانِي
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa diyat ‘amdan tidak ditanggung oleh ‘āqilah, baik dalam kasus yang mewajibkan qawad maupun yang tidak mewajibkannya, seperti tindak pidana orang tua terhadap anak, atau tindak pidana yang tidak ada qishāsh padanya seperti luka dalam (jā’ifah) dan berbagai luka lainnya. Diyat tersebut menjadi kewajiban yang harus segera dibayarkan dari harta pelaku.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ مَا لَا قِصَاصَ فِيهِ مِنَ الْعَمْدِ تَجِبُ الدِّيَةُ فِيهِ عَلَى الْجَانِي مُؤَجَّلَةً كَالْخَطَأِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأُمُورٍ
Abu Hanifah berkata: Pada kasus pembunuhan sengaja yang tidak ada qishash di dalamnya, maka diwajibkan diyat atas pelaku secara ditangguhkan, seperti pada kasus pembunuhan karena kesalahan. Namun, pendapat ini keliru karena beberapa alasan.
أَحَدُهَا أَنَّ سُقُوطَ الْقَوَدِ فِي الْعَمْدِ لَا يُوجِبُ تَأْجِيلَ دِيَتِهِ كَسُقُوطِهِ بِالْعَفْوِ
Salah satunya adalah bahwa gugurnya qishāsh dalam kasus pembunuhan sengaja tidak mewajibkan penundaan pembayaran diyatnya, sebagaimana gugurnya qishāsh karena pemaafan.
وَالثَّانِي أَنَّ غُرْمَ الْمُتْلِفِ إِذَا لَمْ يَدْخُلْهُ التَّحَمُّلُ حَلَّ كَالْأَمْوَالِ
Yang kedua, bahwa kewajiban ganti rugi bagi pelaku perusakan, apabila tidak mengandung unsur tanggungan, maka hukumnya boleh seperti harta benda.
وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَعَجَّلْ دِيَةَ الْخَطَأِ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِهِ لَمْ تَتَأَجَّلْ دِيَةُ الْعَمْدِ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِهِ
Ketiga, karena diyat kesalahan tidak disegerakan pembayarannya meskipun keadaannya berbeda-beda, maka diyat pembunuhan sengaja pun tidak diakhirkan pembayarannya meskipun keadaannya berbeda-beda.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا دِيَةُ الْخَطَأِ الْمَحْضِ وَعَمْدِ الْخَطَأِ فَالَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ الْأُمَّةِ مِنَ الْمُتَقَدِّمِينَ وَالْمُتَأَخِّرِينَ إنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَى الْعَاقِلَةِ تَتَحَمَّلُهَا عَنِ الْقَاتِلِ وَشَذَّ مِنْهُمُ الْأَصَمُّ وَابْنُ عُلَيَّةَ وَطَائِفَةٌ مِنَ الْخَوَارِجِ فَأَوْجَبُوهَا عَلَى الْقَاتِلِ دُونَ الْعَاقِلَةِ كَالْعَمْدِ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى فاطر 18 وقَوْله تَعَالَى لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى طه 15 وقَوْله تَعَالَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ المدثر 38 أَيْ مَأْخُوذَةٌ
Adapun diyat karena kesalahan murni dan kesalahan yang menyerupai sengaja, maka pendapat jumhur umat dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan adalah bahwa diyat tersebut wajib ditanggung oleh ‘āqilah, yang menanggungnya atas nama pelaku pembunuhan. Namun, pendapat yang berbeda datang dari al-Asham, Ibn ‘Ulayyah, dan sekelompok Khawarij; mereka mewajibkan diyat tersebut atas pelaku pembunuhan saja, bukan atas ‘āqilah, sebagaimana diyat pembunuhan sengaja. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Fāṭir: 18), dan firman-Nya: “Agar setiap jiwa diberi balasan sesuai dengan apa yang diusahakannya” (Ṭāhā: 15), serta firman-Nya: “Setiap jiwa tergadai dengan apa yang diperolehnya” (al-Muddatstsir: 38), yaitu maksudnya setiap jiwa akan dimintai pertanggungjawaban.
وَبِمَا روي أن الحسحاس بْنَ عَمْرٍو الْعَنْبَرِيَّ قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنْ قَوْمِي يَجْنِي أَفَؤُآخَذُ بِهِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَنْ هَذَا مِنْكَ وَكَانَ مَعَهُ ابْنُهُ فَقَالَ ابني أشهد به أي أعلمه قطعاً ولي بِمُسْتَلْحَقٍ فَقَالَ إِنَّهُ لَا يَجْنِي عَلَيْكَ وَلَا تَجْنِي عَلَيْهِ وَلَمْ يُرِدْ بِذَلِكَ فِعْلَ الْجِنَايَةِ لِأَنَّهُ قَدْ يَجْنِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ وَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ أَنْ لَا يُؤَاخَذَ بِجِنَايَتِكَ وَلَا تُؤَاخَذَ بِجِنَايَتِهِ
Dan berdasarkan riwayat bahwa al-Hasshas bin ‘Amr al-‘Anbari datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki dari kaumku melakukan kejahatan, apakah aku akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Siapa dia bagimu?” Saat itu bersamanya ada anaknya, lalu ia berkata, “Ini anakku, aku bersaksi atasnya, maksudnya aku benar-benar mengetahuinya dan ia adalah anakku yang diakui.” Maka beliau bersabda, “Dia tidak menanggung kejahatanmu dan kamu pun tidak menanggung kejahatannya.” Yang dimaksud beliau bukanlah perbuatan kejahatan secara langsung, karena bisa saja masing-masing dari keduanya melakukan kejahatan terhadap yang lain, melainkan maksudnya adalah tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh yang lain.
وَرَوَى أَيَادُ بْنُ لَقِيطٍ عَنْ أَبِي رِمْثَةَ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَعَ أَبِي فَرَأَى الَّتِي فِي ظَهْرِهِ فَقَالَ لَهُ أَبِي دَعْنِي أُعَالِجْهَا فَإِنِّي طَبِيبٌ فَقَالَ أَنْتَ رَفِيقٌ وَاللَّهُ الطَّبِيبُ مَنْ هَذَا مَعَكَ فَقَالَ ابْنِي أَشْهَدُ بِهِ فَقَالَ أَمَا إِنَّهُ لَا يَجْنِي عَلَيْكَ وَلَا تَجْنِي عَلَيْهِ
Ayad bin Laqith meriwayatkan dari Abu Rimtsah, ia berkata: Aku datang kepada Nabi ﷺ bersama ayahku, lalu beliau melihat sesuatu di punggungnya. Maka ayahku berkata kepada beliau, “Izinkan aku mengobatinya, karena aku seorang tabib.” Beliau bersabda, “Engkau adalah orang yang lembut, sedangkan Allah-lah Tabib. Siapa yang bersamamu ini?” Ayahku menjawab, “Ini anakku, aku bersaksi atasnya.” Beliau bersabda, “Ketahuilah, ia tidak menanggung dosamu dan engkau pun tidak menanggung dosanya.”
وَرَوَى الْحَكَمُ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ أَلَا لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ لَا يُؤْخَذُ الْأَبُ بِجَرِيرَةِ ابْنِهِ وَهَذَا نَصٌّ
Al-Hakam meriwayatkan dari Masruq, dari Ibnu Mas‘ud, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Ingatlah, janganlah kalian kembali menjadi kafir setelah aku (wafat), sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain. Seorang ayah tidak diambil (dihukum) karena kesalahan anaknya.” Dan ini adalah nash (teks yang jelas).
قَالُوا وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَتَحَمَّلِ الْعَاقِلَةُ قِيَمَ الْأَمْوَالِ لَمْ يَتَحَمَّلْ دِيَةَ النُّفُوسِ وَلِأَنَّ الْعَاقِلَةَ لَوْ تَحَمَّلَتْ دِيَةَ الْخَطَأِ لَتَحَمَّلَتْ دِيَةَ الْعَمْدِ وَلِأَنَّ الدِّيَةَ عُقُوبَةٌ فَلَمْ تَتَحَمَّلْهَا الْعَاقِلَةُ كَالْقَوَدِ وَلِأَنَّ لِقَتْلِ الْخَطَأِ مُوَجِبَيْنِ الدِّيَةَ وَالْكَفَّارَةَ فَلَمَّا لَمْ تَتَحَمَّلِ الْعَاقِلَةُ الْكَفَّارَةَ لَمْ تَتَحَمَّلِ الدِّيَةَ
Mereka berkata: Karena ketika ‘āqilah tidak menanggung nilai harta benda, maka mereka juga tidak menanggung diyat jiwa. Dan karena jika ‘āqilah menanggung diyat kesalahan (qatl al-khata’), niscaya mereka juga akan menanggung diyat pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd). Dan karena diyat adalah hukuman, maka ‘āqilah tidak menanggungnya sebagaimana qishāsh. Dan karena pada pembunuhan karena kesalahan terdapat dua kewajiban, yaitu diyat dan kaffārah, maka ketika ‘āqilah tidak menanggung kaffārah, mereka juga tidak menanggung diyat.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْعَاقِلَةَ تَتَحَمَّلُ الدِّيَةَ قَوْلُ اللَّهُ تَعَالَى وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى المائدة 2 وَتَحَمُّلُ الْعَاقِلَةِ مِنْ جُمْلَةِ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى فَدَخَلَ فِي عُمُومِ الْآيَةِ وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي جَنِينِ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِي لَحْيَانَ سَقَطَ مَيِّتًا بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ ثُمَّ إِنَّ الْمَرْأَةَ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا بِالْغُرَّةِ تُوُفِّيَتْ فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّ مِيرَاثَهَا لِبَنِيهَا وَزَوْجِهَا وَأَنَّ الْعَقْلَ عَلَى عَصَبَتِهَا
Dalil bahwa ‘āqilah menanggung diyat adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa” (al-Mā’idah: 2), dan penanggungan oleh ‘āqilah termasuk bagian dari kebajikan dan takwa, sehingga termasuk dalam keumuman ayat tersebut. Sa‘id bin al-Musayyab meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ memutuskan dalam kasus janin seorang wanita dari Bani Lahyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan. Kemudian, wanita yang dijatuhi keputusan diyat tersebut meninggal dunia, maka Rasulullah ﷺ memutuskan bahwa warisannya untuk anak-anak dan suaminya, dan bahwa diyat ditanggung oleh ‘āqilah dari pihak kerabat laki-lakinya.
وَرَوَى أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ اقْتَتَلَتِ امْرَأَتَانِ مِنْ بَنِي هُذَيْلٍ فَرَمَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي بَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَضَى أَنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَلِيدَةٌ وَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا وَوَرَثَتِهَا ولدها ومن معه فقال حمل بن مالك النَّابِغَةِ الْهُذَلِيُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَغْرَمُ مَنْ لَا شَرِبَ وَلَا أَكَلَ وَلَا نَطَقَ وَلَا اسْتَهَلَّ وَمِثْلُ ذَلِكَ بطَل فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّ هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ مِنْ أَجْلِ مَسْجَعِهِ الَّذِي سَجَعَهُ
Abu Salamah meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Dua orang wanita dari Bani Hudzail saling berkelahi, lalu salah satu dari keduanya melemparkan batu kepada yang lain sehingga membunuhnya beserta janin yang ada dalam kandungannya. Mereka pun mengadukan perkara itu kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau memutuskan bahwa diyat janinnya adalah seorang budak laki-laki atau budak perempuan, dan beliau memutuskan bahwa diyat wanita tersebut dibebankan kepada ‘aqilah pelaku, sedangkan ahli warisnya adalah anak-anaknya dan orang-orang yang bersamanya. Maka Hamal bin Malik an-Nabighah al-Hudzali berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana aku harus menanggung diyat untuk seseorang yang belum pernah minum, belum pernah makan, belum pernah berbicara, dan belum pernah menangis saat lahir, dan yang seperti itu biasanya gugur (tidak dihukum diyat)?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya orang ini termasuk saudara-saudara para dukun karena sajak yang diucapkannya.”
وَرَوَى الشَّعْبِيُّ عَنْ جَابِرٍ أن امرأتي مِنْ هُذَيْلٍ قَتَلَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا زَوْجٌ وَوَلَدٌ فَجَعَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دِيَةَ الْمَقْتُولَةِ عَلَى عَاقِلَةِ الْقَاتِلَةِ وَرَوَى أَبُو عَازِبٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قَالَ الْقَوَدُ بِالسَّيْفِ وَالْخَطَأُ عَلَى الْعَاقِلَةِ
Asy-Sya‘bi meriwayatkan dari Jabir bahwa dua orang wanita dari suku Hudzail, salah satunya membunuh yang lain, dan masing-masing dari mereka memiliki suami dan anak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan diyat (tebusan) bagi yang terbunuh atas ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) dari si pembunuh. Abu ‘Azib meriwayatkan dari Abu Sa‘id Al-Khudri bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Qawad (hukuman qisas) dengan pedang, dan kesalahan (pembunuhan tidak sengaja) menjadi tanggungan ‘āqilah.”
وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَيَّزَ بَيْنَ مَعَاقِلِ قُرَيْشٍ وَالْأَنْصَارِ فَجَعَلَ مَعَاقِلَ قُرَيْشٍ فِيهِمْ وَمَعَاقِلَ الْأَنْصَارِ فِي بَنِي سَاعِدَةَ
Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ membedakan antara tempat perlindungan (ma‘āqil) Quraisy dan Anshar, maka beliau menetapkan tempat perlindungan Quraisy berada pada mereka, dan tempat perlindungan Anshar berada pada Bani Sa‘idah.
وَرَوَى حَمَّادٌ عَنْ إِبْرَاهِيمَ أَنَّ عَلِيًّا وَالزُّبَيْرَ اخْتَصَمَا إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِي مَوَالِي صَفِيَّةَ بِنْتِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لأن الزبير ابنها وعلي ابْنُ أَخِيهَا فَقَضَى لِلزُّبَيْرِ بِالْمِيرَاثِ وَعَلَى عَلِيٍّ بِالْعَقْلِ
Hammad meriwayatkan dari Ibrahim bahwa Ali dan Zubair berselisih di hadapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhum mengenai para mawali Shafiyyah binti Abdul Muththalib, karena Zubair adalah putranya dan Ali adalah keponakannya. Maka Umar memutuskan warisan untuk Zubair dan kewajiban diyat atas Ali.
وَلِأَنَّ إِجْمَاعَ الصَّحَابَةِ انْعَقَدَ فِي قِصَّةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ حِينَ أَنْفَذَ رَسُولَهُ إِلَى امْرَأَةٍ فِي قَذْفٍ بَلَغَهُ عَنْهَا فَأَجْهَضَتْ ذَاتَ بَطْنِهَا فَسَأَلَ عُثْمَانَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ فَقَالَا لَا شَيْءَ عَلَيْكَ إِنَّمَا أَنْتَ مُعَلِّمٌ وَسَأَلَ عَلِيًّا فقال إن كانا اجتهادا فَقَدْ أَخْطَآ وَإِنْ كَانَا مَا اجْتَهَدَا فَقَدْ غَشِيَا عَلَيْكَ الدِّيَةَ فَقَالَ عُمَرُ عَزَمْتُ عَلَيْكَ لَا تَبْرَحْ حَتَّى تَضْرِبَهَا عَلَى قومك يعني قُرَيْشًا لِأَنَّهُمْ عَاقِلَتُهُ فَقَضَى بِهَا عَلَيْهِمْ فَتَحَمَّلُوهَا عَنْهُ وَلَمْ يُخَالِفْهُ مِنْهُمْ وَلَا مِنْ جَمِيعِ الأمة أحد من انْتِشَارِ الْقَضِيَّةِ وَظُهُورِهَا فِي الْكَافَّةِ فَثَبَتَ أَنَّهُ إِجْمَاعٌ لَا يَسُوغُ خِلَافُهُ وَلِأَنَّ اخْتِصَاصَ الْعَاقِلَةِ بِالِاسْمِ مُوجِبٌ لِاخْتِصَاصِهِمْ بِالْحُكْمِ وَفَقْدَ الْحُكْمِ يُوجِبُ زَوَالَ الِاسْمِ وَلِأَنَّ الْعَقْلَ فِي كَلَامِهِمِ الْمَنْعُ وَقَدْ كَانَتِ الْعَرَبُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَمْنَعُونَ عَنِ الْقَاتِلِ بِأَسْيَافِهِمْ فَلَمَّا مَنَعَهُمُ الْإِسْلَامُ مِنَ السَّيْفِ عَوَّضَ مِنْهُ مَنَعَهُمْ مِنْهُ بِأَمْوَالِهِمْ وَلِذَلِكَ انْطَلَقَ اسْمُ الْعَاقِلَةِ عَلَيْهِمْ وَلِأَنَّ النُّفُوسَ مُغَلَّظَةٌ عَلَى الْأَمْوَالِ وَقَتْلَ الْخَطَأِ يَكْثُرُ بَيْنَ النَّاسِ وَفِي إِيجَابِ الدِّيَةِ عَلَى الْقَاتِلِ فِي مَالِهِ أَحَدُ أَمْرَيْنِ إِمَّا اسْتِئْصَالُ مَالِهِ إِنْ كَانَ وَاحِدًا وَقَلَّ أَنْ يَتَّسِعَ لِتَحَمُّلِ الدِّيَةِ مَالُ الْوَاحِدِ وَإِمَّا إِهْدَارُ الدَّمِ إِنْ كَانَ مُعْدَمًا وَفِي تَحَمُّلِ الْعَاقِلَةِ عَنْهُ مُوَاسَاةٌ تُفْضِي إِلَى حِفْظِ الدِّمَاءِ وَاسْتِبْقَاءِ الْأَحْوَالِ وَهَذَا أَدْعَى إِلَى الْمَصْلَحَةِ وَأَبْعَثُ عَلَى التَّعَاطُفِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا تَحَمَّلَ بِالنَّسَبِ بَعْضَ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْأَمْوَالِ وَهُوَ زَكَاةُ الْفِطْرِ جَازَ أَنْ يَتَحَمَّلَ بَعْضَ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فِي الْأَمْوَالِ وَهُوَ دِيَاتُ الْخَطَأِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَحَقِيقَةُ الْوِزْرِ الْإِثْمُ وَهُوَ لَا يَتَحَمَّلُ وَكَذَلِكَ ظَاهِرُ الْآيَتَيْنِ مَحْمُولٌ عَلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا الْمَأْثَمُ وَإِمَّا أَحْكَامُ عَمْدِهِ
Karena ijmā‘ para sahabat telah terjadi dalam kisah ‘Umar bin al-Khattab ketika ia mengutus utusannya kepada seorang wanita terkait tuduhan zina yang sampai kepadanya, lalu wanita itu mengalami keguguran kandungannya. ‘Umar bertanya kepada ‘Utsman dan ‘Abdurrahman, maka keduanya berkata, “Tidak ada kewajiban atasmu, engkau hanya seorang pengajar.” Lalu ia bertanya kepada ‘Ali, maka ‘Ali berkata, “Jika keduanya berijtihad, maka keduanya telah keliru, dan jika keduanya tidak berijtihad, maka keduanya telah menyesatkanmu dari kewajiban diyat.” Maka ‘Umar berkata, “Aku menegaskan kepadamu, janganlah engkau pergi hingga engkau membebankan diyat itu kepada kaummu,” maksudnya Quraisy, karena mereka adalah ‘āqilah-nya. Maka ‘Umar memutuskan diyat itu atas mereka, lalu mereka menanggungnya untuknya, dan tidak ada seorang pun dari mereka maupun dari seluruh umat yang menentangnya, karena kasus ini telah tersebar dan diketahui oleh semua orang. Maka tetaplah bahwa itu adalah ijmā‘ yang tidak boleh diselisihi. Dan karena kekhususan ‘āqilah dengan nama tersebut mengharuskan kekhususan mereka dengan hukum itu, dan hilangnya hukum mengharuskan hilangnya nama, dan karena ‘aql dalam ucapan mereka bermakna pencegahan, dan dahulu bangsa Arab di masa jahiliyah mencegah pembunuh dengan pedang-pedang mereka, maka ketika Islam melarang mereka dari pedang, Islam menggantinya dengan pencegahan melalui harta mereka. Oleh karena itu, nama ‘āqilah disematkan kepada mereka. Dan karena jiwa manusia lebih berat daripada harta, sementara pembunuhan karena kesalahan sering terjadi di antara manusia, dan jika diyat dibebankan kepada pelaku dalam hartanya sendiri, maka ada dua kemungkinan: bisa jadi hartanya habis jika ia seorang diri, dan jarang sekali harta satu orang cukup untuk menanggung diyat, atau darah menjadi sia-sia jika ia tidak mampu. Dengan ditanggungnya diyat oleh ‘āqilah, terdapat bentuk solidaritas yang mengarah pada penjagaan darah dan kelangsungan keadaan, dan ini lebih mendatangkan kemaslahatan dan menumbuhkan rasa saling peduli. Dan karena ketika sebagian hak Allah Ta‘ala dalam harta, yaitu zakat fitrah, boleh ditanggung karena nasab, maka boleh pula sebagian hak manusia dalam harta, yaitu diyat karena kesalahan, ditanggung oleh ‘āqilah. Adapun jawaban atas ayat, hakikat al-wizr adalah dosa, dan itu tidak dapat ditanggung, demikian pula makna lahiriah dua ayat itu dapat dimaknai salah satu dari dua hal: dosa atau hukum-hukum pembunuhan sengaja.
وَأَمَّا قَوْلُهُ فِي الْخَبَرَيْنِ إنَّهُ لَا يَجْنِي عَلَيْكَ وَلَا تَجْنِي عَلَيْهِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ
Adapun ucapannya dalam dua hadis tersebut, “Sesungguhnya ia tidak menanggung dosa atasmu dan engkau pun tidak menanggung dosa atasnya,” maka mengenai hal ini terdapat dua jawaban.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْأَبْنَاءَ وَالْآبَاءَ لَا يَتَحَمَّلُونَ الْعَقْلَ وَإِنَّمَا يَتَحَمَّلُهُ مَنْ عَدَاهُمْ مِنَ الْعَصَبَاتِ
Salah satu di antaranya adalah bahwa anak-anak dan ayah-ayah tidak menanggung diyat ‘aql, melainkan yang menanggungnya adalah selain mereka dari kalangan ‘ashabah.
وَالثَّانِي أَنَّهُ يُحْمَلُ عَلَى الْعَمْدِ الَّذِي لَا يَتَحَمَّلُ عَنِ الْقَاتِلِ وَلَا يُؤَاخَذُ بِهِ غَيْرُهُ وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ لَا يُؤْخَذُ الْأَبُ بِجَرِيرَةِ ابْنِهِ وَلَا الِابْنُ بِجَرِيرَةِ أَبِيهِ
Yang kedua, bahwa hal itu dibawa pada pembunuhan sengaja yang tidak dapat ditanggung oleh selain pelaku pembunuhan dan tidak ada orang lain yang dimintai pertanggungjawaban atasnya. Demikian pula jawaban terhadap pernyataannya bahwa seorang ayah tidak dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan anaknya, dan seorang anak tidak dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan ayahnya.
وَأَمَّا جَمْعُهُمْ بَيْنَ الْأَمْوَالِ وَالنُّفُوسِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِتَغْلِيظِ النُّفُوسِ عَلَى الْأَمْوَالِ وَلِذَلِكَ دَخَلَتِ الْقَسَامَةُ فِي النُّفُوسِ وَلَمْ تَدْخُلْ فِي الْأَمْوَالِ
Adapun menggabungkan antara harta dan jiwa, maka itu tidak benar, karena jiwa lebih berat (nilainya) daripada harta. Oleh karena itu, qasāmah berlaku pada kasus jiwa dan tidak berlaku pada kasus harta.
وَأَمَّا الْعَمْدُ فَلِأَنَّهُ عَنْ مَعْصِيَةٍ يُسْتَحَقُّ فِيهَا الْقَوَدُ وَالْعَاصِي لَا يُعَانُ وَلَا يُوَاسَى وَالْقَوَدُ لَا يَدْخُلُهُ تَحَمُّلٌ وَلَا نِيَابَةٌ
Adapun pembunuhan sengaja, karena ia berasal dari suatu kemaksiatan yang di dalamnya berhak dikenakan qishāsh, dan pelaku maksiat tidak boleh dibantu maupun diberi solidaritas, serta qishāsh tidak dapat dimasuki oleh penanggungan maupun perwakilan.
وَأَمَّا الْكَفَّارَةُ فَمِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِالْمَالِ تَارَةً وَبِالصِّيَامِ تَارَةً وَلَا يَصِحُّ فِيهَا عَفْوٌ فَلَمْ يَدْخُلْهَا مُوَاسَاةٌ وَخَالَفَتْهَا الدِّيَةُ فِي هَذِهِ الْأَحْكَامِ مُخَالَفَتَهَا فِي التحمل والله أعلم
Adapun kafārah, maka ia termasuk hak-hak Allah Ta‘ālā yang kadang berkaitan dengan harta dan kadang dengan puasa, dan tidak sah di dalamnya adanya pemaafan, sehingga tidak masuk di dalamnya unsur saling membantu. Berbeda dengan diyat dalam hukum-hukum ini, karena diyat berbeda dalam hal-hal tersebut. Dan Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَا اخْتِلَافَ بَيْنَ أَحَدٍ عَلِمْتُهُ فِي أَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى بِهَا فِي ثَلَاثِ سِنِينَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara siapa pun yang aku ketahui bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memutuskan perkara tersebut dalam tiga tahun.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ ذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى أَنَّ الْعَاقِلَةَ تَتَحَمَّلُ الدِّيَةَ حَالَةَ يُؤَدُّونَهَا مُعَجَّلَةً كَدِيَاتِ الْعَمْدِ وَقِيَمِ الْمُتْلَفَاتِ
Al-Mawardi berkata, “Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘aqilah menanggung diyat dalam keadaan mereka membayarnya secara langsung, seperti diyat kasus pembunuhan sengaja dan nilai barang-barang yang dirusak.”
وَحُكِيَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ إنَّهَا مُؤَجَّلَةٌ فِي خَمْسِ سِنِينَ لِأَنَّ دِيَةَ الْخَطَأِ أَخْمَاسٌ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَمَا عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ إنَّهَا مُؤَجَّلَةٌ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ
Diriwayatkan dari Rabi‘ah bin Abi Rabi‘ah bin Abi ‘Abd ar-Rahman bahwa diyat itu dibayarkan secara bertahap dalam lima tahun, karena diyat kesalahan (diyat al-khata’) dibagi menjadi lima bagian. Ini adalah mazhab asy-Syafi‘i, Abu Hanifah, dan Malik. Adapun pendapat jumhur (mayoritas ulama), diyat itu dibayarkan secara bertahap dalam tiga tahun.
قَالَ الشَّافِعِيُّ لَا اخْتِلَافَ بَيْنَ أَحَدٍ عَلِمْتُهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى بِهَا فِي ثَلَاثِ سِنِينَ فَأَضَافَهُ إِلَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَجَعَلَ نَقْلَهُ كَالْإِجْمَاعِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا أَرَادَهُ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا الْقَضَاءِ لِأَنَّ أَصْحَابَ الْحَدِيثِ اعْتَرَضُوا عَلَى الشَّافِعِيِّ فِيهِ وَقَالُوا مَا صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي هَذَا شَيْءٌ فَكَيْفَ قَالَ هَذَا
Imam Syafi‘i berkata, “Tidak ada perbedaan di antara siapa pun yang aku ketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan perkara ini dalam tiga tahun, lalu ia menisbatkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikan periwayatannya seperti ijmā‘. Maka para sahabat kami pun berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud Imam Syafi‘i dengan keputusan ini, karena para ahli hadis mengkritik Imam Syafi‘i dalam hal ini dan berkata, ‘Tidak ada satu pun riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini, lalu bagaimana beliau bisa mengatakan demikian?’”
وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ لَا أَعْرِفُ هَذَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ
Ibnu al-Mundzir berkata, “Aku tidak mengetahui hal ini berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
وَسُئِلَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ عَنْ هَذَا فَقَالَ لَا أَعْرِفُ فِيهِ شَيْئًا فَقِيلَ لَهُ إِن أَبَا عَبْدِ اللَّهِ قَدْ رَوَاهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ لَعَلَّ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ سَمِعَهُ مِنْ ذَلِكَ الْمَدَنِيِّ فَإِنَّهُ كَانَ حَسَنَ الظَّنِّ فِيهِ يَعْنِي إِبْرَاهِيمَ بْنَ يَحْيَى الْهَجَرِيَّ وَلِأَصْحَابِنَا عَنْهُ جَوَابَانِ
Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang hal ini, lalu beliau menjawab, “Aku tidak mengetahui sesuatu pun tentangnya.” Maka dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya Abu Abdillah telah meriwayatkannya dari Nabi ﷺ.” Beliau pun berkata, “Barangkali Abu Abdillah mendengarnya dari orang Madinah itu, karena ia berprasangka baik kepadanya,” maksudnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Hajari. Dan menurut para sahabat kami, ada dua jawaban tentang hal ini.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَطَائِفَةٍ أَنَّ مُرَادَ الشَّافِعِيِّ بِقَضَائِهِ تَأْجِيلُ الدِّيَةِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ وَأَنَّهُ مَرْوِيٌّ لَكِنَّهُ مُرْسَلٌ فَلِذَلِكَ لَمْ يَذْكُرْ إِسْنَادَهُ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan sekelompok ulama, bahwa yang dimaksud oleh asy-Syafi‘i dengan keputusannya adalah penangguhan pembayaran diyat selama tiga tahun, dan bahwa hal itu memang diriwayatkan, namun riwayat tersebut mursal, sehingga ia tidak menyebutkan sanadnya.
وَالثَّانِي أَنَّ مُرَادَهُ الْقَضَاءُ بِأَصْلِ الدِّيَةِ وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dan yang kedua, maksudnya adalah menetapkan dengan pokok diyat, dan hal ini telah disepakati.
فَأَمَّا تَأْجِيلُهَا فِي ثَلَاثِ سِنِينَ فَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنِ الصَّحَابَةِ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا جَعَلَا دِيَةَ الْخَطَأِ عَلَى الْعَاقِلَةِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ وَلِأَنَّ الْعَاقِلَةَ تَتَحَمَّلُ دِيَةَ الْخَطَأِ مُوَاسَاةً وَمَا كَانَ طَرِيقَ الْمُوَاسَاةِ كَانَ الْأَجَلُ فِيهِ مُعْتَبَرًا كَالزَّكَاةِ وَلَمَّا خَرَجَتْ عَنْ عُرْفِ الزَّكَاةِ فِي الْقَدْرِ زَادَ حُكْمُهَا فِي الْأَجَلِ فَاعْتُبِرَ فِي عَدَدِ السِّنِينَ أَكْثَرُ الْقَلِيلِ وَأَقَلُّ الْكَثِيرِ فَكَانَ ثَلَاثَ سِنِينَ وَبِهَذَا خَالَفَ الْعَبْدَ وَقِيَمَ الْمُتْلَفَاتِ لِأَنَّهُ لَا مُوَاسَاةَ فِيهِمَا وَلَا اعْتِبَارَ بِمَا قَالَهُ رَبِيعَةُ إنَّهَا مُؤَجَّلَةٌ فِي خَمْسِ سِنِينَ لِأَنَّ دِيَةَ الْخَطَأِ أَخْمَاسٌ لِأَنَّ عَمْدَ الْخَطَأِ أَثْلَاثٌ والأجل فِيهِمَا سَوَاءٌ
Adapun penangguhan pembayaran diyat selama tiga tahun, hal ini diriwayatkan dari para sahabat. Diriwayatkan dari Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhuma bahwa keduanya menetapkan diyat karena pembunuhan tidak sengaja (khata’) atas ‘aqilah selama tiga tahun. Hal ini karena ‘aqilah menanggung diyat khata’ sebagai bentuk solidaritas (muwasat), dan segala sesuatu yang berkaitan dengan solidaritas, maka tenggat waktu di dalamnya diperhitungkan, seperti zakat. Namun, ketika diyat ini berbeda dengan zakat dalam hal jumlah, maka hukumnya pun berbeda dalam hal tenggat waktu, sehingga dalam menentukan jumlah tahun, diambil pertengahan antara jumlah yang sedikit dan yang banyak, yaitu tiga tahun. Dengan demikian, hal ini berbeda dengan budak dan nilai barang yang rusak, karena keduanya tidak ada unsur solidaritas di dalamnya. Tidak dapat dijadikan pegangan pendapat Rabi‘ah yang mengatakan bahwa diyat itu ditangguhkan selama lima tahun, karena diyat khata’ itu terdiri dari lima bagian, sedangkan diyat karena kesengajaan yang mirip khata’ terdiri dari tiga bagian, dan tenggat waktu pada keduanya sama.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عنه ولا مخالفا فِي أَنَّ الْعَاقِلَةَ الْعَصَبَةُ وَهُمُ الْقَرَابَةُ مِنْ قبل الأب وقضى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى علي بن أبي طالب بأن يعقل عن موالي صفية بنت عبد المطلب وقضى للزبير بميراثهم لأنه ابنها
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, dan tidak ada yang berbeda pendapat bahwa ‘āqilah adalah ‘ashabah, yaitu kerabat dari pihak ayah. Umar bin Khattab raḍiyallāhu ‘anhu pernah memutuskan perkara kepada Ali bin Abi Thalib agar menanggung diyat atas nama para mawālī Shafiyyah binti Abdul Muththalib, dan beliau memutuskan agar az-Zubair mendapatkan warisan mereka karena ia adalah putranya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ الْعَاقِلَةُ هُمُ الْعَصَبَاتُ سِوَى الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْآبَاءِ وَالْمَوْلُودِينَ مِنَ الْأَبْنَاءِ كَالْإِخْوَةِ وَبَنِيهِمْ وَالْأَعْمَامِ وَبَنِيهِمْ وَأَعْمَامِ الْآبَاءِ وَالْأَجْدَادِ وَبَنِيهِمْ
Al-Mawardi berkata: ‘Aqilah adalah para ‘ashabah selain kedua orang tua dari kalangan ayah-ayah dan anak-anak yang dilahirkan, seperti saudara-saudara dan anak-anak mereka, paman-paman dan anak-anak mereka, paman-paman dari pihak ayah dan kakek-kakek serta anak-anak mereka.
وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ يَتَحَمَّلُهَا الْآبَاءُ وَالْأَبْنَاءُ وَهُمْ مِنَ الْعَاقِلَةِ كَسَائِرِ الْعَصَبَاتِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُمْ عَصَبَةٌ فَأَشْبَهُوا فِي الْعَقْلِ سَائِرَ الْعَصَبَاتِ وَهُمْ أَوْلَى لِأَنَّ تَعْصِيبَهُمْ أَقْوَى وَلِأَنَّ النُّصْرَةَ لَهُمْ أَلْزَمُ فَكَانُوا أَحَقَّ بِتَحَمُّلِ الْغُرْمِ
Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa para ayah dan anak-anak menanggung diyat, dan mereka termasuk dalam kelompok ‘āqilah seperti para ‘ashabah lainnya, dengan alasan bahwa mereka adalah ‘ashabah, sehingga dalam hal menanggung diyat mereka serupa dengan ‘ashabah lainnya. Mereka bahkan lebih utama, karena hubungan ‘ashabah mereka lebih kuat dan kewajiban untuk saling menolong di antara mereka lebih besar, sehingga mereka lebih berhak menanggung beban diyat.
وَدَلِيلُنَا قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في حديث الحسحاس بْنِ خَبَّابٍ وَأَبِي رِمْثَةَ فِي الِابْنِ أَنَّهُ لَا يَجْنِي عَلَيْكَ وَلَا تَجْنِي عَلَيْهِ وَحَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا يُؤْخَذُ الْأَبُ بِجَرِيرَةِ ابْنِهِ وَلَا الِابْنُ بِجَرِيرَةِ أَبِيهِ
Dalil kami adalah sabda Rasulullah ﷺ dalam hadits al-Hasshas bin Khabbab dan Abu Rimtsah tentang anak, bahwa “ia tidak menanggung dosa atasmu dan engkau pun tidak menanggung dosa atasnya,” serta hadits Ibnu Mas‘ud bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Seorang ayah tidak diambil (dihukum) karena kesalahan anaknya, dan anak pun tidak diambil (dihukum) karena kesalahan ayahnya.”
وَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ نُصُوصٌ مَعَ حَدِيثٍ أَبِي هُرَيْرَةَ وَلِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَضَى فِي مَوَالِي صَفِيَّةَ لِلزُّبَيْرِ بِالْمِيرَاثِ وَعَلَى عَلِيٍّ بِالْعَقْلِ وَهُوَ إِجْمَاعٌ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَا يَحْمِلُ الْعَقْلَ مَعَ وُجُودِ أَهْلِ الدِّيوَانِ لَمْ يَحْمِلْهُ مَعَ عَدَمِهِمْ كَالصَّغِيرِ وَالْمَعْتُوهِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَزِمَهُ تَحَمُّلُ النَّفَقَةِ عَنْهُ فِي مَالِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ تَحَمُّلُ الْعَقْلِ عَنْهُ كَالزَّوْجِ
Hadis-hadis ini merupakan nash bersama hadis Abu Hurairah. Selain itu, Umar radhiyallahu ‘anhu telah memutuskan dalam perkara budak-budak milik Shafiyyah untuk az-Zubair dengan warisan, dan kepada Ali dengan diyat, dan ini merupakan ijmā‘. Dan setiap orang yang tidak menanggung diyat padahal ada ahli diwan, maka ia juga tidak menanggungnya ketika mereka tidak ada, seperti anak kecil dan orang yang kurang akal. Dan setiap orang yang wajib menanggung nafkah dari hartanya, tidak wajib menanggung diyat darinya, seperti suami.
وَقِيَاسُهُمْ عَلَى الْبَعْضِيَّةِ مُنْتَقَضٌ بِالصَّغِيرِ وَالْمَعْتُوهِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْفَرْضِيَّةِ عَدَمُ الْوِلَادَةِ وَالْبَعْضِيَّةِ وَاعْتِبَارُهُمْ بِالنُّصْرَةِ فَهُوَ شَرْطٌ وَلَيْسَتْ بِعِلَّةٍ وَيَفْسُدُ بِالزَّوْجِ وَالْجَارِ
Qiyās mereka atas sebagian (anggota keluarga) tertolak dengan adanya anak kecil dan orang yang kurang akal. Kemudian, makna dalam masalah faraidh adalah tidak adanya kelahiran dan sebagian (anggota keluarga). Pertimbangan mereka dengan alasan pertolongan, maka itu adalah syarat dan bukanlah ‘illat (sebab hukum), dan hal itu rusak (tidak berlaku) pada kasus suami dan tetangga.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَ لِلْقَاتِلَةِ خَطَأً ابْنٌ هُوَ ابْنُ عَمِّهَا لَمْ يَعْقِلْ عَنْهَا بِالتَّعْصِيبِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْبُنُوَّةِ وَجَازَ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِالتَّعْصِيبِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِهِ عَلَى الْبُنُوَّةِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ خُرُوجَ الْأَبْنَاءِ مِنَ الْعَقْلِ وَإِنْ كَانُوا عَصَبَةً لِاخْتِصَاصِهِمْ بِتَحَمُّلِ النَّفَقَةِ وَهُوَ يَتَحَمَّلُهَا هَاهُنَا وَإِنْ كَانَ ابْنَ عَمٍّ فَلَمْ يَجْمَعْ بَيْنَ تَحَمُّلِهَا وَتَحَمُّلِ الْعَقْلِ وَخَالَفَ وِلَايَةَ التَّزْوِيجِ الَّذِي قَدْ وُجِدَتْ فِيهِ مَعَ الْبُنُوَّةِ شُرُوطُ الْعَصَبَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Apabila seorang perempuan yang membunuh karena tidak sengaja memiliki seorang anak laki-laki yang juga merupakan anak paman (sepupunya), maka ia tidak menanggung diyat (denda pembunuhan tidak sengaja) atas ibunya karena hubungan ‘ashabah (kekerabatan laki-laki), karena hukum sebagai anak lebih diutamakan. Namun, boleh baginya menikahkan ibunya karena hubungan ‘ashabah, karena hukum ‘ashabah lebih diutamakan atas hukum sebagai anak. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa keluarnya anak-anak dari kewajiban menanggung diyat, meskipun mereka termasuk ‘ashabah, disebabkan kekhususan mereka dalam menanggung nafkah, dan di sini ia menanggung nafkah meskipun sebagai anak paman, sehingga tidak terkumpul antara menanggung nafkah dan menanggung diyat. Hal ini berbeda dengan kewenangan menikahkan, di mana pada kasus tersebut telah terpenuhi syarat-syarat ‘ashabah bersama dengan status sebagai anak. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.
فَصْلٌ
Bagian
وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْعَاقِلَةَ مَنْ عَدَا الْآبَاءَ وَالْأَبْنَاءَ مِنَ الْعَصَبَاتِ لَمْ يَتَحَمَّلِ الْقَاتِلُ مَعَهُمْ مِنَ الدِّيَةِ شَيْئًا وَاخْتُصُّوا بِتَحَمُّلِهَا عَنْهُ دُونَهُ
Dan apabila telah tetap bahwa ‘āqilah adalah selain ayah dan anak dari kalangan ‘ashabah, maka si pembunuh tidak menanggung sedikit pun dari diyat bersama mereka, dan mereka secara khusus yang menanggung diyat tersebut atas nama si pembunuh, bukan dirinya.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يُشَارِكُهُمْ فِي تَحَمُّلِ الدِّيَةِ وَيَكُونُ فِيهَا كَأَحَدِهِمْ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ سَلَمَةَ بْنِ نُعَيْمٍ قَتَلَ مُسْلِمًا ظَنَّهُ كَافِرًا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ دِيَتُهُ عَلَيْكَ وَعَلَى قَوْمِكَ وَلَمْ يَظْهَرْ لَهُ مُخَالِفٌ
Abu Hanifah berpendapat bahwa ia turut serta bersama mereka dalam menanggung diyat dan kedudukannya di dalamnya seperti salah satu dari mereka, dengan berdalil pada riwayat bahwa Salamah bin Nu‘aim membunuh seorang Muslim yang ia sangka kafir, lalu Umar berkata kepadanya, “Diyatnya menjadi tanggunganmu dan kaum keluargamu,” dan tidak tampak ada yang menyelisihinya.
وَلِأَنَّ تَحَمُّلَ الدِّيَةِ عَنِ الْقَاتِلِ مُوَاسَاةٌ لَهُ وَتَخْفِيفٌ عَنْهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَحَمَّلَ عَنْهُ مَا لَا يَتَحَمَّلُهُ عَنْ نَفْسِهِ كَالنَّفَقَةِ وَلِأَنَّ تَحَمُّلَهَا عَنْهُ نُصْرَةٌ لَهُ وَهُوَ أَحَقُّ بِنُصْرَةِ نَفْسِهِ مِنْ غَيْرِهِ
Karena menanggung diyat atas pelaku pembunuhan merupakan bentuk solidaritas dan keringanan baginya, maka tidak boleh menanggung darinya sesuatu yang tidak ia tanggung untuk dirinya sendiri, seperti nafkah. Selain itu, menanggung diyat atasnya adalah bentuk pertolongan kepadanya, padahal ia lebih berhak menolong dirinya sendiri daripada orang lain.
وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جَعَلَ دِيَةَ الْمَقْتُولَةِ عَلَى عَاقِلَةِ الْقَاتِلَةِ فَكَانَ الظَّاهِرُ أَنْ جَعَلَ جَمِيعَهَا عَلَى الْعَاقِلَةِ وَلِأَنَّ تَحَمُّلَ الْمُوَاسَاةِ يُوجِبُ اسْتِيعَابَ مَا وَقَعَتْ بِهِ الْمُوَاسَاةُ كَالنَّفَقَةِ وَزَكَاةِ الْفِطْرِ وَفِيهِ انْفِصَالٌ عَمَّا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنَ الْمُوَاسَاةِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا تَفَرَّدَ الْقَاتِلُ بِدِيَةِ الْعَمْدِ وَجَبَ أَنْ تَتَفَرَّدَ الْعَاقِلَةُ بِدِيَةِ الْخَطَأِ لِأَنَّ الدِّيَةَ مُسْتَحَقَّةٌ فِي جِهَةٍ وَاحِدَةٍ وَحَدِيثُ عُمَرَ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ جَعَلَهَا عَلَيْهِ وُجُوبًا وَعَلَى قَوْمِهِ تَحَمُّلًا
Dalil kami adalah hadis Jabir bahwa Nabi ﷺ menetapkan diyat (tebusan) orang yang terbunuh atas ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) dari si pembunuh perempuan, sehingga yang tampak adalah bahwa beliau menetapkan seluruh diyat itu atas ‘āqilah. Karena menanggung solidaritas (al-muwāsāh) mewajibkan untuk mencakup seluruh apa yang menjadi objek solidaritas, seperti nafkah dan zakat fitri, dan dalam hal ini terdapat perbedaan dengan apa yang mereka jadikan dalil dari solidaritas tersebut. Dan karena ketika pembunuh sendirian menanggung diyat pembunuhan sengaja (‘amdan), maka seharusnya ‘āqilah juga sendirian menanggung diyat pembunuhan karena kesalahan (khaṭa’), karena diyat itu memang menjadi hak pada satu pihak saja. Adapun hadis Umar dapat dipahami bahwa beliau mewajibkannya atas pelaku dan menanggungnya atas kaumnya.
وَأَمَّا النُّصْرَةُ فَلَا اعْتِبَارَ بِهَا لِأَنَّ الزَّوْجَ يَنْصُرُ زَوْجَتَهُ وَلَا يَعْقِلُ عَنْهَا وَعَلَى أَنَّ الْعَاقِلَةَ قَدْ كفوه النصرة
Adapun pertolongan, maka tidak dianggap sebagai dasar, karena suami menolong istrinya namun tidak menanggung diyat atasnya, dan juga karena ‘āqilah telah mencukupi dalam hal pertolongan.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَمَعْرِفَةُ الْعَاقِلَةِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى إِخْوَتِهِ لِأَبِيهِ فَيُحَمِّلَهُمْ مَا يَحْمِلُ الْعَاقِلَةُ فَإِنْ لَمْ يَحْتَمِلُوهَا دُفِعَتْ إِلَى بَنِي جَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَحْتَمِلُوهَا دُفِعَتْ إِلَى بَنِي جَدِّ أَبِيهِ ثُمَّ هَكَذَا لَا يُدْفَعُ إِلَى بَنِي أَبٍ حَتَّى يَعْجِزُ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ مِنْهُمْ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Cara mengetahui siapa saja yang termasuk ‘āqilah adalah dengan melihat kepada saudara-saudara seayah, lalu membebankan kepada mereka apa yang menjadi tanggungan ‘āqilah. Jika mereka tidak mampu menanggungnya, maka dibebankan kepada anak-anak kakeknya. Jika mereka juga tidak mampu menanggungnya, maka dibebankan kepada anak-anak kakek dari pihak ayahnya, dan seterusnya. Tidak dibebankan kepada anak-anak ayah sebelum yang lebih dekat dari mereka benar-benar tidak mampu menanggungnya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ تَفَرُّدَ الْأَقَارِبِ بِهَا دُونَ الْأَبَاعِدِ إِجْحَافٌ فَخَرَجَ عَنِ الْمُوَاسَاةِ وَأَخْذَهَا مِنْ كُلِّ قَرِيبٍ وَبَعِيدٍ يُفْضِي إِلَى دُخُولِ جَمِيعِ بَنِي آدَمَ فِيهَا فَوَجَبَ أَنْ يُرَاعَى فِي تَحَمُّلِهَا الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ كَالْمِيرَاثِ
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, karena jika kerabat dekat saja yang menanggungnya tanpa melibatkan kerabat jauh, maka itu merupakan ketidakadilan sehingga keluar dari prinsip saling membantu. Namun jika diambil dari semua kerabat dekat dan jauh, hal itu akan menyebabkan seluruh manusia (keturunan Adam) terlibat di dalamnya. Maka wajib diperhatikan dalam menanggungnya adalah kerabat yang paling dekat, kemudian yang lebih dekat berikutnya, sebagaimana dalam pembagian warisan.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَسْتَوِي فِيهَا الْقَرِيبُ وَالْبَعِيدُ وَيَشْتَرِكُونَ فِي تَحَمُّلِهَا عَلَى سَوَاءٍ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى بِدِيَةِ الْمَقْتُولِ عَلَى عَاقِلَةِ الْقَاتِلَةِ وَأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي دِيَةِ الْجَنِينِ الَّذِي أَجْهَضَتْهُ الْمَرْأَةُ الموهوبة عَزَمْتُ عَلَيْكَ لَتُقَسِّمَنَّهَا عَلَى قَوْمِكَ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ
Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam hal ini, kerabat dekat dan jauh diperlakukan sama, dan mereka bersama-sama menanggungnya secara merata. Pendapat ini didasarkan pada dalil bahwa Nabi ﷺ memutuskan diyat orang yang terbunuh ditanggung oleh ‘āqilah (keluarga penanggung) dari pelaku pembunuhan, dan bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Ali radhiyallahu ‘anhuma mengenai diyat janin yang digugurkan oleh seorang wanita yang dihibahkan, “Aku memerintahkanmu untuk membaginya kepada kaummu,” dan beliau tidak membedakan antara kerabat dekat dan jauh.
وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ كُلَّ حُكْمٍ تَعَلَّقَ بِالتَّعْصِيبِ وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ فِيهِ التَّرْتِيبُ كَالْمِيرَاثِ وَوِلَايَةِ النِّكَاحِ وَلِأَنَّ الْأَقْرَبَ أَخَصُّ بِالنُّصْرَةِ مِنَ الْأَبْعَدِ فَكَانَ أَحَقَّ بِالْعَقْلِ مِنْهُ
Ini tidak benar, karena setiap hukum yang berkaitan dengan ‘ashabah (keluarga yang berhak mewarisi secara prioritas) harus mempertimbangkan urutan (kedekatan hubungan), seperti dalam warisan dan perwalian nikah. Selain itu, kerabat yang lebih dekat lebih berhak untuk memberikan pertolongan dibandingkan yang lebih jauh, sehingga ia lebih berhak untuk menanggung diyat daripada kerabat yang lebih jauh.
فَأَمَّا الْخَبَرُ وَالْأَثَرُ فَالْمُرَادُ بِهِمَا بَيَانُ مَحَلِّ الْعَقْلِ أَنَّهُمُ الْعَصَبَاتُ ثُمَّ تَقِفُ التَّعْيِين عَلَى مَا يُوجِبُهُ التَّرْتِيبُ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَأَوَّلُ الْعَصَبَاتِ دَرَجَةً فِي تَحَمُّلِ الدِّيَةِ الْإِخْوَةُ وَقَدْرُ مَا يَتَحَمَّلُهُ الْمُوسِرُ مِنْهُمْ فِي كُلِّ سَنَةٍ نِصْفُ دِينَارٍ وَالْمُتَوَسِّطُ رُبُعُ دِينَارٍ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ وَيَخْرُجُ مِنَ الْإِخْوَةِ مَنْ كَانَ لِأُمٍّ وَيَتَحَمَّلُهَا مِنْهُمْ مَنْ كَانَ لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لِأَبٍ فَإِنِ اجْتَمَعُوا فَهَلْ يُقَدَّمُ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فِي تَحَمُّلِهَا عَلَى الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا قِيلَ فِي وِلَايَةِ النِّكَاحِ فَإِذَا أَمْكَنَ أَنْ يَتَحَمَّلَهَا الْإِخْوَةُ لِأَنَّ الْعَقْلَ خَمْسَةُ دَنَانِيرَ وَالْإِخْوَةَ عَشَرَةٌ ضُرِبَتْ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُعْدَلْ إِلَى غَيْرِهِمْ وَإِنْ قَصَّرُوا عَنْهَا لِأَنَّ الْعَقْلَ خَمْسَةٌ وَالْإِخْوَةَ خَمْسَةٌ ضُمَّ إِلَيْهِمْ بَنُو الْإِخْوَةِ فَإِنْ كَانُوا خَمْسَةً صَارُوا مَعَ الْإِخْوَةِ عَشَرَةً يَتَحَمَّلُونَ الْعَقْلَ الَّذِي هُوَ خَمْسَةُ دَنَانِيرَ فَلَا يُضَمُّ إِلَيْهِمْ غَيْرُهُمْ وَإِنْ كَانَ بَنُو الْإِخْوَةِ أقل من خمسة ضممنا إليه بَنِيهِمْ حَتَّى يَسْتَكْمِلُوا عَشَرَةً فَيَتَحَمَّلُونَ عَقْلَ الْخَمْسَةِ وَلَا تَتَعَدَّاهُمْ إِلَى غَيْرِهِمْ فَإِنْ زَادَ الْعَقْلُ عَلَى الْخَمْسَةِ ضَمَمْنَا إِلَى الْإِخْوَةِ وَبَنِيهِمِ الْأَعْمَامَ فَإِنْ تَحَمَّلُوهُ لَمْ يُعْدَلْ إِلَى غَيْرِهِمْ وَإِنْ عَجَزُوا عَنْهُ ضَمَمْنَا إِلَيْهِمْ بَنِيهِمْ ثُمَّ كَذَلِكَ أَعْمَامُ الْأَبِ وَبَنُوهُمْ وَأَعْمَامُ الْجَدِّ وَبَنُوهُمْ حَتَّى يَسْتَوْعِبُوا جَمِيعَ الْقَبِيلَةِ الَّتِي هُوَ إِلَيْهَا مَنْسُوبٌ وَبِهَا مَشْهُورٌ وَلَا يَقْتَصِرُ عَلَى النَّسَبِ الْأَدْنَى دُونَ الْأَبْعَدِ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جَعَلَ مَعَاقِلَ قُرَيْشٍ مِنْهُمْ فَإِذَا كَانَ الْقَاتِلُ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ جَعَلْنَا الدِّيَةَ عَلَيْهِمْ فَإِنْ عَجَزُوا عَنْهَا دَخَلَ فِيهَا بَنُو عَبْدِ مَنَافٍ فَإِنْ عَجَزُوا عَنْهَا دَخَلَ فِيهَا بَنُو قُصَيٍّ فَإِنْ عَجَزُوا عَنْهَا دَخَلَ فِيهَا بَنُو كِلَابٍ ثم كذلك بنوأب بَعْدَ أَبٍ حَتَّى تَسْتَوْعِبَ جَمِيعَ قُرَيْشٍ وَلَا يَعْدِلُ بَعْدَ قُرَيْشٍ إِلَى غَيْرِهِمْ مِنَ الْعَرَبِ لتميزهم بأنسابهم فإن قصروا عنهما عَدَلْنَا إِلَى الْمَوَالِي الْمُعْتَقِينَ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَوَالِي الْقَوْمِ مِنْهُمْ فَإِنْ عَجَزُوا عَنْهَا كَانَ مَا عَجَزُوا عَنْهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ لِأَنَّ جَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ عَاقِلَةٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سواهم
Adapun yang dimaksud dengan khabar dan atsar adalah penjelasan tentang kedudukan ‘aqil, yaitu bahwa mereka adalah para ‘ashabah, kemudian penentuan secara rinci bergantung pada apa yang ditetapkan oleh urutan. Jika hal ini telah tetap, maka kelompok ‘ashabah yang pertama dalam menanggung diyat adalah para saudara, dan besarnya tanggungan orang yang mampu di antara mereka setiap tahun adalah setengah dinar, sedangkan yang pertengahan adalah seperempat dinar, sebagaimana akan disebutkan. Dari kelompok saudara, yang berasal dari ibu dikeluarkan, dan yang menanggungnya adalah saudara seayah dan seibu, atau saudara seayah saja. Jika mereka berkumpul, apakah saudara seayah dan seibu didahulukan dalam menanggungnya atas saudara seayah saja? Ada dua pendapat, sebagaimana dikatakan dalam wilayah nikah. Jika memungkinkan untuk ditanggung oleh para saudara, misalnya diyatnya lima dinar dan jumlah saudara sepuluh orang, maka dibebankan kepada mereka dan tidak dialihkan kepada selain mereka. Jika jumlah mereka kurang, misalnya diyatnya lima dinar dan jumlah saudara lima orang, maka ditambahkan kepada mereka anak-anak saudara. Jika anak-anak saudara ada lima orang, maka bersama para saudara menjadi sepuluh orang yang menanggung diyat lima dinar, sehingga tidak ditambahkan selain mereka. Jika anak-anak saudara kurang dari lima, maka ditambahkan anak-anak mereka hingga genap sepuluh orang, lalu mereka menanggung diyat lima dinar dan tidak dialihkan kepada selain mereka. Jika diyat melebihi lima dinar, maka ditambahkan kepada para saudara dan anak-anak mereka para paman. Jika mereka mampu menanggungnya, tidak dialihkan kepada selain mereka. Jika mereka tidak mampu, maka ditambahkan anak-anak paman, kemudian demikian pula paman dari pihak ayah dan anak-anak mereka, serta paman dari pihak kakek dan anak-anak mereka, hingga mencakup seluruh kabilah yang menjadi asal-usul dan tempat terkenal seseorang. Tidak terbatas hanya pada nasab terdekat tanpa yang lebih jauh, karena Nabi ﷺ menjadikan para penanggung diyat dari Quraisy dari kalangan mereka sendiri. Jika pembunuh berasal dari Bani Hasyim, maka diyat dibebankan kepada mereka. Jika mereka tidak mampu, maka masuklah Bani ‘Abd Manaf. Jika mereka tidak mampu, masuklah Bani Qushay. Jika mereka tidak mampu, masuklah Bani Kilab, kemudian demikian pula anak-anak ayah setelah ayah, hingga mencakup seluruh Quraisy, dan tidak dialihkan setelah Quraisy kepada selain mereka dari kalangan Arab karena keistimewaan mereka dalam nasab. Jika mereka juga tidak mampu, maka dialihkan kepada para mawali yang telah dimerdekakan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Mawali suatu kaum adalah bagian dari mereka.” Jika mereka juga tidak mampu, maka kekurangan yang tidak mampu mereka tanggung diambil dari Baitul Mal, karena seluruh kaum Muslimin adalah ‘aqilah, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Darah kaum Muslimin itu setara dan mereka bersatu menghadapi selain mereka.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَمَنْ فِي الدِّيوَانِ وَمَنْ لَيْسَ فِيهِ مِنْهُمْ سَوَاءٌ قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى الْعَاقِلَةِ وَلَا دِيوَانَ فِي حَيَاتِهِ وَلَا فِي حَيَاةِ أَبِي بَكْرٍ وَلَا صَدْرٍ مِنْ ولاية عمر رضي الله عنه
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Orang yang tercatat dalam diwan maupun yang tidak tercatat dari mereka adalah sama saja; Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan perkara atas ‘āqilah, padahal pada masa beliau tidak ada diwan, begitu pula pada masa Abu Bakar dan pada masa awal kekuasaan ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhum.
قال المارودي وَهَذَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ رَدًّا عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ لِأَنَّهُ أَوْجَبَهَا عَلَى مَنْ شَارَكَهُ فِي دِيوَانِهِ تُدْفَعُ مِنْ أُعْطِيَاتِهِمْ سَوَاءٌ كَانُوا عَصَبَةً أَوْ لَمْ يَكُونُوا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ دِيوَانٌ قُسِّمَتْ حِينَئِذٍ عَلَى عَصَبَتِهِ احْتِجَاجًا بِأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ دَوَّنَ الدَّوَاوِينَ وَجَعَلَ الْعَقْلَ عَلَى أَهْلِ الدِّيوَانِ مِنْ أُعْطِيَاتِهِمْ وَلِأَنَّ أَهْلَ الدِّيوَانِ بِالنُّصْرَةِ أَحَقُّ فَكَانُوا بِتَحَمُّلِ الْعَقْلِ أَحَقَّ وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهَا عَلَى الْعَصَبَةِ سَوَاءٌ كَانَ فِي الدِّيوَانِ أَوْ لَمْ يَكُنْ وَسَوَاءٌ كَانَتْ عَصَبَتُهُ مَعَهُ فِي الدِّيوَانِ أَوْ لَمْ تَكُنْ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى بِدِيَةِ الْمَقْتُولَةِ عَلَى عَاقِلَةِ الْقَاتِلَةِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَى عَهْدِهِ دِيوَانٌ
Al-Mawardi berkata: Ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh asy-Syafi‘i sebagai bantahan terhadap Abu Hanifah, karena Abu Hanifah mewajibkan diyat atas orang yang tergabung dalam diwan yang sama, yang dibayarkan dari tunjangan mereka, baik mereka adalah ‘ashabah (kerabat laki-laki dari pihak ayah) atau bukan. Jika seseorang tidak memiliki diwan, maka diyat tersebut dibagi kepada ‘ashabah-nya. Abu Hanifah berdalil bahwa Umar bin al-Khattab telah membentuk diwan-diwan dan menetapkan diyat atas anggota diwan dari tunjangan mereka, dan karena anggota diwan lebih berhak dalam memberikan pertolongan, maka mereka juga lebih berhak menanggung diyat. Sedangkan asy-Syafi‘i berpendapat bahwa diyat itu menjadi tanggungan ‘ashabah, baik ia tergabung dalam diwan atau tidak, dan baik ‘ashabah-nya bersamanya dalam diwan atau tidak; karena Nabi ﷺ memutuskan bahwa diyat korban dibebankan kepada ‘āqilah (keluarga laki-laki dari pihak ayah) pelaku pembunuhan, padahal pada masa beliau belum ada diwan.
وَكَذَلِكَ قَضَى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِالدِّيَةِ عَلَى الْعَاقِلَةِ وَلَمْ يَكُنْ فِي خِلَافَتِهِ دِيوَانٌ وَكَذَلِكَ فِي صَدْرٍ مِنْ أَيَّامِ عُمَرَ إِلَى أَنْ أَحْدَثَ الدِّيوَانَ فِي آخِرِ أَيَّامِهِ لِتَمَيُّزِ الْقَبَائِلِ وَتَرْتِيبِ النَّاسِ فِي الْعَطَاءِ فَلَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ بِهِ عَمَّا كَانَ فِي أَيَّامَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى غَيْرِهِ مِنْ أَمْرٍ حَدَثَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُ يَكُونُ نَسْخًا وَالنَّسْخُ مُرْتَفِعٌ بَعْدَ مَوْتِ الرَّسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَلِأَنَّ كُلَّ حُكْمٍ تَعَلَّقَ بِالتَّعْصِيبِ مَعَ عَدَمِ الدِّيوَانِ تَعَلَّقَ بِهِ مَعَ وُجُودِ الدِّيوَانِ كَالْمِيرَاثِ وَوِلَايَةِ النِّكَاحِ وَلِأَنَّهَا جِنَايَةٌ يُتَحَمَّلُ عَقْلُهَا فَوَجَبَ أَنْ يُخْتَصَّ بِهَا الْعَصَبَاتُ كَالَّذِي لَا دِيوَانَ لَهُ وَلِأَنَّ كُلَّ سَبَبٍ لَا يُسْتَحَقُّ بِهِ الْمِيرَاثُ لَمْ يُتَحَمَّلْ بِهِ الْعَقْلُ كَالْجِوَارِ وَلِأَنَّ عَدَمَ الْعَقْلِ فِي مُقَابَلَةِ غُنْمِ الْمِيرَاثِ لِيَكُونَ غَانِمًا وَغَارِمًا وَلَا يَجْتَمِعُ هَذَا إِلَّا فِي الْعَصَبَاتِ وَلِذَلِكَ انْتَقَلَ عَنْهُمُ الْعَقْلُ إِذَا عَدِمُوا إِلَى بَيْتِ الْمَالِ لِانْتِقَالِ مِيرَاثِهِ إِلَيْهِ وَلَا يَعْقِلُ بَيْتُ الْمَالِ عَنِ الْكَافِرِ لِأَنَّ مَالَهُ يَصِيرُ إِلَيْهِ فَيْئًا لَا مِيرَاثًا وَفِيمَا ذَكَرْنَا انفصال وبالله التوفيق
Demikian pula, Abu Bakar ra. memutuskan bahwa diyat (tebusan jiwa) ditanggung oleh ‘āqilah, dan pada masa kekhalifahannya belum ada diwan (catatan administrasi). Begitu pula pada masa awal pemerintahan Umar hingga ia membentuk diwan di akhir masa pemerintahannya untuk membedakan kabilah-kabilah dan mengatur pembagian pemberian kepada masyarakat. Maka tidak boleh berpaling dari apa yang berlaku pada masa Rasulullah saw. kepada perkara lain yang muncul setelahnya, karena hal itu berarti nasakh (penghapusan hukum), sedangkan nasakh telah terhenti setelah wafatnya Rasulullah saw. Setiap hukum yang terkait dengan ta‘ṣīb (hubungan kekerabatan laki-laki) pada saat tidak adanya diwan, tetap berlaku pula ketika diwan sudah ada, seperti dalam hal warisan dan wali nikah. Karena diyat adalah tanggungan yang harus dipikul oleh ‘āṣib (kerabat laki-laki), maka wajib dikhususkan bagi mereka sebagaimana pada yang tidak memiliki diwan. Setiap sebab yang tidak berhak mendapatkan warisan, tidak pula menanggung diyat, seperti hubungan tetangga. Tidak adanya tanggungan diyat sebagai imbalan dari keuntungan warisan, agar seseorang menjadi pihak yang mendapat keuntungan sekaligus menanggung kerugian, dan hal ini hanya berkumpul pada ‘āṣib. Oleh karena itu, jika ‘āṣib tidak ada, maka tanggungan diyat berpindah ke Baitul Mal, karena warisannya juga berpindah ke sana. Baitul Mal tidak menanggung diyat dari orang kafir, karena hartanya menjadi fai’ (harta rampasan) bagi Baitul Mal, bukan warisan. Penjelasan telah kami sampaikan, dan hanya kepada Allah kami memohon taufik.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَا أَعْلَمُ مُخَالِفًا أَنَّ الصَّبِيَّ وَالْمَرَأةَ لَا يَحْمِلَانِ مِنْهَا شَيْئًا وَإِنْ كَانَا مُوسِرَيْنِ وَكَذَلِكَ الْمَعْتُوهُ عِنْدِي
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa anak kecil dan perempuan tidak wajib menanggung apa pun darinya, meskipun keduanya mampu secara finansial, demikian pula menurutku orang yang kurang akal (ma‘tūh).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا قَالَ لَا يَعْقِلُ مِنَ الْعَصَبَاتِ إِلَّا الرِّجَالُ الْعُقَلَاءُ الْأَحْرَارُ دُونَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ وَالْمَجَانِينِ وَالْعَبِيدِ لِأَمْرَيْنِ
Al-Mawardi berkata, dan memang sebagaimana yang ia katakan, tidak termasuk dalam kelompok ‘ashabah kecuali laki-laki yang berakal dan merdeka, tidak termasuk perempuan, anak-anak, orang gila, dan budak, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهَا مُخْتَصَّةٌ بِأَهْلِ النُّصْرَةِ مِنَ الْعَصَبَاتِ
Salah satunya adalah bahwa hal itu khusus bagi para pendukung dari kelompok-kelompok.
وَالثَّانِي أَنَّ تَحَمُّلَ الْعَقْلِ فِي الْإِسْلَامِ بَدَلٌ مِنَ الْمَنْعِ بِالسَّيْفِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَذَلِكَ مُخْتَصٌّ بِالرِّجَالِ الْعُقَلَاءِ الْأَحْرَارِ
Yang kedua, bahwa tanggung jawab akal dalam Islam merupakan pengganti dari larangan dengan pedang pada masa Jahiliyah, dan hal itu khusus bagi laki-laki yang berakal dan merdeka.
فَإِنْ قِيلَ فَسَهْمُ ذَوِي الْقُرْبَى مُسْتَحَقٌّ بِالنُّصْرَةِ وَلِذَلِكَ ضَمَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَنِي الْمُطَّلِبِ إِلَى بَنِي هَاشِمٍ وَقَالَ لِأَنَّهُمْ مَا افْتَرَقُوا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلَا إِسْلَامٍ ثُمَّ سَوَّى فِيهِ بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ فَهَلَّا كَانَ الْعَقْلُ بِمَثَابَتِهِ وَإِنْ كَانَ مُسْتَحَقًّا بِالنُّصْرَةِ
Jika dikatakan bahwa bagian untuk dzawil qurba (kerabat Nabi) berhak diterima karena adanya dukungan, dan karena itulah Rasulullah saw. menggabungkan Bani Muththalib dengan Bani Hasyim dan bersabda, “Karena mereka tidak pernah berpisah baik pada masa jahiliah maupun Islam,” kemudian beliau menyamakan hak antara laki-laki, perempuan, dan anak-anak dalam hal ini, maka mengapa ‘aql (diyat) tidak diperlakukan sama, padahal jika memang berhak karena adanya dukungan?
قِيلَ لِأَنَّ سَهْمَ ذَوِي الْقُرْبَى مُسْتَحَقٌّ بِالْقَرَابَةِ وَإِنْ أَثَّرَتْ فِي النُّصْرَةِ فَلِذَلِكَ كَانَ لِلذَّكَرِ فِيهَا مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَلِذَلِكَ أجْرى عَلَيْهِمَا حُكْمَ الْمَوَارِيثِ وَخَالَفَتِ الْعَقْلَ الَّذِي هُوَ مَقْصُورٌ عَلَى التَّعْصِيبِ وَالنُّصْرَةِ
Dikatakan bahwa bagian untuk kerabat (dzawil qurba) diberikan karena hubungan kekerabatan, meskipun kekerabatan itu juga berpengaruh dalam hal pertolongan. Oleh karena itu, laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari perempuan. Maka, atas dasar itu, hukum waris diterapkan kepada mereka, berbeda dengan ‘aqil yang hanya terbatas pada ashabah (kerabat laki-laki yang berhak mewarisi) dan pertolongan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَلَا فَرْقَ فِي الْعَاقِلَةِ بَيْنَ الْمُقَاتِلَةِ وَغَيْرِ الْمُقَاتِلَةِ لِأَنَّ جَمِيعَهُمْ مِنْ بَيْنِ نَاصِرٍ بِيَدٍ أَوْ لِسَانٍ فَأَمَّا الشُّيُوخُ وَالْمَرْضَى فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ بَاقِيَ الْمِنَّةِ وَلَمْ يَنْتَهِ إِلَى عَجْزِ الْهَرَمِ وَالْإِيَاسِ بِالْمَرَضِ تَحَمَّلُوا الْعَقْلَ فَقَدْ تَحَمَّلَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ الْعَقْلَ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ يحارب في محفة فَأَمَّا مَنِ انْتَهَتْ بِهِ السِّنُّ إِلَى عَجْزِ الْهَرَمِ وَانْتَهَى بِهِ الْمَرَضُ إِلَى الزَّمَانَةِ حَتَّى لَمْ يُبْقِ فِيهِمَا نَهْضَةً وَلَا يَقْدِرَانِ عَلَى الْحُضُورِ فِي جَمْعٍ فَفِيهِم وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِيهِمْ هَلْ يُقْتَلُونَ إِذَا أُسِرُوا فِي الشِّرْكِ فَإِنْ قِيلَ يُقْتَلُونَ عَقَلُوا وَإِنْ قِيلَ لَا يُقْتَلُونَ لم يعقلوا
Jika hal ini telah dipahami, maka tidak ada perbedaan dalam hal ‘āqilah antara kelompok yang mampu berperang dan yang tidak, karena semuanya termasuk di antara mereka yang dapat memberikan pertolongan baik dengan tangan maupun lisan. Adapun orang tua dan orang sakit, maka siapa saja di antara mereka yang masih memiliki kekuatan dan belum sampai pada kelemahan karena usia lanjut atau keputusasaan akibat sakit, mereka tetap menanggung diyat. Sebagaimana ‘Ammar bin Yasir pernah menanggung diyat padahal ia adalah seorang lelaki tua yang berperang dengan dipapah. Adapun siapa saja yang usianya telah sampai pada kelemahan karena usia lanjut atau penyakitnya telah membuatnya tidak berdaya sehingga tidak lagi mampu bergerak dan tidak mampu hadir dalam suatu perkumpulan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang mereka, apakah mereka dibunuh jika tertawan di tengah kaum musyrik. Jika dikatakan mereka dibunuh, maka mereka menanggung diyat; dan jika dikatakan mereka tidak dibunuh, maka mereka tidak menanggung diyat.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَيُؤَدِّي الْعَاقِلَةُ الدِّيَةَ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ مِنْ حِينِ يَمُوتُ الْقَتِيلُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “‘Āqilah membayar diyat dalam tiga tahun sejak saat terbunuhnya korban.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ الدِّيَةُ تَجِبُ عَلَى الْعَاقِلَةِ بِمَوْتِ الْقَتِيلِ وَهُوَ أَوَّلُ أَجَلِهَا سَوَاءٌ حَكَمَ بِهَا الْحَاكِمُ عَلَيْهِمْ أَوْ لَمْ يَحْكُمْ
Al-Mawardi berkata: Hal ini seperti halnya diyat yang menjadi kewajiban ‘āqilah karena kematian korban, yaitu saat pertama kali jatuh tempo, baik hakim telah memutuskan atas mereka atau belum.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا تَجِبُ الدِّيَةُ عَلَى الْعَاقِلَةِ إِلَّا بِحُكْمِ الْحَاكِمِ فَإِذَا حَكَمَ بِهَا عَلَيْهِمْ فَهُوَ أَوَّلُ وَقْتِ الْأَجَلِ احْتِجَاجًا بِأَنَّ تَحَمُّلَ الْعَقْلِ يُخْتَلَفُ فِيهِ فَلَمْ يَسْتَقِرَّ وُجُوبُهُ إِلَّا بِحُكْمٍ وَلَمْ يَتَأَجَّلْ إِلَّا بَعْدَ الْحُكْمِ كَالْعُنَّةِ
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ كُلَّ مَا وَجَبَ بِسَبَب تَعَلَّق وُجُوبه بِوُجُودِ السَّبَبِ كَالْأَثْمَانِ فِي الْمَبِيعِ تَجِبُ بِوُجُودِ الْمَبِيعِ وَهُوَ أَوَّلُ أَجَلِ الْمُؤَجَّلِ وَلِأَنَّهَا مُوَاسَاةٌ يُعْتَبَرُ فِيهَا الْحَوْلُ فَلَمْ يَقِفِ ابْتِدَاؤُهَا عَلَى الْحُكْمِ كَالزَّكَاةِ وَلِأَنَّ مَنْ لَزِمَتْهُ الدِّيَةُ مُؤَجَّلَةً لَمْ يَقِفْ وُجُوبُهَا وَابْتِدَاؤُهَا عَلَى الْحُكْمِ كَالْمُقِرِّ بِقَتْلِ الْخَطَأِ
Dalil kami adalah bahwa segala sesuatu yang wajib karena sebab, maka kewajibannya terkait dengan adanya sebab tersebut, seperti harga dalam jual beli yang menjadi wajib dengan adanya barang yang dijual, dan itu adalah awal dari masa penundaan. Karena zakat adalah bentuk solidaritas sosial yang dalam penetapannya memperhatikan haul (satu tahun), maka permulaan kewajibannya tidak bergantung pada adanya keputusan hukum, sebagaimana zakat. Dan juga, seseorang yang diwajibkan membayar diyat secara tangguh, maka kewajiban dan permulaannya tidak bergantung pada keputusan hukum, seperti orang yang mengakui telah melakukan pembunuhan karena kelalaian.
فَأَمَّا الِاحْتِجَاجُ بِالِاخْتِلَافِ فِيهِ فَخَطَأٌ لِأَنَّ تَحَمُّلَ الدِّيَةِ نَصٌّ وَفِي النَّصِّ عَلَى الْأَجَلِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ وَالِاخْتِلَافُ فِيهِمَا شَاذٌّ حَدَثَ بَعْدَ تَقَدُّمِ الْإِجْمَاعِ فَكَانَ مُطْرَحًا
Adapun berdalil dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah keliru, karena kewajiban membayar diyat adalah berdasarkan nash, dan dalam nash tentang penangguhan diyat telah kami sebutkan sebelumnya dari dua sisi. Perbedaan pendapat dalam kedua hal tersebut adalah pendapat yang ganjil yang muncul setelah terjadinya ijmā‘, sehingga pendapat itu harus ditinggalkan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا الدِّيَةَ مِنْ أَنْ تَكُونَ مُسْتَحَقَّةً فِي نَفْسٍ أَوْ فِيمَا سِوَى النَّفْسِ فَإِنْ كَانَتْ فِي نَفْسٍ فَأَوَّلُ أَجَلِهَا مَوْتُ الْقَتِيلِ وَهُوَ وَقْتُ الْجِنَايَةِ سَوَاءٌ كَانَ الْقَتْلُ بِتَوْجِيَةٍ أَوْ سِرَايَةٍ لِأَنَّ دِيَةَ النَّفْسِ لَا تَجِبُ إِلَّا بَعْدَ تَلَفِهَا ثُمَّ لَا يَخْلُو حَالُ الدِّيَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ
Apabila telah ditetapkan sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa diyat itu menjadi hak yang wajib baik atas jiwa maupun selain jiwa, maka jika diyat itu atas jiwa, waktu pertama kali ia menjadi wajib adalah saat kematian korban, yaitu waktu terjadinya jinayah, baik pembunuhan itu secara langsung maupun karena dampak yang muncul kemudian. Sebab, diyat atas jiwa tidaklah wajib kecuali setelah jiwa itu binasa. Selanjutnya, keadaan diyat tidak lepas dari tiga macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ كَامِلَةً
Salah satunya adalah bahwa ia harus sempurna.
وَالثَّانِي أَنْ تَكُونَ نَاقِصَةً
Dan yang kedua adalah bersifat kurang.
وَالثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ زَائِدَةً
Dan yang ketiga adalah bahwa ia bersifat tambahan.
فَإِنْ كَانَتْ كَامِلَةً فَهِيَ دِيَةُ الرَّجُلِ الْحُرِّ الْمُسْلِمِ فَتَجِبُ عَلَى الْعَاقِلَةِ فِي ثَلَاثَةِ سِنِينَ يُؤَدَّى بَعْدَ انْقِضَاءِ السَّنَةِ الْأُولَى ثُلُثُهَا وَبَعْدَ انْقِضَاءِ الثَّانِيَةِ ثُلُث ثَانٍ وَبَعْدَ انْقِضَاءِ السَّنَةِ الثَّالِثَةِ الثُّلُث الْبَاقِي وَإِنْ كَانَتِ الدِّيَةُ نَاقِصَةً كَدِيَةِ الْمَرْأَةِ والذمي ففيها وجهان
Jika diyat itu sempurna, maka diyat tersebut adalah diyat seorang laki-laki merdeka yang muslim, dan wajib dibayarkan oleh ‘āqilah dalam tiga tahun: setelah berakhirnya tahun pertama dibayarkan sepertiganya, setelah berakhirnya tahun kedua sepertiga yang kedua, dan setelah berakhirnya tahun ketiga sepertiga sisanya. Jika diyat itu kurang, seperti diyat perempuan atau dzimmi, maka ada dua pendapat dalam hal ini.
أحدهما أن العاقلة بتحملها في ثلاثة سِنِينَ لِأَنَّهَا دِيَةُ نَفْسٍ فَيُؤَدِّي فِي انْقِضَاءِ كُلِّ سَنَةٍ ثُلُثَهَا
Pertama, bahwa ‘āqilah menanggung diyat tersebut dalam tiga tahun karena ini adalah diyat jiwa, sehingga pada akhir setiap tahun dibayarkan sepertiganya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا تُؤَدَّى فِي كُلِّ سَنَةٍ مِنْهَا ثُلُثُ دِيَةِ الرَّجُلِ الْحُرِّ الْمُسْلِمِ فَإِنْ كَانَتْ دِيَةَ ذِمِّيٍّ فَهِيَ ثُلُثُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ فَتُؤَدِّي الْعَاقِلَةُ بَعْدَ انْقِضَاءِ السَّنَةِ جَمِيعَهَا لِأَنَّهُ الْقَدْرُ الَّذِي تُؤَدِّيهِ مِنْ دِيَةِ الْمُسْلِمِ وَإِنْ كَانَتْ دِيَةَ امْرَأَةٍ فَهِيَ نِصْفُ دِيَةِ الرَّجُلِ فَيُؤَدِّي بَعْدَ انْقِضَاءِ السَّنَةِ الْأُولَى ثُلُثَيْهَا وَهُوَ ثُلُثُ دِيَةِ الرَّجُلِ وَيُؤَدِّي بَعْدَ انْقِضَاءِ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ ثُلُثَهَا الْبَاقِيَ وَهُوَ سُدُسُ دِيَةِ الرَّجُلِ وَإِنْ كَانَتِ الدِّيَةُ زَائِدَةً كَقِيمَةِ الْعَبْدِ إِذَا زَادَتْ عَلَى دِيَةِ الْحُرِّ
Adapun pendapat kedua, diyat dibayarkan setiap tahun sepertiga dari diyat laki-laki merdeka yang Muslim. Jika diyat tersebut adalah diyat dzimmi, maka jumlahnya sepertiga dari diyat Muslim. Maka ‘āqilah membayarkan seluruhnya setelah berakhirnya setiap tahun, karena itulah kadar yang dibayarkan dari diyat Muslim. Jika diyat tersebut adalah diyat perempuan, maka jumlahnya setengah dari diyat laki-laki. Maka setelah berakhirnya tahun pertama, dibayarkan dua pertiganya, yaitu sepertiga dari diyat laki-laki, dan setelah berakhirnya tahun kedua dibayarkan sepertiga sisanya, yaitu seperenam dari diyat laki-laki. Jika diyat tersebut lebih dari itu, seperti nilai seorang budak yang melebihi diyat orang merdeka…
وَقِيلَ إِنَّ قِيمَةَ الْعَبْدِ تَحْمِلُهَا الْعَاقِلَةُ فَفِيهَا وَجْهَانِ
Dikatakan bahwa nilai budak ditanggung oleh ‘āqilah, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهَا تُقَسَّمُ عَلَى ثَلَاثِ سِنِينَ يُؤَدِّي عِنْدَ انْقِضَاءِ كُلِّ سَنَةٍ ثُلُثَهَا وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ ثُلُثِ دِيَةِ الْحُرِّ لِأَنَّهَا دِيَةُ نَفْسٍ إِذَا قِيلَ إِنَّهَا إِنْ نَقَصَتْ كَانَتْ تؤدى على ثَلَاثِ سِنِينَ
Salah satunya adalah bahwa diyat tersebut dibagi dalam tiga tahun, dibayarkan setiap akhir tahun sepertiganya, meskipun jumlahnya lebih dari sepertiga diyat orang merdeka, karena itu adalah diyat jiwa. Jika dikatakan bahwa jika jumlahnya kurang, maka tetap dibayarkan dalam tiga tahun.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا تُؤَدَّى مِنْهَا عِنْدَ انْقِضَاءِ كُلِّ سَنَةٍ قَدْرُ الثُّلُثِ مِنْ دِيَةِ الْحُرِّ إِذَا قِيلَ نَقَصَتْ كَانَتْ مُؤَدَّاةً فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثِ سِنِينَ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ دِيَةً وَثُلُثًا أَدَّاهَا فِي أَرْبَعِ سِنِينَ فِي كُلِّ سَنَةٍ رُبُعُهَا وَإِنْ كَانَتْ دِيَةً وَثُلُثَيْنِ أَدَّاهَا فِي خَمْسِ سِنِينَ فِي كُلِّ سَنَةٍ خُمُسُهَا فَهَذَا حُكْمُ دِيَاتِ النُّفُوسِ
Pendapat kedua adalah bahwa diyat itu dibayarkan darinya pada setiap akhir tahun sepertiga dari diyat orang merdeka. Jika dikatakan jumlahnya berkurang, maka diyat itu telah dibayarkan dalam waktu kurang dari tiga tahun. Berdasarkan hal ini, jika nilainya satu diyat dan sepertiga, maka dibayarkan dalam empat tahun, setiap tahun seperempatnya. Jika nilainya satu diyat dan dua pertiga, maka dibayarkan dalam lima tahun, setiap tahun sepertiganya. Inilah hukum diyat jiwa.
فَأَمَّا دِيَاتُ مَا سِوَى النَّفْسِ مِنَ الْجِرَاحِ وَالْأَطْرَافِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun diyat selain jiwa, yaitu pada luka-luka dan anggota tubuh, maka terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَنْدَمِلَ كَقَطْعِ الْيَدِ إِذَا انْدَمَلَتْ أَوِ الْمُوضِحَةِ إِذَا انْدَمَلَتْ فَدِيَتُهَا وَاجِبَةٌ بِابْتِدَاءِ الْجِنَايَةِ لِاسْتِقْرَارِ الْوُجُوبِ بِالِانْدِمَالِ فَيَكُونُ أَوَّلُ الْأَجَلِ مِنْ وَقْتِ الْجِنَايَةِ لَا مِنْ وَقْتِ الِانْدِمَالِ لِتَقَدُّمِ الْوُجُوبِ بِالْجِنَايَةِ دُونَ الِانْدِمَالِ فَلَوِ انْدَمَلَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْأَجَلِ اسْتُحِقَّ تَعْجِيلُهَا حِينَئِذٍ كَالثَّمَنِ الْمُؤَجَّلِ إِذَا حَلَّ عِنْدَ الْقَبْضِ
Salah satunya adalah luka yang sembuh, seperti tangan yang terpotong jika telah sembuh, atau luka yang menampakkan tulang jika telah sembuh, maka diyatnya wajib sejak terjadinya tindak pidana, karena kewajiban itu telah tetap dengan sembuhnya luka. Maka awal jatuh tempo adalah sejak terjadinya tindak pidana, bukan sejak sembuhnya luka, karena kewajiban itu telah ada sejak terjadinya tindak pidana, bukan sejak sembuhnya luka. Jika luka itu sembuh setelah jatuh tempo, maka berhak untuk segera menerima diyatnya saat itu juga, seperti harga barang yang dibayar secara tangguh ketika jatuh tempo pada saat penyerahan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَسْرِيَ الْجِنَايَةُ عَنْ مَحَلِّهَا إِلَى عُضْوٍ آخَرَ كَقَطْعِ الْأصْبَعِ إِذَا سَرَى إِلَى الْكَفِّ فَالدِّيَةُ وَجَبَتْ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ السِّرَايَةِ كَمَا تَجِبُ دِيَةُ النَّفْسِ بَعْدَ الْمَوْتِ فَيَكُونُ ابْتِدَاءُ الْأَجَلِ بَعْدَ انْدِمَالِ السِّرَايَةِ وَلَا اعْتِدَادَ بِمَا مَضَى مِنَ الْمُدَّةِ بَعْدَ الْجِنَايَةِ وَقَبْلَ انْدِمَالِ السِّرَايَةِ فَإِذَا تَقَرَّرَ حُكْمُ هَذَيْنِ الضَّرْبَيْنِ فِيمَا سِوَى النَّفْسِ فِي ابْتِدَاءِ وَقْتِ التَّأْجِيلِ فَأَرْشُ الْجِنَايَةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ
Jenis kedua adalah ketika luka atau cedera menyebar dari tempat asalnya ke anggota tubuh lain, seperti jari yang terpotong lalu menyebar ke telapak tangan. Maka diyat menjadi wajib setelah penyebaran itu menetap, sebagaimana diyat jiwa menjadi wajib setelah kematian. Maka awal jatuh tempo pembayaran adalah setelah penyebaran itu berhenti, dan tidak dihitung masa yang telah berlalu sejak terjadinya cedera hingga penyebaran itu berhenti. Jika telah ditetapkan hukum kedua jenis ini selain pada kasus jiwa, dalam hal permulaan waktu penundaan pembayaran, maka besaran ganti rugi atas cedera terbagi menjadi empat jenis.
أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ فِي ثُلُثٍ النَّفْسِ فَمَا دُونَ كَالْجَائِفَةِ وَمَا دُونَهَا فَتُؤَدِّيهِ الْعَاقِلَةُ فِي سنة واحد إِذَا انْقَضَتْ وَلَوْ كَانَ دِينَارًا وَاحِدًا
Salah satunya adalah jika (kerusakan atau luka) terjadi pada sepertiga jiwa atau kurang, seperti luka yang menembus rongga tubuh atau yang lebih ringan darinya, maka diyatnya dibayarkan oleh ‘āqilah dalam satu tahun setelah berlalu, meskipun hanya satu dinar.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَزِيدَ عَلَى الثُّلُثِ وَلَا تَزِيدَ عَلَى الثُّلُثَيْنِ فَتُؤَدِّيهِ فِي سَنَتَيْنِ بَعْدَ انْفِصَالِ السَّنَةِ الْأُولَى وَثُلُثِ الدِّيَةِ وَبَعْدَ انْفِصَالِ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مَا بَقِيَ مِنْهَا فَإِنْ كَانَ سُدُسَ الدِّيَةِ لِأَنَّ جَمِيعَ الْأَرْشِ كَانَ نِصْفَ الدِّيَةِ فِي إِحْدَى الْيَدَيْنِ أَدَّتْهُ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَإِنْ كَانَ ثُلُثَ الدِّيَةِ لِأَنَّهُمَا جَائِفَتَانِ أَدَّتْهُ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ
Jenis kedua adalah apabila jumlahnya melebihi sepertiga tetapi tidak melebihi dua pertiga, maka dibayarkan dalam dua tahun setelah berakhirnya tahun pertama dan sepertiga diyat, dan setelah berakhirnya tahun kedua dibayarkan sisa dari diyat tersebut. Jika yang tersisa adalah seperenam diyat, karena seluruh arsy adalah setengah diyat pada salah satu tangan, maka dibayarkan pada tahun kedua. Dan jika yang tersisa adalah sepertiga diyat, karena keduanya adalah dua luka jâ’ifah, maka dibayarkan pada tahun kedua.
وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ تَزِيدَ عَلَى ثُلُثَيِ الدِّيَةِ وَلَا تَزِيدَ عَلَى جَمِيعِ الدِّيَةِ كَدِيَةِ الْيَدَيْنِ فَتُؤَدِّيهِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ عِنْدَ انْقِضَاءِ كُلِّ سَنَةٍ ثُلُثَ دِيَةٍ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ
Jenis ketiga adalah apabila jumlahnya melebihi dua pertiga diyat namun tidak melebihi seluruh diyat, seperti diyat untuk kedua tangan. Maka diyat tersebut dibayarkan dalam tiga tahun, pada setiap akhir tahun sepertiga diyat, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.
وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ أَنْ يَزِيدَ عَلَى دِيَةِ النَّفْسِ مِثْلَ قَطْعِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ فَنُوجِبُ دِيَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا فِي الْيَدَيْنِ وَالْأُخْرَى فِي الرِّجْلَيْنِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Golongan keempat adalah jika jumlahnya melebihi diyat jiwa, seperti memotong kedua tangan dan kedua kaki, maka kami mewajibkan dua diyat: salah satunya untuk kedua tangan dan yang lainnya untuk kedua kaki. Hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَسْتَحِقَّا لِنَفْسَيْنِ فَعَلَى الْعَاقِلَةِ أَنْ تُؤَدِّيَ فِي كُلِّ سَنَةٍ ثُلُثَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الدِّيَتَيْنِ فَتَصِيرُ فِي كل سنة مؤدية فثلثي الدية لِانْفِرَادِ كُلِّ جِنَايَةٍ بِحُكْمِهَا
Salah satunya adalah jika keduanya berhak atas dua jiwa, maka ‘āqilah harus membayar setiap tahun sepertiga dari masing-masing diyat, sehingga setiap tahun yang dibayarkan adalah dua pertiga diyat, karena setiap tindak pidana memiliki hukumnya masing-masing.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يستحقها نَفْسٌ وَاحِدَةٌ فَتَحْمِلُ الْعَاقِلَةُ الدِّيَتَيْنِ فِي سِتِّ سِنِينَ تُؤَدِّي فِي كُلِّ سَنَةٍ مِنْهَا ثُلُثَ دِيَةٍ لِأَنَّهَا جِنَايَةٌ وَاحِدَةٌ لَا تَتَحَمَّلُ الْعَاقِلَةُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ ثُلُثِ دِيَةِ النَّفْسِ وَاللَّهُ أعلم
Jenis kedua adalah apabila diyat itu menjadi hak satu jiwa saja, maka ‘āqilah menanggung dua diyat dalam enam tahun, dengan membayar sepertiga diyat setiap tahunnya. Sebab, ini merupakan satu tindak pidana (jināyah) saja, sehingga ‘āqilah tidak menanggung lebih dari sepertiga diyat jiwa. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَا يَقُومُ نَجْمٌ مِنَ الدِّيَةِ إِلَّا بَعْدَ حُلُولِهِ فَإِنْ أَعْسَرَ بِهِ أَوْ مَطَلَ حَتَّى يَجِدَ الْإِبِلَ بَطَلَتِ الْقِيمَةُ وَكَانَتْ عَلَيْهِ الْإِبِلُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Tidak wajib membayar bagian dari diyat kecuali setelah jatuh tempo. Jika ia tidak mampu membayarnya atau menunda-nunda hingga ia mendapatkan unta, maka nilai (barang pengganti) menjadi gugur dan yang wajib atasnya adalah unta.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الدِّيَةَ هِيَ الْإِبِلُ لَا يُعْدَلُ عَنْهَا مَعَ وُجُودِهَا فَإِنْ أَعْوَزَتْ عُدِلَ عَنْهَا إِلَى الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَهِيَ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ مُقَدَّرَةٌ بِالشَّرْعِ فَيَكُونُ مِنَ الدَّرَاهِمِ اثْنَي عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَمِنِ الدَّنَانِيرِ أَلْف دِينَارٍ وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ تُقَدَّرُ بِقِيمَةِ وَقْتِهَا دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ وَعَلَى هَذَا مَوْضُوعُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَوَقْتُ قِيمَتِهَا عِنْدَ انْقِضَاءِ الْحَوْلِ الَّذِي يُسْتَحَقُّ فِيهِ الْأَدَاءُ وَلَا اعْتِبَارَ بِقِيمَتِهَا وَقْتَ الْقَتْلِ لِأَنَّ قِيمَةَ مَا فِي الدِّيَةِ مُعْتَبَرٌ بِوَقْتِ الْأَدَاءِ كَالطَّعَامِ الْمَغْصُوبِ إِذَا أَعْوَزَ مِثْلُهُ اعْتُبِرَتْ قِيمَتُهُ وَقْتَ الْأَدَاءِ لَا وَقْتَ الْغَصْبِ فَإِذَا حَالَ الْحَوْلُ الثَّانِي اعْتُبِرَتْ عِنْدَهُ قِيمَةُ النَّجْمِ الثَّانِي فَإِذَا حَالَ الْحَوْلُ الثَّالِثُ اعْتُبِرَتْ عِنْدَهُ قِيمَةُ النَّجْمِ الثَّالِثِ سَوَاءٌ انْقَضَتْ قِيَمُ النُّجُومِ الثَّلَاثِ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ أَوِ اخْتَلَفَتْ وَلَوْ أَعْوَزَتْ فِي نَجْمٍ وَوُجِدَتْ فِي نَجْمٍ أُخِذَتْ فِي النَّجْمِ الَّذِي وُجِدَتْ وَأُخِذَ قِيمَتُهَا مِنَ النَّجْمِ الَّذِي أَعْوَزَتْ فَلَوْ قُوِّمَتْ فِي حَوْلٍ أُعْوِزَتْ فِيهِ وَوُجِدَتْ فِيهِ نُظِرَ وُجُودَهَا فَإِنْ كَانَ بَعْدَ أَخْذِ قِيمَتِهَا أَجْزَأَتِ الْقِيمَةُ وَلَمْ يُرْجَعْ إِلَى الْإِبِلِ وَإِنْ كَانَ وُجُودُهَا قَبْلَ أَخْذِ الْقِيمَةِ بَطَلَتِ الْقِيمَةُ وَأَخَذَ الْإِبِلَ كَالطَّعَامِ الْمَغْصُوبِ إِذَا قُوِّمَ مِثْلُهُ عِنْدَ إِعْوَازِهِ ثُمَّ وُجِدَ بَعْدَ الْقِيمَةِ يُرْجَعُ بِالطَّعَامِ إِنْ لَمْ تُقْبَضِ الْقِيمَةُ وَلَا يُرْجَعُ بِهِ إِنْ قَبَضَهَا
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa diyat itu adalah unta, dan tidak boleh diganti dengan yang lain selama unta masih ada. Jika unta sulit didapatkan, maka diganti dengan dirham dan dinar. Menurut pendapat beliau dalam qaul qadim, nilainya telah ditetapkan secara syar‘i, yaitu dua belas ribu dirham atau seribu dinar. Sedangkan menurut pendapat beliau dalam qaul jadid, nilainya ditentukan berdasarkan harga pada waktu itu, baik dalam bentuk dirham maupun dinar. Inilah inti permasalahan ini, dan waktu penentuan nilainya adalah ketika berakhirnya tahun di mana pembayaran diyat menjadi wajib, bukan berdasarkan nilainya pada saat pembunuhan. Sebab, nilai barang yang menjadi diyat itu diperhitungkan pada waktu pembayaran, sebagaimana makanan yang dighasab, jika barang sejenisnya sulit didapatkan maka nilainya dihitung pada waktu pembayaran, bukan pada waktu pengambilan secara paksa. Jika telah berlalu tahun kedua, maka nilai diyat dihitung berdasarkan harga pada waktu penyerahan bagian kedua; jika telah berlalu tahun ketiga, maka dihitung berdasarkan harga pada waktu penyerahan bagian ketiga, baik harga pada ketiga waktu itu sama ataupun berbeda. Jika unta sulit didapatkan pada salah satu bagian dan tersedia pada bagian lain, maka diambil unta pada bagian yang tersedia dan diambil nilainya pada bagian yang sulit didapatkan. Jika pada suatu tahun unta dinilai karena sulit didapatkan, lalu pada tahun itu juga unta tersedia, maka dilihat kapan ketersediaannya. Jika ketersediaannya setelah nilai diambil, maka nilai tersebut sudah mencukupi dan tidak kembali kepada unta. Namun jika ketersediaannya sebelum nilai diambil, maka nilai tersebut batal dan diambil unta, sebagaimana makanan yang dighasab, jika barang sejenisnya dinilai ketika sulit didapatkan lalu setelah itu tersedia sebelum nilai diambil, maka diambil makanannya, dan jika nilainya sudah diambil maka tidak kembali kepada makanan tersebut.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَا يَحْمِلُهَا فَقِيرٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan tidak boleh seorang fakir membawanya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ دِيَةُ الْعَاقِلَةِ تُسْتَحَقُّ عَلَى الْمُوسِرِ وَالْمُتَوَسِّطِ وَلَا تَجِبُ عَلَى الْفَقِيرِ الْمُعْسِرِ لِأَنَّهَا مُوَاسَاةٌ فَأَشْبَهَتْ نَفَقَاتِ الْأَقَارِبِ وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَا إِزَالَةُ الضَّرَرِ عَنِ الْقَاتِلِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا الضَّرَرُ عَلَى الْمُتَحَمِّلِ الْعَاقِلِ وَخَالَفَتْ دِيَةَ الْعَمْدِ الَّتِي يُؤْخَذُ بِهَا الْغَنِيُّ وَالْفَقِيرُ لِاسْتِحْقَاقِ الْعَمْدِ بِمُبَاشَرَتِهِ وَاسْتِحْقَاقِ الْخَطَأِ بِمُوَاسَاتِهِ
Al-Mawardi berkata, “Hal ini sebagaimana dikatakan bahwa diyat ‘āqilah menjadi kewajiban atas orang yang mampu dan menengah, dan tidak wajib atas orang fakir yang tidak mampu, karena diyat tersebut merupakan bentuk solidaritas, sehingga serupa dengan nafkah kepada kerabat. Selain itu, tujuan dari diyat ini adalah untuk menghilangkan bahaya dari pelaku pembunuhan, sehingga tidak boleh menimbulkan bahaya bagi ‘āqilah yang menanggungnya. Hal ini berbeda dengan diyat ‘amd (pembunuhan sengaja) yang diambil dari orang kaya maupun miskin, karena diyat ‘amd menjadi hak akibat perbuatan langsung, sedangkan diyat khatā’ (pembunuhan tidak sengaja) menjadi hak karena solidaritas.”
فَأَمَّا الْجِزْيَةُ فَفِي أَخْذِهَا مِنَ الْفَقِيرِ قَوْلَانِ
Adapun jizyah, maka dalam pengambilannya dari orang fakir terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا تُؤْخَذُ مِنْهُ كَالْعَاقِلَةِ
Salah satunya tidak diambil darinya, seperti ‘āqilah.
وَالثَّانِي تُؤْخَذُ مِنْهُ الْجِزْيَةُ وَإِنْ لَمْ تُؤْخَذِ الدِّيَةُ مِنْ فُقَرَاءِ الْعَاقِلَةِ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الْجِزْيَةَ مَوْضُوعَةٌ لِحَقْنِ الدَّمِ وَإِقْرَارِهِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَصَارَتْ عِوَضًا وَتَحَمُّلَ الدية مواساة محضة والفقر يقسط المواساة ولا يسقط المعاوضة
Yang kedua, darinya diambil jizyah meskipun diyat tidak diambil dari orang-orang fakir anggota ‘āqilah, karena terdapat perbedaan antara keduanya: jizyah ditetapkan untuk menjaga darah (jiwa) dan mengakui keberadaannya di wilayah Islam, sehingga menjadi sebagai ganti (imbalan), sedangkan menanggung diyat adalah bentuk solidaritas murni, dan kefakiran dapat mengurangi solidaritas, tetapi tidak menggugurkan kewajiban imbalan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ قَضَى بِهَا فَأَيْسَرَ الْفَقِيرُ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ نَجْمٌ مِنْهَا أَوِ افْتَقَرَ غَنِيٌّ فَإِنَّمَا أُنْظِرَ إِلَى الْمُوسِرِ يَوْمَ يَحُلُّ نَجْمٌ مِنْهَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika hakim memutuskan (membagi zakat) dan si fakir menjadi mampu sebelum jatuh tempo salah satu cicilannya, atau si kaya menjadi miskin, maka yang menjadi acuan adalah keadaan orang yang mampu pada hari jatuh tempo cicilan tersebut.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ مَا يُسْتَحَقُّ بِالْحَوْلِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, ketahuilah bahwa apa yang menjadi hak karena berlalu satu haul (tahun) terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا مَا كَانَ الْحَوْلُ فِيهِ مَضْرُوبًا لِلْوُجُوبِ وَهُوَ حَوْلُ الزَّكَاةِ
Salah satunya adalah haul yang dijadikan sebagai syarat wajib, yaitu haul zakat.
وَالثَّانِي مَا كَانَ الْحَوْلُ فِيهِ مَضْرُوبًا لِلْأَدَاءِ مَعَ تَقَدُّمِ الْوُجُوبِ وَهُوَ حَوْلُ الْعَاقِلَةِ
Yang kedua adalah haul yang ditetapkan untuk pelaksanaan (pembayaran) setelah kewajiban itu ada sebelumnya, yaitu haul al-‘āqilah.
وَالثَّالِثُ مَا اخْتُلِفَ فِيهِ هَلْ هُوَ مَضْرُوبٌ لِلْوُجُوبِ أَوْ لِلْأَدَاءِ عَلَى وَجْهَيْنِ وَهُوَ حَوْلُ الْجِزْيَةِ
Ketiga adalah perkara yang diperselisihkan apakah ditetapkan untuk kewajiban atau untuk pelaksanaan, dan itu adalah tentang haul jizyah.
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَالْفَقْرُ وَالْغِنَى فِي الْعَاقِلَةِ مُعْتَبَرٌ عِنْدَ انْقِضَاءِ الْحَوْلِ وَقْتَ الْأَدَاءِ وَلَا يُعْتَبَرُ فِي أَوَّلِهِ وَقْتُ الْوُجُوبِ فَإِنْ قِيلَ فَالِاعْتِبَارُ بِوَقْتِ وُجُوبِهِ أَوْلَى مِنَ الِاعْتِبَارِ بِوَقْتِ أَدَائِهِ كَالْجِزْيَةِ
Jika demikian, status fakir dan kaya pada ‘āqilah diperhitungkan pada akhir tahun, yaitu saat pembayaran, dan tidak diperhitungkan pada awalnya, yaitu saat kewajiban itu muncul. Jika ada yang berkata, “Bukankah yang lebih utama adalah memperhitungkan saat munculnya kewajiban daripada saat pembayarannya, sebagaimana pada jizyah?”
قِيلَ لِأَنَّ الْجِزْيَةَ مُعَيَّنَةٌ فَاعْتُبِرَ بِهَا وَقْتُ وُجُوبِهَا وَالدِّيَةَ تَجِبُ بِالْقَتْلِ عَلَى الْإِطْلَاقِ وَلَا يَتَعَيَّنُ إِلَّا عِنْدَ الِاسْتِحْقَاقِ أَلَا تَرَى لَوْ مَاتَ أَحَدُ الْعَاقِلَةِ قَبْلَ الْحَوْلِ لَمْ تُؤْخَذْ مِنْ تَرِكَتِهِ وَلَوْ تَعَيَّنَ اسْتِحْقَاقُهَا لَأُخِذَتْ فَإِذَا تَقَرَّرَ اعْتِبَارُ الْغِنَى وَالْفَقْرِ عِنْدَ حُلُولِ الْحَوْلِ فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ عِنْدَ الْحُلُولِ غَنِيًّا وَجَبَتْ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ فَقِيرًا فِي أَوَّلِهِ وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ عِنْدَ الْحَوْلِ فَقِيرًا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا فِي أَوَّلِهِ فَلَوْ حَالَ الْحَوْلُ عَلَى غني فَلَمْ يُؤَدِّهَا حَتَّى افْتَقَرَ كَانَتْ دَيْنًا عَلَيْهِ وَلَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ بِفَقْرِهِ لِأَنَّهَا تَعَيَّنَتْ عَلَيْهِ وَقْتَ غِنَاهُ وَيُنْظَرُ بِهَا إِلَى مَيْسَرَتِهِ وَلَوْ حَالَ الْحَوْلُ عَلَى فَقِيرٍ فَلَمْ يَسْتَوْفِ حَتَّى اسْتَغْنَى لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ بِغِنَاهُ لِأَنَّهُ تَعَيَّنَ سُقُوطُهَا عَنْهُ وَقْتَ فَقْرِهِ
Dikatakan bahwa jizyah itu telah ditentukan kadarnya, sehingga waktu kewajibannya pun diperhitungkan, sedangkan diyat menjadi wajib karena pembunuhan secara mutlak dan tidak ditentukan kecuali pada saat hak itu ditetapkan. Tidakkah engkau melihat, jika salah satu anggota ‘āqilah meninggal sebelum genap satu tahun, maka diyat tidak diambil dari warisannya, dan jika haknya telah ditetapkan, tentu akan diambil. Maka, jika telah dipastikan bahwa status kaya dan miskin diperhitungkan pada saat jatuh tempo satu tahun, maka siapa pun di antara mereka yang pada saat jatuh tempo itu kaya, maka wajib atasnya (membayar diyat), meskipun pada awalnya ia miskin. Dan siapa pun di antara mereka yang pada saat jatuh tempo itu miskin, maka tidak wajib atasnya, meskipun pada awalnya ia kaya. Jika telah genap satu tahun atas orang kaya namun ia belum membayarnya hingga kemudian menjadi miskin, maka diyat tetap menjadi utang atasnya dan tidak gugur karena kemiskinannya, karena kewajiban itu telah ditetapkan atasnya pada saat ia kaya, dan pelunasannya menunggu kelapangan rezekinya. Namun jika telah genap satu tahun atas orang miskin dan ia belum membayarnya hingga kemudian menjadi kaya, maka tidak wajib atasnya karena kekayaannya, karena telah dipastikan gugurnya kewajiban itu atasnya pada saat ia miskin.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَمَنَ غَرِمَ فِي نَجْمٍ ثُمَّ أَعْسَرَ فِي النَّجْمِ الْآخَرِ تُرِكَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Barang siapa yang membayar kewajiban pada satu termin, kemudian mengalami kesulitan pada termin berikutnya, maka ia dibiarkan (tidak ditagih dahulu).
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ الْغِنَى وَالْفَقْرَ مُعْتَبَرٌ فِي كُلِّ حَوْلٍ فَلَمْ يَتَعَيَّنْ فِي الْحَوْلِ إِلَّا النَّجْمُ الَّذِي يُسْتَحَقُّ فِيهِ فَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ تَحَمَّلَ الْعَقْلَ فِي جَمِيعِهَا وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ فَقِيرًا فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثِ سَقَطَ عَنْهُ الْعَقْلُ فِي جَمِيعِهَا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فِي بعضها ومفتقراً في بضعها وَجَبَ عَلَيْهِ الْعَقْلُ فِي حَوْلِ غِنَاهُ وَسَقَطَ عَنْهُ فِي حَوْلِ فَقْرِهِ فَلَوِ ادَّعَى فَقْرًا بَعْدَ الْغِنَى أُحْلِفَ وَلَمْ يُكَلَّفِ الْبَيِّنَةَ عَلَى فَقْرِهِ لِأَنَّهَا لَا تَجِبُ عَلَيْهِ إِلَّا مَعَ العلم بغناه
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, karena status kaya dan miskin diperhitungkan pada setiap tahun, sehingga yang ditetapkan pada tahun itu hanyalah bagian yang memang berhak diterima. Maka, siapa saja yang kaya dalam ketiga masa tersebut, ia menanggung diyat pada semuanya. Siapa saja di antara mereka yang miskin dalam ketiga masa tersebut, gugur darinya kewajiban diyat pada semuanya. Dan siapa saja yang kaya pada sebagian masa dan miskin pada sebagian masa lainnya, maka wajib baginya membayar diyat pada masa ia kaya, dan gugur darinya pada masa ia miskin. Jika ia mengaku miskin setelah sebelumnya kaya, maka ia diminta bersumpah dan tidak dibebani kewajiban menghadirkan bukti atas kemiskinannya, karena kewajiban itu tidak berlaku kecuali jika telah diketahui ia kaya.”
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ مَاتَ بَعْدَ حُلُولِ النَّجْمِ مُوسِرًا أُخِذَ مِنْ مَالِهِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang meninggal setelah datangnya musim panen dalam keadaan mampu, maka diambil dari hartanya apa yang menjadi kewajibannya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا مَاتَ مِنَ الْعَاقِلَةِ مُوسِرٌ بَعْدَ الْحُلُولِ وَقَبْلَ الْأَدَاءِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْعَقْلُ بِمَوْتِهِ
Al-Mawardi berkata, “Ini sebagaimana ia mengatakan: Jika seseorang yang mampu dari kalangan ‘āqilah meninggal dunia setelah waktu pembayaran tiba namun sebelum pembayaran dilakukan, maka kewajiban ‘aql tidak gugur darinya karena kematiannya.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَسْقُطُ عَنْهُ بِالْمَوْتِ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ
Abu Hanifah berkata bahwa kewajiban itu gugur darinya karena kematian, dengan berdalil pada dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهَا مُوَاسَاةٌ فَأَشْبَهَتْ نَفَقَاتِ الْأَقَارِبِ
Salah satunya adalah bahwa zakat itu merupakan bentuk solidaritas sosial, sehingga ia serupa dengan nafkah kepada kerabat.
وَالثَّانِي أَنَّهَا صِلَةٌ وَإِرْفَاقٌ فَأَشْبَهَتِ الْهِبَاتِ قَبْلَ الْقَبْضِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَمْرَيْنِ
Kedua, bahwa ia adalah bentuk silaturahmi dan bantuan, sehingga diserupakan dengan hibah sebelum diterima, dan ini adalah kekeliruan karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ حُقُوقَ الْأَمْوَالِ إِذَا اسْتَقَرَّ اسْتِحْقَاقُهَا فِي الْحَيَاةِ لَمْ يَسْقُطْ بِالْوَفَاةِ كَالدُّيُونِ
Salah satunya adalah bahwa hak-hak atas harta, apabila telah tetap hak kepemilikannya selama hidup, maka tidak gugur dengan kematian, seperti halnya utang.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يُمْنَعُوا مِنَ الْوَصَايَا وَهِيَ تَطَوُّعٌ كَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يُمْنَعُوا مِنَ الْعَقْلِ وَهُوَ وَاجِبٌ
Kedua, karena para ahli waris tidak dilarang untuk menerima wasiat, padahal wasiat itu bersifat sunnah (tathawwu‘), maka lebih utama lagi mereka tidak dilarang menerima diyat, padahal diyat itu hukumnya wajib.
وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَسْقُطْ بِالْمَوْتِ دِيَةُ الْعَمْدِ لَمْ تَسْقُطْ بِهِ دِيَةُ الْخَطَأِ
Ketiga, karena diyat ‘amdan tidak gugur dengan kematian, maka diyat khata’ pun tidak gugur karenanya.
فَأَمَّا نَفَقَاتُ الْأَقَارِبِ فَإِنَّمَا وَجَبَتْ لِحِفْظِ النَّفْسِ وَقَدْ وُجِدَ ذَلِكَ فِيمَا مَضَى فَسَقَطَ مَعْنَى الْوُجُوبِ وَدِيَةُ الْقَتْلِ وَجَبَتْ لِإِتْلَافِ النَّفْسِ وَقَدِ اسْتَقَرَّ وُجُوبُهُ فَلَمْ تَسْقُطْ بِمُضِيِّ زَمَانِهِ وَأَمَّا الْهِبَةُ فَلَيْسَ كَتَحَمُّلِ الْعَقْلِ عَنْهُ لِأَنَّهَا تُؤْخَذُ جَبْرًا وَالْهِبَةُ تُبْذَلُ تَطَوُّعًا فَافْتَرَقَا
Adapun nafkah kerabat, maka kewajibannya ditetapkan untuk menjaga jiwa, dan hal itu telah terwujud pada masa lalu sehingga makna kewajibannya pun gugur. Sedangkan diyat pembunuhan diwajibkan karena adanya perusakan jiwa, dan kewajibannya telah tetap sehingga tidak gugur dengan berlalu waktunya. Adapun hibah, maka tidak sama dengan menanggung ‘aql (diyat) darinya, karena diyat diambil secara paksa sedangkan hibah diberikan secara sukarela, maka keduanya pun berbeda.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا لَا تَسْقُطُ بِالْمَوْتِ قُدِّمَتْ عَلَى الْوَصَايَا وَالْمَوَارِيثِ وَتُؤَدَّى وَإِنِ اسْتَوْعَبَتْ جَمِيعَ التَّرِكَةِ فَإِنْ عَجَزَ صَاحِبُ التَّرِكَةِ عَنْهَا وَعَنْ دُيُونِ الْمَيِّتِ قُسِّمَتْ عَلَى قَدْرِ الْحُقُوقِ وَكَانَ بَاقِي الْعَقْلِ دَيْنًا يُؤَدَّى عَلَى الْمَيِّتِ وَلَا يُرْجَعُ بِهِ عَلَى الْبَاقِينَ مِنَ الْعَاقِلَةِ لِوُجُوبِهِ عَلَى غَيْرِهِمْ وَلَوِ امْتَنَعَتِ الْعَاقِلَةُ مَنْ بَذْلِ الدِّيَةِ وَلَمْ يُوصَلْ إِلَيْهَا مِنْهُمْ إِلَّا بِحَرْبِهِمْ جَازَ أَنْ يُحَارِبُوا عَلَيْهَا كَمَا يُحَارَبُ الْمُمْتَنِعُونَ مِنَ الْحُقُوقِ الْوَاجِبَةِ فَإِنْ وُجِدَتْ لَهُمْ أَمْوَالٌ بِيعَتْ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُحَارَبُوا
Jika telah tetap bahwa kewajiban tersebut tidak gugur karena kematian, maka ia didahulukan atas wasiat dan warisan, dan harus ditunaikan meskipun menghabiskan seluruh harta peninggalan. Jika pemilik harta tidak mampu menunaikannya dan juga tidak mampu melunasi utang-utang mayit, maka harta dibagi sesuai kadar hak-hak tersebut, dan sisa diyat menjadi utang yang harus dibayarkan atas nama mayit, serta tidak dituntutkan kepada anggota ‘āqilah yang masih hidup, karena kewajiban itu tidak dibebankan kepada mereka. Jika ‘āqilah menolak membayar diyat dan tidak dapat diambil dari mereka kecuali dengan peperangan, maka boleh memerangi mereka sebagaimana memerangi orang-orang yang menolak menunaikan hak-hak yang wajib. Jika ditemukan harta milik mereka, maka harta itu dijual untuk membayar diyat tanpa perlu memerangi mereka.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قَالَ الشافعي رضي الله عنه وَلَمْ أَعْلَمْ مُخَالِفًا فِي أَنْ لَا يَحْمِلَ أَحَدٌ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا وَأَرَى عَلَى مَذَاهِبِهِمْ أَنْ يَحْمِلَ مَنْ كَثُرَ مَالُهُ نِصْفَ دِينَارٍ وَمَنْ كَانَ دُونَهُ رُبُعَ دِينَارٍ لَا يُزَادُ عَلَى هَذَا وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ وَعَلَى قَدْرِ ذَلِكَ مِنَ الْإِبِلِ حَتَّى يَشْتَرِكَ النَّفَرُ فِي الْبَعِيرِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa tidak seorang pun dari mereka membawa kecuali dalam jumlah sedikit. Menurut pendapat mereka, aku melihat bahwa orang yang hartanya banyak membawa setengah dinar, dan yang kurang dari itu membawa seperempat dinar; tidak boleh ditambah atau dikurangi dari jumlah tersebut, dan sesuai dengan kadar itu pula pada unta, sehingga beberapa orang dapat bersama-sama dalam satu unta.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْعَقْلَ يَحْمِلُهُ مِنَ الْعَاقِلَةِ الْأَغْنِيَاءُ وَالْمُتَوَسِّطُونَ دُونَ الْفُقَرَاءِ فَوَجَبَ أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْغَنِيِّ وَالْمُتَوَسِّطِ فِيهِ
Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa diyat ditanggung oleh ‘āqilah yang terdiri dari orang-orang kaya dan menengah, tidak termasuk orang-orang fakir. Maka wajib dibedakan antara orang kaya dan orang menengah dalam hal ini.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا فَرْقَ بَيْنَهُمَا فِي قَدْرِ مَا يَتَحَمَّلُهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا اعْتِبَارًا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ وَالْكَفَّارَاتِ الَّتِي يَسْتَوِي فِيهَا الْمُكْثِرُ والمتوسط وهذا ليس صحيح لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ الطلاق 7 وقوله تعالى وعلى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ البقرة 236 وَلِأَنَّهُمَا مُوَاسَاةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَقَعَ الْفَرْقُ فِيهِمَا بَيْنَ الْمُقِلِّ وَالْمُكْثِرِ كَالنَّفَقَاتِ وَلَمْ يَسْلَمْ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ مِنْ زَكَاةِ الْفِطْرِ وَالْكَفَّارَاتِ لِاخْتِلَافِ حُكْمِ الْمُقِلِّ وَالْمُكْثِرِ فِيهَا
Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya dalam kadar yang harus ditanggung oleh masing-masing, dengan pertimbangan zakat fitrah dan kafarat yang di dalamnya orang yang banyak maupun yang sedang sama saja. Namun, pendapat ini tidak benar karena firman Allah Ta‘ala: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya” (ath-Thalaq: 7), dan firman-Nya: “Orang yang lapang hendaklah memberi nafkah menurut kelapangannya, dan orang yang terbatas hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya” (al-Baqarah: 236). Karena keduanya (nafkah dan kafarat) merupakan bentuk saling membantu, maka wajib ada perbedaan di antara orang yang sedikit dan yang banyak (hartanya), sebagaimana dalam masalah nafkah. Dalil yang digunakan berupa zakat fitrah dan kafarat pun tidak dapat diterima, karena hukum orang yang sedikit dan yang banyak (hartanya) berbeda dalam hal tersebut.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ الْفَرْقُ فِيهَا بَيْنَ الْمُقِلِّ وَالْمُكْثِرِ فَالَّذِي يَتَحَمَّلُهُ الْغَنِيُّ الْمُكْثِرُ مِنْهَا نِصْفُ دِينَارٍ وَالَّذِي يَتَحَمَّلُهُ الْمُقِلُّ الْمُتَوَسِّطُ رُبُعُ دِينَارٍ
Maka apabila telah tetap adanya perbedaan di dalamnya antara yang sedikit dan yang banyak, maka yang wajib ditanggung oleh orang kaya yang banyak memilikinya adalah setengah dinar, dan yang wajib ditanggung oleh orang yang memiliki sedikit dan pertengahan adalah seperempat dinar.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ الَّذِي يَتَحَمَّلُهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْغَنِيِّ وَالْمُتَوَسِّطِ مِنْ ثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ إِلَى أَرْبَعَةِ دَرَاهِمَ لَا يُزَادُ عَلَيْهَا وَلَا يُنْقَصُ مِنْهَا
Abu Hanifah berkata, “Kadar yang wajib ditanggung oleh setiap orang, baik yang kaya maupun yang menengah, adalah antara tiga dirham hingga empat dirham; tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi dari jumlah itu.”
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يَتَحَمَّلُونَ مَا يُطِيقُونَ بِحَسَبِ كَثْرَةِ أَمْوَالِهِمْ وَقِلَّتِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ تَتَقَدَّرَ بِشَرْعٍ وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ بِأَنَّ فَرْضَ الزَّكَاةِ أَوْكَدُ مِنْ تَحَمُّلِ الْعَقْلِ وَأَقَلُّ مَا يَجِبُ فِي زَكَاةِ الْمَالِ خَمْسَةُ دَرَاهِمَ مِنْ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَا يَلْزَمُ فِي الْعَقْلِ أَقَلُّ مِنْهَا فَكَانَ أَرْبَعَةَ دَرَاهِمَ أَوْ ثَلَاثَةً وَاسْتَدَلَّ أَحْمَدُ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ البقرة 236
Ahmad bin Hanbal berkata, “Mereka menanggung sesuai kemampuan mereka, tergantung banyak atau sedikitnya harta mereka, tanpa ada ketentuan khusus dari syariat.” Abu Hanifah berdalil bahwa kewajiban zakat lebih kuat daripada kewajiban menanggung diyat, dan kadar minimal yang wajib dalam zakat harta adalah lima dirham dari dua ratus dirham. Maka, seharusnya kadar yang wajib dalam diyat lebih sedikit dari itu, yaitu empat atau tiga dirham. Ahmad berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Bagi yang mampu sesuai kemampuannya, dan bagi yang kurang mampu sesuai kemampuannya.” (Al-Baqarah: 236).
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ مَا أَوْجَبَهُ الشَّرْعُ مِنْ حُقُوقِ الْمُوَاسَاةِ كَانَ مُقَدَّرًا كَالزَّكَوَاتِ وَالنَّفَقَاتِ فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ أَحْمَدَ وَلَكِنْ فِي تَقْدِيرِهِ طَرِيقَانِ
Dalil kami adalah bahwa segala sesuatu yang diwajibkan syariat berupa hak-hak saling membantu telah ditentukan kadarnya, seperti zakat dan nafkah, sehingga dengan itu pendapat Ahmad menjadi batal. Namun, dalam penentuan kadarnya terdapat dua metode.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَبْدَأَ بِتَقْدِيرِ الْأَقَلِّ وَيَجْعَلَهُ أَصْلًا لِلْأَكْثَرِ
Salah satunya adalah memulai dengan memperkirakan yang paling sedikit dan menjadikannya sebagai dasar bagi yang lebih banyak.
وَالثَّانِي أَنْ يَبْدَأَ بِتَقْدِيرِ الْأَكْثَرِ وَيَجْعَلَهُ أَصْلًا لِلْأَقَلِّ
Yang kedua adalah memulai dengan memperkirakan yang lebih banyak dan menjadikannya sebagai dasar bagi yang lebih sedikit.
فَإِنْ بَدَأَتْ بِتَقْدِيرِ الْأَقَلِّ فِي حَقِّ الْمُتَوَسِّطِ فَهُوَ مَا خَرَجَ عَنْ حَدِّ التَّافِهِ لِأَنَّهُ لَوِ اقْتَصَرَ عَلَى التَّافِهِ جَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَى الْقِيرَاطِ وَالْحَبَّةِ وَذَلِكَ مِمَّا لَا يَفِي بِالدِّيَةِ وَيَنْهَدِرُ بِهِ الدَّمُ وَحَدُّ التَّافِهِ مَا لَمْ يُقْطَعْ فِيهِ الْيَدُ لِقَوْلِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمْ تَكُنِ الْيَدُ تُقْطَعُ على عبد رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الشَّيْءِ التَّافِهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْقَطْعُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَ الْمُقِلَّ مَا خَرَجَ عَنْ حَدِّ التَّافِهِ وَهُوَ رُبُعُ دِينَارٍ وَإِذَا لَزِمَ الْمُقِلَّ رُبُعُ دِينَارٍ وَجَبَ أَنْ يُضَاعَفَ فِي حَقِّ الْمُكْثِرِ فَيَلْزَمُهُ نِصْفُ دِينَارٍ كَمَا يَلْزَمُ الْمُوسِرَ فِي النَّفَقَةِ مَثَلًا نَفَقَةُ الْمُعْسِرِ وَإِنْ بَدَأَتْ بِتَقْدِيرِ الْأَكْثَرِ فِي حَقِّ الْمُكْثِرِ فَهُوَ أَنَّ أَوَّلَ مَا يُوَاسِي بِهِ الْغَنِيُّ فِي زَكَاتِهِ نِصْفُ دِينَارٍ مِنْ عِشْرِينَ دِينَارًا فَحَمْلُ الْغَنِيِّ نِصْفُ دِينَارٍ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَيْهِ تُؤَوَّلُ إِلَى الْإِجْحَافِ وَلَا يَقِفُ عَلَى مِقْدَارٍ وَإِذَا لَزِمَ الْغَنِيَّ نِصْفُ دِينَارٍ وَجَبَ أَنْ يَقْتَصِرَ مِنَ الْمُقِلِّ عَلَى نِصْفِهِ كَمَا أَنَّ نَفَقَةَ الْمُعْسِرِ نِصْفُ نَفَقَةِ الْمُوسِرِ وَفِي هَذَا التَّقْدِيرِ دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ
Jika memulai dengan menetapkan kadar yang paling sedikit bagi orang yang pertengahan, maka itu adalah sesuatu yang keluar dari batasan yang remeh, karena jika hanya terbatas pada yang remeh, maka boleh saja hanya sebatas satu qirath atau satu butir, dan itu tidak mencukupi untuk diyat dan tidak dapat menebus darah, sedangkan batasan yang remeh adalah sesuatu yang tidak menyebabkan tangan dipotong. Sebagaimana perkataan ‘Aisyah ra.: “Tangan tidak dipotong pada masa Rasulullah saw. karena sesuatu yang remeh.” Dan Nabi saw. bersabda: “Pemotongan (tangan) pada seperempat dinar.” Maka wajib bagi orang yang kekurangan untuk membayar sesuatu yang melebihi batasan yang remeh, yaitu seperempat dinar. Jika orang yang kekurangan wajib membayar seperempat dinar, maka harus digandakan bagi orang yang lebih mampu, sehingga ia wajib membayar setengah dinar, sebagaimana orang yang kaya dalam nafkah wajib menafkahi seperti dua kali lipat dari orang yang miskin. Jika memulai dengan menetapkan kadar yang lebih banyak bagi orang yang lebih mampu, maka yang pertama kali dapat diberikan oleh orang kaya dalam zakatnya adalah setengah dinar dari dua puluh dinar. Maka, kewajiban orang kaya adalah setengah dinar, karena tambahan di atas itu akan berujung pada kezaliman dan tidak memiliki batasan tertentu. Jika orang kaya wajib membayar setengah dinar, maka cukup bagi orang yang kekurangan untuk membayar setengahnya, sebagaimana nafkah orang yang miskin adalah setengah dari nafkah orang yang kaya. Dalam penetapan ini terdapat dalil dan penjelasan.
فَصْلٌ
Fashl (Bagian)
فَإِذَا ثَبَتَ تَقْدِيرُهُ بِنِصْفِ دِينَارٍ فِي حَقِّ الْمُكْثِرِ وَرُبُعِ دِينَارٍ فِي حَقِّ الْمُقِلِّ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Maka apabila telah ditetapkan ukurannya setengah dinar bagi yang memiliki banyak harta dan seperempat dinar bagi yang memiliki sedikit harta, para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِهِمْ أَنَّ هَذَا قَدْرُ مَا يُؤْخَذُ فِي السَّنَةِ الْوَاحِدَةِ فَيَكُونُ فِي السِّنِينَ الثَّلَاثِ عَلَى الْمُكْثِرِ دِينَارٌ وَنِصْفٌ مِنْ جَمِيعِ الدِّيَةِ وَعَلَى الْمُقِلِّ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الدِّينَارِ مِنْ جَمِيعِ الدِّيَةِ وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَقَلِّهِمْ أَنَّ هَذَا قَدْرُ مَا يُؤْخَذُ مِنْ جَمِيعِ الدِّيَةِ فِي السِّنِينَ الثَّلَاثِ فَيَصِيرُ الْمَأْخُوذُ مِنَ الْمُكْثِرِ فِي كُلِّ سَنَةٍ مِنْهَا سُدُسَ دِينَارٍ وَالْمَأْخُوذُ مِنَ الْمُقِلِّ فِي كُلِّ سَنَةٍ نِصْفَ سُدْسِ دِينَارٍ وَالْأَوَّلُ أَشْبَهُ لِأَنَّ لِكُلِّ سَنَةٍ حُكْمَهَا فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا لَمْ يَجُزِ الْعُدُولُ عَنِ الْإِبِلِ مَعَ وُجُودِهَا وَمَعْلُومٌ أَنَّ قِيمَةَ تَعْيِينِ إِبِلِ الدِّيَةِ أَكْثَرُ مِنْ نِصْفِ دِينَارٍ وَلَا يُمْكِنُ أَنْ تَتَجَزَّأَ فَيَنْفَرِدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِجُزْءِ قِيمَتِهِ نِصْفِ دِينَارٍ فَوَجَبَ أَنْ يَشْتَرِكَ فِي أَدَاءِ الْبَعِيرِ الْوَاحِدِ الْعَدَدُ الَّذِي يَكُونُ قِسْطُ الْوَاحِدِ مِنْ ثَمَنِهِ نِصْفَ دِينَارٍ إِنْ كَانَ مُكْثِرًا وَرُبُعَ دِينَارٍ إِنْ كَانَ مُقِلًّا وَهَذَا عَدَدٌ لَا يُمْكِنُ حَصْرُهُ لِأَنَّ الْبَعِيرَ قد تزيد قيمته في حال وثقل فِي أُخْرَى وَإِنْ أَعْوَزَتِ الْإِبِلُ عُدِلَ إِلَى الدَّنَانِيرِ إِمَّا مُقَدَّرَةً بِأَلْفِ دِينَارٍ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ أَوْ بِقِيمَةِ مِائَةِ بَعِيرٍ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ يَحْمِلُ الْمُكْثِرُ مِنْهَا نِصْفَ دِينَارٍ وَالْمُقِلُّ رُبُعَ دِينَارٍ وَإِنْ عَدَلَ عَنْهُ إِعْوَازُ الْإِبِلِ إِلَى الدَّرَاهِمِ فَإِنْ قُدِّرَتْ بِاثْنَي عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ تَحَمَّلَ الْمُكْثِرُ مِنْهَا سِتَّةَ دَرَاهِمَ وَالْمُقِلُّ ثلاثة دراهم لأن الدينار فيها مقابلاً لِاثْنَي عَشَرَ دِرْهَمًا وَإِنْ قُدِّرَتْ بِقِيمَةِ مِائَةِ بَعِيرٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ
Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat mayoritas, menyatakan bahwa jumlah ini adalah kadar yang diambil dalam satu tahun, sehingga dalam tiga tahun, bagi yang mampu membayar lebih (al-muktsir) adalah satu dinar setengah dari seluruh diyat, dan bagi yang kurang mampu (al-muqill) adalah tiga perempat dinar dari seluruh diyat. Pendapat kedua, yang merupakan pendapat minoritas, menyatakan bahwa jumlah ini adalah kadar yang diambil dari seluruh diyat dalam tiga tahun, sehingga yang diambil dari al-muktsir setiap tahunnya adalah seperenam dinar, dan dari al-muqill setiap tahunnya adalah setengah dari seperenam dinar. Pendapat pertama lebih mendekati kebenaran karena setiap tahun memiliki hukumnya sendiri. Jika hal ini telah ditetapkan, maka tidak boleh beralih dari unta selama unta masih ada, dan diketahui bahwa nilai penetapan unta diyat lebih dari setengah dinar dan tidak mungkin dipisah-pisahkan sehingga masing-masing dari mereka mengambil bagian dari nilainya setengah dinar. Maka wajib bagi sejumlah orang untuk bersama-sama membayar seekor unta, di mana bagian masing-masing dari harganya adalah setengah dinar jika ia al-muktsir, dan seperempat dinar jika ia al-muqill. Jumlah ini tidak dapat dibatasi karena harga unta bisa saja naik dalam satu keadaan dan turun dalam keadaan lain. Jika unta sulit didapat, maka beralih kepada dinar, baik yang ditetapkan seribu dinar menurut pendapat lama, atau senilai seratus ekor unta menurut pendapat baru, di mana al-muktsir menanggung setengah dinar dan al-muqill seperempat dinar. Jika perpindahan itu karena sulitnya unta menuju dirham, maka jika ditetapkan dua belas ribu dirham menurut pendapat lama, al-muktsir menanggung enam dirham dan al-muqill tiga dirham, karena satu dinar setara dengan dua belas dirham. Jika ditetapkan senilai seratus ekor unta, maka ada dua pendapat yang mungkin.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَحَمَّلَ الْمُكْثِرُ مِنْهَا سِتَّةَ دَرَاهِمَ وَالْمُقِلُّ ثَلَاثَةَ دَرَاهِمَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا لَوْ قُدِّرَتْ بِالدَّرَاهِمِ اعْتِبَارًا بِقِيمَةِ الدِّينَارِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ
Salah satunya adalah bahwa orang yang banyak memiliki (harta) menanggung enam dirham dan yang sedikit menanggung tiga dirham, sebagaimana telah kami sebutkan, jika dinilai dengan dirham, dengan mempertimbangkan nilai dinar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا عَدَلَ بِالْإِبِلِ إِلَى قِيمَةِ الْوَقْتِ وَجَبَ أَنْ يَعْدُلَ بِالدِّينَارِ إِلَى قِيمَةِ الْوَقْتِ فَيَتَحَمَّلُ الْمُكْثِرُ مِنَ الدَّرَاهِمِ قِيمَةَ نِصْفِ دِينَارٍ بِسِعْرٍ وَقِيمَةٍ وَالْمُقِلُّ قِيمَةَ رُبُعِ دِينَارٍ لِأَنَّ الدِّينَارَ فِي وَقْتِهَا أَكْثَرُ قِيمَةً مِنْهُ فِي وَقْتِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ
Pendapat kedua adalah bahwa ketika unta diganti dengan nilai pada waktu sekarang, maka dinar pun harus diganti dengan nilai pada waktu sekarang. Maka, orang yang hartanya banyak dari dirham wajib membayar nilai setengah dinar sesuai harga dan nilainya, dan yang hartanya sedikit wajib membayar nilai seperempat dinar, karena dinar pada masa sekarang nilainya lebih tinggi dibandingkan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه ويحمل كُلَّ مَا كَثُرَ وَقَلَّ مِنْ قَتْلٍ أَوْ جَرْحٍ مِنْ حُرٍّ وَعَبْدٍ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمَّا حَمَّلَهَا الْأَكْثَرَ دَلَّ عَلَى تَحْمِيلِهَا الْأَيْسَرَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Segala bentuk pembunuhan atau luka, baik yang banyak maupun yang sedikit, baik yang dilakukan terhadap orang merdeka maupun budak, semuanya harus ditanggung, karena Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika membebankan tanggungan pada yang lebih berat, itu menunjukkan bahwa yang lebih ringan pun harus dibebankan.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيمَا تَحْمِلُهُ الْعَاقِلَةُ مِنَ الدِّيَةِ عَلَى خَمْسَةِ مَذَاهِبَ
Al-Mawardi berkata, para fuqaha berbeda pendapat mengenai bagian diyat yang harus ditanggung oleh ‘āqilah menjadi lima mazhab.
فَقَالَ الشَّافِعِيُّ يَحْمِلُ كُلَّ مَا كَثُرَ وَقَلَّ مِنْ قَتْلٍ وَجَرْحٍ
Maka Imam Syafi‘i berkata: Semua kasus pembunuhan dan luka, baik yang banyak maupun yang sedikit, harus ditanggung.
وَقَالَ قَتَادَةُ تَحْمِلُ دِيَةَ النَّفْسِ فِي الْقَتْلِ وَلَا تَحْمِلُ مَا دُونَ النَّفْسِ وَيَتَحَمَّلُهُ الْجَانِي
Qatadah berkata, “Kabilah menanggung diyat jiwa dalam kasus pembunuhan, tetapi tidak menanggung diyat selain jiwa, dan yang menanggungnya adalah pelaku.”
وَقَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ تَحْمِلُ ثُلُثَ الدِّيَةِ فَصَاعِدًا وَيَتَحَمَّلُ الْجَانِي مَا دُونَ الثُّلُثِ
Malik dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ‘āqilah menanggung sepertiga diyat atau lebih, sedangkan pelaku (jānī) menanggung kurang dari sepertiga.
وَقَالَ الزُّهْرِيَّ يَتَحَمَّلُ الْعَاقِلَةُ مَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ وَيَتَحَمَّلُ الْجَانِي الثُّلُثَ فَمَا دُونَ
Az-Zuhri berkata: ‘Aqilah menanggung (diyat) yang melebihi sepertiga, sedangkan pelaku (jāni) menanggung sepertiga atau kurang dari itu.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَتَحَمَّلُ الْعَاقِلَةُ نِصْفَ عَشْرِ الدِّيَةِ فَمَا زَادَ وَيَتَحَمَّلُ الْجَانِي مَا دُونَ ذَلِكَ وَاسْتَدَلَّ قَتَادَةُ بِأَنَّ حُرْمَةَ النَّفْسِ أَغْلَظُ لِاخْتِصَاصِهَا بِالْكَفَّارَةِ وَالْقَسَامَةِ فَاخْتُصَّتْ بِتَحَمُّلِ الْعَاقِلَةِ
Abu Hanifah berpendapat bahwa ‘āqilah menanggung setengah dari sepersepuluh diyat atau lebih, sedangkan pelaku menanggung kurang dari itu. Qatadah berdalil bahwa kehormatan jiwa lebih berat karena khusus dengan adanya kaffārah dan qisās, sehingga khusus pula dalam tanggungan ‘āqilah.
وَاسْتَدَلَّ مالك وأحمد بأن العاقل مواسي يَتَحَمَّلُ مَا أَجْحَفَ تَحْصِينًا لِلدِّمَاءِ وَمَا دُونَ الثُّلُثِ غَيْرَ مُجْحِفٍ فَلَمْ يَتَحَمَّلْهُ
Malik dan Ahmad berdalil bahwa orang yang berakal adalah orang yang bersedia menanggung (diyat) atas kerugian yang besar demi menjaga keselamatan jiwa, sedangkan kerugian yang kurang dari sepertiga tidak dianggap besar sehingga tidak wajib ditanggung.
وَاسْتَدَلَّ الزُّهْرِيُّ بقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الثُّلُثُ كَثِيرٌ فَصَارَ مُضَافًا إِلَى مَا زَادَ عَلَيْهِ فِي تَحَمُّلِ الْعَاقِلَةِ لَهُ
Az-Zuhri berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sepertiga itu banyak,” sehingga sepertiga itu menjadi tambahan atas apa yang melebihi sepertiga dalam tanggungan ‘āqilah terhadapnya.
وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى تَحَمُّلِ نِصْفِ الْعُشْرِ بِأَمْرَيْنِ
Abu Hanifah berdalil tentang kewajiban menanggung setengah dari zakat ‘usyur dengan dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ تَحَمُّلَ الْعَاقِلَةِ لِمَا عَدَلَ فِيهِ عَنِ الْقِيَاسِ إِلَى الشَّرْعِ وَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ بِأَقَلِّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ وَأَقَلُّهُ أَرْشُ الْمُوضِحَةِ وَالْغُرَّةِ فِي الْجَنِينِ وَهِيَ مُقَدَّرَةٌ بِمِثْلِ أَرْشِ الْمُوضِحَةِ خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ أَوْ خَمْسِينَ دينار أَوْ سِتِّمِائَةِ دِرْهَمٍ وَذَلِكَ نِصْفُ عُشْرِ الدِّيَةِ فَكَانَ هَذَا أَصْلًا فِي أَقَلِّ مَا تَحْمِلُهُ الْعَاقِلَةُ وَكَانَ مَا دُونَهُ مَحْمُولًا عَلَى مُوجِبِ الْقِيَاسِ
Salah satunya adalah bahwa kewajiban ‘āqilah untuk menanggung diyat dalam hal yang menyelisihi qiyās dan mengikuti syariat, harus dibatasi pada kadar paling sedikit yang ditetapkan oleh syariat. Yang paling sedikit itu adalah arsy al-mudhihah dan al-ghurrah pada janin, yang nilainya setara dengan arsy al-mudhihah, yaitu lima ekor unta, atau lima puluh dinar, atau enam ratus dirham. Itu adalah setengah dari sepersepuluh diyat. Maka hal ini menjadi dasar dalam kadar paling sedikit yang wajib ditanggung oleh ‘āqilah, sedangkan yang kurang dari itu dikembalikan kepada ketentuan qiyās.
وَالثَّانِي أَنَّ مَا دُونَ الْمُوضِحَةِ لَمَّا لَمْ يَجِبُ فِيهِ قِصَاصٌ وَلَا أَرْشٌ مُقَدَّرٌ جَرَى مَجْرَى الْأَمْوَالِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَتَحَمَّلَهُ الْعَاقِلَةُ كَمَا لَا تَتَحَمَّلُ الْأَمْوَالَ
Kedua, bahwa luka yang kurang dari mudhiḥah, karena tidak wajib di dalamnya qishāsh maupun diyat yang telah ditetapkan, maka hukumnya seperti harta benda, sehingga wajib untuk tidak dibebankan kepada ‘āqilah, sebagaimana harta benda juga tidak dibebankan kepada ‘āqilah.
وَالدَّلِيلُ عَلَى جَمِيعِهِمْ فِي تَحَمُّلِ الْأَكْثَرِ وَالْأَقَلِّ بَيَّنَهُ النَّصُّ وَهُوَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمَّا حَمَّلَ الْعَاقِلَةَ جَمِيعَ الدِّيَةِ وَهِيَ أَثْقَلُ فيه بِهِ عَلَى تَحَمُّلِ مَا هُوَ أَقَلُّ وَلَوْ نَصَّ عَلَى الْأَقَلِّ لَمَا نَبَّهَ عَلَى حُكْمِ الْأَثْقَلِ وَفِي إِلْزَامِ الْجَمْعِ بَيْنَ النَّصَّيْنِ خُرُوجٌ عَنْ مَوْضُوعِ الشَّرْعِ
Dan dalil atas semuanya, baik dalam menanggung yang lebih besar maupun yang lebih kecil, telah dijelaskan oleh nash, yaitu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membebankan seluruh diyat kepada ‘āqilah—padahal itu adalah beban yang lebih berat—maka itu menunjukkan bolehnya menanggung sesuatu yang lebih ringan. Seandainya nash hanya menyebutkan yang lebih ringan, maka tidak akan menunjukkan hukum untuk yang lebih berat. Dan mewajibkan penggabungan antara dua nash merupakan keluar dari maksud syariat.
ثُمَّ نُحَرِّرُ هَذَا الْأَصْلَ قِيَاسًا فَنَقُولُ إِنَّهُ أَرْشُ خَطَأٍ عَلَى نَفْسٍ فَجَازَ أَنْ يَتَحَمَّلَهُ الْعَاقِلَةُ قِيَاسًا عَلَى دِيَةِ النَّفْسِ مَعَ قَتَادَةَ وَعَلَى ثُلُثِ الدِّيَةِ مَعَ مَالِكٍ وَعَلَى نِصْفِ عُشْرِهَا مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ وَلِأَنَّهُ لَمَّا تَحَمَّلَ الْجَانِي قَلِيلَ الدِّيَةِ وَكَثِيرَهَا فِي الْعَمْدِ وَجَبَ أَنْ تَحْمِلَ الْعَاقِلَةُ قَلِيلَهَا وَكَثِيرَهَا فِي الْخَطَأِ وَيَتَحَرَّرُ مِنْهُ قِيَاسَانِ
Kemudian kita menetapkan dasar ini dengan qiyās, lalu kita katakan bahwa ini adalah arsy (ganti rugi) atas kesalahan pada jiwa, maka boleh bagi ‘āqilah menanggungnya berdasarkan qiyās atas diyat jiwa menurut Qatadah, atas sepertiga diyat menurut Malik, dan atas setengah sepersepuluhnya menurut Abu Hanifah. Karena ketika pelaku menanggung sedikit atau banyaknya diyat dalam kasus sengaja (‘amdan), maka wajib bagi ‘āqilah menanggung sedikit atau banyaknya dalam kasus kesalahan (khaṭā’). Dari sini lahir dua qiyās.
أَحَدُهُمَا أَنَّ مَنْ تَحَمَّلَ كَثِيرَ الدِّيَةِ تَحَمَّلَ قَلِيلَهَا كالجاني
Salah satunya adalah bahwa siapa pun yang menanggung diyat dalam jumlah besar, maka ia juga menanggung diyat dalam jumlah kecil, seperti halnya pelaku kejahatan.
والثاني كل قدر تحمله الجاني جاز أن يتحمله الْعَاقِلَةُ كَالْكَثِيرِ وَلِأَنَّ الْجَمَاعَةَ لَوِ اشْتَرَكُوا فِي جِنَايَةٍ قَدْرُهَا الثُّلُثُ عِنْدِ مَالِكٍ وَنِصْفُ الْعُشْرِ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ تَحَمَّلَتْ عَاقِلَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَا لَزِمَهُ لِجِنَايَتِهِ وَهُوَ أَقَلُّ مِنْ ثُلُثِ الدِّيَةِ وَمِنْ نِصْفِ عُشْرِهَا فَكَذَلِكَ إِذَا انْفَرَدَ بِالْتِزَامِ هَذَا الْقَدْرِ وَيَتَحَرَّرُ مِنْهُ قِيَاسَانِ
Kedua, setiap kadar yang dapat ditanggung oleh pelaku kejahatan, boleh juga ditanggung oleh ‘āqilah, baik yang banyak sekalipun. Karena jika sekelompok orang bersama-sama melakukan suatu tindak pidana yang kadarnya sepertiga menurut Malik dan setengah dari sepersepuluh menurut Abu Hanifah, maka ‘āqilah masing-masing dari mereka menanggung bagian yang menjadi tanggungannya karena tindak pidananya, dan itu kurang dari sepertiga diyat dan kurang dari setengah sepersepuluhnya. Maka demikian pula jika seseorang sendiri menanggung kadar tersebut. Dari hal ini dapat diambil dua qiyās.
أَحَدُهُمَا أَنَّ مَنْ تَحَمَّلَ كَثِيرَ الدِّيَةِ تَحَمَّلَ قَلِيلَهَا كَالْجَانِي
Salah satunya adalah bahwa siapa pun yang menanggung diyat dalam jumlah besar, maka ia juga menanggung diyat dalam jumlah kecil, sebagaimana pelaku tindak pidana.
وَالثَّانِي كُلُّ قَدْرٍ يَتَحَمَّلُهُ الْجَانِي جَازَ أَنْ تَتَحَمَّلَهُ الْعَاقِلَةُ كَالْكَثِيرِ وَلِأَنَّ الْجَمَاعَةَ لَوِ اشْتَرَكُوا فِي جِنَايَةٍ قَدْرُهَا الثُّلُثُ عِنْدِ مَالِكٍ وَنِصْفُ الْعُشْرِ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ تَحَمَّلَتْ عَاقِلَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَا لَزِمَهُ لِجِنَايَتِهِ وَهُوَ أَقَلُّ مِنْ ثُلُثِ الدِّيَةِ وَمِنْ نِصْفِ عُشْرِهَا فَكَذَلِكَ إِذَا انْفَرَدَ بِالْتِزَامِ هَذَا الْقَدْرِ وَيَتَحَرَّرُ مِنْهُ قِيَاسَانِ
Kedua, setiap kadar yang dapat ditanggung oleh pelaku, maka boleh juga ditanggung oleh ‘āqilah, baik jumlahnya banyak maupun sedikit. Karena jika sekelompok orang bersama-sama melakukan suatu tindak pidana dengan kadar sepertiga menurut pendapat Malik, dan setengah dari sepersepuluh menurut pendapat Abu Hanifah, maka ‘āqilah masing-masing dari mereka menanggung bagian yang menjadi tanggungannya karena tindak pidananya, padahal itu lebih sedikit dari sepertiga diyat dan dari setengah sepersepuluhnya. Maka demikian pula jika seseorang sendiri menanggung kadar tersebut. Dari hal ini dapat diambil dua qiyās.
أَحَدُهُمَا أَنَّ مَا تَحَمَّلَتْهُ الْعَاقِلَةُ فِي الِاشْتِرَاكِ جَازَ أَنْ يَتَحَمَّلَهُ فِي الِانْفِرَادِ كَالْكَثِيرِ
Salah satunya adalah bahwa apa yang ditanggung oleh ‘āqilah secara bersama-sama, boleh juga ditanggung secara sendiri-sendiri, sebagaimana halnya dalam jumlah yang banyak.
وَالثَّانِي أَنَّ مَا تَحَمَّلَتْهُ الْعَاقِلَةُ مِنَ الْكَثِيرِ جَازَ أَنْ تَتَحَمَّلَهُ مِنَ الْقَلِيلِ كَالِاشْتِرَاكِ وَمَا قَالَهُ قَتَادَةُ مِنْ تَغْلِيظِ حُرْمَةِ النَّفْسِ فَحُرْمَتُهَا لِأَجَلِ حُرْمَةِ الْإِنْسَانِ وَحُرْمَةُ الْإِنْسَانِ عَامَّةٌ فِي نَفْسِهِ وَأَطْرَافِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي حُكْمِ الْغُرْمِ وَمَحَلِّهِ وَمَا قَالَهُ مَالِكٌ مِنْ أَنَّ الثُّلُثَ قَلِيلٌ لَا يُجْحِفُ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الثُّلُثُ كَثِيرٌ فَصَارَ ضِدَّ قَوْلِهِ ثُمَّ قَدْ يجحف الثُّلُثُ وَأَقَلُّ مِنْهُ بِالْجَانِي إِذَا انْفَرَدَ بِغُرْمِهِ لَا سِيَّمَا إِذَا كَانَ مُقِلًّا وَمَا قَالَهُ أَبُو حَنِيفَةَ مِنْ وُرُودِ الشَّرْعِ فِيهِ فَلَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنْ وُجُوبِ الْأَرْشِ وَإِنْ لَمْ يَرِدْ فِيهِ شَرْعٌ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ تَحَمُّلِ الْعَقْلِ وَإِنْ لَمْ يَرِدْ فِيهِ شَرْعٌ وَمَا قَالَهُ مِنْ إِجْزَائِهِ فِي سُقُوطِ الْقِصَاصِ وَتَقْدِيرِ الأرش مجرى الأموال فمنتقص بِالْأُنْمُلَةِ يَجِبُ فِيهَا الْقِصَاصُ وَيَتَقَدَّرُ أَرْشُهَا بِثُلُثِ الْعُشْرِ وَلَا تَتَحَمَّلُهَا الْعَاقِلَةُ عِنْدَهُ وَقَدْ لَا يَجِبُ الْقِصَاصُ فِيمَا زَادَ عَلَى نِصْفِ الْعُشْرِ وَلَا يَتَقَدَّرُ أَرْشُهُ وَتَحْمِلُهُ الْعَاقِلَةُ فَبَطَلَ مَا اعْتَدَّ بِهِ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا حِفْظُ الدِّمَاءِ بِالْتِزَامِ الْعَاقِلَةِ لِأُرُوشِهَا وَهَذَا يَصِحُّ قَلِيلُهَا وَكَثِيرُهَا
Yang kedua, bahwa apa yang ditanggung oleh ‘āqilah dari jumlah yang besar, maka boleh juga ditanggung dari jumlah yang kecil, sebagaimana dalam kasus pembagian bersama. Adapun pendapat Qatādah tentang pengetatan larangan atas jiwa, maka kehormatan jiwa itu karena kehormatan manusia, dan kehormatan manusia itu bersifat umum, baik pada dirinya maupun anggota tubuhnya, sehingga keduanya harus disamakan dalam hukum tanggungan dan tempatnya. Adapun pendapat Mālik bahwa sepertiga itu sedikit dan tidak memberatkan, maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Sepertiga itu banyak,” sehingga menjadi bertentangan dengan pendapatnya. Kemudian, sepertiga atau kurang darinya bisa saja memberatkan pelaku jika ia menanggung sendiri, apalagi jika ia orang yang tidak mampu. Adapun pendapat Abū Hanīfah tentang adanya nash syariat dalam hal ini, maka hal itu tidak menghalangi kewajiban membayar arsy, dan jika tidak ada nash syariat, tidak menghalangi ‘āqilah untuk menanggungnya, meskipun tidak ada nash syariat. Adapun pendapatnya tentang cukupnya arsy dalam menggugurkan qishāsh dan penetapan arsy seperti harta benda, maka pada kasus luka ujung jari, wajib qishāsh dan arsy-nya ditetapkan sepertiga dari sepersepuluh, dan menurutnya ‘āqilah tidak menanggungnya. Namun, bisa jadi qishāsh tidak wajib pada luka yang melebihi setengah dari sepersepuluh dan arsy-nya tidak ditetapkan, namun ‘āqilah menanggungnya. Maka, batal apa yang dijadikan pegangan olehnya, dan tidak tersisa kecuali perlindungan darah dengan komitmen ‘āqilah untuk membayar arsy-nya, dan hal ini berlaku baik untuk jumlah yang sedikit maupun yang banyak.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ الْأَرْشُ ثُلُثَ الدِّيَةَ أَدَّتْهُ فِي مضي سنة من يوم جرح المجروح فإن كان أكثر من الثلث فالزيادة في مضي السنة الثانية فإن زاد على الثلثين ففي مضي السنة الثالثة وهذا معنى السنة
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika besaran arsy adalah sepertiga dari diyat, maka ia dibayarkan dalam waktu satu tahun sejak hari terjadinya luka pada korban. Jika lebih dari sepertiga, maka kelebihannya dibayarkan dalam tahun kedua. Jika melebihi dua pertiga, maka kelebihannya lagi dibayarkan dalam tahun ketiga. Inilah makna sunnah.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا وَجَبَ ثُلُثُ الدِّيَةِ مِنْ جُرْحٍ أَوْ طَرْفٍ أَدَّتْهُ الْعَاقِلَةُ فِي سَنَةٍ وَاحِدَةٍ لِأَنَّهَا تَلْتَزِمُ فِي جَمِيعِ الدِّيَةِ أَدَاءَ ثُلُثِهَا فِي كُلِّ سَنَةٍ وَإِنْ وجبت ثُلُثُ الدِّيَةِ فِي نَفْسٍ كَدِيَةِ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ فَفِيهِ وَجْهَانِ عَلَى مَا مَضَى
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila sepertiga diyat wajib karena luka atau anggota tubuh, maka ‘āqilah membayarkannya dalam satu tahun, karena mereka berkewajiban membayar sepertiga dari seluruh diyat setiap tahun. Namun, jika sepertiga diyat itu wajib karena jiwa, seperti diyat untuk orang Yahudi dan Nasrani, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.”
أَحَدُهُمَا تُؤَدِّيهِ الْعَاقِلَةُ فِي سَنَةٍ وَاحِدَةٍ اعْتِبَارًا بِدِيَةِ الْجُرْحِ
Salah satunya dibayarkan oleh ‘āqilah dalam satu tahun, sebagaimana dīyah luka.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ تُؤَدِّيَهُ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ اعْتِبَارًا بِدِيَةِ النَّفْسِ وَكَذَلِكَ نَصِفُ الْعَشْرِ فِي دِيَةِ الْجَنِينِ يَكُونُ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ؛ لِأَنَّهَا دية نفس
Pendapat kedua adalah bahwa ia membayarnya dalam tiga tahun, sebagaimana pada pembayaran diyat jiwa. Demikian pula sepersepuluh dari diyat janin berlaku menurut dua pendapat ini, karena ia adalah diyat jiwa.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَا تَحْمِلُ الْعَاقِلَةُ مَا جَنَى الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “‘Āqilah tidak menanggung apa yang dilakukan seseorang terhadap dirinya sendiri.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أمَّا إِذَا جَنَى عَلَى نَفْسِهِ عَمْدًا فَقَطَعَ يَدَهُ أَوْ قَتَلَ نَفْسَهُ إِمَّا لِغَيْظٍ أَوْ حَمِيَّةٍ وَإِمَّا مِنْ سَفَهٍ وَجَهَالَةٍ فَجِنَايَتُهُ هَدَرٌ لَا يُؤَاخَذُ بِهَا إِنْ كَانَ حَيًّا وَلَا يُؤْخَذُ بِهَا وَارِثُهُ إِنْ كان ميتاً وعليه الكفارة في ماله فيكون نَفْسُهُ مَضْمُونَةً عَلَيْهِ بِالْكَفَّارَةِ وَغَيْرَ مَضْمُونَةٍ عَلَيْهِ بِالدِّيَةِ لِأَنَّ الدِّيَةَ مِنْ حُقُوقِهِ فَسَقَطَ عَنْهُ وَالْكَفَّارَةُ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى فَوَجَبَتْ عَلَيْهِ كَمَا لَوْ قَتَلَ عَبْدَهُ سَقَطَتْ عَنْهُ الْقِيمَةُ لِأَنَّهَا لَهُ وَوَجَبَتْ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ لِأَنَّهَا لِلَّهِ تَعَالَى
Al-Mawardi berkata: Adapun jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap dirinya sendiri secara sengaja, seperti memotong tangannya atau membunuh dirinya sendiri, baik karena marah atau fanatisme, maupun karena kebodohan dan ketidaktahuan, maka tindak pidananya itu dianggap gugur, tidak ada tuntutan atasnya jika ia masih hidup, dan tidak ada tuntutan atas ahli warisnya jika ia telah meninggal. Namun, ia tetap wajib membayar kafarat dari hartanya, sehingga jiwanya menjadi tanggungan baginya dalam hal kafarat, tetapi tidak menjadi tanggungan dalam hal diyat. Sebab, diyat termasuk hak dirinya sendiri, sehingga gugur darinya, sedangkan kafarat termasuk hak Allah Ta‘ala, sehingga tetap wajib atasnya. Sebagaimana jika seseorang membunuh budaknya sendiri, maka nilai budak itu gugur darinya karena itu miliknya, tetapi ia tetap wajib membayar kafarat karena itu adalah hak Allah Ta‘ala.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا جَنَى عَلَى نَفْسِهِ خَطَأً فَقَطَعَ يَدَهُ بِانْقِلَابِ سَيْفِهِ عَلَيْهِ أَوْ قَتْلِ نَفْسِهِ بِعَوْدِ سَهْمِهِ إِلَيْهِ فَجِنَايَتُهُ هَدَرٌ كَالْعَمْدِ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ وَعَاقِلَتُهُ بَرَاءٌ مِنْ دِيَتِهِ
Adapun jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap dirinya sendiri secara tidak sengaja, seperti memotong tangannya karena pedangnya berbalik mengenainya, atau membunuh dirinya sendiri karena panahnya kembali mengenainya, maka tindak pidananya dianggap gugur sebagaimana pada kasus sengaja menurut pendapat mayoritas fuqaha, dan ‘āqilah-nya terbebas dari kewajiban membayar diyat-nya.
وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ تَتَحَمَّلُ عَاقِلَتُهُ مَا جَنَاهُ عَلَى نَفْسِهِ يُؤَدُّونَهُ إِلَيْهِ إِنْ كَانَتْ عَلَى طَرَفٍ وَالْوَرَثَةُ إِنْ كَانَتْ عَلَى نَفْسٍ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا ركب دابة له وضربها بخشبة كانت يَدِهِ فَطَارَتْ مِنْهَا شَظْيَةٌ فَفَقَأَتْ عَيْنَهُ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ يَدُهُ يَدُ رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَجَعَلَ الدِّيَةَ عَلَى عَصَبَتِهِ
Al-Auza‘i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa ‘āqilah seseorang menanggung apa yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri; mereka membayarkannya kepadanya jika berkaitan dengan anggota tubuh, dan ahli waris jika berkaitan dengan jiwa, berdasarkan dalil dari riwayat bahwa seorang laki-laki menunggangi hewannya lalu memukulnya dengan sebatang kayu yang ada di tangannya, kemudian serpihan kayu itu terlepas dan mengenai matanya hingga buta. Lalu hal itu disebutkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, maka beliau berkata, “Tangannya adalah tangan seorang muslim,” dan beliau menetapkan diyat atas ‘āqilah-nya.
وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ أَنَّ عَامِرَ بْنَ الْأَكْوَعِ اعْوَجَّ سَيْفُهُ فِي قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَقَالَ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَا أَبْطَلَ جِهَادَهُ وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ قَضَى بِالدِّيَةِ فِي مَالِهِ وَلَا عَاقِلَتِهِ وَهَذَا وَإِنْ كَانَ فِي الْعَمْدِ فَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى الْخَطَأِ
Dalil kami adalah riwayat bahwa ‘Amir bin al-Akwa‘ pedangnya bengkok saat berperang melawan orang-orang musyrik, lalu ia membunuh dirinya sendiri. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ia telah membatalkan jihadnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ia tidak membatalkan jihadnya.” Dan tidak diriwayatkan bahwa beliau memutuskan adanya pembayaran diyat dari hartanya atau dari ‘āqilah-nya. Meskipun peristiwa ini terjadi dalam keadaan sengaja, namun di dalamnya terdapat dalil mengenai kasus kesalahan (khathā’).
وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا رُوِيَ أَنَّ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ ضَرَبَ مُشْرِكًا بِالسَّيْفِ فَرَجَعَ السَّيْفُ إِلَيْهِ فَقَتَلَهُ فَامْتَنَعَ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَقَالُوا قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَاتَ مُجَاهِدًا شَهِيدًا فَدَلَّ الظَّاهِرُ عَلَى أَنَّ هَذَا جَمِيعُ حُكْمِهِ وَلَوْ وَجَبَتِ الدِّيَةُ لَأَبَانَهَا لِأَنَّهُ لَا يُؤَخِّرُ بَيَانَ الْأَحْكَامِ عَنْ أَوْقَاتِهَا وَلِأَنَّ جِنَايَةَ الْعَمْدِ أَغْلَظُ مِنْ جِنَايَةِ الْخَطَأِ فلما أهدر عمده كان خطأه أَهْدَرَ وَلِأَنَّهُ يُوَاسَى بِدِيَةِ الْخَطَأِ تَخْفِيفًا عَنْهُ وَهُوَ لَا يَلْزَمُهُ بِقَتْلِ نَفْسِهِ مَا تَتَحَمَّلُهُ الْعَاقِلَةُ تَخْفِيفًا عَنْهُ فَصَارَ هَدَرًا وَجَرَى مَجْرَى اسْتِهْلَاكِهِ مَالَ نَفْسِهِ لَا يَرْجِعُ بِبَدَلِهِ عَلَى غَيْرِهِ فَأَمَّا قَضَاءُ عُمَرَ فَهُوَ قَوْلُ وَاحِدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالْقِيَاسُ بِخِلَافِهِ فَكَانَ أَوْلَى مِنْهُ والله أعلم
Hal ini didukung oleh riwayat bahwa ‘Auf bin Malik al-Asyja‘i memukul seorang musyrik dengan pedang, lalu pedang itu berbalik kepadanya sehingga membunuh dirinya sendiri. Maka para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam enggan menshalatinya dan berkata, “Ia telah membatalkan jihadnya.” Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ia wafat sebagai seorang mujahid dan syahid.” Maka secara lahiriah, hal ini menunjukkan bahwa inilah seluruh hukumnya. Jika memang diwajibkan diyat, tentu beliau akan menjelaskannya, karena beliau tidak menunda penjelasan hukum dari waktunya. Selain itu, tindak pidana sengaja (jinayah ‘amd) lebih berat daripada tindak pidana tidak sengaja (jinayah khatha’). Maka ketika tindakan sengaja itu gugur (tidak dikenakan diyat), maka tindakan tidak sengaja pun lebih utama untuk digugurkan. Karena diyat atas kesalahan dikenakan sebagai bentuk keringanan baginya, dan ia tidak wajib menanggung akibat dari membunuh dirinya sendiri sebagaimana yang ditanggung oleh ‘aqilah (keluarga penanggung diyat) sebagai bentuk keringanan baginya, sehingga menjadi gugur (tidak ada diyat). Hal ini serupa dengan seseorang yang membinasakan hartanya sendiri, maka tidak ada penggantian yang dibebankan kepada orang lain. Adapun keputusan Umar, itu adalah pendapat satu sahabat saja, sedangkan qiyās bertentangan dengannya, sehingga qiyās lebih utama daripada pendapat tersebut. Allah Maha Mengetahui.
Bab Diat (denda darah) untuk Para Mawlā
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى وَلَا يَعْقِلُ الْمَوَالِي الْمُعْتِقُونَ عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْمَوَالِي الْمُعْتَقِينَ وَلَهُ قَرَابَةٌ تَحْمِلُ الْعَقْلَ فَإِنْ عَجَزَتْ عَنْ بَعْضٍ حَمَلَ الْمَوَالِي الْمُعْتِقُونَ الْبَاقِيَ وَإِنْ عَجَزُوا عَنْ بَعْضٍ وَلَهُمْ عَوَاقِلُ عَقَلَتْهُ عَوَاقِلُهُمْ فَإِنْ عَجَزُوا وَلَا عَوَاقِلَ لَهُمْ عَقَلَ مَا بَقِيَ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِينَ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Para mawali yang memerdekakan tidak menanggung diyat (pembayaran ganti rugi) atas seorang mawali yang telah dimerdekakan, jika ia masih memiliki kerabat yang wajib menanggung diyat. Jika kerabat tersebut tidak mampu menanggung sebagian diyat, maka para mawali yang memerdekakan menanggung sisanya. Jika mereka juga tidak mampu menanggung sebagian, dan mereka memiliki ‘awāqil (kelompok penanggung diyat), maka ‘awāqil mereka yang menanggungnya. Jika mereka tidak mampu dan tidak memiliki ‘awāqil, maka sisa diyat tersebut ditanggung oleh jamaah kaum Muslimin.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ الْعَقْلُ يُتَحَمَّلُ بِالْوَلَاءِ كَمَا يُتَحَمَّلُ بِالنَّسَبِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ والولاء لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ
Al-Mawardi berkata, “Aql (tanggungan diyat) dapat dipikul melalui wala’ sebagaimana dipikul melalui nasab, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: ‘Wala’ adalah ikatan seperti ikatan nasab.’”
وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتُحِقَّ الْمِيرَاثُ بِالْوَلَاءِ كَاسْتِحْقَاقِهِ بِالنَّسَبِ وَجَبَ أَنْ يَتَحَمَّلَ بِهِ الْعَقْلُ كَمَا يَتَحَمَّلُ بِالنَّسَبِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْمُنَاسِبُونَ مِنَ الْعَصَبَاتِ مُقَدَّمُونَ فِي الْعَقْلِ عَلَى الْمَوَالِي كَمَا يَتَقَدَّمُونَ عَلَيْهِمْ فِي الْمِيرَاثِ وَيُقَدَّمُ أَيْضًا الْعَصِبَاتُ عَلَى الْمَوَالِي فِي الْعَقْلِ وَالْمِيرَاثِ كَمَا يُقَدَّمُ أَقْرَبُ الْعَصِبَاتِ عَلَى أَبْعَدِهِمْ فَإِذَا وجد في أقرب العصبات من يتحمل العقل وقف تحملها عليهم وخرج من التحمل البعداء مِنَ الْعَصَبَاتِ وَشَارَكُوا فِيهَا الْأَقَارِبَ وَخَرَجَ مِنْهَا والموالي وَإِنْ عَجَزَ الْأَقْرَبُونَ عَنْهَا تَحَمَّلَهَا الْبُعَدَاءُ وَالْمَوَالِي مِنَ الْعَصَبَاتِ وَشَارَكُوا فِيهَا الْأَقَارِبَ وَخَرَجَ مِنْهَا الْمَوَالِي إِذَا تَحَمَّلَهَا جَمِيعُ الْعَصَبَاتِ وَإِنْ عَجَزَ جَمِيعُهُمْ عَنْهَا شَرَكَهُمْ فِيهَا الْمَوَالِي وَكَانُوا أُسْوَةَ الْعَصَبَاتِ فِي تَحَمُّلِهَا فَإِنْ عَجَزَ عَنْهَا الْعَصَبَاتُ وَالْمَوَالِي شَرَكَهُمْ فِيهَا عَصَبَاتُ الْمَوَالِي ثُمَّ مَوَالِي الْمَوَالِي فَإِنْ عَجَزُوا أَوْ عَدِمُوا تَحَمَّلَ بَيْتُ مَالِ الْمُسْلِمِينَ مَا عَجَزُوا عَنْهُ مِنْ بَقِيَّةِ الْعَقْلِ أَوْ مِنْ جَمِيعِهِ إِذَا عَدِمُوا؛ لِأَنَّ وَلَاءَ الدِّينِ يَجْمَعُ عَاقِلَةَ الْمُسْلِمِينَ فَكَانَ عَقْلُ جِنَايَتِهِ عَلَيْهِمْ فِي بَيْتِ مَالِهِمْ عِنْدَ عَدَمِ عَصَبَتِهِ كَمَا وَرِثُوهُ وَصَارَ مِيرَاثُهُ لِبَيْتِ مَالِهِمْ عِنْدَ عَدَمِ عَصَبَتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي بَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ مَالٌ كَانَتِ الدِّيَةُ أَوْ مَا بَقِيَ مِنْهَا دَيْنًا وَفِي مَحَلِّهِ قَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي دِيَةِ الْخَطَأِ هَلْ كَانَ ابْتِدَاءُ وُجُوبِهَا عَلَى الْجَانِي ثُمَّ تَحَمَّلَتْهَا الْعَاقِلَةُ عَنْهُ أَوْ وَجَبَتِ ابْتِدَاءً عَلَى الْعَاقِلَةِ
Karena warisan menjadi hak melalui wala’ sebagaimana menjadi hak melalui nasab, maka wajib pula menanggung diyat (al-‘aql) karena wala’ sebagaimana menanggungnya karena nasab. Jika demikian, maka para ‘ashabah yang memiliki hubungan lebih dekat didahulukan dalam menanggung diyat daripada para mawali, sebagaimana mereka didahulukan dalam warisan. Para ‘ashabah juga didahulukan atas para mawali dalam hal diyat dan warisan, sebagaimana ‘ashabah yang lebih dekat didahulukan atas yang lebih jauh. Jika di antara ‘ashabah terdekat ada yang mampu menanggung diyat, maka kewajiban menanggung itu hanya pada mereka, dan yang jauh dari ‘ashabah serta para mawali tidak ikut menanggung. Jika yang terdekat tidak mampu, maka yang jauh dari ‘ashabah dan para mawali ikut menanggung bersama kerabat, dan para mawali keluar dari tanggungan jika seluruh ‘ashabah telah menanggungnya. Jika seluruh ‘ashabah tidak mampu, maka para mawali ikut menanggung bersama mereka dan kedudukannya sama dengan ‘ashabah dalam menanggung diyat. Jika ‘ashabah dan mawali tidak mampu, maka ‘ashabah dari mawali ikut menanggung bersama mereka, kemudian mawali dari mawali. Jika mereka juga tidak mampu atau tidak ada, maka Baitul Mal kaum Muslimin menanggung sisa diyat atau seluruhnya jika tidak ada yang menanggung; karena wala’ agama mengumpulkan seluruh ‘aqilah kaum Muslimin, sehingga diyat atas tindakannya menjadi tanggungan mereka di Baitul Mal jika tidak ada ‘ashabah, sebagaimana warisannya juga menjadi hak Baitul Mal jika tidak ada ‘ashabah. Jika di Baitul Mal kaum Muslimin tidak ada harta, maka diyat atau sisanya menjadi utang, dan dalam hal ini ada dua pendapat yang dibangun atas perbedaan pendapat Imam Syafi’i tentang diyat karena kesalahan: apakah pada awalnya wajib atas pelaku lalu ditanggung oleh ‘aqilah darinya, atau sejak awal wajib atas ‘aqilah.
فَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ أَنَّهَا وَجَبَتِ ابْتِدَاءً عَلَى الْجَانِي ثُمَّ تَحَمَّلَتْهَا الْعَاقِلَةُ لِوُجُوبِهَا بِالْقَتْلِ وَتَحَمَّلَهَا بِالْمُوَاسَاةِ فَعَلَى هَذَا تُؤْخَذُ مِنَ الْقَاتِلِ لِعَدَمِ مَنْ يَتَحَمَّلُهَا عَنْهُ فَإِنْ أَعْسَرَ بِهَا كَانَتْ دَيْنًا عَلَيْهِ
Salah satu dari dua pendapat adalah bahwa diyat pada awalnya wajib atas pelaku (jāni), kemudian ditanggung oleh ‘āqilah karena kewajibannya disebabkan oleh pembunuhan, dan ‘āqilah menanggungnya sebagai bentuk solidaritas. Maka, menurut pendapat ini, diyat diambil dari pembunuh jika tidak ada yang menanggungnya darinya. Jika ia tidak mampu membayarnya, maka diyat itu menjadi utang atasnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهَا وَجَبَتِ ابْتِدَاءً عَلَى الْعَاقِلَةِ لِأَنَّهَا لَوْ وَجَبَتْ عَلَى غَيْرِهِمْ لَمَّا انْتَقَلَتْ إِلَيْهِمْ إِلَّا بِعَقْدٍ أَوِ الْتِزَامٍ وَهِيَ تَلْزَمُهُمْ مِنْ غَيْرِ عَقْدٍ وَلَا الْتِزَامٍ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ دَيْنًا فِي بَيْتِ الْمَالِ وَلَا يُرْجَعُ بِهَا عَلَى الْجَانِي وَإِنْ كَانَ مُوسِرًا بِهَا لوجوبها على غيره
Pendapat kedua menyatakan bahwa diyat pada awalnya diwajibkan atas ‘āqilah, karena jika diyat itu diwajibkan atas selain mereka, maka tidak akan berpindah kepada mereka kecuali dengan akad atau komitmen, sedangkan diyat itu menjadi tanggungan mereka tanpa adanya akad atau komitmen. Oleh karena itu, diyat menjadi utang di Baitul Mal dan tidak dituntut dari pelaku (jānī), meskipun ia mampu membayarnya, karena kewajibannya telah dibebankan kepada selain dirinya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه قَالَ وَلَا أُحَمِّلُ الْمَوَالِيَ مِنْ أَسْفَلَ عَقْلًا حَتَّى لَا أَجِدَ نَسَبًا وَلَا مَوَالِيَ مِنْ أَعْلَى ثُمَّ يَحْمِلُونَهُ لَا أَنَّهُمْ وَرَثَتُهُ وَلَكِنْ يَعْقِلُونَ عَنْهُ كَمَا يَعْقِلُ عَنْهُمْ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Aku tidak membebankan diyat kepada para mawālī dari pihak bawah kecuali jika aku tidak menemukan nasab maupun mawālī dari pihak atas, kemudian mereka menanggungnya, bukan karena mereka adalah ahli warisnya, tetapi mereka menanggung diyat darinya sebagaimana ia juga menanggung diyat dari mereka.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ الْمَوَالِيَ ضَرْبَانِ
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa mawali itu terbagi menjadi dua golongan.
مَوْلًى مِنْ أَعْلَى وَهُوَ السَّيِّدُ الْمُعْتِقُ وَمَوْلًى مِنْ أَسْفَلَ وَهُوَ الْعَبْدُ الْمُعْتَقُ
Mawlā dari atas adalah tuan yang memerdekakan, dan mawlā dari bawah adalah hamba yang dimerdekakan.
فَأَمَّا الْمَوْلَى الْأَعْلَى فَيَعْقِلُ عَنِ الْمَوْلَى الْأَسْفَلِ وَيَرِثُهُ وَحُكْمُ عَقْلِهِ مَا قَدَّمْنَاهُ
Adapun maulā a‘lā, maka ia membayar diyat atas maulā asfal dan mewarisinya, dan hukum pembayaran diyat olehnya sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.
وَأَمَّا الْمَوْلَى الْأَسْفَلُ فَلَا يَرِثُ الْمَوْلَى الْأَعْلَى وَفِي عَقْلِهِ عَنْهُ قَوْلَانِ
Adapun maulā asfal, maka ia tidak mewarisi dari maulā a‘lā, dan dalam hal diyat darinya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا يَعْقِلُ عَنْهُ كَمَا لَا يَرِثُهُ
Salah satunya tidak dapat mewarisi darinya sebagaimana ia juga tidak dapat mewarisinya.
وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ؛ لِأَنَّ الْعَصَبَاتِ وَرِثُوا فَعَقَلُوا وَهَذَا لَا يرث فلم يعقل لأن غرم العقل مقابلاً لِغُنْمِ الْمِيرَاثِ
Demikian pula pendapat Abu Hanifah; karena para ‘ashabah mewarisi sehingga mereka menanggung diyat, sedangkan orang ini tidak mewarisi maka ia tidak menanggung diyat, sebab kewajiban menanggung diyat sebanding dengan keuntungan dari warisan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الْمَوْلَى الْأَسْفَلَ يَعْقِلُ كَمَا يَعْقِلُ الْمَوْلَى الْأَعْلَى لِأَمْرَيْنِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa maula asfal (maula yang lebih rendah) menanggung diyat sebagaimana maula a‘la (maula yang lebih tinggi) menanggung diyat, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا عَقَلَ الْأَعْلَى عَنِ الْأَسْفَلِ وَجَبَ أَنْ يَعْقِلَ الْأَسْفَلُ عَنِ الْأَعْلَى
Salah satunya adalah bahwa ketika yang lebih tinggi dipahami dari yang lebih rendah, maka wajib pula yang lebih rendah dipahami dari yang lebih tinggi.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا عَقَلَ الْأَعْلَى مَعَ إِنْعَامِهِ كَانَ عَقْلُ الْأَسْفَلِ مَعَ الْإِنْعَامِ عَلَيْهِ أَوْلَى فَعَلَى هَذَا يُقَدَّمُ الْمَوْلَى الْأَعْلَى فِي الْعَقْلِ بِمِيرَاثِهِ فَإِنْ عَجَزَ شَرَكَهُ الْمَوْلَى الْأَسْفَلُ وَيَكُونُ الْأَسْفَلُ مَعَ الْأَعْلَى جَارِيًا مَجْرَى الْأَعْلَى مَعَ الْعَصَبَاتِ وَاللَّهُ أعلم
Kedua, bahwa ketika telah dipahami bahwa maula a‘lā (tuan yang lebih tinggi) dengan pemberian nikmatnya, maka memahami maula asfal (tuan yang lebih rendah) dengan nikmat yang diberikan kepadanya lebih utama. Oleh karena itu, dalam hal ini, maula a‘lā didahulukan dalam warisan. Jika ia tidak mampu, maka maula asfal menyertainya. Dan posisi asfal bersama a‘lā seperti posisi a‘lā bersama para ‘ashabah. Allah Maha Mengetahui.
Bab Tempat Di Mana ‘Āqilah Berada
مسألة
Masalah
قال الشافعي رحمه الله تعالى إِذَا جَنَى رَجُلٌ جِنَايَةً بِمَكَّةَ وَعَاقِلَتُهُ بِالشَّامِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَبَرٌ مَضَى يَلْزَمُ بِهِ خِلَافَ الْقِيَاسِ فَالْقِيَاسُ أَنْ يَكْتُبَ حَاكِمُ مَكَّةَ إِلَى حَاكِمِ الشَّامِ يَأْخُذُ عَاقِلَتَهُ بِالْعَقْلِ وَقَدْ قِيلَ يُحَمِّلَهُ عَاقِلَةَ الرَّجُلِ بِبَلَدِهِ ثَمَّ أَقْرَبَ الْعَوَاقِلِ بِهِمْ وَلَا يُنْتَظَرُ بِالْعَقْلِ غَائِبٌ وَإِنَ احْتَمَلَ بَعْضُهُمُ الْعَقْلَ وَهُمْ حُضُورٌ فَقَدْ قِيلَ يَأْخُذُ الْوَالِي مِنْ بَعْضِهِمْ دُونَ بَعْضٍ لِأَنَّ الْعَقْلَ لَزِمَ الْكُلَّ قَالَ وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يَقْضِيَ عَلَيْهِمْ حَتَّى يَسْتَوُوا فِيهِ
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika seseorang melakukan tindak pidana di Makkah sementara ‘āqilah-nya berada di Syam, maka jika tidak ada ketetapan hukum yang telah berjalan yang mengharuskan sesuatu yang bertentangan dengan qiyās, maka menurut qiyās, hakim Makkah hendaknya menulis surat kepada hakim Syam agar mengambil ‘āqilah orang tersebut untuk membayar diyat. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hakim membebankan pembayaran diyat kepada ‘āqilah orang itu di negerinya, kemudian kepada ‘āqilah terdekat berikutnya, dan tidak perlu menunggu ‘āqilah yang sedang tidak hadir. Jika sebagian dari mereka yang hadir mampu membayar diyat, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa penguasa dapat mengambil dari sebagian mereka saja, tidak dari semuanya, karena kewajiban diyat itu berlaku atas seluruh ‘āqilah. Beliau berkata: Namun yang lebih aku sukai adalah hakim memutuskan agar mereka semua membayar hingga mereka setara dalam hal itu.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو عَاقِلَةُ الْجَانِي خَطَأً مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ
Al-Mawardi berkata, “Ketahuilah bahwa ‘āqilah pelaku kesalahan (jāni khatā’) tidak lepas dari tiga keadaan.”
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونُوا حَضَرُوا مَعَ الْجَانِي فِي بَلَدِهِ
Salah satunya adalah bahwa mereka hadir bersama pelaku di negerinya.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونُوا غَائِبِينَ عَنِ الْجَانِي فِي غَيْرِ بَلَدِهِ
Dan yang kedua adalah bahwa mereka (ahli waris) tidak berada di tempat kejadian pelaku, melainkan di luar negerinya.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ بَعْضُهُمْ حَاضِرًا فِي بَلَدِ الْجَانِي وَبَعْضُهُمْ غَائِبًا عَنْ بَلَدِهِ
Ketiga, sebagian dari mereka hadir di negeri pelaku, sementara sebagian lainnya tidak berada di negerinya.
فَأَمَّا الْحَالُ الْأُولَى أَنْ يَكُونُوا كُلُّهُمْ حَاضِرِينَ فِي بَلَدِ الْجَانِي فَهُمْ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun keadaan pertama adalah ketika mereka semua hadir di negeri pelaku, maka mereka terbagi menjadi dua golongan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَسَاوَوْا فِي الدَّرَجِ
Salah satunya adalah bahwa mereka setara dalam tingkatan.
وَالثَّانِي أَنْ يَتَفَاضَلُوا فِي الدَّرَجِ وَكَانَ بَعْضُهُمْ أَقْرَبَ مِنْ بَعْضٍ بُدِئَ بِالْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ نَسَبًا فَيُقَدَّمُ الْإِخْوَةُ وَبَنُوهُمْ عَلَى الْأَعْمَامِ وَبَنِيهِمْ فَإِنْ تَحَمَّلَهَا الْأَقْرَبُونَ خَرَجَ مِنْهَا الْأَبْعَدُونَ وَإِنْ عَجَزُوا عَنْهَا شَرَكَهُمْ مَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْأَبَاعِدِ دَرَجَةً بَعْدَ دَرَجَةٍ حَتَّى يُسْتَوْفَى فَإِنْ عَجَزَ عَنْهَا بُعَدَاؤُهُمْ شَرَكَهُمْ مَوَالِيهِمْ ثُمَّ عَصَبَاتُ مَوَالِيهِمْ ثُمَّ بَيْتُ الْمَالِ فَإِنِ اسْتَوَوْا فِي الدَّرَجِ ولم يتفاضلوا لم يخلوا قَسْمُ الدِّيَةِ فِيهِمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Kedua, jika mereka berbeda dalam tingkatan dan sebagian dari mereka lebih dekat daripada yang lain, maka dimulai dari yang paling dekat, kemudian yang lebih dekat dalam hubungan nasab. Maka saudara-saudara dan anak-anak mereka didahulukan atas paman-paman dan anak-anak mereka. Jika yang lebih dekat telah menanggungnya, maka yang lebih jauh tidak lagi ikut serta. Namun jika mereka tidak mampu menanggungnya, maka yang lebih jauh dalam tingkatan ikut serta bersama mereka, satu tingkatan demi satu tingkatan hingga terpenuhi. Jika yang lebih jauh pun tidak mampu menanggungnya, maka mawālī mereka ikut serta, kemudian ‘ashābah dari mawālī mereka, lalu Baitul Māl. Jika mereka setara dalam tingkatan dan tidak ada perbedaan, maka pembagian diyat di antara mereka tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ مُوَافِقَةً لِعَدَدِهِمْ لَا تَزِيدُ عَلَيْهِمْ وَلَا تَنْقُصُ عَنْهُمْ فَتُفَضُّ عَلَى جَمِيعِهِمْ وَلَا يُخَصُّ بِهَا بَعْضُهُمْ دُونَ بَعْضٍ بِحَسَبِ أَحْوَالِهِمْ مِنْ إِكْثَارٍ وَإِقْلَالٍ
Salah satunya adalah bahwa jumlahnya harus sesuai dengan jumlah mereka, tidak lebih dan tidak kurang dari mereka, sehingga dibagikan kepada semuanya dan tidak dikhususkan untuk sebagian dari mereka saja, tanpa membedakan keadaan mereka, baik yang banyak maupun yang sedikit.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَزِيدَ عَلَى عَدَدِهِمْ كَأَنَّهُمْ يَتَحَمَّلُونَ نِصْفَهَا وَيَعْجَزُونَ عَنْ باقيها فتفض عَلَى مَا احْتَمَلُوا مِنْهَا وَيُنْقَلُ مَا عَجَزُوا عَنْهُ إِلَى الْمَوَالِي فَإِنْ لَمْ يَكُونُوا فَإِلَى بَيْتِ الْمَالِ
Bagian kedua adalah jika jumlah mereka melebihi bagian yang ada, misalnya mereka menanggung setengahnya dan tidak mampu menanggung sisanya, maka diberikan kepada mereka sesuai dengan yang mereka tanggung, dan sisanya yang tidak mampu mereka tanggung dipindahkan kepada para mawālī, jika tidak ada mawālī maka dipindahkan ke Baitul Māl.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَنْقُصَ الدِّيَةُ عَنْ عَدَدِهِمْ وَيُمْكِنَ أَنْ تَنْقُصَ عَلَى بَعْضِهِمْ لِأَنَّهَا تَتَقَسَّطُ عَلَى مِائَةِ رَجُلٍ وَهُمْ مِائَتَانِ ففيه قولان
Bagian ketiga adalah apabila diyat kurang dari jumlah mereka, dan bisa jadi diyat itu berkurang atas sebagian dari mereka karena diyat tersebut dibagi kepada seratus orang laki-laki, sedangkan mereka berjumlah dua ratus orang. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أحدهما أنها تقضى عَلَى جَمِيعِهِمْ وَلَوْ تَحَمَّلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ قِيرَاطًا وَلَا يُخَصُّ بِهَا بَعْضُهُمْ لِاسْتِوَاءِ جَمِيعِهِمْ فيها
Pertama, bahwa kewajiban itu dibebankan kepada mereka semua, meskipun masing-masing dari mereka hanya menanggung satu qirath, dan tidak dikhususkan kepada sebagian dari mereka saja, karena mereka semua memiliki kedudukan yang sama dalam hal ini.
والقول الثاني أنها تقضى عَلَى بَعْضِهِمْ دُونَ جَمِيعِهِمْ وَيُخَصُّ بِهَا مِنْهُمُ الْعَدَدُ الَّذِي يُرَافِقُ تَحَمُّلَهَا وَيَكُونُ مَنِ اسْتَغْنَى عَنْهُ خَارِجًا مِنْهَا وَيَكُونُ الْحَاكِمُ مُخَيَّرًا فِي فَضِّهَا عَلَى مَنْ شَاءَ مِنْهُمْ لِأَنَّهَا تُؤْخَذُ بِوَاجِبٍ وَتُتْرَكُ بِعَفْوٍ وَالْأَوْلَى أَنْ يَفُضَّهَا عَلَى مَنْ كَانَ أَسْرَعَ إِجَابَةً إِلَيْهَا وَإِنَّمَا خَصَّ بِهَا بَعْضَهُمْ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا تَقَدَّرَ مَا يَتَحَمَّلُهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ لَمْ يَجُزِ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ لم يَجُزِ النُّقْصَانُ مِنْهُ وَنَقَلَ الْمُزَنِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ تَعْلِيلَ هَذَا الْقَوْلِ فِي أَخْذِهَا مِنْ بَعْضِهِمْ دُونَ بَعْضٍ لِأَنَّ الْعَقْلَ لَزِمَ الْكُلَّ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا نَقَلَهُ مِنْ هَذَا التَّعْلِيلِ هَلْ وَهِمَ فِيهِ أَوْ سَلِمَ عَلَى وَجْهَيْنِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa kewajiban itu dibebankan kepada sebagian dari mereka, bukan seluruhnya, dan yang dikhususkan dengan kewajiban itu adalah sejumlah orang yang terlibat dalam memikulnya, sedangkan siapa yang tidak diperlukan lagi dikeluarkan darinya. Hakim diberi kebebasan untuk membebankan kewajiban itu kepada siapa saja di antara mereka yang ia kehendaki, karena kewajiban itu diambil berdasarkan keharusan dan dapat ditinggalkan dengan pemaafan. Yang lebih utama adalah membebankan kewajiban itu kepada siapa yang paling cepat memenuhi panggilan terhadapnya. Adapun mengkhususkan sebagian dari mereka dengan kewajiban itu, karena ketika telah ditentukan kadar yang harus dipikul oleh masing-masing dari mereka, maka tidak boleh ada penambahan atasnya dan tidak boleh pula ada pengurangan darinya. Al-Muzani meriwayatkan dari Asy-Syafi‘i alasan pendapat ini dalam mengambil kewajiban dari sebagian mereka saja, yaitu karena akal (pertimbangan) mewajibkan kepada semuanya. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai riwayat alasan ini, apakah Al-Muzani keliru dalam menukilkannya ataukah riwayat itu sahih, dengan dua kemungkinan.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ وَهِمَ فِيهِ وَهُوَ تَعْلِيلُ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ
Salah satunya adalah bahwa ia keliru dalam hal ini, yaitu dalam penjelasan alasan pendapat pertama, dan ini adalah pendapat Abu Hamid al-Marwazi.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ سَلِمَ فِيهِ وَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا هَلْ حَصَلَ فِي النَّقْلِ عَنْهُ سَهْوٌ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ
Adapun pendapat kedua adalah bahwa hal itu telah selamat di dalamnya, dan orang-orang yang berpendapat demikian pun berbeda pendapat, apakah dalam periwayatan darinya terjadi kekeliruan atau tidak, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مَا حَصَلَ فِيهِ سَهْوٌ وَهُوَ تَعْلِيلٌ صَحِيحٌ لِهَذَا الْقَوْلِ أَنَّهُ يُؤْخَذُ مِنْ بَعْضِهِمْ دُونَ بَعْضٍ لِأَنَّ العقل لزم الكل فإن أُخِذَ مِنْ بَعْضِهِمْ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ جُمْلَةِ مَنْ لَزِمَهُ مِنَ الْعَقْلِ فَجَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَيْهِ لِدُخُولِهِ فِي اللُّزُومِ
Salah satunya adalah bahwa tidak terjadi kekeliruan di dalamnya, dan ini merupakan alasan yang benar bagi pendapat ini, yaitu bahwa dapat diambil dari sebagian mereka saja, tidak dari semuanya, karena akal mewajibkan kepada seluruhnya. Jika diambil dari sebagian mereka, maka tidak keluar dari kelompok yang diwajibkan oleh akal, sehingga boleh membatasi pada mereka saja karena mereka termasuk dalam kewajiban tersebut.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي قَدْ حَصَلَ فِي النَّقْلِ عَنْهُ سَهْوٌ وَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا فِي الْمَحْذُوفِ بِالسَّهْوِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Pendapat kedua, telah terjadi kekeliruan dalam periwayatan darinya, dan orang-orang yang berpendapat demikian berbeda pendapat mengenai bagian yang terhapus karena kekeliruan itu menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ لَا يَأْخُذُهَا مِنْ بَعْضِهِمْ دُونَ بَعْضٍ لِأَنَّ الْعَقْلَ لَزِمَ الْكُلَّ وَيَكُونُ ذَلِكَ إِشَارَةً إِلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ فَسَهَا النَّاقِلُ عَنْهُ فَحَذَفَ لَا فَصَارَ الْقَوْلَ الثَّانِيَ
Salah satunya adalah bahwa apa yang dinukil oleh al-Muzani tidak diambilnya dari sebagian mereka tanpa sebagian yang lain, karena akal mewajibkan keseluruhan, dan hal itu menjadi isyarat kepada pendapat pertama, lalu orang yang menukil darinya lupa sehingga menghilangkan kata “tidak”, maka jadilah itu pendapat kedua.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ يَأْخُذُهَا مِنْ بَعْضِهِمْ دُونَ بَعْضٍ لِأَنَّ الْعَقْلَ لَزِمَ الْكُلَّ وَهُوَ تَعْلِيلٌ لِلْقَوْلِ الثَّانِي إِنْ لَمْ يَلْزَمِ الْكُلَّ إِذَا أَخَذَهَا مِنَ الْبَعْضِ فَسَهَا النَّاقِلُ عَنْهُ فِي حَذْفِ الْأَلِفِ الَّتِي أَسْقَطَهَا مِنْ لَا أَنْ حِينَ نَقلَ لِأَنَّ
Adapun pendapat kedua, bahwa apa yang dinukil oleh al-Muzani, ia mengambilnya dari sebagian mereka dan bukan dari sebagian yang lain, karena akal mewajibkan keseluruhan, dan ini adalah alasan bagi pendapat kedua. Jika tidak diwajibkan keseluruhan ketika ia mengambilnya dari sebagian, maka orang yang menukil darinya telah keliru dalam menghilangkan huruf alif yang ia gugurkan dari “lā an” ketika menukil, karena…
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ جَمِيعُ عَاقِلَتِهِ غُيَّبًا عَنْ بَلَدِهِ كَأَنَّهُ جَنَى بِمَكَّةَ وَعَاقِلَتُهُ الشَّامُ فَعَلَى حَاكِمِ مَكَّةَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى حَاكِمٍ بِالشَّامِ حَتَّى يَفُضَّهَا عَلَى عَاقِلَتِهِ بِالشَّامِ وَلِحَاكِمِ مَكَّةَ فِيمَا يُكَاتِبُ حَاكِمَ الشَّامِ حَالَتَانِ
Adapun keadaan kedua, yaitu ketika seluruh ‘āqilah-nya berada jauh dari negerinya, misalnya seseorang melakukan tindak pidana di Makkah sementara ‘āqilah-nya berada di Syam, maka hakim Makkah harus menulis surat kepada hakim di Syam agar ia membebankan diyat tersebut kepada ‘āqilah-nya di Syam. Dan bagi hakim Makkah dalam surat-menyuratnya dengan hakim Syam terdapat dua keadaan.
إِحْدَاهُمَا وَهُوَ أَقَلُّ مَا يُجْزِئُ أَنْ يَكْتُبَ بِهِ أَنْ يَقُولَ ثَبَتَ عِنْدِي أَنَّ فُلَانًا قَتَلَ فُلَانًا خَطَأً مَضْمُونًا فَيَذْكُرُ الْقَاتِلَ بِاسْمِهِ وَنَسَبِهِ وَقَبِيلَتِهِ وَيَذْكُرُ الْمَقْتُولَ بِاسْمِهِ وَنَسَبِهِ وَإِسْلَامِهِ وَحُرِّيَّتِهِ لِاخْتِلَافِ الدِّيَةِ بِالْإِسْلَامِ وَالْحُرِّيَّةِ وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَذْكُرَ قَبِيلَةَ الْمَقْتُولِ وَإِنْ لَزِمَهُ أَنْ يَذْكُرَ قَبِيلَةَ الْقَاتِلِ لِتَوْجِيهِ الْحُكْمِ عَلَى قَبِيلَةِ الْقَاتِلِ دُونَ الْمَقْتُولِ فَيَكُونُ حَاكِمُ مَكَّةَ نَاقِلًا لِثُبُوتِ الْقَتْلِ الْمَضْمُونِ مِنَ الْقَاتِلِ لِلْمَقْتُولِ وَيَخْتَصُّ حَاكِمُ الشَّامِ بِالْحُكْمِ فَيَحْكُمُ بِوُجُوبِ الدِّيَةِ عَلَى الْعَاقِلَةِ وَيَحْكُمُ بِفَضِّهَا عَلَيْهِمْ بِحَسَبِ أَحْوَالِهِمْ وَيَحْكُمُ بِاسْتِيفَائِهَا مِنْهُمْ عِنْدَ حُلُولِهَا عَلَيْهِمْ
Salah satu di antaranya, dan ini adalah yang paling minimal yang dianggap cukup, yaitu bahwa ia menuliskan: “Telah tetap di sisiku bahwa si Fulan telah membunuh si Fulan secara tidak sengaja dan dijamin.” Lalu ia menyebutkan nama pembunuh beserta nasab dan kabilahnya, serta menyebutkan nama korban beserta nasab, keislaman, dan status kemerdekaannya, karena perbedaan diyat bergantung pada keislaman dan kemerdekaan. Ia tidak wajib menyebutkan kabilah korban, namun wajib menyebutkan kabilah pembunuh untuk mengarahkan hukum kepada kabilah pembunuh, bukan kepada korban. Maka hakim Makkah bertindak sebagai pihak yang menyampaikan penetapan pembunuhan yang dijamin dari pembunuh kepada korban, dan hakim Syam yang memiliki kekhususan dalam menetapkan hukum, lalu ia memutuskan kewajiban diyat atas ‘āqilah, memutuskan pembagiannya kepada mereka sesuai dengan keadaan mereka, dan memutuskan penagihannya dari mereka ketika diyat itu telah jatuh tempo atas mereka.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكْتُبَ حَاكِمُ مَكَّةَ بِثُبُوتِ قَتْلِ الْخَطَأِ وَيَحْكُمُ بِالدِّيَةِ فِيهِ عَلَى عَاقِلَةِ الْقَاتِلِ وَهُمْ بَنُو فُلَانٍ إِشَارَةً إِلَى قَتِيلِهِمْ
Keadaan kedua adalah apabila hakim Makkah menulis tentang terbuktinya pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’) dan memutuskan adanya kewajiban diyat atas ‘aqilah pelaku pembunuhan, yaitu keluarga si pelaku, sebagai isyarat kepada korban mereka.
فإن قيل فكيف نقضي عَلَيْهِمْ وَهُمْ غَيْرُ حُضُورٍ وَلَا مُعَيَّنِينَ
Jika dikatakan, “Bagaimana kita dapat memutuskan perkara atas mereka sementara mereka tidak hadir dan tidak ditentukan secara spesifik?”
قِيلَ لِأَنَّ حُكْمَهُ عَلَى عُمُومِ الْقَبِيلَةِ لَا عَلَى أَعْيَانِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِهَا لِتَوَجُّهِ الْحُكْمِ إِلَى عُمُومِهِمْ دُونَ أَعْيَانِهِمْ فَيَحْتَاجُ حَاكِمُ الشَّامِ أَنْ يَحْكُمَ بِفَضِّهَا عَلَيْهِمْ بِحَسَبِ أَحْوَالِهِمْ وَيَحْكُمُ بِاسْتِيفَائِهَا مِنْهُمْ وَقَدْ تَقَدَّمَ مِنْ حَاكِمِ مَكَّةَ الْحُكْمُ بِوُجُوبِهَا عَلَيْهِمْ وَلَا يَسَعُ حَاكِمُ مَكَّةَ أَنْ يَزِيدَ عَلَى هَذَا فِي فَضِّهَا وَاسْتِيفَائِهَا؛ لأن أعيان من تقضى عَلَيْهِ وَتُسْتَوْفَى مِنْهُ لَا يُعْرَفُ إِلَّا عِنْدَ الْحُلُولِ وَالِاسْتِيفَاءِ لِتَغَيُّرِ الْأَحْوَالِ فِي الْإِيسَارِ وَالْإِعْسَارِ وَلَكِنْ يَسَعُهُ أَنْ يَقُولَ وَحَكَمْتُ عَلَى كُلِّ مُوسِرٍ مِنْهُمْ بِنِصْفِ دِينَارٍ وَعَلَى كُلِّ مُقِلٍّ بِرُبُعِ دِينَارٍ فَيَقْطَعُ اجْتِهَادَ حَاكِمِ الشَّامِ فِي التَّقْدِيرِ وَلَوْ لَمْ يَحْكُمْ بِهَذَا كَانَ التَّقْدِيرُ مَوْقُوفًا عَلَى حَاكِمِ الشَّامِ لِيَحْكُمَ فِيهِ بِرَأْيِهِ
Dikatakan bahwa hukumnya berlaku atas seluruh kabilah, bukan atas individu setiap anggotanya, karena ketetapan hukum itu ditujukan kepada keseluruhan mereka, bukan kepada masing-masing orangnya. Maka hakim di Syam perlu memutuskan pembagiannya kepada mereka sesuai dengan keadaan mereka, dan memutuskan penarikan (kewajiban) itu dari mereka. Sementara sebelumnya hakim di Makkah telah memutuskan kewajiban itu atas mereka, dan tidak boleh bagi hakim di Makkah untuk menambah lagi dalam hal pembagian dan penarikan (kewajiban) itu; karena siapa saja secara individu yang akan diputuskan atasnya dan ditarik darinya tidak diketahui kecuali pada saat jatuh tempo dan penarikan, sebab keadaan mampu dan tidak mampu bisa berubah. Namun, hakim di Makkah boleh mengatakan, “Aku memutuskan atas setiap orang yang mampu dari mereka setengah dinar, dan atas setiap orang yang kurang mampu seperempat dinar,” sehingga ia memutuskan ijtihad hakim Syam dalam hal penetapan jumlah. Jika tidak memutuskan demikian, maka penetapan jumlah itu diserahkan kepada hakim Syam untuk memutuskan berdasarkan pendapatnya.
فَصْلٌ
Bagian
وَأَمَّا الْحَالُ الثَّالِثَةُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ بَعْضُ عَاقِلَتِهِ حُضُورًا بِمَكَّةَ وَبَعْضُهُمْ غُيَّبًا بِالشَّامِ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Adapun keadaan ketiga, yaitu apabila sebagian ‘āqilah-nya hadir di Makkah dan sebagian lainnya tidak hadir di Syam, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ الْأَقْرَبُونَ نَسَبًا حُضُورًا بِمَكَّةَ وَالْأَبْعَدُونَ نَسَبًا غُيَّبًا بِالشَّامِ فَيَفُضُّهَا حَاكِمُ مَكَّةَ عَلَى الْأَقْرَبِينَ بِمَكَّةَ فَإِنِ احْتَمَلُوهَا خَرَجَ مِنْهَا الْأَبْعَدُونَ بِالشَّامِ لِاخْتِصَاصِ مَنْ حَضَرَ بِقُرْبِ الدَّارِ وَقُرْبِ النَّسَبِ فَإِنْ عَجَزُوا عَنْهَا كَتَبَ حَاكِمُ مَكَّةَ بِالْبَاقِي مِنْهَا إِلَى حَاكِمِ الشَّامِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ مِنَ الْأَبَاعِدِ
Salah satunya adalah apabila para kerabat terdekat secara nasab hadir di Makkah, sedangkan kerabat yang lebih jauh secara nasab berada di Syam. Maka hakim Makkah membagikan harta tersebut kepada kerabat terdekat yang ada di Makkah. Jika mereka mampu menanggungnya, maka kerabat yang lebih jauh di Syam tidak mendapat bagian, karena yang hadir memiliki keistimewaan karena kedekatan tempat tinggal dan kedekatan nasab. Namun jika mereka tidak mampu, maka hakim Makkah menulis surat tentang sisa harta tersebut kepada hakim Syam agar dapat diambil dari kerabat yang lebih jauh di sana.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْأَبْعَدُونَ نَسَبًا حُضُورًا بِمَكَّةَ وَالْأَقْرَبُونَ نَسَبًا غَيْبًا بِالشَّامِ فَفِيهَا قَوْلَانِ
Bagian kedua adalah apabila kerabat yang lebih jauh secara nasab hadir di Makkah, sedangkan kerabat yang lebih dekat secara nasab tidak hadir dan berada di Syam, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أحدهما أنها تقضي عَلَى الْأَقْرَبِينَ نَسَبًا بِالشَّامِ لِاخْتِصَاصِهَا بِالنَّسَبِ الَّذِي يستحق بِهِ الْمِيرَاثُ وَالْمِيرَاثُ مُسْتَحَقٌّ بِقُرْبِ النَّسَبِ لَا بِقُرْبِ الدَّارِ كَذَلِكَ تَحَمُّلُ الْعَقْلِ فَعَلَى هَذَا يَكْتُبُ بِهَا حَاكِمُ مَكَّةَ إِلَى حَاكِمِ الشَّامِ فَإِنْ وَفَّوْا بِهَا وَإِلَّا فَضَّ حَاكِمُ مَكَّةَ بَاقِيَهَا عَلَى مَنْ بَعُدَ نَسَبُهُ مِنَ الْحُضُورِ
Pertama, bahwa ia menetapkan atas kerabat terdekat di Syam karena kekhususannya dengan nasab yang dengannya seseorang berhak mendapatkan warisan, dan warisan itu diperoleh karena kedekatan nasab, bukan karena kedekatan tempat tinggal. Demikian pula dalam hal tanggungan ‘aql. Berdasarkan hal ini, hakim Makkah menulis kepada hakim Syam; jika mereka telah memenuhi kewajiban tersebut, maka selesai, namun jika tidak, maka hakim Makkah membebankan sisanya kepada kerabat yang lebih jauh nasabnya dari para hadirin.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهَا تُفَضُّ عَلَى الْحَاضِرِينَ بِمَكَّةَ وَإِنْ كَانُوا أَبْعَدَ نَسَبًا؛ لِأَنَّ مَحَلَّ الْعَقْلِ مُعْتَبَرٌ بِالنُّصْرَةِ وَالذَّبِّ عَنِ الْقَاتِلِ وَمَنْ قَرُبَتْ دَارُهُ أَخَصُّ بِالنُّصْرَةِ مَعَ بُعْدِ نَسَبِهِ مِمَّنْ بَعُدَتْ دَارُهُ مَعَ قُرْبِ نَسَبِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَخَصَّ بِتَحَمُّلِ الْعَقْلِ فَيَفُضُّهَا حَاكِمُ مَكَّةَ عَلَيْهِمْ فَإِنْ وَفَّوْا بِهَا خَرَجَ مِنْهَا مَنْ بِالشَّامِ مِنَ الْأَقَارِبِ فَإِنْ عَجَزُوا عَنْهَا فَضَّ بَاقِيَهَا عَلَى مَنْ بِالشَّامِ مِنْهُمْ وَكُتِبَ بِهِ بحَاكِم مَكَّةَ إِلَى حَاكِمِ الشَّامِ لِيَسْتَوْفِيَهُ وَلَوْ كَانَ بَعْضُ الْغَائِبِينَ أَقْرَبَ دَارًا مِنْ بَعْضٍ مَضَى بَاقِيهَا عَلَى أَقْرَبِهِمْ دَارًا مِثْلَ أَنْ يَكُونَ بَعْضُهُمْ بِالْمَدِينَةِ وَبَعْضُهُمْ بِالشَّامِ فَيَخْتَصُّ بِتَحَمُّلِ بَاقِيهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ إِلَى مَكَّةَ مِنَ الشَّامِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa diyat dibebankan kepada kerabat yang hadir di Makkah, meskipun hubungan nasab mereka lebih jauh; karena tempat tinggal dianggap penting dalam hal memberikan pertolongan dan membela pelaku pembunuhan, dan orang yang rumahnya lebih dekat lebih layak untuk memberikan pertolongan meskipun hubungan nasabnya lebih jauh, dibandingkan dengan orang yang rumahnya lebih jauh meskipun hubungan nasabnya lebih dekat. Maka wajib bagi mereka yang lebih dekat untuk menanggung diyat. Hakim Makkah membagikan diyat tersebut kepada mereka; jika mereka mampu memenuhinya, maka kerabat yang berada di Syam terbebas darinya. Namun jika mereka tidak mampu, maka sisanya dibebankan kepada kerabat yang berada di Syam, dan hakim Makkah mengirim surat kepada hakim Syam untuk menagihnya. Jika ada sebagian kerabat yang tidak hadir ternyata rumahnya lebih dekat daripada sebagian yang lain, maka sisanya dibebankan kepada yang rumahnya lebih dekat, seperti jika sebagian mereka berada di Madinah dan sebagian di Syam, maka yang menanggung sisanya adalah penduduk Madinah, karena Madinah lebih dekat ke Makkah daripada Syam.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَتَسَاوَى أَنْسَابُ مَنْ حَضَرَ بِمَكَّةَ وَمَنْ غَابَ بِالشَّامِ فَيَكُونُوا كُلُّهُمْ أَقَارِبَ أَوْ أَبَاعِدَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bagian ketiga adalah apabila nasab orang yang hadir di Makkah dan yang tidak hadir di Syam sama, sehingga mereka semua adalah kerabat atau semua adalah orang jauh, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ تَسْتَوْعِبَ الدِّيَةُ جَمِيعَهُمْ فَتُفَضُّ عَلَى مَنْ حَضَرَ وَغَابَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ جَمِيعَهَا
Salah satu di antaranya adalah bahwa diyat harus mencakup seluruh mereka, sehingga dibebankan kepada semua yang hadir maupun yang tidak hadir, sampai seluruh diyat itu terpenuhi.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يُكْتَفَى بِأَحَدِ الْفَرِيقَيْنِ مِنَ الْحُضُورِ أَوِ الْغُيَّبِ فَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ
Jenis kedua adalah cukup dengan kehadiran salah satu dari dua pihak, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, dan dalam hal ini terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا أَنَّهَا تُفَضُّ عَلَى الْحَاضِرِينَ وَالْغَائِبِينَ جَمِيعًا اعْتِبَارًا بِالتَّسَاوِي فِي النَّسَبِ
Salah satunya adalah bahwa warisan dibagikan kepada semua ahli waris yang hadir maupun yang tidak hadir, dengan pertimbangan kesetaraan dalam nasab.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهَا تُفَضُّ عَلَى الحاضرين دون الغائبين إذا قيل إن بعد الدار أولى في الإسقاط
Pendapat kedua menyatakan bahwa hak memilih (khiyār) diberikan kepada yang hadir dan tidak kepada yang tidak hadir, jika dikatakan bahwa yang tempat tinggalnya lebih jauh lebih utama untuk gugur haknya.
والقول الثالث أن الحاكم بالخيار في أَنْ يَفُضَّهَا عَلَى الْحَاضِرِينَ دُونَ الْغَائِبِينَ أَوْ أن يفضها على الغائبين دون الحاضرين أَوْ أَنْ يَفُضَّهَا عَلَى بَعْضِ الْحَاضِرِينَ وَبَعْضِ الْغَائِبِينَ إِذَا قِيلَ إِنَّ بُعْدَ الدَّارِ لَا يُؤَثِّرُ وَإِنَّ الْعَدَدَ إِذَا زَادَ فُضَّ عَلَى الْبَعْضِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Pendapat ketiga menyatakan bahwa hakim memiliki pilihan untuk membagikan (harta) kepada orang-orang yang hadir tanpa yang tidak hadir, atau membagikannya kepada yang tidak hadir tanpa yang hadir, atau membagikannya kepada sebagian yang hadir dan sebagian yang tidak hadir, jika dikatakan bahwa jauhnya tempat tinggal tidak berpengaruh dan jika jumlahnya bertambah maka dibagikan kepada sebagian saja. Dan Allah lebih mengetahui.
Bab Diat (denda darah) Para Sekutu
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَا يَعْقِلُ الْحَلِيفُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَضَى بِذَلِكَ خَبَرٌ وَلَا الْعَدِيدُ وَلَا يَعْقِلُ عَنْهُ وَلَا يَرِثُ وَلَا يُوَرَّثُ إِنَّمَا يَعْقِلُ بِالنَّسَبِ أَوِ الْوَلَاءِ الَّذِي كَالنَّسَبِ وَمِيرَاثُ الْحَلِيفِ وَالْعَقْلُ عَنْهُ مَنْسُوخٌ وَإِنَمَا يَثْبُتُ مِنَ الْحلفِ أَنْ تَكُونَ الدَّعْوَةُ وَالْيَدُ وَاحِدَةً لَا غَيْرَ ذَلِكَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Seorang ḥalīf tidak berhak menerima ‘aql kecuali jika ada riwayat yang menetapkan hal itu, demikian pula al-‘adīd; ia tidak berhak menerima ‘aql darinya, tidak mewarisi dan tidak diwarisi. Sesungguhnya yang berhak menerima ‘aql hanyalah karena nasab atau walā’ yang kedudukannya seperti nasab. Adapun warisan untuk ḥalīf dan ‘aql darinya telah di-naskh. Yang tetap dari hubungan ḥilf hanyalah jika klaim dan kepemilikan itu satu, tidak lebih dari itu.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ كَانَ التَّوَارُثُ وَالْعَقْلُ مُعْتَبَرًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ بِخَمْسَةِ أَشْيَاءَ
Al-Mawardi berkata, “Pada masa Jahiliyah, waris-mewaris dan diyat dipertimbangkan berdasarkan lima hal.”
بِالنَّسَبِ وَالْوَلَاءِ وَالْحِلْفِ وَالْعَدِيدِ وَالْمُوَالَاةِ
Dengan nasab, wala’, hilf, jumlah pendukung, dan muwalat.
فَأَمَّا النَّسَبُ وَالْوَلَاءُ فَقَدِ اسْتَقَرَّ الْإِسْلَامُ عَلَى اسْتِحْقَاقِ الْمِيرَاثِ وَتَحَمُّلِ الْعَقْلِ بِهِمَا
Adapun nasab dan wala’, maka Islam telah menetapkan bahwa keduanya berhak mendapatkan warisan dan menanggung diyat.
وَأَمَّا الْحِلْفُ فَهُوَ أَنْ تَتَحَالَفَ الْقَبِيلَتَانِ عِنْدَ اسْتِطَالَةِ أَعْدَائِهَا عَلَى التَّنَاصُرِ وَالتَّظَافُرِ لِتَمْتَزِجَ أَنْسَابُهُمْ وَيَكُونُوا يَدًا عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ فَيَتَوَارَثُونَ وَيَتَعَاقَلُونَ أَوْ يَتَحَالَفُ الرَّجُلَانِ عَلَى ذَلِكَ فَيَصِيرَا كَالْمُتَنَاسِبَيْنِ فِي التَّنَاصُرِ وَالتَّوَارُثِ وَالْعَقْلِ وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي حِلْفِ الْمُطَيَّبِينَ حِينَ اجْتَمَعَتْ عَلَيْهِ قَبَائِلُ قُرَيْشٍ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ قَبْلَ الْإِسْلَامِ عَلَى نُصْرَةِ الْمَظْلُومِ وَإِغَاثَةِ الْمَلْهُوفِ وَمَعُونَةِ الْحَجِيجِ وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَا مِنْ حِلْفِ الْمُطَيَّبِينَ وَمَا زَادَهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً وَمَا يَسُرُّنِي بِحَلِّهِ حُمرُ النَّعَمِ
Adapun hilf (persekutuan), yaitu dua kabilah saling bersekutu ketika musuh-musuh mereka semakin kuat, untuk saling menolong dan bekerja sama, sehingga nasab mereka bercampur dan mereka menjadi satu tangan terhadap selain mereka. Maka mereka saling mewarisi dan menanggung diyat satu sama lain. Atau dua orang laki-laki bersekutu atas hal tersebut, sehingga keduanya menjadi seperti orang yang memiliki hubungan nasab dalam hal saling menolong, mewarisi, dan menanggung diyat. Rasulullah ﷺ pernah ikut dalam Hilf al-Muthayyabīn ketika kabilah-kabilah Quraisy berkumpul di rumah Abdullah bin Jud‘an sebelum Islam, untuk menolong orang yang dizalimi, membantu orang yang membutuhkan, dan menolong para jamaah haji. Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku termasuk dalam Hilf al-Muthayyabīn, dan Islam tidak menambahnya kecuali semakin kuat, dan aku tidak ingin membatalkannya meskipun diberi unta merah.”
وَفِيهِ تَوَارَثَ الْمُسْلِمُونَ بِالْحِلْفِ فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ وَتَأَوَّلَهُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ فِي قَوْله تَعَالَى وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ النساء 33 ثُمَّ نُسِخَ التوارث بالحلف بقوله تعالى وأولوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ الأنفال 75
Dalam hal ini, kaum Muslimin pernah saling mewarisi melalui persekutuan (ḥilf) pada masa awal Islam, dan sebagian ulama menafsirkan hal ini pada firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang telah kamu buat perjanjian dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya” (an-Nisā’ 33). Kemudian, pewarisan melalui persekutuan (ḥilf) ini di-nasakh dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (untuk saling mewarisi)” (al-Anfāl 75).
فَأَمَّا تَحَمُّلُ الْعَقْلِ بِالْحِلْفِ فَالَّذِي عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَجُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْحُلَفَاءَ يتعاقلون إلا أن يكونوا متناسبين فيتعاقلون بالنسب دون الحلف
Adapun tanggungan diyat karena sumpah, menurut pendapat yang dianut oleh asy-Syafi‘i ra., Abu Hanifah, dan mayoritas fuqaha, para sekutu dalam sumpah saling menanggung diyat, kecuali jika mereka memiliki hubungan kekerabatan, maka tanggungan diyat dilakukan berdasarkan nasab, bukan karena sumpah.
وحكي عن مالك بن أنس ومحمد بن الحسن أن الحلفاء يتعاقلون بِالْحِلْفِ وَإِنْ لَمْ يَتَنَاسَبُوا اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ثَمَّ أَنْتُمْ يَا خُزَاعَةُ قَدْ قتلتم هَذَا الْقَتِيلَ مِنْ هُذَيْلٍ وَأَنَا وَاللَّهِ عَاقِلُهُ وَإِنَّمَا قَالَ ذَلِكَ لِأَنَّ خُزَاعَةَ وَبَنِي كَعْبٍ كَانُوا حُلَفَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَحُلَفَاءَ بَنِي هَاشِمٍ فَتَحَمَّلَ الْعَقْلَ عَنْهُمْ بِالْحِلْفِ مَعَ التَّبَاعُدِ فِي النَّسَبِ
Diriwayatkan dari Malik bin Anas dan Muhammad bin al-Hasan bahwa para sekutu (ḥulafā’) saling menanggung diyat karena adanya persekutuan, meskipun mereka tidak memiliki hubungan nasab, dengan berdalil pada riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Kalian, wahai Khuza‘ah, telah membunuh orang dari Hudzail ini, dan demi Allah, akulah yang menanggung diyatnya.” Beliau mengatakan demikian karena Khuza‘ah dan Bani Ka‘b adalah sekutu Rasulullah ﷺ dan sekutu Bani Hasyim, maka beliau menanggung diyat mereka karena adanya persekutuan, meskipun terdapat jarak dalam nasab.
وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِمْ قَوْله تعالى وأولوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ الأنفال 75 فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي اخْتِصَاصِهِمْ بِأَحْكَامِ النَّسَبِ
Dan dalil atas hal tersebut adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan para pemilik hubungan rahim itu sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian yang lain” (al-Anfal: 75), maka ayat ini berlaku secara umum dalam kekhususan mereka terkait hukum-hukum nasab.
وَرُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَرَادَ أَنْ يُحَالِفَ رَجُلًا فَنَهَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ أَيْ لَا حُكْمَ لَهُ لِأَنَّ الْحِلْفَ إِنْ كان على معصية كان باطلاًن وَإِنْ كَانَ عَلَى طَاعَةٍ فَدِينُ الْإِسْلَامِ يُوجِبُهَا فَلَمْ يَكُنْ لِلْحِلْفِ تَأْثِيرٌ وَلِأَنَّ عُقُودَ الْمَنَاكِحِ أَوْكَدُ مِنَ الْحِلْفِ ثُمَّ لَا تُوجِبُ تَحَمُّلَ الْعَقْلِ فَكَانَ الْحِلْفُ أَوْلَى أَنْ لَا يُوجِبَهُ وَأَمَّا تَحَمُّلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَقْلَ خُزَاعَةَ فَعَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam pernah ingin membuat perjanjian persaudaraan dengan seorang laki-laki, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dari hal itu dan bersabda, “Tidak ada perjanjian persaudaraan dalam Islam,” maksudnya tidak ada hukumnya. Sebab, jika perjanjian itu atas dasar maksiat maka batal, dan jika atas dasar ketaatan maka agama Islam sudah mewajibkannya, sehingga perjanjian tersebut tidak memiliki pengaruh. Selain itu, akad pernikahan lebih kuat daripada perjanjian persaudaraan, namun tidak mewajibkan tanggungan diyat, maka perjanjian persaudaraan lebih utama untuk tidak mewajibkannya. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggung diyat Khuzā‘ah, maka ada tiga jawaban terkait hal itu.
أَحَدُهَا أَنَّهُ تَحَمَّلَ عَقْلَهُمْ تَفَضُّلًا لَا وُجُوبًا
Salah satunya adalah bahwa ia menanggung diyat mereka sebagai bentuk kemurahan hati, bukan sebagai kewajiban.
وَالثَّانِي يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ تَحَمُّلُهُ عَنْهُمْ حِينَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ يَتَوَارَثُونَ بِالْحِلْفِ
Yang kedua, boleh jadi ia menerima (riwayat) dari mereka pada masa ketika kaum Muslimin di awal Islam saling mewarisi melalui persekutuan (ḥilf).
وَالثَّالِثُ أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ وَأَنَا وَاللَّهِ عَاقِلُهُ أَيْ أَحْكُمُ بِعَقْلِهِ
Dan yang ketiga, bahwa makna dari ucapannya “Dan aku, demi Allah, yang mengikatnya” adalah aku memutuskan dengan ‘aqal-nya.
وَأَمَّا الْعَدِيدُ فَهُوَ أَنَّ الْقَبِيلَةَ الْقَلِيلَةَ الْعَدَدِ تَعُدُّ نَفْسَهَا عِنْدَ ضَعْفِهَا عَنِ الْمُحَامَاةِ في جملة قبيلة كثيرة العدد قوية الشوكة لِيَكُونُوا مِنْهُمْ فِي التَّنَاصُرِ وَالتَّظَافُرِ وَلَا يَتَمَيَّزُونَ عَنْهُمْ فِي سِلْمٍ وَلَا حَرْبٍ أَوْ يُنَافِرُ الرَّجُلُ الْوَاحِدُ قَوْمَهُ فَيُخْرِجُ نَفْسَهُ مِنْهُمْ وَيَنْضَمُّ إِلَى غَيْرِهِمْ وَيَعُدُّ نَفْسَهُ مِنْهُمْ فَهَذَا أَضْعَفُ الْحِلْفِ لِأَنَّ فِي الْحِلْفِ أَيْمَانًا مُلْتَزَمَةً وَعُقُودًا مُحْكَمَةً وَهَذَا اسْتِجَارَةٌ وَغَوْثٌ فَلَمْ يَتَوَارَثْ بِهِ الْمُسْلِمُونَ مَعَ تَوَارُثِهِمْ بِالْحِلْفِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يُوجِبَ تَحَمُّلَ الْعَقْلِ وَلَا أَعْرِفُ قَائِلًا بِوُجُوبِ عَقْلِهِ
Adapun al-‘adīd (jumlah pendukung), yaitu ketika suatu kabilah yang jumlah anggotanya sedikit, karena kelemahannya dalam membela diri, menganggap dirinya sebagai bagian dari kabilah lain yang jumlahnya banyak dan kekuatannya besar, agar mereka dapat saling membantu dan saling menolong, serta tidak dibedakan dari mereka baik dalam keadaan damai maupun perang. Atau seorang laki-laki memisahkan diri dari kaumnya, lalu keluar dari kelompoknya dan bergabung dengan kelompok lain, serta menganggap dirinya sebagai bagian dari mereka. Ini adalah bentuk persekutuan yang paling lemah, karena dalam persekutuan (ḥilf) terdapat sumpah yang mengikat dan akad yang kuat, sedangkan ini hanyalah permohonan perlindungan dan pertolongan. Oleh karena itu, kaum Muslimin tidak saling mewarisi karena hal ini, meskipun mereka saling mewarisi karena persekutuan (ḥilf). Maka lebih utama jika hal ini tidak mewajibkan tanggungan ‘aql (diyat), dan aku tidak mengetahui ada yang berpendapat wajibnya ‘aql dalam hal ini.
وَأَمَّا الْمُوَالَاةُ فَهُوَ أَنْ يَتَعَاقَدَ الرَّجُلَانِ لَا يُعْرَفُ نَسَبُهُمَا عَلَى أَنْ يَمْتَزِجَا فِي النَّسَبِ وَالنُّصْرَةِ لِيَعْقِلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عن صاحبه ويرثه فهذا عقد فاسد على مذهب الشافعي وأكثر الفقهاء لا يوجب توارثاً ولا عقلاً وأجازه أبو حنيفة وقال لا يرث واحد منهما صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يَعْقِلَ عَنْهُ فَإِذَا عَقَلَ عَنْهُ تَوَارَثَا وَالْكَلَامُ فِيهِ مَذْكُورٌ فِي التَّوَارُثِ بِالْوَلَاءِ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ
Adapun al-muwalāh adalah ketika dua orang laki-laki yang tidak diketahui nasabnya saling mengadakan perjanjian untuk bercampur dalam nasab dan saling menolong, sehingga masing-masing dari keduanya menanggung diyat (denda) atas temannya dan mewarisinya. Maka akad ini dianggap fasid menurut mazhab Syafi‘i dan mayoritas fuqaha, tidak menyebabkan saling mewarisi maupun menanggung diyat. Namun, Abu Hanifah membolehkannya dan berkata: salah satu dari keduanya tidak mewarisi temannya kecuali jika ia telah menanggung diyat darinya; jika ia telah menanggung diyat darinya, maka keduanya saling mewarisi. Pembahasan tentang hal ini telah disebutkan dalam bab warisan karena walā’. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.
بَابُ عَقْلِ مَنْ لَا يُعْرَفُ نَسَبُهُ وَعَقْلِ أهل الذمة
Bab diyat bagi orang yang tidak diketahui nasabnya dan diyat bagi ahli dzimmah
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه إِذَا كَانَ الْجَانِي نُوبِيًّا فَلَا عَقْلَ عَلَى أَحَدٍ مِنَ النُّوبَةِ حَتَّى يَكُونُوا يُثْبِتُونَ أَنْسَابَهُمْ إِثْبَاتَ أَهْلِ الْإِسْلَامِ وَكَذَلِكَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْ قبيلة أعجمية أو القبط أو غيره فإن لم يكن له ولاء يعلم فعلى المسلمين لما بينه وبينهم من ولاية الدين وإنهم يأخذون ماله إذا مات
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika pelaku kejahatan adalah seorang Nubia, maka tidak ada diyat yang dibebankan kepada siapa pun dari kaum Nubia sampai mereka dapat membuktikan nasab mereka sebagaimana pembuktian nasab di kalangan kaum Muslimin. Demikian pula halnya dengan setiap laki-laki dari kabilah ‘ajam, Qibthi, atau selainnya; jika ia tidak memiliki hubungan wala’ yang diketahui, maka diyatnya menjadi tanggungan kaum Muslimin karena adanya hubungan wala’ agama antara mereka, dan mereka (kaum Muslimin) berhak mengambil hartanya jika ia meninggal dunia.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ رَدًّا عَلَى بَعْضِ أَهْلِ الْعِرَاقِ حَيْثُ زَعَمَ أَنَّ النُّوبِيَّ إِذَا جَنَى عَقَلَتْ عَنْهُ النُّوبَةُ وَكَذَلِكَ الزَّنْجِيُّ وَسَائِرُ الْأَجْنَاسِ يَعْقِلُ عَنْهُمْ مَنْ حَضَرَهُمْ مِنْ أَجْنَاسِهِمْ لِأَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ نَسَبَهُمْ وَاحِدٌ
Al-Mawardi berkata: Ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh asy-Syafi‘i sebagai bantahan terhadap sebagian ahli Irak yang beranggapan bahwa jika seorang Nubia melakukan tindak pidana, maka yang menanggung diyatnya adalah kaum Nubia; demikian pula jika seorang Zanjiy melakukan tindak pidana, maka yang menanggung diyatnya adalah orang-orang Zanjiy, dan begitu juga dengan kelompok-kelompok lainnya, diyat mereka ditanggung oleh orang-orang dari kelompok mereka yang hadir. Hal ini didasarkan pada dua alasan, salah satunya adalah karena nasab mereka satu.
وَالثَّانِي أَنَّهُمْ يَتَنَاصَرُونَ بِالْجِنْسِ كَمَا تَتَنَاصَرُ الْعَرَبُ بِالْأَنْسَابِ وَهَذَا فَاسِدٌ وَالْجِنْسُ لَا يُوجِبُ تَحَمُّلَ الْعَقْلِ إِلَّا أَنْ يُثْبِتُوا أَنْسَابَهُمْ وَيَتَحَقَّقُوا مِنْ أَقَارِبِهِمْ فِيهَا وَأَبَاعِدِهِمْ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَمْرَيْنِ
Kedua, bahwa mereka saling menolong karena kesamaan jenis, sebagaimana orang Arab saling menolong karena nasab. Ini adalah sesuatu yang rusak, dan kesamaan jenis tidak mewajibkan untuk menanggung diyat, kecuali jika mereka dapat membuktikan nasab mereka dan memastikan siapa kerabat dekat dan jauhnya. Hal itu hanya terjadi karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْعَقْلَ تَابِعٌ لِلْمِيرَاثِ وَالْجِنْسُ لَا يُوجِبُ التَّوَارُثَ فَكَذَلِكَ لَا يُوجِبُ تَحَمُّلَ الْعَقْلِ
Salah satunya adalah bahwa ‘aql mengikuti warisan, dan hubungan jenis (nasab) tidak menyebabkan terjadinya pewarisan, maka demikian pula tidak menyebabkan tanggungan ‘aql.
وَالثَّانِي قَدْ يَجْمَعُهُمُ اتِّفَاقُ الْبُلْدَانِ وَاتِّفَاقُ الصَّنَائِعِ كَمَا يَجْمَعُهُمُ اتِّفَاقُ الْأَجْنَاسِ فَلَوْ جَازَ أَنْ تَعْقِلَ النُّوبَةُ عَنِ النُّوبِيِّ لَجَازَ أَنْ يَعْقِلَ أَهْلُ مكة عن المكي وأهل البصرى عَنِ الْبَصْرِيِّ وَكَذَلِكَ أَهْلُ الصَّنَائِعِ وَهَذَا مَدْفُوعٌ بِالْإِجْمَاعِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْجِنْسُ مَدْفُوعًا بِالْحِجَاجِ وَهَكَذَا الْعَجَمُ لَا يَعْقِلُ بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضٍ إِلَّا بِالْأَنْسَابِ الْمَعْرُوفَةِ وَكَذَلِكَ اللَّقِيطُ الَّذِي لَا يعرف له نسب ولا يَعْقِلُ عَنْهُ مُلْتَقِطُهُ وَلَا الْقَبِيلَةُ الَّتِي نُبِذَ فِيهَا وَالْتُقِطَ مِنْهَا وَهَكَذَا لَوْ جَنَى رَجُلٌ قُرَشِيٌّ لَا يُعْرَفُ مِنْ أَيِّ قُرَيْشٍ هُوَ لَمْ تَعْقِلْ عَنْهُ قُرَيْشٌ كُلُّهَا حَتَّى يُعْرَفَ مِنْ أَيِّ قَبِيلَةٍ هُوَ مِنْ قُرَيْشٍ لِأَنَّ أَبَاعِدَ قُرَيْشٍ إِنَّمَا يَعْقِلُونَ عَنْهُ عِنْدَ عَجْزِ أَقْرَبِهِمْ نَسَبًا إِلَيْهِ فَإِذَا لَمْ يُعْرَفْ أَقْرَبُهُمْ إِلَيْهِ لِلْجَهْلِ بِنَسَبِهِ فِيهِمْ سَقَطَ تَحَمُّلُ عَقْلِهِ عَنْهُمْ وَصَارَ جَمِيعُ هَؤُلَاءِ مِمَّنْ لَا عَوَاقِلَ لَهُمْ بِالْأَنْسَابِ فَيَعْقِلُ عَنْهُمْ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ بيت مَالِهِمْ كَمَا يَكُونُ مِيرَاثُهُ لَوْ مَاتَ لَهُمْ لِمَا يَجْمَعُهُمْ مِنْ وَلَايَةِ الدِّينِ كَمَا يَعْقِلُ عَنْهُ مَوَالِيهِ لِمَا يَجْمَعُهُمْ مِنْ وَلَايَةِ الْوَلَاءِ
Yang kedua, terkadang mereka dapat disatukan oleh kesamaan daerah atau kesamaan profesi, sebagaimana mereka disatukan oleh kesamaan jenis. Maka, jika dibolehkan ‘aqilah (penanggung diyat) dari suku Nubiyah menanggung diyat untuk orang Nubiy, niscaya dibolehkan pula penduduk Makkah menanggung diyat untuk orang Makkah, penduduk Bashrah untuk orang Bashri, demikian pula para pelaku profesi tertentu. Namun hal ini tertolak oleh ijmā‘, sehingga haruslah jenis (kesamaan) itu tertolak dengan hujjah. Demikian pula, orang-orang ‘Ajam (non-Arab) tidak saling menanggung diyat kecuali karena nasab yang diketahui. Begitu pula anak temuan (laqīṭ) yang tidak diketahui nasabnya, maka orang yang menemukannya tidak menanggung diyatnya, juga tidak pula kabilah tempat ia ditemukan dan diambil. Demikian juga, jika ada seorang Quraisy yang melakukan kejahatan dan tidak diketahui dari kabilah Quraisy mana ia berasal, maka seluruh Quraisy tidak menanggung diyatnya sampai diketahui dari kabilah mana ia berasal di antara Quraisy, karena kerabat Quraisy yang jauh hanya menanggung diyatnya jika kerabat terdekatnya tidak mampu. Jika tidak diketahui siapa kerabat terdekatnya karena tidak diketahui nasabnya di antara mereka, maka gugurlah kewajiban menanggung diyat darinya, dan semua orang seperti ini termasuk yang tidak memiliki ‘aqilah berdasarkan nasab. Maka, yang menanggung diyat mereka adalah jamaah kaum Muslimin dari baitul mal mereka, sebagaimana warisannya jika ia meninggal juga untuk mereka, karena yang menyatukan mereka adalah wilayah agama, sebagaimana mawali (orang yang memiliki hubungan wala’) menanggung diyatnya karena adanya hubungan wala’ di antara mereka.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَمَنِ انْتَسَبَ إِلَى نَسَبٍ فَهُوَ مِنْهُ إِلَّا أَنْ تَثْبُتَ بَيِّنَةٌ بِخِلَافِ ذَلِكَ وَلَا يُدْفَعُ نَسَبٌ بِالسَّمَاعِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Barang siapa menisbatkan diri kepada suatu nasab, maka ia termasuk bagian darinya, kecuali ada bukti yang jelas yang menetapkan sebaliknya. Dan nasab tidak dapat dibatalkan hanya berdasarkan pendengaran (kabar semata).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْوِيلِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Al-Mawardi berkata, “Para sahabat kami berbeda pendapat dalam menafsirkan masalah ini menjadi dua pendapat.”
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ وَطَائِفَةٍ أَنَّهَا مَحْمُولَةٌ عَلَى دَعْوَى النَّسَبِ الْخَاصِّ وَهُوَ الْوَاحِدُ يَدَّعِي أَبًا فَيَقُولُ أَنَا ابْنُ فُلَانٍ فَإِنِ اعْتَرَفَ لَهُ بِالْأُبُوَّةِ ثَبَتَ نَسَبُهُ أَوْ يَدَّعِي الْوَاحِدُ ابْنًا فَيَقُولُ هَذَا ابْنِي فَإِنِ اعْتَرَفَ لَهُ بِالْبُنُوَّةِ ثَبَتَ نَسَبُهُ وَصَارَ جَمِيعُ مَنْ نَاسَبَهُمَا عَوَاقِلَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَإِذَا ادَّعَاهُ رَجُلٌ أَقَرَّ أَنَّهُ وَلَدُهُ لَمْ يُقْبَلْ دَعْوَاهُ بَعْدَ لُحُوقِهِ بِالْأَوَّلِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ لَهُ أَنَّهُ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ لِأَنَّ لُحُوقَ الْبَيِّنَةِ بِالْفِرَاشِ أَقْوَى مِنْ لُحُوقِهِ بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى وَلَوْ شَهِدَتِ الْبَيِّنَةُ لَهُ بِأَنَّهُ ابْنُهُ وَلَمْ يَشْهَدْ لَهُ بِالْفِرَاشِ لَمْ يُحْكَمْ لَهُ بِنَسَبِهِ وَكَانَ لَاحِقًا بِالْأَوَّلِ سَوَاءٌ صَدَّقَهُ الْوَلَدُ أَوْ لَمْ يُصَدِّقْهُ؛ لِأَنَّ لُحُوقَهُ بِالْأَوَّلِ يَمْنَعُ مِنْ نَفْيِهِ عَنْهُ إِلَّا بِمَا هُوَ أَقْوَى مِنْهُ وَلَيْسَ فِي هَذِهِ الْبَيِّنَةِ زِيَادَةُ قُوَّةٍ إِلَّا أَنْ تَشْهَدَ بِالْفِرَاشِ وَإِلَّا فَشَهَادَتُهَا مَنْسُوبَةٌ إِلَى السَّمَاعِ وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ لَا يُدْفَعُ نَسَبٌ بِالسَّمَاعِ فَهَذَا حُكْمُ تَأْوِيلِهَا عَلَى الْوَجْهِ الْأَول
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini dan sekelompok ulama, menyatakan bahwa hal itu dimaknai pada klaim nasab khusus, yaitu seseorang mengaku sebagai anak dari seseorang dengan berkata, “Aku adalah anak Fulan.” Jika orang yang diakui itu mengakui sebagai ayahnya, maka nasabnya menjadi sah. Atau seseorang mengaku sebagai ayah dari seorang anak dengan berkata, “Ini adalah anakku.” Jika anak tersebut mengakuinya sebagai ayah, maka nasabnya menjadi sah, dan seluruh orang yang memiliki hubungan nasab dengan keduanya menjadi ‘aqilah (pihak yang menanggung diyat) bagi masing-masing dari mereka. Jika kemudian ada seorang laki-laki lain yang mengakuinya sebagai anak setelah nasabnya telah sah pada orang pertama, maka klaimnya tidak diterima kecuali dengan adanya bayyinah (bukti yang jelas) yang menyatakan bahwa anak tersebut lahir di atas ranjangnya (yakni anak sah dari pernikahan). Maka, anak itu dinisbatkan kepadanya, karena keberadaan bayyinah yang menetapkan anak itu lahir di atas ranjang lebih kuat daripada sekadar klaim semata. Jika bayyinah hanya menyatakan bahwa ia adalah anaknya, tanpa menyatakan bahwa ia lahir di atas ranjangnya, maka tidak diputuskan nasabnya kepadanya, dan anak itu tetap dinisbatkan kepada orang pertama, baik anak itu membenarkannya atau tidak; karena penetapan nasab kepada orang pertama mencegah penafian nasab darinya kecuali dengan sesuatu yang lebih kuat darinya, dan dalam bayyinah ini tidak ada tambahan kekuatan kecuali jika bayyinah itu bersaksi tentang kelahiran di atas ranjang. Jika tidak, maka kesaksiannya hanya berdasarkan pendengaran, dan Imam Syafi’i berkata, “Nasab tidak dapat dibatalkan hanya dengan pendengaran.” Inilah hukum penafsiran pendapat ini menurut pendapat pertama.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَكْثَرِ أَصْحَابِنَا أَنَّهَا مَحْمُولَةٌ عَلَى دَعْوَى النَّسَبِ الْعَامِّ وَهُوَ أَنْ يَدَّعِيَ الرَّجُلُ أَنَّهُ مِنْ قُرَيْشٍ وَقُرَيْشٌ تَسْمَعُ دَعْوَاهُ وَلَا تُنْكِرُهُ أَوْ يَدَّعِيَ أَنَّهُ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنُو هَاشِمٍ يَسْمَعُونَ وَلَا يُنْكِرُونَهُ فَيُحْكَمُ بِنَسَبِهِ فِيهِمْ بِإِقْرَارِهِمْ عَلَى دَعْوَى نَسَبِهِمْ وَبِمِثْلِ هَذَا تَثْبُتُ أَكْثَرُ الْأَنْسَابِ الْعَامَّةِ فَإِنْ تَجَرَّدَ مَنْ أَنْكَرَ نَسَبَهُ وَنَفَاهُ عَنْهُمْ وَقَالَ لَسْتَ مِنْهُمْ لَمْ يُقْبَلْ نَفْيُهُ لَهُ وَلَوْ شَهِدَ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُمْ؛ لِأَنَّ الشَّهَادَةَ عَلَى مُجَرَّدِ النَّفْيِ لَا تَصِحُّ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, Abu Ali bin Abi Hurairah, dan mayoritas ulama kami, adalah bahwa hal itu dimaknai sebagai pengakuan nasab secara umum, yaitu ketika seseorang mengaku berasal dari Quraisy dan kaum Quraisy mendengar pengakuannya serta tidak mengingkarinya, atau seseorang mengaku berasal dari Bani Hasyim dan Bani Hasyim mendengar serta tidak mengingkarinya, maka nasabnya dihukumi sah di antara mereka karena adanya pengakuan mereka terhadap pengakuan nasab tersebut. Dengan cara seperti inilah kebanyakan nasab umum dapat ditetapkan. Jika ada seseorang yang secara khusus mengingkari nasabnya dan menafikannya dari mereka, serta berkata, “Kamu bukan bagian dari mereka,” maka penafian tersebut tidak diterima, meskipun ia bersaksi bahwa orang itu bukan bagian dari mereka; karena kesaksian atas dasar penafian semata tidak sah.
وَقَالَ مَالِكٌ إِذَا شَاعَ هَذَا الْقَوْلُ وَذَاعَ حَكَمْتُ بِهِ وَنَفَيْتُهُ عَنْهُمْ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ انْتِشَارَ الْقَوْلِ مَحْكُومٌ بِهِ فِي ثُبُوتِ الْأَنْسَابِ غَيْرُ مَحْكُومٍ بِهِ فِي نَفْيِهَا لِأَنَّ الْقَوْلَ الْمُنْتَشِرَ فِي الْأَنْسَابِ كَالْبَيِّنَةِ وَالْبَيِّنَةُ تُسْمَعُ مِنَ النَّسَبِ وَلَا تُسْمَعُ عَلَى مُجَرَّدِ النَّفْيِ فَكَذَلِكَ شَائِعُ الْخَبَرِ وَيَكُونُ عَلَى لُحُوقِهِ بِهِمْ حَتَّى تَشْهَدَ بَيِّنَتُهُ عَلَى أَنَّهُ مِنْ غَيْرِهِمْ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَحَدِهِمْ وَلَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمْ بِالسَّمَاعِ أَنَّهُ مِنْ غَيْرِهِمْ بَعْدَ لُحُوقِهِ بِهِمْ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَلَا يُدْفَعُ نَسَبٌ بِالسَّمَاعِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Malik berkata, “Jika kabar ini telah tersebar luas dan diketahui banyak orang, maka aku menetapkan hukum dengannya dan menafikan nasab tersebut dari mereka.” Namun, ini adalah kekeliruan; karena tersebarnya suatu kabar dijadikan dasar dalam penetapan nasab, tetapi tidak dijadikan dasar dalam penafian nasab. Sebab, kabar yang tersebar luas dalam masalah nasab seperti halnya bayyinah (bukti yang jelas), dan bayyinah dapat diterima untuk menetapkan nasab, tetapi tidak diterima hanya untuk menafikan nasab. Demikian pula halnya dengan kabar yang tersebar luas; nasab tetap dinisbatkan kepada mereka sampai ada bayyinah yang bersaksi bahwa anak tersebut bukan dari mereka, padahal ia lahir di atas ranjang salah satu dari mereka. Kesaksian mereka yang hanya berdasarkan pendengaran bahwa anak itu bukan dari mereka tidak diterima setelah nasabnya telah dinisbatkan kepada mereka. Inilah makna perkataan asy-Syafi‘i, “Nasab tidak dapat digugurkan hanya dengan pendengaran.” Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِذَا حَكَمْنَا عَلَى أَهْلِ الْعَهْدِ أَلْزَمْنَا عَوَاقِلَهُمُ الَّذِينَ تَجْرِي أَحْكَامُنَا عَلَيْهِمْ فَإِنْ كَانُوا أَهْلَ حَرْبٍ لَا يَجْرِي حُكْمُنَا عَلَيْهِمْ أَلْزَمْنَا الْجَانِيَ ذَلِكَ وَلَا يُقْضَى عَلَى أَهْلِ دِينِهِ إِذَا لَمْ يَكُونُوا عَصَبَةً لِأَنَّهُمْ لَا يَرِثُونَهُ وَلَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ لِقَطْعِ الْوَلَايَةِ بَيْنَهُمْ وَأَنَّهُمْ لَا يَأْخُذُونَ مَالَهُ عَلَى الْمِيرَاثِ إِنَمَا يَأْخُذُونَهُ فَيْئًا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Apabila kami menetapkan hukum atas ahl al-‘ahd (orang-orang yang memiliki perjanjian), maka kami mewajibkan diyat kepada ‘āqilah mereka yang tunduk pada hukum kami. Namun, jika mereka adalah ahl al-ḥarb (orang-orang yang sedang berperang dengan kaum Muslimin) yang hukum kami tidak berlaku atas mereka, maka kami mewajibkan diyat itu kepada pelaku (jāni) sendiri, dan tidak diputuskan atas orang-orang seagama dengannya jika mereka bukan ‘āṣabah (keluarga laki-laki dari pihak ayah), karena mereka tidak mewarisinya. Tidak pula dibebankan kepada kaum Muslimin, karena terputusnya hubungan wilayah antara mereka, dan karena kaum Muslimin tidak mengambil hartanya melalui warisan, melainkan hanya mengambilnya sebagai fai’.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا جَنَى الذِّمِّيُّ فِي دار الإسلام جناية خطأ فله حالتان
Al-Mawardi berkata, “Apabila seorang dzimmi melakukan jinayah (tindak pidana) karena kesalahan di Darul Islam, maka ada dua keadaan baginya.”
أحدهما أن تكون له عاقلة من مناسبيه
Pertama, ia memiliki ‘āqilah dari kerabatnya.
والثاني أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ عَاقِلَةٌ مُنَاسِبُونَ فَإِنْ كَانَ لَهُ عَاقِلَةٌ مِنْ ذَوِي نَسَبِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمْ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونُوا مُسْلِمِينَ أَوْ غَيْرَ مُسْلِمِينَ فَإِنْ كَانُوا مُسْلِمِينَ لَمْ يَعْقِلُوا عَنْهُ كَمَا لَمْ يَرِثُوهُ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الدِّينِ قَاطِعٌ لِلْمُوَالَاةِ بَيْنَهُمْ وَإِنْ كَانُوا كُفَّارًا غَيْرَ مُسْلِمِينَ فَسَوَاءٌ اتَّفَقَتْ دِيَاتُهُمْ فَكَانَ الْقَاتِلُ وَعَاقِلَتُهُ يَهُودًا كُلَّهُمْ أَوِ اخْتَلَفَتْ أَدْيَانُهُمْ فَكَانَ الْقَاتِلُ يَهُودِيًّا وَعَاقِلَتُهُ نَصَارَى؛ لِأَنَّ الكفر كله ملة واحدة ولا يخلوا حَالُهُمْ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Kedua, tidak ada ‘āqilah yang sesuai baginya. Jika ia memiliki ‘āqilah dari kerabatnya, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan: mereka adalah Muslim atau bukan Muslim. Jika mereka Muslim, maka mereka tidak menanggung diyat darinya sebagaimana mereka juga tidak mewarisinya, karena perbedaan agama memutus hubungan kewalian di antara mereka. Jika mereka kafir, bukan Muslim, maka baik diyat mereka sama—misalnya si pembunuh dan ‘āqilah-nya semuanya Yahudi—atau agama mereka berbeda—misalnya si pembunuh Yahudi dan ‘āqilah-nya Nasrani; karena kekufuran itu semuanya satu golongan. Dan keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ تَجْرِيَ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُنَا أَوْ لَا تَجْرِيَ عَلَيْهِمْ فَإِنْ لَمْ تَجْرِ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُنَا لِمَقَامِهِمْ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَانَ الْجَانِي كَمَنْ لَا عَاقِلَةَ لَهُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ لِانْقِطَاعِ الْمُوَالَاةِ بَيْنَ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَأَهْلِ الْحَرْبِ وَاخْتِلَافِهِمْ فِي التَّنَاصُرِ وَظُهُورِ مَا بَيْنَهُمْ مِنَ التَّقَاطُعِ وَالتَّدَابُرِ وَلِهَذَا الْمَعْنَى لَمْ يَتَوَارَثُوا؛ فَكَذَلِكَ لِأَجْلِهِ لَمْ يَعْقِلُوا وَإِنْ جَرَتْ أَحْكَامُنَا عَلَى عَاقِلَةٍ لِكَوْنِهِمْ مِنْ أَهْلِ ذِمَّةٍ حَكَمْنَا عَلَيْهِمْ بِالْعَقْلِ
Entah hukum-hukum kita berlaku atas mereka atau tidak berlaku atas mereka. Jika hukum-hukum kita tidak berlaku atas mereka karena kedudukan mereka di dar al-harb, maka pelaku kejahatan itu seperti orang yang tidak memiliki ‘āqilah, sebagaimana akan kami sebutkan, karena terputusnya hubungan loyalitas antara ahl al-dzimmah dan ahl al-harb, serta perbedaan mereka dalam saling menolong, dan tampaknya permusuhan serta saling berpaling di antara mereka. Karena alasan inilah mereka tidak saling mewarisi; demikian pula karena alasan itu mereka tidak saling menanggung diyat. Namun, jika hukum-hukum kita berlaku atas ‘āqilah karena mereka termasuk ahl al-dzimmah, maka kami menetapkan atas mereka kewajiban menanggung diyat.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَعْقِلُونَ عَنْهُ إِنْ شَارَكُوهُ فِي النَّسَبِ وَوَافَقُوهُ فِي الذِّمِّيَّةِ احْتِجَاجًا بِأَنَّهُمْ مَقْهُورُونَ بِالذِّمَّةِ وَلَا يَتَنَاصَرُونَ فِيهَا فَبَطَلَ التَّعَاقُلُ بَيْنَهُمْ لِذَهَابِ التَّنَاصُرِ مِنْهُمْ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ ثُبُوتَ الْأَنْسَابِ الَّتِي يَتَوَارَثُونَ بِهَا تُوجِبُ تَحَمُّلَ الْعَقْلِ بِهَا كَالْمُسْلِمِينَ وَهُمْ لَا يَتَنَاصَرُونَ عَلَى الْبَاطِلِ وَيَتَنَاصَرُونَ عَلَى الْحَقِّ كَذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ
Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka tidak saling menanggung diyat jika mereka sama dalam nasab dan sepakat dalam status dzimmah, dengan alasan bahwa mereka berada di bawah perlindungan dzimmah dan tidak saling menolong dalam hal itu, sehingga tidak berlaku saling menanggung diyat di antara mereka karena hilangnya unsur saling menolong. Namun, pendapat ini keliru, karena keberadaan nasab yang dengannya mereka saling mewarisi mewajibkan adanya tanggungan diyat sebagaimana pada kaum Muslimin. Mereka tidak saling menolong dalam kebatilan, tetapi saling menolong dalam kebenaran, demikian pula halnya dengan kaum Muslimin.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلذِّمِّيِّ عَاقِلَةٌ مُنَاسِبُونَ وَجَبَتِ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ وَلَمْ يَعْقِلْ عَنْهُ
Dan jika seorang dzimmi tidak memiliki ‘āqilah yang sesuai, maka diyat wajib diambil dari hartanya sendiri dan tidak ditanggung oleh ‘āqilah.
وَقَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ يَعْقِلُ عَنْهُ أَهْلُ جِزْيَتِهِ الَّذِينَ فِي كَوْرَتِهِ لِأَنَّهُمْ مُشَارِكُوهُ فِي ذِمَّتِهِ وَجِزْيَتِهِ كَمَا يَتَحَمَّلُ الْمُسْلِمُونَ عَنِ الْمُسْلِمِ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang menanggung diyat darinya adalah ahli jizyah yang berada di wilayahnya, karena mereka turut serta dalam tanggungan dan jizyahnya, sebagaimana kaum Muslimin menanggung diyat dari sesama Muslim. Namun, pendapat ini rusak dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُسْلِمِينَ قَدْ جَمَعَهُمُ الْحَقُّ فَصَحَّتْ مُوَالَاتُهُمْ عَلَيْهِ وَهَؤُلَاءِ جَمَعَهُمُ الْبَاطِلُ فَبَطَلَتْ مُوَالَاتُهُمْ فِيهِ
Salah satunya adalah bahwa kaum Muslimin telah dipersatukan oleh kebenaran sehingga sah loyalitas mereka atasnya, sedangkan mereka (orang-orang selain Muslim) dipersatukan oleh kebatilan sehingga batal loyalitas mereka di dalamnya.
وَالثَّانِي أَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَعْقِلُ عَنْهُ أَعْيَانُ الْأَجَانِبِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَعْقِلُوا عَنِ الذِّمِّيِّ فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَتْ جِنَايَتُهُ فِي بَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ لِأَنَّ مِيرَاثَهُ يَصِيرُ إِلَى بَيْتِ مَالِهِمْ قِيلَ إِنَّمَا صَارَ مِيرَاثُهُ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ فَيْئًا وَلَمْ يَصِرْ إِلَيْهِ إِرْثًا فَلِذَلِكَ لَمْ يَعْقِلْ عَنْهُ وَعَقَلَ عَنِ الْمُسْلِمِ؛ لِأَنَّ مَالَهُ صَارَ إِلَيْهِ إِرْثًا
Kedua, bahwa seorang Muslim tidak dibebankan diyat oleh kerabat non-Muslim, maka lebih utama lagi jika mereka tidak membebankan diyat atas dzimmi. Jika dikatakan: Mengapa kejahatannya tidak dibebankan kepada Baitul Mal kaum Muslimin, padahal warisannya berpindah ke Baitul Mal mereka? Maka dijawab: Sesungguhnya warisannya berpindah ke Baitul Mal sebagai fai’, bukan sebagai warisan, oleh karena itu tidak dibebankan diyat atasnya, sedangkan diyat dibebankan atas Muslim karena hartanya berpindah sebagai warisan.
فَصْلٌ
Bagian
وَإِذَا اسْتَرْسَلَ سَهْمُ الْيَهُودِيِّ خَطَأً عَلَى رَجُلٍ ثُمَّ أَسْلَمَ الْيَهُودِيُّ قَبْلَ وُصُولِ السَّهْمِ ثُمَّ وَصَلَ فَقَتَلَ لَمْ يَعْقِلْ عَنْهُ عَصَبَاتُهُ مِنَ الْيَهُودِ لِوُصُولِ السَّهْمِ بَعْدَ إِسْلَامِهِ وَلَمْ يَعْقِلْ عَنْهُ عَصَبَتُهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لِيَهُودِيَّتِهِ عِنْدَ إِرْسَالِهِ وَتُحْمَلُ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ وَلَوْ قَطَعَ يَهُودِيٌّ يَدَ رَجُلٍ ثُمَّ أَسْلَمَ وَمَاتَ الْمَقْطُوعُ عَقَلَتْ عَنْهُ عَصَبَتُهُ مِنَ الْيَهُودِ دُونَ الْمُسْلِمِينَ؛ وَلِحُدُوثِ الْجِنَايَةِ فِي يَهُودِيَّتِهِ وَإِنِ اسْتَقَرَّتْ بَعْدَ إِسْلَامِهِ وَلِذَلِكَ سَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ بِإِسْلَامِهِ وَخَالَفَ الْقَطْعُ إِرْسَالَ السَّهْمِ لِوُجُودِ الْجِنَايَةِ مَعَ الْقَطْعِ وَحُدُوثِهَا بَعْدَ إِرْسَالِ السَّهْمِ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْقَاطِعُ مُسْلِمًا فَارْتَدَّ عَنِ الْإِسْلَامِ وَمَاتَ الْمَقْطُوعُ عَقَلَ عَنْهُ عَصَبَاتُهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لِإِسْلَامِهِ عِنْدَ جِنَايَتِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Apabila anak panah seorang Yahudi melesat secara tidak sengaja mengenai seorang laki-laki, kemudian si Yahudi masuk Islam sebelum anak panah itu sampai, lalu anak panah itu mengenai dan membunuhnya, maka keluarga si Yahudi dari kalangan Yahudi tidak menanggung diyat (denda pembunuhan) karena anak panah itu sampai setelah ia masuk Islam, dan keluarga Muslimnya pun tidak menanggung diyat karena ia masih beragama Yahudi saat melepaskan anak panah tersebut. Maka diyat diambil dari hartanya sendiri. Jika seorang Yahudi memotong tangan seseorang, lalu ia masuk Islam dan orang yang tangannya terpotong itu meninggal, maka keluarga si Yahudi dari kalangan Yahudi yang menanggung diyat, bukan keluarga Muslimnya; karena kejahatan itu terjadi saat ia masih Yahudi, meskipun akibatnya baru tetap setelah ia masuk Islam. Oleh karena itu, hukuman qisas gugur darinya karena ia telah masuk Islam. Kasus pemotongan tangan berbeda dengan kasus melepaskan anak panah, karena kejahatan pada pemotongan tangan terjadi bersamaan dengan perbuatannya, sedangkan pada kasus anak panah, kejahatan terjadi setelah anak panah dilepaskan. Demikian pula, jika pelaku pemotongan tangan adalah seorang Muslim lalu ia murtad dari Islam dan orang yang tangannya terpotong itu meninggal, maka keluarga Muslimnya yang menanggung diyat karena ia masih Muslim saat melakukan kejahatan itu. Allah Mahatahu.
12/370
Maaf, saya tidak menemukan teks Arab yang perlu diterjemahkan pada pesan Anda. Silakan kirimkan teks Arab yang ingin diterjemahkan.
بَابُ وَضْعِ الْحَجَرِ حَيْثُ لَا يَجُوزُ وَضْعُهُ وحفر البئر وميل الحائط
Bab tentang meletakkan batu di tempat yang tidak diperbolehkan meletakkannya, menggali sumur, dan kemiringan dinding.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ وَضَعَ حَجَرًا فِي أَرْضٍ لَا يَمْلِكُهَا وَآخَرُ حَدِيدَةً فَتَعَقَّلَ رَجُلٌ بِالْحَجَرِ فَوَقَعَ عَلَى الْحَدِيدَةِ فَمَاتَ فَعَلَى وَاضِعِ الْحَجَرِ لِأَنَّهُ كَالدَّافِعِ لَهُ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Seandainya seseorang meletakkan sebuah batu di tanah yang bukan miliknya, dan orang lain meletakkan sebatang besi, lalu ada seorang laki-laki tersandung batu tersebut hingga terjatuh ke atas besi dan meninggal dunia, maka tanggung jawab ada pada orang yang meletakkan batu, karena ia seperti penyebab terjadinya peristiwa itu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَصْلُ هَذَا الْبَابِ أَنَّ الْقَتْلَ إِنْ حَدَثَ عَنْ سَبَبٍ مَحْظُورٍ كَانَ مَضْمُونًا وَإِنْ حَدَثَ عَنْ سَبَبٍ مُبَاحٍ كَانَ هَدَرًا فَإِذَا وَضَعَ رَجُلٌ حَجَرًا فِي أَرْضٍ لَا يَمْلِكُهَا إِمَّا فِي طَرِيقٍ سَابِلٍ أَوْ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ فَوَضْعُهُ مَحْظُورٌ فَإِنْ عَثَرَ بِهِ إِنْسَانٌ فَمَاتَ كَانَ وَاضِعُ الْحَجَرِ ضَامِنًا لِدِيَتِهِ لِحَظْرِ السَّبَبِ الْمُؤَدِّي إِلَى قَتْلِهِ وَالْقَتْلُ يُضْمَنُ بِالسَّبَبِ كَمَا يُضْمَنُ بِالْمُبَاشِرَةِ وَلَوْ دَفَعَهُ رَجُلٌ عَلَى هَذَا الْحَجَرِ فَمَاتَ كَانَتْ دِيَتُهُ عَلَى الدَّافِعِ لَهُ لَا عَلَى وَاضِعِ الْحَجَرِ لِأَنَّ الْمُبَاشَرَةَ أَقْوَى مِنَ السَّبَبِ فَإِذَا اجْتَمَعَا غَلَبَ حُكْمُ الْمُبَاشَرَةِ عَلَى السَّبَبِ وَلَوْ كَانَ صَاحِبُ الْحَجَرِ وَضَعَهُ فِي مِلْكِهِ أَوْ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِإِذْنِهِ فَعَثَرَ بِهِ إِنْسَانٌ فَمَاتَ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَدِيَةُ الْعَاثِرِ هَدَرٌ سَوَاءٌ كَانَ بَصِيرًا أَوْ ضَرِيرًا دَخَلَ بِإِذْنٍ أَوْ غَيْرِ إِذْنٍ لِإِبَاحَةِ السَّبَبِ الْمُؤَدِّي إِلَى قَتْلِهِ
Al-Mawardi berkata: Dasar dari bab ini adalah bahwa pembunuhan, jika terjadi karena sebab yang terlarang, maka wajib ada tanggungan (diyat), dan jika terjadi karena sebab yang dibolehkan, maka tidak ada tanggungan (hadr). Jika seseorang meletakkan batu di tanah yang bukan miliknya, baik di jalan umum maupun di milik orang lain, maka peletakan itu adalah terlarang. Jika ada seseorang yang tersandung batu itu lalu meninggal, maka orang yang meletakkan batu tersebut wajib menanggung diyatnya karena sebab terlarang yang menyebabkan kematian. Pembunuhan bisa menjadi tanggungan karena sebab, sebagaimana menjadi tanggungan karena perbuatan langsung. Namun, jika ada seseorang yang mendorong orang lain ke atas batu itu lalu ia meninggal, maka diyatnya menjadi tanggungan orang yang mendorong, bukan pada orang yang meletakkan batu, karena perbuatan langsung lebih kuat daripada sebab. Jika keduanya berkumpul, maka hukum perbuatan langsung lebih diutamakan daripada sebab. Jika pemilik batu meletakkannya di tanah miliknya sendiri, atau di tanah orang lain dengan izinnya, lalu ada orang yang tersandung batu itu dan meninggal, maka tidak ada tanggungan atasnya dan diyat orang yang tersandung itu gugur, baik ia melihat maupun buta, masuk dengan izin atau tanpa izin, karena sebab yang menyebabkan kematian itu dibolehkan.
فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ فَصُورَةُ الْمَسْأَلَةِ فِي رَجُلٍ وَضَعَ حَجَرًا فِي أَرْضٍ لَا يَمْلِكُهَا وَوَضَعَ آخَرُ حَدِيدَةً بِقُرْبِهِ فِي الْأَرْضِ الَّتِي لَا يَمْلِكُهَا فَعَثَرَ رَجُلٌ بِالْحَجَرِ فَوَقَعَ عَلَى الْحَدِيدَةِ فَمَاتَ فَضَمَانُ دِيَتِهِ عَلَى وَاضِعِ الْحَجَرِ دُونَ وَاضِعِ الْحَدِيدَةِ لِأَنَّ وُقُوعَهُ عَلَى الْحَدِيدَةِ بِعَثْرَةِ الْحَجَرِ فَصَارَ وَاضِعُهُ كَالدَّافِعِ لَهُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ ضَامِنًا لِدِيَتِهِ كَمَا لَوْ دَفَعَهُ عَلَيْهَا
Jika premis ini telah ditetapkan, maka gambaran masalahnya adalah tentang seorang laki-laki yang meletakkan sebuah batu di tanah yang bukan miliknya, lalu orang lain meletakkan besi di dekatnya di tanah yang juga bukan miliknya. Kemudian, seorang laki-laki tersandung batu itu lalu jatuh mengenai besi tersebut hingga meninggal dunia. Maka, kewajiban membayar diyat (tebusan darah) ada pada orang yang meletakkan batu, bukan pada orang yang meletakkan besi, karena jatuhnya korban pada besi itu disebabkan tersandung batu. Dengan demikian, orang yang meletakkan batu itu seperti orang yang mendorong korban, sehingga wajib baginya menanggung diyat, sebagaimana jika ia benar-benar mendorong korban ke atas besi tersebut.
وَقَالَ أَبُو الْفَيَّاضِ مِنْ أَصْحَابِنَا الْبَصْرِيِّينَ إِنْ كَانَتِ الْحَدِيدَةُ سِكِّينًا قَاطِعَةً فَالضَّمَانُ عَلَى وَاضِعِهَا دُونَ وَاضِعِ الْحَجَرِ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ قَاطِعَةٍ فَالضَّمَانُ عَلَى وَاضِعِ الْحَجَرِ لِأَنَّ السِّكِّينَ الْقَاطِعَةَ مُوجِيَةٌ وَالْحَجَرَ غَيْرُ مُوجٍ
Abu al-Fayyadh dari kalangan ulama Basrah dari mazhab kami berkata: Jika besi itu berupa pisau yang tajam, maka tanggungan (ganti rugi) ada pada orang yang meletakkannya, bukan pada orang yang meletakkan batu. Namun jika besi itu tidak tajam, maka tanggungan ada pada orang yang meletakkan batu, karena pisau yang tajam dapat menyebabkan (kerusakan), sedangkan batu tidak menyebabkan (kerusakan).
وَهَكَذَا قَالَ فِي رَجُلٍ دَفَعَ رَجُلًا عَلَى سِكِّينٍ فِي يَدِ قَصَّابٍ فَانْذَبَحَ بِهَا أَنَّ دِيَتَهُ عَلَى الْقَصَّابِ دُونَ الدَّافِعِ وَهَذَا الْقَوْلُ مَعْلُولٌ؛ لِأَنَّ الدَّفْعَ مُبَاشَرَةٌ يَضْمَنُ بِهَا الْمَدْفُوعَ سَوَاءٌ أَلْقَاهُ عَلَى مُوجٍ أَوْ غَيْرِ مُوجٍ وَلَوْ عَثَرَ بِالْحَدِيدَةِ فَوَقَعَ عَلَى الْحَجَرِ فَمَاتَ كَانَ ضَمَانُهُ عَلَى وَاضِعِ الْحَدِيدَةِ دُونَ وَاضِعِ الْحَجَرِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ صَاحِبُ الْحَدِيدَةِ كَالدَّافِعِ لَهُ وَلَوْ كَانَ صَاحِبُ الْحَجَرِ غَيْرَ مُتَعَدٍّ بِوَضْعِهِ وَصَاحِبُ الْحَدِيدَةِ مُتَعَدِّيًا فَعَثَرَ رَجُلٌ بِالْحَجَرِ فَوَقَعَ عَلَى الْحَدِيدَةِ فَمَاتَ ضَمِنَهُ وَاضِعُ الْحَدِيدَةِ دُونَ وَاضِعِ الْحَجَرِ لِأَنَّ وَضْعَ الْحَجَرِ مُبَاحٌ فَصَارَتِ الْجِنَايَةُ مَنْسُوبَةً إِلَى وَاضِعِ الْحَدِيدَةِ لِتَعَدِّيهِ وَبَطَلَ التَّعْلِيلُ بِالدَّفْعِ الْمُلْغِي لِخُرُوجِهِ عَنِ التَّعَدِّي وَالْحَظْرِ وَهَكَذَا لَوْ بَرَزَتْ نَبَكَةٌ مِنَ الْأَرْضِ فَعَثَرَ بِهَا هَذَا الْمَارُّ فَسَقَطَ عَلَى الْحَدِيدَةِ الْمَوْضُوعَةِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَمَاتَ ضَمِنَ وَاضِعُهَا دِيَتَهُ لِأَنَّ بُرُوزَ النَّبَكَةِ الَّتِي عَثَرَ بِهَا لَا تُوجِبُ الضَّمَانَ فَأَوْجَبَهُ وَضْعُ الْحَجَرِ
Demikian pula, disebutkan dalam kasus seorang laki-laki mendorong orang lain ke arah pisau yang berada di tangan seorang jagal, lalu orang itu terbunuh karenanya, maka diyatnya menjadi tanggungan si jagal, bukan si pendorong. Namun, pendapat ini memiliki cacat (‘illah); karena tindakan mendorong merupakan bentuk langsung (mubāsharah) yang menyebabkan si pendorong menanggung akibatnya, baik ia mendorong ke arah sesuatu yang membunuh atau bukan. Jika seseorang tersandung pada besi lalu jatuh ke atas batu hingga meninggal, maka tanggung jawabnya ada pada orang yang meletakkan besi, bukan yang meletakkan batu, karena pemilik besi telah menjadi seperti orang yang mendorongnya. Jika pemilik batu tidak melampaui batas dengan meletakkannya, sedangkan pemilik besi melampaui batas, lalu seseorang tersandung batu dan jatuh ke atas besi hingga meninggal, maka yang menanggung adalah orang yang meletakkan besi, bukan yang meletakkan batu, karena meletakkan batu itu diperbolehkan, sehingga tindak pidana (jināyah) dikaitkan kepada orang yang meletakkan besi karena pelanggarannya, dan alasan dengan dorongan yang diabaikan menjadi batal karena keluar dari batas pelanggaran dan larangan. Demikian pula, jika ada tonjolan tanah yang muncul, lalu seseorang yang lewat tersandung dan jatuh ke atas besi yang diletakkan tanpa hak hingga meninggal, maka orang yang meletakkan besi itu menanggung diyatnya, karena munculnya tonjolan tanah yang menyebabkan tersandung tidak mewajibkan tanggungan, sehingga yang mewajibkan adalah peletakan besi tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ أَخْرَجَ طِينًا مِنْ دَارِهِ لِهَدْمٍ أَوْ بِنَاءٍ لِيَسْتَعْمِلَهُ حَالًا بَعْدَ حَالٍ فَعَثَرَ بِهِ بَعْضُ الْمَارَّةِ فَسَقَطَ مَيِّتًا نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الطَّرِيقُ ضَيِّقًا أَوِ الطِّينُ كَثِيرًا فَهُوَ مُتَعَدٍّ بِوَضْعِهِ فِيهِ فَيَكُونُ ضَامِنًا لِدِيَتِهِ وَإِنْ كَانَ الطَّرِيقُ وَاسِعًا وَالطِّينُ قَلِيلًا وَقَدْ عَدَلَ بِهِ عَنْ مَسْلَكِ الْمَارَّةِ إِلَى فِنَاءِ دَارِهِ لَمْ يَضْمَنْ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ بِهِ وَلَا يَجِدُ النَّاسُ مِنْ مِثْلِهِ بُدًّا
Jika seseorang mengeluarkan tanah liat dari rumahnya untuk keperluan pembongkaran atau pembangunan, dengan maksud untuk menggunakannya segera setelah itu, lalu ada seorang pejalan kaki yang tersandung tanah liat tersebut hingga terjatuh dan meninggal dunia, maka hal ini perlu ditinjau. Jika jalan tersebut sempit atau tanah liat yang diletakkan cukup banyak, maka ia dianggap melampaui batas dengan meletakkannya di sana, sehingga ia wajib menanggung diyat (tebusan jiwa) orang tersebut. Namun, jika jalannya luas dan tanah liat yang diletakkan sedikit, serta ia telah memindahkannya dari jalur para pejalan kaki ke halaman rumahnya, maka ia tidak wajib menanggung diyat, karena ia tidak dianggap melampaui batas dan orang-orang tidak dapat menghindari hal seperti itu.
وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَضْمَنُ لِأَنَّهُ مُبَاحٌ بِشَرْطِ السَّلَامَةِ فَإِذَا أَفْضَى إِلَى التَّلَفِ ضَمِنَ كَتَأْدِيبِ الْمُعَلِّمِ وَهَذَا فَاسِدٌ لِمَا فِيهِ مِنَ التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الْمُبَاحِ وَالْمَحْظُورِ مَعَ وُضُوحِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا
Sebagian dari ulama kami berpendapat bahwa ia wajib mengganti, karena hal itu dibolehkan dengan syarat keselamatan. Maka jika berujung pada kerusakan, ia wajib mengganti, seperti dalam hal pendisiplinan oleh guru. Namun pendapat ini tidak benar, karena di dalamnya terdapat penyamaan antara perkara yang mubah dan yang terlarang, padahal jelas terdapat perbedaan antara keduanya.
فَصْلٌ
Fasal
وَلَوْ رَشَّ مَاءً فِي طَرِيقٍ سَابِلٍ فَزَلِقَ فِيهِ بَعْضُ الْمَارَّةِ فَسَقَطَ مَيِّتًا ضَمِنَ دِيَتَهُ لِحُدُوثِهِ عَنْ سَبَبٍ مَحْظُورٍ وَهَكَذَا لَوْ أَلْقَى فِي الطَّرِيقِ قُشُورَ بِطِّيخٍ أَوْ فَاكِهَةٍ قَدْ أَكَلَهَا فَزَلِقَ بِهَا إِنْسَانٌ فَمَاتَ ضَمِنَهُ لِمَا ذَكَرْنَا وَلَوْ بَالَتْ دَابَّتُهُ فِي الطَّرِيقِ فَزَلِقَ إِنْسَانٌ فَمَاتَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا لَمْ يَضْمَنْ كَمَا لَوْ رَمَحَتْ بِرِجْلِهَا وليس صحابها مَعَهَا لَمْ يَضْمَنْ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جُرْحُ الْعَجْمَاءِ جُبَارٌ يَعْنِي الْبَهِيمَةَ وَإِنْ كَانَ صَاحِبُهَا حِينَ بَالَتْ مَعَهَا ضَمِنَ مَا تَلِفَ بِزَلَقِ بَوْلِهَا سَوَاءٌ كَانَ رَاكِبًا أَوْ قَائِدًا أَوْ سَائِقًا لِأَنَّ يَدَهُ عَلَيْهَا فَجَرَى بَوْلُهَا الَّذِي فِي الطَّرِيقِ مَجْرَى بَوْلِهِ الَّذِي يَلْزَمُهُ ضمان ما تلف به
Jika seseorang menyiramkan air di jalan umum lalu ada seorang pejalan kaki yang terpeleset di situ hingga jatuh dan meninggal, maka ia wajib menanggung diyatnya karena kejadian itu disebabkan oleh sebab yang terlarang. Demikian pula jika seseorang membuang kulit semangka atau buah yang telah dimakannya di jalan, lalu ada orang yang terpeleset karenanya hingga meninggal, maka ia juga wajib menanggungnya sebagaimana telah disebutkan. Jika hewan peliharaannya kencing di jalan lalu ada orang yang terpeleset dan meninggal, maka jika hewan itu tidak bersamanya, ia tidak wajib menanggung, sebagaimana jika hewan itu menendang dengan kakinya sementara pemiliknya tidak bersamanya, maka ia tidak wajib menanggung; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Luka yang disebabkan oleh hewan ternak adalah sia-sia,” maksudnya adalah hewan. Namun, jika pemiliknya bersama hewan itu saat kencing, maka ia wajib menanggung kerusakan yang terjadi akibat terpeleset oleh kencing hewannya, baik ia menunggangi, menuntun, atau menggiringnya, karena tangannya berada atas hewan itu. Maka kencing hewan di jalan itu diperlakukan seperti kencingnya sendiri yang mewajibkan ia menanggung kerusakan yang terjadi karenanya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ حَفَرَ فِي صَحْرَاءَ أَوْ طَرِيقٍ وَاسِعٍ مُحْتَمِلٍ فَمَاتَ بِهِ إِنْسَانٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang menggali di padang pasir atau di jalan yang luas yang memungkinkan (untuk dilewati), lalu ada seseorang yang meninggal karenanya…”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَتَفْصِيلُ هَذَا أَنَّهُ إِذَا حَفَرَ بِئْرًا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ فِي حَفْرِهَا مِنْ أَحَدِ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, rincian dari hal ini adalah bahwa apabila seseorang menggali sumur, maka keadaannya dalam menggali sumur tersebut tidak lepas dari salah satu dari empat bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَحْفِرَهَا فِي مِلْكِهِ
Salah satunya adalah jika ia menggali sumur itu di atas miliknya sendiri.
وَالثَّانِي أَنْ يَحْفِرَهَا فِي مِلْكِ غَيْرِهِ
Yang kedua adalah menggali sumur itu di tanah milik orang lain.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَحْفِرَهَا في الموات
Yang ketiga adalah menggali sumur itu di tanah mati (al-mawāt).
وَالرَّابِعُ أَنْ يَحْفِرَهَا فِي طَرِيقٍ سَابِلٍ
Keempat, yaitu menggali sumur itu di jalan umum.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَحْفِرَهَا فِي مِلْكِهِ فَهُوَ مُبَاحٌ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِيمَا سَقَطَ فِيهَا مِنْ بَهِيمَةٍ أَوْ إِنْسَانٍ بَصِيرٍ أَوْ ضَرِيرٍ سَوَاءٌ كَانَ الدُّخُولُ بِأَمْرٍ أَوْ غَيْرِ أَمْرٍ إِذَا كَانَتْ ظَاهِرَةً وَلَكِنْ لَوْ حَفَرَ بِئْرًا فِي مَمَرِّ دَارِهِ وَغَطَّاهَا عَنِ الْأَبْصَارِ وَدَخَلَ إِلَيْهَا مَنْ سَقَطَ فِيهَا فَمَاتَ فَلَا يَخْلُو حَالُ الدَّاخِلِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ
Adapun bagian pertama, yaitu jika seseorang menggali sumur di tanah miliknya, maka hal itu diperbolehkan dan tidak ada tanggungan atasnya terhadap apa pun yang jatuh ke dalamnya, baik hewan ternak maupun manusia, baik yang dapat melihat maupun yang buta, baik masuk dengan izin maupun tanpa izin, selama sumur itu tampak jelas. Namun, jika ia menggali sumur di jalan masuk rumahnya lalu menutupinya sehingga tidak terlihat, kemudian ada orang yang masuk dan terjatuh ke dalamnya hingga meninggal, maka keadaan orang yang masuk itu tidak lepas dari tiga kemungkinan.
أَحَدُهَا أَنْ يَدْخُلَهَا بِغَيْرِ أَمْرٍ فَهُوَ مُتَعَدٍّ بِالدُّخُولِ وَنَفْسُهُ هَدَرٌ
Salah satunya adalah jika seseorang memasukinya tanpa izin, maka ia telah melampaui batas dengan masuk, dan jiwanya menjadi sia-sia.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يُكْرِهَهُ الْحَافِرُ عَلَى الدُّخُولِ فَيَضْمَنُ دِيَتَهُ لِتَعَدِّيهِ بِإِكْرَاهِهِ عَلَى الدُّخُولِ
Keadaan yang kedua adalah apabila penggali memaksa orang tersebut untuk masuk, maka ia wajib menanggung diyatnya karena ia telah melampaui batas dengan memaksanya untuk masuk.
وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَدْخُلَهَا مُخْتَارًا بِإِذْنِ الْحَافِرِ فَإِنْ أَعْلَمَهُ بِهَا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يُعْلِمْهُ بِهَا وَهُوَ بَصِيرٌ وَلَهَا آثَارٌ تَدُلُّ عَلَيْهَا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهَا آثَارٌ أَوْ كَانَ لَهَا آثَارٌ وَالدَّاخِلُ أَعْمَى فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ قَوْلَانِ
Keadaan ketiga adalah seseorang masuk ke dalamnya secara sukarela dengan izin dari penggali. Jika penggali telah memberitahukan kepadanya tentang lubang itu, maka tidak ada tanggungan atas penggali. Jika penggali tidak memberitahukannya, namun orang yang masuk itu dapat melihat dan terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya lubang tersebut, maka tidak ada tanggungan atas penggali. Namun, jika tidak ada tanda-tanda lubang itu, atau ada tanda-tanda tetapi orang yang masuk itu buta, maka dalam hal kewajiban tanggungan terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَظْهَرُ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ أَنَّهُ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَتَكُونُ نَفْسُ الْوَاقِعِ فِيهَا هَدَرًا لِأَنَّهُ دَخَلَ بِاخْتِيَارٍ وَالْحَفْرُ مُبَاحٌ
Salah satu pendapat, dan inilah yang lebih kuat serta dinyatakan secara tegas, adalah bahwa tidak ada tanggungan atasnya, dan jiwa orang yang terjatuh ke dalamnya menjadi sia-sia, karena ia masuk dengan pilihannya sendiri, sedangkan penggalian itu diperbolehkan.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَضْمَنُ الْحَافِرُ دِيَةَ الْوَاقِعِ تَخْرِيجًا مِنْ أَحَدِ قَوْلَيْهِ فِيمَنْ سَمَّ طَعَامًا وَأَذِنَ فِي أَكْلِهِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa orang yang menggali lubang wajib menanggung diyat orang yang terjatuh ke dalamnya, berdasarkan salah satu pendapat dalam kasus seseorang yang meracuni makanan lalu mengizinkan orang lain memakannya.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَحْفِرَ بِئْرًا فِي مِلْكِ غَيْرِهِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun bagian kedua, yaitu seseorang menggali sumur di tanah milik orang lain, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَحْفِرَهَا الْمَالِكُ فَلَا ضَمَانَ فِيمَا سَقَطَ فِيهَا عَلَى الْحَافِرِ وَلَا عَلَى الْمَالِكِ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا غَيْرُ مُتَعَدٍّ وَيَخْرُجُ الْحَافِرُ بِالْإِذْنِ مِنْ عَوَاقِبِ الْحَفْرِ
Salah satunya adalah apabila pemilik menggali sumur tersebut, maka tidak ada tanggungan atas apa pun yang jatuh ke dalamnya, baik atas penggali maupun atas pemilik, karena masing-masing dari mereka tidak dianggap melampaui batas. Dan penggali terbebas dari akibat-akibat penggalian karena adanya izin.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَحْفِرَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ مَالِكِهَا فَالْحَافِرُ مُتَعَدٍّ بِحَفْرِهَا وَهُوَ الضَّامِنُ لِمَا تَلِفَ فِيهَا مِنْ إِنْسَانٍ أَوْ بَهِيمَةٍ سَوَاءٌ قَدَرَ الْمَالِكُ عَلَى سَدِّهَا أَوْ لَمْ يَقْدِرْ لِخُرُوجِهِ عَنْ عُدْوَانِ الْحَفْرِ فَإِنْ أَرَادَ الْحَافِرُ أَنْ يُطِمَّهَا لِيَبْرَأَ مِنْ ضَمَانِهَا أَخَذَ الْمَالِكُ بِتَمْكِينِهِ مِنْ طَمِّهَا لِيَبْرَأَ مِنْ ضَمَانِ مَا سَقَطَ فِيهَا فَإِنْ أَبْرَأَهُ الْمَالِكُ مِنَ الضَّمَانِ فَفِيهِ وَجْهَانِ
Jenis kedua adalah jika seseorang menggali sumur tanpa izin pemiliknya, maka orang yang menggali tersebut dianggap melampaui batas dengan penggaliannya dan dialah yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di dalamnya, baik terhadap manusia maupun hewan, baik pemiliknya mampu menutup sumur itu maupun tidak, karena ia telah keluar dari batasan yang dibenarkan dalam menggali. Jika si penggali ingin menimbunnya agar terbebas dari tanggung jawab, maka pemilik sumur harus membiarkannya menimbun agar ia terbebas dari tanggung jawab atas apa yang jatuh ke dalamnya. Jika pemilik membebaskannya dari tanggung jawab, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّهَا بَرَاءَةٌ بَاطِلَةٌ لِتَقَدُّمِهَا عَلَى الْوُجُوبِ فَعَلَى هَذَا يُؤْخَذُ بِتَمْكِينِ الْحَافِرِ مِنْ طَمِّهَا
Salah satunya adalah bahwa ia merupakan pembebasan yang batal karena didahulukan sebelum adanya kewajiban, maka berdasarkan hal ini, yang diambil adalah memberikan kesempatan kepada penggali untuk menimbunnya kembali.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَبْرَأُ وَيَكُونُ الْإِبْرَاءُ جَارِيًا وَمَجْرَى الْإِذْنِ بِالْحَفْرِ فَعَلَى هَذَا يُمْنَعُ الْحَافِرُ مِنْ طَمِّهَا
Pendapat kedua, yaitu pembebasan utang, dan pembebasan tersebut berlaku seperti izin untuk menggali. Dengan demikian, dalam hal ini, orang yang menggali dilarang menimbunnya kembali.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَحْفِرَهَا فِي الْمَوَاتِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَحْفِرَهَا لِنَفْسِهِ لِيَتَمَلَّكَهَا فَيُمَكَّنُ وَيَصِيرُ مَالِكًا لَهَا بِالْإِحْيَاءِ وَسَوَاءٌ أَذِنَ فِيهِ الْإِمَامُ أَوْ لَمْ يَأْذَنْ لِأَنَّ إِحْيَاءَ الْمَوَاتِ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى إِذْنِهِ وَلَا يَضْمَنُ مَا سَقَطَ فِيهَا كَمَا لَا يَضْمَنُهُ فِيمَا حَفَرَهُ فِي مِلْكِهِ؛ لِأَنَّهُ فِي الْحَالَيْنِ مَالِكٌ
Adapun bagian ketiga, yaitu jika seseorang menggali sumur di tanah mati, maka hal ini terbagi menjadi dua macam. Pertama, jika ia menggali sumur itu untuk dirinya sendiri agar dapat memilikinya, maka ia diperbolehkan dan menjadi pemiliknya dengan cara menghidupkan tanah tersebut. Baik imam mengizinkannya maupun tidak, karena menghidupkan tanah mati tidak memerlukan izinnya. Ia juga tidak bertanggung jawab atas apa yang jatuh ke dalam sumur itu, sebagaimana ia tidak bertanggung jawab atas apa yang jatuh ke dalam sumur yang ia gali di tanah miliknya; karena dalam kedua keadaan itu, ia adalah pemiliknya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَحْفِرَهَا لِيَنْتَفِعَ هُوَ وَالسَّابِلَةُ بِمَائِهَا وَلَا يَتَمَلَّكُهَا فَيُنْظَرُ فَإِنْ أَذِنَ لَهُ الْإِمَامُ فِي حَفْرِهَا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِيمَا سَقَطَ فِيهَا لِقِيَامِ الْإِمَامِ بِعُمُومِ الْمَصَالِحِ وَإِذْنُهُ حُكْمٌ بِالْإِبْرَاءِ وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ الْإِمَامُ فِي حَفْرِهَا فَفِي ضَمَانِهِ قَوْلَانِ
Jenis yang kedua adalah seseorang menggali sumur agar ia sendiri dan para musafir dapat memanfaatkan airnya, namun ia tidak memilikinya. Maka, dilihat keadaannya: jika imam (penguasa) mengizinkannya untuk menggali sumur tersebut, maka tidak ada tanggungan (ganti rugi) atasnya terhadap apa yang jatuh ke dalam sumur itu, karena imam bertanggung jawab atas kemaslahatan umum dan izinnya merupakan keputusan pembebasan tanggungan. Namun, jika imam tidak mengizinkannya menggali sumur itu, maka dalam hal tanggung jawabnya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ عَلَيْهِ الضَّمَانُ وَجَعَلَ إِذْنَ الْإِمَامِ شَرْطًا فِي الْجَوَازِ لِأَنَّهُ أَحَقُّ بِالنَّظَرِ فِي عُمُومِ الْمَصَالِحِ مِنَ الْحَافِرِ
Salah satu pendapat, dan inilah yang beliau katakan dalam pendapat lama, adalah bahwa ia wajib menanggung ganti rugi, dan beliau menjadikan izin imam sebagai syarat kebolehan, karena imam lebih berhak dalam mengatur kemaslahatan umum dibandingkan orang yang menggali.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهُ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِي الْمُبَاحِ لِأَنَّ الْمُبَاحَ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى إِذْنِ الْإِمَامِ وَالْمَحْظُورُ لَا يُسْتَبَاحُ بِإِذْنِهِ
Pendapat kedua, yang juga dikemukakan dalam pendapat baru, menyatakan bahwa tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya dalam perkara yang mubah, karena perkara mubah tidak memerlukan izin dari imam, sedangkan perkara yang terlarang tidak menjadi boleh hanya dengan izinnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ أَنْ يَحْفِرَهَا فِي طَرِيقٍ سَابِلٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَضُرَّ حَفْرُهَا بِالْمَارَّةِ فَيَصِيرُ مُتَعَدِّيًا وَيَلْزَمُهُ ضَمَانُ مَا سَقَطَ فِيهَا سَوَاءٌ أَذِنَ لَهُ الْإِمَامُ أَوْ لَمْ يَأْذَنْ لِأَنَّ إِذْنَ الْإِمَامِ لَا يُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
Adapun bagian keempat, yaitu jika seseorang menggali lubang di jalan umum, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan. Pertama, jika penggalian tersebut membahayakan para pejalan kaki, maka ia dianggap melampaui batas dan wajib menanggung ganti rugi atas apa pun yang jatuh ke dalamnya, baik ia mendapat izin dari imam maupun tidak, karena izin dari imam tidak membolehkan hal-hal yang terlarang.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا تَضُرَّ بِالْمَارَّةِ؛ لِسَعَةِ الطَّرِيقِ وَانْحِرَافِ الْبِئْرِ عَنْ جَادَّةِ الْمَارَّةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah tidak membahayakan para pejalan kaki; karena jalan itu luas dan sumur tersebut letaknya menyimpang dari jalur utama para pejalan kaki, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَحْفِرَهَا لِيَتَمَلَّكَهَا فَهَذَا مَحْظُورٌ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَتَمَلَّكَ طَرِيقَ السَّابِلَةِ فَيَلْزَمُهُ ضَمَانُ مَا سَقَطَ فِيهَا
Salah satunya adalah seseorang menggali sumur tersebut untuk memilikinya, maka hal ini terlarang; karena tidak boleh seseorang memiliki jalan umum, sehingga ia wajib menanggung ganti rugi atas apa yang jatuh ke dalamnya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَحْفِرَهَا لِلِارْتِفَاقِ لَا لِلتَّمْلِيكِ فَإِنْ لَمْ يُحْكِمْ رَأْسَهَا وَتَرَكَهَا مَفْتُوحَةً ضَمِنَ مَا سَقَطَ فِيهَا وَإِنْ أَحْكَمَ رَأْسَهَا وَاسْتَأْذَنَ فِيهَا الْإِمَامَ لَمْ يَضْمَنْ وَإِنْ لَمْ يَسْتَأْذِنْهُ فِيهَا فَفِي وُجُوبِ ضَمَانِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ
Jenis kedua adalah jika seseorang menggali sumur untuk kemaslahatan umum, bukan untuk kepemilikan. Jika ia tidak memperkuat bagian atasnya dan membiarkannya terbuka, maka ia wajib menanggung apa pun yang jatuh ke dalamnya. Namun, jika ia memperkuat bagian atasnya dan telah meminta izin kepada imam, maka ia tidak wajib menanggung. Jika ia tidak meminta izin kepada imam, maka dalam hal kewajiban menanggungnya terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ يَضْمَنُ لِأَنَّهُ جَعَلَ إِذْنَ الْإِمَامِ شَرْطًا فِي عُمُومِ الْمَصَالِحِ
Salah satunya adalah qiyās atas ucapannya mengenai yang lama, yaitu ia wajib menanggung karena ia menjadikan izin imam sebagai syarat dalam seluruh kemaslahatan umum.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَضْمَنُ لِلِارْتِفَاقِ الَّذِي لَا يَجِدُ النَّاسُ مِنْهُ بُدًّا
Pendapat kedua adalah tidak menjamin hak irtifaq atas sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهُ إِنْ حَفَرَهَا لِارْتِفَاقِ كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ بِهَا إِمَّا لِشُرْبِهِمْ مِنْهَا
Adapun alasan yang ketiga adalah jika ia menggali sumur tersebut untuk kemaslahatan seluruh kaum Muslimin, baik untuk keperluan minum mereka darinya.
وَإِمَّا لِيُفِيضَ مِيَاهَ الْأَمْطَارِ إِلَيْهَا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ حَفْرَهَا لِيَخْتَصَّ بِالِارْتِفَاقِ بِهَا لِحَشْرِ دَارِهِ أَوْ لِمَاءِ مَطَرِهَا فَعَلَيْهِ الضَّمَانُ؛ لِأَنَّ عُمُومَ الْمَصَالِحِ أَوْسَعُ حُكْمًا مِنْ خُصُوصِهَا وَفِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ البئر جبار والمعدن جبار وفيه تأويلان
Atau jika ia membuat saluran agar air hujan mengalir ke sana, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Namun, jika ia menggali saluran itu untuk mengambil manfaat khusus bagi dirinya sendiri, seperti untuk keperluan rumahnya atau untuk menampung air hujan di rumahnya, maka ia wajib mengganti rugi; karena kemaslahatan umum lebih luas hukumnya daripada kemaslahatan khusus. Dalam sabda Nabi ﷺ: “Sumur itu tidak ada tanggungan, dan tambang itu tidak ada tanggungan,” terdapat dua penafsiran.
أحدهما المراد به الأجبر فِي حَفْرِ الْبِئْرِ وَالْمَعْدِنُ إِذَا تَلِفَ كَانَ هَدَرًا
Salah satunya yang dimaksud adalah pemaksa dalam penggalian sumur, dan apabila tambang itu rusak maka dianggap hilang begitu saja (tidak ada ganti rugi).
وَالثَّانِي أَنَّ مَا سَقَطَ فِيهَا بَعْدَ الْحَفْرِ هَدَرٌ وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى عُمُومِ الْأَمْرَيْنِ فِيمَا اسْتُبِيحَ فِعْلُهُ وَإِنْ أُرِيدَ بِهِ أَحَدُهُمَا لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الْمَعْنَى
Kedua, bahwa apa pun yang jatuh ke dalamnya setelah digali adalah sia-sia, dan tidak mustahil untuk memaknainya pada keumuman kedua perkara tersebut dalam hal yang dibolehkan untuk dilakukan, meskipun yang dimaksudkan adalah salah satunya saja, karena keduanya memiliki kesamaan dalam makna.
فَصْلٌ
Fasal
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ إِنْ بَنَى مَسْجِدًا فِي طَرِيقٍ سَابِلٍ فَإِنْ كَانَ مُضِرًّا بِالْمَارَّةِ لِضِيقِ الطَّرِيقِ أَوْ سَعَةِ الْمَسْجِدِ كَانَ ضَامِنًا لِمَا تَلِفَ بِهِ مِنَ الْمَارَّةِ وَإِنْ لَمْ يَضُرَّ بِهِمْ فَإِنْ كَانَ قَدْ بَنَاهُ بِإِذْنِ الْإِمَامِ لَمْ يَضْمَنْ وَإِنْ بَنَاهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ لِأَنَّهُ مِنْ عُمُومِ الْمَصَالِحِ وَلَوْ عَلَّقَ قِنْدِيلًا فِي مَسْجِدٍ فَسَقَطَ عَلَى إِنْسَانٍ فَقَتَلَهُ أَوْ فَرَشَ فِيهِ بَارِيَّةً أَوْ حَصِيرًا فعثر به داخل إِلَيْهِ فَخَرَّ مَيِّتًا فَقَدْ كَانَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ يُجْرِيهِ مُجْرَى بِنَاءِ الْمَسْجِدِ إِنْ كَانَ بِإِذْنِ الْإِمَامِ لَمْ يَضْمَنْ وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَعَلَى وَجْهَيْنِ وَخَالَفَهُ سَائِرُ أَصْحَابِنَا وَقَالُوا لَا يَضْمَنُ وَجْهًا وَاحِدًا سَوَاءٌ أَذِنَ فِيهِ الْإِمَامُ أَوْ لَمْ يَأْذَنْ وَهُوَ الصَّحِيحُ لِكَثْرَتِهِ فِي الْعُرْفِ وَإِنْ أَذِنَ الْإِمَامُ فِيهِ شَقَّ
Berdasarkan apa yang telah kami sebutkan, jika seseorang membangun masjid di jalan umum, maka jika hal itu membahayakan para pejalan kaki karena sempitnya jalan atau luasnya masjid, ia bertanggung jawab atas kerusakan yang menimpa para pejalan kaki. Namun jika tidak membahayakan mereka, maka jika ia membangunnya dengan izin imam, ia tidak bertanggung jawab. Jika ia membangunnya tanpa izin imam, maka ada dua pendapat mengenai tanggung jawabnya, karena hal itu termasuk dalam kemaslahatan umum. Jika seseorang menggantungkan lampu di masjid lalu jatuh menimpa seseorang hingga meninggal, atau menghamparkan tikar atau anyaman di dalamnya lalu seseorang tersandung dan terjatuh hingga meninggal, maka Abu Hamid al-Isfara’ini memperlakukannya seperti membangun masjid: jika dengan izin imam, tidak bertanggung jawab; jika tanpa izin, ada dua pendapat. Namun mayoritas ulama kami berbeda pendapat dengannya dan mengatakan tidak bertanggung jawab dalam satu pendapat, baik dengan izin imam maupun tanpa izin, dan inilah pendapat yang benar karena hal itu sudah menjadi kebiasaan umum. Namun jika imam mengizinkan dalam hal yang memberatkan…
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا اسْتَقَرَّ حَفْرُ الْبِئْرِ بِحَقٍّ فَوَقَعَ فِيهَا وَاقِعٌ وَوَقَعَ فَوْقَهُ آخَرُ وَحَدَثَ مِنْ ذَلِكَ مَوْتٌ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Apabila penggalian sumur telah dilakukan secara sah, lalu seseorang jatuh ke dalamnya, kemudian ada orang lain yang jatuh di atasnya, dan dari kejadian itu terjadi kematian, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَقَعَ الثَّانِي خَلْفَ الْأَوَّلِ مِنْ غَيْرِ جَذْبٍ وَلَا دَفْعٍ فَإِنْ مَاتَ الْأَوَّلُ فَدِيَتُهُ هَدَرٌ لِأَنَّهُ لَا صُنْعَ لِغَيْرِهِ فِي مَوْتِهِ وَإِنْ مَاتَا جَمِيعًا وَجَبَتْ دِيَةُ الْأَوَّلِ عَلَى الثَّانِي وَكَانَتْ دِيَةُ الثَّانِي هَدَرًا لِمَا ذَكَرْنَا رَوَى عُلَيُّ بْنُ رَبَاحٍ اللَّخْمِيُّ أَنَّ بَصِيرًا كَانَ يَقُودُ أَعْمَى فَوَقَعَا فِي بِئْرٍ وَوَقَعَ الْأَعْمَى فَوْقَ الْبَصِيرِ فَقَتَلَهُ فَقَضَى عُمَرُ بِعَقْلِ الْبَصِيرِ عَلَى الْأَعْمَى فَكَانَ الْأَعْمَى يَنْشُدُ فِي الْمَوْسِمِ وَيَقُولُ
Salah satunya adalah jika yang kedua jatuh setelah yang pertama tanpa ada tarikan atau dorongan. Jika yang pertama meninggal, maka diyatnya gugur karena tidak ada campur tangan orang lain dalam kematiannya. Namun jika keduanya meninggal, maka diyat yang pertama wajib ditanggung oleh yang kedua, sedangkan diyat yang kedua gugur sebagaimana telah kami sebutkan. Ali bin Rabah al-Lakhmi meriwayatkan bahwa seorang buta dipandu oleh seorang yang dapat melihat, lalu keduanya jatuh ke dalam sumur, dan si buta jatuh di atas si melihat sehingga membunuhnya. Maka Umar memutuskan bahwa diyat si melihat ditanggung oleh si buta. Maka si buta pun bersyair di musim haji dan berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ لَقِيتُ مُنْكَرَا هَلْ يَعْقِلُ الْأَعْمَى الصَّحِيحَ الْمُبْصِرَا
Wahai manusia, aku telah menyaksikan sesuatu yang mungkar; apakah orang buta dapat memahami apa yang dipahami oleh orang yang sehat dan dapat melihat?
خَرَّا مَعًا كِلَاهُمَا تَكَسَّرَا
Keduanya jatuh bersama-sama, keduanya pun hancur.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَجْذِبَ الْأَوَّلُ الثَّانِيَ فَيَقَعُ عَلَيْهِ فَإِنْ مَاتَ الْأَوَّلُ كَانَتْ دِيَتُهُ هَدَرًا وَإِنْ مَاتَ الثَّانِي كَانَتْ دِيَتُهُ كُلُّهَا عَلَى الْأَوَّلِ بِخِلَافِ الضَّرْبِ الْأَوَّلِ لِأَنَّ الْجَاذِبَ هُوَ الْقَاتِلُ وَالْأَوَّلُ جَاذِبٌ وَالثَّانِي مَجْذُوبٌ فَصَارَ الْأَوَّلُ ضَامِنًا غَيْرَ مَضْمُونٍ وَالثَّانِي مَضْمُونًا غَيْرَ ضَامِنٍ فَعَلَى هَذَا لَوْ وَقَعَ الْأَوَّلُ ثُمَّ وقع عليه الثاني ثم وقع عليهما ثالثا فَإِنْ كَانَ وُقُوعُهُمْ مِنْ غَيْرِ جَذْبٍ وَلَا دَفْعٍ فَدِيَةُ الْأَوَّلِ عَلَى الثَّانِي وَالثَّالِثِ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ بِوُقُوعِهِمَا عَلَيْهِ فَاشْتَرَكَا فِي دِيَتِهِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي تَلَفِهِ وَدِيَةُ الثَّانِي عَلَى الثَّالِثِ؛ لِأَنَّهُ انْفَرَدَ بِالْوُقُوعِ عَلَيْهِ فَانْفَرَدَ بِدِيَتِهِ وَدِيَةُ الثَّالِثِ هَدَرٌ؛ لِأَنَّهُ تَلِفَ مِنْ وُقُوعِهِ وَإِنْ جَذَبَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فَجَذَبَ الْأَوَّلُ الثَّانِيَ وَجَذَبَ الثَّانِي الثَّالِثَ فَإِذَا مَاتُوا جَمِيعًا كَانَ مَوْتُ الْأَوَّلِ وَالثَّانِي بِفِعْلٍ قَدِ اشْتَرَكَا فِيهِ وَمَوْتُ الثَّالِثِ بِفِعْلٍ لَمْ يُشَارِكْهُمَا فِيهِ لِأَنَّ مَوْتَ الْأَوَّلِ كَانَ بِجَذْبِهِ لِلثَّانِي وَبِجَذْبِ الثَّانِي لِلثَّالِثِ وَمَوْتُ الثَّانِي بِجَذْبِ الْأَوَّلِ وَبِجَذْبِ الثَّانِي لِلثَّالِثِ فَصَارَ الْأَوَّلُ وَالثَّانِي مُشْتَرِكَيْنِ فِي قَتْلِ أَنْفُسِهِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمَا حُكْمُ الْمُصْطَدِمَيْنِ وَكَانَ النِّصْفُ مِنْ دِيَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا هَدَرًا؛ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ فِعْلِهِ وَالنِّصْفُ الْآخَرُ عَلَى عَاقِلَةِ صَاحِبِهِ فَيَكُونُ عَلَى عَاقِلَةِ الْأَوَّلِ نِصْفُ دِيَةِ الثَّانِي وَبَاقِيهَا هدر وَعَلَى عَاقِلَةِ الثَّانِي نِصْفُ دِيَةِ الْأَوَّلِ وَبَاقِيهَا هَدَرٌ فَأَمَّا الثَّالِثُ فَهُوَ مَجْذُوبٌ وَلَيْسَ بِجَاذِبٍ فَتَكُونُ جَمِيعُ دِيَتِهِ مَضْمُونَةً؛ لِأَنَّهُ مَجْذُوبٌ وَلَا يَضْمَنُ دِيَةَ غَيْرِهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِجَاذِبٍ وَفِيمَنْ يَضْمَنُ دِيَتَهُ وَجْهَانِ
Jenis kedua adalah ketika yang pertama menarik yang kedua sehingga yang kedua jatuh menimpanya. Jika yang pertama meninggal, maka diyatnya menjadi gugur. Jika yang kedua meninggal, maka seluruh diyatnya menjadi tanggungan yang pertama, berbeda dengan jenis pertama, karena yang menarik adalah pembunuhnya, dan yang pertama adalah penarik, sedangkan yang kedua adalah yang ditarik, sehingga yang pertama menjadi penanggung tanpa ada yang menanggungnya, dan yang kedua menjadi yang ditanggung tanpa menanggung. Berdasarkan hal ini, jika yang pertama jatuh, lalu yang kedua jatuh menimpanya, kemudian yang ketiga jatuh menimpa mereka, maka jika jatuhnya mereka tanpa ada saling menarik atau mendorong, maka diyat yang pertama menjadi tanggungan yang kedua dan ketiga, karena ia meninggal akibat jatuhnya mereka berdua di atasnya, sehingga keduanya berbagi dalam diyatnya karena keduanya turut menyebabkan kematiannya. Diyat yang kedua menjadi tanggungan yang ketiga, karena hanya ia sendiri yang jatuh menimpanya, maka hanya ia yang menanggung diyatnya. Diyat yang ketiga gugur, karena ia meninggal akibat jatuhnya sendiri. Namun jika sebagian dari mereka saling menarik, misalnya yang pertama menarik yang kedua, dan yang kedua menarik yang ketiga, maka jika mereka semua meninggal, kematian yang pertama dan kedua terjadi karena perbuatan yang mereka berdua lakukan bersama, sedangkan kematian yang ketiga karena perbuatan yang tidak melibatkan keduanya, karena kematian yang pertama terjadi karena menarik yang kedua dan karena yang kedua menarik yang ketiga, dan kematian yang kedua karena ditarik oleh yang pertama dan menarik yang ketiga. Maka yang pertama dan kedua sama-sama berpartisipasi dalam membunuh diri mereka sendiri, sehingga berlaku hukum bagi dua orang yang saling bertabrakan, dan setengah dari diyat masing-masing dari mereka gugur, karena sebagai balasan atas perbuatannya, dan setengah sisanya menjadi tanggungan ‘āqilah rekannya. Maka atas ‘āqilah yang pertama setengah diyat yang kedua dan sisanya gugur, dan atas ‘āqilah yang kedua setengah diyat yang pertama dan sisanya gugur. Adapun yang ketiga, ia adalah yang ditarik dan bukan penarik, maka seluruh diyatnya menjadi tanggungan, karena ia adalah yang ditarik dan tidak menanggung diyat orang lain karena ia bukan penarik. Dalam hal siapa yang menanggung diyatnya, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يَضْمَنُهَا الثَّانِي دُونَ الْأَوَّلِ لِأَنَّ الثَّانِيَ هُوَ الْمُبَاشِرُ بِجَذْبِهِ
Salah satunya dijamin oleh yang kedua, bukan oleh yang pertama, karena yang kedua adalah pelaku langsung yang menariknya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَضْمَنُهَا الثَّانِي وَالْأَوَّلُ بَيْنَهُمَا بِالسَّوَاءِ لِأَنَّ الْأَوَّلَ لَمَّا جَذَبَ الثَّانِيَ وَجَذَبَ الثَّانِي الثَّالِثَ صَارَا مُشْتَرِكَيْنِ فِي جَذْبِ الثَّالِثِ فَلِذَلِكَ اشْتَرَكَا فِي ضَمَانِ دِيَتِهِ وَعَلَى هَذَا لَوْ جَذَبَ الْأَوَّلُ ثَانِيًا وَجَذَبَ الثَّانِي ثَالِثًا وَجَذَبَ الثَّالِثُ رَابِعًا وَمَاتُوا فَيَسْقُطُ الثُّلُثُ مِنْ دِيَةِ الْأَوَّلِ هَدَرًا وَيَجِبُ ثُلُثَاهَا عَلَى الثَّانِي وَالثَّالِثِ؛ لِأَنَّهُ مات بحذبه لِلثَّانِي وَبِجَذْبِ الثَّانِي لِلثَّالِثِ وَبِجَذْبِ الثَّالِثِ لِلرَّابِعِ فَكَانَ مَوْتُهُ بِفِعْلِهِ وَفِعْلِ الثَّانِي وَفِعْلِ الثَّالِثِ وَلَيْسَ لِلرَّابِعِ فِعْلٌ؛ لِأَنَّهُ مَجْذُوبٌ وَلَيْسَ بِجَاذِبٍ فَكَانَ ثُلُثَ دِيَتِهِ هَدَرًا؛ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ فِعْلِهِ وَثُلُثُهَا عَلَى عَاقِلَةِ الثَّانِي وَثُلُثُهَا عَلَى عَاقِلَةِ الثَّالِثِ وَهَكَذَا الْحُكْمُ فِي الثَّانِي يَكُونُ ثلث ديته هدراً وثلثاها عَلَى عَاقِلَةِ الْأَوَّلِ وَثُلُثُهَا عَلَى عَاقِلَةِ الثَّالِثِ لِأَنَّهُ مَاتَ بِجَذْبِ الْأَوَّلِ لَهُ وَبِجَذْبِهِ لِلثَّالِثِ وَبِجَذْبِ الثَّالِثِ الرَّابِعَ فَصَارَ الْأَوَّلُ وَالثَّانِي وَالثَّالِثُ مُشْتَرِكِينَ فِي قَتْلِ الثَّالِثِ فَسَقَطَ ثُلُثُ الدِّيَةِ لِأَنَّهَا فِي مُقَابَلَةِ فِعْلِهِ وَوَجَبَ ثُلُثَاهَا عَلَى الْأَوَّلِ وَالثَّالِثِ وَأَمَّا دِيَةُ الثَّالِثِ فَفِي قَدْرِ مَا يُهْدَرُ مِنْهَا وَيُضْمَنُ وَجْهَانِ
Pendapat kedua, yang menjamin (diyat) adalah orang kedua, sedangkan yang pertama dan kedua menanggungnya secara bersama, karena yang pertama menarik yang kedua, dan yang kedua menarik yang ketiga, sehingga keduanya menjadi sama-sama berperan dalam menarik yang ketiga. Oleh karena itu, keduanya berbagi dalam menanggung diyatnya. Berdasarkan hal ini, jika yang pertama menarik yang kedua, yang kedua menarik yang ketiga, dan yang ketiga menarik yang keempat, lalu mereka semua meninggal, maka sepertiga dari diyat orang pertama gugur (tidak ditanggung) dan dua pertiganya wajib ditanggung oleh orang kedua dan ketiga; karena kematiannya disebabkan oleh tarikan orang kedua, tarikan orang ketiga kepada keempat, sehingga kematiannya terjadi karena perbuatan dirinya, perbuatan orang kedua, dan perbuatan orang ketiga, sedangkan orang keempat tidak melakukan apa-apa karena ia hanya ditarik dan bukan penarik, sehingga sepertiga diyatnya menjadi gugur karena itu merupakan akibat dari perbuatannya sendiri, dan sepertiganya ditanggung oleh ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) orang kedua dan sepertiganya lagi oleh ‘āqilah orang ketiga. Demikian pula hukum untuk orang kedua, yaitu sepertiga diyatnya gugur dan dua pertiganya ditanggung oleh ‘āqilah orang pertama dan sepertiganya oleh ‘āqilah orang ketiga, karena ia meninggal akibat tarikan orang pertama kepadanya, tarikan dirinya kepada orang ketiga, dan tarikan orang ketiga kepada orang keempat, sehingga orang pertama, kedua, dan ketiga bersama-sama dalam membunuh orang ketiga, maka sepertiga diyatnya gugur karena itu akibat perbuatannya sendiri, dan dua pertiganya wajib ditanggung oleh orang pertama dan ketiga. Adapun diyat orang ketiga, maka dalam hal berapa yang gugur dan berapa yang wajib ditanggung terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا يُهْدَرُ نِصْفُ دِيَتِهِ وَيَجِبُ نِصْفُهَا عَلَى الثَّانِي؛ لِأَنَّهُ مَاتَ بِجَذْبِ الثَّانِي وَبِجَذْبِهِ لِلرَّابِعِ فَصَارَ مُشَارِكًا لِلثَّانِي فِي قَتْلِ نَفْسِهِ فَسَقَطَتْ نِصْفُ دِيَتِهِ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ قَتْلِهِ وَوَجَبَ نِصْفُهَا عَلَى الثَّانِي وَخَرَجَ مِنْهَا الْأَوَّلُ لِأَنَّهُ بَاشَرَ جَذْبَهُ
Salah satu dari keduanya gugur setengah diyatnya dan setengahnya lagi wajib atas yang kedua; karena ia meninggal akibat tarikan yang dilakukan oleh yang kedua dan juga karena ia menarik yang keempat, sehingga ia menjadi turut serta dengan yang kedua dalam membunuh dirinya sendiri, maka gugurlah setengah diyatnya karena hal itu sebagai balasan atas pembunuhan dirinya, dan setengahnya lagi wajib atas yang kedua, sedangkan yang pertama terbebas darinya karena ia hanya melakukan penarikan saja.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يَنْهَدِرُ مِنْ دِيَتِهِ ثُلُثُهَا وَيَجِبُ ثُلُثَاهَا عَلَى الْأَوَّلِ وَالثَّانِي لِأَنَّ الْأَوَّلَ لَمَّا جَذَبَ الثَّانِيَ صَارَ مُشَارِكًا لَهُ فِي جَذْبِ الثَّالِثِ وَلَمَّا جَذَبَ الثَّالِثُ الرَّابِعَ صَارَ مُشَارِكًا لِلْأَوَّلِ وَالثَّانِي فِي قَتْلِ نَفْسِهِ وَهُمْ ثَلَاثَةٌ فَسَقَطَ مِنْ دِيَتِهِ ثُلُثُهَا لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ فِعْلِهِ وَوَجَبَ ثُلُثَاهَا عَلَى الْأَوَّلِ وَالثَّانِي وَأَمَّا دِيَةُ الرَّابِعِ فَجَمِيعُهَا وَاجِبَةٌ لَا يَنْهَدِرُ مِنْهَا شَيْءٌ؛ لِأَنَّهُ مَجْذُوبٌ وَلَيْسَ بِجَاذِبٍ وَمَقْتُولٌ وَلَيْسَ بِقَاتِلٍ وَفِيمَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ دِيَتُهُ وَجْهَانِ
Pendapat kedua adalah bahwa dari diyatnya gugur sepertiganya dan wajib dua pertiganya atas orang pertama dan kedua, karena ketika orang pertama menarik orang kedua, ia menjadi sekutu baginya dalam menarik orang ketiga. Dan ketika orang ketiga menarik orang keempat, ia menjadi sekutu bagi orang pertama dan kedua dalam membunuh dirinya sendiri, dan mereka bertiga, maka gugur dari diyatnya sepertiganya karena itu sebagai balasan atas perbuatannya, dan wajib dua pertiganya atas orang pertama dan kedua. Adapun diyat orang keempat, seluruhnya wajib dan tidak gugur sedikit pun darinya, karena ia adalah orang yang ditarik, bukan yang menarik, dan terbunuh, bukan pembunuh. Dalam hal siapa yang wajib membayar diyatnya, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا تَجِبُ عَلَى الثَّالِثِ وَحْدَهُ لِأَنَّهُ بَاشَرَ جَذْبَهُ
Salah satunya wajib atas orang ketiga saja karena dialah yang secara langsung menariknya.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا تَجِبُ عَلَى الْأَوَّلِ وَالثَّانِي وَالثَّالِثِ أَثْلَاثًا لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ منهما جَاذِبٌ لِمَنْ بَعْدَهُ فَصَارُوا مُشْتَرِكِينَ فِي جَذْبِ الرَّابِعِ فَاشْتَرَكُوا فِي تَحَمُّلِ دِيَتِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Pendapat kedua adalah bahwa diyat itu wajib atas pihak pertama, kedua, dan ketiga, masing-masing sepertiga, karena masing-masing dari mereka menarik yang setelahnya, sehingga mereka bersama-sama menarik yang keempat, maka mereka pun bersama-sama menanggung diyatnya. Allah lebih mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه أَوْ مَالَ حَائِطٌ مِنْ دَارِهِ فَوَقَعَ عَلَى إِنْسَانٍ فَمَاتَ فَلَا شَيْءَ فِيهِ وَإِنْ أَشْهَدَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ وَضَعَهُ فِي مِلْكِهِ وَالْمَيْلُ حَادِثٌ مِنْ غَيْرِ فِعْلِهِ وَقَدْ أَسَاءَ بِتِرْكِهِ وَمَا وَضَعَهُ فِي مِلْكِهِ فَمَاتَ بِهِ إِنْسَانٌ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ وَإِنْ تَقَدَّمَ إِلَيْهِ الْوَالِي فِيهِ أَوْ غَيْرِهِ فَلَمْ يَهْدِمْهُ حَتَّى وَقَعَ عَلَى إِنْسَانٍ فَقَتَلَهُ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ عِنْدِي فِي قِيَاسِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Atau jika dinding rumahnya miring lalu roboh menimpa seseorang sehingga orang itu meninggal, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya, meskipun sebelumnya ia telah memberitahukan kepada orang lain, karena ia meletakkan dinding itu di dalam miliknya dan kemiringan itu terjadi tanpa perbuatannya. Ia memang bersalah karena membiarkannya, namun apa yang ia letakkan di dalam miliknya lalu menyebabkan kematian seseorang, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Al-Muzani berkata: Jika penguasa atau selainnya telah memperingatkannya tentang hal itu, namun ia tidak merobohkannya hingga akhirnya dinding itu roboh menimpa seseorang dan membunuhnya, maka menurutku tidak ada kewajiban apa pun atasnya menurut qiyās pendapat Imam Syafi‘i.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وصورتها في حائط سقط في مِنْ دَارِ رَجُلٍ فَأَتْلَفَ نُفُوسًا وَأَمْوَالًا فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah pada tembok yang roboh dari rumah seseorang lalu merusak jiwa dan harta, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ الْحَائِطُ مُنْتَصِبًا فَيَسْقُطُ عَنِ انْتِصَابِهِ
Salah satunya adalah tembok itu dalam keadaan tegak lalu roboh dari keadaan tegaknya.
وَالثَّانِي أَنْ يَبْنِيَهُ الْمَالِكُ مَائِلًا فَيَسْقُطُ لِإِمَالَتِهِ
Kedua, apabila pemilik membangunnya dalam keadaan miring, lalu bangunan itu roboh karena kemiringannya.
وَالثَّالِثُ أَنْ يَبْنِيَهُ مُنْتَصِبًا ثُمَّ يَمِيلُ ثُمَّ يَسْقُطُ لِمَيْلِهِ
Ketiga, yaitu ia membangunnya dalam keadaan tegak, kemudian miring, lalu roboh karena kemiringannya.
فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مُنْتَصِبًا فَيَسْقُطُ عَنِ انْتِصَابِهِ مِنْ غَيْرِ مَيْلٍ مُسْتَقِرٍّ فِيهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِيمَا تَلِفَ بِهِ سَوَاءٌ كَانَ سُقُوطُهُ إِلَى دَارِهِ أَوْ دَارِ جَارِهِ أَوْ إِلَى الطَّرِيقِ السَّابِلِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْهُ عُدْوَانٌ يُوجِبُ الضَّمَانَ وَسَوَاءٌ كَانَ فِي الْحَائِطِ شَقٌّ بِالطُّولِ أَوْ بِالْعَرْضِ وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى إِنْ كَانَ شَقُّ الْحَائِطِ طُولًا لَمْ يَضْمَنْ وَإِنْ كَانَ شَقُّهُ عَرْضًا ضَمِنَ؛ لِأَنَّ شَقَّ الْعَرْضِ مُؤْذِنٌ بِالسُّقُوطِ فَصَارَ بِتَرْكِهِ مُفَرِّطًا وَشَقُّ الطُّولِ غَيْرُ مُؤْذِنٍ بِالسُّقُوطِ فَلَمْ يَصِرِ بِتَرْكِهِ مُفَرِّطًا وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا حَكَاهُ عَنْ مُوسَى وَالْخَضِرِ عليهما السلام فوجدا فيهما جداراً يريد أن ينقص فَأَقَامَهُ الكهف 77 وَمَعْنَى يَنْقَضُّ أَيْ يَسْقُطُ فَلَوْلَا مَا فِي تَرْكِهِ مِنَ التَّفْرِيطِ لَمَا أَقَامَهُ وَلِيُّ اللَّهِ الْخَضِرُ وَلَأَقَرَّهُ عَلَى حَالِهِ لِمَالِكِهِ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ ابْنُ أَبِي لَيْلَى فَاسِدٌ من وجهين
Adapun bagian pertama, yaitu ketika (tembok) itu berdiri tegak lalu roboh dari keadaan tegaknya tanpa ada kemiringan yang menetap padanya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya terhadap kerusakan yang ditimbulkannya, baik robohnya itu ke rumahnya sendiri, ke rumah tetangganya, atau ke jalan umum; karena tidak ada unsur pelanggaran darinya yang mewajibkan adanya ganti rugi. Sama saja apakah pada tembok itu terdapat retakan memanjang atau melintang. Ibn Abi Laila berpendapat, jika retakan pada tembok itu memanjang maka tidak wajib ganti rugi, tetapi jika retakannya melintang maka wajib ganti rugi; karena retakan melintang menunjukkan tanda akan roboh, sehingga dengan membiarkannya berarti telah lalai, sedangkan retakan memanjang tidak menunjukkan tanda akan roboh sehingga dengan membiarkannya tidak dianggap lalai. Allah Ta‘ala telah berfirman dalam kisah Musa dan Khidir ‘alaihimas salam: “Lalu mereka mendapati di dalamnya sebuah dinding yang hampir roboh, maka Khidir menegakkannya” (al-Kahfi: 77). Makna “hampir roboh” adalah hampir jatuh. Maka, kalau bukan karena dalam membiarkannya terdapat unsur kelalaian, tentu wali Allah Khidir tidak akan menegakkannya dan akan membiarkannya sebagaimana adanya untuk pemiliknya. Pendapat Ibn Abi Laila ini rusak dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَدْ يَسْقُطُ بِشَقِّ الطُّولِ وَيَبْقَى مَعَ شَقِّ الْعَرْضِ
Salah satunya adalah bahwa suatu kewajiban bisa gugur dengan sisi panjang, namun tetap berlaku dengan sisi lebar.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَيْسَ شَقُّهُ عِوَضًا بِأَكْثَرَ مِنْ تَشْرِيخِ آلَةِ الْحَائِطِ وَتَعْيِينِهَا مِنْ غَيْرِ بِنَاءٍ وَهُوَ لَوْ فَعَلَ ذَلِكَ فَسَقَطَ لَمْ يَضْمَنْ فَكَانَ أَوْلَى إِذَا بَنَاهُ فَانْشَقَّ عَرْضًا أَنْ لَا يَضْمَنَ فَأَمَّا الْآيَةُ فَعَنْهَا جَوَابَانِ
Kedua, bahwa membelahnya itu tidak lebih sebagai pengganti daripada hanya membuat goresan pada alat dinding dan menentukannya tanpa membangun, dan jika ia melakukan hal itu lalu dinding itu roboh, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi. Maka lebih utama lagi jika ia membangunnya lalu dinding itu retak secara melintang, ia pun tidak wajib menanggung ganti rugi. Adapun mengenai ayat tersebut, ada dua jawaban terhadapnya.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْخَضِرَ إِمَّا نَبِيٌّ مَبْعُوثٌ أَوْ وَلِيٌّ مَخْصُوصٌ عَلَى حَسَبِ الِاخْتِلَافِ فِي نُبُوَّتِهِ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى مَصَالِحِ الْبَوَاطِنِ عَلَى مَا خَالَفَ ظَوَاهِرَهَا وَلِذَلِكَ أَنْكَرَهَا مُوسَى عَلَيْهِ وَلَوْ سَاغَ فِي الظَّاهِرِ مَا فَعَلَهُ الْخَضِرُ لَمْ يُنْكِرْهُ مُوسَى فَكَانَ فِي إِنْكَارِ مُوسَى فِي الظَّاهِرِ لَنَا دَلِيلٌ وَإِنْ كَانَ فِي فِعْلِ الْخَضِرِ لِابْنِ أَبِي لَيْلَى فِي الْبَاطِنِ دَلِيلٌ وَالْحُكْمُ فِي الشَّرْعِ مُعْتَبَرٌ بِالظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ فَكَانَ دَلِيلُنَا مِنَ الْآيَةِ أَحَجَّ
Salah satu di antaranya adalah bahwa Khidir, baik sebagai nabi yang diutus maupun wali yang dikhususkan—sesuai dengan perbedaan pendapat tentang kenabiannya—telah diberi pengetahuan tentang maslahat-maslahat batin yang berbeda dengan apa yang tampak secara lahir. Oleh karena itu, Musa ‘alaihis salam mengingkarinya. Seandainya apa yang dilakukan Khidir itu boleh secara lahir, niscaya Musa tidak akan mengingkarinya. Maka, dalam pengingkaran Musa secara lahir terdapat dalil bagi kita, meskipun dalam perbuatan Khidir menurut Ibnu Abi Laila secara batin juga terdapat dalil. Namun, hukum dalam syariat itu dianggap berdasarkan yang lahir, bukan yang batin. Maka dalil kami dari ayat ini lebih kuat.
وَالثَّانِي أَنَّهُ قَدْ قَرَأَ عِكْرِمَةُ جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَاضَ وَالْفَرْقَ بَيْنَ يَنْقَضُّ وَيَنْقَاضُ أَنَّ يَنْقَضَّ يَسْقُطُ وَيَنْقَاضُ يَنْشَقُّ طُولًا وَانْشِقَاقُ الطُّولِ عِنْدَ ابْنِ أَبِي لَيْلَى غَيْرُ مَضْمُونٍ وَلَعَلَّ عكرمة تحرز بهذه القرارة مِنْ مِثْلِ قَوْلِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى
Kedua, sesungguhnya ‘Ikrimah telah membaca (ayat) “jidāran yurīdu an yanqāḍa.” Perbedaan antara “yanqaḍḍu” dan “yanqāḍu” adalah bahwa “yanqaḍḍu” berarti roboh, sedangkan “yanqāḍu” berarti retak memanjang. Retaknya secara memanjang menurut Ibnu Abi Laila tidak dijamin (tidak dianggap membahayakan), dan barangkali ‘Ikrimah berhati-hati dengan bacaan ini dari pendapat seperti Ibnu Abi Laila.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَبْنِيَهُ مَائِلًا فَيَسْقُطُ لِإِمَالَتِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَجْعَلَ إِمَالَةَ بِنَائِهِ إِلَى مِلْكِهِ فَلَا يَضْمَنُ مَا تَلِفَ بِهِ إِذَا سَقَطَ لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَفْعَلَ بِمِلْكِهِ فِي مِلْكِهِ مَا شَاءَ مِنْ مَخُوفٍ أَوْ غَيْرِ مَخُوفٍ كَحَفْرِ بِئْرٍ وَارْتِبَاطِ سَبُعٍ أَوْ تَأْجِيجِ نَارٍ وَسَوَاءٌ عَلِمَ مَنْ سَقَطَ عَلَيْهِ بِمَيْلِ الْحَائِطِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ أَنْذَرَهُمْ بِهِ أَوْ لَمْ يُنْذِرْهُمْ لِأَنَّهُمْ أَقَامُوا تَحْتَهُ بِاخْتِيَارِهِمْ فَلَوْ رَبَطَ أَحَدُهُمْ تَحْتَهُ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى الِانْصِرَافِ عَنْهُ حَتَّى سَقَطَ عَلَيْهِ نُظِرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْحَائِطُ مُنْذِرًا بِالسُّقُوطِ لَمْ يَضْمَنْهُ وَإِنْ كَانَ مُنْذِرًا بِالسُّقُوطِ ضَمِنَهُ لِأَنَّهُ مَخُوفٌ إِذَا أَنْذَرَ وَغَيْرُ مَخُوفٍ إِذَا لَمْ يُنْذِرْ
Adapun bagian kedua, yaitu seseorang membangun bangunannya dalam keadaan miring sehingga roboh karena kemiringannya, maka hal ini terbagi menjadi dua macam. Pertama, jika ia membuat kemiringan bangunannya ke arah miliknya sendiri, maka ia tidak wajib mengganti kerusakan yang terjadi akibat robohnya, karena ia berhak melakukan apa saja terhadap miliknya sendiri di dalam wilayah miliknya, baik berupa hal yang membahayakan maupun tidak membahayakan, seperti menggali sumur, mengikat binatang buas, atau menyalakan api. Sama saja, apakah orang yang terkena robohan dinding itu mengetahui kemiringan dinding tersebut atau tidak, apakah ia telah diperingatkan atau tidak, karena mereka berada di bawahnya atas pilihan mereka sendiri. Namun, jika seseorang diikat di bawahnya sehingga tidak mampu menjauh darinya hingga akhirnya dinding itu roboh menimpanya, maka perlu dilihat: jika dinding itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan roboh, maka ia tidak wajib menggantinya; tetapi jika dinding itu memang menunjukkan tanda-tanda akan roboh, maka ia wajib menggantinya, karena itu membahayakan jika sudah diperingatkan, dan tidak membahayakan jika tidak ada peringatan.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَجْعَلَ إِمَالَةَ بِنَائِهِ إِلَى غَيْرِ مِلْكِهِ إِمَّا إِلَى طَرِيقٍ سَابِلٍ وَإِمَّا إِلَى مِلْكٍ مُجَاوِرٍ فَيَكُونُ بِإِمَالَةِ بِنَائِهِ مُتَعَدِّيًا لِتَصَرُّفِهِ فِي هَوَاءٍ لَا يَمْلِكُهُ لِأَنَّهُ إِنْ أَمَالَهُ إِلَى مِلْكِ غَيْرِهِ تَعَدَّى عَلَيْهِ وَإِنْ أَمَالَهُ إِلَى الطَّرِيقِ لَمْ يَسْتَحِقَّ مِنْهُ إِلَّا مَا لَا ضَرَرَ فِيهِ كَالْجَنَاحِ فَضَمِنَ مَا تَلِفَ بِسُقُوطِهِ مِنْ نُفُوسٍ وَأَمْوَالٍ
Jenis kedua adalah seseorang memiringkan bangunannya ke arah selain miliknya, baik ke jalan umum maupun ke milik tetangga. Dengan memiringkan bangunannya, ia telah melampaui batas dalam bertindak pada udara yang bukan miliknya. Sebab, jika ia memiringkannya ke milik orang lain, berarti ia telah melanggar hak orang tersebut. Dan jika ia memiringkannya ke jalan, maka ia tidak berhak atasnya kecuali pada hal yang tidak menimbulkan mudarat, seperti atap yang menjorok. Maka ia wajib mengganti kerugian atas apa yang rusak akibat jatuhnya bangunan itu, baik berupa jiwa maupun harta.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَبْنِيَهُ مُنْتَصِبًا فَيَمِيلَ ثُمَّ يَسْقُطَ بَعْدَ مَيْلِهِ فَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Adapun bagian ketiga, yaitu seseorang membangunnya dalam keadaan tegak lalu miring kemudian roboh setelah kemiringannya, maka inilah permasalahan yang dibahas dalam kitab, dan hal ini terbagi menjadi dua jenis.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَمِيلَ إِلَى دَارِهِ فَلَا يَضْمَنُ مَا تَلِفَهُ بِهِ بِسُقُوطِهِ لِأَنَّهُ لَا يَضْمَنُ إِذَا بَنَاهُ مَائِلًا فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَضْمَنَ إِذَا مَالَ
Salah satunya adalah jika bangunan itu miring ke arah rumahnya, maka ia tidak menanggung kerusakan yang ditimbulkan oleh bangunan itu ketika roboh, karena ia juga tidak menanggung jika membangunnya dalam keadaan miring, maka lebih utama lagi untuk tidak menanggung jika bangunan itu miring.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَمِيلَ إِلَى غَيْرِ مِلْكٍ إِمَّا إِلَى دَارِ جَارِهِ وَإِمَّا إلى طريق سَابِلٍ فَقَدْ أَرْسَلَ الشَّافِعِيُّ جَوَابَهُ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ وَقَالَ لَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَعَلَّلَ بِأَنَّ الْمَيْلَ حَادِثٌ مِنْ غَيْرِ فِعْلِهِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي إِطْلَاقِ هَذَا الْجَوَابِ هَلْ هُوَ مَحْمُولٌ عَلَى مَيْلِهِ إِلَى غَيْرِ مِلْكِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْمُزَنِيِّ وَأَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ وَأَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ وَأَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَيْلِهِ إِلَى غَيْرِ مِلْكِهِ وَأَنَّهُ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِيمَا تَلِفَ بِسُقُوطِهِ لِأَمْرَيْنِ
Jenis kedua adalah jika miring ke selain miliknya, baik ke rumah tetangganya maupun ke jalan umum. Maka asy-Syafi‘i telah memberikan jawaban secara umum bahwa tidak ada tanggungan (dhaman) dan berkata, “Tidak ada apa-apa atasnya,” serta beralasan bahwa kemiringan itu terjadi bukan karena perbuatannya. Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai keumuman jawaban ini, apakah maksudnya hanya berlaku jika miring ke selain miliknya atau tidak, ada dua pendapat. Salah satunya, yaitu pendapat al-Muzani, Abu Sa‘id al-Ishthakhri, Abu ‘Ali ath-Thabari, dan Abu Hamid al-Isfarayini, bahwa maksudnya adalah jika miring ke selain miliknya, maka tidak ada tanggungan atasnya terhadap kerusakan yang terjadi akibat robohnya karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ أَصْلَهُ فِي مِلْكِهِ وَمَيْلُهُ لَيْسَ مِنْ فِعْلِهِ فَصَارَ كَمَا لَوْ مَالَ فَسَقَطَ لِوَقْتِهِ وَهَذَا غَيْرُ مَضْمُونٍ فَكَذَلِكَ إِذَا ثَبَتَ مَائِلًا ثُمَّ سَقَطَ
Salah satunya adalah bahwa asalnya berada dalam kepemilikannya dan kemiringannya bukan berasal dari perbuatannya, sehingga keadaannya seperti jika ia miring lalu langsung roboh, dan ini tidak menjadi tanggungannya. Maka demikian pula jika telah tetap dalam keadaan miring kemudian roboh.
وَالثَّانِي أَنَّ طَيَرَانَ الشَّرَرِ مِنْ أَجِيجِ النَّارِ أَحْظَرُ وَضَرَرَهُ أَعَمُّ وَأَكْثَرُ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ أَجَّجَ فِي دَارِهِ نَارًا طَارَ شَرَرُهَا لَمْ يَضْمَنْ مَا تَلِفَ بِهَا لِحُدُوثِهِ عَنْ سَبَبٍ مُبَاحٍ فَوَجَبَ إِذَا بَنَى حَائِطًا فَمَالَ أَنْ لَا يَضْمَنَ مَا تَلِفَ بِهِ وَسُقُوطُ الضَّمَانِ فِي الْحَائِطِ أَوْلَى؛ لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى التَّحَرُّزِ مِنْ مَيْلِهِ وَيَقْدِرُ عَلَى التَّحَرُّزِ مِنْ شَرَرِ النَّارِ
Yang kedua, bahwa terbangnya percikan api dari kobaran api lebih berbahaya dan kerusakannya lebih luas dan lebih banyak. Kemudian telah tetap bahwa jika seseorang menyalakan api di rumahnya lalu percikannya terbang, ia tidak wajib menanggung kerusakan yang ditimbulkannya karena hal itu terjadi dari sebab yang dibolehkan. Maka, jika seseorang membangun dinding lalu dinding itu miring, seharusnya ia juga tidak wajib menanggung kerusakan yang ditimbulkannya. Gugurnya kewajiban ganti rugi pada kasus dinding lebih utama, karena ia tidak mampu menghindari kemiringannya, sedangkan ia masih bisa menghindari percikan api.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ جَوَابَ الشَّافِعِيِّ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ مَحْمُولٌ عَلَى مَيْلِهِ إِلَى مِلْكِهِ فَأَمَّا مَيْلُهُ إِلَى غَيْرِ مِلْكِهِ فَمُوجِبٌ لِلضَّمَانِ وَهَذَا أَصَحُّ الْوَجْهَيْنِ عِنْدِي وَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ أَشْبَهَ بِإِطْلَاقِ جَوَابِ الشَّافِعِيِّ وَإِنَّمَا وَجَبَ بِهِ الضَّمَانُ لِأَمْرَيْنِ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu Ali bin Abi Hurairah, bahwa jawaban asy-Syafi‘i tentang gugurnya tanggungan (dhamān) itu dimaknai jika condongnya (barang) itu kepada kepemilikannya sendiri. Adapun jika condongnya kepada selain kepemilikannya, maka itu mewajibkan adanya tanggungan (dhamān). Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat menurutku, meskipun pendapat pertama lebih sesuai dengan redaksi jawaban asy-Syafi‘i secara umum. Adapun sebab diwajibkannya tanggungan (dhamān) itu karena dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يُؤْخَذُ بِإِزَالَةِ مَيْلِهِ إِذَا مَالَ بِنَفْسِهِ كَمَا يُؤْخَذُ بِإِزَالَتِهِ إِذَا بَنَاهُ مَائِلًا فَصَارَ بِتَرْكِهِ عَلَى مَيْلِهِ مُفَرِّطًا وَبِبِنَائِهِ مَائِلًا مُتَعَدِّيًا وَهُوَ يَضْمَنُ بِالتَّفْرِيطِ كَمَا يَضْمَنُ بِالتَّعَدِّي فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي لُزُومِ الضَّمَانِ
Salah satunya adalah bahwa seseorang wajib bertanggung jawab dengan menghilangkan kemiringannya jika bangunan itu miring dengan sendirinya, sebagaimana ia juga wajib bertanggung jawab dengan menghilangkannya jika ia membangunnya dalam keadaan miring. Maka, dengan membiarkannya tetap miring, ia dianggap lalai, dan dengan membangunnya dalam keadaan miring, ia dianggap melampaui batas. Ia wajib menanggung akibat karena kelalaian sebagaimana ia wajib menanggung akibat karena melampaui batas. Oleh karena itu, keduanya harus disamakan dalam kewajiban menanggung ganti rugi.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ أَشْرَعَ جَنَاحًا مِنْ دَارِهِ أَقَرَّ عَلَيْهِ وَضَمِنَ مَا تَلِفَ بِهِ وَهُوَ لَا يُقِرُّ عَلَى مَيْلِ الْحَائِطِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يَضْمَنَ مَا تَلِفَ بِهِ
Kedua, jika seseorang membuat sayap (bagian bangunan yang menjorok) dari rumahnya dan ia diizinkan atasnya, maka ia bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Sedangkan pada kasus kemiringan dinding, ia tidak diizinkan, maka lebih utama baginya untuk bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan olehnya.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْوَجْهَيْنِ لَمْ يُعْتَبَرْ فِي وَاحِدٍ مِنْهَا إِنْكَارُ الْوَالِي وَالْإِشْهَادُ عَلَيْهِ وَإِنْ قِيلَ بِسُقُوطِ الضَّمَانِ لَمْ يَجِبْ بِإِنْكَارِ الْوَالِي وَالْإِشْهَادِ عَلَيْهِ وَإِنْ قِيلَ بِوُجُوبِ الضَّمَانِ لَمْ يَسْقُطْ إِمْسَاكُ الْوَالِي وَتُرِكَ الْإِشْهَادُ عَلَيْهِ
Maka apabila telah ditetapkan penjelasan kedua pendapat tersebut, tidak dianggap pada salah satunya penolakan dari wali dan penyaksian atasnya. Jika dikatakan bahwa jaminan gugur, maka tidak wajib adanya penolakan dari wali dan penyaksian atasnya. Dan jika dikatakan bahwa jaminan itu wajib, maka tidak gugur penahanan oleh wali dan tidak disyaratkan adanya penyaksian atasnya.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ أَنْكَرَهُ الْوَالِي أَوْ كَانَ مَيْلُهُ إِلَى الطَّرِيقِ أَوِ الْجَارِ وَإِنْ كَانَ مَيْلُهُ إِلَى دَارِهِ وَأَشْهَدَ عَلَيْهِ ضَمِنَ وَإِنْ لَمْ يُنْكِرَاهُ وَلَمْ يَشْهَدَا عَلَيْهِ لَمْ يَضْمَنْ فَصَارَ مُخَالِفًا كِلَا الْوَجْهَيْنِ احْتِجَاجًا بِأَمْرَيْنِ
Abu Hanifah berkata: Jika penguasa mengingkarinya atau condong kepada jalan atau tetangga, dan jika condongnya ke rumahnya sendiri serta ia menghadirkan saksi atasnya, maka ia wajib menanggung. Namun jika keduanya (penguasa dan tetangga) tidak mengingkarinya dan tidak pula menjadi saksi atasnya, maka ia tidak wajib menanggung. Maka pendapat ini menjadi berbeda dari kedua pendapat sebelumnya, dengan alasan dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَصِيرُ بِتَرْكِهِ بَعْدَ الْإِنْكَارِ وَالْمُطَالَبَةِ مُتَعَدِّيًا فَلَزِمَهُ الضَّمَانُ لِتَعَدِّيهِ وَهُوَ قَبْلَ الْإِنْذَارِ غَيْرُ مُتَعَدٍّ فَلَمْ يَلْزَمْهُ الضَّمَانُ لعدم التعدي
Salah satunya adalah bahwa dengan meninggalkannya setelah adanya pengingkaran dan tuntutan, ia menjadi pelaku pelanggaran, sehingga ia wajib menanggung ganti rugi karena pelanggarannya itu. Sedangkan sebelum adanya peringatan, ia bukanlah pelaku pelanggaran, sehingga ia tidak wajib menanggung ganti rugi karena tidak ada pelanggaran.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا وَقَعَ الْفَرْقُ فِي تَلَفِ الْوَدِيعَةِ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ بَعْدَ طَلَبِهَا فَيَضْمَنُ وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ طَلَبِهَا فَلَا يَضْمَنُ وَجَبَ أَنْ يَقَعَ الْفَرْقُ فِي مَيْلِ الْحَائِطِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ سُقُوطُهُ بَعْدَ مُطَالَبَتِهِ فَيَضْمَنُ وبين أن يكون قبل مطالبته لا يَضْمَنُ؛ لِأَنَّ يَدَهُ عَلَى حَائِطٍ قَدِ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِ رَفْعُهُ كَمَا يَدُ الْمُودِعِ عَلَى مَالٍ قَدِ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِ رَدُّهُ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الْمُطَالَبَةِ وَالْإِمْسَاكِ
Kedua, ketika terdapat perbedaan dalam kasus kerusakan barang titipan antara jika kerusakan itu terjadi setelah barang diminta kembali sehingga wajib mengganti, dan jika terjadi sebelum diminta sehingga tidak wajib mengganti, maka harus ada perbedaan pula dalam kasus miringnya dinding, yaitu jika dinding itu roboh setelah ada tuntutan untuk membongkarnya maka wajib mengganti, sedangkan jika roboh sebelum ada tuntutan maka tidak wajib mengganti; karena kepemilikannya atas dinding itu sama dengan kepemilikan orang yang menitipkan atas harta yang sudah wajib dikembalikan, sebagaimana kepemilikan orang yang dititipi atas harta yang sudah wajib dikembalikan, maka keduanya harus disamakan dalam perbedaan antara tuntutan dan penahanan.
وَدَلِيلُنَا شَيْئَانِ
Dalil kami ada dua.
أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَخْلُوَ مَيْلُ الْحَائِطِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُوجِبًا لِلضَّمَانِ فَلَا يَسْقُطُ بِتَرْكِ الْإِنْكَارِ كَمَا لَوْ حَفَرَ بِئْرًا فِي غَيْرِ مِلْكِهِ أَوْ يَكُونُ غَيْرَ مُوجِبٍ لِلضَّمَانِ فَلَا يَجِبُ الْإِنْكَارُ كَمَا لَوْ حَفَرَ بِئْرًا فِي مِلْكِهِ فَلَمْ يَبْقَ لِلْإِنْكَارِ تَأْثِيرٌ فِي سُقُوطِ مَا وَجَبَ وَلَا فِي وُجُوبِ مَا سَقَطَ
Salah satunya adalah bahwa kemiringan dinding tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi menyebabkan kewajiban ganti rugi sehingga tidak gugur hanya dengan tidak adanya penolakan, seperti halnya jika seseorang menggali sumur di luar miliknya; atau bisa jadi tidak menyebabkan kewajiban ganti rugi sehingga tidak wajib ada penolakan, seperti halnya jika seseorang menggali sumur di dalam miliknya sendiri. Maka, penolakan tidak lagi berpengaruh dalam menggugurkan sesuatu yang sudah menjadi kewajiban maupun dalam mewajibkan sesuatu yang telah gugur.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ الْإِنْكَارُ مُسْتَحَقًّا فَلَا يَسْقُطُ حُكْمُهُ بِعَدَمِهِ كَالْمُنْكَرَاتِ أَوْ يَكُونُ غَيْرَ مُسْتَحَقٍّ فَلَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ بِوُجُودِهِ كَالْمُبَاحَاتِ فَلَمْ يَبْقَ لِلْإِنْكَارِ تَأْثِيرٌ فِي إِبَاحَةِ مَحْظُورٍ وَلَا فِي حَظْرِ مُبَاحٍ وَبِهِ يَقَعُ الِانْفِصَالُ عَمَّا احْتَجَّ بِهِ مِنْ تَعَدِّيهِ بَعْدَ الْإِنْكَارِ وَعَدَمِهِ قَبْلَهُ وَاحْتِجَاجِهِ بِالْوَدِيعَةِ لَا يَصِحُّ لِأَنَّ الْمُودِعَ نَائِبٌ عَنْ غَيْرِهِ فَجَازَ أَنْ يَتَعَلَّقَ ضَمَانُهَا بِطَلَبِهِ وَلَيْسَ صَاحِبُ الْحَائِطِ الْمَائِلِ نَائِبًا فِيهِ عَنْ غَيْرِهِ فَلَمْ يَتَعَلَّقْ ضَمَانُهُ بِإِنْكَارِهِ وَطَلَبِهِ
Kedua, bahwa penolakan (inkār) itu tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi penolakan itu memang berhak dilakukan, maka hukumnya tidak gugur hanya karena tidak adanya penolakan tersebut, seperti pada perkara-perkara yang mungkar; atau bisa jadi penolakan itu tidak berhak dilakukan, maka hukumnya tidak menjadi tetap hanya karena adanya penolakan tersebut, seperti pada perkara-perkara yang mubah. Maka, tidak tersisa bagi penolakan itu pengaruh dalam membolehkan sesuatu yang terlarang maupun dalam melarang sesuatu yang mubah. Dengan demikian, terpisahlah perkara ini dari apa yang dijadikan dalil tentang berlanjutnya (hukum) setelah adanya penolakan dan tidak adanya sebelum penolakan, serta dalil yang diambil dari masalah titipan (wadi‘ah) tidaklah sah, karena orang yang menerima titipan adalah wakil dari orang lain, sehingga jaminan atasnya bisa dikaitkan dengan permintaan orang yang menitipkan. Sedangkan pemilik dinding yang miring bukanlah wakil dari orang lain dalam hal itu, sehingga jaminan atasnya tidak terkait dengan penolakan dan permintaannya.
فَصْلٌ
Bab
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِالْإِنْكَارِ وَالْإِشْهَادِ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ لَا فِي سُقُوطِهِ فَلَا فَرْقَ فِي تَلَفِ مَنْ عَلِمَ بِمَيْلِهِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ قَدَرَ عَلَى الِاحْتِرَازِ مِنْهُ أَوْ لَمْ يَقْدِرْ فِي أَنَّ سُقُوطَ الضَّمَانِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا وَإِنْ وَجَبَ الضَّمَانُ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي فَفِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا يَخْتَلِفُ بِهَا حُكْمُ مَا سَقَطَ مِنْ آلَتِهِ فِي الطَّرِيقِ إِذَا عَثَرَ بِهَا مَارٌّ فَتَلَفَ فَإِنْ قِيلَ إِنَّ سُقُوطَهُ غَيْرُ مُوجِبٍ لِلضَّمَانِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ لَمْ يَلْزَمْهُ ضَمَانُ مَنْ عَثَرَ بِآلَتِهِ إِذَا كَانَ عِثَارُهُ قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَى نَقْلِهَا وَيَضْمَنُهُ إِنْ كَانَ بَعْدَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّ سُقُوطَهُ مُوجِبٌ لِلضَّمَانِ ضَمِنَ مَنْ عَثَرَ بِآلَتِهِ سَوَاءٌ كَانَ عِثَارُهُ قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَى النَّقْلِ أَوْ بَعْدَهُ لِأَنَّ سُقُوطَهُ غَيْرُ مَنْسُوبٍ إِلَى التَّعَدِّي عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ وَمَنْسُوبٌ إِلَيْهِ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي
Jika telah tetap bahwa yang menjadi pertimbangan adalah pengingkaran dan penyaksian dalam kewajiban ganti rugi, bukan dalam gugurnya, maka tidak ada perbedaan dalam kerusakan yang disebabkan oleh orang yang mengetahui kecenderungannya atau tidak mengetahuinya, mampu menghindarinya atau tidak mampu, bahwa gugurnya kewajiban ganti rugi pada pendapat pertama berlaku dalam semua keadaan. Dan jika kewajiban ganti rugi berlaku menurut pendapat kedua, maka dalam semua keadaan, hukum mengenai barang yang jatuh dari alatnya di jalan ketika ada orang yang tersandung olehnya lalu rusak, akan berbeda-beda. Jika dikatakan bahwa jatuhnya barang tersebut tidak mewajibkan ganti rugi menurut pendapat pertama, maka ia tidak wajib mengganti kerugian orang yang tersandung alatnya jika tersandung itu terjadi sebelum ia mampu memindahkannya, dan ia wajib menggantinya jika terjadi setelah ia mampu memindahkannya. Namun jika dikatakan bahwa jatuhnya barang tersebut mewajibkan ganti rugi, maka ia wajib mengganti kerugian orang yang tersandung alatnya, baik tersandung itu terjadi sebelum ia mampu memindahkannya maupun setelahnya, karena jatuhnya barang tersebut tidak dianggap sebagai tindakan melampaui batas menurut pendapat pertama, dan dianggap sebagai tindakan melampaui batas menurut pendapat kedua.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا كَانَ حَائِطٌ بَيْنَ دَارَيْنِ مُشْتَرَكٌ بَيْنَ جَارَيْنِ فَخِيفَ سُقُوطُهُ فَطَالَبَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ بِهَدْمِهِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ
Apabila terdapat dinding di antara dua rumah yang dimiliki bersama oleh dua tetangga, lalu dikhawatirkan akan roboh, kemudian salah satu dari mereka menuntut temannya untuk merobohkannya, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ قَائِمًا عَلَى انْتِصَابِهِ فَلَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا مُطَالَبَةُ الْآخَرِ بِهَدْمِهِ وَيَكُونُ مُقِرًّا عَلَى استدامه وَإِنْ خَافَاهُ حَتَّى يَتَّفِقَا عَلَى هَدْمِهِ فَإِنْ أَرَادَ أَحَدُهُمَا أَنْ يَنْفَرِدَ بِهَدْمِهِ وَالْتِزَامِ مُؤْنَتِهِ نُظِرَ فِيهِ فَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ قَائِمًا مُسْتَهْدَمًا أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ نَقْصًا مَهْدُومًا لَمْ يَكُنْ لَهُ التَّفَرُّدُ بِهَدْمِهِ وَإِنْ كانت قيمته نَقْضِهِ وَآلَتِهِ مِثْلَ قِيمَتِهِ قَائِمًا أَوْ أَكْثَرَ سُئِلَ عَنْهُ أَهْلُ الْمِصْرِ مَنْ يَعْرِفُ الْأَبْنِيَةَ فَإِنْ قَالُوا إِنَّ سُقُوطَهُ يُتَعَجَّلُ وَلَا يَثْبُتُ عَلَى انْتِصَابِهِ كَانَ لَهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهَدْمِهِ لِحَسْمِ ضَرَرِهِ وَإِنْ قَالُوا إِنَّهُ قَدْ يَلْبَثُ عَلَى انْتِصَابِهِ وَلَا يُتَعَجَّلُ سُقُوطُهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهَدْمِهِ
Salah satu di antaranya adalah apabila bangunan itu masih berdiri tegak, maka tidak ada hak bagi salah satu dari mereka untuk menuntut yang lain agar merobohkannya, dan keduanya dianggap sepakat untuk mempertahankan keberadaannya, meskipun salah satu dari mereka merasa khawatir terhadapnya, sampai keduanya sepakat untuk merobohkannya. Jika salah satu dari mereka ingin secara mandiri merobohkannya dan menanggung biayanya, maka hal itu perlu diteliti. Jika nilai bangunan itu dalam keadaan berdiri dan masih digunakan lebih besar daripada nilainya setelah roboh dan berkurang, maka ia tidak berhak secara mandiri merobohkannya. Namun, jika nilai bangunan setelah dibongkar dan bahan-bahannya sama dengan atau lebih besar daripada nilainya saat berdiri, maka akan ditanyakan kepada penduduk kota yang memahami bangunan. Jika mereka mengatakan bahwa bangunan itu akan segera roboh dan tidak akan tetap berdiri tegak, maka ia boleh secara mandiri merobohkannya untuk mencegah mudaratnya. Namun, jika mereka mengatakan bahwa bangunan itu masih bisa bertahan tegak dan tidak akan segera roboh, maka ia tidak berhak secara mandiri merobohkannya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَمِيلَ إِلَى أَحَدِ الدَّارَيْنِ فَلِلَّذِي مَالَ إِلَى دَارِهِ أَنْ يَأْخُذَ شَرِيكُهُ بِهَدْمِهِ وَلَهُ إِنِ امْتَنَعَ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهَدْمِهِ لِحُصُولِهِ فِيمَا قَدِ اخْتَصَّ بِمِلْكِهِ مِنْ هَوَاءِ دَارِهِ وَلَيْسَ لِلَّذِي لَمْ يَمِلْ إِلَيْهِ أَنْ يَأْخُذَ شَرِيكَهُ بِهَدْمِهِ وَلَا لَهُ أَيْضًا أَنْ يَنْفَرِدَ بِهَدْمِهِ وَالْتِزَامِ مؤونته لِأَنَّهُ قَدْ أُمِنَ مَيْلُهُ إِلَى غَيْرِ مِلْكِهِ أَنْ يَسْقُطَ إِلَى دَارِهِ
Jenis kedua adalah apabila bangunan itu condong ke salah satu dari dua rumah. Maka, bagi pemilik rumah yang condong ke arahnya, ia berhak meminta rekannya untuk merobohkannya, dan jika rekannya menolak, ia berhak merobohkannya sendiri, karena bangunan itu telah masuk ke dalam ruang udara rumahnya yang merupakan hak miliknya. Adapun bagi pemilik rumah yang bangunan itu tidak condong ke arahnya, ia tidak berhak meminta rekannya untuk merobohkannya, dan juga tidak berhak merobohkannya sendiri serta menanggung biayanya, karena telah terjamin bahwa bangunan itu tidak akan condong ke luar dari miliknya sehingga roboh ke rumahnya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا أَشْرَعَ مِنْ دَارِهِ جَنَاحًا عَلَى طَرِيقٍ نَافِذَةٍ جَازَ إِذَا لَمْ يَضُرَّ بِمَارٍّ وَلَا مُجْتَازٍ وَكَذَلِكَ إذا أراد إخراج سياطاً يمده على عرض الطريق مكن إن لم يضر ومنع إن أضر فاختلف أَصْحَابُنَا فِي حَدِّ ضَرَرِهِ فَقَالَ أَبُو عُبَيْدِ بْنُ حَرْبَوَيْهِ مَا نَالَهُ رُمْحُ الْفَارِسِ مُضِرٌّ وَمَا لَمْ يَنَلْهُ رُمْحُهُ غَيْرُ مُضِرٍّ
Dan apabila seseorang membangun sayap (bagian atap atau bangunan yang menjorok) dari rumahnya ke atas jalan yang dapat dilalui umum, maka hal itu diperbolehkan selama tidak membahayakan orang yang lewat atau melintas. Demikian pula jika seseorang ingin mengeluarkan tali cambuk yang membentang melintasi jalan, maka diperbolehkan jika tidak menimbulkan bahaya, dan dilarang jika menimbulkan bahaya. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai batasan bahaya tersebut. Abu ‘Ubaid bin Harbawaih berkata, “Apa yang dapat dijangkau oleh tombak seorang penunggang kuda dianggap membahayakan, sedangkan apa yang tidak dapat dijangkau oleh tombaknya tidak dianggap membahayakan.”
وَقَالَ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا إِنَّ مَا لَا يَنَالُهُ أَشْرَفُ الْجِمَالِ إِذَا كَانَ عَلَيْهَا أَعْلَى الْعَمَارِيَّاتِ فَهُوَ غَيْرُ مُضِرٍّ وَمَا يَنَالُهُ ذَلِكَ فَهُوَ مُضِرٌّ وَهَذَا الْحَدُّ عِنْدِي عَلَى الْإِطْلَاقِ غَيْرُ صَحِيحٍ بَلْ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا بِأَحْوَالِ الْبِلَادِ فَمَا كَانَ مِنْهَا تَسْلُكُهُ جِمَالُ الْعَمَارِيَّاتِ كَانَ هَذَا حَدَّ ضَرَرِهِ وَمَا كَانَ مِنْهَا لَا تَسْلُكُهُ جِمَالُ الْعَمَارِيَّاتِ وَتَسْلُكُهُ الْأَجْمَالُ كَانَ الْجَمَلُ بِحِمْلِهِ حَدَّ ضَرَرِهِ وَمَا كَانَ مِنْهَا لَا تَسْلُكُهُ الْجِمَالُ وَتَسْلُكُهُ الْخَيْلُ بِفُرْسَانِهَا كَانَ أَشْرَفُ الْفُرْسَانِ عَلَى أَشْرَفِ الْخَيْلِ حَدَّ ضَرَرِهِ وَمَا كَانَ مِنْهَا لَا تَسْلُكُهُ الْخَيْلُ وَلَا الرُّكَّابُ كَجَزَائِرَ فِي الْبَحْرِ وَقُرًى فِي الْبَطَائِحِ كَانَ أَطْوَلُ الرِّجَالِ بِأَعْلَى حِمْلٍ عَلَى رَأْسِهِ هُوَ حَدُّ ضَرَرِهِ؛ لِأَنَّ عُرْفَ كُلِّ بَلَدٍ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا مِنْ عُرْفِ مَا عَدَاهُ إِذَا كَانَ غَيْرَ مَوْجُودٍ فِيهِ وَإِذَا كَانَ غَيْرَ مُضِرٍّ أُقِرَّ وَلَمْ يَكُنْ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْتَرِضَ عَلَيْهِ وَلَا يَمْنَعَهُ مِنْهُ
Mayoritas ulama mazhab kami berpendapat bahwa sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh unta terbaik sekalipun ketika di atas tandu tertinggi, maka hal itu tidak dianggap membahayakan. Namun, jika dapat dijangkau, maka itu dianggap membahayakan. Batasan ini menurut saya secara mutlak tidaklah benar, melainkan harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Apa yang biasa dilalui oleh unta-unta bertandu di suatu daerah, maka itulah batas bahaya di daerah tersebut. Jika ada daerah yang tidak bisa dilalui oleh unta bertandu, tetapi bisa dilalui oleh unta biasa, maka unta dengan muatannya menjadi batas bahayanya. Jika ada daerah yang tidak bisa dilalui oleh unta, tetapi bisa dilalui oleh kuda dengan penunggangnya, maka penunggang tertinggi di atas kuda terbaik menjadi batas bahayanya. Jika ada daerah yang tidak bisa dilalui oleh kuda maupun penunggang, seperti pulau-pulau di laut atau desa-desa di rawa-rawa, maka orang tertinggi dengan beban terberat di atas kepalanya menjadi batas bahayanya. Sebab, kebiasaan di setiap daerah lebih utama dijadikan acuan daripada kebiasaan daerah lain yang tidak ada di situ. Jika sesuatu tidak membahayakan, maka hal itu dibenarkan dan tidak ada seorang pun yang boleh memprotes atau melarangnya.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يُقَرُّ عَلَى مَا لَا يَضُرُّ إِذَا لَمْ يَعْتَرِضْ عَلَيْهِ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنِ اعْتَرَضَ عَلَيْهِ أَحَدُهُمْ مُنِعَ مِنْهُ وَأُخِذَ بِقَلْعِهِ احْتِجَاجًا بِأَنَّهُ لَمَّا مُنِعَ مِنْ بِنَاءِ دَكَّةً فِي عَرْصَةِ الطَّرِيقِ مُنِعَ مِنْ إِشْرَاعِ جَنَاحٍ فِي هَوَائِهِ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Abu Hanifah berkata, “Seseorang dibiarkan tetap pada sesuatu yang tidak membahayakan selama tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang memprotesnya. Jika ada salah satu dari mereka yang memprotes, maka ia dicegah dari hal itu dan diwajibkan untuk mencabutnya, dengan alasan bahwa ketika seseorang dilarang membangun panggung di tanah lapang jalan, maka ia juga dilarang membuat atap yang menjorok ke udara jalan.” Namun, pendapat ini rusak dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا مَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَرَّ بِدَارِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَطَرَ عَلَيْهِ مِنْ مِيزَابِهَا مَاءٌ فَأَمَرَ بِقَلْعِهِ فَخَرَجَ الْعَبَّاسُ وَقَالَ قَلَعْتَ مِيزَابًا نَصَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِيَدِهِ فَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ لَا صَعِدَ مَنْ يُعِيدُ هَذَا الْمِيزَابَ إِلَّا عَلَى ظَهْرِي فَصَعِدَ الْعَبَّاسُ عَلَى ظَهْرِهِ حَتَّى أَعَادَ الْمِيزَابَ إِلَى مَوْضِعِهِ فَدَلَّ مَا كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي نَصْبِهِ وَمِنْ عُمَرَ فِي إِعَادَتِهِ وَمِنِ الصَّحَابَةِ فِي إِقْرَارِهِمْ عَلَيْهِ عَلَى أَنَّهُ شَرْعٌ مَنْقُولٌ وَفِعْلٌ مَتْبُوعٌ
Salah satunya adalah riwayat bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah melewati rumah Abbas bin Abdul Muththalib, lalu air menetes dari talang rumah itu mengenainya. Maka Umar memerintahkan agar talang itu dicabut. Abbas pun keluar dan berkata, “Engkau telah mencabut talang yang dipasang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya sendiri.” Maka Umar berkata, “Demi Allah, tidak akan ada yang menaiki untuk mengembalikan talang ini kecuali di atas punggungku.” Maka Abbas naik ke atas punggungnya hingga mengembalikan talang itu ke tempatnya. Maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memasangnya, dan oleh Umar dalam mengembalikannya, serta oleh para sahabat dalam membiarkannya, menunjukkan bahwa hal itu adalah syariat yang dinukil dan perbuatan yang patut diikuti.
وَالثَّانِي مُشَاهَدَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى مَا وَطِئَهُ مِنَ الْبِلَادِ وَفِيهَا الْأَجْنِحَةُ وَالْمَيَازِيبُ فَمَا أَنْكَرَهَا وَأَقَرَّ أَهْلُهَا عَلَيْهَا وَجَرَى خُلَفَاؤُهُ وَصَحَابَتُهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى عَادَتِهِ فِي إِقْرَارِهَا بَعْدَ مَوْتِهِ وَقَدْ سَلَكُوا مِنَ الْبِلَادِ أَكْثَرَ مِمَّا سَلَكَ وَشَاهَدُوا مِنِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهَا أَكْثَرَ مِمَّا شَاهَدَ فَلَمْ يُوجَدْ أَحَدٌ عارض فيه أحد فَدَلَّ عَلَى انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ فِيهِ وَزَوَالِ الْخِلَافِ عَنْهُ وَخَالَفَتِ الْأَجْنِحَةُ الدِّكَاكَ لِأَنَّ الدِّكَاكَ مُضِرَّةٌ بِالْمُجْتَازِينَ مُضَيِّقَةٌ لِطُرُقَاتِهِمْ وَلَيْسَ فِي الْأَجْنِحَةِ مَضَرَّةٌ وَلَا تَضْيِيقٌ
Kedua, Rasulullah saw. pernah melihat negeri-negeri yang beliau pijak, di dalamnya terdapat ajniḥah (balkon atau bangunan menjorok) dan mayāzīb (talang air), namun beliau tidak mengingkarinya dan membiarkan penduduknya tetap menggunakannya. Para khalifah dan sahabat beliau ra. pun mengikuti kebiasaan beliau dalam membiarkannya setelah wafatnya. Mereka telah melewati negeri-negeri yang lebih banyak daripada yang pernah beliau lewati, dan menyaksikan perbedaan keadaan negeri-negeri itu lebih banyak daripada yang pernah beliau saksikan, namun tidak ditemukan seorang pun yang menentang hal itu. Hal ini menunjukkan terjadinya ijmā‘ dalam masalah ini dan hilangnya perbedaan pendapat tentangnya. Ajniḥah berbeda dengan dakkāk (bangunan rendah di pinggir jalan), karena dakkāk membahayakan orang yang lewat dan mempersempit jalan mereka, sedangkan ajniḥah tidak menimbulkan bahaya maupun penyempitan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ فِعْلِهِ وَجَوَازُ إِقْرَارِهِ فَسَقَطَ عَلَى مَارٍّ فَقَتَلَهُ ضِمْنَ دِيَتَهُ وَإِنْ كَانَ مُبَاحًا؛ لِأَنَّهُ مُبَاحٌ بِشَرْطِ السَّلَامَةِ كَتَعْزِيرِ الْإِمَامِ وَضَرْبِ الزَّوْجَةِ وَأَمَّا الْمِيزَابُ إِذَا سَقَطَ فَأَتْلَفَ مَارًّا فَفِي ضَمَانِهِ قَوْلَانِ
Maka apabila telah tetap kebolehan melakukan perbuatan itu dan kebolehan membiarkannya, lalu sesuatu itu jatuh mengenai seseorang yang lewat sehingga membunuhnya, maka wajib membayar diyatnya, meskipun perbuatan itu mubah; karena kemubahannya bersyaratkan keselamatan, seperti ta‘zir oleh imam dan memukul istri. Adapun jika talang air jatuh lalu merusak orang yang lewat, maka dalam hal jaminannya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ لَا يَضْمَنُ لِأَنَّهُ مِمَّا لَا يُوجَدُ مِنْهُ بُدٌّ فَصَارَ مُضْطَرًّا إِلَيْهِ وَغَيْرَ مُضْطَرٍّ إِلَى الْجَنَاحِ فَافْتَرَقَا
Salah satunya adalah ucapannya mengenai hukum lama, yaitu tidak wajib membayar ganti rugi karena hal itu merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari sehingga menjadi keadaan darurat baginya, sedangkan tidak ada keadaan darurat terhadap sayap, maka keduanya berbeda.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ الْجَدِيدُ أَنَّهُ يَكُونُ مَضْمُونًا يَلْزَمُهُ مَا تَلِفَ بِهِ كَالْجَنَاحِ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ يَقْدِرُ عَلَى إِجْرَاءِ مَائِهِ إِلَى بِئْرٍ يَحْفِرُهَا فِي دَارِهِ فَيَكُونُ غَيْرَ مُضْطَرٍّ إِلَيْهِ كَمَا هُوَ غَيْرُ مُضْطَرٍّ إِلَى الْجَنَاحِ فَإِذَا وَجَبَ عَلَيْهِ الضَّمَانُ فِيمَا تَلِفَ بِالْجَنَاحِ وَالْمِيزَابِ نُظِرَ فِيمَا وَقَعَ بِهِ التَّلَفُ فَإِنْ كَانَ خَارِجًا عَنْ دَارِهِ ضَمِنَ بِهِ جَمِيعَ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُ خَارِجًا وَبَعْضُهُ فِي حَائِطِهِ فَسَقَطَ جَمِيعُهُ فَقُتِلَ فَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ من ديته ثلاثة أقاويل حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ فِي جَامِعِهِ
Pendapat kedua, yaitu pendapat baru, menyatakan bahwa hal itu menjadi sesuatu yang wajib dijamin; ia bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi karenanya, seperti halnya atap tambahan (janāḥ). Sebab, ia sebenarnya mampu mengalirkan airnya ke sumur yang ia gali di dalam rumahnya, sehingga ia tidak dalam keadaan terpaksa menggunakannya, sebagaimana ia juga tidak terpaksa menggunakan atap tambahan. Maka, apabila ia wajib menanggung kerusakan yang terjadi karena atap tambahan dan talang air (mīzāb), maka dilihat pada bagian mana kerusakan itu terjadi. Jika kerusakan itu terjadi di luar rumahnya, maka ia wajib menanggung seluruh diyat. Jika sebagian berada di luar dan sebagian lagi di dinding rumahnya, lalu semuanya roboh dan menyebabkan kematian, maka mengenai kadar diyat yang wajib ia tanggung terdapat tiga pendapat yang disebutkan oleh Abū Ḥāmid al-Marwazī dalam kitab Jāmi‘-nya.
أَحَدُهُمَا يَضْمَنُ جَمِيعَ دِيَتِهِ لِأَنَّ الدَّاخِلَ فِي الْحَائِطِ مِنَ الْخَشَبِ جَذَبَهُ الْخَارِجُ مِنْهُ فَضَمِنَ بِهِ جَمِيعَ دِيَتِهِ وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَضْمَنُ بِهِ نِصْفَ دِيَتِهِ لِأَنَّ مَا فِي الْحَائِطِ مِنْهُ مَوْضُوعٌ فِي مِلْكِهِ وَالْخَارِجَ مِنْهُ مُخْتَصٌّ بِالضَّمَانِ فَصَارَ التَّلَفُ مِنْ جِنْسَيْنِ مُبَاحٍ وَمَحْظُورٍ فَضَمِنَ نِصْفَ الدِّيَةِ
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia wajib menanggung seluruh diyatnya, karena bagian kayu yang berada di dalam tembok telah ditarik oleh bagian yang berada di luar, sehingga ia menanggung seluruh diyatnya karenanya. Pendapat kedua menyatakan bahwa ia hanya menanggung setengah diyat, karena bagian yang berada di dalam tembok itu diletakkan di dalam miliknya, sedangkan bagian yang berada di luar khusus untuk tanggungan. Maka, kerusakan itu berasal dari dua jenis, yaitu yang diperbolehkan dan yang dilarang, sehingga ia menanggung setengah diyat.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ أَنَّهُ يَضْمَنُ مِنَ الدِّيَةِ بِقِسْطِ الْخَارِجِ مِنَ الْخَشَبَةِ
Pendapat ketiga menyatakan bahwa ia wajib menanggung bagian dari diyat sesuai dengan bagian yang keluar dari kayu tersebut.
مِثَالُهُ أَنْ يَكُونَ طُولُ الْخَشَبَةِ خَمْسَةَ أَذْرُعٍ فَإِنْ كَانَ الْخَارِجُ مِنْهَا ثَلَاثَةَ أَذْرُعٍ ضَمِنَ ثَلَاثَةَ أَخْمَاسِ دِيَتِهِ وَإِنْ كَانَ الْخَارِجُ أَرْبَعَةَ أَذْرُعٍ ضَمِنَ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِ دِيَتِهِ يُقَسَّطُ عَلَى قَدْرِ الدَّاخِلِ وَالْخَارِجِ
Contohnya adalah apabila panjang kayu itu lima hasta, maka jika bagian yang menonjol darinya tiga hasta, ia wajib menanggung tiga per lima dari diyatnya. Jika bagian yang menonjol adalah empat hasta, ia wajib menanggung empat per lima dari diyatnya. Hal itu dibagi sesuai dengan bagian yang berada di dalam dan di luar.
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَا أُبَالِي أَيُّ طَرَفَيْهِ أَصَابَهُ؛ لِأَنَّهَا قَتَلَتْ بِثِقْلِهَا ,
Syafi‘i berkata, “Aku tidak peduli bagian mana dari keduanya yang mengenainya; karena ia (yang terbunuh) mati akibat beratnya.”
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا وَضَعَ الرَّجُلُ عَلَى حَائِطِهِ جَرَّةَ مَاءٍ فَسَقَطَتْ عَلَى مَارٍّ فِي الطَّرِيقِ فَقَتَلَتْهُ لَمْ يَضْمَنْ دِيَتَهُ لِأَنَّهُ وَضَعَهَا فِي مِلْكِهِ وَلَوْ نَامَ عَلَى طَرَفِ سَطْحِهِ فَانْقَلَبَ إِلَى الطَّرِيقِ فَسَقَطَ عَلَى مَارٍّ فَقَتَلَهُ نُظِرَ فِي سَبَبِ سُقُوطِهِ فَإِنْ كَانَ بِفَسْخٍ مِنَ الْحَائِطِ انْهَارَ مِنْ تَحْتِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ لِثِقَلِهِ فِي نَوْمِهِ فَعَلَيْهِ الضَّمَانُ؛ لِأَنَّهُ سَقَطَ بِفِعْلِهِ وَسَقَطَ فِي الْأَوَّلِ بِغَيْرِ فِعْلِهِ وَكُلَّمَا أَوْجَبْنَا عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ كُلِّهَا مِنْ ضَمَانِ النَّفْسِ فَدِيَاتُهَا عَلَى عَاقِلَتِهِ؛ لِأَنَّهُ خَطَأُ عَمْدٍ فِيهِ وَعَلَيْهِ مَعَ ضَمَانِ الدِّيَةِ الْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ وَاللَّهُ أعلم
Jika seseorang meletakkan kendi air di atas dinding rumahnya, lalu kendi itu jatuh menimpa seseorang yang sedang lewat di jalan hingga orang itu meninggal, maka ia tidak wajib menanggung diyatnya, karena ia meletakkannya di dalam miliknya sendiri. Namun, jika seseorang tidur di tepi atap rumahnya lalu terguling ke jalan dan jatuh menimpa orang yang lewat hingga orang itu meninggal, maka dilihat sebab kejatuhannya. Jika kejatuhannya karena dinding yang roboh dari bawahnya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Tetapi jika kejatuhannya karena berat badannya saat tidur, maka ia wajib menanggung ganti rugi, karena ia jatuh akibat perbuatannya sendiri, sedangkan pada kasus pertama ia jatuh bukan karena perbuatannya. Setiap kali kami mewajibkan ganti rugi jiwa dalam semua masalah ini, maka diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah-nya, karena ini termasuk khata’ ‘amdi (kesalahan yang menyerupai kesengajaan), dan atasnya, selain menanggung diyat, juga wajib membayar kafārah dari hartanya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui.
Bab Diyat Janin
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فِي الْجَنِينِ الْمُسْلِمِ بِأَبَوَيْهِ أَوْ بِأَحَدِهِمَا غُرَّةٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada janin yang orang tuanya Muslim, baik kedua orang tuanya maupun salah satunya, wajib membayar diyat berupa ghurrah.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا قَالَ وَالْأَصْلُ فِيهِ مَا رَوَاهُ أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْحَمْلِ بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ فَقَالَ حَمَلُ بْنُ مَالِكِ بْنِ النَّابِغَةِ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ نَدِي مَنْ لَا شَرِبَ وَلَا أَكَلَ وَلَا نَطَقَ وَلَا اسْتَهَلَّ فَمِثْلُ ذَلِكَ يُطَلُّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّ هَذَا لَيَقُولُ قَوْلَ شَاعِرٍ فِيهِ غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ أَمَةٌ وَرُوِيَ عَنِ الزُّبَيْرِ عَنْ مسور بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ اسْتَشَارَ عُمَرُ فِي إِمْلَاصِ الْمَرْأَةِ يَعْنِي الْحَامِلَ يُضْرَبُ بَطْنُهَا فَيَسْقُطُ فَقَامَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى فِيهِ بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ فَقَالَ ائْتِنِي بِمَنْ يَشْهَدُ مَعَكَ قَالَ فَشَهِدَ مَعَهُ محمد بن مسلمة وقال أبو عبيد إملاصها ما أزلفته بالقرب مِنَ الْوِلَادَةِ
Al-Mawardi berkata, “Memang sebagaimana yang telah dikatakan, dan dasar hukumnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. memutuskan dalam kasus janin dengan diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan.” Lalu Haml bin Malik bin an-Nabighah berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana diyat untuk seseorang yang belum minum, belum makan, belum berbicara, dan belum menangis, apakah seperti itu juga dituntut diyat?” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya dia telah mengucapkan perkataan seorang penyair. Dalam kasus itu ada diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan.” Diriwayatkan dari az-Zubair dari Miswar bin Makhramah, ia berkata: Umar pernah meminta pendapat tentang keguguran seorang wanita hamil yang perutnya dipukul hingga janinnya gugur. Maka al-Mughirah bin Syu‘bah berdiri dan berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. memutuskan dalam kasus itu dengan diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan.” Umar berkata, “Datangkan kepadaku orang yang bersaksi bersamamu.” Maka Muhammad bin Maslamah bersaksi bersamanya. Abu ‘Ubaid berkata, “Imlaš (keguguran) adalah apa yang terjadi ketika sudah dekat dengan waktu kelahiran.”
وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أُذَكِّرُ اللَّهَ امْرَأً سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْجَنِينِ شَيْئًا إِلَّا قَالَهُ فَقَامَ حَمَلُ بْنُ مَالِكِ بْنِ النَّابِغَةِ فَقَالَ كُنْتُ بَيْنَ جاريتين لي فضربت إحداهما الأخرى بسطح فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا فَقَضَى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ فَقَالَ عُمَرُ كِدْنَا وَاللَّهِ نَقْضِي فِيهِ بِآرَائِنَا قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ الْمِسْطَحُ خَشَبُ الْخِبَاءِ
Asy-Syafi‘i meriwayatkan dari Sufyan, dari ‘Amr bin Dinar, dari Thawus, bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mengingatkan kepada Allah siapa saja yang mendengar sesuatu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang janin, kecuali hendaknya ia mengatakannya.” Maka berdirilah Haml bin Malik bin An-Nabighah dan berkata, “Aku pernah berada di antara dua budak perempuanku, lalu salah satu dari keduanya memukul yang lain dengan papan atap, sehingga ia menggugurkan janin yang sudah mati. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan di dalamnya dengan diyat berupa seorang budak laki-laki atau budak perempuan.” Lalu ‘Umar berkata, “Demi Allah, hampir saja kami memutuskan perkara itu dengan pendapat kami sendiri.” Abu ‘Ubaid berkata, “Al-misthah adalah papan kayu tenda.”
وَقَالَ النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ هو الخشبة التي ترفق بها العجين إذا حلج ليخبز؛ ويسميها المولودون الصَّوْلَجَ فَدَلَّ مَا رَوَيْنَاهُ عَلَى أَنَّ فِي الْجَنِينِ غُرَّةً عَبْد أَوْ أَمَة فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رُوِيَ فِي حَدِيثِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ
Nadhr bin Syumail berkata: “Itu adalah kayu yang digunakan untuk melunakkan adonan ketika akan dipanggang; dan orang-orang non-Arab menyebutnya as-shaulaj.” Maka, apa yang kami riwayatkan menunjukkan bahwa pada janin terdapat diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan. Jika ada yang berkata: “Telah diriwayatkan dalam hadis Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Nabi…”
قَالَ فِيهِ غُرَّة عَبْد أَوْ أَمَة أَوْ فَرَس أَوْ بَغْل فَكَيْفَ اقْتَصَرْتُمْ عَلَى غُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ دُونَ الْفَرَسِ وَالْبَغْلِ
Disebutkan di dalamnya diyatnya adalah satu ekor budak laki-laki atau perempuan, atau seekor kuda atau bagal. Maka bagaimana kalian membatasi hanya pada satu ekor budak laki-laki atau perempuan, tanpa memasukkan kuda dan bagal?
قِيلَ لِأَنَّهَا رِوَايَةٌ تَفَرَّدَ بِهَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ وقد وَهِمَ فِيهَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ وَالَّذِي رَوَاهُ الزُّهْرِيُّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ وَعَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَثْبَتُ وَنَاقِلُوهُ أَضْبُطُ وَلَيْسَ فِي رِوَايَتِهِمْ فَرَسٌ وَلَا بَغْلٌ وَلَوْ صَحَّتِ الرِّوَايَةُ لَجَازَ حَمْلُهَا عَلَى أَنَّ الْفَرَسَ وَالْبَغْلَ جُعِلَا بَدَلًا مِنَ الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ
Dikatakan bahwa riwayat tersebut adalah riwayat yang hanya diriwayatkan oleh ‘Isa bin Yunus dari Muhammad bin ‘Umar dari Abu Salamah, dan dalam hal ini ‘Isa bin Yunus telah keliru. Adapun riwayat yang diriwayatkan oleh az-Zuhri dari Abu Salamah dan dari Sa‘id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah lebih kuat dan para perawinya lebih teliti, dan dalam riwayat mereka tidak terdapat (penyebutan) kuda maupun bagal. Seandainya riwayat itu sahih, maka boleh jadi maksudnya adalah bahwa kuda dan bagal dijadikan sebagai pengganti dari budak laki-laki dan budak perempuan.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْغُرَّةِ فِيهِ فَتَكْمُلُ الْغُرَّةُ إِذَا كَانَ كَامِلًا بِالْإِسْلَامِ وَالْحُرِّيَّةِ لِأَنَّ الْغُرَّةَ أَكْمَلُ دِيَاتِ الْجَنِينِ فَوَجَبَتْ فِي أَكْمَلِهِمْ وَصْفًا وَيَجِبُ فِيهِ الْكَفَّارَةُ لِأَنَّهَا دِيَةُ نَفْسٍ وَتَكُونُ الْغُرَّةُ عَلَى الْعَاقِلَةِ لِانْتِفَاءِ الْعَمْدِ عَنْهُ بِعَدَمِ مُبَاشَرَتِهِ لِلْجِنَايَةِ فَلَا يَكُونُ إِلَّا خَطَأً مَحْضًا أَوْ عَمْدَ خَطَأٍ وَالْكَفَّارَةُ فِي مَالِ الْجَانِي فلو ألقت من الضرب جنينين لزمته غُرْمَانِ وَكَفَّارَتَانِ وَلَوْ أَلْقَتْ ثَلَاثَةَ أَجِنَّةٍ لَزِمَهُ ثَلَاثُ غُرَرٍ وَثَلَاثُ كَفَّارَاتٍ وَلَوْ ضَرَبَهَا ثَلَاثَةً فألقت جنيناً واحداً لزمهم غُرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَثَلَاثُ كَفَّارَاتٍ وَهَذَا كُلُّهُ إِذَا أَلْقَتْهُ مَيِّتًا يَخْتَصُّ بِالْغُرَّةِ فِيهِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى فَأَمَّا إِنْ أَلْقَتْهُ حَيًّا وَجَبَ فِيهِ دِيَتُهُ وَدِيَتُهُ إِنْ كَانَ ذَكَرًا فَمِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ وَإِنْ كَانَ أُنْثَى فَخَمْسُونَ مِنَ الْإِبِلِ فَيَسْتَوِي فِي سُقُوطِهِ مَيِّتًا حُكْمُ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَيَفْتَرِقُ فِي سُقُوطِهِ حَيًّا حُكْمُ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَسُمِّي جَنِينًا لِأَنَّهُ قَدْ أَجَنَّهُ بَطْنُ أُمِّهِ أَيْ سَتَرَهُ وَلِذَلِكَ يُقَالُ أَجَنَّهُ اللَّيْلُ إِذَا سَتَرَهُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَإِذْ أَنْتُمْ أجنة في بطون أمهاتكم النجم 32
Apabila telah tetap kewajiban membayar ghurrah dalam kasus ini, maka ghurrah yang dibayarkan harus sempurna apabila janin tersebut sempurna dalam keislaman dan kemerdekaannya, karena ghurrah adalah diyat paling sempurna untuk janin, sehingga wajib diberikan pada yang paling sempurna sifatnya. Juga wajib membayar kafarat karena ghurrah merupakan diyat jiwa. Ghurrah dibebankan kepada ‘āqilah karena tidak adanya unsur kesengajaan dari pelaku, sebab ia tidak secara langsung melakukan tindak pidana, sehingga perbuatannya hanya dianggap sebagai kesalahan murni atau kesengajaan yang keliru, sedangkan kafarat menjadi tanggungan pelaku. Jika akibat pukulan tersebut keluar dua janin, maka ia wajib membayar dua ghurrah dan dua kafarat. Jika keluar tiga janin, maka ia wajib membayar tiga ghurrah dan tiga kafarat. Jika yang memukul ada tiga orang dan akibatnya keluar satu janin, maka mereka wajib membayar satu ghurrah dan tiga kafarat. Semua ini berlaku jika janin yang keluar dalam keadaan mati, maka khusus dikenakan ghurrah, baik janin itu laki-laki maupun perempuan. Namun jika janin keluar dalam keadaan hidup, maka wajib membayar diyatnya. Jika janin itu laki-laki, diyatnya seratus ekor unta, dan jika perempuan, lima puluh ekor unta. Maka, dalam kasus keluarnya janin dalam keadaan mati, hukum antara laki-laki dan perempuan sama, sedangkan dalam kasus keluarnya janin dalam keadaan hidup, hukum antara laki-laki dan perempuan berbeda. Disebut janin karena ia disembunyikan oleh perut ibunya, yaitu ditutupi. Oleh karena itu, dikatakan “ajanahullailu” jika malam menutupinya. Allah Ta‘ala berfirman: “Dan ketika kamu masih berupa janin dalam perut ibumu.” (QS. An-Najm: 32).
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَأَقَلُّ مَا يَكُونُ بِهِ جَنِينًا أَنْ يُفَارِقَ الْمُضْغَةَ وَالْعَلَقَةَ حَتَّى يَتَبَيَّنَ مِنْهُ شَيْءٌ مِنْ خَلْقِ آدَمِيٍّ أصْبَع أَوْ ظُفْر أَوْ عَيْن أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Batas minimal sesuatu dapat disebut janin adalah ketika ia telah berpisah dari bentuk mudhghah (segumpal daging) dan ‘alaqah (segumpal darah), hingga tampak darinya sesuatu dari penciptaan manusia, seperti jari, kuku, mata, atau yang semisal dengan itu.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حَدِّ الْجَنِينِ الَّذِي تَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ
Al-Mawardi berkata, para fuqaha berbeda pendapat mengenai batasan janin yang mewajibkan pembayaran ghurrah menjadi tiga mazhab.
أَحَدُهَا وَهُوَ قَوْلُ الشَّعْبِيِّ وَمَالِكٍ وَالْحَسَنِ بْنِ صَالِحٍ أَنَّ فِي أَقَلِّ الْحَبَلِ غُرَّةً
Salah satunya adalah pendapat asy-Sya‘bi, Malik, dan al-Hasan bin Shalih bahwa pada kehamilan yang paling sedikit pun tetap dikenakan diyat berupa ghurrah.
وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حنيفة أن فيه ما لم بين خَلْقُهُ حُكُومَةً فَإِذَا بَانَ خَلْقُهُ فَفِيهِ غُرَّةٌ
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hanifah, bahwa pada janin yang belum tampak bentuk penciptaannya dikenakan hukūmah, sedangkan jika sudah tampak bentuk penciptaannya maka dikenakan diyat berupa ghurrah.
وَالثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا شَيْءَ فِيهِ إِذَا لَمْ يَبِنْ خَلْقُهُ فَإِذَا بَانَ خَلْقُهُ عَلَى مَا سَنَصِفُهُ فَفِيهِ غُرَّةٌ فَصَارَ الْخِلَافُ فِيمَا لَمْ يَبِنْ خَلْقُهُ فَعِنْدَ مَالِكٍ فِيهِ غُرَّةٌ وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ فِيهِ حُكُومَةٌ وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَا شَيْءَ فِيهِ
Pendapat ketiga, yaitu pendapat asy-Syafi‘i, bahwa tidak ada kewajiban apa pun padanya jika belum tampak bentuk penciptaannya. Namun jika telah tampak bentuk penciptaannya sebagaimana akan dijelaskan, maka wajib membayar ghurrah. Maka perbedaan pendapat terjadi pada kasus ketika bentuk penciptaannya belum tampak; menurut Malik, wajib membayar ghurrah; menurut Abu Hanifah, dikenakan hukuman berupa hukūmah; dan menurut asy-Syafi‘i, tidak ada kewajiban apa pun padanya.
وَاسْتَدَلَّ مَالِكٌ عَلَى وُجُوبِ الْغُرَّةِ فِيهِ بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَقَعُ الْفَرْقُ فِي الْوَلَدِ الْحَيِّ بَيْنَ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ وَجَبَ أَنْ لَا يَقَعَ الْفَرْقُ فِي الْحَمْلِ بَيْنَ مَبَادِئِهِ وَكَمَالِهِ فِي وُجُوبِ الْغُرَّةِ
Malik berdalil atas wajibnya pembayaran al-ghurrah dalam kasus ini dengan alasan bahwa ketika tidak ada perbedaan pada anak yang hidup, baik masih kecil maupun sudah besar, dalam kewajiban membayar diyat, maka seharusnya juga tidak ada perbedaan pada janin, baik pada tahap awal kehamilan maupun saat telah sempurna, dalam kewajiban membayar al-ghurrah.
وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ بِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ فِي الْجَنِينِ دُونَ مَا فِي الْوَلَدِ الْحَيِّ وَلَمْ يَكُنْ هَدَرًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِيمَا دُونَ الْجَنِينِ أَقَلُّ مِمَّا فِي الْجَنِينِ وَلَا يَكُونُ هَدَرًا وَاسْتَدَلَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى أَنْ لَا شَيْءَ فِيهِ بِأَمْرَيْنِ
Abu Hanifah berdalil bahwa ketika diwajibkan diyat pada janin, yang nilainya lebih rendah daripada diyat pada anak yang hidup, dan diyat tersebut tidak dianggap sia-sia (hadhar), maka wajib pula pada sesuatu yang lebih rendah dari janin untuk dikenakan diyat yang lebih sedikit daripada diyat janin, dan tidak dianggap sia-sia. Sedangkan asy-Syafi‘i berdalil bahwa tidak ada kewajiban apa pun padanya dengan dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ وُجُوبَ الْغُرْمِ لِثُبُوتِ الْحُرْمَةِ وَلَيْسَ لَهُ قَبْلَ بَيَانِ خَلْقِهِ حُرْمَةٌ فَكَانَ هَذَا كَالنُّطْفَةِ
Salah satunya adalah bahwa kewajiban membayar ganti rugi itu karena adanya kehormatan (jiwa), sedangkan sebelum jelas penciptaannya, ia belum memiliki kehormatan, sehingga hal ini seperti halnya nutfah (air mani).
وَالثَّانِي أَنَّ حَيَاةَ الْإِنْسَانِ بَيْنَ حَالَتَيْنِ بَيْنَ مَبَادِئِ خَلْقِهِ وَبَيْنَ غَايَتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ فَلَمَّا كَانَ فِي آخِرِ حَالَتَيْهِ بَعْدَ الْمَوْتِ هَدَرًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي الْأُولَى مِنْ حَالَتَيْهِ قَبْلَ بَيَانِ الْخَلْقِ هَدَرًا وَفِي هذين دليل وانفصال
Kedua, bahwa kehidupan manusia berada di antara dua keadaan: antara permulaan penciptaannya dan tujuan akhirnya setelah kematiannya. Maka, ketika pada keadaan akhirnya setelah kematian dianggap tidak bernilai, wajib pula pada keadaan pertamanya sebelum penjelasan penciptaan dianggap tidak bernilai. Dalam kedua hal ini terdapat dalil dan pemisahan.
فَصْلٌ
Bab
فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَالَّذِي يَتَعَلَّقُ بِالْجَنِينِ ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ
Maka apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan, maka hukum yang berkaitan dengan janin ada tiga.
أَحَدُهَا وُجُوبُ الْغُرَّةِ
Salah satunya adalah wajibnya membayar ghurrah.
وَالثَّانِي أَنْ تَصِيرَ بِهِ الْأَمَةُ أُمَّ وَلَدٍ
Dan yang kedua adalah budak perempuan itu menjadi umm walad karenanya.
وَالثَّالِثُ أَنْ تَنْقَضِيَ بِهِ الْعُدَّةُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَقَدْ وَصَفَ اللَّهُ تَعَالَى حَالَ الْإِنْسَانِ فِي مَبَادِئِ خَلْقِهِ إِلَى اسْتِكْمَالِهِ فَقَالَ تَعَالَى وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإِنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ المؤمنون 12
Ketiga, dengannya masa ‘iddah berakhir. Jika demikian, Allah Ta‘ala telah menggambarkan keadaan manusia dari permulaan penciptaannya hingga kesempurnaannya, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (yang berasal) dari tanah.” (al-Mu’minun: 12)
وَفِيهِ قَوْلَانِ
Di dalamnya terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا أَنَّ آدَمَ وَحْدَهُ اسْتُلَّ مِنْ طِينٍ وَهُوَ الْمَخْصُوصُ بِخَلْقِهِ مِنْهُ قَالَهُ قَتَادَةُ
Salah satunya adalah bahwa hanya Adam sendiri yang diambil dari tanah, dan dialah yang dikhususkan dengan penciptaan dari tanah tersebut. Hal ini dikatakan oleh Qatadah.
وَالثَّانِي أَنَّهُ أَرَادَ كُلَّ إِنْسَانٍ؛ لِأَنَّهُ يَرْجِعُ إِلَى آدَمَ الَّذِي خُلِقَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ قَالَهُ مُجَاهِدٌ
Yang kedua, bahwa yang dimaksud adalah setiap manusia; karena semuanya kembali kepada Adam yang diciptakan dari sari pati tanah, sebagaimana dikatakan oleh Mujāhid.
وَفِي السُّلَالَةِ تَأْوِيلَانِ
Pada kata “sulālah” terdapat dua penafsiran.
أَحَدُهُمَا أَنَّهَا الصَّفْوَةُ
Salah satunya adalah bahwa ia merupakan pilihan terbaik.
وَالثَّانِي أَنَّهَا الْقَلِيلُ الَّذِي يَنْسَلُّ
Dan yang kedua adalah bahwa ia adalah sedikit yang menyusup.
ثُمَّ ذَكَرَ حَالَةً ثَانِيَةً فِي الْوَلَدِ فقال تعالى ثم خلقناه نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ المؤمنون 13 يَعْنِي بِهِ ذُرِّيَّةَ آدَمَ الْمَخْلُوقِينَ مِنْ تَنَاسُلِ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ لِأَنَّهُ خُلِقَ مِنْ طِينٍ وَلَمْ يُخْلَقْ مِنْ نُطْفَةِ التَّنَاسُلِ وَالنُّطْفَةُ هِيَ مَاءُ الذَّكَرِ الَّذِي يُعلقُ مِنْهُ الْوَلَدُ وَهُوَ أَوَّلُ خَلْقِ الْإِنْسَانِ
Kemudian Allah menyebutkan keadaan kedua pada anak, lalu berfirman: “Kemudian Kami menjadikannya sebagai nutfah (air mani) dalam tempat yang kokoh” (QS. Al-Mu’minun: 13). Yang dimaksud di sini adalah keturunan Adam yang diciptakan dari hasil reproduksi laki-laki dan perempuan, karena Adam sendiri diciptakan dari tanah dan tidak diciptakan dari nutfah hasil reproduksi. Nutfah adalah air mani laki-laki yang darinya anak tergantung (tercipta), dan itulah awal penciptaan manusia.
وقوله تعالى في قرار يعني به الرحم مكين لِاسْتِقْرَارِهِ فِيهِ فَصَارَتِ النُّطْفَةُ فِي أَوَّلِ مَبَادِئَ خَلْقِهِ كَالْغَرْسِ وَالرَّحِمُ فِي إِنْشَائِهِ كَالْأَرْضِ
Dan firman Allah Ta‘ala tentang “tempat yang kokoh” maksudnya adalah rahim, yang menjadi tempat menetapnya (janin) di dalamnya. Maka nutfah (air mani) pada awal mula penciptaannya seperti benih yang ditanam, dan rahim dalam proses penciptaannya seperti tanah tempat menanam.
ثُمَّ ذَكَرَ حَالَةً ثَالِثَةً هِيَ لِلْوَلَدِ ثَانِيَةٌ فَقَالَ تَعَالَى ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً المؤمنون 14 وَالْعَلَقَةُ هِيَ الدَّمُ الطَّرِيُّ الَّذِي انْتَقَلَتِ النُّطْفَةُ إِلَيْهِ حَتَّى صَارَتْ عَلَقَةً وَسُمِّيَتْ عَلَقَةً لِأَنَّهَا أَوَّلُ أَحْوَالِ الْعُلُوقِ وَالْعَلَقَةُ فِي حُكْمِ النُّطْفَةِ فِي أَنَّهُ لَمْ يَسْتَقِرَّ لَهَا حُرْمَةٌ وَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا شَيْءٌ مِنَ الْأَحْكَامِ الثَّلَاثَةِ بِإِجْمَاعِ الْفُقَهَاءِ فَلَا تَجِبُ فِيهَا غُرَّةٌ وَلَا تَصِيرُ بِهَا أُمَّ وَلَدٍ وَلَا تَنْقَضِي بِهَا الْعِدَّةُ
Kemudian disebutkan keadaan ketiga, yaitu keadaan kedua bagi anak, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Kemudian Kami jadikan nutfah itu menjadi ‘alaqah” (al-Mu’minun: 14). ‘Alaqah adalah darah segar yang berubah dari nutfah hingga menjadi ‘alaqah, dan dinamakan ‘alaqah karena itu adalah awal keadaan menempel. ‘Alaqah dalam hukum sama dengan nutfah, yaitu belum tetap baginya kehormatan (perlindungan hukum), dan belum terkait dengannya salah satu dari tiga hukum menurut ijmā‘ para fuqaha. Maka tidak wajib diyat (denda) berupa ghurrah, tidak menjadikan seorang wanita sebagai umm walad, dan tidak menyebabkan habisnya masa ‘iddah.
ثُمَّ ذَكَرَ حَالَةً رَابِعَةً هِيَ لِلْوَلَدِ ثَالِثَةٌ فَقَالَ تَعَالَى فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً المؤمنون 14 وَالْمُضْغَةُ اللَّحْمُ وَهُوَ أَوَّلُ أَحْوَالِ الْجِسْمِ سُمِّيَتْ مُضْغَةً لِأَنَّهَا بِقَدْرِ مَا يُمْضَغُ مِنَ اللَّحْمِ وَهُوَ الَّذِي تَقَدَّمَ فِيهِ الْخِلَافُ فَأَوْجَبَ فِيهِ مَالِكٌ غُرَّةً وَأَوْجَبَ فِيهِ أَبُو حَنِيفَةَ حُكُومَةً وَلَمْ يُوجِبْ فِيهِ الشَّافِعِيُّ شَيْئًا وَلَا تَصِيرُ بِهِ عَلَى قَوْلِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَفِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِهِ قَوْلَانِ
Kemudian disebutkan keadaan keempat yang merupakan keadaan ketiga bagi anak, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Lalu Kami jadikan segumpal darah itu segumpal daging” (Al-Mu’minun: 14). Dan mudhghah adalah daging, yaitu bentuk awal dari jasad, dinamakan mudhghah karena ukurannya sebesar daging yang dapat dikunyah. Inilah yang sebelumnya diperselisihkan hukumnya: Malik mewajibkan diyat ghurrah padanya, Abu Hanifah mewajibkan hukuman taksiran (hukūmah), sedangkan Syafi‘i tidak mewajibkan apa pun, dan menurut pendapatnya tidak menjadikan ibu anak (umm walad) karenanya. Dalam hal berakhirnya masa ‘iddah dengan mudhghah ini, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ لِمَا فِيهِ مِنِ اسْتِبْرَاءِ الرَّحِمِ
Salah satunya menyebabkan berakhirnya masa ‘iddah karena di dalamnya terdapat upaya memastikan kekosongan rahim.
وَالثَّانِي لَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ كَمَا لَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَلَا تَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ
Dan yang kedua, iddah tidak selesai karenanya, sebagaimana tidak menjadi umm walad karenanya, dan tidak wajib membayar ghurrah atasnya.
ثُمَّ ذَكَرَ حَالَةً خَامِسَةً وَهِيَ لِلْوَلَدِ رَابِعَةٌ قَالَ تَعَالَى فخلقنا المضعة عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا المؤمنون 14 فَاحْتَمَلَ خَلْقُ الْعَظْمِ وَاللَّحْمُ عَلَى وَجْهَيْنِ
Kemudian disebutkan keadaan kelima, yang bagi janin merupakan keadaan keempat. Allah Ta‘ala berfirman: “Lalu Kami jadikan segumpal daging itu menjadi tulang belulang, lalu Kami balut tulang belulang itu dengan daging.” (Al-Mu’minun: 14). Maka penciptaan tulang dan daging dapat dimaknai dalam dua kemungkinan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ قَدْ خَلَقَ عَظْمًا كَسَاهُ لَحْمًا
Salah satunya adalah keduanya berada dalam satu keadaan, yaitu Dia telah menciptakan tulang lalu membalutnya dengan daging.
وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ فِي حَالَتَيْنِ خَلَقَ فِي إِحْدَاهُمَا عَظْمًا ثُمَّ كَسَاهُ بَعْدَ اسْتِكْمَالِ الْعَظْمِ لَحْمًا فَيَكُونُ اللَّحْمُ حَالَةً سَادِسَةً هِيَ لِلْوَلَدِ خَامِسَةٌ
Dan yang kedua adalah bahwa pada dua keadaan, Dia menciptakan pada salah satunya tulang, kemudian setelah tulang itu sempurna, Dia membungkusnya dengan daging. Maka daging itu menjadi keadaan keenam, yang bagi janin merupakan keadaan kelima.
ثُمَّ ذَكَرَ حَالَةً سَابِعَةً هِيَ لِلْوَلَدِ سَادِسَةٌ فَقَالَ تَعَالَى ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ المؤمنون 14 وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ
Kemudian Dia menyebutkan keadaan ketujuh, yang bagi anak adalah keadaan keenam, lalu Allah Ta‘ala berfirman: “Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang lain” (al-Mu’minun: 14), dan dalam hal ini terdapat dua penafsiran.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ نَفْخُ الرُّوحِ فِيهِ قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ
Salah satunya adalah bahwa yang dimaksud adalah ditiupkannya ruh ke dalamnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas.
وَالثَّانِي أَنَّهُ تَمَيّز ذَكَر أَوْ أُنْثَى قَالَهُ الْحَسَنُ وَمَحْصُولُ هَذِهِ الْأَحْوَالِ يَرْجِعُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ مُضْغَةٍ وَمَا قَبْلَهَا وَمَا بَعْدَهَا
Kedua, bahwa telah tampak jelas jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan, sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan. Kesimpulan dari keadaan-keadaan ini kembali kepada tiga bagian: mudhghah, apa yang sebelum mudhghah, dan apa yang sesudahnya.
فَأَمَّا الْمُضْغَةُ وَمَا قَبْلَهَا فَقَدْ ذَكَرْنَاهُ وَقُلْنَا إِنَّ مَا قَبْلَ الْمُضْغَةِ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ شَيْءٌ مِنَ الْأَحْكَامِ الثَّلَاثَةِ وَإِنَّ الْمُضْغَةَ لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا مَا سِوَى الْغُرَّةِ وَفِي الْعِدَّةِ قَوْلَانِ
Adapun mudhghah dan apa yang sebelumnya, telah kami sebutkan bahwa apa yang sebelum mudhghah tidak terkait dengan salah satu dari tiga hukum tersebut, dan bahwa mudhghah tidak terkait dengannya kecuali diyat ghurrah, dan dalam masalah masa iddah terdapat dua pendapat.
وَأَمَّا مَا بَعْدَ الْمُضْغَةِ فَتَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ وَمَا وَجَبَتْ فِيهِ الْغُرَّةُ مِنْ ذَلِكَ صَارَتْ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَالْغُرَّةُ فِيهِ تَخْتَلِفُ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِ بَعْدَ الْمُضْغَةِ وَلَهُ بَعْدَهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ
Adapun setelah fase mudhghah, maka dengan itu masa ‘iddah berakhir, dan jika pada fase itu diwajibkan membayar ghurrah, maka perempuan tersebut menjadi umm walad. Kewajiban ghurrah pada fase ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaannya setelah mudhghah, dan setelahnya terdapat tiga keadaan.
أَحَدُهَا أَنْ لَا يَبِينَ فِيهِ صُورَةٌ وَلَا تَخْطِيطُ الصُّوَرِ فَلَا تَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ
Salah satunya adalah tidak tampak di dalamnya bentuk gambar maupun sketsa gambar, maka tidak wajib membayar ghurrah.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَبِينَ فِيهِ إِمَّا صُورَةُ جَمِيعِ الْأَعْضَاءِ وَإِمَّا صُورَةُ بَعْضِهَا كَعَيْنٍ أَوْ أصْبَعٍ أَوْ ظُفْرٍ فَتَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ لِبَيَانِ خَلْقِهِ سَوَاءٌ كَانَتِ الصُّورَةُ ظَاهِرَةً لِلْأَبْصَارِ أَوْ كَانَتْ خَفِيَّةً تَظْهَرُ بِوَضْعِهِ فِي الْمَاءِ الْحَارِّ
Keadaan kedua adalah apabila telah tampak padanya, baik bentuk seluruh anggota tubuh maupun sebagian anggotanya seperti mata, jari, atau kuku, maka wajib membayar diyat berupa ghurrah karena telah jelas penciptaannya, baik bentuk tersebut tampak secara kasat mata maupun tersembunyi yang baru tampak ketika diletakkan dalam air panas.
وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَبِينَ فِيهِ التَّخْطِيطُ وَلَا يَبِينُ فِيهِ الصُّورَةُ فَيَتَخَطَّطُ وَلَا يُتَصَوَّرُ فَفِي وُجُوبِ الْغُرَّةِ فِيهِ وَجْهَانِ
Keadaan ketiga adalah ketika yang tampak padanya adalah garis-garis (takhṭīṭ), namun bentuk (ṣūrah) belum tampak, sehingga hanya terlihat garis-garis dan belum terbentuk rupa. Dalam hal kewajiban membayar diyat ringan (al-ghurrah) pada kondisi ini, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا تَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ لِعَدَمِ التَّصْوِيرِ
Salah satunya adalah tidak wajib membayar ghurrah karena tidak terjadi pembentukan rupa.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي تَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ لِأَنَّ التَّخْطِيطَ مَبَادِئُ التَّصْوِيرِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa diyat berupa ghurrah wajib diberikan karena membuat garis-garis adalah permulaan dari proses menggambar.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا أَلْقَتْ غِشَاوَةً أَوْ جِلْدَةً شُقَّتْ فَوُجِدَ فِيهَا جَنِينَانِ فَفِيهِمَا غُرَّتَانِ وَكَفَّارَتَانِ وَلَوْ أَلْقَتْ جَسَدًا عَلَيْهِ رَأْسَانِ فَفِيهِ غُرَّةٌ وَاحِدَةٌ فَكَذَلِكَ لو ألقت رأساً فَفِيهِ غُرَّةٌ وَاحِدَةٌ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَا عَلَى جَسَدٍ وَاحِدٍ وَلَوْ أَلْقَتْ جَسَدَيْنِ فَفِيهِ غُرَّةٌ وَاحِدَةٌ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِمَا رَأْسٌ وَاحِدَةٌ وَلَوْ أَلْقَتْ رَأْسَيْنِ وَجَسَدَيْنِ فَفِيهِمَا غُرَّتَانِ لِانْتِفَاءِ الاحتمال
Jika ia melahirkan selaput atau kulit yang kemudian dibelah dan didapati di dalamnya dua janin, maka atas keduanya dikenakan dua diyat (gurratān) dan dua kafarat. Jika ia melahirkan satu tubuh dengan dua kepala, maka hanya dikenakan satu diyat (gurrat) saja. Demikian pula jika ia melahirkan satu kepala, maka hanya dikenakan satu diyat (gurrat), karena mungkin saja keduanya berada pada satu tubuh. Jika ia melahirkan dua tubuh, maka hanya dikenakan satu diyat (gurrat), karena mungkin saja kedua tubuh itu hanya memiliki satu kepala. Namun, jika ia melahirkan dua kepala dan dua tubuh, maka dikenakan dua diyat (gurratān), karena tidak ada kemungkinan lain.
فَصْلٌ
Bab
وَإِذَا أَلْقَتْ عُضْوًا مِنْ جَسَدٍ خَرَجَ بَاقِيهِ حَيًّا فَلَهُ حَالَتَانِ
Dan apabila ia melahirkan satu anggota dari tubuhnya, lalu sisa tubuhnya keluar dalam keadaan hidup, maka ada dua keadaan.
إِحْدَاهُمَا أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ حَيَاتِهِ فَفِيهِ دِيَةٌ كَامِلَةٌ يَدْخُلُ فِيهَا أَرْشُ الْعُضْوِ الْمُنْفَصِلِ عَنْهُ قَبْلَ ظُهُورِهِ
Salah satunya adalah jika ia meninggal setelah sebelumnya hidup, maka baginya dikenakan diyat secara penuh, yang di dalamnya sudah termasuk kompensasi (arsh) untuk anggota tubuh yang terpisah darinya sebelum kematiannya tampak.
وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَبْقَى عَلَى حَيَاتِهِ فَالْعُضْوُ الْمُنْفَصِلُ عَنْهُ قَبْلَ إِلْقَائِهِ إِنْ كَانَ يَدًا فَمُعْتَبَرٌ بِاخْتِيَارِ أَهْلِ الْعِلْمِ بِحَالِهِ مِنْ ثِقَاتِ الطِّبِّ وَالْقَوَابِلِ فَإِنْ دَلَّتْ شَوَاهِدُ حَالِهِ عَلَى انْفِصَالِهِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْحَيَاةِ فِيهِ فَفِيهِ نِصْفُ الدِّيَةِ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْحَيِّ وَإِنْ دَلَّتْ عَلَى انْفِصَالِهِ قَبْلَ اسْتِقْرَارِ حَيَاتِهِ فَفِيهِ نِصْفُ الْغُرَّةِ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْجَنِينِ
Keadaan kedua adalah tetap hidupnya (janin). Maka anggota tubuh yang terpisah darinya sebelum dilahirkan, jika berupa tangan, maka dipertimbangkan menurut pilihan para ahli ilmu berdasarkan keadaan anggota tersebut menurut para dokter dan bidan yang tepercaya. Jika tanda-tanda menunjukkan bahwa anggota itu terpisah setelah kehidupan menetap padanya, maka dikenakan setengah diyat, sesuai dengan keadaan orang hidup. Namun jika tanda-tanda menunjukkan bahwa anggota itu terpisah sebelum kehidupan menetap padanya, maka dikenakan setengah ghurrah, sesuai dengan keadaan janin.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا ضَرَبَهَا فَتَحَرَّكَ جَوْفُهَا ثُمَّ خَمَدَ فَلَا شَيْءَ فِيهِ وَأَوْجَبَ فِيهِ الزُّهْرِيُّ غُرَّةً لِأَنَّ خُمُودَهُ بَعْدَ الْحَرَكَةِ دَلِيلٌ عَلَى تَلَفِهِ بَعْدَ الْوُجُودِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْحَرَكَةَ يُحْتَمَلُ أَنْ تَكُونَ مِنْهُ وَيُحْتَمَلُ أَنْ تكون لريح انفشت وهكذا لو ترحك جَوْفُهَا بَعْدَ الْمَوْتِ مَعَ ظُهُورِ حَمْلِهَا ثُمَّ خَمَدَ يَحْتَمِلُ الْأَمْرَيْنِ فَصَارَ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُ شَيْء مَشْكُوكًا فِيهِ وَالْغُرْمُ لَا يَجِبُ بالشك
Jika ia memukulnya lalu janin dalam kandungannya bergerak kemudian diam, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Az-Zuhri mewajibkan diyat berupa ghurrah karena diamnya setelah bergerak menunjukkan bahwa janin itu rusak setelah ada kehidupan. Namun, pendapat ini keliru karena gerakan itu bisa jadi berasal dari janin, dan bisa juga karena angin yang keluar. Demikian pula jika janin dalam kandungan bergerak setelah kematian ibunya sementara kehamilannya tampak, lalu diam, maka kedua kemungkinan itu tetap ada. Maka, selama belum tampak adanya tanda kehidupan dari janin, hal itu masih diragukan, dan kewajiban ganti rugi tidak ditetapkan atas dasar keraguan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِذَا أَلْقَتْهُ مَيِّتًا فَسَوَاءٌ كَانَ ذَكَرًا أَوْ أنثى قال المزني هذا يدل على أن أمته إذا ألقت منه دماً أن لا تكون به أم ولد لأنه لم يجعله ههنا ولداً وقد جعله في غير هذا المكان ولداً وهذا عندي أولى من ذلك
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ia melahirkannya dalam keadaan mati, maka sama saja apakah ia laki-laki atau perempuan.” Al-Muzani berkata: “Ini menunjukkan bahwa jika budaknya melahirkan darah darinya, maka ia tidak menjadi ummu walad baginya, karena di sini ia tidak menjadikannya sebagai anak, sedangkan di tempat lain ia menjadikannya sebagai anak. Menurutku, pendapat ini lebih utama daripada yang itu.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لَا فَرْقَ فِي الْجَنِينِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى فِي وُجُوبِ الْغُرَّةِ فِيهِ وَقِيمَتُهَا خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ وَمِنِ الْوَرِقِ إِذَا قُدِّرَتْ دِيَةُ النَّفْسِ وَرِقًا سِتُّمِائَةِ دِرْهَمٍ وَمِنِ الْعَيْنِ خَمْسُونَ دِينَارًا وَذَلِكَ عُشْرُ دِيَةِ أُمِّهِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, tidak ada perbedaan pada janin, apakah ia laki-laki atau perempuan, dalam kewajiban membayar ghurrah untuknya. Nilainya adalah lima ekor unta, sebagaimana akan kami sebutkan, atau dari perak jika diyat jiwa ditetapkan dengan perak, yaitu enam ratus dirham, atau dari emas sebanyak lima puluh dinar. Itu adalah sepersepuluh dari diyat ibunya.”
وَفَرَّقَ أَبُو حَنِيفَةَ فِي الْجَنِينِ بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى فَأَوْجَبَ فِيهِ إِنْ كَانَ ذَكَرًا نِصْفَ عُشْرِ دِيَتِهِ لَوْ كَانَ حَيًّا وَإِنْ كَانَ أُنْثَى عُشْرَ دِيَتِهَا لَوْ كَانَتْ حَيَّةً وَهَذَا وَإِنْ كَانَ مُوَافِقًا فِي الْحُكْمِ فَهُوَ مُخَالِفٌ فِي الْعِلَّةِ وَخِلَافُهُ وَإِنْ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي الْجَنِينِ الْحُرِّ كَانَ مُؤَثِّرًا فِي الْجَنِينِ الْمَمْلُوكِ
Abu Hanifah membedakan antara janin laki-laki dan perempuan; beliau mewajibkan, jika janin itu laki-laki, setengah dari sepersepuluh diyat-nya seandainya ia hidup, dan jika perempuan, sepersepuluh diyat-nya seandainya ia hidup. Meskipun hal ini sesuai dalam hukum, namun berbeda dalam ‘illat-nya. Perbedaan pendapat ini, meskipun tidak berpengaruh pada janin yang merdeka, menjadi berpengaruh pada janin yang berstatus budak.
وَالدَّلِيلُ عَلَى التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى رِوَايَةُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى فِي الْجَنِينِ بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ وَلَمْ يَسْأَلْ أَذَكَرٌ هُوَ أَوْ أُنْثَى وَلَوِ افْتَرَقَا لَسَأَلَ وَلَنُقِلَ فَدَلَّ عَلَى اسْتِوَائِهِمَا لِأَنَّ حَالَ الْجَنِينِ فِي الْأَغْلَبِ مُشْتَبِهَةٌ وَفِي الْحَيِّ ظَاهِرَةٌ فَسَوَّى بَيْنَهُمَا فِي الْجَنِينِ حَسْمًا لِلِاخْتِلَافِ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا فِي الْحَيِّ لِزَوَالِ الِاشْتِبَاهِ كَمَا قَدَّرَ لَبَنَ التَّصْرِيَةِ بِصَاعٍ مِنْ تَمْرٍ قَطْعًا للتنازل وَحَسْمًا لِلِاخْتِلَافِ
Dalil tentang penyamaan antara laki-laki dan perempuan adalah riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan dalam perkara janin dengan diyat berupa seorang budak laki-laki atau budak perempuan, dan beliau tidak menanyakan apakah janin itu laki-laki atau perempuan. Seandainya ada perbedaan antara keduanya, tentu beliau akan menanyakannya dan tentu akan diriwayatkan. Maka hal ini menunjukkan persamaan keduanya, karena keadaan janin pada umumnya masih samar, sedangkan pada orang yang hidup sudah jelas. Maka beliau menyamakan keduanya dalam perkara janin untuk menghilangkan perbedaan pendapat, dan membedakan keduanya pada orang yang hidup karena sudah hilangnya kesamaran. Sebagaimana beliau menetapkan diyat susu yang dipalsukan dengan satu sha’ kurma, sebagai pemutus perselisihan dan untuk menghilangkan perbedaan pendapat.
فَصْلٌ
Bagian
فَعَلَى هَذَا لَوْ أَلْقَتْ مِنَ الضَّرْبِ ذَكَرًا وَأُنْثَى أَحَدُهُمَا مَيِّتٌ وَالْآخَرُ حَيٌّ ثُمَّ مَاتَ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ هُوَ الذَّكَرَ وَالْحَيُّ هُوَ الْأُنْثَى فَعَلَى الضَّارِبِ غُرَّةٌ فِي الْجَنِينِ وَنِصْفُ الدِّيَةِ الْكَامِلَةِ فِي الْحَيِّ فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ هُوَ الْأُنْثَى وَالْحَيُّ هُوَ الذَّكَرَ فَعَلَيْهِ غُرَّةٌ فِي الْمَيِّتِ وِدِّيَّةٌ كَامِلَةٌ فِي الْحَيِّ فَإِنِ اخْتَلَفَ الضَّارِبُ وَالْمَضْرُوبَةُ فِي الْحَيِّ مِنْهَا فَقَالَتِ الْمَضْرُوبَةُ هُوَ الذَّكَرُ وَقَالَ الضَّارِبُ هُوَ الْأُنْثَى فَالْقَوْلُ قَوْلُ الضَّارِبِ مَعَ يَمِينِهِ لِبَرَاءَةِ ذِمَّتِهِ حَتَّى يَشْهَدَ لِلْمَضْرُوبَةِ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ عُدُولٍ أَنَّ الْحَيَّ مِنْهَا هُوَ الذكر فيحكم به والله أعلم
Berdasarkan hal ini, jika akibat pukulan tersebut keluar janin laki-laki dan perempuan, salah satunya meninggal dan yang lainnya hidup lalu kemudian meninggal, maka dilihat: jika yang meninggal adalah laki-laki dan yang hidup adalah perempuan, maka atas orang yang memukul wajib membayar ghurrah untuk janin dan setengah diyat penuh untuk yang hidup. Jika yang meninggal adalah perempuan dan yang hidup adalah laki-laki, maka atasnya wajib membayar ghurrah untuk yang meninggal dan diyat penuh untuk yang hidup. Jika terjadi perselisihan antara orang yang memukul dan perempuan yang dipukul mengenai siapa yang hidup di antara keduanya, lalu perempuan yang dipukul berkata bahwa yang hidup adalah laki-laki, sedangkan orang yang memukul berkata bahwa yang hidup adalah perempuan, maka yang dipegang adalah pernyataan orang yang memukul disertai sumpahnya untuk membebaskan tanggungannya, kecuali jika ada kesaksian dari empat perempuan adil bahwa yang hidup adalah laki-laki, maka diputuskan sesuai hal itu. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَكَذَلِكَ إِنْ أَلْقَتْهُ مِنَ الضَّرْبِ بَعْدَ مَوْتِهَا فَفِيهِ غُرَّة عَبْد أَوْ أَمَة
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Demikian pula, jika janin itu keluar karena pukulan setelah ibunya meninggal, maka wajib membayar diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ضَرَبَهَا فَمَاتَتْ وَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا فَعَلَيْهِ دِيَتُهَا وَغُرَّةٌ فِي جَنِينِهَا سَوَاءٌ أَلْقَتْهُ قَبْلَ مَوْتِهَا أَوْ بَعْدَهُ
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila seseorang memukulnya lalu ia meninggal dan melahirkan janin dalam keadaan mati, maka atasnya wajib membayar diyat perempuan tersebut dan juga membayar ghurrah untuk janinnya, baik ia melahirkan janin itu sebelum kematiannya atau sesudahnya.”
وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ تَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ إِنْ أَلْقَتْهُ قَبْلَ مَوْتِهَا وَلَا يَجِبُ فِيهِ شَيْءٌ إِنْ أَلْقَتْهُ بَعْدَ مَوْتِهَا إِلَّا أَنْ تُلْقِيَهُ حَيًّا فَيَمُوتُ فَتَجِبُ فِيهِ دِيَتُهُ احْتِجَاجًا بِأَمْرَيْنِ
Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa diyat ghurrah wajib jika janin itu dilahirkan sebelum kematian ibunya, dan tidak ada kewajiban apa pun jika dilahirkan setelah kematian ibunya, kecuali jika janin itu dilahirkan dalam keadaan hidup lalu meninggal, maka wajib dibayarkan diyatnya, dengan berdalil pada dua hal.
أَحَدُهُمَا أن انفصاله ميت بَعْدَ مَوْتِهَا مُوجِبٌ لِسُقُوطِ غُرْمِهِ كَمَا لَوْ دِيسَ بَطْنُهَا بَعْدَ الْمَوْتِ فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا لَمْ يُضَمَنْ إِجْمَاعًا وَهُوَ بِدِيَاسِهَا بَعْدَ الْمَوْتِ مَخْصُوصٌ بِالْجِنَايَةِ وَقَتْلُهُ غَيْرُ مَخْصُوصٍ بِهَا فَكَانَ بِسُقُوطِ الْغُرْمِ أَحَقَّ
Salah satunya adalah bahwa keluarnya janin yang sudah mati setelah kematian ibunya menyebabkan gugurnya kewajiban membayar diyat, sebagaimana jika perut ibunya diinjak setelah kematiannya lalu ia melahirkan janin yang sudah mati, maka tidak ada kewajiban diyat menurut ijmā‘. Peristiwa diinjaknya setelah kematian itu khusus berkaitan dengan tindak pidana, sedangkan pembunuhan janin tidak khusus berkaitan dengan itu, sehingga lebih berhak untuk gugurnya kewajiban membayar diyat.
وَالثَّانِي أَنَّ الْجَنِينَ بِمَنْزِلَةِ أعضائها لأمرين
Kedua, bahwa janin itu kedudukannya seperti anggota-anggota tubuhnya karena dua hal.
أَحَدُهُمَا اتِّبَاعُهُ لَهَا فِي الْعِتْقِ وَالْبَيْعِ كَالْأَعْضَاءِ
Salah satunya adalah mengikuti statusnya dalam hal pembebasan budak dan penjualan, seperti halnya anggota tubuh.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَا يُفْرَدُ بِغُسْلٍ وَلَا صَلَاةٍ كَمَا لَا تُفْرَدُ بِهِ الْأَعْضَاءُ فَلَمَّا كَانَتْ أُرُوشُ أَعْضَائِهَا دَاخِلَةً فِي دِيَتِهَا وَجَبَ أَنْ تَكُونَ غُرَّةُ جَنِينِهَا دَاخِلَةً فِي دِيَتِهَا
Kedua, bahwa ia tidak disendirikan dengan mandi maupun salat, sebagaimana anggota tubuhnya juga tidak disendirikan dengan hal itu. Maka ketika diyat anggota tubuhnya termasuk dalam diyatnya, wajiblah bahwa pembayaran ghurrah untuk janinnya juga termasuk dalam diyatnya.
وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ اقْتَتَلَتِ امْرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلٍ فَرَمَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى بِحَجَرٍ فَأَصَابَتْ بَطْنَهَا فَقَتَلَتْهَا فَأَسْقَطَتْ جَنِينًا فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِعَقْلِهَا عَلَى عَاقِلَةِ الْقَاتِلَةِ وَفِي جَنِينِهَا غُرَّة عَبْد أَوْ أَمَة
Dan dalil kami adalah hadis Abu Hurairah, ia berkata: Dua orang wanita dari (kabilah) Hudzail saling berkelahi, lalu salah satu dari keduanya melemparkan batu kepada yang lain sehingga mengenai perutnya dan membunuhnya, lalu wanita itu keguguran. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah (keluarga penanggung diyat) dari wanita yang membunuh, dan untuk janinnya (dikenakan) ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan.
وَالظَّاهِرُ مِنْ هَذَا النَّقْلِ أَنَّ إِلْقَاءَ الْجَنِينِ كَانَ بَعْدَ مَوْتٍ وَلَوِ احْتَمَلَ الْأَمْرَيْنِ كَانَ فِي إِمْسَاكِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنِ السُّؤَالِ عَنْهُ دَلِيلٌ عَلَى اسْتِوَاءِ الْحُكْمِ فِي الْحَالَيْنِ وَلَوْ سَأَلَ لَنَقَلَ
Yang tampak dari riwayat ini adalah bahwa janin dikeluarkan setelah meninggal dunia. Namun, jika memungkinkan kedua keadaan (sebelum atau sesudah meninggal), maka sikap Nabi ﷺ yang tidak menanyakan tentang hal itu merupakan dalil bahwa hukum pada kedua keadaan tersebut adalah sama. Seandainya beliau bertanya, tentu hal itu akan diriwayatkan.
وَمِنِ الْقِيَاسِ أَنَّ كُلَّ جِنَايَةٍ ضُمِنَ بِهَا الْجَنِينُ إِذَا سَقَطَ فِي الْحَيَاةِ وَجَبَ أَنْ يُضْمَنَ بِهَا الْجَنِينُ إِذَا سَقَطَ بَعْدَ الْوَفَاةِ كَالَّذِي سَقَطَ حَيًّا ثُمَّ مَاتَ؛ وَلِأَنَّ الْجَنِينَ ضَمَانُ النُّفُوسِ دُونَ الْأَعْضَاءِ لِأَمْرَيْنِ
Dan berdasarkan qiyās, setiap tindak pidana yang mengharuskan adanya jaminan (diyat) terhadap janin apabila ia gugur dalam keadaan hidup, maka wajib pula dijamin apabila ia gugur setelah kematian, seperti halnya janin yang lahir hidup lalu meninggal; karena janin termasuk dalam jaminan jiwa, bukan jaminan anggota tubuh, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ دِيَتَهُ مَوْرُوثَةٌ وَلَوْ كَانَ كَأَعْضَائِهَا لَوَجَبَتْ دِيَتُهَا لَهَا
Salah satunya adalah bahwa diyatnya diwariskan, dan jika ia seperti anggota tubuhnya, maka diyatnya wajib diberikan kepadanya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ خَارِجٌ مِنْ دِيَةِ نَفْسِهَا وَلَوْ كَانَ كَأَعْضَائِهَا لَدَخَلَ فِي دِيَتِهَا وَإِذَا اخْتُصَّ بِضَمَانِ النُّفُوسِ اعْتُبِرَ بِنَفْسِهِ لَا بِغَيْرِهِ فَاسْتَوَى حُكْمُ إِلْقَائِهِ فِي الْمَوْتِ وَبَعْدَهُ
Kedua, bahwa ia terpisah dari diyat dirinya sendiri, dan jika ia seperti anggota-anggotanya, tentu ia termasuk dalam diyatnya. Dan apabila ia khusus dalam penjaminan jiwa, maka yang dijadikan pertimbangan adalah dirinya sendiri, bukan yang lain. Maka hukumnya sama, baik ia dilepaskan saat masih hidup maupun setelah mati.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ احْتِجَاجِهِمْ بِإِلْقَائِهِ إِذَا دِيسَتْ بَعْدَ مَوْتِهَا فَمِنْ وَجْهَيْنِ
Adapun jawaban terhadap argumentasi mereka dengan dalil bahwa bangkai itu dibuang jika terinjak setelah matinya, maka ada dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَجِبَ فِيهِ الْغُرَّةُ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهِ بَقَاءُ الْحَيَاةِ إِلَى أَنْ يَتَحَقَّقَ الْمَوْتُ فَيَسْقُطُ بِهِ الْإِجْمَاعُ
Salah satunya adalah bahwa tidak mustahil diwajibkan diyat berupa ghurrah dalam kasus ini, karena pada dasarnya kehidupan tetap ada sampai kematian benar-benar terbukti, sehingga kewajiban tersebut gugur berdasarkan ijmā‘.
وَالثَّانِي وَإِنْ سَقَطَتْ فِيهِ الْغُرَّةُ فَلِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ مَوْتِهِ بِمَوْتِ أُمِّهِ وَالْمَدِيسَةُ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ فلم يضمن جنينها والمضروبة مضمونة فضمن جَنِينَهَا
Yang kedua, meskipun diyat ghurrah gugur padanya, hal itu karena yang tampak adalah kematian janin tersebut disebabkan oleh kematian ibunya, dan wanita yang meninggal secara alami (bukan karena perbuatan orang lain) tidak ada jaminan diyat atasnya, sehingga janinnya pun tidak dijamin; sedangkan wanita yang dipukul (hingga meninggal) dijamin diyatnya, maka janinnya pun dijamin.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ احْتِجَاجِهِمْ بِأَنَّهُ كَأَعْضَائِهَا فَقَدْ مَنَعْنَا مِنْهُ بِمَا قَدَّمْنَاهُ
Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa (itu) seperti anggota tubuhnya, maka kami menolaknya dengan apa yang telah kami kemukakan sebelumnya.
فَأَمَّا اتِّبَاعُهُ لَهَا فِي الْعِتْقِ وَالْمَبِيعِ فَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَتَمَيَّزَ عَنْهَا وَإِنْ تَبِعَهَا كَمَا يَتْبَعُهَا فِي الْإِسْلَامِ بَعْدَ الْوِلَادَةِ وَلَا يَتْبَعُهَا فِي الرِّدَّةِ بَعْدَ الْوِلَادَةِ
Adapun mengikuti ibu dalam hal pembebasan budak dan penjualan, maka tidak mustahil anak itu dapat terpisah darinya meskipun ia mengikutinya, sebagaimana ia mengikutinya dalam Islam setelah kelahiran, dan tidak mengikutinya dalam riddah setelah kelahiran.
وَأَمَّا الْغُسْلُ وَالصَّلَاةُ فَهُوَ يَغُسَّلُ وَلَيْسَ فِي إِسْقَاطِ الصَّلَاةِ مَا يَمْنَعُ مِنِ انْفِرَادِهِ بِنَفْسِهِ كَمَا لَا يُغَسَّلُ الشَّهِيدُ وَالذِّمِّيُّ
Adapun mengenai mandi jenazah dan shalat, maka ia tetap dimandikan, dan tidak ada dalam pengguguran kewajiban shalat sesuatu yang menghalangi untuk ia berdiri sendiri, sebagaimana halnya syahid dan dzimmi tidak dimandikan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه تُورَثُ كَمَا لَوْ خَرَجَ حَيًّا فَمَاتَ لِأَنَّهُ الْمَجْنِيَّ عَلَيْهِ دُونَ أُمِّهِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “(Diyat) diwariskan sebagaimana jika ia lahir dalam keadaan hidup lalu meninggal, karena dialah yang menjadi korban (majnu ‘alayh), bukan ibunya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ غُرَّةُ الْجَنِينِ مَوْرُوثَةٌ عَنْهُ وَلَا تَخْتَصُّ الْأُمُّ بِاسْتِحْقَاقِهَا
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, diyat janin berupa budak laki-laki atau perempuan adalah harta warisan darinya dan tidak khusus menjadi hak ibu saja untuk mendapatkannya.”
وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ
Dan demikian pula pendapat Abu Hanifah dan Malik.
وَقَالَ اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ تَكُونُ لِأُمِّهِ وَلَا تُورَثُ عَنْهُ كَأَعْضَائِهَا وَفِيمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ تَمْيِيزِهِ عَنْهَا وَضَمَانِهِ كَالنُّفُوسِ دَلِيلٌ عَلَيْهِ
Al-Laits bin Sa‘d berkata: “(Janin) itu menjadi milik ibunya dan tidak diwariskan darinya, seperti anggota tubuhnya. Dalam penjelasan yang telah kami sampaikan sebelumnya tentang pembedaan janin dari ibunya dan kewajiban membayar diyat atasnya seperti jiwa, terdapat dalil atas hal tersebut.”
وَقَالَ رَبِيعَةُ تَكُونُ غُرَّةُ الْجَنِينِ لِأَبَوَيْهِ خَاصَّةً دُونَ غَيْرِهِمَا مِنْ وَرَثَتِهِ وَجَعَلَهُ كَالْبَعْضِ مِنْهُمَا لِخَلْقِهِ مِنْ مَائِهِمَا وَهَذَا فَاسِدٌ فَالْمَقْتُولُ بَعْدَ حَيَاتِهِ وَإِنْ كَانَ مَوْرُوثًا لَمْ يَخْلُ حَالُ إِلْقَائِهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ مَوْتِ الْأُمِّ أَوْ بَعْدَهُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ مَوْتِ الْأُمِّ فَلَهَا مِيرَاثُهَا مِنْهُ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ مَوْتِ الْأُمِّ فَلَا مِيرَاثَ لَهَا مِنْهُ لِاسْتِحْقَاقِ الْغُرَّةِ بَعْدَ إِلْقَائِهِ وَلَا يُحْجَبُ بِالْجَنِينِ أَحَدٌ مِنَ الْوَرَثَةِ لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ لَهُ حُكْمُ الْحَيَاةِ فَيَكُونُ لِأُمِّهِ إِنْ وَرِثَتْهُ ثُلُثَ الْغُرَّةِ وَلِأَبِيهِ إِنْ كَانَ حَيًّا بَاقِيهَا أَوْ لِغَيْرِهِ مِنْ وَرَثَتِهِ إِنْ كَانَ مَيِّتًا وَلَوْ أَلْقَتْهُ حَيًّا بَعْدَ مَوْتِهَا ثُمَّ مَاتَ وَرِثَهَا وَلَمْ تَرِثْهُ فَإِنْ أُشْكِلَ إِلْقَاؤُهُ فِي حَيَاتِهَا وَبَعْدَ مَوْتِهَا قُطِعَ التَّوَارُثُ بينهما كالغرقى
Rabi‘ah berpendapat bahwa diyat janin (gurrat al-janīn) hanya menjadi hak khusus bagi kedua orang tuanya saja, tidak untuk ahli waris lainnya. Ia menganggap janin seperti bagian dari keduanya karena diciptakan dari air mereka berdua. Namun, pendapat ini tidak benar. Adapun seseorang yang terbunuh setelah ia hidup, meskipun ia menjadi ahli waris, maka keadaan saat ia dilahirkan tidak lepas dari dua kemungkinan: dilahirkan sebelum kematian ibunya atau setelahnya. Jika dilahirkan sebelum ibunya meninggal, maka ibunya berhak mewarisi darinya. Jika setelah kematian ibunya, maka ibunya tidak berhak mewarisi darinya karena hak atas diyat (gurrat) baru muncul setelah ia dilahirkan. Tidak ada seorang pun dari ahli waris yang terhalang (mahjub) oleh janin, karena janin belum ditetapkan memiliki hukum kehidupan. Maka, jika ibunya mewarisinya, ia mendapat sepertiga dari diyat (gurrat), dan ayahnya—jika masih hidup—mendapat sisanya, atau kepada ahli waris lainnya jika ayahnya telah meninggal. Jika janin dilahirkan hidup setelah kematian ibunya lalu ia meninggal, maka ia mewarisi ibunya dan ibunya tidak mewarisinya. Jika tidak diketahui secara pasti apakah ia dilahirkan saat ibunya masih hidup atau setelah wafat, maka hubungan saling mewarisi antara keduanya terputus, seperti kasus orang-orang yang tenggelam bersama.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَعَلَيْهِ عِتْقُ رَقَبَةٍ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Dan atasnya wajib memerdekakan seorang budak.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ يَجِبُ الْكَفَّارَةُ فِي الْجَنِينِ
Al-Mawardi berkata, “Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan, wajib membayar kafarat atas janin.”
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا كَفَّارَةَ فِيهِ احْتِجَاجًا بِأَمْرَيْنِ
Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kafarat dalam hal ini dengan berdalil pada dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى فِيهِ بِالْغُرَّةِ وَلَمْ يَقْضِ فِيهِ بِالْكَفَّارَةِ وَلَوْ وَجَبَتْ لَأَبَانَهَا وَقَضَى بِهَا وَلَوْ قَضَى بِهَا لَنَقَلَ
Salah satunya adalah bahwa Nabi ﷺ memutuskan dalam kasus tersebut dengan menetapkan diyat ghurrah dan tidak memutuskan adanya kewajiban kafārah. Seandainya kafārah itu wajib, tentu beliau akan menjelaskannya dan memutuskan dengannya, dan jika beliau memutuskan dengannya, tentu hal itu akan diriwayatkan.
وَالثَّانِي لِأَنَّهُ مِنَ الْأُمِّ بِمَنْزِلَةِ أَعْضَائِهَا الَّتِي لَا يَجِبُ فِيهَا كَفَّارَةٌ فَكَذَلِكَ جَنِينُهَا وَدَلِيلُنَا أَنَّهَا نَفْسُ آدَمِيٍّ ضُمِنَتْ بِالْجِنَايَةِ فَوَجَبَ أَنْ تُضْمَنَ بِالْكَفَّارَةِ كَالْحَيِّ وَلِأَنَّ الْكَفَّارَةَ أَخَصُّ وُجُوبًا بِالْقَتْلِ مِنَ الدِّيَةِ لِأَنَّ السَّيِّدَ يَجِبُ عَلَيْهِ بِقَتْلِ عَبْدِهِ الْكَفَّارَةُ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْقِيمَةُ وَمَنْ رَمَى دَارَ الْحَرْبِ بِسَهْمٍ فَقَتَلَ بِهِ مُسلِمًا وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ وَلَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ الدِّيَةُ فَلَمَّا وَجَبَ فِي الْجَنِينِ الدِّيَةُ فَأَوْلَى أَنْ تَجِبَ فِيهِ الْكَفَّارَةُ
Yang kedua, karena janin itu merupakan bagian dari ibu, seperti anggota tubuhnya yang lain yang tidak diwajibkan kafarat atasnya, maka demikian pula janinnya. Namun, dalil kami adalah bahwa janin itu adalah jiwa manusia yang dijamin dengan diyat akibat tindak pidana, maka wajib pula dijamin dengan kafarat seperti halnya orang yang hidup. Selain itu, kafarat lebih khusus kewajibannya dalam kasus pembunuhan dibandingkan diyat, karena seorang tuan yang membunuh budaknya wajib membayar kafarat, tetapi tidak wajib membayar nilai budaknya. Dan barang siapa yang melempar ke rumah musuh dengan anak panah lalu membunuh seorang Muslim, maka wajib atasnya kafarat dan tidak wajib diyat. Maka ketika diyat diwajibkan atas janin, maka lebih utama lagi kafarat juga diwajibkan atasnya.
فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالْخَبَرِ فَإِنَّمَا كَفَّ عَنْ بَيَانِ الْكَفَّارَةِ فِيهِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ بَيَّنَهَا فِي قَوْلِهِ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ النساء 92 كَمَا بَيَّنَ الدِّيَةَ فِي قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فمن قتل بعده قتيلا فأهله بين خيرتين إن أحبو قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ وَلَمْ يُبَيِّنِ الْكَفَّارَةَ تَعْوِيلًا عَلَى إِثْبَاتِهَا فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُ كَأَعْضَائِهَا فقد أجبنا عنه
Adapun istidlāl (pengambilan dalil) dengan hadis, maka sesungguhnya Nabi menahan diri dari menjelaskan kafārah di dalamnya karena Allah Ta‘ala telah menjelaskannya dalam firman-Nya: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman” (an-Nisā’ 92), sebagaimana Allah juga telah menjelaskan diyat dalam sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa setelah itu membunuh seseorang, maka keluarganya diberi dua pilihan: jika mereka suka, mereka dapat membunuh (pelaku), dan jika mereka suka, mereka dapat mengambil ‘aql (diyat),” dan Nabi tidak menjelaskan kafārah karena bersandar pada penetapannya dalam ayat tersebut. Adapun istidlāl mereka bahwa hal itu seperti anggota tubuhnya, maka kami telah menjawabnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه ولا شيء لها في الأم
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Ia tidak mendapatkan apa pun dalam al-Umm.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ
Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar.”
لَا شَيْءَ لِأُمِّ الجنين في ألم الضرب إذا لم بين لَهُ أَثَرٌ فِي بَدَنِهَا كَاللَّطْمَةِ وَالرَّفْسَةِ لَا تُوجِبُ غُرْمًا فِي رَجُلٍ وَلَا امْرَأَةٍ فَأَمَّا إجهاضها عند إلقائه فَفِيهِ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ فِي جامعه
Tidak ada hak bagi ibu janin atas rasa sakit akibat pukulan jika tidak tampak bekas pada tubuhnya, seperti tamparan atau tendangan yang tidak menimbulkan kewajiban ganti rugi baik pada laki-laki maupun perempuan. Adapun kegugurannya ketika janin keluar, maka terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hamid al-Marwazi dalam kitabnya al-Jami‘.
أحدهما لا شي لَهَا فِيهِ أَيْضًا لِأَلَمِ الضَّرْبِ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنَ الْأَلَمِ وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَهَا فِيهِ حُكُومَةٌ لِأَنَّهُ كَالْجُرْحِ فِي الْفَرْجِ عِنْدَ خُرُوجِ الْجَنِينِ مِنْهُ فَضَمِنَ بِالْحُكُومَةِ فَلَوْ أَقَرَّتْ بِذَلِكَ أَثَّرَ الضَّرْبُ فِي بَدَنِهَا ضَمِنَ حُكُومَةَ الضَّرْبِ وَحُكُومَةَ الإجهاض
Pendapat pertama menyatakan bahwa ia juga tidak berhak mendapatkan apa-apa karena rasa sakit akibat pukulan, sebab itu merupakan salah satu jenis rasa sakit. Pendapat kedua menyatakan bahwa ia berhak mendapatkan kompensasi (ḥukūmah) karena hal itu seperti luka pada kemaluan ketika janin keluar darinya, sehingga wajib membayar kompensasi (ḥukūmah). Jika ia mengakui hal tersebut, bahwa pukulan itu berpengaruh pada tubuhnya, maka wajib membayar kompensasi atas pukulan dan kompensasi atas keguguran.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلِمَنْ وَجَبَتْ لَهُ الْغُرَّةُ أَنْ لَا يَقْبَلَهَا دُونَ سَبْعِ سِنِينَ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ لِأَنَّهَا لَا تَسْتَغْنِي بِنَفْسِهَا دُونَ هَذَيْنِ السِّنَّيْنِ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ أُمِّهَا فِي الْبَيْعِ إِلَّا فِي هَذَيْنِ السِّنَّيْنِ فَأَعْلَى
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Orang yang berhak mendapatkan al-ghurrah tidak boleh menerimanya kecuali setelah tujuh atau delapan tahun, karena pada usia sebelum dua tahun tersebut, ia (budak) belum bisa mandiri, dan tidak boleh dipisahkan antara dia dan ibunya dalam jual beli kecuali setelah dua tahun itu, maka itulah batas maksimalnya.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْغُرَّةُ فِي اللُّغَةِ فَتُسْتَعْمَلُ عَلَى وَجْهَيْنِ
Al-Mawardi berkata, adapun al-ghurrah dalam bahasa digunakan dalam dua makna.
أَحَدُهُمَا فِي أَوَّلِ الشَّيْءِ وَمِنْهُ قِيلَ لِأَوَّلِ الشَّهْرِ غُرَّتُهُ
Salah satunya adalah pada permulaan sesuatu, dan dari situlah dikatakan untuk awal bulan: “ghurratuhu” (permulaannya).
وَالثَّانِي فِي جَيِّدِ الشَّيْءِ وَخِيَارِهِ وَمِنْهُ قِيلَ فُلَانٌ غُرَّةُ قَوْمِهِ إِذَا كَانَ أَسْرَاهُمْ وَقَدْ أَطْلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْغُرَّةَ فِي دِيَةِ الْجَنِينِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِطْلَاقُهَا مَحْمُولًا عَلَى أَوَّلِ الشَّيْءِ وَخِيَارُ الْجِنْسِ لأنه ليس أحداهما بِأَوْلَى أَنْ يَكُونَ مُرَادًا مِنَ الْآخَرِ فَحُمِلَ عَلَيْهِمَا مَعًا وَإِذَا وَجَبَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا كَانَ أَوَّلُ الْجِنْسِ إِذَا خَرَجَ عَنِ الْجَيِّدِ مَرْدُودًا وَالْجَيِّدُ إِذَا خَرَجَ عَنْ أَوَّلِ السِّنِّ مَرْدُودًا فَإِذَا اجْتَمَعَا مَعًا فِي السِّنِّ وَالْجَوْدَةِ كَانَ اجْتِمَاعُهُمَا مُرَادًا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنَّ لِلْغُرَّةِ أول وَغَايَةً فَأَمَّا أَوَّلُهُ فَسَبْعُ سِنِينَ أَوْ ثَمَانٍ؛ لِأَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جَعَلَهَا حَدًّا لِتَعْلِيمِهِ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ فَقَالَ عَلِّمُوهُمُ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعٍ
Yang kedua adalah dalam hal sesuatu yang baik dan pilihan terbaiknya. Dari sini dikatakan, “Fulan adalah ghurrah (kebanggaan) kaumnya” jika ia adalah orang terbaik di antara mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggunakan istilah ghurrah dalam diyat janin, sehingga harus dipahami bahwa penggunaannya merujuk pada permulaan sesuatu dan pilihan terbaik dari jenisnya, karena tidak ada salah satu dari keduanya yang lebih utama untuk dimaksudkan daripada yang lain. Maka, keduanya digabungkan bersama. Jika harus menggabungkan keduanya, maka permulaan dari jenis itu jika tidak termasuk yang baik akan ditolak, dan yang baik jika tidak termasuk permulaan usia juga akan ditolak. Jika keduanya berkumpul dalam hal usia dan kualitas, maka pertemuan keduanya itulah yang dimaksudkan. Jika demikian, maka untuk ghurrah ada permulaan dan batas akhirnya. Adapun permulaannya adalah tujuh atau delapan tahun, karena dua hal: salah satunya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai batas untuk mengajarkan thaharah dan shalat, beliau bersabda, “Ajarkanlah mereka thaharah dan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun.”
وَالثَّانِي أَنَّهُ يَسْتَقِلُّ فِيهَا بِنَفْسِهِ؛ وَلِذَلِكَ خُيِّرَ فِيهَا بَيْنَ أَبَوَيْهِ وَفُرِّقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أُمِّهِ فَلَا يُقْبَلُ مِنَ الْغُرَّةِ فِي الْجَنِينِ مَا لَهَا دُونَ سَبْعِ سِنِينَ؛ لِأَنَّهُ لِعَدَمِ النَّفْعِ فِيهِ لَيْسَ بغرة وإن كان بأول الشي من الغرة
Yang kedua adalah bahwa ia berdiri sendiri dalam hal ini; oleh karena itu, ia diberi pilihan antara kedua orang tuanya dan dipisahkan antara dia dan ibunya, sehingga tidak diterima bagian dari diyat janin untuknya sebelum mencapai usia tujuh tahun; karena, disebabkan tidak adanya manfaat padanya, itu bukanlah diyat, meskipun pada awalnya termasuk dalam diyat.
وَأَمَّا غَايَةُ سِنِّ الْغُرَّةِ فَمُعْتَبَرٌ بِشَرْطَيْنِ
Adapun batas usia ghurrah, maka ditentukan dengan dua syarat.
أَحَدُهُمَا أَكْمَلُ مَا يَكُونُ نَفْعًا
Salah satunya adalah yang paling sempurna dalam memberikan manfaat.
وَالثَّانِي أَزْيَدُ مَا يَكُونُ ثَمَنًا وَهِيَ قَبْلَ الْعِشْرِينَ أَزْيَدُ ثَمَنًا وَأَقَلُّ نَفْعًا وَبَعْدَ الْعِشْرِينَ أَكْمَلُ نَفْعًا وَأَقَلُّ ثَمَنًا فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ الْعِشْرُونَ سَنَةً حَدًّا لِلْغَايَةِ؛ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ سِنٍّ إِلَى الْجَمْعِ بَيْنَ زِيَادَةِ الثَّمَنِ وَكَمَالِ الْمَنْفَعَةِ فَلَا يُقْبَلُ فِيمَا جَاوَزَهَا وَيُقْبَلُ فِيمَا دُونَهَا وَيَسْتَوِي فِيهَا الْغُلَامُ وَالْجَارِيَةُ وَفَرَّقَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فِي غَايَةِ السِّنِّ بَيْنَ الْغُلَامِ وَالْجَارِيَةِ فَجَعَلَ الْغَايَةَ فِي سِنِّ الغلام خمس عشر سَنَةً وَهِيَ حَالُ الْبُلُوغِ وَالْغَايَةُ فِي سِنِّ الْجَارِيَةِ عِشْرِينَ سَنَةً لِأَنَّ ثَمَنَ الْغُلَامِ بَعْدَ الْبُلُوغِ يَنْقُصُ وَثَمَنَ الْجَارِيَةِ إِلَى الْعِشْرِينَ يَزِيدُ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ
Yang kedua adalah harga tertinggi yang mungkin, yaitu sebelum usia dua puluh tahun harganya lebih tinggi dan manfaatnya lebih sedikit, sedangkan setelah usia dua puluh tahun manfaatnya lebih sempurna dan harganya lebih rendah. Maka ditetapkanlah usia dua puluh tahun sebagai batas akhir, karena usia ini adalah usia yang paling dekat untuk menggabungkan antara tingginya harga dan sempurnanya manfaat. Maka tidak diterima (jual beli) setelah melewati usia ini, dan diterima sebelum usia ini. Dalam hal ini, baik anak laki-laki maupun perempuan diperlakukan sama. Namun sebagian ulama kami membedakan batas usia antara anak laki-laki dan perempuan; mereka menetapkan batas usia anak laki-laki adalah lima belas tahun, yaitu saat baligh, sedangkan batas usia anak perempuan adalah dua puluh tahun, karena harga anak laki-laki setelah baligh menurun, sedangkan harga anak perempuan hingga usia dua puluh tahun meningkat. Pendapat ini rusak dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا لَمَّا لَمْ يَخْتَلِفَا فِي أَوَّلِ السِّنِّ وَجَبَ أَنْ لَا يَخْتَلِفَا فِي آخِرِهِ
Salah satunya adalah, karena keduanya tidak berbeda pada awal waktu, maka wajib untuk tidak berbeda pula pada akhirnya.
وَالثَّانِي أَنَّ نُقْصَانَ ثَمَنِهِ مقابل لزيادة نفعه فتعارضا وتساوا فِيهِمَا الْجَارِيَةُ وَالْغُلَامُ لِأَنَّ تَأْثِيرَ السِّنِّ فِي الْجَارِيَةِ أَكْثَرُ مِنْ تَأْثِيرِهِ فِي الْغُلَامِ
Kedua, bahwa penurunan harga barang tersebut sebanding dengan bertambahnya manfaatnya, sehingga keduanya saling meniadakan dan setara; dalam hal ini, budak perempuan dan budak laki-laki sama, karena pengaruh usia pada budak perempuan lebih besar daripada pengaruhnya pada budak laki-laki.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَقْبَلَهَا مَعِيبَةً وَلَا خَصِيَّا لِأَنَّهُ نَاقِصٌ عَنِ الْغُرَّةِ وَإِنْ زَادَ ثَمَنُهَا بِالْخِصَاءِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Tidak wajib baginya menerima budak perempuan yang cacat atau yang dikebiri, karena ia kurang dari kadar gurrāh, meskipun harganya bertambah karena dikebiri.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ يُعْتَبَرُ فِي الْغُرَّةِ السَّلَامَةُ مِنَ الْعُيُوبِ كُلِّهَا وَإِنْ لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الْكَفَّارَةِ مِنَ الْعُيُوبِ إِلَّا مَا أَضَرَّ بِالْعَمَلِ فِيهَا لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ
Al-Mawardi berkata: Dalam hal ini, sebagaimana yang telah disebutkan, pada diyat berupa ghurrah (budak) disyaratkan harus bebas dari seluruh cacat, meskipun dalam kafarah hanya disyaratkan bebas dari cacat yang mengganggu pekerjaannya saja, karena terdapat perbedaan antara keduanya dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّ الرَّقَبَةَ فِي الْكَفَّارَةِ مُطْلَقَةٌ فَجَازَ أَنْ يَلْحَقَهَا بَعْضُ الْعُيُوبِ وَفِي الْغِرَّةِ مُقَيَّدَةٌ بِمَا يَقْتَضِي السَّلَامَةَ مِنْ جَمِيعِ الْعُيُوبِ وَلِذَلِكَ جَازَ فِي الْكَفَّارَةِ مِنْ نَقْصِ السِّنِّ مَا لَمْ يَجُزْ فِي الْغِرَّةِ
Salah satunya adalah bahwa budak dalam kafārah bersifat mutlak, sehingga boleh terdapat padanya sebagian cacat, sedangkan dalam ghirrah dibatasi dengan syarat harus terbebas dari seluruh cacat. Oleh karena itu, dalam kafārah diperbolehkan kekurangan usia yang tidak diperbolehkan dalam ghirrah.
وَالثَّانِي أَنَّ الْكَفَّارَةَ حَقَّ لِلَّهِ تَعَالَى تَقَعُ فِيهِ الْمُبَاشَرَةُ وَالْغُرْمُ عِوَضٌ لِآدَمِيٍّ يُعْتَبَرُ فِيهِ السَّلَامَةُ كَمَا يَعْتَبَرُ السَّلَامَةُ مِنَ الْعُيُوبِ فِي إِبِلِ الدِّيَةِ
Kedua, bahwa kafārah adalah hak Allah Ta‘ālā yang pelaksanaannya dilakukan secara langsung, sedangkan ganti rugi (ghurm) merupakan kompensasi untuk manusia, yang di dalamnya dipertimbangkan keselamatan (dari cacat), sebagaimana dipertimbangkan keselamatan dari cacat pada unta-unta diyat.
فَأَمَّا الْخَصِيُّ وَالْمَجْبُوبُ فَلَا يُؤْخَذُ فِي الْغِرَّةِ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ أَزْيَدُ ثَمَنًا فَإِنَّهُ أَقَلُّ نَفْعًا وَيُجزِئُ فِي الْغِرَّةِ ذَاتُ الصَّنْعَةِ وَغَيْرُهَا لِأَنَّ الصَّنْعَةَ زِيَادَةٌ عَلَى كَمَالِ الْخِلْقَةِ فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهَا كَمَا لَمْ يُعْتَبَرْ فِيهَا الِاكْتِسَابُ
Adapun laki-laki yang dikebiri dan yang terpotong kemaluannya, maka tidak diambil dalam pembayaran ghirrah, karena meskipun harganya lebih mahal, manfaatnya lebih sedikit. Dalam pembayaran ghirrah, baik budak perempuan yang memiliki keahlian maupun yang tidak, keduanya mencukupi, karena keahlian adalah tambahan di atas kesempurnaan fisik, sehingga tidak dianggap dalam hal ini, sebagaimana penghasilan juga tidak dianggap di dalamnya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَقِيمَتُهَا إِذَا كَانَ الْجَنِينُ حُرًّا مُسْلِمًا نِصْفُ عُشْرِ دِيَةِ مُسْلِمٍ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Dan diyat janin jika ia adalah seorang yang merdeka dan Muslim adalah setengah dari sepersepuluh diyat seorang Muslim.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ إِطْلَاقَ الْغِرَّةِ لَا يَنْفِي عَنْهَا جَهَالَةَ الْأَوْصَافِ فَاحْتِيجَ إِلَى تَقْدِيرِهَا بِمَا يَنْفِي الْجَهَالَةَ عَنْهَا لِتَسَاوِي جَمِيعِ الدِّيَاتِ فِي الصِّفَةِ فَعَدَلَ إِلَى وصفها
Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa penyebutan “ghirrah” secara mutlak tidak meniadakan unsur ketidaktahuan terhadap sifat-sifatnya, sehingga diperlukan penetapan ukurannya dengan sesuatu yang menghilangkan ketidaktahuan tersebut, agar seluruh diyat setara dalam sifatnya, maka beralihlah kepada penjelasan sifatnya.
بِالْقِيمَةِ لِأَنَّهَا أَنْفَى لِلْجَهَالَةِ فَقُوِّمَتْ بِنِصْفِ عُشْرِ الدِّيَةِ خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ أَوْ سِتِّمِائَةِ دِرْهَمٍ أو خمسين دينار مَعَ وَصْفِهَا بِمَا قَدَّمْنَا مِنَ السِّنِّ وَالسَّلَامَةِ مِنَ الْعُيُوبِ فَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ الْغُرَّةُ فِي الْجَنِينِ الْحُرِّ الْمُسْلِمِ إِلَّا بِهَذِهِ الْقِيمَةِ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَمْرَيْنِ أَثَرٍ وَمَعْنًى
Dengan nilai, karena itu lebih menghilangkan ketidakjelasan. Maka ditaksir dengan setengah dari sepersepuluh diyat, yaitu lima ekor unta, atau enam ratus dirham, atau lima puluh dinar, dengan disertai penjelasan tentang usia dan keselamatan dari cacat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Maka tidak diterima dari pelaku kecuali membayar ghurrah pada janin yang merdeka dan muslim kecuali dengan nilai tersebut. Hal ini demikian karena dua hal: dalil riwayat dan makna.
فَأَمَّا الْأَثَرُ فَهُوَ مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَزَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ قَدَّرُوهَا بِهَذَا الْقَدْرِ الَّذِي لَمْ يُخَالَفُوا فِيهِ فَكَانَ إِجْمَاعًا
Adapun atsar, yaitu apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Zaid radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka menetapkannya dengan kadar ini yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, maka hal itu menjadi ijmā‘.
وَأَمَّا الْمَعْنَى فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْجَنِينُ عَلَى أَقَلِّ أَحْوَالِ الْإِنْسَانِ اعْتُبِرَ فِيهِ أَقَلُّ مَا قَدَّرَهُ الشَّرْعُ مِنَ الدِّيَاتِ وَهُوَ دِيَةُ الْمُوضِحَةِ وَدِيَةُ السِّنِّ الْمُقَدَّرَةُ بِخَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ هِيَ نِصْفُ عُشْرِ دِيَةِ النَّفْسِ فَجَعَلَ أَقَلَّ الدِّيَاتِ قَدْرًا حَدًّا لِأَقَلِّ النُّفُوسِ حَالًا
Adapun maknanya adalah bahwa karena janin berada pada keadaan manusia yang paling minimal, maka dalam hal ini dipertimbangkan kadar diyat paling sedikit yang telah ditetapkan syariat, yaitu diyat al-mudiḥah dan diyat gigi yang ditetapkan sebesar lima ekor unta, yang merupakan setengah dari sepersepuluh diyat jiwa. Maka, kadar diyat paling sedikit dijadikan sebagai batas bagi keadaan jiwa yang paling minimal.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ تَقْدِيرُهَا بِنِصْفِ عُشْرِ الدِّيَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيمَا يُقَوَّمُ بِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ
Maka apabila telah tetap ketentuannya sebesar setengah dari sepersepuluh diyat, para ulama kami berbeda pendapat mengenai dasar penilaiannya menjadi dua pendapat.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهَا تُقَوَّمُ بِالْإِبِلِ؛ لِأَنَّ الْإِبِلَ أَصْلُ الدِّيَةِ فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَلَى الْجَنِينِ خَطَأً مَحْضًا فَهِيَ مُقَدَّرَةٌ بِخَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ أَخْمَاسٌ جَذَعَةٌ وَحِقَّةٌ وَبِنْتُ لَبُونٍ وَبِنْتُ مَخَاضٍ وَابْنُ لَبُونٍ وَإِنْ كَانَتْ عَمْدَ الْخَطَأِ فَهِيَ مُقَدَّرَةٌ بِخَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ أَثْلَاثٌ جَذَعَةٌ وَخِلْفَتَانِ وَنِصْفٌ وَحِقَّةٌ وَنِصْفٌ وَلَيْسَ يُمْكِنُ أَنْ تُقَوَّمَ الْغُرَّةُ بِالْإِبِلِ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ جِنْسِ الْقِيَمِ فَوَجَبَ أَنْ يُقَوَّمَ الْخُمْسُ مِنَ الْإِبِلِ الْأَخْمَاسَ فِي الْخَطَأِ وَالْأَثْلَاثَ فِي عَمْدِ الْخَطَأِ بِالْوَرِقِ لِأَنَّهَا أَصْلُ الْقِيَمِ فَإِنْ بَلَغَتْ قِيمَتُهَا فِي التَّغْلِيظِ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَفِي التَّخْفِيفِ سَبْعَمِائَةِ درهم أخذنا منه غرة عبد أَوْ أَمَةً قِيمَتُهَا فِي جِنَايَةِ الْخَطَأِ الْمَحْضِ سَبْعُمِائَةِ دِرْهَمٍ وَقِيمَتُهَا فِي جِنَايَةِ عَمْدِ الْخَطَأِ أَلْفُ دِرْهَمٍ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat para ulama Basrah, menyatakan bahwa diyat dinilai dengan unta; karena unta adalah asal diyat. Jika tindak pidana terhadap janin terjadi karena kesalahan murni, maka diyatnya ditetapkan lima ekor unta, yaitu lima jenis: jadz’ah, hiqqah, bintu labūn, bintu makhād, dan ibnu labūn. Jika tindak pidana itu berupa sengaja yang menyerupai kesalahan, maka diyatnya ditetapkan lima ekor unta, yaitu tiga ekor jadz’ah, dua ekor khilfah, setengah hiqqah, dan setengah lainnya. Tidak mungkin menilai ghurrah dengan unta karena ghurrah bukan termasuk jenis harta yang dinilai dengan unta. Maka wajib menilai lima ekor unta jenis akhmās pada kasus kesalahan, dan jenis atsāl pada kasus sengaja yang menyerupai kesalahan, dengan perak, karena perak adalah asal penilaian harta. Jika nilainya dalam kasus pemberatan mencapai seribu dirham dan dalam kasus keringanan tujuh ratus dirham, maka diambil darinya ghurrah berupa budak laki-laki atau perempuan yang nilainya dalam tindak pidana kesalahan murni adalah tujuh ratus dirham, dan nilainya dalam tindak pidana sengaja yang menyerupai kesalahan adalah seribu dirham.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ البغداديين أننا تقدرها بِالْوَرِقِ الْمُقَدَّرَةِ بِالشَّرْعِ دُونَ الْإِبِلِ لِأَنَّ الْإِبِلَ لَيْسَتْ مِنْ أَجْنَاسِ الْقِيَمِ وَلَا هِيَ مَأْخُوذَةٌ فَتَكُونُ عَيْنَ الْمُسْتَحَقِّ وَإِذَا قُوِّمَتْ بِالْإِبِلِ احْتِيجَ إِلَى تَقْوِيمِ الْإِبِلِ فَوَجَبَ أَنْ يَعْدِلَ فِي تَقْوِيمِ الْغُرَّةِ إِلَى مَا هُوَ أَصْلٌ فِي الْقِيَمِ وَهِيَ الْوَرِقُ فَعَلَى هَذَا تَقُومُ الْغُرَّةُ فِي الْخَطَأِ الْمَحْضِ بِسِتِّمِائَةِ دِرْهَمٍ وَيُزَادُ عَلَيْهَا في عمد الخطإ ثلثها فتقوم فيه بثمان مائة درهم وعلى هذا يكون التفريع
Pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur ulama Baghdad, adalah bahwa penilaiannya menggunakan perak yang telah ditetapkan secara syar‘i, bukan dengan unta, karena unta bukan termasuk jenis barang yang menjadi standar nilai, dan juga bukan barang yang diambil sehingga menjadi barang yang wajib diberikan. Jika dinilai dengan unta, maka diperlukan lagi penilaian terhadap unta itu sendiri. Oleh karena itu, wajib beralih dalam penilaian diyat ghurrah kepada sesuatu yang menjadi pokok dalam penilaian, yaitu perak. Dengan demikian, diyat ghurrah pada kasus kesalahan murni dinilai dengan enam ratus dirham, dan pada kasus pembunuhan semi-sengaja ditambah sepertiganya, sehingga menjadi delapan ratus dirham. Berdasarkan hal ini, cabang-cabang hukum ditetapkan.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا أَوْ مَجُوسِيًّا فَنِصْفُ عُشْرِ دِيَةِ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مَجُوسِيٍّ وَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ مَجُوسِيَّةً وَأَبُوهُ نَصْرَانِيًّا أَوْ أُمُّهُ نَصْرَانِيَّةً وَأَبُوهُ مجوسياً فدية الجنين في أكثر أبوابه نِصْفُ عُشْرِ دِيَةِ نَصْرَانِيٍّ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika janin itu adalah seorang Nasrani atau Majusi, maka diyatnya adalah setengah dari sepersepuluh diyat seorang Nasrani atau Majusi. Jika ibunya Majusi dan ayahnya Nasrani, atau ibunya Nasrani dan ayahnya Majusi, maka diyat janin dalam kebanyakan pendapat adalah setengah dari sepersepuluh diyat seorang Nasrani.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا كَانَ فِي الْجَنِينِ النَّاقِصِ نِصْفُ عُشْرِ الدِّيَةِ النَّاقِصَةِ وَالْكَامِلُ مَا كَمُلَ بِالْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ وَقَدْ مَضَى وَالنَّاقِصُ مَا نَقَصَ بِكُفْرٍ أَوْ رِقٍّ فَإِذَا جَرَى عَلَى الْجَنِينِ حُكْمُ الْكُفْرِ لِكُفْرِ أَبَوَيْهِ لَمْ يَخْلُ حَالُ أَبَوَيْهِ مِنْ أَنْ تَتَّفِقَ دِيَتُهُمَا أَوْ تَخْتَلِفَ فَإِنِ اتَّفَقَتْ دِيَاتُهُمَا فَكَانَا نَصْرَانِيَّيْنِ أَوْ يَهُودِيَّيْنِ أَوْ مَجُوسِيَّيْنِ فِديَةُ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ ثُلُثُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ فَتَكُونُ قِيمَةُ الْغُرَّةِ فِي الْجَنِينِ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ عَلَى مَذْهَبِ الْبَصْرِيِّينَ بَعِيرًا وَثُلُثَيْنِ أَخْمَاسًا فِي الْخَطَأِ الْمَحْضِ وَأَثْلَاثًا فِي عَمْدِ الْخَطَأِ؛ وَعَلَى مَذْهَبِ الْبَغْدَادِيِّينَ قِيمَتُهَا مِائَتَا دِرْهَمٍ عُشْرُ دِيَةِ الْمُسْلِمِ فَتَكُونُ قِيمَةُ الْغُرَّةِ فِي الْجَنِينِ الْمَجُوسِيِّ عَلَى مَذْهَبِ الْبَصْرِيِّينَ ثُلُثُ بَعِيرٍ وَعَلَى مَذْهَبِ الْبَغْدَادِيِّينَ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا وَالْغُرَّةُ بِهَذِهِ الْقِيمَةِ مُعْوَزَةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْقَدْرُ هُوَ المستحق فيها
Al-Mawardi berkata: Kesimpulannya adalah bahwa jika pada janin yang tidak sempurna terdapat setengah dari sepersepuluh diyat yang tidak sempurna, maka diyat yang sempurna adalah yang sempurna karena kebebasan dan keislaman, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan diyat yang tidak sempurna adalah yang berkurang karena kekufuran atau perbudakan. Maka, apabila pada janin berlaku hukum kekufuran karena kedua orang tuanya kafir, maka keadaan kedua orang tuanya tidak lepas dari dua kemungkinan: diyat keduanya sama atau berbeda. Jika diyat keduanya sama, misalnya keduanya adalah Nasrani, Yahudi, atau Majusi, maka diyat Yahudi dan Nasrani adalah sepertiga diyat Muslim. Maka nilai ghurrah pada janin Yahudi dan Nasrani menurut mazhab ulama Basrah adalah satu ekor unta dan dua pertiga dari lima bagian dalam kasus pembunuhan tidak sengaja murni, dan sepertiga bagian dalam kasus pembunuhan semi sengaja. Sedangkan menurut mazhab ulama Baghdad, nilainya adalah dua ratus dirham, yaitu sepersepuluh diyat Muslim. Maka nilai ghurrah pada janin Majusi menurut mazhab ulama Basrah adalah sepertiga ekor unta, dan menurut mazhab ulama Baghdad adalah empat puluh dirham. Ghurrah dengan nilai ini sulit ditemukan, sehingga wajiblah bahwa kadar inilah yang menjadi hak yang harus diberikan dalam kasus tersebut.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِنِ اخْتَلَفَتْ دِيَةُ أَبَوَيْهِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا نَصْرَانِيًّا وَالْآخَرُ مَجُوسِيًّا فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ بِأَغْلَظِ أَبَوَيْهِ دِيَةً وَهُوَ النَّصْرَانِيُّ أَبًا كَانَ أَوْ أَمَّا فَتَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ الْوَاجِبَةُ فِي الْجَنِينِ النَّصْرَانِيِّ لِأَمْرَيْنِ
Jika diyat kedua orang tuanya berbeda, misalnya salah satu dari keduanya adalah Nasrani dan yang lainnya Majusi, maka menurut mazhab Syafi‘i, yang dijadikan acuan adalah diyat yang lebih berat di antara kedua orang tuanya, yaitu Nasrani, baik sebagai ayah maupun ibu. Maka yang wajib adalah membayar ghurrah yang diwajibkan pada janin Nasrani, karena dua alasan.
أَحَدُهُمَا أَنَّ مَوْضُوعَ الدِّيَةِ عَلَى التَّغْلِيظِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا بِأَغْلَظِهِمَا دِيَةً كَمَا لَوْ كَانَ أَحَدُ أَبَوَيْهِ مُسْلِمًا وَالْآخَرُ كَافِرًا اعْتُبِرَ فِيهِ دِيَةُ الْمُسْلِمِ دُونَ الْكَافِرِ تَغْلِيظًا وَكَمَا يُعْتَبَرُ فِي الصَّيْدِ الْمُتَوَلِّدِ مِنْ بَيْنِ مَأْكُولٍ وَغَيْرِ مَأْكُولٍ أَغْلَظُ حَالَيْهِ فِي إِيجَابِ الْجَزَاءِ وَتَحْرِيمِ الْأَكْلِ
Salah satunya adalah bahwa persoalan diyat didasarkan pada pengetatan, sehingga harus dipertimbangkan dengan diyat yang paling berat di antara keduanya. Sebagaimana jika salah satu dari kedua orang tuanya adalah Muslim dan yang lainnya kafir, maka yang dipertimbangkan adalah diyat Muslim, bukan kafir, sebagai bentuk pengetatan. Demikian pula, dalam kasus hewan buruan yang lahir dari induk yang halal dimakan dan yang tidak halal dimakan, maka yang dipertimbangkan adalah keadaan yang paling berat dalam mewajibkan pembayaran ganti rugi dan pengharaman memakannya.
وَالثَّانِي أَنَّ كَمَالَ الدِّيَةِ أَصْلٌ فِي ضَمَانِ النُّفُوسِ فَلَمْ يَنْقُصْ مِنْهَا إِلَّا الْمُتَحَقَّقُ دُونَ الْمُشْتَبَهِ وَالْمُتَحَقَّقُ مِنَ النُّقْصَانِ هُوَ حَالُ أَغْلَظِهِمَا دِيَةً لِأَنَّ مَا دُونَهُ مُحْتَمَلٌ مُشْتَبَهٌ فَلِذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ بِالْأَغْلَظِ الْأَعْلَى دُونَ الْأَقَلِّ الْأَدْنَى وَاعْتِبَارُهُ عِنْدِي بِأَقَلِّهَا دِيَةً أَوْلَى وَأَشْبَهُ بِالْأُصُولِ لِأَرْبَعَةِ أُمُورٍ
Yang kedua, bahwa kesempurnaan diyat adalah dasar dalam penjaminan jiwa, sehingga tidak dikurangi darinya kecuali yang benar-benar pasti, bukan yang masih samar. Kekurangan yang benar-benar pasti adalah keadaan diyat yang paling berat di antara keduanya, karena yang di bawahnya masih mungkin dan masih samar. Oleh karena itu, wajib untuk mempertimbangkan yang paling berat dan paling tinggi, bukan yang paling rendah dan paling ringan. Namun menurut saya, mempertimbangkannya dengan diyat yang paling sedikit lebih utama dan lebih sesuai dengan ushul karena empat hal.
أَحَدُهَا أَنَّ الْأَصْلَ فِيمَنْ لَمْ تَتَحَقَّقْ حَيَاتُهُ سُقُوطُ الْغُرْمِ إِلَّا مَا خَصَّهُ الشَّرْعُ مِنْ حَالِ الْجَنِينِ فَلَمْ يُوجِبْ فِيهِ إِلَّا مَا تَحَقَّقْنَاهُ وَهُوَ الْأَقَلُّ دُونَ مَا شَكَكْنَا فِيهِ مِنَ الْأَكْثَرِ وَلِذَلِكَ اعْتُبِرَتْ قِيمَةُ الْغُرَّةِ بِأَقَلِّ الدِّيَاتِ دُونَ أَكْثَرِهَا
Salah satunya adalah bahwa hukum asal bagi seseorang yang belum dipastikan kehidupannya adalah gugurnya kewajiban membayar ganti rugi, kecuali yang dikecualikan oleh syariat dalam kasus janin, sehingga syariat hanya mewajibkan pada apa yang telah dipastikan, yaitu yang paling sedikit, dan tidak mewajibkan pada apa yang masih diragukan dari yang lebih banyak. Oleh karena itu, nilai diyat ghurrah dianggap dengan jumlah diyat yang paling sedikit, bukan yang paling banyak.
وَالثَّانِي أَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ فَلَمْ تُوجِبْ فِيهَا إِلَّا مَا تَحَقَّقْنَاهُ
Yang kedua, bahwa pada dasarnya tanggungan itu bebas, maka tidak diwajibkan di dalamnya kecuali apa yang benar-benar telah kita pastikan.
وَالثَّالِثُ أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْكُفْرِ الْإِبَاحَةُ إِلَّا مَا حَظَرَتْهُ الذِّمَّةُ فَلَمْ يُعَلَّقْ بِالْحَظْرِ إِلَّا مَا تَحَقَّقْنَاهُ
Ketiga, bahwa hukum asal dalam kekufuran adalah kebolehan, kecuali apa yang dilarang oleh dzimmah; maka tidak dikaitkan dengan larangan kecuali apa yang benar-benar telah kita pastikan.
وَالرَّابِعُ أَنَّهُ قَدْ تَقَابَلَ فِيهِ إِيجَابٌ وَإِسْقَاطٌ فَوَجَبَ أَنْ يُغَلَّبَ حُكْمُ الإسقاط على الْإِيجَابِ حُكْمًا كَمَا تَسْقُطُ الزَّكَاةُ فِيمَا تَوَلَّدَ مِنْ بَيْنِ غَنَمٍ وَظِبَاءٍ تَغْلِيبًا لِلْإِسْقَاطِ عَلَى الْإِيجَابِ وَالِانْفِصَال عَمَّا تَوَجَّهَ بِهِ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ ظاهر إذا حقق والله أعلم
Keempat, bahwa dalam hal ini terdapat pertentangan antara kewajiban (ījāb) dan pengguguran (isqāṭ), maka wajib untuk menguatkan hukum pengguguran atas kewajiban secara hukum, sebagaimana zakat gugur pada hewan yang lahir dari persilangan antara kambing dan kijang, dengan menguatkan pengguguran atas kewajiban. Dan perbedaan dari apa yang menjadi pendapat Imam Syafi‘i jelas apabila diteliti. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ جَنَى عَلَى أَمَةٍ حَامِلٍ فَلَمْ تُلْقِ جَنِينَهَا حَتَّى عُتِقَتْ أَوْ عَلَى ذِمِّيَّةٍ فَلَمْ تُلْقِ جَنِينَهَا حَتَّى أَسْلَمَتْ فَفِيهِ غُرَّةٌ لِأَنَّهُ جَنَى عَلَيْهَا وَهِيَ مَمْنُوعَةٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika seseorang melakukan jinayah terhadap seorang budak perempuan yang sedang hamil, lalu ia tidak melahirkan janinnya hingga ia dimerdekakan, atau terhadap seorang perempuan dzimmi, lalu ia tidak melahirkan janinnya hingga ia masuk Islam, maka dalam kasus tersebut wajib membayar ghurrah, karena ia telah melakukan jinayah terhadapnya saat ia masih dalam keadaan terhalangi.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا جَنِينُ الْأَمَةِ فَقَدْ يَكُونُ تَارَةً حُرًّا إِنْ كَانَ مِنْ سَيِّدِهَا وَمَمْلُوكًا إِنْ كَانَ مِنْ زَوْجٍ أَوْ زِنًا فَإِنْ كَانَ حُرًّا فَفِيهِ غُرَّةٌ كَامِلَةٌ سَوَاءٌ أَلْقَتْهُ وَهِيَ عَلَى رِقِّهَا أَوْ بَعْدَ عِتْقِهَا وَإِنْ كَانَ مَمْلُوكًا فَفِيهِ عشر قيمة أمة وخالفت فِيهِ أَبو حَنِيفَةَ وَقَدْ ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الْبَابِ الَّذِي يَلِيهِ وَنَحْنُ نَسْتَوْفِي الْكَلَامَ فِيهِ فَإِنْ أُعْتِقَتِ الْأَمَةُ بَعْدَ إِلْقَاءِ جَنِينِهَا لَمْ يُؤَثِّرْ عِتْقُهَا فِيهِ وَوَجَبَ فِيهِ عُشْرُ قِيمَتِهَا وَإِنْ أُعْتِقَتْ بَعْدَ ضَرْبِهَا وَقَبْلَ إِلْقَائِهِ عُتِقَ بِعِتْقِهَا تَبَعًا لِأَنَّ حَمْلَ الْحُرَّةِ حُرٌّ وَوَجَبَ فِيهِ غُرَّةٌ كَامِلَةٌ سَوَاءٌ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ عُشْرِ قِيمَةِ الْأُمِّ أَوْ أَقَلَّ كَالْحُرِّ إِذَا أُعْتِقَ بَعْدَ الْجِنَايَةِ عَلَيْهِ ثُمَّ مَاتَ وَجَبَ فِيهِ دِيَةُ حُرٍّ سَوَاءٌ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ أَقَلَّ وَلِلسَّيِّدِ مِنَ الْغُرَّةِ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَةِ الْغُرَّةِ أَوْ عُشْرُ قِيمَةِ الْأُمِّ كَمَا كَانَ لَهُ مِنْ دِيَةِ الْعَبْدِ إِذَا أَعْتَقَهُ بَعْدَ الْجِنَايَةِ وَقَبْلَ مَوْتِهِ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ دِيَتِهِ فَإِنْ كَانَتِ الْغُرَّةُ أَقَلَّهُمَا أَخَذَهَا السَّيِّدُ كُلَّهَا بِحَقِّ مِلْكِهِ وَإِنْ كَانَ عُشْرُ قِيمَةِ الْأُمِّ أَقَلَّ أُخِذَ مِنْ قِيمَةِ الْغُرَّةِ عُشْرُ قِيمَةِ الْأُمِّ وَكَانَ بَاقِيهَا لِوَرَثَةِ الْجَنِينِ
Al-Mawardi berkata: Adapun janin dari seorang budak perempuan, maka terkadang ia berstatus merdeka jika berasal dari tuannya, dan berstatus budak jika berasal dari suami atau hasil zina. Jika ia merdeka, maka wajib baginya diyat berupa satu orang budak yang sempurna, baik janin itu dilahirkan saat ibunya masih berstatus budak maupun setelah ia dimerdekakan. Jika ia berstatus budak, maka diyatnya adalah sepersepuluh dari nilai budak perempuan tersebut. Dalam hal ini, Abu Hanifah berbeda pendapat, dan hal ini juga disebutkan oleh asy-Syafi‘i dalam bab berikutnya, dan kami akan membahasnya secara rinci. Jika budak perempuan itu dimerdekakan setelah melahirkan janinnya, maka kemerdekaannya tidak berpengaruh pada janin tersebut, dan wajib baginya sepersepuluh dari nilai budak perempuan itu. Namun jika ia dimerdekakan setelah dipukul (yang menyebabkan keguguran) dan sebelum melahirkan, maka janin itu ikut merdeka karena kemerdekaan ibunya, sebab anak yang dikandung perempuan merdeka adalah merdeka. Maka wajib baginya diyat berupa satu orang budak yang sempurna, baik nilainya lebih besar maupun lebih kecil dari sepersepuluh nilai ibunya, sebagaimana halnya orang merdeka yang dimerdekakan setelah terjadi tindak pidana terhadapnya lalu ia meninggal, maka wajib baginya diyat orang merdeka, baik nilainya lebih besar maupun lebih kecil dari nilai dirinya. Bagi tuan (pemilik budak perempuan) dari diyat berupa budak yang sempurna itu, ia berhak atas nilai yang paling kecil di antara dua hal: nilai budak yang sempurna atau sepersepuluh nilai ibu, sebagaimana ia berhak atas diyat budak jika ia memerdekakannya setelah terjadi tindak pidana dan sebelum meninggal, yaitu nilai yang paling kecil di antara nilai dirinya atau diyatnya. Jika diyat berupa budak yang sempurna itu lebih kecil, maka tuan berhak mengambil seluruhnya karena hak kepemilikannya. Namun jika sepersepuluh nilai ibu lebih kecil, maka diambil dari nilai budak yang sempurna itu sebesar sepersepuluh nilai ibu, dan sisanya menjadi hak ahli waris janin.
فَصْلٌ
Fasal
وَأَمَّا جَنِينُ الذِّمِّيَّةِ فَإِنْ كَانَ أَبُوهُ مُسْلِمًا فَالْجَنِينُ مُسْلِمًا فِي الْحُكْمِ وَفِيهِ غُرَّةٌ كَامِلَةٌ وَإِنْ كَانَ ذِمِّيًّا فَالْجَنِينُ ذِمِّيٌّ فِي الْحُكْمِ وَفِيهِ مَا قَدَّمْنَاهُ فِي جَنِينِ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَإِنْ أَسْلَمَتِ الذِّمِّيَّةُ أَوْ زَوْجُهَا بَعْدَ إِلْقَاءِ جَنِينِهَا لَمْ يُؤَثِّرْ إِسْلَامُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْجَنِينِ لِتَقَدُّمِهِ عَلَى الْإِسْلَامِ وَوَجَبَ فِيهِ مَا يَجِبُ فِي الْجَنِينِ الذِّمِّيِّ وَكَانَ ذَلِكَ مَوْرُوثًا بَيْنَهُمَا يَشْتَرِكُ فِيهِ الْمُسْلِمُ وَالْكَافِرُ لِأَنَّهُ مَوْرُوثٌ فِي الْكُفْرِ قَبْلَ حُدُوثِ الْإِسْلَامِ وَإِنْ أَسْلَمَتْ بَعْدَ ضَرْبِهَا وَقَبْلَ إِلْقَائِهِ أَوْ أَسْلَمَ زَوْجُهَا دُونَهَا صَارَ الْجَنِينُ مُسْلِمًا بِإِسْلَامِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ أَبَوَيْهِ فَيَجِبُ فِيهِ إِذَا أَلْقَتْهُ بَعْدَ الْإِسْلَامِ غُرَّةٌ كَامِلَةٌ دِيَةُ جَنَيْنٍ مُسْلِمٍ؛ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ مَا اسْتَقَرَّتْ فِيهِ إِلَّا بَعْدَ ثُبُوتِ إِسْلَامِهِ كَمَا لَوْ أَسْلَمَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ بَعْدَ الْجِنَايَةِ ثُمَّ مَاتَ وَجَبَتْ فِيهِ دِيَةُ مُسْلِمٍ لِاسْتِقْرَارِهَا فِيهِ بَعْدَ إِسْلَامِهِ وَتَكُونُ هَذِهِ الْغُرَّةُ الْوَاجِبَةُ فِيهِ مَوْرُوثَةً للمسلم من أبويه
Adapun janin dari perempuan dzimmi, jika ayahnya seorang Muslim maka janin tersebut dihukumi sebagai Muslim dan baginya dikenakan diyat penuh. Namun jika ayahnya seorang dzimmi, maka janin tersebut dihukumi sebagai dzimmi dan berlaku atasnya ketentuan yang telah kami sebutkan sebelumnya mengenai janin dari ahli dzimmah. Jika perempuan dzimmi itu atau suaminya masuk Islam setelah janinnya gugur, maka keislaman salah satu dari keduanya tidak berpengaruh pada status janin, karena kejadiannya mendahului keislaman, sehingga berlaku atasnya apa yang berlaku pada janin dzimmi, dan diyatnya menjadi harta warisan di antara keduanya, baik Muslim maupun kafir, karena ia menjadi harta warisan dalam keadaan kufur sebelum terjadinya Islam. Namun jika perempuan itu masuk Islam setelah dipukul dan sebelum janinnya gugur, atau suaminya masuk Islam tanpa dirinya, maka janin tersebut menjadi Muslim dengan keislaman salah satu dari kedua orang tuanya. Maka jika janin itu gugur setelah keislaman, dikenakan diyat penuh, yaitu diyat janin Muslim, karena tindak pidana baru benar-benar terjadi setelah terbuktinya keislaman janin, sebagaimana jika korban masuk Islam setelah terjadinya tindak pidana lalu meninggal, maka wajib baginya diyat Muslim karena kepastian keislaman setelah tindak pidana. Diyat yang wajib atas janin ini menjadi harta warisan bagi Muslim dari kedua orang tuanya.
مسألة
Masalah
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الدِّيَاتِ وَالْجِنَايَاتِ وَلَا أَعْرِفُ أَنْ يَدْفَعَ لِلْغُرَّةِ قِيمَةً إِلَّا أَنْ يَكُونَ بِمَوْضِعٍ لَا تُوجَدُ فِيهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ هَذَا مَعْنَى أَصْلِهِ فِي الدِّيَةِ أَنَّهَا الْإِبِلُ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى بِهَا فَإِنْ لَمْ تُوجَدْ فَقِيمَتُهَا فَكَذَلِكَ الْغُرَّةُ إِنْ لَمْ تُوجَدْ فَقِيمَتُهَا
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata dalam Kitab al-Diyāt wa al-Jināyāt: “Aku tidak mengetahui bahwa untuk pembayaran al-ghurrah diberikan nilai (harga) kecuali jika berada di tempat yang tidak ditemukan (al-ghurrah) di situ.” Al-Muzani berkata: “Ini adalah makna asal dalam diyat, yaitu diyat itu berupa unta, karena Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menetapkan demikian. Jika tidak ditemukan (unta), maka diganti dengan nilainya. Demikian pula al-ghurrah, jika tidak ditemukan, maka diganti dengan nilainya.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا إِذَا كَانَتِ الْغُرَّةُ مَوْجُودَةً فَلَا يَجُوزُ الْعُدُولُ عَنْهَا إِلَى الْإِبِلِ وَلَا وَرِقٍ وَلَا ذَهَبٍ سَوَاءٌ قِيلَ فِي دِيَةِ النَّفْسِ إِنَّهُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الْإِبِلِ وَالْوَرِقِ وَالذَّهَبِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ أَوْ قِيلَ لَا يُؤْخَذُ فِيهَا إِلَّا الْإِبِلُ مَعَ وُجُودِهَا عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِلْفَرْقِ بينها شَرْعًا فِي أَنَّ النَّصَّ لَمْ يَرِدْ فِي الْجَنِينِ إِلَّا بِالْغُرَّةِ وَإِنَّمَا عَدَلَ إِلَى قِيمَتِهَا بِالِاخْتِلَافِ نَفْيًا لِلْجَهَالَةِ عَنْهَا وَالنَّصُّ وَارِدٌ فِي دِيَةِ النَّفْسِ بِالْإِبِلِ وَالْوَرِقِ وَالذَّهَبِ فَافْتَرَقَا فَإِنْ عُدِمَتِ الْغُرَّةُ دَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى الْعُدُولِ إِلَى قِيمَتِهَا كَالطَّعَامِ الْمَغْصُوبِ الَّذِي يُسْتَحَقُّ مِثْلُهُ فَإِنْ عُدِمَ الْمِثْلُ عُدِلَ إِلَى قِيمَتِهِ وَفِي الْمَعْدُولِ إِلَيْهِ مِنَ الْقِيمَةِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِيمَا يُقَوَّمُ بِهِ الْغُرَّةُ مَعَ وُجُودِهَا
Al-Mawardi berkata: Adapun jika al-ghurrah (denda berupa budak) itu ada, maka tidak boleh beralih darinya kepada unta, perak, atau emas, baik menurut pendapat yang mengatakan dalam diyat jiwa bahwa seseorang boleh memilih antara unta, perak, dan emas menurut pendapat lama, maupun menurut pendapat baru yang mengatakan bahwa diyat jiwa tidak diambil kecuali dari unta jika unta itu ada. Hal ini demikian karena adanya perbedaan secara syar‘i antara keduanya, yaitu bahwa nash (teks syariat) tidak menyebutkan tentang janin kecuali dengan al-ghurrah, dan hanya beralih kepada nilainya karena adanya perbedaan pendapat untuk menghindari ketidakjelasan tentangnya. Adapun nash dalam diyat jiwa menyebutkan unta, perak, dan emas, sehingga keduanya berbeda. Jika al-ghurrah tidak ada, maka kebutuhan mendesak mengharuskan beralih kepada nilainya, seperti makanan yang dighasab (dirampas) yang wajib diganti dengan yang sejenis, dan jika yang sejenis tidak ada maka diganti dengan nilainya. Dalam hal penggantian dengan nilai ini terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan dua pendapat dalam hal apa yang dijadikan dasar penilaian al-ghurrah ketika ia ada.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ يَعْدِلُ عِنْدَ عَدَمِهَا إِلَى الْوَرِقِ إِذَا قِيلَ إِنَّهَا تُقَوَّمُ بِالْوَرِقِ فَعَلَى هَذَا تُؤْخَذُ عَنْهَا فِي الْخَطَأِ الْمَحْضِ سِتُّمِائَةِ دِرْهَمٍ وَفِي عَمْدِ الْخَطَأِ ثَمَانُمِائَةِ دِرْهَمٍ
Salah satu pendapat, yaitu pendapat para ulama Baghdad, menyatakan bahwa jika tidak ada (sesuatu yang dimaksud), maka dialihkan nilainya kepada perak, jika dikatakan bahwa nilainya ditaksir dengan perak. Berdasarkan pendapat ini, untuk kesalahan murni diambil darinya enam ratus dirham, dan untuk kesalahan yang disengaja namun seperti kesalahan, diambil delapan ratus dirham.
وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ يَعْدِلُ عَنِ الْغُرَّةِ عِنْدَ عَدَمِهَا إِلَى الْإِبِلِ إِذَا قِيلَ تُقَوَّمُ بِقِيمَةِ خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ فَعَلَى هَذَا يُؤْخَذُ فِي الْخَطَأِ الْمَحْضِ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ أَخْمَاسًا وَفِي عَمْدِ الْخَطَأِ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ أَثْلَاثًا فَإِنْ أُعْوِزَتِ الْإِبِلُ صَارَ كَإِعْوَازِهَا فِي دِيَةِ النَّفْسِ فَهَلْ يُعْدَلُ إِلَى قِيمَتِهَا مَا بَلَغَتْ أَوْ إِلَى الْمُقَدَّرِ فِيهَا مِنَ الْوَرِقِ وَالذَّهَبِ على ما مضى من القولين الْقَدِيمِ مِنْهَا يَعْدِلُ إِلَى الْمُقَدَّرِ فَيَجِبُ عَنْهَا سِتُّمِائَةِ دِرْهَمٍ أَوْ خَمْسُونَ دِينَارًا يُزَادُ عَلَيْهَا فِي التَّغْلِيظِ ثُلُثُهَا وَعَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ يَعْدِلُ عَنْهَا إِلَى قِيمَةِ خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ مَا بَلَغَتْ قِيمَتُهَا مِنْ وَرِقٍ أَوْ ذَهَبٍ والله أعلم
Pendapat kedua, yaitu pendapat ulama Basrah, adalah bahwa jika tidak ada al-ghurrah, maka diganti dengan unta. Jika dikatakan bahwa al-ghurrah dinilai dengan harga lima ekor unta, maka dalam kasus kesalahan murni (khata’ mahdh), diambil lima ekor unta yang dibagi menjadi lima bagian, dan dalam kasus kesalahan yang mendekati sengaja (‘amdu al-khata’), diambil lima ekor unta yang dibagi menjadi tiga bagian. Jika unta sulit didapatkan, maka keadaannya seperti sulitnya mendapatkan unta dalam diyat jiwa. Apakah diganti dengan nilainya berapapun harganya, atau diganti dengan nilai yang telah ditetapkan berupa perak dan emas sebagaimana dua pendapat sebelumnya? Menurut pendapat lama, diganti dengan nilai yang telah ditetapkan, yaitu wajib membayar enam ratus dirham atau lima puluh dinar, dan dalam kasus pemberatan (taghlizh) ditambah sepertiganya. Sedangkan menurut pendapat barunya, diganti dengan nilai lima ekor unta, berapapun nilainya dalam perak atau emas. Allah Maha Mengetahui.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَيُغْرَمُهَا مَنْ يَغْرَمُ دِيَةَ الْخَطَأِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Yang menanggungnya adalah orang yang menanggung diyat kesalahan (diyat khata’).”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ الْعَمْدَ الْمَحْضَ فِي الْجِنَايَةِ عَلَى الْجَنِينِ يَمْتَنِعُ لِامْتِنَاعِ مُبَاشَرَتِهِ لَهَا وَكَانَتْ مِنْ بَيْنِ خَطَأٍ مَحْضٍ تَتَخَفَّفُ فِيهِ الْغُرَّةُ كَمَا تَتَخَفَّفُ دِيَاتُ الْخَطَأِ وَبَيْنَ عَمْدِ الْخَطَأِ تَتَغَلَّظُ فِيهِ الْغُرَّةُ كَمَا تَتَغَلَّظُ دِيَاتُ عَمْدِ الْخَطَأِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَتِ الْغُرَّةُ عَلَى الْعَاقِلَةِ فِي حَالَيْ تَخْفِيفِهَا وَتَغْلِيظِهَا وَأَوْجَبَهَا مَالِكٌ فِي مَالِ الْجَانِي بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْعَاقِلَةَ لَا تَتَحَمَّلُ عِنْدَهُ إِلَّا مَا زَادَ عَلَى ثُلُثِ الدِّيَةِ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ مَعَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ دَلِيلِ الْأَصْلِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى بِالْغُرَّةِ فِي الْجَنِينِ عَلَى الْعَاقِلَةِ فَقَالُوا كَيْفَ نَدِي مَنْ لَا ضَرَبَ وَلَا أَكَلَ ولا صاح ولا استهل ومثل ذلك بطل وَفِي مُدَّةِ مَا تُؤَدِّيهَا الْعَاقِلَةُ وَجْهَانِ
Al-Mawardi berkata, “Ini benar, karena kesengajaan murni dalam tindak pidana terhadap janin tidak mungkin terjadi, sebab tidak mungkin melakukan tindakan langsung terhadapnya. Maka, kasus ini berada di antara kesalahan murni, di mana diyat (ganti rugi) berupa ghurrah diringankan sebagaimana diyat kesalahan juga diringankan, dan antara kesengajaan yang menyerupai kesalahan, di mana ghurrah diperberat sebagaimana diyat kesengajaan yang menyerupai kesalahan juga diperberat. Jika demikian, maka ghurrah wajib ditanggung oleh ‘aqilah baik dalam keadaan diringankan maupun diperberat. Malik mewajibkan ghurrah diambil dari harta pelaku berdasarkan pendapat dasarnya bahwa ‘aqilah tidak menanggung kecuali yang melebihi sepertiga diyat. Dalilnya, selain dalil asal yang telah disebutkan, adalah bahwa Nabi ﷺ memutuskan ghurrah untuk janin atas ‘aqilah. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami membayar diyat untuk seseorang yang tidak memukul, tidak makan, tidak menangis, tidak bersuara, dan tidak hidup, dan yang seperti itu telah batal?’ Dalam hal jangka waktu pembayaran oleh ‘aqilah, terdapat dua pendapat.”
أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ تُؤَدِّيهَا فِي ثَلَاثِ سِنِينَ لِأَنَّهَا دِيَةُ نَفْسٍ فَشَابَهَتْ كَمَالَ الدية
Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, adalah bahwa diyat tersebut dibayarkan dalam tiga tahun, karena diyat itu adalah diyat jiwa sehingga menyerupai penyempurnaan diyat.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي تُؤَدِّيهَا فِي سَنَةٍ وَاحِدَةٍ لِأَنَّ قِسْطَ الْعَاقِلَةِ فِي كُلِّ سَنَةٍ مِنْ دِيَةِ النَّفْسِ ثُلُثُهَا وَالْغُرَّةُ أَقَلُّ مِنَ الثُّلُثِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ تُؤَدَّى فِي سَنَةٍ وَاحِدَةٍ
Pendapat kedua, diyat tersebut dibayarkan dalam satu tahun, karena bagian ‘āqilah setiap tahun dari diyat jiwa adalah sepertiganya, sedangkan al-ghurrah (diyat janin) lebih sedikit dari sepertiga, maka lebih utama jika dibayarkan dalam satu tahun.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه فَإِنْ قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ ضَمِنه مِنَ الضَّرْبَةِ حَتَّى طَرَحَتْهُ لَزِمَهُ وَإِنْ لَمْ تَقُمْ بَيِّنَةٌ حَلَفَ الْجَانِي وَبَرِئَ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika ada bukti yang menunjukkan bahwa korban terus berada dalam jaminan (tanggung jawab) pelaku sejak pukulan itu hingga ia meninggalkannya, maka pelaku wajib bertanggung jawab. Namun jika tidak ada bukti, pelaku bersumpah dan ia bebas dari tanggung jawab.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَةُ حَالِ الْمَرْأَةِ فِي ضَمَانِ جَنِينِهَا يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ
Al-Mawardi berkata, “Secara umum, keadaan perempuan dalam penjaminan janinnya terbagi menjadi tiga bagian.”
أَحَدُهَا أَنْ تَدَّعِيَ عَلَى رَجُلٍ أَنَّهُ ضَرَبَ بَطْنَهَا حَتَّى أَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا فَيُنْكِرُ الْجَانِي الضَّرْبَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ لِبَرَاءَةِ ذِمَّتِهِ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَ بَيِّنَةٌ تَشْهَدُ عَلَيْهِ بِضَرْبِهَا فَيَحْكُمُ بِهَا وَيَلْزَمُهُ دِيَةُ جَنِينِهَا وَبَيِّنَتُهَا عَلَيْهِ شَاهِدَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَهَادَةُ النِّسَاءِ الْمُنْفَرِدَاتِ
Salah satunya adalah ketika seorang perempuan menuduh seorang laki-laki bahwa ia telah memukul perutnya hingga ia mengalami keguguran dan janinnya lahir dalam keadaan mati. Jika pelaku menyangkal telah memukul, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya untuk membebaskan dirinya, kecuali jika perempuan tersebut mendatangkan bukti yang bersaksi bahwa laki-laki itu benar-benar telah memukulnya. Maka hakim memutuskan berdasarkan bukti tersebut dan mewajibkan pelaku membayar diyat janinnya. Bukti yang sah atas tuduhan tersebut adalah dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan. Tidak diterima kesaksian perempuan saja tanpa adanya laki-laki.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَعْتَرِفَ بِضَرْبِهَا وَيُنْكِرَ أَنَّهُ جَنِينُهَا وَيَدَّعِيَ أَنَّهَا الْتَقَطَتْهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ لِبَرَاءَةِ ذِمَّتِهِ إِلَّا أَنْ تُقِيمَ بَيِّنَةً عَلَى إِسْقَاطِهِ وَبَيِّنَتُهَا شَاهِدَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ عُدُولٍ لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ عَلَى وِلَادَةٍ فَإِنْ شَهِدَتِ الْبَيِّنَةُ أَنَّهَا أَسْقَطَتْ هَذَا الْجَنِينَ الْمَيِّتَ يعينه حُكِمَ لَهَا بِإِسْقَاطِهِ وَدِيَتِهِ وَإِنْ شَهِدُوا أَنَّهَا أَلْقَتْ جَنِينًا وَلَمْ يُعَيِّنُوهُ فِي الْجَنِينِ الَّذِي أَحْضَرَتْهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bagian kedua adalah jika ia mengakui telah memukulnya namun mengingkari bahwa itu adalah janinnya, dan ia mengklaim bahwa wanita itu hanya memungut janin tersebut, maka perkataan dipegang berdasarkan sumpahnya untuk membebaskan tanggungannya, kecuali jika wanita itu mendatangkan bukti atas kegugurannya. Bukti yang dimaksud adalah dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan, atau empat perempuan yang adil, karena ini adalah bukti atas kelahiran. Jika bukti tersebut menyatakan bahwa ia telah menggugurkan janin mati itu secara spesifik, maka diputuskan baginya hak atas keguguran dan diyatnya. Namun jika para saksi hanya menyatakan bahwa ia telah menggugurkan janin tanpa menentukan janin yang dihadirkan, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ يَشْهَدُوا لَهَا بِمَوْتِ الَّذِي أَلْقَتْهُ وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنُوهُ فَيُحْكَمُ لَهَا بِالدِّيَةِ لِأَنَّهُمْ قَدْ شَهِدُوا لَهَا بِجَنِينٍ مَضْمُونٍ وَتَعْيِينُهُ لَا يُفِيدُ
Salah satunya adalah bahwa mereka bersaksi untuknya atas kematian orang yang telah ia gugurkan, meskipun mereka tidak menyebutkan secara spesifik, maka diputuskan baginya untuk mendapatkan diyat, karena mereka telah bersaksi bahwa ia telah menggugurkan janin yang dijamin, dan penentuan secara spesifik tidak memberikan manfaat.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَشْهَدُوا بِمَوْتِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Jenis kedua adalah mereka tidak menyaksikan kematiannya, maka ini terbagi menjadi dua macam.
أحدهما أن يكون لمدة لا تعيش لمثلها فيحكم لها بديته
Pertama, jika masa hidupnya tidak mungkin selama itu, maka ditetapkan baginya diyat.
والضرب الثاني أني يَكُونَ لِمُدَّةٍ يَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ لِمثلِهَا لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهَا فِي مَوْتِهِ لِأَنَّ الَّذِي أَحْضَرَتْهُ مَيِّتًا لَمْ يَشْهَدُوا لَهَا بِإِسْقَاطِهِ وَالَّذِي شَهِدُوا بِإِسْقَاطِهِ لَمْ يَشْهَدُوا لَهَا بِمَوْتِهِ
Jenis kedua adalah apabila janin berumur selama waktu yang memungkinkan untuk hidup, maka tidak diterima pernyataannya mengenai kematiannya. Sebab, orang-orang yang ia hadirkan dalam keadaan janin sudah meninggal tidak menyaksikan proses kegugurannya, dan orang-orang yang menyaksikan proses kegugurannya tidak menyaksikan kematiannya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَعْتَرِفَ بِضَرْبِهَا وَإِسْقَاطِ جَنِينِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ
Bagian kedua adalah jika ia mengakui telah memukulnya dan menyebabkan janinnya gugur, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.
أَحَدُهُمَا أَنْ تُلْقِيَهُ عَقِيبَ ضَرْبِهَا فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا أَلْقَتْهُ مَيِّتًا مِنْ ضَرْبَةٍ وَإِنْ جَازَ أَنْ تُلْقِيَهُ مِنْ غَيْرِهِ فَعَلَيْهِ دِيَةُ الْجَنِينِ فَإِنِ ادَّعَى أَنَّهَا أَلْقَتْهُ مِنْ غَيْرِ الضَّرْبِ مِنْ طَلْقٍ أَوْ شُرْبِ دَوَاءٍ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا مَعَ يَمِينِهَا لِأَنَّ الظَّاهِرَ مَعَهَا
Salah satunya adalah jika ia melahirkan janin itu setelah dipukul, maka yang tampak adalah bahwa ia melahirkannya dalam keadaan mati akibat pukulan tersebut. Namun, jika memungkinkan ia melahirkannya bukan karena pukulan itu, maka wajib atas pelaku membayar diyat janin. Jika ia mengaku bahwa ia melahirkan janin itu bukan karena pukulan, melainkan karena kontraksi alami atau minum obat, maka perkataannya diterima dengan disertai sumpahnya, karena yang tampak berpihak kepadanya.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تُلْقِيَهُ بَعْدَ زَمَانٍ طَوِيلٍ مِنْ ضربها فإن لم تزل ضنية مَرِيضَةً مِنْ وَقْتِ الضَّرْبِ إِلَى وَقْتِ الْإِسْقَاطِ فَالظَّاهِرُ مِنْ إِلْقَائِهِ مَيِّتًا أَنَّهُ مِنَ الضَّرْبِ فتجب ديته عَلَى الضَّارِبِ فَإِنِ ادَّعَى عَلَيْهَا إِسْقَاطَهُ مِنْ غَيْرِهَا أَحْلَفَهَا وَضَمِنَ دِيَتَهُ فَإِنْ سَكَنَ أَلَمُهَا بَعْدَ الضَّرْبِ وَأَلْقَتْهُ بَعْدَ زَوَالِ الْأَلَمِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا أَلْقَتْهُ مِنْ غَيْرِ الضَّرْبِ فَلَا تَلْزَمُهُ دِيَتُهُ فَإِنِ ادَّعَتْ أَنَّهَا أَلْقَتْهُ مِنْ ضَرْبِهِ أَحْلَفَتْهُ وَلَيْسَ يُحْتَاجُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا عِنْدَ التَّنَازُعِ إِلَى بَيِّنَةٍ لِأَنَّ الْبَيِّنَةَ تَشْهَدُ بِالظَّاهِرِ وَحُكْمُ الظَّاهِرِ مَعْرُوفٌ وَلَكِنْ لَوِ ادَّعَتْ بَعْدَ تَطَاوُلِ الْمُدَّةِ أَنَّهَا أَلْقَتْهُ مِنْ ضَرْبِهِ وَأَنْكَرَهَا فَإِنْ قَامَتِ الْبَيِّنَةُ عَلَى أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ ضَنِيَّةً مَرِيضَةً حَتَّى أَلْقَتْهُ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهَا فَإِنْ أَنْكَرْ أَنْ يَكُونَ مِنْ ضَرْبِهِ أَحْلَفَهَا وَإِنْ لَمْ تَقُمِ الْبَيِّنَةُ بِمَرَضِهَا فَالْقَوْلُ قوله ولها إحلافه
Jenis yang kedua adalah jika ia mengalami keguguran setelah waktu yang lama dari pemukulan tersebut. Jika ia tetap dalam keadaan lemah dan sakit sejak waktu pemukulan hingga waktu keguguran, maka yang tampak dari kegugurannya dalam keadaan mati adalah bahwa hal itu disebabkan oleh pemukulan, sehingga diwajibkan membayar diyat atas orang yang memukul. Jika ia mengklaim bahwa keguguran itu terjadi bukan karena pemukulan, maka ia harus bersumpah dan tetap wajib membayar diyat. Jika rasa sakitnya hilang setelah pemukulan dan ia mengalami keguguran setelah rasa sakit itu hilang, maka yang tampak adalah bahwa keguguran itu bukan karena pemukulan, sehingga tidak wajib membayar diyat. Jika ia mengklaim bahwa keguguran itu akibat pemukulan, maka orang yang memukul harus bersumpah. Dalam semua keadaan ini, ketika terjadi perselisihan, tidak diperlukan bukti (bayyinah), karena bayyinah hanya menunjukkan apa yang tampak, dan hukum atas apa yang tampak sudah diketahui. Namun, jika setelah waktu yang lama ia mengklaim bahwa keguguran itu akibat pemukulan dan pelaku memukul mengingkarinya, lalu ada bayyinah bahwa ia tetap dalam keadaan lemah dan sakit hingga mengalami keguguran, maka perkataan diterima dari pihak perempuan. Jika pelaku memukul mengingkari bahwa keguguran itu akibat pemukulannya, maka perempuan tersebut harus bersumpah. Jika tidak ada bayyinah tentang sakitnya, maka perkataan diterima dari pelaku pemukulan, dan perempuan berhak meminta sumpah darinya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ صَرَخَ الْجَنِينُ أَوْ تَحَرَّكَ وَلَمْ يَصْرُخْ ثُمَّ مَاتَ مَكَانَهُ فَدِيَتُهُ تَامَّةٌ وَإِنْ لَمْ يَمُتْ مَكَانَهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْجَانِي وَعَاقِلَتِهِ إِنَّهُ مَاتَ مِنْ غَيْرِ جِنَايَةٍ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika janin itu menjerit atau bergerak namun tidak menjerit, kemudian mati di tempatnya, maka diyatnya sempurna. Namun jika tidak mati di tempatnya, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pelaku (jānī) dan ‘āqilah-nya bahwa ia mati bukan karena tindak kejahatan.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أَلْقَتْ مِنَ الضَّرْبِ جَنِينًا حَيًّا ثُمَّ مَاتَ فَفِيهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً إِنْ كَانَ ذَكَرًا فَمِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ وَإِنْ كَانَ أُنْثَى فَخَمْسُونَ مِنَ الْإِبِلِ وَحَيَاتُهُ تُعْلَمُ بِالِاسْتِهْلَالِ تَارَةً وَبِالْحَرَكَةِ الْقَوِيَّةِ أُخْرَى وَالِاسْتِهْلَالُ هُوَ الصِّيَاحُ وَالْبُكَاءُ وَفِي مَعْنَاهُ الْعُطَاسُ وَالْأَنِينُ
Al-Mawardi berkata, “Ini sebagaimana yang dikatakan: jika akibat pukulan seorang wanita melahirkan janin dalam keadaan hidup lalu kemudian meninggal, maka wajib membayar diyat secara penuh; jika janin itu laki-laki maka seratus ekor unta, dan jika perempuan maka lima puluh ekor unta. Kehidupan janin diketahui kadang dengan istihlal dan kadang dengan gerakan yang kuat. Istihlal adalah teriakan dan tangisan, dan yang sejenis dengannya adalah bersin dan rintihan.”
وَأَمَّا الْحَرَكَةُ الْقَوِيَّةُ فَمِثْلُ ارْتِضَاعِهِ وَرَفْعِ يَدِهِ وَحَطِّهَا وَمَدِّ رِجْلِهِ وَقَبْضِهَا وَانْقِلَابِهِ مِنْ جَنْبٍ إِلَى جَنْبٍ إِلَى مَا جَرَى هَذَا الْمَجْرَى مِنَ الْحَرَكَاتِ الَّتِي لَا تَكُونُ إِلَّا فِي حَيٍّ
Adapun gerakan yang kuat, seperti menyusu, mengangkat dan menurunkan tangannya, meluruskan dan menarik kakinya, berpindah dari satu sisi ke sisi lain, serta gerakan-gerakan lain semacam ini yang tidak terjadi kecuali pada makhluk yang hidup.
فَأَمَّا الِاخْتِلَاجُ وَالْحَرَكَةُ الضَّعِيفَةُ فَلَا تَدُلُّ عَلَى الْحَيَاةِ لِأَنَّ لَحْمَ الذَّبِيحَةِ قَدْ يَخْتَلِجُ وَلَا يَدُلُّ عَلَى بَقَاءِ الْحَيَاةِ وَإِنَّمَا تَثْبُتُ حَيَاتُهُ بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ
Adapun kejang dan gerakan lemah, maka itu tidak menunjukkan adanya kehidupan, karena daging hewan sembelihan bisa saja bergerak-kejang, namun itu tidak menunjukkan masih adanya kehidupan. Kehidupan hanya dapat dipastikan dengan salah satu dari dua hal.
اسْتِهْلَالٌ أَوْ حَرَكَةٌ قَوِيَّةٌ
Tangisan pertama atau gerakan yang kuat.
وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ
Dan pendapat ini dikatakan oleh Abu Hanifah dan mayoritas fuqaha.
وَقَالَ مَالِكٌ تَثْبُتُ حَيَاتُهُ بِالِاسْتِهْلَالِ وَلَا تَثْبُتُ بِالْحَرَكَةِ
Malik berkata: Kehidupan seorang bayi ditetapkan dengan isthilāl (tangisan saat lahir), dan tidak ditetapkan hanya dengan gerakan.
وَبِهِ قَالَ سعيد ابن الْمُسَيَّبِ وَالْحَسَنُ وَابْنُ سِيرِينَ وَاخْتَلَفُوا فِي الْعُطَاسِ هل يكون استهلال فَأَثْبَتَهُ بَعْضُهُمْ وَنَفَاهُ آخَرُونَ وَاسْتَدَلُّوا عَلَى أَنَّ مَا عَدَا الِاسْتِهْلَالَ لَا تَثْبُتُ بِهِ الْحَيَاةُ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ إِذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ صُلِّيَ عَلَيْهِ وَوَرِثَ فَخُصَّ الِاسْتِهْلَالُ بِحُكْمِ الْحَيَاةِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَثْبُتُ بِغَيْرِهِ
Pendapat ini juga dikatakan oleh Sa‘id bin al-Musayyab, al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Mereka berbeda pendapat mengenai bersin, apakah dianggap sebagai isthilāl (tanda kehidupan bayi) atau tidak. Sebagian dari mereka menetapkannya, sementara yang lain menafikannya. Mereka berdalil bahwa selain isthilāl tidak dapat dijadikan tanda kehidupan dengan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jika bayi yang baru lahir mengeluarkan suara (isthilāl), maka dishalatkan atasnya dan ia berhak mewarisi.” Maka isthilāl dikhususkan sebagai tanda kehidupan, sehingga hal ini menunjukkan bahwa selain isthilāl tidak dapat dijadikan tanda kehidupan.
وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى حُكْمُ قَلِيلِ الِاسْتِهْلَالِ وَكَثِيرُهُ فِي ثُبُوتِ الْحَيَاةِ وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُ قَلِيلِ الْحَرَكَةِ وَكَثِيرُهَا فِي عَدَمِ الْحَيَاةِ
Dan karena ketika hukum sedikitnya istihlal dan banyaknya istihlal itu sama dalam penetapan adanya kehidupan, maka wajib hukumnya bahwa sedikitnya gerakan dan banyaknya gerakan juga sama dalam tidak adanya kehidupan.
وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ مَا دَلَّ عَلَى حَيَاةِ الْكَبِيرِ دَلَّ عَلَى حَيَاةِ الصَّغِيرِ كَالِاسْتِهْلَالِ وَلِأَنَّ مَنْ دَلَّ الِاسْتِهْلَالُ عَلَى حَيَاتِهِ دَلَّتِ الْحَرَكَةُ عَلَى حَيَاتِهِ كَالْكَبِيرِ
Dalil kami adalah bahwa apa yang menunjukkan adanya kehidupan pada orang dewasa juga menunjukkan adanya kehidupan pada anak kecil, seperti tangisan pertama (istihlal). Dan karena siapa pun yang ditunjukkan oleh istihlal sebagai hidup, maka gerakan juga menunjukkan kehidupannya, sebagaimana pada orang dewasa.
فَأَمَّا الْخَبَرُ فَفِيهِ نَصٌّ عَلَى الِاسْتِهْلَالِ وَتَنْبِيهٌ عَلَى الْحَرَكَةِ وَأَمَّا قَلِيلُ الْحَرَكَةِ فَمَا خَرَجَ عَنْ حَدِّ الِاخْتِلَاجِ دَلَّ عَلَى الحياة من قليل كثير وَمَا كَانَ اخْتِلَاجًا فَلَيْسَ بِحَرَكَةٍ فَقَدِ اسْتَوَى حُكْمُ الْحَرَكَةِ فِي قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا
Adapun khabar, di dalamnya terdapat nash tentang istihlal dan isyarat mengenai gerakan. Adapun sedikit gerakan, maka selama telah keluar dari batas ikhtilaj, baik sedikit maupun banyak, itu menunjukkan adanya kehidupan. Sedangkan yang berupa ikhtilaj, maka itu bukanlah gerakan. Maka, hukum gerakan telah sama, baik sedikit maupun banyak.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ حُكْمَ الِاسْتِهْلَالِ وَالْحَرَكَةِ فِي ثُبُوتِ الْحَيَاةِ سَوَاءٌ فَمَتَى كَانَ الِاسْتِهْلَالُ بَعْدَ انْفِصَالِهِ مِنْ أَنَّهُ ثَبَتَتْ حَيَاتُهُ وَإِنِ اسْتَهَلَّ قَبْلَ انْفِصَالِهِ عِنْدَ خُرُوجِ بَعْضِهِ مِنْهَا وَبَقَاءِ بَعْضِهِ مَعَهَا ثُمَّ انْفَصَلَ مِنْهَا لَمْ يَثْبُتْ لَهُ حُكْمُ الْحَيَاةِ وَلَمْ تَكْمُلْ دِيَتُهُ
Maka apabila telah tetap bahwa hukum istihlal (tangisan pertama bayi) dan gerakan dalam penetapan kehidupan adalah sama, maka kapan saja istihlal terjadi setelah terpisahnya (bayi) darinya (ibunya), maka telah tetap kehidupannya. Namun jika ia menangis sebelum terpisah darinya, yaitu ketika sebagian tubuhnya telah keluar dan sebagian lainnya masih bersama ibunya, kemudian ia terpisah darinya, maka tidak tetap baginya hukum kehidupan dan diyatnya tidak sempurna.
وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ وَزُفَرُ وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ إِنْ عُلِمَتْ حَيَاتُهُ عِنْدَ خُرُوجِ أَكْثَرِهِ ثَبَتَ لَهُ حُكْمُ الْحَيَاةِ فِي الْمِيرَاثِ وَكَمَالِ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ عِنْدَ خُرُوجِ أَقَلِّهِ لَمْ يَثْبُتِ اعْتِبَارًا بِالْأَغْلَبِ وَهَذَا خَطَأٌ من وجهين
Demikian pula pendapat Abu Hanifah. Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, dan al-Hasan bin Shalih berpendapat: Jika diketahui bahwa ia masih hidup ketika sebagian besarnya telah keluar, maka baginya ditetapkan hukum kehidupan dalam hal warisan dan sempurnanya diyat. Namun jika ketika yang keluar baru sebagian kecilnya, maka tidak ditetapkan (hukum kehidupan), dengan pertimbangan mengikuti yang terbanyak. Pendapat ini keliru dari dua sisi.
أحدهما أَنَّهُ إِنْ جَرَى عَلَى مَا قَبْلَ الِانْفِصَالِ حُكْمُ الْحَيَاةِ وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حُكْمُ أَقَلِّهِ وَأَكْثَرِهِ فِي ثُبُوتِهَا لِلْعِلْمِ بِهَا وَإِنْ لَمْ يَجُرْ حُكْمُهَا عَلَى الْقَلِيلِ لَمْ يَجْرِ عَلَى أَكْثَرِهِ لِلِاتِّصَالِ وَعَدَمِ الِانْفِصَالِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى خُرُوجُ أَقَلِّهِ وَأَكْثَرِهِ فِي بَقَاءِ الْعِدَّةِ وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْمِيرَاثِ وَكَمَالِ الدِّيَةِ
Pertama, jika sebelum terpisah masih berlaku hukum kehidupan, maka wajib disamakan hukum bagian yang sedikit dan yang banyak dalam penetapan kehidupan, karena telah diketahui adanya kehidupan tersebut. Dan jika hukumnya tidak berlaku pada bagian yang sedikit, maka tidak berlaku pula pada bagian yang banyak, karena masih bersambung dan belum terpisah. Dan karena keluarnya bagian yang sedikit dan yang banyak sama dalam hal tetapnya masa ‘iddah, maka wajib pula disamakan dalam hal warisan dan sempurnanya diyat.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا صَحَّ مَا ذَكَرْنَا وَثَبَتَتْ حَيَاتُهُ بَعْدَ انْفِصَالِهِ بِاسْتِهْلَالٍ أَوْ حَرَكَةٍ ثُمَّ مَاتَ فَلَا يَخْلُو حَالُ مَوْتِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Maka apabila apa yang telah kami sebutkan itu benar dan kehidupannya setelah terpisah telah terbukti dengan tangisan atau gerakan, kemudian ia meninggal, maka keadaan kematiannya tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَقِيبَ سُقُوطِهِ أَوْ مُتَأَخِّرًا عَنْهُ فَإِنْ مَاتَ عَقِيبَ سُقُوطِهِ فَالظَّاهِرُ مِنْ مَوْتِهِ أَنَّهُ كَانَ مِنْ ضَرْبِ أُمِّهِ لِأَنَّهُ لَمَّا تَعَلَّقَ بِالضَّرْبِ حُكْمُ إِسْقَاطِهِ تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ مَوْتِهِ إِلَّا أَنْ تَحْدُثَ عَلَيْهِ بَعْدَ سُقُوطِهِ جِنَايَةٌ فَيَصِيرَ مَوْتُهُ مَنْسُوبًا إِلَى الْجِنَايَةِ الْحَادِثَةِ دُونَ الضَّرْبِ الْمُتَقَدِّمِ مِثْلَ أَنْ تَنْقَلِبَ عَلَيْهِ أُمُّهُ بَعْدَ إِلْقَائِهِ فَيَصِيرُ مَوْتُهُ بِانْقِلَابِ أُمِّهِ عَلَيْهِ فَتَجِبُ دِيَتُهُ عَلَيْهَا تَتَحَمَّلُهَا عَاقِلَتُهَا إِنْ لَمْ تَعْمِدْ ذَلِكَ وَلَا تَرِثُهُ لِأَنَّهَا صَارَتْ قَاتِلَةً وَعَلَيْهَا الْكَفَّارَةُ وَلَوْ عَصَرَتْهُ بِرَحِمِهَا عِنْدَ خُرُوجِهِ ثُمَّ مَاتَ بَعْدَ انْفِصَالِهِ لَمْ تَضْمَنْهُ وَكَانَتْ دِيَتُهُ عَلَى الضَّارِبِ لِأَنَّ عَصْرَةَ الرَّحِمِ قَلَّ مَا يَخْلُو مِنْهَا مَوْلُودٌ وَوَالِدَةٌ
Bisa jadi kematian itu terjadi segera setelah ia gugur, atau beberapa saat setelahnya. Jika ia meninggal segera setelah gugur, maka yang tampak dari sebab kematiannya adalah karena pukulan ibunya, karena ketika hukum kegugurannya dikaitkan dengan pukulan tersebut, maka hukum kematiannya pun dikaitkan dengannya, kecuali jika setelah gugur terjadi tindak kejahatan lain terhadapnya, sehingga kematiannya dinisbatkan kepada kejahatan yang baru itu, bukan kepada pukulan yang terdahulu. Misalnya, jika setelah menjatuhkannya, ibunya kemudian menindihnya, maka kematiannya disebabkan oleh tindihan ibunya, sehingga diyatnya wajib ditanggung oleh ibunya, yang akan dipikul oleh ‘āqilah-nya jika ia tidak sengaja melakukannya, dan ia tidak mewarisinya karena ia telah menjadi pembunuh, serta ia wajib membayar kafārah. Jika ibunya memerasnya dengan rahimnya saat ia keluar, lalu ia meninggal setelah terpisah, maka ibunya tidak menanggung diyatnya, dan diyatnya menjadi tanggungan orang yang memukul, karena tekanan rahim hampir tidak bisa dihindari oleh setiap bayi yang lahir dan ibunya.
وَلَوْ جرحه جارح بعد سقوط كَانَتْ دِيَتُهُ عَلَى جَارِحِهِ دُونَ ضَارِبِ أُمِّهِ
Dan jika ada orang lain yang melukainya setelah ia terjatuh, maka diyatnya menjadi tanggungan orang yang melukainya, bukan penanggung jawab pemukul ibunya.
فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ كَالْجَارِحَيْنِ بِضَمَانِهِ مَعًا
Jika dikatakan, “Mengapa tidak seperti dua orang yang sama-sama melukai sehingga keduanya wajib menanggung ganti rugi bersama?”
قِيلَ لِأَنَّ جِنَايَةَ الضَّارِبِ سَبَبٌ وَجِنَايَةَ الْجَارِحِ مُبَاشَرَةٌ وَاجْتِمَاعَهُمَا يُوجِبُ تَعْلِيقَ الْحُكْمِ بِالْمُبَاشَرَةِ دُونَ السَّبَبِ فَلَوِ اخْتَلَفَ ضَارِبُ الْأُمِّ وَوَارِثُ الْجَنِينِ فِي مَوْتِهِ بَعْدَ سُقُوطِهِ فَادَّعَى الْوَارِثُ مَوْتَهُ بِالضَّرْبِ الْمُتَقَدِّمِ وَادَّعَى الضَّارِبُ مَوْتَهُ بِجِنَايَةٍ حَدَثَتْ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَارِثِ مَعَ يَمِينِهِ وَالضَّارِبُ ضَامِنٌ لِدِيَتِهِ لِأَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ مِنْ ضَرْبِهِ وَفِي شَكٍّ مِنْ جِنَايَةِ غَيْرِهِ فَلَوْ أَقَامَ الضَّارِبُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ مَاتَ بِجِنَايَةِ غَيْرِهِ بَرِئَ مِنْ دِيَتِهِ بِالْبَيِّنَةِ وَلَمْ يَحْكُمْ بِهَا عَلَى الْجَانِي لِأَنَّ الْوَارِثَ مُبَرِّئٌ لِلْجَانِي وَمُكَذِّبٌ لِلْبَيِّنَةِ بِمُطَالَبَةِ الضَّارِبِ فَهَذَا حُكْمُهُ إِذَا مَاتَ عَقِيبَ سُقُوطِهِ
Dikatakan bahwa karena tindak pidana yang dilakukan oleh pemukul adalah sebab, sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh peluka adalah langsung, dan berkumpulnya keduanya mengharuskan penetapan hukum pada pelaku langsung, bukan pada sebab. Maka, jika pemukul ibu dan ahli waris janin berselisih tentang kematian janin setelah ia gugur, lalu ahli waris mengklaim bahwa kematiannya disebabkan oleh pukulan yang terdahulu, dan pemukul mengklaim bahwa kematiannya disebabkan oleh tindak pidana lain yang terjadi, maka yang dipegang adalah klaim ahli waris dengan sumpahnya, dan pemukul wajib menanggung diyatnya, karena kita yakin terhadap pukulannya dan ragu terhadap tindak pidana selainnya. Namun, jika pemukul mendatangkan bukti bahwa kematiannya disebabkan oleh tindak pidana orang lain, maka ia bebas dari diyat dengan bukti tersebut, dan tidak diputuskan diyat atas pelaku lain, karena ahli waris telah membebaskan pelaku lain dan mendustakan bukti tersebut dengan menuntut pemukul. Inilah hukumnya jika janin meninggal segera setelah gugur.
فَصْلٌ
Fasal
فَأَمَّا إِذَا تَأَخَّرَ فَمَاتَ بَعْدَ يَوْمٍ فَمَا زَادَ نُظِرَ فِي حَالِهِ مُدَّةَ حَيَاتِهِ فإنه لم يزل فيها ضمنا مَرِيضًا حَتَّى مَاتَ فَالظَّاهِرُ مِنْ مَوْتِهِ أَنَّهُ بِضَرْبِهِ فَعَلَيْهِ الْغُرَّةُ
Adapun jika ia meninggal setelah berlalu satu hari atau lebih, maka dilihat keadaannya selama masa hidupnya; jika selama itu ia terus-menerus dalam keadaan sakit hingga meninggal, maka yang tampak dari sebab kematiannya adalah karena pukulan tersebut, sehingga wajib baginya membayar diyat berupa ghurrah.
وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مُدَّةُ حَيَاتِهِ سَاكِنًا سَلِيمًا فَالظَّاهِرُ مِنْ مَوْتِهِ أَنَّهُ مِنْ غَيْرِ الضَّرْبِ الْمُتَقَدِّمِ لِأَنَّهُ قَدْ يَمُوتُ مِنْ غَيْرِ ضَرْبٍ فَلَا شَيْءَ عَلَى الضَّارِبِ فَإِنِ ادَّعَى الْوَارِثُ عَلَيْهِ مَوْتَهُ مِنْ ضَرْبِهِ أَحْلَفَهُ وَبَرِئَ بَعْدَ يَمِينِهِ وَلَوِ اشْتَبَهَتْ حاله مدة حياته هل كان فيها ضمنا مَرِيضًا وَسَاكِنًا سَلِيمًا سُئِلَ عَنْهُ أَهْلُ الْخِبْرَةِ مِنْ قَوَابِلِ النِّسَاءِ لِأَنَّهُنَّ بِعِلَلِ الْمَوْلُودِ أَخْبَرُ مِنَ الرِّجَالِ فَإِنْ شَهِدْنَ بِمَرَضِهِ ضِمْنَ الضَّارِبُ دِيَتَهُ وَإِنْ شَهِدْنَ بِصِحَّتِهِ لَمْ يَضْمَنْهَا
Jenis kedua adalah jika selama hidupnya ia dalam keadaan tenang dan sehat, maka yang tampak dari kematiannya adalah bukan karena jenis (penyebab) yang telah disebutkan sebelumnya, karena bisa saja ia meninggal bukan karena pukulan, sehingga tidak ada tanggungan apa pun atas orang yang memukul. Jika ahli waris menuduh bahwa kematiannya disebabkan oleh pukulan tersebut, maka orang yang dituduh harus bersumpah, dan setelah sumpah itu ia terbebas dari tanggungan. Jika selama hidupnya keadaannya tidak jelas, apakah ia selama itu sebenarnya sakit atau sehat dan tenang, maka hal itu ditanyakan kepada para ahli, yaitu para bidan perempuan, karena mereka lebih mengetahui penyakit bayi daripada laki-laki. Jika mereka bersaksi bahwa ia memang sakit, maka orang yang memukul wajib membayar diyatnya; namun jika mereka bersaksi bahwa ia sehat, maka ia tidak menanggung diyat tersebut.
قَالَ الرَّبِيعُ وَفِيهِ قَوْلٌ آخَرُ إنَّهُ لَا تُقْبَلُ فِيهِ إِلَّا شَهَادَةُ الرِّجَالِ لِأَنَّهُ قَدْ تَعْرِفُهُ مِنْهُمْ مَنْ يَعْرِفُهُ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ أَثْبَتَهُ قَوْلًا لِلشَّافِعِيِّ وَمِنْهُمْ مَنْ أَنْكَرَهُ وَنَسَبَهُ إِلَى الرَّبِيعِ فَلَوِ ادَّعَى الْوَارِثُ مَرَضَهُ فِي مُدَّةِ حَيَاتِهِ ليَكُون الضَّارِبُ ضَامِنًا لِدِيَتِهِ وَادَّعَى الضَّارِبُ أَنَّهُ كَانَ صَحِيحًا فِيهَا لِيُبَرَّأَ مِنْ دِيَتِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الضَّارِبِ مَعَ يَمِينِهِ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ ذِمَّتِهِ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْوَارِثُ الْبَيِّنَةَ بِمَرَضِهِ فَيَحْكُمُ بَعْدَ إِقَامَتِهَا بمرضه ويصير القول قول الوارث مع يمنيه أَنَّهُ مَاتَ مِنَ الضَّرْبِ وَيَضْمَنُ الضَّارِبُ دِيَتَهُ وَيَجُوزُ أَنْ يَشْهَدَ بِمَرَضِهِ النِّسَاءُ الْمُنْفَرِدَاتُ عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ؛ لِأَنَّهَا حَالَةٌ يَشْهَدُهَا النِّسَاءُ وَهُنَّ بِمَرَضِ الْمَوْلُودِ أَعْرَفُ مِنَ الرِّجَالِ وَفِيهِ تَخْرِيجُ قَوْلٍ آخَرَ لِلرَّبِيعِ إنَّهُ لَا يُسْمَعُ فِيهِ إِلَّا شَهَادَةُ الرِّجَالِ إِمَّا حِكَايَةً عَنِ الشَّافِعِيِّ أَوْ تَخْرِيجًا عَنْ نَفْسِهِ عَلَى ما قدمناه
Ar-Rabi‘ berkata: Ada pendapat lain bahwa dalam hal ini hanya diterima kesaksian laki-laki, karena bisa jadi di antara mereka ada yang mengenalnya. Di antara para sahabat kami ada yang menetapkan pendapat ini sebagai pendapat asy-Syafi‘i, dan ada pula yang mengingkarinya serta menisbatkannya kepada ar-Rabi‘. Jika ahli waris mengklaim bahwa si mayit sakit selama masa hidupnya agar orang yang memukul menjadi penanggung diyatnya, lalu si pemukul mengklaim bahwa ia sehat selama masa itu agar terbebas dari diyat, maka pendapat yang diterima adalah pendapat si pemukul dengan sumpahnya, karena asalnya ia bebas dari tanggungan dan tidak ada kewajiban diyat atasnya kecuali ahli waris mendatangkan bukti atas sakitnya. Jika bukti telah didatangkan, maka diputuskan bahwa ia memang sakit, dan setelah itu pendapat yang diterima adalah pendapat ahli waris dengan sumpahnya bahwa kematian terjadi karena pukulan, sehingga si pemukul wajib menanggung diyatnya. Diperbolehkan pula perempuan-perempuan saja yang bersaksi tentang sakitnya, menurut pendapat yang zahir dari mazhab asy-Syafi‘i, karena ini adalah keadaan yang biasanya disaksikan oleh perempuan, dan mereka lebih mengetahui tentang sakitnya bayi daripada laki-laki. Namun, ada pula pendapat lain yang dinukil dari ar-Rabi‘ bahwa dalam hal ini hanya diterima kesaksian laki-laki, baik sebagai riwayat dari asy-Syafi‘i maupun sebagai pendapat ar-Rabi‘ sendiri sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya.
فَصْلٌ
Fashl (Bagian)
وَلَوِ اخْتَلَفَا فِي اسْتِهْلَالِ الْمَوْلُودِ فَادَّعَاهُ الْوَارِثُ وَأَنْكَرَهُ الضَّارِبُ جَازَ أَنْ يُقْبَلَ فِيهِ شَهَادَةُ النِّسَاءِ الْمُنْفَرِدَاتِ كَمَا تُقْبَلُ فِي الْوِلَادَةِ لِأَنَّهَا حَالٌ لَا يَكَادُ يَحْضُرُهَا الرِّجَالُ
Jika terjadi perselisihan tentang apakah bayi yang lahir telah mengeluarkan suara tangisan (istihlal), lalu ahli waris mengklaimnya sementara pelaku pemukulan menyangkalnya, maka boleh diterima kesaksian perempuan-perempuan saja dalam hal ini, sebagaimana kesaksian mereka diterima dalam perkara kelahiran, karena ini adalah keadaan yang biasanya tidak dihadiri oleh laki-laki.
فَإِنْ شَهِدْنَ بِاسْتِهْلَالِهِ وَحَيَاتِهِ قَضَى عَلَى الضَّارِبِ بِدِيَتِهِ تَتَحَمَّلُهَا عَنْهُ الْعَاقِلَةُ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ إِنْ كَانَ ذَكَرًا أَوْ خَمْسُونَ مِنَ الْإِبِلِ إِنْ كَانَ أُنْثَى فَلَوْ أَقَامَ الضَّارِبُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ سَقَطَ مَيِّتًا وَلَمْ يَسْتَهِلَّ حُكِمَ بِبَيِّنَةِ الِاسْتِهْلَالِ لِأَنَّهَا تُثْبِتُ مَا نَفَاهُ غَيْرُهَا وَقَدْ يَجُوزُ أن يَقِفَ عَلَى الِاسْتِهْلَالِ بَعْضُ الْحَاضِرِينَ دُونَ بَعْضٍ فَغُلِّبَ حُكْمُ الْإِثْبَاتِ عَلَى النَّفْيِ وَإِنْ عُدِمَتِ الْبَيِّنَةُ لَمْ يَخْلُ حَالُ الضَّارِبِ وَعَاقِلَتِهِ عِنْدَ التَّنَاكُرِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Jika para saksi memberikan kesaksian bahwa bayi itu telah mengeluarkan suara tangis pertama dan hidup, maka hakim memutuskan bahwa pelaku pemukulan wajib membayar diyat, yang ditanggung oleh ‘āqilah-nya, yaitu seratus ekor unta jika bayi itu laki-laki, atau lima puluh ekor unta jika perempuan. Namun, jika pelaku pemukulan menghadirkan bukti bahwa bayi itu lahir dalam keadaan sudah meninggal dan tidak mengeluarkan suara tangis pertama, maka keputusan diambil berdasarkan bukti adanya suara tangis, karena bukti tersebut menetapkan sesuatu yang disangkal oleh bukti lainnya. Bisa jadi sebagian orang yang hadir menyaksikan suara tangis itu, sementara sebagian lainnya tidak, sehingga hukum penetapan lebih diutamakan daripada penafian. Jika tidak ada bukti, maka keadaan pelaku pemukulan dan ‘āqilah-nya ketika terjadi saling menyangkal tidak lepas dari tiga kemungkinan.
أَحَدُهَا أَنْ يُنْكِرَ الضارب والعاقلة معاً حياة الجنين ويدعوا أَنَّهُ سَقَطَ مَيِّتًا وَقَدِ ادَّعَى الْوَارِثُ حَيَاتَهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الضَّارِبِ وَعَاقِلَتِهِ مَعَ أَيْمَانِهِمْ أَنَّهُ سَقَطَ مَيِّتًا؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ وَأَنَّهُ لَمْ يَسْتَقِرَّ لِلْجَنِينِ حُكْمُ الْحَيَاةِ فَإِذَا حَلَفُوا وَجَبَتِ الْغُرَّةُ دُونَ الدِّيَةِ
Salah satunya adalah apabila pihak yang memukul dan ‘āqilah bersama-sama mengingkari bahwa janin itu hidup dan mengklaim bahwa ia gugur dalam keadaan mati, sementara ahli waris mengklaim bahwa janin itu hidup, maka yang dipegang adalah pernyataan pihak yang memukul dan ‘āqilah beserta sumpah mereka bahwa janin itu gugur dalam keadaan mati; karena pada dasarnya tanggungan mereka bebas dari kewajiban dan belum tetap bagi janin hukum kehidupan. Maka jika mereka telah bersumpah, wajib dibayarkan ghurrah tanpa diyat.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَعْتَرِفَ الْعَاقِلَةُ بِحَيَاةِ الْجَنِينِ وَيُنْكِرَهَا الضَّارِبُ فَتَتَحَمَّلُ الْعَاقِلَةُ دِيَةً كَامِلَةً وَلَا يَمِينَ عَلَى الضَّارِبِ لِأَنَّ وُجُوبَ الدِّيَةِ عَلَى الْعَاقِلَةِ الْمُعْتَرِفَةِ بِهَا
Bagian kedua adalah apabila ‘āqilah mengakui kehidupan janin, sedangkan pelaku pemukulan mengingkarinya, maka ‘āqilah menanggung diyat secara penuh dan tidak ada sumpah atas pelaku pemukulan, karena kewajiban diyat itu atas ‘āqilah yang mengakuinya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَعْتَرِفَ الضَّارِبُ بِحَيَاةِ الْجَنِينِ وَتُنْكِرُهَا الْعَاقِلَةُ فَلَا تَلْزَمُ الْعَاقِلَةَ مَا اعْتَرَفَ بِهِ الْجَانِي لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا تَحْمِلُ الْعَاقِلَةُ عَمْدًا وَلَا عَبْدًا وَلَا صُلْحًا وَلَا اعْتِرَافًا وَإِذْ كَانَ كَذَلِكَ تَوَجَّهَتِ اليمين علة الْعَاقِلَةِ يَسْتَحِقُّهَا الضَّارِبُ دُونَ وَارِثِ الْجَنِينِ لِأَنَّهُ يَصِلُ إِلَى الدِّيَةِ مِنَ الضَّارِبِ وَإِنَّمَا سَقَطَ بِإِنْكَارِهِمْ تَحَمُّلَّهَا مِنَ الضَّارِبِ فَلِذَلِكَ كَانَ هُوَ الْمُسْتَحِقَّ لِإِحْلَافِ الْعَاقِلَةِ دُونَ الْوَارِثِ فَإِذَا حَلَفُوا وَجَبَتْ عَلَيْهِمِ الْغُرَّةُ وَقِيمَتُهَا خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ هِيَ نِصْفُ عُشْرِ دِيَةِ الذَّكَرِ وَعُشْرُ دِيَةِ الْأُنْثَى وَتَحَمَّلَ الضَّارِبُ بَاقِيَ الدِّيَةِ فَإِنْ كَانَ الْجَنِينُ ذَكَرًا لَزِمَهُ تِسْعَةُ أَعْشَارِ دِيَتِهِ وَنِصْفُ عُشْرِهَا وَهُوَ خَمْسَةٌ وَتِسْعُونَ بَعِيرًا وَإِنْ كَانَ أُنْثَى لَزِمَهُ تِسْعَةُ أَعْشَارِ دِيَتِهَا وَهُوَ خَمْسَةٌ وَأَرْبَعُونَ بَعِيرًا وَعَلَى قِيَاسِ هَذَا مَا عَدَاهُ
Bagian ketiga adalah apabila pelaku pemukulan mengakui bahwa janin itu hidup, sedangkan ‘āqilah (kelompok penanggung diyat) mengingkarinya. Maka, ‘āqilah tidak dibebani dengan apa yang diakui oleh pelaku, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “’Āqilah tidak menanggung diyat karena pembunuhan sengaja, tidak pula karena budak, tidak pula karena sulh (perdamaian), dan tidak pula karena pengakuan.” Dengan demikian, sumpah diarahkan kepada ‘āqilah, dan yang berhak memintanya adalah pelaku pemukulan, bukan ahli waris janin, karena diyat itu berasal dari pelaku pemukulan, dan gugurnya kewajiban menanggung diyat oleh ‘āqilah adalah karena pengingkaran mereka, sehingga pelaku pemukulanlah yang berhak meminta sumpah dari ‘āqilah, bukan ahli waris. Jika mereka (‘āqilah) bersumpah, maka wajib atas mereka membayar al-ghurrah, yaitu nilainya lima ekor unta, yang merupakan setengah sepersepuluh dari diyat laki-laki dan sepersepuluh dari diyat perempuan, sedangkan pelaku pemukulan menanggung sisa diyat. Jika janin itu laki-laki, maka pelaku wajib membayar sembilan persepuluh dari diyatnya dan setengah sepersepuluhnya, yaitu sembilan puluh lima ekor unta. Jika janin itu perempuan, maka pelaku wajib membayar sembilan persepuluh dari diyatnya, yaitu empat puluh lima ekor unta. Dan demikian pula perhitungannya untuk selain itu.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ خَرَجَ حَيًّا لِأَقَلَّ مِنْ سَتَةِ أَشْهُرٍ فَكَانَ فِي حَالٍ لَمْ يَتِمَّ لِمِثْلِهِ حَيَاةٌ قَطُّ فَفِيهِ الدِّيَةُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ فِي حَالٍ تَتِمُّ فِيهِ لِأَحَدٍ مِنَ الْأَجِنَّةِ حَيَاةٌ فَفِيهِ الدِّيَةُ قَالَ الْمُزَنِيُّ هَذَا سَقْطٌ مِنَ الْكَاتِبِ عِنْدِي إِذَا أَوْجَبَ الدِّيَةَ لِأَنَّهُ بِحَالٍ تَتِمُّ لِمِثْلِهِ الْحَيَاةُ أَنْ تَسْقُطَ إِذَا كَانَ بِحَالٍ لَا تَتِمُّ لمِثْلِهِ حَيَاةٌ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika (janin) lahir hidup kurang dari enam bulan, lalu dalam keadaan di mana belum pernah ada yang sepertinya hidup sama sekali, maka baginya diyat (denda) sempurna. Namun jika dalam keadaan di mana ada kemungkinan hidup bagi salah satu janin, maka baginya diyat. Al-Muzani berkata: ‘Menurutku, ini adalah kekeliruan penulis, jika ia mewajibkan diyat karena dalam keadaan di mana kehidupan sempurna mungkin terjadi bagi yang semisalnya, maka seharusnya gugur (diyat) jika dalam keadaan di mana kehidupan tidak mungkin sempurna bagi yang semisalnya.’”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي امْرَأَةٍ أَلْقَتْ مِنَ الضَّرْبِ جَنِينًا مُتَحَرِّكًا فَحَرَكَتُهُ ضَرْبَانِ حَرَكَةُ اخْتِلَاجٍ وَحَرَكَةُ حَيَاةٍ فَحَرَكَةُ الِاخْتِلَاجِ لَا تَجْرِي عَلَيْهَا أَحْكَامُ الْحَيَاةِ وَتَجِبُ فِيهِ الْغُرَّةُ دُونَ الدِّيَةِ وَحَرَكَةُ الْحَيَاةِ تَجْرِي عَلَيْهَا أَحْكَامُ الْحَيَاةِ وَيَجِبُ فِيهَا الدِّيَةُ
Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seorang wanita yang karena pukulan melahirkan janin yang masih bergerak. Gerakan janin tersebut ada dua macam: gerakan kejang dan gerakan hidup. Gerakan kejang tidak berlaku padanya hukum-hukum kehidupan, sehingga yang wajib adalah membayar al-ghurrah tanpa diyat. Sedangkan gerakan hidup, berlaku padanya hukum-hukum kehidupan dan wajib membayar diyat.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ حَرَكَةِ الِاخْتِلَاجِ وَحَرَكَةُ الْحَيَاةِ أَنَّ حَرَكَةَ الِاخْتِلَاجِ سَرِيعَةٌ تَتَكَرَّرُ كَالرَّعْشَةِ فِي الْيَدِ وَتَكُونُ فِي أَعْضَاءِ الْحَرَكَةِ وَغَيْرِهَا
Perbedaan antara gerakan ikhtilāj dan gerakan kehidupan adalah bahwa gerakan ikhtilāj itu cepat dan berulang seperti gemetar pada tangan, dan dapat terjadi pada anggota tubuh yang bisa bergerak maupun yang tidak.
وَحَرَكَةُ الْحَيَاةِ بَطِيئَةٌ لَا يُسْرِعُ تَكْرَارُهَا وَتَخْتَصُّ بِأَعْضَاءِ الْحَرَكَةِ دُونَ غَيْرِهَا فَإِذَا كَانَ فِي الْجَنِينِ حَرَكَةُ حَيَاةٍ كَمُلَتْ فِيهِ دِيَةُ الْحَيِّ وَجَرَى عَلَيْهِ فِي الْمِيرَاثِ حُكْمُ الْحَيَاةِ سَوَاءٌ أَلْقَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا فِي زَمَانٍ لَا تَتِمُّ حَيَاةُ مَثَلِهِ
Gerak kehidupan itu lambat, tidak cepat berulang, dan khusus terjadi pada anggota tubuh yang bergerak saja, tidak pada selainnya. Maka jika pada janin terdapat gerak kehidupan, maka berlaku baginya diyat orang hidup secara sempurna, dan dalam hal warisan pun berlaku hukum kehidupan atasnya, baik ia dilahirkan setelah enam bulan atau lebih, pada masa yang biasanya kehidupan seperti itu belum sempurna.
فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ اعْتَرَضَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَنَسَبَ الْكَاتِبَ إِلَى الْغَلَطِ وَقَالَ إِذَا أَوْجَبَ الشَّافِعِيُّ فِيهِ الدِّيَةَ إِذَا كَانَ فِي حَالٍ تَتِمُّ لِمَثَلِهِ حَيَاةٌ اقْتَضَى أَنْ لَا تَجِبَ فِيهِ الدِّيَةُ إِنْ كَانَ فِي حَالٍ لَا تَتِمُّ لِمَثَلِهِ حَيَاةٌ وَلَيْسَ يَخْلُو اعْتِرَاضُهُ هَذَا مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إما أن يكون مقصوراً على تغليظ الْكَاتِبِ وَسَهْوِهِ فِي النَّقْلِ وَأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ أَفْصَحَ بِذَلِكَ فِي كَثِيرٍ مِنْ كُتُبِهِ وَلَيْسَ بِمُنْكرٍ أَنْ يَذْكُرَ قِسْمَيْنِ وَيُجِيبَ عَنْهُمَا بِجَوَابٍ وَاحِدٍ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي مَعْنَاهُ
Adapun al-Muzani, ia mengajukan keberatan dalam masalah ini dan menisbatkan kesalahan kepada penulis, serta berkata: Jika al-Syafi‘i mewajibkan diyat dalam keadaan di mana kehidupan sempurna mungkin terjadi pada orang seperti itu, maka hal itu menuntut agar diyat tidak wajib jika dalam keadaan di mana kehidupan sempurna tidak mungkin terjadi pada orang seperti itu. Keberatannya ini tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi hanya terbatas pada penegasan bahwa penulis telah berlebihan dan lalai dalam menukil, dan bahwa al-Syafi‘i telah menjelaskan hal itu dalam banyak kitabnya. Tidaklah aneh jika beliau menyebutkan dua bagian dan memberikan satu jawaban untuk keduanya karena keduanya memiliki makna yang sama.
وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مُعْتَرِضًا بِذَلِكَ فِي الْجَوَابِ وَيَرَى أَنَّهُ إِذَا لَمْ تَتِمَّ لِمَثَلِهِ حَيَاةٌ لَمْ تَجِبْ فِيهِ الدِّيَةُ فَهُوَ خَطَأٌ مِنْهُ فِيمَا خَالَفَ فِيهِ مَذْهَبَ صَاحِبِهِ مِنْ وَجْهَيْنِ
Atau bisa jadi ia mengajukan keberatan dengan hal itu dalam jawabannya, dan berpendapat bahwa jika makhluk seperti itu tidak sempurna kehidupannya, maka diyat tidak wajib atasnya. Ini adalah kesalahan darinya dalam menyelisihi mazhab rekannya dari dua sisi.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ اسْتَوَى فِي الْكَبِيرِ حَالُ مَا تَطُولُ حَيَاتُهُ بِالصِّحَّةِ وحال من أشفا عَلَى الْمَوْتِ بِالْمَرَضِ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ وَالْقَوَدِ لِاخْتِصَاصِهِ بِإِفَاتَةِ حَيَاةٍ مَحْفُوظَةِ الْحُرْمَةِ فِي قَلِيلِ الزَّمَانِ وَكَثِيرِهِ وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ حَالُ الْجَنِينِ فِيمَنْ تَتِمُّ حَيَاتُهُ أَوْ لَا تَتِمُّ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَدْ أَفَاتَ حَيَاةً وَجَبَ حِفْظُ حُرْمَتِهَا فِي قَلِيلِ الزَّمَانِ وَكَثِيرِهِ
Salah satunya adalah bahwa keadaan orang dewasa yang masa hidupnya masih panjang dalam keadaan sehat, dan keadaan orang yang hampir meninggal karena sakit, sama saja dalam kewajiban diyat dan qishash, karena keduanya sama-sama memiliki kehidupan yang harus dijaga kehormatannya, baik dalam waktu yang singkat maupun lama. Maka, seharusnya keadaan janin, baik yang kehidupannya akan sempurna maupun tidak, juga sama dalam kewajiban diyat, karena telah hilang suatu kehidupan yang wajib dijaga kehormatannya, baik dalam waktu yang singkat maupun lama.
وَالثَّانِي أَنَّ وُجُوبَ الْغُرَّةِ فِي الْجَنِينِ إِنَّمَا كَانَتْ لِأَنَّهُ لَمْ يُعْلَمْ حَيَاتُهُ عِنْدَ الْجِنَايَةِ وَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَيِّتًا قَبْلَهَا وَإِذَا سَقَطَ حَيًّا تحققنا وجوب عِنْدَ الْجِنَايَةِ فَاسْتَوَى حُكْمُ قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا
Yang kedua, bahwa kewajiban membayar ghurrah pada kasus janin itu karena tidak diketahui apakah janin tersebut hidup saat terjadinya tindak pidana, dan mungkin saja ia sudah mati sebelumnya. Namun, jika janin itu lahir dalam keadaan hidup, maka kita memastikan adanya kewajiban pada saat terjadinya tindak pidana, sehingga hukum antara sedikit dan banyaknya sama saja.
مَسْأَلَةٌ
Masalah
قال المزني رضي الله عنه وقد قال لَوْ كَانَ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَقَتَلَهُ رَجُلٌ عَمْدًا فَأَرَادَ وَرَثَتُهُ الْقَوَدَ فَإِنْ كَانَ مِثْلُهُ يَعِيشُ الْيَوْمَ أَوِ الْيَوْمَيْنِ فَفِيهِ الْقَوَدُ ثُمَّ سَكَتَ قَالَ الْمُزَنِيُّ كَأَنَّهُ يَقُولُ إِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَهُوَ فِي مَعْنَى الْمَذْبُوحِ يقطع باثنين أو المجروح تخرج منه حشوته فتضرب عنقه فلا قود على الثاني ولا دية وفي هذا عندي دليل وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ
Al-Muzani raḍiyallāhu ‘anhu berkata: Ia berkata, “Jika (bayi) kurang dari enam bulan lalu seseorang membunuhnya dengan sengaja, kemudian para ahli warisnya menghendaki qishāsh, maka jika bayi seperti itu biasanya dapat hidup sehari atau dua hari, maka berlaku qishāsh atasnya.” Kemudian beliau diam. Al-Muzani berkata, “Seakan-akan beliau mengatakan, jika tidak demikian maka ia dalam makna seperti hewan yang disembelih yang dipotong menjadi dua atau orang yang terluka hingga isi perutnya keluar lalu lehernya dipenggal, maka tidak ada qishāsh atas yang kedua dan tidak ada diyat. Dalam hal ini menurutku terdapat dalil. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ أَوْرَدَهَا الْمُزَنِيُّ احْتِجَاجًا لِنَفْسِهِ وَهِيَ حِجَاجٌ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الشافعي قَدْ أَوْجَبَ الْقَوَدَ وَالدِّيَةَ فِي الْمَقْتُولِ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ إِذَا كَانَتْ فِيهِ حَيَاةٌ قَوِيَّةٌ وَإِنْ لَمْ تَتِمَّ وَلَمْ يَدُمْ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَعِيشَ فِي جَارِي الْعَادَةِ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَبَطَلَ بِهِ مَا ظَنَّهُ الْمُزَنِيُّ مِنْ غَلَطِ النَّاقِلِ وَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مِنْ مُخَالَفَةِ الشَّافِعِيِّ ثُمَّ نَشْرَحُ الْمَذْهَبَ فيها فنقول
Al-Mawardi berkata, “Ini adalah sebuah masalah yang dikemukakan oleh al-Muzani sebagai argumen untuk dirinya sendiri, padahal sebenarnya itu adalah hujjah atas dirinya; karena asy-Syafi‘i telah mewajibkan qishāsh dan diyat pada janin yang dibunuh ketika usianya kurang dari enam bulan jika terdapat tanda-tanda kehidupan yang kuat padanya, meskipun belum sempurna dan tidak berlangsung lama; karena secara kebiasaan tidak mungkin hidup kurang dari enam bulan. Maka, batalah apa yang disangka oleh al-Muzani dari kesalahan periwayat dan apa yang ia tempuh berupa penyelisihan terhadap asy-Syafi‘i. Kemudian, kami akan menjelaskan mazhab dalam masalah ini, dan kami katakan…”
لا تخلوا حَيَاةُ الْمُلْقَى لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ أَنْ تَكُونَ قَوِيَّةً أَوْ ضَعِيفَةً فَإِنْ كَانَتْ قَوِيَّةً يَعِيشُ مِنْهَا الْيَوْمَ وَالْيَوْمَيْنِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ غَيْرِهِ مِنَ الْأَحْيَاءِ إِنْ قَتَلَهُ الْقَاتِلُ عَمْدًا فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ وَإِنْ قَتَلَهُ خَطَأً فَعَلَيْهِ الدِّيَةُ وَإِذَا ضَمِنَهُ الثَّانِي بِقَوَدٍ أَوْ دِيَةٍ سَقَطَ ضمانه عن الضَّارِبِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ غُرَّةٌ وَلَا دِيَةٌ وَكَانَ مُخْتَصًّا بِضَرْبِ الْأُمِّ وَإِجْهَاضِهَا فَلَا يَلْزَمُهُ أَرْشُ ضَرْبِهَا إِلَّا أَنْ تُؤَثِّرَ فِي جَسَدِهَا وَفِي وُجُوبِ الْحُكُومَةِ عَلَيْهِ فِي إِجْهَاضِهَا قَوْلَانِ تَقَدَّمَا
Tidak lepas kehidupan janin yang diperkirakan kurang dari enam bulan dari kemungkinan kuat atau lemah. Jika kehidupannya kuat sehingga ia dapat hidup sehari atau dua hari, maka hukumnya sama dengan makhluk hidup lainnya: jika seseorang membunuhnya dengan sengaja, maka pelaku dikenai qishāsh; jika membunuhnya karena tidak sengaja, maka wajib membayar diyat. Jika orang kedua telah menanggungnya dengan qishāsh atau diyat, maka tanggungan itu gugur dari pelaku pemukul, sehingga ia tidak wajib membayar ghurrah maupun diyat. Kasus ini khusus pada pemukulan ibu dan kegugurannya, sehingga pelaku tidak wajib membayar ganti rugi atas pemukulan kecuali jika berpengaruh pada tubuh ibunya. Dalam kewajiban hukuman (al-hukūmah) atas pelaku karena menyebabkan keguguran, terdapat dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.
فَإِنْ كَانَتْ حَيَاةُ الْجَنِينِ ضَعِيفَةً لَا يَعِيشُ بِهَا أَكْثَرَ مِنْ سَاعَةٍ أَوْ بَعْضِهَا فَهُوَ فِي حُكْمِ التَّالِفِ بِالضَّرْبِ الْمُتَقَدِّمِ دُونَ الْقَتْلِ الْحَادِثِ فَتَكُونُ دِيَتُهُ عَلَى الضَّارِبِ وَلَا يَلْزَمُهُ فِيهِ قَوَدٌ بِحَالٍ وَلَا شَيْءَ عَلَى قَاتِلِهِ وَيَكُونُ فِي حُكْمِ مَنْ قَطَعَ مَذْبُوحًا بِاثْنَيْنِ أَوْ ضَرَبَ عُنُقَ مَبْقُورِ الْبَطْنِ فَخَرَجَ الْحَشْوَةُ فَيَكُونُ الْأَوَّلُ قَاتِلَهُ دُونَ الثَّانِي فَيُعَزَّرُ وَلَا يَلْزَمُهُ غُرْمٌ وَلَا كَفَّارَةٌ فَلَوْ وَقَعَ التَّنَازُعُ فِي حَيَاتِهِ عنْه قَتْل الثَّانِي هَلْ كَانَتْ قَوِيَّةً يَضْمَنُهَا الثَّانِي أَوْ ضَعِيفَةً يَضْمَنُهَا الْأَوَّلُ فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ الثَّانِي مَعَ يَمِينِهِ وَالضَّمَانُ عَلَى الْأَوَّلِ دُونَهُ لِأَنَّنَا عَلَى يَقِينٍ من ضمان الأول بضرب وفي شك من ضربان الثَّانِي بِالْقَتْلِ وَلِأَنَّ الْأَصْلَ ضَعْفُ الْحَيَاةِ حَتَّى يعلم قوتها
Jika kehidupan janin itu lemah sehingga ia tidak dapat hidup lebih dari satu jam atau sebagian darinya, maka ia dihukumi sebagai yang telah binasa karena pukulan yang terdahulu, bukan karena pembunuhan yang baru terjadi. Maka diyatnya menjadi tanggungan orang yang memukul, dan tidak wajib atasnya qishāsh dalam keadaan apa pun, serta tidak ada kewajiban apa pun atas orang yang membunuhnya. Keadaannya seperti orang yang memotong hewan yang telah disembelih oleh dua orang, atau orang yang memukul leher hewan yang perutnya telah dibelah sehingga isi perutnya keluar; maka yang pertama adalah pembunuhnya, bukan yang kedua. Maka yang kedua hanya dikenai ta‘zīr dan tidak wajib menanggung ganti rugi maupun kaffārah. Jika terjadi perselisihan mengenai kehidupan janin itu pada saat pembunuhan kedua, apakah kehidupannya kuat sehingga menjadi tanggungan yang kedua, atau lemah sehingga menjadi tanggungan yang pertama, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan orang kedua dengan sumpahnya, dan tanggungan diyat tetap pada orang pertama, bukan pada yang kedua. Sebab, kita yakin bahwa yang pertama wajib menanggung akibat pukulannya, sedangkan kita ragu apakah pukulan kedua menyebabkan kematian. Selain itu, asalnya adalah kehidupan janin itu lemah sampai diketahui kekuatannya.
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَلَوْ ضَرَبَهَا فَأَلْقَتْ يَدًا وَمَاتَتْ ضَمِنَ الْأُمَّ وَالْجَنِينَ لِأَنِّي قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ قَدْ جَنَى عَلَى الْجَنِينِ
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika seseorang memukul seorang wanita hamil sehingga ia kehilangan satu tangan dan kemudian meninggal, maka ia wajib menanggung diyat ibu dan janin, karena aku telah mengetahui bahwa ia telah melakukan kejahatan terhadap janin.”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا أَلْقَتْ مِنَ الضَّرْبَةِ يَدًا وَمَاتَتْ ضَمِنَ الْأُمَّ وَالْجَنِينَ ضَمِنَ دِيَةَ نَفْسِهَا وَغُرَّةَ جَنِينِهَا وَإِنْ لَمْ تُلْقِهِ لِأَنَّ إِلْقَاءَ يَدِهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ فِي بَطْنِهَا جَنِينًا؛ لِأَنَّ الْيَدَ لَا تُخْلَقُ عَلَى انْفِرَادٍ حَتَّى تَكُونَ مِنْ جَسَدٍ فَلَوْ أَلْقَتْ بَعْدَ الْيَدِ جَنِينًا نُظِرَ فِيهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ يَدٌ فَتِلْكَ الْيَدُ مِنْهُ فَتَجِبُ فِيهِ غُرَّةٌ وَاحِدَةٌ لِأَنَّهُ جَنِينٌ وَاحِدٌ إِنْ كَانَ الْجَنِينُ كَامِلَ الْيَدَيْنِ فَتِلْكَ الْيَدُ مِنْ جَنِينٍ آخَرَ فَيَلْزَمُهُ غُرْمَانِ وَكَفَّارَتَانِ لِأَنَّهُمَا جَنِينَانِ
Al-Mawardi berkata: Jika akibat pukulan seorang wanita melahirkan sebuah tangan lalu ia meninggal, maka pelaku wajib membayar diyat ibu dan janin, yaitu diyat penuh untuk dirinya dan ghurrah untuk janinnya, meskipun janin belum dilahirkan seluruhnya. Sebab, keluarnya tangan menjadi bukti bahwa di dalam perutnya ada janin, karena tangan tidak mungkin tercipta sendiri tanpa ada tubuh. Jika setelah tangan itu keluar, kemudian keluar janin, maka perlu diperiksa: jika janin itu tidak memiliki tangan, maka tangan yang keluar itu adalah bagian darinya, sehingga hanya wajib membayar satu ghurrah karena itu satu janin. Namun jika janin itu memiliki dua tangan yang sempurna, maka tangan yang keluar itu berasal dari janin lain, sehingga pelaku wajib membayar dua diyat dan dua kafarat, karena berarti ada dua janin.
فَإِنْ قِيلَ فَيَجُوزُ أَنْ تَكُونَ تِلْكَ الْيَدُ يَدًا زَائِدَةً قِيلَ مَحَلُّ الْأَعْضَاءِ الزَّائِدَةِ مُخَالِفٌ لِمَحَلِّ الْأَعْضَاءِ الَّتِي مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ فَإِنْ كَانَ لَهَا فِي الْجَنِينِ أَثَرُ الزِّيَادَةِ فَلَيْسَ فِيهِ إِلَّا غُرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِيهِ أَثَرُ الزِّيَادَةِ فَفِيهِ غُرْمَانِ وَإِنِ احْتَمَلَ الْأَمْرَيْنِ فَفِيهِ غُرَّةٌ وَاحِدَةٌ لِأَنَّهَا يَقِينٌ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي إِلْقَاءِ الْيَدِ فَإِنْ أَلْقَتْهَا قَبْلَ مَوْتِهَا وَرِثَتْ مِنَ الْغُرَّةِ وَإِنْ أَلْقَتْهَا بَعْدَ مَوْتِهَا لَمْ تَرِثْ مِنْهَا وَلَوْ أَلْقَتِ الْيَدَ قَبْلَ مَوْتِهَا وَالْجَنِينَ بَعْدَ مَوْتِهَا فَإِنْ كَانَتِ اليدين مِنَ الْجَنِينِ فَفِيهِ غُرَّةٌ وَاحِدَةٌ تَرِثُ مِنْهَا وَإِنْ كَانَتْ مِنْ غَيْرِهِ فَفِيهَا غُرَّتَانِ تَرِثُ مِنَ الْأُولَى وَلَا تَرِثُ مِنَ الثَّانِيَةِ
Jika dikatakan, “Mungkin saja tangan itu adalah tangan tambahan,” maka dijawab: Letak anggota tubuh tambahan berbeda dengan letak anggota tubuh yang merupakan bagian asli dari penciptaan. Jika pada janin terdapat bekas tambahan anggota tubuh, maka hanya dikenakan satu diyat (gurrat) saja. Jika tidak terdapat bekas tambahan, maka dikenakan dua diyat. Jika memungkinkan kedua kemungkinan tersebut, maka dikenakan satu diyat saja karena itu yang pasti. Kemudian dilihat dalam hal pembuangan tangan tersebut: jika tangan itu dibuang sebelum kematiannya, maka ia mewarisi dari diyat; jika dibuang setelah kematiannya, maka ia tidak mewarisi darinya. Jika tangan dibuang sebelum kematiannya dan janin dibuang setelah kematiannya, maka jika kedua tangan itu berasal dari janin, maka hanya dikenakan satu diyat dan ia mewarisi darinya. Jika berasal dari selain janin, maka dikenakan dua diyat; ia mewarisi dari yang pertama dan tidak mewarisi dari yang kedua.
فَصْلٌ
Fasal
ولو عاشت المضروبة بعدم إِلْقَاءِ الْيَدِ وَلَمْ تُلْقِ بَعْدَ الْيَدِ جَنِينًا لَمْ يَضْمَنِ الضَّارِبُ إِلَّا يَدَ جَنِينٍ بِنِصْفِ الْغُرَّةِ؛ لِأَنَّ يَدَ الْحَيِّ مَضْمُونَةٌ بِنِصْفِ دِيَتِهِ فَضُمِنَتْ يَدُ الْجَنِينِ بِنِصْفِ غُرَّتِهِ وَلَا يُضْمَنُ بَاقِي الْجَنِينِ لِأَنَّنَا لَمْ نَتَحَقَّقْ تَلَفَهُ
Jika perempuan yang dipukul itu tetap hidup tanpa terlepasnya tangan janin, dan setelah itu ia tidak melahirkan janin, maka orang yang memukul hanya wajib menanggung diyat tangan janin sebesar setengah ghirrah; karena tangan orang hidup dijamin dengan setengah diyatnya, maka tangan janin dijamin dengan setengah ghirrah-nya. Adapun bagian janin yang lain tidak dijamin, karena kita tidak memastikan kerusakannya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا اصْطَدَمَتِ امْرَأَتَانِ حَامِلَتَانِ فَمَاتَتَا وَأَلْقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا جَنِينًا مَيِّتًا فَمَوْتُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَإِلْقَاءُ جَنِينِهَا هُوَ بِصَدْمَتِهَا وَصَدْمَةِ صَاحِبَتِهَا فَعَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا نِصْفُ دِيَةِ صَاحِبَتِهَا وَنِصْفُهَا الْبَاقِي هَدَرٌ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ جِنَايَتِهَا عَلَى نَفْسِهَا فَأَمَّا جَنينَاهُمَا فَجَنِينُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مَضْمُونٌ عَلَى أُمِّهِ وَعَلَى صَاحِبَتِهَا فَيَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا نِصْفُ غرة في جَنِينِهَا وَنِصْفُ غُرَّةٍ فِي جَنِينِ صَاحِبَتِهَا فَتَصِيرُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مُلْتَزِمَةً لِغُرَّةٍ كَامِلَةٍ وَلَا يَنْهَدِرُ شَيْءٌ مِنْ غُرَّةِ الْجَنِينِ وَإِنِ انْهَدَرَ النصف من دية الأمين يجب عليها ثماني كفارات لأنهما قد اشتركا فِي قَتْلِ أَرْبَعَةٍ فَلَزِمَ عَنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ منهم كفارتان لاشتراك اثنين فيه
Apabila dua wanita hamil saling bertabrakan lalu keduanya meninggal dan masing-masing melahirkan janinnya dalam keadaan mati, maka kematian masing-masing dari keduanya dan keluarnya janin mereka adalah akibat tabrakan yang dilakukan oleh dirinya dan temannya. Maka, masing-masing dari keduanya wajib membayar setengah diyat kepada keluarga temannya, dan setengah sisanya gugur karena itu sebagai balasan atas tindakannya terhadap dirinya sendiri. Adapun mengenai janin mereka, maka janin masing-masing dari keduanya menjadi tanggungan ibunya dan juga temannya. Maka, masing-masing dari keduanya wajib membayar setengah ghurrah untuk janinnya sendiri dan setengah ghurrah untuk janin temannya, sehingga masing-masing dari keduanya berkewajiban membayar satu ghurrah penuh, dan tidak ada bagian dari ghurrah janin yang gugur, meskipun setengah dari diyat ibu-ibu tersebut gugur. Keduanya juga wajib membayar delapan kafarat, karena mereka berdua telah bersama-sama menyebabkan kematian empat jiwa, sehingga masing-masing dari mereka wajib membayar dua kafarat karena keterlibatan dua orang dalam setiap kasus.
فَصْلٌ
Bagian
وَإِذَا طَفَرَتِ الْحَامِلُ فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا فَإِنْ لَمْ تَخْرُجِ الطَّفْرَةُ عَنْ عَادَةِ مِثْلِهَا مِنَ الْحَوَامِلِ وَلَا كَانَ مَثَلُهَا مُسْقِطًا لِلْأَجِنَّةِ لَمْ تَضْمَنْهُ وَإِنْ خَرَجَتْ عَنْ عَادَةِ مِثْلِهَا وَكَانَتِ الْأَجِنَّةُ تَسْقُطُ بِمِثْلِ طَفْرَتِهَا ضَمِنَتْهُ بِالْغُرَّةِ وَالْكَفَّارَةِ وَلَمْ تَرِثْ مِنَ الْغُرَّةِ لِأَنَّهَا قَاتِلَةٌ وَهَكَذَا لَوْ شَرِبَتِ الْحَامِلُ دَوَاءً فَأَسْقَطَتْ جَنِينًا مَيِّتًا رُوعِيَ حَالُ الدَّوَاءِ فَإِنْ زَعَمَ عُلَمَاءُ الطِّبِّ أَنَّ مِثْلَهُ قَدْ يُسْقِطُ الْأَجِنَّةَ ضَمِنَتْ جَنِينَهَا وَإِنْ قَالُوا مِثْلُهُ لَا يُسْقِطُ الْأَجِنَّةَ لَمْ تَضْمَنْهُ وَإِنْ أَشْكَلَ وَجَوَّزُوهُ ضَمِنَتْهُ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ سُقُوطِهِ أَنَّهُ مِنْ حُدُوثِ شُرْبِهِ وَلَوِ امْتَنَعَتِ الْحَامِلُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ حَتَّى أَلْقَتْ جَنِينَهَا وَكَانَتِ الْأَجِنَّةُ تَسْقُطُ مِنْ جُوعِ الْأُمِّ وَعَطَشِهَا نُظِرَ فَإِنْ دَعَتَهَا الضَّرُورَةُ إِلَى الْجُوعِ وَالْعَطَشِ لِلْإِعْوَازِ وَالْعَدَمِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهَا وَإِنْ لَمْ تَدْعُهَا ضَرُورَةٌ إِلَيْهِ ضَمِنَتْهُ وَلَوْ جَاعَتْ وَعَطِشَتْ فِي صَوْمِ فَرْضٍ أَوْ تَطَوُّعٍ ضَمِنَتْ لِأَنَّهَا مَعَ الْخَوْفِ عَلَى حَمْلِهَا مَأْمُورَةٌ بِالْإِفْطَارِ مَنْهِيَّةٌ مِنَ الصِّيَامِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Apabila seorang wanita hamil melompat lalu ia mengalami keguguran dan janinnya keluar dalam keadaan mati, maka jika lompatan tersebut tidak keluar dari kebiasaan wanita hamil sepertinya dan biasanya lompatan seperti itu tidak menyebabkan keguguran, maka ia tidak wajib menanggung diyat. Namun, jika lompatan itu di luar kebiasaan wanita hamil sepertinya dan biasanya janin-janin gugur karena lompatan seperti itu, maka ia wajib menanggung diyat berupa ghurrah dan kafarah, serta ia tidak mewarisi dari diyat ghurrah tersebut karena ia adalah pembunuhnya. Demikian pula, jika wanita hamil meminum obat lalu mengalami keguguran dan janinnya keluar dalam keadaan mati, maka dilihat keadaan obat tersebut; jika para ahli medis menyatakan bahwa obat seperti itu dapat menyebabkan keguguran, maka ia wajib menanggung diyat janinnya. Jika mereka mengatakan obat seperti itu tidak menyebabkan keguguran, maka ia tidak wajib menanggungnya. Jika para ahli medis ragu dan membolehkan kemungkinan keguguran, maka ia wajib menanggungnya, karena yang tampak dari keguguran itu adalah akibat dari meminum obat tersebut. Jika wanita hamil menahan diri dari makan dan minum hingga ia mengalami keguguran, dan biasanya janin-janin gugur karena ibu kelaparan dan kehausan, maka dilihat keadaannya; jika ia terpaksa menahan lapar dan haus karena kekurangan dan tidak adanya makanan, maka tidak ada kewajiban diyat atasnya. Namun, jika ia tidak terpaksa melakukannya, maka ia wajib menanggung diyat. Jika ia lapar dan haus karena berpuasa wajib atau sunnah, maka ia wajib menanggung diyat, karena jika ada kekhawatiran terhadap kandungannya, ia diperintahkan untuk berbuka dan dilarang berpuasa. Allah Maha Mengetahui kebenaran.
Bab Janin Budak Perempuan
مسألة
Masalah
قال الشافعي رضي الله عنه وَفِي جَنِينِ الْأَمَةِ عُشْرُ قِيمَةِ أُمِّهِ يَوْمَ جُنِيَ عَلَيْهَا ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ قَوْلُ الْمَدَنِيِّينَ قَالَ الْمُزَنِيُّ الْقِيَاسُ عَلَى أَصْلِهِ عشر قيمة أمه يوم تلقيه لأنه قال لو ضربها أمة فألقت جنيناً ميتاً ثم أعتقت فألقت جنيناً آخر فعليه عشر قيمة أمه لسيدها وفي الآخر ما في جنين حرة لأمه ولورثته قال الشافعي قال محمد بن الحسن للمدنيين أرأيتم لو كان حياً أليس فيه قيمته وإن كان أقل من عشر ثمن أمه ولو كان ميتاً فعشر أمه فقد أغرمتم فيه ميتاً أكثر مما أغرمتم فيه حيا قال الشافعي رحمه الله فقلت له أليس أصلك جنين الحرة التي قضى فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ولم يذكر عنه أنه سأل أذكر هو أم أنثى قال بلى قلت فجعلت وجعلنا فيه خمسا من الإبل أو خمسين ديناراً إذا لم يكن غرة قال بلى قلت فلو خرجا حيين ذكراً وأنثى فماتاً قال في الذكر مائة وفي الأنثى خمسون قلت فإذا زعمت أن حكمهما في أنفسهما مختلفان فلم سويت بين حكمهما ميتين أما يدلك هذا أن حكمهما ميتين حكم غيرها ثم قست على ذلك جنين الأمة فقلت إن كان ذكراً فنصف عشر قيمته لو كان حياً وإن كان أنثى فعشر قيمتها لو كانت حية أليس قد جعلت عقل الأنثى من أصل عقلها في الحياة وضعف عقل الرجل من أصل عقله في الحياة لا أعلمك إلا نكست القياس قال فأنت قد سويت بينهما من أجل أنى زعمت أن أصل حكمهما حكم غيرهما لا حكم أنفسهما كما سويت بين الذكر والأنثى من جنين الحرة فكان مخرج قولي معتدلاً فكيف يكون الحكم لمن لم يخرج حياً
Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Pada janin budak perempuan, diyatnya adalah sepersepuluh dari nilai ibunya pada hari janin itu dijadikan korban, baik janin itu laki-laki maupun perempuan, dan ini adalah pendapat para ulama Madinah. Al-Muzani berkata, qiyās menurut asalnya adalah sepersepuluh dari nilai ibunya pada hari ia gugur, karena beliau berkata: Jika seseorang memukul seorang budak perempuan lalu ia melahirkan janin yang sudah mati, kemudian budak itu dimerdekakan lalu melahirkan janin lain, maka atas pelaku diwajibkan membayar sepersepuluh dari nilai ibunya kepada tuannya, dan untuk janin yang kedua (setelah dimerdekakan) berlaku hukum janin perempuan merdeka, yaitu kepada ibunya dan ahli warisnya. Imam Syafi‘i berkata: Muhammad bin al-Hasan berkata kepada para ulama Madinah, “Bagaimana pendapat kalian jika janin itu lahir hidup, bukankah diyatnya adalah sesuai nilainya, meskipun kurang dari sepersepuluh dari harga ibunya? Dan jika ia mati, maka diyatnya sepersepuluh dari nilai ibunya. Maka kalian telah membebankan diyat janin mati lebih besar daripada janin hidup.” Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Aku menjawab kepadanya, “Bukankah asal hukum kalian adalah janin perempuan merdeka yang telah diputuskan hukumnya oleh Rasulullah ﷺ, dan tidak disebutkan bahwa beliau menanyakan apakah janin itu laki-laki atau perempuan?” Ia menjawab, “Benar.” Aku berkata, “Kalian dan kami menetapkan diyatnya lima ekor unta atau lima puluh dinar jika tidak ada ghurrah.” Ia menjawab, “Benar.” Aku berkata, “Jika lahir dua janin hidup, laki-laki dan perempuan, lalu keduanya meninggal, maka untuk laki-laki seratus (unta) dan untuk perempuan lima puluh.” Aku berkata, “Jika kamu menganggap bahwa hukum keduanya berbeda saat hidup, mengapa kamu menyamakan hukum keduanya saat mati? Bukankah ini menunjukkan bahwa hukum keduanya saat mati adalah hukum selain mereka, lalu kamu melakukan qiyās pada janin budak perempuan, sehingga jika laki-laki maka setengah dari sepersepuluh nilai jika ia hidup, dan jika perempuan maka sepersepuluh dari nilainya jika ia hidup? Bukankah kamu telah menjadikan diyat perempuan dari asal diyatnya saat hidup, dan mengurangi diyat laki-laki dari asal diyatnya saat hidup? Aku tidak melihatmu kecuali telah membalikkan qiyās.” Ia berkata, “Kamu telah menyamakan keduanya karena aku menganggap bahwa asal hukumnya adalah hukum selain mereka, bukan hukum diri mereka sendiri, sebagaimana kamu menyamakan antara laki-laki dan perempuan dari janin perempuan merdeka. Maka pendapatku menjadi moderat. Lalu bagaimana hukum bagi janin yang tidak lahir hidup?”
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ فِي جَنِينِ الْأَمَةِ إِذَا كَانَ مَمْلُوكًا عُشْرُ قِيمَةِ أُمِّهِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى وَيَكُونُ مُعْتَبَرًا بِأُمِّهِ لَا بِنَفْسِهِ
Al-Mawardi berkata tentang janin budak perempuan: Jika ia masih berstatus milik, maka diyatnya adalah sepersepuluh dari nilai ibunya, baik janin itu laki-laki maupun perempuan, dan nilainya didasarkan pada ibunya, bukan pada dirinya sendiri.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ جَنَيْنُ الْأَمَةِ مُعْتَبَرٌ بِنَفْسِهِ يُفَرَّقُ فِيهِ بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى فَإِنْ كَانَ ذَكَرًا وَجَبَ فِيهِ نِصْفُ عُشْرِ قِيمَتِهِ وَإِنْ كَانَ أُنْثَى وَجَبَ فِيهَا عُشْرُ قِيمَتِهَا
Abu Hanifah berkata: Janin dari budak perempuan dianggap sebagai entitas tersendiri, sehingga dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Jika janin itu laki-laki, maka wajib membayar setengah sepersepuluh dari nilainya, dan jika janin itu perempuan, maka wajib membayar sepersepuluh dari nilainya.
وَاسْتُدِلَّ عَلَى اعْتِبَارِهِ بِنَفْسِهِ بِأَمْرَيْنِ
Dan dalil atas dipertimbangkannya (qiyās) itu sendiri adalah dengan dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا وَقَعَ الْفَرْقُ فِي جَنِينِ الْأَمَةِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مَمْلُوكًا أَوْ حُرًّا وَفِي جَنِينِ الْكَافِرَةِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا دَلَّ عَلَى اعْتِبَارِهِ بِنَفْسِهِ لَا بِغَيْرِهِ
Salah satunya adalah bahwa ketika terdapat perbedaan pada janin budak perempuan antara apakah ia menjadi milik atau merdeka, dan pada janin perempuan kafir antara apakah ia menjadi Muslim atau kafir, hal itu menunjukkan bahwa statusnya dipertimbangkan berdasarkan dirinya sendiri, bukan berdasarkan selain dirinya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ مِنْ أَبَوَيْهِ فَلَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ بِأَبِيهِ لَمْ يُعْتَبَرْ بِأُمِّهِ وَإِذَا سَقَطَ اعْتِبَارُهُ بِهِمَا وَجَبَ اعْتِبَارُهُ بِنَفْسِهِ
Kedua, bahwa ia berasal dari kedua orang tuanya. Maka ketika tidak dianggap berdasarkan ayahnya, tidak pula dianggap berdasarkan ibunya. Dan apabila pertimbangan berdasarkan keduanya telah gugur, maka wajib mempertimbangkannya berdasarkan dirinya sendiri.
وَاسْتُدِلَّ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى بِأَمْرَيْنِ
Telah diambil dalil tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan dengan dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا وَقَعَ الْفَرْقُ فِي إِلْقَائِهِ حَيًّا بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَجَبَ أَنْ يَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي إِلْقَائِهِ مَيِّتًا
Salah satunya adalah bahwa ketika terdapat perbedaan dalam melemparkan (janin) yang masih hidup antara laki-laki dan perempuan, maka wajib pula ada perbedaan antara keduanya dalam melemparkan (janin) yang sudah mati.
وَالثَّانِي أَنَّهُ مَوْرُوثٌ وَاسْتِحْقَاقُ التَّوَارُثِ يُوجِبُ الْفَرْقَ بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى كَالْوَارِثِ
Yang kedua, bahwa ia adalah harta warisan, dan hak untuk saling mewarisi mengharuskan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana pada ahli waris.
وَالدَّلِيلُ عَلَى اعْتِبَارِهِ بِغَيْرِهِ شَيْئَانِ
Dan dalil bahwa ia dipertimbangkan dengan selain dirinya ada dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا اعْتُبِرَتْ قِيمَةُ الْقِيمَةِ وَلَيْسَ لَهُ قِيمَةٌ؛ لِأَنَّهُ إِنْ قُوِّمَ مَيِّتًا لَمْ تَكُنْ لِلْمَيِّتِ قِيمَةٌ وَإِنْ قُوِّمَ حَيًّا لَمْ تَكُنْ لَهُ حَيَاةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَعْدِلَ عَنْ تَقْوِيمِهِ عِنْدَ اسْتِحَالَتِهَا إِلَى تَقْوِيمِ أَصْلِهِ كَمَا يَجْعَلُ الْعَبْدَ أَصْلًا لِلْحُرِّ فِي الْحُكُومَاتِ وَيَجْعَلُ الْحُرَّ أَصْلًا لِلْعَبْدِ فِي الْمُقَدَّرَاتِ
Salah satunya adalah bahwa ketika nilai dari sesuatu yang bernilai (al-qīmah) diperhitungkan, ternyata ia tidak memiliki nilai; karena jika dinilai dalam keadaan mati, maka yang mati itu tidak memiliki nilai, dan jika dinilai dalam keadaan hidup, maka ia tidak memiliki kehidupan. Maka wajib beralih dari menilai sesuatu itu ketika mustahil untuk menilainya, kepada menilai asalnya, sebagaimana budak dijadikan sebagai asal bagi orang merdeka dalam hukum-hukum, dan orang merdeka dijadikan sebagai asal bagi budak dalam hal-hal yang ditetapkan kadarnya.
وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ قُوِّمَ بِنَفْسِهِ لَوَجَبَ اسْتِيفَاءُ قِيمَتِهِ كَسَائِرِ الْمُتْلَفَاتِ وَلَمَّا لَمْ يُسْتَوْفَ قِيمَتُهُ لِاعْتِبَارِهِ بِغَيْرِهِ كَانَ أَصْلُ التَّقْوِيمِ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ مُعْتَبَرًا بِغَيْرِهِ
Kedua, jika ia dinilai secara mandiri, maka wajib untuk mengambil nilai gantinya seperti halnya barang-barang lain yang rusak. Namun, karena nilainya tidak diambil karena dipertimbangkan bersama selainnya, maka asal penilaian itu lebih utama untuk dipertimbangkan bersama selainnya.
وَالدَّلِيلُ عَلَى التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى شَيْئَانِ
Dalil tentang penyamaan antara laki-laki dan perempuan ada dua hal.
أَحَدُهُمَا أَنَّ حُرْمَتَهُ حُرًّا أَغْلَظُ مِنْ حُرْمَتِهِ مَمْلُوكًا فَلَمَّا اسْتَوَى الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى فِي أَغْلَظِ حَالَيْهِ حُرًّا كَانَ أَوْلَى أَنْ يَسْتَوِيَ فِي أَخَفِّ حَالَيْهِ مَمْلُوكًا
Salah satu alasannya adalah bahwa kehormatannya sebagai orang merdeka lebih berat daripada kehormatannya sebagai budak. Maka ketika laki-laki dan perempuan disamakan dalam keadaan yang paling berat, yaitu sebagai orang merdeka, maka lebih utama lagi untuk disamakan dalam keadaan yang lebih ringan, yaitu sebagai budak.
وَالثَّانِي أَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى يُوجِبُ تَفْضِيلَ الذَّكَرِ عَلَى الْأُنْثَى كَالدِّيَاتِ وَالْمَوَارِيثِ وَهُمْ لَا يُفَضِّلُونَهُ وَتَفْضِيلُ الْأُنْثَى عَلَى الذَّكَرِ وَإِنْ كان مذهبهم مفضياً إليه مدفوع بِالشَّرْعِ فَوَجَبَتِ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا لِامْتِنَاعِ مَا عَدَاهُ
Kedua, bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan mengharuskan adanya keutamaan laki-laki atas perempuan, seperti dalam diyat dan warisan, namun mereka (para penentang) tidak mengutamakannya. Adapun mengutamakan perempuan atas laki-laki, meskipun mazhab mereka mengarah ke sana, tertolak oleh syariat. Maka wajiblah menyamakan keduanya karena selain itu tidak mungkin dilakukan.
فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِوُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَ حُرِّيَّتِهِ وَرِقِّهِ وَبَيْنَ إِسْلَامِهِ وَكُفْرِهِ فَهُوَ الدَّلِيلُ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُ لَمَّا اعْتُبِرَ إِسْلَامُهُ وَكُفْرُهُ وَحُرِّيَّتُهُ وَرِقُّهُ بِغَيْرِهِ لَا بِنَفَسِهِ جَازَ مِثْلُهُ فِي بدل نفسه
Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan adanya perbedaan antara status merdeka dan budaknya, serta antara keislaman dan kekafirannya, maka itu justru menjadi dalil atas mereka. Karena ketika keislaman dan kekafirannya, serta kemerdekaan dan status budaknya dipertimbangkan dengan sesuatu selain dirinya, bukan dengan dirinya sendiri, maka hal yang serupa boleh berlaku pada pengganti dirinya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ بِأَبِيهِ لَمْ يُعْتَبَرْ بِأُمِّهِ فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ فِي الْمِلْكِ تَابِعًا لِأُمِّهِ دُونَ أَبِيهِ وَجَبَ فِي التَّقْوِيمِ أَنْ يَكُونَ تَابِعًا لَهَا دُونَهُ
Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa karena tidak dianggap mengikuti ayahnya maka tidak dianggap pula mengikuti ibunya, adalah bahwa ketika dalam kepemilikan ia mengikuti ibunya dan bukan ayahnya, maka dalam penilaian (takwim) pun wajib baginya untuk mengikuti ibunya dan bukan ayahnya.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ افْتِرَاقِ الْأُنْثَى وَالذَّكَرِ فِي الْحَيِّ فَهُوَ زَوَالُ الِاشْتِبَاهِ فِي الْحَيَاةِ أَوْقَعَ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا بِوُقُوعِ الِاشْتِبَاهِ فِي الْمَوْتِ أَوْجَبَ التَّسْوِيَةَ بَيْنَهُمَا كَالْحُرِّ وَهُوَ الْجَوَابُ عَنْ وُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا فِي الْوَارِثِ دُونَ الْمَوْرُوثِ
Adapun jawaban mengenai perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam keadaan hidup adalah bahwa hilangnya kesamaran dalam kehidupan menyebabkan adanya perbedaan di antara keduanya, sedangkan terjadinya kesamaran dalam kematian mewajibkan adanya penyamaan di antara keduanya, seperti halnya pada orang merdeka. Inilah jawaban atas terjadinya perbedaan antara keduanya pada pewaris, bukan pada yang diwariskan.
فَصْلٌ
Bagian
فَأَمَّا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ فَإِنَّهُ اسْتَدَلَّ لِنُصْرَةِ مَذْهَبِهِ وَإِبْطَالِ مَذْهَبِ مُخَالِفِهِ بِأَنَّ اعْتِبَارَهُ بِغَيْرِهِ يُفْضِي إِلَى تَفْضِيلِ الْمَيِّتِ عَلَى الْحَيِّ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ قِيمَةُ أُمِّهِ أَلْفَ دِينَارٍ عُشْرُهَا مِائَةُ دِينَارٍ وَقِيمَتُهُ فِي حَيَاتِهِ دِينَار وَاحِد فَيَجِبُ فِيهِ مَيِّتًا مِائَةُ دِينَارٍ وَيَجِبُ فِيهِ حَيًّا دِينَارٌ وَاحِدٌ وَمَا أَفْضَى إِلَى هَذَا كَانَ بَاطِلًا لِأَنَّ الْحَيَّ مُفَضَّلٌ عَلَى الْمَيِّتِ كَالْحُرِّ فَيُقَالُ لَهُ وَقَوْلُكُمْ مُفْضٍ إِلَى مُخَالَفَةِ الْأُصُولِ مِنْ وَجْهَيْنِ
Adapun Muhammad bin al-Hasan, ia berdalil untuk mendukung mazhabnya dan membatalkan mazhab lawannya dengan mengatakan bahwa mempertimbangkan (nilai) sesuatu dengan selain dirinya akan mengakibatkan mengutamakan yang mati atas yang hidup. Sebab, bisa jadi nilai ibunya adalah seribu dinar, sepersepuluhnya seratus dinar, sedangkan nilainya ketika masih hidup hanya satu dinar. Maka, wajib atasnya ketika mati seratus dinar, dan wajib atasnya ketika hidup satu dinar. Apa yang mengantarkan pada hal seperti ini adalah batil, karena yang hidup lebih utama daripada yang mati, sebagaimana orang merdeka (lebih utama daripada budak). Maka dikatakan kepadanya: “Pendapatmu ini mengantarkan pada penyelisihan terhadap ushul (prinsip-prinsip dasar) dari dua sisi.”
أَحَدُهُمَا أَنَّكُمْ فَضَّلْتُمِ الْأُنْثَى عَلَى الذَّكَرِ لِأَنَّكُمْ أَوْجَبْتُمْ فِي الْأُنْثَى عُشْرَ قِيمَتِهَا وَفِي الذَّكَرِ نِصْفُ عُشْرِ قِيمَتِهِ وَالْأُصُولُ تُوجِبُ تَفْضِيلَ الذَّكَرِ عَلَى الْأُنْثَى
Salah satunya adalah bahwa kalian telah mengutamakan perempuan atas laki-laki karena kalian mewajibkan pada perempuan sepersepuluh dari nilainya, sedangkan pada laki-laki setengah dari sepersepuluh nilainya, padahal kaidah-kaidah dasar mengharuskan mengutamakan laki-laki atas perempuan.
وَالثَّانِي أَنَّكُمْ أَوْجَبْتُمْ فِيمَنْ كَثُرَتْ قِيمَتُهُ أَقَلَّ مِمَّا أَوْجَبْتُمُوهُ فِيمَنْ قَلَّتْ قِيمَتُهُ فَقُلْتُمْ فِي الذَّكَرِ إِذَا كَانَ قِيمَتُهُ خَمْسِينَ دِينَارًا فِيهِ نِصْفُ عُشْرِهَا دِينَارَانِ وَنِصْفٌ وَفِي الْأُنْثَى إِذَا كَانَتْ قِيمَتُهَا أَرْبَعِينَ دِينَارًا فِيهَا عُشْرٌ أَرْبَعَةُ دَنَانِيرَ وَالْأُصُولُ تُوجِبُ زِيَادَةَ الْغُرْمِ عِنْدَ زِيَادَةِ الْقِيمَةِ فَلَمْ تُنْكِرْ عَلَى نَفْسِهَا وَعَلَى أَصْحَابِكَ مُخَالَفَةَ أُصُولِ الشَّرْعِ مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ وَعَدَلْتَ إِلَى إِنْكَارِ مَا لَا تَمْنَعُ مِنْهُ أُصُولُ الشَّرْعِ عَنْهُ اخْتِلَافَ الْجِهَاتِ عِنْدَنَا وَعِنْدَكُمْ فَقُلْنَا وَقُلْتُمْ مَعَ اتِّفَاقِنَا وَإِيَّاكُمْ عَلَى تَفْضِيلِ الْحُرِّ عَلَى الْعَبْدِ إِنَّ الْغَاصِبَ لَوْ مَاتَ فِي يَدِ الْعَبْدِ الْمَغْصُوبِ وَجَبَتْ فِيهِ قِيمَتُهُ وَإِنْ زَادَ عَلَى دِيَةِ الْحُرِّ وَإِنْ كَانَ أَنْقَصَ حَالًا مِنَ الْحَرِّ ثُمَّ قُلْتُمْ وَحُكْمُ الْقَتْلِ أَغْلَظُ إنَّهُ لَوْ قَتَلَهُ نَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ عَنْ دِيَةِ الْحُرِّ فَأَوْجَبْتُمْ فِيهِ غَيْرَ مَقْتُولٍ أَكْثَرَ مِمَّا أَوْجَبْتُمْ فِيهِ مَقْتُولًا وَلَمْ تُنْكِرُوا مِثْلَ هَذَا عِنْدَ اخْتِلَافِ الْجِهَتَيْنِ كَذَلِكَ لَا يُمْنَعُ مِثْلُهُ فِي الْجَنِينِ عِنْدَ اخْتِلَافِ الْجِهَتَيْنِ
Yang kedua, kalian mewajibkan pada sesuatu yang nilainya lebih besar, kewajiban yang lebih sedikit daripada yang kalian wajibkan pada sesuatu yang nilainya lebih kecil. Kalian berkata: pada laki-laki, jika nilainya lima puluh dinar, maka zakatnya setengah dari sepersepuluhnya, yaitu dua setengah dinar; sedangkan pada perempuan, jika nilainya empat puluh dinar, maka zakatnya sepersepuluh, yaitu empat dinar. Padahal, kaidah dasar mengharuskan bertambahnya beban (kewajiban) seiring bertambahnya nilai. Maka kalian tidak mengingkari pada diri kalian sendiri dan pada para sahabat kalian penyelisihan terhadap kaidah-kaidah syariat dari dua sisi ini, namun kalian justru beralih mengingkari sesuatu yang tidak dicegah oleh kaidah-kaidah syariat, yaitu perbedaan sisi (al-jihat) menurut kami dan menurut kalian. Kami dan kalian sama-sama sepakat dalam mengutamakan orang merdeka atas budak, bahwa jika seorang perampas mati di tangan budak yang dirampas, maka wajib membayar nilai budak tersebut, meskipun nilainya melebihi diyat orang merdeka, meskipun keadaannya lebih rendah daripada orang merdeka. Kemudian kalian berkata, dan hukum pembunuhan itu lebih berat, bahwa jika ia membunuhnya, maka nilai budak tersebut kurang dari diyat orang merdeka, sehingga kalian mewajibkan pada kasus bukan pembunuhan lebih banyak daripada yang kalian wajibkan pada kasus pembunuhan. Dan kalian tidak mengingkari hal semacam ini ketika terjadi perbedaan sisi. Demikian pula, tidak terlarang hal semacam itu pada janin ketika terjadi perbedaan sisi.
فَصْلٌ
Bagian
فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ فِي جَنِينِ الْأَمَةِ عُشْرُ قِيمَةِ أُمِّهِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِقِيمَتِهَا يَوْمَ ضَرَبَهَا لَا يَوْمَ إِسْقَاطِهِ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ
Maka apabila telah tetap bahwa pada janin budak perempuan terdapat sepersepuluh dari nilai ibunya, maka mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa yang dijadikan patokan adalah nilainya pada hari ia dipukul, bukan pada hari janin itu gugur, dan ini adalah pendapat mayoritas para pengikutnya.
وَقَالَ الْمُزَنِيُّ تُعْتَبَرُ قِيمَتُهَا يَوْمَ إِسْقَاطِهِ وَبِهِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ احْتِجَاجًا بِأَمْرَيْنِ
Al-Muzani berkata, “Nilainya dipertimbangkan pada hari dijatuhkannya,” dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Sa‘id al-Ishthakhri, dengan berdalil pada dua hal.
أَحَدُهُمَا وَهُوَ احْتِجَاجُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ لَوْ ضَرَبَهَا ثُمَّ أُعْتِقَتْ وَأَلْقَتْ مِنْ ضَرْبِهِ جَنِينَيْنِ أَحَدُهُمَا قَبْلَ الْعِتْقِ وَالْآخَرُ بَعْدَهُ وَجَبَ فِي الْجَنِينِ الَّذِي أَلْقَتْهُ قَبْلَ الْعِتْقِ عُشْرُ قِيمَتِهَا وَفِي الْجَنِينِ الَّذِي أَلْقَتْهُ بَعْدَ الْعِتْقِ غُرَّةٌ فَدَلَّ عَلَى الِاعْتِبَارِ بِوَقْتِ إِلْقَائِهِ لَا وقت الضرب
Salah satunya adalah argumen al-Muzani, yaitu jika seseorang memukul seorang budak perempuan, kemudian ia dimerdekakan, lalu karena pukulan itu ia mengalami keguguran dua janin—salah satunya sebelum dimerdekakan dan yang lainnya setelahnya—maka untuk janin yang gugur sebelum dimerdekakan wajib membayar sepersepuluh dari nilai budak perempuan tersebut, sedangkan untuk janin yang gugur setelah dimerdekakan wajib membayar ghurrah. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah waktu keguguran, bukan waktu pemukulan.
وَالثَّانِي وَهُوَ احْتِجَاجُ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنَّ الْجِنَايَةَ إِذَا صَارَتْ نَفْسًا كَانَ الِاعْتِبَارُ بِبَدَلِهَا وَقْتَ اسْتِقْرَارِهَا كَالْجِنَايَةِ عَلَى الْعَبْدِ إِذَا أُعْتِقَ وَعَلَى الْكَافِرِ إِذَا أَسْلَمَ
Yang kedua adalah pendapat al-Istakhri, yaitu bahwa jika suatu jinayah (kejahatan) telah menyebabkan hilangnya nyawa, maka yang menjadi pertimbangan adalah penggantiannya (diyat) pada saat ketetapannya, sebagaimana jinayah terhadap budak yang kemudian dimerdekakan, atau terhadap orang kafir yang kemudian masuk Islam.
وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ سِرَايَةَ الْجِنَايَةِ إِذَا لَمْ تَتَغَيَّرْ بِحَال حَادِثَةٍ كَانَتْ مُعْتَبَرَةً بِوَقْتِ الْجِنَايَةِ دُونَ اسْتِقْرَارِ السِّرَايَةِ كَالْعَبْدِ إِذَا جُنِيَ عَلَيْهِ ثُمَّ سَرَتْ إِلَى نَفْسِهِ مَعَ بَقَاءِ رِقِّهِ اعْتُبِرَتْ قِيمَتُهُ وَقْتَ الْجِنَايَةِ دُونَ اسْتِقْرَارِهَا وَلَوْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ فَأُعْتِقَ قَبْلَ مَوْتِهِ اعْتُبِرَ بِهَا وَقْتَ اسْتِقْرَارِهَا كَذَلِكَ الْجَنِينُ إِذَا لَمْ يَتَغَيَّرْ حَالُهُ اعْتُبِرَ وَقْتَ الْجِنَايَةِ وَإِنْ تَغَيَّرَتِ اعْتُبِرَ بِهِ وَقْتَ الِاسْتِقْرَارِ وَفِي هَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ
Ini adalah sebuah kekeliruan; karena penularan jinayah, jika tidak mengalami perubahan keadaan yang baru, maka yang dijadikan acuan adalah waktu terjadinya jinayah, bukan saat penularan itu menetap, seperti pada budak yang mengalami jinayah lalu penularannya sampai pada dirinya sendiri sementara status perbudakannya masih ada, maka yang dijadikan acuan adalah nilai budak tersebut pada waktu terjadinya jinayah, bukan pada saat penularan itu menetap. Namun jika keadaannya berubah, misalnya ia dimerdekakan sebelum meninggal, maka yang dijadikan acuan adalah waktu penularan itu menetap. Demikian pula janin, jika keadaannya tidak berubah, maka yang dijadikan acuan adalah waktu terjadinya jinayah; namun jika keadaannya berubah, maka yang dijadikan acuan adalah waktu penularan itu menetap. Dalam hal ini terdapat dalil dan penjelasan tersendiri.
فَصْلٌ
Fasal
فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا تَفَرَّعَ عَلَيْهِ أَنْ يَضْرِبَ بَطْنَ حَامِلٍ حَرْبِيَّةٍ فَتُسْلِمَ ثُمَّ تُلْقِيَ جَنِينَهَا مَيِّتًا وَتَمُوتَ بَعْدَهُ فَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لَا يَضْمَنُهَا وَلَا يَضْمَنُ جَنِينَهَا اعْتِبَارًا بِوَقْتِ الْجِنَايَةِ أَنَّهَا كَانَتْ غَيْرَ مَضْمُونَةٍ وَعَلَى مَذْهَبِ الْمُزَنِيِّ يَضْمَنُ جَنِينَهَا وَلَا يَضْمَنُ نَفْسَهَا لِأَنَّهُ يَعْتَبِرُ جَنِينَهَا بِوَقْتِ الْوِلَادَةِ وَقَدْ صَارَتْ مَضْمُونَةً وَتُعْتَبَرُ نَفْسُهَا بِوَقْتِ الْجِنَايَةِ وَقَدْ كَانَتْ غَيْرَ مَضْمُونَةٍ فَإِنْ قِيلَ فَكَيْفَ يَضْمَنُ الْجِنَايَةَ عِنْدَ سِرَايَتِهَا فِي الْجَنِينِ إِذَا كَانَتْ هَدَرًا فِي الِابْتِدَاءِ
Jika hal ini telah dipastikan, maka dari situ muncul cabang hukum bahwa jika seseorang memukul perut seorang wanita hamil dari golongan harbi lalu ia masuk Islam, kemudian ia melahirkan janinnya dalam keadaan mati dan ia sendiri meninggal setelah itu, maka menurut mazhab Syafi‘i, ia tidak wajib menanggung diyat wanita itu maupun janinnya, karena pada saat terjadinya tindak pidana, keduanya belum menjadi tanggungan. Sedangkan menurut mazhab al-Muzani, ia wajib menanggung diyat janinnya namun tidak wajib menanggung diyat wanita itu, karena ia menganggap janinnya berdasarkan waktu kelahiran, di mana saat itu telah menjadi tanggungan, sedangkan wanita itu dianggap berdasarkan waktu terjadinya tindak pidana, di mana saat itu belum menjadi tanggungan. Jika ada yang bertanya: bagaimana mungkin ia wajib menanggung diyat atas tindak pidana yang akibatnya baru muncul pada janin, padahal pada awalnya perbuatan itu tidak menimbulkan tanggungan?
قِيلَ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ عَلَى الْجَنِينِ لَا تَكُونُ إِلَّا بِالسِّرَايَةِ إِلَيْهِ دُونَ الْمُبَاشَرَةِ فَصَارَتِ السِّرَايَةُ كَالْمُبَاشَرَةِ فِي غَيْرِهِ وَهُوَ مُقْتَضَى تَعْلِيلِ الْمُزَنِيِّ وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا
Dikatakan bahwa sebab jinayah terhadap janin tidak terjadi kecuali melalui sirayah (penyebaran akibat) kepadanya, bukan secara langsung, sehingga sirayah itu menjadi seperti perbuatan langsung pada selainnya. Inilah yang ditunjukkan oleh alasan yang dikemukakan oleh al-Muzani, meskipun hal itu terkesan jauh.
وَلَوِ ارْتَدَّتْ حَامِلٌ فَضَرَبَ بَطْنَهَا ثُمَّ أَسْلَمَتْ فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا ثُمَّ مَاتَتْ ضَمِنَ جَنِينَهَا وَلَمْ يَضْمَنْ نَفْسَهَا عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا بِخِلَافِ الْحَرْبِيَّةِ؛ لِأَنَّ جَنِينَ الْمُرْتَدَّةِ مَضْمُونٌ لَا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الرِّدَّةِ بِخِلَافِ أُمِّهِ وَجَنِينُ الْحَرْبِيَّةِ كَأُمِّهِ
Jika seorang perempuan hamil murtad, lalu seseorang memukul perutnya, kemudian ia masuk Islam kembali dan melahirkan janinnya dalam keadaan mati, lalu ia pun meninggal, maka pelaku wajib menanggung diyat janinnya, tetapi tidak wajib menanggung diyat dirinya menurut kedua mazhab, berbeda dengan perempuan harbiyah; karena janin perempuan murtad tetap dijamin (diyatnya) dan tidak berlaku atasnya hukum riddah, berbeda dengan ibunya, sedangkan janin perempuan harbiyah hukumnya seperti ibunya.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا ضَرَبَ بَطْنَ أَمَةٍ حَامِلٍ لِمَمْلُوكٍ فَأَعْتَقَهَا السَّيِّدُ ثُمَّ أَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا فَفِيهِ عَلَى الضَّارِبِ غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ أَمَةٌ لِاسْتِقْرَارِ الْجِنَايَةِ فِيهِ بَعْدَ حُرِّيَّتِهِ وَلِلسَّيِّدِ مِنْهَا أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ عُشْرِ قِيمَةِ أُمِّهِ أَوْ مِنَ الْغُرَّةِ كَمَا لَوْ أَعْتَقَ عَبْدَهُ وَقَدْ جَنَى عَلَيْهِ كَانَ لِلسَّيِّدِ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ دِيَتِهِ فَإِنْ كَانَتِ الْغُرَّةُ أَقَلَّ أَخَذَهَا وَلَا شَيْءَ لِوَارِثِ الْجَنِينِ وَإِنْ كَانَتْ عُشْرَ قِيمَتِهَا أَقَلَّ أَخَذَهَا مِنْ قِيمَةِ الْغُرَّةِ وَكَانَ بَاقِي الْغُرَّةِ لِوَارِثِ الْجَنِينِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ مُنَاسِبٌ عَادَ إِلَى السَّيِّدِ وَارِثًا بِالْوَلَاءِ
Apabila seseorang memukul perut seorang budak perempuan yang sedang hamil milik orang lain, lalu tuannya memerdekakannya, kemudian ia melahirkan janin dalam keadaan mati, maka atas orang yang memukul tersebut wajib membayar diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan, karena tindak pidana itu telah tetap setelah budak perempuan itu merdeka. Adapun bagi tuan budak, ia berhak atas yang paling sedikit dari dua hal: sepersepuluh nilai ibunya atau dari diyat tersebut, sebagaimana jika seseorang memerdekakan budaknya yang telah melakukan tindak pidana terhadapnya, maka tuan budak berhak atas yang paling sedikit dari nilai budaknya atau diyatnya. Jika diyat (gurrāh) lebih sedikit, maka ia mengambilnya, dan tidak ada hak apa pun bagi ahli waris janin. Jika sepersepuluh nilainya lebih sedikit, maka ia mengambilnya dari nilai diyat, dan sisa diyat menjadi milik ahli waris janin. Jika janin tidak memiliki ahli waris yang berhak, maka kembali kepada tuan budak sebagai ahli waris karena hubungan wala’.
فَصْلٌ
Fasal
وَإِذَا وَطِئَ الْحُرُّ أَمَةَ غَيْرِهِ بشبهة وأتت بولد كَانَ وَلَدُهُ مِنْهَا حُرًّا وَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ يَوْمَ وُلِدَ لِلسَّيِّدِ وَلِأَنَّهُ اسْتَهْلَكَ رِقَّهُ عَلَيْهِ بِشُبْهَةٍ فَإِنْ أَلْقَتْهُ مَيِّتًا فَلَا شَيْءَ عَلَى الْوَاطِئِ تَغْلِيبًا لِاسْتِهْلَاكِهِ بِالْمَوْتِ فَلَوْ ضَرَبَ ضَارِبٌ بَطْنَهَا فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا كَانَ مَضْمُونًا عَلَى الضَّارِبِ بغرة عبد أو أمة للواطئ صار مَضْمُونًا عَلَى الْوَاطِئِ بِعُشْرِ قِيمَةِ أُمِّهِ لِلسَّيِّدِ أَمَّا الْغُرَّةُ فَإِنَّمَا وَجَبَتْ فِيهِ لِأَنَّهُ حُرٌّ فَكَانَتْ لِأَبِيهِ الْوَاطِئِ دُونَ السَّيِّدِ وَصَارَ الْوَاطِئُ مستهلكاً لرقه على السيد ولولائه لأخذ مِنَ الْجَانِي عُشْرَ قِيمَةِ أُمِّهِ فَضَمِنَ الْوَاطِئُ ذَلِكَ لِلسَّيِّدِ وَإِنْ كَانَ كَذَلِكَ لَمْ تَخْلُ الْغُرَّةُ وَعُشْرُ قِيمَةِ أُمِّهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أقسام
Apabila seorang laki-laki merdeka menggauli budak milik orang lain karena syubhat dan budak itu melahirkan anak, maka anak tersebut menjadi anaknya dan berstatus merdeka, serta ia wajib membayar nilai anak itu pada hari kelahirannya kepada tuan budak tersebut. Hal ini karena ia telah menghilangkan status perbudakan anak itu darinya karena syubhat. Jika budak itu melahirkan anak dalam keadaan mati, maka tidak ada kewajiban apa pun atas laki-laki yang menggaulinya, karena kematian telah menghilangkan status perbudakan anak itu. Namun, jika ada seseorang yang memukul perut budak itu sehingga ia melahirkan janin dalam keadaan mati, maka pelaku pemukulan wajib membayar diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan kepada laki-laki yang menggauli budak tersebut. Jika janin itu menjadi tanggungan laki-laki yang menggauli budak itu, maka ia wajib membayar sepersepuluh dari nilai ibunya kepada tuan budak tersebut. Adapun diyat berupa budak itu diwajibkan karena anak tersebut berstatus merdeka, sehingga diyat itu menjadi hak ayahnya, yaitu laki-laki yang menggauli budak itu, bukan hak tuan budak. Laki-laki yang menggauli budak itu dianggap telah menghilangkan status perbudakan anak itu dari tuan budak dan hak wala’nya, sehingga ia mengambil dari pelaku kejahatan sepersepuluh dari nilai ibunya, lalu laki-laki yang menggauli budak itu wajib membayarkan hal tersebut kepada tuan budak. Jika demikian, maka diyat berupa budak dan sepersepuluh dari nilai ibunya tidak lepas dari tiga keadaan.
أحدهما أَنْ يَسْتَوِيَا وَلَا يُفَضَّلَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ فَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِأَخْذِهَا مِنَ الْجَانِي وَلَا شَيْءَ فِيهَا لِلْوَاطِئِ وَلَا عَلَيْهِ فَإِنْ أَرَادَ الْوَاطِئُ أَنْ يَسْتَوْفِيَهَا مِنَ الْجَانِي وَيُعْطِيَهَا لِلسَّيِّدِ أَوْ غَيْرِهِ كَانَ ذَلِكَ لَهُ لِأَنَّ الْغُرَّةَ لَهُ وَعُشْرَ الْقِيمَةِ عَلَيْهِ
Pertama, jika keduanya setara dan tidak ada yang lebih diutamakan dari yang lain, maka tuan (pemilik budak) berhak sendiri mengambilnya dari pelaku kejahatan, dan tidak ada bagian apa pun di dalamnya bagi orang yang menyetubuhi (budak) tersebut, dan tidak ada kewajiban atasnya. Namun, jika orang yang menyetubuhi ingin menagihnya dari pelaku kejahatan dan memberikannya kepada tuan atau selainnya, maka hal itu boleh baginya, karena diyat (gurrāh) itu miliknya dan sepersepuluh dari nilainya menjadi tanggungannya.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الْغُرَّةُ أَكْثَرَ مِنْ عُشْرِ الْقِيمَةِ فَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا عُشْرَ الْقِيمَةِ وَيَأْخُذَ الْوَاطِئُ فَاضِلَهَا
Bagian kedua adalah apabila diyat ghurrah itu lebih dari sepersepuluh nilai (budak), maka tuan (pemilik budak) berhak mengambil sepersepuluh nilai tersebut darinya, dan orang yang menggauli (budak) mengambil sisanya.
وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ عُشْرُ الْقِيمَةِ أَكْثَرَ فَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَأْخُذَهَا وَيَرْجِعَ عَلَى الْوَاطِئِ بالباقي من عشر القيمة
Bagian ketiga adalah apabila sepersepuluh nilai (budak perempuan) lebih besar, maka tuan berhak mengambilnya dan menuntut sisanya dari sepersepuluh nilai kepada laki-laki yang telah menggaulinya.
فَصْلٌ
Bagian
وَإِذَا زَنَا الْمُسْلِمُ بِحَرْبِيَّةٍ كَانَ وَلَدُهَا مِنْهُ كَافِرًا لِأَنَّهُ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ فِي نَسَبِهِ فَلَمْ يَلْحَقْ بِهِ فِي دِينِهِ وَلَوْ ضَرَبَ بَطْنَهَا فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا كَانَ هَدَرًا لَا يُضْمَنُ كَأُمِّهِ وَلَوْ وَطِئَ الْمُسْلِمُ حَرْبِيَّةً بِشُبْهَةٍ كَانَ وَلَدُهَا مُسْلِمًا؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَحِقَ بِهِ فِي نَسَبِهِ لَحِقَ بِهِ فِي دِيَتِهِ فَلَوْ ضَرَبَ بَطْنَهَا فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا كَانَ مَضْمُونًا عَلَى الضَّارِبِ بِغُرَّةِ الْجَنِينِ الْمُسْلِمِ فَلَوْ وَقَعَ التَّنَازُعُ فِي جَنِينِهَا مِنْ وَطْءِ الْمُسْلِمِ هَلْ هُوَ مِنْ زِنًا أَوْ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ فَادَّعَتِ الْأُمُّ الْحَرْبِيَّةُ أَنَّهُ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ فَإِنْ أَكْذَبَهَا الضَّارِبُ وَعَاقِلَتُهُ وَقَالُوا هُوَ من زنا فالقول قولهم من أَيْمَانِهِمْ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِمْ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ ذِمَّتِهِمْ فَإِنْ صَدَّقَهَا الضَّارِبُ وَكَذَّبَتْهَا عَاقِلَتُهُ ضَمِنَ الضَّارِبُ جَنِينَهَا دُونَ الْعَاقِلَةِ وَحَلَفَتِ الْعَاقِلَةُ لِلضَّارِبِ دُونَ الْأُمِّ فَبَرِئُوا مِنَ الْغُرْمِ وَإِنْ صَدَّقَهَا الْعَاقِلَةُ وَكَذَّبَهَا الضَّارِبُ ضَمِنَتِ الْعَاقِلَةُ جَنِينَهَا وَلَا يَمِينَ عَلَى الضَّارِبِ فِي إِنْكَارِهِ لِتَحَمُّلِ الْعَاقِلَةِ عنه
Apabila seorang Muslim berzina dengan perempuan harbiyah, maka anak yang lahir darinya adalah kafir, karena ia tidak dinisbatkan kepadanya dalam nasab, maka tidak pula dinisbatkan kepadanya dalam agama. Jika ia memukul perut perempuan itu sehingga ia keguguran dan janinnya lahir dalam keadaan mati, maka janin itu tidak ada diyatnya, sebagaimana ibunya. Namun, jika seorang Muslim menggauli perempuan harbiyah karena syubhat, maka anak yang lahir darinya adalah Muslim; karena ketika ia dinisbatkan kepadanya dalam nasab, maka ia juga dinisbatkan kepadanya dalam diyat. Jika ia memukul perut perempuan itu sehingga ia keguguran dan janinnya lahir dalam keadaan mati, maka diyat janin itu wajib atas orang yang memukul, berupa ghurrah janin Muslim. Jika terjadi perselisihan mengenai status janin yang dikandungnya akibat perbuatan Muslim, apakah dari zina atau dari hubungan syubhat, lalu ibu harbiyah itu mengklaim bahwa janin itu dari hubungan syubhat, maka jika pelaku pemukulan dan ‘aqilah-nya mendustakan klaim tersebut dan mengatakan bahwa itu dari zina, maka perkataan mereka yang diterima dengan sumpah mereka, dan tidak ada apa-apa atas mereka, karena asalnya adalah bebas dari tanggungan. Jika pelaku pemukulan membenarkan klaim ibu dan ‘aqilah-nya mendustakannya, maka pelaku pemukulan wajib membayar diyat janin tanpa melibatkan ‘aqilah, dan ‘aqilah bersumpah untuk pelaku pemukulan, bukan untuk ibu, sehingga mereka terbebas dari tanggungan. Jika ‘aqilah membenarkan klaim ibu dan pelaku pemukulan mendustakannya, maka ‘aqilah wajib membayar diyat janin, dan tidak ada sumpah atas pelaku pemukulan dalam penolakannya, karena tanggungan telah diambil alih oleh ‘aqilah.
فَصْلٌ
Bagian
وَإِذَا كَانَتِ الْأَمَةُ الْحَامِلُ مَمْلُوكَةً بَيْنَ شَرِيكَيْنِ فَأَعْتَقَ أَحَدُهُمَا حِصَّتَهُ مِنْهَا وَضَرَبَ ضَارِبٌ بَطْنَهَا فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا لَمْ يَخْلُ حَالُ الشَّرِيكِ الْمُعْتِقِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ
Apabila seorang budak perempuan yang sedang hamil dimiliki bersama oleh dua orang sekutu, lalu salah satu dari keduanya memerdekakan bagiannya dari budak tersebut, kemudian seseorang memukul perutnya sehingga ia melahirkan janin yang sudah mati, maka keadaan sekutu yang memerdekakan itu tidak lepas dari dua kemungkinan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا أَوْ مُعْسِرًا فَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا أُعْتِقَتْ حِصَّتُهُ مِنْهَا وَمِنْ جَنِينِهَا لِأَنَّ عِتْقَ الْأُمِّ يَسْرِي إِلَى حَمْلِهَا وَكَانَ الْبَاقِي مِنْهَا وَمِنْ جَنِينِهَا مَوْقُوفًا لِلشَّرِيكِ فِيهَا فَيُعْتَبَرُ حِينَئِذٍ حال الضارب فإنه لا يخلوا مِنْ أَحَدِ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Bisa jadi ia adalah orang yang mampu atau orang yang tidak mampu. Jika ia tidak mampu, maka bagian miliknya dari budak perempuan itu dan dari janinnya dimerdekakan, karena kemerdekaan ibu berlaku juga pada kandungannya. Adapun sisa dari budak perempuan itu dan janinnya tetap menjadi milik bersama bagi sekutunya. Maka pada saat itu, keadaan orang yang memukul harus dipertimbangkan, karena tidak lepas dari salah satu dari tiga keadaan.
إِمَّا أَنْ يَكُونَ هُوَ الْمُعْتِقَ أَوْ يَكُونَ الشَّرِيكَ الَّذِي لَمْ يُعْتِقْ أَوْ يَكُونَ أَجْنَبِيًّا
Bisa jadi dia adalah orang yang memerdekakan, atau dia adalah sekutu yang tidak memerdekakan, atau dia adalah orang luar.
فَإِنْ كَانَ الضَّارِبُ هُوَ الشَّرِيكَ الْمُعْتِقَ ضَمِنَ جَنِينَهَا بِنِصْفِ عُشْرِ قِيمَةِ أُمِّهِ لِلشَّرِيكِ؛ لِأَنَّ نِصْفَهُ مَمْلُوكٌ لَهُ وَبِنِصْفِ الْغُرَّةِ لِأَنَّ نِصْفَهُ حُرٌّ وَفِي مُسْتَحَقِّهِ قَوْلَانِ وَوَجْهٌ ثَالِثٌ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْمَذْهَبِ فِيمَنْ عُتِقَ بَعْضُهُ هَلْ يَكُونُ مَوْرُوثًا عَلَى قولين للشافعي
Jika yang memukul adalah rekan yang memerdekakan, maka ia wajib menanggung diyat janin dengan setengah dari sepersepuluh nilai ibunya untuk rekan tersebut, karena separuhnya adalah miliknya, dan dengan setengah dari diyat penuh karena separuhnya adalah merdeka. Dalam bagian yang menjadi haknya sendiri terdapat dua pendapat dan satu pendapat ketiga, yang semuanya didasarkan pada perbedaan mazhab mengenai orang yang sebagian dirinya telah dimerdekakan, apakah ia dapat diwarisi atau tidak, menurut dua pendapat Imam Syafi‘i.
أَحَدُهُمَا لَا يُورَثُ مِنْهُ كَمَا لَا يَرِثُ لَهُ؛ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ لِمَالِكِ رِقِّهِ مِلْكًا لَا مِيرَاثًا فَيَصِيرُ لَهُ نِصْفُ الْغُرَّةِ مَعَ نِصْفِ قِيمَةِ الْأُمِّ وَذَلِكَ جَمِيعُ دِيَةِ جَنِينٍ نِصْفُهُ حُرٌّ وَنِصْفُهُ مَمْلُوكٌ
Salah satunya tidak mewarisi dari yang lain sebagaimana ia juga tidak diwarisi olehnya; berdasarkan hal ini, pemilik budaknya memiliki harta tersebut sebagai kepemilikan, bukan sebagai warisan, sehingga ia memperoleh setengah dari diyat ghurrah beserta setengah dari nilai ibu, dan itu semua adalah diyat janin yang setengahnya adalah merdeka dan setengahnya adalah milik (budak).
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَوْرُوثًا؛ لِأَنَّهُ لَمَّا مَلَكَ بِهِ كَسْبَ نَفْسِهِ فِي حَيَاتِهِ مَلَكَهُ وَارِثُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ لَهُ وَارِثٌ مُنَاسِبٌ وَرِثَ نِصْفَ الْغُرَّةِ وَلَا يَرِثُ مِنْهَا الْآخَرُ شَيْئًا لِرِقِّ بَعْضِهَا وَالْمَرْقُوقُ بَعْضُهُ لَا يَرِثُ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ وَرِثَ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَكَانَ نِصْفُ عُشْرِ الْقِيمَةِ لِمَالِكِ الرِّقِّ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ مُنَاسِبٌ وَصَارَ مَوْرُوثًا بِالْوَلَاءِ لَمْ يَرِثْهُ الْمُعْتِقُ؛ لِأَنَّهُ قَاتِلٌ وَانْتَقَلَ مِيرَاثُهُ إِلَى عَصَبَةِ مُعْتِقِهِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa harta tersebut menjadi harta warisan; karena ketika seseorang memilikinya sebagai hasil usahanya sendiri semasa hidupnya, maka setelah ia meninggal, harta itu menjadi milik ahli warisnya. Berdasarkan pendapat ini, jika ia memiliki ahli waris yang sesuai, maka ahli waris tersebut mewarisi setengah dari diyat, dan ahli waris lainnya tidak mendapatkan bagian apa pun karena sebagian dari harta tersebut masih berstatus budak, dan bagian yang masih berstatus budak tidak mewarisi menurut satu pendapat. Namun, jika menurut salah satu dari dua pendapat ia tetap mewarisi, maka setengah dari sepersepuluh nilai harta itu menjadi milik pemilik budak. Jika ia tidak memiliki ahli waris yang sesuai dan harta itu diwariskan melalui wala’, maka orang yang memerdekakannya tidak mewarisinya karena ia adalah pembunuh, sehingga warisannya berpindah kepada ‘ashabah dari orang yang memerdekakannya.
وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلٌ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ أَنَّ مِيرَاثَهُ يَكُونُ لِبَيْتِ الْمَالِ وَلَا يَكُونُ لِمَالِكِ رِقِّهِ وَلَا لوراثه
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Ishthakhri, bahwa warisannya menjadi milik baitul mal dan tidak menjadi milik pemilik budaknya maupun ahli warisnya.
وَأَمَّا إِنْ كَانَ الضَّارِبُ هُوَ مَالِكَ الرِّقِّ الَّذِي لَمْ يُعْتَقْ فَلَا يَضْمَنُ مَا مَلَكَهُ مِنْ رِقِّهِ لِأَنَّهُ لَا يَضْمَنُ مِلْكَ نَفْسِهِ فِي حَقِّهِ وَفِي ضَمَانِ مَا عُتِقَ مِنْهُ قَوْلَانِ
Adapun jika yang memukul adalah pemilik budak yang belum dimerdekakan, maka ia tidak menanggung apa yang dimilikinya dari budaknya, karena seseorang tidak menanggung kepemilikan dirinya sendiri dalam haknya. Adapun dalam hal menanggung apa yang telah dimerdekakan darinya, terdapat dua pendapat.
أَحَدُهُمَا لَا يَضْمَنُهُ إِذَا قِيلَ لَوْ ضَمِنَهُ غَيْرُهُ كَانَ لَهُ
Salah satunya adalah ia tidak menanggungnya, jika dikatakan: “Seandainya orang lain menanggungnya, maka itu menjadi miliknya.”
وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَضْمَنُهُ إِذَا قِيلَ لَوْ ضَمِنَهُ غَيْرُهُ كَانَ مَوْرُوثًا عَنْهُ فَيَكُونُ لِعَصَبَتِهِ فَإِنْ عَدِمُوا فَلِمُعْتِقِهِ وَيَكُونُ لِبَيْتِ الْمَالِ عَلَى قَوْلِ الْإِصْطَخْرِيِّ وَإِنْ كَانَ الضَّارِبُ أَجْنَبِيًّا ضَمِنَ جَمِيعَهُ بِنِصْفِ عُشْرِ قِيمَةِ الْأُمِّ لِأَجْلِ نِصْفِ الْمَرْقُوقِ يَكُونُ لِلشَّرِيكِ الْمُسْتَرِقِ وَبِنِصْفِ الْغُرَّةِ لِأَجْلِ نِصْفِ الْمُعْتِقِ وَفِي مُسْتَحِقِّهِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْمَذَاهِبِ الثَّلَاثَةِ
Pendapat kedua menyatakan bahwa ia wajib menanggungnya. Jika dikatakan, “Seandainya ada orang lain yang menanggungnya, maka itu menjadi warisan darinya, sehingga menjadi hak ‘ashabah-nya. Jika mereka tidak ada, maka menjadi hak mu‘tiq-nya, dan menurut pendapat Al-Istakhri, menjadi hak Baitul Mal.” Jika pelaku pemukulan adalah orang asing, maka ia menanggung seluruhnya dengan setengah sepersepuluh dari nilai ibu karena setengah budak menjadi milik syarikat mustariq, dan dengan setengah diyat karena setengahnya menjadi milik mu‘tiq. Adapun siapa yang berhak menerimanya, telah kami sebutkan sebelumnya menurut tiga mazhab.
أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ لِلشَّرِيكِ الْمُسْتَرِقِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ غَيْرُ مَوْرُوثٍ
Salah satunya adalah bahwa hak itu menjadi milik mitra yang turut memiliki, jika dikatakan bahwa hak tersebut bukanlah sesuatu yang diwariskan.
وَالثَّانِي يَكُونُ لِلْمُعْتِقِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ مَوْرُوثٌ
Dan yang kedua menjadi milik mu‘tiq jika dikatakan bahwa ia adalah harta warisan.
وَالثَّالِثُ يَكُونُ لِبَيْتِ الْمَالِ فَهَذَا حُكْمُهُ إِذَا كَانَ الشَّرِيكُ الْمُعْتِقُ مُعْسِرًا
Dan yang ketiga menjadi milik Baitul Mal; inilah hukumnya apabila sekutu yang memerdekakan itu dalam keadaan tidak mampu.
فَأَمَّا إِذَا كَانَ الشَّرِيكُ الْمُعْتِقُ مُوسِرًا قُوِّمَتْ عَلَيْهِ حِصَّةُ شَرِيكِهِ مِنَ الْأُمِّ وَهُوَ النِّصْفُ وَعُتِقَ جَمِيعُهَا نِصْفُهَا بِالْمُبَاشَرَةِ وَنِصْفُهَا بِالسِّرَايَةِ وَسَرَى عِتْقُ الْمُبَاشَرَةِ وَعِتْقُ السِّرَايَةِ إِلَى عِتْقِ جَنِينِهَا فَصَارَتْ وَجَنِينُهَا حُرَّيْنِ وَمَتَى يُعْتَقُ النِّصْفُ الْمُقَوَّمُ عَلَيْهِ فِي ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ
Adapun jika sekutu yang memerdekakan itu mampu (mampu membayar), maka bagian sekutunya dari ibu (budak) tersebut, yaitu setengahnya, dinilai (dihitung harganya) atasnya, dan seluruhnya menjadi merdeka: setengahnya karena pemerdekaan langsung, dan setengahnya karena as-sirāyah (pemerdekaan yang merambat). Pemerdekaan langsung dan pemerdekaan as-sirāyah itu juga merambat kepada janin yang dikandungnya, sehingga ia dan janinnya menjadi dua orang yang merdeka. Adapun kapan setengah yang dinilai atasnya itu menjadi merdeka, terdapat tiga pendapat.
أَحَدُهَا بِلَفْظِهِ الَّذِي أَعْتَقَ بِهِ حِصَّتَهُ وَيُؤَدِّي الْقِيمَةَ بَعْدَ عِتْقِهِ عَلَيْهِ
Salah satunya adalah dengan lafaz yang digunakan untuk memerdekakan bagiannya, dan ia membayar nilai (bagian yang lain) setelah kemerdekaan itu menjadi wajib atasnya.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يُعْتَقُ عَلَيْهِ بِاللَّفْظِ وَأَدَاءِ الْقِيمَةِ فَإِنْ لَمْ يُؤَدِّهَا لَمْ يُعْتَقْ
Pendapat kedua menyatakan bahwa budak tersebut merdeka dengan ucapan dan pembayaran nilai (tebusan); maka jika nilai tersebut tidak dibayarkan, budak itu tidak menjadi merdeka.
وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ مُرَاعًى فَإِنْ أَدَّى الْقِيمَةَ بَانَ أَنَّهُ عَتَقَ بِنَفْسِ اللَّفْظِ وَإِنْ لَمْ يُؤَدِّهَا بَانَ أَنَّهُ لَمْ يُعْتَقْ بِاللَّفْظِ فَعَلَى هَذَا لَا يَخْلُو حَالُهَا فِي إِلْقَاءِ جَنِينِهَا مِنْ أن يَكُونَ بَعْدَ دَفْعِ الْقِيمَةِ أَوْ قَبْلَهَا فَإِنْ كَانَ بَعْدَ دَفْعِ الْقِيمَةِ فَقَدْ أَلْقَتْهُ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ عِتْقِهَا وَعِتْقِ جَنِينِهَا فَيَكُونُ عَلَى الضَّارِبِ غُرَّةٌ كَامِلَةٌ فَإِنْ كَانَ الضَّارِبُ هُوَ الْمُعْتِقَ غَرِمَهَا وَلَمْ يَرِثْ مِنْهَا لِأَنَّهُ قَاتِلٌ وَوَرِثَتِ الْأُمُّ لِكَمَالِ حُرِّيَّتِهَا وَكَانَ مَا بَقِيَ بَعْدَ فَرْضِهَا لِعَصَبَتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُونُوا فَلِعَصَبَةِ الْمُعْتِقِ الْقَاتِلِ وَإِنْ كَانَ الضَّارِبُ هُوَ الشَّرِيكَ فَحُكْمُهُ وَحُكْمُ الْأَجْنَبِيِّ وَاحِدٌ وَعَلَيْهِ الْغُرَّةُ يَسْتَحِقُّهَا وَرَثَةُ الْجَنِينِ يَكُونُ لِأُمِّهِ مِنْهَا مِيرَاثُ أُمٍّ وَالْبَاقِي للعصبة فإن لم يكونوا المعتق لَهُ وَإِنْ أَلْقَتْ جَنِينَهَا بَعْدَ الْعِتْقِ وَقَبْلَ دَفْعِ الْقِيمَةِ
Pendapat ketiga menyatakan bahwa statusnya tergantung dan diperhatikan; jika nilai (tebusan) dibayarkan, maka jelas bahwa ia merdeka dengan sendirinya melalui ucapan tersebut, dan jika tidak dibayarkan, maka jelas bahwa ia tidak merdeka dengan ucapan itu. Berdasarkan hal ini, keadaannya dalam menggugurkan janinnya tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi setelah pembayaran nilai atau sebelumnya. Jika terjadi setelah pembayaran nilai, maka ia telah menggugurkannya setelah kemerdekaannya dan kemerdekaan janinnya menjadi tetap, sehingga atas orang yang memukulnya wajib membayar diyat janin (ghurrah) secara penuh. Jika yang memukul adalah orang yang memerdekakan, maka ia wajib membayarnya dan tidak mewarisi darinya karena ia adalah pembunuh, dan ibu mewarisi karena kemerdekaannya telah sempurna, dan sisanya setelah bagian ibu menjadi milik ‘ashabah-nya; jika mereka tidak ada, maka menjadi milik ‘ashabah orang yang memerdekakan yang juga pembunuh. Jika yang memukul adalah sekutu, maka hukumnya sama dengan orang lain (bukan mahram), dan atasnya wajib membayar ghurrah yang menjadi hak ahli waris janin; ibunya mendapatkan bagian warisan sebagai ibu, dan sisanya untuk ‘ashabah; jika mereka tidak ada, maka untuk orang yang memerdekakan. Jika ia menggugurkan janinnya setelah merdeka dan sebelum pembayaran nilai…
فَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا قَدْ عُتِقَتْ بِنَفْسِ اللَّفْظِ أَوْ قِيلَ إِنَّهُ مَوْقُوفٌ مُرَاعًى وَدَفَعَ الْقِيمَةَ كَانَ الْحُكْمُ فِيهِ كَمَا لَوْ أَلْقَتْهُ بَعْدَ دَفْعِ الْقِيمَةِ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى
Jika dikatakan bahwa ia telah merdeka dengan lafaz itu sendiri, atau dikatakan bahwa hal itu adalah mu‘allaq yang diperhatikan dan ia telah membayar nilai (budak tersebut), maka hukumnya sama seperti jika ia membebaskannya setelah membayar nilai, sehingga berlaku sebagaimana yang telah lalu.
وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا لَا تُعْتَقُ إِلَّا بَعْدَ أَدَاءِ الْقِيمَةِ أَوْ قِيلَ إِنَّهُ مَوْقُوفٌ مُرَاعًى وَلَمْ يَدْفَعِ الْقِيمَةَ كَانَ كَمَا لَوْ كَانَ مُعْسِرًا وَلَمْ يُعْتَقْ بَيْنَهَا إِلَّا مَا عُتِقَ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan jika dikatakan bahwa ia tidak merdeka kecuali setelah membayar nilai (tebusan), atau dikatakan bahwa statusnya tergantung dan diperhatikan, namun nilai tersebut belum dibayarkan, maka keadaannya seperti orang yang tidak mampu membayar dan belum dimerdekakan, kecuali bagian yang telah dimerdekakan. Maka hukumnya mengikuti apa yang telah lalu, dan Allah lebih mengetahui.D