Kitab al-Qasāmah

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” أخبرنا مالك عن أَبِي لَيْلَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ رِجَالٌ مِنْ كُبَرَاءَ قَوْمِهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ وَمُحَيِّصَةَ خَرَجَا إِلَى خَيْبَرَ فَتَفَرَّقَا فِي حَوَائِجِهِمَا فَأُخْبِرَ مُحَيِّصَةُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ قُتِلَ وَطُرِحَ فِي قَفِيرٍ أَوْ عَيْنٍ فَأَتَى يَهُودَ فَقَالَ أَنْتُمْ قَتَلْتُمُوهُ قَالُوا مَا قَتَلْنَاهُ فَقَدِمَ عَلَى قَوْمِهِ فَأَخْبَرَهُمْ فَأَقْبَلَ هُوَ وَأَخُوهُ حُوَيِّصَةُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَهْلٍ أَخُو الْمَقْتُولِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَذَهَبَ مُحَيِّصَةُ يَتَكَلَّمُ فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ” كَبِّرْ كَبِّرْ يُرِيدُ السِّنَّ فَتَكَلَّمَ حُوَيِّصَةُ ثُمَّ مُحَيِّصَةُ فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ” إِمَّا أَنْ يَدُوا صَاحِبَكُمْ وإما أن يؤذنوا بحرب فكتب عليه السلام إليهم فِي ذَلِكَ فَكَتَبُوا إِنَّا وَاللَّهِ مَا قَتَلْنَاهُ فَقَالَ لِحُوَيِّصَةَ وَمُحَيِّصَةَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ ” أَتَحْلِفُونَ وَتَسْتَحِقُّونَ دَمَ صَاحِبِكُمْ قَالُوا لَا قَالَ فَتَحْلِفُ يَهُودُ قَالُوا لَيْسُوا بِمُسْلِمِينَ فَوَدَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ عِنْدِهِ فَبَعَثَ إِلَيْهِمْ مِائَةَ نَاقَةٍ قَالَ سَهْلٌ لَقَدْ رَكَضَتْنِي مِنْهَا نَاقَةٌ حَمْرَاءُ قَالَ الشافعي رحمه الله فإن قيل فقد قال للولي وغيره تحلفون وتستحقون وأنت لا خلف إلا الأولياء قيل يكون قد قال ذلك لأخي المقتول الوارث ويجوز أن يقول تحلفون لواحد والدليل على ذلك حكم الله عز وجل وحكم رسوله عليه الصلاة والسلام أن اليمين لا تكون إلا فيما يدفع بها المرء عن نفسه أو يأخذ بها مع شاهده ولا يجوز لحالف يمين يأخذ بها غيره

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Malik telah memberitakan kepada kami dari Abu Laila bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman dari Sahl bin Abi Hathmah, bahwa sekelompok orang dari tokoh-tokoh kaumnya memberitahunya bahwa ‘Abdullah dan Muḥayyiṣah pergi ke Khaybar, lalu mereka berpisah untuk mengurus keperluan masing-masing. Kemudian Muḥayyiṣah diberitahu bahwa ‘Abdullah telah terbunuh dan dilemparkan ke dalam sumur atau mata air. Maka ia mendatangi orang-orang Yahudi dan berkata, ‘Kalian yang membunuhnya.’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak membunuhnya.’ Lalu ia kembali kepada kaumnya dan memberitahu mereka. Maka ia bersama saudaranya, Ḥuwayyiṣah, dan ‘Abdurrahman bin Sahl, saudara korban, mendatangi Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Muḥayyiṣah hendak berbicara, namun beliau bersabda, ‘Yang lebih tua, yang lebih tua,’ maksudnya mendahulukan yang lebih tua usianya. Maka Ḥuwayyiṣah berbicara, lalu Muḥayyiṣah. Kemudian beliau bersabda, ‘Kalian harus menuntut diyat untuk teman kalian, atau mereka harus bersiap untuk perang.’ Lalu beliau menulis surat kepada mereka (orang Yahudi) tentang hal itu, dan mereka membalas, ‘Demi Allah, kami tidak membunuhnya.’ Maka beliau berkata kepada Ḥuwayyiṣah, Muḥayyiṣah, dan ‘Abdurrahman, ‘Apakah kalian mau bersumpah dan berhak atas darah teman kalian?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu, orang Yahudi yang bersumpah.’ Mereka berkata, ‘Mereka bukan Muslim.’ Maka Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam membayar diyat dari beliau sendiri, dan mengirimkan kepada mereka seratus ekor unta. Sahl berkata, ‘Salah satu unta merah dari unta-unta itu pernah menendangku.’ Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, ‘Jika ada yang bertanya, beliau berkata kepada wali dan selainnya, ‘Kalian bersumpah dan berhak,’ padahal tidak ada yang bersumpah kecuali para wali, maka dijawab: beliau mengatakannya kepada saudara korban yang merupakan ahli waris, dan boleh saja beliau berkata ‘kalian bersumpah’ kepada satu orang saja. Dalilnya adalah hukum Allah ‘azza wa jalla dan hukum Rasul-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa sumpah tidak berlaku kecuali untuk membela diri sendiri atau mengambil hak bersama saksi, dan tidak boleh seseorang bersumpah untuk mengambil hak orang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْقَسَامَةُ فَهِيَ مُشْتَقَّةٌ مِنَ الْقَسَمِ وَهُوَ الْيَمِينُ سُمِّيَتْ قَسَامَةً لِتَكْرَارِ الْأَيْمَانِ فِيهَا وَاخْتُلِفَ فِيهَا هَلْ هِيَ اسْمٌ لِلْأَيْمَانِ أَوْ لِلْحَالِفِينَ بِهَا

Al-Mawardi berkata: Adapun qasāmah, ia diambil dari kata al-qasam yang berarti sumpah; dinamakan qasāmah karena adanya pengulangan sumpah di dalamnya. Para ulama berbeda pendapat tentangnya, apakah qasāmah itu nama bagi sumpah-sumpah tersebut atau bagi orang-orang yang bersumpah dengannya.

فَقَالَ بَعْضُهُمْ هِيَ اسْمٌ لِلْأَيْمَانِ لِأَنَّهَا مَصْدَرٌ مِنْ أَقْسَمَ يُقْسِمُ قَسَامَةً

Sebagian dari mereka berkata bahwa ia adalah nama untuk sumpah, karena ia merupakan mashdar dari aq-sama, yuqsimu, qasāmah.

وَقَالَ آخَرُونَ هِيَ اسْمٌ لِلْحَالِفِينَ بِهَا لِتَعَلُّقِهَا بهم وتعديها إليهم والقسامة مُخْتَصَّةٌ بِدَعْوَى الدَّمِ دُونَ مَا عَدَاهَا مِنْ سَائِرِ الدَّعَاوَى وَأَوَّلُ مَنْ قَضَى بِالْقَسَامَةِ عَلَى مَا حَكَاهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ فِي الْمَعَارِفِ الْوَلِيدُ بْنُ الْمُغِيرَةَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَقَرَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في الإسلام فإن تجردت دَعْوَى الدَّمِ عَنْ لَوْثٍ

Dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa ia adalah nama bagi orang-orang yang bersumpah dengannya karena keterkaitannya dengan mereka dan karena ia beralih kepada mereka. Qasāmah khusus untuk perkara klaim darah dan tidak berlaku untuk selainnya dari berbagai klaim lainnya. Orang pertama yang memutuskan dengan qasāmah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab al-Ma‘ārif, adalah al-Walid bin al-Mughirah pada masa Jahiliyah, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkannya dalam Islam. Maka jika klaim darah itu tidak disertai dengan adanya indikasi (lawts)…

كَانَ الْقَوْلُ فِيهَا قَوْلَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ عَلَى مَا سَيَأْتِي وَإِنِ اقْتَرَنَ بِالدَّعْوَى لَوْثٌ وَاللَّوْثُ أَنْ يَقْتَرِنَ بِالدَّعْوَى مَا يَدُلُّ عَلَى صِدْقِ الْمُدَّعِي عَلَى مَا سَنَصِفُهُ فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُدَّعِي إِذَا كَانَتْ فِي نَفْسٍ فَيَحْلِفُ خَمْسِينَ يَمِينًا وَيُحْكَمُ لَهُ بَعْدَ أَيْمَانِهِ بِمَا ادَّعَى مِنَ الْقَتْلِ فَإِنْ نَكَلَ الْمُدَّعِي رُدَّتِ الْأَيْمَانُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَيَحْلِفُ خَمْسِينَ يَمِينًا وَيُبَرَّأُ

Dalam perkara ini, yang dijadikan pegangan adalah pernyataan dari pihak tergugat, sebagaimana akan dijelaskan nanti. Namun, jika dalam gugatan terdapat adanya “lawts” — yaitu adanya sesuatu yang menyertai gugatan yang menunjukkan kebenaran penggugat, sebagaimana akan kami jelaskan — maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan penggugat, jika perkara tersebut berkaitan dengan jiwa (nyawa). Maka penggugat bersumpah sebanyak lima puluh kali, lalu diputuskan baginya sesuai dengan apa yang ia dakwakan mengenai pembunuhan. Jika penggugat enggan bersumpah, maka sumpah tersebut dialihkan kepada tergugat, sehingga tergugat bersumpah sebanyak lima puluh kali dan ia dinyatakan bebas.

وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ

Dan demikian pula pendapat Malik dan Ahmad bin Hanbal.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا اعْتِبَارَ بِاللَّوْثِ وَلَا يُحْكَمُ بِقَوْلِ الْمُدَّعِي وَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا حَلَفَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَإِنْ كَانُوا أَهْلَ قَرْيَةٍ أُحْلِفَ مِنْ خِيَارِهَا خَمْسُونَ رَجُلًا خَمْسِينَ يَمِينًا فَإِذَا حَلَفُوا وَجَبَتِ الدِّيَةُ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ فَإِنْ كَانَ الْقَتِيلُ مَوْجُودًا غَرِمَ الدِّيَةَ بَانِي الْقَرْيَةِ فِي الْمَوْجُودِ وَالْمَفْقُودِ وَإِنْ كَانَ قَتِيلُهُمْ مَفْقُودًا يَغْرَمُهَا سُكَّانُ الْقَرْيَةِ

Abu Hanifah berkata: Tidak ada pertimbangan terhadap al-lawts, dan tidak diputuskan berdasarkan ucapan penggugat, melainkan ucapan yang dipegang adalah ucapan tergugat. Jika tergugat hanya satu orang, ia bersumpah lima puluh kali sumpah. Jika mereka adalah penduduk suatu desa, maka dari orang-orang pilihan desa itu, lima puluh orang bersumpah lima puluh kali sumpah. Setelah mereka bersumpah, diwajibkan membayar diyat setelah sumpah mereka. Abu Hanifah berkata: Jika mayat ditemukan, maka yang menanggung diyat adalah pembangun desa itu, baik dalam kasus mayat yang ditemukan maupun yang hilang. Namun jika mayat mereka hilang, maka diyat ditanggung oleh penduduk desa.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ يَغْرَمُهَا سُكَّانُ الْقَرْيَةِ فِي الْمَوْجُودِ وَالْمَفْقُودِ وَهَكَذَا لَوْ وُجِدَ الْقَتِيلُ فِي مَسْجِدٍ أَوْ جَامِعٍ حَلَفَ خَمْسُونَ رَجُلًا مِنْ خِيَارِ أَهْلِهِ وَوَجَبَتِ الدِّيَةُ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ عَلَى بَاقِي الْمَسْجِدِ إِنْ كَانَ الْقَتِيلُ مَوْجُودًا وَعَلَى الْمُصَلِّينَ فيه إن كان مفقوداً في قول أبو حَنِيفَةَ وَعَلَى قَوْلِ أَبِي يُوسُفَ تَكُونُ عَلَى أَهْلِ الْمَسْجِدِ فِي الْمَوْجُودِ وَالْمَفْقُودِ فَإِنْ نَكَلُوا عَنِ الْأَيْمَانِ حُبِسُوا حَتَّى يَحْلِفُوا وَاسْتَدَلُّوا عَلَى إِحْلَافِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ دُونَ الْمُدَّعِي بِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَوْ أُعْطِيَ النَّاسُ بِدَعَاوِيهِمْ لَادَّعَى قَوْمٌ دِمَاءَ قَوْمٍ وَأَمْوَالَهُمْ لَكِنَّ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ وَهَذَا نَصٌّ وَرَوَى زِيَادُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ إِنَّ أَخِي قُتِلَ بَيْنَ قَرْيَتَيْنِ فَقَالَ يَحْلِفُ مِنْهُمْ خَمْسُونَ رَجُلًا قَالَ مَا لِي مِنْ أَخِي غَيْرُ هَذَا قَالَ بَلَى وَلَكَ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ وَهَذَا نَصٌّ وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عبد الرحمن بن عبد الله القرظي أَنَّ الْيَهُودَ قَتَلُوا عَبْدَ اللَّهِ فَأَتَتِ الْأَنْصَارُ إلى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَخْبَرُوهُ بِذَلِكَ فَكَتَبَ إِلَى الْيَهُودِ أَنِ احْلِفُوا خَمْسِينَ يَمِينًا ثُمَّ اعْقِلُوهُ فَإِنَّهُ وُجِدَ قَتِيلًا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ فَأَلْزَمَهُمُ الْيَمِينَ وَالدِّيَةَ مَعًا

Abu Yusuf berkata, “Penduduk desa menanggung diyatnya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir. Demikian pula, jika ditemukan orang yang terbunuh di masjid atau jami‘, maka lima puluh orang pilihan dari penduduknya bersumpah, dan diyat menjadi wajib setelah sumpah mereka atas seluruh penghuni masjid jika jenazahnya ditemukan, dan atas para jamaah shalat di dalamnya jika tidak ditemukan, menurut pendapat Abu Hanifah. Sedangkan menurut pendapat Abu Yusuf, diyat menjadi tanggungan penduduk masjid, baik yang hadir maupun yang tidak hadir. Jika mereka enggan bersumpah, maka mereka dipenjara sampai mereka bersumpah. Mereka berdalil tentang kewajiban sumpah atas pihak tergugat, bukan penggugat, dengan riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda, ‘Seandainya manusia diberi (hak) hanya berdasarkan klaim mereka, niscaya suatu kaum akan menuntut darah dan harta kaum lain. Namun, bukti ada pada penggugat dan sumpah atas orang yang mengingkari.’ Ini adalah nash. Ziyad bin Abi Maryam meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, ‘Saudaraku terbunuh di antara dua desa.’ Nabi bersabda, ‘Lima puluh orang dari mereka bersumpah.’ Ia berkata, ‘Aku tidak punya saudara selain dia.’ Nabi bersabda, ‘Benar, dan bagimu seratus ekor unta.’ Ini adalah nash. Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah al-Qurazhi bahwa orang-orang Yahudi membunuh ‘Abdullah. Maka kaum Anshar mendatangi Nabi ﷺ dan memberitahukan hal itu kepadanya. Lalu beliau menulis surat kepada orang-orang Yahudi, ‘Bersumpahlah lima puluh sumpah, kemudian bayarlah diyat, karena ia ditemukan terbunuh di tengah-tengah kalian.’ Maka beliau mewajibkan kepada mereka sumpah dan diyat sekaligus.

وَرُوِيَ أَنْ رَجُلًا وُجِدَ قَتِيلًا بَيْنَ حَيَّيْنِ فَاعْتَبَرَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِأَقْرَبِ الْحَيَّيْنِ وَأَحْلَفَهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا وَقَضَى عَلَيْهِمْ بِالدِّيَةِ فَقَالُوا مَا وَقَتْ أَمْوَالَنَا أَيْمَانُنَا وَلَا أيماننا أموالنا فقال عمر حصنتم بأموالكم دمائكم وَهَذِهِ قَضِيَّةٌ مُنْتَشِرَةٌ لَمْ يَظْهَرْ لِعُمَرَ فِيهَا مُخَالِفٌ فَكَانَتْ إِجْمَاعًا وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّ يَمِينَ الْمُدَّعِي قَوْلُهُ فَلَمْ يُوجَبِ الْحُكْمُ لَهُ كَالدَّعْوَى وَلِأَنَّهَا دَعْوَى فَلَمْ يُحْكَمْ فِيهَا بِيَمِينِ الْمُدَّعِي كَسَائِرِ الدَّعَاوَى وَلِأَنَّ كُلَّ دَعْوَى لَمْ يُحْكَمْ فِيهَا بِيَمِينِ الْمُدَّعِي عِنْدَ عَدَمِ اللَّوْثِ لَمْ يُحْكَمْ فِيهَا بِيَمِينِ الْمُدَّعِي مَعَ وُجُوبِ اللَّوْثِ كَالْأَطْرَافِ

Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki ditemukan terbunuh di antara dua kelompok (kabilah), maka Umar bin Khattab ra. mempertimbangkan kelompok yang paling dekat, lalu ia meminta mereka bersumpah sebanyak lima puluh kali, dan memutuskan atas mereka untuk membayar diyat. Mereka berkata, “Harta kami tidak dapat ditentukan oleh sumpah kami, dan sumpah kami tidak dapat menentukan harta kami.” Maka Umar berkata, “Kalian telah melindungi darah kalian dengan harta kalian.” Ini adalah kasus yang masyhur, dan tidak tampak adanya pihak yang menyelisihi Umar dalam hal ini, sehingga hal itu menjadi ijmā‘. Dari sisi qiyās, sumpah penggugat adalah ucapannya, maka tidak wajib menetapkan hukum untuknya seperti halnya pengakuan. Karena itu adalah sebuah pengakuan, maka tidak diputuskan dengan sumpah penggugat sebagaimana pengakuan-pengakuan lainnya. Dan setiap pengakuan yang tidak diputuskan dengan sumpah penggugat ketika tidak ada indikasi kuat (lawts), maka tidak diputuskan pula dengan sumpah penggugat meskipun ada indikasi kuat, seperti pada kasus anggota tubuh.

وَدَلِيلُنَا الْحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ فِي صَدْرِ الْبَابِ إنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِلْأَنْصَارِ حِينَ ادَّعَوْا قَتْلَ صَاحِبِهِمْ عَلَى الْيَهُودِ تَحْلِفُونَ وَتَسْتَحِقُّونَ دَمَ صَاحِبِكُمْ قَالُوا لَا قَالَ فَتُبْرِئُكُمْ يَهُودُ بِخَمْسِينَ يَمِينًا قَالُوا لَيْسُوا بِمُسْلِمِينَ فَوَدَاهُ مِنْ عِنْدِهِ وَقَدْ رَوَاهُ عَبَّادٌ عَنْ حَجَّاجٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ خَرَجَ حُوَيِّصَةُ وَمُحَيِّصَةُ ابْنَا مَسْعُودٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ وَعَبْدُ اللَّهِ ابْنَا سَهْلٍ إِلَى خَيْبَرَ يَمْتَارُونَ فَتَفَرَّقُوا لِحَاجَتِهِمْ فَمَرُّوا بِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَهْلٍ قَتِيلًا فَرَجَعُوا إِلَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ تَحْلِفُونَ خَمْسِينَ يَمِينًا قَسَامَةً تَسْتَحِقُّونَ بِهِ قَتِيلَكُمْ قَالُوا نَحْلِفُ عَلَى أَمْرٍ غِبْنَا عَنْهُ قَالَ فيحلف اليهود خمسين يميناً فيبرؤون فَقَالُوا نَقْبَلُ أَيْمَانَ قَوْمٍ كُفَّارٍ فَأَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِمَالٍ مِنْ مَالِ الصَّدَقَةِ فَوَدَاهُ مِنْ عِنْدِهِ فَكَانَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” تَحْلِفُونَ وَتَسْتَحِقُّونَ دَمَ صَاحِبِكُمْ فَبَدَأَ بِهِمْ وَجَعَلَ الدَّمَ مُسْتَحَقًّا بِأَيْمَانِهِمْ وَأَبُو حَنِيفَةَ يَبْدَأُ بِغَيْرِهِمْ وَيَجْعَلُ الدَّمَ مُسْتَحَقًّا بِأَيْمَانِ غَيْرِهِمْ

Dalil kami adalah hadis yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i di awal bab, bahwa Nabi ﷺ berkata kepada kaum Anshar ketika mereka menuduh orang Yahudi telah membunuh sahabat mereka: “Kalian bersumpah dan berhak atas darah sahabat kalian.” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Maka orang Yahudi membebaskan kalian dengan lima puluh sumpah.” Mereka berkata, “Mereka bukan Muslim.” Maka beliau menanggung diyat dari hartanya sendiri. Hadis ini juga diriwayatkan oleh ‘Abbad dari Hajjaj dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Huwaiyishah dan Muhaiyishah, dua anak Mas‘ud, serta ‘Abdurrahman dan ‘Abdullah, dua anak Sahal, pergi ke Khaibar untuk mengambil bahan makanan. Mereka berpencar untuk keperluan masing-masing, lalu mereka mendapati ‘Abdullah bin Sahal telah terbunuh. Mereka kembali kepada Nabi ﷺ dan memberitahukan hal itu. Nabi ﷺ bersabda kepada mereka: “Kalian bersumpah lima puluh kali sebagai qasāmah, lalu kalian berhak atas orang yang terbunuh itu.” Mereka berkata, “Kami bersumpah atas perkara yang kami tidak menyaksikannya.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, orang Yahudi bersumpah lima puluh kali, lalu mereka terbebas.” Mereka berkata, “Apakah kami menerima sumpah dari kaum kafir?” Maka Rasulullah ﷺ mendatangkan harta dari harta sedekah dan membayar diyat dari hartanya sendiri. Dalam hadis ini terdapat dua dalil: pertama, bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Kalian bersumpah dan berhak atas darah sahabat kalian,” maka beliau memulai dari mereka dan menjadikan darah itu berhak didapatkan dengan sumpah mereka, sedangkan Abu Hanifah memulai dari selain mereka dan menjadikan darah itu berhak didapatkan dengan sumpah selain mereka.

الثَّانِي قَوْلُهُ فَتُبْرِئُكُمْ يَهُودُ بِخَمْسِينَ يَمِينًا فَنَقَلَ الْأَيْمَانَ عَنْهُمْ إِلَى غَيْرِهِمْ وَجَعَلَهَا مُبْرِئَةً لَهُمْ وَأَبُو حَنِيفَةَ لَا يَنْقُلُ الْأَيْمَانَ وَلَا يُبْرِئُ بِهَا مِنَ الدَّمِ فَاعْتَرَضُوا عَلَى حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ أبي حثمة من ثلاثة أوجه

Kedua, ucapannya: “Maka orang-orang Yahudi membebaskan kalian dengan lima puluh sumpah,” yaitu memindahkan sumpah dari mereka kepada selain mereka dan menjadikannya sebagai pembebas bagi mereka. Sedangkan Abu Hanifah tidak memindahkan sumpah dan tidak membebaskan dengan sumpah itu dari tanggungan darah, maka mereka mengkritik hadis Sahl bin Abi Hatsmah dari tiga sisi.

أحدهما أَنَّ سَهْلَ بْنَ أَبِي حَثْمَةَ كَانَ طِفْلًا لَا يَضْبِطُ مَا يَرْوِيهِ وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ قَدْ كَانَ ضَابِطًا لِحَالِهِ وَقَدْ رَوَى أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ فِي زِيَادَاتِهِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ الْحَرْبِيِّ أَنَّهُ كَانَ لِسَهْلٍ حِينَ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثَمَانِ سِنِينَ وَقَدْ عَمِلَ التَّابِعُونَ بِمَا رَوَاهُ

Pertama, bahwa Sahl bin Abi Hatsmah adalah seorang anak kecil yang belum mampu mengingat dengan baik apa yang ia riwayatkan. Jawabannya adalah bahwa ia sebenarnya telah mampu mengingat dengan baik keadaannya. Abu Bakar an-Naisaburi meriwayatkan dalam tambahan-tambahannya dari Ibrahim al-Harbi bahwa usia Sahl ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah delapan tahun, dan para tabi‘in telah mengamalkan apa yang ia riwayatkan.

وَالِاعْتِرَاضُ الثَّانِي أَنَّ سُفْيَانَ بْنَ عُيَيْنَةَ رَوَى عَنْ سَهْلُ بْنُ أَبِي حَثْمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَدَأَ فِي الْقَسَامَةِ بِأَيْمَانِ الْيَهُودِ وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهَا رِوَايَةٌ تَفَرَّدَ بِهَا سُفْيَانُ وَشَكَّ فِيهَا هَلْ بَدَأَ بِأَيْمَانِ الْأَنْصَارِ أَوِ الْيَهُودِ وَقَدْ قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَهِمَ سُفْيَانُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ

Keberatan kedua adalah bahwa Sufyān bin ‘Uyainah meriwayatkan dari Sahl bin Abī Hathamā bahwa Nabi ﷺ memulai dalam kasus al-qasāmah dengan sumpah orang-orang Yahudi. Jawabannya adalah bahwa ini adalah riwayat yang hanya diriwayatkan oleh Sufyān, dan ia ragu di dalamnya, apakah Nabi memulai dengan sumpah kaum Anshar atau orang-orang Yahudi. Abu Dāwud berkata bahwa Sufyān keliru dalam hadis ini.

وَالِاعْتِرَاضُ الثَّالِثُ أَنَّ بَشِيرَ بْنَ يَسَارٍ رَوَى عَنْ سَهْلُ بْنُ أَبِي حَثْمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِلْأَنْصَارِ أَتَحْلِفُونَ وَتَسْتَحِقُّونَ دَمَ صَاحِبِكُمْ

Keberatan ketiga adalah bahwa Basyir bin Yasar meriwayatkan dari Sahl bin Abi Hatsmah bahwa Nabi ﷺ berkata kepada kaum Anshar: “Apakah kalian bersumpah dan berhak atas darah saudara kalian?”

قَالَ محمد بن الحسن قال تلك لهم على وجه الإنكار عليهم ما قال تعالى أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ المائدة 50 وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ لو حكى عَلَى وَجْهِ الْإِنْكَارِ لَمَا قَالَ وَتَسْتَحِقُّونَ دَمَ صَاحِبِكُمْ فَيَصِيرُ بِالِاسْتِحْقَاقِ وَبِمَا قَالَ بَعْدَهُ فَتُبْرِئُكُمْ يهود بخمسين يميناً خَارِجًا عَنِ الْإِنْكَارِ وَإِنَّمَا أَدْخَلَ الْأَلِفَ لِيَخْرُجَ عَنْ صِيغَةِ الْأَمْرِ لِأَنَّ قَوْلَهُ تَحْلِفُونَ شَبِيهٌ بِالْأَمْرِ الْمَحْتُومِ فَأَدْخَلَ عَلَيْهِ الْأَلِفَ لِلِاسْتِفْهَامِ لِيَصِيرَ تَفْرِيقًا لِلْحُكْمِ وَاسْتِخْبَارًا عَنِ الْحَالِ وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَيْهِ مَا رَوَاهُ مُسْلِمِ بْنِ خَالِدٍ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ الْبَيِّنَةُ عَلَى مَنِ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ إِلَّا فِي الْقَسَامَةِ وَرَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنِ ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَهَذَا نَصٌّ لِأَنَّهُ لَمَّا جَعَلَ الْيَمِينَ عَلَى الْمُنْكِرِ وَاسْتَثْنَى مِنْهَا الْقَسَامَةَ دَلَّ عَلَى أَنَّهَا عَلَى دُونِ الْمُنْكِرِ فَاعْتَرَضُوا عَلَى هَذَا الِاسْتِدْلَالِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Muhammad bin al-Hasan berkata: Itu (perkataan) mereka adalah dalam rangka pengingkaran terhadap mereka, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki?” (al-Mā’idah: 50). Jawabannya adalah, seandainya itu dikisahkan dalam rangka pengingkaran, niscaya tidak akan dikatakan, “Dan kalian berhak atas darah teman kalian,” sehingga menjadi (bermakna) berhak, dan juga dengan apa yang dikatakan setelahnya, “Maka kalian dibebaskan oleh Yahudi dengan lima puluh sumpah,” yang keluar dari makna pengingkaran. Sesungguhnya huruf alif dimasukkan untuk mengeluarkan dari bentuk perintah, karena ucapannya “kalian bersumpah” mirip dengan perintah yang pasti, maka dimasukkanlah huruf alif untuk istifham (pertanyaan) agar menjadi pembedaan hukum dan permintaan penjelasan tentang keadaan. Di antara dalil atas hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim bin Khalid dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukti atas orang yang mengklaim, dan sumpah atas orang yang mengingkari, kecuali dalam kasus qasāmah.” Dan diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Juraij dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah ﷺ. Ini adalah nash, karena ketika beliau menjadikan sumpah atas orang yang mengingkari dan mengecualikan darinya qasāmah, maka itu menunjukkan bahwa qasāmah bukan atas orang yang mengingkari. Maka mereka mengkritik istidlāl ini dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ قَوْلَهُ ” وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ يُرِيدُ بِهِ اخْتِصَاصَهَا بِالْمُنْكِرِ دُونَ غَيْرِهِ وَقَوْلُهُ ” إِلَّا فِي الْقَسَامَةِ يُرِيدُ بِهِ وُجُوبَهَا عَلَى الْمُنْكِرِ وَعَلَى غَيْرِهِ وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ هَذَا التَّأْوِيلَ لَا يَصِحُّ لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ مِنَ الْإِثْبَاتِ نَفْيٌ وَمِنَ النَّفْيِ إِثْبَاتٌ فَلَمَّا كَانَ قَوْلُهُ وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ إِثْبَاتًا لِيَمِينِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ إِلَّا فِي الْقَسَامَةِ نَفْيًا لِيَمِينِهِ

Salah satunya adalah bahwa ucapannya “sumpah itu atas orang yang mengingkari” dimaksudkan untuk mengkhususkannya hanya kepada orang yang mengingkari, bukan kepada selainnya. Dan ucapannya “kecuali dalam kasus qasāmah” dimaksudkan untuk mewajibkan sumpah atas orang yang mengingkari dan juga atas selainnya. Jawaban atas hal ini adalah bahwa penafsiran seperti ini tidak sah, karena pengecualian dari penetapan berarti penafian, dan pengecualian dari penafian berarti penetapan. Maka, ketika ucapannya “sumpah itu atas orang yang mengingkari” merupakan penetapan sumpah baginya, maka haruslah ucapannya “kecuali dalam kasus qasāmah” merupakan penafian sumpah baginya.

وَالِاعْتِرَاضُ الثَّانِي أَنَّ قَوْلَهُ ” وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ يُرِيدُ بِهِ أَنَّهُ يَبْرَأُ بِيَمِينِهِ إِلَّا فِي الْقَسَامَةِ أَنَّهُ لَا يَبْرَأُ بِيَمِينِهِ فَيَكُونُ الِاسْتِثْنَاءُ نَفْيًا مِنَ الْإِثْبَاتِ

Keberatan kedua adalah bahwa ucapannya “sumpah itu atas orang yang mengingkari” dimaksudkan bahwa ia terbebas dengan sumpahnya, kecuali dalam kasus qasāmah, di mana ia tidak terbebas dengan sumpahnya. Maka pengecualian di sini merupakan penafian dari penetapan.

وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ هَذَا التَّأْوِيلَ أَبْعَدُ مِنَ الْأَوَّلِ لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ إِلَى مَا تَضَمَّنَهُ اللَّفْظُ مِنَ الْيَمِينِ الْمَذْكُورَةِ دُونَ الْبَرَاءَةِ الَّتِي لَمْ تُذْكَرْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْدِلَ بِهِ عَنِ الْمَذْكُورِ إِلَى غَيْرِ مَذْكُورٍ

Jawaban terhadapnya adalah bahwa takwil ini lebih jauh (lemah) dibandingkan yang pertama, karena pengecualian itu kembali kepada apa yang terkandung dalam lafaz sumpah yang disebutkan, bukan kepada kebebasan (bara’ah) yang tidak disebutkan, sehingga tidak boleh dialihkan dari yang disebutkan kepada yang tidak disebutkan.

وَالدَّلِيلُ مِنَ الْقِيَاسِ أَنَّ أَيْمَانَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ لَا يُحْكَمُ لَهُمْ بِمُوجِبِهَا لِأَنَّهُمْ لَا يَرْمُونَ عِنْدَ الْمُسْتَحْلِفِ إِذَا حَلَفُوا وَالْيَمِينُ تَسْتَحِقُّ إِمَّا فِيمَا يَأْخُذُ بِهَا الْحَالِفُ لِنَفْسِهِ مَا ادَّعَى وَإِمَّا لِيَدْفَعَ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ مَا أَنْكَرَ فَنَقُولُ كُلُّ يَمِينٍ لَا يُحْكَمُ لِلْحَالِفِ بِمُوجِبِهَا لَمْ يَجُزِ الِاسْتِحْلَافُ بِهَا قِيَاسًا عَلَى يَمِينِ الْمُدَّعِي فِي غَيْرِ الدِّمَاءِ وَعَلَى يَمِينِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بَعْدَ اعْتِرَافِهِ بِالْحَقِّ فَإِنْ قِيلَ هَذَا مُنْتَقَضٌ بِأَيْمَانِ الْمُتَبَايِعِينَ إِذَا تَحَالَفَا فِي الثَّمَنِ يَسْتَحْلِفَانِ بِهَا وَإِنْ لَمْ يُحْكَمْ بِمُوجِبِهَا قِيلَ قَدْ يُحْكَمُ بِمُوجِبِهَا إِذَا حَلَفَ أَحَدُهُمَا وَلَا يُحْكَمُ بِمُوجِبِهَا إِذَا حَلَفَا لِتَعَارُضِهِمَا كَمَا يُحْكَمُ بِالْبَيِّنَةِ إِذَا انْفَرَدَتْ وَلَا يُحْكَمُ بِهَا إِذَا تَعَارَضَتْ فَإِنْ قِيلَ فَأَنْتُمْ لَا تَحْكُمُونَ بِمُوجِبِ الْأَيْمَانِ فِي الْقَسَامَةِ لِأَنَّ مُوجَبَهَا الْقَوَدُ وَأَنْتُمْ لَا تُوجِبُونَهُ قِيلَ مُوجِبُهَا ثُبُوتُ الْقَتْلِ وَقَدْ أَثْبَتْنَاهُ وَلَنَا فِي الْقَوَدِ قَوْلٌ نَذْكُرُهُ وَمِنَ الدَّلِيلِ أَنَّهَا أَيْمَانٌ تَكَرَّرَتْ فِي الدَّعْوَى شَرْعًا فَوَجَبَ أَنْ يُبْدَأَ فِيهَا بِالْمُدَّعِي كَاللِّعَانِ فَإِنْ أَنْكَرُوا أَنْ يَكُونَ اللِّعَانُ يَمِينًا دَلَّلْنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَوْلَا الْأَيْمَانُ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ

Dalil dari qiyās adalah bahwa sumpah-sumpah yang diucapkan oleh pihak tergugat tidak menjadikan keputusan hukum berpihak kepada mereka, karena mereka tidak menuduh di hadapan pihak yang meminta sumpah ketika mereka bersumpah. Sumpah itu sendiri hanya berhak diucapkan dalam dua keadaan: pertama, ketika pihak yang bersumpah mengambil sesuatu untuk dirinya sendiri atas dasar klaimnya; kedua, ketika ia menolak sesuatu dari dirinya atas dasar penolakannya. Maka kami katakan, setiap sumpah yang tidak menghasilkan keputusan hukum bagi pihak yang bersumpah, tidak boleh dilakukan istihlaf (meminta sumpah) dengannya, berdasarkan qiyās terhadap sumpah penggugat dalam perkara selain darah, dan terhadap sumpah tergugat setelah ia mengakui hak tersebut. Jika dikatakan, “Ini batal dengan adanya sumpah kedua belah pihak yang berjual beli, ketika keduanya saling bersumpah tentang harga, padahal tidak diputuskan hukum berdasarkan sumpah tersebut,” maka dijawab: bisa saja diputuskan hukum berdasarkan sumpah itu jika salah satu dari keduanya bersumpah, dan tidak diputuskan hukum jika keduanya bersumpah karena adanya pertentangan, sebagaimana keputusan hukum dengan bukti jika hanya satu yang mengajukan, dan tidak diputuskan jika bukti saling bertentangan. Jika dikatakan, “Kalian tidak memutuskan hukum berdasarkan sumpah dalam kasus qasāmah, karena konsekuensinya adalah qawad (qishāsh), sedangkan kalian tidak mewajibkannya,” maka dijawab: konsekuensinya adalah terbuktinya pembunuhan, dan kami telah menetapkannya, dan kami memiliki pendapat tersendiri tentang qawad yang akan kami sebutkan. Di antara dalil lainnya adalah bahwa sumpah-sumpah tersebut diulang dalam gugatan secara syar‘i, maka wajib memulai dengan pihak penggugat sebagaimana dalam kasus li‘ān. Jika mereka mengingkari bahwa li‘ān adalah sumpah, kami berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: “Kalau bukan karena sumpah-sumpah itu, tentu aku dan dia akan memiliki urusan tersendiri.”

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sumpah itu atas orang yang mengingkari,” dapat dijelaskan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا قَوْلُهُ ” إِلَّا فِي الْقَسَامَةِ وَالثَّانِي أَنَّ حَدِيثَ الْقَسَامَةِ أَخَصُّ مِنْهُ فَوَجَبَ أَنْ يقْضي بِالْخَاصِّ عَلَى الْعَامِ

Salah satunya adalah ucapannya, “kecuali dalam kasus qasāmah,” dan yang kedua adalah bahwa hadis tentang qasāmah lebih khusus darinya, maka wajib mendahulukan yang khusus atas yang umum.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ زِيَادِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ فَمِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مَجْهُولُ الْإِسْنَادِ وَلَا يَعْرِفُهُ أَصْحَابُ الْحَدِيثِ وَالثَّانِي حَمْلُهُ عَلَى الدَّعْوَى إِنْ لَمْ تَقْتَرِنْ بِلَوْثٍ وأما الجواب عن حديث القرطي فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap hadis Ziyad bin Abi Maryam ada dua sisi: pertama, sanadnya tidak dikenal dan para ahli hadis tidak mengetahuinya; kedua, hadis tersebut dapat ditafsirkan sebagai berkaitan dengan klaim jika tidak disertai dengan adanya indikasi kuat (lawts). Adapun jawaban terhadap hadis al-Qurthi juga dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا ضَعْفُ إِسْنَادِهِ وَصِحَّةُ إِسْنَادِنَا وَانْفِرَادُهُ وَكَثْرَةُ رُوَاتِنَا وَالثَّانِي أَنَّ أَخْبَارَنَا أَزْيَدُ نَقْلًا وَأَشْرَحُ حَالًا وَالزِّيَادَةُ أَوْلَى مِنَ النُّقْصَانِ وَالشَّرْحُ أَصَحُّ مِنَ الْإِجْمَالِ

Pertama, sanad riwayat mereka lemah sedangkan sanad riwayat kami sahih, riwayat tersebut hanya diriwayatkan oleh mereka saja, sementara perawi kami lebih banyak. Kedua, berita yang kami sampaikan lebih banyak periwayatannya dan lebih jelas keadaannya; tambahan lebih utama daripada pengurangan, dan penjelasan lebih sahih daripada ringkasan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَضِيَّةِ عُمَرَ فَمِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّ عَبْدَ الله بن الزبير وقد خَالَفَهُ فِيهَا فَقَتَلَ فِي الْقَسَامَةِ وَلَمْ يَقْتُلْ فِيهَا عُمَرُ فَتَنَافَتْ قَضَايَاهُمَا فَسَقَطَ الْإِجْمَاعُ

Adapun jawaban mengenai kasus ‘Umar, ada dua sisi. Pertama, Abdullah bin az-Zubair telah berbeda pendapat dengannya dalam hal ini, sehingga ia menetapkan hukuman mati dalam kasus al-qasāmah, sedangkan ‘Umar tidak menetapkan hukuman mati dalam kasus tersebut. Maka, keputusan keduanya saling bertentangan, sehingga ijmā‘ menjadi gugur.

وَالثَّانِي أَنَّهَا قَضِيَّةٌ فِي عَيْنٍ يُمْكِنُ حَمْلُهَا عَلَى أَنَّ الْمُدَّعِيَ ادَّعَى قَتْلَ الْعَمْدِ لِيَسْتَحِقَّ الْقَوَدَ فَاعْتَرَفُوا لَهُ بِقَتْلِ الْخَطَأِ فَأَحْلَفَهُمْ عَلَى الْعَمْدِ وَأَوْجَبَ عَلَيْهِمْ دِيَةَ الْخَطَأِ بِالِاعْتِرَافِ

Kedua, bahwa ini adalah kasus khusus yang dapat ditafsirkan bahwa pihak penggugat mengklaim terjadinya pembunuhan sengaja agar berhak mendapatkan qishāsh, lalu mereka (terdakwa) mengakui telah melakukan pembunuhan karena kesalahan, maka ia (hakim) meminta mereka bersumpah atas tuduhan pembunuhan sengaja, dan mewajibkan kepada mereka pembayaran diyat pembunuhan karena kesalahan berdasarkan pengakuan tersebut.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى مُجَرَّدِ الدَّعْوَى فَهُوَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْتَبَرَ يَمِينُ الْمُدَّعِي بِدَعْوَاهُ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْتَبَرَ يَمِينُ الْمُنْكِرِ بِإِنْكَارِهِ لِلْفَرْقِ فِيمَا بَيْنَ الْيَمِينِ وَمُجَرَّدِ الْقَوْلِ أَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى سَائِرِ الدَّعَاوَى فَهُوَ إِجْمَاعُنَا عَلَى اخْتِصَاصِ الْقَسَامَةِ بِالدِّمَاءِ دُونَ سَائِرِ الدَّعَاوَى

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka atas dasar semata-mata pengakuan adalah bahwa tidak boleh dianggap sumpah pihak penggugat berdasarkan pengakuannya, sebagaimana tidak boleh dianggap sumpah pihak tergugat berdasarkan pengingkarannya, karena terdapat perbedaan antara sumpah dan sekadar ucapan. Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan perkara-perkara gugatan lainnya adalah adanya ijmā‘ di antara kita bahwa kasus qasāmah itu khusus berlaku pada perkara darah, tidak pada perkara-perkara gugatan lainnya.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْأَطْرَافِ فَلِأَنَّ الْقَسَامَةَ عِنْدَهُمْ لَا تَدْخُلُهَا وَإِنْ دَخَلَتْ فِي النَّفْسِ وَكَذَلِكَ عِنْدَنَا لِأَنَّ حُرْمَةَ النَّفْسِ أَغْلَظُ وَلِذَلِكَ تَغَلْغَلَتْ بِالنَّفْسِ دُونَ الْأَطْرَافِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب

Adapun qiyās mereka terhadap anggota tubuh, maka karena menurut mereka qasāmah tidak berlaku padanya, meskipun berlaku pada kasus jiwa (pembunuhan). Demikian pula menurut kami, karena kehormatan jiwa lebih berat, oleh sebab itu qasāmah diterapkan pada kasus jiwa dan tidak pada anggota tubuh. Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” فَإِذَا كَانَ مِثْلَ السَّبَبِ الَّذِي قَضَى فِيهِ عليه الصلاة والسلام بالقسامة حكمت بها وجعلت الدية فيها على المدعى عليهم فإن قيل وما السبب الذي حكم فيه النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قيل كانت خيبر دار يهود محضة لا يخالطهم غيرهم وكانت العداوة بين الأنصار وبينهم ظاهرة وخرج عبد الله بعد العصر فوجد قتيلا قبل الليل فيكاد يغلب على من سمع هذا أنه لم يقتله إلا بعض اليهود فإذا كانت دار قوم محضة أو قبيلة وكانوا أعداء للمقتول فيهم وفي كتاب الربيع أعداء للمقتول أو قبيلته ووجد القتيل فيهم فادعى أولياؤه قتله فلهم القسامة

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika terdapat sebab yang serupa dengan sebab yang Nabi ﷺ memutuskan hukum qasāmah padanya, maka aku pun memutuskan dengan qasāmah dan menetapkan diyat atas pihak yang didakwa. Jika ada yang bertanya, ‘Apa sebab yang Nabi ﷺ memutuskan hukum padanya?’ Maka dijawab: Khaybar adalah negeri Yahudi murni, tidak ada yang berbaur dengan mereka selain mereka sendiri, dan permusuhan antara kaum Anshar dan mereka sangat nyata. Abdullah keluar setelah waktu ‘Ashar, lalu ditemukan terbunuh sebelum malam tiba, sehingga hampir dapat dipastikan oleh siapa pun yang mendengar peristiwa ini bahwa yang membunuhnya pasti salah satu dari orang-orang Yahudi. Maka jika suatu negeri atau kabilah adalah murni milik suatu kaum, dan mereka adalah musuh dari korban yang terbunuh di antara mereka—dan dalam riwayat al-Rabi‘ disebutkan: musuh korban atau kabilahnya—lalu korban ditemukan terbunuh di tengah-tengah mereka, kemudian para wali korban menuduh mereka sebagai pelaku pembunuhan, maka mereka berhak menuntut qasāmah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْحُكْمَ بِالْقَسَامَةِ فِي إِحْلَافِ الْمُدَّعِي يَكُونُ مَعَ اللَّوْثِ وَيَنْتَفِي مَعَ عَدَمِهِ وَاللَّوْثُ مَا شَهِدَ بِصِدْقِ الْمُدَّعِي وَدَلَّ عَلَى صِحَّةِ الدَّعْوَى مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُقْتَرِنَةِ بِهَا وَلَا يَتَخَالَجُ النَّفْسَ شَكٌّ فِيهَا

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa penetapan hukum dengan qasāmah dalam pengambilan sumpah dari pihak penggugat itu berlaku apabila terdapat al-lawts, dan tidak berlaku jika tidak ada al-lawts. Adapun al-lawts adalah segala sesuatu yang menjadi saksi atas kebenaran penggugat dan menunjukkan kebenaran gugatan tersebut dari sebab-sebab yang menyertainya, dan tidak ada keraguan sedikit pun dalam hati terhadapnya.

وَذَلِكَ يَكُونُ مِنْ جِهَاتٍ شَتَّى قَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْضَهَا لِتَكُونَ دَلِيلًا عَلَى نَظَائِرِهَا فَمِنْهَا مِثْلُ مَا حَكَمَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي قَتِيلِ الْأَنْصَارِ بَيْنَ الْيَهُودِ لِأَنَّ خَيْبَرَ كَانَتْ دَارَ يَهُودَ مَحْضَةً وَكَانَتِ الْعَدَاوَةُ بَيْنَ الْأَنْصَارِ وَبَيْنَهُمْ ظَاهِرَةً بِالذَّبِّ عَنِ الْإِسْلَامِ وَنُصْرَةِ الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَفَارَقَ عَبْدُ اللَّهِ أَصْحَابَهُ فِيهَا بَعْدَ الْعَصْرِ وَوُجِدَ قَتِيلًا قَبْلَ اللَّيْلِ فَتَغَلَّبَ فِي النَّفْسِ أَنَّهُ مَا قَتَلَهُ غَيْرُ الْيَهُودِ فَيَكُونُ لَوْثًا يُحْكَمُ فِيهِ بِقَوْلِ الْمُدَّعِي

Hal itu dapat terjadi dari berbagai sisi yang telah disebutkan oleh Imam Syafi‘i—semoga Allah meridhainya—sebagian di antaranya, agar menjadi dalil bagi kasus-kasus serupa. Di antaranya adalah seperti keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ dalam kasus terbunuhnya seorang dari Anshar di antara orang-orang Yahudi, karena Khaibar adalah wilayah murni milik Yahudi dan permusuhan antara Anshar dan mereka sangat jelas, karena Anshar membela Islam dan menolong Rasulullah ﷺ. Abdullah telah berpisah dari para sahabatnya di sana setelah waktu Asar, lalu ia ditemukan terbunuh sebelum malam tiba. Maka, kuat dugaan bahwa tidak ada yang membunuhnya selain orang Yahudi, sehingga hal itu menjadi “lauwts” yang diputuskan berdasarkan klaim pihak penggugat.

وَقَالَ مَالِكٌ لَا يَكُونُ اللَّوْثُ الْمَحْكُومُ فِيهِ بِالْقَسَامَةِ إِلَّا مِنْ أَحَدِ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَشْهَدَ بِهِ مَنْ لَا تَكْمُلُ بِهِ الشَّهَادَةُ وَهَذَا مُوَافَقٌ عَلَيْهِ وَالثَّانِي وَهُوَ الَّذِي تَفَرَّدَ بِهِ أَنْ يَقُولَ الْمَقْتُولُ قَبْلَ فِرَاقِهِ لِلدُّنْيَا دَمِي عِنْدَ فُلَانٍ فَيَكُونُ هَذَا لَوْثًا دُونَ مَا عَدَاهُمَا

Malik berkata, tidaklah terdapat “lawts” yang diputuskan dengan qasāmah kecuali dari dua sisi: salah satunya adalah adanya kesaksian dari orang yang tidak mencukupi untuk menjadi saksi penuh, dan hal ini telah disepakati; yang kedua, yang merupakan pendapat khusus beliau, adalah apabila orang yang terbunuh sebelum meninggal dunia berkata, “Darahku ada pada si Fulan,” maka hal ini dianggap sebagai “lawts”, selain dari dua hal tersebut tidak dianggap.

احْتِجَاجًا لِهَذَا بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَكَمَ فِي قِصَّةِ الْقَتِيلِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمِثْلِهِ فِي الْبَقَرَةِ مِنْ قَوْله تَعَالَى فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا كَذَلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى البقرة 73 فَضُرِبَ بِهَا فَحَيَا وَقَالَ قَتَلَنِي فَلَانٌ فَقَتَلَهُ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ بِهِ قَالَ وَلِأَنَّ الْمَقْتُولَ مَعَ فِرَاقِ الدُّنْيَا أَصْدَقُ مَا يَكُونُ قَوْلًا وَأَكْثَرُ مَا يَكُونُ تَحَرُّجًا فَلَا تَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ تُهْمَةٌ وَهَذَا لَا يَكُونُ لَوْثًا عِنْدَنَا؛ لِأَنَّ اللَّوْثَ مَا اقْتَرَنَ بِالدَّعْوَى مِنْ غَيْرِ جِهَةِ الْمُدَّعِي كَالَّذِي قَضَى بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي قَتِيلِ الْأَنْصَارِ وَلِأَنَّهُ لَوْ قُبِلَ قَوْلُهُ إِذَا مَاتَ لَقُبِلَ قَوْلُهُ إِذَا انْدَمَلَ جُرْحُهُ وَعَاشَ وَلَوْ قُبِلَ فِي الدَّمِ لِقُبِلَ فِي الْمَالِ وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا قَالَهُ لِعَدَاوَةٍ فِي نَفْسِهِ بِحَيْثُ أَنْ لَا يَعِيشَ عَدُوُّهُ بَعْدَ مَوْتِهِ أو لفقر قربته فَأَحَبَّ أَنْ يَسْتَغْنُوا بِالدِّيَةِ مِنْ بَعْدِهِ فَأَمَّا قِصَّةُ الْبَقَرَةِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ فَتِلْكَ قِصَّةٌ أَحْيَا اللَّهُ بِهَا الْقَتِيلَ مُعْجِزَةً لِمُوسَى وَلَوْ كَانَ مِثْلُهَا لَجُعِلَ لَوْثًا وَلَكِنَّهُ مُسْتَحِيلٌ

Sebagai dalil untuk hal ini adalah bahwa Allah Ta‘ala telah memutuskan dalam kisah orang yang terbunuh dari Bani Israil dengan hal yang serupa dalam surah Al-Baqarah, dari firman-Nya Ta‘ala: “Maka Kami berfirman: ‘Pukullah dia dengan sebagian anggota sapi betina itu!’ Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati” (Al-Baqarah: 73). Maka dipukullah ia dengan bagian itu, lalu ia hidup kembali dan berkata, “Si Fulan telah membunuhku.” Maka Musa ‘alaihissalam membunuhnya (si pembunuh) karenanya. Dikatakan pula, karena orang yang terbunuh, ketika berpisah dari dunia, adalah yang paling jujur ucapannya dan paling besar kehati-hatiannya, sehingga tidak mungkin diarahkan tuduhan kepadanya. Dan ini tidak disebut luwṡ menurut kami; karena luwṡ adalah sesuatu yang menyertai gugatan bukan dari pihak penggugat, seperti yang diputuskan Rasulullah ﷺ dalam kasus orang Anshar yang terbunuh. Dan jika diterima ucapannya ketika ia mati, tentu diterima pula ucapannya ketika lukanya telah sembuh dan ia hidup kembali. Jika diterima dalam perkara darah, tentu diterima pula dalam perkara harta. Dan bisa jadi ia mengatakannya karena permusuhan dalam dirinya, agar musuhnya tidak hidup setelah kematiannya, atau karena kefakiran yang menimpanya sehingga ia ingin keluarganya mendapatkan manfaat dari diyat setelah kematiannya. Adapun kisah sapi betina pada Bani Israil, itu adalah kisah di mana Allah menghidupkan orang yang terbunuh sebagai mukjizat bagi Musa. Jika ada yang serupa dengannya, tentu dijadikan sebagai luwṡ, namun hal itu mustahil terjadi.

وَأَمَّا انتفاء التهمة عنه فباطل بدعوى الحال وَلِأَنَّ مَالِكًا يُورِّثُ الْمَبْتُوتَةَ فِي مَرَضِ الْمَوْتِ لِتُهْمَةِ الزَّوْجِ فَيُلْحِقُ بِهِ التُّهْمَةَ فِي حَالٍ وَيَنْفِيهَا عَنْهُ فِي حَالٍ فَتَعَارَضَا قَوْلَاهُ فَبَطَلَا

Adapun anggapan bahwa tidak ada tuduhan terhadapnya adalah batal karena adanya dugaan situasi, dan karena Malik mewariskan kepada perempuan yang ditalak ba’in dalam keadaan sakit maut karena adanya tuduhan terhadap suami, maka ia menyamakan tuduhan itu dalam satu keadaan dan menafikannya dalam keadaan lain, sehingga dua pendapatnya saling bertentangan dan keduanya menjadi batal.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ قَوْلَ الْقَتِيلِ لَيْسَ بِلَوْثٍ وَأَنَّ مَا كَانَ فِي مِثْلِ قِصَّةِ الْأَنْصَارِ لَوْثٌ فَالْمُعْتَبَرُ فِي مِثْلِهَا شَرْطَانِ

Maka apabila telah tetap bahwa ucapan korban (yang terbunuh) bukanlah termasuk luwats, dan bahwa apa yang terjadi dalam kisah seperti peristiwa kaum Anshar adalah luwats, maka yang menjadi pertimbangan dalam kasus semacam itu ada dua syarat.

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ الْقَرْيَةُ الَّتِي وُجِدَ الْقَتِيلُ فِيهَا مُخْتَصَّةً بِأَهْلِهَا لَا يَشْرَكُهُمْ فِيهَا غَيْرُهُمْ كَاخْتِصَاصِ الْيَهُودِ بِخَيْبَرَ وَفِي حُكْمِ الْقَرْيَةِ مَحَلَّةٍ مِنْ بَلَدٍ فِي جَانِبٍ مِنْهُ لَا يَشْرَكُ أَهْلُهَا فِيهَا غَيْرَهُمْ أَوْ حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ لَا يَشْرَكُهُمْ فِي الْحَيِّ غَيْرُهُمْ فَإِنِ اخْتَلَطَ بِأَهْلِ الْقَرْيَةِ أَوِ الْمَحَلَّةِ أَوِ الْحَيِّ غَيْرُهُمْ مِنْ مُسَافِرٍ أَوْ مُقِيمٍ لَمْ يَكُنْ لَوْثًا مَعَ أَهْلِهَا

Salah satu syaratnya adalah desa tempat ditemukannya korban pembunuhan itu khusus dihuni oleh penduduknya saja, tidak ada orang lain yang ikut tinggal di sana, seperti khususnya kaum Yahudi di Khaibar. Dalam hukum desa, juga termasuk suatu kawasan dari sebuah kota di salah satu sisinya yang hanya dihuni oleh penduduknya sendiri tanpa ada orang lain yang tinggal bersama mereka, atau suatu kabilah dari kabilah-kabilah Arab yang tidak ada orang lain yang tinggal bersama mereka dalam kabilah tersebut. Jika penduduk desa, kawasan, atau kabilah itu bercampur dengan orang lain, baik musafir maupun penduduk tetap, maka tidak dianggap sebagai “lauwts” bersama penduduk aslinya.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ بَيْنَ أَهْلِ الْقَرْيَةِ وَبَيْنَ الْقَتِيلِ عَدَاوَةٌ ظَاهِرَةٌ إِمَّا فِي دِينٍ أَوْ نَسَبٍ أَوْ تِرَةٍ تَبْعَثُ عَلَى الِانْتِقَامِ بِالْقَتْلِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمْ عَدَاوَةٌ لَمْ يَكُنْ لَوْثًا فَإِذَا اسْتَكْمَلَ هَذَانِ الشَّرْطَانِ الِانْفِرَادُ عَنْ غَيْرِهِمْ وَظُهُورُ الْعَدَاوَةِ بَيْنَهُمْ صَارَ هَذَا لَوْثًا وَهُوَ نَصُّ السُّنَّةِ وَمَا عَدَاهُ قِيَاسًا عَلَيْهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Syarat kedua adalah adanya permusuhan yang nyata antara penduduk desa dan korban, baik dalam urusan agama, nasab, atau dendam yang mendorong untuk melakukan pembalasan dengan pembunuhan. Jika tidak ada permusuhan di antara mereka, maka tidak dianggap sebagai “lauwts”. Apabila kedua syarat ini terpenuhi, yaitu keterasingan dari selain mereka dan tampaknya permusuhan di antara mereka, maka hal ini disebut “lauwts”, dan inilah yang menjadi nash sunnah, sedangkan selain itu diqiyaskan kepadanya. Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رضي الله عنه ” وَكَذَلِكَ يَدْخُلُ نَفَرٌ بَيْتًا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Demikian pula sekelompok orang masuk ke dalam sebuah rumah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لَمَّا ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ اللَّوْثَ الَّذِي جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ ذَكَرَ بَعْدَهُ مَا فِي مَعْنَاهُ قِيَاسًا عَلَيْهِ فَمِنْ ذَلِكَ أَنْ تَدْخُلَ جَمَاعَةٌ بَيْتًا أَوْ دارً أَوْ بُسْتَانًا مَحْظُورًا يَتَفَرَّدُونَ فِيهِ إِمَّا فِي منافرة أو في موانسة ثُمَّ يَفْتَرِقُونَ عَنْ قَتِيلٍ فِيهِمْ فَيَكُونُ ذَلِكَ لَوْثًا سَوَاءٌ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ عَدَاوَةٌ أَوْ لم يكن بخلاف القرية لأن ما انفردوا فِيهِ مِنَ الدَّارِ أَوِ الْبُسْتَانِ مَمْنُوعٌ مَنْ غَيْرِهِمْ إِلَّا بِإِذْنِهِمْ وَلَيْسَتِ الْقَرْيَةُ مَمْنُوعَةً مَنْ مَارٍّ وَطَارِقٍ فَاعْتُبِرَ فِي الْقَرْيَةِ ظُهُورُ الْعَدَاوَةِ لِانْتِفَاءِ الِاحْتِمَالِ وَلَمْ يُعْتَبَرْ فِي الدَّارِ ظُهُورُ العداوة لعدم الاحتمال

Al-Mawardi berkata: Ketika asy-Syafi‘i menyebutkan tentang al-lawts yang disebutkan dalam sunnah, beliau kemudian menyebutkan hal-hal lain yang serupa maknanya dengan melakukan qiyās terhadapnya. Di antaranya adalah jika sekelompok orang masuk ke sebuah rumah, atau tempat tinggal, atau kebun yang terlarang, lalu mereka berkumpul di sana, baik dalam keadaan berselisih atau dalam suasana akrab, kemudian mereka berpisah sementara di antara mereka terdapat seseorang yang terbunuh. Maka hal itu dianggap sebagai al-lawts, baik ada permusuhan antara korban dan mereka maupun tidak, berbeda dengan kasus di desa. Sebab, rumah atau kebun yang mereka masuki secara khusus adalah tempat yang terlarang bagi orang lain kecuali dengan izin mereka, sedangkan desa tidak terlarang bagi siapa pun yang lewat atau datang. Oleh karena itu, dalam kasus di desa, harus dipertimbangkan adanya permusuhan yang nyata karena hilangnya kemungkinan lain, sedangkan dalam kasus di rumah tidak dipertimbangkan adanya permusuhan karena tidak ada kemungkinan lain.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” أَوْ صَحْرَاءَ وَحْدَهُمْ

Imam Syafi‘i ra. berkata, “atau di padang pasir sendirian mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا نَوْعٌ ثَالِثٌ مِنَ اللَّوْثِ وَهُوَ أَنْ يُوجَدَ قَتِيلٌ فِي صَحْرَاءَ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَيْسَ إِلَى جَنْبِهِ عَيْنٌ وَلَا أَثَرٌ إِلَّا رَجُلٌ وَاحِدٌ مُخْتَضِبٌ بِدَمِهِ فِي مَقَامِهِ وَمَعْنَى قَوْلِهِ وَلَيْسَ إِلَى جَنْبِهِ عَيْنٌ يُرِيدُ عَيْنَ إِنْسَانٍ أَوْ عَيْنَ حَيَوَانٍ يَقْتُلُ الْإِنْسَانَ وَمَعْنَى قَوْلِهِ ” وَلَا أَثَرَ فِي الصَّحْرَاءِ لِهَارِبٍ يَعْنِي مِنْ إِنْسَانٍ أَوْ حَيَوَانٍ قَاتِلٍ وَيَكُونُ هَذَا الْحَاضِرُ إِمَّا وَاقِفًا عَلَيْهِ وَإِمَّا مُوَلِّيًا لَمْ يَبْعُدْ عَنْهُ وَعَلَيْهِ آثَارُ قَتْلِهِ مِنِ اخْتِضَابِهِ بِدَمِهِ أَوِ اخْتِضَابِ سَيْفِهِ فَيَصِيرُ بِهِ لَوْثًا فِيهِ إِنِ اسْتُكْمِلَتْ أَرْبَعَةُ شُرُوطٍ

Al-Mawardi berkata: Ini adalah jenis ketiga dari al-lawts, yaitu ketika ditemukan seseorang yang terbunuh di padang pasir. Asy-Syafi‘i berkata: Dan di sampingnya tidak ada seorang pun dan tidak ada jejak apa pun kecuali satu orang yang berlumuran darah di tempat itu. Maksud dari ucapannya “dan di sampingnya tidak ada seorang pun” adalah tidak ada manusia atau hewan yang dapat membunuh manusia. Dan maksud dari ucapannya “dan tidak ada jejak di padang pasir dari pelarian” adalah tidak ada jejak manusia atau hewan pembunuh yang melarikan diri. Orang yang hadir ini bisa jadi sedang berdiri di dekat korban atau membelakanginya namun tidak jauh darinya, dan pada dirinya terdapat tanda-tanda pembunuhan, seperti berlumuran darah korban atau pedangnya yang berlumuran darah. Maka dengan keadaan ini, terjadilah al-lawts jika telah terpenuhi empat syarat.

أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ الصَّحْرَاءُ خَالِيَةً مِنْ عَيْنِ إِنْسَانٍ أَوْ سَبُعٍ وَالثَّانِي أَنْ لَا يَكُونَ فِي الصَّحْرَاءِ أَثَرٌ لِهَارِبٍ وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْقَتْلُ طَرِيًّا وَالرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ عَلَى الْحَاضِرِ آثَارُ قَتْلِهِ فَيَصِيرُ بِاجْتِمَاعِهَا لَوْثًا فَإِنْ أَخَلَّ شَرْطٌ مِنْهَا فَكَانَ هُنَاكَ عَيْنُ إِنْسَانٍ أَوْ سَبُعٍ لَمْ يكن لوثا لجواز أن يكون القتل من تِلْكَ الْعَيْنِ وَإِنْ كَانَ هُنَاكَ أَثَرٌ لِهَارِبٍ لَمْ يَكُنْ لَوْثًا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْقَتْلُ مِنَ الْهَارِبِ وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْقَتْلُ طَرِيًّا لَمْ يَكُنْ لَوْثًا لِبُعْدِهِ عَنْ شَوَاهِدِ الْحَالِ وَجَوَازِ تَغَيُّرِهَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى الْحَاضِرِ آثَارُ قَتْلِهِ لَمْ يَكُنْ لَوْثًا لِظُهُورِ الِاحْتِمَالِ

Salah satu syaratnya adalah padang pasir itu harus kosong dari keberadaan manusia atau binatang buas; syarat kedua, di padang pasir itu tidak terdapat jejak orang yang melarikan diri; syarat ketiga, pembunuhan itu masih baru; dan syarat keempat, pada orang yang hadir terdapat bekas-bekas pembunuhan tersebut. Jika semua syarat ini terpenuhi, maka hal itu disebut luwats. Namun, jika salah satu syarat tidak terpenuhi—misalnya terdapat manusia atau binatang buas di sana—maka tidak dianggap luwats karena bisa jadi pembunuhan itu dilakukan oleh makhluk tersebut. Jika terdapat jejak orang yang melarikan diri, juga tidak dianggap luwats karena mungkin pembunuhan dilakukan oleh orang yang melarikan diri itu. Jika pembunuhan tidak baru, maka tidak dianggap luwats karena jauhnya dari bukti-bukti keadaan dan kemungkinan telah berubah. Jika pada orang yang hadir tidak terdapat bekas-bekas pembunuhan, maka juga tidak dianggap luwats karena adanya kemungkinan lain yang jelas.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” أَوْ صَفَّيْنِ فِي حَرْبٍ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “atau dua barisan dalam peperangan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا نَوْعٌ رَابِعٌ مِنَ اللَّوْثِ أَنْ يُوجَدَ الْقَتِيلُ بَيْنَ صَفَّي حَرْبٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini adalah jenis keempat dari al-lawts, yaitu apabila ditemukan seseorang yang terbunuh di antara dua barisan perang. Dalam hal ini terdapat dua keadaan.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ قَتْلُهُ قَبْلَ الْتِحَامِ الْحَرْبِ وَاخْتِلَاطِ الصُّفُوفِ فَيُنْظَرُ فِي مَصْرَعِهِ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

Salah satunya adalah jika pembunuhannya terjadi sebelum pertempuran sengit dan bercampurnya barisan, maka diperhatikan tempat ia terbunuh, dan dalam hal ini ada tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَنَالَهُ سِلَاحُ أَصْحَابِهِ وَلَا يَنَالُهُ سِلَاحُ أَضْدَادِهِ فَيَكُونُ اللَّوْثُ مَعَ أَصْحَابِهِ بِهِ دون أضداده

Salah satunya adalah jika senjata para kawannya mengenainya, sedangkan senjata lawan-lawannya tidak mengenainya, maka terdapat bekas luka (lauwts) dari pihak kawannya saja, bukan dari lawan-lawannya.

والحالة الثَّانِيَةُ أَنْ يَنَالَهُ سِلَاحُ أَضْدَادِهِ وَلَا يَنَالَهُ سلاح أصحابه فيكون اللوث مع أضداد

Keadaan kedua adalah apabila senjata lawan-lawannya mengenainya, sedangkan senjata para pendukungnya tidak mengenainya, maka dalam hal ini terdapat unsur “al-lauts” bersama pihak lawan.

والحالة الثَّالِثَةُ أَنْ يَنَالَهُ سِلَاحُ أَصْحَابِهِ وَسِلَاحُ أَضْدَادِهِ فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ

Keadaan ketiga adalah apabila ia terkena senjata dari pihaknya sendiri maupun senjata dari pihak lawan, maka dalam hal ini menurut ulama mazhab kami terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنْ يَكُونَ لَوْثًا مَعَ أَضْدَادِهِ لِاخْتِصَاصِهِمْ بِعَدَاوَتِهِ دُونَ أَصْحَابِهِ الْمُخْتَصِّينَ بِنُصْرَتِهِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat para ulama Baghdad, adalah bahwa harus ada adanya tanda kuat (lawts) bersama dengan lawan-lawannya, karena mereka secara khusus memusuhi korban, tidak seperti para sahabat korban yang secara khusus membelanya.

الْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ أَنْ يَكُونَ لَوْثًا مَعَ الْفَرِيقَيْنِ مِنْ أَصْحَابِهِ وَأَضْدَادِهِ لِأَنَّ عَدَاوَةَ أَضْدَادِهِ عَامَّةٌ وقد يكون في أصحابه مع عَدَاوَةٍ خَاصَّةٍ كَالْمَحْكِيِّ مِنْ قَتْلِ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ لِطَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ فِي وَقْعَةِ الجعل

Pendapat kedua, yaitu pendapat para ulama Basrah, adalah bahwa terdapat unsur keraguan (lūts) baik pada kelompok pendukungnya maupun pada kelompok lawannya, karena permusuhan dari lawan-lawannya bersifat umum, dan bisa saja di antara para pendukungnya terdapat permusuhan khusus, seperti yang diriwayatkan tentang pembunuhan Thalhah bin ‘Ubaidillah oleh Marwan bin al-Hakam dalam peristiwa Jamal.

قِيلَ إِنَّهُ رَمَاهُ بِسَهْمٍ فَقَتَلَهُ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِهِ وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا أَرَادَ قَتْلَ غَيْرِهِ فَأَخْطَأَهُ إليه فَصَارَ قَتْلُهُ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ مُحْتَمَلًا

Dikatakan bahwa ia melemparnya dengan anak panah lalu membunuhnya, padahal ia adalah salah satu sahabatnya. Dan karena bisa jadi ia bermaksud membunuh orang lain namun meleset mengenainya, sehingga pembunuhannya dari kedua kelompok menjadi sesuatu yang mungkin.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ قَتْلُهُ بَعْدَ الْتِحَامِ الْحَرْبِ وَاخْتِلَاطِ الصفوف فهذا على ثلاثة أقسام

Jenis yang kedua adalah apabila pembunuhan terjadi setelah pertempuran telah berlangsung sengit dan barisan telah bercampur, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian.

أحدهما أَنْ يَكُونَ أَصْحَابُهُ مُنْهَزِمِينَ وَأَضْدَادُهُ طَالِبِينَ فَيَكُونُ لَوْثًا مَعَ أَضْدَادِهِ دُونَ أَصْحَابِهِ لِأَنَّ الْمُنْهَزِمَ يَخَافُ وَالطَّالِبَ مُنْتَقِمٌ

Salah satunya adalah ketika para pengikutnya dalam keadaan mundur dan lawan-lawannya sedang mengejar, maka kemungkinan terjadinya pencampuran (louts) itu bersama lawan-lawannya, bukan bersama para pengikutnya, karena orang yang mundur merasa takut, sedangkan yang mengejar bersifat membalas dendam.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ أَصْحَابُهُ طَالِبِينَ وَأَضْدَادُهُ مُنْهَزِمِينَ فَيَكُونُ لَوْثًا مَعَ أَصْحَابِهِ دُونَ أَضْدَادِهِ لما ذكرناه

Bagian kedua adalah ketika para pendukungnya bersemangat mencari, sedangkan para penentangnya mundur, maka akan menjadi pengaruh (louth) bersama para pendukungnya, bukan bersama para penentangnya, sebagaimana telah kami sebutkan.

القسم الثَّالِثُ أَنْ يَتَمَاثَلُوا فِي الطَّلَبِ وَلَا يَخْلُدُ أَحَدُهُمَا إِلَى الْهَرَبِ فَيَكُونُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ

Bagian ketiga adalah bahwa keduanya saling berhadapan dalam upaya (untuk bertarung) dan tidak ada salah satu dari keduanya yang melarikan diri, sehingga keadaannya sesuai dengan dua bentuk yang telah disebutkan.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ يَكُونُ لَوْثًا مَعَ أَضْدَادِهِ دُونَ أَصْحَابِهِ لِاخْتِصَاصِهِمْ بِالْعَدَاوَةِ الْعَامَّةِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat para ulama Baghdad, menyatakan bahwa adanya dugaan kuat (lūts) itu terjadi bersama lawan-lawannya, bukan bersama para sahabatnya, karena mereka secara khusus memiliki permusuhan yang bersifat umum.

وَالْوَجْهِ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهُ يَكُونُ لَوْثًا فِي الْفَرِيقَيْنِ جَمِيعًا مِنْ أَصْحَابِهِ وَأَضْدَادِهِ لِاحْتِمَالِ الخطأ أو عداوة خاصة

Pendapat kedua, yaitu pendapat para ulama Bashrah, menyatakan bahwa terdapat keraguan pada kedua kelompok, baik dari kalangan pendukungnya maupun lawan-lawannya, karena kemungkinan adanya kesalahan atau permusuhan khusus.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” أَوِ ازْدِحَامَ جَمَاعَةٍ فَلَا يَفْتَرِقُونَ إِلَّا وَقَتِيلٌ بينهم أو في ناحية ليس إِلَى جَنْبِهِ عَيْنٌ وَلَا أَثَرٌ إِلَّا رَجُلٌ واحد مخضب بدمه في مقامه ذلك

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Atau sekelompok orang berdesakan, lalu mereka tidak berpisah kecuali ada seseorang yang terbunuh di antara mereka atau di suatu tempat yang tidak ada seorang pun di sampingnya dan tidak ada bekas apa pun, kecuali seorang laki-laki saja yang berlumuran darah di tempat itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا نَوْعٌ خَامِسٌّ مِنَ اللَّوْثِ فِي ازْدِحَامِ جَمَاعَةٍ عَلَى بِئْرِ مَاءٍ أَوْ فِي دُخُولِ بَابٍ أَوْ لِالْتِقَاطٍ فَيَتَفَرَّقُونَ عَنْ قَتِيلٍ مِنْهُمْ فَيَكُونُ لَوْثًا فِي الْجَمَاعَةِ لِإِحَاطَةِ الْعِلْمِ بِأَنَّ قَتْلَهُ لَمْ يَخْرُجْ عَنْهُمْ سَوَاءٌ اتَّفَقُوا فِي الْقُوَّةِ وَالضَّعْفِ أَوِ اخْتَلَفُوا وَهَكَذَا لَوْ ضَغَطَهُمُ الْخَوْفُ إِلَى حَائِطٍ ثُمَّ فَارَقُوهُ عَنْ قَتِيلٍ مِنْهُمْ كَانَ لَوْثًا مَعَهُمْ فَأَمَّا إِذَا هَرَبُوا مِنْ نَارٍ أَوْ سَبُعٍ فَوُجِدَ أَحَدُهُمْ صَرِيعًا نُظِرَ فَإِنْ كَانَ طَرِيقُ هَرَبِهِمْ وَاسِعًا فَظَاهِرُ صَرْعَتِهِ أَنَّهَا مِنْ عَثْرَتِهِ فَلَا يَكُونُ ذَلِكَ لَوْثًا

Al-Mawardi berkata: Ini adalah jenis kelima dari al-lauts, yaitu ketika sekelompok orang berdesakan di sebuah sumur air, atau saat memasuki sebuah pintu, atau untuk mengambil sesuatu, lalu mereka berpencar dan didapati salah satu dari mereka terbunuh. Maka hal itu dianggap al-lauts pada kelompok tersebut karena sudah pasti diketahui bahwa pembunuhannya tidak keluar dari mereka, baik kekuatan dan kelemahan mereka sama ataupun berbeda. Demikian pula jika mereka terdesak oleh rasa takut hingga ke sebuah dinding, lalu mereka meninggalkannya dan didapati salah satu dari mereka terbunuh, maka itu juga dianggap al-lauts bersama mereka. Adapun jika mereka lari dari api atau binatang buas, lalu salah satu dari mereka ditemukan tewas, maka perlu dilihat: jika jalan pelarian mereka cukup luas, maka secara lahiriyah kematiannya disebabkan oleh tersandung, sehingga hal itu tidak dianggap sebagai al-lauts.

وَإِنْ كَانَ الطَّرِيقُ ضَيِّقًا فَظَاهِرُ الصَّرْعَةِ أَنَّهَا مِنْ صَدْمَتِهِمْ فَيَكُونُ ذَلِكَ لوثاً

Dan jika jalan itu sempit, maka yang tampak dari jatuhnya seseorang adalah karena tabrakan mereka, sehingga hal itu dianggap sebagai “luts” (keraguan dalam sebab kematian).

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” أَوْ أَتَى بِبَيِّنَةٍ مُتَفَرِّقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مِنْ نَوَاحٍ لَمْ يَجْتَمِعُوا فِيهَا يُثْبِتُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَلَى الِانْفِرَادِ عَلَى رَجُلٍ أَنَّهُ قَتَلَهُ فَتَتَوَاطَأُ شَهَادَتُهُمْ وَلَمْ يَسْمَعْ بَعْضُهُمْ شَهَادَةَ بَعْضٍ فَإِنْ لَمْ يَكُونُوا مِمَّنْ لَمْ يَعْدِلُوا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Atau jika seseorang menghadirkan bukti berupa kesaksian yang terpisah-pisah dari kaum Muslimin dari berbagai daerah yang mereka tidak berkumpul di satu tempat, masing-masing dari mereka secara terpisah menetapkan terhadap seorang laki-laki bahwa ia telah membunuhnya, lalu kesaksian mereka saling menguatkan, dan sebagian mereka tidak mendengar kesaksian sebagian yang lain, maka jika mereka bukan termasuk orang-orang yang tidak adil…”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا نَوْعٌ سَادِسٌ مِنَ اللَّوْثِ وَهُوَ لَوْثٌ بِالْقَوْلِ وَمَا تَقَدَّمَ لَوْثٌ بِالْفِعْلِ وَذَلِكَ أن تأتي جماعة متفرقون من نواحي مُخْتَلِفَةٍ يَزِيدُونَ عَلَى عَدَدِ التَّوَاطُؤِ وَلَا يَبْلُغُونَ حَدَّ الِاسْتِفَاضَةِ وَتَقْتَصِرُ أَوْصَافُهُمْ عَنْ شُرُوطِ الْعَدَالَةِ فَيَشْهَدُونَ أَوْ يُخَيَّرُونَ وَلَا يَسْمَعُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا أَنَّ فُلَانًا قَتَلَ فَلَانًا وَلَا يَخْتَلِفُونَ فِي مَوْضِعِ الْقَتْلِ وَلَا فِي صِفَتِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمْ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini adalah jenis keenam dari al-lauts, yaitu al-lauts dengan ucapan, sedangkan yang telah disebutkan sebelumnya adalah al-lauts dengan perbuatan. Yaitu, ketika datang sekelompok orang yang terpencar dari berbagai penjuru, jumlah mereka melebihi batas kesepakatan (tawāthu’), namun tidak mencapai derajat istifādhah (berita yang tersebar luas), dan sifat-sifat mereka tidak memenuhi syarat keadilan. Mereka bersaksi atau diberi pilihan, dan sebagian mereka tidak mendengar dari sebagian yang lain bahwa si fulan telah membunuh si fulan, serta mereka tidak berbeda pendapat tentang tempat pembunuhan maupun sifatnya. Maka keadaan mereka tidak lepas dari salah satu dari dua perkara.”

أَحَدُهُمَا إِمَّا أَنْ يَكُونُوا مِمَّنْ تُقْبَلُ أَخْبَارُهُمْ فِي الدِّينِ كَالنِّسَاءِ وَالْعَبِيدِ فَهَذَا يَكُونُ لَوْثًا لِوُقُوعِ صِدْقِهِمْ فِي النَّفْسِ وَالْعَمَلِ عَلَى قَوْلِهِمْ فِي الشَّرْعِ

Salah satunya adalah jika mereka termasuk orang-orang yang diterima beritanya dalam agama, seperti perempuan dan budak, maka ini disebut luwts karena adanya keyakinan akan kebenaran mereka dalam hati dan beramal berdasarkan ucapan mereka dalam syariat.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونُوا مِمَّنْ لَا تُقْبَلُ أَخْبَارُهُمْ فِي الدِّينِ كَالصِّبْيَانِ وَالْكُفَّارِ وَالْفُسَّاقِ فَفِي كَوْنِهِ لوث وَجْهَانِ

Kedua, bahwa mereka termasuk golongan yang tidak diterima beritanya dalam agama, seperti anak-anak, orang kafir, dan orang fasik; maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ لَوْثًا لِوُقُوعِ صِدْقِهِمْ فِي النَّفْسِ

Salah satunya adalah adanya indikasi kuat karena kebenaran ucapan mereka terasa meyakinkan dalam hati.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَكُونُ لَوْثًا لِأَنَّهُ لَا يَعْمَلُ عَلَى قَوْلِهِمْ فِي الشَّرْعِ

Pendapat kedua tidak dianggap sebagai petunjuk awal, karena tidak diamalkan menurut pendapat mereka dalam syariat.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” أَوْ يَشْهَدُ عَدْلٌ عَلَى رَجُلٍ أَنَّهُ قَتَلَهُ لأن كل سبب من هذا يغلب على عقل الحاكم أنه كما ادعى وليه

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Atau seorang ‘adl (saksi yang adil) bersaksi terhadap seorang laki-laki bahwa ia telah membunuhnya, karena setiap sebab seperti ini akan menguatkan keyakinan hakim bahwa perkara itu benar seperti yang didakwakan oleh walinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا نَوْعٌ سَابِعٌ مِنَ اللَّوْثِ وَهُوَ وُجُودُ الْعَدَالَةِ وَنُقْصَانُ الْعَدَدِ كَمَا كَانَ مَا تَقَدَّمَهُ وُجُودُ الْعَدَدِ الزَّائِدِ مَعَ نُقْصَانِ الْعَدَالَةِ وَهُوَ أَنْ يَشْهَدَ بِالْقَتْلِ عَدْلٌ وَاحِدٌ فَيُحْكَمُ بِيَمِينِ الْمُدَّعِي مَعَ شَهَادَتِهِ فَإِنْ كَانَتِ الدَّعْوَى فِي خَطَأٍ مَحْضٍ أَوْ عَمْدِ الْخَطَأِ فَذَلِكَ مُوجِبٌ لِلْمَالِ وَالْمَالُ يُحْكَمُ فِيهِ بِشَاهِدٍ وَيَمِينٍ فَيَحْلِفُ فِيهِ الْمُدَّعِي يَمِينًا وَاحِدَةً وَيَكُونُ الشَّاهِدُ مَعَ الْيَمِينِ بَيِّنَةً عَادِلَةً وَلَا يَكُونُ لوثاً

Al-Mawardi berkata, “Ini adalah jenis ketujuh dari al-lauts, yaitu adanya keadilan namun jumlah saksi kurang, sebagaimana sebelumnya adalah adanya jumlah saksi yang lebih namun kurang keadilan. Yaitu ketika ada satu orang adil yang bersaksi tentang pembunuhan, maka diputuskan dengan sumpah penggugat bersama kesaksiannya. Jika gugatan itu terkait dengan kesalahan murni atau pembunuhan karena kesalahan, maka itu mewajibkan pembayaran diyat, dan dalam perkara harta diputuskan dengan satu saksi dan sumpah. Maka penggugat bersumpah satu kali, dan saksi bersama sumpah tersebut menjadi bukti yang adil, dan hal itu tidak disebut al-lauts.”

إذا كَانَتِ الدَّعْوَى فِي قَتْلِ عَمْدٍ فَالشَّاهِدُ الْوَاحِدُ لَوْثٌ فَيَحْلِفُ مَعَهُ الْمُدَّعِي خَمْسِينَ يَمِينًا وَيُحْكَمُ لَهُ بِأَيْمَانِهِ لَا بِالشَّهَادَةِ وَلَوْ شَهِدَ بِالْقَتْلِ وَلَمْ يَشْهَدْ بِعَمْدٍ وَلَا خَطَأٍ فَفِي جَوَازِ الْقَسَامَةِ وَجْهَانِ

Jika perkara yang disengketakan adalah pembunuhan sengaja, maka satu orang saksi dianggap sebagai “lūts”, sehingga penggugat bersumpah bersamanya sebanyak lima puluh sumpah, dan keputusan diberikan kepadanya berdasarkan sumpah-sumpah tersebut, bukan berdasarkan kesaksian. Jika saksi bersaksi atas terjadinya pembunuhan namun tidak menyatakan apakah itu sengaja atau tidak sengaja, maka terdapat dua pendapat mengenai bolehnya qasāmah.

أَحَدُهُمَا لَا قَسَامَةَ مَعَهُ لِلْجَهْلِ بِمُوجِبِهَا فِي قَتْلِ عَمْدٍ وَخَطَأٍ

Salah satunya adalah tidak ada qasāmah bersamanya karena tidak diketahui sebab yang mewajibkannya, baik dalam kasus pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُحْكَمُ فِيهِ بِالْقَسَامَةِ لِأَنَّهُ لَا يَنْفَكُّ الْقَتْلُ مِنْ عَمْدٍ أَوْ خَطَأٍ وَلَا تَمْتَنِعُ الْقَسَامَةُ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَيُحْكَمُ لَهُ بَعْدَ الْقَسَامَةِ بِأَخَفِّهِمَا حُكْمًا وَهُوَ الْخَطَأُ لَكِنْ تَكُونُ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ لَا عَلَى عَاقِلَتِهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ عَمْدًا يُسْتَحَقُّ فِي مَالِهِ

Pendapat kedua, dalam kasus ini diputuskan dengan qasāmah, karena pembunuhan tidak lepas dari unsur sengaja atau tidak sengaja, dan qasāmah tidak terlarang pada keduanya. Setelah qasāmah, diputuskan dengan hukum yang paling ringan di antara keduanya, yaitu tidak sengaja. Namun, diyat (denda) diambil dari hartanya sendiri, bukan dari ‘āqilah-nya, karena ada kemungkinan perbuatan itu sengaja sehingga diyat menjadi tanggungannya sendiri.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَوْ شَهِدَ بِالْقَتْلِ مِنْ عُدُولِ النِّسَاءِ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ لَمْ تَكُنْ بَيِّنَةً إِنْ حَلَفَ وَلَا لَوْثًا لِنَقْصِهَا عَنْ رُتْبَةِ الشَّاهِدِ الْوَاحِدِ وَلَوْ شَهِدَ بِهِ مِنْ عُدُولِهِمُ امْرَأَتَانِ لَمْ تَكُونَا بَيِّنَةً إِنْ حَلَفَ مَعَهُمَا فِي الْخَطَأِ وَكَانَا لَوْثًا كَالرَّجُلِ الْوَاحِدِ لَكِنْ يَحْلِفُ فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ خَمْسِينَ يَمِينًا لِيُحْكَمَ لَهُ بِأَيْمَانِهِ لِكَوْنِهِمَا لَوْثًا

Dan jika yang bersaksi atas pembunuhan dari kalangan perempuan yang adil hanya satu orang, maka itu tidak dianggap sebagai bayyinah meskipun ia bersumpah, dan juga tidak dianggap sebagai luwts karena kurang dari derajat satu orang saksi. Dan jika yang bersaksi dari kalangan perempuan yang adil ada dua orang, maka keduanya juga tidak dianggap sebagai bayyinah meskipun bersumpah bersama mereka dalam kasus pembunuhan tidak sengaja, namun keduanya dianggap sebagai luwts seperti satu orang laki-laki. Akan tetapi, dalam kasus pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja, ia bersumpah lima puluh kali agar diputuskan haknya berdasarkan sumpah-sumpahnya karena keduanya dianggap sebagai luwts.

فَصْلٌ

Bab

وَلَوْ شَهِدَ شَاهِدَانِ أَنَّ أَحَدَ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ قَتَلَ هَذَا الْقَتِيلَ لَمْ تَكُنْ هَذِهِ بَيِّنَةً بِالْقَتْلِ لِعَدَمِ التَّعَيُّنِ فِيهَا عَلَى الْقَاتِلِ وكانت لوثا يوجب القسامة للولي أَنْ يُقْسِمَ عَلَى أَيِّهِمَا شَاءَ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَيْهِمَا لِأَنَّ الشَّهَادَةَ خَصَّتْ أَحَدَهُمَا وَلَوْ شَهِدَ الشَّاهِدَانِ أَنَّ هَذَا الرَّجُلَ قَتَلَ أحد هذين القتلين لَمْ تَكُنْ فِي شَهَادَتِهِمَا بَيِّنَةً وَلَا لَوْثًا وَلَا قَسَامَةَ فِيهِ

Dan jika dua orang saksi bersaksi bahwa salah satu dari dua laki-laki ini telah membunuh orang yang terbunuh ini, maka kesaksian tersebut tidak dianggap sebagai bukti dalam kasus pembunuhan karena tidak adanya penetapan pasti terhadap pelakunya. Namun, hal itu menjadi “lūts” yang mewajibkan qasāmah bagi wali (ahli waris) untuk bersumpah atas siapa saja yang ia kehendaki di antara keduanya, dan ia tidak boleh bersumpah atas keduanya sekaligus karena kesaksian hanya mengkhususkan salah satu dari mereka. Dan jika dua orang saksi bersaksi bahwa laki-laki ini telah membunuh salah satu dari dua orang yang terbunuh ini, maka kesaksian mereka tidak menjadi bukti, tidak pula menjadi lūts, dan tidak ada qasāmah di dalamnya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ لَوْثَ الْقَسَامَةِ مَا تَعَيَّنَ فِيهِ الْمَقْتُولُ وَجُهِلَ فِيهِ القاتل لأن مُسْتَحِقَّ الْقَسَامَةِ مُعَيَّنٌ وَلَا يَكُونُ لَوْثَ الْقَسَامَةِ مَا تَعَيَّنَ فِيهِ الْقَاتِلُ وَجُهِلَ فِيهِ الْمَقْتُولُ لِأَنَّ مُسْتَحِقَّ الْقَسَامَةِ فِيهِ غَيْرُ مُعَيَّنٍ فَصَحَّتِ الْقَسَامَةُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأَوْلَى لِتَعْيِينِ مُسْتَحِقِّهَا وَبَطَلَتْ فِي الثَّانِيَةِ لِلْجَهْلِ بِمُسْتَحِقِّهَا وَهَكَذَا الْحُكْمُ لَوْ شَهِدَ فِيهِمَا شَاهِدٌ وَاحِدٌ كَانَ لَوْثًا فِي الْأُولَى دُونَ الثَّانِيَةِ لِأَنَّ الشَّاهِدَ الْوَاحِدَ لَوْثٌ فِي الْقَسَامَةِ كَالشَّاهِدَيْنِ وَيَحْتِمِلُ وَجْهًا آخَرَ أَنَّهُ لَا يَكُونُ لَوْثًا مَعَ الشَّاهِدِ الْوَاحِدِ وَإِنْ كَانَ لَوْثًا مَعَ الشَّاهِدَيْنِ لِأَنَّ الشَّاهِدَ الْوَاحِدَ قَدْ جَمَعَ بَيْنَ ضَعِيفَيْنِ نُقْصَانُ الْعَدَدِ وَعَدَمُ التعيين وانفراد الشاهدان بِأَحَدِ الضَّعِيفَيْنِ فَقَوِيَ اللَّوْثُ مَعَهُمَا وَضَعُفَ مَعَ الْوَاحِدِ فَجَازَتِ الْقَسَامَةُ مَعَ قُوَّةِ اللَّوْثِ وَلَمْ تجز مع ضعفه والله أعلم

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa dalam kasus “lūts” pada qasāmah, korban pembunuhan telah ditentukan namun pelakunya tidak diketahui, karena pihak yang berhak atas qasāmah telah ditentukan. Tidak dianggap sebagai “lūts” pada qasāmah jika pelaku telah ditentukan namun korban tidak diketahui, karena pihak yang berhak atas qasāmah dalam hal ini tidak jelas. Maka qasāmah sah pada kasus pertama karena pihak yang berhak telah ditentukan, dan batal pada kasus kedua karena tidak diketahui siapa yang berhak. Demikian pula hukumnya jika dalam kedua kasus tersebut ada satu orang saksi; maka itu dianggap “lūts” pada kasus pertama, bukan pada kasus kedua, karena satu orang saksi adalah “lūts” dalam qasāmah seperti dua orang saksi. Namun ada kemungkinan pendapat lain bahwa satu orang saksi tidak dianggap sebagai “lūts”, meskipun dua orang saksi dianggap “lūts”, karena satu orang saksi menggabungkan dua kelemahan: kurangnya jumlah dan tidak adanya penetapan, sedangkan dua orang saksi hanya memiliki salah satu kelemahan tersebut, sehingga “lūts” menjadi kuat bersama keduanya dan lemah bersama satu orang saksi. Maka qasāmah diperbolehkan jika “lūts” kuat, dan tidak diperbolehkan jika lemah. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلِلْوَلِيِّ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى الْوَاحِدِ وَالْجَمَاعَةِ مَنْ أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ فِي جُمْلَتِهِمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Wali berhak meminta sumpah kepada satu orang maupun kelompok, siapa saja yang mungkin termasuk di antara mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا كَانَ اللَّوْثُ فِي جَمَاعَةٍ لَمْ تَخْلُ دَعْوَى الْقَتْلِ مِنْ أَنْ يَعُمَّ بِهَا جَمِيعَهُمْ أَوْ يَخُصَّ بِهَا أَحَدَهُمْ فَإِنْ خَصَّ الْوَلِيُّ أَحَدَهُمْ بِالْقَتْلِ جَازَ لَهُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ لَهُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَيْهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ لِدُخُولِهِ فِي جُمْلَةِ اللَّوْثِ جَازَ أَنْ يُقَسِمَ عَلَيْهِ وَحْدَهُ دُونَ الْجَمَاعَةِ لِأَنَّهُ أَحَدُهُمْ وَإِنْ عَمَّ الْوَلِيُّ الدَّعْوَى وَادَّعَى الْقَتِيلَ على جميعهم فلهم حالتان

Al-Mawardi berkata: Jika terdapat indikasi kuat (al-lawts) pada suatu kelompok, maka tuduhan pembunuhan tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi tuduhan itu ditujukan kepada seluruh anggota kelompok, atau hanya kepada salah satu dari mereka. Jika wali korban mengkhususkan tuduhan pembunuhan kepada salah satu dari mereka, maka ia boleh melakukan sumpah atasnya. Karena ketika ia dibolehkan bersumpah atas salah satu dari mereka bersama kelompok, sebab orang itu termasuk dalam kelompok yang terdapat indikasi kuat, maka dibolehkan pula ia bersumpah atas orang itu saja tanpa melibatkan kelompok, karena ia adalah salah satu dari mereka. Dan jika wali korban menggeneralisasi tuduhan dan menuduh seluruh anggota kelompok sebagai pelaku pembunuhan, maka ada dua keadaan bagi mereka.

أحدهما أَنْ يَكُونُوا عَدَدًا يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِكُوا فِي قَتْلٍ فَيَجُوزُ لِلْوَلِيِّ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى جَمِيعِهِمْ

Pertama, mereka berjumlah orang yang memungkinkan untuk bersama-sama melakukan pembunuhan, maka wali berhak menuntut qisas kepada seluruh mereka.

والحالة الثَّانِيَةُ أَنْ يَزِيدُوا عَلَى عَدَدِ الِاشْتِرَاكِ وَيَبْلُغُوا عَدَدًا لَا يَصِحُّ مِنْهُمُ الِاشْتِرَاكُ فِي قَتْلِ نَفْسٍ كَمَنْ زَادَ عَلَى عَدَدِ الْمِائَةِ وَبَلَغَ أَلْفًا فَمَا زَادَ كَأَهْلِ الْبَصْرَةِ وَبَغْدَادَ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى جَمِيعِهِمْ لِاسْتِحَالَةِ اشْتِرَاكِهِمْ فِي الْقَتْلِ

Keadaan kedua adalah apabila jumlah mereka melebihi batas jumlah yang memungkinkan terjadinya keterlibatan bersama, dan mencapai jumlah yang tidak mungkin mereka semua terlibat bersama dalam membunuh satu jiwa, seperti jika jumlahnya melebihi seratus dan mencapai seribu atau lebih, seperti penduduk Basrah dan Baghdad. Maka tidak boleh membagi (hukuman) kepada semuanya, karena mustahil mereka semua terlibat bersama dalam pembunuhan.

وَقِيلَ لِلْوَلِيِّ عَيْنُ الدَّعْوَى عِنْدَ عُمُومِ اللَّوْثِ عَلَى عَدَدٍ مِنْهُمْ يَصِحُّ اشْتِرَاكُهُمْ فِي الْقَتْلِ فَحِينَئِذٍ يُقْسِمُ عَلَيْهِمْ

Dan dikatakan kepada wali: inti gugatan pada saat adanya syubhat yang umum terhadap sejumlah orang di antara mereka, di mana memungkinkan terjadinya keterlibatan mereka bersama-sama dalam pembunuhan, maka pada saat itu wali bersumpah atas mereka.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَاهُ وَأَقْسَمَ الْوَلِيُّ مَعَ اللَّوْثِ عَلَى وَاحِدٍ أَوْ جَمَاعَةٍ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْوَلِيِّ مِنْ أَنْ يَكُونَ وَاحِدًا أَوْ جَمَاعَةً فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا حَلَفَ خَمْسِينَ يَمِينًا فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ رَجُلًا كَانَ أَوِ امْرَأَةً وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً فَفِيمَا يُقْسِمُونَ بِهِ قَوْلَانِ

Jika telah ditetapkan apa yang telah kami jelaskan, dan wali bersumpah bersama adanya al-lawts terhadap satu orang atau sekelompok orang, maka keadaan wali tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi ia seorang diri atau sekelompok orang. Jika ia seorang diri, maka ia bersumpah lima puluh sumpah, baik dalam kasus pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka adalah sekelompok orang, maka dalam hal pembagian sumpah di antara mereka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقْسِمُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ حُكْمَ نَفْسِهِ

Salah satunya adalah masing-masing dari mereka bersumpah lima puluh kali, karena setiap orang dari mereka memiliki hukum atas dirinya sendiri.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يَحْلِفُ جَمِيعُهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا تُقَسَّطُ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ بِجَبْرِ الْكَسْرِ فإن كان ابْنَيْنِ حَلَفَ كُلُّ ابْنٍ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ يَمِينًا وَإِنْ كَانَ ابْنًا وَبِنْتًا حَلَفَ الِابْنُ أَرْبَعَةً وَثَلَاثِينَ وَحَلَفَتِ الْبِنْتُ سَبْعَةَ عَشَرَ يَمِينًا لِأَنَّ الْيَمِينَ لَمَّا لَمْ تَتَبَعَّضْ جُبِرَ كَسْرُهَا

Pendapat kedua menyatakan bahwa seluruh mereka bersumpah lima puluh sumpah yang dibagi di antara mereka sesuai dengan bagian warisan mereka dengan pembulatan pecahan. Jika ahli warisnya dua anak laki-laki, maka masing-masing anak laki-laki bersumpah dua puluh lima kali. Jika ahli warisnya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka anak laki-laki bersumpah tiga puluh empat kali dan anak perempuan bersumpah tujuh belas kali, karena sumpah itu tidak dapat dibagi, maka pecahannya dibulatkan.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا حَلَفُوا لَمْ يَخْلُ الْقَتْلُ من أن يكون موجب لِلْقَوَدِ أَوْ غَيْرَ مُوجِبٍ لَهُ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُوجِبٍ لِلْقَوَدِ فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Maka apabila mereka telah bersumpah, pembunuhan itu tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi mewajibkan qishāsh atau tidak mewajibkannya. Jika tidak mewajibkan qishāsh, maka ia terbagi menjadi tiga bagian.

أحدهما أَنْ يَكُونَ خَطَأً مَحْضًا فَتَكُونُ الدِّيَةُ بَعْدَ أَيْمَانِ الْأَوْلِيَاءِ مُخَفَّفَةً عَلَى عَوَاقِلِ الْقَتَلَةِ فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا انْفَرَدَتْ عَاقِلَتُهُ بِالْعَقْلِ وَإِنْ كَانُوا جماعة قسمت على أعداد رؤوسهم وَتَحَمَّلَتْ عَاقِلَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ سَهْمَهُ مِنَ الدِّيَةِ

Pertama, jika pembunuhan itu murni kesalahan, maka diyat, setelah sumpah para wali, menjadi ringan dan dibebankan kepada ‘āqilah (keluarga penanggung) pelaku pembunuhan. Jika pelakunya satu orang, maka ‘āqilah-nya sendiri yang menanggung diyat tersebut. Namun jika pelakunya lebih dari satu, diyat dibagi sesuai jumlah kepala mereka, dan ‘āqilah masing-masing menanggung bagian diyat sesuai bagiannya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْقَتْلُ عَمْدَ الْخَطَأِ فَتَكُونُ الدِّيَةُ بَعْدَ أَيْمَانِ الْأَوْلِيَاءِ مُغَلَّظَةً عَلَى عَوَاقِلِ الْقُتَلَاءِ عَلَى مَا بَيَّنَّا

Bagian kedua adalah apabila pembunuhan itu termasuk ‘amdu al-khathā’, maka diyatnya, setelah sumpah para wali, menjadi diyat yang diperberat dan dibebankan kepada ‘aqilah para pelaku pembunuhan, sebagaimana telah kami jelaskan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ عَمْدًا مَحْضًا سَقَطَ الْقَوَدُ فِيهِ لِكَمَالِ الْقَاتِلِ وَنَقْصِ الْمَقْتُولِ كَالْمُسْلِمِ مَعَ الْكَافِرِ وَالْحُرِّ مَعَ الْعَبْدِ وَالْوَالِدِ مَعَ الْوَلَدِ وتكن الدِّيَةُ بَعْدَ أَيْمَانِ الْأَوْلِيَاءِ مُغَلَّظَةً فِي مَالِ الْقَاتِلِ حَالَّةً؛ لِأَنَّ سُقُوطَ الْقَوَدِ فِيهِ لَا يُخْرِجُهُ مِنْ حُكْمِ الْعَمْدِ فِي الدِّيَةِ

Bagian ketiga adalah apabila pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja sepenuhnya, maka qishāsh gugur karena kesempurnaan pelaku dan kekurangan korban, seperti seorang Muslim terhadap orang kafir, orang merdeka terhadap budak, dan orang tua terhadap anak. Dalam kasus ini, diyat tetap wajib setelah sumpah para wali, dengan kadar yang diperberat dan dibebankan kepada harta pelaku secara tunai; karena gugurnya qishāsh di sini tidak mengeluarkan kasus ini dari hukum pembunuhan sengaja dalam hal diyat.

فَصْلٌ

Bab

وَإِنْ كَانَ الْقَتْلُ مُوجِبًا لِلْقَوَدِ فَهَلْ يُسْتَحَقُّ القود بالقسامة ويشاط بِهَا الدَّمُ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Jika pembunuhan itu mewajibkan qishāsh, maka apakah qishāsh dapat ditetapkan dengan qasāmah dan darah dibagi dengannya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَبِهِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ وَحَكَمَ بِهِ فِي أَيَّامِهِ أَنَّ الْقَوَدَ بِهَا ثَابِتٌ وَدَلِيلُهُ حَدِيثُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ سَهْلُ بْنُ أَبِي حَثْمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِلْأَنْصَارِ يَحْلِفُ خَمْسُونَ مِنْكُمْ عَلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ فَيَدْفَعُ بِرُمَّتِهِ يَعْنِي لِلْقَوَدِ

Salah satunya adalah pendapat yang beliau (Imam Syafi‘i) kemukakan dalam pendapat lama, dan ini adalah mazhab Malik dan Ahmad bin Hanbal, serta pendapat yang dipegang oleh Abdullah bin Zubair dan yang beliau terapkan pada masa pemerintahannya, yaitu bahwa qisas berlaku dalam kasus ini. Dalilnya adalah hadis Yahya bin Sa‘id dari Busyair bin Yasar dari Sahl bin Abi Hatsmah, bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada kaum Anshar: “Lima puluh orang dari kalian bersumpah atas seorang dari mereka, lalu dia diserahkan seluruhnya, yaitu untuk qisas.”

وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَتَلَ بِالْقَسَامَةِ رَجُلًا مِنْ بَنِي نَضْرِ بْنِ مَالِكٍ وَلِأَنَّ مَا ثَبَتَ بِهِ الْقَتْلُ تَعَلَّقَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُهُ كَالْبَيِّنَةِ

Amr bin Syu‘aib meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ membunuh seorang laki-laki dari Bani Nadr bin Malik dengan al-qasāmah. Dan karena sesuatu yang dengannya pembunuhan telah ditetapkan, maka berlaku pula hukum-hukumnya sebagaimana pada al-bayyinah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ

Pendapat kedua adalah pendapat beliau dalam al-jadid.

وَبِهِ قَالَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ لَا قَوَدَ فِي الْقَسَامَةِ وَتَجِبُ بِهَا الدِّيَةُ وَدَلِيلُهُ مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَتَبَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ فِي قِصَّةِ الْأَنْصَارِ ” إِمَّا أَنْ تَدُوا صَاحِبَكُمْ أَوْ تُؤْذَنُوا بِحَرْبٍ فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ

Pendapat ini juga dikatakan oleh ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dan merupakan mazhab Abu Hanifah, yaitu bahwa tidak ada qishāsh dalam kasus qasāmah, tetapi wajib membayar diyat karenanya. Dalilnya adalah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada Yahudi Khaibar dalam kisah kaum Anshar: “Kalian harus membayar diyat untuk teman kalian, atau kalian akan diperangi.” Hal ini menunjukkan kewajiban membayar diyat tanpa adanya qishāsh.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ كَتَبَ إِلَيْهِمْ قَبْلَ الْقَسَامَةِ وَقَبْلَ وُجُوبِ الْقَوَدِ قِيلَ إِنَّمَا كَتَبَ بِذَلِكَ بَيَانًا لِلْحُكْمِ الْمُسْتَحَقِّ بِالْقَسَامَةِ وَإِلَّا فَمَعْلُومٌ أَنَّ الدِّيَةَ لَا تَجِبُ قَبْلَ الْقَسَامَةِ كَمَا لَمْ يَجِبِ الْقَوَدُ وَلِأَنَّ أَيْمَانَ الْمُدَّعِي هِيَ غَلَبَةُ ظَنٍّ فَصَارَ شُبْهَةً فِي الْقَوَدِ وَالْقَوَدُ يَسْقُطُ بِالشُّبْهَةِ وَلِأَنَّ الْحُكْمَ بِالْقَسَامَةِ لِلِاحْتِيَاطِ فِي حَقِّ الدِّمَاءِ فَكَانَ مُقْتَضَى هَذَا الْمَعْنَى وُجُوبَ الدِّيَةِ وَسَقْطَ القود

Jika dikatakan, “Ia telah menulis surat kepada mereka sebelum pelaksanaan qasāmah dan sebelum wajibnya qawad (qisas),” maka dijawab: Ia menulis demikian hanya untuk menjelaskan hukum yang berhak ditetapkan melalui qasāmah. Adapun diyat jelas tidak wajib sebelum qasāmah, sebagaimana qawad juga tidak wajib sebelumnya. Sebab, sumpah para penggugat hanyalah dugaan kuat, sehingga menjadi syubhat dalam qawad, dan qawad gugur karena adanya syubhat. Selain itu, penetapan hukum dengan qasāmah dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian dalam perkara darah, sehingga konsekuensi dari makna ini adalah wajibnya diyat dan gugurnya qawad.

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قِيلَ بِالْأَوَّلِ في إشاطة الدَّمِ وَوُجُوبِ الْقَوَدِ فَإِنْ كَانَتِ الْقَسَامَةُ فِي الدَّعْوَى عَلَى وَاحِدٍ قُتِلَ قَوَدًا وَإِنْ كَانَتْ عَلَى جَمَاعَةٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْقَائِلُونَ بِهَذَا الْقَوْلِ فِي عَدَدِ مَنْ يُقْتَلُ فَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ أَنَّهُ تُقْتَلُ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ كَثُرُوا إِذَا أَمْكَنَ أَنْ يَشْتَرِكُوا لِأَنَّ الْقَسَامَةَ فِي اسْتِحْقَاقِ الْقَوَدِ تَجْرِي مَجْرَى الْبَيِّنَةِ

Jika telah dijelaskan argumentasi kedua pendapat tersebut, maka apabila pendapat pertama dipilih dalam hal penumpahan darah dan kewajiban qisas, jika qasāmah dilakukan dalam gugatan terhadap satu orang, maka ia dibunuh dengan qisas. Namun jika dilakukan terhadap sekelompok orang, maka para penganut pendapat ini berbeda pendapat mengenai jumlah orang yang harus dibunuh. Pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i dalam hal ini adalah bahwa seluruh kelompok tersebut dibunuh, meskipun jumlah mereka banyak, jika memungkinkan mereka bersama-sama melakukan pembunuhan, karena qasāmah dalam penetapan hak qisas diperlakukan seperti halnya bayyinah (alat bukti).

وَقَالَ مَالِكٌ لَا أَقْتُلُ بِهِ أَكْثَرَ مِنِ اثنين وحكا أَبُو ثَوْرٍ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ

Malik berkata, “Aku tidak membunuh karenanya lebih dari dua orang,” dan Abu Tsaur meriwayatkan dari Syafi‘i dalam pendapat lama.

وَحَكَى الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَوْلًا لِنَفْسِهِ أَنَّهُ لَا يُقْتَلُ بِهِ أَكْثَرُ مِنْ وَاحِدٍ وَبِهِ قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ حَقْنًا لِلدِّمَاءِ وَلِضَعْفِ الْقَسَامَةِ عَنِ الْبَيِّنَةِ

Ar-Rabi‘ bin Sulaiman meriwayatkan satu pendapat dari dirinya sendiri bahwa tidak boleh dibunuh lebih dari satu orang karenanya, dan pendapat ini juga dipegang oleh Abu al-‘Abbas bin Surayj demi menjaga darah (jiwa) dan karena lemahnya qasāmah dibandingkan bayyinah.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَأَجْعَلُ لِلْوَلِيِّ بَعْدَ أَيْمَانِهِ الْخِيَارَ فِي قَتْلِ أَيِّ الْجَمَاعَةِ شَاءَ فَإِذَا قُتِلَ أَحَدُهُمْ أُخِذَ مِنَ الْبَاقِي أَقْسَاطُهُمْ مِنَ الدِّيَةِ

Abu al-‘Abbas berkata, “Aku memberikan kepada wali setelah ia bersumpah pilihan untuk membunuh siapa saja dari kelompok (pelaku) yang ia kehendaki. Maka jika salah satu dari mereka dibunuh, diambil dari sisanya bagian-bagian diyat mereka.”

وَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي وَهُوَ الْجَدِيدُ أَنَّ الْقَوَدَ سَاقِطٌ فِي الواحد والجماعة فالدية المستحقة بالقسامة وتكون مُغَلَّظَةً حَالَّةً فِي مَالِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ إِنْ تَفَرَّدَ بِهَا وَاحِدٌ غَرِمَ جَمِيعَهَا وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً تَقَسَّطَتْ عَلَى أَعْدَادِهِمْ بِالسَّوِيَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Dan jika mengikuti pendapat kedua, yaitu pendapat baru, bahwa qawad gugur baik pada satu orang maupun kelompok, maka diyat yang berhak didapatkan melalui qasāmah menjadi diyat yang diperberat dan harus segera dibayarkan dari harta pihak yang didakwa. Jika hanya satu orang yang didakwa, maka ia menanggung seluruh diyat tersebut. Namun jika yang didakwa adalah sekelompok orang, maka diyat tersebut dibagi rata sesuai jumlah mereka. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَسَوَاءٌ كَانَ بِهِ جُرْحٌ أَوْ غَيْرُهُ لِأَنَّهُ قَدْ يُقْتَلُ بِمَا لَا أَثَرَ لَهُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Sama saja apakah pada dirinya terdapat luka atau tidak, karena bisa saja seseorang dibunuh dengan sesuatu yang tidak meninggalkan bekas.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا قَالَ لِلْوَلِيِّ أَنَّهُ يُقْسِمُ فِي الْقَتْلِ سَوَاءٌ كَانَ بِهِ أَثَرُ جُرْحٍ أَوْ لَمْ يَكُنْ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْسِمُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ بِهِ أَثَرُ جُرْحٍ

Al-Mawardi berkata, dan memang sebagaimana yang ia katakan, wali berhak melakukan qasam (sumpah) dalam kasus pembunuhan, baik terdapat bekas luka pada korban maupun tidak. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa qasam tidak boleh dilakukan kecuali jika terdapat bekas luka pada korban.

فَإِنْ لَمْ يُكَنْ بِهِ أَثَرُ جُرْحٍ وَخَرَجَ الدَّمُ مِنْ أُذُنِهِ أَقْسَمَ وَإِنْ خَرَجَ مَنْ أَنْفِهِ لَمْ يُقْسِمْ لِأَنَّ عَدَمَ الْأَثَرِ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ مِنْ مَوْتٍ وَمِنْ قَتْلٍ وَخُرُوجَ الدَّمِ مِنَ الْأَنْفِ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ مِنْ رُعَافٍ أَوْ خَنْقٍ فَضَعُفَتِ الدَّعْوَى وَسَقَطَتِ الْقَسَامَةُ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَمْرَيْنِ

Jika pada tubuhnya tidak terdapat bekas luka dan darah keluar dari telinganya, maka ia harus bersumpah. Namun jika darah keluar dari hidungnya, maka ia tidak bersumpah, karena ketiadaan bekas luka bisa jadi disebabkan oleh kematian alami atau karena pembunuhan. Sedangkan keluarnya darah dari hidung bisa jadi disebabkan oleh mimisan atau karena dicekik, sehingga gugatan menjadi lemah dan sumpah (qasāmah) pun gugur. Pendapat ini tidak benar karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْأَغْلَبَ مِنَ الْمَوْتِ أَنْ يَكُونَ بِأَسْبَابٍ حَادِثَةٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ حَادِثٍ وَمَوْتُ الْفُجَاءَةِ نَادِرٌ فَإِذَا لَمْ يُعْرَفْ مَرَضٌ صَارَ الْأَغْلَبُ مِنْهُ أَنَّهُ بِحَادِثِ الْقَتْلِ فَلَمْ يُحْمَلْ عَلَى نَادِرَةِ الْفُجَاءَةِ

Pertama, kebanyakan kematian biasanya disebabkan oleh sebab-sebab yang terjadi, seperti penyakit atau kecelakaan, sedangkan kematian mendadak itu jarang terjadi. Maka, jika tidak diketahui adanya penyakit, yang lebih mungkin adalah kematian itu disebabkan oleh peristiwa pembunuhan, sehingga tidak dianggap sebagai kematian mendadak yang jarang terjadi.

وَالثَّانِي أَنَّ الْقَتْلَ قَدْ يَكُونُ تَارَةً بِالْجُرْحِ وَالْأَثَرِ وَيَكُونُ تَارَةً بِالْخَنْقِ وَالْإِمْسَاكِ لِلنَّفْسِ وَبِعَصْرِ الْأُنْثَيَيْنِ مِنْ غَيْرِ أَثَرٍ وَإِذَا كَانَ بِهِمَا وَجَبَ أَنْ تَسْتَوِيَ الْقَسَامَةُ فِيهِمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Kedua, bahwa pembunuhan terkadang terjadi dengan luka dan bekas (pada tubuh), dan terkadang terjadi dengan cara mencekik dan menahan napas, atau dengan menekan kedua pelipis tanpa meninggalkan bekas. Jika pembunuhan terjadi dengan cara-cara tersebut, maka qasāmah wajib diberlakukan secara sama pada semuanya. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” فَإِنْ أَنْكَرَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَنْ يَكُونَ فِيهِمْ لَمْ يَسْمَعِ الْوَلِيُّ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ أَوْ إِقْرَارٍ أَنَّهُ كَانَ فِيهِمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika pihak yang didakwa menyangkal bahwa ia termasuk di antara mereka, maka wali tidak dapat menerima (pernyataan) kecuali dengan adanya bayyinah atau pengakuan bahwa ia memang termasuk di antara mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا وُجِدَ لَوْثُ الْقَتِيلِ فِي جَمَاعَةٍ فَادَّعَى أَوْلِيَاؤُهُ الْقَتْلَ عَلَى رَجُلٍ وَذَكَرُوا أَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الْجَمَاعَةِ وَأَنْكَرَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَنْ يَكُونَ فِي الْجَمَاعَةِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ وَلَا قَسَامَةَ لِلْأَوْلِيَاءِ إِذَا حَلَفَ إِلَّا أَنْ تَقُومَ بَيِّنَةٌ عَادِلَةٌ تَشْهَدُ بِأَنَّهُ كَانَ فِيهِمْ أَوْ يُشْهَدَ عَلَى إِقْرَارِهِ أَنَّهُ كَانَ فِيهِمْ فَيَجُوزُ حِينَئِذٍ لِلْأَوْلِيَاءِ أَنْ يُقْسِمُوا لِأَنَّ ظُهُورَ اللَّوْثِ فِيهِمْ لَا يَدُلُّ على أنه كان فيهم

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar apabila terdapat tanda-tanda pembunuhan pada sekelompok orang, lalu para wali korban menuduh seseorang dan menyebutkan bahwa ia termasuk dalam kelompok tersebut, namun orang yang dituduh itu mengingkari bahwa ia termasuk dalam kelompok itu. Maka, yang dijadikan pegangan adalah pernyataannya disertai sumpah bahwa ia tidak termasuk di antara mereka, dan para wali tidak berhak melakukan qasāmah jika ia telah bersumpah, kecuali ada bukti yang adil yang menyatakan bahwa ia memang termasuk di antara mereka, atau ada saksi atas pengakuannya bahwa ia termasuk di antara mereka. Maka pada saat itu para wali boleh melakukan qasāmah, karena munculnya tanda-tanda pembunuhan pada kelompok itu tidak menunjukkan bahwa ia pasti termasuk di dalamnya.”

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ” وَلَا أَنْظُرُ إِلَى دَعْوَى الْمَيِّتِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Aku tidak memperhatikan klaim orang yang telah meninggal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وهذا قاله على ردا مَالِكٍ حَيْثُ جَعَلَ قَوْلَ الْقَتِيلِ دِيَةً عِنْدَ فُلَانٍ لَوْثًا وَلَيْسَ بِلَوْثٍ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الدَّلِيلِ فَأَثْبَتَ مَالِكٌ اللَّوْثَ فِيمَا نَفَيْنَاهُ وَنَفَى اللَّوْثَ عَمَّا أَثْبَتْنَاهُ وَحَكَمَ بِالْقَسَامَةِ وَلَمْ يَحْكُمْ بِاللَّوْثِ الَذِي قَضَى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْقَسَامَةِ فَلَمْ يَنْفُذْ مِنْ مُخَالَفَةِ قَضَائِهِ مَعَ اعْتِرَافِهِ بِصِحَّةِ نَقْلِهِ وَهَذَا وَهْمٌ لَا يَجُوزُ

Al-Mawardi berkata, “Ini dikatakannya sebagai bantahan terhadap Malik, di mana Malik menjadikan ucapan korban (yang terbunuh) tentang diyat di sisi si Fulan sebagai luwats, padahal itu bukan luwats menurut Syafi‘i berdasarkan dalil yang telah kami kemukakan. Maka Malik menetapkan luwats pada perkara yang kami tiadakan, dan meniadakan luwats pada perkara yang kami tetapkan, serta memutuskan dengan qasāmah dan tidak memutuskan dengan luwats yang dalam hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan dengan qasāmah. Maka tidak sah dari penyelisihan putusannya, padahal ia mengakui kebenaran riwayatnya, dan ini adalah kekeliruan yang tidak boleh dilakukan.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلِوَرَثَةِ الْقَتِيلِ أَنْ يُقْسِمُوا وَإِنْ كَانُوا غُيَّبًا عَنْ مَوْضِعِ الْقَتِيلِ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَعْلَمُوا ذَلِكَ بِاعْتِرَافِ الْقَاتِلِ أَوْ بِبَيِّنَةٍ لَا يَعْلَمُهُمُ الْحَاكِمُ مِنْ أَهْلِ الصِّدْقِ عِنْدَهُمْ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهِ مَا يَعْلَمُ بِهِ الْغَائِبُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Para ahli waris korban berhak untuk bersumpah meskipun mereka tidak berada di tempat kejadian korban, karena mereka bisa saja mengetahui hal itu melalui pengakuan pelaku pembunuhan atau melalui bukti yang tidak diketahui oleh hakim dari orang-orang yang terpercaya menurut mereka, atau melalui cara-cara lain yang memungkinkan orang yang tidak hadir untuk mengetahui.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ يَجُوزُ لِأَوْلِيَاءِ الْمَقْتُولِ أَنْ يُقْسِمُوا وَإِنْ لَمْ يَشْهَدُوا الْقَتْلَ إِذَا عَلِمُوهُ مِنْ جِهَةٍ عَرَفُوهَا بِالصِّدْقِ

Al-Mawardi berkata, para wali dari orang yang terbunuh boleh bersumpah meskipun mereka tidak menyaksikan pembunuhan tersebut, jika mereka mengetahuinya dari suatu sumber yang mereka yakini kebenarannya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْسِمُوا إِذَا غَابُوا عَنْهُ لِأَنَّهُمْ عَلَى غَيْرِ يَقِينٍ مِنْهُ

Abu Hanifah berkata, “Mereka tidak boleh bersumpah jika tidak hadir di hadapannya, karena mereka tidak berada di atas keyakinan yang pasti tentangnya.”

وَدَلِيلُنَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَرَضَ الْأَيْمَانَ فِي قِصَّةِ الْأَنْصَارِيِّ عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَهْلٍ وَكَانَ بِالْمَدِينَةِ وَقُتِلَ أَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَهْلٍ بِخَيْبَرَ وَلِأَنَّ الْإِنْسَانَ قَدْ يُقْسِمُ فِي الْأَمْوَالِ عَلَى مَا عَلِمَهُ يَقِينًا وَعَلَى مَا عَرَفَهُ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ أَنْ يَجِدَ فِي حِسَابِ نَفْسِهِ بِخَطِّهِ أَوْ فِي حِسَابِ أَبِيهِ بِخَطِّ أَبِيهِ أَنَّ عَلَى فُلَانٍ كَذَا فَيَجُوزُ أَنْ يَحْلِفَ عَلَى اسْتِحْقَاقِهِ وَإِنْ كَانَ بِغَلَبَةِ ظَنٍّ لَا بِيَقِينٍ وَكَذَلِكَ فِي الدِّمَاءِ وَلِأَنَّ حُكْمَ الشَّهَادَةِ أَغْلَظُ ثُمَّ كَانَ لِلشُّهُودِ أَنْ يَشْهَدُوا تَارَةً بِمَا عَلِمُوا قَطْعًا مِمَّا شَهِدُوهُ مِنَ الْعُقُودِ وَسَمِعُوهُ مِنَ الْإِقْرَارِ وَكَانَ لَهُمْ تَارَةً أَنْ يَشْهَدُوا بِغَلَبَةِ الظَّنِّ فِي الْأَنْسَابِ وَالْمَوْتِ وَالْأَمْلَاكِ الْمُطْلَقَةِ بِخَبَرِ الِاسْتِفَاضَةِ فَلَمَّا كَانَتِ الشَّهَادَةُ تَنْقَسِمُ إِلَى يَقِينٍ وَغَالِبِ ظَنٍّ كَذَلِكَ الْأَيْمَانُ تَنْقَسِمُ إِلَى يَقِينٍ وَغَالِبِ ظن والله أعلم

Dalil kami adalah bahwa Nabi ﷺ menawarkan sumpah dalam kisah al-Anshari kepada Abdurrahman bin Sahal, yang berada di Madinah, sementara saudaranya, Abdullah bin Sahal, dibunuh di Khaibar. Karena seseorang boleh bersumpah dalam perkara harta atas dasar apa yang ia ketahui secara yakin maupun atas dasar apa yang ia ketahui dengan dugaan kuat, seperti ia menemukan dalam catatan pribadinya dengan tulisannya sendiri, atau dalam catatan ayahnya dengan tulisan ayahnya, bahwa si Fulan memiliki kewajiban sekian, maka boleh baginya bersumpah atas haknya, meskipun hanya berdasarkan dugaan kuat, bukan keyakinan pasti. Demikian pula dalam perkara darah (jiwa). Karena hukum kesaksian lebih berat, namun para saksi terkadang boleh bersaksi atas apa yang mereka ketahui secara pasti dari akad-akad yang mereka saksikan dan pengakuan yang mereka dengar, dan terkadang mereka boleh bersaksi berdasarkan dugaan kuat dalam perkara nasab, kematian, dan kepemilikan mutlak melalui berita yang tersebar luas (khabar istifadhah). Maka, sebagaimana kesaksian terbagi menjadi keyakinan dan dugaan kuat, demikian pula sumpah terbagi menjadi keyakinan dan dugaan kuat. Dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَيَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَقُولَ اتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تحلفوا إلا بعد الاستثبات

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Seyogianya seorang hakim mengatakan: ‘Bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian bersumpah kecuali setelah memastikan kebenarannya.’”

قال الماوردي إنما أَجَزْنَا لِلْحَاكِمِ أَنْ يَعِظَ الْأَوْلِيَاءَ عِنْدَ أَيْمَانِهِمْ وَيُحَذِّرَهُمْ مَأْثَمَ الْيَمِينِ الْكَاذِبَةِ وَيَتْلُوَ عَلَيْهِمْ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلا آل عمران 77 الْآيَةَ

Al-Mawardi berkata, “Kami membolehkan bagi hakim untuk menasihati para pihak yang bersumpah, memperingatkan mereka dari dosa sumpah palsu, dan membacakan kepada mereka firman Allah Ta‘ala: ‘Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…’ (Ali Imran: 77).”

وَيَأْمُرُهُمْ بِالِاسْتِثْبَاتِ وَالْأَنَاةِ قَبْلَ الْإِقْدَامِ عَلَيْهَا لِأَمْرَيْنِ

Dan ia memerintahkan mereka untuk memastikan kebenaran dan bersikap tenang sebelum mengambil tindakan tersebut karena dua hal.

أَحَدُهُمَا اعْتِبَارًا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي اللِّعَانِ حِينَ وَعَظَ الزَّوْجَيْنِ فِي الْخَامِسَةِ فَكَانَتِ الْأَيْمَانُ فِي الدِّمَاءِ بِمَثَابَتِهَا وَأَغْلَظَ

Salah satunya adalah dengan mempertimbangkan sunnah Rasulullah saw. dalam kasus li‘ān ketika beliau menasihati kedua suami istri pada sumpah kelima, sehingga sumpah-sumpah dalam perkara darah (pembunuhan) memiliki kedudukan yang serupa dan bahkan lebih berat.

وَالثَّانِي أَنَّهُ قَدْ يَسْتَحِقُّ بِأَيْمَانِهِمْ مَا لَا يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُهُ مِنَ الْقَوَدِ فَقَدَّمَ الِاسْتِظْهَارَ بِالْوَعْظِ وَالتَّحْذِيرِ فَأَمَّا وَعْظُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ عِنْدَ أَيْمَانِهِمْ فِي الْإِنْكَارِ فَإِنْ كَانَ فِي قَتْلِ عَمْدٍ لَمْ يوعظوا لأنه يوجب قود يُدْرَأُ بِالشُّبْهَةِ وَإِنْ كَانَ فِي قَتْلٍ خَطَأٍ وُعِظُوا وَحُذِّرُوا مَآثِمَ أَيْمَانِهِمُ الْكَاذِبَةِ

Kedua, bahwa terkadang seseorang dapat memperoleh hak dengan sumpah mereka atas sesuatu yang tidak mungkin dapat dipulihkan dari qawad, maka didahulukan upaya kehati-hatian dengan memberikan nasihat dan peringatan. Adapun menasihati pihak yang didakwa ketika mereka bersumpah dalam penolakan, jika itu dalam kasus pembunuhan sengaja maka mereka tidak dinasihati karena hal itu mewajibkan qawad yang dapat gugur karena adanya syubhat. Namun jika dalam kasus pembunuhan tidak sengaja, mereka dinasihati dan diperingatkan akan dosa sumpah palsu mereka.

فَأَمَّا الْأَيْمَانُ فِي الْأَمْوَالِ الْمَحْضَةِ فَفِي الْوَعْظِ عِنْدَ الْأَيْمَانِ فِيهَا وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا يَعِظُ الْحَالِفُ فِيهَا كَالدِّمَاءِ وَالثَّانِي لَا يَعِظُ فِيهَا لِتَغْلِيظِ الدِّمَاءِ عَلَى غيرها

Adapun sumpah-sumpah yang berkaitan dengan harta murni, maka dalam hal memberi nasihat saat pengambilan sumpah atasnya terdapat dua pendapat. Pertama, orang yang bersumpah dinasihati sebagaimana dalam kasus darah (jiwa). Kedua, tidak dinasihati dalam hal ini karena perkara darah lebih berat dibandingkan yang lain.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَتُقْبَلُ أَيْمَانُهُمْ مَتَى حَلَفُوا مُسْلِمِينَ كَانُوا عَلَى مُشْرِكِينَ أَوْ مُشْرِكِينَ عَلَى مُسْلِمِينَ لِأَنَّ كُلًّا وَلِيُّ دَمِهِ وَوَارِثُ دِيَتِهِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Sumpah mereka diterima kapan pun mereka bersumpah, baik seorang Muslim terhadap seorang musyrik, maupun seorang musyrik terhadap seorang Muslim, karena masing-masing adalah wali darahnya dan ahli waris diyatnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ تُقْبَلُ أَيْمَانُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ وَأَيْمَانُ الْمُشْرِكِينَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فِي الْقَسَامَةِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْحُقُوقِ وَقَالَ مَالِكٌ أَقْبَلُهَا فِي سَائِرِ الْحُقُوقِ وَلَا أَقْبَلُهَا فِي الْقَسَامَةِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَأَقْبَلُهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ وَبَنَاهُ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْقَسَامَةَ تُوجِبُ الْقَوَدَ فَلَمَّا لَمْ يَسْتَحِقَّ الْمُشْرِكُ عَلَى الْمُسْلِمِ الْقَوَدَ لَمْ يَسْتَحِقَّ الْقَسَامَةَ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ مَنْ قُبِلَتْ أَيْمَانُهُمْ فِي الْأَمْوَالِ قُبِلَتْ أَيْمَانُهُمْ فِي الْقَسَامَةِ كَالْمُسْلِمِينَ وَلِأَنَّ سُقُوطَ الْقَوَدِ فِي حَقِّ الْمُشْرِكِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَ الدِّيَةِ فَصَارَ فِيهَا كَالْمُسْلِمِ

Al-Mawardi berkata, sumpah kaum Muslimin diterima terhadap orang-orang musyrik dan sumpah orang-orang musyrik terhadap kaum Muslimin dalam kasus qasāmah dan hak-hak lainnya. Malik berkata, aku menerima sumpah tersebut dalam seluruh hak, kecuali dalam qasāmah dari orang-orang musyrik terhadap kaum Muslimin, dan aku menerimanya dari kaum Muslimin terhadap orang-orang musyrik. Ia mendasarkan pendapatnya pada prinsip bahwa qasāmah mewajibkan qawad (qisas), sehingga ketika orang musyrik tidak berhak mendapatkan qawad atas Muslim, maka ia juga tidak berhak atas qasāmah. Namun, pendapat ini tidak benar, karena siapa pun yang sumpahnya diterima dalam perkara harta, maka sumpahnya juga diterima dalam qasāmah seperti halnya kaum Muslimin. Selain itu, gugurnya qawad bagi orang musyrik tidak berarti gugurnya diyat, sehingga dalam hal ini kedudukannya sama seperti kaum Muslimin.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلِسَيِّدِ الْعَبْدِ الْقَسَامَةُ فِي عَبْدِهِ عَلَى الْأَحْرَارِ والعبيد

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Tuan dari seorang budak memiliki hak untuk melakukan qasāmah atas budaknya terhadap orang-orang merdeka maupun para budak.”

قال الماوردي قد قضى الْكَلَامُ فِي قَتْلِ الْعَبْدِ هَلْ تَحْمِلُهُ الْعَاقِلَةُ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ فَأَمَّا إِذَا اقْتَرَنَ بِقَتْلِهِ لَوْثٌ فَقَدْ أجاز الشافعي هاهنا لِلسَّيِّدِ الْقَسَامَةَ فِيهِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَحَمَلَهُ كَثِيرٌ مِنْهُمْ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْعَقْلِ فَإِنْ تَحْمِلْهُ الْعَاقِلَةُ أَقْسَمَ سَيِّدُهُ وَإِنْ قِيلَ لَا تَحْمِلْهُ الْعَاقِلَةُ لَمْ يُقْسِمْ لِأَنَّهُ يَجْرِي عَلَى هَذَا الْقَوْلِ مَجْرَى الْأَمْوَالِ الَّتِي لَا قَسَامَةَ فِيهَا وَذَهَبَ أَبُو الْعَبَّاسُ بْنُ سُرَيْجٍ وَالْمُحَقِّقُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّ لِسَيِّدِهِ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا لِأَنَّ الْقَسَامَةَ فِي النُّفُوسِ لِحِفْظِ حُرْمَتِهَا كَمَا حُفِظَتْ حُرْمَتُهَا بِالْقِصَاصِ وَغَلُظَتْ بِالْكَفَّارَةِ وَهُمَا مُعْتَبَرَانِ فِي الْعَبْدِ كَاعْتِبَارِهِمَا فِي الْحُرِّ فَكَذَلِكَ فِي الْقَسَامَةِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِيهَا كَالْحُرِّ وَخَالَفَ تَحَمُّلُ الْعَقْلِ لِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ لِلنُّصْرَةِ وَالْمُحَابَاةِ الَّتِي يُقْصُرُ الْعَبْدُ عَنْهَا وَيَخْتَصُّ الْحُرُّ بِهَا فَافْتَرَقَ مَعْنَى الْقَسَامَةِ وَالْعَقْلِ فَلِذَلِكَ أَقْسَمَ فِي الْعَبْدِ وَإِنْ لَمْ يَعْقِلْ عَنْهُ

Al-Mawardi berkata: Telah selesai pembahasan mengenai pembunuhan terhadap budak, apakah diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini. Adapun jika pembunuhan tersebut disertai dengan adanya indikasi kuat (lawts), maka asy-Syafi‘i membolehkan bagi tuan budak untuk melakukan qasāmah dalam kasus ini. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini; banyak di antara mereka yang mengaitkannya dengan dua pendapat sebagaimana dalam masalah diyat. Jika diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah, maka tuannya bersumpah; dan jika dikatakan tidak ditanggung oleh ‘āqilah, maka tuannya tidak bersumpah, karena menurut pendapat ini, kasus tersebut diperlakukan seperti harta yang tidak ada qasāmah di dalamnya. Abu al-‘Abbas Ibn Surayj dan para peneliti dari kalangan ulama kami berpendapat bahwa tuan budak boleh bersumpah menurut kedua pendapat tersebut, karena qasāmah dalam kasus jiwa bertujuan menjaga kehormatannya, sebagaimana kehormatannya dijaga dengan qishāsh dan diperberat dengan kafārah, dan keduanya berlaku pada budak sebagaimana berlaku pada orang merdeka. Maka demikian pula dalam qasāmah, boleh diberlakukan pada budak sebagaimana pada orang merdeka. Adapun penanggungan diyat oleh ‘āqilah berbeda, karena hal itu ditetapkan untuk tujuan tolong-menolong dan saling membantu, yang mana budak tidak mampu melakukannya dan hanya khusus bagi orang merdeka. Maka, makna qasāmah dan diyat (‘aql) pun berbeda. Oleh karena itu, tuan budak boleh bersumpah dalam kasus budak, meskipun diyatnya tidak ditanggung oleh ‘āqilah.

وَهَكَذَا لَوْ قُتِلَ الْمُدَبَّرُ وَالْمُكَاتَبُ وَأُمُّ الْوَلَدِ يَجُوزُ لِلسَّيِّدِ الْقَسَامَةُ فِيهِمْ لِأَنَّهُمْ قُتِلُوا عَبِيدًا

Demikian pula, jika al-mudabbir, al-mukatab, dan umm al-walad dibunuh, maka tuan mereka boleh melakukan qasamah atas mereka, karena mereka dibunuh dalam keadaan sebagai budak.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا الْقَسَامَةُ عَلَى الْعَبْدِ إِذَا كَانَ قَاتِلًا فَجَائِزَةٌ لِأَنَّهُ قَاتِلٌ كَالْحُرِّ وَإِنْ كَانَ مَقْتُولًا بِخِلَافِ الْحُرِّ فَلَوْ ظَهَرَ مِنْهُ اللَّوْثُ فِي قَتْلِ سَيِّدِهِ جَازَ لِوَرَثَتِهِ أَنْ يُقْسِمُوا وَإِنِ انْتَقَلَ إِلَى مُلْكِهِمْ بِالْمِيرَاثِ لِيَسْتَفِيدُوا بِالْقَسَامَةِ أَنْ يَقْتُلُوهُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ وَأَنْ يَخْرُجَ بِهَا مِنَ الرَّهْنِ إِنْ كَانَ مَرْهُونًا وَأَنْ تَبْطُلَ فيها الوصية فيه إن كان موصاً به

Adapun qasāmah atas seorang budak jika ia sebagai pembunuh, maka diperbolehkan karena ia adalah pembunuh seperti orang merdeka. Namun jika ia sebagai korban pembunuhan, berbeda dengan orang merdeka. Jika terdapat indikasi kuat (al-lawts) darinya dalam kasus pembunuhan tuannya, maka diperbolehkan bagi para ahli warisnya untuk melakukan qasāmah, dan jika kepemilikan budak itu berpindah kepada mereka melalui warisan, mereka dapat memanfaatkan qasāmah untuk membunuhnya menurut pendapat lama, dan agar budak itu keluar dari status gadai jika ia sedang digadaikan, serta agar wasiat atas dirinya batal jika ia merupakan objek wasiat.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَيُقْسِمُ الْمُكَاتَبُ فِي عَبْدِهِ لِأَنَّهُ مَالُهُ فَإِنْ لَمْ يُقْسِمْ حَتَّى عَجَزَ كَانَ لِلسَّيِّدِ أَنْ يُقْسِمَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Seorang mukatab boleh membagi (harta) pada budaknya karena itu adalah hartanya. Jika ia belum membaginya hingga ia tidak mampu (melunasi), maka tuannya berhak untuk membaginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ يَمْلِكُ التَّصَرُّفَ فِيمَا بِيَدِهِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْعَبْدَ يَمْلِكُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ كَانَ تَصَرُّفُهُ تَصَرُّفَ مَالِكٍ وَإِنْ قِيلَ لَا يَمْلِكُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ كَانَ تَصَرُّفُهُ تَصَرُّفَ مُسْتَحِقٍّ فَجَازَ لَهُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا أَنْ يُقْسِمَ فِي قَتْلِ عَبْدِهِ لِأَنَّهُ أَحَقُّ بِهِ مِنْ سَيِّدِهِ لِاسْتِحْقَاقِ الْمُكَاتَبِ لَهُ دُونَ سَيِّدِهِ فَصَارَ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ الَّتِي بِيَدِهِ فَإِنْ أَقْسَمَ الْمُكَاتَبُ مَلَكَ قِيمَةَ عَبْدِهِ لِيَسْتَعِينَ بِهَا فِي كِتَابَتِهِ وَإِنْ لَمْ يُقْسِمْ حَتَّى مَاتَ أَوْ عَجَزَ صَارَ عَبْدُهُ وَجَمِيعُ أَمْوَالِهِ لِسَيِّدِهِ فَيُقْسِمُ سَيِّدُهُ بَعْدَ عَجْزِهِ فِي كِتَابَتِهِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ أَحَقَّ بِهِ مِنْ مُكَاتَبِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar; karena seorang mukatab memiliki hak untuk bertindak atas apa yang ada di tangannya. Jika dikatakan bahwa budak itu memiliki (kepemilikan) menurut pendapat lama (qaul qadim), maka tindakannya adalah tindakan seorang pemilik. Dan jika dikatakan bahwa ia tidak memiliki (kepemilikan) menurut pendapat baru (qaul jadid), maka tindakannya adalah tindakan seorang yang berhak (mustahiq). Maka, menurut kedua pendapat tersebut, diperbolehkan baginya untuk bersumpah dalam kasus pembunuhan budaknya, karena ia lebih berhak atas budaknya daripada tuannya, sebab hak mukatab atas budaknya lebih kuat daripada hak tuannya. Maka budak itu menjadi seperti harta lain yang ada di tangannya. Jika mukatab bersumpah, maka ia berhak atas nilai budaknya untuk membantunya dalam membayar kitabah-nya. Namun jika ia tidak bersumpah hingga ia meninggal atau tidak mampu, maka budak dan seluruh hartanya kembali kepada tuannya, sehingga tuannya yang bersumpah setelah ketidakmampuan mukatab dalam kitabah-nya, karena tuannya menjadi lebih berhak atasnya daripada mukatab. Dan Allah lebih mengetahui.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ قُتِلَ عَبْدٌ لِأُمِّ وَلَدٍ فَلَمْ يُقْسِمْ سَيِّدُهَا حَتَّى مَاتَ وَأَوْصَى لَهَا بِثَمَنِ الْعَبْدِ لَمْ تُقْسِمْ وَأَقْسَمَ وَرَثَتُهُ وَكَانَ لَهَا ثَمَنُ الْعَبْدِ وَإِنْ لَمْ يُقْسِمِ الْوَرَثَةُ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ وَلَا لَهَا شَيْءٌ إِلَّا أَيْمَانُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seorang budak milik umm walad dibunuh, lalu tuannya tidak melakukan qasam (sumpah) hingga ia meninggal dunia, dan ia berwasiat kepada umm walad tersebut dengan harga budak itu, maka umm walad tidak melakukan qasam, tetapi para ahli warisnya yang melakukannya, dan umm walad berhak atas harga budak itu. Namun jika para ahli waris tidak melakukan qasam, maka mereka maupun umm walad tidak berhak atas apa pun kecuali sumpah dari pihak yang didakwa terhadap mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا أَنْ يَدْفَعَ السَّيِّدُ إِلَى أُمِّ وَلَدِهِ عَبْدًا فَيُقْتَلُ فِي يَدِهَا قَتْلَ لَوْثٍ فَلِلسَّيِّدِ فِي دَفْعِهِ إِلَيْهَا حَالَتَانِ  أحدهما أن يدفعه إليها للخدمة والثاني أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَيْهَا لِلتَّمْلِيكِ فَإِنْ أَخَذَهَا إِيَّاهُ وَلَمْ يَمْلِكْهَا فَالسَّيِّدُ هُوَ الَّذِي يُقْسِمُ دُونَهَا كَمَا يُقْسِمُ فِي سَائِرِ عَبِيدِهِ فَلَوْ وَصَّى لَهَا بِثَمَنِهِ قَبْلَ قَسَامَتِهِ فَلَهَا قِيمَتُهُ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَقِرَّ مُلْكُهُ عَلَيْهَا صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ قَبْلَ اسْتِقْرَارِ الْمُلْكِ كَمَا تَصِحُّ وَصِيِّتُهُ بِثَمَنِ نَخْلِهِ وَنِتَاجِ مَاشِيَتِهِ وَلَا تَمْتَنِعُ وَصِيَّتُهُ لِأُمِّ وَلَدِهِ وَإِنْ لَمْ تَصِحَّ وَصَّيْتُهُ لِعَبْدِهِ؛ لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ تُمْلَكُ بَعْدَ مَوْتِهِ وَأُمُّ الْوَلَدِ بَعْدَ مَوْتِهِ حُرَّةٌ وَعَبْدُهُ مَمْلُوكٌ فَإِنْ مَاتَ السَّيِّدُ قَبْلَ الْقَسَامَةِ أَقْسَمَ الْوَرَثَةُ دُونَهَا فَإِنْ أَقْسَمُوا مَلَكَتْ أَمُّ الْوَلَدِ قِيمَتَهُ بِالْوَصِيَّةِ إِذَا خَرَجَتْ مِنَ الثُّلُثِ فَإِنْ عَجَزَ الثُّلُثُ عَنْهَا كَانَتِ الزِّيَادَةُ مَوْقُوفَةً عَلَى إِجَازَةِ الْوَرَثَةِ

Al-Mawardi berkata, “Gambaran kasusnya adalah ketika seorang tuan menyerahkan seorang budak kepada ummu walad-nya, lalu budak itu terbunuh di tangannya dengan pembunuhan syubhat. Maka, dalam penyerahan budak tersebut kepada ummu walad, ada dua keadaan: Pertama, ia menyerahkannya untuk melayani; kedua, ia menyerahkannya untuk dimiliki. Jika ia memberikannya tanpa menjadikannya milik ummu walad, maka tuanlah yang bersumpah, bukan ummu walad, sebagaimana ia bersumpah atas budak-budaknya yang lain. Jika ia mewasiatkan harga budak itu kepada ummu walad sebelum sumpah dilakukan, maka ummu walad berhak atas nilainya. Jika wasiat itu dilakukan sebelum kepemilikan budak itu tetap pada ummu walad, maka wasiat tersebut sah sebelum kepemilikan tetap, sebagaimana sahnya wasiat atas harga pohon kurma atau hasil ternaknya. Wasiat kepada ummu walad tidak terhalang, meskipun wasiat kepada budaknya sendiri tidak sah; karena wasiat menjadi milik setelah kematian, sedangkan ummu walad setelah kematian tuannya menjadi merdeka, sementara budaknya tetap menjadi milik. Jika tuan meninggal sebelum sumpah dilakukan, maka para ahli warislah yang bersumpah, bukan ummu walad. Jika mereka bersumpah, maka ummu walad berhak atas nilai budak itu melalui wasiat jika nilainya tidak melebihi sepertiga harta. Jika sepertiga harta tidak mencukupi, maka kelebihannya tergantung pada persetujuan para ahli waris.”

وَإِنِ امْتَنَعَ الْوَرَثَةُ مِنَ الْقَسَامَةِ وَأَجَابَتْ أَمُّ الْوَلَدِ إِلَيْهَا فَفِي اسْتِحْقَاقِهَا لِلْقَسَامَةِ قَوْلَانِ

Jika para ahli waris menolak melakukan qasāmah dan ibu dari anak tersebut bersedia melakukannya, maka terdapat dua pendapat mengenai haknya untuk melakukan qasāmah.

أَحَدُهُمَا تَسْتَحِقُّهَا وَلَهَا الْقَسَامَةُ لِأَنَّ الْقِيمَةَ لَهَا بِالْوَصِيَّةِ فَصَارَتْ مُسْتَحَقَّةً فِي حَقِّهَا

Salah satunya berhak atasnya dan ia memiliki hak untuk qasāmah karena nilai tersebut menjadi miliknya melalui wasiat, sehingga menjadi hak yang sah baginya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ الْأَصَحُّ المنصوص عليه هاهنا لَا قَسَامَةَ لَهَا لِأَمْرَيْنِ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang lebih shahih dan dinyatakan secara eksplisit di sini, adalah bahwa tidak ada qasāmah baginya karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الْأَيْمَانَ على غيرها فصارت فيها نائبة عنهم النيابة فِي الْأَيْمَانِ لَا تَصِحُّ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَا الْبَيِّنَةُ الَّتِي لَا تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ

Salah satunya adalah bahwa sumpah tidak dapat diwakilkan kepada selain orang yang bersangkutan, sehingga dalam hal ini sumpah tidak dapat diwakilkan. Hal ini karena tujuan dari sumpah adalah sebagai bukti yang tidak dapat dimasuki oleh perwakilan.

وَالثَّانِي إِنَّهَا تَمْلِكُ بِالْوَصِيَّةِ مَا اسْتَقَرَّ مِلْكُ الْمُوصَى عَلَيْهِ وَالْمُوصِي لَا يَمْلِكُ إِلَّا مَا كَانَ هُوَ الْمُقْسِمُ عَلَيْهِ أَوْ مَنْ قَامَ مَقَامَهُ مِنْ قرابته وَأَصَلُ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ اخْتِلَافُ قَوْلَيْهِ فِي الْمُفْلِسِ إِذَا نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ فِي دَيْنٍ لَهُ وَأَجَابَ غُرَمَاؤُهُ إِلَى الْيَمِينِ

Kedua, bahwa seseorang dapat memiliki (harta) melalui wasiat atas apa yang telah tetap menjadi milik orang yang diwasiatkan, sedangkan orang yang berwasiat tidak memiliki kecuali apa yang ia sendiri yang membagikannya atau orang yang menggantikan posisinya dari kerabatnya. Dasar dari dua pendapat ini adalah perbedaan pendapat beliau mengenai orang yang bangkrut apabila ia enggan bersumpah dalam perkara utang yang menjadi haknya, lalu para krediturnya menerima untuk bersumpah.

فَإِنْ كَانَ السَّيِّدُ قَدْ مَلَّكَ أُمَّ وَلَدِهِ الْعَبْدَ حِينَ دَفَعَهُ إِلَيْهَا كَانَ حُكْمُهَا فِيهِ حُكْمَ الْعَبِيدِ إِذَا ملكوا هل يملكوه بِالتَّمْلِيكِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Jika sang tuan telah memberikan kepemilikan budak itu kepada ummu walad-nya ketika ia menyerahkannya kepadanya, maka hukumnya terhadap budak tersebut sama seperti hukum para budak apabila mereka memiliki sesuatu melalui pemberian kepemilikan: apakah mereka benar-benar memilikinya atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ تَمْلِكُ أُمُّ الْوَلَدِ وَغَيْرُهَا مِنَ الْعَبِيدِ إِذَا مَلَكُوا وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّهَا لَا تَمْلِكُ وَلَا غَيْرُهَا مِنَ الْعَبِيدِ فَإِنْ مَلَكُوا فَإِنْ قُلْنَا بِهَذَا الْقَوْلِ إِنَّهَا لَا تَمْلِكُهُ وَإِنْ مَلَكَتْ كَانَ حُكْمُ الْعَبْدِ إِذَا قُتِلَ كَحُكْمِهِ فِيمَا مَضَى يَكُونُ السَّيِّدُ هُوَ الْمُقَسِمَ فِي قَتْلِهِ دُونَهَا وَإِنْ قُلْنَا بِالْأَوَّلِ إِنَّهَا تَمْلِكُ إِذَا مَلَكَتْ فَهَلْ تَسْتَحِقُّ الْقَسَامَةَ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat beliau dalam qaul qadim, menyatakan bahwa umm al-walad dan budak lainnya jika mereka memiliki (budak lain), maka mereka berhak memilikinya. Pendapat kedua, yang merupakan pendapat beliau dalam qaul jadid, menyatakan bahwa umm al-walad maupun budak lainnya tidak berhak memiliki (budak lain). Jika mereka memilikinya, maka menurut pendapat ini, umm al-walad tidak memilikinya, dan jika ia memilikinya, maka hukum budak jika terbunuh sama seperti hukum sebelumnya, yaitu tuanlah yang berhak membagi diyat atas pembunuhannya, bukan umm al-walad. Namun jika kita mengikuti pendapat pertama, bahwa umm al-walad berhak memiliki jika ia memilikinya, maka timbul pertanyaan: apakah ia berhak atas qasāmah atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهَا هِيَ الْمُقْسِمَةُ دُونَ السَّيِّدِ لِاخْتِصَاصِهَا بِمِلْكِهِ فَعَلَى هَذَا تَصِيرُ مَالِكَةً لِلْقِيمَةِ بِالتَّمْلِيكِ الْأَوَّلِ

Salah satunya adalah bahwa dialah (budak perempuan) yang membagi (harta) tanpa melibatkan tuannya, karena ia secara khusus dimiliki oleh tuannya. Dengan demikian, ia menjadi pemilik nilai (harta) tersebut melalui kepemilikan pertama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّ السَّيِّدَ هُوَ الْمُقْسِمُ دُونَهَا وَلِأَنَّ مِلْكَهَا غَيْرُ مُسْتَقِرٍّ لِمَا يستحقه السَّيِّدُ مِنِ اسْتِرْجَاعِهِ إِذَا شَاءَ فَعَلَى هَذَا إِذَا أَقْسَمَ السَّيِّدُ لَمْ تَمْلِكْ أُمُّ الْوَلَدِ الْقِيمَةَ إِلَّا بِتَمْلِيكٍ مُسْتَجَدٍّ لِأَنَّهُ مِلْكٌ قَدِ اسْتَفَادَهُ السَّيِّدُ بِأَيْمَانِهِ وَهَكَذَا حُكْمُ سَائِرِ الْعَبِيدِ إِذَا مَلَكُوا وَإِنَّمَا تُفَارِقُهُمْ أَمُّ الْوَلَدِ فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ وَهُوَ إِنَّ السَّيِّدَ إِذَا مَاتَ عَنْ عَبْدِهِ وَقَدْ مَلَّكَهُ مَالًا كَانَ لِوَارِثِهِ انْتِزَاعُهُ مِنْ يَدِهِ لِبَقَائِهِ عَلَى رِقِّهِ وَإِذَا مَاتَ عَنْ أُمِّ وَلَدِهِ وَقَدْ مَلَّكَهَا مَالًا لَمْ يَكُنْ لِوَارِثِهِ انْتِزَاعُهُ مِنْهَا بِعِتْقِهَا وَفِي حُكْمِهَا لَوْ أَعْتَقَ الْعَبْدَ بَعْدَ التَّمْلِيكِ لَمْ يَسْتَرْجِعْهُ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ لَهُ اسْتِرْجَاعُهُ وَلَوْ بَاعَهُ لِبَقَائِهِ عَلَى الرِّقِّ إِذَا بِيعَ وَاسْتِقْرَارِ مِلْكِهِ بِالْحُرِّيَّةِ إِذَا أُعْتِقَ وَهَذَا كُلُّهُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ إِنَّهُمْ يَمْلِكُونَ إِذَا مُلِّكُوا فَأَمَّا عَلَى الْجَدِيدِ فَلَا يَمْلِكُونَ بِحَالٍ مَعَ بَقَاءِ الرِّقِّ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tuanlah yang berhak membagikan (harta), bukan dia (ummul walad), karena kepemilikannya tidak tetap, sebab tuan berhak mengambilnya kembali kapan saja ia mau. Maka, berdasarkan hal ini, jika tuan bersumpah, ummul walad tidak memiliki nilai (harta) kecuali dengan pemberian kepemilikan yang baru, karena itu adalah kepemilikan yang diperoleh tuan melalui sumpahnya. Demikian pula hukum para budak lainnya jika mereka diberi kepemilikan. Ummul walad hanya berbeda dari mereka dalam satu hal, yaitu jika tuan meninggal dunia dan telah memberikan harta kepada budaknya, maka ahli warisnya berhak mengambil harta itu dari tangan budak tersebut karena budak itu masih berstatus budak. Namun, jika tuan meninggal dunia dan telah memberikan harta kepada ummul walad, maka ahli warisnya tidak berhak mengambil harta itu darinya karena ummul walad telah merdeka. Dalam hukumnya, jika budak dimerdekakan setelah diberi kepemilikan, maka harta itu tidak diambil kembali darinya, meskipun tuan berhak mengambilnya jika budak itu dijual, karena budak itu tetap berstatus budak jika dijual, dan kepemilikannya menjadi tetap dengan kemerdekaan jika dimerdekakan. Semua ini menurut pendapat lama (qaul qadīm) yang menyatakan bahwa mereka (budak) memiliki harta jika diberi kepemilikan. Adapun menurut pendapat baru (qaul jadīd), mereka sama sekali tidak memiliki harta selama status perbudakan masih ada.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

إِذَا ادَّعَى رَجُلٌ قَتْلًا عَلَى رَجُلٍ فَإِنَّهُ يُؤْخَذُ بِصِفَةِ الْقَتْلِ فَلَا يخلو من أربعة أحوال

Apabila seseorang menuduh orang lain telah melakukan pembunuhan, maka tuduhan tersebut diproses sesuai dengan jenis pembunuhan yang dituduhkan, sehingga tidak lepas dari empat keadaan.

أحدهما أَنْ يَدَّعِيَ الْعَمْدَ الْمَحْضَ

Salah satunya adalah mengklaim adanya kesengajaan murni.

وَالثَّانِي أَنْ يَدَّعِيَ شِبْهَ الْعَمْدِ وَالثَّالِثُ أَنْ يَدَّعِيَ الْخَطَأَ

Yang kedua adalah mengklaim syibh al-‘amd, dan yang ketiga adalah mengklaim al-khathā’.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَدَّعِيَ الْقَتْلَ وَلَا يَذْكُرَ عَمْدًا وَلَا خَطَأً لِأَنَّهُ لَا يَعْرِفُ حَالَهُ فَإِنْ قَالَ هو عمد يؤخذ بصفته فلا يخلوا من أربعة أحوال

Keempat, apabila seseorang mengaku telah melakukan pembunuhan namun tidak menyebutkan apakah itu dilakukan secara sengaja (‘amdan) atau tidak sengaja (khaṭa’an), karena ia tidak mengetahui keadaannya. Jika ia kemudian mengatakan bahwa itu dilakukan secara sengaja (‘amdan), maka diambil berdasarkan sifat pengakuannya tersebut, sehingga tidak lepas dari empat keadaan.

أحدهما أَنْ يَصِفَهُ بِمَا لَا يَضْمَنُ فَلَا يُقْسِمُ

Pertama, jika ia menyifatinya dengan sesuatu yang tidak dapat dijamin, maka ia tidak bersumpah.

وَالثَّانِي أَنْ يَصِفَهُ بِصِفَةِ الْعَمْدِ الْمَحْضِ فَيُقْسِمُ عَلَيْهَا الْمُنْكِرُ

Kedua, yaitu ia menyifatinya dengan sifat sengaja murni, maka orang yang mengingkarinya bersumpah atas hal itu.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَصِفَهُ بِشِبْهِ الْعَمْدِ فَلَهُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى الصِّفَةِ بِأَنْ يَقُولَ ضَرَبَهُ بِعَصًا فَمَاتَ قَالَ يُقْسِمُ وَعِنْدِي إِنَّهُ يَحْتَمِلُ

Ketiga, jika ia menyifatinya sebagai pembunuhan semi-sengaja (syibh al-‘amd), maka ia boleh bersumpah atas sifat tersebut dengan mengatakan: “Ia memukulnya dengan tongkat lalu ia mati.” Dikatakan: ia boleh bersumpah, dan menurutku hal itu masih memungkinkan.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَصِفَهُ بِالْخَطَأِ الْمَحْضِ فَفِيهِ طَرِيقَانِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ وَإِذَا ادَّعَى شِبْهَ الْعَمْدِ فَإِنَّهُ يَصِفُهُ فَلَا يَخْلُو مِنْ أربعة أحوال

Keempat, jika ia menyifatinya dengan kesalahan murni, maka dalam hal ini ada dua pendapat; di antara mereka ada yang mengatakan ada dua pendapat, dan di antara mereka ada yang mengatakan tergantung pada dua keadaan yang berbeda. Dan jika ia mengklaim adanya unsur kesengajaan yang mirip (dengan kesengajaan), maka ia akan menyifatinya, sehingga tidak lepas dari empat keadaan.

أحدهما إِنَّهُ يَصِفُهُ بِمَا لَا يَضْمَنُ فَلَا يُقْسِمُ

Pertama, ia menyifatinya dengan sesuatu yang tidak dijamin, maka ia tidak bersumpah.

وَالثَّانِي أَنْ يَصِفَهُ بِشِبْهِ الْعَمْدِ فَيُقْسِمُ

Yang kedua adalah ia menyifatinya sebagai syibh al-‘amd, lalu ia bersumpah.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَصِفَهُ بِالْعَمْدِ الْمَحْضِ فَيُقْسِمُ عَلَى الدَّعْوَى وَعِنْدِي إِنَّهُ لَا يُقْسِمُ

Ketiga, yaitu ia menyifatinya sebagai perbuatan sengaja murni, maka ia bersumpah atas tuntutannya. Namun menurut pendapatku, ia tidak bersumpah.

وَالرَّابِعُ يَصِفُهُ بِالْخَطَأِ الْمَحْضِ فَيُقْسِمُ عَلَى الصِّفَةِ وَإِذَا ادَّعَى مَحْضًا فَهَلْ يُؤْخَذُ بِالصِّفَةِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ فَإِذَا قُلْنَا يُؤْخَذُ بِالصِّفَةِ فَإِنْ وَصَفَهُ بِمَا لا يضمن سقط وإن وصف بِالْخَطَأِ الْمَحْضِ يُقْسِمْ وَإِنْ وَصَفَهُ بِشِبْهِ الْعَمْدِ يُقْسِمْ عَلَى الدَّعْوَى دُونَ الصِّفَةِ وَإِنْ وَصَفَهُ بِالْعَمْدِ الْمَحْضِ فَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنِ الدَّعْوَى أَقْسَمَ عَلَى الدَّعْوَى وَإِنْ رَجَعَ عَنِ الدَّعْوَى إِلَى الصِّفَةِ فَلَا يُقْسِمْ وَإِنْ جَهِلَ صِفَةَ الْقَتْلِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Keempat, ia menyifatinya dengan kesalahan murni, maka ia bersumpah atas sifat tersebut. Jika ia mengklaim murni, maka apakah diambil berdasarkan sifat atau tidak? Ada dua pendapat. Jika kita katakan diambil berdasarkan sifat, maka jika ia menyifatinya dengan sesuatu yang tidak menimbulkan tanggungan, gugurlah (tuntutannya). Jika ia menyifatinya dengan kesalahan murni, ia bersumpah. Jika ia menyifatinya dengan syibh al-‘amd, ia bersumpah atas klaim, bukan atas sifat. Jika ia menyifatinya dengan ‘amd murni, maka jika ia tidak menarik kembali klaimnya, ia bersumpah atas klaim. Jika ia menarik kembali klaimnya kepada sifat, maka ia tidak bersumpah. Jika ia tidak mengetahui sifat pembunuhan, maka ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَحْلِفُ لِلْجَهْلِ بِمُوجِبِهَا

Salah satunya adalah tidak bersumpah karena tidak mengetahui sebab yang mewajibkannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي هُوَ قَوْلٌ يُذْكَرُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُ يُقْسِمُ لِأَنَّ الْجَهْلَ بِصِفَةِ الْقَتْلِ لَيْسَ جَهْلًا بِمُوجِبِهِ فَإِذَا أَقْسَمَ يُحْبَسُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ حَتَّى يَبِينَ فَإِنْ تَطَاوَلَ زَمَانُهُ أُحْلِفَ أَنَّهُ مَا قَتَلَهُ عَمْدًا وَلَزِمَ الدِّيَةَ مِنَ الْخَطَأِ مِنْ مَالِهِ مُؤَجَّلَةً وَفِي تَغْلِيظِهَا بِالْعَمْدِ وَجْهَانِ

Pendapat kedua adalah pendapat yang dinisbatkan kepada Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa ia membagi (hukuman), karena ketidaktahuan tentang sifat pembunuhan bukanlah ketidaktahuan terhadap sebab yang mewajibkannya. Maka jika ia bersumpah, korban (atau ahli warisnya) ditahan sampai jelas (perkaranya). Jika waktu berlalu cukup lama, ia disumpah bahwa ia tidak membunuhnya dengan sengaja, dan ia wajib membayar diyat karena kesalahan dari hartanya secara tangguhan. Dalam hal pemberatan diyat karena pembunuhan sengaja, terdapat dua pendapat.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ جُرِحَ رَجُلٌ فَمَاتَ أُبْطِلَتِ الْقَسَامَةُ لِأَنَّ مَالَهُ فَيْءٌ وَلَوْ كَانَ رَجَعَ إِلَى الْإِسْلَامِ كانت فيه القسامة للوارث

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seseorang terluka lalu meninggal dunia, maka qasāmah menjadi gugur karena hartanya menjadi fai’. Namun, jika ia telah kembali memeluk Islam, maka qasāmah berlaku bagi ahli warisnya.”

قال الماوردي وَلَوْ كَانَ رَجَعَ إِلَى الْإِسْلَامِ كَانَتْ فِيهِ القسامة للوارث إِذَا ارْتَدَّ الْمَجْرُوحُ وَمَعَهُ لَوْثٌ ثُمَّ مَاتَ عَلَى رِدَّتِهِ فَلَا قَسَامَةَ لِوَارِثِهِ لِأَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata: “Seandainya ia kembali kepada Islam, maka berlaku qasāmah bagi ahli warisnya jika orang yang terluka itu murtad dan terdapat indikasi kuat (lawts) bersamanya, kemudian ia meninggal dalam keadaan murtad, maka tidak ada qasāmah bagi ahli warisnya karena dua alasan.”

أَحَدُهُمَا إِنَّ مَالَهُ قَدْ صَارَ فَيْئًا لَا يُورَثُ عَنْهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْسِمَ مَنْ لَا يَرِثُ

Salah satunya adalah bahwa hartanya telah menjadi fai’ yang tidak diwariskan darinya, maka tidak sah bagi orang yang tidak mewarisi untuk membagikannya.

وَالثَّانِي إِنَّ سِرَايَةَ الْجُرْحِ فِي الرِّدَّةِ لَا تُوجِبُ ضَمَانَ النَّفْسِ وَمَا دُونَ النَّفْسِ لَا قَسَامَةَ فِيهِ فَأَمَّا إِذَا عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ بَعْدَ رِدَّتِهِ فَالْحُكْمُ فِي الدِّيَةِ وَالْقَوَدِ قَدْ ذَكَرْنَاهُ وَهُوَ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِلْجُرْحِ سِرَايَةٌ فِي الرِّدَّةِ فَالدِّيَةُ كَامِلَةٌ وَفِي سُقُوطِ الْقَوَدِ قَوْلَانِ وَإِنْ كَانَ لَهُ سِرَايَةٌ فِي الرِّدَّةِ سَقَطَ الْقَوَدُ وَفِي كَمَالِ الدِّيَةِ قَوْلَانِ

Kedua, sesungguhnya penularan luka pada masa riddah tidak mewajibkan pembayaran diyat jiwa, dan untuk selain jiwa tidak ada qasāmah di dalamnya. Adapun jika seseorang kembali kepada Islam setelah murtad, maka hukum mengenai diyat dan qishāsh telah kami sebutkan, yaitu bahwa jika luka tersebut tidak menular pada masa riddah, maka diyatnya sempurna, dan dalam gugurnya qishāsh terdapat dua pendapat. Namun jika luka itu menular pada masa riddah, maka qishāsh gugur, dan dalam kesempurnaan diyat terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً

Salah satunya mewajibkan pembayaran diyat secara penuh.

وَالثَّانِي نَصِفُهَا وَمَالُهُ مَوْرُوثٌ لِأَنَّهُ مُسْلِمٌ عِنْدَ الْمَوْتِ وَلَهُمْ أَنْ يُقْسِمُوا إِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الرِّدَّةِ سِرَايَةٌ وَفِي قَسَامَتِهِمْ إِذَا سَرَتْ فِي الرِّدَّةِ وَجْهَانِ

Yang kedua, setengahnya, dan hartanya diwariskan karena ia adalah seorang Muslim saat wafat. Mereka boleh bersumpah jika dalam riddah (kemurtadan) tidak ada pengaruh yang meluas. Dalam sumpah mereka, jika riddah itu meluas, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَهُمُ الْقَسَامَةُ وَإِنْ مَلَكُوا بِهَا بَعْضَ الدِّيَةِ لِأَنَّهَا دِيَةُ نَفْسٍ وَإِنْ لَمْ تَكْتَمِلْ

Salah satunya adalah mereka memiliki hak untuk melakukan qasāmah, meskipun dengan qasāmah itu mereka hanya memperoleh sebagian dari diyat, karena itu adalah diyat jiwa meskipun belum sempurna.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهُ لَا قَسَامَةَ لَهُمْ لِذَهَابِ اللَّوْثِ بِالسِّرَايَةِ فِي الرِّدَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua, bahwa mereka tidak berhak mendapatkan qasāmah karena hilangnya syubhat akibat penularan dalam kasus riddah. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ جُرِحَ وَهُوَ عَبْدٌ فَعُتِقَ ثُمَّ مَاتَ حُرًّا وَجَبَتْ فِيهِ الْقَسَامَةُ لِوَرَثَتِهِ الْأَحْرَارِ وَلِسَيِّدَةِ الْمُعْتِقِ بِقَدْرِ مَا يَمْلِكُ فِي جِرَاحِهِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seseorang terluka ketika ia masih berstatus budak, lalu ia dimerdekakan kemudian meninggal dalam keadaan merdeka, maka qasāmah tetap berlaku atas dirinya untuk ahli warisnya yang merdeka dan untuk tuannya yang memerdekakannya sesuai kadar hak miliknya pada luka tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قُطِعَتْ يَدُ الْعَبْدِ مَعَ لَوْثٍ ثُمَّ أُعْتِقَ وَمَاتَ مِنَ الْجِنَايَةِ حُرًّا فَفِيهِ دِيَةُ حُرٍّ وَلِلسَّيِّدِ أَقَلُّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا لِأَنَّ فِي الْيَدِ نِصْفَ الْقِيمَةِ أَوْ جَمِيعَ دِيَتِهِ حُرًّا لِأَنَّهَا قَدْ سَرَتْ إِلَى نَفْسِهِ بَعْدَ حُرِّيَّتِهِ

Al-Mawardi berkata: Ini benar apabila tangan seorang budak dipotong dengan adanya tuduhan kuat (lawts), kemudian ia dimerdekakan dan meninggal dunia akibat tindak pidana tersebut dalam keadaan sebagai orang merdeka, maka baginya diyat orang merdeka. Sedangkan bagi tuannya, ia mendapatkan yang lebih sedikit dari dua hal: setengah dari nilainya ketika masih menjadi budak—karena pada tangan terdapat setengah nilai budak—atau seluruh diyatnya sebagai orang merdeka, karena (pengaruh luka) itu telah menjalar ke jiwanya setelah ia merdeka.

فَإِنْ كَانَتِ الدِّيَةُ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ اسْتَحَقَّهَا السَّيِّدُ وَحْدَهُ وَكَانَ هُوَ الْمُقْسِمَ دُونَ الْوَرَثَةِ وَإِنْ كَانَتْ نِصْفُ الْقِيمَةِ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ اسْتَحَقَّهَا السَّيِّدُ وَكَانَ بَاقِي الدِّيَةِ لِوَرَثَةِ الْعَبْدِ فَيَشْتَرِكُ السَّيِّدُ وَالْوَرَثَةُ فِي الْقَسَامَةِ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي الدِّيَةِ وَلَا تُجْزِئُ قسامة أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ لِأَنَّ أَحَدًا لَا يَمْلِكُ بِيَمِينِ غَيْرِهِ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ السَّيِّدُ هُوَ الْمُقْسِمَ لَمْ يُحْكَمْ لَهُ بِحَقِّهِ مِنَ الدِّيَةِ إِلَّا بَعْدَ خَمْسِينَ يَمِينًا فَإِنْ قِيلَ فَكَيْفَ يُقْسِمُ وَهُوَ يَأْخُذُ دِيَةَ طَرَفٍ وَلَا قَسَامَةَ فِي الْأَطْرَافِ قِيلَ قَدْ صَارَ الطَّرَفُ بِالسِّرَايَةِ نَفْسًا فَصَارَ مُشَارِكًا فِي دِيَةِ النَّفْسَ وَإِنْ تَقَدَّرَ حَقُّهُ بِأَرْشِ الطَّرَفِ فَلِذَلِكَ جَازَ أَنْ يُقْسِمَ فَإِنْ أَجَابَ الْوَارِثُ إِلَى الْقَسَامَةِ فَفِي قَدْرِ مَا يُقْسِمُ بِهِ مِنَ الْأَيْمَانِ قَوْلَانِ

Jika diyat merupakan yang lebih kecil dari dua hal, maka diyat itu menjadi hak penuh tuan saja dan dialah yang berhak membagi, bukan para ahli waris. Namun jika setengah nilai (budak) adalah yang lebih kecil dari dua hal, maka itu menjadi hak tuan, dan sisa diyat menjadi milik ahli waris budak. Maka tuan dan para ahli waris bersama-sama dalam qasāmah karena mereka sama-sama memiliki bagian dalam diyat, dan qasāmah salah satu dari mereka saja tidak mencukupi tanpa yang lain, karena tidak seorang pun dapat memiliki sesuatu hanya dengan sumpah orang lain. Jika tuanlah yang melakukan qasāmah, maka tidak diputuskan haknya atas diyat kecuali setelah lima puluh sumpah. Jika ada yang bertanya, bagaimana mungkin ia melakukan qasāmah padahal ia mengambil diyat anggota tubuh, sedangkan tidak ada qasāmah dalam kasus anggota tubuh? Dijawab: anggota tubuh itu, karena adanya penyebaran luka, telah dianggap sebagai jiwa, sehingga ia pun berhak atas bagian diyat jiwa, meskipun haknya diukur dengan arsy anggota tubuh. Oleh karena itu, ia boleh melakukan qasāmah. Jika ahli waris bersedia melakukan qasāmah, maka dalam hal jumlah sumpah yang harus diucapkan terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا خَمْسُونَ يَمِينًا

Salah satunya adalah lima puluh sumpah.

وَالثَّانِي يُقْسِمُ بِقَدْرِ حَقِّهِ مِنَ الدِّيَةِ فَإِنْ كَانَ لَهُ نِصْفُهَا حَلَفَ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ يَمِينًا وَإِنْ كَانَ لَهُ ثُلُثُهَا حلف سبعة عشرة يميناً

Dan yang kedua, ia bersumpah sesuai dengan kadar haknya dari diyat. Jika ia memiliki setengahnya, maka ia bersumpah sebanyak dua puluh lima sumpah, dan jika ia memiliki sepertiganya, maka ia bersumpah sebanyak tujuh belas sumpah.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَا تَجِبُ الْقَسَامَةُ فِي دُونِ النَفْسِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Qasāmah tidak wajib dalam kasus selain jiwa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَإِنَّمَا لَمْ تَجِبْ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ قَسَامَةٌ سَوَاءٌ كَانَ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ دِيَةٌ كَامِلَةٌ كَاللِّسَانِ وَالذَّكَرِ أَوْ كَانَ دُونَهَا لِأَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan memang qasāmah tidak diwajibkan pada selain kasus pembunuhan jiwa, baik pada selain jiwa itu terdapat diyat yang sempurna seperti pada kasus lidah dan kemaluan, maupun kurang dari itu, karena dua alasan.”

أَحَدُهُمَا لِتَغْلِيظِ حُرْمَةِ النَّفْسِ عَلَى مَا دُونَهَا وَلِذَلِكَ تَغَلَّظَتْ بِالْكَفَّارَةِ فَتَغَلَّظَتْ بِالْقَسَامَةِ

Salah satunya adalah untuk menegaskan besarnya kehormatan jiwa dibandingkan dengan selainnya, dan karena itu hukumannya diperberat dengan kewajiban kafārah, serta diperberat pula dengan qasāmah.

وَالثَّانِي إِنَّ الْقَسَامَةَ وَجَبَتْ لِلْوَرَثَةِ لِقُصُورِهِمْ عَنْ مَعْرِفَةِ الْقَاتِلِ وَتَعَذُّرِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِمْ فَحُكِمَ لَهُمْ بِالْقَسَامَةِ مَعَ اللَّوْثِ احْتِيَاطًا لِلدِّمَاءِ وَفِيمَا دُونَ النَّفْسِ يَعَرِفُ الْمَجْنِي عَلَيْهِ مَنْ جَنَى عَلَيْهِ وَيَقْدِرُ عَلَى إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُحْكَمْ لَهُ بِالْقَسَامَةِ لِاسْتِغْنَائِهِ فِي الْغَالِبِ عَنْهَا

Kedua, sesungguhnya al-qasāmah diwajibkan bagi para ahli waris karena keterbatasan mereka dalam mengetahui siapa pembunuhnya dan karena sulitnya menghadirkan bukti bagi mereka. Maka diputuskan bagi mereka untuk menggunakan al-qasāmah bersama adanya indikasi (al-lawts) sebagai bentuk kehati-hatian terhadap darah (jiwa manusia). Adapun dalam kasus selain pembunuhan, korban biasanya mengetahui siapa yang telah melakukan kejahatan terhadapnya dan mampu menghadirkan bukti atasnya, sehingga tidak diputuskan baginya untuk menggunakan al-qasāmah karena pada umumnya ia tidak membutuhkannya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ لَمْ يُقْسِمِ الْوَلِيُّ حَتَّى ارْتَدَّ فَأَقْسَمَ وُقِفَتِ الدِّيَةُ فَإِنْ رَجَعَ أَخَذَهَا وَإِنْ قُتِلَ كَانَتْ فَيْئًا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika wali belum membagi diyat hingga ia murtad, lalu ia membaginya (setelah murtad), maka diyat tersebut ditahan. Jika ia kembali (masuk Islam), ia berhak mengambilnya, dan jika ia terbunuh, maka diyat itu menjadi fai’.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَإِذَا ارْتَدَّ الْوَلِيُّ فِي الْقَسَامَةِ لَمْ تَخْلُ رِدَّتُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar. Jika wali murtad dalam kasus qasāmah, maka kemurtadannya tidak lepas dari tiga keadaan.”

أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ رِدَّتُهُ قَبْلَ مَوْتِ الْقَتِيلِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُقْسِمَ وَلَا لَهُ إِنْ أَسْلَمَ بَعْدَ مَوْتِهِ أَنْ يقسم؛ لأن ردته بعد م وته تَمْنَعُهُ مِنَ الْمِيرَاثِ وَلَا يَصِيرُ وَارِثًا بِإِسْلَامِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَلَا تَصِحُّ الْقَسَامَةُ إِلَّا مِنْ وارث فإن لم يكن للمقتول وارثاً سِوَاهُ فَلَا قَسَامَةَ وَيَصِيرُ دَمُهُ هَدَرًا وَإِنْ كَانَ لَهُ وَارِثٌ غَيْرُهُ قَامَ مَقَامَهُ وَأَقْسَمَ

Salah satunya adalah apabila ia murtad sebelum kematian korban, maka ia tidak berhak bersumpah, dan jika ia masuk Islam setelah kematian korban pun, ia tidak berhak bersumpah; karena kemurtadannya setelah kematian korban menghalanginya dari warisan, dan ia tidak menjadi ahli waris dengan keislamannya setelah kematian. Qasāmah tidak sah kecuali dari ahli waris. Jika korban tidak memiliki ahli waris selain dia, maka tidak ada qasāmah dan darahnya menjadi sia-sia. Namun jika ada ahli waris lain selain dia, maka ahli waris tersebut menggantikan posisinya dan bersumpah.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَرْتَدَّ بَعْدَ مَوْتِ الْقَتِيلِ وَبَعْدَ قَسَامَتِهِ فَقَدْ وَجَبَتِ الدِّيَةُ بِقَسَامَتِهِ وَتَكُونُ مَوْقُوفَةً عَلَى مَا يَكُونُ مِنْ حَالِ رِدَّتِهِ فَإِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ دُفِعَتْ إِلَيْهِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى رِدَّتِهِ كَانَتِ الدِّيَةُ مَعَ جَمِيعِ مَالِهِ فَيْئًا فِي بَيْتِ الْمَالِ

Bagian kedua adalah apabila seseorang murtad setelah kematian korban dan setelah dilakukan qasāmah, maka diyat telah menjadi wajib dengan qasāmah tersebut, namun pelaksanaannya ditangguhkan sesuai dengan keadaan orang yang murtad itu. Jika ia kembali masuk Islam, diyat diberikan kepadanya. Namun jika ia meninggal dalam keadaan murtad, maka diyat beserta seluruh hartanya menjadi fai’ dan masuk ke Baitul Mal.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ رِدَّتُهُ بَعْدَ مَوْتِ الْقَتِيلِ وَقَبْلَ قَسَامَتِهِ فَيَمْنَعُهُ الْحَاكِمُ مِنَ الْقَسَامَةِ فِي زَمَانِ رِدَّتِهِ لِأَنَّ أَيْمَانَ الْقَسَامَةِ مَوْضُوعَةٌ لِلزَّجْرِ وَهُوَ مَعَ ظُهُورِ الرِّدَّةِ غَيْرُ مُنْزَجِرٍ وَيَكُونُ الْأَمْرُ مَوْقُوفًا عَلَى عُقْبَى رِدَّتِهِ فَإِنْ أَسْلَمَ مِنْهَا أَقْسَمَ وَقُضِيَ لَهُ بِدِيَةٍ وَإِنْ مَاتَ مُرْتَدًّا سَقَطَتِ الْقَسَامَةُ وَصَارَ الدَّمُ هَدَرًا إِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْقَتِيلِ وَارِثٌ سِوَاهُ؛ لِأَنَّ مَالَهُ يَصِيرُ لِبَيْتِ الْمَالِ إِرْثًا لِكَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلَيْسَ فِيهِمْ مَنْ يَتَعَيَّنُ فِي الْقَسَامَةِ وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يُقْسِمَ جَمِيعُهُمْ وَلَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يُقْسِمَ عَنْهُمْ فَلِذَلِكَ صَارَ الدَّمُ هَدَرًا

Bagian ketiga adalah apabila seseorang murtad setelah kematian korban dan sebelum pelaksanaan qasāmah, maka hakim mencegahnya dari melakukan qasāmah selama masa kemurtadannya, karena sumpah qasāmah ditetapkan untuk memberikan efek jera, sedangkan orang yang telah nyata murtad tidak akan terjerakan. Maka perkara tersebut digantungkan pada akhir dari kemurtadannya; jika ia kembali masuk Islam, maka ia boleh bersumpah dan diputuskan baginya untuk mendapatkan diyat. Namun jika ia meninggal dalam keadaan murtad, maka qasāmah gugur dan darah korban menjadi sia-sia jika korban tidak memiliki ahli waris selain dia; karena hartanya menjadi milik Baitul Māl sebagai warisan bagi seluruh kaum Muslimin, dan di antara mereka tidak ada yang ditetapkan untuk melakukan qasāmah, serta tidak mungkin seluruhnya bersumpah, dan tidak boleh bagi imam untuk bersumpah atas nama mereka, maka karena itu darah korban menjadi sia-sia.

فَلَوْ أَقْسَمَ فِي زَمَانِ رِدَّتِهِ وَاسْتَوْفَى الْحَاكِمُ عَلَيْهِ أَيْمَانَ قَسَامَتِهِ صَحَّتِ الْقَسَامَةُ إِذَا قِيلَ إِنَّ مِلْكَ الْمُرْتَدِّ بَاقٍ عَلَيْهِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّ مِلْكَهُ قَدْ زَالَ عَنْهُ بِالرِّدَّةِ فَفِي صِحَّةِ قَسَامَتِهِ وَجْهَانِ

Maka jika seseorang bersumpah pada masa kemurtadannya dan hakim telah mengambil sumpah-sumpah qasāmah darinya, maka qasāmah itu sah apabila dikatakan bahwa kepemilikan orang murtad masih tetap padanya. Namun jika dikatakan bahwa kepemilikannya telah hilang darinya karena kemurtadan, maka dalam kesahihan qasāmah-nya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا تَصِحُّ مِنْهُ الْقَسَامَةُ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ بِهَا الدِّيَةَ

Salah satunya tidak sah darinya pelaksanaan qasāmah karena ia tidak berhak mendapatkan diyat dengannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي تَصِحُّ مِنْهُ الْقَسَامَةُ لِأَنَّ الْمُرْتَدَّ لَا يُمْنَعُ مِنِ اكْتِسَابِ الْمَالِ وَهَذَا مِنِ اكْتِسَابِهِ وإن زال مِلْكَهُ عَنْ أَمْلَاكِهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ قِيلَ بِصِحَّةِ قَسَامَتِهِ كَانَتِ الدِّيَةُ مَوْقُوفَةً إِلَى مَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ حَالُهُ فَإِنْ أَسْلَمَ مَلَكَهَا وَإِنْ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ كَانَتْ فَيْئًا وَإِنْ قِيلَ بِبُطْلَانِ قَسَامَتِهِ وَقَفَ أَمْرُهُ فَإِنْ أَسْلَمَ اسْتَأْنَفَ الْقَسَمَ وَإِنْ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ صَارَ الدَّمُ هَدَرًا وَاللَّهُ أعلم

Pendapat kedua, qasāmah sah dilakukan darinya karena murtad tidak terhalang dari memperoleh harta, dan ini termasuk perolehannya. Meskipun kepemilikannya atas harta-hartanya telah hilang, maka berdasarkan hal ini, jika dikatakan qasāmah-nya sah, maka diyat-nya ditangguhkan sampai kejelasan akhir keadaannya; jika ia masuk Islam, ia berhak memilikinya, dan jika ia dibunuh karena riddah, maka diyat itu menjadi fai’. Namun jika dikatakan qasāmah-nya batal, maka urusannya ditangguhkan; jika ia masuk Islam, qasāmah dimulai kembali, dan jika ia dibunuh karena riddah, maka darahnya menjadi sia-sia. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَالْأَيْمَانُ فِي الدِّمَاءِ مُخَالِفَةٌ لَهَا فِي الْحُقُوقِ وهي في جميع الحقوق يمين يمين وفي الدماء خمسون يميناً وقال في كتاب العمد ولو ادعى أنه قتل أباه عمداً بل خطأ فالدية عليه في ثلاث سنين بعد أن يحلف ما قتله إلا خطأ فإن نكل حلف المدعي لقتله عمداً وكان له القود قال المزني هذا القياس على أقاويله في الطلاق والعتاق وغيرهما في النكول ورد اليمين

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Sumpah dalam perkara darah (jiwa) berbeda dengan sumpah dalam perkara hak-hak (harta). Dalam seluruh perkara hak, sumpah dilakukan satu kali, sedangkan dalam perkara darah dilakukan lima puluh kali sumpah. Dan beliau berkata dalam Kitab al-‘Amd: Jika seseorang mengaku bahwa ia membunuh ayahnya dengan sengaja, padahal sebenarnya tidak sengaja, maka diyat (denda) wajib atasnya selama tiga tahun setelah ia bersumpah bahwa ia tidak membunuhnya kecuali karena tidak sengaja. Jika ia enggan bersumpah, maka pihak penuntut bersumpah bahwa pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja, dan ia berhak mendapatkan qishāsh. Al-Muzani berkata, ‘Ini adalah qiyās atas pendapat-pendapat beliau dalam masalah talak, ‘itāq, dan selainnya terkait penolakan sumpah dan pengembalian sumpah.’”

قال الماوردي الدعاوى ضربان في دم وغير دم فَأَمَّا الدَّعَاوَى فِي غَيْرِ الدِّمَاءِ فَلَا تُغَلَّظُ بِغَيْرِ الزَّمَانِ وَالْمَكَانِ فَلَا يُبْدَأُ فِيهَا بِيَمِينِ الْمُدَّعِي وَلَا تُكَرَّرُ فِيهَا الْأَيْمَانُ وَلَا يُسْتَحَقُّ فِيهَا إِلَّا يَمِينٌ وَاحِدَةٌ سَوَاءٌ كَانَ مَعَ الدَّعْوَى لَوْثٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لِقُصُورِ مَا سِوَى الدِّمَاءِ عَنْ تَغْلِيظِ الدِّمَاءِ وَأَمَّا الدَّعَاوَى فِي الدِّمَاءِ فَضَرْبَانِ فِي نَفْسٍ وَطَرَفٍ فَأَمَّا فِي النُّفُوسِ فَضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata: Gugatan itu ada dua macam, yaitu terkait darah dan selain darah. Adapun gugatan selain darah, maka tidak diperberat kecuali dengan waktu dan tempat. Dalam hal ini, tidak dimulai dengan sumpah penggugat, tidak diulang-ulang sumpahnya, dan tidak diwajibkan kecuali satu sumpah saja, baik dalam gugatan itu terdapat indikasi kuat (lawts) maupun tidak, karena perkara selain darah tidak sampai pada tingkat pemberatan seperti perkara darah. Adapun gugatan terkait darah, maka terbagi dua: terkait jiwa dan anggota tubuh. Adapun yang terkait jiwa, maka terbagi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْتَرِنَ بِالدَّعْوَى لَوْثٌ فَتُغَلَّظُ بِالْقَسَامَةِ فِي حُكْمَيْنِ

Salah satunya adalah apabila terdapat indikasi kuat yang menyertai gugatan, maka sumpah dikuatkan dengan qasāmah dalam dua hukum.

أَحَدُهُمَا تَبْدِئَةُ الْمُدَّعِي وَتَقْدِيمُهُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَهَذَا يُسْتَوْفَى فيه حكم كل مِمَّنْ كَمَلَتْ لَهُ دِيَتُهُ أَوْ نَقَصَتْ

Salah satunya adalah memulai dari pihak penggugat dan mendahulukannya atas pihak tergugat, dan dalam hal ini dijelaskan hukum bagi setiap orang yang diyatnya sempurna maupun yang kurang.

وَالثَّانِي تَغْلِيظُ الْأَيْمَانِ بِخَمْسِينَ يَمِينًا وَهَذَا مُعْتَبَرٌ بحال الْمَقْتُولِ فَإِنْ كَمَلَتْ فِيهِ الدِّيَةُ بِأَنْ كَانَ رَجُلًا حُرًّا مُسَلِمًا كَمَلَ فِيهِ تَغْلِيظُ الْأَيْمَانِ بِخَمْسِينَ يَمِينًا وَإِنْ لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الدِّيَةُ بِأَنْ كَانَ امْرَأَةً وَجَبَتْ فِيهَا نِصْفُ الدِّيَةِ وكان ذِمِّيًّا وَجَبَ فِيهِ ثُلُثُ الدِّيَةِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Kedua, penegasan sumpah dengan lima puluh sumpah, dan hal ini disesuaikan dengan keadaan korban. Jika diyat (tebusan) atas dirinya sempurna, yaitu apabila ia adalah seorang laki-laki merdeka yang muslim, maka penegasan sumpah juga sempurna dengan lima puluh sumpah. Namun jika diyat atas dirinya tidak sempurna, seperti jika ia adalah seorang perempuan maka wajib setengah diyat, dan jika ia adalah seorang dzimmi maka wajib sepertiga diyat, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تَسْقُطُ الْأَيْمَانُ عَلَى كَمَالِ الدِّيَةِ فَتُغَلَّظُ فِي قَتْلِ الْمَرْأَةِ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ يَمِينًا وَفِي قَتْلِ الذِّمِّيِّ بِسَبْعَةَ عَشَرَ يَمِينًا لِيَقَعَ الْفَرْقُ فِي التَّغْلِيظِ بَيْنَ حُكْمِ الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ اعْتِبَارًا بِالدِّيَةِ

Salah satunya adalah bahwa sumpah-sumpah dijatuhkan atas jumlah penuh diyat, sehingga diperberat dalam kasus pembunuhan terhadap perempuan dengan dua puluh lima sumpah, dan dalam kasus pembunuhan terhadap dzimmi dengan tujuh belas sumpah, agar terdapat perbedaan dalam pemberatan antara hukum yang sedikit dan yang banyak, dengan mempertimbangkan diyat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ إِنَّهَا تُغَلَّظُ فِي كُلِّ قَتِيلٍ بِخَمْسِينَ يَمِينًا مِمَّنْ قَلَّتْ دِيَتُهُ وَكَثُرَتْ حَتَّى فِي دِيَةِ الْجَنِينِ لِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى التَّغْلِيظُ بِالْكَفَّارَةِ فِي قَتْلِ جَمِيعِهِمْ كَذَلِكَ فِي التَّغْلِيظِ بِأَيْمَانِ الْقَسَامَةِ فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ الْمُدَّعِيَ يَحْلِفُ خَمْسِينَ يَمِينًا لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُونَ وَاحِدًا أَوْ جَمَاعَةً فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا حَلَفَ جَمِيعَهَا وَوَالَى بَيْنَهَا وَلَمْ يُفَرِّقْهَا لِأَنَّهَا فِي الْمُوَالَاةِ أَغْلَظُ وَأَزْجَرُ فَإِنْ حَلَفَ أَكْثَرَهَا وَنَكَلَ عَنْ أَقَلِّهَا وَلَوْ بِيَمِينٍ وَاحِدَةٍ لَمْ يَسْتَحِقَّ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ أَيْمَانِهِ شَيْئًا مِنَ الدِّيَةِ لِتَعَلُّقِ الْحُكْمِ بِجَمِيعِهَا وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً فَفِي أَيْمَانِهِمْ قَوْلَانِ

Pendapat kedua, yang lebih kuat, adalah bahwa sumpah diperberat dalam setiap kasus pembunuhan dengan lima puluh sumpah, baik terhadap orang yang diyatnya sedikit maupun banyak, bahkan dalam diyat janin sekalipun. Karena ketika pemberatan dengan kafārah berlaku sama dalam pembunuhan siapa pun di antara mereka, demikian pula dalam pemberatan dengan sumpah-sumpah qasāmah. Jika telah dipastikan bahwa penggugat bersumpah lima puluh kali, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah ia seorang diri atau kelompok. Jika ia seorang diri, maka ia bersumpah seluruhnya dan melakukannya secara berurutan tanpa memisah-misahkan, karena dalam berurutan itu lebih berat dan lebih mencegah. Jika ia telah bersumpah sebagian besar dan meninggalkan sebagian kecilnya, meskipun hanya satu sumpah, maka ia tidak berhak atas apa pun dari diyat berdasarkan sumpah-sumpah yang telah ia lakukan sebelumnya, karena hukum terkait dengan keseluruhannya. Jika mereka adalah kelompok, maka dalam sumpah-sumpah mereka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا يَسْتَوِي فِيهَا مَنْ قَلَّ سَهْمُهُ فِي الدِّيَةِ وَكَثُرَ؛ لِأَنَّ تَكْرَارَ الْأَيْمَانِ مَوْضُوعٌ لِلتَّغْلِيظِ وَالزَّجْرِ وَلَيْسَ يُزْجَرُ الْوَاحِدُ مِنْهُمْ إِلَّا بِأَيْمَانِ نَفْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ يُسْتَوْفَى حَقُّهُ فَعَلَى هَذَا إِنْ أَقْسَمُوا جَمِيعًا قُضِيَ لَهُمْ بِجَمِيعِ الدِّيَةِ وَاقْتَسَمُوا عَلَى قَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ فَإِنْ حَلَفَ بَعْضُهُمْ وَنَكَلَ الْبَعْضُ قُضِيَ لِلْحَالِفِ بِحَقِّهِ مِنَ الدِّيَةِ دُونَ النَّاكِلِ

Salah satunya adalah setiap orang dari mereka bersumpah lima puluh kali sumpah, baik bagian diyatnya sedikit maupun banyak; karena pengulangan sumpah itu dimaksudkan untuk memperberat dan memberikan efek jera, dan seseorang tidak akan jera kecuali dengan sumpah dirinya sendiri, maka wajib untuk memenuhi haknya. Berdasarkan hal ini, jika mereka semua bersumpah, maka diputuskan untuk mereka seluruh diyat dan mereka membaginya sesuai dengan bagian warisan mereka. Jika sebagian dari mereka bersumpah dan sebagian lainnya enggan, maka diputuskan bagi yang bersumpah haknya dari diyat, sedangkan yang enggan tidak mendapatkan bagian.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ الْأَصَحُّ إِنَّ الْأَيْمَانَ مَقْسُومَةٌ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ بِجَبْرِ الْكَسْرِ فَإِنْ كَانُوا زَوْجَةً وَابْنًا وَبِنْتًا حَلَفَتِ الزَّوْجَةُ سَبْعَةَ أَيْمَانٍ وَالِابْنُ ثَلَاثِينَ يَمِينًا وَالْبِنْتُ خَمْسَ عَشْرَةَ يَمِينًا ثُمَّ عَلَى قِيَاسِهِ لِأَنَّ التَّغْلِيظَ بِعَدَدِ الْأَيْمَانِ يَخْتَصُّ بِالدَّعْوَى وَهُمْ فِيهَا مُشْتَرِكُونَ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونُوا فِي تَغْلِيظِ أَيْمَانِهَا مُشْتَرِكِينَ فَعَلَى هَذَا إِنْ حَلَفُوا قُضِيَ لَهُمْ بِجَمِيعِ الدِّيَةِ وَإِنْ حَلَفَ بَعْضُهُمْ وَنَكَلَ بَعْضُهُمْ لَمْ يُحْكَمْ لِلْحَالِفِ بِحَقِّهِ مِنَ الدِّيَةِ إِلَّا بَعْدَ اسْتِكْمَالِ خَمْسِينَ يَمِينًا فَإِنْ طَالَبَ النَّاكِلُ لَمْ يَسْتَحِقَّ شَيْئًا بِيَمِينِ غَيْرِهِ وَإِنِ اسْتَوْفَى الْحَاكِمُ جَمِيعَ الْأَيْمَانِ حَتَّى يَحْلِفَ عَدَدَ أَيْمَانِهِ الَّتِي تَلْزَمُهُ بِقَدْرِ حَقِّهِ

Pendapat kedua, dan inilah yang paling sahih, adalah bahwa sumpah-sumpah itu dibagi di antara mereka sesuai dengan bagian warisan mereka dengan membulatkan pecahan. Jika yang ada adalah seorang istri, seorang anak laki-laki, dan seorang anak perempuan, maka istri bersumpah tujuh kali, anak laki-laki tiga puluh kali, dan anak perempuan lima belas kali, lalu seterusnya menurut qiyās. Sebab, penegasan dengan jumlah sumpah khusus untuk gugatan, dan mereka semua terlibat di dalamnya, maka wajib mereka juga bersama-sama dalam penegasan jumlah sumpahnya. Berdasarkan hal ini, jika mereka semua bersumpah, maka diputuskan untuk mereka seluruh diyat. Jika sebagian bersumpah dan sebagian lagi enggan, maka tidak diputuskan hak diyat bagi yang bersumpah kecuali setelah genap lima puluh sumpah. Jika yang enggan menuntut, maka ia tidak berhak atas apa pun dengan sumpah orang lain. Jika hakim telah melengkapi seluruh sumpah hingga masing-masing bersumpah sesuai jumlah sumpah yang menjadi haknya menurut bagiannya, maka demikianlah ketentuannya.

فَإِنْ نَكَلَ جَمِيعُهُمْ عَنِ الْأَيْمَانِ رُدَّتْ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا حَلَفَ خَمْسِينَ يَمِينًا لِأَنَّ الْأَيْمَانَ لَمَّا غَلُظَتْ فِي جَنَبَةِ الْمُدَّعِي وَجَبَ أَنْ تُغَلَّظَ فِي نَقْلِهَا إِلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ لِتَتَكَافَأَ الْجَنَبَتَانِ فِي التَّغْلِيظِ فَإِنْ كَانَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ جَمَاعَةً فَفِي أَيْمَانِهِمْ قَوْلَانِ

Jika seluruh mereka menolak untuk bersumpah, maka sumpah itu dikembalikan kepada tergugat. Jika tergugat hanya satu orang, ia bersumpah lima puluh kali, karena sumpah itu ketika diperberat pada pihak penggugat, maka wajib juga diperberat ketika dipindahkan kepada tergugat, agar kedua belah pihak seimbang dalam hal pemberatan sumpah. Jika para tergugat itu adalah sekelompok orang, maka terdapat dua pendapat mengenai sumpah mereka.

أحدهما وهو الأصح هاهنا أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَحْلِفُ خَمْسِينَ يَمِينًا وَالْأَصَحُّ فِي الْمُدَّعِينَ أَنْ تُقَسَّطَ بَيْنَهُمْ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ كَالْمُنْفَرِدِ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ وَالْتِزَامِ الْكَفَّارَةِ فَكَانَ كَالتَّفَرُّدِ فِي عَدَدِ الْأَيْمَانِ وَخَالَفَ الْمُدَّعِينَ لِأَنَّ الْوَاحِدَ مِنَ الْجَمَاعَةِ لَا يُسَاوِي الْمُنْفَرِدَ فِيهَا فَافْتَرَقَ

Pendapat pertama, yang paling sahih dalam masalah ini, adalah bahwa masing-masing dari mereka bersumpah lima puluh kali. Pendapat yang lebih sahih mengenai para penggugat adalah sumpah itu dibagi di antara mereka, karena masing-masing dari pihak tergugat diperlakukan seperti individu tersendiri dalam kewajiban qisas dan tanggungan kafarat, sehingga demikian pula dalam jumlah sumpah. Berbeda dengan para penggugat, karena satu orang dari kelompok tidak sama dengan individu dalam hal ini, sehingga keduanya berbeda.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ الْأَيْمَانَ مُقَسَّطَةٌ بَيْنَهُمْ عَلَى أَعْدَادِهِمْ يجبر الْكَسْرِ يَسْتَوِي فِيهِ الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ بِخِلَافِ أَيْمَانِ الْمُدَّعِينَ لِأَنَّ الْمُدَّعِينَ يَتَفَاضَلُونَ فِي مِيرَاثِ الدِّيَةِ فيفاضلوا فِي الْأَيْمَانِ وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ يَسْتَوُونَ فِي الْتِزَامِ الدية فيساووا فِي الْأَيْمَانِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa sumpah-sumpah itu dibagi rata di antara mereka sesuai jumlah mereka, dengan membulatkan pecahan, dan laki-laki serta perempuan diperlakukan sama dalam hal ini. Hal ini berbeda dengan sumpah para penggugat, karena para penggugat berbeda-beda dalam bagian warisan diyat, sehingga mereka juga berbeda dalam jumlah sumpah. Adapun pihak yang didakwa, mereka sama dalam kewajiban membayar diyat, sehingga mereka juga disamakan dalam jumlah sumpah. Allah Mahatahu.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ حَلَفُوا برئوا مِنَ الْقَتْلِ فَلَمْ يَلْزَمْهُمْ قَوَدٌ وَلَا دِيَةٌ

Jika mereka bersumpah, maka mereka terbebas dari tuduhan pembunuhan, sehingga tidak wajib atas mereka qishāsh maupun diyat.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِذَا حَلَفُوا غَرِمُوا الدِّيَةَ احْتِجَاجًا بِرِوَايَةِ زِيَادِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ جَدَّهُ آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ أَخِي قُتِلَ بَيْنَ قَرْيَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَحْلِفُ مِنْهُمْ خَمْسُونَ رَجُلًا فَقَالَ مَا لِي من أخي غَيْرِ هَذَا قَالَ نَعَمْ وَلَكَ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ فَجَمَعَ لَهُ بَيْنَ الْأَيْمَانِ وَالدِّيَةِ وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَحْلَفَهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا مَا قَتَلْنَاهُ وَلَا عَرَفْنَا قَاتِلَهُ وَأَغْرَمَهُمُ الدِّيَةَ

Abu Hanifah berpendapat bahwa jika mereka bersumpah, mereka tetap wajib membayar diyat, dengan berdalil pada riwayat Ziyad bin Abi Maryam bahwa kakeknya datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Saudaraku terbunuh di antara dua desa.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Lima puluh orang dari mereka harus bersumpah.” Ia berkata, “Aku tidak memiliki hak dari saudaraku selain ini.” Beliau bersabda, “Benar, dan bagimu seratus ekor unta.” Maka beliau menggabungkan antara sumpah dan diyat untuknya. Juga berdasarkan riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. mewajibkan mereka bersumpah lima puluh sumpah, “Kami tidak membunuhnya dan kami tidak mengetahui siapa pembunuhnya,” lalu mewajibkan mereka membayar diyat.

قَالَ وَلِأَنَّ حُكْمُ الْقَسَامَةَ مُخَالِفٌ لِسَائِرِ الدَّعَاوَى فَصَارَتِ الْأَيْمَانُ فِي الْقَسَامَةِ مَوْضُوعَةً لِلْإِيجَابِ وَفِي غَيْرِهَا مِنَ الدَّعَاوَى مَوْضُوعَةً لِلْإِبْرَاءِ وَالْإِسْقَاطِ

Ia berkata: Karena hukum qasāmah berbeda dengan hukum-hukum gugatan lainnya, maka sumpah dalam qasāmah ditetapkan untuk mewajibkan (hukuman), sedangkan dalam gugatan-gugatan lain sumpah ditetapkan untuk membebaskan dan menggugurkan (tuntutan).

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِلْأَنْصَارِ فَيُبْرِئُكُمْ يَهُودُ بِخَمْسِينَ يَمِينًا فَاقْتَضَى أَنْ يبرأوا بِأَيْمَانِهِمْ؛ وَلِأَنَّ الْيَمِينَ تُوجِبُ تَحْقِيقَ مَا حَلَفَ عَلَيْهِ وَإِثْبَاتَ حُكْمِهِ فَلَمَّا كَانَتْ يَمِينُهُ مَوْضُوعَةً لِنَفْيِ الْقَتْلِ وَجَبَ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنْهُ حُكْمُ الْقَتْلِ كَمَا كَانَتْ يَمِينُهُ فِي سَائِرِ الدَّعَاوَى مَوْضُوعَةً لِنَفْيِ الدَّعْوَى فَسَقَطَ عَنْهُ حُكْمُهَا وَفِي هَذَا انْفِصَالٌ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ وَالْأَثَرِ

Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ kepada kaum Anshar: “Maka orang-orang Yahudi membebaskan kalian dengan lima puluh sumpah.” Maka hal ini menunjukkan bahwa mereka terbebas dengan sumpah-sumpah mereka; karena sumpah itu menetapkan kebenaran apa yang disumpahkan dan menetapkan hukumnya. Ketika sumpah itu ditujukan untuk menafikan pembunuhan, maka wajiblah hukum pembunuhan itu ternafikan darinya, sebagaimana sumpah dalam berbagai tuntutan lainnya ditujukan untuk menafikan tuntutan tersebut, sehingga gugurlah hukumnya darinya. Dalam hal ini terdapat pemisahan dari istidlāl, dan telah dijelaskan sebelumnya jawaban terhadap khabar dan atsar.

فَصْلٌ

Bab

وَإِنْ نَكَلَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ عَنِ الْأَيْمَانِ أُغْرِمُوا الدِّيَةَ وَلَمْ يُحْبَسُوا

Jika para tergugat menolak untuk bersumpah, mereka diwajibkan membayar diyat dan tidak dipenjara.

وقال أبو حنيفة يحبسون حتى يلحفوا ثم يغرمون اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْأَيْمَانَ فِي الْقَسَامَةِ هِيَ نَفْسُ الْحَقِّ فَوَجَبَ أَنْ يُحْبَسُوا عَلَيْهِ كَمَا يُحْبَسُونَ عَلَى سَائِرِ الْحُقُوقِ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka dipenjara sampai mereka bersumpah dengan sungguh-sungguh, kemudian mereka dikenai denda, dengan alasan bahwa sumpah dalam kasus qasāmah itu sendiri adalah inti dari hak, sehingga wajib bagi mereka untuk dipenjara karenanya sebagaimana mereka dipenjara atas hak-hak lainnya. Namun, pendapat ini keliru dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الْأَيْمَانَ فِي الشَّرْعِ مَوْضُوعَةٌ لِلتَّغْلِيظِ وَالزَّجْرِ حَتَّى لَا يُقْدِمَ عَلَى كَذِبٍ فِي دَعْوَى وَلَا إِنْكَارٍ فَإِذَا امْتَنَعَ مِنْهَا فَقَدِ انْزَجَرَ بِهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْبَسَ عَلَيْهَا لِيُكْرَهَ عَلَى أَيْمَانٍ رُبَّمَا اعْتَقَدَ كَذِبَهُ فِيهَا فَيَصِيرُ مَحْمُولًا عَلَى الْكَذِبِ وَالْحِنْثِ

Salah satunya adalah bahwa sumpah dalam syariat ditetapkan untuk memberikan efek penegasan dan pencegahan, agar seseorang tidak berani berbohong dalam klaim maupun penyangkalan. Maka jika seseorang menolak bersumpah, berarti ia telah terhalang (dari kebohongan) dengan sumpah itu, sehingga tidak boleh dipenjara karena menolak bersumpah, agar ia tidak dipaksa untuk bersumpah yang mungkin saja ia meyakini kebohongan di dalamnya, sehingga ia menjadi terdorong untuk berbohong dan melanggar sumpah.

وَالثَّانِي إِنَّ نُكُولَهُ فِي غَيْرِ الْقَسَامَةِ لَمَّا لم يوجب حبسه لنفس الْإِجْبَارِ عَنِ الْأَيْمَانِ فَنُكُولُهُ فِي الْقَسَامَةِ أَوْلَى لِأَنَّ الْأَيْمَانَ فِيهَا أَكْثَرُ وَالتَّغْلِيظُ فِيهَا أَشَدُّ وقوله ” إن الأيمان هي نفس الحق فليس صحيح لِأَنَّ الْأَيْمَانَ لِقَطْعِ الْخُصُومَةِ وَإِسْقَاطِ الدَّعَاوَى وَلَوْ كَانَتْ نَفْسَ الْحَقِّ لَمَا جَازَ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُمُ الدِّيَةَ إِذَا اعْتَرَفُوا وَحُكْمُهُمْ فِي الِاعْتِرَافِ أَغْلَظُ مِنَ الْجُحُودِ

Kedua, sesungguhnya penolakannya (nukūl) dalam perkara selain qasāmah tidak menyebabkan ia dipenjara demi memaksanya bersumpah, maka penolakannya dalam qasāmah lebih utama (untuk tidak dipenjara), karena sumpah di dalamnya lebih banyak dan penegasannya lebih berat. Adapun pernyataan bahwa “sumpah itu sendiri adalah inti hak”, maka itu tidak benar, karena sumpah itu bertujuan untuk mengakhiri perselisihan dan menggugurkan tuntutan. Seandainya sumpah itu adalah inti hak, niscaya tidak boleh menerima diyat dari mereka jika mereka mengaku, padahal hukum pengakuan mereka lebih berat daripada pengingkaran.

فَصْلٌ

Fasal

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَكُونَ مَعَ الدَّعْوَى لَوْثٌ فَتَسْقُطُ لِعَدَمِ اللَّوْثِ الْبِدَايَةُ بِيَمِينِ الْمُدَّعِي لِضَعْفِ سَبَبِهِ وَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ وَفِي تَغْلِيظِهَا بِالْعَدَدِ قَوْلَانِ

Jenis kedua adalah apabila dalam gugatan tidak terdapat adanya lawts, maka gugatan tersebut gugur karena tidak adanya lawts, sehingga permulaan perkara tidak dimulai dengan sumpah penggugat karena lemahnya alasan penggugat. Dalam hal ini, pernyataan yang dipegang adalah pernyataan tergugat beserta sumpahnya. Mengenai penegasan sumpah dengan jumlah (sumpah yang diperberat dengan pengulangan), terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَاخْتَارَ الْمُزَنِيُّ إِنَّهَا لَا تُغَلَّظُ بِالْعَدَدِ ويستحق فيها بيمين واحدة يحلف به المدعى عليه على انكاره؛ لأن لما سقط لعدم اللوث تغليظ الْقَسَامَةُ فِي الِابْتِدَاءِ بِيَمِينِ الْمُدَّعِي سَقَطَ تَغْلِيظُهَا بِعَدَدِ الْأَيْمَانِ جَمْعًا بَيْنَهَا وَبَيْنَ سَائِرِ الدَّعَاوَى فِي الْأَمْرَيْنِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Hanifah yang juga dipilih oleh al-Muzani, menyatakan bahwa sumpah dalam kasus ini tidak diperberat dengan jumlah (sumpah), dan cukup dengan satu kali sumpah yang diucapkan oleh tergugat atas penolakannya; karena ketika tidak adanya indikasi kuat (al-luṯ) menyebabkan gugurnya pemberatan qasāmah pada awalnya dengan sumpah penggugat, maka pemberatan dengan jumlah sumpah pun ikut gugur, sebagai bentuk penyesuaian antara kasus ini dengan perkara-perkara gugatan lainnya dalam kedua hal tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهَا تُغَلَّظُ بِالْعَدَدِ فَيَحْلِفُ خَمْسِينَ يَمِينًا تَغْلِيظًا لِحُرْمَةِ النَّفْسِ كَمَا تُغَلَّظُ بِالْكَفَّارَةِ وَإِنْ لَمْ يُحْكَمْ فِيهَا بِالْقَسَامَةِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَاحِدًا حَلَفَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً فَعَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa sumpah tersebut diperberat dengan jumlah, sehingga ia bersumpah lima puluh kali sebagai bentuk penegasan atas kehormatan jiwa, sebagaimana diperberat dengan kafārah, meskipun tidak diputuskan di dalamnya dengan qasāmah. Berdasarkan pendapat ini, jika yang dituduh hanya satu orang, maka ia bersumpah lima puluh kali, dan jika mereka adalah sekelompok orang, maka berlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dari dua pendapat sebelumnya.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا

Salah satunya adalah bahwa masing-masing dari mereka bersumpah sebanyak lima puluh sumpah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ الْخَمْسِينَ مُقَسَّطَةٌ بَيْنَهُمْ عَلَى عَدَدِ الرُّؤُوسِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa lima puluh itu dibagi rata di antara mereka berdasarkan jumlah kepala.

فَإِنْ كَانُوا خَمْسَةً حَلَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَشَرَةَ أَيْمَانٍ وَإِنْ كَانُوا عَشَرَةً حَلَفَ كُلُّ واحد منهم خمسة أيمان فإن حلفوا برئوا وَإِنْ نَكَلُوا رُدَّتِ الْأَيْمَانُ عَلَى الْمُدَّعِي وَهَلْ تُغَلَّظُ بِالْعَدَدِ إِذَا رُدَّتْ عَلَيْهِ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَحَدُهُمَا لَا تُغَلَّظُ وَيَحْلِفُ يَمِينًا وَاحِدَةً وَيَسْتَحِقُّ دَمَ صَاحِبِهِ فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ

Jika mereka berjumlah lima orang, maka masing-masing dari mereka bersumpah sepuluh kali sumpah. Jika mereka berjumlah sepuluh orang, maka masing-masing dari mereka bersumpah lima kali sumpah. Jika mereka bersumpah, mereka terbebas. Namun jika mereka enggan bersumpah, maka sumpah itu dikembalikan kepada pihak penggugat. Apakah sumpah itu diperberat dengan jumlah jika dikembalikan kepadanya? Ada dua pendapat, sebagaimana pada pihak tergugat. Salah satunya: tidak diperberat, dan ia hanya bersumpah satu kali sumpah, lalu ia berhak atas darah temannya baik dalam kasus pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja.

وَالثَّانِي تُغَلَّظُ بِالْعَدَدِ فَيَحْلِفُ خَمْسِينَ يَمِينًا فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا حَلَفَ جَمِيعَهَا وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً فَعَلَى قَوْلَيْنِ

Yang kedua, sumpah diperberat dengan jumlah, yaitu bersumpah sebanyak lima puluh kali. Jika yang bersumpah satu orang, maka ia mengucapkan semuanya, dan jika mereka adalah sekelompok orang, maka ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا

Salah satunya adalah setiap orang dari mereka bersumpah sebanyak lima puluh sumpah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهَا تُقَسَّطُ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ بِجَبْرِ الْكَسْرِ فَإِذَا حَلَفُوا حُكِمَ لَهُمْ بِدَمِ صَاحِبِهِمْ وَاسْتَحَقُّوا الْقَوَدَ فِي الْعَمْدِ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ أَيْمَانَهُمْ بَعْدَ نُكُولِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ تَجْرِي مَجْرَى إِقْرَارِهِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَمَجْرَى الْبَيِّنَةِ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي

Pendapat kedua menyatakan bahwa bagian itu dibagi di antara mereka sesuai dengan bagian warisan mereka dengan membulatkan pecahan. Jika mereka telah bersumpah, maka diputuskan bahwa mereka berhak atas darah kerabat mereka dan berhak mendapatkan qisas dalam kasus pembunuhan sengaja menurut satu pendapat, karena sumpah mereka setelah tergugat menolak bersumpah dianggap seperti pengakuan tergugat menurut salah satu pendapat, dan seperti bukti menurut pendapat yang lain.

وَالْقَوَدُ مُسْتَحَقٌّ بِالْإِقْرَارِ وَمُسْتَحَقٌّ بِالْبَيِّنَةِ فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْأَيْمَانِ عِنْدَ رَدِّهَا عَلَيْهِ بَرِئَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بِإِنْكَارِهِ الْمُتَقَدِّمِ

Qisas dapat ditetapkan berdasarkan pengakuan dan dapat pula ditetapkan berdasarkan bukti. Jika terdakwa menolak bersumpah ketika sumpah itu dikembalikan kepadanya, maka terdakwa bebas dari tuntutan karena penyangkalan yang telah dilakukannya sebelumnya.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِنْ كَانَتْ دَعْوَى الدَّمِ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ لَمْ يُعْتَبَرْ فِيهَا اللَّوْثُ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ تَغْلِيظِ النَّفْسِ عَلَى مَا دُونَهَا فَيَسْقُطُ الِابْتِدَاءُ فِيهَا بِيَمِينِ الْمُدَّعِي فَيَكُونُ الْقَوْلُ فِيهَا قَوْلَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ وَتَغْلِيظُهَا بِالْعَدَدِ مَبْنِيٌّ عَلَى تَغْلِيظِهَا فِي دَعْوَى النَّفْسِ عِنْدَ عَدَمِ اللَّوْثِ فَإِنْ قِيلَ لَا تُغَلَّظُ بِالْعَدَدِ فِي النَّفْسِ إِذَا عُدِمَ اللَّوْثُ فَأَوْلَى أَلَّا تُغَلَّظَ بِالْعَدَدِ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ؛ لِأَنَّ حُرْمَةَ النَّفْسِ أَغْلَظُ وَإِنْ قِيلَ بِتَغْلِيظِهَا فِي النَّفْسِ عِنْدَ عَدَمِ اللَّوْثِ فَفِي تَغْلِيظِهَا بِالْعَدَدِ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ قَوْلَانِ

Jika gugatan darah itu terkait selain jiwa, maka tidak disyaratkan adanya al-lawts, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tentang penegasan hukuman atas jiwa dibandingkan selainnya. Maka gugatan tersebut tidak dimulai dengan sumpah dari penggugat, sehingga pernyataan yang dipegang adalah pernyataan tergugat beserta sumpahnya. Penegasan sumpah dengan jumlah (sumpah berulang) didasarkan pada penegasan dalam gugatan jiwa ketika tidak ada al-lawts. Jika dikatakan bahwa sumpah tidak ditegaskan dengan jumlah dalam kasus jiwa ketika tidak ada al-lawts, maka lebih utama lagi untuk tidak menegaskannya dengan jumlah dalam kasus selain jiwa, karena kehormatan jiwa lebih besar. Namun, jika dikatakan bahwa sumpah ditegaskan dalam kasus jiwa ketika tidak ada al-lawts, maka dalam penegasan sumpah dengan jumlah pada kasus selain jiwa terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا تُغَلَّظُ بِالْعَدَدِ وَإِنْ غُلِّظَتْ بِهِ فِي النَّفْسِ لِاخْتِصَاصِ النَّفْسِ بِعَظَمِ الْحُرْمَةِ وَوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ

Salah satunya tidak diperberat dengan jumlah, meskipun diperberat dengannya pada jiwa, karena jiwa memiliki kekhususan dalam besarnya kehormatan dan wajibnya kafarat.

فَعَلَى هَذَا يَحْلِفُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ يَمِينًا وَاحِدَةً سَوَاءٌ كَانَتِ الدَّعْوَى فِيمَا تَكْمُلُ فِيهِ الدِّيَةُ كَالْيَدَيْنِ أَوْ فِيمَا يَجِبُ فِيهِ بَعْضُهَا كَالْمُوضِحَةِ

Dengan demikian, tergugat bersumpah satu kali saja, baik gugatan itu terkait dengan hal yang menyebabkan diyat sempurna seperti kedua tangan, maupun terkait dengan hal yang mewajibkan sebagian diyat seperti luka mudhihah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ تُغَلَّظُ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ بِالْعَدَدِ كَمَا تُغَلَّظُ فِي النَّفْسِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَوَى حُكْمُ النَّفْسِ وَمَا دُونَهَا فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ وَتَحَمُّلِ الْعَقْلِ تَغْلِيظًا لِحُكْمِ الدِّمَاءِ اسْتَوَيَا فِي التَّغْلِيظِ بِعَدَدِ الْأَيْمَانِ فَعَلَى هَذَا لَا يَخْلُو حَالُ الدَّعْوَى فِيمَا دُونَ النَّفْسِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Pendapat kedua menyatakan bahwa sumpah diperberat dalam kasus selain pembunuhan jiwa dengan jumlah sumpah, sebagaimana diperberat dalam kasus pembunuhan jiwa; karena ketika hukum pembunuhan jiwa dan selainnya sama dalam kewajiban qishāsh dan tanggungan diyat sebagai bentuk penegasan hukum darah, maka keduanya juga sama dalam penegasan dengan jumlah sumpah. Berdasarkan hal ini, keadaan gugatan dalam kasus selain pembunuhan jiwa tidak lepas dari tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ تَكْمُلَ فِيهَا الدِّيَةُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نُقْصَانٍ كَقَطْعِ الْيَدَيْنِ أَوِ الرِّجْلَيْنِ أَوْ جَبِّ الذَّكَرِ أَوْ قَطْعِ اللِّسَانِ فَتُغَلَّظُ الْأَيْمَانُ فِيهِ بِخَمْسِينَ يَمِينًا لِأَنَّهُ لَمَّا سَاوَى النَّفْسَ فِي الدِّيَةِ سَاوَاهَا فِي عَدَدِ الْأَيْمَانِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَاحِدًا حَلَفَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً فَعَلَى قَوْلَيْنِ

Pertama, yaitu apabila diyat sempurna pada kasus tersebut tanpa ada penambahan atau pengurangan, seperti memotong kedua tangan, atau kedua kaki, atau memotong zakar, atau memotong lidah. Maka sumpah dikuatkan dengan lima puluh sumpah, karena ketika diyatnya sama dengan diyat jiwa, maka jumlah sumpahnya pun disamakan. Berdasarkan hal ini, jika yang didakwa hanya satu orang, ia bersumpah lima puluh kali, dan jika mereka adalah sekelompok orang, maka ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا

Salah satunya adalah setiap orang dari mereka bersumpah sebanyak lima puluh kali sumpah.

وَالثَّانِي إِنَّهَا مُقَسَّطَةٌ بَيْنَهُمْ عَلَى أَعْدَادِهِمْ فَإِنْ كَانُوا خَمْسَةً حَلَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَشَرَةَ أَيْمَانٍ فَيَصِيرُ فِيمَا يَحْلِفُ بِهِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثَلَاثَةَ أَقَاوِيلَ

Yang kedua, sumpah itu dibagi rata di antara mereka sesuai jumlah mereka. Jika mereka berlima, maka masing-masing dari mereka bersumpah sepuluh kali, sehingga dalam hal jumlah sumpah yang diucapkan oleh masing-masing dari mereka terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا خَمْسُونَ يَمِينًا

Salah satunya adalah lima puluh sumpah.

وَالثَّانِي عَشَرَةُ أَيْمَانٍ

Kedua belas adalah tentang sumpah-sumpah.

وَالثَّالِثُ يَمِينٌ وَاحِدَةٌ

Dan yang ketiga adalah satu kali sumpah.

فَصْلٌ

Bagian

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَسْتَحِقَّ بِالدَّعْوَى بَعْضَ الدِّيَةِ كَإِحْدَى الْيَدَيْنِ أَوْ كَالْمُوضِحَةِ فَفِيمَا تُغَلَّظُ مِنَ الْعَدَدِ قَوْلَانِ

Bagian kedua adalah apabila seseorang berhak mendapatkan sebagian diyat melalui gugatan, seperti salah satu tangan atau seperti luka yang menyingkap tulang (mudhihah), maka dalam hal jumlah yang diperberat terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تُغَلَّظُ بِخَمْسِينَ يَمِينًا فِيمَا قَلَّ مَنِ الدِّيَةِ وَكَثُرَ اعْتِبَارًا بِحُرْمَةِ الدَّمِ

Salah satunya diperberat dengan lima puluh sumpah dalam perkara yang nilai diyat-nya sedikit maupun banyak, sebagai bentuk penghormatan terhadap kehormatan darah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي تُقَسَّطُ الْأَيْمَانُ عَلَى الدِّيَةِ وَتُغَلَّظُ فِيمَا دُونَهَا بِقَسْطِهَا مِنْ كَمَالِ الدِّيَةِ فَإِنْ أَوْجَبَتْ نِصْفَ الدِّيَةِ كَإِحْدَى الْيَدَيْنِ غُلِّظَتْ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ يَمِينًا وَإِنْ أَوْجَبَتْ ثُلُثَ الدِّيَةِ كَالْجَائِفَةِ غُلِّظَتْ بِسَبْعَةَ عَشَرَ يَمِينًا وَإِنْ أَوْجَبَتْ عُشْرَ الدِّيَةِ كَالْإِصْبَعِ غُلِّظَتْ بِخَمْسَةِ أَيْمَانٍ وَإِنْ أَوْجَبَتْ نِصْفَ عُشْرِهَا كَالْمُوضِحَةِ غُلِّظَتْ بِثَلَاثَةِ أَيْمَانٍ

Pendapat kedua menyatakan bahwa sumpah-sumpah dibagi secara proporsional terhadap diyat, dan diperberat pada selain diyat sesuai bagian dari keseluruhan diyat. Jika yang diwajibkan adalah setengah diyat seperti salah satu tangan, maka diperberat dengan dua puluh lima sumpah. Jika yang diwajibkan adalah sepertiga diyat seperti luka yang menembus rongga tubuh (jā’ifah), maka diperberat dengan tujuh belas sumpah. Jika yang diwajibkan adalah sepersepuluh diyat seperti satu jari, maka diperberat dengan lima sumpah. Jika yang diwajibkan adalah setengah dari sepersepuluh diyat seperti luka yang menampakkan tulang (mudhīhah), maka diperberat dengan tiga sumpah.

فَعَلَى هَذَا إِنْ كان المدعى عليه واحد حَلَفَ هَذِهِ الْأَيْمَانَ عَلَى اخْتِلَافِ الْأَقَاوِيلِ فِيهَا وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً فَعَلَى قَوْلَيْنِ

Dengan demikian, jika tergugatnya satu orang, maka ia bersumpah dengan sumpah-sumpah ini menurut perbedaan pendapat di dalamnya. Namun jika mereka adalah sekelompok orang, maka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ جَمِيعَ هَذِهِ الْأَيْمَانِ الْمُخْتَلَفِ فِي عَدَدِهَا

Salah satu pendapat menyatakan bahwa setiap orang dari mereka harus bersumpah dengan seluruh sumpah yang berbeda-beda jumlahnya itu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُقَسَّطُ عَدَدُ الْأَيْمَانِ بَيْنَهُمْ عَلَى أَعْدَادِ رُؤُوسِهِمْ فَيَجِيءُ فِيمَا يَحْلِفُ بِهِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ إِذَا كَانُوا خَمْسَةً وَكَانَتِ الدَّعْوَى فِي قَطْعِ أَحَدِ الْيَدَيْنِ خَمْسَةَ أقاويل

Pendapat kedua adalah jumlah sumpah dibagi di antara mereka sesuai jumlah kepala mereka, sehingga masing-masing dari mereka bersumpah sesuai bagian yang didapatkannya. Jika mereka berjumlah lima orang dan gugatan terkait pemotongan salah satu tangan, maka terdapat lima pendapat dalam hal ini.

أحدهما يَحْلِفُ خَمْسِينَ يَمِينًا

Salah satunya bersumpah sebanyak lima puluh sumpah.

وَالثَّانِي يَحْلِفُ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ يَمِينًا

Dan yang kedua bersumpah sebanyak dua puluh lima sumpah.

وَالثَّالِثُ عَشَرَةَ أَيْمَانٍ

Dan yang ketiga belas adalah sumpah-sumpah.

وَالرَّابِعُ خَمْسَةَ أَيْمَانٍ

Dan yang keempat adalah lima sumpah.

وَالْخَامِسُ يَمِينًا وَاحِدَةً فَإِنْ نَكَلُوا عَنِ الْأَيْمَانِ رُدَّتْ عَلَى الْمُدَّعِي وَكَانَ حُكْمُهُ فِي تَغْلِيظِ الْأَيْمَانِ بِالْعَدَدِ مِثْلَ حُكْمِهِمْ عَلَى مَا رَتَّبْنَاهُ مِنَ الْأَقَاوِيلِ وَشَرَحْنَاهُ مِنَ التَّفْصِيلِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Dan yang kelima adalah satu sumpah. Jika mereka enggan bersumpah, maka sumpah itu dikembalikan kepada pihak penggugat. Hukum dalam memperberat sumpah dengan jumlahnya adalah sama seperti hukum yang telah kami susun dari pendapat-pendapat dan telah kami jelaskan secara rinci. Dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ

Bagian

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَسْتَحِقَّ بِالدَّعْوَى أَكْثَرَ مِنَ الدِّيَةِ مِثْلَ قَطْعِ الْيَدَيْنِ مَعَ الرِّجْلَيْنِ أَوْ جَدْعِ الْأَنْفِ مَعَ اللِّسَانِ فَتَشْتَمِلُ الدَّعْوَى عَلَى دِيَتَيْنِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْأَيْمَانَ لَا تُغَلَّظُ بِالْعَدَدِ فِي الدِّيَةِ وَمَا دُونَهَا لَمْ تُغَلَّظْ بِالْعَدَدِ فِيمَا زَادَ عَلَيْهَا وَاقْتُصِرَ فِيهَا عَلَى يَمِينٍ وَاحِدَةٍ وَإِنِ اشْتَمَلَتْ عَلَى دِيَتَيْنِ وَإِنْ قِيلَ إِنِ الْأَيْمَانَ تُغَلَّظُ بِالْعَدَدِ فِي الدِّيَةِ وَمَا دُونَهَا فَأَوْلَى أَنْ تُغَلَّظَ بِالْعَدَدِ فِيمَا زَادَ عَلَيْهَا وَهَلْ تَكُونُ الزِّيَادَةُ عَلَى الدِّيَةِ مُوجِبَةً لِزِيَادَةِ الْعَدَدِ فِي الْأَيْمَانِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Bagian ketiga adalah apabila seseorang menuntut dengan gugatan yang nilainya lebih dari diyat, seperti memotong kedua tangan beserta kedua kaki, atau memotong hidung beserta lidah, sehingga gugatan tersebut mencakup dua diyat. Jika dikatakan bahwa sumpah tidak diperberat dengan jumlah dalam diyat dan yang kurang darinya, maka tidak diperberat pula dengan jumlah dalam perkara yang melebihi diyat, dan cukup dengan satu sumpah saja meskipun mencakup dua diyat. Namun jika dikatakan bahwa sumpah diperberat dengan jumlah dalam diyat dan yang kurang darinya, maka lebih utama lagi untuk diperberat dengan jumlah dalam perkara yang melebihi diyat. Apakah tambahan atas diyat itu mewajibkan penambahan jumlah sumpah atau tidak, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا تُوجِبُهَا لِأَنَّ الْخَمْسِينَ غَايَةُ الْعَدَدِ فِي التَّغْلِيظِ فَلَمْ يَحْتَجِ التَّغْلِيظُ إِلَى تَغْلِيظٍ

Salah satunya adalah bahwa lima puluh tidak mewajibkannya karena lima puluh merupakan batas maksimal jumlah dalam penegasan hukuman, sehingga penegasan hukuman tidak memerlukan penegasan tambahan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّ الْخَمْسِينَ تَغْلِيظٌ مُقَدَّرٌ فِي دِيَةِ النَّفْسِ فَصَارَ غَايَةً فيها فلم يصير غَايَةً فِيمَا زَادَ عَلَيْهَا

Adapun pendapat kedua, sesungguhnya lima puluh (unta) adalah bentuk pemberatan yang telah ditentukan dalam diyat jiwa, sehingga menjadi batas maksimal dalam hal itu, maka tidak menjadi batas maksimal untuk apa yang melebihi darinya.

فَعَلَى هَذَا لَوْ أَوْجَبَتِ الدَّعْوَى دِيَتَيْنِ تَغَلَّظَتِ الْأَيْمَانُ بِمِائَةِ يَمِينٍ وإن أوجبت دية ونصف تَغَلَّظَتْ بِخَمْسَةٍ وَسَبْعِينَ يَمِينًا وَإِنْ أَوْجَبَتْ دِيَةً وثلث تَغَلَّظَتْ بِسَبْعَةٍ وَسِتِّينَ يَمِينًا وَعَلَى هَذَا الْقِيَاسِ ثُمَّ إِنْ كَانَتْ عَلَى وَاحِدٍ حَلَفَ بِجَمِيعِهَا وَإِنْ كَانَتْ عَلَى جَمَاعَةٍ فَعَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ

Berdasarkan hal ini, jika gugatan mewajibkan dua diyat, maka sumpah dikuatkan dengan seratus sumpah; jika mewajibkan satu setengah diyat, maka dikuatkan dengan tujuh puluh lima sumpah; jika mewajibkan satu dan sepertiga diyat, maka dikuatkan dengan enam puluh enam sumpah; dan demikianlah seterusnya menurut qiyās. Kemudian, jika gugatan ditujukan kepada satu orang, maka ia bersumpah dengan seluruh sumpah tersebut; dan jika ditujukan kepada sekelompok orang, maka berlaku sebagaimana telah kami sebutkan dalam dua pendapat sebelumnya.

أَحَدُهُمَا يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ جَمِيعَهَا

Salah satunya adalah setiap orang dari mereka bersumpah atas seluruhnya.

وَالثَّانِي تُقَسَّطُ بَيْنَهُمْ عَلَى أَعْدَادِهِمْ فَيَجِيءُ فِيمَا يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ إِذَا كَانُوا خَمْسَةً وَالدَّعْوَى فِيمَا يُوجِبُ دِيَتَيْنِ خَمْسَةُ أَقَاوِيلَ

Yang kedua, dibagi rata di antara mereka sesuai jumlah mereka, sehingga bagian yang harus disumpah oleh masing-masing dari mereka, jika mereka berjumlah lima orang dan gugatan itu mengenai sesuatu yang mewajibkan dua diyat, maka terdapat lima pendapat.

أَحَدُهَا مِائَةُ يَمِينٍ

Salah satunya adalah seratus sumpah.

وَالثَّانِي خَمْسُونَ يَمِينًا

Dan yang kedua adalah lima puluh sumpah.

وَالثَّالِثُ عشرون يميناً

Dan yang ketiga adalah dua puluh sumpah.

والرابع عشرة أَيْمَانٍ

Dan yang keempat belas adalah tentang sumpah.

وَالْخَامِسُ يَمِينًا وَاحِدَةً فَإِنْ نَكَلُوا عَنِ الْأَيْمَانِ وَرُدَّتْ عَلَى الْمُدَّعِي كَانَ حُكْمُهُ فِي تَغْلِيظِ الْأَيْمَانِ بِالْعَدَدِ مِثْلَ حُكْمِهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Dan yang kelima adalah satu kali sumpah. Jika mereka enggan bersumpah dan sumpah itu dikembalikan kepada penggugat, maka ketentuannya dalam penegasan sumpah dengan jumlah adalah seperti ketentuan mereka. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَسَوَاءٌ فِي النُّكُولِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ وَغَيْرِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ وَيَلْزَمُهُ مِنْهَا فِي مَالِهِ مَا يَلْزَمُ غير المحجور والجناية خلاف البيع والشراء فإن قال قائل كيف يحلفون على ما لا يعلمون قيل فأنتم تقولون لو أن ابن عشرين سنة رؤي بالمشرق اشترى عبداً ابن مائة سنة رؤي بالمغرب فباعه من ساعته فأصاب به المشتري عيباً أن البائع يحلف على البت لقد باعه إياه وما به هذا العيب ولا علم له به والذي قلنا قد يصح علمه بما وصفنا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Dalam hal penolakan sumpah, sama saja antara orang yang sedang dalam status mahjūr (yang dibatasi haknya) maupun yang tidak dalam status mahjūr. Keduanya tetap wajib menanggung kewajiban dari harta mereka sebagaimana yang diwajibkan atas orang yang tidak mahjūr. Adapun dalam kasus jināyah (tindak pidana), hukumnya berbeda dengan jual beli. Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana mereka bisa bersumpah atas sesuatu yang tidak mereka ketahui?’ Maka dijawab: Kalian sendiri mengatakan, seandainya ada seorang berumur dua puluh tahun terlihat di wilayah timur membeli seorang budak yang berumur seratus tahun, lalu budak itu dijual di wilayah barat pada saat itu juga, kemudian pembeli menemukan cacat pada budak tersebut, maka penjual harus bersumpah secara pasti bahwa ia telah menjual budak itu kepadanya dan budak itu tidak memiliki cacat tersebut serta ia tidak mengetahuinya. Apa yang kami katakan, bisa saja penjual mengetahui hal seperti yang telah kami gambarkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْحَجْرُ فَضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata: Adapun al-hajr (pembatasan hak), maka ada dua macam.

أَحَدُهُمَا يَكُونُ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ كَالْجُنُونِ وَالصِّغَرِ فَيَمْتَنِعُ مِنْ سَمَاعِ الدَّعْوَى مِنْهُ وَعَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَا حُكْمَ لِقَوْلِهِ فِي مَالٍ وَلَا بَدَنٍ

Salah satunya adalah karena terangkatnya pena, seperti pada kasus gila dan masih kecil, sehingga tidak boleh didengar gugatan darinya maupun terhadapnya, karena tidak ada ketetapan hukum atas ucapannya, baik terkait harta maupun badan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَعَ ثُبُوتِ الْقَلَمِ عَلَيْهِ بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ وَقَدْ ثَبَتَ الْحَجْرُ فِيهِ بِأَحَدِ خَمْسَةِ أَسْبَابٍ السَّفَهُ وَالْفَلَسُ وَالْمَرَضُ وَالرِّقُّ وَالرِّدَّةُ

Jenis kedua adalah apabila seseorang telah dikenai kewajiban hukum karena telah baligh dan berakal, namun tetap diberlakukan pembatasan (ḥajr) terhadapnya karena salah satu dari lima sebab: safah (ketidakdewasaan dalam mengelola harta), muflis (bangkrut), sakit, status sebagai budak (riqq), atau riddah (murtad).

وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَقْصُورَةٌ عَلَى الْحَجْرِ بِالسَّفَهِ لِأَنَّ مَا عَدَاهُ لَهُ مَوَاضِعُ قَدْ مَضَى بَعْضُهَا وَيَأْتِي بَاقِيهَا وإذا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُدَّعِيًا أَوْ مُدَّعًى عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ مُدَّعِيًا سُمِعَتْ دَعْوَاهُ وَكَانَ فيها الرشيد وَإِنْ تَوَجَّهَتْ عَلَيْهِ يَمِينٌ إِمَّا ابْتِدَاءً فِي الْقَسَامَةِ أَوِ انْتِهَاءً فِي الرَّدِّ بَعْدَ النُّكُولِ حَلَفَ فِيهَا وَحُكِمَ لَهُ بِمُوجِبِهَا كَالرَّشِيدِ لِأَنَّ فِي ذَلِكَ حِفْظٌ لِمَالِهِ وَالْحَجْرُ يَمْنَعُهُ مِنْ إِتْلَافِهِ وَإِنْ كَانَ مُدَّعًى عَلَيْهِ سُمِعَتِ الدَّعْوَى عَلَيْهِ لِأَنَّهُ قَدْ يُنْكِرُهَا فَيَسْتَحْلِفُ عَلَيْهَا أَوْ تَشْهَدُ بِهَا بَيِّنَةٌ فَيَكُونُ لَهَا حُكْمٌ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ تَخْلُ الدَّعْوَى عَلَيْهِ مِنْ أَنْ تَكُونَ فِي دَمٍ أَوْ مَالٍ فَإِنْ كَانَتْ فِي دَمٍ لَمْ تَخْلُ مِنْ أَنْ تَكُونَ مُوجِبَةً لِلْقَسَامَةِ أَوْ غَيْرَ مُوجِبَةٍ لَهَا فَإِنْ أَوْجَبَتِ الْقَسَامَةَ لِوُجُودِ اللَّوْثِ فِي قَتْلِ نَفْسٍ فَلِلْمُدَّعِي أَنْ يُقْسِمَ عَلَى الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ كَمَا يُقْسِمُ عَلَى الرَّشِيدِ وَيُقْضَى عَلَيْهِ بِمُوجِبِ أَيْمَانِهِ إِذَا حَلَفَ فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْأَيْمَانِ رُدَّتْ عَلَى الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ فَإِنْ حَلَفَ بَرِئَ وَإِنْ نَكَلَ قُضِيَ عَلَيْهِ بِالدَّعْوَى وَكَانَ فِيمَا يَجِبُ عَلَيْهِ بِنُكُولِهِ كَالرَّشِيدِ وَإِنْ كَانَتْ دَعْوَى الدَّمِ غَيْرَ مُوجِبَةٍ لِلْقَسَامَةِ فَهِيَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Masalah ini khusus membahas tentang hajr (pembatasan hak) karena safih (ketidakdewasaan dalam mengelola harta), karena selain itu memiliki pembahasan tersendiri yang sebagian telah dibahas dan sisanya akan datang. Jika demikian, keadaan orang yang dikenai hajr karena safih tidak lepas dari dua kemungkinan: menjadi penggugat atau tergugat. Jika ia menjadi penggugat, maka gugatannya didengar dan ia diperlakukan seperti orang yang rasyid (dewasa dan cakap). Jika terhadapnya dituntut sumpah, baik pada awal dalam kasus qasāmah (sumpah berantai dalam kasus pembunuhan) atau pada akhir dalam kasus penolakan setelah menolak bersumpah, maka ia boleh bersumpah dan diputuskan untuknya sebagaimana orang rasyid, karena hal itu merupakan bentuk penjagaan terhadap hartanya, sedangkan hajr bertujuan mencegahnya dari merusak harta. Jika ia menjadi tergugat, maka gugatan terhadapnya didengar, karena bisa jadi ia mengingkarinya sehingga ia diminta bersumpah atau ada bukti yang bersaksi atasnya, sehingga berlaku hukum atasnya. Jika demikian, gugatan terhadapnya tidak lepas dari dua hal: berkaitan dengan darah (jiwa) atau harta. Jika berkaitan dengan darah, tidak lepas dari dua kemungkinan: mewajibkan qasāmah atau tidak. Jika mewajibkan qasāmah karena adanya syubhat dalam kasus pembunuhan, maka penggugat boleh meminta sumpah kepada orang yang dikenai hajr sebagaimana kepada orang rasyid, dan diputuskan atasnya berdasarkan sumpah tersebut jika ia bersumpah. Jika ia menolak bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada orang yang dikenai hajr; jika ia bersumpah, ia bebas dari tuntutan, dan jika ia menolak, maka diputuskan atasnya sesuai gugatan, dan dalam hal ini ia sama dengan orang rasyid dalam hal yang wajib atasnya karena penolakannya. Jika gugatan darah tidak mewajibkan qasāmah, maka terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ فِي عَمْدٍ يُوجِبُ الْقَوَدَ فَتُسْمَعُ الدَّعْوَى عَلَيْهِ فَإِنْ أَقَرَّ بِهَا صَحَّ إِقْرَارُهُ كَمَا يَصِحُّ إِقْرَارُ الْعَبْدِ بِهَا لِانْتِفَاءِ التُّهْمَةِ عَنْهُ فَإِنَّ عُفِيَ عَنِ الْقَوَدِ وَجَبَتِ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ وَأُخِذَتْ مِنْهُ مَعَ بَقَاءِ حَجْرِهِ وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الْمُدَّعِي وَحُكِمَ لَهُ بِدَعْوَاهُ إِذَا حَلَفَ وَخُيِّرَ بَيْنَ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ

Salah satunya adalah jika terjadi pada pembunuhan sengaja yang mewajibkan qawad (qisas), maka gugatan dapat diajukan terhadapnya. Jika ia mengakui, maka pengakuannya sah, sebagaimana sahnya pengakuan seorang budak dalam hal ini, karena tidak ada tuduhan terhadapnya. Jika qawad dimaafkan, maka diwajibkan membayar diyat dari hartanya dan diambil darinya meskipun status hajr (pembatasan hak) masih tetap berlaku padanya. Jika ia menolak bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada penggugat, dan diputuskan untuknya sesuai dengan gugatannya jika ia bersumpah, serta ia diberi pilihan antara qawad dan diyat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ فِي خَطَأٍ يُوجِبُ الْمَالَ دُونَ القود فتسمع الدعوى عليه فإن أقر بها فَفِي صِحَّةِ إِقْرَارِهِ قَوْلَانِ

Jenis kedua adalah dalam kasus kesalahan yang mewajibkan pembayaran diyat tanpa qishāsh, maka gugatan diterima terhadapnya. Jika ia mengakuinya, maka dalam keabsahan pengakuannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَصَحُّ إِنَّهُ لَا يَصِحُّ كَالْمَالِ

Salah satu pendapat, dan inilah yang lebih shahih, adalah bahwa hal itu tidak sah seperti halnya harta.

وَالثَّانِي إِنَّهُ يَصِحُّ لِتَغْلِيظِ حُرْمَةِ الدِّمَاءِ وَالنُّفُوسِ كَالْعَمْدِ فَإِنْ أَبْطَلَ إِقْرَارَهُ بِهَا لَمْ يَلْزَمْهُ وَلَا عَاقِلَتَهُ وَإِنْ صَحَّ إِقْرَارُهُ بِهَا لَزِمَتْهُ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ دُونَ عَاقِلَتِهِ إِلَّا أَنْ يُصَدِّقُوهُ عَلَيْهَا فَيَتَحَمَّلُونَهَا عَنْهُ وَإِنْ أَنْكَرَ الدَّعْوَى أُحْلِفَ عَلَيْهَا فَإِنْ حَلَفَ بَرِئَ وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ إِقْرَارَهُ يَصِحُّ رُدَّتِ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعِي وَحُكِمَ لَهُ إِذَا نَكَلَ وَهَلْ تَجِبُ الدِّيَةُ عَلَى عَاقِلَتِهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي يَمِينِ الْمُدَّعِي بَعْدَ نُكُولِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ هَلْ تَقُومُ مَقَامَ الْبَيِّنَةِ أَوْ مَقَامَ الْإِقْرَارِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ الْبَيِّنَةِ تَحَمَّلَتِ الْعَاقِلَةُ الدِّيَةَ كَمَا تَتَحَمَّلُهَا بِالْبَيِّنَةِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ الْإِقْرَارِ لَمْ تَتَحَمَّلْهَا الْعَاقِلَةُ كَمَا لَا تَتَحَمَّلُهَا بِإِقْرَارِهِ وَإِنْ قُلْنَا إِنْ إِقْرَارَ السَّفِيهِ بِهَا بَاطِلٌ فَفِي رَدِّ الْيَمِينِ عَلَى الْمُدَّعِي بَعْدَ نُكُولِ السَّفِيهِ عَنْهَا قَوْلَانِ

Yang kedua, sesungguhnya hal itu sah karena besarnya larangan atas darah dan jiwa, seperti pada kasus pembunuhan sengaja. Jika pengakuannya atas hal itu dibatalkan, maka dia dan ‘aqilah-nya tidak wajib menanggungnya. Namun jika pengakuannya sah, maka dia wajib membayar diyat dari hartanya sendiri, bukan dari ‘aqilah-nya, kecuali jika mereka membenarkannya, maka mereka menanggungnya untuknya. Jika dia mengingkari gugatan, maka dia harus disumpah; jika dia bersumpah, dia bebas, dan jika dia menolak bersumpah, maka jika kita berpendapat bahwa pengakuannya sah, sumpah dikembalikan kepada penggugat dan diputuskan untuknya jika terdakwa menolak bersumpah. Apakah diyat wajib atas ‘aqilah-nya atau tidak, terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang sumpah penggugat setelah terdakwa menolak bersumpah: apakah sumpah itu kedudukannya seperti bayyinah atau seperti pengakuan. Jika dikatakan bahwa sumpah itu kedudukannya seperti bayyinah, maka ‘aqilah menanggung diyat sebagaimana mereka menanggungnya dengan bayyinah. Namun jika dikatakan bahwa sumpah itu kedudukannya seperti pengakuan, maka ‘aqilah tidak menanggungnya, sebagaimana mereka tidak menanggungnya dengan pengakuan terdakwa. Jika kita berpendapat bahwa pengakuan orang safih atas hal itu batal, maka dalam hal pengembalian sumpah kepada penggugat setelah safih menolak bersumpah, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تُرَدُّ عَلَيْهِ إِذَا قِيلَ إِنَّ يَمِينَهُ كَالْبَيِّنَةِ

Salah satunya dapat dibantah jika dikatakan bahwa sumpahnya seperti bayyinah (alat bukti yang jelas).

وَالثَّانِي لَا تُرَدُّ إِذَا قِيلَ إِنَّ يَمِينَهُ كَالْإِقْرَارِ

Dan yang kedua, tidak dapat ditolak jika dikatakan bahwa sumpahnya seperti pengakuan.

فَصْلٌ

Bab

وَإِنْ كَانَتِ الدَّعْوَى فِي مَالٍ مَحْضٍ سُمِعَتْ عَلَيْهِ فَإِنْ أَنْكَرَهَا حَلَفَ وَبَرِئَ وَإِنْ نَكَلَ عَنْهَا كَانَ فِي رَدِّ الْيَمِينِ عَلَى الْمُدَّعِي مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ أَقَرَّ بِهَا لَمْ يَلْزَمْهُ إِقْرَارُهُ قَوْلًا وَاحِدًا لِمَا تَضَمَّنَهُ مِنِ اسْتِهْلَاكِ مَالِهِ الَّذِي هُوَ مَتْهُومٌ فِيهِ فَلَا يَلْزَمُهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ وَهَلْ يَلْزَمُهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى أَمْ لَا مُعْتَبَرًا بِالْمَالِ فَإِنْ كَانَ عَنْ إِتْلَافٍ وَاسْتِهْلَاكٍ إِمَّا لِنَفْسٍ أَوْ مَالٍ لَزِمَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ لَمْ يَلْزَمْهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ مَا كَانَ حَجْرُهُ بَاقِيًا فَإِذَا فُكَّ حَجْرُهُ غَرِمَهُ وَإِنْ كَانَ عَنْ مُعَامَلَةٍ وَمُرَاضَاةٍ لَمْ يَلْزَمْهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى

Jika gugatan itu berkaitan dengan harta murni, maka gugatan tersebut dapat didengar terhadapnya. Jika ia mengingkarinya, ia bersumpah dan terbebas. Jika ia enggan bersumpah, maka dalam hal pengalihan sumpah kepada penggugat berlaku dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya. Jika ia mengakuinya, maka pengakuannya tidak mengikatnya menurut satu pendapat, karena pengakuan tersebut mengandung unsur menghabiskan hartanya sendiri yang ia dicurigai dalam hal itu, sehingga tidak mengikatnya secara lahiriah dalam hukum. Adapun apakah ia tetap bertanggung jawab antara dirinya dengan Allah Ta‘ala atau tidak, hal ini tergantung pada jenis harta. Jika harta tersebut berkaitan dengan perusakan atau penghabisan, baik untuk dirinya sendiri atau untuk hartanya, maka ia tetap bertanggung jawab antara dirinya dengan Allah Ta‘ala, meskipun tidak mengikatnya secara lahiriah selama status hajr (pembatasan hak) masih berlaku. Jika status hajr telah dicabut, maka ia wajib menanggungnya. Namun, jika berkaitan dengan transaksi dan kerelaan, maka ia tidak wajib menanggungnya antara dirinya dengan Allah Ta‘ala.

كَمَا يَلْزَمُهُ فِي ظَاهِرِ الْحُكْمِ وَلَا يَلْزَمُهُ غُرْمُهُ بَعْدَ فَكِّ حَجْرِهِ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَالْجِنَايَةُ خِلَافُ الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ

Sebagaimana ia wajib dalam hukum lahiriah, namun ia tidak wajib menanggung kerugiannya setelah status hajr (pembatasan hak) dicabut darinya. Inilah makna perkataan asy-Syafi‘i, dan perkara jinayah (kriminal) berbeda dengan jual beli.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ دُيُونَ الْمُرَاضَاةِ كَانَتْ بِاخْتِيَارِ صَاحِبِهَا فَصَارَ هُوَ الْمُسْتَهْلِكَ لَهَا بِإِعْطَائِهِ إِيَّاهَا وَدُيُونَ الْجِنَايَاتِ وَالِاسْتِهْلَاكِ عَنِ الْمُرَاضَاةِ فَلَمْ يَكُنْ مِنْ صَاحِبِهَا مَا يُوجِبُ سُقُوطَ غُرْمِهَا فَافْتَرَقَا مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى وَفِي الرُّجُوعِ بِهِ بَعْدَ فَكِّ الْحَجْرِ فَعَلَى هَذَا إِنِ اسْتَحَقَّ الْغُرْمَ فِي اسْتِهْلَاكِ مَالِ عَمَلٍ غَرِمَهُ عِنْدَ فَكِّ حَجْرِهِ لِأَنَّ غُرْمَ الْأَمْوَالِ الْمُسْتَهْلَكَةِ مُعَجَّلٌ وَإِنِ اسْتُحِقَّ فِي دِيَةِ خَطَأٍ يَلْزَمُ تَأْجِيلُهَا فَفِي ابْتِدَاءِ الْأَجَلِ وَجْهَانِ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa utang yang terjadi karena kerelaan (murāḍāh) terjadi atas pilihan pemiliknya, sehingga dialah yang menghabiskannya dengan memberikannya kepada orang lain. Adapun utang akibat jināyah (tindak pidana) dan istihlāk (penghilangan barang) bukan karena kerelaan, sehingga dari pihak pemiliknya tidak ada sesuatu yang menyebabkan gugurnya kewajiban membayar ganti rugi, maka keduanya berbeda dari dua sisi ini, baik dalam hubungannya dengan Allah Ta‘ala maupun dalam hal boleh tidaknya menuntut kembali setelah pencabutan status hajr (larangan bertindak). Berdasarkan hal ini, jika kewajiban membayar ganti rugi timbul karena menghabiskan harta melalui suatu pekerjaan, maka ia wajib membayarnya setelah hajr dicabut, karena ganti rugi atas harta yang dihabiskan harus segera dibayarkan. Namun jika kewajiban itu timbul karena diyat (denda) akibat kesalahan, maka harus ditangguhkan pembayarannya. Dalam penentuan awal masa penangguhan, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا مِنْ وَقْتِ الْإِقْرَارِ لِوُجُوبِهَا بِهِ

Salah satunya adalah sejak waktu pengakuan atas kewajibannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي مَنْ وَقْتِ فَكِّ حَجْرِهِ لِأَنَّهُ بِفَكِّ الْحَجْرِ صَارَ مِنْ أَهْلِ غُرْمِهَا وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ

Pendapat kedua adalah sejak waktu dicabutnya status hajr (pembatasan hak) darinya, karena dengan dicabutnya hajr, ia menjadi termasuk orang yang wajib menanggung utangnya. Dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

بَابُ مَا يَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَعْلَمَهُ مَنِ الذي له القسامة وكيف يقسم

Bab tentang hal-hal yang seharusnya diketahui oleh hakim: siapa yang berhak melakukan qasāmah dan bagaimana tata cara pelaksanaannya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وينبغي أَنْ يَقُولَ لَهُ مَنْ قَتَلَ صَاحِبَكَ فَإِنْ قَالَ فُلَانٌ قَالَ وَحْدَهُ فَإِنْ قَالَ نَعَمْ قَالَ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَإِنْ قَالَ عَمْدًا سَأَلَهُ وَمَا الْعَمْدُ فَإِنْ وَصَفَ مَا فِي مِثْلِهِ الْقِصَاصُ أُحْلِفَ عَلَى ذَلِكَ وَإِنْ وَصَفَ مِنَ الْعَمْدِ مَا لَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ لم يحلفه عليه والعمد في ماله والخطأ على عاقلته في ثلاث سنين فإن قال قتله فلان ونفر معه لم يحلفه حتى يسمي النفر أو عددهم إن لم يعرفهم

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Seyogianya ia ditanya: ‘Siapa yang membunuh temanmu?’ Jika ia menjawab, ‘Si Fulan,’ maka ia ditanya, ‘Apakah hanya dia sendiri?’ Jika ia menjawab, ‘Ya,’ maka ia ditanya lagi, ‘Apakah pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja (‘amdan) atau tidak sengaja (khaṭa’an)?’ Jika ia menjawab, ‘Dengan sengaja,’ maka ia ditanya, ‘Apa yang dimaksud dengan sengaja itu?’ Jika ia menjelaskan sesuatu yang dalam kasus serupa diwajibkan qishāṣ, maka ia diminta bersumpah atas hal itu. Namun jika ia menjelaskan bentuk kesengajaan yang tidak mewajibkan qishāṣ, maka ia tidak diminta bersumpah atasnya. Pembunuhan sengaja (‘amdan) menjadi tanggungan hartanya, sedangkan pembunuhan tidak sengaja (khaṭa’an) menjadi tanggungan ‘āqilah-nya selama tiga tahun. Jika ia berkata, ‘Si Fulan dan sekelompok orang bersamanya yang membunuhnya,’ maka ia tidak diminta bersumpah sampai ia menyebutkan nama-nama mereka atau jumlah mereka jika ia tidak mengenal nama-nama mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِنَّمَا يَسْمَعُ الْحَاكِمُ الدَّعْوَى لِلْحُكْمِ بِهَا وَلَيْسَ يَسْمَعُهَا لِيَعْلَمَ قَوْلَ الْمُدَّعِي فِيهَا وَالْحُكْمُ لَا يَجُوزُ إِلَّا بِمَعْلُومٍ مُقَدَّرٍ لِمُعَيَّنٍ عَلَى مُعَيَّنٍ فَكَذَلِكَ لَا تُسْمَعُ الدَّعْوَى إِلَّا هَكَذَا لِيَصِحَّ لَهُ الْحُكْمُ فِيهَا فَإِذَا ادَّعَى رَجُلٌ عِنْدَ الْحَاكِمِ قَتْلَ أَبٍ لَهُ أَوْ أَخٍ سَأَلَهُ الْحَاكِمُ عَنْ قَاتِلِهِ لِتَتَوَجَّهَ الدَّعْوَى عَلَى مُعَيَّنٍ يَصِحُّ سُؤَالُهُ عَنْهَا فَإِذَا قَالَ قَتَلَهُ فَلَانٌ سَأَلَهُ هَلْ قَتَلَهُ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ غَيْرِهِ لِأَنَّ حُكْمَ الِانْفِرَادِ فِي الْقَتْلِ مُخَالِفٌ لِحُكْمِ الِاشْتِرَاكِ فِيهِ وله حالتان

Al-Mawardi berkata, “Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa hakim hanya mendengarkan gugatan untuk memutuskan perkara tersebut, bukan untuk mengetahui ucapan penggugat di dalamnya. Putusan tidak boleh dijatuhkan kecuali atas sesuatu yang jelas, terukur, dan tertentu terhadap pihak yang tertentu pula. Demikian pula, gugatan tidak dapat didengar kecuali dengan cara seperti itu agar hakim dapat memutuskan perkara tersebut dengan sah. Maka, jika seseorang mengajukan gugatan kepada hakim bahwa ayah atau saudaranya telah dibunuh, hakim akan menanyakan kepadanya siapa pembunuhnya, agar gugatan dapat diarahkan kepada pihak tertentu yang sah untuk ditanyakan. Jika ia mengatakan, ‘Si Fulan yang membunuhnya,’ maka hakim akan menanyakan lagi, ‘Apakah ia membunuhnya sendiri atau bersama orang lain?’ Karena hukum atas pembunuhan yang dilakukan sendiri berbeda dengan hukum atas pembunuhan yang dilakukan bersama orang lain, dan dalam hal ini terdapat dua keadaan.”

أحدهما أَنْ يُفْرِدَهُ بِالْقَتْلِ

Pertama, yaitu dengan mengkhususkan dia untuk dibunuh.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَجْعَلَهُ فِيهِ شَرِيكًا لِغَيْرِهِ فَإِنْ أَفْرَدَهُ بِالْقَتْلِ فَقَالَ قَتَلَهُ وَحْدَهُ سَأَلَهُ عَنِ الْقَتْلِ هَلْ كَانَ عَمْدًا أَوْ خَطَأً لِأَنَّ حُكْمَ الْعَمْدِ مُخَالِفٌ لحكم الخطأ وله حالتان

Keadaan kedua adalah ketika ia menjadikannya sebagai sekutu bersama orang lain. Jika ia menyendirikan orang itu dalam pembunuhan, lalu berkata bahwa dialah satu-satunya yang membunuh, maka ditanyakan kepadanya tentang pembunuhan tersebut: apakah itu dilakukan dengan sengaja (‘amdan) atau tidak sengaja (khaṭa’an), karena hukum pembunuhan sengaja berbeda dengan hukum pembunuhan tidak sengaja, dan masing-masing memiliki dua keadaan.

أحدهما أَنْ يَدَّعِيَ الْعَمْدَ

Salah satunya adalah jika ia mengaku melakukan dengan sengaja.

وَالثَّانِيَةُ أَنْ يَدَّعِيَ الْخَطَأَ فَإِنْ قَالَ قَتَلَهُ عَمْدًا سَأَلَهُ عَنِ الْعَمْدِ لِأَنَّهُ قَدْ يَتَصَوَّرُ قَتْلَ الْعَمْدِ فِيمَا لَيْسَ بِعَمْدٍ لِاخْتِلَافِ الْفُقَهَاءِ فِيمَا يُوجِبُ الْقَوَدَ مِنَ الْعَمْدِ وَلَهُ حَالَتَانِ

Kedua, yaitu apabila ia mengaku telah melakukan kesalahan. Jika ia berkata, “Aku membunuhnya secara sengaja,” maka ditanyakan kepadanya tentang maksud dari “sengaja”, karena bisa saja seseorang membayangkan pembunuhan sengaja pada sesuatu yang sebenarnya bukan sengaja, disebabkan perbedaan para fuqahā’ mengenai apa saja yang mewajibkan qawad dari tindakan sengaja, dan dalam hal ini terdapat dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَصِفَهُ بِمَا يَكُونُ عَمْدًا

Salah satunya adalah dengan menyifatinya sebagai sesuatu yang disengaja.

وَالثَّانِيَةُ أَنْ يَصِفَهُ بِمَا لَا يَكُونُ عَمْدًا فَإِنْ وَصَفَهُ بِمَا يَكُونُ عَمْدًا فَقَدْ كَمَلَتْ حِينَئِذٍ الدَّعْوَى وَجَازَ لِلْحَاكِمِ سُؤَالُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ عَنْهَا وَكَمَالُهَا بِهَذِهِ الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ تُعِينُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ ثُمَّ ذَكَرَ الِانْفِرَادَ وَالِاشْتِرَاكَ ثُمَّ ذَكَرَ الْعَمْدَ أَوِ الْخَطَأَ ثُمَّ صِفَتَهُ بما يكون عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَإِذَا سَأَلَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَهُوَ مُنْفَرِدٌ فِي قَتْلِ عَمْدٍ فَلَهُ حَالَتَانِ

Kedua, yaitu mendeskripsikan perbuatan tersebut dengan sesuatu yang bukan merupakan kesengajaan. Jika ia mendeskripsikannya dengan sesuatu yang merupakan kesengajaan, maka pada saat itu gugatan telah sempurna dan hakim boleh menanyakan kepada tergugat tentang hal itu. Kesempurnaan gugatan dengan empat syarat ini memudahkan tergugat. Kemudian disebutkan tentang perbuatan sendiri dan bersama, lalu disebutkan tentang kesengajaan atau ketidaksengajaan, kemudian sifatnya apakah merupakan kesengajaan atau ketidaksengajaan. Maka apabila hakim menanyakan kepada tergugat, sedangkan ia sendirian dalam pembunuhan yang disengaja, maka ada dua keadaan baginya.

أحدهما أَنْ يُقِرَّ بِالْقَتْلِ

Salah satunya adalah mengakui perbuatan membunuh.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ أَنْ يُنْكِرَ فَإِنْ أَقَرَّ بِالْقَتْلِ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ سَوَاءٌ كَانَ مَعَ الدَّعْوَى لَوْثٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ فإن عفى الْوَلِيُّ عَنِ الْقَوَدِ وَجَبَتْ لَهُ الدِّيَةُ الْمُغَلَّظَةُ حالة في مال القائل

Keadaan kedua adalah jika ia mengingkari. Jika kemudian ia mengakui pembunuhan, maka wajib atasnya qawad, baik bersama dengan adanya dakwaan terdapat lawts atau tidak ada. Jika wali memaafkan dari qawad, maka wajib baginya menerima diyat yang diperberat, yang diambil dari harta pelaku.

وإن أنكر القتل فللدعوى حالتان

Jika ia mengingkari pembunuhan, maka dalam gugatan terdapat dua keadaan.

أحدهما أَنْ يَقْتَرِنَ بِهَا لَوْثٌ فَيُحْكَمُ لِلْمُدَّعِي فِيهَا بِالْقَسَامَةِ فِي التَّبْدِيَةِ بِالْمُدَّعِي وَإِحْلَافِهِ خَمْسِينَ يَمِينًا فإذا أقسم بها فهل يشاط بِهَا الدَّمُ وَيُقْتَصُّ بِهَا مِنَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا الْقَدِيمُ مِنْهُمَا يشاط بِهَا الدَّمُ فَوْرًا وَالْجَدِيدُ مِنْهُمَا أَنَّهُ لَا قَوَدَ وَتَجِبُ الدِّيَةُ الْمُغَلَّظَةُ حَالَّةً فِي مَالِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ

Pertama, jika terdapat indikasi kuat yang menyertainya, maka diputuskan untuk pihak penggugat dengan qasāmah, yaitu dengan mendahulukan pihak penggugat dan menyuruhnya bersumpah lima puluh kali. Jika ia telah bersumpah, apakah darah (qishāsh) dapat dijatuhkan atas dasar sumpah tersebut dan pelaku dapat dikenai qishāsh, atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang telah lalu: pendapat lama menyatakan bahwa darah (qishāsh) dijatuhkan segera, sedangkan pendapat baru menyatakan tidak ada qishāsh, tetapi diwajibkan diyat yang diperberat secara tunai dari harta pihak tergugat.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ أَنْ لَا يَكُونَ مَعَ الدَّعْوَى لَوْثٌ فَلَا قَسَامَةَ فِيهَا وَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ وَهَلْ تُغَلَّظُ بِالْعَدَدِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ حَلَفَ بَرِئَ مِنَ الْقَوَدِ وَالدِّيَةَ وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعِي وَهَلْ تُغَلَّظُ بِالْعَدَدِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِالْقَوَدِ إِنْ شَاءَ وَإِنْ عفى فَالدِّيَةُ وَإِنْ نَكَلَ فَلَا شَيْءَ لَهُ مِنْ قَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ وَبَرِئَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مِنَ الدعوى إلا أن تكون بينة

Keadaan kedua adalah ketika dalam gugatan tidak terdapat adanya indikasi kuat (lauwts), maka tidak ada qasāmah di dalamnya. Dalam hal ini, pernyataan diterima dari pihak tergugat dengan sumpahnya. Apakah sumpah itu diperberat dengan jumlah (sumpah berulang) sebagaimana dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya? Jika tergugat bersumpah, maka ia terbebas dari qishāsh dan diyat. Namun jika ia menolak bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada penggugat. Apakah sumpah itu juga diperberat dengan jumlah sebagaimana dua pendapat yang telah lalu? Jika penggugat bersumpah, maka diputuskan untuknya hak qishāsh jika ia menghendaki, dan jika ia memaafkan maka menjadi diyat. Namun jika ia menolak bersumpah, maka ia tidak berhak atas qishāsh maupun diyat, dan tergugat terbebas dari gugatan, kecuali jika ada bukti.

فصل

Bab

وإذا قَدْ مَضَتِ الدَّعْوَى عَلَى الْمُنْفَرِدِ فَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ أَنْ تَكُونَ الدَّعْوَى عَلَيْهِ مَعَ جَمَاعَةٍ شَارَكُوهُ فِيهِ فَيَقُولُ قَتَلَهُ هَذَا مَعَ جَمَاعَةٍ فَيُسْأَلُ عَنْ عَدَدِهِمْ لِاخْتِلَافِ الْحُكْمِ بِقِلَّةِ الشُّرَكَاءِ وَكَثْرَتِهِمْ وَلَا يَلْزَمُ التَّعَيُّنُ عَلَيْهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ وَإِنْ كَانَ تَعَيَّنُهُمْ مَعَ ذِكْرِ عَدَدِهِمْ أَوْكَدَ وَأَحْوَطَ وَلَهُ حَالَتَانِ

Jika sebelumnya gugatan ditujukan kepada satu orang, maka keadaan kedua adalah ketika gugatan ditujukan kepadanya bersama sekelompok orang yang turut serta dengannya dalam perkara tersebut. Misalnya, dikatakan: “Orang ini membunuh bersama sekelompok orang.” Maka penuntut akan ditanya tentang jumlah mereka, karena hukum berbeda tergantung sedikit atau banyaknya sekutu. Tidak disyaratkan untuk menyebutkan nama-nama mereka secara spesifik, meskipun penentuan mereka beserta penyebutan jumlahnya lebih kuat dan lebih hati-hati. Dalam hal ini terdapat dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَذْكُرَ عَدَدَهُمْ

Salah satunya adalah menyebutkan jumlah mereka.

وَالثَّانِيَةُ أَنْ لَا يَذْكُرَ الْعَدَدَ فَإِنْ ذَكَرَ عَدَدَهَمْ فَقَالَ هذا واثنان معه سأل هَلْ شَارَكَاهُ عَمْدًا أَوْ خَطَّأً لِأَنَّ شَرِكَةَ الْخَاطِئِ تُسْقِطُ الْقَوَدَ عَنِ الْعَامِدِ

Dan yang kedua adalah tidak menyebutkan jumlahnya. Jika ia menyebutkan jumlah mereka, lalu berkata, “Ini dan dua orang bersamanya,” maka ditanyakan apakah keduanya ikut serta secara sengaja atau karena keliru, karena keterlibatan orang yang keliru menggugurkan qishāsh dari pelaku yang sengaja.

وَلَهُ فِي الْجَوَابِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

Dan baginya dalam menjawab terdapat tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَقُولَ شَارَكَاهُ عَمْدًا

Salah satunya adalah dengan mengatakan bahwa keduanya telah bersekutu dengannya secara sengaja.

وَالثَّانِي أَنْ يَقُولَ شَارَكَاهُ خَطَأً

Dan yang kedua adalah bahwa keduanya telah berserikat dengannya dalam kesalahan.

وَالثَّالِثُ أَنْ لَا يَعْلَمَ صِفَةَ شَرِكَتِهِمَا لَهُ هَلْ كَانَتْ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَإِنْ وَصَفَ الشركة بالعمد سئل لحاضر الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَإِنْ أَقَرَّ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ

Ketiga, apabila ia tidak mengetahui sifat kemitraan mereka dengannya, apakah dilakukan dengan sengaja atau karena kesalahan. Jika ia menyebutkan bahwa kemitraan itu dilakukan dengan sengaja, maka orang yang hadir dari pihak tergugat ditanya. Jika ia mengakui, maka wajib atasnya qishāsh.

وَإِنْ أَنْكَرَ وَلَا لَوْثَ حَلَفَ وَبَرِئَ وَإِنْ كَانَ لَوْثٌ أُحْلِفَ الْمُدَّعِي خَمْسِينَ يَمِينًا وَإِنْ كَانَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْ ثَلَاثَةٍ لِأَنَّ الْحَقَّ فِي الْقَسَامَةِ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِهَا وَهَلْ يُحْكَمُ لَهُ بِالْقَوَدِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ وَإِنْ وَصَفَ الشَّرِكَةَ بِالْخَطَأِ لَمْ يُحْكَمْ لَهُ بِالْقَوَدِ إِذَا أَقْسَمَ قَوْلًا وَاحِدًا وَكَذَلِكَ إِذَا لَمْ يَعْلَمْ صِفَةَ الشَّرِكَةِ هَلْ كَانَتْ عَمْدًا أَوْ خَطَأً لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ خَطَأً فَلَا يُحْكَمُ بِالْقَوَدِ مَعَ الشَّكِّ وَحُكِمَ لَهُ بِثُلُثِ الدِّيَةِ الْمُغَلَّظَةِ حَالَّةً فِي مَالِ الْجَانِي لِأَنَّهَا مُسْتَحَقَّةٌ عَنْ عَمْدٍ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ثَلَاثَةٍ وَإِنْ حَضَرَ ثَانٍ بَعْدَ الْقَسَامَةِ عَلَى الْأَوَّلِ لَمْ يَكُنِ الْحُكْمُ بِهَا عَلَى الْأَوَّلِ حُكْمًا عَلَى الثَّانِي وَسَأَلَ الثَّانِيَ عَنْهَا فَإِنْ أَقَرَّ وَكَانَ عَامِدًا اقْتُصَّ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ خاطئ وَجَبَ ثُلُثُ الدِّيَةِ عَلَيْهِ دُونَ عَاقِلَتِهِ لِأَنَّ الْعَاقِلَةَ لَا تَتَحَمَّلُ اعْتِرَافَ الْجَانِي

Jika terdakwa mengingkari dan tidak ada adanya indikasi kuat (lawts), maka ia bersumpah dan bebas dari tuduhan. Namun jika terdapat indikasi kuat (lawts), maka penggugat disumpah lima puluh kali. Jika tuduhan diarahkan kepada salah satu dari tiga orang, karena hak dalam kasus qasāmah tidak dapat ditetapkan kecuali dengan sumpah tersebut. Apakah kemudian diputuskan qishāsh untuknya atau tidak, terdapat dua pendapat. Jika ia menyifati keterlibatan bersama itu sebagai kesalahan, maka tidak diputuskan qishāsh baginya jika ia telah bersumpah, menurut satu pendapat. Demikian pula jika tidak diketahui sifat keterlibatan bersama itu, apakah disengaja atau tidak, karena mungkin saja itu merupakan kesalahan, maka tidak diputuskan qishāsh dalam keadaan ragu. Namun, diputuskan baginya sepertiga diyat yang diperberat, yang harus segera dibayarkan dari harta pelaku, karena diyat tersebut wajib atas dasar kesengajaan kepada masing-masing dari tiga orang. Jika kemudian hadir orang kedua setelah qasāmah atas orang pertama, maka keputusan atas orang pertama tidak berlaku atas orang kedua. Jika orang kedua ditanya tentang hal itu, lalu ia mengaku dan perbuatannya disengaja, maka dilakukan qishāsh terhadapnya. Jika perbuatannya merupakan kesalahan, maka wajib atasnya sepertiga diyat tanpa melibatkan ‘āqilah-nya, karena ‘āqilah tidak menanggung diyat akibat pengakuan pelaku.

وَإِنْ أَنْكَرَ الثَّانِي نُظِرَ فِيهِ هَلْ كَانَ مُشَارِكًا فِي اللَّوْثِ أَوْ غَيْرَ مُشَارِكٍ فِيهِ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُشَارِكٍ فِي اللَّوْثِ لِأَنَّ الْأَوَّلَ كَانَ فِي دَارِ الْمَقْتُولِ وَالثَّانِيَ لَمْ يَكُنْ فِيهَا لَمْ يُحْكَمْ بِالْقَسَامَةِ فِي الثَّانِي وَإِنَّ حُكِمَ بِهَا فِي الْأَوَّلِ لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمَ نَفْسِهِ فَيُبْدَأُ بِيَمِينِ الْمُدَّعِي فِي الْأَوَّلِ وَيَمِينِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فِي الثَّانِي وَإِنْ كَانَ مُشَارِكًا فِي اللَّوْثِ لِوُجُودِهِ مَعَ الْأَوَّلِ فِي دَارِ الْمَقْتُولِ أَقْسَمَ الْمُدَّعِي عَلَى الثَّانِي وَفِي عَدَدِ مَا يُقْسِمُ بِهِ عَلَى الثَّانِي وَجْهَانِ

Jika yang kedua mengingkari, maka dilihat apakah ia turut serta dalam al-lauts atau tidak. Jika ia tidak turut serta dalam al-lauts karena yang pertama berada di rumah korban sedangkan yang kedua tidak berada di sana, maka qasāmah tidak diberlakukan pada yang kedua, meskipun qasāmah diberlakukan pada yang pertama. Sebab, masing-masing dari keduanya memiliki hukum tersendiri. Maka dimulai dengan sumpah penggugat pada yang pertama dan sumpah tergugat pada yang kedua. Jika yang kedua turut serta dalam al-lauts karena keberadaannya bersama yang pertama di rumah korban, maka penggugat bersumpah atas yang kedua. Dalam jumlah sumpah yang diucapkan atas yang kedua terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا خَمْسُونَ يَمِينًا كَالْأَوَّلِ

Salah satunya adalah lima puluh sumpah seperti yang pertama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ يَمِينًا وَاخْتَارَهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ لِأَنَّ حِصَّتَهُ مِنَ الْخَمْسِينَ لَوْ حَضَرَ مَعَ الْأَوَّلِ خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ يَمِينًا فَإِنْ وَصَفَ قَتْلَهُ بِالْعَمْدِ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ بَعْدَ الْقَسَامَةِ قَوْلَانِ وَإِنْ وَصَفَهُ بِالْخَطَأِ فَقِسْطُهُ مِنَ الدِّيَةِ عَلَى عَاقِلَتِهِ لِوُجُوبِهَا بِالْقَسَامَةِ

Pendapat kedua adalah dua puluh lima sumpah, dan ini dipilih oleh Abu Ishaq al-Marwazi, karena bagian dia dari lima puluh, jika dia hadir bersama yang pertama, adalah dua puluh lima sumpah. Jika ia menggambarkan pembunuhan itu sebagai sengaja (‘amd), maka dalam kewajiban qishāsh atasnya setelah qasāmah terdapat dua pendapat. Dan jika ia menggambarkannya sebagai tidak sengaja (khaṭā’), maka bagiannya dari diyat menjadi tanggungan ‘āqilah-nya, karena kewajibannya dengan qasāmah.

وَإِنْ جَهِلَ الْمُدَّعِي صِفَةَ قَتْلِهِ فَفِي جَوَازِ الْقَسَامَةِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ

Jika penggugat tidak mengetahui sifat pembunuhannya, maka dalam kebolehan melakukan qasāmah atasnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا تَجُوزُ الْقَسَامَةُ عَلَيْهِ لِلْجَهْلِ بِمُوجِبِهَا لِأَنَّ دِيَةَ الْعَمْدِ عَلَيْهِ وِدِيَةَ الْخَطَأِ عَلَى عَاقِلَتِهِ

Salah satunya adalah tidak boleh dilakukan qasāmah atasnya karena tidak diketahui sebab yang mewajibkannya, sebab diyat ‘amdan menjadi tanggungannya sendiri, sedangkan diyat khathā’ menjadi tanggungan ‘āqilah-nya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ تَجُوزُ الْقَسَامَةُ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْجَهْلَ بِصِفَةِ الْقَتْلِ لَا يَكُونُ جَهْلًا بِأَصْلِ الْقَتْلِ

Pendapat kedua, yang dinukil dari Abu Ishaq al-Marwazi, membolehkan pelaksanaan qasāmah atasnya, karena ketidaktahuan terhadap sifat pembunuhan tidak berarti ketidaktahuan terhadap pokok terjadinya pembunuhan.

فَإِذَا أَقْسَمَ الْوَلِيُّ الْمُدَّعِي حُبِسَ الثَّانِي حَتَّى يُبَيِّنَ صِفَةَ الْقَتْلِ هَلْ كَانَتْ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَإِنْ تَطَاوَلَ حَبْسُهُ وَلَمْ يُبَيِّنْ أُحْلِفَ مَا قَتَلَهُ عَمْدًا وَلَزِمَ دِيَةَ الْخَطَأِ فِي مَالِهِ مُؤَجَّلَةً وَفِي تَغْلِيظِ هَذِهِ الْيَمِينِ عَلَيْهِ بِالْعَدَدِ وَجْهَانِ فَإِنْ حَضَرَ الثَّالِثُ بَعْدَ الثَّانِي كَانَ كحضور الثَّانِي بَعْدَ الْأَوَّلِ فَيَكُونُ حُكْمُهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ فِي الثَّانِي إِلَّا فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ وَهُوَ أَنَّهُ إِذَا أَقْسَمَ الْوَلِيُّ الْمُدَّعِي وَقُلْنَا تُقَسَّمُ الْأَيْمَانُ بِالْحِصَّةِ حَلَفَ الثَّالِثُ سَبْعَةَ عَشَرَ يَمِينًا هِيَ ثُلُثُهَا بَعْدَ جَبْرِ كَسْرِهَا لِأَنَّهُ أَحَدُ ثَلَاثَةٍ لَوِ اجْتَمَعُوا لَكَانَتْ حِصَّتُهُ مِنَ الْخَمْسِينَ ثُلُثَهَا هَذَا حُكْمُهُ إِذَا ذَكَرَ الْمُدَّعِي عَدَدَ الشُّرَكَاءِ فِي الْقَتْلِ

Jika wali yang menuntut telah bersumpah, maka terdakwa kedua ditahan sampai ia menjelaskan sifat pembunuhan itu, apakah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja. Jika penahanannya berlangsung lama dan ia tidak juga memberikan penjelasan, maka ia diminta bersumpah bahwa ia tidak membunuhnya dengan sengaja, dan ia wajib membayar diyat karena pembunuhan tidak sengaja dari hartanya secara tangguh. Dalam hal penegasan sumpah ini dengan jumlah tertentu, terdapat dua pendapat. Jika terdakwa ketiga hadir setelah terdakwa kedua, maka kehadirannya seperti kehadiran terdakwa kedua setelah yang pertama, sehingga hukumnya seperti yang telah kami sebutkan pada terdakwa kedua, kecuali dalam satu hal, yaitu jika wali yang menuntut telah bersumpah dan kami katakan bahwa sumpah dibagi sesuai bagian, maka terdakwa ketiga bersumpah sebanyak tujuh belas kali, yaitu sepertiga dari lima puluh setelah dibulatkan, karena ia salah satu dari tiga orang; jika mereka berkumpul, maka bagiannya dari lima puluh adalah sepertiganya. Inilah hukumnya jika penuntut menyebutkan jumlah sekutu dalam pembunuhan.

فَأَمَّا إِذَا لَمْ يُذْكُرْ عَدَدَهُمْ لَمْ تَخْلُ دَعْوَاهُ مِنْ أَنْ تَكُونَ فِي قَتْلِ عَمْدٍ أَوْ خَطَأٍ فَإِنْ كَانَتْ فِي خَطَأٍ لَمْ تَكُنْ لَهُ الْقَسَامَةُ لِأَنَّهُ جَاهِلٌ بِقَدْرِ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنْهَا لِأَنَّهُ إِنْ شَارَكَ وَاحِدًا اسْتَحَقَّ عَلَيْهِ نِصْفَ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانُوا عَشَرَةً اسْتَحَقَّ عَلَيْهِ عُشْرَهَا وَإِنْ كَانَ عَمْدًا يُوجِبُ الْقَوَدَ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ لَا قَوَدَ فِي الْقَسَامَةِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ فَلَا قَسَامَةَ لِأَنَّ مُوجِبَهَا الدِّيَةُ وَقَدْرُ اسْتِحْقَاقِهِ مِنْهَا مَجْهُولٌ كَالْخَطَأِ

Adapun jika jumlah mereka tidak disebutkan, maka klaimnya tidak lepas dari dua kemungkinan: pembunuhan sengaja (‘amdan) atau tidak sengaja (khaṭa’). Jika itu dalam kasus tidak sengaja, maka tidak ada qasāmah baginya, karena ia tidak mengetahui kadar yang berhak ia dapatkan darinya. Sebab, jika ia bersama satu orang, ia berhak atas setengah diyat, dan jika mereka sepuluh orang, ia berhak atas sepersepuluhnya. Jika itu pembunuhan sengaja yang mewajibkan qawad, maka jika kita mengatakan bahwa tidak ada qawad dalam qasāmah menurut pendapat baru, maka tidak ada qasāmah, karena yang menjadi sebabnya adalah diyat, dan kadar haknya dari diyat itu tidak diketahui sebagaimana dalam kasus tidak sengaja.

وَإِنْ قُلْنَا بِوُجُوبِ الْقَوَدِ فِي الْقَسَامَةِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ فَفِي جَوَازِ الْقَسَامَةِ وَجْهَانِ

Dan jika kita berpendapat wajibnya qawad dalam kasus qasāmah menurut pendapatnya dalam kitab al-Qadīm, maka dalam kebolehan qasāmah terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تَجُوزُ وَيُقْسِمُ بِهَا الْمُدَّعِي لِأَنَّ الْقَوَدَ اسْتُحِقَّ عَلَى الْوَاحِدِ إِذَا انْفَرَدَ كَاسْتِحْقَاقِهِ عَلَيْهِ فِي مُشَارَكَةِ الْعَدَدِ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa sumpah itu boleh dan penggugat dapat bersumpah dengannya, karena qisas menjadi hak atas satu orang jika ia sendirian, sebagaimana qisas juga menjadi hak atasnya ketika ia bersama sejumlah orang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقْسِمَ لِأَنَّهُ قَدْ يَعْفُو عَنِ الْقَوَدِ إِلَى الدِّيَةِ فَلَا يَعْلَمُ قَدْرَ اسْتِحْقَاقِهِ مِنْهَا وَالْحُكْمُ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ قَاضِيًا بِمَا يَنْفَصِلُ بِهِ التَّنَازُعُ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan Abu Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa tidak boleh membagi (hak waris qishāṣ) karena bisa jadi seseorang memaafkan qishāṣ dengan menggantinya menjadi diyat, sehingga tidak diketahui kadar hak yang seharusnya ia terima dari diyat tersebut. Padahal, hukum itu harus diputuskan oleh hakim dengan sesuatu yang dapat menyelesaikan perselisihan.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذْ قَدْ مَضَتِ الدَّعْوَى فِي قَتْلِ الْعَمْدِ فَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ فِي الدَّعْوَى فِي قَتْلِ الْخَطَأِ فَيَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَسْأَلَ الْمُدَّعِيَ عَنِ الْخَطَأِ هَلْ كَانَ مَحْضًا أَوْ شِبْهَ الْعَمْدِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي التَّغْلِيظِ وَالتَّخْفِيفِ فَإِنْ قَالَ شِبْهُ الْعَمْدِ سَأَلَهُ عَنْ صِفَتِهِ كَمَا يَسْأَلُهُ عَنْ صِفَةِ الْعَمْدِ الْمَحْضِ لِأَنَّهُ قَدْ يُشْتَبَهُ عَلَيْهِ مَحْضُ الْخَطَأِ بِالْعَمْدِ وَشِبْهِ الْعَمْدِ ثُمَّ يَعْمَلُ عَلَى صِفَتِهِ دُونَ دَعْوَاهُ

Dan setelah pembahasan tentang gugatan dalam kasus pembunuhan sengaja, maka keadaan kedua adalah gugatan dalam kasus pembunuhan karena kesalahan. Maka sepatutnya bagi hakim untuk menanyakan kepada penggugat tentang kesalahan tersebut, apakah murni kesalahan atau mirip dengan sengaja, karena keduanya berbeda dalam hal pemberatan dan keringanan hukuman. Jika penggugat mengatakan mirip dengan sengaja, maka hakim menanyakan sifat kejadiannya sebagaimana ia menanyakan sifat pembunuhan sengaja yang murni, karena bisa saja terjadi kekeliruan antara murni kesalahan dengan sengaja atau mirip dengan sengaja. Kemudian hakim memutuskan berdasarkan sifat kejadian tersebut, bukan semata-mata berdasarkan gugatan penggugat.

فَإِنْ كَانَ مَا وَصَفَهُ شِبْهَ الْعَمْدِ غَلُظَتْ فِيهِ الدِّيَةُ بَعْدَ الْقَسَامَةِ وَإِنْ كَانَ مَا وَصَفَهُ خَطَأً مَحْضًا خُفِّفَتْ فِيهِ الدِّيَةُ بَعْدَ الْقَسَامَةِ فَلَمْ يَمْنَعْ مُخَالَفَةُ صِفَتِهِ لِدَعْوَاهُ مِنْ جَوَازِ الْقَسَامَةِ وَلَا يَخْتَلِفُ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَصْحَابِهِ فِيهِ لِأَنَّ الْوُجُوبَ فِي الدِّيَةِ فِي الْحَالَيْنِ عَلَى الْعَاقِلَةِ وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي زِيَادَتِهَا فِي دَعْوَاهُ بِالتَّغْلِيظِ وَنُقْصَانِهَا فِي صِفَتِهَا بِالتَّخْفِيفِ فَصَارَ فِي الصِّفَةِ كَالْمُبْدِئِ فِي بَعْضِ الدَّعْوَى

Jika apa yang ia gambarkan merupakan syibh al-‘amd, maka diyat diperberat setelah adanya qasāmah. Namun jika yang ia gambarkan adalah khata’ murni, maka diyat diringankan setelah adanya qasāmah. Maka, perbedaan sifat yang ia sebutkan dengan apa yang ia klaim tidak menghalangi bolehnya qasāmah. Pendapat Imam Syafi‘i dan para pengikutnya tidak berbeda dalam hal ini, karena kewajiban diyat dalam kedua keadaan tetap dibebankan kepada ‘āqilah. Perbedaan pendapat hanya terjadi pada penambahan diyat dalam klaimnya karena pemberatan, dan pengurangannya dalam sifat yang disebutkan karena keringanan. Maka, dalam hal sifat, ia seperti orang yang memulai sebagian gugatan.

وَلَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنْ جَوَازِ الْقَسَامَةِ وَإِنْ كَانَ قَدِ ادَّعَى قَتْلَ خَطَأٍ مَحْضِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَلْزَمُ الْحَاكِمَ أَنْ يَسْأَلَ عَنْ صِفَةِ الْخَطَأِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Hal itu tidak menghalangi bolehnya qasāmah, meskipun seseorang mengaku telah melakukan pembunuhan karena kesalahan murni. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah hakim wajib menanyakan tentang sifat kesalahan tersebut atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا لَا يَلْزَمُهُ السُّؤَالُ عَنْ صِفَةِ الْخَطَأِ لِأَنَّ الْخَطَأَ أقل أحوال القتل وإنما يلزم أن يسل عَنِ الْعَمْدِ وَعَنْ شِبَهِ الْعَمْدِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ خَطَأً مَحْضًا وَلَمْ يَلْزَمْ ذَلِكَ فِي الْخَطَأِ الْمَحْضِ

Salah satunya adalah tidak wajib menanyakan tentang sifat kesalahan, karena kesalahan adalah tingkatan terendah dalam pembunuhan. Yang wajib adalah menanyakan tentang pembunuhan sengaja (‘amd) dan pembunuhan yang menyerupai sengaja (syibh al-‘amd), karena mungkin saja itu merupakan kesalahan murni. Hal ini tidak diwajibkan dalam kasus kesalahan murni.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ يَلْزَمُ الْحَاكِمَ أَنْ يَسْأَلَهُ عَنْ صِفَةِ الْخَطَأِ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُشْتَبَهَ عَلَيْهِ الْقَتْلُ الْمَضْمُونُ بِمَا لَيْسَ بِمَضْمُونٍ

Pendapat kedua, yang lebih kuat, adalah bahwa hakim wajib menanyakan kepadanya tentang sifat kesalahan tersebut, karena mungkin saja ia keliru membedakan antara pembunuhan yang wajib diyat dengan yang tidak wajib diyat.

وَلِأَنَّهُ قَدْ يَسْقُطُ فِي بِئْرٍ حَفَرَهَا الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فِي مِلْكِهِ فَلَا يَكُونُ ضَامِنًا لِقَتْلِهِ فَإِذَا سَأَلَهُ عَنْ صِفَتِهِ لَمْ يَخْلُ مَا وَصَفَهُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ

Karena bisa saja seseorang terjatuh ke dalam sumur yang digali oleh tergugat di tanah miliknya, maka ia tidak menjadi penanggung jawab atas kematiannya. Maka, apabila ia ditanya tentang ciri-cirinya, tidak lepas dari empat keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ خَطَأً مَضْمُونًا فَتُوَافِقُ صِفَتُهُ دَعْوَاهُ فَيُحْكَمُ لَهُ بِالْقَسَامَةِ

Salah satunya adalah jika terjadi kesalahan yang dijamin, lalu sifatnya sesuai dengan pengakuannya, maka diputuskan baginya dengan qasāmah.

وَالثَّانِي أَنْ يَصِفَهُ بِمَا لَا يَكُونُ قَتْلًا مَضْمُونًا فَلَا قَسَامَةَ له والمدعى عليه برئ مِنَ الدَّعْوَى

Yang kedua adalah jika ia menyifatinya dengan sesuatu yang bukan merupakan pembunuhan yang dijamin, maka tidak ada qasāmah baginya dan pihak yang didakwa bebas dari tuntutan.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَصِفَهُ بِمَا يَكُونُ عَمْدَ الْخَطَأِ فَيُقْسِمُ عَلَى دَعْوَاهُ فِي الْخَطَأِ الْمَحْضِ دُونَ عَمْدِ الْخَطَأِ لِأَنَّ الدَّعْوَى أَقَلُّ مِنَ الصِّفَةِ فَصَارَ كَالْمُبْتَدِئِ بِهَا مِنْ زِيَادَةِ الصِّفَةِ

Ketiga, yaitu apabila ia menyifatinya dengan sesuatu yang merupakan unsur sengaja dalam kesalahan, maka ia bersumpah atas klaimnya dalam kesalahan murni, bukan pada unsur sengaja dalam kesalahan, karena klaim itu lebih sedikit daripada sifat yang disebutkan. Maka hal itu menjadi seperti orang yang memulai dengan sifat tambahan tersebut.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَصِفَهُ بِمَا يَكُونُ عَمْدًا مَحْضًا

Keempat, yaitu menyifatinya dengan sesuatu yang merupakan kesengajaan murni.

فَالصِّفَةُ أَغْلَظُ مِنَ الدَّعْوَى فِي أَرْبَعَةِ أَحْكَامٍ

Maka sifat (karakteristik) lebih kuat daripada klaim dalam empat hukum.

أَحَدُهَا اسْتِحْقَاقُ الْقَوَدِ فِي الْعَمْدِ وَسُقُوطُهُ فِي الْخَطَأِ

Salah satunya adalah berhaknya pelaku untuk dikenai qishāsh dalam kasus pembunuhan sengaja, dan gugurnya hak tersebut dalam kasus pembunuhan karena kesalahan.

وَالثَّانِي تَغْلِيظُ الدِّيَةِ فِي الْعَمْدِ وَتَخْفِيفُهَا فِي الْخَطَأِ

Yang kedua adalah pemberatan diyat dalam kasus pembunuhan sengaja dan keringanan diyat dalam kasus pembunuhan tidak sengaja.

وَالثَّالِثُ تَعْجِيلُهَا فِي الْعَمْدِ وَتَأْجِيلُهَا فِي الْخَطَأِ

Ketiga, mempercepat pelaksanaannya dalam kasus sengaja dan menundanya dalam kasus tidak sengaja.

وَالرَّابِعُ اسْتِحْقَاقُهَا عَلَى الْجَانِي فِي الْعَمْدِ وَعَلَى الْعَاقِلَةِ فِي الْخَطَأِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ عَاقِلَةٌ تَتَحَمَّلُ عَنْهُ دِيَةَ الْخَطَأِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْجَانِي هُوَ الْمُحْتَمِلَ لِدِيَةِ الْخَطَأِ أَقْسَمَ عَلَى الدَّعْوَى دُونَ الصِّفَةِ وَيُحْكَمُ لَهُ بِدِيَةِ الْخَطَأِ دُونَ الْعَمْدِ

Keempat, hak mendapatkan diyat itu dibebankan kepada pelaku dalam kasus pembunuhan sengaja, dan kepada ‘āqilah dalam kasus pembunuhan tidak sengaja. Jika pelaku tidak memiliki ‘āqilah yang menanggung diyat kesalahan baginya, maka dilihat lagi: jika pelaku sendiri yang menanggung diyat kesalahan, ia bersumpah atas gugatan tanpa menyebutkan sifatnya, dan diputuskan baginya diyat kesalahan, bukan diyat pembunuhan sengaja.

فَإِنْ كَانَتْ لَهُ عَاقِلَةٌ تَتَحَمَّلُ عَنْهُ دِيَةَ الْخَطَأِ نُظِرَ فَإِنْ رَجَعَ عَنِ الدَّعْوَى إِلَى الصِّفَةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى الدَّعْوَى وَلَا عَلَى الصِّفَةِ لِأَنَّ الْمُطَالَبَةَ فِي الدَّعْوَى مُتَوَجِّهَةٌ إِلَى الْعَاقِلَةِ وَفِي الصِّفَةِ مُتَوَجِّهَةٌ إِلَى الْجَانِي فَصَارَ فِي الدَّعْوَى أَبْرَأَ لِلْجَانِي وَفِي الصِّفَةِ أَبْرَأَ لِلْعَاقِلَةِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنِ الدَّعْوَى إِلَى الصِّفَةِ أَقْسَمَ عَلَى الدَّعْوَى دُونَ الصِّفَةِ وَحُكِمَ لَهُ بِدِيَةِ الْخَطَأِ دُونَ الْعَمْدِ

Jika pelaku memiliki ‘āqilah yang menanggung diyat kesalahan baginya, maka dilihat: jika ia beralih dari gugatan kepada sifat (perbuatan), maka ia tidak berhak bersumpah atas gugatan maupun atas sifat, karena tuntutan dalam gugatan ditujukan kepada ‘āqilah, sedangkan dalam sifat ditujukan kepada pelaku. Maka dalam gugatan, pelaku menjadi bebas, dan dalam sifat, ‘āqilah menjadi bebas, sehingga ia tidak berhak bersumpah atas salah satu dari keduanya. Namun, jika ia tidak beralih dari gugatan kepada sifat, maka ia bersumpah atas gugatan saja, bukan atas sifat, dan diputuskan baginya diyat kesalahan, bukan diyat pembunuhan sengaja.

فَصْلٌ

Bab

وَإِذْ قَدْ مَضَى صِفَةُ الْعَمْدِ بما يكون عمداً فالحالة الثَّانِيَةُ أَنْ يَصِفَهُ بِمَا لَا يَكُونُ عَمْدًا وَلَهُ فِي صِفَةِ الْعَمْدِ بِمَا لَيْسَ بِعَمْدٍ ثلاثة أَحْوَالٍ

Dan setelah selesai membahas sifat sengaja dengan apa yang dianggap sebagai perbuatan sengaja, maka keadaan kedua adalah ketika seseorang menyifatinya dengan sesuatu yang bukan perbuatan sengaja. Dalam hal menyifati perbuatan sengaja dengan sesuatu yang bukan sengaja, terdapat tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَصِفَهُ بِمَا لَا يَكُونُ عَمْدًا وَلَا خَطَأً مِنَ الْقَتْلِ الَّذِي لَا يُضَمَّنُ بِقَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ كَمَنْ دَخَلَ دَارَ رَجُلٍ فَتَعَثَّرَ بِحَجَرٍ أَوْ سَقَطَ فِي بِئْرٍ أَوْ سَقَطَ عَلَيْهِ جِدَارٌ فَالصِّفَةُ قَدْ بَرَأَتْ مِنَ الدَّعْوَى وَسَقَطَتِ الْقَسَامَةُ فِيهَا وَبَرَأَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مِنْهَا

Salah satunya adalah jika ia menggambarkan peristiwa yang bukan termasuk pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja, yaitu pembunuhan yang tidak menimbulkan kewajiban qishāsh maupun diyat, seperti seseorang yang masuk ke rumah orang lain lalu tersandung batu, atau jatuh ke dalam sumur, atau tertimpa tembok. Maka dalam kasus seperti ini, sifat kejadian tersebut telah terbebas dari tuntutan, sumpah (qasāmah) tidak berlaku padanya, dan orang yang dituduh pun terbebas dari tanggung jawab.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَصِفَهُ بِعَمْدِ الْخَطَأِ كَرَجُلٍ ضَرَبَ رَجُلًا بِعَصًا يَجُوزُ أَنْ تَقْتُلَ وَيَجُوزَ أَنْ لَا تَقْتُلَ فَهُوَ عَمْدُ الْخَطَأِ لِأَنَّهُ عَامِدٌ فِي الْفِعْلِ خَاطِئٌ فِي النَّفْسِ

Keadaan kedua adalah ketika seseorang digambarkan melakukan ‘amdu al-khathā’, seperti seorang laki-laki yang memukul orang lain dengan tongkat yang mungkin dapat membunuh dan mungkin juga tidak membunuh. Ini disebut ‘amdu al-khathā’ karena ia sengaja dalam perbuatannya, tetapi keliru terhadap jiwa (korban).

فَلَهُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى الصِّفَةِ دُونَ الدَّعْوَى وَيُحْكَمُ لَهُ بِعَمْدِ الْخَطَأِ دُونَ الْعَمْدِ الْمَحْضِ وَلَا يَكُونُ مَا فِي الصِّفَةِ مِنْ مُخَالَفَةِ الدَّعْوَى مَانِعًا مِنَ الْقَسَامَةِ لِأَنَّ الِاخْتِلَافَ بَيْنَ الدَّعْوَى وَالصِّفَةِ لِاشْتِبَاهِ الْحُكْمِ دُونَ الْفِعْلِ

Maka ia berhak bersumpah atas sifat (kejadian) tanpa atas pokok gugatan, dan diputuskan baginya atas dasar kesengajaan yang keliru, bukan atas kesengajaan murni. Perbedaan antara sifat (kejadian) dan gugatan tidak menjadi penghalang untuk melakukan qasāmah, karena perbedaan antara gugatan dan sifat itu disebabkan kerancuan pada hukum, bukan pada perbuatannya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَصِفَهُ بِالْخَطَأِ الْمَحْضِ فَقَدْ بَطَلَ حُكْمُ الدَّعْوَى بِالصِّفَةِ وَسَقَطَتِ الْقَسَامَةُ فِي الْعَمْدِ وَاخْتُلِفَ فِي سُقُوطِهَا فِي الْخَطَأِ فَنَقَلَ الْمُزَنِيُّ أَنَّهُ لَا يُقْسِمُ وَنَقَلَ الرَّبِيعُ أَنَّهُ يُقْسِمُ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ هَذَيْنِ النَّقْلَيْنِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Keadaan ketiga adalah apabila ia menyifatinya dengan kesalahan murni, maka gugurlah hukum gugatan berdasarkan sifat tersebut dan gugurlah qasāmah dalam kasus pembunuhan sengaja. Adapun dalam kasus pembunuhan karena kesalahan, para ulama berbeda pendapat tentang gugurnya qasāmah. Al-Muzani meriwayatkan bahwa tidak dilakukan sumpah, sedangkan Ar-Rabi‘ meriwayatkan bahwa dilakukan sumpah. Maka para ulama kami berbeda pendapat dalam menyikapi perbedaan dua riwayat ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ طَرِيقَةُ الْبَغْدَادِيِّينَ إِنَّ اخْتِلَافَهُمَا مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ

Salah satunya, yaitu metode para ulama Baghdad, adalah bahwa perbedaan mereka itu didasarkan pada perbedaan dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ مَا نَقَلَهُ الرَّبِيعُ إِنَّهُ يُقْسِمُ وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لِأَنَّ صِفَتَهُ أَقَلُّ مِنْ دَعْوَاهُ فَجَازَ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى الْأَخَفِّ بِضِدِّ دَعْوَى الْأَغْلَظِ

Salah satunya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ar-Rabi‘, bahwa ia boleh bersumpah, dan ini adalah pilihan Abu Ishaq al-Marwazi, karena sifatnya lebih ringan daripada klaimnya, maka diperbolehkan baginya untuk bersumpah atas perkara yang lebih ringan sebagai lawan dari klaim yang lebih berat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ إِنَّهُ لَا يُقْسِمُ وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لِأَنَّ دِيَةَ الْعَمْدِ فِي مَالِهِ وَدِيَةَ الْخَطَأِ عَلَى عَاقِلَتِهِ فَكَانَ فِي الدَّعْوَى أَبْرَأَ لِلْعَاقِلَةِ وَفِي الصِّفَةِ أَبْرَأَ لِلْجَانِي فَسَقَطَتِ الْقَسَامَةُ عَلَيْهِمَا

Pendapat kedua, yaitu sebagaimana yang dinukil oleh al-Muzani, bahwa tidak dilakukan qasam (sumpah), dan ini adalah pilihan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, karena diyat pembunuhan sengaja (diyat al-‘amdi) dibebankan pada harta pelaku, sedangkan diyat pembunuhan tidak sengaja (diyat al-khata’) dibebankan kepada ‘aqilah-nya. Maka dalam gugatan, hal itu lebih membebaskan ‘aqilah, dan dalam sifatnya lebih membebaskan pelaku, sehingga qasam (sumpah) tidak berlaku atas keduanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ طَرِيقَةُ الْبَصْرِيِّينَ إِنَّهُ لَيْسَ اخْتِلَافُ النَّقْلِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَنَقْلُ الْمُزَنِيُّ إِنَّهُ لَا يُقْسِمُ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ إِقْسَامٌ عَلَى الدَّعْوَى وَلَمْ يَرْجِعْ عَنْهَا إِلَى الصِّفَةِ فَلَا يُقْسِمُ عَلَى الدَّعْوَى لِإِبْطَالِهَا بِالصِّفَةِ وَنَقْلُ الرَّبِيعُ إِنَّهُ يُقْسِمُ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ رَجَعَ عَنِ الدَّعْوَى إِلَى الصِّفَةِ فَيُقْسِمُ عَلَى الصِّفَةِ لِرُجُوعِهِ بِهَا عَنِ الدَّعْوَى الَّتِي هِيَ أَغْلَظُ مِنَ الصفة والله أعلم

Pendapat kedua, yaitu metode para ulama Bashrah, menyatakan bahwa perbedaan riwayat bukanlah karena adanya dua pendapat yang berbeda, melainkan karena adanya dua keadaan yang berbeda. Riwayat dari al-Muzani bahwa ia tidak bersumpah, dimaknai bahwa sumpah tersebut adalah atas gugatan dan ia tidak kembali dari gugatan itu kepada sifat, sehingga ia tidak bersumpah atas gugatan karena gugatan itu telah dibatalkan dengan sifat. Sedangkan riwayat dari ar-Rabi‘ bahwa ia bersumpah, dimaknai bahwa ia telah kembali dari gugatan kepada sifat, sehingga ia bersumpah atas sifat karena ia telah kembali dengannya dari gugatan, yang mana gugatan itu lebih berat daripada sifat. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ أَحْلَفَهُ قَبْلَ أَنْ يَسْأَلَهُ عَنْ هَذَا وَلَمْ يَقُلْ لَهُ عَمْدًا وَلَا خَطَأً أَعَادَ عليه عدد الْأَيْمَانِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika ia menyuruhnya bersumpah sebelum menanyakan hal ini kepadanya, dan tidak mengucapkan kepadanya (kata-kata) ‘dengan sengaja maupun tidak sengaja’, maka ia harus mengulangi jumlah sumpahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا عَجَّلَ الْحَاكِمُ فَأَحْلَفَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ قَبْلَ سُؤَالِ الْمُدَّعِي عَنْ شَرْطِ الدَّعْوَى فِي قَتْلِ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ فِي الْجَمَاعَةِ وَالِانْفِرَادِ فَقَدْ أَخْطَأَ فِي اسْتِحْلَافِهِ لِأَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Ini seperti yang dikatakan, apabila hakim tergesa-gesa lalu menyuruh terdakwa bersumpah sebelum penuntut ditanya tentang syarat gugatan dalam kasus pembunuhan sengaja dan tidak sengaja, baik dalam perkara yang melibatkan banyak orang maupun individu, maka hakim telah keliru dalam meminta sumpahnya karena dua hal.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الدَّعْوَى لَمْ تَكْمُلْ

Salah satunya adalah bahwa gugatan tersebut belum sempurna.

وَالثَّانِي إِنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْحُكْمِ بِمَا أَحْلَفَ عَلَيْهِ لِلْجَهَالَةِ بِهِ فَتَكُونُ الْيَمِينُ فِيهَا مُلْغَاةً لَا يُحْكَمُ بِهَا سَوَاءٌ كَانَتِ الْيَمِينُ مِنْ جِهَةِ الْمُدَّعِي فِي الْقَسَامَةِ أَوْ مِنْ جِهَةِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فِي غَيْرِ الْقَسَامَةِ لِأَنَّ الْيَمِينَ قَبْلَ اسْتِقْرَارِ الدَّعْوَى جَارِيَةٌ مَجْرَى الْيَمِينِ قَبْلَ الدَّعْوَى وَهِيَ قَبْلَ الدَّعْوَى غَيْرُ مُعْتَدٍّ بِهَا لِأَنَّ رُكَانَةَ بْنَ عَبْدِ يَزِيدَ قَالَ لرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ طَلَّقْتُ امْرَأَتِي الْبَتَّةَ وَوَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِهَا إِلَّا وَاحِدَةً فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَاللَّهِ مَا أَرَدْتَ بِهَا إِلَّا وَاحِدَةً فَقَالَ رُكَانَةُ وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِهَا إِلَّا وَاحِدَةً فَأَعَادَ عَلَيْهِ الْيَمِينَ وَلَمْ يَعْتَدَّ بِيَمِينِهِ قَبْلَ الِاسْتِحْلَافِ فَكَذَلِكَ فِي جَمِيعِ الدَّعَاوَى وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَعَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يَعُودَ إِلَى سُؤَالِ الْمُدَّعِي عَنْ صِفَةِ الْقَتْلِ وَمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ شُرُوطِ الدَّعْوَى فَإِذَا اسْتَكْمَلَ شُرُوطَهَا أَعَادَ الِاسْتِحْلَافَ عَلَيْهَا وَعَلَّقَ مَا يُحْكَمُ بِالْيَمِينِ الثَّانِيَةِ دُونَ الْأُولَى وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ

Kedua, sesungguhnya tidak mungkin menetapkan hukum berdasarkan apa yang telah diucapkan sumpah atasnya karena ketidaktahuan terhadap hal tersebut, sehingga sumpah dalam hal ini menjadi tidak berlaku dan tidak dapat dijadikan dasar hukum, baik sumpah itu berasal dari pihak penggugat dalam kasus qasāmah maupun dari pihak tergugat dalam selain qasāmah. Sebab, sumpah sebelum gugatan ditetapkan hukumnya sama dengan sumpah sebelum adanya gugatan, dan sumpah sebelum adanya gugatan tidak dianggap. Hal ini karena Rukānah bin ‘Abd Yazīd berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Aku telah menceraikan istriku dengan talak bā’in, demi Allah aku tidak bermaksud kecuali satu kali talak.” Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Demi Allah, engkau tidak bermaksud kecuali satu kali talak?” Rukānah menjawab, “Demi Allah, aku tidak bermaksud kecuali satu kali talak.” Maka Nabi mengulangi sumpah kepadanya dan tidak menganggap sumpahnya sebelum diminta bersumpah. Demikian pula dalam seluruh gugatan. Jika demikian, maka hakim harus kembali menanyakan kepada penggugat tentang sifat pembunuhan dan syarat-syarat gugatan yang telah kami sebutkan sebelumnya. Jika syarat-syaratnya telah lengkap, hakim mengulangi permintaan sumpah atasnya dan menetapkan hukum berdasarkan sumpah yang kedua, bukan sumpah yang pertama. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

Bab Jumlah Sumpah

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” يَحْلِفُ وَارِثُ الْقَتِيلِ عَلَى قَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى زَوْجًا أَوْ زَوْجَةً

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Ahli waris dari orang yang terbunuh bersumpah sesuai dengan bagian warisan mereka, baik laki-laki maupun perempuan, suami ataupun istri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا تَغْلِيظُ الْأَيْمَانِ فِي الْقَسَامَةِ بِالْعَدَدِ لِضَعْفِ السَّبَبِ الْمُوجِبِ لَهَا وَهُوَ اللَّوْثُ فَقَوِيَتِ الدَّعْوَى لِضَعْفِ سَبَبِهَا بِتَغْلِيظِ الْأَيْمَانِ فِيهَا

Al-Mawardi berkata: Adapun penegasan sumpah dalam kasus qasāmah dengan memperbanyak jumlahnya adalah karena lemahnya sebab yang mewajibkannya, yaitu adanya dugaan (al-lawts). Maka, tuntutan menjadi kuat karena lemahnya sebab tersebut dengan penegasan sumpah di dalamnya.

وَأَمَّا تَقْدِيرُ الْأَيْمَانِ فِيهَا بِخَمْسِينَ يَمِينًا فَلِسُنَّةِ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْوَارِدَةِ بِهَا وَقَوْلِهِ لِلْأَنْصَارِ ” تَحْلِفُونَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَتَسْتَحِقُّونَ دَمَ صَاحِبِكُمْ! قَالُوا لَا قَالَ فَيُبْرِئُكُمْ يَهُودُ بِخَمْسِينَ يَمِينًا وَإِذَا تَغَلَّظَتْ بِهَذَا الْعَدَدِ لَمْ يُقْسِمْ بِهَا مِنْ أَهْلِ الْمَقْتُولِ إِلَّا الْوَرَثَةُ مِنْهُمْ لِأَنَّ الْيَمِينَ مَوْضُوعَةٌ لِاسْتِحْقَاقِ الدِّيَةِ فَلَمْ يَحْلِفْ بِهَا إِلَّا مُسْتَحِقِّهُا وَهُمُ الْوَرَثَةُ وَوَرَثَةُ الدِّيَةِ هُمْ وَرَثَةُ الْأَمْوَالِ مِنَ الْعَصَبَاتِ وَذَوِي الْفُرُوضِ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْأَزْوَاجِ وَالزَّوْجَاتِ وَقَدْ خَالَفَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ فِي وَرَثَةِ الدِّيَةِ خِلَافًا ذَكَرْنَاهُ فِي كِتَابِ الْفَرَائِضِ

Adapun penetapan sumpah dalam kasus ini sebanyak lima puluh sumpah adalah berdasarkan sunnah Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan tentang hal itu, dan sabdanya kepada kaum Anshar: “Kalian bersumpah lima puluh kali dan kalian berhak atas darah saudara kalian!” Mereka berkata, “Tidak.” Beliau bersabda, “Maka orang-orang Yahudi membebaskan kalian dengan lima puluh sumpah.” Dan ketika sumpah ini diperberat dengan jumlah tersebut, maka tidak ada yang bersumpah dari pihak keluarga korban kecuali para ahli warisnya, karena sumpah itu ditetapkan untuk memperoleh hak diyat, sehingga tidak bersumpah kecuali orang yang berhak atasnya, yaitu para ahli waris. Dan ahli waris diyat adalah para ahli waris harta, baik dari kalangan ‘ashabah, maupun para pemilik bagian warisan dari laki-laki, perempuan, suami, dan istri. Sebagian fuqaha berbeda pendapat mengenai ahli waris diyat, perbedaan yang telah kami sebutkan dalam Kitab Faraidh.

وَلَا فَرْقَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ بَيْنَ مِيرَاثِ الدِّيَةِ وَمِيرَاثِ الْمَالِ وَأَنَّ كُلَّ مَنْ وَرِثَ الْمَالَ وَرِثَ الدِّيَةَ وَالْقَوَدَ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْوَارِثِ مِنْ أَنْ يَكُونَ وَاحِدًا أَوْ عَدَدًا فَإِنْ كَانَ وَاحِدًا حَلَفَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَإِنْ كَانُوا عَدَدًا فَفِيمَا يُقْسِمُ بِهِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ قَوْلَانِ ذَكَرْنَاهُمَا مِنْ قَبْلُ

Tidak ada perbedaan menurut Imam Syafi‘i dan mayoritas fuqaha antara warisan diyat dan warisan harta, dan bahwa setiap orang yang mewarisi harta juga mewarisi diyat dan qisas. Jika demikian, maka keadaan ahli waris tidak lepas dari dua kemungkinan: satu orang atau lebih dari satu. Jika hanya satu orang, maka ia bersumpah lima puluh kali sumpah. Jika mereka lebih dari satu, maka dalam hal pembagian sumpah di antara mereka terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya.

أَحَدُهُمَا يُقْسِمُ كُلُّ وَاحِدٍ خَمْسِينَ يَمِينًا لِأَنَّ الْعَدَدَ فِي الْقَسَامَةِ كَالْيَمِينِ الْوَاحِدَةِ فِي غَيْرِ الْقَسَامَةِ فَلَمَّا تَسَاوَوْا فِي غَيْرِ الْقَسَامَةِ وَجَبَ أَنْ يَتَسَاوَوْا فِي الْقَسَامَةِ فَعَلَى هَذَا يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ ذُكُورِهِمْ وَإِنَاثِهِمْ وَمَنْ قَلَّ سَهْمُهُ وَكَثُرَ خَمْسِينَ يَمِينًا

Salah satunya adalah setiap orang bersumpah lima puluh kali, karena jumlah sumpah dalam kasus qasāmah itu seperti satu sumpah dalam selain qasāmah. Maka ketika mereka disamakan dalam selain qasāmah, wajib pula mereka disamakan dalam qasāmah. Berdasarkan hal ini, setiap laki-laki dan perempuan dari mereka, baik yang bagiannya sedikit maupun banyak, masing-masing bersumpah lima puluh kali.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ الْأَصَحُّ إِنَّ الْأَيْمَانَ تُقَسَّطُ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ بِجَبْرِ كَسْرِهَا لِيَحْلِفَ جَمِيعُهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا لِأَنَّ أَيْمَانَهُمْ فِي الْقَسَامَةِ حُجَّةٌ لَهُمْ كَالْبَيِّنَةِ فَجَازَ أَنْ يَشْتَرِكُوا فِيهَا كَاشْتِرَاكِهِمْ فِي الْبَيِّنَةِ فَعَلَى هَذَا إِنْ لَمْ تَكُنْ فَرَائِضُ الْوَرَثَةِ عَائِلَةً قُسِّمَتْ عَلَى فَرَائِضِهِمْ فَإِنْ كَانُوا ابْنَيْنِ وَبِنْتًا حَلَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الِابْنَيْنِ عِشْرِينَ يَمِينًا وَحَلَفَتِ الْبِنْتُ عَشَرَةَ أَيْمَانٍ وَعَلَى قِيَاسِ هَذَا فِيمَا اخْتَلَفَتْ فَرَائِضُهُمْ فِيهِ فَإِنْ كَانَتْ فَرِيضَةُ مَوَارِيثِهِمْ عَائِلَةً كَزَوْجٍ وَأُمٍّ وَأُخْتَيْنِ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَأُخْتَيْنِ لِأُمٍّ فَلِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْأُخْتَيْنِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ الثُّلُثَانِ وَلِلْأُخْتَيْنِ مِنَ الْأُمِّ الثُّلُثُ أَصْلُهَا مِنْ سِتَّةٍ وَتَعُولُ بِثُلُثَيْهَا إِلَى عَشَرَةٍ

Pendapat kedua, dan inilah yang paling sahih, adalah bahwa sumpah-sumpah itu dibagi di antara mereka sesuai dengan bagian warisan mereka, dengan membulatkan pecahan agar seluruhnya berjumlah lima puluh sumpah, karena sumpah mereka dalam kasus qasāmah merupakan hujjah bagi mereka seperti halnya bayyinah, sehingga diperbolehkan mereka berbagi di dalamnya sebagaimana mereka berbagi dalam bayyinah. Berdasarkan hal ini, jika bagian warisan para ahli waris tidak saling bertumpuk, maka dibagi sesuai bagian mereka. Jika ahli warisnya adalah dua anak laki-laki dan satu anak perempuan, maka masing-masing anak laki-laki bersumpah dua puluh kali dan anak perempuan bersumpah sepuluh kali. Demikian pula pada kasus lain yang bagian warisannya berbeda-beda. Jika bagian warisan mereka bertumpuk, seperti suami, ibu, dua saudari seayah dan seibu, dan dua saudari seibu, maka suami mendapat setengah, ibu mendapat seperenam, dua saudari seayah dan seibu mendapat dua pertiga, dan dua saudari seibu mendapat sepertiga. Asal pembagiannya dari enam dan naik dengan dua pertiganya menjadi sepuluh.

فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي قِسْمَةِ أَيْمَانِ الْقَسَامَةِ بَيْنَهُمْ عَلَى أَصْلِ الْفَرِيضَةِ أَوْ عَلَى عَوْلِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Para ulama kami berbeda pendapat mengenai pembagian sumpah-sumpah qasāmah di antara mereka, apakah didasarkan pada pokok bagian warisan atau pada bagian warisan setelah mengalami ‘aul, dengan dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنْ تُقَسَّمَ بَيْنَهُمْ عَلَى أَصْلِ الْفَرِيضَةِ مِنْ سِتَّةِ أَسْهُمٍ فَيَحْلِفُ الزَّوْجُ نِصْفَ الْخَمْسِينَ وَهُوَ خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ يميناً لأن فريضه النِّصْفُ وَتَحْلِفُ الْأُمُّ سُدُسَ الْخَمْسِينَ وَهُوَ تِسْعَةُ أَيْمَانٍ بَعْدَ جَبْرِ الْكَسْرِ لِأَنَّ فَرْضَهَا السُّدُسُ وَتَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْأُخْتَيْنِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُلُثَ الْخَمْسِينَ وَهُوَ سَبْعَةَ عَشَرَ يَمِينًا بَعْدَ جَبْرِ الْكَسْرِ لِأَنَّ فَرْضَهَا الثُّلُثُ وَتَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْأُخْتَيْنِ لِأُمٍّ سُدُسَ الْخَمْسِينَ وَهُوَ تِسْعَةُ أَيْمَانٍ بَعْدَ جَبْرِ الْكَسْرِ لِأَنَّ فَرْضَهَا السُّدُسُ

Salah satu caranya adalah membagi di antara mereka berdasarkan asal pembagian warisan dari enam bagian, sehingga suami bersumpah setengah dari lima puluh, yaitu dua puluh lima sumpah, karena bagian warisannya adalah setengah. Ibu bersumpah seperenam dari lima puluh, yaitu sembilan sumpah setelah pembulatan pecahan, karena bagian warisannya adalah seperenam. Masing-masing dari dua saudari seayah dan seibu bersumpah sepertiga dari lima puluh, yaitu tujuh belas sumpah setelah pembulatan pecahan, karena bagian warisannya adalah sepertiga. Masing-masing dari dua saudari seibu bersumpah seperenam dari lima puluh, yaitu sembilan sumpah setelah pembulatan pecahan, karena bagian warisannya adalah seperenam.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهَا تُقَسَّمُ عَلَى أَصْلِ الْفَرِيضَةِ وَعَوْلِهَا مِنْ عَشَرَةِ أَسْهُمٍ فَيَحْلِفُ الزَّوْجُ وَسَهْمُهُ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ مِنْ عَشَرَةٍ ثَلَاثَةُ أَعْشَارِ الْخَمْسِينَ وَهُوَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَمِينًا

Pendapat kedua, yang lebih shahih, adalah bahwa pembagian dilakukan berdasarkan pokok bagian warisan dan ‘aul-nya dari sepuluh bagian. Maka suami bersumpah dan bagiannya adalah tiga dari sepuluh bagian, yaitu tiga persepuluh dari lima puluh, sehingga menjadi lima belas sumpah.

وَتَحْلِفُ الْأُمُّ وَلَهَا سَهْمٌ مِنْ عَشَرَةٍ عُشْرَ الْخَمْسِينَ وَهُوَ خَمْسَةُ أَيْمَانٍ وَتَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْأُخْتَيْنِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَلَهَا سَهْمَانِ مِنْ عَشَرَةٍ عُشْرَيِ الْخَمْسِينَ وَهُوَ عَشَرَةُ أَيْمَانٍ وَتَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْأُخْتَيْنِ لِلْأُمِّ وَلَهَا سَهْمٌ مِنْ عَشَرَةٍ عُشْرَ الْخَمْسِينَ وَهُوَ خَمْسَةُ أَيْمَانٍ ثم على هذا القياس

Ibu bersumpah dan ia mendapat satu bagian dari sepuluh, yaitu sepersepuluh dari lima puluh, yakni lima sumpah. Masing-masing dari kedua saudari seayah dan seibu bersumpah dan masing-masing mendapat dua bagian dari sepuluh, yaitu dua persepuluh dari lima puluh, yakni sepuluh sumpah. Masing-masing dari kedua saudari seibu bersumpah dan masing-masing mendapat satu bagian dari sepuluh, yaitu sepersepuluh dari lima puluh, yakni lima sumpah. Kemudian demikianlah seterusnya menurut qiyās ini.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” فَإِنْ تَرَكَ ابْنَيْنِ كَبِيرًا وَصَغِيرًا أَوْ غَائِبًا وَحَاضِرًا أَكْذَبَ أَخَاهُ وَأَرَادَ الْآخَرُ الْيَمِينَ قِيلَ لَهُ لَا تَسْتَوْجِبُ شَيْئًا مِنَ الدِّيَةِ إِلَّا بِخَمْسِينَ يَمِينًا فَإِنْ شِئْتَ فَاحْلِفْ خَمْسِينَ يَمِينًا وَخُذْ مِنَ الدِّيَةِ مَوْرِثَكَ وَإِنِ امْتَنَعْتَ فَدَعْ حَتَّى يَحْضُرَ مَعَكَ وَارِثٌ تُقْبَلُ يَمِينُهُ فَيَحْلِفَانِ خمسين يميناً فإن ترك ثلاثة بنين حلف كل واحد منهم سبع عشرة يميناً يجبر عليهم كسر اليمين فَإِنْ تَرَكَ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِينَ ابْنًا حَلَفَ كل واحد منهم يميناً يجبر الكسر من الأيمان

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seseorang meninggalkan dua anak laki-laki, yang satu sudah dewasa dan yang lain masih kecil, atau yang satu sedang tidak hadir dan yang lain hadir, lalu yang satu mendustakan saudaranya dan yang lain ingin bersumpah, maka dikatakan kepadanya: ‘Engkau tidak berhak mendapatkan bagian dari diyat kecuali dengan lima puluh sumpah. Jika engkau mau, bersumpahlah lima puluh kali dan ambillah bagian diyat dari pewarismu. Jika engkau menolak, maka tunggulah sampai hadir bersamamu seorang ahli waris yang sumpahnya diterima, lalu keduanya bersumpah lima puluh kali.’ Jika yang ditinggalkan tiga anak laki-laki, maka masing-masing bersumpah tujuh belas kali, dan kekurangan dari jumlah sumpah dilengkapi. Jika yang ditinggalkan lebih dari lima puluh anak laki-laki, maka masing-masing bersumpah satu kali, dan kekurangan dari jumlah sumpah dilengkapi oleh mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَمَا يَلِيهَا تَتَفَرَّعُ على القول الذي يقسم فيه أَيْمَانُ الْقَسَامَةِ عَلَى قَدْرِ الْمَوَارِيثِ فَإِذَا خَلَّفَ الْمَقْتُولُ ابْنَيْنِ أَحَدُهُمَا صَغِيرٌ وَالْآخَرُ كَبِيرٌ أَوْ أَحَدُهُمَا حَاضِرٌ وَالْآخَرُ غَائِبٌ أَوْ أَحَدُهُمَا مُدَّعٍ قَتْلَ أَبِيهِ وَالْآخَرُ مُكَذِّبٌ لَهُ فَإِنَّ لِلْكَبِيرِ أَنْ يُقْسِمَ قَبْلَ بُلُوغِ الصَّغِيرِ وَلِلْحَاضِرِ أَنْ يُقْسِمَ قَبْلَ قُدُومِ الْغَائِبِ فَأَمَّا الْمُكَذِّبُ فَهَلْ تَسْقُطُ قَسَامَتُهُ بِتَكْذِيبِ أَخِيهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ نَذْكُرُهُمَا فِي الْبَابِ الْآتِي فَإِنْ أَرَادَ الْبَالِغُ الْحَاضِرُ أَنْ يُقْسِمَ أَوِ الْمُكَذِّبُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ قِيلَ لَهُ لَا يُحْكَمُ لَكَ بِحَقِّكَ مِنَ الدِّيَةِ إِلَّا أَنْ تَسْتَوْفِيَ أَيْمَانَ الْقَسَامَةِ كُلَّهَا وَإِنْ كَانَ يَلْزَمُكَ فِي الِاجْتِمَاعِ بَعْضُهَا لِأَنَّ عَدَدَ الْأَيْمَانِ حُجَّةٌ لَكَ فِي قَبُولِ دَعَوَاكَ كَالْبَيِّنَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمَ بِهَا إِلَّا بَعْدَ اسْتِيفَائِهَا كَمَا لَا يُحْكَمُ بِالْبَيِّنَةِ إِلَّا بَعْدَ كَمَالِهَا فَإِذَا حَلَفَ خَمْسِينَ يَمِينًا حُكِمَ لَهُ بِحَقِّهِ مِنَ الدِّيَةِ فَإِذَا بَلَغَ الصَّغِيرُ أَوْ قَدِمَ الْغَائِبُ لَمْ يُحْكَمْ لَهُ بِحَقِّهِ مِنَ الدِّيَةِ حَتَّى يَحْلِفَ عَلَى دَمِهِ فَإِنْ قِيلَ فَالْأَيْمَانُ فِي الْقَسَامَةِ حُجَّةٌ كَالْبَيِّنَةِ فَهَلَّا كَانَ وَجُودُهَا مِنْ بَعْضِهِمْ حُجَّةً لِجَمِيعِهِمْ كَالْبَيِّنَةِ قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini dan yang sesudahnya bercabang dari pendapat yang membagi sumpah-sumpah qasāmah sesuai dengan bagian warisan. Jika orang yang terbunuh meninggalkan dua anak laki-laki, salah satunya masih kecil dan yang lainnya sudah dewasa, atau salah satunya hadir dan yang lainnya tidak hadir, atau salah satunya menuntut pembunuhan ayahnya dan yang lainnya mendustakannya, maka anak yang dewasa boleh bersumpah sebelum anak yang kecil baligh, dan yang hadir boleh bersumpah sebelum kedatangan yang tidak hadir. Adapun yang mendustakan, apakah gugur hak qasāmah-nya karena mendustakan saudaranya atau tidak, ada dua pendapat yang akan kami sebutkan pada bab berikutnya. Jika yang dewasa dan hadir ingin bersumpah, atau yang mendustakan menurut salah satu dari dua pendapat, maka dikatakan kepadanya: “Tidak diputuskan hakmu dari diyat kecuali setelah engkau menyempurnakan seluruh sumpah qasāmah, meskipun ketika berkumpul hanya sebagian sumpah yang menjadi kewajibanmu, karena jumlah sumpah adalah hujjah bagimu dalam menerima tuntutanmu seperti halnya bayyinah (bukti). Maka tidak boleh diputuskan dengan sumpah itu kecuali setelah sempurna, sebagaimana tidak boleh diputuskan dengan bayyinah kecuali setelah lengkap. Jika ia telah bersumpah lima puluh kali, maka diputuskan haknya dari diyat. Jika anak kecil telah baligh atau yang tidak hadir telah datang, maka tidak diputuskan haknya dari diyat sampai ia bersumpah atas darahnya. Jika dikatakan: Sumpah dalam qasāmah adalah hujjah seperti bayyinah, maka mengapa keberadaan sumpah dari sebagian mereka tidak menjadi hujjah bagi semuanya seperti bayyinah? Maka dijawab: Perbedaannya antara keduanya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ النِّيَابَةَ فِي إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ تَصِحُّ وَفِي الْأَيْمَانِ لَا تَصِحُّ

Salah satunya adalah bahwa perwakilan dalam penyampaian bukti dapat dibenarkan, sedangkan dalam sumpah tidak dibenarkan.

الثَّانِي إِنَّ الْبَيِّنَةَ حُجَّةٌ عَامَّةٌ وَالْأَيْمَانُ حُجَّةٌ خَاصَّةٌ فَلِهَذَيْنِ الْفَرْقَيْنِ لَمْ يَثْبُتْ حَقُّهُ فِيهَا بِأَيْمَانِ أَخِيهِ وَإِنْ ثَبَتَ حَقُّهُ بِبَيِّنَتِهِ

Kedua, sesungguhnya bayyinah adalah hujjah yang bersifat umum, sedangkan sumpah (aymān) adalah hujjah yang bersifat khusus. Karena dua perbedaan ini, haknya tidak dapat ditetapkan dalam perkara tersebut dengan sumpah saudaranya, meskipun haknya dapat ditetapkan dengan bayyinah yang ia ajukan.

فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَحْلِفَ حَلَفَ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ يَمِينًا لِأَنَّهُ وَاحِدٌ مِنِ اثْنَيْنِ فَصَارَا بَعْدَ أَيْمَانِ الْأَخِ كَالْمُجْتَمِعَيْنِ فَلَوْ كَانَ مَعَهُمَا ثَالِثٌ غَائِبٌ حَلَفَ إِذَا حَضَرَ سَبْعَةَ عَشَرَ يَمِينًا لِأَنَّهُ وَاحِدٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ فَإِنْ كَانَ مَعَهُمْ رَابِعٌ حَلَفَ إِذَا حَضَرَ ثَلَاثَةَ عَشَرَ يَمِينًا لِأَنَّهُ وَاحِدٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِثَالُ هَذَا الشُّفْعَةُ إِذَا اسْتَحَقَّهَا أَرْبَعَةٌ وَحَضَرَ أَحَدُهُمْ كَانَ لَهُ أَخْذُ جَمِيعِهَا وَلَمْ يَنْفَرِدْ بِحَقِّهِ مِنْهَا لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهَا شُرَكَاؤُهُ فَصَارَ فِيهَا كَالْمُنْفَرِدِ بِهَا فَإِذَا قَدِمَ الثَّانِي أَخَذَ النِّصْفَ لِأَنَّهُ وَاحِدٌ مِنِ اثْنَيْنِ فَإِذَا قَدِمَ الثَّالِثُ أَخْذَ الثُّلُثَ لِأَنَّهُ وَاحِدٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ فَإِذَا قَدِمَ الرَّابِعُ أَخَذَ الرُّبُعَ لِأَنَّهُ وَاحِدٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ

Jika ia ingin bersumpah, maka ia bersumpah sebanyak dua puluh lima sumpah, karena ia adalah satu dari dua orang, sehingga setelah sumpah saudaranya, keduanya menjadi seperti dua orang yang berkumpul. Jika bersama mereka ada orang ketiga yang sedang tidak hadir, maka ketika ia hadir, ia bersumpah sebanyak tujuh belas sumpah, karena ia adalah satu dari tiga orang. Jika bersama mereka ada orang keempat, maka ketika ia hadir, ia bersumpah sebanyak tiga belas sumpah, karena ia adalah satu dari empat orang. Contoh dari hal ini adalah syuf‘ah: jika ada empat orang yang berhak atasnya dan salah satu dari mereka hadir, maka ia berhak mengambil seluruhnya dan tidak hanya mengambil bagian haknya saja, karena bisa jadi para sekutunya melepaskan hak mereka, sehingga ia menjadi seperti orang yang sendiri memilikinya. Jika yang kedua datang, maka ia mengambil setengahnya karena ia satu dari dua orang. Jika yang ketiga datang, maka ia mengambil sepertiganya karena ia satu dari tiga orang. Jika yang keempat datang, maka ia mengambil seperempatnya karena ia satu dari empat orang.

قَالَ الشَّافِعِيُّ ” فَإِنْ تَرَكَ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِينَ ابْنًا حَلَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَمِينًا يَجْبُرُ عَلَيْهِ كَسْرَ الْيَمِينِ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ الْيَمِينَ لَا تَتَبَعَّضُ فَلِذَلِكَ جَبَرْنَا كَسْرَهَا كَمَا يُجْبَرُ كَسْرُ الطَّلَاقِ والإقرار والله أعلم

Imam Syafi‘i berkata, “Jika yang ditinggalkan lebih dari lima puluh anak, maka masing-masing dari mereka bersumpah satu kali untuk menutupi kekurangan sumpah tersebut. Hal ini benar, karena sumpah tidak dapat dibagi-bagi, sehingga kami menutupi kekurangannya sebagaimana kekurangan dalam talak dan iqrar juga ditutupi. Allah Maha Mengetahui.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَمَنْ مَاتَ مِنَ الْوَرَثَةِ قَبْلَ أَنْ يُقْسِمَ قَامَ وَرَثَتُهُ مَقَامَهُ بِقَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Barang siapa dari para ahli waris yang meninggal sebelum harta warisan dibagi, maka para ahli warisnya menggantikan posisinya sesuai dengan bagian warisan mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا مَاتَ وَاحِدٌ مِنْ مُسْتَحَقِّي الْقَسَامَةِ مِثْلَ أَنْ يَمُوتَ وَاحِدٌ مِنِ اثْنَيْنِ وَيُخَلِّفَ بَعْدَ مَوْتِهِ ابْنَيْنِ فَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ ثلاثة أَحْوَالٍ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar apabila salah satu dari para ahli waris yang berhak atas qasāmah meninggal dunia, seperti jika salah satu dari dua orang meninggal dan setelah kematiannya ia meninggalkan dua anak laki-laki. Maka sebelum kematiannya, ia memiliki tiga keadaan.”

أَحَدُهَا أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ قَسَامَتِهِ فَقَدْ مَلَكَ حَقَّهُ مِنَ الدِّيَةِ بِأَيْمَانِهِ فَيُنْقَلُ ذَلِكَ إِلَى وَرَثَتِهِ مِنْ غَيْرِ قَسَامَةٍ فَإِنْ قِيلَ إِذَا لَمْ تَجْعَلُوا لِبَعْضِ الْوَرَثَةِ أَنْ يَمْلِكَ حقه من الدية بيمين غيره فلما جَعَلْتُمْ لِأَوْلَادِ هَذَا الْمَيِّتِ أَنْ يَمْلِكُوا ذَلِكَ بِأَيْمَانِ أَبِيهِمْ قِيلَ لِأَنَّهُمْ مَلَكُوهُ عَنْ أَبِيهِمْ فَجَازَ أَنْ يَنْتَقِلَ إِلَيْهِمْ بِأَيْمَانِهِ وَلَيْسَ يَمْلِكُ الْأَخُ عَنْ أَخِيهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْلِكَ بأيمان أخيه

Salah satunya adalah jika seseorang meninggal setelah melakukan qasāmah, maka ia telah memiliki haknya atas diyat melalui sumpahnya, sehingga hak tersebut berpindah kepada ahli warisnya tanpa perlu qasāmah lagi. Jika ada yang bertanya, “Jika kalian tidak membolehkan sebagian ahli waris memiliki haknya atas diyat melalui sumpah orang lain, mengapa kalian membolehkan anak-anak orang yang meninggal ini memiliki hak tersebut melalui sumpah ayah mereka?” Maka dijawab, “Karena mereka memilikinya dari ayah mereka, sehingga boleh berpindah kepada mereka melalui sumpah ayahnya, sedangkan saudara tidak memiliki hak dari saudaranya, maka tidak boleh memilikinya melalui sumpah saudaranya.”

والحالة الثَّانِيَةُ أَنْ يَمُوتَ بَعْدَ نُكُولِهِ عَنِ الْأَيْمَانِ فَلَيْسَ لِوَرَثَتِهِ أَنْ يُقْسِمُوا لِأَنَّ حَقَّهُ فِي الْأَيْمَانِ قَدْ سَقَطَ بِنُكُولِهِ عَنْهَا فَصَارَ مُسْتَهْلِكًا لَهَا فِي حُقُوقِ وَرَثَتِهِ

Keadaan yang kedua adalah apabila ia meninggal setelah menolak bersumpah, maka ahli warisnya tidak berhak untuk bersumpah, karena haknya untuk bersumpah telah gugur akibat penolakannya, sehingga ia dianggap telah menghabiskan hak tersebut dalam kaitannya dengan hak-hak ahli warisnya.

وَإِذَا سَقَطَ حَقُّهُمْ مِنَ الْقَسَامَةِ كَانَ لَهُمْ إِحْلَافُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بِأَيْمَانِ الْقَسَامَةِ لِأَنَّ نُكُولَ الْمُدَّعِي عَنْ أَيْمَانِ الْقَسَامَةِ يُوجِبُ نَقْلَهَا إِلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فِي حَقِّ الْمُدَّعِي فَوَجَبَ أَنْ تَنْتَقِلَ عَنْهُ بِمَوْتِهِ إِلَى وَرَثَتِهِ وَإِنْ سَقَطَتْ حُقُوقُهُمْ مِنْ أَيْمَانِ قسامته

Dan apabila hak mereka atas qasāmah gugur, maka mereka berhak meminta terdakwa bersumpah dengan sumpah qasāmah. Sebab, jika penggugat enggan melakukan sumpah qasāmah, maka sumpah itu berpindah kepada terdakwa dalam kaitannya dengan hak penggugat. Maka wajib pula sumpah itu berpindah dari penggugat kepada ahli warisnya jika ia meninggal dunia. Dan jika hak mereka atas sumpah qasāmah juga gugur…

والحالة الثَّالِثَةُ أَنْ يَمُوتَ قَبْلَ الْأَيْمَانِ مِنْ غَيْرِ نُكُولٍ عَنْهَا فَيَنْتَقِلُ الْحَقُّ فِيهَا إِلَى وَرَثَتِهِ لِقِيَامِهِمْ مَقَامَهُ فِي حَقِّهِ بَعْدَ مَوْتِهِ فَعَلَى هَذَا إِذَا مَاتَ وَحِصَّتُهُ مِنْ أَيْمَانِ الْقَسَامَةِ خَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ يَمِينًا لِأَنَّهُ وَاحِدٌ مِنِ اثْنَيْنِ وَقَدْ مَاتَ عَنِ ابْنَيْنِ وَجَبَ أَنْ يُقَسَّمَ أَيْمَانُهُ بَيْنَهُمَا فَيُقْسِمُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَهَا ثَلَاثَةَ عَشَرَ يَمِينًا بَعْدَ جَبْرِ كَسْرِهَا ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ إِنْ مَاتَ وَارِثُ الْمَقْتُولِ وترك وارثاً

Keadaan ketiga adalah jika ia meninggal sebelum bersumpah tanpa menolak sumpah tersebut, maka hak itu berpindah kepada ahli warisnya karena mereka menggantikan posisinya dalam haknya setelah kematiannya. Berdasarkan hal ini, jika ia meninggal dan bagian sumpah qasāmah yang menjadi haknya adalah dua puluh lima sumpah, karena ia salah satu dari dua orang, lalu ia meninggal dan meninggalkan dua anak, maka sumpah-sumpah itu harus dibagi di antara keduanya. Maka masing-masing dari mereka bersumpah setengahnya, yaitu tiga belas sumpah setelah pembulatan, kemudian demikian pula seterusnya jika ahli waris korban meninggal dan meninggalkan ahli waris.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ لَمْ يُتِمَّ الْقَسَامَةَ حَتَّى مَاتَ ابْتَدَأَ وَارِثُهُ الْقَسَامَةَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seseorang belum menyelesaikan sumpah qasāmah hingga ia meninggal dunia, maka ahli warisnya memulai qasāmah tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا حَلَفَ الْوَارِثُ بَعْضَ أَيْمَانِ قَسَامَتِهِ فَلَمْ يُكْمِلْهَا حَتَّى مَاتَ لَمْ يَجُزْ لِوَارِثِهِ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهَا وَاسْتَأْنَفَ أَيْمَانَ الْقَسَامَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَلَمْ يَكُنْ لِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْأَيْمَانِ تَأْثِيرٌ لِأَنَّ الْبَاقِيَ مِنْهَا وَإِنْ قَلَّ يَمْنَعُ مِنِ اسْتِحْقَاقِ الدِّيَةِ حَتَّى يُسْتَوْفَى فَلَوْ بَنَى الْوَارِثُ عَلَيْهَا لَصَارَ الْمَوْرُوثُ نَائِبًا فِيهَا وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهُ لَا نِيَابَةَ فِي الْأَيْمَانِ وَلَكِنْ لَوْ أَقَامَ الْوَارِثُ قَبْلَ مَوْتِهِ مِنَ الْبَيِّنَةِ شَاهِدًا وَاحِدًا جاز لوارثه أن يبني على بينته فيقم شَاهِدًا آخَرَ وَتَكْمُلَ الْبَيِّنَةُ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الفرق بين الأيمان والبينة

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, yaitu apabila seorang ahli waris telah bersumpah sebagian sumpah qasāmah-nya, lalu ia belum menyempurnakannya hingga ia meninggal, maka tidak boleh bagi ahli warisnya untuk melanjutkan sumpah tersebut, melainkan ia harus memulai sumpah qasāmah dari awal setelah kematiannya, dan sumpah-sumpah yang telah dilakukan sebelumnya tidak berpengaruh. Sebab, sisa sumpah tersebut, meskipun sedikit, tetap menghalangi hak atas diyat sampai seluruh sumpah itu dipenuhi. Jika ahli waris melanjutkan sumpah yang telah dilakukan, berarti pewaris menjadi wakil dalam sumpah itu, padahal telah kami sebutkan bahwa tidak ada perwakilan dalam sumpah. Namun, jika sebelum meninggal, pewaris telah menghadirkan satu orang saksi sebagai bukti, maka boleh bagi ahli warisnya untuk melanjutkan bukti tersebut dengan menghadirkan satu saksi lagi sehingga bukti itu menjadi sempurna, karena telah kami sebutkan adanya perbedaan antara sumpah dan bukti.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ غُلِبَ عَلَى عَقْلِهِ ثُمَّ أَفَاقَ بَنَى لِأَنَّهُ حَلَفَ لِجَمِيعِهَا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seseorang kehilangan akalnya lalu sadar kembali, maka ia tetap melanjutkan (nazar atau sumpahnya), karena ia telah bersumpah untuk seluruh (waktunya).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ الْأَوْلَى فِي أَيْمَانِ الْقَسَامَةِ أَنْ تُوَالَى وَلَا تُفَرَّقَ لِأَنَّهَا مَوْضُوعَةٌ لِلزَّجْرِ وَالتَّغْلِيظِ وَهِيَ فِي الْمُوَالَاةِ أَغْلَظُ وَأَزْجَرُ فَإِنْ فُرِّقَتْ كُرِهَ تَفْرِيقُهَا وَأَجْزَأَتْ سَوَاءٌ طَالَ التَّفْرِيقُ أَوْ قَصُرَ وَسَوَاءٌ قَلَّ التَّفْرِيقُ أَوْ كَثُرَ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ حَالِفًا بِجَمِيعِهَا فَعَلَى هَذَا لَوْ جُنَّ أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ فِي تَضَاعِيفِ أَيْمَانِهِ أَمْسَكَ عَنِ الْأَيْمَانِ فِي زمان جنونه وإغمائه لأن لَا حُكْمَ لِقَوْلِهِ فَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِيَمِينِهِ حُكْمٌ فَإِذَا أَفَاقَ مِنْ جُنُونِهِ أَوْ إِغْمَائِهِ بَنَى عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ أَيْمَانِهِ قَبْلَ الْجُنُونِ وَالْإِغْمَاءِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّ تَفْرِقَةَ الْأَيْمَانِ لَا تَمْنَعُ مِنْ إِجْزَائِهَا وَلَا يَبْطُلُ مَا تَقَدَّمَ مِنْهَا لِحُدُوثِ الْجُنُونِ وَإِنْ بَطَلَتْ بِهِ الْعُقُودُ الْجَائِزَةُ مِنَ الشَّرَكِ وَالْوَكَالَاتِ لِأَنَّ الْأَيْمَانَ لَا يَتَوَجَّهُ إِلَيْهَا فَسْخٌ وَإِنْ تَوَجَّهَ إِلَى الْعُقُودِ فَسْخٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Al-Mawardi berkata, yang utama dalam sumpah-sumpah qasāmah adalah dilakukan secara berurutan dan tidak dipisah-pisah, karena sumpah tersebut ditetapkan untuk memberikan efek jera dan penegasan, dan dalam pelaksanaan berurutan, efeknya lebih kuat dan lebih menakutkan. Jika sumpah-sumpah itu dipisah-pisah, maka hal itu makruh, namun tetap sah, baik pemisahannya berlangsung lama atau singkat, sedikit atau banyak, karena orang tersebut tetap dianggap telah bersumpah seluruhnya. Berdasarkan hal ini, jika seseorang menjadi gila atau pingsan di tengah-tengah sumpahnya, maka ia harus berhenti bersumpah selama masa gilanya atau pingsannya, karena tidak ada hukum pada ucapannya saat itu, sehingga sumpahnya tidak memiliki konsekuensi hukum. Jika ia telah sadar dari gilanya atau pingsannya, maka ia melanjutkan sumpah dari yang telah ia lakukan sebelum gila atau pingsan, sebagaimana telah dijelaskan bahwa pemisahan sumpah tidak menghalangi keabsahannya dan tidak membatalkan sumpah yang telah dilakukan sebelumnya karena terjadinya kegilaan, meskipun akad-akad yang boleh seperti syirkah dan wakalah menjadi batal karenanya, sebab sumpah tidak mungkin dibatalkan, sedangkan akad-akad bisa dibatalkan. Dan Allah lebih mengetahui.

بَابُ مَا يُسْقِطُ الْقَسَامَةَ مِنَ الِاخْتِلَافِ أَوْ لا يسقطها

Bab tentang hal-hal yang menggugurkan qasāmah karena adanya perbedaan pendapat atau yang tidak menggugurkannya.

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَلَوِ ادَّعَى أَحَدُ الابنين على رجل من أهل هذه الْمَحَلَّةِ أَنَّهُ قَتَلَ أَبَاهُ وَحْدَهُ وَقَالَ الْآخَرُ وَهُوَ عَدْلٌ مَا قَتَلَهُ بِأَنَّهُ كَانَ فِي الْوَقْتِ الَّذِي قُتِلَ فِيهِ بِبَلَدٍ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ إِلَيْهِ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّ لِلْمُدَّعِي أَنْ يُقْسِمَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَيَسْتَحِقَّ نِصْفَ الدِّيَةِ وَالثَّانِي أَنْ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى رَجُلٍ يُبَرِّئُهُ وَارِثُهُ قال المزني قياس قوله أن من أثبت السبب الذي به القسامة حلف ولم يمنعه من ذلك إنكار الآخر كما لو أقام أحدهما شاهداً لأبيهما بدين وأنكر الآخر ما ادعاه أخوه وأكذبه أن للمدعي مع الشاهد اليمين ويستحق كذلك للمدعي مع السبب القسامة ويستحق فالسبب والشاهد بمعنى واحد في قوله لأنه يوجب مع كل واحد اليمين والاستحقاق إلا أن في الدم خمسين يميناً وفي غيره يمين

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika salah satu dari dua anak laki-laki menuduh seorang laki-laki dari penduduk daerah ini bahwa ia telah membunuh ayahnya sendirian, lalu yang lain, yang merupakan orang adil, berkata: ‘Ia tidak membunuhnya, karena pada waktu terjadinya pembunuhan ia berada di negeri yang tidak mungkin ia sampai ke tempat itu pada waktu tersebut,’ maka dalam kasus ini ada dua pendapat. Pertama, pihak penuduh boleh bersumpah lima puluh kali dan berhak atas setengah diyat. Kedua, ia tidak boleh bersumpah terhadap seseorang yang telah dibebaskan oleh ahli warisnya. Al-Muzani berkata, menurut qiyās pendapat Imam Syafi‘i, siapa pun yang menetapkan sebab yang dengannya qasāmah dilakukan, maka ia boleh bersumpah, dan penolakan dari pihak lain tidak menghalanginya, sebagaimana jika salah satu dari mereka menghadirkan seorang saksi bahwa ayah mereka memiliki utang, lalu yang lain mengingkari dan mendustakan klaim saudaranya, maka penuntut bersama saksi berhak bersumpah dan memperoleh haknya. Demikian pula penuntut yang memiliki sebab qasāmah berhak bersumpah dan memperoleh haknya. Sebab dan saksi dalam hal ini sama menurut pendapat beliau, karena keduanya mewajibkan sumpah dan hak, kecuali dalam kasus darah ada lima puluh sumpah, sedangkan dalam kasus lain hanya satu sumpah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي قَتِيلٍ وُجِدَ فِي قَبِيلَةٍ عَنْ لَوْثٍ ظَهَرَ فِي قَتْلِهِ فَادَّعَى أَحَدُ بَنِيهِ قَتْلَهُ عَلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْقَبِيلَةِ فَلَهُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ وُجُودَ اللَّوْثِ فِيهَا يُجَوِّزُ دَعْوَى قَتْلِهِ عَلَى جَمِيعِهِمْ إِذَا أَمْكَنَ اشْتِرَاكُهُمْ فِيهِ وَعَلَى أَحَدِهِمْ فَإِذَا خَصَّ بِالدَّعْوَى أَحَدَهُمْ سُمِعَتْ وَكَانَ اللَّوْثُ مُتَوَجِّهًا إِلَيْهِ إِذَا خُصَّ بِالدَّعْوَى وَحْدَهُ ثُمَّ إِنَّ أَخَاهُ الْمُشَارِكَ لَهُ فِي دَمِ أَبِيهِ أَكْذَبَهُ فِي دَعْوَاهُ وَقَالَ مَا قَتَلَ هَذَا أَبَانَا وَلَا حَضَرَ قَتْلَهُ وَكَانَ غَائِبًا وَقْتَ قَتْلِهِ فِي بَلَدٍ آخَرَ فَيَكُونُ هَذَا تَكْذِيبًا سَوَاءٌ كَانَ الْمُكَذِّبُ عَدْلًا أَوْ غَيْرَ عَدْلٍ

Al-Mawardi berkata: Contoh kasusnya adalah seseorang yang terbunuh ditemukan di suatu kabilah, dan terdapat indikasi kuat (lawts) yang muncul dalam kasus pembunuhannya. Lalu salah satu anaknya menuduh pembunuhan itu dilakukan oleh seorang laki-laki dari anggota kabilah tersebut, maka tuduhan itu diterima; karena adanya lawts dalam kasus itu membolehkan untuk menuduh pembunuhan terhadap seluruh anggota kabilah jika memungkinkan mereka bersama-sama melakukannya, atau terhadap salah satu dari mereka. Jika tuduhan itu diarahkan secara khusus kepada salah satu dari mereka, maka tuduhan itu didengar dan lawts pun diarahkan kepadanya jika tuduhan itu hanya ditujukan kepadanya saja. Kemudian, jika saudaranya yang juga berhak atas darah ayahnya mendustakan tuduhan tersebut dan berkata, “Orang ini tidak membunuh ayah kita dan tidak hadir saat pembunuhannya, bahkan ia sedang tidak ada di tempat saat pembunuhan itu terjadi, melainkan berada di negeri lain,” maka ini dianggap sebagai pendustaan, baik yang mendustakan itu adalah orang yang adil maupun bukan.

وَإِنَّمَا شَرَطَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِيهِ الْعَدَالَةَ لِيَصِحَّ أَنْ يَشْهَدَ مَعَ غَيْرِهِ يُعِينُهُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَيَبْرَأُ مِنَ الدَّعْوَى وَلَمْ يَجْعَلْ عَدَالَتَهُ شَرْطًا فِي صِحَّةِ التَّكْذِيبِ فَأَمَّا إِنْ لَمْ يَقُلْ وَكَانَ فِي بَلَدٍ آخَرَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَكُونُ ذَلِكَ تَكْذِيبًا صَحِيحًا أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Sesungguhnya Imam Syafi‘i rahimahullah mensyaratkan keadilan dalam hal ini agar sah baginya untuk menjadi saksi bersama orang lain yang membantunya, sehingga tergugat terbebas dari tuntutan. Namun, beliau tidak menjadikan keadilan sebagai syarat dalam sahnya penolakan kesaksian. Adapun jika ia tidak mengatakannya dan berada di negeri lain, maka para ulama kami berbeda pendapat apakah hal itu merupakan penolakan yang sah atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَكُونُ تَكْذِيبًا صَحِيحًا وَإِنَّمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ تَأْكِيدًا فِي التَّكْذِيبِ وَلَمْ يَجْعَلْهُ شَرْطًا فِيهِ

Salah satunya, yaitu menurut pendapat yang jelas dari Abu Ishaq al-Marwazi, adalah bahwa hal itu merupakan bentuk pendustaan yang sah. Imam Syafi‘i hanya menyebutkannya sebagai penegasan dalam pendustaan dan tidak menjadikannya sebagai syarat di dalamnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ شَرْطٌ فِي التَّكْذِيبِ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِهِ فَإِنْ لَمْ يَقُلْ وَكَانَ غَائِبًا لَمْ يَكُنْ تَكْذِيبًا صَحِيحًا لِأَنَّهُ نَفَى مَا أَثْبَتَهُ أَخُوهُ وَالنَّفْيُ لَا يُعَارِضُ الْإِثْبَاتَ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa hal itu merupakan syarat dalam pendustaan yang tidak sah kecuali dengannya. Jika tidak mengucapkannya dan ia sedang tidak hadir, maka pendustaan tersebut tidak sah, karena ia menafikan apa yang telah ditetapkan oleh saudaranya, sedangkan penafian tidak dapat bertentangan dengan penetapan.

فَإِذَا أَصْبَحَ التَّكْذِيبُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَهَلْ يَكُونُ التَّكْذِيبُ مُبْطِلًا لَلَّوَّثِ وَمَانِعًا مِنَ الْقَسَامَةِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Maka apabila pendustaan terjadi sebagaimana yang telah kami sebutkan, apakah pendustaan itu membatalkan luwats dan mencegah dari pelaksanaan qasāmah atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ إِنَّهُ لَا يُبْطِلُ اللَّوْثُ مِنَ الْقَسَامَةِ لِأَنَّ مَا اسْتَحَقَّهُ أَحَدُهُمَا بِيَمِينِهِ لَا يَبْطُلُ بِتَكْذِيبِ الْآخَرِ كَالْحُكْمِ بِيَمِينِهِ مَعَ الشَّاهِدِ

Salah satunya adalah pendapat al-Muzani bahwa al-lawts tidak membatalkan qasāmah, karena apa yang telah diperoleh salah satu dari mereka dengan sumpahnya tidak batal hanya karena pendustaan pihak lain, sebagaimana keputusan hukum dengan sumpahnya bersama seorang saksi.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّهُ يُبْطِلُ اللَّوْثَ وَيَمْنَعُ الْقَسَامَةَ لِأَنَّ اللَّوْثَ سَبَبٌ ضَعِيفٌ يَقْتَضِي غَلَبَةَ الظَّنِّ فَإِذَا تَعَارَضَ فِيهِ التَّكْذِيبُ أَوْهَاهُ وإذا وها بَطَلَ وَخَالَفَ الْيَمِينَ مَعَ الشَّاهِدِ لِأَنَّهَا نَصٌّ وَاللَّوْثُ اسْتِدْلَالٌ يَجُوزُ أَنْ يَبْطُلَ بِالتَّكْذِيبِ وَلَا يَبْطُلُ بِهِ النَّصُّ

Pendapat kedua, yang merupakan pilihan Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa lawts menjadi batal dan qasāmah tidak dapat dilakukan, karena lawts adalah sebab yang lemah yang hanya menghasilkan dugaan kuat. Jika dalam hal ini terjadi pendustaan, maka sebab itu menjadi semakin lemah, dan jika sudah lemah maka batal. Pendapat ini berbeda dengan sumpah bersama saksi, karena sumpah bersama saksi adalah nash (teks yang jelas), sedangkan lawts hanyalah istidlāl (indikasi) yang bisa saja batal karena pendustaan, sedangkan nash tidak batal karenanya.

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قِيلَ بِالْأَوَّلِ إِنَّ اللَّوْثَ لَا يَبْطُلُ جَازَ لِلْمُدَّعِي أَنْ يُقْسِمَ خَمْسِينَ يَمِينًا قَوْلًا وَاحِدًا وَيَأْخُذَ نِصْفَ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ غَيْرَهُ وَلَمْ يَكُنْ لِلْأَخِ الْمُكَذِّبِ أَنْ يُقْسِمَ فَإِنِ ادَّعَى قَتْلَهُ عَلَى آخَرَ أَقْسَمَ عَلَيْهِ وَأَخَذَ مِنْهُ نِصْفَ الدِّيَةِ لِأَنَّ التَّكْذِيبَ إِذَا لَمْ يُبْطِلِ اللَّوْثَ فِي حَقِّ أَحَدِهِمَا لَمْ يُبْطِلْهُ فِي حَقِّهِمَا

Jika telah dijelaskan argumentasi kedua pendapat, maka jika dipilih pendapat pertama bahwa al-lawts tidak batal, maka bagi penggugat boleh bersumpah lima puluh kali sumpah dalam satu kali ucapan dan mengambil setengah diyat, karena ia tidak berhak atas selain itu, dan saudara yang mendustakan tidak boleh bersumpah. Jika ia menuduh pembunuhan terhadap orang lain, maka ia bersumpah atasnya dan mengambil darinya setengah diyat, karena pendustaan, jika tidak membatalkan al-lawts bagi salah satu dari keduanya, maka tidak membatalkannya pula bagi keduanya.

وَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي إِنَّ اللَّوْثَ قَدْ بَطَلَ سَقَطَتِ الْقَسَامَةُ وَانْتَقَلَتِ الْأَيْمَانُ إِلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَفِي قَدْرِ مَا يَحْلِفُ بِهِ قَوْلَانِ كَالدَّعْوَى فِي غَيْرِ لَوْثٍ فَإِذَا حَلَفَ بَرِئَ وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعِي فَإِذَا حَلَفَ فَلَا قَوَدَ لَهُ وَإِنْ كَانَ الْقَتْلُ عَمْدًا فَلَهُ نِصْفُ الدية لأن في تكذيب أخيه أبرأ مِنْهُ وَلَوِ ادَّعَى الْمُكَذِّبُ قَتْلَهُ عَلَى آخَرَ مُنِعَ مِنَ الْقَسَامَةِ لِأَنَّ التَّكْذِيبَ إِذَا أَبْطَلَ اللَّوْثَ فِي حَقِّ أَحَدِهِمَا أَبْطَلَهُ فِي حَقِّهِمَا

Dan jika dikatakan menurut pendapat kedua bahwa al-lawts telah batal, maka qasāmah gugur dan sumpah berpindah kepada pihak tergugat. Dalam hal jumlah sumpah yang harus diucapkan, terdapat dua pendapat, seperti dalam gugatan tanpa adanya lawts. Jika tergugat bersumpah, maka ia bebas dari tuduhan. Namun jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada penggugat. Jika penggugat bersumpah, maka ia tidak berhak atas qishāsh, dan jika pembunuhan itu disengaja, maka ia berhak atas setengah diyat, karena dalam mendustakan saudaranya, ia telah lebih bersih darinya. Jika orang yang mendustakan itu mengklaim bahwa pembunuhan dilakukan oleh orang lain, maka ia tidak boleh melakukan qasāmah, karena pendustaan jika membatalkan lawts bagi salah satu dari keduanya, maka ia juga membatalkannya bagi keduanya.

فَصْلٌ

Bab

وَيَتَفَرَّعُ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ حُكْمِ التَّكْذِيبِ أَنْ يَدَّعِيَ أَحَدُ الِابْنَيْنِ مَعَ اللَّوْثِ قَتْلَهُ عَلَى وَاحِدٍ بِعَيْنِهِ وَيَدَّعِي الْآخَرُ قَتْلَهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آخَرَ مَعَهُ فَيَكُونُ الْأَخُ الثَّانِي مُكَذِّبًا لِلْأَخِ الْأَوَّلِ فِي نِصْفِ دَعْوَاهُ عَلَى الْقَاتِلِ الثَّانِي وَيَصِيرُ الْأَخُ الْأَوَّلُ مُكَذِّبًا لِلْأَخِ الثَّانِي فِي جَمِيعِ دَعْوَاهُ عَلَى الْقَاتِلِ الْأَوَّلِ وَعَلَى الْقَاتِلِ الثَّانِي فَإِنْ قِيلَ إِنَّ اللَّوْثَ لَا يُبْطَلُ بِالتَّكْذِيبِ أَقْسَمَ الْأَخُ الْأَوَّلُ عَلَى الْقَاتِلِ الْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي وَاسْتَحَقَّ عَلَيْهِ نِصْفَ الدِّيَةِ وَأَقْسَمَ الْأَخُ الثَّانِي عَلَى الْقَاتِلِ الْأَوَّلِ وَعَلَى الْقَاتِلِ الثَّانِي وَاسْتَحَقَّ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُبْعَ الدِّيَةِ

Berdasarkan penjelasan sebelumnya tentang hukum takdzīb (penolakan klaim), jika salah satu dari dua anak, dengan adanya al-lawts, mengklaim bahwa pembunuhan dilakukan oleh satu orang tertentu, sementara anak yang lain mengklaim bahwa pembunuhan dilakukan oleh orang itu dan orang lain bersamanya, maka anak kedua dianggap menolak klaim anak pertama pada setengah dari tuntutannya terhadap pembunuh kedua. Sebaliknya, anak pertama menjadi penolak klaim anak kedua dalam seluruh tuntutannya terhadap pembunuh pertama dan pembunuh kedua. Jika dikatakan bahwa al-lawts tidak gugur karena adanya takdzīb, maka anak pertama bersumpah atas pembunuh pertama saja, bukan yang kedua, dan ia berhak atas setengah diyat dari pembunuh pertama. Sedangkan anak kedua bersumpah atas pembunuh pertama dan pembunuh kedua, dan ia berhak atas seperempat diyat dari masing-masing mereka.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّ اللَّوْثَ يَبْطُلُ بِالتَّكَاذُبِ أَقْسَمَ الْأَخُ الْأَوَّلُ عَلَى الْقَاتِلِ الْأَوَّلِ وَأَخَذَ مِنْهُ رُبْعَ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ فِي نِصْفِ الدَّعْوَى وَمُصَدِّقٌ فِي نِصْفِهَا وَأَقْسَمَ الْأَخُ الثَّانِي عَلَى الْقَاتِلِ الْأَوَّلِ وَأَخَذَ مِنْهُ رُبْعَ الدِّيَةِ وَلَمْ يَكُنْ لِهَذَا الْأَخِ الثَّانِي أَنْ يُقْسِمَ عَلَى الْقَاتِلِ الثَّانِي لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ فِي جَمِيعِ الدَّعْوَى عَلَيْهِ وَمَا بَطَلَتْ فِيهِ الْقَسَامَةُ رُدَّتْ فِيهِ الْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Jika dikatakan bahwa al-lawts batal karena saling mendustakan, maka saudara pertama bersumpah atas pembunuh pertama dan mengambil seperempat diyat darinya; karena ia mendustakan dalam setengah gugatan dan membenarkan dalam setengahnya lagi. Kemudian saudara kedua bersumpah atas pembunuh pertama dan mengambil seperempat diyat darinya, dan saudara kedua ini tidak berhak bersumpah atas pembunuh kedua karena ia mendustakan dalam seluruh gugatan terhadapnya. Dan pada perkara yang qasāmah-nya batal, maka sumpah dikembalikan kepada pihak tergugat. Dan Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رضي الله عنه ” وَلَكِنْ لَوْ قَالَ أَحَدُهُمَا قَتَلَ أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَالِدٍ وَرَجُلٌ لَا أَعْرِفُهُ وَقَالَ الْآخَرُ قَتَلَ أَبِي زَيْدُ بْنُ عَامِرٍ وَرَجُلٌ لَا أَعْرِفُهُ فَهَذَا خِلَافٌ لِمَا مَضَى لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الَّذِي جَهِلَهُ أَحَدُهُمَا هُوَ الَّذِي عَرَفَهُ الْآخَرُ فَلَا يَسْقُطُ حَقُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْقَسَامَةِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Namun, jika salah satu dari mereka berkata, ‘Ayahku dibunuh oleh ‘Abdullāh bin Khālid dan seorang laki-laki yang tidak aku kenal,’ dan yang lain berkata, ‘Ayahku dibunuh oleh Zaid bin ‘Āmir dan seorang laki-laki yang tidak aku kenal,’ maka ini berbeda dengan yang telah lalu, karena bisa jadi orang yang tidak dikenal oleh salah satu dari mereka adalah orang yang dikenal oleh yang lain. Maka, hak salah satu dari mereka dalam kasus qasāmah tidak gugur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا اتَّفَقَ الْأَخَوَانِ فِي دَعْوَى الْقَتْلِ عَلَى اثْنَيْنِ فَقَالَ أَحَدُهُمَا قَتَلَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَالِدٍ وَرَجُلٌ آخَرُ لَا أَعْرِفُهُ وَقَالَ الْآخَرُ قَتَلَهُ زَيْدُ بْنُ عَامِرٍ وَرَجُلٌ آخر لا أعرفه فليس في هذا الدَّعْوَى تَكَاذُبٌ وَلَا يَبْطُلُ اللَّوْثُ بِهَذَا الِاخْتِلَافِ وَلَا يَمْنَعُ مِنَ الْقَسَامَةِ لِأَنَّ مَنْ عَرَفَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ خَالِدٍ قَدْ يَجُوزُ أَنْ لَا يَعْرِفَ زَيْدَ بْنَ عَامِرٍ وَلَا مَنْ عَرَفَ زَيْدَ بْنَ عَامِرٍ قَدْ يَجُوزُ أَنْ لَا يَعْرِفَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ خَالِدٍ فَلَمْ يَكُنْ فِي جَهْلِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمَنْ عرفه الآخر تكذيب للآخر فَيَجُوزُ أَنْ يُقْسِمَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى مَنْ عَرَفَهُ وَيَأْخُذُ مِنْهُ رُبْعَ الدِّيَةِ لِأَنَّ مَا عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَاتِلَيْنِ مُسْتَحَقٌّ لِلْأَخَوَيْنِ فَكَانَ مَا لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَخَوَيْنِ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَاتِلَيْنَ رُبْعُ الدِّيَةِ وَيَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَخَوَيْنِ خَمْسِينَ يَمِينًا قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّهُمَا قَدِ افْتَرَقَا فِي الدَّعْوَى فَلَمْ يَجْتَمِعَا عَلَى الْأَيْمَانِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Al-Mawardi berkata: Ini seperti yang dikatakan, yaitu apabila dua saudara sepakat dalam menuntut kasus pembunuhan terhadap dua orang, lalu salah satu dari keduanya berkata, “Yang membunuhnya adalah Abdullah bin Khalid dan seorang laki-laki lain yang tidak aku kenal,” dan yang lain berkata, “Yang membunuhnya adalah Zaid bin ‘Amir dan seorang laki-laki lain yang tidak aku kenal,” maka dalam tuntutan ini tidak terdapat unsur saling mendustakan, dan perbedaan ini tidak membatalkan adanya al-lawts, serta tidak menghalangi pelaksanaan qasāmah. Sebab, orang yang mengenal Abdullah bin Khalid bisa jadi tidak mengenal Zaid bin ‘Amir, dan orang yang mengenal Zaid bin ‘Amir bisa jadi tidak mengenal Abdullah bin Khalid. Maka ketidaktahuan masing-masing dari mereka terhadap siapa yang dikenal oleh yang lain, tidaklah berarti mendustakan yang lain. Maka boleh bagi masing-masing dari keduanya bersumpah atas orang yang ia kenal, dan ia mengambil seperempat diyat darinya, karena apa yang menjadi tanggungan masing-masing dari dua pembunuh itu adalah hak bagi kedua saudara tersebut. Maka apa yang menjadi hak masing-masing dari kedua saudara atas masing-masing dari dua pembunuh adalah seperempat diyat. Dan masing-masing dari kedua saudara itu bersumpah lima puluh kali sumpah dengan satu pernyataan, karena keduanya telah berbeda dalam tuntutan sehingga tidak berkumpul dalam sumpah. Dan Allah lebih mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ قَالَ الْأَوَّلُ قَدْ عَرَفْتُ زَيْدًا وَلَيْسَ بِالَّذِي قَتَلَ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ قَدْ عَرَفْتُ عَبْدَ اللَّهِ وَلَيْسَ بِالَّذِي قَتَلَ مع زيد ففيها قولان أحدهما أن يكون لكل واحد القسامة على الذي ادعى عليه ويأخذ حصته من الدية والقول الثاني أنه ليس لواحد منهما أن يقسم حتى تجتمع دعواهما على واحد قال المزني قد قطع بالقول الأول في الباب الذي قبل هذا وهو أقيس على أصله لأن الشريكين عنده في الدم يحلفان مع السبب كالشريكين عنده في المال يحلفان مع الشاهد فإذا أكذب أحد الشريكين صاحبه في الحق حلف صاحبه مع الشاهد واستحق وكذلك إذا أكذب أحد الشريكين صاحبه في الدم حلف صاحبه مع السبب واستحق

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika yang pertama berkata, ‘Aku telah mengenal Zaid, dan dia bukanlah orang yang membunuh bersama ‘Abdullah,’ dan yang lain berkata, ‘Aku telah mengenal ‘Abdullah, dan dia bukanlah orang yang membunuh bersama Zaid,’ maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, masing-masing dari keduanya berhak melakukan qasāmah atas orang yang dituduhnya, dan ia mengambil bagian dari diyat. Pendapat kedua, tidak ada seorang pun dari keduanya yang boleh melakukan qasāmah sampai keduanya sepakat dalam menuduh satu orang. Al-Muzani berkata, ‘Beliau telah menetapkan pendapat pertama dalam bab sebelumnya, dan ini lebih sesuai dengan ushul beliau, karena menurut beliau, dua orang yang berserikat dalam perkara darah bersumpah bersama sebab, sebagaimana dua orang yang berserikat dalam harta bersumpah bersama saksi. Jika salah satu dari dua orang yang berserikat mendustakan temannya dalam hak, maka temannya bersumpah bersama saksi dan berhak atas hak tersebut. Begitu pula jika salah satu dari dua orang yang berserikat mendustakan temannya dalam perkara darah, maka temannya bersumpah bersama sebab dan berhak atas hak tersebut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا الْقَوْلُ مِنْهُمَا تَكَاذُبٌ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ نَفَى مَا أَثْبَتَهُ الْآخَرُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ هَذَا التَّكَاذُبِ مِنْ أَنْ يَكُونَ قَبْلَ الْقَسَامَةِ أَوْ بَعْدَهَا فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْقَسَامَةِ فَفِي إِبْطَالِ اللَّوْثِ بِهِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْقَسَامَةِ وَالْحُكْمِ بِالدِّيَةِ لَمْ يَقْدَحْ فِي اللَّوْثِ وَلَمْ يُنْقَضْ بِهِ مَا تقدم من الحكم ويعكس هَذَا لَوْ قَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ عَرَفْتُ الْآخَرَ وَهُوَ الَّذِي قَدْ عَرَفَهُ أَخِي لِجَهْلِي بِهِ مِنْ قَبْلُ وَمَعْرِفَتِي لَهُ مِنْ بَعْدُ صَارَ ذَلِكَ اتِّفَاقًا مِنْهُمَا عَلَى الْقَاتِلَيْنِ لِأَنَّهُ قَدْ تَعَرَّفَ مَنْ جَهِلَ فَجَازَ لَهُمَا أَنْ يَشْتَرِكَا فِي الْقَسَامَةِ عَلَيْهِمَا وَيَأْخُذَا مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ الدِّيَةِ بَيْنَهُمَا

Al-Mawardi berkata, “Pendapat keduanya ini merupakan bentuk saling mendustakan, karena masing-masing dari keduanya menafikan apa yang telah ditetapkan oleh yang lain. Jika demikian keadaannya, maka situasi saling mendustakan ini tidak lepas dari dua kemungkinan: terjadi sebelum qasāmah atau setelahnya. Jika terjadi sebelum qasāmah, maka dalam pembatalan al-lawts karena hal ini terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Namun jika terjadi setelah qasāmah dan setelah diputuskan hukum pembayaran diyat, maka hal itu tidak mencederai al-lawts dan tidak membatalkan keputusan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebaliknya, jika masing-masing dari keduanya berkata, ‘Aku telah mengenal yang lain, dan dialah yang telah dikenal oleh saudaraku karena sebelumnya aku tidak mengenalnya dan sekarang aku telah mengenalnya,’ maka hal itu menjadi kesepakatan dari keduanya atas dua orang pembunuh, karena orang yang sebelumnya tidak tahu telah menjadi tahu. Maka keduanya boleh bersama-sama melakukan qasāmah atas keduanya dan masing-masing dari mereka mengambil setengah diyat dari masing-masing pembunuh.”

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَمَتَى قَامَتِ الْبَيِّنَةُ بِمَا يَمْنَعُ إِمْكَانَ السَّبَبِ أَوْ بِإِقْرَارٍ وَقَدْ أُخِذَتِ الدِّيَةُ بِالْقَسَامَةِ رُدَّتِ الدِّيَةُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Apabila telah tegak bayyinah atas sesuatu yang meniadakan kemungkinan sebab, atau dengan pengakuan, dan diyat telah diambil melalui qasāmah, maka diyat tersebut dikembalikan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أَقْسَمَ الْوَلِيُّ مَعَ ظُهُورِ اللَّوْثِ عَلَى رَجُلٍ بِعَيْنِهِ وَقَضَى عَلَيْهِ بِالدِّيَةِ بَعْدَ الْقَسَامَةِ ثُمَّ ظَهَرَ بَعْدَهَا مَا يَمْنَعُ مِنَ الْحُكْمِ بِهَا فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar apabila wali bersumpah disertai adanya indikasi kuat terhadap seseorang secara spesifik, lalu dijatuhkan putusan diyat atasnya setelah qasāmah, kemudian setelah itu muncul sesuatu yang menghalangi penetapan hukum tersebut, maka hal itu terbagi menjadi tiga bagian.”

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مِنْ شُهُودٍ عُدُولٍ فَيَشْهَدُ شَاهِدَانِ أَنَّ هَذَا الْمُدَّعَى عَلَيْهِ الْقَتْلُ كَانَ فِي وَقْتِ الْقَتْلِ غَائِبًا في بلداً آخَرَ أَوْ كَانَ مَحْبُوسًا لَا يَصِلُ إِلَى قَتْلِهِ أَوْ صَرِيعًا مِنْ مَرَضٍ لَا يَنْهَضُ مَعَهُ إِلَى حَرَكَةٍ أَوْ يَشْهَدَانِ أَنَّ الْقَتِيلَ الْمَوْجُودَ فِي مَحَلَّتِهِ نُقِلَ إِلَيْهَا بَعْدَ الْقَتْلِ مِنْ مَحَلَّةٍ إِلَى مَحَلَّةٍ أُخْرَى فَهَذَا كُلُّهُ مُبْطِلٌ لَلَّوْثِ وَمُوجِبٌ لِنَقْضِ الْحُكْمِ بِالْقَسَامَةِ

Salah satunya adalah adanya saksi-saksi yang adil, yaitu dua orang saksi memberikan kesaksian bahwa terdakwa pembunuhan tersebut pada saat terjadinya pembunuhan sedang tidak berada di tempat, melainkan di negeri lain, atau sedang dipenjara sehingga tidak mungkin melakukan pembunuhan, atau sedang terbaring sakit parah sehingga tidak mampu bergerak, atau kedua saksi tersebut memberikan kesaksian bahwa mayat yang ditemukan di suatu tempat telah dipindahkan ke tempat itu setelah dibunuh dari tempat lain. Semua hal ini membatalkan adanya al-lawts dan menyebabkan pembatalan putusan dengan qasāmah.

وَهَكَذَا لَوْ شَهِدَا أَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِالْقَتْلِ كَانَ رَجُلًا آخراً بَطَلَتِ الْقَسَامَةُ وَلَمْ يُحْكَمْ بِالْقَتْلِ عَلَى الثَّانِي لِشَهَادَتِهِمَا قَبْلَ الدَّعْوَى عَلَيْهِ فَإِنْ أَعَادَا الشَّهَادَةَ بَعْدَ الدَّعْوَى لَمْ تُسْمَعْ لِأَنَّ الْمُدَّعِيَ مُكَذِّبٌ لَهُمَا بِدَعْوَاهُ عَلَى الْأَوَّلِ وَإِذَا بَطَلَتِ الْقَسَامَةُ بِهَذِهِ الشَّهَادَةِ انْقَسَمَتْ فِي إِبْطَالِ الدَّعْوَى ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ أَحَدُهَا مَا يَبْطُلُ بِهِ الدَّعْوَى كَمَا بَطَلَتْ بِهِ الْقَسَامَةُ وَهُوَ الشَّهَادَةُ بِأَنَّهُ كَانَ غَائِبًا أَوْ مَحْبُوسًا لِاسْتِحَالَتِهَا مَعَ صِحَّةِ الشَّهَادَةِ

Demikian pula, jika keduanya bersaksi bahwa orang yang melakukan pembunuhan sendirian adalah laki-laki lain, maka qasāmah menjadi batal dan tidak diputuskan hukuman mati atas orang kedua karena kesaksian mereka diberikan sebelum adanya gugatan terhadapnya. Jika keduanya mengulangi kesaksian setelah adanya gugatan, maka kesaksian itu tidak diterima, karena penggugat telah mendustakan mereka dengan gugatannya terhadap orang pertama. Apabila qasāmah batal karena kesaksian ini, maka pembatalan gugatan terbagi menjadi tiga bagian. Salah satunya adalah apa yang dapat membatalkan gugatan sebagaimana qasāmah batal karenanya, yaitu kesaksian bahwa terdakwa sedang tidak berada di tempat (ghaib) atau sedang dipenjara, karena hal itu mustahil bersamaan dengan kebenaran kesaksian.

وَالثَّانِي مَا لَا يَبْطُلُ بِهِ الدَّعْوَى وَإِنْ بَطَلَتْ بِهِ الْقَسَامَةُ وَهُوَ الشَّهَادَةُ بِأَنَّهُ نُقِلَ مِنْ مَحَلَّةٍ إِلَى أُخْرَى لِاحْتِمَالِ أَنْ يَقْتُلَهُ فِي غَيْرِ مَحَلَّتِهِ

Kedua, yaitu sesuatu yang tidak membatalkan gugatan meskipun membatalkan qasāmah, yaitu kesaksian bahwa ia telah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, karena ada kemungkinan ia membunuhnya bukan di tempatnya.

وَالثَّالِثُ مَا يَبْطُلُ بِهِ نِصْفُ الدَّعْوَى وَإِنْ بَطَلَ بِهِ جَمِيعُ الْقَسَامَةِ وَهُوَ الشَّهَادَةُ بِأَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِقَتْلِهِ رَجُلٌ آخَرُ لِأَنَّ إِثْبَاتَ الْقَتْلِ عَلَى الثَّانِي بِالشَّهَادَةِ مَانِعٌ مِنْ أَنْ يَكُونَ الْأَوَّلُ مُنْفَرِدًا بِقَتْلِهِ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ أَنْ يَكُونَ شَرِيكًا فِيهِ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ جُرْحُهُ مِنْ قِبَلِ الثَّانِي فَلَمْ يَرَهُ الشُّهُودُ فَلَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَكُونَ شَرِيكًا وَإِنِ امْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ مُنْفَرِدًا لِذَلِكَ بَطَلَ نِصْفُ الدَّعْوَى وَلَمْ يَبْطُلْ نِصْفُهَا فَهَذَا حُكْمُ الشَّهَادَةِ فِي إِبْطَالِ اللَّوْثِ وَإِبْطَالِ الدَّعْوَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Ketiga, yaitu sesuatu yang membatalkan setengah gugatan, meskipun dengan itu seluruh qasāmah menjadi batal, yaitu kesaksian bahwa orang yang membunuh sendirian adalah orang lain. Sebab, penetapan pembunuhan atas orang kedua dengan kesaksian mencegah kemungkinan bahwa yang pertama membunuh sendirian, namun tidak mencegah kemungkinan ia menjadi sekutu dalam pembunuhan itu. Karena bisa saja lukanya berasal dari orang kedua yang tidak dilihat oleh para saksi, sehingga tidak mustahil ia menjadi sekutu, meskipun tidak mungkin ia membunuh sendirian. Oleh karena itu, setengah gugatan menjadi batal dan setengahnya lagi tidak batal. Inilah hukum kesaksian dalam membatalkan al-lawts dan membatalkan gugatan. Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ

Bab

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يُخْبَرَ بِإِبْطَالِ اللَّوْثِ بِالْأَسْبَابِ الْمُتَقَدِّمَةِ مَنْ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Bagian kedua adalah apabila orang yang tidak diterima kesaksiannya memberitakan tentang pembatalan al-lawts dengan sebab-sebab yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam hal ini terdapat dua bentuk.

أحدهما أن يكون أخبار آحاد يحتمل التواطئ فَلَا تَبْطُلُ بِهَا الْقَسَامَةُ وَالْحُكْمُ فِيهَا عَلَى نُفُوذِهِ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَثْبُتْ بِهَذَا الْخَبَرِ ابْتِدَاءُ اللَّوْثِ لَمْ يَبْطُلْ بِهَا مَا ثَبَتَ مِنَ اللَّوْثِ

Pertama, jika berupa khabar ahad yang masih memungkinkan adanya kesepakatan (tawāthu’), maka hal itu tidak membatalkan qasāmah dan hukum di dalamnya tetap berlaku, karena ketika permulaan adanya indikasi (lawts) tidak dapat dibuktikan dengan khabar tersebut, maka apa yang telah ditetapkan dari lawts tidak menjadi batal karenanya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ أَخْبَارًا منتشرة ينتفي عنها حد التواطئ وَلَا تَبْلُغُ حَدَّ الِاسْتِفَاضَةِ فَيَبْطُلُ بِهَا اللَّوْثُ وَيُنْقَضُ الْحُكْمُ بِالْقَسَامَةِ لِأَنَّهُ لَمَّا ثَبَتَ بِهَا ابْتِدَاءُ اللَّوْثِ جَازَ أَنْ يَبْطُلَ بِهَا مَا تَقَدَّمَ مِنَ اللَّوْثِ وَلَمْ تَبْطُلْ بِهَا الدَّعْوَى فِي جَمِيعِ الْأَسْبَابِ بِخِلَافِ الشَّهَادَةِ لِأَنَّ الشَّهَادَةَ تُوجِبُ الْحُكْمَ فِي الِابْتِدَاءِ فَجَازَ أَنْ تَبْطُلَ بِهَا الدَّعْوَى وَهَذَا الْخَبَرُ لَا يُوجِبُ الْحُكْمَ فِي الِابْتِدَاءِ فَلَمْ تَبْطُلْ بِهِ الدَّعْوَى وَصَارَتِ الدَّعْوَى مُتَجَرِّدَةً عَنْ لَوْثٍ فَكَانَ الْقَوْلُ فِيهِمَا قَوْلَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ وَفِي أَيْمَانِهِ قولان على ما مضى

Jenis kedua adalah kabar-kabar yang tersebar luas yang tidak memenuhi syarat adanya kesepakatan (tawāṭu’) namun juga tidak mencapai derajat istifāḍah (penyebaran yang sangat luas), sehingga dengan adanya kabar tersebut, hilanglah unsur syubhat (lawṯ) dan keputusan dengan qasāmah dapat dibatalkan. Sebab, ketika dengan kabar tersebut terbukti adanya permulaan syubhat, maka boleh jadi dengan kabar itu pula syubhat yang telah ada sebelumnya menjadi batal. Namun, dengan kabar tersebut, gugatan tidak batal dalam semua sebab, berbeda dengan kesaksian (syahādah), karena kesaksian menyebabkan adanya keputusan hukum sejak awal, sehingga gugatan dapat batal karenanya. Adapun kabar ini tidak menyebabkan adanya keputusan hukum sejak awal, maka gugatan tidak batal karenanya. Dengan demikian, gugatan menjadi terlepas dari unsur syubhat, sehingga dalam hal ini, yang dipegang adalah pernyataan pihak tergugat beserta sumpahnya. Adapun mengenai jumlah sumpahnya, terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

أحدهما خمسين يميناً

Salah satunya adalah lima puluh sumpah.

والثاني يميناً وَاحِدَةٌ فَإِنْ حَلَفَ بَرِئَ وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتْ عَلَى الْمُدَّعِي وَلَا يُجْزِئُهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ أَيْمَانِهِ فِي الْقَسَامَةِ لِتَقَدُّمِهَا عَلَى اسْتِحْقَاقِهَا فَأَمَّا إِنْ أَقَرَّ رَجُلٌ أَنَّهُ هُوَ الْقَاتِلُ دُونَ هَذَا الْمُدَّعَى عَلَيْهِ لَمْ تَبْطُلْ بِهِ الْقَسَامَةُ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِشَاهِدٍ وَلَا يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِالْقَتْلِ لِأَنَّهُ أَقَرَّ لِغَيْرِ مُطَالِبٍ وَفِي سَمَاعِ الدَّعْوَى عَلَيْهِ قَوْلَانِ

Yang kedua adalah satu sumpah; jika ia bersumpah, maka ia bebas dari tuduhan, dan jika ia menolak, sumpah itu dikembalikan kepada penggugat. Sumpah-sumpah yang telah diucapkan sebelumnya dalam kasus qasāmah tidak mencukupi baginya, karena sumpah-sumpah itu didahulukan sebelum haknya untuk bersumpah. Adapun jika seseorang mengakui bahwa dialah pembunuhnya, bukan orang yang dituduh ini, maka qasāmah tidak batal karenanya, karena ia bukanlah seorang saksi, dan tidak dijatuhkan hukuman qatl (hukuman mati) atasnya karena ia mengakui kepada selain orang yang menuntut. Dalam hal diterimanya gugatan terhadapnya, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا تُسْمَعُ الدَّعْوَى عَلَيْهِ لِإِكْذَابِهِمَا بِالدَّعْوَى عَلَى الْأَوَّلِ لَكِنْ يَصِيرُ تَجْدِيدُ الدَّعْوَى عَلَيْهِ مُبْطِلًا لِلْقَسَامَةِ مَعَ الْأَوَّلِ

Salah satunya adalah bahwa gugatan tidak dapat didengar terhadapnya karena mereka telah saling mendustakan dalam gugatan terhadap yang pertama, namun pembaruan gugatan terhadapnya dapat membatalkan qasāmah bersama dengan yang pertama.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي تُسْمَعُ الدَّعْوَى عَلَى الثَّانِي لِأَنَّ الدَّعْوَى فِي الْقَسَامَةِ عَلَى الْأَوَّلِ كَانَتْ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ وَإِقْرَارُ الثَّانِي يَقِينٌ فَلَمْ يَسْقُطْ حُكْمُ الْيَقِينِ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ وَلَوْ أَقَرَّ بِالْقَتْلِ وَقَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَنَّهُ كَانَ وَقْتَ الْقَتْلِ غَائِبًا لَمْ تُسْمَعِ الْبَيِّنَةُ لِأَنَّهُ أَكْذَبَهَا بِإِقْرَارِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa gugatan dapat diajukan terhadap orang kedua, karena gugatan dalam kasus qasāmah terhadap orang pertama didasarkan pada dugaan kuat, sedangkan pengakuan orang kedua adalah suatu keyakinan. Maka, hukum keyakinan tidak gugur karena dugaan kuat. Jika ia mengakui telah melakukan pembunuhan, lalu ada bukti yang menunjukkan bahwa pada saat pembunuhan terjadi ia sedang tidak berada di tempat, maka bukti tersebut tidak diterima, karena ia telah mendustakannya dengan pengakuannya sendiri. Dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ

Bagian

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُقِرَّ الْمُدَّعِي بَعْدَ قَسَامَتِهِ بِمَا يَمْنَعُ مِنْهَا وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Bagian ketiga adalah apabila penggugat mengakui, setelah melakukan sumpah, sesuatu yang menghalangi sumpah tersebut, dan hal ini terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا مَا يَبْطُلُ بِهِ قَسَامَتُهُ وَدَعْوَاهُ وَهُوَ أَنْ يُقِرَّ بِأَنَّهُ كَذَبَ فِي دَعْوَاهُ أَوْ يَقُولَ قَتَلَ أَبِي غَيْرُهُ أَوْ يُقِرَّ أَنَّهُ كَانَ غَائِبًا عِنْدَ الْقَتْلِ فِي بَلَدٍ آخَرَ أَوْ كَانَ مَحْبُوسًا فَيَكُونُ هَذَا وَمَا أَشْبَهَهُ مُبْطِلًا لِقَسَامَتِهِ وَدَعْوَاهُ فَإِنْ عَادَ فَادَّعَى قَتْلَ أَبِيهِ عَلَى غَيْرِهِ لَمْ تُسْمَعْ دَعْوَاهُ لِتَكْذِيبِهَا بِالدَّعْوَى الْأُولَى

Salah satunya adalah hal-hal yang dapat membatalkan qasāmah dan pengakuannya, yaitu apabila ia mengakui bahwa ia telah berdusta dalam pengakuannya, atau ia berkata bahwa yang membunuh ayahnya adalah orang lain, atau ia mengakui bahwa pada saat pembunuhan terjadi ia sedang berada di negeri lain, atau ia sedang dipenjara. Maka hal ini dan yang semisal dengannya membatalkan qasāmah dan pengakuannya. Jika ia kembali mengaku dan menuduh orang lain telah membunuh ayahnya, maka pengakuannya tidak diterima karena telah didustakan oleh pengakuan sebelumnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا يُبْطِلُ قَسَامَتَهُ وَلَا يُبْطِلُ دَعْوَاهُ وَهُوَ أَنْ يُقِرَّ بِأَنَّ الْمَقْتُولَ نُقِلَ إِلَى مَحَلَّتِهِ بَعْدَ الْقَتْلِ فَتَبْطُلُ بِهِ قَسَامَتُهُ لِاعْتِرَافِهِ بِبُطْلَانِ اللَّوْثِ وَلَا تَبْطُلُ بِهِ الدَّعْوَى لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُونَ قَدْ قَتَلَهُ فِي غَيْرِ مَحَلَّتِهِ فَتَصِيرُ الدَّعْوَى مُتَجَرِّدَةً عَنْ لوث فيكون الْقَوْلُ فِيهَا قَوْلَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ فَإِنْ حَلَفَ بَرِئَ وَإِنْ نَكَلَ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعِي وَاسْتَأْنَفَ الْيَمِينَ وَلَمْ يُجْزِهِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ أَيْمَانِ الْقَسَامَةِ

Bagian kedua adalah sesuatu yang membatalkan qasāmah-nya namun tidak membatalkan gugatan (dakwā)-nya, yaitu apabila ia mengakui bahwa orang yang terbunuh dipindahkan ke tempatnya setelah dibunuh. Dengan pengakuan ini, qasāmah-nya batal karena ia mengakui tidak adanya al-lawts, tetapi gugatan tidak batal karena masih ada kemungkinan bahwa ia membunuhnya di tempat lain. Maka, gugatan menjadi murni tanpa al-lawts, sehingga dalam hal ini yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pihak tergugat dengan sumpahnya. Jika ia bersumpah, ia bebas dari tuduhan. Namun jika ia enggan bersumpah, sumpah dikembalikan kepada penggugat dan ia memulai sumpah, dan sumpah-sumpah qasāmah yang telah lalu tidak mencukupinya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا يَرْجِعُ فِيهِ إِلَى إِرَادَتِهِ لِاحْتِمَالِهِ وَيَعْمَلُ فِيهِ عَلَى بَيَانِهِ وَهُوَ أَنْ يُقِرَّ بِأَنَّ مَا أَخَذَهُ بِالْقَسَامَةِ ظُلْمٌ أَوْ حَرَامٌ وَهَذَا مُحْتَمِلٌ أَنْ يُرِيدَ بِهِ أَنَّ الْحُكْمَ بِالْقَسَامَةِ عَلَى رَأْيِ أَهْلِ الْعِرَاقِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ بِهِ أَنَّ الْحُكْمَ بِالدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ ظُلْمٌ عَلَى مَذْهَبِ مَالِكٍ حِينَ أَوْجَبَ الْقَوَدَ بِالْقَسَامَةِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ بِهِ أَنَّ دَعْوَى اللَّوْثِ كَاذِبَةٌ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ بِهِ أَنَّ دَعْوَى الْقَتْلِ دَعْوًى كَاذِبَةٌ فَلِهَذِهِ الِاحْتِمَالَاتِ الْمُتَعَارِضَةِ مَا وَجَبَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى إِرَادَتِهِ وَيَعْمَلَ فِيهِ عَلَى بيانه وينقسم بيانه ثلاثة أقسام

Bagian ketiga adalah perkara yang kembali kepada maksudnya karena adanya kemungkinan makna, dan dalam hal ini didasarkan pada penjelasannya. Yaitu apabila seseorang mengakui bahwa apa yang ia ambil melalui qasāmah adalah suatu kezaliman atau haram. Hal ini mungkin saja ia maksudkan bahwa hukum qasāmah menurut pendapat ulama Irak, atau mungkin ia maksudkan bahwa penetapan diyat tanpa qishāsh adalah kezaliman menurut mazhab Malik ketika beliau mewajibkan qishāsh dengan qasāmah, atau mungkin ia maksudkan bahwa klaim adanya lawts adalah dusta, atau mungkin ia maksudkan bahwa klaim pembunuhan itu sendiri adalah dusta. Karena adanya kemungkinan-kemungkinan yang saling bertentangan ini, maka harus kembali kepada maksudnya dan didasarkan pada penjelasannya, dan penjelasannya terbagi menjadi tiga bagian.

أحدهما مَا لَا تَبْطُلُ بِهِ الْقَسَامَةُ وَلَا الدَّعْوَى وَهُوَ أَنْ يُرِيدَ أَنَّ الْحُكْمَ بِهَا ظُلْمٌ عَلَى رَأْيِ أَبِي حَنِيفَةَ أَوْ يَقْصِدُ عَلَى مَذْهَبِ مَالِكٍ فَلَا تَبْطُلُ قَسَامَتُهُ وَلَا يَسْتَرِدُّ مَا أَخَذَهُ لِأَنَّ نُفُوذَ الْحُكْمِ يَكُونُ بِاجْتِهَادِ الْحَاكِمِ لَا بِاجْتِهَادِ الْمُدَّعِي لَكِنْ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى أَنَّهُ لَا تَحِلُّ لَهُ الدِّيَةُ إِذَا اعْتَقَدَ أَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّهَا وَإِنْ لَمْ تُسْتَرْجَعْ مِنْهُ

Pertama, ada yang tidak membatalkan qasāmah maupun gugatan, yaitu apabila seseorang berpendapat bahwa putusan dengan qasāmah itu merupakan kezaliman menurut pendapat Abu Hanifah, atau ia bermaksud mengikuti mazhab Malik. Maka qasāmah-nya tidak batal dan ia tidak diminta mengembalikan apa yang telah diambilnya, karena berlakunya putusan itu didasarkan pada ijtihad hakim, bukan pada ijtihad penggugat. Namun, dalam hubungan antara dirinya dengan Allah Ta‘ala, tidak halal baginya menerima diyat jika ia meyakini bahwa ia tidak berhak menerimanya, meskipun diyat itu tidak diminta kembali darinya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا تَبْطُلُ بِهِ الْقَسَامَةُ وَتَبْطُلُ بِهِ الدَّعْوَى وَهُوَ أَنْ يُقِرَّ بِالْكَذِبِ فِيهَا أَوْ أَنَّ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ كَانَ غَائِبًا عَنْ بَلَدِ الْقَتِيلِ أَوْ يَدَّعِي أَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِقَتْلِ أَبِيهِ غَيْرُهُ فَتَبْطُلُ قَسَامَتُهُ وَدَعْوَاهُ فِي هَذَا كُلِّهِ وَيَصِيرُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بَرِيئًا مِنَ الدَّعْوَى وَعَلَيْهِ رَدُّ مَا أُخِذَ مِنْهُ بِالْقَسَامَةِ وَلَا تُسْمَعُ دَعْوَاهُ عَلَى غَيْرِهِ لِإِكْذَابِهَا بِالدَّعْوَى الْأُولَى فَتَصِيرُ بَاطِلَةً فِي عُمُومِ النَّاسِ كُلِّهِمْ وَلَا تُسْمَعُ بَيِّنَةٌ فِيهِ وَيَصِيرُ دَمُ أَبِيهِ هَدَرًا

Bagian kedua adalah hal-hal yang menyebabkan qasāmah batal dan gugurnya gugatan, yaitu apabila penggugat mengakui bahwa ia telah berbohong dalam perkara tersebut, atau ternyata pihak tergugat sedang tidak berada di negeri tempat korban dibunuh, atau ia mengklaim bahwa yang membunuh ayahnya secara sendirian adalah orang lain. Maka, qasāmah dan gugatannya batal dalam semua hal ini, dan pihak tergugat menjadi bebas dari tuntutan, serta wajib mengembalikan apa yang telah diambil darinya melalui qasāmah. Gugatan terhadap orang lain pun tidak dapat diterima karena telah terbukti dusta dalam gugatan pertama, sehingga gugatan itu menjadi batal atas seluruh manusia, dan tidak diterima pula bukti apa pun dalam perkara ini, serta darah ayahnya menjadi sia-sia (tidak dapat dituntut).

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا تَبْطُلُ بِهِ الْقَسَامَةُ وَلَا تَبْطُلُ بِهِ الدَّعْوَى وَهُوَ أَنْ يُقِرَّ أَنَّ قَتِيلَهُ قُتِلَ فِي غَيْرِ مَحَلَّةِ هَذَا الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَتَبْطُلَ الْقَسَامَةُ لِبُطْلَانِ اللَّوْثِ فِيهَا بِإِقْرَارِهِ وَلَا تَبْطُلُ الدَّعْوَى لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُونَ قَدْ قَتَلَهُ فِي غَيْرِ مَحَلَّتِهِ وَالْقَوْلُ فِيمَا بَيَّنَهُ بِإِرَادَتِهِ مِمَّا لَا تَبْطُلُ بِهِ الْقَسَامَةُ أَوْ لَا تَبْطُلُ بِهِ الدَّعْوَى قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَهِيَ يَمِينٌ وَاحِدَةٌ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ فِي دَمٍ وَإِنَّمَا هِيَ فِي شَأْنِ كَلَامٍ مُحْتَمَلٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Bagian ketiga adalah perkara yang membatalkan qasāmah namun tidak membatalkan gugatan, yaitu apabila seseorang mengakui bahwa orang yang terbunuh itu dibunuh bukan di tempat orang yang didakwa ini. Maka qasāmah menjadi batal karena hilangnya indikasi (lawts) di dalamnya akibat pengakuannya, namun gugatan tidak batal karena masih ada kemungkinan bahwa ia membunuhnya di tempat lain. Adapun dalam hal yang telah dijelaskan, terkait dengan maksudnya, baik yang tidak membatalkan qasāmah maupun yang tidak membatalkan gugatan, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataannya beserta sumpahnya, dan sumpah itu hanya satu kali, karena sumpah tersebut bukan terkait darah (pembunuhan), melainkan terkait suatu ucapan yang masih mengandung kemungkinan. Dan Allah Maha Mengetahui.

بَابُ كَيْفَ يَمِينُ مُدَّعِي الدَّمِ وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ

Bab tentang bagaimana sumpah pihak yang menuntut darah dan pihak yang dituduh

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِذَا وَجَبَتْ لِرَجُلٍ قَسَامَةٌ حَلَفَ بِاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمِ خَائِنَةِ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ لَقَدْ قَتَلَ فُلَانٌ فُلَانًا مُنْفَرِدًا بِقَتْلِهِ مَا شَارَكَهُ فِي قَتْلِهِ غَيْرُهُ وإن ادعى على آخر معه حلف لقتل فلان وآخر معه فلاناً منفردين بقتله ما شاركهما فيه غيرهما

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Apabila seseorang berhak mendapatkan qasāmah, maka ia bersumpah dengan nama Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui pengkhianatan mata dan apa yang disembunyikan oleh hati: ‘Sungguh, si Fulan telah membunuh si Fulan, sendirian dalam membunuhnya, tidak ada orang lain yang turut serta dalam pembunuhannya.’ Dan jika ia menuduh orang lain bersamanya, maka ia bersumpah bahwa si Fulan dan orang lain bersamanya telah membunuh si Fulan, keduanya sendirian dalam membunuhnya, tidak ada orang lain yang turut serta bersama mereka dalam pembunuhan itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَ مِنْ شَرْطِ الدَّعْوَى أَنْ تَكُونَ مُفَسَّرَةً يَنْتَفِي عَنْهَا الِاحْتِمَالُ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْيَمِينُ عَلَيْهَا مُطَابِقَةً لَهَا فِي اسْتِيفَاءِ شُرُوطِهَا وَنَفْيِ الِاحْتِمَالِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, jika termasuk syarat gugatan harus dijelaskan sehingga tidak ada kemungkinan (makna ganda) padanya, maka wajib sumpah itu sesuai dengan gugatan tersebut dalam memenuhi syarat-syaratnya dan meniadakan kemungkinan (makna ganda).”

وَذَلِكَ بِخَمْسَةِ أَشْيَاءَ هِيَ شُرُوطٌ فِي كَمَالِ يَمِينِهِ وَوُجُوبِ الْحُكْمِ بِهَا ذَكَرَ الْمُزَنِيُّ مِنْهَا أَرْبَعَةً وَأَغْفَلَ الْخَامِسَ وَقَدْ ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ

Hal itu terdiri dari lima hal yang merupakan syarat dalam kesempurnaan sumpahnya dan kewajiban menetapkan hukum dengannya. Al-Muzani menyebutkan empat di antaranya dan melupakan yang kelima, sedangkan asy-Syafi‘i telah menyebutkannya dalam kitab al-Umm.

أَحَدُهَا صِفَةُ الْيَمِينِ

Salah satunya adalah sifat sumpah.

وَالثَّانِي تَعْيِينُ الْقَاتِلِ

Dan yang kedua adalah penetapan pelaku pembunuhan.

وَالثَّالِثُ تَعْيِينُ الْمَقْتُولِ

Dan yang ketiga adalah penetapan siapa yang dibunuh.

وَالرَّابِعُ ذِكْرُ الِانْفِرَادِ بِقَتْلٍ أَوِ الِاشْتِرَاكِ فِيهِ

Keempat, menyebutkan apakah pembunuhan itu dilakukan sendiri atau bersama-sama.

وَالْخَامِسُ وَهُوَ الَّذِي أَغْفَلَهُ الْمُزَنِيُّ صِفَةُ الْقَتْلِ مِنْ عَمْدٍ وَخَطَأٍ

Kelima, yang telah diabaikan oleh al-Muzani, adalah sifat pembunuhan, apakah dilakukan dengan sengaja (‘amdan) atau tidak sengaja (khaṭa’an).

فَأَمَّا الْيَمِينُ فَلَا تَصِحُّ إِلَّا بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ إِمَّا بِاللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِاسْمٍ مِنْ أَسْمَائِهِ وَإِمَّا بِصِفَةٍ مِنْ صِفَاتِ ذَاتِهِ وَلَا تَصِحُّ بِصِفَاتِ أَفْعَالِهِ لِأَنَّهَا مَخْلُوقَةٌ وَصِفَاتُ ذَاتِهِ قَدِيمَةٌ وَالْيَمِينُ بِالْمَخْلُوقَاتِ لَا تَصِحُّ وَإِنْ كَانَتْ مُعَظَّمَةً فَيَمِينُهُ بِاللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَقُولَ وَاللَّهِ أَوْ بِاللَّهِ أَوْ تَاللَّهِ فَيَضُمُّ إِلَيْهِ حَرْفَ الْقَسَمِ بِهِ وَهُوَ أَحَدُ ثَلَاثَةِ حُرُوفٍ الْوَاوُ وَالْبَاءُ وَالتَّاءُ وَدُخُولُ حَرْفِ الْقَسَمِ عَلَيْهِ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ إِعْرَابُهُ مَجْرُورًا فَيَقُولُ وَاللَّهِ بِالْكَسْرِ فَإِنْ جَعَلَهُ مَرْفُوعًا فَقَالَ وَاللَّهُ بِالضَّمِّ أَوْ جَعَلَهُ مَنْصُوبًا فَقَالَ وَاللَّهَ بِالْفَتْحِ

Adapun sumpah, maka tidak sah kecuali dengan salah satu dari tiga hal: dengan (menyebut) Allah Ta‘ala, atau dengan salah satu nama-Nya, atau dengan salah satu sifat Dzat-Nya. Tidak sah bersumpah dengan sifat-sifat perbuatan-Nya karena sifat-sifat itu adalah makhluk, sedangkan sifat-sifat Dzat-Nya adalah qadim. Sumpah dengan makhluk-makhluk tidak sah, meskipun makhluk itu diagungkan. Sumpah dengan Allah Ta‘ala adalah dengan mengucapkan “wallāh” atau “billāh” atau “tallāh”, yaitu dengan menambahkan huruf sumpah kepadanya, yang merupakan salah satu dari tiga huruf: wāw, bā’, dan tā’. Masuknya huruf sumpah mengharuskan kata setelahnya berharakat majrūr, sehingga diucapkan “wallāhi” dengan kasrah. Jika diucapkan dengan marfū‘, misalnya “wallāhu” dengan dhammah, atau dengan manshūb, misalnya “wallāha” dengan fathah, maka tidak sah.

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ أَجْزَأَهُ لِأَنَّهُ لَحْنٌ لَا يُزِيلُ الْمَعْنَى وَلَمْ يُفَرِّقْ وَفَرَّقَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ بَيْنَ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ وَالْإِعْرَابِ فِي كَلَامِهِ وَبَيْنَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْهُمْ فَجَعَلَهَا مِمَّنْ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ يَمِينًا لِأَنَّهُمْ لَا يُفَرِّقُونَ بَيْنَ اللَّحْنِ وَالْإِعْرَابِ وَيَتَكَلَّمُونَ بِهِمَا عَلَى السَّوَاءِ

Imam Syafi‘i berkata dalam kitab Al-Umm: Hal itu sudah mencukupi karena kesalahan tersebut tidak mengubah makna, dan beliau tidak membedakan. Namun, sebagian sahabat beliau membedakan antara orang yang ahli dalam bahasa Arab dan tata bahasa dalam ucapannya dengan orang yang bukan dari mereka. Maka, mereka menganggapnya sebagai sumpah bagi orang yang bukan ahli bahasa Arab, karena mereka tidak membedakan antara kesalahan dan tata bahasa, dan mereka mengucapkannya secara sama saja.

وَلَمْ يَجْعَلْهَا فِيمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ يَمِينًا لِأَنَّهُمْ يُفَرِّقُونَ بَيْنَ اللَّحْنِ وَالْإِعْرَابِ وَلَا يَتَلَفَّظُونَ بِالْكَلِمَةِ إِلَّا عَلَى مَوْضِعِهَا فِي اللُّغَةِ فَلَا يَجْعَلُونَ مَا خَرَجَ عَنْ إِعْرَابِ الْقَسَمِ قَسَمًا

Dan tidak menjadikannya sebagai sumpah bagi orang-orang yang termasuk ahli bahasa Arab, karena mereka membedakan antara lahn dan i‘rab, serta tidak mengucapkan suatu kata kecuali sesuai dengan posisinya dalam bahasa. Maka mereka tidak menganggap sesuatu yang keluar dari i‘rab sumpah sebagai sumpah.

فَأَمَّا إِنْ حُذِفَ حَرْفُ الْقَسَمِ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ لَمْ يَكُنْ عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يَمِينًا فِي عُمُومِ النَّاسِ كُلِّهِمْ سَوَاءٌ ذَكَرَ الِاسْمَ مَرْفُوعًا أَوْ مَجْرُورًا أَوْ مَنْصُوبًا وَعَلَى قَوْلِ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَصْحَابِهِ فَجَعَلَهَا بِالنَّصْبِ فِي أَهْلِ الْعَرَبِيَّةِ يَمِينًا لِأَنَّهُمْ إِذَا حَذَفُوا حَرْفَ الْجَرِّ نَصَبُوا فَصَارَ النَّصْبُ عِوَضًا عَنْ حَرْفِ الْقَسَمِ فَصَارَتْ فِيهِمْ يَمِينًا دُونَ غَيْرِهِمْ فَأَمَّا غَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى فَيَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ

Adapun jika huruf sumpah dihilangkan dari penyebutan nama Allah, maka menurut pendapat zahir dari mazhab Syafi‘i, hal itu tidak dianggap sebagai sumpah bagi seluruh manusia, baik nama tersebut disebutkan dalam bentuk marfū‘, majrūr, maupun manshūb. Namun, menurut pendapat sebagian ulama Syafi‘iyah yang membedakan antara orang Arab dan selain mereka, jika nama Allah disebutkan dalam bentuk manshūb oleh orang Arab, maka itu dianggap sebagai sumpah, karena mereka jika menghilangkan huruf jar, mereka menjadikannya manshūb, sehingga bentuk manshūb menjadi pengganti huruf sumpah, dan dengan demikian dianggap sumpah bagi mereka, tidak bagi selain mereka. Adapun selain itu dari nama-nama Allah Ta‘ala, maka terbagi menjadi dua bagian.

أَحَدُهُمَا مَا كَانَ عَلَى اخْتِصَاصِهِ بِأَسْمَاءِ اللَّهِ الَّتِي لَا يُشَارِكُهُ الْمَخْلُوقُونَ فِيهَا كَالرَّحْمَنِ فَيَمِينُهُ بِهِ كَيَمِينِهِ بِاللَّهِ

Salah satunya adalah apa yang bersifat khusus bagi Allah dengan nama-nama-Nya yang tidak dimiliki oleh makhluk, seperti Ar-Rahman, maka sumpah dengan nama tersebut hukumnya sama dengan sumpah dengan nama Allah.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا كَانَ مُشْتَرِكًا بَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى وَعِبَادِهِ كَالرَّحِيمِ فَلَا يَصِحُّ يَمِينُهُ بِانْفِرَادِهِ حَتَّى يُضَافَ إِلَى صِفَةٍ لَا يُشَارِكُهُ الْمَخْلُوقُونَ فِيهَا

Bagian kedua adalah nama yang digunakan bersama antara Allah Ta‘ala dan hamba-hamba-Nya, seperti “ar-Rahim” (Maha Penyayang), maka sumpah dengan nama ini saja tidak sah sampai disandarkan kepada sifat yang tidak dimiliki makhluk.

وَأَمَّا يَمِينُهُ بِصِفَاتِ ذَاتِهِ فَكَقَوْلِهِ وَقُدْرَةِ اللَّهِ وَعَظَمَةِ اللَّهِ وَعِزَّةِ اللَّهِ فَيَكُونُ يَمِينًا لِأَنَّهَا قَدِيمَةٌ مَعَ قِدَمِهِ فَأَمَّا صِفَاتُ أَفْعَالِهِ فَكَقَوْلِهِ وَخَلْقِ اللَّهِ وَرِزْقِ اللَّهِ فَلَا يَكُونُ يَمِينًا لِحُدُوثِهَا فَصَارَ كَيَمِينِهِ بِالْمَخْلُوقَاتِ الَّتِي لَا يَلْزَمُ الْقَسَمُ بِهَا فَإِذَا صَحَّ مَا يُقْسَمُ بِهِ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَأَسْمَائِهِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ وَصِفَاتِ ذَاتِهِ دُونَ صِفَاتِ أَفْعَالِهِ فَالْأَوْلَى بِالْحَاكِمِ أَنْ يَضُمَّ إِلَى اسْمِهِ فِي الْيَمِينِ مِنْ صِفَاتِهِ مَا يَكُونُ أَغْلَظَ لِلْيَمِينِ وَأَرْهَبَ لِلْحَالِفِ

Adapun sumpah dengan sifat-sifat Dzat-Nya, seperti ucapannya “demi kekuasaan Allah”, “demi keagungan Allah”, dan “demi kemuliaan Allah”, maka itu dianggap sebagai sumpah karena sifat-sifat tersebut adalah qadim bersama dengan keqadiman-Nya. Adapun sifat-sifat perbuatan-Nya, seperti ucapannya “demi ciptaan Allah” dan “demi rezeki Allah”, maka itu tidak dianggap sebagai sumpah karena sifat-sifat tersebut adalah sesuatu yang baru (hadits), sehingga sama seperti bersumpah dengan makhluk-makhluk yang tidak wajib bersumpah dengannya. Maka, jika telah sah apa yang dijadikan sumpah dari penyebutan Allah, nama-nama-Nya yang khusus bagi-Nya, dan sifat-sifat Dzat-Nya, bukan sifat-sifat perbuatan-Nya, maka yang lebih utama bagi hakim adalah menambahkan pada nama-Nya dalam sumpah dengan sifat-sifat-Nya yang lebih menguatkan sumpah dan lebih menakutkan bagi orang yang bersumpah.

وَقَدْ ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فَقَالَ يَحْلِفُ بِاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَهُوَ أَوْلَى مِنْ قَوْلِ لَا إله غيره لأن في الأول إثبات لِإِلَهِيَّتِهِ وَنَفْيًا لِإِلَهِيَّةِ غَيْرِهِ

Imam Syafi‘i rahimahullah telah menyebutkan hal ini, beliau berkata: Seseorang bersumpah dengan (mengucapkan), “Demi Allah, yang tiada tuhan selain Dia,” dan ini lebih utama daripada ucapan “tidak ada tuhan selain-Nya,” karena pada ucapan pertama terdapat penetapan keilahian-Nya dan penafian keilahian selain-Nya.

وَالثَّانِي مَقْصُورٌ عَلَى نفي إلاهية غَيْرِهِ ثُمَّ أَكَّدَ بَعْدَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ الَّذِي يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ وَهَذِهِ صِفَةٌ تَخْتَصُّ بِاللَّهِ تَعَالَى دُونَ غَيْرِهِ فَإِنْ ذَكَرَ الْحَالِفُ ذَلِكَ فِي الْيَمِينِ الَّتِي أُحْلِفَ بِهَا كَانَ تَأْكِيدًا لَهَا وَإِنِ اقْتَصَرَ فِي الْيَمِينِ عَلَى اسْمِهِ فَأُحْلِفَهُ وَاللَّهِ وَلَمْ يَذْكُرْ مِنْ صِفَاتِ التَّأْكِيدِ شَيْئًا أَجَزَأَتِ الْيَمِينُ لِأَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اقْتَصَرَ فِي إِحْلَافِ رُكَانَةَ بْنِ عَبْدِ يَزِيدَ عَلَى اسْمِ اللَّهِ وَلَمْ يُغَلِّظْهَا بِالصِّفَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Yang kedua terbatas pada penafian keilahian selain-Nya, kemudian dikuatkan setelah itu dengan firman-Nya: “Yang mengetahui khianat mata dan apa yang disembunyikan oleh dada.” Ini adalah sifat yang khusus bagi Allah Ta‘ala dan tidak dimiliki oleh selain-Nya. Jika orang yang bersumpah menyebutkan hal itu dalam sumpah yang diucapkannya, maka itu menjadi penguat baginya. Namun jika dalam sumpahnya hanya menyebut nama-Nya saja, seperti “Demi Allah” tanpa menyebutkan sifat-sifat penguat apa pun, maka sumpah itu sudah mencukupi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengambil sumpah dari Rukanah bin ‘Abd Yazid hanya menggunakan nama Allah dan tidak menegaskannya dengan sifat-sifat, dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّانِي وَهُوَ تَعْيِينُ الْقَاتِلِ فَلِأَنَّ الْحَقَّ مُتَعَلِّقٌ بِهِ وَالْحَكَمَ مُتَوَجِّهٌ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ حَاضِرًا عَيْنَهُ بِالِاسْمِ وَالْإِشَارَةِ فَقَالَ بِاللَّهِ لَقَدْ قَتَلَ فَلَانُ بْنُ فُلَانٍ هَذَا الْحَاضِرُ وَيُشِيرُ إِلَيْهِ بِيَدِهِ فُلَانًا فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى الْإِشَارَةِ دُونَ الِاسْمِ أَجَزَأَ لِأَنَّ الِاسْمَ مَعَ الْإِشَارَةِ تَأْكِيدٌ وَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى الِاسْمِ دُونَ الْإِشَارَةِ أَجَزَأَ ذَلِكَ فِي الْغَائِبِ إِذَا رَفَعَ نَسَبَهُ بِمَا يَتَمَيَّزُ بِهِ عَنْ جَمِيعِ النَّاسِ كُلِّهِمْ لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى تَعْيِينِ الْغَائِبِ إِلَّا بِالِاسْمِ وَفِي إِجْزَائِهِ فِي الْحَاضِرِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ

Adapun syarat kedua, yaitu penetapan pelaku pembunuhan, karena hak itu terkait dengannya dan keputusan hukum diarahkan kepadanya. Jika ia hadir, maka harus ditetapkan dengan nama dan isyarat, misalnya dengan mengatakan, “Demi Allah, sungguh si Fulan bin Fulan yang hadir ini telah membunuh,” sambil menunjuk kepadanya dengan tangan dan menyebut namanya. Jika hanya cukup dengan isyarat tanpa menyebut nama, itu sudah mencukupi, karena penyebutan nama bersamaan dengan isyarat hanyalah sebagai penegasan. Jika hanya menyebut nama tanpa isyarat, itu sudah mencukupi untuk orang yang tidak hadir, apabila ia menyebutkan nasabnya dengan sesuatu yang membedakannya dari seluruh manusia, karena tidak mungkin menetapkan orang yang tidak hadir kecuali dengan nama. Adapun mencukupinya penyebutan nama saja untuk yang hadir, terdapat dua pendapat yang mungkin.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَصِرَ فِيهِ عَلَى الِاسْمِ دُونَ الْإِشَارَةِ

Salah satunya boleh hanya menyebutkan nama tanpa disertai isyarat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُجْزِئُهُ الِاقْتِصَارُ عَلَى الِاسْمِ حَتَّى يَضُمَّ إِلَيْهِ الْإِشَارَةَ لِأَنَّ الْإِشَارَةَ أَنْفَى لِلِاحْتِمَالِ وَأَبْلَغُ مِنَ الْأَسْمَاءِ الَّتِي تَنْتَقِلُ وَيَقَعُ فِيهَا الِاشْتِرَاكُ وَإِنْ جَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَيْهَا مَعَ الْغَيْبَةِ وَتَرْكُ الْإِشَارَةِ مَعَ إِمْكَانِهَا يُحَدِثُ مِنَ الشُّبْهَةِ الْمُحْتَمَلَةِ مَا لَا تَحْدُثُ مَعَ الْغَيْبَةِ

Pendapat kedua, tidak cukup hanya menyebutkan nama, melainkan harus disertai dengan isyarat, karena isyarat itu lebih menafikan kemungkinan (kesalahan) dan lebih kuat daripada nama-nama yang bisa berpindah dan dapat terjadi kesamaan di dalamnya. Meskipun boleh hanya menyebutkan nama saja ketika orang yang dimaksud tidak hadir, namun meninggalkan isyarat padahal memungkinkan untuk melakukannya dapat menimbulkan keraguan yang tidak terjadi ketika orang tersebut tidak hadir.

فَصْلٌ

Bab

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّالِثُ وَهُوَ تَعْيِينُ الْمَقْتُولِ فَلِأَنَّ الدَّعْوَى فِيهِ وَاسْتِحْقَاقَ الْمُطَالَبَةِ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا حَاضِرًا عُيِّنَ بِالِاسْمِ وَالْإِشَارَةِ فَيَقُولُ وَاللَّهِ لَقَدْ قَتَلَ فَلَانٌ هَذَا الْحَاضِرُ فَلَانَ بْنَ فُلَانٍ هَذَا الْمَقْتُولَ فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى تَعْيِينِ الْمَقْتُولِ بِالْإِشَارَةِ دُونَ الِاسْمِ أَجْزَأَ وَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى تَعْيِينِهِ بِالِاسْمِ دُونَ الْإِشَارَةِ كَانَ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ الْمُحْتَمَلَيْنِ

Adapun syarat ketiga, yaitu penetapan (identifikasi) korban, karena dalam hal ini terdapat gugatan dan hak untuk menuntut atas namanya. Jika korban masih ada dan hadir, maka ditetapkan dengan nama dan isyarat, sehingga dikatakan: “Demi Allah, sungguh si Fulan yang hadir ini telah membunuh si Fulan bin Fulan yang menjadi korban ini.” Jika hanya cukup dengan penetapan korban melalui isyarat tanpa menyebut nama, maka itu sudah mencukupi. Namun jika hanya cukup dengan penetapan melalui nama tanpa isyarat, maka hukumnya kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya.

وَإِنْ كَانَ الْمَقْتُولُ غَيْرَ مَوْجُودٍ جَازَ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى تَعْيِينِهِ بِالِاسْمِ وَحْدَهُ لَكِنْ عَلَيْهِ مَعَ هَذَا أَنْ يَرْفَعَ فِي نَسَبِهِ مَا لَا يَرْفَعُ فِيهِ مَعَ الْإِشَارَةِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ نَسَبَهُ وَصِفَتَهُ وَصِنَاعَتَهُ مَا يَتَمَيَّزُ بِهِ وَيَمْنَعُ مِنْ مُشَارَكَةِ غَيْرِهِ

 

فَصْلٌ

Bab

وَأَمَّا الشَّرْطُ الرَّابِعُ وَهُوَ ذِكْرُ انْفِرَادِهِ بِقَتْلِهِ أَوْ مُشَارَكَةِ غَيْرِهِ فَلِأَنَّ قَتْلَ الْمُنْفَرِدِ مُخَالِفٌ لِقَتْلِ الْمُشَارِكِ فِي الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ مُسَاوِيًا لَهُ فِي الْقَوَدِ وَإِنْ قَالَ قَتَلَهُ وَحْدَهُ حَلَفَ بِاللَّهِ لَقَدْ قَتَلَهُ وَحْدَهُ مُنْفَرِدًا بِقَتْلِهِ مَا شَارَكَهُ فِي قَتْلِهِ غَيْرُهُ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي قَوْلِ مَا شَارَكَهُ فِيهِ غَيْرُهُ بَعْدَ قَوْلِهِ مُنْفَرِدًا بِقَتْلِهِ هَلْ هُوَ تَأْكِيدٌ أَوْ شَرْطٌ وَاجِبٌ عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun syarat keempat, yaitu menyebutkan apakah ia membunuh sendiri atau bersama orang lain, karena membunuh sendirian berbeda dengan membunuh bersama orang lain dalam hal diyat, meskipun keduanya sama dalam qishāsh. Jika ia mengatakan, “Ia membunuhnya sendirian,” maka ia harus bersumpah dengan nama Allah bahwa benar-benar ia membunuhnya sendirian, tidak ada orang lain yang turut serta dalam pembunuhan itu. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai ucapan “tidak ada orang lain yang turut serta dalam pembunuhan itu” setelah ucapan “membunuhnya sendirian”; apakah itu merupakan penegasan atau syarat wajib, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ تَأْكِيدٌ فَإِنْ تَرَكَهُ فِي الْيَمِينِ أَجْزَأَ لِأَنَّ انْفِرَادَهُ بِهِ يَمْنَعُ مِنْ مُشَارَكَةِ غَيْرِهِ فِيهِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu merupakan penegasan; maka jika ia meninggalkannya dalam sumpah, itu sudah mencukupi, karena keunikannya dalam hal itu mencegah adanya partisipasi dari selainnya di dalamnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهُ شَرْطٌ وَاجِبٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَنْفَرِدُ بِقَتْلِهِ وَيَكُونُ مِنْ غَيْرِهِ إِكْرَاهٌ يَلْزَمُهُ بِهِ حُكْمُ الْقَتْلِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa itu adalah syarat yang wajib, karena bisa saja seseorang sendirian melakukan pembunuhan, dan bisa juga tanpa adanya paksaan dari orang lain yang mengharuskannya mendapatkan hukum pembunuhan.

فَيَصِيرُ مُنْفَرِدًا فِي الْفِعْلِ ومشاركاً في الحكم فلم يكفي مِنْهُ أَنْ يَقُولَ مُنْفَرِدًا بِقَتْلِهِ حَتَّى يَقُولَ مَا شَارَكَهُ فِيهِ غَيْرُهُ لِيَنْفِيَ بِذَلِكَ أَنْ يَتَعَلَّقَ حُكْمُ الْقَتْلِ عَلَى مُكْرَهٍ غَيْرِ قَاتِلٍ وَإِنِ ادَّعَى أَنَّهُ شَارَكَهُ غَيْرُهُ فِي الْقَتْلِ ذَكَرَ عَدَدَ الشُّرَكَاءِ فَإِنْ قَالَ قَتَلَهُ هَذَا وَآخَرُ فَإِنْ حَضَرَ الْآخَرُ أَقْسَمَ عَلَيْهِمَا وَقَالَ وَاللَّهِ لَقَدْ قَتَلَهُ فُلَانٌ وَفُلَانٌ هَذَانِ مُنْفَرِدَيْنِ بقتله ما شَرَكَهُمَا فِي قَتْلِهِ غَيْرُهُمَا وَإِنْ غَابَ الْآخَرُ عُيِّنَ الْحَاضِرُ وَجَازَ أَنْ يُسَمِّيَ الْغَائِبَ وَلَا يُسَمِّيَهُ وَأَقْسَمَ عَلَيْهِ فَقَالَ لَقَدْ قَتَلَهُ هَذَا وَآخَرُ مَعَهُ مُنْفَرِدَيْنِ بِقَتْلِهِ

Maka ia menjadi sendiri dalam perbuatan namun berbagi dalam hukum, sehingga tidak cukup baginya untuk mengatakan bahwa ia sendiri yang membunuhnya, sampai ia menyebutkan siapa saja yang turut serta dalam perbuatan itu, agar dengan demikian dapat menafikan bahwa hukum pembunuhan itu terkait pada orang yang dipaksa selain pelaku pembunuhan. Jika ia mengklaim bahwa ada orang lain yang turut serta dalam pembunuhan itu, maka ia harus menyebutkan jumlah para pelaku. Jika ia berkata, “Orang ini dan orang lain telah membunuhnya,” lalu orang lain itu hadir, maka ia harus bersumpah atas keduanya dan berkata, “Demi Allah, sungguh si Fulan dan si Fulan inilah yang membunuhnya, keduanya sendiri yang melakukannya, tidak ada orang lain yang turut serta bersama mereka dalam pembunuhan itu.” Jika orang lain itu tidak hadir, maka yang hadir ditetapkan, dan boleh baginya menyebutkan nama yang tidak hadir atau tidak menyebutkannya, lalu ia bersumpah atasnya dan berkata, “Sungguh orang ini dan orang lain bersamanya, keduanya sendiri yang membunuhnya.”

فَصْلٌ

Bab

وَأَمَّا الشَّرْطُ الْخَامِسُ وَهُوَ صِفَةُ الْقَتْلِ مِنْ عَمْدٍ أَوْ خَطَأٍ فَلِمَا بَيْنَ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ مِنِ اخْتِلَافِ الديتين وحكم القود فإن كان عمد قَالَ لَقَدْ قَتَلَهُ عَمْدًا وَإِنْ كَانَ خَطَأً قَالَ لَقَدْ قَتَلَهُ خَطَأً فَيَذْكُرُ الْخَطَأَ كَمَا يَذْكُرُ الْعَمْدَ وَإِنْ كَانَ أَضْعَفَهُمَا حُكْمًا لِأَنَّ دِيَةَ الْعَمْدِ فِي مَالِهِ وَدِيَةَ الْخَطَأِ عَلَى عَاقِلَتِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَذْكُرَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِاخْتِلَافِ مَحَلِّهِمَا وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَصِفَ فِي يَمِينِهِ الْعَمْدَ وَلَا الْخَطَأَ إِذَا كَانَ وَصَفَهُمَا فِي الدَّعْوَى لِأَنَّ يَمِينَ الْحَالِفِ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ مَحْمُولٌ عَلَى نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفِ دُونَ الْحَالِفِ فَصَارَتْ مُتَوَجِّهَةً إِلَى الصِّفَةِ الَّتِي أَحْلَفَهُ الْحَاكِمُ عَلَيْهَا

Adapun syarat kelima, yaitu sifat pembunuhan, apakah disengaja (‘amdan) atau tidak disengaja (khaṭa’an), hal ini karena adanya perbedaan antara pembunuhan sengaja dan tidak sengaja dalam hal diyat dan hukum qishāsh. Jika pembunuhan itu disengaja, maka dikatakan, “Sungguh ia telah membunuhnya dengan sengaja,” dan jika tidak disengaja, dikatakan, “Sungguh ia telah membunuhnya tanpa sengaja.” Maka, kesalahan (khaṭa’) disebutkan sebagaimana disebutkannya kesengajaan (‘amd), meskipun yang pertama lebih lemah hukumnya, karena diyat pembunuhan sengaja diambil dari harta pelaku, sedangkan diyat pembunuhan tidak sengaja ditanggung oleh ‘āqilah-nya. Oleh karena itu, wajib menyebutkan masing-masing dari keduanya karena perbedaan tempatnya. Tidak wajib baginya untuk menyebutkan dalam sumpahnya apakah itu sengaja atau tidak sengaja jika ia telah menyebutkan keduanya dalam gugatan, karena sumpah orang yang bersumpah menurut mazhab Syafi‘i didasarkan pada niat orang yang meminta sumpah, bukan pada niat orang yang bersumpah. Maka, sumpah itu diarahkan kepada sifat yang hakim meminta sumpah atasnya.

فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا كَانَ مَحْمُولًا فِي صِفَةِ الْقَتْلِ عَلَى مَا تَضَمَّنَتْهُ الدَّعْوَى اعْتِبَارًا بِنِيَّةِ الْحَاكِمِ الْمُسْتَحْلِفِ فَهَلَّا كَانَ فِيمَا عَدَاهَا مِنَ الشُّرُوطِ الْمَذْكُورَةِ فِي هَذِهِ الْيَمِينِ لَا يَلْزَمُ ذِكْرُهَا وَيُحْمَلُ عَلَى نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفِ قِيلَ لِأَنَّ صِفَةَ الْقَتْلِ مُرَادٌ لِزَوَالِ الِاشْتِبَاهِ وَمَا عَدَاهَا مُرَادُ الِاسْتِحْقَاقِ بِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Jika dikatakan: Jika sifat pembunuhan itu dibawa sesuai dengan apa yang terkandung dalam gugatan, dengan mempertimbangkan niat hakim yang mengambil sumpah, maka mengapa dalam syarat-syarat lain yang disebutkan dalam sumpah ini tidak wajib disebutkan dan cukup dibawa pada niat pihak yang mengambil sumpah? Maka dijawab: Karena sifat pembunuhan dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan, sedangkan selain itu dimaksudkan untuk menetapkan hak dengannya. Dan Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِنِ ادَّعَى الْجَانِي أَنَّهُ بَرَأَ مِنَ الْجِرَاحِ زَادَ وَمَا بَرَأَ مِنْ جِرَاحَةِ فُلَانٍ حَتَّى مَاتَ مِنْهَا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika pelaku kejahatan mengaku bahwa ia telah sembuh dari luka, lalu ia menambahkan, ‘Dan si Fulan tidak sembuh dari lukanya hingga ia meninggal karena luka tersebut.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي مَجْرُوحٍ مَاتَ مَعَ لَوْثٍ فِي جِرَاحَتِهِ فَأَرَادَ الْوَلِيُّ أَنْ يُقْسِمَ فَذَكَرَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَنَّ الْمَجْرُوحَ مَاتَ مِنْ غَيْرِ الْجِرَاحَةِ الَّتِي كَانَتْ بِهِ فَيُنْظَرُ فَإِنْ مَاتَ عُقَيْبَ الْجِرَاحَةِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ مَاتَ مِنْهَا فَلَا يُؤَثِّرُ مَا ذَكَرَهُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فَإِنْ لَمْ يَبْرَأْ حَتَّى زَمَانِ مَوْتِهِ بَعْدَ الْجِرَاحَةِ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah pada seseorang yang terluka kemudian meninggal dunia, sementara terdapat tanda-tanda kuat (lawts) pada lukanya, lalu wali korban ingin melakukan sumpah qasamah. Namun, pihak yang dituduh menyatakan bahwa orang yang terluka tersebut meninggal bukan karena luka yang dideritanya. Maka, hal ini perlu diteliti; jika ia meninggal segera setelah mengalami luka, maka yang tampak adalah ia meninggal karena luka tersebut, sehingga pernyataan pihak yang dituduh tidak berpengaruh. Namun, jika ia tidak sembuh hingga waktu kematiannya setelah mengalami luka, maka kasus ini terbagi menjadi tiga macam.

أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ الجراحة قد أندملت فيقسط حُكْمُ الْقَسَامَةِ فِيهَا لِاسْتِقْرَارِ حُكْمِهَا بِالِانْدِمَالِ وَبَطَلَتْ سِرَايَتُهَا إِلَى النَّفْسِ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ قَسَامَةٌ

Salah satunya adalah jika luka bekas operasi telah sembuh, maka hukum qasāmah tidak berlaku padanya, karena hukumnya telah tetap dengan kesembuhan tersebut dan tidak lagi berlanjut (menular) hingga menyebabkan kematian. Dan pada selain jiwa (nyawa), tidak ada qasāmah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ دَمُهَا جَارِيًا لم تندمل فَهَذَا مُحْتَمِلٌ أَنْ يَكُونَ الْمَوْتُ مِنْهَا وَمُحْتَمِلٌ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِهَا فَيَزِيدُ الْحَالِفُ مِنْ أَيْمَانِ قَسَامَتِهِ أَنَّهُ مَاتَ مِنْ جِرَاحَتِهِ فَإِنْ أَقْسَمَ عَلَى اثْنَيْنِ قَالَ فِي يَمِينِهِ وَأَنَّهُ مَا مَاتَ مِنْ غَيْرِ جِرَاحَتِهِمَا وَلَمْ يَقُلْ إِنَّهُ مَاتَ مِنْ جُرْحِهِمَا لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَمُوتَ مِنْ جُرْحِ أَحَدِهِمَا وَإِنْ أَجْرَى الشَّرْعُ حُكْمَ الْقَتْلِ عَلَيْهِمَا

Jenis kedua adalah jika lukanya masih mengalir darahnya dan belum sembuh, maka ini memungkinkan kematian terjadi karena luka tersebut, dan juga memungkinkan terjadi karena sebab lain. Maka orang yang bersumpah dalam qasāmah menambah sumpahnya dengan mengatakan bahwa kematian itu terjadi karena lukanya. Jika ia bersumpah atas dua orang, maka dalam sumpahnya ia mengatakan, “dan bahwa ia tidak mati karena selain luka keduanya,” dan tidak mengatakan, “bahwa ia mati karena luka keduanya,” karena mungkin saja ia mati karena luka salah satu dari keduanya, meskipun syariat menetapkan hukum pembunuhan atas keduanya.

الضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الِانْدِمَالِ فَيَدَّعِيهِ الْجَانِي وَيُنْكِرُهُ الْمُدَّعِي فَلَوْ كَانَ فِي غَيْرِ الْقَسَامَةِ لَكَانَ الْقَوْلُ فِيهِ قَوْلَ الْجَانِي فَأَمَّا فِي الْقَسَامَةِ فَفِيهِ وجهان

Jenis ketiga adalah apabila terjadi perbedaan pendapat mengenai penyembuhan luka, di mana pelaku mengakuinya sedangkan penggugat mengingkarinya. Jika hal ini terjadi di luar kasus qasāmah, maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pelaku. Adapun dalam kasus qasāmah, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ كَمَا يَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَهُ فِي غَيْرِ الْقَسَامَةِ حَتَّى يُقِيمَ الْمُدَّعِي الْبَيِّنَةَ بِبَقَاءِ الْجُرْحِ سَائِلَ الدَّمِ غَيْرَ مُنْدَمِلٍ ثُمَّ يُقْسِمُ

Salah satu pendapat, dan inilah yang tampak dari pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa pernyataan diterima dari pelaku (jāni) beserta sumpahnya, sebagaimana pernyataan diterima darinya dalam perkara selain qasāmah, hingga pihak penuntut mendatangkan bukti (bayyinah) bahwa luka tersebut masih mengeluarkan darah dan belum sembuh, kemudian ia bersumpah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ الْقَوْلَ فِيهِ قَوْلُ الْمُدَّعِي بِخِلَافِهِ فِي غَيْرِ الْقَسَامَةِ لِأَنَّهُ لَمَّا خَالَفَتِ الْقَسَامَةُ غَيْرَهَا فِي قَبُولِ قَوْلِ الْمُدَّعِي فِي الْقَتْلِ خَالَفَتْهُ فِي قَبُولِ قَوْلِهِ بِهِ فِي سِرَايَةِ الْجِرَاحِ فَيُقْسِمُ عَلَى ذَلِكَ وَيَزِيدُ فِي يَمِينِهِ أَنَّهُ مَاتَ مِنْ جِرَاحَتِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang tampak dari Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, adalah bahwa dalam masalah ini yang dipegang adalah pernyataan pihak penggugat, berbeda dengan kasus selain qasāmah. Karena ketika qasāmah berbeda dengan selainnya dalam menerima pernyataan penggugat dalam kasus pembunuhan, maka ia juga berbeda dalam menerima pernyataannya terkait penyebaran luka. Maka penggugat bersumpah atas hal itu dan menambah dalam sumpahnya bahwa korban meninggal karena lukanya, dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِذَا حَلَفَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ حَلَفَ كَذَلِكَ مَا قَتَلَ فُلَانًا وَلَا أَعَانَ عَلَى قَتْلِهِ وَلَا نَالَهُ مِنْ فِعْلِهِ وَلَا بِسَبَبِ فِعْلِهِ شَيْءٌ جَرَحَهُ وَلَا وَصَلَ إِلَى شَيْءٍ مِنْ بَدَنِهِ لِأَنَّهُ قَدْ يَرْمِي فَيُصِيبُ شَيْئًا فَيَطِيرُ الَّذِي أَصَابَهُ فَيَقْتُلُهُ وَلَا أَحْدَثَ شَيْئًا مَاتَ مِنْهُ فُلَانٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَحْفِرُ الْبِئْرَ وَيَضَعُ الْحَجَرَ فَيَمُوتُ مِنْهُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Dan apabila tergugat bersumpah, maka ia bersumpah juga dengan lafaz: ‘Aku tidak membunuh si Fulan, tidak pula membantu dalam membunuhnya, tidak pula mendapatkan sesuatu dari perbuatannya, atau sebab perbuatannya, yang melukainya, dan tidak pula mengenai bagian tubuhnya sedikit pun.’ Karena bisa saja seseorang melempar sesuatu lalu mengenai sesuatu, kemudian yang terkena itu terpental sehingga membunuhnya. Dan ia juga bersumpah: ‘Aku tidak melakukan sesuatu pun yang menyebabkan si Fulan mati karenanya,’ karena bisa saja seseorang menggali sumur atau meletakkan batu, lalu ada yang mati karenanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَ يَمِينِ الْمُدَّعِي فِي الْقَسَامَةِ يَمِينَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ فِي الْقَسَامَةِ وَغَيْرِ الْقَسَامَةِ فَذَكَرَ فِي يَمِينِهِ سِتَّةَ شُرُوطٍ

Al-Mawardi berkata: Imam Syafi‘i raḥimahullāh menyebutkan setelah sumpah penggugat dalam kasus qasāmah, adanya sumpah tergugat dalam qasāmah dan selain qasāmah. Beliau menyebutkan enam syarat dalam sumpah tersebut.

أَحَدُهَا مَا قتل فلان لِأَنَّهُ أَصْلُ الدَّعْوَى وَيَشْتَمِلُ قَوْلُهُ مَا قَتَلَ عَلَى التَّوْجِيهِ بِالذَّبْحِ وَعَلَى سِرَايَةِ الْجُرْحِ فَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا وَلَوْ جَمْعَ كَانَ أَحْوَطَ

Salah satunya adalah pernyataan “si fulan tidak membunuh”, karena itu adalah pokok dari gugatan. Ucapan “tidak membunuh” mencakup baik pembunuhan secara langsung dengan penyembelihan maupun akibat luka yang menjalar, sehingga tidak perlu menggabungkan keduanya. Namun, jika digabungkan, itu lebih berhati-hati.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي أَنْ يَقُولَ وَلَا أَعَانَ عَلَى قَتْلِهِ يُرِيدُ بِذَلِكَ الشَّرِكَةَ فِي الْقَتْلِ وَالْإِكْرَاهَ عَلَيْهِ وَقَالَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ الْمُمْسِكَ فِي الْقَتْلِ هُوَ قَاتِلٌ عَلَى مَذْهَبِ مَالِكٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَاتِلًا عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فَذَكَرَهُ فِي يَمِينِهِ احْتِيَاطًا فَيَكُونُ هَذَا الشَّرْطُ عَلَى قَوْلِ ابْنِ أَبِي هريرة مستحب وَعَلَى قَوْلِ غَيْرِهِ وَاجِبًا

Syarat kedua adalah ia harus mengatakan, “dan aku tidak membantu dalam membunuhnya,” yang dimaksudkan dengan hal itu adalah keterlibatan dalam pembunuhan dan pemaksaan terhadapnya. Ibnu Abi Hurairah berkata bahwa yang dimaksud dengan itu adalah orang yang menahan dalam pembunuhan; menurut mazhab Malik, ia dianggap sebagai pembunuh, meskipun menurut mazhab Syafi‘i ia tidak dianggap sebagai pembunuh. Maka ia menyebutkannya dalam sumpahnya sebagai bentuk kehati-hatian. Dengan demikian, syarat ini menurut pendapat Ibnu Abi Hurairah adalah mustahab (dianjurkan), sedangkan menurut pendapat selainnya adalah wajib.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ أَنْ يَقُولَ وَلَا نَالَهُ مِنْ فِعْلِهِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُرَادِهِ لِهَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Syarat ketiga adalah ia harus mengucapkan, “dan ia tidak memperoleh apa pun dari perbuatannya itu,” dan para ulama kami berbeda pendapat mengenai maksud dari ucapan ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ إِنَّ الْمُرَادَ بِهِ سِرَايَةُ الْجُرْحِ

Salah satunya, yaitu pendapat para ulama Basrah, bahwa yang dimaksud dengannya adalah menyebarnya cacat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ إِنَّ الْمُرَادَ بِهِ وُصُولُ السَّهْمِ عَنِ الْقَوْسِ وَهُوَ عَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ شَرْطٌ وَاجِبٌ وَتَكُونُ هَذِهِ الثَّلَاثَةُ شُرُوطًا فِي قَتْلِ الْعَمْدِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat para ulama Baghdad, menyatakan bahwa yang dimaksud adalah sampainya anak panah dari busur, dan menurut kedua pendapat tersebut, hal ini merupakan syarat yang wajib. Maka, ketiga hal ini menjadi syarat-syarat dalam kasus pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd).

وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ أَنْ يَقُولَ وَلَا نَالَهُ بِسَبَبِ فِعْلِهِ شَيْءٌ جَرَحَهُ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُرَادِهِ بِهَذَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Syarat keempat adalah bahwa ia harus mengatakan, “Dan tidak ada sesuatu pun yang mengenainya akibat perbuatannya yang melukainya.” Para ulama kami berbeda pendapat mengenai maksud dari pernyataan ini dalam dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ إِنَّ الْمُرَادَ بِهِ سَقْيُ السُّمِّ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ شَرْطًا رَابِعًا فِي قَتْلِ الْعَمْدِ

Salah satunya, yaitu pendapat para ulama Basrah, bahwa yang dimaksud dengannya adalah memberi minum racun. Maka, menurut pendapat ini, hal tersebut menjadi syarat keempat dalam pembunuhan sengaja.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ إِنَّ الْمُرَادَ بِهِ أَنْ يَرْمِيَ حَائِطًا بِسَهْمٍ أَوْ حَجَرٍ فَيَعُودُ السَّهْمُ أَوِ الْحَجَرُ عَلَى رَجُلٍ فَيَقْتُلُهُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ شَرْطًا فِي قَتْلِ الْخَطَأِ دُونَ الْعَمْدِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat para ulama Baghdad, menyatakan bahwa yang dimaksud adalah seseorang melemparkan panah atau batu ke dinding, lalu panah atau batu itu memantul kembali mengenai seseorang hingga menyebabkan kematiannya. Dalam hal ini, syarat tersebut berlaku pada pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’) dan bukan pada pembunuhan yang disengaja (qatl al-‘amd).

الشَّرْطُ الْخَامِسُ أَنْ يَقُولَ وَلَا وَصَلَ إِلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ بَدَنِهِ وَقَدْ فَسَّرَ الشَّافِعِيُّ مَا مَعْنَاهُ أَنْ يَرْمِيَ حَجَرًا فَيُصِيبَ حَجَرًا فَيَنْقَطِعَ الثَّانِي فَيَقَعَ عَلَى ذَلِكَ فَيَقْتُلَهُ وَهَذَا شَرْطٌ فِي الْخَطَأِ دُونَ الْعَمْدِ

Syarat kelima adalah bahwa ia mengatakan: “Dan tidak ada sesuatu pun dari badannya yang sampai kepadanya.” Imam Syafi‘i telah menjelaskan maksudnya, yaitu seseorang melempar batu lalu mengenai batu lain, kemudian batu kedua itu terpecah dan jatuh menimpa orang tersebut hingga membunuhnya. Ini adalah syarat dalam kasus kesalahan (al-khathā’) dan bukan dalam kasus sengaja (al-‘amdi).

الشَّرْطُ السَّادِسُ أَنْ يَقُولَ وَلَا أَحْدَثَ شَيْئًا مَاتَ مِنْهُ وَقَدْ فَسَّرَهُ الشَّافِعِيُّ بِحَفْرِ الْبِئْرِ وَوَضْعِ الْحَجَرِ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ فَيَلْزَمُهُ ضَمَانُ مَنْ مَاتَ مِنْهُ وَهَذَا شَرْطٌ فِي قَتْلِ الْخَطَأِ دُونَ الْعَمْدِ فَتَكُونُ هَذِهِ الشُّرُوطُ السِّتَّةُ يَلْزَمُ مِنْهَا فِي قَتْلِ الْعَمْدِ مَا اخْتَصَّ بِهِ وَفِي قَتْلِ الْخَطَأِ مَا اخْتَصَّ بِهِ وَهِيَ غَايَةُ الشُّرُوطِ الَّتِي يُحْتَاطُ بِهَا فِي الْأَيْمَانِ فَإِنْ قِيلَ يَجِبُ أَنْ تَكُونَ يَمِينُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ إِذَا أَنْكَرَ مُوَافِقَةً لِدَعْوَى الْمُدَّعِي إِذَا فَسَّرَ فَلَمْ يَحْتَجْ فِي يَمِينِ إِنْكَارِهِ إِلَى زِيَادَةٍ عَلَى مَا ذَكَرَهُ الْمُدَّعِي فِي تَفْسِيرِهِ وَإِنَّمَا يَحْتَاجُ إِلَى ذَلِكَ فِي الدَّعْوَى الْمُطْلَقَةِ دُونَ الْمُفَسَّرَةِ وَهُوَ لَا يَرَى سَمَاعَهَا إِلَّا مُفَسَّرَةً فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْجَوَابِ عَنْ هَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Syarat keenam adalah bahwa ia harus mengatakan, “Dan aku tidak melakukan sesuatu pun yang menyebabkan kematian darinya.” Imam Syafi‘i menafsirkan hal ini dengan menggali sumur atau meletakkan batu di tanah yang bukan miliknya, sehingga ia wajib menanggung ganti rugi atas siapa pun yang mati karenanya. Ini adalah syarat dalam pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’) dan bukan dalam pembunuhan sengaja (qatl al-‘amdi). Maka, keenam syarat ini, yang wajib dipenuhi dalam pembunuhan sengaja adalah yang khusus untuknya, dan dalam pembunuhan karena kesalahan adalah yang khusus untuknya pula. Inilah batasan syarat-syarat yang dijadikan kehati-hatian dalam sumpah (al-ayman). Jika dikatakan bahwa sumpah terdakwa ketika mengingkari harus sesuai dengan tuntutan penggugat apabila telah dijelaskan, maka tidak perlu dalam sumpah pengingkarannya menambah sesuatu atas apa yang dijelaskan oleh penggugat dalam penjelasannya. Hal ini hanya diperlukan dalam tuntutan yang bersifat umum, bukan yang telah dijelaskan, dan ia (Imam Syafi‘i) tidak membolehkan mendengarnya kecuali yang telah dijelaskan. Maka, para sahabat kami berbeda pendapat dalam menjawab hal ini menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهَا إِنَّ هَذَا مِنْ قَوْلِهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ السَّمَاعِ لِلدَّعْوَى مُطَلَقَةً غَيْرَ مُفَسَّرَةٍ وَجَعَلُوا ذَلِكَ قَوْلًا ثَانِيًا لِلشَّافِعِيِّ فَخَرَّجُوا سَمَاعَ الدَّعْوَى مُطْلَقَةً فِي الدَّمِ عَلَى قَوْلَيْنِ بَعْدَ اتِّفَاقِهِمْ أَنَّهَا لَا تُسْمَعُ فِي الْقَسَامَةِ إِلَّا مُفَسَّرَةً لِاحْتِيَاجِ الْمُدَّعِي إِلَى الْحَلِفِ عَلَيْهَا وَإِنَّمَا أَخْرَجُوهُ فِيمَا عَدَا الْقَسَامَةِ وَلَوْ فُسِّرَتِ الدَّعْوَى لَمَا تَجَاوَزَ الْمُدَّعِي بِيَمِينِهِ مَا تَضَمَّنَتْهُ الدَّعْوَى

Salah satunya adalah bahwa dari perkataannya ini terdapat dalil tentang bolehnya mendengarkan gugatan secara mutlak tanpa penjelasan rinci, dan mereka menjadikan hal itu sebagai pendapat kedua dari Imam Syafi‘i. Maka mereka mengeluarkan hukum mendengarkan gugatan secara mutlak dalam perkara darah kepada dua pendapat, setelah mereka sepakat bahwa gugatan tidak dapat didengar dalam kasus qasāmah kecuali jika dijelaskan secara rinci, karena penggugat membutuhkan sumpah atasnya. Adapun selain qasāmah, mereka mengeluarkannya dari ketentuan tersebut. Jika gugatan dijelaskan secara rinci, maka penggugat tidak boleh bersumpah melebihi apa yang terkandung dalam gugatannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّ الشَّافِعِيَّ شَرَطَ ذَلِكَ فِي الدَّعْوَى الْمُفَسَّرَةِ فِي الدِّمَاءِ خَاصَّةً لِأَنَّ دَعْوَى الدَّمِ حَقُّ الْمَقْتُولِ فَإِنِ انْتَقَلَ إِلَى دَلِيلٍ اسْتَظْهَرَ الزَّائِدَ عَلَى مَا ادَّعَاهُ وَلِيُّهُ وَهُوَ لَا يَرَى سَمَاعَهَا مُطْلَقَةً وَشَرَطَ فِي الْيَمِينِ الزِّيَادَةَ عَلَى مَا تَضَمَّنَتْهُ الدَّعْوَى عَلَى مَا ادَّعَاهُ وَلِيُّهُ

Pendapat kedua adalah bahwa Imam Syafi‘i mensyaratkan hal itu dalam gugatan yang terperinci khusus dalam perkara darah, karena gugatan darah adalah hak korban yang terbunuh. Jika beralih kepada dalil, maka tampak adanya tambahan atas apa yang didakwakan oleh walinya, dan beliau (Imam Syafi‘i) tidak membolehkannya secara mutlak. Beliau juga mensyaratkan dalam sumpah adanya tambahan atas apa yang terkandung dalam gugatan terhadap apa yang didakwakan oleh walinya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ إِنَّهُ شَرَطَ ذَلِكَ فِي حَقِّ طِفْلٍ أَوْ غَائِبٍ إِذَا ادَّعَى لَهُ الْقَتْلَ وَلِيٌّ أَوْ وَكِيلٌ فَيَلْزَمُ الْحَاكِمَ أَنْ يَسْتَظْهِرَ فِي الْيَمِينِ لَهُ عَلَى مَا ادَّعَاهُ وَلِيُّهُ أَوْ وَكِيلُهُ وَلَوْ كَانَتِ الدَّعْوَى لِحَاضِرٍ جَائِزِ الْأَمْرِ لَمْ يَسْتَظْهِرْ لَهُ الْحَاكِمُ بِذَلِكَ كَالْبَيِّنَةِ إِذَا قَامَتْ بَدَيْنٍ عَلَى طِفْلٍ أَوْ غَائِبٍ اسْتَظْهَرَ الْحَاكِمُ بِإِحْلَافِ صَاحِبِ الدَّيْنِ أَنَّهُ مَا قَبَضَهُ وَلَا شَيْئًا مِنْهُ وَلَوْ قَامَتْ عَلَى حَاضِرٍ جَائِزِ الْأَمْرِ لَمْ يَحْلِفْ صَاحِبُ الدَّيْنِ عَلَى ذَلِكَ إِلَى أن يدعيه الحاضر

Pendapat ketiga adalah bahwa syarat tersebut berlaku dalam kasus anak kecil atau orang yang tidak hadir, apabila ada wali atau wakil yang mengklaim adanya pembunuhan atas nama mereka. Maka hakim wajib meminta tambahan bukti berupa sumpah atas klaim yang diajukan oleh wali atau wakil tersebut. Namun, jika klaim itu diajukan untuk orang yang hadir dan sudah dewasa, hakim tidak meminta tambahan bukti seperti itu. Demikian pula, jika ada bukti yang menunjukkan adanya utang atas nama anak kecil atau orang yang tidak hadir, hakim meminta pemilik utang untuk bersumpah bahwa ia belum menerima pembayaran utang itu, atau sebagian darinya. Tetapi jika bukti itu atas nama orang yang hadir dan sudah dewasa, pemilik utang tidak diminta bersumpah kecuali jika orang yang hadir tersebut mengklaimnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ لَمْ يَزِدْهُ السُّلْطَانُ عَلَى حَلِفِهِ بِاللَّهِ أَجْزَأَهُ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ بَيْنَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ الأيمان بالله

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Seandainya penguasa tidak menambahkan apa pun pada sumpahnya selain bersumpah dengan nama Allah, maka itu sudah mencukupi, karena Allah Ta‘ālā telah menetapkan antara dua orang yang saling melaknat (mutalā‘in) sumpah dengan nama Allah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ تَغْلِيظَ الْيَمِينِ بِمَا يُضَافُ إِلَى اسْمِ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ صِفَاتِهِ الَّتِي يَنْفَرِدُ بِهَا وَتَعْظُمُ فِي النُّفُوسِ التَّلَفُّظُ بِهَا مَأْمُورٌ بِهِ وَمَنْدُوبٌ إِلَيْهِ لِأَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا لِتَبَايُنِ مَا قَدْ أَلِفَهُ الْإِنْسَانُ مِنْ أَيْمَانِهِ بِاللَّهِ فِي أَثْنَاءِ كَلَامِهِ فَيَكُونُ أَزْجَرَ وَأَرْدَعَ

Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan bahwa penegasan sumpah dengan menambahkan sifat-sifat Allah Ta‘ala yang hanya dimiliki-Nya dan sangat diagungkan dalam jiwa ketika diucapkan, adalah sesuatu yang diperintahkan dan dianjurkan karena dua hal. Pertama, untuk membedakan dari kebiasaan manusia yang sering bersumpah atas nama Allah dalam percakapan mereka, sehingga hal itu menjadi lebih menahan dan mencegah.

وَالثَّانِي لِيَنْتَفِيَ بِهَا تَأْوِيلُ ذَوِي الشُّبُهَاتِ فَإِنْ حَذَفَهَا الْحَاكِمُ وَاقْتَصَرَ عَلَى إِحْلَافِهِ بِاللَّهِ أَجْزَأَهُ وَحَذْفُهَا فِي أَهْلِ الدِّيَانَةِ أَيْسَرُ مِنْ حَذْفِهَا فِي ذَوِي الشُّبُهَاتِ وَإِنْ كَانَ جَوَازُ حذفها في الفريقين على سواء لقوله اللَّهِ تَعَالَى فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ المائدة 106 وَقَوْلِهِ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ النور 6 وَأَحْلَفَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فِي قَتْلِهِ لِأَبِي جَهْلٍ بِاللَّهِ إِنَّكَ قَتَلْتَهُ وَأَحْلَفَ رُكَانَةَ بِاللَّهِ فِي طَلَاقِ امْرَأَتِهِ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ

Yang kedua adalah agar penakwilan orang-orang yang memiliki syubhat dapat dihilangkan. Jika hakim menghapusnya dan hanya membatasi pada sumpah dengan nama Allah saja, itu sudah cukup. Menghapusnya pada orang-orang yang taat agama lebih mudah daripada menghapusnya pada orang-orang yang memiliki syubhat, meskipun kebolehan menghapusnya pada kedua kelompok itu sama saja, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka keduanya bersumpah dengan (nama) Allah” (al-Mā’idah: 106) dan firman-Nya: “Maka sumpah salah seorang dari mereka adalah empat kali (bersumpah) dengan (nama) Allah” (an-Nūr: 6). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyuruh Abdullah bin Mas‘ud bersumpah dengan nama Allah bahwa dia benar-benar telah membunuh Abu Jahal, dan beliau juga menyuruh Rukānah bersumpah dengan nama Allah dalam perkara talak istrinya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

بَابُ دَعْوَى الدَّمِ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي فِيهِ قسامة

Bab Gugatan Darah pada Tempat yang Di Dalamnya Ada Qasāmah

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِذَا وُجِدَ قَتِيلٌ فِي مَحَلَّةِ قَوْمٍ يُخَالِطُهُمْ غَيْرُهُمْ أَوْ فِي صَحْرَاءَ أَوْ مَسْجِدٍ أَوْ سُوقٍ فَلَا قَسَامَةَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Apabila ditemukan seseorang yang terbunuh di lingkungan suatu kaum yang bercampur dengan orang lain, atau di padang pasir, atau di masjid, atau di pasar, maka tidak ada qasāmah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ وُجُودَ الْقَتِيلِ فِي مَحَلَّةٍ لَا يُوجِبُ الْقَسَامَةَ عَلَى أَهْلِهَا أَوْ بَعْضِهِمْ إِلَّا بِشَرْطَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa ditemukannya orang yang terbunuh di suatu tempat tidak mewajibkan qasāmah atas penduduknya atau sebagian dari mereka kecuali dengan dua syarat.

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ مُخْتَصَّةً بِأَهْلِهَا مِثْلَ خَيْبَرَ لَا يَخْتَلِطُ بِهِمْ غَيْرُهُمْ وَلَا يُشْرِكُهُمْ فِيهَا سِوَاهُمْ فَيَجُوزُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى مَنِ ادَّعَى عَلَيْهِ قَتْلَهُ مِنْهُمْ سَوَاءٌ قَلُّوا أَوْ كَثُرُوا إِذَا أَمْكَنَ أَنْ يَشْتَرِكُوا فِي قَتْلِ الْوَاحِدِ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ أَنْ يَشْتَرِكُوا فِيهِ مُنِعَ مِنَ الْقَسَامَةِ عَلَى جَمِيعِهِمْ

Salah satunya adalah jika suatu tempat khusus bagi penduduknya, seperti Khaibar, yang tidak bercampur dengan selain mereka dan tidak ada yang ikut serta di dalamnya selain mereka. Maka boleh untuk melakukan qasāmah terhadap siapa saja dari mereka yang dituduh membunuh, baik jumlah mereka sedikit maupun banyak, selama memungkinkan mereka dapat bekerja sama dalam membunuh satu orang. Namun, jika tidak memungkinkan mereka bekerja sama dalam hal itu, maka tidak boleh dilakukan qasāmah terhadap seluruh mereka.

وَقِيلَ لَهُ خُصَّ بِالدَّعْوَى مَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ أَقْسِمْ فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الْمَحَلَّةُ مُشْتَرَكَةً بَيْنَ أَهْلِهَا وَغَيْرِهِمْ تَطْرُقُهَا الْمَارَّةُ وَتَدْخُلُهَا السَّابِلَةُ فَلَا قَسَامَةَ فِيهَا عَلَى أَحَدٍ مِنْ أَهْلِهَا وَلَا مِنْ غَيْرِ أَهْلِهَا

Dan dikatakan kepadanya, “Tunjuklah siapa saja yang kamu kehendaki dari mereka untuk didakwa, kemudian bersumpahlah.” Adapun jika tempat itu merupakan milik bersama antara penduduknya dan selain mereka, yang dilalui oleh orang-orang yang lewat dan dimasuki oleh para musafir, maka tidak ada qasāmah atas siapa pun dari penduduknya maupun dari selain penduduknya.

فَلَوْ كَانَتْ قَرْيَةً يَدْخُلُهَا غَيْرُ أَهْلِهَا عِنْدَ وُرُودِ الْقَوَافِلِ وَلَا يَدْخُلُهَا غَيْرُهُمْ إِذَا انْقَطَعَتِ الْقَوَافِلُ عَنْهُمْ جَازَتِ الْقَسَامَةُ عَلَيْهِمْ عِنْدَ انْقِطَاعِ الْقَوَافِلِ وَلَمْ تَجِبِ الْقَسَامَةُ مَعَ وُرُودِ الْقَوَافِلِ فَهَذَا شَرْطٌ

Maka jika ada sebuah desa yang dapat dimasuki oleh orang selain penduduknya ketika kafilah-kafilah datang, dan tidak dapat dimasuki oleh selain mereka ketika kafilah-kafilah telah berhenti mendatangi mereka, maka qasāmah boleh diberlakukan atas mereka ketika kafilah-kafilah telah berhenti, dan qasāmah tidak wajib ketika kafilah-kafilah datang. Maka ini adalah syarat.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي ظُهُورُ الْعَدَاوَةِ بَيْنَ الْقَتِيلِ وَأَهْلِ الْمَحَلَّةِ أَوِ الْقَرْيَةِ أَوْ ظُهُورُ الْعَدَاوَةِ بَيْنَ أَهْلِ الْقَتِيلِ وَأَهْلِ الْقَرْيَةِ فَتَجُوزُ الْقَسَامَةُ مَعَ ظُهُورِ الْعَدَاوَةِ وَلَا تَجُوزُ مَعَ ارْتِفَاعِ الْعَدَاوَةِ فَإِنِ اصْطَلَحُوا بَعْدَ الْعَدَاوَةِ ثُمَّ وُجِدَ الْقَتِيلُ فِيهِمْ نُظِرَ حَالُ الصُّلْحِ فَإِنْ تَظَاهَرُوا بِالْحُسْنَى بَعْدَ الصُّلْحِ فَلَا قَسَامَةَ وَإِنْ لَمْ يَتَظَاهَرُوا بِالصُّلْحِ أَقْسَمَ كَالشَّاهِدِ إِذَا صَالَحَ عَدُوَّهُ ثُمَّ شَهِدَ عَلَيْهِ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ بعد الصلح إذا رأى مَا بَيْنَهُمَا حَسَنًا وَلَا تُقْبَلُ إِنْ لَمْ ير ما بينهما حسناً

Syarat kedua adalah adanya permusuhan yang tampak antara korban dan penduduk daerah atau desa, atau adanya permusuhan yang tampak antara keluarga korban dan penduduk desa. Maka qasāmah dibolehkan apabila permusuhan itu tampak, dan tidak dibolehkan apabila permusuhan itu telah hilang. Jika mereka berdamai setelah adanya permusuhan, kemudian ditemukan korban di tengah mereka, maka dilihat keadaan setelah perdamaian itu. Jika setelah perdamaian mereka saling menampakkan kebaikan, maka tidak ada qasāmah. Namun jika mereka tidak menampakkan perdamaian, maka qasāmah dilakukan, seperti halnya seorang saksi yang berdamai dengan musuhnya, kemudian bersaksi atasnya, maka kesaksiannya diterima setelah perdamaian jika terlihat hubungan di antara mereka baik, dan tidak diterima jika tidak terlihat hubungan di antara mereka baik.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِنِ ادَّعَى وَلِيُّهُ عَلَى أَهْلِ الْمَحَلَّةِ لَمْ يَحْلِفْ إِلَّا مَنْ أَثْبَتُوهُ بِعَيْنِهِ وَإِنْ كَانُوا أَلْفًا فَيَحْلِفُونَ يَمِينًا يَمِينًا لِأَنَّهُمْ يَزِيدُونَ عَلَى خمسين فَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنْهُمْ إِلَّا وَاحِدٌ حَلَفَ خمسين يميناً وبرئ فإن نكلوا حلف ولاة الدم خمسين يميناً واستحقوا الدية في أموالهم إن كان عمداً وعلى عواقلهم في ثلاث سنين إن كان خطأ قال وفي ديات العمد على قدر حصصهم

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika wali korban menuntut kepada penduduk suatu tempat, maka yang bersumpah hanyalah orang yang telah ditetapkan secara spesifik, meskipun mereka berjumlah seribu, maka mereka bersumpah satu per satu, karena jumlah mereka melebihi lima puluh. Jika yang tersisa dari mereka hanya satu orang, maka ia bersumpah lima puluh kali dan terbebas. Jika mereka enggan bersumpah, maka para wali darah bersumpah lima puluh kali dan berhak mendapatkan diyat dari harta mereka jika pembunuhan itu disengaja, dan dari ‘āqilah mereka dalam tiga tahun jika pembunuhan itu tidak sengaja.” Ia juga berkata, “Dalam diyat pembunuhan sengaja, dibebankan sesuai porsi masing-masing.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي شُرُوطِ الْقَسَامَةِ

Al-Mawardi berkata, “Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan mengenai syarat-syarat qasāmah.”

فَأَمَّا دَعْوَى الدِّمَاءِ فِي غَيْرِ الْقَسَامَةِ فَمُعْتَبَرَةٌ بِشَرْطَيْنِ

Adapun gugatan mengenai darah selain dalam kasus qasāmah, maka dianggap sah dengan dua syarat.

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ عَلَى مُعَيَّنٍ فَإِنْ لَمْ يُعَيِّنِ الْقَاتِلَ وَادَّعَى قَتْلَهُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْمَحَلَّةِ لَمْ يُسْمَعْ

Salah satunya adalah harus ditujukan kepada orang tertentu. Jika tidak menentukan siapa pembunuhnya dan menuduh pembunuhan itu kepada sekelompok orang dari penduduk suatu tempat, maka tuduhan tersebut tidak diterima.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي أَنْ تُعَيَّنَ عَلَى عَدَدٍ يُمْكِنُ اشْتِرَاكُهُمْ فِي الْقَتْلِ فَإِنْ عَيَّنَ عَلَى عَدَدٍ لَا يُمْكِنُ اشْتِرَاكُهُمْ لَمْ يُسْمَعْ فَإِذَا عَيَّنَهَا عَلَى مَنْ يُمْكِنُ اشْتِرَاكُهُمْ فِيهِ حَلَفُوا وَبَرِئُوا

Syarat kedua adalah harus ditetapkan pada jumlah orang yang memungkinkan mereka untuk bersama-sama terlibat dalam pembunuhan. Jika ditetapkan pada jumlah orang yang tidak mungkin mereka bersama-sama melakukannya, maka tidak dianggap. Maka jika ditetapkan pada orang-orang yang memungkinkan mereka bersama-sama melakukannya, mereka bersumpah dan terbebas.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا اعْتِبَارَ بِهَذِهِ الشُّرُوطِ وَيَجُوزُ أَنْ يَدَّعِيَ قَتْلَهُ عَلَى غَيْرِ مُعَيَّنِينَ وَعَلَى مَنْ لَا يُمْكِنُ اشْتِرَاكُهُمْ فِيهِ فَإِذَا ادَّعَى قَتْلَهُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ مَحَلَّةٍ أَوْ قَرْيَةٍ اخْتَارَ مِنْهُمْ خَمْسِينَ رَجُلًا وَأَحْلَفَهُمْ فَإِذَا حَلَفُوا أَوْجَبَ الدِّيَةَ عَلَى عَوَاقِلِهِمْ فَخَالَفَ أُصُولَ الشَّرْعِ فِي خَمْسَةِ أَحْكَامٍ

Abu Hanifah berpendapat bahwa syarat-syarat ini tidak dianggap, dan boleh saja seseorang menuduh pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak tertentu atau terhadap mereka yang tidak mungkin bersama-sama melakukan pembunuhan itu. Maka jika seseorang menuduh pembunuhan terhadap sekelompok orang dari penduduk suatu daerah atau desa, ia memilih lima puluh orang dari mereka dan meminta mereka bersumpah. Jika mereka telah bersumpah, maka diwajibkan diyat atas para ‘āqil mereka. Dengan demikian, ia menyelisihi prinsip-prinsip syariat dalam lima hukum.

أَحَدُهَا سَمَاعُ الدَّعْوَى عَلَى غَيْرِ مُعَيَّنٍ

Salah satunya adalah mendengarkan gugatan terhadap pihak yang tidak ditentukan.

وَالثَّانِي سَمَاعُهَا عَلَى مَنْ لَا يَصِحُّ مِنْهُمُ الِاشْتِرَاكُ فِيهِ

Yang kedua adalah mendengarkannya oleh orang yang tidak sah bagi mereka untuk ikut serta di dalamnya.

وَالثَّالِثُ أَنْ جَعَلَ لِلْمُدَّعِي اخْتِيَارَ خَمْسِينَ مِمَّنْ شَاءَ مِنْهُمْ وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُمْ غَيْرُ قَتَلَةٍ

Ketiga, bahwa ia memberikan kepada pihak penggugat hak untuk memilih lima puluh orang dari siapa saja yang ia kehendaki di antara mereka, meskipun ia mengetahui bahwa mereka bukanlah para pelaku pembunuhan.

وَالرَّابِعُ إِحْلَافُهُمْ وَإِنْ عَلِمَ صِدْقَهُمْ

Keempat, mewajibkan mereka bersumpah meskipun telah diketahui kebenaran mereka.

وَالْخَامِسُ إِلْزَامُهُمُ الدِّيَةَ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ وَكَفَى بِمُخَالَفَةِ الْأُصُولِ فِيهَا دَفْعًا لِقَوْلِهِ وَقَدْ ذَكَرْنَا مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى فَسَادِ كُلِّ أَصْلٍ مِنْهَا مَا أَقْنَعَ

Kelima, mewajibkan mereka membayar diyat setelah sumpah mereka; dan cukup dengan penyelisihan terhadap ushul dalam hal ini sebagai penolakan terhadap pendapatnya. Kami telah menyebutkan dalil yang cukup memuaskan atas rusaknya setiap ushul tersebut.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا وَسُمِعَتِ الدَّعْوَى عَلَى مَا وَصَفْنَا وَكَانَتْ عَلَى جَمَاعَةٍ فَفِي قَدْرِ مَا يَلْزَمُهُمْ مِنَ الْأَيْمَانِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ ذَكَرْنَاهَا

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan dan gugatan telah didengar sebagaimana yang telah kami uraikan, dan gugatan itu ditujukan kepada sekelompok orang, maka mengenai jumlah sumpah yang wajib atas mereka terdapat tiga pendapat yang telah kami sebutkan.

أَحَدُهَا يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا وَلَوْ كَانُوا أَلْفًا

Salah satunya adalah setiap orang dari mereka bersumpah sebanyak lima puluh sumpah, meskipun jumlah mereka seribu orang.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَحْلِفُ جَمِيعُهُمْ خَمْسِينَ يَمِينًا تُقَسَّطُ عَلَى أَعْدَادِهِمْ وَالثَّالِثُ يَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَمِينًا وَاحِدَةً وَلَوْ كَانَ وَاحِدًا وَقَدْ مَضَى تَوْجِيهُ هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا جَعَلَ الشَّافِعِيُّ إِمْكَانَ اشْتِرَاكِهِمْ فِي الْقَتْلِ شَرْطَ سَمَاعِ الدَّعْوَى عَلَيْهِمْ فَكَيْفَ قَالَ يَحْلِفُونَ وَلَوْ كَانُوا أَلْفًا لَا يَصِحُّ اشْتِرَاكُ الْأَلْفِ فِي قتل الْوَاحِدِ قِيلَ لِأَنَّ الْعَدَدَ الَّذِي يُمْكِنُ اشْتِرَاكُهُ فِي الْقَتْلِ يَخْتَلِفُ حَسَبَ اخْتِلَافِ الْقَتْلِ فَإِنْ كَانَ ذَبْحًا أَوْ قَطْعًا أَوْ بِضَرْبِ الْعُنُقِ لَمْ يُمْكِنْ أَنْ يَشْتَرِكَ فِيهِ أَلْفٌ وَلَا مِائَةٌ وَلَا خَمْسُونَ

Pendapat kedua menyatakan bahwa seluruh mereka bersumpah lima puluh sumpah yang dibagi rata sesuai jumlah mereka. Pendapat ketiga menyatakan bahwa masing-masing dari mereka bersumpah satu kali, meskipun hanya satu orang. Penjelasan mengenai pendapat-pendapat ini telah disebutkan sebelumnya. Jika ada yang bertanya: Jika asy-Syafi‘i mensyaratkan kemungkinan keterlibatan mereka bersama dalam pembunuhan sebagai syarat diterimanya gugatan terhadap mereka, lalu bagaimana beliau mengatakan bahwa mereka bersumpah meskipun jumlahnya seribu, padahal tidak mungkin seribu orang bersama-sama membunuh satu orang? Maka dijawab: Karena jumlah orang yang mungkin terlibat bersama dalam pembunuhan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan cara pembunuhan. Jika pembunuhan itu dengan cara menyembelih, memotong, atau memenggal leher, maka tidak mungkin seribu orang, seratus orang, atau lima puluh orang dapat melakukannya bersama-sama.

وَإِنْ كَانَ بِجِرَاحٍ أُمْكِنَ أَنْ يَشْتَرِكَ فِيهِ مِائَةٌ وَمِائَتَانِ وَإِنْ كَانَ بِالْعَصَا أَمْكَنَ أَنْ يَشْتَرِكَ فِيهِ أَلْفٌ فَيَضْرِبُهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَصًا وَكَذَلِكَ لَوْ رَمَوْهُ بِالْبُنْدُقِ أَمْكَنَ أَنْ يَشْتَرِكَ فِيهِ أَلْفٌ فَيَرْمِيهِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِبُنْدُقَةٍ فَإِنْ حُمِلَ كَلَامُ الشَّافِعِيِّ عَلَى هَذَا كَانَ مُمْكِنًا وَإِنْ حُمِلَ على غيره كان مبالغة

Jika kematian itu disebabkan oleh luka, maka mungkin saja seratus atau dua ratus orang dapat turut serta di dalamnya. Jika kematian itu disebabkan oleh pukulan tongkat, maka mungkin seribu orang dapat berpartisipasi, sehingga masing-masing dari mereka memukul dengan satu tongkat. Demikian pula, jika mereka melemparnya dengan peluru kecil, maka mungkin seribu orang dapat berpartisipasi, sehingga masing-masing dari mereka melemparkan satu peluru kecil. Jika perkataan asy-Syafi‘i dipahami dalam konteks ini, maka hal itu memungkinkan. Namun jika dipahami dalam konteks selain itu, maka itu adalah bentuk hiperbola.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَالْمَحْجُورُ عَلَيْهِ وَغَيْرُهُ سَوَاءٌ لِأَنَّ إِقْرَارَهُ بِالْجِنَايَةِ يَلْزَمُهُ فِي مَالِهِ وَالْجِنَايَةُ خِلَافُ الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Orang yang sedang dalam status mahjūr maupun yang tidak, hukumnya sama, karena pengakuannya atas tindak jinayah tetap wajib ditanggung dari hartanya, dan jinayah itu berbeda dengan jual beli dan pembelian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ يُرِيدُ الْمَحْجُورَ عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ وَالْحُكْمُ فِيهِ يَشْتَمِلُ عَلَى أربعة فصول

Al-Mawardi berkata, yang dimaksud adalah orang yang dikenai hajr karena safah, dan pembahasan tentangnya telah dijelaskan sebelumnya. Hukum terkait hal ini mencakup empat bab.

أحدهما فِي الدَّعْوَى تُسْمَعُ مِنْهُ الدَّعْوَى فِي الْقَتْلِ كَمَا تُسْمَعُ مِنَ الرَّشِيدِ لِأَنَّ الْحَجْرَ عَلَيْهِ مَوْضُوعٌ لِحِفْظِ مَالِهِ وَدَعْوَاهُ أَحْفَظُ لِمَالِهِ سَوَاءٌ ادَّعَى قَتْلَ عَمْدٍ أَوْ خَطَأٍ فِي قَسَامَةٍ وَغَيْرِ قَسَامَةٍ

Pertama, dalam perkara gugatan, gugatan tentang pembunuhan dapat diterima darinya sebagaimana diterima dari orang yang berakal sehat, karena pembatasan (hajr) atas dirinya ditetapkan untuk menjaga hartanya, dan gugatannya lebih menjaga hartanya, baik ia menggugat pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja, baik dalam kasus qasāmah maupun selain qasāmah.

وَالثَّانِي سَمَاعُ الدَّعْوَى عَلَيْهِ فَيَسْمَعُهَا فِي الْعَمْدِ وَفِي سَمَاعِهَا فِي الْخَطَأِ قَوْلَانِ

Kedua, mendengarkan gugatan terhadapnya; maka gugatan itu didengarkan dalam kasus sengaja, dan mengenai mendengarkannya dalam kasus kelalaian terdapat dua pendapat.

وَالثَّالِثُ إِقْرَارُهُ بِالْقَتْلِ فَإِنْ كَانَ بِعَمْدٍ صَحَّ إِقْرَارُهُ فِيهِ وَوَجَبَتِ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ إِنْ عفى عن القود فيه كَانَ بِخَطَأٍ مَحْضٍ فَفِي صِحَّةِ إِقْرَارِهِ بِهِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى

Ketiga, pengakuannya atas pembunuhan. Jika pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja, maka pengakuannya sah dan diwajibkan diyat dari hartanya jika dimaafkan dari qishāsh. Jika pembunuhan itu murni karena kesalahan, maka terdapat dua pendapat mengenai keabsahan pengakuannya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَالرَّابِعُ إِحْلَافُهُ فَتَصِحُّ أَيْمَانُهُ سَوَاءٌ حَلَفَ مُدَّعِيًا فِي الْقَسَامَةِ أَوْ حلف منكر فِي غَيْرِ الْقَسَامَةِ لِمَا يَتَعَلَّقُ بِقَوْلِهِ مِنَ الأحكام وبخلاف الصبي والمجنون

Keempat adalah sumpahnya, maka sumpahnya sah, baik ia bersumpah sebagai penggugat dalam kasus qasāmah maupun sebagai tergugat dalam selain qasāmah, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan ucapannya. Berbeda halnya dengan anak kecil dan orang gila.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَكَذَلِكَ الْعَبْدُ إِلَّا فِي إِقْرَارِهِ بِجِنَايَةٍ لَا قِصَاصَ فِيهَا فَإِنَّهُ لَا يُبَاعُ فِيهَا لِأَنَّ ذَلِكَ فِي مَالِ غَيْرِهِ فَمَتَى عَتَقَ لَزِمَهُ قال المزني فكما لم يَضُرُّ سَيِّدَهُ إِقْرَارُهُ بِمَا يُوجِبُ الْمَالَ فَكَذَلِكَ لا يضر عاقلة الحر قوله بما يوجب عليهم المال

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Demikian pula seorang budak, kecuali dalam pengakuannya atas suatu tindak pidana yang tidak ada qishāsh di dalamnya, maka ia tidak dijual karenanya, karena hal itu berkaitan dengan harta orang lain. Maka kapan pun ia merdeka, kewajiban itu tetap berlaku baginya.” Al-Muzani berkata, “Sebagaimana pengakuan budak atas sesuatu yang mewajibkan harta tidak membahayakan tuannya, demikian pula pengakuan seorang merdeka tidak membahayakan ‘āqilah-nya atas sesuatu yang mewajibkan harta atas mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا كَانَتْ دَعْوَى الْقَتْلِ عَلَى عَبْدٍ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Jika terdapat klaim pembunuhan terhadap seorang budak, maka hal itu terbagi menjadi dua jenis.”

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ فِي عَمْدٍ يُوجِبُ الْقَوَدَ

Salah satunya adalah jika dilakukan secara sengaja yang mewajibkan qawad (pembalasan setimpal).

وَالثَّانِي أَنْ تَكُونَ فِي خَطَأٍ يُوجِبُ الْمَالَ فَإِنْ كَانَتْ فِي عَمْدٍ يُوجِبُ الْقَوَدَ فَهِيَ مَسْمُوعَةٌ عَلَى الْعَبْدِ دُونَ سَيِّدِهِ لِأَنَّ إِقْرَارَ الْعَبْدِ بِهَا عَلَى نَفْسِهِ مَقْبُولٌ لِارْتِفَاعِ التُّهْمَةِ عَنْهُ وَإِقْرَارُ السَّيِّدِ عَلَى عَبْدِهِ غَيْرُ مَقْبُولٍ

Yang kedua, jika (pengakuan) itu berkaitan dengan kesalahan yang mewajibkan pembayaran harta, maka jika berkaitan dengan tindakan sengaja yang mewajibkan qishāsh, pengakuan itu diterima atas diri budak, bukan atas tuannya. Sebab, pengakuan budak terhadap dirinya sendiri diterima karena tidak ada kecurigaan padanya, sedangkan pengakuan tuan atas budaknya tidak diterima.

فَإِنِ اعْتَرَفَ الْعَبْدُ بِهَا اقْتُصَّ مِنْهُ فَإِنْ عُفِيَ عَنِ الْقِصَاصِ بِيعَ فِي جِنَايَتِهِ إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ سَيِّدُهُ

Jika budak itu mengakuinya, maka qishash dilaksanakan terhadapnya. Namun, jika dimaafkan dari qishash, maka budak itu dijual karena tindak pidananya, kecuali jika tuannya menebusnya.

وَإِنْ كَانَتْ دَعْوَى الْقَتْلِ فِي خَطَأٍ يُوجِبُ الْمَالَ فَيَجُوزُ سَمَاعُهَا عَلَى الْعَبْدِ وَعَلَى سَيِّدِهِ أَمَّا الْعَبْدُ فَلِتَعَلُّقِهَا إِنْ أَقَرَّ بِذِمَّتِهِ وَأَدَائِهِ لَهَا بَعْدَ عِتْقِهِ وَأَمَّا السَّيِّدُ فَلِأَنَّهَا إِنْ أَقَرَّ مُسْتَحَقَّةٌ فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَإِنْ سُمِعَتْ عَلَى الْعَبْدِ فَأَنْكَرَهَا حَلَفَ وَبَرِئَ وَجَازَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الدَّعْوَى عَلَى سَيِّدِهِ بَعْدَ إِنْكَارِ عَبْدِهِ وَيَمِينِهِ فَإِنِ اعْتَرَفَ بِهَا تَعَلَّقَتْ بِرَقَبَةِ عَبْدِهِ وَإِنْ أَنْكَرَهَا حَلَفَ وَبَرِئَ

Jika tuntutan pembunuhan itu berkaitan dengan kesalahan yang mewajibkan pembayaran diyat, maka boleh didengar tuntutan tersebut atas budak maupun atas tuannya. Adapun atas budak, karena tuntutan itu berkaitan dengannya jika ia mengakui dan bersedia membayarnya setelah ia merdeka. Adapun atas tuan, karena jika ia mengakui, maka diyat tersebut menjadi tanggungan budaknya. Jika demikian, apabila tuntutan itu didengar atas budak lalu ia mengingkarinya, maka ia bersumpah dan terbebas, dan boleh untuk memulai tuntutan baru atas tuannya setelah budak mengingkari dan bersumpah. Jika tuan mengakui, maka diyat itu menjadi tanggungan budaknya, dan jika ia mengingkari, maka ia bersumpah dan terbebas.

وَإِنْ أَقَرَّ بَعْدَهَا تَعَلَّقَتْ بِذِمَّتِهِ دُونَ رَقَبَتِهِ إِلَّا أَنْ يَصْدُقَهُ السَّيِّدُ عَلَيْهَا فَتَتَعَلَّقُ بِرَقَبَتِهِ إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ السَّيِّدُ مِنْهَا وَلَوْ قُدِّمَتِ الدَّعْوَى عَلَى السَّيِّدِ

Dan jika ia mengakui setelah itu, maka tanggungan tersebut menjadi beban tanggung jawabnya (dzimmah) dan tidak terkait dengan dirinya sebagai budak (raqabah), kecuali jika tuannya membenarkan pengakuannya atas hal itu, maka tanggungan tersebut menjadi terkait dengan dirinya sebagai budak, kecuali jika tuannya menebusnya dari tanggungan itu, meskipun gugatan telah diajukan kepada tuannya.

فَإِنِ اعْتَرَفَ تَعَلَّقَتْ بِرَقَبَةِ عَبْدِهِ إِلَّا أَنْ يَفْدِيَهُ السَّيِّدُ مِنْهَا وَسَوَاءٌ كَانَ الْعَبْدُ فِيهَا مُقِرًّا أَوْ مُنْكِرًا وَإِنْ أَنْكَرَهَا السَّيِّدُ حَلَفَ وَبَرِئَ وَجَازَ أَنْ يَسْتَأْنِفَ الدَّعْوَى عَلَى الْعَبْدِ فَإِنْ أَنْكَرَهَا حَلَفَ وَبَرِئَ وَإِنِ اعْتَرَفَ بِهَا تَعَلَّقَتْ بِذِمَّتِهِ يُؤَدِّيهَا بَعْدَ عِتْقِهِ وَيَسَارِهِ فَلَوْ أَنْكَرَهَا الْعَبْدُ وَنَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ فِيهَا فَرُدَّتْ عَلَى الْمُدَّعِي وَحَلَفَ ثَبَتَتْ لَهُ الْجِنَايَةُ بِيَمِينِهِ بَعْدَ النُّكُولِ وَهَلْ تَتَعَلَّقُ بِرَقَبَتِهِ أَوْ بِذِمَّتِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي يَمِينِ الْمُدَّعِي بَعْدَ نُكُولِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ هَلْ تَقُومُ مَقَامَ الْبَيِّنَةِ أَوْ مَقَامَ الْإِقْرَارِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ الْبَيِّنَةِ تَعَلَّقَتْ بِرَقَبَتِهِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ الْإِقْرَارِ تَعَلَّقَتْ بِذِمَّتِهِ

Jika ia mengakui, maka tanggung jawabnya terkait dengan leher (jiwa) budaknya, kecuali jika tuan menebusnya dari tanggungan itu. Sama saja apakah budak tersebut mengakui atau mengingkari. Jika tuan mengingkarinya, ia bersumpah dan terbebas, dan boleh untuk memulai kembali gugatan terhadap budak. Jika budak mengingkari, ia bersumpah dan terbebas. Namun jika ia mengakui, maka tanggung jawabnya terkait dengan dirinya, dan ia akan membayarnya setelah ia merdeka dan mampu. Jika budak mengingkari dan enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada penggugat, dan jika penggugat bersumpah, maka kejahatan itu tetap menjadi haknya dengan sumpahnya setelah penolakan. Apakah tanggung jawab itu terkait dengan leher (jiwa) budak atau dengan dirinya, terdapat dua pendapat yang dibangun atas perbedaan pendapat mengenai sumpah penggugat setelah tergugat menolak bersumpah: apakah sumpah itu menempati posisi bayyinah (bukti) atau posisi pengakuan. Jika dikatakan bahwa sumpah itu menempati posisi bayyinah, maka tanggung jawabnya terkait dengan leher (jiwa) budak. Namun jika dikatakan bahwa sumpah itu menempati posisi pengakuan, maka tanggung jawabnya terkait dengan dirinya.

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ قَالَ كَمَا لَا يَضُرُّ سَيِّدَهُ إِقْرَارُهُ بِمَا يُوجِبُ الْمَالَ فَكَذَلِكَ لَا يَضُرُّ عَاقِلَةَ الْحُرِّ قَوْلُهُ هَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ الْعَاقِلَةَ لَا تَتَحَمَّلُ اعْتِرَافَ الْجَانِي كَمَا لَا يَلْزَمُ السَّيِّدَ إِقْرَارُ عَبْدِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Adapun al-Muzani, ia berkata: Sebagaimana pengakuan seorang budak terhadap sesuatu yang mewajibkan harta tidak membahayakan tuannya, demikian pula ucapan ini tidak membahayakan ‘āqilah orang merdeka. Hal ini benar, karena ‘āqilah tidak menanggung pengakuan pelaku kejahatan, sebagaimana tuan tidak dibebani oleh pengakuan budaknya. Dan Allah lebih mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ سَكْرَانَ لَمْ يَحْلِفْ حَتَّى يَصْحُوَ قَالَ الْمُزَنِيُّ هَذَا يَدُلُّ عَلَى إِبْطَالِ طَلَاقِ السَّكْرَانِ الَّذِي لَا يَعْقِلُ وَلَا يُمَيِّزُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Barang siapa di antara mereka dalam keadaan mabuk, maka ia tidak boleh bersumpah sampai sadar.” Al-Muzani berkata, “Ini menunjukkan batalnya talak orang yang mabuk yang tidak berakal dan tidak dapat membedakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا تَوَجَّهَتِ الْيَمِينُ عَلَى سَكْرَانَ لَمْ يَحْلِفْ فِي حَالِ سُكْرِهِ حَتَّى يَصْحُوَ لِأَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila sumpah diarahkan kepada orang yang sedang mabuk, maka ia tidak boleh bersumpah dalam keadaan mabuknya sampai ia sadar, karena dua alasan.”

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ رُبَّمَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ بِالسُّكْرِ مَا لَا يَسْتَحِقُّهُ

Salah satunya adalah bahwa terkadang seseorang bisa keliru dalam menilai sesuatu sebagai mabuk, padahal sebenarnya tidak layak disebut demikian.

وَالثَّانِي إِنَّ الْيَمِينَ مَوْضُوعَةٌ لِلزَّجْرِ وَالسَّكْرَانُ يُقْدِمُ فِي سُكْرِهِ عَلَى مَا يَمْتَنِعُ مِنْهُ عِنْدَ إِفَاقَتِهِ

Kedua, sesungguhnya sumpah itu ditetapkan untuk memberikan efek jera, sedangkan orang yang mabuk dalam keadaan mabuknya melakukan sesuatu yang akan ia hindari ketika sadar.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا الِامْتِنَاعِ مِنِ اسْتِحْلَافِهِ هَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ أَوْ وَاجِبٌ عَلَى وَجْهَيْنِ

Para ulama kami berbeda pendapat mengenai larangan untuk meminta sumpah darinya; apakah hal itu hukumnya sunnah atau wajib, terdapat dua pendapat dalam masalah ini.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ مُسْتَحَبٌّ فَإِنْ أُحْلِفَ فِي حَالِ سُكْرِهِ أَجْزَأَ لِأَنَّنَا نُجْرِي عَلَيْهِ فِي السُّكْرِ أَحْكَامَ الْمُفِيقِ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa hal itu adalah mustahab. Jika seseorang disumpah dalam keadaan mabuk, maka sumpahnya sah, karena kita memberlakukan atas orang yang mabuk hukum-hukum seperti orang yang sadar.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهُ وَاجِبٌ وَأَنَّ الِاسْتِحْلَافَ فِي حَالِ سُكْرِهِ لَمْ يُجْزِهِ لِمَا قَدَّمَنَا مِنْ وَضْعِ الْيَمِينِ لِلزَّجْرِ وَسُكْرُهُ يَصُدُّ عَنِ الِانْزِجَارِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu wajib, dan bahwa pengambilan sumpah pada saat ia sedang mabuk tidak sah baginya, karena sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, sumpah itu ditetapkan untuk tujuan pencegahan, sedangkan kemabukannya menghalangi dari pencegahan tersebut.

وَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ جَعَلَ مَنْعَ الشَّافِعِيِّ مِنِ اسْتِحْلَافِهِ فِي السُّكْرِ دَلِيلًا عَلَى أَنَّ طَلَاقَ السَّكْرَانِ لَا يَقَعُ فَيَلْزَمُهُ حُكْمُ الشَّافِعِيِّ بِوُقُوعِ طَلَاقِهِ وَصِحَّةِ ظِهَارِهِ وَثُبُوتِ رِدَّتِهِ وَمُنِعَ مِنْ إِحْلَافِهِ وَاسْتِتَابَتِهِ مِنْ رِدَّتِهِ حَتَّى يُفِيقَ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun al-Muzani, ia menjadikan larangan Imam Syafi‘i untuk meminta sumpah pada orang yang mabuk sebagai dalil bahwa talak orang yang mabuk tidak jatuh. Maka, ia mewajibkan hukum Imam Syafi‘i bahwa talaknya jatuh, zhihar-nya sah, dan riddah-nya tetap, namun ia dilarang untuk disumpah dan diminta bertobat dari riddah-nya sampai ia sadar. Maka, para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ فِي جَمِيعِهَا أَحْكَامُ الصَّاحِي فِيمَا لَهُ وَفِيمَا عَلَيْهِ مِمَّا ضَرَّهُ أَوْ نَفَعَهُ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَيَحْمِلُ مَنْعَهُ مِنْ إِحْلَافِهِ وَاسْتِتَابَتِهِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ دُونَ الْوُجُوبِ وَإِنَّهُ إِنْ حَلَفَ وَتَابَ صَحَّتْ أَيْمَانُهُ وَتَوْبَتُهُ كَالْمُفِيقِ فَعَلَى هَذَا لَا دَلِيلَ لِلْمُزَنِيِّ فِيهِ

Salah satunya adalah bahwa pada seluruh keadaan tersebut, berlaku padanya hukum-hukum orang yang sadar, baik dalam hal yang menjadi haknya maupun kewajibannya, baik yang membahayakan maupun yang menguntungkannya. Ini adalah pendapat yang tampak dari Abu Ishaq al-Marwazi, dan larangannya untuk menyuruhnya bersumpah dan memintanya bertobat dibawa pada makna anjuran, bukan kewajiban. Jika ia bersumpah dan bertobat, maka sumpah dan tobatnya sah seperti orang yang sadar. Dengan demikian, tidak ada dalil bagi al-Muzani dalam hal ini.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة إنه يَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الصَّاحِي فِيمَا عَلَيْهِ مِمَّا يَضُرُّهُ وَلَا يَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الصَّاحِي فِيمَا لَهُ مِمَّا يَنْفَعُهُ لِأَنَّ السُّكْرَ مَعْصِيَةٌ تُوجِبُ التَّغْلِيظَ فَاخْتُصَّ بِلُزُومِ أَغْلَظِ الْحُكْمَيْنِ وَسُقُوطِ أَخَفِّهِمَا فَعَلَى هَذَا لَا دَلِيلَ لِلْمُزَنِيِّ فِيهِ لِأَنَّ وُقُوعَ الطَّلَاقِ تَغْلِيظٌ وَصِحَّةُ الْأَيْمَانِ تَخْفِيفٌ وَاللَّهُ أعلم

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa atas orang yang mabuk berlaku hukum-hukum seperti orang sadar dalam hal-hal yang merugikannya, namun tidak berlaku hukum-hukum seperti orang sadar dalam hal-hal yang menguntungkannya. Sebab, mabuk adalah maksiat yang menuntut pengetatan hukum, sehingga dikhususkan dengan berlakunya hukum yang lebih berat dan gugurnya hukum yang lebih ringan. Berdasarkan hal ini, tidak ada dalil bagi al-Muzani di dalamnya, karena jatuhnya talak adalah pengetatan, sedangkan sahnya sumpah adalah keringanan. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَقَدْ قِيلَ لَا يَبْرَأُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ إِلَّا بِخَمْسِينَ يَمِينًا كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ وَلَا يُحْتَسَبُ لَهُمْ يَمِينٌ غَيْرُهُ وَهَكَذَا الدَّعْوَى فِيمَا دُونَ النَّفْسِ وَقِيلَ يَلْزَمُهُ مِنَ الْأَيْمَانِ عَلَى قَدْرِ الدية في اليد خمس وعشرون وفي الموضحة ثلاثة أيمان قال المزني رحمه الله وقد قال في أول باب من القسامة ولا تجب القسامة في دون النفس وهذا عندي أولى بقول العلماء

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Telah dikatakan bahwa terdakwa tidak dapat bebas kecuali dengan lima puluh sumpah, masing-masing dari mereka bersumpah, dan tidak dihitung bagi mereka sumpah selain itu. Demikian pula gugatan dalam perkara selain jiwa. Dan ada yang berpendapat bahwa yang diwajibkan adalah sumpah sebanyak kadar diyat; untuk tangan dua puluh lima sumpah, dan untuk luka yang menampakkan tulang tiga sumpah.” Al-Muzani raḥimahullāh berkata, “Dan beliau (Imam Syafi‘i) telah berkata pada awal bab tentang qasāmah: qasāmah tidak wajib dalam perkara selain jiwa, dan menurut saya, pendapat ini lebih utama menurut para ulama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَى تَغْلِيظُ الْأَيْمَانِ فِي الْقَسَامَةِ فَأَمَّا تَغْلِيظُهَا فِي غَيْرِ الْقَسَامَةِ مِنَ الدِّمَاءِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan tentang penegasan sumpah dalam kasus qasāmah. Adapun penegasan sumpah dalam perkara darah selain qasāmah, terdapat tiga pendapat di dalamnya.

أَحَدُهَا تَغْلِيظٌ فِي النَّفْسِ وَفِيمَا دُونَ النَّفْسِ وَإِنْ لَمْ يُحْكَمْ فِيهَا بِالْقَسَامَةِ تَغْلِيظًا لِحُكْمِ الدِّمَاءِ وَفِي كَيْفِيَّةِ تَغْلِيظِهَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْأَقَاوِيلِ

Salah satunya adalah penegasan (hukuman) yang berat dalam kasus jiwa dan selain jiwa, meskipun tidak diputuskan di dalamnya dengan qasāmah, sebagai bentuk penegasan terhadap hukum darah. Adapun tentang bagaimana bentuk penegasannya, telah kami sebutkan sebelumnya beberapa pendapat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا تُغَلَّظُ فِي النَّفْسِ وَلَا فِيمَا دُونَ النَّفْسِ إِذَا سَقَطَتِ الْقَسَّامَةُ اعْتِبَارًا بِسَائِرِ الدَّعَاوَى وَالْمُسْتَحَقُّ فِيهَا يَمِينٌ وَاحِدَةٌ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada sumpah yang diperberat baik dalam kasus jiwa maupun selain jiwa apabila qasāmah gugur, dengan mempertimbangkan perkara-perkara gugatan lainnya, dan yang menjadi hak di dalamnya hanyalah satu kali sumpah.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ إِنَّهَا مُغَلَّظَةٌ فِي النَّفْسِ وَلَا تُغَلَّظُ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ لِاخْتِصَاصِ النَّفْسِ بِتَغْلِيظِ الْكَفَّارَةِ وَسُقُوطِهَا فِيمَا دُونَ النَّفْسِ فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ لَمَّا رَأَى الشَّافِعِيَّ قَالَ فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ لَا قَسَامَةَ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ وَقَالَ هاهنا تُغَلَّظُ الْأَيْمَانُ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ وَهِمَ وَظَنَّ أَنَّ قَوْلَهُ اخْتَلَفَ فِي الْقَسَامَةِ فِيمَا دُونَ النفس وهذا ذلل ذَمِيمٌ فِيهِ لِأَنَّ قَوْلَهُ لَمْ يَخْتَلِفْ أَنَّهُ لَا قَسَامَةَ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ وَإِنَّمَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي تَغْلِيظِ الْأَيْمَانِ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ وَهُمَا مَسْأَلَتَانِ لَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُ فِي إِحْدَاهُمَا وَاخْتَلَفَ فِي الْأُخْرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat ketiga menyatakan bahwa sumpah itu diperberat (mughallazhah) dalam kasus jiwa (pembunuhan), dan tidak diperberat dalam selain jiwa, karena kekhususan jiwa dengan pemberatan kafarah dan gugurnya pemberatan itu dalam selain jiwa. Adapun al-Muzani, ketika ia melihat bahwa asy-Syafi‘i berkata di awal kitab bahwa tidak ada qasāmah dalam selain jiwa, dan ia berkata di sini bahwa sumpah diperberat dalam selain jiwa, maka ia keliru dan mengira bahwa pendapat asy-Syafi‘i berbeda dalam masalah qasāmah pada selain jiwa. Ini adalah kesalahan yang tercela darinya, karena pendapat asy-Syafi‘i tidak berbeda bahwa tidak ada qasāmah dalam selain jiwa, melainkan yang berbeda adalah pendapatnya dalam pemberatan sumpah pada selain jiwa. Keduanya adalah dua permasalahan: dalam salah satunya pendapat asy-Syafi‘i tidak berbeda, dan dalam yang lain berbeda. Allah Maha Mengetahui.

Bab Kafarat Pembunuhan

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ النساء 92  قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ هَذِهِ الْآيَةُ هِيَ الْأَصْلُ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ فِي قَتْلِ الْخَطَأِ لِلْمَقْتُولِ وَوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ فِيهِ عَلَى الْقَاتِلِ وَجُمْلَةُ الْقَتْلِ تَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ وَاجِبٌ مُبَاحٌ وَمَحْظُورٌ يَأْثَمُ بِهِ وَمَحْظُورٌ لَا يَأْثَمُ بِهِ فَأَمَّا الْوَاجِبُ فَالْقَتْلُ بِالرِّدَّةِ وَالزِّنَا وَالْحِرَابَةِ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ وُجُوبُ دِيَةٍ وَلَا كَفَّارَةٍ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Allah Ta‘ala berfirman, “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (an-Nisa’ 92). Al-Mawardi berkata, ayat ini adalah dasar kewajiban diyat dalam kasus pembunuhan karena tersalah bagi korban, dan kewajiban kafarat atas pelaku. Secara umum, pembunuhan terbagi menjadi empat jenis: wajib, mubah, terlarang yang berdosa, dan terlarang yang tidak berdosa. Adapun yang wajib adalah pembunuhan karena riddah, zina, dan hirabah, dan pada pembunuhan jenis ini tidak ada kewajiban diyat maupun kafarat.

وَأَمَّا الْمُبَاحُ فَالْقِصَاصُ وَدَفْعُ الطَّالِبِ لِنَفْسٍ أَوْ مَالٍ وَهُوَ فِي حُكْمِ الْوَاجِبِ فِي سُقُوطِ الدِّيَةِ وَالْكَفَّارَةِ

Adapun yang mubah adalah qishāsh dan membela diri dari orang yang menyerang jiwa atau harta, dan hal ini dalam hukum wajib dalam hal gugurnya diyat dan kafārah.

وَأَمَّا الْمَحْظُورُ الَّذِي يَأْثَمُ بِهِ فَهُوَ قَتْلُ الْعَمْدِ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَتَعَلَّقُ بِهِ أَرْبَعَةُ أَحْكَامٍ الْقِصَاصُ مَعَ التَّكَافُؤِ وَالدِّيَةُ عِنْدَ الْعَفْوِ وَالْكَفَّارَةُ عَنِ الْقَتْلِ وَالْوَعِيدُ فِي الْمَأْثَمِ

Adapun yang terlarang dan menyebabkan pelakunya berdosa adalah pembunuhan dengan sengaja tanpa hak, dan berkaitan dengannya terdapat empat hukum: qishāsh jika terdapat kesetaraan, diyat ketika ada pemaafan, kafārah atas pembunuhan, dan ancaman siksa atas dosa tersebut.

وَأَمَّا الْمَحْظُورُ الَّذِي لَا يَأْثَمُ بِهِ فَهُوَ قَتْلُ الْخَطَأِ وَيَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمَانِ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ وَقَدْ تَضَمَّنَتْهُمَا الْآيَةُ وَيَسْقُطُ عَنْهُ الْقِصَاصُ وَالْمَأْثَمُ فَيَصِيرُ مُوَافِقًا لِلْعَمْدِ فِي حُكْمَيْنِ وَمُخَالِفًا لَهُ فِي حُكْمَيْنِ وَإِذَا كَانَتْ أَقْسَامُ الْقَتْلِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فَالْكَفَّارَةُ فِيهِ وَاجِبَةٌ عَنْ كل قتل لمضمون في كل قتيل مَضْمُونٍ عَلَى كُلِّ قَاتِلٍ ضَامِنٍ

Adapun perbuatan terlarang yang tidak menimbulkan dosa adalah pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’), yang terkait dengannya ada dua hukum: diyat dan kaffarah, dan kedua hukum ini telah disebutkan dalam ayat. Atas pelaku pembunuhan karena kesalahan tidak berlaku qishash dan tidak pula dosa, sehingga dalam dua hukum ia serupa dengan pembunuhan sengaja, namun berbeda dalam dua hukum lainnya. Jika pembagian jenis pembunuhan sebagaimana telah kami sebutkan, maka kaffarah wajib atas setiap pembunuhan yang mengandung tanggungan, pada setiap korban yang menjadi tanggungan, atas setiap pembunuh yang bertanggung jawab.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا الْقَتْلُ الْمَضْمُونُ فَعَمْدٌ وَخَطَأٌ فَالْعَمْدُ يَأْتِي فِي خِلَافٍ نَذْكُرُهُ وَالْخَطَأُ مُتَّفَقٌ عَلَى وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ فِيهِ بِنَصِّ الْكِتَابِ وَإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ وَسَوَاءٌ كَانَ قَتْلُ الْخَطَأِ بِمُبَاشَرَةٍ أَوْ بِسَبَبٍ وَالْمُبَاشَرَةُ أَنْ يَرْمِيَ هَدَفًا فَيُصِيبَ إِنْسَانًا فَيَقْتُلَهُ وَالسَّبَبُ أَنْ يَحْفِرَ بِئْرًا فِي أَرْضٍ لَا يَمْلِكُهَا فَيَقَعَ فِيهَا إِنْسَانٌ فَيَمُوتَ أَوْ يَضَعَ حَجَرًا فِي طَرِيقِ سَائِرٍ فَيَعْثُرَ بِهِ إِنْسَانٌ فَيَمُوتَ أَوْ يَرُشَّ مَاءً فِي الطَّرِيقِ فَيَزْلِقَ بِهِ فَيَمُوتَ إِلَى أَمْثَالِ ذَلِكَ مِمَّا قَدَّمْنَا ذِكْرَهُ فِي ضَمَانِ النَّفْسِ التَّالِفَةِ فَيَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ

Adapun pembunuhan yang mengharuskan tanggungan, terbagi menjadi pembunuhan sengaja (‘amdan) dan tidak sengaja (khaṭa’an). Untuk pembunuhan sengaja, terdapat perbedaan pendapat yang akan kami sebutkan, sedangkan untuk pembunuhan tidak sengaja, para ulama sepakat atas kewajiban membayar kafārah berdasarkan nash al-Qur’an dan ijmā‘ umat. Baik pembunuhan tidak sengaja itu terjadi secara langsung maupun tidak langsung, hukumnya sama. Pembunuhan secara langsung misalnya seseorang melempar ke sebuah sasaran lalu mengenai seseorang hingga terbunuh. Sedangkan pembunuhan tidak langsung misalnya seseorang menggali sumur di tanah yang bukan miliknya lalu ada orang yang jatuh ke dalamnya dan meninggal, atau meletakkan batu di jalan yang dilalui orang lalu ada yang tersandung dan meninggal, atau menyiram air di jalan lalu ada yang terpeleset dan meninggal, dan contoh-contoh lain yang telah kami sebutkan sebelumnya dalam pembahasan tanggungan atas jiwa yang hilang. Dalam semua kasus tersebut, wajib membayar diyat dan kafārah.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَجِبُ فِي قَتْلِ الْمُبَاشَرَةِ الدِّيَةُ مِعِ الْكَفَّارَةِ وَتَجِبُ فِي قَتْلِ السَّبَبِ الدِّيَةُ دُونَ الْكَفَّارَةِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ كُلَّ مَنْ ضَمِنَ نَفْسًا عَنْ غَيْرِ مُبَاشَرَةٍ لَمْ تَجِبْ عليه الْكَفَّارَةُ كَالْعَاقِلَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَجِبْ فِي جِنْسِهِ قَوَدٌ لَمْ يَجِبْ فِي جِنْسِهِ كَفَّارَةٌ كَالْإِمْسَاكِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam pembunuhan langsung, diwajibkan membayar diyat beserta kafarat, sedangkan dalam pembunuhan sebab, diwajibkan membayar diyat tanpa kafarat, dengan alasan bahwa setiap orang yang menanggung jiwa bukan karena perbuatan langsung, tidak diwajibkan atasnya kafarat, seperti ‘āqilah. Dan karena setiap perkara yang pada jenisnya tidak diwajibkan qisas, maka pada jenisnya juga tidak diwajibkan kafarat, seperti menahan (tidak melakukan tindakan langsung).

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ قَتْلٌ يُضْمَنُ بِالدِّيَةِ فَوَجَبَ أَنْ يُضْمَنُ بِالْكَفَّارَةِ كَالْمُبَاشَرَةِ فَإِنْ مَنَعُوا أَنْ يَكُونَ مَقْتُولًا احْتُجَّ عَلَيْهِمْ بِوُجُوبِ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَلْزَمَ دِيَةُ النَّفْسِ وَلَا يَكُونُ مُتْلِفًا لِلنَّفْسِ إِذْ لَا يَلْزَمُ دِيَةٌ إِلَّا فِي قَتْلٍ عَنْ مَقْتُولٍ وَلِأَنَّهَا كَفَّارَةٌ تَلْزَمُ بِمُبَاشَرَةِ الْقَتْلِ فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَ بِسَبَبِ الْقَتْلِ كَجَزَاءِ الصَّيْدِ وَلِأَنَّ الْكَفَّارَةَ أَوْكَدُ مِنَ الدِّيَةِ فَلَمَّا وَجَبَتِ الدِّيَةُ كَانَ أَوْلَى أَنْ تَجِبَ الْكَفَّارَةُ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْعَاقِلَةِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْعَاقِلَةَ تَلْتَزِمُ الدِّيَةَ تَحَمُّلًا وَنِيَابَةً وَالْكَفَّارَةُ لَا يَدْخُلُهَا التَّحَمُّلُ وَلَا النِّيَابَةُ وَلِذَلِكَ تَحَمَّلَتِ الْعَاقِلَةُ دِيَةَ الْخَطَأِ وَلَمْ تَتَحَمَّلْ كَفَّارَتَهُ وَإِنْ لَزِمَتْهُ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْإِمْسَاكِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ الْإِمْسَاكَ لَمَّا لَمْ يُوجِبْ ضَمَانَ الدِّيَةِ لَمْ يُوجِبْ ضَمَانَ الْكَفَّارَةِ وَلَمَّا أَوْجَبَ السَّبَبُ ضَمَانَ الدِّيَةِ أَوْجَبَ ضَمَانَ الْكَفَّارَةِ

Dalil kami adalah bahwa ini merupakan pembunuhan yang mewajibkan pembayaran diyat, maka wajib pula dikenakan kafarat sebagaimana pada pembunuhan langsung. Jika mereka menolak bahwa itu dianggap sebagai orang yang terbunuh, maka kami berhujah kepada mereka dengan kewajiban diyat, karena tidak mungkin diwajibkan diyat jiwa sementara tidak dianggap sebagai perusakan jiwa, sebab diyat tidak diwajibkan kecuali pada pembunuhan terhadap orang yang terbunuh. Dan karena kafarat itu diwajibkan atas pembunuhan langsung, maka wajib pula dikenakan karena sebab pembunuhan, seperti denda atas perburuan. Dan karena kafarat itu lebih kuat daripada diyat, maka ketika diyat diwajibkan, lebih utama lagi kafarat juga diwajibkan. Adapun qiyās mereka terhadap ‘āqilah, jawabannya adalah bahwa ‘āqilah menanggung diyat sebagai beban dan perwakilan, sedangkan kafarat tidak masuk dalam beban dan perwakilan. Oleh karena itu, ‘āqilah menanggung diyat karena kesalahan, namun tidak menanggung kafaratnya meskipun itu wajib atas pelaku. Adapun qiyās mereka terhadap penahanan, maksudnya adalah bahwa penahanan, karena tidak mewajibkan diyat, maka tidak pula mewajibkan kafarat. Dan ketika sebab itu mewajibkan diyat, maka ia juga mewajibkan kafarat.

فَصْلٌ

Bab

فَأَمَّا الْمَقْتُولُ الْمَضْمُونُ فَكُلُّ مَنْ ضُمِنَتْ نَفْسُهُ بِالْقَصَاصِ مِنْ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَمُسْلِمٍ وَكَافِرٍ وَحُرٍّ وَعَبْدٍ وَجَبَتِ الْكَفَّارَةُ بِقَتْلِهِ وَقَالَ مَالِكٌ لَا تَجِبُ الْكَفَّارَةُ إِلَّا بِقَتْلِ الْحُرِّ الْمُسْلِمِ وَلَا تَجِبْ بِقَتْلِ عَبْدٍ وَلَا كَافِرٍ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَجِبُ بِقَتْلِ الْعَبْدِ وَلَا تَجِبُ بِقَتْلِ الْكَافِرِ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ الله تعالى ومن قتل مؤمنا خطأ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ النساء 92 فَجَعَلَ الْإِيمَانَ شَرْطًا فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ فَلَمْ تَجِبْ مَعَ عَدَمِ الشَّرْطِ وَلِأَنَّ الْكَفَّارَةَ مُخْتَصَّةٌ بِأَغْلَظِ الْحُرُمَاتِ وَلِذَلِكَ وَجَبَتْ فِي النَّفْسِ دُونَ الْأَطْرَافِ وَأَطْرَافُ الْمُسْلِمِ أَغْلَظُ مِنْ نَفْسِ الْكَافِرِ فَكَانَتْ أَوْلَى بِسُقُوطِ الْكَفَّارَةِ

Adapun orang yang terbunuh yang dijamin (dalam hukum), maka setiap jiwa yang dijamin dengan qishāsh, baik anak kecil maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan, muslim maupun kafir, merdeka maupun budak, maka wajib membayar kafārah karena membunuhnya. Malik berpendapat bahwa kafārah hanya wajib jika membunuh seorang muslim yang merdeka, dan tidak wajib jika membunuh seorang budak atau kafir. Abu Hanifah berpendapat bahwa kafārah wajib jika membunuh seorang budak, tetapi tidak wajib jika membunuh seorang kafir, dengan alasan firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya” (an-Nisā’ 92). Maka Allah menjadikan iman sebagai syarat wajibnya kafārah, sehingga kafārah tidak wajib jika syarat itu tidak terpenuhi. Selain itu, kafārah dikhususkan untuk pelanggaran yang paling berat, oleh karena itu kafārah diwajibkan pada jiwa, bukan pada anggota tubuh. Padahal anggota tubuh seorang muslim lebih berat (kehormatannya) daripada jiwa seorang kafir, sehingga lebih utama untuk tidak diwajibkan kafārah.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ النساء 92 فَأَوْجَبَ اللَّهُ تَعَالَى الدِّيَةَ مَعَ الْكَفَّارَةِ فِي قَتْلِ الْمُعَاهِدِ كَمَا أَوْجِبَهَا فِي قَتْلِ الْمُؤْمِنِ فَكَانَ أَوَّلُ الْآيَةِ فِي الْمُسْلِمِ وَآخِرُهَا فِي الْكَافِرِ وَلِأَنَّهَا نَفْسٌ مَضْمُونَةٌ بِالدِّيَةِ فَوَجَبَ أَنْ تُضْمَنَ بِالْكَفَّارَةِ كَالْمُسْلِمِ وَمَا ادَّعَاهُ مِنْ ضَعْفِ حُرْمَتِهِ فَرَاجِعٌ عَلَيْهِ فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمُسْلِمِ فِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ ثُمَّ يُقَالُ قَدْ أَثْبَتَتِ الذِّمَّةُ لَهُ حُرْمَةً فَلَا يُسَوَّى بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ عَدِمِهَا فِي سُقُوطِ الْكَفَّارَةِ كَمَا لَمْ يُسَوَّ بَيْنَهُمَا فِي سُقُوطِ الدِّيَةِ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan jika ia (yang terbunuh itu) dari suatu kaum yang antara kamu dan mereka ada perjanjian (damai), maka hendaklah dibayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan seorang budak yang beriman.” (an-Nisā’ 92). Maka Allah Ta‘ala mewajibkan diyat beserta kafārah dalam kasus membunuh seorang mu‘āhad, sebagaimana Dia mewajibkannya dalam kasus membunuh seorang mukmin. Maka awal ayat tersebut berkaitan dengan (pembunuhan) terhadap seorang muslim, dan akhirnya berkaitan dengan (pembunuhan) terhadap seorang kafir. Karena jiwa tersebut dijamin dengan diyat, maka wajib pula dijamin dengan kafārah sebagaimana pada muslim. Adapun klaim tentang lemahnya kehormatan (jiwa mu‘āhad), itu kembali kepadanya sendiri dalam penyamaan antara dia dan muslim dalam kewajiban qishāsh. Kemudian dikatakan, sungguh status dzimmah telah menetapkan adanya kehormatan baginya, maka tidak disamakan antara dia dan orang yang tidak memiliki dzimmah dalam gugurnya kafārah, sebagaimana tidak disamakan antara keduanya dalam gugurnya diyat.

فَصْلٌ

Bab

وَأَمَّا الْقَاتِلُ الضَّامِنُ فَكُلُّ قَاتِلٍ ضَمِنَ نَفْسَ مَقْتُولٍ فَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ سَوَاءٌ كَانَ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا عَاقِلًا أَوْ مَجْنُونًا مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا حُرًّا أَوْ عَبْدًا وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا كَفَّارَةَ عَلَى الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَنْتَبِهَ وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ شَرْعِيَّةٌ لَا يَدْخُلُهَا التَّحَمُّلُ فَلَمْ تَجِبْ عَلَى الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَلِأَنَّهَا كَفَّارَةٌ فَلَمْ تَجِبْ عَلَى الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ قِيَاسًا عَلَى كَفَّارَةِ الظِّهَارِ وَالْأَيْمَانِ وَلِأَنَّهُ حُكْمٌ يَتَعَلَّقُ بِالْقَاتِلِ لَا يَتَحَمَّلُهُ غَيْرُ الْقَاتِلِ فَلَمْ يَجِبْ عَلَى الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ كَالْقِصَاصِ

Adapun pembunuh yang wajib membayar diyat, maka setiap pembunuh yang wajib menanggung jiwa orang yang dibunuh, atasnya dikenakan kewajiban kafarat, baik ia masih kecil maupun dewasa, berakal maupun gila, muslim maupun kafir, merdeka maupun budak. Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban kafarat atas anak kecil dan orang gila, dengan alasan sabda Nabi ﷺ: “Pena (catatan dosa) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia bermimpi (baligh), dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang tidur sampai ia bangun.” Karena kafarat adalah ibadah syar‘i yang tidak dapat ditanggung oleh orang lain, maka tidak wajib atas anak kecil dan orang gila, sebagaimana shalat dan puasa. Dan karena kafarat adalah kafarat, maka tidak wajib atas anak kecil dan orang gila dengan qiyās kepada kafarat zhihār dan sumpah. Dan karena hukum ini berkaitan dengan pembunuh dan tidak dapat ditanggung oleh selain pembunuh, maka tidak wajib atas anak kecil dan orang gila, sebagaimana qishāsh.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى وَمَنْ قَتَلَ مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَالصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ وَإِنْ لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِمَا الْخِطَابُ مُوَاجَهَةً كَقَوْلِهِ تَعَالَى وَأَقِيمُوا الصلاة وآتوا الزكاة تَوَجَّهَ إِلَيْهِمْ خِطَابُ الِالْتِزَامِ وَالْكَفَّارَةُ خِطَابُ الْتِزَامٍ فَتَوَجَّهَ إِلَى الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ كَالدِّيَةِ وَلِأَنَّهُ قَاتِلٌ ضامن فوجب أن تلزمه الكفارة كالبائغ الْعَاقِلِ وَلِأَنَّهُ حَقُّ مَالٍ يَجِبُ بِالْقَتْلِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ الصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ وَالْعَاقِلُ وَالْمَجْنُونُ كَالدِّيَةِ وَلِأَنَّ الْكَفَّارَةَ أَوْكَدُ مِنَ الدِّيَةِ لِأَنَّهَا تَجِبُ عَلَى قَاتِلِ نَفْسِهِ وَعَلَى السَّيِّدِ فِي قَتْلِ عَبْدِهِ وَإِنْ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِمَا الدِّيَةُ فَلَمَّا وَجَبَتِ الدِّيَةُ عَلَى الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ كَانَ أَوْلَى أَنْ تَجِبَ عَلَيْهِمَا الْكَفَّارَةُ

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman.” Maka ayat ini berlaku secara umum, dan anak kecil serta orang gila, meskipun tidak secara langsung terkena khithab (perintah) seperti firman Allah Ta‘ala: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat,” namun mereka terkena khithab iltizam (komitmen hukum). Kafarah adalah khithab iltizam, sehingga berlaku atas anak kecil dan orang gila sebagaimana berlaku atas diyat. Karena ia adalah pembunuh yang bertanggung jawab, maka wajib baginya menunaikan kafarah sebagaimana orang baligh dan berakal. Dan karena kafarah adalah hak harta yang wajib karena pembunuhan, maka harus disamakan antara yang kecil dan besar, yang berakal dan yang gila, sebagaimana diyat. Dan karena kafarah lebih kuat daripada diyat, karena kafarah wajib atas orang yang membunuh dirinya sendiri dan atas tuan yang membunuh budaknya, meskipun diyat tidak wajib atas keduanya. Maka ketika diyat wajib atas anak kecil dan orang gila, maka lebih utama lagi kafarah juga wajib atas keduanya.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ فَهُوَ أَنَّ رَفْعَ الْقَلَمِ عَنْهُمْ لَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ حُكْمِ الْقَتْلِ فِي أَمْوَالِهِمْ كَمَا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ وُجُوبِ الدِّيَةِ وَكَمَا لَا يَمْنَعُ النَّائِمَ إِذَا انْقَلَبَ عَلَى إِنْسَانٍ فَقَتَلَهُ مِنْ وُجُوبِ الدِّيَةِ مَعَ الْكَفَّارَةِ

Adapun jawaban atas ucapannya “Pena diangkat dari tiga golongan,” maka pengangkatan pena dari mereka tidaklah mencegah kewajiban hukum qatl (pembunuhan) atas harta mereka, sebagaimana tidak mencegah kewajiban diyat, dan sebagaimana tidak mencegah orang yang tidur, jika ia berguling lalu membunuh seseorang, dari kewajiban membayar diyat beserta kafarat.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ فَمُنْتَقَضٌ بِوُجُوبِ الْغُرْمِ وَجَزَاءِ الصَّيْدِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ أَنَّهُمَا عِبَادَتَانِ عَلَى الْبَدَنِ وَالْكَفَّارَةُ حَقٌّ فِي الْمَالِ فَافْتَرَقَا كَمَا افْتَرَقَ الْقِصَاصُ وَالدِّيَةُ وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى كَفَّارَةِ الْأَيْمَانِ مَعَ انْتِقَاضِهِ بِجَزَاءِ الصَّيْدِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَصِحَّ مِنْهُمَا الْأَيْمَانُ لم يلزمها كَفَّارَتُهُمَا وَلَمَّا صَحَّ مِنْهُمَا الْقَتْلُ لَزِمَتْهُمَا كَفَّارَتُهُ

Adapun qiyās mereka dengan salat dan puasa, maka itu tertolak dengan adanya kewajiban membayar ganti rugi dan denda atas perburuan. Kemudian, makna dalam salat dan puasa adalah keduanya merupakan ibadah yang berkaitan dengan badan, sedangkan kafarat adalah hak yang berkaitan dengan harta, sehingga keduanya berbeda sebagaimana perbedaan antara qishāsh dan diyat. Adapun qiyās mereka dengan kafarat sumpah, meskipun telah tertolak dengan denda atas perburuan, maka maknanya adalah karena sumpah dari keduanya tidak sah, maka tidak wajib atas keduanya kafarat sumpah, dan ketika pembunuhan dari keduanya sah, maka wajib atas keduanya kafaratnya.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْقِصَاصِ فَالْمَعْنَى فِي الْقِصَاصِ أَنَّهُ حَقٌّ عَلَى بَدَنٍ فَسَقَطَ عَنْهُمَا كَالْحُدُودِ وَالْكَفَّارَةُ حَقٌّ فِي مَالٍ فَلَمْ تَسْقُطْ عَنْهُمَا كزكاة الفطر وجزاء الصيد والله أعلم

Adapun qiyās mereka dengan qishāsh, maka makna dalam qishāsh adalah bahwa ia merupakan hak atas badan, sehingga gugur dari keduanya sebagaimana hudūd, sedangkan kaffārah adalah hak dalam harta, maka tidak gugur dari keduanya seperti zakat fitrah dan denda atas perburuan. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَقَالَ تَعَالَى فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ النساء 92 يَعْنِي فِي قَوْمٍ فِي دَارِ حَرْبٍ خَاصَّةً وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ قَوَدًا وَلَا دِيَةً إِذَا قتله وهو لا يعرفه مسلماً وذلك أن يغير أو يقتله في سرية أو يلقاه منفرداً بهيئة المشركين وفي دارهم أو نحو ذلك

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Allah Ta‘ala berfirman: ‘Jika ia (yang terbunuh) berasal dari kaum yang memusuhi kalian, padahal ia seorang mukmin, maka (wajib) memerdekakan seorang budak mukmin’ (an-Nisā’ 92). Maksudnya adalah dari kaum yang berada di wilayah perang secara khusus, dan Allah tidak menetapkan qishāsh maupun diyat baginya jika seseorang membunuhnya tanpa mengetahui bahwa ia seorang Muslim. Hal ini terjadi misalnya ketika seseorang melakukan serangan, atau membunuhnya dalam sebuah pasukan kecil, atau menemuinya sendirian dalam keadaan menyerupai orang-orang musyrik di negeri mereka, atau semisalnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ أَحْكَامَ الْقَتْلِ فِي ثَلَاثَةٍ أحكام أَوْجَبَ فِيهِمْ دِيَتَيْنِ وَثَلَاثَ كَفَّارَاتٍ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar. Allah Ta‘ala menyebutkan dalam ayat ini hukum-hukum tentang pembunuhan pada tiga golongan, di mana Dia mewajibkan atas mereka dua diyat dan tiga kafarat.”

أحدهما وهو المقدم فِيهَا قَتْلُ الْمُؤْمِنَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَأَوْجَبَ فِيهِ الدِّيَةَ وَالْكَفَّارَةَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إلا أن يصدقوا وَقَدِ اسْتَوْفَيْنَاهُ

Yang pertama, dan ini yang diutamakan, adalah membunuh seorang mukmin di Darul Islam. Dalam hal ini, diwajibkan membayar diyat dan kafarat berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka bersedekah.” Dan kami telah membahasnya secara tuntas.

وَالثَّانِي قَتْلُ الْمُؤْمِنِ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَأَوْجَبَ فِيهِ الْكَفَّارَةَ وَلَمْ يُوجِبْ فِيهِ الدِّيَةَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَمَعْنَاهُ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ مِنْ أَعْدَائِكُمْ مُؤْمِنٌ قَتَلْتُمُوهُ بَيْنَهُمْ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ تَلْزَمُكُمْ فِي قَتْلِهِ

Yang kedua adalah membunuh seorang mukmin di wilayah perang, maka diwajibkan membayar kafārah atasnya dan tidak diwajibkan membayar diyat berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Jika ia (yang terbunuh) berasal dari kaum yang memusuhi kalian, sedang ia seorang mukmin, maka (wajib) memerdekakan seorang budak mukmin.” Maksudnya, jika ada seorang mukmin dari kaum musuh kalian yang kalian bunuh di antara mereka, maka wajib atas kalian memerdekakan seorang budak sebagai kafārah atas pembunuhannya.

وَلَا يَخْلُو حَالُ قَتْلِهِ فِيهِمْ مِنْ أربعة أقسام

Tidak lepas keadaan pembunuhan terhadap mereka dari empat bagian.

أحدها أنه يعلم قاتله أن مُسْلِمٌ وَتَعَمَّدَ قَتْلَهُ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ

Pertama, jika seseorang mengetahui bahwa yang dibunuhnya adalah seorang Muslim dan ia sengaja membunuhnya, maka atasnya berlaku qishāsh.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنَعَتْ دَارُ الْإِسْلَامِ مَا فِيهَا وَأَبَاحَتْ دَارُ الشِّرْكِ مَا فِيهَا وَلِأَنَّهُ مَقْتُولٌ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَلَمْ يُسْتَحَقَّ فِيهِ قَوَدٌ كَأَهْلِ الْحَرْبِ

Abu Hanifah berkata, “Tidak ada qishāsh atasnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Negeri Islam melindungi apa yang ada di dalamnya, dan negeri syirik membolehkan apa yang ada di dalamnya.’ Selain itu, karena ia terbunuh di negeri harb, maka tidak berhak atasnya qishāsh, sebagaimana halnya dengan penduduk negeri harb.”

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مِنَ الْمُسْلِمِ مَالَهُ وَدَمَهُ وَأَنْ لَا يَظُنَّ بِهِ إِلَّا خَيْرًا وَلِأَنَّهُ عَامِدٌ لِقَتْلِ مُسْلِمٍ مَحْقُونِ الدَّمِ فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ الْقَوَدُ كَمَا لَوْ قَتَلَهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَالْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ وَالْقِيَاسُ أَنَّ دَارَ الشِّرْكِ لَمْ تُبِحْ دَمَهُ وَأَبَاحَتْ دَمَ الْمُشْرِكِ

Dalil kami adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah mengharamkan harta, darah, dan agar tidak berprasangka buruk terhadap seorang Muslim kecuali yang baik-baik saja.” Selain itu, karena ia sengaja membunuh seorang Muslim yang darahnya terjaga, maka wajib baginya dikenakan qishāsh sebagaimana jika ia membunuhnya di negeri Islam. Adapun jawaban terhadap hadis dan qiyās adalah bahwa negeri syirik tidak menghalalkan darahnya dan hanya menghalalkan darah orang musyrik.

فَصْلٌ

Bagian

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ لَا يَعْلَمَ قَاتِلُهُ أَنَّهُ مُسْلِمٌ وَلَا يَعْمِدُ قَتْلَهُ وَلَكِنْ يَرْمِي إِلَى دَارِ الْحَرْبِ سَهْمًا مُرْسَلًا فَيَقَعُ عَلَيْهِ فَيَقْتُلُهُ فَهُوَ الْمُرَادُ بِالْآيَةِ وَفِي قَتْلِهِ الْكَفَّارَةُ وَاخْتَلَفُوا فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهُ لَا تَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ

Bagian kedua adalah ketika pembunuh tidak mengetahui bahwa korbannya adalah seorang Muslim dan tidak sengaja membunuhnya, melainkan ia melepaskan anak panah ke wilayah musuh secara sembarangan, lalu anak panah itu mengenai korban dan membunuhnya. Inilah yang dimaksud dalam ayat tersebut, dan atas pembunuhan seperti ini diwajibkan kafārah. Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban diyat; Imam Syafi‘i berpendapat bahwa dalam kasus ini diyat tidak wajib.

وَقَالَ مَالِكٌ تَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ

Malik berkata, “Di dalamnya wajib membayar diyat.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ كَانَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ هَاجَرَ إِلَيْهَا وَجَبَتْ فِيهِ الدِّيَةُ وَإِنْ لَمْ يُسْلِمْ فِيهَا وَلَا هَاجَرَ إِلَيْهَا لَمْ تَجِبْ فِيهِ الدِّيَةُ لِثُبُوتِ حُرْمَةِ الدَّارِ عَلَى الْمُهَاجِرِ وَعَدَمِهَا فِي غَيْرِ الْمُهَاجِرِ وَاسْتَدَلَّا فِي الْجُمْلَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى ودية مسلمة إلى أهله فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّهُ مَقْتُولٌ مُسْلِمٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا بِالدِّيَةِ كَالْمَقْتُولِ فِي دَارِ الإسلام

Abu Hanifah berkata, jika seseorang berada di Darul Islam atau berhijrah ke sana, maka wajib dibayar diyat atas dirinya, meskipun ia tidak masuk Islam di sana. Namun, jika ia tidak masuk Islam di Darul Islam dan tidak berhijrah ke sana, maka tidak wajib diyat atas dirinya, karena adanya kehormatan wilayah (Dar) bagi orang yang berhijrah dan tidak adanya kehormatan tersebut bagi yang tidak berhijrah. Mereka berdua secara umum berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “dan diyat yang diserahkan kepada keluarganya,” maka ayat itu berlaku secara umum. Dan karena ia adalah orang yang terbunuh dalam keadaan Muslim, maka wajib untuk dijamin dengan diyat sebagaimana orang yang terbunuh di Darul Islam.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ النساء 92 فَكَانَ الدَّلِيلُ فِيهَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan jika ia (yang terbunuh) berasal dari kaum yang memusuhi kalian, sedang ia adalah seorang mukmin, maka (wajib membayar) memerdekakan seorang budak yang beriman.” (an-Nisā’ ayat 92). Maka dalil dalam ayat ini terdapat dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا اقْتِصَارُهُ عَلَى الْكَفَّارَةِ وَلَوْ وَجَبَتْ فِيهِ الدِّيَةُ لَذَكَرَهَا

Salah satunya adalah terbatasnya (hukum) pada kifarat, dan seandainya diwajibkan diat di dalamnya, tentu akan disebutkan.

وَالثَّانِي إِنَّهُ غَايَرَ بَيْنَ قَتْلِهِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الشِّرْكِ وَلَوْ تَسَاوَيَا لِأَطْلَقَ وَلَمْ يُغَايِرْ بَيْنَهُمَا وَلِأَنَّهَا دَارُ إِبَاحَةٍ لَمْ يَعْمِدْ فِيهَا قَتْلَ مُسْلِمٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَضْمَنَ بِالْقَتْلِ دِيَةً كَمَا لَوْ قُتِلَ غَيْرُ مُسْلِمٍ؛ وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يَضْمَنْ دِيَتَهُ إِذَا لَمْ يُهَاجِرْ لَمْ يُضْمَنْ وَإِنْ هَاجَرَ كالمشرك وعموم الآية مخصص بما تعقبها وقياسه معارض لقياسنا؛ وَلِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ حَاظِرَةٌ وَدَارَ الْمُشْرِكِ مُبِيحَةٌ

Kedua, sesungguhnya ia membedakan antara pembunuhan di Dar al-Islam dan di Dar al-Syirk. Jika keduanya sama, tentu ia akan membebaskan dan tidak membedakan antara keduanya. Karena Dar al-Syirk adalah negeri yang membolehkan (pembunuhan), maka tidak disengaja di dalamnya membunuh seorang muslim, sehingga tidak wajib membayar diyat atas pembunuhan tersebut, sebagaimana jika yang dibunuh bukan seorang muslim. Dan karena siapa saja yang tidak wajib diyatnya jika ia tidak berhijrah, maka tidak wajib pula jika ia berhijrah, seperti musyrik. Dan keumuman ayat telah dikhususkan oleh apa yang datang setelahnya, dan qiyās-nya bertentangan dengan qiyās kami. Karena Dar al-Islam adalah negeri yang terjaga, sedangkan Dar al-Musyrik adalah negeri yang membolehkan.

فَصْلٌ

Bagian

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَعْمِدَ قَتْلَهُ وَلَا يَعْلَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَلَا قَوَدَ فِيهِ وَفِيهِ الدِّيَةُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا دِيَةَ فِيهِ إِنْ لَمْ يُهَاجِرْ

Bagian ketiga adalah seseorang sengaja membunuhnya, namun tidak mengetahui bahwa ia seorang Muslim, maka tidak ada qishāsh dalam kasus ini, tetapi ada diyat. Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada diyat jika ia belum berhijrah.

وَدَلِيلُنَا إِنَّ الْيَمَانَ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ قَتَلَهُ الْمُسْلِمُونَ وَلَمْ يَعْلَمُوا بِإِسْلَامِهِ فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِدِيَتِهِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ يَغْفِرُ اللَّهُ لَهُمْ فَإِنَّهُمْ لَمْ يَعْلَمُوا؛ وَلِأَنَّ جَهْلَ الْقَاتِلِ بِأَحْوَالِ الْمَقْتُولِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَ ضَمَانِهِ عَنِ الْقَاتِلِ كَالصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ

Dan dalil kami adalah bahwa al-Yamān, yaitu Abu Hudzafah bin al-Yamān, dibunuh oleh kaum Muslimin sementara mereka tidak mengetahui bahwa ia telah masuk Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan untuk membayar diyatnya. Hudzafah pun berkata, “Semoga Allah mengampuni mereka, karena mereka tidak mengetahui.” Selain itu, ketidaktahuan pembunuh terhadap keadaan orang yang dibunuh tidak menggugurkan kewajiban jaminan (diyat) dari pembunuh, sebagaimana halnya pada kasus anak kecil dan orang gila.

فَصْلٌ

Fasal

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ وَلَا يَعْمِدُ قَتْلَهُ وَيَرْمِي أَهْلَ الدَّارِ بِسَهْمٍ فَاعْتَرَضَ الْمُسْلِمُ السَّهْمَ حَتَّى أَصَابَهُ فَقَتَلَهُ فَلَا قَوَدَ وَفِيهِ الْكَفَّارَةُ وَفِي وُجُوبِ الدِّيَةِ قَوْلَانِ

Bagian keempat adalah seseorang mengetahui bahwa dia adalah seorang Muslim dan tidak bermaksud membunuhnya, lalu ia melepaskan anak panah ke arah penduduk negeri, kemudian seorang Muslim menghadang anak panah tersebut hingga mengenainya dan menyebabkan kematiannya. Maka, tidak ada qishāsh, namun wajib membayar kaffārah, dan mengenai kewajiban membayar diyat terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا دِيَةَ فِيهِ اسْتِدْلَالًا بِالْآيَةِ واعتبار بِالْقِسْمِ الثَّانِي

Salah satunya tidak ada diyat di dalamnya, berdasarkan istidlal dengan ayat dan qiyās dengan bagian yang kedua.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِيهِ الدِّيَةُ اسْتِدْلَالًا بِحَدِيثِ الْيَمَانِ وَاعْتِبَارًا بِالْقِسْمِ الثَّالِثِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa dalam kasus ini ada diyat, dengan berdalil pada hadis tentang al-Yaman dan dengan mempertimbangkan bagian ketiga. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Dan jika (yang terbunuh itu) berasal dari suatu kaum yang antara kalian dan mereka terdapat perjanjian (miṡāq), maka (wajib membayar) diyat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan seorang budak mukmin.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا هُوَ الثَّالِثُ مِمَّا بَيَّنَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَجَمَعَ فِي قَتْلِهِ بَيْنَ الدِّيَةِ وَالْكَفَّارَةِ وَهُوَ الْكَافِرُ ذُو الْمِيثَاقِ بِذِمَّةٍ أَوْ عَهْدٍ إِذَا قُتِلَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَفِيهِ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَجَمَعَ فِي قَتْلِهِ بَيْنَ الدِّيَةِ وَالْكَفَّارَةِ كَمَا جَمَعَ فِي قَتْلِ الْمُسْلِمَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ بين الدية الكفارة وَقَدَّمَ فِي قَتْلِ الْمُسْلِمِ الْكَفَّارَةَ عَلَى الدِّيَةِ وَفِي قَتْلِ الْكَافِرِ الدِّيَةَ عَلَى الْكَفَّارَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ يَرَى تَقْدِيمَ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى حَقِّ نَفْسِهِ وَالْكَافِرُ يَرَى تَقْدِيمَ حَقِّ نَفْسِهِ عَلَى حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَقَالَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ بَلْ خَالَفَ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يَجْعَلْهُمَا عَلَى نسق واحد لأن لا يَلْحَقُ بِهِمَا مَا بَيْنَهُمْ مِنْ قَتْلِ الْمُؤْمِنِ في دار الحرب في قوله وإن كان من قوم عدوا لكم وهو مؤمن فتحرير رقبة مؤمنة فَيَضُمُّ إِلَيْهِ الدِّيَةَ إِلْحَاقًا بِأَحَدِ الطَّرَفَيْنِ فَأَزَالَ هذا الاحتمال بأحد اللفظين

Al-Mawardi berkata: Inilah yang ketiga dari hal-hal yang telah dijelaskan Allah Ta‘ala dalam ayat ini, yaitu Allah menggabungkan antara diyat dan kafarat dalam kasus pembunuhan terhadap orang kafir yang memiliki perjanjian (dzimmah atau ‘ahd) apabila ia dibunuh di negeri Islam. Maka atasnya dikenakan diyat dan kafarat, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan jika ia (yang terbunuh) dari suatu kaum yang antara kamu dan mereka ada perjanjian, maka (wajib membayar) diyat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan seorang budak mukmin.” Maka Allah menggabungkan antara diyat dan kafarat dalam pembunuhan terhadapnya, sebagaimana Allah juga menggabungkan antara diyat dan kafarat dalam pembunuhan terhadap seorang Muslim di negeri Islam. Allah mendahulukan kafarat atas diyat dalam pembunuhan terhadap Muslim, dan mendahulukan diyat atas kafarat dalam pembunuhan terhadap orang kafir, karena seorang Muslim memandang bahwa hak Allah Ta‘ala lebih didahulukan daripada hak dirinya, sedangkan orang kafir memandang bahwa hak dirinya lebih didahulukan daripada hak Allah Ta‘ala. Ibnu Abi Hurairah berkata: Bahkan Allah membedakan antara keduanya dan tidak menjadikannya dalam satu urutan yang sama, agar tidak disamakan dengan pembunuhan terhadap seorang mukmin di negeri perang dalam firman-Nya: “Dan jika ia dari kaum yang memusuhi kamu, sedang ia seorang mukmin, maka (wajib) memerdekakan seorang budak mukmin,” sehingga tidak digabungkan kepadanya diyat dengan alasan penyamaan pada salah satu dari dua pihak. Maka Allah meniadakan kemungkinan ini dengan salah satu dari dua lafaz tersebut.

وسواء كان صحاب هَذَا الْمِيثَاقِ مِنَ الْكُفَّارِ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ أَوْ مِنْ أَصْحَابِ الْعَهْدِ وَسَوَاءٌ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أَوْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ وَالْكَفَّارَةِ إِذَا قُتِلَ فِي دار الإسلام

Baik apakah pemilik perjanjian ini berasal dari kalangan kafir ahludz-dzimmah atau dari kalangan pemilik perjanjian (mu‘āhad), dan baik berasal dari ahlul kitab maupun bukan ahlul kitab, maka tetap wajib membayar diyat dan kafārah jika ia terbunuh di dalam wilayah Islam.

فَأَمَّا إِذَا قُتِلَ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ الْمُسْلِمِ إِذَا قُتِلَ فِيهَا فِي ضَمَانِهِ بِالْكَفَّارَةِ وَالدِّيَةِ إِلَّا أَنْ يَعْمِدَ قَتْلَهُ غَالَطًا بِمِيثَاقِهِ الَّذِي هُوَ مُقِيمٌ عَلَى الْتِزَامِهِ فَتَجِبُ فِيهِ الدِّيَةُ مَعَ الْكَفَّارَةِ وَالْكَفَّارَةُ الْوَاجِبَةُ فِي قَتْلِ الْكَافِرِ كَالْكَفَّارَةِ الْوَاجِبَةِ فِي قَتْلِ الْمُسْلِمِ فِي أَيْمَانِ الرَّقَبَةِ وَسَلَامَتِهَا مِنَ الْعُيُوبِ الْمُضِرَّةِ والله أعلم

Adapun jika ia terbunuh di wilayah perang, maka hukumnya sama dengan hukum seorang Muslim yang terbunuh di sana, yaitu dalam hal jaminan berupa kaffārah dan diyat, kecuali jika pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja dan menyalahi perjanjian yang masih ia pegang, maka wajib atasnya diyat beserta kaffārah. Kaffārah yang wajib dalam pembunuhan terhadap orang kafir sama dengan kaffārah yang wajib dalam pembunuhan terhadap Muslim, yaitu dalam hal sumpah membebaskan budak dan memastikan budak tersebut bebas dari cacat yang membahayakan. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وإذا وجبت عَلَيْهِ كَفَّارَةُ الْقَتْلِ فِي الْخَطَأِ وَفِي قَتْلِ الْمُؤْمِنِ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَانَتِ الْكَفَّارَةُ فِي العمد أولى قال المزني رحمه الله وَاحْتُجَّ بِأَنَّ الْكَفَّارَةَ فِي قَتْلِ الصَّيْدِ فِي الْإِحْرَامِ وَالْحَرَمِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً سَوَاءٌ إِلَّا في المأثم فكذلك كفارة القتل أَوْ خَطَأً سَوَاءٌ إِلَّا فِي الْمَأْثَمِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Apabila seseorang wajib membayar kafārah karena membunuh secara tidak sengaja dan dalam membunuh seorang mukmin di wilayah perang, maka kafārah dalam pembunuhan sengaja lebih utama.” Al-Muzani raḥimahullāh berkata, “Beliau berdalil bahwa kafārah dalam membunuh hewan buruan saat ihram dan di tanah haram, baik sengaja maupun tidak sengaja, hukumnya sama kecuali dalam hal dosa. Maka demikian pula kafārah pembunuhan, baik sengaja maupun tidak sengaja, hukumnya sama kecuali dalam hal dosa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ الْكَفَّارَةُ تَجِبُ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini sebagaimana dikatakan bahwa kafarat wajib dalam pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja.”

وَأَوْجَبَهَا أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ فِي قَتْلِ الْخَطَأِ وَأَسْقَطَاهَا فِي قَتْلِ الْعَمْدِ سَوَاءٌ وَجَبَ فِي الْقَوَدِ أَوْ لَمْ يَجِبْ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فتحرير رقبة مؤمنة فَجَعَلَ الْخَطَأَ شَرْطًا فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ فَوَجَبَتْ أَنْ يَنْتَفِيَ عَنِ الْعَمْدِ لِعَدَمِ الشَّرْطِ وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” الْعَمْدُ قَوَدٌ فَجَعْلَ مُوجِبَ الْعَمْدِ اسْتِحْقَاقَ الْقَوَدِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ فِي غَيْرِ الْقَوَدِ وَلِأَنَّهُ سَبَبٌ يُوجِبُ الْقَتْلَ فَلَمْ يُوجِبِ الْكَفَّارَةَ كَالزِّنَا وَالرِّدَّةِ وَلِأَنَّهُ قَتْلُ عَمْدٍ فَلَمْ تَجِبْ فِيهِ الْكَفَّارَةُ كَالْقِصَاصِ وَلِأَنَّ الْقِصَاصَ عُقُوبَةٌ عَلَى بَدَنٍ وَالْكَفَّارَةَ حَقٌّ فِي مَالٍ فَلَمْ يَجْتَمِعَا فِي الْقَتْلِ الْوَاحِدِ كَالْقِصَاصِ مَعَ الدِّيَةِ

Abu Hanifah dan Malik mewajibkan (kafarat) dalam kasus pembunuhan karena kesalahan, dan menggugurkannya dalam kasus pembunuhan sengaja, baik qishash wajib dilakukan maupun tidak. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena kesalahan, maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman.” Maka Allah menjadikan kesalahan sebagai syarat wajibnya kafarat, sehingga wajib untuk meniadakannya dari pembunuhan sengaja karena tidak adanya syarat tersebut. Juga berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Pembunuhan sengaja itu qishash.” Maka beliau menjadikan akibat dari pembunuhan sengaja adalah berhaknya qishash, sehingga hal itu menunjukkan bahwa kafarat tidak wajib dalam selain qishash. Dan karena pembunuhan sengaja adalah sebab yang mewajibkan hukuman mati, maka tidak mewajibkan kafarat, seperti zina dan riddah. Dan karena pembunuhan sengaja adalah pembunuhan dengan sengaja, maka tidak wajib kafarat di dalamnya, seperti qishash. Dan karena qishash adalah hukuman atas badan, sedangkan kafarat adalah hak yang berkaitan dengan harta, maka keduanya tidak berkumpul dalam satu pembunuhan, seperti qishash dengan diyat.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ وَاثِلَةُ بْنُ الْأَسْقَعِ قَالَ أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي صَاحِبٍ لَنَا اسْتَوْجَبَ النَّارَ بِالْقَتْلِ فَقَالَ ” أَعْتِقُوا عَنْهُ رَقَبَةً يُعْتِقِ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهَا عُضْوًا مِنْهُ مِنَ النَّارِ وَهُوَ لَا يَسْتَوْجِبُ النَّارَ إِلَّا فِي الْعَمْدِ

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh Watsilah bin Al-Asqa‘, ia berkata: Kami datang kepada Rasulullah ﷺ karena seorang sahabat kami yang telah berhak masuk neraka karena membunuh. Maka beliau bersabda, “Bebaskanlah seorang budak sebagai tebusan untuknya, niscaya Allah akan membebaskan setiap anggota tubuh budak itu sebagai tebusan bagi setiap anggota tubuhnya dari neraka.” Dan seseorang tidaklah berhak masuk neraka kecuali karena pembunuhan yang disengaja.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ أَمَرَ بِهَا غَيْرَ الْقَاتِلِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ عَلَى الْقَاتِلِ قُلْنَا الْخِطَابُ وإن توجه إلى السائل بالمراد بِهِ الْقَاتِلُ لِأَنَّهُ أَوْجَبَهَا بِالْقَتْلِ وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي وَأَدْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ

Jika dikatakan, “Namun perintah tersebut ditujukan kepada selain pelaku pembunuhan, maka hal itu menunjukkan bahwa kewajiban tersebut tidak berlaku atas pelaku pembunuhan,” kami jawab: Teks perintah itu meskipun ditujukan kepada penanya, yang dimaksudkan adalah pelaku pembunuhan, karena kewajiban itu ditetapkan akibat pembunuhan. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwa ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku pernah mengubur anak perempuan hidup-hidup pada masa jahiliah.”

فَقَالَ أَعْتِقْ عَنْ كُلِّ مَوْؤُودٍ رَقَبَةً وَذَلِكَ أَنَّ الْعَرَبَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ كَانَتْ تَحْفِرُ تَحْتَ الْحَامِلِ إِذَا ضَرَبَهَا الطَّلْقُ حُفَيْرَةً يَسْقُطُ فِيهَا وَلَدُهَا إِذَا وَضَعَتْهُ فَإِنْ كَانَ ذَكَرًا أَخْرَجُوهُ مِنْهَا وَإِنْ كَانَ أُنْثَى تُرِكَتْ فِي حُفْرَتِهَا وَطُمَّ التُّرَابُ عَلَيْهَا حَتَّى تَمُوتَ وَهَذَا قَتْلُ عَمْدٍ وَقَدْ أُوجِبَتْ فِيهِ الْكَفَّارَةُ

Maka beliau bersabda, “Bebaskanlah satu budak untuk setiap anak yang dikubur hidup-hidup.” Hal itu karena orang-orang Arab pada masa jahiliah biasa menggali lubang di bawah wanita hamil ketika hendak melahirkan, agar anaknya jatuh ke dalam lubang itu saat dilahirkan. Jika yang lahir adalah laki-laki, mereka mengeluarkannya dari lubang itu, dan jika perempuan, dibiarkan di dalam lubangnya lalu ditimbun tanah hingga mati. Ini adalah pembunuhan dengan sengaja, dan atas perbuatan tersebut diwajibkan kafārah.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ قَتْلُ آدَمِيٍّ مَضْمُونٌ فَوَجَبَ أَنْ تُسْتَحَقَّ فِيهِ الْكَفَّارَةُ كَالْخَطَأِ وَلِأَنَّ كُلَّ كَفَّارَةٍ وَجَبَتْ بِقَتْلِ الْخَطَأِ وَجَبَتْ بِقَتْلِ الْعَمْدِ كَجَزَاءِ الصَّيْدِ وَلِأَنَّ الْكَفَّارَةَ إِذَا وَجَبَتْ عَلَى الْخَاطِئِ مَعَ عَدَمِ الْمَأْثَمِ كَانَ وُجُوبُهَا عَلَى العامد مع المأثم حق كما قال تعالى فمن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ البقرة 185 فَلَمَّا أُوجِبَ الْقَضَاءُ عَلَى الْمُفْطِرِ مَعْذُورًا بِمَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ كَانَ وُجُوبُهُ عَلَى مَنْ أَفْطَرَ عَمْدًا بِغَيْرِ عُذْرٍ أَحَقَّ ولقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Dan berdasarkan qiyās, membunuh manusia adalah perbuatan yang dijamin (ada tanggung jawabnya), maka wajib dikenakan kafārah di dalamnya sebagaimana pada pembunuhan karena kesalahan. Dan karena setiap kafārah yang diwajibkan atas pembunuhan karena kesalahan juga diwajibkan atas pembunuhan sengaja, seperti kafārah berburu. Dan karena kafārah, jika diwajibkan atas pelaku kesalahan padahal tidak ada dosa, maka kewajibannya atas pelaku sengaja yang berdosa tentu lebih layak, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (al-Baqarah: 185). Maka ketika diwajibkan qadhā’ atas orang yang berbuka puasa karena uzur sakit atau safar, maka kewajibannya atas orang yang berbuka puasa dengan sengaja tanpa uzur tentu lebih layak. Dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa tertidur dari salat atau lupa, maka hendaklah ia melaksanakannya ketika ia ingat.”

وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ الْقَتْلُ كَفَّارَةٌ

Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Pembunuhan adalah kafārah.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ الصَّحِيحُ إِنَّ الْكَفَّارَةَ عَلَى وُجُوبِهَا لَا تَسْقُطُ بِالْقَوَدِ لِأَنَّهَا حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى فَلَمْ تَسْقُطْ بِتَأْدِيَةِ حَقِّ الْآدَمِيِّ كَمَا لَمْ تَسْقُطْ بِأَدَاءِ الدِّيَةِ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang benar, adalah bahwa kaffarah, meskipun wajib, tidak gugur dengan pelaksanaan qishāsh, karena kaffarah merupakan hak Allah Ta‘ala, sehingga tidak gugur dengan pelaksanaan hak manusia, sebagaimana tidak gugur dengan pembayaran diyat.

فَصْلٌ

Bab

فَأَمَّا إِذَا اشْتَرَكَتِ الْجَمَاعَةُ فِي قَتْلِ نَفْسٍ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَإِنَّهُمْ يَشْتَرِكُونَ فِي الدِّيَةِ فَلَا يَلْزَمُهُمْ إِلَّا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ وَلَا يَشْتَرِكُونَ فِي الْكَفَّارَةِ وَيَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ كَفَّارَةٌ كَامِلَةٌ فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا اشْتَرَكُوا فِي الْكَفَّارَةِ كَمَا اشْتَرَكُوا فِي الدِّيَةِ كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ عُثْمَانُ الْبَتِّيُّ وَحَكَاهُ بَعْضُ أَصْحَابِكُمْ عَنِ الشَّافِعِيِّ

Adapun jika sekelompok orang bersama-sama membunuh seseorang, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, maka mereka bersama-sama menanggung diyat, sehingga tidak diwajibkan atas mereka kecuali satu diyat saja. Namun, mereka tidak berbagi dalam kafarat; masing-masing dari mereka wajib menunaikan kafarat secara penuh. Jika ada yang bertanya, “Mengapa mereka tidak berbagi dalam kafarat sebagaimana mereka berbagi dalam diyat, seperti pendapat yang dipegang oleh ‘Utsman al-Batti dan sebagaimana yang dinukil sebagian sahabat kalian dari Imam Syafi‘i?”

قِيلَ الْحَاكِي لَهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ غالطاً لَمْ يُعْرَفْ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِهِ وَلَا نَقَلَهُ عَنْهُ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ وَنُصُوصُهُ فِي جَمِيعِ كُتُبِهِ بِخِلَافِهِ

Dikatakan bahwa orang yang menisbatkan pendapat itu kepada asy-Syafi‘i telah keliru, karena tidak ditemukan dalam satu pun dari kitab-kitabnya, dan tidak ada seorang pun dari para sahabatnya yang meriwayatkan hal itu darinya, bahkan nash-nash beliau dalam seluruh kitabnya justru bertentangan dengan hal tersebut.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الدِّيَةِ وَالْكَفَّارَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Perbedaan antara diyat dan kaffarah terdapat pada dua aspek.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الدِّيَةَ تَتَبَعَّضُ فَجَازَ أَنْ يَشْتَرِكُوا فِيهَا وَالْكَفَّارَةَ لَا تَتَبَعَّضُ فَلَمْ يَصِحَّ اشْتِرَاكُهُمْ فِيهَا

Salah satu alasannya adalah bahwa diyat dapat dibagi-bagi sehingga memungkinkan mereka untuk berbagi di dalamnya, sedangkan kafarah tidak dapat dibagi-bagi sehingga tidak sah bagi mereka untuk berbagi di dalamnya.

وَالثَّانِي إِنَّ الدِّيَةَ بَدَلٌ مِنَ النَّفْسِ وَهِيَ وَاحِدَةٌ فَلَمْ يَلْزَمْ فِيهَا إِلَّا دِيَةٌ وَاحِدَةٌ وَالْكَفَّارَةُ لِتَكْفِيرِ الْقَتْلِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ قَاتِلٌ فَلَزِمَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ كَفَّارَةٌ وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ دَلِيلٌ عَلَى عُثْمَانَ

Yang kedua, diyat adalah pengganti jiwa, dan jiwa itu satu, maka tidak diwajibkan kecuali satu diyat saja. Sedangkan kafarat bertujuan untuk menghapus dosa pembunuhan, dan masing-masing dari mereka adalah pelaku pembunuhan, maka wajib bagi masing-masing dari mereka untuk membayar kafarat. Kedua pendapat ini merupakan dalil bagi pendapat ‘Utsman.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ وُجُودُ الْكَفَّارَةِ عَلَى كُلِّ قَاتِلٍ بِغَيْرِ حَقٍّ مِنْ عَمْدٍ أَوْ خَطَأٍ فِي كُلِّ مَقْتُولٍ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ فَقَدْ نَصَّ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا عَلَى الْعِتْقِ وَالصِّيَامِ

Maka apabila telah tetap adanya kewajiban kafārah atas setiap pembunuh tanpa hak, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, pada setiap korban yang terbunuh, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, merdeka maupun budak, maka Allah Ta‘ala telah menegaskan di dalamnya tentang (kewajiban) memerdekakan (budak) dan berpuasa.

فَقَالَ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ النساء 92 فَقَدَّمَ عِتْقَ الرَّقَبَةِ وَشَرَطَ فِيهَا الْإِيمَانَ فَلَا يُجْزِئُ إِلَّا عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ سَوَاءٌ كَانَ الْمَقْتُولُ مُؤْمِنًا أَوْ كَافِرًا لِأَنَّهُ شَرَطَ إِيمَانَهَا فِي عِتْقِهَا عَنْ قَتْلِ الْكَافِرِ فَكَانَ إِيمَانُهَا فِي عِتْقِهَا عَنْ قَتْلِ الْمُؤْمِنِ أَوْلَى فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الرَّقَبَةَ فَاضِلَةً عَنْ كِفَايَتِهِ عَلَى الْأَبَدِ سَقَطَ عَنْهُ التَّكْفِيرُ بِالْعِتْقِ وَكَفَّرَ بِصِيَامِ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ وَهُوَ نَصُّ الْقُرْآنِ فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الصِّيَامِ فَفِيهِ قَوْلَانِ

Maka Allah berfirman: “Dan memerdekakan seorang budak yang beriman. Barang siapa tidak mendapatkannya, maka berpuasa dua bulan berturut-turut.” (an-Nisā’ 92). Allah mendahulukan pembebasan budak dan mensyaratkan keimanan padanya, sehingga tidak sah kecuali membebaskan budak yang beriman, baik orang yang terbunuh itu seorang mukmin maupun kafir, karena Allah mensyaratkan keimanan pada budak yang dibebaskan sebagai kafarat atas pembunuhan orang kafir. Maka keimanan budak tersebut dalam pembebasan sebagai kafarat atas pembunuhan orang mukmin tentu lebih utama. Jika tidak menemukan budak yang lebih dari kebutuhannya untuk selamanya, maka gugurlah kewajiban kafarat dengan membebaskan budak, dan ia menggantinya dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, sebagaimana nash al-Qur’an. Jika ia tidak mampu berpuasa, maka ada dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا يَعْدِلُ إِلَى الْإِطْعَامِ فَيُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَصَّ عَلَيْهِ مِنْ كَفَّارَةِ الظِّهَارِ وَأَطْلَقَ ذِكْرَهُ فِي كَفَّارَةِ الْقَتْلِ فَوَجَبَ أَنْ يُحْمَلَ إِطْلَاقُهُ فِي كَفَّارَةِ الْقَتْلِ عَلَى تَقَيُّدِهِ فِي كَفَّارَةِ الظِّهَارِ لِأَنَّ الْمُطْلَقَ مَحْمُولٌ عَلَى الْمُقَيَّدِ مِنْ جِنْسِهِ

Salah satunya adalah beralih kepada memberi makan, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, karena Allah Ta‘ala telah menegaskannya dalam kaffārah zhihār dan menyebutkannya secara umum dalam kaffārah pembunuhan. Maka wajib membawa keumuman dalam kaffārah pembunuhan kepada kekhususan dalam kaffārah zhihār, karena lafaz umum dibawa kepada yang khusus dari jenisnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهُ لَا إِطْعَامَ فِيهَا وَتَكُونُ الْكَفَّارَةُ بِأَحَدِ الْأَمْرَيْنِ بَاقِيَةً فِي ذِمَّتِهِ إِلَى أَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهَا لِأَنَّ الْإِبْدَالَ فِي الْكَفَّارَاتِ مَوْقُوفَةٌ عَلَى النَّصِّ دُونَ الْقِيَاسِ وَلَا يَجُوزُ حَمْلُ مُطَلَقِهَا عَلَى الْمُقَيَّدِ إِلَّا فِي الْوَصْفِ دُونَ الْأَصْلِ كَمَا حُمِلَ إِطْلَاقُ الْيَدِ فِي التَّيَمُّمِ عَلَى تَقَيُّدِهَا بِالْمَرَافِقِ فِي الْوُضُوءِ لِأَنَّهُ حَمْلُ مُطْلَقٍ عَلَى مُقَيَّدٍ فِي وَصْفٍ وَلَمْ يُحْمَلْ إِغْفَالُ ذِكْرِ الرَّأْسِ وَالرِّجْلَيْنِ فِي التَّيَمُّمِ عَلَى مَا قُيِّدَ مِنْ ذِكْرِهِمَا فِي الْوُضُوءِ لِأَنَّهُ حَمْلُ مُطْلَقٍ على مقيد أَصْلٍ كَذَلِكَ فِي الْكَفَّارَةِ حَمَلَنَا إِطْلَاقَ الْعِتْقِ فِي كَفَّارَةِ الظِّهَارِ عَلَى تَقَيُّدِهِ بِالْإِيمَانِ مِنْ كَفَّارَةِ الْقَتْلِ لِأَنَّهُ حَمْلُ مُطْلَقٍ عَلَى مُقَيَّدٍ فِي وَصْفٍ وَلَمْ يُحْمَلْ إِغْفَالُ الْإِطْعَامِ فِي كَفَّارَةِ الْقَتْلِ عَلَى ذِكْرِهِ فِي كَفَّارَةِ الظِّهَارِ لِأَنَّهُ حَمْلُ مُطْلَقٍ عَلَى مُقَيَّدٍ فِي أَصْلٍ والله أعلم بالصواب

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada kewajiban memberi makan dalam hal ini, dan kafarat tetap menjadi tanggungan seseorang dengan salah satu dari dua perkara tersebut sampai ia mampu melaksanakannya. Sebab, penggantian dalam kafarat hanya didasarkan pada nash, bukan pada qiyās. Tidak boleh membawa yang mutlak kepada yang muqayyad kecuali dalam sifat, bukan pada asal, sebagaimana pembatasan kata “tangan” dalam tayammum kepada batasan siku dalam wudhu, karena itu adalah membawa yang mutlak kepada yang muqayyad dalam sifat. Tidak dibawa pula penghilangan penyebutan kepala dan kedua kaki dalam tayammum kepada penyebutan keduanya dalam wudhu, karena itu adalah membawa yang mutlak kepada yang muqayyad dalam asal. Demikian pula dalam kafarat, kami membawa kemutlakan pembebasan budak dalam kafarat zhihār kepada pembatasannya dengan keimanan dalam kafarat pembunuhan, karena itu adalah membawa yang mutlak kepada yang muqayyad dalam sifat. Namun, tidak dibawa penghilangan kewajiban memberi makan dalam kafarat pembunuhan kepada penyebutannya dalam kafarat zhihār, karena itu adalah membawa yang mutlak kepada yang muqayyad dalam asal. Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran.

Bab: Pembunuh Tidak Berhak Mewarisi

مِنْ كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَهْلِ الْمَدِينَةِ

Dari kitab Ikhtilāf Abī Hanīfah wa Ahl al-Madīnah

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَرِثُ قَاتِلٌ خَطَأً وَلَا عَمْدًا إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَجْنُونًا أَوْ صَبِيًّا فَلَا يُحْرَمُ الْمِيرَاثَ لِأَنَّ الْقَلَمَ عَنْهُمَا مَرْفُوعٌ وَقَالَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ لَا يَرِثُ قَاتِلُ عَمْدٍ وَلَا يَرِثُ قَاتِلُ خَطَأٍ مِنَ الدِّيَةِ وَيَرِثُ مِنْ سَائِرِ مَالِهِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ هَلْ رَأَيْتُمْ وَارِثًا يَرِثُ بَعْضَ مَالِ رَجُلٍ دُونَ بَعْضٍ إِمَّا أَنْ يَرِثَ الْكُلَّ أَوْ لَا يَرِثَ شيئا قال الشافعي رحمه الله يدخل على محمد بن الحسن أنه يسوي بين المجنون والصبي وبين البالغ الخاطئ في قتل الخطأ ويجعل على عواقلهم الدية ويرفع عنهم المأثم فكيف ورث بعضهم دون بعض وهم سواء في المعنى قال ويدخل على أصحابنا ما دخل على محمد بن الحسن وليس في الفرق بين قاتل خطأ لا يرث وقاتل عمد خبر يلزم ولو كان ثابتاً كانت فيه أشبه قال المزني رحمه الله المعنى تأويله إذا لم يثبت فرق أنهما سواء في أنهما لا يرثان وقد قطع بهذا المعنى في كتاب قتال أهل البغي فقال إذا قتل العادل الباغي أو الباغي العادل لا يتوارثان لأنهما قاتلان قال وهذا أشبه بمعنى الحديث

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuh, baik karena kesalahan maupun sengaja, tidak mewarisi, kecuali jika ia adalah orang gila atau anak kecil, maka keduanya tidak terhalang dari warisan karena pena (beban hukum) diangkat dari keduanya. Penduduk Madinah berpendapat bahwa pembunuh sengaja tidak mewarisi, dan pembunuh karena kesalahan tidak mewarisi dari diyat, tetapi mewarisi dari harta lainnya. Muhammad bin al-Hasan berkata: ‘Pernahkah kalian melihat ahli waris yang mewarisi sebagian harta seseorang dan tidak mewarisi sebagian lainnya? Hendaknya ia mewarisi seluruhnya atau tidak mewarisi sama sekali.’ Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: ‘Tanggapan terhadap Muhammad bin al-Hasan adalah bahwa ia menyamakan antara orang gila dan anak kecil dengan orang dewasa yang membunuh karena kesalahan dalam hal pembunuhan tidak sengaja, dan ia membebankan diyat kepada ‘aqilah mereka serta menggugurkan dosa dari mereka. Lalu bagaimana mungkin sebagian mereka mewarisi dan sebagian lainnya tidak, padahal mereka sama dalam makna? Dan tanggapan terhadap para sahabat kami juga sama seperti yang ditujukan kepada Muhammad bin al-Hasan. Tidak ada perbedaan yang kuat antara pembunuh karena kesalahan yang tidak mewarisi dan pembunuh sengaja. Jika ada riwayat yang sahih, maka itu lebih mendekati kebenaran.’ Al-Muzani rahimahullah berkata: ‘Maknanya adalah, jika tidak ada perbedaan yang tetap, maka keduanya sama-sama tidak mewarisi. Dan beliau telah menegaskan makna ini dalam kitab Qitāl Ahl al-Baghy, beliau berkata: Jika orang yang adil membunuh pemberontak atau pemberontak membunuh orang yang adil, maka keduanya tidak saling mewarisi karena keduanya adalah pembunuh.’ Dan ini lebih sesuai dengan makna hadis.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا قَدْ مَضَى فِي كِتَابِ الْفَرَائِضِ وَذَكَرْنَا اخْتِلَافَ الْفُقَهَاءِ فِي مِيرَاثِ الْقَاتِلِ فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يَرِثُ قَاتِلُ عَمْدٍ وَلَا خَطَأٍ سَوَاءٌ جَرَى عَلَيْهِ الْقَلَمُ بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ أَوْ رُفِعَ عَنْهُ الْقَلَمُ بِالصِّغَرِ وَالْجُنُونِ

Al-Mawardi berkata, “Hal ini telah disebutkan dalam Kitab al-Faraidh, dan kami telah menyebutkan perbedaan pendapat para fuqaha mengenai warisan bagi pembunuh. Imam Syafi’i ra. berpendapat bahwa pembunuh, baik pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja, tidak berhak mewarisi, baik ia telah dikenai taklif karena baligh dan berakal, maupun belum dikenai taklif karena masih kecil atau gila.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَرِثُ قَاتِلُ عَمْدٍ وَلَا خَطَأٍ إِنْ جَرَى عَلَيْهِ الْقَلَمُ وَيَرِثُ إِنْ رُفِعَ عَنْهُ الْقَلَمُ وَقَالَ مَالِكٌ لَا يَرِثُ قَاتِلُ الْعَمْدِ وَإِنْ رفع عنه القلم ويرث الخطأ مِنَ الْمَالِ دُونَ الدِّيَةِ وَإِنْ جَرَى عَلَيْهِ الْقَلَمُ فَرَدَّ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ عَلَى مَالِكٍ هَذَا الْقَوْلَ وَقَالَ هَلْ رَأَيْتُمْ وَارِثًا يَرِثُ بَعْضَ مَالِ رَجُلٍ دُونَ بَعْضٍ إِمَّا أَنْ يَرِثَ الْكُلَّ أَوْ لَا يَرِثَ شَيْئًا وَهَذَا رَدٌّ صَحِيحٌ مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ عَلَى مَالِكٍ حَيْثُ وَرَّثَ الْخَاطِئَ مِنَ الْمَالِ دُونَ الدِّيَةِ وَكِلَاهُمَا مَالٌ لِلْمَقْتُولِ يَقْضِي مِنْهُمَا دُيُونَهُ وَتُنَفَّذُ مِنْهُمَا وَصَايَاهُ فَإِنِ انْتَفَتِ التُّهْمَةُ عَنِ الْخَاطِئِ وَرِثَ الْكُلَّ وَإِنْ تَحَقَّقَتِ التُّهْمَةُ مُنِعَ الْكُلَّ وَلَمْ يَجُزْ تَبْعِيضُ الْمَالِ فِي الْمِيرَاثِ فيرث بعض ويمنع بعض كَمَا أَنَّ الْمَبْتُوتَةَ بِالطَّلَاقِ فِي الْمَرَضِ لَمَّا لَحِقَ الزَّوْجَ التُّهْمَةُ فِي مَنَعَهَا مِنْ ثُلُثَيْ مَالِهِ لِأَنَّ الثُّلُثَ غَيْرُ مَتْهُومٍ فِي مَنْعِهَا مِنْهُ لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَمْنَعَ مِنْهُ كُلَّ وَارِثٍ فَلَمْ يَلْحَقِ الزَّوْجَ تُهْمَةٌ فِي مَنْعِهَا مِنْهُ وَقَدْ كَانَ يَقْتَضِي عَلَى قِيَاسِ قَوْلِهِ أَنْ يُوَرِّثَهَا ثُلُثَيْ مَالِهِ وَلَا يُوَرِّثَهَا مِنَ الثُّلُثِ لِاخْتِصَاصِ التُّهْمَةِ بِالثُّلُثَيْنِ دُونَ الثُّلُثِ وَقَدْ أَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى إِبْطَالِ هَذَا التَّبْعِيضِ وَكَانُوا فِي تَوْرِيثِهَا عَلَى قَوْلَيْنِ فَمِنْ وَرَّثَهَا مِنْهُمْ وَرَّثَهَا جَمِيعَ الْمَالِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَتْهُومٍ فِي بَعْضِهِ وَمَنْ لَمْ يُوَرِّثْهَا مَنَعَهَا جَمِيعَ الْمَالِ وَإِنْ كَانَ مَتْهُومًا فِي بَعْضِهِ فَبَطَلَ بِهَذَا الْإِجْمَاعِ تَبْعِيضُ الْمَالِ لِمِيرَاثِ الْخَاطِئِ ثُمَّ إِنَّ الشَّافِعِيَّ رَدَّ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ فِيمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أَبُو حَنِيفَةَ مِنْ تَوْرِيثِ مَنْ رُفِعَ عَنْهُ الْقَلَمُ دُونَ مَنْ جَرَى عَلَيْهِ الْقَلَمُ لِأَنَّ الصَّبِيَّ وَالْمَجْنُونَ قَدْ شَارَكَا الْخَاطِئَ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ وَشَارَكَهُمَا الْخَاطِئُ فِي ارْتِفَاعِ الْمَأْثَمِ فَصَارُوا جَمِيعًا سَوَاءً فِي الْحُكْمِ وَالْعِلَّةِ فَهَلَّا صَارُوا سَوَاءً فِي الْمِيرَاثِ فِي أَنْ يَرِثُوا أَوْ لَا يَرِثُوا وَكَيْفَ فَرَّقَ بَيْنَهُمْ فِي الْمِيرَاثِ وَقَدْ تَسَاوَوْا فِي سَبَبِهِ وَهَذَا التَّكَافُؤُ فِي الِاعْتِرَاضِ دَلِيلٌ عَلَى فَسَادِ الْمَذْهَبَيْنِ وَيَصِحُّ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ مِنْ مَنْعِ كُلِّ قَاتِلٍ مِنَ الْمِيرَاثِ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ الْقَاتِلُ لَا يَرِثُ

Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuh, baik sengaja maupun tidak sengaja, tidak berhak mewarisi jika telah berlaku hukum padanya, dan ia berhak mewarisi jika hukum tidak berlaku atasnya. Malik berpendapat bahwa pembunuh sengaja tidak berhak mewarisi meskipun hukum tidak berlaku atasnya, sedangkan pembunuh tidak sengaja berhak mewarisi dari harta, bukan dari diyat, meskipun hukum berlaku atasnya. Muhammad bin al-Hasan membantah pendapat Malik ini dan berkata, “Pernahkah kalian melihat seorang ahli waris yang mewarisi sebagian harta seseorang dan tidak mewarisi sebagian lainnya? Seharusnya ia mewarisi seluruhnya atau tidak mewarisi sama sekali.” Ini adalah bantahan yang benar dari Muhammad bin al-Hasan terhadap Malik, karena Malik mewariskan kepada pembunuh tidak sengaja dari harta, bukan dari diyat, padahal keduanya adalah harta milik orang yang terbunuh, yang darinya dapat digunakan untuk membayar utang dan melaksanakan wasiatnya. Jika tuduhan terhadap pembunuh tidak sengaja hilang, maka ia mewarisi seluruh harta; jika tuduhan itu terbukti, maka ia terhalang dari seluruh harta, dan tidak boleh membagi-bagi harta dalam warisan sehingga ia mewarisi sebagian dan terhalang dari sebagian, sebagaimana wanita yang dicerai secara ba’in saat suami sakit, ketika suami dicurigai bermaksud menghalanginya dari dua pertiga hartanya, karena sepertiga harta tidak dicurigai dalam hal penghalangan itu, sebab suami boleh menghalangi setiap ahli waris dari sepertiga harta tersebut, sehingga tidak ada tuduhan terhadap suami dalam hal itu. Seharusnya, menurut qiyās pendapatnya, ia mewariskan dua pertiga hartanya kepada istri tersebut dan tidak mewariskan sepertiganya, karena tuduhan hanya terkait dengan dua pertiga, bukan sepertiga. Namun, umat telah berijmā‘ membatalkan pembagian seperti ini, dan mereka dalam hal mewariskan kepada istri tersebut terbagi dalam dua pendapat: di antara mereka ada yang mewariskan seluruh harta kepadanya meskipun tidak dicurigai pada sebagian hartanya, dan ada yang tidak mewariskan seluruh harta kepadanya meskipun ada kecurigaan pada sebagian hartanya. Dengan demikian, berdasarkan ijmā‘ ini, pembagian harta dalam warisan pembunuh tidak sengaja menjadi batal. Kemudian, asy-Syafi‘i membantah Muhammad bin al-Hasan dalam hal pendapat Abu Hanifah yang mewariskan kepada orang yang tidak berlaku hukum atasnya, bukan kepada yang berlaku hukum atasnya, karena anak kecil dan orang gila sama-sama wajib membayar diyat seperti pembunuh tidak sengaja, dan pembunuh tidak sengaja juga sama dengan mereka dalam hal tidak berdosa, sehingga mereka semua sama dalam hukum dan illat. Maka, seharusnya mereka juga sama dalam warisan: apakah semuanya mewarisi atau semuanya tidak mewarisi. Bagaimana mungkin membedakan mereka dalam warisan padahal mereka sama dalam sebabnya? Persamaan dalam bantahan ini menunjukkan rusaknya kedua mazhab tersebut, dan pendapat yang benar adalah apa yang dikemukakan oleh asy-Syafi‘i, yaitu melarang setiap pembunuh dari warisan, karena Nabi ﷺ bersabda, “Pembunuh tidak berhak mewarisi.”

وَقَالَ لَيْسَ لِقَاتِلٍ شَيْءٌ

Dan ia berkata, “Bagi pembunuh tidak ada bagian apa pun.”

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنْ لَا مِيرَاثَ لِكُلِّ قَاتِلٍ فَكُلُّ قَاتِلٍ تَعَلَّقَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْقَتْلِ فِي ضَمَانِ دِيَةٍ أَوْ كَفَّارَةٍ فَلَا مِيرَاثَ لَهُ بِحَالٍ فَأَمَّا مَنْ لَمْ يَتَعَلَّقْ عَلَيْهِ ضَمَانُ الْقَتْلِ إِذَا تَنَاوَلَهُ اسْمُ الْقَاتِلِ لِأَنَّهُ قَاتِلٌ بِحَقٍّ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Maka apabila telah dipastikan bahwa tidak ada warisan bagi setiap pembunuh, maka setiap pembunuh yang dikenakan hukum pembunuhan berupa kewajiban membayar diyat atau kafarat, maka ia sama sekali tidak berhak mendapatkan warisan. Adapun orang yang tidak dikenakan kewajiban membayar diyat atas pembunuhan, meskipun ia disebut sebagai pembunuh karena ia membunuh dengan hak, maka ia terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مُخَيَّرًا فِيهِ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا كَالْمُقْتَضَى مِنْهُ قَوَدًا فَلَا مِيرَاثَ لَهُ لِتَوَجُّهِ التُّهْمَةِ إِلَيْهِ فِي عُدُولِهِ عَنِ الْعَفْوِ إِلَى الْقِصَاصِ رَغْبَةً فِي الْمِيرَاثِ فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ

Salah satunya adalah jika seseorang diberi pilihan dalam hal itu, meskipun ia berada di pihak yang benar, seperti orang yang dituntut darinya qishāsh, maka ia tidak mendapat warisan karena adanya tuduhan yang mengarah kepadanya ketika ia memilih qishāsh daripada memaafkan, karena keinginannya terhadap warisan. Maka wajib untuk mencegahnya dari warisan tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَجِبَ عَلَيْهِ قَتْلُهُ وَلَا يَكُونُ مُخَيَّرًا كَالْحَاكِمِ إِذَا قَتَلَ فِي زنا أو في قصاص استوفاه لخصم فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis kedua adalah apabila wajib baginya untuk membunuh dan ia tidak diberi pilihan, seperti hakim yang membunuh dalam kasus zina atau dalam pelaksanaan qishāsh yang ia jalankan untuk kepentingan pihak yang berhak. Maka hal ini terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْتُلَهُمْ بِالْبَيِّنَةِ فَلَا يَرِثُ لِأَنَّهُ مَتْهُومٌ فِي تَزْكِيَةِ الشُّهُودِ فَمَنَعَتْهُ التُّهْمَةُ مِنَ الْمِيرَاثِ

Salah satunya adalah jika ia membunuh mereka dengan bukti yang jelas, maka ia tidak berhak mewarisi karena ia dicurigai dalam pensucian para saksi, sehingga tuduhan tersebut menghalanginya dari warisan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقْتُلَهُمْ بِإِقْرَارِهِمْ فَفِي مِيرَاثِهِ لَهُمْ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا

Jenis yang kedua adalah apabila ia membunuh mereka berdasarkan pengakuan mereka, maka dalam hal warisan darinya kepada mereka terdapat dua pendapat menurut ulama kami.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ يَرِثُهُمْ لِانْتِفَاءِ التُّهْمَةِ عَنْهُ فِي إِقْرَارِهِمْ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, menyatakan bahwa ia mewarisi mereka karena tidak adanya tuduhan terhadapnya dalam pengakuan mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هُرَيْرَةَ وَالْأَكْثَرِينَ وَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ لَا يَرِثُ لِإِطْلَاقِ اسْمِ الْقَتْلِ عَلَيْهِ وَإِنِ انْتَفَتِ التُّهْمَةُ عَنْهُ كَالصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, mayoritas ulama, dan yang tampak dari mazhab Syafi‘i, adalah bahwa pembunuh tidak berhak mewarisi, karena sebutan “pembunuhan” tetap berlaku atasnya, meskipun tuduhan (kesengajaan) telah hilang darinya, seperti pada anak kecil dan orang gila.

وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب

Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

Bab Kesaksian atas Tindak Kejahatan

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَلَا يُقْبَلُ فِي الْقَتْلِ وَجِرَاحِ الْعَمْدِ وَالْحُدُودِ سِوَى الزِّنَا إِلَّا عَدْلَانِ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tidak diterima dalam perkara pembunuhan, luka sengaja, dan hudud selain zina kecuali (kesaksian) dua orang yang adil.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الشَّهَادَةُ فَتَنْقَسِمُ عَلَى أَقْسَامٍ مَوْضِعُ اسْتِيفَائِهَا كِتَابُ الشَّهَادَاتِ وَنَحْنُ نَذْكُرُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مَا اخْتَصَّ بِهِ مِنَ الشَّهَادَةِ فِي الْجِنَايَاتِ وَالْجِنَايَاتُ ضَرْبَانِ عَمْدٌ يُوجِبُ الْقِصَاصَ وَخَطَأٌ يُوجِبُ الْمَالَ فَأَمَّا الْعَمْدُ الْمُوجِبُ لِلْقِصَاصِ فَلَا تَثْبُتُ الْبَيِّنَةُ فِيهِ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ ولا يثبت بشاهد وامرأتان كالحدود وسواء كان في نفس وفيما دُونَ النَّفْسِ

Al-Mawardi berkata: Adapun kesaksian terbagi menjadi beberapa bagian, tempat pembahasannya adalah dalam Kitab Kesaksian. Namun, di sini kami akan menyebutkan hal-hal yang khusus terkait kesaksian dalam perkara jinayah. Jinayah terbagi menjadi dua: jinayah sengaja yang mewajibkan qishāsh, dan jinayah tidak sengaja yang mewajibkan pembayaran harta. Adapun jinayah sengaja yang mewajibkan qishāsh, maka pembuktian (bukti) di dalamnya tidak dapat ditegakkan kecuali dengan dua orang saksi laki-laki, dan tidak dapat ditegakkan dengan satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, sebagaimana dalam perkara hudud, baik dalam kasus pembunuhan jiwa maupun selain jiwa.

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ لَا يُقْبَلُ فِي النَّفْسِ إِلَّا أَرْبَعَةُ شُهُودٍ كَالزِّنَا لِأَنَّهَا إِمَاتَةُ نَفْسٍ وَيُقْبَلُ فِيمَا دُونَهَا شَاهِدَانِ كَالْحُدُودِ وَقَالَ مَالِكٌ يُقْبَلُ فِيمَا قَلَّ مَنِ الْجِرَاحِ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَلَا يُقْبَلُ فِيمَا كَثُرَ إِلَّا شَاهِدَانِ لِخِفَّةِ الْقَلِيلِ وَتَغْلِيظِ الْكَثِيرِ وَكِلَا الْقَوْلَيْنِ خَطَأٌ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِمَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَصَّ فِي كِتَابِهِ عَلَى ثَلَاثِ شَهَادَاتٍ خَالَفَ بَيْنَ أَحْكَامِهَا وَجَعَلَهَا أُصُولًا لِمَا أَغْفَلَهُ لِيَكُونَ الْمُغْفَلُ فَرْعًا مُلْحَقًا بِأَصْلِهِ فِيهَا فَنَصَّ عَلَى أَرْبَعَةِ شُهُودٍ فِي الزِّنَا وَنَصَّ عَلَى شَاهِدَيْنِ فِي الطَّلَاقِ وَالرَّجْعَةِ وَنَصَّ عَلَى شَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ فِي الْأَمْوَالِ وَأَغْفَلَ الشَّهَادَةَ فِي الْجِنَايَاتِ فَصَارَتْ فَرْعًا لِأَحَدِهَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُحْمَلَ عَلَى الزِّنَا لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تُحْمَلْ عَلَيْهِ فِيمَا دُونَ النَّفْسِ لَمْ تُحْمَلْ عَلَيْهِ فِي النَّفْسِ لِوُجُوبِ تَسَاوِيهِمَا كَمَا اسْتَوَى حُكْمُ الزِّنَا فِي مَا أوجب الرحم وَمَا أَوْجَبَ الْجَلْدَ فَبَطَلَ بِهِ قَوْلُ الْحَسَنِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى الْأَمْوَالِ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُحْمَلْ عَلَيْهَا فِيمَا كَثُرَ لَمْ تُحْمَلْ عَلَيْهَا فِيمَا قَلَّ لِاسْتِوَاءِ حُكْمِ الْأَمْوَالِ فيما قل وكثر فبطل هذا قَوْلُ مَالِكٍ فَلَمْ يَبْقَ إِلَّا الْأَصْلُ الثَّالِثُ وَهُوَ الشَّاهِدَانِ فِي الطَّلَاقِ وَالرَّجْعَةِ فِيمَا كَثُرَ وقل والله أعلم

Al-Hasan al-Bashri berkata: Tidak diterima dalam perkara jiwa kecuali empat orang saksi seperti pada kasus zina, karena hal itu merupakan penghilangan nyawa. Adapun dalam perkara selainnya cukup dua orang saksi seperti pada hudud. Malik berkata: Dalam kasus luka yang ringan diterima satu orang saksi dan dua orang perempuan, sedangkan dalam kasus luka yang berat tidak diterima kecuali dua orang saksi, karena yang ringan lebih mudah dan yang berat lebih berat hukumannya. Kedua pendapat ini salah, dan dalil atas keduanya adalah bahwa Allah Ta‘ala telah menegaskan dalam Kitab-Nya tentang tiga jenis kesaksian dengan hukum yang berbeda-beda, dan menjadikannya sebagai pokok bagi perkara yang tidak disebutkan, agar perkara yang tidak disebutkan itu menjadi cabang yang mengikuti pokoknya. Maka Allah menegaskan empat saksi dalam zina, dua saksi dalam talak dan rujuk, serta satu saksi laki-laki dan dua perempuan dalam perkara harta, dan Allah tidak menyebutkan kesaksian dalam jinayat (tindak pidana), sehingga perkara itu menjadi cabang dari salah satu pokok tersebut. Maka tidak boleh disamakan dengan zina, karena jika dalam perkara selain jiwa tidak disamakan dengannya, maka dalam perkara jiwa pun tidak boleh disamakan, karena keduanya sama hukumnya, sebagaimana hukum zina sama dalam hal yang mewajibkan rajam maupun yang mewajibkan cambuk. Dengan demikian, batal pendapat al-Hasan. Dan tidak boleh disamakan dengan perkara harta, karena jika dalam perkara yang banyak tidak disamakan dengannya, maka dalam perkara yang sedikit pun tidak boleh disamakan, karena hukum harta sama baik sedikit maupun banyak. Dengan demikian, batal pendapat Malik. Maka yang tersisa hanyalah pokok yang ketiga, yaitu dua orang saksi dalam talak dan rujuk, baik dalam perkara yang banyak maupun sedikit. Dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَيُقْبَلُ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَيَمِينٌ وَشَاهِدٌ فِيمَا لَا قِصَاصَ فِيهِ مِثْلَ الْجَائِفَةِ وَجِنَايَةِ مَنْ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ مِنْ مَعْتُوهٍ وَصَبِيٍّ وَمُسْلِمٍ عَلَى كَافِرٍ وَحُرٍّ عَلَى عَبْدٍ وَأَبٍ عَلَى ابْنٍ لِأَنَّ ذَلِكَ مَالٌ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Diterima kesaksian satu laki-laki dan dua perempuan, serta sumpah dan satu saksi dalam perkara yang tidak ada qishāsh di dalamnya, seperti luka yang menembus (jā’ifah), dan tindak pidana yang pelakunya tidak dikenai qawad, seperti orang gila, anak kecil, seorang Muslim terhadap kafir, orang merdeka terhadap budak, dan ayah terhadap anak, karena hal itu termasuk harta.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ كُلُّ جِنَايَةٍ سَقَطَ الْقِصَاصُ فِيهَا وَأَوْجَبَتِ الدِّيَةَ قبل فِيهَا شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَشَاهِدٌ وَيَمِينٌ كَالْأَمْوَالِ لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ مَالٌ وَالَّذِي لَا قِصَاصَ فِيهِ مِنَ الْجِنَايَاتِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Al-Mawardi berkata: “Ini benar, setiap tindak pidana yang gugur qishash-nya dan mewajibkan pembayaran diyat, maka diterima di dalamnya kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, atau satu orang saksi dan sumpah, sebagaimana pada perkara harta, karena semua itu adalah harta. Adapun tindak pidana yang tidak ada qishash di dalamnya terbagi menjadi tiga jenis.”

أَحَدُهَا الْخَطَأُ الْمَحْضُ مِمَّنْ كَانَ وَعَلَى مَنْ كَانَ

Salah satunya adalah kesalahan murni, siapa pun pelakunya dan kepada siapa pun itu terjadi.

وَالثَّانِي عَمْدُ الْخَطَأِ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْخَطَأِ إِلَّا فِي تَقْسِيطِ الدِّيَةِ فِيهِ وَتَخْفِيفِهَا

Yang kedua adalah kesengajaan yang menyerupai kesalahan, karena hukumnya seperti hukum kesalahan, kecuali dalam hal pembayaran diyat yang dicicil dan keringanannya.

وَالثَّالِثُ الْعَمْدُ الَّذِي يَسْقُطُ فِيهِ الْقِصَاصُ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أضرب

Ketiga adalah pembunuhan sengaja yang di dalamnya gugur qishāsh, dan pembunuhan ini terbagi menjadi tiga jenis.

أحدهما مَا سَقَطَ لِمَعْنًى فِي الْجَانِي كَجِنَايَةِ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ وَجِنَايَةِ الْأَبِ عَلَى الِابْنِ

Pertama, yaitu yang gugur karena suatu alasan yang terdapat pada pelaku, seperti tindak pidana yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan tindak pidana yang dilakukan oleh ayah terhadap anaknya.

وَالثَّانِي مَا سَقَطَ لِمَعْنًى فِي الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ كَجِنَايَةِ الْمُسْلِمِ عَلَى كَافِرٍ وَجِنَايَةِ الْحُرِّ عَلَى عَبْدٍ

Yang kedua adalah apa yang gugur karena suatu alasan yang terdapat pada korban, seperti tindak pidana yang dilakukan seorang Muslim terhadap seorang kafir, dan tindak pidana yang dilakukan seorang merdeka terhadap seorang budak.

وَالثَّالِثُ مَا سَقَطَ لِمَعْنًى فِي الْجِنَايَةِ كَالْجَائِفَةِ فَيُقْبَلُ فِي جَمِيعِ هَذَا كُلِّهِ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَشَاهِدٌ وَيَمِينٌ وَسَوَاءٌ كَانَتْ فِي نَفْسٍ أَوْ طَرَفٍ أَوْ جُرْحٍ فَإِنْ صَارَتِ الْجَائِفَةُ نَفَسًا لَمْ يُقْبَلْ فِيهَا إِلَّا شَاهِدَانِ لِأَنَّهَا صَارَتْ مُوجِبَةً لِلْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ

Ketiga, yaitu sesuatu yang gugur karena suatu sebab dalam tindak pidana, seperti luka yang menembus rongga tubuh (jā’ifah). Dalam semua kasus ini, diterima persaksian satu laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah. Hal ini berlaku baik pada kasus yang berkaitan dengan jiwa, anggota tubuh, maupun luka. Namun, jika luka jā’ifah tersebut menyebabkan kematian, maka tidak diterima kecuali dua orang saksi laki-laki, karena hal itu telah menjadi sebab wajibnya qishāsh pada jiwa.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِنْ كَانَتِ الْجِنَايَةُ عَمْدًا فَقَالَ وَلِيُّ الْقِصَاصِ لَسْتُ أَقْتَصُّ فَاسْمَعُوا مني شاهداً وامرأتين ولم يُقْبَلْ لِأَنَّ قَوْلَهُ لَسْتُ أَقْتَصُّ مَوْعِدٌ بِالْعَفْوِ وَلَيْسَ بِعَفْوٍ وَإِنْ قَالَ قَدْ عَفَوْتُ عَنِ الْقِصَاصِ فَاسْمَعُوا شَاهِدًا وَامْرَأَتَيْنِ فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يُقْبَلُ مِنْهُ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَشَاهِدٌ وَيَمِينٌ لِأَنَّهُ لَوْ أَقَامَ شَاهِدَيْنَ بَعْدَ عَفْوِهِ قَبْلَ الشَّهَادَةِ لَمْ يُحْكَمْ لَهُ بِالْقِصَاصِ

Jika jinayah (kejahatan) itu dilakukan dengan sengaja, lalu wali qishash berkata, “Saya tidak akan menuntut qishash, maka dengarkanlah dariku satu saksi laki-laki dan dua perempuan,” maka tidak diterima, karena ucapannya “Saya tidak akan menuntut qishash” adalah janji untuk memaafkan, bukan pernyataan maaf. Namun jika ia berkata, “Saya telah memaafkan dari qishash, maka dengarkanlah satu saksi laki-laki dan dua perempuan,” maka pendapat yang sahih adalah diterima darinya satu saksi laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi laki-laki dan sumpah, karena jika ia mendatangkan dua saksi setelah ia memaafkan sebelum adanya kesaksian, maka tidak diputuskan baginya hak qishash.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا أَقْبَلُ مِنْهُ وَإِنْ صَرَّحَ بِالْعَفْوِ إِلَّا شَاهِدَيْنِ لِأَمْرَيْنِ

Sebagian ulama kami berkata, dan ini adalah mazhab Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: “Aku tidak menerima darinya, meskipun ia secara tegas menyatakan telah memaafkan, kecuali dua orang saksi untuk dua hal.”

أَحَدُهُمَا إِنَّ مَا أَوْجَبَ الْقِصَاصَ نَوْعٌ لَا يُقْبَلُ فِيهِ أَقَلُّ مِنْ شَاهِدَيْنِ

Salah satunya adalah bahwa hal yang mewajibkan qishāsh merupakan jenis perkara yang tidak dapat diterima di dalamnya kurang dari dua orang saksi.

وَالثَّانِي إِنَّهُ عَفْوٌ مِنْهُ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهِ لِلْقِصَاصِ وَكِلَا التَّعْلِيلَيْنِ خَطَأٌ لِأَنَّ الْعَفْوَ يُخْرِجُهُ مِنْ نَوْعِ الْقِصَاصِ فَبَطَلَ التَّعْلِيلُ الْأَوَّلُ وَالْعَفْوُ قَبْلَ الْبَيِّنَةِ عَفْوٌ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِ الْقِصَاصِ لِأَنَّهُ يُسْتَحَقُّ بِالْجِنَايَةِ لَا بِالْبَيِّنَةِ فَبَطَلَ التَّعْلِيلُ الثَّانِي

Kedua, bahwa itu adalah pemaafan darinya sebelum berhak atas qishāsh. Kedua alasan tersebut salah, karena pemaafan mengeluarkannya dari jenis qishāsh sehingga batal alasan pertama, dan pemaafan sebelum adanya bukti adalah pemaafan setelah berhak atas qishāsh, karena hak atas qishāsh itu timbul karena tindak pidana, bukan karena bukti, sehingga batal alasan kedua.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ” فَإِنْ كَانَ الْجُرْحُ هَاشِمَةً أَوْ مَأْمُومَةً لَمْ أَقْبَلْ أَقَلَّ مِنْ شَاهِدَيْنِ لِأَنَّ الَّذِي شُجَّ إِنْ أَرَادَ أَنْ آخُذَ لَهُ الْقِصَاصَ مِنْ مُوضِحَةٍ فَعَلْتُ لِأَنَّهَا مُوضِحَةٌ وَزِيَادَةٌ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika luka itu berupa hāsyimah atau ma’mūmah, maka aku tidak menerima kurang dari dua orang saksi, karena orang yang terluka itu, jika ia ingin aku menegakkan qishāsh untuknya atas luka muḍīḥah, aku akan melakukannya, karena luka itu adalah muḍīḥah dan lebih dari itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا دُونَ الْمُوضِحَةِ مِنْ شِجَاجِ الرَّأْسِ فَيُقْبَلُ فِيهِ عَمْدًا كَانَ أَوْ خَطَأً شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَشَاهِدٌ وَيَمِينٌ لِأَنَّهُ لَا قِصَاصَ فِي عَمْدِهِ وَأَمَّا الْمُوضِحَةُ فَلَا يُقْبَلُ فِيهَا إِذَا كَانَتْ عَمْدًا إِلَّا شَاهِدَانِ لِأَنَّهَا مُوجِبَةٌ لِلْقِصَاصِ فَإِنْ قِيلَ إِذَا أَقَامَ فِي عَمْدِهَا شَاهِدًا وَامْرَأَتَيْنِ أَوْ شَاهِدًا وَيَمِينًا هَلَّا حَكَمْتُمْ لَهُ بِالدِّيَةِ وَأَسْقَطْتُمُ الْقَوَدَ كَالسَّرِقَةِ إِذَا شَهِدَ بِهَا شَاهِدَانِ حُكِمَ فِيهَا بِالْقَطْعِ وَالْغُرْمِ وَإِنْ شَهِدَ بِهَا شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ أُسْقِطَ الْقَطْعُ وَحُكِمَ بِالْغُرْمِ قِيلَ لَا لِفَرْقٍ مَنَعَ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا وَهُوَ أَنَّ الْغُرْمَ وَالْقَطْعَ فِي السَّرِقَةِ حَقَّانِ يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا لِاخْتِلَافِ مُسْتَحِقِّهَا وَلَيْسَ أَحَدُهُمَا بَدَلًا مِنَ الْآخَرِ فَجَازَ أَنْ يُفْرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا بِحُكْمِهِ وَالْقِصَاصُ وَالْأَرْشُ فِي الْمُوضِحَةِ حَقٌّ وَجَبَ بِسَبَبٍ وَاحِدٍ لِمُسْتَحِقٍّ وَاحِدٍ أَحَدُهُمَا بدلا مِنَ الْآخَرِ فَشَارَكَهُ فِي حُكْمِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُثْبَتَ أَحَدُهُمَا مَعَ انْتِفَاءِ الْآخَرِ فَافْتَرَقَا

Al-Mawardi berkata: Adapun luka di kepala yang berada di bawah tingkat mudhihah, maka dalam hal itu diterima kesaksian satu laki-laki dan dua perempuan, atau satu laki-laki dan sumpah, baik disengaja maupun tidak, karena tidak ada qishāsh dalam kasus yang disengaja. Adapun mudhihah, maka tidak diterima (kesaksian) padanya jika disengaja kecuali dua orang saksi laki-laki, karena ia mewajibkan qishāsh. Jika dikatakan: Apabila dalam kasus mudhihah yang disengaja didatangkan satu saksi laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi laki-laki dan sumpah, mengapa kalian tidak memutuskan baginya diyat dan menggugurkan qishāsh, sebagaimana dalam kasus pencurian jika disaksikan oleh dua saksi laki-laki diputuskan hukuman potong tangan dan ganti rugi, dan jika disaksikan oleh satu saksi laki-laki dan dua perempuan maka hukuman potong tangan digugurkan dan diputuskan ganti rugi? Maka dijawab: Tidak, karena ada perbedaan yang mencegah untuk menggabungkan keduanya, yaitu bahwa ganti rugi dan potong tangan dalam pencurian adalah dua hak yang dapat digabungkan karena berbeda pihak yang berhak, dan tidak ada salah satunya yang menjadi pengganti dari yang lain, sehingga boleh masing-masing diputuskan dengan hukumnya sendiri. Sedangkan qishāsh dan arsy dalam mudhihah adalah satu hak yang wajib karena satu sebab dan untuk satu pihak yang berhak, salah satunya sebagai pengganti dari yang lain, sehingga keduanya saling terkait dalam hukumnya, maka tidak boleh ditetapkan salah satunya dengan tidak adanya yang lain, maka keduanya pun berbeda.

وَأَمَّا مَا فَوْقَ الْمُوضِحَةِ مِنَ الْهَاشِمَةِ وَالْمُنَقِّلَةِ وَالْمَأْمُومَةِ فَقَدْ جَمَعَتْ هَذِهِ الشِّجَاجُ بَيْنَ مَا فِيهِ قِصَاصٌ وَهُوَ الْإِيضَاحُ وَبَيْنَ مَا لَيْسَ فِيهِ قِصَاصٌ وَهُوَ الْهَشْمُ وَالتَّنْقِيلُ فَفِيهَا لِلشَّافِعِيِّ قَوْلَانِ

Adapun luka di atas mudhihah, yaitu hashimah, munqillah, dan ma’mumah, maka jenis-jenis luka ini menggabungkan antara yang di dalamnya ada qishash, yaitu idhah, dan yang tidak ada qishash, yaitu hashm (penghancuran tulang) dan tanqil (pemindahan tulang). Dalam hal ini, menurut Imam Syafi’i terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ فِيهَا إِذَا كَانَتْ عَمْدًا إِلَّا شَاهِدَانِ لِأَنَّ فِيهَا إِيضَاحًا يُسْتَحَقُّ فِيهِ الْقِصَاصُ لِمَنْ طَلَبَ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang ditegaskan dalam masalah ini, adalah bahwa tidak diterima dalam kasus ini jika dilakukan dengan sengaja kecuali dengan dua orang saksi, karena di dalamnya terdapat penjelasan yang menyebabkan berhaknya qishāsh bagi siapa yang menuntutnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي قَالَهُ فِي كِتَابِ الشَّاهِدِ وَالْيَمِينِ إِنَّهُ يُقْبَلُ فِيهَا شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَشَاهِدٌ وَيَمِينٌ لِأَنَّهُ لَمَّا قُبِلَ ذَلِكَ فِيهِ إِذَا انْفَرَدَ عَنِ الْإِيضَاحِ لَمْ يَمْتَنِعْ قَوْلُهُ فِيهِ إِذَا اقْتَرَنَ بِالْإِيضَاحِ وَصَارَ الْإِيضَاحُ مُلْحَقًا بِهِ فِي سُقُوطِ الْقِصَاصِ لِمُشَارَكَتِهِ له

Pendapat kedua, yang disebutkan dalam Kitab asy-Syahadah wa al-Yamīn, menyatakan bahwa dalam hal ini diterima kesaksian satu laki-laki dan dua perempuan, serta satu laki-laki dan sumpah, karena ketika hal itu diterima dalam kasus yang berdiri sendiri tanpa penjelasan, maka tidak tertolak pendapatnya jika disertai dengan penjelasan, dan penjelasan tersebut dianggap mengikuti dalam menggugurkan qishāsh karena adanya kesamaan di antara keduanya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” قَالَ وَلَوْ شَهِدَا أَنَّهُ ضَرَبَهُ بِسَيْفٍ وَقَفْتُهُمَا فَإِنْ قَالَا فَأَنْهَرَ دَمَهُ وَمَاتَ مَكَانَهُ قَبِلْتُهُمَا وَجَعَلْتُهُ قَاتِلًا وَإِنْ قَالَا لَا نَدْرِي أَنْهَرَ دَمُهُ أَمْ لَا بَلْ رَأَيْنَاهُ سَائِلًا لَمْ أَجْعَلْهُ جَارِحًا حَتَّى يَقُولَا أَوْضَحَهُ هَذِهِ الْمُوضِحَةَ بِعَيْنِهَا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika dua orang bersaksi bahwa ia memukulnya dengan pedang, aku akan menahan keduanya. Jika keduanya berkata, ‘Lalu darahnya mengalir dan ia mati di tempat itu,’ aku menerima kesaksian mereka dan menetapkan bahwa ia adalah pembunuh. Namun jika keduanya berkata, ‘Kami tidak tahu apakah darahnya mengalir atau tidak, kami hanya melihat darahnya mengalir,’ maka aku tidak menetapkannya sebagai pelaku luka sampai keduanya mengatakan, ‘Ia telah melukainya dengan luka yang jelas ini.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الشُّهُودِ فَأَمَّا صِفَةُ الشَّهَادَةِ فَيَجِبُ أَنْ تَكُونَ مُفَسِّرَةً لَا احْتِمَالَ فِيهَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ الزخرف 86 فَإِذَا قَالَ الشَّاهِدَانِ رَأَيْنَاهُ قَدْ طَلَبَهُ بِسَيْفٍ وَغَابَا عَنَّا ثُمَّ رَأَيْنَاهُ قَتِيلًا أَوْ جَرِيحًا لَمْ تُقْبَلْ هَذِهِ الشَّهَادَةُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَدْ قَتَلَهُ أَوْ جَرَحَهُ غَيْرُهُ وَهَكَذَا لَوْ قَالَا قَدْ رَأَيْنَاهُ وَقَدْ ضَرَبَهُ بِسَيْفٍ ثُمَّ غَابَا وَوَجَدْنَاهُ قَتِيلًا أَوْ جَرِيحًا لَمْ تُقْبَلْ لِجَوَازِ مَا ذَكَرْنَا مِنْ قَتْلِ غَيْرِهِ أَوْ جِرَاحَةِ غَيْرِهِ فَإِنْ قَالَا رَأَيْنَاهُ وَقَدْ ضَرَبَهُ بسيفه فأنهر دمه ومات مكانه قبلت هذا الشَّهَادَةُ لِأَنَّ ظَاهِرَ مَوْتِهِ أَنَّهُ مِنْ إِنْهَارِ دَمِهِ فَإِنِ ادَّعَى الْجَارِحُ أَنَّهُ مَاتَ مِنْ غَيْرِ جِرَاحَتِهِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ مَعَ الشَّهَادَةِ عَلَيْهِ بِمَوْتِهِ عُقَيْبَ جِرَاحَتِهِ وَلَا يَحْلِفُ وَلَيُّهُ وَإِنْ قَالَا أَنْهَرَ دَمَهُ وَلَمْ يَشْهَدَا بِمَوْتِهِ نُظِرَ فِي مَوْتِهِ فَإِنْ بَعُدَ زَمَانٌ لَا يَجُوزُ أَنْ تَنْدَمِلَ فِيهِ الْجِرَاحَةُ حُكِمَ عَلَى الْجَارِحِ بِالْقَتْلِ لِأَنَّ ظَاهِرَ مَوْتِهِ قَبْلَ انْدِمَالِ الْجِرَاحَةِ أَنَّهُ مِنْهَا فَإِنِ ادَّعَى الْجَارِحُ أَنَّهُ مَاتَ مِنْ غَيْرِهَا فَهُوَ مُحْتَمَلٌ وَإِنْ كَانَ بِخِلَافِ الظَّاهِرِ فَيَحْلِفُ الْوَلِيُّ أَنَّهُ مَاتَ مِنَ الْجِرَاحَةِ وَإِنْ كَانَ مَوْتُهُ بَعْدَهَا بِزَمَانٍ يَجُوزُ أَنْ تَنْدَمِلَ فِيهِ الْجِرَاحَةُ حُكِمَ عَلَيْهِ بِالْجِرَاحَةِ وَلَمْ يُحْكَمْ عَلَيْهِ بِالْقَتْلِ حَتَّى يُقِيمَ وَلِيُّهُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ ضِمْنًا مَرِيضًا حَتَّى مَاتَ فَيُحْكَمُ عَلَيْهِ حِينَئِذٍ بِالْقَتْلِ

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang para saksi. Adapun sifat kesaksian, maka wajib untuk dijelaskan secara rinci tanpa ada kemungkinan penafsiran lain, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “kecuali orang yang memberi kesaksian dengan benar dan mereka mengetahui” (az-Zukhruf: 86). Maka jika dua orang saksi berkata, “Kami melihatnya telah mengejarnya dengan pedang, lalu kami tidak melihatnya lagi, kemudian kami melihatnya sudah terbunuh atau terluka,” maka kesaksian ini tidak diterima karena mungkin saja yang membunuh atau melukainya adalah orang lain. Demikian pula jika keduanya berkata, “Kami melihatnya telah memukulnya dengan pedang, lalu kami tidak melihatnya lagi, kemudian kami mendapatinya telah terbunuh atau terluka,” maka kesaksian ini juga tidak diterima karena kemungkinan seperti yang telah disebutkan, yaitu dibunuh atau dilukai oleh orang lain. Namun, jika keduanya berkata, “Kami melihatnya telah memukulnya dengan pedang hingga darahnya mengalir deras dan ia mati di tempat itu,” maka kesaksian ini diterima karena secara lahiriah kematiannya disebabkan oleh darah yang mengalir deras itu. Jika pelaku luka mengklaim bahwa ia mati bukan karena lukanya, maka klaim itu tidak diterima selama ada kesaksian bahwa ia mati segera setelah dilukai, dan wali korban tidak perlu bersumpah. Jika keduanya berkata, “Darahnya mengalir deras,” namun tidak bersaksi tentang kematiannya, maka dilihat dulu kematiannya; jika waktu yang berlalu tidak memungkinkan lukanya sembuh, maka pelaku luka dihukum sebagai pembunuh karena secara lahiriah kematiannya sebelum lukanya sembuh adalah akibat luka tersebut. Jika pelaku luka mengklaim bahwa ia mati bukan karena luka itu, maka hal itu masih mungkin, meskipun bertentangan dengan yang tampak, sehingga wali korban bersumpah bahwa kematiannya akibat luka tersebut. Jika kematiannya terjadi setelah waktu yang memungkinkan lukanya sembuh, maka pelaku hanya dihukum atas luka, dan tidak dihukum sebagai pembunuh kecuali wali korban dapat menghadirkan bukti bahwa korban terus-menerus sakit hingga akhirnya meninggal, maka saat itu pelaku dihukum sebagai pembunuh.

فَإِنِ ادَّعَى مَوْتَهُ مِنْ غَيْرِهِ أُحْلِفَ وَلِيُّهُ لَقَدْ مَاتَ مِنْ جِرَاحَتِهِ وَلَكِنْ لَوْ شَهِدَ الشَّاهِدَانِ أَنَّهُ ضَرَبَهُ بِسَيْفِهِ وَلَمْ يَشْهَدَا أَنَّهُ أَنْهَرَ دَمَهُ لَمْ يَكُنْ جَارِحًا لِأَنَّهُ لَيْسَ كُلُّ مَضْرُوبٍ بِسَيْفٍ يَنْجَرِحُ بِهِ وَهَكَذَا لَوْ قَالَا ضَرَبَهُ بِسَيْفِهِ فَسَالَ دَمُهُ لَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُمَا لِجَوَازِ أَنْ يَسِيلَ مِنْ فَتْحِ عِرْقٍ أَوْ رُعَافٍ وَلَوْ قَالَا ضَرَبَهُ بِسَيْفِهِ فَأَسَالَ دَمَهُ قُبِلَتْ شَهَادَتَهُمَا لِأَنَّهُمَا أَضَافَا سَيَلَانَ الدَّمِ إِلَيْهِ بِخِلَافِ مَا تَقَدَّمَ فَإِنْ شَهِدَا أَنَّهُ أَوْضَحَهُ فِي رَأْسِهِ فَإِنْ عَيَّنَا الْمُوضِحَةَ حُكِمَ فِيهَا بِالْقِصَاصِ أَوِ الدِّيَةِ وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنَاهَا نُظِرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي رَأْسِهِ غَيْرُ مُوضِحَةٍ وَاحِدَةٍ كَانَتْ هِيَ الْمَشْهُودَ بِهَا وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْ حُكِمَ فِيهَا بِالْقِصَاصِ أَوِ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ فِي رَأْسِهِ مَوَاضِحُ جَمَاعَةٍ حُكِمَ فِيهَا بِالدِّيَةِ وَلَمْ يُحْكَمْ فِيهَا بِالْقِصَاصِ لِأَنَّ الدِّيَةَ تَجِبُ فِي كُلِّ مُوضِحَةٍ عَلَى كُلِّ مَوْضِعٍ مِنَ الرَّأْسِ فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى التَّعْيِينِ وَالْقِصَاصُ لَا يَجِبُ إِلَّا بَعْدَ تَعْيِينِ الْمَوْضِعِ مِنَ الرَّأْسِ وَقَدْرِهَا فِي الطُّولِ والعرض وهكذا لو شهد أَنَّهُ قُطِعَ إِحْدَى يَدَيْهِ وَلَمْ يُعَيِّنَاهَا فَإِنْ كَانَتْ إِحْدَى يَدَيْهِ بَاقِيَةً وَجَبَ الْقِصَاصُ فِي الدَّامِيَةِ أَوِ الدِّيَةُ وَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْ لِأَنَّهَا صَارَتْ بِبَقَاءِ الْأُخْرَى مُعَيَّنَةً فِي الدَّامِيَةِ وَإِنْ كَانَ مَقْطُوعَ الْيَدَيْنِ

Jika ada yang mengklaim kematian seseorang bukan karena orang lain, maka wali korban harus bersumpah bahwa benar korban meninggal karena lukanya. Namun, jika dua saksi bersaksi bahwa pelaku memukul korban dengan pedangnya, tetapi mereka tidak bersaksi bahwa darah korban mengalir deras, maka pelaku tidak dianggap sebagai orang yang melukai, karena tidak setiap orang yang dipukul dengan pedang pasti terluka karenanya. Demikian pula, jika keduanya berkata bahwa pelaku memukul korban dengan pedang hingga darahnya mengalir, kesaksian mereka tidak diterima, karena mungkin saja darah itu mengalir akibat terbukanya pembuluh darah atau mimisan. Namun, jika keduanya berkata bahwa pelaku memukul korban dengan pedang hingga menyebabkan darahnya mengalir deras, maka kesaksian mereka diterima, karena mereka mengaitkan aliran darah itu langsung kepada pelaku, berbeda dengan pernyataan sebelumnya. Jika keduanya bersaksi bahwa pelaku menyebabkan luka terbuka di kepala korban, dan mereka menentukan luka tersebut, maka diputuskan hukum qishāsh atau diyat atas luka itu. Jika mereka tidak menentukan lukanya, maka dilihat kembali; jika di kepala korban hanya ada satu luka terbuka, maka luka itulah yang dimaksud dalam kesaksian mereka, dan jika tidak ditentukan, tetap diputuskan hukum qishāsh atau diyat atas luka itu. Namun, jika di kepala korban terdapat beberapa luka terbuka, maka diputuskan diyat saja dan tidak diberlakukan qishāsh, karena diyat wajib atas setiap luka terbuka di setiap bagian kepala, sehingga tidak memerlukan penentuan secara spesifik, sedangkan qishāsh tidak wajib kecuali setelah penentuan lokasi luka di kepala dan ukurannya, baik panjang maupun lebarnya. Demikian pula, jika ada yang bersaksi bahwa salah satu tangan korban terpotong tanpa menentukan yang mana, maka jika salah satu tangannya masih ada, wajib qishāsh atau diyat atas tangan yang terluka, meskipun tidak ditentukan, karena dengan masih adanya tangan yang lain, maka tangan yang terluka menjadi jelas. Namun, jika kedua tangannya sudah terpotong…

لَمْ يُحْكَمْ لَهُ بِالْقِصَاصِ لِأَنَّهُ لَا يَدْرِي مُسْتَحَقَّهُ فِي يُمْنَى أَوْ يُسْرَى وَحُكِمَ لَهُ بِالدِّيَةِ لِاسْتِوَائِهَا فِي الْيُمْنَى وَالْيُسْرَى ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ فِيمَا سِوَاهُ والله أعلم

Tidak dijatuhkan hukum qishāsh kepadanya karena tidak diketahui pihak yang berhak atasnya, apakah di tangan kanan atau kiri. Namun, dijatuhkan hukum pembayaran diyat karena diyat itu sama nilainya baik untuk tangan kanan maupun kiri. Kemudian, menurut qiyās, hukum ini juga berlaku pada selain kasus tersebut. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ شَهِدَا عَلَى رَجُلَيْنِ أَنَّهُمَا قَتَلَاهُ وَشَهِدَ الْآخَرَانِ عَلَى الشَّاهِدَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ أَنَّهُمَا قَتَلَاهُ وَكَانَتْ شَهَادَتُهُمَا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ فَإِنْ صَدَّقَهُمَا وَلِيُّ الدَّمِ مَعًا أُبْطِلَتِ الشَّهَادَةُ وَإِنْ صَدَّقَ اللَّذَيْنِ شَهِدَا أَوَّلًا قَبِلْتُ شَهَادَتَهُمَا وَجَعَلْتُ الْآخَرَيْنِ دَافِعَيْنِ بِشَهَادَتِهِمَا وَإِنْ صَدَّقَ اللَّذَيْنِ شَهِدَا آخِرًا أُبْطِلَتْ شَهَادَتُهُمَا لِأَنَّهُمَا يَدْفَعَانِ بِشَهَادَتِهِمَا مَا شَهِدَ بِهِ عَلَيْهِمَا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika dua orang bersaksi terhadap dua orang bahwa keduanya telah membunuhnya, lalu dua orang lainnya bersaksi terhadap dua saksi pertama bahwa keduanya yang telah membunuhnya, dan kesaksian mereka diberikan dalam satu majelis, maka jika wali darah membenarkan keduanya sekaligus, kesaksian itu dibatalkan. Jika ia membenarkan dua orang yang bersaksi pertama kali, aku menerima kesaksian mereka dan menjadikan dua orang lainnya sebagai penolak dengan kesaksian mereka. Jika ia membenarkan dua orang yang bersaksi terakhir, maka kesaksian mereka dibatalkan karena keduanya menolak dengan kesaksian mereka apa yang telah disaksikan terhadap mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُصَوَّرَةٌ فِي سَمَاعِ الشَّهَادَةِ عَلَى الْقَتْلِ قَبْلَ دَعْوَى الْوَلِيِّ وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي كَيْفِيَّةِ سَمَاعِهَا قَبْلَ الدَّعْوَى عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Al-Mawardi berkata, “Permasalahan ini digambarkan dalam hal mendengarkan kesaksian atas pembunuhan sebelum adanya gugatan dari wali. Para ulama kami telah berbeda pendapat mengenai tata cara mendengarkan kesaksian tersebut sebelum adanya gugatan, menjadi tiga pendapat.”

أَحَدُهَا إِنَّهَا تُسْمَعُ قَبْلَ الدَّعْوَى إِذَا كَانَ الْوَلِيُّ طِفْلًا أَوْ غَائِبًا وَلَا يَجُوزُ سَمَاعُهَا إِذَا كَانَ بَالِغًا حاضراً

Salah satunya adalah bahwa kesaksian itu didengar sebelum adanya gugatan apabila wali masih anak-anak atau sedang tidak hadir, dan tidak boleh didengar apabila walinya sudah dewasa dan hadir.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهَا تُسْمَعُ قَبْلَ الدَّعْوَى إِذَا لَمْ يَعْرِفِ الْوَلِيُّ شُهُودَهُ وَلَا تُسْمَعُ إِذَا عَرَفَهُمْ بَعْدَ الدَّعْوَى

Pendapat kedua, ia diterima sebelum adanya gugatan jika wali tidak mengenal para saksinya, dan tidak diterima jika ia mengenal mereka setelah adanya gugatan.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْجُمْهُورِ إِنَّهَا تُسْمَعُ قَبْلَ الدَّعْوَى فِي الدِّمَاءِ خَاصَّةً وَلَا تُسْمَعُ فِي غَيْرِ الدِّمَاءِ إِلَّا بَعْدَ الدَّعْوَى وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, Abu Ali bin Abi Hurairah, dan jumhur ulama, menyatakan bahwa ia dapat didengar sebelum adanya gugatan khusus dalam perkara darah, dan tidak dapat didengar dalam selain perkara darah kecuali setelah adanya gugatan. Perbedaan antara keduanya dilihat dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا لِتَغْلِيظِ الدِّمَاءِ عَلَى غَيْرِهَا مِنَ الْحُقُوقِ

Salah satunya adalah untuk menegaskan bahwa darah (nyawa) lebih berat dibandingkan hak-hak lainnya.

وَالثَّانِي إِنَّهَا مِنْ حُقُوقِ الْمَقْتُولِ يَقْضِي مِنْهَا دُيُونَهُ وَتُنَفَّذُ مِنْهَا وَصَايَاهُ فَجَازَ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَنُوبَ عَنْهُ فِي سَمَاعِ الشَّهَادَةِ قَبْلَ دَعْوَى أَوْلِيَائِهِ وَيَجِيءُ عَلَى هَذَا التَّعْلِيلِ أَنْ يَسْمَعَهَا فِي دُيُونِ الْمَيِّتِ وَلَا يَسْمَعَهَا فِي دُيُونِ الْحَيِّ وَعَلَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ لَا يَسْمَعُهَا فِي دُيُونِ حَيٍّ وَلَا مَيِّتٍ وَعَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ يُتَأَوَّلُ اخْتِلَافَ الرِّوَايَةِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” خَيْرُ الشُّهَدَاءِ مَنْ شَهِدَ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدَ إِنَّهَا مَحْمُولَةٌ عَلَى مَا يُشْهَدُ فِيهِ قَبْلَ سَمَاعِ الدَّعْوَى

Kedua, bahwa hal itu termasuk hak-hak korban yang darinya dapat digunakan untuk melunasi utangnya dan melaksanakan wasiat-wasiatnya. Maka diperbolehkan bagi hakim untuk mewakilinya dalam mendengarkan kesaksian sebelum adanya gugatan dari para ahli warisnya. Berdasarkan alasan ini, hakim boleh mendengarkan kesaksian tersebut dalam perkara utang orang yang telah meninggal, namun tidak boleh mendengarkannya dalam perkara utang orang yang masih hidup. Sedangkan menurut alasan pertama, tidak boleh mendengarkannya baik dalam perkara utang orang yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Berdasarkan urutan ini, perbedaan riwayat dari Nabi ﷺ dapat ditafsirkan, yaitu sabda beliau: “Sebaik-baik saksi adalah orang yang memberikan kesaksian sebelum diminta menjadi saksi.” Hadis ini dimaknai pada perkara yang kesaksiannya didengar sebelum adanya gugatan.

وَمَا رُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” شَرُّ الشُّهَدَاءِ مَنْ شَهِدَ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدَ مَحْمُولَةٌ عَلَى مَا لَا يُشْهَدُ فِيهِ إِلَّا بَعْدَ سَمَاعِ الدَّعْوَى

Dan apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Saksi terburuk adalah orang yang bersaksi sebelum diminta menjadi saksi,” dimaknai pada perkara yang tidak boleh memberikan kesaksian di dalamnya kecuali setelah mendengar gugatan.

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا فَصُورَةُ مَسْأَلَتِنَا فِي شَاهِدَيْنِ شَهِدَا عَلَى رَجُلَيْنِ أَنَّهُمَا قَتَلَا زَيْدًا وَشَهِدَ الرجلين الْمَشْهُودُ عَلَيْهِمَا أَنِّ الشَّاهِدَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ هُمَا اللَّذَانِ قتلا زيداً فللولي حالتان

Setelah apa yang telah kami jelaskan menjadi jelas, maka gambaran masalah kita adalah tentang dua orang saksi yang bersaksi terhadap dua orang laki-laki bahwa keduanya telah membunuh Zaid, kemudian kedua laki-laki yang menjadi terdakwa itu bersaksi bahwa dua saksi pertama itulah yang telah membunuh Zaid. Maka bagi wali (ahli waris korban) terdapat dua keadaan.

أحدهما أَنْ تَصِحَّ مِنْهُ الدَّعْوَى

Salah satunya adalah dapat diterima darinya suatu gugatan.

وَالثَّانِي أَنْ لَا تَصِحَّ مِنْهُ فَإِنْ صَحَّتْ مِنْهُ الدَّعْوَى لِبُلُوغِهِ وَعَقْلِهِ سَأَلَهُ الْحَاكِمُ عَمَّا يَدَّعِيهِ مِنَ الْقَتْلِ عَلَى مَنْ يُعَيِّنُهُ مِنَ الْأَرْبَعَةِ وَهُوَ فِي ذلك على ثلاثة أقسام

Kedua, tidak sah darinya. Jika gugatan itu sah darinya karena ia telah baligh dan berakal, maka hakim akan menanyakan kepadanya tentang apa yang ia dakwakan terkait pembunuhan terhadap siapa yang ia tunjuk dari keempat orang tersebut, dan dalam hal ini terdapat tiga bagian.

أحدهما أن يدعيه على الآخرين الذين شهد عليهما الأولاد فَتَكُونُ شَهَادَةُ الْأَوَّلَيْنِ عَلَيْهِمَا مَاضِيَةً وَيُحْكَمُ لِلْوَلِيِّ عَلَى الْآخِرَيْنِ بِالْقَتْلِ لِسَلَامَةِ الْأَوَّلَيْنِ عِنْدَ شَهَادَتِهِمَا وَتُهْمَةِ الْآخَرَيْنِ فِي الشَّهَادَةِ بِالدَّفْعِ عَنْ أَنْفُسِهِمَا وَهَلْ يَلْزَمُ الْحَاكِمَ أَنْ يَسْتَعِيدَ الشَّهَادَةَ مِنْهُمَا بَعْدَ الدَّعْوَى أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Pertama, jika wali menuduh kepada dua orang lain yang telah disaksikan oleh dua anak tersebut, maka kesaksian dua anak itu terhadap keduanya tetap berlaku dan hakim memutuskan hukuman qisas atas dua orang lain tersebut, karena dua anak itu terbebas dari tuduhan saat memberikan kesaksian, sedangkan dua orang lain itu dicurigai dalam kesaksiannya karena ingin membela diri mereka sendiri. Apakah hakim wajib meminta ulang kesaksian dari keduanya setelah adanya gugatan atau tidak, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لا يستعيدها ويحكم بما تقدم من شاهدتهما لِأَنَّهُ لَا يَسْتَعِيدُ بِهَا زِيَادَةَ عِلْمٍ

Salah satunya adalah tidak mengulanginya dan memutuskan berdasarkan kesaksian keduanya yang telah disampaikan sebelumnya, karena dengan mengulanginya tidak akan menambah pengetahuan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَلْزَمُهُ اسْتِعَادَتُهُمَا وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَحْكُمَ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْهَا لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْحُكْمُ سَابِقًا لِلدَّعْوَى

Pendapat kedua mengharuskan keduanya diulang kembali, dan tidak boleh baginya memutuskan berdasarkan apa yang telah diajukan sebelumnya, karena tidak boleh suatu keputusan mendahului adanya gugatan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَدَّعِيَ الْوَلِيُّ قَتْلَهُ عَلَى الْأَوَّلَيْنِ دُونَ الْآخِرَيْنَ فَشَهَادَتُهُمَا عَلَى الْأَوَّلَيْنِ بَاطِلَةٌ لِأَنَّهُمَا قَدْ صَارَا عَدُوَّيْنِ لَهُمَا وَمُتَّهَمَيْنِ فِي شَهَادَتِهِمَا

Bagian kedua adalah apabila wali menuduh bahwa pembunuhan dilakukan oleh dua orang pertama saja, bukan oleh dua orang terakhir, maka kesaksian dua orang terakhir terhadap dua orang pertama menjadi tidak sah, karena keduanya telah menjadi musuh bagi dua orang pertama dan kesaksian mereka dianggap mengandung tuduhan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَدَّعِي قَتْلَهُ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ فَتَبْطُلُ الشَّهَادَتَانِ لِإِكْذَابِهِ لَهُمَا وَإِقْرَارِهِ بِفِسْقِهِمَا وَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ مِمَّنْ لَا تَصِحُّ مِنْهُ الدَّعْوَى لِصِغَرِهِ أَوْ جُنُونِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَقْضِي الْحَاكِمُ بِمُوجِبِ الشَّهَادَةِ أَوْ يُوقِفُهَا عَلَى بُلُوغِ الْوَلِيِّ وَعَقْلِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Bagian ketiga adalah apabila ia mengaku bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh kelompok mereka, maka kedua kesaksian menjadi batal karena ia mendustakan keduanya dan mengakui kefasikan mereka. Jika wali (ahli waris) termasuk orang yang tidak sah melakukan gugatan karena masih kecil atau gila, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah hakim memutuskan berdasarkan kesaksian tersebut, atau menangguhkannya sampai wali tersebut baligh dan berakal, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَقْضِي بِمُوجِبِ الشَّهَادَةِ وَيَقْضِي عَلَى الْآخَرَيْنِ بِالْقَتْلِ بِشَهَادَةِ الْأَوَّلَيْنَ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, adalah bahwa hakim memutuskan berdasarkan kesaksian tersebut, dan menjatuhkan hukuman mati kepada dua orang lainnya berdasarkan kesaksian dua orang pertama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يَقِفُ الشَّهَادَةَ وَلَا يَبُتُّ الْحُكْمَ فِيهَا حَتَّى يَبْلُغَ وَيُفِيقَ الْمَجْنُونُ ثُمَّ يَرْجِعَ إِلَيْهِ فِي الدَّعْوَى وَيَعْمَلَ عَلَى مَا بَيَّنَهُ وَادَّعَاهُ مِنَ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ لِتَرَدُّدِ الشَّهَادَةِ بَيْنَ إِيجَابٍ وَإِسْقَاطٍ فَلَمْ يُحْكَمْ بِأَحَدِهِمَا مَعَ احْتِمَالِهِمَا فَأَمَّا إِذَا اتَّفَقَتْ شَهَادَةُ بَعْضٍ وَلَمْ تَتَقَدَّمْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَكِلْتَا الشَّهَادَتَيْنِ بَاطِلَةٌ لَا يُحْكَمُ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَلَا يُرْجَعُ فِيهِمَا إِلَى دَعْوَى الْوَلِيِّ لِتَعَارُضِ الشَّهَادَتَيْنِ فِي التَّدَافُعِ بهما والله أعلم

Pendapat kedua adalah bahwa persaksian itu ditangguhkan dan tidak diputuskan hukumnya sampai anak tersebut baligh dan orang gila itu sadar, kemudian dikembalikan kepadanya dalam perkara tersebut dan diputuskan berdasarkan apa yang telah dijelaskan dan didakwakan dari tiga bagian, karena persaksian itu masih ragu antara menetapkan dan menggugurkan, sehingga tidak diputuskan salah satunya karena keduanya masih mungkin. Adapun jika persaksian sebagian saksi itu sama dan tidak ada salah satunya yang mendahului yang lain, maka kedua persaksian itu batal, tidak diputuskan dengan salah satunya, dan tidak dikembalikan kepada klaim wali karena adanya pertentangan antara kedua persaksian tersebut dalam saling menolak. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا عَلَى إِقْرَارِهِ أَنَّهُ قَتَلَهُ عَمْدًا وَالْآخَرُ عَلَى إِقْرَارِهِ وَلَمْ يَقُلْ خَطَأً وَلَا عَمْدًا جَعَلْتُهُ قَاتِلًا وَالْقَوْلُ قَوْلُهُ فَإِنْ قَالَ عَمْدًا فَعَلَيْهِ الْقِصَاصُ وَإِنْ قَالَ خَطَأً أُحْلِفَ مَا قَتَلَهُ عَمْدًا وَكَانَتِ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ فِي مُضِيِّ ثَلَاثِ سِنِينَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika salah satu dari mereka bersaksi atas pengakuannya bahwa ia membunuhnya secara sengaja, dan yang lain bersaksi atas pengakuannya tanpa menyebutkan apakah itu karena kesalahan atau sengaja, maka aku menetapkannya sebagai pelaku pembunuhan, dan perkataan dipegang berdasarkan pengakuannya. Jika ia mengatakan ‘sengaja’, maka atasnya berlaku qishāsh. Jika ia mengatakan ‘karena kesalahan’, maka ia disumpah bahwa ia tidak membunuhnya secara sengaja, dan diyat menjadi tanggungannya yang dibayarkan selama tiga tahun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي شَاهِدَيْنِ شَهِدَا عَلَى إِقْرَارِ رَجُلٍ بِالْقَتْلِ فَقَالَ أَحَدُهُمَا أَقَرَّ عِنْدِي أَنَّهُ قَتَلَهُ عَمْدًا وَشَهِدَ الْآخَرُ أَقَرَّ عِنْدِي أَنَّهُ قَتَلَهُ وَلَمْ يَقُلْ عَمْدًا وَلَا خَطَأً فَقَدْ تَمَّتِ الشَّهَادَةُ عَلَى إِقْرَارِهِ بِالْقَتْلِ وَلَمْ تَتِمَّ الشَّهَادَةُ عَلَى إِقْرَارِهِ بِصِفَةِ الْقَتْلِ فَيُسْأَلُ الْمُقِرُّ عَنْ صِفَةِ الْقَتْلِ فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو فِيهَا مِنْ ثلاثة أحوال

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah dua orang saksi yang bersaksi atas pengakuan seorang laki-laki mengenai pembunuhan. Salah satu dari keduanya berkata, “Ia mengakui di hadapanku bahwa ia membunuhnya dengan sengaja,” dan saksi yang lain berkata, “Ia mengakui di hadapanku bahwa ia membunuhnya,” namun tidak menyebutkan apakah dengan sengaja atau tidak sengaja. Maka, telah sempurna kesaksian atas pengakuannya mengenai pembunuhan, namun belum sempurna kesaksian atas pengakuannya mengenai sifat pembunuhan itu. Maka, orang yang mengaku tersebut ditanya tentang sifat pembunuhan itu, karena dalam hal ini tidak lepas dari tiga keadaan.

أحدهما أَنْ يَقُولَ قَتَلْتُهُ عَمْدًا فَيُقْتَصُّ مِنْهُ بِإِقْرَارِهِ الْآنِفِ لَا بِالشَّهَادَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ إِلَى الدِّيَةِ كَانَتْ حَالَةً مُغَلَّظَةً فِي مَالِهِ

Pertama, jika seseorang berkata, “Aku membunuhnya dengan sengaja,” maka ia dikenai qishāsh berdasarkan pengakuannya yang baru, bukan berdasarkan kesaksian yang telah lalu. Jika kemudian dimaafkan hingga diganti dengan pembayaran diyat, maka diyat tersebut menjadi segera dan diperberat, serta diambil dari hartanya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَقُولَ قَتَلَتُهُ خَطَأً فَلَا يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِالْقَوَدِ لِأَنَّهُ لَمْ يُتِمَّ الشَّهَادَةَ بِالْعَمْدِ وَلَكِنْ يَكُونُ هَذَا لَوْثًا فِي قَتْلِ الْعَمْدِ لِأَنَّهُ إِذَا ثَبَتَ اللَّوْثُ بِشَهَادَةِ وَاحِدٍ فَأَوْلَى أَنْ يَثْبُتَ بِشَاهِدَيْنِ فَإِنْ أَقْسَمَ حُكِمَ لَهُ بِالْقَوَدِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ وَبِالدِّيَةِ الْمُغَلَّظَةِ حَالَّةً عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ وَإِنْ لَمْ يُقْسِمْ أُحْلِفَ الْمُقِرُّ بِاللَّهِ أَنَّهُ مَا قَتَلَهُ عَمْدًا وَلَزِمَتْهُ دِيَةُ الْخَطَأِ مُخَفَّفَةً يُؤَدِّيهَا مِنْ مَالِهِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ وَلَا تَحْمِلُهَا عَنْهُ الْعَاقِلَةُ لِأَنَّهَا دِيَةُ اعْتِرَافٍ

Keadaan kedua adalah apabila ia berkata, “Aku membunuhnya secara tidak sengaja,” maka tidak diputuskan atasnya hukum qisas, karena ia tidak menyempurnakan kesaksian atas pembunuhan sengaja. Namun, hal ini menjadi indikasi (lawts) dalam kasus pembunuhan sengaja, karena jika indikasi itu dapat ditetapkan dengan satu orang saksi, maka lebih utama lagi jika ditetapkan dengan dua orang saksi. Jika ia bersumpah, maka diputuskan baginya hukum qisas menurut pendapat lama (qaul qadim), dan diyat yang diperberat secara tunai menurut pendapat baru (qaul jadid). Jika ia tidak bersumpah, maka orang yang mengaku disuruh bersumpah atas nama Allah bahwa ia tidak membunuhnya dengan sengaja, dan ia wajib membayar diyat pembunuhan tidak sengaja yang diringankan, yang ia bayarkan dari hartanya sendiri dalam tiga tahun, dan tidak ditanggung oleh ‘aqilah, karena ini adalah diyat pengakuan.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يُمْسِكَ عَنِ الْبَيَانِ فَيَصِيرُ كَالنَّاكِلِ فَتُرَدُّ الْيَمِينُ عَلَى الْوَلِيِّ فَإِنْ حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِالْقَوَدِ بِيَمِينِهِ لَا بِالشَّهَادَةِ وَإِنْ نَكَلَ حُكِمَ لَهُ بِدِيَةِ الْخَطَأِ دُونَ الْعَمْدِ بِالشَّهَادَةِ

Keadaan ketiga adalah jika ia menahan diri dari memberikan penjelasan, maka ia dianggap seperti orang yang enggan (untuk bersaksi), sehingga sumpah dialihkan kepada wali. Jika wali bersumpah, maka diputuskan baginya untuk mendapatkan qishāsh dengan sumpahnya, bukan dengan kesaksian. Namun jika wali enggan bersumpah, maka diputuskan baginya untuk mendapatkan diyat kesalahan, bukan diyat sengaja, berdasarkan kesaksian.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَوْ كَانَتِ الشَّهَادَةُ عَلَى فِعْلِ الْقَتْلِ فَشَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَتَلَهُ عَمْدًا وَشَهِدَ الْآخَرُ أَنَّهُ قَتَلَهُ خَطَأً سُئِلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْ صِفَةِ الْقَتْلِ الَّذِي شَاهَدَهُ فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَيْهَا وَاخْتَلَفَا فِي الْحُكْمِ عِنْدَهُمَا لم تكن فِي هَذِهِ الشَّهَادَةِ تَعَارُضٌ وَوَجَبَ عَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يَعْتَبِرَ بِمَا شَهِدَا بِهِ مِنْ صِفَةِ الْقَتْلِ فَإِنْ كَانَ عَمْدًا حُكِمَ فِيهِ بِالْقَوَدِ وَإِنْ كَانَ خَطَأً حُكْمِ فِيهِ بِدِيَةِ الْخَطَأِ عَلَى الْعَاقِلَةِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي صِفَةِ الْقَتْلِ فَهُوَ تَعَارُضٌ لَا يُحْكَمُ فِيهِ بِعَمْدٍ وَلَا خَطَأٍ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ وَبِاللَّهِ التوفيق

Jika kesaksian itu mengenai perbuatan pembunuhan, lalu salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ia membunuhnya secara sengaja, dan yang lain bersaksi bahwa ia membunuhnya karena kelalaian, maka masing-masing dari mereka ditanya tentang sifat pembunuhan yang ia saksikan. Jika keduanya sepakat tentang sifat pembunuhan tersebut namun berbeda dalam penetapan hukum menurut pemahaman mereka, maka dalam kesaksian ini tidak terdapat pertentangan, dan hakim wajib mempertimbangkan sifat pembunuhan yang mereka saksikan. Jika pembunuhan itu disengaja, maka diputuskan dengan qishāsh; jika karena kelalaian, maka diputuskan dengan diyat kesalahan yang dibebankan kepada ‘āqilah. Namun jika keduanya berbeda dalam sifat pembunuhan, maka itu adalah pertentangan yang tidak dapat diputuskan sebagai pembunuhan sengaja maupun kelalaian, sebagaimana akan dijelaskan kemudian. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan dimohon.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ قَالَ أَحَدُهُمَا قَتَلَهُ غُدْوَةً وَقَالَ الْآخَرُ عَشِيَّةً أَوْ قَالَ أَحَدُهُمَا بِسَيْفٍ وَالْآخَرُ بِعَصًا فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُكَذِّبٌ لِصَاحِبِهِ وَمِثْلُ هَذَا يُوجِبُ الْقَسَامَةَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika salah satu dari mereka mengatakan, ‘Ia membunuhnya pada pagi hari,’ dan yang lain mengatakan, ‘Pada sore hari,’ atau salah satu dari mereka mengatakan, ‘Dengan pedang,’ dan yang lain mengatakan, ‘Dengan tongkat,’ maka masing-masing dari mereka mendustakan yang lainnya, dan seperti ini mewajibkan adanya qasāmah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا تَعَارَضَ الشَّاهِدَانِ فَأَثْبَتَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا نَفَاهُ الْآخَرُ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata, “Apabila dua orang saksi saling bertentangan, sehingga masing-masing dari keduanya menetapkan sesuatu yang disangkal oleh yang lain, maka hal itu terbagi menjadi dua jenis.”

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ شَهَادَتُهُمَا عَلَى فِعْلِ الْقَتْلِ

Salah satunya adalah bahwa kesaksian mereka berdua atas perbuatan pembunuhan.

وَالثَّانِي أَنْ تَكُونَ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالْقَتْلِ فَإِنْ كَانَتْ عَلَى فِعْلِ الْقَتْلِ فَقَالَ أَحَدُهُمَا قَتَلَهُ غُدْوَةً أَوْ فِي يَوْمِ السَّبْتِ وَقَالَ الْآخَرُ قَتَلَهُ عَشِيَّةً أَوْ فِي يَوْمِ الْأَحَدِ أَوْ قَالَ أَحَدُهُمَا قَتَلَهُ بِسَيْفٍ وَقَالَ الْآخَرُ بِعَصًا أَوْ قَالَ أَحَدُهُمَا قَتَلَهُ بِالْبَصْرَةِ وَقَالَ الْآخَرُ بِالْكُوفَةِ فَهُمَا وَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى الشَّهَادَةِ بِالْقَتْلِ فَقَدْ تَعَارَضَا فِي صِفَتِهِ فَصَارَا مُتَكَاذِبَيْنِ لِأَنَّ قَتْلَهُ غُدْوَةً غَيْرُ قَتْلِهِ عَشِيَّةً وَقَتْلَهَ بِسَيْفٍ غَيْرُ قَتْلِهِ بِعَصًا فَلَا يُحْكَمُ بِشَهَادَتِهِمَا وَلَا بِشَهَادَةِ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَعَ يَمِينِ الْمُدَّعِي فِي عَمْدٍ وَلَا خَطَأٍ

Kedua, jika kesaksian itu berkaitan dengan pengakuan terhadap pembunuhan. Jika kesaksian itu mengenai perbuatan pembunuhan, lalu salah satu dari keduanya berkata, “Ia membunuhnya pada pagi hari” atau “pada hari Sabtu”, sedangkan yang lain berkata, “Ia membunuhnya pada sore hari” atau “pada hari Ahad”, atau salah satu dari keduanya berkata, “Ia membunuhnya dengan pedang” dan yang lain berkata, “dengan tongkat”, atau salah satu berkata, “Ia membunuhnya di Basrah” dan yang lain berkata, “di Kufah”, maka meskipun keduanya sepakat dalam memberikan kesaksian atas pembunuhan, mereka telah bertentangan dalam sifat kejadiannya sehingga keduanya menjadi saling mendustakan. Sebab, membunuh pada pagi hari berbeda dengan membunuh pada sore hari, membunuh dengan pedang berbeda dengan membunuh dengan tongkat. Maka, tidak dapat diputuskan dengan kesaksian mereka berdua, dan juga tidak dengan kesaksian salah satu dari mereka disertai sumpah penggugat, baik dalam kasus pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى أُعَزِّرُ الشَّاهِدَيْنِ وَأَحْكُمُ بِفِسْقِهِمَا لِاجْتِمَاعِهِمَا عَلَى كَذِبٍ مُسْتَحِيلٍ

Ibnu Abi Laila berkata, “Aku menjatuhkan ta‘zīr kepada dua orang saksi tersebut dan memutuskan bahwa keduanya fāsiq karena mereka berdua telah sepakat atas kebohongan yang mustahil.”

وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ لَا تَعْزِيرَ عَلَيْهِمَا وَلَا تَفْسِيقَ لِأَحَدِ أَمْرَيْنِ

Menurut Imam Syafi‘i dan Abu Hanifah, tidak ada ta‘zīr atas keduanya dan tidak pula dianggap fāsiq karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا لِجَوَازِ الِاشْتِبَاهِ عَلَيْهِمَا فَيَخْرُجَانِ بِالشُّبْهَةِ عَنِ الفسق والكذب

Salah satunya adalah karena kemungkinan terjadinya kesamaran pada keduanya, sehingga keduanya keluar dari kategori fasiq dan dusta karena adanya syubhat.

وَالثَّانِي إِنَّ كَذِبَ أَحَدِهِمَا لَا يَمْنَعُ صِدْقَ الْآخَرِ وَقَدِ اشْتَبَهَ الصَّادِقُ مِنَ الْكَاذِبِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ شَهَادَتَهُمَا مَرْدُودَةٌ فَقَدْ نَقَلَ الْمُزَنِيُّ هاهنا ” وَمِثْلُ هَذَا يُوجِبُ الْقَسَامَةَ وَنَقَلَ الرَّبِيعُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَمِثْلُ هَذَا لَا يُوجِبُ الْقَسَامَةَ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ هَذَيْنِ النَّقْلَيْنِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Kedua, jika salah satu dari mereka berbohong, hal itu tidak menghalangi kebenaran yang lain, dan telah terjadi kerancuan antara yang jujur dan yang berdusta. Maka, apabila telah dipastikan bahwa kesaksian mereka berdua ditolak, Al-Muzani meriwayatkan di sini: “Kasus seperti ini mewajibkan qasāmah.” Sedangkan Ar-Rabi‘ meriwayatkan dalam Kitab Al-Umm: “Kasus seperti ini tidak mewajibkan qasāmah.” Maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenai perbedaan dua riwayat ini dalam tiga pendapat.

أَحَدُهَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إسحاق المروزي أن الصحيح ما نقله المزني هاهنا أَنَّهُ يُوجِبُ الْقَسَامَةَ وَيَكُونُ الرَّبِيعُ سَاهِيًا فِي زِيَادَةِ لَا؛ لِأَنَّهُمَا قَدِ اتَّفَقَا عَلَى الشَّهَادَةِ بِالْقَتْلِ

Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi bahwa pendapat yang sahih adalah apa yang dinukil oleh al-Muzani di sini, yaitu bahwa hal itu mewajibkan qasāmah dan ar-Rabi‘ telah lalai dalam tambahan “tidak”; karena keduanya telah sepakat dalam kesaksian tentang pembunuhan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطَّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ أَنَّ الصَّحِيحَ مَا نَقَلَهُ الرَّبِيعُ أَنَّهُ لَا يُوجِبُ الْقَسَامَةَ وَيَكُونُ الْمُزَنِيُّ سَاهِيًا فِي حَذْفِ لَا لِأَنَّ تَكَاذُبَهُمَا يُسْقِطُ شَهَادَتَهُمَا

Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Thayyib bin Salamah, bahwa yang shahih adalah apa yang diriwayatkan oleh ar-Rabi‘, yaitu bahwa hal itu tidak mewajibkan qasāmah, dan al-Muzani telah lalai dalam menghilangkan kata “lā”, karena saling mendustakan di antara keduanya menggugurkan kesaksian mereka berdua.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ إِنَّ كِلَا النَّقْلَيْنِ صَحِيحٌ وَإِنَّهُ عَلَى قَوْلَيْنِ مِثْلَ تَكَاذُبِ الْوَلِيَّيْنِ

Adapun alasan yang ketiga, kedua riwayat tersebut benar dan memang terdapat dua pendapat, seperti halnya perselisihan antara dua wali.

أَحَدُهُمَا يُوجِبُ الْقَسَامَةَ

Salah satunya mewajibkan al-qasāmah.

وَالثَّانِي لَا يُوجِبُهَا

Dan yang kedua tidak mewajibkannya.

فَصْلٌ

Bab

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ تَكُونَ شَهَادَتُهُمَا عَلَى إِقْرَارِهِ بِالْقَتْلِ فَيَقُولُ

Adapun jenis kedua, yaitu apabila kesaksian mereka berdua atas pengakuannya melakukan pembunuhan, maka dikatakan…

أَحَدُهُمَا أَقَرَّ عِنْدِي أَنَّهُ قَتَلَهُ غُدْوَةً وَيَقُولُ الْآخَرُ أَنَّهُ قَتَلَهُ عَشِيَّةً أَوْ يَقُولُ أَحَدُهُمَا أَقَرَّ عِنْدِي أَنَّهُ قَتَلَهُ بِسَيْفٍ وَيَقُولُ الْآخَرُ أَقَرَّ عِنْدِي أَنَّهُ قَتَلَهُ بِعَصًا أَوْ يَقُولُ أَحَدُهُمَا أَقَرَّ عِنْدِي أَنَّهُ قَتَلَهُ بِالْبَصْرَةِ وَيَقُولُ الْآخَرُ أَقَرَّ عِنْدِي أَنَّهُ قَتَلَهُ بِالْكُوفَةِ فَهَذِهِ شَهَادَةٌ صَحِيحَةٌ عَلَى إِقْرَارِهِ بِالْقَتْلِ لَا تَعَارُضَ فِيهَا وَإِنَّمَا التَّعَارُضُ مِنَ الْمُقِرِّ بِالْقَتْلِ فِي صِفَةِ الْقَتْلِ فَلَمْ يُؤَثِّرْ ذَلِكَ فِي الشَّهَادَةِ عَلَى إِقْرَارِهِ بِالْقَتْلِ فَإِنْ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْفِعْلَيْنِ عَمْدًا يُوجِبُ الْقَوَدَ أَقَدْنَاهُ وَإِنْ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا خَطَأً لَا يُوجِبُ الْقَوَدَ سَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ وَلَزِمَتْهُ دِيَةُ الْخَطَأِ مُؤَجَّلَةً فِي مَالِهِ وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا عَمْدًا مُوجِبًا لِلْقَوَدِ وَالْآخَرُ خَطَأً لَا يُوجِبُ الْقَوَدَ صَارَ كَمَا لَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا عَلَى إِقْرَارِهِ بِقَتْلِ الْعَمْدِ وَشَهِدَ الْآخَرُ عَلَى إِقْرَارِهِ بِقَتْلِ الْخَطَأِ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى فِي الرُّجُوعِ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنْ أَقَرَّ بِالْعَمْدِ أَقَدْنَاهُ وَإِنْ أَقَرَّ بِالْخَطَأِ أَحْلَفْنَاهُ وَإِنِ امْتَنَعَ مِنَ الْبَيَانِ جَعَلْنَاهُ نَاكِلًا وَأَحْلَفْنَا وَلِيَّ الدَّمِ عَلَى مَا ادَّعَاهُ مِنَ الْعَمْدِ فَإِنْ نَكَلَ حَكَمْنَا لَهُ بِدِيَةِ الْخَطَأِ فِي مَالِهِ دُونَ عاقلته

Salah satu dari keduanya mengakui di hadapanku bahwa ia membunuhnya pada pagi hari, sedangkan yang lain mengatakan bahwa ia membunuhnya pada sore hari; atau salah satu dari keduanya mengakui di hadapanku bahwa ia membunuhnya dengan pedang, sedangkan yang lain mengatakan bahwa ia membunuhnya dengan tongkat; atau salah satu dari keduanya mengakui di hadapanku bahwa ia membunuhnya di Basrah, sedangkan yang lain mengatakan bahwa ia membunuhnya di Kufah. Maka ini adalah kesaksian yang sah atas pengakuannya membunuh, tidak ada pertentangan di dalamnya. Adapun pertentangan itu berasal dari orang yang mengakui pembunuhan dalam sifat pembunuhan, sehingga hal itu tidak berpengaruh pada kesaksian atas pengakuannya membunuh. Jika masing-masing dari kedua perbuatan itu merupakan pembunuhan sengaja yang mewajibkan qishāsh, maka kami berlakukan qishāsh atasnya. Jika masing-masing dari keduanya merupakan pembunuhan karena kesalahan yang tidak mewajibkan qishāsh, maka gugurlah qishāsh darinya dan ia wajib membayar diyat kesalahan secara tangguh dari hartanya. Jika salah satunya merupakan pembunuhan sengaja yang mewajibkan qishāsh dan yang lain merupakan pembunuhan karena kesalahan yang tidak mewajibkan qishāsh, maka keadaannya seperti jika salah satu dari keduanya bersaksi atas pengakuannya membunuh dengan sengaja dan yang lain bersaksi atas pengakuannya membunuh karena kesalahan. Maka kembali kepada apa yang telah lalu, yaitu kembali kepada pengakuannya; jika ia mengakui pembunuhan sengaja, maka kami berlakukan qishāsh atasnya; jika ia mengakui pembunuhan karena kesalahan, maka kami suruh ia bersumpah; dan jika ia menolak untuk menjelaskan, maka kami anggap ia menolak bersumpah dan kami suruh wali darah bersumpah atas apa yang ia klaim berupa pembunuhan sengaja. Jika wali darah menolak bersumpah, maka kami putuskan baginya diyat kesalahan dari hartanya sendiri, bukan dari ‘āqilah-nya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَتَلَهُ وَالْآخَرُ أَنَّهُ أَقَرَّ بِقَتْلِهِ لَمْ تَجُزْ شَهَادَتُهُمَا لِأَنَّ الْإِقْرَارَ مُخَالِفٌ لِلْفِعْلِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika salah satu dari mereka bersaksi bahwa ia telah membunuhnya, dan yang lainnya bersaksi bahwa ia telah mengakui telah membunuhnya, maka kesaksian mereka berdua tidak sah, karena pengakuan berbeda dengan perbuatan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أَقَامَ وَلِيُّ الدَّمِ شَاهِدَيْنِ شَهِدَ أَحَدُهُمَا عَلَى فِعْلِ الْقَتْلِ فَقَالَ رَأَيْتُهُ قَتْلَهُ وَشَهِدَ الْآخَرُ عَلَى الْإِقْرَارِ بِالْقَتْلِ قَالَ أَقَرَّ عِنْدِي أَنَّهُ قتله لم تَتَعَارَضْ شَهَادَتُهُمَا لِأَنَّهَا غَيْرُ مُتَنَافِيَةٍ وَلَمْ تَتِمَّ الشَّهَادَةُ مِنْهُمَا لِأَنَّهَا غَيْرُ مُتَمَاثِلَةٍ لِأَنَّ فِعْلَ الْقَتْلِ غَيْرُ الْإِقْرَارِ بِالْقَتْلِ وَلَمْ تَكْمُلِ الشَّهَادَةُ عَلَى الْفِعْلِ وَلَا عَلَى الْإِقْرَارِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمَ عَلَيْهِ بِوَاحِدٍ مِنْهَا لَكِنْ يَكُونُ هَذَا لَوْثًا يُوجِبُ الْقَسَامَةَ قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنَ الشَّهَادَتَيْنِ مُقَوِّيَةٌ لِلْأُخْرَى غَيْرُ مُنَافِيَةٍ لَهَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْقَتْلِ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَإِنْ كَانَ خَطَأً لَمْ يَحْتَجْ فِيهِ إِلَى الْقَسَامَةِ لِأَنَّهُ قَدْ تَتِمُّ الْبَيِّنَةُ فِيهِ بِشَاهِدٍ وَيَمِينٍ فَيُقَالُ لِوَلِيِّ الدَّمِ احْلِفْ مَعَ أَيِّ الشَّاهِدَيْنِ شِئْتَ يَمِينًا وَاحِدَةً تُكْمِلُ بِهَا بَيِّنَتَكَ وَيُقْضَى لَكَ فِيهَا بِدِيَةِ الْخَطَأِ

Al-Mawardi berkata: Ini benar apabila wali darah menghadirkan dua orang saksi; salah satu dari keduanya bersaksi atas perbuatan pembunuhan dengan mengatakan, “Saya melihat dia membunuhnya,” dan saksi yang lain bersaksi atas pengakuan pembunuhan dengan mengatakan, “Dia mengakui kepadaku bahwa dia telah membunuhnya.” Maka, kesaksian keduanya tidak saling bertentangan karena tidak ada pertentangan di antara keduanya, namun kesaksian dari keduanya juga belum sempurna karena tidak serupa; sebab perbuatan membunuh berbeda dengan pengakuan membunuh. Maka, kesaksian atas perbuatan maupun atas pengakuan belum sempurna, sehingga tidak boleh diputuskan dengan salah satu dari keduanya. Namun, hal ini menjadi “lauwts” yang mewajibkan qasāmah menurut satu pendapat, karena masing-masing dari dua kesaksian tersebut menguatkan yang lain dan tidak bertentangan dengannya. Jika demikian, maka keadaan pembunuhan tidak lepas dari dua kemungkinan: disengaja atau tidak disengaja. Jika tidak disengaja, maka tidak diperlukan qasāmah di dalamnya, karena bukti dapat sempurna dengan satu saksi dan sumpah. Maka dikatakan kepada wali darah: “Bersumpahlah bersama salah satu dari dua saksi yang kamu kehendaki dengan satu sumpah, sehingga bukti kamu menjadi sempurna, dan kamu diputuskan mendapatkan diyat pembunuhan tidak sengaja.”

وَيُنْظَرُ فإن حلف من الشَّاهِدِ عَلَى فِعْلِ الْقَتْلِ كَانَتِ الدِّيَةُ عَلَى عَاقِلَتِهِ وَإِنْ حَلَفَ مَعَ الشَّاهِدِ عَلَى إِقْرَارِهِ بِالْقَتْلِ كَانَتِ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ وَإِنْ كَانَ الْقَتْلُ عَمْدًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Dan perlu diperhatikan, jika sumpah dilakukan bersama saksi atas perbuatan pembunuhan, maka diyat dibebankan kepada ‘āqilah-nya. Namun jika sumpah dilakukan bersama saksi atas pengakuannya melakukan pembunuhan, maka diyat diambil dari hartanya sendiri. Jika pembunuhan itu disengaja, maka terdapat dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُوجِبٍ لِلْقَوْدِ كَقَتْلِ الْأَبِ لِابْنِهِ وَالْمُسْلِمِ لِكَافِرٍ فَهُوَ مُخْتَصٌّ بِوُجُوبِ الدِّيَةِ وَيَصِيرُ كَالْخَطَأِ فِي أَنْ لَا يُحْكَمَ فِيهِ بِالْقَسَامَةِ لِوُجُودِ الْبَيِّنَةِ مَعَ يَمِينِ الْوَلِيِّ مَعَ أَيِّ الشَّاهِدَيْنِ يَمِينًا وَاحِدَةً وَيُحْكَمُ لَهُ بِدِيَةِ الْعَمْدِ فِي مَالِهِ سَوَاءٌ حَلَفَ مَعَ شَاهِدِ الْفِعْلَ أَوْ مَعَ شَاهِدِ الْإِقْرَارِ

Salah satunya adalah ketika pembunuhan itu tidak mewajibkan qisas, seperti pembunuhan ayah terhadap anaknya atau seorang muslim terhadap kafir, maka dalam hal ini khusus diwajibkan membayar diyat dan dianggap seperti pembunuhan karena kesalahan dalam hal tidak diberlakukannya qasāmah, karena adanya bukti bersama sumpah wali, di mana salah satu dari dua saksi bersumpah satu kali, dan diputuskan baginya diyat ‘amdan dari hartanya, baik ia bersumpah bersama saksi perbuatan maupun bersama saksi pengakuan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي مِنَ الْعَمْدِ أَنْ يَكُونَ مُوجِبًا لِلْقَوْدِ فَيَجِبُ الْحُكْمُ فِيهِ بِالْقَسَامَةِ دُونَ الشَّهَادَةِ لِأَنَّ الشَّهَادَةَ تَصِيرُ لَوْثًا فَيَحْلِفُ الْوَلِيُّ أَيْمَانَ الْقَسَامَةِ خَمْسِينَ يَمِينًا وَيُحْكَمُ لَهُ بِالْقَوَدِ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْقَدِيمِ وَبِدِيَةِ الْعَمْدِ حَالَّةً عَلَى قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ وَاللَّهُ تعالى أعلم

Jenis kedua dari pembunuhan sengaja adalah yang mewajibkan qisas, maka hukum yang berlaku padanya adalah dengan qasāmah, bukan dengan kesaksian, karena kesaksian bisa menjadi syubhat. Maka wali korban bersumpah dengan sumpah qasāmah sebanyak lima puluh kali, lalu diputuskan baginya untuk mendapatkan qisas menurut pendapat lama, dan mendapatkan diyat ‘amdan secara tunai menurut pendapat baru. Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” ولو شهد أنه ضربه ملففا فَقَطَعَهُ بِاثْنَيْنِ وَلَمْ يُبَيِّنَا أَنَّهُ كَانَ حَيًّا لَمْ أَجْعَلْهُ قَاتِلًا وَأَحْلَفْتُهُ مَا ضَرَبَهُ حَيًّا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seseorang bersaksi bahwa ia memukulnya dalam keadaan terbungkus lalu membelahnya menjadi dua, namun tidak menjelaskan bahwa ia (korban) masih hidup, maka aku tidak menetapkannya sebagai pembunuh dan aku akan meminta sumpah darinya bahwa ia tidak memukulnya saat masih hidup.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا شَهَادَةُ الشَّاهِدَيْنِ بِالْقَتْلِ فَغَيْرُ مُفْتَقِرَةٍ إِلَى إِثْبَاتِ الْحَيَاةِ عِنْدَ الْقَتْلِ لِأَنَّ الْقَتْلَ هُوَ إِمَاتَةُ الْحَيَاةِ فَدَلَّتْ عَلَى وُجُودِ الْحَيَاةِ عِنْدَ الْقَتْلِ فَأَمَّا إِذَا شَهِدَا أَنَّهُ قُطِعَ مَلْفُوفًا فِي ثَوْبٍ بِاثْنَيْنِ فَهَذِهِ شَهَادَةٌ مُحْتَمَلَةٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ الْقَطْعِ حَيًّا وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَيِّتًا فَيُسْأَلُ الشَّاهِدَانِ لِأَجْلِ هَذَا الِاحْتِمَالِ عَنْ حَالِ الْمَلْفُوفِ ولهما فيه ثلاثة أحوال

Al-Mawardi berkata, “Adapun kesaksian dua saksi atas terjadinya pembunuhan, maka tidak memerlukan pembuktian adanya kehidupan pada saat pembunuhan, karena pembunuhan itu sendiri adalah menghilangkan kehidupan, sehingga hal itu menunjukkan adanya kehidupan pada saat pembunuhan terjadi. Adapun jika keduanya bersaksi bahwa seseorang dipotong dalam keadaan terbungkus kain oleh dua orang, maka ini adalah kesaksian yang masih mengandung kemungkinan, karena bisa jadi pada saat dipotong ia masih hidup dan bisa jadi sudah mati. Maka kedua saksi itu ditanya mengenai keadaan orang yang terbungkus tersebut karena adanya kemungkinan ini, dan bagi mereka ada tiga keadaan dalam hal ini.”

أحدها أَنْ يَشْهَدَا بِحَيَاتِهِ عِنْدَ قَطْعِهِ أَوْ بِمُشَاهَدَةِ حَرَكَتِهِ أَوْ بِاخْتِلَاجِهِ بَعْدَ قَطْعِهِ فَهَذَا كُلُّهُ شَهَادَةٌ بِالْحَيَاةِ لِأَنَّهُ لَا يَخْتَلِجُ بَعْدَ الْقَطْعِ إِلَّا حَيٌّ

Pertama, kedua saksi itu bersaksi bahwa ia masih hidup ketika dipotong, atau dengan menyaksikan gerakannya, atau dengan melihat adanya gerakan setelah dipotong. Semua ini merupakan kesaksian atas kehidupan, karena tidak akan bergerak setelah dipotong kecuali yang masih hidup.

فَأَمَّا الشَّهَادَةُ بِسَيَلَانِ دَمِهِ عِنْدَ قَطْعِهِ فَلَا تَكُونُ شَهَادَةً بِحَيَاتِهِ وَإِنْ كَانَ دَمُ الْمَيِّتِ جَامِدًا؛ لِأَنَّ جُمُودَ دَمِهِ يَكُونُ بَعْدَ فُتُورِ حَرَارَتِهِ وَقَدْ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ قَدْ مَاتَ لِوَقْتِهِ قَبْلَ فُتُورِ حَرَارَتِهِ وَجُمُودِ دَمِهِ فَلِذَلِكَ لَمْ تَثْبُتْ فِيهِ الْحَيَاةُ

Adapun kesaksian atas mengalirnya darah ketika dipotong, maka itu tidak dapat dianggap sebagai kesaksian atas kehidupannya, meskipun darah orang mati itu membeku; karena membekunya darah terjadi setelah hilangnya panas tubuhnya, dan bisa jadi ia telah meninggal pada saat itu sebelum hilangnya panas tubuhnya dan sebelum darahnya membeku, sehingga karena itu kehidupan tidak dapat dipastikan padanya.

وَالْحَالُ الثانية أن يشهدا موته عند قطعه فيصير شَاهِدَيْنِ بِنَفْيِ الْحَيَاةِ وَإِثْبَاتِ الْمَوْتِ فَلَا تُسْمَعُ شَهَادَةُ غَيْرِهِمَا بِحَيَاتِهِ وَيَنْتَفِي عَنْهُ حُكْمُ الْقَتْلِ وَيُعَزَّرُ أَدَبًا عَلَى قَطْعِ ميت لانتهاك حرمته

Keadaan kedua adalah ketika kedua saksi menyaksikan kematiannya saat pemotongan, sehingga mereka menjadi dua saksi yang menegaskan tidak adanya kehidupan dan menetapkan kematian. Maka, kesaksian selain mereka tentang kehidupannya tidak diterima, dan hukum pembunuhan tidak berlaku atasnya, namun pelaku tetap diberi ta‘zir sebagai bentuk adab karena telah memotong mayat dan melanggar kehormatannya.

والحالة الثَّالِثَةُ أَنْ يَجْهَلَا حَالَهُ عِنْدَ قَطْعِهِ فَلَا يَشْهَدَا بِحَيَاتِهِ وَلَا مَوْتِهِ فَإِنْ تَصَادَقَ الْمُدَّعِي وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ عَلَى حَيَاةٍ أَوْ مَوْتٍ عُمِلَ عَلَى تُصَادُقِهِمَا وَإِنْ تَنَازَعَا فَقَالَ الْمُدَّعِي كَانَ حَيًّا وَقَالَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ كَانَ مَيِّتًا كُلِّفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِقَامَةَ الْبَيِّنَةِ عَلَى مَا ادَّعَاهُ فَإِنْ أَقَامَ الْمُدَّعِي بَيِّنَةً بِحَيَاتِهِ عِنْدَ قَطْعِهِ حُكِمَ بِهَا وَأُجْرِيَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْقَتْلِ وَإِنْ أَقَامَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بَيِّنَةً بِمَوْتِهِ عِنْدَ قَطْعِهِ حُكِمَ بِهَا وَبَرِئَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ مِنَ الْقَتْلِ

Keadaan ketiga adalah apabila keduanya tidak mengetahui keadaannya saat terpotong, sehingga mereka tidak dapat bersaksi apakah ia masih hidup atau sudah mati. Jika penggugat dan tergugat sepakat bahwa ia hidup atau mati, maka keputusan diambil berdasarkan kesepakatan mereka. Namun jika terjadi perselisihan, di mana penggugat mengatakan bahwa ia masih hidup dan tergugat mengatakan bahwa ia sudah mati, maka masing-masing dari mereka diwajibkan untuk mengajukan bukti atas apa yang mereka klaim. Jika penggugat dapat menghadirkan bukti bahwa ia masih hidup saat terpotong, maka keputusan diambil berdasarkan bukti tersebut dan tergugat dikenai hukum qatl (pembunuhan). Namun jika tergugat dapat menghadirkan bukti bahwa ia sudah mati saat terpotong, maka keputusan diambil berdasarkan bukti tersebut dan tergugat terbebas dari hukum qatl.

وَإِنْ أَقَامَ الْمُدَّعِي بَيِّنَةً بِالْحَيَاةِ وَأَقَامَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بَيِّنَةً بِالْمَوْتِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Jika penggugat menghadirkan bukti atas kehidupan, dan tergugat menghadirkan bukti atas kematian, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُحْكَمُ بِبَيِّنَةِ الْمَوْتِ لِأَنَّهَا أَزْيَدُ عِلْمًا

Salah satunya diputuskan berdasarkan bukti kematian karena bukti tersebut lebih memberikan pengetahuan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهُمَا مُتَعَارِضَانِ؛ لِأَنَّ وَاحِدَةً مِنْهُمَا تَقْطَعُ بِإِثْبَاتِ مَا نَفَتْهُ الْأُخْرَى وَلَمْ يَكُنْ فِي إِحْدَاهُمَا مَعَ الْقَطْعِ بِالشَّهَادَةِ زِيَادَةُ عِلْمٍ فَأَمَّا إِنْ أَقَامَ عَلَى الدَّعْوَى وَعَدِمَا الْبَيِّنَةَ فَفِيهِ قَوْلَانِ

Adapun sisi kedua, keduanya saling bertentangan; karena salah satunya menetapkan secara pasti apa yang dinafikan oleh yang lain, dan pada salah satunya, meskipun ada kepastian dengan kesaksian, tidak terdapat tambahan pengetahuan. Adapun jika seseorang mengajukan gugatan dan tidak ada bukti, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي أَكْثَرِ كُتُبِهِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ كَانَ مَيِّتًا عِنْدَ قَطْعِهِ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ قَتْلِهِ إِنْ حَلَفَ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ ذِمَّتِهِ فَصَارَ كَمَا لَوِ ادَّعَى الْوَلِيُّ أَنَّهُ مَاتَ مِنْ سِرَايَةِ جِرَاحَتِهِ وَادَّعَى أَنَّهُ مَاتَ مِنْ غَيْرِ جِرَاحَتِهِ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْجَانِي دُونَ الْوَلِيِّ اعْتِبَارًا بِبَرَاءَةِ ذِمَّتِهِ

Salah satu pendapat, yaitu yang dinukil oleh al-Muzani di sini dan ditegaskan oleh asy-Syafi‘i dalam sebagian besar kitabnya, serta menjadi pendapat Abu Hanifah, adalah bahwa pernyataan pelaku (jāni) diterima dengan sumpahnya bahwa korban sudah meninggal saat dipotong, dan ia terbebas dari tuduhan membunuh jika ia bersumpah, karena pada dasarnya ia bebas dari tanggungan. Maka, keadaannya seperti jika wali mengklaim bahwa korban meninggal karena dampak luka, sedangkan pelaku mengklaim bahwa korban meninggal bukan karena luka tersebut, maka pernyataan yang diterima adalah pernyataan pelaku, bukan wali, dengan pertimbangan kebebasan tanggungan pelaku.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَتَفَرَّدَ الرَّبِيعُ بِنَقْلِهِ

Pendapat kedua, dan hanya Ar-Rabi‘ yang meriwayatkannya.

وَقَالَ بَعْدَ رِوَايَةِ الْأَوَّلِ وَفِيهِ قَوْلٌ آخَرُ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ كَانَ حَيًّا عِنْدَ قَطْعِهِ وَيُؤْخَذُ الْقَاطِعُ بِحُكْمِ قَطْعِهِ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ حَتَّى يُعْلَمَ زَوَالُهَا عِنْدَ الْقَطْعِ وَالْيَقِينُ وَالشَّكُّ إِذَا تَعَارَضَا سَقَطَ حُكْمُ الشَّكِّ بِالْيَقِينِ كَمَا لَوْ تَيَقَّنَ الْحَدَثَ وَشَكَّ فِي الطَّهَارَةِ أَوْ تَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ وَشَكَّ فِي الْحَدَثِ وَالْفَرْقُ بَيْنَ دَعْوَى الْمَوْتِ وَدَعْوَى السِّرَايَةِ أَنَّ الْوَلِيَّ مُسْتَأْنِفٌ لِدَعْوَى السِّرَايَةِ فَلَمْ يُقْبَلْ قوله فيها والجانب هاهنا مُسْتَأْنِفٌ لِدَعْوَى الْمَوْتِ فَلَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ فِيهَا والله أعلم بالصواب

Dan setelah meriwayatkan pendapat pertama, ia berkata: Ada pendapat lain bahwa yang dipegang adalah pernyataan wali dengan sumpahnya bahwa korban masih hidup saat dipotong, dan pelaku pemotongan dikenai hukum atas perbuatannya, karena pada dasarnya kehidupan itu dianggap tetap ada sampai diketahui hilangnya pada saat pemotongan. Keyakinan dan keraguan, jika keduanya bertentangan, maka hukum keraguan gugur dengan adanya keyakinan, seperti jika seseorang yakin telah berhadas lalu ragu tentang kesuciannya, atau yakin suci lalu ragu tentang hadasnya. Perbedaan antara klaim kematian dan klaim sirāyah (penyebaran luka) adalah bahwa wali memulai klaim sirāyah sehingga pernyataannya tidak diterima dalam hal itu, sedangkan di sini pihak yang lain memulai klaim kematian sehingga pernyataannya juga tidak diterima dalam hal ini. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ شَهِدَ أَحَدُ الْوَرَثَةِ أَنَّ أَحَدَهُمْ عَفَا الْقَوَدَ وَالْمَالَ فَلَا سَبِيلَ إِلَى الْقَوَدِ وَإِنْ لَمْ تَجُزْ شَهَادَتُهُ وَأُحْلِفَ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ مَا عَفَا الْمَالَ وَيَأْخُذُ حِصَّتَهُ مِنَ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ حَلَفَ الْقَاتِلُ مَعَ شَهَادَتِهِ لَقَدْ عَفَا عَنْهُ الْقِصَاصَ وَالْمَالَ وَبَرِئَ مِنْ حِصَّتِهِ مِنَ الدِّيَةِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika salah satu ahli waris bersaksi bahwa salah satu dari mereka telah memaafkan qishāsh dan harta, maka tidak ada jalan untuk menuntut qishāsh, meskipun kesaksiannya tidak sah, dan orang yang disaksikan diminta bersumpah bahwa ia tidak memaafkan harta, lalu ia mengambil bagiannya dari diyat. Namun jika ia termasuk orang yang sah kesaksiannya, maka si pembunuh bersumpah bersama kesaksiannya bahwa sungguh ia telah dimaafkan dari qishāsh dan harta, dan ia terbebas dari bagian diyat miliknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي قَتْلِ عَمْدٍ تَرَكَ ابْنَيْنِ شَهِدَ أَحَدُهُمَا عَلَى أَخِيهِ بِالْعَفْوِ فَلَا تَخْلُو شَهَادَتُهُ عَلَيْهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: Adapun bentuk kasusnya dalam pembunuhan sengaja adalah seseorang meninggalkan dua orang anak laki-laki, lalu salah satu dari keduanya memberikan kesaksian atas saudaranya tentang adanya pemaafan. Maka, kesaksiannya terhadap saudaranya itu tidak lepas dari tiga kemungkinan.

أَحَدُهَا أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْهِ بِعَفْوِهِ عَنِ الْقَوَدِ وَحْدَهُ فَيَسْقُطُ الْقَوَدُ بِهَذِهِ الشَّهَادَةِ فِي حَقِّ الشَّاهِدِ وَالْمَشْهُودِ عَلَيْهِ بِحُكْمِ الْإِقْرَارِ لَا بِحُكْمِ الشَّهَادَةِ وَيَسْتَوِي فِيهَا مَنْ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ وَمَنْ لَا تَجُوزُ لِأَنَّ الشَّاهِدَ عَلَى أَخِيهِ بِالْعَفْوِ مُقِرٌّ لِسُقُوطِ الْقَوَدِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ لِأَنَّ الْقَوَدَ لَا يَتَبَعَّضُ وَعَفْوُ أَحَدِ الْأَوْلِيَاءِ عَنْهُ مُوجِبٌ لِسُقُوطِهِ فِي حُقُوقِ جَمِيعِهِمْ وَإِذَا سَقَطَ فِي حَقِّ الشَّاهِدِ سَقَطَ فِي حَقِّ الْمَشْهُودِ عَلَيْهِ وَلَا يَمِينَ عَلَى الْقَاتِلِ فِي إِثْبَاتِ الْعَفْوِ وَلَا عَلَى الْمَشْهُودِ عَلَيْهِ فِي نَفْيِهِ لِسُقُوطِ الْقَوَدِ بِمُجَرَّدِ الْإِقْرَارِ وَقُضِيَ لَهُمَا بِدِيَةِ الْعَمْدِ عَلَى سِوَاهُ

Salah satunya adalah apabila seseorang memberikan kesaksian bahwa ia memaafkan pelaku dari qishāsh hanya untuk dirinya sendiri, maka gugurlah qishāsh dengan kesaksian ini bagi saksi dan orang yang disaksikan, berdasarkan hukum pengakuan, bukan berdasarkan hukum kesaksian. Dalam hal ini, sama saja apakah orang yang bersaksi itu diterima kesaksiannya atau tidak, karena saksi yang bersaksi atas saudaranya tentang pemaafan berarti mengakui gugurnya qishāsh atas dirinya sendiri, sebab qishāsh tidak dapat dibagi-bagi, dan pemaafan salah satu ahli waris menyebabkan gugurnya qishāsh atas hak seluruh ahli waris. Jika telah gugur atas hak saksi, maka gugur pula atas hak orang yang disaksikan. Tidak ada sumpah atas pembunuh dalam menetapkan pemaafan, dan tidak pula atas orang yang disaksikan dalam menolaknya, karena qishāsh gugur hanya dengan pengakuan semata, dan keduanya diputuskan mendapatkan diyat ‘amdan dari selain mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْهِ بِعَفْوِهِ عَنِ الدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ فَيُنْظَرُ حَالُ الشَّاهِدِ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا تَجُوزُ شَهَادَتُهُ بِجُرْحِهِ رُدَّ قَوْلُهُ وَلَمْ يُحْكَمْ بِهِ فِي شَهَادَةٍ وَلَا إِقْرَارٍ لِأَنَّ الْمَجْرُوحَ لَا يَشْهَدُ وَالْإِقْرَارَ لَا يُؤَثِّرُ وَكَانَ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ عَلَى حَقِّهِ مِنَ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ الشَّاهِدُ مِمَّنْ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ لِعَدَالَتِهِ لَمْ تُؤَثِّرْ بِشَهَادَتِهِ فِي الْقَوَدِ لِأَنَّهُ مَا شَهِدَ بِالْعَفْوِ عَنْهُ وَكَانَ أَخُوهُ عَلَى حَقِّهِ مِنْهُ وَهَلْ تَكُونُ شَهَادَتُهُ مُؤَثِّرَةً فِي الْعَفْوِ عَنِ الدِّيَةِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ وَالَّذِي يَجِبُ بِهِ عَلَى قولين

Bagian kedua adalah apabila seseorang bersaksi bahwa ia telah memaafkan pelaku dari kewajiban membayar diyat, namun tidak dari qishāsh. Maka dilihat keadaan saksi tersebut; jika ia termasuk orang yang tidak sah persaksiannya karena adanya cacat, maka ucapannya ditolak dan tidak dijadikan dasar hukum baik dalam persaksian maupun pengakuan, karena orang yang cacat tidak dapat menjadi saksi dan pengakuannya tidak berpengaruh. Maka orang yang disaksikan itu tetap berada di atas haknya atas qishāsh dan diyat. Namun jika saksi tersebut termasuk orang yang sah persaksiannya karena keadilannya, maka persaksiannya tidak berpengaruh dalam hal qishāsh, karena ia tidak bersaksi atas pemaafan terhadapnya, dan saudaranya tetap berada di atas haknya atas qishāsh. Adapun apakah persaksiannya berpengaruh dalam pemaafan atas diyat atau tidak, terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat dalam kasus pembunuhan sengaja dan apa yang wajib karenanya, menurut dua pendapat.

أحدهما أنه موجب لأحد أمرين من الْقَوَدِ أَوِ الدِّيَةِ فَعَلَى هَذَا تُؤَثِّرُ شَهَادَةُ الْأَخِ فِي الْعَفْوِ عَنِ الدِّيَةِ إِذَا حَلَفَ مَعَهُ الْقَاتِلُ لَقَدْ عَفَا عَنِ الدِّيَةِ لِأَنَّ الْإِبْرَاءَ مِنَ الْمَالِ يُحْكَمُ فِيهِ بِالشَّاهِدِ وَالْيَمِينِ فَيَسْقُطُ حَقُّهُ مِنَ الدِّيَةِ وَيَتَعَيَّنُ حَقُّهُ فِي الْقَوَدِ وَيَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ اسْتِيفَائِهِ أَوْ إِسْقَاطِهِ مِنْ غَيْرِ دِيَةٍ

Pertama, bahwa hal itu mewajibkan salah satu dari dua hal, yaitu qawad (qishash) atau diyat. Dengan demikian, kesaksian saudara berpengaruh dalam pengampunan terhadap diyat apabila si pembunuh bersumpah bersamanya bahwa benar ia telah memaafkan dari diyat, karena pembebasan dari harta diputuskan dengan satu saksi dan sumpah. Maka gugurlah haknya atas diyat dan haknya menjadi tetap pada qawad, dan ia diberi pilihan antara menuntut qawad atau menggugurkannya tanpa diyat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ قَتْلَ الْعَمْدِ مُوجِبٌ لِلْقَوَدِ وَحْدَهُ فَأَمَّا الدِّيَةُ فَلَا تَجِبُ إِلَّا بِاخْتِيَارِ الْوَلِيِّ فَعَلَى هَذَا لَا تُؤَثِّرُ هَذِهِ الشَّهَادَةُ وَإِنْ حَلَفَ مَعَهَا الْقَاتِلُ لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ عَلَى الْإِبْرَاءِ مِنَ الدِّيَةِ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهَا وَيَكُونُ الْأَخُ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْقَوَدِ وَالْعَفْوِ عَنْهُ لَا اخْتِيَارَ الدِّيَةِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa pembunuhan sengaja hanya mewajibkan qishāsh saja, adapun diyat tidak wajib kecuali jika dipilih oleh wali. Maka, menurut pendapat ini, kesaksian tersebut tidak berpengaruh, meskipun pelaku pembunuhan bersumpah bersamanya, karena kesaksian itu merupakan bukti atas pembebasan dari diyat sebelum diyat itu menjadi hak. Saudara yang menjadi objek kesaksian itu diberi pilihan antara menuntut qishāsh atau memaafkan, bukan memilih diyat.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْهِ بِعَفْوِهِ عَنِ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ مَعًا فَالْقَوَدُ قَدْ سَقَطَ بِكُلِّ حَالٍ سَوَاءٌ كَانَ الشَّاهِدُ مِمَّنْ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ أَوْ لَا تَجُوزُ لِمَا بَيَّنَّاهُ مِنْ قَبْلُ فَأَمَّا الدِّيَةُ فَهِيَ مُعْتَبَرَةٌ بِحَالِ الشَّاهِدِ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا تَجُوزُ شَهَادَتُهُ كَانَتْ شَهَادَتُهُ مَرْدُودَةً وَحَلَفَ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ مَا عَفَا عَنِ الدِّيَةِ وَلَا يَحْتَاجُ أَنْ يَذْكُرَ فِي يَمِينِهِ وَمَا عَفَا عَنِ الْقَوَدِ وَلَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا فِيهِ لِأَنَّ يَمِينَهُ مَوْضُوعَةٌ لِإِثْبَاتِ مَا يَسْتَحِقُّهُ وَهُوَ يَسْتَحِقُّ الدِّيَةَ دُونَ الْقَوَدِ وَإِنْ كَانَ الشَّاهِدُ مِمَّنْ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ أَبْرَأَتْ شَهَادَتُهُ قَوْلًا وَاحِدًا إِذَا حَلَفَ مَعَهَا الْقَاتِلُ عَلَى الْعَفْوِ وَكَانَتْ بَيِّنَةً تَامَّةً فِي الإبراء وفي صفة يمين القاتل هاهنا مَعَ شَاهِدِهِ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah apabila seseorang bersaksi bahwa ia telah memaafkan baik dari qishāsh maupun diyat sekaligus. Maka qishāsh telah gugur dalam segala keadaan, baik saksi tersebut termasuk orang yang diterima kesaksiannya atau tidak, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Adapun diyat, maka statusnya bergantung pada keadaan saksi. Jika saksi tersebut termasuk orang yang tidak diterima kesaksiannya, maka kesaksiannya ditolak dan orang yang disaksikan bersumpah bahwa ia tidak memaafkan dari diyat, dan ia tidak perlu menyebutkan dalam sumpahnya bahwa ia tidak memaafkan dari qishāsh. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama kami dalam hal ini, karena sumpahnya ditujukan untuk menetapkan apa yang menjadi haknya, dan ia berhak atas diyat, bukan qishāsh. Namun jika saksi tersebut termasuk orang yang diterima kesaksiannya, maka kesaksiannya membebaskan (dari diyat) secara pasti apabila pelaku pembunuhan bersumpah bersama kesaksian itu atas pemaafan, dan itu menjadi bukti yang sempurna dalam pembebasan. Adapun tentang bentuk sumpah pelaku pembunuhan di sini bersama saksinya, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَقَالَهُ أَبُو إِسْحَاقُ الْمَرْوَزِيُّ يَحْلِفُ لَقَدْ عَفَا عَنِ الدِّيَةِ وَلَا يَذْكُرُ أَنَّهُ عَفَا عَنِ الْقَوَدِ لِسُقُوطِ الْقَوَدِ بِإِقْرَارِ الْأَخِ دُونَ شَهَادَتِهِ وَكَمَا يَحْلِفُ الْأَخُ إِذَا رُدَّتْ شَهَادَةُ أَخِيهِ أَنَّهُ مَا عَفَا عَنِ الدِّيَةِ وَلَا يَذْكُرُ الْقَوَدَ

Salah satunya disebutkan oleh asy-Syafi‘i raḥimahullāh dalam Kitab al-Umm, dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi: ia bersumpah bahwa sungguh ia telah memaafkan diyat dan tidak menyebutkan bahwa ia telah memaafkan qishāsh, karena gugurnya qishāsh dengan pengakuan saudara tanpa kesaksiannya. Sebagaimana saudara itu bersumpah jika kesaksian saudaranya ditolak, bahwa ia tidak memaafkan diyat dan tidak menyebutkan qishāsh.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَقَالَهُ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ يَحْلِفُ الْقَاتِلُ مَعَ شَاهِدِهِ لَقَدْ عَفَا عَنِ الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ لِأَنَّ هَذِهِ يَمِينٌ تَقُومُ مَقَامَ شَاهِدٍ فَكَانَتْ عَلَى لَفْظِ الشَّهَادَةِ وَخَالَفَتْ يَمِينَ الْأَخِ لِاخْتِصَاصِهَا بِإِثْبَاتِ الْمُسْتَحِقِّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua disebutkan oleh asy-Syafi‘i dalam bagian ini dan dinyatakan pula oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu bahwa si pembunuh bersumpah bersama saksinya bahwa sungguh dia telah memaafkan dari qishāsh dan diyat, karena sumpah ini menempati posisi seorang saksi, sehingga lafaznya seperti lafaz kesaksian. Sumpah ini berbeda dengan sumpah saudara karena sumpah ini khusus untuk menetapkan hak orang yang berhak. Allah lebih mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ شَهِدَ وَارِثٌ أَنَّهُ جَرَحَهُ عَمْدًا أَوْ خَطَأً لَمْ أَقْبَلْ لِأَنَّ الْجُرْحَ قَدْ يَكُونُ نَفْسًا فَيَسْتَوْجِبُ بِشَهَادَتِهِ الدِّيَةَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seorang ahli waris bersaksi bahwa ia telah melukainya, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, maka aku tidak menerima (kesaksiannya), karena luka itu bisa saja menyebabkan kematian sehingga dengan kesaksiannya ia berhak mendapatkan diyat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ كُلَّ شَاهِدٍ جَرَّ بِشَهَادَتِهِ إِلَى نَفْسِهِ نَفْعًا أَوْ دَفَعَ بِهَا ضَرَرًا كَانَتْ شهادته مردودة فإذا شهد وارثا المجروح وهم أَخَوَاهُ أَوْ عَمَّاهُ عَلَى رَجُلٍ أَنَّهُ جَرَحَهُ لَمْ تَخْلُ حَالُ الشَّهَادَةِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, karena setiap saksi yang dengan kesaksiannya menarik manfaat untuk dirinya sendiri atau menolak bahaya darinya, maka kesaksiannya ditolak. Maka jika ahli waris orang yang terluka—yaitu kedua saudaranya atau kedua pamannya—memberikan kesaksian terhadap seseorang bahwa ia telah melukainya, maka keadaan kesaksian itu tidak lepas dari dua kemungkinan.”

أَحَدُهُمَا إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ انْدِمَالِ الْجُرْحِ فَشَهَادَتُهُمَا مَقْبُولَةٌ لِأَنَّهُمَا لَا يَجُرَّانِ بِهَا نَفْعًا وَلَا يَدْفَعَانِ بِهَا ضَرَرًا سَوَاءٌ أَوَجَبَتِ الْقِصَاصَ أَوِ الدِّيَةَ

Salah satunya adalah jika terjadi setelah luka sembuh, maka kesaksian keduanya diterima karena keduanya tidak mendapatkan manfaat dan tidak menolak mudarat dengan kesaksian itu, baik kesaksian tersebut mewajibkan qishāsh maupun diyat.

وَالثَّانِي أَنْ تَكُونَ الشَّهَادَةُ قَبْلَ انْدِمَالِ الْجُرْحِ فَهِيَ مَرْدُودَةٌ فَلَا تُقْبَلُ لِأَمْرَيْنِ

Kedua, jika kesaksian diberikan sebelum luka sembuh, maka kesaksian itu ditolak dan tidak diterima karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا إِنَّهَا قَدْ تَسْرِي إِلَى نَفْسِهِ فَيَمُوتُ مِنْهَا وَيَصِيرَا الْمُسْتَحِقَّيْنِ لَهَا فَيَصِيرَا شَاهِدَيْنِ لِأَنْفُسِهِمَا

Salah satunya adalah bahwa (hukuman) itu bisa menimpa dirinya sendiri sehingga ia mati karenanya, dan keduanya menjadi orang yang berhak atasnya, sehingga keduanya menjadi saksi bagi diri mereka sendiri.

وَالثَّانِي إِنَّ الْمَجْرُوحَ مَعَ بَقَاءِ الْجِرَاحِ مُتَّهَمٌ

Dan yang kedua, sesungguhnya orang yang terluka, selama lukanya masih ada, dianggap tertuduh.

وَلِوَرَثَةِ الْمَرِيضِ الِاعْتِرَاضُ عَلَيْهِ فِي مَالٍ وَمَنْعُهُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِيمَا زَادَ عَلَى ثُلُثِهِ كَاعْتِرَاضِهِمْ عَلَيْهِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَلَا تَجُوزُ شَهَادَتُهُمْ لَهُ بَعْدَ الْمَوْتِ فَكَذَلِكَ فِي الْمَرَضِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الْجُرْحُ مِمَّا يَسْرِي مِثْلُهُ إِلَى النَّفْسِ جَازَتْ شَهَادَتُهُمَا لَهُ عَلَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ وَلَمْ تَجُزْ شَهَادَتُهُمَا لَهُ عَلَى التَّعْلِيلِ الثَّانِي وَكَذَلِكَ لَوْ شَهِدَ لَهُ وَارِثَاهُ فِي مَرَضِهِ بِدَيْنٍ كَانَ فِي قَبُولِ شَهَادَتِهِمَا لَهُ وَجْهَانِ

Para ahli waris orang sakit berhak mengajukan keberatan terhadapnya dalam hal harta dan mencegahnya untuk bertindak atas apa yang melebihi sepertiganya, sebagaimana keberatan mereka terhadapnya setelah kematiannya. Dan tidak sah kesaksian mereka untuknya setelah kematiannya, maka demikian pula dalam keadaan sakit. Berdasarkan hal ini, jika luka tersebut termasuk yang lazimnya dapat berakibat pada jiwa, maka sah kesaksian keduanya untuknya menurut alasan pertama, dan tidak sah kesaksian keduanya untuknya menurut alasan kedua. Demikian pula, jika kedua ahli warisnya bersaksi untuknya dalam sakitnya mengenai utang, maka dalam penerimaan kesaksian keduanya untuknya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمَا فِي الدَّيْنِ كَمَا لَا تُقْبَلُ فِي الْجُرْحِ وَهُوَ مُقْتَضَى التَّعْلِيلِ الثَّانِي

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa kesaksian mereka berdua tidak diterima dalam perkara agama, sebagaimana tidak diterima dalam jarh, dan ini merupakan konsekuensi dari alasan kedua.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطَّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ إِنَّهَا تُقْبَلُ فِي الدَّيْنِ وَإِنْ لَمْ تُقْبَلْ فِي الْجِرَاحِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا إِنَّ الدَّيْنَ يَمْلِكُهُ الْمَوْرُوثُ ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى الْوَارِثِ وَالدِّيَةَ يَمْلِكُهَا الْوَارِثُ عَنِ الْجَانِي فَصَارَ فِي الْجِنَايَةِ شَاهِدًا لِنَفْسِهِ فَرُدَّتْ شَهَادَتُهُ وَفِي الدَّيْنِ شَاهِدًا لِغَيْرِهِ فَأُمْضِيَتِ شَهَادَتُهُ وَهَذَا مُقْتَضَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Thayyib bin Salamah, menyatakan bahwa kesaksian itu diterima dalam perkara utang meskipun tidak diterima dalam perkara luka (jirāḥ). Perbedaannya adalah bahwa utang itu dimiliki oleh orang yang mewariskan, kemudian berpindah darinya kepada ahli waris, sedangkan diyat dimiliki oleh ahli waris dari pelaku kejahatan. Maka dalam kasus jināyah, ia menjadi saksi untuk dirinya sendiri sehingga kesaksiannya ditolak, sedangkan dalam perkara utang, ia menjadi saksi untuk orang lain sehingga kesaksiannya diterima. Inilah konsekuensi dari alasan yang pertama, dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمَا لَهُ قَبْلَ انْدِمَالِ الْجُرْحِ السَّارِي لَمْ يَخْلُ حَالُ الْجُرْحِ مِنْ أَنْ يَسْرِيَ إِلَى النَّفْسِ أَوْ يَنْدَمِلَ فَإِنْ سَرَى إِلَى النَّفْسِ اسْتَقَرَّ الْحُكْمُ فِي رَدِّ شَهَادَتِهِمَا وَإِنِ انْدَمَلَ لَمْ يُحْكَمْ بِالشَّهَادَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَفِي الْحُكْمِ بِهَا إِنِ اسْتَأْنَفَاهَا بَعْدَ الِانْدِمَالِ وَجْهَانِ

Jika telah dipastikan bahwa kesaksian mereka berdua tidak diterima untuknya sebelum luka yang menyebar itu sembuh, maka keadaan luka tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi luka itu menyebar hingga menyebabkan kematian, atau luka itu sembuh. Jika luka itu menyebar hingga menyebabkan kematian, maka keputusan untuk menolak kesaksian mereka berdua tetap berlaku. Namun jika luka itu sembuh, maka tidak diputuskan berdasarkan kesaksian yang telah diajukan sebelumnya. Adapun mengenai hukum jika mereka mengulangi kesaksian setelah luka sembuh, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمَا فِي الْمُسْتَأْنَفِ لِزَوَالِ مَا مَنَعَ مِنْ رَدِّهَا

Salah satunya, kesaksian mereka dapat diterima dalam perkara yang baru karena telah hilang sebab yang menghalangi penolakan kesaksian tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمَا لِلْحُكْمِ بِرَدِّهَا في الشهادة الأول كَالْفَاسِقِ إِذَا رُدَّتْ شَهَادَتُهُ لَمْ تُقْبَلْ إِذَا ادَّعَاهَا بَعْدَ عَدَالَتِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa kesaksian keduanya tidak diterima untuk menetapkan hukum dengan menolaknya dalam kesaksian pertama, seperti halnya seorang fasiq; jika kesaksiannya telah ditolak, maka tidak diterima lagi jika ia mengakuinya setelah dianggap adil. Dan Allah lebih mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رضي الله عنه ” فَإِنْ شَهِدَ وَلَهُ مَنْ يَحْجُبُهُ قَبِلْتُهُ فَإِنْ لَمْ أَحْكُمْ حَتَّى صَارَ وَارِثًا طَرَحْتُهُ وَلَوْ كُنْتُ حَكَمْتُ ثُمَّ مَاتَ مَنْ يَحْجُبُهُ وَرَّثْتُهُ لِأَنَّهَا مَضَتْ فِي حِينٍ لَا يَجُرُّ بِهَا إِلَى نَفْسِهِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seseorang memberikan kesaksian dan pada saat itu ada orang yang menghalanginya (dari warisan), aku menerima kesaksiannya. Namun jika aku belum memutuskan hingga ia menjadi ahli waris, maka aku gugurkan kesaksiannya. Dan jika aku sudah memutuskan, kemudian orang yang menghalanginya meninggal dunia sehingga ia menjadi ahli waris, maka aku tetap mewariskannya, karena keputusan itu terjadi pada waktu di mana ia tidak menarik manfaat untuk dirinya sendiri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا رُدَّتْ شَهَادَةُ الْوَارِثَيْنِ فِي الْجِرَاحِ اعْتُبِرَتْ بِكَوْنِهِمَا وَارِثَيْنِ عِنْدَ تَنْفِيذِ الْحُكْمِ بِشَهَادَتِهِمَا لِأَنَّهُمَا بِحَالِ التُّهْمَةِ الْمُوجِبَةِ لِلرَّدِّ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَاخْتَلَفَ حَالُهُمَا قَبْلَ الشَّهَادَةِ وَبَعْدَهَا فَلَهُمَا حَالَتَانِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila kesaksian dua orang ahli waris ditolak dalam kasus luka-luka, maka yang diperhitungkan adalah status mereka sebagai ahli waris pada saat pelaksanaan putusan berdasarkan kesaksian mereka, karena pada saat itu mereka berada dalam posisi yang menimbulkan tuduhan yang menyebabkan penolakan. Jika demikian, dan status mereka berbeda sebelum dan sesudah memberikan kesaksian, maka terdapat dua keadaan bagi keduanya.”

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَا غَيْرَ وَارِثَيْنِ عِنْدَ الشَّهَادَةِ ثُمَّ يَمُوتُ مَنْ يَحْجُبُهُمَا فَيَصِيرَا وَارِثَيْنِ بَعْدَ الشَّهَادَةِ فهذا على ضربين

Salah satunya adalah ketika keduanya bukan ahli waris pada saat kesaksian, kemudian orang yang menghalangi mereka berdua meninggal dunia sehingga mereka berdua menjadi ahli waris setelah kesaksian. Keadaan ini terbagi menjadi dua macam.

أحدهما أن يصيرا الشاهدين وَارِثَيْنِ بَعْدَ الشَّهَادَةِ وَقَبْلَ الْحُكْمِ بِهَا فَشَهَادَتُهُمَا مَرْدُودَةٌ لِحُدُوثِ مَا يَمْنَعُ مِنْ قَبُولِهَا عِنْدَ الْحُكْمِ بِهَا فَصَارَ كَمَا لَوْ شَهِدَ عَدْلَانِ فَلَمْ يُحْكَمْ بِشَهَادَتِهِمَا حَتَّى فَسَقَا رُدَّتْ شَهَادَتُهُمَا فِي الْعَدَالَةِ لِحُدُوثِ الْفِسْقِ عِنْدَ الْحُكْمِ بِهَا

Pertama, jika kedua saksi menjadi ahli waris setelah memberikan kesaksian dan sebelum keputusan dijatuhkan berdasarkan kesaksian tersebut, maka kesaksian mereka ditolak karena terjadi sesuatu yang menghalangi diterimanya kesaksian pada saat keputusan dijatuhkan. Keadaannya seperti dua orang yang adil memberikan kesaksian, lalu belum sempat diputuskan berdasarkan kesaksian mereka hingga keduanya menjadi fasik, maka kesaksian mereka dalam hal keadilan pun ditolak karena terjadinya kefasikan pada saat keputusan dijatuhkan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي يَصِيرَا وَارِثَيْنِ بَعْدَ الْحُكْمِ بِشَهَادَتِهِمَا فَهِيَ مَاضِيَةٌ لَا تَنْقَضِي بِحُدُوثٍ مَا تَجَدَّدَ بَعْدَ نُفُوذِ الْحُكْمِ بِهَا كَمَا لَوْ حُكِمَ بشهادة العدلين ثم فسقا لم ينقضي الْحُكْمُ بِحُدُوثِ فِسْقِهِمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Jenis kedua adalah ketika keduanya menjadi ahli waris setelah adanya putusan berdasarkan kesaksian mereka, maka putusan tersebut tetap berlaku dan tidak batal karena adanya sesuatu yang terjadi setelah putusan itu dijalankan. Sebagaimana jika diputuskan berdasarkan kesaksian dua orang yang adil, kemudian keduanya menjadi fasik, maka putusan tersebut tidak batal karena terjadinya kefasikan mereka. Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ

Fasal

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَا وَارِثَيْنِ عِنْدَ الشَّهَادَةِ وَيَحْدُثُ مَنْ يَحْجُبُهُمَا فَيَصِيرَا غَيْرَ وَارِثَيْنِ بَعْدَهَا فَلَا يَكُونُ الْحُكْمُ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ شَهَادَتِهِمَا لِاقْتِرَانِ التُّهْمَةِ بِهِمَا فَإِنِ اسْتَأْنَفَاهَا بَعْدَ أَنْ صَارَا غَيْرَ وَارِثَيْنِ فَفِي جَوَازِ قَبُولِهَا عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْوَجْهَيْنِ فِي إِعَادَةِ شَهَادَتِهِمَا بَعْدَ انْدِمَالِ الْجُرْحِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Keadaan kedua adalah ketika keduanya merupakan ahli waris pada saat memberikan kesaksian, lalu muncul seseorang yang menghalangi keduanya sehingga setelah itu mereka tidak lagi menjadi ahli waris. Maka, hukum tidak didasarkan pada kesaksian mereka yang terdahulu karena adanya tuduhan yang terkait dengan mereka. Jika keduanya mengulangi kesaksian setelah mereka tidak lagi menjadi ahli waris, maka mengenai boleh tidaknya menerima kesaksian tersebut terdapat dua pendapat, sebagaimana dua pendapat dalam mengulangi kesaksian setelah luka sembuh. Dan Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ شَهِدَ مِنْ عَاقِلَتِهِ بِالْجُرْحِ لَمْ أَقْبَلْ وَإِنْ كَانَ فَقِيرًا لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ لَهُ مَالٌ فِي وَقْتِ الْعَقْلِ فَيَكُونُ دَافِعًا عَنْ نَفْسِهِ بِشَهَادَتِهِ مَا يَلْزَمُهُ قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَأَجَازَهُ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إِذَا كَانَ مِنْ عَاقِلَتِهِ فِي قُرْبِ النَّسَبِ مَنْ يَحْمِلُ الْعَقْلَ حَتَّى لَا يَخْلُصَ إِلَيْهِ الْغُرْمُ إِلَّا بَعْدَ مَوْتِ الَّذِي هُوَ أَقْرَبُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika ada seseorang dari ‘āqilah-nya yang bersaksi dalam perkara luka, maka aku tidak menerimanya, meskipun ia seorang fakir, karena bisa jadi ia memiliki harta pada saat pembayaran diyat, sehingga dengan kesaksiannya itu ia berusaha membela dirinya dari kewajiban yang harus ia tanggung.” Al-Muzani raḥimahullāh berkata, “Dan beliau membolehkannya di tempat lain, jika di antara ‘āqilah-nya terdapat kerabat dekat yang menanggung diyat, sehingga tanggungan itu tidak sampai kepadanya kecuali setelah wafatnya kerabat yang lebih dekat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي شَاهِدَيْنِ شَهِدَا عَلَى رَجُلٍ بِالْقَتْلِ وَشَهِدَ شَاهِدَانِ مِنْ عَاقِلَةِ الْقَاتِلِ بِجُرْحِهِمَا فَالْقَتْلُ الْمَشْهُودُ بِهِ ضَرْبَانِ عَمْدٌ وَخَطَأٌ فَإِنْ كَانَ عَمْدًا قُبِلَتْ شَهَادَةُ الْعَاقِلَةِ بِجُرْحِ الشَّاهِدَيْنِ عَلَى الْقَتْلِ لِأَنَّ الْقَتْلَ الْعَمْدَ لَا يَتَوَجَّهُ عَلَى الْعَاقِلَةِ مِنْهُ حُكْمٌ فَلَمْ يُتَّهَمُوا فِي الشَّهَادَةِ بِالْجُرْحِ لِأَنَّهُمْ لَا يَدْفَعُونَ بِهَا ضَرَرًا وَلَا يَجُرُّونَ بِهَا نَفْعًا وَإِنْ كَانَ الْقَتْلُ خَطَأً فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah dua orang saksi yang bersaksi terhadap seorang laki-laki atas pembunuhan, lalu dua orang saksi dari ‘āqilah pelaku pembunuhan bersaksi tentang luka yang diderita kedua saksi tersebut. Pembunuhan yang disaksikan itu ada dua macam: sengaja (‘amdan) dan tidak sengaja (khaṭa’an). Jika pembunuhan itu disengaja, maka kesaksian ‘āqilah tentang luka kedua saksi atas pembunuhan diterima, karena pembunuhan sengaja tidak menimbulkan hukum apa pun atas ‘āqilah, sehingga mereka tidak dicurigai dalam kesaksian tentang luka tersebut, sebab mereka tidak menolak bahaya dengan kesaksian itu dan tidak pula memperoleh manfaat darinya. Namun jika pembunuhan itu tidak disengaja, maka terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ الشَّهَادَةُ عَلَى إِقْرَارِهِ بِهِ فَتُقْبَلُ شَهَادَةُ الْعَاقِلَةِ فِي جُرْحِ الشُّهُودِ لِأَنَّ الْعَاقِلَةَ لَا تَحْمِلُ الِاعْتِرَافَ فَلَمْ يُتَّهَمُوا فِي شَهَادَةِ الْجُرْحِ

Salah satunya adalah bahwa kesaksian itu atas pengakuannya, maka diterima kesaksian ‘āqilah dalam mencela para saksi, karena ‘āqilah tidak menanggung pengakuan, sehingga mereka tidak dicurigai dalam kesaksian tentang celaan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الشَّهَادَةُ عَلَى فِعْلِ الْقَتْلِ فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ الْعَاقِلَةِ فِي الْجُرْحِ لِأَنَّ دِيَةَ الْخَطَأِ تَجِبُ عَلَيْهِمْ فَإِذَا شَهِدُوا بِجُرْحِ شَاهِدَيِ الْأَصْلِ دَفَعُوا بِهَا تَحْمِلُ الدِّيَةَ عَنْ أَنْفُسِهِمْ فَصَارَ كَشَهَادَةِ الْقَاتِلِ بِجُرْحِهِمْ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ وَهِيَ مَرْدُودَةٌ لِدَفْعِهِ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ كَذَلِكَ شَهَادَةُ الْعَاقِلَةِ فِي قَتْلِ الْخَطَأِ

Jenis kedua adalah kesaksian atas perbuatan pembunuhan, maka tidak diterima kesaksian dari ‘āqilah dalam kasus luka, karena diyat kesalahan wajib atas mereka. Jika mereka bersaksi tentang luka dengan dua saksi asal, maka dengan kesaksian itu mereka membebaskan diri mereka dari tanggungan diyat. Hal ini menjadi seperti kesaksian pembunuh atas lukanya sendiri dalam kasus pembunuhan sengaja, dan kesaksian itu ditolak karena ia menggunakannya untuk membela dirinya sendiri. Demikian pula kesaksian ‘āqilah dalam kasus pembunuhan karena kesalahan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ رَدُّ شَهَادَتِهِمْ بِالْجُرْحِ فَهُمْ ضَرْبَانِ

Maka apabila telah tetap penolakan kesaksian mereka karena adanya jarḥ, maka mereka terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونُوا عِنْدَ الشَّهَادَةِ بِوَصْفِ مَنْ يَتَحَمَّلُ الدِّيَةَ لِوُجُودِ شَرْطَيْنِ قُرْبُ النَّسَبِ وَوُجُودُ الْغِنَى فَهَؤُلَاءِ هُمُ الْمَرْدُودُ شَهَادَتُهُمْ بِالْجُرْحِ

Salah satunya adalah bahwa mereka, pada saat memberikan kesaksian, memiliki sifat sebagai orang yang menanggung diyat karena terpenuhi dua syarat: adanya hubungan kekerabatan yang dekat dan adanya kecukupan harta. Maka, merekalah orang-orang yang kesaksiannya dalam jarh (penolakan kesaksian) tidak diterima.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونُوا عِنْدَ الشَّهَادَةِ بِوَصْفِ مَنْ لَا يَتَحَمَّلُ الدِّيَةَ وَهُمْ صِنْفَانِ

Jenis kedua adalah mereka yang pada saat memberikan kesaksian memiliki sifat sebagai orang yang tidak menanggung diyat, dan mereka terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا مَنْ لَا يَتَحَمَّلُهَا لِفَقْرٍ

Salah satunya adalah orang yang tidak mampu menanggungnya karena kefakiran.

وَالثَّانِي مَنْ لَا يَتَحَمَّلُهَا لِبُعْدِ نَسَبِهِ وَوُجُودِ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ نَسَبًا فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَتَحَمَّلُهَا لِفَقْرِهِ

Dan yang kedua adalah orang yang tidak memikulnya karena jauhnya hubungan nasab dan adanya orang yang lebih dekat nasabnya. Jika ia termasuk orang yang tidak memikulnya karena kefakirannya…

قَالَ الشَّافِعِيُّ لَمْ تُقْبَلْ شَهَادَتُهُ بِالْجُرْحِ وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَتَحَمَّلُهَا لِبُعْدِ نَسَبِهِ وَوُجُودِ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ مِنْهُ قَالَ الشَّافِعِيُّ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ بِالْجُرْحِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ نَصِّهِ فِيهَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Imam Syafi‘i berkata: Kesaksiannya dalam jarḥ tidak diterima, meskipun ia termasuk orang yang tidak mampu memikulnya karena jauhnya hubungan nasab dan adanya orang yang lebih dekat darinya. Namun Imam Syafi‘i juga berkata: Kesaksiannya dalam jarḥ diterima. Maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai perbedaan nash beliau dalam masalah ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْمُزَنِيِّ وَطَائِفَةٍ مِنْ مُتَقَدِّمِي أَصْحَابِنَا أَنْ حَمَلُوا ذَلِكَ فِيهِمَا عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا إِنَّهُ لَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ مَنْ لَا يَتَحَمَّلُهَا لِقُرْبِ نَسَبِهِ وَتُقْبَلُ شَهَادَةُ مَنْ لَا يَتَحَمَّلُهَا لِبُعْدِ نَسَبِهِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي بُعْدِ النَّسَبِ لِأَنَّهُمَا جَمِيعًا عِنْدَ شَهَادَتِهِمَا بِوَصْفِ مَنْ لَا يَتَحَمَّلُ الْعَقْلَ فَلَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِمَا عِنْدَ الشَّهَادَةِ بِالْجُرْحِ تُهْمَةٌ يَجُرَّانِ بِهَا نَفْعًا أَوْ يَدْفَعَانِ بِهَا ضَرَرًا

Salah satu pendapat, yaitu pendapat al-Muzani dan sekelompok ulama terdahulu dari kalangan mazhab kami, adalah bahwa mereka menafsirkan hal tersebut pada dua pendapat yang berbeda: salah satunya adalah bahwa tidak diterima kesaksian orang yang tidak mampu memikulnya karena dekatnya hubungan nasab, dan diterima kesaksian orang yang tidak mampu memikulnya karena jauhnya hubungan nasab, sebagaimana yang dinyatakan dalam masalah jauhnya nasab. Karena keduanya, ketika memberikan kesaksian, berada dalam keadaan tidak mampu secara akal, sehingga ketika memberikan kesaksian tentang celaan, tidak ada tuduhan terhadap mereka bahwa mereka mencari manfaat atau menolak mudarat dengan kesaksian tersebut.

وَالْقَوْلُ الثاني أنه من لَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ مَنْ لَا يَتَحَمَّلُهَا لِبُعْدِ نَسَبِهِ وَلِفَقْرِهِ وَلَا شَهَادَةُ مَنْ لَا يَتَحَمَّلُهَا لِبُعْدِ نَسَبِهِ لِأَنَّهُمَا قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَصِيرَا عِنْدَ الْحَوْلِ مِمَّنْ يَتَحَمَّلُهَا لِاسْتِغْنَاءِ الْفَقِيرِ وَمَوْتِ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ مِنْ ذِي النَّسَبِ الْبَعِيدِ فَيَصِيرَا دَافِعَيْنِ عَنْ أَنْفُسِهِمَا تَحَمُّلَ الْعَقْلِ بِشَهَادَتِهِمَا فَهَذَا أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ

Pendapat kedua adalah bahwa tidak diterima kesaksian dari orang yang tidak memikul tanggung jawab karena jauhnya nasab dan karena kefakirannya, dan juga tidak diterima kesaksian dari orang yang tidak memikul tanggung jawab karena jauhnya nasab, karena keduanya mungkin saja pada saat haul menjadi termasuk orang yang memikul tanggung jawab, disebabkan si fakir menjadi berkecukupan dan wafatnya orang yang lebih dekat nasabnya daripada yang jauh, sehingga keduanya menjadi pihak yang menolak atas diri mereka sendiri untuk memikul diyat dengan kesaksian mereka. Inilah salah satu dari dua pendapat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَكَثِيرٍ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا إِنَّهُ لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَالْجَوَابُ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ مَنْ لَا يَتَحَمَّلُهَا لِفَقْرِهِ وَتُقْبَلُ شَهَادَةُ مَنْ لَا يَتَحَمَّلُهَا لِبُعْدِ نَسَبِهِ عَلَى ظَاهِرِ نَصِّهِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا إِنَّ الْفَقِيرَ مَعْدُودٌ مِنَ الْعَاقِلَةِ فِي الْحَالِ لِقُرْبِ نَسَبِهِ وَإِنْ جَازَ أَنْ لَا يَتَحَمَّلَ الْعَقْلَ عِنْدَ الْحَوْلِ لِبَقَاءِ فَقْرِهِ وَالْبَعِيدُ النَّسَبِ غَيْرُ مَعْدُودٍ مِنَ الْعَاقِلَةِ فِي الْحَالِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَتَحَمَّلَ الْعَقْلَ عِنْدَ الْحَوْلِ وَبِمَوْتِ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ فَافْتَرَقَ مَعْنَاهُمَا فَكَذَلِكَ مَا افْتَرَقَا فِي الشَّهَادَةِ وَجَمَعَ الْمُزَنِيُّ بَيْنَ مَعْنَاهُمَا وَلِذَلِكَ مَا جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي الشَّهَادَةِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, Abu Ali bin Abi Hurairah, dan banyak ulama muta’akhkhirīn dari kalangan mazhab kami, menyatakan bahwa hal itu bukanlah perbedaan dua pendapat, dan jawaban atas permasalahan ini secara lahiriah pada dua tempat tersebut adalah: tidak diterima kesaksian orang yang tidak menanggung diyat karena kefakirannya, dan diterima kesaksian orang yang tidak menanggung diyat karena jauhnya nasab, sesuai dengan zahir nash. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa orang fakir dihitung sebagai bagian dari ‘āqilah pada saat itu karena dekatnya nasab, meskipun mungkin ia tidak menanggung diyat saat pergantian tahun karena masih fakir, sedangkan yang jauh nasabnya tidak dihitung sebagai bagian dari ‘āqilah pada saat itu, meskipun mungkin ia menanggung diyat saat pergantian tahun atau setelah wafatnya kerabat yang lebih dekat. Maka, makna keduanya pun berbeda, demikian pula hukum kesaksian mereka berbeda. Namun, al-Muzani menggabungkan makna keduanya, sehingga ia juga menggabungkan keduanya dalam hukum kesaksian.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَتَجُوزُ الْوَكَالَةُ فِي تَثْبِيتِ الْبَيِّنَةِ عَلَى الْقَتْلِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَإِذَا كَانَ الْقَوَدُ لَمْ يُدْفَعْ إِلَيْهِ حَتَّى يَحْضُرَ الْوَلِيُّ أَوْ يُوَكِّلَهُ بِقَتْلِهِ فَيَكُونُ لَهُ قَتْلُهُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Boleh melakukan wakālah dalam penetapan bukti (bayyinah) atas kasus pembunuhan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Namun, jika berkaitan dengan qawad (qishāsh), maka pelaksanaan qishāsh tidak diserahkan kepada wakil tersebut sampai wali hadir atau mewakilkan kepadanya untuk melakukan pembunuhan itu, sehingga ia berhak melakukannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ الْوَكَالَةِ وَأَعَادَهَا الْمُزَنِيُّ فِي أَوَّلِ كِتَابِ الْجِنَايَاتِ ثُمَّ كَرَّرَهَا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مِنْ كِتَابِ الْقَسَامَةِ وَنَحْنُ نُشِيرُ إِلَيْهَا مَعَ تَقَدُّمِ اسْتِيفَائِهَا وَالْوَكَالَةُ ضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas dalam Kitab al-Wakālah, dan al-Muzani mengulanginya pada awal Kitab al-Jināyāt, kemudian ia mengulanginya lagi pada bagian ini dari Kitab al-Qasāmah. Kami akan menunjukinya meskipun pembahasannya telah didahulukan, dan wakālah itu ada dua macam.

أَحَدُهُمَا فِي تَثْبِيتِ الْقِصَاصِ فَتَصِحُّ فِي قَوْلِ الْجُمْهُورِ وَلِأَنَّهَا وَكَالَةٌ فِي إِثْبَاتِ حَقٍّ وَمَنَعَ مِنْهَا أَبُو يُوسُفَ لِأَنَّهُ حَدٌّ يُدْرَأُ بِالشُّبْهَةِ فَإِذَا ثَبَتَ الْقِصَاصُ لَمْ يَكُنْ لِلْوَكِيلِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ فِي قَوْلِ الْجُمْهُورِ لِقُصُورِ تَصَرُّفِهِ عَلَى مَا تَضَمَّنَتْهُ الْوَكَالَةُ مِنْ تَثْبِيتِ الْقِصَاصِ دُونَ اسْتِيفَائِهِ وَجَوَّزَ لَهُ ابْنُ أَبِي لَيْلَى الِاسْتِيفَاءَ لِمُطْلَقِ الْوَكَالَةِ كَمَا جَوَّزَ لَهُ بِمُطْلَقِهَا فِي الْمَبِيعِ قَبْضَ الثَّمَنَ وَقَدْ ذَكَرْنَا الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا فَإِنِ اقْتَصَّ الْوَكِيلُ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ

Salah satunya adalah dalam penetapan qishāsh, maka hal itu sah menurut pendapat jumhur, karena ini merupakan bentuk wakālah dalam penetapan suatu hak. Namun, Abu Yusuf melarangnya karena qishāsh adalah hudud yang dapat gugur dengan adanya syubhat. Apabila qishāsh telah ditetapkan, maka wakil tidak berhak menunaikannya menurut pendapat jumhur, karena kewenangannya terbatas pada apa yang tercakup dalam wakālah, yaitu hanya sebatas penetapan qishāsh, bukan pelaksanaannya. Ibnu Abi Laila membolehkannya untuk menunaikan qishāsh karena keumuman wakālah, sebagaimana ia juga membolehkannya dalam hal menerima pembayaran harga dalam jual beli secara mutlak. Kami telah menyebutkan perbedaan antara keduanya. Jika wakil melaksanakan qishāsh, maka ia wajib menanggung qawad.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ لَهُ اسْتِيفَاءُ الْقِصَاصِ فَظَاهِرُ مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ جَوَازُ الْوَكَالَةِ وَظَاهِرُ مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْوَكَالَةِ بُطْلَانُهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَمِنْهُمْ مَنْ خَرَّجَهُ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَقَدْ شَرَحْنَا كِلَا الطَّرِيقَتَيْنِ فَإِنْ قِيلَ بِأَنَّ الْوَكَالَةَ فِي الِاسْتِيفَاءِ لَا تَصِحُّ مُنِعَ الْوَكِيلُ مِنَ الْقِصَاصِ فَإِنِ اقْتَصَّ فَقَدْ أَسَاءَ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مَأْذُونٌ لَهُ فِيهِ مَعَ فَسَادِ عَقْدِهِ وَإِنْ قِيلَ بِجَوَازِ الْوَكَالَةِ فِي الِاسْتِيفَاءِ فَإِنْ عُقِدَتِ الْوَكَالَةُ بَعْدَ ثُبُوتِ الْقِصَاصِ صَحَّتْ وَإِنْ عُقِدَتْ قَبْلَ ثُبُوتِ الْقِصَاصِ فَفِي صِحَّتِهَا وَجْهَانِ

Jenis kedua adalah ketika seseorang berhak menuntut pelaksanaan qishāsh. Secara lahiriah, apa yang dinyatakan dalam bagian ini menunjukkan bolehnya wakālah, sedangkan secara lahiriah, apa yang dinyatakan dalam Kitab al-Wakālah menunjukkan batalnya wakālah tersebut. Maka para ulama kami pun berbeda pendapat; sebagian dari mereka mengaitkannya dengan perbedaan dua pendapat. Kami telah menjelaskan kedua metode tersebut. Jika dikatakan bahwa wakālah dalam pelaksanaan qishāsh tidak sah, maka wakil dilarang melakukan qishāsh. Jika ia tetap melakukannya, maka ia telah berbuat salah, namun tidak ada tanggungan atasnya karena ia telah diberi izin untuk itu meskipun akadnya rusak. Namun, jika dikatakan bahwa wakālah dalam pelaksanaan qishāsh itu boleh, maka jika wakālah diadakan setelah qishāsh ditetapkan, maka wakālah itu sah. Jika diadakan sebelum qishāsh ditetapkan, maka ada dua pendapat mengenai keabsahannya.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا تَصِحُّ الْوَكَالَةُ لِعَقْدِهَا قَبْلَ ثُبُوتِ الِاسْتِحْقَاقِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa wakalah tidak sah untuk dilakukan sebelum hak kepemilikan itu terbukti.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي تَصِحُّ الْوَكَالَةُ لِأَنَّ الْقِصَاصَ مُسْتَحَقٌّ بِالْقَتْلِ فَصَارَتِ الْوَكَالَةُ مَعْقُودَةً بَعْدَ الِاسْتِحْقَاقِ وَهَكَذَا لَوْ جُمِعَ لَهُ فِي عَقْدِ الْوَكَالَةِ بَيْنَ تَثْبِيتِ الْقِصَاصِ وَبَيْنَ اسْتِيفَائِهِ صَحَّتٍ الْوَكَالَةُ فِي إِثْبَاتِهِ وَفِي صحتها في استيفائه وجهان

Pendapat kedua: wakalah (perwakilan) sah karena qishāsh menjadi hak yang diperoleh melalui pembunuhan, sehingga wakalah diadakan setelah hak itu diperoleh. Demikian pula, jika dalam akad wakalah digabungkan antara penetapan qishāsh dan pelaksanaannya, maka wakalah sah dalam penetapannya. Adapun tentang kesahihan wakalah dalam pelaksanaannya, terdapat dua pendapat.

فإذا صَحَّتِ الْوَكَالَةُ فِي الِاسْتِيفَاءِ فَهَلْ يَلْزَمُ إِحْضَارُ الْمُوكَلِ إِلَى حَيْثُ يَعْلَمُ الْوَكِيلُ أَوِ الْحَاكِمُ بِطَلَبِهِ وَعَفْوِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Jika akad wakalah dalam penerimaan telah sah, maka apakah wajib menghadirkan pihak yang mewakilkan ke tempat di mana wakil atau hakim mengetahui permintaan dan pemaafannya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَلْزَمُ حُضُورُهُ إِلَى حَيْثُ لَا يَخْفَى عَلَى الْوَكِيلِ أَوِ الْحَاكِمِ حَالُهُ فِي بَقَائِهِ عَلَى الطَّلَبِ أَوْ حُدُوثِ الْعَفْوِ لِأَنَّهُ قَوَدٌ يَفُوتُ اسْتِدْرَاكُهُ وَالظَّاهِرُ مِنْ أَحْوَالِ أَهْلِ الدِّينِ الَّذِينَ وَصَفَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى بِالرَّأْفَةِ وَالرَّحْمَةِ أَنْ يَعْفُوَ بَعْدَ ظُهُورِ الْقُدْرَةِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa wajib hadir ke tempat di mana keadaan seseorang tidak tersembunyi bagi wakil atau hakim, baik dalam hal tetapnya tuntutan atau terjadinya pemaafan, karena ini adalah qisas yang tidak dapat diulang kembali. Dan yang tampak dari keadaan orang-orang beragama yang Allah Ta‘ala sifatkan dengan kelembutan dan kasih sayang adalah bahwa mereka memaafkan setelah tampak adanya kemampuan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَلْزَمُ أَنْ يَقْرُبَ كَمَا لَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يَحْضُرَ لِأَنَّ ظَاهِرَ حَالِهِ بَقَاؤُهُ عَلَى اسْتِيفَاءِ مَا وُكِلَ فِيهِ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ ذَلِكَ فَوَاتُ اسْتِدْرَاكِهِ كَمَا لَمْ يَمْنَعْ مِنَ التَّوْكِيلِ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ وَفِي الطَّلَاقِ الثَّلَاثِ مَعَ فَوَاتِ اسْتِدْرَاكِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua, tidak wajib baginya untuk mendekat sebagaimana tidak wajib baginya untuk hadir, karena keadaan lahiriahnya menunjukkan bahwa ia tetap menjalankan apa yang diwakilkan kepadanya, dan tidak terhalang dari hal itu meskipun ia kehilangan kesempatan untuk memperbaikinya, sebagaimana tidak terhalang dari melakukan wakalah dalam akad nikah dan dalam talak tiga meskipun kehilangan kesempatan untuk memperbaikinya. Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِذَا أَمَرَ السُّلْطَانُ بِقَتْلِ رَجُلٍ أَوْ قَطْعِهِ اقْتُصَّ مِنَ السُّلْطَانِ لِأَنَّهُ هَكَذَا يَفْعَلُ وَيُعَزَّرُ الْمَأْمُورُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seorang penguasa memerintahkan untuk membunuh atau memotong (anggota tubuh) seseorang, maka qishāsh diberlakukan atas penguasa tersebut karena dialah yang melakukan perbuatan itu, dan orang yang diperintah (untuk melakukannya) dikenai ta‘zīr.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي أَوَّلِ كِتَابِ الْجِنَايَاتِ وَهُوَ أَنْ يَأْمُرَ السُّلْطَانُ رَجُلًا بِقَتْلِ رَجُلٍ ظُلْمًا فَقَتَلَهُ الْمَأْمُورُ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah disebutkan pada awal Kitab al-Jinayat, yaitu apabila seorang penguasa memerintahkan seseorang untuk membunuh orang lain secara zalim, lalu orang yang diperintah itu membunuhnya, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ السُّلْطَانَ مُحِقٌّ فِي قَتْلِهِ وَأَنَّهُ لَا يَرَى قَتْلَ أَحَدٍ ظُلْمًا فَعَلَى السُّلْطَانِ الْآمِرِ الْقَوَدُ دُونَ الْمَأْمُورِ الْقَاتِلِ لِأَنَّ الْمَأْمُورَ كَالْآلَةِ لِالْتِزَامِهِ طَاعَةَ سُلْطَانِهِ وَالسُّلْطَانُ هُوَ الْقَاتِلُ لِنُفُوذِ أَمْرِهِ وَلَا تَعْزِيرَ عَلَى الْمَأْمُورِ لِأَنَّهُ أَطَاعَ فِيمَا ظَاهِرُهُ حَقٌّ

Salah satunya adalah jika seseorang meyakini bahwa penguasa benar dalam membunuhnya dan ia tidak memandang pembunuhan siapa pun sebagai kezaliman, maka yang wajib menjalani qishāsh adalah penguasa yang memerintahkan, bukan orang yang diperintah untuk membunuh, karena orang yang diperintah itu seperti alat saja, sebab ia terikat untuk menaati penguasanya, dan penguasa itulah yang dianggap sebagai pembunuh karena perintahnya berlaku. Tidak ada ta‘zīr atas orang yang diperintah, karena ia menaati sesuatu yang secara lahiriah tampak benar.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْقَتْلُ مُخْتَلَفًا فِي اسْتِحْقَاقِهِ كَقَتْلِ المسلم بالكافر وَالْحُرِّ بِالْعَبْدِ فَيَعْتَقِدُ السُّلْطَانُ الْآمِرُ وُجُوبَهُ لِمَا أداه اجتهاده إليه ويعتقد المأمور سقوطه لما يَعْتَقِدُهُ مِنْ مَذْهَبِهِ فَلَا قِصَاصَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَكِنْ يُعَزَّرُ الْمَأْمُورُ لِإِقْدَامِهِ عَلَى قَتْلٍ يَعْتَقِدُ حَظْرَهُ وَإِنْ سَقَطَ الْقَوَدُ بِاجْتِهَادِهِ كَالْآمِرِ

Bagian kedua adalah apabila pembunuhan tersebut diperselisihkan mengenai kebolehannya, seperti membunuh seorang muslim karena seorang kafir atau seorang merdeka karena seorang budak. Maka penguasa yang memerintahkan menganggap wajibnya pembunuhan itu berdasarkan hasil ijtihadnya, sedangkan yang diperintah menganggap gugurnya kewajiban itu berdasarkan mazhab yang diyakininya. Maka tidak ada qishāsh atas salah satu dari keduanya, tetapi yang diperintah tetap dikenai ta‘zīr karena berani melakukan pembunuhan yang menurut keyakinannya terlarang, meskipun qishāsh gugur karena ijtihadnya sebagaimana halnya dengan yang memerintah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْقَتْلُ مَحْظُورًا وَدَمُ المقتول محقونا والمأمور عالم بِظُلْمِهِ إِنْ قَتَلَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Bagian ketiga adalah apabila pembunuhan itu terlarang dan darah orang yang dibunuh itu terjaga (haram ditumpahkan), sedangkan orang yang diperintah mengetahui bahwa membunuh itu adalah kezaliman; jika ia membunuh, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَكُونَ مِنَ الْآمِرِ إِكْرَاهٌ لِلْمَأْمُورِ فَالْقَوَدُ وَاجِبٌ عَلَى الْمَأْمُورِ دُونَ الْآمِرِ لِمُبَاشَرَتِهِ لِقَتْلِ مَظْلُومٍ بِاخْتِيَارِهِ وَيُعَزَّرُ الْآمِرُ تَعْزِيرَ مِثْلِهِ لِأَمْرِهِ بِقَتْلٍ هُوَ مَأْمُورٌ بِمَنْعِهِ

Salah satu syaratnya adalah tidak adanya paksaan dari pihak yang memerintah kepada yang diperintah, maka qishāsh wajib atas yang melaksanakan perintah, bukan atas yang memerintah, karena ia secara langsung membunuh orang yang dizalimi dengan pilihannya sendiri. Sedangkan yang memerintah diberi hukuman ta‘zīr yang setimpal karena memerintahkan pembunuhan yang seharusnya ia cegah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِنَ الْآمِرِ إِكْرَاهٌ لِلْمَأْمُورِ صَارَ بِهِ الْآمِرُ قَاهِرًا وَالْمَأْمُورُ مَقْهُورًا فَالْقَوَدُ عَلَى الْآمِرِ الْقَاهِرِ وَاجِبٌ وَلَا تَمْنَعُ وِلَايَتُهُ مِنِ اسْتِحْقَاقِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ بِخِلَافِ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ مَنْ يَدَّعِي الْعِلْمَ مِنْ إِعْفَاءِ الْوُلَاةِ من القصاص لأن لا يَنْتَشِرَ بِالِاقْتِصَاصِ مِنْهُمْ فَسَادٌ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْحُدُودَ وَالْحُقُوقَ يَسْتَوِي فِيهَا الشَّرِيفُ وَالْمَشْرُوفُ وَالْوَالِي وَالْمَعْزُولُ وَقَدْ أَعْطَى رَسُولُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْقِصَاصَ مِنْ نَفْسِهِ وَكَذَلِكَ خُلَفَاؤُهُ الرَّاشِدُونَ مِنْ بَعْدِهِ وَلِأَنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِعْطَاءِ الْحَقِّ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ يَتَوَلَّى أَخْذَ الْحُقُوقِ لِغَيْرِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ البقرة 44 وَيَكُونُ الْقَهْرُ مِنْ هَذَا الْآمِرِ فِسْقًا وَهَلْ يَنْعَزِلُ بِهِ عَنْ إِمَامَتِهِ أَمْ لَا على وجهين

Jenis kedua adalah apabila dari pihak yang memerintah terdapat pemaksaan terhadap yang diperintah, sehingga si pemimpin menjadi pihak yang memaksa dan yang diperintah menjadi pihak yang dipaksa. Maka qishāsh wajib dijatuhkan kepada pemimpin yang memaksa tersebut, dan kedudukannya sebagai penguasa tidak menghalangi hak untuk menuntut qishāsh atas dirinya, berbeda dengan pendapat sebagian orang yang mengaku berilmu yang membebaskan para penguasa dari qishāsh dengan alasan agar tidak timbul kerusakan akibat pelaksanaan qishāsh terhadap mereka. Ini adalah kesalahan, karena dalam hal hudūd dan hak-hak, semua orang sama, baik yang mulia maupun yang rendah, baik penguasa maupun yang telah diberhentikan. Rasulullah ﷺ sendiri telah memberikan hak qishāsh atas dirinya, demikian pula para khalifah ar-rāsyidūn setelah beliau. Orang yang paling utama untuk memberikan hak dari dirinya sendiri adalah orang yang bertugas mengambil hak orang lain, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri?” (al-Baqarah: 44). Pemaksaan dari pemimpin seperti ini merupakan kefasikan. Adapun apakah ia harus dicopot dari jabatannya sebagai imam atau tidak, terdapat dua pendapat.

أحدهما ينعزل لأن العدالة شرطا فِي عَقْدِ إِمَامَتِهِ

Salah satunya harus diberhentikan karena keadilan merupakan syarat dalam pengangkatan imamahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَنْعَزِلُ بِهِ حَتَّى يَعْزِلَهُ أَهْلُ الْعَقْدِ وَالْحَلِّ إِنْ أقام على حاله وهم يَتُبْ عِنْدَ اسْتِتَابَتِهِ لِأَنَّ وِلَايَتَهُ انْعَقَدَتْ بِهِمْ فَلَمْ يَنْعَزِلْ عَنْهَا إِلَّا بِهِمْ فَأَمَّا الْمَأْمُورُ الْمَقْهُورُ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ

Pendapat kedua, ia tidak otomatis diberhentikan kecuali jika diberhentikan oleh ahl al-‘aqd wa al-hall, jika ia tetap pada keadaannya dan mereka telah memintanya untuk bertobat saat proses istitabah, karena kekuasaannya diangkat oleh mereka, maka tidaklah ia diberhentikan kecuali oleh mereka. Adapun orang yang diperintah namun dipaksa, maka dalam kewajiban qawad atasnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ إِحْيَاءَ نَفْسِهِ بِقَتْلِ غَيْرِهِ

Salah satu dari keduanya wajib dikenai qishāsh karena ia tidak berhak mempertahankan hidupnya dengan membunuh orang lain.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي عِلَّتِهِ فَذَهَبَ الْبَغْدَادِيُّونَ إِلَى أَنَّ الْعِلَّةَ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عَنْهُ أن الإكراه شبهة يدرأ به الْحُدُودُ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الْقَوَدُ عَنْهُ وَتَجِبُ الدِّيَةُ عَلَيْهِ وَيَلْزَمُهُ نِصْفُهَا لِأَنَّهُ أَحَدُ قَاتِلَيْنِ لِأَنَّ الشُّبْهَةَ تُدْرَأُ بِهَا الْحُدُودُ وَلَا تُدْفَعُ بِهَا الْحُقُوقُ وَذَهَبَ الْبَصْرِيُّونَ إِلَى أَنَّ الْعِلَّةَ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عَنْهُ أَنَّ الْإِكْرَاهَ إِلْجَاءٌ وَضَرُورَةٌ يَنْقِلُ حُكْمَ الْفِعْلِ عَنِ الْمُبَاشَرَةِ إِلَى الَأَمْرِ فَعَلَى هَذَا لَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qawad (qisas) atasnya. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai sebabnya. Ulama Baghdad berpendapat bahwa sebab gugurnya qawad darinya adalah karena ikrah (paksaan) merupakan syubhat yang dapat menggugurkan hudud. Dengan demikian, qawad gugur darinya, namun dia tetap wajib membayar diyat, dan dia bertanggung jawab atas setengahnya karena dia adalah salah satu dari dua pembunuh, sebab syubhat dapat menggugurkan hudud tetapi tidak menggugurkan hak-hak. Sementara itu, ulama Bashrah berpendapat bahwa sebab gugurnya qawad darinya adalah karena ikrah merupakan paksaan dan keadaan darurat yang memindahkan hukum perbuatan dari pelaku langsung kepada pihak yang memerintah. Dengan demikian, tidak ada qawad atasnya dan tidak pula diyat. Allah lebih mengetahui kebenarannya.

بَابُ الْحُكْمِ فِي السَّاحِرِ إِذَا قَتَلَ بِسِحْرِهِ

Bab Hukum bagi Tukang Sihir Jika Membunuh dengan Sihirnya

أَصْلُ مَا جَاءَ فِي السِّحْرِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ البقرة 102 الْآيَةَ وَنَحْنُ نَذْكُرُ مَا قَالَهُ الْمُفَسِّرُونَ فِيهَا وَمَا احْتَمَلَهُ تَأْوِيلُ مَعَانِيهَا لِيَكُونَ حُكْمُ السِّحْرِ مَحْمُولًا عَلَيْهَا

Dasar dari apa yang disebutkan tentang sihir adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. Padahal Sulaiman tidak kafir, tetapi setan-setan itulah yang kafir; mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di Babil, yaitu Harut dan Marut.” (Al-Baqarah: 102). Kami akan menyebutkan apa yang dikatakan para mufassir tentang ayat ini dan kemungkinan penafsiran maknanya, agar hukum tentang sihir didasarkan padanya.

أَمَّا قوله تعالى واتبعوا ما تتلوا الشياطين فيه وجهان

Adapun firman Allah Ta’ala “dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan”, terdapat dua pendapat mengenai maknanya.

أحدها ما تدعي

Salah satunya adalah apa yang ia klaim.

والثاني ما تقرأ وفيما تتلوه وَجْهَانِ

Dan yang kedua adalah apa yang kamu baca, dan dalam apa yang kamu lantunkan terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا السِّحْرُ

Salah satunya adalah sihir.

وَالثَّانِي الْكَذِبُ عَلَى سُلَيْمَانَ وفي الشياطين هاهنا وَجْهَانِ

Yang kedua adalah kebohongan terhadap Sulaiman, dan dalam hal setan-setan di sini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُمْ شَيَاطِينُ الْجِنِّ وَهُوَ الْمُطْلَقُ مِنْ هَذَا الِاسْمِ

Salah satunya adalah bahwa mereka adalah setan dari golongan jin, dan inilah makna umum dari nama tersebut.

وَالثَّانِي إِنَّهُمْ شَيَاطِينُ الْإِنْسِ الْمُتَمَرِّدُونَ فِي الضَّلَالِ وَمِنْهُ قَوْلُ جَرِيرٍ

Yang kedua, bahwa mereka adalah setan-setan dari golongan manusia yang membangkang dalam kesesatan, dan di antaranya adalah perkataan Jarir.

” أَيَّامَ يدعونني الشيطان من غزلى وكن يهونني إذا كُنْتُ شَيْطَانَا

Pada hari-hari ketika mereka memanggilku setan karena benang pintalanku, mereka pun meremehkanku jika aku memang seorang setan.

وَفِي قَوْله تَعَالَى عَلَى مُلْكِ سليمان وَجْهَانِ

Dalam firman-Nya Ta‘ālā “atas kerajaan Sulaiman” terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَعْنِي فِي مُلْكِ سُلَيْمَانَ لَمَّا كَانَ مَلِكًا حَيًّا وَتَكُونُ عَلَى بِمَعْنَى فِي

Salah satunya, yaitu pada masa kekuasaan Sulaiman ketika ia masih hidup sebagai seorang raja, dan kata ‘ala di sini bermakna ‘fi’ (di dalam).

وَالثَّانِي عَلَى كُرْسِيِّ سُلَيْمَانَ بَعْدَ وَفَاتِهِ لِأَنَّهُ كَانَ مِنْ آلَاتِ مُلْكِهِ وَيَكُونُ عَلَى مُسْتَعْمَلًا عَلَى حَقِيقَتِهِ وَفِي قَوْلِهِ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ ولكن الشياطين كفروا وَجْهَانِ

Dan yang kedua adalah (diletakkan) di atas kursi Sulaiman setelah wafatnya, karena kursi itu termasuk alat-alat kerajaannya. Dan (kata kursi) digunakan menurut makna hakikinya. Dalam firman-Nya, “Dan Sulaiman tidak kafir, tetapi setan-setanlah yang kafir,” terdapat dua sisi makna.

أَحَدُهُمَا يَعْنِي وَمَا سَحَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ سَحَرُوا فَعَبَّرَ عَنِ السِّحْرِ بِالْكُفْرِ لِأَنَّهُ يؤول إليه

Salah satunya adalah maksudnya bukan Sulaiman yang melakukan sihir, tetapi setan-setanlah yang melakukan sihir. Maka sihir diungkapkan dengan istilah kekufuran karena pada akhirnya bermuara kepadanya.

وَالثَّانِي إِنَّهُ مُسْتَعْمَلٌ عَلَى حَقِيقَةِ الْكُفْرِ لِأَنَّ سُلَيْمَانَ لَمْ يَكْفُرْ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا

Yang kedua, sesungguhnya kata tersebut digunakan dalam makna hakiki kekufuran, karena Sulaiman tidak kafir, tetapi setan-setanlah yang kafir.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْمُرَادَ بِهِ السِّحْرُ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Jika dikatakan bahwa yang dimaksud dengannya adalah sihir, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الشَّيَاطِينَ كَانُوا يَسْتَرِقُونَ السَّمْعَ وَيَسْتَخْرِجُونَ السِّحْرَ فَأَطْلَعَ اللَّهُ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ فَأَخَذَهُ مِنْهُمْ وَدَفَنَهُ تَحْتَ كُرْسِيِّهِ فَلَمَّا مَاتَ سُلَيْمَانُ دَلُّوا عَلَيْهِ الْإِنْسَ وَنَسَبُوهُ إِلَى سُلَيْمَانَ وَقَالُوا بِسِحْرِهِ هَذَا سُخِّرَتْ لَهُ الرِّيَاحُ وَالشَّيَاطِينُ

Salah satu di antaranya adalah bahwa para setan mencuri pendengaran dan mengeluarkan sihir, lalu Allah memberitahukan hal itu kepada Sulaiman, maka ia mengambilnya dari mereka dan menguburnya di bawah kursinya. Ketika Sulaiman wafat, mereka menunjukkan hal itu kepada manusia dan menisbatkannya kepada Sulaiman, serta berkata, “Dengan sihir inilah angin dan para setan ditundukkan untuknya.”

وَالثَّانِي إِنَّ الشَّيَاطِينَ بَعْدَ مَوْتِهِ دَفَنُوا سِحْرَهُمْ تَحْتَ كُرْسِيِّ سُلَيْمَانَ ثُمَّ نَسَبُوهُ إِلَيْهِ

Yang kedua, sesungguhnya para setan setelah wafatnya (Sulaiman) menguburkan sihir mereka di bawah kursi Sulaiman, kemudian mereka menisbatkannya kepadanya.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى حَقِيقَةِ الْكُفْرِ فَفِيمَا أُرِيدَ بِقَوْلِهِ وما كفر سليمان وَجْهَانِ

Jika dikatakan bahwa itu dimaknai pada hakikat kekufuran, maka dalam maksud dari firman-Nya “dan Sulaiman tidak kafir” terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا مَا كَفَرَ بِالسِّحْرِ

Salah satunya adalah orang yang tidak mengingkari sihir.

وَالثَّانِي مَا كَفَرَ بِمَا حَكَاهُ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ تَسْخِيرِ الرِّيَاحِ وَالشَّيَاطِينِ لَهُ وَفِي الْمُرَادِ بِقَوْلِهِ تعالى ولكن الشياطين كفروا وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا كَفَرُوا بِمَا اسْتَخْرَجُوهُ مِنَ السِّحْرِ

Yang kedua adalah bahwa ia tidak kafir terhadap apa yang Allah Ta‘ala kisahkan tentang penundukan angin dan setan untuknya. Adapun maksud dari firman-Nya Ta‘ala, “Akan tetapi setan-setan itulah yang kafir,” terdapat dua pendapat: salah satunya adalah mereka kafir karena apa yang mereka keluarkan dari sihir.

وَالثَّانِي كَفَرُوا بِمَا نَسَبُوهُ إِلَى سُلَيْمَانَ مِنَ السحر ثم قال يعملون الناس السحر وَفِيهِ وَجْهَانِ

Dan yang kedua, mereka kafir karena menisbatkan sihir kepada Sulaiman, kemudian dikatakan bahwa mereka mengajarkan sihir kepada manusia, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا مَعْنَاهُ أَعْلَمُوهُمْ وَلَمْ يُعَلِّمُوهُمْ فَيَكُونُ مِنَ الْإِعْلَامِ لَا مِنَ التَّعْلِيمِ وَقَدْ جَاءَ فِي كَلَامِهِمْ تَعَلَّمُ بِمَعْنَى أَعْلَمَ كَمَا قَالَ الشَّاعِرُ

Salah satunya maknanya adalah mereka memberitahu mereka, bukan mengajarkan mereka, sehingga itu termasuk pemberitahuan, bukan pengajaran. Dalam ucapan mereka juga terdapat penggunaan kata “ta‘allama” dengan makna “a‘lama” (memberitahu), sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair.

تَعَلَّمْ أَنَّ بَعْدَ الْغَيِّ رُشْدًا وَأَنَّ لِذَلِكَ الْغَيِّ انْقِشَاعَا

Ketahuilah bahwa setelah kesesatan ada petunjuk, dan bahwa kesesatan itu pasti akan sirna.

وَالثَّانِي إِنَّهُ التَّعْلِيمُ الْمُسْتَعْمَلُ عَلَى حَقِيقَتِهِ وَفِي تَعْلِيمِهِمْ لِلنَّاسِ السِّحْرَ وَجْهَانِ

Yang kedua, yaitu bahwa pengajaran yang digunakan sesuai dengan hakikatnya, dan dalam mengajarkan sihir kepada manusia terdapat dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُمْ أَلْقَوْهُ فِي قُلُوبِهِمْ فَتَعَلَّمُوهُ

Salah satunya adalah bahwa mereka meletakkannya dalam hati mereka, lalu mereka mempelajarinya.

وَالثَّانِي إِنَّهُمْ دَلُّوهُمْ عَلَى إِخْرَاجِهِ مِنْ تَحْتِ الْكُرْسِيِّ فَتَعَلَّمُوهُ وَفِي قَوْلِهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الملكين وجهان

Kedua, sesungguhnya mereka telah menunjukkan kepada mereka cara mengeluarkannya dari bawah kursi, lalu mereka pun mempelajarinya. Dalam firman-Nya “dan tidaklah diturunkan kepada dua malaikat” terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُمَا مَلَكَانِ مِنْ مَلَائِكَةِ السَّمَاءِ قَالَهُ مَنْ قَرَأَ بِالْفَتْحِ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa keduanya adalah dua malaikat dari malaikat-malaikat langit; pendapat ini dikemukakan oleh siapa saja yang membaca dengan fatḥah.

وَالثَّانِي إِنَّهُمَا مَلِكَانِ مِنْ مُلُوكِ الْأَرْضِ قَالَهُ مَنْ قَرَأَ بِالْكَسْرِ وَفِي ما هاهنا وَجْهَانِ

Yang kedua, bahwa keduanya adalah dua raja dari para raja di bumi; demikian dikatakan oleh orang yang membaca dengan kasrah, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهَا بِمَعْنَى الَّذِي وَتَقْدِيرُهُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ

Salah satunya adalah bahwa kata tersebut bermakna “yang”, dan takdir kalimatnya adalah “yang diturunkan kepada dua malaikat”.

وَالثَّانِي إِنَّهَا بِمَعْنَى النَّفْيِ وَتَقْدِيرُهُ وَلَمْ يَنْزِلْ عَلَى الْمَلِكَيْنِ بِبَابِلَ وَفِيهِ وَجْهَانِ

Yang kedua, bahwa ayat tersebut bermakna penafian, dan takdir kalimatnya adalah: “dan tidaklah diturunkan kepada dua malaikat di Babil.” Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهَا أَرْضُ الْكُوفَةِ وَسَوَادُهَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ حِينَ تَبَلْبَلَتِ الْأَلْسُنُ بِهَا

Salah satunya adalah bahwa itu adalah tanah Kufah dan wilayah sekitarnya, dinamakan demikian ketika berbagai bahasa bercampur di sana.

وَالثَّانِي إِنّهَا من نصيبين إلى رأس العين وهاروت وَمَارُوتَ فِيهِمَا وَجْهَانِ

Dan yang kedua, yaitu dari Nisibin hingga Ra’s al-‘Ain, serta Harut dan Marut, terdapat dua pendapat mengenai keduanya.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُمَا اسْمَانِ لِلْمَلَكَيْنِ

Salah satunya adalah bahwa keduanya merupakan nama bagi dua malaikat.

وَالثَّانِي إِنَّهُمَا اسْمَانِ لِشَخْصَيْنِ غَيْرِ الْمَلَكَيْنِ وَفِيهِمَا وَجْهَانِ

Kedua, bahwa keduanya adalah nama untuk dua orang selain dua malaikat, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنّهُمَا مِنَ الْمَلَائِكَةِ اسْمُ أَحَدِهِمَا هَارُوتُ وَالْآخَرِ مَارُوتُ قَالَهُ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْمَلَكَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ مَنْ قِبَلِهِمَا مِنْ مُلُوكِ الْأَرْضِ

Salah satu pendapat adalah bahwa keduanya merupakan malaikat, salah satunya bernama Harut dan yang lainnya Marut. Pendapat ini dikemukakan oleh orang yang beranggapan bahwa dua malaikat yang disebutkan itu berasal dari para raja bumi.

وَالثَّانِي إِنَّهُمَا مِنْ نَاسِ الْأَرْضِ اسْمُ أَحَدِهِمَا هَارُوتُ وَالْآخَرِ مَارُوتُ مِنْ أَهْلِ الْحِيَلِ قَالَهُ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْمَلَكَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ هُمَا مِنْ مَلَائِكَةِ السَّمَاءِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُمَا مِنَ الْمَلَائِكَةِ فَفِي سَبَبِ هُبُوطِهِمَا وَجْهَانِ

Yang kedua, bahwa keduanya adalah manusia bumi; salah satu dari mereka bernama Harut dan yang lainnya Marut, berasal dari kalangan ahli tipu daya. Pendapat ini dikatakan oleh orang yang beranggapan bahwa kedua malaikat yang disebutkan itu adalah dari malaikat langit. Jika dikatakan bahwa keduanya adalah malaikat, maka ada dua pendapat mengenai sebab turunnya mereka.

أَحَدُهُمَا اخْتِبَارُ الْمَلَائِكَةِ لِأَنَّهُمْ عَجِبُوا مِنْ عُصَاةِ الْأَرْضِ فَأُهْبِطَ مِنْهُمْ هَارُوتُ وَمَارُوتُ فِي صُورَةِ الْإِنْسِ فَأَقْدَمَا عَلَى الْمَعَاصِي وَتَعْلِيمِ النَّصِيحَةِ وَهَذَا يُسْتَبْعَدُ فِي الْمَلَائِكَةِ الْمَعْصُومِينَ مِنَ الْمَعَاصِي لَكِنْ قَالَهُ كَثِيرٌ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ فَذَكَرْتُهُ

Salah satu pendapat adalah sebagai ujian bagi para malaikat, karena mereka merasa heran terhadap para pendosa di bumi. Maka diturunkanlah di antara mereka Hārūt dan Mārūt dalam rupa manusia, lalu keduanya melakukan maksiat dan mengajarkan nasihat. Pendapat ini dianggap mustahil terjadi pada malaikat yang terjaga dari maksiat, namun banyak mufassir yang mengatakannya, maka aku pun menyebutkannya.

وَالثَّانِي إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَهْبَطَهُمَا لِيَنْهَيَا النَّاسَ عَنِ السِّحْرِ وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُمَا من ناس الأرض ففيهما وجهان انهما كانا مؤمنين وقيل كان نَبِيَّيْنِ مِنْ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ تَعَالَى وَلِذَلِكَ نَهَيَا عَنِ الْكُفْرِ

Dan pendapat kedua, bahwa Allah Ta‘ala menurunkan keduanya untuk melarang manusia dari sihir. Jika dikatakan bahwa keduanya berasal dari manusia bumi, maka ada dua pendapat: bahwa keduanya adalah orang beriman, dan ada juga yang mengatakan bahwa keduanya adalah nabi dari para nabi Allah Ta‘ala, dan karena itulah keduanya melarang kekufuran.

وَالثَّانِي إِنَّهُمَا كَانَا كَافِرَيْنِ وَلِذَلِكَ عَلَّمَا السِّحْرَ ثُمَّ قَالَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أحد حتى يقولا إنما نحن فتنة فِيهِ وَجْهَانِ

Yang kedua, bahwa keduanya adalah orang kafir, dan karena itulah mereka mengajarkan sihir. Kemudian disebutkan, “Dan tidaklah keduanya mengajarkan kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanyalah cobaan.’” Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ عَلَى وَجْهِ النَّفْيِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu dalam bentuk penafian.

وتقديره لا يعلمان أحد السِّحْرَ فَيَقُولَانِ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ ذَلِكَ رَاجِعًا إِلَى مَنِ انْتَفَتْ عَنْهُ الْمَعْصِيَةُ مِنَ الْمَلَكَيْنِ أَوْ مِنْ هَارُوتَ وَمَارُوتَ

Dan maknanya adalah: keduanya tidak mengajarkan sihir kepada siapa pun, lalu keduanya berkata, “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan.” Maka, menurut pendapat ini, hal tersebut kembali kepada siapa yang terbebas dari maksiat, baik dari kedua malaikat atau dari Harut dan Marut.

وَالثَّانِي إِنَّهُ إِثْبَاتٌ لِتَعْلِيمِ السِّحْرِ عَلَى شَرْطِ أَنْ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرُ فَعَلَى هَذَا فِيهِ وَجْهَانِ

Kedua, bahwa itu merupakan penetapan atas pengajaran sihir dengan syarat keduanya mengatakan, “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan, maka janganlah kamu kafir.” Berdasarkan hal ini, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ رَاجِعٌ إِلَى مَنْ أُضِيفَتْ إِلَيْهِ الْمَعْصِيَةُ مِنَ الْمَلَكَيْنِ وَمِنْ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَيَكُونُ تَأْوِيلُ قَوْلِهِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ إِنَّمَا نَحْنُ فتنة ي شَيْءٌ عَجِيبٌ مُسْتَظْرَفُ الْحُسْنِ كَمَا يُقَالُ لِلْمَرْأَةِ الْحَسْنَاءِ فِتْنَةٌ وَهَذَا تَأْوِيلُ قَوْلِهِ فَلا تَكْفُرْ أَيْ فَلَا تَكْفُرْ بِمَا جِئْنَاكَ بِهِ وَتَطْرَحْهُ بَلْ صَدِّقْ بِهِ وَاعْمَلْ عَلَيْهِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu kembali kepada siapa yang disandarkan kepadanya maksiat dari kedua malaikat dan dari Harut dan Marut, dan makna dari perkataan mereka dalam hal ini adalah: “Sesungguhnya kami hanyalah fitnah,” yakni sesuatu yang menakjubkan dan sangat indah, sebagaimana dikatakan kepada wanita cantik: “fitnah.” Dan inilah tafsir dari firman-Nya: “Maka janganlah kamu kafir,” yaitu janganlah kamu mengingkari apa yang telah Kami bawa kepadamu dan menolaknya, tetapi benarkanlah dan amalkanlah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهُ رَاجِعٌ إِلَى مَنِ انْتَفَتْ مِنْهُ الْمَعْصِيَةُ مِنَ الْمَلَكَيْنِ أَوْ مِنْ هَارُوتَ وَمَارُوتَ فَعَلَى هَذَا هَلْ لِمَلَائِكَةِ اللَّهِ وَأَوْلِيَائِهِ تَعْلِيمُ النَّاسِ السِّحْرَ أَمْ لَا فِيهِ وَجْهَانِ

Pendapat kedua adalah bahwa hal ini kembali kepada siapa yang terbebas dari maksiat, baik dari kedua malaikat atau dari Harut dan Marut. Berdasarkan hal ini, apakah para malaikat Allah dan para wali-Nya boleh mengajarkan sihir kepada manusia atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا لَهُمْ تَعْلِيمُ النَّاسِ السِّحْرَ لِيَنْهَوْا عَنْهُ بَعْدَ عِلْمِهِمْ بِهِ لِأَنَّهُمْ إِذَا جَهِلُوهُ لَمْ يَقْدِرُوا عَلَى الِاجْتِنَابِ مِنْهُ كَالَّذِي لَا يَعْرِفُ الْكُفْرَ لَا يُمْكِنُهُ الِامْتِنَاعُ مِنْهُ

Salah satu dari keduanya adalah mereka mengajarkan sihir kepada orang-orang agar setelah mengetahui tentangnya, mereka dapat menjauhinya. Sebab, jika mereka tidak mengetahuinya, mereka tidak akan mampu menghindarinya, seperti seseorang yang tidak mengetahui kekufuran, maka ia tidak mungkin dapat menjauhinya.

وَالثَّانِي لَيْسَ لَهُمْ تَعْلِيمُ السِّحْرَ وَلَا إِظْهَارُهُ لِلنَّاسِ لِمَا فِي تَعْلِيمِهِ مِنَ الْإِغْرَاءِ بِفِعْلِهِ وَقَدْ كَانَ السِّحْرُ فَاشِيًا تَعَلَّمُوهُ مِنَ الشَّيَاطِينِ فَاخْتَصَّ الْمَلَكَانِ بِالنَّهْيِ عَنْهُ وَيَكُونُ تَأْوِيلُ قَوْلِهِ عَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ إِنَّمَا نحن فتنة أَيِ اخْتِبَارٌ وَابْتِلَاءٌ وَفِي قَوْلِهِ فَلا تَكْفُرْ وَجْهَانِ

Yang kedua, mereka (para malaikat) tidak mengajarkan sihir dan tidak menampakkannya kepada manusia, karena dalam pengajarannya terdapat dorongan untuk melakukannya. Sihir dahulu telah tersebar luas, mereka mempelajarinya dari setan-setan, maka kedua malaikat itu secara khusus melarangnya. Maka, penafsiran firman-Nya “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan” pada kedua sisi maknanya adalah ujian dan cobaan. Dan dalam firman-Nya “maka janganlah kamu kafir” terdapat dua sisi makna.

أَحَدُهُمَا فَلَا تَكْفُرْ بِالسِّحْرِ

Salah satunya adalah janganlah engkau mengingkari sihir.

وَالثَّانِي فَلَا تَكْفُرْ بِتَكْذِيبِكَ لِنَهْيِ اللَّهِ عَنِ السِّحْرِ ثُمَّ قال فيتعلمون منهما فِيهِ وَجْهَانِ

Dan yang kedua, maka engkau tidak menjadi kafir karena mendustakan larangan Allah terhadap sihir. Kemudian beliau berkata: “Maka mereka mempelajari dari keduanya…” Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا مِنْ هَارُوتَ وَمَارُوتَ

Salah satunya dari Harut dan Marut.

وَالثَّانِي مِنَ السَّحَرَةِ وَالْكَفَرَةِ مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ المرء وزوجه فِيهِ وَجْهَانِ

Dan yang kedua dari para penyihir dan orang-orang kafir adalah apa yang mereka gunakan untuk memisahkan antara seorang laki-laki dan istrinya; dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُفَرِّقُونَ بَيْنَهُمَا بِالسِّحْرِ الَّذِي تعلمون

Salah satunya adalah mereka memisahkan antara keduanya dengan sihir yang kalian ketahui.

وَالثَّانِي يُفَرِّقُونَ بَيْنَهُمَا بِالْكُفْرِ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الدِّينِ بِالْإِيمَانِ وَالْكُفْرِ مُفَرِّقٌ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ كَالرِّدَّةِ ثُمَّ قال تعالى وما هم بضارين به من يَعْنِي بِالسِّحْرِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ الله فِيهِ وَجْهَانِ

Dan yang kedua, mereka membedakan antara keduanya dengan kekufuran, karena perbedaan agama antara iman dan kufur merupakan pemisah antara suami istri, seperti halnya riddah (murtad). Kemudian Allah Ta‘ala berfirman: “Dan mereka tidak dapat memberi mudarat dengan sihir itu kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.” Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا بِأَمْرِ اللَّهِ

Salah satunya adalah dengan perintah Allah.

وَالثَّانِي بِعِلْمِ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ البقرة 102 يَعْنِي يَضُرُّهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَا يَنْفَعُهُمْ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ وَلَقَدْ عَلِمُوا لمن اشتراه يعني السحر بما يبذله للساحر ماله في الآخرة من خلاق فِيهِ وَجْهَانِ

Yang kedua adalah dengan ilmu Allah, kemudian Dia berfirman: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang membahayakan mereka dan tidak memberi manfaat kepada mereka” (Al-Baqarah: 102), maksudnya membahayakan mereka di akhirat dan tidak memberi manfaat bagi mereka di dunia. Kemudian Dia berfirman: “Dan sungguh mereka telah mengetahui bahwa barang siapa yang menukarnya” maksudnya sihir, dengan memberikan hartanya kepada tukang sihir, maka di akhirat tidak akan mendapat bagian apa pun. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا مِنْ نَصِيبٍ

Salah satunya berasal dari bagian.

وَالثَّانِي مِنْ دين

Dan yang kedua adalah dari agama.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَفْسِيرِ الْآيَةِ الَّتِي هِيَ أَصْلٌ يُسْتَنْبَطُ مِنْهُ أَحْكَامُ السِّحْرِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعَرَبِيَّةِ فِي مَعْنَى السِّحْرِ فِي اللُّغَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Setelah jelas apa yang telah kami sebutkan mengenai tafsir ayat yang menjadi dasar dalam pengambilan hukum-hukum sihir, para ahli bahasa Arab pun berbeda pendapat tentang makna sihir dalam bahasa, yang terbagi menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ إِخْفَاءُ الْخِدَاعِ وَتَدْلِيسُ الْأَبَاطِيلِ وَمِنْهُ قَوْلُ امْرِئِ الْقَيْسِ

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan penyembunyian tipu daya dan penyesatan kebatilan, dan di antaranya adalah perkataan Imru’ al-Qais.

أَرَانَا مُوضِعِينَ لِأَمْرِ غَيْبٍ وَنُسْحَرُ بِالطَّعَامِ وَبِالشَّرَابِ

Dia memperlihatkan kepada kita dua tempat untuk urusan gaib, dan kita disihir dengan makanan dan minuman.

أَيْ نُخْدَعُ

Yaitu, kami ditipu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي قَالَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ كُنَّا نُسَمِّي السِّحْرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ الْعَضَهَ وَالْعَضَهُ شِدَّةُ الْبُهْتِ وَتَمْوِيهُ الْكَذِبِ

Pendapat kedua dikatakan oleh Ibnu Mas‘ūd: Dahulu kami menyebut sihir pada masa jahiliah dengan istilah al-‘adhah, dan al-‘adhah adalah kebohongan yang sangat besar dan penyesatan kebohongan.

وَأَنْشَدَ الْخَلِيلُ

Dan Al-Khalil membacakan syair.

أعوذ بربي من النفاثات وَمِنْ عَضَهِ الْعَاضِهِ الْمُعْضَهِ

Aku berlindung kepada Tuhanku dari para penyihir perempuan dan dari gigitan makhluk yang menggigit dengan gigitan yang membahayakan.

وَالْكَلَامُ فِي السِّحْرِ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ

Pembahasan tentang sihir mencakup tiga bagian.

أَحَدُهَا فِي حَقِيقَةِ السِّحْرِ

Salah satunya adalah tentang hakikat sihir.

وَالثَّانِي فِي تَأْثِيرِ السِّحْرِ

Yang kedua tentang pengaruh sihir.

وَالثَّالِثُ فِي حُكْمِ السِّحْرِ

Ketiga, tentang hukum sihir.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي حَقِيقَةِ السِّحْرِ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهَا فَالَّذِي عَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ وَالشَّافِعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَكَثِيرٌ مِنَ المتكلمين أنه لَهُ حَقِيقَةً وَتَأْثِيرًا وَذَهَبَ مُعْتَزِلَةُ الْمُتَكَلِّمِينَ وَالْمَغْرِبِيُّ مِنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ وَأَبُو جَعْفَرٍ الْإِسْتِرَابَاذِيُّ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنْ لَا حَقِيقَةَ لِلسِّحْرِ وَلَا تَأْثِيرَ وَإِنَّمَا هُوَ تَخْيِيلٌ وَتَمْوِيهٌ كَالشَّعْبَذَةِ لا تحدث في المسحور إلا التوهم وللاستشعار اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي قِصَّةِ فِرْعَوْنِ وَمُوسَى فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أنها تسعى فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى طه 66 67 فَأَخْبَرَ أَنَّهُ تَخْيِيلٌ لَا حَقِيقَةَ لَهُ وَذَلِكَ أَنَّهُمْ جَعَلُوا فِيمَا مَثَّلُوهُ بِالْحَيَّاتِ مِنَ الْحِبَالِ وَالْعِصِيِّ زِئْبَقًا وَاسْتَقْبَلُوا بِهَا مَطْلِعَ الشَّمْسِ فَلَمَّا حَمِيَ بِهَا سَاحَ وَسَرَى فَسَرَتْ تِلْكَ الْحِبَالُ كَالْحَيَّاتِ السَّارِيَةِ وَمَعْلُومٌ مِنْ هَذَا أَنَّهُ تَخْيِيلٌ بَاطِلٌ وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ لِلسِّحْرِ حَقِيقَةٌ لَخَرَقَ الْعَادَاتِ وَبَطَلَ بِهِ الْمُعْجِزَاتُ وَزَالَتْ دَلَائِلُ النُّبُوَّاتِ وَلَمَا وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ النَّبِيِّ وَالسَّاحِرِ وَبَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ وَفِي هَذَا دَفْعٌ لِأُصُولِ الشَّرَائِعِ وَإِبْطَالُ الْحَقَائِقِ وَمَا أَدَّى إِلَى هَذَا فَهُوَ مَدْفُوعٌ عَقْلًا وَشَرْعًا وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ لِلسِّحْرِ حَقِيقَةً وَتَأْثِيرًا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْآيَةِ عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ مِنَ التَّفْسِيرِ مَعَ اخْتِلَافِ مَا تَضَمَّنَهَا مِنَ التَّأْوِيلِ وَلَوْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَقِيقَةٌ لَأَبَانَ فَسَادَهُ وَلَذَكَرَ بُطْلَانَهُ وَلَمَا كَانَ لِلنَّهْيِ عنه موقعاً وفي هذا رداً لِمَا نَطَقَ بِهِ التَّنْزِيلُ فَكَانَ مَدْفُوعًا وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ الفلق 4

Adapun bagian pertama tentang hakikat sihir, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Pendapat yang dipegang oleh para fuqaha, asy-Syafi‘i, Abu Hanifah, Malik, dan banyak ahli kalam adalah bahwa sihir itu memiliki hakikat dan pengaruh. Sedangkan golongan Mu‘tazilah dari kalangan mutakallimīn, al-Maghribi dari kalangan Ahl azh-Zhāhir, dan Abu Ja‘far al-Istirābādzi dari pengikut asy-Syafi‘i berpendapat bahwa sihir tidak memiliki hakikat dan pengaruh, melainkan hanya berupa khayalan dan tipuan seperti sulap, yang pada orang yang terkena sihir hanya menimbulkan ilusi dan perasaan, dengan dalil firman Allah Ta‘ala dalam kisah Fir‘aun dan Musa: “Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang kepadanya (Musa) seolah-olah ia merayap cepat karena sihir mereka, maka Musa merasa takut dalam hatinya” (Thaha: 66-67). Maka Allah memberitakan bahwa itu hanyalah khayalan yang tidak memiliki hakikat. Hal itu karena mereka meletakkan raksa pada tali dan tongkat yang mereka buat menyerupai ular, lalu mereka menghadapkannya ke arah terbitnya matahari, sehingga ketika panas, raksa itu mencair dan mengalir, maka tali-tali itu pun bergerak seperti ular yang merayap. Dari sini diketahui bahwa itu hanyalah khayalan yang batil. Dan seandainya sihir itu memiliki hakikat, tentu ia akan menyalahi kebiasaan (adat), membatalkan mukjizat, menghilangkan tanda-tanda kenabian, dan tidak akan ada perbedaan antara nabi dan penyihir, antara kebenaran dan kebatilan. Dalam hal ini terdapat penolakan terhadap pokok-pokok syariat dan pembatalan hakikat-hakikat, dan apa yang mengarah ke sana tertolak secara akal dan syariat. Adapun dalil bahwa sihir itu memiliki hakikat dan pengaruh adalah apa yang telah kami sebutkan dari ayat, sesuai dengan penjelasan tafsirnya, meskipun terdapat perbedaan dalam penakwilannya. Seandainya sihir tidak memiliki hakikat, tentu Allah akan menjelaskan kebatilannya dan menyebutkan kepalsuannya, serta larangan terhadapnya tidak akan bermakna. Dalam hal ini terdapat penolakan terhadap apa yang telah dinyatakan dalam al-Qur’an, sehingga pendapat tersebut tertolak. Hal ini juga didukung oleh firman Allah Ta‘ala: “Dan dari kejahatan perempuan-perempuan tukang sihir yang meniup pada buhul-buhul” (al-Falaq: 4).

وَالنَّفَّاثَاتُ السَّوَاحِرُ فِي قَوْلِ الْجَمِيعِ يَنْفُثْنَ فِي عُقَدِ الْخَيْطِ لِلسِّحْرِ

Para penyihir perempuan, menurut pendapat semua ulama, meniupkan mantra pada simpul-simpul benang untuk melakukan sihir.

رَوَى الْحَسَنُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ مِنْ عَقَدَ عُقْدَةً ثُمَّ نَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلسِّحْرِ تَأْثِيرٌ لَمَا أُمِرَ بِالِاسْتِعَاذَةِ مِنْ شَرِّهِ وَلَكَانَ السِّحْرُ كَغَيْرِهِ

Al-Hasan meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa mengikat suatu simpul lalu meniupnya, maka sungguh ia telah melakukan sihir. Barang siapa melakukan sihir, maka sungguh ia telah berbuat syirik. Barang siapa menggantungkan sesuatu, maka ia diserahkan kepadanya. Maka, seandainya sihir tidak memiliki pengaruh, niscaya tidak akan diperintahkan untuk berlindung dari kejahatannya, dan sihir itu akan sama saja seperti hal lainnya.”

وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا رَوَى أَبُو صَالِحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اشْتَكَى شَكْوَى شَدِيدَةً فَبَيْنَمَا هُوَ كَالنَّائِمِ وَالْيَقِظَانِ إِذَا مَلَكَانِ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِهِ وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيْهِ فَقَالَ أَحَدُهُمَا مَا شَكْوَاهُ فَقَالَ مَطْبُوبٌ أَيْ مَسْحُورٌ وَالطِّبُّ السِّحْرُ قَالَ وَمَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ أَعْصَمَ الْيَهُودِيُّ وَطَرَحَهُ فِي بِئْرِ ذَرْوَانَ تَحْتَ صَخْرَةٍ فِيهَا

Hal ini didukung oleh riwayat Abu Shalih dari Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ pernah mengalami sakit yang sangat berat. Ketika beliau berada di antara keadaan tidur dan terjaga, tiba-tiba datang dua malaikat; salah satunya berada di dekat kepala beliau dan yang lainnya di dekat kaki beliau. Salah satu dari mereka berkata, “Apa penyakitnya?” Yang lain menjawab, “Beliau terkena sihir.” Kata “ṭibb” berarti sihir. Lalu ditanya, “Siapa yang menyihirnya?” Dijawab, “Labid bin A‘sham, seorang Yahudi, dan ia meletakkan sihir itu di sumur Dzarwan di bawah sebuah batu.”

فَبَعْثَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهَا وَتَرًا فِيهِ إِحْدَى عَشْرَةَ عُقْدَةً فَأَمَرَ بِحَلِّ الْعُقَدِ فَكَانَ كُلَّمَا حَلَّ عُقْدَةً وَجَدَ رَاحَةً حَتَّى حُلَّتِ الْعُقَدُ كُلُّهَا فَكَأَنَّمَا نَشِطَ مِنْ عِقَالٍ

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Ammar bin Yasir, lalu ia mengeluarkan darinya seutas tali yang terdapat sebelas simpul. Beliau memerintahkan untuk melepaskan simpul-simpul itu. Setiap kali satu simpul dilepaskan, beliau merasakan kelegaan, hingga seluruh simpul terlepas, seakan-akan beliau terbebas dari ikatan.

فَنَزَلَتْ عليه المعوذتان وهما إحدى عشر آيَةً بِعَدَدِ الْعُقَدِ وَأُمِرَ أَنْ يَتَعَوَّذَ بِهِمَا وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْخَبَرُ مِنْ طُرُقٍ شَتَّى تَخْتَلِفُ أَلْفَاظُهُ وَتَتَّفِقُ مَعَانِيهِ وَرَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَكَثَ أَيَّامًا يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَأْتِي النِّسَاءَ وَلَا يَأْتِيهِنَّ فَاسْتَيْقَظَ ذَاتَ لَيْلَةٍ وَقَالَ يَا عَائِشَةُ قَدْ أَفْتَانِي رَبِّي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ أَتَانِي رَجُلَانِ فِي الْمَنَامِ وَذَكَرَتْ مِثْلَ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَلَى اخْتِلَافٍ فِي الْأَلْفَاظِ

Lalu turunlah kepadanya surat al-Mu‘awwidzatain, yang jumlah ayatnya sebelas, sebanyak jumlah simpul-simpul itu, dan beliau diperintahkan untuk berlindung dengan keduanya. Kisah ini telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dengan redaksi yang berbeda-beda namun maknanya sama. Imam Syafi‘i meriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ selama beberapa hari merasa seolah-olah beliau mendatangi para istri padahal beliau tidak melakukannya. Lalu beliau terbangun pada suatu malam dan berkata, “Wahai ‘Aisyah, sungguh Tuhanku telah memberiku fatwa atas apa yang aku tanyakan kepada-Nya. Dua orang laki-laki datang kepadaku dalam mimpi,” dan ia (‘Aisyah) menyebutkan kisah yang serupa dengan hadis Ibnu ‘Abbas dengan perbedaan redaksi.

وَإِذَا أَثَّرَ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ فَعَلَ وَأَثَّرَ فِيهِ حِينَ نَشِطَ مَعَ مَا عَصَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ بَيْنِ خَلْقِهِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُؤَثِّرَ فِي غَيْرِهِ فَإِنْ قِيلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَعْصُومٌ مِنَ السِّحْرِ لِمَا فِي اسْتِمْرَارِهِ مِنْ خَلَلِ الْعَقْلِ وَقَدْ أَنْكَرَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى مَنْ قَالَ فِي رَسُولِهِ وَقَالَ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا رَجُلا مَسْحُورًا الفرقان 8 قِيلَ عِصْمَةُ الرَّسُولِ مُخْتَصَّةٌ بِعَقْلِهِ وَدِينِهِ وَهُوَ فِي الْمَرَضِ كغيره من الناس وقد سم يَهُودُ خَيْبَرَ ذِرَاعًا مَشْوِيَّةً وَقُدِّمَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَكَلَ مِنْهَا وَمَرِضَ فِي آخِرِ عُمْرِهِ فَكَانَ يَقُولُ مَا زَالَتْ أَكْلَةُ خَيْبَرَ تُعَادُّنِي فَهَذَا أَوَانُ قَطَعَتْ أَبْهَرِي فَكَانَ فِي ذَلِكَ كَغَيْرِهِ وَلَمَّا أَجْرَى الشَّيْطَانُ عَلَى لِسَانِهِ حِينَ قَرَأَ في سورة النجم أفرأيتم اللات والعزى ومنوة الثَّالِثَةَ الأُخْرَى النجم 19 20 تِلْكَ الغرانيق العلى وإن شفاعتهن لترتجى أزل اللَّهُ تَعَالَى ذَلِكَ عَنْهُ وَعَصَمَهُ مِنْهُ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا رَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَرْسَلَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى خَيْبَرَ لِأُقَسِّمَ ثِمَارَهَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْمُسْلِمِينَ فَسَحَرُونِي فَتَكَوَّعَتْ بيدي فَأَجْلَاهُمْ عُمَرُ عَنِ الْحِجَازِ فَلَوْلَا أَنَّ لِلسِّحْرِ حَقِيقَةً وَتَأَثُّرًا لَمَا أَجْمَعَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَانْتَشَرَ فِي الْكَافَّةِ وَلَمَا أَجْلَاهُمْ عُمَرُ مِنْ دِيَارِهِمْ وَلَرَاجَعَتْهُ الصَّحَابَةُ فِيهِمْ كَمَا رَاجَعُوهُ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْأُمُورِ الْعَظِيمَةِ الْمُحْتَمَلَةِ

Dan jika sihir itu berpengaruh pada Rasulullah ﷺ ketika beliau melakukannya dan berpengaruh pula ketika beliau dalam keadaan sehat, padahal Allah Ta‘ala telah melindungi beliau di antara makhluk-Nya, maka lebih utama lagi jika sihir itu berpengaruh pada selain beliau. Jika ada yang berkata, “Rasulullah ﷺ itu ma‘shum dari sihir karena jika sihir itu terus-menerus terjadi, akan menyebabkan gangguan akal, dan Allah Ta‘ala telah mengingkari orang yang berkata tentang Rasul-Nya: ‘Dan orang-orang zalim berkata, kalian tidak mengikuti melainkan seorang laki-laki yang terkena sihir’ (al-Furqan: 8),” maka dijawab: ‘Ismah (perlindungan) Rasul itu khusus pada akal dan agamanya, sedangkan dalam hal sakit beliau seperti manusia lainnya. Kaum Yahudi Khaibar pernah meracuni daging kambing panggang dan dihidangkan kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau memakannya dan jatuh sakit di akhir hayatnya. Beliau berkata, “Sejak makan daging Khaibar itu, aku selalu merasakan sakit, dan inilah saatnya urat nadiku terputus karenanya.” Dalam hal ini, beliau seperti manusia lainnya. Dan ketika setan membisikkan pada lisannya saat membaca surah an-Najm: “Maka apakah kalian telah memperhatikan al-Lat dan al-‘Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terakhir?” (an-Najm: 19-20), “Itulah gharaniq yang tinggi, dan sungguh syafaat mereka benar-benar diharapkan,” maka Allah Ta‘ala menghilangkan hal itu dari beliau dan melindunginya darinya. Hal ini juga ditunjukkan oleh riwayat Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Umar bin al-Khattab mengutusku ke Khaibar untuk membagi hasil buah-buahannya di antara mereka dan kaum Muslimin, lalu mereka menyihirku sehingga tanganku menjadi kaku, maka Umar mengusir mereka dari Hijaz. Kalau seandainya sihir tidak memiliki hakikat dan pengaruh, niscaya para sahabat tidak akan berijma‘ atasnya, tidak akan tersebar di kalangan semua orang, Umar tidak akan mengusir mereka dari negeri mereka, dan para sahabat pasti akan menentangnya sebagaimana mereka menentangnya dalam perkara-perkara besar lainnya yang masih mungkin diperdebatkan.

وَقَدْ رَوَى بَجَالَةُ قَالَ كَتَبَ عُمَرُ أَنِ اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ وَسَاحِرَةٍ فَقَتَلْنَا ثَلَاثَ سَوَاحِرَ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ مُعْجِزَةَ مُوسَى فِي الْعَصَا لِكَثْرَةِ السِّحْرِ فِي زَمَانِهِ وَمُعْجِزَةَ عِيسَى بِإِحْيَاءِ الْمَوْتَى لِكَثْرَةِ الطِّبِّ فِي زَمَانِهِ وَمُعْجِزَةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْقُرْآنَ لِكَثْرَةِ الْفُصَحَاءِ فِي زَمَانِهِ

Bajalah meriwayatkan bahwa Umar pernah menulis surat perintah: “Bunuhlah setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan.” Maka kami pun membunuh tiga orang tukang sihir perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta‘ala menjadikan mukjizat Musa pada tongkat karena banyaknya sihir di zamannya, mukjizat Isa berupa menghidupkan orang mati karena banyaknya ilmu kedokteran di zamannya, dan mukjizat Muhammad ﷺ adalah Al-Qur’an karena banyaknya para ahli fasih berbicara di zamannya.

فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلسِّحْرِ حَقِيقَةٌ كَمَا لِلطِّبِّ وَالْفَصَاحَةِ حَقِيقَةٌ لَضَعُفَتْ مُعْجِزَةُ مُوسَى فِي عُلُوِّهِ عَلَى السَّحَرَةِ لِأَنَّهُ دَفَعَ مَا لَا تَأْثِيرَ لَهُ وَلَيْسَ لِدَفْعِ مَا لَا تَأْثِيرَ لَهُ تَأْثِيرٌ وَإِنَّمَا التأثير في دفع ماله تَأْثِيرٌ كَمَا كَانَ لِإِحْيَاءِ الْمَوْتَى تَأْثِيرٌ عَلَى الطِّبِّ وَلِفَصَاحَةِ الْقُرْآنِ عَلَى فَصَاحَةِ الْكَلَامِ تَأْثِيرٌ

Maka, seandainya sihir tidak memiliki hakikat sebagaimana kedokteran dan kefasihan memiliki hakikat, niscaya mukjizat Musa dalam mengungguli para penyihir menjadi lemah, karena ia menolak sesuatu yang tidak memiliki pengaruh, dan menolak sesuatu yang tidak memiliki pengaruh itu sendiri tidaklah berpengaruh. Sesungguhnya pengaruh itu terdapat pada penolakan terhadap sesuatu yang memang memiliki pengaruh, sebagaimana menghidupkan orang mati memiliki pengaruh terhadap kedokteran, dan kefasihan Al-Qur’an memiliki pengaruh terhadap kefasihan ucapan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالْآيَةِ فَهُوَ أَنَّ حَقِيقَةَ السِّحْرِ آثَارُهُ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لِأَفْعَالِ السِّحْرِ حَقِيقَةٌ وَقَدْ أَثَّرَ سِحْرُهُمْ فِي مُوسَى مَا أَوْجَسَهُ مِنَ الْخَوْفِ فِي نَفْسِهِ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan ayat tersebut adalah bahwa hakikat sihir itu terletak pada pengaruh-pengaruhnya, meskipun perbuatan-perbuatan sihir itu sendiri tidak memiliki hakikat. Sihir mereka telah memberikan pengaruh pada Musa, yaitu rasa takut yang timbul dalam dirinya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِمَا فِيهِ خَرْقُ الْعَادَاتِ وَإِبْطَالُ الْمُعْجِزَاتِ فَهُوَ خَرْقُ الْعَادَاتِ فِي غَيْرِ السَّحَرَةِ وَلَيْسَ بِخَرْقِ الْعَادَاتِ فِي السَّحَرَةِ كَمَا أَنَّ الشَّعْبَذَةَ خَرْقُ الْعَادَاتِ فِي غَيْرِ الْمُتَشَعْبِذَةِ وَلَيْسَ بِخَرْقِ الْعَادَاتِ فِي الْمُتَشَعْبِذَةِ وَلَيْسَ فِيهِ إِبْطَالُ الْمُعْجِزَاتِ لِأَنَّ الشَّعْبَذَةَ فِي خَرْقِ الْعَادَاتِ كَالسِّحْرِ وَلَيْسَ فِيهَا إِبْطَالُ الْمُعْجِزَاتِ فَكَذَلِكَ السِّحْرُ لِأَنَّ خَرْقَ الْعَادَاتِ بِالْمُعْجِزَاتِ مُخَالِفٌ لِخَرْقِهَا بِالسِّحْرِ وَالشَّعْبَذَةِ لِأَنَّ أَفْعَالَ الْمُعْجِزَاتِ حَقِيقَةٌ وَأَفْعَالَ السَّحَرَةِ مُسْتَحِيلَةٌ لِأَنَّ مُوسَى لَمَّا فَلَقَ الْبَحْرَ ظَهَرَتْ أَرْضُهُ حَتَّى سَارَ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمُهُ عَلَى الْيَابِسِ وَلَمَّا أَلْقَى السَّحَرَةُ حِبَالَهُمْ حَتَّى ظَنَّهَا النَّاظِرُ حَيَّاتٍ ظَهَرَ اسْتِحَالَتُهَا وَعَادَتْ إِلَى حَالِهَا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْعِصْمَةِ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka yang menggunakan peristiwa yang menembus kebiasaan dan membatalkan mukjizat adalah bahwa penembusan kebiasaan itu terjadi pada selain para penyihir, dan bukan merupakan penembusan kebiasaan pada para penyihir. Sebagaimana syu‘badzah (ilusi) adalah penembusan kebiasaan pada selain para pesulap, dan bukan penembusan kebiasaan pada para pesulap itu sendiri. Tidak ada pula di dalamnya pembatalan mukjizat, karena syu‘badzah dalam hal menembus kebiasaan itu seperti sihir, dan tidak ada pembatalan mukjizat di dalamnya. Demikian pula sihir, karena penembusan kebiasaan melalui mukjizat berbeda dengan penembusan kebiasaan melalui sihir dan syu‘badzah. Sebab, perbuatan mukjizat itu benar-benar nyata, sedangkan perbuatan para penyihir adalah mustahil. Ketika Musa membelah laut, tampaklah tanahnya hingga Musa dan kaumnya berjalan di atas tanah yang kering. Sedangkan ketika para penyihir melemparkan tali-tali mereka sehingga orang yang melihatnya mengira itu adalah ular-ular, maka tampaklah kemustahilannya dan tali-tali itu kembali ke keadaan semula. Allah-lah pelindung dari segala kekeliruan.

فَصْلٌ

Bab

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي وَهُوَ تَأْثِيرُ السِّحْرِ

Adapun bagian kedua adalah tentang pengaruh sihir.

فَقَدْ ذَهَبَ قَوْمٌ مِمَّنْ ضَعُفَتْ فِي الْعِلْمِ مَخَابِرُهُمْ وَقَلَّتْ فِيهِ مَعْرِفَتُهُمْ إِلَى أَنَّ السَّاحِرَ قَدْ يَقْلِبُ بِسِحْرِهِ الْأَعْيَانَ وَيُحَدِثُ بِهِ الْأَجْسَامَ وَيَجْعَلُ الْإِنْسَانَ حِمَارًا بِحَسَبَ مَا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ قُوَّةِ السِّحْرِ وَضَعْفِهِ وَهَذَا وَاضِحُ الِاسْتِحَالَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Telah ada sekelompok orang yang lemah pemahamannya dalam ilmu dan sedikit pengetahuannya, berpendapat bahwa tukang sihir dapat mengubah benda-benda dengan sihirnya, menciptakan sesuatu pada jasad, dan menjadikan manusia menjadi keledai sesuai dengan kekuatan atau kelemahan sihirnya. Padahal, hal ini jelas mustahil dari tiga segi.

أَحَدُهَا إِنَّهُ لَوْ ثَبَتَ عَلَى هَذَا لَصَارَ خَالِقًا وَهُوَ مَخْلُوقٌ وَرَازِقًا وَهُوَ مَرْزُوقٌ وَرَبًّا وَهُوَ مَرْبُوبٌ وَشَارَكَ اللَّهَ تَعَالَى فِي قُدْرَتِهِ وَعَارَضَهُ في حكمته

Salah satunya adalah bahwa jika hal ini benar-benar terjadi, maka ia akan menjadi pencipta padahal ia adalah makhluk, menjadi pemberi rezeki padahal ia adalah yang diberi rezeki, menjadi Tuhan padahal ia adalah yang dikuasai, dan ia telah menyekutui Allah Ta‘ala dalam kekuasaan-Nya serta menentang-Nya dalam kebijaksanaan-Nya.

وَالثَّانِي إِنَّهُ لَوْ قَدَرَ عَلَى هَذَا فِي غَيْرِهِ لَقَدَرَ عَلَيْهِ فِي نَفْسِهِ فَيَرُدُّهَا إِلَى الشَّبَابِ بَعْدَ الْهِرَمِ وَإِلَى الْوُجُودِ بَعْدَ الْعَدَمِ وَيَدْفَعُ الْمَوْتَ عَنْ نَفْسِهِ فَصَارَ مِنَ الْمُخَلَّدِينَ وَبَايَنَ جَمِيعَ الْمَخْلُوقِينَ

Yang kedua, jika ia mampu melakukan hal itu pada orang lain, tentu ia juga mampu melakukannya pada dirinya sendiri; maka ia akan mengembalikan dirinya kepada masa muda setelah tua, mengembalikan dirinya kepada keberadaan setelah ketiadaan, dan menolak kematian dari dirinya sendiri, sehingga ia menjadi termasuk golongan yang kekal dan berbeda dari seluruh makhluk.

وَالثَّالِثُ إِنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى إِبْطَالِ جَمِيعِ الْحَقَائِقِ وَأَنْ لَا يَقَعَ فَرْقٌ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ وَلَجَازَ أَنْ تَكُونَ جَمِيعُ الأجسام مما قلبت السَّحَرَةُ أَعْيَانَهَا فَيَكُونُ الْحِمَارُ إِنْسَانًا وَالْإِنْسَانُ حِمَارًا فَإِذَا وَضَحَتِ اسْتِحَالَةُ هَذَا الْقَوْلِ بِمَا ذَكَرْنَا فَالَّذِي يُؤَثِّرُهُ السِّحْرُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَجَمَاعَةِ الْفُقَهَاءِ أَنْ يُوَسْوِسَ وَيُمْرِضَ وَرُبَّمَا قَتَلَ لِأَنَّ السِّحْرَ تَخْيِيلٌ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى طه 66 وَالتَّخْيِيلُ بَدْوُ الْوَسْوَسَةِ وَالْوَسْوَسَةُ بَدْوُ الْمَرَضِ وَالْمَرَضُ بَدْوُ التَّلَفِ فَإِذَا قَوِيَ التَّخْيِيلُ حَدَثَ عَنْهُ الْوَسْوَسَةُ وَإِذَا قَوِيَتِ الْوَسْوَسَةُ حَدَثَ عَنْهَا الْمَرَضُ وَإِذَا قَوِيَ الْمَرَضُ حَدَثَ عَنْهُ التَّلَفُ فَيَكُونُ أَوَّلُ مَبَادِئِهِ التَّخْيِيلَ ثُمَّ الْوَسْوَسَةَ ثُمَّ الْمَرَضَ ثُمَّ التَّلَفَ وهو غايته فهذه آثار السِّحْرِ

Ketiga, hal itu akan menyebabkan pembatalan seluruh realitas dan tidak ada lagi perbedaan antara kebenaran dan kebatilan. Maka bisa saja seluruh jasad merupakan hasil perubahan hakikat yang dilakukan para penyihir, sehingga keledai menjadi manusia dan manusia menjadi keledai. Jika telah jelas mustahilnya pendapat ini sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka menurut asy-Syafi‘i dan sekelompok fuqaha, pengaruh sihir adalah menimbulkan waswas, menyebabkan sakit, dan terkadang bisa membunuh. Sebab, sihir itu hanyalah berupa ilusi, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dikhayalkan kepada Musa dari sihir mereka seakan-akan ia bergerak cepat” (Thaha: 66). Ilusi adalah permulaan dari waswas, waswas adalah permulaan dari penyakit, dan penyakit adalah permulaan dari kebinasaan. Jika ilusi itu menguat, maka timbullah waswas; jika waswas menguat, timbullah penyakit; dan jika penyakit menguat, timbullah kebinasaan. Maka permulaan sihir adalah ilusi, kemudian waswas, lalu penyakit, dan akhirnya kebinasaan, yang merupakan puncaknya. Inilah akibat-akibat sihir.

فَصْلٌ

Fashl (Bagian)

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَحْكَامُ السِّحْرِ فَيَشْتَمِلُ عَلَى قِسْمَيْنِ

Adapun bagian ketiga, yaitu hukum-hukum sihir, maka bagian ini mencakup dua bagian.

أَحَدُهُمَا حُكْمُ السَّاحِرِ

Salah satunya adalah hukum bagi penyihir.

وَالثَّانِي حُكْمُ تَعَلُّمِ السِّحْرِ فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ فِي حُكْمِ السَّاحِرِ فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ الْفُقَهَاءُ فَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ إِلَى أَنَّهُ كَافِرٌ يَجِبُ قَتْلُهُ وَلَمْ يَقْطَعَا بِكُفْرِهِ وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ لَا يَكْفُرُ بِالسِّحْرِ وَلَا يَجِبُ بِهِ قَتْلُهُ وَيُسْأَلُ عَنْهُ فَإِنِ اعْتَرَفَ مَعَهُ بِمَا يُوجِبُ كُفْرَهُ وَإِبَاحَةَ دَمِهِ كَانَ كَافِرًا بِمُعْتَقَدِهِ لَا بِسِحْرِهِ وَكَذَلِكَ لَوِ اعْتَقَدَ إِبَاحَةَ السِّحْرِ صار كافراً باعتقاد إباحته لا بفعل فَيُقْتَلُ حِينَئِذٍ بِمَا انْضَمَّ إِلَى السِّحْرِ لَا بِالسِّحْرِ بَعْدَ أَنْ تُعْرَضَ عَلَيْهِ التَّوْبَةُ فَلَا يَتُوبُ

Kedua, hukum mempelajari sihir. Adapun bagian pertama mengenai hukum tukang sihir, para fuqaha berbeda pendapat tentangnya. Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir dan wajib dibunuh, namun mereka tidak secara tegas menyatakan kekafirannya. Sedangkan mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir hanya karena sihir dan tidak wajib dibunuh karenanya. Ia akan ditanya tentang sihir tersebut; jika ia mengakui sesuatu yang menyebabkan ia kafir dan halal darahnya, maka ia menjadi kafir karena keyakinannya, bukan karena sihirnya. Demikian pula, jika ia meyakini kebolehan sihir, maka ia menjadi kafir karena keyakinan akan kebolehannya, bukan karena perbuatannya. Maka, ia dibunuh saat itu karena sesuatu yang bergabung dengan sihir, bukan karena sihir itu sendiri, setelah sebelumnya ditawarkan untuk bertobat namun ia tidak bertobat.

وَاحْتَجَّ مَنْ أَوْجَبَ بِهِ الْقَتْلَ بِرِوَايَةِ الْحَسَنُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ يَعْنِي بِهِ الْقَتْلَ وَبِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ بَجَالَةَ قَالَ كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنِ اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ فَقَتَلْنَا ثَلَاثَ سَوَاحِرَ وَلَمْ يَكُنْ مِنَ الصَّحَابَةِ خِلَافٌ فَثَبَتَ أَنَّهُ إِجْمَاعٌ وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ جَارِيَةً لِحَفْصَةَ سَحَرَتْ حَفْصَةَ فَبَعَثَتْ بِهَا إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدٍ فَقَتَلَهَا وَلِأَنَّ السَّاحِرَ يُضَاهِي بِسِحْرِهِ أَفْعَالَ الْخَالِقِ وَمِثْلَ هَذَا كُفْرٌ يُوجِبُ الْقَتْلَ

Orang-orang yang mewajibkan hukuman mati bagi pelaku sihir berdalil dengan riwayat dari al-Hasan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Hukuman bagi penyihir adalah satu tebasan dengan pedang,” maksudnya adalah hukuman mati. Juga dengan riwayat dari ‘Amr bin Dinar dari Bajalah, ia berkata: Umar bin al-Khattab menulis surat, “Bunuhlah setiap penyihir,” maka kami membunuh tiga orang penyihir wanita, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, sehingga hal itu ditetapkan sebagai ijmā‘. Juga berdasarkan riwayat bahwa seorang budak perempuan milik Hafshah telah menyihir Hafshah, lalu Hafshah mengirimnya kepada ‘Abdurrahman bin Zaid, kemudian ia membunuhnya. Selain itu, karena penyihir dengan sihirnya meniru perbuatan Sang Pencipta, dan hal seperti ini adalah kekufuran yang mewajibkan hukuman mati.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي كُلِّ مَنْ قَالَهَا مِنْ سَاحِرٍ وَغَيْرِ سَاحِرٍ وَلِأَنَّ لَبِيدَ بْنَ أَعْصَمَ الْيَهُودِيَّ حَلِيفَ بَنِي زُرَيْقٍ قَدْ سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَلَمْ يَقْتُلْهُ وَهُوَ تَحْتَ قُدْرَتِهِ وَقَدْ كَانَ عَلَى عَهْدِهِ كَثِيرٌ مِنَ السَّحَرَةِ فَمَا قَتَلَ وَاحِدًا مِنْهُمْ وَلَوْ وَجَبَ قَتْلُهُمْ لَمَا أَضَاعَ حُدُودَ اللَّهِ تَعَالَى فِيهِمْ وَرُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مَرِضَتْ فَسَأَلَ بَعْضُ بَنِي أَخِيهَا طَبِيبًا مِنَ الزُّطِّ عَنْ مَرَضِهَا فَقَالَ هَذِهِ امْرَأَةٌ سَحَرَتْهَا أَمَتُهَا فَسَأَلَتْ عَائِشَةُ أَمَتَهَا وَكَانَتْ مُدَبِّرَةً لَهَا فَاعْتَرَفَتْ بِالسِّحْرِ وَقَالَتْ سَأَلَتُكِ الْعِتْقَ فَلَمْ تُعْتِقِينِي فَبَاعَتْهَا عَائِشَةُ وَاشْتَرَتْ بِثَمَنِهَا أَمَةً أَعْتَقَتْهَا وَلَوْ كَانَ قَتْلُهَا مُسْتَحَقًّا مَا اسْتَجَازَتْ بَيْعَهَا وَاسْتِهْلَاكَ ثَمَنِهَا عَلَى مُشْتَرِيهَا وَكَانَتِ الصَّحَابَةُ تُنْكِرُ عَلَيْهَا بَيْعَهَا وَلِأَنَّ السِّحْرَ تَخْيِيلٌ كَالشَّعْبَذَةِ وَهِيَ لَا تُوجِبُ الْكُفْرَ وَالْقَتْلَ فَكَذَلِكَ السِّحْرُ

Dan dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘Lā ilāha illallāh’, maka apabila mereka telah mengucapkannya, mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya.” Maka hadis ini berlaku umum untuk setiap orang yang mengucapkannya, baik tukang sihir maupun bukan tukang sihir. Dan karena Labid bin A‘sham, seorang Yahudi sekutu Bani Zuraiq, telah menyihir Rasulullah ﷺ, namun beliau tidak membunuhnya padahal ia berada dalam kekuasaannya. Dan pada masa beliau terdapat banyak tukang sihir, namun beliau tidak membunuh satu pun dari mereka. Seandainya membunuh mereka itu wajib, tentu beliau tidak akan menyia-nyiakan hudūd Allah Ta‘ala atas mereka. Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah ra. pernah sakit, lalu sebagian keponakannya bertanya kepada seorang tabib dari kalangan Zutt tentang penyakitnya, maka ia berkata: “Ini adalah wanita yang telah disihir oleh budaknya.” Maka ‘Aisyah menanyai budaknya, yang merupakan budak mudabbir miliknya, lalu budak itu mengakui perbuatannya dan berkata: “Aku pernah meminta kepadamu untuk dimerdekakan, namun engkau tidak memerdekakanku.” Maka ‘Aisyah pun menjual budak itu dan dengan hasil penjualannya ia membeli budak lain yang kemudian ia merdekakan. Seandainya membunuh budak itu wajib, tentu ‘Aisyah tidak akan membolehkan penjualannya dan menghabiskan hasil penjualannya untuk pembelinya, dan para sahabat pasti akan mengingkari penjualannya itu. Dan karena sihir itu hanyalah tipuan seperti sya‘badzah (ilusi), dan itu tidak menyebabkan kufur dan tidak pula menyebabkan hukuman mati, maka demikian pula sihir.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَرَاوِيهِ الْحَسَنُ وَهُوَ مُرْسَلٌ وَضَرْبُهُ بِالسَّيْفِ قَدْ لَا يَكُونُ قَتْلًا فَلَمْ يَكُنْ صَرِيحًا فِيهِ وَأَمَّا حَدِيثُ عُمَرَ فَرَاوِيهِ بَجَالَةُ لَمْ يَلْقَ عُمَرَ فَكَانَ أَيْضًا مُرْسَلًا وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ مَذْهَبًا لَهُ وَأَمَّا حَفْصَةُ فَقَدْ أَنْكَرَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَيْهَا قَتْلَهَا وَلَوْ كَانَ مُسْتَحَقًّا لَمْ يُنْكِرْهُ وَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ مَضَاهُ لِأَفْعَالِ الْخَالِقِ فَغَلَطٌ عَلَيْهِ وَفِيهِ لِأَنَّ غَايَةَ سِحْرِهِ أَنْ يُؤْذِيَ وَلَيْسَ كُلُّ مُؤْذٍ وَمُضِرٍّ مُضَاهِيًا لِأَفْعَالِ خَالِقِهِ كَالضَّارِبِ وَالْقَاتِلِ

Adapun jawaban terhadap hadis tersebut, perawinya adalah al-Hasan dan itu adalah mursal, dan memukul dengan pedang belum tentu berarti membunuh, sehingga tidak secara tegas menunjukkan hal itu. Adapun hadis Umar, perawinya adalah Bajalah yang tidak pernah bertemu dengan Umar, sehingga itu juga mursal. Seandainya hadis itu sahih, maka itu adalah pendapat pribadi beliau. Adapun Hafshah, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu telah mengingkari pembunuhan terhadapnya, dan jika memang itu hak yang semestinya, tentu beliau tidak akan mengingkarinya. Adapun pernyataan mereka bahwa hal itu menyerupai perbuatan Sang Pencipta, maka itu adalah kekeliruan terhadapnya, karena puncak dari sihir hanyalah menimbulkan bahaya, dan tidak setiap yang membahayakan dan merugikan berarti menyerupai perbuatan Sang Pencipta, seperti orang yang memukul atau membunuh.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ حُكْمُ تَعَلُّمِ السحر وتعلمه مُحَرَّمٌ مَحْظُورٌ؛ لِأَنَّ تَعَلُّمَهُ دَاعٍ إِلَى فِعْلِهِ وَالْعَمَلِ بِهِ وَمَا دَعَا إِلَى الْمَحْظُورِ كَانَ مَحْظُورًا وَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ فَإِنْ تَعَلَّمَهُ لَمْ يَكْفُرْ بِهِ

Adapun bagian kedua, yaitu hukum mempelajari sihir, maka mempelajarinya adalah haram dan terlarang; karena mempelajarinya mendorong kepada pelaksanaannya dan pengamalannya, dan segala sesuatu yang mendorong kepada hal yang terlarang maka ia juga terlarang. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang melakukan sihir atau disihirkan untuknya, bukan termasuk golongan kami orang yang melakukan ramalan atau diramalkan untuknya, dan bukan termasuk golongan kami orang yang melakukan tathayyur (percaya pada pertanda buruk) atau dilakukan tathayyur untuknya.” Maka jika seseorang mempelajarinya, ia tidak menjadi kafir karenanya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَكْفُرُ بِتَعَلُّمِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَهَذَا مَذْهَبٌ يَفْسُدُ مِنْ وَجْهَيْنِ

Abu Hanifah berkata, “Seseorang menjadi kafir karena mempelajarinya,” berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Akan tetapi setan-setanlah yang kafir; mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” Dan ini adalah mazhab yang rusak dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الْإِيمَانَ وَالْكُفْرَ مُخْتَصٌّ بِالِاعْتِقَادِ وَتَعَلُّمُ السِّحْرِ لَيْسَ بِاعْتِقَادٍ فَلَمْ يُطْلَقْ عَلَيْهِ الْكُفْرُ

Salah satunya adalah bahwa iman dan kufur itu khusus berkaitan dengan keyakinan, sedangkan mempelajari sihir bukanlah termasuk keyakinan, maka tidak bisa disebut sebagai kufur.

وَالثَّانِي إِنَّ تَعَلُّمَ الْكُفْرِ أَغْلَظُ مِنْ تَعَلُّمِ السِّحْرِ وَهُوَ لَا يَكْفُرُ بِتَعَلُّمِ الْكُفْرِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَكْفُرَ بِتَعَلُّمِ السِّحْرِ فَأَمَّا الْآيَةُ فَهِيَ وَارِدَةٌ فِي مُعَلِّمِ السِّحْرِ دُونَ مُتَعَلِّمِهِ وَفَرْقٌ مَا بَيْنَ الْمُعَلِّمِ وَالْمُتَعَلِّمِ لِأَنَّ الْمُعَلِّمَ مُثْبِتٌ وَالْمُتَعَلِّمَ مُتَخَيِّرٌ كَمَا وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ مُعَلِّمِ الْكُفْرِ وَمُتَعَلِّمِهِ وَعَلَى أَنَّ الشَّيَاطِينَ كَانُوا كَفَرَةً بِغَيْرِ السحر والله أعلم

Kedua, sesungguhnya mempelajari kekufuran itu lebih berat daripada mempelajari sihir, dan seseorang tidak menjadi kafir hanya karena mempelajari kekufuran, maka lebih utama lagi bahwa ia tidak menjadi kafir hanya karena mempelajari sihir. Adapun ayat tersebut, ia berkaitan dengan pengajar sihir, bukan dengan orang yang mempelajarinya. Ada perbedaan antara pengajar dan pelajar, karena pengajar itu menetapkan (mengajarkan secara aktif), sedangkan pelajar masih dalam posisi memilih, sebagaimana terdapat perbedaan antara pengajar kekufuran dan pelajarnya. Selain itu, setan-setan itu memang kafir bukan karena sihir. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَإِذَا سَحَرَ رَجُلًا فَمَاتَ سُئِلَ عَنْ سِحْرِهِ فَإِنْ قَالَ أَنَا أَعْمَلُ هَذَا لِأَقْتُلَ فَأُخْطِئُ الْقَتْلَ وَأُصِيبُ وَقَدْ مَاتَ مِنْ عَمَلِي فَفِيهِ الدِّيَةُ وَإِنْ قَالَ مَرِضَ مِنْهُ وَلَمْ يَمُتْ أَقْسَمَ أَوْلِيَاؤُهُ لَمَاتَ مِنْ ذَلِكَ الْعَمَلِ وَكَانَتِ الدِّيَةُ وَإِنْ قَالَ عَمَلِي يَقْتُلُ الْمَعْمُولَ بِهِ وَقَدْ عَمَدْتُ قَتْلَهُ بِهِ قُتِلَ بِهِ قَوَدًا

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang melakukan sihir kepada orang lain lalu orang itu meninggal, maka pelaku sihir tersebut ditanya tentang sihirnya. Jika ia berkata, ‘Aku melakukan ini untuk membunuh, namun terkadang aku gagal membunuh dan terkadang berhasil, dan orang itu telah meninggal karena perbuatanku,’ maka baginya dikenakan diyat. Jika ia berkata, ‘Orang itu hanya sakit karenanya dan tidak mati,’ maka para wali korban bersumpah bahwa kematian itu disebabkan oleh perbuatan tersebut, dan dikenakan diyat. Namun jika ia berkata, ‘Perbuatanku ini pasti membunuh orang yang terkena, dan aku memang sengaja membunuhnya dengan sihir itu,’ maka ia dihukum qisas (dibunuh sebagai balasan).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَمَّا السِّحْرُ فَهُوَ مَا يَخْفَى فعله من الساحر ويخفى فِعْلُهُ فِي الْمَسْحُورِ فَلَا يُمْكِنُ أَنْ يُوصَفَ فِي الدَّعْوَى عَلَى السَّاحِرِ وَلَا تَقُومَ بِهِ بَيِّنَةٌ فِي الْمَسْحُورِ فَإِذَا ادَّعَى رَجُلٌ عَلَى سَاحِرٍ أَنَّهُ سَحَرَ وَلِيًّا لَهُ فَقَتَلَهُ بِسِحْرِهِ لَمْ يَسْتَوْصِفْ عَنِ السِّحْرِ لِخَفَائِهِ عَلَيْهِ وَلَا يُكَلَّفِ الْبَيِّنَةَ لِامْتِنَاعِهَا فَإِذَا امْتَنَعَا رَجَعَ إِلَى سُؤَالِ السَّاحِرِ هَلْ سَحَرَ أَوْ لَمْ يَسْحَرْ فَإِنْ أَنْكَرَ أَنْ يَكُونَ سَاحِرًا أَوِ اعْتَرَفَ بِالسِّحْرِ وَأَنْكَرَ أَنْ يَكُونَ قَدْ سَحَرَهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَإِنِ اعْتَرَفَ أَنَّهُ سَحَرَهُ سُئِلَ عَنْ سِحْرِهِ لِأَنَّ آثَارَ السِّحْرِ مُخْتَلِفَةٌ وَلَيْسَ يُمْكِنُ الْعَمَلُ فِيهَا إِلَّا عَلَى قَوْلِ السَّاحِرِ وَلَا يَخْلُو حَالُ بَيَانِهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: Adapun sihir, maka ia adalah sesuatu yang perbuatannya tersembunyi dari pelaku sihir dan tersembunyi pula pengaruhnya pada orang yang terkena sihir, sehingga tidak mungkin untuk dijelaskan dalam gugatan terhadap tukang sihir, dan tidak dapat ditegakkan bukti atas orang yang terkena sihir. Maka jika seseorang mengadukan seorang tukang sihir bahwa ia telah menyihir kerabatnya hingga membunuhnya dengan sihirnya, tidak dapat diminta penjelasan tentang sihir itu karena tersembunyi baginya, dan tidak dibebani bukti karena tidak mungkin ada bukti. Jika keduanya tidak memungkinkan, maka kembali kepada pertanyaan kepada tukang sihir: apakah ia telah menyihir atau tidak. Jika ia mengingkari bahwa dirinya tukang sihir, atau mengakui sebagai tukang sihir namun mengingkari telah menyihir orang tersebut, maka ucapannya diterima dengan sumpahnya dan tidak ada apa-apa atasnya. Namun jika ia mengakui bahwa ia telah menyihirnya, maka ditanyakan tentang sihirnya, karena akibat sihir itu bermacam-macam dan tidak mungkin diputuskan kecuali berdasarkan pengakuan tukang sihir, dan penjelasannya tidak lepas dari empat keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَقُولَ عَمَدْتُ سِحْرَهُ وَسِحْرِي يَقْتُلُ فِي الْأَغْلَبِ وَإِنْ جَازَ أَنْ لَا يَقْتُلَ فَهَذَا قَاتِلُ عَمْدٍ مَحْضٍ وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ

Salah satunya adalah jika seseorang berkata, “Aku sengaja melakukan sihir kepadanya, dan sihirku biasanya membunuh, meskipun mungkin saja tidak membunuh.” Maka orang ini adalah pembunuh sengaja murni, dan atasnya berlaku qishāsh.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنْ لَا قَوَدَ إِلَّا بِالْمُحَدَّدِ وَدَلِيلُنَا أَنَّهُ قَتَلَهُ بِمَا يَقْتُلُ مِثْلَهُ فِي الْأَغْلَبِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ فِي عَمْدِهِ الْقَوَدَ كَالْمُحَدَّدِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada qishāsh atasnya, berdasarkan prinsip dasarnya bahwa qishāsh hanya berlaku dengan alat yang tajam. Dalil kami adalah bahwa ia membunuh dengan sesuatu yang pada umumnya dapat membunuh seperti dirinya, maka wajib baginya untuk berhak atas qishāsh dalam pembunuhan sengaja sebagaimana dengan alat yang tajam.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَقُولَ سِحْرِي لَا يقتل في الأغلب وإن جاز أن يقتل وَقَدْ مَاتَ مِنْ سِحْرِي فَهَذَا قَاتِلُ عَمْدِ شِبْهِ الْخَطَأِ عَلَيْهِ الدِّيَةُ مُغَلَّظَةً دُونَ الْقَوَدِ

Bagian kedua adalah apabila seseorang berkata: “Sihirku pada umumnya tidak membunuh, meskipun mungkin saja bisa membunuh, dan ternyata ada yang mati karena sihirku.” Maka orang ini termasuk pembunuh sengaja yang menyerupai pembunuhan karena kelalaian; atasnya dikenakan diyat yang diperberat, tanpa dikenakan qishāsh.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا دِيَةَ عَلَيْهِ احْتِجَاجًا بِأَنَّ الْقَتْلَ إِنَّمَا يُضْمَنُ بِالْمُبَاشَرَةِ أَوْ بِالْأَسْبَابِ الْحَادِثَةِ عَنِ الْمُبَاشَرَةِ وَلَيْسَ فِي السِّحْرِ وَاحِدٌ مِنْهَا فَلَمْ تُوجِبْ ضَمَانَ النَّفْسِ كَالشَّتْمِ وَالْبَهْتِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada diyat atasnya, dengan alasan bahwa pembunuhan itu hanya dapat dijamin dengan tindakan langsung atau sebab-sebab yang timbul dari tindakan langsung, sedangkan dalam sihir tidak terdapat salah satu dari keduanya, sehingga tidak mewajibkan jaminan jiwa, seperti halnya mencaci maki dan memfitnah.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الْقَتْلَ حَدَثَ عَنْ سَبَبٍ قَاتِلٍ فَجَازَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ ضَمَانُ النَّفْسِ كَالسُّمِّ وَحَفْرِ الْبِئْرِ وَلِأَنَّهُ لَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ ينفصل من الساحر مَا يَتَّصِلُ بِالْمَسْحُورِ كَمَا يَنْفَصِلُ مِنَ الْمُتَثَاوِبِ مَا يَتَّصِلُ بِالْمُقَابِلِ لَهُ فَيَثَّاوَبُ وَكَمَا يَنْفَصِلُ مِنْ نَظَرِ الَّذِي يُعِينُ مَا اسْتَحْسَنَ فَيَتَّصِلُ بِالْمُعِينِ وَالْمُسْتَحْسِنِ وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ الْعَيْنُ حَقٌّ كَمَا أَنَا حَقٌّ وَفِي هَذَا الدَّلِيلِ انْفِصَالٌ

Dalil kami adalah bahwa pembunuhan terjadi karena sebab yang mematikan, maka boleh saja jiwa dijamin atasnya, seperti kasus racun dan menggali sumur. Selain itu, tidak mustahil sesuatu yang berasal dari tukang sihir dapat tersambung kepada orang yang disihir, sebagaimana sesuatu yang keluar dari orang yang menguap dapat tersambung kepada orang di depannya sehingga ia ikut menguap, dan sebagaimana sesuatu yang keluar dari pandangan orang yang hasad terhadap sesuatu yang ia sukai dapat tersambung kepada orang yang dihasadinya dan yang disukai. Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Ain itu benar adanya, sebagaimana aku juga benar adanya.” Dalam dalil ini terdapat penjelasan tentang terpisahnya (pengaruh tersebut).

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَقُولَ سِحْرِي يُمْرِضُ وَلَا يَقْتُلُ وَقَدْ أَمْرَضَهُ سِحْرِي وَمَاتَ بِغَيْرِهِ فَهَذَا يُعْتَبَرُ فِيهِ حَالُ الْمَسْحُورِ فَإِنْ لَمْ يَزَلْ ضِمْنًا مَرِيضًا مِنْ وَقْتِ السِّحْرِ إِلَى وَقْتِ الْمَوْتِ فَالظَّاهِرُ مِنْهُ حُدُوثُ مَوْتِهِ مَنْ مَرَضِ سِحْرِهِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ قَوْلَ وَلِيِّ الْمَسْحُورِ مَعَ يَمِينِهِ وَإِنْ كَانَ قَدِ انْقَطَعَ عَنْهُ الْمَرَضُ وَصَارَ دَاخِلًا خَارِجًا فَالظَّاهِرُ مِنْ مَوْتِهِ أَنَّهُ بِسَبَبِ حَادِثٍ غَيْرِ سِحْرِهِ فَيَحْلِفُ السَّاحِرُ لَقَدْ مَاتَ مِنْ غَيْرِ سِحْرِهِ كَالْجِرَاحَةِ إِذَا حَدَثَ بَعْدَهَا مَوْتُ الْمَجْرُوحِ وَاخْتَلَفَ الْوَلِيُّ وَالْجَارِحُ فَإِنْ لَمْ يَنْدَمِلِ الْجُرْحُ وَكَانَ عَلَى أَلَمِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ وَإِنِ انْدَمَلَ وَزَالَ الْأَلَمُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الجارح مع يمنيه

Bagian ketiga adalah apabila seseorang berkata, “Sihirku hanya menyebabkan sakit dan tidak membunuh, dan memang sihirku telah membuatnya sakit, namun ia meninggal bukan karena sihirku.” Dalam hal ini, yang menjadi pertimbangan adalah keadaan orang yang terkena sihir. Jika sejak terkena sihir hingga meninggal dunia ia terus-menerus dalam keadaan sakit, maka yang tampak adalah kematiannya disebabkan oleh penyakit akibat sihir tersebut. Maka, pernyataan dipegang berdasarkan keterangan wali korban sihir dengan sumpahnya. Namun, jika penyakitnya telah sembuh dan ia kembali sehat, maka yang tampak dari kematiannya adalah karena sebab lain selain sihir. Maka, tukang sihir bersumpah bahwa kematiannya bukan karena sihirnya, sebagaimana dalam kasus luka: jika setelah luka terjadi kematian dan terjadi perselisihan antara wali korban dan pelaku, maka jika lukanya belum sembuh dan korban masih merasakan sakitnya, pernyataan dipegang berdasarkan keterangan wali dengan sumpahnya. Namun, jika lukanya telah sembuh dan rasa sakitnya hilang, maka pernyataan dipegang berdasarkan keterangan pelaku dengan sumpahnya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَقُولَ سِحْرِي قَدْ يُمْرِضُ وَلَا يُمْرِضُ وَمَا أَمْرَضَهُ سِحْرِي فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَيُعَزَّرُ أَدَبًا وَزَجْرًا وَيُسْتَتَابُ فَإِنْ لَمْ يَتُبْ عُزِّرَ إِذَا سَحَرَ وَلَا يُعَزَّرُ بَعْدَ امْتِنَاعِهِ مِنَ التَّوْبَةِ إذا لم يسحر وبالله التوفيق

Bagian keempat adalah apabila seseorang berkata, “Sihirku bisa saja menyebabkan sakit atau tidak menyebabkan sakit, dan apa yang menyebabkan sakit itu adalah sihirku,” maka perkataannya diterima dengan sumpahnya, dan tidak ada apa-apa atasnya. Namun, ia diberi hukuman ta‘zīr sebagai bentuk pendidikan dan pencegahan, serta diminta untuk bertobat. Jika ia tidak bertobat, maka ia dihukum ta‘zīr apabila ia melakukan sihir. Namun, ia tidak dihukum ta‘zīr setelah ia menolak bertobat jika ia tidak melakukan sihir. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ

Perang terhadap ahl al-baghy

بَابُ مَنْ يَجِبُ قِتَالُهُ من أهل البغي والسيرة فيهم

Bab tentang siapa saja dari kalangan ahl al-baghy yang wajib diperangi dan bagaimana tata cara bersikap terhadap mereka

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ اللَّهُ تعالى وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ الحجرات 9

Imam Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata: Allah ta‘ala berfirman, “Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Tetapi jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat zalim terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu hingga mereka kembali kepada perintah Allah. Jika mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Hujurat: 9)

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ هَذِهِ الْآيَةُ هِيَ أَصْلُ مَا وَرَدَ فِي قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ وَاخْتُلِفَ فِي سَبَبِ نُزُولِهَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ayat ini merupakan dasar dari semua yang berkaitan dengan peperangan terhadap ahl al-baghy, dan terdapat perbedaan pendapat mengenai sebab turunnya ayat ini menjadi dua pendapat.”

أَحَدُهُمَا مَا حَكَاهُ السُّدِّيُّ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ كَانَتْ لَهُ امْرَأَةٌ تُدْعَى أَمَّ زَيْدٍ أَرَادَتْ زِيَارَةَ أَهْلِهَا فَمَنَعَهَا زَوْجُهَا فَاقْتَتَلَ أَهْلُهُ وَأَهْلُهَا حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِيهِمْ

Salah satunya adalah apa yang diriwayatkan oleh as-Suddi, bahwa seorang laki-laki dari kalangan Anshar memiliki seorang istri bernama Ummu Zaid. Ia ingin mengunjungi keluarganya, namun suaminya melarangnya. Maka terjadilah pertikaian antara keluarga suaminya dan keluarganya, hingga turunlah ayat ini berkenaan dengan mereka.

وَالثَّانِي مَا حَكَاهُ الْكَلْبِيُّ وَمُقَاتِلٌ إِنَّهَا نَزَلَتْ فِي رَهْطِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ ابْنِ سَلُولٍ مِنَ الْخَزْرَجِ وَرَهْطِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ مِنَ الْأَوْسِ

Kedua, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Kalbi dan Muqatil, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang dari Abdullah bin Ubay bin Salul dari kaum Khazraj dan sekelompok orang dari Abdullah bin Rawahah dari kaum Aus.

وَسَبَبُهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَقَفَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ ابْنِ سَلُولٍ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ لَهُ فَرَاثَ الْحِمَارُ فَأَمْسَكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولٍ أَنْفَهُ وَقَالَ إِلَيْكَ حِمَارَكَ فَغَضِبَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ وَقَالَ لَحِمَارُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَطْيَبُ رِيحًا مِنْكَ وَمِنْ أَبِيكَ وَتَنَافَرُوا وَأَعَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَوْمَهُ فَاقْتَتَلُوا بِالنِّعَالِ وَالْأَيْدِي فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِيهِمْ وَأَصْلَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَيْنَهُمْ

Penyebabnya adalah bahwa Rasulullah saw. berhenti di hadapan Abdullah bin Ubay bin Salul yang sedang menunggangi keledainya, lalu keledai itu buang kotoran. Maka Abdullah bin Ubay bin Salul menutup hidungnya dan berkata, “Jauhkan keledaimu dariku.” Maka Abdullah bin Rawahah marah dan berkata, “Keledai Rasulullah saw. lebih harum baunya daripada engkau dan ayahmu.” Lalu mereka saling berselisih, dan masing-masing dari mereka dibantu oleh kaumnya, sehingga mereka saling berkelahi dengan sandal dan tangan. Maka turunlah ayat ini mengenai mereka, dan Rasulullah saw. mendamaikan mereka.

فَقَالَ وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فأصلحوا بينهما الحجرات 9

Maka Allah berfirman: “Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9)

يعني جميعن مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَخْرَجَهُمُ التَّنَافُرُ إِلَى الْقِتَالِ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا وَهَذَا خِطِابٌ نُدِبَ إِلَيْهِ كُلُّ مَنْ قَدَرَ عَلَى الْإِصْلَاحِ بَيْنَهُمْ مِنَ الْوُلَاةِ وَغَيْرِ الْوُلَاةِ وَإِنْ كَانَ بِالْوُلَاةِ أَخَصَّ فَإِنْ بَغَتْ إحداهما على الأخرى وَالْبَغْيُ التَّعَدِّي بِالْقُوَّةِ إِلَى طَلَبِ مَا لَيْسَ بمستحق

Artinya, semua kaum Muslimin yang perselisihan di antara mereka menyebabkan mereka saling memerangi, maka damaikanlah antara keduanya. Ini adalah seruan yang ditujukan kepada siapa saja yang mampu mendamaikan mereka, baik dari kalangan para penguasa maupun selain penguasa, meskipun penguasa lebih khusus dalam hal ini. Jika salah satu dari kedua kelompok itu berbuat bughat terhadap yang lain—dan bughat adalah melampaui batas dengan kekuatan untuk menuntut sesuatu yang bukan haknya—

فقاتلوا التي تبغي فِيهِ وَجْهَانِ

Maka perangi kelompok yang berbuat aniaya; dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تَبْغِي بِالتَّعَدِّي فِي الْقِتَالِ

Salah satunya adalah mencari keuntungan dengan melampaui batas dalam peperangan.

وَالثَّانِي تَبْغِي بِالْعُدُولِ عَنِ الصُّلْحِ

Dan yang kedua, ia menginginkan dengan berpaling dari ishlah (perdamaian).

وَهَذَا الْأَمْرُ بِالْقِتَالِ مُخَاطَبٌ بِهِ الْوُلَاةُ دُونَ غَيْرِهِمْ حَتَّى تفيء إلى أمر الله أَيْ تَرْجِعَ وَفِيهِ وَجْهَانِ

Perintah untuk berperang ini ditujukan kepada para penguasa, bukan kepada selain mereka, hingga mereka kembali kepada perintah Allah, yaitu kembali (taat). Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا حَتَّى تَرْجِعَ إِلَى الصُّلْحِ الَّذِي أَمَرَ اللَّهُ بِهِ قَالَهُ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ

Salah satunya adalah sampai mereka kembali kepada perdamaian yang telah diperintahkan oleh Allah; demikian dikatakan oleh Sa‘id bin Jubair.

وَالثَّانِي حَتَّى تَرْجِعَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ قَالَهُ قَتَادَةُ فَإِنْ فآءت يَعْنِي رَجَعَتْ عَنِ الْبَغْيِ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ فِيهِ وَجْهَانِ

Dan yang kedua, hingga mereka kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, sebagaimana dikatakan oleh Qatadah. Jika mereka telah kembali, yaitu berhenti dari tindakan memberontak, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا بِالْحَقِّ

Salah satunya dengan kebenaran.

وَالثَّانِي بِكِتَابِ اللَّهِ وأقسطوا يَعْنِي اعْدِلُوا وَيَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ

Dan yang kedua adalah dengan Kitab Allah: “Dan berbuat adillah kalian,” maksudnya berlaku adillah kalian, dan ini mengandung dua kemungkinan makna.

أَحَدُهُمَا اعْدِلُوا فِي تَرْكِ الْهَوَى وَالْمُمَايَلَةِ

Salah satunya adalah bersikap adil dalam meninggalkan hawa nafsu dan kecenderungan.

وَالثَّانِي فِي تَرْكِ الْعُقُوبَةِ والمؤاخذة إن الله يحب المقسطين يَعْنِي الْعَادِلِينَ

Yang kedua, dalam meninggalkan hukuman dan pemberian sanksi, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (al-muqsithīn), yaitu orang-orang yang adil.

قَالَ أَبُو مَالِكٍ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ

Abu Malik berkata tentang ucapan dan perbuatan.

فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى بَقَاءِ الْبُغَاةِ عَلَى إِيمَانِهِمْ

Ayat ini menunjukkan bahwa para bughāt tetap berada dalam keimanan mereka.

وَدَلَّتْ عَلَى الِابْتِدَاءِ بِالصُّلْحِ قَبْلَ قِتَالِهِمْ

Dan ayat tersebut menunjukkan anjuran untuk memulai dengan melakukan shulh (perdamaian) sebelum memerangi mereka.

وَدَلَّتْ عَلَى وُجُوبِ قِتَالِهِمْ إِنْ أَقَامُوا عَلَى بَغْيِهِمْ

Dan telah menunjukkan wajibnya memerangi mereka jika mereka tetap bertahan dalam pembangkangan mereka.

وَدَلَّتْ عَلَى الْكَفِّ عَنِ الْقِتَالِ بَعْدَ رُجُوعِهِمْ

Dan ayat tersebut menunjukkan kewajiban menahan diri dari peperangan setelah mereka kembali.

وَدَلَّتْ عَلَى أَنْ لَا تِبَاعَةَ عَلَيْهِمْ فِيمَا كَانَ بَيْنَهُمْ فَهَذِهِ خَمْسَةُ أَحْكَامٍ دَلَّتْ عَلَيْهَا هَذِهِ الْآيَةُ فِيهِمْ

Dan ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada tuntutan di antara mereka atas apa yang terjadi di antara mereka. Maka, inilah lima hukum yang ditunjukkan oleh ayat ini berkaitan dengan mereka.

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَفِيهَا دِلَالَةٌ عَلَى أَنَّ كُلَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ حَقٌّ فَمَنَعَ مِنْهُ وَجَبَ قِتَالُهُ عَلَيْهِ حتى يؤديه

Imam Syafi‘i berkata: Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa setiap orang yang wajib menunaikan suatu hak, lalu ia menolaknya, maka wajib diperangi hingga ia menunaikannya.

فَرَوَى سَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ وَأَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا

Salamah bin al-Akwa‘ dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mengangkat senjata terhadap kami, maka ia bukan termasuk golongan kami.”

وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ عَنْ عُنُقِهِ

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa memisahkan diri dari al-jamā‘ah sejengkal saja, maka sungguh ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya.”

وَأَمَّا الْإِجْمَاعُ الدَّالُّ عَلَى إِبَاحَةِ قِتَالِهِمْ فَهُوَ مُنْعَقِدٌ عَنْ فِعْلِ إِمَامَيْنِ

Adapun ijmā‘ yang menunjukkan kebolehan memerangi mereka, maka ijmā‘ itu terwujud berdasarkan perbuatan dua imam.

أَحَدُهُمَا أَبُو بَكْرٍ فِي قِتَالِ مَانِعِي الزَّكَاةِ

Salah satunya adalah Abu Bakar dalam memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat.

وَالثَّانِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فِي قتال خَلَعَ طَاعَتَهُ

Dan yang kedua adalah Ali bin Abi Thalib dalam peperangan melawan orang yang melepaskan ketaatan kepadanya.

فَأَمَّا أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَإِنَّهُ قَاتَلَ طَائِفَتَيْنِ

Adapun Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka beliau telah memerangi dua golongan.

طَائِفَةٌ ارْتَدَتْ عَنِ الْإِسْلَامِ مَعَ مُسَيْلِمَةَ وَطُلَيْحَةَ وَالْعَنْسِيَّ فَلَمْ يَخْتَلِفْ عَلَيْهِ مِنَ الصَّحَابَةِ فِي قِتَالِهِمْ أَحَدٌ

Sekelompok orang murtad dari Islam bersama Musailamah, Thulaihah, dan Al-‘Ansi, maka tidak ada seorang pun dari para sahabat yang berselisih pendapat tentang kewajiban memerangi mereka.

وَطَائِفَةٌ أَقَامُوا عَلَى الْإِسْلَامِ وَمَنَعُوا الزَّكَاةَ بِتَأْوِيلٍ اشْتَبَهَ فَخَالَفَهُ أَكْثَرُ الصَّحَابَةِ فِي الِابْتِدَاءِ ثُمَّ رَجَعُوا إِلَى رَأْيِهِ وَوَافَقُوهُ عَلَيْهِ فِي الِانْتِهَاءِ حِينَ وَضَحَ لَهُمُ الصَّوَابُ وَزَالَتْ عَنْهُمُ الشُّبْهَةُ

Dan sekelompok orang tetap berada dalam Islam namun menolak membayar zakat karena penafsiran yang samar, sehingga mayoritas sahabat pada awalnya berbeda pendapat dengannya, kemudian mereka kembali kepada pendapatnya dan menyepakatinya pada akhirnya ketika kebenaran telah jelas bagi mereka dan keraguan telah hilang dari mereka.

وَنَحْنُ نَذْكُرُ شَرْحَهُ مِنْ بَعْدُ مُفَصَّلًا فَكَانَ انْعِقَادُ الْإِجْمَاعِ مَعَهُ بَعْدَ تَقَدُّمِ الْمُخَالَفَةِ لَهُ أَوْكَدَ

Dan kami akan menjelaskan maknanya nanti secara rinci. Maka terjadinya ijmā‘ bersamanya setelah sebelumnya ada perbedaan pendapat dengannya justru lebih kuat.

وَأَمَّا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَإِنَّهُ شَهِدَ بِنَفْسِهِ قِتَالَ مَنْ بَغَى عَلَيْهِ فَأَوَّلُ مَنْ قَاتَلَ مِنْهُمْ أَهْلَ الْجَمَلِ بِالْبَصْرَةِ مَعَ عَائِشَةَ

Adapun Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, maka beliau sendiri menyaksikan peperangan melawan orang-orang yang memberontak kepadanya. Maka yang pertama kali beliau perangi dari mereka adalah kelompok Jamal di Basrah bersama Aisyah.

وَثَنَّى بِقِتَالِ أَهْلِ الشَّامِ بِصِفِّينَ مَعَ مُعَاوِيَةَ

Kemudian ia menyebutkan peristiwa peperangan melawan penduduk Syam di Shiffin bersama Muawiyah.

وَثَلَّثَ بِقِتَالِ أَهْلِ النَّهْرَوَانِ مِنَ الْخَوَارِجِ

Dan yang ketiga adalah memerangi penduduk Nahrawan dari kalangan Khawarij.

فَسَارَ فِي قِتَالِهِمْ سِيرَةَ أَبِي بَكْرٍ فِي قِتَالِ مَانِعِي الزَّكَاةِ

Maka ia menempuh cara Abu Bakar dalam memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat.

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا ثَبَتَ بِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ إِبَاحَةُ قِتَالِهِمْ عَلَى بَغْيِهِمْ فَقِتَالُهُمْ مُعْتَبَرٌ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا وَرَابِعٍ مُخْتَلَفٍ فِيهِ

Maka apabila telah tetap dengan apa yang telah kami sebutkan dari al-Qur’an, sunnah, dan ijmā‘ tentang kebolehan memerangi mereka karena pembangkangan mereka, maka memerangi mereka itu bergantung pada tiga syarat yang disepakati dan satu syarat yang diperselisihkan.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونُوا فِي مَنَعَةٍ بِكَثْرَةِ عَدَدِهِمْ لَا يُمْكِنُ تَفْرِيقُ جَمْعِهِمْ إِلَّا بِقِتَالِهِمْ فَإِنْ كَانُوا آحَادًا لَا يَمْتَنِعُونَ اسْتُوفِيَتْ مِنْهُمُ الْحُقُوقُ وَلَمْ يُقَاتَلُوا

Salah satunya adalah bahwa mereka berada dalam perlindungan karena jumlah mereka yang banyak sehingga tidak mungkin membubarkan kelompok mereka kecuali dengan memerangi mereka. Jika mereka hanya individu-individu yang tidak memiliki kekuatan untuk bertahan, maka hak-hak diambil dari mereka dan mereka tidak diperangi.

قَالَ الشَّافِعِيُّ قَتَلَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُلْجِمٍ عَلِيًّا رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ مُتَأَوِّلًا فَأُقِيدَ بِهِ

Syafi‘i berkata: Abdurrahman bin Muljam membunuh Ali—semoga Allah meridhainya—dengan alasan penakwilan, maka ia tetap dikenakan qishash karenanya.

يَعْنِي أَنَّهُ لَمَّا انْفَرَدَ وَلَمْ يَمْتَنِعْ بِعَدَدٍ لَمْ يُؤَثِّرْ تَأْوِيلُهُ فِي أَخْذِ الْقَوَدِ مِنْهُ

Artinya, karena ia sendirian dan tidak terlindungi oleh jumlah (orang) yang banyak, maka penafsirannya tidak berpengaruh dalam pengambilan qishāsh darinya.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي أَنْ يَعْتَزِلُوا عَنْ دَارِ أَهْلِ الْعَدْلِ بِدَارٍ يَنْحَازُونَ إِلَيْهَا وَيَتَمَيَّزُونَ بِهَا كَأَهْلِ الْجَمَلِ وَصِفِّينَ

Syarat kedua adalah mereka harus memisahkan diri dari wilayah kaum yang adil dengan menempati wilayah khusus yang mereka tuju dan membedakan diri di sana, sebagaimana yang terjadi pada peristiwa Jamal dan Shiffin.

فَإِنْ كَانُوا عَلَى اختلاطهم بِأَهْلِ الْعَدْلِ وَلَمْ يَنْفَرِدُوا عَنْهُمْ لَمْ يُقَاتَلُوا

Jika mereka masih bercampur dengan Ahlul ‘Adl dan belum memisahkan diri dari mereka, maka mereka tidak boleh diperangi.

رُوِيَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَخْطُبُ فَسَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَا حُكْمَ إِلَّا لِلَّهِ تَعْرِيضًا بِالرَّدِّ عَلَيْهِ فِيمَا كَانَ مِنْ تَحْكِيمِهِ فَقَالَ عَلِيٌّ كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهَا بَاطِلٌ لَكُمْ عَلَيْنَا ثَلَاثٌ لَا نَمْنَعُكُمْ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ تَذْكُرُوا فِيهَا اسْمَ اللَّهِ وَلَا نَمْنَعُكُمُ الْفَيْءَ مَا دَامَتْ أَيْدِيكُمْ مَعَنَا وَلَا نَبْدَؤُكُمْ بِقِتَالٍ

Diriwayatkan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu sedang berkhutbah, lalu ia mendengar seorang laki-laki berkata, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah,” sebagai sindiran untuk menolak keputusan Ali dalam hal tahkim. Maka Ali berkata, “Itu adalah kalimat yang benar namun dimaksudkan untuk kebatilan. Kalian memiliki tiga hak atas kami: kami tidak melarang kalian dari masjid-masjid Allah untuk menyebut nama Allah di dalamnya, kami tidak melarang kalian dari harta fai’ selama tangan kalian masih bersama kami, dan kami tidak akan memulai memerangi kalian.”

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفُوهُ بِتَأْوِيلٍ مُحْتَمَلٍ كَالَّذِي تَأَوَّلَهُ أَهْلُ الْجَمَلِ وَصِفِّينَ مِنَ الْمُطَالَبَةِ بِدَمِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Syarat ketiga adalah mereka menentangnya dengan takwil yang masih mungkin, seperti yang ditakwilkan oleh para pelaku Perang Jamal dan Shiffin, yaitu menuntut darah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu.

فَإِذَا بَايَنُوا مِنْ غَيْرِ تَأْوِيلٍ أُجْرِيَ عَلَيْهِمْ حُكْمُ الْحِرَابَةِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ

Maka apabila mereka memisahkan diri tanpa adanya ta’wil, maka atas mereka diberlakukan hukum hirābah dan hukum bagi para perampok jalanan.

وَأَمَّا الرَّابِعُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَهُوَ نَصْبُ إِمَامٍ لَهُمْ يَجْتَمِعُونَ عَلَى طَاعَتِهِ وَيَنْقَادُونَ لِأَمْرِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Adapun perkara keempat yang diperselisihkan adalah pengangkatan seorang imam bagi mereka yang dapat mereka sepakati untuk ditaati dan mereka patuhi perintahnya; dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ إِنَّهُ شَرْطٌ يُسْتَحَقُّ بِهِ قِتَالُهُمْ لِيَسْتَقِرَّ بِهِ تَمَيُّزُهُمْ وَمُبَايِنَتُهُمْ

Salah satu pendapat, yang dianut oleh sekelompok ulama, menyatakan bahwa hal itu merupakan syarat yang karenanya mereka berhak diperangi, agar dengan syarat tersebut dapat tetap terjaga perbedaan dan pemisahan mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ لَيْسَ بِشَرْطٍ فِي قِتَالِهِمْ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan pengikut Syafi‘i, adalah bahwa hal itu bukanlah syarat dalam memerangi mereka.

لِأَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَامُ قَاتَلَ أَهْلَ الْجَمَلِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ إِمَامٌ وَقَاتَلَ أَهْلَ صِفِّينَ قَبْلَ أَنْ يُنَصِّبُوا إِمَامًا لَهُمْ

Karena Ali raḍiyallāhu ‘anhu memerangi kelompok Jamal padahal mereka belum memiliki imam, dan beliau juga memerangi kelompok Shiffin sebelum mereka mengangkat seorang imam bagi mereka.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَكَامَلَتِ الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي قِتَالِهِمْ لَمْ يَبْدَأْ بِهِ الْإِمَامُ حَتَّى يَسْأَلَهُمْ عَنْ سَبَبِ انْفِرَادِهِمْ وَمُبَايَنَتِهِمْ فَإِنْ ذَكَرُوا مَظْلَمَةً أَزَالَهَا وَإِنْ ذَكَرُوا شُبْهَةً كَشَفَهَا وَنَاظَرَهُمْ عَلَيْهَا حَتَّى يَظْهَرَ لَهُمْ أَنَّهُ عَلَى الْحَقِّ فِيهَا لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمْرَ بِالْإِصْلَاحِ أَوَّلًا وَبِالْقِتَالِ أَخِيرًا

Apabila seluruh syarat yang dianggap sah dalam memerangi mereka telah terpenuhi, imam tidak langsung memulai peperangan sebelum menanyakan kepada mereka tentang alasan mereka memisahkan diri dan berpisah. Jika mereka menyebutkan adanya kezaliman, maka imam harus menghilangkannya. Jika mereka menyebutkan adanya syubhat, maka imam harus menjelaskannya dan berdialog dengan mereka hingga jelas bagi mereka bahwa imam berada di pihak yang benar dalam hal itu, karena Allah Ta‘ala memerintahkan untuk melakukan ishlah (perdamaian) terlebih dahulu dan baru kemudian memerangi sebagai langkah terakhir.

وَلِأَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَنَفَذَ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِلَى الْخَوَارِجِ بَالنَّهْرَوَانِ يَسْأَلُهُمْ عَنْ سَبَبِ مُبَايَنَتِهِمْ وَيَحِلُّ شُبْهَةَ تَأْوِيلِهِمْ لِتَظَاهُرِهِمْ بِالْعِبَادَةِ وَالْخُشُوعِ وَحَمْلِ الْمَصَاحِفِ فِي أَعْنَاقِهِمْ فقال لهم ابن عباس هذا علي ابن أَبِي طَالِبٍ ابْنُ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَزَوْجُ ابْنَتِهِ وَقَدْ عَرَفْتُمْ فَضْلَهُ فَمَا تَنْقِمُونَ مِنْهُ

Karena Ali bin Abi Thalib telah mengutus Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma kepada kaum Khawarij di Nahrawan untuk menanyakan kepada mereka tentang sebab mereka memisahkan diri dan untuk menghilangkan syubhat penafsiran mereka, karena mereka menampakkan diri dengan ibadah, kekhusyukan, dan membawa mushaf di leher-leher mereka. Maka Ibnu Abbas berkata kepada mereka, “Ini adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan suami putrinya, dan kalian telah mengetahui keutamaannya. Maka apa yang kalian cela darinya?”

قَالُوا نَنْقِمُ مِنْهُ ثَلَاثًا

Mereka berkata, “Kami mencela darinya tiga hal.”

حَكَمَ فِي دِينِ اللَّهِ وَقَدْ أَغْنَى كِتَابُ اللَّهِ وَسُنَّةُ رَسُولِهِ عَنِ التَّحْكِيمِ

Ia telah memutuskan hukum dalam agama Allah, padahal Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya telah mencukupi dari kebutuhan untuk menetapkan hukum.

وَقَتَلَ وَلَمْ يَسْبِ وَكَانَ يَنْبَغِي لَهُ إِمَّا أَنْ يَقْتُلَ وَيَسْبِيَ أَوْ لَا يَقْتُلَ وَلَا يَسْبِيَ لِأَنَّهُ إِذَا حُرِّمَتْ أَمْوَالُهُمْ فَقَدْ حُرِّمَتْ دِمَاؤُهُمْ

Ia membunuh tetapi tidak menawan, padahal seharusnya ia memilih antara membunuh dan menawan, atau tidak membunuh dan tidak menawan, karena jika harta mereka telah diharamkan, maka darah mereka pun telah diharamkan.

وَمَحَا اسْمَهُ مِنَ الْخِلَافَةِ فَإِنْ كَانَ عَلَى حَقٍّ فَلِمَ خُلِعَ وَإِنْ كَانَ عَلَى غَيْرِ حَقٍّ فَلِمَ دَخَلَ

Dan ia menghapus namanya dari kekhilafahan; maka jika ia berada di atas kebenaran, mengapa ia dilengserkan? Dan jika ia tidak berada di atas kebenaran, mengapa ia masuk (menjadi khalifah)?

فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَمَّا قَوْلُكُمْ إِنَّهُ حَكَمَ فِي دِينِ اللَّهِ فَقَدْ حَكَّمَ اللَّهُ تَعَالَى فِي الدِّينِ فَقَالَ وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا النساء 35

Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Adapun ucapan kalian bahwa ia telah menetapkan hukum dalam agama Allah, maka sungguh Allah Ta‘ala telah menetapkan hukum dalam agama, sebagaimana firman-Nya: ‘Jika kalian khawatir terjadi perselisihan antara keduanya, maka utuslah seorang hakam dari pihak laki-laki dan seorang hakam dari pihak perempuan’ (an-Nisā’ 35).”

وَقَالَ تَعَالَى يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ المائدة 65 فَحَكَّمَ فِي أَرْنَبٍ قِيمَتُهُ دِرْهَمٌ فَبِأَنْ يُحَكِّمَ فِي هَذَا الْأَمْرِ الْعَظِيمِ أَوْلَى فَرَجَعُوا عَنْ هَذَا

Dan Allah Ta‘ala berfirman: “Hendaklah dua orang yang adil di antara kalian memutuskan perkara itu” (al-Mā’idah: 65). Maka jika dalam kasus kelinci yang nilainya satu dirham saja diputuskan oleh hakim, maka dalam perkara besar seperti ini tentu lebih utama untuk diputuskan oleh hakim. Maka mereka pun kembali dari pendapat tersebut.

فَقَالَ وَأَمَّا قَوْلُكُمْ كَيْفَ قَتَلَ وَلَمْ يَسْبِ فَلَوْ حَصَلَتْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي سَهْمِ أَحَدِكُمْ كَيْفَ يَصْنَعُ وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا الأحزاب 53

Lalu beliau berkata, “Adapun ucapan kalian: ‘Bagaimana bisa membunuh tanpa menawan?’ Maka seandainya ‘Aisyah, istri Nabi ﷺ, jatuh ke dalam bagian salah seorang dari kalian, apa yang akan kalian lakukan? Padahal Allah Ta‘ala telah berfirman: ‘Dan tidak boleh kalian menikahi istri-istrinya sesudahnya selama-lamanya.’ (Al-Ahzab: 53)”

قَالُوا رَجَعْنَا عَنْ هَذِهِ

Mereka berkata, “Kami telah menarik kembali pendapat ini.”

قَالَ وَأَمَّا قَوْلُكُمْ إِنَّهُ مَحَا اسْمَهُ مِنَ الْخِلَافَةِ حِينَ كَتَبَ كِتَابَ التَّحْكِيمِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مُعَاوِيَةَ فَقَدْ مَحَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اسْمَهُ مِنَ النُّبُوَّةِ حِينَ قَاضَى سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ وَقَدْ كَتَبَ كِتَابَ الْقَضِيَّةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قُرَيْشٍ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَكَتَبَ هَذَا مَا قَاضَى مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو

Adapun pernyataan kalian bahwa ia menghapus namanya dari kekhilafahan ketika menulis surat tahkim antara dirinya dan Muawiyah, maka sungguh Rasulullah saw. juga pernah menghapus namanya dari kenabian ketika berdamai dengan Suhail bin Amr pada tahun Hudaibiyah. Surat perjanjian antara beliau dan Quraisy ditulis oleh Ali bin Abi Thalib, lalu ia menulis: “Inilah yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr.”

فَقَالَ سُهَيْلٌ لَا تَكْتُبْ رَسُولُ اللَّهِ فَلَوْ عَلِمْنَا أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ مَا خَالَفْنَاكَ فَاكْتُبْ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ

Maka Suhail berkata, “Jangan tulis ‘Rasulullah’. Kalau seandainya kami mengetahui bahwa engkau adalah Rasulullah, tentu kami tidak akan menentangmu. Maka tulislah: Muhammad bin Abdullah.”

فقال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَعَلِيٍّ امْحُهُ

Maka Nabi ﷺ berkata kepada Ali, “Hapuslah itu.”

فَقَالَ لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَمْحُوَ اسْمَكَ مِنَ النُّبُوَّةِ

Maka ia berkata, “Aku tidak mampu menghapus namamu dari kenabian.”

فَقَالَ لَهُ أَرِنِيهِ فَأَرَاهُ فَمَحَاهُ بِإِصْبَعِهِ

Lalu ia berkata kepadanya, “Tunjukkan kepadaku,” maka ia pun memperlihatkannya, lalu ia menghapusnya dengan jarinya.

فَرَجَعَ بَعْضُهُمْ وَبَقِيَ مِنْهُمْ نَحْوُ أَرْبَعَةِ آلَافٍ لَمْ يَرْجِعُوا فَعَادَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ سِيرُوا عَلَى اسْمِ اللَّهِ تَعَالَى إِلَيْهِمْ فَلَنْ يُفْلِتَ مِنْهُمْ عَشَرَةٌ وَلَنْ يُقْتَلَ مِنْكُمْ عَشَرَةٌ فَسَارُوا مَعَهُ إِلَيْهِمْ فَقَتَلَهُمْ وَأَفْلَتَ مِنْهُمْ ثَمَانِيَةٌ وَقُتِلَ مِنْ أَصْحَابِ عَلِيٍّ تِسْعَةٌ وَقَالَ اطْلُبُوا لِي ذَا الثَّدِيَّةِ

Sebagian dari mereka kembali, dan yang tersisa dari mereka sekitar empat ribu orang yang tidak kembali. Maka ia kembali kepada Ali bin Abi Thalib dan memberitahukannya. Lalu Ali berkata kepada para sahabatnya, “Berangkatlah kalian atas nama Allah Ta‘ala menuju mereka, maka tidak akan ada sepuluh orang dari mereka yang lolos, dan tidak akan ada sepuluh orang dari kalian yang terbunuh.” Maka mereka pun berangkat bersamanya menuju mereka, lalu ia membunuh mereka, dan yang lolos dari mereka hanya delapan orang, dan dari sahabat Ali yang terbunuh ada sembilan orang. Kemudian ia berkata, “Carikan untukku Dzu ats-Tsadiyyah.”

فَرَأَوْهُ قَتِيلًا بَيْنَهُمْ فَكَبَّرَ عَلِيٌّ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَ وَعْدَ رَسُولِهِ إِذْ قَالَ لِي تُقَاتِلُكَ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ فِيهِمْ ذُو الثَّدِيَّةِ فَهَذِهِ سِيرَةُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فِيهِمْ

Mereka melihatnya telah terbunuh di antara mereka, maka Ali bertakbir dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membenarkan janji Rasul-Nya ketika beliau berkata kepadaku, ‘Kelompok pemberontak akan memerangimu, di antara mereka ada Dzu ats-Tsadiyyah.’ Inilah sikap Ali bin Abi Thalib terhadap mereka.”

وَقَدْ حُكِيَ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ أَخَذَ الْمُسْلِمُونَ السِّيرَةَ فِي قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Telah diriwayatkan dari asy-Syafi‘i bahwa beliau berkata: “Kaum Muslimin mengambil tata cara dalam memerangi orang-orang musyrik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

وَأَخَذُوا السِّيرَةَ فِي قِتَالِ الْمُرْتَدِّينَ مِنْ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Dan mereka mengambil teladan dalam memerangi kaum murtad dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.

وَأَخَذُوا السِّيرَةَ فِي قِتَالِ الْبُغَاةِ مِنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Mereka mengambil tata cara dalam memerangi kelompok bughāt dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يُقَدِّمُ قَبْلَ قِتَالِهِمْ سُؤَالَهَمْ عَنْ سَبَبِ بَغْيِهِمْ وَاعْتِزَالِهِمْ عَنِ الْجَمَاعَةِ ثُمَّ مُنَاظَرَتَهُمْ فِي حَلِّ مَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِمْ فَمَتَى أَمَلَ رُجُوعَهُمْ إِلَى الطَّاعَةِ وَدُخُولَهُمْ فِي الْجَمَاعَةِ بِالْقَوْلِ وَالْمُنَاظَرَةِ لَمْ يَتَجَاوَزْهُ إِلَى الْقِتَالِ وَإِنْ يَئِسَ مِنْ رُجُوعِهِمْ بَعْدَ كَشْفِ مَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِمْ جَازَ لِإِمَامِ أَهْلِ الْعَدْلِ حِينَئِذٍ قِتَالُهُمْ وَمُحَارَبَتُهُمْ وَانْقَسَمَتْ أَحْوَالُهُمْ فِي قِتَالِهِمْ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Jika telah tetap bahwa sebelum memerangi mereka, terlebih dahulu ditanyakan kepada mereka tentang sebab pembangkangan mereka dan pemisahan mereka dari jamaah, kemudian dilakukan dialog dengan mereka untuk menjelaskan apa yang masih samar bagi mereka, maka kapan pun diharapkan mereka akan kembali kepada ketaatan dan bergabung dengan jamaah melalui perkataan dan dialog, tidak boleh dilanjutkan ke tahap peperangan. Namun, jika telah putus asa dari kembalinya mereka setelah dijelaskan apa yang samar bagi mereka, maka pada saat itu boleh bagi imam dari Ahl al-‘Adl untuk memerangi dan memerangi mereka. Keadaan mereka dalam peperangan terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا مَا كَانَ قِتَالُهُمْ عَلَيْهِ وَاجِبًا

Salah satunya adalah perkara yang wajib diperangi karena sebab itu.

وَالثَّانِي مَا كَانَ قِتَالُهُمْ عَلَيْهِ مُبَاحًا

Dan yang kedua adalah perkara yang memerangi mereka atasnya dibolehkan.

وَالثَّالِثُ مَا اخْتَلَفَ الْقَوْلُ فِي وُجُوبِهِ وَإِبَاحَتِهِ

Ketiga adalah perkara yang terdapat perbedaan pendapat mengenai kewajiban dan kebolehannya.

فَأَمَّا مَا وَجَبَ قِتَالُهُمْ عَلَيْهِ فَهُوَ بِوَاحِدٍ مِنْ خَمْسَةِ أُمُورٍ

Adapun hal-hal yang mewajibkan untuk memerangi mereka adalah salah satu dari lima perkara.

أَحَدُهَا أَنْ يَتَعَرَّضُوا لِحَرِيمِ أَهْلِ الْعَدْلِ بِإِفْسَادِ سَبِيلِهِمْ

Salah satunya adalah mereka mengganggu kehormatan keluarga orang-orang yang adil dengan merusak jalan hidup mereka.

وَالثَّانِي أَنْ يَتَعَطَّلَ جِهَادُ الْمُشْرِكِينَ بِهِمْ

Yang kedua adalah terhentinya jihad melawan kaum musyrik karena mereka.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَأْخُذُوا مِنْ حُقُوقِ بَيْتِ الْمَالِ مَا لَيْسَ لَهُمْ

Ketiga, mereka mengambil dari hak-hak Baitul Mal sesuatu yang bukan menjadi hak mereka.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَمْتَنِعُوا مِنْ دَفْعِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ

Keempat, yaitu mereka menolak untuk membayar apa yang telah diwajibkan atas mereka.

وَالْخَامِسُ أَنْ يَتَظَاهَرُوا عَلَى خَلْعِ الْإِمَامِ الَّذِي قَدِ انْعَقَدَتْ بَيْعَتُهُ وَلَزِمَتْ طَاعَتُهُ

Kelima, mereka bersekongkol untuk memberhentikan imam yang baiatnya telah sah dan ketaatan kepadanya telah menjadi kewajiban.

رَوَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ خَلَعَ يَدَهُ مِنْ طَاعَةِ الْإِمَامِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Abdullah bin Umar meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Barang siapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada imam, maka ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah di hadapan Allah. Dan barang siapa meninggal dunia sementara di lehernya tidak ada bai‘at, maka ia mati dalam keadaan jahiliah.”

وَأَمَّا مَا أُبِيحَ قِتَالُهُمْ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ فَهُوَ أَنْ يَنْفَرِدُوا عَنِ الْجَمَاعَةِ وَلَا يَمْتَنِعُوا مِنْ حَقٍّ وَلَا يَتَعَدَّوْا إِلَى مَا لَيْسَ لَهُمْ بِحَقٍّ فَيَجُوزُ لِلْإِمَامِ قِتَالُهُمْ لِتَفْرِيقِ الْجَمَاعَةِ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ قِتَالُهُمْ لِتَظَاهُرِهِمْ بِالطَّاعَةِ

Adapun perkara yang diperbolehkan memerangi mereka karenanya, meskipun tidak wajib, yaitu apabila mereka memisahkan diri dari jamaah dan tidak menolak suatu hak serta tidak melampaui batas kepada sesuatu yang bukan hak mereka, maka boleh bagi imam untuk memerangi mereka karena memecah belah jamaah, namun tidak wajib atasnya memerangi mereka selama mereka masih menampakkan ketaatan.

رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ خَرَجَ عَنِ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ فَمِيتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliah.”

وَأَمَّا مَا اخْتَلَفَ الْقَوْلُ فِي وُجُوبِ قِتَالِهِمْ وَإِبَاحَتِهِ فَهُوَ إِذَا امْتَنَعُوا مَعَ انْفِرَادِهِمْ مِنْ دَفْعِ زَكَاةِ أَمْوَالِهِمُ الظَّاهِرَةِ وقاموا بتفرقتها في أهل السهمان مِنْهُمْ فَفِيهِ قَوْلَانِ

Adapun mengenai perbedaan pendapat tentang wajib atau bolehnya memerangi mereka, yaitu apabila mereka menolak secara mandiri untuk menyerahkan zakat harta yang tampak, dan mereka sendiri yang membagikannya kepada para mustahik dari kalangan mereka, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ إِنَّ قِتَالَهُمْ عَلَيْهَا وَاجِبٌ إِذَا قِيلَ فِيهَا بِوُجُوبِ دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ

Salah satunya adalah qiyās menurut pendapat lama Imam Syafi‘i, yaitu bahwa memerangi mereka karena hal itu adalah wajib apabila dikatakan bahwa wajib menyerahkannya kepada imam.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِهِ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ قِتَالَهُمْ عَلَيْهَا مُبَاحٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ إِذَا قِيلَ فِيهِ إِنَّ دَفْعَهَا إِلَى الْإِمَامِ مُسْتَحَبٌّ وليس بواجب والله أعلم

Pendapat kedua adalah qiyās atas ucapannya dalam pendapat baru, bahwa memerangi mereka karena hal itu diperbolehkan dan tidak wajib, jika dikatakan di dalamnya bahwa menyerahkannya kepada imam adalah mustahab dan tidak wajib. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” فأمر الله تعالى جَدُّهُ أَنْ يُصْلِحَ بَيْنَهُمْ بِالْعَدْلِ وَلَمْ يَذْكُرْ تِبَاعَةً فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ وَإِنَّمَا ذَكَرَ الصُّلْحَ آخِرًا كَمَا ذَكَرَ الْإِصْلَاحَ بَيْنَهُمْ أَوَّلًا قَبْلَ الْإِذْنِ بِقِتَالِهِمْ فَأَشْبَهَ هَذَا أَنْ تَكُونَ التَّبِعَاتُ فِي الدِّمَاءِ وَالْجِرَاحِ وَمَا تَلِفَ مِنَ الأموال ساقطة بينهم وكما قال ابن شهاب عندنا قد كانت في تلك الفتنة دماء يعرف في بعضها القاتل والمقتول وأتلفت فيها أموال ثم صار الناس إلى أن سكنت الحرب بينهم وجرى الحكم عليهم فما علمته اقتص من أحد ولا أغرم مالا أتلفه قال الشافعي رحمه الله وما علمت الناس اختلفوا في أن ما حووا في البغي من مال فوجد بعينه أن صاحبه أحق

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Maka Allah Ta‘ala memerintahkan agar mereka didamaikan dengan keadilan dan tidak menyebut adanya tanggungan dalam hal darah maupun harta. Allah hanya menyebut perdamaian pada akhirnya sebagaimana Dia menyebut perbaikan di antara mereka pada awalnya sebelum diizinkan memerangi mereka. Maka hal ini menunjukkan bahwa tanggungan dalam hal darah, luka, dan harta yang rusak di antara mereka menjadi gugur. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Syihab di sisi kami, pada fitnah tersebut memang ada darah yang diketahui siapa pembunuh dan siapa yang terbunuh, dan ada harta yang dirusak, kemudian manusia kembali hingga peperangan di antara mereka mereda dan hukum berlaku atas mereka, namun aku tidak mengetahui ada qishāsh yang ditegakkan terhadap seseorang atau ada harta yang diganti kerugiannya. Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara manusia bahwa apa yang mereka kuasai dari harta dalam pemberontakan, jika ditemukan wujudnya, maka pemiliknya lebih berhak atasnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْمُسْتَهْلَكُ بَيْنَ أَهْلِ الْعَدْلِ وَأَهْلِ الْبَغْيِ فِي غَيْرِ ثَائِرَةِ الْحَرْبِ وَالْتِحَامِ الْقِتَالِ مِنْ دِمَاءٍ وَأَمْوَالٍ فَهِيَ مَضْمُونَةٌ عَلَى مُسْتَهْلِكِهَا سَوَاءٌ كَانَ اسْتِهْلَاكُهَا قَبْلَ الْقِتَالِ أَوْ بَعْدَ فَيَضْمَنُ أَهْلُ الْبَغْيِ مَا اسْتَهْلَكُوهُ لِأَهْلِ الْعَدْلِ مِنْ دِمَاءٍ وَأَمْوَالٍ وَيَضْمَنُ أَهْلُ الْعَدْلِ مَا اسْتَهْلَكُوهُ عَلَى أَهْلِ الْبَغْيِ مِنْ دِمَاءٍ وَأَمْوَالٍ وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مِنَ الْمُسْلِمِ مَالَهُ وَدَمَهُ وأن يَظُنَّ بِهِ إِلَّا خَيْرًا

Al-Mawardi berkata: Adapun harta atau darah yang dimusnahkan oleh pihak Ahlul ‘Adl maupun Ahlul Baghy di luar situasi peperangan dan pertempuran yang sengit, maka hal itu tetap menjadi tanggungan pihak yang memusnahkannya, baik pemusnahan itu terjadi sebelum maupun sesudah pertempuran. Maka, Ahlul Baghy wajib menanggung apa yang mereka musnahkan dari darah dan harta milik Ahlul ‘Adl, dan Ahlul ‘Adl juga wajib menanggung apa yang mereka musnahkan dari darah dan harta milik Ahlul Baghy. Hal ini telah menjadi kesepakatan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya Allah mengharamkan harta dan darah seorang Muslim serta agar tidak berprasangka terhadapnya kecuali dengan kebaikan.”

وَأَمَّا الْمُسْتَهْلَكُ فِي ثَائِرَةِ الْحَرْبِ وَالْتِحَامِ الْقِتَالِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى أَهْلِ الْعَدْلِ فِيمَا اسْتَهْلَكُوهُ مِنْ دِمَاءِ أَهْلِ الْبَغْيِ وَأَمْوَالِهِمْ لِأَمْرَيْنِ

Adapun harta atau jiwa yang musnah dalam gejolak perang dan sengitnya pertempuran, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atas pihak yang adil terhadap apa yang mereka musnahkan dari darah dan harta pihak bughat, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ مَا وَجَبَ عَلَى أَهْلِ الْعَدْلِ مِنْ قِتَالِهِمْ يَمْنَعُ مِنْ ضَمَانِ مَا تَلِفَ بِالْقِتَالِ مِنْ دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ لِتَنَافِي اجْتِمَاعِ وُجُوبِ الْقِتَالِ وَوُجُوبِ الضَّمَانِ

Salah satunya adalah bahwa kewajiban bagi pihak yang adil untuk memerangi mereka mencegah adanya kewajiban ganti rugi atas apa yang rusak akibat peperangan dari darah dan harta mereka, karena tidak mungkin berkumpulnya kewajiban memerangi dan kewajiban ganti rugi.

وَالثَّانِي إِنَّ مَقْصُودَ الْقِتَالِ دَفْعُهُمْ عَنْ بَغْيِهِمْ فَصَارُوا فِي هَدَرِهَا كَالطَّالِبِ إِذَا قَتَلَهُ الْمَطْلُوبُ دَفَعًا عَنْ نَفْسِهِ

Kedua, sesungguhnya tujuan dari peperangan adalah untuk menolak kezaliman mereka, sehingga mereka dalam hal ini menjadi seperti orang yang menuntut hak, apabila ia dibunuh oleh orang yang dituntut sebagai bentuk pembelaan diri.

وَهَلْ يَضْمَنُ أَهْلُ الْبَغْيِ لِأَهْلِ الْعَدْلِ مَا اسْتَهْلَكُوهُ مِنْ دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Apakah kelompok bughat (pemberontak) wajib mengganti kerugian darah dan harta yang mereka musnahkan dari kelompok yang adil atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ مَذْهَبُ مَالِكٍ إِنَّهُمْ يَضْمَنُونَهُ لَهُمْ لِأَمْرَيْنِ

Salah satunya beliau katakan dalam pendapat lama, dan tampaknya itu adalah mazhab Malik bahwa mereka menanggungnya untuk mereka karena dua hal.

أَحَدُهُمَا إِنّهُمْ لَمَّا ضَمِنُوهُ إِذَا لَمْ يَمْتَنِعُوا ضَمِنُوهُ وَإِنِ امْتَنَعُوا كَأَهْلِ الْحِرَابَةِ

Salah satunya adalah bahwa mereka menanggungnya jika mereka tidak menolak, maka mereka menanggungnya; namun jika mereka menolak seperti halnya para pelaku hirabah.

وَالثَّانِي إِنّهُ لَمَّا كَانَ الْقِتَالُ مَحْظُورًا عَلَيْهِمْ كَانَ مَا حَدَثَ عَنْهُ مَضْمُونًا كَالْجِنَايَاتِ كَمَا أَنَّ الْقِتَالَ لَمَّا وَجَبَ عَلَى أَهْلِ الْعَدْلِ كَانَ مَا حَدَثَ عَنْهُ غَيْرَ مَضْمُونٍ كَالْحُدُودِ لِفَرْقِ مَا بَيْنَ الْوَاجِبِ وَالْمَحْظُورِ

Kedua, karena peperangan itu dilarang bagi mereka, maka segala sesuatu yang terjadi akibatnya menjadi tanggungan, seperti jinayah (tindak pidana), sebagaimana ketika peperangan itu diwajibkan atas Ahl al-‘Adl, maka segala sesuatu yang terjadi akibatnya tidak menjadi tanggungan, seperti hudud (hukuman-hukuman pidana), karena adanya perbedaan antara yang wajib dan yang terlarang.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ إِنَّهُ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِمْ وَهُوَ الصَّحِيحُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا الحجرات 9

Pendapat kedua dikemukakan dalam pendapat baru (al-jadid), dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, yaitu bahwa tidak ada kewajiban ganti rugi atas mereka, dan inilah pendapat yang benar berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu hingga mereka kembali kepada perintah Allah. Jika mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.” (QS. al-Hujurat: 9).

فَأَمَرَ بِالْإِصْلَاحِ بَيْنَهُمْ وَلَمْ يَذْكُرْ تَبِعَةً فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ فَدَلَّ عَلَى سُقُوطِهِ عَنْهُمْ

Maka beliau memerintahkan untuk mendamaikan antara mereka dan tidak menyebutkan adanya tanggungan dalam hal darah maupun harta, sehingga hal itu menunjukkan gugurnya tanggungan tersebut dari mereka.

وَلِمَا رُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ قَالَ لِمَنْ تَابَ مِنْ أَهْلِ الرِّدَّةِ تدون قتلانا ولا ندري قَتْلَاكُمْ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ لَا نَأْخُذُ لِقَتْلَانَا دية لأنهم عملوا الله وَأُجُورُهُمْ عَلَى اللَّهِ فَسَكَتَ أَبُو بَكْرٍ سُكُوتَ رَاجِعٍ إِلَى قَوْلِهِ

Dan karena telah diriwayatkan bahwa Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu berkata kepada orang-orang yang telah bertobat dari kalangan ahli riddah: “Catatlah para syuhada kami, sedangkan kami tidak mengetahui siapa korban dari pihak kalian.” Maka Umar berkata kepadanya: “Kami tidak menuntut diyat untuk para syuhada kami karena mereka telah beramal karena Allah dan pahala mereka ada di sisi Allah.” Maka Abu Bakar pun diam, diamnya menunjukkan bahwa ia kembali kepada pendapat Umar.

وَلِمَا رُوِيَ أَنَّ طُلَيْحَةَ قَتَلَ ثَابِتَ بْنَ أَقْرَمَ وَعُكَّاشَةَ بْنَ مِحْصَنٍ وَهَرَبَ إِلَى الشَّامِ ثُمَّ أَسْلَمَ وَقَدِمَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَبِلَ تَوْبَتَهُ وَلَمْ يَقْتَصَّ مِنْهُ

Dan karena telah diriwayatkan bahwa Thulaihah membunuh Tsabit bin Aqram dan ‘Ukkasyah bin Mihshan, lalu ia melarikan diri ke Syam, kemudian masuk Islam dan datang kepada Abu Bakar, maka Abu Bakar menerima taubatnya dan tidak menuntut qishash darinya.

وَهَكَذَا فَعَلَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْجَمَلِ لَمْ يَأْخُذْ أَحَدًا بِمَا اسْتَهْلَكَهُ مِنْ دَمٍ وَلَا مَالٍ مَعَ مَعْرِفَةِ الْقَاتِلِ وَالْمَقْتُولِ وَالتَّالِفِ وَالْمَتْلُوفِ

Demikian pula yang dilakukan oleh Ali radhiyallahu ‘anhu pada hari Perang Jamal; beliau tidak menuntut siapa pun atas darah atau harta yang telah hilang, meskipun beliau mengetahui siapa pembunuh, yang terbunuh, yang menyebabkan kerusakan, dan yang mengalami kerusakan.

وَهَكَذَا حَكَى ابْنُ الْمُسَيَّبِ وَالزُّهْرِيُّ فَدَلَّ عَلَى الْإِجْمَاعِ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ

Demikian pula telah dinukil oleh Ibnu al-Musayyab dan az-Zuhri, sehingga hal itu menunjukkan adanya ijmā‘ dalam gugurnya kewajiban ganti rugi.

وَلِأَنَّهُمَا طَائِفَتَانِ مُمْتَنِعَتَانِ اقْتَتَلَتَا تَدَيُّنًا فَلَمْ يَضْمَنْ بَعْضُهُمْ بعضاً كالمسلمين

Karena keduanya adalah dua kelompok yang saling menahan diri yang berperang karena alasan agama, maka sebagian mereka tidak menanggung sebagian yang lain, sebagaimana halnya kaum Muslimin.

وَلِأَنَّ تَضْمِينَ أَهْلِ الْبَغْيِ مَا أَتْلَفُوهُ مُنَفِّرٌ لَهُمْ وَمَانِعٌ مِنْ رُجُوعِهِمْ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُطْرَحًا كَمَا أُطْرِحَ فِي أَهْلِ الْحَرْبِ

Karena mewajibkan ganti rugi atas kerusakan yang dilakukan oleh ahl al-baghy (kelompok pemberontak) akan membuat mereka enggan dan menjadi penghalang bagi mereka untuk kembali (kepada kebenaran), maka kewajiban tersebut harus ditinggalkan, sebagaimana hal itu juga ditinggalkan pada ahl al-harb (orang-orang kafir yang memerangi).

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قِيلَ بِالْأَوَّلِ إِنَّ الضَّمَانَ وَاجِبٌ ضُمِنَتِ الْأَمْوَالُ بِالْغُرْمِ فَأَمَّا النُّفُوسُ فَإِنْ كَانَتْ خَطَأً أَوْ عَمْدَ الْخَطَأِ ضَمِنَتْ عَاقِلَةُ الْقَاتِلِ الدِّيَةَ دُونَ الْقَاتِلِ

Maka apabila telah dijelaskan argumentasi kedua pendapat tersebut, jika dipilih pendapat pertama bahwa tanggungan (jaminan) itu wajib, maka harta dijamin dengan ganti rugi. Adapun jiwa, jika pembunuhan itu karena kesalahan atau sengaja yang menyerupai kesalahan, maka ‘āqilah (keluarga besar) pelaku pembunuhanlah yang menanggung diyat, bukan pelaku pembunuhan itu sendiri.

وَإِنْ كَانَتْ عَمْدًا مَحْضًا فَفِي ضَمَانِهَا بِالْقَوَدِ وَجْهَانِ

Jika perbuatan itu merupakan kesengajaan murni, maka dalam hal penjaminannya dengan qawad terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ تُضْمَنُ بِالْقَوَدِ لِأَنَّهَا تُضْمَنُ فِي الْحَرْبِ كَمَا تُضْمَنُ في غيره

Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa ia dijamin dengan qawad, karena ia dijamin dalam peperangan sebagaimana dijamin pula di luar peperangan.

وَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ سَقَطَ ضَمَانُ مَا تَلِفَ مِنَ الْأَمْوَالِ وَوَجَبَ رَدُّ مَا بَقِيَ مِنْهَا

Dan jika pendapat kedua tentang gugurnya tanggungan diikuti, maka gugur pula tanggungan atas harta yang telah rusak, dan wajib mengembalikan harta yang masih tersisa.

فَأَمَّا إِنْ أَتْلَفَ عَلَيْهِمْ بِغَيْرِ قِتَالٍ نُظِرَ حَالُ مُتْلِفِهِ

Adapun jika ia merusak harta mereka tanpa adanya peperangan, maka dilihat keadaan pelaku perusakan tersebut.

فَإِنْ قَصَدَ بِمَا أَتْلَفَهُ مِنْهَا إِضْعَافَهُمْ وَهَزِيمَتَهُمْ لَمْ يَضْمَنْهَا

Jika ia bermaksud dengan apa yang ia hancurkan dari harta mereka untuk melemahkan dan mengalahkan mereka, maka ia tidak wajib menggantinya.

وَإِنْ قَصَدَ بِهِ التَّشَفِّي وَالِانْتِقَامَ ضَمِنَهَا وَصَارَتْ كَالْمُسْتَهْلَكِ عَلَيْهِمْ فِي غَيْرِ الْقِتَالِ

Dan jika ia bermaksud untuk melampiaskan dendam dan membalas, maka ia wajib menanggungnya dan hal itu dianggap seperti membinasakan harta mereka di luar peperangan.

وَأَمَّا النُّفُوسُ فَمَنْ قُتِلَ فِي الْقِتَالِ لَمْ يُضْمَنْ فِي عَمْدٍ وَلَا خَطَأٍ بِقَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ وَفِي ضَمَانِهِ بِالْكَفَّارَةِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ

Adapun jiwa, maka siapa yang terbunuh dalam pertempuran tidak ada tanggungan atasnya, baik dalam kasus sengaja maupun tidak sengaja, berupa qishāsh maupun diyat. Adapun mengenai kewajiban kafārah atasnya, terdapat dua pendapat yang memungkinkan.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَصَحُّ إِنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ بِالْكَفَّارَةِ كَمَا كَانَ غَيْرَ مَضْمُونٍ بِقَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ

Salah satu pendapat, dan inilah yang lebih sahih, adalah bahwa ia tidak wajib ditanggung dengan kafārah, sebagaimana ia juga tidak wajib ditanggung dengan qishāsh maupun diyat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنّهُ يُضْمَنُ بِالْكَفَّارَةِ لِأَنَّهَا مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى فَتَأَكَّدَتْ عَلَى حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَكَمَا يُضْمَنُ نَفْسُ الْمُسْلِمِ فِي دَارِ الْحَرْبِ بِالْكَفَّارَةِ دُونَ الدِّيَةِ

Pendapat kedua adalah bahwa hal itu dijamin dengan kafārah karena kafārah termasuk hak-hak Allah Ta‘ālā, sehingga lebih ditekankan daripada hak-hak manusia. Sebagaimana jiwa seorang Muslim di wilayah perang dijamin dengan kafārah, bukan dengan diyat.

وَمَنْ قُتِلَ مِنْهُمْ وَهُوَ مُعْتَزِلٌ عَنْ صُفُوفِ الْحَرْبِ

Dan barang siapa di antara mereka yang terbunuh sementara ia menjauhkan diri dari barisan peperangan.

فَإِنْ كَانَ رَدْءًا لَهُمْ وَعَوْنًا سَقَطَ ضَمَانُ نَفْسِهِ كَالْمُقَاتِلَةِ

Jika ia menjadi pendukung dan penolong mereka, maka gugurlah kewajiban membayar diyat atas dirinya, seperti halnya para prajurit yang berperang.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ رَدْءًا وَلَا عَوْنًا خَرَجَ عَنْ حُكْمِ الْمُقَاتِلَةِ وَضُمِنَتْ نَفْسُهُ بِالدِّيَةِ وَفِي ضَمَانِهَا بِالْقَوَدِ وَجْهَانِ على ما مضى

Dan jika ia bukan merupakan pendukung maupun penolong, maka ia keluar dari hukum sebagai pihak yang memerangi, dan jiwanya dijamin dengan diyat. Adapun mengenai penjaminannya dengan qisas, terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَأَهْلُ الرِّدَّةِ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ضَرْبَانِ فَمِنْهُمْ قَوْمٌ كَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ مِثْلُ طُلَيْحَةَ وَمُسَيْلِمَةَ وَالْعَنْسِيِّ وَأَصْحَابِهِمْ وَمِنْهُمْ قَوْمٌ تَمَسَّكُوا بِالْإِسْلَامِ وَمَنَعُوا الصَّدَقَاتِ وَلَهُمْ لِسَانٌ عَرَبِيٌّ وَالرِّدَّةُ ارتداده عما كانوا عليه بالكفر وارتداد بمنع حق كانوا عليه وقول عمر لأبي بكر رضي الله عنهما أليس قد قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إله إلا الله فإذا قالوها فقد عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ على الله وقول أبي بكر هذا من حقها لو منعوني عناقاً مما أعطوه النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لقاتلتهم عليها معرفة منهما معاً أن ممن قاتلوا من تمسك بالإسلام ولولا ذلك لما شك عمر في قتالهم ولقال أبو بكر قد تركوا لا إله إلا الله فصاروا مشركين وذلك بين في مخاطبتهم جيوش أبي بكر وأشعار من قال الشعر منهم فقال شَاعِرِهِمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Orang-orang murtad setelah Nabi ﷺ terbagi menjadi dua golongan: di antara mereka ada kaum yang kafir setelah keislaman mereka, seperti Ṭulaiḥah, Musailimah, al-‘Ansi, dan para pengikut mereka; dan di antara mereka ada kaum yang tetap berpegang pada Islam namun menolak membayar zakat, mereka berbahasa Arab. Murtad itu ada yang berupa keluar dari agama yang mereka anut dengan kekufuran, dan ada pula yang berupa penolakan terhadap hak yang seharusnya mereka tunaikan. Adapun perkataan ‘Umar kepada Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhumā, ‘Bukankah Rasulullah ﷺ telah bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Lā ilāha illallāh, maka jika mereka telah mengucapkannya, mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka ada pada Allah?’ Dan perkataan Abu Bakar, ‘Ini termasuk haknya. Seandainya mereka menolak memberikan seekor anak kambing betina yang dahulu mereka serahkan kepada Nabi ﷺ, niscaya aku akan memerangi mereka karenanya,’ menunjukkan bahwa keduanya sama-sama memahami bahwa di antara yang diperangi itu ada yang tetap berpegang pada Islam. Kalau bukan karena itu, niscaya ‘Umar tidak akan ragu untuk memerangi mereka, dan Abu Bakar pasti akan berkata, ‘Mereka telah meninggalkan Lā ilāha illallāh sehingga mereka menjadi musyrik.’ Hal ini jelas dalam dialog mereka dengan pasukan Abu Bakar dan dalam syair-syair yang diucapkan oleh para penyair mereka, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang penyair mereka.”

أَلَا أَصْبِحِينَا قَبْلَ ثَائِرَةِ الْفَجْرِ لَعَلَّ مَنَايَانَا قَرِيبٌ وَمَا نَدْرِي

Wahai kekasih, bangunkanlah kami sebelum fajar menyingsing, barangkali ajal kita sudah dekat dan kita pun tidak mengetahuinya.

أَطَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ ما كان بيننا فيا عجبا ما بالك مُلْكِ أَبِي بَكْرِ

Kami telah menaati Rasulullah selama beliau masih di tengah-tengah kami, maka sungguh mengherankan, ada apa dengan kekuasaan Abu Bakar?

فَإِنَّ الَّذِي سَأَلُوكُمُ فَمَنَعْتُمُ لَكَالتَّمْرِ أَوْ أَحْلَى إِلَيْهِمْ مِنَ التَّمْرِ

Sesungguhnya apa yang mereka minta kepada kalian lalu kalian tolak itu, bagi mereka seperti kurma atau bahkan lebih manis daripada kurma.

سَنَمْنَعُهُمْ مَا كَانَ فِينَا بَقِيَّةٌ كِرَامٌ عَلَى الْعَزَّاءِ في ساعة العسر

Kami akan mencegah mereka selama di antara kami masih ada sisa orang-orang mulia yang teguh dalam menghadapi kesulitan di saat-saat sulit.

وقالوا لأبي بكر رضي الله عنه بعد الإسار ما كفرنا بعد إيماننا ولكنا شححنا على أموالنا فسار إليهم أبو بكر بنفسه حتى لقي أخا بني بدر الفزاري فقاتله ومعه عمر وعامة أصحاب النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثم أمضى أبو بكر رضي الله عنه خالدا في قتال من ارتد ومنع الزكاة فقاتلهم بعوام مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال الشافعي رحمه الله ففي هذا دلالة على أن من منع حقا مما فرض الله عليه فلم يقدر الإمام على أخذه بامتناعه قاتله وإن أتى القتال على نفسه وفي هذا المعنى كل حق لرجل على رجل فمنعه بجماعة وقال لا أوذي ولا أبدؤكم بقتال قوتل وكذا قال من منع الصدقة ممن نسب إلى الردة فإذا لم يختلف أصحاب النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في قتالهم بمنع الزكاة فالباغي الذي يقاتل الإمام العادل في مثل معناهم في أنه لا يعطي الإمام العادل حقا يجب عليه ويمتنع من حكمه ويزيد على مانع الصدقة أن يريد أن يحكم هو على الإمام العادل

Mereka berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu setelah penahanan: “Kami tidak kafir setelah beriman, tetapi kami kikir terhadap harta kami.” Maka Abu Bakar sendiri berangkat menemui saudara Bani Badr al-Fazari, lalu memeranginya bersama Umar dan mayoritas sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengutus Khalid untuk memerangi orang-orang yang murtad dan yang menolak zakat, lalu ia memerangi mereka bersama sebagian besar sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: Dalam hal ini terdapat dalil bahwa siapa pun yang menolak suatu hak yang telah Allah wajibkan atasnya, lalu imam tidak mampu mengambilnya karena penolakannya, maka imam boleh memeranginya meskipun peperangan itu membinasakannya. Dalam makna ini juga berlaku untuk setiap hak seseorang atas orang lain, lalu ia menolaknya dengan dukungan kelompok dan berkata, “Aku tidak akan disakiti dan aku tidak akan memulai memerangi kalian,” maka ia tetap diperangi. Demikian pula dikatakan bagi orang yang menolak sedekah dari kalangan yang dinisbatkan kepada riddah. Jika para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbeda pendapat dalam memerangi mereka yang menolak zakat, maka orang yang memberontak dan memerangi imam yang adil dalam makna yang serupa—yaitu tidak memberikan hak yang wajib kepada imam yang adil dan menolak hukumnya—bahkan ia melebihi penolak zakat karena ingin memaksakan kehendaknya atas imam yang adil.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَصَدَ الشَّافِعِيُّ بِهَذِهِ الْجُمْلَةِ أَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Imam Syafi‘i dengan kalimat ini bermaksud pada dua hal.”

أَحَدُهُمَا الرَّدُّ عَلَى طَائِفَةٍ نَسَبَتْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ إِلَى الْخَطَأِ فِي قِتَالِ أَهْلِ الْجَمَلِ وَصِفِّينَ وَهُمْ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ وَقَالُوا هَلَّا فَعَلَ مِثْلَ مَا فَعَلَهُ عُثْمَانُ أَغْلَقَ بَابَهُ وَكَفَّ أَصْحَابَهُ عَنِ الْقِتَالِ وَكَالَّذِي فَعَلَ ابْنُهُ الْحَسَنُ حِينَ رَأَى الثَّائِرَةَ قَدْ هَاجَتْ وَالدِّمَاءَ قَدْ طَاحَتْ سَلَّمَ الْأَمْرَ تَسْلِيمَ تَقَرُّبٍ إِلَى مُعَاوِيَةَ

Salah satunya adalah bantahan terhadap sekelompok orang yang menisbatkan Ali bin Abi Thalib—semoga Allah memuliakan wajahnya—kepada kesalahan dalam peperangan melawan Ahlul Jamal dan Shiffin, padahal mereka termasuk Ahlul Qiblah. Mereka berkata, “Mengapa beliau tidak melakukan seperti yang dilakukan Utsman, yaitu menutup pintunya dan menahan para sahabatnya dari berperang, atau seperti yang dilakukan putranya, Hasan, ketika melihat gejolak telah memuncak dan darah telah tertumpah, lalu ia menyerahkan urusan itu sebagai bentuk pendekatan diri kepada Muawiyah?”

فَرَدَّ الشَّافِعِيُّ عَلَيْهِمْ بِأَنَّهُ مَا ابْتَدَعَ ذَلِكَ وَلَا ارْتَكَبَ فِيهِ مَحْظُورًا فَقَدْ فَعَلَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي قِتَالِ أَهْلِ الْقِبْلَةِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مِثْلَ مَا فَعَلَهُ وَإِنِ اخْتَلَفَ السَّبَبَانِ فِيهِ فَإِنَّ أَهْلَ الرِّدَّةِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ضَرْبَانِ

Syafi‘i membantah mereka dengan mengatakan bahwa ia tidak membuat hal baru dalam perkara itu dan tidak melakukan sesuatu yang terlarang di dalamnya, sebab Abu Bakar ra. juga telah melakukan hal serupa dalam memerangi Ahlul Qiblah dari kalangan kaum Muslimin, meskipun kedua sebabnya berbeda. Sesungguhnya, orang-orang murtad setelah Rasulullah saw. terbagi menjadi dua golongan.

مِنْهُمْ مَنِ ارْتَدَّ عَنْ دِينِهِ وَكَفَرَ بَعْدَ إِسْلَامِهِ مِثْلُ مُسَيْلِمَةَ تَنَبَّأَ بِالْيَمَامَةِ فَارْتَدَّ مَعَهُ مَنْ أَطَاعَهُ مَنْ بَنِي حَنِيفَةَ وَمِثْلُ طُلَيْحَةَ تَنَبَّأَ بِالْيَمَنِ فَارْتَدَّ مَعَهُ مَنْ أَطَاعَهُ مِنْ أَهْلِهَا

 

وَمِثْلُ الْعَنْسِيِّ تَنَبَّأَ فِي قَوْمِهِ فَارْتَدَّ مَعَهُ مَنْ أَطَاعَهُ مِنْهُمْ فَجَهَّزَ الْجُيُوشَ إِلَيْهِمْ وَكَانَ أَوَّلُ جَيْشٍ سَيَّرَهُ إِلَيْهِمْ جَيْشَ أُسَامَةَ وَكَانَ مُبَرِّزًا بِظَاهِرِ الْمَدِينَةِ حِينَ قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَسَيَّرَهُمْ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أَبْنَى مِنْ أَرْضِ الشَّامِ فَعَادَ ظَافِرًا ثُمَّ سَيَّرَ إِلَى مُسَيْلِمَةَ جَيْشًا وَأَمَدَّهُمْ بِالْجُيُوشِ حَتَّى قُتِلَ مِنْ أَهْلِ الرِّدَّةِ مَنْ قُتِلَ وَأَسْلَمَ مِنْهُمْ مَنْ أَسْلَمَ

Demikian pula Al-‘Ansi, ia mengaku sebagai nabi di tengah kaumnya, lalu orang-orang yang menaatinya dari kaumnya murtad bersamanya. Maka pasukan-pasukan pun dipersiapkan untuk menghadapi mereka. Pasukan pertama yang dikirim kepada mereka adalah pasukan Usamah, yang saat itu sudah bersiap di luar Madinah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Lalu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengirim mereka ke Abna di wilayah Syam, dan mereka kembali dengan kemenangan. Kemudian ia mengirim pasukan ke Musailamah dan memperkuat mereka dengan pasukan-pasukan tambahan, hingga terbunuhlah sebagian orang-orang murtad dan sebagian lainnya kembali memeluk Islam.

فَهَذَا ضَرَبٌ مِنْهُمُ انْطَلَقَ عَلَيْهِمُ اسْمُ الرِّدَّةِ لُغَةً وَشَرْعًا وَالضَّرْبُ الثَّانِي مِنْهُمْ مَنْ كَانَ مُقِيمًا عَلَى إِسْلَامِهِ وَمَنَعَ مِنَ الزَّكَاةِ بِتَأْوِيلٍ ذَهَبَ إِلَيْهِ وَشُبْهَةٍ دَخَلَتْ عَلَيْهِ فِي قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ التوبة 103 وَكَانَ دُخُولُ الشُّبْهَةِ عَلَيْهِمْ فِيهَا مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا إِنَّهُ خَاطَبَ بِهِ رَسُولَهُ فَلَمْ يَتَوَجَّهِ الْخِطَابُ إِلَى غَيْرِهِ

Maka, golongan pertama dari mereka ini dikenai sebutan riddah baik secara bahasa maupun syariat. Adapun golongan kedua dari mereka adalah orang-orang yang tetap berada dalam keislamannya, namun menolak membayar zakat karena takwil yang mereka yakini dan syubhat yang masuk ke dalam benak mereka terkait firman Allah Ta‘ala: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (at-Taubah: 103). Masuknya syubhat kepada mereka dalam ayat ini berasal dari dua sisi: salah satunya adalah karena Allah berbicara kepada Rasul-Nya, sehingga menurut mereka perintah itu tidak berlaku untuk selain beliau.

وَالثَّانِي قَوْلُهُ إِنْ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وليست صلوات ابن أبي قحافة سكن لَنَا فَاشْتَبَهَ تَأْوِيلُهُمْ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَصَحَّ فَسَادُهُ لِأَبِي بَكْرٍ فَأَذْعَنَ عَلَى قِتَالِهِمْ فَأَشَارَ عَلَيْهِ جَمَاعَةٌ بِالْكَفِّ عَنْهُمْ مِنْهُمْ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَطَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ

Yang kedua adalah ucapannya: “Sesungguhnya salatmu adalah penyejuk bagi mereka,” sedangkan salat Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakar) bukanlah penyejuk bagi kami. Maka penafsiran mereka menjadi samar bagi sebagian sahabat, namun kebatilannya telah jelas bagi Abu Bakar, sehingga ia bersikeras untuk memerangi mereka. Lalu sekelompok sahabat memberi saran kepadanya untuk menahan diri dari memerangi mereka, di antaranya Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Abdurrahman bin Auf.

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَنْ أَخِرُّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَتَخَطَّفُنِي الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِيَ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ لَأَهْوَنُ عَلَيَّ مِمَّا سمعت منكم يا أصحاب محمد والله لافرفت بَيْنَ مَا جَمَعَ اللَّهُ يَعْنِي قَوْله تَعَالَى وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ البقرة 43 وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا أَوْ عِقَالًا كَانُوا مِمَّا أَعْطَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَيْهِ أَرَأَيْتُمْ لَوْ سَأَلُوا تَرْكَ الصَّلَاةِ أَرَأَيْتُمْ لَوْ سَأَلُوا تَرْكَ الصِّيَامِ أَرَأَيْتُمْ لَوْ سَأَلُوا تَرْكَ الْحَجِّ أَرَأَيْتُمْ لَوْ سَأَلُوا شُرْبَ الْخَمْرِ أَرَأَيْتُمْ لَوْ سَأَلُوا الزِّنَا فَإِذًا لَا تَبْقَى عُرْوَةٌ مِنْ عُرَى الْإِسْلَامِ إِلَّا انْحَلَّتْ

Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, lebih ringan bagiku jika aku jatuh dari langit lalu burung-burung mencabik-cabikku, atau angin menerbangkanku ke tempat yang jauh, daripada apa yang aku dengar dari kalian, wahai para sahabat Muhammad. Demi Allah, aku tidak akan memisahkan apa yang telah Allah satukan—yakni firman-Nya Ta‘ala: ‘Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat’ (al-Baqarah: 43). Demi Allah, seandainya mereka menahan dariku seekor anak kambing betina atau tali unta yang dahulu mereka berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya aku akan memerangi mereka karenanya. Bagaimana pendapat kalian jika mereka meminta untuk meninggalkan shalat? Bagaimana jika mereka meminta untuk meninggalkan puasa? Bagaimana jika mereka meminta untuk meninggalkan haji? Bagaimana jika mereka meminta untuk meminum khamar? Bagaimana jika mereka meminta untuk berzina? Jika demikian, tidak akan tersisa satu pun ikatan dari ikatan Islam kecuali akan terlepas.”

فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَامَ نُقَاتِلُهُمْ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ فَوَكَزَ أَبُو بَكْرٍ فِي صَدْرِ عُمَرَ وَقَالَ إِلَيْكَ عَنِّي شَدِيدًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ خَوَّارًا فِي الْإِسْلَامِ وَهَلْ هَذَا إِلَّا مِنْ حَقِّهَا

Maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Mengapa kita memerangi mereka, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan la ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka terserah kepada Allah.’” Maka Abu Bakar menekan dada Umar dan berkata, “Menjauhlah dariku! Engkau keras pada masa jahiliah, tetapi lemah dalam Islam. Bukankah ini termasuk haknya?”

قَالَ عُمَرُ فَشَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ فَحِينَئِذٍ أَجْمَعُوا مَعَهُ عَلَى قِتَالِهِمْ مَعَ بَقَائِهِمْ عَلَى إِسْلَامِهِمْ وَلَمْ يَكُنِ الْإِسْلَامُ مَانِعًا مِنْ قِتَالِهِمْ لِأَنَّهُمْ مَنَعُوا حَقًّا عَلَيِهِمْ

Umar berkata, “Maka Allah melapangkan dadaku untuk menerima apa yang telah Allah lapangkan dada Abu Bakar terhadapnya. Maka saat itulah mereka semua sepakat bersamanya untuk memerangi mereka, meskipun mereka tetap dalam keislaman mereka, dan Islam tidak menjadi penghalang untuk memerangi mereka karena mereka telah menolak suatu hak yang wajib atas mereka.”

وَكَذَلِكَ حَالُ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي قِتَالِ مَنْ قَاتَلَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَلَا يَكُونُ كَفُّ عُثْمَانَ وَتَسْلِيمُ الْحَسَنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حُجَّةً عَلَيْهِ لِأَنَّ لِكُلِّ وَقْتٍ حُكْمًا وَلِكُلِّ مُجْتَهِدٍ رَأْيًا

Demikian pula keadaan Ali ‘alaihis salam dalam memerangi orang-orang yang memeranginya dari kalangan kaum Muslimin, dan tidaklah sikap menahan diri Utsman serta sikap menerima Hasan radhiyallahu ‘anhuma menjadi hujjah atasnya, karena setiap waktu memiliki hukum tersendiri dan setiap mujtahid memiliki pendapat masing-masing.

وَلَا يَمْنَعُ إِسْلَامُ مَانِعِي الزَّكَاةِ فِي عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ مِنْ إِطْلَاقِ اسْمِ الرِّدَّةِ عَلَيْهِمْ لُغَةً وَإِنْ لَمْ يَنْطَلِقْ عَلَيْهِمْ شَرْعًا لِأَنَّهُ لِسَانٌ عَرَبِيٌّ وَالرِّدَّةُ فِي لِسَانِ الْعَرَبِ الرُّجُوعُ كَمَا قَالَ تَعَالَى فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا الكهف 64 أَيْ رَجَعَا فَانْطَلَقَ اسْمُ الرِّدَّةِ عَلَى مَنْ رَجَعَ عَنِ الزَّكَاةِ كَانْطِلَاقِهِ عَلَى مَنْ رَجَعَ عَنِ الدِّينِ

Islamnya orang-orang yang menolak zakat pada masa Abu Bakar tidak menghalangi penyebutan istilah riddah kepada mereka secara bahasa, meskipun secara syariat tidak berlaku atas mereka, karena istilah tersebut adalah bahasa Arab, dan riddah dalam bahasa Arab berarti kembali (mundur), sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Maka keduanya kembali (radda) mengikuti jejak mereka” (al-Kahfi: 64), yaitu keduanya kembali. Maka istilah riddah dapat digunakan bagi siapa saja yang kembali dari zakat, sebagaimana penggunaannya bagi orang yang kembali dari agama.

فَهَذَا أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ فِي مُرَادِ الشَّافِعِيِّ بِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ

Inilah salah satu dari dua hal yang dimaksud oleh asy-Syafi‘i dalam masalah ini.

فَصْلٌ

Fashl (Bagian)

وَأَمَّا الْأَمْرُ الثَّانِي مِنْ مُرَادِهِ بِهَا فَالْكَلَامُ مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي مَانِعِي الزَّكَاةِ وَهُمْ ضَرْبَانِ

Adapun maksud kedua dari yang dimaksudkannya adalah pembahasan bersama Abu Hanifah mengenai orang-orang yang menahan zakat, dan mereka terbagi menjadi dua golongan.

ضَرْبٌ مَنَعُوهَا فِي عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ

Jenis (hukuman) ini mereka larang pada masa Abu Bakar.

وَضَرْبٌ مَنَعُوهَا مِنْ بَعْدُ

Dan ada pula jenis yang mereka larang setelahnya.

فَأَمَّا مَانِعُوهَا عَلَى عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ فَهُمْ مَنْ قَدَّمْنَا ذِكْرَهُمْ بِمَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِمْ مِنْ تَأْوِيلِ الْآيَةِ فَلَا يكونوا مُرْتَدِّينَ وَهُمْ بَاقُونَ عَلَى إِسْلَامِهِمْ

Adapun orang-orang yang menolak (membayar zakat) pada masa Abu Bakar, mereka adalah orang-orang yang telah kami sebutkan sebelumnya, yang mengalami kerancuan dalam menafsirkan ayat tersebut, sehingga mereka tidak dianggap murtad dan tetap berada dalam keislaman mereka.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ قَدِ ارْتَدُّوا بِامْتِنَاعِهِمْ عَنْهَا لِاسْتِحْلَالِهِمْ مَا نَصَّ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى خِلَافِهِ كَمَا لَوِ اسْتَحَلُّوا الْآنَ مَنْعَهَا وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ الصحابة عارضوا أبا بكر رضي الله عنهم فِي الْأَمْرِ بِقِتَالِهِمْ لِبَقَائِهِمْ عَلَى الْإِسْلَامِ فَوَافَقَهُمْ أَبُو بَكْرٍ عَلَى إِسْلَامِهِمْ وَبَيَّنَ السَّبَبَ الْمُوجِبَ لِقِتَالِهِمْ وَلَوِ ارْتَدُّوا لَمَا عَارَضُوهُ وَلَمَا احْتَجَّ عَلَيْهِمْ بِمَا احْتَجَّ فَدَلَّ عَلَى إِجْمَاعِهِمْ أَنَّهُمْ بَاقُونَ عَلَى إِسْلَامِهِمْ

Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka telah murtad karena menolak membayar zakat, sebab mereka menghalalkan sesuatu yang secara tegas telah dinyatakan Allah Ta‘ala kebalikannya, sebagaimana jika mereka sekarang menghalalkan penolakan zakat. Namun, pendapat ini tidak benar; karena para sahabat menentang Abu Bakar radhiyallahu ‘anhum dalam urusan memerangi mereka, karena mereka (para penolak zakat) masih tetap dalam Islam. Abu Bakar pun menyetujui mereka bahwa para penolak zakat itu masih Muslim, dan beliau menjelaskan alasan yang mewajibkan untuk memerangi mereka. Seandainya mereka telah murtad, niscaya para sahabat tidak akan menentangnya dan tidak akan berdalil kepadanya dengan apa yang mereka kemukakan. Maka hal ini menunjukkan adanya ijmā‘ di antara mereka bahwa para penolak zakat itu masih tetap dalam Islam.

وَلِأَنَّ الْقَوْمَ حِينَ تَابُوا وَقَدِمُوا عَلَى أَبِي بَكْرٍ قَالُوا وَاللَّهِ مَا كَفَرْنَا بَعْدَ إِيمَانِنَا وَلَكِنْ شَحَحْنَا عَلَى أَمْوَالِنَا

Dan karena ketika kaum itu telah bertobat dan datang kepada Abu Bakar, mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak kafir setelah beriman, tetapi kami hanya kikir terhadap harta kami.”

وَقَدْ بَانَ هَذَا الْقَوْلُ مِنْهُمْ فِي قَوْلِ شَاعِرِهِمْ

Pendapat ini telah tampak dari mereka dalam perkataan penyair mereka.

أَلَا أَصْبِحِينَا قَبْلَ ثَائِرَةِ الْفَجْرِ لَعَلَّ مَنَايَانَا قَرِيبٌ وَمَا نَدْرِي

Bangunkanlah kami sebelum fajar menyingsing, barangkali ajal kita sudah dekat dan kita tidak mengetahuinya.

أَطَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَانَ بَيْنَنَا فَيَا عَجَبًا مَا بَالُ مُلْكِ أَبِي بَكْرِ

Kami telah menaati Rasulullah selama beliau masih di tengah-tengah kami, maka sungguh mengherankan, ada apa dengan kekuasaan Abu Bakar?

فَإِنَّ الَّذِي سَأَلُوكُمُ فَمَنَعْتُمُ لَكَالتَّمْرِ أَوْ أَحْلَى إِلَيْهِمْ مِنَ التَّمْرِ

Sesungguhnya apa yang mereka minta kepada kalian lalu kalian menolaknya, bagi mereka itu seperti kurma atau bahkan lebih manis daripada kurma.

سَنَمْنَعُهُمْ مَا كَانَ فِينَا بَقِيَّةٌ كِرَامٌ عَلَى الْعَزَّاءِ فِي سَاعَةِ الْعُسْرِ

Kami akan mencegah mereka selama masih ada di antara kami sisa-sisa orang mulia yang teguh dalam menghadapi kesulitan di saat-saat sulit.

فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَلَا أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ مَا قَالُوهُ مِنْ بَقَائِهِمْ عَلَى إِيمَانِهِمْ فَدَلَّ عَلَى ثُبُوتِهِ إِجْمَاعًا

Maka Abu Bakar dan tidak seorang pun dari para sahabat membantah apa yang mereka katakan tentang tetapnya mereka di atas keimanan mereka, sehingga hal itu menunjukkan ketetapannya secara ijmā‘.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا مَانِعُو الزَّكَاةِ مِنْ بَعْدُ فَضَرْبَانِ

Adapun orang-orang yang menolak membayar zakat setelah itu, maka mereka terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا مَنْ مَنَعَهَا مُسْتَحِلًّا لِمَنْعِهَا فَيَكُونُ بِاسْتِحْلَالِ الْمَنْعِ مُرْتَدًّا وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْمَانِعُ مِنْهَا فِي عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ مُرْتَدًّا

Salah satunya adalah orang yang menolak membayar zakat dengan menghalalkan penolakannya, maka dengan menghalalkan penolakan tersebut ia menjadi murtad, meskipun orang yang menolak zakat pada masa Abu Bakar tidak dianggap murtad.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا إِنَّ الْمَنْعَ الْأَوَّلَ كَانَ قَبْلَ الْإِجْمَاعِ عَلَى إِبْطَالِ مَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِمْ مِنْ حُكْمِ الْآيَةِ فَكَانَ لِتَأْوِيلِ الشُّبْهَةِ مَسَاغًا وَالْمَنْعُ الْحَادِثُ بَعْدَهُ قَدِ انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى إِبْطَالِ الشُّبْهَةِ فِيهِ فَلَمْ يَكُنْ لِلتَّأْوِيلِ مَسَاغٌ فَافْتَرَقَا فِي حُكْمِ الرِّدَّةِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي حَالِ الْإِجْمَاعِ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pelarangan yang pertama terjadi sebelum adanya ijmā‘ tentang pembatalan hukum ayat yang masih samar bagi mereka, sehingga masih ada ruang bagi penafsiran yang didasarkan pada syubhat. Adapun pelarangan yang terjadi setelahnya, ijmā‘ telah terwujud untuk membatalkan syubhat di dalamnya, sehingga tidak ada lagi ruang bagi penafsiran. Maka keduanya berbeda dalam hukum riddah karena perbedaan keadaan ijmā‘ pada masing-masingnya.

وَمِثَالُهُ شَارِبُ الْخَمْرِ فِي عَصْرِ الصَّحَابَةِ لَمَّا اسْتَحَلَّ شُرْبَهَا بِشُبْهَةٍ تَعَلَّقَ بِهَا فِي قَوْله تَعَالَى لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا المائدة 93 لَمْ يُكَفَّرْ لِاحْتِمَالِ شُبْهَتِهِ فَلَمَّا أَجْمَعَ الصَّحَابَةُ عَلَى بُطْلَانِ هَذَا التَّأْوِيلِ صَارَ مُسْتَحِلُّهَا كَافِرًا

Contohnya adalah seseorang yang meminum khamar pada masa para sahabat, ketika ia menghalalkan meminumnya karena adanya syubhat yang ia kaitkan dengan firman Allah Ta‘ala: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh terhadap apa yang mereka makan, apabila mereka bertakwa, beriman…” (al-Mā’idah: 93). Ia tidak dikafirkan karena kemungkinan adanya syubhat tersebut. Namun, ketika para sahabat telah berijmā‘ atas batilnya penafsiran seperti itu, maka siapa pun yang menghalalkannya setelah itu menjadi kafir.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَمْنَعُوا مِنْهَا غَيْرَ مُسْتَحِلِّينَ لِمَنْعِهَا فَيَجُوزُ قِتَالُهُمْ عَلَى أَخْذِهَا مِنْهُمْ

Jenis yang kedua adalah mereka yang menolak (zakat) bukan karena menghalalkan penolakannya, maka boleh memerangi mereka untuk mengambil (zakat) tersebut dari mereka.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَجُوزُ قِتَالُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا مَعَ إِقْرَارِهِمْ بِوُجُوبِهَا لِأَمْرَيْنِ

Abu Hanifah berkata, tidak boleh memerangi mereka karena menolak membayarnya, selama mereka masih mengakui kewajibannya, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا لِتَعَلُّقِهَا بِأَمْوَالِهِمْ دُونَ أَبْدَانِهِمْ فَكَانَ الْمَالُ هُوَ الْمَطْلُوبَ دُونَهُمْ

Salah satunya karena zakat berkaitan dengan harta mereka, bukan dengan badan mereka, sehingga yang menjadi tujuan adalah harta, bukan diri mereka.

وَالثَّانِي إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ ائْتَمَنَهُمْ عَلَى أَدَائِهَا فَكَانَتْ كَالْأَمْوَالِ الْبَاطِنَةِ وَدَلِيلُنَا قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ لِلصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِي مَانِعِي الزَّكَاةِ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا أَوْ عِقَالًا مِمَّا أَعْطَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَيْهِ

Kedua, sesungguhnya Allah Ta‘ala telah mempercayakan mereka untuk menunaikannya, sehingga zakat itu seperti harta batin. Dalil kami adalah perkataan Abu Bakar kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang orang-orang yang menolak membayar zakat: “Demi Allah, seandainya mereka menolak memberikan seekor anak kambing atau tali unta yang dahulu mereka berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya aku akan memerangi mereka karenanya.”

فَوَافَقُوهُ عَلَيْهِ بَعْدَ مُخَالَفَتِهِمْ لَهُ فَدَلَّ عَلَى انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ بِهِ

Mereka pun menyepakatinya setelah sebelumnya berbeda pendapat dengannya, maka hal itu menunjukkan terjadinya ijmā‘ karenanya.

وَلِأَنَّهُمْ لَمَّا قُوتِلُوا لِامْتِنَاعِهِمْ مِنْ حَقِّ الْإِمَامِ فِي الطَّاعَةِ كَانَ قِتَالُهُمْ فِي امْتِنَاعِهِمْ مِنْ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فِي الزَّكَاةِ أَوْلَى وَلِأَنَّ الْعِبَادَاتِ نَوْعَانِ عَلَى أَبْدَانٍ وَفِي أَمْوَالٍ فَلَمَّا قُوتِلُوا فِي عِبَادَاتِ الْأَبْدَانِ قُوتِلُوا فِي عبادات الأموال

Dan karena mereka diperangi akibat penolakan mereka terhadap hak imam dalam hal ketaatan, maka memerangi mereka karena penolakan terhadap hak Allah Ta‘ala dalam zakat lebih utama. Selain itu, ibadah terbagi menjadi dua jenis: ibadah yang berkaitan dengan badan dan ibadah yang berkaitan dengan harta. Maka, ketika mereka diperangi karena ibadah-ibadah badan, mereka juga diperangi karena ibadah-ibadah harta.

وقولهم إِنَّ الْمَالَ هُوَ الْمَطْلُوبُ فَصَحِيحٌ لَكِنْ لَمَّا لَمْ يُوَصَلْ إِلَيْهِ إِلَّا بِقِتَالِهِمْ صَارَ قِتَالُهُمْ موصلاً إلى أخذ الحق منم وَمَا أَوْصَلَ إِلَى الْحَقِّ كَانَ حَقًّا

Pernyataan mereka bahwa harta itulah yang dicari memang benar, tetapi karena harta itu tidak dapat diperoleh kecuali dengan memerangi mereka, maka memerangi mereka menjadi jalan untuk mengambil hak dari mereka, dan segala sesuatu yang menjadi jalan menuju hak, maka itu adalah hak.

وَأَمَّا الْأَمْوَالُ الْبَاطِنَةُ فَفِيهَا جَوَابَانِ

Adapun harta-harta batin, maka terdapat dua jawaban mengenai hal itu.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ لَا نَظَرَ لِلْإِمَامِ فِيهَا فَلَمْ يُحَارِبْهُمْ عَلَيْهَا وَخَالَفَتِ الْأَمْوَالَ الظَّاهِرَةَ

Salah satunya adalah bahwa imam tidak memiliki wewenang dalam hal ini, sehingga ia tidak memerangi mereka karenanya, dan hal ini berbeda dengan harta yang tampak.

وَالثَّانِي إِنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ أَنْ يُقَاتَلُوا عَلَى إِخْرَاجِهَا إِلَى مُسْتَحِقِّيهَا وَإِنْ لَمْ يُقَاتَلُوا عَلَى دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ

Yang kedua, sesungguhnya tidak terlarang untuk memerangi mereka agar mengeluarkan zakat kepada yang berhak menerimanya, meskipun mereka tidak diperangi karena tidak menyerahkannya kepada imam.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ قِتَالِهِمْ عَلَى مَنْعِهَا فَإِنْ قَدَرَ الْإِمَامُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَخَذَ زَكَاتَهَا مِنْهَا بِغَيْرِ قِتَالٍ نُظِرَ

Maka apabila telah tetap bolehnya memerangi mereka karena menolak zakat, lalu jika imam mampu menguasai harta mereka dan mengambil zakat dari harta tersebut tanpa peperangan, maka hal itu perlu diteliti.

فَإِنْ قَدَرَ عَلَيْهَا لِرَفْعِ أَيْدِيهِمْ عَنْهَا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الدَّفْعِ عَنْهَا لَمْ يُقَاتِلْهُمْ لِأَنَّ هَذَا تَمْكِينٌ مِنَ الزَّكَاةِ

Jika ia mampu mengambil zakat itu kembali dengan cara menghentikan tangan mereka darinya, sementara ia juga mampu mencegah mereka darinya, maka ia tidak boleh memerangi mereka, karena hal itu sudah merupakan bentuk penyerahan zakat.

وَإِنْ كَانَ لِعَجْزِهِمْ عَنِ الدَّفْعِ عَنْهَا كَانَ عَلَى قِتَالِهِمْ حَتَّى يُظْهِرُوا الطَّاعَةَ بِأَدَائِهَا طَوْعًا

Jika ketidakmampuan mereka disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk membayar, maka wajib memerangi mereka hingga mereka menampakkan ketaatan dengan membayarnya secara sukarela.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ” وَلَوْ أَنَّ نَفَرًا يَسِيرًا قَلِيلِي الْعَدَدِ وَيُعْرَفُ أَنَّ مِثْلَهُمْ لَا يَمْتَنِعُ إِذَا أُرِيدُوا فَأَظْهَرُوا آرَاءَهُمْ وَنَابَذُوا الْإِمَامَ الْعَادِلَ وَقَالُوا نَمْتَنِعُ مِنَ الْحُكْمِ فَأَصَابُوا أَمْوَالًا وَدِمَاءً وَحَدَّدُوا فِي هَذِهِ الْحَالِ مُتَأَوِّلِينَ ثُمَّ ظُهِرَ عَلَيْهِمْ أُقِيمَتْ عَلَيْهِمُ الْحُدُودُ وَأُخِذَتْ مِنْهُمُ الْحُقُوقُ كَمَا تُؤْخَذُ مِنْ غَيْرِ الْمُتَأَوِّلِينَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Seandainya ada sekelompok kecil orang yang jumlahnya sedikit dan diketahui bahwa orang seperti mereka tidak akan mampu menahan diri jika mereka diinginkan (untuk ditangkap), lalu mereka menampakkan pendapat-pendapat mereka dan menentang imam yang adil serta berkata, ‘Kami menolak hukum (pemerintah)’, kemudian mereka melakukan pelanggaran terhadap harta dan darah (nyawa) serta menetapkan hukuman dalam keadaan ini karena penafsiran (ta’wil) mereka, lalu mereka berhasil dikalahkan, maka ditegakkan atas mereka hudud dan diambil hak-hak dari mereka sebagaimana hak-hak itu diambil dari selain orang-orang yang ber-ta’wil.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا قَلَّ أَهْلُ الْبَغْيِ وَلَمْ يَنْفَرِدُوا بِدَارٍ وَنَالَتْهُمُ الْقُدْرَةُ وَلَمْ يَمْنَعُوا عَنْ أَنْفُسِهِمْ بِكَثْرَةٍ وَقُوَّةٍ لَمْ يُؤَثِّرْ مَا تَأَوَّلُوهُ فِي سُقُوطِ الْحُقُوقِ عَنْهُمْ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ عَلَيْهِمْ فَقَدْ كَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُلْجِمٍ مِنْ أَسْوَأِ الْبُغَاةِ مُعْتَقَدًا وأعظمهم إجراماً قال وعلي كرم الله وجهه يَخْطُبُ عَلَى الْمِنْبَرِ بِالْكُوفَةِ وَاللَّهِ لَأُرِيحَنَّهُمْ مِنْكَ فَأَخَذَهُ النَّاسُ وَحَمَلُوهُ إِلَيْهِ وَقَالُوا اقْتُلْهُ قَبْلَ أَنْ يَقْتُلَكَ فَقَالَ كَيْفَ أَقْتُلُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْتُلَنِي وَخَلَّى سَبِيلَهُ فَبَاتَ لَهُ فِي الْمَسْجِدِ فخرج علي عليه السلام لِصَلَاةِ الْفَجْرِ مُغَلِّسًا

Al-Mawardi berkata, “Ini benar apabila jumlah ahl al-baghy sedikit dan mereka tidak menguasai suatu wilayah secara mandiri, serta ketika kekuasaan dapat menjangkau mereka dan mereka tidak mampu melindungi diri dengan jumlah dan kekuatan yang besar. Maka, apa yang mereka takwilkan tidak berpengaruh dalam menggugurkan hak-hak atas mereka dan penegakan hudud terhadap mereka. Abdul Rahman bin Muljam adalah salah satu dari ahl al-baghy yang paling buruk keyakinannya dan paling besar kejahatannya.” Ia berkata, “Ali karamallahu wajhah sedang berkhutbah di atas mimbar di Kufah, lalu berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku akan membebaskan mereka darimu.’ Maka orang-orang menangkapnya dan membawanya kepada Ali, lalu mereka berkata, ‘Bunuhlah dia sebelum dia membunuhmu.’ Ali berkata, ‘Bagaimana aku membunuhnya sebelum dia membunuhku?’ Lalu Ali membebaskannya. Maka ia bermalam di masjid, dan ketika Ali ‘alaihis salam keluar untuk shalat Subuh dalam keadaan masih gelap…”

وَقِيلَ إِنَّهُ أَنْشَدَ بِالِاتِّفَاقِ قول الشاعر

Dan dikatakan bahwa ia membacakan syair tersebut secara bersama-sama menurut kesepakatan.

اشْدُدْ حَيَازِيمَكَ لِلْمَوْتِ فَإِنَّ الْمَوْتَ آتِيكَ

Kuatkanlah tekadmu untuk menghadapi kematian, karena sesungguhnya kematian pasti akan datang kepadamu.

وَلَا تَجْزَعْ مِنَ الْمَوْتِ إِذَا حَلَّ بِوَادِيكَ

Janganlah engkau panik terhadap kematian apabila ia telah datang di lembahmu.

وَأَحْرَمَ بِرَكْعَتِي الْفَجْرِ فَأَمْسَكَ ابْنُ مُلْجِمٍ عَنْهُ فِي الركعة الأول حَتَّى قَدَّرَ رُكُوعَهُ وَسُجُودَهُ وَرَأَى سُجُودَهُ أَطْوَلَ مِنْ رُكُوعِهِ وَكَذَا السُّنَّةُ فَلَمَّا قَامَ إِلَى الثَّانِيَةِ ضَرْبَهُ فِي سُجُودِهِ ضَرْبَةً فَلَقَ بِهَا هَامَتَهُ

Dan beliau memulai shalat dua rakaat fajar, maka Ibnu Muljim menahan diri darinya pada rakaat pertama hingga ia memperkirakan rukuk dan sujudnya, dan ia melihat sujudnya lebih lama daripada rukuknya, dan demikianlah sunnahnya. Ketika beliau bangkit ke rakaat kedua, Ibnu Muljim memukulnya saat sujud dengan satu pukulan yang membelah kepalanya.

فَقَالَ عَلِيٌّ فُزْتُ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ

Ali berkata, “Aku telah menang, demi Tuhan Ka‘bah.”

وَأُخِذَ ابْنُ مُلْجِمٍ فَحُمِلَ إِلَيْهِ وَقِيلَ لَهُ اقْتُلْهُ قَبْلَ أَنْ يَقْتُلَكَ

Kemudian Ibnu Muljam ditangkap dan dibawa kepadanya, lalu dikatakan kepadanya, “Bunuhlah dia sebelum dia membunuhmu.”

فَقَالَ كَيْفَ أَقْتُلُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْتُلَنِي إِنْ عِشْتُ فَأَنَا وَلِيُّ دَمِي أَعْفُو إِنْ شِئْتُ وَإِنْ شِئْتُ اسْتَقَدْتُ وَإِنْ مُتُّ فَقَتَلْتُمُوهُ فَلَا تُمَثِّلُوا وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Lalu ia berkata, “Bagaimana aku bisa membunuhnya sebelum ia membunuhku? Jika aku tetap hidup, akulah wali darahku; aku bisa memaafkan jika aku mau, dan jika aku mau, aku bisa menuntut qishāsh. Namun jika aku mati lalu kalian membunuhnya, maka janganlah kalian melakukan mutilasi. Dan memaafkan itu lebih dekat kepada takwa.”

وَكَانَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَلَمَّا جَاءَ وَقْتُ الْإِفْطَارِ قَالَ أَطْعِمُوهُ وَأَحْسِنُوا إِسَارَهُ وَكَانَ أَوَّلَ مَنْ قُدِّمَ إِلَيْهِ الطَّعَامُ فِي دَارِهِ ابْنُ مُلْجِمٍ

Itu terjadi pada bulan Ramadan. Ketika waktu berbuka tiba, beliau berkata, “Berilah dia makan dan perlakukan tawanan itu dengan baik.” Orang pertama yang dihidangkan makanan di rumahnya adalah Ibnu Muljam.

فَلَمَّا مَاتَ قَتَلَهُ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ قَوَدًا

Maka ketika ia meninggal, al-Hasan bin Ali membunuhnya sebagai qishāsh.

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَفِي النَّاسِ بَقِيَّةٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَمَا أَنْكَرَ قَتْلَهُ وَلَا عَابَهُ أَحَدٌ

Syafi‘i berkata, “Pada waktu itu masih ada sisa-sisa sahabat Rasulullah saw., namun tidak ada seorang pun yang mengingkari atau mencela pembunuhan tersebut.”

فَدَلَّ عَلَى فَرْقِ مَا بَيْنَ الِامْتِنَاعِ وَالْقُدْرَةِ

Maka hal itu menunjukkan adanya perbedaan antara ketidakmungkinan dan kemampuan.

وَلِأَنَّ سُقُوطَ الْقَوَدِ فِي الِامْتِنَاعِ وَالْكَثْرَةِ إِنَّمَا هُوَ لِلْحَاجَةِ إِلَى تَأَلُّفِهِمْ فِي الرُّجُوعِ إِلَى الطَّاعَةِ وَالْمُنْفَرِدُ مَقْهُورٌ لَا يَحْتَاجُ إِلَى تَأَلُّفِهِ فَلِذَلِكَ وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْمُمْتَنِعِ وَغَيْرِ الْمُمْتَنِعِ

Dan karena gugurnya qawad (hukuman qisas) dalam kasus penolakan dan jumlah yang banyak itu semata-mata karena kebutuhan untuk merangkul mereka agar kembali kepada ketaatan, sedangkan orang yang sendirian itu dalam posisi lemah dan tidak membutuhkan untuk dirangkul, maka karena itulah terdapat perbedaan antara yang menolak dan yang tidak menolak.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِذَا كَانَتْ لِأَهْلِ الْبَغْيِ جَمَاعَةٌ تَكْبُرُ وَيَمْتَنِعُ مِثْلُهَا بِمَوْضِعِهَا الَّذِي هِيَ بِهِ بَعْضَ الِامْتِنَاعِ حَتَّى يُعْرَفَ أَنَّ مِثْلَهَا لَا يُنَالُ إِلَّا حتى تكثر نكايته واعتقدت ونصبت إماماً وأظهرت حكما وامتنعت من حكم الإمام العادل فهذه الفئة الباغية التي تفارق حكم من ذكرنا قبلها فإن فعلوا مثل هذا فينبغي أن يسألوا ما نقموا فإن ذكروا مظلمة بينة ردت وإن لم يذكروها بينة قيل عودوا لما فارقتم من طاعة الإمام العادل وأن تكون كلمتكم وكلمة أهل دين الله على المشركين واحدة وأن لا تمتنعوا من الحكم فإن فعلوا قبل منهم وإن امتنعوا قيل إنا مؤذنوكم بحرب فإن لم يجيبوا قوتلوا ولا يقاتلوا حتى يدعوا ويناظروا إلا أن يمتنعوا من المناظرة فيقاتلوا حتى يفيئوا إلى أمر الله

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika kelompok pemberontak memiliki jamaah yang besar dan kekuatannya di tempat mereka sedemikian rupa sehingga kelompok seperti itu sulit ditaklukkan kecuali setelah mereka banyak menimbulkan kerusakan, lalu mereka meyakini dan mengangkat seorang imam, menampakkan hukum, serta menolak hukum imam yang adil, maka inilah kelompok bughāt (pemberontak) yang berbeda hukumnya dengan yang telah kami sebutkan sebelumnya. Jika mereka melakukan hal seperti ini, maka hendaknya ditanyakan apa yang mereka keluhkan. Jika mereka menyebutkan suatu kezaliman yang jelas, maka kezaliman itu harus dihilangkan. Jika mereka tidak menyebutkan kezaliman yang jelas, maka dikatakan kepada mereka: Kembalilah kepada ketaatan kepada imam yang adil, dan hendaknya kalian bersatu bersama kaum muslimin dalam menghadapi kaum musyrik, serta janganlah kalian menolak hukum. Jika mereka menerima, maka diterima dari mereka; jika mereka menolak, maka dikatakan: Kami akan memberitahukan kepada kalian tentang perang. Jika mereka tidak menjawab, maka diperangi. Namun mereka tidak boleh diperangi sebelum diajak berdialog dan didakwahi, kecuali jika mereka menolak dialog, maka mereka diperangi hingga kembali kepada perintah Allah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَةُ أَهْلِ الْبَغْيِ أَنَّهُمْ ضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata, dan secara umum, ahl al-baghy (kelompok pemberontak) itu terbagi menjadi dua golongan.

ضَرْبٌ خَرَجُوا عَنِ الْقُدْرَةِ بِالِامْتِنَاعِ وَالْكَثْرَةِ وَلَا يُوصَلُ إِلَيْهِمْ إِلَّا بِالْجُيُوشِ وَالْمُقَاتِلَةِ

Sekelompok orang yang telah keluar dari kekuasaan karena menolak dan jumlah mereka banyak, sehingga tidak bisa dijangkau kecuali dengan pasukan dan pertempuran.

فَهُمْ مَنْ قَدَّمْنَا ذِكْرَهُ فِي إِبَاحَةِ قِتَالِهِمْ وَأَنَّ أَهْلَ الْعَدْلِ لَا يَضْمَنُونَ مَا اسْتَهْلَكُوهُ عَلَيْهِمْ فِي ثَائِرَةِ الْحَرْبِ مِنْ دِمَاءٍ وَأَمْوَالٍ وَفِي تَضْمِينِ أَهْلِ الْبَغْيِ مَا اسْتَهْلَكُوهُ عَنْ أَهْلِ الْعَدْلِ فِي ثَائِرَةِ الْحَرْبِ مِنْ دِمَاءٍ وَأَمْوَالٍ قَوْلَانِ

Mereka adalah orang-orang yang telah kami sebutkan sebelumnya tentang kebolehan memerangi mereka, dan bahwa Ahl al-‘Adl tidak menanggung ganti rugi atas darah dan harta yang mereka musnahkan dari pihak mereka dalam gejolak peperangan. Adapun mengenai kewajiban Ahl al-Baghy untuk menanggung ganti rugi atas darah dan harta yang mereka musnahkan dari Ahl al-‘Adl dalam gejolak peperangan, terdapat dua pendapat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي مَنْ كَانَ تَحْتَ الْقُدْرَةِ وَهُمْ ضَرْبَانِ

Jenis kedua adalah mereka yang berada di bawah kekuasaan, dan mereka terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَخْتَلِطُوا بِأَهْلِ الْعَدْلِ كَابْنِ مُلْجِمٍ وَأَشْيَاعِهِ فَأَحْكَامُنَا عَلَيْهِمْ جَارِيَةٌ فِي الْحُقُوقِ وَالْحُدُودِ وَهُمْ مُؤَاخَذُونَ بِضَمَانِ مَا اسْتَهْلَكُوهُ مِنْ دِمَاءٍ وَأَمْوَالٍ سَوَاءٌ اسْتَهْلَكُوهَا عَلَى أَهْلِ الْعَدْلِ أَوِ اسْتَهْلَكُوهَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَيُؤْخَذُ أَهْلُ الْعَدْلِ بِضَمَانِ مَا اسْتَهْلَكُوهُ عَلَيْهِمْ مِنْ دِمَاءٍ وَأَمْوَالٍ

Salah satunya adalah mereka bercampur dengan Ahl al-‘Adl seperti Ibnu Muljam dan para pengikutnya, maka hukum-hukum kita berlaku atas mereka dalam hal hak-hak dan hudud, dan mereka tetap dibebani tanggung jawab atas darah dan harta yang mereka rusak, baik mereka merusaknya terhadap Ahl al-‘Adl maupun sebagian mereka merusaknya terhadap sebagian yang lain. Demikian pula, Ahl al-‘Adl dibebani tanggung jawab atas darah dan harta yang mereka rusak terhadap mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَنْفَرِدُوا بِدَارٍ لِكَثْرَتِهِمْ وقوتهم غير أنهم لم يتظاهروا بخلع الطَّاعَةِ وَلَا امْتَنَعُوا مِنْ أَدَاءِ الْحُقُوقِ فَهَؤُلَاءِ يَجِبُ الْكَفُّ عَنْهُمْ وَلَا يَجُوزُ قِتَالُهُمْ مَا أَقَامُوا عَلَى حَالِهِمْ وَإِنْ خَالَفُوا أَهْلَ الْعَدْلِ فِي مُعْتَقَدِهِمْ

Golongan kedua adalah mereka yang memisahkan diri di suatu wilayah karena jumlah mereka yang banyak dan kekuatan mereka, namun mereka tidak secara terang-terangan menolak ketaatan dan tidak pula menolak untuk menunaikan hak-hak. Maka terhadap mereka wajib menahan diri dan tidak boleh memerangi mereka selama mereka tetap dalam keadaan seperti itu, meskipun mereka berbeda keyakinan dengan Ahl al-‘Adl.

فَقَدِ اعْتَزَلَ أَهْلُ النَّهْرَوَانِ عَلِيًّا وَخَالَفُوهُ فِي رَأْيِهِ فَوَلَّى عَلَيْهِمْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ عَامِلًا فَأَطَاعُوهُ فَكَفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ قَتَلُوهُ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِمْ عَلِيٌّ أَنْ سَلِّمُوا إِلَيَّ قَاتِلَهُ أُقِيدُ مِنْهُ قَالُوا كُلُّنَا قَتَلَهُ فَسَارَ إِلَيْهِمْ حَتَّى قَتَلَهُمْ مَعَ كَثْرَةِ عَدَدِهِمْ

Kaum Nahrawan telah memisahkan diri dari Ali dan menentang pendapatnya. Ali kemudian mengangkat Abdullah bin Khabbab bin Al-Aratt sebagai pemimpin atas mereka, lalu mereka menaatinya sehingga Ali membiarkan mereka. Namun kemudian mereka membunuh Abdullah bin Khabbab. Maka Ali mengirim utusan kepada mereka agar menyerahkan pembunuhnya kepadanya agar ia dapat menegakkan qishāsh atasnya. Mereka menjawab, “Kami semua yang membunuhnya.” Maka Ali pun bergerak menuju mereka hingga membunuh mereka, meskipun jumlah mereka sangat banyak.

فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَا فَعَلُوهُ قَبْلَ التَّظَاهُرِ بِخَلْعِ الطَّاعَةِ هُمْ بِهِ مُؤَاخَذُونَ وَلَهُ ضَامِنُونَ

Maka hal itu menunjukkan bahwa apa yang telah mereka lakukan sebelum menampakkan penolakan ketaatan, mereka tetap bertanggung jawab atasnya dan wajib menanggung akibatnya.

كَذَلِكَ مَنْ كَانَ مِثْلَهُمْ وَيَصِيرُ مُخَالِفًا لِحُكْمِ مَنْ تَظَاهَرَ بِخَلْعِ الطَّاعَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Demikian pula orang yang seperti mereka, ia menjadi berbeda hukumnya dengan orang yang secara terang-terangan melepaskan ketaatan dalam dua hal.

أَحَدُهُمَا فِي قِتَالِهِمْ إِذَا تَظَاهَرُوا بِخَلْعِ الطَّاعَةِ وَالْكَفِّ عَنْهُمْ إِذَا لَمْ يَتَظَاهَرُوا

Salah satunya adalah dalam memerangi mereka jika mereka secara terang-terangan menanggalkan ketaatan, dan menahan diri dari mereka jika mereka tidak melakukannya secara terang-terangan.

وَالثَّانِي فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ عَنْهُمْ إِذَا تَظَاهَرُوا فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ وَوُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَيْهِمْ قَوْلًا وَاحِدًا إِذَا لم يتظاهروا والله أعلم

Yang kedua, dalam hal gugurnya tanggungan (dhamān) dari mereka apabila mereka bersekongkol menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, dan wajibnya tanggungan atas mereka menurut satu pendapat apabila mereka tidak bersekongkol. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَالْفَيْئَةُ الرُّجُوعُ عَنِ الْقِتَالِ بِالْهَزِيمَةِ أَوِ التَّرْكِ لِلْقِتَالِ أَيْ حَالَ تركوا فيها القتال فقد فاءوا وحرم قتالهم لأنه أمر أن يقاتل وإنما يقاتل من يقاتل فإذا لم يقاتل حرم بالإسلام أن يقاتل فأما من لم يقاتل فإنما يقال اقتلوه لا قاتلوه نادى منادي علي رضي الله عنه يوم الجمل أَلَا لَا يُتْبَعُ مُدْبِرٌ وَلَا يُذَفَّفُ عَلَى جريح وأتى علي رضي الله عنه يوم صفين بأسير فقال له علي لا أقتلك صبراً إني أخاف الله رب العالمين فخلى سبيله والحرب يوم صفين قَائِمَةٌ وَمُعَاوِيَةُ يُقَاتِلُ جَادًّا فِي أَيَّامِهِ كُلِّهَا منتصفاً أو مستعلياً فبهذا كله أقول وأما إذا لم تكن جماعة ممتنعة فحكمه القصاص قتل ابن ملجم عليا متأولاً فأمر بحبسه وقال لولده إن قتلتم فلا تمثلوا ورأى عليه القتل وقتله الحسن بن علي رضي الله عنه وفي الناس بقية من أصحاب النبي

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Al-fay’ adalah kembali dari peperangan dengan mundur atau meninggalkan peperangan, yaitu ketika mereka meninggalkan peperangan maka mereka telah kembali (fā’u), dan haram memerangi mereka, karena perintahnya adalah untuk memerangi, dan yang diperangi hanyalah orang yang memerangi. Jika mereka tidak memerangi, maka haram menurut Islam untuk memerangi mereka. Adapun orang yang tidak memerangi, maka dikatakan: ‘Bunuhlah dia,’ bukan ‘Perangilah dia.’ Pada hari Perang Jamal, penyeru Ali radhiyallahu ‘anhu berseru: ‘Ketahuilah, janganlah mengejar orang yang mundur dan jangan membunuh orang yang terluka.’ Pada hari Perang Shiffin, Ali radhiyallahu ‘anhu didatangi seorang tawanan, lalu Ali berkata kepadanya: ‘Aku tidak akan membunuhmu secara perlahan, sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam,’ lalu ia membebaskannya, padahal perang pada hari Shiffin masih berlangsung dan Mu‘awiyah memerangi dengan sungguh-sungguh sepanjang hari-harinya, kadang menang, kadang kalah. Dengan semua ini aku berpendapat demikian. Adapun jika tidak ada kelompok yang menahan (untuk diperangi), maka hukumnya adalah qishāsh. Ibnu Muljam membunuh Ali dengan takwil, maka ia diperintahkan untuk dipenjara, dan Ali berkata kepada anaknya: ‘Jika kalian membunuhnya, janganlah kalian menyiksanya.’ Ali memandang bahwa ia harus dibunuh, lalu Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma membunuhnya, dan pada saat itu masih ada sebagian sahabat Nabi di tengah-tengah manusia.”

فما أنكر قتله ولا عابه أحد ولم يقد علي وقد ولي قتال المتأولين ولا أبو بكر من قتله الجماعة الممتنع مثلها على التأويل على ما وصفنا ولا على الكفر وإن كان بارتداد إذا تابوا قد قتل طليحة عكاشة بن محصن وثابت بن أقرم ثم أسلم فلم يضمن عقلاً ولا قوداً فأما جماعة ممتنعة غير متأولين قتلت وأخذت المال فحكمهم حكم قطاع الطريق قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ في قتال أهل الردة لأنه ألزمهم هناك ما وضع ههنا عنهم وهذا أشبه عندي بالقياس

Maka tidak ada seorang pun yang mengingkari pembunuhannya atau mencelanya, dan tidak ada qishash atasnya, padahal Ali pernah memimpin perang melawan orang-orang yang menakwilkan (hukum), demikian pula Abu Bakar tidak menetapkan qishash atas orang yang membunuh sekelompok orang yang menolak (membayar zakat) dengan penakwilan, sebagaimana telah kami jelaskan, dan tidak pula karena kekufuran, meskipun dalam kasus riddah (kemurtadan), jika mereka bertobat, mereka tidak dibunuh. Thulaihah telah membunuh ‘Ukkasyah bin Mihshan dan Tsabit bin Aqram, kemudian ia masuk Islam, maka tidak ada diyat (tebusan) dan tidak pula qishash atasnya. Adapun sekelompok orang yang menolak tanpa penakwilan, lalu mereka membunuh dan mengambil harta, maka hukum mereka adalah seperti hukum para perampok (qath‘ ath-tharīq). Al-Muzani rahimahullah berkata, “Ini berbeda dengan pendapatnya dalam memerangi ahli riddah, karena di sana ia mewajibkan sesuatu yang di sini ia gugurkan dari mereka, dan menurutku ini lebih mendekati qiyās.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَصْلُ هَذَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ الحجرات 9

Al-Mawardi berkata, “Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta‘ala: ‘Maka perangilah kelompok yang berbuat aniaya itu hingga mereka kembali kepada perintah Allah.’ (QS. Al-Hujurat: 9)”

فَكَانَ قَوْلُهُ فَقَاتِلُوا يَتَضَمَّنُ الْأَمْرَ بِقِتَالِهِمْ لَا بِقَتْلِهِمْ

Maka firman-Nya “maka perangilah mereka” mengandung perintah untuk memerangi mereka, bukan untuk membunuh mereka.

وَقَوْلُهُ حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أمر الله هُوَ الْغَايَةُ فِي إِبَاحَةِ قِتَالِهِمْ

Dan firman-Nya “hingga mereka kembali kepada perintah Allah” adalah batas akhir dalam diperbolehkannya memerangi mereka.

وَالْفَيْئَةُ فِي كَلَامِهِمْ الرُّجُوعُ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ تَتَّفِقُ أَحْكَامُهَا وَإِنِ اخْتَلَفَتْ أَنْوَاعُهَا

Fai’ah dalam istilah mereka berarti kembali, dan ia terbagi menjadi tiga jenis yang hukum-hukumnya sama meskipun macam-macamnya berbeda.

أَحَدُهَا أَنْ يَرْجِعُوا إِلَى طَاعَةِ الْإِمَامِ وَالِانْقِيَادِ لِأَمْرِهِ فَهُوَ غَايَةُ مَا أُرِيدَ مِنْهُمْ وَقَدْ خَرَجُوا بِهِ مِنَ الْبَغْيِ اسْمًا وَحُكْمًا وَصَارُوا دَاخِلِينَ فِي أَحْكَامِ أَهْلِ الْعَدْلِ

Salah satu di antaranya adalah mereka kembali taat kepada imam dan tunduk pada perintahnya; itulah tujuan utama yang diinginkan dari mereka, dan dengan itu mereka telah keluar dari status dan hukum bughāt, serta menjadi termasuk dalam hukum-hukum ahl al-‘adl.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يُلْقُوا سِلَاحَهُمْ مستسملين فَالْوَاجِبُ الْكَفُّ عَنْهُمْ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِقِتَالِهِمْ لَا بِقَتْلِهِمْ وَخَالَفُوا أَهْلَ الْحَرْبِ إِذَا أَلْقَوْا سِلَاحَهُمْ فِي جَوَازِ قَتْلِهِمْ لِأَنَّ الْأَمْرَ فِي أَهْلِ الْحَرْبِ مُتَوَجِّهٌ إِلَى قَتْلِهِمْ وَفِي أَهْلِ الْبَغْيِ إِلَى قِتَالِهِمْ

Jenis yang kedua adalah mereka meletakkan senjata mereka dalam keadaan menyerah, maka yang wajib adalah menahan diri dari memerangi mereka, karena Allah Ta‘ala memerintahkan untuk memerangi mereka, bukan membunuh mereka. Mereka berbeda dengan ahl al-harb (orang-orang kafir yang memerangi) ketika mereka meletakkan senjata, di mana boleh membunuh mereka, karena perintah terhadap ahl al-harb adalah untuk membunuh mereka, sedangkan terhadap ahl al-baghy (pemberontak) adalah untuk memerangi mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ يُوَلُّوا مُنْهَزِمِينَ فَيَجِبُ الْكَفُّ عَنْهُمْ وَلَا يُتْبَعُوا بَعْدَ هَزِيمَتِهِمْ

Jenis yang ketiga adalah jika mereka mundur dalam keadaan kalah, maka wajib menahan diri dari mereka dan tidak boleh mengejar mereka setelah kekalahan mereka.

فَقَدْ نَادَى مُنَادِي عَلِيٍّ يَوْمَ الجمل أَلَا لَا يُتْبَعُ مُدْبِرٌ وَلَا يُذَفَّفُ عَلَى جَرِيحٍ وَرَوَى جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ عَلَيْهِمْ السَّلَامُ قَالَ دَخَلَ عَلَيَّ مَرْوَانُ فَقَالَ لِي مَا رَأَيْتُ أَكْرَمَ غَلَبَةً مِنْ أَبِيكَ مَا كَانَ إِلَّا أَنْ وَلَّيْنَا يَوْمَ الْجَمَلِ حَتَّى نَادَى مُنَادِيهِ أَلَا لا يتبع مدبر ولا يذفف على جريح

Pada hari Perang Jamal, penyeru Ali berseru: “Ketahuilah, janganlah mengejar orang yang melarikan diri dan jangan membunuh orang yang terluka.” Ja‘far bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya ‘Ali bin al-Husain ‘alaihimussalam, ia berkata: Marwan pernah menemuiku dan berkata, “Aku tidak pernah melihat kemenangan yang lebih mulia daripada kemenangan ayahmu. Tidaklah kami mundur pada hari Jamal kecuali penyerunya berseru: Ketahuilah, janganlah mengejar orang yang melarikan diri dan jangan membunuh orang yang terluka.”

وَلَمَّا وَلَّى الزُّبَيْرُ عَنِ الْقِتَالِ وَخَرَجَ عَنِ الصَّفِّ قَالَ عَلِيٌّ أَفْرِجُوا لِلشَّيْخِ فَإِنَّهُ مُحْرِمٌ فَمَضَى وَأَتْبَعَهُ عَمْرُو بْنُ جُرْمُوزٍ حَتَّى ظَفِرَ بِاغْتِيَالِهِ فَقَتَلَهُ بِوَادِي السِّبَاعِ وَأَتَى عَلِيًّا بِرَأْسِهِ فَقَالَ عَلِيٌّ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ بَشِّرْ قَاتِلَ ابْنِ صَفِيَّةَ بِالنَّارِ

Ketika az-Zubair mundur dari pertempuran dan keluar dari barisan, Ali berkata, “Berilah jalan bagi orang tua itu, karena ia sedang berihram.” Maka az-Zubair pun pergi, lalu diikuti oleh Amr bin Jurmuz hingga ia berhasil membunuhnya secara diam-diam di Wadi as-Siba‘, kemudian ia membawa kepala az-Zubair kepada Ali. Maka Ali berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sampaikan kabar kepada pembunuh putra Shafiyyah bahwa ia akan masuk neraka.’”

فَقَالَ عَمْرٌو أُفٍّ لَكُمْ إِنْ كُنَّا مَعَكُمْ أَوْ عَلَيْكُمْ فِي النَّارِ فَقَامَ وَهُوَ يَقُولُ

Maka Amr berkata, “Cis, celaka kalian! Apakah kami bersama kalian atau melawan kalian di neraka?” Lalu ia berdiri sambil berkata demikian.

أَتَيْتُ عَلِيًّا بِرَأْسِ الزُّبَيْرِ وَكُنْتُ أَظُنُّ بِهَا زُلْفَتِي

Aku membawa kepala Zubair kepada Ali, dan aku mengira hal itu akan membuatku dekat dengannya.

فَبَشَّرَ بِالنَّارِ قَبْلَ الْوَعِيدِ وَبِئْسَ بِشَارَةُ ذِي التُّحْفَةِ

Maka ia memberi kabar gembira dengan neraka sebelum ancaman itu datang, dan sungguh buruk kabar gembira bagi orang yang memiliki anugerah itu.

وَوَلَّى طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ فَلَمْ يَعْرِضْ لَهُ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ عَلِيٍّ حَتَّى رَمَاهُ مَرْوَانُ بْنُ الْحَكَمِ بِسَهْمٍ فِي أَكْحَلِهِ فَقَتَلَهُ وَكَانَ فِي عَسْكَرِ طَلْحَةَ وَالزُّبَيْرِ فَلَمَّا كَانَ فِي اللَّيْلِ سَارَ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَمَعَهُ قَنْبَرٌ مَوْلَاهُ بِمِشْعَلَةٍ يَتَصَفَّحُ الْقَتْلَى فَمَرَّ بِطَلْحَةَ قَتِيلًا فَوَقَفَ عَلَيْهِ وَبَكَى وَقَالَ

Lalu Thalhah bin ‘Ubaidillah maju, dan tidak ada seorang pun dari para sahabat ‘Ali yang menghalanginya, hingga Marwan bin al-Hakam melemparkan anak panah ke urat lengannya lalu membunuhnya. Marwan berada di pasukan Thalhah dan az-Zubair. Ketika malam tiba, ‘Ali ‘alaihis salam berjalan bersama Qanbar, pembantunya, dengan membawa obor untuk memeriksa para korban yang gugur. Ia melewati Thalhah yang telah terbunuh, lalu ia berhenti di sisinya dan menangis seraya berkata:

أَعْزِزْ عَلَيَّ أَبَا مُحَمَّدٍ أَنْ أَرَاكَ مُجَدَّلًا تَحْتَ نجوم السماء لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ شَفَيْتُ غَيْظِي وَقَتَلْتُ مَعْشَرِي إِلَى اللَّهِ أَشْكُو عُجَرِي وَبُجَرِي ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ

Sungguh berat bagiku, wahai Abu Muhammad, melihatmu tergeletak di bawah bintang-bintang langit. Milik Allah-lah segala sesuatu dan kepada-Nya kami kembali. Aku telah melampiaskan amarahku dan membunuh kaumku sendiri. Kepada Allah aku mengadukan luka-luka dan penderitaanku. Kemudian ia mulai berkata:

فَتًى كَانَ يُعْطِي السَّيْفَ فِي الرَّوْعِ حَقَّهُ إِذَا ثَوَّبَ الدَّاعِي وَيَشْقَى بِهِ الْجَوْرُ

Seorang pemuda yang memberikan hak pedang dalam situasi genting ketika penyeru telah memanggil, dan dengan itu kezaliman menjadi menderita.

فَتًى كَانَ يُدْنِيهِ الْغِنَى مِنْ صَدِيقِهِ إِذَا مَا هُوَ اسْتَغْنَى وَيُبْعِدُهُ الْفَقْرُ

Seorang pemuda yang kekayaan mendekatkannya kepada temannya ketika ia sedang berkecukupan, namun kemiskinan menjauhkannya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُمْ لَا يُتْبَعُونَ بَعْدَ انْهِزَامِهِمْ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْمُنْهَزِمِ إِلَى غَيْرِ دَارٍ يَرْجِعُ إِلَيْهَا وَإِلَى غَيْرِ إِمَامٍ يَعُودُ إِلَى طَاعَتِهِ وَبَيْنَ الْمُنْهَزِمِ إِلَى دَارٍ وَإِمَامٍ

Maka apabila telah dipastikan bahwa mereka tidak boleh dikejar setelah mengalami kekalahan, maka tidak ada perbedaan antara orang yang mundur ke tempat selain negeri yang menjadi tempat kembalinya, atau kepada selain imam yang menjadi tempat ketaatannya, dengan orang yang mundur ke negeri dan imamnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُتْبَعُ الْمُنْهَزِمُ إِلَى غَيْرِ دَارٍ وَإِمَامٍ وَيُتْبَعُ الْمُنْهَزِمُ إِلَى دَارٍ وَإِمَامٍ وَيُقْتَلُ إِنْ ظُفِرَ بِهِ

Abu Hanifah berkata: Orang yang melarikan diri tidak boleh dikejar kecuali ke negeri dan pemimpin (mereka), dan orang yang melarikan diri boleh dikejar ke negeri dan pemimpin (mereka), dan boleh dibunuh jika berhasil ditangkap.

احْتِجَاجًا بِأَنَّ عَلِيًّا لَمْ يَتَّبِعْ مَنِ انْهَزَمَ مِنْ أَهْلِ الْجَمَلِ لِأَنَّهُمُ انْهَزَمُوا إِلَى غَيْرِ دَارٍ وَإِمَامٍ وَاتَّبَعَ مَنِ انْهَزَمَ يَوْمَ صِفِّينَ لِأَنَّهُمْ رَجَعُوا إِلَى دَارٍ وَإِمَامٍ

Dengan alasan bahwa Ali tidak mengejar orang-orang yang melarikan diri dari pihak Ahlul Jamal karena mereka melarikan diri bukan menuju negeri dan imam, sedangkan beliau mengejar orang-orang yang melarikan diri pada hari Shiffin karena mereka kembali ke negeri dan imam.

حَتَّى رُوِيَ أَنَّهُ اتَّبَعَ مُدْبِرًا ليقتله فكشف عن سؤته فَكَفَّ عَلِيٌّ طَرْفَهُ وَرَجَعَ عَنْهُ

Bahkan diriwayatkan bahwa ia (Ali) mengikuti seorang yang melarikan diri untuk membunuhnya, lalu orang itu menyingkap auratnya, maka Ali pun menundukkan pandangannya dan berpaling darinya.

قَالَ وَلِأَنَّ الِانْهِزَامَ مَعَ بَقَاءِ الدَّارِ وَالْإِمَامِ لَا يَكُونُ رُجُوعًا عَنِ الْبَغْيِ وَلَا مَانِعًا مِنَ الْعَوْدِ

Ia berkata: Karena kekalahan dengan tetap adanya wilayah dan imam tidak dianggap sebagai kembali dari bughat, dan tidak pula menjadi penghalang untuk kembali lagi.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ أَنَّهُ أُتِيَ بِأَسِيرٍ يَوْمَ صِفِّينَ فَقَالَ لَهُ الْأَسِيرُ أَتَقْتُلُنِي صَبْرًا فَقَالَ لَا إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ وَخَلَّى سَبِيلَهُ

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan dari Ali karramallahu wajhah, bahwa pada hari Perang Shiffin didatangkan kepadanya seorang tawanan, lalu tawanan itu berkata kepadanya, “Apakah engkau akan membunuhku secara sabar (dengan menahan dan membiarkanku tanpa perlawanan)?” Maka Ali menjawab, “Tidak, sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam,” lalu ia membebaskan tawanan itu.

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْحَرْبُ يَوْمَئِذٍ قَائِمَةٌ وَمُعَاوِيَةُ يُقَاتِلُ جَادًّا فِي أَيَّامِهِ كُلِّهَا مُسْتَعْلِيًا أَوْ مُنْتَصِفًا

Syafi‘i berkata: Pada waktu itu perang masih berlangsung, dan Mu‘awiyah berperang dengan sungguh-sungguh sepanjang hari-harinya, dalam keadaan unggul atau seimbang.

يَعْنِي مُسْتَعْلِيًا بِكَثْرَةِ جَيْشِهِ أَوْ مُنْتَصِفًا بِمُسَاوَاةِ الْجَيْشِ

Yaitu merasa tinggi karena banyaknya pasukan atau merasa seimbang karena kesetaraan jumlah pasukan.

وَأُتِيَ مُعَاوِيَةُ بِأَسِيرٍ يَوْمَ صِفِّينَ فَأَمَرَ بِقَتْلِهِ فَقَالَ الْأَسِيرُ وَاللَّهِ مَا تَقْتُلُنِي لِلَّهِ وَلَا فِيهِ وَلَكِنْ لِحُطَامِ هَذِهِ الدُّنْيَا فَإِنْ عَفَوْتَ فَصَنَعَ اللَّهُ بِكَ مَا هُوَ أَهْلُهُ وَإِنْ قَتَلْتَ فَصَنَعَ اللَّهُ بِكَ مَا أَنْتَ أَهْلُهُ فَقَالَ لَهُ مُعَاوِيَةُ لَقَدْ سَبَبْتَ فَأَحْسَنْتَ وخلى سبيل

Muawiyah didatangkan seorang tawanan pada hari Perang Shiffin, lalu ia memerintahkan untuk membunuhnya. Maka tawanan itu berkata, “Demi Allah, engkau tidak membunuhku karena Allah dan tidak pula karena-Nya, tetapi demi harta benda dunia ini. Jika engkau memaafkan, maka Allah akan memperlakukanmu sebagaimana yang layak bagi-Nya. Dan jika engkau membunuh, maka Allah akan memperlakukanmu sebagaimana yang layak bagimu.” Maka Muawiyah berkata kepadanya, “Sungguh, engkau telah mencela namun dengan cara yang baik.” Lalu Muawiyah membebaskannya.

وَلِأَنَّ الْإِمَامَ مَأْمُورٌ بِالْقِتَالِ لَا بِالْقَتْلِ وَالْمُوَلِّي غَيْرُ مُقَاتِلٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْتَلَ

Dan karena imam diperintahkan untuk berperang, bukan untuk membunuh, sedangkan orang yang berpaling bukanlah seorang yang berperang, maka tidak boleh dibunuh.

وَلِأَنَّ الْمُرَادَ بِالْقِتَالِ الْكَفُّ وَالْمُوَلِّي كَافٌّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُتْبَعَ

Karena yang dimaksud dengan qitāl adalah menahan diri, sedangkan orang yang melarikan diri itu telah menahan diri, maka tidak boleh untuk dikejar.

فَأَمَّا احْتِجَاجُهُ بِنِدَائِهِ يَوْمَ الْجَمَلِ دُونَ صِفِّينَ فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Adapun dalil yang ia ajukan dengan seruan Ali pada hari Perang Jamal namun tidak pada Perang Shiffin, maka terdapat dua jawaban atas hal itu.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ أَمَرَ بِالنِّدَاءِ فِي الْيَوْمَيْنِ مَعًا أَنْ لَا يُتْبَعَ مُدْبِرٌ وَلَا يُذَفَّفَ عَلَى جَرِيحٍ

Salah satunya adalah bahwa beliau memerintahkan untuk menyerukan pada kedua hari itu agar tidak mengejar orang yang melarikan diri dan tidak membunuh orang yang terluka.

وَالثَّانِي إِنّهُ وَإِنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْيَوْمَيْنِ فِي النِّدَاءِ فَلِأَنَّ الْحَرْبَ انْجَلَتْ يَوْمَ الْجَمَلِ فَتَفَرَّغَ لِلنِّدَاءِ وَكَانَتْ يَوْمَ صِفِّينَ بَاقِيَةً فَتَشَاغَلَ بِتَدْبِيرِ الْحَرْبِ عَنِ النِّدَاءِ

Kedua, meskipun beliau membedakan antara dua hari tersebut dalam seruan, hal itu karena perang telah usai pada hari Jamal sehingga beliau dapat meluangkan waktu untuk menyeru, sedangkan pada hari Shiffin perang masih berlangsung sehingga beliau sibuk mengatur strategi perang dan tidak sempat melakukan seruan.

وَأَمَّا طَلَبُهُ لِلْأَسِيرِ فَقَدْ كَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اخْتِلَاطِ الصُّفُوفِ وَبَقَاءِ الْقِتَالِ

Adapun permintaannya terhadap tawanan, hal itu terjadi ketika barisan masih bercampur dan pertempuran masih berlangsung.

وَاحْتِجَاجُهُمْ بِجَوَازِ عَوْدِهِ فَلَا مَعْنًى لِتَعْلِيقِ الْحُكْمِ بِعِلَّةٍ لَمْ تَكُنْ وَيَجُوزُ أَنْ لَا تَكُونَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Dan dalil mereka dengan bolehnya kembali (suatu keadaan), maka tidak ada makna menggantungkan hukum pada ‘illat yang belum ada dan boleh jadi tidak akan ada, dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ” وَلَوْ أَنَّ قَوْمًا أَظْهَرُوا رَأْيَ الْخَوَارِجِ وَتَجَنَّبُوا الْجَمَاعَاتِ وَأَكْفَرُوهُمْ لم يحل بذلك قتالهم بلغنا أن علياً رضي الله عنه سمع رجلاً يقول لا حكم إلا لله في ناحية المسجد فقال علي رضي الله عنه كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهَا بَاطِلٌ لَكُمْ عَلَيْنَا ثَلَاثٌ لَا نَمْنَعُكُمْ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ تَذْكُرُوا فِيهَا اسْمَ اللَّهِ وَلَا نَمْنَعُكُمُ الْفَيْءَ مَا دامت أيديكم مع أيدينا ولا نبدؤكم بقتال

Imam Syafi‘i rahimahullah ta‘ala berkata, “Seandainya suatu kaum menampakkan pendapat Khawarij dan menjauhi jamaah serta mengkafirkan mereka, maka tidak halal memerangi mereka hanya karena hal itu. Telah sampai kepada kami bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu mendengar seseorang berkata, ‘Tidak ada hukum kecuali milik Allah’ di salah satu sudut masjid. Maka Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Itu adalah kalimat yang benar namun dimaksudkan untuk kebatilan. Kalian memiliki tiga hak atas kami: kami tidak melarang kalian dari masjid-masjid Allah untuk menyebut nama Allah di dalamnya, kami tidak melarang kalian dari harta rampasan perang selama tangan kalian masih bersama tangan kami, dan kami tidak akan memulai memerangi kalian.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْخَوَارِجُ فَهُمُ الْخَارِجُونَ عَنِ الْجَمَاعَةِ بِمَذْهَبٍ ابْتَدَعُوهُ وَرَأْيٍ اعْتَقَدُوهُ يَرَوْنَ أَنَّ مَنِ ارْتَكَبَ إِحْدَى الْكَبَائِرِ كَفَرَ وَحَبِطَ عَمَلُهُ وَاسْتَحَقَّ الْخُلُودَ فِي النَّارِ وَأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ صَارَتْ بِظُهُورِ الْكَبَائِرِ فِيهَا دَارَ كُفْرٍ وَإِبَاحَةٍ وَأَنَّ مَنْ تَوَلَّاهُمْ وَجَرَى عَلَى حُكْمِهِمْ فَكَذَلِكَ

Al-Mawardi berkata, adapun kaum Khawarij adalah mereka yang keluar dari al-jama‘ah dengan mazhab yang mereka bid’ahkan dan pendapat yang mereka yakini. Mereka berpendapat bahwa siapa saja yang melakukan salah satu dosa besar telah kafir, amalnya gugur, dan berhak kekal di neraka. Mereka juga berpendapat bahwa negeri Islam, karena munculnya dosa-dosa besar di dalamnya, telah menjadi negeri kufur dan kebebasan, serta siapa saja yang memihak mereka dan mengikuti hukum mereka, maka hukumnya sama seperti mereka.

فَاعْتَزَلُوا الْجَمَاعَةَ وَأَكْفَرُوهُمْ وَامْتَنَعُوا مِنَ الصَّلَاةِ خَلْفَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَسُمُّوا شُرَاةً وَاخْتُلِفَ فِي تَسْمِيَتِهِمْ على وجهين

Mereka memisahkan diri dari jamaah, mengkafirkan mereka, menolak shalat di belakang siapa pun dari mereka, dan mereka disebut syurāt. Terdapat perbedaan pendapat mengenai penamaan mereka dalam dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ تَسْمِيَةُ ذَمٍّ سَمَّاهُمْ بِهِ أَهْلُ الْعَدْلِ لِأَنَّهُمْ شَرَوْا عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَحَارَبُوا جَمَاعَتَهُمْ

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan sebutan celaan yang diberikan kepada mereka oleh Ahl al-‘Adl, karena mereka telah memberontak terhadap kaum Muslimin dan memerangi kelompok mereka.

وَالثَّانِي إِنَّهُ تَسْمِيَةُ حَمْدٍ سَمَّوْا بِهَا أَنْفُسَهُمْ لِأَنَّهُمْ شَرَوُا الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ أَيْ بَاعُوهَا

Yang kedua, bahwa itu adalah sebuah nama pujian yang mereka sematkan pada diri mereka sendiri karena mereka telah menukar dunia dengan akhirat, yaitu mereka telah menjual dunia demi akhirat.

فَإِذَا اعْتَقَدَ قَوْمٌ رَأْيَ الْخَوَارِجِ وَظَهَرَ مُعْتَقَدُهُمْ عَلَى أَلْسِنَتِهِمْ وَهُمْ بَيْنَ أَهْلِ الْعَدْلِ غَيْرُ مُنَابِذِينَ لَهُمْ وَلَا مُتَجَرِّئِينَ عَلَيْهِمْ تُرِكُوا عَلَى حَالِهِمْ وَلَمْ يَجُزْ قَتْلُهُمْ وَلَا قِتَالُهُمْ وَلَمْ يُؤْخَذُوا جَبْرًا بِالِانْتِقَالِ عَنْ مَذْهَبِهِمْ وَالرُّجُوعِ عَنْ تَأْوِيلِهِمْ وَعُدِلَ إِلَى مُنَاظَرَتِهِمْ وَإِبْطَالِ شُبْهَتِهِمْ بِالْحُجَجِ وَالْبَرَاهِينِ وَإِنْ كَانُوا عَلَيْهَا مُقِرِّينَ

Maka jika suatu kaum meyakini pendapat Khawarij dan keyakinan mereka tampak pada lisan mereka, sementara mereka berada di tengah-tengah Ahlul ‘Adl (orang-orang yang adil) tanpa memusuhi mereka dan tidak berani melawan mereka, maka mereka dibiarkan dalam keadaan mereka, tidak boleh dibunuh, tidak boleh diperangi, dan tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan mazhab mereka atau kembali dari takwil mereka. Sebaliknya, dilakukan dialog dengan mereka dan dibatalkan syubhat mereka dengan hujjah dan bukti, meskipun mereka tetap mengakui keyakinan tersebut.

فَقَدْ أَقَرَّهُمْ عَلِيُّ بن أبي طالب عليه السلام قَبْلَ أَنْ يَعْتَزِلُوهُ وَسُمِعَ قَائِلُهُمْ يَقُولُ لَا حُكْمَ إِلَّا لِلَّهِ تَعْرِيضًا بِهِ فِي تَحْكِيمِهِ يَوْمَ صِفِّينَ

Ali bin Abi Thalib ra. telah membiarkan mereka sebelum mereka memisahkan diri darinya, dan terdengar salah seorang dari mereka berkata, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah,” sebagai sindiran kepadanya atas tindakannya melakukan tahkīm pada hari Shiffin.

فَقَالَ عَلِيٌّ كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بها باطل وهذا أحسن جواباً لِمَنْ عَرَّضَ بِمِثْلِ هَذَا الْقَوْلِ ثُمَّ قَالَ لَكُمْ عَلَيْنَا ثَلَاثٌ لَا نَمْنَعُكُمْ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ تَذْكُرُوا فِيهَا اسْمَ اللَّهِ وَلَا نَمْنَعُكُمُ الفيء ما دامت أيديكم معنا ولا نبدأكم بِقِتَالٍ

Lalu Ali berkata, “Itu adalah kata-kata yang benar namun dimaksudkan untuk kebatilan.” Ini adalah jawaban terbaik bagi siapa saja yang menyampaikan perkataan serupa. Kemudian ia berkata, “Ada tiga hal yang menjadi hak kalian atas kami: kami tidak melarang kalian dari masjid-masjid Allah untuk menyebut nama Allah di dalamnya; kami tidak melarang kalian dari harta fai’ selama tangan kalian masih bersama kami; dan kami tidak akan memulai peperangan terhadap kalian.”

فَجَعَلَ هَذِهِ الْأَحْكَامَ فِيهِمْ كَهِيَ فِي أهل العدل واقتضى فِي ذَلِكَ سِيرَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْمُنَافِقِينَ فِي كَفِّهِ عَنْهُمْ مَعَ عِلْمِهِ بِمُعْتَقَدِهِمْ لِتَظَاهُرِهِمْ بِطَاعَتِهِ مَعَ اسْتِبْطَانِ مَعْصِيَتِهِ

Maka Dia menetapkan hukum-hukum ini atas mereka sebagaimana berlaku pada ahlul ‘adl, dan hal itu mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kaum munafik, yaitu menahan diri dari mereka meskipun beliau mengetahui keyakinan mereka, karena mereka menampakkan ketaatan kepadanya meskipun menyembunyikan kedurhakaan terhadapnya.

فَإِنْ صرح الخوارج الإمام بسب أَهْلِ الْعَدْلِ عُزِّرُوا لِلْأَذَى وَذَبًّا عَنْ مَنْصِبِ الْإِمَامَةِ

Jika para khawarij secara terang-terangan mencaci maki Ahlul ‘Adl (pihak yang adil), maka mereka dikenai ta‘zir karena perbuatan menyakiti dan sebagai bentuk pembelaan terhadap kedudukan imamah.

وَإِنْ عَرَّضُوا بِهِ مِنْ غَيْرِ تَصْرِيحٍ فَفِي تَعْزِيرِهِمْ وَجْهَانِ

Dan jika mereka menyindir tanpa pernyataan secara jelas, maka dalam hal pemberian ta‘zir kepada mereka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يُعَزَّرُونَ لِأَنَّ عَلِيًّا لَمْ يُعَزِّرْ مَنْ عَرَّضَ لِفَرْقِ مَا بَيْنَ التَّعْرِيضِ وَالتَّصْرِيحِ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa mereka tidak dikenai ta‘zīr karena ‘Ali tidak menjatuhkan ta‘zīr kepada orang yang hanya menyindir, sebab ada perbedaan antara sindiran dan pernyataan secara terang-terangan.

وَالثَّانِي إِنّهُمْ يُعَزَّرُونَ لِأَنَّ الْإِقْرَارَ عَلَى التَّعْرِيضِ مُفْضٍ إِلَى التَّصْرِيحِ فَكَانَ التَّعْزِيرُ حَاسِمًا لِمَا بَعْدَهُ مِنَ التَّصْرِيحِ

Yang kedua, mereka dikenai ta‘zīr karena pengakuan dengan sindiran dapat mengarah pada pengakuan secara terang-terangan, sehingga ta‘zīr menjadi pencegah terhadap kemungkinan pengakuan terang-terangan setelahnya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَلَوْ قَتَلُوا وَالِيَهُمْ أَوْ غَيْرَهُ قَبْلَ أَنْ يُنَصِّبُوا إِمَامًا أَوْ يُظْهِرُوا حُكْمًا مُخَالِفًا لِحُكْمِ الْإِمَامِ كَانَ عَلَيْهِمْ في ذلك القصاص قد سلموا وأطاعوا والياً عليهم من قبل علي ثم قتلوه فأرسل إليهم علي رضي الله عنه أن ادفعوا إلينا قاتله نقتله به قالوا كلنا قتله قال فاستسلموا نحكم عليكم قالوا لا فسار إليهم فقاتلهم فأصاب أكثرهم

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika mereka membunuh pemimpin mereka atau orang lain sebelum mereka mengangkat seorang imam atau menampakkan hukum yang bertentangan dengan hukum imam, maka atas mereka berlaku qishāsh dalam hal itu. Mereka dahulu telah menerima dan menaati seorang pemimpin yang diangkat atas mereka oleh Ali, kemudian mereka membunuhnya. Maka Ali radhiyallahu ‘anhu mengirim utusan kepada mereka: ‘Serahkan kepada kami pembunuhnya agar kami menegakkan qishāsh atasnya.’ Mereka berkata, ‘Kami semua yang membunuhnya.’ Ali berkata, ‘Kalau begitu, menyerahlah agar kami menetapkan hukum atas kalian.’ Mereka menolak, maka Ali berangkat memerangi mereka dan berhasil mengalahkan sebagian besar dari mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا اجْتَمَعَ الْخَوَارِجُ فِي مَوْضِعٍ تَمَيَّزُوا بِهِ عَنْ أَهْلِ الْعَدْلِ وَلَمْ يَخْرُجُوا عَنْ طَاعَةِ الْإِمَامِ وَقَصَدُوا بِالِاعْتِزَالِ أَنْ يَنْفَرِدُوا عَنْ مُخَالِفِهِمْ وَيَتَسَاعَدُوا عَلَى مُعْتَقَدِهِمْ كَانَتْ دَارُهُمْ مِنْ جُمْلَةِ دَارِ أَهْلِ الْعَدْلِ تُقَامُ عَلَيْهِمُ الْحُدُودُ وَتُسْتَوْفَى مِنْهُمُ الْحُقُوقُ ولا يبدأوا بحرب ولا قتال ما لم يبدأوا بِالْمُنَابَذَةِ وَالْقِتَالِ

Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang ia katakan, yaitu apabila kelompok Khawarij berkumpul di suatu tempat yang membedakan mereka dari Ahl al-‘Adl, namun mereka tidak keluar dari ketaatan kepada imam dan tujuan mereka mengasingkan diri hanyalah untuk memisahkan diri dari orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka serta saling membantu dalam keyakinan mereka, maka negeri mereka tetap termasuk bagian dari negeri Ahl al-‘Adl. Hukum-hukum hudud ditegakkan atas mereka dan hak-hak diambil dari mereka, serta tidak boleh memulai peperangan atau pertempuran terhadap mereka selama mereka belum memulai permusuhan dan pertempuran.

فَإِنْ قَتَلُوا عَامِلَهُمُ الْوَالِيَ عَلَيْهِمْ مِنْ قِبَلِ الْإِمَامِ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ أَعْوَانِ الْإِمَامِ ثُمَّ أَظْهَرُوا خَلْعَ الْإِمَامِ وَنَابَذُوهُ أَجْرَى الْإِمَامُ عَلَيْهِمُ الْقِصَاصُ وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُمْ بِمَا أَظْهَرُوا بَعْدَ الْقَتْلِ مِنَ الْخَلْعِ وَالْمُنَابَذَةِ وَكَذَلِكَ مَا اسْتَهْلَكُوهُ مِنَ الْأَمْوَالِ كَانُوا مَأْخُوذِينِ بِضَمَانِهِ

Jika mereka membunuh pejabat yang diangkat oleh penguasa atas mereka dari pihak imam, atau selainnya dari para pembantu imam, kemudian mereka menampakkan sikap mencabut baiat dari imam dan memusuhinya, maka imam tetap memberlakukan hukum qishāsh atas mereka, dan tidak gugur dari mereka hukuman itu hanya karena mereka menampakkan pencabutan baiat dan permusuhan setelah pembunuhan. Demikian pula, terhadap harta yang mereka rusak, mereka tetap bertanggung jawab untuk menggantinya.

فقد ولى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى النَّهْرَوَانِ عَامِلَهُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ وَقَدِ اعْتَزَلُوهُ فَكَانَ نَاظِرًا فِيهِمْ كَنَظَرِهِ فِي أَهْلِ الْعَدْلِ إِلَى أَنْ وَثَبُوا عَلَيْهِ وَقَالُوا مَا تَقَوُلُ فِي الشَّيْخَيْنِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ

Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam telah mengangkat Abdullah bin Khabbab bin Al-Aratt sebagai gubernurnya di Nahrawan, padahal mereka (kaum Khawarij) telah memisahkan diri darinya. Ia (Abdullah) memperlakukan mereka sebagaimana ia memperlakukan Ahlul ‘Adl, hingga akhirnya mereka memberontak terhadapnya dan berkata, “Apa pendapatmu tentang dua syaikh, Abu Bakar dan Umar?”

فَقَالَ مَا أَقُولُ فِي خَلِيفَتَيْ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَإِمَامَيِ الْمُسْلِمِينَ

Maka ia berkata, “Apa yang dapat aku katakan tentang dua khalifah Rasulullah ﷺ dan dua imam kaum Muslimin?”

قَالُوا مَا تَقُولُ فِي عُثْمَانَ

Mereka berkata, “Apa pendapatmu tentang ‘Utsmān?”

فَقَالَ فِي السِّتِّ الْأَوَائِلِ خَيْرًا وَأَمْسَكَ عَنِ السِّتِّ الْأَوَاخِرِ

Maka beliau berkata baik tentang enam yang pertama dan diam tentang enam yang terakhir.

فَقَالُوا مَا تَقُولُ فِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ

Mereka pun bertanya, “Apa pendapatmu tentang Ali bin Abi Thalib?”

فَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ وَسَيِّدُ الْمُتَّقِينَ

Maka berkata Amirul Mukminin dan pemimpin orang-orang bertakwa.

فَعَمَدُوا إِلَيْهِ فَذَبَحُوهُ فَرَاسَلَهُمْ عَلِيٌّ أَنْ سَلِّمُوا إِلَيَّ قَاتِلَهُ أَحْكُمْ فِيهِ بِحُكْمِ اللَّهِ قَالُوا كُلُّنَا قَتَلَهُ

Mereka pun mendatanginya lalu membunuhnya. Ali mengirim pesan kepada mereka: “Serahkan kepadaku pembunuhnya, agar aku memutuskan hukum Allah terhadapnya.” Mereka menjawab: “Kami semua yang membunuhnya.”

قَالَ فَاسْتَسْلِمُوا لِحُكْمِ اللَّهِ وَسَارَ إِلَيْهِمْ فَقَتَلَ أَكْثَرَهُمْ فَدَلَّ هَذَا مِنْ فِعْلِهِ عَلَى أَمْرَيْنِ

Dia berkata, “Maka tunduklah kalian kepada hukum Allah.” Lalu ia berjalan menuju mereka dan membunuh sebagian besar dari mereka. Maka perbuatannya ini menunjukkan dua hal.

أَحَدُهُمَا جَوَازُ إِقْرَارِهِمْ وَإِنِ اعْتَزَلُوا مَا كَانُوا مُتَظَاهِرِينَ بِالطَّاعَةِ

Salah satunya adalah bolehnya membiarkan mereka, meskipun mereka telah meninggalkan apa yang sebelumnya mereka tampakkan berupa ketaatan.

وَالثَّانِي وُجُوبُ الْقِصَاصِ عَلَيْهِمْ وَأَنَّهُ لَا يَسْقُطُ عَنْهُمْ بِخَلْعِ الطَّاعَةِ

Kedua, wajibnya qishāsh atas mereka dan bahwa qishāsh itu tidak gugur dari mereka dengan melepaskan ketaatan.

فَأَمَّا مَنْ قَتَلُوهُ بَعْدَ خَلْعِ الطَّاعَةِ وَإِظْهَارِ الْمُنَابَذَةِ فَفِي ضَمَانِهِ عَلَيْهِمْ قَوْلَانِ كَغَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ

Adapun orang yang mereka bunuh setelah mencabut ketaatan dan menampakkan perlawanan, maka mengenai jaminan atas mereka terdapat dua pendapat, sebagaimana halnya dengan selain mereka dari kalangan ahl al-baghy.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْقِصَاصِ عَلَيْهِمْ اخْتُصَّ بِالْقَاتِلِ مِنْهُمْ فَإِنْ سَلَّمُوهُ لَمْ يُقْتَلْ غَيْرُهُ مِنْ مُعِينٍ وَلَا مُشِيرٍ وَفِي انْحِتَامِ الْقِصَاصِ وَجْهَانِ

Maka apabila telah tetap kewajiban qishāsh atas mereka, maka qishāsh itu khusus berlaku bagi pelaku pembunuhan di antara mereka. Jika mereka menyerahkannya, maka tidak dibunuh selain dia, baik yang turut serta maupun yang memberi saran. Dalam pelaksanaan qishāsh terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ مُنْحَتِمٌ كَالْقَتْلِ فِي الْحِرَابَةِ لَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ لِأَنَّهُمْ فِي إِشْهَارِ السِّلَاحِ كَالْمُحَارِبِينَ مِنْ قُطَّاعِ الطَّرِيقِ

Salah satunya adalah bahwa hukuman tersebut bersifat wajib seperti hukuman mati dalam kasus hirābah, sehingga tidak boleh ada pemaafan terhadapnya, karena mereka dalam mengacungkan senjata sama seperti para muḥāribīn dari kelompok perampok jalanan.

فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ الْإِمَامُ بِقَتْلِهِ مِنْ غَيْرِ حُضُورِ وَلِيِّهِ وَطَلَبِهِ

Dengan demikian, boleh bagi imam untuk mengeksekusi hukuman mati terhadapnya tanpa kehadiran wali korban dan tanpa permintaan dari wali tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنّهُ غَيْرُ مَنَحْتِمٍ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْقِصَاصِ فِي غَيْرِهِمْ كَجَرَيَانِ حُكْمِ أَهْلِ الْعَدْلِ فِي ذَلِكَ عَلَيْهِمْ

Adapun alasan kedua adalah bahwa hal itu tidak bersifat pasti, sehingga hukum qishāsh tidak berlaku atas mereka sebagaimana hukum qishāsh berlaku atas selain mereka, sebagaimana hukum yang berlaku bagi ahl al-‘adl dalam hal tersebut juga berlaku atas mereka.

فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِقَتْلِهِ حَتَّى يَحْضُرَ وَلِيُّهُ مُطَالِبًا فَيَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْقِصَاصِ أَوِ الدِّيَةِ أَوِ الْعَفْوِ عَنْهُمَا

Dengan demikian, tidak boleh bagi imam untuk mengeksekusi pembunuhan sendirian sampai wali korban hadir sebagai penuntut, sehingga wali tersebut diberi pilihan antara qishāsh, diyat, atau memaafkan keduanya.

فَإِنْ لم يسلموا القاتل جاز قتال جمعيهم وَحَلَّ قَتْلُهُمْ وَلَمْ يَخْتَصَّ بِهِ الْقَاتِلُ مِنْهُمْ

Jika mereka tidak menyerahkan pembunuhnya, maka boleh memerangi seluruh kelompok mereka, dan halal membunuh mereka, serta hukuman itu tidak hanya khusus bagi pembunuh di antara mereka.

فَإِنِ انْجَلَتِ الْحَرْبُ عَنْ بَقِيَّةٍ مِنْهُمْ كَفَّ عَنْ قَتْلِهِمْ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ فِيهِمْ فَيُقْتَلُ قَوَدًا عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ في انحتامه

Jika peperangan telah usai dan masih tersisa sebagian dari mereka, maka tidak boleh membunuh mereka, kecuali jika di antara mereka terdapat seorang pembunuh, maka ia dibunuh sebagai qishāsh sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada dua pendapat terkait hukumnya.

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَإِذَا قَاتَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُمْ أَوْ عَبْدٌ أَوْ غُلَامٌ مُرَاهِقٌ قُوتِلُوا مقبلين وتركوا مولين لأنهم منهم

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Apabila ada perempuan dari mereka, atau seorang budak, atau anak laki-laki yang mendekati usia baligh ikut berperang, maka mereka diperangi ketika maju menyerang, dan dibiarkan ketika mundur, karena mereka termasuk golongan mereka.”

وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا قَاتَلَ مَعَ أَهْلِ الْبَغْيِ نِسَاؤُهُمْ وَصِبْيَانُهُمْ وَعَبِيدُهُمْ كَانُوا فِي حُكْمِهِمْ يُقَاتَلُونَ مُقْبِلِينَ وَيُكَفُّ عَنْهُمْ مُدْبِرِينَ وَإِنْ لَمْ يكونوا من أهل البيعة والجهاد لأنم قَدْ صَارُوا فِي وُجُوبِ كَفِّهِمْ عَنِ الْقِتَالِ كَالرِّجَالِ مِنْ أَهْلِ الْبَيْعَةِ وَالْجِهَادِ

Hal ini sebagaimana dikatakan: Jika perempuan, anak-anak, dan budak-budak mereka ikut berperang bersama kelompok bughat, maka mereka diperlakukan menurut hukum mereka; diperangi ketika mereka maju dan ditahan ketika mereka mundur, meskipun mereka bukan termasuk ahli bai‘at dan jihad, karena mereka telah menjadi sama dalam kewajiban untuk dihentikan dari peperangan seperti halnya laki-laki dari kalangan ahli bai‘at dan jihad.

وَلِأَنَّ الْإِمَامَ فِي دَفْعِهِمْ عَنِ الْمُسْلِمِينَ جَارٍ مَجْرَى الدَّافِعِ عَنْ نَفْسِهِ وَلَهُ دَفْعُ الطَّالِبِ وَلَوْ بِالْقَتْلِ وَلَوْ كَانَتِ امْرَأَةً أَوْ صَبِيًّا كَذَلِكَ الْمُقَاتِلُ مِنَ الْبُغَاةِ يُدْفَعُ وَلَوْ بِالْقَتْلِ وَلَوْ كَانَ امْرَأَةً أَوْ صَبِيًّا

Karena imam dalam menghalau mereka dari kaum Muslimin posisinya seperti orang yang membela dirinya sendiri, dan ia berhak menghalau penyerang, bahkan dengan membunuhnya, meskipun penyerang itu seorang wanita atau anak-anak. Demikian pula, orang yang memerangi dari kelompok bughāt (pemberontak) boleh dihalau, bahkan dengan dibunuh, meskipun ia seorang wanita atau anak-anak.

وَلَا يُضْمَنُونَ وَإِنْ أَتَى الْقِتَالُ عَلَى نُفُوسِهِمْ كَمَا لَا يُضْمَنُ الرَّجُلُ الْبَالِغُ وَلَا تُضْمَنُ الْبَهِيمَةُ إِذَا صَالَتْ

Mereka tidak dikenakan tanggungan, meskipun pertempuran menyebabkan kematian mereka, sebagaimana laki-laki dewasa tidak dikenakan tanggungan dan hewan juga tidak dikenakan tanggungan jika menyerang.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَيَخْتَلِفُونَ فِي الْإِسَارِ وَلَوْ أُسِرَ بَالِغٌ مِنَ الرِّجَالِ الْأَحْرَارِ فَحُبِسَ لِيُبَايِعَ رَجَوْتُ أَنْ يَسَعَ وَلَا يَسَعُ أَنْ يُحْبَسَ مَمْلُوكٌ وَلَا غَيْرُ بَالِغٍ مِنَ الْأَحْرَارِ وَلَا امْرَأَةٌ لِتُبَايِعَ وَإِنَّمَا يُبَايِعُ النِّسَاءُ عَلَى الْإِسْلَامِ فَأَمَّا عَلَى الطَّاعَةِ فَهُنَّ لَا جِهَادَ عَلَيْهِنَّ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang tawanan. Jika seorang laki-laki dewasa dari kalangan orang merdeka ditawan lalu ditahan agar ia berbaiat, aku berharap hal itu diperbolehkan. Namun, tidak diperbolehkan menahan seorang budak, anak-anak dari orang merdeka yang belum baligh, atau perempuan agar mereka berbaiat. Adapun perempuan, mereka hanya berbaiat atas keislaman. Sedangkan untuk ketaatan, mereka tidak dibebani jihad.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أُسِرَ أَهْلُ الْبَغْيِ وَالْحَرْبُ قَائِمَةٌ لَمْ يَجُزْ قَتْلُ أَسْرَاهُمْ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila para pemberontak ditawan sementara peperangan masih berlangsung, maka tidak boleh membunuh para tawanan mereka.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ أَنْ يُقْتَلُوا كَأَهْلِ الْحَرْبِ

Abu Hanifah berkata, “Boleh membunuh mereka seperti membunuh ahl al-harb (orang-orang yang memerangi Islam).”

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ مَا رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ مَا حُكْمُ مَنْ بَغَى مِنْ أُمَّتِي قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا يُتْبَعُ مُدْبِرُهُمْ وَلَا يُجْهَزْ عَلَى جَرِيحِهِمْ وَلَا يُقْتَلُ أَسِيرُهُمْ وَلَا يُقْسَمُ فَيْئُهُمْ وَهَذَا إِنْ ثَبَتَ نَصٌّ

Dan dalil tentang hal ini adalah riwayat dari Abdullah bin Mas‘ud, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Wahai Ibnu Umm ‘Abd, apa hukum orang yang memberontak dari umatku?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang melarikan diri dari mereka tidak boleh dikejar, yang terluka di antara mereka tidak boleh dihabisi, tawanan mereka tidak boleh dibunuh, dan harta rampasan mereka tidak boleh dibagi.” Dan ini berlaku jika terdapat nash yang sahih.

وَلِأَنَّ سِيرَةَ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِيهِمْ كَانَتْ هَكَذَا وَعَلَيْهَا عَمِلَ الْمُسْلِمُونَ بَعْدَهُ

Dan karena sikap Ali ‘alaihis salam terhadap mereka memang demikian, dan setelah beliau, kaum Muslimin pun menjalankan hal yang sama.

وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِقِتَالِهِمْ كَفُّهُمْ عَنِ الْقِتَالِ وَلَيْسَ الْمَقْصُودُ قَتْلَهُمْ

Karena tujuan memerangi mereka adalah untuk menghentikan mereka dari peperangan, bukan untuk membunuh mereka.

وَلِأَنَّهُمْ فِي دَفْعِهِمْ عَنِ الْبَغْيِ فِي حُكْمِ الطَّالِبِ نَفْسَ الْمَطْلُوبِ الَّذِي لَا يَجُوزُ قَتْلُهُ بَعْدَ كَفِّهِ كَذَلِكَ الْبُغَاةُ وَهُمْ بِخِلَافِ أَهْلِ الْحَرْبِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ قَتْلُهُمْ بِقِتَالِهِمْ فَافْتَرَقُوا

Karena mereka, dalam upaya mencegah tindakan bughat, berada dalam posisi seperti orang yang menuntut haknya terhadap orang yang dituntut, di mana tidak boleh dibunuh setelah ia menghentikan perbuatannya; demikian pula para bughat, berbeda dengan ahl al-harb, karena tujuan dari memerangi ahl al-harb adalah untuk membunuh mereka, sehingga keduanya berbeda.

فَعَلَى هَذَا لَوْ قُتِلَ أَسِيرٌ مِنْهُمْ ضَمِنَهُ الْقَاتِلُ بِالدِّيَةِ وَفِي ضَمَانِهِ بِالْقَوَدِ وَجْهَانِ

Dengan demikian, jika seorang tawanan dari mereka dibunuh, maka pembunuhnya wajib menanggung diyat, dan dalam hal penanggungannya dengan qishāsh terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقَادُ مِنْهُ لِأَنَّهُ قَتْلٌ مَحْظُورُ النَّفْسِ

Salah satunya dikenai qishāsh karena itu merupakan pembunuhan yang diharamkan terhadap jiwa.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُقَادُ مِنْهُ لِأَنَّهَا شُبْهَةٌ تُدْرَأُ بِالْحُدُودِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak diberlakukan qishāsh darinya, karena hal itu merupakan syubhat yang dapat menggugurkan penerapan hudūd.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ قَتْلَهُمْ بَعْدَ الْإِسَارِ مَحْظُورٌ فَهُمْ ضَرْبَانِ

Maka apabila telah tetap bahwa membunuh mereka setelah ditawan adalah terlarang, maka mereka terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ أَحْرَارًا بَالِغِينَ فَيُدْعَوْا إِلَى الْبَيْعَةِ عَلَى الطَّاعَةِ فَإِنْ أَجَابُوا إِلَيْهَا وَبَايَعُوا الْإِمَامَ عَلَيْهَا أُطْلِقُوا وَلَمْ يَجُزْ حَبْسُهُمْ وَلَمْ يَلْزَمْ أَخْذُ رَهَائِنِهِمْ وَلَا إِقَامَةُ كُفَلَائِهِمْ وَوُكِلُوا إِلَى مَا تَظَاهَرُوا بِهِ مِنَ الطَّاعَةِ وَلَمْ يَسْتَكْشِفُوا عَنْ ضَمَائِرِهِمْ

Salah satu di antaranya adalah bahwa mereka termasuk golongan ahli jihad, orang-orang merdeka yang telah baligh, lalu mereka diajak untuk berbaiat dalam ketaatan. Jika mereka memenuhi ajakan tersebut dan membaiat imam atas ketaatan itu, maka mereka dibebaskan dan tidak boleh ditahan, tidak wajib mengambil sandera dari mereka, tidak pula menetapkan penjamin bagi mereka, dan mereka diserahkan kepada apa yang mereka tampakkan berupa ketaatan, tanpa menyelidiki apa yang tersembunyi dalam hati mereka.

وَإِنِ امْتَنَعُوا مِنْ بَيْعَةِ الْإِمَامِ عَلَى طَاعَتِهِ حُبِسُوا إِلَى انْجِلَاءِ الْحَرْبِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي عِلَّةِ حَبْسِهِمْ عَلَى وَجْهَيْنِ

Jika mereka menolak untuk membaiat imam agar taat kepadanya, maka mereka dipenjara hingga peperangan selesai. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai alasan pemenjaran mereka, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الْعِلَّةَ فِي حَبْسِهِمُ امْتِنَاعُهُمْ مِنْ وُجُوبِ الْبَيْعَةِ عَلَيْهِمْ وَمَنِ امْتَنَعَ مِنْ وَاجِبٍ عَلَيْهِ حُبِسَ بِهِ كَالدُّيُونِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa alasan penahanan mereka adalah karena mereka menolak kewajiban baiat atas diri mereka, dan siapa pun yang menolak suatu kewajiban atas dirinya maka ia ditahan karenanya, seperti dalam kasus utang. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi.

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حَبْسُهُمْ وَاجِبًا عَلَى الْإِمَامِ وَهُوَ مُقْتَضَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ لِأَنَّهُ قَالَ فِيهِ يُحْبَسُونَ

Dengan demikian, memenjarakan mereka menjadi kewajiban bagi imam, dan inilah yang ditunjukkan oleh pendapat lama Imam Syafi‘i, karena beliau berkata di dalamnya: “Mereka dipenjara.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّ الْعِلَّةَ فِي حَبْسِهِمْ أَنْ تَضْعُفَ مُقَاتَلَةُ الْبُغَاةِ بِهِمْ وَهَذَا أَصَحُّ التَّعْلِيلَيْنِ

Adapun alasan kedua adalah bahwa sebab penahanan mereka adalah agar kekuatan perlawanan terhadap para bughat menjadi lemah karena mereka, dan inilah alasan yang paling benar di antara dua alasan tersebut.

لِأَنَّهُمْ لَوْ حُبِسُوا لِوُجُوبِ الْبَيْعَةِ لَمَا جَازَ إِطْلَاقُهُمْ بَعْدَ انْجِلَاءِ الْحَرْبِ إِلَّا بِهَا

Karena jika mereka ditahan karena kewajiban baiat, maka tidak boleh membebaskan mereka setelah perang usai kecuali dengan baiat.

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حَبْسُهُمْ مَوْكُولًا إِلَى رَأْيِ الْإِمَامِ وَاجْتِهَادِهِ وَهُوَ مُقْتَضَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ لِأَنَّهُ قَالَ فِيهِ رَجَوْتُ أَنْ يَسَعَ

Dengan demikian, penahanan mereka diserahkan kepada pendapat dan ijtihad imam, dan inilah yang sesuai dengan pendapat Syafi‘i dalam pendapat barunya, karena beliau berkata di dalamnya: “Aku berharap hal itu diperbolehkan.”

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْأَسْرَى مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْجِهَادِ كَالنِّسَاءِ وَالْعَبِيدِ وَالصِّبْيَانِ فَلَا يَجُوزُ حَبْسُهُمْ عَلَى الْبَيْعَةِ لِأَنَّهُ لَا بَيْعَةَ عَلَى النِّسَاءِ وَالْعَبِيدِ إِلَّا فِي الْإِسْلَامِ دُونَ الْجِهَادِ لِوُجُوبِ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِمْ وَسُقُوطِ الْجِهَادِ عَنْهُمْ وَالصِّبْيَانُ لَا بَيْعَةَ عَلَيْهِمْ فِي الْإِسْلَامِ وَلَا فِي الْجِهَادِ وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَيَخْتَلِفُونَ فِي الْإِسَارِ

Jenis kedua adalah apabila para tawanan bukan dari kalangan ahli jihad, seperti perempuan, budak, dan anak-anak, maka tidak boleh menahan mereka untuk baiat, karena tidak ada baiat atas perempuan dan budak kecuali dalam hal Islam, bukan dalam jihad, sebab kewajiban Islam berlaku atas mereka dan kewajiban jihad gugur dari mereka. Adapun anak-anak, tidak ada baiat atas mereka baik dalam Islam maupun dalam jihad. Inilah maksud dari perkataan asy-Syafi‘i, dan mereka berbeda pendapat dalam hal penawanan.

فَإِذَا لَمْ يَجُزْ حَبْسُهُمْ عَلَى الْبَيْعَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي جَوَازِ حَبْسِهِمْ لِإِضْعَافِ الْبُغَاةِ عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ الْعِلَّتَيْنِ فِي حَبْسِ أَهْلِ الْجِهَادِ مِنْهُمْ

Maka apabila tidak diperbolehkan menahan mereka untuk baiat, para ulama kami berbeda pendapat tentang boleh tidaknya menahan mereka guna melemahkan para bughāt, dengan dua pendapat yang didasarkan pada perbedaan dua alasan dalam menahan orang-orang yang berjihad dari kalangan mereka.

أَحَدُهُمَا لَا يُحْبَسُونَ إِذَا قِيلَ إِنَّ عِلَّةَ حَبْسِهِمْ وُجُوبُ الْبَيْعَةِ عليهم

Salah satu pendapat menyatakan bahwa mereka tidak boleh ditahan jika dikatakan bahwa alasan penahanan mereka adalah karena wajibnya baiat atas mereka.

ولالوجه الثَّانِي يُحْبَسُونَ إِذَا قِيلَ إِنَّ عِلَّةَ حَبْسِهِمْ إضعاف البغاة بهم

Menurut pendapat kedua, mereka dipenjara jika dikatakan bahwa alasan pemenjaran mereka adalah untuk melemahkan para bughat dengan keberadaan mereka.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” فَأَمَّا إِذَا انْقَضَتِ الْحَرْبُ فَلَا يُحْبَسُ أَسِيرُهُمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Adapun jika peperangan telah usai, maka tawanan mereka tidak boleh ditahan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ انْقِضَاءَ الْحَرْبِ تَكُونُ بِأَحَدِ ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Al-Mawardi berkata, “Kami telah menyebutkan bahwa berakhirnya peperangan terjadi dengan salah satu dari tiga bentuk.”

أَحَدُهَا بِالرُّجُوعِ إِلَى الطَّاعَةِ وَالدُّخُولِ فِي الْبَيْعَةِ فَيُطْلَقُ أَسْرَاهُمْ كَمَا خُلِّيَتْ سَبِيلُهُمْ لِأَنَّهُ الْمَقْصُودُ مِنْهُمْ

Salah satunya adalah dengan kembali kepada ketaatan dan masuk ke dalam bai‘at, maka para tawanan mereka dibebaskan sebagaimana mereka telah dilepaskan, karena itulah tujuan yang diinginkan dari mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَنْقَضِيَ بِالِاسْتِسْلَامِ وَإِلْقَاءِ السِّلَاحِ فَلَا يَجُوزُ بَعْدَ اسْتِسْلَامِهِمْ وَدُخُولِهِمْ تَحْتَ الْقُدْرَةِ أَنْ يُقْتَلُوا وَتَجْرِيَ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ مَنِ اعْتَقَدَ رَأْيَهُمْ مُوَادِعًا فَيُخْلَى سَبِيلُهُمْ وَسَبِيلُ أَسْرَاهُمْ

Jenis yang kedua adalah jika peperangan berakhir dengan penyerahan diri dan meletakkan senjata, maka setelah mereka menyerah dan berada di bawah kekuasaan, tidak boleh membunuh mereka. Berlaku atas mereka hukum-hukum bagi orang yang dianggap telah berdamai, sehingga mereka dibebaskan bersama para tawanan mereka.

فَإِنِ اخْتَلَطُوا بِأَهْلِ الْعَدْلِ كَانُوا عَلَى حُكْمِهِمْ

Jika mereka bercampur dengan orang-orang yang adil, maka mereka mengikuti hukum orang-orang tersebut.

وَإِنْ تَمَيَّزُوا بِدَارٍ قَلَّدَ الْإِمَامُ عَلَيْهِمْ وَالِيًا لِيَسْتَوْفِيَ مِنْهُمُ الْحُقُوقَ وَيُقِيمَ عَلَيْهِمُ الْحُدُودَ وَكَانَتْ دَارُهُمْ دَارَ عَدْلٍ وَإِنْ كَانُوا عَلَى رَأْيِ أَهْلِ الْبَغْيِ اعْتِبَارًا بِنُفُوذِ الْأَمْرِ عَلَيْهِمْ

Jika mereka memisahkan diri dengan sebuah wilayah, maka imam mengangkat seorang wali atas mereka untuk menunaikan hak-hak dari mereka dan menegakkan hudud atas mereka, dan wilayah mereka menjadi wilayah keadilan, meskipun mereka mengikuti pendapat ahl al-baghy, karena yang menjadi pertimbangan adalah berlakunya kekuasaan atas mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ تَنْقَضِي الْحَرْبَ بِهَزِيمَتِهِمْ

Jenis yang ketiga adalah perang berakhir dengan kekalahan mereka.

فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُمْ لَا يُتْبَعُونَ سواء كانت لهم فيئة يَنْضَمُّونَ إِلَيْهَا أَوْ لَمْ تَكُنْ

Maka mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa mereka tidak dikejar, baik mereka memiliki kelompok yang dapat mereka bergabung dengannya maupun tidak.

وَأَبُو حَنِيفَةَ يرى اتباعهم إن كانت لهم فيئة يَنْضَمُّونَ إِلَيْهَا وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَيْهِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka diikuti jika mereka memiliki kelompok yang dapat mereka bergabung, dan kami telah memberikan dalil tentang hal itu.

فَأَمَّا أَسْرَاهُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْمُنْهَزِمِينَ دَارٌ وفيئة يَنْضَمُّونَ إِلَيْهَا أُطْلِقَ أَسْرَاهُمْ وَإِنْ كَانَتْ لَهُمْ دار وفيئة فَفِي إِطْلَاقِ أَسْرَاهُمْ وَجْهَانِ

Adapun tawanan mereka, jika pihak yang kalah tidak memiliki wilayah dan kelompok yang dapat mereka bergabung, maka para tawanan mereka dibebaskan. Namun jika mereka memiliki wilayah dan kelompok, maka dalam membebaskan para tawanan mereka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَمُقْتَضَى التَّعْلِيلِ الْأَوَّلِ فِي حَبْسِهِمْ إِنَّهُمْ يُسْتَبْقَوْنَ فِي حَبْسِهِمْ وَلَا يُطْلَقُونَ إِلَّا أَنْ يُبَايِعُوا وَلَا تَبْقَى لَهُمْ دَارٌ وفيئة

Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan konsekuensi dari alasan pertama dalam penahanan mereka, yaitu bahwa mereka tetap ditahan dan tidak dibebaskan kecuali jika mereka mau berbaiat, serta mereka tidak lagi memiliki wilayah atau kekuasaan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ مُقْتَضَى التَّعْلِيلِ الثَّانِي فِي حبسهم أنم يُطْلَقُونَ لِمَا قَدْ تَمَّ مِنْ ضَعْفِهِمْ بِالْهَزِيمَةِ

Pendapat kedua, yang merupakan konsekuensi dari alasan kedua dalam penahanan mereka, adalah bahwa mereka dibebaskan karena kelemahan mereka telah nyata akibat kekalahan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِنْ سَأَلُوا أَنْ يُنْظَرُوا لَمْ أَرَ بَأْسًا عَلَى مَا يَرْجُو الْإِمَامُ مِنْهُمْ وَإِنْ خَافَ عَلَى الْفِئَةِ الْعَادِلَةِ الضَّعْفَ عَنْهُمْ رَأَيْتُ تَأْخِيرَهُمْ إِلَى أَنْ تُمْكِنَهُ الْقُوَّةُ عَلَيْهِمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika mereka meminta penundaan, aku tidak melihat adanya masalah selama imam mengharapkan sesuatu dari mereka. Namun, jika imam khawatir kelompok yang adil akan menjadi lemah karena mereka, aku memandang boleh menunda mereka sampai imam memiliki kekuatan atas mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا سَأَلَ أَهْلُ الْبَغْيِ إِنْظَارَهُمْ وَالْحَرْبُ قَائِمَةٌ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Jika kelompok bughat meminta penundaan sementara peperangan masih berlangsung, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مَا سَأَلُوهُ مِنَ الْإِنْظَارِ قَرِيبًا كَالْيَوْمِ إِلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ لَا تَتَفَرَّقُ فِيهَا الْعَسَاكِرُ وَلَا يَتَبَاعَدُ فِيهِ مُعَسْكَرُهُ فَيُجَابُونَ إِلَيْهِ وَيُنْظِرُهُمْ هَذِهِ الْمُدَّةَ وَعَسْكَرُهُ مُقِيمٌ عَلَيْهِمْ وَيَتَحَرَّزُ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ مِنْهُمْ لِأَنَّ قِتَالَهُمْ لَا يَدُومُ اتِّصَالُهُ لَيْلًا وَنَهَارًا وَلَا بُدَّ فِيهِ مِنِ اسْتِرَاحَةِ عَسْكَرِهِ وَدَوَابِّهِ فَيَجْعَلُهَا إِجَابَةً لِسُؤَالِهِمْ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا

Salah satunya adalah jika apa yang mereka minta berupa penundaan itu waktunya dekat, seperti sehari hingga tiga hari, di mana pasukan-pasukan tidak berpisah dan perkemahan mereka tidak saling menjauh, maka permintaan itu dikabulkan dan mereka diberi penundaan selama waktu tersebut, sementara pasukan tetap berada di atas mereka dan tetap waspada terhadap mereka selama masa itu. Sebab, peperangan dengan mereka tidak berlangsung terus-menerus siang dan malam, dan pasukan serta hewan tunggangan pun membutuhkan istirahat. Maka, penundaan itu dijadikan sebagai jawaban atas permintaan mereka, sebagai bentuk uzur dan peringatan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَسْأَلُوهُ الْإِنْظَارَ مُدَّةً طَوِيلَةً كَالشَّهْرِ وَمَا قَارَبَهُ يَبْعُدُ فِيهَا الْمُعَسْكَرُ وَيَتَفَرَّقُ فِيهَا الْعَسَاكِرُ فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَجْتَهِدَ رَأْيَهُ فِي الْأَصْلَحِ بِالْكَشْفِ عَنْ سَرَائِرِهِمْ وَعَنْ أَحْوَالِ عَسْكَرِهِمْ

Jenis kedua adalah mereka meminta penundaan dalam waktu yang lama, seperti sebulan atau waktu yang mendekatinya, di mana pasukan dapat menjauh dan bala tentara dapat tercerai-berai. Maka sepatutnya bagi imam untuk berijtihad dengan pendapatnya dalam memilih yang paling maslahat, dengan meneliti keadaan tersembunyi mereka dan keadaan pasukan mereka.

فَإِنْ عَلِمَ مِنْ مَسْأَلَتِهِمُ الْإِنْظَارَ لِيَسْتَوْضِحُوا الْحَقَّ مِنَ الْبَاطِلِ أَوْ لِيَجْمَعُوا كَلِمَةَ جَمَاعَتِهِمْ عَلَى الطَّاعَةِ أَنْظَرَهُمْ سَوَاءٌ كَانَ فِي عَسْكَرِهِ قُوَّةٌ عَلَيْهِمْ أَوْ ضَعْفٌ عَنْهُمْ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُمْ عَوْدُهُمْ إِلَى الطَّاعَةِ دُونَ الِاصْطِلَامِ

Jika diketahui dari permintaan penundaan mereka bahwa tujuannya adalah untuk memperjelas kebenaran dari kebatilan atau untuk mengumpulkan suara kelompok mereka agar kembali taat, maka ia boleh menunda mereka, baik pasukannya lebih kuat dari mereka maupun lebih lemah, karena tujuan dari mereka adalah agar mereka kembali kepada ketaatan, bukan untuk membinasakan mereka.

وَإِنْ عُلِمَ أَنَّهُمْ سَأَلُوهُ الْإِنْظَارَ لِيَجْمَعُوا فِيهَا مَا يَتَقَوَّوْنَ بِهِ عَلَيْهِ إِمَّا مِنْ عَسَاكِرَ أَوْ أَمْوَالٍ أَوْ سَأَلُوهُ الْإِنْظَارَ لِيَطْلُبُوا لَهُ الْمَكَايِدَ أَوْ لِيَتَفَرَّقَ عَنْهُ الْعَسْكَرُ فَيَثْقُلُ عَلَيْهِ الْعَوْدُ نَظَرَ حِينَئِذٍ إِلَى حَالِ عَسَاكِرِهِ

Dan jika diketahui bahwa mereka meminta penundaan kepadanya agar dapat mengumpulkan kekuatan untuk melawannya, baik berupa pasukan maupun harta, atau mereka meminta penundaan untuk mencari tipu daya terhadapnya, atau agar pasukannya tercerai-berai sehingga akan memberatkannya untuk kembali, maka pada saat itu hendaknya ia memperhatikan keadaan pasukannya.

فَإِنْ وَجَدَ فِيهِمْ قُوَّةً عَلَى قِتَالِهِمْ وَصَبْرًا عَلَى مُطَاوَلَتِهِمْ لَمْ يُنْظِرْهُمْ وَأَقَامَ عَلَى حَرْبِهِمْ حَتَّى يُذْعِنُوا بِالطَّاعَةِ أَوْ يَنْهَزِمُوا

Jika ia mendapati pada pasukannya kekuatan untuk memerangi mereka dan kesabaran untuk menghadapi mereka dalam waktu yang lama, maka ia tidak menunda mereka dan tetap melanjutkan peperangan terhadap mereka hingga mereka tunduk dalam ketaatan atau mereka melarikan diri.

وَإِنْ وَجَدَ فِي عَسْكَرِهِ ضَعْفًا عَنْهُمْ وَعَجْزًا عَنْ مُطَاوَلَتِهِمْ أَنْظَرَهُمْ لِيَلْتَمِسَ الْقُوَّةَ عَلَيْهِمْ إِمَّا بِعَسَاكِرَ أَوْ بِأَمْوَالٍ وَجَعَلَ ظَاهِرَ الْإِنْظَارِ إِجَابَةً لِسُؤَالِهِمْ لِيُقِيمُوا عَلَى الْكَفِّ وَالْمُوَادَعَةِ وَبَاطِنَ إِنْظَارِهِمُ الْتِمَاسَ الْقُوَّةِ عَلَيْهِمْ حَتَّى لَا يغفل عنهم

Dan jika ia mendapati di pasukannya kelemahan terhadap mereka dan ketidakmampuan untuk menghadapi mereka, maka ia menangguhkan (penyerangan) terhadap mereka agar dapat mencari kekuatan untuk melawan mereka, baik dengan menambah pasukan atau dengan harta. Secara lahiriah, penangguhan itu tampak sebagai jawaban atas permintaan mereka agar tetap dalam keadaan menahan diri dan berdamai, sedangkan secara batiniah, penangguhan itu adalah untuk mencari kekuatan melawan mereka, agar ia tidak lengah terhadap mereka.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ سَأَلُوا الْإِنْظَارَ مُدَّةً لَا يَجُوزُ إِنْظَارُهُمْ إِلَيْهَا عَلَى مَالٍ بَذَلُوهُ لَمْ يَجُزْ إِنْظَارُهُمْ بِهِ لِأَمْرَيْنِ

Jika mereka meminta penangguhan waktu, tidak boleh memberikan penangguhan kepada mereka sampai waktu tersebut dengan imbalan harta yang mereka berikan; tidak boleh memberikan penangguhan dengan imbalan itu karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا إِنَّ بَذْلَ الْمَالِ عَلَى الْمُوَادَعَةِ صَغَارٌ وَذِلَّةٌ فَلَمْ يَجُزْ أَخْذُهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ كَالْجِزْيَةِ وَالثَّانِي إِنَّهُمْ رُبَّمَا أَخْرَجُوهُ إِلَى إِضْعَافِهِ بِمَا يَتَجَدَّدُ لَهُمْ مِنَ الْقُوَّةِ

Salah satu alasannya adalah bahwa memberikan harta dalam perjanjian damai merupakan bentuk kehinaan dan kerendahan, sehingga tidak boleh diambil dari kaum Muslimin seperti halnya jizyah. Alasan kedua adalah karena mereka (musuh) mungkin akan menggunakannya untuk memperkuat diri mereka dengan kekuatan baru yang mereka peroleh.

فَإِنْ أُخِذَ مِنْهُمُ الْمَالُ عَلَى الْإِنْظَارِ بَطَلَ حُكْمُ الْإِنْظَارِ وَنُظِرَ فِيمَا دَفَعُوهُ مِنَ الْمَالِ

Jika harta diambil dari mereka sebagai imbalan atas penangguhan, maka hukum penangguhan menjadi batal dan apa yang telah mereka bayarkan dari harta itu perlu diteliti.

فَإِنْ كَانَ مِنْ خَالِصِ أَمْوَالِهِمْ رُدَّ عَلَيْهِمْ

Jika itu berasal dari harta murni milik mereka, maka dikembalikan kepada mereka.

وَإِنْ كَانَ مِنَ الْفَيْءِ وَالصَّدَقَاتِ لَمْ يُرَدَّ وَصُرِفَ فِي مُسْتَحِقِّيهِ

Dan jika berasal dari al-fay’ dan sedekah, maka tidak dikembalikan dan disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ خِيفَ الْمَكْرُ بِإِنْظَارِهِمْ فَبَذَلُوا رَهَائِنَ مِنْ أَوْلَادِهِمْ عَلَى الْوَفَاءِ بِعَهْدِهِمْ

Jika dikhawatirkan adanya tipu daya dengan memberi penangguhan kepada mereka, lalu mereka menyerahkan sandera dari anak-anak mereka sebagai jaminan untuk menepati janji mereka.

فَإِنْ كَانَ الْإِنْظَارُ مِمَّا لَا تَجُوزُ الْإِجَابَةُ إِلَيْهِ مَعَ أَخْذِ الرَّهَائِنِ لَمْ يُجَابُوا إِلَيْهِ بِبَذْلِ الرَّهَائِنِ

Jika penundaan pembayaran merupakan sesuatu yang tidak boleh dipenuhi meskipun dengan mengambil barang jaminan, maka mereka tidak boleh dipenuhi permintaannya dengan memberikan barang jaminan.

وَإِنْ جَازَتِ الْإِجَابَةُ إِلَيْهِ بِغَيْرِ الرَّهَائِنِ كَانَتِ الْإِجَابَةُ إِلَيْهِ مَعَ أَخْذِ الرَّهَائِنِ أَوْلَى

Dan jika diperbolehkan memenuhi permintaan itu tanpa mengambil barang jaminan, maka memenuhi permintaan itu dengan mengambil barang jaminan lebih utama.

فَإِنْ عَادَتِ الْحَرْبُ وَرَهَائِنُهُمْ فِي أَيْدِينَا لَمْ تُقْتَلْ رَهَائِنُهُمْ لِأَنَّ التَّعَدِّيَ مِنْ غَيْرِهِمْ

Jika peperangan kembali terjadi sementara para sandera mereka masih berada di tangan kita, maka para sandera mereka tidak boleh dibunuh, karena pelanggaran itu bukan berasal dari mereka.

وَلَوْ كَانَ فِي أَيْدِيهِمْ أُسَارَى مِنْ أَهْلِ الْعَدْلِ فَقَتَلُوهُمْ وَفِي أَيْدِينَا لَهُمْ أُسَارَى مِنْهُمْ أَوْ رَهَائِنُ لَهُمْ لَمْ يَجُزْ قَتْلُهُمْ بِمَنْ قَتَلُوهُ لِأَنَّ الْقَاتِلَ غَيْرُهُمْ

Dan jika di tangan mereka terdapat tawanan dari Ahl al-‘Adl lalu mereka membunuh para tawanan itu, sedangkan di tangan kita terdapat tawanan dari mereka atau sandera milik mereka, maka tidak boleh membunuh tawanan itu sebagai balasan atas apa yang telah mereka lakukan, karena pelaku pembunuhan tersebut bukanlah mereka.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوِ اسْتَعَانَ أَهْلُ الْبَغْيِ بِأَهْلِ الْحَرْبِ عَلَى قِتَالِ أَهْلِ الْعَدْلِ قُتِلَ أَهْلُ الْحَرْبِ وَسُبُوا وَلَا يَكُونُ هَذَا أَمَانًا إِلَّا عَلَى الْكَفِّ فَأَمَّا عَلَى قِتَالِ أَهْلِ الْعَدْلِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika kelompok bughat meminta bantuan kepada ahl al-ḥarb untuk memerangi ahl al-‘adl, maka ahl al-ḥarb boleh dibunuh dan ditawan, dan hal ini tidak dianggap sebagai jaminan keamanan kecuali jika mereka menahan diri (tidak ikut berperang); adapun jika mereka ikut memerangi ahl al-‘adl…”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا اسْتَعَانَ أَهْلُ الْبَغْيِ عَلَى قِتَالِنَا بِأَهْلِ الْحَرْبِ بِأَمَانٍ أَعْطَوْهُمْ نُظِرَ حَالُ الْأَمَانِ فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُطْلَقًا أَوْ مَشْرُوطًا بِقِتَالِنَا

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila kelompok bughat meminta bantuan kepada ahl al-harb untuk memerangi kita dengan memberikan jaminan keamanan kepada mereka, maka keadaan jaminan keamanan itu harus diperhatikan, karena tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi jaminan itu bersifat mutlak, atau disyaratkan untuk memerangi kita.”

فَإِنْ كَانَ مُطْلَقًا صَحَّ الْأَمَانُ لَهُمْ وَكَانَ عَقْدُ أَهْلِ الْبَغْيِ لَهُمْ كَعَقْدِ أَهْلِ الْعَدْلِ لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ

Jika jaminan keamanan itu bersifat mutlak, maka jaminan keamanan tersebut sah bagi mereka, dan akad (jaminan keamanan) yang dilakukan oleh ahl al-baghy terhadap mereka sama seperti akad yang dilakukan oleh ahl al-‘adl, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Darah kaum Muslimin setara, dan perlindungan yang diberikan oleh yang paling rendah di antara mereka berlaku bagi semuanya.”

ويصيرون بهذا الأمان أمنيين مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ وَأَهْلِ الْعَدْلِ لِعُمُومِهِ وَصِحَّتِهِ مَا لَمْ يُقَاتِلُونَا فَإِنْ قَاتَلُونَا صَارُوا كَأَهْلِ الْعَهْدِ الْمُتَقَدِّمِ إِذَا قَاتَلُوا عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ

Dengan adanya jaminan keamanan ini, mereka menjadi aman dari golongan bughāt (pemberontak) maupun dari golongan yang adil, karena sifatnya yang umum dan keabsahannya, selama mereka tidak memerangi kita. Namun jika mereka memerangi kita, maka mereka menjadi seperti ahl al-‘ahd terdahulu apabila mereka memerangi, sebagaimana akan kami sebutkan nanti.

وَإِنْ كَانَ عَقْدُ الْأَمَانِ لَهُمْ مَشْرُوطًا بِقِتَالِهِمْ مَعَهُمْ كَانَ هَذَا الْأَمَانُ بَاطِلًا لِأَمْرَيْنِ

Dan jika akad aman bagi mereka disyaratkan dengan ikut berperang bersama mereka, maka akad aman tersebut batal karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ لَمَّا بَطَلَ عَقْدُ الْأَمَانِ لَهُمْ بِقِتَالِنَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْعَقِدَ عَلَى قِتَالِنَا

Salah satunya adalah bahwa ketika akad aman bagi mereka batal karena peperangan kita, maka tidak boleh diadakan akad atas peperangan kita.

وَالثَّانِي إِنَّ عَقْدَ الْأَمَانِ يَقْتَضِي أَنْ نُؤَمِّنَهُمْ وَنَأْمَنَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ نُؤَمِّنَهُمْ وَلَا نَأْمَنَهُمْ وَإِذَا بَطَلَ الْأَمَانُ بِمَا ذَكَرْنَا سَقَطَ حُكْمُهُ فِي أَهْلِ الْعَدْلِ وَلَزِمَ حُكْمُهُ فِي أَهْلِ الْبَغْيِ اعْتِبَارًا بِالشَّرْطِ فِي حَقِّهِمْ وَإِنْ بَطَلَ فِي حَقِّ غَيْرِهِمْ وَجَازَ لِأَهْلِ الْعَدْلِ قَتْلُهُمْ وَاسْتِرْقَاقُهُمْ وَسَبْيُهُمْ وَقَتْلُهُمْ مُقْبِلِينَ وَمُدْبِرِينَ كَمَا يُقْتَلُونَ وَيُقَاتَلُونَ فِي جِهَادِهِمْ مُقْبِلِينَ وَمُدْبِرِينَ

Kedua, sesungguhnya akad amān mengharuskan kita memberikan jaminan keamanan kepada mereka dan merasa aman dari mereka, maka tidak boleh kita memberikan jaminan keamanan kepada mereka sementara kita tidak merasa aman dari mereka. Apabila amān batal karena sebab yang telah disebutkan, maka gugurlah hukumnya bagi kelompok yang adil, namun tetap berlaku hukumnya bagi kelompok bughāh, dengan mempertimbangkan syarat yang berlaku atas mereka, meskipun batal bagi selain mereka. Maka, bagi kelompok yang adil, diperbolehkan membunuh mereka, memperbudak mereka, menawan mereka, dan membunuh mereka baik saat mereka maju maupun mundur, sebagaimana mereka juga dibunuh dan diperangi dalam jihad baik saat maju maupun mundur.

وَلَمْ يَجُزْ لِأَهْلِ الْبَغْيِ قَتْلُهُمْ وَلَا اسْتِرْقَاقُهُمْ وَإِنْ حَكَمْنَا بِبُطْلَانِ أَمَانِهِمْ لِلُزُومِهِ فِي الْخُصُوصِ وَإِنْ بَطَلَ فِي العموم

Tidak boleh membunuh atau memperbudak kelompok pemberontak, meskipun kita memutuskan batalnya perlindungan (amān) mereka dalam hal khusus, karena perlindungan itu tetap wajib dalam hal khusus, meskipun batal dalam hal umum.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” فَلَوْ كَانَ لَهُمْ أَمَانٌ فَقَاتَلُوا أَهْلَ الْعَدْلِ كَانَ نَقْضًا لِأَمَانِهِمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Maka jika mereka memiliki perjanjian keamanan lalu mereka memerangi ahl al-‘adl, hal itu berarti membatalkan perjanjian keamanan mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إذا كان لطائفة من المشركين عهداً بِأَمَانٍ مُتَقَدِّمٍ فَاسْتَعَانَ بِهِمْ أَهْلُ الْبَغْيِ عَلَى قِتَالِنَا كَانَ ذَلِكَ نَقْضًا لِأَمَانِهِمْ إِذَا قَاتَلُونَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ الأنفال 58

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar: jika suatu kelompok dari kaum musyrik memiliki perjanjian aman yang telah disepakati sebelumnya, lalu mereka dimintai bantuan oleh ahl al-baghy untuk memerangi kita, maka hal itu merupakan pelanggaran terhadap perjanjian aman mereka jika mereka memerangi kita, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan adanya pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka secara terbuka (adil).’ (al-Anfal: 58).”

فَلَمَّا جَازَ أَنْ يَنْبِذَ إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ بِنَقْضِهِ إِذَا خِفْنَاهُمْ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُنْقَضَ بِقِتَالِهِمْ

Maka ketika dibolehkan untuk melemparkan perjanjian mereka kepada mereka dengan membatalkannya apabila kita khawatir terhadap mereka, maka lebih utama lagi untuk membatalkannya dengan memerangi mereka.

وَلِأَنَّ إِعْطَاءَ الْعَهْدِ لَهُمْ إِنَّمَا كَانَ لِمَصْلَحَتِنَا لَا لِمَصْلَحَتِهِمْ وَكَذَلِكَ إِذَا سَأَلُوا الْعَهْدَ لَمْ يَلْزَمْ إِجَابَتُهُمْ إِلَيْهِ إِلَّا إِذَا رَأَى الْإِمَامُ فِي ذَلِكَ حَظًّا لِلْمُسْلِمِينَ فَيَجُوزُ أَنْ يُعَاهِدَهُمْ فَإِذَا قَاتَلُوا زَالَتِ الْمَصْلَحَةُ فَبَطَلَ الْعَهْدُ عُمُومًا وَإِنْ كَانَ فِي أَهْلِ الْبَغْيِ خُصُوصًا

Karena pemberian perjanjian kepada mereka itu semata-mata demi kemaslahatan kita, bukan demi kemaslahatan mereka. Demikian pula, jika mereka meminta perjanjian, tidak wajib untuk mengabulkan permintaan mereka kecuali jika imam melihat ada kemaslahatan bagi kaum Muslimin dalam hal itu, maka boleh saja membuat perjanjian dengan mereka. Namun, jika mereka memerangi, maka kemaslahatan itu hilang sehingga perjanjian pun batal secara umum, meskipun pada kelompok ahl al-baghy secara khusus.

وَجَازَ لَنَا قَتْلُهُمْ وَسَبْيُهُمْ وَقِتَالُهُمْ مُقْبِلِينَ وَمُدْبِرِينَ

Dan diperbolehkan bagi kita untuk membunuh mereka, menawan mereka, serta memerangi mereka baik ketika mereka maju maupun mundur.

فَإِنْ أَسْلَمُوا لَمْ يُؤْخَذُوا بِمَا اسْتَهْلَكُوا مِنْ دَمٍ وَلَا مَالٍ كَغَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ وَبِخِلَافِ أَهْلِ الْبَغْيِ

Jika mereka masuk Islam, maka mereka tidak dimintai pertanggungjawaban atas darah atau harta yang telah mereka habiskan, sebagaimana halnya dengan selain mereka dari kalangan ahl al-harb, berbeda dengan ahl al-baghy.

فَإِنْ قَالُوا لَمْ نَعْلَمْ أَنَّ قِتَالَنَا مَعَهُمْ مُبْطِلٌ لِعَهْدِنَا مَعَكُمْ

Jika mereka berkata, “Kami tidak mengetahui bahwa peperangan kami bersama mereka membatalkan perjanjian kami dengan kalian.”

لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُمْ فِي بَقَاءِ الْعَهْدِ مَعَهُمْ لِأَنَّ الْأَمَانَ هُوَ الْكَفُّ وَالْمُوَادَعَةُ فَضَعُفَ مَا ادَّعَوْهُ مِنَ الْجَهَالَةِ

Tidak diterima dari mereka untuk tetap mempertahankan perjanjian dengan mereka, karena amān adalah penahanan diri dan perdamaian, sehingga klaim mereka tentang ketidaktahuan menjadi lemah.

فَإِنِ ادَّعَوُا الْإِكْرَاهَ كُلِّفُوا الْبَيِّنَةَ فَإِنْ أَقَامُوا عَلَى إِكْرَاهِ أَهْلِ الْبَغْيِ لَهُمْ عَلَى قِتَالِنَا بَيِّنَةً كَانُوا عَلَى عَهْدِهِمْ

Jika mereka mengaku dipaksa, maka mereka diwajibkan menghadirkan bukti. Jika mereka dapat menghadirkan bukti bahwa mereka dipaksa oleh kelompok bughat untuk memerangi kita, maka mereka tetap berada di atas perjanjian mereka.

وَإِنْ لَمْ يُقِيمُوهَا لَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُمْ وَانْتَقَضَ عَهْدُهُمْ لِأَنَّ أَصْلَ الْفِعْلِ حُدُوثُهُ عَنِ اخْتِيَارِ فَاعِلِهِ

Dan jika mereka tidak menegakkannya, maka klaim mereka tidak diterima dan perjanjian mereka batal, karena pada dasarnya suatu perbuatan itu terjadi atas pilihan pelakunya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رضي الله عنه ” وَإِنْ كَانُوا أَهْلَ ذِمَّةٍ فَقَدْ قِيلَ لَيْسَ هذا نقضا للعهد قال وأرى إن كانوا مكرهين أو ذكروا جهالة فقالوا كنا نرى إذا حملتنا طائفة من المسلمين على أخرى أن دمها يحل كقطاع الطريق أو لم نعلم أن من حملونا على قتاله مسلم لم يكن هذا نقضا للعهد وأخذوا بكل ما أصابوا من دم ومال وذلك أنهم ليسوا بمؤمنين الذين أمر الله بالإصلاح بينهم

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika mereka adalah ahludz-dzimmah, telah dikatakan bahwa hal ini bukanlah pembatalan perjanjian. Ia berkata, dan menurutku, jika mereka dipaksa atau menyebutkan ketidaktahuan, lalu mereka berkata: ‘Kami mengira jika sekelompok kaum Muslimin membawa kami untuk memerangi kelompok lain, maka darah mereka halal bagi kami seperti perampok jalanan,’ atau mereka tidak mengetahui bahwa orang yang memaksa mereka untuk memerangi itu adalah seorang Muslim, maka hal ini bukanlah pembatalan perjanjian. Namun, mereka tetap bertanggung jawab atas segala yang mereka lakukan berupa darah dan harta, karena mereka bukanlah orang-orang beriman yang Allah perintahkan untuk didamaikan di antara mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا اسْتَعَانَ أَهْلُ الْبَغْيِ عَلَى قِتَالِنَا بِأَهْلِ الذِّمَّةِ وَأَصْحَابِ الْجِزْيَةِ فَإِنْ كَانُوا مُكْرَهِينَ لَمْ تَنْتَقِضْ ذِمَّتُهُمْ

Al-Mawardi berkata: Jika kelompok bughat meminta bantuan kepada kita untuk memerangi kita dengan melibatkan ahludz-dzimmah dan para pembayar jizyah, maka jika mereka (ahludz-dzimmah dan para pembayar jizyah) dipaksa, maka status dzimmah mereka tidak batal.

وَإِنْ كَانُوا مُخْتَارِينَ فَإِنِ ادَّعَوْا جَهَالَةً وَقَالُوا ظَنَنَّا أَنَّ مَعُونَتَنَا لِبَعْضِكُمْ عَلَى بَعْضِ جَائِزَةٌ كَمَا نُعِينُكُمْ عَلَى قُطَّاعِ الطَّرِيقِ قُبِلَ مِنْهُمْ دَعْوَى الْجَهَالَةِ وَلَمْ تُنْقَضْ ذِمَّتُهُمْ وَإِنْ لَمْ يُقْبَلْ مِنْ أَهْلِ الْعَهْدِ وَانْتَقَضَ بِهِ عَهْدُهُمْ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Jika mereka melakukannya secara sukarela, lalu mereka mengaku tidak tahu dan berkata, “Kami mengira bahwa membantu sebagian dari kalian terhadap sebagian yang lain itu diperbolehkan, sebagaimana kami membantu kalian melawan para perampok di jalan,” maka pengakuan ketidaktahuan mereka diterima dan perjanjian mereka tidak dibatalkan. Namun, jika hal itu dilakukan oleh ahl al-‘ahd, maka pengakuan mereka tidak diterima dan perjanjian mereka batal karenanya. Perbedaan antara keduanya ada pada dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّ عَقْدَ الذِّمَّةِ حَقٌّ لَهُمْ عَلَيْنَا وَعَهْدَ الْأَمَانِ حَقٌّ لَنَا عَلَيْهِمْ لِأَنَّ مَنْ سَأَلَ الْأَمَانَ لَمْ يَلْزَمْ إِجَابَتُهُ وَمَنْ بَذَلَ الْجِزْيَةَ لَزِمَتْ إِجَابَتُهُ

Salah satunya adalah bahwa akad dzimmah merupakan hak mereka atas kita, sedangkan perjanjian aman merupakan hak kita atas mereka. Sebab, siapa yang meminta perlindungan (aman), tidak wajib untuk dipenuhi permintaannya, sedangkan siapa yang menawarkan jizyah, maka wajib untuk menerima tawarannya.

وَالثَّانِي إِنَّ لَنَا مَعَ خَوْفِ الْخِيَانَةِ أَنْ نَنْقُضَ أَمَانَ أَهْلِ الْعَهْدِ وَلَيْسَ لَنَا مَعَ خَوْفِهَا أَنْ نَنْقُضَ أَمَانَ أَهْلِ الذِّمَّةِ حَتَّى نَتَيَقَّنَهَا فَافْتَرَقَا

Yang kedua, sesungguhnya kita, ketika ada kekhawatiran akan terjadinya pengkhianatan, boleh membatalkan perjanjian keamanan dengan ahl al-‘ahd, namun kita tidak boleh membatalkan perjanjian keamanan dengan ahl al-dzimmah hanya karena kekhawatiran tersebut, sampai benar-benar yakin akan terjadinya pengkhianatan itu. Maka keduanya pun berbeda.

وَإِنْ لم يدعوا الجهالة لم يخلوا عَقْدُ ذِمَّتِهِمْ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Dan jika mereka tidak menghilangkan unsur ketidakjelasan, maka akad dzimmah mereka tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يُشْتَرَطَ فِيهِ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يُعِينُوا عَلَى مُسْلِمٍ بِقَتْلٍ وَلَا قِتَالٍ فَيَكُونُ مَا خَالَفَ هَذَا الشَّرْطَ مِنْ قِتَالِهِمْ لِأَهْلِ الْعَدْلِ نَقْضًا لِأَمَانِهِمْ

Salah satunya adalah disyaratkan atas mereka agar tidak membantu dalam membunuh atau memerangi seorang Muslim, sehingga apa pun yang bertentangan dengan syarat ini, seperti mereka memerangi Ahlul ‘Adl, maka hal itu dianggap sebagai pembatalan terhadap jaminan keamanan mereka.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ عَقْدُ ذِمَّتِهِمْ مُطْلَقًا لم يشترط ذلك في فَفِي انْتِقَاضِ ذِمَّتِهِمْ قَوْلَانِ

Kedua, jika akad dzimmah mereka dilakukan secara mutlak tanpa mensyaratkan hal tersebut, maka dalam hal batalnya dzimmah mereka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا قَدِ انْتَقَضَتْ بِالْقِتَالِ ذِمَّتُهُمْ كَمَا انْتَقَضَ بِهِ أَمَانُ أَهْلَ الْعَهْدِ

Salah satunya adalah bahwa jaminan keamanan mereka telah batal karena peperangan, sebagaimana jaminan keamanan bagi ahl al-‘ahd juga batal karenanya.

فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ قَتْلُهُمْ وَقِتَالُهُمْ مُقْبِلِينَ وَمُدْبِرِينَ كَمَا ذَكَرْنَا فِي أَهْلِ الْعَهْدِ

Dengan demikian, boleh membunuh dan memerangi mereka, baik ketika mereka maju maupun mundur, sebagaimana telah kami sebutkan pada pembahasan tentang ahl al-‘ahd.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا تُنْتَقَضُ بِهِ ذِمَّتُهُمْ وَإِنِ انْتَقَضَ بِهِ أَمَانُ أَهْلَ الْعَهْدِ لِقُوَّةِ الذِّمَّةِ عَلَى الْعَهْدِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa dengan hal itu tidak batal dzimmah mereka, meskipun dengan hal itu batal aman bagi ahl al-‘ahd, karena kuatnya dzimmah dibandingkan ‘ahd dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الذِّمَّةَ مُؤَبَّدَةٌ وَالْعَهْدَ مُقَدَّرٌ بِمُدَّةٍ

Salah satunya adalah bahwa dzimmah bersifat permanen, sedangkan ‘ahd ditetapkan dengan jangka waktu tertentu.

وَالثَّانِي إِنَّ الذِّمَّةَ تُوجِبُ أَنْ نَكُفَّ عَنْهُمْ أَنْفُسَنَا وَغَيْرَنَا وَالْعَهْدَ لَا يُوجِبُ أَنْ نَكُفَّ عَنْهُمْ غَيْرَنَا مَعَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ

Yang kedua, sesungguhnya dzimmah mewajibkan kita untuk menahan diri dari menyakiti mereka, baik oleh diri kita sendiri maupun oleh orang lain, sedangkan ‘ahd tidak mewajibkan kita untuk menahan orang lain dari menyakiti mereka, disertai dengan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya tentang perbedaan antara keduanya dari dua sisi yang telah dijelaskan.

فَعَلَى هَذَا يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُقَاتِلَهُمْ مُقْبِلِينَ وَنَكُفَّ عَنْهُمْ مُدْبِرِينَ كَأَهْلِ الْبَغْيِ لَكِنْ مَا أَصَابُوهُ مِنْ دَمٍ أَوْ مَالٍ يُؤْخَذُونَ بِغُرْمِهِ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ لَمْ يُؤْخَذْ أَهْلُ الْبَغْيِ بِغُرْمِهِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لِأَنَّ قِتَالَ أَهْلِ الْبَغْيِ بِتَأْوِيلٍ وَقِتَالَ أهل الذمة بغير تأويل

Oleh karena itu, kita wajib memerangi mereka yang datang menyerang dan menahan diri dari mereka yang mundur, sebagaimana perlakuan terhadap ahl al-baghy. Namun, apa pun yang mereka peroleh berupa darah atau harta, mereka tetap harus menanggung ganti ruginya menurut satu pendapat, meskipun ahl al-baghy tidak dibebani ganti rugi menurut salah satu dari dua pendapat, karena peperangan melawan ahl al-baghy didasarkan pada penafsiran (ta’wil), sedangkan peperangan melawan ahl dzimmah tanpa penafsiran.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِنْ أَتَى أَحَدُهُمْ تَائِبًا لَمْ يُقَصَّ مِنْهُ لِأَنَّهُ مُسْلِمٌ مُحَرَّمُ الدَّمِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika salah seorang dari mereka datang dalam keadaan bertobat, maka tidak boleh diqishash darinya, karena ia adalah seorang Muslim yang darahnya diharamkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اخْتَلَفَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ فِي مُرَادِهِ بِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Al-Mawardi berkata, para pengikut Syafi‘i berbeda pendapat mengenai maksud beliau dalam masalah ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ أَرَادَ بِهَا مَنِ اسْتَعَانَ الْبُغَاةُ بِهِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِذَا أَتْلَفُوا فِي حَرْبِنَا دِمَاءً وَأَمْوَالًا ثُمَّ تَابُوا مِنَ الشِّرْكِ وَأَسْلَمُوا لَمْ يُؤْخَذُوا بِغُرْمِهِ إِنْ كَانُوا مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ أَوْ مِنْ أَهْلِ الْعَهْدِ وَكَذَلِكَ إِنْ كَانُوا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ

Salah satu pendapat adalah bahwa yang dimaksud dengannya adalah orang-orang musyrik yang dimintai bantuan oleh para bughat (pemberontak), apabila mereka menyebabkan kerusakan berupa pertumpahan darah dan harta benda dalam peperangan kita, kemudian mereka bertobat dari kemusyrikan dan masuk Islam, maka mereka tidak diminta untuk menanggung ganti rugi atas kerusakan tersebut, baik mereka berasal dari kalangan ahl al-harb, ahl al-‘ahd, maupun ahl al-dzimmah.

وَجُعِلَ الْقِتَالُ نَقْضًا لِذِمَّتِهِمْ فَإِنْ لَمْ يُجْعَلْ نَقْضًا لَمْ يَسْقُطِ الْغُرْمُ وَلَا يَكُونُ مَحْمُولًا عَلَى الْبُغَاةِ لِأَنَّهُ عَلَّلَ فِي سُقُوطِ الْغُرْمِ بِمَا لَيْسَ بِعِلَّةٍ فِي سُقُوطِهِ عَنْ أَهْلِ الْبَغْيِ وَهُوَ التَّوْبَةُ لِأَنَّ عِلَّةَ سُقُوطِهِ عَنْ أَهْلِ الْبَغْيِ هُوَ التَّأْوِيلُ

Dan peperangan dijadikan sebagai pembatal jaminan mereka. Jika peperangan tidak dijadikan sebagai pembatal, maka kewajiban ganti rugi tidak gugur, dan tidak dapat disamakan dengan hukum bagi para bughāt, karena alasan yang digunakan untuk menggugurkan kewajiban ganti rugi di sini bukanlah alasan yang berlaku pada gugurnya kewajiban tersebut dari para bughāt, yaitu tobat. Sebab, alasan gugurnya kewajiban tersebut dari para bughāt adalah adanya ta’wil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهُ أَرَادَ بِهَا أَهْلَ الْبَغْيِ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ أَفْصَحَ بِذَلِكَ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَتَكُونُ التَّوْبَةُ مَحْمُولَةً عَلَى إِظْهَارِ الطَّاعَةِ وَوُجُودِ الْقُدْرَةِ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ غُرْمُ مَا اسْتَهْلَكُوهُ مِنْ دَمٍ وَمَالٍ عَلَى أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ وَإِنْ وَجَبَ عَلَى الْقَوْلِ الْآخَرِ

Pendapat kedua adalah bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah ahl al-baghy, karena asy-Syafi‘i telah menjelaskannya secara gamblang dalam Kitab al-Umm. Maka, taubat di sini dimaknai dengan menampakkan ketaatan dan adanya kemampuan (untuk melaksanakannya). Oleh karena itu, tidak wajib atas mereka untuk mengganti apa yang telah mereka musnahkan berupa darah dan harta, menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat ulama, meskipun menurut pendapat yang lain hal itu tetap wajib.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَقَالَ لِي قَائِلٌ مَا تَقُولُ فِيمَنْ أَرَادَ دَمَ رَجُلٍ أَوْ مَالَهُ أَوْ حَرِيمَهُ قُلْتُ يُقَاتِلُهُ وَإِنْ أَتَى الْقَتْلُ عَلَى نَفْسِهِ إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى دَفْعِهِ إِلَّا بِذَلِكَ وَرَوَى حديث النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٍ بَعْدَ إِيمَانٍ وَزِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ وقتل نفس بغير نفس قلت هو كلام عربي ومعناه إذا أتى واحدة من الثلاث حل دمه فمعناه كان رجلا زنى محصنا ثم ترك الزنا وتاب منه وهرب فقدر عليه قتل رجما أو قتل عمداً وترك القتل وتاب منه وهرب ثم قدر عليه قتل قوداً وإذا كفر ثم تاب فارقه اسم الكفر وهذان لا يفارقهما اسم الزنا والقتل ولو تابا وهرباً

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Seseorang bertanya kepadaku, ‘Apa pendapatmu tentang orang yang menginginkan darah seseorang, atau hartanya, atau kehormatannya?’ Aku menjawab, ‘Ia boleh melawannya, meskipun hal itu menyebabkan kematian dirinya sendiri, jika ia tidak mampu menolaknya kecuali dengan cara itu.’ Dan beliau meriwayatkan hadis Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: kufur setelah beriman, zina setelah menikah, dan membunuh jiwa tanpa hak.’ Aku berkata, ‘Ini adalah ucapan dalam bahasa Arab dan maksudnya adalah jika seseorang melakukan salah satu dari tiga hal tersebut, maka halal darahnya. Maksudnya, jika ada seorang laki-laki yang berzina dalam keadaan sudah menikah, lalu ia meninggalkan zina dan bertobat darinya serta melarikan diri, kemudian ia tertangkap, maka ia dibunuh dengan dirajam; atau jika ia membunuh dengan sengaja, lalu meninggalkan perbuatan membunuh dan bertobat darinya serta melarikan diri, kemudian ia tertangkap, maka ia dibunuh dengan qishāṣ; dan jika ia kufur lalu bertobat, maka hilanglah darinya sebutan kafir. Adapun dua yang lain, tidak hilang darinya sebutan pezina dan pembunuh meskipun keduanya telah bertobat dan melarikan diri.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ هَذَا سُؤَالٌ اعْتَرَضَ بِهِ عَلَى الشَّافِعِيِّ مَنْ مَنَعَ مِنْ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ لأن قتالهم مفضي إِلَى قَتْلِهِمْ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٌ بَعْدَ إِيمَانٍ أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ

Al-Mawardi berkata, “Ini adalah pertanyaan yang diajukan kepada asy-Syafi‘i oleh orang yang melarang memerangi ahl al-baghy, karena memerangi mereka dapat berujung pada pembunuhan mereka, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: kufur setelah beriman, zina setelah menikah, atau membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan.’”

وَلَيْسَ الْبَاغِي وَاحِدًا مِنْ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ وَجُعِلَ هَذَا السُّؤَالُ مَقْصُورًا فِيمَنْ أُرِيدَ دَمُهُ أَوْ مَالُهُ أَوْ حَرِيمُهُ كَيْفَ يَجُوزُ لَهُ قَتْلُ مَنْ أَرَادَهُ بِذَلِكَ

Dan orang yang berbuat aniaya (bāghī) bukanlah salah satu dari tiga golongan tersebut, dan pertanyaan ini dibatasi pada orang yang diinginkan darahnya, hartanya, atau kehormatannya, yaitu bagaimana boleh baginya membunuh orang yang menginginkan hal itu darinya.

فَاقْتَضَى السُّؤَالُ دَلِيلًا عَلَى الْحُكْمِ وَانْفِصَالًا عَنِ الْخَبَرِ

Maka pertanyaan itu menuntut adanya dalil atas hukum dan terpisah dari kabar.

فَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ مَنْ أُرِيدَ دَمُهُ أَوْ مَالُهُ أَوْ حَرِيمُهُ يَجُوزُ لَهُ دَفْعُ مَنْ أَرَادَهُ وَإِنْ أَتَى الدَّفْعُ عَلَى نَفْسِهِ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ مِنْ تَرْتِيبِ الدَّفْعِ بِحَالٍ بَعْدَ حَالٍ قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مِنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Adapun dalil bahwa siapa saja yang darahnya, hartanya, atau kehormatannya diinginkan (untuk diserang), maka boleh baginya untuk menolak orang yang menginginkannya, meskipun penolakan itu berujung pada kematiannya sendiri—sebagaimana akan kami sebutkan nanti tentang urutan penolakan dari satu keadaan ke keadaan lain—adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia adalah syahid.”

وَالشَّهِيدُ مَظْلُومٌ وَلِلْمَظْلُومِ دَفْعُ الظُّلْمَ عَنْ نَفْسِهِ بِالْقِتَالِ وَمَا أُبِيحَ مِنَ الْقِتَالِ لَمْ يَجِبْ بِهِ ضَمَانٌ

Syahid adalah orang yang dizalimi, dan bagi orang yang dizalimi diperbolehkan untuk menolak kezaliman atas dirinya dengan berperang. Apa yang dibolehkan dari peperangan, tidak wajib atasnya ganti rugi.

وَأَمَّا الِانْفِصَالُ عَنِ الْخَبَرِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun pemisahan dari khabar itu ada dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَبَاحَ الْقَتْلَ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ اخْتَلَفَتْ مَعَانِيهَا وَاتَّفَقَتْ أَحْكَامُهَا

Salah satunya adalah bahwa ia membolehkan pembunuhan dengan tiga syarat yang maknanya berbeda-beda namun hukumnya sama.

أَحَدُهَا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِيمَانِ فَلَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ وَيَسْقُطُ بِالتَّوْبَةِ مِنْهُ وَيَزُولُ عَنْهُ اسْمُ الْكُفْرِ بَعْدَ التَّوْبَةِ

Salah satunya adalah dengan kekufuran setelah beriman, maka tidak boleh dimaafkan darinya dan gugur dengan taubat darinya, serta hilang darinya sebutan kafir setelah bertaubat.

وَالثَّانِي بِالزِّنا بَعْدَ الْإِحْصَانِ لَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ وَلَا يَسْقُطُ بِالتَّوْبَةِ مِنْهُ بَعْدَ الْقُدْرَةِ وَفِي سُقُوطِهِ قَبْلَ الْقُدْرَةِ خِلَافٌ وَلَا يَزُولُ عَنْهُ اسْمُ الزِّنا بَعْدَ التَّوْبَةِ

Yang kedua adalah hukuman atas zina setelah menikah (muhshan), tidak boleh dimaafkan dan tidak gugur dengan taubat setelah adanya kemampuan (untuk menegakkan hukuman). Adapun mengenai gugurnya hukuman sebelum adanya kemampuan, terdapat perbedaan pendapat. Nama zina pun tidak hilang darinya setelah bertaubat.

وَالثَّالِثُ بِقَتْلِ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ وَهَذَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ وَلَا يَسْقُطُ بِالتَّوْبَةِ وَلَا يَزُولُ عَنْهُ اسْمُ الْقَتْلِ بِالتَّوْبَةِ

Dan yang ketiga adalah dengan membunuh jiwa tanpa adanya jiwa (sebagai balasan), dan dalam hal ini boleh diberikan maaf, namun hukumnya tidak gugur dengan taubat, dan nama pembunuhan tidak hilang darinya dengan taubat.

فَلَمَّا اخْتَلَفَتِ الْمَعَانِي وَالْأَسْمَاءُ صَارَتْ مَعَانِي الْقَتْلِ هِيَ الْمُعْتَبَرَةَ دُونَ الْعَدَدِ الْمَحْصُورِ

Ketika makna-makna dan nama-nama berbeda, maka makna-makna pembunuhanlah yang menjadi pertimbangan, bukan jumlah yang terbatas.

وَالثَّانِي إنَّهُ لِسَانٌ عَرَبِيٌّ لَا يَمْنَعُ أَنْ يَنْضَمَّ إِلَى الْعَدَدِ الْمَحْصُورِ مَا فِي مَعْنَاهُ وَلَا تَكُونُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِ رَافِعَةً لِحُكْمِهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ الأعراف 142

Kedua, bahwa ini adalah bahasa Arab, yang tidak menghalangi untuk menambahkan pada jumlah tertentu sesuatu yang searti dengannya, dan penambahan atasnya tidak menghapus hukumnya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah itu dengan sepuluh (malam),” (QS. al-A‘raf: 142).

وَعَلَى أَنَّ لِلْخَبَرِ تَأْوِيلَيْنِ يُغْنِيَانِ عَنْ هَذَيْنِ الْجَوَابَيْنِ

Selain itu, hadis tersebut memiliki dua penafsiran yang dapat menggantikan dua jawaban tersebut.

أَحَدُهُمَا لَا يَحِلُّ قَتْلُهُ صَبْرًا إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ وَهَذَا لَا يُقْتَلُ صَبْرًا وَإِنَّمَا يَنْتَهِي حَالُهُ إِلَى الْقَتْلِ دَفْعًا

Salah satunya tidak halal dibunuh secara sengaja kecuali karena salah satu dari tiga alasan, dan yang ini tidak dibunuh secara sengaja, melainkan keadaannya hanya boleh dibunuh dalam rangka membela diri.

وَالثَّانِي لَا يَحِلُّ قَتْلُهُ بِسَبَبٍ مُتَقَدِّمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ وَهَذَا لَا يُقْتَلُ بِسَبَبٍ مُتَقَدِّمٍ وَإِنَّمَا يُقْتَلُ بِسَبَبٍ حَادِثٍ فِي الْحَالِ

Dan yang kedua, tidak halal untuk dibunuh karena sebab yang telah lalu kecuali dengan salah satu dari tiga hal, dan orang ini tidak dibunuh karena sebab yang telah lalu, melainkan hanya dibunuh karena sebab yang baru terjadi saat ini.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَا يُسْتَعَانُ عَلَيْهِمْ بِمَنْ يَرَى قَتْلَهُمْ مُدْبِرِينَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Dan tidak boleh meminta bantuan terhadap mereka dengan orang yang berpendapat bolehnya membunuh mereka saat mundur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الِاسْتِعَانَةُ بِأَهْلِ الْعَهْدِ وَالذِّمَّةِ فِي قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَلَا يَجُوزُ بِحَالٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا النساء 141 وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الإسلام يعلو ولا يعلى

Al-Mawardi berkata: Adapun meminta bantuan kepada ahl al-‘ahd dan ahl al-dzimmah dalam memerangi ahl al-baghy, maka hal itu sama sekali tidak diperbolehkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin” (an-Nisa’ 141), dan juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.”

ولأنهم غير ما مُؤْمِنِينَ عَلَى نُفُوسِهِمْ وَحَرِيمِهِمْ لِمَا يَعْتَقِدُونَهُ دِينًا مِنْ إِبَاحَةِ دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمُ الَّتِي أَوْجَبَ اللَّهُ تَعَالَى حَظْرَهَا وَأَمَرَ بِالْمَنْعِ مِنْهَا

Karena mereka (orang-orang kafir) tidak dapat dipercaya atas diri dan kehormatan mereka sendiri, disebabkan keyakinan agama mereka yang membolehkan darah dan harta mereka—padahal Allah Ta‘ala telah mewajibkan larangan atas hal itu dan memerintahkan untuk mencegahnya.

فَأَمَّا الِاسْتِعَانَةُ عَلَيْهِمْ بِمَنْ يَرَى قِتَالَهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُقْبِلِينَ وَمُدْبِرِينَ فَقَدْ مَنَعَ الشَّافِعِيُّ مِنْهُ لِمَا يَلْزَمُ مِنَ الْكَفِّ عَنْهُمْ إِذَا انْهَزَمُوا

Adapun meminta bantuan kepada kaum Muslimin yang berpendapat wajib memerangi mereka, baik yang maju maupun mundur, maka asy-Syafi‘i melarang hal itu karena konsekuensi dari keharusan menahan diri dari memerangi mereka apabila mereka telah kalah.

فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا جَازَ أَنْ يَسْتَعِينَ عَلَيْهِمْ بِمَنْ يُخَالِفُ رَأْيَهُ فِيهِ وَيَعْمَلُ عَلَى اجْتِهَادِ نَفْسِهِ كَمَا يَجُوزُ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَسْتَخْلِفَ مَنْ يَحْكُمُ بِاجْتِهَادِ نَفْسِهِ وَإِنْ خَالَفَ اجْتِهَادَ مُسْتَخْلِفِهِ فَيَجُوزُ لِلشَّافِعِيِّ أَنْ يَسْتَخْلِفَ حَنَفِيًّا وَلِلْحَنَفِيِّ أَنْ يَسْتَخْلِفَ شَافِعِيًّا

Jika dikatakan, “Lalu mengapa tidak boleh meminta bantuan kepada orang yang berbeda pendapat dengannya dalam masalah itu dan beramal berdasarkan ijtihadnya sendiri, sebagaimana dibolehkan bagi seorang hakim untuk mengangkat pengganti yang memutuskan perkara dengan ijtihadnya sendiri, meskipun berbeda dengan ijtihad orang yang mengangkatnya? Maka dibolehkan bagi seorang Syafi‘i untuk mengangkat seorang Hanafi, dan bagi seorang Hanafi untuk mengangkat seorang Syafi‘i.”

قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا إنَّ قِتَالَ أَهْلِ الْبَغْيِ مُدْبِرِينَ بِاجْتِهَادِ الْإِمَامِ وَالْمُعَيَّنُ فِيهِ مَأْمُورٌ مَمْنُوعٌ مِنَ الِاجْتِهَادِ وَالْمُسْتَخْلَفُ عَلَى الْحُكْمِ مُفَوَّضٌ إِلَيْهِ النَّظَرُ فَسَاغَ لَهُ الِاجْتِهَادُ

Dikatakan bahwa perbedaan antara keduanya adalah bahwa memerangi kelompok bughat yang melarikan diri dilakukan berdasarkan ijtihad imam, dan orang yang ditugaskan secara khusus dalam hal ini diperintahkan serta dilarang melakukan ijtihad, sedangkan orang yang diangkat untuk menjalankan hukum diserahkan kepadanya wewenang untuk menilai, sehingga baginya diperbolehkan melakukan ijtihad.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ الِاسْتِعَانَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Maka apabila telah tetap bahwa ia dilarang untuk meminta bantuan, para ulama kami pun berbeda pendapat mengenai hal ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إنَّهُ مَنْعُ تَحْرِيمٍ وَحَظْرٍ

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan larangan dan pengharaman.

وَالثَّانِي إنَّهُ مَنْعُ نَدْبٍ وَاسْتِحْبَابٍ

Dan yang kedua adalah bahwa hal itu merupakan peniadaan anjuran (nadb) dan kesunnahan (istihbab).

فَإِنْ دَعَتْهُ الضَّرُورَةُ إِلَى الِاسْتِعَانَةِ بِهِمْ لِعَجْزِ أَهْلِ الْعَدْلِ عَنْ مُقَاوَمَتِهِمْ جَازَ أَنْ يَسْتَعِينَ بِهِمْ عَلَى ثَلَاثَةِ شُرُوطٍ

Jika ia terpaksa harus meminta bantuan mereka karena ketidakmampuan orang-orang yang adil untuk melawan mereka, maka boleh baginya meminta bantuan mereka dengan tiga syarat.

أَحَدُهَا أَنْ لَا يَجِدَ عَوْنًا غَيْرَهُمْ فَإِنْ وَجَدَ لَمْ يَجُزْ

Salah satunya adalah tidak menemukan penolong selain mereka; jika ia menemukan (penolong lain), maka tidak boleh.

وَالثَّانِي أَنْ يَقْدِرَ عَلَى رَدِّهِمْ إِنْ خَالَفُوا فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى رَدِّهِمْ لَمْ يَجُزْ

Kedua, ia harus mampu menolak mereka jika mereka menyelisihi. Jika ia tidak mampu menolak mereka, maka tidak diperbolehkan.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَثِقَ بِمَا شَرَطَهُ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يَتْبَعُوا مُدْبِرًا وَلَا يُجْهِزُوا عَلَى جَرِيحٍ فَإِنْ لَمْ يَثِقْ بِوَفَائِهِمْ لَمْ يَجُزْ

Ketiga, ia harus merasa yakin terhadap syarat yang telah ia tetapkan kepada mereka, yaitu agar mereka tidak mengejar orang yang mundur dan tidak menghabisi orang yang terluka. Jika ia tidak yakin akan komitmen mereka terhadap hal itu, maka tidak diperbolehkan.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَا بَأْسَ إِذَا كَانَ حُكْمُ الْإِسْلَامِ الظَّاهِرُ أَنْ يُسْتَعَانَ بِالْمُشْرِكِينَ عَلَى قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ وَذَلِكَ أَنَّهُ تَحِلُّ دِمَاؤُهُمْ مُقْبِلِينَ وَمُدْبِرِينَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Tidak mengapa, apabila hukum Islam yang tampak berlaku, meminta bantuan orang-orang musyrik untuk memerangi orang-orang musyrik. Hal itu karena darah mereka halal, baik ketika mereka maju maupun mundur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا قَالَ يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَسْتَعِينَ بِالْمُشْرِكِينَ عَلَى قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اسْتَعَانَ فِي بَعْضِ حُرُوبِهِ بِيَهُودِ بَنِي قَيْنُقَاعَ وَاسْتَعَارَ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ عَامَ الْفَتْحِ سَبْعِينَ دِرْعًا

Al-Mawardi berkata, dan memang sebagaimana yang ia katakan, boleh bagi imam untuk meminta bantuan orang-orang musyrik dalam memerangi orang-orang musyrik, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta bantuan dalam beberapa peperangannya kepada Yahudi Bani Qaynuqa‘ dan meminjam dari Shafwan bin Umayyah pada tahun penaklukan (Makkah) sebanyak tujuh puluh baju zirah.

وَشَهِدَ مَعَهُ حُنَيْنًا وَهُوَ عَلَى شِرْكِهِ وَسَمِعَ أَبَا سُفْيَانَ يَقُولُ غَلَبَتْ هَوَازِنُ وَقُتِلَ مُحَمَّدٌ

Ia turut serta bersamanya dalam Perang Hunain saat masih dalam keadaan musyrik, dan ia mendengar Abu Sufyan berkata, “Hawazin telah menang dan Muhammad telah terbunuh.”

فَقَالَ لَهُ بِفِيكَ الْحَجَرُ وَاللَّهِ لَرَبّ مِنْ قُرَيْشٍ أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْ رَبٍّ مِنْ هَوَازِنَ

Ia berkata kepadanya, “Mulutmulah yang berisi batu! Demi Allah, sungguh tuhan dari Quraisy lebih kami cintai daripada tuhan dari Hawazin.”

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ مَعَ مُشْرِكٍ قِيلَ إِنَّمَا بَرِئَ مِنْ مَعُونَةِ الْمُسْلِمِ لِمُشْرِكٍ وَلَمْ يَبْرَأْ مِنْ مَعُونَةِ الْمُشْرِكِ لِمُسْلِمٍ

Jika dikatakan: Nabi ﷺ telah bersabda, “Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang bersama musyrik.” Maka dijawab: Sesungguhnya beliau hanya berlepas diri dari bantuan seorang Muslim kepada musyrik, dan beliau tidak berlepas diri dari bantuan seorang musyrik kepada Muslim.

وَقد رُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” لَا تَسْتَضِيئُوا بِنَارِ أَهْلِ الشِّرْكِ وَمَعْنَاهُ لَا تَرْجِعُوا إِلَى آرَائِهِمْ

Dan telah diriwayatkan dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Janganlah kalian mengambil penerangan dari api kaum musyrik,” dan maksudnya adalah janganlah kalian kembali kepada pendapat-pendapat mereka.

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الِاسْتِعَانَةِ بِهِمْ عَلَى الْمُشْرِكِينَ وَإِنْ لَمْ يَجُزِ الِاسْتِعَانَةُ بِهِمْ عَلَى أَهْلِ الْبَغْيِ فَهِيَ مُعْتَبَرَةٌ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ

Maka apabila telah tetap bolehnya meminta bantuan mereka untuk menghadapi kaum musyrik, meskipun tidak boleh meminta bantuan mereka untuk menghadapi ahl al-baghy, maka hal itu diperhitungkan dengan tiga syarat.

أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ نِيَّاتُهُمْ فِي الْمُسْلِمِينَ جَمِيلَةً

Salah satunya adalah bahwa niat-niat mereka terhadap kaum Muslimin itu baik.

وَالثَّانِي أَنْ يُعْلَمَ مِنْ حَالِهِمْ أَنَّهُمْ إِنِ انْضَمُّوا إِلَى الْمُشْرِكِينَ لَمْ يَضْعُفِ الْمُسْلِمُونَ عَنْ جَمِيعِهِمْ

Dan yang kedua adalah diketahui dari keadaan mereka bahwa jika mereka bergabung dengan kaum musyrik, kaum Muslimin tidak akan melemah dalam menghadapi mereka semua.

وَالثَّالِثُ أَنْ يُؤْمَنَ غدرهم وتخزيلهم

Dan yang ketiga adalah merasa aman dari pengkhianatan dan penelantaran mereka.

فإذا استكلمت فِيهِمْ هَذِهِ الشُّرُوطُ اسْتَعَانَ بِهِمْ

Jika syarat-syarat ini telah terpenuhi pada mereka, maka ia dapat meminta bantuan kepada mereka.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَا يُعِينُ الْعَادِلُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ الْبَاغِيَتَيْنِ وَإِنِ اسْتَعَانَتْهُ عَلَى الْأُخْرَى حَتَّى تَرْجِعَ إِلَيْهِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Seorang yang adil tidak boleh membantu salah satu dari dua kelompok yang saling memberontak, meskipun salah satu kelompok meminta bantuannya untuk melawan kelompok yang lain, hingga kelompok tersebut kembali kepada kebenaran.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا افْتَرَقَ أَهْلُ الْبَغْيِ طَائِفَتَيْنِ وَقَاتَلَتْ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ الْأُخْرَى

Al-Mawardi berkata, “Jika kelompok bughat (pemberontak) terpecah menjadi dua kelompok, lalu salah satu kelompok memerangi kelompok yang lain.”

فَإِنْ قَوِيَ الْإِمَامُ عَلَى قِتَالِهِمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مَعُونَةُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ عَلَى الْأُخْرَى لِأَمْرَيْنِ

Jika imam mampu memerangi keduanya, maka ia tidak boleh membantu salah satu kelompok untuk melawan kelompok yang lain karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا إنَّ كِلَا الطَّائِفَتَيْنِ عَلَى خَطَأٍ وَالْمَعُونَةُ عَلَى الْخَطَأِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ خَطَأٌ

Salah satunya adalah bahwa kedua kelompok itu sama-sama berada dalam kesalahan, dan membantu dalam kesalahan tanpa adanya kebutuhan yang mendesak juga merupakan sebuah kesalahan.

وَالثَّانِي إنَّ مَعُونَةَ إِحْدَاهُمَا أَمَانٌ لَهَا وَعَقْدُ الْأَمَانِ لَهَا غَيْرُ جَائِزٍ

Kedua, bahwa memberikan bantuan kepada salah satu dari keduanya merupakan jaminan keamanan baginya, sedangkan mengadakan akad keamanan untuknya tidak diperbolehkan.

وَإِنْ ضَعُفَ عَنْ قِتَالِهِمَا قَاتَلَ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ مَعَ الْأُخْرَى وَيَعْتَقِدُ أَنَّهُ مُسْتَعِينٌ بِهِمْ وَلَا يَعْتَقِدُ أَنَّهُ مُعِينٌ لَهُمْ وَلْيَضُمَّ إِلَيْهِ أَقَرَبَهُمَا إِلَى مُعْتَقَدِهِ وَأَرْغَبَهُمَا فِي طَاعَتِهِ

Jika ia lemah untuk memerangi kedua kelompok tersebut, maka ia memerangi salah satu dari keduanya bersama kelompok yang lain, dan ia harus meyakini bahwa ia meminta bantuan kepada mereka, bukan membantu mereka. Hendaknya ia bergabung dengan kelompok yang paling dekat dengan keyakinannya dan yang paling besar keinginannya untuk menaati dirinya.

فَإِنِ اسْتَوَيَا ضَمَّ إِلَيْهِ أَقَلَّهُمَا جَمْعًا فَإِنِ اسْتَوَيَا ضَمَّ إِلَيْهِ أَقْرَبَهُمَا دَارًا فَإِنِ اسْتَوَيَا اجْتَهَدَ رَأْيَهُ فِي إِحْدَاهُمَا

Jika keduanya sama, maka ia menambahkan kepada keduanya orang yang paling sedikit jumlahnya; jika keduanya masih sama, maka ia menambahkan kepada keduanya orang yang rumahnya paling dekat; jika keduanya masih sama, maka ia berijtihad dengan pendapatnya pada salah satu dari keduanya.

فَإِنْ أَطَاعَتْهُ الطَّائِفَةُ الَّتِي قَاتَلَهَا أَوِ انْهَزَمَتْ عَنْهُ عَدَلَ إِلَى الْأُخْرَى وَلَمْ يَبْدَأْ بِقِتَالِهَا إِلَّا بَعْدَ اسْتِدْعَائِهَا ثَانِيَةً إِلَى طَاعَتِهِ لِأَنَّ انْضِمَامَهَا إِلَيْهِ كَالْأَمَانِ الَّذِي يَقْطَعُ حُكْمَ مَا تَقَدَّمَهُ مِنَ الِاسْتِدْعَاءِ وَالْحَيَاةِ

Jika kelompok yang diperanginya itu menaati atau mundur darinya, maka ia beralih kepada kelompok yang lain dan tidak memulai memeranginya kecuali setelah kembali mengajaknya untuk taat kepadanya, karena bergabungnya kelompok itu kepadanya seperti jaminan keamanan yang memutuskan hukum dari ajakan dan peperangan sebelumnya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رضي الله عنه ” وَلَا يُرْمَوْنَ بِالْمَنْجَنِيقِ وَلَا نَارٍ إِلَّا أَنْ تَكُونَ ضَرُورَةً بِأَنْ يُحَاطَ بِهِمْ فَيَخَافُوا الِاصْطِلَامَ أَوْ يُرْمَوْنَ بِالْمَنْجَنِيقِ فَيَسَعُهُمْ ذَلِكَ دَفْعًا عَنْ أَنْفُسِهِمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Mereka tidak boleh diserang dengan manjaniq (alat pelontar batu) atau api kecuali dalam keadaan darurat, yaitu ketika mereka terkepung sehingga dikhawatirkan akan binasa seluruhnya, atau mereka diserang dengan manjaniq sehingga diperbolehkan bagi mereka melakukan hal itu sebagai upaya membela diri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِقِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ كَفُّهُمْ عَنِ الْبَغْيِ وَالْمَقْصُودَ بِقِتَالِ أَهْلِ الْحَرْبِ قَتْلُهُمْ عَلَى الشِّرْكِ فَاخْتَلَفَ قِتَالُهُمَا لِاخْتِلَافِ مَقْصُودِهِمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa tujuan dari memerangi ahl al-baghy adalah untuk menghentikan mereka dari pembangkangan, sedangkan tujuan dari memerangi ahl al-harb adalah membunuh mereka karena kemusyrikan. Maka, perbedaan tujuan dari kedua kelompok ini menyebabkan perbedaan dalam cara memerangi mereka dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا فِي صِفَةِ الْحَرْبِ

Salah satunya berkaitan dengan sifat peperangan.

وَالثَّانِي فِي حُكْمِهَا

Dan yang kedua dalam hukum (ketentuan)nya.

فَأَمَّا اخْتِلَافُهُمَا فِي صِفَةِ الْحَرْبِ فَمِنْ تِسْعَةِ أَوْجُهٍ

Adapun perbedaan keduanya dalam sifat peperangan adalah dalam sembilan aspek.

أَحَدُهَا إنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكْبِسَ أَهْلَ الْحَرْبِ فِي دَارِهِمْ غِرَّةً وَبَيَاتًا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بأهل البغي

Salah satunya adalah bahwa boleh menyerang orang-orang kafir harbi di negeri mereka secara tiba-tiba dan pada malam hari, namun tidak boleh melakukan hal itu terhadap ahl al-baghy.

وَالثَّانِي يَجُوزُ أَنْ يُحَاصِرَ أَهْلَ الْحَرْبِ وَيَمْنَعَهُمُ الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ وَلَا يَجُوزَ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بِأَهْلِ الْبَغْيِ

Kedua, boleh mengepung orang-orang yang sedang berperang dan melarang mereka dari makanan dan minuman, namun tidak boleh melakukan hal itu terhadap kelompok bughat (pemberontak).

وَالثَّالِثُ يَجُوزُ أَنْ يَقْطَعَ عَلَى أَهْلِ الْحَرْبِ نَخِيلَهُمْ وَأَشْجَارَهُمْ وَزُرُوعَهُمْ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بِأَهْلِ الْبَغْيِ

Ketiga, diperbolehkan menebang pohon kurma, pepohonan, dan tanaman milik orang-orang kafir harbi, namun tidak diperbolehkan melakukan hal tersebut terhadap milik orang-orang bughat.

وَالرَّابِعُ يَجُوزُ أَنْ يُفَجِّرَ عَلَى أَهْلِ الْحَرْبِ الْمِيَاهَ لِيَغْرَقُوا ولا يجوز أن يفعل ذلك بأهل البغي

Keempat, boleh menyalurkan air kepada orang-orang kafir harbi agar mereka tenggelam, namun tidak boleh melakukan hal itu kepada ahlul baghy.

وَالْخَامِسُ يَجُوزُ أَنْ يَحْرِقَ عَلَيْهِمْ مَنَازِلَهُمْ وَيُلْقِيَ عَلَيْهِمُ النَّارَ وَلَا يَجُوزَ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بِأَهْلِ الْبَغْيِ

Kelima, boleh membakar rumah-rumah mereka dan melemparkan api kepada mereka, namun tidak boleh melakukan hal itu terhadap ahl al-baghy.

وَالسَّادِسُ يَجُوزُ أَنْ يُلْقِيَ عَلَى أَهْلِ الْحَرْبِ الْحَيَّاتِ وَالْحَسَكَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بِأَهْلِ الْبَغْيِ

Keenam, boleh melemparkan ular dan duri kepada musuh yang sedang berperang, namun tidak boleh melakukan hal itu kepada kelompok pemberontak (ahl al-baghy).

وَالسَّابِعُ يَجُوزُ أَنْ يَنْصِبَ عَلَى أَهْلِ الْحَرْبِ الْعَرَّادَاتِ وَيَرْمِيَهُمْ بِالْمَنْجَنِيقَاتِ ولا يجوز أن يفعل ذلك بأهل البغي

Ketujuh, boleh bagi seorang pemimpin untuk memasang alat-alat perang terhadap musuh (ahlu al-harb) dan melempari mereka dengan manjaniq (alat pelontar batu), namun tidak boleh melakukan hal itu terhadap ahlu al-baghy (kelompok pemberontak dari kaum Muslimin).

وَالثَّامِنُ يَجُوزُ أَنْ يَعْقِرَ عَلَى أَهْلِ الْحَرْبِ خَيْلَهُمْ إِذَا قَاتَلُوا عَلَيْهَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بِأَهْلِ الْبَغْيِ

Kedelapan, boleh bagi seseorang untuk melukai atau membunuh kuda milik musuh (ahlu al-harb) jika mereka menggunakannya dalam peperangan, dan tidak boleh melakukan hal itu terhadap kuda milik ahlu al-baghy.

وَالتَّاسِعُ يَجُوزُ أَنْ يُقَاتِلَ أَهْلَ الْحَرْبِ مُقْبِلِينَ وَمُدْبِرِينَ وَلَا يُقَاتِلُ أَهْلَ الْبَغْيِ إِلَّا مُقْبِلِينَ وَيَكُفُّ عَنْهُمْ مُدْبِرِينَ

Kesembilan, boleh memerangi ahl al-harb baik ketika mereka maju maupun mundur, sedangkan terhadap ahl al-baghy hanya boleh diperangi ketika mereka maju, dan harus menahan diri dari memerangi mereka ketika mereka mundur.

وَأَمَّا اخْتِلَافُهُمَا فِي حُكْمِ الْحَرْبِ فَمِنْ سِتَّةِ أَوْجُهٍ

Adapun perbedaan keduanya dalam hukum perang, maka terdapat enam aspek.

أَحَدُهَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتُلَ أَسْرَى أَهْلِ الْحَرْبِ وَلَا يَجُوزَ أَنْ يَقْتُلَ أَسْرَى أَهْلِ الْبَغْيِ

Salah satunya adalah boleh membunuh tawanan dari kalangan ahl al-harb, namun tidak boleh membunuh tawanan dari kalangan ahl al-baghy.

وَالثَّانِي يَجُوزُ أَنْ تُسْبَى ذَرَارِيُّ أَهْلِ الْحَرْبِ وَتُغْنَمَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا يَجُوزُ مِثْلُهُ فِي أَهْلِ الْبَغْيِ

Yang kedua, boleh untuk menawan anak-anak (keturunan) orang-orang kafir harbi dan merampas harta mereka, namun tidak boleh melakukan hal yang sama terhadap ahl al-baghy.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَعْهَدَ لِأَهْلِ الْحَرْبِ عَهْدًا وَهُدْنَةً وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَعْهَدَ لِأَهْلِ الْبَغْيِ

Ketiga, boleh bagi seorang pemimpin untuk membuat perjanjian dan gencatan senjata dengan ahl al-harb, namun tidak boleh membuat perjanjian dengan ahl al-baghy.

وَالرَّابِعُ يَجُوزُ أَنْ يُصَالِحَ أَهْلَ الْحَرْبِ عَلَى مَالٍ وَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ مَعَ أَهْلِ الْبَغْيِ

Keempat, boleh melakukan shulḥ (perdamaian) dengan ahl al-ḥarb dengan memberikan harta, namun hal itu tidak boleh dilakukan dengan ahl al-baghy.

وَالْخَامِسُ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَرِقَّ أَهْلَ الْحَرْبِ وَلَا يَجُوزَ أَنْ يَسْتَرِقَّ أَهْلَ الْبَغْيِ

Kelima, boleh memperbudak orang-orang kafir harbi, tetapi tidak boleh memperbudak orang-orang bughat.

وَالسَّادِسُ يَجُوزُ أَنْ يُفَادِيَ أَهْلَ الْحَرْبِ عَلَى مَالٍ وَأَسْرَى وَلَا تَجُوزُ مُفَادَاةُ أَهْلِ البغي

Keenam, boleh melakukan pertukaran tawanan dengan pihak musuh (ahl al-ḥarb) dengan imbalan harta atau tawanan, dan tidak boleh melakukan pertukaran tawanan dengan pihak pemberontak (ahl al-baghy).

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنِ اخْتِلَافِهِمَا فِي صِفَةِ الْحَرْبِ وَحُكْمِهَا وَأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُرْمَوْا بِالْمَنْجَنِيقِ فَذَلِكَ فِي حَالِ الِاخْتِيَارِ

Maka apabila telah jelas apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan keduanya dalam sifat peperangan dan hukumnya, serta bahwa tidak boleh mereka dilempari dengan manjaniq, maka hal itu berlaku dalam keadaan pilihan.

فَإِنْ دَعَتْ ضَرُورَةٌ فِي إِحْدَى حَالَتَيْنِ جَازَ أَنْ يُرْمَوْا بِهِ وَتُلْقَى عَلَيْهِمُ النَّارُ

Jika terdapat kebutuhan mendesak dalam salah satu dari dua keadaan, maka boleh melempari mereka dengannya dan menyalakan api atas mereka.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يُقَاتِلُوا أَهْلَ الْعَدْلِ بِذَلِكَ فَيَجُوزُ أَنْ يُقَاتِلُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِهِ قَصْدًا لِكَفِّهِمْ عَنْهُ لَا لِمُقَاتَلَتِهِمْ عَلَيْهِ فَإِنَّ الظُّلْمَ لَا يُبِيحُ الظُّلْمَ لكن يستدفع الظلم بما أمكن

Salah satunya adalah bahwa mereka memerangi Ahl al-‘Adl dengan hal itu, maka boleh bagi mereka untuk memerangi dengan cara yang sama dengan tujuan menahan mereka dari perbuatan tersebut, bukan untuk memerangi mereka karena hal itu. Sebab, kezaliman tidak membolehkan kezaliman, namun kezaliman dapat ditolak dengan cara yang memungkinkan.

والحالة الثَّانِيَةُ أَنْ يُحِيطُوا بِأَهْلِ الْعَدْلِ وَيَخَافُوا اصْطِلَامَهُمْ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَرْمُوهُمْ بِالْمَنْجَنِيقِ وَيُلْقُوا عَلَيْهِمُ النَّارَ طَلَبًا لِلْخَلَاصِ مِنْهُمْ لَا قَصْدًا لِاصْطِلَامِهِمْ

Keadaan kedua adalah apabila mereka dikepung oleh orang-orang yang adil dan mereka khawatir akan dibinasakan, maka tidak mengapa melempari mereka dengan manjaniq (alat pelontar) dan melemparkan api kepada mereka dengan tujuan untuk menyelamatkan diri dari mereka, bukan dengan maksud membinasakan mereka.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِنْ غَلَبُوا عَلَى بِلَادٍ فَأَخَذُوا صَدَقَاتِ أَهْلِهَا وَأَقَامُوا عَلَيْهِمُ الْحُدُودَ لَمْ تَعُدْ عَلَيْهِمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika mereka menguasai suatu negeri lalu mengambil zakat dari penduduknya dan menegakkan hudud atas mereka, maka kewajiban itu tidak lagi berlaku atas mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا تَغَلَّبَ أَهْلُ الْبَغْيِ عَلَى بَلَدٍ فَأَخَذُوا صَدَقَاتِهَا وَجَبَوْا خَرَاجَهَا وَأَقَامُوا الْحُدُودَ عَلَى أَهْلِهَا أَمْضَى الْإِمَامُ مَا فَعَلُوهُ إِذَا ظَهَرَ عَلَى بِلَادِهِمْ وَلَمْ يُطَالِبْ بِمَا جَبَوْهُ مِنَ الْحُقُوقِ وَلَمْ يُعِدْ مَا أَقَامُوهُ من الحدود لأن علياً رضوان الله عليه أَمْضَى ذَلِكَ وَلَمْ يُطَالِبْ بِهِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, yaitu apabila kelompok bughat menguasai suatu negeri lalu mereka mengambil zakatnya, memungut kharajnya, dan menegakkan hudud atas penduduknya, maka imam tetap memberlakukan apa yang telah mereka lakukan apabila ia berhasil menguasai negeri mereka, dan tidak menuntut apa yang telah mereka pungut dari hak-hak tersebut, serta tidak mengulangi hudud yang telah mereka tegakkan, karena Ali radhiyallahu ‘anhu telah memberlakukan hal itu dan tidak menuntutnya kembali.”

وَلِأَنَّهُمْ مُتَأَوِّلُونَ فِي جِبَايَتِهِ وَإِقَامَتِهِ

Karena mereka memiliki takwil dalam pemungutannya dan penegakannya.

وَلِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُ أَنْ يُؤَدِّيَ زَكَاةَ عَامٍ مَرَّتَيْنِ وَلَا يُقَامُ عَلَى زان حدين

Dan karena tidak wajib menunaikan zakat untuk satu tahun sebanyak dua kali, dan tidak ditegakkan dua hudud atas seorang pezina.

فَإِنِ ادَّعَى أَصْحَابُ الْحُدُودِ إِقَامَتَهَا عَلَيْهِمْ قُبِلَ قَوْلُهُمْ فِيهَا وَلَمْ يُحْلَفُوا عَلَيْهَا لِأَنَّهَا حُدُودٌ تُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ

Jika para pelaku hudud mengaku bahwa hudud telah ditegakkan atas mereka, maka pengakuan mereka diterima dalam hal itu dan mereka tidak diminta bersumpah atasnya, karena hudud adalah hukuman yang gugur dengan adanya syubhat.

فَإِنِ ادَّعَى مَنْ عَلَيْهِ الْحُقُوقُ دَفْعَهَا إِلَيْهِمْ

Jika orang yang memiliki kewajiban mengaku telah menyerahkan hak-hak tersebut kepada mereka

فَإِنْ كَانَتْ زَكَاةً قُبِلَ قَوْلَهُمْ فِي دَفْعِهَا وَلَمْ يُكَلَّفُوا الْبَيِّنَةَ عَلَيْهَا لِأَنَّهُمْ فِيهَا أُمَنَاءُ

Jika itu adalah zakat, maka ucapan mereka diterima dalam hal penyalurannya dan mereka tidak dibebani kewajiban menghadirkan bukti atasnya, karena dalam hal ini mereka adalah orang-orang yang dipercaya.

فَإِنِ اتُّهِمُوا أُحْلِفُوا وَفِي يَمِينِهِمْ بَعْدَ اعْتِرَافِهِمْ بِوُجُوبِهَا وَجْهَانِ

Jika mereka dituduh, maka mereka disumpah. Dalam sumpah mereka, setelah mereka mengakui kewajibannya, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ إِنْ نَكَلُوا عَنْهَا لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُمْ

Salah satunya adalah bahwa ia (zakat) bersifat mustahab; jika mereka enggan menunaikannya, maka tidak diambil dari mereka.

وَالثَّانِي إنَّهَا وَاجِبَةٌ إِنْ نَكَلُوا عَنْهَا أُخِذَتْ مِنْهُمْ بِالِاعْتِرَافِ الْمُتَقَدِّمِ دُونَ النُّكُولِ

Kedua, sesungguhnya zakat itu wajib; jika mereka enggan menunaikannya, maka zakat itu diambil dari mereka berdasarkan pengakuan sebelumnya, tanpa memperhatikan penolakan mereka.

وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ الَّذِي ادَّعَوْا أَدَاءَهُ جِزْيَةً أَوْ خَرَاجًا

Dan jika hak yang mereka klaim telah mereka tunaikan itu adalah jizyah atau kharāj.

فَإِنْ كَانَ عَلَى كَافِرٍ كُلِّفَ الْبَيِّنَةَ وَلَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ لِأَنَّ الْجِزْيَةَ أُجْرَةٌ وَالْخَرَاجَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ ثَمَنًا أَوْ أُجْرَةً وَلَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْمُسْتَأْجِرِ فِي دَفْعِ الْأُجْرَةِ وَلَا قَوْلُ الْمُشْتَرِي فِي دَفْعِ الثَّمَنِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ

Jika (tuntutan) itu ditujukan kepada seorang kafir, maka ia dibebani untuk menghadirkan bukti, dan pengakuannya tidak diterima, karena jizyah adalah upah, sedangkan kharāj bisa berupa harga atau upah. Tidak diterima pernyataan penyewa dalam pembayaran upah, dan tidak pula pernyataan pembeli dalam pembayaran harga, kecuali dengan bukti.

فَإِنْ أَقَامُوا الْبَيِّنَةَ عَلَى دَفْعِهَا بَرِئُوا

Jika mereka mendatangkan bukti atas telah membayarnya, maka mereka terbebas.

وَإِنْ لَمْ يُقِيمُوهَا أُخِذَتْ مِنْهُمُ الْجِزْيَةُ وَالْخَرَاجُ

Dan jika mereka tidak menegakkannya, maka dari mereka diambil jizyah dan kharaj.

وَإِنْ كَانَ الْخَرَاجُ عَلَى مُسْلِمٍ فَفِي قَبُولِ قَوْلِهِ فِي دَفْعِهِ وَجْهَانِ

Jika kharaj dikenakan atas seorang Muslim, maka dalam menerima pengakuannya tentang telah membayar kharaj terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِيهِ وَيَحْلِفُ إِنِ اتُّهِمَ عَلَيْهِ كَالزَّكَاةِ

Salah satunya adalah perkara yang diterima ucapannya di dalamnya, dan ia bersumpah jika dituduh mengenainya, seperti zakat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ إنَّ قَوْلَهُ فِيهِ غَيْرُ مَقْبُولٍ حَتَّى يُقِيمَ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْأَدَاءِ فَإِنْ لَمْ يُقِمْهَا أُخِذَتْ مِنْهُ

Pendapat kedua, dan inilah yang lebih shahih, bahwa pernyataannya dalam hal ini tidak dapat diterima sampai ia mendatangkan bukti atas pelaksanaan (kewajiban tersebut). Jika ia tidak dapat mendatangkannya, maka (kewajiban itu) diambil darinya.

فَإِنْ أَحْضَرُوا خُطُوطًا بِقَبْضِهَا

Jika mereka menghadirkan surat-surat yang menunjukkan telah diterimanya (barang tersebut),

فَإِنْ كَانَتْ مُحْتَمِلَةً لِلشُّبْهَةِ لَمْ يُعْمَلْ بِهَا فِي الْأَحْكَامِ وَلَا فِي حُقُوقِ الْأَمْوَالِ

Jika dalil tersebut masih mengandung kemungkinan syubhat, maka tidak dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum maupun dalam hak-hak harta.

وَإِنْ كَانَتْ سَلِيمَةً مِنَ الِاحْتِمَالِ ظَاهِرَةَ الصِّحَّةِ لَمْ يُعْمَلْ عَلَيْهَا فِي الْأَحْكَامِ وَلَا فِي حُقُوقِ الْمُعَامَلَاتِ

Dan jika (suatu dalil) terbebas dari kemungkinan (makna lain) dan tampak jelas kebenarannya, maka tidak dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum maupun dalam hak-hak muamalah.

وَفِي جَوَازِ الْعَمَلِ بِهَا فِي حُقُوقِ بَيْتِ الْمَالِ وَجْهَانِ

Dalam kebolehan beramal dengannya dalam hak-hak Baitul Mal terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ الْعَمَلُ بِهَا اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ فِيهَا

Salah satunya boleh diamalkan dengan mempertimbangkan ‘urf di dalamnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بِهَا عَلَى الْعُمُومِ فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ وَالْحُقُوقِ لِدُخُولِ الِاحْتِمَالِ فِيهَا وَإِمْكَانِ التَّزْوِيرِ عليها

Pendapat kedua, yang lebih sahih, adalah bahwa tidak boleh menggunakan (bukti semacam itu) secara umum dalam seluruh hukum dan hak, karena adanya kemungkinan (keraguan) di dalamnya dan kemungkinan terjadinya pemalsuan terhadapnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَا يُرَدُّ مِنْ قَضَاءِ قَاضِيهِمْ إِلَّا مَا يُرَدُّ مِنْ قَضَاءِ قَاضِي غَيْرِهِمْ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إِذَا كَانَ غَيْرَ مَأْمُونٍ بِرَأْيِهِ عَلَى اسْتِحْلَالِ دَمٍ وَمَالٍ لَمْ يُنَفَّذْ حُكْمُهُ ولم يقبل كتابه قال الماوردي وقال فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إِنْ كَانَ غَيْرَ مَأْمُونٍ برأيه على استحلال دم أو مال لم ينفذ حكمه ولم يقبل كتابه

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Putusan hakim mereka tidak boleh dibatalkan kecuali apa yang juga dapat dibatalkan dari putusan hakim selain mereka.” Dan beliau berkata di tempat lain, “Jika ia tidak dapat dipercaya pendapatnya dalam menghalalkan darah atau harta, maka putusannya tidak dijalankan dan surat keputusannya tidak diterima.” Al-Māwardī berkata, dan beliau juga berkata di tempat lain, “Jika ia tidak dapat dipercaya pendapatnya dalam menghalalkan darah atau harta, maka putusannya tidak dijalankan dan surat keputusannya tidak diterima.”

إِذَا قَلَّدَ أَهْلُ الْبَغْيِ قَاضِيًا عَلَى الْبِلَادِ الَّتِي غُلِبُوا عَلَيْهَا نُظِرَتْ حَالُهُ

Apabila kelompok pemberontak mengangkat seorang qadhi atas negeri-negeri yang mereka kuasai, maka keadaannya perlu diteliti.

فَإِنْ كَانَ يَرَى اسْتِحْلَالَ دِمَاءِ أَهْلِ الْعَدْلِ وَأَمْوَالِهِمْ كَانَ تَقْلِيدُهُ بَاطِلًا وَقَضَايَاهُ مَرْدُودَةً سَوَاءٌ وَافَقَتِ الْحَقَّ أَوْ خَالَفَتْهُ

Jika ia berpendapat bahwa darah dan harta orang-orang yang adil boleh dihalalkan, maka pengangkatannya sebagai pemimpin adalah batal dan keputusan-keputusannya ditolak, baik sesuai dengan kebenaran maupun bertentangan dengannya.

لِأَنَّهُ بِهَذَا الِاعْتِقَادِ فَاسِقٌ وَوِلَايَةُ الْفَاسِقِ بَاطِلَةٌ وَبُطْلَانُ وِلَايَتِهِ تُوجِبُ رَدَّ أَحْكَامِهِ

Karena dengan keyakinan seperti ini, seseorang menjadi fāsiq, dan kepemimpinan seorang fāsiq adalah batal, serta batalnya kepemimpinannya mengharuskan penolakan terhadap hukum-hukumnya.

وَإِنْ كَانَ لَا يَرَى اسْتِبَاحَةَ ذَلِكَ جَازَ تَقْلِيدُهُ الْقَضَاءَ إِذَا كَانَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ سَوَاءٌ كَانَ عَادِلًا أَوْ بَاغِيًا

Dan jika ia tidak memandang bolehnya hal tersebut, maka boleh mengangkatnya sebagai qadhi jika ia termasuk ahli ijtihad, baik ia seorang yang adil maupun seorang yang zalim.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا تَنْعَقِدُ وِلَايَتُهُ إِذَا كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ وَلَا تُنَفَّذُ أَحْكَامُهُ

Abu Hanifah berkata, “Kepemimpinannya tidak sah apabila ia termasuk golongan bughat (pemberontak), dan keputusan-keputusannya tidak dapat dijalankan.”

وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Ini rusak dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إنَّهُ مُتَأَوِّلٌ بِشُبْهَةٍ خَرَجَ بِهَا مِنَ الْفِسْقِ

Salah satunya adalah bahwa ia menafsirkan (hukum) dengan suatu syubhat yang dengannya ia keluar dari kefasikan.

وَالثَّانِي إنَّهُ لَمَّا صَحَّ من الباغي أو يُقَلَّدَ الْقَضَاءَ صَحَّ مِنْهُ أَنْ يُنَفِّذَ الْقَضَاءَ وَصَارَ فِي الْحُكْمِ كَالْعَادِلِ كَمَا كَانَ فِي التَّقْلِيدِ كَالْعَادِلِ

Kedua, apabila telah sah dari seorang bughat atau ia diangkat menjadi qadhi, maka sah baginya untuk melaksanakan keputusan hukum, dan dalam hal ini ia diperlakukan seperti orang yang adil, sebagaimana dalam pengangkatan (sebagai qadhi) ia juga diperlakukan seperti orang yang adil.

فَإِذَا حَكَمَ نُفِّذَتْ أَحْكَامُهُ عَلَى أَهْلِ الْبَغْيِ وَأَهْلِ الْعَدْلِ وَلَمْ يُرَدَّ مِنْهَا إِلَّا مَا يُرَدُّ مِنْ أَحْكَامِ قُضَاةِ أَهْلِ الْعَدْلِ إِنْ خَالَفَ نَصًّا مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ أَوْ إِجْمَاعٍ أَوْ قِيَاسٍ غَيْرِ مُحْتَمَلٍ

Maka apabila ia telah memutuskan perkara, maka putusannya dilaksanakan atas kelompok bughāt maupun kelompok yang adil, dan tidak ada yang ditolak dari putusannya kecuali apa yang juga ditolak dari putusan para qādī dari kelompok yang adil, yaitu jika bertentangan dengan nash dari Al-Qur’an, atau Sunnah, atau ijmā‘, atau qiyās yang tidak mengandung kemungkinan lain.

فَعَلَى هَذَا لَوْ حَكَمَ بِوُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَى أَهْلِ الْبَغْيِ فِيمَا أَتْلَفُوهُ عَلَى أَهْلِ الْعَدْلِ نُفِّذَ حُكْمُهُ لِأَنَّهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Oleh karena itu, jika seorang hakim memutuskan wajibnya ganti rugi atas kerusakan yang dilakukan oleh kelompok bughat terhadap kelompok yang adil, maka putusannya harus dijalankan karena hal itu merupakan kesepakatan (ijmā‘) para ulama.

وَلَوْ حَكَمَ بِسُقُوطِ الضَّمَانِ عَنْهُمْ فِيمَا أَتْلَفُوهُ عَلَى أَهْلِ الْعَدْلِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ فِيمَا أَتْلَفُوهُ قَبْلَ الْحَرْبِ أَوْ بَعْدَهَا لَمْ يُنَفَّذْ حُكْمُهُ لِأَنَّهُ مُخَالِفٌ لِلْإِجْمَاعِ

Dan jika ia memutuskan gugurnya tanggungan (dhamān) dari mereka atas apa yang telah mereka rusak terhadap pihak yang adil, maka hal itu perlu diteliti; jika kerusakan yang mereka lakukan terjadi sebelum atau sesudah perang, maka keputusannya tidak dijalankan karena bertentangan dengan ijmā‘.

وَإِنْ كَانَ فِيمَا أَتْلَفُوهُ فِي حَالِ الْقَتْلِ نُفِّذَ حُكْمُهُ لِاحْتِمَالِهِ فِي الِاجْتِهَادِ وَسَقَطَ عَنْهُمُ الضَّمَانُ

Dan jika dalam hal yang mereka rusakkan saat pembunuhan, maka hukumnya tetap dijalankan karena masih memungkinkan adanya ijtihad, dan gugurlah kewajiban ganti rugi dari mereka.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا كَتَبَ قَاضِي أَهْلِ الْبَغْيِ إِلَى قَاضِي الْعَدْلِ كِتَابًا فِي حُكْمٍ فَالْأَوْلَى أَنْ لَا يَتَظَاهَرَ بِقَبُولِهِ وَيَتَلَطَّفَ فِي رَدِّهِ اسْتِهَانَةً بِهِ وَزَجْرًا لَهُ عَنْ بَغْيِهِ فَإِنْ قَبِلَهُ وَحَكَمَ بِهِ جَازَ

Apabila qadhi dari kelompok bughat menulis surat kepada qadhi yang adil mengenai suatu putusan, maka yang lebih utama adalah tidak menampakkan penerimaan atas surat itu dan bersikap halus dalam menolaknya, sebagai bentuk meremehkan dan mencegahnya dari tindakan bughat. Namun, jika surat itu diterima dan dijadikan dasar putusan, maka hal itu diperbolehkan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَقْبَلَهُ وَلَا يُنَفِّذَ حُكْمَهُ بِهِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي بُطْلَانِ وِلَايَتِهِ وَرَدِّ أَحْكَامِهِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh menerima dan tidak boleh melaksanakan putusan hakim tersebut, berdasarkan prinsip dasarnya tentang batalnya wewenang hakim itu dan penolakan terhadap putusannya.

وَهَكَذَا يَجُوزُ لِقَاضِي أَهْلِ الْعَدْلِ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى قَاضِي أَهْلِ الْبَغْيِ كِتَابًا بِحُكْمٍ وَإِنْ كُرِهَ لَهُ ذَلِكَ

Demikian pula, boleh bagi qadhi dari pihak yang adil untuk menulis surat kepada qadhi dari pihak bughat (pemberontak) mengenai suatu putusan, meskipun hal itu tidak disukai baginya.

وَلَعَلَّ أَبَا حَنِيفَةَ يَمْنَعُ مِنْهُ

Dan mungkin Abu Hanifah melarang hal itu.

فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ سَأَلَ عَلِيًّا رضوان الله عليه أَنْ يَكْتُبَ لَهُ كِتَابًا يَعْمَلُ عَلَيْهِ فِي أَحْكَامِهِ فَكَتَبَ إِلَيْهِ بِذَلِكَ كِتَابًا وَأَخَذَهُ مُعَاوِيَةُ فِي الطَّرِيقِ وَكَانَ يَعْمَلُ بِهِ فِي الْأَحْكَامِ فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا فَقَالَ غَلِطْتُ غَلْطَةً لَا أعذر أَكِيسُ بَعْدَهَا وَاسْتَمرّ

Diriwayatkan bahwa Muhammad bin Abi Bakar meminta kepada Ali radhiyallahu ‘anhu agar menuliskan untuknya sebuah kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukumnya. Maka Ali menuliskan kitab tersebut untuknya, namun Muawiyah mengambilnya di tengah jalan dan ia pun menggunakannya dalam menetapkan hukum. Ketika hal itu sampai kepada Ali, ia berkata, “Aku telah melakukan kesalahan yang tidak bisa aku maafkan, aku tidak akan lengah setelah ini,” dan ia pun tetap berpegang pada pendiriannya.

فَأَمَّا مَا حَكَاهُ الْمُزَنِيُّ مِنْ قَوْلِهِ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إِنْ كَانَ غَيْرَ مَأْمُونٍ فَلَيْسَ بِقَوْلٍ مُخْتَلِفٍ وَإِنَّمَا وَهِمَ بِهِ الْمُزَنِيُّ

Adapun apa yang dinukil oleh al-Muzani dari perkataannya di tempat lain, yaitu “jika ia bukan orang yang terpercaya”, maka itu bukanlah pendapat yang berbeda; hanya saja al-Muzani keliru dalam hal tersebut.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ شَهِدَ مِنْهُمْ عَدْلٌ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ مَا لَمْ يَكُنْ يَرَى أَنْ يَشْهَدَ لِمُوَافِقِهِ بِتَصْدِيقِهِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika di antara mereka ada seorang ‘adl (orang yang adil) yang memberikan kesaksian, maka kesaksiannya diterima selama ia tidak berpendapat bahwa ia harus bersaksi untuk orang yang sependapat dengannya hanya karena membenarkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar.”

شَهَادَةُ أَهْلِ الْبَغْيِ إذا كانوا عدولاً مقبولة ولا يكونوا بِمَا تَأَوَّلُوهُ مِنَ الْبَغْيِ فُسَّاقًا لِحُدُوثِهِ مِنْهُمْ عَنْ تَأْوِيلٍ سَائِغٍ

Kesaksian ahl al-baghy jika mereka adalah orang-orang yang adil tetap diterima, dan mereka tidak dianggap fasiq karena tindakan bughat yang mereka lakukan, sebab hal itu terjadi dari mereka berdasarkan penafsiran yang dapat dibenarkan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ هُمْ فُسَّاقٌ لَكِنْ تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمْ لِأَنَّهُ فِسْقٌ مِنْ تَدَيُّنٍ وَاعْتِقَادٍ وَلِذَلِكَ قُبِلَتْ شَهَادَةُ أَهْلِ الذِّمَّةِ إِذَا كَانُوا عُدُولًا فِي دِينِهِمْ

Abu Hanifah berkata, mereka adalah orang-orang fasik, namun kesaksian mereka tetap diterima karena kefasikan tersebut berasal dari keyakinan dan agama. Oleh karena itu, kesaksian ahludz-dzimmah diterima jika mereka adil dalam agama mereka.

وَقَالَ مَالِكٌ هُمْ فُسَّاقٌ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمْ

Malik berkata, mereka adalah orang-orang fasik yang kesaksiannya tidak diterima.

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِمَا فِي صِحَّةِ الْعَدَالَةِ مِنْهُمْ وَأَنْ لَا يَصِيرُوا بِالتَّأْوِيلِ الْمُسَوِّغِ فُسَّاقًا أَنَّ الِانْفِصَالَ مِنْ مَذْهَبٍ إِلَى غَيْرِهِ إِذَا كَانَ لَهُ فِي الِاجْتِهَادِ مَسَاغٌ لَا يَقْتَضِي التَّفْسِيقَ كَالْمُنْتَقِلِ فِي فُرُوعِ الدِّينِ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِلَى مَذْهَبِ مَالِكٍ أَوْ أَبِي حَنِيفَةَ لَا يَفْسُقُ بِالِانْتِقَالِ لِأَنَّهُ عَدَلَ إِلَى مَذْهَبٍ بِتَأْوِيلٍ سَائِغٍ

Dalil tentang keduanya dalam sahnya keadilan dari mereka dan bahwa mereka tidak menjadi fāsiq karena takwil yang dibenarkan adalah bahwa berpindah dari satu mazhab ke mazhab lain, jika ada ruang dalam ijtihad, tidak mengharuskan adanya tafsiq, seperti orang yang berpindah dalam cabang-cabang agama dari mazhab Syafi‘i ke mazhab Malik atau Abu Hanifah, tidak menjadi fāsiq karena perpindahan itu, karena ia berpindah ke mazhab lain dengan takwil yang sah.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عَدْلًا إِذَا اجْتَنَبَ مَا يَجْتَنِبُهُ عُدُولُ أَهْلِ الْعَدْلِ لَمْ يُمْنَعْ مِنْ قَبُولِ شَهَادَتِهِ إِلَّا فِي حَالَتَيْنِ

Maka apabila telah tetap bahwa seseorang boleh dianggap ‘adl apabila ia menjauhi apa yang dijauhi oleh para ‘adl dari kalangan ahli keadilan, maka tidak boleh ditolak kesaksiannya kecuali dalam dua keadaan.

أحدهما أَنْ يَرَى مَنْ خَالَفَهُ مُبَاحَ الدَّمِ وَالْمَالِ فيكون بهذه الاستباحة فاسقاً

Salah satunya adalah ketika seseorang memandang bahwa orang yang berbeda pendapat dengannya halal darah dan hartanya, maka dengan menghalalkan hal tersebut ia menjadi fasik.

والحالة الثَّانِيَةُ أَنْ يَعْتَقِدَ رَأْيَ الْخَطَّابِيَّةِ وَهُمْ قَوْمٌ يَرَوْنَ الشَّهَادَةَ لِمُوَافِقِهِمْ عَلَى مُخَالِفِهِمْ فِيمَا ادَّعَاهُ عَلَيْهِ فَيُصَدِّقُهُ ثُمَّ يَشْهَدُ لَهُ بِذَلِكَ عِنْدَ الْحَاكِمِ

Keadaan yang kedua adalah meyakini pendapat al-Khaththabiyyah, yaitu suatu kelompok yang memandang boleh memberikan kesaksian bagi orang yang sepaham dengan mereka terhadap orang yang berbeda pendapat dengan mereka atas apa yang didakwakan kepadanya, sehingga mereka membenarkannya lalu memberikan kesaksian untuknya di hadapan hakim.

وَبَنَوْهُ عَلَى أُصُولِهِمْ فِي أَنَّ الْكَذِبَ فِي الْقَوْلِ وَالْإِيمَانِ بِاللَّهِ مُوجِبٌ لِلْكُفْرِ وَإِحْبَاطِ الطَّاعَاتِ

Mereka mendasarkan hal itu pada prinsip-prinsip mereka bahwa dusta dalam ucapan dan keimanan kepada Allah menyebabkan kekufuran dan menggugurkan amal-amal ketaatan.

فَشَهَادَةُ هَؤُلَاءِ مَرْدُودَةٌ وَفِي عِلَّةِ رَدِّهَا وَجْهَانِ

Maka kesaksian mereka ini ditolak, dan dalam alasan penolakannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا الْفِسْقُ لِأَنَّهُ اعْتِقَادٌ يَرُدُّهُ الْإِجْمَاعُ

Salah satunya adalah kefasikan, karena itu merupakan keyakinan yang ditolak oleh ijmā‘.

وَالثَّانِي التُّهْمَةُ مَعَ ثُبُوتِ الْعَدَالَةِ لِأَنَّهُ مُتَّهَمٌ فِي مُمَاثَلَةِ مُوَافِقِهِ فَصَارَ كَشَهَادَةِ الْأَبِ لِابْنِهِ وَإِنْ كَانَ عَلَى عَدَالَةٍ

Yang kedua adalah tuduhan meskipun telah terbukti keadilan, karena ia dituduh dalam hal kesamaan dengan orang yang sependapat dengannya, sehingga keadaannya seperti kesaksian seorang ayah untuk anaknya, meskipun sang ayah memiliki sifat adil.

فَعَلَى هَذَا تُرَدُّ شَهَادَتُهُ إِذَا شَهِدَ بِالْحَقِّ مُطْلَقًا وَإِنْ شَهِدَ عَلَى إِقْرَار مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ فَفِي رَدِّ شهادته وجهان

Dengan demikian, kesaksiannya ditolak apabila ia memberikan kesaksian atas kebenaran secara mutlak. Namun, jika ia bersaksi atas pengakuan orang yang memiliki kewajiban (hak), maka dalam penolakan kesaksiannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تُرَدُّ شَهَادَتُهُ فِي الْمُقَيَّدِ كَرَدِّهَا فِي الْمُطْلَقِ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْعِلَّةَ فِي رَدِّهَا الْفِسْقُ

Salah satunya adalah kesaksiannya ditolak dalam perkara yang bersifat muqayyad sebagaimana ditolaknya dalam perkara yang bersifat mutlak, jika dikatakan bahwa ‘illat penolakannya adalah kefasikan.

وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ تُقْبَلُ شَهَادَتُهُ وَلَا تُرَدُّ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْعِلَّةَ فِي رَدِّهَا التُّهْمَةُ لِأَنَّهُ يُتَّهَمُ فِي الْمُطْلَقِ أَنَّهُ لِتَصْدِيقِ مُوَافِقِهِ وَلَا يُتَّهَمُ فِي الْمُقَيَّدِ بِالْإِقْرَارِ أَنْ يَقُولَ أَقَرَّ عِنْدِي وَلَمْ يُقِرَّ لِأَنَّهُ كَذِبٌ يُوجِبُ عِنْدَهُمُ الْكُفْرَ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa kesaksiannya diterima dan tidak ditolak jika dikatakan bahwa alasan penolakannya adalah tuduhan, karena ia dicurigai dalam perkara mutlak bahwa ia membenarkan orang yang sepaham dengannya. Namun, ia tidak dicurigai dalam perkara muqayyad dengan pengakuan bahwa ia mengatakan “ia mengaku di hadapanku” padahal sebenarnya tidak mengaku, karena itu adalah kebohongan yang menurut mereka menyebabkan kekufuran.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” فَإِنْ قُتِلَ بَاغٍ فِي الْمُعْتَرَكِ غُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَدُفِنَ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْعَدْلِ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ كَالشَّهِيدِ وَالْآخَرُ أَنَّهُ كَالْمَوْتَى إِلَّا مَنْ قَتَلَهُ الْمُشْرِكُونَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seorang bughāt (pemberontak) terbunuh di medan pertempuran, maka ia dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan. Namun jika yang terbunuh adalah dari pihak ahl al-‘adl (pihak yang benar), maka ada dua pendapat: salah satunya ia diperlakukan seperti syuhadā’, dan pendapat lainnya ia diperlakukan seperti orang mati biasa, kecuali jika ia dibunuh oleh kaum musyrik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا إِذَا كَانَ الْمَقْتُولُ فِي مَعْرَكَةِ الْحَرْبِ مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ فَإِنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ

Al-Mawardi berkata: Adapun jika orang yang terbunuh di medan pertempuran adalah dari kalangan ahl al-baghy, maka ia dimandikan dan dishalatkan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ اسْتِهَانَةً بِهِ وَعُقُوبَةً لَهُ لِمُخَالَفَتِهِ فِي الدِّينِ كَأَهْلِ الْحَرْبِ

Abu Hanifah berkata, “Tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, sebagai bentuk merendahkan dan hukuman baginya karena telah menyelisihi agama, seperti halnya ahl al-harb.”

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” فُرِضَ عَلَى أُمَّتِي غَسْلُ مَوْتَاهَا وَالصَّلَاةُ عَلَيْهَا

Dan dalil kami adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Diwajibkan atas umatku untuk memandikan jenazah mereka dan menshalatinya.”

وَلِأَنَّهُ مُسْلِمٌ مَقْتُولٌ بِحَقٍّ فَلَمْ يَمْنَعْ قَتْلُهُ من غسله والصلاة عليه كالزاني والمتقص مِنْهُ بَلْ هَذَا أَحَقُّ بِالصَّلَاةِ مِنْهُمَا لِأَنَّ الزَّانِيَ فَاسْقٌ وَهَذَا مُتَرَدِّدُ الْحَالِ بَيْنَ فِسْقٍ وَعَدَالَةٍ

Dan karena ia adalah seorang Muslim yang dibunuh secara sah, maka pembunuhannya tidak menghalangi untuk dimandikan dan disalatkan, sebagaimana pezina dan orang yang dikenakan qishāsh. Bahkan, orang ini lebih berhak untuk disalatkan daripada keduanya, karena pezina adalah seorang fāsiq, sedangkan orang ini keadaannya masih diperselisihkan antara fāsiq dan adil.

فَأَمَّا اسْتِهَانَتُهُ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَهَانَ بِمَخْلُوقٍ فِي إِضَاعَةِ حُقُوقِ الْخَالِقِ

Adapun anggapan meremehkannya, itu tidak benar, karena tidak boleh meremehkan makhluk dalam mengabaikan hak-hak Sang Pencipta.

وَأَمَّا جَعْلُ ذَلِكَ عُقُوبَةً فَالْعُقُوبَةُ إِنَّمَا تَتَوَجَّهُ إِلَى مَنْ يَأْلَمُ بِهَا وَلِأَنَّ الْعُقُوبَاتِ تَسْقُطُ بِالْمَوْتِ كَالْحُدُودِ

Adapun menjadikan hal itu sebagai hukuman, maka hukuman itu hanya ditujukan kepada orang yang merasakan sakit karenanya, dan karena hukuman-hukuman itu gugur dengan kematian, sebagaimana hudud.

فَإِنْ قِيلَ يُعَاقَبُ بِهَا الْحَيُّ مِنْهُمْ

Jika dikatakan bahwa orang yang masih hidup di antara mereka dihukum karenanya.

قِيلَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَاقَبَ أَحَدٌ بِذَنْبِ غَيْرِهِ عَلَى أَنَّهُمْ يَرَوْنَ تَرْكَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ قُرْبَةً لَهُمْ

Dikatakan bahwa tidak boleh seseorang dihukum karena dosa orang lain, namun mereka memandang meninggalkan salat jenazah atas mereka sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah bagi mereka.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ كَانَ الْمَقْتُولُ فِي مَعْرَكَتِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْعَدْلِ فَفِي غُسْلِهِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ

Jika orang yang terbunuh dalam pertempuran mereka itu berasal dari kelompok ahl al-‘adl, maka terdapat dua pendapat mengenai kewajiban memandikan dan menshalatinya.

أَحَدُهُمَا لَا يُغَسَّلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مَقْتُولٌ فِي الْمَعْرَكَةِ عَلَى حَقٍّ كَالْقَتِيلِ فِي مَعْرَكَةِ الْمُشْرِكِينَ

Salah satunya tidak dimandikan dan tidak dishalatkan karena ia terbunuh di medan pertempuran dengan alasan yang benar, seperti orang yang terbunuh dalam pertempuran melawan kaum musyrik.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ لِأَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيًّا رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ قُتِلُوا شُهَدَاءَ فَغُسِّلُوا وَصُلِّيَ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُمْ لَمْ يُقْتَلُوا فِي مَعْرَكَةِ الْمُشْرِكِينَ

 

وَقُتِلَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ بِصِفِّينَ فَغَسَّلَهُ عَلِيٌّ وَصَلَّى عَلَيْهِ وَلِأَنَّهُ مُسْلِمٌ قَتَلَهُ مُسْلِمٌ فَلَمْ يَمْنَعْ قَتْلُهُ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ كالمقتول في غير المعركة

‘Ammar bin Yasir terbunuh di Shiffin, lalu Ali memandikannya dan menshalatinya. Karena ia adalah seorang Muslim yang dibunuh oleh Muslim lain, maka pembunuhannya tidak menghalangi untuk dishalatkan, sebagaimana orang yang terbunuh di luar peperangan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَأَكْرَهُ لِلْعَدْلِ أَنْ يَعْمِدَ قَتْلَ ذِي رَحِمٍ مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ وَذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَفَّ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ عَنْ قَتْلِ أَبِيهِ وَأَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ أُحُدٍ عَنْ قَتْلِ ابْنِهِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Aku tidak menyukai bagi pihak yang adil untuk sengaja membunuh kerabatnya sendiri dari kalangan ahl al-baghy. Hal itu karena Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menahan Abu Hudzaifah bin ‘Utbah dari membunuh ayahnya, dan Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu pada hari Uhud dari membunuh anaknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar.”

يُكْرَهُ لِلْعَادِلِ قَتْلُ ذِي رَحِمٍ مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ وَقِتَالُهُ وَيَعْدِلُ عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ لقمان 15

Dimakruhkan bagi orang yang adil untuk membunuh kerabat dari kalangan ahl al-baghy dan memeranginya, serta hendaknya ia beralih kepada selainnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15).

وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَفَّ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ قَتْلِ أَبِيهِ يَوْمَ بَدْرٍ وَكَفَّ أَبَا بَكْرٍ عَنْ قَتْلِ ابْنِهِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ يَوْمَ أُحُدٍ وَلِأَنَّ فِيهِ اعْتِيَادًا لِلْعُقُوقِ وَاسْتِهَانَةً بِالْحُقُوقِ

Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi‘ah dari membunuh ayahnya pada hari Perang Badar, dan menahan Abu Bakar dari membunuh putranya, Abdurrahman, pada hari Perang Uhud, serta karena di dalamnya terdapat kebiasaan durhaka dan meremehkan hak-hak.

وَلِأَنَّ لَهُ فُسْحَةً فِي أَنْ يَعْدِلَ عَنْ ذِي رَحِمِهِ وَيَكِلَ قَتْلَهُ أَوْ قِتَالَهُ إِلَى غَيْرِهِ

Dan karena ia masih memiliki kelonggaran untuk tidak membunuh kerabatnya sendiri dan menyerahkan urusan membunuh atau memeranginya kepada orang lain.

فَإِنْ قَتَلَ ذَا رَحِمٍ لَهُ جَازَ وَلَمْ يُحَرَّجْ وَإِنْ كُرِهَ لَهُ

Jika ia membunuh kerabatnya sendiri, maka itu diperbolehkan dan tidak dianggap berdosa, meskipun hal itu tetap dimakruhkan baginya.

رُوِيَ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ قَتَلَ أَبَاهُ مُشْرِكًا وَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِرَأْسِهِ فَكَرِهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ذَلِكَ مِنْهُ حَتَّى ظَهَرَ فِي وَجْهِهِ وَقَالَ مَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قَالَ سَمِعْتُهُ يَسُبُّكَ ثُمَّ وَلَّى مُنَكَّسًا إِلَى أَنْ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ عُذْرَهُ لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ ورسوله ولو كانوا آباءهم أو أبناءهم الآية المجادلة 22

Diriwayatkan bahwa Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah membunuh ayahnya yang musyrik, lalu ia membawa kepala ayahnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai hal itu darinya, hingga tampak ketidaksukaan itu di wajah beliau. Beliau bersabda, “Apa yang mendorongmu melakukan hal itu?” Ia menjawab, “Aku mendengarnya mencacimu.” Kemudian ia berpaling dengan menunduk, hingga Allah Ta‘ala menurunkan ayat yang menjadi uzur baginya: “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka…” (QS. al-Mujadilah: 22).

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَكْرَهُ أَنْ يَعْمِدَ قتل ذي رحمه عَمْدُ الْقَتْلِ فِي قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Adapun pendapat asy-Syafi‘i, “Aku tidak menyukai seseorang sengaja membunuh kerabatnya,” maka pembunuhan dengan sengaja dalam peperangan melawan ahl al-baghy terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ رَمْيُهُ عَمْيًا يَرْمِي إِلَى صَفِّهِمْ سَهْمًا لَا يَقْصِدُ بِهِ أَحَدًا بِعَيْنِهِ فَيَقْتُلُ بِهِ مَنْ أَصَابَهُ فَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ

Salah satunya adalah jika ia melemparkan panah secara membabi buta ke barisan musuh, tanpa meniatkan mengenai seseorang secara khusus, lalu panah itu mengenai dan membunuh siapa saja yang terkena olehnya, maka tidak ada dosa baginya.

وَهَذَا أَوْلَى مَا فَعَلَهُ الْعَادِلُ فِي قِتَالِهِ فَيَكُونُ عَامِدًا فِي الْقَتْلِ غَيْرَ متعمد للمقتول

Dan inilah yang paling utama dilakukan oleh pihak yang adil dalam peperangannya, yaitu ia sengaja melakukan pembunuhan namun tidak bermaksud membunuh orang yang terbunuh.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَعْمِدَ قَتْلَ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ يُقَاتِلُ أَهْلَ الْعَدْلِ وَيَنْكِي فِيهِمْ فَهَذَا مُبَاحٌ لَا حَرَجَ فِيهِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ قَتْلُ دَفْعٍ

Bagian kedua adalah sengaja membunuh seseorang secara spesifik yang memerangi kelompok yang adil dan menimbulkan kerugian di tengah mereka; maka hal ini diperbolehkan dan tidak ada dosa atasnya, karena itu merupakan pembunuhan untuk membela diri.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَعْمِدَ قَتْلَ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ قَدْ كَفَّ عَنِ الْقِتَالِ وَهُوَ وَاقِفٌ مَعَ صَفِّهِمْ فَفِي عَمْدِ قَتْلِهِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ

Bagian ketiga adalah seseorang sengaja membunuh seorang laki-laki tertentu yang telah berhenti dari peperangan, sementara ia berdiri bersama barisan mereka; maka dalam kesengajaan membunuhnya terdapat dua pendapat yang mungkin.

أَحَدُهُمَا مَحْظُورٌ لِأَنَّ الْقَصْدَ بِقِتَالِهِمُ الْكَفُّ وَهَذَا كَاف فَصَارَ كَالْأَسِيرِ الَّذِي يَحْرُمُ اعْتِمَادُ قَتْلِهِ

Salah satunya terlarang karena tujuan memerangi mereka adalah untuk menahan (mereka), dan ini sudah cukup, sehingga keadaannya seperti tawanan yang diharamkan secara sengaja untuk dibunuh.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَحْرُمُ لِأَنَّهُ رَدْءٌ لَهُمْ وَعَوْنٌ فَأَجْرَى عَلَيْهِ حُكْمَ مُقَاتَلَتِهِمْ فَقَدْ شَهِدَ حَرْبَ الْجَمَلِ مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ وَكَانَ نَاسِكًا عَابِدًا وَرِعًا يُدْعَى السَّجَّادَ

Pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu tidak diharamkan karena ia merupakan pendukung dan penolong mereka, sehingga berlaku atasnya hukum memerangi mereka. Muhammad bin Thalhah bin ‘Ubaidillah, yang dikenal sebagai seorang ahli ibadah, ahli zuhud, dan dijuluki as-Sajjād, turut hadir dalam Perang Jamal.

فَرَآهُ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَاقِفًا فَنَهَى عَنْ قَتْلِهِ وَقَالَ إِيَّاكُمْ وَصَاحِبَ الْبُرْنُسِ فَقَتَلَهُ رَجُلٌ وَأَنْشَأَ يَقُولُ

Lalu Ali ‘alaihis salam melihatnya sedang berdiri, maka beliau melarang untuk membunuhnya dan berkata, “Jangan kalian ganggu orang yang memakai burnus itu.” Namun seorang laki-laki membunuhnya dan mulai berkata:

وَأَشْعَثَ قَوَّامٍ بِآيَاتِ رَبِّهِ قَلِيلِ الْأَذَى فِيمَا تَرَى الْعَيْنُ مُسْلِمِ

Dan seorang yang rambutnya kusut, yang senantiasa berdiri (shalat) dengan ayat-ayat Tuhannya, sedikit menimbulkan gangguan menurut pandangan mata, seorang Muslim.

هَتَكْتُ لَهُ بِالرُّمْحِ جَيْبَ قَمِيصِهِ فَخَرَّ صَرِيعًا لِلْيَدَيْنِ وَلِلْفَمِ

Aku telah merobek bagian leher bajunya dengan tombak, lalu ia pun jatuh tersungkur, menjadi korban bagi tangan dan mulut.

يُنَاشِدُنِي حم وَالرُّمْحُ مُشْرَعٌ فَهَلَّا تَلَا حم قَبْلَ التَّقَدُّمِ

Ham memanggilku sementara tombak telah terhunus; tidakkah sebaiknya Ham dibaca terlebih dahulu sebelum maju?

عَلَى غَيْرِ شَيْءٍ غَيْرَ أَنْ لَيْسَ تَابِعًا عَلِيًّا وَمَنْ لَا يَتْبَعِ الْحَقَّ يَظْلِمِ

Bukan atas sesuatu apa pun, kecuali bahwa ia bukan pengikut ‘Ali. Dan barang siapa tidak mengikuti kebenaran, maka ia berbuat zalim.

قَالَ الشَّافِعِيُّ فَمَا أَخَذَهُ عَلِيٌّ بِدَمِهِ وَلَا زجره على قتله

Syafi‘i berkata: Maka Ali tidak menuntut darahnya dan tidak menegurnya atas pembunuhannya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَأَيُّهُمَا قَتَلَ أَبَاهُ أَوِ ابْنَهُ فَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ إِنْ قَتَلَ الْعَادِلُ أَبَاهُ وَرِثَهُ وَإِنْ قَتَلَهُ الْبَاغِي لَمْ يَرِثْهُ وَخَالَفَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ فَقَالَ يَتَوَارَثَانِ لِأَنَّهُمَا مُتَأَوِّلَانِ وَخَالَفَهُ آخَرُ فَقَالَ لا يتوارثان لأنهما قاتلان قال الشافعي رحمه الله

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Siapa pun di antara keduanya yang membunuh ayah atau anaknya, sebagian orang berpendapat: jika yang membunuh adalah pihak yang ‘ādil, maka ia mewarisinya; namun jika yang membunuh adalah pihak yang bāghī, maka ia tidak mewarisinya. Sebagian sahabat beliau berbeda pendapat dan berkata: keduanya saling mewarisi karena keduanya adalah orang yang memiliki takwil (ta’wīl). Pendapat lain menyatakan: keduanya tidak saling mewarisi karena keduanya adalah pembunuh.”

وَهَذَا أَشْبَهُ بِمَعْنَى الْحَدِيثِ فَيَرِثُهُمَا غَيْرُهُمَا مِنْ وَرَثَتِهِمَا

Dan ini lebih mendekati makna hadis, sehingga yang mewarisi keduanya adalah selain mereka berdua dari para ahli waris mereka.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي مِيرَاثِ الْقَاتِلِ قَدْ مَضَتْ فِي كِتَابِ الْفَرَائِضِ

Al-Mawardi berkata: Masalah tentang warisan bagi pembunuh ini telah dibahas dalam Kitab al-Faraidh.

فَإِذَا اقْتَتَلَ الْوَرَثَةُ فِي قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي تَوَارُثِهِمْ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ

Apabila para ahli waris saling berperang dalam pertempuran melawan kelompok bughat, maka para ulama berbeda pendapat mengenai pewarisan di antara mereka menjadi empat mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ إنَّهُ يُوَرثُ الْعَادِلُ مِنَ الْبَاغِي وَلَا يُوَرَّثُ الْبَاغِي مِنَ الْعَادِلِ لِأَنَّ قَتْلَ الْعَادِلِ ظُلْمٌ وَقَتْلَ الْبَاغِي حق

Salah satu pendapat, yaitu mazhab Abu Hanifah, menyatakan bahwa pihak yang adil dapat mewarisi dari pihak bughat (pemberontak), namun pihak bughat tidak dapat mewarisi dari pihak yang adil, karena membunuh pihak yang adil adalah kezaliman, sedangkan membunuh pihak bughat adalah suatu hak.

وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ أَنَّهُمَا يَتَوَارَثَانِ فَيُوَرَّثُ الْعَادِلُ مِنَ الْبَاغِي وَيُوَرَّثُ الْبَاغِي مِنَ الْعَادِلِ لِأَنَّهُمَا مُتَأَوِّلَانِ

Pendapat kedua, yaitu mazhab Abu Yusuf dan Muhammad, bahwa keduanya saling mewarisi; maka pihak yang adil mewarisi dari pihak bughat, dan pihak bughat mewarisi dari pihak yang adil, karena keduanya adalah orang-orang yang memiliki penafsiran (ta’wil).

وَالثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ مالك أنه إن قتله في عميا تَوَارَثَا لِأَنَّ الْعَمْيَاءَ خَطَأٌ وَهُوَ يُوَرِّثُ الْخَاطِئَ وَإِنْ قَتَلَهُ عَمْدًا لَمْ يَتَوَارَثَا

Pendapat ketiga, yaitu mazhab Malik, menyatakan bahwa jika seseorang membunuh dalam keadaan tidak mengetahui (amya), maka keduanya saling mewarisi karena pembunuhan amya dianggap sebagai kesalahan (khatha’) dan ia mewariskan kepada pelaku kesalahan. Namun, jika ia membunuh dengan sengaja (‘amdan), maka keduanya tidak saling mewarisi.

وَالرَّابِعُ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إنَّهُمَا لَا يَتَوَارَثَانِ بِحَالٍ فِي عَمْدٍ وَلَا خَطَأٍ لِعُمُومِ قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لا ميراث لقاتل

Keempat, yaitu mazhab Syafi‘i, berpendapat bahwa keduanya (pembunuh dan yang dibunuh) tidak saling mewarisi dalam keadaan apa pun, baik pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja, karena keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada warisan bagi pembunuh.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَمَنْ أُرِيدَ دَمُهُ أَوْ مَالُهُ أَوْ حَرِيمُهُ فَلَهُ أَنْ يُقَاتِلَ وَإِنْ أَتَى ذَلِكَ عَلَى نفس من أراده قال الشافعي رحمه اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Barang siapa yang darahnya, hartanya, atau kehormatannya diinginkan (dirampas), maka dia berhak untuk melawan, meskipun hal itu mengakibatkan kematian orang yang menginginkannya.” Imam Syafi‘i raḥimahullāh juga berkata, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia adalah syahid.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِيمَنْ أُرِيدَ دَمُهُ أَوْ مَالُهُ أَوْ حَرِيمُهُ أَنَّ لَهُ أَنْ يُقَاتِلَ مَنْ أَرَادَهُ وَإِنْ أَتَى الْقِتَالُ عَلَى نَفْسِهِ وَيَكُونُ دَمُ الطَّالِبِ هَدَرًا مَا لَمْ يَكُنْ لِلْمَطْلُوبِ مَلْجَأٌ يَلْجَأُ إِلَيْهِ مِنْ حِصْنٍ يُغْلِقُهُ عَلَيْهِ أَوْ مَهْرَبٍ لَا يُمْكِنُ لُحُوقُهُ فِيهِ لِرِوَايَةِ الضِّحَاكِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ نَفْسِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ حَرِيمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ جَارِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan, yaitu tentang seseorang yang diinginkan darahnya, hartanya, atau kehormatannya, bahwa ia berhak melawan siapa pun yang menginginkannya, meskipun perlawanan itu berujung pada kematiannya sendiri. Darah orang yang menyerang menjadi sia-sia selama orang yang diserang tidak memiliki tempat berlindung yang dapat ia masuki, seperti benteng yang dapat ia tutup atas dirinya, atau jalan pelarian yang tidak mungkin dikejar di dalamnya. Hal ini berdasarkan riwayat adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa terbunuh karena membela hartanya, maka ia syahid; barang siapa terbunuh karena membela dirinya, maka ia syahid; barang siapa terbunuh karena membela kehormatannya, maka ia syahid; dan barang siapa terbunuh karena membela tetangganya, maka ia syahid.”

فَإِنْ وَجَدَ الْمَطْلُوبُ مَلْجَأً يَلْجَأُ إِلَيْهِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي مَوْضِعٍ لَهُ أَنْ يُقَاتِلَ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُقَاتِلَ

Jika orang yang dicari menemukan tempat berlindung yang dapat ia tuju, maka asy-Syafi‘i dalam suatu pendapat mengatakan bahwa ia boleh melawan, dan dalam pendapat lain mengatakan bahwa ia tidak boleh melawan.

فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فَخَرَّجَهُ بَعْضُهُمْ عَلَى قَوْلَيْنِ

Para ulama kami berbeda pendapat, lalu sebagian dari mereka mengeluarkan permasalahan ini menjadi dua pendapat.

وَقَالَ آخَرُونَ بَلْ هُوَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَبَاحَ قِتَالَهُ إِذَا لَمْ يَأْمَنْ رَجْعَتَهُ وَالْمَوْضِعُ الَّذِي مَنَعَ مِنْ قِتَالِهِ إِذَا أَمِنَ رَجْعَتَهُ

Dan sebagian yang lain berkata, bahkan hal itu tergantung pada dua keadaan yang berbeda: tempat yang membolehkan untuk memeranginya adalah ketika tidak ada jaminan ia akan kembali (kepada kebenaran), dan tempat yang melarang untuk memeranginya adalah ketika ada jaminan ia akan kembali.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْقِتَالِ فَوُجُوبُهُ مُعْتَبَرٌ بِمَا أَرَادَهُ الطَّالِبُ وَذَلِكَ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Maka apabila telah tetap bolehnya melakukan pertempuran, maka kewajibannya dipertimbangkan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pihak yang meminta, dan hal itu terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يُرِيدَ مَالَ الْمَطْلُوبِ دُونَ دَمِهِ وَحَرِيمِهِ فَهَذَا الْقِتَالُ مُبَاحٌ وَالْمَطْلُوبُ مُخَيَّرٌ بَيْنَ قِتَالِ الطَّالِبِ وَبَيْنَ الِاسْتِسْلَامِ وَتَسْلِيمِ مَالِهِ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَمْنَعَ مِنْهُ

Salah satunya adalah jika seseorang menginginkan harta orang yang dituntut tanpa menginginkan darahnya atau kehormatannya, maka perlawanan dalam hal ini diperbolehkan, dan orang yang dituntut boleh memilih antara melawan penuntut atau menyerah dan memberikan hartanya, dan tidak wajib baginya untuk mencegahnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يُرِيدَ الطَّالِبُ حَرِيمَ الْمَطْلُوبِ لِإِتْيَانِ الْفَاحِشَةِ فَوَاجِبٌ عَلَى الْمَطْلُوبِ أَنْ يُقَاتِلَ عَنْهَا وَيَمْنَعَ

Bagian kedua adalah apabila orang yang meminta menginginkan kehormatan orang yang diminta untuk melakukan perbuatan keji, maka wajib bagi orang yang diminta untuk melawannya dan mencegahnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُرِيدَ الطَّالِبُ نَفْسَ الْمَطْلُوبِ فَفِي وُجُوبِ قِتَالِهِ وَدَفْعِهِ عَنْ نَفْسِهِ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah apabila seseorang yang menuntut menginginkan sesuatu yang dituntut itu sendiri, maka dalam hal kewajiban memerangi dan menolaknya dari dirinya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُقَاتِلَ عَنْهَا وَيَدْفَعَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ النساء 29

Salah satunya wajib untuk membelanya dan melindunginya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.” (an-Nisā’ ayat 29)

وَقَوْلِهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ البقرة 195 كَمَا يَجِبُ عَلَى الْمُضْطَرِّ مِنَ الْجُوعِ إِحْيَاءُ نَفْسِهِ بِأَكْلِ مَا وَجَدَهُ مِنَ الطَّعَامِ

Dan firman-Nya, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (Al-Baqarah: 195), sebagaimana wajib atas orang yang terpaksa karena kelaparan untuk menyelamatkan dirinya dengan memakan apa saja makanan yang ia temukan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْقِتَالُ وَالدَّفْعُ وَيَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الِاسْتِسْلَامِ طَلَبًا لِثَوَابِ الشَّهَادَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ إليك يدي لأَقْتُلَكَ المائدة 28

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa tidak wajib baginya untuk berperang dan membela diri, dan ia boleh memilih antara melawan atau menyerah demi mengharapkan pahala syahadah, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Jika engkau mengulurkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan mengulurkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.” (Al-Ma’idah: 28).

وَلِأَنَّ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ أُرِيدَتْ نَفْسُهُ مَنَعَ عَنْهُ عَبِيدَهُ فَكَفَّهُمْ وَقَالَ لَهُمْ مَنْ أَغْمَدَ سَيْفَهُ فَهُوَ حُرٌّ

Dan karena Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, ketika jiwanya terancam, melarang para budaknya (untuk membelanya), lalu ia menahan mereka dan berkata kepada mereka, “Siapa yang menyarungkan pedangnya, maka ia merdeka.”

وَأَتَى رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا انْغَمَسَ فِي الْعَدُوِّ حَتَّى قُتِلَ صَابِرًا مُحْتَسِبًا أَيَحْجِزُهُ عَنِ الْجَنَّةِ شَيْءٌ فَقَالَ لَا إِلَّا الدَّيْنُ فَانْغَمَسَ فِي الْعَدُوِّ حَتَّى قُتِلَ ورسول الله يَرَاهُ وَلَا يَمْنَعُهُ

Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang menerjang musuh hingga ia terbunuh dalam keadaan sabar dan mengharap pahala, adakah sesuatu yang dapat menghalanginya dari surga?” Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali utang.” Maka orang itu pun menerjang musuh hingga terbunuh, sementara Rasulullah melihatnya dan tidak melarangnya.

فَأَمَّا الْمُضْطَرُّ جُوعًا إِذَا وَجَدَ طَعَامًا وَهُوَ يَخَافُ التَّلَفَ

Adapun orang yang dalam keadaan terpaksa karena lapar, apabila ia menemukan makanan sementara ia khawatir akan binasa.

فَإِنْ كَانَ مَالِكًا لِلطَّعَامِ أَوْ لَمْ يَكُنْ مَالِكًا لَهُ وَكَانَ قَادِرًا عَلَى ثَمَنِهِ فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ إِحْيَاءُ نَفْسِهِ بِأَكْلِهِ وَجْهًا وَاحِدًا بِخِلَافِ مَنْ أُرِيدَ دَمُهُ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ لِأَنَّ فِي الْقَتْلِ شَهَادَةً يَرْجُو بِهَا الثَّوَابَ وَلَيْسَ فِي تَرْكِ الْأَكْلِ شَهَادَةً يُثَابُ عَلَيْهَا

Jika seseorang memiliki makanan atau tidak memilikinya tetapi mampu membeli harganya, maka wajib baginya untuk menjaga kelangsungan hidupnya dengan memakannya menurut satu pendapat, berbeda dengan orang yang dituntut darahnya menurut salah satu dari dua pendapat. Sebab, dalam pembunuhan terdapat kesyahidan yang diharapkan mendapat pahala, sedangkan dalam meninggalkan makan tidak terdapat kesyahidan yang diberi pahala atasnya.

وَإِنْ كَانَ الطَّعَامُ لِغَيْرِهِ وَهُوَ غَيْرُ قَادِرٍ عَلَى ثَمَنِهِ فَفِي وُجُوبِ إِحْيَاءِ نَفْسِهِ بِأَكْلِهِ وَجْهَانِ وَهَكَذَا لَوْ وَجَدَ مَيْتَةً كَانَ فِي وُجُوبِ أَكْلِهَا وَجْهَانِ

Jika makanan itu milik orang lain dan ia tidak mampu membelinya, maka terdapat dua pendapat mengenai kewajiban menyelamatkan jiwanya dengan memakannya. Demikian pula, jika ia menemukan bangkai, terdapat dua pendapat mengenai kewajiban memakannya.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ تَغْلِيبًا لِإِحْيَاءِ النَّفْسِ

Salah satunya wajib dilakukan dengan pertimbangan utama untuk menjaga kehidupan jiwa.

وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَكُونُ مُخَيَّرًا فِيهِ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ لِتَنْزِيهِ نَفْسِهِ عَنْ نَجَاسَةِ الْمَيْتَةِ وَإِبْرَاءِ ذِمَّتِهِ مِنَ الْتِزَامِ ذَنْبٍ لَا يعذر عليه

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, adalah bahwa seseorang diberi pilihan dalam hal ini dan tidak wajib melakukannya, karena hal itu bertujuan untuk menyucikan dirinya dari najis bangkai dan membebaskan tanggungannya dari keterikatan pada dosa yang tidak ada uzur atasnya.

مسألة

Masalah

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” فَالْحَدِيثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ أَمَانِ كُلِّ مُسْلِمٍ مِنْ حُرٍّ وَامْرَأَةٍ وَعَبْدٍ قَاتَلَ أَوْ لَمْ يُقَاتِلْ لِأَهْلِ بَغْيٍ أَوْ حَرْبٍ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bolehnya setiap Muslim, baik laki-laki merdeka, perempuan, maupun budak, memberikan perlindungan, baik ia pernah berperang atau tidak, kepada orang-orang yang memberontak atau orang-orang yang memerangi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan.”

وَأَصْلُ هَذَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ

Dasar dari hal ini adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Darah kaum Muslimin itu setara, mereka bersatu melawan selain mereka, dan perlindungan yang diberikan oleh yang paling rendah di antara mereka berlaku bagi semuanya.”

قِيلَ إِنَّهُ أَرَادَ عَبِيدَهُمْ

Dikatakan bahwa yang dimaksud adalah para budak mereka.

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَالْأَمَانُ ضَرْبَانِ عَامٌّ وَخَاصٌّ

Jika hal ini telah tetap, maka amān terbagi menjadi dua: umum dan khusus.

فَأَمَّا الْعَامُّ فَهُوَ الْهُدْنَةُ مَعَ أَهْلِ الْحَرْبِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّاهَا إِلَّا الْإِمَامُ دُونَ غَيْرِهِ لِعُمُومِ وِلَايَتِهِ فَإِنْ تَوَلَّاهَا غَيْرُهُ لَمْ يَلْزَمْ وَإِذَا اخْتُصَّتْ بِالْإِمَامِ كَانَ إِمَامُ أَهْلِ الْعَدْلِ أَحَقَّ بِعَقْدِهَا مِنْ إِمَامِ أَهْلِ الْبَغْيِ

Adapun yang bersifat umum adalah perjanjian gencatan senjata dengan pihak yang memerangi, maka tidak boleh dilakukan kecuali oleh imam saja, bukan selainnya, karena luasnya wilayah kekuasaannya. Jika dilakukan oleh selain imam, maka tidak berlaku. Dan apabila perjanjian itu menjadi kekhususan imam, maka imam dari kalangan ahl al-‘adl lebih berhak mengadakannya daripada imam dari kalangan ahl al-baghy.

فَإِنْ عَقَدَهَا إِمَامُ أَهْلِ الْبَغْيِ بَطَلَتْ كَمَا تَبْطُلُ بِعَقْدِ غَيْرِ الْإِمَامِ لِأَنَّ إِمَامَةَ الْبَاغِي لَا تَنْعَقِدُ وَأَمَّا الْأَمَانُ الْخَاصُّ فَيَصِحُّ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ لِكُلِّ مُشْرِكٍ سَوَاءٌ كَانَ الْأَمَانُ مِنْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ مِنْ حرٍّ كَانَ أَوْ مِنْ عَبْدٍ مِنْ عَادَلٍ أَوْ بَاغٍ فَيَكُونُ أَمَانُ الْبَاغِي لَازِمًا لِأَهْلِ الْبَغْيِ وَأَهْلِ الْعَدْلِ وَأَمَانُ الْعَادِلِ لَازِمًا لِأَهْلِ الْعَدْلِ وَأَهْلِ الْبَغْيِ

Jika perjanjian itu diadakan oleh imam dari kelompok pemberontak, maka perjanjian tersebut batal sebagaimana batalnya perjanjian yang diadakan oleh selain imam, karena kepemimpinan bagi pemberontak tidak sah. Adapun perlindungan khusus (amān khāṣṣ), maka sah dilakukan oleh setiap Muslim kepada setiap musyrik, baik perlindungan itu diberikan oleh laki-laki atau perempuan, baik orang merdeka atau budak, baik dari pihak yang adil maupun pemberontak. Maka perlindungan yang diberikan oleh pemberontak wajib dihormati oleh kelompok pemberontak maupun kelompok yang adil, dan perlindungan yang diberikan oleh pihak yang adil juga wajib dihormati oleh kelompok yang adil maupun kelompok pemberontak.

فَإِنْ أَمنَ أَهْلُ الْبَغْيِ قَوْمًا مِنَ الْمُشْرِكِينَ لَمْ يَعْلَمْ بِهِمْ أَهْلُ الْعَدْلِ حَتَّى سَبَوْهُمْ وَغَنِمُوهُمْ لَمْ يَمْلِكُوا سَبْيَهُمْ وَغَنَائِمَهُمْ وَلَزِمَهُمْ رَدُّ السَّبْيِ وَالْغَنَائِمِ عَلَيْهِمْ وَكَذَلِكَ لَوْ أَمَّنَهُمْ أَهْلُ الْعَدْلِ وَسَبَاهُمْ وَغَنِمَهُمْ أَهْلُ الْبَغْيِ حَرُمَ عَلَيْهِمْ أَنْ يَتَمَلَّكُوهُمْ وَحَرُمَ عَلَى أَهْلِ الْعَدْلِ أَنْ يَبْتَاعُوهُمْ

Jika kelompok bughat memberikan jaminan keamanan kepada suatu kaum musyrik, sementara kaum ‘adl tidak mengetahui hal itu hingga mereka menawan dan merampas harta mereka, maka kaum ‘adl tidak berhak memiliki tawanan dan rampasan tersebut, dan mereka wajib mengembalikan tawanan serta rampasan itu kepada kaum musyrik tersebut. Demikian pula, jika kaum ‘adl yang memberikan jaminan keamanan lalu kaum bughat menawan dan merampas harta mereka, maka haram bagi kaum bughat untuk memilikinya dan haram pula bagi kaum ‘adl untuk membelinya.

وَعَلَى إِمَامِ أَهْلِ الْعَدْلِ إِذَا قَدَرَ عَلَيْهِمْ أَنْ يَسْتَرْجِعَهُ مِنْهُمْ وَيَرُدَّهُ عَلَى أَهْلِهِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Dan wajib bagi imam dari kalangan orang-orang yang adil, apabila mampu atas mereka, untuk mengambilnya kembali dari mereka dan mengembalikannya kepada keluarganya dari kalangan musyrik.

وَهَكَذَا لَوْ أَمَّنَ أَهْلُ الْبَغْيِ قَوْمًا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ غَدَرُوا بِهِمْ فَسَبَوْهُمْ وَغَنِمُوهُمْ لَمْ يَحِلَّ ابْتِيَاعُ السَّبْيِ وَالْغَنَائِمِ مِنْهُمْ وَلَزِمَ أَهْلَ الْعَدْلِ رَدُّ مَا قَدَرُوا عَلَيْهِ

Demikian pula, jika kelompok bughat memberikan jaminan keamanan kepada sekelompok musyrik, kemudian mereka berkhianat terhadap mereka, lalu menawan dan merampas harta mereka, maka tidak halal membeli tawanan dan rampasan tersebut dari mereka, dan wajib bagi kelompok yang adil untuk mengembalikan apa yang mampu mereka kembalikan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا اجْتَمَعَ أَهْلُ الْعَدْلِ وَأَهْلُ الْبَغْيِ عَلَى قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ قُسِّمَ سَبْيُهُمْ وَغَنَائِمُهُمْ بَيْنَ أَهْلِ الْعَدْلِ وَأَهْلِ الْبَغْيِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ وَلِأَنَّ الْإِسْلَامَ يَجْمَعُهُمْ وَإِنْ جَرَى الِاخْتِلَافُ بَيْنَهُمْ

Apabila Ahl al-‘Adl (pihak yang adil) dan Ahl al-Baghy (pemberontak) bersama-sama memerangi kaum musyrik, maka tawanan dan harta rampasan perang mereka dibagi antara Ahl al-‘Adl dan Ahl al-Baghy, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Darah kaum Muslimin setara dan mereka bersatu menghadapi selain mereka.” Selain itu, karena Islam menyatukan mereka meskipun terjadi perselisihan di antara mereka.

وَيَنْفَرِدُ إِمَامُ أَهْلِ الْعَدْلِ بِقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ بَيْنَهُمْ وَيَخْتَصُّ بِإِجَازَةِ الْخُمْسِ إِلَيْهِ لِيَنْفَرِدَ بِوَضْعِهِ فِي مُسْتَحِقِّيهِ لِصِحَّةِ إِمَامَتِهِ وَبُطْلَانِ إِمَامَةِ غَيْرِهِ وبالله التوفيق

Imam Ahlul ‘Adl berwenang secara khusus dalam pembagian ghanā’im di antara mereka, dan ia juga memiliki kekhususan dalam menerima khumus agar ia sendiri yang menyalurkannya kepada pihak-pihak yang berhak, karena keabsahan imamahnya dan batalnya imamah selain dirinya. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan dimohon.

بَابُ الْخِلَافِ فِي قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ

Bab Perselisihan dalam Memerangi Ahlul Baghy (Orang-orang yang Memberontak)

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” قَالَ بَعْضُ النَّاسِ إِذَا كَانَتِ الْحَرْبُ قَائِمَةً اسْتُمْتِعَ بِدَوَابِّهِمْ وَسِلَاحِهِمْ وإذا انقضت الحرب فذلك رد قلت أرأيت إن عارضك وإيانا معارض يستحل مال من يستحل دمه فقال الدم أعظم فإذا حل الدم حل المال هل لك من حجة إلا أن هذا في أهل الحرب اللذين ترق أحرارهم وتسبى نساؤهم وذراريهم والحكم في أهل القبلة خلافهم وقد يحل دم الزاني المحصن والقاتل ولا تحل أموالهما بجنايتهما والباغي أخف حالا منهما ويقال لهما مباحاً الدم مطلقاً ولا يقال للباغي مباح الدم وإنما يقال يمنع من البغي إن قدر على منعه بالكلام أو كان غير ممتنع لا يقاتل لم يحل قتاله قال إني إنما آخذ سلاحهم لأنه أقوى لي وأوهن لهم ما كانوا مقاتلين فقلت له فإذا أخذت ماله وقتل فقد صار ملكه كطفل أو كبير لم يقاتلك قط أفتقوى بمال غائب غير باغ على باغ فقلت له أرأيت لو وجدت لهم دنانير أو دراهم تقويك عليهم أتأخذها قال لا قلت فقد تركت ما هو أقوى لك عليهم من السلاح في بعض الحالات قال فإن صاحبنا يزعم أنه لا يصلى على قتلى أهل البغي قلت ولم وهو يصلي على من قتله في حد يجب عليه قتله ولا يحل له تركه والباغي محرم قتله موليا وراجعاً عن البغي ولو ترك الصلاة على أحدهما دون الآخر كان من لا يحل إلا قتله بترك الصلاة أولى قال كأنه ذهب إلى أن ذلك عقوبة لينكل بها غيره قلت وإن كان ذلك جائزاً فاصلبه أو حرقه أو حز رأسه وابعث به فهو أشد في العقوبة قال لا أفعل به شيئاً من هذا قلت له هل يبالي من يقاتلك على انك كافر لا يصلى عليك وصلاتك لا تقربه إلى ربه وقلت له أيمنع الباغي أن تجوز شهادته أو يناكح أو شيئاً مما يجري لأهل الإسلام قال لا قلت فكيف منعته الصلاة وحدها

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Sebagian orang berkata: Jika perang sedang berlangsung, maka boleh memanfaatkan hewan tunggangan dan senjata mereka, dan jika perang telah usai, maka itu harus dikembalikan. Aku berkata: Bagaimana pendapatmu jika ada yang menentangmu dan kami, yang menghalalkan harta orang yang menghalalkan darahnya? Ia berkata: Darah itu lebih besar (dosanya), maka jika darah telah dihalalkan, harta pun menjadi halal. Apakah engkau punya dalil selain bahwa hal ini berlaku pada ahl al-harb, yaitu orang-orang yang orang merdeka mereka boleh diperbudak, dan wanita serta anak-anak mereka boleh dijadikan tawanan, sedangkan hukum untuk ahl al-qiblah berbeda dengan mereka? Darah pezina muhshan dan pembunuh boleh dihalalkan, namun harta mereka tidak menjadi halal karena kejahatan mereka, sedangkan al-bāghī (pemberontak) keadaannya lebih ringan daripada keduanya, dan kepada keduanya dikatakan: ‘darahnya halal secara mutlak’, sedangkan kepada al-bāghī tidak dikatakan demikian, melainkan dikatakan: ‘ia dicegah dari pembangkangan jika mampu dicegah dengan ucapan, atau jika ia tidak mampu melawan, maka tidak boleh diperangi dan tidak halal memeranginya.’ Ia berkata: Aku mengambil senjata mereka karena itu memperkuatku dan melemahkan mereka selama mereka masih memerangi. Aku berkata kepadanya: Jika engkau telah mengambil hartanya dan membunuhnya, maka hartanya menjadi milikmu seperti anak kecil atau orang tua yang tidak pernah memerangimu. Apakah engkau akan memperkuat diri dengan harta orang yang tidak memerangimu untuk melawan pemberontak? Aku berkata kepadanya: Bagaimana jika engkau menemukan dinar atau dirham milik mereka yang dapat memperkuatmu melawan mereka, apakah engkau akan mengambilnya? Ia menjawab: Tidak. Aku berkata: Maka engkau telah meninggalkan sesuatu yang dalam beberapa keadaan lebih dapat memperkuatmu daripada senjata. Ia berkata: Sesungguhnya sahabat kami berpendapat bahwa tidak dishalatkan atas korban dari ahl al-baghy. Aku berkata: Mengapa demikian, padahal ia menshalatkan orang yang dibunuh karena hudud yang wajib dibunuh dan tidak boleh ditinggalkan, sedangkan al-bāghī haram dibunuh ketika ia mundur dan kembali dari pembangkangan. Jika engkau meninggalkan shalat atas salah satu dari keduanya, maka yang lebih utama untuk tidak dishalatkan adalah orang yang tidak boleh dibunuh kecuali dengan meninggalkan shalat. Ia berkata: Seolah-olah ia berpendapat bahwa itu adalah hukuman agar orang lain jera. Aku berkata: Jika itu boleh, maka saliblah, bakarlah, atau penggallah kepalanya dan kirimkan kepadanya, itu lebih berat dalam hukuman. Ia berkata: Aku tidak akan melakukan sesuatu pun dari hal itu kepadanya. Aku berkata kepadanya: Apakah peduli orang yang memerangimu jika engkau dianggap kafir, tidak dishalatkan atasmu, dan shalatmu tidak mendekatkanmu kepada Tuhanmu? Aku berkata kepadanya: Apakah pemberontak dilarang untuk diterima kesaksiannya, dinikahi, atau hal-hal lain yang berlaku bagi kaum muslimin? Ia menjawab: Tidak. Aku berkata: Lalu mengapa engkau melarang hanya shalat saja atasnya?”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا ظَفِرَ أَهْلُ الْعَدْلِ بِدَوَابِّ أَهْلِ الْبَغْيِ وَسِلَاحِهِمْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُمْلَكَ عَلَيْهِمْ وَلَا أَنْ يُسْتَعَانَ بِهَا فِي قِتَالِهِمْ وَتُحْبَسُ عَنْهُمْ مُدَّةَ الْحَرْبِ كَمَا تُحْبَسُ فِيهَا أَسْرَاهُمْ فَإِذَا انْقَضَتِ الْحَرْبُ رُدَّ عَلَيْهِمْ

Al-Mawardi berkata: Jika pihak yang adil berhasil mendapatkan hewan tunggangan dan senjata milik pihak bughat (pemberontak), maka tidak boleh memilikinya atas mereka dan tidak boleh menggunakannya untuk memerangi mereka. Barang-barang tersebut ditahan dari mereka selama masa perang, sebagaimana para tawanan mereka juga ditahan selama perang. Jika perang telah usai, maka barang-barang itu dikembalikan kepada mereka.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ أَنْ يُسْتَعَانَ عَلَى حَرْبِهِمْ بِدَوَابِّهِمْ وَسِلَاحِهِمْ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ الحجرات 9

Abu Hanifah berkata: Boleh meminta bantuan terhadap mereka dengan menggunakan hewan tunggangan dan senjata mereka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu hingga mereka kembali kepada perintah Allah.” (QS. Al-Hujurat: 9).

فَكَانَ الْأَمْرُ بِقِتَالِهِمْ عَلَى عُمُومِهِ الْمُشْتَمِلِ عَلَى دَوَابِّهِمْ وَسِلَاحِهِمْ وَلِأَنَّ كُلَّ طَائِفَةٍ جَازَ قتالها بغير سلامها وَدَوَابِّهَا جَازَ قِتَالُهَا بِسِلَاحِهَا وَدَوَابِّهَا كَأَهْلِ الْحَرْبِ

Maka perintah untuk memerangi mereka berlaku secara umum, mencakup hewan tunggangan dan senjata mereka. Karena setiap kelompok yang boleh diperangi tanpa mengambil harta dan hewan tunggangan mereka, maka boleh pula memerangi mereka dengan menggunakan senjata dan hewan tunggangan mereka, sebagaimana (memerangi) orang-orang kafir harbi.

وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ حَبْسُهُ عَنْهُمْ إِضْعَافًا لَهُمْ جَازَ قِتَالُهُمْ بِهِ مَعُونَةً عَلَيْهِمْ لِأَنَّ كِلَا الْأَمْرَيْنِ كَافٍ لَهُمْ

Dan karena ketika diperbolehkan menahan (zakat) dari mereka untuk melemahkan mereka, maka diperbolehkan pula memerangi mereka dengan (zakat) sebagai bantuan terhadap mereka, karena kedua hal tersebut sudah cukup bagi mereka.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ

 

وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْتَفِعَ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَفِعَ مِنْ مَالِهِ بِالْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ كَأَهْلِ الْعَدْلِ

Dan karena setiap orang yang tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari hartanya sendiri selain kuda dan senjata, maka tidak diperbolehkan pula baginya mengambil manfaat dari hartanya berupa kuda dan senjata, seperti halnya Ahl al-‘Adl.

وَلِأَنَّ كُلَّ مَا لَم يجز أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ مَنْ مَالِ أَهْلِ الْعَدْلِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ مَنْ مَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ

Dan karena segala sesuatu yang tidak boleh dimanfaatkan dari harta milik Ahlul ‘Adl, maka tidak boleh pula dimanfaatkan dari harta milik Ahlul Baghy, seperti halnya harta-harta yang lain.

وَلِأَنَّ أَهْلَ الْبَغْيِ يَمْلِكُونَ رِقَابَهَا وَمَنَافِعَهَا فَلَمَّا لَمْ تُسْتَبَحْ بِالْبَغْيِ أَنْ تُمْلَكَ عَلَيْهِمْ رِقَابُهَا لَمْ يُسْتَبَحْ أَنْ تُمْلَكَ بِهِ مَنَافِعُهَا

Dan karena kelompok bughat memiliki kepemilikan atas diri dan manfaat (hasil kerja) mereka, maka ketika tidak diperbolehkan melalui pemberontakan untuk memiliki diri mereka, tidak diperbolehkan pula untuk memiliki manfaat mereka melalui pemberontakan itu.

فَأَمَّا الْآيَةُ فَلَا دَلِيلَ فِيهَا لِأَنَّهَا تَضَمَّنَتِ الْأَمْرَ بِالْقِتَالِ وَلَمْ تَتَضَمَّنْ صِفَةَ الْقِتَالِ

Adapun ayat tersebut, maka tidak terdapat dalil di dalamnya karena ayat itu memuat perintah untuk berperang dan tidak memuat sifat atau tata cara peperangan.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى أَهْلِ الْحَرْبِ فَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يَتَمَلَّكَ عَلَيْهِمْ رِقَابَهَا جَازَ أَنْ يَتَمَلَّكَ عَلَيْهِمْ مَنَافِعَهَا وَأَهْلُ الْبَغْيِ بِخِلَافِهِمْ

Adapun qiyās mereka terhadap ahl al-harb, karena ketika dibolehkan untuk memiliki kepemilikan atas diri mereka, maka dibolehkan pula untuk memiliki manfaat dari mereka. Namun, ahl al-baghy berbeda dengan mereka.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَبْسِهَا فَلَيْسَ جَوَازُ حَبْسِهَا مُبِيحًا لِلِانْتِفَاعِ بِهَا كَمَا جَازَ حَبْسُ أَهْلِ الْبَغْيِ وَإِنْ لَمْ يَجُزِ اسْتِخْدَامُهُمْ وَالِانْتِفَاعُ بِهِمْ

Adapun jawaban mengenai penahanannya, maka bolehnya menahan dia tidaklah membolehkan untuk memanfaatkannya, sebagaimana dibolehkan menahan ahl al-baghy meskipun tidak boleh mempergunakan dan memanfaatkan mereka.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الِانْتِفَاعُ بِدَوَابِّهِمْ وَسِلَاحِهِمْ فَإِنِ اسْتَمْتَعَ بِهَا أَهْلُ الْعَدْلِ لَزِمَهُمْ أُجْرَةُ مِثْلِهَا كَالْغَاصِبِ

Maka apabila telah dipastikan bahwa tidak boleh memanfaatkan hewan tunggangan dan senjata mereka, maka jika orang-orang yang adil memanfaatkannya, mereka wajib membayar upah sepadan seperti halnya seorang ghashib (perampas).

فَإِنْ تَلِفَتْ فِي أَيْدِي أَهْلِ الْعَدْلِ بَعْدَ اسْتِعْمَالِهَا ضَمِنُوا رِقَابَهَا وَإِنْ تَلِفَتْ من غير استعمال لم يضمنوها لأهم حَبَسُوهَا عَنْهُمْ بِحَقٍّ

Jika barang itu rusak di tangan para pengelola yang adil setelah digunakan, mereka wajib mengganti barang tersebut. Namun jika barang itu rusak tanpa digunakan, mereka tidak wajib menggantinya karena mereka menahan barang itu dari pemiliknya dengan alasan yang benar.

وَلَوْ حَبَسُوهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْحَرْبِ مَعَ إِمْكَانِ رَدِّهَا عَلَيْهِمْ ضَمِنُوهَا لِتَلَفِهَا بَعْدَ وُجُوبِ رَدِّهَا

Dan jika mereka menahan barang itu setelah perang usai, padahal memungkinkan untuk mengembalikannya kepada pemiliknya, maka mereka wajib menanggung ganti rugi atas kerusakannya yang terjadi setelah kewajiban mengembalikannya.

فَأَمَّا إِنِ اضْطَرَّ أَهْلُ الْعَدْلِ إِلَى الِانْتِفَاعِ بِدَوَابِّهِمْ وَسِلَاحِهِمْ عِنْدَ خَوْفِ الِاصْطِلَامِ لِيَنْجُوا عَلَى دَوَابِّهِمْ هَرَبًا مِنْهُمْ وَيُقَاتِلُوهُمْ بِسِلَاحِهِمْ دَفْعًا لَهُمْ جَازَ وَلَمْ يَحْرُمْ لِأَنَّ حَالَ الضَّرُورَةِ يُخَالِفُ حَالَ الِاخْتِيَارَ كَمَا يَجُوزُ لِلْمُضْطَرِّ أَنْ يَأْكُلَ طَعَامَ غَيْرِهِ وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَأْكُلَهُ في حال الاختيار

Adapun jika orang-orang yang adil terpaksa memanfaatkan hewan tunggangan dan senjata milik mereka ketika khawatir akan dimusnahkan, agar mereka dapat menyelamatkan diri dengan melarikan diri menggunakan hewan tunggangan tersebut dan melawan mereka dengan senjata itu untuk menolak serangan mereka, maka hal itu diperbolehkan dan tidak diharamkan. Sebab, keadaan darurat berbeda dengan keadaan pilihan, sebagaimana orang yang terpaksa boleh memakan makanan milik orang lain, meskipun tidak boleh memakannya dalam keadaan pilihan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَيَجُوزُ أَمَانُ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَيْنِ لِأَهْلِ الْحَرْبِ وَالْبَغْيِ فَأَمَّا الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ فَإِنْ كَانَ يُقَاتِلُ جاز أمانه وإلا لم يجز قلت فما الفرق بينه يقاتل أو لا يقاتل قال قول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” المسلمون يد على من سواهم تتكافأ دماؤهم ويسعى بذمتهم أدناهم قلت فإن قلت ذلك على الأحرار فقد أجزت أمان عبد وإن كان على الإسلام فقد رددت أمان عبد مسلم لا يقاتل قال فإن كان القتل يدل على هذا قلت ويلزمك في أصل مذهبك أن لا تجيز أمان امرأة ولا زمن لأنهما لا يقاتلان وأنت تجيز أمانهما قال فأذهب إلى الدية فأقول دية العبد لا تكافئ دية الحر قلت فهذا أبعد لك من الصواب قال ومن أين قلت دية المرأة نصف دية الحر وأنت تجيز أمانها ودية بعض العبيد أكثر من دية المرأة ولا تجيز أمانه وقد تكون دية عبد لا يقاتل أكثر من دية عبد يقاتل فلا تجيز أمانه فقد تركت أصل مذهبك قال فإن قلت إنما عني مكافأة الدماء في القود قلت فأنت تقيد بالعبد الذي لا يسوي عشرة دنانير الحر الذي ديته ألف دينار كان العبد يحسن قتالاً أو لا يحسنه قال إني لأفعل وما هو على القود قلت ولا على الدية ولا على القتال قال فعلام هو قلت على اسم الإسلام

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Diperbolehkan seorang laki-laki dan perempuan muslim memberikan perlindungan (amān) kepada ahl al-ḥarb dan al-baghy. Adapun budak muslim, jika ia ikut berperang, maka perlindungannya sah, jika tidak, maka tidak sah.” Aku bertanya, “Apa perbedaan antara ia ikut berperang atau tidak?” Beliau menjawab, “Sabda Nabi ﷺ: ‘Kaum muslimin itu satu kesatuan terhadap selain mereka, darah mereka setara, dan perlindungan yang diberikan oleh yang paling rendah di antara mereka berlaku bagi semuanya.’” Aku berkata, “Jika engkau menafsirkannya pada orang-orang merdeka, berarti engkau membolehkan perlindungan budak, dan jika pada keislaman, berarti engkau menolak perlindungan budak muslim yang tidak ikut berperang.” Beliau berkata, “Jika pembunuhan menunjukkan hal ini…” Aku berkata, “Maka menurut dasar mazhabmu, engkau tidak boleh membolehkan perlindungan perempuan atau orang cacat, karena keduanya tidak ikut berperang, padahal engkau membolehkan perlindungan mereka.” Beliau berkata, “Kalau begitu aku kembali pada diyat, dan aku katakan: diyat budak tidak setara dengan diyat orang merdeka.” Aku berkata, “Ini lebih jauh dari kebenaran bagimu.” Beliau bertanya, “Dari mana?” Aku menjawab, “Diyat perempuan setengah dari diyat orang merdeka, dan engkau membolehkan perlindungannya. Diyat sebagian budak lebih besar dari diyat perempuan, tetapi engkau tidak membolehkan perlindungannya. Bahkan bisa jadi diyat budak yang tidak ikut berperang lebih besar dari diyat budak yang ikut berperang, namun engkau tidak membolehkan perlindungannya. Maka engkau telah meninggalkan dasar mazhabmu.” Beliau berkata, “Jika engkau mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kesetaraan darah dalam qishāṣ…” Aku berkata, “Maka engkau membandingkan budak yang tidak seharga sepuluh dinar dengan orang merdeka yang diyatnya seribu dinar, baik budak itu pandai berperang atau tidak.” Beliau berkata, “Memang aku lakukan, dan itu bukan pada qishāṣ.” Aku berkata, “Bukan pula pada diyat, bukan pula pada peperangan.” Beliau berkata, “Lalu pada apa?” Aku menjawab, “Pada nama Islam.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا مَا حَكَاهُ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ سَوَّى بَيْنِ أَمَانِ الرَّجُلِ وَأَمَانِ الْمَرْأَةِ وَهُوَ مُوَافِقٌ عَلَيْهِ

Al-Mawardi berkata, “Inilah yang diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia menyamakan antara aman yang diberikan oleh laki-laki dan aman yang diberikan oleh perempuan, dan ia menyetujuinya.”

لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَجَازَ أَمَانَ أَمِّ هَانِئٍ عَامَ الْفَتْحِ وَقَالَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أَمَّ هَانِئٍ

Karena Nabi ﷺ membolehkan jaminan keamanan yang diberikan oleh Ummu Hani’ pada tahun penaklukan (Makkah), dan beliau bersabda, “Kami telah memberikan perlindungan kepada siapa pun yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani’.”

وَأَمَّا أَمَانُ الْعَبْدِ فَهُوَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ جَائِزٌ كَأَمَانِ الْحُرِّ سَوَاءٌ كَانَ مَأْذُونًا لَهُ فِي الْقِتَالِ أَوْ غَيْرَ مَأْذُونٍ لَهُ فِيهِ

Adapun aman (jaminan perlindungan) yang diberikan oleh seorang budak, menurut Imam Syafi‘i hukumnya boleh, sama seperti aman yang diberikan oleh orang merdeka, baik budak tersebut diizinkan untuk ikut berperang maupun tidak diizinkan untuk itu.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَصِحُّ أَمَانُهُ إِنْ كَانَ مَأْذُونًا لَهُ فِي الْقِتَالِ وَلَا يَصِحُّ أَمَانُهُ إِنْ كَانَ غَيْرَ مَأْذُونٍ لَهُ اسْتِدْلَالًا بِمَا حَكَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْهُ وَأَجَابَهُ عَلَيْهِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa jaminan keamanannya sah jika ia diizinkan untuk berperang, dan tidak sah jaminan keamanannya jika ia tidak diizinkan, berdasarkan apa yang dinukil oleh asy-Syafi‘i darinya dan asy-Syafi‘i telah memberikan jawaban atas pendapat tersebut.

وَهِذِهِ مَسْأَلَةٌ تَأْتِي فِي كِتَابِ السِّيَرِ وَتُسْتَوْفَى فِيهِ

Ini adalah sebuah permasalahan yang akan dibahas dalam Kitab as-Siyar dan akan dijelaskan secara lengkap di dalamnya.

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ ” لِأَهْلِ الْبَغْيِ وَالْحَرْبِ فَجَمَعَ بَيْنَ الْأَمَانِ لِأَهْلِ الْبَغْيِ وَأَهْلِ الْحَرْبِ

Adapun perkataan asy-Syafi‘i, “untuk ahl al-baghy dan ahl al-harb,” maka beliau telah menggabungkan antara pemberian aman bagi ahl al-baghy dan ahl al-harb.

يَصِحُّ الْأَمَانُ لِأَهْلِ الْحَرْبِ فَأَمَّا الْأَمَانُ لِأَهْلِ الْبَغْيِ فَإِسْلَامُهُمْ أَمَانٌ لَهُمْ يَمْنَعُ مِنْ قِتَالِهِمْ إِذَا كَفُّوا وَمِنْ قَتْلِهِمْ إِذَا أُسِرُوا

Jaminan keamanan (aman) sah diberikan kepada ahl al-harb (orang-orang yang sedang berperang). Adapun jaminan keamanan bagi ahl al-baghy (pemberontak), maka keislaman mereka merupakan jaminan keamanan bagi mereka yang mencegah dari memerangi mereka jika mereka telah berhenti, dan mencegah dari membunuh mereka jika mereka telah ditawan.

فَإِنْ أَمَّنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْعَدْلِ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الْبَغِيِ لَمْ يُؤَثِّرْ أَمَانُهُ إِلَّا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ وَهُوَ أَنْ يُؤَمِّنَهُ بَعْدَ كَفِّهِ عَنِ الْقِتَالِ وَقَبْلَ أَسْرِهِ فَيَمْنَعُ أَمَانُهُ مِنْ أَسْرِهِ وَلَا يُؤَثِّرُ أَمَانُهُ بَعْدَ الْأَسْرِ وَلَا يُؤَثِّرُ أَمَانُهُ وَهُوَ عَلَى قِتَالِهِ وَعَلَى هَذَا الْمَوْضِعِ يُحْمَلُ كَلَامُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَمْعِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الحربي

Jika seorang laki-laki dari kalangan ahl al-‘adl memberikan perlindungan (amān) kepada seseorang dari kalangan ahl al-baghy, maka perlindungan tersebut tidak berpengaruh kecuali dalam satu keadaan, yaitu jika ia memberinya perlindungan setelah orang itu berhenti dari peperangan dan sebelum ia ditawan. Maka perlindungan itu mencegah penawanannya. Namun, perlindungan itu tidak berpengaruh setelah ia ditawan, dan tidak pula berpengaruh jika ia masih dalam keadaan memerangi. Pada permasalahan ini, pendapat al-Syafi‘i dipahami dengan menggabungkannya dengan pendapat mengenai orang kafir harbi.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ إِذَا امْتَنَعَ أَهْلُ الْبَغْيِ بِدَارِهِمْ مِنْ أَنْ يَجْرِيَ الْحُكْمُ عَلَيْهِمْ فَمَا أَصَابَهُ الْمُسْلِمُونَ مِنَ التُّجَّارِ وَالْأَسْرَى فِي دَارِهِمْ مِنْ حُدُودِ النَّاسِ بَيْنَهُمْ أَوْ لِلَّهِ لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُمْ وَلَا الْحُقُوقُ بِالْحُكْمِ وَعَلَيْهِمْ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى تَأْدِيَتُهَا إِلَى أَهْلِهَا قُلْتُ فَلِمَ قَتَلْتَهُ قَالَ قِيَاسًا عَلَى دَارِ المحاربين يقتل بعضهم بعضاً ثم يظهر عليهم فلا يقاد منهم قلت هم مخالفون للتجار والأسرى في المعنى الذي ذهبت إليه خلافاً بينا أرأيت لو سبى المحاربون بعضهم بعضاً ثم أسلموا أندع السابي يتخول المسبى مرقوقاً له قال نعم قلت أفتجيز هذا في التجار والأسرى في دار أهل البغي قال لا قلت فلو غزانا أهل الحرب فقتلوا منا ثم رجعوا مسلمين أيكون على أحد منهم قود قال لا قلت فلو فعل ذلك التجار والأسرى ببلاد الحرب غير مكرهين ولا شبه عليهم قال يقتلون قلت أيسع قصد قتل التجار والأسرى ببلاد الحرب فيقتلون؛ قال بل يحرم قلت أرأيت التجار والأسرى لو تركوا الصلاة والزكاة في دار الحرب ثم خرجوا إلى دار الإٍسلام أيكون عليهم قضاء ذلك قال نعم قلت ولا يحل لهم في دار الحرب إلا ما يحل لهم في دار الإسلام قال لا قلت فإذا كانت الدار لا تغير ما أحل لهم وحرم عليهم فكيف أسقطت عنهم حق الله وحق الآدميين الذي أوجبه الله عليهم ثم أنت لا تحل لهم حبس حق قبلهم في دم ولا غيره وما كان لا يحل لهم حبسه فإن على الإمام استخراجمه عندك في غير هذا الموضع؛ قال فأقيسهم بأهل الردة الذين أبطل ما أجابوا قلت فأنت تزعم أن أهل البغي يقاد منهم ما لم ينصبوا إماماً ويظهروا حكما والتجار والأسارى لا إمام لهم ولا امتناع ونزعم لو قتل أهل البغي بعضهم بعضاً بلا شبهة أقدت منهم قال ولكن الدار ممنوعة من أن يجري عليهم الحكم قلت أرأيت لو أن جماعة من أهل القبلة محاربين امتنعوا في مدينة حتى لا يجري عليهم حكم فقطعوا الطريق وسفكوا الدماء وأخذوا الأموال وآتوا الحدود قال يقام هذا كله عليهم قلت فهذا ترك معناك وقلت له أيكون على المدنيين قولهم لا يرث قاتل عمد ويرث قاتل خطأ إلا من الدية فقلت لا يرث القاتل في الوجهين لأنه يلزمه اسم قاتل فكيف لم تقل بهذا في القاتل من أهل البغي والعدل لأن كلا يلزمه اسم قاتل وأنت تسوي بينهما فلا تقيد أحداً بصاحبه

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Sebagian orang berpendapat: Jika Ahlul Baghy menahan diri di negeri mereka sehingga hukum tidak dapat diberlakukan atas mereka, maka apa yang menimpa kaum muslimin dari para pedagang dan tawanan di negeri mereka, berupa hudud yang berkaitan dengan hak manusia di antara mereka atau hak Allah, tidak diambil dari mereka, begitu pula hak-hak melalui hukum tidak diberlakukan atas mereka. Namun, mereka tetap wajib menunaikan hak-hak tersebut kepada para pemiliknya dalam hubungan mereka dengan Allah Ta‘ala. Aku (Syafi‘i) berkata: Lalu mengapa engkau membunuhnya? Ia menjawab: Qiyās dengan negeri orang-orang yang memerangi (dār al-muḥāribīn), di mana sebagian mereka membunuh sebagian yang lain, lalu ketika mereka dikuasai, tidak dilakukan qishāsh terhadap mereka. Aku berkata: Mereka berbeda dengan para pedagang dan tawanan dalam makna yang engkau maksudkan, perbedaannya jelas. Bagaimana pendapatmu jika para muḥāribīn menawan sebagian mereka lalu mereka masuk Islam, apakah orang yang menawan tetap memiliki hak memperbudak yang ditawan? Ia menjawab: Ya. Aku bertanya: Apakah engkau membolehkan hal ini pada pedagang dan tawanan di negeri Ahlul Baghy? Ia menjawab: Tidak. Aku bertanya: Jika orang-orang kafir memerangi kita lalu membunuh sebagian dari kita, kemudian mereka kembali dan masuk Islam, apakah salah satu dari mereka wajib di-qishāsh? Ia menjawab: Tidak. Aku bertanya: Jika para pedagang dan tawanan melakukan hal itu di negeri perang tanpa paksaan dan tanpa syubhat, apa yang terjadi? Ia menjawab: Mereka dibunuh. Aku bertanya: Apakah boleh sengaja membunuh para pedagang dan tawanan di negeri perang sehingga mereka dibunuh? Ia menjawab: Bahkan itu haram. Aku bertanya: Bagaimana jika para pedagang dan tawanan meninggalkan shalat dan zakat di negeri perang, lalu mereka keluar ke negeri Islam, apakah mereka wajib mengqadha itu? Ia menjawab: Ya. Aku bertanya: Apakah halal bagi mereka di negeri perang kecuali apa yang halal bagi mereka di negeri Islam? Ia menjawab: Tidak. Aku bertanya: Jika demikian, negeri tidak mengubah apa yang halal dan haram bagi mereka, maka bagaimana engkau menggugurkan hak Allah dan hak manusia yang telah Allah wajibkan atas mereka? Lalu engkau juga tidak membolehkan mereka menahan hak orang lain, baik dalam urusan darah maupun selainnya, dan apa yang tidak halal mereka tahan, maka wajib bagi imam untuk mengambilnya menurutmu di tempat lain. Ia menjawab: Maka aku qiyās-kan mereka dengan Ahlur Ridda yang telah dibatalkan apa yang mereka akui. Aku berkata: Engkau mengklaim bahwa Ahlul Baghy di-qishāsh selama mereka belum mengangkat imam dan belum menampakkan hukum, sedangkan para pedagang dan tawanan tidak memiliki imam dan tidak menahan diri, dan kami berpendapat bahwa jika Ahlul Baghy membunuh sebagian mereka tanpa syubhat, aku akan melakukan qishāsh terhadap mereka. Ia berkata: Akan tetapi negeri mereka terhalang dari diberlakukannya hukum atas mereka. Aku bertanya: Bagaimana pendapatmu jika sekelompok orang dari kalangan muslimin yang memerangi menahan diri di sebuah kota sehingga hukum tidak dapat diberlakukan atas mereka, lalu mereka merampok, menumpahkan darah, mengambil harta, dan melakukan hudud, apakah semua itu ditegakkan atas mereka? Ia menjawab: Ya, semua itu ditegakkan atas mereka. Aku berkata: Maka ini meninggalkan makna yang engkau maksudkan. Aku bertanya kepadanya: Apakah pendapatmu tentang penduduk kota, apakah mereka mengatakan bahwa pembunuh dengan sengaja tidak mewarisi, sedangkan pembunuh karena kesalahan mewarisi kecuali dari diyat? Aku berkata: Pembunuh tidak mewarisi dalam kedua keadaan karena ia tetap disebut pembunuh. Lalu mengapa engkau tidak mengatakan demikian pada pembunuh dari kalangan Ahlul Baghy dan orang yang adil, padahal keduanya sama-sama disebut pembunuh, dan engkau menyamakan keduanya, maka janganlah engkau membedakan salah satunya dari yang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا أَرَادَ بِهِ أَبَا حَنِيفَةَ فَإِنَّهُ قَالَ إِذَا فَعَلَ أَهْلُ الْبَغْيِ فِي دَارِهِمْ مَا يُوجِبُ حُدُودًا أَوْ حُقُوقًا ثُمَّ ظَهَرَ الْإِمَامُ عَلَيْهِمْ لَمْ تُقَمْ عَلَيْهِمُ الْحُدُودُ وَلَمْ تُسْتَوْفَ مِنْهُمُ الْحُقُوقُ وَكَذَلِكَ يَقُولُ فِي أَهْلِ الْعَدْلِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ فِي دَارِ أَهْلِ الْبَغْيِ لَمْ يُؤَاخَذُوا بِمَا اسْتَهْلَكُوهُ مِنْ حُقُوقٍ وَارْتَكَبُوهُ مِنْ حُدُودٍ

Al-Mawardi berkata, “Yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah Abu Hanifah, karena beliau berpendapat bahwa jika para pemberontak melakukan perbuatan di wilayah mereka yang mewajibkan penegakan hudud atau penunaian hak-hak, kemudian imam berhasil menguasai mereka, maka hudud tidak ditegakkan atas mereka dan hak-hak tersebut tidak diambil dari mereka. Demikian pula, beliau berpendapat tentang Ahl al-‘Adl, jika mereka melakukan hal yang sama di wilayah para pemberontak, maka mereka tidak dimintai pertanggungjawaban atas hak-hak yang telah mereka habiskan dan hudud yang telah mereka langgar.”

وَبَنَاهُ عَلَى أَصْلِهِ أَنَّ الْمُسْلِمِينَ إِذَا فَعَلُوهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَانَ هَدَرًا فَجَمَعَ بَيْنَ الدَّارِينَ لِخُرُوجِهَا عَنْ يَدِ الْإِمَامِ وَتَدْبِيرِهِ

Ia mendasarkan pendapatnya pada prinsip bahwa jika kaum Muslimin melakukannya di wilayah perang, maka hal itu menjadi tidak bernilai (tidak ada hukuman). Maka ia menggabungkan antara kedua wilayah tersebut karena keduanya telah keluar dari kekuasaan dan pengelolaan imam.

وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إنَّ دَارَ الْحَرْبِ يَسْقُطُ جَرَيَانُ حُكْمِ الْإِسْلَامِ فِيهَا عَلَى أَهْلِهَا فَلَا يُقَامُ عَلَيْهِمْ بَعْدَ الْقُدْرَةِ حَدٌّ ولا يستو مِنْهُمْ حَقٌّ وَلَا يَسْقُطُ جَرَيَانُ حُكْمِ الْإِسْلَامِ عَلَى مَنْ دَخَلَهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِي اسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ مِنْهُمْ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ عَلَيْهِمْ

Menurut mazhab Syafi‘i, di Dār al-Ḥarb, penerapan hukum Islam atas penduduknya gugur, sehingga setelah ada kemampuan, tidak ditegakkan hudud atas mereka dan tidak diambil hak dari mereka. Namun, penerapan hukum Islam tidak gugur atas kaum Muslimin yang masuk ke sana, baik dalam penunaian hak-hak dari mereka maupun penegakan hudud atas mereka.

وَدَارُ الْبَغْيِ لَا تَمْنَعُ مِنْ جَرَيَانِ حُكْمِ الْإِسْلَامِ فِيهَا عَلَى أَهْلِهَا وَغَيْرِ أَهْلِهَا لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنَعَتْ دَارُ الْإِسْلَامِ مَا فِيهَا وَأَبَاحَتْ دَارُ الشِّرْكِ مَا فِيهَا

Negeri bughat (wilayah pemberontak) tidak menghalangi berlakunya hukum Islam di dalamnya, baik terhadap penduduknya maupun selain penduduknya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Negeri Islam melindungi apa yang ada di dalamnya, dan negeri syirik membolehkan apa yang ada di dalamnya.”

فَفَرَّقَ بَيْنَ دَارِ الْإِسْلَامِ وبين الشِّرْكِ فِي الْحَظْرِ فَلَمْ يَجُزِ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي الْإِبَاحَةِ

Maka dibedakan antara Darul Islam dan negeri syirik dalam hal larangan, sehingga tidak boleh menggabungkan keduanya dalam hal kebolehan.

وَلِأَنَّ حُكْمَ الْإِسْلَامِ جَارٍ عَلَى أَهْلِهِ أَيْنَ كَانُوا كَمَا أَنَّ حُكْمَ الشِّرْكِ جَارٍ عَلَى أَهْلِهِ حَيْثُ وُجِدُوا

Karena hukum Islam berlaku atas pemeluknya di mana pun mereka berada, sebagaimana hukum syirik juga berlaku atas pelakunya di mana pun mereka ditemukan.

وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ تُغَيِّرَ الدَّارُ أَحْكَامَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْحُقُوقِ وَالْحُدُودِ لَتَغَيَّرَتْ فِي الْعِبَادَاتِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ فَيَلْتَزِمُونَهَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَلَا يَلْتَزِمُونَهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ

Karena jika dibolehkan bahwa perubahan wilayah dapat mengubah hukum-hukum kaum Muslimin dalam hal hak-hak dan hudud, niscaya hukum-hukum itu juga akan berubah dalam ibadah seperti salat dan puasa, sehingga mereka akan melaksanakannya di Darul Islam dan tidak melaksanakannya di Darul Harb.

فَلَمَّا بَطَلَ هَذَا وَاسْتَوَى إِلْزَامُهُمْ لَهَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الْحَرْبِ وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْحُدُودِ وَالْحُقُوقِ

Maka ketika hal ini batal, dan kewajiban mereka terhadapnya sama baik di Dar al-Islam maupun di Dar al-Harb, maka wajib pula keduanya disamakan dalam hal hudud dan hak-hak.

فَأَمَّا مَا احْتَجَّ بِهِ أَبُو حَنِيفَةَ مِنْ أَنَّ يَدَ الْإِمَامِ قَدْ زَالَتْ عَنْ دَارِ الْبَغْيِ فَسَقَطَ عَنْهُ إِقَامَةُ الْحُدُودِ عَلَيْهِمْ كَأَهْلِ الْحَرْبِ

Adapun dalil yang digunakan oleh Abu Hanifah bahwa kekuasaan imam telah hilang dari wilayah bughat, sehingga gugur kewajiban menegakkan hudud atas mereka, seperti halnya terhadap ahl al-harb.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ إنَّ الْحُدُودَ وَجَبَتْ عَلَيْهِمْ لِمُخَاطَبَتِهِمْ بِهَا وَارْتِكَابِهِمْ لِمُوجِبِهَا وَالْإِمَامُ مُسْتَوْفٍ لَهَا فَإِنْ عَجَزَ عَنْهَا كَفَّ وَإِنْ قَدَرَ عَلَيْهَا أقامها والله أعلم

Maka jawabannya adalah bahwa hudud diwajibkan atas mereka karena mereka dikenai taklif dengannya dan telah melakukan perbuatan yang mewajibkannya, dan imam adalah pihak yang menegakkannya. Jika ia tidak mampu menegakkannya, maka ia menahan diri, dan jika ia mampu, maka ia menegakkannya. Allah Maha Mengetahui.

Bab Hukum Murtad

مسألة

Masalah

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَمَنِ ارْتَدَّ عَنِ الْإِسْلَامِ إِلَى أَيِّ كُفْرٍ كَانَ مَوْلُودًا عَلَى الْإِسْلَامِ أَوْ أَسْلَمَ ثُمَّ ارْتَدَّ قُتِلَ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Barang siapa yang murtad dari Islam kepada kekafiran apa pun, baik ia dilahirkan dalam keadaan Islam maupun masuk Islam kemudian murtad, maka ia harus dibunuh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الرِّدَّةُ فِي اللُّغَةِ فَهِيَ الرُّجُوعُ عَنِ الشَّيْءِ إِلَى غَيْرِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَلا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ المائدة 21

Al-Mawardi berkata, “Adapun riddah dalam bahasa, maka ia adalah kembali dari suatu hal kepada hal lain.” Allah Ta‘ala berfirman, “Dan janganlah kalian murtad ke belakang sehingga kalian menjadi orang-orang yang merugi.” (Al-Ma’idah: 21)

وَأَمَّا الرِّدَّةُ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ الرُّجُوعُ عَنِ الْإِسْلَامِ إِلَى الْكُفْرِ

Adapun riddah dalam syariat adalah kembali dari Islam kepada kekufuran.

وَهُوَ مَحْظُورٌ لَا يَجُوزُ الْإِقْرَارُ عَلَيْهِ

Dan hal itu adalah sesuatu yang terlarang, tidak boleh dibenarkan atau dibiarkan terjadi.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ من الخاسرين المائدة 5

Allah Ta‘ala berfirman: “Dan barang siapa yang kafir terhadap iman, maka sungguh amalnya menjadi sia-sia dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.” (Al-Mā’idah: 5)

وقال الله تَعَالَى وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ البقرة 217 الْآيَةَ

Allah Ta‘ala berfirman: “Barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, lalu ia mati dalam keadaan kafir, maka mereka itulah orang-orang yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat.” (Al-Baqarah: 217)

وَقَالَ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ النساء 137 الْآيَةَ

Allah Ta‘ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian kafir, kemudian beriman lagi, kemudian kafir lagi, lalu bertambah kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka.” (an-Nisā’ ayat 137)

وَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ

Di dalamnya terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا إنَّهُمُ الْيَهُودُ آمَنُوا بِمُوسَى ثُمَّ كَفَرُوا بِعِبَادَةِ الْعِجْلِ ثُمَّ آمَنُوا بِمُوسَى بَعْدَ عَوْدِهِ ثُمَّ كَفَرُوا بِعِيسَى ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَهَذَا قَوْلُ قَتَادَةَ

Salah satunya adalah bahwa mereka, yaitu orang-orang Yahudi, beriman kepada Musa kemudian kafir dengan menyembah anak sapi, lalu mereka kembali beriman kepada Musa setelah ia kembali, kemudian mereka kafir kepada Isa, lalu semakin bertambah kekafiran mereka terhadap Muhammad ﷺ. Inilah pendapat Qatadah.

وَالثَّانِي إنَّهُمُ الْمُنَافِقُونَ آمَنُوا ثُمَّ ارْتَدُّوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ ارْتَدُّوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا بِمَوْتِهِمْ عَلَى كُفْرِهِمْ وَهَذَا قَوْلُ مُجَاهِدٍ

Yang kedua, mereka adalah orang-orang munafik; mereka beriman kemudian murtad, lalu beriman lagi kemudian murtad lagi, kemudian bertambah kekafirannya dengan kematian mereka dalam keadaan kafir. Ini adalah pendapat Mujāhid.

وَالثَّالِثُ إنَّهُمْ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ قَصَدُوا تَشْكِيكَ الْمُؤْمِنِينَ فَكَانُوا يُظْهِرُونَ الْإِيمَانَ ثُمَّ الْكُفْرَ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا بِثُبُوتِهِمْ عَلَيْهِ وَهَذَا قَوْلُ الْحَسَنِ

Ketiga, mereka adalah sekelompok dari Ahli Kitab yang bermaksud menimbulkan keraguan di kalangan orang-orang beriman, sehingga mereka menampakkan keimanan lalu kembali kafir berulang kali, kemudian mereka semakin bertambah kekafirannya karena tetap teguh di atas kekafiran itu. Inilah pendapat al-Hasan.

فَإِذَا ثَبَتَ حَظْرُ الرِّدَّةِ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَهِيَ مُوجِبَةٌ لِلْقَتْلِ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَإِجْمَاعِ صَحَابَتِهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

Maka apabila larangan riddah telah ditetapkan berdasarkan Kitab Allah Ta‘ala, maka ia mewajibkan hukuman mati berdasarkan sunnah Rasulullah ﷺ dan ijmā‘ para sahabat beliau radhiyallāhu ‘anhum.

رَوَى أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Ayub meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.”

وَرَوَى عُثْمَانُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٌ بَعْدَ إِيمَانٍ أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ

Diriwayatkan dari ‘Utsman bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: kufur setelah beriman, zina setelah menikah (muhshan), atau membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.”

وَقَاتَلَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَهْلَ الرِّدَّةِ وَوَضَعَ فِيهِمُ السَّيْفَ حَتَّى أَسْلَمُوا

Abu Bakar Ash-Shiddiq setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi orang-orang murtad dan menghunuskan pedang terhadap mereka hingga mereka masuk Islam.

وَرَوَى الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ قَتَلَ أُمَّ قِرْفَةَ الْفَزَارِيَّةَ قَتْلَ مُثْلَةٍ شَدَّ رِجْلَيْهَا بِفَرَسَيْنِ ثُمَّ صَاحَ بِهِمَا فَشَقَّاهَا

Al-Walid bin Muslim meriwayatkan dari Sa‘id bin ‘Abd al-‘Aziz bahwa Abu Bakar membunuh Umm Qirfah al-Fazariyyah dengan cara mutilasi, yaitu dengan mengikat kedua kakinya pada dua ekor kuda, lalu memerintahkan keduanya hingga tubuhnya terbelah.

وَهَذَا التَّنَاهِي مِنْهُ فِي نَكَالِ الْقَتْلِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَتْبُوعًا فيه فالانتشار الرِّدَّةِ فِي أَيَّامِهِ وَتَسَرُّعِ النَّاسِ إِلَيْهَا لِتَكُونَ هَذِهِ الْمُثْلَةُ أَشَدَّ زَجْرًا لَهُمْ عَنِ الرِّدَّةِ وَأَبْعَثَ لَهُمْ عَلَى التَّوْبَةِ وَمِثْلُهُ مَا رُوِيَ أن قوماً غلوا في علي عليه السلام وَقَالُوا لَهُ أَنْتَ إِلَهٌ فَأَجَّجَ لَهُمْ نَارًا وَحَرَّقَهُمْ فِيهَا

Dan tindakan yang sangat tegas darinya dalam memberikan hukuman mati, meskipun tidak diikuti dalam hal ini, adalah karena meluasnya kemurtadan pada masa beliau dan cepatnya orang-orang terjerumus ke dalamnya, sehingga hukuman yang keras ini menjadi pencegah yang lebih kuat bagi mereka dari kemurtadan dan lebih mendorong mereka untuk bertaubat. Hal yang serupa juga diriwayatkan bahwa sekelompok orang telah berlebihan dalam memuliakan Ali radhiyallahu ‘anhu dan berkata kepadanya, “Engkau adalah Tuhan,” maka beliau menyalakan api untuk mereka dan membakar mereka di dalamnya.

فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَقَتَلْتُهُمْ بِالسَّيْفِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ ” لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ فَقَالَ عَلِيٌّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ

Ibnu Abbas berkata, “Seandainya aku, pasti aku akan membunuh mereka dengan pedang. Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, ‘Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah. Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.’” Ali raḍiyallāhu ‘anhu pun berkata demikian.

لَمَّا رَأَيْتُ الْأَمْرَ أَمْرًا مُنْكَرَا أَجَّجَتُ نَارًا وَدَعَوْتُ قَنْبَرَا

Ketika aku melihat perkara itu sebagai perkara yang mungkar, aku menyalakan api dan memanggil Qanbar.

وَرَوَى عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ قال شهدت علياً عليه السلام وَقَدْ أَتَى بِالْمُسْتَوْرِدِ بْنِ قَبِيصَةَ الْعِجْلِيِّ وَقَدْ تَنَصَّرَ بَعْدَ إِسْلَامِهِ

Abdul Malik bin Umair meriwayatkan: Aku menyaksikan Ali ‘alaihis salam ketika didatangkan al-Mustawrid bin Qabishah al-‘Ijli, yang telah memeluk agama Nasrani setelah sebelumnya masuk Islam.

فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ حُدِّثْتُ عَنْكَ أَنَّكَ تَنَصَّرْتَ

Ali berkata kepadanya, “Aku mendengar kabar tentangmu bahwa engkau telah memeluk agama Nasrani.”

فَقَالَ الْمُسْتَوْرِدُ أَنَا عَلَى دِينِ الْمَسِيحِ

Maka Al-Mustawrid berkata, “Aku tetap berada di atas agama Al-Masih.”

فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ وَأَنَا أَيْضًا عَلَى دِينِ الْمَسِيحِ

Lalu Ali berkata kepadanya, “Aku juga memeluk agama al-Masih.”

ثُمَّ قَالَ لَهُ مَا تَقُولُ فِيهِ فَتَكَلَّمَ بِكَلَامٍ خَفِيَ عَليّ

Kemudian ia berkata kepadanya, “Apa pendapatmu tentang hal ini?” Lalu ia berbicara dengan ucapan yang samar bagiku.

فَقَالَ علي رضوان الله عليه طؤه فَوُطِئَ حَتَّى مَاتَ

Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Campurilah dia,” maka wanita itu dicampuri hingga meninggal.

فَقُلْتُ لِلَّذِي يَلِينِي مَا قَالَ

 

قَالَ إِنَّ الْمَسِيحَ رَبُّهُ

Dia berkata, “Sesungguhnya al-Masih adalah Tuhannya.”

وَرُوِيَ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَدِمَ الْيَمَنَ وَبِهَا أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ يَهُودِيًّا أَسْلَمَ ثُمَّ ارْتَدَّ مُنْذُ شَهْرَيْنِ

Diriwayatkan bahwa Mu‘ādz bin Jabal datang ke Yaman, dan di sana ada Abū Mūsā al-Asy‘arī. Lalu dikatakan kepadanya bahwa ada seorang Yahudi yang masuk Islam kemudian murtad sejak dua bulan yang lalu.

فَقَالَ وَاللَّهِ لَا أَجْلِسُ حَتَّى يُقْتَلَ قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِذَلِكَ فَقُتِلَ

Maka ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan duduk sampai ia dibunuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian.” Maka orang itu pun dibunuh.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْقَتْلِ بِرِدَّةِ الْمُسْلِمِ إِلَى الْكُفْرِ فَسَوَاءٌ كَانَ الْمُسْلِمُ مَوْلُودًا عَلَى الْإِسْلَامِ أَوْ كَانَ كَافِرًا فَأَسْلَمَ أَوْ صَارَ مُسْلِمًا بِإِسْلَامِ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا

Maka apabila telah tetap kewajiban hukuman mati karena riddah seorang Muslim kepada kekafiran, maka hukumnya sama saja, baik Muslim tersebut lahir dalam keadaan Islam, atau sebelumnya kafir lalu masuk Islam, atau menjadi Muslim karena kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka masuk Islam.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ صَارَ مُسْلِمًا بِإِسْلَامِ أَحَدِ أَبَوَيْهِ لَمْ يُقْتَلْ بِالرِّدَّةِ لِضَعْفِ إِسْلَامِهِ وَهَذَا خَطَأٌ

Abu Hanifah berkata: Jika seseorang menjadi Muslim karena salah satu dari kedua orang tuanya masuk Islam, maka ia tidak dihukum mati karena riddah, karena keislamannya dianggap lemah. Namun, pendapat ini adalah keliru.

لِأَنَّهُ لَمَّا جَرَى عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ فِي الْعِبَادَاتِ وَأَحْكَامُ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمَوَارِيثِ وَالشَّهَادَاتِ وَجَبَ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ فِي الرِّدَّةِ كَغَيْرِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ كَمَا كَانَ فِي غَيْرِ الرِّدَّةِ كَسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ

Karena ketika telah berlaku atasnya hukum-hukum Islam dalam ibadah dan hukum-hukum kaum Muslimin dalam warisan dan kesaksian, maka wajib pula berlaku atasnya hukum Islam dalam perkara riddah sebagaimana yang berlaku atas kaum Muslimin lainnya, sebagaimana juga dalam perkara selain riddah seperti kaum Muslimin yang lain.

وَلِأَنَّ الْإِسْلَامَ لَا تَبَعُّضَ فِيهِ فَلَمْ تُبَعَّضْ فِيهِ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ وَبِهِ يَفْسُدُ مَا ذَكَرَهُ مِنْ ضَعْفِهِ

Dan karena Islam itu tidak dapat dipilah-pilah, maka hukum-hukum Islam pun tidak dapat dipilah-pilah di dalamnya. Dengan demikian, apa yang disebutkan tentang kelemahannya menjadi batal.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَأَيُّ كُفْرٍ ارْتَدَّ إِلَيْهِ مِمَّا يُظْهِرُ أَوْ يُسِرُّ مِنَ الزَّنْدَقَةِ ثُمَّ تَابَ لَمْ يُقْتَلْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jenis kekufuran apa pun yang seseorang murtad kepadanya, baik yang ia tampakkan maupun ia sembunyikan dari bentuk zindiq, kemudian ia bertobat, maka ia tidak dibunuh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar.”

لَا يَخْلُو حَالُ الكفر إِذَا ارْتَدَّ إِلَيْهِ الْمُسْلِمُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Keadaan kekufuran ketika seorang muslim murtad kepadanya tidak lepas dari salah satu dari dua hal.

إِمَّا أَنْ يَتَظَاهَرَ بِهِ أَهْلُهُ كَالْيَهُودِيَّةِ وَالنَّصْرَانِيَّةِ

Atau bisa jadi penganutnya menampakkan agama tersebut secara terang-terangan, seperti agama Yahudi dan Nasrani.

أَوْ يُسِرُّونَهُ كَالزَّنْدَقَةِ وَالنِّفَاقِ

Atau mereka menyembunyikannya seperti zindiq dan nifaq.

فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَتَظَاهَرُ بِهِ أَهْلُهُ قُبِلَتْ تَوْبَتُهُ مِنْهُ إِذَا ارْتَدَّ إِلَيْهِ سَوَاءٌ وُلِدَ عَلَى الْإِسْلَامِ أَوْ كَانَ كَافِرًا وَأَسْلَمَ

Jika perbuatan itu termasuk sesuatu yang biasa ditampakkan oleh pelakunya, maka taubatnya dari perbuatan tersebut diterima apabila ia kembali kepadanya, baik ia dilahirkan dalam keadaan Islam maupun sebelumnya kafir lalu masuk Islam.

وَحَكَى الشَّافِعِيُّ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَأَحْسَبُهُ مَالِكًا أَنَّ الْمَوْلُودَ عَلَى الْإِسْلَامِ لَا تُقْبَلُ تَوْبَتُهُ إِذَا ارْتَدَّ لِأَنَّهُ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ حُكْمُ الْكُفْرِ بِحَالٍ فَكَانَ أَغْلَظَ حُكْمًا مِمَّنْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْكُفْرِ فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ وَهَذَا فَاسِدٌ

Syafi‘i meriwayatkan dari sebagian penduduk Madinah—dan aku kira itu adalah Malik—bahwa anak yang lahir dalam keadaan Islam, tidak diterima tobatnya jika ia murtad, karena padanya tidak pernah berlaku hukum kekufuran dalam keadaan apa pun, sehingga hukumnya lebih berat daripada orang yang pernah berlaku atasnya hukum kekufuran dalam beberapa keadaan. Namun, pendapat ini adalah batil.

وَلَكِنَّهُ لَوْ وَقَعَ بَيْنَهُمَا فَرْقٌ أَوْلَى لِأَنَّ تَوْبَةَ الْمَوْلُودِ عَلَى الْإِسْلَامِ أَقْوَى لِأَنَّهُ قَدْ أَلِفَ الْإِسْلَامَ وَتَوْبَةُ الْمَوْلُودِ عَلَى الْكُفْرِ أَضْعَفُ لِأَنَّهُ قَدْ أَلِفَ الْكُفْرَ فَلَمَّا فَسَدَ هَذَا كَانَ عَكْسُهُ أَفْسَدَ

Namun, seandainya terdapat perbedaan di antara keduanya, maka itu lebih utama, karena tobat seseorang yang lahir dalam keadaan Islam lebih kuat, sebab ia telah terbiasa dengan Islam. Sedangkan tobat seseorang yang lahir dalam keadaan kufur lebih lemah, karena ia telah terbiasa dengan kekufuran. Maka ketika pendapat ini rusak, kebalikannya justru lebih rusak lagi.

وَدَلَائِلُ هَذَا تَأْتِي فِيمَا يَلِيهِ

Dan dalil-dalil mengenai hal ini akan disebutkan pada bagian berikutnya.

وَإِنْ كَانَ الْكُفْرُ مِمَّا يُسِرُّهُ أَهْلُهُ كَالزَّنْدَقَةِ قُبِلَتْ تَوْبَتُهُ أَيْضًا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ تَسْوِيَةً بَيْنَ رِدَّةِ كُلِّ مُسْلِمٍ وَبَيْنَ الرِّدَّةِ إِلَى كُلِّ كُفْرٍ

Dan jika kekufuran itu termasuk yang disembunyikan oleh pelakunya seperti zindiq, maka taubatnya juga diterima menurut Imam Syafi‘i, dengan menyamakan antara riddah setiap Muslim dan riddah kepada setiap bentuk kekufuran.

وَقَالَ مَالِكٌ لَا تُقْبَلُ التَّوْبَةُ مِنَ الزِّنْدِيقِ إِلَّا أَنْ يَتُوبَ قَبْلَ الْعِلْمِ بِهِ وَالْقُدْرَةِ عَلَيْهِ

Malik berkata, tobat dari seorang zindiq tidak diterima kecuali jika ia bertobat sebelum diketahui dan sebelum mampu ditangkap.

فَفَرَّقَ بَيْنَ بَعْضِ الْكُفْرِ وَبَعْضِهِ فِي الرِّدَّةِ كَمَا فَرَّقَ فِي الْأَوَّلِ إِنْ كَانَ قَائِلًا بِهِ بَيْنَ بَعْضِ الْمُسْلِمِينَ وَبَعْضِهِمْ فِي الرِّدَّةِ

Maka ia membedakan antara sebagian kekufuran dengan sebagian yang lain dalam perkara riddah, sebagaimana ia juga membedakan sebelumnya—jika ia berpendapat demikian—antara sebagian kaum Muslimin dengan sebagian yang lain dalam perkara riddah.

وَالزِّنْدِيقُ عِنْدَهُ مَنْ أَظْهَرَ الْإِسْلَامَ وَأَسَرَّ الْكُفْرَ

Menurutnya, zindiq adalah orang yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekufuran.

وَلِأَبِي حَنِيفَةَ فِيهِ رِوَايَتَانِ

Dan menurut Abu Hanifah terdapat dua riwayat dalam masalah ini.

إِحْدَاهُمَا كَقَوْلِنَا

Salah satunya seperti ucapan kami.

وَالْأُخْرَى كَقَوْلِ مَالِكٍ

Dan yang lainnya seperti pendapat Malik.

احْتِجَاجًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ آل عمران 90

Sebagai dalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir setelah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, tidak akan diterima taubat mereka.” (Ali ‘Imran: 90)

وَلِأَنَّ الزِّنْدِيقَ يَتَظَاهَرُ بِالْإِسْلَامِ وَيُسِرُّ الْكُفْرَ وَهُوَ بَعْدَ التَّوْبَةِ هَكَذَا فَصَارَ كَمَا قَبْلَهَا فَلَمْ تُؤَثِّرْ فِيهِ التَّوْبَةُ مِمَّا لَمْ يَكُنْ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْحُكْمُ فِيهِمَا عَلَى سَوَاءٍ

Karena zindiq menampakkan diri sebagai Muslim namun menyembunyikan kekufuran, dan setelah bertobat pun keadaannya tetap demikian, maka ia sama saja seperti sebelum bertobat. Tobat tidak memberikan pengaruh apa pun yang sebelumnya tidak ada, sehingga wajib hukum atas keduanya (sebelum dan sesudah tobat) tetap sama.

قَالَ وَلِأَنَّ الزَّنْدَقَةَ أَعْظَمُ فَسَادًا فِي الْأَرْضِ مِنَ الْحِرَابَةِ لِجَمْعِهَا بَيْنَ فَسَادِ الدِّينِ وَالدُّنْيَا فَلَمَّا لَمْ تُقْبَلْ تَوْبَةُ الْمُحَارِبِينَ بَعْدَ الْقُدْرَةِ فَأَوْلَى أَنْ لَا تُقْبَلَ تَوْبَةُ الزِّنْدِيقِ بَعْدَ الْقُدْرَةِ

Ia berkata: Karena zindiq lebih besar kerusakannya di muka bumi dibandingkan dengan hirabah, karena zindiq menggabungkan antara kerusakan agama dan dunia. Maka ketika tobat para pelaku hirabah tidak diterima setelah mereka berada dalam kekuasaan (tertangkap), maka lebih utama lagi tobat zindiq tidak diterima setelah ia berada dalam kekuasaan.

قَالَ وَلِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ تَوْبَةِ الزِّنْدِيقِ أَنَّهُ يَسْتَدْفِعُ بِهَا الْقَتْلَ كَمَا كَانَ الظَّاهِرُ مِنْ تَوْبَةِ الْمُحَارِبِ اسْتِدْفَاعَ الْقَتْلِ بِهَا فَوَجَبَ أَنْ تُحْمَلَ تَوْبَتُهُ عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ حَالِهَا فِي دَفْعِ الْقَتْلِ بِهَا كَمَا حُمِلَتْ تَوْبَةُ الْمُحَارِبِ عَلَى الظَّاهِرِ مِنْ حَالِهَا

Ia berkata: Karena yang tampak dari tobat seorang zindiq adalah bahwa ia bermaksud menolak hukuman mati dengan tobatnya itu, sebagaimana yang tampak dari tobat seorang muharib adalah untuk menolak hukuman mati dengannya. Maka wajib untuk memahami tobatnya sesuai dengan yang tampak dari keadaannya, yaitu untuk menolak hukuman mati, sebagaimana tobat seorang muharib juga dipahami sesuai dengan yang tampak dari keadaannya.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا النساء 94

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berjalan di jalan Allah, maka telitilah, dan janganlah kalian mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu, ‘Kamu bukan seorang mukmin’.” (an-Nisā’ 94)

وَقَرَأَ أَبُو جَعْفَرٍ لَسْتَ مُؤْمَنًا بِفَتْحِ الْمِيمِ مِنَ الْأَمَانِ

Abu Ja‘far membaca (ayat tersebut) dengan lafaz “lastu mu’manan” dengan memfathah huruf mim, yang bermakna dari kata al-amān (keamanan/ketenangan).

وَقِرَاءَةُ الْجُمْهُورِ بِالْكَسْرِ مِنَ الْإِيمَانِ

Dan bacaan jumhur dengan kasrah berasal dari al-īmān.

وَفِيهَا عَلَى كِلَا الْقِرَاءَتَيْنِ دَلِيلٌ لِمَا حَكَاهُ السُّدِّيُّ عَنْ سَبَبِ نُزُولِهَا

Dan di dalamnya, menurut kedua qirā’ah, terdapat dalil atas apa yang diriwayatkan oleh as-Suddī mengenai sebab turunnya ayat ini.

” أَنَّ رَجُلًا يُقَالُ لَهُ مِرْدَاسُ بْنُ عُمَرَ الْفَدَكِيُّ كَانَتْ لَهُ غُنَيْمَاتٌ لَقِيَتْهُ سَرِيَّةٌ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ لَهُمْ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَبَدَرَ إِلَيْهِ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَقَتَلَهُ فَلَمَّا آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَهُ لِمَ قَتَلْتَهُ وَقَدْ أَسْلَمَ

Seorang laki-laki bernama Mirdas bin ‘Umar al-Fadaki memiliki beberapa kambing. Ia bertemu dengan sebuah pasukan kecil Rasulullah ﷺ, lalu ia mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum, la ilaha illallah, Muhammad Rasulullah.” Namun Usamah bin Zaid segera menyerangnya dan membunuhnya. Ketika Usamah datang kepada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda kepadanya, “Mengapa engkau membunuhnya padahal ia telah masuk Islam?”

قَالَ إِنَّمَا قَالَهَا مُتَعَوِّذًا

Ia berkata, “Sesungguhnya ia mengucapkannya sebagai permohonan perlindungan.”

قَالَ هَلَّا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ

Beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak membelah hatinya?”

ثُمَّ حَمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دِيَّتَهُ إِلَى أَهْلِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِمْ غَنَمَهُ

Kemudian Rasulullah saw. membawakan diyatnya kepada keluarganya dan mengembalikan kambing-kambingnya kepada mereka.

وَرَوَى عطاء بن يزيد الليثي عن عبيد اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ الْخِيَارِ ” أَنَّ رَجُلًا سَارَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَلَمْ يُدْرَ مَا سَارَّهُ حَتَّى جَهَرَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَإِذَا هُوَ يَسْتَأْذِنُهُ فِي قَتْلِ رَجُلٍ مِنَ الْمُنَافِقِينَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَلَيْسَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Atha’ bin Yazid al-Laitsi meriwayatkan dari Ubaidullah bin ‘Adi bin al-Khiyar bahwa ada seorang laki-laki membisikkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak diketahui apa yang dibisikkan itu, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan suaranya, ternyata laki-laki itu meminta izin kepada beliau untuk membunuh seseorang dari kaum munafik. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah dia bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?”

قَالَ بَلَى وَلَا شَهَادَةَ لَهُ

Dia menjawab, “Benar, dan tidak ada kesaksian baginya.”

قَالَ أَلَيْسَ يُصَلِّي

Dia berkata, “Bukankah dia melaksanakan shalat?”

قَالَ بَلَى وَلَا صَلَاةَ لَهُ

Dia menjawab, “Benar, dan tidak ada shalat baginya.”

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أولئك الذين نهاني الله عنهم

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka itulah orang-orang yang Allah larang aku dari mereka.”

وروى عبيد اللَّهِ بْنُ عَدِيِّ بْنِ الْخِيَارِ أَنَّ الْمِقْدَادَ بْنَ عَمْرٍو الْكِنْدِيَّ قَالَ ” يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ لَقِيتُ رَجُلًا مِنَ الْكُفَّارِ فَقَاتَلَنِي فَضَرَبَ إِحْدَى يَدَيَّ فَقَطَعَهَا ثُمَّ لَاذَ مِنِّي لشجرة فَقَالَ أَسْلَمْتُ لِلَّهِ أَقْتُلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَعْدَ أَنْ قَالَهَا

Ubaiidullah bin ‘Adi bin al-Khiyar meriwayatkan bahwa al-Miqdad bin ‘Amr al-Kindi berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku bertemu dengan seorang laki-laki dari kaum kafir lalu ia memerangiku, kemudian ia memukul salah satu tanganku hingga terputus, lalu ia berlindung dariku di balik sebuah pohon dan berkata, ‘Aku telah masuk Islam karena Allah.’ Apakah aku boleh membunuhnya, wahai Rasulullah, setelah ia mengucapkan itu?”

قَالَ لَا تَقْتُلُهُ فَإِنْ قَتَلْتَهُ فَإِنَّكَ بِمَنْزِلَتِهِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ كَلِمَتَهُ وَهُوَ بِمَنْزِلَتِكَ قَبْلَ أَنْ تَقْتُلَهُ

Beliau berkata, “Janganlah kamu membunuhnya. Jika kamu membunuhnya, maka sungguh kamu berada pada kedudukannya sebelum ia mengucapkan kalimatnya, dan ia berada pada kedudukanmu sebelum kamu membunuhnya.”

فَدَلَّتِ الْآيَةُ وَالْخِبْرَانِ عَلَى الْأَخْذِ بِالظَّاهِرِ دُونَ السَّرَائِرِ وَلِذَلِكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِنَّمَا أَحْكُمُ بِالظَّاهِرِ وَاللَّهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ

Maka ayat dan hadis-hadis menunjukkan bahwa yang dijadikan pegangan adalah yang tampak (zhahir), bukan yang tersembunyi (sara’ir). Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku hanya memutuskan perkara berdasarkan yang tampak, sedangkan Allah yang menangani urusan yang tersembunyi.”

وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ قَبِلَ مِنَ الْمُنَافِقِينَ ظَاهِرَ إِسْلَامِهِمْ وَإِنْ تَحَقَّقَ بَاطِنُ كُفْرِهِمْ بِمَا أَطْلَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ مِنْ سَرَائِرِهِمْ فِي قَوْله تَعَالَى إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ المنافقين لكاذبون اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً المنافقون 1 2 وَقُرِئَ إِيمَانَهُمْ بِكَسْرِ الْهَمْزَةِ مِنَ الْإِيمَانِ وَالْأَوَّلُ مِنَ الْيَمِينِ

Dan karena Rasulullah saw. telah menerima keislaman lahiriah dari orang-orang munafik, meskipun beliau mengetahui kekafiran batin mereka berdasarkan apa yang Allah Ta‘ala perlihatkan kepada beliau tentang rahasia mereka, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau benar-benar Rasul Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai…” (al-Munāfiqūn: 1-2). Dan ada pula yang membaca “īmānahum” dengan kasrah pada hamzah dari kata “īmān” (keimanan), sedangkan yang pertama dari kata “yamīn” (sumpah).

وَقَالَ تَعَالَى وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ التوبة 56

Dan Allah Ta‘ala berfirman: “Mereka bersumpah dengan (nama) Allah bahwa sesungguhnya mereka benar-benar termasuk golonganmu, padahal mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka adalah kaum yang takut.” (at-Taubah: 56)

فَلَمْ يُؤَاخِذْهُمْ بما أطلعه الله تعالى عليه من سرائرهم الَّتِي تَحَقَّقَ بِهَا كُفْرُهُمْ وَاعْتَبَرَ مَا تَظَاهَرُوا بِهِ مِنَ الْإِسْلَامِ وَإِنْ تَحَقَقَ فِيهِ كَذِبُهُمْ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَمْثَالُهُمْ مِنَ الزَّنَادِقَةِ مُلْحَقِينَ بِهِمْ وَدَاخِلِينَ فِي حُكْمِهِمْ

Maka Allah tidak menghukum mereka atas apa yang Dia tampakkan kepada-Nya tentang rahasia-rahasia mereka yang dengan itu kekafiran mereka telah terbukti, dan Dia memperhitungkan apa yang mereka tampakkan berupa Islam, meskipun telah terbukti kebohongan mereka di dalamnya. Maka wajiblah bahwa orang-orang seperti mereka dari kalangan zindiq disamakan dengan mereka dan termasuk dalam hukum mereka.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا كَفَّ عَنْهُمْ لِأَنَّهُ لَمْ يَعْرِفْهُمْ بِأَعْيَانِهِمْ وَلَوْ عَرَفَهُمْ لَمَا كَفَّ عَنْهُمْ

Jika dikatakan, “Sesungguhnya beliau menahan diri dari mereka karena beliau tidak mengetahui mereka secara spesifik, dan seandainya beliau mengetahui mereka, niscaya beliau tidak akan menahan diri dari mereka.”

قِيلَ قَدْ كَانُوا أَشْهَرَ مِنْ أَنْ يَخْفَوْا هَذَا عَبْدُ اللَّهِ بن أبي ابن سَلُولَ وَهُوَ رَأْسُ الْمُنَافِقِينَ قَدْ تَظَاهَرَ بِالنِّفَاقِ وَأَبْدَى مُعْتَقَدَهُ فِي مَوَاضِعَ مِنْهَا

Dikatakan bahwa mereka telah begitu terkenal sehingga tidak mungkin tersembunyi; ini adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafik, yang telah menampakkan kemunafikannya dan memperlihatkan keyakinannya di beberapa tempat.

قَوْله تَعَالَى مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلا غُرُورًا الأحزاب 12

Firman-Nya: “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami selain tipuan belaka.” (Al-Ahzab: 12)

وَقَوْلُهُ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأَعَزُّ مِنْهَا الأَذَلَّ المنافقون 8

Dan ucapannya dalam Perang Tabuk: “Sungguh, jika kita kembali ke Madinah, pasti yang paling mulia di antara kita akan mengusir yang paling hina darinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)

فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِذَلِكَ عَنْهُ فَلَمَّا رَجَعَ إِلَيْهَا مِنَ الْغُزَاةِ جَرَّدَ ابْنُهُ عَلَيْهِ سَيْفَهُ وَقَالَ وَاللَّهِ لَئِنْ لَمْ تَقُلْ إِنَّكَ الْأَذَلُّ وَرَسُولُ اللَّهِ الْأَعَزُّ لَأَضْرِبَنَّكَ بِسَيْفِي هَذَا فَقَالَهَا

Maka Allah Ta‘ala memberitakan hal itu tentang dirinya. Ketika ia kembali kepada ibunya dari peperangan, anaknya menghunuskan pedangnya kepadanya dan berkata, “Demi Allah, jika engkau tidak mengatakan bahwa engkaulah yang paling hina dan Rasulullah adalah yang paling mulia, niscaya aku akan menebasmu dengan pedangku ini.” Maka ia pun mengucapkannya.

وَلِأَنَّ إِقْرَارَهُ بِالزَّنْدَقَةِ أَقْوَى مِنْ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ بِهَا عَلَيْهِ فَلَمَّا قُبِلَتْ تَوْبَتُهُ إِذَا أَقَرَّ بِهَا كَانَ أَوْلَى أَنْ تُقْبَلَ فِي قِيَامِ الْبَيِّنَةِ بِهَا

Karena pengakuannya atas zindiq lebih kuat daripada adanya bukti yang menegaskan hal itu terhadapnya, maka ketika tobatnya diterima jika ia mengakuinya, maka lebih utama lagi tobatnya diterima ketika ada bukti yang menegaskan hal itu terhadapnya.

وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يَخْتَلِفَ حُكْمُ التَّوْبَةِ فِي جَهْرِ الْكُفْرِ وَسِرِّهِ لَكَانَ قَبُولُ تَوْبَةِ الْمُسَاتِرِ أَوْلَى مِنْ قَبُولِ تَوْبَةِ الْمُجَاهِرِ لِأَنَّ الْجَهْرَ بِهِ يَدُلُّ عَلَى قُوَّةِ مُعْتَقَدِهِ وَالِاسْتِسْرَارِ بِهِ يَدُلُّ عَلَى ضَعْفِ مُعْتَقَدِهِ فَلَمَّا بَطُلَ هَذَا كَانَ عِلَّتُهُ أَبْطَلَ وَلِأَنَّهَا تَوْبَةٌ مِنْ كُفْرٍ فَوَجَبَ أَنْ تُقْبَلَ كَالْجَهْرِ

Dan karena jika boleh berbeda hukum tobat antara yang menampakkan kekufuran dan yang menyembunyikannya, maka seharusnya penerimaan tobat orang yang menyembunyikan (kekufuran) lebih utama daripada penerimaan tobat orang yang menampakkannya, karena menampakkan kekufuran menunjukkan kuatnya keyakinan, sedangkan menyembunyikannya menunjukkan lemahnya keyakinan. Maka ketika hal ini batal, alasannya pun batal. Dan karena itu adalah tobat dari kekufuran, maka wajib diterima sebagaimana (tobat) yang dilakukan secara terang-terangan.

فَأَمَّا الجواب عن قوله ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ آل عمران 90

Adapun jawaban atas ucapannya, “kemudian mereka bertambah kekafirannya, maka tidak akan diterima tobat mereka” (Ali Imran: 90)

فَهُوَ أَنَّهُ قَدْ تَعَارَضَ فِيهَا مَا يَتَنَافَى اجْتِمَاعُهُمَا لِأَنَّ مَنِ ازْدَادَ كُفْرًا لَمْ يتب ومن تَابَ لَمْ يَزْدَدْ كُفْرًا وَإِذَا تَنَافَى ظَاهِرُهُمَا صَارَ تَأْوِيلُهَا مَحْمُولًا عَلَى تَقَدُّمِ التَّوْبَةِ عَلَى مَا حَدَثَ بَعْدَهَا مِنْ زِيَادَةِ الْكُفْرِ فَيُحْبِطُ حَادِثُ الْكُفْرِ سَابِقَ التَّوْبَةِ

Maka sesungguhnya dalam hal ini terdapat pertentangan antara dua hal yang tidak mungkin berkumpul, karena siapa yang bertambah kekufurannya maka ia tidak bertobat, dan siapa yang bertobat maka tidak bertambah kekufurannya. Jika lahiriah keduanya saling bertentangan, maka penafsirannya diarahkan pada adanya tobat yang mendahului kekufuran yang terjadi setelahnya, sehingga kekufuran yang terjadi kemudian membatalkan tobat yang telah lalu.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ إِنَّهُ بِالتَّوْبَةِ مُظْهِرٌ لِلْإِسْلَامِ مُسْتَبْطِنٌ لِلْكُفْرِ وَهَكَذَا هُوَ قَبْلَهَا

Adapun jawaban terhadap ucapannya bahwa dengan tobat seseorang menampakkan Islam namun menyembunyikan kekufuran, maka demikian pula keadaannya sebelum tobat.

فَهُوَ أَنَّنَا مَا كُلِّفْنَا مِنْهُ إِلَّا الظَّاهِرَ مِنْ حَالِهِ وَهُوَ فِي الْبَاطِنِ مَوْكُولٌ إِلَى رَبِّهِ وَلِذَلِكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا تُحَاسِبُوا الْعَبْدَ حِسَابَ الرَّبِّ

Maka sesungguhnya kita tidak dibebani darinya kecuali apa yang tampak dari keadaannya, sedangkan urusan batinnya diserahkan kepada Tuhannya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menghisab seorang hamba dengan hisabnya Tuhan.”

وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ تُؤَثِّرَ التَّوْبَةُ فِي بَاطِنِهِ كَتَأْثِيرِهَا فِي ظَاهِرِهِ

Dan boleh jadi taubat itu berpengaruh pada batinnya sebagaimana pengaruhnya pada lahirnya.

وَأَمَّا الْجَمْعُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمُحَارِبِ فَلَا يَصِحُّ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي مَعْنَى الْحُكْمِ لِأَنَّ الْحِرَابَةَ يُقْتَلُ فِيهَا بِظَاهِرِ فِعْلِهِ فَلَمْ تُؤَثِّرِ التَّوْبَةُ فِي رَفْعِهِ وَالرِّدَّةُ يُقْتَلُ فِيهَا بِظَاهِرِ قَوْلِهِ الدَّالِّ عَلَى مُعْتَقَدِهِ فَجَازَ أَنْ يَرْفَعَهَا مَا جَانَسَهَا مِنَ الْقَوْلِ فِي تَوْبَتِهِ وَيُحْمَلُ ذَلِكَ عَلَى زَوَالِ مُعْتَقَدِهِ

Adapun menggabungkan antara hukuman bagi pelaku riddah dan pelaku hirabah, maka tidak sah, karena keduanya berbeda dalam makna hukum. Sebab, dalam kasus hirabah, pelaku dihukum mati berdasarkan perbuatan lahiriahnya, sehingga tobat tidak berpengaruh untuk menggugurkan hukuman tersebut. Sedangkan dalam kasus riddah, pelaku dihukum mati berdasarkan ucapan lahiriahnya yang menunjukkan keyakinannya, sehingga boleh saja ucapan yang sejenis dalam tobatnya dapat menggugurkan hukuman itu, dan hal tersebut dianggap sebagai hilangnya keyakinan kufur dari dirinya.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ إِنَّ الظَّاهِرَ مِنْهَا اسْتِدْفَاعُ الْقَتْلِ

Adapun jawaban terhadap ucapannya bahwa yang tampak darinya adalah upaya menolak terjadinya pembunuhan.

فَهُوَ أَنَّ هَذَا الظَّاهِرَ لَا يَمْنَعُ مِنْ قَبُولِ التَّوْبَةِ فِي الْمُرْتَدِّ كَمَا لَا يَمْنَعُ إِسْلَامُ الْحَرْبِيِّ إِذَا قُدِّمَ لِلْقَتْلِ مِنْ قَبُولِ إِسْلَامِهِ وَالْكَفِّ عن قتله والله أعلم

Maka, sesungguhnya makna lahiriah ini tidak menghalangi diterimanya tobat pada orang murtad, sebagaimana tidak menghalangi diterimanya Islam dari seorang harbi jika ia telah diajukan untuk dibunuh, dan dihentikan dari pembunuhannya. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” فَإِنْ لَمْ يَتُبْ قُتِلَ امْرَأَةً كَانَتْ أَوْ رَجُلًا عَبْدًا كَانَ أَوْ حُرًّا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika ia tidak bertobat, maka ia dibunuh, baik ia seorang perempuan atau laki-laki, budak ataupun orang merdeka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ يَسْتَوِي فِي الْقَتْلِ بِالرِّدَّةِ الْحُرُّ وَالْعَبْدُ وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَتُقْتَلُ الْمُرْتَدَّةُ كَمَا يُقْتَلُ الْمُرْتَدُّ

Al-Mawardi berkata, “Dalam hal hukuman mati karena riddah, kedudukan hamba sahaya dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan adalah sama; perempuan murtad dihukum mati sebagaimana laki-laki murtad juga dihukum mati.”

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ أَبُو بَكْرٍ وَعَلِيٌّ

Dan pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat, yaitu Abu Bakar dan Ali.

وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ وَالزُّهْرِيُّ

Dan dari kalangan tabi‘in adalah al-Hasan dan az-Zuhri.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ

Dan di antara para fuqaha adalah Malik, al-Awza‘i, al-Laits bin Sa‘d, Ahmad, dan Ishaq.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَصْحَابُهُ تُحْبَسُ الْمُرْتَدَّةُ وَلَا تُقْتَلُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ أَمَةً فَلَا تُحْبَسُ عَنْ سَيِّدِهَا اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ نَهَى عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ

Abu Hanifah dan para sahabatnya berpendapat bahwa perempuan murtad dipenjara dan tidak dibunuh, kecuali jika ia adalah seorang budak perempuan, maka ia tidak dipenjara dari tuannya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang membunuh perempuan dan anak-anak, sehingga larangan itu berlaku secara umum.

وَبِمَا رَوَى عَاصِمُ بْنُ أَبِي النُّجُودِ عَنْ أَبِي رَزِينٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Dan berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh ‘Āṣim bin Abī an-Nujūd dari Abū Razīn dari Ibnu ‘Abbās bahwa Nabi ﷺ

قَالَ ” لَا تُقْتَلُ الْمَرْأَةُ إِذَا ارْتَدَّتْ وَهَذَا نَصٌّ

Ia berkata, “Perempuan tidak dibunuh jika murtad, dan ini adalah nash.”

وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يُقْتَلْ بِالْكُفْرِ الْأَصْلِيِّ لَمْ يُقْتَلْ بِالرِّدَّةِ كَالصَّبِيِّ

Dan karena siapa pun yang tidak dihukum mati karena kekufuran asli, maka tidak dihukum mati pula karena riddah, seperti anak kecil.

وَلِأَنَّ كُلَّ حُرٍّ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْجِزْيَةِ لَمْ يُقْتَلْ بِالرِّدَّةِ كَالْأَطْفَالِ وَالْمَجَانِينِ

Dan karena setiap orang merdeka yang bukan termasuk ahl al-jizyah tidak dibunuh karena riddah, seperti anak-anak dan orang gila.

وَلِأَنَّهَا كَافِرَةٌ لَا تُقَاتِلُ فَلَمْ تُقْتَلْ كَالْكَافِرَةِ الْأَصْلِيَّةِ

Karena ia adalah seorang kafirah yang tidak ikut berperang, maka ia tidak dibunuh, sebagaimana kafirah asli.

وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ مَحْقُونَةُ الدَّمِ قَبْلَ الْإِسْلَامِ فَلَمْ يُسْتَبَحْ دَمُهَا بِالرِّدَّةِ عَنِ الْإِسْلَامِ لَعَوْدِهَا بَعْدَهُ إِلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ قَبْلَهُ وَبِعَكْسِهَا الرَّجُلُ

Karena perempuan darahnya terjaga (tidak boleh ditumpahkan) sebelum Islam, maka darahnya tidak menjadi halal (untuk ditumpahkan) karena riddah dari Islam, sebab ia kembali setelahnya kepada keadaan semula sebelum Islam. Sebaliknya, hal ini berbeda dengan laki-laki.

وَدَلِيلُنَا عُمُومِ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ فَإِنْ قِيلَ الْمُرَادُ بِهِ الرَّجُلُ لِقَوْلِهِ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ وَلَوْ أَرَادَ الْمَرْأَةَ لَذَكَرَهُ بِلَفْظِ التَّأْنِيثِ فَقَالَ مَنْ بَدَّلَتْ دِينَهَا

Dan dalil kami adalah keumuman sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.” Jika dikatakan bahwa yang dimaksud adalah laki-laki karena beliau bersabda “barang siapa yang mengganti agamanya”, dan jika beliau menghendaki perempuan tentu beliau akan menyebutnya dengan lafaz muannats (perempuan), yaitu “barang siapa yang mengganti agamanya (perempuan)”.

قِيلَ لَفْظَةُ مَنْ لِلْعُمُومِ تَسْتَغْرِقُ الْجِنْسَ فَاشْتَمَلَتْ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ كَمَا قَالَ تَعَالَى وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ النساء 24 الْآيَةَ وَلِأَنَّ رَجُلًا لَوْ قَالَ مَنْ دَخَلَ الدَّارَ فَلَهُ دِرْهَمٌ اسْتَحَقَّهُ مَنْ دَخَلَهَا منْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى

Dikatakan bahwa lafaz “man” bersifat umum, mencakup seluruh jenis, sehingga meliputi laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka mereka itu akan masuk surga” (an-Nisā’ 24). Dan karena jika seseorang berkata, “Siapa yang masuk ke dalam rumah, maka ia mendapat satu dirham,” maka siapa pun yang masuk ke dalamnya, baik laki-laki maupun perempuan, berhak mendapatkannya.

وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رِضْوَانُ اللَّهِ عليها قَالَتْ ” ارْتَدَّتِ امْرَأَةٌ يَوْمَ أُحُدٍ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ تُسْتَتَابَ فَإِنْ تَابَتْ وَإِلَّا قُتِلَتْ

Az-Zuhri meriwayatkan dari ‘Urwah dari ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Seorang wanita murtad pada hari Uhud, maka Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia diminta bertobat; jika ia bertobat maka dibiarkan, jika tidak maka ia dibunuh.”

وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ ” أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ يُقَالُ لَهَا أُمُّ مَرْوَانَ ارْتَدَتْ عَنِ الْإِسْلَامِ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يُعْرَضَ عَلَيْهَا الْإِسْلَامُ فَإِنْ رَجَعَتْ وَإِلَّا قُتِلَتْ

Az-Zuhri meriwayatkan dari Muhammad bin Al-Munkadir dari Jabir, bahwa seorang wanita dari penduduk Madinah yang dipanggil Ummu Marwan telah murtad dari Islam. Maka Nabi ﷺ memerintahkan agar Islam ditawarkan kembali kepadanya; jika ia kembali (kepada Islam), maka dibiarkan, dan jika tidak, maka ia dibunuh.

وَرَوَاهُ هِشَامُ بْنُ الْغَازِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ ” فَعُرِضَ عَلَيْهَا الْإِسْلَامُ فَأَبَتْ أَنْ تُسْلِمَ فَقُتِلَتْ وَهَذَا نَصٌّ

Dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Hisyam bin Al-Ghaz dari Muhammad bin Al-Munkadir dari Jabir, ia berkata: “Lalu Islam ditawarkan kepadanya, namun ia menolak untuk masuk Islam, maka ia pun dibunuh. Dan ini adalah nash (teks yang jelas).”

وَلِأَنَّهُ كُفْرٌ بَعْدَ إِيمَانٍ فَوَجَبَ أَنْ يسْتَحقّ بِهِ الْقَتْلَ كَالرَّجُلِ وَهَذِهِ عِلَّةٌ وَرَدَ النَّصُّ بِهَا فِي قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٌ بَعْدَ إِيمَانٍ

Karena hal itu merupakan kekufuran setelah beriman, maka wajib baginya untuk dijatuhi hukuman mati sebagaimana laki-laki, dan inilah ‘illat yang disebutkan dalam nash pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: kekufuran setelah beriman.”

فَكَانَتْ أَوْكَدَ مِنَ الْعِلَّةِ الْمُسْتَنْبَطَةِ وَهَكَذَا نَسْتَنْبِطُ مِنْ هَذَا النَّصِّ عِلَّةً أُخْرَى فَنَقُولُ كُلُّ مَنْ قُتِلَ بِزِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ قُتِلَ بِكُفْرٍ بَعْدَ إِيمَانٍ كَالرَّجُلِ وَمِنْهُ عِلَّةٌ ثَالِثَةٌ أَنَّ كُلَّ مَنْ قُتِلَ بِالنَّفْسِ قَوَدًا قُتَلَ بِالرِّدَّةِ حَدًّا كَالرَّجُلِ فَيَكُونُ تَعْلِيلُ النَّصِّ فِي الثَّلَاثَةِ مُسْتَمِرًّا

Maka, hal itu lebih kuat daripada ‘illat yang diistinbath, dan demikianlah kita mengistinbath dari nash ini ‘illat lain, yaitu kita katakan: setiap orang yang dibunuh karena zina setelah pernah menikah, maka ia juga dibunuh karena kufur setelah iman, seperti halnya laki-laki. Dan dari situ ada ‘illat ketiga, yaitu setiap orang yang dibunuh karena jiwa (qishash), maka ia juga dibunuh karena riddah sebagai hudud, seperti halnya laki-laki. Maka, ta‘lil nash pada ketiganya tetap berlaku.

وَلِأَنَّهُ حَدٌّ يُسْتَبَاحُ بِهِ قَتْلُ الرَّجُلِ فَجَازَ أَنْ يُسْتَبَاحَ بِهِ قَتْلُ الْمَرْأَةِ كَالزِّنَا

Dan karena ini adalah hudud yang dengannya dibolehkan membunuh seorang laki-laki, maka boleh juga dengannya membunuh seorang perempuan, seperti dalam kasus zina.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ نَهْيِهِ عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ والوالدان

Adapun jawaban mengenai larangan beliau membunuh perempuan dan kedua orang tua.

فَهُوَ أَنَّ خُرُوجَهُ عَلَى سَبَبٍ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَرَّ بِامْرَأَةٍ مَقْتُولَةٍ فِي بَعْضِ غَزَوَاتِهِ فَقَالَ ” لِمَ قُتِلَتْ وَهِيَ لَا تُقَاتِلُ وَنَهَى عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ

Bahwa keluarnya (hukum) ini didasarkan pada suatu sebab, yaitu diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ melewati seorang wanita yang terbunuh dalam salah satu peperangannya, lalu beliau bersabda, “Mengapa ia dibunuh padahal ia tidak ikut berperang?” dan beliau melarang membunuh wanita dan anak-anak.

فَعُلِمَ أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ الْحَرْبِيَّاتِ

Maka diketahui bahwa yang dimaksud olehnya adalah perempuan-perempuan harbiyyat.

فَإِنْ قِيلَ النَّهْيُ عَامٌّ فَلِمَ اقْتَصَرَ بِهِ عَلَى سَبَبِهِ

Jika dikatakan bahwa larangan itu bersifat umum, lalu mengapa dibatasi hanya pada sebabnya?

قِيلَ لَمَّا عَارَضَهُ قَوْلُهُ ” مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ وَلَمْ يَكُنْ بُدٌّ مِنْ تَخْصِيصِ أَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ وَجَبَ تَخْصِيصُ الْوَارِدِ عَلَى سَبَبِهِ وَحَمْلُ الْآخرِ عَلَى عُمُومِهِ لِأَنَّ السَّبَبَ مِنْ إِمَارَاتِ التَّخْصِيصِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ

Dikatakan, ketika hadits tersebut bertentangan dengan sabda Nabi “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia,” dan tidak mungkin untuk tidak mengkhususkan salah satunya dengan yang lain, maka wajib mengkhususkan dalil yang datang karena sebab tertentu dan membawa dalil yang lain pada keumumannya, karena sebab merupakan salah satu tanda adanya takhshis (pengkhususan). Adapun jawaban terhadap hadits Ibnu ‘Abbas…

فَهُوَ أن رِوَايَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَفَّانَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ

Yaitu bahwa riwayat Abdullah bin Isa dari ‘Affan dari Syu‘bah dari ‘Ashim bin Abi an-Najud.

قَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عِيسَى هَذَا كَذَّابٌ يَضَعُ الْأَحَادِيثَ عَلَى الثِّقَاتِ

Ad-Daraquthni berkata, “Abdullah bin ‘Isa ini adalah seorang pendusta yang membuat-buat hadis atas nama para perawi tepercaya.”

وَقَدْ رَوَاهُ سُفْيَانُ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ عَنْ عَاصِمٍ مَوْقُوفًا عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ

Dan hadis ini telah diriwayatkan oleh Sufyan dari Abu Hanifah dari ‘Ashim secara mauquf kepada Ibnu ‘Abbas.

وَأَنْكَرَهُ أَبُو بَكْرِ بْنِ عَيَّاشٍ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ فَسَكَتَ وَتَغَيَّرَ

Abu Bakr bin ‘Ayyāsy mengingkari hal itu kepada Abu Hanīfah, maka beliau diam dan berubah raut wajahnya.

وَأَنْكَرَهُ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ

Dan Sufyan bin ‘Uyainah serta Ahmad bin Hanbal mengingkarinya.

وَمَا كَانَ بِهَذَا الضَّعْفِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ فِي الدِّينِ أَصْلًا

Dan sesuatu yang selemah ini tidak boleh dijadikan sebagai dasar dalam agama.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ على الصبي

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka atas anak kecil…

فهو انتفاضه بِالشَّيْخِ الْهَرِمِ وَالْأَعْمَى وَالزَّمِنِ فَإِنَّهُمْ يُقْتَلُونَ بِالرِّدَّةِ وَلَا يُقْتَلُونَ بِالْكُفْرِ الْأَصْلِيِّ وَالْأَصْلُ غَيْرُ مُسَلَّمٍ لِأَنَّ الصَّبِيَّ لَا تَصِحُّ مِنْهُ الرِّدَّةُ

Maka hal ini merupakan bantahan dengan (kasus) orang tua renta, orang buta, dan orang cacat, karena mereka dibunuh karena riddah, dan tidak dibunuh karena kekufuran asli. Namun, dasar ini sendiri tidak dapat diterima, karena anak kecil tidak sah darinya riddah.

وَأَمَّا الجَوَاب عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْكَافِرَةِ الْحَرْبِيَّةِ

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka atas perempuan kafir harbiyah.

فَمُنْكَسِرٌ بِالْأَعْمَى وَالزَّمِنِ لَا يُقْتَلُونَ بِالْكُفْرِ الْأَصْلِيِّ وَيُقْتَلُونَ بِالرِّدَّةِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْحَرْبِيَّةِ أَنَّهَا مَالٌ مَغْنُومٌ وَلَيْسَتِ الْمُرْتَدَّةُ مَالًا

Maka orang yang cacat seperti buta dan lumpuh tidak dibunuh karena kekufuran asli, tetapi mereka dibunuh karena riddah (kemurtadan). Kemudian, makna dalam konteks harbiyah (perang) adalah bahwa harta mereka merupakan harta rampasan perang, sedangkan harta orang murtad bukanlah harta rampasan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِحَقْنِ دَمِهَا قَبْلَ الْإِسْلَامِ فَكَذَلِكَ بِالرِّدَّةِ بعد الإسلام

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan alasan perlindungan darahnya sebelum masuk Islam, maka demikian pula halnya dengan orang yang murtad setelah masuk Islam.

فَبَاطِلٌ بِالْأَعْمَى وَالزَّمِنِ وَالرُّهْبَانِ وَأَصْحَابِ الصَّوَامِعِ دِمَاؤُهُمْ مَحْقُونَةٌ قَبْلَ الْإِسْلَامِ وَيُقْتَلُونَ بِالرِّدَّةِ عَنِ الْإِسْلَامِ عَلَى أَنَّ الْحَرْبِيَّةَ لَمَّا جَازَ إِقْرَارُهَا عَلَى كُفْرِهَا لَمْ تُقْتَلْ وَلَمَّا لَمْ يَجُزْ إِقْرَارُ الْمُرْتَدَّةِ عَلَى كُفْرِهَا قُتِلَتْ لِأَنَّ وُقُوعَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا فِي الْإِقْرَارِ عَلَى الْكُفْرِ يَمْنَعُ مِنْ تساويهما في الحكم والله أعلم

Maka batal (tidak sah) membunuh orang buta, orang cacat, para rahib, dan para penghuni biara; darah mereka terjaga (tidak boleh ditumpahkan) sebelum mereka masuk Islam. Namun, mereka dibunuh karena riddah (murtad) dari Islam. Adapun wanita harbiyah, karena boleh membiarkannya tetap dalam kekafirannya, maka ia tidak dibunuh. Sedangkan wanita murtad, karena tidak boleh membiarkannya tetap dalam kekafirannya, maka ia dibunuh. Karena adanya perbedaan antara keduanya dalam hal boleh atau tidaknya membiarkan dalam kekufuran, maka hal itu mencegah keduanya disamakan dalam hukum. Dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَقَالَ فِي الثَّانِي فِي اسْتِتَابَتِهِ ثَلَاثًا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا حَدِيثُ عُمَرَ يُتَأَنَّى بِهِ ثَلَاثًا وَالْآخَرُ لَا يُؤَخَّرُ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لم يأمر فيه بأناة وهو لو تؤتي به بعد ثلاث كهيئته قبلها

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Dan beliau berkata dalam masalah kedua tentang permintaan taubat kepadanya selama tiga hari, ada dua pendapat: salah satunya berdasarkan hadis Umar, yaitu diberi waktu selama tiga hari, dan pendapat lainnya tidak perlu ditunda karena Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk menunda dalam hal ini, dan jika ditunda setelah tiga hari keadaannya tetap seperti sebelum tiga hari.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله ” وهذا ظاهر الخبر قال المزني وأصله الظاهر وهو أقيس على أصله

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Dan ini adalah makna yang jelas dari hadis.” Al-Muzani berkata, “Dan dasarnya adalah yang jelas, dan ini lebih sesuai dengan qiyās menurut dasarnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ يُسْتَتَابُ الْمُرْتَدُّ قَبْلَ قَتْلِهِ فَإِنْ تَابَ حُقِنَ دَمُهُ

Al-Mawardi berkata, orang murtad diminta bertobat sebelum dibunuh; jika ia bertobat, darahnya tidak jadi ditumpahkan.

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ يُقْتَلُ مِنْ غَيْرِ اسْتِتَابَةٍ

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Ia dibunuh tanpa diminta untuk bertobat terlebih dahulu.”

وَقَالَ عَطَاءٌ إِنْ وُلِدَ فِي الْإِسْلَامِ قُتِلَ مِنْ غَيْرِ اسْتِتَابَةٍ وَإِنْ وُلِدَ فِي الْكُفْرِ ثُمَّ أَسْلَمَ لَمْ يُقْتَلْ إِلَّا بَعْدَ الِاسْتِتَابَةِ

Atha’ berkata, “Jika seseorang lahir dalam Islam, maka ia dibunuh tanpa diminta bertobat terlebih dahulu. Namun jika ia lahir dalam kekufuran lalu masuk Islam, maka ia tidak dibunuh kecuali setelah diminta bertobat.”

اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ فَلَمْ يَأْمُرْ فِيهِ إِلَّا بِالْقَتْلِ دُونَ الِاسْتِتَابَةِ

Dengan berdalil pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia,” beliau tidak memerintahkan dalam hal ini kecuali dengan hukuman mati tanpa adanya istitabah.

ولِأَنَّ قَتْلَ الرِّدَّةِ حَدٌّ كَالرَّجْمِ فِي الزِّنَا فَلَمَّا لَمْ يَلْزَمِ اسْتِتَابَةُ الزَّانِي لَمْ يَلْزَمِ اسْتِتَابَةُ الْمُرْتَدِّ

Karena hukuman mati bagi orang yang murtad adalah hudud, seperti rajam dalam kasus zina, maka sebagaimana tidak disyaratkan istitabah (permintaan taubat) bagi pezina, demikian pula tidak disyaratkan istitabah bagi orang yang murtad.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ ” ارْتَدَّتِ امْرَأَةٌ يَوْمَ أُحُدٍ فَأَمَرَ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ تُسْتَتَابَ فَإِنْ تَابَتْ وَإِلَّا قُتِلَتْ وَهَذَا نَصٌّ

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh ‘Urwah dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Seorang wanita murtad pada hari Uhud, lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia diminta bertobat. Jika ia bertobat maka dibiarkan, jika tidak maka dibunuh.” Dan ini adalah nash.

وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا قَدِمَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ قِبَلِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَلْ كَانَ فِيكُمْ مِنْ مُغَرِّبَة خَبَرٍ

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu dari pihak Abu Musa al-Asy‘ari, lalu Umar bin Khattab berkata kepadanya, “Apakah ada di antara kalian kabar yang asing?”

فَقَالَ نَعَمْ رَجُلٌ كَفَرَ بَعْدَ إِسْلَامِهِ فَقَتَلْنَاهُ

Ia menjawab, “Ya, ada seorang laki-laki yang murtad setelah masuk Islam, lalu kami membunuhnya.”

فَقَالَ عُمَرُ هَلَّا حَبَسْتُمُوهُ ثَلَاثًا وَأَطْعَمْتُمُوهُ فِي كُلِّ يَوْمٍ رَغِيفًا وَاسْتَتَبْتُمُوهُ لَعَلَّهُ يَتُوبُ اللَّهُمَّ لم أحضر ولم أمر ولم أرضى إِذْ بَلَغَنِي اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِنْ دَمِهِ

Lalu Umar berkata, “Mengapa kalian tidak menahannya selama tiga hari dan memberinya makan setiap hari sepotong roti, serta memintanya untuk bertobat, barangkali Allah akan menerima tobatnya? Ya Allah, aku tidak hadir, tidak memerintahkan, dan tidak meridhai ketika hal itu sampai kepadaku. Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari darahnya.”

وَرُوِيَ أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ كَتَبَ إِلَى عثمان رضي الله عنهما فِي قَوْمٍ ارْتَدُّوا فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُثْمَانُ ادْعُهُمْ إِلَى دِينِ الْحَقِّ وَشَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِنْ أَجَابُوا فَخَلِّ سَبِيلَهُمْ وإن امتنعوا فاقتلهم فأجاب بعضهم فخلا سَبِيلَهُ وَامْتَنَعَ بَعْضُهُمْ فَقَتَلَهُ

Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas‘ud menulis surat kepada ‘Utsman radhiyallahu ‘anhuma mengenai suatu kaum yang murtad. Maka ‘Utsman menulis balasan kepadanya: “Ajaklah mereka kepada agama yang benar dan persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Jika mereka memenuhi ajakan itu, maka biarkanlah mereka. Namun jika mereka menolak, maka bunuhlah mereka.” Sebagian dari mereka memenuhi ajakan itu, maka Ibnu Mas‘ud membiarkan mereka, dan sebagian lainnya menolak, maka ia membunuh mereka.

وَلِأَنَّ الْأَغْلَبَ مِنْ حُدُوثِ الرِّدَّةِ أَنَّهُ لِاعْتِرَاضِ شُبْهَةٍ فَلَمْ يَجُزِ الْإِقْدَامُ عَلَى الْقَتْلِ قَبْلَ كَشْفِهَا وَالِاسْتِتَابَةِ مِنْهَا كَأَهْلِ الْحَرْبِ لَا يَجُوزُ قَتْلُهُمْ إِلَّا بَعْدَ بُلُوغِ الدَّعْوَةِ وَإِظْهَارِ الْمُعْجِزَةِ

Dan karena kebanyakan terjadinya riddah (kemurtadan) disebabkan oleh adanya syubhat (kerancuan), maka tidak boleh langsung melakukan pembunuhan sebelum syubhat tersebut dijelaskan dan dilakukan istitabah (meminta pelaku bertobat) darinya, sebagaimana ahl al-harb (orang-orang kafir yang memerangi), tidak boleh dibunuh kecuali setelah dakwah (ajakan kepada Islam) sampai kepada mereka dan mukjizat telah ditampakkan.

فَأَمَّا الْخَبَرُ فَلَا يَمْنَعُ مِنَ الِاسْتِتَابَةِ

Adapun khabar, maka tidak menghalangi dari permintaan untuk bertobat (istitabah).

وَأَمَّا الزِّنَا فَالتَّوْبَةُ لَا تُزِيلُهُ وَهِيَ تُزِيلُ الرِّدَّةَ فَلِذَلِكَ اسْتُتِيبَ مِنَ الرِّدَّةِ وَلَمْ يُسْتَتَبْ مِنَ الزِّنَا

Adapun zina, tobat tidak menghapus hukumnya, sedangkan tobat dapat menghapus riddah. Oleh karena itu, pelaku riddah diminta bertobat, sedangkan pelaku zina tidak diminta bertobat.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ الْأَمْرُ بِاسْتِتَابَتِهِ قَبْلَ قَتْلِهِ فَفِيهَا قَوْلَانِ

Maka apabila telah tetap perintah untuk menuntutnya bertobat sebelum dibunuh, dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَاخْتِيَارُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ

Salah satunya adalah pendapat Abu Hanifah dan pilihan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah.

إنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ وَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ لِأَنَّ وُجُوبَ الِاسْتِتَابَةِ يُوجِبُ حَظْرَ دَمِهِ قَبْلَهَا وَهُوَ غَيْرُ مَضْمُونِ الدَّمِ لَوْ قُتِلَ قَبْلَهَا فَدَلَّ عَلَى اسْتِحْبَابِهَا

Sesungguhnya hal itu adalah mustahab (dianjurkan) dan bukan wajib, karena mewajibkan istitabah mengharuskan pelarangan penumpahan darahnya sebelum itu, padahal ia bukanlah orang yang darahnya dijamin jika dibunuh sebelum istitabah. Maka hal ini menunjukkan bahwa istitabah itu dianjurkan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّ الِاسْتِتَابَةَ وَاجِبَةٌ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْخَبَرِ وَالْأَثَرِ وَلِأَنَّ الِاسْتِتَابَةَ فِي حَقِّ الْمُرْتَدِّ فِي حُكْمِ إِبْلَاغِ الدَّعْوَةِ لِأَهْلِ الْحَرْبِ وَإِبْلَاغُ الدَّعْوَةِ وَاجِبَةٌ فَكَذَلِكَ الِاسْتِتَابَةُ

Pendapat kedua, yang lebih shahih, adalah bahwa istitabah itu wajib, berdasarkan hadits dan atsar yang telah kami sebutkan sebelumnya, serta karena istitabah terhadap orang murtad dalam hukum menyerupai penyampaian dakwah kepada ahl al-harb, dan penyampaian dakwah itu wajib, maka demikian pula istitabah.

وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِقَتْلِ الْمُرْتَدِّ إِقْلَاعُهُ عَنْ رِدَّتِهِ وَالِاسْتِتَابَةُ أَخَصُّ بِالْإِقْلَاعِ عَنْهَا مِنَ الْقَتْلِ فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ أَوْجَبَ مِنْهُ

Karena tujuan dari membunuh orang murtad adalah agar ia berhenti dari kemurtadannya, dan permintaan agar ia bertobat (istitabah) lebih khusus dalam membuatnya berhenti dari kemurtadannya dibandingkan dengan pembunuhan, maka hal itu menuntut agar istitabah lebih wajib dilakukan daripada pembunuhan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ حُكْمُ الِاسْتِتَابَةِ فِي الْوُجُوبِ وَالِاسْتِحْبَابِ فَهَلْ يُعَجَّلُ قَتْلُهُ عِنْدَ الِامْتِنَاعِ مِنَ التَّوْبَةِ أَوْ يُؤَجَّلُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِيهِ قَوْلَانِ

Apabila telah ditetapkan hukum istitabah dalam hal kewajiban dan kesunnahan, maka apakah pembunuhan terhadapnya disegerakan ketika ia menolak untuk bertobat, ataukah ditunda selama tiga hari? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ أَنَّهُ يُعَجَّلُ قَتْلُهُ وَلَا يُؤَجَّلُ

Salah satunya, yang merupakan pilihan al-Muzani, adalah bahwa pembunuhannya disegerakan dan tidak ditunda.

وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الْإِنْظَارَ فَيُؤَجَّلُ ثَلَاثًا لِقَوْلِ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ وَلِأَنَّهُ حَدٌّ فَلَمْ يُؤَجَّلْ فِيهِ كَسَائِرِ الْحُدُودِ

Demikian pula pendapat Abu Hanifah, kecuali jika orang tersebut meminta penangguhan, maka ia diberi waktu penundaan selama tiga hari, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.” Dan karena ini adalah hudud, maka tidak ada penundaan di dalamnya seperti pada hudud yang lain.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُؤَجَّلُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa ditangguhkan selama tiga hari, dan pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih.

وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ يُنْظَرُ مَا كَانَ يَرْجُو التَّوْبَةَ

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Dilihat apakah ia masih mengharapkan taubat.”

وَدَلِيلُ تَأْجِيلِهِ ثَلَاثًا قَوْلُ عَمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ أُخْبِرَ بِقَتْلِ الْمُرْتَدِّ هَلَّا حَبَسْتُمُوهُ ثَلَاثًا اللَّهُمَّ لَمْ أَحْضُرْ وَلَمْ آمُرْ الْخَبَرَ

Dalil penundaan selama tiga hari adalah perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika diberitahu tentang pembunuhan orang murtad: “Mengapa kalian tidak menahannya selama tiga hari? Ya Allah, aku tidak hadir dan tidak memerintahkan peristiwa ini.”

وَلِأَنَّ اللَّهَ قَضَى بِعَذَابِ قَوْمٍ ثُمَّ أَنْظَرَهُمْ ثَلَاثًا فَقَالَ تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ ذَلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مكذوب هود 65

Dan karena Allah telah memutuskan azab atas suatu kaum, kemudian menangguhkan mereka selama tiga hari, sebagaimana firman-Nya: “Bersenang-senanglah kalian di rumah kalian selama tiga hari; itu adalah janji yang tidak akan didustakan.” (Hud: 65)

وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ اسْتِبْصَارُهُ فِي الدِّينِ وَرُجُوعُهُ إِلَى الْحَقِّ وَذَلِكَ مِمَّا يُحْتَاجُ فِيهِ إِلَى الِارْتِيَاءِ وَالْفِكْرِ فَأُمْهِلَ بِمَا يُقَدَّرُ فِي الشَّرْعِ مِنْ مُدَّةِ أَقَلِّ الْكَثِيرِ وَأَكْثَرِ الْقَلِيلِ وَذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ

Karena tujuan dari hal itu adalah agar ia dapat memahami agama dan kembali kepada kebenaran, dan hal tersebut membutuhkan pertimbangan dan pemikiran, maka ia diberi tenggang waktu sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat, yaitu selama jangka waktu paling sedikit dari yang banyak dan paling banyak dari yang sedikit, yaitu tiga hari.

فَعَلَى هَذَا فِي تَأْجِيلِهِ بِهَذِهِ الثَّلَاثِ قَوْلَانِ

Dengan demikian, dalam penundaan pembayaran dengan tiga hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ إِنْ قِيلَ إِنَّ الِاسْتِتَابَةَ مُسْتَحَبَّةٌ

Salah satunya adalah bahwa hal itu disunnahkan jika dikatakan bahwa istitabah itu disunnahkan.

وَالثَّانِي أَنَّهَا وَاجِبَةٌ إِنْ قيل إن الاستتابة واجبة

Dan yang kedua, bahwa hal itu wajib jika dikatakan bahwa istitabah itu wajib.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” ويوقف ماله

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Hartanya ditahan.”

قال الماوردي حكم الردة مشتمل عَلَى فَصْلَيْنِ

Al-Mawardi berkata, hukum riddah mencakup dua bagian.

أَحَدُهُمَا حُكْمُهَا فِي نَفْسِ الْمُرْتَدِّ وَهُوَ الْقَتْلُ وَقَدْ مَضَى

Salah satunya adalah hukumnya terhadap diri murtad itu sendiri, yaitu hukuman mati, dan hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

وَالثَّانِي حُكْمُهَا فِي مَالِ الْمُرْتَدِّ وَهُوَ مُشْتَمِلٌ عَلَى فَصْلَيْنِ

Kedua, hukum harta orang murtad, dan hal ini mencakup dua bagian.

أَحَدُهُمَا بَقَاءُ مَالِهِ عَلَى مِلْكِهِ

Salah satunya adalah tetapnya harta itu dalam kepemilikannya.

وَالثَّانِي جَوَازُ تَصَرُّفِهِ فِيهِ

Dan yang kedua adalah bolehnya ia melakukan tindakan (mengelola) terhadapnya.

فَأَمَّا بَقَاؤُهُ عَلَى مِلْكِهِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ فِيهِ قَوْلَيْنِ وَثَالِثًا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَخْرِيجِهِ

Adapun mengenai tetapnya kepemilikan atasnya, maka Imam Syafi‘i menyebutkan dua pendapat di dalamnya, dan ada pendapat ketiga yang para ulama kami berbeda pendapat dalam mengistimbatkan (menyimpulkannya).

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ إِنَّ مِلْكَهُ مَوْقُوفٌ مُرَاعًى فَإِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ بَانَ أَنَّ مَالَهُ كَانَ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِهِ وَإِنْ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ بَانَ أَنَّ مَالَهُ زَالَ عَنْ مِلْكِهِ بِنَفْسِ الرِّدَّةِ فَيَصِيرُ مَالُهُ مُعْتَبَرًا بِنَفْسِهِ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang ditegaskan dalam masalah ini, adalah bahwa kepemilikannya dianggap tertunda dan diperhatikan; jika ia kembali kepada Islam, maka jelas bahwa hartanya tetap berada dalam kepemilikannya. Namun jika ia dibunuh karena riddah, maka jelas bahwa hartanya hilang dari kepemilikannya sejak terjadinya riddah itu sendiri, sehingga hartanya dipertimbangkan berdasarkan dirinya sendiri.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي نَصَّ عَلَيْهِ فِي زَكَاةِ الْمَوَاشِي إنَّ مَالَهُ بَاقٍ عَلَى مِلْكِهِ إِلَى أَنْ يُقْتَلَ بِالرِّدَّةِ فَيَزُولُ مِلْكُهُ عَنْهُ بِالْقَتْلِ أَوْ بِالْمَوْتِ لِأَنَّ الْمَالَ لَا يَنْفَكُّ عَنْ مَالِكٍ فَلَمَّا لَمْ يَنْتَقِلْ إِلَى مِلْكِ غَيْرِهِ إِلَّا بِالْمَوْتِ عُلِمَ بَقَاؤُهُ عَلَى مِلْكِهِ إِلَى وَقْتِ الْمَوْتِ

Pendapat kedua, yang dinyatakan secara tegas dalam zakat hewan ternak, adalah bahwa hartanya tetap berada dalam kepemilikannya sampai ia dibunuh karena riddah, maka kepemilikannya hilang darinya karena hukuman mati atau karena kematian. Sebab, harta tidak pernah terlepas dari pemiliknya, sehingga ketika harta itu tidak berpindah kepada kepemilikan orang lain kecuali dengan kematian, maka diketahui bahwa harta tersebut tetap dalam kepemilikannya sampai waktu kematian.

وَالثَّالِثُ الْمُخْتَلَفُ فِي تَخْرِيجِهِ ذَكَرَهُ فِي كِتَابِ الْمُدَبِّرِ إنَّ تَدْبِيرَ الْمُرْتَدِّ بَاطِلٌ فِي أَحَدِ أَقَاوِيلِهِ الثَّلَاثَةِ لِأَنَّ مِلْكَهُ خَارِجٌ عَنْهُ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَعْنَى تَعْلِيلِهِ بِأَنَّ مِلْكَهُ خَارِجٌ عَنْهُ عَلَى وَجْهَيْنِ

Ketiga adalah perkara yang diperselisihkan dalam penerapannya; disebutkan dalam Kitab al-Mudabbir bahwa tadbir (pembebasan budak secara bertahap) yang dilakukan oleh seorang murtad adalah batal menurut salah satu dari tiga pendapatnya, karena kepemilikannya telah keluar dari dirinya. Maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai makna alasan bahwa kepemilikannya telah keluar dari dirinya, menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَطَائِفَةٍ أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ خُرُوجَ مَالِهِ عَنْ تَصَرُّفِهِ مَعَ بَقَائِهِ عَلَى مِلْكِهِ لِأَنَّهُ لَوْ خَرَجَ عَنْ مِلْكِهِ بِالرِّدَّةِ مَا عَادَ إِلَيْهِ إِلَّا بِتَمْلِيكٍ مُسْتَجَدٍّ وَمَنَعُوا مِنْ تَخْرِيجِهِ قَوْلًا ثَالِثًا

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj dan sekelompok ulama, menyatakan bahwa yang dimaksud adalah keluarnya harta dari penguasaannya sementara kepemilikannya tetap ada, karena jika harta itu keluar dari kepemilikannya akibat riddah, maka harta itu tidak akan kembali kepadanya kecuali dengan kepemilikan baru. Mereka juga melarang mengeluarkan pendapat ketiga dalam masalah ini.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ كَثِيرٍ مِنْهُمْ إنَّهُ أَرَادَ بِهِ زَوَالَ مِلْكِهِ عَنْ مَالِهِ فَإِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ عَادَ الْمَالُ إِلَى مِلْكِهِ كَالْخَلِّ إِذَا انْقَلَبَتْ بِنَفْسِهَا خَمْرًا زَالَ عَنْ مِلْكِ صَاحِبِهِ فَإِنْ صَارَ الْخَمْرُ خَلًّا عَادَ إِلَى مِلْكِهِ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat banyak dari mereka, adalah bahwa yang dimaksud dengannya adalah hilangnya kepemilikan seseorang atas hartanya. Maka jika ia kembali kepada Islam, hartanya pun kembali menjadi miliknya, seperti cuka yang berubah dengan sendirinya menjadi khamar, maka kepemilikan pemiliknya atasnya hilang. Namun jika khamar itu berubah menjadi cuka, maka ia kembali menjadi miliknya.

وَخَرَّجَ قَائِلُ هَذَا الْوَجْهِ فِي مَالِهِ ثَلَاثَةَ أَقَاوِيلَ

Dan orang yang berpendapat dengan pendapat ini mengemukakan tiga pendapat dalam masalah hartanya.

أَحَدُهَا أَنَّ مَالَهُ بَاقٍ عَلَى مِلْكِهِ حَتَّى يُقْتَلَ أَوْ يَمُوتَ وَهُوَ الْأَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ

Salah satunya adalah bahwa hartanya tetap berada dalam kepemilikannya sampai ia dibunuh atau meninggal dunia, dan inilah pendapat yang paling sahih serta dipegang oleh Abu Hanifah.

وَالثَّانِي إنَّ مَالَهُ قَدْ زَالَ عَنْ مِلْكِهِ قُتِلَ أَوْ لَمْ يُقْتَلْ فَإِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ عَادَ إِلَى مِلْكِهِ بِإِسْلَامِهِ وَبِهِ قَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ

Kedua, sesungguhnya hartanya telah keluar dari kepemilikannya, baik ia dibunuh maupun tidak. Jika ia kembali masuk Islam, maka hartanya kembali menjadi miliknya dengan keislamannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik bin Anas.

وَالثَّالِثُ أَنَّ مَالَهُ مَوْقُوفٌ مُرَاعًى فَإِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ فَمَالُهُ لَمْ يَزَلْ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِهِ وَإِنْ قُتِلَ أَوْ مَاتَ عُلِمَ أَنَّ مَالَهُ زَالَ عَنْ مِلْكِهِ بِنَفْسِ الرِّدَّةِ

Ketiga, bahwa hartanya ditangguhkan dan diperhatikan; jika ia kembali kepada Islam, maka hartanya tetap berada dalam kepemilikannya, dan jika ia dibunuh atau meninggal, maka diketahui bahwa hartanya hilang dari kepemilikannya karena riddah itu sendiri.

وَعَلَى هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ يَكُونُ حُكْمُ مَا اسْتَفَادَ مِلْكُهُ فِي رِدَّتِهِ بِهِبَةٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ وَصِيَّةٍ أَوِ اصْطِيَادٍ أَوِ احْتِشَاشٍ

Berdasarkan pendapat-pendapat ini, maka hukum terhadap apa yang diperoleh kepemilikannya oleh seseorang yang murtad selama masa kemurtadannya, baik melalui hibah, sedekah, wasiat, perburuan, maupun pengambilan hasil alam, adalah…

فَإِنْ قِيلَ بِالْأَوَّلِ إِنَّ مِلْكَهُ الْمُتَقَدِّمَ بَاقٍ عَلَى مِلْكِهِ مَلَكَ مَا اسْتَفَادَهُ فِي رِدَّتِهِ وَصَارَ مُضَافًا إِلَى قَدِيمِ مِلْكِهِ

Jika dikatakan dengan pendapat pertama bahwa kepemilikan sebelumnya tetap menjadi miliknya, maka apa yang ia peroleh selama masa riddah juga menjadi miliknya dan bergabung dengan kepemilikan lamanya.

وَإِنْ قِيلَ بِالثَّانِي إنَّ مَالَهُ خَرَجَ بِالرِّدَّةِ عَنْ مِلْكِهِ لَمْ يَمْلِكْ مَا اسْتَفَادَهُ فِي رِدَّتِهِ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْلِكْ مَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ مَلِكُهُ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَمْلِكَ مَا لَمْ يَسْتَقِرَّ لَهُ عَلَيْهِ مِلْكٌ

Dan jika dikatakan menurut pendapat kedua bahwa hartanya keluar dari kepemilikannya karena riddah, maka ia tidak memiliki apa yang ia peroleh selama masa riddah-nya, karena ketika ia tidak memiliki apa yang kepemilikannya telah tetap padanya, maka lebih utama lagi ia tidak memiliki apa yang kepemilikannya belum tetap padanya.

وَإِنْ قِيلَ بِالثَّالِثِ إِنَّهُ مَوْقُوفٌ مُرَاعًى كَانَ مَا اسْتَفَادَهُ فِي الرِّدَّةِ مَوْقُوفًا مُرَاعًى

Dan jika dikatakan menurut pendapat ketiga bahwa itu adalah harta yang ditangguhkan dan diperhatikan, maka apa yang diperolehnya selama masa riddah juga menjadi harta yang ditangguhkan dan diperhatikan.

فَإِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ مَلَكَهُ مَعَ قَدِيمِ مِلْكِهِ

Jika ia kembali masuk Islam, maka ia mendapatkan kembali kepemilikannya beserta kepemilikan lamanya.

وَإِنْ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ لَمْ يَمْلِكْهُ

Dan jika ia dibunuh karena riddah, maka ia tidak memilikinya.

فَإِنْ كَانَ عَنْ هِبَةٍ أَوْ وَصِيَّةٍ بَطُلَتْ وَعَادَ إِلَى الْوَاهِبِ وَالْمُوصِي

Jika berasal dari hibah atau wasiat, maka batal dan kembali kepada pemberi hibah dan pewasiat.

وَإِنْ كَانَ اصْطِيَادًا أَوِ احْتِشَاشًا كَانَ عَلَى أَصْلِ الْإِبَاحَةِ

Dan jika berupa perburuan atau pengumpulan tumbuhan liar, maka hukumnya kembali kepada hukum asal kebolehan.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي جَوَازِ تَصَرُّفِهِ فِي مَالِهِ

Adapun bagian kedua membahas tentang kebolehan seseorang bertindak atas hartanya.

فَظُهُورُ الرِّدَّةِ مِنْهُ مُوجِبَةٌ لِوُقُوعِ الْحَجْرِ عَلَيْهِ لِعِلَّتَيْنِ

Maka tampaknya riddah darinya menyebabkan diberlakukannya hajr atasnya karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا إنَّ تَظَاهُرَهُ بِهَا مَعَ مَا يُفْضِي إِلَيْهِ مِنْ إِبَاحَةِ دَمِهِ دَلِيلٌ عَلَى سَفَهِ رَأْيِهِ وَضَعْفِ تَمْيِيزِهِ

Salah satunya adalah bahwa pernyataannya secara terang-terangan tentang hal itu, beserta konsekuensi yang mengarah pada dihalalkannya darahnya, merupakan bukti atas kebodohan pendapatnya dan lemahnya kemampuan membedakannya.

وَالثَّانِي أَنَّ انْتِقَالَ مَالِهِ عَنْهُ إِلَى مَنْ بَايَنَهُ فِي الدَّيْنِ يُوجِبُ حِفْظُهُ عَلَيْهِ لِتُوَجَّهَ التُّهْمَةُ إِلَيْهِ حَتَّى لَا يُسْرِعَ إِلَى اسْتِهْلَاكِهِ عَلَيْهِمْ

Kedua, bahwa berpindahnya harta seseorang darinya kepada orang yang berbeda agama dengannya mengharuskan untuk menjaga harta tersebut atasnya, agar tuduhan tidak diarahkan kepadanya sehingga ia tidak tergesa-gesa membinasakan harta itu atas mereka.

فَإِنْ حَجَرَ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ صَحَّ الْحَجْرُ وَفِي مَعْنَى حَجْرِهِ وَجْهَانِ

Jika hakim menetapkan larangan (hajr) atasnya, maka larangan tersebut sah, dan dalam makna larangan ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إنَّهُ كَحَجْرِ السَّفَهِ وَفِي مَعْنَاهُ إِذَا قِيلَ إِنَّ عِلَّةَ حَجْرِهِ سَفَهُ رَأْيِهِ وَضِعْفُ تَمْيِيزِهِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu seperti hajr terhadap orang safih, dan maknanya demikian jika dikatakan bahwa ‘illat diberlakukannya hajr padanya adalah karena kebodohan pendapatnya dan lemahnya kemampuan membedakan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ كَحَجْرِ الْمَرَضِ وَفِي مَعْنَاهُ إِذَا قِيلَ إِنَّ عِلَّةَ حَجْرِهِ تُوَجِّهُ التُّهْمَةَ إِلَيْهِ فِي حُقُوقِ الْمُسْلِمِينَ فِي مَالِهِ

Pendapat kedua adalah bahwa hal itu seperti hajr karena sakit, dan maknanya sama jika dikatakan bahwa ‘illat diberlakukannya hajr terhadapnya adalah karena adanya tuduhan terhadap dirinya dalam hak-hak kaum Muslimin terkait hartanya.

وَيَكُونُ بَعْدَ الْحَجْرِ عَلَيْهِ مَمْنُوعًا مِنَ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ فَإِنْ تَصَرَّفَ فِيهِ فَضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ فِي تَصَرُّفِهِ اسْتِهْلَاكٌ لِمَا لَهُ كَالْعَطَايَا وَالْهِبَاتِ وَالْوَصَايَا وَالصَّدَقَاتِ وَالْوَقْفِ وَالْعِتْقِ فَكُلُّ ذَلِكَ بَاطِلٌ مَرْدُودٌ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ حَجْرِهِ حَجْرُ سَفَهٍ أَوْ حَجْرُ مَرَضٍ

Setelah dikenakan hajr (pembatasan hak), ia menjadi dilarang untuk melakukan tindakan terhadap hartanya. Jika ia tetap melakukan tindakan terhadap hartanya, maka ada dua kemungkinan: pertama, tindakannya itu berupa pemborosan harta seperti pemberian, hibah, wasiat, sedekah, wakaf, dan memerdekakan budak. Semua itu batal dan ditolak, baik hajr yang dikenakan padanya karena safah (ketidakdewasaan) maupun karena sakit.

فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا جَازَتْ وَصَايَاهُ إِذَا قِيلَ إِنَّ حَجْرَهُ حَجْرُ مَرَضٍ كَمَا تَجُوزُ وَصَايَا الْمَرِيضِ

Jika dikatakan, “Mengapa wasiat-wasiatnya tidak dibolehkan apabila dikatakan bahwa hajr (pembatasan hak) atasnya adalah hajr karena sakit, sebagaimana dibolehkannya wasiat orang yang sakit?”

قِيلَ لِأَنَّ لِلْمَرِيضِ فِي مَالِهِ الثُّلُثَ فَأُمْضِيَتْ وَصَايَاهُ مِنْ ثُلُثِهِ وَلَيْسَ لِلْمُرْتَدِّ ثُلُثٌ تُجْعَلُ وَصَايَاهُ مِنْهُ

Dikatakan bahwa bagi orang sakit, ia memiliki hak atas sepertiga hartanya, sehingga wasiat-wasiatnya dilaksanakan dari sepertiga tersebut, sedangkan bagi murtad tidak ada sepertiga yang dijadikan tempat pelaksanaan wasiat-wasiatnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي مِنْ تَصَرُّفِهِ مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ اسْتِهْلَاكٌ كَالْبُيُوعِ وَالْإِجَارَاتِ بِأَعْوَاضٍ مِثْلِهَا فَيَكُونُ فِي صِحَّتِهَا وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى مَعْنَى حَجْرِهِ

Jenis kedua dari tindakan (tasarruf) yang dilakukannya adalah tindakan yang tidak mengakibatkan habisnya (barang), seperti jual beli dan sewa-menyewa dengan imbalan yang sepadan. Maka dalam keabsahan (akad-akad) tersebut terdapat dua pendapat, berdasarkan pada makna pembatasan (hajr) terhadapnya.

أَحَدُهُمَا أَنَّ جَمِيعَهَا جائزة إِذَا قِيلَ إِنَّ حَجْرَهُ حَجْرُ سَفَهٍ لِأَنَّ عُقُودَ السَّفِيهِ بَاطِلَةٌ

Salah satunya adalah bahwa semuanya dianggap sah jika dikatakan bahwa penahanan terhadapnya adalah penahanan karena kebodohan, karena akad-akad orang yang bodoh adalah batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ جَمِيعَهَا جَائِزَةٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ حَجْرَهُ حَجْرُ مَرَضٍ لِأَنَّ عُقُودَ الْمَرِيضِ جَائِزَةٌ

Adapun pendapat kedua, bahwa semuanya boleh jika dikatakan bahwa pembatasannya adalah pembatasan karena sakit, karena akad-akad orang yang sakit itu diperbolehkan.

وَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ يَكُونُ حُكْمُ إِقْرَارِهِ بِالدُّيُونِ وَالْحُقُوقِ أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ بُطْلَانُ إِقْرَارِهِ بِجَمِيعِهَا إِذَا قِيلَ إِنَّهُ حَجْرُ سَفَهٍ

Dan berdasarkan dua pendapat ini, hukum pengakuannya terhadap utang-utang dan hak-hak adalah salah satu dari dua pendapat, yaitu batalnya seluruh pengakuannya jika dikatakan bahwa itu adalah hajr karena safah (ketidakdewasaan/ketidakbijaksanaan).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي صِحَّةُ إِقْرَارِهِ بِجَمِيعِهَا إِذَا قِيلَ إِنَّهُ حَجْرُ مَرَضٍ

Pendapat kedua adalah sahnya pengakuan seseorang terhadap seluruh hartanya jika dikatakan bahwa itu adalah pembatasan (hajr) karena sakit.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ لَمْ يَحْجُرِ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ فَفِي صِحَّةِ تَصَرُّفِهِ وَجَوَازِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ

Jika hakim tidak menetapkan pembatasan terhadapnya, maka mengenai keabsahan dan kebolehan tindakannya terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا إنَّ تَصَرُّفَهُ جَائِزٌ مَمْضِيٌّ سواء قتل بالردة أو عاد إلى الإسلام لِأَنَّ الْكُفْرَ لَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ التَّصَرُّفِ

Salah satunya adalah bahwa tindakannya tetap sah dan berlaku, baik ia dibunuh karena riddah maupun kembali masuk Islam, karena kekufuran tidak menghalangi keabsahan suatu tindakan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ تَصَرُّفَهُ بَاطِلٌ مَرْدُودٌ سَوَاءٌ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ أَوْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْعِلَّتَيْنِ فِي سَفَهِ رَأْيِهِ وَظُهُورِ تهمته

Pendapat kedua menyatakan bahwa segala tindakan (muamalah) yang dilakukannya batal dan tertolak, baik ia dibunuh karena riddah maupun kembali kepada Islam, karena dua alasan yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu kebodohan pikirannya dan jelasnya tuduhan terhadapnya.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ إنَّ تَصَرُّفَهُ مَوْقُوفٌ مُرَاعًى

Pendapat ketiga menyatakan bahwa tindakannya bersifat mu‘allaq (tergantung) dan harus diperhatikan.

فَإِنْ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ كَانَ جَمِيعُ تَصَرُّفِهِ بَاطِلًا مَرْدُودًا لِتَحَقُّقِ الْعِلَّتَيْنِ فِيهِ

Jika ia dibunuh karena riddah, maka seluruh tindakannya batal dan tertolak, karena kedua illat telah terpenuhi padanya.

وَإِنْ عَادَ إِلَى الْإِسْلَامِ كَانَ جَمِيعُ تَصَرُّفِهِ جَائِزًا مُمْضِيًّا لِانْتِفَاءِ الْعِلَّتَيْنِ عَنْهُ

Dan jika ia kembali kepada Islam, maka seluruh tindakannya menjadi sah dan berlaku, karena kedua illat tersebut telah hilang darinya.

فَعَلَى هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ تَنْقَسِمُ عُقُودُهُ فِي رِدَّتِهِ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Maka menurut pendapat-pendapat ini, akad-akad yang dilakukan olehnya saat murtad terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا مَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا أَوْ مُعَلَّقًا بِشَرْطٍ كَالْعِتْقِ وَالتَّدْبِيرِ فَيَكُونُ فِي صِحَّتِهِ مِنْهُ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ

Salah satunya adalah apa yang sah untuk dijadikan mu‘allaq (pernyataan yang digantungkan) atau mu‘allaq dengan syarat, seperti pembebasan budak (al-‘itq) dan tadbir, maka dalam hal keabsahannya terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا يَكُونُ جَائِزًا

Salah satunya boleh dilakukan.

وَالثَّانِي يَكُونُ بَاطِلًا

Dan yang kedua menjadi batal.

وَالثَّالِثُ يَكُونُ مَوْقُوفًا

Dan yang ketiga bersifat mauqūf.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا لَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا أَوْ مُعَلَّقًا بِشَرْطٍ كَالْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ ففيه قولان

Bagian kedua adalah sesuatu yang tidak sah jika dijadikan sebagai waqaf atau digantungkan dengan syarat, seperti jual beli dan ijarah; dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أحدها بَاطِلٌ

Salah satunya adalah batal.

وَالثَّانِي جَائِزٌ

Dan yang kedua diperbolehkan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا اشْتَمَلَ عَلَى أَمْرَيْنِ يَصِحُّ الْوَقْفُ وَالشَّرْطُ فِي أَحَدِهِمَا وَلَا يَصِحُّ فِي الْآخَرِ كَالْخُلْعِ وَالْكِتَابَةِ لِأَنَّهُمَا يَشْتَمِلَانِ عَلَى طَلَاقٍ وَعِتْقٍ يَصِحُّ فِيهِمَا الْوَقْفُ وَالشَّرْطُ وَعَلَى مُعَاوَضَةٍ لَا يَصِحُّ فِيهَا الْوَقْفُ وَالشَّرْطُ

Bagian ketiga adalah perkara yang mencakup dua hal, di mana waqaf dan syarat sah pada salah satunya namun tidak sah pada yang lainnya, seperti khulu‘ dan kitābah. Karena keduanya mencakup talak dan pembebasan budak, yang pada keduanya waqaf dan syarat sah, serta mencakup mu‘āwadah (transaksi pertukaran) yang padanya waqaf dan syarat tidak sah.

فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْمُغَلَّبِ مِنْهُمَا عَلَى وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا يُغَلَّبُ مِنْهُمَا حُكْمُ الْعِوَضِ فَيَكُونُ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ

Para ulama kami berbeda pendapat mengenai hal yang lebih dominan di antara keduanya, dengan dua pendapat. Salah satunya adalah yang didominasi oleh hukum ‘iwadh (imbal balik), sehingga terdapat dua pendapat sebagaimana dalam jual beli dan ijarah (sewa-menyewa).

أَحَدُهُمَا جَائِزٌ

Salah satunya diperbolehkan.

وَالثَّانِي بَاطِلٌ

Dan yang kedua batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يُغَلَّبُ مِنْهُمَا حُكْمُ الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ فَيَكُونُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ

Pendapat kedua adalah bahwa hukum talak dan ‘itq lebih diutamakan dari keduanya, sehingga terdapat tiga pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهَا جَائِزٌ

Salah satunya diperbolehkan.

وَالثَّانِي بَاطِلٌ

Dan yang kedua batal.

وَالثَّالِثُ مَوْقُوفٌ وَاللَّهُ أعلم

Dan yang ketiga adalah mauqūf, dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِذَا قُتِلَ فَمَالُهُ بَعْدَ قَضَاءِ دَيْنِهِ وَجِنَايَتِهِ وَنَفَقَةِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ فَيْءٌ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ وَكَمَا لَا يَرِثُ مُسْلِمًا لَا يَرِثُهُ مُسْلِمٌ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Apabila seseorang dibunuh, maka hartanya—setelah dilunasi utangnya, diyat atas tindak pidananya, dan nafkah orang yang wajib ia nafkahi—menjadi fai’ (harta rampasan) yang tidak diwarisi oleh seorang Muslim dari orang kafir, dan tidak pula orang kafir dari seorang Muslim. Sebagaimana seorang Muslim tidak mewarisi dari Muslim lain yang tidak berhak ia warisi, demikian pula sebaliknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي حُكْمِ مَالِهِ فِي حَيَاتِهِ

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan tentang hukum harta bendanya ketika ia masih hidup.

فَأَمَّا حُكْمُ مَالِهِ بَعْدَ قَتْلِهِ أَوْ مَوْتِهِ مُرْتَدًّا فَالْكَلَامُ فِيهِ مُشْتَمِلٌ عَلَى فَصْلَيْنِ

Adapun hukum harta bendanya setelah ia dibunuh atau meninggal dalam keadaan murtad, maka pembahasannya mencakup dua bagian.

أَحَدُهُمَا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنَ الْحُقُوقِ

Salah satunya berkaitan dengan hak-hak yang melekat padanya.

وَالثَّانِي فِي اسْتِحْقَاقِ بِاقِيهِ

Dan yang kedua dalam hal berhak atas sisanya.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي الْحُقُوقِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِهِ فَثَلَاثَةٌ دُيُونٌ وَجِنَايَاتٌ وَنَفَقَاتٌ فَأَمَّا الدُّيُونُ فَمَا وَجَبَ مِنْهَا قَبْلَ الرِّدَّةِ فَمُسْتَحَقٌّ وَمَا وَجَبَ مِنْهَا بَعْدَ الرِّدَّةِ فَإِنْ كَانَ عَنْ تَصَرُّفٍ جَائِزٍ مَمْضِيٍّ اسْتُحِقَّ وَمَا كَانَ مِنْهَا عَنْ تَصَرُّفٍ بَاطِلٍ مَرْدُودٍ لَمْ يُسْتَحَقَّ

Adapun bagian pertama berkaitan dengan hak-hak yang berhubungan dengannya, maka ada tiga: utang, jinayah, dan nafkah. Adapun utang, maka apa yang wajib darinya sebelum riddah adalah tetap menjadi hak, dan apa yang wajib darinya setelah riddah, jika berasal dari tindakan yang sah dan diakui maka tetap menjadi hak, dan apa yang berasal dari tindakan yang batil dan tertolak maka tidak menjadi hak.

وَأَمَّا الْجِنَايَاتُ عَلَى النُّفُوسِ وَالْأَمْوَالِ فَمُسْتَحَقَّةٌ سَوَاءٌ كَانَتْ قَبْلَ الرِّدَّةِ أَوْ بَعْدَهَا لِأَنَّ الْمُرْتَدَّ ضَامِنٌ لِمَا أَتْلَفَ

Adapun jinayah terhadap jiwa dan harta, maka tetap menjadi hak yang harus dipenuhi, baik terjadi sebelum riddah maupun sesudahnya, karena orang murtad tetap bertanggung jawab atas apa yang telah dirusaknya.

وَأَمَّا النَّفَقَاتُ فَمَا وَجَبَ مِنْهَا قَبْلَ الرِّدَّةِ فَمُسْتَحَقٌّ إِذَا كَانَ مِمَّا لَا يَسْقُطُ بِالتَّأْخِيرِ كَنَفَقَةِ الزَّوْجَاتِ أَوْ نَفَقَاتِ الْأَقَارِبِ إِذَا حَكَمَ حَاكِمٌ بِالِافْتِرَاضِ عَلَيْهَا وَإِنْ سَقَطَتْ بِالتَّأْخِيرِ كَانَ سُقُوطُهَا مَعَ الرِّدَّةِ أَحَقَّ

Adapun nafkah, maka apa yang telah wajib darinya sebelum riddah tetap menjadi hak jika termasuk nafkah yang tidak gugur karena penundaan, seperti nafkah istri atau nafkah kerabat apabila seorang hakim telah memutuskan kewajibannya. Namun, jika nafkah tersebut gugur karena penundaan, maka gugurnya nafkah itu bersamaan dengan riddah lebih utama.

وَأَمَّا مَا وَجَبَ مِنْهَا فِي زَمَنِ الرِّدَّةِ

Adapun apa yang wajib darinya pada masa riddah (kemurtadan)

فَإِنْ قِيلَ بِبَقَاءِ مَالِهِ عَلَى مِلْكِهِ وَجَبَتْ

Jika dikatakan bahwa hartanya tetap menjadi miliknya, maka wajib…

وَإِنْ قِيلَ بِزَوَالِ مِلْكِهِ عَنْ مَالِهِ فَفِي وُجُوبِهَا وَجْهَانِ

Jika dikatakan bahwa kepemilikannya atas hartanya telah hilang, maka dalam kewajiban zakat terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا تَجِبْ لِعَدَمِ مَحَلِّهَا كَالْإِعْسَارِ بِهَا

Salah satunya tidak wajib karena tidak ada tempatnya, seperti ketidakmampuan untuk melaksanakannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي تَجِبُ وَيَزُولُ مِلْكُهُ عَمَّا لَا يُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ وَلَا يَزُولُ عَمَّا يُسْتَحَقُّ عَلَيْهِ كَالْمَوْتِ يَزُولُ بِهِ مِلْكُ الْمَيِّتِ إِلَّا عَمَّا لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ مِنْ كَفَنِهِ وَمَؤونَة دَفْنِهِ

Pendapat kedua: wajib, dan kepemilikannya hilang dari sesuatu yang tidak berhak atasnya, namun tidak hilang dari sesuatu yang berhak atasnya, seperti kematian yang menyebabkan hilangnya kepemilikan mayit kecuali terhadap sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan seperti kain kafan dan biaya pemakamannya.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي وَهُوَ الْمَوْرُوثُ مِنْ بَاقِي مَالِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي مُسْتَحِقِّهِ عَلَى سِتَّةِ مَذَاهِبَ

Adapun bagian kedua, yaitu harta warisan yang tersisa, para fuqaha berbeda pendapat mengenai siapa yang berhak menerimanya menjadi enam mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إنَّهُ يَنْتَقِلُ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ فَيْئًا وَلَا يَرِثُهُ مُسْلِمٌ وَلَا كَافِرٌ

Salah satunya, yaitu mazhab Syafi‘i, berpendapat bahwa harta tersebut berpindah ke Baitul Mal sebagai fai’, dan tidak diwarisi oleh seorang Muslim maupun non-Muslim.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas radhiyallāhu ‘anhumā.

وَمِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ

Dan dari kalangan tabi‘in adalah al-Hasan al-Bashri.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ رَبِيعَةُ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَأَبُو ثَوْرٍ

Di antara para fuqaha adalah Rabi‘ah, Ibnu Abi Laila, Ahmad bin Hanbal, dan Abu Tsaur.

وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّ مَا كَسَبَهُ قَبْلَ رِدَّتِهِ يَكُونُ لِوَرَثَتِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَمَا كَسَبَهُ فِي رِدَّتِهِ يَكُونُ فَيْئًا لِبَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْمُرْتَدُّ امْرَأَةً فَيَكُونَ جَمِيعُ مَا كَسَبَتْهُ قَبْلَ الرِّدَّةِ وَبَعْدَهَا لِوَرَثَتِهَا الْمُسْلِمِينَ

Pendapat kedua, yaitu mazhab Abu Hanifah, menyatakan bahwa harta yang diperoleh seseorang sebelum ia murtad menjadi milik ahli warisnya dari kalangan Muslim, sedangkan harta yang diperolehnya selama masa kemurtadannya menjadi fai’ bagi Baitul Mal kaum Muslimin, kecuali jika orang yang murtad itu adalah seorang wanita, maka seluruh harta yang diperolehnya, baik sebelum maupun sesudah murtad, menjadi milik ahli warisnya yang Muslim.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ أَنَّ جَمِيعَ مَا كَسَبَهُ قَبْلَ الرِّدَّةِ وَبَعْدَهَا يَكُونُ لِوَرَثَتِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ رَجُلًا كَانَ أَوِ امْرَأَةً

Pendapat ketiga, yaitu mazhab Abu Yusuf dan Muhammad, menyatakan bahwa seluruh harta yang diperolehnya sebelum dan sesudah riddah menjadi milik ahli warisnya dari kalangan Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.

وَالرَّابِعُ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ إنَّهُ إِنِ اتُّهِمَ بِرِدَّتِهِ أَنَّهُ أَرَادَ بِهَا إَزْوَاءَ وَرَثَتِهِ كَانَ مَالُهُ لِوَرَثَتِهِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ لَمْ يُتَّهَمْ كَانَ فَيْئًا لِبَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ

Pendapat keempat, yaitu mazhab Malik, menyatakan bahwa jika seseorang dituduh murtad dengan dugaan bahwa ia bermaksud menghalangi ahli warisnya (dari warisan), maka hartanya menjadi milik ahli warisnya yang muslim. Namun, jika tidak ada tuduhan demikian, maka hartanya menjadi fai’ (harta rampasan tanpa peperangan) untuk Baitul Mal kaum muslimin.

وَالْخَامِسُ وَهُوَ مَذْهَبُ دَاوُدَ إنَّهُ يَكُونُ مَوْرُوثًا لِمَنِ ارْتَدَّ إِلَى دِينِهِ مِنْ وَرَثَتِهِ الْكُفَّارِ دُونَ الْمُسْلِمِينَ

Kelima, yaitu pendapat Dawud, bahwa harta warisan menjadi milik ahli waris yang murtad kepada agamanya dari kalangan ahli waris yang kafir, bukan kepada yang Muslim.

وَالسَّادِسُ وَهُوَ مَذْهَبُ عَلْقَمَةَ وَقَتَادَةَ وَسَعِيدَ بْنَ أَبِي عَرُوبَةَ إنَّ مَالَهُ يَنْتَقِلُ إِلَى جَمِيعِ أَهْلِ دِينِهِ الَّذِينَ ارْتَدَّ إِلَيْهِمْ

Keenam, yaitu pendapat ‘Alqamah, Qatadah, dan Sa‘id bin Abi ‘Arubah, bahwa hartanya berpindah kepada seluruh pemeluk agamanya yang ia murtad kepada agama mereka.

وَالدَّلِيلُ عَلَى جَمِيعِهِمْ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

Dan dalil atas semuanya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir pun tidak mewarisi orang muslim.”

وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَرِثْ مُسْلِمًا لَمْ يَرِثْهُ مُسْلِمٌ كَالْحَرْبِيِّ

Dan karena ketika seorang Muslim tidak mewarisi dari seorang non-Muslim, maka seorang non-Muslim pun tidak mewarisi dari seorang Muslim, seperti halnya orang harbi.

وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ قَدْ مَضَى حِجَاجُهَا في كتاب الفرائض

Ini adalah suatu permasalahan yang dalil-dalilnya telah dibahas dalam kitab faraidh.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَيُقْتَلُ السَّاحِرُ إِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كُفْرًا إِنْ لَمْ يَتُبْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Penyihir dibunuh jika sihir yang dilakukannya merupakan kekufuran, kecuali jika ia bertobat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَذَكَرْنَا اخْتِلَافَ الْفُقَهَاءِ فِي حُكْمِ السَّاحِرِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah berlalu, dan kami telah menyebutkan perbedaan para fuqaha dalam hukum terhadap penyihir menurut tiga mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ أَنَّ السَّاحِرَ كَافِرٌ يَجِبُ قَتْلُهُ وَلَا تُقْبَلُ تَوْبَتُهُ

Salah satunya, yaitu mazhab Abu Hanifah dan Malik, berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir yang wajib dibunuh dan tobatnya tidak diterima.

وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهْوَيْهِ إنَّ السَّاحِرَ يَجِبُ قَتْلُهُ وَلَمْ يَقْطَعَا بِكُفْرِهِ

Pendapat kedua, yaitu mazhab Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih, menyatakan bahwa tukang sihir wajib dihukum mati, namun keduanya tidak menetapkan bahwa tukang sihir itu kafir.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إنَّ السَّاحِرَ لَا يَكُونُ كَافِرًا بِالسِّحْرِ وَلَا يَجِبُ بِهِ قَتْلُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كُفْرًا فَيَصِيرُ بِاعْتِقَادِ الْكُفْرِ كَافِرًا يَجِبُ قَتْلُهُ بِالْكُفْرِ لَا بِالسِّحْرِ وَقَدْ دَلَلْنَا لَهُمْ وعليهم بما أجزأ

Ketiga, yaitu pendapat mazhab Syafi‘i, bahwa tukang sihir tidak menjadi kafir hanya karena sihir, dan tidak wajib dibunuh karenanya, kecuali jika sihir yang dilakukannya mengandung kekufuran, sehingga dengan meyakini kekufuran tersebut ia menjadi kafir dan wajib dibunuh karena kekufuran, bukan karena sihir. Kami telah memberikan dalil bagi mereka dan atas mereka dengan dalil yang memadai.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَيُقَالُ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ وَقَالَ أَنَا أُطِيقُهَا وَلَا أُصَلِّيهَا لَا يَعْمَلُهَا غَيْرُكَ فَإِنْ فَعَلْتَ وَإِلَّا قَتَلْنَاكَ كَمَا تَتْرُكُ الْإِيمَانَ وَلَا يَعْمَلُهُ غَيْرُكَ فَإِنْ آمَنْتَ وَإِلَّا قَتَلْنَاكَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Kepada orang yang meninggalkan salat dan berkata, ‘Aku mampu melakukannya, tetapi aku tidak melaksanakannya,’ dikatakan kepadanya: ‘Tidak ada yang dapat melakukannya selain dirimu. Jika engkau melakukannya, maka baik, jika tidak, kami akan membunuhmu, sebagaimana jika engkau meninggalkan iman dan tidak ada yang dapat melakukannya selain dirimu. Jika engkau beriman, maka baik, jika tidak, kami akan membunuhmu.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ الصَّلَاةِ وَذَكَرْنَا أَنَّ تَارِكَ الصَّلَاةِ ضَرْبَانِ جَاحِدٌ وَمُعْتَرِفٌ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas dalam Kitab Shalat, dan kami telah menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat terbagi menjadi dua golongan: yang mengingkari dan yang mengakui.

فأما الجاحد لوجوبها فهو مرد تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الرِّدَّةِ وَهُوَ إِجْمَاعٌ

Adapun orang yang mengingkari kewajibannya, maka ia dianggap murtad dan berlaku padanya hukum-hukum riddah, dan ini merupakan ijmā‘.

وَأَمَّا الْمُعْتَرِفُ بِوُجُوبِهَا التَّارِكُ لِفِعْلِهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ

Adapun orang yang mengakui kewajibannya namun meninggalkannya, para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya menjadi tiga mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ إنَّهُ يَكْفُرُ بِتَرْكِهَا كَمَا يَكْفُرُ بِجُحُودِهَا لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالْإِيْمَانِ تَرْكُ الصَّلَاةِ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Salah satunya, yaitu pendapat Ahmad bin Hanbal, bahwa seseorang menjadi kafir karena meninggalkan shalat sebagaimana ia menjadi kafir karena mengingkarinya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Batas antara kekufuran dan keimanan adalah meninggalkan shalat. Maka siapa yang meninggalkannya, sungguh ia telah kafir.”

وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ إنَّهُ لَا يَكْفُرُ بِتَرْكِهَا وَلَا يُقْتَلُ وَيُحْبَسُ حَتَّى يُصَلِّيَ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إلا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دمائهم وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا

Pendapat kedua, yaitu mazhab Abu Hanifah dan Malik, menyatakan bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena meninggalkan shalat dan tidak boleh dibunuh, melainkan dipenjara hingga ia melaksanakan shalat, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘Lā ilāha illā Allāh’, maka apabila mereka telah mengucapkannya, terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya.”

وَالثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إنَّهُ يُقْتَلُ بِتَرْكِهَا لَا بِكُفْرِهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَلَا إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّينَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ غَيْرَ الْمُصَلِّي مُبَاحُ الدَّمِ

Pendapat ketiga, yaitu mazhab Syafi‘i, menyatakan bahwa seseorang dibunuh karena meninggalkan shalat, bukan karena kekufurannya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Ketahuilah, aku dilarang membunuh orang-orang yang shalat,” maka hal ini menunjukkan bahwa selain orang yang shalat, darahnya boleh ditumpahkan.

وَقَدْ مَضَى مِنَ الدَّلَائِلِ وَالْمَعَانِي مَا أَقْنَعَ

Telah disebutkan sebelumnya dalil-dalil dan makna-makna yang cukup meyakinkan.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا كَانَ قَتْلُهُ بِتَرْكِهَا وَاجِبًا فَلَا يَجُوزُ قَتْلُهُ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ تَرْكِهَا وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وَقْتِ سُؤَالِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Dan apabila pembunuhannya karena meninggalkannya adalah wajib, maka tidak boleh membunuhnya hingga ia ditanya tentang sebab ia meninggalkannya. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai waktu menanyakan hal itu, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَسْأَلُ عَنْ تَرْكِهَا فِي آخِرِ وَقْتِهَا إِذَا لَمْ يَبْقَ مِنْهُ إِلَّا قَدْرُ فِعْلِهَا

Salah satunya adalah bertanya tentang meninggalkannya di akhir waktunya ketika yang tersisa dari waktu itu hanya sekadar cukup untuk melaksanakannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُسْأَلُ عَنْهَا إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا فَإِذَا سُئِلَ عَنْهَا وَأَجَابَ بِأَنَّهُ نَسِيَ قِيلَ لَهُ صِلِّ فَقَدْ ذُكِّرْتَ

Pendapat kedua, tidak ditanyakan tentangnya kecuali setelah waktu shalat tersebut telah berlalu. Maka jika ia ditanya tentangnya dan ia menjawab bahwa ia lupa, dikatakan kepadanya: “Shalatlah, karena engkau telah diingatkan.”

فَإِنْ قَالَ أَنَا مَرِيضٌ

Jika ia berkata, “Saya sedang sakit.”

قِيلَ صَلِّ كَيْفَ أَطَقْتَ

Dikatakan: “Salatlah, bagaimana engkau mampu?”

وَإِنْ قَالَ لَسْتُ أُصَلِّي كَسَلًا وَاسْتِثْقَالًا

Dan jika ia berkata, “Aku tidak salat karena malas dan merasa berat.”

قِيلَ لَهُ تُبْ وَصَلِّ فَإِنَّهُ لَا يُصَلِّيهَا غَيْرُكَ

Kepadanya dikatakan, “Bertobatlah dan shalatlah, karena tidak ada yang akan melaksanakan shalat itu selain dirimu.”

فَإِنْ تَابَ وَصَلَّى عَادَ إِلَى حَالِهِ وَإِنْ لَمْ يَتُبْ وَلَمْ يَصُلِّ فَهُوَ الَّذِي اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِهِ عَلَى مَا بَيَّنَاهُ

Jika ia bertobat dan melaksanakan salat, maka ia kembali kepada keadaannya semula. Namun jika ia tidak bertobat dan tidak melaksanakan salat, maka inilah yang para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya, sebagaimana telah kami jelaskan.

وَمَذْهَبُنَا فِيهِ وُجُوبُ قَتْلِهِ حَدًّا مَعَ بَقَائِهِ عَلَى إِسْلَامِهِ وَيَكُونُ مَالُهُ لِوَرَثَتِهِ الْمُسْلِمِينَ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْفَنُ فِي مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ

Dan mazhab kami dalam hal ini adalah wajib membunuhnya sebagai hudud, meskipun ia tetap dalam keislamannya, dan hartanya menjadi milik ahli warisnya yang muslim, serta dishalatkan atasnya dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صِفَةِ قَتْلِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Para ulama kami berbeda pendapat mengenai cara membunuhnya menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنَّهُ يُقْتَلُ ضَرْبًا بِالسَّيْفِ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i, adalah bahwa ia dihukum mati dengan cara dipukul menggunakan pedang.

وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَطَائِفَةٍ إنَّهُ يُضْرَبُ بِمَا لَا يُوجي مِنَ الْخَشَبِ وَيُسْتَدَامُ ضَرْبُهُ حَتَّى يَمُوتَ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj dan sekelompok ulama, menyatakan bahwa ia dihukum dengan dipukul menggunakan kayu yang tidak mematikan, dan pukulannya terus dilanjutkan hingga ia mati.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَمَنْ قَتَلَ مُرْتَدًّا قَبْلَ أَنْ يُسْتَتَابَ أَوْ جَرَحَهُ فَأَسْلَمَ ثُمَّ مَاتَ مِنَ الْجُرْحِ فَلَا قَوَدَ وَلَا دِيَةَ وَيُعَزَّرُ الْقَاتِلُ لِأَنَّ الْمُتَوَلِّيَ لِقَتْلِهِ بَعْدَ اسْتِتَابَتِهِ الْحَاكِمُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Barang siapa membunuh seorang murtad sebelum ia diminta untuk bertobat, atau melukainya lalu ia masuk Islam kemudian meninggal karena luka tersebut, maka tidak ada qishāsh dan tidak ada diyat, namun pembunuhnya tetap diberi ta‘zīr. Sebab, yang berwenang melaksanakan hukuman mati terhadapnya setelah ia diminta bertobat adalah hakim.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ الْجِنَايَاتِ أَنَّ الْمُرْتَدَّ يَخْتَصُّ الْإِمَامُ بِقَتْلِهِ دُونَ غَيْرِهِ لِأَنَّ قَتْلَهُ حَقٌّ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي تَنْفَرِدُ الْأَئِمَّةُ بِإِقَامَتِهَا كَالْحُدُودِ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas dalam Kitab Jinayat, bahwa orang murtad khusus bagi imam untuk membunuhnya dan bukan yang lain, karena pembunuhannya merupakan hak dari hak-hak Allah Ta‘ala yang pelaksanaannya hanya dilakukan oleh para imam, seperti halnya hudud.

فَإِنْ قَتَلَهُ غَيْرُ الْإِمَامِ لَمْ يَضْمَنْهُ الْقَاتِلُ وَعُزِّرَ

Jika yang membunuhnya bukan imam, maka pembunuh tersebut tidak menanggung diyat, namun ia dikenai ta‘zīr.

لِأَنَّ الرِّدَّةَ قَدْ أَبَاحَتْ دَمَهُ فَصَارَ قَتْلُهُ هَدْرًا كَالْحَرْبِيِّ إِذَا قَتَلَهُ مُسْلِمٌ لَمْ يَضْمَنْهُ لِإِبَاحَةِ دَمِهِ لكن يعذر قَاتِلُ الْمُرْتَدِّ وَلَا يُعَزَّرُ قَاتِلُ الْحَرْبِيِّ

Karena riddah telah membolehkan darahnya, maka membunuhnya menjadi sia-sia seperti halnya orang harbi; jika seorang Muslim membunuhnya, ia tidak wajib membayar diyat karena darahnya telah dihalalkan. Namun, pembunuh murtad dimaafkan, sedangkan pembunuh orang harbi tidak dikenai ta‘zir.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا

Perbedaan antara keduanya.

إِنَّ قَتْلَ الْمُرْتَدِّ حَدٌّ يَتَوَلَّاهُ الْإِمَامُ فعزر المفتات علي

Sesungguhnya hukuman mati bagi orang murtad adalah hudud yang pelaksanaannya dipegang oleh imam, maka orang yang melampaui wewenangnya dikenai ta‘zir.

وَقَتْلُ الْحَرْبِيِّ جِهَادٌ يَسْتَوِي الْكَافَّةُ فِيهِ فَلَمْ يُعَزَّرِ الْمُنْفَرِدُ بِقَتْلِهِ

Membunuh orang harbi adalah jihad yang berlaku bagi semua orang, sehingga seseorang yang membunuhnya secara sendiri tidak dikenai ta‘zir.

فَأَمَّا إِذَا جُرِحَ مُرْتَدًّا ثُمَّ أَسْلَمَ الْمَجْرُوحُ وَسَرَى الْجُرْحُ إِلَى نَفْسِهِ فِي الْإِسْلَامِ فَمَاتَ مِنْهُ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إنَّ دَمَهُ هَدَرٌ لَا يُضْمَنُ لِأَنَّهَا عَنْ جِنَايَةٍ فِي الرِّدَّةِ غَيْرِ مَضْمُونَةٍ فَكَانَ مَا حَدَثَ بَعْدَهَا غَيْرُ مَضْمُونٍ كَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ

Adapun jika seseorang yang murtad terluka, kemudian orang yang terluka itu masuk Islam, lalu lukanya menjalar hingga menyebabkan kematiannya dalam keadaan Islam, maka menurut mazhab Syafi‘i, darahnya tidak ada diyat (hukumannya gugur), tidak ada tanggungan, karena luka itu terjadi akibat tindak pidana saat murtad yang memang tidak ada tanggungannya. Maka apa yang terjadi setelahnya juga tidak ada tanggungannya, seperti halnya pemotongan tangan dalam kasus pencurian.

قَالَ الرَّبِيعُ وَفِيهَا قَوْلٌ آخَرُ إنَّهُ ضَامِنٌ لِنِصْفِ ديته

Ar-Rabi‘ berkata: Ada pendapat lain dalam masalah ini, yaitu bahwa ia wajib menanggung setengah dari diyatnya.

لِأَنَّهُ مُرْتَدٌّ فِي حَالِ الْجِنَايَةِ وَمُسْلِمٌ فِي حَالِ السَّرَايَةِ فَسَقَطَ نِصْفُ الدِّيَةِ بِرِدَّتِهِ وَوَجَبَ نِصْفُهَا بِإِسْلَامِهِ

Karena ia berstatus murtad pada saat melakukan tindak pidana, dan berstatus muslim pada saat pengaruh tindak pidana itu berlanjut, maka setengah diyat gugur karena kemurtadannya, dan setengahnya lagi wajib dibayarkan karena keislamannya.

وَهَذَا الْقَوْلُ مِنْ تَخْرِيجِ الرَّبِيعِ مِنْ نَفْسِهِ وَلَيْسَ بِمَحْكِيٍّ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَلَا تَقْتَضِيهِ أُصُولُ مَذْهَبِهِ فَإِنْ كَانَ الْمُرْتَدُّ هُوَ الْقَاتِلُ فَقَدْ مَضَى فِي الْجِنَايَاتِ

Pendapat ini merupakan hasil ijtihad ar-Rabi‘ sendiri dan bukan merupakan riwayat dari asy-Syafi‘i, serta tidak sesuai dengan ushul mazhab beliau. Jika orang murtad itu adalah pelaku pembunuhan, maka hal tersebut telah dijelaskan dalam pembahasan jinayat.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رضي الله عنه ” وَلَا يُسْبَى لِلْمُرْتَدِّينَ ذُرِّيَّةٌ وَإِنْ لَحِقُوا بِدَارِ الْحَرْبِ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْإِسْلَامِ قَدْ ثَبَتَتْ لَهُمْ وَلَا ذَنْبَ لَهُمْ فِي تَبْدِيلِ آبَائِهِمْ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Anak-anak dari orang-orang murtad tidak boleh diperbudak, meskipun mereka ikut bergabung ke negeri perang, karena kehormatan Islam telah tetap bagi mereka dan mereka tidak berdosa atas perubahan agama yang dilakukan oleh orang tua mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْمُرْتَدُّونَ إِذَا كَانُوا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَلَمِ يَلْحَقُوا بِدَارِ الْحَرْبِ فَلَا خِلَافَ نَعْرِفُهُ فِي أَنَّهُ لَا يَجُوزُ سَبْيُهُمْ وَلَا اسْتِرْقَاقُهُمْ تَغْلِيبًا لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ حُرْمَةِ إِسْلَامِهِمْ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تُؤْكَلَ ذَبَائِحَهُمْ وَلَا يَنْكِحُوا تَغْلِيبًا لِحُكْمِ شِرْكِهِمْ وَلَا تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ وَلَا يُهَادَنُوا لِأَنَّ قَبُولَ الْجِزْيَةِ وَعَقْدَ الْهُدْنَةِ مَوْضُوعَانِ لِلْإِقْرَارِ عَلَى الْكُفْرِ وَالْمُرْتَدُّ لَا يُقَرُّ عَلَى كُفْرِهِ

Al-Mawardi berkata: Adapun orang-orang murtad, jika mereka berada di wilayah Islam dan tidak bergabung ke wilayah perang, maka tidak ada perbedaan pendapat yang kami ketahui bahwa tidak boleh diperbudak atau dijadikan budak mereka, karena mengedepankan kehormatan keislaman mereka yang telah lalu. Tidak boleh pula memakan sembelihan mereka dan mereka tidak boleh menikah, karena mengedepankan hukum kemusyrikan mereka. Jizyah mereka tidak diterima dan tidak boleh diadakan perjanjian damai dengan mereka, karena penerimaan jizyah dan pengikatan perjanjian damai adalah untuk membiarkan mereka tetap dalam kekufuran, sedangkan orang murtad tidak boleh dibiarkan tetap dalam kekufurannya.

فَأَمَّا إِذَا لَحِقَ الْمُرْتَدُّونَ بِدَارِ الْحَرْبِ أَوِ انْفَرَدُوا بِدَارٍ صَارَتْ لَهُمْ كَدَارِ أَهْلِ الحرب فقد اختلف الصحابة رضي الله عنهم فِي جَوَازِ سَبْيِهِمْ وَاسْتِرْقَاقِهِمْ

Adapun jika para murtad bergabung ke negeri harbi atau mereka memisahkan diri di suatu negeri sehingga negeri itu menjadi seperti negeri orang-orang harbi bagi mereka, maka para sahabat radhiyallahu ‘anhum berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mereka dijadikan tawanan dan diperbudak.

فَذَهَبَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِلَى جَوَازِ سَبْيِهِمْ وَاسْتِرْقَاقِهِمْ كَأَهْلِ الْحَرْبِ اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الْكُفْرِ وَبِهِ قَالَ شَاذٌّ مِنَ الْفُقَهَاءِ وَذَهَبَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى تَحْرِيمِ سَبْيِهِمْ وَاسْتِرْقَاقِهِمْ تَغْلِيبًا لِحُرْمَةِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ إِسْلَامِهِمْ كَمَا يَحْرُمُ سَبْيُهُمْ وَاسْتِرْقَاقُهُمْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَبِهِ أَخَذَ الشَّافِعِيُّ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ

Ali bin Abi Thalib raḍiyallāhu ‘anhu berpendapat bolehnya menawan dan memperbudak mereka seperti ahl al-ḥarb, dengan mempertimbangkan hukum kekufuran, dan pendapat ini juga diikuti oleh segelintir fuqahā’. Sedangkan Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu berpendapat haramnya menawan dan memperbudak mereka, dengan mengedepankan kehormatan atas keislaman mereka yang telah lalu, sebagaimana haramnya menawan dan memperbudak mereka di Dār al-Islām, dan pendapat ini dipegang oleh al-Shāfi‘ī dan mayoritas fuqahā’.

فإن قيل فقد سبى أبو بكر رضي الله عنه بَنِي حَنِيفَةَ حِينَ ارْتَدُّوا مَعَ مُسَيْلِمَةَ

Jika dikatakan, “Bukankah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menawan Bani Hanifah ketika mereka murtad bersama Musailamah?”

قِيلَ إِنَّمَا سَبَاهُمْ سَبْيَ قَهْرٍ وَإِذْلَالٍ لِتَضْعُفَ بِهِمْ قُوَّتُهُمْ وَلَمْ يَكُنْ سَبْيَ غَنِيمَةٍ وَاسْتِرْقَاقٍ

Dikatakan bahwa penawanan mereka adalah penawanan karena penaklukan dan penghinaan agar kekuatan mereka menjadi lemah karenanya, dan bukanlah penawanan sebagai harta rampasan dan perbudakan.

وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ

Dan dalam hal itu, laki-laki dan perempuan adalah sama.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُ الْمُرْتَدَّةِ إِذَا لَحِقَتْ بِدَارِ الْحَرْبِ وَلَا يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُ الْمُرْتَدِّ

Abu Hanifah berpendapat bahwa boleh memperbudak perempuan murtad jika ia melarikan diri ke negeri perang, namun tidak boleh memperbudak laki-laki murtad.

وَاسْتَدَلَّ عَلَى ذَلِكَ بأن علي بن أبي طالب عليه السلام اسْتَرَقَّ مِنْ سَبي بَنِي حَنِيفَةَ أُمَّ ابْنِهِ محمد وأولدها

Dan dalil atas hal itu adalah bahwa Ali bin Abi Thalib ra. telah memperbudak dari tawanan Bani Hanifah, ibu dari putranya Muhammad, dan beliau memiliki anak darinya.

وَبَنَاهُ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الْمُرْتَدَّةَ لَا تُقْتَلُ كَالْحَرْبِيَّةِ فَجَازَ اسْتِرْقَاقُهَا لِاسْتِوَائِهِمَا فِي حَظْرِ الْقَتْلِ عِنْدَهُ وَهَذَا قَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ فِيهِ

Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya pada prinsipnya bahwa perempuan murtad tidak dibunuh seperti perempuan musyrik dalam peperangan, sehingga boleh diperbudak karena keduanya sama-sama dilarang untuk dibunuh menurut beliau. Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya bersamanya.

ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَيْهِ أَنَّ كُلَّ دَيْنٍ مَنَعَ مِنِ اسْتِرْقَاقِ الرَّجُلِ مَنَعَ مِنِ اسْتِرْقَاقِ الْمَرْأَةِ كَالْإِسْلَامِ طَرْدًا وَالْكُفْرِ الْأَصْلِيِّ عَكْسًا

Kemudian, di antara dalil atas hal itu adalah bahwa setiap utang yang menghalangi perbudakan seorang laki-laki juga menghalangi perbudakan seorang perempuan, seperti Islam secara konsisten, dan kekufuran asli secara sebaliknya.

فَأَمَّا مَا حَكَاهُ مِنَ اسْتِرْقَاقِ عَلِيٍّ أُمَّ وَلَدِهِ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ

Adapun apa yang diriwayatkan tentang Ali yang memperbudak ummu walad dari Muhammad bin al-Hanafiyyah, maka terdapat tiga jawaban mengenai hal itu.

أَحَدُهَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إنَّهُ كَانَ مَذْهَبًا لَهُ وَقَدْ خَالَفَهُ فِيهِ غَيْرُهُ فَصَارَ خِلَافًا لَا يَقَعُ الِاحْتِجَاجُ بِهِ

Salah satunya adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yang merupakan mazhab baginya, namun pendapat ini diselisihi oleh ulama lain sehingga menjadi khilaf yang tidak dapat dijadikan hujjah.

وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْوَاقِدِيِّ أنها كانت أمة سوداء سندية لِبَنِي حَنِيفَةَ وَكَانَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ قَدْ صَالَحَهُمْ عَلَى إِمَائِهِمْ

Yang kedua, yaitu pendapat al-Waqidi, bahwa ia adalah seorang budak perempuan berkulit hitam dari Sind yang dimiliki oleh Bani Hanifah, dan Khalid bin al-Walid telah berdamai dengan mereka atas budak-budak perempuan mereka.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ الْأَظْهَرُ إنَّهَا كانت حرة تزوجها علي عليه السلام بِرِضَاهَا فَأَوْلَدَهَا بِالزَّوْجِيَّةِ دُونَ مِلْكِ الْيَمِينِ وَهُوَ الأشبه بأفعاله رضوان الله عليه وسلامه

Pendapat ketiga, yang paling kuat, adalah bahwa ia adalah seorang wanita merdeka yang dinikahi oleh Ali ‘alaihis salam dengan kerelaannya, lalu ia melahirkan anak-anak dari pernikahan, bukan dari status budak milik. Pendapat ini lebih sesuai dengan perbuatan-perbuatan beliau, semoga Allah meridhainya dan memberinya keselamatan.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا ذُرِّيَّةُ الْمُرْتَدِّ وَهُمْ صِغَارُ أَوْلَادِهِ مِنْ ذُكُورٍ وَإِنَاثٍ فَهُمْ عَلَى حُكْمِ الْإِسْلَامِ الْجَارِي عَلَيْهِمْ بِإِسْلَامِ آبَائِهِمْ وَلَا يَزُولُ عَنْهُمْ بِرِدَّةِ آبَائِهِمْ لِأَنَّ رِدَّةَ آبَائِهِمْ جِنَايَةٌ مِنْهُمْ فَاخْتَصُّوا بِهَا دُونَهُمْ لِأَنَّهُ لَا يُؤَاخَذُ أَحَدٌ بِمَعْصِيَةِ غَيْرِهِ

Adapun anak-anak dari orang yang murtad, yaitu anak-anaknya yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, maka mereka tetap berada dalam hukum Islam yang berlaku atas mereka karena keislaman orang tua mereka, dan hukum itu tidak hilang dari mereka karena kemurtadan orang tua mereka. Sebab, kemurtadan orang tua mereka adalah dosa yang dilakukan oleh orang tua, sehingga hanya berlaku khusus bagi mereka dan tidak menimpa anak-anaknya, karena tidak ada seorang pun yang dibebani akibat dosa orang lain.

فَإِنْ قِيلَ فَإِذَا تَعَدَّى إِلَيْهِمْ إِسْلَامُ آبَائِهِمْ فَصَارُوا مُسْلِمِينَ بِإِسْلَامِهِمْ فَهَلَّا تَعَدَّى إِلَيْهِمْ رِدَّةُ آبَائِهِمْ فَصَارُوا مُرْتَدِّينَ بِرِدَّتِهِمْ

Jika dikatakan: Jika keislaman orang tua mereka dapat berpindah kepada mereka sehingga mereka menjadi Muslim karena keislaman orang tua mereka, maka mengapa kemurtadan orang tua mereka tidak berpindah kepada mereka sehingga mereka menjadi murtad karena kemurtadan orang tua mereka?

قِيلَ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى فَجَازَ أَنْ يَرْفَعَ الْإِسْلَامُ مِنْ حُكْمِ الْكُفْرِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَرْفَعَ الْكُفْرُ مِنْ حُكْمِ الْإِسْلَامِ وَلِذَلِكَ إِذَا كَانَ أَحَدُ الْأَبَوَيْنِ مُسْلِمًا وَالْآخَرُ كَافِرًا كَانَ الْوَلَدُ مُسْلِمًا وَلَمْ يَكُنْ كَافِرًا تَغْلِيبًا لِلْإِسْلَامِ عَلَى الْكُفْرِ

Dikatakan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” Maka boleh bagi Islam untuk menghapus hukum kekufuran, dan tidak boleh kekufuran menghapus hukum Islam. Oleh karena itu, jika salah satu dari kedua orang tua adalah Muslim dan yang lainnya kafir, maka anaknya dihukumi Muslim dan tidak dihukumi kafir, sebagai bentuk pengutamaan Islam atas kekufuran.

فَإِذَا ثَبَتَ إِسْلَامُ أَوْلَادِهِمْ فَلَا يَجُوزُ سَبْيُهُمْ وَلَا اسْتِرْقَاقُهُمْ وَتَجِبُ نَفَقَاتُهُمْ فِي أَمْوَالِ آبَائِهِمُ الْمُرْتَدِّينَ لِأَنَّ النَّفَقَةَ لَا تَخْتَلِفُ بِالْإِسْلَامِ وَالْكُفْرِ

Maka apabila keislaman anak-anak mereka telah tetap, maka tidak boleh diperbudak atau dijadikan tawanan, dan nafkah mereka wajib diberikan dari harta ayah-ayah mereka yang murtad, karena kewajiban nafkah tidak berbeda antara Islam dan kufur.

فَإِنْ مَاتُوا غُسِّلُوا وَصُلِّيَ عَلَيْهِمْ وَدُفِنُوا فِي مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ

Jika mereka meninggal, maka mereka dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا لَحِقَ الْمُرْتَدُّ بِدَارِ الْحَرْبِ كَانَتْ أَحْكَامُ الْحَيَاةِ جَارِيَةٌ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَمُتْ رَجُلًا كَانَ أَوِ امْرَأَةً

Dan apabila seorang murtad pergi ke negeri harbi, maka hukum-hukum kehidupan tetap berlaku atasnya selama ia belum mati, baik ia laki-laki maupun perempuan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَجْرِي عَلَى الْمَرْأَةِ أَحْكَامُ الْحَيَاةِ وَعَلَى الرَّجُلِ أَحْكَامُ الْمَوْتِ فَيُقَسَّمُ مَالُهُ بَيْنَ وَرَثَتِهِ وَيُعْتَقُ عَلَيْهِ مُدَبِّرُوهُ وَأُمَّهَاتُ أَوْلَادِهِ وَتَحِلُّ عَلَيْهِ دُيُونُهُ الْمُؤَجَّلَةُ فَإِنْ رَجَعَ إِلَى الْإِسْلَامِ رَجَعَ بِمَا بَقِيَ فِي أَيْدِي وَرَثَتِهِ مِنْ تَرِكَتِهِ الْبَاقِيَةِ وَلَمْ يَرْجِعْ بِمَا اسْتَهْلَكُوهُ وَقَدْ نَفَذَ عِتْقُ أُمَّهَاتِ أَوْلَادِهِ وَمُدَبِّرِيهِ وَلَا يَتَأَجَّلُ مَا حُكِمَ بِحُلُولِهِ مِنْ دُيُونِهِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa atas perempuan berlaku hukum-hukum kehidupan, sedangkan atas laki-laki berlaku hukum-hukum kematian, sehingga hartanya dibagi di antara para ahli warisnya, budak mudabbir dan umm al-walad-nya dimerdekakan, serta utang-utang yang masih tertunda menjadi jatuh tempo. Jika ia kembali kepada Islam, maka ia hanya berhak atas sisa harta peninggalannya yang masih ada di tangan para ahli warisnya, dan tidak berhak atas apa yang telah mereka habiskan. Pembebasan umm al-walad dan mudabbirnya tetap berlaku, dan utang-utang yang telah diputuskan jatuh tempo tidak dapat ditangguhkan kembali.

احْتِجَاجًا بِأَنَّ الرِّدَّةَ تُوجِبُ زَوَالَ الْمِلْكِ فَصَارَتْ كَالْمَوْتِ

Dengan alasan bahwa riddah menyebabkan hilangnya kepemilikan, sehingga kedudukannya menjadi seperti kematian.

وَدَلِيلُنَا أَنَّهُ حَيٌّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُوَرَّثَ كَسَائِرِ الْأَحْيَاءِ

Dalil kami adalah bahwa ia masih hidup, maka tidak boleh diwariskan sebagaimana makhluk hidup lainnya.

وَلِأَنَّ مَنْ جَازَ إِسْلَامُهُ مِنْ رِدَّتِهِ لَمْ يُقَسَّمْ مَالُهُ بَيْنَ وَرَثَتِهِ كَالْمُرْتَدِّ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ

Dan karena orang yang sah keislamannya setelah murtad, hartanya tidak dibagikan kepada para ahli warisnya, sebagaimana halnya orang murtad di negeri Islam.

وَلِأَنَّ مَنْ مَنَعَتْ دَارُ الْإِسْلَامِ مِنْ إِجْرَاءِ حُكْمِ الْمَوْتِ عَلَيْهِ مَنَعَتْ دَارُ الْحَرْبِ مِنْ إِجْرَاءِ حِكَمِ الْمَوْتِ عَلَيْهِ كَالْمُرْتَدَّةِ

Dan karena siapa pun yang Dar al-Islam mencegah diberlakukannya hukum mati atasnya, maka Dar al-Harb pun mencegah diberlakukannya hukum-hukum mati atasnya, seperti (hukum atas) wanita murtad.

وَقِيَاسُهُ مُنْتَقَضٌ بِالرِّدَّةِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ

Qiyās tersebut batal dengan adanya kasus riddah di negeri Islam.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا كَانَ مَا خَلَّفَهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِهِ فَإِنْ عَادَ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ وَأَخَذَ مَالَهُ سِرًّا أَوْ كَانَ قَدْ حَمَلَهُ حِينَ لَحِقَ بِدَارِ الْحَرْبِ ثُمَّ ظَهَرَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُغْنَمَ مَالُهُ وَكَانَ فِي أَمَانٍ مِنَّا

Maka apabila hal ini telah tetap, maka harta yang ditinggalkannya di Darul Islam tetap menjadi miliknya. Jika ia kembali dari Darul Harb dan mengambil hartanya secara diam-diam, atau ia telah membawanya ketika bergabung ke Darul Harb kemudian kaum Muslimin menguasainya, maka tidak boleh hartanya dijadikan ghanimah dan hartanya berada dalam jaminan (keamanan) dari kita.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ أَنْ يُغْنَمَ مَالُهُ اعْتِبَارًا بِحُكْمِ الدَّارِ

Abu Hanifah berkata, “Boleh harta mereka dirampas sebagai ghanimah dengan mempertimbangkan hukum wilayah (dār).”

وَاعْتِبَارُهُ عندنا بالمالك أولى كالمسلم

Dan menurut kami, pertimbangannya berdasarkan pemilik lebih utama, seperti halnya seorang Muslim.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَمَنْ بَلَغَ مِنْهُمْ إِنْ لَمْ يَتُبْ قُتِلَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Barang siapa di antara mereka yang telah baligh, jika tidak bertobat maka dibunuh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا بَلَغَ أَوْلَادُ المرتدين بعد الحكم بإسلامهم فلهم حالتان

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila anak-anak orang murtad telah mencapai usia dewasa setelah diputuskan keislaman mereka, maka mereka memiliki dua keadaan.”

أحدهما أَنْ يَقُومُوا بِعِبَادَاتِ الْإِسْلَامِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَسَائِرِ حُقُوقِهِ فَيُحْكَمُ لَهُمْ بِالْإِسْلَامِ فِيمَا لَهُمْ وَعَلَيْهِمْ وَلَا يُكَلِّفُونَ التَّوْبَةَ لِأَنَّهُ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِمْ فِيمَا تَقَدَّمَ حُكْمُ الرِّدَّةِ وَلَا خَرَجُوا فيما بعده من حكم الإسلام

Pertama, mereka melaksanakan ibadah-ibadah Islam seperti salat, puasa, dan hak-hak lainnya, maka mereka diperlakukan sebagai Muslim dalam hal hak dan kewajiban mereka. Mereka tidak dibebani kewajiban untuk bertobat karena sebelumnya tidak berlaku atas mereka hukum riddah, dan setelahnya pun mereka tidak keluar dari hukum Islam.

والحالة الثَّانِيَةُ أَنْ يَمْتَنِعُوا بَعْدَ الْبُلُوغِ مِنْ عِبَادَاتِ الْإِسْلَامِ فَيُسْأَلُوا عَنِ امْتِنَاعِهِمْ فَإِنِ اعْتَرَفُوا بِالْإِسْلَامِ وَامْتَنَعُوا مِنْ فِعْلِ عِبَادَاتِهِ كَانُوا عَلَى إِسْلَامِهِمْ وَأَخَذُوا بِمَا تَرَكُوهُ مِنَ الْعِبَادَاتِ بِمَا يُؤْخَذُ بِهِ غَيْرُهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Keadaan kedua adalah apabila mereka menolak untuk melaksanakan ibadah-ibadah Islam setelah mencapai usia baligh, maka mereka ditanya tentang penolakan mereka itu. Jika mereka mengakui keislaman namun tetap enggan melaksanakan ibadah-ibadahnya, maka mereka tetap dianggap sebagai Muslim dan dikenakan hukum atas ibadah yang mereka tinggalkan sebagaimana diberlakukan kepada Muslim lainnya.

فَإِنْ تَرَكُوا الصَّلَاةَ قُتِلُوا بِهَا وَإِنْ تَرَكُوا الزَّكَاةَ أُخِذَتْ مِنْهُمْ وَإِنْ تَرَكُوا الصِّيَامَ أُدِّبُوا وَحُبِسُوا

Jika mereka meninggalkan salat, mereka dihukum mati karenanya; jika mereka meninggalkan zakat, zakat itu diambil dari mereka; dan jika mereka meninggalkan puasa, mereka diberi sanksi dan dipenjara.

وَإِنْ أَنْكَرُوا الْإِسْلَامَ وَجَحَدُوهُ صَارُوا حِينَئِذٍ مُرْتَدِّينَ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الرِّدَّةِ بَعْدَ الْبُلُوغِ فَيُسْتَتَابُونَ فَإِنْ تَابُوا وَإِلَّا قَتَلُوا بِالرِّدَّةِ كَآبَائِهِمْ

Jika mereka mengingkari Islam dan menolaknya, maka saat itu mereka menjadi murtad dan berlaku atas mereka hukum-hukum riddah setelah baligh. Mereka diminta untuk bertobat; jika mereka bertobat maka diterima, jika tidak maka mereka dibunuh karena riddah seperti halnya orang tua mereka.

وَحَكَى ابْنُ سُرَيْجٍ قَوْلًا آخَرَ إنَّهُمْ يُقَرُّونَ عَلَى كُفْرِهِمْ كَغَيْرِهِمْ مِنَ الْكُفَّارِ الْمُقَرِّينَ عَلَى الْكُفْرِ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَعْتَرِفُوا بِالْإِسْلَامِ

Ibnu Surayj meriwayatkan pendapat lain bahwa mereka dibiarkan tetap dalam kekafiran mereka seperti orang-orang kafir lainnya yang diakui tetap dalam kekafiran, karena mereka tidak mengakui Islam.

وَهَذَا الْقَوْلُ سَهْوٌ مِنَ ابْنِ سُرَيْجٍ فِي تَخْرِيجِهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَذْهَبًا لِنَفْسِهِ فَيَفْسُدُ بِمَا ذَكَرْنَاهُ

Pendapat ini adalah kekeliruan dari Ibn Surayj dalam penarikan kesimpulannya, kecuali jika itu merupakan pendapat pribadinya sendiri, maka pendapat tersebut batal dengan apa yang telah kami sebutkan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنِ ارْتَدُّوا قَبْلَ بُلُوغِهِمْ لَمْ يَكُنْ لِرِدَّتِهِمْ حُكْمٌ وَكَذَلِكَ لَوْ أَسْلَمَ أَوْلَادُ أَهْلِ دَارِ الْحَرْبِ قَبْلَ الْبُلُوغِ لَمْ يَكُنْ لِإِسْلَامِهِمْ حُكْمٌ وَلَمْ يَصِحَّ مِنَ الصَّبِيِّ إِسْلَامٌ وَلَا رِدَّةٌ

Jika mereka murtad sebelum mencapai usia baligh, maka kemurtadan mereka tidak memiliki konsekuensi hukum. Demikian pula, jika anak-anak dari penduduk negeri harbi memeluk Islam sebelum baligh, maka keislaman mereka tidak memiliki konsekuensi hukum. Tidak sah dari seorang anak kecil baik keislaman maupun kemurtadannya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَصِحُّ إِسْلَامُ الصَّبِيِّ وَرِدَّتُهُ وَلَا يُقْتَلُ بِهَا

Abu Hanifah berpendapat bahwa sah keislaman seorang anak kecil dan juga kemurtadannya, namun ia tidak dihukum mati karena kemurtadannya itu.

احْتِجَاجًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فأبواه يهودانه أن يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ حَتَّى يُعْرِبَ عَنْ لِسَانِهِ فَإِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Sebagai hujjah dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Setiap anak yang dilahirkan berada di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, hingga ia dapat mengungkapkan dengan lisannya, apakah ia menjadi orang yang bersyukur atau orang yang ingkar.”

فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَا أَعْرَبَ لِسَانُهُ عَنْهُ مِنَ الْإِسْلَامِ أَوِ الرِّدَّةِ صَحِيحًا وَلِأَنَّهُ مِمَّنْ يَصِحُّ مِنْهُ فِعْلُ الْعِبَادَةِ فَصَحَّ مِنْهُ الْإِسْلَامُ وَالرِّدَّةُ كَالْبَالِغِ

Maka hal itu menuntut bahwa apa yang diungkapkan lisannya, baik tentang Islam maupun riddah, adalah sah; karena ia termasuk orang yang sah darinya pelaksanaan ibadah, maka sah pula darinya keislaman dan riddah, sebagaimana orang yang sudah baligh.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

Dan dalil kami adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Pena diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia bermimpi basah.”

وَرَفْعُهُ عَنْهُ يَمْنَعُ مِنْ أَنْ يُجْرَى عَلَى اعْتِقَادِهِ حُكْمٌ

Pengangkatan (taklif) darinya mencegah diberlakukannya suatu hukum atas keyakinannya.

وَلِأَنَّهُ غَيْرُ مُكَلَّفٍ فَلَمْ يَصِحَّ مِنْهُ الِاعْتِقَادُ لِإِسْلَامٍ وَلَا رِدَّةٍ كَالْمَجْنُونِ وَلِأَنَّ مَا لَا يُسْتَحَقُّ بِهِ قَتْلُ الرِّدَّةِ لَمْ يَثْبُتْ بِهِ حُكْمُ الرِّدَّةِ كَسَائِرِ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ الَّتِي لَا تَكُونُ رِدَّةً

Dan karena ia bukan mukallaf, maka tidak sah darinya keyakinan untuk Islam maupun riddah, seperti halnya orang gila. Dan karena sesuatu yang tidak menyebabkan berhaknya hukuman mati karena riddah, tidaklah ditetapkan hukum riddah atasnya, seperti berbagai ucapan dan perbuatan lain yang bukan merupakan riddah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فَهُوَ أَنَّ إِعْرَابَ لِسَانِهِ عَنْهُ يَكُونُ بِبُلُوغِهِ إِنْ صَحَّتْ هَذِهِ الزِّيَادَةُ

Adapun jawaban terhadap hadis tersebut adalah bahwa penjelasan lisannya tentang hal itu terjadi ketika ia telah baligh, jika tambahan ini memang sahih.

وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْبَالِغِ فَلَا يَصِحُّ لِوُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا فِي الْقَتْلِ بِالرِّدَّةِ فَوَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي أَصْلِ الرِّدَّةِ كَمَا يَقَعُ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا في العقود والأحكام

Adapun qiyās terhadap orang dewasa, maka tidak sah karena terdapat perbedaan antara keduanya dalam hal hukuman mati karena riddah, sehingga terdapat perbedaan antara keduanya dalam pokok perkara riddah, sebagaimana terdapat perbedaan antara keduanya dalam akad-akad dan hukum-hukum.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَمَنْ وُلِدَ لِلْمُرْتَدِّينَ فِي الرِّدَّةِ لَمْ يُسْبَ لِأَنَّ آبَاءَهُمْ لَمْ يُسْبَوْا

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Anak yang lahir dari orang tua murtad saat mereka dalam keadaan murtad, tidak menjadi tawanan, karena orang tua mereka pun tidak dijadikan tawanan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي أَوْلَادِ الْمُرْتَدِّينَ قَبْلَ الرِّدَّةِ

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan mengenai anak-anak orang murtad sebelum terjadinya riddah.

فَأَمَّا أَوْلَادُهُمْ بَعْدَ الرِّدَّةِ وَهُمُ الْمَوْلُودُونَ لَهُمْ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَصَاعِدًا مِنْ رِدَّتِهِمْ

Adapun anak-anak mereka setelah murtad, yaitu yang lahir bagi mereka setelah enam bulan atau lebih sejak kemurtadan mereka.

فَإِنْ كَانَ أَحَدَ أَبَوَيْهِمْ مُسْلِمًا فَهُمْ مُسْلِمُونَ لَا تَجْرِي عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الرِّدَّةِ وَكَانُوا كَالْمَوْلُودِينَ قَبْلَ الْإِسْلَامِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ

Jika salah satu dari kedua orang tua mereka adalah seorang Muslim, maka mereka (anak-anak) dihukumi sebagai Muslim; hukum riddah tidak berlaku atas mereka, dan mereka diperlakukan seperti anak-anak yang lahir sebelum datangnya Islam, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَإِنْ كَانَ أَبَوَاهُمْ مُرْتَدِّينَ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِمْ حُكْمُ الْإِسْلَامِ بِأَنْفُسِهِمْ وَلَا بِغَيْرِهِمْ فَفِيهَا قَوْلَانِ

Jika kedua orang tua mereka adalah murtad, maka hukum Islam tidak berlaku atas mereka, baik karena diri mereka sendiri maupun karena selain mereka. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَصَحُّ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ إنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ الرِّدَّةِ إِلْحَاقًا بِآبَائِهِمْ فَلَا يَجُوزُ سَبْيُهُمْ وَلَا اسْتِرْقَاقُهُمْ كَآبَائِهِمْ

Salah satu pendapat, dan inilah yang paling sahih serta dinyatakan secara tegas dalam masalah ini, adalah bahwa hukum riddah berlaku atas mereka, disamakan dengan orang tua mereka, sehingga tidak boleh diperbudak atau dijadikan tawanan, sebagaimana halnya orang tua mereka.

لَكِنْ لَا يُقْتَلُونَ إِلَّا بَعْدَ بُلُوغِهِمْ وَامْتِنَاعِهِمْ مِنَ التَّوْبَةِ

Namun, mereka tidak boleh dibunuh kecuali setelah mencapai usia baligh dan menolak untuk bertobat.

فَإِنْ مَاتُوا قَبْلَ الْبُلُوغِ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُورَثُوا وَكَانَ مَالُهُمْ فَيْئًا

Jika mereka meninggal sebelum baligh, maka tidak dishalatkan atas mereka, mereka tidak mendapatkan warisan, dan harta mereka menjadi fai’.

فيكونوا عَلَى هَذَا الْقَوْلِ مُوَافِقِينَ لِلْمَوْلُودِينَ قَبْلَ الرِّدَّةِ مِنْ وَجْهٍ وَهُوَ أَنَّهُمْ لَا يُسْبَوْنَ وَلَا يُسْتَرَقُونَ وَمُخَالِفِينَ لَهُمْ مِنْ وَجْهٍ وَهُوَ أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ الرِّدَّةِ قَبْلَ بُلُوغِهِمْ وَيَجْرِي عَلَى الْمَوْلُودِينَ حُكْمُ الْإِسْلَامِ قَبْلَ بُلُوغِهِمْ

Dengan demikian, menurut pendapat ini, mereka sejalan dengan anak-anak yang lahir sebelum terjadinya riddah dalam satu hal, yaitu mereka tidak diperbudak dan tidak dijadikan budak, namun berbeda dalam hal lain, yaitu hukum riddah berlaku atas mereka sebelum mereka baligh, sedangkan hukum Islam berlaku atas anak-anak yang lahir sebelum riddah sebelum mereka baligh.

الْقَوْلُ الثَّانِي إنَّهُمْ مُخَالِفُونَ لِآبَائِهِمْ فَيَكُونُوا كُفَّارًا لَمْ يَثْبُتْ لَهُمْ حُرْمَةُ الْإِسْلَامِ لِأَنَّ آبَاءَهُمْ وَصَفُوا الْإِسْلَامَ فَثَبَتَتْ فِيهِمْ حُرْمَتُهُ وَهَؤُلَاءِ لَمْ يُولَدُوا فِي إِسْلَامِ آبَائِهِمْ وَلَا وَصَفُوهُ بِأَنْفُسِهِمْ فَانْتَفَتْ عَنْهُمْ حُرْمَةُ الْإِسْلَامِ بِهِمْ وَبِآبَائِهِمْ

Pendapat kedua menyatakan bahwa mereka berbeda dengan orang tua mereka, sehingga mereka dianggap kafir dan tidak tetap bagi mereka kehormatan Islam. Sebab, orang tua mereka telah menyifati Islam sehingga tetaplah kehormatan Islam pada mereka, sedangkan anak-anak ini tidak lahir dalam keadaan Islam orang tua mereka dan juga tidak menyifati Islam itu sendiri, maka hilanglah dari mereka kehormatan Islam, baik karena diri mereka sendiri maupun karena orang tua mereka.

فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ سَبْيُهُمْ وَاسْتِرْقَاقُهُمْ كَأَوْلَادِ أَهْلِ الْحَرْبِ لَكِنْ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَرُّوا بَعْدَ الِاسْتِرْقَاقِ عَلَى كُفْرِهِمْ لِدُخُولِهِمْ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ نُزُولِ الْقُرْآنِ

Dengan demikian, boleh diperbudak dan dijadikan tawanan mereka seperti anak-anak dari ahl al-harb, namun tidak boleh dibiarkan tetap dalam kekafiran setelah diperbudak, karena mereka telah masuk dalam kekafiran setelah turunnya Al-Qur’an.

وَمَنْ أُسِرَ مِنْهُمْ بَعْدَ الْبُلُوغِ كَانَ الْإِمَامُ عَلَى خِيَارِهِ فِيهِمْ كَأَهْلِ الْحَرْبِ بَيْنَ أَرْبَعَةِ أشياء قتل أو استرقاق أو فدا أو من

Dan siapa saja dari mereka yang ditawan setelah baligh, maka imam memiliki pilihan terhadap mereka sebagaimana terhadap ahl al-harb, yaitu di antara empat hal: dibunuh, diperbudak, ditebus, atau dibebaskan.

فيكونوا مُخَالِفِينَ لِلْمَوْلُودِينَ قَبْلَ الرِّدَّةِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Maka mereka berbeda dengan orang-orang yang dilahirkan sebelum murtad dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إنَّهُ لَا يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ الْإِسْلَامِ قَبْلَ بُلُوغِهِمْ وَإِنْ جَرَى حُكْمُهُ عَلَى الْمَوْلُودِ قَبْلَ الرِّدَّةِ

Salah satunya adalah bahwa hukum Islam tidak berlaku atas mereka sebelum mereka baligh, meskipun hukum Islam berlaku atas anak yang baru lahir sebelum murtad.

وَالثَّانِي إنَّهُ يَجُوزُ سَبْيُهُمْ وَاسْتِرْقَاقُهُمْ وَإِنْ لَمْ يَجُزْ ذَلِكَ فِي الْمَوْلُودِ قَبْلَ الرِّدَّةِ

Kedua, sesungguhnya boleh menawan mereka dan memperbudak mereka, meskipun hal itu tidak boleh dilakukan terhadap anak yang lahir sebelum murtad.

فَصْلٌ

Bagian

وَلَا فَرْقَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا بَيْنَ أَنْ يُولَدُوا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ فِي دَارِ الْحَرْبِ

Dan tidak ada perbedaan menurut kedua pendapat tersebut, baik mereka dilahirkan di Dar al-Islam maupun di Dar al-Harb.

وَفَرَّقَ أَبُو حَنِيفَةَ بَيْنَهُمَا فَقَالَ إِنْ وُلِدُوا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لَمْ يَجُزْ سَبْيُهُمْ وَلَا اسْتِرْقَاقُهُمْ وَإِنْ وُلِدُوا فِي دَارِ الْحَرْبِ جَازَ سَبْيُهُمْ وَاسْتِرْقَاقُهُمْ

Abu Hanifah membedakan antara keduanya, beliau berkata: Jika mereka lahir di wilayah Islam, maka tidak boleh diperbudak atau dijadikan tawanan, namun jika mereka lahir di wilayah perang, maka boleh diperbudak dan dijadikan tawanan.

احْتِجَاجًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنَعَتْ دَارُ الْإِسْلَامِ مَا فِيهَا وَأَبَاحَتْ دَارُ الشِّرْكِ مَا فِيهَا

Sebagai hujjah dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dar al-Islam melindungi apa yang ada di dalamnya dan Dar al-Syirk membolehkan apa yang ada di dalamnya.”

قَالَ وَلِأَنَّ الذِّمِّيَّ إِذَا نَقَضَ عَهْدَهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَرَقَّ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَجَازَ أَنْ يُسْتَرَقَّ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَذَلِكَ وَلَدُ الْمُرْتَدِّ

Ia berkata: Karena seorang dzimmi apabila melanggar perjanjiannya, tidak boleh dijadikan budak di wilayah Islam, namun boleh dijadikan budak di wilayah perang; demikian pula anak orang murtad.

وَدَلِيلُنَا فِي التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الدَّارَيْنِ فِي حُكْمِ الرِّدَّةِ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إله إلا الله فإذا قَالُوا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا

Dalil kami dalam menyamakan hukum antara dua negeri dalam perkara riddah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘Lā ilāha illā Allāh’. Jika mereka telah mengucapkannya, maka mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya.”

وَلَمْ يُفَرَّقْ فِيهِمْ بَيْنَ الدَّارَيْنِ

Dan tidak dibedakan di antara mereka antara dua negeri.

وَلِأَنَّ حُكْمَ الدَّارِ مُعْتَبَرٌ بِأَهْلِهَا فَهِيَ تَابِعَةٌ وَلَيْسَتْ مَتْبُوعَةً

Karena hukum suatu negeri itu mengikuti penduduknya, maka negeri tersebut bersifat mengikuti, bukan yang diikuti.

وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يَجُزِ اسْتِرْقَاقُهُ إِذَا وُلِدَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لَمْ يَجُزِ اسْتِرْقَاقُهُ إِذَا وُلِدَ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَالَّذِي أَحَدُ أَبَوَيْهِ مُسْلِمٌ وَمِنْ جَازَ اسْتِرْقَاقُهُ إِذَا وُلِدَ فِي دَارِ الْحَرْبِ جَازَ اسْتِرْقَاقُهُ إِذَا وُلِدَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ كَوَلَدِ الْحَرْبِيِّينَ

Dan karena siapa yang tidak boleh diperbudak jika lahir di wilayah Islam, maka tidak boleh pula diperbudak jika lahir di wilayah perang, seperti anak yang salah satu dari kedua orang tuanya adalah Muslim. Dan siapa yang boleh diperbudak jika lahir di wilayah perang, maka boleh pula diperbudak jika lahir di wilayah Islam, seperti anak dari kedua orang tua non-Muslim yang berada dalam keadaan perang (harbiy).

فَأَمَّا الْخَبَرُ فَمَحْمُولٌ عَلَى تَغْلِيبِ حُكْمِ الْعُمُومِ دُونَ الْخُصُوصِ

Adapun khabar itu ditafsirkan dengan mengedepankan hukum keumuman, bukan kekhususan.

وَأَمَّا نَاقِضُ الذِّمَّةِ فَلَمْ نَعْتَبِرْ نَحْنُ وَلَا هُمْ فِيهِ حُكْمَ الْوِلَادَةِ وَجَازَ اسْتِرْقَاقُهُ وَسَبْيُهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَمْ يَجُزْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لِأَنَّ عَلَيْنَا أَنْ نُبْلِغَهُ مَأْمَنَهُ إِذَا نَقَضَ عَهْدَهُ فَلِذَلِكَ مَا افْتَرَقَ حُكْمُهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الْحَرْبِ وَخَالَفَ الْمُرْتَدُّ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُنَا أن نبلغه مأمنه

Adapun orang yang membatalkan dzimmah, maka baik menurut kami maupun menurut mereka, tidak diberlakukan hukum kelahiran atasnya. Ia boleh diperbudak dan ditawan di wilayah perang, namun tidak boleh di wilayah Islam, karena kita wajib mengantarkannya ke tempat amannya jika ia membatalkan perjanjiannya. Oleh karena itu, hukumnya berbeda antara di wilayah Islam dan wilayah perang, dan berbeda dengan murtad, karena kita tidak wajib mengantarkannya ke tempat amannya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه وَإِنِ ارْتَدَّ مُعَاهَدُونَ وَلَحِقُوا بِدَارِ الْحَرْبِ وَعِنْدَنَا لَهُمْ ذَرَارِيٌّ لَمْ نَسْبِهِمْ وَقُلْنَا إِذَا بَلَغُوا لَكُمُ الْعَهْدَ إِنْ شِئْتُمْ وَإِلَّا نَبَذْنَا إِلَيْكُمْ ثُمَّ أَنْتُمْ حَرْبٌ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Jika ada orang-orang mu‘āhad yang murtad lalu bergabung ke Dār al-Ḥarb, sementara di sisi kita masih ada anak-anak mereka, maka kita tidak memperbudak mereka. Kita katakan kepada mereka: Jika kalian telah dewasa, kalian tetap mendapatkan perlindungan (‘ahd) sebagaimana sebelumnya jika kalian menghendaki, atau jika tidak, maka kami akan mengembalikan perjanjian itu kepada kalian, kemudian kalian menjadi musuh (ḥarb) bagi kami.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْعَهْدِ أَقَامُوا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ بِأَمَانٍ عَقَدَهُ الْإِمَامُ لَهُمْ عَلَى نُفُوسِهِمْ وَذَرَارِيِّهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ ثُمَّ نَقَضُوا الْعَهْدَ وَلَحِقُوا بِدَارِ الْحَرْبِ وَخَلَّفُوا أَمْوَالَهُمْ وَذَرَّارِيَّهُمْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ زَالَ الْأَمَانُ عَنْهُمْ وَصَارُوا حَرْبًا يُقْتَلُونَ إِذَا قُدِرَ عَلَيْهِمْ وَكَانَ الْأَمَانُ بَاقِيًا فِي ذَرَارِيهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ لَا يَجُوزُ أَنْ تُسْبَى الذَّرَارِيُّ وَلَا تُغْنَمُ الْأَمْوَالُ وَإِنْ كَانُوا فِي عَقْدِ الْأَمَانِ تَبَعًا لِأَنَّ الْأَمَانَ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَعْقِدَهُ الْحَرْبِيُّ لِمَالِهِ دُونَ نَفْسِهِ بِأَنْ يَكُونَ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَيَأْخُذُ أَمَانًا لِمَالٍ يَحْمِلُهُ إِلَى دار الإسلام لتجارة أو ديعة فَيَكُونُ الْمَالِكُ حَرْبًا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ وَيَكُونُ مَالُهُ سِلْمًا لَا يَجُوزُ أَنْ يُغْنَمَ

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasus ini adalah sekelompok orang dari ahl al-‘ahd yang tinggal di wilayah Islam dengan jaminan keamanan yang diadakan oleh imam atas diri, anak keturunan, dan harta mereka. Kemudian mereka melanggar perjanjian itu dan pergi ke wilayah perang, sementara mereka meninggalkan harta dan anak keturunan mereka di wilayah Islam. Maka, jaminan keamanan atas diri mereka hilang dan mereka menjadi musuh yang boleh dibunuh jika tertangkap. Namun, jaminan keamanan tetap berlaku atas anak keturunan dan harta mereka; tidak boleh anak keturunan mereka dijadikan tawanan dan harta mereka tidak boleh dirampas, meskipun mereka termasuk dalam perjanjian keamanan secara ikut-ikutan. Sebab, jaminan keamanan boleh saja diadakan oleh seorang harbi hanya untuk hartanya tanpa untuk dirinya, misalnya ia berada di wilayah perang lalu mengambil jaminan keamanan untuk hartanya yang akan dibawa ke wilayah Islam untuk tujuan perdagangan atau titipan. Maka, pemilik harta itu tetap berstatus musuh yang boleh dibunuh, sedangkan hartanya berstatus aman dan tidak boleh dirampas.

وَيَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ الْأَمَانَ لِنَفْسِهِ دُونَ مَالِهِ فَيَكُونُ الْمَالِكُ سِلْمًا لَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ وَيَكُونُ الْمَالُ سَبْيًا يَجُوزُ أَنْ يُغْنَمَ

Dan boleh seseorang mengambil perlindungan (aman) untuk dirinya sendiri tanpa hartanya, sehingga pemiliknya menjadi orang yang dilindungi dan tidak boleh dibunuh, sedangkan hartanya menjadi harta rampasan yang boleh diambil sebagai ghanimah.

وَكَذَلِكَ حُكْمُهُ مَعَ ذُرِّيَّتِهِ يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ الْأَمَانَ لَهُ دُونَهُمْ وَلَهُمْ دُونَهُ فَإِذَا اشْتَمَلَ عَقْدَ أَمَانِهِ عَلَى نَفْسِهِ وَذُرِّيَّتِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ نَقَضَ أَمَانَهُ وَلَحِقَ بِدَارِ الْحَرْبِ زَالَ أَمَانُ نَفْسِهِ وَبَقِيَ أَمَانُ ذُرِّيَّتِهِ وَمَالِهِ فَلَا تُسْبَى الذُّرِّيَّةُ وَلَا يُغْنَمُ الْمَالُ

Demikian pula hukumnya dengan keturunannya, boleh baginya mengambil aman untuk dirinya tanpa mereka, dan untuk mereka tanpa dirinya. Jika akad aman yang diambilnya mencakup dirinya, keturunannya, dan hartanya, kemudian ia membatalkan amannya dan pergi ke wilayah perang, maka aman untuk dirinya menjadi batal, sedangkan aman untuk keturunannya dan hartanya tetap berlaku. Maka keturunannya tidak boleh dijadikan tawanan dan hartanya tidak boleh dirampas.

وَلَوْ أَخْرَجَ مَعَهُ حِينَ لَحِقَ بِدَارِ الْحَرْبِ ذُرِّيَّتَهُ وَمَالَهُ انْتَقَضَ أَمَانُ مَالِهِ وَذُرِّيَّتِهِ وَجَازَ غَنِيمَةُ مَالِهِ وَاسْتِرْقَاقُ ذُرِّيَّتِهِ لِأَنَّ إِخْرَاجَهُمَا مَعَهُ نَقْضٌ لِأَمَانِهِمَا وَأَمَانِهِ

Dan jika seseorang membawa serta keluarganya dan hartanya ketika ia bergabung ke negeri harb, maka jaminan keamanan atas harta dan keluarganya batal, dan boleh diambil sebagai ghanīmah (harta rampasan perang) hartanya serta diperbudak keluarganya, karena membawa keduanya bersamanya merupakan pembatalan atas jaminan keamanan bagi keduanya dan juga jaminan keamanannya sendiri.

وَلَوْ خَلَّفَهُمَا لَبَقِيَ أَمَانُهُمَا مَعَ زَوَالِ أَمَانِهِ

Dan jika ia meninggalkan keduanya, maka tetaplah aman keduanya meskipun keamanan dirinya telah hilang.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ نَقْضَ أَمَانِهِ لَا يَكُونُ نَقْضًا لِأَمَانِ مَا خَلَّفَهُ مِنْ ذُرِّيَّتِهِ وَمَالِهِ فَسَوَاءٌ حَارَبَنَا بَعْدَ لُحُوقِهِ بِدَارِ الْحَرْبِ أَوْ كَفَّ عَنَّا يَجِبُ عَلَيْنَا حِفْظُ ذُرِّيَّتِهِ وَمَالِهِ وَتَقَرّ الذُّرِّيَّةُ إِلَى أَنْ يَبْلُغُوا سَوَاءٌ كَانَ الْمُعَاهَدُ حَيًّا أَوْ مَيِّتًا

Jika telah dipastikan bahwa pembatalan aman (jaminan keamanan) terhadap dirinya tidak berarti pembatalan aman terhadap keturunan dan hartanya yang ia tinggalkan, maka baik ia memerangi kita setelah kembali ke negeri harbi maupun ia berhenti memerangi kita, kita tetap wajib menjaga keturunan dan hartanya. Keturunannya tetap berada dalam perlindungan sampai mereka dewasa, baik orang yang mendapat perjanjian itu masih hidup maupun sudah meninggal.

فَإِذَا بَلَغُوا خَيَّرَهُمُ الْإِمَامُ بَيْنَ الْمُقَامِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَبَيْنَ الْعَوْدِ إِلَى دَارِ الْحَرْبِ فَإِنِ اخْتَارُوا الْعَوْدَ إِلَى دَارِ الْحَرْبِ لَزِمَهُ أَنْ يُبْلِغَهُمْ مَأْمَنَهُمْ ثُمَّ يَكُونُوا بَعْدَ بُلُوغِهِمْ حَرْبًا

Maka apabila mereka telah sampai, imam memberi pilihan kepada mereka antara tetap tinggal di Dar al-Islam atau kembali ke Dar al-Harb. Jika mereka memilih kembali ke Dar al-Harb, maka wajib bagi imam untuk mengantarkan mereka sampai ke tempat aman mereka. Setelah mereka sampai, mereka kembali menjadi musuh.

وَإِنِ اخْتَارُوا الْمُقَامَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ أَقَرَّهُمْ فِيهَا عَلَى إِحْدَى حَالَتَيْنِ

Dan jika mereka memilih untuk tetap tinggal di negeri Islam, maka mereka dibolehkan menetap di sana dalam salah satu dari dua keadaan.

إِمَّا بِجِزْيَةٍ يَبْذُلُونَهَا أَوْ بِعَهْدٍ يَسْتَأْنِفُونَهُ

Baik dengan membayar jizyah yang mereka serahkan, atau dengan perjanjian yang mereka adakan kembali.

لِأَنَّ أَمَانَهُمْ بِالْعَهْدِ مُقَدَّرٌ بَعْدَ الْبُلُوغِ وَغَيْرُ مُقَدَّرٍ قَبْلَ الْبُلُوغِ فَيَجُوزُ أَمَانُهُمْ قَبْلَ الْبُلُوغِ بِسِنِينَ كَثِيرَةٍ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبْلُغَ أَمَانُهُمْ بَعْدَ الْبُلُوغِ سَنَةً لِأَنَّهُمْ قَبْلَ الْبُلُوغِ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْجِزْيَةِ وَهُمْ بَعْدَ الْبُلُوغِ مِنْ أَهْلِهَا

Karena keamanan mereka berdasarkan perjanjian ditentukan setelah mereka baligh, dan tidak ditentukan sebelum mereka baligh. Maka boleh memberikan keamanan kepada mereka sebelum baligh untuk waktu yang sangat lama, namun tidak boleh keamanan mereka setelah baligh melebihi satu tahun. Sebab, sebelum baligh mereka bukan termasuk ahli jizyah, sedangkan setelah baligh mereka termasuk ahli jizyah.

وَأَمَّا مَالُهُ فَمُقَرٌّ عَلَى مِلْكِهِ مَا بَقِيَ حَيًّا عَلَى حُرِّيَّتِهِ وَلَهُ إِنْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ حَالَتَانِ

Adapun hartanya, maka tetap diakui sebagai miliknya selama ia masih hidup dan dalam keadaan merdeka. Jika keadaannya berubah, maka ada dua kemungkinan.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَمُوتَ

Salah satunya adalah jika salah satu dari mereka meninggal.

وَالثَّانِيَةُ أَنْ يُسْتَرَقَّ

Dan yang kedua adalah dijadikan budak.

فَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ فَفِي مَالِهِ قَوْلَانِ

Jika ia meninggal atau terbunuh, maka mengenai hartanya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُغْنَمُ فَيْئًا لِبَيْتِ الْمَالِ لِاخْتِصَاصِهِ بِالْأَمَانِ عَلَى مَالِهِ دُونَ وَرَثَتِهِ

Salah satunya adalah harta rampasan yang menjadi fai’ untuk Baitul Mal, karena ia secara khusus mendapatkan jaminan keamanan atas hartanya, tidak seperti para ahli warisnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَكُونُ مَوْرُوثًا عَنْهُ لِوَرَثَتِهِ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ دُونَ أَهْلِ الذِّمَّةِ لِأَنَّ أَهْلَ الذِّمَّةِ وَأَهْلَ الْحَرْبِ لَا يَتَوَارَثُونَ لِارْتِفَاعِ الْمُوَالَاةِ بَيْنَهُمْ وَإِنَّمَا كَانَ مَالُهُ بَاقِيًا عَلَى وَرَثَتِهِ لِأَنَّهُمْ يَقُومُونَ فِيهِ مَقَامَهُ فَانْتَقَلَ إِلَيْهِمْ بِحُقُوقِهِ وَالْأَمَانُ مِنْ حُقُوقِ الْمَالِ فَصَارَ مَوْرُوثًا كَالْمَالِ فَإِنْ مَاتَ الْوَارِثُ انْتَقَلَ إِلَى وَارِثِهِ كَذَلِكَ أَبَدًا

Pendapat kedua menyatakan bahwa harta tersebut menjadi warisan bagi ahli warisnya dari kalangan ahl al-harb, bukan dari ahl al-dzimmah, karena antara ahl al-dzimmah dan ahl al-harb tidak saling mewarisi disebabkan hilangnya hubungan wala’ di antara mereka. Harta itu tetap menjadi milik ahli warisnya karena mereka menggantikan posisinya, sehingga harta itu berpindah kepada mereka beserta hak-haknya. Jaminan keamanan termasuk hak-hak yang berkaitan dengan harta, sehingga menjadi warisan seperti halnya harta. Jika ahli waris tersebut meninggal, maka harta itu berpindah kepada ahli warisnya yang berikutnya, demikian seterusnya selamanya.

وإن استرق مالك المال فالاستراقاق يُزِيلُ الْمِلْكَ كَالْمَوْتِ فَفِي الْمَالِ قَوْلَانِ

Jika pemilik harta menjadi budak, maka perbudakan itu menghilangkan kepemilikan seperti halnya kematian; maka mengenai harta tersebut terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُغْنَمُ فَيْئًا لِبَيْتِ الْمَالِ

Salah satunya adalah diperolehnya fai’ untuk Baitul Mal.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَكُونُ مَوْقُوفًا لَا يَنْتَقِلُ إِلَى وَارِثِهِ لِأَنَّهُ حَيٌّ وَلَا إِلَى مُسْتَرِقِّهِ لِأَنَّهُ مَالٌ لَهُ أَمَانٌ وَرُوعِيَتْ حَالُهَ بَعْدَ الِاسْتِرْقَاقِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa (harta tersebut) tetap tertahan dan tidak berpindah kepada ahli warisnya karena ia masih hidup, dan tidak pula kepada orang yang memperbudaknya karena itu adalah harta yang memiliki jaminan keamanan, serta keadaannya setelah diperbudak tetap diperhatikan.

فَإِنْ عُتِقَ دُفِعَ الْمَالُ إِلَيْهِ بِقَدِيمِ مِلْكِهِ

Jika ia dimerdekakan, maka harta itu diserahkan kepadanya berdasarkan kepemilikan lamanya.

وَإِنْ مَاتَ عَبْدًا فَفِي مَالِهِ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ

Jika seorang budak meninggal dunia, maka mengenai hartanya terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Abi Hurairah.

أَحَدُهُمَا يَكُونُ مَغْنُومًا لِبَيْتِ الْمَالِ فَيْئًا وَلَا يَكُونُ مَوْرُوثًا لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا يُورَثُ

Salah satunya adalah menjadi harta rampasan untuk Baitul Mal sebagai fai’, dan tidak menjadi harta warisan karena budak tidak dapat diwariskan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَكُونُ لِوَرَثَتِهِ لِأَنَّهُ مِلْكُهُ فِي حُرِّيَّتِهِ فَانْتَقَلَ إِلَى وَرَثَتِهِ بِحُكْمِ الْحُرِّيَّةِ حَتَّى جَرَى عَلَى بَقَاءِ مِلْكِهِ حُكْمُ الْحُرِّيَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa (harta tersebut) menjadi milik ahli warisnya, karena itu adalah miliknya dalam keadaan merdeka, sehingga berpindah kepada ahli warisnya berdasarkan hukum kemerdekaan, hingga tetap berlaku atas kepemilikannya hukum kemerdekaan. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِنِ ارْتَدَّ سَكْرَانُ فَمَاتَ كَانَ مَالُهُ فَيْئًا وَلَا يُقْتَلُ إِنْ لَمْ يَتُبْ حَتَّى يَمْتَنِعَ مُفِيقًا قَالَ الْمُزَنِيُّ قُلْتُ إِنَّ هَذَا دَلِيلٌ عَلَى طَلَاقِ السَّكْرَانِ الَّذِي لَا يُمَيِّزُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seorang mabuk murtad lalu meninggal, maka hartanya menjadi fai’ dan ia tidak dibunuh jika tidak bertobat sampai ia sadar dan menolak (bertobat).” Al-Muzani berkata, “Saya katakan, ini adalah dalil bahwa talak orang mabuk yang tidak dapat membedakan (keadaan) tidak sah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ تصح ردة السكران وإسلامه كما يصح عنقه وَطَلَاقُهُ

Al-Mawardi berkata, “Dan hal ini sebagaimana yang telah dikatakan: sah riddah orang yang sedang mabuk dan keislamannya, sebagaimana sah pula pembebasan budaknya dan talaknya.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا تَصِحُّ رِدَّتُهُ وَلَا إِسْلَامُهُ وَإِنْ صَحَّ عِتْقُهُ وَطَلَاقُهُ

Abu Hanifah berkata: Murtadnya dan keislamannya tidak sah, meskipun sah pembebasan budaknya dan talaknya.

احْتِجَاجًا بِأَنَّ الْإِسْلَامَ وَالْكُفْرَ يَتَعَلَّقَانِ بِالِاعْتِقَادِ الْمُخْتَصِّ بِالْقَلْبِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ النحل 106

Dengan alasan bahwa Islam dan kufur berkaitan dengan keyakinan yang khusus berada di dalam hati, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Kecuali orang yang dipaksa sedang hatinya tetap tenang dalam keimanan.” (an-Nahl: 106)

وَلَيْسَ يَصِحُّ مِنَ السَّكْرَانِ اعْتِقَادٌ يَتَعَلَّقُ بِهِ كُفْرٌ وَإِيمَانٌ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ بَاطِلًا

Dan tidak sah dari orang yang mabuk suatu keyakinan yang berkaitan dengannya kekufuran dan keimanan, maka hal itu menuntut untuk dianggap batal.

قَالَ وَلِأَنَّهُ لَا عَقْلَ لَهُ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَصِحَّ رِدَّتُهُ وَلَا إِسْلَامُهُ كَالْمَجْنُونِ

Ia berkata: Karena ia tidak berakal, maka wajib bahwa riddahnya maupun keislamannya tidak sah, seperti halnya orang gila.

وَدَلِيلُنَا مَا انْعَقَدَ عَلَيْهِ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رضي الله عنهم مِنْ تَكْلِيفِ السَّكْرَانِ بِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ شَاوَرَ الصَّحَابَةَ فِي حَدِّ الْخَمْرِ وَقَالَ أَرَى النَّاسَ قَدْ تَهَافَتُوا وَاسْتَهَانُوا بِحَدِّهِ فَمَاذَا تَرَوْنَ

Dan dalil kami adalah apa yang telah menjadi ijmā‘ para sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang pembebanan tanggung jawab kepada orang yang mabuk, berdasarkan riwayat bahwa ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu bermusyawarah dengan para sahabat mengenai hukuman had untuk khamr, lalu beliau berkata, “Aku melihat orang-orang telah berani dan meremehkan hukumannya. Maka bagaimana pendapat kalian?”

فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أبي طالب عليه السلام أَرَى أَنْ يُحَدَّ ثَمَانِينَ لِأَنَّهُ إِذَا شَرِبَ سَكِرَ وَإِذَا سَكِرَ هَذَى وَإِذَا هَذَى افْتَرَى فَيُحَدُّ حَدَّ الْمُفْتَرِي

Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Menurutku, pelakunya harus dikenai hukuman delapan puluh cambukan, karena jika seseorang minum (khamr), ia akan mabuk; jika ia mabuk, ia akan mengigau; dan jika ia mengigau, ia akan berbuat dusta (menuduh tanpa bukti), maka ia dikenai hukuman seperti hukuman bagi orang yang berbuat dusta (qadzaf).”

فَوَافَقَهُ عُمَرُ وَالصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى هَذَا وَحَدُّوهُ حَدَّ الْمُفْتَرِي ثمانين

Umar dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum pun menyetujui hal itu, lalu mereka menetapkan hukumannya seperti hukuman bagi orang yang membuat tuduhan palsu, yaitu delapan puluh (cambukan).

وَجَعَلُوا مَا تَلَفَّظَ بِهِ فِي السُّكْرِ افْتِرَاءً يَتَعَلَّقُ بِهِ حَدٌّ وَتَعْزِيرٌ وَذَلِكَ مِنْ أَحْكَامِ التَّكْلِيفِ

Mereka menganggap apa yang diucapkan dalam keadaan mabuk sebagai kebohongan yang terkait dengan hukuman hadd dan ta‘zir, dan hal itu termasuk dalam hukum-hukum taklīf.

وَلَوْ كَانَ غَيْرَ مُكَلَّفٍ لَكَانَ كَلَامُهُ لَغْوًا وَافْتِرَاؤُهُ مُطَّرَحًا وَإِذَا صَحَّ تَكْلِيفُهُ صَحَّ إِسْلَامُهُ وَرِدَّتُهُ

Dan jika ia bukan seorang mukallaf, maka ucapannya dianggap sia-sia dan kebohongannya diabaikan. Namun jika taklifnya sah, maka keislamannya dan kemurtadannya pun sah.

وَلِأَنَّ مَنْ صَحَّ عِتْقُهُ وَطَلَاقُهُ صَحَّتْ رِدَّتُهُ وَإِسْلَامُهُ كَالصَّاحِي

Dan karena siapa saja yang sah ‘itq (pembebasan budak) dan talaknya, maka sah pula riddah (kemurtadan) dan keislamannya, seperti orang yang sehat akal.

وَلِأَنَّ الرِّدَّةَ وَالْإِسْلَامَ لَفْظٌ يَتَعَلَّقُ بِهِ الْفُرْقَةُ فَوَجَبَ أَنْ يَصِحَّ مِنَ السَّكْرَانِ كَالطَّلَاقِ

Karena riddah dan Islam adalah istilah yang berkaitan dengan perpisahan, maka harus sah dilakukan oleh orang yang mabuk, sebagaimana talak.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِأَنَّهُ لَا اعْتِقَادَ لَهُ فَهُوَ أَنَّهُ يَجْرِي فِي أَحْكَامِ التَّكْلِيفِ مَجْرَى مَنْ لَهُ اعْتِقَادٌ وَتَمْيِيزٌ وَلِذَلِكَ وَقَعَ طَلَاقُهُ وَظِهَارُهُ وَلَوْ عَدِمَ التَّمْيِيزَ مَا وَقَعَا كَالْمَجْنُونِ وَهُوَ الْجَوَابُ عَنِ الْقِيَاسِ

Adapun jawaban atas dalilnya bahwa ia tidak memiliki keyakinan adalah bahwa dalam hukum-hukum taklīf, ia diperlakukan seperti orang yang memiliki keyakinan dan kemampuan membedakan. Oleh karena itu, talak dan zihar yang dilakukannya tetap sah. Jika ia tidak memiliki kemampuan membedakan, maka keduanya tidak sah, seperti halnya orang gila. Inilah jawaban atas qiyās.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ السَّكْرَانَ فِي الرِّدَّةِ وَالْإِسْلَامِ كَالصَّاحِي كَمَا هُوَ فِي الْعِتْقِ وَالطَّلَاقِ كَالصَّاحِي فَكَذَلِكَ فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ فِيمَا لَهُ وَمَا عَلَيْهِ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورُ أَصْحَابِهِ

Apabila telah tetap bahwa orang yang mabuk dalam perkara riddah dan Islam sama hukumnya dengan orang yang sadar, sebagaimana dalam perkara pembebasan budak dan talak juga sama dengan orang yang sadar, maka demikian pula dalam seluruh hukum, baik yang menjadi haknya maupun yang menjadi kewajibannya. Inilah mazhab Syafi‘i dan mayoritas pengikutnya.

وَذَهَبَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِلَى أَنَّهُ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الصَّاحِي فِيمَا عَلَيْهِ مِنَ الْحُقُوقِ تَغْلِيظًا وَلَا تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الصَّاحِي فِيمَا لَهُ مِنَ الْحُقُوقِ لِأَنَّهُ يَصِيرُ تَخْفِيفًا وَالسَّكْرَانُ مُغَلَّظٌ عَلَيْهِ غَيْرُ مُخَفَّفٍ عَنْهُ

Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berpendapat bahwa terhadap orang mabuk diberlakukan hukum-hukum seperti orang sadar dalam hal kewajiban-kewajiban yang harus ia tunaikan sebagai bentuk pengetatan, namun tidak diberlakukan hukum-hukum seperti orang sadar dalam hal hak-hak yang menjadi miliknya, karena hal itu berarti keringanan, sedangkan terhadap orang mabuk diberlakukan pengetatan, bukan keringanan.

فَعَلَى هَذَا تَصِحُّ مِنْهُ الرِّدَّةُ لِأَنَّهَا تَغْلِيظٌ فَأَمَّا الْإِسْلَامُ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ رِدَّةٍ لَمْ يَصِحَّ مِنْهُ لِأَنَّهُ تَخْفِيفٌ وَإِنْ كَانَ عَنْ كُفْرٍ يُقَرُّ عَلَيْهِ كَالذِّمِّيِّ يَصِحُّ مِنْهُ لِأَنَّهُ تَغْلِيظٌ وَهَذَا خَطَأٌ

Dengan demikian, murtad sah dilakukan olehnya karena murtad merupakan bentuk pengetatan. Adapun masuk Islam, jika dilakukan setelah murtad, maka tidak sah darinya karena itu merupakan bentuk keringanan. Namun jika masuk Islam dari kekufuran yang diakui atasnya seperti dzimmi, maka sah darinya karena itu merupakan bentuk pengetatan. Dan ini adalah kesalahan.

لِأَنَّ السُّكْرَ إِنْ سَلَبَهُ حُكْمَ التَّمْيِيزِ وَجَبَ أَنْ يَعُمَّ كَالْجُنُونِ وَإِنْ لَمْ يَسْلُبْهُ حُكْمَ التَّمْيِيزِ وَجَبَ أَنْ يَعُمَّ كَالصَّاحِي

Karena jika mabuk itu menghilangkan kemampuan membedakan, maka hukumnya harus berlaku umum seperti orang gila. Namun jika tidak menghilangkan kemampuan membedakan, maka hukumnya juga harus berlaku umum seperti orang yang sadar.

وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مُمَيِّزًا فِي بَعْضِ الْأَحْكَامِ وَغَيْرَ مُمَيِّزٍ فِي بَعْضِهَا لِتَنَاقُضِهِ فِي الْمَعْقُولِ وَفَسَادِهِ عَلَى الْأُصُولِ

Dan tidak sah jika seseorang dianggap mumayyiz (dapat membedakan) dalam sebagian hukum, namun tidak dianggap mumayyiz dalam sebagian hukum lainnya, karena hal itu bertentangan secara logis dan rusak menurut kaidah-kaidah dasar.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا وَارْتَدَّ سَكْرَانُ جَرَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الرِّدَّةِ مِنْ وُجُوبِ قَتْلِهِ وَسُقُوطِ الْقَوَدِ عَنْ قَاتِلِهِ وَتَحْرِيمِ زَوْجَاتِهِ وَالْحَجْرِ عَلَى أَمْوَالِهِ وَإِنْ مَاتَ كَانَ مَالُهُ فَيْئًا غَيْرَ مَوْرُوثٍ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan dan seorang yang mabuk murtad, maka berlaku atasnya hukum-hukum riddah, seperti wajib dibunuh, gugurnya qishāsh dari orang yang membunuhnya, haramnya istri-istrinya, serta pembekuan atas hartanya. Jika ia meninggal, maka hartanya menjadi fai’ dan tidak diwariskan.

فَأَمَّا اسْتِتَابَتُهُ مِنْ رِدَّتِهِ فَقَدْ أَمَرَ الشَّافِعِيُّ بِتَأْخِيرِهَا إِلَى حَالِ صَحْوِهِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي تَأْخِيرِهَا هَلْ هُوَ عَلَى الْإِيجَابِ أَوِ الِاسْتِحْبَابِ عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِهِمْ هَلْ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الصَّاحِي فِيمَا لَهُ كَمَا تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الصَّاحِي فِيمَا عَلَيْهِ

Adapun permintaan agar ia bertobat dari riddah-nya, maka asy-Syafi‘i memerintahkan untuk menundanya sampai ia sadar. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai penundaan ini, apakah hukumnya wajib atau mustahab, berdasarkan dua pendapat yang dibangun di atas perbedaan mereka: apakah berlaku padanya hukum-hukum orang yang sadar dalam hal yang menjadi haknya, sebagaimana berlaku padanya hukum-hukum orang yang sadar dalam hal yang menjadi kewajibannya.

أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إنَّ تَأْخِيرَهَا اسْتِحْبَابٌ فَإِنِ اسْتَتَابَهُ فِي حَالِ سُكْرِهِ صَحَّتْ تَوْبَتُهُ وَإِنْ قَتَلَهُ قَاتِلٌ أُقِيدَ بِهِ وَإِنْ مَاتَ كَانَ مَالُهُ لِوَرَثَتِهِ

Salah satu dari dua pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi dan yang tampak dari mazhab Syafi‘i, bahwa penundaan (pelaksanaan hukuman) itu bersifat anjuran. Jika ia diminta bertobat saat dalam keadaan mabuk, maka tobatnya sah. Jika ia dibunuh oleh seseorang, maka si pembunuh harus dikenai qishash. Jika ia meninggal dunia, maka hartanya menjadi milik ahli warisnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ تَأْخِيرَهَا إِلَى صَحْوِهِ وَاجِبٌ لِأَنَّهُ رُبَّمَا اعْتَرَضَهُ فِي الرِّدَّةِ شُبْهَةٌ يَسْتَوْضِحُهَا بَعْدَ إِفَاقَتِهِ فَإِنِ اسْتَتَابَهُ فِي سُكْرِهِ لَمْ تَصِحَّ تَوْبَتُهُ وَكَانَ عَلَى أَحْكَامِ الرِّدَّةِ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عَنْ قَاتِلِهِ وَانْتِقَالِ مَالِهِ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ فَيْئًا دُونَ وَرَثَتِهِ

Pendapat kedua adalah bahwa menunda (pelaksanaan hukuman) sampai ia sadar adalah wajib, karena mungkin saja ada syubhat yang menghalanginya dalam riddah yang dapat ia klarifikasi setelah ia sadar. Jika ia diminta bertobat saat dalam keadaan mabuk, maka tobatnya tidak sah, dan ia tetap berada dalam hukum-hukum riddah, seperti gugurnya qishāsh dari orang yang membunuhnya dan berpindahnya hartanya ke Baitul Māl sebagai fai’, bukan kepada ahli warisnya.

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ جَعَلَ تَأْخِيرَ تَوْبَتِهِ دَلِيلًا عَلَى إِبْطَالِ طَلَاقِهِ وَغَفَلَ أَنْ يَجْعَلَ ثُبُوتَ رِدَّتِهِ دَلِيلًا عَلَى صِحَّةِ طَلَاقِهِ

Adapun al-Muzani, ia menjadikan penundaan tobatnya sebagai dalil untuk membatalkan talaknya, dan ia lalai untuk menjadikan tetapnya riddah sebagai dalil atas sahnya talak tersebut.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا ارْتَدَّ عَاقِلٌ ثُمَّ جُنَّ لَمْ يُسْتَتَبْ فِي جُنُونِهِ لِأَنَّ الْمَجْنُونَ لَا يَصِحُّ مِنْهُ إِسْلَامٌ وَلَا رِدَّةٌ وَلَمْ يُقْتَلْ حَتَّى يُفِيقَ مِنْ جُنُونِهِ

Dan apabila seorang yang berakal murtad lalu menjadi gila, maka ia tidak diminta untuk bertobat selama dalam keadaan gilanya, karena orang gila tidak sah darinya Islam maupun riddah, dan ia tidak dibunuh sampai ia sadar dari kegilaannya.

وَلَوْ جُنَّ بَعْدَ وُجُوبِ الْقِصَاصِ عَلَيْهِ قُتِلَ قَبْلَ إِفَاقَتِهِ

Dan jika seseorang menjadi gila setelah qishāsh wajib atasnya, maka ia tetap dihukum mati sebelum ia sadar kembali.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا حَيْثُ مَنَعَ الْجُنُونُ مِنْ قَتْلِ الرِّدَّةِ وَلَمْ يَمْنَعْ مِنْ قَتْلِ الْقَوَدِ أَنَّ لَهُ إِسْقَاطَ قتل الردة عن نفس بِتَوْبَتِهِ بَعْدَ إِفَاقَتِهِ فَأُخِّرَ إِلَيْهَا وَلَيْسَ لَهُ إِسْقَاطُ قَتْلِ الْقَوَدِ عَنْ نَفْسِهِ بِحَالٍ فَلَمْ يؤخر إلى إفاقته

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa kegilaan mencegah pelaksanaan hukuman mati karena riddah, tetapi tidak mencegah pelaksanaan hukuman mati qisas, karena orang yang murtad masih memiliki kemungkinan untuk menggugurkan hukuman mati riddah atas dirinya sendiri dengan bertobat setelah sadar, sehingga pelaksanaannya ditunda sampai ia sadar. Sedangkan dalam hukuman mati qisas, ia tidak memiliki kemungkinan untuk menggugurkan hukuman atas dirinya sendiri dalam keadaan apa pun, sehingga pelaksanaannya tidak ditunda sampai ia sadar.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ شَهِدَ عَلَيْهِ شَاهِدَانِ بِالرِّدَّةِ فَأَنْكَرَهُ قِيلَ إِنْ أَقْرَرْتَ بِأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتَبَرَّأَ مِنْ كُلِّ دين خالف دين الإسلام يُكْشَفْ عَنْ غَيْرِهِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Jika ada dua orang saksi yang bersaksi atasnya tentang riddah (kemurtadan), lalu ia mengingkarinya, maka dikatakan kepadanya: Jika engkau mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, serta berlepas diri dari setiap agama yang menyelisihi agama Islam, maka tuduhan itu akan diselidiki lebih lanjut.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا شَهِدَ شَاهِدَانِ عَلَى رَجُلٍ بِالرِّدَّةِ لَمْ تُسْمَعْ شَهَادَتُهُمَا عليه مطلقة حَتَّى يَصِفَا مَا سَمِعَاهُ مِنْ قَوْلِهِ الَّذِي يَصِيرُ بِهِ مُرْتَدًّا وَسَوَاءٌ كَانَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَوْ لَمْ يَكُونَا مِنْ أَهْلِهِ لِاخْتِلَافِ النَّاسِ فِيهِ كَمَا لَا تُسْمَعُ شَهَادَتُهُمَا بِالْجَرْحِ حَتَّى يَصِفَا مَا يَكُونُ بِهِ مَجْرُوحًا

Al-Mawardi berkata: Jika dua orang saksi memberikan kesaksian terhadap seorang laki-laki atas tuduhan riddah, maka kesaksian mereka berdua tidak dapat diterima secara mutlak sampai mereka menjelaskan apa yang mereka dengar dari ucapannya yang menyebabkan ia menjadi murtad. Baik keduanya berasal dari kalangan ahli ilmu maupun bukan, karena adanya perbedaan pendapat di antara manusia dalam hal ini. Sebagaimana kesaksian mereka berdua atas jarh juga tidak dapat diterima sampai mereka menjelaskan hal yang menyebabkan seseorang menjadi majruh.

فَإِذَا ثَبَتَت الشَّهَادَةُ سَأَلْنَاهُ عَنْهَا وَلَمْ يَعْرِضْ لِقَتْلِهِ قَبْلَ سُؤَالِهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَدْ تَابَ مِنْهَا أَوْ سَيَتُوبُ

Maka apabila kesaksian telah ditegakkan, kita menanyainya tentang hal itu dan tidak langsung menjatuhkan hukuman mati kepadanya sebelum menanyakannya, karena dimungkinkan ia telah bertobat dari perbuatannya tersebut atau akan bertobat.

فَلَوْ قَتَلَهُ قَاتِلٌ قَبْلَ سُؤَالِهِ عُزِّرَ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ لِثُبُوتِ رِدَّتِهِ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ وَلِيُّهُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ تَابَ مِنْ رِدَّتِهِ فَيُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ وَيُسْأَلُ الْقَاتِلُ فَإِنْ عَلِمَ بِإِسْلَامِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ

Maka jika seseorang membunuhnya sebelum ia ditanya (tentang tobatnya), si pembunuh diberi ta‘zir dan tidak dikenakan qishāsh atasnya, juga tidak ada diyat, karena telah tetap status riddah-nya, kecuali jika wali (keluarganya) dapat menghadirkan bukti bahwa ia telah bertobat dari riddah-nya, maka diputuskan ia kembali kepada Islam dan si pembunuh ditanya; jika diketahui bahwa ia telah masuk Islam, maka wajib atas si pembunuh qishāsh.

وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ بِإِسْلَامِهِ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ وَجْهَانِ

Jika tidak diketahui keislamannya, maka dalam kewajiban qawad (qishash) terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِ الدِّيَةُ لِأَنَّ تَقَدُّمَ رِدَّتِهِ شُبْهَةٌ

Salah satunya tidak dikenakan qishāsh, tetapi wajib membayar diyat, karena kemurtadannya yang terjadi lebih dahulu merupakan suatu syubhat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي عَلَيْهِ الْقَوَدُ لِأَنَّهُ عَمَدَ قَتْلَ نَفْسٍ مَحْظُورَةٍ

Pendapat kedua: atasnya berlaku qishāsh karena ia dengan sengaja membunuh jiwa yang terlarang.

وَإِذَا كَانَ بَاقِيًا بَعْدَ الشَّهَادَةِ عَلَيْهِ بِالرِّدَّةِ وَسُئِلَ عنها لم يخلو جَوَابُهُ مِنِ اعْتِرَافٍ بِهَا أَوْ إِنْكَارٍ لَهَا

Jika setelah kesaksian atasnya mengenai riddah (kemurtadan) masih tersisa (keraguan) dan ia ditanya tentangnya, maka jawabannya tidak lepas dari pengakuan atasnya atau penyangkalan terhadapnya.

فَإِنِ اعْتَرَفَ بِهَا اسْتَتَبْنَاهُ فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قَتَلْنَاهُ

Jika ia mengakuinya, maka kita memintanya untuk bertobat; jika ia bertobat, maka dibiarkan, dan jika tidak, maka kita membunuhnya.

وَإِنْ أَنْكَرَهَا قِيلَ لَهُ إِنْكَارُكَ لَهَا مَعَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ بِهَا تَكْذِيبٌ لِشُهُودٍ عُدُولٍ لَا تُرَدُّ شَهَادَتُهُمْ بِالتَّكْذِيبِ وَلَيْسَ يَلْزَمُكَ الْإِقْرَارُ بِهَا وَلَكَ الْمَخْرَجُ مِنْ شَهَادَتِهِمْ بِإِظْهَارِ الْإِسْلَامِ

Dan jika ia mengingkarinya, dikatakan kepadanya: Pengingkaranmu terhadapnya sementara telah ada bayyinah atasnya berarti mendustakan para saksi yang adil, padahal kesaksian mereka tidak dapat ditolak hanya dengan pendustaan. Namun, kamu tidak diwajibkan untuk mengakuinya, dan kamu masih memiliki jalan keluar dari kesaksian mereka dengan menampakkan keislaman.

فَإِذَا أَظْهَرَهُ زَالَتْ عَنْهُ الرِّدَّةُ وَجَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ

Maka apabila ia menampakkan (keislamannya), hilanglah darinya status riddah dan berlaku atasnya hukum Islam.

فَقَدْ شَهِدَ شُهُودٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الْمُنَافِقِينَ بِكَلِمَةِ الْكُفْرِ فَأَحْضَرَهُمْ وَسَأَلَهُمْ فَمِنْهُمْ مَنِ اعْتَرَفَ وَتَابَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَنْكَرَ وَأَظْهَرَ الْإِسْلَامَ فَكَفَّ عَنِ الْفَرِيقَيْنِ وَأَجْرَى عَلَى جَمِيعِهِمْ حُكْمَ الْإِسْلَامِ

Pernah ada sejumlah saksi yang memberikan kesaksian di hadapan Rasulullah ﷺ terhadap sekelompok kaum munafik atas ucapan kekufuran. Maka beliau menghadirkan mereka dan menanyai mereka. Di antara mereka ada yang mengakui dan bertobat, dan ada pula yang mengingkari serta menampakkan keislaman. Maka beliau menahan diri dari menghukum kedua kelompok tersebut dan memberlakukan hukum Islam kepada semuanya.

فَإِذَا أَظْهَرَ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ الْإِسْلَامَ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ قَالَ الشَّافِعِيُّ لَمْ يَكْشِفْ عَنْ غَيْرِهِ وَيُحْتَمَلُ ذَلِكَ مِنْهُ تأويلين

Apabila orang yang menjadi objek kesaksian menampakkan keislamannya sebagaimana yang akan kami sebutkan, menurut pendapat asy-Syafi‘i, hal itu tidak menunjukkan selain keislaman, dan hal tersebut darinya masih mungkin ditafsirkan dengan dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لَمْ يَكْشِفْ عَمَّا شَهِدَ بِهِ الشُّهُودُ مِنْ رِدَّتِهِ

Salah satunya adalah bahwa ia tidak mengungkapkan apa yang telah disaksikan oleh para saksi tentang riddah-nya.

وَالثَّانِي لَمْ يَكْشِفْ عَنْ بَاطِنِ مُعْتَقَدِهِ لِأَنَّ ضَمَائِرَ الْقُلُوبِ لَا يُؤَاخِذُ بِهَا إِلَّا عَلَّامُ الْغُيُوبِ

Dan yang kedua, ia tidak menampakkan keyakinan batinnya, karena isi hati tidak ada yang dapat mempersalahkannya kecuali Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.

رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ارْتَابَ بِرَجُلٍ فِي الرِّدَّةِ فَأَظْهَرَ الْإِسْلَامَ

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. meragukan seorang laki-laki dalam perkara riddah, lalu laki-laki itu menampakkan keislamannya.

فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَظُنُّكَ متعوذ بِهِ

Maka Umar berkata kepadanya, “Aku kira engkau sedang berlindung dengannya.”

فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَمَا لِي فِي الْإِسْلَامِ مَعَاذٌ

Maka ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah aku memiliki perlindungan dalam Islam?”

فَقَالَ لَهُ عُمَرُ بَلَى إن لك في الإسلام لمعاذ

Maka Umar berkata kepadanya, “Benar, sungguh engkau memiliki kedudukan dalam Islam, wahai Mu‘ādz.”

فَصْلٌ

Bab

فَأَمَّا تَوْبَةُ الْمُرْتَدِّ فَتَتَضَمَّنُ مَا يَصِيرُ بِهِ الْكَافِرُ مُسْلِمًا لِأَنَّ الرِّدَّةَ قَدْ رَفَعَتْ عَنْهُ حُكْمَ الْإِسْلَامِ فَيَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

Adapun tobat seorang murtad mencakup hal-hal yang menjadikan seorang kafir menjadi muslim, karena riddah telah menghapuskan hukum Islam darinya. Maka ia harus bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَيَبْرَأُ مِنْ كُلِّ دِينٍ خَالَفَ الْإِسْلَامَ فَذَكَرَ مَعَ الشَّهَادَتَيْنِ الْبَرَاءَةَ مِنْ كُلِّ دِينٍ خَالَفَ الْإِسْلَامَ

Syafi‘i berkata: “Dan ia berlepas diri dari setiap agama yang menyelisihi Islam.” Maka beliau menyebutkan bersama dua kalimat syahadat, pernyataan berlepas diri dari setiap agama yang menyelisihi Islam.

فَأَمَّا الشَّهَادَتَانِ فَوَاجِبَتَانِ لَا يصح إسلامه إلا بهما

Adapun dua syahadat, maka keduanya wajib dan tidak sah keislaman seseorang kecuali dengan keduanya.

وأما التبري مِنْ كُلِّ دِينٍ خَالَفَ الْإِسْلَامَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun berlepas diri dari setiap agama yang menyelisihi Islam, para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهَا أَنَّهُ شَرْطٌ فِي إِسْلَامِ كُلِّ كَافِرٍ وَمُرْتَدٍّ كَالشَّهَادَتَيْنِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu merupakan syarat dalam keislaman setiap orang kafir dan murtad, seperti dua kalimat syahadat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ اسْتِحْبَابٌ فِي إِسْلَامِ كُلِّ كَافِرٍ وَمُرْتَدٍّ كَالِاعْتِرَافِ بِالْبَعْثِ وَالْجَزَاءِ

Pendapat kedua adalah bahwa hal itu merupakan anjuran (mustahabb) dalam keislaman setiap orang kafir dan murtad, sebagaimana pengakuan terhadap kebangkitan dan pembalasan.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَقَدْ أَفْصَحَ بِهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ إنَّهُ إِنْ كَانَ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَمُنْكِرِي النبوات كالأميين من العرب كان التبري مِنْ كُلِّ دِينٍ خَالَفَ الْإِسْلَامَ مُسْتَحَبًّا

Pendapat ketiga, yang telah dijelaskan secara gamblang oleh asy-Syafi‘i dalam kitab al-Umm, adalah bahwa jika seseorang berasal dari para penyembah berhala dan para pengingkar kenabian seperti orang-orang Arab ummiyyin, maka berlepas diri dari setiap agama yang menyelisihi Islam adalah sesuatu yang dianjurkan.

وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ كِتَابٍ يَعْتَرِفُونَ بِالنُّبُوَّاتِ وَأَنَّ محمداً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ نبي مبعوث إلى قومه كان التبري مِنْ كُلِّ دِينٍ خَالَفَ الْإِسْلَامَ وَاجِبًا لَا يَصِحُّ إِسْلَامُهُ إِلَّا بِذِكْرِهِ

Dan jika ia berasal dari kalangan Ahli Kitab yang mengakui kenabian dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi yang diutus kepada kaumnya, maka berlepas diri dari setiap agama yang menyelisihi Islam adalah wajib, dan keislamannya tidak sah kecuali dengan menyebutkan hal itu.

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ شُرُوطِ الْإِسْلَامِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي تَوْبَةِ الْمُرْتَدِّ نُظِرَ فِي رِدَّتِهِ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan berupa syarat-syarat Islam yang dianggap sah dalam taubatnya orang murtad, maka diperhatikan keadaan riddah-nya.

فَإِنْ كَانَتْ بِجُحُودِ الْإِسْلَامِ صَحَّتْ تَوْبَتُهُ بِمَا ذَكَرْنَا مِنْ شُرُوطِهِ

Jika kekafiran itu disebabkan oleh pengingkaran terhadap Islam, maka taubatnya sah dengan syarat-syarat yang telah kami sebutkan.

وَإِنْ كَانَتْ رِدَّتُهُ بِجُحُودِ عِبَادَةٍ مِنْ عِبَادَاتِهِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ مَعَ اعْتِرَافِهِ بِالشَّهَادَتَيْنِ وَصِحَّةِ الْإِسْلَامِ اعْتُبِرَ فِي صِحَّةِ تَوْبَتِهِ بَعْدَ شُرُوطِ الْإِسْلَامِ الِاعْتِرَافُ بِمَا جَحَدَهُ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالزَّكَاةِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُرْتَدًّا مَعَ اعْتِرَافِهِ بِالشَّهَادَتَيْنِ فَلَمْ تَزُلْ عَنْهُ الرِّدَّةُ بِهِمَا حَتَّى يَعْتَرِفَ بِمَا صَارَ مُرْتَدًّا بِجُحُودِهِ وَلَا يَجْزِيهِ الِاقْتِصَارُ عَلَى الِاعْتِرَافِ بِمَا جَحَدَهُ عَنْ إِعَادَةِ الشَّهَادَتَيْنِ

Jika seseorang murtad dengan mengingkari salah satu ibadah seperti salat, puasa, zakat, atau haji, meskipun ia masih mengakui dua syahadat dan kebenaran Islam, maka dalam keabsahan tobatnya setelah memenuhi syarat-syarat Islam, ia harus mengakui kembali apa yang telah ia ingkari dari salat, puasa, dan zakat. Sebab, ia telah menjadi murtad meskipun masih mengakui dua syahadat, sehingga kemurtadannya tidak hilang hanya dengan dua syahadat itu sampai ia mengakui kembali apa yang menyebabkan ia murtad karena pengingkarannya. Tidak cukup baginya hanya mengakui kembali apa yang telah ia ingkari tanpa mengulangi dua syahadat.

لِأَنَّهُ قَدْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْكُفْرِ بِالرِّدَّةِ فَلَزِمَهُ إِعَادَةُ الشَّهَادَتَيْنِ لِيَزُولَ بِهِمَا حُكْمُ الْكُفْرِ وَلَزِمَهُ الِاعْتِرَافُ بِمَا جَحَدَهُ لِيَزُولَ بِهِ حُكْمُ الرِّدَّةِ

Karena telah berlaku atasnya hukum kufur karena riddah, maka wajib baginya mengucapkan kembali dua syahadat agar dengan keduanya hilang hukum kekufuran, dan wajib baginya mengakui apa yang telah ia ingkari agar dengan pengakuan itu hilang hukum riddah.

وَهَكَذَا لَوْ صَارَ مُرْتَدًّا بِاسْتِحْلَالِ الزِّنَا وَاسْتِبَاحَةِ الْخَمْرِ كَانَ مِنْ صِحَّةِ تَوْبَتِهِ الِاعْتِرَافُ بِتَحْرِيمِ الزِّنَا وَحَظْرُ الْخَمْرِ

Demikian pula, jika seseorang menjadi murtad karena menghalalkan zina dan membolehkan khamar, maka termasuk syarat sahnya tobatnya adalah mengakui keharaman zina dan larangan khamar.

وَلَكِنْ لَوْ صَارَ مُرْتَدًّا بِسَبِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ الِاعْتِرَافُ بِنُبُوَّتِهِ فِي الشَّهَادَتَيْنِ مُقْنِعًا فِي صِحَّةِ تَوْبَتِهِ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى الِاعْتِرَافِ بِحَظْرِ سَبِّهِ لِأَنَّ فِي الِاعْتِرَافِ بِنُبُوَّتِهِ اعْتِرَافًا بِحَظْرِ سبه

Namun, jika seseorang menjadi murtad karena mencaci Rasulullah ﷺ, maka pengakuan atas kenabiannya dalam dua kalimat syahadat sudah cukup untuk keabsahan tobatnya, dan tidak perlu pengakuan atas larangan mencacinya, karena dalam pengakuan atas kenabiannya sudah terkandung pengakuan atas larangan mencacinya.

فَصْلٌ

Bab

فَأَمَّا الْمُكْرَهُ عَلَى الْكُفْرِ وَالرِّدَّةِ بِالْقَتْلِ فَمُوَسَّعٌ لَهُ بَيْنَ الْإِمْسَاكِ عَنْ كَلِمَةِ الْكُفْرِ وَالصَّبْرِ عَلَى الْقَتْلِ وَبَيْنَ التَّلَفُّظِ بِكَلِمَةِ الْكُفْرِ اسْتِدْفَاعًا لِلْقَتْلِ

Adapun orang yang dipaksa untuk melakukan kekufuran dan riddah dengan ancaman dibunuh, maka ia diberi kelonggaran antara menahan diri dari mengucapkan kata-kata kufur dan bersabar atas pembunuhan, atau mengucapkan kata-kata kufur untuk menghindari pembunuhan.

فَقَدِ أَكْرَهَتْ قُرَيْشٌ بِمَكَّةَ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ وَأَبَوَيْهِ عَلَى الْكُفْرِ فَامْتَنَعَ مِنْهُ أَبَوَاهُ فَقُتِلَا وَتَلَفَّظَ عَمَّارٌ بِالْكُفْرِ فَأُطْلِقَ فَأَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَعَذَرَ عَمَّارًا وَتَرَحَّمَ عَلَى أَبَوَيْهِ

Maka Quraisy di Makkah telah memaksa ‘Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya untuk mengucapkan kekufuran. Kedua orang tuanya menolak melakukannya sehingga mereka dibunuh, sedangkan ‘Ammar mengucapkan kata-kata kufur sehingga ia dibebaskan. Lalu ia memberitahukan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau memaafkan ‘Ammar dan mendoakan rahmat untuk kedua orang tuanya.

وَقِيلَ إِنَّهُ نَزَلَ فِيهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ النحل 106

Dan dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan firman Allah: “kecuali orang yang dipaksa sedang hatinya tetap tenang dalam keimanan” (an-Nahl: 106).

فَإِنْ قِيلَ فَأَيُّ الْأَمْرَيْنِ أَوْلَى بِهِ

Jika ada yang bertanya, “Manakah dari dua perkara itu yang lebih utama baginya?”

قِيلَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ حَالِ الْمُكْرَهِ

Dikatakan bahwa hukumnya berbeda-beda tergantung pada keadaan orang yang dipaksa.

فَإِنْ كان ممن يرجا مِنْهُ النِّكَايَةُ فِي الْعَدُوِّ أَوِ الْقِيَامُ بِأَحْكَامِ الشَّرْعِ فَالْأَوْلَى بِهِ أَنْ يَسْتَدْفِعَ الْقَتْلَ بِإِظْهَارِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ

Jika seseorang termasuk orang yang diharapkan dapat memberikan pukulan telak kepada musuh atau menegakkan hukum-hukum syariat, maka yang lebih utama baginya adalah menghindari pembunuhan dengan menampakkan ucapan kekufuran.

وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَعْتَرِيهِ مِنْ ضَعْفِ بَصِيرَتِهِ فِي الدِّينِ أَوْ يَمْتَنِعُ بِهِ مَنْ أَرَادَ الْإِسْلَامَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَالْأَوْلَى بِهِ الصَّبْرُ عَلَى الْقَتْلِ وَالِامْتِنَاعُ مِنْ إِظْهَارِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ

Dan jika ia termasuk orang yang karena kelemahan pemahamannya terhadap agama atau karena dirinya menjadi penghalang bagi orang musyrik yang ingin memeluk Islam, maka yang lebih utama baginya adalah bersabar atas kemungkinan dibunuh dan menahan diri dari menampakkan ucapan kekufuran.

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” إِنَّ فِي الْجَنَّةِ لَقَصْرًا لَا يَسْكُنُهُ إِلَّا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ مُحَكَّمٌ في نفسه

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat sebuah istana yang tidak akan dihuni kecuali oleh seorang nabi, seorang shiddiq, atau seseorang yang mampu mengendalikan dirinya sendiri.”

فقيل إن المحكم هو الذين يُخَيَّرُ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالْقَتْلِ فَيَخْتَارُ الْقَتْلَ عَلَى الْكُفْرِ

Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan muḥkam adalah orang yang diberi pilihan antara kufur dan dibunuh, lalu ia memilih dibunuh daripada kufur.

فَإِنْ تَلَفَّظَ بِكَلِمَةِ الْكُفْرِ فَلَهُ فِي التلفظ بها ثلاثة أَحْوَالٍ

Jika seseorang mengucapkan kata-kata kufur, maka dalam pengucapannya itu terdapat tiga keadaan.

إِحْدَاهُنَّ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِلِسَانِهِ وَهُوَ مُعْتَقِدٌ لِلْإِيمَانِ بِقَلْبِهِ فَهُوَ عَلَى إِسْلَامِهِ وَلَيْسَ لِتَلَفُّظِهِ حُكْمٌ إِلَّا اسْتِدْفَاعَ الْقَتْلِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ النحل 106 وَهَذَا مُطْمَئِنُّ الْقَلْبِ بِالْإِيمَانِ

Salah satunya adalah seseorang mengucapkan (kata-kata kekufuran) dengan lisannya sementara hatinya tetap meyakini iman; maka ia tetap berada dalam keislamannya, dan ucapan lisannya itu tidak memiliki hukum (kekufuran) kecuali untuk menolak pembunuhan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “kecuali orang yang dipaksa sedang hatinya tetap tenang dalam keimanan” (an-Nahl: 106), dan inilah orang yang hatinya tetap tenang dalam keimanan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِلِسَانِهِ مُعْتَقِدًا لَهُ بِقَلْبِهِ فَهَذَا مُرْتَدٌّ لِأَنَّهُ وَإِنْ أُكْرِهَ عَلَى التَّلَفُّظِ فَلَمْ يُكْرَهْ عَلَى الِاعْتِقَادِ فَصَارَ مِمَّنْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فيه ولكن من شرح بالكفر صدرا أَيْ يَسْقُطُ حُكْمُ الْإِكْرَاهِ بِالِاعْتِقَادِ

Keadaan kedua adalah seseorang mengucapkan dengan lisannya sambil meyakininya dalam hatinya, maka orang ini adalah murtad. Sebab, meskipun ia dipaksa untuk mengucapkan, ia tidak dipaksa untuk meyakini. Maka ia termasuk dalam firman Allah Ta‘ala: “Tetapi barang siapa yang lapang dadanya untuk kekufuran,” yaitu hukum ikrah (paksaan) gugur karena adanya keyakinan.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَتَلَفَّظَ بِلِسَانِهِ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقْتَرِنَ بِهِ اعْتِقَادُ إِيمَانٍ وَلَا كُفْرٍ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Keadaan ketiga adalah seseorang mengucapkan dengan lisannya secara mutlak tanpa disertai keyakinan iman maupun kekufuran, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَكُونُ عَلَى إِسْلَامِهِ لِأَنَّ مَا حَدَثَ مِنَ الْإِكْرَاهِ مَعْفُوٌّ عَنْهُ

Salah satunya tetap dalam keadaan Islam karena apa yang terjadi akibat paksaan dimaafkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مُرْتَدًّا حَتَّى يَدْفَعَ حُكْمَ لَفْظِهِ بِمُعْتَقَدِهِ لِأَنَّهُ لَا عُذْرَ لَهُ فِي تَرْكِهِ

Pendapat kedua adalah bahwa ia dianggap murtad agar hukum atas ucapannya dibatalkan oleh keyakinannya, karena tidak ada uzur baginya untuk meninggalkannya.

وَهَكَذَا الْمُكْرَهُ عَلَى الطَّلَاقِ تُعْتَبَرُ فِيهِ هَذِهِ الْأَحْوَالُ الثَّلَاثُ فِي لَفْظِهِ وَمُعْتَقَدِهِ

Demikian pula orang yang dipaksa untuk menjatuhkan talak, pada kasus ini harus diperhatikan tiga keadaan tersebut, baik dalam ucapannya maupun keyakinannya.

فَصْلٌ

Bab

وَإِذَا تَلَفَّظَ مُسْلِمٌ بِكَلِمَةِ الْكُفْرِ فَإِنْ كَانَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ حُكِمَ بِرِدَّتِهِ إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ أَنَّهُ قَالَهَا مُكْرَهًا وَإِنْ كَانَ فِي دَارِ الْحَرْبِ لَمْ يُحْكَمْ بِرِدَّتِهِ إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ أَنَّهُ قَالَهَا مُخْتَارًا

Apabila seorang Muslim mengucapkan kata-kata kekufuran, maka jika ia berada di wilayah Islam, ia dihukumi murtad kecuali diketahui bahwa ia mengucapkannya karena dipaksa. Namun jika ia berada di wilayah perang, ia tidak dihukumi murtad kecuali diketahui bahwa ia mengucapkannya dengan kehendak sendiri.

لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْهَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَهُوَ يَخَافُ الْكُفْرَ وَيَأْمَنُ الْإِسْلَامَ أَنَّهُ قَالَهَا عِيَاذًا وَاعْتِقَادًا

Karena yang tampak darinya di negeri Islam, sementara ia takut kepada kekufuran dan merasa aman dengan Islam, adalah bahwa ia mengucapkannya sebagai perlindungan dan keyakinan.

وَالظَّاهِرُ مِنْهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ وَهُوَ يَخَافُ الْإِسْلَامَ وَيَأْمَنُ الْكُفْرَ أَنَّهُ قَالَهَا تَقِيَّةً وَاسْتِدْفَاعًا

Yang tampak darinya di negeri perang, sementara ia takut kepada Islam dan merasa aman terhadap kekufuran, adalah bahwa ia mengucapkannya karena taqiyyah dan untuk menolak bahaya.

وَعَلَى هَذَا لَوْ أَظْهَرَهَا وَمَاتَ فَادَّعَى وَرَثَتُهُ أَنَّهُ كَانَ مُكْرَهًا عَلَيْهَا فَلَهُمْ مِيرَاثُهُ

Dengan demikian, jika ia menampakkannya lalu meninggal dunia, kemudian para ahli warisnya mengklaim bahwa ia dipaksa untuk melakukannya, maka mereka berhak atas warisannya.

فَإِنْ كَانَ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُمْ مَعَ أَيْمَانِهِمْ أَنَّهُ كَانَ مُكْرَهًا عَلَيْهَا لِأَنَّهُ الظَّاهِرُ مِنْ حَالِهِ وَلَهُمْ مِيرَاثُهُ

Jika ia berada di wilayah perang, maka perkataan mereka diterima beserta sumpah mereka bahwa ia dipaksa melakukannya, karena itulah yang tampak dari keadaannya, dan mereka berhak atas warisannya.

وَإِنْ كَانَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُمْ وَحُكِمَ بِرِدَّتِهِ وَكَانَ مَالُهُ فَيْئًا لِأَنَّهُ الظَّاهِرُ مِنْ حَالِهِ

Dan jika ia berada di wilayah Islam, maka klaim mereka tidak diterima dan ia diputuskan sebagai murtad, serta hartanya menjadi fai’, karena itulah yang tampak dari keadaannya.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا شَرِبَ الْخَمْرَ وَأَكَلَ الْخِنْزِيرَ لَمْ يَصِرْ بِذَلِكَ مُرْتَدًّا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ مِنْهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ فِي دَارِ الْحَرْبِ

Dan jika seseorang meminum khamar dan memakan daging babi, ia tidak menjadi murtad karena perbuatannya itu, baik ia melakukannya di negeri Islam maupun di negeri perang.

لِأَنَّهُ لَا يَصِيرُ مُرْتَدًّا إِلَّا بِاسْتِحْلَالِهِ دُونَ أَكْلِهِ فَيُسْأَلُ عَنْهُ إِذَا أَكَلَهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَا يُسْأَلُ عَنْهُ إِذَا أَكَلَهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لِأَنَّ أَكْلَهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ أَقْرَبُ إِلَى اسْتِحْلَالِهِ مِنْ أَكْلِهِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ

Karena seseorang tidak menjadi murtad kecuali jika ia menghalalkannya, bukan hanya karena memakannya. Maka ia akan ditanya tentang hal itu jika ia memakannya di wilayah perang, dan tidak akan ditanya jika ia memakannya di wilayah Islam, karena memakannya di wilayah perang lebih dekat kepada sikap menghalalkan daripada memakannya di wilayah Islam.

فَلَوْ مَاتَ قَبْلَ سُؤَالِهِ

Maka jika ia meninggal sebelum ditanya.

فَقَالَ بَعْضُ وَرَثَتِهِ أَكَلَهُ مُسْتَحِلًّا فَهُوَ كَافِرٌ

Maka sebagian ahli warisnya berkata, “Ia memakannya dengan meyakini hal itu halal, maka ia kafir.”

وَقَالَ بَعْضُهُمْ أَكَلَهُ غَيْرُ مُسْتَحِلٍّ فَهُوَ مُسْلِمٌ

Sebagian ulama berkata: Jika yang memakannya adalah seseorang yang tidak menghalalkannya, maka ia tetap seorang Muslim.

فَلِمَنْ أَقَرَّ بِأَنَّهُ أَكَلَهُ غَيْرُ مُسْتَحِلٍّ مِيرَاثُهُ مِنْهُ اسْتِصْحَابًا لِإِسْلَامِهِ

Maka bagi orang yang mengakui bahwa ia memakannya, namun bukan karena menghalalkannya, tetap berhak mendapatkan warisannya darinya, berdasarkan istishhab atas keislamannya.

فَأَمَّا مِيرَاثُ مَنْ أَقَرَّ بِأَنَّهُ أَكَلَهُ مُسْتَحِلًّا فَفِيهِ قَوْلَانِ

Adapun warisan dari orang yang mengakui bahwa ia memakannya dengan menghalalkan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ إنَّهُ يَكُونُ مَوْقُوفًا حَتَّى يُكْشَفَ عَنْ حَالِهِ وَلَا يَسْقُطَ مِيرَاثُهُ مِنْهُ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ عَلَى غَيْرِهِ

Salah satunya, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab al-Umm, adalah bahwa ia tetap ditangguhkan hingga keadaannya menjadi jelas, dan hak warisnya tidak gugur darinya karena ia mengakui hak orang lain.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي حَكَاهُ الرَّبِيعُ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ إنَّهُ يَسْقُطُ مِيرَاثُهُ مِنْهُ وَلَا يُوقَفُ عَلَى الْكَشْفِ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ عَلَى غَيْرِهِ بِالْكُفْرِ وَعَلَى نَفْسِهِ بِسُقُوطِ الْإِرْثِ فَنَفَذَ إِقْرَارُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَإِنْ لَمْ يَنْفُذْ عَلَى غَيْرِهِ

Pendapat kedua, yang diriwayatkan oleh ar-Rabi‘ dan dipilih oleh al-Muzani, adalah bahwa hak warisnya gugur darinya dan tidak perlu menunggu klarifikasi, karena ia telah mengakui kekufuran atas orang lain dan atas dirinya sendiri dengan gugurnya hak waris, maka pengakuannya berlaku atas dirinya sendiri meskipun tidak berlaku atas orang lain.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا صَلَّى الْمُرْتَدُّ قَبْلَ ظُهُورِ تَوْبَتِهِ

Maka jika seorang murtad melaksanakan salat sebelum tampaknya tobatnya

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ إِنْ صَلَّى فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لَمْ يُحْكَمْ بِإِسْلَامِهِ وَإِنْ صَلَّى فِي دَارِ الْحَرْبِ حُكِمَ بِإِسْلَامِهِ

Syafi‘i berkata dalam kitab Al-Umm: Jika seseorang shalat di negeri Islam, maka tidak dihukumi telah masuk Islam; namun jika ia shalat di negeri harb, maka dihukumi telah masuk Islam.

وَفَرَّقَ أَصْحَابُنَا بَيْنَهُمْ مِنْ وَجْهَيْنِ

Para ulama kami membedakan antara keduanya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إنَّ الظَّاهِرَ مِنْ فِعْلِهَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ التَّقِيَّةُ وَفِي دَارِ الْحَرْبِ الِاعْتِقَادُ

Salah satunya adalah bahwa yang tampak dari perbuatannya di negeri Islam adalah taqiyyah, sedangkan di negeri perang adalah keyakinan.

وَالثَّانِي إنَّهُ يُقَدَّرُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ عَلَى الشَّهَادَتَيْنِ فَلَمْ يَصِرْ مُسْلِمًا بِالصَّلَاةِ وَلَا يُقَدَّرُ فِي دَارِ الْحَرْبِ عَلَى الشَّهَادَتَيْنِ فَصَارَ مُسْلِمًا بِالصَّلَاةِ وَفِي هَذَا نَظَرٌ

Yang kedua, sesungguhnya di negeri Islam, seseorang dianggap masuk Islam dengan dua syahadat, sehingga ia tidak menjadi Muslim hanya dengan salat. Namun, di negeri perang, seseorang tidak dianggap masuk Islam dengan dua syahadat saja, sehingga ia menjadi Muslim dengan salat. Dalam hal ini masih terdapat perbedaan pendapat.

لِأَنَّهُ لَوْ صَارَتِ الصَّلَاةُ إِسْلَامًا لِلْمُرْتَدِّ لَصَارَتْ إِسْلَامًا للحربي

Karena jika shalat menjadi tanda masuk Islam bagi orang murtad, maka shalat juga akan menjadi tanda masuk Islam bagi orang harbi.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَمَا جَرَحَ أَوْ أَفْسَدَ فِي رِدَّتِهِ أُخِذَ بِهِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Apa saja yang dilukai atau dirusak (oleh seseorang) saat dalam keadaan riddah, maka ia tetap dimintai pertanggungjawaban atasnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لَا يَخْلُو مَا أَتْلَفَهُ الْمُرْتَدُّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فِي حَالِ رِدَّتِهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُنْفَرِدًا أَوْ فِي جَمَاعَةٍ

Al-Mawardi berkata, apa yang dirusak oleh seorang murtad terhadap kaum Muslimin pada saat ia dalam keadaan riddah, tidak lepas dari dua kemungkinan: dilakukan secara sendiri atau bersama kelompok.

فَإِنْ كَانَ مُنْفَرِدًا أَوْ فِي جَمَاعَةٍ لَا يَمْتَنِعُ بِهِمْ فَحُكْمُهُ حُكْمُ الْمُنْفَرِدِ عَلَيْهِ أَحْكَامُهُ وَضَمَانُ مَا أَتْلَفَهُ عَلَيْهِمْ مِنْ نَفْسٍ وَمَالٍ لِأَنَّ إِسْلَامَهُ قَدْ أَوْجَبَ عَلَيْهِ الْتِزَامَ أَحْكَامِهِ وَهُوَ يَضْمَنُهَا قَبْلَ الرِّدَّةِ فَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ ضَمَانُهَا بِالرِّدَّةِ لِأَنَّهَا زَادَتْهُ تَغْلِيظًا لَا تَخْفِيفًا

Jika ia sendirian atau berada dalam suatu kelompok yang tidak dapat dijadikan perlindungan baginya, maka hukumnya adalah hukum orang yang sendirian; berlaku atasnya hukum-hukumnya dan ia wajib menanggung ganti rugi atas apa yang telah ia rusak dari jiwa maupun harta mereka. Sebab, keislamannya telah mewajibkan ia untuk mematuhi hukum-hukumnya, dan ia wajib menanggungnya sebelum murtad, sehingga tidak gugur darinya kewajiban menanggung itu karena kemurtadannya, bahkan kemurtadannya justru menambah berat baginya, bukan meringankan.

وَإِنْ كَانَ فِي جَمَاعَةٍ مُمْتَنِعَةٍ عَنِ الْإِمَامِ وَلَمْ يَصِلْ إِلَيْهِمْ إِلَّا بِالْقِتَالِ فَمَا أَتْلَفُوهُ فِي غَيْرِ الْقِتَالِ ضَمِنُوهُ وَمَا أَتْلَفُوهُ فِي الْقِتَالِ فَفِي ضَمَانِ أَهْلِ الْبَغْيِ لَهُ قَوْلَانِ

Dan jika (barang tersebut) berada pada kelompok yang membangkang terhadap imam dan tidak dapat dicapai kecuali dengan peperangan, maka apa yang mereka rusak di luar peperangan wajib mereka ganti, sedangkan apa yang mereka rusak dalam peperangan, dalam hal kewajiban ganti rugi oleh ahl al-baghy terdapat dua pendapat.

فَأَمَّا أَهْلُ الرِّدَّةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِمْ

Adapun mengenai ahl ar-riddah, para ulama kami berbeda pendapat tentang mereka.

فَذَهَبَ أَبُو حَامِدٍ الِإِسْفِرَايِينِيُّ وَأَكْثَرُ الْبَغْدَادِيِّينَ إِلَى أَنَّ في وجوب ضمانهم قولان كَأَهْلِ الْبَغْيِ

Abu Hamid al-Isfirayini dan mayoritas ulama Baghdad berpendapat bahwa dalam kewajiban menanggung ganti rugi terhadap mereka terdapat dua pendapat, seperti halnya pada kasus ahl al-baghy.

أَحَدُهُمَا يَضْمَنُونَ كَمَا يَضْمَنُ الْمُحَارِبُونَ فِي قَطْعِ الطَّرِيقِ

Salah satunya adalah mereka menanggung jaminan sebagaimana para muharib menanggung jaminan dalam kasus perampokan di jalan.

وَالثَّانِي لَا يَضْمَنُونَ كَمَا لَا يَضْمَنُ الْمُشْرِكُونَ

Dan golongan kedua tidak menanggung (tanggung jawab), sebagaimana orang-orang musyrik juga tidak menanggung (tanggung jawab).

وَذَهَبَ أَبُو حَامِدٍ الْمَروروذِيُّ وَأَكْثَرُ الْبَصْرِيِّينَ إِلَى أَنَّهُمْ يَضْمَنُونَ قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ كَانَ فِي ضَمَانِ أَهْلِ الْبَغْيِ قَوْلَانِ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ لِأَهْلِ الْبَغْيِ إِمَامًا تُنَفَّذُ أَحْكَامُهُ وَلَيْسَ لِأَهْلِ الرِّدَّةِ إِمَامٌ يُنَفَّذُ لَهُ حكم

Abu Hamid al-Marurudzzi dan mayoritas ulama Basrah berpendapat bahwa mereka wajib menanggung ganti rugi menurut satu pendapat, meskipun dalam hal jaminan bagi ahl al-baghy terdapat dua pendapat, karena adanya perbedaan antara keduanya, yaitu bahwa ahl al-baghy memiliki seorang imam yang putusan-utusannya dijalankan, sedangkan ahl al-riddah tidak memiliki imam yang putusannya dijalankan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِنْ جُرِحَ مُرْتَدًّا ثُمَّ جُرِحَ مُسْلِمًا فَمَاتَ فَعَلَى مَنْ جَرَحَهُ مُسْلِمًا نِصْفُ الدِّيَةِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika seseorang terluka saat dalam keadaan murtad, lalu ia terluka lagi saat telah menjadi muslim, kemudian ia meninggal, maka atas orang yang melukainya ketika ia sudah muslim dikenakan setengah diyat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مَضَتْ فِي كِتَابِ الْجِنَايَاتِ

Al-Mawardi berkata, “Masalah ini telah dibahas dalam Kitab al-Jinayat.”

وَذَكَرْنَا أَنَّهُ إِذَا جَرَحَهُ مُسْلِمٌ فِي حَالِ رِدَّتِهِ ثُمَّ أَسْلَمَ فَجَرَحَهُ آخَرُ بَعْدَ إِسْلَامِهِ وَمَاتَ فَجُرْحُهُ فِي الرِّدَّةِ هَدَرٌ لَا يَضْمَنُهُ الْجَارِحُ بِقَوَدٍ وَلَا دِيَةٍ

Dan telah kami sebutkan bahwa jika seorang Muslim melukainya pada saat ia dalam keadaan riddah, kemudian ia masuk Islam, lalu orang lain melukainya lagi setelah ia masuk Islam, kemudian ia meninggal, maka luka yang terjadi saat ia dalam keadaan riddah adalah sia-sia, pelakunya tidak menanggung qishāsh maupun diyat.

وَجُرْحُهُ فِي حَالِ إِسْلَامِهِ مَضْمُونٌ بِالدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ فَيَجِبُ عَلَى الْجَارِحِ نِصْفُ الدِّيَةِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ أَحَدُ الْقَاتِلِينَ

Luka yang ditimbulkan olehnya ketika dalam keadaan Islam dijamin dengan diyat, bukan dengan qishāsh, sehingga pelaku penganiayaan wajib membayar setengah diyat karena ia telah menjadi salah satu dari dua pembunuh.

فَلَوْ عَادَ الْأَوَّلُ فَجُرْحُهُ مَعَ الثَّانِي جُرْحًا ثَانِيًا وَجَبَ عَلَى الثَّانِي نِصْفُ الدِّيَةِ وَعَلَى الْأَوَّلِ رُبُعُهَا لِأَنَّ نِصْفَ فِعْلِهِ هَدَرٌ والله أعلم

Maka jika yang pertama kembali lagi lalu melukai (korban) bersama yang kedua sehingga lukanya menjadi luka kedua, maka wajib atas yang kedua membayar setengah diyat dan atas yang pertama seperempatnya, karena setengah dari perbuatannya dianggap sia-sia (tidak diperhitungkan). Dan Allah lebih mengetahui.

Kitab al-Hudūd

بَابُ حَدِّ الزِّنَا وَالشَّهَادَةِ عَلَيْهِ

Bab Hudud Zina dan Persaksian atasnya

قال الشافعي رحمه الله ” رجم صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مُحْصَنَيْنِ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا وَرَجَمَ عُمَرُ مُحْصَنَةً وَجَلَدَ عليه السلام بكراً مائة وغربه عاماً وبذلك أقول

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Rasulullah ﷺ telah merajam dua orang Yahudi yang sudah menikah karena berzina, dan Umar telah merajam seorang wanita yang sudah menikah, serta Nabi ﷺ telah mencambuk seorang yang belum menikah seratus kali dan mengasingkannya selama satu tahun, dan dengan itulah aku berpendapat.”

قال الماوردي وأما الحدود فهي عقوبات زجر الله بِهَا الْعِبَادَ عَنِ ارْتِكَابِ مَا حَظَرَ وَحَثَّهُمْ بِهَا عَلَى امْتِثَالِ مَا أَمَرَ وَفِي تَسْمِيَتِهَا حُدُودًا تَأْوِيلَانِ

Al-Mawardi berkata: Adapun hudud adalah sanksi-sanksi yang dengannya Allah mencegah hamba-hamba-Nya dari melakukan apa yang diharamkan dan mendorong mereka untuk melaksanakan apa yang diperintahkan. Dalam penamaannya sebagai hudud terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَدَّهَا وقدرها فلا يجوز لأحد أن يتجاوزها فَيَزِيدَ عَلَيْهَا أَوْ يَنْقُصَ مِنْهَا وَهَذَا قَوْلُ أَبِي مُحَمَّدِ بْنِ قُتَيْبَةَ

Salah satunya adalah karena Allah Ta‘ala telah menetapkan dan menentukan batasannya, maka tidak boleh bagi siapa pun untuk melampauinya dengan menambah atau menguranginya. Inilah pendapat Abu Muhammad Ibn Qutaybah.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي أَنَّهَا سُمِّيَتْ حُدُودًا؛ لِأَنَّهَا تَمْنَعُ مِنَ الْإِقْدَامِ عَلَى مَا يُوجِبُهَا مَأْخُوذًا مِنْ حَدِّ الدَّارِ؛ لِأَنَّهُ يمنع من مشاركة غيرها فيها وبه سُمِّي الْحَدِيدُ حَدِيدًا؛ لِأَنَّهُ يُمْتَنَعُ بِهِ وَالْعَرَبُ تسمي البواب والسجان حَدَّادًا؛ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنَ الْخُرُوجِ قَالَ الشَّاعِرُ

Dan penafsiran kedua adalah bahwa ia dinamakan ḥudūd karena ia mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan yang mewajibkannya, diambil dari makna “batas” pada rumah, karena batas itu mencegah orang lain untuk ikut serta di dalamnya. Dengan sebab itu pula besi dinamakan ḥadīd, karena dengannya dapat dicegah (sesuatu). Orang Arab juga menyebut penjaga pintu dan sipir penjara sebagai ḥaddād, karena ia mencegah orang untuk keluar. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:

كم دون بابك من أقوام أحاذرهم بأم عَمْرٍو وَحَدَّادٍ وَحَدَّادِ

Berapa banyak orang yang aku waspadai berada di depan pintumu, seperti Ummu ‘Amr, Haddad, dan Haddad.

يُرِيدُ بِالْحَدَّادِ الْأَوَّلِ الْبَوَّابَ وَبِالْحَدَّادِ الثَّانِي السَّجَّانَ لِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِمَا مِنَ الْمَنْعِ وَالْعَرَبُ تُسَمِّي بَائِعَ الْخَمْرِ حَدَّادًا؛ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنْهَا إِلَّا بِالثَّمَنِ وَقَدْ كَانَتِ الْحُدُودُ فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ بِالْغَرَامَاتِ؛ وَلِذَلِكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ غَلَّ صَدَقَتَهُ فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةٌ مِنْ عَزَمَاتِ الله لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ فِيهَا نَصِيبٌ وَقَدْ كَانَ عليه بعض الشرائع المتقدمة قال الله عز وجل في قصة يوسف فَمَا جَزَاؤُهُ إِنْ كُنْتُمْ كَاذِبِينَ يوسف 74 أَيْ مَا عُقُوبَةُ مَنْ سَرَقَ مِنْكُمْ إِنْ كُنْتُمْ كَاذِبِينَ فِي أَنَّكُمْ لَمْ تَسْرِقُوا مِنَّا

Yang dimaksud dengan haddād pertama adalah penjaga pintu, dan dengan haddād kedua adalah sipir penjara, karena keduanya berkaitan dengan pencegahan. Orang Arab menyebut penjual khamr dengan istilah haddād karena ia mencegah orang lain mendapatkannya kecuali dengan membayar harga. Pada masa awal Islam, hukuman hudūd dilakukan dengan denda; oleh karena itu Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa menahan zakatnya, maka kami akan mengambilnya dan setengah hartanya, sebagai ketetapan dari ketetapan-ketepatan Allah. Tidak ada bagian bagi keluarga Muhammad di dalamnya.” Hal ini juga berlaku pada sebagian syariat terdahulu, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam kisah Yusuf: “Maka apakah balasannya jika kamu berdusta?” (Yusuf: 74), yaitu: apa hukuman bagi orang yang mencuri dari kalian, jika kalian berdusta bahwa kalian tidak mencuri dari kami.

قَالُوا جَزَاؤُهُ مَنْ وُجِدَ فِي رَحْلِهِ فَهُوَ جَزَاؤُهُ أَيْ جَزَاءُ مَنْ سَرَقَ أَنْ يُسْتَرَقَّ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ يوسف 74 أَيْ كَذَلِكَ نَفْعَلُ بِالظَّالِمِينَ إِذَا سَرَقُوا أَنْ يُسْتَرَقُّوا فَكَانَ هَذَا مِنْ دِينِ يَعْقُوبَ ثُمَّ نُسِخَ غُرْمُ الْعُقُوبَاتِ بِالْحُدُودِ فَعِنْدَهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِذَا قُطِعَ السَّارِقُ فَلَا غُرْمَ فَتَأَوَّلْنَاهُ عَلَى سقوط غرم العقوبة

Mereka berkata, “Balasannya adalah siapa yang didapati barang itu dalam bawaannya, maka dialah balasannya,” yaitu balasan bagi orang yang mencuri adalah dijadikan budak. Demikianlah Kami membalas orang-orang zalim (Yusuf: 74), maksudnya demikianlah Kami memperlakukan orang-orang zalim jika mereka mencuri, yaitu dijadikan budak. Maka ini adalah bagian dari ajaran Ya‘qub, kemudian kewajiban membayar ganti rugi dalam hukuman-hukuman dihapuskan dengan adanya hudūd. Maka pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika tangan pencuri telah dipotong, maka tidak ada kewajiban membayar ganti rugi.” Maka kami menafsirkannya sebagai gugurnya kewajiban membayar ganti rugi atas hukuman.

فصل

Bab

فبدأ الشَّافِعِيُّ بِحَدِّ الزِّنَا؛ لِأَنَّهُ أَصْلٌ تَفَرَّعَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ وَتَعَدَّى فِيهِ حُكْمُهُ وَأَوَّلُ مَا نَزَلَ فِيهِ مِنَ الْقُرْآنِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لهن سبيلا وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فأعرضوا عنهما النساء 15 16 فَشَذَّتْ طَائِفَةٌ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ فِي هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ وزعموا أن الأولى منهما وهو قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نسائكم وَارِدَةٌ فِي إِتْيَانِ الْمَرْأَةِ الْمَرْأَةَ لِاقْتِصَارِهِ عَلَى ذِكْرِ النِّسَاءِ دُونَ الرِّجَالِ فَيَكُونُ كَالزِّنَا فِي الحظر ومخالف لَهُ فِي الْحَدِّ

Syafi‘i memulai dengan pembahasan tentang hudud zina, karena zina merupakan pokok yang darinya cabang-cabang lain muncul dan hukumnya meluas ke perkara lain. Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun terkait hal ini adalah firman Allah Ta‘ala, “Perempuan-perempuan di antara kalian yang melakukan perbuatan keji, maka datangkanlah empat orang saksi di antara kalian terhadap mereka. Jika mereka telah bersaksi, maka kurunglah mereka di dalam rumah sampai maut menjemput mereka atau Allah memberikan jalan keluar bagi mereka. Dan dua orang yang melakukan perbuatan itu di antara kalian, maka sakiti keduanya. Jika mereka bertobat dan memperbaiki diri, maka berpalinglah dari mereka.” (an-Nisā’ 15-16). Sebagian mufassir menyimpang dalam menafsirkan dua ayat ini dan mengklaim bahwa ayat pertama, yaitu firman Allah Ta‘ala, “Perempuan-perempuan di antara kalian yang melakukan perbuatan keji,” ditujukan kepada perempuan yang melakukan perbuatan keji dengan perempuan lain, karena ayat tersebut hanya menyebut perempuan tanpa menyebut laki-laki. Maka hukumnya sama dengan zina dalam hal keharaman, namun berbeda dalam hal hudud.

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” السِّحَاقُ زِنَا النِّسَاءِ بَيْنَهُنَّ وَيَكُونُ الْحَدُّ فِيهِ حَبْسَهُمَا حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا بِالتَّزْوِيجِ فَيَسْتَغْنِينَ بِحَلَالِهِ عَنْ حَرَامِ مَا ارْتَكَبْنَهُ

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Sihaq adalah zina di antara perempuan, dan hukumannya adalah mengurung mereka berdua hingga maut menjemput mereka atau Allah memberikan jalan keluar bagi mereka melalui pernikahan, sehingga mereka mencukupkan diri dengan yang halal dan meninggalkan perbuatan haram yang telah mereka lakukan.”

وَالْآيَةُ الثَّانِيَةُ وَهِيَ قوله واللذان يأتيانها منكم واردة في إتيان الرجال الرجال لِاقْتِصَارِهِ عَلَى ذِكْرِ الرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ فَيَكُونُ كَالزِّنَا فِي الْحَظْرِ

Ayat kedua, yaitu firman-Nya “dan dua orang yang melakukan perbuatan itu di antara kalian,” berkaitan dengan perbuatan laki-laki dengan laki-laki, karena hanya menyebutkan laki-laki tanpa menyebutkan perempuan, sehingga hukumnya seperti zina dalam hal larangan.

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” مُبَاشَرَةُ الرَّجُلِ الرَّجُلَ زِنًا وَمُبَاشَرَةُ المرأة المرأة زنا

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Perbuatan seorang laki-laki terhadap laki-laki adalah zina, dan perbuatan seorang perempuan terhadap perempuan adalah zina.”

وقوله فآذوهما هُوَ حَدٌّ جَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُمَا وَهَذَا الْأَذَى مُجْمَلٌ تَفْسِيرُهُ مَا اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهِ من إتيان الفاحشة بين الذكرين

Dan firman-Nya “maka sakiti lah mereka berdua” adalah suatu hudud yang Allah Ta‘ala tetapkan bagi keduanya, dan bentuk menyakiti tersebut masih bersifat global, penafsirannya adalah apa yang diperselisihkan oleh para fuqaha terkait perbuatan keji yang dilakukan di antara dua laki-laki.

والفاحشة الثانية التي هي الزنا بين الرجل والمرأة مأخوذ من الآية الثالثة الَّتِي فِي سُورَةِ النُّورِ مِنْ قَوْله تَعَالَى الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ النور 2 وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْمُفَسِّرِينَ إِلَى أَنَّ هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ وَرَدَتَا فِي الزِّنَا بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ؛ لِأَنَّهُ ذَكَرَ فِي الْأُولَى النِّسَاءَ وَفِي الثَّانِيَةِ الرِّجَالَ لِتُحْمَلَ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا عَلَى الأخرى فتصير كالجمع فيها بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَبِهِ قَالَ الْفُقَهَاءُ وَتَكُونُ الْآيَةُ الْأُولَى فِي زِنَا النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَالْآيَةُ الثَّانِيَةُ فِي زِنَا الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَهُمَا فِي حُكْمِ الزِّنَا سَوَاءٌ وَاخْتُلِفَ فِيمَا تَضَمَّنَتْهُ الْآيَتَانِ هَلْ هُوَ حَدٌّ أَوْ مَوْعِدٌ بِالْحَدِّ عَلَى قولين

Perbuatan keji kedua, yaitu zina antara laki-laki dan perempuan, diambil dari ayat ketiga dalam Surah an-Nur dari firman Allah Ta‘ala: “Perempuan pezina dan laki-laki pezina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera” (an-Nur: 2). Mayoritas mufassir berpendapat bahwa kedua ayat ini turun mengenai zina antara laki-laki dan perempuan; karena pada ayat pertama disebutkan perempuan, dan pada ayat kedua disebutkan laki-laki, sehingga masing-masing ayat dapat dimaknai satu sama lain, sehingga seolah-olah menggabungkan antara laki-laki dan perempuan di dalamnya. Pendapat ini juga dipegang oleh para fuqaha. Maka ayat pertama berkaitan dengan zina perempuan dengan laki-laki, dan ayat kedua berkaitan dengan zina laki-laki dengan perempuan, dan keduanya dalam hukum zina adalah sama. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kandungan kedua ayat tersebut, apakah itu merupakan hudud atau ancaman akan diberlakukannya hudud, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أحدهما أَنَّهُ مَوْعِدٌ بِالْحَدِّ وَلَيْسَ بِحَدٍّ؛ لِمَا فِي الْآيَةِ مِنَ التَّنْبِيهِ عَلَى الْمَوْعِدِ فَعَلَى هَذَا في قوله واللاتي يأتين الفاحشة من نسائكم وجهان

Pertama, bahwa ayat tersebut merupakan ancaman akan adanya hudud dan bukanlah hudud itu sendiri; karena dalam ayat tersebut terdapat isyarat tentang ancaman. Maka, dalam firman-Nya “wanita-wanita di antara kalian yang melakukan perbuatan keji” terdapat dua pendapat.

أحدهما أنه خطاب للحكام فيمن زنا مِنْ عُمُومِ النِّسَاءِ

Pertama, bahwa ini adalah seruan kepada para hakim mengenai siapa saja yang berzina dari kalangan umum perempuan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ خِطَابٌ للأزواج فيمن زنا من خصوص نسائهم فأمسكوهن في البيوت وَهَذَا خِطَابٌ يَتَوَجَّهُ إِلَى الْأَزْوَاجِ دُونَ الْحُكَّامِ؛ لِأَنَّ الْأَزْوَاجَ بِحَبْسِ نِسَائِهِمْ فِي الْبُيُوتِ أَحَقُّ مِنَ الْحُكَّامِ وَلَوْ تُوَجِّهَ إِلَى الْحُكَّامِ لَأَمَرُوا بِحَبْسِهِنَّ فِي الْحُبُوسِ دُونَ الْبُيُوتِ وَيَكُونُ الْأَمْرُ بهذا الحبس انتظاراً للموعد حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ إِنْ تَأَخَّرَ بَيَانُ الْحَدِّ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا إِنْ وَرَدَ بَيَانُ مَا يَجِبُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَدِّ ثُمَّ قال تعالى واللذان يأتيانها منكم واللذان تثنية الذي وفيهما وجهان

Pendapat kedua adalah bahwa ayat tersebut merupakan khithab (seruan) kepada para suami mengenai siapa saja dari istri-istri mereka yang berzina, maka hendaklah mereka menahan istri-istri itu di dalam rumah. Ini adalah khithab yang ditujukan kepada para suami, bukan kepada para hakim; karena para suami lebih berhak menahan istri-istri mereka di rumah daripada para hakim. Jika khithab itu ditujukan kepada para hakim, niscaya mereka akan memerintahkan penahanan para istri itu di penjara, bukan di rumah. Perintah penahanan ini adalah dalam rangka menunggu waktu yang telah ditentukan, hingga kematian menjemput mereka jika penjelasan tentang hudud terlambat, atau Allah memberikan jalan keluar bagi mereka jika telah datang penjelasan tentang apa yang wajib mereka jalani dari hudud. Kemudian Allah berfirman: “Dan dua orang yang melakukannya di antara kalian…” Kata “al-ladzān” adalah bentuk mutsanna (dua) dari “al-ladzī”, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أحدهما أنها الْبِكْرُ وَالثَّيِّبُ

Salah satunya adalah bahwa ia adalah perempuan yang masih perawan dan yang sudah tidak perawan.

وَالثَّانِي أَنَّهُمَا الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ يَأْتِيَانِهَا يعني الفاحشة وهي الزنا منكم يعني من المسلمين فآذوهما وهذا خِطَابٌ تَوَجَّهَ إِلَى الْحُكَّامِ فَآذُوهُمَا يَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ

Dan yang kedua adalah bahwa keduanya, yaitu laki-laki dan perempuan, melakukan perbuatan keji, yaitu zina, dari kalangan kalian, maksudnya dari kaum muslimin, maka sakiti keduanya. Ini adalah sebuah khithab (perintah) yang ditujukan kepada para hakim. Maka sakiti keduanya, ini mengandung dua kemungkinan.

أَحَدُهُمَا بِالْحَبْسِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ

Salah satunya adalah dengan penahanan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

وَالثَّانِي بِالْقَوْلِ مِنْ تَوْبِيخٍ وَزَجْرٍ فَإِنْ تَابَا يَعْنِي من الزنا قيل وُرُودِ الْحَدِّ وَأَصْلَحَا يَعْنِي بِالْعِفَّةِ عَنِ الزِّنَا بالنكاح فأعرضوا عنهما يحتمل وجهين

Dan yang kedua adalah dengan perkataan, berupa teguran dan larangan. Jika keduanya bertobat, yaitu dari perbuatan zina, dikatakan bahwa hukuman hudud tidak dikenakan, dan jika keduanya memperbaiki diri, yaitu menjaga kehormatan dari zina dengan menikah, maka berpalinglah dari keduanya; hal ini dapat dimaknai dengan dua kemungkinan.

أحدهما فأطلقوها إن قيل إن الأذى ها هنا الحبس

Salah satunya adalah mereka membebaskannya jika dikatakan bahwa yang dimaksud dengan adzā di sini adalah penahanan.

والثاني فكفوا عن الإغلاظ لهما إن قيل إن الأذى ها هنا التَّوْبِيخُ وَالزَّجْرُ فَهَذَا قَوْلُ مَنْ جَعَلَ الْآيَتَيْنِ موعداً بالحد ويكون حكمهما ثابتاً فِي الْوَعْدِ غَيْرَ مَنْسُوخٍ وَتَحْقِيقُهُ مَا نَزَلَ بَعْدَهُ مِنْ قُرْآنٍ وَوَرَدَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ من سنة فأما القرآن فما نَزَلَ فِي سُورَةِ النُّورِ مِنْ حَدِّ الْبِكْرِ وَهُوَ قَوْله تَعَالَى الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ النور 2

Kedua, maka tahanlah diri dari bersikap kasar kepada keduanya jika dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “gangguan” di sini adalah teguran dan larangan keras. Ini adalah pendapat orang yang menjadikan dua ayat tersebut sebagai ancaman akan adanya hudud, dan hukumnya tetap berlaku sebagai ancaman yang tidak di-nasakh. Penjelasannya adalah apa yang turun setelahnya dari Al-Qur’an dan yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa sunnah. Adapun Al-Qur’an, maka yang turun dalam Surah An-Nur tentang hudud bagi pelaku zina yang belum menikah adalah firman Allah Ta‘ala: “Perempuan pezina dan laki-laki pezina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera.” (An-Nur: 2)

وَأَمَّا السُّنَّةُ فَوَارِدَةٌ فِي جَلْدِ الْبِكْرِ وَرَجْمِ الثَّيِّبِ وَهُوَ مَا رَوَاهُ عَامِرٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ كَرَبَ لَهُ وتربد وجهه قال فنزل عليه الرجم فَلَمَّا سُرِّيَ عَنْهُ قَالَ ” خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ وَالْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالنَّفْيُ

Adapun sunnah, maka terdapat riwayat mengenai hukuman cambuk bagi pelaku zina yang masih lajang (bikr) dan rajam bagi yang sudah menikah (tsayyib), yaitu sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Amir dari Masruq dari Ubay bin Ka‘b, bahwa Nabi ﷺ apabila wahyu turun kepadanya, beliau merasa berat dan wajahnya berubah. Ia berkata: Maka turunlah wahyu tentang rajam. Setelah keadaan beliau kembali seperti semula, beliau bersabda, “Ambillah dariku, sungguh Allah telah menjadikan jalan (hukuman) bagi mereka: yang sudah menikah dengan yang sudah menikah, dicambuk seratus kali dan dirajam; yang masih lajang dengan yang masih lajang, dicambuk seratus kali dan diasingkan.”

وَرَوَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَالثَّيِّبُ بالثيب جلد مائة والرجم

Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin ash-Shamit bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Ambillah dariku, sungguh Allah telah menetapkan jalan bagi mereka: gadis dengan gadis (yang berzina) hukumannya seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan janda dengan janda (yang berzina) hukumannya seratus kali cambukan dan rajam.”

فالمراد بِقَوْلِهِ ” قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا إِشَارَةٌ إِلَى قَوْلِهِ فِي سُورَةِ النِّسَاءِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا النساء 15 فكان السبيل ما بينه الرسول من هذا الحكم في جَلْدِ الْبِكْرِ وَرَجْمِ الثَّيِّبِ وَزَادَ عَلَى مَا في سورة النور في شَيْئَيْنِ

Maksud dari ucapannya “Allah telah menjadikan bagi mereka jalan keluar” adalah isyarat kepada firman-Nya dalam Surah an-Nisā’: “hingga maut menjemput mereka atau Allah menjadikan bagi mereka jalan keluar” (an-Nisā’ 15). Maka jalan keluar itu adalah apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah mengenai hukum ini, yaitu cambuk bagi yang masih lajang dan rajam bagi yang sudah menikah, serta beliau menambahkan atas apa yang terdapat dalam Surah an-Nūr dalam dua hal.

أَحَدُهُمَا رَجْمُ الثَّيِّبِ

Salah satunya adalah rajam bagi pezina muhshan.

وَالثَّانِي تَغْرِيبُ الْبِكْرِ

Dan yang kedua adalah pengasingan bagi pelaku zina yang masih lajang.

فَصْلٌ

Bab

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ فِي سورة النساء تضمنتا وجوب الحد وليست موعداً فِي الْحَدِّ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لِاشْتِمَالِهِمَا عَلَى أَمْرٍ تَوَجَّهَ إِلَى مُخَاطَبٍ وَعَلَى حُكْمٍ تَوَجَّهَ إِلَى فَاعِلٍ وَهَذِهِ صِفَةُ الْحَدِّ دُونَ الْوَعْدِ فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الحد الذي تضمنتها هَلْ هُوَ مُجْمَلٌ تَعَقَّبَهُ الْبَيَانُ أَوْ مُفَسَّرٌ تَعَقَّبَهُ النَّسْخُ عَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa dua ayat dalam Surah an-Nisā’ tersebut mengandung kewajiban hudud dan bukan merupakan janji mengenai hudud. Ini adalah pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i, karena kedua ayat itu memuat perintah yang ditujukan kepada mukhatab dan hukum yang ditujukan kepada pelaku, dan ini adalah sifat hudud, bukan janji. Berdasarkan hal ini, para ulama kami berbeda pendapat mengenai hudud yang terkandung di dalamnya: apakah ia bersifat mujmal yang kemudian dijelaskan, atau bersifat mufassar yang kemudian dinasakh, menurut dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مِنَ الْمُجْمَلِ الَّذِي تَعَقَّبَهُ الْبَيَانُ؛ لِأَنَّ الْإِمْسَاكَ فِي الْبُيُوتِ هُوَ حُكْمٌ مُبْهَمٌ وَالْأَذَى مِنَ الْعُمُومِ الْمُجْمَلِ وَيَكُونُ الْبَيَانُ مَا نَزَلَ فِي سُورَةِ النُّورِ مِنْ جَلْدِ الْبِكْرِ وَمَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ مِنْ رَجْمِ الثَّيِّبِ وَتَغْرِيبِ الْبِكْرِ وَيَكُونُ بيان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ تَفْسِيرًا لِإِجْمَالِهِمَا؛ لِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَعْرَابِ آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْشُدُكَ اللَّهَ أَلَا قَضَيْتَ لِي بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَامَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ نَعَمِ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ الله وأذن لي أن أتكلم فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” قل فقال إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عِنْدَ هَذَا الرَّجُلِ يعني أجيراً فزنا بامرأته وإني أخبرت أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُهُ مِنْهُ بِمِائَةِ شاة ووليدة ثم فسألت رجالاً من أهل العلم فأخبروني أنما عَلَى ابْنِي جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَأَنَّ على امرأة هذا الرَّجْمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” وَالَذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ الْغَنَمُ وَالْوَلِيدَةُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا وَكَانَ أُنَيْسٌ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ فَغَدَا وَمَعَهُ رَجُلٌ آخَرُ إليها فاعترفت فرجمها فدل على مَا حَكَمَ بِهِ مِنْ تَغْرِيبِ الْبِكْرِ وَرَجْمِ الثيب قضاء بكتاب الله وَلَيْسَ ذَلِكَ صَرِيحًا فِيهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ بَيَانًا لِإِجْمَالِهِ وَيَكُونَ حُكْمُهُمَا عَلَى هَذَا الْوَجْهِ ثَابِتًا غَيْرَ مَنْسُوخٍ؛ لِأَنَّ بَيَانَ الْمُجْمَلِ تَفْسِيرٌ وَلَيْسَ بِنَسْخٍ وَيَجُوزُ أَنْ يُؤْخَذَ بَيَانُ الْمُجْمَلِ فِي الْقُرْآنِ مِنَ الْقُرْآنِ وَمِنَ السُّنَّةِ وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Salah satunya adalah bahwa ayat tersebut termasuk ayat mujmal (global) yang kemudian dijelaskan dengan penjelasan lebih lanjut; karena perintah menahan diri di rumah adalah hukum yang masih samar, dan kata “gangguan” termasuk lafaz umum yang mujmal, sedangkan penjelasannya adalah apa yang turun dalam Surah an-Nur tentang cambuk bagi pelaku zina yang belum menikah, dan apa yang datang dalam sunnah tentang rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah serta pengasingan bagi pelaku zina yang belum menikah. Penjelasan Nabi ﷺ menjadi tafsir atas keumuman ayat tersebut; berdasarkan riwayat az-Zuhri dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwa seorang laki-laki Arab Badui datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu dengan nama Allah, putuskanlah perkara di antara kami dengan Kitab Allah.” Lalu lawan perkaranya yang lebih memahami fiqh darinya berdiri dan berkata, “Benar, putuskanlah di antara kami dengan Kitab Allah dan izinkan aku berbicara.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Katakanlah.” Ia berkata, “Anakku dahulu bekerja sebagai buruh pada orang ini, lalu ia berzina dengan istrinya. Aku diberitahu bahwa atas anakku hukuman rajam, maka aku menebusnya darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya kepada beberapa orang ahli ilmu, lalu mereka memberitahuku bahwa atas anakku adalah hukuman cambuk seratus kali dan pengasingan selama satu tahun, dan atas istri orang ini adalah hukuman rajam.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan Kitab Allah. Kambing dan budak perempuan dikembalikan kepadamu, dan atas anakmu hukuman cambuk seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Dan pergilah, wahai Unais, kepada istri orang ini, jika ia mengaku, maka rajamlah dia.” Unais adalah seorang laki-laki dari Aslam, maka ia pergi bersama seorang laki-laki lain menemui wanita itu, lalu wanita itu mengaku, maka Unais pun merajamnya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pengasingan bagi pelaku zina yang belum menikah dan rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah adalah keputusan berdasarkan Kitab Allah, meskipun hal itu tidak secara eksplisit disebutkan di dalamnya, sehingga hal tersebut menjadi penjelasan atas keumumannya. Dengan demikian, hukum keduanya tetap berlaku dan tidak mansukh (dihapus); karena penjelasan terhadap ayat mujmal adalah tafsir, bukan nasakh (penghapusan hukum). Penjelasan terhadap ayat mujmal dalam Al-Qur’an boleh diambil dari Al-Qur’an maupun dari sunnah, dan hal ini telah menjadi kesepakatan (ijma‘).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَالْأَشْبَهُ بِمَذْهَبِهِ أَنَّ الْآيَتَيْنِ تَضَمَّنَتَا حَدًّا مَفْهُومًا لَا يَفْتَقِرُ إِلَى بَيَانٍ؛ لِأَنَّ مَا فِي الْأُولَى مِنْ إِمْسَاكِهِنَّ فِي الْبُيُوتِ مَعْلُومٌ وَمَا فِي الثَّانِيَةِ مِنَ الْأَذَى بما ضر من فعل أو قول مفهوم يتقرر الِاجْتِهَادُ فِيهِ كَالتَّعْزِيرِ ثُمَّ تَعَقَّبَهُ بِالنَّسْخِ بِمَا وَرَدَ مِنْ جَلْدِ الْبِكْرِ وَرَجْمِ الثَّيِّبِ فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ فِي هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ هَلْ وَرَدَتَا فِي حَدِّ الْبِكْرِ أَوْ فِي حَدِّ الثَّيِّبِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat mayoritas ulama Syafi‘iyah dan yang lebih sesuai dengan mazhabnya, adalah bahwa kedua ayat tersebut memuat hudud yang dapat dipahami tanpa memerlukan penjelasan tambahan; karena perintah dalam ayat pertama untuk menahan mereka di dalam rumah sudah jelas, dan yang terdapat dalam ayat kedua tentang memberi sanksi berupa gangguan, baik berupa perbuatan atau ucapan, juga dapat dipahami dan ditetapkan melalui ijtihad seperti ta‘zir. Kemudian, ketentuan tersebut di-nasakh dengan adanya ketetapan tentang cambuk bagi pelaku zina yang belum menikah dan rajam bagi yang sudah menikah. Berdasarkan hal ini, para ulama Syafi‘iyah berbeda pendapat mengenai kedua ayat tersebut: apakah keduanya berkaitan dengan hudud bagi pelaku zina yang belum menikah atau yang sudah menikah, dengan tiga pendapat yang berbeda.

أَحَدُهَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطَّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ وَطَائِفَةٍ أَنَّهُمَا وَرَدَتَا مَعًا فِي حَدِّ الْبِكْرِ وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ هَذَا فِي سَبَبِ تَكْرَارِهِ فِي الْآيَتَيْنِ فقال أبو الطيب إن الْأُولَى فِي أَبْكَارِ النِّسَاءِ وَالثَّانِيَةَ فِي أَبْكَارِ الرجال

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Thayyib bin Salamah dan sekelompok ulama, menyatakan bahwa kedua ayat tersebut turun bersamaan dalam menetapkan hadd bagi pelaku zina yang masih perawan. Namun, para pengikut pendapat ini berbeda pendapat mengenai sebab pengulangan dalam kedua ayat tersebut. Abu Thayyib berpendapat bahwa ayat pertama berkaitan dengan perempuan yang masih perawan, sedangkan ayat kedua berkaitan dengan laki-laki yang masih perawan.

وقال غيره لأن الْأُولَى فِي الْبِكْرِ الَّتِي لَهَا زَوْجٌ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا وَالثَّانِيَةَ فِي الْبِكْرِ الَّتِي لَا زَوْجَ لَهَا؛ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حَدُّ الْبِكْرِ في هاتين الآيتين منسوخاً بما ورد فِي سُورَةِ النُّورِ مِنْ قَوْلِهِ الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ النور 2 وَيَكُونُ حَدُّ الثَّيِّبِ بِالرَّجْمِ فَرْضًا مُبْتَدَأً لَمْ يُنْقَلْ عَنْ حَدٍّ مَنْسُوخٍ

Dan menurut pendapat lain, ayat pertama berkaitan dengan gadis yang sudah memiliki suami namun belum digauli, sedangkan ayat kedua berkaitan dengan gadis yang belum memiliki suami; berdasarkan hal ini, maka batasan hukuman bagi gadis (bikr) dalam kedua ayat tersebut telah di-naskh dengan apa yang disebutkan dalam Surah an-Nur, yaitu firman-Nya: “Perempuan pezina dan laki-laki pezina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera” (an-Nur: 2), dan hukuman bagi wanita yang sudah menikah (tsayyib) adalah rajam sebagai kewajiban yang baru, yang tidak berpindah dari batasan hukuman yang telah di-naskh.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْآيَتَيْنِ مَعًا وَرَدَتَا فِي حَدِّ الثَّيِّبِ ثُمَّ نسخت بالرحم وحد البكر فرض مبتدأ بمائة جلدة وردت فِي سُورَةِ النُّورِ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ حَدٍّ مَنْسُوخٍ

Pendapat kedua adalah bahwa kedua ayat tersebut bersama-sama turun berkaitan dengan hukuman bagi pezina muhshan, kemudian di-nasakh dengan hukuman rajam, sedangkan hukuman bagi pezina ghairu muhshan ditetapkan sebagai ketentuan baru berupa seratus cambukan yang disebutkan dalam Surah an-Nur, dan tidak ada riwayat tentang adanya hukuman yang di-nasakh.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ الْأَظْهَرُ أَنَّ الْآيَةَ الأولى في قوله تعالى فأمسكوهن في البيوت وَارِدَةٌ فِي حَدِّ الثَّيِّبِ وَنُسِخَتْ بِالرَّجْمِ وَالْآيَةُ الثَّانِيَةُ فِي قَوْلِهِ فَآذُوهُمَا وَارِدَةٌ فِي حَدِّ البكر ونسخت بجلد مائة فيكون كلا الحدين مِنَ الْجَلْدِ وَالرَّجْمِ مَنْقُولَيْنِ عَنْ حَدَّيْنِ مَنْسُوخَيْنِ أَمَّا الْجَلْدُ فِي نَسْخِهِ الْأَذَى مِنَ الْآيَةِ الثَّانِيَةِ فَلَا يَمْتَنِعُ؛ لِأَنَّهُ فِي سُورَةِ النُّورِ فَهُوَ نَسْخُ الْقُرْآنِ بِالْقُرْآنِ وَأَمَّا الرَّجْمُ فِي نسخه بإمساكهن في البيوت من الآية الأولى فنسخه يترتب على أصل الشافعي مقرراً وَهُوَ أَنَّ الْقُرْآنَ يُنْسَخُ بِالْقُرْآنِ وَالسُّنَّةُ تُنْسَخُ بِالسُّنَّةِ وَلَا يَجُوزُ نَسْخُ الْقُرْآنِ بِالسُّنَّةِ وَإِنْ جَوَّزَهُ أَبُو حَنِيفَةَ وَبَعْضُ الْمُتَكَلِّمِينَ؛ لِأَنَّ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا البقرة 106 وَلَيْسَتِ السُّنَّةُ خَيْرًا مِنَ الْقُرْآنِ وَلَيْسَ مِثْلَ القرآن إلا القرآن دليل على أن لَا يَجُوزَ نَسْخُ الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْقُرْآنِ

Pendapat ketiga, dan inilah yang paling kuat, adalah bahwa ayat pertama dalam firman Allah Ta‘ala “maka tahanlah mereka di dalam rumah” berkaitan dengan hadd bagi wanita yang sudah menikah (tsayyib) dan telah di-nasakh dengan hukuman rajam. Sedangkan ayat kedua dalam firman-Nya “maka sakiti keduanya” berkaitan dengan hadd bagi yang masih lajang (bikr) dan telah di-nasakh dengan hukuman cambuk seratus kali. Maka kedua hadd, yaitu cambuk dan rajam, merupakan hukum yang dipindahkan dari dua hadd yang telah di-nasakh. Adapun cambuk, penggantiannya dari hukuman menyakiti dalam ayat kedua tidaklah terlarang, karena itu terdapat dalam Surah an-Nūr, sehingga merupakan nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Adapun rajam, penggantiannya dari hukuman menahan di rumah dalam ayat pertama, maka penggantiannya mengikuti prinsip dasar Imam asy-Syafi‘i yang menetapkan bahwa al-Qur’an hanya dapat di-nasakh dengan al-Qur’an, dan sunnah hanya dapat di-nasakh dengan sunnah, serta tidak boleh al-Qur’an di-nasakh dengan sunnah, meskipun hal itu dibolehkan oleh Abu Hanifah dan sebagian ahli kalam; karena firman Allah Ta‘ala: “Ayat mana pun yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa darinya, Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya” (al-Baqarah: 106), dan sunnah tidak lebih baik dari al-Qur’an dan tidak sebanding dengan al-Qur’an kecuali al-Qur’an itu sendiri. Ini menjadi dalil bahwa tidak boleh menasakh al-Qur’an kecuali dengan al-Qur’an.

وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا هَلْ كَانَ مُجَوَّزًا فِي الْعَقْلِ نَسْخُ الْقُرْآنِ بِالسُّنَّةِ حَتَّى حَظَرَهُ الشَّرْعُ على وجهين

Orang-orang yang berpendapat demikian berbeda pendapat, apakah secara akal memungkinkan al-Qur’an dinasakh oleh sunnah hingga kemudian syariat melarangnya, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَدْ كَانَ ذَلِكَ مُجَوَّزًا فِي الْعَقْلِ لِأَنَّ الْعَقْلَ لَا يَمْنَعُ أَنْ يَجْرِيَ عَلَى الْمَأْمُورِ حُكْمُ الْآمِرِ كَذَلِكَ لَا يَمْنَعُ أَنْ يَجْرِيَ عَلَى الْآمِرِ حُكْمُ الْمَأْمُورِ

Salah satunya adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu bahwa hal itu secara akal memungkinkan, karena akal tidak melarang berlakunya hukum pemberi perintah atas yang diperintah, sebagaimana juga tidak melarang berlakunya hukum yang diperintah atas pemberi perintah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ ذَلِكَ مُمْتَنِعٌ فِي الْعَقْلِ أَنْ يَكُونَ قَوْلُ الْمَأْمُورِ رَافِعًا لِقَوْلِ الْآمِرِ لِأَنَّ الْآمِرَ مُطَاعٌ وَالْمَأْمُورَ مُطِيعٌ

Pendapat kedua adalah bahwa hal itu mustahil secara akal, yaitu tidak mungkin ucapan orang yang diperintah dapat membatalkan ucapan orang yang memerintah, karena yang memerintah harus ditaati dan yang diperintah adalah yang menaati.

فَأَمَّا نَسْخُ السُّنَّةِ بالقرآن ففيه للشافعي قولان أظهرهما لَا يَجُوزُ اعْتِبَارًا بِالتَّجَانُسِ

Adapun nasakh sunnah dengan Al-Qur’an, menurut Imam Syafi’i terdapat dua pendapat; yang paling kuat adalah tidak boleh, dengan pertimbangan adanya keseragaman.

وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُمْتَنَعُ رَفْعُ الأخف بالأعلى وإن امتنع رفع الأعلى بِالْأَخَفِّ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Ibnu Surayj, membolehkan; karena tidak terlarang mengangkat yang lebih ringan dengan yang lebih tinggi, meskipun terlarang mengangkat yang lebih tinggi dengan yang lebih ringan.

فَإِذَا ثَبَتَ مِنْ أَصْلِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ نَسْخَ الْقُرْآنِ بِالسُّنَّةِ لَا يَجُوزُ فَفِي نَسْخِ الرَّجْمِ لِإِمْسَاكِهِنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا وَجْهَانِ يَسْلَمُ معهما أن يُنْسَخَ الْقُرْآنُ بِالسُّنَّةِ

Maka apabila telah tetap dalam prinsip al-Syafi‘i bahwa nasakh al-Qur’an dengan sunnah tidak diperbolehkan, maka dalam kasus nasakh hukum rajam terhadap perintah menahan mereka di dalam rumah sampai maut menjemput mereka atau Allah menjadikan bagi mereka jalan keluar, terdapat dua sisi pendapat yang tetap tidak menyebabkan al-Qur’an dinasakh oleh sunnah.

أَحَدُهُمَا أَنَّ قَوْلَهُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا النساء 16 يَدُلُّ عَلَى أَنَّ حُكْمَ الْإِمْسَاكِ فِي الْبُيُوتِ حَدٌّ إِلَى غَايَةٍ غَيْرِ مُؤَبَّدَةٍ فَخَرَجَ عَنْ حُكْمِ الْمَنْسُوخِ الَّذِي يَقْتَضِي ظَاهِرَ لَفْظِهِ أَنْ يَكُونَ مُسْتَوْعِبًا لِجَمِيعِ الْأَزْمَانِ كَمَا اقْتَضَى ظَاهِرُ الْعُمُومِ أَنْ يَكُونَ مُسْتَوْعِبًا لِجَمِيعِ الْأَعْيَانِ فَلَمَّا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ كَانَ ذَلِكَ مِنْهُ بَيَانًا لِانْقِضَاءِ زَمَانِ إِمْسَاكِهِنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ وَلَمْ يَكُنْ نَسْخًا؛ لِأَنَّهُ قَدَّرَ بِهِ مُدَّةً لَا تَقْتَضِي التَّأْبِيدَ وَلَوِ اقْتَضَتِ التأبيد لصار نسخاً مخرج ذَلِكَ عَنْ نَسْخِ الْقُرْآنِ بِالسُّنَّةِ وَصَارَ بَيَانُ القرآن بالسنة

Salah satunya adalah bahwa firman Allah, “atau Allah menjadikan bagi mereka jalan keluar” (an-Nisā’ 16), menunjukkan bahwa hukum menahan mereka di dalam rumah adalah batasan sampai waktu tertentu, bukan selamanya. Maka, hal ini keluar dari hukum yang mansūkh (dihapus) yang secara lahiriah lafaznya menunjukkan mencakup seluruh masa, sebagaimana makna umum juga menunjukkan mencakup seluruh individu. Ketika Rasulullah ﷺ bersabda, “Ambillah dariku, sungguh Allah telah menjadikan bagi mereka jalan keluar: gadis dengan gadis (zina), hukumannya seratus cambukan dan pengasingan selama satu tahun; janda dengan janda, seratus cambukan dan rajam,” maka itu merupakan penjelasan dari beliau tentang berakhirnya masa penahanan mereka di rumah hingga mereka wafat, dan itu bukanlah nasakh (penghapusan hukum); karena dengan sabda tersebut ditentukan masa yang tidak bersifat abadi. Jika bersifat abadi, maka itu menjadi nasakh, sehingga tidak termasuk dalam kategori nasakh al-Qur’an dengan sunnah, melainkan menjadi penjelasan al-Qur’an dengan sunnah.

والوجه الثاني أنه منسوخ بما كان متلواً من القرآن ثم نسخ رسمه وبقي حكمه فهو مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَادَ إِلَى الْمَدِينَةِ مِنَ الْحَجِّ فِي ذِي الْحِجَّةِ فَخَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ سُنَّتْ لَكُمُ السُّنَنُ وَفُرِضَتْ لَكُمُ الْفَرَائِضُ وَتُرِكْتُمْ عَلَى الْوَاضِحَةِ إِلَّا أَنْ تَضِلُّوا إِيَّاكُمْ أَنْ تهلكوا عن آية الرجم أن يقول قائل لا يجد حَدَّيْنِ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلَا أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ زَادَ ابْنُ الْخِطَابِ فِي كِتَابِ اللَّهِ لَكَتَبْتُهَا الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إذا زنيا فارجموهما البتة فإنا قد أقرأناها

Adapun alasan kedua adalah bahwa hal itu telah di-nasakh dengan ayat Al-Qur’an yang dahulu pernah dibaca, kemudian lafaznya dihapus namun hukumnya tetap berlaku. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Malik dari Yahya bin Sa‘id dari Sa‘id bin al-Musayyab, bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu kembali ke Madinah dari haji pada bulan Dzulhijjah, lalu beliau berkhutbah di hadapan manusia dan berkata: “Wahai manusia, sungguh telah disyariatkan untuk kalian berbagai sunnah dan telah diwajibkan untuk kalian berbagai kewajiban, dan kalian telah ditinggalkan di atas jalan yang terang, kecuali jika kalian tersesat. Janganlah kalian binasa karena ayat rajam, karena ada orang yang berkata: ‘Aku tidak menemukan dua hudud dalam Kitabullah.’ Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merajam, dan kami pun telah merajam setelah beliau. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada orang yang berkata: ‘Ibnu Khaththab telah menambah dalam Kitabullah,’ niscaya aku akan menuliskannya: ‘Laki-laki tua dan perempuan tua, apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya secara pasti.’ Sungguh kami telah membacanya.”

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ بِإِسْنَادٍ ذَكَرَهُ عَنْ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ خَالَتَهُ أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ لَقَدْ أَقْرَأَنَاهَا رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ آيَةَ الرَّجْمِ ” الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ بِمَا قَضَيَا مِنَ اللَّذَّةِ

Syafi‘i meriwayatkan dengan sanad yang disebutkannya dari Sahl bin Hunaif bahwa bibinya memberitahunya, ia berkata: Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membacakan kepada kami ayat rajam: “Laki-laki tua dan perempuan tua, apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sepenuhnya karena kenikmatan yang telah mereka rasakan.”

فَإِنْ قِيلَ الاعتراض على هذا منوجهين

Jika dikatakan, terdapat dua sisi keberatan terhadap hal ini.

أحدهما أنه قَوْلِ وَاحِدٍ وَالْقُرْآنُ لَا يَثْبُتُ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ

Pertama, karena itu adalah pendapat satu orang (qawl wāḥid), sedangkan Al-Qur’an tidak dapat ditetapkan dengan khabar wāḥid.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَنْسُوخٌ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمَنْسُوخُ نَاسِخًا قِيلَ أَمَّا الِاعْتِرَاضُ فِيهِ بِخَبَرِ الواحد ففيه جَوَابَانِ

Kedua, bahwa ia telah dinasakh dan tidak boleh sesuatu yang telah dinasakh menjadi nasikh. Dikatakan, adapun keberatan dalam hal ini dengan khabar al-wāḥid, maka terdapat dua jawaban.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا عَضَّدَهُ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَالثَّيِّبُ بالثيب جلد مائة والرجم ثم تعقبه فعله فِي رَجْمِ مَاعِزٍ وَالْغَامِدِيَّةِ خَرَجَ عَنْ حُكْمِ الْآحَادِ إِلَى الِاسْتِفَاضَةِ

Salah satunya adalah bahwa ketika didukung oleh sabda Nabi ﷺ: “Ambillah dariku, sungguh Allah telah menetapkan jalan bagi mereka: gadis dengan gadis (berzina) dihukum seratus cambukan dan diasingkan selama satu tahun, dan janda dengan janda (berzina) seratus cambukan dan dirajam,” kemudian perbuatan beliau dalam merajam Ma‘iz dan wanita Ghamidiyah mengikutinya, maka hal itu keluar dari hukum khabar āḥād menuju istifāḍah (penyebaran luas).

وَالثَّانِي أَنَّهُ قَدْ رَوَاهُ عمر على المنبر بمشهد جمهور الصحابة رضي الله عنهم فما أنكروه فدل على اتفاقهم عليه

Kedua, bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan oleh Umar di atas mimbar di hadapan mayoritas para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan mereka tidak mengingkarinya, sehingga hal itu menunjukkan adanya kesepakatan (ijmā‘) mereka atasnya.

وأما الاعتراض عليه بِأَنَّهُ مَنْسُوخٌ فَالْمَنْسُوخُ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Adapun keberatan terhadapnya dengan alasan bahwa hal itu mansukh (telah dihapus hukumnya), maka mansukh terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا مَا نُسِخَ رَسْمُهُ وَحُكْمُهُ كَالَّذِي رَوَاهُ أَبُو أُمَامَةَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا قَامَ فِي اللَّيْلِ لِيَقْرَأَ سُورَةً فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا وَقَامَ آخَرُ لِيَقْرَأَهَا فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا فَأَخْبَرَا رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِذَلِكَ فَقَالَ ” إِنَهَا رُفِعَتِ الْبَارِحَةَ مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ

Salah satunya adalah apa yang di-naskh baik lafaz maupun hukumnya, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Sahl bin Hunayf bahwa ada seorang laki-laki bangun di malam hari untuk membaca suatu surah, namun ia tidak mampu membacanya. Kemudian orang lain juga bangun untuk membacanya, namun ia pun tidak mampu membacanya. Lalu mereka berdua memberitahukan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda, “Sesungguhnya surah itu telah diangkat tadi malam dari dada-dada manusia.”

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا نُسِخَ حُكْمُهُ وَبَقِيَ رَسْمُهُ كَالْوَصِيَّةِ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ وَكَقَوْلِهِ فِي الْعِدَّةِ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ البقرة 240

Bagian kedua adalah apa yang hukumnya telah di-naskh, namun teksnya masih tetap ada, seperti wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dengan cara yang baik, dan seperti firman-Nya tentang masa ‘iddah: “Pemberian mut‘ah sampai setahun penuh tanpa dikeluarkan (dari rumah).” (QS. Al-Baqarah: 240).

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا نُسِخَ رَسْمُهُ وَبَقِيَ حُكْمُهُ مِثْلَ قَوْلِهِ ” وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالًا مِنَ اللَّهِ

Bagian ketiga adalah apa yang di-naskh (dihapus) lafaznya namun hukumnya tetap berlaku, seperti firman-Nya: “Dan orang tua laki-laki dan orang tua perempuan jika keduanya berzina maka rajamlah keduanya sebagai hukuman dari Allah.”

وَمِثْلُ قَوْلِهِ ” لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى إِلَيْهِ ثَانِيًا وَلَوْ أَنَّ لَهُ ثَانِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى إِلَيْهِمَا ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ وَمَا بَقِيَ حُكْمُهُ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ نَسْخُ رَسْمِهِ؛ لِأَنَّ رَفْعَ أَحَدِهِمَا لَا يوجب رفع الآخر كما أن رفع حُكْمَهُ لَا يُوجِبُ رَفْعَ رَسْمِهِ فَصَحَّ بِمَا ذَكَرْنَا مِنْ هَذَا التَّرْتِيبِ أَنَّهُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ نَسْخِ الْقُرْآنِ بِالْقُرْآنِ إِنْ جَعَلْنَاهُ مَنْسُوخًا وَبَيْنَ تَفْسِيرِ الْقُرْآنِ بِالسُّنَّةِ إِنْ جَعَلْنَاهُ مُجْمَلًا أَوْ محدوداً ولم ينسخ القرآن بالسنة

Dan seperti sabda beliau: “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ia akan menginginkan lembah kedua; dan seandainya ia memiliki dua lembah emas, niscaya ia akan menginginkan yang ketiga. Dan tidak ada yang dapat memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat.” Hukum yang masih berlaku tidak terpengaruh oleh penghapusan teksnya; karena penghapusan salah satunya tidak mengharuskan penghapusan yang lain, sebagaimana penghapusan hukumnya tidak mengharuskan penghapusan teksnya. Maka, berdasarkan urutan yang telah kami sebutkan, jelaslah bahwa hal ini berada di antara dua kemungkinan: antara nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an jika kita menganggapnya mansukh, dan antara penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah jika kita menganggapnya mujmal atau terbatas, dan Al-Qur’an tidak dinasakh oleh sunnah.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حَالِ الزِّنَا وَاسْتِقْرَارِهِ عَلَى رَجْمِ الثَّيِّبِ وَجَلَدِ الْبِكْرِ فَلَا يَخْلُو حَالُ الزَّانِي مَنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan mengenai keadaan zina dan ketetapannya atas rajam bagi pezina muhshan dan cambuk bagi pezina ghairu muhshan, maka keadaan pezina tidak lepas dari salah satu dari dua perkara.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِكْرًا أَوْ ثَيِّبًا عَلَى مَا سَنَصِفُهُ مِنْ حَالِ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ فَإِنْ أن ثَيِّبًا وَيُسَمَّى الثَّيِّبُ مُحْصَنًا فَحَدُّهُ الرَّجْمُ دُونَ الْجَلْدِ

Seseorang itu bisa jadi masih perawan (bikr) atau sudah pernah menikah (tsayyib), sebagaimana akan kami jelaskan mengenai keadaan bikr dan tsayyib. Jika ia adalah tsayyib, yang disebut juga muhsan, maka hukumannya adalah rajam, bukan cambuk.

وَذَهَبَ الْخَوَارِجُ إِلَى أَنَّ عَلَيْهِ جَلْدُ مِائَةٍ دُونَ الرَّجْمِ تَسْوِيَةً بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ؛ احتجاجاً بظاهر القرآن وأن الرَّجْمَ مِنْ أَخْبَارِ الْآحَادِ وَلَيْسَتْ حُجَّةً عِنْدَهُمْ في الأحكام

Kaum Khawarij berpendapat bahwa pelaku zina hanya dikenai hukuman cambuk seratus kali tanpa rajam, dengan menyamakan antara pelaku zina yang masih lajang (bikr) dan yang sudah menikah (tsayyib); mereka berdalil dengan makna lahiriah Al-Qur’an dan beranggapan bahwa hukuman rajam hanya berdasarkan khabar ahad, yang menurut mereka tidak dapat dijadikan hujah dalam penetapan hukum.

وقال داود بن علي وأهل الظَّاهِرِ عَلَيْهِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ فَجَمَعُوا عَلَيْهِ بَيْنَ الْحَدَّيْنِ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ

Dawud bin Ali dan para pengikut mazhab Zhahiri berpendapat bahwa pelaku dikenai hukuman cambuk seratus kali dan rajam, sehingga mereka menggabungkan dua had atasnya, dengan berdalil pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ambillah dariku, sungguh Allah telah menetapkan jalan bagi mereka; gadis dengan gadis (yakni pezina yang belum menikah dengan lawan jenis yang juga belum menikah) hukumannya adalah seratus kali cambuk dan pengasingan selama satu tahun, sedangkan janda dengan duda (yakni pezina yang sudah menikah dengan lawan jenis yang juga sudah menikah) hukumannya adalah seratus kali cambuk dan rajam.”

وَبِرِوَايَةِ قَتَادَةَ عَنِ الشعبي أن شراحة الهمدانية أتت علياً عليه السلام فقالت قد زنيت قال لَعَلَّكِ غَيْرَاءُ لَعَلَّكِ رَأَيْتِ رُؤْيَا قَالَتْ لَا فَجَلَدَهَا يَوْمَ الْخَمِيسِ وَرَجَمَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَقَالَ جَلَدْتُهَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَرَجَمْتُهَا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَلِأَنَّ حَدَّ الزِّنَا يُوجِبُ الْجَمْعَ بَيْنَ عُقُوبَتَيْنِ كَالْبِكْرِ يُجْمَعُ لَهُ بَيْنَ الْجَلْدِ وَالتَّغْرِيبِ

Dalam riwayat Qatadah dari asy-Sya‘bi disebutkan bahwa Syarāhah al-Hamdaniyyah datang kepada Ali—semoga Allah memuliakannya—dan berkata, “Aku telah berzina.” Ali berkata, “Barangkali kamu cemburu, atau barangkali kamu hanya bermimpi?” Ia menjawab, “Tidak.” Maka Ali mencambuknya pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jumat. Ia berkata, “Aku mencambuknya berdasarkan Kitab Allah dan merajamnya berdasarkan Sunnah Rasulullah.” Karena hukuman zina mewajibkan penggabungan dua hukuman, sebagaimana pada pelaku zina yang masih lajang, digabungkan antara cambuk dan pengasingan.

وَذَهَبَ الشَّافِعِيِّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ إِلَى آية الرَّجْمُ دُونَ الْجَلْدِ

Syafi‘i, Abu Hanifah, Malik, dan mayoritas fuqaha berpendapat bahwa hukum yang berlaku adalah rajam, bukan cambuk.

وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ الرَّجْمِ بِخِلَافِ مَا قَالَهُ الْخَوَارِجُ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الأخبار عن الرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَوْلًا وَفِعْلًا وَعَنِ الصَّحَابَةِ نَقْلًا وَعَمَلًا وَاسْتِفَاضَتُهُ فِي النَّاسِ وَانْعِقَادُ الْإِجْمَاعِ عَلَيْهِ حَتَّى صَارَ حُكْمُهُ مُتَوَاتِرًا وَإِنْ كَانَ أَعْيَانُ الْمَرْجُومِينَ فِيهِ مِنْ أَخْبَارِ الْآحَادِ وَهَذَا يَمْنَعُ مِنْ خِلَافِ حدث بعده

Dalil atas wajibnya rajam, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh kaum Khawarij, adalah apa yang telah kami sebutkan berupa berita dari Rasulullah ﷺ baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan dari para sahabat baik berupa riwayat maupun praktik, serta tersebarnya hal itu di tengah masyarakat dan terwujudnya ijmā‘ atasnya, sehingga hukumnya menjadi mutawātir, meskipun individu-individu yang dirajam dalam hal ini berasal dari khabar āḥād. Hal ini mencegah terjadinya perbedaan pendapat setelahnya.

والدليل على أن الرجم سَاقِطٌ فِي رَجْمِ الثَّيِّبِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا وَلَوْ جَلَدَهُمَا لَنُقِلَ كَمَا نُقِلَ رَجْمُهُمَا

Dan dalil bahwa hukuman cambuk gugur dalam pelaksanaan rajam terhadap pezina muhshan adalah riwayat yang dibawakan oleh asy-Syafi‘i dari Malik, dari Nafi‘, dari Ibnu Umar, bahwa Nabi ﷺ merajam dua orang Yahudi yang berzina. Seandainya beliau juga mencambuk keduanya, tentu hal itu akan diriwayatkan sebagaimana telah diriwayatkan tentang rajam keduanya.

وَرَوَى عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِمَاعِزِ بْنِ مَالِكٍ حِينَ أَتَاهُ فَأَقَرَّ عنده بِالزِّنَا ” لَعَلَكَ قَبَّلْتَ أَوْ غَمَزْتَ أَوْ نَظَرْتَ قَالَ لَا قَالَ ” أَفَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا لَا يُكَنِّي قَالَ نَعَمْ فَعِنْدَ ذَلِكَ أَمَرَ بِرَجْمِهِ

Diriwayatkan dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ma‘iz bin Malik ketika ia datang dan mengakui perbuatan zina di hadapan beliau, “Barangkali engkau hanya mencium, atau meraba, atau memandang?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau benar-benar telah melakukan ini dan itu?” tanpa menggunakan kiasan. Ia menjawab, “Ya.” Maka pada saat itu beliau memerintahkan agar Ma‘iz dirajam.

وَرَوَى أَبُو سَلَمَةَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فاعترف بالزنا فأعرض عنه ثم اعترف فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ مرات فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ ” أُحْصِنْتَ قَالَ نَعَمْ فَأَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فرجم بالمعلى فَلَمَّا أَذْلَقَتْهُ الْحِجَارَةُ فَرَّ فَأُدْرِكَ فَرُجِمَ حَتَّى مَاتَ

Abu Salamah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa seorang laki-laki dari (kabilah) Aslam datang kepada Nabi ﷺ lalu mengakui perbuatan zina, maka beliau berpaling darinya. Kemudian ia mengakui lagi, dan beliau tetap berpaling darinya, hingga ia bersaksi atas dirinya sendiri sebanyak empat kali. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Apakah engkau gila?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Apakah engkau sudah muhsan?” Ia menjawab, “Ya.” Maka Nabi ﷺ memerintahkan agar ia dirajam di tempat yang tinggi. Ketika batu-batu mulai melukainya, ia melarikan diri, namun berhasil dikejar dan dirajam hingga meninggal dunia.

وَرَوَى أَبُو الْمُهَلَّبِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فاعترفت بالزنا وقالت إني حبلى فدعى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وليها فقال ” أحسن إليها فإذا وضعت فائتني بِهَا فَفَعَلَ فَلَمَّا وَضَعَتْ جَاءَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ فَفَعَلَتْ ثُمَّ جَاءَتْ فَأَمَرَّ بِهَا النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فشد عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِرَجْمِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجَمْتَهَا ثُمَّ تُصَلِّي عَلَيْهَا فَقَالَ ” لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِّمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ هَلْ وَجَدْتَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا

Abu al-Muhallab meriwayatkan dari ‘Imran bin Husain bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi ﷺ, lalu mengakui perbuatan zina dan berkata, “Aku sedang hamil.” Maka Nabi ﷺ memanggil walinya dan bersabda, “Perlakukanlah dia dengan baik. Jika ia telah melahirkan, bawalah dia kepadaku.” Maka wali itu pun melakukannya. Setelah wanita itu melahirkan, ia dibawa kepada Nabi ﷺ. Beliau bersabda, “Pergilah dan susuilah anakmu.” Wanita itu pun melakukannya, lalu datang kembali. Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan agar pakaiannya diikatkan erat padanya, lalu memerintahkan agar ia dirajam, dan beliau menshalatinya. Umar berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, engkau merajamnya lalu menshalatinya?” Beliau bersabda, “Sungguh, ia telah bertaubat dengan taubat yang jika dibagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya akan mencukupi mereka. Adakah engkau menemukan sesuatu yang lebih utama daripada ia menyerahkan jiwanya?”

وَقَالَ فِيمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هريرة ” اغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَدَلَّتْ هَذِهِ الْأَخْبَارُ عَلَى اقْتِصَارِهِ عَلَى الرَّجْمِ دُونَ الْجَلْدِ وَأَنَّ مَا تَضَمَّنَهُ حَدِيثُ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ مِنْ قَوْلِهِ ” وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ مَنْسُوخٌ لِتَقَدُّمِهِ عَلَى مَا رويناه إذا كَانَ هُوَ الْأَصْلُ فِي بَيَانِ الرَّجْمِ وَلِأَنَّ مَا وَجَبَ بِهِ الْقَتْلُ لَمْ يَجِبْ بِهِ الْجَلْدُ كَالرِّدَّةِ

Dan telah disebutkan dalam riwayat Abu Hurairah: “Pergilah pagi-pagi, wahai Unais, kepada istri orang ini. Jika ia mengakui, maka rajamlah dia.” Maka, riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa hukuman yang diterapkan adalah rajam saja tanpa disertai cambuk, dan bahwa kandungan hadis ‘Ubadah bin Shamit yang menyatakan, “Orang yang sudah menikah dengan orang yang sudah menikah, hukumannya seratus cambukan dan rajam,” telah di-naskh (dihapus) karena hadis tersebut lebih dahulu dalam penjelasan tentang rajam. Selain itu, sesuatu yang menyebabkan hukuman mati tidak menyebabkan hukuman cambuk, seperti dalam kasus riddah (kemurtadan).

فَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيٍّ فِي جَلْدِ شراحة ورجمها ففيه ثلاثة أوجه

Adapun hadis Ali tentang pencambukan dan rajam terhadap Syarāhah, maka di dalamnya terdapat tiga pendapat.

أحدها أنه مرسل؛ لأن راوية عن الشعبي ولم يلقه

Pertama, hadis tersebut berstatus mursal; karena perawinya meriwayatkan dari Asy-Sya‘bi, padahal ia tidak pernah bertemu dengannya.

والثاني أنه جلدها لأنه حسبها بِكْرًا ثُمَّ عَلِمَ أَنَّهَا ثَيِّبٌ فَرَجَمَهَا أَلَا تراه أنه جَلَدَهَا يَوْمَ الْخَمِيسَ وَرَجَمَهَا يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَلَوْلَا ذلك لجمع بينهما في يوم واحد والثابت أَنَّهَا زَنَتْ بِكْرًا فَجَلَدَهَا ثُمَّ زَنَتْ ثَيِّبًا فَرَجَمَهَا وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ رَجَمَهَا فِي جُمُعَةٍ لَا تَلِي الْخَمِيسَ أَوْ تَلِيهِ

Kedua, ia mencambuknya karena mengira ia masih gadis, kemudian diketahui bahwa ia sudah pernah menikah, maka ia pun merajamnya. Tidakkah engkau melihat bahwa ia mencambuknya pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jumat? Kalau bukan karena hal itu, tentu ia akan menggabungkan keduanya dalam satu hari. Yang tetap (dalam riwayat) adalah bahwa ia berzina saat masih gadis, lalu ia dicambuk, kemudian ia berzina lagi setelah pernah menikah, maka ia dirajam. Ada kemungkinan juga bahwa ia dirajam pada hari Jumat yang tidak berurutan dengan hari Kamis, atau yang berurutan dengannya.

وأما القياس وإن لم يكن من حجج أَهْلِ الظَّاهِرِ فَالْمَعْنَى فِي الرَّجْمِ أَنَّهُ عَامٌّ دَخَلَ فِيهِ مَا دُونَهُ وَالْجَلْدُ خَاصٌّ جَازَ أن يقترن إليه التَّغْرِيبُ الَّذِي لَا يَدْخُلُ فِيهِ

Adapun qiyās, meskipun bukan termasuk hujjah menurut Ahl azh-Zhāhir, maka maknanya dalam hukum rajam adalah bahwa rajam itu bersifat umum yang mencakup hukuman di bawahnya, sedangkan hukuman cambuk bersifat khusus, sehingga boleh digabungkan dengannya hukuman pengasingan (taghrīb) yang tidak termasuk di dalamnya.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الْبِكْرُ فَحَدُّهُ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَيَكُونُ كل واحد منهما حداً فيجمع عَلَيْهِ بَيْنَ حَدَّيْنِ رَجُلًا كَانَ الزَّانِي أَوِ امْرَأَةً

Adapun bagi pezina yang masih perawan, hukumannya adalah seratus kali cambukan dan pengasingan selama satu tahun, dan masing-masing dari keduanya merupakan hudud, sehingga dijatuhkan kepadanya dua hudud sekaligus, baik pezina itu laki-laki maupun perempuan.

وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ

Pendapat ini juga dikatakan oleh al-Awza‘i, ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, dan Ahmad bin Hanbal.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا حَدٌّ وَاحِدٌ وَهُوَ الْجَلْدُ فأما التَّغْرِيبُ فَهُوَ تَعْزِيرٌ غَيْرُ مُقَدَّرٍ يُرْجَعُ فِيهِ إلى رأي الإمام في فعله وتركه أَوِ الْعُدُولِ إِلَى تَعْزِيرِهِ

Abu Hanifah berkata, “Tidak ada atasnya kecuali satu hudud, yaitu cambuk. Adapun pengasingan (taghrib), maka itu adalah ta‘zir yang tidak ditentukan kadarnya, yang dikembalikan kepada pendapat imam dalam melakukannya atau meninggalkannya, atau beralih kepada bentuk ta‘zir lainnya.”

وَقَالَ مَالِكٌ يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا فِي حَدِّ الرَّجُلِ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا فِي حَدِّ الْمَرْأَةِ وَتُجْلَدُ وَلَا تُغَرَّبُ؛ لِأَنَّهَا عَوْرَةٌ

Malik berkata, “Keduanya (hukuman) digabungkan pada hadd untuk laki-laki, namun tidak digabungkan pada hadd untuk perempuan; perempuan hanya dicambuk dan tidak diasingkan, karena ia adalah aurat.”

وَاسْتَدَلُّوا عَلَى أَنَّ التَّغْرِيبَ لَيْسَ بِحَدٍّ فِي الزِّنَا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ النور 2 فَكَانَ الدَّلِيلُ فِيهِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Mereka berdalil bahwa pengasingan (taghrīb) bukanlah hudud dalam kasus zina dengan firman Allah Ta‘ala: “Perempuan pezina dan laki-laki pezina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera.” (an-Nur: 2). Maka dalil tersebut terdapat dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ اقتصر في حدها عَلَى الْجَلْدِ وَلَوْ وَجَبَ التَّغْرِيبُ لَقَرَنَهُ بِهِ؛ لِأَنَّ تَأْخِيرَ الْبَيَانُ عَنْ وَقْتِهِ لَا يَجُوزُ

Salah satunya adalah bahwa beliau membatasi hukuman had zina hanya dengan cambuk, dan jika memang diwajibkan pengasingan (taghrīb), tentu beliau akan menyebutkannya bersamaan dengannya; karena menunda penjelasan dari waktunya tidak diperbolehkan.

وَالثَّانِي أَنَّ وُجُوبَ التَّغْرِيبِ زِيَادَةٌ عَلَى النَّصِّ وَالزِّيَادَةُ عَلَى النَّصِّ تَكُونُ نَسْخًا وَنَسْخُ الْقُرْآنِ لَا يَجُوزُ بِأَخْبَارِ الْآحَادِ قَالُوا وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ مَنَعَ مِنْ سَفَرِ الْمَرْأَةِ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ فَإِنْ غُرِّبَتْ مَعَ غَيْرِ ذِي مَحْرَمٍ أَسْقَطْتُمُ الْخَبَرَ وَإِنْ غُرِّبَتْ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ أَوْجَبْتُمُ التَّغْرِيبَ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِزَانٍ وَلِأَنَّهُ سَبَبٌ يُوجِبُ الْحَدَّ فَلَمْ يَجِبْ بِهِ التَّغْرِيبُ كَالْقَذْفِ وَشُرْبِ الْخَمْرِ وَلِأَنَّهُ زِنًا يُوجِبُ عُقُوبَةً فَلَمْ يُجْمَعْ فِيهِ بَيْنَ حَدَّيْنِ كَزِنَا الثَّيِّبِ

Kedua, bahwa kewajiban pengasingan (taghrīb) merupakan tambahan atas nash, dan tambahan atas nash itu termasuk nasakh, sedangkan nasakh Al-Qur’an tidak boleh dilakukan dengan hadis ahad. Mereka juga berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya. Jika perempuan diasingkan bersama selain mahram, maka kalian telah meniadakan hadis tersebut; dan jika diasingkan bersama mahram, maka kalian mewajibkan pengasingan atas orang yang bukan pezina. Selain itu, pengasingan adalah sebab yang mewajibkan hukuman hadd, namun tidak diwajibkan pengasingan karenanya, seperti pada kasus qadzaf (menuduh zina) dan minum khamr. Dan karena zina ini mewajibkan hukuman, maka tidak digabungkan dua hukuman hadd padanya, sebagaimana pada zina muhsan (yang sudah menikah).

وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ

Dan dalil kami adalah hadis dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Ambillah dariku, sungguh Allah telah menetapkan jalan bagi mereka: gadis dengan gadis (berzina) hukumannya seratus cambukan dan pengasingan selama satu tahun, dan janda dengan duda (berzina) hukumannya seratus cambukan dan rajam.”

فَإِنْ قِيلَ لَمَّا كَانَ مَا اقْتَرَنَ بِرَجْمِ الثَّيِّبِ مِنَ الْجَلْدِ مَنْسُوخًا اقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَا اقْتَرَنَ بِجَلْدِ الْبِكْرِ مِنَ التَّغْرِيبِ مَنْسُوخًا قِيلَ نَسْخُ أَحَدِهِمَا لَا يُوجِبُ نَسْخَ الْآخَرِ لِأَنَّ النَّسْخَ يُؤْخَذُ مِنَ النَّصِّ دُونَ الْقِيَاسِ وَحَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِلرَّجُلِ ” وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ بَعْدَ قَوْلِ الرَّجُلِ وَسَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَقَالُوا عَلَى ابْنَكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ فَصَارَ هَذَا الْخَبَرُ يَجْمَعُ نَصًّا ووفاقاً ولأنه إجماع الصحابة

Jika dikatakan: Ketika hukuman cambuk yang menyertai rajam bagi pezina muhshan telah di-nasakh, maka seharusnya hukuman pengasingan yang menyertai cambuk bagi pezina ghairu muhshan juga di-nasakh, maka dijawab: Penghapusan salah satunya tidak mengharuskan penghapusan yang lain, karena nasakh diambil dari nash, bukan dari qiyās. Dan hadis Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ berkata kepada seorang laki-laki, “Atas anakmu hukuman cambuk seratus kali dan pengasingan selama satu tahun,” setelah laki-laki itu berkata, “Aku telah bertanya kepada beberapa orang dari kalangan ahli ilmu, lalu mereka berkata: Atas anakmu hukuman cambuk seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.” Maka hadis ini mengandung nash dan kesepakatan, dan karena itu merupakan ijmā‘ para sahabat.

وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جلد وغرب إلى فدك

Diriwayatkan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah menjatuhkan hukuman cambuk dan mengasingkan ke Fadak.

وجلد عمر وَغَرَّبَ إِلَى الشَّامِ وَجَلَدَ عُثْمَانُ وَغَرَّبَ إِلَى مِصْرَ

Umar menjatuhkan hukuman cambuk dan mengasingkan ke Syam, dan Utsman menjatuhkan hukuman cambuk dan mengasingkan ke Mesir.

وَجَلَدَ عَلِيٌّ وَغَرَّبَ مِنَ الْكُوفَةِ إِلَى الْبَصْرَةِ وَلَيْسَ لَهُمْ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ

Ali menjatuhkan hukuman cambuk dan mengasingkan dari Kufah ke Basrah, dan tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berbeda pendapat dengannya dalam hal ini.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ قَالَ عُمَرُ حِينَ غَرَّبَ لَا أنفي بعده أحداً

Jika dikatakan, sungguh Umar pernah berkata ketika beliau mengasingkan seseorang: “Aku tidak akan mengasingkan siapa pun setelahnya.”

وَقَالَ عَلِيٌّ كَفَى بِالنَّفْيِ فِتْنَةً فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ غَرَّبُوا تَعْزِيرًا يَجُوزُ لَهُمْ تَرْكُهُ وَلَمْ يَكُنْ حَدًّا مَحْتُومًا قِيلَ أَمَّا قَوْلُ عُمَرَ لا أنفي بعده أحداً فَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ مِنْهُ فِي شَارِبِ خَمْرٍ نَفَاهُ فَارْتَدَّ وَلَحِقَ بِالرُّومِ وَالنَّفْيُ فِي شُرْبِ الْخَمْرِ تَعْزِيرٌ يَجُوزُ تَرْكُهُ وَهُوَ فِي الزِّنَا حَدٌّ لَا يَجُوزُ تَرْكُهُ

Ali berkata, “Cukuplah pengasingan itu sebagai fitnah.” Ini menunjukkan bahwa mereka memberlakukan pengasingan sebagai bentuk ta‘zīr yang boleh untuk ditinggalkan, dan bukan sebagai hudud yang wajib dilaksanakan. Adapun perkataan Umar, “Aku tidak akan mengasingkan siapa pun setelahnya,” itu terjadi pada kasus seorang peminum khamr yang diasingkan lalu murtad dan bergabung dengan Romawi. Pengasingan dalam kasus minum khamr adalah ta‘zīr yang boleh untuk ditinggalkan, sedangkan dalam kasus zina, pengasingan adalah hudud yang tidak boleh ditinggalkan.

وَأَمَّا قَوْلُ عَلِيٍّ ” كَفَى بِالنَّفْيِ فِتْنَةً فَيَعْنِي عَذَابًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَوْمَ هُمْ عَلَى النَّارِ يُفْتَنُونَ الذاريات 13 أَيْ يُعَذَّبُونَ وَلِأَنَّ التَّغْرِيبَ عُقُوبَةٌ تَقَدَّرَتْ عَلَى الزَّانِي شَرْعًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَدًّا كَالْجَلْدِ وَلِأَنَّ الزِّنَا مَعْصِيَةٌ تُوجِبُ حَدًّا أَعْلَى وَهُوَ الرَّجْمُ وَأَدْنَى وَهُوَ الْجَلْدُ فَوَجَبَ أَنْ يقترن بأدناها غَيْرُهُمَا كَالْقَتْلِ يُوجِبُ أَعْلَى وَهُوَ الْقَوَدُ وَأَدْنَى وَهُوَ الدِّيَةُ وَاقْتَرَنَ بِهَا الْكَفَّارَةُ

Adapun perkataan Ali, “Cukuplah pengasingan (an-nafy) sebagai fitnah,” maksudnya adalah sebagai azab, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Pada hari mereka disiksa di atas neraka” (az-Zāriyāt: 13), yaitu mereka diazab. Karena pengasingan (at-tagrīb) adalah hukuman yang telah ditetapkan secara syar‘i atas pezina, maka wajib hukumnya menjadi had seperti cambuk. Dan karena zina adalah maksiat yang mewajibkan had tertinggi, yaitu rajam, dan had terendah, yaitu cambuk, maka wajib pula disertai dengan selain keduanya pada had terendah, sebagaimana pembunuhan mewajibkan hukuman tertinggi, yaitu qishāsh, dan terendah, yaitu diyat, dan disertai pula dengan kafārah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap ayat tersebut ada dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا تَضَمَّنَتْ كُلَّ مَا وَجَبَ بِالْقُرْآنِ وَالتَّغْرِيبُ وَاجِبٌ بِالسُّنَّةِ دُونَ الْقُرْآنِ

Salah satunya adalah bahwa ia mencakup semua hal yang diwajibkan oleh al-Qur’an, sedangkan pengasingan (taghrīb) diwajibkan oleh sunnah dan bukan oleh al-Qur’an.

وَالثَّانِي أَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى النَّصِّ عِنْدَنَا لَا تَكُونُ نَسْخًا وَلَوْ كَانَتْ نَسْخًا لم تكن زيادة التغريب ها هنا نَسْخًا لِأَمْرَيْنِ

Kedua, penambahan terhadap nash menurut kami tidak dianggap sebagai nasakh. Dan seandainya itu dianggap sebagai nasakh, maka penambahan hukuman pengasingan di sini pun tidak dianggap sebagai nasakh karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّنَا قَدِ اتَّفَقْنَا عَلَيْهَا وَإِنِ اخْتَلَفْنَا فِي حُكْمِهَا فَجَعَلُوهَا تَعْزِيرًا وَجَعَلْنَاهَا حَدًّا

Salah satunya adalah bahwa kita telah sepakat atasnya, meskipun kita berbeda pendapat dalam hukumnya; mereka menjadikannya sebagai ta‘zīr, sedangkan kita menjadikannya sebagai ḥadd.

وَالثَّانِي أَنَّهَا تَكُونُ نَسْخًا إِذَا تَأَخَّرَتْ والتغريب ها هنا تفسير لقوله أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا النساء 15 فَكَانَ مقدما على قَوْلِهِ الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ النور 2 فَخَرَجَ عَنْ حُكْمِ النَّسْخِ

Yang kedua, bahwa hal itu dianggap sebagai nasakh jika datang belakangan, dan hukuman pengasingan di sini merupakan penafsiran dari firman Allah: “atau Allah menjadikan bagi mereka jalan keluar” (an-Nisā’ 15), sehingga ayat ini didahulukan atas firman-Nya: “Perempuan pezina dan laki-laki pezina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera” (an-Nūr 2), maka ayat tersebut keluar dari ketentuan nasakh.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ تَغْرِيبِهَا مَعَ ذِي الْمَحْرَمِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban tentang kebolehan bepergian jauh bersama mahram, maka hal itu dapat dijelaskan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ ذَلِكَ مِنْ تَغْرِيبِهَا تَعْزِيرًا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ تغريبها حداً

Salah satunya adalah bahwa ketika hal itu tidak mencegah untuk mengasingkannya sebagai bentuk ta‘zīr, maka tidak pula mencegah untuk mengasingkannya sebagai hudud.

والثاني أَنَّ الْمَحْرَمَ شَرْطٌ عِنْدَنَا فِي مُبَاحِ السَّفَرِ دون واجبه كما قال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا تَصُومَنَّ امْرَأَةٌ وَزَوْجُهَا حَاضِرٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ مَحْمُولًا عَلَى تَطَوُّعِ الصَّوْمِ دُونَ مَفْرُوضِهِ وَهَذَا وَاجِبٌ كَالْحَجِّ فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى ذِي مَحْرَمٍ

Kedua, mahram adalah syarat menurut kami dalam perjalanan yang mubah, bukan pada perjalanan yang wajib, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Seorang wanita tidak boleh berpuasa sementara suaminya hadir kecuali dengan izinnya,” yang dimaksudkan untuk puasa tathawwu‘ (sunnah), bukan puasa yang fardhu. Dan ini (haji) adalah kewajiban seperti haji, maka tidak membutuhkan mahram.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى حَدِّ الْقَذْفِ وَشُرْبِ الْخَمْرِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan had qazaf dan minum khamar adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قِيَاسٌ يَدْفَعُ النَّصَّ فَكَانَ مُطَّرَحًا

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan qiyās yang menolak nash, sehingga harus ditinggalkan.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُغَرَّبَ فِي غَيْرِ الزِّنَا تَعْزِيرًا وَجَازَ فِي الزِّنَا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ وُجُوبِهِ فِي الزِّنَا حَدًّا وَإِنْ لَمْ يَجِبْ فِي غَيْرِ الزِّنَا

Kedua, bahwa ketika tidak diperbolehkan melakukan pengasingan sebagai ta‘zīr dalam selain kasus zina, namun diperbolehkan dalam kasus zina, hal itu tidak menghalangi kewajibannya sebagai hudūd dalam kasus zina, meskipun tidak wajib dalam selain zina.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الثَّيِّبِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap wanita yang sudah tidak perawan, maka ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ حَدَّ الثَّيِّبِ أَغْلَظُ الْعُقُوبَاتِ فَسَقَطَ بِهِ مَا دَوْنَهُ

Salah satunya adalah bahwa hadd bagi pezina muhshan merupakan hukuman yang paling berat, sehingga dengan hukuman itu gugurlah hukuman yang di bawahnya.

والثاني أن الرجم فيه قد منع من حد يتعقبه والجلد لا يمنع والله أعلم

Yang kedua, bahwa rajam itu mencegah dari hukuman hadd yang mengikutinya, sedangkan cambuk tidak mencegahnya. Dan Allah lebih mengetahui.

فصل

Bab

فإذا استقر فرق ما بين البكر والثيب في حد الزنا فجمع الزاني بينهما فزنا بكراً ثم زنا ثيباً ففي الجمع عليه بَيْنَ الْحَدَّيْنِ وَجْهَانِ

Jika telah tetap adanya perbedaan antara hukuman zina bagi perempuan yang masih perawan (bikr) dan yang sudah menikah (tsayyib), lalu seorang pezina menggabungkan keduanya, yaitu ia berzina dengan seorang perawan kemudian berzina dengan seorang yang sudah menikah, maka dalam hal penggabungan dua hukuman atasnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُجْمَعُ عَلَيْهِ بَيْنَهُمَا لِاخْتِلَافِ حُكْمِهِمَا فَيُجْلَدُ لِزِنَا الْبَكَارَةِ وَيُرْجَمُ لِزِنَا الْإِحْصَانِ وَلَا يُغَرَّبُ؛ لِأَنَّ رَجْمَهُ يُغْنِي عَنْهُ

Salah satunya digabungkan antara keduanya karena perbedaan hukumnya, maka ia dicambuk untuk zina ghair muhsan dan dirajam untuk zina muhsan, dan tidak diasingkan; karena rajam sudah mencukupi dari hukuman tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا مِنْ جِنْسٍ اتَّفَقَ مُوجِبُهُمَا فَدَخَلَ أَخَفُّ الْحُكْمَيْنِ فِي أغلظهما كما يدخل الحدث في الجناية وَلِأَنَّهُ لَوْ تَكَرَّرَ الزِّنَا مِنْهُ فِي الْبَكَارَةِ تداخل ولو تكرر منه فِي الْإِحْصَانِ تَدَاخَلَ فَوَجَبَ إِذَا تَكَرَّرَ فِي البكارة والإحصان أن يتداخل وَهَكَذَا لَوْ سَرَقَ ثُمَّ ارْتَدَّ فَفِي دُخُولِ قَطْعِ السَّرِقَةِ فِي قَتْلِ الرِّدَّةِ وَجْهَانِ عَلَى ما ذكرناه والله أعلم

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak boleh digabungkan antara keduanya, karena keduanya berasal dari jenis yang sama dan sebab yang mewajibkannya pun sama, sehingga hukuman yang lebih ringan masuk ke dalam hukuman yang lebih berat, sebagaimana hadas masuk ke dalam jinayah. Selain itu, jika zina terulang pada masa belum menikah, maka hukumannya saling masuk (tidak diulang), dan jika terulang pada masa sudah menikah, juga saling masuk. Maka, jika perbuatan itu terulang baik pada masa belum menikah maupun sudah menikah, hukuman-hukumannya pun saling masuk. Demikian pula, jika seseorang mencuri lalu murtad, maka dalam hal masuknya hukuman potong tangan karena mencuri ke dalam hukuman mati karena riddah terdapat dua pendapat sebagaimana telah kami sebutkan. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فإذا أَصَابَ الْحُرُّ أَوْ أُصِيبَتِ الْحُرَّةُ بَعْدَ الْبُلُوغِ بِنِكَاحٍ صَحِيحٍ فَقَدْ أُحْصِنَا فَمَنْ زَنَى مِنْهُمَا فَحَدُّهُ الرَّجْمُ حَتَّى يَمُوتَ

Imam Syafi‘i berkata, “Apabila seorang laki-laki merdeka atau seorang perempuan merdeka setelah baligh telah melakukan pernikahan yang sah, maka keduanya telah menjadi muhsan. Maka siapa pun di antara mereka yang berzina, hukumannya adalah rajam sampai mati.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا الْفَرْقَ فِي حَدِّ الزِّنَا بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ وَلَيْسَ يُرَادُ بِالثَّيِّبِ زَوَالُ الْعُذْرَةِ لِعَدَمِ هَذِهِ الصِّفَةِ فِي الرِّجَالِ وَإِنَّمَا يُرَادُ بِهَا الْإِحْصَانُ فَيَكُونُ الْمُرَادُ بِالثَّيِّبِ الْمُحْصَنُ وَالْإِحْصَانُ فِي كَلَامِهِمُ الِامْتِنَاعُ وَمِنْهُ سُمِّي الْقَصْرُ حِصْنًا لِامْتِنَاعِهِ وقيل فرس حَصَانٌ لِامْتِنَاعِ رَاكِبِهِ بِهِ وَدِرْعٌ حَصِينَةٌ لِامْتِنَاعِ لَابِسِهَا مِنْ وُصُولِ السِّلَاحِ إِلَيْهِ وَقَرْيَةٌ حَصِينَةٌ لامتناع أهلها قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلا فِي قُرًى مُحَصَّنَةٍ الحشر 14 وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْإِحْصَانُ هُوَ الْأَسْبَابُ الْمَانِعَةُ مِنَ الزِّنَا وَهِيَ أربعة شروط يصير الزاني بها محصناً

Al-Mawardi berkata: Kami telah menjelaskan perbedaan dalam hukum hudud zina antara perempuan yang masih perawan (bikr) dan yang sudah pernah menikah (tsayyib). Yang dimaksud dengan tsayyib bukanlah hilangnya keperawanan, karena sifat ini tidak terdapat pada laki-laki. Yang dimaksud dengan tsayyib adalah al-ihshan (status telah menikah secara sah), sehingga yang dimaksud dengan tsayyib adalah orang yang muhsan (telah menikah secara sah). Al-ihshan dalam istilah mereka berarti perlindungan atau penjagaan diri. Dari makna ini, sebuah benteng disebut hisn karena melindungi, seekor kuda disebut hasan karena melindungi penunggangnya, baju zirah disebut hasinah karena melindungi pemakainya dari senjata, dan sebuah desa disebut hasinah karena penduduknya terlindungi. Allah Ta‘ala berfirman: “Mereka tidak akan memerangi kalian secara serentak kecuali di kampung-kampung yang diperkokoh (muḥaṣṣanah)” (QS. al-Hasyr: 14). Jika demikian, maka al-ihshan adalah sebab-sebab yang mencegah terjadinya zina, dan ada empat syarat yang menjadikan pezina itu berstatus muhsan.

أحدهما الْبُلُوغُ؛ لِأَنَّ الصَّغِيرَ لَا يَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ خِطَابٌ يَصِيرُ بِهِ مُمْتَنِعًا

Pertama adalah baligh; karena anak kecil tidak terkena khithab yang menjadikannya sebagai orang yang terbebani.

وَالثَّانِي الْعَقْلُ؛ لِأَنَّ الْعَقْلَ يَمْنَعُ مِنَ الْمَعَاصِي

Yang kedua adalah akal; karena akal mencegah dari perbuatan maksiat.

وَالثَّالِثُ الْحُرِّيَّةُ؛ لِأَنَّهَا تَمْنَعُ مِنْ ذِلَّةِ الِاسْتِرْقَاقِ وَنَقْصِ الْقَبَائِحِ؛ وَلِأَنَّ الرَّجْمَ أَكْمَلُ الْحُدُودِ فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ بِأَكْمَلِ الزِّنَا

Ketentuan yang ketiga adalah kemerdekaan; karena kemerdekaan mencegah kehinaan perbudakan dan kekurangan akibat perbuatan tercela; dan karena rajam merupakan hukuman hudud yang paling sempurna, maka wajib hukuman itu dikhususkan untuk bentuk zina yang paling sempurna.

وَالرَّابِعُ الْإِصَابَةُ فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ أَكْمَلُ مَا يَمْنَعُ مِنَ الزِّنَا فَكَانَ شَرْطًا في أكمل حديه والعقد لا يمنع حَتَّى تُوجَدَ فِيهِ الْإِصَابَةُ الْمَانِعَةُ مِنْ غَيْرِهِ

Keempat adalah terjadinya hubungan suami istri dalam pernikahan yang sah; karena pernikahan adalah hal yang paling sempurna dalam mencegah perzinaan, maka hal itu menjadi syarat pada hukuman yang paling sempurna, dan akad saja tidak cukup mencegah hingga terjadi hubungan suami istri yang benar-benar dapat mencegah perbuatan selainnya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا كَمُلَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةِ وَجَبَ الرَّجْمُ وَلَمْ يَكُنِ الْإِسْلَامُ شَرْطًا فِيهِ

Apabila keempat syarat ini telah terpenuhi, maka rajam wajib dilaksanakan dan Islam bukanlah syarat di dalamnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ الْإِسْلَامُ شَرْطٌ خَامِسٌ مُعْتَبَرٌ فِي الجناية؛ فَإِنْ عُدِمَ سَقَطَ الرَّجْمُ احْتِجَاجًا بِرِوَايَةِ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ فَلَيْسَ بِمُحْصِنٍ

Abu Hanifah berpendapat bahwa Islam merupakan syarat kelima yang harus dipenuhi dalam kasus jinayah; jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hukuman rajam gugur, dengan berdalil pada riwayat Nafi‘ dari Abdullah bin Umar dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka ia tidak termasuk muhsin.”

وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ يَهُودِيَّةً فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” دعها عنك فإنها لا تحصنك

Dan berdasarkan riwayat bahwa Ka‘b bin Mālik ingin menikahi seorang wanita Yahudi, maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Tinggalkanlah dia, karena dia tidak dapat menjaga kehormatanmu.”

قال ولأنها حصانة مِنْ شَرْطِهَا الْحُرِّيَّةُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِنْ شَرْطِهَا الْإِسْلَامُ كَالْحَصَانَةِ فِي الْقَذْفِ وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يُحَدَّ قَاذِفُهُ لَمْ يُرْجَمْ كَالْعَبْدِ

Ia berkata: Karena itu adalah perlindungan yang disyaratkan adanya kebebasan, maka wajib pula disyaratkan adanya Islam, sebagaimana perlindungan dalam kasus qadzaf. Dan karena siapa yang pelempar tuduhannya tidak dikenai had, maka ia pun tidak dirajam, seperti budak.

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا وَلَا يَرْجُمُ إِلَّا مُحَصَّنًا فدل على أن الإسلام ليس بشرط فِي حَصَانَةِ الرَّجْمِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا رَجَمَهُمَا بِالتَّوْرَاةِ وَلَمْ يَرْجُمْهُمَا بِشَرِيعَتِهِ؛ لِمَا رُوِيَ أَنَّهُ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ صُورِيَّا وَقَدْ حَضَرَهُ مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْيَهُودِ ” أَسْأَلُكُمْ بِاللَّهِ مَا تَجِدُونَ حَدَّ الزَّانِي فِي كِتَابِكُمْ قَالَ الْجَلْدُ وَالتَّحْمِيمُ فَأَمَرَ بِإِحْضَارِ التَّوْرَاةِ لِتُقْرَأَ عَلْيَهُ فَلَمَّا انْتَهَوْا في قِرَاءَتِهَا إِلَى مَوْضِعِ الرَّجْمِ وَضَعَ ابْنُ صُورِيَّا يَدَهُ عَلَيْهِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّهُ قَدْ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى مَوْضِعِ الرَّجْمِ فأمره النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ برفع يده فإذا فيه ذكر الرجم يلوح فَقَالَ لَهُمْ ” مَا حَمَلَكُمْ عَلَى هَذَا فَقَالَ كعب بن صوريا أَجِدُ فِي كِتَابِنَا الرَّجْمَ وَلَكِنْ كَثُرَ الزِّنَا في أشرافنا فلم نر إقامته إلا على الْأَدْنِيَاءِ وَنَدَعُ الْأَشْرَافَ فَجَعَلْنَاهُ الْجَلْدَ وَالتَّحْمِيمَ وَالتَّجْبِيَةَ يُرِيدُ بِالتَّحْمِيمِ تَسْوِيدَ الْوَجْهِ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحُمَمَةِ وَهِيَ الْفَحْمَةُ وَيُرِيدُ بِالتَّجْبِيَةِ أَنْ يَرْكَبَا عَلَى حِمَارٍ أَوْ جَمَلٍ وَظَهْرُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَى ظَهْرِ صَاحِبِهِ فَرَجَمَهُمَا حِينَئِذٍ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَقَالَ ” أَنَا أَوَّلُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً أَمَاتُوهَا

Dalil kami adalah riwayat dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi ﷺ merajam dua orang Yahudi yang berzina, dan tidaklah dirajam kecuali orang yang muḥṣan, maka ini menunjukkan bahwa Islam bukanlah syarat dalam ḥiṣānah rajam. Jika dikatakan: “Sesungguhnya beliau merajam keduanya berdasarkan Taurat dan bukan berdasarkan syariat beliau,” karena diriwayatkan bahwa beliau berkata kepada Ka‘b bin Sūriyya yang hadir bersama sekelompok orang Yahudi: “Aku bertanya kepada kalian demi Allah, apa yang kalian dapati tentang hukuman pezina dalam kitab kalian?” Mereka menjawab: “Cambuk dan penghitaman wajah.” Maka beliau memerintahkan agar Taurat dihadirkan untuk dibacakan kepadanya. Ketika mereka sampai pada bagian tentang rajam dalam bacaan itu, Ka‘b bin Sūriyya meletakkan tangannya di atasnya. Maka Abdullah bin Salam berkata kepada Nabi ﷺ: “Sesungguhnya dia telah meletakkan tangannya di atas bagian tentang rajam.” Maka Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mengangkat tangannya, ternyata di situ terdapat penyebutan rajam yang jelas. Beliau pun bertanya kepada mereka: “Apa yang mendorong kalian melakukan ini?” Ka‘b bin Sūriyya menjawab: “Aku dapati dalam kitab kami hukuman rajam, namun perzinaan telah banyak terjadi di kalangan para pembesar kami, sehingga kami tidak melihat perlunya menegakkannya kecuali kepada orang-orang kecil dan membiarkan para pembesar. Maka kami jadikan hukumannya cambuk, penghitaman wajah, dan at-tajbiyyah.” Yang dimaksud dengan at-taḥmīm adalah menghitamkan wajah, berasal dari kata al-ḥummah yaitu arang, dan yang dimaksud dengan at-tajbiyyah adalah menaikkan keduanya di atas keledai atau unta dengan punggung masing-masing saling membelakangi. Maka Rasulullah ﷺ pun merajam keduanya saat itu dan bersabda: “Akulah orang pertama yang menghidupkan kembali sunnah yang telah mereka matikan.”

قِيلَ الْجَوَابُ عَنْ هَذَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Dikatakan bahwa jawaban atas hal ini ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَمَرَهُ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَهُ عَلَيْهِ بِقَوْلِهِ وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ المائدة 49 فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ حُكْمُهُ عَلَيْهِمْ بِتَوْرَاتِهِمْ

Salah satunya adalah bahwa Allah Ta‘ala telah memerintahkannya untuk memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah Dia turunkan kepadanya, sebagaimana firman-Nya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka” (al-Mā’idah: 49). Maka tidak boleh baginya memutuskan perkara mereka dengan Taurat mereka.

وَالثَّانِي أَنَّهُ إِذَا كَانَ مِنْ شَرِيعَتِهِ الرَّجْمُ وَهُوَ مُوَافِقٌ لِمَا فِي التَّوْرَاةِ كَانَ حُكْمُهُ بِشَرِيعَتِهِ لَا بِالتَّوْرَاةِ وَإِنَّمَا أَحْضَرَهَا لِإِكْذَابِهِمْ عَلَى إِنْكَارِهِمْ وُجُودَ الرَّجْمِ فِيهَا

Kedua, jika dalam syariatnya terdapat hukuman rajam dan hal itu sesuai dengan apa yang ada dalam Taurat, maka ia menetapkan hukum berdasarkan syariatnya, bukan berdasarkan Taurat. Ia hanya menghadirkan Taurat untuk mendustakan mereka atas pengingkaran mereka terhadap adanya hukuman rajam di dalamnya.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَلْدِ الْكَامِلِ إِذَا كَانَ بِكْرًا كَانَ وَطْؤُهُ فِي النِّكَاحِ الصَّحِيحِ يُوجِبُ أَنْ يَكُونَ مُحْصَنًا كَالْمُسْلِمِ؛ وَلِأَنَّ مَنْ مَلَكَ رَجْعَتَيْنِ فِي نِكَاحٍ كَانَ مُحْصَنًا كَالْمُسْلِمِ وَفِيهِمَا احْتِرَازٌ مِنَ الْعَبْدِ وَمِنْ غير الواطئ فِي نِكَاحٍ

Dan berdasarkan qiyās, setiap orang yang termasuk golongan yang memiliki kemampuan fisik sempurna, jika ia masih perawan dan melakukan hubungan suami istri dalam pernikahan yang sah, maka hal itu menyebabkan ia menjadi muḥṣan seperti halnya seorang Muslim; dan karena siapa saja yang memiliki hak rujuk dua kali dalam suatu pernikahan, maka ia menjadi muḥṣan seperti seorang Muslim. Dalam kedua hal ini terdapat pengecualian terhadap budak dan terhadap orang yang tidak melakukan hubungan suami istri dalam pernikahan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap hadis Ibnu Umar adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ فَلَيْسَ بِمُحْصَنٍ أَيْ لَيْسَ بِمُمْتَنِعٍ مِنْ قَبِيحٍ

Salah satunya adalah bahwa makna dari perkataannya “maka ia bukan muḥṣan” yaitu bukan orang yang terjaga dari perbuatan buruk.

والثاني أنه محمول على إحصان القذف

Yang kedua, bahwa hal itu dimaknai sebagai perlindungan dari tuduhan zina (ihṣān al-qadhf).

فأما الجواب عن حديث كعب بن مالك فراويه ابْنِ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ كَعْبٍ وَابْنُ أَبِي مَرْيَمَ ضَعِيفٌ وَابْنُ أَبِي طَلْحَةَ لَمْ يَلْقَ كَعْبًا فَكَانَ مُنْقَطِعًا

Adapun jawaban terhadap hadis Ka‘b bin Malik, maka perawinya adalah Ibnu Abi Maryam dari ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ka‘b, dan Ibnu Abi Maryam adalah perawi yang lemah, serta Ibnu Abi Thalhah tidak pernah bertemu dengan Ka‘b, sehingga sanadnya terputus.

وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” فَإِنَهَا لَا تُحْصِنُكَ مِنْ وَجْهَيْنِ

Dan seandainya itu sahih, maka jawabannya terhadap ucapannya “karena itu tidak dapat menghalalkanmu dari dua sisi” adalah…

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ التَّرْغِيبَ فِي نِكَاحِ الْمُسْلِمَاتِ وَالتَّزْهِيدِ فِي نِكَاحِ الْكِتَابِيَّاتِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُرِيدَ تَحْصِينَ الزِّنَا فِي أَصْحَابِهِ لِيُرْجَمُوا وَقَدْ صَانَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ لِاخْتِيَارِهِمْ لِنُصْرَةِ دِينِهِ والجهاد عليه مَعَ رَسُولِهِ

Salah satunya adalah bahwa yang dimaksudkan adalah anjuran untuk menikahi perempuan Muslimah dan mengurangi minat untuk menikahi perempuan Ahli Kitab, karena tidak mungkin maksudnya adalah menjaga dari perzinaan di kalangan para sahabatnya agar mereka dirajam, padahal Allah Ta‘ala telah menjaga mereka dari perbuatan itu karena mereka memilih untuk menolong agama-Nya dan berjihad bersama Rasul-Nya.

وَالثَّانِي أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّهَا لَا تعفك عن نكاح غيرها إما لقبحها أو سوء معتقدها

Yang kedua, maksudnya adalah bahwa ia tidak menghalangi dari menikahi perempuan lain, baik karena buruk rupanya atau karena buruk keyakinannya.

وأما الجواب عن قياسهم على حَصَانَةِ الْقَذْفِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas qiyās mereka dengan perlindungan dari tuduhan zina, maka ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قِيَاسٌ يَدْفَعُ النَّصَّ فَكَانَ مُطَّرَحًا

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan qiyās yang menolak nash, sehingga harus ditinggalkan.

وَالثَّانِي أَنَّ الْمَعْنَى في حصانة القذف اعتبار الصفة فيها فكان أولى أن يعتبر فيها الإسلام لما لم يعتبر الْعِفَّةُ فِي حَصَانَةِ الزِّنَا كَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يُعْتَبَرَ فِيهَا الْإِسْلَامُ

Yang kedua, bahwa makna dalam perlindungan dari tuduhan qadzaf adalah mempertimbangkan sifat (yang ada) di dalamnya. Maka, lebih utama untuk mempertimbangkan Islam di dalamnya. Sebagaimana iffah (kehormatan diri) tidak dipertimbangkan dalam perlindungan dari zina, maka lebih utama pula untuk tidak mempertimbangkan Islam di dalamnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْعَبْدِ فَهُوَ أَنَّهُ مُنْتَقَضٌ بِمَنْ لَيْسَ بِعَفِيفٍ يُرْجَمُ إِنْ زنا وَلَا يُحَدُّ قَاذِفُهُ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْعَبْدِ أنه إن لم يكمل جلده فَلَمْ يَجِبْ رَجْمُهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan budak adalah bahwa qiyās tersebut batal dengan orang yang bukan ‘afīf, yang dirajam jika berzina namun orang yang menuduhnya tidak dikenai had. Kemudian, makna pada budak adalah jika tidak sempurna jumlah cambukannya, maka tidak wajib dirajam. Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا ارْتَدَّ الْمُحْصَنُ لَمْ يَرْتَفِعْ إِحْصَانُهُ فِي الرِّدَّةِ ولا إذا أسلم وكان حده الرجم إن زنا وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ قَدِ ارْتَفَعَ إِحْصَانُهُ بِرِدَّتِهِ وَلَا يَعُودُ إِلَى الْإِحْصَانِ بِإِسْلَامِهِ حَتَّى يَطَأَ بَعْدَ الْإِسْلَامِ فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ فَجَعَلَ اسْتِدَامَةَ الْإِسْلَامِ شَرْطًا فِي بَقَاءِ الْحَصَانَةِ كَمَا جَعَلَهُ شَرْطًا فِي أَصْلِ الْحَصَانَةِ؛ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ فَلَيْسَ بِمُحْصَنٍ وَلِأَنَّهُ أَسْلَمَ بعد كفر فَوَجَبَ أَنْ يُسْتَأْنَفَ شَرَائِطُ الْحَصَانَةِ فِيهِ كَالْكَافِرِ الأصلي ولأنه مبني له على أصله في اشتراك بالأسلام فِي إِحْصَانِهِ

Apabila seorang muhsan (orang yang telah menikah secara sah) murtad, maka status ke-muhsan-annya tidak hilang karena kemurtadannya, dan juga tidak hilang jika ia kembali masuk Islam; sehingga hukumannya tetap rajam jika ia berzina. Namun, Abu Hanifah berpendapat bahwa ke-muhsan-an seseorang hilang karena kemurtadannya, dan tidak kembali lagi dengan keislamannya sampai ia melakukan hubungan suami istri setelah masuk Islam dalam pernikahan yang sah. Dengan demikian, Abu Hanifah mensyaratkan kesinambungan Islam sebagai syarat tetapnya ke-muhsan-an, sebagaimana ia mensyaratkan Islam sebagai syarat awal ke-muhsan-an; dengan berdalil pada sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka ia bukan muhsan.” Dan karena ia telah masuk Islam setelah kafir, maka wajib untuk mengulang kembali seluruh syarat ke-muhsan-an padanya sebagaimana pada orang kafir asli, serta karena statusnya dibangun atas asalnya dalam hal keikutsertaan Islam dalam ke-muhsan-annya.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٌ بَعْدَ إِيمَانٍ أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ وَهَذَا زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ بِهِ القتل

Dan dalil kami adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: kufur setelah beriman, zina setelah menikah, atau membunuh jiwa tanpa hak. Dan ini adalah zina setelah menikah, maka wajib baginya untuk berhak mendapatkan hukuman mati.”

وكان تحرير الِاسْتِدْلَالَ مِنْ هَذَا الْخَبَرِ قِيَاسًا فَنَقُولُ لِأَنَّهُ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَدُّهُ الرَّجْمَ كَالَّذِي لَمْ يَرْتَدَّ وَلِأَنَّهُ إِحْصَانٌ ثَبَتَ فِي الْإِسْلَامِ قَبْلَ الرِّدَّةِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ ثَابِتًا فِي الْإِسْلَامِ بَعْدَ الرِّدَّةِ قِيَاسًا عَلَى حَصَانَةِ الْقَذْفِ

Penjelasan istidlāl dari hadis ini adalah dengan qiyās, yaitu: Karena perbuatan itu adalah zina setelah adanya ihshān, maka wajib hukumnya had-nya adalah rajam, sebagaimana orang yang tidak murtad. Dan karena status ihshān itu telah tetap dalam Islam sebelum murtad, maka wajib pula status itu tetap dalam Islam setelah murtad, dengan qiyās kepada perlindungan (ḥaṣānah) dalam kasus qazaf.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِالْخَبَرِ فَلَا يَتَوَجَّهُ إِلَى الْمُسْلِمِ بَعْدَ الرِّدَّةِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمُشْرِكٍ فَسَقَطَ

Adapun dalil yang ia gunakan dari hadis, maka tidak dapat diterapkan kepada seorang Muslim setelah murtad, karena ia bukanlah seorang musyrik, sehingga dalil tersebut gugur.

وَأَمَّا قِيَاسُهُ عَلَى الْكَافِرِ الْأَصْلِيِّ فَغَيْرُ مسلم في أصله؛ لِأَنَّ الْكَافِرَ يَكُونُ عِنْدَنَا مُحْصَنًا قَبْلَ إِسْلَامِهِ وَهُوَ مُخَالِفٌ فِي بِنَائِهِ عَلَى أَصْلِهِ

Adapun qiyās atas orang kafir asli, maka itu tidak dapat diterima pada dasarnya; karena menurut kami, orang kafir bisa saja berstatus muḥṣan sebelum masuk Islam, dan hal ini berbeda dalam pembangunannya atas asal hukumnya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنَ اعْتِبَارِ الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ فَجَمِيعُهَا شُرُوطٌ فِي الْحَصَانَةِ وَبِكَمَالِ الْحَصَانَةِ يجب الرجم هذا مذهب الشافعي وقول جُمْهُورُ أَصْحَابِهِ

Maka apabila telah tetap apa yang kami sebutkan mengenai pertimbangan empat syarat tersebut, maka semuanya adalah syarat dalam kehormatan (al-hishānah), dan dengan sempurnanya kehormatan tersebut, wajiblah hukuman rajam. Inilah mazhab Syafi‘i dan pendapat mayoritas para pengikutnya.

وَذَهَبَ شَاذٌّ مِنْ أَصْحَابِهِ إِلَى أن شرط الحصانة واحد فيها وَهُوَ الْإِصَابَةُ فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ وَالثَّلَاثَةُ الْبَاقِيَةُ وَهِيَ الْبُلُوغُ وَالْعَقْلُ وَالْحُرِّيَّةُ شُرُوطُ وُجُوبِ الرَّجْمِ دون الحصانة وهذا اختلاف مؤثر في الصحيح وَالْمَجْنُونِ وَالْعَبْدِ إِذَا أَصَابُوا فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ ثم زنا الصَّبِيُّ بَعْدَ بُلُوغِهِ وَالْمَجْنُونُ بَعْدَ إِفَاقَتِهِ وَالْعَبْدُ بَعْدَ عِتْقِهِ فَمَنْ جَعَلَهَا مِنْ شُرُوطِ الْحَصَانَةِ أَوْجَبَ عَلَيْهِمُ الْجَلْدَ دُونَ الرَّجْمِ حَتَّى يَسْتَأْنِفُوا والإصابة فِي النِّكَاحِ بَعْدَ كَمَالِهِمْ وَمَنْ جَعَلَهَا مِنْ شُرُوطِ الرَّجْمِ أَوْجَبَ عَلَيْهِمُ الرَّجْمَ بِالْإِصَابَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ قبل كَمَالِهِمْ وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَذْهَبَيْنِ وَجْهٌ وَإِذَا كَانَتِ الْإِصَابَةُ فِي النِّكَاحِ الصَّحِيحِ أَصْلًا فِي الْحَصَانَةِ لَمْ تُحْصَنِ الْإِصَابَةُ فِي نِكَاحٍ فَاسِدٍ ولا يملك الْيَمِينِ؛ لِأَنَّهَا إِصَابَةُ كَمَالٍ لِاعْتِبَارِهَا فِي كَمَالِ الْحَدِّ فَوَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ فِيهَا أَكْمَلَ أَسْبَابِهَا وَالنِّكَاحُ أَكْمَلُ مِنْ مِلْكِ الْيَمِينِ لِأَمْرَيْنِ

Ada pendapat ganjil dari sebagian ulama yang berpendapat bahwa syarat al-hisān hanya satu, yaitu telah melakukan hubungan dalam pernikahan yang sah, sedangkan tiga syarat lainnya—baligh, berakal, dan merdeka—adalah syarat wajibnya rajam, bukan syarat al-hisān. Ini merupakan perbedaan yang berpengaruh menurut pendapat yang sahih. Maka, anak kecil, orang gila, dan budak, jika mereka telah melakukan hubungan dalam pernikahan yang sah, lalu setelah itu anak kecil berzina setelah baligh, orang gila setelah sembuh, dan budak setelah merdeka, maka siapa yang menganggap tiga syarat itu sebagai syarat al-hisān, mewajibkan atas mereka hukuman cambuk, bukan rajam, sampai mereka mengulangi hubungan dalam pernikahan setelah sempurna syarat-syaratnya. Sedangkan siapa yang menganggapnya sebagai syarat rajam, mewajibkan atas mereka hukuman rajam dengan hubungan yang telah terjadi sebelum mereka sempurna syarat-syaratnya. Masing-masing pendapat memiliki argumentasinya. Jika hubungan dalam pernikahan yang sah merupakan dasar al-hisān, maka hubungan dalam pernikahan yang rusak tidak menjadikan seseorang memiliki status al-hisān, begitu pula hubungan dengan budak perempuan tidak menjadikannya, karena hubungan itu adalah hubungan yang sempurna, yang dipertimbangkan dalam kesempurnaan pelaksanaan hudud, maka harus dipertimbangkan sebab-sebabnya yang paling sempurna, dan pernikahan lebih sempurna daripada kepemilikan budak perempuan karena dua hal.

أَحَدُهُمَا اخْتِصَاصُهُ بِالِاسْتِمْتَاعِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْكِحَ مَنْ لَا يحل لَهُ وَيَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَ مَنْ لَا تَحِلُّ لَهُ

Salah satunya adalah kekhususan dalam hal istimta‘; karena tidak boleh menikahi perempuan yang tidak halal baginya, sedangkan boleh memiliki perempuan yang tidak halal baginya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ أَشْرَفُ مِنْ مِلْكِ الْيَمِينِ وَأَفْضَلُ لِاجْتِمَاعِ الشَّرَائِعِ عَلَيْهِ وَاسْتِحْقَاقِ الْمِيرَاثِ بِهِ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الزَّوْجَيْنِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ

Kedua, bahwa (nikah) lebih mulia daripada milik al-yamīn dan lebih utama karena seluruh syariat sepakat atasnya serta adanya hak waris melalui (nikah) tersebut. Jika hal ini telah tetap, maka keadaan suami istri tidak lepas dari empat bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَا كَامِلَيْنِ بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ وَالْحُرِّيَّةِ فَيَتَحَصَّنَا مَعًا فِيهِ بِإِصَابَةِ مرة واحدة إذا غاب بها الحشفة في الفرج سواء كان عقيبها إنزال أو لم يكن فأيهما زنا رُجِمَ

Salah satunya adalah keduanya harus sempurna dalam hal baligh, berakal, dan merdeka, sehingga keduanya saling menjaga kehormatan dalam hal ini dengan terjadinya persetubuhan satu kali, yaitu jika kepala zakar masuk ke dalam farji, baik setelahnya terjadi ejakulasi maupun tidak. Maka siapa pun di antara keduanya yang berzina, ia harus dirajam.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَا نَاقِصَيْنِ مَعًا لِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ أَوْ رِقٍّ فَلَا حَصَانَةَ بِهَذِهِ الْإِصَابَةِ مَا كَانَ النَّقْصُ بَاقِيًا فَإِنْ زَالَ النَّقْصُ فَفِي ثُبُوتِ الْحَصَانَةِ بِمَا تَقَدَّمَ من الإصابة مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الوَجْهَيْنِ

 

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ كَامِلًا بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ وَالْحُرِّيَّةِ وَالزَّوْجَةُ ناقصة لصغر أو جنون أو رق فيثبت فِيهِ حَصَانَةُ الزَّوْجِ دُونَ الزَّوْجَةِ فَإِنْ زَالَ نقص الزوجة ففي ثبوت حصانتها بِالْإِصَابَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah apabila suami telah sempurna dengan baligh, berakal, dan merdeka, sedangkan istri masih kurang karena kecil, gila, atau berstatus budak, maka dalam hal ini hanya berlaku status hisan (perlindungan dari hukuman zina) bagi suami saja, tidak bagi istri. Jika kekurangan pada istri itu hilang, maka dalam penetapan status hisan baginya karena persetubuhan yang telah lalu terdapat dua pendapat.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ تَكُونَ الزَّوْجَةُ كَامِلَةً بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ وَالْحُرِّيَّةِ دُونَ الزَّوْجِ فَيُنْظَرُ فِي نَقْصِ الزَّوْجِ فَإِنْ كَانَ بِرِقٍّ أَوْ جُنُونٍ تَحَصَّنَتْ بِهِ الزَّوْجَةُ دُونَ الزَّوْجِ فَإِنْ زَالَ نَقْصُ الزَّوْجِ فَفِي ثُبُوتِ حَصَانَتِهِ بما تقدم من أصابته وجهان فإن كَانَ نَقْصُ الزَّوْجِ لِصِغَرٍ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ مثله لا يستمتع بإصابته لطفوليته كَابْنِ ثَلَاثِ سِنِينَ أَوْ أَرْبَعٍ لَمْ يُحْصِنْهَا وَلَمْ يَتَحَصَّنْ بِهَا وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُسْتَمْتَعُ بِمِثْلِهِ كَالْمُرَاهِقِ فَفِي تَحْصِينِهَا بِإِصَابَتِهِ قَوْلَانِ

Bagian keempat adalah apabila istri telah sempurna dengan baligh, berakal, dan merdeka, sedangkan suami belum. Maka dilihat kekurangan pada suami; jika kekurangannya berupa status budak atau gila, maka istri menjadi muḥṣanah (terjaga dari hukuman zina) dengan hubungan tersebut, sedangkan suami tidak. Jika kekurangan pada suami itu hilang, maka dalam penetapan status muḥṣan bagi suami terdapat dua pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jika kekurangan pada suami karena masih kecil, maka dilihat lagi; jika anak seusianya tidak dapat melakukan hubungan karena sifat kekanak-kanakannya, seperti anak usia tiga atau empat tahun, maka ia tidak membuat istrinya menjadi muḥṣanah dan ia pun tidak menjadi muḥṣan. Namun jika ia termasuk yang sudah dapat melakukan hubungan, seperti anak yang mendekati baligh, maka dalam menetapkan status muḥṣanah bagi istri karena hubungan dengannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وبه قَالَ فِي ” الْإِمْلَاءِ لَا يُحْصِنُهَا وَلَا يَتَحَصَّنُ بِهَا؛ لِضَعْفِ إِصَابَتِهِ

Salah satunya, dan pendapat ini yang beliau sampaikan dalam “al-Imlā’”, adalah bahwa hal itu tidak dapat membuatnya menjadi muhsan dan ia pun tidak menjadi muhsan karenanya; karena lemahnya pelaksanaan (hubungan) tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ ” الْأُمِّ قَدْ حَصَّنَهَا وَإِنْ لَمْ يتحصن بها؛ لأن المعتبر في الإصابة تغييب الْحَشَفَةِ وَلَا يُعْتَبَرُ فِيهِ الْقُوَّةُ وَالضَّعْفُ كَإِصَابَةِ الشيخ وهذا شَرْحُ مَذْهَبِنَا فِي كَمَالِ الزَّوْجَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا

Pendapat kedua, yang dinyatakan secara tegas dalam kitab “Al-Umm”, adalah bahwa ia telah menjadi muhsanah meskipun suaminya belum menjadi muhsan, karena yang dianggap dalam terjadinya persetubuhan adalah masuknya hasyafah, dan tidak dipertimbangkan kekuatan atau kelemahan, seperti persetubuhan seorang lelaki tua. Inilah penjelasan mazhab kami mengenai kesempurnaan pada kedua pasangan atau salah satunya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِذَا كَانَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ نَاقِصًا لَمْ يَتَحَصَّنْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا فَنَفَيُ الْحَصَانَةِ عَنِ الْكَامِلِ لِانْتِفَائِهَا عَنِ النَّاقِصِ

Abu Hanifah berkata: Jika salah satu dari pasangan suami istri ada yang kurang (tidak sempurna), dan tidak ada satu pun dari keduanya yang mencapai status muhsan, maka status muhsan juga dinafikan dari yang sempurna karena status tersebut tidak ada pada yang kurang.

وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ كَانَ النَّقْصُ بَرِقٍّ لَمْ يَتَحَصَّنْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا وَإِنْ كَانَ النَّقْصُ بِصِغَرٍ تَحَصَّنَ الْكَامِلُ مِنْهُمَا وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْحَدِّ مُعْتَبَرًا بِنَفْسِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي الْحَصَانَةِ بِمَثَابَتِهِ مُعْتَبَرًا بِنَفْسِهِ

Malik berkata: Jika kekurangan itu karena budak, maka tidak ada satu pun dari keduanya yang dianggap muhsan. Namun jika kekurangan itu karena usia muda, maka yang sempurna di antara keduanya dianggap muhsan. Ini adalah kekeliruan, karena ketika masing-masing dari keduanya dalam penerapan hudud dipertimbangkan secara mandiri, maka seharusnya dalam hal status muhsan pun masing-masing dipertimbangkan secara mandiri.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ لَمْ يَخْلُ حَالُ الزَّانِيَيْنِ مِنْ خَمْسَةِ أقسام

Maka apabila ketentuan ini telah dijelaskan, keadaan dua pezina tidak lepas dari lima bagian.

أحدهما أَنْ يَكُونَا مُحْصَنَيْنِ فَيُرْجَمَانِ مَعًا وَيَسْتَوِي فِيهِ الزاني والزانية على ما سنصفه في الرَّجْمِ

Pertama, keduanya adalah muhshan, maka keduanya dirajam bersama-sama, dan hukumnya sama antara pezina laki-laki dan perempuan, sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan rajam.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَا بِكْرَيْنِ فَيُجْلَدَانِ معاً على ما سنصفه في الْجَلْدِ

Bagian kedua adalah apabila keduanya masih perawan, maka keduanya dikenai hukuman cambuk bersama-sama sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan tentang hukuman cambuk.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا مُحْصَنًا وَالْآخَرُ بِكْرًا فَيُرْجَمُ الْمُحْصَنُ مِنْهُمَا وَيُجْلَدُ الْبِكْرُ

Bagian ketiga adalah apabila salah satu dari keduanya berstatus muḥṣan dan yang lainnya masih perawan, maka yang muḥṣan di antara mereka dirajam, sedangkan yang masih perawan dicambuk.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَقْصُرَا عَنْ حُكْمِ الْمُحْصَنِ والبكر بصغر أو جنون يزيل القلم عنها فَلَا حَدَّ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَيُعَزَّرُ الصَّبِيُّ مِنْهُمَا دُونَ الْمَجْنُونِ إِنْ كَانَ يُمَيِّزُ أَدَبًا كَمَا يُؤَدَّبُ فِي مَصَالِحِهِ حَتَّى لَا يَنْشَأَ عَلَى الْقَبَائِحِ

Bagian keempat adalah apabila keduanya tidak memenuhi syarat hukum muḥṣan maupun hukum bagi perawan karena masih kecil atau karena gila yang menghilangkan tanggung jawab hukum dari mereka, maka tidak ada ḥadd atas salah satu dari keduanya. Anak kecil di antara mereka dapat dikenai ta‘zīr jika sudah dapat membedakan, sebagai bentuk pendidikan, sebagaimana ia dididik dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, agar ia tidak tumbuh dalam keburukan.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا مِنْ أَهْلِ الْحَدِّ إِمَّا مُحْصَنًا أَوْ بِكْرًا وَالْآخَرُ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْحَدِّ إِمَّا صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا فَيُحَدُّ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْحَدِّ زَانِيًا كَانَ أَوْ زَانِيَةً وَيَسْقُطُ الْحَدُّ عَمَّنْ لَيْسَ مَنْ أَهِلِهِ زَانِيًا كَانَ أَوْ زَانِيَةً وَلَا يَكُونُ سُقُوطُهُ عَنْ أَحَدِهِمَا مُوجِبًا لِسُقُوطِهِ عَنِ الْآخَرِ

Bagian kelima adalah apabila salah satu dari keduanya termasuk orang yang terkena had, baik itu muhshan maupun bikr, sedangkan yang lainnya bukan termasuk orang yang terkena had, baik karena masih kecil atau gila. Maka, had dijatuhkan kepada siapa saja yang termasuk orang yang terkena had, baik laki-laki pezina maupun perempuan pezina, dan had gugur dari siapa saja yang bukan termasuk orang yang terkena had, baik laki-laki pezina maupun perempuan pezina. Gugurnya had dari salah satu dari keduanya tidak menyebabkan had juga gugur dari yang lainnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ سُقُوطُ الْحَدِّ عَنِ الزَّانِيَةِ لَا يُوجِبُ سُقُوطُهُ عَنِ الزاني وسقوطه عن الزاني لا يوجب سقوطه عن الزانية فيحد العاقل إذا زنا بالمجنونة وَلَا تُحَدُّ الْعَاقِلَةُ إِذَا زَنَتْ بِمَجْنُونٍ احْتِجَاجًا بِأَمْرَيْنِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa gugurnya hudud dari pezina perempuan tidak menyebabkan gugurnya hudud dari pezina laki-laki, dan gugurnya hudud dari pezina laki-laki tidak menyebabkan gugurnya hudud dari pezina perempuan. Maka, seorang laki-laki berakal dijatuhi hudud jika berzina dengan perempuan gila, dan perempuan berakal tidak dijatuhi hudud jika berzina dengan laki-laki gila, dengan berdalil pada dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنَّ وَطْءَ الْمَجْنُونِ لَيْسَ بِزِنًا؛ لِأَنَّ مَنْ جَهِلَ تَحْرِيمَ الزِّنَا لَمْ يَكُنْ زانياً والمجنون جاهل بتحريم الزنا فلم يك وطئه زِنًا وَالتَّمْكِينُ مِمَّا لَيْسَ بِزِنًا لَا يَكُونُ زِنًا فَلَمْ يَجِبْ بِهِ الْحَدُّ

Salah satunya adalah bahwa persetubuhan yang dilakukan oleh orang gila tidak dianggap sebagai zina; karena siapa pun yang tidak mengetahui keharaman zina, maka ia tidak disebut pezina, dan orang gila tidak mengetahui keharaman zina, sehingga persetubuhannya tidak dianggap zina. Memberikan kesempatan terhadap sesuatu yang bukan zina juga tidak dianggap zina, maka tidak wajib dikenakan hukuman had karenanya.

وَالثَّانِي أَنَّ الْوَاطِئَ مَتْبُوعٌ؛ لِأَنَّهُ فَاعِلٌ وَالْمَوْطُوءَةُ تَابِعَةٌ لِأَنَّهَا مُمْكِنَةٌ فَإِذَا سَقَطَ الْحَدُّ عَنِ الْفَاعِلِ الْمَتْبُوعِ سَقَطَ عَنِ التَّابِعِ الْمُمْكِنِ؛ لِأَنَّ الْمَتْبُوعَ أَصْلٌ وَالتَّابِعَ فَرْعٌ فَاسْتَحَالَ ثُبُوتُ الْفَرْعِ مَعَ ارْتِفَاعِ أَصْلِهِ

Kedua, bahwa pelaku (laki-laki) adalah pihak yang diikuti karena ia adalah pelaku, sedangkan yang dikenai (perempuan) adalah pihak yang mengikuti karena ia adalah pihak yang memungkinkan (untuk dikenai). Maka apabila hudud gugur dari pelaku yang diikuti, maka gugur pula dari pihak yang mengikuti yang memungkinkan; karena pihak yang diikuti adalah pokok dan pihak yang mengikuti adalah cabang, sehingga mustahil cabang tetap ada sementara pokoknya telah hilang.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنْ كُلَّ مَا وَجَبَ عَلَيْهَا بِوَطْئِهَا إِذَا مَكَّنَتْ عَاقِلًا وَجَبَ عَلَيْهَا بِوَطْئِهَا إِذَا مَكَّنَتْ مَجْنُونًا كَالْقَضَاءِ وَالْكَفَّارَةِ فِي وَطْءِ رَمَضَانَ وَلِأَنَّ سُقُوطَ الْحَدِّ عَنِ الْوَاطِئِ لمعنى يخصه لَا يُوجِبُ سُقُوطَهُ عَنِ الْمَوْطُوءَةِ كَالْمُسْتَأْمَنِ الْحَرْبِيِّ إذا زنا بِمُسَلِّمَةٍ يَجِبُ عَلَيْهَا الْحَدُّ دُونَهُ وَلِأَنَّ كُلَّ سبب لو اختص بالموطوءة لم يمنع وجوبه الْحَدَّ عَلَى الْوَاطِئِ وَجَبَ إِذَا اخْتَصَّ بِالْوَاطِئِ أَنْ لَا يُمْنَعَ وُجُوبُ الْحَدِّ عَلَى الْمَوْطُوءَةِ كَاعْتِقَادِ الشُّبْهَةِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُعْتَبَرْ حُكْمُ الموطوءة بالواطئ في حقه الْحَدِّ إِذَا زَنَتِ الْحُرَّةُ بِعَبْدٍ وَالثَّيِّبُ بِبَكْرٍ لَمْ يُعْتَبَرْ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ إذا زنت العاقلة بمجنون

Dalil kami adalah bahwa segala sesuatu yang wajib atas istri karena hubungan suami-istri jika ia menyerahkan diri kepada suami yang berakal, maka juga wajib atasnya jika ia menyerahkan diri kepada suami yang gila, seperti qadha dan kafarat dalam hubungan suami-istri di bulan Ramadan. Dan karena gugurnya had dari pelaku karena alasan khusus padanya tidak menyebabkan gugurnya had dari yang diajak berbuat, sebagaimana seorang musta’man harbi jika berzina dengan wanita muslimah, maka had wajib atas wanita itu dan tidak atas laki-laki tersebut. Dan setiap sebab yang jika khusus pada yang diajak berbuat tidak mencegah kewajiban had atas pelaku, maka jika khusus pada pelaku juga tidak mencegah kewajiban had atas yang diajak berbuat, seperti keyakinan adanya syubhat. Dan karena ketika hukum yang diajak berbuat tidak dipertimbangkan mengikuti pelaku dalam hal had, seperti jika wanita merdeka berzina dengan budak, atau wanita yang sudah menikah berzina dengan gadis, maka tidak dipertimbangkan pula dalam kewajiban had jika wanita berakal berzina dengan laki-laki gila.

فأما الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” إِنَّ وَطْءَ الْمَجْنُونِ لَيْسَ بِزِنَا فَهُوَ أَنَّ حُكْمَ الزِّنَا ثَابِتٌ فِيهِ لِانْتِفَاءِ النَّسَبِ عَنْهُ وَلَوِ ارْتَفَعَ حُكْمُ الزِّنَا عَنْهُ لَحِقَ النَّسَبُ بِهِ وَإِنَّمَا سَقَطَ الْحَدُّ عَنْهُ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ

Adapun jawaban atas pernyataannya, “Sesungguhnya persetubuhan orang gila bukanlah zina,” maka sesungguhnya hukum zina tetap berlaku padanya karena nasab tidak dinisbatkan kepadanya. Seandainya hukum zina tidak berlaku atasnya, niscaya nasab akan dinisbatkan kepadanya. Hanya saja hudud (hukuman) gugur darinya karena pena (pencatatan dosa) terangkat darinya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ ” بِأَنَّ الْوَاطِئَ مَتْبُوعٌ فَهُوَ بَاطِلٌ بِصِفَةِ الْحَدِّ لِمَا جَازَ أَنْ تُرْجَمَ الْمَوْطُوءَةُ وَإِنْ جُلِدَ الْوَاطِئُ جَازَ أَنْ تُجْلَدَ الْمَوْطُوءَةُ وَإِنْ لَمْ يجلد الواطئ

Adapun jawaban terhadap argumentasinya bahwa “orang yang berzina adalah yang diikuti (oleh hukum),” maka itu batal dari segi sifat hudud, karena mungkin saja perempuan yang dizinai dirajam, dan jika laki-laki yang berzina dicambuk, maka boleh juga perempuan yang dizinai dicambuk, meskipun laki-laki yang berzina tidak dicambuk.

فإذا تقرر هذا فرع عليه الزنا في مستيقظ ونائم فإن زنا رجل بنائمة حُدَّ دُونَهَا عِنْدَنَا وَعِنْدَهُ كَزِنَا الْعَاقِلِ بِمَجْنُونَةٍ وَإِنِ اسْتَدْخَلَتِ الْمَرْأَةُ ذَكَرَ نَائِمٍ حُدَّتْ عِنْدَنَا وَلَمْ تُحَدَّ عِنْدَهُ كَالْعَاقِلَةِ إِذَا زَنَتْ بِمَجْنُونٍ اعتباراً بسقوط الحد عن النائم وما قدمناه دليل عليه في الموضعين وبالله التوفيق

Jika hal ini telah dipastikan, maka cabang dari permasalahan ini adalah tentang zina yang dilakukan oleh orang yang sadar dan orang yang tidur. Jika seorang laki-laki berzina dengan perempuan yang sedang tidur, maka laki-laki tersebut dikenai had tanpa perempuan itu menurut kami, dan menurutnya (ulama lain) seperti halnya orang berakal yang berzina dengan perempuan gila. Jika seorang perempuan memasukkan kemaluan laki-laki yang sedang tidur, maka perempuan itu dikenai had menurut kami, dan tidak dikenai had menurutnya, sebagaimana perempuan berakal yang berzina dengan laki-laki gila, dengan pertimbangan bahwa had gugur dari orang yang tidur. Apa yang telah kami sampaikan sebelumnya menjadi dalil atas kedua keadaan ini. Dan hanya kepada Allah-lah segala taufik.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ثُمَّ يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْفَنُ

Kemudian dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ؛ إِذَا رُجِمَ الزَّانِي أُجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ غَيْرِهِ مِنَ الْأَمْوَاتِ فِي غَسْلِهِ وَتَكْفِينِهِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَدَفْنِهِ فِي مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ وَقُسِّمَ مَالُهُ بَيْنَ وَرَثَتِهِ وَلَا يَمْنَعُ قَتْلُهُ فِي الْمَعْصِيَةِ مِنْ أَنْ تَجْرِيَ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمَقْتُولِ قَوَدًا وَلَمْ يُكْرَهْ لِلْإِمَامِ الْحَاكِمِ بِرَجْمِهِ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ وَكَرِهَهَا مَالِكٌ لَهُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمْ يُصَلِّ عَلَى مَاعِزٍ حِينَ رَجَمَهُ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar; apabila pezina telah dirajam, maka berlaku atasnya hukum yang sama seperti orang mati lainnya, yaitu dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman kaum Muslimin, serta hartanya dibagi di antara para ahli warisnya. Pembunuhan atasnya karena maksiat tidak menghalangi berlakunya hukum-hukum kaum Muslimin atas dirinya, seperti halnya orang yang dibunuh karena qishāsh. Tidak dimakruhkan bagi imam yang menetapkan hukum rajam untuk menshalatinya, namun Malik memakruhkannya baginya, karena Nabi ﷺ tidak menshalati Ma’iz ketika beliau merajamnya.”

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ حَدِيثُ عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ صَلَّى عَلَى الَّتِي رَجَمَهَا مِنْ جُهَيْنَةَ وَأَحْسَبُهَا الْغَامِدِيَّةَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ترجمها ثُمَّ تُصَلِّي عَلَيْهَا فَقَالَ ” لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لو قسمت على سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ هَلْ وَجَدْتَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا

Dan dalil tentang hal itu adalah hadis Imran bin Husain bahwa Nabi ﷺ menyalatkan perempuan dari Juhainah yang dirajam—dan aku kira dia adalah perempuan Ghamidiyah—lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Engkau menyalatkannya padahal dia telah dirajam?” Maka beliau bersabda, “Sungguh, dia telah bertobat dengan tobat yang jika dibagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya akan mencukupi mereka. Adakah engkau menemukan yang lebih utama daripada dia yang telah menyerahkan dirinya?”

وَجَلَدَ عَلِيُّ بن أبي طالب عليه السلام شراحة الهمدانية في يوم الخميس ورجمها يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَصَلَّى عَلَيْهَا وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ لَا تُكْرَهُ لِغَيْرِ الْإِمَامِ فَلَمْ تُكْرَهْ لِلْإِمَامِ كَالصَّلَاةِ عَلَى غَيْرِ الزَّانِي

Ali bin Abi Thalib ra. mencambuk Syurahah al-Hamdaniyah pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jumat, serta menshalatinya. Karena shalat tersebut tidak dimakruhkan bagi selain imam, maka tidak dimakruhkan pula bagi imam, sebagaimana shalat atas selain pezina.

فَأَمَّا مَاعِزٌ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ تَأَخَّرَ عَنِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ لِعَارِضٍ وَيَكْفِي أن يصلي عليها غيره

Adapun Ma‘iz, maka boleh jadi ia terlambat dari shalat jenazah atasnya karena suatu halangan, dan cukup jika orang lain telah menshalatkannya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَحْضُرَ رَجْمَهُ وَيَتْرُكَ

Imam Syafi‘i berkata, “Boleh bagi imam untuk menghadiri pelaksanaan rajamnya dan boleh juga meninggalkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا حَكَمَ الْإِمَامُ أَوْ غَيْرُهُ مِنَ الْحُكَّامِ بِرَجْمِ زَانٍ لَمْ يَلْزَمْهُ وَلَا شُهُودُ الزِّنَا حُضُورَ الرَّجْمِ سَوَاءٌ رجم بِبَيِّنَةٍ أَوْ إِقْرَارٍ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي يُوسُفَ

Al-Mawardi berkata: “Ini benar, apabila imam atau selainnya dari para hakim memutuskan hukuman rajam terhadap pezina, maka tidak wajib baginya maupun para saksi zina untuk menghadiri pelaksanaan rajam, baik rajam itu dilakukan berdasarkan bayyinah (alat bukti yang jelas) maupun berdasarkan pengakuan. Dan ini adalah pendapat Abu Yusuf.”

وقال أبو حنيفة إن رجم بإقرار لزم حضور الإمام أو الحاكم بالرجم وَإِنْ رَجَمَ بِالْبَيِّنَةِ لَزِمَ حُضُورُ الشُّهُودِ دُونَ الْإِمَامِ؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ أَخَصُّ بِهِ فِي الْإِقْرَارِ وَالشُّهُودُ أَخَصُّ بِهِ فِي الشَّهَادَةِ لِجَوَازِ أَنْ يَرْجِعَ الشُّهُودُ إِنْ شَهِدُوا بِزُورٍ

Abu Hanifah berkata, jika rajam dilakukan berdasarkan pengakuan, maka wajib hadir imam atau hakim saat pelaksanaan rajam. Namun jika rajam dilakukan berdasarkan bukti (kesaksian), maka yang wajib hadir adalah para saksi tanpa kehadiran imam; karena imam lebih khusus dalam kasus pengakuan, sedangkan para saksi lebih khusus dalam kasus kesaksian, mengingat dimungkinkan para saksi menarik kembali kesaksiannya jika mereka bersaksi secara dusta.

وَدَلِيلُنَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَجَمَ مَاعِزًا وَلَمْ يَحْضُرْهُ وَقَالَ ” يَا أُنَيْسُ اغْدُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا ولأنها إِقَامَةُ حَدٍّ فَلَمْ يَلْزَمْ حُضُورُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كالقذف ولأنها إِفَاتَةُ نَفْسٍ فَلَمْ يَلْزَمْ فِيهِ حُضُورُهُمَا وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَلْزَمْ حُضُورُهُ فِي حَدِّ الْبِكْرِ لَمْ يَلْزَمْ حُضُورُهُ فِي حَدِّ الثَّيِّبِ كَالْجَمْعِ بَيْنَ الزَّانِيَيْنِ

Dalil kami adalah bahwa Nabi ﷺ merajam Ma’iz dan beliau tidak hadir, serta beliau bersabda, “Wahai Unais, pergilah pada istri orang ini, jika ia mengaku maka rajamlah ia.” Karena ini adalah pelaksanaan hudud, maka tidak disyaratkan kehadiran salah satu dari mereka berdua, seperti pada kasus qadzaf. Dan karena ini adalah penghilangan nyawa, maka tidak disyaratkan kehadiran mereka berdua di dalamnya. Dan karena apa yang tidak disyaratkan kehadirannya pada hudud bagi perawan, maka tidak disyaratkan pula kehadirannya pada hudud bagi yang sudah menikah, seperti penggabungan antara dua pezina.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ حَضَرَ الْإِمَامُ وَالشُّهُودُ الرَّجْمَ لَمْ يَجِبْ الِابْتِدَاءُ بِالرَّجْمِ عَلَى أَحَدٍ وَبَدَأَ بِهِ مَنْ شَاءَ

Jika imam dan para saksi telah hadir dalam pelaksanaan rajam, maka tidak wajib memulai rajam dari orang tertentu, dan boleh memulainya dari siapa saja yang dikehendaki.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ رُجِمَ بِإِقْرَارِهِ بَدَأَ بِرَجْمِهِ الْإِمَامُ ثُمَّ الشهود ثُمَّ النَّاسُ وَإِنْ رُجِمَ بِالْبَيِّنَةِ بَدَأَ بِرَجْمِهِ الشُّهُودُ ثُمَّ الْإِمَامُ ثُمَّ النَّاسُ؛ احْتِجَاجًا بِأَنَّهُ قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ

Abu Hanifah berkata: Jika seseorang dirajam karena pengakuannya sendiri, maka yang memulai merajam adalah imam, kemudian para saksi, lalu masyarakat. Namun jika dirajam berdasarkan bukti (bayyinah), maka yang memulai merajam adalah para saksi, kemudian imam, lalu masyarakat; hal ini berdalil pada pendapat Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam.

وَدَلِيلُنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَضَرَ رَجْمَ الْغَامِدِيَّةِ وَلَمْ يَنْقُلْ عَنْهُ أَنَّهُ بَاشَرَ بِنَفْسِهِ شَيْئًا مِنْهُ وَلَوْ فَعَلَ لَنُقِلَ ولأنه حد فلم يتعين فيه المبتدئ كَسَائِرِ الْحُدُودِ

Dalil kami adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada peristiwa rajam terhadap wanita Ghamidiyah, namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau sendiri secara langsung melakukan sesuatu dari pelaksanaan rajam tersebut. Seandainya beliau melakukannya, tentu akan diriwayatkan. Selain itu, karena ini adalah hudud, maka tidak disyaratkan pelaksanaannya harus dimulai oleh orang tertentu, sebagaimana pada hudud yang lain.

فَصْلٌ

Fasal

الْقَوْلُ فِي صِفَةِ الرَّجْمِ

Penjelasan tentang tata cara rajam

فَأَمَّا صِفَةُ الرَّجْمِ فَيَنْبَغِي أَنْ تُسْتَرَ فِيهِ عَوْرَةُ الْمَرْجُومِ إِنْ كَانَ رَجُلًا وَيُسْتَرُ جَمِيعُ بَدَنِهَا إِنْ كَانَتِ امْرَأَةً وَتُعْرَضُ عَلَيْهِ التَّوْبَةُ قَبْلَ رَجْمِهِ لِتَكُونَ خَاتِمَةَ أَمْرِهِ وَإِنْ حَضَرَ وَقْتُ صَلَاةٍ أُمِرَ بِهَا وَإِنْ تَطَوُّعَ بِصَلَاةٍ مُكِّنَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ وَإِنِ اسْتَسْقَى مَاءً سُقِيَ وَإِنِ اسْتَطْعَمَ طَعَامًا لَمْ يُطْعَمْ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمَاءَ لِعَطَشٍ مُتَقَدِّمٍ وَالْأَكْلَ لِشِبَعٍ مُسْتَقْبَلٍ وَلَا يُرْبَطُ وَلَا يُقَيَّدُ وَيُخَلَّى وَالِاتِّقَاءُ بِيَدِهِ وَاخْتَارَ الْعِرَاقِيُّونَ أَنْ يُحْفَرَ لَهُ حُفَيْرَةً يَنْزِلُ فِيهَا إِلَى وَسَطِهِ وَهَذَا عِنْدَنَا غَيْرُ مُخْتَارٍ فِي رَجْمِ الرَّجُلِ سَوَاءً رُجِمَ بِشَهَادَةٍ أَوْ إِقْرَارٍ وَيَكُونُ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ لِتَأْخُذَهُ الْأَحْجَارُ من جوانبه فإن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمْ يَأْمُرْ بِهِ فِي مَاعِزٍ حين رجمه فأما المرأة فتحفر لَهَا إِنْ رُجِمَتْ بِالشَّهَادَةِ حُفَيْرَةٌ تَنْزِلُ فِيهَا إلى صدرها؛ لرواية أبي بكر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَجَمَ امْرَأَةً فَحَفَرَ لَهَا إِلَى الثَّنْدُوَةِ وَلِيَكُونَ ذلك أستر لها وأصون فإن رُجِمَتْ بِإِقْرَارِهَا فَفِي الْحَفْرِ لَهَا وَجْهَانِ

Adapun tata cara pelaksanaan rajam, maka seharusnya aurat orang yang dirajam ditutupi jika ia laki-laki, dan seluruh tubuhnya ditutupi jika ia perempuan. Tawbat ditawarkan kepadanya sebelum pelaksanaan rajam agar menjadi penutup akhir urusannya. Jika telah masuk waktu shalat, ia diperintahkan untuk melaksanakannya. Jika ia ingin melakukan shalat sunnah, maka ia diberi kesempatan untuk melaksanakan dua rakaat. Jika ia meminta air, maka ia diberi minum. Namun jika ia meminta makanan, maka tidak diberi makan. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa air dibutuhkan untuk menghilangkan dahaga yang sudah ada, sedangkan makan untuk mengenyangkan di masa mendatang. Ia tidak diikat atau dibelenggu, dan dibiarkan untuk melindungi dirinya dengan tangannya. Ulama Irak memilih agar dibuatkan lubang baginya sehingga ia turun ke dalamnya sampai setengah badannya. Namun menurut kami, hal ini tidak dipilih dalam pelaksanaan rajam terhadap laki-laki, baik rajam itu karena kesaksian maupun pengakuan, dan ia tetap berada di atas permukaan tanah agar batu-batu dapat mengenainya dari segala sisi, karena Nabi ﷺ tidak memerintahkan demikian terhadap Ma’iz ketika beliau merajamnya. Adapun perempuan, maka dibuatkan lubang baginya jika dirajam berdasarkan kesaksian, sehingga ia turun ke dalamnya sampai ke dadanya, berdasarkan riwayat dari Abu Bakar ra bahwa Nabi ﷺ pernah merajam seorang perempuan dan membuatkan lubang baginya sampai ke dadanya, agar lebih menutupi dan menjaga kehormatannya. Jika ia dirajam karena pengakuannya sendiri, maka dalam hal dibuatkan lubang baginya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يُحْفَرُ لَهَا لِيَكُونَ عَوْنًا لَهَا عَلَى هَرَبِهَا إِنْ رَجَعَتْ عَنْ إِقْرَارِهَا

Salah satunya adalah tidak boleh digalikan lubang untuknya agar tidak menjadi bantuan baginya untuk melarikan diri jika ia menarik kembali pengakuannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أن يحفر لها تغليباً لحق صيانتها وسترها قَدْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يُحْفَرَ للْغَامِدِيَّةِ إِلَى الصَّدْرِ وَكَانَتْ مُقِرَّةً

Pendapat kedua adalah bahwa harus digalikan lubang untuknya, demi mengutamakan hak penjagaan dan perlindungan dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar digalikan lubang untuk wanita Ghamidiyah sampai ke dada, padahal ia telah mengakui (kesalahannya).

فَصْلٌ

Fasal

الْقَوْلُ فِي صِفَةِ الْحَجَرِ فِي الرَّجْمِ

Pembahasan tentang sifat batu dalam pelaksanaan rajam

فأما الْحَجَرُ الَّذِي يُرْجَمُ بِهِ فَالِاخْتِيَارُ أَنْ يَكُونَ مَلْءَ الْكَفِّ وَلَا يَكُونُ أَكْبَرَ مِنْهُ كَالصَّخْرَةِ فترجمه ولا يكون أخف مِنْهُ كَالْحَصَاةِ فَيَطُولُ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مَوْقِفُ الرَّامِي مِنْهُ بِحَيْثُ لَا يَبْعُدُ عَلَيْهِ فَيُخْطِئُهُ وَلَا يدنوا مِنْهُ فَيُؤْلِمُهُ فَإِنْ هَرَبَ عِنْدَ مَسِّ الْأَحْجَارِ اتُّبِعَ إِنْ رُجِمَ بِالْبَيِّنَةِ وَلَا يُتْبَعُ إِنْ رُجِمَ بِالْإِقْرَارِ؛ لِأَنَّ مَاعِزًا هَرَبَ حِينَ أَخَذَتْهُ الأحجار فاتبع فقيل إن عمر أتبعه فرماه بَلَحْيِ جَمَلٍ فَقَتَلَهُ وَقِيلَ بَلْ لَقِيَهُ عَبْدُ الله بن أنيس وقد أعجز أصحابه فَرَمَاهُ بِوَظِيفِ بَعِيرٍ فَقَتَلَهُ ثُمَّ آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَذَكَرَ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ” هَلَّا تَرَكْتُمُوهُ لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا فِئَامٌ مِنَ النَّاسِ قبلت منهم ولأن رجمه بإقرار غَيْرُ مُتَحَتِّمٍ؛ لِأَنَّهُ يَسْقُطُ بِالرُّجُوعِ وَهَرَبُهُ كَالرُّجُوعِ وَالْأَوْلَى بِمَنْ حَضَرَ رَجْمُهُ أَنْ يَكُونَ عَوْنًا فِيهِ إِنْ رَجَمَ بِالْبَيِّنَةِ وَمُمْسِكًا عَنْهُ إِنْ رَجَمَ بِالْإِقْرَارِ؛ لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَجَمِيعُ بَدَنِهِ مَحَلٌّ للرجم في المقاتل وغير المقاتل ولكن يختار أن يتوقى الوجه وحده لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ باتقاء الوجه

Adapun batu yang digunakan untuk merajam, yang utama adalah batu itu seukuran genggaman tangan dan tidak lebih besar dari itu seperti batu besar, sehingga jika dilemparkan akan membunuhnya, dan tidak pula lebih ringan dari itu seperti kerikil, sehingga akan memperlama proses rajam. Posisi orang yang melempar hendaknya tidak terlalu jauh sehingga lemparannya meleset, dan tidak pula terlalu dekat sehingga menyakitinya secara berlebihan. Jika orang yang dirajam melarikan diri ketika batu mulai dilemparkan, maka ia dikejar jika rajam dilakukan berdasarkan bayyinah, dan tidak dikejar jika rajam dilakukan berdasarkan iqrar; karena Ma’iz pernah melarikan diri ketika batu mulai mengenainya, lalu ia dikejar. Dikatakan bahwa Umar mengejarnya lalu melemparnya dengan tulang rahang unta hingga membunuhnya, dan ada pula yang mengatakan bahwa Abdullah bin Unais yang menemuinya setelah ia lolos dari para sahabatnya, lalu melemparnya dengan tulang kaki unta hingga membunuhnya. Setelah itu ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal itu kepadanya, maka beliau bersabda, “Mengapa kalian tidak membiarkannya saja? Sungguh ia telah bertobat dengan tobat yang jika dilakukan oleh sekelompok orang dari manusia, niscaya diterima dari mereka.” Sebab rajam karena iqrar tidaklah bersifat mutlak, karena bisa gugur dengan pencabutan pengakuan, dan larinya orang yang dirajam dianggap seperti mencabut pengakuan. Maka yang lebih utama bagi orang yang hadir dalam pelaksanaan rajam adalah turut membantu jika rajam dilakukan berdasarkan bayyinah, dan menahan diri jika rajam dilakukan berdasarkan iqrar, sebagaimana telah dijelaskan. Seluruh tubuh orang yang dirajam adalah tempat untuk dilempari batu, baik bagian tubuh yang mematikan maupun yang tidak, namun yang utama adalah menghindari wajah saja, sesuai perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari wajah.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فَإِنْ لَمْ يُحْصَنْ جُلِدَ مِائَةً وَغُرِّبَ عَامًا عَنْ بَلَدِهِ بِالسُّنَّةِ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika pelaku belum muhshan, maka ia dihukum cambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun dari negerinya, berdasarkan sunnah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أن حد البكر الجلد والتغريب وسمي الحد جَلْدًا لِوُصُولِهِ إِلَى الْجَلْدِ وَلَهُ حَالَتَانِ حُرٌّ وَعَبْدٌ فَإِنْ كَانَ حُرًّا جُلِدَ مِائَةً ثُمَّ غرب بعد الجلد سنة فأما الجلد فهو بسوط معتدل لا جديد ولا خلق وَيُفَرَّقُ الضَّرْبُ فِي جَمِيعِ الْبَدَنِ لِيَأْخُذَ كُلُّ عُضْوٍ حَظَّهُ مِنَ الْأَلَمِ كَمَا أَخَذَ حَظَّهُ مِنَ اللَّذَّةِ إِلَّا عُضْوَيْنِ يَكُفُّ عَنْ ضَرْبِهِمَا ويؤمر باتقائهما

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa hadd bagi pelaku zina yang belum menikah adalah cambuk dan pengasingan, dan hukuman ini dinamakan hadd cambuk karena sampai pada tindakan mencambuk. Hukuman ini memiliki dua keadaan: merdeka dan budak. Jika pelakunya adalah orang merdeka, maka dicambuk seratus kali, kemudian diasingkan selama satu tahun setelah dicambuk. Adapun pencambukan dilakukan dengan cambuk yang sedang, tidak baru dan tidak pula usang, dan pukulan itu disebar ke seluruh tubuh agar setiap anggota tubuh merasakan bagiannya dari rasa sakit sebagaimana telah merasakan bagiannya dari kenikmatan, kecuali dua anggota tubuh yang harus dihindari dari pukulan dan diperintahkan untuk dijaga.

أحدهما الوجه؛ لِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” إِذَا ضَرَبْتُمْ فَاتَّقُوا الْوَجْهَ

Salah satunya adalah wajah; berdasarkan riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Jika kalian memukul, maka hindarilah wajah.”

وَالثَّانِي الْفَرْجُ؛ لِأَنَّ الْمَذَاكِيرَ قَاتِلَةٌ فَأَمَّا الرَّأْسُ فَلَا يَلْزَمُ اتِّقَاؤُهُ

Yang kedua adalah kemaluan; karena kemaluan laki-laki mematikan, adapun kepala maka tidak wajib untuk dihindari.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَلْزَمُ أَنْ يُتَّقَى وَهُوَ أَشْبَهُ؛ لِأَنَّ الضَّرْبَ عَلَيْهِ أَخْوَفُ

Abu Hanifah berkata, “Wajib untuk dihindari, dan pendapat ini lebih mendekati kebenaran; karena hukuman cambuk atasnya lebih berat.”

وَأَمَّا التَّغْرِيبُ فَيَشْتَمِلُ عَلَى زَمَانٍ وَمَكَانٍ فَأَمَّا الزَّمَانُ فقد قدره الشرع بسنة تَجْمَعُ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا بِالْأَهِلَّةِ وَأَمَّا الْمَكَانُ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Adapun pengasingan (taghrīb) mencakup unsur waktu dan tempat. Mengenai waktu, syariat telah menetapkannya selama satu tahun yang terdiri dari dua belas bulan berdasarkan peredaran bulan (hilal). Adapun mengenai tempat, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ مِنْ أصحاب الشافعي إلى مسافة يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ فَصَاعِدًا؛ لِأَنَّهُ حَدُّ السَّفَرِ الَّذِي يقصر فيه وَيُفْطَرُ وَسَوَاءٌ كَانَ لَهُ فِي الْبَلَدِ الَّذِي غُرِّبَ إِلَيْهِ أَهْلٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat mayoritas ulama dari kalangan pengikut Syafi‘i, adalah bahwa jarak safar itu adalah sehari semalam atau lebih; karena itulah batas safar yang di dalamnya diperbolehkan qashar dan berbuka puasa, baik seseorang memiliki keluarga di negeri yang dituju atau tidak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة أنه يغرب إلى حيث ينطلق عَلَيْهِ اسْمُ الْغُرْبَةِ وَتَلْحَقُهُ فِي الْمُقَامِ بِهِ مشقة ووحشة سواء قصر فِي مِثْلِهِ الصَّلَاةُ أَوْ لَمْ تَقْصُرْ؛ لِأَنَّ المقصود بتغريبه خروجه عن أنسه بالأهل وَالْوَطَنِ إِلَى وَحْشَةِ الْغُرْبَةِ وَالِانْفِرَادِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْبَسَ فِي تَغْرِيبِهِ إِلَّا أَنْ يَتَعَرَّضَ للزنا وإفساد الناس فيحبس كفا عن الفساد تعزيراً مستجداً ومؤونته في غربته فِي بَيْتِ الْمَالِ مِنْ خُمْسِ الْخُمْسِ كَأُجْرَةِ الجلاد فإن أعوز بيت المال كانت فِي مَالِهِ كَمَا تَكُونُ فِيهِ أُجْرَةُ مُسْتَوْفِي الْحَدِّ مِنْهُ عِنْدَ الْإِعْوَازِ فَأَمَّا نَفَقَتُهُ فِي زَمَانِ التَّغْرِيبِ فَعَلَى نَفْسِهِ وَمِنْ كَسْبِهِ وَلَا يُمْنَعُ مِنَ الِاكْتِسَابِ وَلَا أَنْ يُسَافِرَ مَعَهُ بمال يتجر به أو ينفقه فإن أعوزه الْكَسْبَ فِي سَفَرِهِ كَانَ كَسَائِرِ الْفُقَرَاءِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, adalah bahwa seseorang diasingkan ke tempat yang padanya berlaku sebutan “asing” dan di tempat itu ia mengalami kesulitan dan rasa sepi dalam menetap, baik di tempat tersebut shalat boleh diqashar maupun tidak. Sebab, tujuan dari pengasingan adalah memisahkannya dari keakraban dengan keluarga dan tanah air menuju kesepian dan keterasingan. Tidak boleh ia dipenjara dalam masa pengasingannya, kecuali jika ia melakukan zina atau merusak masyarakat, maka ia dipenjara untuk mencegah kerusakan sebagai bentuk ta‘zīr tambahan. Biaya hidupnya selama di pengasingan diambil dari Baitul Mal, dari seperlima khumus, seperti upah algojo. Jika Baitul Mal tidak mampu, maka diambil dari hartanya sendiri, sebagaimana upah pelaksana hudud diambil dari hartanya jika Baitul Mal tidak mampu. Adapun nafkah hidupnya selama masa pengasingan menjadi tanggung jawab dirinya sendiri dan dari hasil usahanya, dan ia tidak dilarang untuk bekerja atau bepergian membawa harta untuk berdagang atau membelanjakannya. Jika ia tidak mampu mendapatkan penghasilan selama dalam perjalanan, maka keadaannya seperti fakir miskin lainnya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ رَأَى الْإِمَامُ أَنْ يَزِيدَ فِي مَسَافَةِ تغريبه على ما قدمناه جَازَ فَقَدَ غَرَّبَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الشَّامِ وَغَرَّبَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى مِصْرَ وَإِنْ رَأَى أَنْ يَزِيدَ فِي زمان تغريبه على السَّنَةِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ السَّنَةَ نَصٌّ وَالْمَسَافَةَ اجْتِهَادٌ وَفِي أَوَّلِ السَّنَةِ فِي تَغْرِيبِهِ وَجْهَانِ

Jika imam memandang perlu menambah jarak pengasingannya dari yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka hal itu boleh dilakukan. Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengasingkan ke Syam, dan Utsman radhiyallahu ‘anhu pernah mengasingkan ke Mesir. Namun, jika imam memandang perlu menambah waktu pengasingannya melebihi satu tahun, maka itu tidak boleh, karena satu tahun adalah nash, sedangkan jarak adalah hasil ijtihad. Pada permulaan tahun dalam pengasingan itu terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا مِنْ وَقْتِ إِخْرَاجِهِ مِنْ بَلَدِهِ؛ لِأَنَّهُ أَوَّلُ سَفَرِهِ

Salah satunya adalah sejak waktu keluarnya dari negerinya, karena itulah awal perjalanannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي بَعْدَ حُصُولِهِ فِي مَكَانِ التَّغْرِيبِ وَفِيهِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ

Pendapat kedua adalah setelah pelaku berada di tempat pengasingan, dan di dalamnya terdapat apa yang telah kami sebutkan sebelumnya dari dua pendapat.

أحدهما بعد مفارقته لأنس الْوَطَنِ وَاعْتِزَالِ الْأَهْلِ إِذَا قِيلَ إِنَّهُ حَدُّ التغريب

Salah satunya adalah setelah berpisah dari tempat tinggal yang biasa dan meninggalkan keluarga, jika dikatakan bahwa itulah batasan taghrīb.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي بَعْدَ مَسَافَةِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِذَا جُعِلَ حَدًّا لِلتَّغْرِيبِ

Pendapat kedua adalah setelah menempuh jarak sehari semalam, jika jarak tersebut dijadikan batas untuk hukuman pengasingan.

فَصْلٌ

Fasal

وَالْإِمَامُ فِي تَغْرِيبِهِ بين أمرين

Imam dalam hal pengasingannya berada di antara dua pilihan.

أحدهما أن يعين على الْبَلَدَ الَّذِي يُغَرَّبُ إِلَيْهِ فَيَلْزَمُهُ الْمُقَامُ فِيهِ ولا يجوز الْخُرُوجُ مِنْهُ وَيَصِيرُ لَهُ كَالْحَبْسِ الَّذِي لَا يجوز أن يخرج منه

Pertama, seseorang ditentukan untuk pergi ke negeri tempat ia diasingkan, maka ia wajib tinggal di sana dan tidak boleh keluar darinya, dan negeri itu menjadi baginya seperti penjara yang tidak boleh ia tinggalkan.

والثاني أن لا يعين له على الْبَلَدَ فَيَجُوزُ لَهُ إِذَا تَجَاوَزَ مَسَافَةَ التَّغْرِيبِ أن يقيم في أي بلد من الْبِلَادِ شَاءَ وَيَنْتَقِلُ إِلَى أَيِّ بَلَدٍ شَاءَ فَإِذَا انْقَضَتْ مُدَّةُ التَّغْرِيبِ نَظَرَ فَإِنْ كَانَ البلد الذي غرب إليه معيناً لم يَعُدْ إِلَّا بِإِذْنِ الْإِمَامِ فَإِنْ عَادَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ عُزِّرَ كَمَا يُعَزَّرُ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْحَبْسِ بِغَيْرِ إِذْنٍ

Kedua, jika tidak ditentukan baginya kota tertentu, maka diperbolehkan baginya, apabila telah melewati jarak pengasingan, untuk tinggal di kota mana pun yang ia kehendaki dan berpindah ke kota mana pun yang ia inginkan. Apabila masa pengasingan telah selesai, maka dilihat kembali: jika kota tempat ia diasingkan telah ditentukan, maka ia tidak boleh kembali kecuali dengan izin imam. Jika ia kembali tanpa izinnya, maka ia dikenai ta‘zīr sebagaimana seseorang yang keluar dari penjara tanpa izin.

وَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ غَيْرُ مُعَيَّنٍ جَازَ أَنْ يَعُودَ بِإِذْنٍ وَغَيْرِ إِذْنٍ وَإِنْ كَانَ الْأَوْلَى أَنْ لَا يَعُودَ إِلَّا بِإِذْنٍ فَإِنْ عَادَ إِلَى وَطَنِهِ قَبْلَ السَّنَةِ عُزِّرَ وَأُخْرِجَ وَبَنَى عَلَى مَا تَقَدَّمَ قَبْلَ مُقَدَّمِهِ وَلَمْ تُحْسَبْ مُدَّةُ مُقَامِهِ فِي وَطَنِهِ

Jika negeri yang dituju tidak ditentukan secara spesifik, maka boleh baginya untuk kembali baik dengan izin maupun tanpa izin, meskipun yang lebih utama adalah tidak kembali kecuali dengan izin. Jika ia kembali ke negerinya sebelum satu tahun, maka ia dikenai ta‘zīr, dikeluarkan kembali, dan dihitung berdasarkan apa yang telah berlaku sebelum kedatangannya, serta masa tinggalnya di negerinya tidak diperhitungkan.

وَلَوْ غَرَّبَ الْمَحْدُودُ نَفْسَهُ أَجْزَأَهُ وَلَوْ جَلَدَ نفسه لم يجزه

Dan jika orang yang dikenai had mengasingkan dirinya sendiri, itu dianggap sah; namun jika ia mencambuk dirinya sendiri, itu tidak sah.

والفرق بينهما أن الحد حَقٌّ يُسْتَوْفَى مِنْهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مُسْتَوْفِيهِ وَالتَّغْرِيبُ انْتِقَالٌ إِلَى مَكَانٍ قَدْ وُجِدَ فِيهِ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa hadd merupakan hak yang harus ditegakkan darinya, sehingga tidak boleh pelakunya sendiri yang menegakkannya, sedangkan taghrib adalah pemindahan ke suatu tempat yang telah ada di dalamnya.

فَصْلٌ

Fasal

وَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يُثْبِتَ فِي دِيوَانِهِ أَوَّلَ زَمَانِ تَغْرِيبِهِ لِيَعْلَمَ بِإِثْبَاتِهِ اسْتِيفَاءَ حَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يُثْبِتْهُ وَادَّعَى الْمَحْدُودُ انْقِضَاءَ السَّنَةِ وَعَدِمَتِ الْبَيِّنَةُ فِيهِ فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُ المحدود؛ لأنه من حقوق الله الْمُسْتَرْعَاةِ وَيَحْلِفُ اسْتِظْهَارًا وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ فِي زَمَانِ التَّغْرِيبِ مَا كَانَ يَلْزَمُهُ مِنْ نَفَقَاتِ زَوْجَاتِهِ وَأَوْلَادِهِ وَتَنْقَضِي بِهِ مُدَّةُ الْإِيلَاءِ وَالْعُنَّةِ وَإِنْ زَنَا فِي مُدَّةِ التَّغْرِيبِ حُدَّ وَغُرِّبَ عَنْ مَوْضِعِهِ عَامًا إِلَى مَسَافَةِ التَّغْرِيبِ وَإِلَى جِهَةٍ يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ وَطَنِهِ مِثْلُ مَسَافَةِ التغريب فصاعداً وتكون بَقِيَّةُ التَّغْرِيبِ الْأَوَّلِ دَاخِلًا فِي التَّغْرِيبِ الثَّانِي؛ لأن حدود الزنا تتداخل فِي الِاسْتِيفَاءِ

Seyogianya imam mencatat dalam diwan (pencatatan resmi) waktu awal pengasingan (taghrīb) seseorang, agar dengan pencatatan itu diketahui telah sempurna pelaksanaan hadd-nya. Jika imam tidak mencatatnya, lalu orang yang dikenai hadd mengaku bahwa satu tahun telah berlalu dan tidak ada bukti (bayyinah) dalam hal itu, maka perkataan orang yang dikenai hadd diterima; karena ini termasuk hak-hak Allah yang dijaga, dan ia harus bersumpah sebagai penguat. Tidak gugur darinya selama masa pengasingan kewajiban nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya, dan masa ila’ dan ‘unnah pun dianggap selesai dengannya. Jika ia berzina lagi selama masa pengasingan, maka ia dikenai hadd dan diasingkan dari tempatnya selama satu tahun ke jarak pengasingan, dan ke arah yang antara dirinya dan kampung halamannya berjarak seperti jarak pengasingan atau lebih. Sisa masa pengasingan yang pertama masuk ke dalam masa pengasingan yang kedua; karena hadd zina saling tumpang tindih dalam pelaksanaannya.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِنْ كَانَ الزَّانِي عَبْدًا أَوْ أَمَةً فَلَا رَجْمَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أُحْصِنَا بِنِكَاحٍ؛ لِأَمْرَيْنِ

Dan jika pezina itu adalah seorang budak laki-laki atau budak perempuan, maka tidak ada hukuman rajam atas keduanya, meskipun keduanya telah menikah, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْحُرِّيَّةَ شَرْطٌ فِي الْإِحْصَانِ وَهِيَ مَعْدُومَةٌ فِيهِ

Salah satunya adalah bahwa kemerdekaan merupakan syarat dalam ihṣān, dan syarat tersebut tidak terdapat padanya.

وَالثَّانِي أَنَّ حَدَّهُ عَلَى النِّصْفِ مِنْ حَدِّ الْحُرِّ وَالرَّجْمُ لَا ينتصف وإذا سَقَطَ الرَّجْمُ عَنْهُ فَحَدُّهُ خَمْسُونَ جَلْدَةً وَهِيَ نصف حد الحر لقول الله تَعَالَى فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ النساء 25

Kedua, bahwa hukumannya adalah setengah dari hukuman untuk orang merdeka, sedangkan rajam tidak bisa dibagi dua. Jika hukuman rajam gugur darinya, maka hukumannya adalah lima puluh cambukan, yaitu setengah dari hukuman untuk orang merdeka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Jika mereka telah menikah, kemudian melakukan perbuatan keji, maka atas mereka setengah dari hukuman yang diberikan kepada perempuan-perempuan merdeka.” (an-Nisā’ ayat 25).

فأما التغريب ففيه ثلاثة أقاويل

Adapun mengenai pengasingan, terdapat tiga pendapat tentangnya.

أَحَدُهَا يُغَرَّبُ سَنَةً كَالْحُرِّ وَإِنْ خَالَفَ الْحُرَّ فِي الْجَلْدِ؛ لِأَنَّ مَا اعْتُبِرَ فِيهِ الْحَوْلُ لم يتبعض كالزكاة والجزية

Salah satunya adalah diasingkan selama satu tahun seperti orang merdeka, meskipun berbeda dengan orang merdeka dalam hal cambukan; karena perkara yang disyaratkan padanya satu tahun tidak dapat dibagi-bagi, seperti zakat dan jizyah.

والقول الثَّانِي لَا تَغْرِيبَ عَلَيْهِ بِوَجْهٍ لِمَا فِيهِ من الإضرار بسيده وأنه فِي الْغُرْبَةِ أَرْفَهُ لِقِلَّةِ خِدْمَتِهِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada pengasingan baginya sama sekali, karena di dalamnya terdapat unsur merugikan tuannya, dan bahwa di perantauan ia justru lebih nyaman karena sedikitnya tugas pelayanannya.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ أنه يُغَرَّبُ نِصْفَ سَنَةٍ وَهَذَا أَصَحُّ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ التَّغْرِيبُ فِي الْحُرِّ تَبَعًا لِلْجَلْدِ ثُمَّ تنصف جلد العبد وجب أن ينتصف تَغْرِيبُهُ وَسَوَاءٌ فِي هَذَا التَّغْرِيبِ أَنْ يَحُدَّهُ الْإِمَامُ أَوِ السَّيِّدُ

Pendapat ketiga adalah bahwa ia diasingkan selama setengah tahun, dan inilah yang paling benar; karena ketika pengasingan pada orang merdeka mengikuti hukuman cambuk, lalu hukuman cambuk bagi budak menjadi setengahnya, maka pengasingannya pun harus menjadi setengahnya. Dalam hal pengasingan ini, baik yang menjatuhkan hukuman adalah imam maupun tuannya, keduanya sama saja.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِنْ حَدَّهُ السَّيِّدُ لَمْ يُغَرِّبْهُ وَإِنْ حَدَّهُ الْإِمَامُ غَرَّبَهُ

Sebagian ulama kami berpendapat, jika tuannya yang menjatuhkan hukuman had, maka ia tidak mengasingkannya; namun jika imam yang menjatuhkan hukuman had, maka ia mengasingkannya.

وَهَذَا الْفَرْقُ لَا وَجْهَ لَهُ؛ لِأَنَّ الْحَدَّ مُسْتَوْفًى فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى لَا فِي حَقِّ السَّيِّدِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَخْتَلِفَ بِاخْتِلَافِ مُسْتَوْفِيهِ كَالْجَلْدِ وَحَّدُّ الْأَمَةِ كَالْعَبْدِ وَكَذَلِكَ الْمُدْبِرُ وَالْمُكَاتِبُ وَمَنْ فِيهِ جُزْءٌ مِنَ الرِّقِّ وَإِنْ قَلَّ كَحَدِّ الْعَبِيدِ كَمَا كَانُوا فِي النكاح والطلاق والعدة كالعبيد ومؤونة التَّغْرِيبِ فِي بَيْتِ الْمَالِ وَنَفَقَتُهُ فِي زَمَانِ التَّغْرِيبِ عَلَى السَّيِّدِ فَإِنْ أَعْوَزَ بَيْتَ الْمَالِ فمؤونة التغريب على السيد كالنفقة والله أعلم

Perbedaan ini tidak memiliki dasar, karena hadd itu ditegakkan demi hak Allah Ta‘ala, bukan demi hak tuan, sehingga tidak seharusnya berbeda-beda tergantung siapa yang menegakkannya, seperti hukuman cambuk. Hukuman hadd bagi budak perempuan sama dengan budak laki-laki, demikian pula bagi mudabbir, mukatab, dan siapa saja yang masih memiliki sebagian status budak, meskipun sedikit, hukumnya seperti budak. Sebagaimana mereka dalam masalah nikah, talak, dan iddah diperlakukan seperti budak, maka biaya pengasingan ditanggung oleh baitul mal, sedangkan nafkah selama masa pengasingan menjadi tanggungan tuan. Jika baitul mal tidak mampu, maka biaya pengasingan menjadi tanggungan tuan, sebagaimana nafkah. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ولو أقر مرة حد لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أمر أنيساً أن يغدو على امرأة فإن اعترفت رجمها وأمر عمر رضي الله عنه أبا واقد الليثي بمثل ذلك ولم يأمرا بعدد إقراره وفي ذلك دليل أنه يجوز أن يقيم الإمام الحدود وإن لم يحضره

Syafi‘i berkata, “Seandainya seseorang mengaku sekali, maka dikenakan hudud, karena Nabi ﷺ memerintahkan Anis untuk mendatangi seorang wanita; jika ia mengaku, maka rajamlah dia. Umar ra. juga memerintahkan Abu Waqid al-Laitsi dengan hal yang serupa, dan keduanya tidak mempersyaratkan jumlah pengakuan. Dalam hal ini terdapat dalil bahwa imam boleh menegakkan hudud meskipun ia tidak hadir langsung.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي الْإِقْرَارِ الَّذِي يجب به حد الزنا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ

Al-Mawardi berkata, para fuqaha berbeda pendapat mengenai pengakuan yang mewajibkan had zina menjadi tiga mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أنه يجب بإقراره مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

Salah satunya, yaitu mazhab Syafi‘i, berpendapat bahwa hal itu wajib dengan pengakuan satu kali saja, dan ini adalah pendapat Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.

وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حنيفة وأصحابه أنه لا يجب إلا بإقرار أربع مرار فِي أَرْبَعَةِ مَجَالِسَ

Pendapat kedua, yaitu mazhab Abu Hanifah dan para sahabatnya, adalah bahwa hudud tidak wajib kecuali dengan pengakuan sebanyak empat kali dalam empat majelis yang berbeda.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وابن أبي ليلى لا تجب إِلَّا بِإِقْرَارٍ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ سَوَاءٌ كَانَ فِي مجلس أو في مجالس؛ احتجاجاً فِي اعْتِبَارِ الْأَرْبَعِ بِرِوَايَةِ أَبِي حَنِيفَةَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ جَاءَ مَاعِزُ بْنُ مَالِكٍ إلى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَقَرَّ بِالزِّنَا فَرَدَّهُ ثُمَّ عَادَ فَأَقَرَّ بِالزِّنَا فَرَدَّهُ ثُمَّ عَادَ فَأَقَرَّ بِالزِّنَا فَرَدَّهُ ثُمَّ عاد رابعة فأقر بِالزِّنَا فَسَأَلَ عَنْهُ قَوْمَهُ ” هَلْ تُنْكِرُونَ مِنْ عَقْلِهِ شَيْئًا قَالُوا لَا فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ فِي مَوْضِعٍ قَلِيلِ الْحِجَارَةِ فَأَبْطَأَ عَلَيْهِ الْمَوْتُ فَانْطَلَقَ يَسْعَى إِلَى مَوْضِعٍ كَثِيرِ الْحِجَارَةِ فَرَجَمُوهُ حتى قتل فَلَّمَا أَمَرَ بِرَجْمِهِ فِي الرَّابِعَةِ دُونَ مَا تَقَدَّمَهَا دَلَّ عَلَى أَنَّهَا هِيَ الْمُوجِبَةُ لِرَجْمِهِ وأن الأربع كلها شروط فيه

Pendapat ketiga, yaitu mazhab Malik dan Ibnu Abi Laila, menyatakan bahwa hukuman itu tidak wajib kecuali dengan pengakuan sebanyak empat kali, baik dilakukan dalam satu majelis maupun di beberapa majelis; mereka berdalil dalam menetapkan empat kali pengakuan dengan riwayat Abu Hanifah dari Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata: Maiz bin Malik datang kepada Nabi ﷺ lalu mengakui perbuatan zina, maka beliau menolaknya, kemudian ia kembali dan mengakui zina, maka beliau menolaknya, lalu ia kembali lagi dan mengakui zina, maka beliau menolaknya, kemudian ia datang keempat kalinya dan mengakui zina, maka beliau menanyakan kepada kaumnya, “Apakah kalian mengingkari sesuatu dari akalnya?” Mereka menjawab, “Tidak.” Maka beliau memerintahkan agar ia dirajam di tempat yang sedikit batunya, sehingga kematiannya tertunda, lalu ia berlari menuju tempat yang banyak batunya, lalu mereka merajamnya hingga ia terbunuh. Ketika beliau memerintahkan rajam pada pengakuan keempat dan bukan pada pengakuan-pengakuan sebelumnya, hal itu menunjukkan bahwa pengakuan keempat itulah yang mewajibkan rajam, dan bahwa keempat pengakuan itu semuanya merupakan syarat dalam hal ini.

وروى عامر بن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَقْبَلَ مَاعِزُ بن مالك إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَنَا جَالِسٌ عِنْدَهُ حَتَّى جَلَسَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَقَرَّ عِنْدَهُ بِالزِّنَا فَأَمَرَ بِطَرْدِهِ حَتَّى لَمْ يُرَ ثُمَّ عَادَ فَجَلَسَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَقَرَّ عِنْدَهُ بِالزِّنَا فَأَمَرَ بِطَرْدِهِ حَتَّى لَمْ يُرَ ثُمَّ عَادَ فَجَلَسَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَقَرَّ عِنْدَهُ بِالزِّنَا فَأَمَرَ بِطَرْدِهِ حَتَّى لَمْ يُرَ ثُمَّ عاد الرابعة قال فنهضت إليه فقلت يَا هَذَا إِنَّكَ إِنْ أَقْرَرْتَ عِنْدَهُ الرَّابِعَةَ رَجَمَكَ قَالَ فَجَاءَ حَتَّى جَلَسَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَقَرَّ عِنْدَهُ بِالزِّنَا فَأَمَرَ بِرَجْمِهِ

Amir bin Abdurrahman bin Abza meriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ma’iz bin Malik datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara aku sedang duduk di sisinya, hingga Ma’iz duduk di hadapan beliau dan mengakui perbuatan zina di hadapan beliau. Maka beliau memerintahkan agar Ma’iz diusir hingga tidak terlihat lagi. Kemudian Ma’iz kembali lagi, duduk di hadapan beliau, dan kembali mengakui perbuatan zina di hadapan beliau. Maka beliau memerintahkan agar Ma’iz diusir hingga tidak terlihat lagi. Kemudian Ma’iz kembali lagi, duduk di hadapan beliau, dan kembali mengakui perbuatan zina di hadapan beliau. Maka beliau memerintahkan agar Ma’iz diusir hingga tidak terlihat lagi. Kemudian Ma’iz datang untuk keempat kalinya. Aku pun berdiri mendekatinya dan berkata, “Wahai engkau, jika engkau mengakui untuk keempat kalinya di hadapan beliau, niscaya engkau akan dirajam.” Maka Ma’iz datang, duduk di hadapan beliau, dan mengakui perbuatan zina di hadapan beliau. Maka beliau memerintahkan agar Ma’iz dirajam.

قَالُوا فَقَدْ صَرَّحَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمَشْهَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِأَنَّ الرَّابِعَةَ هِيَ الْمُوجِبَةُ لِرَجْمِهِ فَأَقَرَّهُ فَصَارَ كقوله

Mereka berkata: Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah secara tegas menyatakan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sumpah keempat itulah yang mewajibkan hukuman rajam baginya, lalu beliau membenarkannya, sehingga hal itu menjadi seperti perkataannya sendiri.

قالوا ولأنه سبب يثبت حَدُّ الزِّنَا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْعَدَدُ مِنْ شَرْطِهِ كَالشَّهَادَةِ وَلِأَنَّ الزِّنَا لَمَّا غَلُظَ بِزِيَادَةِ الشَّهَادَةِ عَلَى سَائِرِ الشَّهَادَاتِ وَجَبَ أَنْ يُغَلَّظَ بِزِيَادَةِ الْإِقْرَارِ عَلَى سَائِرِ الْإِقْرَارَاتِ

Mereka berkata: Karena ia merupakan sebab yang menetapkan had zina, maka wajib jumlahnya menjadi syarat sebagaimana pada kesaksian. Dan karena zina, ketika diperberat dengan penambahan jumlah saksi dibandingkan kesaksian lainnya, maka wajib pula diperberat dengan penambahan jumlah pengakuan dibandingkan pengakuan-pengakuan lainnya.

وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” يَا أُنَيْسُ اغْدُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا وَلَمْ يُوَقِّتْ لَهُ فِي اعترافها أَرْبَعًا فَغَدَا إِلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهَا اعْتَرَفَتْ أَرْبَعًا فَدَلَّ عَلَى ثُبُوتِهِ بِاعْتِرَافِ المرأة الْوَاحِدَةِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُؤَخِّرَ بَيَانَهُ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ وَلَا يُبِيحُ رَجْمَهَا بِغَيْرِ اسْتِحْقَاقٍ

Dalil kami adalah hadis Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Wahai Unais, pergilah pagi-pagi kepada istri orang ini. Jika ia mengaku, maka rajamlah dia.” Nabi tidak menentukan baginya (Unais) agar pengakuan itu harus dilakukan sebanyak empat kali. Maka Unais pun pergi kepadanya, lalu wanita itu mengaku, maka Unais merajamnya. Tidak ada riwayat bahwa wanita itu mengaku sebanyak empat kali. Ini menunjukkan bahwa hukuman itu dapat ditegakkan dengan satu kali pengakuan dari wanita tersebut, karena tidak boleh menunda penjelasan pada saat dibutuhkan, dan tidak boleh merajamnya tanpa alasan yang sah.

وَلِأَنَّهُ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَلَا مُخَالِفَ لَهُمَا فِي الصحَابة فَكَانَ إِجْمَاعًا

Karena itu adalah pendapat Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan tidak ada sahabat yang menyelisihi keduanya, maka hal itu merupakan ijmā‘.

أما أبو بكر فأقر رجل بكر عنده بِالزِّنَا فَجَلَدَهُ مِائَةً وَغَرَّبَهُ عَامًا

Adapun Abu Bakar, maka seorang laki-laki yang belum menikah mengakui perbuatan zina di hadapannya, lalu beliau mencambuknya seratus kali dan mengasingkannya selama satu tahun.

وَأَمَّا عُمَرُ فَإِنَّ رَجُلًا أَتَاهُ فَقَالَ إِنَّ امْرَأَتِي زَنَتْ فَأَنْفَذَ أَبَا وَاقِدٍ اللِّيثِيَّ إِلَيْهَا فَقَالَ لَهَا زَوْجَكِ قَدِ اعْتَرَفَ عَلَيْكِ بِالزِّنَا وَإِنَّكِ لَا تؤاخذين بقوله لتنزع فلم تنزع فَأَمَرَ عُمَرُ بِرَجْمِهَا

Adapun Umar, maka ada seorang laki-laki yang datang kepadanya dan berkata, “Istriku telah berzina.” Maka Umar mengutus Abu Waqid al-Laitsi kepadanya, lalu Abu Waqid berkata kepada perempuan itu, “Suamimu telah mengaku bahwa engkau telah berzina, dan engkau tidak akan dihukum hanya karena ucapannya, maka mengakulah (jika memang benar).” Namun perempuan itu tidak mengaku, maka Umar memerintahkan agar ia dirajam.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّ مَا ثبت بالإقرار لم يعتبر فِيهِ التَّكْرَارُ كَسَائِرِ الْحُدُودِ وَالْحُقُوقِ وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَلْزَمْ فِيهِ تَكْرَارُ الْإِنْكَارِ لَمْ يَلْزَمْ في تَكْرَارُ الْإِقْرَارِ كَسَائِرِ الْحُدُودِ وَلِأَنَّ رَجُلًا لَوْ قَذَفَ رَجُلًا بِالزِّنَا وَوَجَبَ عَلَيْهِ حَدُّ قَذْفِهِ فاعترف المقذوف مرة واحدة صَارَ كَالْمُقِرِّ بِهِ أَرْبَعًا فِي سُقُوطِ الْحَدِّ عَنْ قَاذِفِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَصِيرَ كَالْأَرْبَعِ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَصِيرَ فِي بَعْضِ الْأَحْكَامِ زَانِيًا وفي بعضها غير زان ولأنه إقرار ثبت بِهِ حَدُّ الْقَذْفِ فَوَجَبَ أَنْ يُثْبِتَ بِهِ حَدُّ الزِّنَا كَالْأَرْبَعِ

Dan di antara qiyās adalah bahwa apa yang ditetapkan melalui pengakuan tidak disyaratkan adanya pengulangan, sebagaimana pada hudūd dan hak-hak lainnya. Karena sesuatu yang tidak diwajibkan pengulangan pengingkaran di dalamnya, maka tidak diwajibkan pula pengulangan pengakuan, sebagaimana pada hudūd lainnya. Dan karena jika seseorang menuduh orang lain berzina dan wajib atasnya hudud qadzaf, lalu orang yang dituduh mengaku sekali saja, maka itu sama seperti orang yang mengaku empat kali dalam hal gugurnya hudud dari penuduhnya. Maka seharusnya pengakuan sekali itu juga sama seperti empat kali dalam hal wajibnya hudud atasnya; karena tidak boleh dalam sebagian hukum ia dianggap pezina dan dalam sebagian lain tidak dianggap pezina. Dan karena itu adalah pengakuan yang dengannya ditetapkan hudud qadzaf, maka seharusnya juga dapat menetapkan hudud zina sebagaimana pengakuan empat kali.

وَلِأَنَّ الْحُقُوقَ ضَرْبَانِ حَقُّ الله سبحانه وَحَقٌّ لِلْآدَمِيِّ وَلَيْسَ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا يُعْتَبَرُ فِي الْإِقْرَارِ بِهِ التَّكْرَارُ فَكَانَ حَدُّ الزِّنَا مُلْحَقًا بِأَحَدِهِمَا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْرُجَ عنهما

Karena hak itu terbagi menjadi dua: hak Allah Swt. dan hak manusia, dan pada masing-masing dari keduanya tidak disyaratkan adanya pengulangan dalam pengakuan terhadapnya, maka had zina disamakan dengan salah satunya dan tidak boleh keluar dari keduanya.

فأما الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ” مَاعِزٍ فِي إِقْرَارِهِ أَرْبَعًا فَمِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban mengenai hadis tentang Ma‘iz yang mengakui (perbuatannya) sebanyak empat kali, maka terdapat empat sisi (penjelasan) terkait hal itu.

أَحَدُهَا هُوَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ تَوَقَّفَ عَنْ رَجْمِهِ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى اسْتِثْبَاتًا لحاله واسترابة لجنونه؛ لأنه كان قصيراً اعضد احمر العينين ناثر الشِّعْرِ أَقْبَلَ حَاسِرًا فَطَرَدَهُ تَصَوُّرًا لِجُنُونِهِ وَأَنَّ الْعَاقِلَ لَا يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيُتْلِفُهَا وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ أَتَى مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ حَدَّ اللَّهِ عَلَيْهِ وَلِذَلِكَ سَأَلَ قَوْمَهُ عَنْ حَالِهِ وَقَالَ أَبِهِ جِنَّةٌ وَقَالَ اسْتَنْكِهُوهُ لأنه توهمه حين لم ير به جنة أن يكون سكراناً

Salah satunya adalah bahwa Nabi ﷺ menunda merajamnya pada kali pertama untuk memastikan keadaannya dan karena meragukan kewarasannya; sebab ia bertubuh pendek, lengan kecil, bermata merah, rambutnya acak-acakan, datang dengan kepala terbuka, sehingga Nabi mengusirnya karena mengira ia gila, dan bahwa orang yang berakal tidak akan mempermalukan dan membinasakan dirinya sendiri. Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Barang siapa melakukan salah satu dari perbuatan keji ini, hendaklah ia menutupi dirinya dengan penutup Allah, karena siapa yang menampakkan aibnya kepada kami, maka kami akan menegakkan hudud Allah atasnya.” Oleh karena itu, Nabi menanyakan kepada kaumnya tentang keadaannya dan bertanya, “Apakah ia gila?” serta memerintahkan agar mereka mencium bau mulutnya, karena setelah tidak melihat tanda-tanda kegilaan, Nabi mengira barangkali ia sedang mabuk.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ كَانَ الْأَرْبَعُ مُعْتَبَرًا لَكَانَ الأول مؤثراً ولما استجاز أن يطرده وقد تعلق به لله تعالى حق

Yang kedua, jika keempat hal itu dianggap sebagai pertimbangan, maka yang pertama pasti berpengaruh, dan tidak mungkin seseorang membolehkannya secara mutlak, padahal di dalamnya terdapat hak Allah Ta‘ala.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ رَجَمَهُ بَعْدَ أَنِ اسْتَثْبَتَهُ فِي الخامسة وقال ” لعلك قبلت لعلك لمست قال بل جامعتها قال ” أَوْلَجْتَ ذَكَرَكَ فِي فَرْجِهَا كَالْمِرْوَدِ فِي الْمُكْحُلَةِ والرشا في البئر قال نعم فأقر بِرَجْمِهِ فِي الْخَامِسَةِ وَلَيْسَتْ شَرْطًا بِإِجْمَاعٍ فَكَذَلِكَ مَا تَقَدَّمَهَا

Ketiga, bahwa ia merajamnya setelah memastikan pengakuannya pada pengakuan kelima, lalu berkata: “Barangkali engkau hanya mencium, barangkali engkau hanya menyentuh.” Ia menjawab: “Bahkan aku telah menggaulinya.” Nabi bertanya: “Apakah engkau telah memasukkan kemaluanmu ke dalam kemaluannya seperti celak pada tempat celak dan tali timba ke dalam sumur?” Ia menjawab: “Ya.” Maka ia mengakui perbuatan yang menyebabkan rajam pada pengakuan kelima, dan pengakuan kelima itu bukanlah syarat menurut ijmā‘, demikian pula pengakuan-pengakuan sebelumnya.

وَالرَّابِعُ أَنَّهُ خَبَرٌ خَالَفَ الْأُصُولَ وَخَبَرُ الْوَاحِدِ عِنْدَهُمْ إِذَا خَالَفَ الْأُصُولَ لَمْ يُعْمَلْ بِهِ وَأَمَّا قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ” إِنَّكَ إِنْ أَقْرَرْتَ الرَّابِعَةَ رَجَمَكَ فَلِأَنَّ حَالَهُ قَدْ وَضَحَتْ وَالِاسْتِرَابَةُ قَدِ ارْتَفَعَتْ فَصَارَتِ الرَّابِعَةُ هِيَ الْمُوجِبَةُ لِزَوَالِ الِاسْتِرَابَةِ وَلَمْ تكن لاستكمال العدد؛ لِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ جَلَدَ فِي أَيَّامِهِ وَلَمْ يَعْتَبِرْ عَدَدًا

Keempat, bahwa itu adalah sebuah khabar (berita) yang bertentangan dengan al-uṣūl (prinsip-prinsip dasar), dan menurut mereka, khabar al-wāḥid (berita yang diriwayatkan oleh satu orang) jika bertentangan dengan al-uṣūl maka tidak diamalkan. Adapun perkataan Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu, “Sesungguhnya jika engkau mengakui yang keempat, maka engkau akan dirajam,” itu karena keadaannya telah jelas dan keraguan telah hilang, sehingga pengakuan keempat itulah yang menyebabkan hilangnya keraguan, dan bukan untuk menyempurnakan jumlah; karena Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhu pernah menjatuhkan hukuman cambuk pada masa kepemimpinannya tanpa mempertimbangkan jumlah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الشَّهَادَةِ فَهُوَ أَنَّ الْمَعْنَى فِيهَا أَنَّهُ لَمَّا اعْتُبِرَ فِيهَا الْعَدَدُ فِي غَيْرِ الزِّنَا اعْتُبِرَ فِي الزِّنَا وَلَمَّا لَمْ يُعْتَبَرِ الْعَدَدُ فِي الْإِقْرَارِ بِغَيْرِ الزِّنَا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الْإِقْرَارِ بِالزِّنَا

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan persaksian adalah bahwa maknanya, ketika dalam persaksian dipersyaratkan jumlah (saksi) pada selain kasus zina, maka dipersyaratkan pula pada kasus zina. Dan ketika jumlah (saksi) tidak dipersyaratkan dalam pengakuan pada selain zina, maka tidak dipersyaratkan pula dalam pengakuan pada kasus zina.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِزِيَادَةِ الشَّهَادَةِ فِيهِ تَغْلِيظًا فَهُوَ أن الشهادة قد تختلف باختلاف الحقوق ولا توجب اخْتِلَافَ الْإِقْرَارِ بِهَا فَكَذَلِكَ فِي الزِّنَا

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan tambahan syahadat di dalamnya sebagai bentuk penegasan adalah bahwa syahadat bisa berbeda-beda sesuai dengan perbedaan hak, namun hal itu tidak mewajibkan perbedaan dalam pengakuan terhadapnya; demikian pula halnya dalam kasus zina.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا أَقَرَّ أَنَّهُ زَنَا بِامْرَأَةٍ فَجَحَدَتِ الْمَرْأَةُ الزِّنَا فَعَلَيْهِ الْحَدُّ دُونَهَا

Dan apabila seseorang mengakui bahwa ia telah berzina dengan seorang wanita, namun wanita tersebut mengingkari perbuatan zina itu, maka had dikenakan atas laki-laki tersebut saja, tidak atas wanita itu.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا حَدَّ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ

Abu Hanifah berkata, “Tidak ada had atas salah satu dari keduanya, dengan berdalil pada dua hal.”

أَحَدُهُمَا أَنَّ فِعْلَ الرَّجُلِ مَعَ فِعْلِ الْمَرْأَةِ وَطْءٌ وَاحِدٌ فَإِذَا سَقَطَ الحد في جنبتها بالجحود سقط في جنبته وَإِنْ أَقَرَّ لِعَدَمِ الْكَمَالِ؛ لِأَنَّ الْحَدَّ لَا يَجِبُ إِلَّا فِي زِنًا كَامِلٍ

Salah satu alasannya adalah bahwa perbuatan laki-laki dan perempuan merupakan satu perbuatan zina, maka jika had gugur dari pihak perempuan karena pengingkaran, had juga gugur dari pihak laki-laki, meskipun ia mengakui, karena tidak terpenuhinya unsur kesempurnaan; sebab had tidak wajib kecuali pada perbuatan zina yang sempurna.

وَالثَّانِي أَنَّ الزِّنَا بِجُحُودِهَا وَإِقْرَارِهِ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ وُجُودٍ وَعَدَمٍ فَصَارَ شُبْهَةٌ فِيهِ فَوَجَبَ إِسْقَاطُ الْحَدِّ بِهِ

Kedua, bahwa perzinaan yang disertai pengingkaran dan pengakuan pelakunya berada dalam keadaan ragu antara ada dan tidak adanya, sehingga hal itu menjadi syubhat di dalamnya, maka wajiblah menggugurkan hudud karenanya.

وَدَلِيلُنَا أَنَّ مَاعِزًا لَمَّا أَقَرَّ بِالزِّنَا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أربع مرات قال الْآنَ أَقْرَرْتَ أَرْبَعًا فَبِمَنْ قَالَ بِفُلَانَةٍ فَلَمْ يَبْعَثْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَيْهَا وَلَمْ يَسْأَلْهَا وَلَوْ كَانَ إِقْرَارُهَا شَرْطًا فِي وُجُوبِ حَدِّهِ وَإِنْكَارُهَا مُوجِبًا لِسُقُوطِهِ لَكَفَّ عَنْ رَجْمِهِ إِلَّا بَعْدَ سُؤَالِهَا

Dan dalil kami adalah bahwa ketika Ma‘iz mengakui perbuatan zina di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak empat kali, beliau bersabda, “Sekarang engkau telah mengaku sebanyak empat kali.” Maka, ketika seseorang menyebutkan nama seorang wanita (sebagai pasangan zina), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengutus seseorang kepadanya dan tidak menanyakannya. Seandainya pengakuan wanita itu merupakan syarat wajibnya had, dan pengingkarannya menyebabkan had gugur, tentu beliau akan menahan diri dari merajam Ma‘iz sampai setelah menanyai wanita tersebut.

وَرَوَى سَهْلُ بن سعد الساعدي أن رجلاً اقر أنه زنا بِامْرَأَةٍ فَبَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَيْهَا فَجَحَدَتْ فَحُدَّ الرَّجُلُ وَهَذَا نَصٌّ

Sahl bin Sa‘d as-Sa‘idi meriwayatkan bahwa seorang laki-laki mengaku telah berzina dengan seorang perempuan, lalu Nabi ﷺ mengutus seseorang kepada perempuan itu, namun ia mengingkari (perbuatan tersebut), maka laki-laki itu dijatuhi had, dan ini adalah nash.

فَإِنْ قيل إنما حده القذف

Jika dikatakan bahwa yang dimaksud adalah batasan qadzaf.

قيل حد القاذف لها لا يَسْتَحِقُّ إِلَّا بِمُطَالَبَتِهَا وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهَا طَالَبَتْ فَصَارَ مَحْمُولًا عَلَى حَدِّ الزِّنَا دُونَ الْقَذْفِ

Dikatakan bahwa had bagi orang yang menuduhnya (qadzaf) tidak berhak ditegakkan kecuali atas tuntutannya, dan tidak ada riwayat bahwa ia menuntut, sehingga hal itu dianggap sebagai had zina, bukan had qadzaf.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ لَيْسَ فِي جُحُودِهَا أَكْثَرُ مِنْ عَدَمِ إِقْرَارِهَا بِالزِّنَا وَهَذَا لَا يُوجِبُ سقوط الحد عنه كالسكوت إذا لم يجحد وَلَمْ تُقِرَّ وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يَمْنَعْ سُكُوتُهُ مِنْ إِقَامَةِ الْحَدِّ عَلَى غَيْرِهِ لَمْ يَمْنَعْ منه جحوده قياساً على غيرها وَلِأَنَّ جُحُودَهَا لَوْ كَانَ مُسْقِطًا لِلْحَدِّ عَنْهُ لوجب إذا كانت غائبة ألا يَحُدَّ حَتَّى تَحْضُرَ؛ لِجَوَازِ أَنْ تَجْحَدَ فَيَسْقُطَ الْحَدُّ عَنْهُ وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى تَعْجِيلِ حَدِّهِ قَبْلَ قُدُومِهَا وَسُؤَالِهَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ إِقْرَارَهَا وجحودها سواء في حقه

Dan menurut qiyās, tidak ada perbedaan antara pengingkarannya dengan tidak mengakuinya terhadap zina, dan hal ini tidak menyebabkan gugurnya had darinya, sebagaimana diam jika tidak mengingkari dan tidak mengakui. Dan karena orang yang diam tidak menghalangi ditegakkannya had atas orang lain, maka pengingkarannya juga tidak menghalangi, berdasarkan qiyās terhadap selainnya. Dan karena jika pengingkarannya menyebabkan gugurnya had darinya, maka seharusnya jika ia sedang tidak hadir, tidak boleh ditegakkan had sampai ia hadir; karena mungkin saja ia akan mengingkari sehingga had gugur darinya. Dan dalam ijmā‘ mereka atas percepatan pelaksanaan had sebelum kedatangannya dan sebelum menanyakannya, terdapat dalil bahwa pengakuan dan pengingkarannya sama saja dalam kaitannya dengan dirinya.

وأما الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ ” بِأَنَّهُ وَطْءٌ وَاحِدٌ فَهُوَ أَنَّهُ وَإِنْ كَانَ وَطْئًا وَاحِدًا فَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَثْبُتَ حُكْمُهُ فِي جَنَبَةِ أَحَدِهِمَا وَإِنْ سَقَطَ فِي جَنَبَةِ الْآخَرِ كَمَا لَوْ كَانَ عَاقِلًا وَهِيَ مَجْنُونَةٌ أَوْ كَبِيرًا وَهِيَ صَغِيرَةٌ

Adapun jawaban atas dalilnya bahwa “itu adalah satu kali persetubuhan”, maka meskipun itu satu kali persetubuhan, tidak mustahil hukum tetap berlaku pada salah satu pihak meskipun gugur pada pihak yang lain, sebagaimana jika laki-laki itu berakal sedangkan perempuan itu gila, atau laki-laki itu sudah dewasa sedangkan perempuan itu masih kecil.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ أَنَّ سُقُوطَهُ فِي جَنَبَةِ أَحَدِهِمَا شُبْهَةٌ فَهُوَ أَنَّهَا شُبْهَةٌ فِي حَقِّهَا دُونَ حَقِّهِ وَذَلِكَ لَا يُوجِبُ سُقُوطَ الْحَدِّ عَنْهُ كَمَا لَوْ أَكْرَهَهَا عَلَى الزِّنَا لَمْ يكن سقوط الحد عنها موجباً لِسُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهُ وَبَنَى أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى هذه المسألة إذا زنا الناطق بخرساء

Adapun jawaban terhadap anggapan bahwa gugurnya (hukuman) pada salah satu pihak adalah karena adanya syubhat, maka syubhat itu hanya berlaku pada haknya saja, bukan pada hak pihak lain. Hal itu tidak menyebabkan gugurnya had dari pihak lain, sebagaimana jika seseorang memaksa seorang wanita untuk berzina, maka gugurnya had dari wanita tersebut tidak menyebabkan gugurnya had dari laki-laki itu. Abu Hanifah membangun pendapatnya dalam masalah ini jika seseorang yang dapat berbicara berzina dengan seorang perempuan bisu.

قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا حَدَّ عَلَيْهِ وَلَا عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَجْعَلُ إِشَارَتَهَا بِالزِّنَا إِقْرَارًا فتصير كالجاحدة وعندنا يجب الحد عليه وعليها إِنْ أَشَارَتْ بِالْإِقْرَارِ وَكَذَلِكَ الْأَخْرَسُ إِذَا أَشَارَ بالإقرار بالزنا حد

Abu Hanifah berkata: Tidak ada hudud atasnya maupun atas perempuan itu, karena ia tidak menganggap isyaratnya sebagai pengakuan zina, sehingga ia menjadi seperti orang yang mengingkari. Sedangkan menurut kami, hudud wajib atasnya dan atas perempuan itu jika ia memberi isyarat sebagai pengakuan, demikian pula orang bisu jika memberi isyarat sebagai pengakuan zina maka dikenakan hudud.

وقد مضت هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ ” الْإِقْرَارِ ثُمَّ يُقَالُ لِأَبِي حَنِيفَةَ لَيْسَ فِي خَرَسِهَا أَكْثَرُ مِنْ سُكُوتِهَا وَسُكُوتُهَا لَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ عليه كذلك خرسها والله أعلم

Masalah ini telah dibahas dalam Kitab “Iqrar”. Kemudian dikatakan kepada Abu Hanifah: “Tidak ada perbedaan antara bisunya (perempuan itu) dengan diamnya; dan diamnya tidak menghalangi kewajiban hudud atasnya, demikian pula bisunya.” Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَتَى رَجَعَ تُرِكَ وَقَعَ بِهِ بَعْضُ الْحَدِّ أَوْ لَمْ يَقَعْ

Imam Syafi‘i berkata, “Dan kapan pun ia menarik kembali (pengakuannya), maka ia ditinggalkan, baik sebagian had telah dijatuhkan kepadanya atau belum dijatuhkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا رَجَعَ الْمُقِرُّ بِالزِّنَا عَنْ إِقْرَارِهِ قُبِلَ رُجُوعُهُ وَسَقَطَ الْحَدُّ عَنْهُ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ سَوَاءٌ وَقَعَ بِهِ بَعْضُ الْحَدِّ أَوْ لَمْ يَقَعْ

Al-Mawardi berkata, “Demikian pula seperti yang dikatakan: Jika seseorang yang mengaku berzina kemudian menarik kembali pengakuannya, maka penarikan pengakuan itu diterima dan hukuman hadd gugur darinya. Pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah dan mayoritas fuqaha, baik sebagian hukuman hadd telah dijalankan kepadanya maupun belum dijalankan sama sekali.”

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَمَالِكٌ فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ وَدَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ لَا يُقْبَلُ رُجُوعُهُ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ الْحَدُّ سَوَاءً وَقَعَ به الْحَدِّ أَوْ لَمْ يَقَعْ

Al-Hasan al-Bashri, Sa‘id bin Jubair, Malik dalam salah satu riwayat darinya, dan Dawud bin ‘Ali berpendapat bahwa tidak diterima pencabutan pengakuannya dan tidak gugur had darinya, baik had itu telah ditegakkan atasnya maupun belum.

وَقَالَ بَعْضُ الْعِرَاقِيِّينَ يُقْبَلُ رُجُوعُهُ قَبْلَ الشُّرُوعِ فِي حَدِّهِ وَلَا يُقْبَلُ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ أَتَى مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ حَدَّ اللَّهِ عَلَيْهِ فَدَلَّ عَلَى أَنْ لَا تَأْثِيرَ لِلرُّجُوعِ بَعْدَ إِبْدَاءِ الصَّفْحَةِ

Sebagian ulama Irak berpendapat bahwa taubat diterima sebelum pelaksanaan hudud dimulai, dan tidak diterima setelah pelaksanaannya dimulai, dengan berdalil pada sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa melakukan salah satu dari perbuatan keji ini, hendaklah ia menutupi dirinya dengan perlindungan Allah. Karena siapa yang menampakkan perkaranya kepada kami, maka kami akan menegakkan hudud Allah atasnya.” Maka hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari taubat setelah perkara itu ditampakkan.

قَالُوا ولأنه حق ثَبَتَ بِإِقْرَارِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِرُجُوعِهِ قِيَاسًا عَلَى حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ

Mereka berkata: Karena itu adalah hak yang telah ditetapkan dengan pengakuannya, maka wajib untuk tidak gugur dengan penarikannya kembali, berdasarkan qiyās terhadap hak-hak manusia.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” ادرؤوا الْحُدُودَ بِالشُّبَهَاتِ وَرُجُوعُهُ شُبْهَةٌ لِاحْتِمَالِ صِدْقِهِ وَلِأَنَّ مَاعِزًا لَمَّا هَرَبَ مِنْ حَرِّ الْأَحْجَارِ وَتَبَعُوهُ حَتَّى قَتَلُوهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” هلا تركتموه لعله أن يتوب فيتوب الله عليه فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِرُجُوعِهِ تَأْثِيرٌ لَمْ يُنْدَبْ إِلَى تَرْكِهِ بَعْدَ الْأَمْرِ بِرَجْمِهِ

Dalil kami adalah sabda Rasulullah ﷺ: “Hindarilah penerapan hudūd karena adanya syubhat, dan rujuknya seseorang merupakan syubhat karena ada kemungkinan ia jujur.” Juga karena ketika Ma‘iz melarikan diri dari panasnya lemparan batu dan mereka mengejarnya hingga membunuhnya, Rasulullah ﷺ bersabda: “Mengapa kalian tidak membiarkannya saja, barangkali ia akan bertobat lalu Allah menerima tobatnya.” Maka, jika rujuknya tidak berpengaruh, tentu tidak dianjurkan untuk membiarkannya setelah sebelumnya diperintahkan untuk dirajam.

وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا أَقَرَّ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِالزِّنَا ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ فَتَرَكَهُ وَقَالَ لَأَنْ أَتْرُكَ حَدًّا بِالشُّبْهَةِ أَوْلَى مِنْ أَنْ أُقِيمَ حَدًّا بِالشُّبْهَةِ وَوَافَقَ أَبَا بَكْرٍ رضي الله عنه على مِثْلِ هَذَا وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا وَلِأَنَّهُ حَدٌّ لِلَّهِ تَعَالَى ثَبَتَ بِقَوْلِهِ فَجَازَ أَنْ يَسْقُطَ بِرُجُوعِهِ كَالرِّدَّةِ وَلِأَنَّ ما ثبت من حدود الله تعالى بالقول يجب أَنْ يَسْقُطَ بِالْقَوْلِ قِيَاسًا عَلَى رُجُوعِ الشُّهُودِ

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki mengakui perbuatan zina di hadapan Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, kemudian ia menarik kembali pengakuannya itu, maka Umar membiarkannya dan berkata, “Meninggalkan penerapan hudud karena adanya syubhat (keraguan) lebih utama daripada menegakkan hudud dengan syubhat.” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pun sepakat dengan hal semacam ini, dan tidak ada sahabat lain yang menyelisihi keduanya, sehingga hal itu menjadi ijmā‘. Karena hudud adalah hak Allah Ta‘ala yang ditetapkan dengan ucapan, maka boleh gugur dengan penarikan kembali pengakuan, seperti halnya murtad. Dan karena apa yang ditetapkan dari hudud Allah Ta‘ala dengan ucapan, wajib gugur pula dengan ucapan, berdasarkan qiyās terhadap penarikan kembali kesaksian para saksi.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فِي ” إِبْدَاءِ الصَّفْحَةِ فالراجع غير مبد لصفحته وإنما يكون مبدئاً إذا قام عَلَى إِقْرَارِهِ

Adapun jawaban terhadap hadis tentang “menampakkan permukaan pipi”, maka orang yang rujuk tidak menampakkan permukaan pipinya, dan ia baru dianggap menampakkannya jika ia tetap pada pengakuannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى حقوق الآدميين فمن وجهين هما فرق يمنع من صحة الجمع

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan hak-hak manusia adalah dari dua sisi, yaitu adanya perbedaan yang mencegah keabsahan penggabungan (qiyās) tersebut.

أحدهما أن حقوق الله تعالى تدرأ بالشبهات وَحُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ لَا تُدْرَأُ بِهَا

Pertama, bahwa hak-hak Allah Ta‘ala gugur karena adanya syubhat, sedangkan hak-hak manusia tidak gugur karenanya.

وَالثَّانِي هُوَ أَنَّ عَلَيْهِ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ أَنْ يُقِرَّ بها وكذلك لَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُهُ فِيهَا وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى إِلَّا التَّوْبَةُ مِنْهَا وَهُوَ مَنْدُوبٌ إِلَى أَنْ لَا يُقِرَّ بِهَا فلذلك قبل رجوعه فيها

Yang kedua adalah bahwa dalam hal hak-hak manusia, ia wajib mengakuinya, dan demikian pula, penarikannya kembali tidak diterima dalam hal tersebut. Adapun dalam hak-hak Allah Ta‘ala, yang wajib atasnya hanyalah bertobat darinya, dan dianjurkan baginya untuk tidak mengakuinya, oleh karena itu penarikannya kembali dalam hal ini diterima.

وروى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنِ ابْنِ هَزَّالٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَهُ وَيْحَكَ يَا هَزَّالُ لَوْ سَتَرْتَهُ بثوبك كان خيراً لك

Muhammad bin al-Munkadir meriwayatkan dari Ibn Hazzal dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Celaka engkau, wahai Hazzal, seandainya engkau menutupi dia dengan kainmu, itu lebih baik bagimu.”

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَالْحُدُودُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Jika hal ini telah dipahami, maka hudud terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا مَا كَانَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الْمَحْضَةِ

Salah satunya adalah hak-hak Allah Ta‘ala yang murni.

وَالثَّانِي مَا كَانَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الْمَحْضَةِ

Dan yang kedua adalah hak-hak murni milik manusia.

وَالثَّالِثُ مَا كَانَ مِنَ الْحُقُوقِ الْمُشْتَرَكَةِ

Dan yang ketiga adalah hak-hak yang bersifat bersama.

فأما حقوق الله تعالى المحضة فحد الزنا وقتل الردة وحد شرب الْخَمْرِ فَإِذَا وَجَبَتْ بِالْإِقْرَارِ سَقَطَتْ بِالرُّجُوعِ عَنْهُ وَلَوْ وَجَبَتْ بِالشَّهَادَةِ لَمْ تَسْقُطْ بِرُجُوعِ الْمَشْهُودِ عَلَيْهِ وَسَقَطَتْ بِرُجُوعِ الشُّهُودِ فَإِنِ اجْتَمَعَ فِيهَا الْإِقْرَارُ بِهَا وَالشَّهَادَةُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ تَخْتَصُّ إِقَامَتُهَا بِالْإِقْرَارِ أَوْ بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun hak-hak Allah Ta‘ala yang murni, seperti hudud zina, hukuman mati bagi murtad, dan hudud minum khamar, maka jika hukuman tersebut ditetapkan berdasarkan pengakuan, ia gugur dengan pencabutan pengakuan tersebut. Namun, jika ditetapkan berdasarkan kesaksian, maka hukuman itu tidak gugur dengan pencabutan pengakuan orang yang disaksikan, tetapi gugur dengan pencabutan kesaksian para saksi. Jika dalam perkara tersebut terkumpul antara pengakuan dan kesaksian, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah pelaksanaan hukuman itu dikhususkan berdasarkan pengakuan atau berdasarkan kesaksian, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا تَخْتَصُّ إِقَامَةُ الْحَدِّ فِيهَا بِالشَّهَادَةِ دُونَ الْإِقْرَارِ؛ لِأَنَّهَا أَغْلَظُ فَعَلَى هَذَا إِنْ رَجَعَ عَنْ إِقْرَارِهِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْحَدُّ

Salah satunya adalah bahwa penetapan hudud di dalamnya khusus dengan kesaksian, bukan dengan pengakuan; karena hukumnya lebih berat. Oleh karena itu, jika seseorang menarik kembali pengakuannya, hudud tidak gugur darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي تَخْتَصُّ إِقَامَتُهَا بِالْإِقْرَارِ دُونَ الشَّهَادَةِ؛ لِأَنَّ الشهادة مع الاعتراف مطرحة فعلى هذا لو رَجَعَ عَنْ إِقْرَارِهِ سَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ وَالْأَصَحُّ من إطلاق هذين الوجهين عندي أن ينظر فِي اجْتِمَاعِهِمَا فَإِنْ تَقَدَّمَ الْإِقْرَارُ عَلَى الشَّهَادَةِ كَانَ وُجُوبُ الْحَدِّ بِالْإِقْرَارِ وَسَقَطَ بِالرُّجُوعِ وَإِنْ تَقَدَّمَتِ الشَّهَادَةُ عَلَى الْإِقْرَارِ كَانَ وُجُوبُ الْحَدِّ بالشهادة ولم يسقط بالرجوع؛ لأن وجوبه ما سبقها فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ مَا تُعْقِبُهُ وَعَلَى الْوُجُوهِ كلها لا يسقط أحدهما الآخر

Pendapat kedua menyatakan bahwa penetapan hudud khusus dilakukan melalui pengakuan, bukan melalui kesaksian; karena kesaksian bersama pengakuan dianggap gugur. Berdasarkan hal ini, jika seseorang menarik kembali pengakuannya, maka hudud gugur darinya. Namun, menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat tersebut menurut saya adalah melihat pada gabungan keduanya: jika pengakuan didahulukan daripada kesaksian, maka kewajiban hudud ditetapkan melalui pengakuan dan gugur dengan penarikan kembali pengakuan; dan jika kesaksian didahulukan daripada pengakuan, maka kewajiban hudud ditetapkan melalui kesaksian dan tidak gugur dengan penarikan kembali pengakuan, karena kewajibannya berdasarkan apa yang mendahuluinya sehingga apa yang terjadi setelahnya tidak berpengaruh padanya. Dan menurut semua pendapat, salah satu dari keduanya tidak menggugurkan yang lain.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ كَذَّبَ الشُّهُودَ حُدَّ بشهادتهم وإن صدقهم سقط عنه الحد فلم يحد بشهادتهم ولا بإقراره قال لِأَنَّ الشَّهَادَةَ عَلَى مُقِرٍّ فَسَقَطَتْ وَالْإِقْرَارُ لَا يُوجِبُ الْحَدَّ حَتَّى يَتَكَرَّرَ أَرْبَعًا

Abu Hanifah berkata: Jika terdakwa mendustakan para saksi, maka ia dikenai hudud berdasarkan kesaksian mereka. Namun jika ia membenarkan mereka, maka hudud gugur darinya, sehingga ia tidak dikenai hudud baik berdasarkan kesaksian mereka maupun pengakuannya. Ia berkata: Karena kesaksian itu atas orang yang mengakui, maka kesaksian tersebut gugur, dan pengakuan tidak mewajibkan hudud sampai diulang sebanyak empat kali.

وَهَذَا مِمَّا يَدْفَعُهُ الْمَعْقُولُ أَنْ يَجِبَ الْحَدُّ عَلَى مُنْكَرٍ وَيَسْقُطَ عَنْ مُقِرٍّ وَإِنْ بَنَاهُ عَلَى أَصْلٍ فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى فَسَادِ أَصْلِهِ

Hal ini termasuk sesuatu yang ditolak oleh akal sehat, yaitu bahwa hudud diwajibkan atas orang yang mengingkari, namun gugur dari orang yang mengakui. Dan jika ia membangunnya di atas suatu dasar, maka hal itu menjadi dalil atas rusaknya dasar tersebut.

وَأَمَّا حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ الْمَحْضَةُ فَالْقِصَاصُ وَحَدُّ الْقَذْفِ فَإِذَا وَجَبَ بِالْإِقْرَارِ لَمْ يَسْقُطْ بِالرُّجُوعِ لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ بَيْنَهُمَا إِلَّا أَنْ يُصَدِّقَهُ صَاحِبُ الْحَقِّ فَيَسْقُطَ بِالتَّصْدِيقِ دُونَ الرُّجُوعِ

Adapun hak-hak manusia murni seperti qishāsh dan had qazaf, maka apabila keduanya wajib karena pengakuan, tidak gugur dengan pencabutan pengakuan, sebagaimana telah kami sebutkan dua perbedaan sebelumnya di antara keduanya, kecuali jika pemilik hak membenarkannya, maka gugur karena pembenaran tersebut, bukan karena pencabutan pengakuan.

وَأَمَّا الْحُقُوقُ المشتركة التي يتعلق بها حق الله وَحُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ فَهِيَ السَّرِقَةُ يَجِبُ فِيهَا الْقَطْعُ وهو من حقوق الله الْمَحْضَةِ وَغُرْمُ الْمَالِ الْمَسْرُوقِ وَهُوَ مِنْ حُقُوقِ الآدميين المحضة فإذا أوجب بِالْإِقْرَارِ لَمْ يَسْقُطِ الْغُرْمُ بِالرُّجُوعِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَفِي سُقُوطِ الْقَطْعِ بِالرُّجُوعِ وَجْهَانِ

Adapun hak-hak bersama yang berkaitan dengan hak Allah dan hak-hak manusia, contohnya adalah pencurian, yang di dalamnya wajib dilakukan pemotongan tangan, dan ini termasuk hak Allah semata, serta kewajiban mengganti harta yang dicuri, yang termasuk hak manusia semata. Maka jika kewajiban tersebut ditetapkan dengan pengakuan, kewajiban mengganti (harta) tidak gugur dengan pencabutan pengakuan, karena itu termasuk hak manusia. Adapun mengenai gugurnya hukuman potong tangan dengan pencabutan pengakuan, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَسْقُطُ لِاخْتِصَاصِهِ بِحُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى

Salah satunya gugur karena khusus berkaitan dengan hak-hak Allah Ta‘ala.

وَالثَّانِي لَا يَسْقُطُ بِالرُّجُوعِ لِاقْتِرَانِهِ بِمَا لَا يُؤَثِّرُ فِيهِ الرُّجُوعُ

Yang kedua tidak gugur dengan penarikan kembali, karena ia berkaitan dengan sesuatu yang penarikan kembali tidak berpengaruh padanya.

فَصْلٌ

Fasal

الْأَلْفَاظُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي رُجُوعِ المقر على نفسه بالزنا

Lafaz-lafaz yang dianggap sah dalam pencabutan pengakuan seseorang atas dirinya sendiri mengenai perzinaan.

فأما ما يكون به راجعاً في إِقْرَارِهِ فَهُوَ الْقَوْلُ وَذَلِكَ بِإِحْدَى ثَلَاثَةِ أَلْفَاظٍ إِمَّا أَنْ يَقُولَ كَذَبْتُ فِي إِقْرَارِي أَوْ يَقُولُ لَمْ أَزْنِ أَوْ يَقُولُ قَدْ رَجَعْتُ عن إقراري فكل واحد من هذه الألفاظ الثَّلَاثَةِ يَكُونُ رُجُوعًا صَرِيحًا فَإِنْ قَالَ لَا تحدوني لم يكن رجوعاً صريحاً؛ لأنه يجوز أن يريد به العفو أو الإنظار وَلَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ وَلَا الْإِنْظَارُ لَهُ إلا لعذر ينظر لأجله من مرض أو جنة أَوْ قَضَاءِ دَيْنٍ فَيُسْأَلُ عَنْ ذَلِكَ بَعْدَ الكف عنه فإذا بين عَنْ مُرَادِهِ عُمِلَ عَلَيْهِ وَحُكِمَ بِمُوجِبِهِ

Adapun yang menyebabkan seseorang menarik kembali pengakuannya adalah dengan ucapan, dan itu dengan salah satu dari tiga lafaz: bisa dengan mengatakan, “Saya berdusta dalam pengakuan saya,” atau mengatakan, “Saya tidak berzina,” atau mengatakan, “Saya telah menarik kembali pengakuan saya.” Masing-masing dari tiga lafaz ini merupakan penarikan kembali yang jelas. Jika ia berkata, “Janganlah kalian menghukum saya,” maka itu bukanlah penarikan kembali yang jelas; karena bisa jadi ia bermaksud meminta maaf atau penundaan. Tidak boleh memaafkannya atau menundanya kecuali karena uzur yang dibenarkan, seperti sakit, gila, atau untuk melunasi utang. Maka ia ditanya tentang maksudnya setelah hukuman dihentikan darinya. Jika ia telah menjelaskan maksudnya, maka diperlakukan sesuai dengan penjelasannya dan diputuskan berdasarkan hal itu.

وَلَوْ قَالَ لَا حَدَّ عَلَيَّ كَانَ أَقْرَبَ إِلَى صَرِيحِ الرُّجُوعِ مَعَ احْتِمَالٍ فِيهِ فَيُسْأَلُ عَنْهُ فَأَمَّا إِنْ لَمْ يَتَلَفَّظْ بِالرُّجُوعِ وَلَكِنَّ هَرَبَ مِنْ إِقَامَةِ الْحَدِّ عَلَيْهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَقُومُ هَرَبُهُ مَقَامَ رُجُوعِهِ بِاللَّفْظِ الصَّرِيحِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Dan jika ia berkata, “Tidak ada had atas diriku,” maka itu lebih dekat kepada pernyataan ruju‘ yang jelas, meskipun masih mengandung kemungkinan lain, sehingga ia perlu ditanya tentang maksudnya. Adapun jika ia tidak mengucapkan ruju‘, tetapi melarikan diri dari pelaksanaan had atas dirinya, maka para ulama kami berbeda pendapat: apakah pelariannya itu dapat menggantikan pernyataan ruju‘ secara jelas atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا يَقُومُ مَقَامَهُ وَيَكُونُ رُجُوعًا؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي مَاعِزٍ حِينَ هَرَبَ مِنَ الْأَحْجَارِ ” هلا تركتموه لعله أن يتوب فيتوب الله عليه

Salah satunya menggantikan posisinya dan dianggap sebagai rujuk, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Ma‘iz ketika ia melarikan diri dari rajam, “Mengapa kalian tidak membiarkannya, barangkali ia akan bertobat lalu Allah menerima tobatnya.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَكُونُ رُجُوعًا لِاحْتِمَالِهِ وَلَكِنْ يُسْأَلُ عَنْ هَرَبِهِ بَعْدَ الْإِمْسَاكِ عَنْهُ لِاحْتِمَالِهِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” غرم قَاتِلَ مَاعِزٍ بَعْدَ هَرَبِهِ دِيَتَهُ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَكُلُّ مَا جَعَلْنَاهُ رُجُوعًا صَرِيحًا بَعْدَ الْإِقْرَارِ أَوْجَبْنَا بِهِ ضَمَانَ النَّفْسِ إِنْ قُتِلَ بَعْدَهُ وَكُلُّ مَا لَمْ نَجْعَلْهُ رُجُوعًا صَرِيحًا لم نوجب له به الضمان

Adapun pendapat kedua, hal itu tidak dianggap sebagai rujuk karena masih ada kemungkinan, namun ia ditanya tentang pelariannya setelah penahanan terhadapnya karena masih ada kemungkinan; karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membayar diyat pembunuh Ma’iz setelah ia melarikan diri. Jika demikian, maka setiap hal yang kami anggap sebagai rujuk yang jelas setelah pengakuan, kami wajibkan dengannya jaminan jiwa jika ia dibunuh setelahnya. Dan setiap hal yang tidak kami anggap sebagai rujuk yang jelas, maka kami tidak mewajibkan jaminan atasnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُقَامُ حَدُّ الْجَلْدِ عَلَى حُبْلَى وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ الْمُدْنَفِ وَلَا فِي يَوْمٍ حَرُّهُ أَوْ بَرْدُهُ مُفْرِطٌ وَلَا فِي أَسْبَابِ التَّلَفِ

Syafi‘i berkata, “Hadd cambuk tidak ditegakkan atas perempuan hamil, tidak pula atas orang sakit yang sangat lemah, tidak pada hari yang panas atau dinginnya sangat ekstrem, dan tidak pula dalam keadaan yang dapat menyebabkan kebinasaan.”

قال الماوردي إِذَا كَانَ الْحَدُّ جَلْدًا أُخِّرَ مَعَ وُجُودِ الأسباب القاتلة وهي ضربان

Al-Mawardi berkata: Jika hudud berupa cambuk, maka pelaksanaannya ditunda apabila terdapat sebab-sebab yang mematikan, dan sebab-sebab tersebut ada dua macam.

أحدهما حَبَلٌ يَخْتَصُّ بِالنِّسَاءِ وَمَرَضٌ يَعُمُّ الرِّجَالَ وَالنِّسَاءَ

Salah satunya adalah kehamilan yang khusus bagi perempuan, dan yang lainnya adalah penyakit yang dapat menimpa laki-laki maupun perempuan.

فَأَمَّا الْحَبَلُ فَهُوَ أَنْ تَكُونَ الْمَحْدُودَةُ حُبْلَى حَامِلًا بِوَلَدٍ فَهُوَ مَانِعٌ مِنْ جَلْدِهَا كَمَا هُوَ مَانِعٌ مِنْ رَجْمِهَا سَوَاءٌ كَانَ حَمْلُهَا من زنا أو حَلَالٍ؛ لِأَنَّ جَلْدَ الْحَامِلِ مُفْضٍ إِلَى تَلَفِهَا وتلف حَمْلِهَا وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ مَحْظُورٌ

Adapun kehamilan, yaitu apabila perempuan yang dijatuhi had sedang hamil mengandung anak, maka hal itu menjadi penghalang untuk dilaksanakan hukuman cambuk atasnya, sebagaimana juga menjadi penghalang untuk dilaksanakan hukuman rajam, baik kehamilannya itu akibat zina maupun akibat hubungan yang halal; karena mencambuk perempuan hamil dapat menyebabkan kematiannya atau kematian janinnya, dan kedua hal tersebut terlarang.

وَلِأَنَّ عَلِيًّا قَالَ لِعُمَرَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا وَقَدْ أَمَرَ بِحَدِّ زَانِيَةٍ حَامِلٍ إِنَّهُ لَا سَبِيلَ لَكَ عَلَى مَا فِي بَطْنِهَا فَرَدَّهَا وَقَالَ ” لَوْلَا عَلِيٌّ لَهَلَكَ عُمَرُ فَإِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا وَهِيَ فِي نِفَاسِهَا فَإِنْ أَمِنَ مِنْ تَلَفِهَا فِيهِ جُلِدَتْ وإن خيف من تلفها فيه أمهلت

Dan karena Ali berkata kepada Umar—semoga Allah meridhai keduanya—ketika Umar memerintahkan pelaksanaan hadd kepada seorang wanita pezina yang sedang hamil: “Engkau tidak memiliki jalan terhadap apa yang ada di dalam kandungannya.” Maka Umar mengurungkan perintahnya dan berkata, “Seandainya bukan karena Ali, niscaya Umar binasa.” Maka apabila wanita itu telah melahirkan kandungannya dan ia masih dalam masa nifas, jika diyakini keselamatannya dari bahaya, maka ia dijilid (dilaksanakan hukuman cambuk). Namun jika dikhawatirkan akan membahayakannya, maka ia diberi penangguhan.

وروى أَبُو جَمِيلَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ فَجَرَتْ جَارِيَةٌ لِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ لِي ” يَا عَلِيُّ انْطَلِقْ فَأَقِمِ الْحَدَّ عَلَيْهَا فَأَتَيْتُهَا فَوَجَدْتُهَا يَسِيلُ دَمُهَا لَا يَنْقَطِعُ فَعُدْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فأخبرته أني وجدت دمها يسيل لا يَنْقَطِعُ فَقَالَ دَعْهَا حَتَّى يَنْقَطِعَ دَمُهَا ثُمَّ اجْلِدْهَا وَأَقِيمُوا الْحُدُودَ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Abu Jamīlah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, ia berkata: Seorang budak perempuan dari keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan perbuatan zina. Maka beliau bersabda kepadaku, “Wahai Ali, pergilah dan tegakkanlah had atasnya.” Lalu aku mendatanginya dan mendapati darahnya terus mengalir tanpa henti. Maka aku kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan bahwa aku mendapati darahnya terus mengalir tanpa henti. Beliau bersabda, “Biarkanlah dia sampai darahnya berhenti, kemudian cambuklah dia. Dan tegakkanlah hudud atas apa yang dimiliki oleh tangan kanan kalian.”

وَأَمَّا الْمَرَضُ فَضَرْبَانِ

Adapun sakit itu ada dua macam.

أَحَدُهُمَا مَا لَا يُرْجَى زواله كالسل والفالج فيكون في النضو عَلَى مَا سَيَأْتِي

Salah satunya adalah penyakit yang tidak diharapkan sembuhnya, seperti tuberkulosis dan lumpuh, sehingga termasuk dalam kategori penyakit yang akan dijelaskan nanti.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَرْجُوَّ الزَّوَالِ كَالْحُمَّى وَالصُّدَاعِ فَيُؤَخَّرَ الْمَحْدُودُ فِيهِ حَتَّى يَبْرَأَ مِنْ مَرَضِهِ؛ لِأَنَّ جَلْدَهُ فِي الْمَرَضِ مُفْضٍ إِلَى تَلَفِهِ وَلَيْسَ يَخْلُو حَدُّهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ

Kedua, apabila penyakitnya diharapkan segera sembuh, seperti demam dan sakit kepala, maka pelaksanaan had terhadapnya ditunda hingga ia sembuh dari penyakitnya; karena mencambuknya dalam keadaan sakit dapat menyebabkan kematiannya, sedangkan pelaksanaan had terhadapnya tidak lepas dari tiga keadaan.

إِمَّا أَنْ يُقَامَ عَلَيْهِ حَدُّ الْأَصِحَّاءِ أَوْ حَدُّ الْمَرْضَى أَوْ يُؤَخَّرُ حَتَّى يَبْرَأَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَامَ عَلَيْهِ حَدُّ الْأَصِحَّاءِ لِإِفْضَائِهِ إِلَى تَلَفِهِ

Bisa jadi dijatuhkan atasnya had bagi orang sehat, atau had bagi orang sakit, atau ditunda sampai ia sembuh. Maka tidak boleh dijatuhkan atasnya had bagi orang sehat karena hal itu dapat menyebabkan kematiannya.

وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَامَ عَلَيْهِ حَدُّ الْمَرْضَى؛ لأنه لا يُمْكِنُ أَنْ يُقَامَ عَلَيْهِ حَدُّ الْأَصِحَّاءِ فَلَمْ يبق إلى أَنْ يُؤَخَّرَ إِلَى صِحَّتِهِ

Dan tidak boleh ditegakkan hudud atas orang sakit; karena tidak mungkin ditegakkan hudud atasnya sebagaimana terhadap orang sehat, maka tidak ada pilihan selain menundanya hingga ia sembuh.

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وهو المختص بالزمان فهو شأن إِفْرَاطُ الْحَرِّ وَإِفْرَاطُ الْبَرْدِ؛ لِأَنَّ الْجَلْدَ فِيهِمَا مُفْضٍ إِلَى التَّلَفِ وَالْمَقْصُودُ بِالْجَلْدِ الرَّدْعُ وَالزَّجْرُ دون التلف فيؤخر فِي شِدَّةِ الْحَرِّ إِلَى اعْتِدَالِ الْهَوَاءِ وَفِي شِدَّةِ الْبَرْدِ إِلَى اعْتِدَالِهِ فَإِنْ كَانَ هَذَا الْمَحْدُودُ فِي بِلَادِ الْحَرِّ الَّتِي لَا يَسْكُنُ حَرُّهَا أَوْ فِي بِلَادِ الْبَرْدِ الَّتِي لَا يَقِلُّ بَرْدُهَا لَمْ يُؤَخَّرْ حَدُّهُ وَلَمْ يُنْقَلْ إِلَى الْبِلَادِ الْمُعْتَدِلَةِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَأْخِيرِ الْحَدِّ وَلُحُوقِ الْمَشَقَّةِ وَقُوبِلَ إِفْرَاطُ الْحَرِّ وَإِفْرَاطُ الْبَرْدِ بِتَخْفِيفِ الضَّرْبِ حَتَّى يَسْلَمَ فِيهِ مِنَ الْقَتْلِ كَمَا نَقُولُهُ فِي الْمَرَضِ الْمُلَازِمِ

Adapun jenis kedua, yaitu yang berkaitan dengan waktu, adalah keadaan sangat panas atau sangat dingin; karena pelaksanaan cambuk dalam kondisi tersebut dapat menyebabkan kebinasaan, sedangkan tujuan dari cambuk adalah memberikan efek jera dan mencegah, bukan membinasakan. Maka pelaksanaan cambuk ditunda pada saat sangat panas hingga udara menjadi sejuk, dan pada saat sangat dingin hingga cuaca menjadi hangat. Jika orang yang dikenai had tersebut berada di negeri yang panasnya tidak pernah reda, atau di negeri yang dinginnya tidak pernah berkurang, maka had tidak ditunda dan tidak dipindahkan ke negeri yang beriklim sedang, karena hal itu berarti menunda pelaksanaan had dan menimbulkan kesulitan. Maka, kelebihan panas dan dingin dihadapi dengan meringankan pukulan hingga terhindar dari kematian, sebagaimana yang kami katakan dalam kasus penyakit yang menetap.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا يُوجِبُ تَأْخِيرَ جَلْدِهِ فَلَمْ يؤخر وَجَلْدُهُ فِيهِ فَإِنْ سَلِمَ مِنَ التَّلَفِ فَقَدْ أَسَاءَ فِيمَا فَعَلَ وَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ وَإِنْ صدر عنه تلف فيه ضربان

Jika telah tetap adanya hal yang mewajibkan penundaan pelaksanaan cambuk terhadapnya, namun tidak ditunda dan ia tetap dicambuk dalam keadaan tersebut, maka jika ia selamat dari kebinasaan, berarti ia telah berbuat buruk dalam tindakannya itu, namun tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Namun jika dari tindakan itu timbul kebinasaan, maka ada dua kemungkinan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَتْلَفَ غَيْرُ الْمَحْدُودِ كَالْحَامِلِ إِذَا جُلِدَتْ فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا فَهُوَ مَضْمُونٌ عَلَى مَنْ جَلَدَهَا كَمَا قَدْ ضَمِنَ عُمَرُ جَنِينَ المرأة حين أجهضته من رهبة رسالته

Salah satunya adalah jika sesuatu selain orang yang dikenai had rusak, seperti wanita hamil yang ketika dicambuk lalu melahirkan janinnya dalam keadaan mati, maka janin itu menjadi tanggungan atas orang yang mencambuknya, sebagaimana ‘Umar telah menanggung janin seorang wanita ketika ia gugur karena ketakutan terhadap suratnya.

والضرب الثَّانِي أَنْ يَتْلَفَ الْمَحْدُودُ فَفِي وُجُوبِ ضَمَانِهِ وَجْهَانِ

Jenis kedua adalah apabila orang yang dikenai had merusaknya, maka dalam hal kewajiban menggantinya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَضْمَنُ دِيَتَهُ لِتَعَدِّيهِ بِالْوَقْتِ

Salah satunya wajib menanggung diyat karena ia telah melampaui batas dalam hal waktu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَضْمَنُ دِيَتَهُ لِحُدُوثِهِ عَنْ جَلْدٍ مستحق

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia tidak wajib membayar diyatnya karena kematiannya terjadi akibat hukuman cambuk yang memang berhak dijatuhkan kepadanya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيُرْجَمُ الْمُحْصَنُ فِي كُلِّ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً حُبْلَى فَتُتْرَكَ حَتَّى تَضَعَ وَيُكْفَلَ وَلَدُهَا

Imam Syafi‘i berkata, “Orang yang sudah menikah (muhshan) dirajam dalam semua kasus tersebut, kecuali jika ia adalah seorang wanita hamil, maka ia ditunda hingga melahirkan dan anaknya dijamin (pemeliharaannya).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَ الْحَدُّ رَجْمًا لَمْ يَجُزْ أَنْ تُرْجَمَ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ غَامِدٍ أَتَتِ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَتْ إِنِّي زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي فَقَالَ ارْجِعِي فَرَجَعَتْ فلما كان من الغد أتته فقالت لعلك تريد أن تردني كَمَا رَدَّدْتَ مَاعِزًا فَوَاللَّهِ إِنِّي لَحُبْلَى فَقَالَ لَهَا ارْجِعِي حَتَّى تَلِدِي فَرَجَعَتْ فَلَمَّا وَلَدَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فَقَالَتْ قَدْ وَلَدْتُهُ فَقَالَ ارْجِعِي فأرضعيه حتى تفطميه  وفي يده شيء يأكل فَأَمَرَ بِالصَّبِيِّ فَدُفِعَ إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ وَلِأَنَّ عَلِيًّا قَالَ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عنه وَقَدْ أَمَرَ بِرَجْمِ حَامِلٍ ” إِنَّهُ لَا سَبِيلَ لَكَ عَلَى مَا فِي بَطْنِهَا فَرَدَّهَا وَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ مِثْلَ ذَلِكَ فَإِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا أَمْسَكَ عَنْهَا حَتَّى تُرْضِعَ وَلَدَهَا اللِّبَأَ الَّذِي لَا يَسْتَغْنِي عَنْهُ فِي حِفْظِ حَيَاتِهِ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي مُرْضِعِ الْوَلَدِ بَعْدَ اللِّبَأِ فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, apabila hudud berupa rajam, tidak boleh merajam perempuan hamil sampai ia melahirkan, berdasarkan riwayat Abdullah bin Buraidah dari ayahnya bahwa seorang perempuan dari Ghamid datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, ‘Aku telah berzina, maka sucikanlah aku.’ Beliau bersabda, ‘Pulanglah.’ Maka ia pun pulang. Keesokan harinya ia datang lagi dan berkata, ‘Barangkali engkau ingin menolakku seperti engkau menolak Ma’iz. Demi Allah, aku benar-benar sedang hamil.’ Beliau bersabda, ‘Pulanglah sampai engkau melahirkan.’ Maka ia pun pulang. Setelah ia melahirkan, ia datang membawa bayinya dan berkata, ‘Aku telah melahirkannya.’ Beliau bersabda, ‘Pulanglah dan susuilah dia sampai engkau menyapihnya.’ Ketika di tangan anak itu ada sesuatu yang bisa dimakan, beliau memerintahkan agar anak itu diserahkan kepada seorang laki-laki dari kaum Muslimin, lalu beliau memerintahkan agar digalikan lubang untuk perempuan itu, kemudian beliau memerintahkan agar ia dirajam. Dan karena Ali berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhuma, ketika Umar memerintahkan merajam perempuan hamil, ‘Engkau tidak punya hak atas apa yang ada di dalam kandungannya.’ Maka Umar mengurungkan niatnya, dan Mu’adz bin Jabal juga mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka apabila perempuan itu telah melahirkan, ia ditahan sampai ia menyusui anaknya dengan air susu pertama (laba’) yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kehidupannya. Setelah itu, dicari perempuan yang dapat menyusui anak tersebut setelah masa laba’ berakhir, karena tidak lepas dari tiga kemungkinan.”

أحدها أن يوجد ويتعين فيسلم الولد إلى مرضعته وترجم الأم

Pertama, anak itu ada dan telah ditentukan, lalu anak tersebut diserahkan kepada ibu susuan dan ibu kandungnya diterjemahkan.

والثاني أن لا يوجد لرضاعه غَيْرُ الْأُمِّ فَيُؤَخَّرُ رَجْمُهَا حَتَّى تُرْضِعَهُ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ثُمَّ تُرْجَمَ؛ لِأَنَّنَا لَمَّا حَفِظْنَا حَيَاتَهُ حَمْلًا فَأَوْلَى أَنْ نَحْفَظَهَا وَلِيدًا

Kedua, apabila tidak ada yang dapat menyusui anak tersebut selain ibunya, maka pelaksanaan rajam terhadapnya ditunda sampai ia menyusui anaknya selama dua tahun penuh, kemudian barulah ia dirajam; karena ketika kita telah menjaga kehidupannya saat masih dalam kandungan, maka lebih utama lagi untuk menjaganya ketika ia telah lahir.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَعْلَمَ وُجُودَ الْمُرْضِعِ وَلَكِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ فَفِي جواز رجمها قبل تعيينه وَدَفْعِهِ إِلَى الْمُرْضِعِ وَجْهَانِ

Ketiga, jika ia mengetahui adanya ibu susu, tetapi belum ditentukan siapa orangnya, maka dalam hal boleh tidaknya merajamnya sebelum penentuan dan menyerahkannya kepada ibu susu, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ رَجْمُهَا؛ لِأَنَّ الْمُرْضِعَ مَوْجُودٌ

Salah satunya boleh dirajam, karena ibu yang menyusui itu ada.

وَالثَّانِي لَا يَجُوزُ حَتَّى يُسَلَّمَ إِلَى الْمُرْضِعِ ثُمَّ تُرْجَمَ

Dan yang kedua tidak boleh sampai anak itu diserahkan kepada wanita penyusu, kemudian baru dirajam.

فَأَمَّا غَيْرُ الْحَامِلِ مِنَ النِّسَاءِ وَالرِّجَالِ إِذَا كَانُوا مَرْضَى أَوْ فِي حَرٍّ مُفْرِطٍ أَوْ بَرْدٍ مُفْرِطٍ فَفِي تَعْجِيلِ رَجْمِهِمْ مَعَ بَقَاءِ الْمَرَضِ وَفَرْطِ الْحَرِّ وَالْبَرْدِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ حَكَاهَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ

Adapun perempuan yang tidak hamil dan laki-laki, apabila mereka sedang sakit atau berada dalam kondisi panas yang sangat atau dingin yang sangat, maka dalam hal percepatan pelaksanaan rajam terhadap mereka sementara penyakit, panas yang berlebihan, atau dingin yang berlebihan masih berlangsung, terdapat tiga pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Hurairah.

أَحَدُهَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ والمنصوص عليه في هذا الموضع أن يُعَجَّلَ الرَّجْمُ وَلَا يُؤَخَّرَ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ الْقَتْلُ بِخِلَافِ الْمَجْلُودِ وَسَوَاءٌ رُجِمَ بِإِقْرَارٍ أَوْ شَهَادَةٍ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i dan yang dinyatakan secara tegas dalam masalah ini, adalah bahwa pelaksanaan rajam harus segera dilakukan dan tidak boleh ditunda, karena tujuan utamanya adalah pembunuhan, berbeda dengan hukuman cambuk. Hal ini berlaku baik rajam itu dilakukan berdasarkan pengakuan maupun berdasarkan kesaksian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يُؤَخِّرُ رَجْمُهُ وَلَا يُعَجَّلُ حَتَّى يَبْرَأَ مِنْ مَرَضِهِ وَيَعْتَدِلَ الْحَرُّ وَالْبَرْدُ سَوَاءٌ رُجِمَ بِإِقْرَارٍ أَوْ بَيِّنَةٍ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ عَنْ إِقْرَارِهِ وَيَرْجِعَ الشُّهُودُ في الشهادة فلا تعجيل في زمان التوجه حَتَّى يُمْكِنَ اسْتِدْرَاكُ مَا يَمْنَعُ

Pendapat kedua adalah bahwa pelaksanaan rajam ditunda dan tidak disegerakan sampai orang tersebut sembuh dari sakitnya dan cuaca menjadi seimbang antara panas dan dingin, baik rajam itu dilaksanakan karena pengakuan maupun karena bukti (syahadah); karena mungkin saja orang yang mengaku itu menarik kembali pengakuannya, dan para saksi pun bisa menarik kembali kesaksiannya, sehingga tidak perlu disegerakan pelaksanaan hukuman pada masa-masa tersebut agar memungkinkan untuk mengantisipasi hal-hal yang dapat mencegah pelaksanaan hukuman.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أن يُؤَخَّرُ إِنْ رُجِمَ بِالْإِقْرَارِ وَلَا يُؤَخَّرَ إِنْ رُجِمَ بِالشَّهَادَةِ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنَ الْمُقِرِّ رُجُوعُهُ؛ لِأَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَى الرُّجُوعِ وَالظَّاهِرُ مِنَ الشُّهُودِ أَنَّهُمْ لَا يَرْجِعُونَ لِأَنَّهُمْ غَيْرُ مَنْدُوبِينَ إِلَى الرجوع والله أعلم

Pendapat ketiga adalah bahwa pelaksanaan hukuman dirajam ditunda jika berdasarkan pengakuan, dan tidak ditunda jika berdasarkan kesaksian; karena yang tampak dari orang yang mengaku adalah kemungkinan ia akan menarik kembali pengakuannya, sebab ia dianjurkan untuk menarik kembali, sedangkan yang tampak dari para saksi adalah mereka tidak akan menarik kembali kesaksiannya karena mereka tidak dianjurkan untuk menarik kembali. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِنْ كَانَ الْبِكْرُ نِضْوَ الْخَلْقِ إِنْ ضُرِبَ بالسيف تلف ضرب بإثكال النخل اتباعاً لفعل النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ذَلِكَ فِي مِثْلِهِ

Syafi’i berkata, “Jika pezina muhshan (yang belum menikah) adalah seseorang yang lemah fisik, yang jika dipukul dengan pedang akan binasa, maka ia dihukum rajam dengan batu-batu kecil mengikuti perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kasus serupa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا إِذَا كَانَ حَدُّ النِّضْوِ الرَّجْمُ فَإِنَّهُ يُرْجَمُ لِوَقْتِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُرْجَى زَوَالُهُ وَهُوَ فِي وُجُوبِ الرَّجْمِ كَمَيَّتِهِ وَإِنْ كَانَ حَدُّهُ الْجَلْدَ وَهُوَ نضو الخلق ضعيف التركيب وإن كَانَ سَلِيمَ الْخِلْقَةِ فَحَدَثَ بِهِ مَرَضٌ لَا يُرْجَى زَوَالُهُ فَأَنْهَكَهُ حَتَّى صَارَ بِمَنْزِلَةٍ إِنْ ناله ألم الضرب أتلفه فهو والمخلوق كذلك سواء في الجلد إذا زنيا وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِ جَلْدِهِمَا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ

Al-Mawardi berkata: Adapun jika hukuman bagi orang yang sangat kurus (nidhw) adalah rajam, maka ia dirajam saat itu juga, karena tidak diharapkan kesembuhannya, dan dalam kewajiban rajam ia seperti orang yang sudah mati. Namun jika hukumannya adalah cambuk, sedangkan ia adalah orang yang sangat kurus, lemah fisiknya, atau jika ia sehat namun kemudian terkena penyakit yang tidak diharapkan kesembuhannya sehingga membuatnya sangat lemah hingga jika terkena rasa sakit dari cambukan bisa membinasakannya, maka ia dan orang yang memang diciptakan demikian sama saja dalam hal hukuman cambuk jika keduanya berzina. Para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukum mencambuk keduanya menjadi tiga mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أنه يعدل عن جلده بِالسَّوْطِ إِلَى إِثْكَالِ النَّخْلِ فَيَجْمَعُ مِنْهَا مِائَةَ شِمْرَاخٍ يُضْرَبُ بِهَا ضَرْبَةً وَاحِدَةً وَلَا يُعْتَبَرُ فِي جَلْدِهِ السَّوْطُ وَلَا الْعَدَدُ

Salah satu pendapat, yaitu mazhab Syafi‘i, menyatakan bahwa hukuman cambuk dapat diganti dengan menggunakan pelepah kurma, yaitu dengan mengumpulkan seratus pelepah kurma lalu dipukulkan satu kali pukulan, dan dalam pelaksanaan hukuman cambuk ini tidak disyaratkan harus menggunakan cambuk maupun memperhatikan jumlah pukulan.

وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي جَلْدِهِ السَّوْطُ وَالْعَدَدُ كَغَيْرِهِ

Yang kedua, yaitu mazhab Malik, berpendapat bahwa dalam pelaksanaan cambuk, yang diperhitungkan adalah jenis cambuk dan jumlahnya, sebagaimana pada hukuman-hukuman lainnya.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِيهِ السَّوْطُ وَلَا يُعْتَبَرُ فِيهِ الْعَدَدُ فَيُجْمَعُ مِائَةُ سَوْطٍ وَيُضْرَبُ بِهَا دَفْعَةً وَاحِدَةً

Dan pendapat ketiga, yaitu mazhab Abu Hanifah, bahwa yang diperhitungkan dalam hal ini adalah cambuknya, bukan jumlah pukulannya. Maka seratus cambuk dikumpulkan lalu dipukulkan sekaligus dalam satu kali pukulan.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ جَعَلَهُ كَغَيْرِهِ بِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ النور 2

Dan orang yang menyamakannya dengan selainnya berdalil dengan keumuman firman Allah Ta‘ala: “Perempuan pezina dan laki-laki pezina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.” (an-Nur: 2)

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ مُقْعَدًا أَسْوَدَ فِي جوار سعد بن معاذ زنا فأحبل فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يُجْلَدَ بِإِثْكَالِ النَّخْلِ

Dan dalil kami adalah riwayat dari Abu Umamah bahwa seorang laki-laki kulit hitam yang duduk di dekat Sa‘d bin Mu‘ādz berzina lalu menyebabkan kehamilan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia dicambuk dengan pelepah kurma.

وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ اشْتَكَى حَتَّى ضَنِيَ وَعَادَ جِلْدُهُ عَلَى عَظْمِهِ فَدَخَلَتْ عَلَيْهِ جَارِيَةٌ لِبَعْضِهِمْ فَهَشَّ لَهَا فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ رِجَالٌ قَوْمِهِ يَعُودُونَهُ أَخْبَرَهُمْ وَقَالَ اسْتَفْتَوْا لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar menderita sakit hingga tubuhnya menjadi kurus kering dan kulitnya menempel pada tulangnya. Kemudian seorang budak perempuan milik salah satu dari mereka masuk menemuinya, lalu ia merasa senang kepadanya dan menggaulinya. Ketika beberapa laki-laki dari kaumnya masuk untuk menjenguknya, ia memberitahukan hal itu kepada mereka dan berkata, “Mintakan fatwa untukku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka mereka pun menyampaikan hal itu kepada beliau.

وَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا رَأَيْنَا أَحَدًا مِنَ النَّاسِ بِهِ مِنَ الضُّرِّ مِثْلَ مَا بِهِ مَا هُوَ إِلَّا جِلْدٌ وَعَظْمٌ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يَأْخُذُوا مِائَةَ شِمْرَاخٍ فَيَضْرِبُوهُ بِهَا ضَرْبَةً وَاحِدَةً

Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak pernah melihat seorang pun di antara manusia yang mengalami penderitaan seperti yang dialaminya; ia hanyalah kulit dan tulang.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar mereka mengambil seratus tangkai kurma, lalu memukulkannya kepadanya dengan satu pukulan.

وَهَذَا نَصٌّ فِي هَذَا الْبَابِ وَبِمِثْلِ هَذَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى نَبِيَّهُ أَيُّوبَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَقَدْ حَلَفَ لَيَضْرِبَنَّ زَوْجَتَهُ مِائَةً فَقَالَ وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلا تَحْنَثْ ص 44

Ini adalah nash dalam masalah ini, dan dengan hal semacam inilah Allah Ta‘ala memerintahkan Nabi Ayyub ‘alaihissalam, ketika beliau bersumpah akan memukul istrinya seratus kali, maka Allah berfirman: “Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), lalu pukullah dengannya dan janganlah engkau melanggar sumpah.”

حَكَى الشَّافِعِيُّ مُنَاظَرَةً جَرَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ خَالَفَهُ فِيهِ فَقَالَ قَالَ لِي بَعْضُهُمْ لَا أعرف الحد إلا واحداً وإن كان مضنوءاً من خلقته

Syafi‘i menceritakan sebuah perdebatan yang terjadi antara dirinya dan orang yang berbeda pendapat dengannya dalam masalah ini. Ia berkata, “Salah seorang dari mereka berkata kepadaku, ‘Aku tidak mengenal hadd kecuali satu saja, meskipun ia tampak lemah dari penciptaannya.’”

قُلْتُ لَهُ أَتَرَى الْحَدَّ أَكْبَرَ أَوِ الصَّلَاةَ

Aku berkata kepadanya, “Menurutmu, manakah yang lebih besar, hudud atau salat?”

فقال الصلاة قال كل فرض قَدْ نَأْمُرُهُ فِي الصَّلَاةِ أَنْ يُصَلِّيَ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَجَالِسًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فعلى جنبه

Maka beliau berkata tentang salat: Setiap kewajiban, terkadang kita memerintahkannya dalam salat untuk salat sambil berdiri, jika tidak mampu maka sambil duduk, jika masih tidak mampu maka di atas lambungnya.

فَقَالَ هَذَا اتِّبَاعُ سُنَّةٍ وَمَوْضِعُ ضَرُورَةٍ قُلْتُ فَكَذَلِكَ الْجَلْدُ اتِّبَاعُ سُنَّةٍ وَمَوْضِعُ ضَرُورَةٍ قَالَ فَقَدْ يَتْلَفُ الصَّحِيحُ الْمُحْتَمِلُ لِلضَّرْبِ وَيَعِيشُ النِّضْوُ الضَّعِيفُ

Lalu ia berkata, “Ini adalah mengikuti sunnah dan dalam keadaan darurat.” Aku berkata, “Demikian pula cambuk, itu adalah mengikuti sunnah dan dalam keadaan darurat.” Ia berkata, “Bisa jadi orang yang sehat dan kuat yang mampu menahan pukulan justru binasa, sementara orang yang lemah dan kurus justru tetap hidup.”

قُلْتُ إِنَّمَا إِلَيْنَا الظَّاهِرُ وَالْأَرْوَاحُ بِيَدِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ

Aku berkata, sesungguhnya yang tampak hanyalah urusan kita, sedangkan ruh-ruh berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

وَهَذَا دَلِيلٌ وَاضِحٌ وَجَوَابٌ مُقْنِعٌ

Ini adalah dalil yang jelas dan jawaban yang meyakinkan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ سَرَقَ هَذَا النِّضْوُ الْخَلْقَ وَعُلِمَ أَنَّ الْقَطْعَ قَاتِلُهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Jika hewan yang sangat kurus ini mencuri harta, dan diketahui bahwa pemotongan tangan akan menyebabkan kematiannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَسْقُطُ عَنْهُ الْقَطْعُ فِي السَّرِقَةِ كَمَا يَسْقُطُ عَنْهُ عَدَدُ الْجَلْدِ فِي الزِّنَا؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ زَجْرُهُ دُونَ قَتْلِهِ

Salah satunya adalah gugurnya hukuman potong tangan atasnya dalam kasus pencurian, sebagaimana gugur pula jumlah cambukan atasnya dalam kasus zina; karena yang dimaksudkan adalah memberikan efek jera kepadanya, bukan membunuhnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُقْطَعُ كَغَيْرِهِ وَإِنْ كَانَ فِي جَلْدِ الزِّنَا مُخَالِفًا لِغَيْرِهِ لِأَمْرَيْنِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa wajah dipotong seperti anggota tubuh lainnya, meskipun dalam hukuman cambuk bagi pezina berbeda dengan selainnya karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَطْعَ اسْتِهْلَاكٌ كَالرَّجْمِ فاستويا فيه

Salah satunya adalah bahwa pemotongan (tangan) merupakan bentuk penghilangan (anggota tubuh) seperti rajam, sehingga keduanya setara dalam hal ini.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَيْسَ لِلْقَطْعِ بَدَلٌ وَلِلْجَلْدِ بَدَلٌ فَافْتَرَقَا وَلَكِنْ لَوْ كَانَ الْقَطْعُ مُسْتَحِقًّا فِي قِصَاصٍ وَجَبَ اسْتِيفَاؤُهُ مِنْهُ وَجْهًا وَاحِدًا وَلَوْ كَانَ الْجَلْدُ مُسْتَحِقًّا فِي حَدِّ قَذْفٍ حُدَّ كحد الزنا

Kedua, bahwa untuk hukuman potong tangan tidak ada pengganti, sedangkan untuk hukuman cambuk ada penggantinya, sehingga keduanya berbeda. Namun, jika hukuman potong tangan itu wajib dilaksanakan dalam qishāsh, maka harus dilaksanakan dengan satu cara saja. Dan jika hukuman cambuk itu wajib dilaksanakan dalam had qazaf, maka dilaksanakan sebagaimana had zina.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يَجُوزُ عَلَى الزِّنَا وَاللِّوَاطِ وَإِتْيَانِ الْبَهَائِمِ إِلَّا أَرْبَعَةٌ يَقُولُونَ رَأَيْنَا ذَلِكَ مِنْهُ يَدْخُلُ في ذلك دخول المرود في المكحلة قال المزني رحمه الله قلت أنا ولم يجعل في كتاب الشهادات إتيان البهيمة زِنًا وَلَا فِي كِتَابِ الطَّهَارَةِ فِي مَسِّ فرج البهيمة وضوءاً

Imam Syafi‘i berkata, “Tidak boleh dijatuhkan hukuman atas perbuatan zina, liwath (homoseksualitas), dan mendatangi hewan kecuali dengan kesaksian empat orang yang mengatakan, ‘Kami melihat hal itu darinya, yaitu masuknya (kemaluan) seperti masuknya kayu celak ke dalam tempat celak.’” Al-Muzani rahimahullah berkata, “Saya berkata: Beliau (Imam Syafi‘i) tidak memasukkan dalam Kitab Kesaksian bahwa mendatangi hewan itu termasuk zina, dan tidak pula dalam Kitab Thaharah bahwa menyentuh kemaluan hewan mewajibkan wudhu.”

قال الماوردي وهذه الْمَسْأَلَةُ تَشْتَمِلُ عَلَى أَرْبَعَةِ فُصُولٍ

Al-Mawardi berkata, “Masalah ini mencakup empat bagian.”

أَحَدُهَا فِي الزِّنَا

Salah satunya adalah dalam kasus zina.

وَالثَّانِي فِي اللِّوَاطِ

Dan yang kedua tentang liwāṭ.

وَالثَّالِثُ فِي إِتْيَانِ الْبَهَائِمِ

Dan yang ketiga tentang berhubungan dengan hewan.

وَالرَّابِعُ فِي الشَّهَادَةِ عَلَى ذَلِكَ

Dan yang keempat adalah dalam hal kesaksian atas hal tersebut.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ وَهُوَ الزِّنَا فَهُوَ أَنْ يَطَأَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ بِغَيْرِ عَقْدٍ وَلَا شُبْهَةِ عَقْدٍ ولا بملك وَلَا شُبْهَةِ مِلْكٍ وَلَا شُبْهَةِ فِعْلٍ عَالِمًا بِالتَّحْرِيمِ فَيَجْتَمِعُ فِي وَطْئِهِ هَذِهِ الشُّرُوطُ السِّتَّةُ فَأَمَّا الْعَقْدُ فَهُوَ مَا صَحَّ مِنَ الْمَنَاكِحِ

Adapun bagian pertama, yaitu zina, adalah ketika seorang laki-laki menyetubuhi seorang perempuan tanpa akad, tanpa syubhat akad, tanpa kepemilikan, tanpa syubhat kepemilikan, dan tanpa syubhat perbuatan, serta ia mengetahui keharamannya. Maka, dalam perbuatannya tersebut terkumpul enam syarat ini. Adapun akad adalah apa yang sah dari pernikahan.

وَأَمَّا شُبْهَةُ الْعَقْدِ فَهُوَ مَا احْتَمَلَهُ الِاجْتِهَادُ مِنَ الْعُقُودِ الْفَاسِدَةِ كَنِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَالشِّغَارِ وَالنِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَلَا شُهُودٍ فَهَذَا وَمَا جَانَسَهُ مِنْ شُبْهَةِ الْعُقُودِ الْمَانِعُ مِنْ حَدِّ الزِّنَا وَالْمُوجَبُ لِلُحُوقِ الْوَلَدِ

Adapun syubhat akad adalah apa yang diperselisihkan oleh ijtihad dari akad-akad yang fasid, seperti nikah mut‘ah, nikah syighar, dan nikah tanpa wali serta tanpa saksi. Maka hal ini dan yang semisal dengannya dari syubhat akad merupakan penghalang dari penerapan had zina dan menyebabkan anak yang lahir menjadi sah nasabnya.

وَأَمَّا الْعَقْدُ عَلَى ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ كَالْأُمَّهَاتِ وَالْأَخَوَاتِ وَالْخَالَاتِ وَالْعَمَّاتِ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رِضَاعٍ فَلَا يَكُونُ مِنْ شُبْهَةِ الْعُقُودِ وَيَكُونُ الْوَاطِئُ فِيهِ زَانِيًا يَجِبُ عَلَيْهِ الْحَدُّ وَكَذَلِكَ لَوْ نَكَحَ مُعْتَدَّةً أَوْ مُطَلَّقَةً مِنْهُ ثلاثاً قبل زوج ووطء فيه كان من هذه الأحوال كلها زانياً وَبِهِ قَالَ أبو يوسف ومحمد

Adapun akad (nikah) dengan perempuan yang termasuk mahram seperti ibu, saudari, bibi dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ayah, baik karena nasab maupun karena radha‘ (persusuan), maka tidak termasuk dalam syubhatul ‘uqūd (pernikahan yang samar hukumnya), dan orang yang melakukan hubungan (jima‘) dalam hal ini adalah pezina yang wajib dikenakan had. Demikian pula jika seseorang menikahi perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah atau perempuan yang telah ditalak tiga kali olehnya sebelum perempuan itu menikah dengan suami lain dan digauli olehnya, maka dalam semua keadaan ini, pelakunya adalah pezina. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Yusuf dan Muhammad.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ اسْمُ الْعَقْدِ يَمْنَعُ مِنْ وجوب الحد وإذا وطء أُمَّهُ أَوْ أُخْتَهُ أَوْ مُعْتَدَّةً بِعَقْدِ نِكَاحٍ لَمْ يَجِبِ الْحَدُّ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَتَّى قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَوِ اسْتَأْجَرَ امْرَأَةً ليزني بها أو يستخدمها فَوَطِئَهَا فَلَا حَدَّ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ وَطْءٌ عَنْ عَقْدٍ فَاسِدٍ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ فِيهِ الْحَدُّ قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الْمَنَاكِحِ الْفَاسِدَةِ قَالَ وَلِأَنَّهُ وَطْءٌ لَا يُحَدُّ بِهِ الْكَافِرُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يُحَدَّ بِهِ الْمُسْلِمُ كَالنِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ

Abu Hanifah berpendapat bahwa nama akad mencegah dari wajibnya hudud. Jika seseorang menggauli ibunya, atau saudarinya, atau wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah dengan akad nikah, maka hudud tidak wajib atas salah satu dari mereka. Bahkan Abu Hanifah berkata, jika seseorang menyewa seorang wanita untuk berzina dengannya atau untuk dijadikan pelayan, lalu ia menggaulinya, maka tidak ada hudud atas salah satu dari mereka, dengan alasan bahwa itu adalah hubungan badan berdasarkan akad yang rusak, sehingga hudud harus gugur di dalamnya dengan qiyās terhadap seluruh pernikahan yang rusak. Ia juga berkata, karena itu adalah hubungan badan yang tidak dikenakan hudud atas orang kafir, maka seharusnya tidak dikenakan hudud pula atas orang Muslim, seperti pernikahan tanpa wali.

قَالَ وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَنْطَلِقْ عَلَيْهِ اسْمُ الزِّنَا لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ حُكْمُ الزِّنَا؛ لِأَنَّ الْحُكْمَ تَابِعٌ لِلِاسْمِ وَاسْتَدَلَّ بأن اسم الزنا غير منطلق عليه أن الْمَجُوسَ يَنْكِحُونَ أُمَّهَاتِهِمْ وَأَخَوَاتِهِمْ وَلَا يَجْرِي عَلَيْهِمُ اسْمُ الزِّنَا وَلَا حُكْمُهُ

Ia berkata: Karena sesuatu yang tidak disebut sebagai zina, maka tidak berlaku padanya hukum zina; sebab hukum itu mengikuti penamaannya. Ia berdalil bahwa nama zina tidak berlaku padanya dengan contoh bahwa orang Majusi menikahi ibu-ibu dan saudari-saudari mereka, namun tidak disebut zina dan tidak berlaku atas mereka hukum zina.

وَدَلِيلُنَا قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبائكم مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً النساء 22 وَالْفَاحِشَةُ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ هي الزنا لقوله تعالى واللاتي تأتين الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ النساء 15

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayah-ayahmu, kecuali apa yang telah terjadi pada masa lalu. Sesungguhnya itu adalah suatu perbuatan keji.” (an-Nisā’ ayat 22). Dan perbuatan keji (al-fāḥisya) dalam istilah syariat adalah zina, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Perempuan-perempuan di antara kalian yang melakukan perbuatan keji, maka datangkanlah empat orang saksi dari kalian terhadap mereka.” (an-Nisā’ ayat 15).

وَرَوَى دَاوُدُ بْنُ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ وَقَعَ عَلَى ذَاتِ مَحْرَمٍ فَاقْتُلُوهُ وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا بِالنِّكَاحِ؛ لِأَنَّ غَيْرَ النكاح يستوي فيه ذات المحارم وَغَيْرُهَا

Dawud bin al-Hushain meriwayatkan dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang berhubungan dengan perempuan mahramnya, maka bunuhlah dia.” Dan ini dimaknai pada hubungan dengannya melalui pernikahan; karena selain pernikahan, baik perempuan mahram maupun selainnya sama hukumnya.

وَرَوَى أَشْعَثُ عَنْ عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ عَن الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ مَرَّ بِي خالي أبو بردة بن دينار وَمَعَهُ لِوَاءٌ فَقُلْتُ أَيْنَ تُرِيدُ فَقَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيهِ أَنْ آتِيَهُ بِرَأْسِهِ

Diriwayatkan oleh Asy‘ats dari ‘Adiy bin Tsabit dari Al-Barā’ bin ‘Āzib, ia berkata: Pamanku, Abu Burdah bin Dinar, melewatiku dan bersamanya ada sebuah panji. Aku bertanya, “Ke mana engkau hendak pergi?” Ia menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi istri ayahnya agar aku membawakan kepadanya kepala laki-laki itu.”

وَرُوِيَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ بينهما انا أطوف على إبل لي ضلت إذ أقبل ركب أو فوارس مَعَهُمْ لِوَاءٌ فَجَعَلَ الْأَعْرَابُ يَطِيفُونَ بِي لِمَنْزِلَتِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِذْ أَتَوْا قُبَّةً فَاسْتَخْرَجُوا مِنْهَا رَجُلًا فَضَرَبُوا عُنُقَهُ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَذَكَرُوا أَنَّهُ أَعْرَسَ بِامْرَأَةِ أبيه

Diriwayatkan dari Al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata: Suatu ketika aku sedang mencari unta-untaku yang hilang, tiba-tiba datanglah sekelompok penunggang kuda membawa panji. Orang-orang Arab Badui pun mengerumuniku karena kedudukanku di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mereka mendatangi sebuah kemah dan mengeluarkan seorang laki-laki dari dalamnya, kemudian mereka memenggal lehernya. Aku pun bertanya tentangnya, lalu mereka menyebutkan bahwa laki-laki itu telah menikahi istri ayahnya.

وَلَمْ يَكُنْ هَذَا مِنْهُمْ إِلَّا عَنْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَاحْتُمِلَ أَنْ يَكُونَ هَذَانِ الْخَبِرَانِ فِي رَجُلَيْنِ وهو الأظهر؛ لاختلاف الحالين

Dan hal ini tidaklah mereka lakukan kecuali atas perintah Rasulullah ﷺ, sehingga dimungkinkan bahwa dua riwayat ini berkaitan dengan dua orang laki-laki yang berbeda, dan inilah yang lebih jelas; karena perbedaan keadaan keduanya.

واحتمل أن يكون في رجل واحد روي على لفظتين مختلفتين وَحَالَتَيْنِ مُتَقَارِبَتَيْنِ وَأَيُّهُمَا كَانَ فَهُوَ دَلِيلٌ

Dan dimungkinkan bahwa pada satu orang diriwayatkan dengan dua lafaz yang berbeda dan dua keadaan yang berdekatan, dan mana saja yang terjadi maka itu adalah dalil.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ وَطْءٌ مُحَرَّمٌ بِدَوَاعِيهِ غَيْرُ مُخْتَلَفٍ فِيهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَعَ الْعِلْمِ بِتَحْرِيمِهِ مُوجِبًا لِلْحَدِّ إِذَا لَمْ يُصَادِفُ مِلْكًا قِيَاسًا عَلَيْهِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنْ عَقْدٍ

Dan berdasarkan qiyās, perbuatan itu adalah hubungan seksual yang diharamkan karena sebab-sebabnya, yang tidak diperselisihkan lagi, maka wajib hukumnya bahwa ketika seseorang mengetahui keharamannya, perbuatan itu mewajibkan hukuman had jika tidak terjadi dalam kepemilikan yang sah, berdasarkan qiyās atas kasus serupa ketika tidak disertai akad.

فَإِنْ قِيلَ العقد شبهة

Jika dikatakan bahwa akad adalah syubhat.

قيل الشبهة ما اشتبه حُكْمُهُ بِالِاخْتِلَافِ فِي إِبَاحَتِهِ كَنِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَهَذَا غَيْرُ مُشْتَبَهٍ لِلنَّصِّ عَلَى تَحْرِيمِهِ فَلَمْ يَكُنْ شُبْهَةً

Dikatakan bahwa syubhat adalah sesuatu yang hukumya samar karena adanya perbedaan pendapat mengenai kebolehannya, seperti nikah mut‘ah. Namun, hal ini tidak termasuk perkara yang samar karena terdapat nash yang jelas tentang keharamannya, sehingga tidak dianggap sebagai syubhat.

وَقَوْلُنَا يَحْرُمُ بِدَوَاعِيهِ احْتِرَازًا مِنْ وَطْءِ المحرمة والصائمة الحائض

Dan pernyataan kami “diharamkan karena sebab-sebab yang mengantarkannya” adalah sebagai pengecualian dari berhubungan badan dengan wanita yang sedang ihram, wanita yang sedang puasa, dan wanita haid.

وَقَوْلُنَا غَيْرُ مُخْتَلَفٍ فِيهِ احْتِرَازًا مِنَ الْمَنَاكِحِ الْمُخْتَلِفِ فِيهَا

Dan pernyataan kami “tidak diperselisihkan di dalamnya” adalah sebagai pengecualian dari masalah-masalah pernikahan yang diperselisihkan di dalamnya.

وَقَوْلُنَا إِذَا لَمْ يُصَادِفُ مِلْكًا احْتِرَازًا مِنَ الْأَمَةِ الْمُشْتَرَكَةِ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَلِأَنَّهُ عَقَدَ عَلَى مَنْ لَا يُسْتَبَاحُ بِحَالٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ وَجُودُهُ كَعَدَمِهِ كَالْعَقْدِ عَلَى الْغُلَامِ وَلِأَنَّ هَذَا الْعَقْدَ لَا تَأْثِيرَ لَهُ لِوُجُودِ التَّحْرِيمِ بَعْدَهُ كَوُجُودِهِ قَبْلَهُ

Dan pernyataan kami “jika tidak mengenai kepemilikan” adalah sebagai pengecualian dari budak perempuan yang dimiliki bersama oleh dua orang, karena ia (seseorang) telah melakukan akad atas seseorang yang sama sekali tidak boleh dihalalkan dalam keadaan apa pun, maka wajib hukumnya akad tersebut dianggap tidak ada, seperti akad atas anak laki-laki. Dan karena akad ini tidak berpengaruh, sebab larangan tetap ada setelahnya sebagaimana adanya sebelum akad tersebut.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى المناكح الفاسدة فالمعنى فيه ما ذكرنا من اختلاف الناس فيه

Adapun qiyās mereka terhadap pernikahan-pernikahan yang fasid, maka illatnya adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan, yaitu adanya perbedaan pendapat di kalangan manusia tentang hal itu.

وقياسهم عَلَى الْكَافِرِينَ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُمْ يَرَوْنَهُ مُبَاحًا في دينهم واستدلالهم بِأَنَّهُ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الزِّنَا فَغَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ اسْمَ الزِّنَا لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ في المجوس لاعتقادهم إباحته وينطلق عليه من الْمُسْلِمِينَ لِلنَّصِّ وَالْإِجْمَاعِ عَلَى تَحْرِيمِهِ فَهَذَا حُكْمُ الْعَقْدِ وَشُبْهَتُهُ وَهُمَا شَرْطَانِ مِنَ السِّتَّةِ

Qiyās mereka terhadap orang-orang kafir, maksudnya adalah bahwa mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang dibolehkan dalam agama mereka, dan dalil mereka bahwa hal itu tidak disebut sebagai zina adalah tidak benar; karena istilah zina tidak berlaku bagi mereka (kaum Majusi) disebabkan keyakinan mereka akan kebolehannya, sedangkan istilah itu berlaku bagi kaum Muslimin karena adanya nash dan ijmā‘ atas keharamannya. Inilah hukum akad dan syubhatnya, yang keduanya merupakan dua syarat dari enam syarat.

فَصْلٌ

Fasal

وأما الملك فهو أن يطأ به أمة يصح مِلْكُهُ لَهَا وَلَمْ يَحْرُمْ عَلَيْهِ وَطْؤُهَا فَيَكُونُ مُبَاحًا كَالنِّكَاحِ فَإِنْ كَانَتْ مُحَرَّمَةً عَلَيْهِ كَالْأُمَّهَاتِ وَالْأَخَوَاتِ فَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ لَا حَدَّ عَلَيْهِ فِي وَطْئِهِنَّ عَلَى أَصْلِهِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا يَسْتَقِرُّ لَهُ عَلَيْهَا مِلْكٌ كَالْأُمِّ وَالْجَدَّةِ فَوَطْؤُهُ لَهَا وَإِنْ مَلِكَهَا زِنًا يُوجِبُ الْحَدَّ؛ لِأَنَّ مِلْكَهُ قَدْ زَالَ بِعِتْقِهَا عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ يَسْتَقِرُّ لَهُ عَلَيْهَا مِلْكٌ مِنَ الْأَخَوَاتِ وَالْعَمَّاتِ وَسَائِرِ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ فَفِي وُجُوبِ الحد عليها بِالْوَطْءِ مَعَ الْعِلْمِ بِالتَّحْرِيمِ قَوْلَانِ

Adapun kepemilikan (milik) adalah ketika seseorang menyetubuhi seorang budak perempuan yang sah menjadi miliknya dan tidak haram baginya untuk menyetubuhinya, maka hal itu menjadi boleh seperti pernikahan. Namun, jika budak perempuan tersebut haram baginya, seperti ibu dan saudari, maka menurut Abu Hanifah, tidak ada had atas perbuatannya menyetubuhi mereka, berdasarkan pendapat dasarnya yang telah kami sebutkan sebelumnya. Sedangkan menurut mazhab Syafi‘i, perlu dilihat: jika budak perempuan tersebut termasuk yang tidak dapat tetap menjadi miliknya, seperti ibu dan nenek, maka menyetubuhinya, meskipun ia memilikinya, dianggap zina yang mewajibkan had, karena kepemilikannya telah batal dengan dimerdekakannya budak tersebut atas dirinya. Dan jika budak perempuan tersebut termasuk yang dapat tetap menjadi miliknya, seperti saudari, bibi, dan seluruh perempuan mahram lainnya, maka dalam kewajiban had atas perbuatan menyetubuhi mereka dengan pengetahuan tentang keharamannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ الحد عليها؛ لِأَنَّهُ مِلْكٌ لَا يُسْتَبَاحُ بِهِ الْوَطْءُ بِحَالٍ فَأَشْبَهَ مِلْكَ الْغُلَامِ

Salah satunya adalah ia wajib dikenai had, karena ia adalah kepemilikan yang tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan hubungan seksual dalam keadaan apa pun, sehingga ia serupa dengan kepemilikan terhadap seorang budak laki-laki.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا حَدَّ فِيهِ؛ لِأَنَّ الْجِنْسَ الْمُسْتَبَاحَ إِذَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ مِلْكٌ مَنَعَ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ مَعَ الْعِلْمِ بِالتَّحْرِيمِ كَالْأَمَةِ الْمُشْتَرَكَةِ وَيَكُونُ الْمِلْكُ مُخَالِفًا لِلنِّكَاحِ؛ لِأَنَّ الْمِلْكَ ثَابِتٌ فَكَانَ مِنْ أَقْوَى الشُّبَهِ وَالنِّكَاحُ غَيْرُ ثَابِتٍ فَارْتَفَعَتْ شُبْهَتُهُ مَعَ انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ عَلَى تَحْرِيمِهِ وَصَارَ بِخِلَافِ وَطْءِ الْغُلَامِ الَّذِي لَا يُسْتَبَاحُ جِنْسُهُ بِحَالٍ فَهَذَا الشَّرْطُ الثَّالِثُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada had atasnya; karena jenis yang dibolehkan jika telah tetap kepemilikannya, maka hal itu mencegah kewajiban had meskipun diketahui keharamannya, seperti budak perempuan yang dimiliki bersama. Kepemilikan berbeda dengan nikah; karena kepemilikan itu tetap sehingga termasuk syubhat yang paling kuat, sedangkan nikah tidak tetap sehingga syubhatnya hilang dengan adanya ijmā‘ atas keharamannya. Hal ini berbeda dengan menyetubuhi anak laki-laki, yang jenisnya tidak pernah dibolehkan dalam keadaan apa pun. Maka inilah syarat ketiga.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الشَّرْطُ الرَّابِعُ وَهُوَ شُبْهَةُ الْمِلْكِ فَهُوَ أَنْ يَمْلِكَهَا بِعَقْدٍ مُخْتَلَفٍ فِيهِ فَيَكُونُ فِي سُقُوطِ الْحَدِّ كَالْمَنَاكِحِ الْمُخْتَلَفِ فِي إِبَاحَتِهَا فَإِنْ كَانَ مُتَّفَقًا عَلَى فَسَادِهِ غَيْرَ مُخْتَلَفٍ فِي إِبَاحَتِهِ كَانَ الْوَطْءُ فِيهِ مُوجِبًا لِلْحَدِّ وَهَكَذَا المرتهن إذا وطئ جارية قد استرقها

Adapun syarat keempat, yaitu adanya syubhat milik, adalah ketika seseorang memilikinya melalui akad yang diperselisihkan keabsahannya, maka dalam hal gugurnya had, hukumnya seperti pernikahan yang diperselisihkan kebolehannya. Namun, jika akad tersebut disepakati rusaknya dan tidak ada perbedaan pendapat tentang kebolehannya, maka perbuatan zina di dalamnya mewajibkan had. Demikian pula halnya dengan orang yang menerima gadai, jika ia menyetubuhi budak perempuan yang telah ia jadikan sebagai budak.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا حَدَّ عَلَى الْوَاطِئِ فِي شَيْءٍ مِنْهُ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ

Abu Hanifah berkata, “Tidak ada hudud atas orang yang melakukan hubungan seksual dalam salah satu dari hal tersebut, berdasarkan pada prinsip yang telah kami sebutkan sebelumnya.”

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الشَّرْطُ الْخَامِسُ وَهُوَ شُبْهَةُ الْفِعْلِ فَهُوَ أَنْ يَجِدَ عَلَى فِرَاشِهِ امْرَأَةً يَظُنُّهَا أَمَتَهُ أَوْ زَوْجَتَهُ وَتَظُنُّهُ زَوْجَهَا أَوْ سَيِّدَهَا فَيَطَأَهَا وَتُمَكِّنَهُ فَلَا حَدَّ عِنْدِ الشَّافِعِيِّ على واحد منهما

Adapun syarat kelima, yaitu syubhat al-fi‘l, adalah ketika seseorang mendapati di tempat tidurnya seorang wanita yang ia sangka adalah budaknya atau istrinya, dan wanita itu pun menyangka bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya atau tuannya, lalu ia menggaulinya dan wanita itu pun membiarkannya, maka menurut Imam Syafi‘i tidak dikenakan had kepada salah satu dari keduanya.

وقال أبو حنيفة عليها الْحَدُّ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْحَدَّ إِنَّمَا يَسْقُطُ بِعَقْدٍ أو شبهة عقد وليس ها هنا عَقْدٌ وَلَا شُبْهَةُ عَقْدٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ الْحَدُّ كَالْعَمْدِ

Abu Hanifah berkata: Hudud tetap dikenakan atasnya dengan dalil bahwa hudud hanya gugur karena adanya akad atau syubhat akad, sedangkan di sini tidak ada akad maupun syubhat akad, maka wajib hukumnya hudud tidak gugur, sebagaimana pada kasus sengaja.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ وَطِئَ مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّهَا زَوْجَتُهُ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمُهُ الْحَدُّ إِذَا بَانَ أَنَّهَا غَيْرُ زَوْجَتِهِ قِيَاسًا عَلَى الْمَزْفُوفَةِ إِلَيْهِ إِذَا قِيلَ أَنَّهَا زَوْجَتُهُ فَبَانَتْ غَيْرُ زَوْجَتِهِ وَبِهِ يَفْسُدُ اسْتِدْلَالُهُ وَلِأَنَّهُ وَطْءٌ يَثْبُتُ بِهِ تَحْرِيمُ الْمُصَاهَرَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ فِيهِ الْحَدُّ كَالْوَطْءِ فِي نِكَاحِ المتعة فإن قيل لأن الْمُتْعَةَ عَقْدٌ

Dan dalil kami adalah bahwa ia telah menggauli seorang perempuan yang ia yakini sebagai istrinya, maka tidak wajib baginya dikenakan had apabila ternyata perempuan itu bukan istrinya, dengan qiyās kepada perempuan yang diarak kepadanya (untuk dinikahi) ketika dikatakan bahwa ia adalah istrinya, lalu ternyata bukan istrinya. Dengan demikian, batal pula istidlal (argumentasi) mereka. Karena itu adalah hubungan badan yang dengannya berlaku pengharaman karena mushāharah, maka wajib pula had tidak dijatuhkan padanya, sebagaimana hubungan badan dalam nikah mut‘ah. Jika dikatakan: karena mut‘ah adalah suatu akad…

قِيلَ الْعُقُودُ الْفَاسِدَةُ لَا تُبِيحُ الْوَطْءَ وَلَمَّا لَمْ يَمْنَعْ هَذَا الْفَرْقُ مِنَ اسْتِوَائِهِمَا فِي تَحْرِيمِ الْمُصَاهَرَةِ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ اسْتِوَائِهِمَا فِي سُقُوطِ الْحَدِّ

Dikatakan bahwa akad-akad yang fasid tidak membolehkan hubungan suami istri, dan ketika perbedaan ini tidak mencegah keduanya (akad sah dan fasid) untuk sama dalam pengharaman mushāharah, maka perbedaan itu juga tidak mencegah keduanya untuk sama dalam gugurnya had.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الشَّرْطُ السَّادِسُ وَهُوَ الْعِلْمُ بِالتَّحْرِيمِ فَلِأَنَّ الْعِلْمَ بِهِ هُوَ الْمَانِعُ مِنَ الْإِقْدَامِ عَلَيْهِ كَالَّذِي لَمْ تبلغه دعوة الإسلام لم يلزمه أَحْكَامُهُ كَذَلِكَ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ تَحْرِيمَ الزِّنَا لَمْ تَجْرِ عَلَيْهِ أَحْكَامُهُ وَالَّذِي لَا يَعْلَمُ تَحْرِيمَ الزِّنَا مَعَ النَّصِّ الظَّاهِرِ فِيهِ وَإِجْمَاعُ الخاصة والعامة عليه أحد ثلاثة

Adapun syarat keenam, yaitu pengetahuan tentang keharaman, karena pengetahuan tentang keharaman itulah yang menjadi penghalang seseorang untuk melakukannya. Sebagaimana orang yang belum sampai kepadanya dakwah Islam tidak wajib baginya hukum-hukumnya, demikian pula orang yang tidak mengetahui keharaman zina, maka hukum-hukumnya tidak berlaku atasnya. Adapun orang yang tidak mengetahui keharaman zina padahal terdapat nash yang jelas tentangnya dan terdapat ijmā‘ baik dari kalangan khusus maupun umum atas keharamannya, maka ia termasuk salah satu dari tiga golongan.

إما جنون أفاق بعد بلوغه فزنا لِوَقْتِهِ

Atau seseorang yang mengalami gangguan jiwa lalu sadar kembali setelah baligh, kemudian ia berzina pada saat itu.

أَوْ حَدِيثُ عَهْدٍ بِإِسْلَامٍ لَمْ يَعْلَمْ أحكامه

Atau seseorang yang baru saja memeluk Islam dan belum mengetahui hukum-hukumnya.

أو قادم من بادية لَمْ يَظْهَرْ فِيهَا تَحْرِيمُهُ

Atau seorang yang datang dari pedalaman yang di sana belum tampak pengharamannya.

فَإِنِ ادَّعَى الزَّانِي أَنَّهُ جَهِلَ تَحْرِيمَ الزِّنَا نُظِرَ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَحَدِ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ كان قوله مقبولاً ولا يلزمه إحلافه إلا اسْتِظْهَارًا؛ لِأَنَّهُ الظَّاهِرُ مِنْ حَالِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْهُمْ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ خِلَافُهُ

Jika pezina mengaku bahwa ia tidak mengetahui keharaman zina, maka hal itu diteliti; jika ia termasuk salah satu dari tiga golongan ini, maka pengakuannya diterima dan ia tidak diwajibkan bersumpah kecuali sekadar untuk memperkuat (pengakuannya), karena itulah yang tampak dari keadaannya. Namun jika ia bukan termasuk mereka, maka pengakuannya tidak diterima, karena yang tampak adalah sebaliknya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَكَامَلَتْ فِي الْوَاطِئِ وَالْمَوْطُوءَةِ شُرُوطُ الزِّنَا السِّتَّةُ وَجَبَ الْحَدُّ عَلَيْهِمَا سَوَاءٌ وَطِئَ فِي قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ

Apabila enam syarat zina telah terpenuhi pada pelaku dan yang dizinai, maka hudud wajib dijatuhkan kepada keduanya, baik persetubuhan itu dilakukan di qubul (kemaluan depan) maupun dubur (kemaluan belakang).

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَكُونُ الْوَطْءُ فِي الدُّبُرِ زِنًا ولا يجب به الحد حتى قال إنه لَا يَفْسُدُ بِهِ الْحَجُّ وَالصِّيَامُ وَلَا تَجِبُ بِهِ الْكَفَّارَةُ وَلَا يَجِبُ بِهِ الْغُسْلُ إِلَّا أن ينزل منه فَيَغْتَسِلُ بِالْإِنْزَالِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ اسْتِمْتَاعٌ لَا يُفْضِي إِلَى فَسَادِ النَّسَبِ فَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ وُجُوبُ الْحَدِّ كَالِاسْتِمْتَاعِ بِمَا دُونَ الْفَرْجِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa persetubuhan di dubur tidak termasuk zina dan tidak wajib dikenakan hukuman had karenanya, bahkan beliau mengatakan bahwa hal itu tidak membatalkan haji dan puasa, tidak mewajibkan kafarat, dan tidak mewajibkan mandi junub kecuali jika keluar mani, maka mandi dilakukan karena keluarnya mani tersebut. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa perbuatan itu merupakan bentuk kenikmatan yang tidak menyebabkan rusaknya nasab, sehingga tidak terkait dengan kewajiban hukuman had, sebagaimana kenikmatan pada selain kemaluan.

وَدَلِيلُنَا أَنَّهُ إِيلَاجٌ فِي أَحَدِ الْفَرْجَيْنِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ وُجُوبُ الْحَدِّ كَالْقُبُلِ وَلِأَنَّ تَحْرِيمَهُ أَغْلَظُ مِنْ تَحْرِيمِ الْقُبُلِ لِأَنَّهُ لَا يُسْتَبَاحُ بِالْعَقْدِ فَكَانَ بِوُجُوبِ الْحَدِّ أَحَقَّ

Dalil kami adalah bahwa ini merupakan penetrasi pada salah satu dari dua kemaluan, maka wajib baginya dikenakan hukuman hadd sebagaimana pada qubul (kemaluan depan). Selain itu, keharamannya lebih berat daripada keharaman qubul karena tidak dapat dihalalkan dengan akad (nikah), sehingga lebih layak untuk dikenakan hukuman hadd.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُ بِأَنَّهُ لَا يُفْضِي إِلَى فَسَادِ النَّسَبِ فَالْعِلَّةُ فِيهِ هَتْكُ الْحُرْمَةِ وَفَسَادُ النَّسَبِ تَابِعٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ وَلَا يَكُونُ وَهَذَا أَعْظَمُ فِي هَتْكِ الْحُرْمَةِ

Adapun dalilnya bahwa hal itu tidak menyebabkan rusaknya nasab, maka illat (alasan hukumnya) di dalamnya adalah pelanggaran kehormatan, sedangkan rusaknya nasab adalah akibat yang mengikuti; karena bisa saja terjadi atau tidak terjadi, dan ini (pelanggaran kehormatan) lebih besar dalam hal pelanggaran kehormatan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْوَطْءَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْفَرْجَيْنِ زِنًا يُوجِبُ الْحَدَّ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِتَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ فِي أَحَدِهِمَا سَوَاءٌ أَنَزَلَ أَوْ لَمْ يُنْزِلْ فَإِنْ غَيَّبَ بَعْضَ الْحَشَفَةِ أَوِ اسْتَمْتَعَ بِمَا دُونَ الْفَرْجِ عُزِّرَ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَتَعْزِيرُهُ بِتَغْيِيبِ بَعْضِ الْحَشَفَةِ أَغْلَظُ مِنْ تَعْزِيرِهِ بِاسْتِمْتَاعِهِ بِمَا دُونَ الْفَرْجِ وتعزيره بِالِاسْتِمْتَاعِ بِمَا دُونَ الْفَرْجِ أَغْلَظُ مِنْ تَعْزِيرِهِ بالمضاجعة والقبلة وإفضاء الْبَشَرَةَ بِالْبَشَرَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي جَمِيعِ ذَلِكَ حَدٌّ

Apabila telah tetap bahwa persetubuhan pada masing-masing dari dua kemaluan merupakan zina yang mewajibkan hukuman had, maka hal itu dianggap dengan masuknya hasyafah (kepala zakar) ke salah satunya, baik keluar mani maupun tidak. Jika hanya sebagian hasyafah yang dimasukkan atau menikmati selain kemaluan, maka ia dikenai ta‘zīr dan tidak dikenai had. Hukuman ta‘zīr karena memasukkan sebagian hasyafah lebih berat daripada ta‘zīr karena menikmati selain kemaluan, dan ta‘zīr karena menikmati selain kemaluan lebih berat daripada ta‘zīr karena berbaring bersama, berciuman, atau bersentuhan kulit dengan kulit, meskipun pada semua itu tidak ada hukuman had.

وَقَالَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِذَا اضْطَجَعَا فِي فِرَاشٍ وَاحِدٍ عَلَى الْمُعَانَقَةِ يُقَبِّلُهَا وَتُقَبِّلُهُ حُدَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: Jika keduanya (laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) berbaring di satu ranjang sambil berpelukan, saling mencium, maka masing-masing dari mereka dikenai hukuman seratus cambukan.

وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ يَحِدُّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا خَمْسِينَ جَلْدَةٍ

Abdullah bin Umar berkata, “Masing-masing dari keduanya dikenai hukuman cambuk sebanyak lima puluh kali.”

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنْ لَا حَدَّ عَلَيْهِمَا حَدِيثُ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَجُلًا آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ إِنِّي نِلْتُ مِنَ امْرَأَةٍ مَا يَنَالُهُ الرَّجُلُ مِنْ زَوْجَتِهِ إِلَّا بِوَطْءٍ قَبَّلْتُهَا وَعَانَقْتُهَا فَمَا يَجِبُ عَلَيَّ فَتَلَا قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى أقم الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الحسنات يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ هود 114 وَلَمْ يُوجِبْ عَلَيْهِ حَدًّا فهذا حُكْمُ الزِّنَا وَمَا تَفَرَّعَ عَلَيْهِ

Dan dalil bahwa tidak ada had atas keduanya adalah hadis Ibnu Mas‘ud bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Sesungguhnya aku telah melakukan sesuatu terhadap seorang wanita sebagaimana yang dilakukan seorang laki-laki terhadap istrinya kecuali bersetubuh; aku telah menciumnya dan memeluknya. Maka apa yang wajib atasku?” Lalu beliau membacakan firman Allah Ta‘ala: “Dirikanlah salat pada kedua tepi siang dan pada bagian-bagian permulaan malam. Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapuskan keburukan-keburukan.” (Hud: 114), dan beliau tidak mewajibkan had atasnya. Maka inilah hukum zina dan segala yang bercabang darinya.

فَصْلٌ

Fasal

الْقَوْلُ في اللواط

Pembahasan tentang liwāṭ

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي اللِّوَاطِ فَهُوَ إِتْيَانُ الذكر الذكر وهو من أَغْلَظُ الْفَوَاحِشِ تَحْرِيمًا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ من العالمين إلى قوله بل أنتم مُسْرِفُونَ الأعراف 80 81 فَجَعَلَهُ مِنْ سَرَفِ الْفَوَاحِشِ وَلِذَلِكَ عذب الله قوم لوط بالخسف ومطر عَلَيْهِ الْحَيَوَانَ الْبَهِيمَ حَتَّى لَا يَأْتِيَ ذَكَرٌ ذَكَرًا

Adapun bagian kedua membahas tentang liwāṭ, yaitu hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki, yang merupakan salah satu perbuatan keji paling berat keharamannya. Allah Ta‘ala berfirman, “Dan (ingatlah kisah) Lūṭ, ketika dia berkata kepada kaumnya, ‘Apakah kalian melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun di antara umat-umat sebelum kalian?’” hingga firman-Nya, “Bahkan kalian adalah kaum yang melampaui batas.” (al-A‘rāf: 80-81). Maka Allah menjadikannya sebagai salah satu bentuk pelampauan batas dalam perbuatan keji. Karena itu, Allah mengazab kaum Lūṭ dengan membenamkan mereka ke dalam bumi dan menurunkan hujan batu kepada mereka, hingga tidak ada lagi hewan jantan yang mendatangi jantan lainnya.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” لَعَنَ اللَّهُ مَنْ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ يَعْمَلُ عَمَلَ قوم لوط

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth.”

وروي عنه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” أَوَّلُ مَنْ لَاطَ إِبْلِيسُ أُهْبِطَ مِنَ الْجَنَةِ فَرْدًا لَا زَوْجَةَ لَهُ فَلَاطَ بنفسه فكانت ذريته منه

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Makhluk pertama yang melakukan liwāṭ adalah Iblis; ia diturunkan dari surga sendirian tanpa pasangan, lalu ia melakukan liwāṭ terhadap dirinya sendiri, maka keturunannya berasal darinya.”

فإذا ثبت أَنَّهُ مِنْ أَغْلَظِ الْفَوَاحِشِ فَفِيهِ أَغْلَظُ الْحُدُودِ

Maka jika telah tetap bahwa perbuatan itu termasuk kejahatan paling berat, maka padanya berlaku hukuman paling berat pula.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا حَدَّ فِيهِ وَلَا يَفْسُدُ بِهِ الْحَجُّ وَلَا الصَّوْمُ وَلَا يَجِبُ بِهِ الْغُسْلُ إِلَّا أَنْ يُنْزِلَ فَيَغْتَسِلُ وَيُعَزَّرَانِ ويحبسان حتى يتوبا استدلالا بأن مَا لَمْ يَنْطَلِقْ عَلَيْهِ اسْمُ الزِّنَا لَمْ يجب فيه حد كالاستمتاع بما دون الفرج؛ لأنه اسْتِمْتَاعٌ لَا يُسْتَبَاحُ بِعَقْدٍ فَلَمْ يَجِبْ فِيهِ حد الاستمتاع وبمثله مِنَ الزَّوْجَةِ وَلِأَنَّ أُصُولَ الْحُدُودِ لَا تَثْبُتُ قياساً

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada hudud (hukuman had) dalam hal ini, dan tidak membatalkan haji maupun puasa, serta tidak mewajibkan mandi besar kecuali jika keluar mani, maka ia wajib mandi, dan keduanya (pelaku) diberi ta’zir dan dipenjara sampai bertobat. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa selama belum bisa disebut sebagai zina, maka tidak wajib dikenakan hudud, seperti halnya menikmati selain kemaluan; karena itu adalah bentuk kenikmatan yang tidak dapat dihalalkan dengan akad, maka tidak wajib dikenakan hudud atas kenikmatan tersebut, sebagaimana halnya dengan istri. Selain itu, prinsip-prinsip hudud tidak dapat ditetapkan dengan qiyās.

دليلنا رِوَايَةُ عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

Dalil kami adalah riwayat ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelaku dan yang diperlakukan.”

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ إِتْيَانُ الرَّجُلِ الرَّجُلَ زِنًا

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Perbuatan seorang laki-laki terhadap laki-laki (hubungan seksual) adalah zina.”

وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ ارْجُمُوا الْأَعْلَى وَالْأَسْفَلَ

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Barang siapa yang melakukan perbuatan kaum Luth, rajamlah yang di atas dan yang di bawah.”

وَرَوَى صَفْوَانُ بْنُ سُلَيْمٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّهُ وَجَدَ فِي بَعْضِ ضَوَاحِي الْعَرَبِ رَجُلًا يُنْكَحُ كَمَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةِ فَكَتَبَ إلى أبي بكر فاستشار أبو بكر الصحابة فيه فَكَانَ عَلِيٌّ أَشَدَّهُمْ قَوْلًا فِيهِ فَقَالَ مَا فَعَلَ هَذَا إِلَّا أُمَّةٌ مِنَ الْأُمَمِ وَقَدْ عَلِمْتُمْ مَا فَعَلَ اللَّهُ بِهَا أَرَى أَنْ يُحَرَقَ بِالنَّارِ فَكَتَبَ أَبُو بَكْرٍ بِذَلِكَ إِلَيْهِ فَحَرَقَهُ وَأَخَذَ بِهِ ابْنُ الزُّبَيْرِ فَكَانَ يَحْرِقُ اللِّوَاطِيُّ فِي خِلَافَتِهِ

Safwan bin Sulaim meriwayatkan dari Khalid bin Walid bahwa ia menemukan di salah satu daerah pinggiran Arab seorang laki-laki yang diperlakukan seperti perempuan (dalam hubungan seksual), maka ia menulis surat kepada Abu Bakar. Abu Bakar pun meminta pendapat para sahabat mengenai hal itu. Ali adalah yang paling tegas pendapatnya dalam masalah ini. Ia berkata, “Tidak ada yang melakukan perbuatan ini kecuali suatu umat dari umat-umat terdahulu, dan kalian telah mengetahui apa yang Allah lakukan terhadap mereka. Menurutku, ia harus dibakar dengan api.” Maka Abu Bakar menulis demikian kepadanya, lalu Khalid membakarnya. Ibnu Zubair juga mengambil pendapat ini, sehingga ia membakar pelaku liwāṭ pada masa kekhilafannya.

وَرُوِيَ أَنَّ عَلِيًّا حَرَقَ لُوطِيًّا وَرَجَمَ لُوطِيًّا

Diriwayatkan bahwa Ali pernah membakar seorang pelaku liwāṭ dan pernah merajam seorang pelaku liwāṭ.

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ يُلْقَى من شاهق منكساً ثم يرجم بالحجارة وهذا قَوْلُ مَنْ ذَكَرْنَا مِنَ الصَّحَابَةِ وَلَيْسَ لَهُمْ فيه مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا بَعْدَ نَصٍّ وَلِأَنَّهُ فَرْجٌ مَقْصُودٌ بِالِاسْتِمْتَاعِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ وُجُوبُ الْحَدِّ قِيَاسًا عَلَى قُبُلِ الْمَرْأَةِ وَلِأَنَّهُ أَغْلَظُ مِنَ الزِّنَا إِذْ لَا سَبِيلَ إِلَى اسْتِبَاحَتِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ فِيهِ حَدُّ الزِّنَا كَالزِّنَا

Ibnu Abbas berkata: “Dilemparkan dari tempat yang tinggi dengan posisi terbalik, kemudian dirajam dengan batu.” Inilah pendapat para sahabat yang telah kami sebutkan, dan tidak ada yang berbeda pendapat di antara mereka dalam hal ini, sehingga hal itu menjadi ijmā‘ setelah adanya nash. Karena perbuatan tersebut adalah pemanfaatan kemaluan yang memang dimaksudkan untuk bersenang-senang, maka wajib dikenakan hukuman hadd atasnya berdasarkan qiyās dengan kemaluan wanita. Selain itu, perbuatan tersebut lebih berat daripada zina, karena tidak ada jalan untuk menghalalkannya, sehingga hukuman hadd zina tidak boleh gugur darinya sebagaimana pada zina.

وَقَوْلُهُمْ إِنَّهُ لَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الزنا فقد أطلق الله عليه اسم الْفَاحِشَةَ الَّتِي جَعَلَهَا زِنًا

Dan pernyataan mereka bahwa perbuatan itu tidak disebut sebagai zina, maka sungguh Allah telah menamainya sebagai al-fāḥisyah yang Allah jadikan sebagai zina.

وَأَمَّا اسْتِبَاحَتُهُ مِنَ الزوجة فلأن صحة العقد عليها بشبهة وَأَمَّا إِيجَابُ الْحُدُودِ بِالْقِيَاسِ فَغَيْرُ مُمْتَنِعٍ وَعَلَى أَنَّ فِي حَدِّ اللِّوَاطِ نَصًّا فَإِذَا ثَبَتَ وجوب الحد فيهما فَهُوَ مُعْتَبَرٌ فِيهِمَا بِتَغْيِيبِ الْحَشَفَةِ وَفِيهِ إِذَا كَانَا بَالِغَيْنِ قَوْلَانِ

Adapun kebolehan (hubungan) dari istri, karena sahnya akad atasnya dengan syubhat. Adapun penetapan hudud dengan qiyās tidaklah terlarang. Selain itu, dalam hudud liwāṭ terdapat nash. Maka apabila telah tetap kewajiban hudud pada keduanya, maka hal itu dianggap pada keduanya dengan (syarat) masuknya hasyafah. Dan dalam hal ini, jika keduanya sudah baligh, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا نُصَّ عَلَيْهِ فِي اخْتِلَافِ عَلِيٍّ وَعَبْدِ اللَّهِ أَنَّ حَدَّهُ الْقَتْلَ فِي الْمُحْصَنِ وَالْبِكْرِ وَبِهِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بن عَبَّاسٍ وَخَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَلِأَنَّهُ أَغْلَظُ مِنَ الزِّنَا فَكَانَ حَدُّهُ أَغْلَظَ مِنْ حَدِّ الزِّنَا فعلى هذا في قتله قولان

Salah satunya adalah pendapat yang dinyatakan secara tegas dalam perbedaan pendapat antara ‘Ali dan ‘Abdullah, bahwa hukumannya adalah hukuman mati baik bagi yang sudah menikah (muhshan) maupun yang belum menikah (bikr). Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Khalid bin al-Walid. Hal ini karena perbuatannya lebih berat daripada zina, sehingga hukumannya pun lebih berat daripada hukuman zina. Berdasarkan pendapat ini, terdapat dua pendapat mengenai cara pelaksanaan hukuman matinya.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّهُ يُقْتَلُ رَجْمًا بِالْأَحْجَارِ كَالزِّنَا؛ لِأَنَّهُ الْمَشْرُوعُ فِيهِ

Salah satunya, yaitu pendapat para ulama Baghdad, bahwa pelakunya dihukum mati dengan dirajam menggunakan batu seperti hukuman zina; karena itulah yang disyariatkan dalam kasus tersebut.

وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهُ يُقْتَلُ بِالسَّيْفِ صَبْرًا كَالرِّدَّةِ تَعَلُّقًا بِظَاهِرِ الْخَبَرِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat para ulama Basrah, adalah bahwa ia dihukum mati dengan pedang secara sabar seperti hukuman atas riddah, berdasarkan pada zahir khabar.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي نَقَلَهُ الرَّبِيعُ وَقَالَ رَجَعَ الشَّافِعِيُّ إِلَيْهِ عَنِ الْأَوَّلِ أَنَّهُ كَحَدِّ الزِّنَا يُرْجَمُ فِيهِ الْمُحْصَنُ وَيُجْلَدُ الْبِكْرُ مِائَةً وَيُغَرَّبُ عَامًا

Pendapat kedua dinukil oleh ar-Rabi‘, dan ia berkata bahwa asy-Syafi‘i kembali kepada pendapat ini dari pendapat pertama, yaitu bahwa hukumnya seperti hudud zina: pelaku yang sudah menikah dirajam, sedangkan yang masih lajang dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.

وَبِهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَأَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ لِعُمُومِ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَالثَّيِّبُ بالثيب جلد مائة والرجم ولأنه لما وجب الْفَرْقُ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ فِيمَا انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى وُجُوبِ الْحَدِّ فِيهِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِيمَا اخْتُلِفَ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ فِيهِ وَيَسْتَوِي فِيهِ الْفَاعِلُ وَالْمَفْعُولُ بِهِ فَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا غَيْرُ بَالِغٍ عُزِّرَ وَلَمْ يُحَدَّ

Pendapat ini juga dipegang oleh az-Zuhri, ats-Tsauri, Abu Yusuf, dan Muhammad, karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Gadis dengan gadis hukumannya seratus cambukan dan pengasingan selama satu tahun, dan janda dengan janda seratus cambukan dan rajam.” Karena ketika telah diwajibkan pembedaan antara gadis dan janda dalam perkara yang telah terjadi ijmā‘ atas wajibnya hudud di dalamnya, maka lebih utama lagi untuk dilakukan pembedaan antara keduanya dalam perkara yang diperselisihkan tentang wajibnya hudud di dalamnya. Dalam hal ini, pelaku dan yang dikenai perbuatan diperlakukan sama. Jika salah satu dari keduanya belum baligh, maka ia dikenai ta‘zīr dan tidak dijatuhi hudud.

حُكْمُ السِّحَاقِ

Hukum Sihāq

فَأَمَّا السِّحَاقُ وَهُوَ إِتْيَانُ الْمَرْأَةِ الْمَرْأَةَ فَهُوَ مَحْظُورٌ كَالزِّنَا وَإِنْ خَالَفَهُ فِي حَدِّهِ؛ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” السِّحَاقُ زِنَا النِّسَاءِ بَيْنَهُنَّ

Adapun as-sihāq, yaitu hubungan seksual antara sesama perempuan, maka hukumnya terlarang seperti zina, meskipun berbeda dalam hal hukumannya; karena telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “As-sihāq adalah zinanya perempuan di antara mereka.”

وَالْوَاجِبُ فيه التعزير دون الحد لعدم الإيلاج بينهما

Yang wajib dalam hal ini adalah ta‘zīr, bukan ḥadd, karena tidak terjadi penetrasi di antara keduanya.

فصل

Bab

حكم إتيان البهائم

Hukum berhubungan dengan hewan

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ فِي إِتْيَانِ الْبَهَائِمِ فَهُوَ مِنَ الْفَوَاحِشِ الْمُحَرَّمَةِ

Adapun bagian ketiga membahas tentang berhubungan dengan hewan, maka itu termasuk perbuatan keji yang diharamkan.

رَوَى ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ عن إبراهيم بن إسماعيل بن أبي حنيفة عَنْ دَاوُدُ بْنُ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ وَقَعَ عَلَى بَهِيمَةٍ فَاقْتُلُوهُ وَاقْتُلُوا الْبَهِيمَةَ

Ibnu Abi Fudayk meriwayatkan dari Ibrahim bin Ismail bin Abi Hanifah, dari Dawud bin Al-Hushain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menyetubuhi hewan, maka bunuhlah dia dan bunuhlah juga hewannya.”

وَرَوَاهُ أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَدْ رَوَى الشَّافِعِيُّ هَذَا الْحَدِيثَ فِي اخْتِلَافِ عَلِيٍّ وَعَبْدِ اللَّهِ وَقَالَ إِنْ صَحَّ قُلْتُ بِهِ لِأَنَّ فِي رِوَايَتِهِ ضَعْفًا فَإِنْ كَانَ صَحِيحًا قُتِلَ وَقُتِلَتِ الْبَهِيمَةُ وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ ففيه ثلاثة أقاويل

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Salamah dari Abu Hurairah, dan asy-Syafi‘i telah meriwayatkan hadis ini dalam pembahasan perbedaan pendapat antara ‘Ali dan ‘Abdullah. Ia berkata, “Jika hadis ini sahih, aku berpendapat dengannya, karena dalam riwayatnya terdapat kelemahan. Jika memang sahih, maka pelakunya dibunuh dan hewan itu juga dibunuh. Namun jika tidak sahih, maka dalam masalah ini terdapat tiga pendapat.”

أحدها يُقْتَلُ وَفِيهِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ

Salah satunya adalah dibunuh, dan di dalamnya terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya.

أَحَدُهُمَا رجماً بالحجارة قاله البغداديون

Salah satunya adalah dengan rajam menggunakan batu, sebagaimana dikatakan oleh para ulama Baghdad.

والثاني صبراً بالسيف قاله البصريون وسواء كان بكراً أو ثيباً ولأنه فَرْجٌ لَا يُسْتَبَاحُ بِحَالٍ فَكَانَ حُكْمُهُ أَغْلَظَ

Yang kedua adalah dengan cara disiksa menggunakan pedang, demikian pendapat ulama Basrah, baik pelakunya masih lajang maupun sudah menikah. Karena ini adalah kemaluan yang tidak boleh dihalalkan dalam keadaan apa pun, maka hukumnya lebih berat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ فِي حُكْمِ الزِّنَا يُرْجَمُ إِنْ كَانَ ثَيِّبًا وَيُجْلَدُ وَيُغَرَّبُ إِنْ كَانَ بِكْرًا لِأَنَّ حَدَّ الزِّنَا أَصْلٌ لِمَا عَدَاهُ مخرج من قوله في كتاب الشهادات

Pendapat kedua menyatakan bahwa hukumnya sama dengan zina: dirajam jika pelakunya sudah menikah (tsayyib), dan dicambuk serta diasingkan jika masih lajang (bikr), karena hudud zina merupakan dasar bagi selainnya, sebagaimana yang diambil dari ucapannya dalam Kitab al-Syuhudat.

والقول الثالث لِأَنَّهُمْ يَعُدُّونَ الِاسْتِمْنَاءَ وَإِتْيَانَ الْبَهَائِمِ زِنًا فَاقْتَضَى هَذَا مِنْ كَلَامِهِ أَنْ لَا يَكُونَ زِنًا وَلَا يَجِبُ فِيهِ حَدٌّ وَيُعَزَّرْ فَاعِلُهُ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَالثَّوْرِيِّ لِأَمْرَيْنِ

Pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka menganggap istimnā’ (onani) dan mendatangi hewan sebagai zina, sehingga dari perkataannya ini menunjukkan bahwa keduanya bukanlah zina dan tidak wajib dikenakan had atas pelakunya, namun pelakunya dikenai ta‘zīr. Inilah mazhab Mālik, Abū Ḥanīfah, dan ats-Tsaurī karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا لِأَنَّهُ لَا حُرْمَةَ لَهَا تَمْنَعُ مِنَ النَّظَرِ إِلَيْهَا وَلَا يَجِبُ الْوُضُوءُ مِنْ مَسِّهَا

Salah satunya adalah karena tidak ada kehormatan yang menghalangi untuk melihatnya dan tidak wajib berwudu karena menyentuhnya.

وَالثَّانِي لِنُفُورِ النُّفُوسِ مِنْهَا وَمَيْلِهَا إِلَى الْآدَمِيِّينَ فَوَجَبَ الْحَدُّ فِيمَا مَالَتْ إِلَيْهِ النُّفُوسُ وَسَقَطَ فِيمَا نَفَرَتْ مِنْهُ النُّفُوسُ كَمَا وَجَبَ الْحَدُّ فِي شُرْبِ الْخَمْرِ لِمَيْلِ النُّفُوسِ إِلَيْهِ وَسَقَطَ فِي شُرْبِ الْبَوْلِ لِنُفُورِ النُّفُوسِ مِنْهُ فَعَلَى هَذَا إِنْ جَعَلْنَاهُ مُوجِبًا لِلْحَدِّ أَوْجَبْنَا الْغُسْلَ بِالْإِيلَاجِ فيه وإن لم نوجب الحد ففي وجوب الغسل بالإيلاج وَجْهَانِ

Alasan kedua adalah karena jiwa manusia merasa jijik terhadapnya dan cenderung kepada manusia, maka diwajibkan hudud pada apa yang diinginkan jiwa dan gugur pada apa yang dijauhi jiwa. Sebagaimana diwajibkan hudud pada minum khamar karena kecenderungan jiwa kepadanya, dan gugur pada minum air kencing karena jiwa merasa jijik terhadapnya. Berdasarkan hal ini, jika kita menganggapnya sebagai sebab wajibnya hudud, maka kita juga mewajibkan mandi (ghusl) karena adanya penetrasi di dalamnya. Namun jika kita tidak mewajibkan hudud, maka dalam hal kewajiban mandi karena penetrasi terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ بِهِ الْغُسْلُ؛ لِأَنَّهُ فَرْجٌ مُحَرَّمٌ

Salah satunya mewajibkan mandi besar (ghusl), karena itu adalah kemaluan yang diharamkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا غُسْلَ إِلَّا بِالْإِنْزَالِ؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ فِي حُكْمِ الْمُبَاشِرَةِ فِي غَيْرِ فَرْجٍ فَأَمَّا الْبَهِيمَةُ فَقَدْ أُغْفِلَ الْكَلَامُ فِيهَا وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ قَتْلِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِهِمْ فِي حَدِّهِ هَلْ هُوَ مَأْخُوذٌ مِنَ الْخَبَرِ أَوْ الِاسْتِدْلَالِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa mandi wajib tidak diwajibkan kecuali karena keluarnya mani; karena hal itu dianggap seperti bersentuhan tanpa melakukan hubungan pada kemaluan. Adapun mengenai hewan, pembahasan tentangnya telah diabaikan, dan para ulama kami berbeda pendapat tentang kewajiban membunuhnya menjadi dua pendapat, berdasarkan perbedaan mereka dalam menentukan batasannya: apakah diambil dari hadis atau dari istidlāl (penalaran hukum).

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا لَا تُقْتَلُ إِذَا قِيلَ إِنَّ حَدَّ إِتْيَانِهَا مَأْخُوذٌ مِنَ الْقِيَاسِ وَالِاسْتِدْلَالِ

Salah satunya adalah bahwa ia tidak dibunuh jika dikatakan bahwa hudud atas perbuatannya diambil dari qiyās dan istidlāl.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجِبُ قَتْلُهَا إِذَا قِيلَ إِنَّهُ مَأْخُوذٌ مِنَ الْخَبَرِ وسواء كَانَتِ الْبَهِيمَةُ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ وَحَكَى الطَّحَاوِيُّ في ” مختصره أنها تقتل إن كَانَتْ لَهُ وَلَا تُقْتَلُ إِنْ كَانَتْ لِغَيْرِهِ وَهَذَا الْفَرْقُ لَا وَجْهَ لَهُ لِعُمُومِ الْخَبَرِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa hewan tersebut wajib dibunuh jika dikatakan bahwa hal itu diambil dari hadis, baik hewan itu miliknya sendiri maupun milik orang lain. Al-Thahawi meriwayatkan dalam “Mukhtashar”-nya bahwa hewan itu dibunuh jika miliknya sendiri, dan tidak dibunuh jika milik orang lain. Namun, perbedaan ini tidak memiliki dasar, karena keumuman hadis.

فَإِنْ قِيلَ فَمَا الْمَعْنَى فِي قَتْلِهَا وَلَيْسَ عَلَى الْبَهَائِمِ حُدُودٌ

Jika dikatakan, “Apa makna dari membunuhnya, padahal tidak ada hudud atas hewan?”

قِيلَ لَيْسَتْ تُقْتَلُ حَدًّا وفي معنى قتلها أمران

Dikatakan bahwa ia tidak dibunuh sebagai hukuman hadd, dan dalam makna pembunuhannya terdapat dua hal.

أحدهما للستر على من أتاها أن لا ترى فيقذفه الناس بإتيانها

Salah satunya adalah untuk menutupi aib orang yang melakukannya, agar ia tidak terlihat sehingga orang-orang tidak menuduhnya telah melakukannya.

والثاني أن لا تَأْتِيَ بِخَلْقٍ مُشَوَّهٍ فَقَدْ قِيلَ إِنْ بَعْضَ الرُّعَاةِ أَتَى بَهِيمَةً فَأَتَتْ بِخَلْقٍ مُشَوَّهٍ فَعَلَى هَذَا تُقْتَلُ ذَبْحًا لَا رَجْمًا وَفِي إِبَاحَةِ أكلها إن كانت مأكولة اللحم وجهان

Kedua, hewan tersebut tidak boleh melahirkan makhluk yang cacat. Telah dikatakan bahwa sebagian penggembala pernah mengawini hewan ternaknya, lalu hewan itu melahirkan makhluk yang cacat. Dalam kasus seperti ini, hewan tersebut harus dibunuh dengan cara disembelih, bukan dirajam. Adapun mengenai kebolehan memakan dagingnya jika termasuk hewan yang halal dimakan, terdapat dua pendapat.

أحدهما لا تؤكل وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ قَوْلَ ابْنِ عَبَّاسٍ لِأَنَّ النُّفُوسَ تَعَافُ أَكْلَهَا وَقَدْ أُتِيَتْ

Salah satunya adalah tidak boleh dimakan, dan tampaknya ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, karena jiwa merasa jijik untuk memakannya, dan memang telah didatangkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي تؤكل؛ لأن إتيانها لم ينقلها عن جِنْسِهَا الْمُسْتَبَاحِ وَهَلْ يَلْزَمُ غُرْمُهَا لِمَالِكِهَا إِنْ كانت غير مأكولة أو كانت مأكولة فقيل لَا تُؤْكَلُ عَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa hewan tersebut boleh dimakan, karena perbuatan yang dilakukan terhadapnya tidak mengeluarkannya dari jenis hewan yang halal. Adapun apakah wajib mengganti kerugian kepada pemiliknya jika hewan itu bukan hewan yang biasa dimakan, atau jika hewan itu termasuk hewan yang biasa dimakan namun dikatakan tidak boleh dimakan, maka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا غُرْمَ لَهُ لِأَنَّ الشَّرْعَ أَوْجَبَ قَتْلَهَا

Salah satunya tidak ada ganti rugi baginya karena syariat telah mewajibkan pembunuhannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَغْرَمُ لَهُ قِيمَتَهَا لِاسْتِهْلَاكِهَا عَلَيْهِ وَيَكُونُ غُرْمُهَا عَلَى مَنْ أَتَاهَا لِاسْتِهْلَاكِهَا بفعله

Pendapat kedua, ia wajib membayar ganti rugi senilai barang tersebut karena telah menghabiskannya, dan kewajiban ganti rugi itu dibebankan kepada orang yang menyebabkan barang itu habis karena perbuatannya.

فصل

Bagian

الشهادة على الزنا

Kesaksian atas perzinaan

وأما الفصل الثالث فِي الشَّهَادَةِ عَلَى ذَلِكَ

Adapun bagian ketiga membahas tentang kesaksian atas hal tersebut.

أَمَّا الزِّنَا وَاللِّوَاطُ فلا يقبل في الشهادة عليها أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ شُهُودٍ عُدُولٍ سَوَاءٌ كَانَ فِي رَجْمٍ أَوْ جَلَدٍ عَلَى حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ النساء 15 ولقوله تعالى لولا جاؤوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ النور 13

Adapun zina dan liwāṭ, maka tidak diterima kesaksian atasnya kurang dari empat orang saksi yang adil, baik dalam kasus rajam maupun cambuk, baik terhadap orang merdeka maupun budak, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan perempuan-perempuan di antara kalian yang melakukan perbuatan keji, maka mintalah kesaksian terhadap mereka dari empat orang di antara kalian” (an-Nisā’ ayat 15), dan juga firman-Nya: “Mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi atasnya?” (an-Nūr ayat 13).

وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِسَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ حِينَ سَأَلَهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ وَجَدْتُ مَعَ امْرَأَتِي رَجُلًا أَقْتُلُهُ أَوْ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا حَتَّى تَأْتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ كَفَى بِالسَّيْفِ شا يعني شاهد عَلَيْكَ وَلِأَنَّ الشَّهَادَاتِ تَتَغَلَّظُ بِتَغْلِيظِ الْمَشْهُودِ فِيهِ فلما كَانَ الزِّنَا وَاللِّوَاطُ مِنْ أَغْلَظِ الْفَوَاحِشِ الْمَحْظُورَةِ وآخرها كَانَتِ الشَّهَادَةُ فِيهِ أَغْلَظَ؛ لِيَكُونَ أَسْتَرَ لِلْمَحَارِمِ وَأَنْفَى لِلْمَعَرَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تُسْمَعَ فِيهِ شَهَادَةُ النِّسَاءِ

Dan karena sabda Nabi ﷺ kepada Sa‘d bin ‘Ubādah ketika ia bertanya, “Wahai Rasulullah, jika aku mendapati seorang laki-laki bersama istriku, apakah aku boleh membunuhnya atau harus mendatangkan empat orang saksi?” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Tidak, sampai engkau mendatangkan empat orang saksi. Cukuplah pedang menjadi saksi atasmu.” Dan karena kesaksian itu menjadi lebih berat seiring beratnya perkara yang disaksikan, maka ketika zina dan liwāṭ termasuk perbuatan keji yang paling berat dan paling terlarang, maka kesaksian dalam perkara itu pun dipersyaratkan lebih berat; agar lebih menjaga kehormatan keluarga dan menolak aib. Tidak boleh diterima kesaksian perempuan dalam perkara ini.

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ تُسْمَعُ فِيهِ شَهَادَةَ ثَلَاثَةِ رِجَالٍ وَامْرَأَتَيْنِ وَيَجِيءُ عَلَى قِيَاسِ مَذْهَبِهِ أَنْ تُسْمَعَ فِيهِ شَهَادَةُ رَجُلَيْنِ وَأَرْبَعُ نسوة وليس كذلك يصح؛ لِأَنَّ شَهَادَةَ النِّسَاءِ رُخْصَةٌ فِيمَا خَفَّ وَهُوَ الْأَمْوَالُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُسْمَعَ فِي مَوَاضِعَ التَّغْلِيظِ

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Dalam hal ini dapat diterima kesaksian tiga laki-laki dan dua perempuan. Dan menurut qiyās mazhabnya, dapat pula diterima kesaksian dua laki-laki dan empat perempuan. Namun, hal itu tidak sah, karena kesaksian perempuan merupakan keringanan dalam perkara yang ringan, yaitu harta, sehingga tidak boleh diterima dalam perkara-perkara yang berat.”

فَأَمَّا الشَّهَادَةُ فِي إِتْيَانِ الْبَهَائِمِ فَإِنْ جَعَلْنَاهُ مُوجِبًا لِلْحَدِّ لَمْ يُسْمَعْ فِي الشَّهَادَةِ عَلَيْهِ أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعَةٍ عُدُولٍ وَإِنْ جَعَلْنَاهُ مُوجِبًا لِلتَّعْزِيرِ دُونَ الْحَدِّ فَفِيهِ وَفِي الشَّهَادَةِ عَلَى مَنْ أَتَى امْرَأَةً دُونَ الْفَرْجِ وَجْهَانِ

Adapun kesaksian dalam kasus mendatangi hewan, jika perbuatan itu dianggap mewajibkan hudud, maka kesaksian atasnya tidak diterima kecuali dari empat orang saksi yang adil. Namun jika perbuatan itu dianggap hanya mewajibkan ta‘zīr dan bukan hudud, maka dalam hal ini—dan juga dalam kesaksian atas orang yang mendatangi perempuan tanpa melakukan persetubuhan—terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ لَا يسمع فيها أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعَةِ شُهُودٍ؛ لِأَنَّهُ مِنْ جِنْسٍ تَغَلَّظَتْ فِيهِ الشَّهَادَةُ

Salah satu pendapat, dan inilah yang tampak dari mazhab Syafi‘i, adalah bahwa tidak diterima dalam perkara ini kurang dari empat orang saksi; karena perkara ini termasuk jenis yang persaksiannya dipersyaratkan secara ketat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْمُزَنِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ أَنَّهُ يُسْمَعُ فيها شَاهِدَانِ لِخُرُوجِهِ عَنْ حُكْمِ الزِّنَا فِي الْحَدِّ فَخَرَجَ عَنْ حُكْمِهِ فِي الشَّهَادَةِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat al-Muzani dan Abu ‘Ali bin Khairan, menyatakan bahwa diterima dua orang saksi dalam perkara ini, karena kasus ini telah keluar dari hukum zina dalam hal had, maka ia juga keluar dari hukumnya dalam hal kesaksian.

وَقَالَ أَبُو حنيفة يسمع في اللواط وإتيان البهائم ووطء الْمَرْأَةِ فِي غَيْرِ الْقُبُلِ شَاهِدَانِ بِنَاءً عَلَى أصله

Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus liwath (hubungan seksual sesama jenis laki-laki), mendatangi hewan, dan menyetubuhi perempuan bukan pada qubul (vagina), diterima kesaksian dua orang saksi, berdasarkan pada prinsip dasarnya.

الْقَوْلُ فِي صِفَةِ الشَّهَادَةِ

Pembahasan tentang tata cara syahadat

فَأَمَّا صِفَةُ الشَّهَادَةِ فلا يجزئ أَنْ يَقُولَ الشُّهُودُ رَأَيْنَاهُ يَزْنِي حَتَّى يَصِفُوا ما شاهدوه من الزنا وهو أَنْ يَقُولُوا رَأَيْنَا ذَكَرَهُ يَدْخُلُ فِي فَرْجِهَا كَدُخُولِ الْمِرْوَدِ فِي الْمُكْحُلَةِ؛ لِثَلَاثَةِ أُمُورٍ

Adapun tata cara kesaksian, maka tidak cukup bagi para saksi hanya mengatakan, “Kami melihatnya berzina,” hingga mereka menjelaskan apa yang mereka saksikan dari perbuatan zina itu, yaitu dengan mengatakan, “Kami melihat kemaluannya masuk ke dalam kemaluannya seperti masuknya kayu celak ke dalam tempat celak,” karena tiga hal.

أَحَدُهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ تثبت ماعز في إقراره فقال ” أدخلت ذَلِكَ مِنْكَ فِي ذَلِكَ مِنْهَا كَدُخُولِ الْمِرْوَدِ في المكحلة والرشا في البئر فقال نَعَمْ فَأَمَرَ بِرَجْمِهِ فَلَمَّا اسْتَثْبَتَهُ فِي الْإِقْرَارِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَسْتَثْبِتَ فِي الشَّهَادَةِ

Salah satunya adalah bahwa Nabi ﷺ menegaskan pengakuan Ma‘iz, lalu beliau bersabda, “Apakah engkau benar-benar memasukkan bagianmu itu ke dalam bagian darinya, seperti masuknya celak ke dalam tempat celak dan tali timba ke dalam sumur?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau memerintahkan agar ia dirajam. Ketika beliau menegaskan pengakuan itu, maka lebih utama lagi untuk menegaskan dalam persaksian.

وَالثَّانِي أَنَّ الشُّهُودَ عَلَى الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ بِالزِّنَا لَمَّا شَهِدُوا بِهِ عِنْدَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عنه وهم أبو بكرة ونافع ونفيع وزياد فصرح بذلك أبو بكرة ونافع ونفيع فَأَمَّا زِيَادٌ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ قُلْ مَا عندك وأرجوا أَنْ لَا يَهْتِكَ اللَّهُ صَحَابِيًّا عَلَى لِسَانِكَ فقال زياد رأيت نفساً تعلوا أواستاً تنبو ورأيت رجلاها عَلَى عُنُقِهِ كَأَنَّهُمَا أُذُنَا حِمَارٍ وَلَا أَدْرِي يا أمير المؤمنين مَا وَرَاءَ ذَلِكَ فَقَالَ عُمَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَأَسْقَطَ الشَّهَادَةَ وَلَمْ يَرَهَا تَامَّةً

Yang kedua, para saksi atas perbuatan zina yang dituduhkan kepada al-Mughirah bin Syu‘bah, ketika mereka bersaksi di hadapan ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu—mereka adalah Abu Bakrah, Nafi‘, Nufai‘, dan Ziyad—maka Abu Bakrah, Nafi‘, dan Nufai‘ secara tegas menyampaikan kesaksiannya. Adapun Ziyad, ‘Umar berkata kepadanya, “Katakan apa yang kamu ketahui, dan aku berharap Allah tidak akan membuka aib seorang sahabat melalui lisanmu.” Maka Ziyad berkata, “Aku melihat sesuatu yang naik turun, dan aku melihat kedua kakinya di atas pundaknya, seolah-olah keduanya adalah telinga keledai, dan aku tidak tahu, wahai Amirul Mukminin, apa yang terjadi setelah itu.” Maka ‘Umar berkata, “Allāhu Akbar,” lalu menggugurkan kesaksian itu dan tidak menganggapnya sebagai kesaksian yang sempurna.

وَالثَّالِثُ أَنَّ الزنا لفظ مشترك

Ketiga, bahwa zina adalah lafaz yang memiliki makna ganda.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا اللَّمْسُ وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ وَيُكَذِّبُهُ الْفَرْجُ فَلِذَلِكَ لَزِمَ فِي الشَّهَادَةِ نَفِيُ هَذَا الِاحْتِمَالِ بِذِكْرِ مَا شَاهَدَهُ مِنْ وُلُوجِ الْفَرْجِ فِي الْفَرْجِ

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Dua mata berzina dan zinanya adalah dengan memandang, dua tangan berzina dan zinanya adalah dengan menyentuh, dan yang membenarkan atau mendustakan hal itu adalah kemaluan. Oleh karena itu, dalam persaksian harus dihilangkan kemungkinan ini dengan menyebutkan apa yang disaksikan berupa masuknya kemaluan ke dalam kemaluan.”

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا ظَهَرَ بِغَيْرِ ذَاتِ الزَّوْجِ حَمْلٌ وَلَمْ يُشْهَدْ عَلَيْهَا بِالزِّنَا وَلَا أَقَرَّتْ بِهِ لَمْ تُحَدَّ وَقَالَ مَالِكٌ تُحَدُّ بِالْحَمْلِ؛ لأنه من وطء وظاهره إِذَا كَانَتْ خَلِيَّةً أَنَّهُ مِنْ زِنًا فَحُدَّتْ بِالظَّاهِرِ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ بِامْرَأَةٍ حَامِلٍ غَيْرِ ذات زوج فسألها عنه فقال لَمْ أُحِسَّ حَتَّى رَكِبَنِي رَجُلٌ فَقَذَفَ فِي مِثْلَ الشِّهَابِ فَقَالَ عُمَرُ دَعُوهَا فَإِنَّهَا شَابَّةٌ وَلِأَنَّ الْحَمْلَ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ إِكْرَاهٍ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ زِنًا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمَ فِيهِ بِالْأَغْلَظِ مَعَ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” ادرؤوا الحدود بالشبهات

Apabila pada seorang perempuan yang tidak bersuami tampak hamil, namun tidak ada saksi atas perbuatan zina dan ia pun tidak mengakuinya, maka ia tidak dikenai had. Malik berpendapat bahwa ia dikenai had hanya karena kehamilan; sebab kehamilan itu akibat hubungan badan, dan secara lahiriah, jika ia tidak bersuami, berarti itu dari zina, sehingga ia dikenai had berdasarkan lahiriah tersebut. Namun, pendapat ini keliru; karena diriwayatkan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu pernah didatangkan seorang perempuan hamil yang tidak bersuami, lalu ia menanyainya tentang kehamilan itu. Perempuan itu berkata, “Aku tidak merasakan apa-apa hingga tiba-tiba ada seorang laki-laki menaikiku dan melemparkan sesuatu seperti meteor.” Maka Umar berkata, “Biarkanlah dia, karena dia masih muda.” Selain itu, kehamilan bisa saja terjadi karena hubungan syubhat, bisa juga karena paksaan, dan bisa juga karena zina. Maka tidak boleh diputuskan dengan hukuman terberat, mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hindarilah penetapan had dengan adanya syubhat.”

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ تُسْأَلْ عَنِ الْحَمْلِ قَبْلَ الْوَضْعِ وَلَا إِنْ وَضَعَتْهُ مَيِّتًا؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَعَلَّقُ بِسُؤَالِهَا حُكْمٌ سِوَى الْحَدِّ وَلَا يجوز أن تسأل عما يوجب حد الزنى عَلَيْهَا؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ أَتَى مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ حَدَّ اللَّهِ عَلَيْهِ

Jika demikian, maka ia tidak ditanya tentang kehamilan sebelum melahirkan, dan juga tidak jika ia melahirkan dalam keadaan bayinya telah meninggal; karena tidak ada hukum yang berkaitan dengan pertanyaannya selain hukuman had, dan tidak boleh menanyakan sesuatu yang dapat menyebabkan dijatuhkannya had zina atasnya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa melakukan salah satu dari perbuatan keji ini, hendaklah ia menutupi dirinya dengan perlindungan Allah, karena siapa yang menampakkan perbuatannya kepada kami, maka kami akan menegakkan had Allah atasnya.”

وَإِنْ وَضَعَتْ وَلَدًا حَيًّا سُئِلَتْ عَنْهُ حِينَئِذٍ لِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ حَقِّ الْوَلَدِ فِي ثُبُوتِ نَسَبِهِ فَإِنْ أقرت به من زنا حدث بإقرارها والله أعلم

Dan jika ia melahirkan seorang anak dalam keadaan hidup, maka ia akan ditanya tentang anak itu saat itu juga, karena berkaitan dengan hak anak dalam penetapan nasabnya. Jika ia mengakuinya sebagai hasil zina, maka penetapan itu terjadi berdasarkan pengakuannya. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وإن شَهِدُوا مُتَفَرِّقِينَ قَبِلْتُهُمْ إِذَا كَانَ الزِّنَا وَاحِدًا

Imam Syafi‘i berkata, “Jika mereka memberikan kesaksian secara terpisah, aku tetap menerimanya selama peristiwa zina yang disaksikan adalah satu peristiwa yang sama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لَا فَرْقَ فِي الشهادة على الزنا بين أن يفرق الشهود في أدائها أو يجتمعوا عليها

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, tidak ada perbedaan dalam kesaksian atas zina antara para saksi menyampaikan kesaksiannya secara terpisah atau berkumpul bersama dalam penyampaiannya.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ تُسْمَعُ شَهَادَتُهُمْ إِنِ اجْتَمَعُوا عَلَيْهَا فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ وَيُحَدُّ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ وَلَا تُقْبَلُ إِنِ افْتَرَقُوا فِي الْأَدَاءِ فَشَهِدَ بَعْضُهُمْ فِي مَجْلِسٍ وَشَهِدَ آخَرُونَ مِنْهُمْ فِي مَجْلِسٍ آخَرَ وَلَا يَجِبُ بِشَهَادَتِهِمْ حَدٌّ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الشَّهَادَةَ عَلَى الزِّنَا تَكُونُ بِلَفْظِ الْقَذْفِ فَإِنْ تَكَامَلَ فِيهَا الْعَدَدُ خَرَجَتْ عَنْ حُكْمِ الْقَذْفِ إِلَى الشَّهَادَةِ وَإِنْ لَمْ يَتَكَامَلِ الْعَدَدُ اسْتَقَرَّ فِيهَا حُكْمُ الْقَذْفِ وَلَمْ تَكُنْ شَهَادَةً فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمَجْلِسُ مُعْتَبَرًا فِي اسْتِقْرَارِ حُكْمِهَا؛ لِأَنَّ لِلْمَجْلِسِ تَأْثِيرًا فِي اسْتِقْرَارِ الأحكام كالقبول بعد البدل في العقود وكالقبض في عقد التصرف

Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa kesaksian mereka dapat diterima jika mereka berkumpul dalam satu majelis dan orang yang disaksikan dijatuhi had, namun tidak diterima jika mereka berpisah dalam penyampaian kesaksian, yaitu sebagian dari mereka bersaksi di satu majelis dan yang lain bersaksi di majelis lain. Dengan kesaksian mereka tidak wajib dijatuhkan had, berdasarkan dalil bahwa kesaksian atas zina itu menggunakan lafaz qadzaf. Jika jumlah saksi telah lengkap, maka perkara tersebut keluar dari hukum qadzaf menjadi kesaksian, dan jika jumlahnya tidak lengkap maka tetap berlaku hukum qadzaf dan tidak dianggap sebagai kesaksian. Maka wajib majelis itu diperhitungkan dalam penetapan hukumnya, karena majelis memiliki pengaruh dalam penetapan hukum, seperti penerimaan setelah penggantian dalam akad, dan seperti penyerahan dalam akad tasharruf.

قالوا وَلِأَنَّ الشَّهَادَةَ فِيهِ مُعْتَبِرَةٌ بِكَمَالِ الْأَدَاءِ وَكَمَالِ العدد فلما كان تفريق الأداء في مجلس ذُكِرَ فِي أَحَدِهِمَا أَنَّهُ زِنًا وَوَصِفَ فِي الْآخَرِ الزِّنَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ الشَّهَادَةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَفْرِيقُ الْعَدَدِ فِي مَجْلِسَيْنِ مَانِعًا من صحة الشهادة

Mereka berkata: Karena kesaksian dalam hal ini mensyaratkan kesempurnaan pelaksanaan dan kesempurnaan jumlah, maka ketika pelaksanaan kesaksian dipisahkan dalam dua majelis, di mana pada salah satunya disebutkan bahwa itu adalah zina dan pada yang lainnya dijelaskan perbuatan zina, hal itu menghalangi keabsahan kesaksian. Maka, memisahkan jumlah saksi dalam dua majelis juga harus menjadi penghalang bagi keabsahan kesaksian.

قالوا وَلِأَنَّ حَدَّ الزِّنَا ثَبَتَ بِالْإِقْرَارِ تَارَةً وَبِالشَّهَادَةِ أُخْرَى ثُمَّ تَغَلَّظَ الْإِقْرَارُ مِنْ وَجْهَيْنِ تَصْرِيحٌ بِصِفَةٍ وَعَدَدٌ فِي تَكْرَارِهِ وَجَبَ أَنْ تَتَغَلَّظَ الشَّهَادَةُ فِيهِ مِنْ وَجْهَيْنِ زِيَادَةُ عَدَدٍ وَاجْتِمَاعٌ فِي مَجْلِسٍ

Mereka berkata: Karena hudud zina dapat ditetapkan kadang-kadang dengan pengakuan dan kadang-kadang dengan kesaksian, kemudian pengakuan itu diperberat dari dua sisi, yaitu pernyataan secara jelas mengenai sifat (perbuatan) dan jumlah pengulangan pengakuan, maka wajib pula kesaksian dalam hal ini diperberat dari dua sisi, yaitu penambahan jumlah (saksi) dan berkumpulnya (para saksi) dalam satu majelis.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ الآية النور 4

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang terjaga kehormatannya, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi…” (QS. An-Nur: 4).

وَلَمْ يُفَرِّقْ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّ كُلَّ شَهَادَةٍ يَجِبُ الْحُكْمُ بِهَا إِذَا تَكَامَلَ عَدَدُهَا فِي مَجْلِسٍ وَجَبَ الْحُكْمُ بِهَا إِذَا تَكَامَلَ عددها في مجلسين ووجب الحكم إِذَا تَكَامَلَ عَدَدُهَا فِي مَجَالِسَ قِيَاسًا عَلَى سَائِرِ الشَّهَادَاتِ وَلِأَنَّهُ زَمَانٌ لَا يُعْتَبَرُ فِي شَهَادَةِ غَيْرِ الزِّنَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يُعْتَبَرَ في غير الزنا كالموالاة؛ ولأن شهادة الحقوق نوعان لله وللآدميين وليست يُعْتَبَرُ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا اجْتِمَاعُ الشُّهُودِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الزِّنَا مُلْحَقًا بِأَحَدِهِمَا وَلِأَنَّ شَهَادَةَ الْوَاحِدِ إِذَا تَقَدَّمَتْ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَكُونَ فِيهَا شَاهِدًا أَوْ قَاذِفًا فَإِنْ كَانَ شَاهِدًا لَمْ يَصِرْ قَاذِفًا بِتَأَخُّرِ غَيْرِهِ وَإِنْ كَانَ قَاذِفًا لَمْ يَصِرْ شَاهِدًا بِشَهَادَةِ غَيْرِهِ ولأنه ليس في تفرق الشَّهَادَةِ فِي مَجْلِسَيْنِ أَكْثَرُ مِنْ تَبَاعُدِ مَا بين الزمانيين وَهَذَا لَا يُؤَثِّرُ فِي الشَّهَادَةِ كَمَا لَوِ اسْتَدَامَ الْمَجْلِسُ فِي جَمِيعِ الْيَوْمِ فَشَهِدَ بَعْضُهُمْ فِي أَوَّلِهِ وَبَعْضُهُمْ فِي آخِرِهِ وَلِأَنَّ قَوْلَهُمْ يُفْضِي إِلَى رَدِّ الشَّهَادَةِ إِذَا تَفَرَّقَتْ فِي الزَّمَانِ الْقَصِيرِ وَهُوَ إِذَا قَامَ الْحَاكِمُ مِنْ مَجْلِسِهِ بَيْنَ الشَّهَادَتَيْنِ قَدْرَ الصَّلَاةِ وَإِلَى إِمْضَائِهَا إِذَا تَفَرَّقَتْ فِي الزَّمَانِ الطَّوِيلِ وَهُوَ إِذَا استدام مجلسه في جَمِيعَ النَّهَارِ فَشَهِدَ بَعْضُهُمْ فِي صَبَاحِهِ وَشَهِدَ بَعْضُهُمْ فِي مَسَائِهِ وَمَا أَفْضَى إِلَى هَذَا كَانَ اعْتِبَارُهُ مُطَّرَحًا وَلِأَنَّ تَفَرُّقَ الشُّهُودِ أَنْفَى لِلرِّيبَةِ وَأَمْنَعُ مِنَ التَّوَاطُؤِ وَالْمُتَابَعَةِ؛ لِأَنَّ الِاسْتِرَابَةَ بالشهود تقتضي تفريقاً ليختبر بالتفريق رتبتهم فكان افتراقهم أولى أن يعتبر مِنَ اجْتِمَاعِهِمْ

Dan ia tidak membedakan, maka tetaplah pada keumumannya. Karena setiap kesaksian yang wajib diputuskan jika jumlahnya telah lengkap dalam satu majelis, maka wajib pula diputuskan jika jumlahnya lengkap dalam dua majelis, dan wajib pula diputuskan jika jumlahnya lengkap dalam beberapa majelis, dengan qiyās kepada seluruh kesaksian lainnya. Karena waktu tidak dianggap dalam kesaksian selain zina, maka seharusnya tidak dianggap pula dalam selain zina seperti halnya muwālah (kesinambungan). Dan karena kesaksian atas hak ada dua jenis: untuk Allah dan untuk manusia, dan tidak disyaratkan berkumpulnya para saksi pada salah satu dari keduanya, maka seharusnya zina disamakan dengan salah satunya. Dan karena jika kesaksian satu orang telah didahulukan, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: ia menjadi saksi atau menjadi qādzif (penuduh zina). Jika ia menjadi saksi, maka ia tidak menjadi qādzif hanya karena keterlambatan yang lain, dan jika ia menjadi qādzif, maka ia tidak menjadi saksi dengan adanya kesaksian orang lain. Dan karena tidak ada perbedaan antara terpisahnya kesaksian dalam dua majelis dengan jauhnya dua waktu, dan ini tidak berpengaruh pada kesaksian, sebagaimana jika majelis berlangsung sepanjang hari, lalu sebagian mereka bersaksi di awal hari dan sebagian lagi di akhir hari. Dan karena pendapat mereka akan menyebabkan penolakan kesaksian jika terpisah dalam waktu singkat, yaitu jika hakim bangkit dari majelisnya di antara dua kesaksian selama waktu salat, dan menyebabkan diterimanya jika terpisah dalam waktu lama, yaitu jika hakim tetap dalam majelisnya sepanjang hari, lalu sebagian mereka bersaksi di pagi hari dan sebagian lagi di sore hari. Apa yang mengarah kepada hal ini, maka pertimbangannya harus ditinggalkan. Dan karena terpisahnya para saksi lebih menafikan keraguan dan lebih mencegah adanya persekongkolan dan saling mengikuti; karena kecurigaan terhadap para saksi menuntut adanya pemisahan agar dapat diuji dengan pemisahan tersebut tingkatan mereka, maka terpisahnya mereka lebih utama untuk dianggap daripada berkumpulnya mereka.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِأَنَّهُ فِي صُورَةِ القاذف وإن لم يكمل العدد فهو أنه لَوْ كَانَ قَاذِفًا لَمَا جَازَ أَنْ يُكْمِلَ بِهِ الْعَدَدَ؛ لِأَنَّ شَهَادَةَ الْقَاذِفِ غَيْرَ مَقْبُولَةٍ وما ادَّعَوْهُ مِنْ تَأْثِيرِ الْمَجْلِسِ فِي الْعُقُودِ فَلَيْسَ يصح؛ لِأَنَّ التَّأْثِيرَ فِيهَا يَكُونُ بِالتَّرَاخِي وَإِنْ كَانَ المجلس واحداً والقبض بالصرف هو المعتبر بالمجلس وليس القبض قولاً فيعتبر بِهِ الشَّهَادَةُ

Adapun dalil mereka bahwa ia berada dalam posisi seperti orang yang menuduh zina (qādhif) meskipun jumlahnya belum lengkap, maka alasannya adalah jika ia benar-benar seorang qādhif, tidak boleh melengkapkan jumlah saksi dengannya; karena kesaksian qādhif tidak diterima. Adapun klaim mereka tentang pengaruh majelis dalam akad-akad, maka itu tidak benar; karena pengaruh dalam akad-akad itu bisa terjadi secara bertahap meskipun majelisnya satu, dan penyerahan (qabdh) dalam akad sharf yang dianggap adalah penyerahan secara fisik di majelis, bukan penyerahan secara lisan, sehingga kesaksian tidak bisa dianggap dengan itu.

وَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِتَفَرُّقِ الْأَدَاءِ فَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّهُ لَوْ تَفَرَّقَ فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ لَمْ يَتِمَّ فَكَذَلِكَ فِي مَجْلِسَيْنِ وَالْعَدَدُ لَوْ تَفَرَّقَ فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ تَمَّ فَكَذَلِكَ فِي مَجْلِسَيْنِ

Adapun dalil mereka dengan perbedaan pelaksanaan, maksudnya adalah bahwa jika pelaksanaan itu terpisah dalam satu majelis maka tidak sempurna, maka demikian pula jika dalam dua majelis. Sedangkan jumlah, jika terpisah dalam satu majelis maka tetap sempurna, maka demikian pula jika dalam dua majelis.

وَأَمَّا اعْتِبَارُهُمْ بِتَغْلِيظِ الْإِقْرَارِ مِنْ وَجْهَيْنِ فَغَيْرُ مُسَلَّمٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَغَلَّظُ عِنْدَنَا بِالتَّكْرَارِ وَإِنْ تَغَلَّظَ عِنْدَهُمْ ثُمَّ لَا يَسْتَوِيَانِ عَلَى قَوْلِهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ يَعْتَبِرُونَ تَكْرَارَ الْإِقْرَارِ فِي مَجَالِسَ فَإِنْ تَكَرَّرَ فِي مَجْلِسٍ لَمْ يَتِمَّ وَيَعْتَبِرُونَ أعداد الشهادة في مجلس وإن كَانَ فِي مَجَالِسَ لَمْ يَتِمَّ فَلَمْ يَسْلَمْ لَهُمْ مَعْنَى الْجَمْعِ فَبَطُلَ

Adapun pertimbangan mereka dengan memperberat pengakuan dari dua sisi, maka hal itu tidak dapat diterima; karena menurut kami, pengakuan tidak menjadi lebih berat dengan pengulangan, meskipun menurut mereka menjadi lebih berat. Kemudian, keduanya juga tidak sama menurut pendapat mereka; karena mereka mempertimbangkan pengulangan pengakuan di beberapa majelis, maka jika diulang dalam satu majelis tidak dianggap sah. Mereka juga mempertimbangkan jumlah saksi dalam satu majelis, dan jika berada di beberapa majelis tidak dianggap sah. Maka, makna penggabungan yang mereka maksud tidak dapat diterima, sehingga batal.

فَصْلٌ

Fasal

وَتُسْمَعُ شَهَادَتُهُمْ عَلَى قَدِيمِ الزِّنَا وَحَدِيثِهِ وَيُحَدُّ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ بِشَهَادَتِهِمْ

Kesaksian mereka diterima baik untuk perzinaan yang lama maupun yang baru, dan orang yang disaksikan dengan kesaksian mereka dikenai had.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمْ عَلَى قَدِيمِ الزِّنَا وَلَا يُحَدُّ

Abu Hanifah berkata, “Kesaksian mereka atas perbuatan zina yang lampau tidak diterima dan pelaku tidak dikenai had.”

وَقَالَ أَبُو يوسف جهدت بأبي حنيفة أن يوقت للمتقدم وَقْتًا فَأَبَى

Abu Yusuf berkata, “Aku telah berusaha keras meminta Abu Hanifah untuk menentukan waktu bagi orang yang maju, namun beliau menolak.”

وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ زِيَادٍ وَقَّتَهُ أَبُو حَنِيفَةَ بِسَنَةٍ فَإِنْ شَهِدَ قَبْلَهَا قُبِلَ وَإِنْ شَهِدَ بَعْدَهَا لَمْ يُقْبَلْ احْتِجَاجًا بِرِوَايَةِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ أَيُّمَا شُهُودٍ شَهِدُوا عَلَى حَدٍّ لَمْ يَشْهَدُوا عِنْدَ حَضْرَتِهِ فَإِنَّمَا هُمْ شُهُودُ ضَغْنٍ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمْ وَلِأَنَّ شُهُودَ الزِّنَا مخيرون بين إقامتها وتركها فإن أَخَّرَهَا صَارَ تَارِكًا لَهَا وَالْعَائِدُ فِي الشَّهَادَةِ بَعْدَ تَرْكِهَا مُتَّهَمٌ وَشَهَادَةُ الْمُتَّهَمِ مَرْدُودَةٌ وَلِأَنَّ الشَّهَادَةَ مُعْتَبَرَةٌ بِالْإِجْمَاعِ عَلَى قَوْلٍ وَعَدَدٍ كَالْعُقُودِ فَلَمَّا بَطُلَتِ الْعُقُودُ بِتَأْخِيرِ الْقَوْلِ وَافْتِرَاقِ الْعَدَدِ وَجَبَ أَنْ تَكُونَ الشَّهَادَةُ بِمَثَابَتِهَا فِي إِبْطَالِهَا بِتَأْخِيرِ الْقَوْلِ وَافْتِرَاقِ الْعَدَدِ

Al-Hasan bin Ziyad berkata, Abu Hanifah menetapkan batas waktunya selama satu tahun. Jika para saksi memberikan kesaksian sebelum lewat satu tahun, maka kesaksiannya diterima, dan jika mereka bersaksi setelahnya, maka tidak diterima. Hal ini didasarkan pada riwayat dari al-Hasan al-Bashri dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Siapa saja saksi yang memberikan kesaksian atas hudud tetapi tidak bersaksi saat kejadiannya, maka mereka adalah saksi yang memiliki dendam, dan kesaksiannya tidak diterima.” Selain itu, para saksi zina diberi pilihan antara menegakkan kesaksian atau meninggalkannya. Jika mereka menunda, berarti mereka telah meninggalkannya, dan jika mereka kembali memberikan kesaksian setelah meninggalkannya, maka mereka dianggap tertuduh, dan kesaksian orang yang tertuduh itu ditolak. Kesaksian juga dipertimbangkan berdasarkan ijmā‘ dalam hal ucapan dan jumlah, sebagaimana dalam akad-akad. Ketika akad menjadi batal karena penundaan ucapan dan perbedaan jumlah, maka kesaksian pun harus diperlakukan sama, yaitu batal karena penundaan ucapan dan perbedaan jumlah.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً النور 4 فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى عُمُومِ الْأَحْوَالِ فِي الْفَوْرِ وَالتَّرَاخِي وَلِأَنَّ كُلَّ شَهَادَةٍ قُبِلَتْ عَلَى الْفَوْرِ قُبِلَتْ عَلَى التَّرَاخِي كَالشَّهَادَةِ عَلَى سَائِرِ الْحُقُوقِ؛ وَلِأَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيْ مَا ثَبَتَ بِهِ الزِّنَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَبْطُلَ بِالتَّرَاخِي كَالْإِقْرَارِ وأما حَدِيثُ عُمَرَ فَهُوَ مُرْسَلٌ؛ لِأَنَّ عُمَرَ لَمْ يلقه وخالفه وَقَدْ خَالَفَ عُمَرُ هَذَا الْقَوْلِ فِي قِصَّةِ الْمُغِيرَةِ فَإِنَّهُ نَقَلَ الشُّهُودَ فِيهَا مِنَ الْبَصْرَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ وَسَمِعَهَا بَعْدَ تَطَاوُلِ الْمُدَّةِ وَعَلَى أَنَّ قَوْلَهُ ” لَمْ يَشْهَدُوا مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُمْ لم يشهدوا الْفِعْلَ فَلَا تُقْبَلُ مِنْهُمْ شَهَادَتُهُمْ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang terjaga kehormatannya, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali cambukan.” (an-Nur: 4). Maka ayat ini menunjukkan bahwa hukumnya berlaku secara umum, baik segera maupun setelah jeda waktu. Karena setiap kesaksian yang diterima secara langsung, juga diterima setelah ada jeda waktu, seperti kesaksian atas hak-hak lainnya. Dan karena ini adalah salah satu dari dua cara yang dengannya zina dapat dibuktikan, maka tidak boleh gugur hanya karena ada jeda waktu, sebagaimana pengakuan. Adapun hadis Umar, maka itu adalah mursal, karena Umar tidak bertemu dengannya, dan pendapat ini juga telah diselisihi oleh Umar dalam kisah al-Mughirah, di mana ia memindahkan para saksi dari Basrah ke Madinah dan mendengarkan kesaksian mereka setelah waktu yang lama. Adapun ucapannya “mereka tidak bersaksi” maksudnya adalah mereka tidak menyaksikan perbuatan tersebut, maka kesaksian mereka tidak diterima.

وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِالتُّهْمَةِ فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun beristidlal dengan tuduhan, maka jawabannya ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ التُّهْمَةَ فِي الْمُبَادَرَةِ أَقْوَى مِنْهَا فِي التَّأْخِيرِ

Salah satunya adalah bahwa tuduhan dalam bersegera lebih kuat dibandingkan dalam menunda.

رَوَى عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” إِذَا تَثَبَّتَّ أَصَبْتَ أَوْ كِدْتَ تُصِيبُ وَإِذَا اسْتَعْجَلْتَ أَخْطَأْتَ أَوْ كِدْتَ تُخْطِئُ

Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau bersikap mantap, niscaya engkau akan benar atau hampir benar; dan jika engkau tergesa-gesa, niscaya engkau akan salah atau hampir salah.”

وَالثَّانِي أَنَّ التُّهْمَةَ بِالْعَدَاوَةِ لَا تُوجِبُ عِنْدَهُ رَدَّ الشهادة وإن ردت عندنا ولو صار متهوماً بِالتَّأْخِيرِ لَرُدَّتْ بِهِ فِي غَيْرِ الزِّنَا

Yang kedua, tuduhan permusuhan menurutnya tidak menyebabkan penolakan kesaksian, meskipun menurut kami hal itu menyebabkan penolakan. Dan jika seseorang dicurigai menunda-nunda, maka kesaksiannya akan ditolak karenanya dalam perkara selain zina.

وَأَمَّا اعتبارهم بالعقود فباطل بسائر الشهادات والله أعلم

Adapun pengambilan pertimbangan mereka dalam akad-akad adalah batal menurut seluruh bentuk kesaksian, dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَنْ رَجَعَ بَعْدَ تَمَامِ الشَّهَادَةِ لَمْ يُحَدَّ غيره وإن لم تتم شُهُودُ الزِّنَا أَرْبَعَةً فَهُمْ قَذَفَةٌ يُحَدُّونَ

Imam Syafi‘i berkata, “Barang siapa yang menarik kembali kesaksiannya setelah kesaksian zina telah sempurna, maka tidak dikenai had, kecuali selainnya. Namun jika saksi zina belum mencapai empat orang, maka mereka adalah para penuduh yang dikenai had.”

قَالَ الماوردي هاتان مَسْأَلَتَانِ وَالْأُولَى فِيهِمَا تَقْدِيمٌ لِلثَّانِيَةِ؛ لِأَنَّهَا أَصْلٌ لِلْأُولَى وَهُوَ أَنْ يَشْهَدَ بِالزِّنَا أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعَةٍ إِمَّا أَنْ يَكُونُوا ثَلَاثَةً أَوِ اثْنَيْنِ أو واحد الْحُكْمُ فِيهِمْ سَوَاءٌ وَسَوَاءٌ حَضَرَ الرَّابِعُ فَتَوَقَّفَ أَوْ لَمْ يَحْضُرْ فَهَلْ يَصِيرُ الشُّهُودُ إِذَا لَمْ يَكْمُلُ عَدَدُهُمْ قَذَفَةً يُحَدُّونَ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Kedua masalah ini, yang pertama di antaranya merupakan pendahuluan bagi yang kedua, karena yang pertama adalah pokok bagi yang kedua, yaitu tentang kesaksian atas zina yang jumlah saksinya kurang dari empat, baik itu tiga orang, dua orang, atau satu orang; hukumnya sama saja, baik saksi keempat hadir lalu ragu-ragu, atau tidak hadir sama sekali. Maka, apakah para saksi tersebut, jika jumlah mereka tidak lengkap, dianggap sebagai para penuduh zina (qadzaf) sehingga mereka dikenai had, atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَظْهَرُ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي أَكْثَرِ كُتُبِهِ مِنْ قَدِيمٍ وَجَدِيدٍ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُمْ قَدْ صَارُوا قَذَفَةً يُحَدُّونَ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang paling masyhur dan dinyatakan dalam kebanyakan kitab beliau, baik yang lama maupun yang baru, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, bahwa mereka telah menjadi para penuduh zina (qadzaf) yang harus dikenai had.

وَالْقَوْلُ الثاني مخرج من كلام علقه فِي كِتَابِ الشَّهَادَاتِ أَنَّهُ لَا حَدَّ عَلَيْهِمْ ويكونوا على عدالتهم ولا يصيروا قَذَفَةً بِنُقْصَانِ عَدَدِهِمْ فَإِذَا قِيلَ بِالْأَوَّلِ أَنَّهُمْ قَدْ صَارُوا قَذَفَةً يُحَدُّونَ فَدَلِيلُهُ قِصَّةُ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى الْبَصْرَةِ مِنْ قِبَلِ عُمَرَ وَكَانَ مِنْكَاحًا فَخَلَا بِامْرَأَةٍ فِي دَارٍ كَانَ يَنْزِلُهَا وَيَنْزِلُ مَعَهُ فِيهَا أَبُو بكرة ونافع وشبل بن معبد ونفيع وزياد بن أمية وَكَانَ جَمِيعُهُمْ مِنْ ثَقِيفٍ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَتَحَتِ الْبَابَ عَنِ الْمُغِيرَةِ فَرَأَوْهُ عَلَى بَطْنِ الْمَرْأَةِ يفعل بها ما يفعل الزوج بزوجته فَلَمَّا أَصْبَحُوا تَقَدَّمَ الْمُغِيرَةُ فِي الْمَسْجِدِ لِيُصَلِّيَ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكَرَةَ تَنَحَّ عَنْ مُصَلَّانَا وانتشرت القصة فبلغت عمر فكتبوا وكتب أَنْ يُرْفَعُوا جَمِيعًا إِلَيْهِ فَلَمَّا قَدِمُوا عَلَيْهِ حضروا مَجْلِسَهُ بَدَأَ أَبُو بَكَرَةَ فَشَهِدَ بِالزِّنَا وَوَصَفَهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لِلْمُغِيرَةِ ذَهَبَ رُبُعُكَ ثُمَّ شَهِدَ بعده نافع فقال علي المغيرة ذَهَبَ نِصْفُكَ ثُمَّ شَهِدَ بَعْدَهُ شِبْلُ بْنُ مَعْبَدٍ فَقَالَ عَلِيٌّ لِلْمُغِيرَةِ ذَهَبَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِكَ وَقَالَ عُمَرُ أَوَدُّ الْأَرْبَعَةَ وَأَقْبَلَ زِيَادٌ لِيَشْهَدَ فقال له عمر إيها يا سرح العقاب قل ما عندك وأرجوا أن لا يفضح الله على يديك أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَتَنَبَّهَ زِيَادٌ فَقَالَ رَأَيْتُ أَرْجُلًا مُخْتَلِفَةً وَأَنْفَاسًا عَالِيَةً وَرَأَيْتُهُ عَلَى بَطْنِهَا وَأَنَّ رِجْلَيْهَا عَلَى كَتِفَيْهِ كَأَنَّهُمَا أُذُنَا حِمَارٍ وَلَا أَعْلَمُ مَا وراء ذلك فقال عمر الله اكبر يا أخي قم فاجلد هؤلاء الثلاثة فجلدوا جلد القذف وقال عمر لأبي بكرة تُبْ أَقْبَلْ شَهَادَتَكَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَا أَتُوبُ والله لقد زنا والله لقد زنا فهم عمر بجلده فقال علي إن جلدته رجمت صاحبكما وَفِي هَذَا الْقَوْلِ مِنْهُ تَأْوِيلَانِ

Pendapat kedua yang diambil dari perkataan ‘Alqamah dalam Kitab Asy-Syahadat adalah bahwa tidak ada had atas mereka, mereka tetap dalam keadaan adil, dan tidak menjadi qazaf karena kurangnya jumlah mereka. Jika dikatakan menurut pendapat pertama bahwa mereka telah menjadi qazaf dan dikenai had, maka dalilnya adalah kisah al-Mughirah bin Syu‘bah yang saat itu menjadi amir di Bashrah atas perintah ‘Umar. Ia menikah, lalu berduaan dengan seorang wanita di sebuah rumah yang biasa ia tempati bersama Abu Bakrah, Nafi‘, Syibl bin Ma‘bad, Nufai‘, dan Ziyad bin Umayyah, yang semuanya berasal dari Tsaqif. Kemudian angin bertiup dan membuka pintu tempat al-Mughirah berada, lalu mereka melihatnya di atas perut wanita itu, melakukan apa yang dilakukan seorang suami kepada istrinya. Ketika pagi tiba, al-Mughirah maju ke masjid untuk shalat, lalu Abu Bakrah berkata kepadanya, “Menjauhlah dari tempat shalat kami.” Kisah itu pun tersebar hingga sampai kepada ‘Umar, lalu mereka menulis surat agar semuanya dihadapkan kepadanya. Ketika mereka datang dan menghadiri majelisnya, Abu Bakrah yang pertama kali bersaksi tentang zina dan menjelaskannya. Maka ‘Ali berkata kepada al-Mughirah, “Telah hilang seperempat kesaksianmu.” Kemudian setelahnya Nafi‘ bersaksi, lalu ‘Ali berkata kepada al-Mughirah, “Telah hilang setengah kesaksianmu.” Setelah itu Syibl bin Ma‘bad bersaksi, lalu ‘Ali berkata kepada al-Mughirah, “Telah hilang tiga perempat kesaksianmu.” ‘Umar berkata, “Aku berharap ada yang keempat.” Kemudian Ziyad maju untuk bersaksi, lalu ‘Umar berkata kepadanya, “Wahai, wahai burung elang, katakan apa yang kamu ketahui, dan aku berharap Allah tidak membongkar aib salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui tanganmu.” Ziyad pun sadar, lalu berkata, “Aku melihat kaki-kaki yang berbeda, napas yang terengah-engah, aku melihatnya di atas perut wanita itu, dan kedua kaki wanita itu di atas pundaknya seperti telinga keledai, dan aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu.” Maka ‘Umar berkata, “Allahu Akbar, wahai saudaraku, bangkitlah dan cambuklah tiga orang ini.” Maka mereka dicambuk dengan had qazaf. ‘Umar berkata kepada Abu Bakrah, “Bertaubatlah, maka aku akan menerima kesaksianmu.” Abu Bakrah menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan bertaubat. Demi Allah, dia telah berzina, demi Allah, dia telah berzina.” Maka ‘Umar bermaksud mencambuknya, namun ‘Ali berkata, “Jika engkau mencambuknya, maka rajamlah temanmu itu.” Dalam perkataan ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا إِنْ كان هذا القول منه غير الْأَوَّلِ فَقَدْ كَمُلَتِ الشَّهَادَةُ فَارْجُمْ صَاحِبَكَ وَإِنْ كان هو الأول فقد جلد فيه

Salah satunya, jika ucapan ini darinya bukan yang pertama, maka kesaksian telah sempurna, maka rajamlah temanmu. Namun jika itu adalah yang pertama, maka ia telah dikenai hukuman cambuk atasnya.

والثاني معناه إِنَّكَ إِنْ جَلَدْتَهُ بِغَيْرِ اسْتِحْقَاقٍ فَارْجُمْ صَاحِبَكَ بِغَيْرِ اسْتِحْقَاقٍ وَلَمْ يُخَالِفْ فِي هَذِهِ الْقِصَّةِ أحد من الصحابة فصارت إجماعاً فاعترض طَاعِنٌ عَلَى هَذِهِ الْقِصَّةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Yang kedua, maksudnya adalah: Jika engkau mencambuknya tanpa hak, maka rajamlah temanmu tanpa hak. Tidak ada seorang pun dari para sahabat yang berbeda pendapat dalam kisah ini, sehingga hal itu menjadi ijmā‘. Namun, ada yang mengkritik kisah ini dari tiga sisi.

أحدهما إن قال لما عَرَّضَ عُمَرُ لِزِيَادٍ أَنْ لَا يَسْتَوْفِيَ شَهَادَتَهُ وَفِيهَا إِسْقَاطٌ لِحَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَإِضَاعَةٌ لِحُدُودِهِ

Salah satunya adalah jika dikatakan bahwa ketika ‘Umar memberi isyarat kepada Ziyād agar tidak menyempurnakan persaksiannya, padahal di dalamnya terdapat penghilangan hak Allah Ta‘ālā dan penyia-nyiaan terhadap hudud-Nya.

وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اتَّبَعَ فِي ذَلِكَ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي التَّعْرِيضِ بِمَا يَدْرَأُ بِهِ الْحُدُودَ فَإِنَّهُ عَرَّضَ لِمَاعِزٍ حِينَ أَقَرَّ عِنْدَهُ بِالزِّنَا فَقَالَ ” لعلك قبلت لعلك لامست لِيَرْجِعَ عَنْ إِقْرَارِهِ كَذَلِكَ فَعَلَ عُمَرُ فِي تَعْرِيضِهِ لِلشَّاهِدِ أَنْ لَا يَسْتَكْمِلَ الشَّهَادَةَ؛ لِأَنَّ جنب المؤمن حمى

Jawabannya adalah bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu dalam hal itu mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberikan isyarat yang dapat menggugurkan hudud, karena beliau pernah memberi isyarat kepada Ma‘iz ketika ia mengakui perbuatan zina di hadapannya, lalu beliau bersabda, “Barangkali engkau hanya mencium, barangkali engkau hanya menyentuh,” agar ia menarik kembali pengakuannya. Demikian pula yang dilakukan Umar dalam memberikan isyarat kepada saksi agar tidak menyempurnakan persaksiannya, karena kehormatan seorang mukmin adalah sesuatu yang harus dijaga.

والاعتراض الثاني قَالَ لِمَ عَرَّضَ عُمَرُ بِمَا أَسْقَطَ بِهِ الحد عن المغيرة وهو واحد وواجب به الحد على الشهود وهم ثلاثة فقيل عنه ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ

Keberatan kedua: Dikatakan, mengapa Umar menyinggung sesuatu yang dengannya ia menggugurkan hudud dari al-Mughirah, padahal ia satu orang, namun ia menetapkan hudud atas para saksi yang berjumlah tiga orang? Maka dijawab darinya dengan tiga jawaban.

أَحَدُهَا أَنَّهُ لَمَّا تَرَدَّدَ الْأَمْرُ بَيْنَ قَتْلٍ وَجَلْدٍ كَانَ إِسْقَاطُ الْقَتْلِ بِالْجَلْدِ أَوْلَى مِنْ إِسْقَاطِ الْجَلْدِ بِالْقَتْلِ

Salah satunya adalah bahwa ketika perkara berada di antara hukuman mati dan cambuk, maka menggugurkan hukuman mati dengan hukuman cambuk lebih utama daripada menggugurkan hukuman cambuk dengan hukuman mati.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا خَالَفَ الشُّهُودُ مَا نُدِبُوا إِلَيْهِ مِنْ سِتْرِ الْعَوْرَاتِ وَخَالَفُوا قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” هَلَّا سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ يَا هَزَّالُ كَانُوا بِالتَّغْلِيظِ أَحَقَّ مِنْ غَيْرِهِمْ

Kedua, karena para saksi telah menyelisihi anjuran untuk menutupi aurat dan menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mengapa engkau tidak menutupinya dengan kainmu, wahai Hazzal?” maka mereka lebih berhak untuk mendapatkan penegasan (teguran keras) dibandingkan selain mereka.

وَالثَّالِثِ أَنَّ رَجْمَ الْمُغِيرَةِ لَمْ يَجِبْ إِلَّا أَنْ تَتِمَّ شَهَادَتُهُمْ وَجَلْدُهُمْ قَدْ وَجَبَ مَا لَمْ تَتِمَّ شَهَادَتُهُمْ فَكَانَ إِسْقَاطُ مَا لَمْ يَجِبْ أَوْلَى مِنْ إِسْقَاطِ ما وجب

Ketiga, bahwa rajam terhadap al-Mughīrah tidaklah wajib kecuali setelah kesaksian mereka sempurna, sedangkan hukuman cambuk telah wajib selama kesaksian mereka belum sempurna. Maka menggugurkan sesuatu yang belum wajib itu lebih utama daripada menggugurkan sesuatu yang sudah wajib.

الاعتراض الثَّالِثُ إِنْ قَالُوا إِنَّ الصَّحَابَةَ عُدُولٌ وَهَذِهِ الصفة لَا تَخْلُو مِنْ جَرْحِ بَعْضِهِمْ وَفِسْقِهِ لِأَنَّهُمْ إِنْ صَدَقُوا فِي الشَّهَادَةِ فَالْمُغِيرَةُ زَانٍ وَالزِّنَا فِسْقٌ وَإِنْ كَذَبُوا فَهُمْ قَذَفَةٌ وَالْقَذْفُ فِسْقٌ قيل هذه الصفة لَا تَمْنَعُ مِنْ عَدَالَةِ جَمِيعِهِمْ وَالْخَلَاصُ مِنْ قَدْحٍ يَعُودُ عَلَى بَعْضِهِمْ أَمَّا الْمُغِيرَةُ وَهُوَ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ فَقَدْ قِيلَ إِنَّهُ نَكَحَهَا سِرًّا فلم يذكروه لعمر؛ لأنه كان لا يرى نكاح السر ويحد فيه وكان يتبسم عِنْدَ الشَّهَادَةِ عَلَيْهِ فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ فقال لأن أَعْجَبُ مِمَّا أُرِيدُ أَنْ أَفْعَلَهُ بَعْدَ كَمَالِ شهادتهم فقيل وَمَا تَفْعَلُ قَالَ أُقِيمُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهَا زَوْجَتِي

Keberatan ketiga: Jika mereka berkata, “Para sahabat adalah orang-orang yang adil, namun sifat ini tidak lepas dari adanya celaan terhadap sebagian mereka dan kefasikan mereka. Sebab, jika mereka jujur dalam kesaksian, maka al-Mughirah adalah pezina, dan zina adalah kefasikan. Jika mereka berdusta, maka mereka adalah para penuduh zina, dan menuduh zina adalah kefasikan.” Maka dijawab: Sifat ini tidak menghalangi keadilan seluruh sahabat, dan dapat dihindari dari celaan yang kembali kepada sebagian mereka. Adapun al-Mughirah, yang menjadi objek kesaksian, telah dikatakan bahwa ia menikahinya secara sembunyi-sembunyi, sehingga mereka tidak menyebutkannya kepada Umar; karena Umar tidak mengakui pernikahan secara sembunyi-sembunyi dan menetapkan hukuman atasnya. Umar tersenyum ketika mendengar kesaksian terhadap al-Mughirah. Lalu ditanyakan kepadanya tentang hal itu, ia menjawab, “Aku merasa heran terhadap apa yang ingin aku lakukan setelah kesaksian mereka sempurna.” Lalu ditanya, “Apa yang akan engkau lakukan?” Ia menjawab, “Aku akan mendatangkan bukti bahwa dia adalah istriku.”

وأما الشهود فلأنهم شاهدوا بِظَاهِرِ مَا شَاهَدُوا فَسَلِمَ جَمَاعَتُهُمْ مِنْ جَرْحٍ وَتَفْسِيقٍ وَلِذَلِكَ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى قَبُولِ أَخْبَارِهِمْ فِي الدِّينِ وَأَثْبَتُوا أَحَادِيثَهُمْ عَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَإِنْ كَانَ أَبُو بَكَرَةَ إِذَا أُتِيَ بِكِتَابٍ لَمْ يَشْهَدْ فِيهِ وَقَالَ إِنَّ الْقَوْمَ فَسَّقُونِي وَكَانَ هَذَا الْقَوْلُ مِنْهُ ثِقَةً بِنَفْسِهِ فَدَلَّتْ هذه القصة من عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى الشُّهُودِ إِذَا لَمْ يَكْمُلْ عَدَدُهُمْ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى شَيْئَانِ

Adapun para saksi, karena mereka memberikan kesaksian berdasarkan apa yang tampak dari apa yang mereka saksikan, maka seluruh kelompok mereka terbebas dari celaan dan tuduhan fasik. Oleh karena itu, kaum Muslimin telah berijmā‘ untuk menerima berita-berita mereka dalam urusan agama dan menetapkan hadis-hadis mereka dari Rasulullah ﷺ. Meskipun Abu Bakrah, jika didatangkan kepadanya sebuah surat yang ia tidak menjadi saksi di dalamnya, ia berkata, “Sesungguhnya kaum itu telah memfasikkan aku,” dan ucapan ini darinya adalah karena kepercayaan dirinya sendiri. Maka kisah ini dari ‘Umar ra. menunjukkan wajibnya pelaksanaan had terhadap para saksi jika jumlah mereka tidak lengkap, dan hal ini juga ditunjukkan dari segi makna oleh dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الشَّهَادَةَ بِالزِّنَا أَغْلَظُ مِنْ لَفْظِ الْقَذْفِ بِالزِّنَا لِأَنَّهُ يَقُولُ فِي الْقَذْفِ زَنَيْتَ وَلَا يَصِفُ الزِّنَا وَيَقُولُ فِي الشَّهَادَةِ أَشْهَدُ أَنَّكَ زَنَيْتَ وَيَصِفُ الزِّنَا وَالْقَذْفُ لَا يُوجِبُ حَدَّ الْمَقْذُوفِ والشهادة توجب حد المشهود عليه ولما كَانَتِ الشَّهَادَةُ أَغْلَظَ مِنَ الْقَذْفِ مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ كَانَتْ بِوُجُوبِ الْحَدِّ إِذَا لَمْ تَتِمَّ أَوْلَى

Salah satunya adalah bahwa kesaksian tentang zina lebih berat daripada ucapan tuduhan zina, karena dalam tuduhan (qadzf) seseorang hanya mengatakan, “Engkau berzina,” tanpa menjelaskan perbuatan zina, sedangkan dalam kesaksian ia mengatakan, “Aku bersaksi bahwa engkau telah berzina,” dan ia menjelaskan perbuatan zina tersebut. Tuduhan (qadzf) tidak mewajibkan had atas orang yang dituduh, sedangkan kesaksian mewajibkan had atas orang yang disaksikan. Karena kesaksian lebih berat daripada tuduhan dari dua sisi ini, maka lebih utama untuk mewajibkan had jika kesaksian itu tidak sempurna.

وَالثَّانِي أَنَّ سُقُوطَ الْحَدِّ عَنْهُمْ ذَرِيعَةٌ إلى تسرع الناس إلى القذف إذا أرادوه أَنْ يُخْرِجُوهُ مَخْرَجَ الشَّهَادَةِ حَتَّى لَا يُحَدُّوا وَفِي حَدِّهِمْ صِيَانَةُ الْأَعْرَاضِ عَنْ تَوَقِّي الْقَذْفِ فَكَانَ أَوْلَى وَأَحَقَّ وَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي أَنَّهُمْ عَلَى عَدَالَتِهِمْ لَا يُحَدُّونَ فَدَلِيلُهُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً النور 4 فَفَرَّقَ بَيْنَ الْقَذَفَةِ وَالشُّهُودِ فَدَلَّ عَلَى افْتِرَاقِهِمْ فِي الْحُدُودِ وَلِأَنَّ الْقَذْفَ مَعَرَّةٌ وَالشَّهَادَةُ إِقَامَةُ حق ولذلك إذا أكثر الْقَذَفَةُ حُدُّوا وَلَوْ كَثُرَ الشُّهُودُ لَمْ يُحَدُّوا فَاقْتَضَى ذَلِكَ وُقُوعَ الْفَرْقِ بَيْنَهُمْ إِذَا قَلُّوا كَمَا وَقَعَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمْ إِذَا كَثُرُوا وَلِأَنَّ حكم كل وَاحِدٍ مِنَ الشُّهُودِ فِي الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيلِ مُعْتَبَرٌ بِنَفْسِهِ لَا بِغَيْرِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ تَأْخِيرُ غَيْرِهِ عَنِ الشَّهَادَةِ مُوجِبًا لِفِسْقِهِ وَلِأَنَّ حَدَّ الشُّهُودِ إِذَا لَمْ يَكْمُلُوا مُفْضٍ إِلَى كَتْمِ الشَّهَادَةِ خَوْفًا أَنْ يُحُدُّوا إِنْ لَمْ يكملوا فتكتم حقوق الله تعالى ولا تؤدى وَقَدْ قَالَ تَعَالَى وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةِ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ البقرة 283 فَهَذَا تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فِيهِمْ إِذَا نَقَصَ عَدَدُهُمْ وَكَمُلَتْ فِي الْعَدَالَةِ أَوْصَافُهُمْ

Kedua, bahwa gugurnya had dari mereka menjadi jalan bagi orang-orang untuk mudah melakukan qadzaf jika mereka menginginkannya, yaitu dengan mengeluarkannya dalam bentuk kesaksian agar mereka tidak dikenai had. Padahal, pelaksanaan had terhadap mereka menjaga kehormatan dari perbuatan qadzaf, sehingga hal itu lebih utama dan lebih benar. Jika dikatakan menurut pendapat kedua bahwa mereka, karena keadilannya, tidak dikenai had, maka dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terjaga kehormatannya, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali cambukan.” (an-Nur: 4). Maka Allah membedakan antara para pelaku qadzaf dan para saksi, sehingga menunjukkan perbedaan mereka dalam hal had. Karena qadzaf adalah aib, sedangkan kesaksian adalah penegakan hak. Oleh karena itu, jika pelaku qadzaf banyak, mereka tetap dikenai had, sedangkan jika saksi banyak, mereka tidak dikenai had. Maka hal itu menuntut adanya perbedaan antara mereka ketika jumlahnya sedikit, sebagaimana terdapat perbedaan ketika jumlahnya banyak. Dan karena hukum masing-masing saksi dalam jarh dan ta‘dil dinilai secara independen, bukan dengan selainnya, maka tidak boleh penundaan saksi lain dari memberikan kesaksian menjadi sebab kefasikan baginya. Dan karena pelaksanaan had terhadap para saksi jika jumlahnya tidak lengkap akan menyebabkan mereka menyembunyikan kesaksian karena takut dikenai had jika jumlahnya tidak cukup, sehingga hak-hak Allah Ta‘ala akan tersembunyi dan tidak ditunaikan. Allah Ta‘ala telah berfirman: “Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sungguh hatinya berdosa.” (al-Baqarah: 283). Inilah penjelasan dua pendapat tentang mereka ketika jumlah mereka kurang, namun sifat adil mereka telah sempurna.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا إِذَا كَمُلَ عَدَدُهُمْ وَنَقَصَتْ أَوْصَافُهُمْ فشهد عليه بِالزِّنَا أَرْبَعَةٌ فَكَانُوا عَبِيدًا أَوْ فُسَّاقًا أَوْ أَعْدَاءً لَا تُقْبَلُ عَلَيْهِ شَهَادَتُهُمْ وَلَمْ يُجْلَدْ بِهِمُ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي رَدِّهِمْ بِنُقْصَانِ الصِّفَةِ مَعَ كَمَالِ الْعَدَدِ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى رَدِّهِمْ بِنُقْصَانِ الْعَدَدِ مَعَ كَمَالِ الصِّفَةِ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِمْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jika jumlah mereka telah lengkap namun sifat-sifat mereka kurang, misalnya yang bersaksi atas perbuatan zina itu ada empat orang, tetapi mereka adalah budak, atau fasiq, atau musuh, maka kesaksian mereka tidak diterima dan orang yang dituduh tidak dijatuhi hukuman had karena kesaksian mereka. Para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai penolakan kesaksian mereka karena kekurangan sifat meskipun jumlahnya lengkap, apakah hukumnya sama dengan penolakan karena kurang jumlah meskipun sifatnya sempurna, dalam hal kewajiban had atas mereka, terdapat tiga pendapat.

أحدها أنهما سواء وأن كل ما منع مِنَ الْحُكْمِ بِالشَّهَادَةِ مِنْ نُقْصَانِ عَدَدٍ أَوْ نُقْصَانِ صِفَةٍ هَلْ يَصِيرُ الشُّهُودُ بِهِ قَذَفَةً يُحَدُّونَ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ لِأَنَّهَا شَهَادَةٌ لم توجب الْحُكْمَ بِهَا

Pertama, keduanya sama, dan setiap hal yang menghalangi penetapan hukum dengan kesaksian, baik karena kekurangan jumlah maupun kekurangan sifat, apakah para saksi dengan hal itu menjadi pelaku qadzaf sehingga mereka dikenai had atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini, karena itu adalah kesaksian yang tidak mewajibkan penetapan hukum dengannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُمَا مُخْتَلَفَانِ فَلَا يصيروا بِنُقْصَانِ الصِّفَةِ مَعَ كَمَالِ الْعَدَدِ قَذَفَةً وَلَا يُحَدُّونَ وَإِنْ صَارُوا بِنُقْصَانِ الْعَدَدِ مَعَ كَمَالِ الصِّفَةِ قَذَفَةً وَحُدُّوا فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لِأَنَّ نُقْصَانَ الْعَدَدِ نَصٌّ وَنُقْصَانُ الصِّفَةِ اجْتِهَادٌ وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مَشْهُورَانِ

Pendapat kedua adalah bahwa keduanya berbeda, sehingga jika terjadi kekurangan pada sifat dengan jumlah yang sempurna, mereka tidak dianggap sebagai pelaku qadzaf dan tidak dikenai had. Namun, jika terjadi kekurangan pada jumlah dengan sifat yang sempurna, mereka dianggap sebagai pelaku qadzaf dan dikenai had menurut salah satu dari dua pendapat. Sebab, kekurangan pada jumlah adalah berdasarkan nash, sedangkan kekurangan pada sifat adalah hasil ijtihad. Kedua pendapat ini masyhur.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ حَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيُّ أَنَّهُ إِنْ كَانَ الرَّدُّ بِنُقْصَانِ الصِّفَةِ أمراً ظاهراً كَالرِّقِّ وَالْفِسْقِ الظَّاهِرِ جَرَى مَجْرَى نُقْصَانِ الْعَدَدِ هل يَصِيرُونَ قَذَفَةً يُحَدُّونَ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ فَإِنْ كَانَ نُقْصَانُ الصِّفَةِ بِأَمْرٍ خَفِيٍّ كَالْفِسْقِ الْخَفِيِّ وَالْعَدَاوَةِ الْخَفِيَّةِ كَانَ مُخَالِفًا لِنُقْصَانِ الْعَدَدِ فَلَمْ يَصِيرُوا بِهِ قَذَفَةً وَلَمْ يُحَدُّوا قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْهُ كَالنَّصِّ تُرَدُّ بِهِ الشَّهَادَةُ قبل سماعها والخفي منه اجتهاد ترد بها الشَّهَادَةُ بَعْدَ سَمَاعِهَا فَافْتَرَقَا

Pendapat ketiga, yang diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini, adalah bahwa jika penolakan (terhadap kesaksian) karena kekurangan sifat merupakan perkara yang tampak jelas, seperti status budak atau kefasikan yang nyata, maka hukumnya seperti kekurangan jumlah saksi: apakah mereka menjadi para penuduh (qadzaf) yang dikenai had atau tidak, terdapat dua pendapat. Namun, jika kekurangan sifat itu karena perkara yang tersembunyi, seperti kefasikan tersembunyi atau permusuhan tersembunyi, maka hal itu berbeda dengan kekurangan jumlah saksi; mereka tidak menjadi para penuduh (qadzaf) dan tidak dikenai had menurut satu pendapat, karena perkara yang tampak jelas seperti nash, sehingga kesaksian ditolak sebelum didengar, sedangkan perkara yang tersembunyi merupakan hasil ijtihad sehingga kesaksian ditolak setelah didengar, maka keduanya berbeda.

فَصْلٌ

Bagian

وَيَتَفَرَّعُ عَلَى هَذَيْنِ الْأَصْلَيْنِ فِي نُقْصَانِ الْعَدَدِ وَنُقْصَانِ الصِّفَةِ فَرْعَانِ

Dari kedua prinsip pokok tentang kekurangan jumlah dan kekurangan sifat ini, bercabang dua cabang hukum.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكْمُلَ عَدَدُهُمْ وَتَكْمُلَ صِفَةُ بَعْضِهِمْ دُونَ بَعْضٍ كَأَرْبَعَةٍ شَهِدُوا عَلَى رَجُلٍ بِالزِّنَا وَفِيهِمْ عَبْدٌ أَوْ فَاسِقٌ وَبَاقِيهِمْ عُدُولٌ فَإِنْ قِيلَ إِنَّ نُقْصَانَ الْعَدَدِ لَا يُوجِبُ الحد فهو أولى وإن قيل إنه موجب الْحَدَّ فَفِي هَذَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Salah satu contohnya adalah jumlah mereka lengkap, namun sifat adil hanya terdapat pada sebagian dari mereka, tidak pada semuanya; seperti empat orang yang bersaksi atas seorang laki-laki dalam perkara zina, namun di antara mereka ada seorang budak atau seorang fasiq, sedangkan sisanya adalah orang-orang yang adil. Jika dikatakan bahwa kekurangan jumlah tidak mewajibkan had, maka ini lebih utama. Namun jika dikatakan bahwa hal itu mewajibkan had, maka dalam masalah ini terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا حَدَّ عَلَى جَمِيعِهِمْ لِقُوَّةِ الشهادة بكمال العدد وبكمال صفة الأكثرين

Salah satu pendapat, dan inilah yang paling sahih, adalah bahwa tidak ada had atas mereka semua karena kuatnya kesaksian dengan jumlah yang lengkap dan dengan kesempurnaan sifat pada kebanyakan dari mereka.

والوجه الثاني أنه يحد جميعهم لرد شهادتهم

Alasan kedua adalah bahwa semuanya dikenai had agar kesaksian mereka ditolak.

والوجه الثالث يُحَدُّ مَنْ نَقَصَتْ صِفَتُهُ بِالرِّقِّ وَالْفِسْقِ وَلَا يُحَدُّ مَنْ كَمُلَتْ صِفَتُهُ بِالْعَدَالَةِ لِلُحُوقِ الظِّنَّةِ بِالْفَاسِقِ وَانْتِفَائِهَا عَنِ الْعَدْلِ

Pendapat ketiga: Dikenakan had bagi orang yang berkurang sifatnya karena status budak atau kefasikan, dan tidak dikenakan had bagi orang yang sempurna sifatnya karena keadilan, karena adanya dugaan buruk pada orang fasik dan tidak adanya dugaan tersebut pada orang yang adil.

وَالْفَرْعُ الثَّانِي أَنْ يَكْمُلَ عَدَدُهُمْ وَتَكْمُلَ صِفَتُهُمْ فَتُرَدُّ شَهَادَتُهُمْ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Cabang kedua adalah bahwa jumlah mereka harus lengkap dan sifat mereka juga harus sempurna, sehingga kesaksian mereka dapat diterima. Hal ini terbagi menjadi tiga macam.

أَحَدُهَا أَنْ تُرَدَّ لِتَكَاذُبٍ فِيهَا وَتَعَارُضٍ وَهُوَ أَنْ يَشْهَدَ اثْنَانِ مِنْهُمْ أَنَّهُ زَنَا بِهَا يَوْمَ الجمعة ببغداد ويشهد الآخران أنه زنا بِهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْبَصْرَةِ

Salah satunya adalah ditolak karena terdapat pertentangan dan kontradiksi di dalamnya, yaitu apabila dua orang dari mereka bersaksi bahwa ia berzina dengannya pada hari Jumat di Baghdad, sementara dua orang lainnya bersaksi bahwa ia berzina dengannya pada hari Jumat di Basrah.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّ رد الشهود من غير تكاذب موجب الحد فوجب به مَعَ التَّكَاذُبِ أَوْلَى وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ لَا يُوجِبُ الْحَدَّ فَفِي رَدِّهِمْ بِالتَّكَاذُبِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Jika dikatakan bahwa penolakan para saksi tanpa adanya saling mendustakan mewajibkan hudud, maka dengan adanya saling mendustakan tentu lebih utama mewajibkan hudud. Dan jika dikatakan bahwa hal itu tidak mewajibkan hudud, maka dalam penolakan mereka karena saling mendustakan terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا يُحَدُّونَ جَمِيعًا لِلْقَطْعِ بِالْكَذِبِ فِي شَهَادَتِهِمْ

Salah satunya adalah mereka semua dijatuhi had karena telah dipastikan berbohong dalam kesaksian mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُحَدُّونَ جَمِيعًا لِأَنَّ الْكَذِبَ لَمْ يَتَعَيَّنْ فِي إِحْدَى الْجِهَتَيْنِ

Adapun pendapat kedua, mereka semua tidak dijatuhi had karena kebohongan itu tidak dapat dipastikan terjadi pada salah satu dari dua pihak.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أن يُحَدَّ الْأَخِيرَانِ؛ لِتَقَدُّمِ إِكْذَابِ الْأَوَّلَيْنِ لَهُمَا قَبْلَ شهادتهما ولا يحد الأولان لحدوث إكذاب الآخران لهما بعد شهادتهما وهذا صحيح

Pendapat ketiga adalah bahwa yang dijatuhi had adalah dua orang yang terakhir, karena dua orang yang pertama telah lebih dahulu mendustakan keduanya sebelum keduanya memberikan kesaksian. Adapun dua orang yang pertama tidak dijatuhi had, karena pendustaan dari dua orang yang terakhir terhadap mereka terjadi setelah mereka memberikan kesaksian, dan ini adalah pendapat yang benar.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تُرَدَّ شَهَادَتُهُمْ لِاخْتِلَافِ الزِّنَا مَعَ الِاتِّفَاقِ عَلَى وُجُودِهِ مِنْهُمَا وَهُوَ أَنْ يَشْهَدَ اثْنَانِ مِنْهُمْ أَنَّهُ زَنَا بِهَا فِي يوم الجمعة ويشهد الآخران أنه زنا بِهَا فِي يَوْمِ السَّبْتِ أَوْ يَشْهَدُ اثْنَانِ أنه زنا بها في الدار ويشهد آخران أنه زنا بِهَا فِي الْبَيْتِ فَلَيْسَ فِي هَذَا تَكَاذُبٌ؛ لِأَنَّهُمَا فِعْلَانِ لَمْ تَكْمُلِ الشَّهَادَةُ بِأَحَدِهِمَا فَلَمْ يُحَدَّ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ فَأَمَّا حَدُّ الشُّهُودِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّ نُقْصَانَ الْعَدَدِ غَيْرُ مُوجِبٍ لِلْحَدِّ فَهَذَا أَوْلَى وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ مُوجِبٌ لِلْحَدِّ ففي وجوبه ها هنا وَجْهَانِ

Jenis kedua adalah kesaksian mereka ditolak karena perbedaan dalam peristiwa zina, meskipun mereka sepakat bahwa perbuatan itu terjadi di antara keduanya. Contohnya adalah dua orang dari mereka bersaksi bahwa ia berzina dengannya pada hari Jumat, sedangkan dua orang lainnya bersaksi bahwa ia berzina dengannya pada hari Sabtu; atau dua orang bersaksi bahwa ia berzina dengannya di rumah, sedangkan dua orang lainnya bersaksi bahwa ia berzina dengannya di kamar. Dalam hal ini tidak terdapat pertentangan (takādzub), karena itu adalah dua perbuatan yang berbeda dan kesaksian tidak sempurna pada salah satunya, sehingga orang yang dituduh tidak dijatuhi had. Adapun mengenai had bagi para saksi, jika dikatakan bahwa kekurangan jumlah saksi tidak mewajibkan had, maka dalam kasus ini lebih utama (untuk tidak dijatuhi had). Namun jika dikatakan bahwa kekurangan jumlah saksi mewajibkan had, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أْحَدُهُمَا أَنَّهُ يَجِبُ الْحَدُّ عَلَيْهِمْ لِأَنَّ الشَّهَادَةَ لَمْ تُكْمَلْ بِهِمْ

Salah satunya adalah bahwa hadd wajib dijatuhkan kepada mereka karena kesaksian tidak menjadi sempurna dengan mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا حَدَّ عَلَيْهِمْ لِكَمَالِ الشَّهَادَةِ بِالزِّنَا وَإِنِ اخْتَلَفَتْ فصارت كاملة في سقوطه الْعِفَّةِ وَإِنْ لَمْ تُكْمَلْ فِي وُجُوبِ الْحَدِّ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak dikenakan had atas mereka karena kesaksian tentang zina telah sempurna, meskipun terdapat perbedaan sehingga kesaksian itu menjadi sempurna dalam menggugurkan ‘iffah (kehormatan), meskipun belum sempurna dalam mewajibkan had.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ مَا اخْتُلِفَ فِي رَدِّ شَهَادَتِهِمْ بِهِ وَهُوَ أَنْ يَشْهَدَ اثْنَانِ مِنْهُمْ أَنَّهُ أكرهها على الزنا ويشهد الآخران أَنَّهَا طَاوَعَتْهُ عَلَى الزِّنَا فَلَا حَدَّ عَلَى المرأة؛ لأنها تحد بالمطاوعة دُونَ الْإِكْرَاهِ وَلَمْ تَكْمُلِ الشَّهَادَةُ عَلَيْهَا بِالْمُطَاوَعَةِ فَسَقَطَ الْحَدُّ عَنْهَا

Jenis yang ketiga adalah kasus yang diperselisihkan mengenai penolakan kesaksian mereka, yaitu ketika dua orang dari mereka bersaksi bahwa ia dipaksa untuk berzina, sedangkan dua orang lainnya bersaksi bahwa ia melakukannya dengan suka rela. Maka tidak dikenakan had atas perempuan tersebut; karena had hanya dijatuhkan atas perbuatan suka rela, bukan karena paksaan, dan kesaksian atasnya dalam hal suka rela belum sempurna, sehingga had gugur darinya.

وَأَمَّا الرَّجُلُ فَفِي وُجُوبِ حَدِّهِ بِشَهَادَتِهِمْ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ في ” جامعه

Adapun laki-laki, maka dalam kewajiban penegakan hudud atasnya berdasarkan kesaksian mereka terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hamid al-Marwazi dalam kitab “Jami‘”-nya.

أحدهما لا يحد؛ لأن اخْتِلَافُ الصِّفَةِ كَاخْتِلَافِ الْفِعْلِ

Salah satunya tidak dikenai hudud; karena perbedaan sifat itu seperti perbedaan perbuatan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يُحَدُّ لِاتِّفَاقِهِمْ فِي الشَّهَادَةِ عَلَيْهِ بِزِنًا وَاحِدٍ يُوجِبُ الْحَدَّ وَلَيْسَ فِيهَا تَعَارُضٌ؛ لِأَنَّ الْإِكْرَاهَ يَكُونُ فِي أَوَّلِ الْفِعْلِ وَالْمُطَاوَعَةَ فِي آخِرِهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ حُكِمَ بِشَهَادَتِهِمْ فِي حَدِّ الرَّجُلِ لَمْ يُحَدُّوَا فِي حَقِّ الرَّجُلِ وَلَا في الْمَرْأَةِ لِثُبُوتِهَا وَإِنْ لَمْ يُحْكَمْ بشهادتهم في حد الرجل جاز الْحُكْمُ فِي وُجُوبِ حَدِّهِمْ كَالضَّرْبِ الثَّانِي إِنْ قِيلَ إِنَّهُمْ لَا يُحَدُّونَ إِذَا نَقَصُوا فَهَؤُلَاءِ أولى أن لا يحدوا وإن قيل يُحَدُّونَ إِذَا نَقَصُوا فَفِي وُجُوبِ حَدِّ هَؤُلَاءِ وَجْهَانِ فَإِنْ قُلْنَا لَا حَدَّ عَلَيْهِمْ فَلَا مَسْأَلَةَ وَإِنْ قُلْنَا الْحَدُّ وَاجِبٌ عَلَيْهِمْ حُدَّ شاهد الْإِكْرَاهِ فِي حَقِّ الرَّجُلِ دُونَ الْمَرْأَةِ وَحُدَّ شاهد الْمُطَاوَعَةِ فِي حَقِّ الرَّجُلِ وَحَقِّ الْمَرْأَةِ وَهُوَ قذف لهما بزنا واحد فهل يَحُدُّونَ لَهُمَا حَدًّا وَاحِدًا أَوْ حَدَّيْنِ عَلَى قولين

Pendapat kedua menyatakan bahwa mereka dikenai had karena kesepakatan mereka dalam persaksian atas satu perzinaan yang mewajibkan had, dan di dalamnya tidak terdapat pertentangan; karena pemaksaan terjadi pada awal perbuatan dan kerelaan pada akhirnya. Berdasarkan hal ini, jika diputuskan dengan persaksian mereka dalam had bagi laki-laki, maka mereka tidak dikenai had baik terhadap laki-laki maupun perempuan karena telah tetapnya (persaksian tersebut). Namun jika tidak diputuskan dengan persaksian mereka dalam had bagi laki-laki, maka boleh memutuskan kewajiban had atas mereka seperti pada jenis kedua. Jika dikatakan bahwa mereka tidak dikenai had ketika jumlah mereka kurang, maka mereka ini lebih utama untuk tidak dikenai had. Dan jika dikatakan mereka dikenai had ketika jumlah mereka kurang, maka dalam kewajiban had atas mereka terdapat dua pendapat. Jika kita katakan tidak ada had atas mereka, maka tidak ada masalah. Namun jika kita katakan had wajib atas mereka, maka saksi pemaksaan dikenai had dalam hak laki-laki saja, tidak pada perempuan, dan saksi kerelaan dikenai had dalam hak laki-laki dan perempuan, karena itu merupakan tuduhan zina atas keduanya dalam satu perzinaan. Maka apakah mereka dikenai satu had untuk keduanya atau dua had, terdapat dua pendapat.

أحدهما وهو الْقَدِيمِ يُحَدُّونَ حَدًّا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ الزِّنَا وَاحِدٌ

Yang pertama, yaitu yang lama, mereka menetapkan satu jenis hadd; karena zina itu satu.

وَالثَّانِي وَهُوَ الْجَدِيدُ يُحَدُّونَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَدًّا مُفْرَدًا؛ لِأَنَّهُ مَقْذُوفٌ فِي عَيْنِهِ وَاللَّهُ أعلم

Yang kedua, yaitu pendapat baru, mereka dikenai had secara terpisah untuk masing-masing dari keduanya; karena masing-masing telah dituduh secara langsung, dan Allah lebih mengetahui.

فصل

Bab

وأما المسألة المسطورة أوله فصورتها في أربعة شَهِدُوا عَلَى رَجُلٍ بِالزِّنَا ثُمَّ رَجَعَ أَحَدُهُمْ عَنْ شَهَادَتِهِ بَعْدَ الْحُكْمِ بِشَهَادَتِهِمْ وَقَبْلَ إِقَامَةِ الْحَدِّ بِهَا سَقَطَ الْحَدُّ عَنِ الْمَشْهُودِ عَلَيْهِ وَحُدَّ مِنَ الشُّهُودِ الرَّاجِعُ عَنْ شَهَادَتِهِ لِاعْتِرَافِهِ بِالْقَذْفِ وَلَمْ يُحَدَّ مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْهَا

Adapun permasalahan yang disebutkan di awal, bentuknya adalah tentang empat orang yang bersaksi atas seorang laki-laki melakukan zina, kemudian salah satu dari mereka menarik kembali kesaksiannya setelah adanya putusan berdasarkan kesaksian mereka, namun sebelum pelaksanaan hadd atasnya. Maka, hadd gugur dari orang yang dituduh, dan saksi yang menarik kembali kesaksiannya dikenai hadd karena ia telah mengakui melakukan qazaf, sedangkan saksi yang tidak menarik kembali kesaksiannya tidak dikenai hadd.

وقال أبو حنيفة حد مَنْ رَجَعَ وَمَنْ لَمْ يَرْجِعْ إِلَّا أَنْ يكون رجوعه بعد إقامة الحد فيحد الرابع وَحْدَهُ احْتِجَاجًا بِأَنَّ نُقْصَانَ الْعَدَدِ فِي الِانْتِهَاءِ كَنُقْصَانِهِ فِي الِابْتِدَاءِ فِي سُقُوطِ حَدِّ الزِّنَا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ بِمَثَابَتِهِ فِي وُجُوبِ حَدِّ الْقَذْفِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa had (hukuman) tetap berlaku bagi orang yang mencabut kesaksiannya maupun yang tidak mencabutnya, kecuali jika pencabutan itu dilakukan setelah had ditegakkan, maka hanya yang keempat saja yang dikenai had. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa berkurangnya jumlah saksi pada akhir (kesaksian) sama seperti berkurangnya pada awalnya dalam menggugurkan had zina, sehingga seharusnya kedudukannya sama dalam mewajibkan had qadzaf.

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ هُوَ أَنَّ مَنْ وَجَبَ الْحَدُّ بِشَهَادَتِهِ لَمْ يُحَدَّ إِذَا أَقَامَ عَلَى شَهَادَتِهِ كَمَا لَوْ لَمْ يَرْجِعْ وَاحِدٌ مِنْهُمْ وَلِأَنَّ نُقْصَانَ الْعَدَدِ بَعْدَ كَمَالِهِ لَا يُوجِبُ حَدَّ مَنْ بَقِيَ كَمَا لَوْ مَاتَ بَعْضُهُمْ أَوْ فُسِّقَ قَبْلَ إِقَامَةِ الْحَدِّ وَهَذَا أَلْزَمُ لِأَبِي حَنِيفَةَ؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ لَوْ مَاتَ أَحَدُهُمْ لَمْ يُحَدَّ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ عِنْدَهُ وَلَمْ يُحَدَّ الْبَاقُونَ مِنَ الشُّهُودِ وَيُحَدُّ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا وَلَا يُحَدُّ الشُّهُودُ

Dalil mengenai hal ini adalah bahwa siapa pun yang wajib dikenai had berdasarkan kesaksiannya, tidak dikenai had jika ia tetap pada kesaksiannya, sebagaimana jika tidak ada satu pun dari mereka yang menarik kembali kesaksiannya. Karena berkurangnya jumlah saksi setelah sebelumnya lengkap tidak mewajibkan had bagi saksi yang tersisa, sebagaimana jika sebagian dari mereka meninggal dunia atau menjadi fasiq sebelum pelaksanaan had. Hal ini lebih mengikat bagi Abu Hanifah; karena menurutnya, jika salah satu dari mereka meninggal, maka orang yang disaksikan tidak dikenai had menurut pendapatnya, dan saksi yang tersisa pun tidak dikenai had, sedangkan menurut pendapat kami, orang yang disaksikan tetap dikenai had dan para saksi tidak dikenai had.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ نُقْصَانِ الْعَدَدِ من الِابْتِدَاءِ وَنُقْصَانِهِ فِي الِانْتِهَاءِ أَنَّ التَّحَرُّزَ مِنْ نُقْصَانِهِ فِي الِابْتِدَاءِ مُمْكِنٌ وَالتَّحَرُّزُ مِنْ نُقْصَانِهِ فِي الِانْتِهَاءِ غَيْرُ مُمْكِنٍ

Perbedaan antara kekurangan jumlah sejak awal dan kekurangannya di akhir adalah bahwa menghindari kekurangan jumlah sejak awal itu mungkin dilakukan, sedangkan menghindari kekurangan jumlah di akhir tidak mungkin dilakukan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حُكْمِ الشَّهَادَةِ عَلَى الزِّنَا إذا لم يجب بها حد الزنا وفي وُجُوبِ حَدِّ الْقَذْفِ عَلَى الشُّهُودِ أَوْ سُقُوطِهِ عَنْهُمْ عَلَى التَّرْتِيبِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan mengenai hukum kesaksian atas zina, yaitu apabila tidak wajib dengan kesaksian itu hukuman had zina, dan tentang wajib atau tidaknya had qazaf atas para saksi, sesuai dengan urutan yang telah kami sebutkan sebelumnya.

فَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ لَا حَدَّ عَلَيْهِمْ كَانُوا عَلَى عَدَالَتِهِمْ فِي سَمَاعِ شَهَادَتِهِمْ وَقَبُولِ خَبَرِهِمْ

Jika kita mengatakan bahwa tidak ada had atas mereka, maka mereka tetap berada dalam keadaan adil sehingga kesaksian mereka dapat didengar dan berita mereka dapat diterima.

وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْحَدَّ وَاجِبٌ عَلَيْهِمْ لَمْ تُسْمَعْ شَهَادَتُهُمْ؛ لِأَنَّهُ لَا يُحَدُّ لِلْقَذْفِ إِلَّا قَاذِفٌ وَالْقَاذِفُ لا تسمع شهادته حتى يتوب وبذلك قال عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَبِي بَكْرَةَ ” تُبْ أَقْبَلْ شهادتك فأما قبول أخبارهم عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ففيه وجهان

Dan jika kita mengatakan bahwa had wajib atas mereka, maka kesaksian mereka tidak diterima; karena had qadzaf hanya dijatuhkan kepada orang yang menuduh, dan penuduh tidak diterima kesaksiannya sampai ia bertaubat. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Bakrah, “Bertaubatlah, maka aku akan menerima kesaksianmu.” Adapun mengenai diterimanya berita mereka tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفِرَايِينِيِّ أَنَّ أَخْبَارَهُمْ مَقْبُولَةٌ؛ لِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ قَبِلُوا رِوَايَاتِ أَبِي بَكْرَةَ وَمَنْ حُدَّ مَعَهُ وَلَمْ يَقْبَلُوا شَهَادَتَهُمْ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, menyatakan bahwa riwayat mereka diterima; karena kaum Muslimin menerima riwayat Abu Bakrah dan orang-orang yang dikenai had bersamanya, namun mereka tidak menerima kesaksian mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَقْيَسُ أَنَّهُ لَا تُقْبَلُ أخبارهم كما لا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمْ؛ لِأَنَّ مَا جُرِحَ فِي تَعْدِيلِ الشَّهَادَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالْحُقُوقِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُجْرَحَ في تعديل الرواية المتعلقة بالدين والله أعلم

Pendapat kedua, yang lebih sesuai dengan qiyās, adalah bahwa kabar mereka tidak diterima sebagaimana kesaksian mereka juga tidak diterima; karena jika terdapat cacat dalam penilaian terhadap kesaksian yang berkaitan dengan hak-hak, maka lebih utama lagi terdapat cacat dalam penilaian terhadap riwayat yang berkaitan dengan agama. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي فَإِنْ رُجِمَ بِشَهَادَةِ أَرْبَعَةٍ ثُمَّ رَجَعَ أَحَدُهُمْ سَأَلْتُهُ فَإِنْ قَالَ عَمَدْتُ أَنْ أَشْهَدَ بِزُورٍ مَعَ غَيْرِي لِيُقْتَلَ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ وَإِنْ قَالَ شَهَدْتُ وَلَا أَعْلَمُ عَلَيْهِ الْقَتْلَ أَوْ غَيْرَهُ أُحْلِفَ وَكَانَ عَلَيْهِ رُبُعُ الدِّيَةِ وَالْحَدُّ وَكَذَلِكَ إِنْ رَجَعَ الْبَاقُونَ

Syafi‘i berkata: Jika seseorang dirajam berdasarkan kesaksian empat orang, kemudian salah satu dari mereka menarik kembali kesaksiannya, aku bertanya kepadanya. Jika ia berkata, “Aku sengaja memberikan kesaksian palsu bersama yang lain agar ia dibunuh,” maka ia wajib dikenai qishāsh. Namun jika ia berkata, “Aku bersaksi tanpa mengetahui bahwa ia layak dibunuh atau tidak,” maka ia harus disumpah, dan ia wajib membayar seperempat diyat serta dikenai hadd. Demikian pula jika yang lain juga menarik kembali kesaksiannya.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا شَهِدَ أَرْبَعَةٌ عَلَى رَجُلٍ بِالزِّنَا فَحُدَّ بِشَهَادَتِهِمْ ثُمَّ رَجَعُوا عَنِ الشَّهَادَةِ فَقَدْ صَارُوا بِالرُّجُوعِ قَذَفَةً وَيُحَدُّونَ وَلَا يَخْلُو حَالُ مَا أُقِيمَ بِشَهَادَتِهِمْ مِنَ الْحَدِّ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, yaitu apabila empat orang memberikan kesaksian atas seorang laki-laki bahwa ia berzina, lalu ia dijatuhi hukuman had berdasarkan kesaksian mereka, kemudian mereka menarik kembali kesaksian tersebut, maka dengan penarikan kembali itu mereka menjadi para penuduh (qadzaf) dan mereka dijatuhi hukuman had. Keadaan orang yang telah dijatuhi hukuman had berdasarkan kesaksian mereka tidak lepas dari dua kemungkinan.”

إِمَّا أَنْ يَكُونَ رَجْمًا أَوْ جَلْدًا فَإِنْ كَانَ رَجْمًا ضَمِنُوا بِالرُّجُوعِ نَفْسَ الْمَرْجُومِ وَسُئِلُوا عَنْ شَهَادَتِهِمْ هَلْ عَمَدُوا الْكَذِبَ فِيهَا لِيُقْتَلَ أو لم يعمدوه ولهم فِي الْجَوَابِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ

Hukuman itu bisa berupa rajam atau cambuk. Jika hukumannya adalah rajam, maka para saksi bertanggung jawab atas jiwa orang yang dirajam jika mereka menarik kembali kesaksiannya, dan mereka akan ditanya tentang kesaksian mereka: apakah mereka sengaja berdusta agar orang itu dibunuh atau tidak sengaja. Dalam menjawab pertanyaan ini, ada empat keadaan bagi mereka.

أَحَدُهَا أَنْ يَقُولُوا أَخْطَأْنَا جَمِيعًا فَعَلَيْهِمْ دِيَةُ الْخَطَأِ مُؤَجَّلَةٌ فِي أَمْوَالِهِمْ لَا عَلَى عَوَاقِلِهِمْ؛ لِأَنَّهَا عَنِ اعْتِرَافٍ

Salah satunya adalah mereka mengatakan, “Kami semua telah bersalah,” maka atas mereka dikenakan diyat karena kesalahan yang dibayarkan secara tangguh dari harta mereka sendiri, bukan dari ‘āqilah mereka; karena diyat tersebut berdasarkan pengakuan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَقُولُوا عَمَدْنَا وَلَمْ نَعْلَمْ أَنَّهُ يُقْتَلُ وَظَنَنَّاهُ بِكْرًا فَعَلَيْهِمْ دِيَةُ شِبْهِ الْعَمْدِ وَلَا قَوَدَ وَتَكُونُ فِي أَمْوَالِهِمْ دُونَ عَوَاقِلِهِمْ

Keadaan kedua adalah apabila mereka berkata, “Kami sengaja melakukannya, tetapi kami tidak tahu bahwa ia akan terbunuh, dan kami mengira ia masih perjaka,” maka atas mereka dikenakan diyat syibh al-‘amd dan tidak ada qishāsh, serta diyat tersebut diambil dari harta mereka sendiri, bukan dari ‘āqilah mereka.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَقُولُوا عَمَدْنَا لِيُقْتَلَ فعليهم القود فإن عفا عنه فدية العمد المحض فِي أَمْوَالِهِمْ

Keadaan yang ketiga adalah apabila mereka berkata, “Kami sengaja melakukannya agar ia dibunuh,” maka atas mereka berlaku qishāsh. Jika dimaafkan, maka wajib membayar diyat ‘amdan murni dari harta mereka.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَيْهِمُ الدِّيَةُ دون القود والكلام معه يأتي في الشهادات

Abu Hanifah berkata, “Atas mereka dikenakan diyat, bukan qishash, dan pembahasan dengannya akan dijelaskan dalam bab kesaksian.”

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ أَنْ يَقُولُوا عَمَدَ بَعْضُنَا وَأَخْطَأَ بَعْضُنَا فَلَا قَوَدَ عَلَى الْعَامِدِ وَلَا عَلَى الخاطئ؛ لكن على العامد دية العمد وَعَلَى الْخَاطِئِ دِيَةُ الْخَطَأِ مُؤَجَّلَةٌ

Keadaan keempat adalah apabila mereka berkata, “Sebagian dari kami melakukannya dengan sengaja dan sebagian lagi tidak sengaja,” maka tidak ada qishāsh atas pelaku yang sengaja maupun yang tidak sengaja; tetapi atas pelaku yang sengaja dikenakan diyat ‘amdan, dan atas pelaku yang tidak sengaja dikenakan diyat khathā’ yang pembayarannya ditangguhkan.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِنْ كان الحد جلداً فلم يُؤَثِّرِ الْجَلْدُ فِي بَدَنِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الشُّهُودِ وَإِنْ أَثَّرَ فِي بَدَنِهِ فَأَنْهَرَ دَمًا وَأَحْدَثَ جُرْحًا ضَمِنَهُ الشُّهُودُ فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ

Jika hududnya berupa cambukan dan cambukan tersebut tidak berpengaruh pada tubuhnya, maka para saksi tidak menanggung apa-apa. Namun jika cambukan itu berpengaruh pada tubuhnya sehingga mengalirkan darah dan menimbulkan luka, maka para saksi wajib menanggungnya baik dalam kasus sengaja maupun tidak sengaja.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَضْمَنُونَ أَثَرَ الْجَلْدِ وَمَا حَدَثَ مِنْهُ وَإِنْ ضَمِنُوا دِيَةَ النَّفْسِ فِي الرَّجْمِ؛ لِأَنَّ الشَّهَادَةَ أَوْجَبَتِ الرَّجْمَ فَضَمِنُوهُ ولم يوجب أَثَرَ الْجَلْدِ فَلَمْ يَضْمَنُوهُ

Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka tidak menanggung ganti rugi atas bekas cambukan dan apa yang terjadi akibatnya, meskipun mereka menanggung diyat jiwa dalam kasus rajam; karena kesaksian telah mewajibkan pelaksanaan rajam sehingga mereka menanggungnya, namun tidak mewajibkan bekas cambukan sehingga mereka tidak menanggungnya.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهَا جِنَايَةٌ حَدَثَتْ عَنْ شَهَادَتِهِمْ فَوَجَبَ أَنْ تَلْزَمَهُمْ غُرْمُهَا كَالنَّفْسِ وَلِأَنَّ مَا ضُمِّنَ بِهِ النَّفْسُ ضُمِنَ بِهِ مَا دُونَهَا كَالْمُبَاشِرَةِ وَمَا اسْتُدِلَّ بِهِ غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ السَّرَايَةَ مَضْمُونَةٌ كَالْجِنَايَةِ فَهَذَا حُكْمُ رُجُوعِهِمْ جَمِيعًا فأما إذا رجع أحدهم فهي مسألة الكتاب فَيُنْظَرُ فَإِنْ قَالَ عَمَدْتُ وَعَمَدَ أَصْحَابِي وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ دُونَهُمْ وَإِنْ قَالَ أَخْطَأْتُ أَوْ قَالَ عَمَدْتُ وَأَخْطَأَ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ رُبُعُ الدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ وَلَوْ رَجَعَ اثْنَانِ وَجَبَ عَلَيْهِمَا نِصْفُ الدِّيَةِ وَلَوْ رَجَعَ ثَلَاثَةٌ كَانَ عَلَيْهِمْ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِ الدِّيَةِ

Dalil kami adalah bahwa ini merupakan jinayah (tindak pidana) yang terjadi akibat kesaksian mereka, maka wajib bagi mereka menanggung ganti ruginya sebagaimana pada kasus jiwa. Karena apa yang menyebabkan tanggungan pada jiwa, juga menyebabkan tanggungan pada selain jiwa, sebagaimana pada pelaku langsung. Adapun dalil yang digunakan pihak lain tidaklah benar, karena akibat (sarayah) juga ditanggung sebagaimana jinayah itu sendiri. Inilah hukum jika mereka semua menarik kembali kesaksiannya. Adapun jika hanya salah satu dari mereka yang menarik kembali, maka ini adalah masalah yang dibahas dalam kitab. Maka dilihat: jika ia berkata, “Aku sengaja dan teman-temanku juga sengaja,” maka wajib atasnya qishash tanpa melibatkan yang lain. Jika ia berkata, “Aku keliru,” atau berkata, “Aku sengaja dan teman-temanku keliru,” maka atasnya seperempat diyat tanpa qishash. Jika dua orang menarik kembali, maka wajib atas mereka berdua setengah diyat. Jika tiga orang menarik kembali, maka atas mereka tiga perempat diyat.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا شَهِدَ سِتَّةٌ عَلَى رَجُلٍ بِالزِّنَا فَرُجِمَ ثُمَّ رَجَعَ مِنْهُمْ وَاحِدٌ أَوِ اثْنَانِ وَبَقِيَ بَعْدَ الرَّاجِعِ بَيِّنَةٌ كَامِلَةٌ فَفِي ضَمَانِ الرَّاجِعِ وَجْهَانِ

Apabila enam orang bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia telah berzina, lalu ia dirajam, kemudian salah satu atau dua orang dari mereka menarik kembali kesaksiannya, dan setelah yang menarik kembali itu masih tersisa bukti yang lengkap, maka dalam hal tanggung jawab orang yang menarik kembali kesaksian terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الأصح ورواه البويطي عن الشافعي أَنَّهُ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِبَقَاءِ بَيِّنَةٍ يَجِبُ بها الرجم فصار رجوعه كَعَدَمِهِ

Salah satu pendapat, dan inilah yang paling sahih serta diriwayatkan oleh Al-Buwaiti dari Asy-Syafi‘i, bahwa tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya karena masih adanya bukti yang jelas yang mewajibkan rajam, sehingga rujuknya dianggap seperti tidak ada.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي حَكَاهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ أَنَّ الرَّاجِعَ يُضْمَنُ مَعَ بَقَاءِ الْبَيِّنَةِ؛ لِأَنَّهُ رجل بِشَهَادَةِ جَمِيعِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَعَيَّنَ فِي الشَّهَادَةِ بَعْضَهُمْ

Pendapat kedua, yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Marwazi, adalah bahwa orang yang menarik kembali (kesaksiannya) tetap dikenai tanggungan selama bukti (kesaksian) masih ada; karena ia adalah seorang laki-laki berdasarkan kesaksian seluruh mereka tanpa ada penetapan khusus pada sebagian dari mereka dalam kesaksian tersebut.

فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ الرَّاجِعُ مِنَ السِّتَّةِ وَاحِدًا فَعَلَيْهِ سُدُسُ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهُ واحد من ستة ولو رجع اثنان فعليهما ثُلُثُ الدِّيَةِ وَلَكِنْ لَوْ رَجَعَ مِنَ السِّتَّةِ ثَلَاثَةٌ ضَمَنُوا لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ الْمَذْهَبُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَبْقَ بَعْدَ رُجُوعِهِمْ بَيِّنَةٌ كَامِلَةٌ وَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُونَهُ وَجْهَانِ

Maka berdasarkan hal ini, jika yang menarik kembali dari enam orang itu satu orang, maka ia wajib membayar seperenam diyat, karena ia satu dari enam. Jika yang menarik kembali dua orang, maka keduanya wajib membayar sepertiga diyat. Namun, jika dari enam orang itu tiga orang yang menarik kembali, maka mereka bertiga wajib menanggung (diyat), dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab; karena setelah mereka menarik kembali, tidak tersisa lagi bayyinah yang sempurna. Adapun mengenai besaran yang harus mereka tanggung, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ عَلَى الثَّلَاثَةِ رُبُعُ الدِّيَةِ لِأَنَّ الْبَاقِيَ مِنَ الْبَيِّنَةِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِهَا

Salah satunya adalah pendapat Abu Hanifah, yaitu pada tiga (anggota tubuh) dikenakan tiga perempat diyat, karena yang tersisa dari anggota tubuh tersebut adalah tiga perempatnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وهو الظاهر من منصوص الْبُوَيْطِيِّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ عَلَيْهِمْ نِصْفَ الدِّيَةِ لِرُجُوعِ نِصْفِ الشُّهُودِ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang zahir dari nash al-Buwaiti dari asy-Syafi‘i, adalah bahwa atas mereka dikenakan setengah diyat karena setengah saksi telah menarik kembali kesaksiannya.

وَلَوْ رَجَعَ مِنَ السِّتَّةِ أربعة فأحد الوجهين عَلَيْهِمْ نِصْفُ الدِّيَةِ اعْتِبَارًا بِعَدَدِ مَنْ بَقِيَ

Dan jika dari enam orang itu empat orang menarik diri, maka menurut salah satu pendapat, atas mereka setengah diyat, dengan mempertimbangkan jumlah orang yang masih tersisa.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي عَلَيْهِمْ ثُلُثَا الدِّيَةِ اعْتِبَارًا بِعَدَدِ مَنْ رَجَعَ

Dan pendapat kedua, atas mereka wajib membayar dua pertiga diyat, dengan mempertimbangkan jumlah orang yang menarik kembali pengakuannya.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا شَهِدَ أَرْبَعَةٌ عَلَى رَجُلٍ بِالزِّنَا وَشَهِدَ اثْنَانِ بِإِحْصَانِهِ ثُمَّ رَجَعَ شَاهِدَا الْإِحْصَانِ دُونَ شُهُودِ الزِّنَا فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَيْهِمَا وَجْهَانِ

Apabila empat orang memberikan kesaksian atas seorang laki-laki bahwa ia telah berzina, dan dua orang memberikan kesaksian bahwa ia muhsan (sudah menikah), kemudian dua saksi yang bersaksi tentang status muhsan itu menarik kembali kesaksiannya, sedangkan para saksi zina tidak menarik kesaksiannya, maka dalam hal kewajiban ganti rugi atas keduanya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حنيفة لَا ضَمَانَ عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُ رُجِمَ بِالزِّنَا لَا بِالْإِحْصَانِ فَلَمْ يَلْزَمْ شُهُودَ الْإِحْصَانِ ضَمَانٌ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Hanifah, menyatakan bahwa tidak ada kewajiban ganti rugi atas mereka, karena ia dirajam karena zina, bukan karena status ihsan, sehingga para saksi ihsan tidak wajib menanggung ganti rugi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ وَحَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنِ الْمُزَنِيِّ أَنَّ عَلَيْهِمَا الضَّمَانَ لِأَنَّهُ لَوْلَا شَهَادَتُهُمَا بِالْإِحْصَانِ لَمْ يُرْجَمْ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang tampak dalam mazhab dan dinukil oleh Abu Hamid al-Marwazi dalam kitab Jami‘-nya dari al-Muzani, adalah bahwa keduanya wajib menanggung ganti rugi, karena jika bukan karena kesaksian mereka berdua tentang status muhsan, maka tidak akan dilakukan rajam.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنْ كَانَتِ الشَّهَادَةُ بِالْإِحْصَانِ قَبْلَ الشَّهَادَةِ بِالزِّنَا لَمْ يَضْمَنْ شُهُودُ الْإِحْصَانِ وَإِنْ كَانَتْ بَعْدَهَا ضَمِنُوا ولقوله وجه فَعَلَى هَذَا إِذَا ضُمِنَ شَاهِدَا الْإِحْصَانِ فَفِي قَدْرِ الضَّمَانِ وَجْهَانِ

Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata, “Jika kesaksian tentang al-ihsan (status menikah) diberikan sebelum kesaksian tentang zina, maka para saksi al-ihsan tidak menanggung (denda). Namun jika diberikan setelahnya, mereka menanggung (denda). Pendapat ini memiliki sisi pertimbangan. Berdasarkan hal ini, jika dua saksi al-ihsan diwajibkan menanggung (denda), maka dalam kadar tanggungannya terdapat dua pendapat.”

أَحَدُهُمَا ثُلُثُ الدِّيَةِ وَهُوَ الظاهر من رواية المزني اعتباراً بأعداد الجمع

Salah satunya adalah sepertiga diyat, dan inilah yang tampak dari riwayat al-Muzani, dengan pertimbangan jumlah kelompok.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي نِصْفُ الدِّيَةِ اعْتِبَارًا بِأَنَّهُمَا أَحَدُ خبرين وَلَوْ رَجَعَ شُهُودُ الزِّنَا الْأَرْبَعَةُ وَلَمْ يَرْجِعْ شاهداً الإحصان ضمنوا

Pendapat kedua adalah setengah diyat, dengan pertimbangan bahwa keduanya merupakan salah satu dari dua kabar. Jika empat saksi zina menarik kembali kesaksiannya dan saksi ihsan tidak menarik kembali, maka mereka tetap bertanggung jawab.

وفي قدر ما يلزمهم ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Dalam hal kadar yang wajib atas mereka, terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا جَمِيعُ الدِّيَةِ إِذَا قِيلَ إِنَّ شُهُودَ الْإِحْصَانِ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِمْ

Salah satunya adalah seluruh diyat jika dikatakan bahwa para saksi ihsan tidak menanggung tanggungan apa pun atas mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَضْمَنُونَ ثُلُثَيِ الدِّيَةِ إِذَا قِيلَ إِنَّ شاهدي الإحصان يضمنان الثلث

Pendapat kedua, mereka menanggung dua pertiga diyat jika dikatakan bahwa dua saksi ihṣān menanggung sepertiga.

والوجه الثالث لو رَجَعَ وَاحِدٌ مِنْ شُهُودِ الزِّنَا وَوَاحِدٌ مِنْ شهود الإحصان ففيها ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Adapun pendapat ketiga, jika satu orang dari saksi-saksi zina dan satu orang dari saksi-saksi ihsan menarik kembali kesaksiannya, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا أَنَّ عَلَى شَاهِدِ الزِّنَا ربع الدية ولا شيء على شاهدي الإحصان إذا قيل بخروجهم عَنِ الضَّمَانِ

Salah satunya adalah bahwa atas saksi zina dikenakan seperempat diyat, dan tidak ada apa-apa atas dua saksi ihshan jika dikatakan bahwa mereka terbebas dari tanggungan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ عَلَى شَاهِدِ الزنا سدس الدية وعلى شاهد الإحصان سُدُسُ الدِّيَةِ إِذَا اعْتُبِرَ عَدَدُ الْجَمِيعِ

Pendapat kedua adalah bahwa atas saksi zina dikenakan sepertiga diyat, dan atas saksi ihsan juga sepertiga diyat jika jumlah keseluruhan saksi diperhitungkan.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّ عَلَى شَاهِدِ الزِّنَا ثُمُنَ الدِّيَةِ وَعَلَى شَاهِدِ الْإِحْصَانِ رُبُعُ الدِّيَةِ إِذَا اعْتُبِرَ كل خبر

Pendapat ketiga adalah bahwa atas saksi zina dikenakan seperdelapan diyat, dan atas saksi ihsan dikenakan seperempat diyat, jika setiap kesaksian dianggap sebagai satu berita.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَوْ شَهِدَ أَرْبَعَةٌ عَلَى رَجُلٍ بِالزِّنَا فَأَنْكَرَ الْإِحْصَانَ وَكَانَ لَهُ زَوْجَةً لَهُ مِنْهَا وَلَدٌ لَمْ يَثْبُتْ بِهِ إِحْصَانُهُ

Dan jika empat orang bersaksi atas seorang laki-laki bahwa ia telah berzina, lalu ia mengingkari status muḥṣan, padahal ia memiliki seorang istri dan darinya telah memiliki anak, maka status muḥṣan tidak dapat ditetapkan hanya dengan hal tersebut.

وَقَالَ أَبُو حنيفة يثبت إحصانه بولد مِنْ زَوْجَتِهِ احْتِجَاجًا بِأَنَّ لُحُوقَ الْوَلَدِ بِهِ إِنَّمَا يَكُونُ لِإِجْرَاءِ حُكْمِ الْوَطْءِ عَلَيْهِ وَإِذَا جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْوَطْءِ فِي لُحُوقِهِ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْوَطْءِ فِي إِحْصَانِهِ وَكَمَالِ الْمَهْرِ بِهِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang dapat dianggap muhsan dengan adanya anak dari istrinya, dengan alasan bahwa keterkaitan anak dengannya terjadi karena diberlakukannya hukum hubungan suami istri atasnya. Jika hukum hubungan suami istri berlaku dalam hal keterkaitan anak, maka hukum tersebut juga berlaku dalam hal ke-muhsan-an dan kesempurnaan mahar baginya.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ وَلَدَ الزَّوْجَةِ يَلْحَقُ بِالْإِمْكَانِ؛ لِأَنَّ الْحُدُودَ تُدْرَأُ بِالشُّبَهَاتِ وَقَدْ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ وَطِئَهَا دُونَ الْفَرْجِ فَاسْتَدْخَلَتْ مَنِيَّهُ فلحق به الولد ولم يثبت له الْحَصَانَةُ فَأَمَّا كَمَالُ الْمَهْرِ بِلُحُوقِ الْوَلَدِ فَفِيهِ قولان

Dalil kami adalah bahwa anak dari istri dapat dihubungkan (nasabnya) dengan kemungkinan, karena hudud dapat digugurkan dengan adanya syubhat, dan mungkin saja ia (suami) melakukan hubungan dengannya tanpa melalui farj (kemaluan), lalu istrinya memasukkan mani suaminya sehingga anak itu dinisbatkan kepadanya, namun hal itu tidak menetapkan status al-hishanah (perlindungan dari hukuman zina) baginya. Adapun mengenai sempurnanya mahar karena anak itu dinisbatkan kepadanya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أحدهما لا يكمل كما لا تثبت الْحَصَانَةُ

Salah satunya tidak sempurna, sebagaimana al-hashānah tidak dapat ditetapkan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَكْمُلُ الْمَهْرُ وَإِنْ لَمْ تَثْبُتِ الْحَصَانَةُ؛ لِأَنَّ الشُّبْهَةَ تُدْرَأُ بِهَا الْحُدُودُ دون الحقوق

Pendapat kedua menyatakan bahwa mahar tetap sempurna meskipun tidak terbukti adanya kehormatan, karena syubhat dapat menggugurkan hudud tetapi tidak menggugurkan hak-hak.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ شَهِدَ عَلَيْهَا بِالزِّنَا أَرْبَعَةٌ وَشَهِدَ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ عُدُولٍ أَنَّهَا عَذْرَاءُ فَلَا حَدَّ

Syafi‘i berkata, “Jika ada empat orang yang bersaksi atasnya dengan tuduhan zina, lalu ada empat perempuan adil yang bersaksi bahwa ia masih perawan, maka tidak dikenakan hudud.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ بَقَاءَ الْعُذْرَةِ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ لِعَدَمِ الزِّنَا وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ لَعَوْدِ الْبَكَارَةِ بَعْدَ الزِّنَا فَلَمَّا احْتُمِلَ الْأَمْرَيْنِ سقط الحد عنها؛ لأن الحد يدرأ بالشبهة وَلَا يَجِبُ مَعَ الِاحْتِمَالِ وَأَمَّا الشُّهُودُ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِمْ لِأَنَّ بَقَاءَ الْعُذْرَةِ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ لَعَوْدِهَا بَعْدَ الزِّنَا فَيَكُونُوا صَادِقِينَ وَيُحْتَمَلُ أن يكون لعدم الزنا فيكونوا كاذبين فلا حد عليهم وَهُمْ عَلَى الْعَدَالَةِ فَلَمْ يَجِبْ أَنْ يُجَرَّحُوا بالشك وجنب المؤمن حمى فلم يجب أن يحد بِالشُّبْهَةِ وَلَوْ بَانَ بَعْدَ الشَّهَادَةِ عَلَيْهَا بِالزِّنَا أَنَّهَا رَتْقَاءُ أَوْ قَرْنَاءُ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ القرن والرتق يَمْنَعُ مِنْ إِيلَاجِ الْحَشَفَةِ فِي الْفَرْجِ لَمْ تُحَدَّ كَالْعُذْرَةِ وَإِنْ كَانَ لَا يَمْنَعُ مِنْ إيلاجها في الفرج حدث بِخِلَافِ الْعُذْرَةِ ثُمَّ تَكُونُ هَذِهِ الشَّهَادَةُ وَإِنْ سقط الحد مُسْقِطَةً لِعِفَّتِهَا فَإِنْ قَذَفَهَا قَاذِفٌ لَمْ يُحَدَّ لِكَمَالِ الشَّهَادَةِ بِالزِّنَا وَسُقُوطِ الْحَدِّ بِالشُّبْهَةِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar; karena tetapnya keperawanan bisa jadi disebabkan karena tidak terjadi zina, dan bisa juga karena kembalinya keperawanan setelah zina. Ketika kedua kemungkinan ini ada, maka hukuman had tidak dijatuhkan kepadanya; karena had digugurkan dengan adanya syubhat dan tidak wajib dijatuhkan jika masih ada kemungkinan. Adapun para saksi, maka tidak ada had atas mereka, karena tetapnya keperawanan bisa jadi karena kembalinya keperawanan setelah zina sehingga mereka benar, dan bisa juga karena memang tidak terjadi zina sehingga mereka berdusta, maka tidak ada had atas mereka. Mereka tetap dianggap adil, sehingga tidak wajib dicela hanya karena keraguan, dan kehormatan seorang mukmin adalah sesuatu yang terjaga, maka tidak wajib dijatuhi had karena syubhat. Jika setelah kesaksian atasnya dalam kasus zina ternyata ia adalah seorang perempuan yang tertutup rapat (ratqā’) atau memiliki kelainan pada kemaluannya (qarnā’), maka dilihat: jika kelainan tersebut menghalangi masuknya hasyafah ke dalam farji, maka ia tidak dijatuhi had seperti halnya keperawanan; namun jika tidak menghalangi masuknya hasyafah ke dalam farji, maka hukumnya berbeda dengan keperawanan. Kemudian, kesaksian ini, meskipun had digugurkan, tetap menggugurkan kehormatannya. Jika ada yang menuduhnya berzina, maka penuduh tersebut tidak dijatuhi had karena kesaksian zina telah sempurna dan had gugur karena adanya syubhat.”

فَصْلٌ

Bagian

وإذا شهد أربعة على رجل أنه زنا بامرأة فشهد اثنان منهم أنه زنا بِهَا فِي الزَّاوِيَةِ الْيُمْنَى مِنْ هَذَا الْبَيْتِ وشهد الآخران أنه زنا بِهَا فِي الزَّاوِيَةِ الْيُسْرَى مِنْهُ لَمْ يَجِبِ الْحَدُّ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا

Jika empat orang bersaksi terhadap seorang laki-laki bahwa ia telah berzina dengan seorang perempuan, lalu dua orang di antara mereka bersaksi bahwa ia berzina dengannya di sudut kanan rumah ini, dan dua orang lainnya bersaksi bahwa ia berzina dengannya di sudut kiri rumah tersebut, maka hukuman had tidak wajib dijatuhkan kepada salah satu dari keduanya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ أَحَدُهُمَا اسْتِحْسَانًا لَا قِيَاسًا وَكَذَلِكَ لَوِ اخْتَلَفَ الشهود الأربعة في الزوايا الأربع حدهم استحساناً وسميت هذه المسألة الزَّوَايَا احْتِجَاجًا بِأَنَّ الشَّهَادَةَ إِذَا أَمْكَنَ حَمْلُهَا عَلَى الصِّحَّةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ تُحْمَلَ عَلَى الْفَسَادِ وَقَدْ يُمْكِنُ أَنْ يَزْحَفَ الزَّانِيَانِ مِنْ زاوية إلى أُخْرَى فَيَكُونَا فِي أَوَّلِ الْفِعْلِ فِي زَاوِيَةٍ فَيَرَاهُمَا شَاهِدَانِ وَفِي آخِرِ الْفِعْلِ فِي زَاوِيَةٍ أُخْرَى فَيَرَاهُمَا فِيهَا شَاهِدَانِ وَيَكُونُ الزِّنَا وَاحِدًا

Abu Hanifah berkata, salah satu dari keduanya (dihukum) berdasarkan istihsan, bukan qiyās. Demikian pula, jika keempat saksi berbeda dalam empat sudut, maka mereka dikenai hudud berdasarkan istihsan. Masalah ini dinamakan “al-zawāyā” sebagai dalil bahwa apabila suatu kesaksian masih mungkin ditafsirkan sebagai sah, maka tidak boleh ditafsirkan sebagai rusak. Bisa jadi dua pezina itu berpindah dari satu sudut ke sudut lain, sehingga pada awal perbuatan mereka berada di satu sudut dan disaksikan oleh dua orang saksi, lalu pada akhir perbuatan mereka berada di sudut lain dan disaksikan oleh dua saksi lainnya, sementara perbuatan zina itu tetap satu.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الزِّنَا يَخْتَصُّ بِزَمَانٍ وَمَكَانٍ فَلَمَّا كَانَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الزَّمَانِ يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ وَهُوَ أَنْ يَشْهَدَ اثْنَانِ مِنْهُمْ أنه زنا بها وقت الظهر ويشهد الآخران أنه زنا بها وَقْتِ الْعَصْرِ وَإِنِ احْتُمِلَ أَنْ يَكُونَ أَوَّلُ الْفِعْلِ فِي الظُّهْرِ وَآخِرُهُ فِي الْعَصْرِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الْمَكَانِ بِمَثَابَتِهِ وَإِنْ أَمْكَنَ حُكِمَ اخْتِلَافُهُ عَلَى أَوَّلِ الْفِعْلِ وَآخِرِهِ وَالْعِلَّةُ فِيهِ أَنَّ الْفِعْلَ فِي أَحَدِ الْمَكَانَيْنِ غَيْرُ الْفِعْلِ فِي الْمَكَانِ الْآخَرِ وَفِيهِ انْفِصَالٌ

Dalil kami adalah bahwa zina berkaitan dengan waktu dan tempat tertentu. Ketika perbedaan waktu di antara para saksi menghalangi kewajiban hudud—misalnya dua orang dari mereka bersaksi bahwa ia berzina dengannya pada waktu zuhur, sementara dua lainnya bersaksi bahwa ia berzina dengannya pada waktu asar—meskipun mungkin saja awal perbuatan terjadi pada waktu zuhur dan akhirnya pada waktu asar, maka seharusnya perbedaan mereka dalam hal tempat juga diperlakukan sama. Jika memungkinkan, perbedaan itu dianggap pada awal dan akhir perbuatan. Alasannya adalah bahwa perbuatan di salah satu dari dua tempat berbeda dengan perbuatan di tempat yang lain, dan di antara keduanya terdapat pemisahan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وإن أكرهها على الزنا فعليه الحد دونها ومهر مِثْلِهَا

Syafi‘i berkata, “Jika ia memaksa perempuan itu untuk berzina, maka had dikenakan atasnya (laki-laki) saja, bukan atas perempuan itu, dan ia wajib membayar mahar yang sepadan dengannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا اسْتَكْرَهَ امرأة على نفسها حتى زنا بِهَا وَجَبَ الْحَدُّ عَلَيْهِ دُونَهَا وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ؛ لِرِوَايَةِ الْحَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ عَنْ عَبْدِ الجبار بن وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ امْرَأَةً اسْتُكْرِهَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَدَرَأَ الْحَدَّ عَنْهَا وَحَدَّ الزَّانِي بِهَا

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana ia mengatakan, jika seseorang memaksa seorang wanita atas dirinya hingga berzina dengannya, maka hudud wajib dijatuhkan atas pelakunya, bukan atas wanita tersebut, dan hal ini telah disepakati; berdasarkan riwayat Al-Hajjaj bin Artha’ah dari ‘Abdul Jabbar bin Wa’il bin Hujr dari ayahnya, bahwa ada seorang wanita yang dipaksa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menggugurkan hudud dari wanita tersebut dan menjatuhkan hudud kepada laki-laki yang berzina dengannya.

فَأَمَّا المهر فمختلف في وجوبه فمذهب الشافعي أن عليه لَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا

Adapun mahar, maka terdapat perbedaan pendapat mengenai kewajibannya. Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa ia wajib memberinya mahar mitsil.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا مَهْرَ عَلَيْهِ؛ احْتِجَاجًا بِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ مَهْرِ الْبَغِيِّ رَوَاهُ بِالتَّسْكِينِ وَالْبَغْيُ الزِّنَا وهذا زنا

Abu Hanifah berkata: Tidak ada mahar atasnya; dengan berdalil pada larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mahar bagi pelacur, yang diriwayatkan dengan bacaan tasydid, dan al-baghyu adalah zina, dan ini adalah zina.

قال وَلِأَنَّهُ وَطْءٌ وَجَبَ بِهِ الْحَدُّ عَلَى الْوَاطِئِ فوجب أن يسقط عنه المهر كالمطاوعة

Karena itu adalah hubungan seksual yang mewajibkan had atas pelakunya, maka wajib gugur baginya mahar, seperti halnya pada perempuan yang bersedia (melakukan zina).

قال وَلِأَنَّ الْحَدَّ يَجِبُ مَعَ انْتِفَاءِ الشُّبْهَةِ وَالْمَهْرُ يَجِبُ مَعَ وُجُودِ الشُّبْهَةِ فَامْتَنَعَ اجْتِمَاعُهُمَا

Karena hudud wajib ditegakkan ketika tidak ada syubhat, sedangkan mahar wajib diberikan ketika ada syubhat, maka tidak mungkin keduanya berkumpul secara bersamaan.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا وَهَذَا مُسْتَحِلٌّ لِفَرْجِهَا فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ مَهْرُهَا

Dan dalil kami adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa saja perempuan yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal. Jika ia telah digauli, maka baginya mahar atas apa yang telah dihalalkan dari kemaluannya. Dan ini adalah orang yang telah menghalalkan kemaluannya, maka wajib baginya membayar maharnya.”

فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا لَزِمَهُ الْمَهْرُ في العقد الفاسد قيل كلما ضمن بالبدل من العقد الفاسد ضمن بالغضب والإكراه كالأموال؛ لأنه وَطْءٌ فِي غَيْرِ مِلْكٍ فَإِذَا سَقَطَ بِهِ الْحَدُّ عَنِ الْمَوْطُوءَةِ وَجَبَ بِهِ الْمَهْرُ عَلَى الْوَاطِئِ كَالْوَاطِئِ بِالشُّبْهَةِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ الْمَهْرُ لِلْمَوْطُوءَةِ بِنِكَاحٍ فَاسِدٍ كَانَ وُجُوبُهُ لِلْمُسْتَكْرَهَةِ أَوْلَى مِنْ وَجْهَيْنِ

Jika dikatakan bahwa mahar menjadi wajib dalam akad yang fasid, maka dijawab: Setiap sesuatu yang wajib diganti karena akad yang fasid, maka wajib pula diganti dalam keadaan marah atau dipaksa, seperti harta; karena itu adalah hubungan suami istri di luar kepemilikan yang sah. Maka, jika dengan itu gugur had (hukuman) dari perempuan yang digauli, maka wajib pula mahar atas laki-laki yang menggauli, seperti orang yang menggauli karena syubhat. Dan karena ketika mahar wajib bagi perempuan yang digauli melalui nikah fasid, maka kewajiban itu atas perempuan yang dipaksa lebih utama dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمَنْكُوحَةَ مَعَ عِلْمِهَا عَاصِيَةٌ وَالْمُسْتَكْرَهَةَ غَيْرُ عَاصِيَةٍ

Salah satunya adalah bahwa perempuan yang dinikahi dengan sepengetahuannya adalah seorang yang berbuat maksiat, sedangkan perempuan yang dipaksa tidak dianggap berbuat maksiat.

وَالثَّانِي أَنَّ الْمَنْكُوحَةَ مُمَكِّنَةٌ وَالْمُسْتَكْرِهَةَ غَيْرُ مُمَكِّنَةٍ

Yang kedua, bahwa istri yang dinikahi secara sah itu memberikan kesempatan (untuk berhubungan), sedangkan wanita yang dipaksa tidak memberikan kesempatan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ نَهْيِهِ عَنْ ” مَهْرِ الْبَغِيِّ فَالرِّوَايَةُ الْمَشْهُورَةُ الْبَغِيُّ بالتشديد يعني الزانية وليست هذه الزانية

Adapun jawaban mengenai larangan terhadap “mahr al-baghī”, maka riwayat yang masyhur, al-baghī dengan tasydid berarti perempuan pezina, dan perempuan ini bukanlah pezina.

ولا دليل ايضاً لمن روى بالتخفيف يَعْنَى الزِّنَا؛ لِأَنَّ هَذَا الْوَطْءَ زِنًا فِي حَقِّ مَنْ حُدَّ وَلَيْسَ بِزِنَا فِي حَقِّ مَنْ لَمْ يُحَدَّ

Tidak ada pula dalil bagi orang yang meriwayatkan keringanan, yaitu maksudnya zina; karena hubungan seksual ini adalah zina bagi orang yang telah dikenai had, dan bukan zina bagi orang yang belum dikenai had.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُطَاوَعَةِ فَالْمَعْنَى فِيهِ وُجُوبُ الْحَدِّ عَلَيْهَا

Adapun qiyās mereka terhadap al-muthāwa‘ah, maka maksudnya adalah wajibnya hudud atasnya.

وَأَمَّا اسْتِحَالَةُ وُجُودِ الشُّبْهَةِ وَعَدَمِهَا فِي الْفِعْلِ الْوَاحِدِ فَهُوَ مستحيل في حق الواحد وليس بمستحيل فِي حَقِّ الِاثْنَيْنِ كَمَا لَمْ يَسْتَحِلَّ أَنْ يَجِبَ الْحَدُّ عَلَى الْوَاطِئِ وَيَسْقُطَ الْحَدُّ عَنِ الموطوءة

Adapun mustahilnya adanya syubhat dan ketiadaannya dalam satu perbuatan, maka hal itu mustahil bagi satu orang, namun tidak mustahil bagi dua orang, sebagaimana tidak mustahil hukum had wajib atas pelaku (yang melakukan hubungan) namun gugur atas yang dikenai perbuatan (yang diajak berhubungan).

وجملته أن الذي يختص بالرجل ثلاثة أحكام الحد والمهر والنسب

Secara ringkas, ada tiga hukum yang khusus berlaku bagi laki-laki: hudud, mahar, dan nasab.

وأما النَّسَبُ فَيُعْتَبَرُ بِهِ شُبْهَةُ الْوَاطِئِ دُونَ الْمَوْطُوءَةِ فَإِنْ كَانَتْ لَهُ شُبْهَةٌ لَحِقَ بِهِ وَإِنْ لم يكن لَهُ شُبْهَةٌ لَمْ يَلْحَقْ بِهِ

Adapun nasab, maka yang dijadikan pertimbangan adalah adanya syubhat pada laki-laki yang melakukan hubungan, bukan pada perempuan yang digauli. Jika laki-laki tersebut memiliki syubhat, maka nasab anak itu dinisbatkan kepadanya. Namun jika tidak ada syubhat, maka nasab anak itu tidak dinisbatkan kepadanya.

وَأَمَّا الْمَهْرُ فَيُعْتَبَرُ بِهِ شُبْهَةُ الْمَوْطُوءَةِ دُونَ الْوَاطِئِ فَإِنْ كَانَ لَهَا شُبْهَةٌ وَجَبَ لَهَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لها شبهة لم يجب

Adapun mahar, maka yang dijadikan pertimbangan adalah adanya syubhat pada wanita yang digauli, bukan pada laki-laki yang menggauli. Jika wanita tersebut memiliki syubhat, maka mahar wajib diberikan kepadanya. Namun jika ia tidak memiliki syubhat, maka mahar tidak wajib diberikan.

وَأَمَّا الْحَدُّ فَيُعْتَبَرُ بِهِ شُبْهَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَإِنْ كَانَتْ لَهُمَا شُبْهَةٌ سَقَطَ الْحَدُّ عنهما وإن لم يكن لها شبهة وجب الحد عليها وَإِنْ كَانَتْ لِأَحَدِهِمَا شُبْهَةٌ دُونَ الْآخَرِ وَجَبَ عَلَى مَنِ انْتَفَتْ عَنْهُ الشُّبْهَةُ وَسَقَطَ عَمَّنْ لحقت به الشبهة

Adapun hudud, maka dalam penetapannya dipertimbangkan adanya syubhat pada masing-masing dari keduanya. Jika keduanya memiliki syubhat, maka hudud gugur dari keduanya. Jika tidak ada syubhat bagi keduanya, maka hudud wajib dijatuhkan atasnya. Jika hanya salah satu dari keduanya yang memiliki syubhat, maka hudud wajib dijatuhkan atas yang tidak ada syubhat padanya dan gugur dari yang terkena syubhat.

فصل

Bab

فأما الرجل إذا أكره على الزنا فمذهب الشافعي لا حد عليه كالمرأة

Adapun laki-laki yang dipaksa melakukan zina, menurut mazhab Syafi‘i, tidak dikenakan hudud sebagaimana halnya perempuan.

وذهب بعض أصحابه إِلَى وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْوَطْءَ لَا يكون إلا مع الانتشار الحادث عن الشهوة وحدوث الشهوة يكون عَنِ الِاخْتِيَارِ دُونَ الْإِكْرَاهِ

Sebagian sahabatnya berpendapat bahwa hudud wajib dijatuhkan atasnya; karena persetubuhan tidak terjadi kecuali dengan adanya ereksi yang timbul karena syahwat, dan timbulnya syahwat itu terjadi karena pilihan, bukan karena paksaan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ أَكْرَهَهُ السُّلْطَانَ عَلَى الزِّنَا فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَإِنْ أَكْرَهْهُ غَيْرُ السُّلْطَانِ حُدَّ؛ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ إِكْرَاهَ السُّلْطَانِ فِسْقٌ يَخْرُجُ بِهِ مِنَ الْإِمَامَةِ فَيَصِيرُ الْوَقْتُ خَالِيًا مِنْ إِمَامٍ كَزَمَانِ الْفَتْرَةِ وَيَصِيرُ عِنْدَهُ كَدَارِ الْحَرْبِ الَّتِي لَا يَجِبُ عَلَى الزَّانِي فِيهَا حَدٌّ عِنْدِهِ وَكِلَا الأمرين فاسداً

Abu Hanifah berkata, “Jika seseorang dipaksa oleh penguasa untuk melakukan zina, maka tidak dikenakan hudud atasnya. Namun jika ia dipaksa oleh selain penguasa, maka ia dikenakan hudud.” Hal ini didasarkan pada argumen bahwa pemaksaan oleh penguasa adalah kefasikan yang menyebabkan ia keluar dari kepemimpinan (imamah), sehingga pada saat itu dianggap tidak ada imam, seperti pada masa fatrah, dan menurutnya keadaan itu seperti di darul harb, di mana pezina tidak dikenakan hudud menurut pendapatnya. Namun, kedua pendapat tersebut dianggap rusak (tidak benar).

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِمْ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” ادرؤوا الْحُدُودَ بِالشُّبُهَاتِ وَالْإِكْرَاهُ مِنْ أَعْظَمِ الشُّبَهَاتِ وَلِأَنَّهُ إِكْرَاهٌ عَلَى الزِّنَا فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ بِهِ الْحَدُّ كَإِكْرَاهِ الْمَرْأَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا سَقَطَ فيه الحد أو أُكْرِهَتْ عَلَيْهِ الْمَرْأَةُ سَقَطَ فِيهِ الْحَدُّ إِذَا أُكْرِهَ عَلَيْهِ الرَّجُلُ كَالسَّرِقَةِ وَشُرْبِ الْخَمْرِ

Dalil mengenai hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hindarilah penerapan hudud karena adanya syubhat, dan paksaan termasuk syubhat yang paling besar.” Karena itu adalah paksaan untuk melakukan zina, maka wajib gugur hudud karenanya, sebagaimana gugurnya hudud atas wanita yang dipaksa. Dan karena setiap perkara yang gugur hudud di dalamnya atau wanita dipaksa melakukannya, maka gugur pula hudud jika laki-laki dipaksa melakukannya, seperti dalam kasus pencurian dan minum khamar.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ بِحُدُوثِ الِانْتِشَارِ عَنِ الشَّهْوَةِ فَهُوَ أَنَّ الشَّهْوَةَ مَرْكُوزَةٌ فِي الطِّبَاعِ لَا يُمْكِنُ دَفْعُهَا وَإِنَّمَا يُمْكِنُ دَفْعُ النَّفْسِ عَنِ الانقياد لها لدين أو تقية فَصَارَ الْإِكْرَاهُ عَلَى الْفِعْلِ لَا عَلَى الشَّهْوَةِ والحد إنما يجب في الْفِعْلِ دُونَ الشَّهْوَةِ

Adapun jawaban terhadap argumentasi yang menggunakan terjadinya ereksi karena syahwat sebagai dalil adalah bahwa syahwat itu sudah tertanam dalam tabiat manusia dan tidak mungkin dihilangkan. Yang mungkin dilakukan hanyalah menahan diri agar tidak mengikuti syahwat tersebut karena alasan agama atau kehati-hatian. Maka, paksaan itu terjadi pada perbuatan, bukan pada syahwat. Sementara hudud hanya diwajibkan atas perbuatan, bukan atas syahwat.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ أبي حنيفة بخلو الدار من الإمام لِخُرُوجِهِ بِالْفِسْقِ مِنَ الْإِمَامَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas argumentasi Abu Hanifah dengan kekosongan rumah dari imam karena keluarnya ia dari kepemimpinan akibat kefasikan, maka jawabannya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَدْ يَكُونُ السُّلْطَانُ الْمُكْرِهُ غَيْرُ إِمَامٍ فَلَا تَخْلُو الدَّارُ مِنْ إِمَامٍ وَأَنْتَ تسوي بين الأمرين فلم يصح التعليل

Salah satunya adalah bahwa penguasa yang memaksa itu bisa jadi bukan seorang imam, sehingga negeri tersebut tidak pernah kosong dari seorang imam, sedangkan engkau menyamakan kedua perkara itu, maka alasan tersebut tidaklah sah.

وَالثَّانِي أَنَّ خُلُوَّ الدَّارِ مِنْ إِمَامٍ لَا يُوجِبُ إِسْقَاطَ الْحُدُودِ كَمَا لَمْ يُوجِبِ اسْتِبَاحَةَ أَسْبَابِهَا وَكَذَلِكَ دَارُ الْحَرْبِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فيها

Kedua, bahwa ketiadaan imam di suatu negeri tidak menyebabkan gugurnya hudud, sebagaimana juga tidak menyebabkan dibolehkannya sebab-sebab pelanggaran hudud tersebut. Demikian pula halnya dengan negeri harb, dan pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَحَدُّ الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ أُحْصِنَا بِالزَّوَاجِ أَوْ لَمْ يُحْصَنَا نِصْفُ حَدِّ الْحُرِّ وَالْجَلْدُ خَمْسُونَ جَلْدَةً وقال في موضع آخر أستخير الله في نفيه نصف سنة وقطع في موضع آخر بأن ينفى نصف سنة قال المزني رحمه الله قلت أنا وهذا بقوله أولى قياسا على نصف ما يجب على الحر من عقوبة الزنا

Imam Syafi‘i berkata, “Hadd bagi budak laki-laki dan perempuan, baik mereka sudah muhsan melalui pernikahan atau belum, adalah setengah dari hadd orang merdeka, yaitu dicambuk lima puluh kali.” Dan beliau berkata di tempat lain, “Aku memohon petunjuk kepada Allah tentang pengasingannya selama setengah tahun.” Dan beliau menegaskan di tempat lain bahwa budak diasingkan selama setengah tahun. Al-Muzani rahimahullah berkata, “Menurutku, pendapat ini lebih utama karena qiyās dengan setengah hukuman yang wajib bagi orang merdeka dalam kasus zina.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ حَدُّ الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ إِذَا زَنَيَا الْجَلْدُ وَإِنْ تَزَوَّجَا دُونَ الرجم وزعم بعض أهل الظاهر أن عليهم الرَّجْمَ إِذَا تَزَوَّجَا احْتِجَاجًا بِعُمُومِ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” والثيب بالثيب جلد مائة والرجم لأن ما أوجب إراقة الدم حد استوى فِيهِ الْحُرُّ وَالْعَبْدُ كَالْقَتْلِ بِالرِّدَّةِ وَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ وَهَذَا قَوْلٌ شَاذٌّ قَدْ تَقَدَّمَ دَلِيلُهُ فِي اشْتِرَاطِ الْحُرِّيَّةِ فِي الْإِحْصَانِ وَالْخَبَرُ مَحْمُولٌ عَلَى الْأَحْرَارِ؛ لِأَنَّهُ بَيَانٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ النساء 15 وَأَمَّا الْقَتْلُ بِالرِّدَّةِ وَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ فَلِأَنَّهُمَا لَا يَرْجِعَانِ إِلَى بَدَلٍ فَاسْتَوَى فِيهِمَا الْحُرُّ وَالْعَبْدُ وَلَمْ يَتَنَصَّفْ فِي الْعَبْدِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَبَعَّضُ ولما كان للرجم في الزنا بدليتنصف وَهُوَ الْجَلْدُ سَقَطَ الرَّجْمُ عَنْهُ إِلَى الْبَدَلِ الَّذِي يَتَنَصَّفُ وَهُوَ الْجَلْدُ

Al-Mawardi berkata: Ini sebagaimana yang dikatakan mengenai hukuman bagi budak laki-laki dan budak perempuan jika keduanya berzina, yaitu hukuman cambuk, meskipun keduanya telah menikah, tanpa hukuman rajam. Sebagian ahli zhahir berpendapat bahwa keduanya dikenai hukuman rajam jika telah menikah, dengan alasan berdasarkan keumuman sabda Nabi ﷺ: “Orang yang sudah menikah dengan yang sudah menikah, hukumannya seratus cambukan dan rajam.” Karena apa pun yang mewajibkan penumpahan darah sebagai hukuman, maka hukumnya sama antara orang merdeka dan budak, seperti hukuman mati karena riddah dan potong tangan karena mencuri. Namun, ini adalah pendapat yang syadz (ganjil), dan telah dijelaskan dalilnya sebelumnya mengenai syarat kemerdekaan dalam al-ihshan, dan hadis tersebut berlaku untuk orang-orang merdeka, karena ia merupakan penjelasan dari firman Allah Ta‘ala: “Dan perempuan-perempuan di antara kalian yang melakukan perbuatan keji…” (an-Nisa: 15). Adapun hukuman mati karena riddah dan potong tangan karena mencuri, keduanya tidak memiliki pengganti, sehingga hukumnya sama antara orang merdeka dan budak, dan tidak dibagi dua pada budak, karena tidak bisa dibagi-bagi. Sedangkan untuk rajam dalam kasus zina, karena memiliki pengganti yang bisa dibagi dua, yaitu cambuk, maka hukuman rajam gugur darinya dan diganti dengan hukuman pengganti yang bisa dibagi dua, yaitu cambuk.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ سُقُوطُ الرَّجْمِ عَنِ الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ فَحَدُّهُمَا الْجَلْدُ واختلف الناس فيه فمذهب الشافعي وأبي حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ أَنَّهُمَا يُحَدَّانِ نِصْفَ حَدِّ الزِّنَا خمسون جَلْدَةً

Maka apabila telah tetap bahwa hukuman rajam gugur dari budak laki-laki dan budak perempuan, maka hadd bagi keduanya adalah cambuk. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Madzhab asy-Syafi‘i, Abu Hanifah, dan Malik berpendapat bahwa keduanya dikenai hadd setengah dari hadd zina, yaitu lima puluh cambukan.

وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ إِنْ تَزَوَّجَا فَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ الْجَلْدِ وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجَا فَلَا حَدَّ عَلَيْهِمَا

Abdullah bin Abbas berkata, “Jika keduanya menikah, maka masing-masing dari mereka dikenakan setengah hukuman cambuk. Namun jika keduanya belum menikah, maka tidak ada had atas mereka berdua.”

وَقَالَ دَاوُدُ عَلَى الْعَبْدِ جَمِيعُ الْحَدِّ تَزَوَّجْ أَوْ لَمْ يَتَزَوَّجْ

Dawud berkata: Atas seorang budak berlaku seluruh hukuman hadd, baik ia telah menikah maupun belum menikah.

وَأَمَّا الْأُمَّةُ فَإِنْ تَزَوَّجَتْ فَعَلَيْهَا نصف الحد وإن لم تتزوج فعنه رِوَايَتَانِ

Adapun budak perempuan, jika ia menikah maka atasnya setengah had, dan jika ia belum menikah maka terdapat dua riwayat mengenai hal itu.

إِحْدَاهُمَا عَلَيْهَا حَدٌّ كَامِلٌ

Salah satunya dikenakan had secara penuh.

وَالثَّانِيَةُ لَا حَدَّ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ حَمَلَ قَوْلَهُ تعالى فإذا أحصن النساء 25 ٍ أَيْ تَزَوَّجْنَ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ النساء 25 وَأَمْسَكَ عَنْ ذِكْرِهِنَّ إِذَا لَمْ يَتَزَوَّجْنَ فَاحْتُمِلَ أَنْ يَكْمُلَ عَلَيْهَا الْحَدُّ واحتمل أن لا يجب عليها حد فلذلك ما اخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ عَنْهُ

Dan perempuan kedua tidak dikenai had; karena ia memahami firman Allah Ta‘ala: “Apabila mereka telah menikah…” (an-Nisā’ 25), yaitu apabila mereka telah menikah maka atas mereka setengah dari hukuman yang dikenakan atas perempuan-perempuan muhshan dari azab (an-Nisā’ 25). Dan Allah tidak menyebutkan hukuman bagi mereka jika mereka belum menikah, sehingga dimungkinkan bahwa hukuman had tetap berlaku penuh atasnya, dan dimungkinkan juga bahwa tidak wajib atasnya hukuman had. Oleh karena itu, riwayat tentang hal ini berbeda-beda.

وَدَلِيلُنَا عَلَى وُجُوبِ نِصْفِ الحد على العبد والأمة فيمن تَزَوَّجَ أَوْ لَمْ يَتَزَوَّجْ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى فإذا أحصن فِيهِ قِرَاءَتَانِ

Dalil kami tentang wajibnya setengah hadd atas budak laki-laki dan budak perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, adalah firman Allah Ta‘ala: “Maka apabila mereka telah terjaga kehormatannya (telah menikah)…” dalam ayat ini terdapat dua qirā’ah (cara pembacaan).

إِحْدَاهُمَا بِالضَّمِّ وَمَعْنَاهُ تَزَوَّجْنَ قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ

Salah satunya dengan dhammah, dan maknanya adalah menikah; demikian dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas.

وَالثَّانِيَةُ بِالْفَتْحِ وَمَعْنَاهُ أَسْلَمْنَ قَالَهُ ابن مسعود

Dan yang kedua dengan fathah, maknanya adalah “kami telah masuk Islam,” demikian dikatakan oleh Ibnu Mas‘ud.

فإن أتين بفاحشة يَعْنِي الزِّنَا فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ يَعْنِي نِصْفَ حَدِّ الْحُرَّةِ فَذَكَرَ إِحْصَانَهُنَّ فِي تنصيف الحد لينبه بأن تَنْصِيفَهُ فِي غَيْرِ الْإِحْصَانِ أَوْلَى وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَ ثُبُوتِ الرِّقِّ إِحْصَانٌ

Jika mereka melakukan perbuatan keji, yaitu zina, maka atas mereka setengah dari hukuman yang dikenakan atas perempuan merdeka, yaitu setengah dari had bagi perempuan merdeka. Allah menyebutkan status ihshan mereka dalam penetapan setengah hukuman untuk menunjukkan bahwa penetapan setengah hukuman pada selain ihshan lebih utama, meskipun tidak terdapat ihshan bersamaan dengan tetapnya status budak.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سُئِلَ عَنِ الْأَمَةِ إِذَا زَنَتْ وَلَمْ تُحْصَنْ فَقَالَ ” إِنْ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا ثَمَّ إِنْ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا ثُمَّ إِنْ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا ثَمَّ بِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ

Syafi‘i meriwayatkan dari Malik, dari az-Zuhri, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah, dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang budak perempuan yang berzina dan belum muhshan. Beliau bersabda, “Jika ia berzina, maka cambuklah dia. Kemudian jika ia berzina lagi, cambuklah dia. Lalu jika ia berzina lagi, cambuklah dia. Setelah itu juallah dia, meskipun hanya dengan seutas tali.”

قَالَ الزُّهْرِيُّ لَا أَدْرِي أَبْعَدَ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ وَالضَّفِيرُ الْحَبْلُ

Az-Zuhri berkata, “Aku tidak tahu apakah setelah yang ketiga atau yang keempat, dan adh-dhafīr adalah tali.”

وَرَوَى الزُّهْرِيُّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَلَدَ وَلَائِدَ أَبْكَارًا مِنْ وَلَائِدِ الْإِمَارَةِ فِي الزِّنَا وَلِأَنَّ حَدَّ الزِّنَا مَوْضُوعٌ عَلَى الْمُفَاضَلَةِ؛ لأن الحر مفضل فيه على العبد والثيب مفضل فيه على البكر وقال تَعَالَى يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ الأحزاب 30 لفضلهن على من سواهن فلم يجز من نَقْصِ الْعَبْدِ أَنْ يُسَاوِيَ الْحُرَّ فِي حَدِّهِ وَلَمْ يَجُزْ إِسْقَاطُ حَدِّهِ؛ لِئَلَّا تُضَاعَ حُدُودُ الله تعالى فَوَجَبَ تَنْصِيفُهَا فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا وَيُقَالُ لِدَاوُدَ لِمَا وَجَبَ عَلَى الْأَمَةِ نِصْفُ الْجَلْدِ وَلَمْ يَكُنْ لِتَنْصِيفِهِ سَبَبٌ سِوَى الرِّقِّ وَجَبَ أَنْ يُتْنَصَفَ فِي الْعَبْدِ لِأَجْلِ الرِّقِّ وَهَذَا مِنْ فحوى الخطاب

Az-Zuhri meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah mencambuk budak-budak perempuan yang masih perawan dari budak-budak milik pemerintahan karena zina. Hal ini karena had zina ditetapkan berdasarkan perbedaan derajat; sebab orang merdeka lebih utama daripada budak, dan yang sudah menikah lebih utama daripada yang masih perawan. Allah Ta‘ala berfirman: “Wahai istri-istri Nabi, barang siapa di antara kalian yang melakukan perbuatan keji yang nyata, maka akan dilipatgandakan azab baginya dua kali lipat.” (Al-Ahzab: 30), karena keutamaan mereka atas selain mereka. Maka tidak boleh karena kekurangan budak, ia disamakan dengan orang merdeka dalam had-nya, dan tidak boleh pula had-nya dihapuskan agar hukum-hukum Allah tidak menjadi sia-sia. Maka wajiblah menetapkan setengahnya dalam seluruh keadaan. Dan dikatakan kepada Dawud: karena yang wajib atas budak perempuan adalah setengah cambukan, dan tidak ada sebab pembagian setengah itu kecuali karena status budak, maka wajib pula diberlakukan setengahnya pada budak laki-laki karena status budak. Dan ini termasuk dari mafhum al-khitab.

فإذا ثبت أن حدها على النصف فهو خمسون جلدة واختلف قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي وُجُوبِ التَّغْرِيبِ فِيهِ عَلَى قولين

Jika telah tetap bahwa hukumannya adalah setengahnya, maka jumlahnya adalah lima puluh cambukan. Terdapat perbedaan pendapat Imam Syafi‘i mengenai kewajiban pengasingan (taghrīb) dalam hal ini, yaitu ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَا تَغْرِيبَ فِيهِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” إِذَا زَنَتِ الْأَمَةُ فَاجْلِدُوهَا وَلَمْ يَأْمُرْ بتغريبها لأن التَّغْرِيبَ مَوْضُوعٌ لِلُحُوقِ الْمَعَرَّةِ وَإِدْخَالِ الْمَشَقَّةِ وَلَا مَعَرَّةَ فِيهِ عَلَى الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ وَلَا مَشَقَّةَ تلحقها في الغربة؛ لأنهما مع العبد أرفه

Salah satu pendapat, yang dipegang oleh Malik dan Ahmad bin Hanbal, adalah tidak ada hukuman pengasingan (tahgrīb) dalam hal ini; karena Rasulullah saw. bersabda, “Jika seorang budak perempuan berzina, maka deralah dia,” dan beliau tidak memerintahkan untuk mengasingkannya. Sebab, hukuman pengasingan ditetapkan untuk menimbulkan aib dan memasukkan kesulitan, sedangkan tidak ada aib bagi budak laki-laki maupun perempuan, dan tidak ada kesulitan yang menimpa mereka dalam pengasingan; karena keduanya bersama tuannya lebih nyaman.

والقول الثاني أن التغريب واجب لقوله تَعَالَى فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ النساء 25 فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa pengasingan (taghrīb) adalah wajib berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka bagi mereka setengah dari hukuman yang berlaku atas perempuan-perempuan muhshanāt (yang bersuami)” (an-Nisā’ 25), sehingga hukumnya tetap berlaku secara umum.

وَرَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ أَمَةً لَهُ زَنَتْ فَجَلَدَهَا وَنَفَاهَا إِلَى فَدَكَ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جُلِدَ فِي الزِّنَا غُرِّبَ كَالْحُرِّ وَلِأَنَّهُ حَدٌّ يَتَبَعَّضُ فَوَجَبَ أَنْ يُسْتَحَقَّ فِي الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ كالجلد وفيه وجه ثالث لبعض أصحابنا أنه إن تولى الإمام جلدها غربها وإن تولاه السيد لم يغربها وفرق ما بينهما من وجهين

Nafi‘ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa seorang budak perempuan miliknya berzina, lalu ia mencambuknya dan mengasingkannya ke Fadak. Dan karena setiap orang yang dicambuk karena zina juga diasingkan, seperti halnya orang merdeka. Dan karena hukuman ini adalah hudud yang dapat dibagi-bagi, maka wajib diterapkan juga pada budak laki-laki dan perempuan sebagaimana cambuk. Ada pendapat ketiga dari sebagian ulama kami, yaitu jika yang mencambuk adalah imam, maka ia juga mengasingkannya, tetapi jika yang mencambuk adalah tuannya, maka ia tidak mengasingkannya. Mereka membedakan antara keduanya dari dua sisi.

أحدهما نفوذ أمر الإمام في جميع الْبِلَادِ دُونَ السَّيِّدِ

Salah satunya adalah bahwa perintah imam berlaku di seluruh negeri, sedangkan perintah sayyid tidak demikian.

وَالثَّانِي لِاتِّسَاعِ بَيْتِ الْمَالِ لنفقة التَّغْرِيبِ دُونَ السَّيِّدِ فَإِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ التَّغْرِيبِ ففي قدره قولان

Yang kedua adalah karena luasnya Baitul Mal untuk menanggung biaya pengasingan, bukan tanggungan tuan (pemilik budak). Maka jika dikatakan bahwa pengasingan itu wajib, terdapat dua pendapat mengenai batasannya.

أحدهما أنه تغريب عام كَالْحُرِّ قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ؛ لِأَنَّ مَا قُدِّرَ بِالْحَوْلِ اسْتَوَى فِيهِ الْحُرُّ وَالْعَبْدُ كَالْحَوْلِ فِي أجل العنة

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan pengasingan secara umum seperti pada orang merdeka, sebagaimana dikatakan dalam pendapat lama; karena sesuatu yang ditentukan dengan waktu satu tahun, maka orang merdeka dan budak sama kedudukannya di dalamnya, seperti satu tahun dalam masa tunggu kasus ‘innah.

والقول الثاني أنه تغريب نِصْفَ عَامٍ قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ وَهُوَ مَعْنَى قوله ها هنا ” أَسْتَخِيرُ اللَّهَ فِي نَفْيِهِ نِصْفَ سَنَةٍ وَإِنَّمَا كَانَ كَذَلِكَ لِأَنَّهُ حَدٌّ يَتَبَعَّضُ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَلَى النِّصْفِ مِنَ الْحُرِّ كَالْجَلْدِ وَخَالَفَ أَجْلَ الْعُنَّةِ؛ لِأَنَّهُ مَضْرُوبٌ لِظُهُورِ عَيْبٍ يُعْلَمُ بتغيير الفصول الأربعة فيستوي فِيهِ الْحُرَّ وَخَالَفَهُ فِي مُدَّةِ التَّغْرِيبِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa masa pengasingan adalah setengah tahun. Pendapat ini dikemukakan dalam pendapat baru, dan inilah maksud dari ucapannya di sini: “Aku memohon petunjuk kepada Allah dalam mengasingkannya selama setengah tahun.” Hal itu demikian karena ini adalah hudud yang dapat dibagi, maka wajib diterapkan setengahnya pada budak sebagaimana hukuman cambuk, dan berbeda dengan masa penantian ‘innah; karena masa itu ditetapkan untuk menampakkan cacat yang diketahui dengan perubahan empat musim, sehingga berlaku sama bagi orang merdeka, namun berbeda dalam masa pengasingan.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَيَحُدُّ الرَّجُلُ أَمَتَهُ إِذَا زَنَتْ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إذا زنت أمة أحدكم فتبين زناها فليجدها

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Seorang laki-laki boleh menegakkan hudud atas budaknya perempuan jika ia berzina, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Jika budak perempuan salah seorang dari kalian berzina dan telah jelas perbuatannya, maka hendaklah ia menegakkan hudud atasnya.'”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ يَجُوزُ لِلسَّيِّدِ إِقَامَةُ الْحُدُودِ عَلَى عَبِيدِهِ وَإِمَائِهِ وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَجُوزُ لِلسَّيِّدِ أَنْ يَتَوَلَّاهُ وَالْإِمَامُ أَحَقُّ بِإِقَامَتِهِ

Al-Mawardi berkata, “Hal ini sebagaimana dikatakan bahwa tuan boleh menegakkan hudud atas budak laki-laki dan budak perempuannya, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa tuan tidak boleh melakukannya, dan imam lebih berhak untuk menegakkannya.”

وَقَالَ مَالِكٌ لا يجوز أن يتولى السيد حَدَّ أَمَتِهِ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ وَيَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّاهُ فِي الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ غَيْرِ ذَاتِ الزوج

Malik berkata, tidak boleh bagi tuan melaksanakan hudud atas budak perempuannya jika ia memiliki suami, dan boleh baginya melaksanakan hudud pada budak laki-laki dan budak perempuan yang tidak bersuami.

واستدلوا بأنه من حدود الله تعالى فوجب أن يكون الأئمة أَحَقَّ بِإِقَامَتِهِ قِيَاسًا عَلَى حَدِّ الْحُرِّ وَلِأَنَّ مَنْ لَا يَمْلِكُ إِقَامَةَ الْحَدِّ عَلَى الْحُرِّ لَمْ يَمْلِكْ إِقَامَتَهُ عَلَى الْعَبْدِ كَالصَّغِيرِ وَالْمَجْنُونِ وَلِأَنَّ مَنْ لَا يَمْلِكُ إِقَامَةَ الْحَدِّ بِالْبَيِّنَةِ لَمْ يَمْلِكْ إِقَامَتَهُ بِالْإِقْرَارِ كَالْأَجْنَبِيِّ وَلِأَنَّهُ حَدٌّ لَا يَمْلِكُ السَّيِّدُ إِقَامَتَهُ عَلَيْهِ بَعْدَ عِتْقِهِ فَلَمْ يَمْلِكْ إِقَامَتَهُ عَلَيْهِ فِي حَالِ رِقِّهِ كَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ

Mereka berdalil bahwa ini termasuk hudud Allah Ta‘ala, maka wajib bagi para imam lebih berhak menegakkannya dengan qiyās terhadap hudud atas orang merdeka. Dan karena siapa yang tidak memiliki kewenangan menegakkan hudud atas orang merdeka, maka ia juga tidak memiliki kewenangan menegakkannya atas budak, seperti anak kecil dan orang gila. Dan karena siapa yang tidak memiliki kewenangan menegakkan hudud dengan bukti (bayyinah), maka ia juga tidak memiliki kewenangan menegakkannya dengan pengakuan, seperti orang asing (bukan wali). Dan karena ini adalah hudud yang tidak boleh ditegakkan oleh tuan terhadap budaknya setelah ia merdeka, maka tidak boleh pula ditegakkan atasnya ketika masih dalam status budak, seperti pemotongan tangan dalam kasus pencurian.

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” أَقِيمُوا الْحُدُودَ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَهَذَا نَصٌّ

Dan dalil kami adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tegakkanlah hudud atas apa yang dimiliki oleh tangan kanan kalian,” dan ini adalah nash.

فَإِنْ قِيلَ يَعْنِي بِإِذْنِ الْإِمَامِ ففيه وجهان

Jika dikatakan bahwa yang dimaksud adalah dengan izin imam, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أحدهما إن إطلاقه يمنع من هذا التقييد

Pertama, bahwa lafaz mutlaknya mencegah adanya pembatasan seperti ini.

وَالثَّانِي أَنَّهُ يُسْقِطُ فَائِدَةَ الْخَبَرِ؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ لَوْ أَذِنَ لِغَيْرِ السَّيِّدِ جَازَ

Yang kedua, bahwa hal itu menghilangkan manfaat dari khabar; karena jika imam mengizinkan selain tuan (pemilik), maka hal itu diperbolehkan.

وَرَوَى الزُّهْرِيِّ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هريرة قال جاء رجل بوليده إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فقال له رسول الله إن جارتي زَنَتْ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” اجلدها خمسين فإن عَادَتْ فَعُدْ وَإِنْ عَادَتْ فَعُدْ وَفِي الرَّابِعَةِ ” فإن عَادَتْ فَبِعْهَا وَلَوْ بِحَبْلٍ مِنْ شَعْرٍ

Az-Zuhri meriwayatkan dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah, ia berkata: Seorang laki-laki datang membawa budaknya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata kepada Rasulullah, “Tetanggaku telah berzina.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cambuklah dia lima puluh kali, jika ia mengulangi maka ulangi (hukuman itu), dan jika ia mengulangi maka ulangi lagi, dan pada yang keempat kalinya, jika ia mengulangi maka juallah dia, meskipun hanya dengan seutas tali dari rambut.”

وَرَوَى إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ وَلَا يُثَرِّبْ فَإِنْ عَادَتْ فَزَنَتْ فَتَبَيَّنَ زناها فليبعها ولو بعقد مِنْ شَعْرٍ وَمَعْنَى لَا يُثَرِّبُ أَنْ لَا يُعَيِّرَ فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ نَهَاهُ عَنْ تَعْيِيرِهَا وَالتَّثْرِيبِ عَلْيَهَا وَهُوَ أَبْلَغُ فِي الزَّجْرِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Isma‘il bin Umayyah meriwayatkan dari Sa‘id bin Abi Sa‘id dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika budak perempuan salah seorang dari kalian berzina, lalu perbuatannya itu terbukti, maka hendaklah ia ditegakkan hukuman had atasnya dan jangan mencelanya. Jika ia mengulangi perbuatannya lalu berzina lagi dan perbuatannya itu terbukti, maka hendaklah ia dijual, meskipun hanya dengan seutas tali dari rambut.” Makna “jangan mencela” adalah jangan mencacinya. Jika ada yang bertanya, mengapa Rasulullah melarang mencacinya dan mencelanya, padahal itu lebih efektif dalam mencegah? Maka ada dua jawaban atas hal itu.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ نَهَاهُ عَنِ الِاقْتِصَارِ عَلَيْهِ دون الحد

Salah satunya adalah bahwa Nabi melarang membatasi diri hanya padanya tanpa mencapai batas yang telah ditetapkan.

والثاني أن التعبير والتثريب تعزير يَسْقُطُ مَعَ الْحَدِّ

Kedua, bahwa ungkapan celaan dan teguran merupakan bentuk ta‘zīr yang gugur bersama dengan pelaksanaan ḥadd.

فَإِنْ قِيلَ يَحْمِلُ مَا أُمِرَ بِهِ مِنَ الْجَلْدِ عَلَى التَّعْزِيرِ دُونَ الْحَدِّ فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Jika dikatakan bahwa perintah untuk mencambuk itu dibawa kepada ta‘zīr dan bukan kepada had, maka ada dua jawaban atas hal itu.

أَحَدُهُمَا أَنَّ إِطْلَاقَ الْحَدِّ يَخْرُجُ عَنْ حُكْمِ التَّعْزِيرِ

Salah satunya adalah bahwa pelaksanaan had tidak termasuk dalam hukum ta‘zīr.

وَالثَّانِي أَنَّ الْحَدَّ يسقط بالتعزير ولأنه إجماع الصحابة

Yang kedua, bahwa hudud gugur dengan ta‘zīr, dan karena hal itu merupakan ijmā‘ para sahabat.

روى حسن بن محمد أن فاطمة عليها السلام جلدت أمة لها الحديث

Hasan bin Muhammad meriwayatkan bahwa Fathimah ‘alaihas-salām pernah mencambuk seorang budak perempuannya; hadis ini.

وَرُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَطَعَتْ جَارِيَةً لَهَا سَرَقَتْ

Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah ra. memotong tangan seorang budak perempuannya yang telah mencuri.

وَرُوِيَ أَنَّ حَفْصَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَتَلَتْ جَارِيَةً لَهَا سَحَرَتْهَا

Diriwayatkan bahwa Hafshah radhiyallahu ‘anha membunuh seorang budak perempuan miliknya yang telah menyihirnya.

وَرَوَى نَافِعٌ أَنَّ عَبْدَ الله بن عمر قَطَعَ يَدَ غُلَامٍ لَهُ سَرَقَ وَرُوِيَ أَنَّ أبا بردة جلد وليدة له زنت

Nafi‘ meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar memotong tangan seorang budaknya yang mencuri, dan diriwayatkan bahwa Abu Bardah mencambuk seorang budak perempuan miliknya yang berzina.

وروي أن مقرن سال ابن مسعود عَنْ أَمَةٍ لَهُ زَنَتْ فَقَالَ اجْلِدْهَا

Diriwayatkan bahwa Muqrin bertanya kepada Ibnu Mas‘ūd tentang seorang budak perempuan miliknya yang berzina, maka beliau berkata, “Cambuklah dia.”

وَرُوِيَ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أَبِيهِ قال كان الأنصار عند رأس الحول يخرجون من زنا مِنْ إِمَائِهِمْ فَيَجْلِدُونَهُمْ فِي مَجَالِسِهِمْ وَلَا يُعْرَفُ لهم مخالف فثبت أَنَّهُ إِجْمَاعٌ وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّ لِلْإِمَامِ حَقَّ الولاية وللسيد حق الملك فيجمع بينهما إحدى علتين

Diriwayatkan dari Yahya bin Sa‘id al-Anshari dari ayahnya, ia berkata: Kaum Anshar pada akhir tahun akan mengeluarkan budak-budak perempuan mereka yang berzina, lalu mereka mencambuknya di majelis-majelis mereka, dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka. Maka hal itu tetap sebagai ijmā‘. Dan dari sisi qiyās, imam memiliki hak wilayah, sedangkan tuan memiliki hak kepemilikan, sehingga keduanya digabungkan dengan salah satu dari dua alasan tersebut.

إحدهما أَنَّ كُلَّ مَنْ مَلَكَ تَزْوِيجَهَا مَعَ اخْتِلَافِ الدِّينَيْنِ مَلَكَ حَدَّهَا كَالْإِمَامِ

Pertama, bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk menikahkannya meskipun berbeda agama, juga memiliki hak untuk menetapkan hadd atasnya, seperti imam.

وَالثَّانِيَةُ أَنَّ كُلَّ مَنْ مَلَكَ الْإِقْرَارَ عَلَيْهِ بِجِنَايَةِ الْخَطَأِ فِي رقبته ملك إقامة الحد على يديه كَالْإِمَامِ وَلِأَنَّ تَصَرُّفَ السَّيِّدِ فِي عَبْدِهِ أَعَمُّ وعقوده فيه أتم من الإمام المتفرد بنظر الولاية فَكَانَ بِإِقَامَةِ الْحَدِّ أَحَقُّ وَخَالَفَ الْأَجْنَبِيُّ الَّذِي لَا نَظَرَ لَهُ فِيهِ وَلَا حَقَّ وَخَالَفَ الْحُرُّ الَّذِي لَا وِلَايَةَ لَهُ إِلَّا لِلْإِمَامِ وَخَالَفَ الصَّبِيَّ وَالْمَجْنُونَ لِثُبُوتِ الْوِلَايَةِ عَلَيْهِمَا فَلَمْ تَصِحَّ الْوِلَايَةُ مِنْهُمَا وَسَنَذْكُرُ فِي حُكْمِ الْبَيِّنَةِ وَالسَّرِقَةِ فِي شَرْحِ الْمَذْهَبِ مَا يَكُونُ جَوَابًا وَانْفِصَالًا

Kedua, bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk mengakui atas dirinya dalam kasus jinayah al-khata’ (kejahatan tidak sengaja) terhadap dirinya, maka ia juga memiliki hak untuk menegakkan hudud atas dirinya, seperti imam. Karena tindakan seorang tuan terhadap budaknya lebih umum dan akad-akadnya atas budaknya lebih sempurna dibandingkan imam yang hanya memiliki otoritas kepemimpinan, maka ia lebih berhak dalam menegakkan hudud. Berbeda dengan orang asing yang tidak memiliki otoritas maupun hak dalam hal ini, dan berbeda pula dengan orang merdeka yang tidak memiliki otoritas kecuali bagi imam, serta berbeda dengan anak kecil dan orang gila karena otoritas tetap atas mereka sehingga tidak sah otoritas dari keduanya. Kami akan sebutkan dalam pembahasan tentang hukum bukti dan pencurian dalam penjelasan mazhab apa yang menjadi jawaban dan penjelasannya.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ لِلسَّيِّدِ إِقَامَةُ الْحَدِّ على عبيده وإمائه فَالْكَلَامُ فِيهِ مُشْتَمِلٌ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ

Maka apabila telah tetap bagi tuan (hak) menegakkan hudud atas budak laki-laki dan perempuan miliknya, maka pembahasan dalam hal ini mencakup tiga bagian.

أَحَدُهَا فِي السَّيِّدِ الَّذِي يَمْلِكُ إِقَامَةَ الْحُدُودِ

Salah satunya adalah pada tuan yang memiliki wewenang untuk menegakkan hudud.

وَالثَّانِي فِيمَا يَمْلِكُهُ السَّيِّدُ مِنْ إِقَامَةِ الْحُدُودِ

Yang kedua adalah mengenai apa yang dimiliki oleh tuan dalam menegakkan hudud.

وَالثَّالِثُ فِيمَا يَجُوزُ لِلسَّيِّدِ أَنْ يُقِيمَ بِهِ الْحُدُودَ

Ketiga, mengenai hal-hal yang boleh bagi seorang tuan untuk menegakkan hudud terhadapnya.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ وَهُوَ السَّيِّدُ الَّذِي يَمْلِكُ إِقَامَةَ الْحُدُودِ فَهُوَ مَنِ اسْتُكْمِلَتْ فِيهِ أَرْبَعَةُ شُرُوطٍ

Adapun bagian pertama, yaitu tuan yang memiliki wewenang menegakkan hudud, maka ia adalah orang yang telah terpenuhi padanya empat syarat.

أَحَدُهَا جَوَازُ الْأَمْرِ بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ وَالرُّشْدِ؛ لأن من لم ينفذ مرة في حق نفسه فأولى أن يَنْفُذَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ فَإِنْ كَانَ صَغِيرًا أو مجنوناً أو سفيهاً لم يملك إمامة الْحَدِّ فَإِنْ أَقَامَهُ أَحَدُ هَؤُلَاءِ كَانَ تَعَدِّيًا مِنْهُ عَلَى عَبْدِهِ وَلَمْ يَسْقُطِ الْحَدُّ بِجَلْدِهِ وَإِنْ كَانَ فَاسِقًا

Salah satunya adalah bolehnya perintah (menegakkan hudud) dengan syarat telah baligh, berakal, dan rusyd; karena siapa yang belum sah tindakannya atas dirinya sendiri, maka lebih utama lagi tidak sah tindakannya atas orang lain. Jika ia masih kecil, gila, atau safih, maka ia tidak berhak menjadi imam dalam pelaksanaan hudud. Jika salah satu dari mereka menegakkan hudud, maka itu merupakan tindakan melampaui batas terhadap hamba Allah, dan hudud tidak gugur hanya dengan cambukan yang ia lakukan, meskipun ia seorang fasik.

فَفِي جَوَازِ إِقَامَتِهِ لِلْحَدِّ عَلَى عَبْدِهِ وَجْهَانِ

Dalam kebolehan seorang tuan menegakkan hudud atas hambanya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ بِوِلَايَةٍ تَنْتَفِي مَعَ الْفِسْقِ

Salah satunya tidak diperbolehkan; karena ia berhak (atasnya) berdasarkan wilāyah yang gugur dengan adanya kefasikan.

وَالثَّانِي يَجُوزُ لَهُ إِقَامَتُهُ؛ لِأَنَّ فِسْقَهُ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ إِنْكَاحِ عَبْدِهِ وَأَمَتِهِ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ إِقَامَةِ الْحَدِّ عَلَيْهِمَا

Yang kedua, ia boleh menegakkan hudud; karena kefasikannya, sebagaimana tidak menghalanginya untuk menikahkan budak laki-laki dan budak perempuannya, maka tidak pula menghalanginya untuk menegakkan hudud atas keduanya.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي أن يكون رجلا؛ لأن الرجال أحصن بالولايات من النساء فإن كان امْرَأَةً فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Syarat kedua adalah harus laki-laki; karena laki-laki lebih kokoh dalam memegang kekuasaan dibandingkan perempuan. Jika yang bersangkutan adalah perempuan, maka terdapat tiga pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهَا أَنَّهُ لَا حق لها فيه ولا لوليها وَيَتَوَلَّاهُ الْإِمَامُ لِقُصُورِهَا عَنْ وِلَايَاتِ الرِّجَالِ

Salah satunya adalah bahwa ia tidak memiliki hak atas hal itu, begitu pula walinya, dan yang melakukannya adalah imam karena ketidakmampuannya dalam menjalankan wilayah laki-laki.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّاهُ وَلَيُّهَا نِيَابَةً عَنْهَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ تُبَاشِرَهُ بِنَفْسِهَا كَالنِّكَاحِ

Pendapat kedua adalah bahwa wali perempuan boleh mewakilinya dalam hal ini, namun perempuan itu sendiri tidak boleh melakukannya secara langsung, seperti dalam pernikahan.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهَا تَسْتَحِقُّ مُبَاشَرَةَ إِقَامَتِهِ بِنَفْسِهَا وَبِمَنْ تَسْتَنِيبُهُ فِيهِ مِنْ وَلِيٍّ وَغَيْرِ وَلِيٍّ لتفردها بالملك وحقوقه وقد جلدت فاطمة عليها السلام أَمَةً لَهَا زَنَتْ وَقَطَعَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَمَةً لَهَا سَرَقَتْ

Pendapat ketiga adalah bahwa perempuan berhak secara langsung menegakkan hukuman itu sendiri, baik secara pribadi maupun melalui orang yang ia tunjuk, baik wali maupun bukan wali, karena ia sendiri yang memiliki kepemilikan dan hak-haknya. Fathimah ra. pernah mencambuk budaknya yang berzina, dan ‘Aisyah ra. pernah memotong tangan budaknya yang mencuri.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ تَامَّ الْمِلْكِ فِي كَامِلِ الرِّقِّ فَإِنْ كَانَ السَّيِّدُ بَعْضُهُ حُرٌّ وَبَعْضُهُ مَمْلُوكٌ فَلَا حق له في إقامة الحد لِنَقْصِهِ بِمَا فِيهِ مِنَ الرِّقِّ وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ مُدَبَّرًا أَوْ مُخَارِجًا أَوْ مُعْتَقًا نَصْفُهُ لم يملك إقامة الحد على عبده بجريان أحكام الرق عليه ولو كان مكاتباً ففي استحقاقه بحد عَبْدِهِ وَجْهَانِ

Syarat ketiga adalah harus sempurna kepemilikannya dalam perbudakan yang utuh. Jika tuan tersebut sebagian adalah orang merdeka dan sebagian lagi adalah budak, maka ia tidak berhak menegakkan hudud karena kepemilikannya kurang akibat adanya unsur perbudakan dalam dirinya. Demikian pula, jika ia adalah mudabbar, mukharraj, atau setengahnya telah dimerdekakan, maka ia tidak berhak menegakkan hudud atas budaknya karena hukum-hukum perbudakan masih berlaku atas dirinya. Adapun jika ia adalah seorang mukatab, maka dalam hal haknya menegakkan hudud atas budaknya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَسْتَحِقُّهُ لِاسْتِقْرَارِ مِلْكِهِ عَلَيْهِ

Salah satunya berhak atasnya karena kepemilikannya yang telah tetap atasnya.

وَالثَّانِي لَا يَسْتَحِقُّهُ لِنَقْصِهِ بِمَا يَجْرِي عَلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ الرِّقِّ وَلَوْ كَانَ السَّيِّدُ تَامَّ الْمِلْكِ بِكَمَالِ الْحُرِّيَّةِ إِلَّا أَنَّ الْعَبْدَ غَيْرُ تَامِّ الرِّقِّ لِعِتْقِ بَعْضِهِ وَرِقِّ بَعْضِهِ لَمْ يَسْتَحِقَّ إِقَامَةَ الْحَدِّ عَلَيْهِ وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِمَا فِيهِ مِنَ الْحُرِّيَّةِ الَّتِي لَا وِلَايَةَ لَهُ عَلَيْهَا وَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ بَيْنَ شَرِيكَيْنِ لَمْ يَجُزْ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَنْفَرِدَ بِإِقَامَةِ الْحَدِّ عَلَيْهِ فَإِنِ اجْتَمَعَا عَلَى إِقَامَتِهِ جَازَ

Dan yang kedua tidak berhak atasnya karena kekurangannya akibat hukum-hukum perbudakan yang berlaku padanya. Meskipun tuannya memiliki kepemilikan penuh karena kesempurnaan kemerdekaannya, namun jika budak tersebut tidak sepenuhnya berstatus budak karena sebagian dirinya telah merdeka dan sebagian lainnya masih budak, maka tidak berhak ditegakkan had atasnya secara mutlak; karena pada dirinya terdapat unsur kemerdekaan yang tidak menjadi wilayah kekuasaan tuannya. Jika budak tersebut dimiliki oleh dua orang yang berserikat, maka tidak boleh salah satu dari mereka menegakkan had atasnya sendirian. Namun jika keduanya sepakat untuk menegakkannya, maka hal itu diperbolehkan.

وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْحُدُودِ وَمِنَ المجتهدين فيه ليعلم ما يجب فيه ولا يَجِبُ فَإِنْ كَانَ مُتَّفَقًا عَلَى وُجُوبِهِ عُمِلَ فِيهِ عَلَى الِاتِّفَاقِ مِنَ الْفُقَهَاءِ وَإِنْ كَانَ مُخْتَلَفًا فِيهِ لَمْ يَخْلُ رَأْيُهُ وَرَأْيُ الْإِمَامِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَحْوَالٍ

Syarat keempat adalah bahwa ia harus termasuk orang yang memiliki pengetahuan tentang hudud dan termasuk mujtahid di dalamnya, agar ia mengetahui apa yang wajib dan apa yang tidak wajib. Jika telah disepakati kewajibannya, maka dilakukan sesuai kesepakatan para fuqaha. Namun jika terjadi perbedaan pendapat, maka pendapatnya dan pendapat imam tidak lepas dari empat keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى وجوبه فللسيد أن يتفرد بِاسْتِيفَائِهِ

Salah satunya adalah apabila keduanya sepakat atas kewajibannya, maka tuan berhak secara sendiri untuk menagihnya.

وَالثَّانِي أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى إِسْقَاطِهِ فَلَا حَدَّ

Yang kedua, apabila keduanya sepakat untuk menggugurkannya, maka tidak ada had.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَرَى الْإِمَامُ وُجُوبَهُ وَالسَّيِّدُ إسقاطه فللإمام يَسْتَوْفِيَهُ دُونَ السَّيِّدِ

Ketiga, apabila imam memandang kewajibannya, sedangkan tuan (pemilik budak) menggugurkannya, maka imam berhak memungutnya tanpa hak bagi tuan.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَرَى السَّيِّدُ وُجُوبَهُ دُونَ الْإِمَامِ فَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ بِرَأْيِهِ مَا لَمْ يَحْكُمِ الْإِمَامُ بِإِسْقَاطِهِ فَإِنْ حُكِمَ بِهِ مُنِعَ مِنْهُ السَّيِّدُ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الْإِمَامِ أَنْفَذُ وَأَعَمُّ فَإِنْ لَمْ يَكُنِ السَّيِّدُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْحُدُودِ مُنِعَ مِنْ إِقَامَتِهَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَعْلَمُ وُجُوبَهَا حَتَّى يَرْجِعَ فِيهَا إِلَى مَنْ يَجُوزُ لَهُ الْعَمَلُ بِقَوْلِهِ فَإِنْ رَجَعَ إِلَى حَاكِمٍ جَازَ أَنْ يَعْمَلَ عَلَى قَوْلِهِ فِيمَا حَكَمَ بِهِ مِنْ وُجُوبٍ إسقاطه وَيَقُومَ بِاسْتِيفَاءِ مَا حَكَمَ الْحَاكِمُ بِوُجُوبِهِ وَلَيْسَ للإمام نقضه وإن رجع فيه إلى استيفاء وفيه نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْحَدُّ مُتَّفَقًا عَلَى وُجُوبِهِ كان لِلسَّيِّدِ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ بِقَوْلِ مَنْ أَفْتَاهُ وَإِنْ كَانَ مُخْتَلَفًا فِيهِ فَفِي جَوَازِ اسْتِيفَاءِ السَّيِّدِ له بِفُتْيَاهُ وَجْهَانِ

Keempat, jika tuan (pemilik budak) memandang bahwa hukuman itu wajib, sedangkan imam (penguasa) tidak memandangnya wajib, maka tuan boleh menegakkannya menurut pendapatnya sendiri selama imam belum memutuskan untuk menggugurkannya. Namun, jika imam telah memutuskan untuk menggugurkannya, maka tuan tidak boleh lagi menegakkannya, karena keputusan imam lebih kuat dan lebih umum. Jika tuan bukan termasuk orang yang ahli dalam ilmu hudud, maka ia dilarang menegakkannya, karena ia tidak mengetahui kewajibannya kecuali setelah merujuk kepada orang yang boleh diikuti pendapatnya. Jika ia merujuk kepada seorang hakim, maka boleh baginya untuk mengikuti keputusan hakim dalam hal kewajiban atau penggugurannya, dan ia boleh menegakkan apa yang telah diputuskan hakim sebagai wajib, dan imam tidak berhak membatalkannya. Jika ia merujuk dalam hal penegakan, maka hal itu perlu diteliti. Jika hudud tersebut telah disepakati kewajibannya, maka tuan boleh menegakkannya berdasarkan fatwa orang yang memberinya fatwa. Namun, jika masih diperselisihkan, maka dalam kebolehan tuan menegakkannya berdasarkan fatwa yang ia terima terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الْمُخْتَلَفَ فِيهِ لَا يَتَعَيَّنُ إِلَّا بِحُكْمِ حَاكِمٍ

Salah satunya tidak boleh; karena perkara yang diperselisihkan tidak dapat ditetapkan kecuali dengan keputusan hakim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجُوزُ لِأَنَّ تَصَرُّفَ السَّيِّدِ فِي عَبْدِهِ أَقْوَى مِنْ تَصَرُّفِ الْحَاكِمِ إِلَّا أَنْ يَحْكُمَ الْحَاكِمُ بِسُقُوطِهِ فَيُمْنَعُ

Pendapat kedua membolehkan, karena tindakan seorang tuan terhadap budaknya lebih kuat daripada tindakan hakim, kecuali jika hakim memutuskan gugurnya (hak tersebut), maka hal itu menjadi terlarang.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي وَهُوَ مَا يَمْلِكُهُ السَّيِّدُ مِنْ إِقَامَةِ الْحُدُودِ فهو ما كان جلداً إما في زِنًا أَوْ قَذْفٍ أَوْ شُرْبِ خَمْرٍ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ تَأْدِيبَهُ بِالْجَلْدِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَهَلْ يَمْلِكُ مِنْ حَدِّهِ مَا تَعَلَّقَ بِإِرَاقَةِ الدِّمَاءِ مِنْ قَطْعِهِ فِي السَّرِقَةِ وَقَتْلِهِ بِالرِّدَّةِ أَمْ لا على وجهين

Adapun bagian kedua, yaitu mengenai apa yang dimiliki oleh tuan dalam menegakkan hudud, maka yang dimaksud adalah hukuman cambuk, baik dalam kasus zina, qadzaf, maupun minum khamar, karena ia berhak mendidiknya dengan cambukan atas dirinya sendiri. Adapun apakah ia juga berhak menegakkan hudud yang berkaitan dengan penumpahan darah, seperti memotong tangan dalam kasus pencurian atau membunuh karena riddah, terdapat dua pendapat.

أحدهما لا يملك؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ مِثْلَهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَلَا يَقْطَعُهُ إِذَا سَرَقَ وَلَا يَقْتُلَهُ إِذَا ارْتَدَّ وَيَكُونُ الْإِمَامُ أَحَقَّ بِقَطْعِهِ وَقَتْلِهِ

Salah satunya tidak memiliki; karena ia tidak memiliki yang semisalnya untuk dirinya sendiri, maka tidak dipotong tangannya jika mencuri dan tidak dibunuh jika murtad, dan imam lebih berhak untuk memotong atau membunuhnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يَمْلِكُ مِنْ حُدُودِ الدِّمَاءِ مِثْلَ ما يملكه مِنْ حُدُودِ الْجَلْدِ لِأَمْرَيْنِ

Pendapat kedua adalah bahwa ia memiliki wewenang atas hudud yang berkaitan dengan darah sebagaimana ia memiliki wewenang atas hudud yang berkaitan dengan cambuk, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَدْ يملك مثله منه في حق نفسه كالجناية وقطع السلعة

Salah satunya adalah bahwa seseorang bisa memiliki hal yang serupa dari dirinya sendiri, seperti dalam kasus jinayah dan pemotongan barang cacat.

وَالثَّانِي أَنَّ الْعِلَّةَ فِي إِقَامَةِ الْحُدُودِ عَلَيْهِ مِلْكُ الرَّقَبَةِ دُونَ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ التَّأْدِيبِ؛ لِأَنَّ الزَّوْجَ يَسْتَحِقُّ تَأْدِيبَ زَوْجَتِهِ فِي النُّشُوزِ وَالْأَبَ يَسْتَحِقُّ تَأْدِيبَ وَلَدِهِ فِي الِاسْتِصْلَاحِ وَلَا يستحق واحد منهما إقامة الحدود

Yang kedua, sesungguhnya sebab diberlakukannya hudud atasnya adalah kepemilikan atas diri (milik ar-raqabah), bukan karena hak yang dimilikinya untuk melakukan ta’dib (pendidikan/disiplin); karena seorang suami berhak mendidik istrinya dalam kasus nusyuz, dan seorang ayah berhak mendidik anaknya demi kebaikan, namun tidak satu pun dari keduanya berhak menegakkan hudud.

وروى نَافِعٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ قَطَعَ عَبْدًا لَهُ سَرَقَ

Nafi‘ meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar memotong tangan seorang budaknya yang mencuri.

وَرُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ قَطَعَتْ أَمَةً لَهَا سَرَقَتْ وَقَتَلَتْ حَفْصَةُ جَارِيَةً لَهَا سَحَرَتْهَا

Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah memotong tangan budaknya yang mencuri, dan Hafshah membunuh budaknya yang telah menyihirnya.

فَأَمَّا التَّغْرِيبُ إِذَا قِيلَ بِوُجُوبِهِ فِي الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ إِذَا زَنَيَا فَفِي اسْتِحْقَاقِ السَّيِّدِ لَهُ وَتَفَرُّدِهِ بِهِ وَجْهَانِ

Adapun tentang pengasingan (taghrīb), apabila dikatakan wajib diterapkan pada budak laki-laki dan budak perempuan jika keduanya berzina, maka dalam hal hak tuan atasnya dan kekhususan tuan dalam pelaksanaannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَسْتَحِقُّهُ السَّيِّدُ لِأَمْرَيْنِ

Salah satunya menjadi hak tuan karena dua hal.

أَحَدُهُمَا لِأَنَّهُ أَحَدُّ الْحَدَّيْنِ كَالْجَلْدِ

Salah satunya karena ia merupakan salah satu dari dua jenis hadd, seperti cambuk.

وَالثَّانِي لِأَنَّهُ يَمْلِكُ تغريبه في غير الزنا فكان بتغريب الزِّنَا أَحَقُّ

Dan alasan kedua adalah karena ia memiliki kewenangan untuk mengasingkannya dalam kasus selain zina, maka dalam hal pengasingan karena zina tentu lebih berhak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّهُ لأمرين

Adapun alasan kedua adalah bahwa ia tidak berhak mendapatkannya karena dua hal.

أحدهما أن تَغْرِيبَ الزِّنَا مَا خَرَجَ عَنِ الْمَأْلُوفِ إِلَى النَّكَالِ وَهَذَا بِتَغْرِيبِ الْإِمَامِ أَخَصُّ

Pertama, bahwa pengasingan (taghrīb) dalam kasus zina adalah sesuatu yang keluar dari kebiasaan menuju hukuman yang memberi efek jera, dan hal ini dengan pengasingan yang dilakukan oleh imam lebih khusus.

وَالثَّانِي لِاخْتِصَاصِ الْإِمَامِ بِنُفُوذِ الْأَمْرِ فِي بِلَادِ النَّفْيِ دُونَ السَّيِّدِ

Yang kedua, karena kekhususan imam dalam berlakunya perintah di negeri-negeri pengasingan, tidak berlaku bagi tuan.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ فِيمَا يَجُوزُ لِلسَّيِّدِ أَنْ يُقِيمَ بِهِ الْحُدُودَ فَهُوَ إِقْرَارُ عنده بما يوجب الحد فيحده بإقراره وأما بسماع الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ عِنْدَ إِنْكَارِهِ فَفِي جَوَازِ حَدِّهِ بِهَا وَجْهَانِ

Adapun bagian ketiga, mengenai hal-hal yang boleh bagi tuan untuk menegakkan hudud terhadap budaknya, yaitu pengakuan di hadapannya atas sesuatu yang mewajibkan hudud, maka ia boleh menegakkan hudud atas budaknya berdasarkan pengakuan tersebut. Adapun jika berdasarkan kesaksian yang didengar terhadapnya saat ia mengingkari, maka dalam kebolehan menegakkan hudud atasnya dengan kesaksian tersebut terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَحُدَّهُ بِهَا لِأَمْرَيْنِ

Salah satunya adalah tidak boleh menjatuhkan hudud kepadanya dengan alasan dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنَّ سَمَاعَ الْبَيِّنَاتِ مُخْتَصٌّ بأولى الولايات

Salah satunya adalah bahwa mendengarkan bukti-bukti hanya khusus bagi pemegang otoritas utama.

والثاني أنه محتاج إلى اجتهاد في الجرح والتعديل لأنه رُبَّمَا تُوَجَّهَ إِلَى السَّيِّدِ فِيهِ تُهْمَةٌ فَاخْتَصَّ بمن ينتفي عنه التهمة مِنَ الْوُلَاةِ

Kedua, hal itu membutuhkan ijtihad dalam jarh dan ta‘dil, karena bisa jadi terhadap seorang perawi diarahkan tuduhan tertentu, maka hal ini khusus bagi mereka yang terbebas dari tuduhan di antara para penguasa.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَحُدَّهُ بِالْبَيِّنَةِ لِأَمْرَيْنِ

Adapun alasan kedua adalah bahwa boleh baginya menetapkan had dengan bukti (bayyinah) karena dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنَّ مَنْ مَلَكَ حده بالإقرار ملك بالبينة كالحكام

Salah satunya adalah bahwa siapa pun yang memiliki hak untuk menjatuhkan had dengan pengakuan, maka ia juga memilikinya dengan bukti, seperti para hakim.

والثاني أن السيد أبعد من التهمة في عبده لحفظ ملكه من الحكام فَكَانَ بِذَلِكَ أَحَقَّ فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ أَنْ يَحُدَّهُ بِعِلْمِهِ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ هَلْ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَحْكُمَ بِعِلْمِهِ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Kedua, bahwa tuan lebih jauh dari tuduhan dalam perkara budaknya karena menjaga kepemilikannya dari para hakim, sehingga dengan demikian ia lebih berhak. Adapun jika ia ingin menegakkan hudud atas budaknya berdasarkan pengetahuannya sendiri, maka terdapat perbedaan pendapat dari Imam Syafi‘i: apakah hakim boleh memutuskan perkara berdasarkan pengetahuannya sendiri dalam hak-hak manusia atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ فَعَلَى هَذَا فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْلَى أَنْ لَا يَحْكُمَ فِيهَا بِعِلْمِهِ؛ لِأَنَّهَا تدرأ بالشبهات

Salah satunya tidak memiliki hal tersebut, maka berdasarkan hal ini, dalam hak-hak Allah Ta‘ala lebih utama untuk tidak memutuskan perkara di dalamnya berdasarkan pengetahuannya; karena perkara-perkara tersebut dihindarkan dari hukuman dengan adanya syubhat.

الْقَوْلِ الثَّانِي يَجُوزُ أَنْ يَحْكُمَ بِعِلْمِهِ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ

Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh bagi seorang hakim memutuskan perkara berdasarkan pengetahuannya sendiri dalam hak-hak sesama manusia.

فَعَلَى هَذَا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يحكم بعلمه فِي حُقُوقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْحُدُودِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Berdasarkan hal ini, apakah boleh seorang hakim memutuskan perkara dengan ilmunya sendiri dalam hak-hak Allah ‘Azza wa Jalla seperti hudud atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ اعْتِبَارًا بحقوق الآدميين

Salah satunya diperbolehkan dengan pertimbangan hak-hak manusia.

والوجه الثاني لَا يَجُوزُ لِأَنَّهَا حُدُودٌ تُدْرَأُ بِالشُّبَهَاتِ

Adapun alasan kedua, tidak diperbolehkan karena itu adalah hudud yang harus digugurkan jika terdapat syubhat.

وَأَمَّا السيد في حق عَبْدِهِ بِعِلْمِهِ فَإِنْ مُنِعَ مِنْهُ الْحَاكِمُ كَانَ السَّيِّدُ أَوْلَى أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ وَإِنْ جُوِّزَ للحاكم كان في جوازه للسيد وجهان من اختلاف الْوَجْهَيْنِ فِي جَوَازِ حَدِّهِ بِالْبَيِّنَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وبالصواب

Adapun tuan terhadap budaknya yang telah diketahui olehnya, maka jika hakim dilarang melakukannya, maka tuan lebih utama untuk dilarang melakukannya. Dan jika dibolehkan bagi hakim, maka kebolehan bagi tuan terdapat dua pendapat, sebagaimana terdapat dua pendapat dalam kebolehan menjatuhkan hudud dengan bukti. Dan Allah lebih mengetahui dan lebih tepat.

باب ما جاء في حد الذميين

Bab tentang ketentuan hukum bagi dzimmi.

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِ الْحُدُودِ وإن تحاكموا إلينا فلنا أن نحكم أَوْ نَدَعَ فَإِنْ حَكَمْنَا حَدَدْنَا الْمُحْصَنَ بِالرَّجْمِ لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا وَجَلَدْنَا الْبِكْرَ مِائَةً وَغَرَّبْنَاهُ عَامًا وَقَالَ فِي كِتَابِ الْجِزْيَةِ إِنَّهُ لَا خيار له إذا جاؤوه فِي حَدِّ اللَّهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُقِيمَهُ لِمَا وَصَفْتُ مِنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُمْ صاغرون قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ هَذَا أَوْلَى قَوْلَيْهِ بِهِ إِذْ زَعَمَ أَنَّ مَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ تعالى وهم صاغرون أن تجرى عليهم أحكام الإسلام ما لَمْ يَكُنْ أَمْرُ حُكْمِ الْإِسْلَامِ فِيهِ تَرْكَهُمْ واياه

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata dalam Kitab al-Hudud: “Jika mereka (ahli kitab) mengadukan perkara kepada kita, maka kita boleh memutuskan hukum atau membiarkannya. Jika kita memutuskan hukum, maka kita menegakkan had atas muhsan (yang sudah menikah) dengan rajam, karena Nabi ﷺ pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina. Dan kita mencambuk ghairu muhsan (yang belum menikah) seratus kali dan mengasingkannya selama satu tahun.” Dan beliau berkata dalam Kitab al-Jizyah: “Tidak ada pilihan baginya jika mereka datang kepadanya dalam perkara hudud Allah, maka wajib baginya menegakkannya, sebagaimana yang telah aku sebutkan dari firman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘dan mereka dalam keadaan hina’.” Al-Muzani rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat beliau yang lebih utama, karena beliau berpendapat bahwa makna firman Allah Ta‘ala ‘dan mereka dalam keadaan hina’ adalah diberlakukannya hukum-hukum Islam atas mereka selama tidak ada perintah dalam hukum Islam untuk membiarkan mereka dan urusannya.”

قال الماوردي وهذا الْبَابُ يَشْتَمِلُ عَلَى مَسْأَلَتَيْنِ قَدْ مَضَتَا

Al-Mawardi berkata: Bab ini mencakup dua permasalahan yang telah dibahas sebelumnya.

إِحْدَاهُمَا فِي أَهْلِ الذِّمَّةِ هَلْ تَلْزَمُهُمْ أَحْكَامُنَا أَمْ لَا

Salah satunya adalah mengenai ahludz-dzimmah, apakah hukum-hukum kita wajib berlaku atas mereka atau tidak.

وَالثَّانِيَةُ هَلِ الْإِسْلَامُ شَرْطٌ فِي إِحْصَانِ الزنا أم لا

Dan yang kedua, apakah Islam merupakan syarat dalam ihṣān (status terjaga kehormatan) dalam kasus zina atau tidak.

فأما المسألة الأول فِي جَرَيَانِ أَحْكَامِنَا عَلَيْهِمْ فَإِنْ كَانُوا أَهْلَ عَهْدٍ وَلَمْ يَكُونُوا أَهْلَ ذِمَّةٍ فَحَاكِمُنَا إِذَا تَحَاكَمُوا إِلَيْهِ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ أَنْ لَا يَحْكُمَ وَهُوَ إِذَا اسْتَعَدُّوا إِلَيْهِ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَنْ يُعْدِيَ عَلَيْهِمْ أَوْ لَا يُعْدِيَ فَإِنْ أَعْدَى وَحَكَمَ كَانُوا مُخَيَّرِينَ بَيْنَ الْتِزَامِ حُكْمِهِ وَبَيْنَ رَدِّهِ وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ أَوْ فِي حُقُوقِ الله تعالى وأصل هذا قوله تعالى فإن جاؤوك فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ المائدة 42 وَلِأَنَّ مُوجِبَ الْعَهْدِ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ أَنْ يَأْمَنُونَا وَنَأْمَنَهُمْ فَلَمْ يَنْفُذْ حُكْمُ الْأَمَانِ إِلَى غَيْرِهِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْإِمَامُ عَلَيْهِمْ فِي عَهْدِ الْأَمَانِ لَهُمْ أَنْ يَلْتَزِمُوا أَحْكَامَنَا فَتَلْزَمُهُمْ بِالشَّرْطِ الْمَعْقُودِ عَلَيْهِمْ فَلَوْ دَخَلَ مُعَاهَدٌ إِلَى دَارِ الإسلام بأمان فزنا بِمُسْلِمَةٍ مُطَاوِعَةً فَإِنْ شَرَطَ فِي أَمَانِهِ الْتِزَامَ حُكْمِنَا حَدَدْنَاهُمَا وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطْ ذَلِكَ فِي أَمَانِهِ حَدَدْنَا الْمُسْلِمَةَ دُونَ الْمُعَاهَدِ , وَكَذَلِكَ الْمُعَاهَدَةُ إذا دخلت دار الإسلام بأمان فزنا بها مسلم حد الْمُسْلِمُ وَلَمْ تُحَدَّ الْمُعَاهَدَةُ إِلَّا أَنْ يُشْتَرَطَ في أمانها التزام حكمنا فتحد

Adapun permasalahan pertama tentang berlakunya hukum-hukum kita atas mereka, maka jika mereka adalah ahl ‘ahd (orang-orang yang memiliki perjanjian) dan bukan ahl dzimmah, maka hakim kita, apabila mereka meminta keputusan hukum kepadanya, boleh memilih antara memutuskan perkara di antara mereka atau tidak memutuskan. Dan jika mereka meminta perlindungan kepadanya, ia juga boleh memilih antara memberikan perlindungan atau tidak. Jika ia memberikan perlindungan dan memutuskan perkara, maka mereka pun boleh memilih antara menerima putusannya atau menolaknya, baik itu dalam hak-hak manusia maupun hak-hak Allah Ta‘ala. Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta‘ala: “Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah perkara di antara mereka atau berpalinglah dari mereka” (al-Mā’idah: 42). Dan karena konsekuensi dari perjanjian antara kita dan mereka adalah mereka merasa aman dari kita dan kita merasa aman dari mereka, maka hukum perlindungan tidak berlaku kepada selain mereka, kecuali jika imam mensyaratkan kepada mereka dalam perjanjian perlindungan agar mereka wajib mengikuti hukum-hukum kita, maka mereka terikat dengan syarat yang telah disepakati atas mereka. Maka jika seorang mu‘āhad (orang yang terikat perjanjian) masuk ke wilayah Islam dengan jaminan keamanan lalu berzina dengan seorang muslimah yang rela, jika dalam jaminan keamanannya disyaratkan untuk mengikuti hukum kita, maka keduanya dikenai had. Namun jika tidak disyaratkan demikian dalam jaminan keamanannya, maka yang dikenai had hanya muslimah tersebut, bukan mu‘āhad. Demikian pula jika seorang mu‘āhadah (perempuan yang terikat perjanjian) masuk ke wilayah Islam dengan jaminan keamanan lalu berzina dengannya seorang muslim, maka muslim tersebut dikenai had dan mu‘āhadah tidak dikenai had, kecuali jika dalam jaminan keamanannya disyaratkan untuk mengikuti hukum kita, maka ia pun dikenai had.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا أَهْلُ الذِّمَّةِ وَهُمْ أَصْحَابُ الْجِزْيَةِ فَفِي وُجُوبِ الْحُكْمِ بَيْنَهُمْ إِذَا اسْتَعَدُّوا إِلَيْنَا ثلاثة أقاويل

Adapun ahludz-dzimmah, yaitu para pembayar jizyah, maka mengenai kewajiban memutuskan hukum di antara mereka apabila mereka meminta keputusan kepada kita, terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا لَا يَلْزَمُ وَالْحَاكِمُ مُخَيَّرٌ بَيْنَهُمْ فِي الْحُكْمِ وَهُمْ مُخَيَّرُونَ فِي الْتِزَامِ حُكْمِهِ كَأَهْلِ العهد؛ لعموم قول الله تعالى فإن جاؤوك فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ المائدة 42 وَقَالَ تَعَالَى فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أن يصيبهم ببعض ذنوبهم وَلَمْ يَقُلْ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ وَسَوَاءٌ كان هذا في حقوق الله أَوْ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَعَلَى هَذَا إِنِ اسْتَعْدَوُا الْحَاكِمَ كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ أَنْ يُعْدِيَ المستعدي وبين أن لا يعديه وإذا أَعْدَاهُ كَانَ الْمُسْتَعْدَى عَلَيْهِ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْحُضُورِ وَالِامْتِنَاعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهِمْ فِي عَقْدِ الذمة أن يجري عَلَيْهِمْ أَحْكَامَنَا فَيَلْزَمُ الْحَاكِمُ أَنْ يُعْدِيَهُمْ وَيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ وَيُلْزِمَهُمُ الْحُضُورَ إِلَيْهِ وَالْتِزَامَ حُكْمِهِ فَإِنْ تَرَاضَوْا بِالْمُحَاكَمَةِ إِلَيْهِ تَوَجَّهَ لُزُومُ الْحُكْمِ إِلَيْهِمْ دُونَهُ فَيَكُونُ مُخَيَّرًا فِي الْحُكْمِ بَيْنَهُمْ فَإِنْ حَكَمَ وَجَبَ عَلَيْهِمُ الْتِزَامُ حُكْمِهِ

Salah satunya adalah tidak wajib, dan hakim boleh memilih di antara mereka dalam menetapkan hukum, dan mereka pun boleh memilih untuk menerima atau tidak menerima putusannya, seperti halnya ahl al-‘ahd; berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: “Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka berilah keputusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka” (al-Ma’idah: 42), dan firman-Nya Ta’ala: “Jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwa Allah hendak menimpakan kepada mereka sebagian dosa-dosa mereka” dan Dia tidak berfirman: “Jika mereka berpaling, maka berilah keputusan di antara mereka.” Sama saja apakah ini berkaitan dengan hak-hak Allah atau hak-hak manusia. Berdasarkan hal ini, jika mereka meminta perlindungan kepada hakim, maka hakim boleh memilih antara memberikan perlindungan kepada yang meminta atau tidak memberikannya. Jika hakim telah memberikan perlindungan, maka pihak yang dimintai perlindungan boleh memilih untuk hadir atau menolak, kecuali jika dalam akad dzimmah disyaratkan atas mereka untuk menjalankan hukum-hukum kita atas mereka, maka hakim wajib memberikan perlindungan kepada mereka, memutuskan perkara di antara mereka, dan mewajibkan mereka untuk hadir kepadanya serta menerima putusannya. Jika mereka rela untuk diadili olehnya, maka wajib bagi mereka menerima putusannya, bukan bagi hakim. Maka hakim boleh memilih untuk menetapkan hukum di antara mereka, dan jika ia telah memutuskan, maka mereka wajib menerima putusannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أنه لا يَلْزَمُ الْحَاكِمُ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ وَيُعْدِيَ الْمُسْتَعْدِي منهم ويخير الْمُسْتَعْدَى عَلَيْهِ عَلَى الْحُضُورِ وَيُلْزِمَهُ الْحُكْمَ جَبْرًا سَوَاءٌ كَانَ فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ في حقوق الأدميين؛ لقول الله تعالى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ التوبة 29

Pendapat kedua menyatakan bahwa hakim tidak wajib memutuskan perkara di antara mereka dan tidak harus memenuhi permintaan pihak yang mengadu di antara mereka, serta memberikan pilihan kepada pihak yang diadukan untuk hadir dan mewajibkannya menerima keputusan secara paksa, baik dalam hak-hak Allah Ta‘ala maupun dalam hak-hak manusia; berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29)

وقال الشافعي والصغار أن يجري عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ وَإِنْ كَانَ عِنْدَ غَيْرِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الصَّغَارَ هُوَ الْإِذْعَانُ بِبَذْلِ الْجِزْيَةِ وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا وَلَوْ لَمْ تَلْزَمْهُمْ أَحْكَامُهُ لَامْتَنَعُوا عَلَيْهِ وَلِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ تُوجِبُ حِفْظَ الْحُقُوقِ وَتَمْنَعُ مِنَ التَّظَالُمِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ مَا ارْتَكَبُوهُ مِنَ الْحُدُودِ مَحْظُورًا عِنْدَنَا وَعِنْدَهُمْ كَالزِّنَا أَقَمْنَا الْحَدَّ عَلَيْهِمْ وَإِنْ كَانَ مَحْظُورًا عِنْدَنَا مُبَاحًا عِنْدَهُمْ كَشُرْبِ الْخَمْرِ لَمْ نَحُدَّهُمْ لِإِقْرَارِنَا لَهُمْ عَلَى اسْتِبَاحَتِهِ

Imam Syafi‘i berpendapat bahwa anak-anak kecil tetap diberlakukan atas mereka hukum-hukum Islam, meskipun menurut selain Syafi‘i, anak-anak kecil itu adalah mereka yang tunduk dengan membayar jizyah. Hal ini karena Rasulullah saw. pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina, dan seandainya hukum-hukum Islam tidak wajib atas mereka, tentu mereka akan menolak untuk dijatuhi hukuman tersebut. Selain itu, wilayah Islam mengharuskan penjagaan hak-hak dan mencegah terjadinya kezaliman. Berdasarkan hal ini, jika perbuatan yang mereka lakukan termasuk hudud yang dilarang menurut kita dan menurut mereka, seperti zina, maka kita menegakkan hudud atas mereka. Namun jika perbuatan itu dilarang menurut kita tetapi dibolehkan menurut mereka, seperti meminum khamar, maka kita tidak menegakkan hudud atas mereka karena kita mengakui kebolehan mereka dalam hal tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ أن يَلْزَمَهُ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَلَا يَلْزَمَهُ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ فِي حُقُوقِ الله تعالى لأن حقوق اللَّهِ فِي كُفْرِهِمْ أَعْظَمُ وَقَدْ أُقِرُّوا عَلَيْهِ وَحُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ مَحْفُوظَةٌ لَهُمْ وَعَلَيْهِمْ كَمَا يَلْزَمُنَا حِفْظُ أَمْوَالِهِمْ فَإِنْ كَانَ التَّحَاكُمُ بَيْنَ مُسْلِمٍ وَذِمِّيٍّ لَزِمَ الْحُكْمُ بَيْنَهُمِ قَوْلًا وَاحِدًا سَوَاءٌ كَانَ الْمُسْلِمُ مُسْتَعْدِيًا أَوْ مُسْتَعْدًى عَلَيْهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى وَإِنْ كَانَ التَّحَاكُمُ بَيْنَ ذِمِّيِّينَ مِنْ مِلَّتَيْنِ كَيَهُودِيٍّ وَنَصْرَانِيٍّ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat ketiga adalah bahwa seorang hakim wajib memutuskan perkara di antara mereka dalam hak-hak sesama manusia (ḥuqūq al-ādāmiyyīn), namun tidak wajib memutuskan perkara di antara mereka dalam hak-hak Allah Ta‘ala, karena hak-hak Allah dalam kekafiran mereka lebih besar dan mereka telah dibiarkan atas kekafiran itu, sedangkan hak-hak sesama manusia tetap dijaga untuk mereka dan atas mereka, sebagaimana kita juga wajib menjaga harta mereka. Jika persengketaan terjadi antara seorang Muslim dan seorang dzimmi, maka wajib memutuskan perkara di antara mereka menurut satu pendapat, baik Muslim itu sebagai penggugat maupun tergugat, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” Namun jika persengketaan terjadi antara dua orang dzimmi dari dua agama, seperti Yahudi dan Nasrani, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَلْزَمُ الْحُكْمُ بَيْنَهُمَا قَوْلًا وَاحِدًا لِاخْتِلَافِ الْمُعْتَقَدَيْنِ كَمَا لَوْ كَانَتْ بَيْنَ مُسْلِمٍ وَذِمِّيٍّ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa wajib menetapkan hukum di antara keduanya dengan satu ketetapan karena perbedaan keyakinan, sebagaimana jika terjadi antara seorang Muslim dan seorang dzimmi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُشْبِهُ قَوْلَ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أن يَكُونَ عَلَى الْأَقَاوِيلِ الثَّلَاثَةِ؛ لِأَنَّ الْكُفْرَ كُلُّهُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ

Pendapat kedua mirip dengan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa hal itu mengikuti tiga pendapat, karena seluruh kekufuran adalah satu golongan.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ وَهِيَ الْإِسْلَامُ وَهَلْ هُوَ شَرْطٌ فِي الْإِحْصَانِ أَمْ لَا فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ

Adapun permasalahan kedua, yaitu tentang Islam dan apakah Islam merupakan syarat dalam ihsān atau tidak, para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَيْسَ بِشَرْطٍ فِي الْإِحْصَانِ وَأَنَّ الْكَافِرَ إِذَا أَصَابَ كافرة في عقد صَارَا مُحْصَنَيْنِ فَإِنْ زَنَيَا فَحَدُّهُمَا الرَّجْمُ

Salah satunya, yaitu mazhab Syafi‘i, berpendapat bahwa (Islam) bukanlah syarat dalam ihshān, dan bahwa orang kafir apabila menikahi wanita kafir dalam akad yang sah, maka keduanya menjadi muhsan. Jika keduanya berzina, maka hukumannya adalah rajam.

وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّ الْإِسْلَامَ شَرْطٌ فِي الْإِحْصَانِ فَإِذَا أَصَابَ الْكَافِرُ كَافِرَةً فِي عَقْدِ نِكَاحٍ لَمْ يَتَحَصَّنْ بِهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا وَحَدُّهُمَا إِذَا زَنَيَا الْجَلْدُ وَإِنْ أَصَابَ مُسْلِمٌ كَافِرَةً فِي عَقْدِ نِكَاحٍ لَمْ يَتَحَصَّنْ وَاحِدٌ منهما فأيهما زنا فَحَدُّهُ الْجَلْدُ

Pendapat kedua, yaitu mazhab Abu Hanifah, menyatakan bahwa Islam adalah syarat dalam ihshān. Maka jika seorang kafir menikahi wanita kafir dalam akad nikah, tidak ada satu pun dari keduanya yang menjadi muhsan dengan akad tersebut, dan jika keduanya berzina, hukumannya adalah cambuk. Dan jika seorang Muslim menikahi wanita kafir dalam akad nikah, tidak ada satu pun dari keduanya yang menjadi muhsan, maka siapa pun di antara mereka yang berzina, hukumannya adalah cambuk.

وَالثَّالِثُ مَا قَالَهُ مَالِكٌ أَنَّ الإصابة في نكاح الإسلام شبيه فِي الْإِحْصَانِ فَإِنْ أَصَابَ الْكَافِرُ كَافِرَةً فِي عَقْدِ نِكَاحٍ فِي الْكُفْرِ لَمْ يَتَحَصَّنْ بِهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا وَإِنْ أَصَابَ الْمُسْلِمُ كَافِرَةً فِي عَقْدِ نِكَاحٍ تَحَصَّنَ بِهِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فأيهما زنا رُجِمَ وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ مَنَاكِحَ الشِّرْكِ بَاطِلَةٌ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي جَوَازِهَا وَالْعَفْوِ عَنْهَا فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَمَضَى مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي أَوَّلِ هَذَا الْكِتَابِ وبالله التوفيق

Ketiga, pendapat Malik bahwa hubungan suami istri dalam pernikahan Islam serupa dengan status ihsan; jika seorang kafir berhubungan dengan perempuan kafir dalam akad nikah di masa kekufuran, maka tidak ada satu pun dari keduanya yang memperoleh status ihsan karenanya. Namun jika seorang Muslim berhubungan dengan perempuan kafir dalam akad nikah, maka masing-masing dari keduanya memperoleh status ihsan; sehingga jika salah satu dari mereka berzina, maka ia dirajam. Malik membangun pendapat ini di atas prinsipnya bahwa pernikahan di masa syirik adalah batal. Telah dibahas sebelumnya tentang kebolehan dan pengampunan terhadap pernikahan tersebut dalam Kitab Nikah, dan juga telah dijelaskan bersama pendapat Abu Hanifah di awal kitab ini. Hanya kepada Allah-lah taufik.

باب حد القذف

Bab Hudud Qadzaf

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله ” إذا قذف الْبَالِغُ حُرًّا بَالِغًا مُسْلِمًا أَوْ حُرَّةً بَالِغَةً مسلمة حد ثمانين

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Apabila seseorang yang telah baligh menuduh seseorang yang merdeka, baligh, dan muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang merdeka, baligh, dan muslim, maka hukumannya adalah had delapan puluh (cambukan).”

قال الماوردي والأصل فِي تَحْرِيمِ الْقَذْفِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ” إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ النور 23

Al-Mawardi berkata: Dasar pengharaman qazaf adalah al-Kitab, as-Sunnah, dan ijmā‘. Allah Ta‘ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang terjaga, yang lalai, lagi beriman, mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (an-Nur: 23)

وَرَوَى حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ قَذْفُ مُحْصَنَةٍ يُحْبِطُ عَمَلَ مِائَةِ سَنَةٍ

Hudzaifah bin al-Yaman meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Menuduh seorang perempuan terjaga (muhshanah) berbuat zina dapat menggugurkan amal seratus tahun.”

وَرَوَى ابْنُ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ أَقَامَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَاجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ السبع نودي في الْقِيَامَةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَةَ مِنْ أَيِّ بَابٍ شاء قال رجل لابن عمر الْكَبَائِرُ السَّبْعُ سَمِعْتَهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” نَعَمْ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ وَالْقَتْلُ وَالْفِرَارُ يَوْمَ الزَّحْفِ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالزِّنَا وَقَدْ كَانَ مِنْ شَأْنِ عَائِشَةَ رضوان الله عليها في الإفك عليها ما برأها الله تعالى مِنْهُ

Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa menegakkan shalat lima waktu dan menjauhi tujuh dosa besar, maka pada hari kiamat akan diserukan agar ia masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki.” Seseorang bertanya kepada Ibnu Umar, “Tujuh dosa besar itu, apakah engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab, “Ya, yaitu syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, menuduh perempuan suci berbuat zina, membunuh, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, dan berzina.” Dan telah terjadi peristiwa tuduhan terhadap Aisyah—semoga Allah meridhainya—dalam peristiwa ifk (fitnah), yang Allah Ta‘ala telah membebaskannya dari tuduhan itu.

وَسَبَبُهُ أَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي غَزْوَةِ الْمُرَيْسِيعِ وَهِيَ غَزْوَةُ بَنِي الْمُصْطَلِقِ سَنَةَ سِتٍّ فَضَاعَ عِقْدٌ لَهَا مِنْ جِزْعِ أظفار وَقَدْ تَوَجَّهَتْ لِحَاجَتِهَا فَعَادَتْ فِي طَلَبِهِ وَرَحَلَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ من منزله ورفع هودجها ولم يشعر بها أَنَّهَا لَيْسَتْ فِيهِ لِخِفَّتِهَا وَعَادَتْ فَلَمْ تَرَ فِي الْمَنْزِلِ أَحَدًا فَأَدْرَكَهَا صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ فَحَمَلَهَا عَلَى رَاحِلَتِهِ وَأَلْحَقَهَا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَتَكَلَّمَ فِيهَا وَفِي صَفْوَانَ مَنْ تَكَلَّمَ وَقَدِمَتِ المدينة وانتشر الإفك وَهِيَ لَا تَعْلَمُ ثُمَّ عَلِمَتْ فَأَخَذَهَا مِنْهُ كل عظيم إلى أن انزل تعالى بَرَاءَتِهَا بَعْدَ شَهْرٍ مِنْ قُدُومِ الْمَدِينَةِ مَا انزل فقال تعالى إن الذين جاؤوا بِالإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ النور 11 وَفِي الْمُرَادِ بِالْإِفْكِ وجهان

Adapun sebabnya adalah bahwa ‘Aisyah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Muraisi‘, yaitu perang melawan Bani Musthaliq pada tahun keenam. Ketika itu, kalung miliknya yang terbuat dari batu dzufar hilang, sementara ia telah pergi untuk suatu keperluan. Ia kembali untuk mencari kalung tersebut, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berangkat dari tempat singgahnya serta mengangkat tandu ‘Aisyah tanpa menyadari bahwa ia tidak berada di dalamnya karena ringannya tandu itu. ‘Aisyah pun kembali, namun tidak mendapati seorang pun di tempat tersebut. Lalu ia dijumpai oleh Shafwan bin al-Mu‘atthal, kemudian ia menaikkannya ke atas untanya dan membawanya menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka orang-orang yang membicarakan tentang ‘Aisyah dan Shafwan pun mulai menyebarkan isu. Ketika mereka tiba di Madinah, berita ifk (tuduhan dusta) pun tersebar, sementara ‘Aisyah tidak mengetahuinya. Setelah itu ia mengetahui, dan peristiwa itu sangat berat baginya, hingga Allah menurunkan pembebasannya setelah sebulan dari kedatangan di Madinah, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah golongan dari kalian sendiri.” (an-Nur: 11). Adapun maksud dari ifk, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ الْإِثْمُ قَالَهُ أَبُو عُبَيْدَةَ

Salah satunya adalah bahwa itu berarti dosa, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Ubaidah.

وَالثَّانِي أَنَّهُ الْكَذِبُ وَهُوَ الْأَظْهَرُ وَزُعَمَاءُ الْإِفْكِ حَسَّانُ بْنُ ثَابِتٍ وَمِسْطَحُ بْنُ أُثَاثَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بن أبي ابن سَلُولَ وَزَيْدُ بْنُ رِفَاعَةَ وَحَمْنَةُ بِنْتُ جَحْشٍ لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ النور 11 أَيْ لَا تَحْسَبُوا مَا ذُكِرَ مِنَ الْإِفْكِ شَرًّا لَكُمْ أَيْ أَذًى بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ بَرَّأَ مِنْهُ وَأَثَابَ عَلَيْهِ وَفِي الْمَقْصُودِ بِهَذَا الْقَوْلِ وَجْهَانِ

Yang kedua adalah bahwa itu adalah kebohongan, dan inilah yang lebih jelas. Para pemuka penyebar ifk (tuduhan dusta) adalah Hassān bin Tsābit, Misthah bin Utsātsah, Abdullah bin Ubay bin Salūl, Zaid bin Rifā‘ah, dan Hamnah binti Jahsy. “Janganlah kalian mengira bahwa peristiwa ifk itu buruk bagi kalian, bahkan itu adalah kebaikan bagi kalian” (an-Nūr: 11), maksudnya janganlah kalian mengira bahwa apa yang disebutkan dari ifk itu adalah keburukan bagi kalian, yakni suatu musibah, bahkan itu adalah kebaikan bagi kalian; karena Allah Ta‘ālā telah membebaskan dari tuduhan itu dan memberikan pahala atasnya. Dalam maksud dari perkataan ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا عَائِشَةُ وَصَفْوَانُ؛ لِأَنَّهُمَا قُصِدَا بِالْإِفْكِ

Salah satunya adalah ‘Aisyah dan Shafwan; karena keduanya menjadi sasaran tuduhan dusta.

وَالثَّانِي أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وأبو بكر رحمه الله تعالى لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإِثْمِ النور 11 أَيْ لَهُ عِقَابُ مَا اكْتَسَبَ بِقَدْرِ إِثْمِهِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ النور 11 فِيهِ قراءتان ” كبره بكسر الكاف ومعناه إثمه وقرئ بضم الكاف ومعناه بعظمه وَمُتَوَلِّي كِبْرِهِ مِنْهُمْ حَسَّانُ بْنُ ثَابِتٍ وَمِسْطَحُ بْنُ أُثَاثَةَ وَحَمْنَةُ بِنْتُ جَحْشٍ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ النور 11 فِيهِ وَجْهَانِ

Kedua, bahwa Rasulullah saw. dan Abu Bakar rahimahullah, bagi setiap orang dari mereka apa yang mereka perbuat dari dosa, sebagaimana dalam surah an-Nur ayat 11: “Setiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya,” yakni ia akan mendapatkan hukuman sesuai kadar dosanya. Adapun orang yang memikul bagian terbesar dari peristiwa itu di antara mereka, dalam surah an-Nur ayat 11 terdapat dua qirā’ah: “kibrihi” dengan kasrah pada huruf kaf yang berarti dosanya, dan dibaca dengan dhammah pada huruf kaf yang berarti kebesarannya. Orang yang memikul bagian terbesar dari peristiwa itu di antara mereka adalah Hassān bin Tsābit, Mistah bin Utsātsah, dan Hamnah binti Jahsy. Baginya azab yang besar, sebagaimana dalam surah an-Nur ayat 11, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ حَدُّ الْقَذْفِ الَّذِي أَقَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَيْهِمْ قَالَهُ عُرْوَةُ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ عائشة رضي الله عنها حتى قال فيه بَعْضُ شُعَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan had qadzaf yang ditegakkan oleh Rasulullah ﷺ atas mereka. Hal ini dikatakan oleh ‘Urwah dan Sa‘id bin al-Musayyab dari ‘Aisyah ra., hingga sebagian penyair Muslim berkata tentangnya.

لَقَدْ ذَاقَ حَسَّانُ الَذِي كان أهله وحمنة إذ قالا فجوراً وَمِسْطَحُ

Sungguh, Hassān telah merasakan akibat dari apa yang telah dilakukan oleh keluarganya dan Hamnah ketika mereka berdua mengucapkan kebohongan, begitu juga Mistah.

تَعَاطَوْا بِرَجْمِ الْغَيْبِ زَوْجَ نَبِيِّهِمْ وَسُخْطَةَ ذي العرش العظيم فَأَبْرَحُوا

Mereka saling menebak-nebak secara sembarangan tentang istri nabi mereka dan murka Pemilik ‘Arsy yang agung, sehingga mereka pun binasa dengan sangat buruk.

فَصُبَّتْ عَلَيْهِمْ مُحْصَدَاتٌ كَأَنَّهَا شَآبِيبُ قَطْرٍ مِنْ ذُرَى الْمُزْنِ تُسْفَحُ

Lalu ditumpahkan kepada mereka batu-batu yang membinasakan, seakan-akan itu adalah butiran hujan yang tercurah dari puncak awan.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمْ يجلدهم؛ لأن الحدود إنما تقام بإقرار أو ببينة وَلَا تُقَامُ بِإِخْبَارِ اللَّهِ تَعَالَى عَنْهَا كَمَا لَمْ يَتَعَبَّدْنَا بِقَتْلِ الْمُنَافِقِينَ بِمَا أَخْبَرَ بِهِ مِنْ كُفْرِهِمْ وَالْعَذَابُ الْعَظِيمُ هُوَ أَنَّ حَسَّانَ بْنَ ثَابِتٍ وَمِسْطَحَ بْنَ أَثَاثَةَ عَمِيَا وَحَمْنَةَ بِنْتَ جَحْشٍ اسْتُحِيضَتْ وَاتَّصَلَ دَمُهَا عُقُوبَةً لِمَا كَانَ مِنْهَا

Kedua, beliau tidak mencambuk mereka karena hudud hanya ditegakkan berdasarkan pengakuan atau bukti, dan tidak ditegakkan berdasarkan pemberitahuan Allah Ta‘ala tentang hal itu, sebagaimana kita juga tidak diperintahkan untuk membunuh orang-orang munafik berdasarkan apa yang telah diberitakan Allah tentang kekafiran mereka. Adapun azab yang besar itu adalah bahwa Hassān bin Tsābit dan Misthah bin Atsātsah menjadi buta, dan Hamnah binti Jahsy mengalami istihādah sehingga darahnya terus-menerus keluar sebagai hukuman atas apa yang telah mereka lakukan.

فَصْلٌ

Bagian

ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى غَلَّظَ تَحْرِيمَ الْقَذْفِ بِالزِّنَا بِوُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى الْقَاذِفِ فَقَالَ وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ النور 4 يَعْنِي بالزنا ثم لو يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فاجلدوهم ثمانين جلدة ولا تقبلو لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ النور 4 فغلظ بثلاثة أشياء الحد والفسق وَالْمَنْعُ مِنْ قَبُولِ الشَّهَادَةِ وَلَمْ يُوجِبْ بِالْقَذْفِ بِغَيْرِ الزِّنَا مِنَ الْكُفْرِ وَسَائِرِ الْفَوَاحِشِ حَدًّا؛ لِأَنَّ الْقَذْفَ بِالزِّنَا أَعَرُّ وَهُوَ بِالنَّسْلِ أَضَرُّ وَلِأَنَّ الْمَقْذُوفَ بِالْكُفْرِ يَقْدِرُ عَلَى نَفْيِهِ عَنْ نَفْسِهِ بِإِظْهَار الشَّهَادَتَيْنِ وَلَا يَقْدِرُ عَلَى نَفْيِ الزِّنَا عَنْ نَفْسِهِ وَجَعَلَ حَدَّهُ ثَمَانِينَ جَلْدَةً؛ لِأَنَّ الْقَذْفَ بِالزِّنَا أَقَلُّ مِنْ فِعْلِ الزِّنَا فَكَانَ أَقَلَّ حَدًّا مِنْهُ وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَنَّهُ قَاسَ عَلَيْهِ حَدَّ شَارِبِ الْخَمْرِ فَقَالَ لِأَنَّهُ إِذَا شَرِبَ سَكِرَ وَإِذَا سَكِرَ هَذَى وَإِذَا هذي افترى وحد المفتري ثمانون والله أعلم

Kemudian, Allah Ta‘ala memperberat keharaman menuduh zina dengan mewajibkan hukuman had bagi orang yang menuduh, sebagaimana firman-Nya: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang terjaga (dari zina)” (an-Nur: 4), maksudnya menuduh zina, “kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali cambukan dan janganlah kalian terima kesaksian mereka selamanya, dan mereka itulah orang-orang fasik” (an-Nur: 4). Maka Allah memperberat dengan tiga hal: hukuman had, status kefasikan, dan larangan diterimanya kesaksian. Allah tidak mewajibkan hukuman had bagi tuduhan selain zina, seperti tuduhan kafir atau perbuatan keji lainnya, karena menuduh zina lebih berat dan lebih berbahaya terhadap keturunan. Selain itu, orang yang dituduh kafir masih bisa menolak tuduhan itu dengan menampakkan dua kalimat syahadat, sedangkan orang yang dituduh zina tidak bisa menolak tuduhan itu dari dirinya. Allah menetapkan hukuman had bagi penuduh zina sebanyak delapan puluh kali cambukan, karena menuduh zina lebih ringan daripada melakukan zina itu sendiri, sehingga hukumannya pun lebih ringan. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra. bahwa beliau melakukan qiyās terhadap hukuman bagi peminum khamar, beliau berkata: “Karena jika seseorang minum, ia akan mabuk; jika mabuk, ia akan mengigau; jika mengigau, ia akan berbuat dusta; dan hukuman bagi pendusta adalah delapan puluh kali cambukan.” Dan Allah Maha Mengetahui.

فصل

Bab

الشروط المعتبرة في القاذف والمقذوف

Syarat-syarat yang dianggap sah pada orang yang menuduh (qādhif) dan orang yang dituduh (maqdhūf).

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ ثَمَانُونَ جَلْدَةً فَهُوَ أَكْمَلُ حُدُودِهِ وَكَمَالُهُ مُعْتَبَرٌ بِشُرُوطٍ فِي الْمَقْذُوفِ وَشُرُوطٍ فِي الْقَاذِفِ فَأَمَّا الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الْمَقْذُوفِ فَخَمْسَةٌ الْبُلُوغُ وَالْعَقْلُ وَالْحُرِّيَّةُ وَالْإِسْلَامُ وَالْعِفَّةُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى شَرَطَ فِي حَدِّ القاذف إِحْصَانَ الْمَقْذُوفِ فَقَالَ وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ النور 4 فاعتبر بالبلوغ لنقص الصغر واعتبر بالعقل لنقص الجنون واعتبر بالحرية لنقص الرق واعتبر بالإسلام لنقص الكفر واعتبر بالعفة لنقص الزنا ولقوله تعالى ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ النور 4 فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ إِذَا أَتَوْا بِالشُّهَدَاءِ لَمْ يُحَدُّوا وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ النور 23 إنه أراد الغافلات عن الفواحش بتركها وإن كَانَ الْمَقْذُوفُ صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا فَلَا حَدَّ على قاذفها لأمرين

Apabila telah tetap bahwa had qazaf adalah delapan puluh cambukan, maka itu adalah batasan had yang paling sempurna, dan kesempurnaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan orang yang dituduh (al-maqdzuf) dan syarat-syarat pada orang yang menuduh (al-qadzif). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi pada orang yang dituduh ada lima: baligh, berakal, merdeka, beragama Islam, dan menjaga kehormatan (iffah); karena Allah Ta‘ala mensyaratkan pada had bagi penuduh adanya sifat ismah (terjaga kehormatan) pada yang dituduh, sebagaimana firman-Nya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terjaga kehormatannya…” (an-Nur: 4). Maka dipersyaratkan baligh karena kekurangan pada anak kecil, dipersyaratkan berakal karena kekurangan pada orang gila, dipersyaratkan merdeka karena kekurangan pada budak, dipersyaratkan Islam karena kekurangan pada orang kafir, dan dipersyaratkan iffah karena kekurangan pada pezina. Dan firman Allah Ta‘ala: “Kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi…” (an-Nur: 4), menunjukkan bahwa jika mereka mendatangkan saksi, maka tidak dikenakan had. Dan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terjaga kehormatannya lagi lalai…” (an-Nur: 23), maksudnya adalah wanita-wanita yang lalai dari perbuatan keji karena mereka meninggalkannya. Jika orang yang dituduh masih kecil atau gila, maka tidak ada had atas orang yang menuduhnya karena dua hal.

أحدهما لنقصانهما عَنْ كَمَالِ الْإِحْصَانِ

Salah satunya adalah karena keduanya kurang dari kesempurnaan al-ihsān.

وَالثَّانِي لِأَنَّهُمَا لَا يَجِبُ عَلَيْهِمَا بِالزِّنَا حَدٌّ فَلَمْ يَجِبْ لَهُمَا بِالْقَذْفِ حَدٌّ وَإِنْ كَانَ الْمَقْذُوفُ عَبْدًا فَلَا حَدَّ عَلَى قَاذِفِهِ وَقَالَ دَاوُدُ يُحَدُّ قَاذِفُهُ لِعُمُومِ الظاهر ولأنه يحد بالزنا فحد له القاذف بِالزِّنَا كَالْحُرِّ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى شَرَطَ فِيهِ الْإِحْصَانَ وَهُوَ مُنْطَلِقٌ عَلَى الْحُرِّيَّةِ وَالْإِسْلَامِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَا شُرِطَا فِيهِ وَلِأَنَّ فعل الزنا أغلظ من القذف فلما منعه نقص الرِّقِّ مِنْ كَمَالِ حَدِّ الزِّنَا كَانَ أَوْلَى أن يمنع من حد قذفه بالزنا ولأنه لما منعه نقص الرِّقِّ أَنْ تُؤْخَذَ بِنَفْسِهِ نَفْسُ حُرٍّ كَانَ أولى أن يمنع أن يؤخذ بعرضه عن عوض حر

Kedua, karena keduanya (budak dan budak perempuan) tidak dikenai hukuman had karena zina, maka tidak wajib pula bagi mereka hukuman had karena qadzaf. Jika orang yang terkena qadzaf adalah seorang budak, maka tidak ada hukuman had atas orang yang menuduhnya. Dawud berpendapat bahwa penuduhnya tetap dikenai hukuman had karena keumuman makna lahiriah (ayat), dan karena ia dikenai hukuman had jika berzina, maka penuduhnya juga dikenai hukuman had qadzaf sebagaimana orang merdeka. Namun, ini adalah kekeliruan, karena Allah Ta‘ala mensyaratkan dalam hal ini adanya ihsan, yang maknanya mencakup kemerdekaan dan keislaman, sehingga keduanya harus menjadi syarat dalam masalah ini. Selain itu, perbuatan zina lebih berat daripada qadzaf, maka ketika kekurangan status budak menghalangi sempurnanya hukuman had zina, maka lebih utama lagi jika hal itu juga menghalangi hukuman had qadzaf karena zina. Dan karena kekurangan status budak menghalangi diambilnya jiwa budak sebagai balasan atas jiwa orang merdeka, maka lebih utama lagi jika hal itu menghalangi diambilnya kehormatan budak sebagai ganti kehormatan orang merdeka.

فإن قيل ينبغي إِذَا قَذَفَهُ عَبْدٌ مِثْلُهُ أَنْ يُحَدَّ لِقَذْفِهِ كما يقتص بقتله

Jika dikatakan, seharusnya apabila seorang budak mencaci budak lain seperti dirinya, maka ia dijatuhi had karena pencaciannya, sebagaimana dilakukan qishash atas pembunuhannya.

قِيلَ هَذَا لَا يَلْزَمُ؛ لِأَنَّ الْمَقْذُوفَ قَدْ عَدِمَ شَرْطَ الْإِحْصَانِ فَسَقَطَ حَدُّ قَذْفِهِ وَإِنْ سَاوَاهُ الْقَاذِفُ كَمَا لَوْ كَانَ غَيْرَ عَفِيفٍ فَقَذَفَهُ غَيْرُ عَفِيفٍ لَمْ يُحَدَّ وَإِنِ اسْتَوَيَا في سقوط العفة لعدم شرط الإحصان وكذلك قَذْفُ الْعَبْدِ لِلْعَبْدِ

Dikatakan bahwa hal ini tidaklah wajib, karena orang yang dituduh telah kehilangan syarat ihshān sehingga hukuman had atas tuduhan kepadanya gugur, meskipun si penuduh setara dengannya. Sebagaimana jika seseorang yang tidak menjaga kehormatan dirinya menuduh orang lain yang juga tidak menjaga kehormatan, maka tidak dikenakan had, meskipun keduanya sama-sama kehilangan kehormatan karena tidak terpenuhinya syarat ihshān. Demikian pula halnya dengan tuduhan seorang budak terhadap budak lainnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِّهِ بِالزِّنَا فَلِأَنَّ حَدَّ الزِّنَا عَلَيْهِ وَحَدُّ الْقَذْفِ لَهُ وَنَقْصُهُ مُؤَثِّرٌ فِي الْحَقِّ الَّذِي لَهُ وَإِنْ لَمْ يُؤَثِّرْ فِي الْحَقِّ الَّذِي عَلَيْهِ كَالْقِصَاصِ لَا يَسْتَحِقُّهُ عَلَى الْحُرِّ وَيَسْتَحِقُّهُ عَلَيْهِ الحر

Adapun jawaban mengenai had zina, karena had zina itu dikenakan atasnya, sedangkan had qadzaf adalah untuknya. Kekurangan dalam had tersebut berpengaruh pada hak yang dimilikinya, meskipun tidak berpengaruh pada hak yang menjadi tanggungannya, seperti dalam kasus qishash: ia tidak berhak menuntut qishash atas orang merdeka, namun orang merdeka berhak menuntut qishash atasnya.

وهكذا لو كان المقذوف مدبراً أو مكاتباً أَوْ مَنْ رُقَّ بَعْضُهُ وَإِنْ قَلَّ فَلَا حَدَّ عَلَى قَاذِفِهِ سَوَاءٌ سَاوَاهُ فِي الرِّقِّ أو فضل عليه بالحرية لكن يُعَزَّرُ لِلْأَذَى وَإِنْ كَانَ الْمَقْذُوفُ كَافِرًا فَلَا حَدَّ عَلَى قَاذِفِهِ سَوَاءٌ كَانَ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا؛ لِمَا ذَكَرْنَا مِنْ عَدَمِ شَرْطَ الْإِحْصَانِ فيه ولأنه لما لم يأخذ نَفْسُ الْمُسْلِمِ بِنَفْسِ الْكَافِرِ لَمْ يُؤْخَذْ عِرْضُهُ بِعِرْضِهِ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْمَقْذُوفُ غَيْرَ عَفِيفٍ فَلَا حَدَّ عَلَى قَاذِفِهِ وَسَنَذْكُرُ مَا تَسْقُطُ بِهِ الْعِفَّةُ مِنْ بَعْدُ

Demikian pula, jika orang yang dituduh (qadzaf) adalah seorang budak yang sedang melarikan diri, atau seorang mukatab, atau seseorang yang sebagian dirinya telah merdeka meskipun sedikit, maka tidak ada had atas orang yang menuduhnya, baik keduanya sama-sama budak atau yang menuduh lebih utama karena merdeka. Namun, ia tetap dikenai ta‘zir karena menyakiti. Jika orang yang dituduh adalah seorang kafir, maka tidak ada had atas orang yang menuduhnya, baik penuduh itu seorang muslim maupun kafir, sebagaimana telah kami sebutkan bahwa syarat ihsan tidak terpenuhi padanya. Juga karena, sebagaimana jiwa seorang muslim tidak dibalas dengan jiwa seorang kafir, maka kehormatannya pun tidak dibalas dengan kehormatan kafir. Demikian pula, jika orang yang dituduh bukanlah orang yang ‘afif (menjaga kehormatan), maka tidak ada had atas orang yang menuduhnya. Kami akan sebutkan hal-hal yang menyebabkan hilangnya sifat ‘iffah setelah ini.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الْقَاذِفِ فَثَلَاثَةُ شُرُوطٍ الْبُلُوغُ وَالْعَقْلُ وَالْحُرِّيَّةُ فَإِذَا اسْتَكْمَلَهَا الْقَاذِفُ حُدَّ حَدًّا كَامِلًا إِذَا كَانَ الْمَقْذُوفُ كَامِلًا فَإِنْ أَخَلَّ بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ بِالْقَذْفِ؛ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُ وَلِأَنَّهُ لَا يُحَدَّ بِالزِّنَا فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يُحَدَ لِلْقَذْفِ بِالزِّنَا وَإِنْ كَانَ القاذف عبداً حر بِالْقَذْفِ أَرْبَعِينَ نِصْفَ حَدِّ الْحُرِّ

Adapun syarat-syarat yang dianggap sah pada pelaku qadzaf (penuduh zina) ada tiga: baligh, berakal, dan merdeka. Jika pelaku qadzaf telah memenuhi ketiga syarat ini, maka ia dikenai had secara penuh apabila orang yang dituduh juga memenuhi syarat secara penuh. Namun, jika pelaku qadzaf tidak memenuhi syarat baligh dan berakal, maka tidak dikenakan had atasnya karena tanggung jawab hukum tidak berlaku baginya, dan juga karena ia tidak dikenai had atas zina, maka lebih utama lagi untuk tidak dikenai had atas qadzaf zina. Jika pelaku qadzaf adalah seorang budak, maka ia dikenai had qadzaf sebanyak empat puluh cambukan, yaitu setengah dari had untuk orang merdeka.

وَقَالَ دَاوُدُ يُحَدُّ ثَمَانِينَ حَدًّا كَامِلًا كَالْحُرِّ وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالزُّهْرِيِّ تَعَلُّقًا بِظَاهِرِ قَوْله تَعَالَى فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً النور 4 وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ فِعْلَ الزِّنَا أَغْلَظُ مِنَ الْقَذْفِ بِهِ وَهُوَ لَا يُسَاوِي الْحُرَّ فِي حَدِّ الزِّنَا فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يُسَاوِيَهُ في حد القذف بالزنا

Daud berpendapat bahwa dijatuhkan hukuman had delapan puluh cambukan penuh seperti terhadap orang merdeka, dan ini adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan az-Zuhri, dengan berpegang pada zahir firman Allah Ta‘ala: “Maka deralah mereka delapan puluh kali cambukan” (an-Nur: 4). Namun, pendapat ini tidak benar; karena perbuatan zina lebih berat daripada tuduhan zina, dan budak tidak disamakan dengan orang merdeka dalam had zina, maka lebih utama lagi untuk tidak menyamakannya dalam had qadzaf (tuduhan zina).

روي عن عامر بن عبد الله بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّهُ قَالَ أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَمَنْ بَعْدَهُمَا مِنَ الْخُلَفَاءِ فَلَمْ أَرَهُمْ يَضْرِبُونَ الْمَمْلُوكَ فِي الْقَذْفِ إِلَّا أَرْبَعِينَ فَكَانَ إِجْمَاعًا فَأَمَّا الْآيَةُ فَوَارِدَةٌ فِي الْأَحْرَارِ لِأَنَّهُ مَنَعَ فِيهَا مِنْ قَبُولِ شَهَادَتِهِمْ لِقَذْفِهِمْ وَالْعَبْدُ لا تسمع شهادته قاذفاً أَوْ غَيْرَ قَاذِفٍ فَإِنْ كَانَ الْقَاذِفُ كَافِرًا حُدَّ حَدًّا كَامِلًا؛ لِأَنَّهُ يَنْقُصُ عَنِ الْمُسْلِمِ فِي الْحَقِّ الَّذِي لَهُ وَلَا يَنْقُصُ عَنْهُ في الحق الذي عليه والله أعلم

Diriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Rabi‘ah bahwa ia berkata, “Aku menjumpai Abu Bakar, Umar, dan para khalifah setelah keduanya, maka aku tidak melihat mereka menjatuhkan hukuman dera kepada budak dalam kasus qadzaf kecuali sebanyak empat puluh kali. Maka hal itu menjadi ijmā‘. Adapun ayat (tentang qadzaf) turun berkenaan dengan orang-orang merdeka, karena dalam ayat itu disebutkan larangan menerima kesaksian mereka yang melakukan qadzaf, sedangkan kesaksian seorang budak tidak diterima baik ia melakukan qadzaf maupun tidak. Jika pelaku qadzaf adalah seorang kafir, maka ia dikenai hukuman secara penuh, karena hak yang dimiliki oleh seorang muslim bisa berkurang, sedangkan hak yang menjadi kewajibannya tidak berkurang. Dan Allah Maha Mengetahui.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فإن قَذَفَ نَفَرًا بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ كَانَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ حَدُّهُ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang menuduh sekelompok orang dengan satu kata tuduhan, maka masing-masing dari mereka berhak mendapatkan had-nya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَذْفُ الْوَاحِدِ لِلْجَمَاعَةِ ضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata, “Menuduh satu orang terhadap sekelompok orang ada dua bentuk.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يُفْرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِالْقَذْفِ فَيَقْذِفُهُ بِكَلِمَةٍ مُفْرَدَةٍ فَلَا تَتَدَاخَلُ حُدُودُهُمْ وَيُحَدُّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ حَدًّا مُفْرَدًا

Salah satunya adalah masing-masing dari mereka dituduh secara terpisah, sehingga ia menuduhnya dengan satu kata yang terpisah, maka hukuman bagi mereka tidak saling tumpang tindih, dan masing-masing dari mereka dikenai hukuman had secara terpisah.

والضرب الثاني يَجْمَعَهُمْ فِي الْقَذْفِ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ فَيَقُولُ زَنَيْتُمْ أَوْ أَنْتُمْ زُنَاةٌ فَفِيهِ قَوْلَانِ

Jenis kedua adalah jika ia menuduh mereka secara bersama-sama dengan satu kata, lalu ia berkata, “Kalian telah berzina,” atau “Kalian adalah pezina,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَبِهِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ أنه تتداخل حدودهم ويحد لجميعهم حداً واحداً اعتباراً بكلمة القذف أنها وَاحِدَةٌ

Salah satu pendapat, dan inilah yang beliau katakan dalam pendapat lama, adalah bahwa hukuman had mereka saling masuk (tergabung), dan dijatuhkan satu had saja untuk mereka semua, dengan pertimbangan bahwa kata-kata qadzaf itu satu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَبِهِ قَالَ فِي الْجَدِيدِ إِنَّ حُدُودَهُمْ لَا تَتَدَاخَلُ وَيُحَدُّ لِكُلِّ وَاحِدٍ منهم حداً منفرداً اعْتِبَارًا بِهِمْ

Pendapat kedua, yang juga beliau kemukakan dalam pendapat barunya, adalah bahwa hudud mereka tidak saling tumpang tindih, dan masing-masing dari mereka dijatuhi hukuman hudud secara terpisah, dengan mempertimbangkan setiap individu di antara mereka.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَتَدَاخَلُ حُدُودُ جَمَاعَتِهِمْ وَيَحُدُّ لِجَمِيعِهِمْ حَدًّا وَاحِدًا سَوَاءً جَمَعَهُمْ فِي الْقَذْفِ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ أَفْرَدَهُمْ وَقَذَفَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِكَلِمَةٍ مُفْرَدَةٍ؛ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ النور 4 الْآيَةَ فَجَعَلَ لِكُلِّ الْمُحْصَنَاتِ حَدًّا وَاحِدًا

Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman hudud bagi sekelompok orang dapat digabungkan, dan dijatuhkan satu hukuman hudud saja untuk semuanya, baik ia menuduh mereka secara bersama-sama dengan satu kata, maupun menuduh masing-masing dari mereka dengan kata yang berbeda-beda; dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang terjaga kehormatannya…” (an-Nur: 4), sehingga Allah menetapkan satu hukuman hudud untuk seluruh perempuan yang terjaga kehormatannya.

وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ هِلَالَ بْنَ أُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ بِشَرِيكِ بْنِ السَّحْمَاءِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” البينة وحداً أَوْ حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ فَقَذْفُ اثْنَيْنِ وَأَوْجَبَ عليه حداً

Dan berdasarkan riwayat bahwa Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahma’, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “(Datangkanlah) bukti atau (akan dijatuhkan) had di punggungmu.” Maka ini adalah tuduhan dari dua orang, dan Nabi mewajibkan atasnya hukuman had.

وَلِأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّ الثَّلَاثَةَ الَّذِينَ شَهِدُوا عَلَى الْمُغِيرَةِ بِالزِّنَا حَدًّا وَاحِدًا وَقَدْ صَارُوا قَذَفَةً لَهُ وَلِلْمَرْأَةِ

Dan karena Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjatuhkan satu hukuman had kepada tiga orang yang bersaksi atas perzinaan yang dilakukan oleh al-Mughirah, padahal mereka telah menjadi para penuduh zina terhadapnya dan terhadap perempuan itu.

وَلِأَنَّ فِعْلَ الزِّنَا أَغْلَظُ مِنَ الْقَذْفِ بِهِ ثُمَّ كَانَ الزِّنَا إِذَا تَكَرَّرَ فِي جَمَاعَةٍ تداخلت حدود فَكَانَ الْقَذْفُ بِهِ أَوْلَى أَنْ تَتَدَاخَلَ حُدُودُهُ

Karena perbuatan zina lebih berat daripada qadzaf (menuduh zina), namun jika zina terjadi berulang kali dalam satu kelompok, maka hudud-nya saling tumpang tindih; maka qadzaf atas zina lebih utama untuk saling tumpang tindih hudud-nya.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهَا حُدُودٌ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ فَوَجَبَ أَنْ تَتَدَاخَلَ كَالزِّنَا وَلِأَنَّهُ لَمَّا تَدَاخَلَ الْقَذْفُ إِذَا تَكَرَّرَ فِي وَاحِدٍ وَجَبَ أَنْ يَتَدَاخَلَ إِذَا تَكَرَّرَ فِي جَمَاعَةٍ وَلِأَنَّهَا حُدُودٌ تَتَدَاخَلُ فِي الزِّنَا فَوَجَبَ أَنْ تَتَدَاخَلَ فِي الْقَذْفِ كَالْمُتَكَرِّرِ فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ وَدَلِيلُنَا هُوَ أن القذف موجب للحد فِي الْأَجَانِبِ وَاللِّعَانَ فِي الزَّوْجَاتِ فَلَمَّا لَمْ يتداخل اللعان في الزوجات وأفرد كل واحد مِنْهُنَّ بِلِعَانٍ لَمْ تَتَدَاخَلِ الْحُدُودُ فِي الْأَجَانِبِ وَانْفَرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِحَدٍّ

Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa ini merupakan hudud dari satu jenis, sehingga wajib untuk saling masuk seperti pada kasus zina. Karena ketika hudud qadzaf saling masuk jika diulangi pada satu orang, maka wajib juga untuk saling masuk jika diulangi pada sekelompok orang. Dan karena ini adalah hudud yang saling masuk dalam kasus zina, maka wajib juga untuk saling masuk dalam kasus qadzaf, seperti halnya yang berulang pada satu orang. Dalil kami adalah bahwa qadzaf mewajibkan hudud pada orang lain (ajānib), sedangkan li‘ān pada para istri. Ketika li‘ān tidak saling masuk pada para istri dan masing-masing dari mereka diperlakukan dengan li‘ān tersendiri, maka hudud tidak saling masuk pada orang lain (ajānib) dan masing-masing dari mereka dikenai hudud tersendiri.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أنه أحد موجبي القذف فوجب أن لا يَتَدَاخَلَ فِي حُقُوقِ الْجَمَاعَةِ كَاللِّعَانِ وَلِأَنَّهُ لَوْ حقق قذفه الْجَمَاعَةِ بِبَيِّنَةٍ أَوْ إِقْرَارٍ لَزِمَ كُلَّ وَاحِدٍ منهم حد كامل وجب إذا تحقق قذفه أن يحد لكل واحد منهم حداً كاملاً؛ لأن حد القذف مقابل كحد الزِّنَا عَلَيْهِمْ

Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa ia merupakan salah satu sebab terjadinya qazaf, maka tidak boleh bercampur dalam hak-hak jamaah seperti li‘ān. Dan karena jika seseorang benar-benar melakukan qazaf terhadap jamaah dengan bukti atau pengakuan, maka masing-masing dari mereka wajib mendapatkan had secara penuh. Maka, apabila terbukti ia melakukan qazaf, wajib dijatuhkan had secara penuh kepada masing-masing dari mereka; karena had qazaf itu setara dengan had zina atas mereka.

وَيَتَحَرَّرُ مِنْهُ قِيَاسَانِ

Dari hal ini dapat diambil dua qiyās.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَحَدُ حَالَتَيِ الْقَذْفِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَدَاخَلَ مُوجِبُهُ كَمَا لَوْ تَحَقَّقَ

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan salah satu dari dua keadaan qadzaf, sehingga wajib untuk tidak saling tumpang tindih sebab yang mewajibkannya, sebagaimana jika telah dipastikan.

وَالثَّانِي أَنَّ كُلَّ مَقْذُوفٍ لَوْ تَحَقَّقَ قَذْفُهُ لَمْ يَتَدَاخَلِ الْحَدُّ عَلَيْهِ وَجَبَ إِذَا لَمْ يَتَحَقَّقُ أن لا يتداخل لَهُ كَقَذْفِ الْوَاحِدِ لِوَاحِدٍ وَلِأَنَّ هَذَا مَبْنِيٌّ على أصلنا في حَدِّ الْقَذْفِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ عَلَى مَا سندل عليه مِنْ بَعْدُ فَنَقُولُ عِنْدَ ثُبُوتِهِ إِنَّ كُلَّ حَقٍّ لِآدَمِيٍّ إِذَا لَمْ يَتَدَاخَلْ فِي وُجُوبِهِ لِلْوَاحِدِ عَلَى الْجَمَاعَةِ لَمْ يَتَدَاخَلْ فِي وُجُوبِهِ لِلْجَمَاعَةِ عَلَى الْوَاحِدِ كَالْقِصَاصِ وَفِيهِ احْتِرَازٌ مِنْ آجال الديون؛ لأنها تتداخل في حق الْوَاحِدِ وَالْجَمَاعَةِ

Kedua, bahwa setiap orang yang dituduh zina, jika tuduhan itu benar-benar terjadi maka hukuman hadd tidak saling masuk (berlaku sendiri-sendiri) atasnya, maka jika tuduhan itu tidak benar-benar terjadi, hukuman hadd juga tidak saling masuk baginya, seperti tuduhan satu orang kepada satu orang lain. Karena hal ini dibangun di atas prinsip kami dalam hadd qadzaf, yaitu termasuk hak-hak manusia, sebagaimana akan kami jelaskan nanti. Maka kami katakan, ketika hal itu telah terbukti, bahwa setiap hak manusia, jika dalam kewajibannya terhadap satu orang atas sekelompok orang tidak saling masuk, maka dalam kewajibannya terhadap sekelompok orang atas satu orang juga tidak saling masuk, seperti dalam kasus qishāsh. Dalam hal ini terdapat pengecualian dari jatuh tempo utang, karena jatuh tempo utang itu saling masuk dalam hak satu orang dan sekelompok orang.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ أَنَّهَا دَلِيلُنَا؛ لِأَنَّهُ أَوْجَبَ لِلْجَمَاعَةِ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثَمَانِينَ جَلْدَةً فَلَمَّا كَانَ الْمُرَادُ بِهَا كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَاذِفِينَ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهَا كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَقْذُوفِينَ

Adapun jawaban terhadap ayat tersebut adalah bahwa ayat itu justru menjadi dalil bagi kami; karena Allah mewajibkan kepada kelompok (pelaku) atas kelompok (korban) delapan puluh cambukan, maka ketika yang dimaksud adalah setiap individu dari para penuduh, hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud juga adalah setiap individu dari yang dituduh.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ هِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban terhadap hadis Hilal bin Umayyah adalah dari tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّ قَوْلَهُ ” حَدٌّ فِي جَنْبِكَ إشارة إلى الحبس وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَجِبَ فِيهِ حَدَّانِ

Salah satunya adalah bahwa ucapannya “ḥadd di sisimu” merupakan isyarat kepada penahanan, dan tidak mustahil bahwa dalam hal itu bisa diwajibkan dua ḥadd.

وَالثَّانِي أَنَّهُ أَوْجَبَ الْحَدَّ لِمَنْ طَالَبَ بِهِ وَلَمْ يخص شَرِيكُ بْنُ السَّحْمَاءِ مُطَالِبًا فَيُوجِبُ لَهُ الْحَدَّ

Yang kedua, bahwa ia mewajibkan hukuman had bagi siapa saja yang menuntutnya, dan Syarik bin As-Sahma’ tidak mengkhususkan penuntut tertentu, sehingga ia mewajibkan hukuman had baginya.

وَالثَّالِثُ مَا حُكِيَ أَنَّ شَرِيكَ بْنَ السَّحْمَاءِ كَانَ يَهُودِيًّا وَلَا حَدَّ فِي قَذْفِ الْيَهُودِيِّ

Ketiga, sebagaimana yang diriwayatkan bahwa Syarik bin Sahma’ adalah seorang Yahudi, dan tidak ada had bagi orang yang menuduh zina terhadap seorang Yahudi.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عُمَرَ فِي حَدِّهِ الشهود عَلَى الْمُغِيرَةِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban terhadap hadis Umar mengenai penetapan hukuman atas al-Mughirah dengan adanya para saksi, maka terdapat tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّهُمْ لَمْ يُعَيِّنُوا الْمَزنِيَّ بِهَا فَيَجِبُ الْحَدُّ بِقَذْفِهَا

Salah satunya adalah bahwa mereka tidak menetapkan secara spesifik siapa yang berzina dengannya, maka wajib dikenakan had karena menuduhnya berzina.

وَالثَّانِي أَنَّهَا لَمْ تُطَالَبْ بِهِ فَيُحَدُّونَ لَهَا

Yang kedua, bahwa ia tidak diminta untuk melakukannya, maka mereka tidak menjatuhkan hudud atasnya.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ فِعْلٌ وَاحِدٌ فَلَمْ يَجِبْ فِي الْقَذْفِ بِهِ إِلَّا حَدٌّ وَاحِدٌ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ

Dan yang ketiga, bahwa itu adalah satu perbuatan, maka tidak wajib dalam kasus qadzaf dengannya kecuali satu had menurut salah satu dari dua pendapat.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى حَدِّ الزنا فهو أن حد مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الْمَوْضُوعَةِ عَلَى الْمُسَاهَلَةِ وَإِدْرَائِهَا بِالشُّبْهَةِ وَحَدُّ الْقَذْفِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ التي تدخلها المضايقة والمشاحنة ولا تدرأ بالشبهة فكان افتراقها في التغليظ موجباً لافتراقها فِي التَّدَاخُلِ

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan had zina adalah bahwa had zina termasuk hak Allah Ta‘ala yang ditetapkan dengan kelonggaran dan dapat gugur karena adanya syubhat, sedangkan had qadzaf termasuk hak-hak manusia yang di dalamnya terdapat tuntutan dan perselisihan, serta tidak gugur karena syubhat. Maka, perbedaan keduanya dalam hal pengetatan menyebabkan perbedaan pula dalam hal tumpang tindih hukuman.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اعْتِبَارِ تَكْرَارِ الْقَذْفِ لِلْجَمَاعَةِ بِتَكْرَارِهِ فِي الْوَاحِدِ فَهُوَ فَسَادٌ مَوْضُوعُهُ مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap anggapan bahwa pengulangan qazaf kepada sekelompok orang dianggap sama dengan pengulangan qazaf kepada satu orang, maka hal itu adalah kekeliruan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا تَدَاخَلَ لِعَانُهُ إِذَا تَكَرَّرَ فِي الزَّوْجَةِ الْوَاحِدَةِ وَلَمْ يَتَدَاخَلْ إِذَا تَكَرَّرَ فِي الزَّوْجَاتِ كَذَلِكَ الْقَذْفُ

Salah satunya adalah bahwa li‘ān akan saling berhubungan jika diulang pada satu istri, namun tidak saling berhubungan jika diulang pada beberapa istri; demikian pula halnya dengan qazf.

والثاني أنه لما كان تكرار الْوَطْءِ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ يُوجِبُ تَدَاخُلَ الْمَهْرِ في المنكوحة الواحدة ولا يوجب تدخله فِي مُهُورِ الْجَمَاعَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْتَبَرَ مَا تَكَرَّرَ فِي الْوَاحِدِ بِمَا تَكَرَّرَ فِي الجماعة

Kedua, karena pengulangan hubungan suami istri dalam pernikahan fasid menyebabkan mahar saling masuk (bercampur) pada satu wanita yang dinikahi, namun tidak menyebabkan tercampurnya mahar pada mahar-mahar wanita yang banyak (beberapa wanita), maka tidak boleh menyamakan apa yang berulang pada satu wanita dengan apa yang berulang pada beberapa wanita.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فإن قال يا بن الزَّانِيَيْنِ وَكَانَ أَبَوَاهُ حُرَّيْنِ مُسْلِمَيْنِ مَيِّتَيْنِ فَعَلَيْهِ حَدَّانِ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang berkata, ‘Wahai anak dari dua pezina,’ padahal kedua orang tuanya adalah dua orang merdeka, Muslim, dan telah meninggal dunia, maka atasnya dikenakan dua had.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الْمحضةِ عِنْدَنَا

Al-Mawardi berkata, “Pokok permasalahan ini adalah bahwa hadd qazaf termasuk hak-hak murni manusia menurut kami.”

وقال أبو حنيفة هي مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ الْمَحْضَةِ وَتَأْثِيرُ هَذَا الْخِلَافِ حُكْمَانِ

Abu Hanifah berkata bahwa ia termasuk hak Allah semata, dan pengaruh dari perbedaan pendapat ini ada dua hukum.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَسْقُطُ بِالْعَفْوِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَلَا يَسْقُطُ بِهِ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ

Salah satunya adalah bahwa hukuman tersebut gugur karena pemaafan menurut Imam Syafi‘i, namun tidak gugur karenanya menurut Abu Hanifah.

وَالثَّانِي أَنَّهُ يُورَثُ بِالْمَوْتِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَلَا يُورَثُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ

Yang kedua, menurut Imam Syafi‘i, harta tersebut diwariskan karena kematian, sedangkan menurut Abu Hanifah, harta tersebut tidak diwariskan.

وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَى أَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فِي كِتَابِ اللِّعَانِ فَأَغْنَى عَنْ إِعَادَتِهِ

Kami telah membuktikan bahwa hal itu termasuk hak-hak manusia dalam kitab Li‘ān, sehingga tidak perlu mengulanginya kembali.

وَلَوْ قَذَفَ مَيِّتَةً اسْتَحَقَّ وَلَدُهَا حَدَّ قَاذِفِهَا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ فَوَافَقَ أَبُو حَنِيفَةَ إِذَا قَذَفَهَا بَعْدَ مَوْتِهَا وَخَالَفَ إِذَا قَذَفَهَا فِي حَيَاتِهَا ثُمَّ مَاتَتْ وَوِفَاقُهُ حُجَّةٌ عَلَيْهِ فِي مَوْضِعِ خِلَافِهِ

Jika seseorang menuduh seorang wanita yang telah meninggal dengan tuduhan zina, maka anaknya berhak mendapatkan hukuman had bagi penuduh ibunya menurut pendapat asy-Syafi‘i dan Abu Hanifah. Abu Hanifah sependapat jika penuduhan itu dilakukan setelah wanita tersebut meninggal, namun berbeda pendapat jika penuduhan itu dilakukan saat ia masih hidup lalu kemudian ia meninggal. Kesepakatan Abu Hanifah dalam hal ini menjadi hujjah atasnya pada tempat yang ia berbeda pendapat.

وَفَرَّقَ أَبُو حَنِيفَةَ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Abu Hanifah membedakan antara keduanya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَثْبُتُ لَهُ حَقٌّ بَعْدَ مَوْتِهِ فَصَارَ الْحَدُّ حَقًّا لِوَلَدِهَا دُونَهَا فَلَمْ يَكُنْ مَوْرُوثًا عنها وهذا فاسد؛ لِأَنَّهُ يُرَاعِي فِي وُجُوبِ الْحَدِّ إِحْصَانَ الْأُمِّ دون الولد ولو كان له لَرَاعَيْنَا إِحْصَانَهُ دُونَ الْأُمِّ وَلَا يَمْتَنِعُ أَنْ يَجِبَ لَهَا بَعْدَ مَوْتِهَا حَدُّ الْقَذْفِ كَمَا وجب عليها بعد موتها غرم ما تلف بِجِنَايَتِهَا مِنْ حَفْرِ بِئْرٍ وَوَضْعِ حَجَرٍ

Salah satu pendapat mengatakan bahwa orang yang telah meninggal tidak lagi memiliki hak setelah kematiannya, sehingga hukuman had menjadi hak bagi anaknya, bukan untuk dirinya, maka hukuman tersebut tidak diwariskan darinya. Namun, pendapat ini tidak benar; karena dalam penetapan kewajiban had, yang diperhatikan adalah status ihsan (kesucian pernikahan) sang ibu, bukan anaknya. Jika had itu milik anak, tentu yang diperhatikan adalah status ihsan anak, bukan ibunya. Tidak mustahil pula had qadzaf (tuduhan zina) tetap menjadi haknya setelah kematiannya, sebagaimana setelah kematiannya ia tetap menanggung ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakannya, seperti menggali sumur atau meletakkan batu.

وَالثَّانِي أَنَّ حَالَ الْأُمِّ يَقْدَحُ فِي نَسَبِ الِابْنِ فَوَجَبَ لَهُ ابْتِدَاءً مِنْ غَيْرِ إِرْثٍ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Kedua, bahwa keadaan ibu merusak nasab anak, sehingga hak itu diberikan kepadanya sejak awal tanpa adanya warisan, dan ini adalah kesalahan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَوْ قُذِفَ أَبَوْهُ بِالزِّنَا بِغَيْرِ أُمِّهِ أَوْ قُذِفَتْ أُمُّهُ بِالزِّنَا بَعْدَ وِلَادَتِهِ وَكِبَرِهِ لَمْ يَكُنْ هَذَا قادحاً في نسبه ويملك الحد فيها فَبَطُلَ التَّعْلِيلُ بِقَدْحِ النَّسَبِ

Salah satunya adalah bahwa jika ayahnya dituduh berzina dengan selain ibunya, atau ibunya dituduh berzina setelah ia lahir dan telah dewasa, maka hal ini tidak merusak nasabnya dan ia tetap berhak menuntut had dalam kasus tersebut, sehingga batal alasan yang menyatakan adanya cacat pada nasab.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ وَجَبَ الْحَدُّ بِهَذِهِ الْعِلَّةِ لَاسْتَحَقَّهُ فِي حَيَاةِ أُمِّهِ وَهُوَ لَا يَسْتَحِقُّهُ فَبَطُلَ الِاعْتِلَالُ بِهِ وَلَمْ يَبْقَ لِاسْتِحْقَاقِهِ عِلَّةٌ إِلَّا الْمِيرَاثُ

Kedua, jika hudud itu wajib karena sebab ini, tentu ia berhak mendapatkannya ketika ibunya masih hidup, padahal ia tidak berhak mendapatkannya. Maka batal-lah alasan tersebut, dan tidak tersisa sebab lain untuk berhak mendapatkannya kecuali warisan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ مَوْرُوثٌ فَصُورَةُ مَسْأَلَتِنَا فِي رَجُلٍ قَالَ لِرَجُلٍ يَا ابْنَ الزَّانِيَيْنِ فَهَذَا قَاذِفٌ لِأَبَوَيْهِ دُونَهُ فَإِنْ كَانَ أَبَوَاهُ حَيَّيْنِ فَهُمَا الْمُطَالِبَانِ بِحَدِّ قَذْفِهِمَا دُونَهُ فَإِنْ عَفَوَا صَحَّ عَفْوُهُمَا وَلَا حَقَّ لِلْوَلَدِ فِي حَدِّ قَاذِفِهِمَا وَإِنْ كَانَا مَيِّتَيْنِ فَهُوَ مِيرَاثٌ لِلْوَلَدِ عَنْهُمَا وَهُوَ الْمُسْتَحِقُّ لِلْمُطَالَبَةِ بِحَدِّ قَذْفِهِمَا وَهُوَ قَذْفُ اثْنَيْنِ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ فَيَكُونُ فِيمَا يَسْتَحِقُّ بِهِ قَوْلَانِ

Jika telah tetap bahwa itu adalah warisan, maka bentuk permasalahan kita adalah pada seorang laki-laki yang berkata kepada laki-laki lain, “Wahai anak dari dua pezina,” maka ini berarti ia menuduh kedua orang tuanya berzina, bukan dirinya. Jika kedua orang tuanya masih hidup, maka merekalah yang berhak menuntut had atas tuduhan zina terhadap mereka, bukan anaknya. Jika keduanya memaafkan, maka maaf mereka sah dan anak tidak memiliki hak dalam had atas penuduh mereka. Namun jika keduanya telah meninggal, maka hak itu menjadi warisan bagi anak dari keduanya, dan dialah yang berhak menuntut had atas tuduhan zina terhadap kedua orang tuanya. Ini adalah tuduhan terhadap dua orang dengan satu kalimat, sehingga dalam hal hak yang diperoleh darinya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْقَدِيمُ حَدٌّ وَاحِدٌ؛ لِأَنَّهُ قَذَفَ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ

Salah satunya, yaitu yang lama, adalah satu had; karena ia menuduh dengan satu kata saja.

وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ حَدَّانِ؛ لِأَنَّ المقذوف اثنان فإن عفى الابن عن الحد صح عفوه ولو عفى عَنْ حَدِّ أَحَدِهِمَا كَانَ لَهُ الْحَدُّ فِي قذف الآخر

Yang kedua, yaitu pendapat beliau dalam pendapat baru, terdapat dua had; karena yang menjadi korban qadzaf ada dua orang. Jika anak memaafkan had, maka pemaafannya sah. Namun, jika ia hanya memaafkan had salah satu dari keduanya, maka ia tetap berhak mendapatkan had atas qadzaf terhadap yang lainnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيَأْخُذُ حَدَّ الْمَيِّتِ وَلَدُهُ وَعَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا

Imam Syafi‘i berkata, “Hadd (hukuman) mayit diambil oleh anaknya dan ‘ashabah-nya, siapa pun mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي وَارِثِ حَدِّ الْقَذْفِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ

Al-Mawardi berkata, pendapat asy-Syafi‘i berbeda mengenai ahli waris yang mewarisi hak menuntut had qadzaf menjadi tiga pendapat.

أَحَدُّهَا أَنَّهُ يَرِثُهُ ذُكُورُ الْعَصَبَاتِ دُونَ غَيْرِهِمْ كَوِلَايَةِ النِّكَاحِ؛ لِأَنَّهُمَا مَعًا مَوْضُوعَانِ لِنَفْيِ الْعَارِ نُصَّ عَلَيْهِ فِي اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى

Salah satunya adalah bahwa yang mewarisinya hanyalah laki-laki dari kalangan ‘ashabah, tidak selain mereka, seperti halnya dalam wilayah nikah; karena keduanya sama-sama ditetapkan untuk menolak aib, sebagaimana telah dinyatakan dalam perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَرِثُهُ جَمِيعُ ذَوِي الْأَنْسَابِ دُونَ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ لِاخْتِصَاصِهِ بِمَعَرَّةِ النَّسَبِ فَخَرَجَ مِنْ مُسْتَحِقِّهِ مَنْ خَرَجَ مِنَ النَّسَبِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa yang mewarisinya adalah seluruh kerabat nasab, kecuali suami dan istri, karena kekhususan harta tersebut berkaitan dengan aib nasab, sehingga siapa pun yang tidak termasuk dalam nasab, keluar dari golongan yang berhak menerimanya.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ يرثه جميع الورثة من دون الْأَنْسَابِ وَالْأَسْبَابِ كَالْمَالِ

Pendapat ketiga menyatakan bahwa seluruh ahli waris mewarisinya tanpa memandang hubungan nasab maupun sebab, seperti harta.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا اسْتَحَقَّ بِالْإِرْثِ عَلَى مَا وَصَفْنَا كَانَ لِجَمِيعِهِمْ وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ فَلَوْ طَالَبَ بِهِ وَاحِدٌ منهم وعفى الباقون عنه كان للطالب بِهِ مِنْهُمْ أَنْ يَسْتَوْفِيَ جَمِيعَهُ بِخِلَافِ الْقِصَاصِ

Maka apabila seseorang berhak mendapatkan (harta) warisan sebagaimana telah kami jelaskan, maka hak itu menjadi milik mereka semua, dan setiap orang dari mereka berhak menagihnya. Jika salah satu dari mereka menuntutnya dan yang lainnya memaafkan, maka orang yang menuntut itu berhak mengambil seluruhnya, berbeda halnya dengan kasus qishāsh.

والفرق بينهما من وجهين

Perbedaan antara keduanya terdapat pada dua aspek.

أحدهما أنه فِي عَفْوِ الْقِصَاصِ يُرْجَعُ إِلَى بَدَلٍ هُوَ الدِّيَةُ فَسَقَطَ حَقُّهُ بِعَفْوِ غَيْرِهِ وَلَا يُرْجَعُ فِي حَدِّ الْقَذْفِ إِلَى بَدَلٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْقُطَ حَقُّهُ بِعَفْوِ غَيْرِهِ

Pertama, dalam pemaafan terhadap qishāsh, hak itu diganti dengan kompensasi, yaitu diyat, sehingga hak seseorang gugur karena pemaafan orang lain. Sedangkan dalam hukuman had qazaf, tidak ada penggantian, sehingga tidak boleh hak seseorang gugur karena pemaafan orang lain.

وَالثَّانِي أَنَّ تَأْثِيرَ الْجِنَايَةِ لَا يَتَعَدَّى الْمَجْنِي عَلَيْهِ فَقَامَ جَمِيعُ وَرَثَتِهِ فِيهِ مَقَامَهُ

Yang kedua, bahwa pengaruh tindak pidana tidak melampaui korban, sehingga seluruh ahli warisnya menempati posisinya.

فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ لَهُ مِنَ الْحَدِّ بِقَدْرِ إِرْثِهِ لِأَنَّهُ يَتَبَعَّضُ كَالدِّيَةِ

Jika dikatakan, “Mengapa tidak diberlakukan had baginya sesuai dengan bagian warisannya, karena hal itu bisa dibagi-bagi seperti diyat?”

قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Dikatakan bahwa perbedaan antara keduanya ada pada dua aspek.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الدِّيَةَ عِوَضٌ فَجَازَ أَنْ تَتَبَعَّضَ وحد القذف لنفي المعرة فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَبَعَّضَ

Salah satunya adalah bahwa diyat merupakan ganti rugi sehingga boleh untuk dibagi-bagi, sedangkan had qadzaf bertujuan menolak aib sehingga tidak boleh untuk dibagi-bagi.

وَالثَّانِي أَنَّ الدِّيَةَ لَمَّا تَبَعَّضَتْ فِي الْوُجُوبِ جَازَ أَنْ تَتَبَعَّضَ فِي الِاسْتِحْقَاقِ وَحَدُّ الْقَذْفِ لَمَّا لَمْ يَتَبَعَّضْ فِي الْوُجُوبِ لَمْ يَتَبَعَّضْ فِي الِاسْتِحْقَاقِ

Yang kedua, karena diyat ketika terbagi-bagi dalam kewajibannya, maka boleh juga terbagi-bagi dalam hak memperolehnya. Sedangkan had qadzaf, karena tidak terbagi-bagi dalam kewajibannya, maka tidak terbagi-bagi pula dalam hak memperolehnya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” ولو قَالَ الْقَاذِفُ لِلْمَقْذُوفِ إِنَّهُ عَبْدٌ فَعَلَى الْمَقْذُوفِ الْبَيِّنَةُ لِأَنَّهُ يَدَّعِي الْحَدَّ وَعَلَى الْقَاذِفِ الْيَمِينُ لِأَنَّهُ يُنْكِرُ الْحَدَّ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seorang penuduh mengatakan kepada orang yang dituduh bahwa ia adalah seorang budak, maka orang yang dituduh wajib mendatangkan bayyinah, karena ia mengklaim berhak atas had, dan penuduh wajib bersumpah karena ia mengingkari had.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا كَانَ الْمَقْذُوفُ لَقِيطًا أَوْ مَجْهُولَ النَّسَبِ فَادَّعَى أَنَّهُ حُرٌّ لِيَحُدَّ قَاذِفُهُ وَأَنْكَرَ الْقَاذِفُ حُرِّيَّتَهُ وَقَالَ أَنْتَ عَبْدٌ فَلَا حَدَّ لَكَ عَلَيَّ فَقَدْ ذَكَرْنَا فِي كِتَابِ اللَّقِيطِ اخْتِلَافَ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي حُكْمِ اللَّقِيطِ فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ أَنَّهُ مَجْهُولُ الأصل

Al-Mawardi berkata: Jika orang yang dituduh melakukan zina adalah seorang laqīṭ atau tidak diketahui nasabnya, lalu ia mengaku bahwa dirinya adalah orang merdeka agar penuduhnya dijatuhi had, sedangkan si penuduh mengingkari kemerdekaannya dan berkata, “Kamu adalah budak, maka tidak ada had bagimu atasku,” maka telah kami sebutkan dalam Kitab al-Laqīṭ adanya perbedaan pendapat Imam Syafi‘i mengenai hukum laqīṭ. Salah satu dari dua pendapat beliau adalah bahwa laqīṭ itu tidak diketahui asal-usulnya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ حُرٌّ فِي الظَّاهِرِ

Dan yang kedua, bahwa ia tampak sebagai orang merdeka.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ مَجْهُولُ الْأَصْلِ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ قَاذِفِهِ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ عَبْدٌ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ المقذوف البينة أنه حر

Jika dikatakan bahwa asal-usulnya tidak diketahui, maka perkataan orang yang menuduhnya (sebagai budak) diterima dengan sumpahnya bahwa ia adalah seorang budak, kecuali jika orang yang dituduh dapat mendatangkan bukti bahwa ia adalah orang merdeka.

فإن قِيلَ إِنَّهُ حُرٌّ فِي الظَّاهِرِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Jika dikatakan bahwa ia merdeka secara lahiriah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَقْذُوفِ مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ حُرٌّ اعْتِبَارًا بِالظَّاهِرِ مِنْ حَالِهِ إِلَّا أَنْ يُقِيمَ الْقَاذِفُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ عَبْدٌ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa perkataan yang dipegang adalah perkataan orang yang dituduh, disertai sumpahnya bahwa ia adalah orang merdeka, berdasarkan pada keadaan lahiriah dirinya, kecuali jika si penuduh dapat mendatangkan bukti bahwa ia adalah seorang budak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ قَاذِفِهِ أَيْضًا؛ لِأَنَّ حُدُودَ الْأَبْدَانِ مَوْضُوعَةٌ عَلَى إِدْرَائِهَا بِالشُّبْهَةِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي الْقَذْفِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْقَاذِفِ دُونَ الْمَقْذُوفِ

Pendapat kedua adalah bahwa yang dipegang adalah pernyataan dari orang yang menuduh (qādhif) juga; karena hudūd yang berkaitan dengan badan ditetapkan untuk dihindari apabila ada syubhat, dan ini adalah nash dalam kasus qadzaf bahwa yang dipegang adalah pernyataan penuduh (qādhif), bukan orang yang dituduh (maqdzūf).

وَقَالَ فِي كِتَابِ الْجِنَايَاتِ إِذَا قَالَ الْجَانِي وَهُوَ حُرٌّ إِنَّ الْمَجْنِيَّ عَلَيْهِ عَبْدٌ فَلَا قَوَدَ لَهُ وَقَالَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَنَا حُرٌّ فَلِيَ الْقَوَدُ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ دُونَ الْجَانِي فَخَالَفَ بَيْنَ الْقَذْفِ وَالْجِنَايَةِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Dan disebutkan dalam Kitab al-Jināyāt: Jika pelaku (jānī) yang merupakan orang merdeka berkata, “Korban (majnu ‘alayh) adalah seorang budak, maka tidak ada qishāsh baginya,” sedangkan korban berkata, “Aku adalah orang merdeka, maka aku berhak atas qishāsh,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan korban, bukan pelaku. Dengan demikian, beliau membedakan antara kasus qazf dan jināyah. Para ulama kami pun berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنْ نَقَلُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْجَوَابَيْنِ إِلَى الْآخَرِ وَخَرَّجُوا الْقَذْفَ وَالْجِنَايَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ

Salah satunya adalah mereka memindahkan masing-masing dari dua jawaban itu ke yang lain, dan mereka mengklasifikasikan kasus qazaf dan jinayah ke dalam dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْقَاذِفِ وَالْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ أَنَّهُ عَبْدٌ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ فِي الْقَذْفِ وَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي الْجِنَايَةِ

Salah satunya adalah bahwa perkataan diterima dari orang yang menuduh (qāżif) dan pelaku kejahatan (jānī) disertai sumpahnya bahwa orang tersebut adalah seorang budak, sehingga tidak dikenakan had atasnya dalam kasus qadzaf (tuduhan zina) dan tidak dikenakan qishāsh atasnya dalam kasus kejahatan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمَقْذُوفِ وَالْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَنَّهُ حُرٌّ وَلَهُ الْحَدُّ فِي الْقَذْفِ وَالْقَوَدِ فِي الجناية

Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dipegang adalah pernyataan orang yang dituduh (al-maqdzuf) dan korban tindak pidana (al-majnu ‘alayh), bahwa ia adalah orang merdeka, sehingga ia berhak mendapatkan hukuman had dalam kasus qadzaf dan qisas dalam kasus jinayah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْنِ وَالْجَوَابُ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ فَيَكُونُ الْقَوْلُ فِي الْقَذْفِ قَوْلَ الْقَاذِفِ دُونَ الْمَقْذُوفِ وَفِي الْجِنَايَةِ القول قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ دُونَ الْجَانِي وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun pendapat kedua, hal itu bukanlah karena perbedaan dua pendapat, dan jawaban atas makna lahirnya dalam kedua tempat tersebut adalah bahwa dalam kasus qadzaf, yang dipegang adalah pernyataan dari pelaku qadzaf, bukan yang dituduh; sedangkan dalam kasus jinayah, yang dipegang adalah pernyataan dari korban, bukan pelaku. Perbedaan antara keduanya ada pada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ سُقُوطَ الْحَدِّ يُوجِبُ الِانْتِقَالَ إِلَى رَادِعٍ مِنْ جِنْسِهِ وَهُوَ التَّعْزِيرُ فجاز أن يسقط وليس كذلك القول؛ لِأَنَّهُ إِذَا أُسْقِطَ لَمْ يُوجِبْ الِانْتِقَالَ إِلَى رَادِعٍ مِنْ جِنْسِهِ فَلِذَلِكَ لَمْ يَسْقُطْ

Salah satunya adalah bahwa gugurnya hudud mengharuskan beralih kepada pencegah yang sejenis dengannya, yaitu ta‘zīr, sehingga boleh saja hudud itu gugur. Namun tidak demikian halnya dengan sumpah; karena jika sumpah itu digugurkan, tidak mengharuskan beralih kepada pencegah yang sejenis dengannya, maka karena itu sumpah tidak gugur.

وَالثَّانِي أن التَّعْزِيرُ بَعْدَ سُقُوطِ الْحَدِّ يَقِينٌ؛ لِأَنَّهُ بَعْضُ الحد والدية بعد سقوط الحد شَكٌّ فَجَازَ الِانْتِقَالُ إِلَى يَقِينٍ وَلَمْ يَجُزْ الانتقال إلى شك

Kedua, bahwa ta‘zīr setelah gugurnya hudud adalah sesuatu yang pasti; karena ta‘zīr merupakan bagian dari hudud, sedangkan diyat setelah gugurnya hudud bersifat meragukan. Maka boleh beralih kepada sesuatu yang pasti, dan tidak boleh beralih kepada sesuatu yang meragukan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ولا يحد في التعريض لأن الله تعالى أباح التعريض فيما حرم عقده فقال وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أجله وقال تعالى ولا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النساء فجعل التعريض مخالفاً للتصريح فلا يحد إلا بقذف صريح

Syafi‘i berkata, “Tidak dikenakan had atas sindiran, karena Allah Ta‘ala membolehkan sindiran dalam perkara yang diharamkan akadnya. Allah berfirman, ‘Dan janganlah kalian bertekad untuk melangsungkan akad nikah sebelum kitab (iddah) itu mencapai batas waktunya,’ dan Allah Ta‘ala juga berfirman, ‘Dan tidak ada dosa bagi kalian untuk menyatakan sindiran dalam meminang perempuan.’ Maka, sindiran dijadikan berbeda dengan pernyataan tegas, sehingga had tidak dijatuhkan kecuali atas tuduhan yang diucapkan secara tegas.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ ” اللِّعَانِ وَالتَّعْرِيضُ كِنَايَاتُ الْقَذْفِ فَلَا يَكُونُ قَذْفًا إِلَّا بِالْإِرَادَةِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas dalam Kitab “Li‘ān”, dan sindiran adalah kinayah dari qazaf, sehingga tidak dianggap sebagai qazaf kecuali dengan adanya niat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah.

وَقَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ الْمَعَارِيضُ قَذْفٌ فِي الْغَضَبِ دُونَ الرِّضَا كَقَوْلِهِ أَنَا مَا زَنَيْتُ أَوْ يَا حَلَالُ ابْنَ الْحَلَالِ إِلَى مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ وَقَدْ قَدَّمْنَا مِنَ الدَّلَائِلِ مَا كفى وإذا سقط الحد فيها نظر إلى مجردها فإن تجردت عن أسباب الأذى فلا تعزير فيها وإن اقترنت بالأذى والسبب عزر فيها فأما ما كان ظاهره الفحش والسب كقوله يا فاسق أو يا فاجر فهو أبلغ من التصريح؛ لأنه سب في الرضا والغضب فيعزر به في الأحوال إلا أن يريد به القذف فيحد فأما إذا قال يا عاهر فقد ذكرنا فيه وجهين

Malik, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa sindiran (ma‘ārīḍ) termasuk qadzaf (tuduhan zina) ketika diucapkan dalam keadaan marah, bukan dalam keadaan rela, seperti ucapannya, “Aku tidak berzina,” atau, “Wahai orang halal, anak orang halal,” dan ucapan-ucapan serupa. Kami telah menyampaikan dalil-dalil yang cukup mengenai hal ini. Jika had (hukuman) gugur dalam kasus tersebut, maka dilihat pada semata-mata ucapannya; jika ucapan itu murni tanpa sebab menyakiti, maka tidak ada ta‘zīr (hukuman ringan) di dalamnya. Namun, jika ucapan itu disertai dengan unsur menyakiti atau sebab tertentu, maka dikenakan ta‘zīr. Adapun ucapan yang secara lahiriah tampak sebagai makian dan penghinaan, seperti ucapan, “Wahai fasik,” atau, “Wahai fajir,” maka itu lebih berat daripada ucapan yang jelas, karena ia merupakan penghinaan baik dalam keadaan rela maupun marah, sehingga dikenakan ta‘zīr dalam segala keadaan, kecuali jika ia bermaksud qadzaf, maka dikenakan had. Adapun jika ia berkata, “Wahai pezina,” maka kami telah menyebutkan dua pendapat dalam hal ini.

أحدهما يكون قذفاً صريحاً لقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” وللعاهر الحجر

Salah satunya adalah tuduhan zina yang jelas, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bagi pezina adalah hukuman batu.”

والوجه الثاني يكون كناية إن أراد به القذف حد وإن لم يرده عزر فإن أراد بهذه المعاريض والكنايات القذف حد لها وإن أنكر إرادة القذف أحلف لها

Dan sisi kedua, jika dimaksudkan sebagai kiasan, maka jika ia bermaksud menuduh zina, ia dikenai had; dan jika tidak bermaksud demikian, ia dikenai ta‘zīr. Jika dengan sindiran dan kiasan tersebut ia bermaksud menuduh zina, maka ia dikenai had karenanya. Namun jika ia mengingkari maksud menuduh zina, maka ia harus bersumpah atas hal itu.

وقال أبو حنيفة لا يحد لها ولا يحلف عليها ولا تسمع الدعوى فيها احتجاجاً بأمرين

Abu Hanifah berkata: Tidak ada batasan untuknya, tidak disumpahkan atasnya, dan gugatan mengenai hal itu tidak didengar, dengan alasan dua hal.

أحدهما أن الكناية تقوم مقام الصريح والحد إنما يجب بالقذف ولا يجب بما قام مقام القذف

Pertama, bahwa kināyah menempati posisi seperti lafaz sharih, sedangkan hadd hanya wajib karena qadzaf dan tidak wajib atas sesuatu yang menempati posisi qadzaf.

والثاني أنه إذا لم يكن لفظ الكناية قذفاً صار بالنية قاذفاً ونية القذف لا توجب الحد ودليلنا شيئان

Kedua, bahwa jika lafaz kināyah bukanlah suatu bentuk qadzaf, maka dengan niat pun seseorang tidak menjadi pelaku qadzaf, dan niat melakukan qadzaf tidak mewajibkan hukuman had. Dalil kami ada dua hal.

أحدهما أن حد القذف من حقوق الآدميين عندنا ومن حقوق الله تعالى عنده والعتق والطلاق يجمعان حقوق الله وحقوق الآدميين ثم كان الكناية فيهما مع النية كالصريح؛ لأن الشهادة فيها غير معتبرة بخلاف النكاح فوجب أن يكون القذف في اختصاصه بأحد الحقين ملحقاً بما جمع الحقين

Pertama, menurut kami, hadd qadzaf termasuk hak-hak manusia, sedangkan menurut beliau termasuk hak-hak Allah Ta‘ala. Adapun pembebasan budak dan talak mengandung hak Allah dan hak manusia sekaligus, namun dalam keduanya, lafaz kinayah dengan disertai niat diperlakukan seperti lafaz sharih, karena kesaksian di dalamnya tidak dianggap, berbeda dengan nikah. Maka, qadzaf dalam kekhususannya pada salah satu dari dua hak tersebut harus disamakan dengan perkara yang mengandung kedua hak tersebut.

والثاني أن كل لفظ احتمل معنيين مختلفي الحكم فقصده لأحدهما موجب لحمله عليه كَقَوْلِهِ تَعَالَى يُوسُفُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا يوسف 29 أن قصد به القرآن حرم في الجناية ولم يبط ل به الصلاة وإن لم يقصد به القرآن لم يحرم في الجناية وبطلت به الصلاة فأما الجواب أنه مثل القذف فمن وجهين

Kedua, setiap lafaz yang mengandung dua makna dengan hukum yang berbeda, maka meniatkan salah satunya menyebabkan lafaz tersebut dibawa kepada makna yang diniatkan. Seperti firman Allah Ta‘ala: “Yūsuf, berpalinglah dari ini” (Yūsuf: 29). Jika yang dimaksud adalah (membaca) Al-Qur’an, maka haram dalam kasus jinayah (pidana), namun tidak membatalkan shalat. Jika tidak dimaksudkan sebagai (membaca) Al-Qur’an, maka tidak haram dalam jinayah dan membatalkan shalat. Adapun jawabannya, hal itu seperti kasus qadzaf (menuduh zina) dari dua sisi.

أحدهما أن مثل الشيء ما أوجب مثل حكمه

Pertama, bahwa yang dimaksud dengan “mitslu asy-syai’” (sesuatu yang serupa dengan sesuatu) adalah apa yang mewajibkan hukum yang serupa dengannya.

والثاني أنه جار مجراه وليس بمثل له

Yang kedua adalah bahwa ia berjalan sebagaimana jalannya, namun tidak sama dengannya.

وأما الجواب عن النية فلم نجعله قاذفاً بها كما لا نجعله مطلقاً وإنما جعلناه قاذفاً باللفظ مع النية كما نجعله مطلقاً باللفظ مع النية

Adapun jawaban mengenai niat, kami tidak menjadikannya sebagai pelempar tuduhan hanya dengan niat, sebagaimana kami juga tidak menjadikannya sebagai orang yang membebaskan (budak) hanya dengan niat. Akan tetapi, kami menjadikannya sebagai pelempar tuduhan dengan ucapan disertai niat, sebagaimana kami juga menjadikannya sebagai orang yang membebaskan (budak) dengan ucapan disertai niat.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ قَالَ لِعَرَبِيٍّ يَا نَبَطِيُّ فَإِنْ قَالَ عَنَيْتُ نَبَطِيَّ الدَّارِ أَوِ اللِّسَانِ أَحْلَفْتَهُ مَا أَرَادَ أَنْ يَنْسُبَهُ إِلَى النَّبَطِ وَنَهَيْتَهُ أَنْ يَعُودَ وَأَدَّبْتَهُ عَلَى الْأَذَى فَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ حَلَفَ الْمَقْذُوفُ لَقَدْ أَرَادَ نَفْيَهُ وَحُدَّ لَهُ فَإِنْ عَفَا فَلَا حَدَّ لَهُ وَإِنْ قَالَ عَنَيْتُ بِالْقَذْفِ الْأَبَ الْجَاهِلِيَّ حَلَفَ وَعُزِّرَ عَلَى الْأَذَى

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang berkata kepada seorang Arab, ‘Hai Nabati!’ lalu ia berkata, ‘Maksudku adalah Nabati dari segi tempat tinggal atau bahasa,’ maka aku akan menyuruhnya bersumpah bahwa ia tidak bermaksud menisbatkannya kepada kaum Nabath, dan aku melarangnya untuk mengulangi perbuatannya serta memberinya hukuman atas perbuatan yang menyakiti itu. Jika ia tidak mau bersumpah, maka orang yang dituduh boleh bersumpah bahwa memang yang dimaksud adalah penafian nasab, dan pelaku dijatuhi hukuman had. Namun jika orang yang dituduh memaafkan, maka tidak ada hukuman had baginya. Jika ia berkata, ‘Maksudku dengan tuduhan itu adalah ayahnya di masa jahiliah,’ maka ia harus bersumpah dan tetap diberi hukuman ta‘zīr atas perbuatan menyakitinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ قَوْلَهُ للعربي يا نبطي يحتمل أن يريد نَفْيَهُ مِنْ نَسَبِ الْعَرَبِ فَيَكُونَ قَذْفًا وَيُحْتَمَلُ أن يريد أنه نَبَطِيُّ الدَّارِ أَوِ اللِّسَانِ فَلَا يَكُونُ قَذْفًا فَخَرَجَ مِنْ صَرِيحِ الْقَذْفِ إِلَى كِنَايَتِهِ فَوَجَبَ أَنْ يُسْأَلَ عَنْ مُرَادِهِ فَإِنْ قَالَ لَمْ أُرِدْ بِهِ الْقَذْفَ بَلْ أَرَدْتُ بِهِ نَبَطِيَّ الدار واللسان كَانَ الْقَوْلَ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي مَخْرَجِ كَلَامِهِ فَإِنْ لم يرد به الدم والنسب فلا يعزر عليه وإن أراد به دمه ونسبه عزر للأذى فَإِنْ نَكِلَ عَنِ الْيَمِينِ حَلَفَ الْمَقْذُوفُ لَقَدْ أراد به نفي نسبي وَصَارَ قَاذِفًا عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ وَإِنْ قَالَ أَرَدْتُ بِهِ نَفْيَ نَسَبِهِ مِنَ الْعَرَبِ وَإِضَافَتَهُ إِلَى نَسَبِ النَّبَطِ صَارَ قَاذِفًا لِإِحْدَى أُمَّهَاتِهِ فيسأل عَمَّنْ أَرَادَ قَذْفَهَا مِنْهُنَّ فَإِنَّهُ لَا يَخْلُو حالهن مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: “Ini benar, karena ucapannya kepada orang Arab, ‘Wahai Nabathi,’ bisa jadi ia bermaksud menafikan nasab Arabnya, sehingga itu termasuk qazaf (tuduhan zina), dan bisa juga ia bermaksud bahwa orang itu Nabathi dari segi tempat tinggal atau bahasa, sehingga tidak termasuk qazaf. Maka, ucapan tersebut keluar dari bentuk qazaf yang jelas menuju bentuk kinayah (sindiran), sehingga wajib ditanyakan maksudnya. Jika ia berkata, ‘Saya tidak bermaksud qazaf, melainkan maksud saya ia Nabathi dari segi tempat tinggal dan bahasa,’ maka ucapannya diterima dengan sumpahnya, dan tidak dikenakan had atasnya. Kemudian dilihat dari konteks ucapannya; jika ia tidak bermaksud darah dan nasabnya, maka tidak dikenakan ta‘zir atasnya, namun jika ia bermaksud darah dan nasabnya, maka ia dikenakan ta‘zir karena menyakiti. Jika ia enggan bersumpah, maka orang yang dituduh bersumpah bahwa benar ia bermaksud menafikan nasabnya, sehingga ia menjadi pelaku qazaf sebagaimana akan dijelaskan. Jika ia berkata, ‘Saya bermaksud menafikan nasabnya dari Arab dan mengaitkannya dengan nasab Nabath,’ maka ia menjadi pelaku qazaf terhadap salah satu ibunya. Maka ditanyakan kepadanya, siapa di antara mereka yang ia maksudkan untuk dituduh, karena keadaan mereka tidak lepas dari tiga bagian.”

أَحَدُهَا أَنْ يُرِيدَ قَذْفَ أم أب مِنْ آبَائِهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَيَكُونُ قَاذِفًا لِكَافِرَةٍ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْحَدُّ لَكِنْ يُعَزَّرُ

Salah satunya adalah jika seseorang bermaksud menuduh ibu atau ayah dari para leluhurnya pada masa jahiliah, sehingga ia menjadi penuduh terhadap seorang perempuan kafir, maka tidak wajib atasnya hukuman had, tetapi ia tetap dikenai ta‘zīr.

وَالْقِسْمُ الثاني أن يريد أم أب مِنْ آبَائِهِ فِي الْإِسْلَامِ فَيَكُونَ قَاذِفًا لِأُمِّ الْأَبِ الَّذِي أَرَادَهُ فَيَجِبُ فِي قَذْفِهَا الْحَدُّ لأنها مسلمة ويكون ذلك للأم إِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً هِيَ الْمُسْتَحِقَّةُ لِحَدِّهِ فَإِنْ مَاتَتْ فَوَلَدُهَا إِنْ كَانَ بَاقِيًا فَإِنْ مَاتَ فَلِوَارِثِهِ فَإِنْ كَانَ مِنْهُمْ وَرِثَ الْحَدَّ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْهُمْ لِوُجُودِ مَنْ هُوَ أقرب كَانَ الْأَقْرَبُ أَحَقَّ بِالْحَدِّ؛ لِأَنَّهُ أَحَقُّ بِالْمِيرَاثِ فإن عفى الْأَقْرَبُ عَنْهُ فَفِي اسْتِحْقَاقِ هَذَا الْأَبْعَدِ لَهُ وَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَقَاوِيلِهِ فِي مِيرَاثِ هَذَا الْحَدِّ هَلْ يَجْرِي مَجْرَى مِيرَاثِ الْأَمْوَالِ أو لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Bagian kedua adalah ketika seseorang bermaksud kepada ibu atau nenek dari ayahnya dalam Islam, maka ia dianggap telah menuduh ibu dari ayah yang dimaksud, sehingga wajib dikenakan had atas tuduhannya itu karena ia seorang Muslimah. Had tersebut menjadi hak ibu jika ia masih hidup, dialah yang berhak menerima had itu. Jika ia telah wafat, maka hak itu berpindah kepada anaknya jika masih ada. Jika anaknya juga telah wafat, maka hak itu berpindah kepada ahli warisnya. Jika penuduh termasuk di antara para ahli waris, maka ia mewarisi had bersama mereka. Namun jika ia bukan termasuk ahli waris karena ada yang lebih dekat, maka yang lebih dekatlah yang lebih berhak atas had tersebut, karena ia lebih berhak atas warisan. Jika ahli waris yang lebih dekat memaafkan, maka dalam hal berhak atau tidaknya ahli waris yang lebih jauh atas had itu terdapat dua pendapat yang diambil dari perbedaan pendapat ulama mengenai warisan had ini: apakah ia diperlakukan seperti warisan harta atau tidak, menurut dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُ فِيهِ إِذَا قِيلَ إنَّهُ يُوَرَّثُ مِيرَاثَ الأموال

Salah satunya adalah bahwa ia tidak memiliki hak di dalamnya jika dikatakan bahwa ia diwariskan seperti warisan harta benda.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَسْتَحِقُّهُ بَعْدَ عَفْوِ الْأَقْرَبِ إِذَا قيل إنه يختص بِالْعَصَبَاتِ لِنَفْيِ الْعَارِ عَنْهُمْ

Pendapat kedua, ia berhak mendapatkannya setelah pemaafan dari kerabat terdekat, jika dikatakan bahwa hak tersebut khusus bagi para ‘ashabah untuk menghilangkan aib dari mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُرِيدَ أُمَّهُ الَّتِي وَلَدَتْهُ فَيَكُونُ قَاذِفًا لَهَا فَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً كَانَ الْحَدُّ مُسْتَحِقًّا لَهَا فَإِنْ عَفَتْ عَنْهُ فَلَا حَقَّ لِوَلَدِهَا وَجْهًا وَاحِدًا بِخِلَافِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ عَفْوِ الْأَقْرَبِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ

Bagian ketiga adalah jika yang dimaksudnya adalah ibunya yang melahirkannya, maka ia telah menuduh ibunya berzina. Jika ibunya masih hidup, maka hak had tetap menjadi miliknya. Jika ibunya memaafkannya, maka anaknya sama sekali tidak memiliki hak, berbeda dengan yang telah kami sebutkan sebelumnya tentang pemaafan kerabat terdekat dalam salah satu dari dua pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْأُمَّ فِي اسْتِحْقَاقِهِ أَصْلٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَقِلَ إِلَى وَارِثِهَا مَعَ سُقُوطِهِ بِعَفْوِهَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْأَقْرَبُ لِأَنَّهُ فَرْعٌ يَجْرِي عَفْوُهُ مَجْرَى عَدَمِهِ فَجَازَ أَنْ يَنْتَقِلَ إِلَى غَيْرِهِ وَإِنْ كَانَ أَبْعَدَ مِنْهُ فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الْأُمُّ مَيِّتَةً فَهُوَ يَسْتَحِقُّ الْحَدَّ مِيرَاثًا عَنْهَا فَإِنْ عَفَا عَنْهُ وَكَانَ لَهَا وَارِثٌ غَيْرَهُ فِي دَرَجَتِهِ فَلَهُ اسْتِيفَاءُ الْحَدِّ وَلَا يَسْقُطُ بِالْعَفْوِ وَإِنْ كَانَ لَهَا مَنْ لَا يَرِثُ مَعَ الِابْنِ كَالْإِخْوَةِ فَفِي اسْتِحْقَاقِهِمْ لِلْحَدِّ بَعْدَ عَفْوِ الِابْنِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa ibu dalam hal hak memperoleh (hudud) merupakan asal, sehingga tidak boleh berpindah hak itu kepada ahli warisnya ketika gugur karena pemaafannya. Tidak demikian halnya dengan kerabat terdekat, karena ia adalah cabang, sehingga pemaafannya dianggap seperti tidak ada, maka boleh berpindah hak itu kepada selainnya meskipun lebih jauh darinya. Adapun jika ibu telah meninggal dunia, maka ia (ahli waris) berhak mendapatkan had sebagai warisan darinya. Jika ia memaafkan dan ibu memiliki ahli waris lain yang setingkat dengannya, maka ahli waris tersebut berhak menuntut pelaksanaan had dan hak itu tidak gugur karena pemaafan. Namun jika ibu hanya memiliki ahli waris yang tidak mewarisi bersama anak laki-laki seperti saudara-saudara, maka dalam hal hak mereka atas had setelah pemaafan anak laki-laki terdapat dua pendapat sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي ” ولو قذف امرأة وطئت وطأ حراماً درىء عَنْهُ فِي هَذَا الْحَدِّ وَعُزِّرَ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang menuduh seorang perempuan yang pernah melakukan hubungan haram, maka hukuman had atasnya digugurkan dalam kasus ini, namun ia tetap dikenai ta‘zir.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قد ذكرنا أن العفة شرط في الإحصان للقذف فَإِنْ وُطِئَتْ وَطْئًا حَرَامًا انْقَسَمَ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa ‘iffah (menjaga kehormatan) adalah syarat dalam status muhsan untuk kasus qadzaf (tuduhan zina). Jika seseorang telah melakukan hubungan seksual yang haram, maka hal itu terbagi menjadi empat bagian.

أَحَدُهَا مَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَيُسْقِطُ الْعِفَّةَ وَهُوَ الزِّنَا سَوَاءٌ ثَبَتَ بِبَيِّنَةٍ أَوْ إِقْرَارٍ فَلَا حد على قاذفها سواء حد في الزنا أو لم يحد

Salah satunya adalah perbuatan yang mewajibkan hukuman had dan menghilangkan kehormatan, yaitu zina, baik terbukti dengan bukti atau pengakuan. Maka tidak ada had bagi orang yang menuduhnya, baik pelaku zina tersebut telah dijatuhi had atau belum.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا لَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَلَكِنْ يُسْقِطُ الْعِفَّةَ وَهُوَ وَطْءُ الْأَبِ جَارِيَةَ ابْنِهِ أو وطء أَحَدِ الشَّرِيكَيْنِ لِلْأَمَةِ الْمُشْتَرَكَةِ فَلَا حَدَّ فِيهِ لَكِنْ يُسْقِطُ الْعِفَّةَ فِي الْوَاطِئِ وَالْمَوْطُوءَةِ إِلَّا أن تكون مستكرهة فَأَيُّهُمَا قُذِفَ فَلَا حَدَّ عَلَى قَاذِفِهِ

Bagian kedua adalah perbuatan yang tidak mewajibkan hukuman had, namun menghilangkan sifat iffah (kehormatan diri), yaitu seperti seorang ayah yang menyetubuhi budak milik anaknya, atau salah satu dari dua orang yang berserikat menyetubuhi budak perempuan yang dimiliki bersama. Dalam hal ini tidak ada hukuman had, tetapi perbuatan tersebut menghilangkan sifat iffah pada pelaku dan yang disetubuhi, kecuali jika yang disetubuhi itu dipaksa. Maka siapa pun di antara mereka yang dituduh melakukan zina, tidak dikenakan hukuman had atas orang yang menuduhnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا لَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَفِي سُقُوطِ الْعِفَّةِ وَجْهَانِ وَهُوَ الْوَطْءُ فِي نِكَاحٍ بِلَا وَلِيٍّ أَوْ بِغَيْرِ شُهُودٍ أَوْ فِي نِكَاحِ مُتْعَةٍ أَوْ شِغَارٍ فَإِنْ قَذَفَ أَحَدُهُمَا فَفِي وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى الْقَاذِفِ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah apa yang tidak mewajibkan hukuman hadd, dan dalam hal hilangnya ‘iffah (kehormatan diri) terdapat dua pendapat. Yaitu hubungan seksual dalam pernikahan tanpa wali, atau tanpa saksi, atau dalam nikah mut‘ah, atau syighar. Jika salah satu dari mereka menuduh (berzina), maka dalam kewajiban hukuman hadd atas penuduh juga terdapat dua pendapat.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مَا لَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَلَا يُسْقِطُ الْعِفَّةَ وَهُوَ وَطْءُ الزَّوْجَةِ أَوِ الْأَمَةِ فِي حَيْضٍ أَوْ في إحرام أو في صِيَامٍ فَتَكُونُ الْعِفَّةُ بَاقِيَةً لِأَنَّهُ صَادَفَ مَحَلَّ الأنكحة وَالتَّحْرِيمُ عَارِضٌ فَأَيُّهُمَا قَذَفَ وَجَبَ الْحَدُّ عَلَى قَاذِفِهِ وَقَدِ اسْتَوْفَيْنَا هَذَا فِي كِتَابِ ” اللِّعَانِ

Bagian keempat adalah perbuatan yang tidak mewajibkan had dan tidak menghilangkan ‘iffah, yaitu berhubungan suami istri atau dengan budak perempuan saat haid, ihram, atau puasa. Maka ‘iffah tetap ada karena perbuatan tersebut terjadi pada tempat yang sah untuk pernikahan, sedangkan keharamannya bersifat sementara. Maka siapa pun yang menuduh (berzina) dalam keadaan ini, wajib dikenakan had atas orang yang menuduhnya. Hal ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Kitab “Li‘ān”.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُحَدُّ مَنْ لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ إِلَّا حَدَّ الْعَبْدِ

Syafi‘i berkata, “Dan tidak dijatuhi had bagi orang yang belum sempurna kemerdekaannya kecuali had bagi budak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا لَمْ تَكْمُلْ حُرِّيَّةُ الْمَقْذُوفِ لِكَوْنِهِ مُدَبَّرًا أَوْ مُكَاتِبًا أَوْ أُمَّ وَلَدٍ لِبَقَاءِ جُزْءٍ مِنَ الرِّقِّ فِيهِ وَإِنْ قَلَّ فَلَا حَدَّ عَلَى قَاذِفِهِ كَمَا لَوْ قَذَفَ عَبْدًا قِنًّا وَيُعَزَّرُ لِلْأَذَى فَأَمَّا إِنْ كَمُلَتْ حُرِّيَّةُ الْمَقْذُوفِ وَلَمْ تَكْمُلْ حُرِّيَّةُ الْقَاذِفِ وَكَانَ مُكَاتِبًا أَوْ مُدَبَّرًا أَوْ فِيهِ جُزْءٌ مِنَ الرِّقِّ فَعَلَيْهِ حَدُّ الْعَبِيدِ وَهُوَ نِصْفُ حَدِّ الْحَرِّ كَالْعَبْدِ الْقِنِّ؛ لِأَنَّ أَحْكَامَ الرِّقِّ جَارِيَةٌ عَلَيْهِ فِي وِلَايَتِهِ وَشَهَادَتِهِ وَنِكَاحِهِ وَطَلَاقِهِ فَكَذَلِكَ فِي الْقَذْفِ والزنا والله أعلم

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar apabila kemerdekaan orang yang dituduh belum sempurna karena ia adalah mudabbar, mukatab, atau ummu walad, sebab masih ada sebagian status budak pada dirinya, meskipun sedikit, maka tidak ada had atas orang yang menuduhnya, sebagaimana jika menuduh seorang budak murni (qinn). Namun, ia tetap dikenai ta’zir karena menyakiti. Adapun jika kemerdekaan orang yang dituduh telah sempurna, sedangkan kemerdekaan penuduh belum sempurna—misalnya ia adalah mukatab, mudabbar, atau masih ada sebagian status budak pada dirinya—maka atasnya berlaku had untuk budak, yaitu setengah dari had untuk orang merdeka, sebagaimana budak murni (qinn); karena hukum-hukum perbudakan masih berlaku atasnya dalam hal perwalian, kesaksian, pernikahan, dan talak, maka demikian pula dalam kasus qadzaf dan zina. Allah Maha Mengetahui.”

Kitab as-Sariqah (Pembahasan tentang Pencurian)

بَابُ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ من كتاب الحدود وغيره

Bab tentang hal-hal yang wajib dikenai hukuman potong (tangan) dari Kitab al-Hudūd dan selainnya.

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” الْقَطْعُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا لِثُبُوتِ الْخَبَرِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بذلك

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Hadd potong tangan berlaku pada pencurian seperempat dinar ke atas, karena adanya hadits yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu.”

قال الماوردي والأصل فِي وُجُوبِ قَطْعِ السَّارِقِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما المائدة 38 وفي قِرَاءَةِ ابْنِ مَسْعُودٍ ” وَالسَّارِقُونَ وَالسَّارِقَاتُ فَاقْطَعُوا أَيْمَانَهُمَا فَجَعَلَ حَدَّ السَّرِقَةِ قَطْعَ الْيَدِ لِتَنَاوُلِ الْمَالِ بِهَا وَلَمْ يَجْعَلْ حَدَّ الزِّنَا قَطْعَ الذَّكَرِ لِمُوَاقَعَةِ الزِّنَا بِهِ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ

Al-Mawardi berkata: Dasar kewajiban memotong tangan pencuri adalah firman Allah Ta‘ala, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya” (Al-Ma’idah: 38). Dalam qirā’ah Ibnu Mas‘ud disebutkan, “Para pencuri laki-laki dan para pencuri perempuan, maka potonglah tangan kanan mereka berdua.” Maka Allah menetapkan hudud untuk pencurian dengan memotong tangan karena tangan digunakan untuk mengambil harta, dan tidak menetapkan hudud zina dengan memotong kemaluan meskipun zina dilakukan dengannya, karena tiga alasan.

أَحَدُهَا أَنَّ لِلسَّارِقِ مِثْلَ يَدِهِ إِذَا قُطِعَتْ وَلَيْسَ لِلزَّانِي مِثْلَ ذَكَرِهِ إِذَا قُطِعَ

Salah satunya adalah bahwa bagi pencuri ada pengganti tangannya jika dipotong, sedangkan bagi pezina tidak ada pengganti kemaluannya jika dipotong.

وَالثَّانِي أَنَّ الْحُدُودَ زَجْرٌ لِلْمَحْدُودِ وَغَيْرِهِ وَالْيَدُ تُرَى وَالذَّكَرِ لَا يُرَى

Yang kedua, bahwa hudud merupakan pencegahan bagi pelaku dan selainnya, sedangkan tangan dapat dilihat, sementara kemaluan tidak dapat dilihat.

وَالثَّالِثُ أَنَّ فِي قَطْعِ الذَّكَرِ إِبْطَالُ النَّسْلِ وَلَيْسَ ذَلِكَ فِي قَطْعِ الْيَدِ وَقَدْ قُطِعَ السَّارِقُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَانَ أَوَّلُ مَنْ حَكَمَ بِهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلِيدَ بْنَ الْمُغِيرَةِ فأمر الله تعالى به في الإسلام فكان أول سارق قطع من الرجال في الإسلام الْخِيَارَ بْنَ عَدِيِّ بْنِ نَوْفَلِ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ وَمِنَ النِّسَاءِ مُرَّةَ بِنْتَ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ الْأَسَدِ مِنْ بَنِي مَخْزُومٍ

Ketiga, bahwa dalam pemotongan kemaluan terdapat pembatalan keturunan, sedangkan hal itu tidak terdapat dalam pemotongan tangan. Tangan pencuri telah dipotong pada masa jahiliah, dan orang pertama yang menetapkan hukuman tersebut pada masa jahiliah adalah al-Walid bin al-Mughirah. Kemudian Allah Ta‘ala memerintahkannya dalam Islam. Maka orang pertama dari kalangan laki-laki yang dipotong tangannya karena mencuri dalam Islam adalah al-Khiyar bin ‘Adi bin Naufal bin ‘Abd Manaf, dan dari kalangan perempuan adalah Murrah binti Sufyan bin ‘Abd al-Asad dari Bani Makhzum.

وَرَوَى الزُّهْرِيُّ عن عروة عن أم سلمة أن قريشاً همهم شأن الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قالوا ما يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَكَلَّمُوهُ فَأَتَاهُ فَكَلَّمَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إنما هلك من كان قبلكم كَانَ إِذَا سَرَقَ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ لَوْ كَانَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ لَقَطَعْتُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِقَطْعِ يَدِهَا

Az-Zuhri meriwayatkan dari ‘Urwah, dari Ummu Salamah, bahwa Quraisy merasa gelisah dengan urusan perempuan Makhzumiyah yang mencuri itu. Mereka berkata, “Siapa yang akan berbicara kepada Rasulullah ﷺ tentangnya?” Mereka berkata, “Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid, kesayangan Rasulullah ﷺ.” Maka mereka pun berbicara kepadanya, lalu ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan membicarakannya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, apabila orang terpandang yang mencuri, mereka membiarkannya, dan apabila orang lemah yang mencuri, mereka menegakkan hudud atasnya. Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” Kemudian beliau memerintahkan agar tangan perempuan itu dipotong.

وَرَوَى عُمَرُ بْنُ أَبِي بَكَّارٍ التَّمِيمِيُّ أَنَّهَا خَرَجَتْ فِي اللَّيْلِ إِلَى رَكْبٍ بِجَانِبِ الْمَدِينَةِ فَسَرَقَتْ عَيْبَةً لَهُمْ فَلَمَّا قَطَعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ أَبُوهَا اذْهَبُوا بِهَا إِلَى أَخْوَالِهَا بَنِي حويطب فإنها أشبهتهم فقال فيها الحسين بن الوليد

Umar bin Abi Bakkar at-Tamimi meriwayatkan bahwa perempuan itu keluar pada malam hari menuju sekelompok orang di pinggiran Madinah, lalu ia mencuri sebuah kotak milik mereka. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong tangannya, ayahnya berkata, “Bawalah dia kepada paman-pamannya dari Bani Huwaitib, karena dia lebih mirip mereka.” Maka mengenai hal ini, al-Husain bin al-Walid berkata…

يا رب بنت لأبي سلمى جعد سراقة لحقائب الركبان

Wahai Tuhan, putri Abu Salma, berambut keriting seperti Surāqah, adalah bekal perjalanan para pengendara.

بانت تحوش عليهم بيمينها حتى أقرت غير ذات بيان

Ia mulai mengumpulkan mereka dengan tangan kanannya hingga ia mengaku tanpa penjelasan yang jelas.

كونوا عبيداً واقتدوا بأبيكم وذروا التبختر يا بني سفيان

Jadilah hamba-hamba dan teladanilah ayah kalian, serta tinggalkanlah kesombongan, wahai Bani Sufyan.

اخشوا فإن الله لم يجعل لكم كنز الْمُغِيرَةِ أَوْ بَنِي عِمْرَانْ

Takutlah kalian, karena Allah tidak menjadikan bagi kalian harta simpanan al-Mughirah atau Bani Imran.

وَحَكَى الْكَلْبِيُّ أَنَّ آيَةَ السَّرِقَةِ نَزَلَتْ فِي طُعْمَةَ بْنِ أُبَيْرِقٍ الظَّفَرِيِّ سَارِقِ الدِّرْعِ

Al-Kalbi meriwayatkan bahwa ayat tentang pencurian turun berkenaan dengan Tu‘mah bin Ubayriq azh-Zhafari, pencuri baju zirah.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهَا هَلْ هِيَ عُمُومٌ خُصَّ أَوْ مُجْمَلٌ فُسِّرَ عَلَى وَجْهَيْنِ

Para ulama kami berbeda pendapat tentang hal ini, apakah ia merupakan lafaz umum yang dikhususkan atau lafaz mujmal yang telah dijelaskan, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا مِنَ الْعُمُومِ الَّذِي خُصَّ

Salah satunya adalah bahwa ia termasuk ke dalam keumuman yang telah dikhususkan.

وَالثَّانِي أَنَّهَا مِنَ الْمُجْمَلِ الَّذِي فُسِّرَ

Yang kedua, bahwa ia termasuk bagian mujmal yang telah dijelaskan.

وَرَوَى عبد الله بن عمر وقال سَرَقَتِ امْرَأَةٌ حُلِيًّا فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِقَطْعِ يَدِهَا الْيُمْنَى فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ لِي مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَنْتِ الْيَوْمَ مِنْ خَطِيئَتِكِ كَيَوْمِ وَلَدَتْكِ أُمُّكِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ المائدة 39 وفي قوله ها هنا ” وَأَصْلَحَ وَجْهَانِ

Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa seorang wanita mencuri perhiasan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tangan kanannya dipotong. Wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku masih bisa bertobat?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari ini engkau bersih dari dosamu seperti hari ketika ibumu melahirkanmu.” Lalu Allah Ta‘ala menurunkan ayat: “Barang siapa bertobat setelah melakukan kezaliman dan memperbaiki diri, maka sungguh Allah menerima tobatnya.” (al-Mā’idah: 39). Dalam firman-Nya di sini, “dan memperbaiki diri”, terdapat dua makna.

أَحَدُهُمَا أَصْلَحَ سَرِيرَتَهُ بِتَرْكِ الْعَزْمِ

Salah satunya memperbaiki batinnya dengan meninggalkan tekad.

وَالثَّانِي أَصْلَحَ عَمَلَهُ بِتَرْكِ الْمُعَاوَدَةِ

Dan yang kedua, ia memperbaiki amalnya dengan meninggalkan pengulangan perbuatan tersebut.

وَرَوَى الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

Al-A‘mash meriwayatkan dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat pencuri; ia mencuri seutas tali maka dipotong tangannya, dan ia mencuri sebuah telur maka dipotong tangannya.”

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَفْوَانَ أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ قِيلَ لَهُ إِنَّ مَنْ لَمْ يُهَاجِرْ هَلَكَ فَقَدِمَ الْمَدِينَةَ فَنَامَ فِي الْمَسْجِدِ وَتَوَسَّدَ رِدَاءَهُ فَجَاءَ سَارِقٌ فَأَخَذَهُ مِنْ تَحْتِ رَأْسِهِ فَأَخَذَ صفوان السارق وجاء بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَمَرَ أَنْ تُقْطَعَ يَدُهُ فَقَالَ صَفْوَانُ إِنِّي لَمْ أُرِدْ هَذَا هُوَ عَلَيْهِ صَدَقَةً فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” فهلا قبل أن تأتيني به

Syafi‘i meriwayatkan dari Malik, dari az-Zuhri, dari Shafwan bin Abdullah bin Shafwan, bahwa Shafwan bin Umayyah dikatakan kepadanya: “Sesungguhnya siapa yang tidak hijrah akan binasa.” Maka ia pun datang ke Madinah, lalu tidur di masjid dan menjadikan selendangnya sebagai bantal. Kemudian datanglah seorang pencuri dan mengambil selendang itu dari bawah kepalanya. Shafwan menangkap pencuri itu dan membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau memerintahkan agar tangan pencuri itu dipotong. Shafwan berkata, “Aku tidak bermaksud seperti ini, selendang itu aku sedekahkan untuknya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa tidak engkau lakukan sebelum engkau membawanya kepadaku?”

فصل

Bab

روى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” لا يزني المؤمن حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Syafi‘i meriwayatkan dari Sufyan, dari Abu al-Zinad, dari al-A‘raj, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang mukmin tidak berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, tidak mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman, tidak minum khamar ketika ia meminumnya dalam keadaan beriman, dan tidak merampas rampasan ketika ia merampasnya dalam keadaan beriman.”

وَيُحْتَمَلُ تَأْوِيلُهَا أَرْبَعَةَ أَوْجُهٍ

Dan ayat tersebut mungkin dapat ditafsirkan dengan empat kemungkinan.

أَحَدُهَا يَعْنِي أَنَّهُ لَا يَسْتَحِلُّهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ؛ لِأَنَّ تَحْرِيمَهَا مَنْصُوصٌ فَيَكْفُرُ بِاسْتِحْلَالِهَا

Salah satunya adalah bahwa seseorang tidak menghalalkannya sementara ia beriman; karena keharamannya telah dinyatakan secara tegas, maka ia menjadi kafir dengan menghalalkannya.

وَالثَّانِي يَعْنِي لَا يَفْعَلُ أَفْعَالَ الْمُؤْمِنِينَ؛ لِأَنَّ الْمُؤْمِنَ يَمْتَنِعُ مِنْهَا

Dan yang kedua, maksudnya ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan orang beriman; karena orang beriman menahan diri dari perbuatan-perbuatan tersebut.

وَالثَّالِثُ مَعْنَاهُ لَا يُصَدِّقُ أَنَّهُ يُحَدُّ إن زنا وَيُقْطَعُ إِنْ سَرَقَ وَيُجْلَدُ إِنْ شَرِبَ الْخَمْرَ؛ لِأَنَّهُ لَوْ تَحَقَّقَ أَنَّهُ يُقَامُ عَلَيْهِ لَامْتَنَعَ مِنْهُ وَلَمْ يُقَدَّمْ عَلَيْهِ

Yang ketiga, maksudnya adalah ia tidak meyakini bahwa ia akan dikenai hudud jika berzina, dipotong tangannya jika mencuri, dan dicambuk jika minum khamar; karena jika ia benar-benar yakin bahwa hukuman itu akan ditegakkan atas dirinya, niscaya ia akan menahan diri darinya dan tidak akan melakukannya.

وَالرَّابِعُ أَنَّهُ قَالَهُ مُبَالَغَةً فِي الزَّجْرِ عَنْهَا كَمَا قَالَ ” مَنْ قَتَلَ عَبْدَهُ قَتَلْنَاهُ وَمَنْ غَلَّ صَدَقَتَهُ فَإِنَّا آخذوها منه وشطر ماله

Keempat, bahwa beliau mengatakannya sebagai bentuk penegasan dalam melarang perbuatan tersebut, sebagaimana sabda beliau: “Barang siapa membunuh budaknya, maka kami akan membunuhnya; dan barang siapa menggelapkan sedekahnya, maka sungguh kami akan mengambilnya darinya beserta setengah hartanya.”

فصل

Bab

وقطع السارق حق مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ الْمَحْضَةِ وَالْغُرْمُ فِيهِ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الْمَحْضَةِ

Potong tangan pencuri adalah hak murni Allah, sedangkan ganti rugi di dalamnya adalah hak murni manusia.

فَأَمَّا الْغُرْمُ فَيَصِحُّ الْعَفْوُ عَنْهُ قَبْلَ عِلْمِ الْإِمَامِ وَبَعْدِهِ

Adapun mengenai tanggungan (ghurm), maka sah memaafkannya baik sebelum imam mengetahuinya maupun sesudahnya.

وَأَمَّا الْقَطْعُ فيصح العفو عنه قبل علم الإمام به وَلَا يَصِحُّ الْعَفْوُ عَنْهُ بَعْدَ عِلْمِهِ؛ لِرِوَايَةِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال لصفوان بن أمية في سارق ردائه حين قال هو لو صَدَقَةٌ فَقَالَ ” هَلَّا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ اشْفَعُوا مَا لَمْ يَصِلْ إِلَى الْوَالِي فَإِذَا وصل إلى الوالي فعفى فلا عفا الله عنه فأمر بقطعه

Adapun pemotongan (tangan pencuri), maka boleh dimaafkan sebelum imam (penguasa) mengetahuinya, dan tidak sah pemaafan setelah imam mengetahuinya; berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ berkata kepada Shafwan bin Umayyah tentang pencuri selendangnya ketika ia berkata, “Itu aku sedekahkan saja.” Maka beliau bersabda, “Mengapa tidak sebelum engkau membawanya kepadaku? Berilah syafaat selama belum sampai kepada wali (penguasa), maka jika sudah sampai kepada wali lalu dimaafkan, maka semoga Allah tidak memaafkannya.” Lalu beliau memerintahkan untuk memotong tangannya.

وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ الزُّبَيْرَ شُفِّعَ فِي سَارِقٍ فَقِيلَ لَهُ حَتَّى يبلغه الإمام فقال إِذَا بَلَغَ الْإِمَامَ فَلَعَنَ اللَّهُ الشَّافِعَ وَالْمُشَفَّعَ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya bahwa az-Zubair pernah dimintai syafaat untuk seorang pencuri, lalu dikatakan kepadanya, “Tunggu sampai perkara itu sampai kepada imam.” Maka ia berkata, “Jika perkara itu sudah sampai kepada imam, maka Allah melaknat orang yang memberi syafaat dan yang dimintai syafaat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

وَرُوِيَ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ أُتَي بِلُصُوصٍ فَقَطَعَهُمْ حَتَّى بَقِيَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ فَقُدِّمَ لِيُقْطَعَ فَقَالَ

Diriwayatkan bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan didatangkan sekelompok pencuri, lalu ia memotong (tangan) mereka hingga tersisa satu orang di antara mereka. Orang itu pun dihadapkan untuk dipotong (tangannya), maka ia berkata:

يَمِينِي أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أُعِيذُهَا بِعَفْوِكَ أَنْ تَلْقَى مَكَانًا يَشِينُهَا

Tangan kananku, wahai Amirul Mukminin, aku lindungi ia dengan ampunan-Mu agar tidak menemui tempat yang mencemarinya.

يَدَيَّ كَانَتِ الْحَسْنَاءُ لو تم سبرها ولن تعدم الحسناء عاباً يَشِينُهَا

Tanganku dahulu indah, seandainya diuji dengan teliti; namun wanita yang cantik pun tak luput dari cela yang menguranginya.

فَلَا خَيْرَ فِي الدُّنْيَا وَكَانَتْ حَبِيبَةً إِذَا مَا شِمَالِي فَارَقَتْهَا يَمِينُهَا

Maka tiadalah kebaikan pada dunia, meskipun ia kekasih, jika tangan kirinya telah berpisah darinya tangan kanannya.

فَقَالَ مُعَاوِيَةُ كَيْفَ أَصْنَعُ بِكَ وَقَدْ قَطَعْتُ أَصْحَابَكَ فَقَالَتْ أم السارق يا أمير المؤمنين اجعلها من ذُنُوبِكَ الَّتِي تَتُوبُ مِنْهَا فَخَلَّى سَبِيلَهُ فَكَانَ أول حد يترك فِي الْإِسْلَامِ

Maka Muawiyah berkata, “Apa yang harus aku lakukan terhadapmu, padahal aku telah memotong tangan para sahabatmu?” Maka ibu si pencuri berkata, “Wahai Amirul Mukminin, jadikanlah ini sebagai salah satu dosa yang engkau bertobat darinya.” Lalu Muawiyah membebaskannya, sehingga itulah hudud pertama yang ditinggalkan dalam Islam.

فَصْلٌ

Fasal

شُرُوطُ الْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ

Syarat-syarat penerapan hudud potong tangan dalam kasus pencurian

فإذا ثبت ما ذكرناه مِنْ قَطْعِ السَّارِقِ فَوُجُوبُهُ مُعْتَبَرٌ بِشَرْطَيْنِ الْحِرْزُ وَالْقَدْرُ فَأَمَّا الْحِرْزُ فَيَأْتِي وَأَمَّا الْقَدْرُ فَقَدِ اخْتُلِفَ فِي اعْتِبَارِهِ فَذَهَبَ دَاوُدُ وَأَهْلُ الظَّاهِرِ وَأَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الشَّافِعِيُّ وَالْخَوَارِجُ إِلَى أَنَّهُ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ وَأَنَّهُ يُقْطَعُ فِي الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ

Jika telah tetap apa yang kami sebutkan tentang pemotongan tangan pencuri, maka kewajibannya bergantung pada dua syarat: al-hirz (tempat penyimpanan yang aman) dan al-qadr (jumlah barang yang dicuri). Adapun al-hirz akan dijelaskan kemudian, sedangkan mengenai al-qadr, para ulama berbeda pendapat tentang keharusannya. Dawud, Ahluzh-Zhahir, Abu Abdurrahman asy-Syafi‘i, dan kaum Khawarij berpendapat bahwa al-qadr tidak menjadi syarat, sehingga tangan dipotong baik untuk jumlah yang sedikit maupun banyak.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ

Dan pendapat ini juga dipegang oleh Abdullah bin az-Zubair dari kalangan sahabat.

وَمِنَ التَّابِعِينَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالزُّهْرِيُّ؛ لِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا المائدة 38

Dan dari kalangan tabi‘in adalah Sa‘id bin al-Musayyab dan az-Zuhri; karena keumuman firman Allah Ta‘ala: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya.” (al-Mā’idah: 38)

وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

Dan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah melaknat pencuri; ia mencuri seutas tali maka dipotong tangannya, dan ia mencuri sebuah telur maka dipotong tangannya.”

وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى اعْتِبَارِ الْقَدْرِ فِي وُجُوبِ الْقَطْعِ وَاخْتَلَفُوا فِيهِ عَلَى مَذَاهِبَ شَتَّى فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهُ مُقَدَّرٌ بِرُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا يُقْطَعُ فِيهِ ولا يقطع فيما نقص منه فَإِنْ كَانَ الْمَسْرُوقُ دَرَاهِمَ أَوْ مَتَاعًا قُوِّمَ بِالذَّهَبِ وَقَالَ عُثْمَانُ الْبَتِّيُّ يُقْطَعُ فِي دِرْهَمٍ وَاحِدٍ فَصَاعِدًا لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَعْدُودٍ مِنْهَا

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa kadar (nilai) harus diperhitungkan dalam kewajiban pemotongan (tangan pencuri), dan mereka berbeda pendapat dalam hal ini dengan berbagai mazhab. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa kadar tersebut ditetapkan sebesar seperempat dinar ke atas, maka dipotong tangan (pencuri) jika mencapai kadar itu, dan tidak dipotong jika kurang dari itu. Jika barang yang dicuri berupa dirham atau barang dagangan, maka dinilai dengan emas. ‘Utsman al-Batti berpendapat bahwa dipotong tangan dalam pencurian satu dirham ke atas, karena itu adalah jumlah pertama yang dapat dihitung darinya.

وَقَالَ زِيَادُ بْنُ أَبِي زِيَادٍ يُقْطَعُ فِي دِرْهَمَيْنِ فَصَاعِدًا؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنِ اسْتَحَلَّ بِدِرْهَمَيْنِ فَقَدِ اسْتَحَلَّ

Ziyad bin Abi Ziyad berkata, “Hukuman potong tangan diberlakukan pada pencurian dua dirham atau lebih, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Barang siapa mengambil dua dirham secara tidak halal, maka ia telah menghalalkan (tangannya untuk dipotong).’”

وَقَالَ مَالِكٌ يُقْطَعُ فِي ثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ فَصَاعِدًا؛ لِرِوَايَتِهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَطَعَ فِي مِجَنٍّ قِيمَتُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ

Malik berkata: Dipotong tangan (pencuri) pada tiga dirham ke atas; karena riwayatnya dari Nafi‘ dari Ibnu Umar bahwa Nabi ﷺ memotong tangan (pencuri) pada perisai yang nilainya tiga dirham.

وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يُقْطَعُ فِي أَرْبَعَةِ دَرَاهِمَ فَصَاعِدًا وَلَعَلَّهُمَا قَوَّمَا الْمِجَنَّ بِأَرْبَعَةِ دَرَاهِمَ وَرَوَى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ ثَمَنَ الْمِجَنِّ أَرْبَعَةُ دَرَاهِمَ

Abu Hurairah dan Abu Sa‘id al-Khudri berkata: “(Tangan pencuri) dipotong pada (pencurian) empat dirham atau lebih.” Mungkin keduanya menaksir harga perisai itu dengan empat dirham. ‘Urwah bin az-Zubair meriwayatkan bahwa harga perisai adalah empat dirham.

وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ يُقْطَعُ فِي خَمْسَةِ دَرَاهِمَ فَصَاعِدًا؛ لِرِوَايَةِ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا سَرَقَ مِجَنًّا عَلَى عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقُوِّمَ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ فَقَطَعَهُ؛ وَلِرِوَايَةِ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ ” لَا تُقْطَعُ الْخَمْسُ إِلَّا في خمس

Ibrahim an-Nakha’i berkata: “Potong tangan dilakukan pada (pencurian) lima dirham ke atas.” Hal ini berdasarkan riwayat Qatadah dari Anas bahwa ada seorang laki-laki yang mencuri perisai pada masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, lalu perisai itu dinilai seharga lima dirham, maka Abu Bakar memotong tangannya. Juga berdasarkan riwayat Sa’id bin al-Musayyab dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: “Lima (dirham) tidak dipotong kecuali pada (pencurian) lima (dirham) atau lebih.”

وقال أبو حنيفة وأصحابه تقطع فِي عَشَرَةِ دَرَاهِمَ فَصَاعِدًا وَإِنْ سَرَقَ مِنْ غَيْرِهَا قُوِّمَ بِهَا فَصَارَ مُخَالِفًا لِلشَّافِعِيِّ مِنْ وَجْهَيْنِ

Abu Hanifah dan para sahabatnya berpendapat bahwa potong tangan diterapkan pada pencurian sepuluh dirham ke atas, dan jika mencuri selain itu maka dinilai dengan nilai sepuluh dirham tersebut. Dengan demikian, pendapat ini berbeda dengan pendapat asy-Syafi‘i dalam dua hal.

أَحَدُهُمَا فِي الْقَدْرِ

Salah satunya dalam hal kadar.

وَالثَّانِي فِي جِنْسِ مَا يَقَعُ بِهِ التَّقْوِيمُ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ زُفَرَ بْنِ الْهُذَيْلِ عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ أَرْطَأَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” لَا قَطْعَ إِلَّا فِي عَشَرَةِ دَرَاهِمَ

Yang kedua, dalam jenis barang yang digunakan untuk penilaian, didasarkan pada riwayat Zufar bin al-Hudzail dari al-Hajjaj bin Artha’ah dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada pemotongan (hukuman potong tangan) kecuali pada sepuluh dirham.”

وَرَوَى مُجَاهِدٌ وَعَطَاءٌ عَنْ أَيْمَنَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” أَدْنَى مَا يُقْطَعُ فِيهِ السَّارِقُ ثمن مجن وَكَانَ يُقَوَّمُ دِينَارًا

Mujahid dan ‘Aṭā’ meriwayatkan dari Ayman, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Batas minimal yang menyebabkan tangan pencuri dipotong adalah senilai harga perisai, dan perisai itu dinilai seharga satu dinar.”

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ مَالٌ يُسْتَبَاحُ بِهِ عُضْوٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَقَدَّرَ بِرُبُعِ دِينَارٍ كَالْمَهْرِ وَلِأَنَّهُ حَقٌّ يَتَعَلَّقُ بِمَالٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ بِرُبُعِ دِينَارٍ كَالزَّكَاةِ

Dan berdasarkan qiyās, ia adalah harta yang dengannya dihalalkan suatu anggota tubuh, maka seharusnya tidak ditetapkan ukurannya dengan seperempat dinar, seperti halnya mahar. Dan karena ia adalah hak yang berkaitan dengan harta, maka seharusnya tidak dikaitkan dengan seperempat dinar, seperti halnya zakat.

ودليلنا عموم قول الله تعالى والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما المائدة 38 إلا ما خصه الدليل والإجماع

Dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya” (al-Mā’idah: 38), kecuali apa yang dikhususkan oleh dalil dan ijmā‘.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يقول ” الْقَطْعُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ ” لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا وَهَذَا أَوْكَدُ؛ لِأَنَّهَا إِضَافَةٌ إِلَى سَمَاعِهَا مِنْهُ

Syafi‘i meriwayatkan dari Sufyan, dari az-Zuhri, dari ‘Amrah, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pemotongan (tangan) dilakukan pada seperempat dinar atau lebih.” Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangan pencuri tidak dipotong kecuali pada (pencurian) seperempat dinar atau lebih.” Dan ini lebih kuat, karena itu merupakan penegasan bahwa ia mendengarnya langsung dari beliau.

وَرَوَى الشَّعْبِيُّ عَنِ ابْنُ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَطَعَ فِي مِجَنٍّ قِيمَتُهُ خَمْسَةُ دَرَاهِمَ

Asy-Sya‘bi meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, dari Nabi ﷺ bahwa beliau memotong tangan (pencuri) karena mencuri perisai yang nilainya lima dirham.

وَرَوَى ابْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَطَعَ سَارِقًا سَرَقَ مِنْ صِفَةِ النِّسَاءِ تُرْسًا قِيمَتُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ

Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memotong tangan seorang pencuri yang mencuri dari kamar wanita sebuah perisai yang nilainya tiga dirham.

وَالتُّرْسُ الْمِجَنُّ

Perisai adalah pelindung.

وَمِنَ الْقِيَاسِ وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا فِي الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَدُلَّ عَلَى أَنَّ مَنْ سَرَقَ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ قِيمَتُهَا رُبُعُ دِينَارٍ قُطِعَ فِيهَا فَنَقُولُ إِنَّهَا فَرِيضَةٌ تجب في نصاب الزكاة فجاز أن تقطع بِسَرِقَتِهَا كَالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ

Dan termasuk dari qiyās, meskipun lemah dalam masalah ini, adalah bahwa hal itu menunjukkan bahwa siapa saja yang mencuri lima dirham yang nilainya seperempat dinar, maka dipotong tangannya karena mencuri itu. Maka kami katakan bahwa itu adalah kewajiban yang harus dipenuhi dalam nisab zakat, sehingga boleh dipotong tangan karena mencurinya, seperti kambing dan unta.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ الْأَوَّلِ فَرَاوِيهِ الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ وَهُوَ مَطْعُونٌ عَلَيْهِ وَفِي حَدِيثِهِ قِيلَ إِنَّهُ كَانَ لَا يحضر الجمعة يقول يزاحمني فيها الطوافون والنقالون وَكَانَ يَقُولُ لَا يَنْسَلُّ الْإِنْسَانُ إِلَّا بِتَرْكِ الجماعة وَمِثْلُ هَذَا لَا يُقْبَلُ حَدِيثُهُ

Adapun jawaban terhadap hadis pertama, perawinya adalah al-Hajjaj bin Artha’ah, dan ia adalah perawi yang dipermasalahkan. Dalam hadisnya disebutkan bahwa ia tidak menghadiri salat Jumat, ia berkata: “Orang-orang yang thawaf dan para pengangkut barang berdesakan denganku di sana.” Ia juga berkata: “Seseorang tidak akan bisa keluar kecuali dengan meninggalkan jamaah.” Hadis seperti ini tidak dapat diterima.

وَأَمَّا عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ فَقَدْ تَكَلَّمَ النَّاسُ فِيهِ وَلَوْ صح كانت أخبارها أَصَحَّ وَيُمْكِنُ أَنْ يُتَأَوَّلَ عَلَى عَشَرَةِ دَرَاهِمَ قِيمَتُهَا رُبُعُ دِينَارٍ؛ لِأَنَّ النُّقُودَ كَانَتْ مُخْتَلَفَةً وَأَوْزَانُهَا مُخْتَلَفَةً

Adapun ‘Amr bin Syu‘aib, para ulama telah membicarakannya, dan seandainya riwayat-riwayatnya sahih, maka riwayat-riwayat tersebut lebih sahih. Dan mungkin dapat ditakwilkan bahwa sepuluh dirham itu nilainya seperempat dinar, karena mata uang pada masa itu beragam dan beratnya pun berbeda-beda.

وَأَمَّا حَدِيثُ أَيْمَنَ فَهُمَا اثْنَانِ أَحَدُهُمَا هُوَ أَيْمَنُ ابْنُ أُمِّ أَيْمَنَ صَحَابِيٌّ قُتِلَ يَوْمَ حُنَيْنٍ وَلَمْ يَلْقَهُ مُجَاهِدٌ

Adapun hadis tentang Aiman, maka ada dua orang yang bernama Aiman. Salah satunya adalah Aiman bin Ummu Aiman, seorang sahabat yang gugur pada hari Hunain, dan Mujahid tidak pernah bertemu dengannya.

وَالثَّانِي هو أيمن الحبشي مولى لبني الزُّبَيْرِ تَابِعِيٌّ وَلَيْسَ لَهُ صُحْبَةٌ وَقَدْ لَقِيَهُ مُجَاهِدٌ فَكَانَ الْحَدِيثُ فِي الْحَالَيْنِ مُرْسَلًا وَلَوْ صح لكان جوابه ما ذكرنا

Yang kedua adalah Ayman al-Habasyi, maula (bekas budak) Bani az-Zubair, seorang tabi’in dan tidak memiliki sahabat (Nabi). Mujahid pernah bertemu dengannya, sehingga hadis tersebut dalam kedua keadaan adalah mursal. Dan seandainya hadis itu sahih, maka jawabannya adalah seperti yang telah kami sebutkan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْمَهْرِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan mahar adalah dari tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنْ وَصْفَهُ غَيْرُ مُسَلَّمٍ فِي الْأَصْلِ وَالْفَرْعِ لِأَنَّ الْعُضْوَ فِي السَّرِقَةِ يُسْتَبَاحُ بِإِخْرَاجِ الْمَالِ مِنَ الْحِرْزِ وَفِي النِّكَاحِ يُسْتَبَاحُ بِالْعَقْدِ

Salah satunya adalah bahwa sifatnya tidak diakui baik pada asal maupun cabang, karena anggota tubuh dalam kasus pencurian menjadi boleh (dikenai hukuman) dengan mengeluarkan harta dari tempat penyimpanan, sedangkan dalam pernikahan menjadi boleh (berhubungan) dengan akad.

وَالثَّانِي أَنَّ النِّكَاحَ يُسْتَبَاحُ فِيهِ مَنْفَعَةُ الْجَسَدِ كُلِّهِ وَلَا يَخْتَصُّ بِالْبُضْعِ وَحْدَهُ والقطع في السرقة يستباح به نقص الْأَعْضَاءِ فَافْتَرَقَا فِي الْحُكْمِ وَالْمَعْنَى

Kedua, bahwa dalam nikah, yang dihalalkan adalah manfaat seluruh tubuh, tidak khusus hanya pada kemaluan saja. Sedangkan pada pemotongan tangan karena pencurian, yang dihalalkan adalah pengurangan anggota tubuh. Maka keduanya berbeda dalam hukum dan makna.

وَالثَّالِثُ أَنَّ معنى المهر عوض في عقد فلم يتقدر إلا برضى الْمُتَعَاقِدَيْنِ وَخَالَفَ قَطْعَ السَّرِقَةِ لِتَقَدُّرِ الْمَسْرُوقِ بِهِ شَرْعًا وَعَلَى أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ لَا يَأْخُذُ المقادير قِيَاسًا

Ketiga, bahwa makna mahar adalah sebagai imbalan dalam akad, sehingga tidak dapat ditentukan kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak yang berakad. Hal ini berbeda dengan penetapan potong tangan bagi pencuri, karena barang yang dicuri telah ditentukan kadarnya secara syar‘i. Selain itu, Abu Hanifah tidak menetapkan ukuran-ukuran (hukum) berdasarkan qiyās.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الزَّكَاةِ فهو أن نقول أن لا تتقدر بعشرة دراهم كالزكاة

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan zakat adalah bahwa (utang) itu tidak ditetapkan ukurannya sepuluh dirham seperti zakat.

فأما اسْتِدْلَالُ دَاوُدَ فَمَخْصُوصٌ بِمَا ذَكَرْنَا

Adapun istidlāl Dawud, maka itu dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.

وأما قوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ فَعَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ia mencuri telur lalu dipotong tangannya, dan ia mencuri tali lalu dipotong tangannya,” maka mengenai hal ini terdapat tiga jawaban.

أَحَدُهَا أَنَّهُ عَلَى وَجْهِ الْمُبَالِغَةِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu dalam bentuk penekanan yang sangat kuat.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى بَيْضَةِ الحرب وحبل المتاع

Dan yang kedua, bahwa hal itu dimaknai sebagai bāidhah al-harb dan habel al-matā‘.

والثالث أن يبقى مِنْ نِصَابِ الْقَطْعِ ثَمَنَ الْبَيْضَةِ وَالْحَبْلِ فَيُقْطَعُ بِسَرِقَتِهِ وَإِنْ كَانَ مَذْهَبُهُ مَدْفُوعًا بِرِوَايَةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا كَانَتِ الْيَدُ تُقْطَعُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الشَّيْءِ التَّافِهِ

Ketiga, bahwa yang tersisa dari nisab potong tangan adalah seharga telur dan tali, maka dipotong tangan karena mencurinya, meskipun pendapat ini tertolak oleh riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tangan tidak dipotong karena mencuri barang yang remeh.”

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْقَطْعَ فِي السَّرِقَةِ مُقَدَّرٌ بِرُبُعِ دِينَارٍ فَإِنْ سَرَقَهُ فِي دُفْعَةٍ وَاحِدَةٍ قُطِعَ فِيهِ وَإِنْ سَرَقَهُ مُتَفَرِّقًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Maka apabila telah tetap bahwa hukuman potong tangan dalam kasus pencurian ditetapkan pada kadar seperempat dinar, maka jika seseorang mencurinya dalam satu kali pengambilan, maka ia dipotong tangannya karena itu. Namun jika ia mencurinya secara terpisah-pisah, maka ada dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مِنْ أَحْرَازٍ مُتَفَرِّقَةٍ مِثْلَ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ حِرْزٍ ثُمُنَ دِينَارٍ وَمِنْ حِرْزٍ آخَرَ ثُمُنَ دِينَارٍ فَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ لِانْفِرَادِ كُلِّ حِرْزٍ بِحُكْمِهِ وَلَمْ يَسْرِقْ مِنْ أَحَدِهِمَا رُبُعَ دِينَارٍ فَلِذَلِكَ لَمْ يُقْطَعْ

Salah satunya adalah jika (barang yang dicuri) berasal dari tempat-tempat penyimpanan yang terpisah, seperti seseorang mencuri dari satu tempat penyimpanan sebesar seperdelapan dinar, dan dari tempat penyimpanan lain juga sebesar seperdelapan dinar, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan atasnya, karena setiap tempat penyimpanan memiliki hukum tersendiri dan dia tidak mencuri seperempat dinar dari salah satunya, oleh karena itu ia tidak dipotong tangannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِنْ حِرْزٍ وَاحِدٍ مِثْلَ أَنْ يَهْتِكَ الْحِرْزَ ويأخذ منه ثمن دينار ثم يعدوا إليه فيأخذ ثَمَنَ دِينَارٍ تَمَامَ النِّصَابِ الْمُقَدَّرِ فِي الْقَطْعِ فَفِي وُجُوبِ قَطْعِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Jenis kedua adalah apabila (pencurian) terjadi dari satu tempat penyimpanan, seperti seseorang membobol tempat penyimpanan lalu mengambil darinya senilai setengah dinar, kemudian kembali lagi ke tempat itu dan mengambil lagi senilai setengah dinar sehingga genap mencapai nisab yang ditetapkan untuk penerapan hukuman potong tangan. Dalam hal wajib atau tidaknya hukuman potong tangan atasnya, terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ يُقْطَعُ سَوَاءٌ عَادَ إِلَيْهِ لِوَقْتِهِ أَوْ مِنْ غَدِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَكْمَلَ سَرِقَةَ نِصَابٍ مِنْ حِرْزٍ فَصَارَ كَسَرِقَتِهِ فِي دُفْعَةٍ وَاحِدَةٍ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, menyatakan bahwa pelaku dikenai hukuman potong tangan, baik ia kembali mengambil barang itu pada saat itu juga maupun keesokan harinya; karena ia telah menyempurnakan pencurian nisab dari tempat yang terjaga, sehingga hukumnya sama seperti mencuri dalam satu kali perbuatan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لَا يُقْطَعُ سَوَاءٌ عَادَ لِوَقْتِهِ أَوْ مِنْ غَدِهِ؛ لِأَنَّهُ سَرَقَ فِي الْعَوْدِ مِنْ حِرْزٍ مَهْتُوكٍ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan, baik ia kembali pada waktu itu juga maupun keesokan harinya; karena pada saat kembali, ia mencuri dari tempat penyimpanan yang sudah terbuka.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ خَيْرَانَ أَنَّهُ إِنْ عَادَ لِوَقْتِهِ فَاسْتَكْمَلَ النِّصَابَ قَبْلَ إشهار هَتْكِهِ قُطِعَ وَإِنْ عَادَ مِنْ غَدِهِ بَعْدَ اشْتِهَارِ هَتْكِهِ لَمْ يُقْطَعْ؛ لِاسْتِقْرَارِ هَتْكِ الْحِرْزِ بالإشتهار وهذا أصح والله أعلم

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Khairan, menyatakan bahwa jika ia kembali pada waktu itu juga lalu melengkapi nisab sebelum perbuatan membongkar tempat penyimpanan itu tersebar, maka ia dipotong tangannya. Namun jika ia kembali keesokan harinya setelah perbuatan membongkar tempat penyimpanan itu sudah tersebar, maka tidak dipotong; karena perbuatan membongkar tempat penyimpanan itu telah tetap dengan tersebarnya peristiwa tersebut. Dan inilah pendapat yang paling benar, wallāhu a‘lam.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَأَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَطَعَ سَارِقًا فِي أُتْرُجَّةٍ قُوِّمَتْ بِثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ مِنْ صِرْفِ اثْنَيْ عَشَرَ دِرْهَمًا بِدِينَارٍ قَالَ مَالِكٌ هِيَ الْأُتْرُجَّةُ الَّتِي تُؤْكَلُ قَالَ الشَّافِعِيُّ وفي ذلك دلالة على قطع من سرق الرطب من طعام وغيره إذا بلغت سرقته ربع دينار وأخرجها من حرزها

Syafi‘i berkata, “Sesungguhnya ‘Utsman bin ‘Affan ra. memotong tangan seorang pencuri karena mencuri sebuah utrujjah (buah sitrun) yang dinilai tiga dirham dari jenis dua belas dirham per satu dinar.” Malik berkata, “Itu adalah utrujjah yang bisa dimakan.” Syafi‘i berkata, “Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa dipotong tangan orang yang mencuri buah kurma basah atau makanan lain jika nilai yang dicurinya mencapai seperempat dinar dan ia mengeluarkannya dari tempat penyimpanannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ الْقَطْعُ يَجِبُ فِي جَمِيعِ الْأَمْوَالِ سَوَاءٌ كَانَ مِمَّا يُسْرِعُ إِلَيْهِ الْفَسَادُ كَالطَّعَامِ الرَّطْبِ أَوْ لَا يُسْرِعُ إِلَيْهِ الْفَسَادُ

Al-Mawardi berkata, “Ini sebagaimana dikatakan bahwa pemotongan (tangan) wajib dilakukan pada semua jenis harta, baik harta yang mudah rusak seperti makanan basah maupun yang tidak mudah rusak.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا قَطْعَ فِيمَا يُسْرِعُ إِلَيْهِ الْفَسَادُ اسْتِدْلَالًا بِمَا رَوَاهُ مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حِبَّانَ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” لَا قَطْعَ فِي ثَمَرٍ وَلَا كَثَرٍ وَفِي الْكَثَرِ قَوْلَانِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada hukuman potong tangan pada barang yang cepat rusak, dengan berdalil pada riwayat yang diriwayatkan Malik dari Yahya bin Sa‘id dari Muhammad bin Yahya bin Hibban dari Rafi‘ bin Khadij bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada hukuman potong tangan pada buah-buahan dan tidak pula pada batang kurma.” Mengenai batang kurma terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ الْفَسِيلُ

Salah satunya adalah bahwa itu adalah bibit kurma.

وَالثَّانِي أَنَّهُ جُمَّارُ النَّخْلِ

Dan yang kedua adalah bahwa itu adalah jummar pohon kurma.

وَرَوَى الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ؛ ” لَا قَطْعَ فِي طَعَامٍ

Al-Hasan al-Bashri meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Tidak ada hukuman potong tangan dalam kasus pencurian makanan.”

وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ ما كانت الْيَدُ تُقْطَعُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الشَّيْءِ التَّافِهِ

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā bahwa ia berkata: “Pada masa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, tangan tidak dipotong karena sesuatu yang sepele.”

وَالتَّافِهُ الْحَقِيرُ وَمَا يُسْرِعُ إِلَيْهِ الْفَسَادُ حَقِيرٌ

Orang yang hina dan rendah, serta sesuatu yang cepat rusak adalah sesuatu yang hina.

وَلِأَنَّهُ مُعَرَّضٌ لِلْهَلَاكِ وَالتَّلَفِ فَلَمْ تُقْطَعْ فِيهِ الْيَدُ كَالَّذِي لَيْسَ بِمُحْرَزٍ

Karena barang tersebut rentan terhadap kebinasaan dan kerusakan, maka tangan tidak dipotong atas pencurian barang itu, sebagaimana barang yang tidak dijaga.

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سُئِلَ عَنِ الثَّمَرِ الْمُعَلَّقِ فَقَالَ ” مَنْ سَرَقَ منه بعد أن يؤويه الجرين وبلغ ثَمَنَ الْمِجَنِّ فَفِيهِ الْقَطْعُ فَنَفَى عَنْهُ الْقَطْعَ قَبْلَ الْجَرِينِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُحْرَزٍ وَعَلَّقَ الْقَطْعَ بِهِ فِي الْجَرِينِ؛ لِأَنَّهُ مُحْرَزٌ

Dan dalil kami adalah riwayat dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi ﷺ pernah ditanya tentang buah yang masih tergantung, lalu beliau bersabda: “Barang siapa mencurinya setelah buah itu dikumpulkan di tempat pengumpulan (al-jarīn) dan telah mencapai harga perisai, maka padanya dikenakan hukuman potong tangan.” Maka beliau meniadakan hukuman potong tangan sebelum buah itu dikumpulkan di tempat pengumpulan, karena belum dianggap terjaga, dan beliau mengaitkan hukuman potong tangan dengan buah yang sudah di tempat pengumpulan, karena sudah dianggap terjaga.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا عُلِّقَ الْقَطْعُ بِهِ فِي الْجَرِينِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ فِيهِ يَابِسًا مُدَّخَرًا فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Jika dikatakan bahwa penetapan kewajiban zakat padanya di dalam lumbung itu karena ia telah menjadi kering dan dapat disimpan, maka ada dua jawaban atas hal itu.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَكُونُ فِي الْجَرِينِ رَطْبًا وَيَابِسًا وَلَمْ يُفَرِّقْ

Salah satunya adalah ketika di tempat pengeringan terdapat kurma basah dan kering, dan belum dipisahkan.

وَالثَّانِي أَنَّهُ أَوْجَبَ الْقَطْعَ فِي الْجَرِينِ عَمَّا نَفَاهُ عَنْهُ قَبْلَ الْحِرْزِ وَهُوَ قَبْلَ الْجَرِينِ رَطْبٌ فَكَذَلِكَ فِي الْجَرِينِ وَلِأَنَّهُ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ رَوَتْ عَمْرَةُ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ سَارِقًا سرق أترجة على عهد عثمان رضي الله عنه فَقُوِّمَتْ ثَلَاثَةَ دَرَاهِمَ مِنْ صَرْفِ اثْنَيْ عَشَرَ دِرْهَمًا بِدِينَارٍ فَأَمَرَ بِقَطْعِهِ وَلَيْسَ لَهُ فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ نَوْعُ مَالٍ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَحِقَّ الْقَطْعَ بِسَرِقَتِهِ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ وَلَا يُنْتَقَضُ بِالْعَبْدِ؛ لِأَنَّهُ يُقْطَعُ سَارِقُهُ إِذَا سَرَقَهُ وَهُوَ صَغِيرٌ أَوْ كَبِيرٌ نَائِمٌ وَلِأَنَّ مَا قُطِعَ فِي يَابِسَةٍ قُطِعَ فِي رُطَبِهِ كالغز والثياب وأن أَبَا حَنِيفَةَ فَرَّقَ بَيْنَ رُطَبِ الْفَوَاكِهِ وَيَابِسِهَا فِي وُجُوبِ الْقَطْعِ وَسَوَّى بَيْنَ طَرِيِّ اللَّحْمِ وَقَدِيدِهِ وَطَرِيِّ السَّمَكِ وَمَمْلُوحِهِ فِي سُقُوطِ الْقَطْعِ وَهَذَا تَنَاقُضٌ وَلِأَنَّ الطَّعَامَ الرَّطْبَ أَلَذُّ وَأَشْهَى وَالنُّفُوسَ إِلَى تَنَاوُلِهِ أَدْعَى فَكَانَ بِالْقَطْعِ أَوْلَى فَأَمَّا قَوْلُهُ ” لَا قَطْعَ فِي ثَمَرٍ وَلَا كَثَرٍ فَلِأَنَّهُ غَيْرُ مُحْرَزٍ لِأَنَّ ثِمَارَهُمْ كَانَتْ بَارِزَةً وَلِذَلِكَ قَالَ ” فَإِذَا آوَاهُ الْجَرِينُ فَفِيهِ الْقَطْعُ

Yang kedua, bahwa ia mewajibkan hukuman potong tangan atas pencurian di dalam jerin (tempat pengeringan kurma) terhadap sesuatu yang sebelumnya tidak dikenai hukuman tersebut sebelum masuk ke tempat penyimpanan, padahal sebelum masuk ke jerin, buah itu masih basah, maka demikian pula hukumnya di dalam jerin. Selain itu, hal ini merupakan ijmā‘ para sahabat radhiyallāhu ‘anhum. Diriwayatkan oleh ‘Amrah binti ‘Abdurrahman bahwa ada seorang pencuri yang mencuri buah utrujjah pada masa ‘Utsmān radhiyallāhu ‘anhu, lalu dinilai seharga tiga dirham dari kurs satu dinar sama dengan dua belas dirham, maka ‘Utsmān memerintahkan agar dipotong tangannya, dan tidak ada seorang pun dari para sahabat yang menentang hal itu. Dari sisi qiyās, bahwa itu adalah jenis harta, maka wajib dikenai hukuman potong tangan jika dicuri, sebagaimana harta-harta lainnya. Tidak dapat dibantah dengan kasus budak, karena pencuri budak tetap dipotong tangannya baik budak itu masih kecil, besar, atau sedang tidur. Dan apa yang dikenai hukuman potong tangan pada barang yang kering, maka dikenai pula pada yang basah, seperti benang dan pakaian. Adapun Abū Hanīfah membedakan antara buah-buahan yang masih basah dan yang sudah kering dalam kewajiban potong tangan, namun menyamakan antara daging segar dan dendeng, serta ikan segar dan ikan asin dalam tidak dikenai hukuman potong tangan, dan ini adalah kontradiksi. Selain itu, makanan yang masih basah lebih lezat dan lebih menggugah selera, sehingga lebih layak dikenai hukuman potong tangan. Adapun ucapannya, “Tidak ada potong tangan pada buah dan kurma,” itu karena belum disimpan dengan baik, sebab buah-buahan mereka dahulu dibiarkan terbuka. Oleh karena itu, ia berkata, “Jika sudah dimasukkan ke dalam jerin, maka berlaku hukuman potong tangan atasnya.”

وَحَدِيثُ الْحَسَنِ مُرْسَلٌ وَيُحْمَلُ لَوْ صَحَّ عَلَى الطَّعَامِ الرَّطْبِ إِذَا كَانَ فِي سُنْبُلِهِ غَيْرَ مُحْرَزٍ كَالثَّمَرِ؛ لِأَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ وَافَقَ على القطع في الحنطة إذا كانت مُحْرَزَةً

Hadis dari al-Hasan adalah mursal, dan jika hadis itu sahih, maka dipahami berkaitan dengan makanan basah yang masih berada di tangkainya dan belum disimpan dengan aman, seperti buah-buahan; karena Abu Hanifah sepakat mengenai penerapan hukuman potong tangan pada kasus gandum jika sudah disimpan dengan aman.

وَخَبَرُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مَحْمُولٌ عَلَى مَا كَانَ تَافِهَ الْمِقْدَارِ لِقِلَّتِهِ لَا لِجِنْسِهِ؛ لِأَنَّ الطَّعَامَ الرَّطْبَ لَيْسَ بِحَقِيرٍ

Dan riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dimaknai berkaitan dengan sesuatu yang jumlahnya sedikit karena kuantitasnya yang kecil, bukan karena jenisnya; sebab makanan basah itu sendiri tidak dianggap remeh.

وَأَمَّا قولهم إنه معرض للتلف ففيه جَوَابَانِ

Adapun pernyataan mereka bahwa hal itu rentan terhadap kerusakan, terdapat dua jawaban atasnya.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مُعَرَّضٌ لِلِاسْتِعْمَالِ دُونَ الْبَذْلِ كَمَا يُسْتَعْمَلُ الطَّعَامُ الْيَابِسُ وَلَيْسَ قِلَّةُ بَقَائِهِ مُوجِبًا لِسُقُوطِ الْقَطْعِ فِيهِ كَالشَّاةِ الْمَرِيضَةِ يَجِبُ الْقَطْعُ فِيهَا وَإِنْ لَمْ يَطُلْ بَقَاؤُهَا

Salah satunya adalah bahwa barang tersebut masih mungkin digunakan meskipun tidak diberikan, sebagaimana makanan kering yang tetap digunakan. Sedikitnya masa bertahan barang itu tidak menjadi alasan untuk menggugurkan hukuman potong tangan, seperti halnya kambing yang sakit tetap wajib dikenakan hukuman potong tangan meskipun usianya tidak lama.

وَالثَّانِي أَنَّهُ قِيَاسٌ جُمِعَ فِيهِ بَيْنَ الْمُحْرَزِ وَغَيْرِ المحرز وهما مفترقان في وجوب القطع؛ لأن الحرز شرط وبالله التوفيق

Yang kedua adalah bahwa itu merupakan qiyās yang menggabungkan antara yang berada dalam perlindungan (muḥraz) dan yang tidak berada dalam perlindungan, padahal keduanya berbeda dalam kewajiban pemotongan; karena perlindungan (ḥirz) adalah syarat. Dan hanya kepada Allah-lah pertolongan.

فَصْلٌ

Fasal

وَيُقْطَعُ فِيمَا كَانَ مُبَاحَ الْأَصْلِ قَبْلَ أَنْ يَمْلِكَهُ كَالصَّيْدِ الْمَأْكُولِ وَغَيْرِ الْمَأْكُولِ وَالْخَشَبِ مِنَ السَّاجِ وَغَيْرِ السَّاجِ مَعْمُولًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مَعْمُولٍ وَمَا أُخِذَ مِنَ الْمَعَادِنِ مَطْبُوعٌ وَغَيْرُ مَطْبُوعٍ وَمَا عُمِلَ مِنَ الطِّينِ كَالْفَخَّارِ وَمَا عُمِلَ مِنَ الْحَجَرِ كَالْبِرَامِ

Dijatuhkan hukuman potong tangan atas pencurian terhadap barang yang asalnya mubah (boleh dimiliki) sebelum dimiliki, seperti hewan buruan yang boleh dimakan maupun yang tidak boleh dimakan, kayu dari pohon saaj maupun selain saaj, baik yang sudah diolah maupun yang belum diolah, barang yang diambil dari tambang baik yang sudah dicetak maupun yang belum dicetak, barang yang dibuat dari tanah liat seperti tembikar, dan barang yang dibuat dari batu seperti bejana.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ فِيمَا كَانَ مُبَاحَ الْأَصْلِ مِنْ صَيْدِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَلَا فِي جَمِيعِ الطَّيْرِ وَلَا فِي الْخَشَبِ إِلَّا فِي السَّاجِ وَالْعُودِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعْمُولًا أَبْوَابًا أَوْ أبنية وَلَا فِي الْمَعْمُولِ مِنَ الطِّينِ وَالْحَجَرِ وَلَا فِي الْمَأْخُوذِ مِنَ الْمَعَادِنِ كُلِّهَا إِلَّا الْفِضَّةَ وَالذَّهَبَ وَالْيَاقُوتَ وَالْفَيْرُوزَجَ وَلَا فِي الْحَشَائِشِ كُلِّهَا إِلَّا فِي الصَّنْدَلَةِ فَإِنْ عُمِلَ مِنَ الْحَشِيشِ حُصْرًا كَالْأَسْلِ وَالسَّامَانِ قُطِعَ وَإِنْ عَمِلَ مِنَ الْقَصَبِ بَوَارِيَ لَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ فِي عَمَلِ السَّامَانِ كَثِيرَةٌ وَفِي عَمَلِ الْبَوَارِي قَلِيلَةٌ وَاحْتُجَّ فِيهِ بِرِوَايَةِ يُوسُفَ بْنِ رَوْحٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لَا قَطْعَ فِي الطَّيْرِ وَهَمَّ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بِقَطْعِ رَجُلٍ سَرَقَ دَجَاجَةً فَقَالَ لَهُ أَبُو سَلَمَةَ سَمِعْتُ عُثْمَانَ يَقُولُ لَا قَطْعَ فِي الطَّيْرِ فَتَرَكَهُ عُمَرُ وَلَمْ يَقْطَعْهُ وَلَيْسَ فِيهِ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا فَجَعَلَهُ أَصْلًا لِجَمِيعِ الصَّيْدِ ثُمَّ احْتَجَّ بعموم مذهبه بثلاثة معان

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan atas pencurian barang-barang yang asalnya mubah seperti hasil buruan darat dan laut, juga tidak pada seluruh jenis burung, dan tidak pula pada kayu kecuali kayu saaj dan ‘uud, kecuali jika telah diolah menjadi pintu atau bangunan. Tidak pula pada barang yang terbuat dari tanah liat dan batu, serta tidak pada hasil tambang apapun kecuali perak, emas, yaqut, dan fairuzaj. Tidak pula pada seluruh jenis rerumputan kecuali cendana. Jika rerumputan itu diolah menjadi tikar seperti al-asl dan as-saman, maka dikenakan hukuman potong tangan, sedangkan jika dibuat dari batang tebu menjadi tikar bawari, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan; karena proses pengolahan pada as-saman sangat banyak, sedangkan pada bawari sedikit. Ia berdalil dalam hal ini dengan riwayat dari Yusuf bin Ruh dari az-Zuhri dari Utsman bin Affan ra., bahwa beliau berkata: “Tidak ada potong tangan pada burung.” Umar bin Abdul Aziz pernah hendak memotong tangan seorang laki-laki yang mencuri seekor ayam, lalu Abu Salamah berkata kepadanya: “Aku mendengar Utsman berkata: Tidak ada potong tangan pada burung.” Maka Umar pun membiarkannya dan tidak memotong tangannya, dan tidak ada yang menentang hal itu sehingga menjadi ijma‘. Maka hal itu dijadikan dasar untuk seluruh hasil buruan. Kemudian ia berdalil dengan keumuman mazhabnya dengan tiga alasan.

أحدهما أَنَّهُ مُبَاحُ الْأَصْلِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَيَسْقُطُ فِيهِ الْقَطْعُ كَالْمَاءِ وَالتُّرَابِ

Pertama, karena pada asalnya barang itu mubah di negeri Islam, maka hukuman potong tangan tidak diterapkan padanya, seperti air dan tanah.

وَالثَّانِي أَنَّهُ تَافِهُ الْجِنْسِ لِلْقُدْرَةِ عَلَيْهِ مَتَى أُرِيدَ فَسَقَطَ فِيهِ الْقَطْعُ كَالسِّرْجَيْنِ

Yang kedua, bahwa ia adalah sesuatu yang hina jenisnya karena dapat dilakukan kapan saja diinginkan, maka tidak berlaku pemotongan (hukuman) padanya, seperti pupuk kandang.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ الْقَطْعُ فِي مِقْدَارٍ مِنَ الْمَالِ وَلَمْ يَعُمَّ كُلَّ مِقْدَارٍ اقْتَضَى أَنْ يَجِبَ فِي جِنْسٍ مِنَ المال ولا يَعُمَّ جَمِيعَ الْأَجْنَاسِ

Ketiga, ketika kewajiban potong tangan ditetapkan pada jumlah tertentu dari harta dan tidak mencakup seluruh jumlah, hal itu menunjukkan bahwa kewajiban tersebut berlaku pada jenis tertentu dari harta dan tidak mencakup seluruh jenis harta.

وَدَلِيلُنَا مَعَ عُمُومِ الظَّوَاهِرِ من الكتاب والسنة أنه جنس مال متمول فَوَجَبَ الْقَطْعُ بِسَرِقَتِهِ كَسَائِرِ الْأَجْنَاسِ وَلِأَنَّ مَا وَجَبَ الْقَطْعُ فِي مَعْمُولِهِ وَجَبَ فِي أَصْلِهِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلِأَنَّ الْمُتَعَلِّقَ بِالْأَمْوَالِ الْمَأْخُوذَةِ بِغَيْرِ حَقٍّ حُكْمَانِ ضَمَانٌ وَقَطْعٌ فَلَمَّا كَانَ الضَّمَانُ عَامًّا فِي جَمِيعِ الْأَمْوَالِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْقَطْعُ عَامًّا فِي جَمِيعِ الْأَمْوَالِ

Dan dalil kami, bersama dengan keumuman zhahir dari Al-Qur’an dan Sunnah, adalah bahwa ia termasuk jenis harta yang bernilai, maka wajib dikenakan hukuman potong tangan atas pencuriannya sebagaimana pada jenis-jenis harta lainnya. Karena apa yang wajib dikenakan hukuman potong tangan pada hasil olahannya, maka wajib pula pada asalnya, seperti emas dan perak. Dan karena perkara yang berkaitan dengan harta yang diambil tanpa hak ada dua hukum: ganti rugi (dhamān) dan potong tangan (qat‘). Maka ketika ganti rugi berlaku umum pada seluruh harta, wajib pula hukuman potong tangan berlaku umum pada seluruh harta.

وَيَتَحَرَّرُ مِنْ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسَانِ

Dari penalaran ini dapat disimpulkan dua qiyās.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ حُكْمٌ يَتَعَلَّقُ بِالْمَالِ الَّذِي أَصْلُهُ غَيْرُ مُبَاحٍ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِالْمَالِ الَّذِي أَصْلُهُ مُبَاحٌ كَالضَّمَانِ

Salah satunya adalah bahwa ia merupakan hukum yang berkaitan dengan harta yang asalnya tidak mubah, maka wajib pula ia berkaitan dengan harta yang asalnya mubah, seperti dhamān.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَالٌ يَتَعَلَّقُ بِهِ الضَّمَانُ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ الْقَطْعُ كَالَّذِي أَصْلُهُ غَيْرُ مُبَاحٍ وَلِأَنَّ الْقَطْعَ فِي السَّرِقَةِ مَوْضُوعٌ لِلزَّجْرِ عَنْهَا وَحِفْظِ الْأَمْوَالِ عَلَى أَهْلِهَا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونُ عَامًّا فِيهَا لِعُمُومِ مَعْنَاهَا وَلِأَنَّ الِاعْتِبَارَ بِالْقَطْعِ حَظْرُ الْمَالِ فِي حَالِ السَّرِقَةِ دُونَ مَا تَقَدَّمَهُ مِنَ الْإِبَاحَةِ أَوْ تَعَقَّبَهُ مِنَ الْمِلْكِ أَلَا تَرَى أَنَّ الطَّعَامَ مُبَاحٌ لِلْمُضْطَرِّ وَيُقْطَعُ فِيهِ بَعْدَ زَوَالِ الضَّرُورَةِ وَمَنْ وُهِبَ لَهُ مَالٌ فَرَدَّهُ قُطِعَ فِي سَرِقَتِهِ بَعْدَ تَقَدُّمِ إِبَاحَتِهِ كَذَلِكَ مَا كَانَ عَلَى أَصْلِ الْإِبَاحَةِ قَبْلَ السَّرِقَةِ ثُمَّ صَارَ مَحْظُورًا عِنْدَ السَّرِقَةِ وَفِيهِ انْفِصَالٌ عَنْ تَعْلِيلِهِمْ بِأَصْلِ الْإِبَاحَةِ

Kedua, bahwa ia adalah harta yang terkait dengan tanggungan (jaminan), maka wajib pula dikenakan hukuman potong tangan padanya, sebagaimana harta yang asalnya bukan mubah. Selain itu, hukuman potong tangan dalam kasus pencurian ditetapkan untuk mencegah perbuatan tersebut dan menjaga harta agar tetap berada pada pemiliknya, sehingga hukuman itu harus berlaku umum pada semua kasus pencurian karena maknanya yang bersifat umum. Pertimbangan dalam hukuman potong tangan adalah pelarangan terhadap harta pada saat terjadinya pencurian, bukan pada masa sebelumnya ketika harta itu mubah, atau setelahnya ketika harta itu menjadi milik. Tidakkah engkau melihat bahwa makanan itu mubah bagi orang yang terpaksa, namun tetap dikenakan hukuman potong tangan jika mencurinya setelah hilangnya keadaan darurat? Demikian pula, jika seseorang diberi harta sebagai hibah lalu ia mengembalikannya, maka jika ia mencuri harta itu setelah sebelumnya dihalalkan baginya, tetap dikenakan hukuman potong tangan. Begitu pula terhadap harta yang asalnya mubah sebelum pencurian, lalu menjadi terlarang pada saat pencurian. Dalam hal ini terdapat perbedaan dari alasan mereka yang mendasarkan pada asal kemubahan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ خَبَرِ عُثْمَانَ فَرَاوِيهِ الزُّهْرِيُّ وَلَمْ يَلْقَهُ فَكَانَ مُرْسَلًا

Adapun jawaban mengenai riwayat Utsman, perawinya adalah az-Zuhri dan ia tidak pernah bertemu dengannya, sehingga riwayat tersebut berstatus mursal.

وَخَبَرُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَوَاهُ جَابِرٌ الْجُعْفِيُّ وَكَانَ مَطْعُونًا فِي دِينِهِ؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ بِالرَّجْعَةِ

Dan riwayat Umar bin Abdul Aziz diriwayatkan oleh Jabir al-Ju‘fi, sedangkan ia dipertanyakan dalam agamanya karena ia berpendapat tentang raj‘ah.

وَكَانَ أَبُو حَنِيفَةَ يَطْعَنُ فِيهِ وَلَا يَعْمَلُ عَلَى حَدِيثِهِ ثُمَّ يُحْمَلُ إِنْ صَحَّ عَلَى مَا كَانَ مُرْسَلًا مِنْ طَيْرٍ أَنَّهُ غَيْرُ مُحْرَزٍ

Abu Hanifah mengkritiknya dan tidak berpegang pada hadisnya, kemudian jika hadis itu sahih, maka dipahami bahwa yang dimaksud dengan burung yang mursal adalah burung yang tidak berada dalam penguasaan.

وَأَمَّا قياسهم عَلَى الْمَاءِ وَالتُّرَابِ تَعْلِيلًا بِإِبَاحَةِ أَصْلِهِ فَمُنْتَقَضٌ بالفضة والذهب وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْقَطْعِ فِي الْمَاءِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun qiyās mereka terhadap air dan tanah dengan alasan kebolehan asalnya, maka itu tertolak dengan (adanya) perak dan emas. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai pemotongan (hukuman) pada air menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقْطَعُ فِي سَرِقَتِهِ إِذَا كَانَ مُحْرَزًا بَلَغَتْ قِيمَتُهُ نِصَابًا فَعَلَى هَذَا بَطَلَ الْأَصْلُ

Salah satunya dikenai hukuman potong tangan atas pencuriannya jika barang yang dicuri itu berada dalam tempat yang terjaga dan nilainya mencapai nisab. Dengan demikian, hukum asalnya menjadi batal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا قَطْعَ فِيهِ لِأَنَّ النُّفُوسَ لَا تَتْبَعُ سَرِقَتَهُ إِلَّا فِي حَالٍ نادرة عند ضرورة تخالف حال الِاخْتِيَارَ فَلَمْ يَسْلَمِ الْأَصْلُ

Pendapat kedua, tidak ada hukuman potong tangan padanya karena jiwa-jiwa tidak mengejar pencurian tersebut kecuali dalam keadaan yang jarang terjadi, yaitu ketika ada kebutuhan mendesak yang berbeda dengan keadaan pilihan, sehingga hukum asalnya tidak tetap.

وَاحْتِجَاجُهُ بِأَنَّهُ تَافِهٌ دَعْوَى غَيْرُ مُسَلَّمَةٍ

Dan dalilnya bahwa hal itu remeh adalah klaim yang tidak dapat diterima.

وَاحْتِجَاجُهُ بِأَنَّ اخْتِصَاصَهُ بِمِقْدَارٍ يُوجِبُ اخْتِصَاصَهُ بِجِنْسٍ مُنْتَقَضٌ عَلَى أَصْلِهِ بِالْمَهْرِ يَخْتَصُّ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ وَلَا يَخْتَصُّ بِجِنْسٍ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي اعْتِبَارِ الْمِقْدَارِ أَنَّهُ قَدْرٌ تَتْبَعُهُ النُّفُوسُ وَلَمْ يُعْتَبَرِ الْجِنْسُ؛ لِأَنَّ جَمِيعَ الْأَجْنَاسِ تتبعها النفوس والله أعلم

Dalilnya bahwa kekhususan pada suatu kadar (jumlah) mengharuskan kekhususan pada jenis, tertolak menurut pendapatnya sendiri dengan (kasus) mahar, yang menurutnya khusus pada kadar tertentu namun tidak khusus pada jenis tertentu. Kemudian, makna dari pertimbangan kadar adalah bahwa kadar itu adalah sesuatu yang diinginkan oleh jiwa, dan jenis tidak dipertimbangkan karena semua jenis diinginkan oleh jiwa. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَالدِّينَارُ هُوَ الْمِثْقَالُ الَّذِي كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Imam Syafi‘i berkata, “Dinar adalah mitsqal yang berlaku pada masa Nabi ﷺ.”

قال الماوردي وقد تَقَدَّمَ أَنَّ نِصَابَ الْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ مُقَدَّرٌ بربع دينار يقوم بذلك كل مسروق من دراهم وَغَيْرِهَا وَيُعْتَبَرُ فِي هَذَا الدِّينَارُ شَرْطَانِ

Al-Mawardi berkata: Telah disebutkan sebelumnya bahwa nishab potong tangan dalam kasus pencurian ditetapkan sebesar seperempat dinar, yang dengan nilai tersebut dihitung setiap barang yang dicuri, baik berupa dirham maupun selainnya. Dalam hal ini, dinar harus memenuhi dua syarat.

أَحَدُهُمَا وَزْنُهُ

Salah satunya adalah timbangannya.

وَالثَّانِي نَوْعُهُ

Dan yang kedua adalah jenisnya.

فَأَمَّا وَزْنُهُ فَهُوَ مِثْقَالُ الْإِسْلَامِ الْمُعَادِلُ كُلُّ سَبْعَةِ مَثَاقِيلَ وَزْنَ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ مِنْ دَرَاهِمَ الْإِسْلَامِ الَّتِي وَزْنُ كُلِّ درهم منها ستة دوانيق؛ لأنه كان فيما قَبْلَ الْإِسْلَامِ دِرْهَمَانِ أَكْبَرُهُمَا الْبَغْلِيُّ وَوَزْنُهُ ثَمَانِيَةُ دَوَانِيقَ وَأَصْغَرُهُمَا الطَّبَرِيُّ وَوَزْنُهُ أَرْبَعَةُ دَوَانِيقَ فَجُمِعَ بَيْنِهِمَا فِي الْإِسْلَامِ وَأُخِذَ نِصْفُهَا فَكَانَ سِتَّةَ دَوَانِيقَ فَعَادَلَتْ كُلُّ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ سَبْعَةَ مَثَاقِيلَ؛ لِأَنَّ الْمِثْقَالَ لَمْ يَخْتَلِفْ وَمَتَى زِدْتَ على الدراهم ثَلَاثَةَ أَسِبَاعِهِ كَانَ مِثْقَالًا وَمَتَى نَقَصَتْ مِنَ الْمِثْقَالِ ثَلَاثَةُ أَعْشَارٍ كَانَ دِرْهَمًا فَهَذَا هُوَ المثقال عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وإلى وقتنا هذا فَإِنْ أَحْدَثَ النَّاسُ مِثْقَالًا يَزِيدُ عَلَيْهِ أَوْ يُنْقِصُ مِنْهُ لَمْ يُعْتَبَرْ بِهِ

Adapun beratnya, maka satu mitsqal Islam setara dengan setiap tujuh mitsqal yang sebanding dengan sepuluh dirham dari dirham Islam, di mana setiap dirhamnya seberat enam daniq. Sebab, sebelum Islam terdapat dua jenis dirham: yang terbesar adalah dirham baghli dengan berat delapan daniq, dan yang terkecil adalah dirham thabari dengan berat empat daniq. Kemudian keduanya digabungkan dalam Islam dan diambil setengahnya, sehingga menjadi enam daniq. Maka setiap sepuluh dirham setara dengan tujuh mitsqal, karena mitsqal tidak mengalami perubahan. Jika engkau menambahkan pada dirham tiga per tujuhnya, maka menjadi satu mitsqal; dan jika engkau mengurangi dari mitsqal tiga per sepuluhnya, maka menjadi satu dirham. Inilah mitsqal pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini. Jika manusia membuat mitsqal baru yang melebihi atau kurang dari itu, maka tidak dianggap.

وَأَمَّا نَوْعُ الدينار فهو الأغلب مما يتعامل به من خير الدنانير وخلاصها سَوَاءٌ كَانَ أَعْلَاهَا سِعْرًا أَوْ أَدْنَاهَا وَهُوَ مختلف بِاخْتِلَافِ الْبِلَادِ وَمَا يُحْدِثُهُ النَّاسُ فِي زَمَانٍ بَعْدَ زَمَانٍ فَيُعْتَبَرُ الْأَغْلَبُ مِنْ دَنَانِيرِ الْبَلَدِ من زَمَانِ السَّرِقَةِ فَلَوْ كَانَ لِلْبَلَدِ دِينَارَانِ أَعْلَى وأدنى وكلاهما خلاص جاز وفيما تُقَوَّمُ بِهِ السَّرِقَةُ مِنْهُمَا وَجْهَانِ

Adapun jenis dinar, maka yang dijadikan patokan adalah yang paling banyak digunakan dalam transaksi, baik dari dinar-dinar yang terbaik maupun yang murni, baik yang nilainya paling tinggi maupun paling rendah. Hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan negeri dan apa yang diciptakan manusia dari waktu ke waktu. Maka yang dijadikan ukuran adalah dinar yang paling banyak beredar di negeri tersebut pada waktu terjadinya pencurian. Jika di suatu negeri terdapat dua jenis dinar, yang satu nilainya lebih tinggi dan yang lain lebih rendah, dan keduanya murni, maka keduanya boleh dijadikan patokan. Dalam hal dinar mana yang digunakan untuk menaksir nilai barang curian dari keduanya, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا بِالْأَدْنَى اعْتِبَارًا بِعُمُومِ الظَّاهِرِ

Salah satunya dengan yang paling rendah, berdasarkan keumuman makna zhahir.

وَالثَّانِي بِالْأَعْلَى إِدْرَاءً لِلْقَطْعِ بِالشُّبْهَةِ

Yang kedua, dengan hukuman yang lebih ringan, sebagai bentuk pencegahan penerapan hukuman potong tangan karena adanya syubhat (keraguan).

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ وَزْنِهِ وَنَوْعِهِ لَمْ يَخْلُ الْمَسْرُوقُ مِنْ أَنْ يَكُونَ ذَهَبًا أَوْ غَيْرَ ذَهَبٍ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَهَبٍ قُوِّمَ بِالذَّهَبِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فإن كَانَ ذَهَبًا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Jika telah ditetapkan apa yang telah kami jelaskan mengenai berat dan jenisnya, maka barang yang dicuri tidak lepas dari dua kemungkinan: berupa emas atau bukan emas. Jika bukan emas, maka dinilai dengan emas sebagaimana yang telah kami sebutkan. Jika berupa emas, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.

أَحَدُهَا أن يكون مَطْبُوعَ الدَّنَانِيرِ الَّتِي يَتَعَامَلُ بِهَا النَّاسُ فِي الْأَغْلَبِ فَيُقْطَعُ فِي رُبُعِ مِثْقَالٍ مِنْهَا

Salah satunya adalah bahwa yang dimaksud adalah dinar-dinar yang dicetak, yang biasa digunakan oleh masyarakat pada umumnya, maka hukuman potong tangan diterapkan pada seperempat dinar darinya.

وَالْقِسْمُ الثاني أن يكون تمراً مَعْدِنِيًّا لَا يَخْلُصُ ذَهَبُهُ إِلَّا بِالتَّصْفِيَةِ وَالسَّبْكِ فَيُعْتَبَرُ فِي سَرِقَتِهِ مَا عَادَلَ رُبُعَ دِينَارٍ مِنَ الدَّنَانِيرِ الْمَطْبُوعَةِ وَلَا يُعْتَبَرُ رُبُعُ مِثْقَالٍ مِنْهُ لِنُقْصَانِهِ فِي الْقَدْرِ وَالْقِيمَةِ عَنْهُ

Bagian kedua adalah emas tambang yang tidak dapat diperoleh emasnya kecuali dengan pemurnian dan peleburan. Dalam kasus pencurian emas jenis ini, yang diperhitungkan adalah kadar yang setara dengan seperempat dinar dari dinar yang telah dicetak, dan tidak diperhitungkan seperempat mitsqal darinya karena kadarnya dan nilainya lebih rendah dari dinar yang telah dicetak.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ ذَهَبًا خَالِصًا أَوْ مَطْبُوعًا لَا يَتَعَامَلُ بِهِ النَّاسُ أَوْ كَسْرًا يَنْقُصُ عَنْ قِيمَةِ الصِّحَاحِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah emas murni atau yang dicetak namun tidak digunakan oleh masyarakat dalam transaksi, atau berupa pecahan yang nilainya lebih rendah dari emas utuh, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ أَنَّهُ يُقْطَعُ فِي رُبُعِ مِثْقَالٍ منه وإن نقص عن قِيمَةُ الْمَطْبُوعِ اعْتِبَارًا بِجِنْسِهِ وَوَزْنِهِ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab, adalah bahwa hukuman potong tangan diterapkan pada pencurian seperempat dinar darinya, meskipun nilainya kurang dari nilai mata uang yang dicetak, dengan mempertimbangkan jenis dan beratnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ وَالظَّاهِرُ مِنْ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ لَا يُقْطَعُ إِلَّا فِيمَا تَبْلُغُ قِيمَتُهُ رُبُعَ دِينَارٍ مِنْ مَطْبُوعِ الذَّهَبِ اعْتِبَارًا بِمَا يُرَاعَى من الأثمان والقيم

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri dan yang tampak dari pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, adalah bahwa potong tangan tidak diterapkan kecuali pada barang yang nilainya mencapai seperempat dinar dari emas yang dicetak, dengan mempertimbangkan apa yang dijadikan acuan dari mata uang dan nilai.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُقْطَعُ إِلَّا مَنْ بَلَغَ الِاحْتِلَامَ مِنَ الرجال والحيض مِنَ النِّسَاءِ أَوْ أَيُّهُمَا اسْتَكْمَلَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً وَإِنْ لَمْ يَحْتَلِمْ أَوْ لَمْ تَحِضْ

Syafi‘i berkata, “Tidak dipotong (tangan) kecuali orang yang telah mencapai usia ihtilam dari kalangan laki-laki dan haid dari kalangan perempuan, atau siapa pun di antara mereka yang telah genap berusia lima belas tahun, meskipun belum ihtilam atau belum haid.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لَا يَجِبُ الْقَطَعُ إِلَّا عَلَى مُكَلَّفٍ بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ فَإِنْ كَانَ صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا لَمْ يُقْطَعْ في الحال ولا إذا بلغ وأفاق فِي ثَانِي حَالٍ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَنْتَبِهَ وَرَوَى ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أُتِيَ بِجَارِيَةٍ قَدْ سَرَقَتْ فَوَجَدَهَا لَمْ تَحِضْ فَلَمْ يَقْطَعْهَا

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, tidak wajib dilaksanakan hukuman potong kecuali atas orang yang mukallaf, yaitu yang telah baligh dan berakal. Jika ia masih kecil atau gila, maka tidak dipotong pada saat itu juga, dan juga tidak setelah ia baligh dan sadar di kemudian hari; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: ‘Pena (catatan dosa) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia bermimpi (baligh), dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang yang tidur sampai ia bangun.’ Ibnu Mas‘ud ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ didatangkan seorang budak perempuan yang telah mencuri, lalu beliau mendapati bahwa ia belum haid, maka beliau tidak memotong tangannya.”

وَلِأَنَّهُ حَدٌّ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْحُدُودِ

Karena ia merupakan hudud, maka hukumnya serupa dengan hudud yang lain.

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَنَّهُ شَقَّ بُطُونَ أَصَابِعِ صَبِيٍّ سَرَقَ وَهَذَا إِنْ صَحَّ عَنْهُ فَلَمْ يَفْعَلْهُ حَدًّا وَإِنَّمَا ضَرَبَهُ عَلَى كَفِّهِ تَأْدِيبًا فانشقت بطون أصابعه لرقها فقد رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ أُتِيَ بِصَبِيٍّ سَرَقَ فَقَالَ أَشْبِرُوهُ فَكَانَ دُونَ خَمْسَةِ أَشْبَارٍ فَلَمْ يَقْطَعْهُ

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau membelah bagian dalam jari-jari seorang anak kecil yang mencuri. Jika riwayat ini benar darinya, maka beliau tidak melakukannya sebagai hudud, melainkan beliau memukul telapak tangannya sebagai bentuk ta’dib (pendidikan), sehingga bagian dalam jari-jarinya terbelah karena tipisnya. Juga diriwayatkan darinya bahwa pernah didatangkan seorang anak kecil yang mencuri, lalu beliau berkata, “Ukur tingginya dengan jengkal,” ternyata tingginya kurang dari lima jengkal, maka beliau tidak memotong tangannya.

وَأُتِيَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِسَارِقٍ فَقَالَ أَشْبِرُوهُ فَكَانَ سِتَّةَ أَشْبَارٍ إِلَّا أُنْمُلَةً فَلَمْ يقطعه وسمى أنملة وليس هذا معتبر فِي الْبُلُوغِ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فَعَلَهُ اسْتِظْهَارًا وَالْبُلُوغُ يَكُونُ بِمَا قَدَّمْنَاهُ فِي مَوَاضِعَ مِنْ كِتَابِنَا مِنَ احْتِلَامِ الْغُلَامِ وَحَيْضِ الْجَارِيَةِ فَإِنِ اسْتَكْمَلَا قَبْلَ الِاحْتِلَامِ وَالْحَيْضِ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً كَانَا بَالِغَيْنِ

Umar radhiyallahu ‘anhu pernah didatangkan seorang pencuri kepadanya, lalu beliau berkata, “Ukur tingginya.” Ternyata tingginya enam jengkal kurang satu ruas jari, maka beliau tidak memotong tangannya dan menyebutkan ruas jari tersebut. Namun, hal ini tidak dianggap sebagai ukuran baligh. Boleh jadi beliau melakukannya sebagai bentuk kehati-hatian. Adapun baligh itu ditetapkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di beberapa tempat dalam kitab kami, yaitu dengan mimpi basah bagi anak laki-laki dan haid bagi anak perempuan. Jika keduanya telah sempurna berusia lima belas tahun sebelum mengalami mimpi basah atau haid, maka keduanya dianggap telah baligh.

فَأَمَّا إِنْبَاتُ الشَّعْرِ فِي الْعَانَةِ فيحكم به في بلوغ المشركين؛ لأنه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَمْضَى حُكْمَ سَعْدٍ فِي سَبِّي بَنِي قُرَيْظَةَ بأن من جرت عليه المواس قُتِلَ وَمَنْ لَمْ تَجْرِ عَلَيْهِ اسْتُرِقَّ وَهَلْ يَكُونُ ذَلِكَ بُلُوغًا فِيهِمْ أَوْ دَلَالَةٌ عَلَى بُلُوغِهِمْ عَلَى قَوْلَيْنِ

Adapun tumbuhnya rambut di kemaluan, maka hal itu dijadikan dasar dalam menentukan balighnya orang-orang musyrik; karena Rasulullah ﷺ telah menetapkan keputusan Sa‘d dalam tawanan Bani Quraizhah, yaitu bahwa siapa yang telah tumbuh rambut kemaluannya maka dibunuh, dan siapa yang belum tumbuh maka dijadikan budak. Apakah hal itu merupakan tanda baligh bagi mereka atau hanya sebagai indikasi balighnya mereka, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا قَالَهُ فِي سِيَرِ الْوَاقِدِيِّ يَكُونُ بُلُوغًا فِيهِمْ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ بُلُوغًا فِي الْمُسْلِمِينَ

Salah satunya disebutkan dalam Siyar al-Waqidi, bahwa hal itu dianggap sebagai baligh di kalangan mereka. Maka berdasarkan hal ini, itu juga dianggap sebagai baligh di kalangan kaum Muslimin.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ أَنَّهُ يَكُونُ دَلَالَةً عَلَى بُلُوغِهِمْ فَعَلَى هذا يَكُونُ دَلَالَةٌ عَلَى بُلُوغِ الْمُسْلِمِينَ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua, yang dikemukakan dalam pendapat baru, menyatakan bahwa hal itu merupakan indikasi telah sampainya mereka pada usia baligh. Berdasarkan hal ini, hal tersebut menjadi tanda telah sampainya kaum Muslim pada usia baligh atau tidak, dengan dua kemungkinan.

أَحَدُهُمَا يَكُونُ دَلَالَةً عَلَى بُلُوغِهِمْ

Salah satunya merupakan petunjuk atas telah sampainya mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي قَالَهُ فِي الْإِقْرَارِ لَا يَكُونُ دَلَالَةً عَلَى بُلُوغِهِمْ لِلْفَرْقِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ من وجهين

Pendapat kedua, yang dikemukakan dalam masalah pengakuan, tidak dapat dijadikan sebagai dalil bahwa mereka telah mencapai usia tamyiz untuk membedakan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin, ditinjau dari dua sisi.

أحدهما أن الرجل المسلم يقبل قوله في سنه فلم يحتج إلى الاستدلال بغيره وأهل الشرك لا يقبل قولهم في سنهم فَاحْتَجْنَا إِلَى الِاسْتِدْلَالِ بِالْإِنْبَاتِ عَلَى بُلُوغِهِ

Pertama, laki-laki muslim diterima pengakuannya tentang usianya, sehingga tidak perlu mencari dalil lain. Adapun orang-orang musyrik, pengakuan mereka tentang usia mereka tidak diterima, maka kita perlu menggunakan tumbuhnya rambut kemaluan sebagai dalil atas kedewasaannya.

وَالثَّانِي أَنَّ الْمُسْلِمَ تَخِفُّ أَحْكَامُهُ بِالْبُلُوغِ فَاتُّهِمَ فِي مُعَالَجَةِ الْإِنْبَاتِ وَالْمُشْرِكُ تَتَغَلَّظُ أَحْكَامُهُ بِالْبُلُوغِ فَلَمْ يتهم في معالجة الإنبات

Yang kedua, bahwa seorang Muslim menjadi lebih ringan hukum-hukumnya dengan mencapai usia baligh, sehingga ia dicurigai dalam upaya menumbuhkan rambut (tanda baligh). Sedangkan seorang musyrik, hukum-hukumnya justru menjadi lebih berat dengan mencapai usia baligh, sehingga ia tidak dicurigai dalam upaya menumbuhkan rambut.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَجُمْلَةُ الْحِرْزِ أَنْ يُنْظَرَ إِلَى الْمَسْرُوقِ فَإِنْ كَانَ الْمَوْضِعُ الَّذِي سُرِقَ مِنْهُ يَنْسُبُهُ الْعَامَّةُ إلى أنه حرز في مثل ذَلِكَ الْمَوْضِعِ قُطِعَ إِذَا أَخْرَجَهَا مِنَ الْحِرْزِ وَإِنْ لَمْ يَنْسُبْهُ الْعَامَّةُ إِلَى أَنَّهُ حِرْزٌ لَمْ يُقْطَعْ وَرِدَاءُ صَفْوَانَ كَانَ مُحْرَزًا بِاضْطِجَاعِهِ عليه فقطع عليه السلام سَارِقَ رِدَائِهِ

Imam Syafi‘i berkata, “Secara umum, pengertian ḥirz (tempat penyimpanan yang aman) adalah dengan melihat barang yang dicuri; jika tempat dari mana barang itu dicuri oleh masyarakat umum dianggap sebagai ḥirz untuk barang semacam itu, maka pelaku dipotong tangannya jika ia mengeluarkan barang itu dari ḥirz. Namun, jika masyarakat umum tidak menganggap tempat itu sebagai ḥirz, maka tidak dipotong. Selendang milik Shafwan dianggap sebagai ḥirz hanya karena ia tidur di atasnya, maka Rasulullah saw. memotong tangan pencuri selendangnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا هُوَ الشَّرْطُ الثَّانِي فِي الْقَطْعِ وَهُوَ الْحِرْزُ فَلَا يَجِبُ الْقَطْعِ إِلَّا فِي السَّرِقَةِ مِنْ حِرْزٍ وَالسَّرِقَةُ أخذ الشيء على سبيل الاستخفاء فإن جاهر بأخذه غصباً أو نهباً واختلاساً فَلَيْسَ بِسَارِقٍ وَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ

Al-Mawardi berkata: Inilah syarat kedua dalam penerapan hukuman potong tangan, yaitu al-hirz (tempat penyimpanan yang aman). Maka, hukuman potong tangan tidak wajib kecuali pada pencurian yang dilakukan dari al-hirz. Pencurian adalah mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Jika seseorang mengambilnya secara terang-terangan dengan cara merampas, menjarah, atau merampok, maka ia tidak disebut pencuri dan tidak dikenakan hukuman potong tangan.

وَأَمَّا الْحِرْزُ فَهُوَ مَا يَصِيرُ الْمَالُ بِهِ مَحْفُوظًا عَلَى مَا سَنَصِفُهُ فَإِنْ كَانَ الْمَالُ فِي غَيْرِ حِرْزٍ فَلَا قَطْعَ فِيهِ فَإِذَا اسْتَكْمَلَ هَذَانِ الشَّرْطَانِ مَعَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ قَدْرِ النِّصَابِ وَجَبَ الْقَطْعُ حِينَئِذٍ وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ

Adapun ḥirz adalah sesuatu yang dengannya harta menjadi terlindungi, sebagaimana akan kami jelaskan. Jika harta berada di selain ḥirz, maka tidak ada hukuman potong tangan atasnya. Apabila kedua syarat ini telah terpenuhi, bersama dengan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya tentang kadar niṣāb, maka wajiblah hukuman potong tangan saat itu juga. Inilah pendapat Abū Ḥanīfah dan Mālik.

وَقَالَ دَاوُدُ لَا اعْتِبَارَ بِالْحِرْزِ وَالْقَطْعُ وَاجِبٌ بِالسَّرِقَةِ مِنْ حِرْزٍ وَغَيْرِ حِرْزٍ

Dawud berkata, “Tidak ada pertimbangan terhadap ḥirz, dan hukum potong tangan wajib diberlakukan atas pencurian baik dari ḥirz maupun bukan dari ḥirz.”

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَا اعْتِبَارَ بِالسَّرِقَةِ وَالِاسْتِخْفَاءِ وَالْقَطْعُ وَاجِبٌ عَلَى الْمُجَاهِرِ بِأَخْذِ الْمَالِ بِغَصْبٍ أَوِ انْتِهَابٍ أَوِ اخْتِلَاسٍ حَتَّى لَوْ خَانَ أَوْ جَحَدَ وَدِيعَةً أَوْ عَارِيَّةً وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَطْعُ

Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak dianggap (sebagai syarat) adanya pencurian secara sembunyi-sembunyi, dan hukuman potong tangan wajib dijatuhkan kepada orang yang secara terang-terangan mengambil harta dengan cara merampas, menjarah, atau menggelapkan, bahkan jika ia berkhianat atau mengingkari titipan atau barang pinjaman, maka wajib atasnya hukuman potong tangan.”

وَاسْتَدَلَّ دَاوُدُ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا المائدة 38 فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ واستدل أحمد برواية ابن عمر وعائشة رضي الله عنهما أَنَّ امْرَأَةً مَخْزُومِيَّةً كَانَتْ تَسْتَعِيرُ وَتَجْحَدُ فَقَطَعَهَا رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Dawud berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (Al-Ma’idah: 38), sehingga hukumnya berlaku secara umum. Sementara Ahmad berdalil dengan riwayat dari Ibnu Umar dan Aisyah radhiyallahu ‘anhuma bahwa ada seorang wanita dari Bani Makhzum yang biasa meminjam lalu mengingkari, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong tangannya.

وَالدَّلِيلُ عَلَى دَاوُدَ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لا قطع في ثمر ولا كَثَرٍ فَأَسْقَطَ الْقَطْعَ فِيهِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُحْرَزٍ ثُمَّ قَالَ ” فَإِذَا آوَاهُ الْجَرِينُ فَفِيهِ الْقَطْعُ لأنه قد صار حرزاً بِهِ

Dan dalil bagi pendapat Dawud adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hukuman potong tangan pada buah-buahan dan kather.” Maka beliau menggugurkan hukuman potong tangan padanya karena belum menjadi harta yang terjaga. Kemudian beliau bersabda: “Apabila telah disimpan di tempat penyimpanan (jarin), maka berlaku hukuman potong tangan padanya,” karena pada saat itu telah menjadi harta yang terjaga.

وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عن حريسة الْجَبَلَ فَقَالَ لَيْسَ فِي الْمَاشِيَةِ قَطْعٌ إِلَّا أن يأويها الْمُرَاحُ وَلَا فِي الثَّمَرِ قَطْعٌ إِلَّا أَنْ يأويه الْجَرِينُ وَفِي حَرِيسَةِ الْجَبَلِ تَأْوِيلَانِ

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang pencurian hewan ternak di pegunungan. Beliau bersabda: “Tidak ada hukuman potong tangan pada pencurian hewan ternak kecuali jika hewan itu berada di kandang, dan tidak ada hukuman potong tangan pada pencurian buah-buahan kecuali jika buah itu berada di tempat penyimpanan. Adapun tentang pencurian hewan ternak di pegunungan, terdapat dua penafsiran.”

أَحَدُهُمَا يَعْنِي مَحْرُوسَةَ الْجَبَلِ فَعَبَّرَ عَنِ الْمَحْرُوسَةِ بِالْحَرِيسَةِ كَمَا يُقَالُ مَقْتُولَةٌ وَقَتِيلَةٌ

Salah satunya maksudnya adalah mahruusah al-jabal, maka ia mengungkapkan mahruusah dengan kata harisah, sebagaimana dikatakan maqtuulah dan qatiilah.

وَالثَّانِي أَنَّهُ أَرَادَ سَرِقَةَ الجبل يقال حرس إِذَا سَرَقَ فَيَكُونُ مِنْ أَسْمَاءِ الْأَضْدَادِ

Yang kedua, bahwa yang dimaksud adalah mencuri gunung; dikatakan “harasa” jika mencuri, sehingga kata tersebut termasuk dalam asma’ al-adhdad (kata-kata yang memiliki makna berlawanan).

وَرَوَى بَعْضُ أَصْحَابِنَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” لَا قَطْعَ إِلَّا مِنْ حِرْزٍ وَهُوَ ضَعِيفٌ وَلِأَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَقْدِرُ عَلَى حِفْظِ مَالِهِ بِنَفْسِهِ أَبَدًا فَأُقِيمَتِ الْأَحْرَازُ مَقَامَ الْأَنْفُسِ فِي الْحِفْظِ وَالصِّيَانَةِ

Sebagian dari sahabat kami meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tidak ada hukuman potong tangan kecuali karena mencuri dari tempat yang terjaga,” namun hadis ini lemah. Karena manusia tidak mungkin mampu menjaga hartanya sendiri selamanya, maka tempat-tempat penyimpanan yang terjaga diposisikan sebagai pengganti diri manusia dalam menjaga dan memelihara harta.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَحْمَدَ مَا رَوَاهُ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” لَيْسَ عَلَى الْخَائِنِ وَلَا الْمُخْتَلِسِ وَلَا المنتسب قَطْعٌ وَهَذَا نَصٌّ وَلِأَنَّ السَّرِقَةَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْمُسَارَقَةِ وَهُوَ الِاسْتِخْفَاءُ فَخَرَجَ مِنْهَا الْمُجَاهِرُ وَالْجَاحِدُ فَأَمَّا الْآيَةُ فَمَخْصُوصَةُ الْعُمُومِ بِمَا ذَكَرْنَا

Dan dalil bagi pendapat Ahmad adalah riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Juraij dari Abu az-Zubair dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hukuman potong tangan bagi pengkhianat, pencuri yang mengambil secara sembunyi-sembunyi, dan orang yang mengambil barang titipan.” Ini adalah nash (teks yang jelas). Karena kata “pencurian” (sariqah) diambil dari kata “musāraqah” yang berarti mengambil secara sembunyi-sembunyi, maka yang terang-terangan dan yang mengingkari tidak termasuk di dalamnya. Adapun ayat (tentang potong tangan) adalah bersifat umum yang telah dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan.

وَأَمَّا خَبَرُ الْمَخْزُومِيَّةِ فَإِنَّمَا قَطَعَهَا؛ لِأَنَّهَا سَرَقَتْ

Adapun kisah perempuan dari Bani Makhzum, maka beliau memotong tangannya karena ia telah mencuri.

وَقَوْلُهُمْ كانت تستعير الحلي فتجحد ذُكِرَ عَلَى سَبِيلِ التَّعْرِيفِ كَمَا قِيلَ مَخْزُومِيَّةٌ ولم يَكُنْ قَطْعُهَا بِجُحُودِ الْعَارِيَّةِ كَمَا لَمْ يَقْطَعْهَا لِأَنَّهَا مَخْزُومِيَّةٌ

Ucapan mereka bahwa ia biasa meminjam perhiasan lalu mengingkarinya disebutkan dalam rangka penjelasan, sebagaimana dikatakan bahwa ia adalah seorang Makzūmiyyah, dan pemotongan tangannya bukan karena ia mengingkari barang pinjaman, sebagaimana juga tidak dipotong karena ia berasal dari kabilah Makzūmiyyah.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْحِرْزَ شرط في قطع السرقة فالإحراز يختلف باختلاف المحرزات اعتباراً بالعرف؛ لأنها لما لم تتقدر بشرع ولا لغة اعتبر فِيهَا الْعُرْفُ كَمَا اعْتُبِرَ الْعُرْفُ فِي الْقَبْضِ والافتراق في البيع والإحياء في الموات لما لم يتقدر بشرع ولا لغة تقدر بالعرف وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْعُرْفُ جَارٍ بِأَنَّ مَا قَلَّتَ قِيمَتُهُ مِنَ الْخَشَبِ وَالْحَطَبِ خفت أحرازه وما كثرت قيمته من الجواهر وَالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ غَلُظَتْ أَحْرَازُهُ وَمَا تَوَسَّطَتْ قِيمَتُهُ من الحنطة والزيت توسطت أحرازه

Jika telah tetap bahwa tempat penyimpanan (ḥirz) adalah syarat dalam penjatuhan hukuman potong tangan atas pencurian, maka cara penyimpanan berbeda-beda sesuai dengan barang yang disimpan, berdasarkan ‘urf (kebiasaan masyarakat); karena hal ini tidak ditentukan oleh syariat maupun bahasa, maka yang dijadikan acuan adalah ‘urf, sebagaimana ‘urf juga dijadikan acuan dalam hal penyerahan (qabḍ), perpisahan dalam jual beli, dan penghidupan tanah mati (iḥyā’ al-mawāt), karena semua itu tidak ditentukan oleh syariat maupun bahasa, maka ditentukan oleh ‘urf. Jika demikian, maka menurut ‘urf, barang yang nilainya rendah seperti kayu dan ranting, tempat penyimpanannya ringan; barang yang nilainya tinggi seperti permata, perak, dan emas, tempat penyimpanannya berat; dan barang yang nilainya sedang seperti gandum dan minyak, tempat penyimpanannya pun sedang.

وقال أبو حنيفة الإحراز لا يختلف باختلاف الأموال وكان كَانَ حِرْزًا لِأَقَلِّهَا كَانَ حِرْزًا لِأَكْثَرِهَا حَتَّى جعل دكان البقلي حرزاً للجواهر وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Abu Hanifah berkata, tempat penyimpanan (iḥrāz) tidak berbeda-beda menurut jenis harta; jika suatu tempat dianggap sebagai iḥrāz untuk harta yang nilainya paling sedikit, maka tempat itu juga dianggap sebagai iḥrāz untuk harta yang nilainya lebih banyak, sehingga beliau menganggap toko penjual sayur sebagai iḥrāz untuk permata. Ini adalah kesalahan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا اخْتِلَافُ الْعُرْفِ فِيهِ فَإِنَّ الْجَوَاهِرَ فِي الْعُرْفِ مُحَرَّزَةٌ فِي أخص الْبُيُوتِ بِأَوْثَقِ الْأَبْوَابِ وَأَكْثَرِ الْأَغْلَاقِ وَالْحَطَبِ وَالْحَشِيشِ يحرز في الحظائر المرسلة وشرائح الخشب وَالْبَقْلُ يُحْرَزُ فِي دَكَاكِينِ الْأَسْوَاقِ بِشَرَائِحِ الْقَصَبِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ اخْتِلَافُ الْعُرْفِ فِيهِ مُعْتَبَرًا

Salah satunya adalah perbedaan ‘urf (kebiasaan) dalam hal ini, karena permata menurut ‘urf dijaga di rumah-rumah yang paling khusus dengan pintu-pintu yang paling kokoh dan banyak kunci, sedangkan kayu bakar dan rumput dijaga di kandang-kandang terbuka dan tumpukan kayu, dan sayur-sayuran dijaga di kios-kios pasar dengan anyaman bambu. Maka wajiblah perbedaan ‘urf dalam hal ini diperhitungkan.

وَالثَّانِي أَنَّ التَّفْرِيطَ مُتَوَجِّهٌ إِلَى مَنْ أَحْرَزَ أنفس الأموال وأكثرها في أقلها حرزاً وَأَحْقَرِهَا وَتَوَجُّهُ التَّفْرِيطِ إِلَيْهِ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِكْمَالِ الحرز والله أعلم

Kedua, bahwa kelalaian itu tertuju kepada orang yang menjaga harta yang paling berharga dan paling banyak dalam tempat penyimpanan yang paling sedikit keamanannya dan yang paling rendah nilainya. Tertujuya kelalaian kepadanya mencegah tercapainya penjagaan yang sempurna. Allah lebih mengetahui.

فصل

Bab

فإذا ثبت اعتبار العرف فيه فالاحتراز تختلف من خمسة أوجه

Jika telah tetap bahwa ‘urf dianggap di dalamnya, maka kehati-hatian berbeda dari lima segi.

أحدها اختلاف جِنْسِ الْمَالِ وَنَفَاسَتُهُ عَلَى مَا بَيَّنَّا

Salah satunya adalah perbedaan jenis harta dan nilainya, sebagaimana telah kami jelaskan.

وَالثَّانِي بِاخْتِلَافِ الْبُلْدَانِ فَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ وَاسِعَ الْأَقْطَارِ كثير الدعار غَلُظَتْ أَحْرَازُهُ وَإِنْ كَانَ صَغِيرًا قَلِيلَ الْمَارِّ لَا يَخْتَلِطُ بِأَهْلِهِ غَيْرُهُمْ خَفَّتْ أَحْرَازُهُ

Yang kedua, perbedaan itu tergantung pada perbedaan negeri. Jika suatu negeri luas wilayahnya dan banyak orang yang lalu-lalang, maka penjagaannya harus diperketat. Namun jika negerinya kecil, sedikit orang yang lewat, dan tidak ada orang asing yang bercampur dengan penduduknya, maka penjagaannya bisa diringankan.

وَالثَّالِثُ باختلاف الزمن فإن كان زمان سلم ودعة خَفَّتْ أَحْرَازُهُ وَإِنْ كَانَ زَمَانَ فِتْنَةٍ وَخَوْفٍ غَلُظَتْ أَحْرَازُهُ

Ketiga, perbedaan waktu; jika pada masa damai dan tenang, penjagaannya menjadi ringan, sedangkan jika pada masa fitnah dan ketakutan, penjagaannya menjadi ketat.

وَالرَّابِعُ بِاخْتِلَافِ السُّلْطَانِ فَإِنْ كَانَ عَادِلًا غَلِيظًا عَلَى أَهْلِ الْفَسَادِ خَفَّتَ أَحْرَازُهُ وَإِنْ كَانَ جَائِرًا مُهْمَلًا لِأَهْلِ الْفَسَادِ غَلُظَتْ أحرازه

Keempat, perbedaan tergantung pada penguasa; jika penguasanya adil dan tegas terhadap para pelaku kerusakan, maka pengamanannya menjadi ringan. Namun jika penguasanya zalim dan membiarkan para pelaku kerusakan, maka pengamanannya menjadi berat.

والخامس باختلاف الليل والنهار فيكون الْأَحْرَازُ فِي اللَّيْلِ أَغْلَظَ لِاخْتِصَاصِهِ بِأَهْلِ الْعَبَثِ والفساد فلا يمتنع فيه بكثرة الأغلاق وغلق الأبواب حتى يكون لها حارس يحرسها وهي بالنهار أَخَفُّ لِانْتِشَارِ أَهْلِ الْخَيْرِ فِيهِ وَمُرَاعَاةِ بَعْضِهِمْ بعضاً فلا تفتقر إلى حراس وإذا جَلَسَ أَرْبَابُ الْأَمْوَالِ فِي دَكَاكِينِهِمْ وَأَمْتِعَتُهُمْ بَارِزَةٌ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ كَانَ ذَلِكَ حِرْزًا لَهَا وَإِنْ لم يكن في الليل حرزاً

Kelima, perbedaan antara malam dan siang, yaitu tempat penyimpanan (al-aḥrāz) pada malam hari harus lebih kuat karena malam hari khusus bagi orang-orang yang suka berbuat onar dan kerusakan. Maka, pada malam hari tidak cukup hanya dengan banyaknya kunci dan menutup pintu, bahkan harus ada penjaga yang mengawasinya. Sedangkan pada siang hari, tempat penyimpanan lebih ringan syaratnya karena banyaknya orang baik yang beraktivitas dan saling memperhatikan satu sama lain, sehingga tidak membutuhkan penjaga. Jika para pemilik harta duduk di toko-toko mereka dan barang-barang mereka terbuka di hadapan mereka, maka itu sudah dianggap sebagai tempat penyimpanan (ḥirz) bagi barang-barang tersebut, meskipun pada malam hari hal itu tidak dianggap sebagai ḥirz.

وجعله ذَلِكَ اعْتِبَارَ شَرْطَيْنِ الْعُرْفُ وَعَدَمُ التَّفْرِيطِ

Dan hal itu menjadikannya sebagai pertimbangan dua syarat: ‘urf (kebiasaan yang berlaku) dan tidak adanya tafrith (kelalaian).

وَقَدْ فَصَّلَ الشَّافِعِيُّ الْأَحْرَازَ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ عَلَى حَسَبِ زَمَانِهِ وَعُرْفِ أَهْلِهِ وَقَدْ يَتَغَيَّرُ ذَلِكَ بِاخْتِلَافِ الزَّمَانِ وَتَغَيُّرِ الْعَادَاتِ فَيَصِيرُ مَا جَعَلَهُ حِرْزًا لَيْسَ بِحِرْزٍ وَمَا لَمْ يَجْعَلْهُ حِرْزًا يَصِيرُ حِرْزًا؛ لِأَنَّ الزَّمَانَ لَا يَبْقَى عَلَى حَالٍ وربما انتقل من صلاح إلى فساد ومن فساد إلى صلاح؛ فلذلك تتغير أحوال الأحراز لكثرتها ما يَكُونَ مُعْتَبَرًا مَعَ وُجُودِ أَسْبَابِهِ وَظُهُورِ عُرْفِهِ والله أعلم

Imam Syafi‘i telah merinci tentang tempat-tempat penyimpanan yang aman (ahraz) sesuai dengan perbedaan keadaan, berdasarkan zamannya dan kebiasaan masyarakatnya. Hal itu bisa berubah seiring perubahan zaman dan perubahan adat kebiasaan, sehingga sesuatu yang dahulu dianggap sebagai tempat penyimpanan yang aman bisa jadi tidak lagi dianggap demikian, dan sesuatu yang sebelumnya tidak dianggap sebagai tempat penyimpanan yang aman bisa menjadi demikian; karena zaman tidaklah tetap dalam satu keadaan, bahkan bisa saja berubah dari keadaan baik menjadi rusak, atau dari keadaan rusak menjadi baik. Oleh karena itu, keadaan tempat-tempat penyimpanan yang aman pun berubah-ubah, dan yang menjadi pertimbangan adalah adanya sebab-sebab dan tampaknya kebiasaan yang berlaku. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله ” وإذا ضم متاع السوق إلى بعض في موضع تبايعاه وربط بحبل أو جعل الطعام في حبس وَخِيطَ عَلَيْهِ قُطِعَ وَهَكَذَا يُحْرَزُ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Apabila barang dagangan di pasar digabungkan satu sama lain di tempat terjadinya transaksi, lalu diikat dengan tali atau makanan diletakkan dalam tempat penyimpanan dan dijahitkan di atasnya, maka itu dianggap sebagai bentuk penjagaan, dan demikianlah cara menjaga barang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ هذا المتاع في شوارع الأسواق يكون لها حِرْزًا عَلَى سِتَّةِ شُرُوطٍ

Al-Mawardi berkata: Barang-barang ini yang berada di jalan-jalan pasar dapat menjadi ḥirz (tempat penyimpanan yang aman) baginya dengan enam syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ من الأمتعة الجافة التي لا تستثقل بِالْيَدِ فَإِنْ كَانَتْ مِنْ خَفِيفِهَا الَّذِي يُتَنَاوَلُ بِالْيَدِ مِنْ غَيْرِ كُلْفَةٍ وَلَا مَشَقَّةٍ كَالثَّوْبِ وَالْإِنَاءِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ حِرْزًا لَهَا

Salah satunya adalah jika barang tersebut termasuk barang-barang kering yang tidak berat saat dipegang. Jika barang itu termasuk barang ringan yang dapat diambil dengan tangan tanpa kesulitan dan tanpa keberatan, seperti pakaian dan wadah, maka tempat itu tidak dianggap sebagai tempat penyimpanan yang aman (ḥirz) bagi barang tersebut.

وَالثَّانِي أَنْ يُضَمَّ بَعْضُهُ إِلَى بَعْضٍ حَتَّى يَجْتَمِعَ وَلَا يَفْتَرِقَ فَإِنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ حَفِظَ بَعْضُهُ بَعْضًا فَإِنِ افْتَرَقَ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا

Yang kedua adalah sebagian darinya harus digabungkan dengan sebagian yang lain hingga menjadi satu kesatuan dan tidak terpisah, karena jika sudah bersatu maka sebagian akan saling menjaga yang lain. Namun jika terpisah, maka itu tidak menjadi tempat yang aman.

وَالثَّالِثُ أن يدرأ عَلَيْهِ حَبْلٌ يُشَدُّ بِهِ جَمِيعُهُ إِنْ كَانَ خَشَبًا حَتَّى لَا يُمْكِنَ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهُ إلا بحل الحبل ويخاط فِي أَعْدَالٍ إِنْ كَانَ حِنْطَةً أَوْ دَقِيقًا حَتَّى لَا يُوصَلَ إِلَيْهِ إِلَّا بِفَتْقِ خِيَاطَتِهِ وَحَلِّ أَعْدَالِهِ فَإِنْ كَانَ بِخِلَافِ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا

Ketiga, yaitu dengan melilitkan tali pada barang tersebut dan mengikat seluruhnya jika berupa kayu, sehingga tidak mungkin mengambil sesuatu darinya kecuali dengan membuka tali itu. Dan jika berupa gandum atau tepung, maka dijahit pada karung-karungnya sehingga tidak bisa diambil kecuali dengan membuka jahitannya dan melepaskan karung-karungnya. Jika tidak demikian, maka itu tidak dianggap sebagai ḥirz (tempat penyimpanan yang aman).

وَالرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ فِي سُوقٍ تُغْلِقُ دُرُوبَهَا أَوْ فِي قَرْيَةٍ يَقِلُّ أَهْلُهَا فإن كان في بلد واسع وليس عَلَيْهِ دُرُوبٌ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا

Keempat, harus berada di pasar yang jalan-jalannya tertutup atau di desa yang penduduknya sedikit. Jika berada di kota yang luas dan tidak ada jalan-jalan yang menutupinya, maka itu tidak dianggap sebagai tempat yang aman (ḥirz).

وَالْخَامِسُ أَنْ يَكُونَ الْمَوْضِعُ أَنِيسًا إِمَّا بِمَسَاكِنَ فِيهَا أَهْلُهَا أَوْ بِحَارِسٍ يَكُونُ مُرَاعِيًا لَهَا فَإِنِ انْقَطَعَتْ عَنْهُ أُنْسَةُ النَّاسِ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا

Kelima, tempat itu haruslah ramai, baik dengan adanya penduduk yang tinggal di sana maupun dengan adanya penjaga yang mengawasinya. Jika tempat tersebut terputus dari keramaian manusia, maka tempat itu tidak dianggap sebagai ḥirz.

وَالسَّادِسُ أن يكون الوقت ساكناً وَالْفَسَادُ قَلِيلًا فَإِنْ تَحَرَّكَتْ فِتْنَةٌ أَوِ انْتَشَرَ فَسَادٌ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا فَهَذَا أَوَّلُ نَوْعٍ ذكره الشافعي من الأحراز والله أعلم

Keenam, waktu harus dalam keadaan tenang dan kerusakan sedikit. Jika terjadi gejolak fitnah atau kerusakan meluas, maka itu tidak lagi menjadi perlindungan. Inilah jenis pertama yang disebutkan oleh asy-Syafi‘i tentang perlindungan, dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وإذا كَانَ يَقُودُ قِطَارَ إِبِلٍ أَوْ يَسُوقُهَا وَقُطِرَ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ فَسَرَقَ مِنْهَا أَوْ مِمَّا عليها شيئاً قُطِعَ

Imam Syafi‘i berkata, “Apabila seseorang menggiring rangkaian unta atau menghalau unta-unta tersebut, lalu sebagian unta itu diikatkan satu sama lain, kemudian ia mencuri sesuatu dari unta-unta itu atau dari barang-barang yang ada di atasnya, maka ia dikenai hukuman potong tangan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا نَوْعٌ ثَانٍ مِنَ الْأَحْرَازِ لِأَنَّهَا فِي السَّيْرِ فِي الْأَسْفَارِ مُخَالِفَةٌ لَهَا فِي الْمُقَامِ وَالْأَمْصَارِ فَإِذَا قُطِرَتِ الْإِبِلُ سَائِرَةً وَعَلَيْهَا الْحُمُولَةُ كَانَ لِلرَّجُلِ الْوَاحِدِ فِي الْقِطَارِ حِرْزًا لِمَا رَآهُ مِنْهَا وَقَدَرَ عَلَى زَجْرِهَا فِي مَسِيرِهَا فَيَصِيرُ بِهَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ الرُّؤْيَةِ والزجر حرزاً دون إحداهما وَالْأَغْلَبُ أَنَّهُ يَكُونُ فِي ثَلَاثَةٍ مِنَ الْإِبِلِ فإن تجاوزت إلى أَرْبَعَةٍ وَغَايَتُهُ خَمْسَةٌ إِنْ كَانَ فِي الْجَمَالِ فضل جلد وشهامة سواء كان قائداً أو سائقا وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ كَانَ سَائِقًا كَانَ حِرْزًا لَهَا وَإِنْ كَانَ قَائِدًا كَانَ حِرْزًا لِلْأَوَّلِ الَّذِي يَقُودُهُ دُونَ غَيْرِهِ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini adalah jenis kedua dari perlindungan (ḥirz), karena perlindungan saat bepergian dalam perjalanan berbeda dengan perlindungan saat menetap di kota atau perkampungan. Jika unta-unta diikat dan berjalan dengan membawa muatan, maka satu orang dalam rombongan tersebut dianggap sebagai perlindungan bagi unta-unta yang dapat ia lihat dan mampu ia jaga selama perjalanan. Dengan dua syarat ini—yaitu melihat dan mampu menjaga—maka hal itu menjadi perlindungan, bukan hanya salah satunya saja. Umumnya, hal ini berlaku pada tiga ekor unta; jika lebih dari itu, maka sampai empat, dan batas maksimalnya adalah lima ekor, jika unta-unta tersebut memiliki kelebihan kekuatan dan keberanian, baik orang itu sebagai penuntun maupun penggiring. Abu Hanifah berkata, jika ia sebagai penggiring maka itu menjadi perlindungan bagi unta-unta tersebut, namun jika ia sebagai penuntun maka itu hanya menjadi perlindungan bagi unta pertama yang ia tuntun saja, tidak untuk yang lainnya. Ini adalah kesalahan dari dua sisi.”

أَحَدُهُمَا أَنَّ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ السَّائِقُ يَقْدِرُ عَلَيْهِ الْقَائِدُ

Salah satunya adalah bahwa apa yang dapat dilakukan oleh penggiring, juga dapat dilakukan oleh pemimpin.

وَالثَّانِي أَنَّ بُعْدَ الْأَخِيرِ مِنَ الْقَائِدِ كَبُعْدِ الْأَوَّلِ مِنَ السَّائِقِ ولم يَمْنَعْ أَنْ يَكُونَ حِرْزًا لَهُ مَعَ بُعْدِهِ كَذَلِكَ بُعْدُ الْأَخِيرِ مِنَ الْقَائِدِ وَسَوَاءٌ كَانَ جَمَالُهَا مَاشِيًا أَوْ راكباً ويكون حرزاً لها ما كان مُسْتَيْقِظًا فَإِنْ نَامَ عَنْهَا لَمْ يَكُنْ حِرْزًا لها

Yang kedua, bahwa jarak orang terakhir dari pemimpin itu seperti jarak orang pertama dari pengiring, dan hal itu tidak menghalangi untuk menjadi tempat yang aman (ḥirz) baginya meskipun jaraknya jauh; demikian pula jarak orang terakhir dari pemimpin. Sama saja apakah untanya berjalan kaki atau dikendarai, dan itu tetap menjadi tempat yang aman (ḥirz) baginya selama ia dalam keadaan terjaga. Namun jika ia tertidur darinya, maka itu tidak lagi menjadi tempat yang aman (ḥirz) baginya.

فصل

Bab

وإذا جَعَلْنَاهُ حِرْزًا لَهَا صَارَ حِرْزًا لِمَا عَلَيْهَا مِنَ الْحُمُولَةِ فَإِنْ سُرِقَ وَاحِدٌ مِنْهَا وَحَلَّ مِنْ قِطَارِهِ قُطِعَ سَارِقُهُ إِذَا بَعُدَ بِالْجَمَلِ عَنْ بَصَرِ جَمَّالِهِ وَمَوْضِعِ زَجْرِهِ وَيَكُونُ حُكْمُهُ قبل بعده عن نظره وَزَجْرِهِ كَبَقَائِهِ فِي حِرْزِهِ فَإِذَا تَجَاوَزَ ذَلِكَ صَارَ كَالْخَارِجِ مِنْ حِرْزِهِ فَيَجِبُ حِينَئِذٍ قَطْعُهُ وَلَوْ أَنَّهُ تَرَكَ الْجَمَلَ فِي قِطَارِهِ وَسَرَقَ من حمولته والمتاع الذي على ظهره قطع بتناول المتاع وحله عن شداده ووعائه سَوَاءٌ بَعُدَ الْمَتَاعُ عَنْ بَصَرِ الْجَمَّالِ أَوْ لم يبعد بخلاف البعير؛ لأن تحرز الْبَعِيرِ رُؤْيَةُ الْجَمَّالِ وَحِرْزُ الْمَتَاعِ شِدَادُهُ فِي وِعَائِهِ وَسَوَاءٌ أَخَذَ جَمِيعَ الْوِعَاءِ أَوْ أَخَذَ مِمَّا فِي الْوِعَاءِ

Jika kita menjadikan tempat itu sebagai tempat penyimpanan (ḥirz) untuknya, maka tempat itu juga menjadi ḥirz bagi barang-barang muatan yang ada padanya. Jika salah satu dari barang-barang itu dicuri dan dilepaskan dari ikatannya, maka pencurinya dipotong tangannya apabila ia telah membawa unta itu menjauh dari pandangan penggembalanya dan dari tempat penggembalaannya, dan hukumnya sebelum unta itu keluar dari pandangan dan penggembalaannya sama seperti masih berada di dalam ḥirz-nya. Jika telah melewati batas itu, maka ia dianggap seperti telah keluar dari ḥirz-nya, sehingga pada saat itu wajib dipotong tangannya. Jika ia meninggalkan unta itu dalam ikatannya dan mencuri dari muatannya atau barang yang ada di punggungnya, maka dipotong tangannya karena mengambil barang dan melepaskannya dari pengikat dan wadahnya, baik barang itu jauh dari pandangan penggembala atau tidak, berbeda dengan unta; karena penjagaan unta adalah dengan penglihatan penggembala, sedangkan ḥirz barang adalah pengikatnya di dalam wadahnya, baik ia mengambil seluruh wadah atau hanya sebagian dari isi wadah tersebut.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ أَخَذَ جَمِيعَ الْوِعَاءِ لَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ أَخَذَ مِمَّا فِي الْوِعَاءِ قُطِعَ احْتِجَاجًا بِأَنَّهُ يَصِيرُ بِأَخْذِ مَا فِيهِ هَاتِكًا لِلْحِرْزِ وَبِأَخْذِ جَمِيعِهِ غَيْرِ هَاتِكٍ لِلْحِرْزِ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْوِعَاءَ محرز بشداده على الجملة كَمَا أَنَّ مَا فِي الْوِعَاءِ مُحْرَزًا بِالْوِعَاءِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ يُقْطَعُ بِمَا فِي الْوِعَاءِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يُقْطَعَ بِجَمِيعِ الْوِعَاءِ وَفِيهِ انْفِصَالٌ وَلَكِنْ لَوْ حَلَّ الْجَمَلَ مِنْ قِطَارِهِ وَسَرَقَهُ وَمَا عَلَيْهِ وَصَاحِبُهُ رَاكِبُهُ لَمْ يُقْطَعْ سَارِقُهُ؛ لِبَقَائِهِ مَعَ حِرْزِهِ فَصَارَ سَارِقًا لِلْحِرْزِ وَالْمُحْرِزِ؛ فَلِذَلِكَ سَقَطَ الْقَطْعُ لِبَقَاءِ يَدِ الْحَافِظِ عَلَيْهِ فَإِنْ دَفْعَهُ عَنْهُ بَعْدَ بُعْدِهِ عَنِ الْأَبْصَارِ صَارَ كَالْغَاصِبِ وَلَا قَطْعَ عَلَى غَاصِبٍ

Abu Hanifah berkata: Jika seseorang mengambil seluruh wadah, maka ia tidak dipotong (tangannya), tetapi jika ia mengambil sebagian dari isi wadah, maka ia dipotong, dengan alasan bahwa mengambil isi wadah berarti telah merusak perlindungan (ḥirz), sedangkan mengambil seluruh wadah tidak dianggap merusak perlindungan. Namun, pendapat ini keliru; sebab wadah itu sendiri terlindungi secara keseluruhan dengan ikatannya, sebagaimana isi wadah juga terlindungi oleh wadah itu. Maka telah tetap bahwa seseorang dipotong karena mengambil isi wadah, maka lebih utama lagi jika dipotong karena mengambil seluruh wadah. Dalam hal ini memang ada perincian. Namun, jika seseorang melepaskan unta dari ikatannya, lalu mencuri unta beserta barang-barang yang ada di atasnya, sementara pemiliknya sedang menungganginya, maka pencuri tersebut tidak dipotong; karena unta itu masih berada dalam perlindungan. Maka ia menjadi pencuri terhadap perlindungan dan yang melindungi, sehingga hukuman potong tangan gugur karena tangan penjaga masih ada padanya. Jika ia mengusir penjaga setelah unta itu jauh dari pandangan, maka ia menjadi seperti perampas (ghāṣib), dan tidak ada hukuman potong tangan atas perampas.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَوْ طَالَ الْقِطَارُ وَكَثُرَ عَدَدُهُ عَنْ مُرَاعَاةِ الْوَاحِدِ كَانَ الْوَاحِدُ فِيهَا حِرْزًا لِمَا أَمْكَنَ أَنْ تَرَى عَيْنُهُ مَا قَرُبَ مِنْهُ دُونَ مَا بَعُدَ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ قَائِدًا كَانَ حِرْزًا لِمَا بَعْدَهُ مِنَ الْعَدَدِ الْمَذْكُورِ وَإِنْ كَانَ سَائِقًا كَانَ حِرْزًا لِمَا قَبْلَهُ مِنَ الْعَدَدِ الْمَذْكُورِ وَإِنْ كَانَ مُتَوَسِّطًا كَانَ حرزاً لواحد مما قادوا بقية العدد مما يساق؛ لِأَنَّهُ إِذَا تَوَزَّعَتْ مُرَاعَاتُهُ مِنْ أَمَامِهِ وَوَرَائِهِ كَانَ بِأَمَامِهِ أَحْرَزَ وَيَكُونُ مَا تَجَاوَزَ ذَلِكَ مِنَ الْقِطَارِ غَيْرَ مَحْرُوزٍ فَإِنْ سَرَقَ مِمَّا جَعَلْنَاهُ حِرْزًا لَهُ قُطِعَ وَإِنْ سَرَقَ مِمَّا لَمْ نَجْعَلْهُ حِرْزًا لَهُ لَمْ يُقْطَعْ فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَقْطُورَةٍ فِي سَيْرِهَا كَانَ الْوَاحِدُ حِرْزًا لِمَا يَنَالُهُ سَوْطُهُ مِنْهَا لِأَنَّهُ بِالسَّوْطِ يسوقها ويؤجرها وَلَا يَكُونُ حِرْزًا لِمَا لَا يَنَالُهُ سَوْطُهُ وإن كان يراه

Jika rangkaian (hewan atau barang) itu panjang dan jumlahnya banyak sehingga tidak mungkin diawasi oleh satu orang, maka satu orang di antara mereka dianggap sebagai perlindungan (ḥirz) hanya untuk apa yang dapat dilihat oleh matanya dari yang dekat dengannya, bukan yang jauh darinya. Jika dia adalah pemimpin (di depan), maka dia menjadi perlindungan untuk yang berada di belakangnya dari jumlah yang disebutkan. Jika dia adalah pengiring (di belakang), maka dia menjadi perlindungan untuk yang berada di depannya dari jumlah yang disebutkan. Jika dia berada di tengah, maka dia menjadi perlindungan untuk satu dari yang dia pimpin, dan sisanya dari jumlah itu menjadi tanggung jawab pengiring; karena jika perhatiannya terbagi antara depan dan belakang, maka dia lebih mampu melindungi yang di depannya. Apa yang melebihi itu dari rangkaian tersebut tidak dianggap terlindungi. Jika terjadi pencurian dari apa yang telah kami tetapkan sebagai perlindungan baginya, maka pelakunya dipotong (tangannya). Namun, jika pencurian terjadi dari apa yang tidak kami tetapkan sebagai perlindungan baginya, maka tidak dipotong. Jika rangkaian itu tidak terikat dalam perjalanannya, maka satu orang menjadi perlindungan hanya untuk apa yang dapat dijangkau oleh cambuknya darinya, karena dengan cambuk itu dia menggiring dan mengatur mereka, dan dia tidak menjadi perlindungan untuk apa yang tidak dapat dijangkau oleh cambuknya, meskipun dia dapat melihatnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِنْ أَنَاخَهَا حَيْثُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فِي صَحْرَاءَ أَوْ كَانَتْ غَنَمًا فَآوَاهَا إِلَى مُرَاحٍ فَاضْطَجَعَ حيث ينظر إليها فهذا حرزها

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang menambatkan hewannya di tempat yang masih dapat dia lihat di padang pasir, atau jika itu adalah kambing lalu dia menggiringnya ke kandang dan berbaring di tempat yang masih dapat dia melihatnya, maka itulah tempat penjagaannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا نَوْعٌ ثَالِثٌ مِنَ الْإِحْرَازِ فِيمَا يَخْتَصُّ بِالْبَهَائِمِ فِي الصَّحْرَاءِ وَذَلِكَ يَشْتَمِلُ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ

Al-Mawardi berkata, “Ini adalah jenis ketiga dari al-ihrāz yang khusus berkaitan dengan hewan-hewan di padang pasir, dan hal itu mencakup tiga bagian.”

فَالْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي الْإِبِلِ وَالدَّوَابِّ إِذَا حَطَّتْ حُمُولَتَهَا فنزلت فِي مَنْزِلِ الِاسْتِرَاحَةِ فَحِرْزُهَا فِي مَنْزِلِ الِاسْتِرَاحَةِ يَكُونُ بِخَمْسَةِ شُرُوطٍ

Maka, bagian pertama membahas tentang unta dan hewan tunggangan apabila telah menurunkan muatannya, lalu berhenti di tempat peristirahatan, maka tempat aman bagi hewan tersebut di tempat peristirahatan itu ditetapkan dengan lima syarat.

أَحَدُهَا أَنْ تُضَمَّ الْبَهَائِمُ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ حَتَّى لَا تَفْتَرِقَ

Salah satunya adalah dengan mengumpulkan hewan-hewan ternak sehingga tidak terpisah satu sama lain.

وَالثَّانِي أَنْ يَرْبُطَهَا إِلَى حبل قد مده بجميعها

Yang kedua adalah mengikatnya pada tali yang telah dibentangkan dengan seluruhnya.

وَالثَّالِثُ أَنْ يُنِيخَهَا إِنْ كَانَتْ إِبِلًا؛ لِأَنَّهَا لَا تَنَامُ إِلَّا بَارِكَةً فَأَمَّا الدَّوَابُّ وَالْبِغَالُ فَتَنَامُ قِيَامًا فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى إِنَاخَتِهَا

Ketentuan yang ketiga adalah menidurkan unta jika hewan tersebut adalah unta, karena unta tidak tidur kecuali dalam keadaan duduk. Adapun hewan tunggangan dan bagal, maka keduanya tidur dalam keadaan berdiri, sehingga tidak perlu menidurkannya.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَعْقِلَهَا إِنْ كَانَتْ إِبِلًا وَيُشْكِلَهَا إِنْ كَانَتْ دَوَابًّا

Keempat, ia harus mengakali (mengikat) unta jika barang temuan itu berupa unta, dan mengikatnya jika berupa hewan tunggangan lainnya.

وَالْخَامِسُ أَنْ يَكُونَ مَعَهَا مَنْ يحفظها مثل عددها إما نائماً وإما مستيقظاً؛ لِأَنَّ وَقْتَ الِاسْتِرَاحَةِ لَا يُسْتَغْنَى فِيهِ عَنِ النَّوْمِ وَهُوَ يَسْتَيْقِظُ بِحَرَكَتِهَا إِنْ سُرِقَتْ فَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَعَهَا نَائِمًا أَوْ مُسْتَيْقِظًا لَكِنَّهُ إِنْ نَامَ لَزِمَهُ اعْتِبَارُ الشَّرْطِ الرَّابِعِ فِي عقلها وشكلها وَإِنِ اسْتَيْقَظَ لَمْ يَلْزَمْ هَذَا فَإِذَا تَكَامَلَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ صَارَتْ مُحْرَزَةً وَوَجَبَ الْقَطْعُ عَلَى سَارِقِهَا وَإِنِ اخْتَلَّ شَرْطٌ مِنْهَا لَمْ يُقْطَعْ

Kelima, harus ada orang yang menjaga barang tersebut bersama barang itu, sebanyak jumlah barangnya, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga; karena pada waktu istirahat seseorang tidak bisa lepas dari kebutuhan tidur, dan ia akan terbangun jika barang itu bergerak atau dicuri. Maka boleh saja orang yang menjaganya itu dalam keadaan tidur atau terjaga. Namun, jika ia tidur, maka harus memperhatikan syarat keempat terkait akal dan bentuknya; sedangkan jika ia terjaga, maka syarat ini tidak wajib. Jika seluruh syarat ini terpenuhi, maka barang tersebut dianggap terjaga (muḥraz) dan wajib dikenakan hukuman potong tangan bagi pencurinya. Namun, jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan.

فصل

Bab

والفصل الثَّانِي فِي الْبَهَائِمِ الرَّاعِيَةِ فِي مَسَارِحِهَا مِنَ الْمَوَاشِي وَالدَّوَابِّ فَحِرْزُهَا فِي الْمَرَاعِي مُعْتَبِرٌ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ

Bagian kedua membahas tentang hewan ternak yang digembalakan di padang rumputnya, baik dari jenis ternak maupun hewan tunggangan. Tempat penjagaan hewan-hewan tersebut di padang rumput dianggap sah dengan tiga syarat.

أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ عَلَى مَاءٍ وَاحِدٍ وَفِي مَسْرَحٍ وَاحِدٍ لَا يَخْتَلِفُ لَهَا مَاءٌ وَلَا مَسْرَحٌ

Salah satunya adalah bahwa hewan-hewan itu berada pada satu sumber air dan satu tempat penggembalaan, tidak berbeda airnya dan tidak pula tempat penggembalaannya.

وَالثَّانِي أَنْ لَا يَبْعُدَ مَا بين أوائلها وأواخرها حتى لا يخرج عَنِ الْعُرْفِ فِي الْمَسْرَحِ وَالْعُرْفُ فِي الْإِبِلِ أَنَّهَا أَكْثَرُ تَبَاعُدًا فِي الْمَسْرَحِ مِنَ الْغَنَمِ فَيُرَاعَى فِي تَبَاعُدِ كُلِّ جِنْسٍ مِنْهَا عُرْفُهُ الْمَعْهُودُ

Kedua, jarak antara awal dan akhir hewan-hewan itu tidak boleh terlalu jauh hingga keluar dari kebiasaan (‘urf) dalam penggembalaan. Adapun kebiasaan (‘urf) pada unta adalah bahwa jarak antara mereka dalam penggembalaan lebih jauh dibandingkan dengan kambing. Maka, dalam menentukan jarak setiap jenis hewan, hendaknya mengikuti kebiasaan (‘urf) yang berlaku pada masing-masing jenis tersebut.

وَالثَّالِثُ الرَّاعِي وَفِي الرَّاعِي ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ مُعْتَبَرَةٌ

Ketiga adalah pemimpin, dan pada pemimpin terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi.

أَحَدُهَا أَنْ يَرَى جَمِيعَهَا فَإِنْ رَأَى بَعْضَهَا كَانَ حِرْزًا لِمَا رَآهُ مِنْهَا دُونَ ما لم يره

Salah satunya adalah melihat seluruhnya; maka jika ia hanya melihat sebagian, maka yang menjadi perlindungan adalah bagian yang telah ia lihat saja, sedangkan bagian yang belum ia lihat tidak termasuk.

والثاني أن لا يخرج عن مدى صوته؛ لأنها تجتمع وتفترق في المراعي بِصَوْتِهِ فَإِنْ بَعُدَتْ عَنْ مَدَى صَوْتِهِ كَانَ حرزاً لما انتهى إليه صوته وَلَمْ يَكُنْ حِرْزًا لِمَا لَمْ يَبْلُغُهُ صَوْتُهُ

Kedua, hewan-hewan itu tidak keluar dari jangkauan suaranya; karena hewan-hewan tersebut berkumpul dan berpencar di padang rumput dengan suaranya. Jika hewan-hewan itu menjauh dari jangkauan suaranya, maka yang menjadi perlindungan adalah sejauh mana suaranya terdengar, dan tidak menjadi perlindungan untuk apa yang tidak dijangkau oleh suaranya.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ مُسْتَيْقِظًا لِأَنَّهَا تَرْعَى نَهَارًا فِي زَمَانِ التَّصَرُّفِ وَالْيَقَظَةِ فَإِنْ نَامَ عَنْهَا لَمْ يَكُنْ حِرْزًا لِشَيْءٍ مِنْهَا

Ketentuan yang ketiga adalah harus dalam keadaan terjaga, karena hewan-hewan tersebut digembalakan pada siang hari, yaitu pada waktu orang-orang beraktivitas dan terjaga. Jika ia tertidur darinya, maka tempat itu tidak lagi menjadi perlindungan bagi apa pun dari hewan-hewan tersebut.

فَصْلٌ

Bagian

وَالْفَصْلُ الثَّالِثُ فِي الْبَهَائِمِ إِذَا اجْتَمَعَتْ فِي مُرَاحِهَا فَالْمُرَاحُ حِرْزٌ لَهَا وَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Bagian ketiga membahas tentang hewan ternak apabila berkumpul di kandangnya; maka kandang tersebut merupakan tempat perlindungan bagi mereka, dan keadaannya tidak lepas dari tiga macam.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مُرَاحُهَا فِي بَلَدٍ أَوْ قَرْيَةٍ فَإِذَا كَانَ لِلْمُرَاحِ حَظِيرَةٌ تَحُوطُهُ وَبَابٌ يُغْلَقُ عَلَيْهِ كَانَ حِرْزًا سَوَاءٌ كان معها راعيها أو لم يكن فإن سرقت منه قطع

Salah satunya adalah jika tempat penggembalaannya berada di sebuah kota atau desa. Jika tempat penggembalaan itu memiliki kandang yang mengelilinginya dan pintu yang dapat dikunci, maka itu dianggap sebagai tempat penyimpanan yang aman, baik ada penggembalanya bersama hewan-hewan tersebut maupun tidak. Jika hewan-hewan itu dicuri dari tempat tersebut, maka pelakunya dikenai hukuman potong tangan.

والثاني أن يكون مراحها في أقبية أَهْلِهَا بِالْبَادِيَةِ بِحَيْثُ يُدْرِكُهَا الصَّوْتُ فَاجْتِمَاعُهَا فِيهِ حِرْزٌ لَهَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا أَحَدٌ

Kedua, jika tempat bermalam hewan-hewan itu berada di kandang milik pemiliknya di daerah pedesaan, sehingga suara dapat menjangkaunya, maka berkumpulnya hewan-hewan itu di dalam kandang tersebut dianggap sebagai perlindungan bagi mereka, meskipun tidak ada seorang pun yang bersama mereka.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ مُرَاحُهَا فِي الصَّحْرَاءِ عَلَى بُعْدٍ مِنْ بُيُوتِ أَهْلِهَا فَحِرْزُهَا فِيهِ مُعْتَبَرٌ بشرطين

Ketiga, jika hewan ternak itu digembalakan di padang pasir yang jauh dari rumah-rumah penduduknya, maka tempat penyimpanannya di sana dianggap sebagai perlindungan (ḥirz) dengan dua syarat.

أحدهما اجتماعهما فِيهِ بِحَيْثُ يَحُثُّ بَعْضُهَا بِحَرَكَةِ بَعْضٍ

Salah satunya adalah berkumpulnya keduanya di dalamnya, sehingga sebagian mendorong sebagian yang lain dengan gerakannya.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَعَهَا رَاعٍ يَحْفَظُهَا فَإِنْ كَانَ مُسْتَيْقِظًا لَمْ يَحْتَجْ مَعَ الِاسْتِيقَاظِ إِلَى غَيْرِهِ وَإِنْ نَامَ احْتَاجَ مَعَ نَوْمِهِ إِلَى شَرْطٍ ثَالِثٍ وَهُوَ مَا يُوقِظُهُ إِنْ سُرِقَتْ مِنْ كِلَابٍ تَنْبَحُ أَوْ أَجْرَاسٍ تَتَحَرَّكُ فَإِنْ أَخَلَّ بِهَذَا عِنْدَ نَوْمِهِ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا وَلَمْ يُقْطَعْ سَارِقُهَا

Kedua, harus ada penjaga yang mengawasinya. Jika penjaga tersebut dalam keadaan terjaga, maka dengan terjaganya itu tidak dibutuhkan syarat lain. Namun jika ia tidur, maka bersama tidurnya diperlukan syarat ketiga, yaitu adanya sesuatu yang dapat membangunkannya jika barang itu dicuri, seperti anjing yang menggonggong atau lonceng yang berbunyi. Jika syarat ini tidak terpenuhi saat ia tidur, maka tempat itu tidak dianggap sebagai ḥirz dan pencurinya tidak dikenai hukuman potong tangan.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا أَلْبَانُ الْمَوَاشِي إِذَا احْتَلَبَهَا مِنْ ضُرُوعِهَا فَإِنْ لَمْ تَكُنِ الْمَوَاشِي فِي حِرْزٍ فَلَا قَطْعَ فِي أَلْبَانِهَا كَمَا لَمْ يَكُنْ فِيهَا لَوْ سُرِقَتْ قَطْعٌ وَإِنْ كانت في حرز من مراح أو مرعى فضروع المواشي حرز ألبانها فَيُنْظَرُ فَإِنْ بَلَغَ لَبَنُ الْبَهِيمَةِ الْوَاحِدَةِ نِصَابًا قُطِعَ وَإِنْ لَمْ يَكْمُلِ النِّصَابُ إِلَّا بِاحْتِلَابِ جَمَاعَةٍ مِنْهَا فَفِي قَطْعِهِ إِذَا احْتَلَبَهَا قَوْلَانِ

Adapun susu hewan ternak, jika diperah dari ambingnya, maka jika hewan ternak tersebut tidak berada dalam tempat yang terlindungi, tidak ada hukuman potong tangan atas susu tersebut, sebagaimana tidak ada hukuman potong tangan atas hewan ternak itu sendiri jika dicuri. Namun, jika hewan ternak itu berada dalam tempat yang terlindungi, baik kandang maupun padang rumput yang dijaga, maka ambing hewan ternak itu menjadi perlindungan bagi susunya. Maka, diperhatikan: jika susu dari satu ekor hewan mencapai nisab, maka pelakunya dipotong tangannya. Namun, jika nisab tidak terpenuhi kecuali dengan memerah beberapa ekor hewan, maka dalam hal ini ada dua pendapat mengenai apakah pelakunya dipotong tangannya atau tidak.

أَحَدُهُمَا لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهَا سَرِقَاتٌ مِنْ أَحْرَازٍ؛ لِأَنَّ كُلَّ ضَرْعٍ حِرْزُ لَبَنِهِ

Salah satunya tidak dikenai hukuman potong tangan, karena itu adalah pencurian dari tempat yang terlindungi; sebab setiap ambing adalah tempat perlindungan bagi susunya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُقْطَعُ؛ لِأَنَّ الْمُرَاحَ حِرْزٌ وَاحِدٌ لِجَمِيعِهَا وَهُوَ لو سرق جماعة تبلغ نصاباً قطع وكذلك إِذَا احْتَلَبَ أَلْبَانَ جَمَاعَةٍ تَبْلُغُ نِصَابًا قُطِعَ

 

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ولو ضرب فسطاطاً وآوى فيه متاعه فاضطجع فسرق الفسطاط والمتاع مِنْ جَوْفِهِ قُطِعَ لِأَنَّ اضْطِجَاعَهُ حِرْزٌ لَهُ ولما فيه إلا أن الْأَحْرَازَ تَخْتَلِفُ فَيُحْرَزُ كُلٌّ بِمَا تَكُونُ الْعَامَّةُ تحرز مثله

Syafi‘i berkata, “Jika seseorang mendirikan tenda dan menyimpan barang-barangnya di dalamnya, lalu ia berbaring di sana, kemudian tenda dan barang-barang di dalamnya dicuri, maka pelakunya dipotong tangannya, karena berbaringnya orang tersebut merupakan perlindungan bagi dirinya dan barang-barangnya. Namun, tempat perlindungan itu berbeda-beda, sehingga setiap orang melindungi barangnya dengan cara yang lazim digunakan oleh masyarakat pada umumnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا نَوْعٌ رَابِعٌ مِنَ الْأَحْرَازِ وَهُوَ إِذَا حَطَّ الْمُسَافِرُ مَتَاعَهُ فِي سَفَرِهِ فِي مَنْزِلِ اسْتِرَاحَةٍ فَضَرَبَ فُسْطَاطًا أَوْ خَيْمَةً مِنْ جُلُودٍ أَوْ شِعْرٍ أَوْ خَرْقٍ فَشَدَّ أَطْنَابَهُ وَأَرْسَى أَوْتَادَهُ كَانَ هَذَا حِرْزًا لِلْفُسْطَاطِ إِذَا كَانَ صَاحِبُهُ يَرَاهُ سَوَاءٌ كَانَ فِيهِ أَوْ خَارِجًا مِنْهُ فَإِنْ سُرِقَ هَذَا الْفُسْطَاطُ قُطِعَ سَارِقُهُ فَإِنْ أَحْرَزَ فِي الْفُسْطَاطِ مَتَاعَهُ لم يكن المتاع محرزاً إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَاحِبُهُ مَعَهُ فِي الْفُسْطَاطِ مُضْطَجِعًا عَلَيْهِ إِنْ كَانَ نَائِمًا أَوْ نَاظِرًا إِلَيْهِ إِنْ كَانَ مُسْتَيْقِظًا فَإِنْ سُرِقَ مِنَ المتاع وهو على هذه الصفة والفسطاط قُطِعَ سَارِقُهُ؛ لِأَنَّ مَا كَانَ حِرْزًا لِغَيْرِهِ كان حرزاً لنفسه

Al-Mawardi berkata: Ini adalah jenis keempat dari tempat penyimpanan (perlindungan), yaitu apabila seorang musafir menurunkan barang-barangnya dalam perjalanannya di sebuah tempat istirahat, lalu ia mendirikan tenda atau kemah dari kulit, kain wol, atau kain perca, kemudian ia mengikat tali-talinya dan menancapkan patok-patoknya, maka hal itu menjadi perlindungan bagi tenda tersebut apabila pemiliknya dapat melihatnya, baik ia berada di dalamnya maupun di luarnya. Jika tenda tersebut dicuri, maka pencurinya dipotong tangannya. Namun, jika ia menyimpan barang-barangnya di dalam tenda, maka barang-barang tersebut tidak dianggap terlindungi kecuali jika pemiliknya berada bersamanya di dalam tenda, baik ia berbaring di atasnya jika sedang tidur, atau memandanginya jika sedang terjaga. Jika barang tersebut dicuri dalam keadaan seperti ini dan tenda masih ada, maka pencurinya dipotong tangannya; karena sesuatu yang menjadi perlindungan bagi selainnya, maka ia juga menjadi perlindungan bagi dirinya sendiri.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوِ اضْطَجَعَ فِي صَحْرَاءَ وَوَضَعَ ثَوْبَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ

Imam Syafi‘i berkata, “Seandainya seseorang berbaring di padang pasir dan meletakkan kainnya di hadapannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا نَوْعٌ خَامِسٌ مِنَ الْأَحْرَازِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ فِي صَحْرَاءَ فَيَكُونُ حِرْزًا لِثِيَابِهِ الَّتِي هُوَ لَابِسُهَا سَوَاءٌ كَانَ نَائِمًا أَوْ مُسْتَيْقِظًا فَأَمَّا ثِيَابُهُ الَّتِي لَمْ يلبسها فإن كَانَ مُسْتَيْقِظًا فَحِرْزُ ثِيَابِهِ أَنْ تَكُونَ بَيْنَ يَدَيْهِ يَرَاهَا وَإِنْ كَانَ نَائِمًا فَحِرْزُهَا أَنْ يَضْطَجِعَ عَلَيْهَا أَوْ يَضَعَهَا تَحْتَ رَأْسِهِ وَيَنَامَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ نَامَ فِي الْمَسْجِدِ وَوَضَعَ رِدَاءَهُ تَحْتَ رَأْسِهِ فَسُرِقَ مِنْهُ فَقَطَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَارِقَهُ وَلِأَنَّ هَذَا فِي الْعُرْفِ حِرْزٌ لِثَوْبِ النَّائِمِ فَأَمَّا إِنْ كَانَ مَعَهُ هِمْيَانٌ فِيهِ دَرَاهِمُ أَوْ دَنَانِيرُ لَمْ يَكُنْ وَضْعُهُ تَحْتَ رأسه إذا نام حرزاً له حَتَّى يَشُدَّهُ فِي وَسَطِهِ؛ لِأَنَّ الْأَحْرَازَ تَخْتَلِفُ باختلاف المحرزات

Al-Mawardi berkata, “Ini adalah jenis kelima dari tempat penyimpanan (ḥirz), yaitu seseorang berada di padang pasir, maka pakaian yang sedang ia kenakan dianggap sebagai ḥirz baginya, baik ketika ia sedang tidur maupun terjaga. Adapun pakaian yang tidak ia kenakan, jika ia dalam keadaan terjaga, maka ḥirz pakaian tersebut adalah dengan meletakkannya di hadapannya sehingga ia dapat melihatnya. Jika ia sedang tidur, maka ḥirz pakaian itu adalah dengan membaringkan diri di atasnya atau meletakkannya di bawah kepalanya dan tidur di atasnya. Hal ini karena Shafwan bin Umayyah pernah tidur di masjid dan meletakkan selendangnya di bawah kepalanya, lalu selendang itu dicuri darinya, maka Rasulullah ﷺ memotong tangan pencurinya. Ini karena menurut ‘urf (kebiasaan), hal tersebut dianggap sebagai ḥirz bagi pakaian orang yang tidur. Adapun jika ia membawa kantong berisi dirham atau dinar, maka meletakkannya di bawah kepala saat tidur tidak dianggap sebagai ḥirz baginya sampai ia mengikatnya di pinggangnya, karena tempat penyimpanan (ḥirz) berbeda-beda sesuai dengan barang yang disimpan.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” أو ترك أهل الأسواق متاعهم في مقاعد ليس عليها حرز لم يضم ولم يربط أو أرسل رجل إبله ترعى أو تمضي على الطريق غير مقطورة أو أباتها بصحراء ولم يضطجع عندها أو ضرب فسطاطا فلم يضطجع فيه فسرق من هذا شيء لم يقطع لأن العامة لا ترى هذا حرزاً

Imam Syafi‘i berkata, “Atau jika para pedagang di pasar meninggalkan barang dagangan mereka di tempat duduk yang tidak ada perlindungan, tidak dikumpulkan dan tidak diikat, atau seseorang melepas untanya untuk merumput atau berjalan di jalan tanpa diikat, atau membiarkannya bermalam di padang pasir tanpa tidur di dekatnya, atau mendirikan tenda namun tidak tidur di dalamnya, lalu ada sesuatu yang dicuri dari hal-hal tersebut, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan, karena menurut kebiasaan umum, hal itu tidak dianggap sebagai perlindungan (ḥirz).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ نَوْعٌ سَادِسٌ مِنَ الْأَحْرَازِ وهو متعة أَهْلِ الْأَسْوَاقِ إِذَا وَضَعُوهَا لِلْبَيْعِ فَهِيَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini adalah jenis keenam dari al-ahraz, yaitu barang dagangan milik para pedagang di pasar ketika mereka meletakkannya untuk dijual, maka barang tersebut terbagi menjadi dua macam.”

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ فِي حَوَانِيتِهِمْ فَإِذَا فتح حانوته وجلس على بابه كان حرزاً لِجَمِيعِ مَا فِيهِ فَإِنِ انْصَرَفَ عَنْهُ أَوْ نَامَ صَارَ مَا فِيهِ غَيْرَ مُحَرَّزٍ

Salah satunya adalah barang-barang yang berada di toko-toko mereka; maka apabila seseorang membuka tokonya dan duduk di depan pintunya, itu dianggap sebagai perlindungan (ḥirz) bagi seluruh barang yang ada di dalamnya. Namun, jika ia meninggalkannya atau tertidur, maka barang-barang di dalamnya tidak lagi dianggap terlindungi.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ أَمْتِعَتُهُمْ فِي أَفْنِيَةِ أَسْوَاقِهِمْ وَطُرُقَاتِهِمْ فَالْحِرْزُ فِيهَا أَغْلَظُ؛ لِأَنَّ الْأَيْدِيَ إِلَى تَنَاوُلِهَا أَسْرَعُ فَحِرْزُهَا مُعْتَبَرٌ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ

Jenis kedua adalah apabila barang-barang mereka berada di pelataran pasar dan jalan-jalan mereka, maka perlindungan (ḥirz) terhadapnya lebih ketat; karena tangan-tangan lebih cepat menjangkaunya, maka perlindungan terhadapnya dipertimbangkan dengan tiga syarat.

أَحَدُهَا أن يكون بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ كَانَتْ وَرَاءَهُ فَلَيْسَتْ فِي حِرْزٍ

Salah satunya adalah bahwa (barang) itu berada di hadapannya; maka jika barang itu berada di belakangnya, maka barang itu tidak berada dalam perlindungan (hirz).

وَالثَّانِي أَنْ يَرَى جَمِيعَهَا فَإِنْ لَمْ ير منها شيئاً فليس فِي حِرْزٍ لِمَا لَا يَرَاهُ

Kedua, ia harus melihat seluruhnya; jika ia tidak melihat sedikit pun darinya, maka tidak dianggap berada dalam perlindungan (ḥirz) terhadap sesuatu yang tidak ia lihat.

وَالثَّالِثُ أَنْ يكون مجتمعاً لا تمشي بينه مارة في الطَّرِيقِ فَإِنْ تَفَرَّقَ وَمَشَى فِيهِ مَارَّةُ الطَّرِيقِ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا لَمَّا حَالَ الْمَاشِيَةُ بَيْنَهُ وبينه

Ketiga, tempat itu harus berupa kumpulan orang yang tidak dilalui oleh orang-orang yang lewat di jalan. Jika mereka berpencar dan ada orang yang lewat di jalan di antara mereka, maka tempat itu tidak lagi dianggap sebagai ḥirz, karena orang yang lewat telah memisahkan antara barang tersebut dan pemiliknya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَالْبُيُوتُ الْمُغْلَقَةُ حِرْزٌ لِمَا فِيهَا

Imam Syafi‘i berkata, “Rumah-rumah yang tertutup adalah tempat perlindungan bagi apa yang ada di dalamnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا نَوْعٌ سَابِعٌ مِنَ الْأَحْرَازِ وَهِيَ الْبُيُوتُ والأبنية في الأمصار والقرى وينقسم ثلاثة أقسام حوانيت متاجر وَدُورُ مَسَاكِنَ وَبُيُوتُ خَانَاتٍ

Al-Mawardi berkata: Ini adalah jenis ketujuh dari perlindungan, yaitu rumah-rumah dan bangunan-bangunan di kota-kota dan desa-desa, yang terbagi menjadi tiga bagian: toko-toko perdagangan, rumah-rumah tempat tinggal, dan rumah-rumah penginapan.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ حَوَانِيتُ الْمُتَاجِرِ فِي الْأَسْوَاقِ فَلَهَا حَالَتَانِ

Adapun bagian pertama, yaitu toko-toko perdagangan di pasar, maka ia memiliki dua keadaan.

لَيْلٌ وَنَهَارٌ فَأَمَّا النَّهَارُ فَأَمْرُهَا أَخَفُّ لِانْتِشَارِ الناس فيها فيكون حرزاً في نَفِيسِ الْمَتَاعِ لِمَا لَا يَكُونُ حِرْزًا لَهُ في الليل أو يكون الْحَانُوتُ فِيهِ مُحْرَزًا بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ

Malam dan siang. Adapun siang hari, urusannya lebih ringan karena orang-orang tersebar di dalamnya, sehingga sesuatu yang berharga dapat dianggap terlindungi pada siang hari, sedangkan pada malam hari tidak dianggap terlindungi, atau sebuah toko pada siang hari dapat dianggap terlindungi dengan salah satu dari dua hal.

إِمَّا أَنْ يغلق بابه بإقفاله وإما أن يَكُونَ مَفْتُوحًا وَفِيهِ صَاحِبُهُ

Bisa jadi ia menutup pintunya dengan menguncinya, atau pintunya tetap terbuka sementara pemiliknya ada di dalam.

وَأَمَّا اللَّيْلُ فَالْإِحْرَازُ فِيهِ أَغْلَظُ فَتَكُونُ حَوَانِيتُ كُلِّ سُوقٍ حِرْزًا لِجِنْسِ أَمْتِعَةِ تِلْكَ السُّوقِ فَتَكُونُ حَوَانِيتُ سُوقِ الدَّقِيقِ حِرْزًا لِلدَّقِيقِ وَلَا تَكُونُ حِرْزًا لِلصَّيْدَلَةِ؛ لِأَنَّ أَبْوَابَهَا فِي العرف أضعف وأغلاقها أسهل وحوانيت سوق الصَّيْدَلَةِ حِرْزًا لِلصَّيْدَلَةِ وَلَا تَكُونُ حِرْزًا لِلْعِطْرِ؛ لِأَنَّ أَحْرَازَ الْعِطْرِ أَغْلَظُ وَأَصْعَبُ وَأَغْلَاقَهَا أَشَدُّ وَحَوَانِيتُ سُوقِ الْعِطْرِ حِرْزٌ لِلْعِطْرِ وَلَا تَكُونُ حِرْزًا لِلْبَزِّ؛ لِأَنَّ أَحْرَازَ الْبَزِّ أَغْلَظُ وَحَوَانِيتُ سُوقِ الْبَزِّ حِرْزٌ لِلْبَزِّ وَلَا تَكُونُ حِرْزًا للصيارف في الفضة والذهب؛ لِأَنَّ حِرْزَ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ أَغْلَظُ وَقَلَّ مَا أحرز الصيارف الفضة والذهب فِي حَوَانِيتِهِمْ إِلَّا مَعَ الْغَايَةِ فِي عَدْلِ السُّلْطَانِ وَأَمْنِ الزَّمَانِ فَإِنِ انْتَهَى الزَّمَانُ إِلَى هذا الحال في عدله وأمته كانت حوانيتهم حرزاً لأموالهم والدراهم وَالدَّنَانِيرِ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ بِنَاؤُهَا مُحْكَمًا وَأَبْوَابُهَا وَثِيقَةً وَأَقْفَالُهَا صَعْبَةً وَيَكُونُ عَلَى أَسْوَاقِهِمْ دُرُوبٌ وَكَذَلِكَ أَسْوَاقُ الْبَزَّازِينَ إِذَا أَحْرَزُوا الْبَزَّ فِي حَوَانِيتِهِمْ وَيَكُونُ فِيهَا مَعَ الدُّرُوبِ حُرَّاسٌ وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَبِيتَ فِي الْحَوَانِيتِ أَرْبَابُهَا لِخُرُوجِهِ عَنِ الْعُرْفِ وَإِنْ كَانَ الزَّمَانُ مُنْتَشِرَ الْفَسَادِ قليل الأمن لم تكن حوانيت الصيارف والبزارين حِرْزًا لِأَمْوَالِهِمْ مِنَ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ وَالْبَزِّ حَتَّى يَنْقُلُوهَا فِي اللَّيْلِ إِلَى مَسَاكِنِهِمْ أَوْ خَانَاتِهِمْ فَهَذَا حُكْمُ الْحَوَانِيتِ

Adapun pada malam hari, maka penjagaan (iḥrāz) lebih ketat, sehingga toko-toko di setiap pasar menjadi tempat penjagaan untuk jenis barang dagangan pasar tersebut. Maka toko-toko di pasar tepung menjadi tempat penjagaan untuk tepung, dan tidak menjadi tempat penjagaan untuk obat-obatan, karena pintu-pintunya menurut kebiasaan lebih lemah dan kuncinya lebih mudah dibuka. Toko-toko di pasar obat-obatan menjadi tempat penjagaan untuk obat-obatan, dan tidak menjadi tempat penjagaan untuk parfum, karena tempat penjagaan parfum lebih ketat, lebih sulit, dan kuncinya lebih kuat. Toko-toko di pasar parfum adalah tempat penjagaan untuk parfum, dan tidak menjadi tempat penjagaan untuk kain, karena tempat penjagaan kain lebih ketat. Toko-toko di pasar kain adalah tempat penjagaan untuk kain, dan tidak menjadi tempat penjagaan bagi para penukar uang (ṣayārif) dalam hal perak dan emas, karena tempat penjagaan perak dan emas lebih ketat, dan jarang sekali para penukar uang menjaga perak dan emas di toko mereka kecuali dalam keadaan sangat adilnya penguasa dan amannya zaman. Jika zaman telah mencapai keadaan seperti itu dalam keadilan dan keamanannya, maka toko-toko mereka menjadi tempat penjagaan untuk harta, dirham, dan dinar mereka, setelah bangunannya kokoh, pintunya kuat, kuncinya sulit dibuka, dan di pasar mereka terdapat gang-gang. Demikian pula pasar para pedagang kain, jika mereka menjaga kain di toko-toko mereka, dan di dalamnya terdapat penjaga di samping gang-gang tersebut. Tidak disyaratkan pemilik toko bermalam di tokonya, karena hal itu keluar dari kebiasaan. Namun jika zaman penuh kerusakan dan sedikit keamanan, maka toko-toko para penukar uang dan para pedagang kain tidak menjadi tempat penjagaan untuk harta mereka berupa perak, emas, dan kain, hingga mereka memindahkannya pada malam hari ke rumah atau penginapan mereka. Inilah hukum mengenai toko-toko.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وهو المساكن المستوطنة فتختلف في أحرازها بحسب اختلاف سكانها من الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ فَأَمَّا مَسَاكِنُ ذَوِي الْإِعْسَارِ فَأَخَفُّ أحرازاً؛ لأن متاع بيوتهم زهيد لَا يُرْغَبُ فِيهِ فَإِنْ كَانَتْ أَبْنِيَتُهُمْ قَصِيرَةً وَأَبْوَابُهُمْ خَفِيفَةً وَأَغْلَاقُهُمْ سَهْلَةً كَانَتْ حِرْزًا لِأَمْثَالِهِمْ فَإِنْ سَكَنَهَا أَهْلُ الْيَسَارِ لَمْ تَكُنْ حِرْزًا لَهُمْ؛ لِأَنَّ مَسَاكِنَ ذَوِي الْيَسَارِ مَحْكَمَةُ الْأَبْنِيَةِ عَالِيَةُ الْجُدْرَانِ وَثِيقَةُ الْأَبْوَابِ صَعْبَةُ الْأَغْلَاقِ فَإِنْ كَانَتْ جُدْرَانُهَا قِصَارًا وَهِيَ مُسَقَّفَةٌ بِسَقْفِ وَثِيقَةٍ كَانَتْ حِرْزًا لِأَمْثَالِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْيَسَارِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مُسَقَّفَةً لَمْ تَكُنْ حِرْزًا لِذَوِي الْيَسَارِ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ الصُّعُودُ إِلَيْهَا إِذَا قَصُرَتْ وَلَا يُمْكِنُ الصُّعُودُ إِلَيْهَا إِذَا عَلَتْ فَإِذَا سَكَنَ أَهْلُ الْيَسَارِ فِي مَسَاكِنِ أَمْثَالِهِمْ فَلَهُمْ حَالَتَانِ لَيْلٌ وَنَهَارٌ

Adapun bagian kedua, yaitu rumah-rumah yang dihuni secara tetap, maka tingkat keamanannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan penghuninya, apakah mereka orang yang berada atau yang kurang mampu. Adapun rumah orang-orang yang kurang mampu, maka tingkat keamanannya lebih ringan; karena barang-barang di rumah mereka sedikit dan tidak menarik minat. Jika bangunan rumah mereka rendah, pintu-pintunya ringan, dan kuncinya mudah, maka itu sudah dianggap sebagai tempat yang aman bagi orang seperti mereka. Namun, jika rumah tersebut ditempati oleh orang-orang yang berada, maka itu tidak dianggap sebagai tempat yang aman bagi mereka; karena rumah orang-orang yang berada biasanya bangunannya kokoh, dindingnya tinggi, pintunya kuat, dan kuncinya sulit. Jika dinding rumah mereka rendah namun atapnya kokoh, maka itu dianggap sebagai tempat yang aman bagi orang-orang berada seperti mereka. Namun, jika tidak beratap, maka itu tidak dianggap sebagai tempat yang aman bagi orang-orang berada; karena rumah yang rendah mudah dinaiki, sedangkan rumah yang tinggi tidak mudah dinaiki. Jika orang-orang berada tinggal di rumah yang sesuai dengan standar mereka, maka ada dua keadaan: malam dan siang.

فَأَمَّا النَّهَارُ فَيَجُوزُ أَنْ يكون أَبْوَابُهُمْ مَفْتُوحَةً إِذَا كَانُوا أَوْ وَاحِدٌ مِنْهُمْ يَرَى الدَّاخِلَ إِلَيْهَا وَالْخَارِجَ مِنْهَا وَإِنْ لَمْ يروه لم يكن حِرْزًا إِلَّا بِغَلْقِ الْبَابِ وَإِغْلَاقُهُ فِي النَّهَارِ أخف من أغلاقه في الليل فلا تَكُونُ فِي اللَّيْلِ حِرْزًا إِلَّا بَعْدَ غَلْقِ أَبْوَابِهَا وَإِحْكَامِ إِغْلَاقِهَا ثُمَّ لِأَمْتِعَةِ بُيُوتِهِمْ حَالَتَانِ

Adapun pada siang hari, maka boleh pintu-pintu rumah mereka terbuka jika mereka, atau salah satu dari mereka, dapat melihat orang yang masuk dan keluar dari rumah tersebut. Namun, jika mereka tidak melihatnya, maka itu tidak dianggap sebagai ḥirz kecuali dengan menutup pintu. Menutup pintu pada siang hari lebih ringan dibandingkan menutupnya pada malam hari. Maka, pada malam hari, rumah tidak dianggap sebagai ḥirz kecuali setelah pintu-pintunya ditutup dan dikunci rapat. Kemudian, untuk barang-barang di dalam rumah mereka, terdapat dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا مَا كَانَ جَافِيًا لِلْبِذْلَةِ كَالْبُسُطِ وَالْأَوَانِي فَصُحُونُ مَسَاكِنِهِمْ حِرْزٌ لَهَا

Salah satunya adalah apa yang tidak mudah rusak karena digunakan, seperti permadani dan peralatan makan, maka piring-piring di rumah mereka merupakan tempat yang melindungi barang-barang tersebut.

وَالثَّانِي مَا كَانَ مِنْ ذَخَائِرِهِمْ وَنَفِيسِ أَمْوَالِهِمْ فَالْبُيُوتُ الْمُغْلِقَةُ فِي الْمَسَاكِنِ حِرْزٌ لَهَا وَلَا يَكُونُ تَرْكُهَا فِي صُحُونِ الْمَسَاكِنِ حِرْزًا لِمِثْلِهَا؛ لِأَنَّهَا تُحْفَظُ مِنْ أَهْلِ الْمَسْكَنِ وَغَيْرِ أَهْلِ الْمَسْكَنِ فَإِنْ سَرَقَهَا غَرِيبٌ مِنْهُمْ وَخَارِجٌ عَنْهُمْ قُطِعَ وَإِنْ سَرَقَهَا أحدهم لم يقطع؛ لما تُرِكَ فِي صُحُونِ الْمَسَاكِنِ الَّتِي يُدْخَلُ إِلَيْهَا وَيُخْرَجُ مِنْهَا وَقُطِعَ بِمَا فِي الْبُيُوتِ الْمُقْفَلَةِ مِنْهُ فَلَوْ كَانَ فِي جِدَارِ الدَّارِ فَتْحَةٌ طويلة وكانت عَالِيَةً لَا تُنَالُ فَالْحِرْزُ بِحَالِهِ وَإِنْ كَانَتْ قَصِيرَةً نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ ضَيِّقَةً لَا يُمْكِنُ وُلُوجُهَا إِلَّا بِهَدْمِ بُنْيَانٍ لَمْ تَمْنَعْ مِنَ الْحِرْزِ وَإِنْ كَانَتْ وَاسِعَةً يُمْكِنُ وُلُوجُهَا مُنِعَتْ مِنَ الْحِرْزِ وَصَارَتْ كَالْبَابِ الْمَفْتُوحِ فَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا بَابٌ كَبَابِ الدَّارِ فِي الْوِثَاقَةِ جَرَى مَجْرَاهُ وَجَازَ فَتْحُهُ نَهَارًا وَغَلْقُهُ لَيْلًا وَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا شُبَّاكٌ فَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا لَا يُرَدُّ فَلَيْسَ بِحِرْزٍ وَإِنْ كَانَ قَوِيًّا مِنْ حَدِيدٍ أَوْ خَشَبٍ وَثِيقٍ كَانَ حِرْزًا فَهَذَا حُكْمُ الْمَسَاكِنِ

Yang kedua adalah harta simpanan dan barang berharga mereka; maka rumah-rumah yang terkunci di dalam tempat tinggal merupakan tempat penyimpanan (ḥirz) bagi harta tersebut, dan meninggalkannya di halaman rumah tidak dianggap sebagai ḥirz untuk barang semacam itu. Sebab, barang tersebut dijaga baik oleh penghuni rumah maupun orang luar. Jika barang itu dicuri oleh orang asing dari luar mereka, maka pelakunya dikenai hukuman potong tangan; namun jika yang mencurinya adalah salah satu dari mereka, maka tidak dipotong tangannya, karena barang itu diletakkan di halaman rumah yang bisa dimasuki dan dilalui orang. Sedangkan jika barang itu berada di dalam rumah yang terkunci, maka pelaku dikenai hukuman potong tangan. Jika di dinding rumah terdapat lubang yang panjang dan letaknya tinggi sehingga tidak dapat dijangkau, maka status ḥirz tetap berlaku. Namun jika lubangnya rendah, maka dilihat lagi: jika lubangnya sempit sehingga tidak mungkin dimasuki kecuali dengan merusak bangunan, maka itu tidak menghalangi status ḥirz; tetapi jika lubangnya lebar dan memungkinkan untuk dimasuki, maka itu menghalangi status ḥirz dan menjadi seperti pintu yang terbuka. Jika pada lubang itu terdapat pintu seperti pintu rumah yang kokoh, maka hukumnya sama dengan pintu rumah, boleh dibuka pada siang hari dan ditutup pada malam hari. Jika pada lubang itu hanya ada jendela, maka jika jendelanya lemah dan tidak dapat menahan, itu bukan ḥirz; namun jika jendelanya kuat, terbuat dari besi atau kayu yang kokoh, maka itu dianggap sebagai ḥirz. Inilah hukum terkait tempat tinggal.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ بُيُوتُ الْخَانَاتِ الَّتِي يُدْخَلُ إِلَى صُحُونِهَا بِغَيْرِ إِذْنٍ وَيَنْفَرِدُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِهَا بِبَيْتٍ فلها حكمان

 

أحدهما حكم صحوتها

Salah satunya adalah hukum ketika ia sadar.

وَالثَّانِي حُكْمُ بُيُوتِهَا

Kedua, hukum rumah-rumahnya.

فَأَمَّا حُكْمُ صُحُونِهَا إِذَا تُرِكَ فِيهِ مَتَاعٌ فَهُوَ غَيْرُ حِرْزٍ فِي النَّهَارِ مِنْ أَهْلِ الْخَانِ وَغَيْرِ أَهْلِهِ؛ لِاسْتِبْذَالِهِ بالدخول مِنْ غَيْرِ إِذْنٍ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعَ الْمَتَاعِ حَافِظٌ يَرَاهُ فَيَصِيرُ بِهِ مُحْرِزًا فَأَمَّا الليل إذا غلق عَلَى الْخَانِ بَابَهُ فَهُوَ حِرْزٌ لِمَا فِي صَحْنِهِ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ وَلَا يَكُونُ حِرْزًا مَعَ أَهْلِهِ فَإِنْ سَرَقَهُ غَيْرُهُمْ قُطِعَ وَإِنْ سَرَقَهُ أَحَدُهُمْ لَمْ يُقْطَعْ

Adapun hukum halaman-halaman (khān) apabila di dalamnya ditinggalkan barang, maka itu bukanlah tempat yang aman (ḥirz) pada siang hari, baik dari penghuni khān maupun selainnya, karena orang biasa masuk tanpa izin, kecuali jika bersama barang tersebut ada penjaga yang mengawasinya, maka dengan adanya penjaga itu menjadi tempat yang aman (muḥriz). Adapun pada malam hari, jika pintu khān ditutup, maka itu menjadi tempat yang aman (ḥirz) bagi barang-barang yang ada di halamannya dari selain penghuninya, dan tidak menjadi tempat yang aman (ḥirz) dari penghuninya sendiri. Maka jika barang tersebut dicuri oleh orang lain (bukan penghuni), maka pelakunya dipotong tangannya (ḥadd sariqah), dan jika dicuri oleh salah satu penghuninya, maka tidak dipotong.

وَأَمَّا حُكْمُ بُيُوتِهَا فَكُلُّ بَيْتٍ مِنْهَا حِرْزٌ لِصَاحِبِهِ مِنْ أَهْلِ الخان وغير أهله فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَعًا وَكَمَالُ حِرْزِهِ مُعْتَبَرٌ بِشَرْطَيْنِ

Adapun hukum kamar-kamarnya, maka setiap kamar dari kamar-kamar tersebut merupakan tempat perlindungan bagi pemiliknya, baik dari penghuni khan maupun selain mereka, pada malam dan siang hari sekaligus. Kesempurnaan perlindungannya dipertimbangkan dengan dua syarat.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ بَابُهُ مُغْلَقًا مُقْفَلًا

Salah satunya adalah pintunya tertutup rapat dan terkunci.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ لِجَمِيعِ بُيُوتِ الْخَانِ حَافِظٌ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ حَالُ كُلِّ بَيْتٍ هَلْ قَصَدَهُ صَاحِبُهُ أَوْ غَيْرُ صَاحِبِهِ وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ لِكُلِّ بَيْتٍ حَافِظٌ وَلَا أَنْ يَكُونَ صَاحِبُهُ فِيهِ؛ لِأَنَّهَا بُيُوتٌ وُضِعَتْ فِي الأغلب لإحراز الأمتعة دون السكنى فَإِنْ سَكَنَهَا قَوْمٌ صَارَ كُلُّ بَيْتٍ بِسُكْنَى صاحبه حرزاً فصار مَا لَا سَاكِنَ فِيهِ مِنْهَا أَخْطَرَ يَحْتَاجُ إِلَى فَضْلِ مُرَاعَاةٍ فِي لَيْلِهِ دُونَ نَهَارِهِ

Kedua, hendaknya ada seorang penjaga untuk seluruh kamar-kamar penginapan yang mengetahui keadaan setiap kamar, apakah kamar itu dimasuki oleh pemiliknya atau oleh orang lain. Tidak disyaratkan setiap kamar memiliki penjaga tersendiri, dan juga tidak disyaratkan pemiliknya harus berada di dalamnya; karena kamar-kamar tersebut pada umumnya dibuat untuk menyimpan barang-barang, bukan untuk tempat tinggal. Jika ada sekelompok orang yang menempatinya, maka setiap kamar dengan keberadaan pemiliknya di dalamnya menjadi tempat penyimpanan yang aman. Maka kamar-kamar yang tidak ada penghuninya menjadi lebih rawan dan membutuhkan perhatian lebih, terutama pada malam hari dibandingkan siang hari.

فَهَذِهِ سَبْعَةُ أَمْثِلَةٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْأَحْرَازِ أَطْلَقَ الشَّافِعِيُّ ذِكْرَهَا فَاسْتَوْفَيْنَا شَرْحَهَا وَشُرُوطَهَا لِيَعْتَبِرَ بِهَا نظائرها وهناك نوع ثَامِنٌ لَمْ نَذْكُرْهُ وَهُوَ حِرْزُ الثِّمَارِ

Ini adalah tujuh contoh dari berbagai jenis tempat penyimpanan yang disebutkan secara umum oleh asy-Syafi‘i; kami telah menjelaskan dan menguraikan syarat-syaratnya agar dapat dijadikan pertimbangan untuk kasus-kasus yang serupa. Ada jenis kedelapan yang belum kami sebutkan, yaitu tempat penyimpanan buah-buahan.

فَصْلٌ

Fasal

وَالْأَصْلُ فِي حِرْزِ الثِّمَارِ مَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا مِنْ مُزَيْنَةَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عن الثمر المعلق فقال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَيْسَ فِيهِ قَطْعٌ إِلَّا مَا آوَاهُ الْجَرِينُ وَبَلَغَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ فِفِيهِ الْقَطْعُ وَمَا لَمْ يبلغ ثمن المجن ففيه غرامة مثله وجلد ثم نكال وهذا خارج على عرف الحجارة وَلَهُ تَفْصِيلٌ يَعُمُّ وَلِلثِّمَارِ حَالَتَانِ

Dasar hukum mengenai tempat penyimpanan buah-buahan adalah sebagaimana diriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Muzainah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang buah-buahan yang masih tergantung, maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada hukuman potong tangan padanya kecuali jika telah disimpan di tempat penyimpanan (jarīn) dan telah mencapai harga perisai, maka padanya ada hukuman potong tangan. Jika belum mencapai harga perisai, maka dikenakan denda sepadan dan hukuman cambuk, kemudian hukuman sebagai pelajaran.” Ini didasarkan pada kebiasaan masyarakat setempat, dan ada rincian yang bersifat umum. Buah-buahan sendiri memiliki dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يكون على رؤوس نخلها وشجرها فتكون حرزها بأحد أمرين

Salah satunya adalah berada di atas pohon kurma atau pohon-pohon lainnya, sehingga itu menjadi tempat penyimpanannya dengan salah satu dari dua hal.

إما أن يكون فيها حافظ ينظر إلى جميعها فيصير به محرزاً يقطع سارقها

Atau di situ terdapat seorang penjaga yang mengawasi semuanya, sehingga dengan kehadirannya barang-barang itu menjadi terlindungi, sehingga pencuri yang mencurinya dapat dikenai hukuman potong tangan.

وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهَا حَظَائِرُ تُغْلَقُ أَوْ باب مغلق فَتَصِيرُ بِهِ مُحْرَزَةً فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَحْظُورَةٍ وَلَا مَحْفُوظَةٍ فَلَا قَطْعَ عَلَى سَارِقِهَا وَهُوَ الأغلب من ثمار الحجاز وإليه توجه قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Atau bisa jadi ada pagar-pagar yang menutupinya atau pintu yang terkunci sehingga menjadi terlindungi karenanya. Jika buah-buahan itu tidak dipagari dan tidak dijaga, maka tidak ada hukuman potong tangan bagi pencurinya. Inilah yang umumnya terjadi pada buah-buahan di wilayah Hijaz, dan kepada hal inilah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diarahkan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ تَكُونَ قَدْ صُرِمَتْ مِنْ نَخْلِهَا وَقُطِعَتْ مِنْ شَجَرِهَا وَوُضِعَتْ فِي جَرِينِهَا وبيدرها إما للبيع إما لِلتَّجْفِيفِ وَالْيُبْسِ فَالْجَرِينُ لِلثَّمَرَةِ كَالْمَرَاحِ لِلْمَاشِيَةِ فَإِنْ كَانَتْ عَلَى سُطُوحِ أَهْلِهَا أَوْ فِي مَسَاكِنِهِمْ وأفنيتهم فهي محرزة بقطع سَارِقُهَا وَإِنْ كَانَتْ فِي بَسَاتِينِهِمْ وَضَيَاعِهِمْ فَإِنْ كَانَ الْمَوْضِعُ أَنِيسًا لِاتِّصَالِ الْبَسَاتِينَ وَانْتِشَارِ أَهْلِهَا لم يحتج إِلَى حَافِظٍ بِالنَّهَارِ وَاحْتَاجَتْ إِلَى حَافِظٍ بِاللَّيْلِ فَإِنْ سُرِقَتْ نَهَارًا قُطِعَ سَارِقُهَا وَإِنْ سُرِقَتْ ليلاً قطع إن كان لها حافظ له وَلَمْ يُقْطَعْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا حَافِظٌ وَإِنْ كَانَ الْمَوْضِعُ غَيْرَ أَنِيسٍ احْتَاجَتْ إِلَى حافظ بالليل والنهار فيقطع سَارِقُهَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا حَافِظٌ لَمْ يقطع

Keadaan kedua adalah ketika buah telah dipetik dari pohon kurmanya, telah dipotong dari pohonnya, dan diletakkan di tempat pengeringan atau tempat pengumpulan hasil panen, baik untuk dijual maupun untuk dikeringkan dan diawetkan. Tempat pengeringan bagi buah seperti padang penggembalaan bagi ternak. Jika buah tersebut berada di atap rumah pemiliknya, di dalam rumah mereka, atau di halaman mereka, maka buah itu dianggap telah diamankan, sehingga pencurinya dikenai hukuman potong tangan. Namun, jika buah itu berada di kebun atau lahan mereka, dan tempat tersebut ramai karena kebun-kebun saling berdekatan dan banyak penduduknya, maka pada siang hari tidak membutuhkan penjaga, tetapi pada malam hari membutuhkan penjaga. Jika buah itu dicuri pada siang hari, maka pencurinya dipotong tangannya, dan jika dicuri pada malam hari, maka dipotong jika ada penjaganya, dan tidak dipotong jika tidak ada penjaganya. Jika tempat tersebut sepi, maka membutuhkan penjaga baik siang maupun malam, sehingga pencurinya dipotong tangannya. Namun, jika tidak ada penjaganya, maka tidak dipotong.

فأما إذا سرقت الْأَشْجَارُ وَفَسِيلُ النَّخْلِ فَإِنْ كَانَتْ مِمَّا يُقْطَعُ سَارِقُ ثِمَارِهَا قُطِعَ سَارِقُ أَشْجَارِهَا وَإِنْ كَانَتْ مما لا يقطع في ثمارها لم يقطع من أشجارها والله أعلم

Adapun jika yang dicuri adalah pohon-pohon dan bibit pohon kurma, maka jika termasuk jenis yang pencuri buahnya dikenai hukuman potong tangan, maka pencuri pohonnya pun dipotong tangannya. Namun jika termasuk jenis yang pencuri buahnya tidak dipotong tangannya, maka pencuri pohonnya pun tidak dipotong tangannya. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِنْ سُرِقَ مِنْهَا شَيْءٌ فَأُخْرِجَ بِنَقْبٍ أَوْ فَتْحِ بَابٍ أَوْ قَلْعِهِ قُطِعَ وَإِنْ كَانَ الْبَيْتُ مَفْتُوحًا لَمْ يُقْطَعْ

Syafi‘i berkata, “Jika ada sesuatu yang dicuri dari rumah itu dengan cara membuat lubang, membuka pintu, atau mencabutnya, maka pelakunya dikenai hukuman potong tangan. Namun, jika rumah itu dalam keadaan terbuka, maka pelakunya tidak dikenai hukuman potong tangan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْأَبْوَابَ الْمُغْلَقَةَ حِرْزٌ لِمَا فِيهَا فإذا هتك حرزها وأخرج نصاب السرقة منه قُطِعَ وَهَتْكُ الْحِرْزِ يَكُونُ بِأَحَدِ وُجُوهٍ

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa pintu-pintu yang tertutup rapat merupakan tempat penyimpanan (hirz) bagi apa yang ada di dalamnya. Maka apabila tempat penyimpanan itu dirusak dan barang yang mencapai nisab pencurian dikeluarkan darinya, maka pelakunya dipotong tangannya. Perusakan tempat penyimpanan itu dapat terjadi dengan beberapa cara.

إِمَّا بِأَنْ يَفْتَحَ أَغْلَاقَهُ وَيَدْخُلَ إِلَيْهِ مِنْ بَابِهِ سواء كانت أغلاقه خارجة أو داخلة

Yaitu dengan membuka kunci-kuncinya dan masuk ke dalamnya melalui pintunya, baik kunci-kuncinya itu berada di luar maupun di dalam.

وَفَتْحُ أَغْلَاقِهِ قَدْ يَكُونُ تَارَةً بِكَسْرِهَا وَتَارَةً بِأَنْ يَتَوَصَّلَ بِالْحِيلَةِ إِلَى فَتْحِهَا

Membuka kunci-kuncinya terkadang dilakukan dengan mematahkannya, dan terkadang dengan mencari cara atau siasat untuk membukanya.

وَمِنْهَا أَنْ يَتَوَصَّلَ إِلَى قَلْعِ الْبَابِ أَوْ كَسْرِهِ أَوْ إِحْرَاقِهِ بِالنَّارِ

Di antaranya adalah dengan menempuh cara mencabut pintu, atau mematahkannya, atau membakarnya dengan api.

وَمِنْهَا أَنْ يَنْقُبَ فِي جِدَارِ الحرز أو سطحه حَتَّى يَدْخُلَ مِنْهُ إِلَى الْحِرْزِ

Di antaranya adalah membuat lubang pada dinding atau atap tempat penyimpanan yang terlindungi hingga dapat masuk melaluinya ke dalam tempat penyimpanan tersebut.

وَمِنْهَا أَنْ يَعْلُوَ عَلَى جِدَارِهِ إِمَّا بِسُلَّمٍ يَصْعَدُ عَلَيْهِ أو آلة ينصبها حتى يتسور إليه نَظَائِرِ هَذَا فَيَصِيرُ هَاتِكًا لِلْحِرْزِ فَيُقْطَعُ بِهَتْكِهِ وَأَخْذِهِ فَإِنْ نَقَضَ جِدَارَ الْحِرْزِ وَسَرَقَ آلَتَهُ قُطِعَ إِذَا بَلَغَتْ نِصَابًا؛ لِأَنَّ الْبَنَّاءَ حِرْزٌ لآلته وهكذا لو سرق باب الحرز بقلع إِذَا كَانَ وَثِيقًا فِي نَصْبِهِ سَوَاءٌ كَانَ الْبَابُ مُغْلَقًا أَوْ مَفْتُوحًا؛ لِأَنَّ غَلْقَ الْبَابِ حرز لما ورائه وَلَيْسَ بِشَرْطٍ فِي حِرْزِهِ فَإِنْ سَرَقَ مَا في البيت وبابه مفتوح ولم يقطع فإن سَرَقَ بَابَهُ قُطِعَ

Di antaranya adalah seseorang naik ke atas dindingnya, baik dengan tangga yang ia gunakan untuk memanjat atau dengan alat yang dipasang hingga ia dapat melompati ke sana, dan hal-hal serupa ini, maka ia telah merusak perlindungan (ḥirz), sehingga ia dipotong (tangannya) karena merusak perlindungan tersebut dan mengambil (barang)nya. Jika ia merusak dinding perlindungan dan mencuri alatnya, maka ia dipotong jika mencapai nisab, karena bangunan itu adalah perlindungan bagi alat-alatnya. Demikian pula jika ia mencuri pintu perlindungan dengan mencabutnya, jika pintu itu terpasang dengan kuat, baik pintu itu dalam keadaan tertutup maupun terbuka, karena menutup pintu adalah perlindungan bagi apa yang ada di baliknya dan bukan syarat dalam perlindungan pintu itu sendiri. Jika ia mencuri barang yang ada di dalam rumah sementara pintunya terbuka dan ia tidak dipotong, maka jika ia mencuri pintunya, ia dipotong.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ فِي سَرِقَةِ الْبَابِ مَفْتُوحًا كَانَ أَوْ مُغْلَقًا وَكَذَلِكَ مَا أَخَذَهُ مِنْ بِنَاءِ الْحِرْزِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ سَرَقَ الْحِرْزَ وَلَمْ يَهْتِكْهُ وَهَذَا فاسد؛ لأمرين

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan dalam kasus pencurian pintu, baik pintu itu dalam keadaan terbuka maupun tertutup, demikian pula terhadap apa yang diambil dari bangunan tempat penyimpanan (ḥirz), dengan alasan bahwa ia mencuri ḥirz namun tidak merusaknya. Pendapat ini tidak benar karena dua alasan.

أحدهما ما كان حرزاً لغيره أولى أَنْ يَكُونَ حِرْزًا لِنَفْسِهِ

Salah satunya adalah sesuatu yang menjadi tempat penyimpanan bagi selainnya, maka lebih utama untuk menjadi tempat penyimpanan bagi dirinya sendiri.

وَالثَّانِي أَنَّ الْأَحْرَازَ معتبرة بالعرف المعهود وأبواب الجدر وَآلَةُ بِنَائِهِ لَا تُحْفَظُ عُرْفًا إِلَّا بِنَصْبِ الْأَبْوَابِ وَبِنَاءِ الْآلَةِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ حرزاً كَسَائِرِ الْأَحْرَازِ فَعَلَى هَذَا لَوْ قَلَّعَ حَلْقَةَ الباب أو مساميره أو أقفاله قطع لأنه فِي مَحَلِّ حِرْزِهَا وَكَذَا لَوْ قَلَعَ عَتَبَةَ الْبَابِ قُطِعَ؛ لِأَنَّ مَوْضِعَهَا حِرْزٌ لَهَا وَلَوْ نَقَضَ آلَةً مِنْ بِنَاءٍ قَدْ خَلَا مِنْ أهله حتى خرب نظر فإن كان بناؤه وثيقاً لم يستهدم قطع وإن كان متهدماً مُتَخَلْخِلًا لَمْ يُقْطَعْ فَإِنْ كَانَ عَلَى خَرَابِ الْبِنَاءِ أَبْوَابٌ لَمْ يُقْطَعْ فِي أَخْذِهَا وَإِنْ قُطِعَ فِي آلَةِ بِنَائِهَا وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْأَبْوَابَ مُحْرَزَةٌ بِالسُّكْنَى وَالْآلَةُ مُحْرَزَةٌ بِالْبِنَاءِ

Kedua, bahwa tempat-tempat penyimpanan (ahrāz) dianggap sah menurut kebiasaan yang berlaku. Pintu-pintu dinding dan alat-alat bangunannya secara kebiasaan tidak dapat dijaga kecuali dengan memasang pintu dan membangun alat tersebut, sehingga hal itu dianggap sebagai tempat penyimpanan seperti tempat-tempat penyimpanan lainnya. Berdasarkan hal ini, jika seseorang mencabut engsel pintu, paku-pakunya, atau kuncinya, maka dipotong (tangannya) karena itu berada di tempat penyimpanannya. Demikian pula, jika ia mencabut ambang pintu, maka dipotong, karena tempatnya adalah tempat penyimpanan baginya. Jika seseorang membongkar alat dari bangunan yang telah kosong dari penghuninya hingga rusak, maka dilihat: jika bangunannya masih kokoh dan tidak roboh, maka dipotong; namun jika sudah rusak dan rapuh, maka tidak dipotong. Jika pada bangunan yang rusak itu masih ada pintu-pintunya, maka tidak dipotong karena mengambilnya, meskipun dipotong karena mengambil alat bangunannya. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pintu-pintu itu terjaga karena dihuni, sedangkan alat-alat bangunan terjaga karena bangunannya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَإِنْ أَخْرَجَهُ مِنَ الْبَيْتِ وَالْحُجْرَةِ إِلَى الدَّارِ وَالدَّارُ لِلْمَسْرُوقِ مِنْهُ وَحْدَهُ لَمْ يُقْطَعْ حَتَّى يُخْرِجَهُ مِنْ جَمِيعِ الدَّارِ لِأَنَّهَا حِرْزٌ لِمَا فِيهَا

Syafi‘i berkata, “Jika pencuri mengeluarkan barang curian dari rumah atau kamar ke dalam pekarangan, dan pekarangan itu milik orang yang kecurian saja, maka pencuri tidak dipotong tangannya sampai ia mengeluarkan barang itu dari seluruh pekarangan, karena pekarangan tersebut merupakan tempat penyimpanan yang melindungi apa yang ada di dalamnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا كَانَ الْمَتَاعُ مُحْرَزًا فِي حُجْرَةٍ فِي دَارٍ خَاصَّةٍ أَوْ فِي بَيْتٍ فِي الدَّارِ فَأَخْرَجَهُ إِلَى صَحْنِ الدَّارِ فَالْحُكْمُ فِي الْحُجْرَةِ وَالْبَيْتِ سَوَاءٌ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ بَابُ الْحُجْرَةِ وَالدَّارِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: Jika barang disimpan dengan aman di sebuah kamar dalam rumah khusus atau di sebuah ruangan dalam rumah, lalu barang itu dikeluarkan ke halaman rumah, maka hukum kamar dan ruangan itu sama. Dan jika demikian, pintu kamar dan rumah tidak lepas dari empat bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَا مَفْتُوحَيْنِ فَلَا قطع عليه؛ لأنه يفتح الباب غير محرز

Salah satunya adalah jika keduanya dalam keadaan terbuka, maka tidak ada pemutusan atasnya; karena ia membuka pintu yang tidak terkunci.

والقسم الثاني أن يَكُونُ بَابُ الدَّارِ مُغْلَقًا وَبَابُ الْحُجْرَةِ مَفْتُوحًا فَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ جَمِيعَ الدَّارِ حِرْزٌ فَصَارَ نَاقِلًا لَهُ فِي الْحِرْزِ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ لَكِنْ يَلْزَمُهُ الضَّمَانُ؛ لِأَنَّ إِخْرَاجَهُ عُدْوَانٌ

Bagian kedua adalah apabila pintu rumah tertutup dan pintu kamar terbuka, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan atasnya; karena seluruh rumah merupakan ḥirz (tempat penyimpanan yang aman), sehingga ia hanya memindahkan barang di dalam ḥirz dari satu tempat ke tempat lain. Namun, ia tetap wajib mengganti kerugian, karena mengeluarkan barang tersebut merupakan tindakan melampaui batas.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ بَابُ الدَّارِ مَفْتُوحًا وَبَابُ الْحُجْرَةِ مُغْلَقًا فَعَلَيْهِ الْقَطْعُ؛ لِأَنَّ الْحِرْزَ هُوَ الْحُجْرَةُ دُونَ الدَّارِ

Bagian ketiga adalah apabila pintu rumah terbuka dan pintu kamar tertutup, maka wajib dikenakan hukuman potong tangan; karena tempat penyimpanan yang dilindungi (ḥirz) adalah kamar, bukan rumah.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ بَابُ الْحُجْرَةِ مُغْلَقًا وَبَابُ الدَّارِ مُغْلَقًا فَفِي قَطْعِهِ إِذَا أَخْرَجَهُ مِنَ الْحُجْرَةِ أو الْبَيْتِ الْمُغْلَقِ إِلَى الدَّارِ وَجْهَانِ

Bagian keempat adalah apabila pintu kamar tertutup dan pintu rumah juga tertutup, maka dalam hal memotong (hukuman) apabila ia mengeluarkannya dari kamar atau rumah yang tertutup ke dalam rumah, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهَا بِالْغَلْقِ تَصِيرُ هِيَ الْحِرْزُ

Salah satunya dipotong; karena dengan penguncian, ia menjadi tempat penyimpanan yang terlindungi (ḥirz).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّ الدَّارَ الْمُفْرَدَةَ حِرْزٌ لِجَمِيعِ مَا فِيهَا وَغَلْقُ الحجرة يجري مجرى غلق الصندوق ولا يُقْطَعُ بِإِخْرَاجِهِ مِنَ الصُّنْدُوقِ إِلَى الْحُجْرَةِ كَذَلِكَ لَا يُقْطَعُ بِإِخْرَاجِهِ مِنَ الْحُجْرَةِ إِلَى الدَّارِ وَيَكُونُ كَمَا لَوْ رَفَعَ السَّرِقَةَ مِنْ قَرَارِ الدَّارِ إِلَى غُرَفِهَا أَوْ حَطَّهَا مِنْ غُرَفِهَا إِلَى قَرَارِهَا لَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّ جَمِيعَ السُّفْلِ وَالْعُلُوِّ حِرْزٌ وَاحِدٌ فَإِنْ أَصْعَدَ بِالسَّرِقَةِ مِنَ الدَّارِ إِلَى سَطْحِهَا نُظِرَ فَإِنْ كَانَ عَلَى السطح ممرق يعلق على السفل قطع؛ لأن خروجه من الممرق كخروجه من الباب؛ لأن الممرق أَحَدُ الْبَابَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى السَّطْحِ سرق يعلق نظر فإن كان السطح عالياً عليه سترة مبينة تَمْنَعُ مِنَ الْوُصُولِ إِلَيْهِ لَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الْحِرْزِ وَإِنْ كَانَ بِخِلَافِ ذَلِكَ قطع

Pendapat kedua, yang lebih kuat, adalah tidak dikenakan hukuman potong tangan; karena rumah tunggal merupakan tempat penyimpanan (ḥirz) bagi seluruh barang yang ada di dalamnya, dan mengunci kamar sama seperti mengunci peti, sehingga tidak dikenakan hukuman potong tangan jika seseorang mengeluarkan barang dari peti ke kamar, demikian pula tidak dikenakan hukuman jika mengeluarkan barang dari kamar ke rumah. Hal ini seperti jika seseorang memindahkan barang curian dari lantai dasar rumah ke kamar-kamarnya, atau menurunkannya dari kamar ke lantai dasar, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan; karena seluruh bagian bawah dan atas rumah adalah satu tempat penyimpanan (ḥirz) yang sama. Jika ia membawa barang curian dari dalam rumah ke atapnya, maka perlu dilihat: jika di atap terdapat jalan keluar yang terhubung ke bagian bawah, maka dikenakan hukuman potong tangan; karena keluar melalui jalan tersebut sama seperti keluar melalui pintu, sebab jalan itu adalah salah satu dari dua pintu. Namun jika di atap tidak ada jalan keluar, maka perlu dilihat lagi: jika atap tersebut tinggi dan memiliki pagar pembatas yang jelas sehingga mencegah seseorang untuk mencapainya, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan; karena atap itu masih termasuk bagian dari tempat penyimpanan (ḥirz). Namun jika keadaannya tidak demikian, maka dikenakan hukuman potong tangan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِنْ كَانَتْ مُشْتَرَكَةً وَأَخْرَجَهُ مِنَ الْحُجْرَةِ إِلَى الدار فليست الدار بحرز لأحد من السكان فيقطع

Imam Syafi‘i berkata, “Jika barang itu milik bersama, lalu seseorang mengeluarkannya dari kamar ke rumah, maka rumah itu bukanlah tempat penyimpanan (perlindungan) bagi salah satu penghuni, sehingga pelaku dipotong (tangannya).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي الْحَانَاتِ الْمُشْتَرَكَةِ فَإِذَا كَانَتِ الدَّارُ مُشْتَرِكَةً بَيْنَ جَمَاعَةٍ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ فِيهَا حُجْرَةٌ يَخْتَصُّ بِسُكَّانِهَا فَدَخَلَ الْحُجْرَةَ سَارِقٌ وَأَخْرَجَ مِنْهَا السَّرِقَةَ إِلَى صَحْنِ الدَّارِ قُطِعَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَخْرَجَهَا عَنْ حِرْزِهَا وَيَكُونُ حُكْمُ هَذِهِ الدَّارِ كَالزُّقَاقِ الْمَرْفُوعِ بَيْنَ أَهْلِهِ إِذَا اخْتَصَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ فِيهِ بِدَارٍ كَانَ إِخْرَاجُ السَّرِقَةِ مِنْهَا إلى الزقاق موجباً للقطع

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan pada pembahasan tentang tempat-tempat minum bersama. Jika sebuah rumah dimiliki bersama oleh sekelompok orang, di mana masing-masing dari mereka memiliki kamar yang khusus untuk penghuninya, lalu seorang pencuri masuk ke kamar tersebut dan mengeluarkan barang curian ke halaman rumah, maka ia dipotong tangannya; karena ia telah mengeluarkan barang itu dari tempat penyimpanannya. Hukum rumah seperti ini sama dengan gang yang tertutup di antara para pemiliknya, yaitu jika masing-masing dari mereka memiliki rumah khusus di dalamnya, maka mengeluarkan barang curian dari rumah ke gang tersebut mewajibkan hukuman potong tangan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ أَخْرَجَ السَّرِقَةَ فَوَضَعَهَا فِي بَعْضِ النَّقْبِ وَأَخَذَهَا رَجُلٌ مِنْ خَارِجٍ لَمْ يُقْطَعْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang mengeluarkan barang curian lalu meletakkannya di sebagian lubang (pembobolan), kemudian diambil oleh orang lain dari luar, maka tidak ada satu pun dari mereka yang dikenai hukuman potong tangan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي رَجُلَيْنِ اجْتَمَعَا على سَرِقَةٍ فَنَقَبَ أَحَدُهُمَا وَأَخَذَ الْآخَرُ فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ

Al-Mawardi berkata: Contohnya adalah dua orang laki-laki yang bersekongkol untuk mencuri, lalu salah satu dari mereka membobol (tempat) dan yang lainnya mengambil (barang curian). Kasus ini terbagi menjadi empat bentuk.

أَحَدُهَا أَنْ يَشْتَرِكَا فِي النَّقْبِ وَيَدْخُلَ أَحَدُهُمَا فَيَأْخُذُ السَّرِقَةَ وَيَضَعَهَا فِي النَّقْبِ ولا يخرجها منه ويأتي وَهُوَ خَارِجُ النَّقْبِ فَلْيَأْخُذْهَا وَلَا يَدْخُلِ الْبَيْتَ فَمَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهُمَا يُقْطَعَانِ لِأَمْرَيْنِ

Salah satunya adalah jika keduanya bekerja sama dalam membuat lubang, lalu salah satu dari mereka masuk dan mengambil barang curian, kemudian meletakkannya di dalam lubang tanpa mengeluarkannya, lalu yang lain datang dari luar lubang untuk mengambil barang itu tanpa masuk ke dalam rumah. Maka menurut mazhab Malik, keduanya dikenai hukuman potong tangan karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمَا قَدْ صَارَا بِالتَّعَاوُنِ كَالْوَاحِدِ

Salah satunya adalah bahwa keduanya, dengan adanya kerja sama, telah menjadi seperti satu kesatuan.

وَالثَّانِي لِئَلَّا يَصِيرَ ذَلِكَ ذَرِيعَةً إِلَى أَخْذِ الْأَمْوَالِ وَإِسْقَاطِ الْحُدُودِ وَهَذَا الْقَوْلُ قَدْ حَكَاهُ الْحَارِثُ بْنُ سُرَيْجِ بن هلال النَّقَّالِ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ

Yang kedua, agar hal itu tidak menjadi sarana untuk mengambil harta dan menggugurkan hudud, dan pendapat ini telah diriwayatkan oleh al-Harits bin Surayj bin Hilal an-Naqqal dari asy-Syafi‘i dalam pendapat lamanya.

وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ وَأَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ أن لَا قَطْعَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَصَارَ فِي وجوب قطعها قَوْلَانِ

Mazhab Syafi‘i dalam pendapat barunya dan salah satu dari dua pendapatnya dalam pendapat lama adalah tidak ada hukuman potong tangan atas salah satu dari keduanya, sehingga dalam kewajiban memotong tangannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَضْعَفُ أَنَّهُمَا يُقْطَعَانِ لِلْمَعْنَيَيْنِ المتقدمين

Salah satu pendapat, dan ini yang lebih lemah, adalah bahwa keduanya dipotong karena dua alasan yang telah disebutkan sebelumnya.

وَالثَّانِي وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنَّهُمَا لَا يُقْطَعَانِ لِأَمْرَيْنِ

Yang kedua, dan inilah pendapat yang lebih sahih, bahwa keduanya tidak dipotong karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الدَّاخِلَ إِلَى الْحِرْزِ مَا أَخْرَجَهَا من جميعه والآخذ بها من النقب لم يأخذها من حرز فَلَمْ يُوجَدْ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا شُرُوطُ الْقَطْعِ فَسَقَطَ وَلِهَذَا قَالَ الشَّعْبِيُّ اللِّصُّ الظَّرِيفُ لَا يُقْطَعُ

Salah satunya adalah bahwa orang yang masuk ke dalam tempat penyimpanan mengambil barang dari seluruhnya, sedangkan orang yang mengambilnya melalui lubang tidak mengambilnya dari tempat penyimpanan, sehingga pada masing-masing dari keduanya tidak terpenuhi syarat-syarat pemotongan (hudud), maka hukuman tersebut gugur. Oleh karena itu, asy-Sya‘bi berkata, “Pencuri yang cerdik tidak dipotong tangannya.”

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ أَخَذَهَا غَيْرُ الْمُعَاوِنِ لَمْ يُقْطَعْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا كَذَلِكَ إِذَا أَخَذَهَا الْمُعَاوِنُ؛ لِأَنَّ الْقَطْعَ لَا يَجِبُ بِالْمُعَاوَنَةِ وَإِنَّمَا يجب بالأخذ

Kedua, jika yang mengambilnya adalah selain orang yang membantu, maka tidak dipotong tangan salah satu dari mereka; demikian pula jika yang mengambilnya adalah orang yang membantu, karena hukuman potong tangan tidak wajib karena bantuan, melainkan wajib karena perbuatan mengambil.

والضرب الثاني يَنْفَرِدَ أَحَدُهُمَا بِالنَّقْبِ وَلَا يَدْخُلُ الْحِرْزَ وَيَدْخُلُ الْآخَرُ فَيُخْرِجَهَا وَلَمْ يُشَارِكْ فِي النَّقْبِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهَا فَأَجْرَاهَا كَثِيرٌ مِنْهُمْ مَجْرَى الضَّرْبِ الْأَوَّلِ وَخَرَجَ وُجُوبُ قَطْعِهِمَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Jenis kedua adalah ketika salah satu dari mereka sendirian membuat lubang tetapi tidak masuk ke tempat yang terlindungi (ḥirz), lalu yang lainnya masuk dan mengeluarkan barang tersebut, namun ia tidak ikut serta dalam membuat lubang. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini; banyak dari mereka memperlakukannya seperti jenis pertama, dan kewajiban memotong tangan keduanya terdapat dua pendapat.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَطَائِفَةٌ أُخْرَى أَنَّهُ لَا قَطْعَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا قولاً واحداً؛ لأن كل واحد منهما تفرد بِأَحَدِ شَرْطَيِ الْقَطْعِ

Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan kepada salah satu dari keduanya, menurut satu pendapat saja; karena masing-masing dari mereka hanya memenuhi salah satu dari dua syarat pemotongan.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ يَشْتَرِكَا في النقب فيدخل أَحَدُهُمَا فَيَأْخُذُ السَّرِقَةَ وَيُخْرِجُهَا فَيَقْطَعُ مَخْرَجَهَا؛ لِأَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ هَتْكِ الْحِرْزِ وَالْإِخْرَاجِ وَلَا يُقْطَعُ الْآخَرُ؛ لِأَنَّهُ انْفَرَدَ بِالنَّقْبِ دُونَ الْإِخْرَاجِ

Jenis ketiga adalah apabila keduanya bekerja sama dalam membuat lubang, lalu salah satu dari mereka masuk dan mengambil barang curian serta mengeluarkannya, maka yang mengeluarkan barang curian itulah yang dipotong tangannya; karena ia telah menggabungkan antara merusak perlindungan (hirm) dan mengeluarkan barang curian. Sedangkan yang lainnya tidak dipotong, karena ia hanya melakukan perbuatan membuat lubang tanpa mengeluarkan barang curian.

وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ أَنْ يَحْضُرَ وَاحِدٌ فَيُنَقِّبُ الْحِرْزَ وَيَخَافُ الطَّلَبَ فَيَهْرُبُ وَيَأْتِي آخَرُ لَمْ يَشْهَدِ النَّقْبَ فيدخله حين زاع وَيُخْرِجُ السَّرِقَةَ مِنْهُ فَلَا قَطْعَ عَلَى نَاقِبِ الحرز لا يختلف؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْهُ إِلَّا النَّقْبُ الَّذِي لَا يُوجِبُ الْقَطْعَ وَأَمَّا الْأَخْذُ لَهَا فَإِنْ كَانَ النَّقْبُ قَدِ اشْتُهِرَ وَظَهَرَ فَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ سَرَقَ مَالًا مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ وَإِنْ لَمْ يَشْتَهِرْ وَلَمْ يَظْهَرْ فَفِي وُجُوبِ قطعه وجهان

Golongan keempat adalah apabila seseorang datang lalu membobol tempat penyimpanan (ḥirz), kemudian karena takut tertangkap ia melarikan diri, lalu datang orang lain yang tidak menyaksikan pembobolan tersebut, kemudian ia masuk saat tempat itu telah terbuka dan mengeluarkan barang curian darinya. Maka, tidak ada hukuman potong tangan bagi orang yang membobol tempat penyimpanan, dan hal ini tidak diperselisihkan; karena ia hanya melakukan pembobolan yang tidak mewajibkan hukuman potong tangan. Adapun orang yang mengambil barang curian, jika pembobolan itu telah diketahui secara luas dan telah tampak, maka tidak ada hukuman potong tangan baginya; karena ia mencuri harta dari tempat yang bukan lagi ḥirz. Namun, jika pembobolan itu belum diketahui secara luas dan belum tampak, maka dalam kewajiban potong tangan baginya terdapat dua pendapat.

أحدهما لا قطع لما ذكرنا

Yang pertama, tidak ada hukuman potong tangan sebagaimana telah kami sebutkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُقْطَعُ اعْتِبَارًا بِظَاهِرِ الْحِرْزِ وَهَكَذَا لَوْ عَادَ الَّذِي نَقَّبَ بَعْدَ هَرَبِهِ مِنَ الطَّلَبِ فِي لَيْلَةٍ أُخْرَى فَدَخَلَ الْحِرْزَ وَأَخْرَجَ السرقة فإن كان بعد ظهور النقب وانتشاره لم يقطع وإن كان قبل ظهوره وانتشاره فَعَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua, dipotong (tangan pencuri) dengan mempertimbangkan zahir (tampak luar) dari tempat penyimpanan (ḥirz). Demikian pula, jika orang yang membobol itu kembali setelah melarikan diri dari kejaran pada malam yang lain, lalu masuk ke dalam ḥirz dan mengeluarkan barang curian, maka jika itu terjadi setelah lubang bobolan itu tampak dan tersebar, maka tidak dipotong (tangannya). Namun jika sebelum lubang itu tampak dan tersebar, maka ada dua pendapat.

أْحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَظْهَرُ فِيهِ أَنَّهُ يُقْطَعُ

Salah satu dari keduanya, dan inilah yang lebih kuat pendapatnya, adalah bahwa ia dipotong.

وَالثَّانِي وَهُوَ الْأَظْهَرُ فِي غَيْرِهِ أَنَّهُ لا يقطع

Pendapat kedua, yang lebih kuat menurut selainnya, adalah bahwa hal itu tidak memutuskan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وإن رَمَى بِهَا فَأَخْرَجَهَا مِنَ الْحِرْزِ قُطِعَ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika ia melemparkannya lalu mengeluarkannya dari tempat penyimpanan, maka ia dipotong (tangannya).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا يَخْلُو حَالُهُ في إخراج السرقة بعد هتكه حِرْزِهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ

Al-Mawardi berkata, “Dan hal ini sebagaimana yang telah disebutkan, keadaannya dalam mengeluarkan barang curian setelah merusak tempat penyimpanannya tidak lepas dari tiga keadaan.”

أَحَدُهَا أَنْ يَدْخُلَ الْحِرْزُ فَيَأْخُذَ السَّرِقَةَ وَيُخْرِجَهَا معه من الحرز فهذا يقطع بإجماع

Salah satunya adalah seseorang masuk ke dalam tempat penyimpanan, lalu mengambil barang curian dan membawanya keluar bersama dirinya dari tempat penyimpanan tersebut; maka dalam kasus ini dikenakan hukuman potong tangan berdasarkan ijmā‘.

والحالة الثَّانِيَةُ أَنْ يَدْخُلَ الْحِرْزَ وَيَأْخُذَ السَّرِقَةَ وَيَرْمِي بها خراج الْحِرْزِ أَوْ يَدْفَعَهَا إِلَى رَجُلٍ آخَرَ خَارِجَ الْحِرْزِ فَهَذَا يُقْطَعُ سَوَاءٌ ظَفِرَ بِهَا بَعْدَ خروجها مِنَ الْحِرْزِ أَوْ لَمْ يَظْفَرْ حَتَّى بَالَغَ أَصْحَابُنَا فِي هَذَا فَقَالُوا لَوْ أَخْرَجَ يَدَهُ مِنَ الْحِرْزِ وَالسَّرِقَةُ فِي يَدِهِ ثُمَّ أَعَادَهَا إلى حرزها قطع

Keadaan kedua adalah apabila seseorang masuk ke dalam tempat penyimpanan (hirz), mengambil barang curian, lalu melemparkannya ke luar tempat penyimpanan, atau memberikannya kepada orang lain di luar tempat penyimpanan. Dalam hal ini, ia tetap dikenai hukuman potong tangan, baik ia berhasil mendapatkan barang itu setelah keluar dari tempat penyimpanan maupun tidak. Bahkan, para ulama kami sangat menegaskan dalam hal ini, sehingga mereka berkata: Jika seseorang mengeluarkan tangannya dari tempat penyimpanan sementara barang curian masih di tangannya, lalu ia mengembalikannya ke tempat penyimpanan, maka ia tetap dipotong tangannya.

والحالة الثَّالِثَةُ أَنْ يَقِفَ خَارِجَ الْحِرْزِ وَيَمُدَّ يَدَهُ فَيَأْخُذَ السَّرِقَةَ أَوْ يَمُدَّ خَشَبَةً فَيَجْذِبَ بِهَا السَّرِقَةَ حَتَّى يُخْرِجَهَا أَوْ يُدْخِلَ مِحْجَنًا يَمُدُّ بِهِ السَّرِقَةَ حَتَّى يُخْرِجَهَا قُطِعَ وَالْمِحْجَنُ خَشَبَةٌ فِي رَأْسِهَا حَدِيدَةٌ مَعْقُوفَةٌ حُكِيَ أَنَّ رَجُلًا كان يسرق متاع الحاج بمحجنة فَقِيلَ لَهُ تَسْرِقُ مَتَاعَ الْحَاجِّ فَقَالَ لَسْتُ أَسْرِقُ وَإِنَّمَا يَسْرِقُ الْمِحْجَنُ فَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” رَأَيْتُهُ يُجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ يَعْنِي أَمْعَاءَهُ لِمَا كَانَ يَتَنَاوَلُ مِنْ مَالِ الْحَاجِّ

Keadaan ketiga adalah seseorang berdiri di luar tempat penyimpanan lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil barang curian, atau mengulurkan sebatang kayu lalu menarik barang curian itu hingga keluar, atau memasukkan mihjan (tongkat berkait) dan menarik barang curian itu hingga keluar; maka ia tetap dipotong (tangannya). Mihjan adalah tongkat yang di ujungnya terdapat besi yang melengkung. Diceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang mencuri barang milik jamaah haji dengan mihjan, lalu dikatakan kepadanya, “Engkau mencuri barang milik jamaah haji!” Ia menjawab, “Aku tidak mencuri, yang mencuri adalah mihjan ini.” Maka diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Aku melihatnya menyeret ususnya di neraka, maksudnya adalah ususnya sendiri, karena ia mengambil harta milik jamaah haji.”

فَيَجِبُ قَطْعُهُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ كُلِّهَا اعْتِبَارًا بِخُرُوجِهَا مِنَ الْحِرْزِ بِفِعْلِهِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَجِبُ قَطْعُهُ إِلَّا فِي أحدها وهو إذا أخرجها معه بنفسه فأما إن رمى بها خَارِجَ الْحِرْزِ فَلَا قَطْعَ احْتِجَاجًا بِأَنَّ وُجُوبَ الْقَطْعِ مُتَعَلِّقٌ بِشَرْطَيْنِ

Maka wajib dikenakan hukuman potong tangan dalam ketiga keadaan ini seluruhnya, karena dianggap telah mengeluarkannya dari tempat penyimpanan dengan perbuatannya sendiri. Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman potong tangan tidak wajib kecuali dalam salah satu dari ketiganya, yaitu jika ia sendiri yang membawanya keluar. Adapun jika ia melemparkannya ke luar dari tempat penyimpanan, maka tidak ada hukuman potong tangan, dengan alasan bahwa kewajiban potong tangan itu terkait dengan dua syarat.

أَحَدُهُمَا هَتْكُ الْحِرْزِ

Salah satunya adalah merusak perlindungan (hirm).

وَالثَّانِي إِخْرَاجُ السَّرِقَةِ وَالْآخِذِ لَهَا مِنْ خَارِجِ الْحِرْزِ لَمْ يَهْتِكْهُ وَالرَّامِي بِهَا مِنْ دَاخِلِ الْحِرْزِ لَمْ يُخْرِجْهَا فَلَمْ يَجِبْ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا قطع حتى يجتمع فيه الشرطان هتك الحرز بالدخول وتناول السَّرِقَةِ بِالْإِخْرَاجِ فَإِنْ لَمْ يَجْمَعْ بَيْنَهُمَا كَانَ مستلباً أو مختلساً ولا قطع على مختلس ولا مستلب بِنَصِّ السُّنَّةِ

Kedua, mengeluarkan barang curian dan orang yang mengambilnya dari luar tempat penyimpanan tanpa merusaknya, serta orang yang melemparkan barang itu dari dalam tempat penyimpanan tanpa mengeluarkannya, maka tidak wajib bagi salah satu dari mereka untuk dikenai hukuman potong tangan sampai terkumpul dua syarat: merusak tempat penyimpanan dengan masuk dan mengambil barang curian dengan mengeluarkannya. Jika tidak mengumpulkan kedua syarat tersebut, maka ia dianggap sebagai orang yang merampas atau mencuri secara sembunyi-sembunyi, dan tidak ada hukuman potong tangan atas orang yang mencuri secara sembunyi-sembunyi atau merampas, berdasarkan nash sunnah.

وَدَلِيلُنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَجْرَى عَلَى السَّارِقِ بِمِحْجَنِهِ حُكْمَ السَّرِقَةِ اسْمًا وَوَعِيدًا؛ لِأَنَّ شَرْطَيِ الْقَطْعِ مَوْجُودٌ فِي الْحَالَيْنِ

Dan dalil kami adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan hukum pencurian, baik secara penamaan maupun ancaman, atas pencuri dengan menggunakan tongkat berkait; karena dua syarat pemotongan (tangan) terdapat pada kedua keadaan tersebut.

أَمَّا هَتْكُ الْحِرْزِ فَهُوَ الْقُدْرَةُ عَلَى مَا فيه بَعْدَ امْتِنَاعِهِ وَهَذَا قَدْ وُجِدَ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْهُ أَلَا تَرَى أَنَّ رَبَّ الْمَالِ لَوْ نَقَّبَ حِرْزَهُ وَلَمْ يَحْفَظْ مَا فِيهِ لَمْ يُقْطَعْ سَارِقُهُ وَإِنْ دَخَلَهُ لِهَتْكِ الْحِرْزِ قَبْلَ دُخُولِهِ

Adapun menembus tempat penyimpanan (hirm) adalah kemampuan untuk menguasai apa yang ada di dalamnya setelah sebelumnya tertutup rapat, dan hal ini telah terjadi darinya meskipun ia belum memasukinya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika pemilik harta melubangi tempat penyimpanannya namun tidak menjaga isinya, maka pencurinya tidak dipotong tangannya meskipun ia memasukinya, karena penembusan tempat penyimpanan telah terjadi sebelum ia masuk ke dalamnya.

وَلَوْ أَدْخَلَ يَدَهُ إِلَى كُمِّ رَجُلٍ وَأَخَذَ مَا فِيهِ قُطِعَ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْهُ فَلَمْ يَكُنِ الدُّخُولُ شَرْطًا فِي هَتْكِ الْحِرْزِ

Jika seseorang memasukkan tangannya ke dalam lengan baju seorang laki-laki dan mengambil apa yang ada di dalamnya, maka ia dipotong (tangannya), meskipun ia tidak memasukkan seluruh tangannya; maka memasukkan (tangan) bukanlah syarat dalam pelanggaran terhadap perlindungan (ḥirz).

وَأَمَّا إِخْرَاجُ السَّرِقَةِ فَهُوَ أَنْ يَكُونَ خُرُوجُهَا مِنْهُ بِفِعْلِهِ وَهَذَا مَوْجُودٌ فِيمَا إِذَا رَمَاهُ مِنْ دَاخِلِهِ أَوْ جَذَبَهُ مِنْ خَارِجِهِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مُخْرِجًا لَهَا بِفِعْلِهِ وَلَوْ سَقَطَ الْقَطْعُ عَنْهُ إِلَّا أَنْ يُبَاشِرَ حَمْلَهَا من حرزه لَصَارَ ذَلِكَ ذَرِيعَةً إِلَى انْتِهَاكِ الْأَمْوَالِ بِغَيْرِ زَاجِرٍ عَنْهَا وَلَا مَانِعٍ مِنْهَا وَهَذَا فَسَادٌ وَفِيهِ انْفِصَالٌ وَعَلَى هَذَا الْأَصْلِ يَتَفَرَّعُ جَمِيعُ مَا نَذْكُرُهُ

Adapun mengeluarkan barang curian adalah barang itu keluar darinya karena perbuatannya sendiri, dan hal ini terjadi jika ia melemparkannya dari dalam atau menariknya dari luar, karena ia telah menjadi pihak yang mengeluarkannya dengan perbuatannya sendiri. Jika saja hukuman potong tangan tidak diterapkan kecuali apabila ia langsung membawa barang itu keluar dari tempat penyimpanannya, maka hal itu akan menjadi celah untuk merampas harta tanpa adanya pencegah atau penghalang, dan ini merupakan kerusakan. Dalam masalah ini terdapat rincian, dan atas dasar inilah seluruh cabang yang akan kami sebutkan nanti dibangun.

فَمِنْ فُرُوعِهِ أَنْ يَشْتَرِكَ اثْنَانِ فِي نَقْبِ حِرْزٍ وَيَدْخُلُهُ أَحَدُهُمَا فَيَأْخُذَ السَّرِقَةَ بِيَدِهِ وَلَا يَخْرُجُ مِنَ الْحِرْزِ وَيَأْخُذُهَا الْآخَرُ مِنْهُ وَلَا يَدْخُلُ فَيُنْظَرُ فَإِنْ كَانَتْ يَدُ الدَّاخِلِ قَدْ خَرَجَتْ بِالسَّرِقَةِ مِنَ الْحِرْزِ قُطِعَ الدَّاخِلُ دُونَ الْخَارِجِ؛ لأنه المخرج مِنَ الْحِرْزِ

Salah satu cabangnya adalah apabila dua orang bekerja sama dalam membobol tempat penyimpanan, lalu salah satu dari mereka masuk dan mengambil barang curian dengan tangannya namun tidak keluar dari tempat penyimpanan, kemudian yang lain mengambil barang itu darinya tanpa masuk ke dalam. Maka, jika tangan orang yang masuk telah keluar dari tempat penyimpanan bersama barang curian, maka yang dipotong tangannya adalah orang yang masuk, bukan yang di luar; karena dialah yang mengeluarkan barang dari tempat penyimpanan.

وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ مَعَهَا مِنَ الْحِرْزِ وَإِنْ كَانَ الْخَارِجُ قَدْ أَدْخَلَ يَدَهُ إِلَى الْحِرْزِ وَأَخَذَهَا مِنْهُ قُطِعَ الْخَارِجُ دُونَ الدَّاخِلِ؛ لِأَنَّهُ هُوَ الْمُخْرِجُ لَهَا مِنَ الْحِرْزِ

Menurut Abu Hanifah, tidak dikenakan hukuman potong tangan; karena barang tersebut belum dikeluarkan dari tempat penyimpanan (hirz). Namun, jika orang yang berada di luar telah memasukkan tangannya ke dalam tempat penyimpanan dan mengambil barang itu, maka yang dipotong tangannya adalah orang yang di luar, bukan yang di dalam; karena dialah yang mengeluarkan barang itu dari tempat penyimpanan.

وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ إِلَى الْحِرْزِ فَيَسْقُطُ الْقَطْعُ عَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا في الحالين

Menurut Abu Hanifah, tidak dikenakan hukuman potong tangan, karena ia tidak masuk ke dalam tempat penyimpanan (harta), sehingga hukuman potong tangan gugur dari masing-masing mereka dalam kedua keadaan tersebut.

وعندنا يجب القطع في الحالين عَلَى الدَّاخِلِ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ وَعَلَى الْخَارِجِ إِذَا أَدْخَلَ يَدَهُ

Menurut kami, wajib dikenakan hukuman potong tangan dalam kedua keadaan: atas orang yang berada di dalam jika ia mengeluarkan tangannya, dan atas orang yang berada di luar jika ia memasukkan tangannya.

فَصْلٌ

Bagian

إِذَا دَخَلَ الْحِرْزَ بَعْدَ هَتْكِهِ وَفِيهِ مَاءٌ جَارٍ فَوَضَعَ السَّرِقَةَ عَلَى الْمَاءِ فَخَرَجَتْ بِجَرَيَانِ الْمَاءِ قُطِعَ؛ لِأَنَّ الماء يجري بطبع لا اختيار ولو كان كَانَ الْمَاءُ رَاكِدًا فَحَرَّكَهُ حَتَّى جَرَى وَجَرَى بالسرقة قُطِعَ وَلَوْ حَرَّكَهُ غَيْرُهُ لَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ بِحَرَكَتِهِ نُسِبَتْ إِلَى فِعْلِهِ وَإِذَا خَرَجَتْ بِحَرَكَةِ غَيْرِهِ نُسِبَتْ إِلَى فِعْلِ غَيْرِهِ وَلَوِ انْفَجَرَ الْمَاءُ الرَّاكِدُ فِي الْحِرْزِ مِنْ غَيْرِ فِعْلِ أَحَدٍ حَتَّى جَرَى فَخَرَجَتْ بِهِ السَّرِقَةُ فَفِي قَطْعِهِ وَجْهَانِ

Jika seseorang masuk ke dalam tempat penyimpanan setelah merusaknya, dan di dalamnya terdapat air yang mengalir, lalu ia meletakkan barang curian di atas air tersebut sehingga barang itu keluar terbawa aliran air, maka ia dipotong tangannya; karena air mengalir secara alami, bukan karena pilihan. Namun, jika air tersebut tenang lalu ia menggerakkannya hingga mengalir dan membawa barang curian keluar, maka ia dipotong tangannya. Tetapi jika yang menggerakkan air adalah orang lain, maka ia tidak dipotong; karena jika barang itu keluar karena gerakannya, maka perbuatan itu dinisbatkan kepadanya, dan jika keluar karena gerakan orang lain, maka dinisbatkan kepada perbuatan orang lain. Jika air yang tenang di dalam tempat penyimpanan tiba-tiba memancar tanpa perbuatan siapa pun hingga mengalir dan membawa barang curian keluar, maka dalam hal pemotongan tangan terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهُ سبب خروجها

Salah satunya dipotong, karena ia menjadi sebab keluarnya.

والوجه الثاني لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّ خُرُوجَهَا بِالِانْفِجَارِ الْحَادِثِ مِنْ غَيْرِ فِعْلِهِ

Pendapat kedua menyatakan tidak dipotong; karena keluarnya (barang) tersebut disebabkan oleh ledakan yang terjadi tanpa perbuatannya.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَوْ وَضَعَ السَّرِقَةَ فِي النقب فأطارتها الريح حتى خرجت فإن كانت الرِّيحُ عَلَى هُبُوبِهَا عِنْدَ وَضْعِ السَّرِقَةِ قُطِعَ كَالْمَاءِ الْجَارِي وَإِنْ حَدَثَ هُبُوبِهَا بَعْدَ وَضْعِهَا فَفِي قَطْعِهِ وَجْهَانِ كَانْفِجَارِ الْمَاءِ بَعْدَ رُكُودِهِ وَمِثْلُهُ رَمْيُ الْهَدَفِ إِذَا أَصَابَهُ السَّهْمُ بِقُوَّةِ الرِّيحِ فَإِنْ كَانَتْ مَوْجُودَةً عِنْدَ إِرْسَالِ السَّهْمِ احتسب له بإصابته وإن حدث بَعْدَ إِرْسَالِهِ فَفِي الِاحْتِسَابِ بِهِ وَجْهَانِ

Jika seseorang meletakkan barang curian di lubang tembok lalu angin menerbangkannya hingga keluar, maka jika angin itu sudah berhembus saat barang curian diletakkan, maka pelaku dipotong tangannya seperti halnya air yang mengalir. Namun jika angin mulai berhembus setelah barang curian diletakkan, maka dalam hal pemotongan tangan terdapat dua pendapat, seperti halnya air yang memancar setelah sebelumnya tenang. Demikian pula dalam kasus menembak sasaran, jika anak panah mengenai sasaran karena kekuatan angin, maka jika angin sudah ada saat anak panah dilepaskan, maka dianggap mengenai sasaran; namun jika angin terjadi setelah anak panah dilepaskan, maka dalam penghitungan mengenai sasaran terdapat dua pendapat.

فَصْلٌ

Fasal

ولو وَضَعَ السَّرِقَةَ فِي الْحِرْزِ عَلَى حِمَارٍ فَخَرَجَ بِهَا الْحِمَارُ فَإِنْ سَاقَهُ أَوْ قَادَهُ قُطِعَ وَإِنْ سَاقَهُ أَوْ قَادَهُ غَيْرُهُ لَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ خَرَجَ الْحِمَارُ بِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ سَوْقٍ وَلَا قَوَدٍ فَفِي قَطْعِهِ وَجْهَانِ

Jika seseorang meletakkan barang curian di tempat penyimpanan yang aman di atas seekor keledai, lalu keledai itu keluar membawa barang tersebut, maka jika ia sendiri yang menggiring atau menuntun keledai itu, maka ia dipotong tangannya. Namun jika yang menggiring atau menuntun keledai itu adalah orang lain, maka ia tidak dipotong. Dan jika keledai itu keluar sendiri tanpa digiring atau dituntun oleh siapa pun, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat mengenai apakah ia dipotong atau tidak.

أَحَدُهُمَا يُقْطَعُ السارق ولأن مِنْ عَادَةِ الْبَهَائِمِ أَنْ تَسِيرَ إِذَا أَثْقَلَهَا الْحِمْلُ فَصَارَ خُرُوجُهَا عَلَيْهِ كَوَضْعِهَا فِي الْمَاءِ الجاري

Salah satunya adalah bahwa tangan pencuri dipotong, dan karena sudah menjadi kebiasaan hewan ternak untuk berjalan jika bebannya terlalu berat, maka keluarnya hewan tersebut dari kendali pemiliknya dianggap seperti meletakkannya di air yang mengalir.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُقْطَعُ لِأَنَّ لِلْحِمَارِ اخْتِيَارًا يَتَصَرَّفُ بِهِ إِذَا لَمْ يُقْهَرْ بِخِلَافِ الْمَاءِ الْجَارِي وَذَكَرَهُ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ فِي جَامِعِهِ

Pendapat kedua: tidak dipotong (tangan pencuri), karena keledai memiliki kehendak bebas yang dapat digunakannya untuk bertindak jika tidak dipaksa, berbeda dengan air yang mengalir. Hal ini disebutkan oleh Abu Hamid al-Marwazi dalam kitab Jāmi‘-nya.

وَمِثْلُهُ إِذَا فَتَحَ قَفَصًا عَنْ طَائِرٍ فَطَارَ عَقِيبَ فَتْحِهِ فَإِنْ نَفَّرَهُ حَتَّى طَارَ ضَمِنَهُ وَإِنْ لَمْ يُنَفِّرْهُ حَتَّى طَارَ عَقِيبَ فَتْحِهِ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ وَذَكَرَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الْحِمَارِ وَجْهًا ثَالِثًا أَنَّهُ إِنْ سَارَ عَقِيبَ حَمْلِهِ قُطِعَ وَإِنْ سَارَ بَعْدَ وُقُوفِهِ لَمْ يُقْطَعْ كَمَا لَوْ وَقَفَ الطَّائِرُ بَعْدَ فَتْحِ الْقَفَصِ ثُمَّ طَارَ لَمْ يُضَمَّنْ وَلِهَذَا الْوَجْهِ وَجْهٌ

Demikian pula jika seseorang membuka sangkar burung lalu burung itu terbang segera setelah dibuka, maka jika ia menakut-nakuti burung itu hingga terbang, ia wajib menggantinya. Namun jika ia tidak menakut-nakutinya dan burung itu terbang segera setelah sangkar dibuka, maka ada dua pendapat mengenai kewajiban menggantinya. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah menyebutkan pendapat ketiga dalam kasus keledai, yaitu jika keledai itu berjalan segera setelah dilepaskan, maka dipotong (tangannya), tetapi jika berjalan setelah berhenti sejenak, maka tidak dipotong, sebagaimana jika burung itu berhenti setelah sangkar dibuka lalu terbang, maka tidak wajib menggantinya. Dan untuk pendapat ini ada juga pendapat lain.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَوْ دَفَعَ السَّرِقَةَ فِي الْحِرْزِ إِلَى صَبِيٍّ أَوْ مَجْنُونٍ فَخَرَجَ بِهَا فَإِنْ كَانَ عَنْ أَمْرِهِ أَوْ بِإِشَارَتِهِ قُطِعَ وَإِنْ لَمْ يَأْمُرْهُ وَلَمْ يُشِرْ إليه حتى خرج بها فقد اختلف أصحاب الشَّافِعِيِّ فِي جِنَايَةِ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ هَلْ يَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ الْعَمْدِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Dan jika seseorang menyerahkan barang curian yang berada di tempat penyimpanan (ḥirz) kepada seorang anak kecil atau orang gila, lalu keduanya membawanya keluar, maka jika hal itu atas perintahnya atau isyarat darinya, maka ia dipotong (tangannya). Namun jika ia tidak memerintahkannya dan tidak memberi isyarat kepadanya hingga barang itu dibawa keluar, maka para sahabat al-Syafi‘i berbeda pendapat mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak kecil dan orang gila, apakah berlaku atasnya hukum sengaja (‘amdi) atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أحدهما يجري عليها حُكْمُ الْعُمَدِ فَعَلَى هَذَا لَا يُقْطَعُ السَّارِقُ كَمَا لَوْ دَفَعَهَا إِلَى بَالِغٍ عَاقِلٍ

Salah satunya berlaku padanya hukum al-‘umad, maka dengan demikian pencuri tidak dipotong tangannya, sebagaimana jika ia menyerahkannya kepada seseorang yang sudah baligh dan berakal.

وَالْقَوْلُ الثاني يكون خطأ لا يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْعَمْدِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ كَوَضْعِهَا عَلَى الْحِمَارِ فَيَكُونُ فِي قَطْعِ السَّارِقِ وجهان

Pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu merupakan kesalahan yang tidak diberlakukan hukum sengaja atasnya. Dengan demikian, hal itu seperti meletakkannya pada seekor keledai, sehingga dalam hal pemotongan tangan pencuri terdapat dua pendapat.

فصل

Bab

ولو دخل الحرز فأخذ جَوْهَرَةً فَابْتَلَعَهَا وَخَرَجَ بِهَا فِي جَوْفِهِ فَفِي قَطْعِهِ وَجْهَانِ

Jika seseorang masuk ke dalam tempat penyimpanan harta, lalu mengambil sebuah permata, kemudian menelannya dan keluar dengan permata itu di dalam perutnya, maka dalam hal wajib atau tidaknya pemotongan (tangan) terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهُ قَدِ استهلكها في حرزها وصار كَالطَّعَامِ إِذَا أَكَلَهُ فِيهِ

Salah satunya adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu tidak dikenakan hukuman potong tangan; karena ia telah menghabiskannya di tempat penyimpanannya, sehingga keadaannya seperti makanan yang telah dimakan di dalam tempat penyimpanannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُقْطَعُ لبقاء عينها عند خروجه بها ووصوله إِلَى أَخْذِهَا

Pendapat kedua menyatakan bahwa tangan dipotong karena barang curian masih tetap ada ketika pencuri membawanya keluar dan sampai pada saat ia mengambilnya.

وَذَكَرَ أَبُو الْفَيَّاضِ وَجْهًا ثَالِثًا أنها إن خرجت بدواء وعلاج لَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ خَرَجَتْ عَفْوًا بِغَيْرِ عِلَاجٍ ولا دواء قطع

Abu al-Fayyadh menyebutkan pendapat ketiga bahwa jika keluar (darah) karena obat dan pengobatan, maka tidak dipotong (hukuman), namun jika keluar secara alami tanpa pengobatan dan tanpa obat, maka dipotong.

فصل

Bab

وإذا نقب سُفْلَ غُرْفَةٍ فِيهَا حِنْطَةٌ فَانْثَالَتْ عَلَيْهِ حَتَّى خَرَجَتْ مِنْ حِرْزِهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jika seseorang melubangi bagian bawah sebuah kamar yang di dalamnya terdapat gandum, lalu gandum itu mengalir keluar hingga keluar dari tempat penyimpanannya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَنْثَالَ مِنْهَا فِي دُفْعَةٍ وَاحِدَةٍ مَا يَبْلُغُ نِصَابًا فَيَقْطَعُ؛ لِأَنَّهَا خَرَجَتْ مِنَ الْحِرْزِ بِفِعْلِهِ

Salah satunya adalah jika harta itu dikeluarkan sekaligus dalam satu kali pengambilan sejumlah yang mencapai nisab, maka dipotong tangannya; karena harta itu keluar dari tempat penyimpanan dengan perbuatannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَنْثَالَ شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ نِصَابًا فِي دُفُعَاتٍ فَفِي قطعه وجهان

Jenis yang kedua adalah apabila harta itu bertambah sedikit demi sedikit hingga mencapai nisab dalam beberapa kali penerimaan, maka dalam memisahkannya terdapat dua pendapat.

أحدهما لا يقطع؛ لأنه المتفرقة من السرقة لا ينبني بعضه عَلَى بَعْضٍ

Salah satunya tidak dikenai hukuman potong tangan; karena yang terpisah dari pencurian tidak saling berkaitan satu sama lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُقْطَعُ؛ لِأَنَّ انْثِيَالَهُ عن فعل واحد وكان مجموعاً عن سرقة واحداً فَلِذَلِكَ قُطِعَ وَسَوَاءٌ أَخَذَهَا أَوْ تَرَكَهَا وَهَكَذَا لو نزل زِقًّا فِيهِ دُهْنٌ أَوْ عَسَلٌ فَجَرَى مِنْهُ إِلَى خَارِجِ الْحِرْزِ قُطِعَ إِنْ أَمْكَنَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ بَعْدَ خُرُوجِهِ قِيمَةَ النِّصَابِ وَإِنْ تمحق عند خروجه حتى لا يُمْكِنْ أَخْذُهُ ضَمِنَ وَلَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ كَالْمُسْتَهْلِكِ فِي الْحِرْزِ

Pendapat kedua: dipotong (tangannya), karena perbuatannya berasal dari satu tindakan dan keseluruhannya merupakan hasil dari satu pencurian, maka karena itu dipotong. Sama saja apakah ia mengambilnya atau meninggalkannya. Demikian pula, jika ia menurunkan sebuah kantong yang berisi minyak atau madu lalu cairan itu mengalir keluar dari tempat penyimpanan, maka dipotong jika memungkinkan untuk diambil darinya setelah keluar sejumlah senilai nisab. Namun, jika cairan itu habis saat keluar sehingga tidak mungkin diambil, maka ia wajib mengganti (kerugian) tetapi tidak dipotong, karena ia dianggap seperti orang yang menghabiskan barang di dalam tempat penyimpanan.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا وَوَجَبَ عَلَيْهِ الْقَطْعُ بِإِخْرَاجِ السَّرِقَةِ فأعادها إِلَى حِرْزِهَا لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْقَطْعُ وَلَا الضمان

Apabila telah ditetapkan sebagaimana yang telah kami jelaskan dan telah wajib atasnya hukuman potong tangan karena pencurian, lalu ia mengembalikan barang curian itu ke tempat penyimpanannya, maka hukuman potong tangan tidak gugur darinya, begitu pula kewajiban ganti rugi.

ويجيء عَلَى قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ الْقَطْعُ وَالضَّمَانُ وَعَلَى قَوْلِ مَالِكٍ أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُ الضَّمَانُ وَلَا يَسْقُطَ الْقَطْعُ

Menurut pendapat Abu Hanifah, gugur darinya hukuman potong tangan dan kewajiban ganti rugi; sedangkan menurut pendapat Malik, gugur darinya kewajiban ganti rugi tetapi hukuman potong tangan tidak gugur.

وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي الضَّمَانِ فِي الْوَدِيعَةِ إِذَا تَعَدَّى فِيهَا ثُمَّ كَفَّ وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ مَعَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي السَّرِقَةِ إِذَا وُهِبَتْ لَهُ بَعْدَ وجوب القطع

Telah dijelaskan sebelumnya mengenai tanggungan (dhamān) dalam perkara titipan (wadi‘ah) apabila seseorang melampaui batas padanya, kemudian ia berhenti, dan akan dibahas pula pendapat Abū Ḥanīfah dalam kasus pencurian apabila barang tersebut dihibahkan kepadanya setelah kewajiban potong tangan ditetapkan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وإن كانوا ثلاثة فحملوه متاعاً فأخرجوه معاً يبلغ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِ دِينَارٍ قُطِعُوا وَإِنْ نَقَصَ شَيْئًا لَمْ يُقْطَعُوا

Imam Syafi‘i berkata, “Jika mereka bertiga lalu membawa barangnya bersama-sama dan mengeluarkannya hingga mencapai tiga perempat dinar, maka mereka dipotong (tangannya). Namun jika kurang sedikit saja, maka mereka tidak dipotong.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي ثَلَاثَةٍ اشْتَرَكُوا فِي نَقْبِ حِرْزٍ وَحَمَلُوا بَيْنَهُمْ مَا سَرَقُوهُ مُشْتَرِكِينَ فِي حَمْلِهِ فَإِنْ بَلَغَتْ قِيمَتُهُ ثَلَاثَةَ نُصُبٍ وَكَانَتْ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نِصَابًا قُطِعُوا إِجْمَاعًا سَوَاءٌ خَفَّ أَوْ ثَقُلَ وإن كانت قيمته نصاباً وحصة كل واحد منهم أقل من نصاب لم يقطعوا سَوَاءٌ خَفَّ أَوْ ثَقُلَ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah tiga orang yang bersama-sama membobol tempat penyimpanan harta dan mereka bersama-sama membawa barang curian tersebut. Jika nilai barang itu mencapai tiga nisab dan bagian masing-masing dari mereka adalah satu nisab, maka mereka dipotong tangannya secara ijmā‘, baik barang itu ringan maupun berat. Namun jika nilainya satu nisab dan bagian masing-masing dari mereka kurang dari satu nisab, maka mereka tidak dipotong, baik barang itu ringan maupun berat. Demikian pula pendapat Abu Hanifah.

وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ كَانَ ثَقِيلًا لَا يَقْدِرُ أَحَدُهُمْ عَلَى حَمْلِهِ قُطِعُوا وَإِنْ كَانَ خَفِيفًا يَقْدِرُ أَحَدُهُمْ عَلَى حَمْلِهِ لَمِ يُقْطَعُوا في إحدى الروايتين عنه كقولنا وقطعوا في الرواية الثانية عنه كالثقل؛ اسْتِدْلَالًا مَعَ عُمُومِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ بِأَمْرَيْنِ

Malik berpendapat, jika barang yang dicuri itu berat sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu membawanya, maka mereka dipotong (tangannya). Namun jika barang itu ringan sehingga salah satu dari mereka mampu membawanya, maka mereka tidak dipotong menurut salah satu riwayat darinya, sebagaimana pendapat kami. Sedangkan menurut riwayat kedua darinya, mereka tetap dipotong seperti halnya pada barang yang berat; hal ini didasarkan pada dua alasan selain keumuman al-Kitab dan as-Sunnah.

أَحَدُهُمَا أَنَّ قَطْعَ السَّرِقَةِ مُعْتَبَرٌ بِشَرْطَيْنِ هَتْكُ الْحِرْزِ وَسَرِقَةُ النِّصَابِ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُمْ لَوِ اشْتَرَكُوا في هتك الحرز جرى عل كل واحد منهم حكم المنفرد بهتكه كذلك إِذَا اشْتَرَكُوا فِي سَرِقَةِ النِّصَابِ وَجَبَ أَنْ يَجْرِيَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ حُكْمُ الْمُنْفَرِدِ بِسَرِقَتِهِ

Salah satunya adalah bahwa hukuman potong tangan atas pencurian dipersyaratkan dengan dua syarat: membobol tempat penyimpanan (hirm) dan mencuri sejumlah nisab. Kemudian telah ditetapkan bahwa jika mereka bersama-sama membobol tempat penyimpanan, maka pada masing-masing dari mereka berlaku hukum seperti orang yang melakukannya sendiri; demikian pula jika mereka bersama-sama mencuri sejumlah nisab, maka wajib atas masing-masing dari mereka berlaku hukum seperti orang yang melakukannya sendiri.

وَالثَّانِي أَنَّ الْوَاحِدَ لَوْ سَرَقَ نِصَابًا مشتركاً بين جماعة قطع وإن سرق الجماعة من الواحد نصاباً لم يَقْطَعُوا وَإِنْ سَرَقَ كُلُّ وَاحِدٍ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ اعْتِبَارًا بِالْقَدْرِ الْمَسْرُوقِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ؛ لِأَنَّ سَرِقَةَ الْوَاحِدِ مِنَ الْجَمَاعَةِ كَسَرِقَةِ الْجَمَاعَةِ مِنَ الْوَاحِدِ

Kedua, jika satu orang mencuri nisab yang merupakan milik bersama sekelompok orang, maka ia dipotong tangannya. Namun, jika sekelompok orang mencuri nisab dari satu orang, maka mereka tidak dipotong tangannya. Dan jika masing-masing dari mereka mencuri kurang dari nisab, maka yang diperhitungkan adalah jumlah barang yang dicuri pada kedua kasus tersebut; karena pencurian satu orang dari sekelompok orang itu sama dengan pencurian sekelompok orang dari satu orang.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ سَرِقَةَ كُلِّ وَاحِدٍ لم يبلغ نِصَابًا فَوَجَبَ أَنْ لَا يُقْطَعَ كَالْمُنْفَرِدِ وَلِأَنَّ مُوجِبَ السَّرِقَةِ شَيْئَانِ غُرْمٌ وَقَطْعٌ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ غُرْمَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مُعْتَبَرٌ بِنَفْسِهِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَطْعُهُ مُعْتَبَرًا بِنَفْسِهِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا امْتَنَعَ إِذَا سَرَقَ الْوَاحِدُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْرَازٍ نِصَابًا أَنْ يُقْطَعَ وَلَا يُبْنَى بَعْضُ فعله على بعض كان امتناع قطع الثلاثة وإذا سرقوا من حرز نصاباً أولى ولا يبنى فعل بعضهم عَلَى بَعْضٍ؛ لِأَنَّهُ بِأَفْعَالِ نَفْسِهِ أَخَصُّ مِنْهُ بأفعال غيره

Dalil kami adalah bahwa pencurian masing-masing dari mereka tidak mencapai nisab, maka wajib untuk tidak dipotong (tangannya), sebagaimana halnya jika dilakukan sendiri-sendiri. Karena sebab hukum pencurian ada dua, yaitu ganti rugi dan pemotongan (tangan). Telah tetap bahwa ganti rugi masing-masing dari mereka diperhitungkan secara tersendiri, maka wajib pula pemotongan (tangan) diperhitungkan secara tersendiri. Dan karena ketika seseorang mencuri dari tiga tempat penyimpanan yang berbeda sejumlah nisab, maka ia tidak dipotong (tangannya) dan tidak digabungkan sebagian perbuatannya dengan sebagian yang lain, maka lebih utama lagi untuk tidak memotong (tangan) tiga orang jika mereka mencuri dari satu tempat penyimpanan sejumlah nisab, dan tidak digabungkan perbuatan sebagian mereka dengan sebagian yang lain; karena seseorang lebih terkait dengan perbuatannya sendiri daripada dengan perbuatan orang lain.

فأما الجواب عن استدلالهم بِهَتْكِ الْحِرْزِ فَهُوَ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِهَتْكِهِ الْوُصُولُ إِلَى السَّرِقَةِ وَقَدْ حَصَلَ هَذَا الْمَقْصُودُ بِالْمُشَارِكَةِ كَحُصُولِهِ بِالِانْفِرَادِ فَاسْتَوَيَا وَالْمَقْصُودُ بِالسَّرِقَةِ تَمَلُّكُ الْمَالِ المسروق والاشتراك في النصاب فخالف لِلتَّفَرُّدِ بِهِ فَلِذَلِكَ لَمْ يُقْطَعُوا فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ السَّرِقَةِ مِنْ مَالٍ مُشْتَرَكٍ بَيْنَ جَمَاعَةٍ فَهُوَ أَنَّ سَرِقَتَهُ مِنْهُمْ بَلَغَتْ نِصَابًا فَلِذَلِكَ قُطِعَ وَإِذَا اشْتَرَكَ الْجَمَاعَةُ لَمْ تَبْلُغْ سَرِقَةُ أَحَدِهِمْ نِصَابًا فَلِذَلِكَ لَمْ يُقْطَعُوا

Adapun jawaban terhadap dalil mereka tentang membobol tempat penyimpanan adalah bahwa yang dimaksud dengan membobolnya adalah untuk mencapai tujuan pencurian, dan tujuan ini telah tercapai baik dengan dilakukan bersama-sama maupun sendiri, sehingga keduanya sama saja. Sedangkan tujuan dari pencurian adalah memiliki harta yang dicuri dan terpenuhinya nisab secara bersama-sama, maka hal ini berbeda dengan jika dilakukan sendiri, sehingga karena itu mereka tidak dipotong tangannya. Adapun jawaban tentang pencurian dari harta yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang adalah bahwa jika seseorang mencurinya dari mereka dan mencapai nisab, maka karena itulah ia dipotong tangannya. Namun jika sekelompok orang bersama-sama mencuri dan pencurian masing-masing dari mereka tidak mencapai nisab, maka karena itu mereka tidak dipotong tangannya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي ” وإن أخرجوه متفرقاً فمن أخرج ما يساوي ربع دينار قطع وإن لم يسو رُبُعَ دِينَارٍ لَمْ يُقْطَعْ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika mereka mengeluarkannya secara terpisah, maka siapa yang mengeluarkan sesuatu yang senilai seperempat dinar, dipotong tangannya. Namun jika tidak senilai seperempat dinar, maka tidak dipotong.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي ثَلَاثَةٍ اشْتَرَكُوا فِي النَّقْبِ وَتَفَرَّقُوا فِي الْأَخْذِ فَانْفَرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِأَخْذِ شَيْءٍ مِنْهُ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمْ فِيمَا أَخَذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah tiga orang yang bersama-sama membuat lubang (untuk mencuri), kemudian mereka berpisah dalam mengambil (harta), sehingga masing-masing dari mereka mengambil sesuatu secara terpisah. Maka keadaan mereka dalam apa yang diambil oleh masing-masing tidak lepas dari tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَأْخُذَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ فَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ وِفَاقًا مَعَ مَالِكٍ لِافْتِرَاقِهِمْ فِي الْأَخْذِ

Salah satunya adalah apabila masing-masing dari mereka mengambil kurang dari nisab, maka tidak dikenakan hadd potong tangan atas mereka, sejalan dengan pendapat Malik, karena mereka terpisah dalam pengambilan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَأْخُذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نِصَابًا فَصَاعِدًا فَعَلَيْهِمُ الْقَطْعُ جَمِيعًا

Bagian kedua adalah apabila masing-masing dari mereka mengambil nisab atau lebih, maka semuanya wajib dikenai hukuman potong tangan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَأْخُذَ بَعْضُهُمْ نِصَابًا وَبَعْضُهُمْ اقل من نصاب فمذهب الشافعي رضي الله عنه أَنَّهُ يُقْطَعُ مَنْ بَلَغَتْ سَرِقَتُهُ نِصَابًا وَلَا يُقْطَعُ مَنْ لَمْ تَبْلُغْ سَرِقَتُهُ نِصَابًا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ

Bagian ketiga adalah apabila sebagian dari mereka mengambil sejumlah nisab dan sebagian lainnya kurang dari nisab, maka menurut mazhab Syafi‘i raḥimahullāh, yang dipotong tangannya adalah orang yang pencuriannya mencapai nisab, dan tidak dipotong tangan orang yang pencuriannya tidak mencapai nisab. Pendapat ini juga dikatakan oleh Malik.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ أَجْمَعُ مَا أَخَذُوهُ فَإِنْ بَلَغَ ثَلَاثَةَ نُصُبٍ قَطَعْتُهُمْ وَإِنْ كَانَ فِيهِمْ مَنْ أَخَذَ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغْ مَا أَخَذُوهُ ثَلَاثَةَ نُصُبٍ لَمْ أَقَطَعْهُمْ وَإِنْ كَانَ فِيهِمْ مَنْ أَخَذَ نصاباً؛ احتجاجاً بأن اشتراكهم في النقب موجب بِنَاءَ أَفْعَالِ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Abu Hanifah berkata: “Aku menggabungkan seluruh barang yang mereka ambil. Jika jumlahnya mencapai tiga nisab, maka aku potong tangan mereka, meskipun di antara mereka ada yang mengambil kurang dari satu nisab. Namun, jika barang yang mereka ambil tidak mencapai tiga nisab, maka aku tidak memotong tangan mereka, meskipun di antara mereka ada yang mengambil satu nisab; dengan alasan bahwa keterlibatan mereka bersama dalam membobol (tempat) menyebabkan perbuatan sebagian mereka dibangun di atas perbuatan yang lain. Ini adalah kekeliruan dari dua sisi.”

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَطْعَ تَابِعٌ لِلضَّمَانِ فَلَمَّا اخْتَصَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِضَمَانِ مَا تَفَرَّدَ بِأَخْذِهِ وَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ بِقَطْعِ مَا تَفَرَّدَ بِأَخْذِهِ

Salah satu di antaranya adalah bahwa pemotongan (hukuman potong tangan) mengikuti tanggungan (kewajiban mengganti kerugian), maka ketika masing-masing dari mereka khusus menanggung apa yang diambilnya sendiri, wajib pula bahwa pemotongan itu khusus atas apa yang diambilnya sendiri.

وَالثَّانِي أَنَّ الْقَطْعَ عُقُوبَةٌ عَلَى أَخْذِ النِّصَابِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْقُطَ عَمَّنْ أخذ نصاباً مع وجود شرطه فيه ويجب على من أخذ اقل من نصاب مع عدم شرطه فيه

Kedua, bahwa pemotongan (tangan) adalah hukuman atas pengambilan nisab, maka tidak boleh hukuman itu gugur dari orang yang mengambil nisab dengan terpenuhinya syarat padanya, dan wajib (hukuman) atas orang yang mengambil kurang dari nisab dengan tidak adanya syarat padanya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ نَقَّبُوا مَعًا ثُمَّ أَخْرَجَ بَعْضُهُمْ وَلَمْ يُخْرِجْ بَعْضٌ قُطِعَ الْمُخْرِجُ خَاصَّةً

Syafi‘i berkata, “Jika mereka bersama-sama membuat lubang, kemudian sebagian dari mereka mengeluarkan (barang) dan sebagian yang lain tidak mengeluarkan, maka yang dipotong tangannya hanyalah orang yang mengeluarkan saja.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا فِي ثَلَاثَةٍ اشْتَرَكُوا فِي النَّقْبِ وَانْفَرَدَ أَحَدُهُمْ بِالْأَخْذِ فَالْقَطْعُ وَاجِبٌ عَلَى من تفرد بِالْأَخْذِ دُونَ مَنْ شَارَكَ فِي النَّقْبِ وَلَمْ يأخذ سواء دخلوا الحرز أو لم يدخلوه تقاسموا بالسرقة أَوْ لَمْ يَقْتَسِمُوا بِهَا

Al-Mawardi berkata: Kasusnya adalah tiga orang yang bersama-sama membuat lubang (untuk mencuri), lalu salah satu dari mereka saja yang mengambil (barang curian), maka hukuman potong tangan wajib dijatuhkan kepada orang yang mengambil barang tersebut saja, tidak kepada mereka yang hanya ikut membuat lubang tetapi tidak mengambil, baik mereka masuk ke tempat penyimpanan harta atau tidak, baik mereka membagi hasil pencurian atau tidak membaginya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ القطع واجب على جميعهم ليستوي فِيهِ مَنْ أَخَذَ وَمَنْ لَمْ يَأْخُذْ إِذَا كَانَتِ السَّرِقَةُ لَوْ فُضَّتْ عَلَيْهِمْ بَلَغَتْ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ نِصَابًا وَلَوْ نَقُصَتْ حِصَّتُهُ عن النصاب لم يقطع واحد منهم وكذلك القول فِي قُطَّاعِ الطَّرِيقِ أَنَّ الْعُقُوبَةَ تَجِبُ عَلَى مَنْ بَاشَرَ وَعَلَى مَنْ لَمْ يُبَاشِرْ إِذَا كَانَ رَدًّا احْتِجَاجًا بِأَمْرَيْنِ

Abu Hanifah berkata, hukuman potong tangan wajib dijatuhkan kepada semuanya agar sama antara yang mengambil dan yang tidak mengambil, apabila dalam pencurian itu, jika barang curian dibagi kepada mereka, maka bagian masing-masing mencapai nisab. Namun, jika bagian seseorang kurang dari nisab, maka tidak seorang pun dari mereka dipotong tangannya. Demikian pula pendapat dalam kasus perampok jalanan, bahwa hukuman wajib dijatuhkan kepada pelaku langsung maupun yang tidak langsung, jika hal itu merupakan bentuk penolakan dengan dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْحَاضِرَ معين على الأخذ بِحِرَاسَتِهِ فَصَارَ بِالْمَعُونَةِ كَالْمُبَاشِرِ لِأَخْذِهِ

Salah satunya adalah bahwa orang yang hadir membantu dalam pengambilan dengan menjaga, sehingga dengan bantuan tersebut ia menjadi seperti orang yang langsung mengambilnya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا اشْتَرَكَ فِي الْغَنِيمَةِ مَنْ بَاشَرَ الْقِتَالَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ؛ لِأَنَّهُ بِالْحُضُورِ كَالْمُبَاشِرِ وَجَبَ أَنْ يَشْتَرِكَ فِي الْقَطْعِ مَنْ بَاشَرَ السَّرِقَةَ وَمَنْ لَمْ يُبَاشِرْ؛ لِأَنَّهُ بِالْحُضُورِ كَالْمُبَاشِرِ وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا الشورى 40 فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجَازَى غَيْرُ الْآخِذِ بِمَا يُجَازَى بِهِ الْآخِذُ وَلِأَنَّ الْمُعِينَ عَلَى فِعْلِ الْمَعْصِيَةِ لَا يَسْتَوْجِبُ عُقُوبَةَ فَاعِلِ الْمَعْصِيَةِ كَالْمُعِينِ عَلَى الْقَتْلِ لَا يَسْتَوْجِبُ قِصَاصَ الْقَاتِلِ وَالْمُعِينُ عَلَى الزِّنَا لَا يَسْتَوْجِبُ حَدَّ الزَّانِي كَذَلِكَ الْمُعِينُ عَلَى السَّرِقَةِ لَا يَسْتَوْجِبُ قَطْعَ السَّارِقِ وَهُوَ انْفِصَالٌ عَنِ احْتِجَاجِهِ الْأَوَّلِ وَلِأَنَّ قَطْعَ السَّرِقَةِ مُعْتَبَرٌ بِشَرْطَيْنِ هَتْكُ الْحِرْزِ وَإِخْرَاجُ السَّرِقَةِ فَلَمَّا كَانَ لَوْ شَارَكَ فِي إِخْرَاجِهَا وَلَمْ يُشَارِكْ فِي هَتْكِ حِرْزِهَا لَمْ يُقْطَعْ فَأَوْلَى إِذَا شَارَكَ فِي هَتْكِ حِرْزِهَا وَلَمْ يُشَارِكْ فِي إِخْرَاجِهَا أَنْ لَا يُقْطَعَ؛ لِأَنَّ إِخْرَاجَهَا أَخَصُّ بِالْقَطْعِ مِنْ هَتْكِ حِرْزِهَا وَلِأَنَّهُ لَوْ وَقَفَ خَارِجَ الْحِرْزِ لَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ كَانَ عَوْنًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُخْرِجْهَا كَذَلِكَ لَا يُقْطَعُ وَإِنْ دَخَلَ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُخْرِجٍ لَهَا فِي الْحَالَيْنِ

Kedua, ketika dalam pembagian ghanīmah (harta rampasan perang) orang yang terlibat langsung dalam pertempuran dan yang tidak ikut bertempur sama-sama mendapatkan bagian, karena dengan kehadiran di medan perang dianggap seperti yang terlibat langsung, maka seharusnya dalam hukuman potong tangan juga berlaku bagi yang melakukan pencurian secara langsung maupun yang tidak melakukannya secara langsung; sebab dengan kehadiran dianggap seperti pelaku langsung. Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa dengannya” (asy-Syūrā: 40), maka tidak boleh orang yang bukan pelaku utama dihukum dengan hukuman yang sama seperti pelaku utama. Selain itu, orang yang membantu dalam melakukan maksiat tidak berhak mendapatkan hukuman seperti pelaku maksiat, sebagaimana orang yang membantu dalam pembunuhan tidak berhak mendapatkan qishāsh seperti pelaku pembunuhan, dan orang yang membantu dalam perzinaan tidak berhak mendapatkan hadd seperti pezina, demikian pula orang yang membantu dalam pencurian tidak berhak mendapatkan hukuman potong tangan seperti pencuri. Ini merupakan bantahan terhadap argumentasi pertama mereka. Selain itu, hukuman potong tangan dalam pencurian mensyaratkan dua hal: membobol tempat penyimpanan (ḥirz) dan mengeluarkan barang curian. Jika seseorang hanya berperan dalam mengeluarkan barang curian tanpa ikut membobol tempat penyimpanan, maka ia tidak dipotong tangannya, maka lebih utama lagi jika ia hanya berperan dalam membobol tempat penyimpanan tanpa ikut mengeluarkan barang curian, maka ia juga tidak dipotong tangannya; karena mengeluarkan barang curian lebih khusus berkaitan dengan hukuman potong tangan daripada membobol tempat penyimpanan. Selain itu, jika seseorang hanya berdiri di luar tempat penyimpanan, maka ia tidak dipotong tangannya meskipun ia membantu, karena ia tidak mengeluarkan barang curian. Demikian pula, jika ia masuk ke dalam namun tidak mengeluarkan barang curian, maka dalam kedua keadaan itu ia tidak dipotong tangannya.

وَأَمَّا مَالُ الْغَنِيمَةِ فَلَمَّا كَانَ فيها خمس يَسْتَحِقُّهُ مَنْ لَمْ يَشْهَدْهَا جَازَ أَنْ يُفَرَّقَ عَلَى مَنْ شَهِدَهَا وَإِنْ لَمْ يُبَاشِرْ أَخْذَهَا وَخَالَفَ قَطْعُ السَّرِقَةِ فِي سُقُوطِهِ عَمَّنْ لَمْ يَشْهَدْ فَسَقَطَ عَمَّنْ شَهِدَ إِذَا لَمْ يُبَاشِرْ

Adapun harta ghanīmah, karena di dalamnya terdapat seperlima yang berhak diterima oleh orang yang tidak ikut hadir, maka boleh dibagikan kepada orang yang hadir meskipun ia tidak secara langsung mengambilnya. Hal ini berbeda dengan hukum potong tangan bagi pencuri, yang gugur bagi orang yang tidak hadir, sehingga juga gugur bagi orang yang hadir jika ia tidak secara langsung melakukannya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وإن سرق سارق ثَوْبًا فَشَقَّهُ أَوْ شَاةً فَذَبَحَهَا فِي حِرْزِهَا ثُمَّ أَخْرَجَ مَا سَرَقَ فَإِنْ بَلَغَ رُبُعَ دِينَارٍ قُطِعَ وَإِلَّا لَمْ يُقْطَعْ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seorang pencuri mencuri sehelai pakaian lalu ia merobeknya, atau seekor kambing lalu ia menyembelihnya di dalam tempat penyimpanannya, kemudian ia mengeluarkan barang yang dicurinya itu, maka jika nilainya mencapai seperempat dinar, ia dipotong tangannya, dan jika tidak, maka tidak dipotong.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الثَّوْبُ إِذَا شَقَّهُ فِي الْحِرْزِ ثُمَّ أَخْرَجَهُ فَعَلَيْهِ أَرْشُ شِقِّهِ ثُمَّ يَنْظُرُ فِي قِيمَتِهِ عِنْدَ إِخْرَاجِهِ فَإِنْ بَلَغَتْ رُبُعَ دِينَارٍ قطع وإن كانت أقل من ربع دينار وتبلغ مَعَ أَرْشِ الشَّقِّ رُبُعَ دِينَارٍ لَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّ أَرْشَ الشَّقِّ مُسْتَهْلَكٌ فِي الْحِرْزِ فَصَارَ كَالدَّاخِلِ إِلَى الْحِرْزِ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا فِيهِ ضَمَّنَهُ وَلَمْ يَقْطَعْ بِهِ

Al-Mawardi berkata: Adapun kain, jika ia merobeknya di dalam tempat penyimpanan (hirz) lalu mengeluarkannya, maka ia wajib membayar ganti rugi atas robeknya itu, kemudian dilihat nilai kain tersebut saat dikeluarkan. Jika nilainya mencapai seperempat dinar, maka dipotong (tangannya); namun jika kurang dari seperempat dinar dan bersama dengan ganti rugi robekan itu nilainya menjadi seperempat dinar, maka tidak dipotong; karena ganti rugi robekan itu sudah habis (digunakan) di dalam tempat penyimpanan, sehingga keadaannya seperti orang yang masuk ke tempat penyimpanan lalu memakan makanan di dalamnya, maka ia wajib menggantinya namun tidak dipotong karena perbuatannya itu.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ فِي الثَّوْبِ إِذَا شَقَّهُ إِنَّ مَالِكَهُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ تَرْكِهِ عَلَيْهِ وَأَخْذِ قيمته منه وبين أخذه وَأَخْذِ أَرْشِهِ كَمَا قَالَهُ فِي الْغَاصِبِ فَإِنْ أَخَذَهُ وَأَرَشَهُ قُطِعَ إِذَا بَلَغَتْ قِيمَتُهُ مَشْقُوقًا نصاباً كما قلنا وَإِنْ تَرَكَهُ عَلَيْهِ وَأَخَذَ مِنْهُ قِيمَتَهُ لَمْ يقطع؛ لأنه بجعله مالكاً له عند شقه وقبل أخرجه فَلَمْ يُقْطَعْ فِي مِلْكِهِ وَالْكَلَامُ مَعَهُ فِي أصلها قد مضى

Abu Hanifah berpendapat bahwa pada kain jika seseorang merobeknya, maka pemiliknya memiliki pilihan antara membiarkannya pada pelaku dan mengambil nilai harganya dari pelaku, atau mengambil kain tersebut dan mengambil ganti rugi (arsh)-nya, sebagaimana yang dikatakannya dalam kasus ghashib (perampas). Jika pemilik mengambil kain dan ganti ruginya, maka pelaku dipotong tangannya jika nilai kain yang sudah robek itu mencapai nisab, sebagaimana telah kami sebutkan. Namun jika pemilik membiarkan kain itu pada pelaku dan mengambil nilai harganya dari pelaku, maka pelaku tidak dipotong; karena dengan menjadikannya sebagai milik pelaku saat kain itu dirobek dan sebelum dikeluarkan, maka pelaku tidak dipotong atas sesuatu yang sudah menjadi miliknya. Pembahasan tentang asal masalah ini telah dijelaskan sebelumnya.

فصل

Bab

فأما الشَّاةُ إِذَا ذَبَحَهَا فِي الْحِرْزِ وَأَخْرَجَهَا مَذْبُوحَةً قيمتها رُبُعُ دِينَارٍ قُطِعَ وَضَمِنَ أَرْشَ ذَبْحِهَا

Adapun kambing, jika seseorang menyembelihnya di tempat yang terlindungi dan mengeluarkannya dalam keadaan sudah disembelih, sementara nilainya seperempat dinar, maka ia dipotong tangannya dan ia wajib menanggung ganti rugi atas penyembelihannya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بَعْدَ الذَّبْحِ طَعَامًا رَطْبًا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي سُقُوطِ الْقَطْعِ فِي الطَّعَامِ الرَّطْبِ وَقَدْ تَقَدَّمَ فِيهِ الْكَلَامُ

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan, karena setelah disembelih, daging itu telah menjadi makanan basah, berdasarkan pendapat asal beliau tentang tidak dikenakannya hukuman potong tangan pada makanan basah, dan pembahasan mengenai hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

وَلَوْ كَانَتْ قِيمَةُ الشَّاةِ قَبْلَ الذَّبْحِ أَقَلَّ مِنْ رُبُعِ دِينَارٍ فَزَادَتْ بِالذَّبْحِ حَتَّى بَلَغَتْ رُبُعَ دِينَارٍ ثُمَّ أَخْرَجَهَا فَفِي قَطْعِهِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ

Jika nilai seekor kambing sebelum disembelih kurang dari seperempat dinar, lalu nilainya bertambah setelah disembelih hingga mencapai seperempat dinar, kemudian ia mengeluarkannya (sebagai zakat), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang mungkin.

أَحَدُهُمَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ لِلْمَالِكِ دُونَ الذَّابِحِ

Salah satunya dipotong; karena tambahan itu menjadi milik pemilik, bukan milik penyembelih.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُقْطَعُ لِحُدُوثِهَا بِالذَّبْحِ فَلَمْ يَسْتَقِرَّ لِلْمَالِكِ عَلَيْهَا يَدٌ وَهَكَذَا لَوْ سَرَقَ لَحْمًا فَطَبَخَهُ أَوْ دقيقاً فخبزه أو دبساً فعقده وَأَخْرَجَهُ وَقَدْ بَلَغَتْ قِيمَتُهُ بِالصَّنْعَةِ نِصَابًا وَكَانَ قَبْلَ الصَّنْعَةِ أَقَلَّ مِنْ نِصَابٍ كَانَ قَطْعُهُ على ما ذكرناه مِنَ الْوَجْهَيْنِ الْمُحْتَمَلَيْنِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak dipotong (tangan pencuri) karena terjadinya perubahan melalui penyembelihan, sehingga pemilik tidak lagi memiliki kekuasaan atas barang tersebut. Demikian pula, jika seseorang mencuri daging lalu memasaknya, atau mencuri tepung lalu membuat roti darinya, atau mencuri sirup lalu memadatkannya, kemudian membawanya keluar dan nilainya setelah diolah mencapai nisab, sedangkan sebelum diolah nilainya kurang dari nisab, maka hukum pemotongan tangannya mengikuti dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya.

فَصْلٌ

Bagian

وَلَوْ أَخَذَ جِلْدَ ميتة من الْحِرْزِ وَدَبَغَهُ فِيهِ وَأَخْرَجَهُ مَدْبُوغًا وَقِيَمُتُهُ رُبُعُ دِينَارٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي بَيِع جِلْدِ الْمَيِّتَةِ بَعْدَ دِبَاغَتِهِ فَمَنَعَ مِنْهُ فِي الْقَدِيمِ وَأَسْقَطَ الْغُرْمَ عَنْ مُسْتَهْلِكِهِ فَعَلَى هَذَا لَا قَطْعَ عَلَيْهِ كَمَا لَوْ أَخْرَجَهُ مِنَ الْحِرْزِ قَبْلَ دِبَاغَتِهِ وَأَجَازَ بَيْعَهُ فِي الْجَدِيدِ وَأَوْجَبَ غُرْمَ قِيمَتِهِ عَلَى مُسْتَهْلِكِهِ فَعَلَى هَذَا لَوْ دَبَغَهُ مَالِكُهُ قُطِعَ فِيهِ وَإِنْ دَبْغَهُ السَّارِقَ بِنَفْسِهِ فَفِي قَطْعِهِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ

 

فَصْلٌ

Bab

وَلَوْ كَانَ السَّارِقُ مَجُوسِيًّا فَذَبَحَ الشَّاةَ فِي حِرْزِهَا وَأَخْرَجَهَا ضَمِنَ قِيمَتَهَا وَلَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّهَا مَيْتَةٌ لَا يُسْتَبَاحُ أَكْلُهَا فَلَوْ كَانَ عَلَيْهَا صُوفٌ فَإِنْ صَحَّ مَا حَكَاهُ إِبْرَاهِيمُ الْبَلَدِيُّ عَنِ الْمُزَنِيِّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَجَعَ عَنْ تَنْجِيسِ شَعْرِ الْمَيْتَةِ قَطَعَ فِيهِ إِذَا بَلَغَتْ قِيمَتُهُ رُبُعَ دِينَارٍ وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ مَا حَكَاهُ فَلَا قَطْعِ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ نَجِسٌ لا قيمة له

Jika pencuri itu seorang Majusi lalu ia menyembelih kambing di dalam tempat penyimpanannya dan mengeluarkannya, maka ia wajib mengganti nilainya, namun tidak dipotong tangannya; karena kambing itu menjadi bangkai yang tidak boleh dimakan. Jika pada kambing itu terdapat bulu, maka jika benar apa yang diriwayatkan oleh Ibrahim al-Baladi dari al-Muzani bahwa asy-Syafi‘i telah menarik pendapatnya tentang kenajisan rambut bangkai, maka dipotong tangannya jika nilai bulu itu mencapai seperempat dinar. Namun jika riwayat tersebut tidak benar, maka tidak ada pemotongan tangan; karena bulu itu najis dan tidak memiliki nilai.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ كَانَتْ قِيمَةُ مَا سَرَقَ رُبُعَ دِينَارٍ ثُمَّ نَقُصَتِ الْقِيمَةُ فَصَارَتْ أَقَلَّ مِنْ رُبُعِ دِينَارٍ ثُمَّ زَادَتِ الْقِيمَةُ فَإِنَّمَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَالِ الَّتِي خَرَجَ بِهَا مِنَ الْحِرْزِ

Syafi‘i berkata, “Jika nilai barang yang dicuri sebesar seperempat dinar, kemudian nilainya turun sehingga menjadi kurang dari seperempat dinar, lalu nilainya naik kembali, maka yang aku perhatikan adalah keadaan saat barang itu dikeluarkan dari tempat penyimpanan (hirz).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ قِيمَةُ السَّرِقَةِ فِي الْقَطْعِ مُعْتَبِرَةٌ بِوَقْتِ إِخْرَاجِهَا فَإِنْ بَلَغَتْ نِصَابًا ثُمَّ نَقُصَتْ عَنِ النِّصَابِ بَعْدَ إِخْرَاجِهَا قُطِعَ وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْقَطْعُ بنقصان القيمة سواء نقصت قيمتها بنقصان عَيْنِهَا أَوْ لِنُقْصَانِ سِعْرِهَا

Al-Mawardi berkata, “Hal ini seperti yang dikatakan bahwa nilai barang curian dalam kasus pemotongan tangan (hudud) diperhitungkan berdasarkan waktu pengeluarannya. Jika nilainya mencapai nisab lalu setelah dikeluarkan nilainya berkurang dari nisab, maka pelaku tetap dipotong tangannya dan hukuman potong tangan tidak gugur karena penurunan nilai, baik penurunan itu disebabkan berkurangnya barang itu sendiri maupun karena turunnya harga.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ كَانَ لِنُقْصَانِ عَيْنِهَا قُطِعَ وَإِنْ كَانَ لِنُقْصَانِ سِعْرِهَا لَمْ يُقْطَعْ؛ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ مَا مَنَعَ مِنْ وُجُوبِ الْقَطْعِ عِنْدَ إِخْرَاجِهَا مَنَعَ من حُدُوثِهِ بَعْدَ إِخْرَاجِهَا كَمَا لَوْ ثَبَتَ بِإِقْرَارٍ أَوْ بَيِّنَةٍ أَنَّهَا مِلْكٌ لِسَارِقِهَا وَلِأَنَّ نُقْصَانَ السِّعْرِ لَا يُضْمَنُ مَعَ بَقَاءِ الْعَيْنِ وَمَا لَمْ يَضْمَنْهُ لَمْ يُقْطَعْ فِيهِ كَنُقْصَانِهِ قَبْلَ إِخْرَاجِهِ وَلِأَنَّ مَا طَرَأَ بَعْدَ وُجُوبِ الْحَدِّ وَقَبْلَ اسْتِيفَائِهِ يَجْرِي فِي سُقُوطِ الْحَدِّ مَجْرَى وجوده عند وجوبه كالقذف إذا زنا بعده الْمَقْذُوفُ سَقَطَ بِهِ الْحَدُّ عَنِ الْقَاذِفِ كَمَا لَوْ زَنَا عِنْدَ قَذْفِهِ

Abu Hanifah berkata: Jika kekurangan itu karena zat bendanya, maka dipotong; namun jika karena penurunan harganya, maka tidak dipotong. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa apa yang menghalangi kewajiban potong tangan ketika barang itu dikeluarkan, juga menghalangi terjadinya setelah barang itu dikeluarkan, sebagaimana jika terbukti dengan pengakuan atau bukti bahwa barang itu adalah milik pencurinya. Selain itu, penurunan harga tidak wajib diganti selama zat bendanya masih ada, dan apa yang tidak wajib diganti, maka tidak dikenakan potong tangan atasnya, sebagaimana kekurangan sebelum barang itu dikeluarkan. Dan juga, apa yang terjadi setelah kewajiban had dan sebelum pelaksanaannya, dalam hal menggugurkan had, diperlakukan seperti keadaannya saat had itu wajib, seperti dalam kasus qadzaf: jika orang yang dituduh berzina benar-benar berzina setelah tuduhan, maka had atas penuduh gugur, sebagaimana jika ia berzina pada saat penuduhan.

وَدَلِيلُنَا مَعَ عُمُومِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَنَّهُ نُقْصَانٌ حَدَثَ بَعْدَ وُجُوبِ الْقَطْعِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِهِ الْقَطْعُ لنقصان العين

Dan dalil kami, bersama dengan keumuman al-Qur’an dan sunnah, adalah bahwa hal itu merupakan kekurangan yang terjadi setelah kewajiban pemotongan (tangan), maka wajib untuk tidak gugur kewajiban pemotongan tersebut karena kekurangan pada anggota tubuh.

فإن قيل نقصان عينه مضمون فقطع فِيهِ وَنُقْصَانُ سِعْرِهِ غَيْرُ مَضْمُونٍ فَلَمْ يُقْطَعْ فِيهِ

Jika dikatakan bahwa kerusakan pada zatnya dijamin sehingga pelakunya dipotong tangannya, sedangkan penurunan harganya tidak dijamin sehingga pelakunya tidak dipotong tangannya.

قِيلَ نُقْصَانُ السِّعْرِ مَضْمُونٌ مَعَ التَّلَفِ فَأَشْبَهَ نُقْصَانَ عَيْنِهِ الْمَضْمُونَةِ بِالتَّلَفِ فَاسْتَوَيَا وَلِأَنَّ الْقَدْرَ شَرْطٌ فِي وُجُوبِ الْقَطْعِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ نُقْصَانُهُ بَعْدَ وُجُوبِ الْقَطْعِ غَيْرَ مُؤَثِّرٍ في إسقاطه قياساً على خراب الحرز؛ لأن قَدْرَ النِّصَابِ إِذَا اخْتَلَفَ فِي حَالِ وُجُوبِ الْقَطْعِ وَحَالِ اسْتِيفَائِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الِاعْتِبَارُ بِحَالِ وُجُوبِهِ دُونَ اسْتِيفَائِهِ

Dikatakan bahwa penurunan harga dijamin bersama dengan kerusakan, sehingga ia serupa dengan penurunan zat barang yang dijamin karena kerusakan, maka keduanya sama. Dan karena kadar (nilai) merupakan syarat dalam kewajiban pemotongan (tangan), maka haruslah penurunannya setelah kewajiban pemotongan tidak berpengaruh dalam menggugurkannya, berdasarkan qiyās terhadap rusaknya tempat penyimpanan; karena jika kadar nisab berbeda antara saat wajibnya pemotongan dan saat pelaksanaannya, maka yang dijadikan acuan adalah keadaan saat wajibnya, bukan saat pelaksanaannya.

أَصْلُهُ إِذَا كَانَ نَاقِصًا عِنْدَ الْإِخْرَاجِ وَزَائِدًا بَعْدَ الْإِخْرَاجِ وَلِأَنَّ الْحُدُودَ مُعْتَبَرَةٌ بِحَالِ الْوُجُوبِ دُونَ الِاسْتِيفَاءِ كَالْبِكْرِ إِذَا زَنَا فَلَمْ يُحَدَّ حَتَّى أُحْصِنَ وَالْعَبْدِ إِذَا زَنَا فَلَمْ يُحَدَّ حَتَّى أُعْتِقَ كَذَلِكَ السَّرِقَةُ وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ حَدٌّ فَوَجَبَ أَنْ يعتبر فيه بِحَالِ وُجُوبِهِ دُونَ اسْتِيفَائِهِ كَالزِّنَا

Dasarnya adalah apabila (sesuatu) kurang saat dikeluarkan dan bertambah setelah dikeluarkan, dan karena hudud itu diperhitungkan berdasarkan keadaan saat kewajiban (hukuman) itu ditetapkan, bukan saat pelaksanaannya, seperti perawan yang berzina lalu belum ditegakkan had atasnya hingga ia menikah, dan budak yang berzina lalu belum ditegakkan had atasnya hingga ia dimerdekakan. Begitu pula dalam kasus pencurian. Penetapannya secara qiyās adalah bahwa ia merupakan hudud, maka wajib diperhitungkan berdasarkan keadaan saat kewajiban (hukuman) itu ditetapkan, bukan saat pelaksanaannya, sebagaimana dalam kasus zina.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ بِأَنَّ مَا مَنَعَ مِنْ وُجُوبِ القطع عند إخراجها منع منه حدوثه بعد إخراجها فهو أنه منقض بِخَرَابِ الْحِرْزِ يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْقَطْعِ إِذَا كَانَ خَرَابًا عِنْدَ إِخْرَاجِهَا وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ إِذَا حَدَثَ خَرَابُهُ بَعْدَ إِخْرَاجِهَا ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْأَصْلِ إِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ مَالِكٌ لِلسَّرِقَةِ هو أن يُسْتَدَلُّ بِذَلِكَ عَلَى مِلْكِهِ لَهَا عِنْدَ إِخْرَاجِهَا؛ فَلِذَلِكَ لَمْ يُقْطَعْ وَإِذَا حَدَثَ نَقْصُهَا لَمْ يُسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى نَقْصِهَا عِنْدَ إِخْرَاجِهَا فَلِذَلِكَ قُطِعَ

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka bahwa sesuatu yang mencegah wajibnya pemotongan tangan ketika barang itu dikeluarkan juga mencegah jika hal itu terjadi setelah barang dikeluarkan, maka hal ini terbantahkan dengan rusaknya tempat penyimpanan (ḥirz), yang mana kerusakan tersebut mencegah wajibnya pemotongan tangan jika kerusakan itu terjadi saat barang dikeluarkan, namun tidak mencegah jika kerusakan itu terjadi setelah barang dikeluarkan. Kemudian, makna dalam asal permasalahan ini, jika telah tetap bahwa seseorang memiliki barang curian, adalah bahwa hal itu dijadikan petunjuk atas kepemilikannya terhadap barang tersebut ketika dikeluarkan; karena itu, ia tidak dipotong tangannya. Namun jika kekurangan itu terjadi setelahnya, maka hal itu tidak dijadikan petunjuk atas kekurangan barang saat dikeluarkan; karena itu, ia dipotong tangannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ نُقْصَانَ السِّعْرِ لَا يُضْمَنُ فَهُوَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ ضَمَانِهِ مَعَ تَلَفِ الْعَيْنِ؛ لِأَنَّهُ يَضْمَنُهَا أَكْثَرَ مَا كَانَتْ قِيمَةً مِنْ وَقْتِ السَّرِقَةِ إِلَى وَقْتِ التَّلَفِ

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa penurunan harga tidak wajib diganti adalah sebagaimana yang telah kami kemukakan, yaitu wajib menggantinya jika barangnya rusak; karena ia wajib mengganti barang tersebut dengan nilai tertinggi yang pernah dicapai sejak waktu pencurian hingga waktu kerusakan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ مَا يَطْرَأُ بَعْدَ الْحِرْزِ كَالْمَوْجُودِ فِي الْحِرْزِ فَهُوَ انْتِقَاضُهُ بِخَرَابِ الْحِرْزِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي زِنَا الْمَقْذُوفِ بَعْدَ قَذْفِهِ أَنَّهُ دَلَّ حُدُوثُهُ عَلَى انْتِفَاءِ عِفَّتِهِ وَتَقَدُّمِ نَظَائِرِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa apa yang terjadi setelah berada dalam perlindungan (ḥirz) sama seperti yang ada di dalam perlindungan, maka hal itu dibantah dengan rusaknya perlindungan tersebut. Kemudian, makna pada perzinaan orang yang dituduh (maqżūf) setelah ia dituduh adalah bahwa terjadinya perzinaan itu menunjukkan hilangnya kehormatannya dan adanya perbuatan serupa sebelumnya. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ وُهِبَتْ لَهُ لَمْ أَدْرَأْ بِذَلِكَ عَنْهُ الْحَدُّ

Syafi‘i berkata, “Jika (minuman keras) itu dihibahkan kepadanya, aku tidak menggugurkan had darinya karena hal itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا مَلَكَ السَّارِقُ السَّرِقَةَ بَعْدَ إِخْرَاجِهَا مِنْ حِرْزِهَا ووجوب القطع فيها أَمَّا بِهِبَةٍ أَوِ ابْتِيَاعٍ أَوْ مِيرَاثٍ لَمْ يسقط عنه القطع اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ لَمَّا مَنَعَ مِلْكُهُ لِلسَّرِقَةِ عِنْدَ إِخْرَاجِهَا مِنْ وُجُوبِ الْقَطْعِ وَجَبَ أَنْ يَمْنَعَ حُدُوثُ مِلْكِهِ بَعْدَ إِخْرَاجِهَا مِنَ اسْتِيفَاءِ الْقَطْعِ لِئَلَّا يَصِيرَ مَقْطُوعًا بِمِلْكِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقْطَعَ أَحَدٌ فِي مِلْكِهِ وَلِأَنَّ مَا طَرَأَ عند اسْتِيفَاءِ الْقَطْعِ بِمَثَابَةِ وُجُودِهِ عِنْدَ وُجُوبِ الْقَطْعِ كالجحود وفسق الشهود ولأن مطالبته الْخَصْمِ شَرْطٌ فِي وُجُوبِ الْقَطْعِ وَقَدْ زَالَتْ مُطَالَبَتُهُ بِزَوَالِ مِلْكِهِ فَسَقَطَ شَرْطُ الْوُجُوبِ

Al-Mawardi berkata: Hal ini sebagaimana ia mengatakan, apabila seorang pencuri memiliki barang curian setelah mengeluarkannya dari tempat penyimpanannya dan telah wajib hukuman potong tangan atasnya, baik karena hibah, pembelian, atau warisan, maka tidak gugur darinya hukuman potong tangan. Hal ini didasarkan pada bahwa kepemilikannya atas barang curian saat mengeluarkannya tidak mencegah kewajiban potong tangan, maka seharusnya kepemilikan yang terjadi setelah mengeluarkannya juga tidak mencegah pelaksanaan potong tangan, agar ia tidak menjadi orang yang dipotong tangannya karena kepemilikannya sendiri, dan tidak boleh seseorang dipotong tangannya atas barang miliknya sendiri. Karena apa yang terjadi saat pelaksanaan potong tangan itu sama kedudukannya dengan apa yang ada saat kewajiban potong tangan, seperti pengingkaran dan kefasikan para saksi. Dan karena tuntutan dari pihak lawan adalah syarat dalam kewajiban potong tangan, dan tuntutan itu telah hilang dengan hilangnya kepemilikan, maka gugurlah syarat kewajiban tersebut.

وَدَلِيلُنَا مع عموم الكتاب والسنة مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ صَفْوَانَ بن أمية قيل له إنه مَنْ لَمْ يُهَاجِرْ هَلَكَ فَقَدِمَ صَفْوَانُ الْمَدِينَةَ فَنَامَ فِي الْمَسْجِدِ وَتَوَسَّدَ رِدَاءَهُ فَجَاءَ سَارِقٌ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَأَخَذَ صَفْوَانُ السَّارِقَ فَجَاءَ بِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَمَرَ بِهِ أَنْ تُقْطَعَ يَدُهُ فَقَالَ صَفْوَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَمْ أُرِدْ هَذَا هو عليه صدقة فقال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” فَهَلَّا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ فَلَمْ يَسْقُطِ الْقَطْعُ عَنْهُ مَعَ الصَّدَقَةِ بِهَا عَلَيْهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مِلْكَ الْمَسْرُوقِ لَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْقَطْعِ فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا قَطَعَهُ لِأَنَّ الصَّدَقَةَ لَمْ تَتِمَّ إِلَّا بِالْقَبْضِ بَعْدَ الْقَبُولِ

Dan dalil kami, selain keumuman al-Qur’an dan sunnah, adalah apa yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Malik dari az-Zuhri dari Shafwan bin ‘Abdullah, bahwa Shafwan bin Umayyah diberitahu bahwa siapa saja yang tidak berhijrah akan binasa. Maka Shafwan datang ke Madinah, lalu tidur di masjid dan menjadikan selendangnya sebagai bantal. Kemudian datanglah seorang pencuri dan mengambil selendangnya. Shafwan pun menangkap pencuri itu dan membawanya kepada Nabi ﷺ. Nabi memerintahkan agar tangan pencuri itu dipotong. Shafwan berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak bermaksud demikian, aku menganggapnya sebagai sedekah untuknya.” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Mengapa engkau tidak melakukannya sebelum membawanya kepadaku?” Maka hukum potong tangan tidak gugur darinya meskipun telah disedekahkan kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan barang yang dicuri tidak menghalangi kewajiban potong tangan. Jika dikatakan, “Ia dipotong karena sedekah itu belum sempurna kecuali setelah diterima dan dipegang setelah adanya penerimaan.”

قِيلَ لَوْ كَانَ لِهَذَا لَبَيَّنَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَلَمَا قَالَ ” هَلَّا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ

Dikatakan, “Seandainya hal ini memang demikian, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya, dan beliau tidak akan berkata, ‘Mengapa tidak sebelum engkau membawakannya kepadaku?’”

فَإِنْ قِيلَ فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَوْ مَلَكَهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُ بِهِ سَقَطَ عَنْهُ الْقَطْعُ وَلَا تَقُولُونَ بِهِ فَصَارَ دَلِيلًا عَلَيْكُمْ

Jika dikatakan: “Ini menunjukkan bahwa jika ia telah memilikinya sebelum orang itu membawanya kepadanya, maka hukuman potong tangan gugur darinya, padahal kalian tidak berpendapat demikian, sehingga dalil ini justru menjadi hujjah atas kalian.”

قِيلَ مَعْنَاهُ هَلَّا سَتَرْتَ عَلَيْهِ قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ وَلَمْ تُخْبِرْنِي بِهِ فَإِنَّ مَا لم يعلم به لم يجب عليه اسْتِيفَاؤُهُ

Dikatakan bahwa maksudnya adalah, “Mengapa engkau tidak menutupi aibnya sebelum membawanya kepadaku dan tidak memberitahuku tentangnya? Karena sesuatu yang tidak diketahui, tidak wajib untuk ditunaikan.”

وَقَدْ رَوَى ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” تَعَافَوْا عَنِ الْحُدُودِ فِيمَا بَيْنَكُمْ فَمَا بَلَغَنِي مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ

Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saling memaafkanlah kalian terhadap hudud di antara kalian, maka apa pun hudud yang telah sampai kepadaku, pasti wajib aku jalankan.”

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّ مَا حَدَثَ فِي الْمَسْرُوقِ بَعْدَ وُجُوبِ الْقَطْعِ فِيهِ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ اسْتِيفَائِهِ لِنَقْصِهِ أَوْ تَلَفِهِ وَلِأَنَّ الْهِبَةَ تُوجِبُ سُقُوطَ الْمُطَالَبَةِ بِالْمَسْرُوقِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَمْنَعَ مِنَ اسْتِيفَاءِ مَا وَجَبَ فِيهِ مِنَ الْقَطْعِ قِيَاسًا عَلَى رَدِّهِ وَالْإِبْرَاءِ مِنْهُ وَلِأَنَّهُ قَطْعٌ وَجَبَ بِالسَّرِقَةِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِالْهِبَةِ كَالسَّرِقَةِ فِي الْحِرَابَةِ وَلِأَنَّهُ مِلْكٌ حَدَثَ بَعْدَ وُجُوبِ الْحَدِّ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِهِ الْحَدُّ قِيَاسًا عَلَى مَا لَوْ زَنَا بِأَمَةٍ ثُمَّ ابْتَاعَهَا أَوْ بحرة ثم تزوجها

Dan menurut qiyās, apa yang terjadi pada barang curian setelah kewajiban potong tangan ditetapkan padanya, seperti berkurang atau rusaknya barang tersebut, tidaklah mencegah pelaksanaan hukuman tersebut. Karena hibah menyebabkan gugurnya tuntutan atas barang curian, maka seharusnya hibah tidak menghalangi pelaksanaan hukuman potong tangan yang telah wajib atasnya, sebagaimana halnya pengembalian barang atau pembebasan tuntutan atasnya. Selain itu, potong tangan adalah hukuman yang wajib karena pencurian, sehingga tidak gugur dengan adanya hibah, sebagaimana pencurian dalam kasus hirabah. Dan karena kepemilikan (atas barang curian) terjadi setelah kewajiban hudud, maka seharusnya hudud tidak gugur karenanya, sebagaimana jika seseorang berzina dengan seorang budak perempuan lalu membelinya, atau dengan perempuan merdeka lalu menikahinya.

فأما الجواب عن قياسه عليه ولو مكلها قَبْلَ إِخْرَاجِهَا فَهُوَ أَنَّهُ مَلَكَهَا قَبْلَ وُجُوبِ الْقَطْعِ فَصَارَ كَمَا لَوْ مَلَكَ الْأَمَةَ قَبْلَ وُجُوبِ الْحَدِّ

Adapun jawaban atas qiyās yang ia lakukan terhadapnya, yaitu jika ia memaafkannya sebelum mengeluarkannya, maka sesungguhnya ia telah memilikinya sebelum wajibnya hukuman potong tangan, sehingga keadaannya seperti seseorang yang memiliki budak perempuan sebelum wajibnya hukuman had.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ جَمْعِهِ بَيْنَ ما طرأ وتقدم فهو انتفاضة بِخَرَابِ الْحِرْزِ ثُمَّ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مَا قَدَّمْنَاهُ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ سُقُوطِ الْمُطَالَبَةِ فَهُوَ أَنَّ أَصْحَابَنَا قَدِ اخْتَلَفُوا فِيهَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban mengenai penggabungan antara sesuatu yang baru terjadi dan yang telah lalu adalah bahwa hal itu merupakan akibat dari rusaknya tempat penyimpanan, kemudian perbedaan antara keduanya telah kami jelaskan sebelumnya. Adapun jawaban mengenai gugurnya tuntutan adalah bahwa para ulama mazhab kami telah berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهَا لَيْسَتْ بِشَرْطٍ فِي الْقَطْعِ فَيَسْقُطُ مَعَهُ الِاسْتِدْلَالُ

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa hal itu bukanlah syarat dalam penerapan hudud, sehingga dengan demikian gugurlah istidlal bersamanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ أَنَّهَا شَرْطٌ فِي اسْتِيفَاءِ الْقَطْعِ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ بِهَا اسْتِيفَاؤُهُ مَعَ وُجُوبِهِ كَالْحُقُوقِ الَّتِي لَيْسَ لَهَا مُطَالِبٌ بها

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat mayoritas ulama, menyatakan bahwa syarat tersebut merupakan syarat dalam pelaksanaan hukuman potong tangan. Dengan demikian, pelaksanaan hukuman tersebut gugur karena syarat ini, meskipun kewajibannya tetap ada, seperti hak-hak yang tidak ada penuntutnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِنْ سَرَقَ عَبْدًا صَغِيرًا لَا يَعْقِلُ أَوْ أَعْجَمِيًّا مِنْ حِرْزٍ قُطِعَ وَإِنْ كَانَ يَعْقِلُ لم يقطع

Syafi‘i berkata, “Jika seseorang mencuri seorang budak kecil yang belum berakal atau seorang asing dari tempat yang terlindungi, maka ia dipotong tangannya. Namun, jika budak tersebut sudah berakal, maka tidak dipotong.”

قال الماوردي وهذا صحيح وليس يَخْلُو حَالُ الْعَبْدِ إِذَا سُرِقَ مِنْ أَنْ يَكُونَ فِي حِرْزٍ أَوْ فِي غَيْرِ حِرْزٍ فَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ حِرْزٍ فَلَا قَطْعَ عَلَى سَارِقِهِ صَغِيرًا كَانَ أَوْ كَبِيرًا وَإِنْ كَانَ فِي حِرْزٍ وَحِرْزُهُ إِمَّا أَنْ يَكُونَ داراً مُغْلَقَةِ الْبَابِ أَوْ مَعَ سَيِّدِهِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan keadaan seorang budak ketika dicuri tidak lepas dari dua kemungkinan: berada dalam perlindungan (hirz) atau tidak dalam perlindungan. Jika ia tidak berada dalam perlindungan, maka tidak ada hukuman potong tangan bagi pencurinya, baik budak itu masih kecil maupun sudah dewasa. Namun jika ia berada dalam perlindungan, dan perlindungannya itu bisa berupa rumah yang pintunya terkunci atau bersama tuannya, maka keadaannya tidak lepas dari salah satu dari dua hal.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ عَاقِلًا مُمَيِّزًا يُفَرِّقُ بَيْنَ أَمْرِ سَيِّدِهِ وَغَيْرِ سَيِّدِهِ فَلَا قَطْعَ عَلَى سَارِقِهِ لِأَنَّ هَذَا يكون مخادعاً وَلَا يَكُونُ مَسْرُوقًا

Salah satunya adalah bahwa ia harus berakal dan dapat membedakan, mampu membedakan antara perintah tuannya dan selain tuannya, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan atas pencurinya, karena hal ini dianggap sebagai tipu daya dan tidak dianggap sebagai barang yang dicuri.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ صَغِيرًا أَوْ أَعْجَمِيًّا لَا يَعْقِلُ عَقْلَ الْمُمَيِّزِ وَلَا يفرق بين أمر سيده وغيره فَالْقَطْعُ عَلَى سَارِقِهِ وَاجِبٌ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَمُحَمَّدٌ

Yang kedua adalah jika ia masih kecil atau orang ‘ajam (non-Arab) yang belum berakal seperti anak yang sudah bisa membedakan, dan tidak dapat membedakan antara perintah tuannya dan selainnya, maka hukum potong tangan atas pencurinya adalah wajib. Inilah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Muhammad.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ لَا قَطْعَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُقْطَعْ بِسَرِقَتِهِ إذا كان كبيراً لم يقطع بها إِذَا كَانَ صَغِيرًا كَالْحُرِّ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّهُ حَيَوَانٌ مَمْلُوكٌ لَا تَمْيِيزَ لَهُ فَوَجَبَ أَنْ يُقْطَعَ بِسَرِقَتِهِ كَالْبَهِيمَةِ

Abu Yusuf berkata, “Tidak ada hukuman potong tangan atasnya; karena ketika tidak dipotong tangannya karena mencuri hewan itu saat sudah besar, maka tidak dipotong juga jika mencurinya saat masih kecil, seperti halnya manusia merdeka.” Namun, pendapat ini keliru; karena hewan tersebut adalah makhluk yang dimiliki dan tidak memiliki kemampuan membedakan, maka wajib dikenakan hukuman potong tangan atas pencuriannya, sebagaimana berlaku pada hewan ternak.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا الْحُرُّ إِذَا سُرِقَ فَلَا قَطْعَ عَلَى سَارِقِهِ

Adapun jika seorang hamba sahaya yang mencuri, maka tidak ada hukuman potong tangan atas pencurinya.

وَقَالَ مَالِكٌ يُقْطَعُ لِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا المائدة 38 وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ لَا يُمَيِّزُ فَوَجَبَ أَنْ يُقْطَعَ سَارِقُهُ كَالْعَبْدِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا قُطِعَ بِسَرِقَةِ مَالِهِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُقْطَعَ بسرقة نفسه

Malik berkata, “Dipotong (tangan pencurinya) berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: ‘Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya’ (Al-Ma’idah: 38), dan karena ia adalah hewan yang tidak dapat membedakan, maka wajib dipotong tangan pencurinya seperti (pencuri) budak. Dan karena ketika (tangan) dipotong karena mencuri hartanya, maka lebih utama lagi dipotong karena mencuri dirinya sendiri.”

وَدَلِيلُنَا حَدِيثُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” الْقَطْعُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ وَمَعْنَاهُ رُبُعُ دِينَارٍ أَوْ مَا قِيمَتُهُ رُبُعُ دِينَارٍ وَلَيْسَ الْحُرُّ وَاحِدًا مِنْهُمَا فَلَمْ يُقْطَعْ بِسَرِقَتِهِ وَلِأَنَّهُ حَيَوَانٌ لَا يُضْمَنُ بِالْيَدِ فَلَمْ يَجِبْ فِيهِ الْقَطْعُ كَالْكَبِيرِ وَلِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَالٍ فَلَمْ يُقْطَعْ فِيهِ كَالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ وَبِهَذِهِ الْأَدِلَّةِ خَصَّصْنَا عُمُومَ الْآيَةِ وَقِيَاسُهُ عَلَى الْعَبْدِ مُنْتَقَضٌ بِالْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْعَبْدِ أَنَّهُ مَالٌ وَلَيْسَ الحر مالاً والله أعلم

Dan dalil kami adalah hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pemotongan (tangan) pada seperempat dinar,” dan maksudnya adalah seperempat dinar atau sesuatu yang senilai dengan seperempat dinar. Sedangkan orang merdeka bukan termasuk keduanya, maka tidak dipotong (tangannya) karena mencurinya. Karena ia adalah makhluk hidup yang tidak dijamin dengan tangan (tidak wajib diganti jika dipegang), maka tidak wajib padanya hukuman potong tangan seperti halnya makhluk hidup yang besar. Dan karena ia bukanlah harta, maka tidak dipotong (tangan) karena mencurinya seperti khamr dan babi. Dengan dalil-dalil ini, kami mengkhususkan keumuman ayat, dan qiyās terhadap budak tertolak dengan (perumpamaan) anjing dan babi. Kemudian makna pada budak adalah karena ia adalah harta, sedangkan orang merdeka bukanlah harta. Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ سَرَقَ حُرًّا صَغِيرًا وَعَلَيْهِ حُلِيٌّ وَثِيَابٌ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Jika seseorang mencuri seorang anak merdeka yang masih kecil, dan pada anak itu terdapat perhiasan dan pakaian, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْحُلِيُّ والثياب للصبي من ملابسه ففي وجوب قطعه لأجل الْحُلِيُّ وَالثِّيَابُ وَجْهَانِ

Salah satunya adalah jika perhiasan dan pakaian untuk anak laki-laki termasuk dari pakaiannya sendiri, maka dalam kewajiban memotongnya karena perhiasan dan pakaian terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يُقْطَعُ إِذَا تَنَاوَلَهُ مِنْ حِرْزِ الصَّبِيِّ وَحِرْزُ الصَّبِيِّ أَنْ يَكُونَ فِي دَارٍ أَوْ عَلَى بَابِهَا بِحَيْثُ يُرَى أَوْ يَكُونَ مَعَ حَافِظٍ؛ لِأَنَّ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ لَا يَسْقُطُ إِذَا اقْتَرَنَ بِمَا لا يوجب القطع

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa seseorang dipotong tangannya jika mengambil (barang) dari tempat penyimpanan milik anak kecil, dan tempat penyimpanan anak kecil adalah jika barang itu berada di dalam rumah atau di depan pintunya sehingga dapat terlihat, atau bersama penjaga; karena sesuatu yang mewajibkan hukuman potong tangan tidak gugur apabila disertai dengan sesuatu yang tidak mewajibkan potong tangan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا قَطْعَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ يَدَ الصَّبِيِّ عَلَيْهِ وَهُوَ حِرْزٌ لَهُ فَصَارَ سَارِقًا لِلْحِرْزِ وَالْمُحْرِزِ فَإِنْ أَخَذَهُ مِنَ الصَّبِيِّ مُسْتَخْفِيًا قطع لأخذه من حرزه وَإِنْ أَخَذَهُ مُجَاهِرًا فَإِنْ كَانَ لِلصَّبِيِّ تَمْيِيزٌ ينكر بِهِ أَخْذَ ذَلِكَ مِنْهُ لَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ كَالْغَاصِبِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَمْيِيزٌ ينكر بِهِ أَخْذَهُ مِنْهُ قُطِعَ

Pendapat kedua: tidak dikenakan hudud potong tangan atasnya, karena tangan anak kecil berada atas barang tersebut dan itu adalah tempat penyimpanannya (hirz) baginya, sehingga pelaku menjadi pencuri dari tempat penyimpanan dan dari yang menyimpan. Jika ia mengambilnya dari anak kecil secara sembunyi-sembunyi, maka dipotong tangannya karena mengambil dari tempat penyimpanan. Namun jika ia mengambilnya secara terang-terangan, maka jika anak kecil tersebut sudah memiliki kemampuan membedakan (tamyiz) sehingga dapat mengingkari pengambilan itu darinya, maka tidak dipotong, karena ia menjadi seperti perampas (ghāṣib). Tetapi jika anak kecil itu belum memiliki kemampuan membedakan sehingga tidak dapat mengingkari pengambilan itu darinya, maka dipotong tangannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يكون الحلي والثياب لغير الصبي ومن غير ملابسه فلا يخلو أن يأخذ مِنْ حِرْزٍ أَوْ مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ وَحِرْزُهُ هو حرز الحلي والثياب لا حرز الصبي فَإِنْ أَخَذَهُ مِنْ حِرْزِهِ قُطِعَ وَجْهًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ يَدَ الصَّبِيِّ عَلَيْهِ وَلَيْسَتْ يَدَ مَالِكٍ وَلَا حَافِظٍ وَإِنْ أَخَذَهُ مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ لم يقطع وجهاً واحداً؛ لما عللنا من أنه لا يدل عليه لمالك ولا ولا في حرز لمالك والله أعلم

Jenis kedua adalah apabila perhiasan dan pakaian itu milik selain anak kecil dan bukan pula pakaian yang dikenakan anak kecil. Maka, hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: diambil dari tempat penyimpanan (ḥirz) atau bukan dari tempat penyimpanan. Tempat penyimpanannya adalah tempat penyimpanan perhiasan dan pakaian, bukan tempat penyimpanan anak kecil. Jika diambil dari tempat penyimpanannya, maka dipotong (tangan pelakunya) menurut satu pendapat, karena tangan anak kecil atas barang itu bukanlah tangan pemilik maupun penjaga. Namun jika diambil bukan dari tempat penyimpanan, maka tidak dipotong menurut satu pendapat, karena sebagaimana telah kami jelaskan, hal itu tidak menunjukkan kepemilikan atau tidak berada dalam tempat penyimpanan milik pemilik. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وإن سرق مصحفاً أو سيفاً مِمَّا يَحِلُّ ثَمَنُهُ قُطِعَ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang mencuri mushaf atau pedang dari barang yang halal harganya, maka ia dipotong tangannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا سَرَقَ مُصْحَفَ الْقُرْآنِ أَوْ كُتُبَ الفقه أو الشعر والنحو وَجَمِيعَ الْكُتُبِ قُطِعَ فِيهَا إِذَا بَلَغَتْ قِيمَتُهَا نِصَابًا

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, yaitu apabila seseorang mencuri mushaf Al-Qur’an atau kitab-kitab fiqh, atau kitab syair dan nahwu, serta seluruh kitab lainnya, maka ia dipotong tangannya jika nilai barang yang dicuri tersebut mencapai nisab.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا قَطْعَ فِي المصحف ولا في جميع الكتب المكتوبة أو غير الْمَكْتُوبَةِ فِي الْعُلُومِ الدِّينِيَّةِ وَغَيْرِ الدِّينِيَّةِ وَإِنْ كَانَتْ مُحَلَّاةً بِفِضَّةٍ أَوْ ذَهَبٍ إِلَّا أَنْ يكون وَرَقًا بَيَاضًا لَا كِتَابَةَ فِيهِ أَوْ جِلْدًا مُفْرَدًا عَلَى غَيْرِ كِتَابٍ فَيُقْطَعُ فِيهِ اسْتِدْلَالًا بثلاثة أشياء

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada hukuman potong tangan atas pencurian mushaf maupun semua buku yang tertulis atau tidak tertulis, baik dalam ilmu-ilmu keagamaan maupun non-keagamaan, meskipun dihiasi dengan perak atau emas, kecuali jika berupa kertas kosong tanpa tulisan atau kulit terpisah yang bukan bagian dari buku, maka dikenakan hukuman potong tangan padanya, dengan berdalil pada tiga hal.

أَحَدُهَا أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الْكُتُبِ قِرَاءَةُ مَا فِيهَا وَالْوَرَقُ وَالْجِلْدُ تَبَعٌ لِلْمَقْصُودِ وَلَيْسَ مَا فِيهَا مِنَ الْمَكْتُوبِ مَالًا فَسَقَطَ الْقَطْعُ فِيهِ وَفِي تَبَعِهِ مِنَ الْوَرَقِ وَالْجِلْدِ وَإِنْ كَانَ مَالًا؛ لِأَنَّ التَّبَعَ مُلْحَقٌ بِالْمَتْبُوعِ

Salah satunya adalah bahwa tujuan dari kitab-kitab adalah membaca isi yang terdapat di dalamnya, sedangkan kertas dan kulit hanyalah mengikuti tujuan tersebut. Apa yang tertulis di dalamnya bukanlah harta, sehingga hukuman potong tangan tidak diterapkan padanya maupun pada bagian yang mengikutinya, yaitu kertas dan kulit, meskipun kertas dan kulit itu sendiri adalah harta; karena sesuatu yang mengikuti disamakan hukumnya dengan yang diikutinya.

وَالثَّانِي وَهُوَ خَاصٌّ فِي الْمُصْحَفِ لِيَكُونَ غَيْرُهُ مِنَ الْكُتُبِ ملحقاً به أن المصحف مشترك يَخْتَصُّ بِهِ صَاحِبُهُ لِمَا عَلَيْهِ مِنْ إِعَارَتِهِ لمن التمس أن يقرأ فِيهِ وَأَنْ يَتَعَلَّمَ مِنْهُ الْقُرْآنَ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ وَهُوَ مِنْ أَقْوَى الشُّبَهِ فِي سُقُوطِ الْقَطْعِ فِيهِ كَمَالِ بَيْتِ المال

Yang kedua, yang khusus berkaitan dengan mushaf, sehingga kitab-kitab lain disamakan dengannya, adalah bahwa mushaf itu bersifat umum namun pemiliknya memiliki kekhususan atasnya, karena ia berkewajiban meminjamkannya kepada siapa saja yang meminta untuk membaca darinya dan belajar Al-Qur’an darinya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia.” Ini termasuk alasan terkuat dalam menggugurkan hak pemotongan (pengambilan) atasnya seperti halnya harta baitul mal.

والثالث أن بيعه مختلف فيه؛ لأنه ابْنَ عُمَرَ يَكْرَهُ بَيْعَ الْمَصَاحِفِ وَكَذَلِكَ شُرَيْحٌ الْقَاضِي وَمَا اخْتُلِفَ فِي بَيْعِهِ لَمْ يُقْطَعْ في سرقته كالكلب والخمر وَالْخِنْزِيرِ مَعَ الذِّمِّيِّ

Ketiga, jual beli mushaf diperselisihkan hukumnya; karena Ibnu Umar membenci jual beli mushaf, demikian pula Syuraih al-Qadhi. Dan segala sesuatu yang diperselisihkan dalam jual belinya, tidak dikenakan hukuman potong tangan atas pencuriannya, seperti anjing, khamar, dan babi milik dzimmi.

وَدَلِيلُنَا مَعَ عُمُومِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَنَّهُ نَوْعُ مَالٍ فَجَازَ الْقَطْعُ فِيهِ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ فَإِنْ مَنَعُوا أَنْ يَكُونَ مَالًا احْتُجَّ عَلَيْهِمْ بِجَوَازِ بَيْعِهِ وَإِبَاحَةِ ثَمَنِهِ وَضَمَانِهِ بِالْيَدِ وَغُرْمِ قِيمَتِهِ بِالْإِتْلَافِ وَاخْتِصَاصِهِ بِسُوقٍ يُبَاعُ فِيهَا كَمَا يَخْتَصُّ كُلُّ نَوْعٍ مِنَ الْأَمْوَالِ بِسُوقٍ وَلِأَنَّهُ لَمَّا قُطِعَ فِي وَرَقِ الْمُصْحَفِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَكْتُوبًا كَانَ الْقَطْعُ فِيهِ بَعْدَ كِتَابَتِهِ أَوْلَى؛ لِأَنَّ ثَمَنَهُ أَزْيَدُ وَالرَّغْبَةُ فيه أكثر فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقْطَعَ فِيهِ قَبْلَ الزِّيَادَةِ وَيَسْقُطَ الْقَطْعُ مَعَ الزِّيَادَةِ وَهَذَا أَلْزَمُ لِأَبِي حَنِيفَةَ؛ لِأَنَّهُ لَا يُقْطَعُ فِي الْخَشَبِ وَالْعَاجِ قَبْلَ الْعَمَلِ فِيهِ وَيَقْطَعُ فِيهِ بَعْدَ عَمَلِهِ وَإِحْدَاثِ صَنْعَةٍ فِيهِ وَلِأَنَّ الْقَطْعَ يَجِبُ فِي الْأَمْوَالِ الْمَرْغُوبِ فِيهَا لِيُزْجَرَ عَنْ سَرِقَتِهَا فَتُحْفَظَ عَلَى مَالِكِهَا وَقَدْ تَكُونُ الرَّغْبَةُ فِي الْمَصَاحِفِ وَالْكُتُبِ أَكْثَرَ فَكَانَتْ بِوُجُوبِ الْقَطْعِ أَحَقَّ فَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهَا الْقِرَاءَةُ الَّتِي لَا قَطْعَ فِيهَا فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ هِيَ الْمَنْفَعَةُ كَمَا أَنَّ مَنْفَعَةَ الثِّيَابِ لِبَاسُهَا وَمَنْفَعَةَ الدَّوَابِّ رُكُوبُهَا وَالْقَطْعُ يَجِبُ فِي الْأَعْيَانِ دُونَ الْمَنَافِعِ وَأَمَّا قَوْلُهُ إِنَّهُ مُشْتَرَكٌ تَلْزَمُ إِعَارَتُهُ فَدَعْوَى غَيْرُ مُسَلَّمَةٍ؛ لِأَنَّهُ مِلْكٌ خَاصٌّ لَا تلزم إِعَارَتُهُ وَلَا تَعْلِيمُ الْقُرْآنِ مِنْهُ إِلَّا قَدْرَ ما يلزم الصلاة من الفاتحة عندنا وآية من جميع القرآن عندهم لا يَتَعَيَّنُ الْفَرْضُ فِيهَا عَلَى أَحَدٍ بِعَيْنِهِ وَلَا مِنْ مُصْحَفٍ بِعَيْنِهِ؛ لِأَنَّ الْفَرْضَ مُتَعَيَّنٌ عَلَى الْمُتَعَلِّمِ وَلَيْسَ بِمُتَعَيَّنٍ عَلَى الْمُعَلِّمِ وَلَوْ تَعَيَّنَ لَكَانَ تَلْقِينُهُ مِنْ لَفْظِ الْقَارِئِ كَافِيًا وَعَنِ الْمُصْحَفِ مُغْنِيًا وَخَالَفَ مَالَ بَيْتِ الْمَالِ الْمُشْتَرَكَ بَيْنَ كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ الْمُعَدَّ لمصالحهم والخير مَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَالنَّدْبِ

Dalil kami, bersama dengan keumuman al-Qur’an dan sunnah, adalah bahwa ia merupakan salah satu jenis harta, sehingga boleh dikenakan hukum potong tangan padanya sebagaimana pada harta-harta lainnya. Jika mereka menolak bahwa itu adalah harta, maka dapat dijadikan hujjah atas mereka dengan bolehnya menjualnya, halal harganya, wajib menanggungnya jika dipegang, wajib mengganti nilainya jika dirusak, dan adanya pasar khusus tempat ia dijual sebagaimana setiap jenis harta memiliki pasar khusus. Dan karena potong tangan diberlakukan pada lembaran mushaf meskipun belum ditulisi, maka pemberlakuan potong tangan setelah ditulisi tentu lebih utama, karena harganya lebih tinggi dan keinginan terhadapnya lebih besar. Maka tidak boleh potong tangan diberlakukan sebelum terjadi penambahan (nilai), lalu gugur setelah terjadi penambahan; ini lebih mengikat bagi Abu Hanifah, karena beliau tidak memberlakukan potong tangan pada kayu dan gading sebelum diolah, namun memberlakukannya setelah diolah dan diberi bentuk. Dan karena potong tangan wajib pada harta yang diinginkan agar orang jera mencurinya sehingga harta itu terjaga bagi pemiliknya, sementara keinginan terhadap mushaf dan kitab bisa jadi lebih besar, maka lebih berhak untuk diwajibkan potong tangan. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa tujuan dari mushaf adalah untuk membaca, yang tidak dikenakan potong tangan, maka jawabannya adalah bahwa membaca adalah manfaat, sebagaimana manfaat pakaian adalah untuk dipakai dan manfaat hewan tunggangan adalah untuk dikendarai, sedangkan potong tangan wajib pada benda, bukan pada manfaatnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa mushaf adalah milik bersama yang wajib dipinjamkan, maka itu adalah klaim yang tidak diterima, karena mushaf adalah milik khusus yang tidak wajib dipinjamkan, dan tidak wajib mengajarkan al-Qur’an darinya kecuali sebatas yang dibutuhkan untuk shalat berupa al-Fatihah menurut kami dan satu ayat dari seluruh al-Qur’an menurut mereka, dan tidak ada kewajiban tertentu atas seseorang secara spesifik, juga tidak pada mushaf tertentu; karena kewajiban itu ditetapkan atas penuntut ilmu, bukan atas pengajarnya. Seandainya itu diwajibkan, maka membacakan dari lisan pembaca sudah cukup dan tidak perlu dari mushaf. Ini berbeda dengan baitul mal yang merupakan milik bersama seluruh kaum muslimin dan disiapkan untuk kemaslahatan mereka, sedangkan kebaikan (dalam hal ini) dibawa pada makna anjuran dan sunnah.

وَأَمَّا الِاخْتِلَافُ فِي جَوَازِ بَيْعِهِ فَلَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْقَطْعِ فِيهِ عِنْدَ مَنْ يَرَى جَوَازَ بَيْعِهِ كَجُلُودِ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَتْ وَكَالْعَاجِ عِنْدَهُمْ إِذَا حَدَثَتْ فِيهِ صَنْعَةٌ

Adapun perbedaan pendapat tentang kebolehan menjualnya, maka hal itu tidak menghalangi kewajiban pemotongan tangan bagi siapa yang membolehkan penjualannya, seperti kulit bangkai jika telah disamak, dan seperti gading menurut mereka jika telah mengalami proses pengerjaan.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا إِذَا سَرَقَ أَسْتَارَ الْكَعْبَةِ وَهِيَ مَخِيطَةٌ عَلَيْهَا مَحْفُوظَةٌ بِهَا قُطِعَ بِهَا نَقَلَهُ الْحَارِثُ بْنُ سُرَيْجٍ النَّقَّالُ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي الْقَدِيمِ وَلَيْسَ لَهُ فِي الْجَدِيدِ مَا يُخَالِفُهُ وَكَذَلِكَ آلَةُ الْمَسَاجِدِ الْمُحْرَزَةُ فِيهَا إما بأبوابها أو بقوامها أو بكثرة الْغَاشِيَةِ وَالْمُصَلِّينَ فِيهَا يُقْطَعُ فِيهَا إِذَا كَانَتْ معدة للزينة كالستور والقبل أو للأحراز كالصناديق والأبواب فأما إن كَانَتْ مُعَدَّةً لِانْتِفَاعِ الْمُصَلِّينَ بِهَا كَالْحُصْرِ والْبَوَارِي وَالْقنَادِيلِ فَفِي قَطْعِ سَارِقِهَا وَجْهَانِ

Adapun jika seseorang mencuri kain penutup Ka’bah yang dijahit dan terjaga di atasnya, maka ia dipotong (tangannya) karena mencurinya. Hal ini dinukilkan oleh Al-Harits bin Suraij an-Naqqal dari Imam Syafi’i dalam pendapat lama, dan tidak ada dalam pendapat barunya yang menyelisihinya. Demikian pula alat-alat masjid yang terjaga di dalamnya, baik dengan pintu-pintunya, penjaganya, atau banyaknya jamaah dan orang yang shalat di dalamnya, maka dipotong (tangannya) jika barang itu memang disiapkan untuk perhiasan seperti tirai dan penutup kiblat, atau untuk menjaga barang seperti peti dan pintu. Adapun jika barang itu disiapkan untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang shalat seperti tikar, permadani, dan lampu, maka dalam hal pemotongan tangan pencurinya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنه لَا يقطع لاشتراك الكافة فيها فَأَشْبَهَ مَالَ بَيْتِ الْمَالِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat para ulama Baghdad, menyatakan bahwa tidak dipotong (tangan pencuri) karena harta tersebut dimiliki bersama oleh seluruh masyarakat, sehingga serupa dengan harta Baitul Mal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهُ يُقْطَعُ كَأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ وَمَا أُعِدَّ لِلزِّينَةِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat para ulama Basrah, bahwa kain tersebut dipotong seperti tirai Ka’bah dan apa saja yang disiapkan untuk perhiasan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ وَبِهِ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ لِأَمْرَيْنِ

Abu Hanifah berkata: Tidak dikenakan hukuman potong tangan pada semua hal tersebut, dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا لاشتراك الْكَافَّةِ فِيهَا كَأَمْوَالِ بَيْتِ الْمَالِ

Salah satunya adalah karena seluruh masyarakat memiliki hak bersama di dalamnya, seperti harta Baitul Mal.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَا يَتَعَيَّنُ فِيهِ خَصْمٌ مُطَالِبٌ

Dan yang kedua, bahwa tidak ditentukan adanya pihak lawan yang menuntut di dalamnya.

وَدَلِيلُنَا مَعَ عُمُومِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مَا رَوَاهُ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ أَنَّ أَوَّلَ مَنْ صُلِبَ فِي الْإِسْلَامِ رَجُلٌ من بني عامر بن لؤي سرق كُسْوَةِ الْكَعْبَةِ فَصَلَبَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَهَذَا يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ قَدْ صَلَبَهُ؛ لِأَنَّهُ جَعَلَهُ مِمَّنْ سَعَى فِي الْأَرْضِ فَسَادًا

Dan dalil kami, selain keumuman al-Qur’an dan sunnah, adalah riwayat dari al-Hasan al-Bashri bahwa orang pertama yang disalib dalam Islam adalah seorang laki-laki dari Bani Amir bin Lu’ayy yang mencuri kain penutup Ka’bah, lalu Nabi ﷺ menyalibnya. Hal ini dimungkinkan karena beliau menilainya sebagai orang yang telah berbuat kerusakan di muka bumi.

وَرُوِيَ ابن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَطَعَ سارقا سرق من أستار الكعبة وَأَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَطَعَ سَارِقًا سَرَقَ قَطِيفَةً مِنْ مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمَا مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا

Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar bin Khattab ra. memotong tangan seorang pencuri yang mencuri dari kain penutup Ka’bah, dan bahwa Utsman bin Affan ra. memotong tangan seorang pencuri yang mencuri kain beludru dari mimbar Rasulullah saw., dan tidak diketahui ada yang menyelisihi keduanya, maka hal itu menjadi ijmā‘.

وَلِأَنَّهُ مَالٌ يُضْمَنُ بِالْيَدِ وَيُغْرَمُ بِالْإِتْلَافِ فَجَازَ أَنْ يَجِبَ فِيهِ الْقَطْعُ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ وَلِأَنَّ الْقَطْعَ حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى فَإِذَا وَجَبَ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَأَوْلَى أَنْ يَجِبَ فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى؛ لِأَنَّ تَحْرِيمَهَا أَغْلَظُ وَتَمَلُّكَهَا مُحَرَّمٌ

Karena ia adalah harta yang dijamin dengan tangan dan diganti jika dirusak, maka boleh saja dikenakan hukuman potong tangan atasnya seperti halnya harta-harta lainnya. Dan karena hukuman potong tangan adalah hak Allah Ta‘ala, maka jika ia wajib dalam hak-hak manusia, maka lebih utama lagi ia wajib dalam hak-hak Allah Ta‘ala; karena keharamannya lebih berat dan kepemilikannya pun diharamkan.

فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِمَالِ بَيْتِ الْمَالِ فَقَدْ تَقَدَّمَ الْجَوَابُ عنه وأما استدلالهم بالخصم فِيهِ فَهُوَ حَقٌّ لِكَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَالْإِمَامُ يَنُوبُ عنهم فيه

Adapun dalil mereka dengan harta Baitul Mal, maka jawabannya telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan dalil mereka dengan perkara persengketaan di dalamnya, maka itu adalah hak seluruh kaum Muslimin, dan imam mewakili mereka dalam hal tersebut.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا سَرَقَ مَا يُتَّخَذُ لِلْمَعَاصِي كَصَلِيبٍ أو صنم أو طنبور أَوْ مِزْمَارٍ فَإِنْ كَانَ لَوْ فُصِلَ مَا صلح لِغَيْرِ مَا اتُّخِذَ لَهُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ فَلَا قَطْعَ فِيهِ لِأَنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَى مَالِكِهِ وَلَا يَقُومُ عَلَى مُتْلِفِهِ كَالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ وَإِنْ كان لو فصل صلح لغير الْمَعْصِيَةِ أَوْ كَانَ مِنْ فِضَّةٍ أَوْ ذَهَبٍ فَفِي قَطْعِ سَارِقِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ حَكَاهَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ

Jika seseorang mencuri barang yang digunakan untuk maksiat seperti salib, patung, rebab, atau seruling, maka jika barang itu, apabila dipisahkan, tidak dapat digunakan untuk selain tujuan maksiat tersebut, tidak ada hukuman potong tangan atas pencurinya. Sebab, barang tersebut tidak diakui kepemilikannya dan tidak ada ganti rugi atas perusaknya, seperti khamr dan babi. Namun, jika barang itu, apabila dipisahkan, dapat digunakan untuk selain maksiat, atau terbuat dari perak atau emas, maka mengenai hukuman potong tangan bagi pencurinya terdapat tiga pendapat yang dinukil oleh Ibnu Abi Hurairah.

أَحَدُهَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُقْطَعُ سَوَاءٌ أَخْرَجَهُ مِنْ حِرْزٍ مُفَصَّلًا أَوْ غَيْرَ مُفَصَّلٍ؛ لِأَنَّهُ مَالٌ يُقِرُّ عَلَى مَالِكِهِ وَيَقُومُ عَلَى مُتْلِفِهِ

Salah satu pendapat, dan inilah yang tampak dari mazhab Syafi‘i, adalah bahwa pelaku dipotong tangannya, baik ia mengeluarkan harta tersebut dari tempat penyimpanan yang terpisah maupun tidak terpisah; karena itu adalah harta yang diakui kepemilikannya atas pemiliknya dan wajib diganti oleh orang yang merusaknya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ لَا يُقْطَعُ فيه سواء أخرج مُفَصَّلًا أَوْ غَيْرَ مُفَصَّلٍ؛ لِأَنَّ لَهُ شُبْهَةً في هتك حرز لإزالة معصيته لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عن الملاهي وروي عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ ” تُمْسَخُ أُمَّةٌ مِنْ أُمَّتِي قِيلَ لَهُ وَلِمَ ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فقال ” لشربهم الخمر وَضَرْبِهِمْ بِالْكُوبَةِ وَالْمَعَازِفِ وَتَأَوَّلَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَمُجَاهِدٌ قَوْله تَعَالَى وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لقمان 6 أَنَّهَا الْمَلَاهِي

Pendapat kedua, yaitu mazhab Abu Hanifah, menyatakan bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan dalam kasus ini, baik barang yang dikeluarkan itu terperinci maupun tidak terperinci; karena ada syubhat dalam merusak perlindungan (hifzh) untuk menghilangkan maksiatnya, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang alat-alat hiburan. Diriwayatkan dari beliau bahwa beliau bersabda, “Akan ada sekelompok umatku yang diubah bentuknya.” Ditanyakan kepada beliau, “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena mereka meminum khamar, bermain dengan alat musik (kubah) dan alat-alat musik lainnya.” Ibnu Abbas, Ibnu Mas‘ud, dan Mujahid menafsirkan firman Allah Ta‘ala, “Dan di antara manusia ada orang yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah” (Luqman: 6), bahwa yang dimaksud adalah alat-alat hiburan.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ اخْتِيَارُ ابن أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ إِنْ أَخْرَجَهُ مُفَصَّلًا قُطِعَ وَإِنْ أَخْرَجَهُ غَيْرَ مُفَصَّلٍ لَمْ يُقْطَعْ لِزَوَالِ الْمَعْصِيَةِ عَمَّا فُصِلَ وَبَقَائِهَا فِيمَا لَمْ يُفْصَلْ

Pendapat ketiga, yang merupakan pilihan Ibn Abi Hurairah, adalah bahwa jika seseorang mengeluarkan barang curian dalam keadaan sudah terpisah-pisah, maka ia dipotong (tangannya); namun jika ia mengeluarkannya dalam keadaan belum terpisah-pisah, maka tidak dipotong, karena dosa telah hilang dari bagian yang sudah terpisah, dan masih tetap ada pada bagian yang belum terpisah.

فَأَمَّا أَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ فَفِيهَا الْقَطْعُ وَجْهًا وَاحِدًا وَإِنْ كَانَتْ مُحَرَّمَةَ الِاسْتِعْمَالِ وَسَوَاءٌ كَانَ فِيهَا صُوَرُ ذَوَاتِ الْأَرْوَاحِ أَوْ لَمْ يَكُنْ؛ لِأَنَّهَا تُتَّخَذُ لِلزِّينَةِ لَا لِلْمَعْصِيَةِ وَإِنْ كَانَ اسْتِعْمَالُهَا مَعْصِيَةً

Adapun bejana-bejana dari emas dan perak, maka padanya terdapat hukum potong (pada pencurian) menurut satu pendapat saja, meskipun penggunaannya diharamkan. Sama saja apakah di dalamnya terdapat gambar makhluk bernyawa atau tidak; karena bejana-bejana tersebut dibuat untuk perhiasan, bukan untuk maksiat, meskipun penggunaannya merupakan maksiat.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا سَرَقَ وَقْفًا مُسْبَلًا مِنْ حِرْزٍ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَامًّا أَوْ خَاصًّا فَإِنْ كَانَ عَامًّا في وجوه الخيرات وعموم الْمَصَالِحِ فَلَا قَطْعَ عَلَى سَارِقِهِ؛ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ مَالِ بَيْتِ الْمَالِ الَّذِي يَعُمُّ مَصَالِحَ الْمُسْلِمِينَ وَهُوَ أَحَدُهُمْ وَلَوْ كَانَ السَّارِقُ ذِمِّيًّا لم يقطع لأنه تبع للمسلمين فإن كَانَ خَاصًّا عَلَى قَوْمٍ بِأَعْيَانِهِمْ فَإِنْ كَانَ السَّارِقُ وَاحِدًا مِنْ أَهْلِهِ لَمْ يُقْطَعْ لِأَنَّ لَهُ فِيهِ شِرْكًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِهِ فَفِي قَطْعِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Apabila seseorang mencuri harta wakaf yang telah ditetapkan penggunaannya dari tempat penyimpanannya, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: bersifat umum atau khusus. Jika bersifat umum untuk berbagai bentuk kebaikan dan kemaslahatan secara luas, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan atas pencurinya; karena ia dianggap seperti harta Baitul Mal yang kemaslahatannya mencakup seluruh kaum Muslimin, dan pencuri itu adalah salah satu dari mereka. Bahkan jika pencurinya adalah seorang dzimmi, ia juga tidak dipotong tangannya karena ia mengikuti kaum Muslimin. Namun jika wakaf tersebut bersifat khusus untuk sekelompok orang tertentu, maka jika pencurinya adalah salah satu dari mereka, tidak dipotong tangannya karena ia memiliki bagian di dalamnya. Tetapi jika pencurinya bukan dari kalangan mereka, maka dalam hal pemotongan tangannya terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُقْطَعُ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّ رَقَبَةَ الْوَقْفِ مَمْلُوكَةٌ أَوْ غَيْرُ مَمْلُوكَةٍ كَمَا يُقْطَعُ فِي أَسْتَارِ الْكَعْبَةِ وَآلَةِ الْمَسَاجِدِ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i, adalah bahwa pelaku dipotong tangannya, baik dikatakan bahwa benda wakaf itu dimiliki atau tidak dimiliki, sebagaimana dipotong pula jika mencuri kain penutup Ka‘bah dan peralatan masjid.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ لَا يُقْطَعُ سَوَاءً قِيلَ إِنَّ رَقَبَةَ الْوَقْفِ مَمْلُوكَةٌ أَوْ غَيْرُ مَمْلُوكَةٍ؛ لِأَنَّ تَحْرِيمَ بَيْعِهِ قُوَّةٌ لِمِلْكِهِ وَخَالَفَ آلَةَ الْمَسْجِدِ وَأَسْتَارَ الْكَعْبَةِ الَّتِي هِيَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الْمُغَلَّظَةِ وَالْوَقْفُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ المحرمة فلهذا الفرق ما افْتَرَقَا وَإِنْ كَانَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ مُسَوِّيًا بينهما

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab Abu Hanifah, adalah bahwa tidak dipotong (tangan pencuri), baik dikatakan bahwa harta wakaf itu dimiliki atau tidak dimiliki; karena larangan menjualnya merupakan penguat kepemilikannya. Hal ini berbeda dengan peralatan masjid dan kain penutup Ka’bah yang termasuk hak Allah Ta‘ala yang sangat ditekankan, sedangkan wakaf termasuk hak manusia yang diharamkan (untuk diganggu). Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara keduanya, meskipun Ibnu Abi Hurairah menyamakan keduanya.

والوجه الثالث أن يُقْطَعَ فِيهِ إِنْ قِيلَ إِنَّهُ مَمْلُوكُ الرَّقَبَةِ وَلَا يُقْطَعُ إِنْ قِيلَ إِنَّهَا لَا تُمْلَكُ؛ لِأَنَّهُ مَا لَا يُمْلَكُ فِي حُكْمِ الْمُبَاحِ وَإِنْ لَمْ يُسْتَبَحْ فَأَمَّا نَمَاءُ الْوَقْفِ كَالثِّمَارِ والنتاج فيقطع فِيهِ وَجْهًا وَاحِدًا كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ؛ لِأَنَّهُ عَلَى حكمها في جواز البيع والتصرف

Pendapat ketiga adalah bahwa potong tangan diterapkan jika dikatakan bahwa ia adalah milik penuh, dan tidak diterapkan jika dikatakan bahwa ia bukan milik; karena sesuatu yang bukan milik hukumnya seperti barang mubah, meskipun tidak boleh diambil secara bebas. Adapun hasil dari wakaf seperti buah-buahan dan anak ternak, maka potong tangan diterapkan atasnya menurut satu pendapat, seperti harta lainnya; karena hukumnya sama dalam hal boleh dijual dan dipindahtangankan.

فصل

Bab

وإذا سَرَقَ إِنَاءً فِيهِ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ قُطِعَ فيها

Jika seseorang mencuri sebuah wadah yang di dalamnya terdapat makanan atau minuman, maka ia tetap dikenai hukuman potong tangan karena pencurian tersebut.

وقال أبو حنيفة لا يقطع فيها حَتَّى قَالَ ” لَوْ هَتَكَ حِرْزًا وَسَرَقَ مِنْهُ كوز ذَهَبٍ وَصَبَّ فِيهِ مَاءً وَخَرَجَ بِهِ مِنْ حِرْزِهِ لَمْ يُقْطَعْ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ لَا قَطْعَ فِيهِمَا وَإِنْ ضَمَّ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ إِلَى مَا لَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ سَقَطَ الْقَطْعُ كَالْمَالِ الْمُشْتَرِكِ بَيْنَ السَّارِقِ وَغَيْرِهِ وَكَالصَّبِيِّ إِذَا سُرِقَ وَعَلَيْهِ حُلِيٌّ لَا يُقْطَعُ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يقطع في الصبي لو انْفَرَدَ

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan dalam kasus ini. Bahkan beliau berkata, “Seandainya seseorang merusak tempat penyimpanan harta (ḥirz) lalu mencuri darinya sebuah kendi emas, kemudian menuangkan air ke dalamnya dan keluar membawanya dari tempat penyimpanan tersebut, maka tidak dipotong tangannya.” Hal ini didasarkan pada prinsip beliau bahwa makanan dan minuman tidak dikenakan hukuman potong tangan. Jika sesuatu yang mewajibkan potong tangan digabungkan dengan sesuatu yang tidak mewajibkan potong tangan, maka gugurlah hukuman potong tangan itu, seperti harta yang dimiliki bersama antara pencuri dan orang lain, atau seperti anak kecil yang dicuri dan di atasnya terdapat perhiasan; tidak dipotong tangan dalam kasus ini, karena jika hanya anak kecil saja yang dicuri, tidak dikenakan hukuman potong tangan.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ سُقُوطَ الْقَطْعِ عَنْ أَحَدِ الْمَسْرُوقَيْنِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَهُ عَنِ الْآخَرِ قِيَاسًا عَلَى انْفِرَادِهِمَا وَلِأَنَّ مَا لَا يَسْقُطُ فِيهِ الْقَطْعُ بِانْفِرَادِهِ لَا يَسْقُطُ بِضَمِّهِ إِلَى غيره كالعاج إذا كان معيناً بِالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ فَأَمَّا سُقُوطُ الْقَطْعِ فِي الْمَالِ الْمُشْتَرِكِ فَلِأَنَّ لَهُ فِيهِ حَقًّا وَأَمَّا الْحُلِيُّ عَلَى الصَّبِيِّ فَسُقُوطُ الْقَطْعِ فِيهِ لِبَقَاءِ يَدِ مَالِكِهِ عَلَيْهِ وَإِنْ أَخَذَهُ مِنْ يَدِهِ فَعَلَى ما مضى

Dalil kami adalah bahwa gugurnya hukuman potong tangan dari salah satu barang yang dicuri tidak menyebabkan gugurnya hukuman tersebut dari barang yang lain, berdasarkan qiyās atas masing-masing barang secara terpisah. Karena sesuatu yang tidak menggugurkan hukuman potong tangan jika berdiri sendiri, tidak akan gugur pula jika digabungkan dengan yang lain, seperti gading jika telah ditentukan dengan perak dan emas. Adapun gugurnya hukuman potong tangan pada harta bersama, karena di dalamnya terdapat hak bagi pelaku. Sedangkan perhiasan pada anak kecil, gugurnya hukuman potong tangan karena tangan pemiliknya masih tetap atas barang itu, meskipun diambil dari tangannya, maka hukumnya sebagaimana yang telah lalu.

فصل

Bab

وإذا سَرَقَ إِنَاءً فِيهِ خَمْرٌ لَمْ يُقْطَعْ فِي الْخَمْرِ وَفِي قَطْعِهِ فِي الْإِنَاءِ وَجْهَانِ

Jika seseorang mencuri sebuah wadah yang berisi khamar, maka ia tidak dikenai hukuman potong tangan karena khamar tersebut. Adapun mengenai apakah ia dikenai hukuman potong tangan karena wadahnya, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقْطَعُ لِلتَّعْلِيلِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَنَّ سُقُوطَ الْقَطْعِ عَنْ أَحَدِ الْمَسْرُوقَيْنِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَهُ عَنِ الْآخَرِ

Salah satunya diputuskan karena alasan yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu bahwa gugurnya hukuman potong tangan dari salah satu barang yang dicuri tidak menyebabkan gugurnya hukuman tersebut dari barang yang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّ الخمر يلزم إراقته ولا يجوز أن يقر في إنائه فصار ذلك شبهة في إِخْرَاجِهِ مِنْ حِرْزِهِ وَلَوْ كَانَ فِيهِ بَدَلَ الْخَمْرِ مَاءٌ نَجِسٌ أَوْ بَوْلٌ قُطِعَ فِيهِ وإن لم يقطع في الماء النجس وفي البول؛ لأن استيفاء البول والماء النجس يجوز واستبقاء الخمر لا يجوز

Pendapat kedua menyatakan tidak dikenakan hukuman potong tangan; karena khamar wajib ditumpahkan dan tidak boleh dibiarkan tetap di dalam wadahnya, sehingga hal itu menjadi syubhat dalam mengeluarkannya dari tempat penyimpanannya. Jika di dalam wadah tersebut bukan khamar, melainkan air najis atau air kencing, maka dikenakan hukuman potong tangan, meskipun tidak dikenakan hukuman potong tangan pada air najis dan air kencing; karena mengambil air kencing dan air najis itu boleh, sedangkan membiarkan khamar tidak diperbolehkan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وإن أَعَارَ رَجُلًا بَيْتًا فَكَانَ يُغْلِقُهُ دُونَهُ فَسَرَقَ مِنْهُ رَبُّ الْبَيْتِ قُطِعَ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang meminjamkan sebuah rumah kepada orang lain, lalu orang yang meminjam menutup rumah itu sehingga pemilik rumah tidak bisa masuk, kemudian pemilik rumah mencuri sesuatu dari rumah itu, maka pemilik rumah dipotong tangannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا أَعَارَهُ بَيْتًا فَأَحْرَزَ الْمُسْتَعِيرُ فِيهِ مَتَاعًا وَتَفَرَّدَ بِغَلْقِهِ فَنَقَبَ الْمُعِيرُ الْبَيْتَ وَسَرَقَ مِنَ الْمَتَاعِ قُطِعَ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ مِنَ الْأَقْسَامِ

Al-Mawardi berkata: Jika seseorang meminjamkan sebuah rumah kepada orang lain, lalu peminjam tersebut menyimpan barang-barangnya di dalam rumah itu dan hanya dia sendiri yang menutupnya, kemudian si pemilik rumah membobol rumah tersebut dan mencuri sebagian barang yang ada di dalamnya, maka ia dikenai hukuman potong tangan, sesuai dengan pembagian yang akan kami sebutkan nanti.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا قَطْعَ عَلَيْهِ بِحَالٍ احْتِجَاجًا بِأَمْرَيْنِ

Abu Hanifah berkata, “Tidak ada hukuman potong tangan atasnya dalam keadaan apa pun,” dengan berdalil pada dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنَّ لَهُ الرُّجُوعَ فِي عَارِيَتِهِ وَهَذَا نَوْعٌ مِنْهُ

Salah satunya adalah bahwa ia berhak menarik kembali barang yang dipinjamkannya, dan ini merupakan salah satu jenisnya.

وَالثَّانِي أَنَّ لَهُ هَدْمَ البيت ونقبه فصال الْمَالُ فِي غَيْرِ حِرْزٍ مِنْهُ

Yang kedua, bahwa ia boleh merobohkan rumah dan membongkarnya, sehingga harta tersebut berada di tempat yang tidak lagi terlindungi darinya.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ قَدْ مَلَكَ مَنَافِعَ الْحِرْزِ بِحَقٍّ فَلَمْ يَكُنْ مِلْكُ الرَّقَبَةِ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِ الْقَطْعِ كالإجارة ولأنه لما حرم عليك هَتْكُ الْحِرْزِ كَتَحْرِيمِهِ عَلَى غَيْرِهِ اقْتَضَى أَنْ يجب عَلَيْهِ الْقَطْعُ كَوُجُوبِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَلَيْسَ لَهُ الرجوع بهتك الحرز بأن يرجع به قَوْلًا فَصَارَ الْحِرْزُ مَعَهُ بَاقِيًا فَبَطَلَ اسْتِدْلَالُهُ

Dalil kami adalah bahwa ia telah memiliki manfaat dari tempat penyimpanan (ḥirz) secara sah, sehingga kepemilikan atas benda pokok (raqabah) tidak menjadi penghalang atas kewajiban potong tangan, seperti dalam kasus ijarah (sewa-menyewa). Karena ketika diharamkan bagimu untuk merusak ḥirz sebagaimana diharamkan atas orang lain, maka hal itu menuntut wajibnya potong tangan atasnya sebagaimana wajib atas orang lain. Ia juga tidak berhak untuk menarik kembali dengan merusak ḥirz, yakni dengan mengembalikannya secara ucapan, sehingga ḥirz tetap bersamanya, maka batalah dalil yang mereka gunakan.

فصل

Bab

فإذا ثبت بما ذَكَرْنَا فَلَا يَخْلُو حَالُ الْمُعِيرِ عِنْدَ هَتْكِ الْحِرْزِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Maka apabila telah tetap dengan apa yang telah kami sebutkan, maka keadaan pemberi pinjaman ketika pelanggaran terhadap tempat penyimpanan tidak lepas dari tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ قَدْ تَقَدَّمَ مِنْهُ الرُّجُوعُ فِي الْعَارِيَةِ قَوْلًا فَمَنَعَ الْمُسْتَعِيرُ مِنْ رَدِّهِ مَعَ الْمُكْنَةِ فَلَا قَطْعَ عَلَى الْمُعِيرِ إِذَا نَقَبَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْمُسْتَعِيرَ مُتَصَرِّفٌ فِيهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَصَارَ كَالْغَاصِبِ

Salah satunya adalah apabila sebelumnya pemilik barang telah menarik kembali pinjaman barang itu secara lisan, lalu peminjam menghalangi pengembalian barang tersebut padahal ia mampu melakukannya, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan atas pemilik barang jika ia mengambilnya kembali dengan cara membongkar, karena peminjam telah menggunakan barang itu tanpa hak sehingga kedudukannya seperti seorang ghashib (perampas).

والقسم الثاني أن لا يقدم الرجوع فيه ولا يرد بِهَتْكِهِ الرُّجُوعَ فِيهِ فَهَذَا يُقْطَعُ إِذَا سَرَقَ مِنْهُ وَفِيهِ يَتَعَيَّنُ خِلَافُ أَبِي حَنِيفَةَ

Bagian kedua adalah bahwa tidak didahulukan penarikan kembali padanya dan tidak dianggap penarikan kembali itu sebagai pembatalan, maka dalam hal ini dipotong (tangan) jika mencuri darinya, dan dalam hal ini pendapat Abu Hanifah secara tegas berbeda.

وَالْقِسْمُ الثالث أن لا يقدم الرجوع قَوْلًا وَيَنْوِي بِهَتْكِهِ الرُّجُوعَ فِيهِ فَفِي قَطْعِهِ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah ketika seseorang tidak mengucapkan pernyataan rujuk, namun berniat dengan tindakannya tersebut untuk melakukan rujuk; dalam hal batalnya (rujuk tersebut) terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهَا شُبْهَةٌ

Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu tidak dikenakan hukuman potong tangan; karena hal itu merupakan syubhat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة يقطع؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ الرُّجُوعَ إِلَّا بِالْقَوْلِ فَكَانَ ما عداه عدواناً منه

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, adalah dipotong; karena ia tidak memiliki hak untuk menarik kembali kecuali dengan ucapan, maka selain itu dianggap sebagai tindakan melampaui batas darinya.

فصل

Bab

وإذا اسْتَأْجَرَ بَيْتًا فَنَقَبَ الْمُؤَجِّرُ عَلَيْهِ وَسَرَقَ مِنْهُ قُطِعَ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ

Jika seseorang menyewa sebuah rumah, lalu pemilik rumah tersebut membobolnya dan mencuri darinya, maka pemilik rumah itu dipotong tangannya. Inilah pendapat Abu Hanifah.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ لَا يُقْطَعُ لِأَنَّ وُجُوبَ الْقَطْعِ مُعْتَبَرٌ بِهَتْكِ حِرْزٍ وَسَرِقَةِ مَالٍ فَلَمَّا كَانَتِ الشَّرِكَةُ فِي الْمَالِ تَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْقَطْعِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مِلْكُ الْحِرْزِ مَانِعًا مِنْ وُجُوبِ الْقَطْعِ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَ مَنَافِعَ الْحِرْزِ بِالْإِجَارَةِ كَمَا مَلَكَهَا بِالشِّرَاءِ فَاقْتَضَى أن ينتفي الشُّبْهَةُ فِي هَتْكِهِ وَأَنْ يَجِبَ الْقَطْعُ فِي سَرِقَتِهِ وَلِأَنَّهُ يَمْلِكُ مِنْ دُخُولِ الْمَسْجِدِ مَا لَا يَمْلِكُهُ مِنْ دُخُولِ دَارِهِ إِذَا أَجَّرَهَا ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ سَرَقَ مِنْ بَعْضِ أهل الْمَسْجِدِ قُطِعَ فَإِذَا سَرَقَ مِمَّا أَجَّرَ فَأَوْلَى أَنْ يُقْطَعَ

Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa tidak dikenakan hukum potong tangan, karena kewajiban potong tangan itu bergantung pada pelanggaran terhadap perlindungan (ḥirz) dan pencurian harta. Ketika adanya kepemilikan bersama dalam harta mencegah kewajiban potong tangan, maka seharusnya kepemilikan perlindungan juga menjadi penghalang dari kewajiban potong tangan. Namun, pendapat ini keliru; karena seseorang telah memiliki manfaat dari perlindungan itu melalui sewa sebagaimana ia memilikinya melalui pembelian, sehingga hal itu meniadakan adanya syubhat dalam pelanggarannya dan mewajibkan potong tangan atas pencuriannya. Selain itu, ia memiliki hak masuk ke masjid yang tidak ia miliki terhadap rumahnya jika ia menyewakannya. Kemudian telah tetap bahwa jika seseorang mencuri dari sebagian ahli masjid, maka ia dipotong tangannya. Maka jika ia mencuri dari tempat yang ia sewa, lebih utama lagi untuk dikenakan hukum potong tangan.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا غَصَبَ بَيْتَا وَأَحْرَزَ فِيهِ مَتَاعًا فَسَرَقَ مِنْهُ لَمْ يُقْطَعْ سَوَاءٌ سَرَقَ مِنْهُ مَالِكُ الْحِرْزِ أَوْ غَيْرُهُ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ إِحْرَازِ مَالِهِ فِي الْغَصْبِ فَصَارَ كَغَيْرِ الْمُحْرِزِ فَلَمْ يَجِبْ فِيهِ قَطْعٌ وَكَذَلِكَ لَوِ ارْتَهَنَ دَارًا فَأَحْرَزَ فِيهَا مَتَاعًا لَمْ يُقْطَعْ سَارِقُهُ سَوَاءٌ سَرَقَهُ الرَّاهِنُ أَوْ غَيْرُهُ؛ لِأَنَّ مَنَافِعَ الرَّهْنِ لِلرَّاهِنِ دُونَ الْمُرْتَهِنِ فَصَارَ كالغاصب

Jika seseorang merampas sebuah rumah dan menyimpan barang di dalamnya, lalu barang itu dicuri dari rumah tersebut, maka pencurinya tidak dipotong tangannya, baik yang mencuri itu pemilik tempat penyimpanan maupun orang lain. Sebab, pemilik barang terhalang untuk menyimpan hartanya di tempat yang dirampas, sehingga kedudukannya seperti orang yang tidak menyimpan hartanya dengan aman, maka tidak wajib dikenakan hukuman potong tangan. Demikian pula jika seseorang menggadaikan sebuah rumah, lalu menyimpan barang di dalamnya, maka pencurinya tidak dipotong tangannya, baik yang mencuri itu orang yang menggadaikan maupun orang lain; karena manfaat barang gadai tetap menjadi hak orang yang menggadaikan, bukan yang menerima gadai, sehingga kedudukannya seperti perampas.

فصل

Bab

وإذا سَرَقَ ثِيَابًا مِنْ حَمَّامٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Jika seseorang mencuri pakaian dari pemandian umum, maka ada dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ صَاحِبُ الثِّيَابِ خَلَعَهَا وَأَلْقَاهَا فِي الْحَمَّامِ وَلَمْ يُودِعْهَا حَافِظًا فَلَا قَطْعَ عَلَى سَارِقِهَا؛ لِأَنَّهَا فِي غَيْرِ حِرْزٍ وَيَضْمَنُهَا

Salah satunya adalah apabila pemilik pakaian melepaskan pakaiannya dan meletakkannya di pemandian tanpa menitipkannya kepada penjaga, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan bagi pencurinya, karena pakaian tersebut tidak berada di tempat penyimpanan yang aman, namun pencuri tetap wajib menggantinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يُودِعَهَا عِنْدَ الْحَمَّامِيِّ أَوْ عِنْدَ غَيْرِهِ مِنَ الْمُسْتَحْفَظِينَ فَإِنْ غَفَلَ عَنْ حِفْظِهَا حَتَّى سُرِقَتْ فَالضَّمَانُ عَلَى مَنْ فَرَّطَ فِي الْحِفْظِ وَلَا قَطْعَ عَلَى السَّارِقِ وَإِنْ لَمْ يَغْفَلْ عَنِ الْحِفْظِ وَلَا فَرَّطَ فِيهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى مَنْ يَحْفَظُهَا وَيُقْطَعُ سَارِقُهَا

Jenis kedua adalah jika ia menitipkannya kepada penjaga pemandian atau kepada selainnya dari para penjaga titipan. Jika penjaga tersebut lalai dalam menjaga hingga barang itu dicuri, maka tanggungan (ganti rugi) ada pada orang yang lalai dalam penjagaan, dan tidak dikenakan hukuman potong tangan kepada pencurinya. Namun jika penjaga tidak lalai dan tidak teledor dalam penjagaan, maka tidak ada tanggungan atas penjaga tersebut, dan pencurinya dikenakan hukuman potong tangan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يقطع احْتِجَاجًا بِأَنَّ الدُّخُولَ إِلَى الْحَمَّامِ مَأْذُونٌ فِيهِ فَلَمْ يَكُنْ حِرْزًا وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْأَحْرَازَ مُعْتَبَرَةٌ بِالْعُرْفِ وَالْعُرْفُ جَارٍ بِأَنَّ الْحَمَّامَ حِرْزٌ لِثِيَابٍ دَاخِلِيَّةٍ وَلَيْسَ الْإِذْنُ فِي دُخُولِهِ بِمَانِعٍ من أن يكو حرزاً فإن المسجد أعم دخولاً وأكثر غَاشِيَةً وَهُوَ حِرْزٌ لِمَنْ نَامَ فِيهِ وَوَضَعَ ثَوْبَهُ تَحْتَ رَأْسِهِ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَطَعَ سَارِقَ رِدَاءِ صَفْوَانَ وَقَدْ نَامَ فِي الْمَسْجِدِ وَوَضَعَهُ تَحْتَ رَأْسِهِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dipotong (tangan pencuri) dengan alasan bahwa masuk ke pemandian umum itu diperbolehkan, sehingga tidak dianggap sebagai tempat penyimpanan (ḥirz). Namun, pendapat ini keliru, karena tempat penyimpanan itu ditentukan berdasarkan ‘urf (kebiasaan masyarakat), dan ‘urf berlaku bahwa pemandian umum adalah tempat penyimpanan pakaian dalam. Izin untuk masuk ke dalamnya tidak menghalangi tempat itu untuk menjadi ḥirz, sebagaimana masjid yang lebih umum untuk dimasuki dan lebih banyak orang yang datang, namun tetap menjadi ḥirz bagi orang yang tidur di dalamnya dan meletakkan pakaiannya di bawah kepalanya. Nabi ﷺ pun memotong tangan pencuri selendang Shafwan, padahal ia tidur di masjid dan meletakkan selendangnya di bawah kepalanya.

فَإِنْ قِيلَ الْإِذْنُ فِي دُخُولِ الْحَمَّامِ مَوْقُوفٌ عَلَى صَاحِبِهِ فَجَرَى مجرى البيوت إذا أذن ربها بالدخول إِلَيْهَا لَمْ يَكُنْ حِرْزًا لِمَنْ دَخَلَهَا وَالْمَسَاجِدُ لَا يَقِفُ الْإِذْنُ فِيهَا عَلَى أَحَدٍ بِعَيْنِهِ فَجَرَى مَجْرَى الطُّرُقَاتِ الَّتِي تَكُونُ حِرْزًا لِلْأَمْتِعَةِ الَّتِي فِيهَا مَعَ أَرْبَابِهَا

Jika dikatakan bahwa izin untuk masuk ke pemandian umum tergantung pada pemiliknya, maka hukumnya seperti rumah-rumah: jika pemiliknya telah mengizinkan masuk ke dalamnya, maka tempat itu tidak lagi menjadi perlindungan (ḥirz) bagi orang yang memasukinya. Adapun masjid, izinnya tidak bergantung pada seseorang secara khusus, sehingga hukumnya seperti jalan-jalan yang menjadi perlindungan (ḥirz) bagi barang-barang yang ada di dalamnya bersama para pemiliknya.

قِيلَ صِحَّةُ هَذَا الْفَرْقِ يُوجِبُ عَكْسَ الْحُكْمِ فِي أَنْ يَكُونَ الْحَمَّامُ حِرْزًا وَالْمَسْجِدُ غَيْرَ حِرْزٍ؛ لِأَنَّ دُخُولَ الْمَسْجِدِ حَقٌّ لِدَاخِلِهِ وَدُخُولُ الْحَمَّامِ حَقٌّ لِصَاحِبِهِ؛ لِأَنَّهُ يَدْخُلُ إِلَى الْمَسْجِدِ بِغَيْرِ إِذْنٍ وَلَا يدخل إلى الحمام إلا بإذن وعكس الحكم مَدْفُوعٌ فَصَارَ الْفَرْقُ مُطَّرَحًا فَإِذَا ثَبَتَ اسْتِوَاءُ الْمَسْجِدِ وَالْحَمَّامِ فِي الْحِرْزِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي بَيَّنَّاهُ كَانَ الْقَطْعُ فِي السَّرِقَةِ مِنَ الْمَسْجِدِ مُعْتَبَرًا بِأَخْذِهِ مِنْ تَحْتِ صَاحِبِهِ إِنْ كَانَ نائماً فإن لم يكن تحته فليس بمحرز إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُسْتَيْقِظًا فَيَكُونُ حِرْزًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَمَا يَمْتَدُّ إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِمَّا قَارَبَهُ وَلَا يُعْتَبَرُ خُرُوجُهُ مِنَ الْمَسْجِدِ فِي وُجُوبِ الْقَطْعِ

Dikatakan bahwa kebenaran perbedaan ini justru mengharuskan kebalikan hukum, yaitu bahwa pemandian umum (hammam) menjadi tempat yang terjaga (ḥirz) dan masjid bukan tempat yang terjaga; karena masuk ke masjid adalah hak bagi siapa saja yang masuk, sedangkan masuk ke pemandian umum adalah hak bagi pemiliknya; sebab seseorang dapat masuk ke masjid tanpa izin, sedangkan ke pemandian umum tidak dapat masuk kecuali dengan izin. Kebalikan hukum ini tertolak, sehingga perbedaan tersebut menjadi tidak dipertimbangkan. Jika telah tetap bahwa masjid dan pemandian umum sama dalam hal penjagaan (ḥirz) sebagaimana telah dijelaskan, maka penjatuhan hukuman potong tangan dalam kasus pencurian dari masjid dipertimbangkan jika barang itu diambil dari bawah pemiliknya ketika ia sedang tidur. Jika tidak berada di bawahnya, maka itu bukan ḥirz kecuali jika pemiliknya dalam keadaan terjaga, maka itu menjadi ḥirz untuk apa yang ada di depannya dan apa yang dapat dijangkau oleh pandangannya dari barang-barang yang dekat dengannya. Keluar dari masjid tidak dianggap dalam kewajiban penjatuhan hukuman potong tangan.

فَأَمَّا الْحَمَّامُ فَهَلْ يُعْتَبَرُ فِي قطع السارق منه خروجه مِنَ الْحَمَّامِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun pemandian umum (hammām), apakah dalam menetapkan hukuman potong tangan bagi pencuri darinya disyaratkan ia telah keluar dari pemandian atau tidak, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يُعْتَبَرُ كَالْمَسْجِدِ وَيُقْطَعُ إِذَا أَخَذَ الثِّيَابَ من موضعها

Salah satunya tidak dianggap seperti masjid, dan dipotong (tangan) jika mengambil pakaian dari tempatnya.

والوجه الثاني أن يعتبر فيه خروجه من الحمام ولا قَطْعَ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ لِأَنَّهُ حرز خاص والمسجد عام

Pendapat kedua adalah bahwa yang dijadikan patokan adalah keluarnya seseorang dari pemandian, dan tidak ada keputusan (hukuman) atasnya selama ia belum keluar darinya, karena pemandian merupakan tempat penyimpanan khusus, sedangkan masjid bersifat umum.

فصل

Bab

فأما الضيف إذا سرق من دار مَنْ أَضَافَهُ فَإِنْ سَرَقَ مِنَ الْمَوْضِعِ الَّذِي أَضَافَهُ فِيهِ لَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ سَرَقَ مِنْ غَيْرِهِ مِنَ الْبُيُوتِ الْمُغَلَّقَةِ عَلَيْهِ قُطِعَ

Adapun tamu, jika ia mencuri dari rumah orang yang menjamunya, maka jika ia mencuri dari tempat di mana ia dijamu, ia tidak dipotong tangannya. Namun jika ia mencuri dari tempat lain, yaitu dari kamar-kamar yang tertutup rapat, maka ia dipotong tangannya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ بِحَالٍ لِارْتِفَاعِ الْحِرْزِ مع الإذن بالدخول ودليلنا ما أخبر به أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلًا أَقْطَعَ نَزَلَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضي الله عنه فكان يصلي الليل فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا لَيْلُكَ بِلَيْلِ سَارِقٍ من قطعك قال يعلى بن أمية ظالماً فقال أبو بكر لأكتبن وأتوعده فبينا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ فَقَدُوا حُلِيًّا لِأَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ فَجَعَلَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَظْهِرْ عَلَى صَاحِبِهِ قال فوجد عند صائغ فألجئ حتى ألجئ إِلَى الْأَقْطَعِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لَغِرَّتُهُ بِاللَّهِ أشد على مما صنع اقطعوه فقطعه وَهُوَ ضَعِيفٌ وَلِأَنَّ الْبُيُوتَ الْمُغَلَّقَةَ حِرْزٌ لِمَا فِيهَا لَوْ كَانَتْ إِلَى الطَّرِيقِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ تَكُونَ حِرْزًا إِذَا كَانَتْ إِلَى الدَّارِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dipotong (tangan pencuri) dalam keadaan apa pun karena hilangnya status ḥirz (tempat penyimpanan yang aman) disebabkan adanya izin masuk. Dalil kami adalah apa yang diberitakan oleh Ayyub dari Nafi‘ dari Ibnu Umar bahwa seorang laki-laki yang telah dipotong tangannya pernah singgah di rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., dan ia biasa shalat malam. Maka Abu Bakar berkata, “Malam harimu bukanlah malam seorang pencuri. Siapa yang memotongmu?” Ia menjawab, “Ya‘la bin Umayyah secara zalim.” Maka Abu Bakar berkata, “Aku benar-benar akan menulis (surat) dan mengancamnya.” Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba perhiasan milik Asma’ binti Umais hilang. Maka Abu Bakar berdoa, “Ya Allah, tampakkanlah pelakunya.” Lalu ditemukan perhiasan itu di tempat seorang tukang emas, dan setelah didesak akhirnya ia menunjuk kepada orang yang telah dipotong tangannya itu. Maka Abu Bakar berkata, “Sumpahnya kepada Allah lebih berat bagiku daripada perbuatannya. Potonglah (tangannya)!” Maka dipotonglah tangannya, padahal ia lemah (riwayatnya). Dan karena rumah-rumah yang tertutup rapat adalah ḥirz bagi apa yang ada di dalamnya, meskipun menghadap ke jalan, maka lebih utama lagi dianggap sebagai ḥirz jika menghadap ke dalam rumah.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا كَانَ عَلَى رَجُلٍ دَيْنٌ وَلَهُ متاع في حرز فنقب صاحب الدين على الْحِرْزَ وَسَرَقَ مِنْهُ مَتَاعَ الْغَرِيمِ فَهَذَا عَلَى ضربين

Jika seseorang memiliki utang dan ia memiliki barang yang disimpan di tempat yang aman, lalu si pemberi utang membobol tempat penyimpanan tersebut dan mencuri barang milik orang yang berutang, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.

أحدهما أن يمطله صاحب الدين بدينه ويمنع من دفعه فينظر فيما أخذ صاحب الدين من الحرز فإن كان يقدر دَيْنِهِ فَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ التَّوَصُّلَ إِلَى أَخْذِهِ مِنْهُ وَإِنْ أَخَذَ أَكْثَرَ مِنْ دينه فَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْهُ قِيمَةً؛ لِأَنَّهُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ لَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْهُ قَدْرًا لِأَنَّهُ مِنْ جِنْسِهِ فَفِي قَطْعِهِ وَجْهَانِ

Pertama, apabila pemilik utang menunda pembayaran utangnya dan menolak untuk membayarnya, maka dilihat apa yang diambil oleh pemilik utang dari tempat penyimpanan. Jika yang diambil seukuran dengan utangnya, maka tidak dikenakan hadd potong tangan atasnya, karena ia berhak untuk mengambilnya dari orang tersebut. Namun jika ia mengambil lebih dari utangnya, maka jika yang diambil lebih tinggi nilainya karena berbeda jenis, maka tidak dipotong tangannya. Tetapi jika yang diambil lebih banyak ukurannya karena sejenis, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat mengenai hukum potong tangannya.

أَحَدُهُمَا لَا يُقْطَعُ وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لِلشُّبْهَةِ

Salah satunya tidak dipotong, yaitu berdasarkan qiyās pendapat Abu Ishaq al-Marwazi karena adanya syubhat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُقْطَعُ وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هريرة لتميز الحق من الباطل

Pendapat kedua diputuskan, yaitu qiyās atas pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, untuk membedakan antara yang benar dan yang batil.

والضرب الثَّانِي أَنْ لَا يَمْطُلَ صَاحِبُ الدَّيْنِ بِدَيْنِهِ وَيَقْدِرَ عَلَى أَخْذِهِ بِالْمُطَالَبَةِ فَفِي قَطْعِهِ بِمَا أَخَذَهُ عَنْ دَيْنِهِ وَجْهَانِ

Jenis kedua adalah apabila pemilik utang tidak menunda pembayaran utangnya dan ia mampu mengambilnya dengan menagih, maka dalam hal memutuskan (hukum) terhadap apa yang diambilnya dari utangnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ لَا يُقْطَعُ لِأَجْلِ الشُّبْهَةِ

Salah satunya adalah qiyās menurut pendapat Abu Ishaq, yaitu tidak dikenakan hukuman potong tangan karena adanya syubhat.

والوجه الثاني وهو قياس أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يُقْطَعُ لِوُصُولِهِ إلى حقه من غريمه والله أعلم

Pendapat kedua adalah qiyās Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, yaitu dipotong (tangannya) karena ia telah sampai pada haknya dari orang yang berutang kepadanya, dan Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا أَوْدَعَ رَجُلٌ وَدِيعَةً فَأَحْرَزَهَا الْمُودِعُ فِي حِرْزِهِ الَّذِي يَمْلِكُهُ كَانَ حِرْزًا لِمَالِه وَلِلْوَدِيعَةِ؛ لِأَنَّهُ صَارَ بِالِائْتِمَانِ عَلَيْهَا نَائِبًا عَنْ صَاحِبِهَا فِي إِحْرَازِهَا فَإِنْ سُرِقَتْ قُطِعَ سَارِقُهَا وَلَوْ نَقَبَ رَبُّ الْوَدِيعَةِ عَلَيْهَا فَأَخَذَهَا وَسَرَقَ مَعَهَا غَيْرَهَا مِنْ حِرْزِهَا فَإِنْ كَانَ مَمْنُوعًا مِنْ وَدِيعَتِهِ لَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِهَتْكِ حِرْزِهَا وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَمْنُوعٍ مِنْهَا فَفِي قَطْعِهِ وَجْهَانِ

Apabila seseorang menitipkan barang titipan, lalu orang yang menerima titipan itu menyimpannya di tempat penyimpanan miliknya yang biasa ia gunakan, maka tempat itu menjadi tempat penyimpanan bagi hartanya sendiri dan juga bagi barang titipan tersebut; karena dengan adanya kepercayaan atas barang titipan itu, ia menjadi wakil dari pemiliknya dalam menjaga barang tersebut. Jika barang titipan itu dicuri, maka pencurinya dikenai hukuman potong tangan. Namun, jika pemilik barang titipan membobol tempat penyimpanan itu untuk mengambil barang titipannya, lalu ia juga mencuri barang lain yang ada di tempat itu, maka jika ia terhalang untuk mengambil barang titipannya, ia tidak dikenai hukuman potong tangan; karena ia berhak membobol tempat penyimpanan barang titipannya. Tetapi jika ia tidak terhalang untuk mengambil barang titipannya, maka dalam hal dikenai hukuman potong tangan terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّ اقْتِرَانَهَا بِوَدِيعَتِهِ شُبْهَةٌ لَهُ

Salah satunya adalah qiyās menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu tidak dipotong (tangan pencuri); karena bersamaan dengan adanya barang titipan miliknya merupakan syubhat baginya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهُ متعد بهتك الحرز وأخذ لِمَا لَا يَسْتَحِقُّ

Pendapat kedua adalah qiyās terhadap pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu dipotong (tangannya); karena ia melakukan pelanggaran dengan merusak perlindungan (ḥirz) dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.

فَصْلٌ

Bagian

وَلَوْ غَصَبَ رَجُلٌ مَالًا أَوْ سَرَقَهُ وَأَحْرَزَهُ فِي حِرْزٍ لِنَفْسِهِ فَسُرِقَ مِنْهُ فَفِي قطع سارقه وجهان

Jika seseorang merampas atau mencuri suatu harta, lalu menyimpannya di tempat yang aman untuk dirinya sendiri, kemudian harta itu dicuri darinya, maka mengenai pemotongan tangan pencuri yang kedua terdapat dua pendapat.

أحدهما يُقْطَعُ بَعْدَ قَطْعِ السَّارِقِ الْأَوَّلِ؛ لِأَنَّهُ سَرَقَ مَالًا مِنْ حِرْزٍ مِثْلَهُ

Salah satunya dipotong setelah pemotongan tangan pencuri pertama; karena ia telah mencuri harta dari tempat penyimpanan yang serupa.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهُ فِي غَيْرِ حِرْزِ مُسْتَحِقٍّ فَصَارَ كَغَيْرِ الْمُحْرَزِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan, karena pencurian itu terjadi bukan di tempat penyimpanan milik orang yang berhak, sehingga hukumnya seperti barang yang tidak disimpan dengan aman.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يُقْطَعُ إِنْ سَرَقَ مِنَ الْغَاصِبِ وَلَا يُقْطَعُ إِنْ سَرَقَ مِنَ السَّارِقِ وَالْحُكْمُ فِيهِمَا سَوَاءٌ عِنْدَنَا وَيَكُونُ الْخَصْمُ فِي قَطْعِ هَذَا السَّارِقِ هُوَ الْمَالِكُ دُونَ الْغَاصِبِ وَالسَّارِقِ هَذَا قَوْلُ أَصْحَابِنَا وَعِنْدِي أن على كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَالِكِ وَالْغَاصِبِ وَالسَّارِقِ خَصْمٌ فيه؛ أما المالك فلأجل ملكه وأما الغصب وَالسَّارِقُ فَلِأَجْلِ ضَمَانِهِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang dipotong tangannya jika mencuri dari seorang ghashib (perampas), namun tidak dipotong jika mencuri dari pencuri lain. Hukum dalam kedua kasus ini menurut kami adalah sama, dan pihak yang menjadi lawan dalam perkara pemotongan tangan pencuri ini adalah pemilik harta, bukan ghashib maupun pencuri. Ini adalah pendapat para sahabat kami. Menurut saya, setiap dari pemilik, ghashib, dan pencuri adalah pihak yang berperkara dalam hal ini; adapun pemilik karena kepemilikannya, sedangkan ghashib dan pencuri karena tanggung jawab jaminan atas harta tersebut.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ الْخَصْمُ فِي السَّرِقَةِ الْمَالِكُ وَفِي الْغَصْبِ الْغَاصِبُ وَلَيْسَ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَجْهٌ إِلَّا عَلَى أَصْلِهِ أَنَّ السَّارِقَ لَا يُغَرَّمُ السَّرِقَةَ إِذَا قُطِعَ وَهُوَ بناء خلاف على خلاف والله اعلم

Abu Hanifah berkata, “Pihak yang menjadi lawan dalam perkara pencurian adalah pemilik harta, sedangkan dalam perkara ghasab adalah pelaku ghasab. Tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali menurut pendapat dasarnya, yaitu bahwa pencuri tidak dibebani ganti rugi atas barang curian jika telah dijatuhi hukuman potong tangan. Ini adalah perbedaan yang dibangun di atas perbedaan pendapat, dan Allah lebih mengetahui.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيُقْطَعُ الْعَبْدُ آبِقًا وَغَيْرَ آبِقٍ

Imam Syafi‘i berkata, “Budak dipotong tangannya, baik ia sedang melarikan diri (ābiq) maupun tidak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وإما إِذَا كَانَ الْعَبْدُ غَيْرَ آبِقٍ فَقَطْعُهُ إِذَا سَرَقَ وَاجِبٌ فَأَمَّا إِذَا كَانَ آبِقًا فَسَرَقَ فِي إِبَاقِهِ فَقَدِ اخْتُلِفَ فِي وُجُوبِ قَطْعِهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ

Al-Mawardi berkata: Adapun jika seorang budak bukan budak yang melarikan diri (bukan ābiq), maka hukum potong tangan jika ia mencuri adalah wajib. Namun, jika ia adalah budak ābiq lalu mencuri dalam keadaan melarikan diri, maka para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban memotong tangannya menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ يُقْطَعُ سَوَاءٌ طُولِبَ فِي إِبَاقِهِ أَوْ بَعْدَ مَقْدِمِهِ

Salah satunya, yaitu mazhab Syafi‘i, berpendapat bahwa dipotong (tangan pencuri) baik ketika ia dikejar saat melarikan diri maupun setelah ia kembali.

وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ لَا يُقْطَعُ سَوَاءٌ طُولِبَ فِي إِبَاقِهِ أَوْ بَعْدَ مَقْدِمِهِ؛ لِأَنَّهُ فِي الْإِبَاقِ مُضْطَرٌّ وَلَا قَطْعَ عَلَى مُضْطَرٍّ

Pendapat kedua, yaitu mazhab Malik, tidak dikenakan hukuman potong tangan, baik ketika ia dikejar saat melarikan diri maupun setelah ia kembali; karena dalam keadaan melarikan diri, ia berada dalam kondisi terpaksa, dan tidak ada hukuman potong tangan bagi orang yang terpaksa.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ يُقْطَعُ إِنْ طُولِبَ بَعْدَ مَقْدِمِهِ وَلَا يُقْطَعُ إِنْ طُولِبَ فِي إِبَاقِهِ؛ لِأَنَّ قَطْعَهُ قَضَاءً عَلَى سَيِّدِهِ وَهُوَ لَا يَرَى الْقَضَاءَ عَلَى الْغَائِبِ

Pendapat ketiga, yaitu mazhab Abu Hanifah, menetapkan bahwa tangan dipotong jika ia dituntut setelah kedatangannya, dan tidak dipotong jika ia dituntut saat masih melarikan diri; karena pemotongan itu merupakan keputusan terhadap tuannya, sedangkan ia (Abu Hanifah) tidak membolehkan keputusan terhadap orang yang tidak hadir.

وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ قَطْعِهِ فِي الْحَالَيْنِ عُمُومُ الآية ولم يفضل بَيْنَ حُرٍّ وَعَبْدٍ

Dan dalil atas wajibnya memotong (tangan pencuri) dalam kedua keadaan tersebut adalah keumuman ayat, dan tidak ada pembedaan antara orang merdeka dan budak.

وَرَوَى نَافِعٌ أَنَّ عَبْدًا لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ سَرَقَ وَهُوَ آبِقٌ فَبُعِثَ بِهِ إِلَى سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ وَكَانَ أَمِيرَ الْمَدِينَةِ لِيَقْطَعَهُ فَقَالَ سَعِيدٌ كَيْفَ أَقْطَعُ آبِقًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ فِي أَيِّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَجَدْتَ هَذَا وَأَمَرَ ابْنُ عُمَرَ فَقُطِعَتْ يَدُهُ وَلِأَنَّهُ حَدٌّ يُقَامُ عَلَى غَيْرِ الْآبِقِ فَوَجَبَ أَنْ يُقَامَ عَلَى الْآبِقِ كَحَدِّ الزِّنَا وِلْأَنَّ الْإِبَاقَ مَعْصِيَةٌ إن لم يزده تغليظاً لم يتغلظ عَنْهُ حَدًّا فَأَمَّا الِاضْطِرَارُ فَلَوْ كَانَ عِلَّةً لِفَرْقٍ بَيْنَ الْمُضْطَرِّ وَغَيْرِهِ وَلِفَرْقٍ بَيْنَ مَا تدعو الضرورة إليه ولا تدعو

Nafi‘ meriwayatkan bahwa seorang budak milik Abdullah bin Umar mencuri saat ia sedang melarikan diri (abīq), lalu ia dikirim kepada Sa‘id bin al-‘Ash, yang saat itu adalah amir Madinah, agar memotong tangannya. Sa‘id berkata, “Bagaimana aku memotong tangan seorang budak yang melarikan diri?” Maka Abdullah bin Umar berkata, “Pada ayat mana dalam Kitabullah engkau menemukan hal ini?” Lalu Ibn Umar memerintahkan agar tangan budak itu dipotong. Karena hukuman had ditegakkan atas selain budak yang melarikan diri, maka wajib pula ditegakkan atas budak yang melarikan diri, sebagaimana had zina. Dan karena melarikan diri adalah maksiat, jika tidak menambah berat hukuman, maka tidak ada pengurangan had karenanya. Adapun keadaan darurat, jika itu menjadi alasan untuk membedakan antara orang yang terpaksa dan yang tidak, serta membedakan antara sesuatu yang dibutuhkan oleh keadaan darurat dan yang tidak dibutuhkan…

أما قوله إنه قضاء على السيد فليس صحيح؛ لِأَنَّ السَّيِّدَ لَوْ أَقَرَّ بِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ وَلَوْ أَقَرَّ بِهِ الْعَبْدُ لَزِمَ فَعُلِمَ أَنَّهُ قَضَاءٌ عَلَى الْعَبْدِ دُونَ السَّيِّدِ

Adapun pernyataannya bahwa hal itu merupakan kewajiban atas tuan, maka itu tidak benar; karena jika tuan mengakuinya, ia tidak wajib menanggungnya, dan jika hamba yang mengakuinya, maka ia wajib menanggungnya. Maka diketahui bahwa itu adalah kewajiban atas hamba, bukan atas tuan.

فصل

Bab

حكم السرقة في المجاعة والقحط

Hukum pencurian pada masa kelaparan dan paceklik

وَإِذَا سَرَقَ السَّارِقُ فِي عَامِ الْمَجَاعَةِ وَالْقحْطِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Dan apabila seorang pencuri mencuri pada masa kelaparan dan paceklik, maka ada dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ لِغَلَاءِ السِّعْرِ مَعَ وُجُودِ الْأَقْوَاتِ فَالْقَطْعُ وَاجِبٌ عَلَى السَّارِقِ وَلَا تَكُونُ زِيَادَةُ الْأَسْعَارِ مُبِيحَةً لِلسَّرِقَةِ وَلَا مُسْقِطَةً لِلْقَطْعِ

Salah satunya adalah jika harga-harga menjadi mahal sementara bahan makanan pokok masih tersedia, maka hukuman potong tangan tetap wajib bagi pencuri, dan kenaikan harga tidak membolehkan pencurian serta tidak menggugurkan hukuman potong tangan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ لِتَعَذُّرِ الْأَقْوَاتِ وَعَدَمِهَا فَإِنْ سَرَقَ مَا لَيْسَ بِقُوتٍ قُطِعَ وَإِنْ سَرَقَ قُوتًا لَا يَقْدِرُ عَلَى مثله لَمْ يُقْطَعْ وَكَانَتِ الضَّرُورَةُ شُبْهَةً فِي سُقُوطِ الْقَطْعِ كَمَا كَانَتْ شُبْهَةً فِي اسْتِبَاحَةِ الْأَخْذِ روي عن ابن عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ ” لَا قَطْعَ فِي عَامِ المجاعة ولا قطع في عام سنة

Jenis yang kedua adalah karena sulitnya mendapatkan makanan pokok dan ketiadaannya. Maka jika seseorang mencuri sesuatu yang bukan makanan pokok, ia tetap dikenai hukuman potong tangan. Namun jika ia mencuri makanan pokok yang ia tidak mampu mendapatkannya, maka ia tidak dikenai hukuman potong tangan, dan keadaan darurat menjadi syubhat (keraguan) dalam menggugurkan hukuman potong tangan, sebagaimana keadaan darurat juga menjadi syubhat dalam membolehkan pengambilan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia berkata, “Tidak ada hukuman potong tangan pada tahun paceklik, dan tidak ada hukuman potong tangan pada tahun kelaparan.”

روي عن مروان بن الحكم أنه أتى سارق سَرَقَ فِي عَامِ الْمَجَاعَةِ فَلَمْ يَقْطَعْهُ وَقَالَ أراه مضطراً فلم ينكر ذلك منه أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَعُلَمَاءِ الْعَصْرِ

Diriwayatkan dari Marwan bin Hakam bahwa ia didatangkan seorang pencuri yang mencuri pada tahun kelaparan, maka ia tidak memotong tangannya dan berkata, “Aku melihatnya dalam keadaan terpaksa.” Tidak ada seorang pun dari para sahabat dan ulama pada masa itu yang mengingkari hal tersebut darinya.

حُكْمُ نَبَّاشِ القبور

Hukum bagi orang yang membongkar kuburan

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيُقْطَعُ النَّبَّاشُ إِذَا أَخْرَجَ الْكَفَنَ مِنْ جَمِيعِ الْقَبْرِ لِأَنَّ هَذَا حِرْزُ مِثْلِهِ

Imam Syafi‘i berkata, “Seorang pencuri kain kafan (nabbāš) dipotong tangannya jika ia mengeluarkan kain kafan dari seluruh kubur, karena itu adalah tempat penyimpanan yang layak baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ النَّبَّاشُ هُوَ الَّذِي يَنْبُشُ الْقُبُورَ وَيَسْرِقُ أَكْفَانَ مَوْتَاهَا اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي قَطْعِهِ فَذَهَبَ الشافعي إِلَى وُجُوبِ قَطْعِهِ

Al-Mawardi berkata, “An-nabbāsy adalah orang yang membongkar kuburan dan mencuri kain kafan mayatnya.” Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum potong tangan baginya. Asy-Syafi‘i berpendapat wajib dipotong tangannya.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ابْنُ الزُّبَيْرِ وَعَائِشَةُ

Dan pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat radhiyallāhu ‘anhum, yaitu Ibnu az-Zubair dan ‘Aisyah.

وَمِنَ التَّابِعِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ

Dan dari kalangan tabi’in adalah Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri.

وَمِنَ الْفُقَهَاءِ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ وَرَبِيعَةُ بْنُ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَأَبُو يُوسُفَ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ

Di antara para fuqaha adalah Ibrahim an-Nakha‘i, Hammad bin Abi Sulaiman, Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman, Malik bin Anas, Abu Yusuf, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahawaih.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدُ لَا يُقْطَعُ

Abu Hanifah dan Muhammad berkata: tidak dikenakan hukuman potong tangan.

وَبِهِ قَالَ مِنَ الصَّحَابَةِ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ؛ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ أَنَّ نَبَّاشًا رُفِعَ إِلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ فَعَزَّرَهُ وَلَمْ يَقْطَعْهُ وَفِي الْمَدِينَةِ بَقِيَّةُ الصَّحَابَةِ وَعُلَمَاءُ التَّابِعِينَ فَلَمْ يُنْكِرْهُ أَحَدٌ مِنْهُمْ وَلِأَنَّ أَطْرَافَ الْمَيِّتِ أَغْلَظُ حُرْمَةً مِنْ كَفَنِهِ فَلَمَّا سَقَطَ ضَمَانُ أَطْرَافِهِ فَأَوْلَى أَنْ يَسْقُطَ الْقَطْعُ فِي أَكْفَانِهِ وَلِأَنَّهُ لَوْ سَرَقَ مِنَ الْقَبْرِ غَيْرَ الْكَفَنِ لَمْ يُقْطَعْ فَكَذَلِكَ إِذَا سَرَقَ الْكَفَنَ؛ لِأَنَّ مَا كَانَ حِرْزًا لشيء كان حرزاً لأمثاله وليس القبر حرز لِمِثْلِ الْكَفَنِ فَكَذَلِكَ لَا يَكُونُ حِرْزًا لِلْكَفَنِ وَلِأَنَّ الْكَفَنَ مُعَرَّضٌ لِلْبِلَى وَالتَّلَفِ فَخَرَجَ عَنْ حُكْمِ الْمَحْفُوظِ الْمُسْتَبْقَى فَسَقَطَ عَنْهُ الْقَطْعُ الْمُخْتَصُّ بما يحفظ وَيُسْتَبْقَى وَلِأَنَّ الْكَفَنَ لَا مَالِكَ لَهُ وَمَا لَا مَالِكَ لَهُ لَا قَطْعَ فِيهِ لِعَدَمِ الْمُطَالِبِ بِهِ كَمَالِ بَيْتِ الْمَالِ وَلِأَنَّهُ لَوْ كُفِّنَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْعَادَةِ لَمْ يُقْطَعْ فِي الزِّيَادَةِ كَذَلِكَ فِيمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ وَلِأَنَّ قَبْرَ الْمَيِّتِ يَشْتَمِلُ عَلَى كَفَنِهِ وَطِيبِهِ ثُمَّ لَمْ يُقْطَعْ فِي طِيبِهِ فَكَذَلِكَ فِي كَفَنِهِ

Pendapat ini juga dipegang oleh para sahabat seperti Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas, dengan berdalil pada riwayat az-Zuhri bahwa seorang penggali kubur dihadapkan kepada Marwan bin al-Hakam, lalu ia menjatuhkan hukuman ta‘zīr kepadanya dan tidak memotong tangannya. Pada waktu itu, masih ada sisa sahabat dan para ulama tabi‘in di Madinah, namun tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Selain itu, anggota tubuh mayit lebih besar kehormatannya daripada kain kafannya, maka ketika jaminan atas anggota tubuhnya gugur, lebih utama lagi jika hukuman potong tangan juga gugur dalam kasus pencurian kain kafan. Juga, jika seseorang mencuri dari kubur selain kain kafan, ia tidak dipotong tangannya, maka demikian pula jika ia mencuri kain kafan. Sebab, sesuatu yang menjadi tempat penyimpanan (ḥirz) bagi suatu barang juga menjadi ḥirz bagi barang-barang sejenisnya, sedangkan kubur bukanlah ḥirz bagi kain kafan, maka demikian pula tidak dianggap sebagai ḥirz bagi kain kafan. Selain itu, kain kafan rentan rusak dan hancur, sehingga keluar dari hukum barang yang dijaga dan dipertahankan, maka tidak berlaku atasnya hukuman potong tangan yang khusus untuk barang yang dijaga dan dipertahankan. Juga, kain kafan tidak memiliki pemilik, dan sesuatu yang tidak memiliki pemilik tidak dikenakan hukuman potong tangan karena tidak ada pihak yang menuntutnya, sebagaimana harta baitul māl. Selain itu, jika mayit dikafani dengan lebih dari kebiasaan, maka tidak dipotong tangan atas kelebihan tersebut, demikian pula untuk kain kafan yang sesuai kebiasaan. Dan karena kubur mayit berisi kain kafan dan minyak wangi, namun tidak dipotong tangan atas pencurian minyak wanginya, maka demikian pula atas pencurian kain kafannya.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا المائدة 38 فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ عَلَى عُمُومِهِ فِي النَّبَّاشِ وَغَيْرِهِ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya.” (Al-Mā’idah: 38). Maka wajib hukumnya ayat ini berlaku secara umum, baik pada pelaku pencurian kuburan (nabbāsh) maupun selainnya.

فَإِنْ قِيلَ النَّبَّاشُ لَيْسَ بِسَارِقٍ لِاخْتِصَاصِهِ بِاسْمِ النَّبَّاشِ دُونَ السَّارِقِ

Jika dikatakan bahwa pembongkar kubur (nabbāš) bukanlah pencuri (sāriq) karena ia memiliki sebutan khusus yaitu nabbāš, bukan sāriq.

قِيلَ عنه جوابان

Dikatakan tentangnya ada dua jawaban.

أحدهما أن السارق هو المستسر بِأَخْذِ الشَّيْءِ مِنْ حِرْزِهِ كَمَا قَالَ تَعَالَى إِلا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ الحجر 18 وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي النَّبَّاشِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ سَارِقًا

Pertama, bahwa pencuri adalah orang yang mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “kecuali siapa yang mencuri pendengaran” (QS. al-Hijr: 18), dan hal ini terdapat pada pelaku pembongkar kubur, maka wajiblah ia dianggap sebagai pencuri.

وَالثَّانِي مَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ سَارِقُ مَوْتَانَا كَسَارِقِ أَحْيَائِنَا وَعَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّهُ قَالَ يُقْطَعُ سارق أحيائنا وسارق موتانا فسمياه سَارِقًا وَقَوْلُهُمَا حُجَّةٌ فِي اللُّغَةِ وَقَالَ تَعَالَى ألم نجعل الأرض كفاتاً أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا المرسلات 25 أَيْ نَجْمَعُهُمْ أَحْيَاءً عَلَى ظَهْرِهَا وَنَضُمُّهُمْ أَمْوَاتًا فِي بَطْنِهَا فَجَعَلَ بَطْنَهَا حِرْزًا لِلْمَيِّتِ كَمَا جَعَلَ ظَهْرَهَا حِرْزًا لِلْحَيِّ فَاسْتَوَيَا فِي الْحُكْمِ

Kedua, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā bahwa ia berkata: “Pencuri barang milik orang mati sama seperti pencuri barang milik orang hidup.” Dan dari ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz bahwa ia berkata: “Dipotong tangan pencuri barang milik orang hidup dan pencuri barang milik orang mati.” Maka keduanya menyebutnya sebagai “pencuri”, dan ucapan keduanya adalah hujjah dalam bahasa. Allah Ta‘ālā berfirman: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai tempat berkumpul, bagi yang hidup maupun yang mati?” (al-Mursalāt: 25), yakni Kami mengumpulkan mereka yang hidup di atas permukaannya dan Kami menempatkan mereka yang mati di dalam perutnya. Maka Allah menjadikan perut bumi sebagai tempat perlindungan bagi orang mati sebagaimana Dia menjadikan permukaannya sebagai tempat perlindungan bagi orang hidup, sehingga keduanya sama dalam hukum.

وَرَوَى الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ أَمَرَ بِقَطْعِ الْمُخْتَفِي قَالَ الْأَصْمَعِيُّ

Al-Barā’ bin ‘Āzib meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau memerintahkan untuk memotong tangan pencuri yang bersembunyi. Al-Aṣma‘ī berkata:

وَأَهْلُ الْحِجَازِ يُسَمُّونَ النَّبَّاشَ الْمُخْتَفِي وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Penduduk Hijaz menyebut “an-nabbāsy” sebagai “al-mukhtafī”, dan istilah ini memiliki dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لِاخْتِفَائِهِ بِأَخْذِ الْكَفَنِ

Salah satunya adalah karena ia tersembunyi dengan mengambil kain kafan.

وَالثَّانِي لِإِظْهَارِهِ الْمَيِّتَ فِي أَخْذِ كَفَنِهِ وَقَدْ يُسَمَّى الْمُظْهِرُ الْمُخْتَفِي وَهُوَ مِنْ أَسْمَاءِ الْأَضْدَادِ وَرُوِيَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ قَطَعَ نَبَّاشًا بِعَرَفَاتٍ وَهُوَ مَجْمَعُ الحجيج ولا يخفي ما يجري فِيهِ عَلَى عُلَمَاءِ الْعَصْرِ فَمَا أَنْكَرَهُ مِنْهُمْ مُنْكِرٌ

Yang kedua adalah untuk menampakkan mayit dalam mengambil kain kafannya, dan kadang-kadang orang yang menampakkan itu disebut juga orang yang menyembunyikan, dan ini termasuk nama-nama yang memiliki makna berlawanan. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Zubair memotong tangan seorang pencuri kuburan di Arafah, yang merupakan tempat berkumpulnya para jamaah haji, dan apa yang terjadi di sana tidaklah tersembunyi bagi para ulama pada masa itu, sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهَا عَوْرَةٌ يَجِبُ سَتْرُهَا فَجَازَ أَنْ يَجِبَ الْقَطْعُ فِي سَرِقَةِ مَا سِتْرُهَا كَالْحَيِّ

Dan berdasarkan qiyās, ia adalah aurat yang wajib ditutupi, maka boleh jadi diwajibkan hukuman potong tangan atas pencurian sesuatu yang digunakan untuk menutupi aurat tersebut, seperti pakaian.

وَلِأَنَّهُ حُكْمٌ يَتَعَلَّقُ بِسَرِقَةِ مَالِ الْحَيِّ فَجَازَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِسَرِقَةِ كَفَنِ الْمَيِّتِ كَالضَّمَانِ

Karena hukum ini berkaitan dengan pencurian harta orang yang masih hidup, maka boleh juga diterapkan pada pencurian kain kafan mayit, sebagaimana dalam masalah dhamān (tanggung jawab ganti rugi).

وَلِأَنَّ قَطْعَ السَّرِقَةِ مَوْضُوعٌ لِحِفْظِ مَا وَجَبَ اسْتِبْقَاؤُهُ عَلَى أَرْبَابِهِ حَتَّى يَنْزَجِرَ النَّاسُ عَنْ أَخْذِهِ فَكَانَ كَفَنُ الْمَيِّتِ بِالْقَطْعِ أَحَقَّ لِأَمْرَيْنِ

Karena hukuman potong tangan bagi pencuri ditetapkan untuk menjaga apa yang wajib dipertahankan bagi pemiliknya, agar manusia jera dari mengambilnya, maka kain kafan milik mayit lebih berhak dikenai hukuman potong tangan karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى حِفْظِهِ على نفسه

Salah satunya adalah bahwa ia tidak mampu menjaga hal itu pada dirinya sendiri.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى مِثْلِهِ عِنْدَ أَخْذِهِ

Yang kedua, bahwa ia tidak mampu melakukan hal yang serupa ketika mengambilnya.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ مَرْوَانَ أَنَّهُ عزر النباش فلم يقطعه فعنه ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ

Adapun jawaban mengenai hadis Marwan bahwa ia menghukum ta‘zīr terhadap pencuri kuburan namun tidak memotong tangannya, maka terdapat tiga jawaban atas hal itu.

أَحَدُهَا أَنَّهُ مَذْهَبٌ لَهُ وَقَدْ عارضه فعل من قوله أحج وَفِعْلُهُ أَوْكَدُ وَهُوَ ابْنُ الزُّبَيْرِ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan mazhab baginya, namun pendapat tersebut ditentang oleh perbuatannya sendiri, dan perbuatannya lebih kuat. Yang dimaksud di sini adalah Ibnu az-Zubair dan Umar bin Abdul Aziz.

وَالثَّانِي أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ سُقُوطُ الْقَطْعِ لِنُقْصَانِ قِيمَتِهِ عَنْ مِقْدَارِ الْقَطْعِ

Dan yang kedua, boleh jadi gugurnya hukuman potong tangan disebabkan nilai barang tersebut kurang dari batas minimal yang mewajibkan pemotongan.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ النَّبَّاشُ لَمْ يُخْرِجِ الْكَفَنَ مِنَ الْقَبْرِ وَالْقَطْعُ لَا يَجِبُ إِلَّا بَعْدَ إِخْرَاجِهِ مِنَ الْقَبْرِ؛ لِأَنَّ جَمِيعَ الْقَبْرِ حِرْزٌ لَهُ

Ketiga, boleh jadi si pembongkar kubur (nabbāsy) belum mengeluarkan kain kafan dari kubur, dan hukuman potong tangan tidak wajib kecuali setelah kain kafan itu dikeluarkan dari kubur; karena seluruh kubur merupakan tempat penyimpanan (perlindungan) bagi kain kafan tersebut.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِسُقُوطِ الضَّمَانِ فِي أَطْرَافِهِ فَكَذَلِكَ فِي أَكْفَانِهِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan gugurnya tanggungan pada anggota tubuhnya, maka demikian pula pada kain kafannya, terdapat dua sisi.

أَحَدُهُمَا انْتِقَاضُهُ بِالْمُرْتَدِّ يَسْقُطُ ضَمَانُ أَطْرَافِهِ وَلَا يَسْقُطُ فِي مَالِهِ

Salah satunya adalah batalnya (jaminan) karena murtad; maka gugurlah jaminan atas anggota tubuhnya, namun tidak gugur pada hartanya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لما افترقت أطرافه وأكفانه في الضمان وضمن أَكْفَانَهُ وَلَمْ يَضْمَنْ قَطْعَ أَطْرَافِهِ كَانَ الْقَطْعُ تَبَعًا لِضَمَانِهَا فِي الْوُجُوبِ كَمَا كَانَ الْقَوَدُ فِي الْأَعْضَاءِ تَبَعًا لِضَمَانِهَا فِي السُّقُوطِ

Kedua, bahwa ketika anggota-anggota tubuhnya dan kain kafannya berbeda dalam hal tanggungan, lalu ia menanggung kain kafannya namun tidak menanggung pemotongan anggota-anggota tubuhnya, maka pemotongan itu mengikuti tanggungan kain kafan dalam hal kewajiban, sebagaimana qishāsh pada anggota tubuh mengikuti tanggungan anggota tubuh tersebut dalam hal gugurnya kewajiban.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ بِأَنَّ الْقَبْرَ لَيْسَ بِحِرْزٍ لِغَيْرِ الْكَفَنِ فَلَمْ يَكُنْ حِرْزًا لِلْكَفَنِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap pernyataan mereka bahwa kubur bukanlah tempat yang aman (hirz) bagi selain kain kafan, sehingga tidak menjadi tempat yang aman bagi kain kafan itu sendiri, maka jawabannya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَوْ كَانَ الْقَبْرُ فِي حِرْزٍ وَدُفِنَ فِيهِ مَعَ الْمَيِّتِ مَالٌ قُطِعَ فِي الْمَالِ عِنْدَهُمْ وَلَمْ يُقْطَعْ فِي الْكَفَنِ وَإِنْ كَانَ فِي هَذَا الْجَوَابِ ضَعْفٌ؛ لِأَنَّ عِنْدَهُمْ لِسُقُوطِ الْقَطْعِ فِي الْكَفَنِ ثَلَاثُ عِلَلٍ

Salah satunya adalah bahwa jika kuburan berada dalam tempat yang terlindungi dan di dalamnya dikuburkan harta bersama mayit, maka menurut mereka, hukuman potong tangan diterapkan atas pencurian harta tersebut, namun tidak diterapkan atas pencurian kain kafan, meskipun jawaban ini masih memiliki kelemahan; karena menurut mereka, ada tiga alasan yang menyebabkan tidak diterapkannya hukuman potong tangan atas pencurian kain kafan.

أحدها أن القبر ليس بحرز

Salah satunya adalah bahwa kuburan bukanlah tempat yang aman.

وَالثَّانِيَةُ أَنَّهُ مَوْضُوعٌ لِلْبِلَى

Dan yang kedua adalah bahwa hal itu ditetapkan untuk kerusakan.

وَالثَّالِثَةُ أَنَّهُ لَا مَالِكَ لَهُ فَإِنْ كَمَلَتْ سَقَطَ الْقَطْعُ بِجَمِيعِهَا وَإِنْ تَفَرَّقَتْ سَقَطَ الْقَطْعُ بِمَا وُجِدَ مِنْهَا

Dan yang ketiga adalah bahwa tidak ada pemiliknya. Jika syarat-syaratnya terpenuhi secara keseluruhan, maka hukuman potong tangan gugur seluruhnya. Namun jika syarat-syarat itu terpenuhi sebagian, maka hukuman potong tangan gugur sesuai dengan bagian yang ditemukan darinya.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي أَنَّ الْحِرْزَ مُعْتَبَرٌ بِالْعَادَةِ الَّتِي لَا يَقْتَرِنُ بِهَا تَفْرِيطٌ وَالْعَادَةُ فِي الْأَكْفَانِ إِحْرَازُهَا فِي الْقُبُورِ وَلَا يُنْسَبُ فَاعِلُهَا إِلَى تفريط فصار إحرازاً وَلَيْسَ إِذَا كَانَ حِرْزًا لَهَا صَارَ حِرْزًا لِغَيْرِهَا؛ لِأَنَّ الْإِحْرَازَ تَخْتَلِفُ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ الْمُحْرَزَاتِ

Jawaban kedua adalah bahwa tempat penyimpanan (ḥirz) itu ditetapkan berdasarkan kebiasaan yang tidak disertai kelalaian, dan kebiasaan dalam hal kain kafan adalah menyimpannya di dalam kubur, serta orang yang melakukannya tidak dianggap lalai, sehingga hal itu menjadi suatu bentuk penyimpanan (iḥrāz). Namun, jika sesuatu merupakan tempat penyimpanan bagi satu barang, belum tentu menjadi tempat penyimpanan bagi barang lain; karena penyimpanan itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan barang yang disimpan.

فَإِنْ قِيلَ هَذَا الْجَوَابُ فِي اعْتِبَارِ الْعَادَةِ لَا يَمْنَعُ مِنْ سُقُوطِ الْقَطْعِ كَبَذْرِ الزَّرْعِ قد جرت العادة في إحراز بِبَذْرِهِ فِيهَا وَلَا يُنْسَبُ فَاعِلُهُ إِلَى تَفْرِيطٍ ولو سَرَقَهُ سَارِقٌ لَمْ يُقْطَعْ فَكَذَلِكَ الْكَفَنُ

Jika dikatakan bahwa jawaban ini, dalam mempertimbangkan kebiasaan, tidak mencegah gugurnya hukuman potong tangan, seperti benih tanaman yang sudah menjadi kebiasaan untuk dijaga dengan menanamnya di tanah, dan pelakunya tidak dianggap lalai; bahkan jika benih itu dicuri oleh pencuri, maka pencuri tersebut tidak dipotong tangannya. Maka demikian pula halnya dengan kain kafan.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ أَصْحَابَنَا اخْتَلَفُوا فِيهِ هَلْ يَجِبُ الْقَطْعُ عَلَى سَارِقِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Maka jawabannya adalah bahwa para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai hal ini, apakah wajib dikenakan hukuman potong tangan terhadap pencurinya atau tidak, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ الْقَطْعُ فِيهِ إِذَا بَلَغَتْ قِيمَتُهُ نِصَابًا اعْتِبَارًا بِالْعَادَةِ فِي إِحْرَازِ مِثْلِهِ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ الِاعْتِرَاضُ بِهِ

Salah satunya wajib dikenai hukuman potong tangan jika nilainya mencapai nisab, berdasarkan kebiasaan dalam menjaga barang sejenisnya. Dengan demikian, keberatan terhadap hal ini menjadi gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَفَنِ أَنَّ الْكَفَنَ يُؤْخَذُ دَفْعَةً وَاحِدَةً مِنْ حِرْزِهِ وَقَدْ كَمَلَتْ قِيمَتُهُ نِصَابًا فَلِذَلِكَ قُطِعَ فِيهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ هَذَا الْبَذْرُ؛ لِأَنَّهُ يَأْخُذُهُ مِنَ الْأَرْضِ حَبَّةً بَعْدَ حَبَّةٍ وَكُلُّ حَبَّةٍ منها تُحْرَزُ فِي مَوْضِعِهَا لَا فِي مَوْضِعِ غَيْرِهَا وَإِذَا افْتَرَقَتِ السَّرِقَةُ لَمْ يُضَمَّ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ فَافْتَرَقَا

Pendapat kedua, tidak wajib dikenakan hukuman potong tangan padanya. Perbedaannya dengan kain kafan adalah bahwa kain kafan diambil sekaligus dari tempat penyimpanannya dan nilainya telah mencapai nisab, sehingga karena itu dikenakan hukuman potong tangan. Tidak demikian halnya dengan benih ini; karena ia diambil dari tanah satu butir demi satu butir, dan setiap butir dijaga di tempatnya masing-masing, bukan di tempat yang lain. Jika pencurian itu terpisah-pisah, maka sebagian tidak dapat digabungkan dengan sebagian yang lain, sehingga keduanya pun berbeda.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ الْكَفَنَ مُعَرَّضٌ لِلْبِلَى وَالتَّلَفِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa kain kafan itu rentan terhadap kerusakan dan kehancuran adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أن الاعتبار بحاله عِنْدَ أَخْذِهِ وَلَا اعْتِبَارَ بِمَا تَقَدَّمَ أَوْ تَأَخَّرَ كَالْبَهِيمَةِ الْمَرِيضَةِ إِذَا شَارَفَتِ الْمَوْتَ

Salah satunya adalah bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah keadaannya saat diambil, dan tidak dianggap keadaan sebelumnya atau sesudahnya, seperti hewan ternak yang sakit ketika hampir mati.

وَالثَّانِي أن تعريضه للبلى لا يمنع وُجُوبِ الْقَطْعِ فِيهِ كَدَفْنِ الثِّيَابِ فِي الْأَرْضِ وَعَلَى أَنَّ ثِيَابَ الْحَيِّ مُعَرَّضَةٌ لِلْبِلَى بِاللِّبَاسِ وَلَا يُوجِبُ سُقُوطَ الْقَطْعِ فِيهَا كَذَلِكَ الْأَكْفَانُ

Kedua, menempatkannya pada kemungkinan rusak tidaklah menggugurkan kewajiban potong padanya, seperti mengubur pakaian di dalam tanah. Dan pakaian orang yang masih hidup pun juga rentan rusak karena dipakai, namun hal itu tidak menyebabkan gugurnya kewajiban potong padanya; demikian pula halnya dengan kain kafan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّهُ لَا مَالِكَ لِلْكَفَنِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban terhadap pernyataan mereka bahwa tidak ada pemilik kain kafan, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهَا أَنَّهُ مِلْكٌ لِلْمَيِّتِ خَاصَّةً لِاخْتِصَاصِهِ بِهِ وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَكُونَ مَالِكًا لَهُ فِي حَيَاتِهِ وَبَاقِيًا عَلَى مِلْكِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ كَالدَّيْنِ يَكُونُ ثَابِتًا فِي ذِمَّتِهِ فِي حَيَاتِهِ وَفِي حُكْمِ الثَّابِتِ فِي ذِمَّتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ فَعَلَى هَذَا لَوْ أَنَّ الْمَيِّتَ أَكَلَهُ السَّبُعُ وَبَقِيَ كَفَنُهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Salah satu pendapat adalah bahwa itu merupakan milik khusus bagi mayit karena kekhususannya dengannya, dan tidak mustahil seseorang menjadi pemiliknya semasa hidupnya dan tetap menjadi miliknya setelah ia meninggal, seperti utang yang tetap menjadi tanggungannya selama hidupnya dan secara hukum tetap menjadi tanggungannya setelah ia meninggal. Berdasarkan pendapat ini, jika mayit dimakan binatang buas dan kain kafannya masih tersisa, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَكُونُ لِوَرَثَتِهِ عَلَى فَرَائِضِ اللَّهِ

Salah satunya adalah untuk para ahli warisnya berdasarkan faraidh Allah.

وَالثَّانِي يَكُونُ لِبَيْتِ مَالِ المسلمين وعلى هذا في الْخَصْمِ الْمُسْتَحِقِّ لِلْمُطَالَبَةِ بِقَطْعِ سَارِقِهِ وَجْهَانِ

Dan yang kedua adalah menjadi milik Baitul Mal kaum Muslimin. Berdasarkan hal ini, dalam kasus pihak yang berhak menuntut pemotongan tangan pencurinya, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا الْوَرَثَةُ إِنْ جَعَلْنَاهُ مَوْرُوثًا

Salah satunya adalah para ahli waris, jika kita menjadikannya sebagai harta warisan.

وَالثَّانِي الْإِمَامُ إِنْ جَعَلْنَاهُ لِبَيْتِ الْمَالِ فَهَذَا حُكْمُ الْوَجْهِ الْأَوَّلِ

Dan yang kedua, jika kita menjadikan imam untuk Baitul Mal, maka ini adalah hukum seperti pada pendapat yang pertama.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْكَفَنَ مِلْكٌ لِلْوَرَثَةِ وَقَدِ اسْتَحَقَّ الْمَيِّتُ مَنَافِعَهُ كَالتَّرِكَةِ إِذَا كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ مَلَكَهَا الْوَرَثَةُ وَاسْتَحَقَّ الْمَيِّتُ عَلَيْهِمْ قَضَاءَ دَيْنِهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ أَكَلَهُ السَّبُعُ عَادَ الْكَفَنُ إِلَى الْوَرَثَةِ وَجْهًا وَاحِدًا وَهُمُ الْخُصُومُ فِي قَطْعِ السَّارِقِ

Pendapat kedua adalah bahwa kain kafan merupakan milik para ahli waris, dan mayit berhak atas manfaatnya, seperti halnya harta warisan; jika harta tersebut masih ada utang, maka harta itu menjadi milik ahli waris dan mayit berhak atas mereka untuk pelunasan utangnya. Berdasarkan hal ini, jika kain kafan itu dimakan oleh binatang buas, maka kain kafan itu kembali menjadi milik ahli waris secara mutlak, dan merekalah yang menjadi pihak yang bersengketa dalam kasus pemotongan tangan pencuri.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهُ لَا مالك للكفن ولأن الميت لا يملك وَالْوَارِثَ لَا حَقَّ لَهُ فِيهِ وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يُقْطَعَ فِيمَا لَا مَالِكَ لَهُ كَمَا يُقْطَعُ فِي أَسْتَارِ الْكَعْبَةِ وَآلَاتِ الْمَسَاجِدِ وَيُخَالِفُ مَالَ بَيْتِ الْمَالِ؛ لِأَنَّهُ لم يتعين في حق إنسان بعينه والكفن يتعين فِي حَقِّ صَاحِبِهِ وَيَعُودُ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ إِنْ أَكَلَهُ السَّبُعُ وَيَكُونُ الْإِمَامُ هُوَ الْخَصْمُ فِي قَطْعِ السَّارِقِ

Pendapat ketiga adalah bahwa kain kafan tidak memiliki pemilik, karena mayit tidak memiliki hak kepemilikan dan ahli waris pun tidak berhak atasnya. Tidak mustahil dijatuhkan hukuman potong tangan atas pencurian barang yang tidak memiliki pemilik, sebagaimana dijatuhkan hukuman potong tangan atas pencurian kain penutup Ka’bah dan peralatan masjid. Hal ini berbeda dengan harta Baitul Mal, karena harta Baitul Mal belum ditentukan untuk hak seseorang secara khusus, sedangkan kain kafan telah ditentukan untuk hak pemiliknya. Jika kain kafan itu dimakan binatang buas, maka ia kembali menjadi milik Baitul Mal, dan imam (penguasa) menjadi pihak yang berperkara dalam kasus pemotongan tangan pencuri.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهُ لَا يُقْطَعُ فِي زِيَادَةِ الْكَفَنِ فَهُوَ أَنَّ الْغَرَضَ ثَوْبٌ وَالزِّيَادَةُ عَلَيْهِ إِلَى خَمْسَةِ أثواب ندب وما زاد عليه خارج حُكْمِهِ فَيُقْطَعُ فِي الْوَاجِبِ وَالنَّدْبِ وَلَا يُقْطَعُ في الزيادة عليها بخروجها عَنْ حُكْمِ الْكَفَنِ فَرْضًا وَنَدْبًا وَلَيْسَ الْقَبْرُ حِرْزًا لِغَيْرِ الْكَفَنِ وَإِنْ كَانَ حِرْزًا لِلْكَفَنِ؛ لِمَا قَدَّمْنَاهُ فَافْتَرَقَا

Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan dalam kasus penambahan kain kafan adalah bahwa maksud utama dari kafan adalah satu kain, dan penambahan hingga lima kain hukumnya sunnah. Apa yang melebihi jumlah itu keluar dari ketentuan tersebut, sehingga dikenakan hukuman potong tangan pada bagian yang wajib dan sunnah, dan tidak dikenakan pada kelebihan dari itu karena telah keluar dari hukum kafan baik yang wajib maupun yang sunnah. Kuburan bukanlah tempat penyimpanan yang aman bagi selain kain kafan, meskipun ia merupakan tempat penyimpanan yang aman bagi kain kafan, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, sehingga keduanya berbeda.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِالطِّيبِ فَفِي قَطْعِ سَارِقِهِ مِنْ أَكْفَانِ الْمَيِّتِ وَجْهَانِ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan (kasus) minyak wangi, maka dalam hal memotong tangan pencurinya dari kain kafan mayit terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقْطَعُ وَيَسْقُطُ؛ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ

Salah satunya terputus dan gugur; tidak dapat dijadikan sebagai dalil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّ الطِّيبَ مُسْتَهْلَكٌ بَعْدَ اسْتِعْمَالِهِ وَالْأَكْفَانُ بَاقِيَةٌ فَافْتَرَقَا فِي الْقَطْعِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي الْمَعْنَى

Pendapat kedua menyatakan tidak dipotong, karena minyak wangi telah habis setelah digunakan, sedangkan kain kafan masih tetap ada. Maka keduanya berbeda dalam hal pemotongan karena perbedaan makna di antara keduanya.

فَأَمَّا سَرِقَةُ التَّابُوتِ فَلَا قَطْعَ فيه؛ لأن التابوت منهي عن الدفع فِيهِ فَلَمْ يَصِرِ الْقَبْرُ حِرْزًا لَهُ فَسَقَطَ فِيهِ الْقَطْعُ

Adapun pencurian tabut, maka tidak ada hukuman potong tangan padanya; karena tabut dilarang untuk diletakkan di dalamnya, sehingga kubur tidak menjadi tempat penyimpanan yang aman baginya, maka hukuman potong tangan pun gugur dalam hal ini.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ قَطْعُ النَّبَّاشِ فَقَطْعُهُ فِي الْكَفَنِ مُعْتَبَرٌ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ

Maka apabila telah tetap hukuman potong tangan bagi pencuri kuburan (nabbāsh), maka pemotongan tangannya karena mencuri kain kafan dianggap sah dengan tiga syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ الْقَبْرُ فِي مَقَابِرِ الْبَلَدِ الْأَنِيسَةِ سواء كانت في وسط البلد أو ظاهره فَإِنْ كَانَ الْقَبْرُ مُنْقَطِعًا عَنِ الْأَمْصَارِ مُفْرَدًا فِي الْفَلَوَاتِ فَلَا قَطْعَ فِيهِ

Salah satunya adalah apabila kuburan berada di pemakaman kota yang ramai, baik terletak di tengah kota maupun di pinggirannya. Namun, jika kuburan itu terpisah dari pemukiman, sendirian di padang pasir, maka tidak ada hukum potong tangan (ḥadd sariqah) atasnya.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْقَبْرُ عَمِيقًا عَلَى مَعْهُودِ الْقُبُورِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَمِيقًا وَكَانَ دَفْنُهُ قَرِيبًا مِنْ ظَاهِرِ الْأَرْضِ فَلَا قَطْعَ

Yang kedua, hendaknya kubur itu dibuat dalam sebagaimana kebiasaan kuburan. Jika kuburnya tidak dalam dan penguburannya dekat dengan permukaan tanah, maka tidak ada hukum potong.

وَالثَّالِثُ أَنْ يُخْرِجَ الكفن من جميع القبر بعد تجريده عن الْمَيِّتِ فَإِنْ أَخْرَجَهُ مَعَ الْمَيِّتِ وَلَمْ يُجَرِّدْهُ عَنْهُ فَفِي قَطْعِهِ وَجْهَانِ

Ketiga, yaitu mengeluarkan kain kafan dari seluruh kubur setelah melepaskannya dari mayit. Jika kain kafan dikeluarkan bersama mayit dan belum dilepaskan darinya, maka dalam hal batalnya (penguburan) terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قِيَاسُ قَوْلِ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا قَطْعَ عَلَيْهِ لِاسْتِبْقَائِهِ عَلَى الْمَيِّتِ

Salah satunya adalah qiyās menurut pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu tidak dikenakan hudud atasnya karena ia membiarkan (barang tersebut) pada mayit.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قِيَاسُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يُقْطَعُ لِإِخْرَاجِ الكفن من حرزه

Pendapat kedua adalah qiyās Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu dipotong (tangan) karena mengeluarkan kain kafan dari tempat penyimpanannya.

فصل

Bab

حكم النشالين

Hukum bagi para pencopet

فَأَمَّا الطَّرَّارُ فَإِذَا أَدْخَلَ يَدَهُ إِلَى الْكُمِّ فَأَخَذَ مَا فِيهِ أَوْ أَدْخَلَهَا إِلَى الْجَيْبِ وَأَخَذَ مَا فِيهِ قُطِعَ بِوِفَاقِ أَبِي حَنِيفَةَ وَإِنْ بَطَّ الْكُمَّ أَوِ الْجَيْبَ أَوْ فَتَقَهُمَا حَتَّى خَرَجَ مَا فِيهِمَا قُطِعَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ

Adapun pencopet, jika ia memasukkan tangannya ke dalam lengan baju lalu mengambil apa yang ada di dalamnya, atau memasukkannya ke dalam saku dan mengambil apa yang ada di dalamnya, maka ia dipotong (tangannya) menurut pendapat Abu Hanifah. Namun, jika ia merobek lengan baju atau saku, atau membukanya hingga barang di dalamnya keluar, maka menurut asy-Syafi‘i, ia dipotong (tangannya).

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ بِنَاءً عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ أَصْلِهِ فِي السَّارِقِ إِذَا سَرَقَ مِنَ الْحِرْزِ وَلَمْ يَدْخُلْهُ لَمْ يُقْطَعْ

Abu Hanifah berkata: Tidak dikenakan hukuman potong tangan, berdasarkan pendapat dasarnya yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu bahwa seorang pencuri jika mencuri dari tempat penyimpanan (ḥirz) namun tidak memasukinya, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan.

وَهَذَا أَصْلٌ قَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ وَإِنْ كَانَ وَاهِيًا؛ لِأَنَّهُ يَقْطَعُهُ إِذَا أَدْخَلَ يَدَهُ إِلَى كُمِّهِ وَلَا يَقْطَعُهُ إِذَا أَدْخَلَ يَدَهُ إِلَى الْحِرْزِ

Dan ini adalah suatu kaidah yang telah dijelaskan sebelumnya, meskipun lemah; karena seseorang dianggap memutusnya jika ia memasukkan tangannya ke dalam lengan bajunya, namun tidak dianggap memutusnya jika ia memasukkan tangannya ke dalam tempat penyimpanan (ḥirz).

فَإِنْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ دُخُولَهُ إِلَى الْكُمِّ مُمْتَنِعٌ وَدُخُولَهُ إِلَى الْحِرْزِ مُمْكِنٌ كان هذا الفرق موجباً لافتراق الحكم فيهما وَالْحُكْمُ فِيهِمَا لَا يَفْتَرِقُ فَبَطَلَ التَّعْلِيلُ بِالدُّخُولِ وثبت التعليل بما قلناه مِنْ خُرُوجِ السَّرِقَةِ مِنْ حِرْزِهَا بِفِعْلِهِ لِاسْتِمْرَارِهِ وَاطِّرَادِهِ وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي الطَّرَّارِ كَوُجُودِهِ فِي النَّقَّابِ

Jika seseorang membedakan antara keduanya dengan alasan bahwa masuknya ke dalam lengan baju adalah mustahil, sedangkan masuknya ke dalam tempat penyimpanan (ḥirz) adalah mungkin, maka perbedaan ini menyebabkan perbedaan hukum pada keduanya. Padahal, hukum pada keduanya tidak berbeda, sehingga alasan dengan masuk menjadi batal, dan tetaplah alasan sebagaimana yang kami sebutkan, yaitu pencurian keluar dari tempat penyimpanannya (ḥirz) karena perbuatannya, yang terus-menerus dan berlaku umum. Hal ini terdapat pada pencopet (ṭarrār) sebagaimana terdapat pada pembobol (naqqāb).

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا سَرَقَ مِنْ حِلْيَةِ فَرَسٍ عَلَيْهِ رَاكِبُهُ قُطِعَ سَوَاءٌ سَرَقَ مِنْ لِجَامٍ على رأسها أو من ثغر عَلَى كَفَلِهَا وَعَلَى قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ يُقْطَعُ إِذَا سَرَقَ مِنْ لِجَامِ رَأْسِهَا وَلَا يُقْطَعُ إذا سرق من ثغر كَفَلِهَا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّهُ يُضْمَنُ مَا أَفْسَدَتْ بِمُقَدَّمِهَا وَلَا يُضْمَنُ مَا أَفْسَدَتْ بِمُؤَخَّرِهَا وَعِنْدَنَا يُضْمَنُ مَا أَفْسَدَتْ بِهِمَا وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Jika seseorang mencuri dari perhiasan kuda yang sedang dinaiki oleh penunggangnya, maka tangannya dipotong, baik ia mencuri dari tali kekang di kepala kuda tersebut maupun dari hiasan di bagian belakangnya. Menurut pendapat Abu Hanifah, tangan dipotong jika mencuri dari tali kekang di kepala kuda, dan tidak dipotong jika mencuri dari hiasan di bagian belakangnya, berdasarkan prinsip beliau bahwa seseorang wajib mengganti kerusakan yang disebabkan oleh bagian depan kuda, dan tidak wajib mengganti kerusakan yang disebabkan oleh bagian belakangnya. Sedangkan menurut kami, wajib mengganti kerusakan yang disebabkan oleh keduanya, dan penjelasan tentang hal ini telah disebutkan sebelumnya. Allah Maha Mengetahui.

باب قطع اليد والرجل في السرقة

Bab Pemotongan Tangan dan Kaki dalam Kasus Pencurian

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ” أَخْبَرَنَا بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرحمن عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي السَّارِقِ ” إِنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوا يَدَهُ ثم إن سرق فاقطعوا رجله واحتج بأن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قطع يد السارق اليسرى وقد كان أقطع اليد والرجل قال الشافعي رحمه الله فَإِذَا سَرَقَ قُطِعَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى مِنْ مِفْصَلِ الكف وحسمت بِالنَّارِ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Sebagian sahabat kami telah memberitakan kepada kami dari Muhammad bin Abdurrahman, dari Al-Harits bin Abdurrahman, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang pencuri: ‘Jika ia mencuri, maka potonglah tangannya. Kemudian jika ia mencuri lagi, maka potonglah kakinya.’ Dan dijadikan hujjah bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu pernah memotong tangan kiri seorang pencuri, padahal ia sudah terpotong tangan dan kakinya. Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Jika seseorang mencuri, maka dipotong tangan kanannya dari pergelangan tangan dan dibakar dengan api untuk menghentikan pendarahan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا قَطْعُ يَدِ السَّارِقِ فَهُوَ نَصُّ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَمَا جَرَى عَلَيْهِ العمل المستحق من قَطْعُ يَدِهِ الْيُمْنَى لِرِوَايَةِ النَّخَعِيِّ أَنَّ ابْنَ مسعود كان يقرأ ” والسارقون والسارقات فاقطعوا أيمانهم وَهَذِهِ الْقِرَاءَةُ وَإِنْ شَذَّتْ فَهِيَ جَارِيَةٌ مَجْرَى خبر الواحد في وجوب العمل بِهَا

Al-Mawardi berkata: Adapun pemotongan tangan pencuri, maka itu adalah nash dari al-Qur’an dan sunnah, serta merupakan praktik yang telah berlaku, yaitu memotong tangan kanannya. Hal ini berdasarkan riwayat dari an-Nakha’i bahwa Ibnu Mas‘ud membaca, “Dan para pencuri laki-laki dan perempuan, maka potonglah tangan kanan mereka.” Bacaan ini, meskipun syadz (tidak masyhur), kedudukannya seperti khabar ahad dalam kewajiban untuk diamalkan.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” إِذَا سَرَقَ السَّارِقُ فَاقْطَعُوا يَمِينَهُ

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Apabila seorang pencuri mencuri, maka potonglah tangan kanannya.”

وَرُوِيَ أَنَّ الْخُلَفَاءَ الْأَرْبَعَةَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَطَعُوا يَمِينَ السَّارِقِ وَلِأَنَّهُ يَتَنَاوَلُ السَّرِقَةَ فِي الْأَغْلَبِ بِيَمِينِهِ فَصَارَتْ بِالْقَطْعِ أَخَصَّ وَيَسْتَوِي فِيهِ الْأَيْسَرُ مِنَ النَّاسِ وَغَيْرُ الْأَيْسَرِ فَإِذَا ثَبَتَ قطع يمينه فقد اختلف في حد قطعهما فَذَهَبَ الْخَوَارِجُ إِلَى أَنَّهَا تُقْطَعُ مِنَ الْمَنْكِبِ اسْتِيعَابًا لِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ الْيَدِ وَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ تُقْطَعُ أَصَابِعُ كَفِّهِ وَهِيَ رِوَايَةٌ شاذة

Diriwayatkan bahwa keempat khalifah radhiyallāhu ‘anhum setelah Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam memotong tangan kanan pencuri. Hal ini karena kebanyakan orang melakukan pencurian dengan tangan kanannya, sehingga pemotongan tangan kanan menjadi lebih khusus. Dalam hal ini, baik orang yang kidal maupun yang tidak kidal hukumnya sama. Jika telah ditetapkan bahwa yang dipotong adalah tangan kanannya, maka terdapat perbedaan pendapat mengenai batas pemotongan tersebut. Kaum Khawārij berpendapat bahwa tangan dipotong dari pundak secara menyeluruh, karena itulah yang dinamakan tangan. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abī Ṭālib radhiyallāhu ‘anhu bahwa yang dipotong adalah jari-jemari telapak tangannya, dan ini merupakan riwayat yang syādzdzah (ganjil/menyimpang).

وذهب جمهور الفقهاء إلى قطعها مِنْ مِفْصَلِ الْكَفِّ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَطَعَ سَارِقَ رِدَاءِ صَفْوَانَ مِنْ كَفِّهِ وَلِأَنَّ الْخُلَفَاءَ الرَّاشِدِينَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ عَلَيْهِ عَمِلُوا وَهُوَ نَقْلٌ مَوْرُوثٌ إِلَى عِنْدِنَا وَلِأَنَّ دِيَةَ اليد تكمل فِي قَطْعِهَا مِنَ الْكُوعِ وَفِي الزِّيَادَةِ حُكُومَةٌ

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tangan dipotong dari pergelangan tangan, karena Rasulullah saw. memotong tangan pencuri selendang Shafwan dari pergelangannya, dan karena para Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum juga melaksanakan hal itu, dan ini merupakan riwayat yang diwariskan sampai kepada kita. Selain itu, diyat tangan menjadi sempurna jika dipotong dari pergelangan, sedangkan untuk bagian yang lebih dari itu ada ketentuan hukum tersendiri.

فصل

Bab

فإذا تقرر الْمُسْتَحَقَّ فِي السَّرِقَةِ الْأُولَى قُطِعَ كَفُّهُ الْيُمْنَى ولا فضل بين أن تكون لَهُ يُسْرَى أَوْ لَا يَكُونَ لِذَهَابِهَا بِجِنَايَةٍ أَوْ عِلَّةٍ

Apabila telah ditetapkan hak yang harus diterima dalam kasus pencurian pertama, maka dipotonglah tangan kanannya, dan tidak ada perbedaan apakah ia masih memiliki tangan kiri atau tidak karena hilangnya tangan kiri tersebut akibat suatu tindak kejahatan atau sebab lain.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ كَانَتِ الْيُسْرَى مَقْطُوعَةً أَوْ قَدْ قُطِعَ أَكْثَرُ أَصَابِعِهَا أَوْ ذَهَبَ أَكْثَرُ مَنَافِعِهَا لَمْ تُقْطَعِ الْيُمْنَى وإن قطع منها إصبع واحد أو ذهبت أَقَلُّ مَنَافِعِهَا قُطِعَتِ الْيُمْنَى

Abu Hanifah berkata: Jika tangan kiri terputus atau sebagian besar jarinya telah terpotong, atau sebagian besar fungsinya telah hilang, maka tangan kanan tidak dipotong. Namun, jika hanya satu jari yang terpotong dari tangan kiri atau hanya sebagian kecil fungsinya yang hilang, maka tangan kanan tetap dipotong.

وَبَنَاهُ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّهُ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ قَطْعِهِمَا فِي السرقة وكذلك إذا ذهبت إحداهما لم يقطع الْأُخْرَى فِي السَّرِقَةِ

Dan ia mendasarkannya pada prinsip asal bahwa tidak boleh dijatuhkan hukuman potong terhadap keduanya secara bersamaan dalam kasus pencurian, demikian pula jika salah satunya telah hilang maka yang lainnya tidak dipotong dalam kasus pencurian.

وَنَحْنُ نَبْنِيهِ عَلَى أَصْلِنَا في جواز قطعها فِي السَّرِقَةِ وَغَيْرِ السَّرِقَةِ وَالْكَلَامُ عَلَيْهِ يَأْتِي وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُ كَفِّهِ الْيُمْنَى مِنْ خَمْسَةِ أَقْسَامٍ

Dan kami membangunnya di atas prinsip kami tentang bolehnya memotong tangan dalam kasus pencurian maupun selain pencurian, dan pembahasan tentang hal ini akan datang. Jika demikian, maka keadaan tangan kanannya tidak lepas dari lima bagian.

أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ كَامِلَةً سَالِمَةً فَتُقْطَعُ عَلَى مَا سَنَصِفُهُ مِنْ حال القطع فلو لَمْ تُقْطَعْ حَتَّى ذَهَبَتْ سَقَطَ بِذَهَابِهَا قَطْعُ السَّرِقَةِ لِذَهَابِ مَا اسْتَحَقَّ قَطْعَهُ كَمَا لَوْ وَجَبَ قَتْلُهُ بِالرِّدَّةِ فَمَاتَ سَقَطَ قَتْلُ الرِّدَّةِ ولو كان ذهابها لجناية اسْتَحَقَّ بِهَا قَوَدًا أَوْ دِيَةً كَانَ لِلسَّارِقِ أَنْ يَقْتَصَّ بِهَا مِنَ الْجَانِي أَوْ يَأْخُذَ ديتها وهو أحق بالدية ولا يؤخذ مِنْهُ بَدَلًا مِنْ قَطْعِهَا فِي السَّرِقَةِ؛ لِأَنَّ الْمُسْتَحَقَّ فِي السَّرِقَةِ الْقَطْعُ دُونَ الدِّيَةِ وَقَدْ سَقَطَ بِالْفَوَاتِ

Salah satunya adalah bahwa (anggota tubuh) harus utuh dan sempurna, sehingga dipotong sesuai dengan yang akan kami jelaskan mengenai keadaan pemotongan. Jika belum dipotong hingga (anggota itu) hilang, maka gugurlah hukuman potong tangan karena hilangnya anggota yang seharusnya dipotong, sebagaimana jika seseorang wajib dibunuh karena riddah (murtad), lalu ia mati, maka gugurlah hukuman bunuh karena riddah. Jika hilangnya anggota itu karena suatu tindak pidana sehingga pelakunya berhak mendapatkan qishash atau diyat, maka pencuri berhak menuntut qishash kepada pelaku atau mengambil diyatnya, dan ia lebih berhak atas diyat tersebut. Tidak boleh diambil darinya pengganti potong tangan dalam kasus pencurian, karena yang menjadi hak dalam kasus pencurian adalah pemotongan, bukan diyat, dan hukuman itu telah gugur karena hilangnya anggota.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ يُمْنَاهُ نَاقِصَةَ الْأَصَابِعِ قَدْ ذَهَبَ بَعْضُهَا وَبَقِيَ بَعْضُهَا فَتُقْطَعُ وَيُجْزِئُ قَطْعُهَا وَلَوْ كَانَ الْبَاقِي مِنْهَا إِصْبَعًا وَاحِدَةً؛ لِأَنَّ اسْمَ الْيَدِ يَنْطَلِقُ عَلَيْهَا مَعَ نُقْصَانِهَا كَمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهَا مَعَ زِيَادَتِهَا وَهِيَ لَوْ كَانَتْ زَائِدَةَ الْأَصَابِعِ قُطِعَتْ كَذَلِكَ إِذَا كَانَتْ نَاقِصَةَ الْأَصَابِعِ وَهَذَا بِخِلَافِ الْقِصَاصِ الذي تعتبر فِيهِ الْمُمَاثِلَةُ وَيُعْتَبَرُ فِي السَّرِقَةِ مُطْلَقُ الِاسْمِ

Bagian kedua adalah apabila tangan kanannya kurang jari-jarinya, sebagian telah hilang dan sebagian masih ada, maka dipotong dan pemotongan itu sah, meskipun yang tersisa hanya satu jari saja; karena nama “tangan” tetap berlaku padanya meskipun ada kekurangan, sebagaimana nama itu juga berlaku jika ada kelebihan. Jika tangannya memiliki jari tambahan, maka tetap dipotong demikian pula jika kurang jari. Hal ini berbeda dengan qishāsh yang mensyaratkan kesamaan, sedangkan dalam kasus pencurian yang diperhatikan adalah sekadar nama (tangan) saja.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ يُمْنَاهُ ذَاهِبَةَ الْأَصَابِعِ كُلِّهَا وَلَمْ يَبْقَ مِنْهَا إِلَّا كَفُّهَا فَفِي قطعها في السرقة وجهان

Bagian ketiga adalah apabila tangan kanannya telah hilang seluruh jarinya dan yang tersisa hanya telapak tangannya, maka dalam hal pemotongan tangan karena pencurian terdapat dua pendapat.

أحدهما قد حَكَاهُ الْحَارِثُ بْنُ سُرَيْجٍ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا تُقْطَعُ لِانْطِلَاقِ اسْمِ الْيَدِ عَلَيْهَا

Salah satunya telah dinukil oleh al-Harits bin Surayj dari asy-Syafi‘i bahwa tangan tersebut dipotong karena nama “tangan” berlaku atasnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لا تقطع ويصير كَالَّذِي لَا يُمْنَى لَهُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ؛ لأن المقصود بقطعها أن يسلب به منفعتها وهذه لا منفعة ولا جمال بِهَا

Pendapat kedua, tidak dipotong dan ia menjadi seperti orang yang tidak memiliki alat kelamin, sebagaimana akan kami sebutkan nanti; karena tujuan dari pemotongan itu adalah untuk menghilangkan manfaatnya, sedangkan yang ini tidak ada manfaat maupun keindahan padanya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ تَكُونَ يُمْنَاهُ شَلَّاءَ لا يبطش بها فيسأل أهل الخبرة بها إِذَا قُطِعَتْ فَإِنْ قَالُوا إِنَّ عُرُوقَهَا بَعْدَ الْقَطْعِ تَلْتَحِمُ وَتَنْسَدُّ قُطِعَتْ فِي السَّرِقَةِ

Bagian keempat adalah jika tangan kanannya lumpuh sehingga tidak dapat digunakan untuk memegang, maka ditanyakan kepada para ahli di bidang tersebut: jika tangan itu dipotong, apakah urat-uratnya setelah dipotong akan menyatu dan tertutup? Jika mereka mengatakan demikian, maka tangan itu tetap dipotong dalam kasus pencurian.

وَإِنْ قَالُوا لَا تَلْتَحِمُ وَلَا تَنْسَدُّ لَمْ تُقْطَعْ؛ لِأَنَّ بَقَاءَ الْعُرُوقِ عَلَى انْفِتَاحِ أَفْوَاهِهَا مُفْضٍ إِلَى تَلَفِ نَفْسِهِ وَلَيْسَ الْمَقْصُودُ تَلَفُهُ

Dan jika mereka berkata, “Lukanya tidak akan menyatu dan tidak akan tertutup,” maka tidak dipotong; karena tetap terbukanya pembuluh darah akan menyebabkan kematian dirinya, sedangkan yang dimaksud bukanlah membinasakannya.

والقسم الخامس أن لا يكون لَهُ يُمَنَى وَتَكُونُ قَدْ ذَهَبَتْ قَبْلَ سَرِقَتِهِ إِمَّا بِجِنَايَةٍ أَوْ عِلَّةٍ فَلَا يَسْقُطُ قَطْعُ السَّرِقَةِ بِذَهَابِهَا بِخِلَافِ الذَّاهِبَةِ بَعْدَ سَرِقَتِهِ

Bagian kelima adalah apabila barang tersebut tidak memiliki nilai (yumnā) dan telah hilang sebelum terjadinya pencurian, baik karena suatu tindak kejahatan maupun sebab lain, maka hukuman potong tangan atas pencurian tidak gugur karena hilangnya barang tersebut, berbeda halnya jika barang itu hilang setelah pencurian terjadi.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْقَطْعَ قَدْ تَعَيَّنَ فِيهَا إِذَا تَأَخَّرَ ذَهَابُهَا فَسَقَطَ بِذَهَابِهَا وَإِذَا تَقَدَّمَ ذَهَابُهَا تعيين الْقَطْعُ فِي غَيْرِهَا فَلَمْ يَسْقُطْ بِذَهَابِهَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ الْعُدُولُ إِلَى قَطْعِ رِجْلِهِ الْيُسْرَى؛ لِأَنَّ ذَهَابَ الْيُمْنَى يَجْعَلُ السَّرِقَةَ الْأُولَى في حكم الثانية والمقطوع في الثانية رجله اليسرى دون اليد الأخرى والله اعلم

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pemotongan (anggota badan) telah ditetapkan pada kasus pertama jika hilangnya (anggota badan) terjadi belakangan, maka hukuman pemotongan gugur dengan hilangnya anggota tersebut. Namun jika hilangnya anggota badan terjadi lebih dahulu sebelum penetapan pemotongan, maka penetapan pemotongan dialihkan ke anggota badan yang lain, sehingga hukuman pemotongan tidak gugur dengan hilangnya anggota tersebut. Jika demikian keadaannya, maka wajib beralih kepada pemotongan kaki kirinya; karena hilangnya tangan kanan menjadikan pencurian yang pertama dihukumi seperti pencurian yang kedua, dan pada pencurian kedua yang dipotong adalah kaki kiri, bukan tangan yang lain. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فإذا سَرَقَ الثَّانِيَةَ قُطِعَتْ رِجْلُهُ الْيُسْرَى مِنْ مِفْصَلِ الْكَعْبِ ثُمَّ حُسِمَتْ بِالنَّارِ

Imam Syafi‘i berkata, “Apabila seseorang mencuri untuk kedua kalinya, maka dipotong kaki kirinya dari pergelangan mata kaki, kemudian luka bekas potongan itu dibakar dengan api.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ؛ تُقْطَعُ فِي السَّرِقَةِ الثَّانِيَةِ رِجْلُهُ الْيُسْرَى وهو قول الجمهور من الْفُقَهَاءِ وَقَالَ عَطَاءٌ تُقْطَعُ يَدُهُ الْيُسْرَى؛ لِأَنَّهَا إِلَى الْيَدِ الْيُمْنَى أَقْرَبُ مِنَ الرِّجْلِ فَكَانَ الْعُدُولُ مِنْهَا إِلَى مَا قَارَبَهَا أَوْلَى مِنَ الْعُدُولِ إِلَى مَا بَعُدَ عَنْهَا

Al-Mawardi berkata, “Ini benar; pada pencurian yang kedua dipotong kaki kirinya,” dan ini adalah pendapat mayoritas fuqaha. ‘Atha’ berkata, “Dipotong tangan kirinya, karena tangan kiri lebih dekat dengan tangan kanan daripada kaki, maka berpindah dari tangan kanan ke yang lebih dekat dengannya lebih utama daripada berpindah ke yang lebih jauh darinya.”

وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِرِوَايَةِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” إِذَا سَرَقَ السَّارِقُ فَاقْطَعُوا يَدَهُ فَإِنْ عَادَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ فَإِنْ عَادَ فَاقْطَعُوا يَدَهُ فَإِنْ عَادَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ

Dan ini adalah sebuah kekeliruan; karena terdapat riwayat dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jika seorang pencuri mencuri, maka potonglah tangannya. Jika ia mengulangi lagi, maka potonglah kakinya. Jika ia mengulangi lagi, maka potonglah tangannya. Jika ia mengulangi lagi, maka potonglah kakinya.”

وَرُوِيَ أَنَّ نَجْدَةَ الْحَرُورِيَّ كَتَبَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ يَسْأَلُهُ هَلْ قَطَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ يَدِ السَّارِقِ يَدَهُ أَوْ رِجْلَهُ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ قَطَعَ رِجْلَهُ بَعْدَ الْيَدِ

Diriwayatkan bahwa Najdah al-Haruri menulis surat kepada Abdullah bin Umar untuk menanyakan apakah Rasulullah saw. setelah memotong tangan pencuri juga memotong tangan atau kakinya. Maka Ibn Umar menjawab, “Beliau memotong kakinya setelah (memotong) tangannya.”

وَلِأَنَّهُ فِعْلُ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَلَيْسَ لَهُمَا فِي الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا وَلِأَنَّهُ لَمَّا قُطِعَ فِي الْحِرَابَةِ الرِّجْلُ بَعْدَ الْيَدِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي قَطْعِ السَّرِقَةِ مِثْلُهُ

Karena hal itu adalah perbuatan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan tidak ada sahabat lain yang menyelisihi keduanya, maka hal itu menjadi ijmā‘. Selain itu, karena dalam kasus hirabah dipotong kaki setelah tangan, maka wajib pula dalam pemotongan karena pencurian dilakukan hal yang serupa.

فَإِذَا ثَبَتَ قَطْعُ رِجْلِهِ الْيُسْرَى فِي السَّرِقَةِ الثَّانِيَةِ قُطِعَتْ مِنْ مِفْصَلِ الْكَعْبِ وَلَمْ تُقْطَعْ إِلَّا بَعْدَ انْدِمَالِ يَدِهِ؛ لِئَلَّا يَتَوَالَى عليه القطعان فيتلف وإن جمع بين قطعهما فِي الْحِرَابَةِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ قَطْعَهُمَا فِي الحرابة حد واحد والحد واحد يُجْمَعُ وَلَا يُفَرَّقُ وَقَطْعُهُمَا فِي السَّرِقَةِ حَدَّانِ والحدان لا يجمع بينهما ويفرقان

Jika telah dipastikan bahwa kaki kirinya dipotong karena pencurian yang kedua, maka dipotong dari pergelangan kaki, dan tidak dipotong kecuali setelah tangan yang pertama sembuh; agar tidak terjadi dua pemotongan secara berurutan sehingga membahayakan dirinya. Jika pemotongan keduanya digabungkan dalam kasus hirabah, perbedaannya adalah bahwa pemotongan keduanya dalam hirabah merupakan satu hudud, dan satu hudud boleh digabungkan dan tidak dipisahkan, sedangkan pemotongan keduanya dalam pencurian adalah dua hudud, dan dua hudud tidak boleh digabungkan, melainkan dipisahkan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فإذا سَرَقَ الثَّالِثَةَ قُطِعَتْ يَدُهُ الْيُسْرَى مِنْ مِفْصَلِ الكف ثم حسمت بالنار فإذا سَرَقَ الرَّابِعَةَ قُطِعَتْ رِجْلُهُ الْيُمْنَى مِنْ مِفْصَلِ الْكَعْبِ ثُمَّ حُسِمَتْ بِالنَّارِ

Imam Syafi‘i berkata, “Apabila seseorang mencuri untuk ketiga kalinya, maka dipotong tangan kirinya dari pergelangan tangan lalu dibakar dengan api. Jika mencuri untuk keempat kalinya, maka dipotong kaki kanannya dari pergelangan mata kaki kemudian dibakar dengan api.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ يُقْطَعُ السَّارِقُ فِي الثَّالِثَةِ وَالرَّابِعَةِ فَتُقْطَعُ فِي الثَّالِثَةِ يَدُهُ الْيُسْرَى وَتَقْطَعُ فِي الرَّابِعَةِ رِجْلُهُ الْيُمْنَى وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَإِسْحَاقُ

Al-Mawardi berkata: Ini seperti yang telah dikatakan, bahwa pencuri dipotong (tangannya) pada pencurian ketiga dan keempat; maka pada pencurian ketiga dipotong tangan kirinya, dan pada pencurian keempat dipotong kaki kanannya. Pendapat ini juga dikatakan oleh Malik dan Ishaq.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا أَقْطَعُهُ بَعْدَ الثَّانِيَةِ وَيُحْبَسُ بَعْدَ التَّعْزِيرِ حَتَّى يَتُوبَ وَبِهِ قَالَ الثوري وأحمد بن حنبل؛ استدلالاً بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا المائدة 38 والإضافة إلى الاثنين بلفظ الجمع تقتضي واحداً من الاثنين كما قال تعالى وإن تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا التحريم 4 فكان المراد قلباً من كل واحدة

Abu Hanifah berkata, “Aku tidak memotong (tangan pencuri) setelah (pencurian) yang kedua, melainkan ia dipenjara setelah dikenai ta‘zir sampai ia bertobat.” Pendapat ini juga dipegang oleh ats-Tsauri dan Ahmad bin Hanbal, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (al-Ma’idah: 38). Penyandaran (kata) kepada dua orang dengan lafaz jamak menunjukkan salah satu dari keduanya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sungguh hati kamu berdua telah condong” (at-Tahrim: 4), maka yang dimaksud adalah satu hati dari masing-masing.

وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ أُتِيَ بِسَارِقٍ مَقْطُوعِ الْيَدِ وَالرِّجْلِ فَلَمْ يَقْطَعْهُ وَقَالَ إِنِّي لَأَسْتَحِي مِنَ اللَّهِ أَنْ لا أدع له يداً يأكل بها ورجلاً يمشي عليها وأن كُلَّ عُضْوٍ لَا يُقْطَعُ فِي السَّرِقَةِ الثَّانِيَةِ لَمْ يُقْطَعْ فِي السَّرِقَةِ بِحَالٍ كَالِّلسَانِ وَالْأَنْفِ وَلِأَنَّ فِي قَطْعِ الْيُسْرَى اسْتِيفَاءَ مَنْفَعَةِ الْجِنْسِ فوجب أن لا تقطع فِي السَّرِقَةِ كَالسَّرِقَةِ الثَّانِيَةِ وَلِأَنَّ الْيَدَ الْيُسْرَى أقرب إلى الْيُمْنَى مِنَ الرِّجْلِ الْيُسْرَى وَالسَّرِقَةُ الثَّانِيَةُ أَقْرَبُ إلى الأولة مِنَ الثَّالِثَةِ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ قَطْعُهَا فِي الثَّانِيَةِ مَعَ قُرْبِهَا مِنَ الْيُمْنَى وَقُرْبِهَا مِنَ السرقة الأولى كان أولى أن لا تقطع في الثالثة؛ لِأَنَّ السَّرِقَةَ إِذَا تَكَرَّرَتْ ضَعُفَتْ وَإِذَا تَقَدَّمَتْ غَلُظَتْ

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam bahwa beliau pernah didatangkan seorang pencuri yang telah terpotong tangan dan kakinya, maka beliau tidak memotongnya lagi dan berkata, “Aku merasa malu kepada Allah jika tidak membiarkan baginya tangan untuk makan dan kaki untuk berjalan.” Dan setiap anggota tubuh yang tidak dipotong pada pencurian kedua, maka tidak dipotong dalam kasus pencurian dalam keadaan apa pun, seperti lidah dan hidung. Karena dalam pemotongan tangan kiri telah terpenuhi manfaat jenis anggota tubuh tersebut, maka wajib untuk tidak dipotong dalam kasus pencurian, sebagaimana pada pencurian kedua. Dan karena tangan kiri lebih dekat kepada tangan kanan daripada kaki kiri, dan pencurian kedua lebih dekat kepada yang pertama daripada yang ketiga, maka ketika tidak boleh dipotong pada pencurian kedua padahal ia lebih dekat kepada tangan kanan dan lebih dekat kepada pencurian pertama, maka lebih utama untuk tidak dipotong pada pencurian ketiga; karena jika pencurian itu berulang, maka hukumannya menjadi lebih ringan, dan jika terjadi pertama kali, maka hukumannya lebih berat.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا المائدة 38 فَاقْتَضَى هَذَا الظَّاهِرُ مِنْ لَفْظِ الْجَمْعِ أَنْ تُقْطَعَ الْيَدَيْنِ لِأَمْرَيْنِ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (Al-Mā’idah: 38). Maka, zahir dari lafaz jamak ini menunjukkan bahwa kedua tangan harus dipotong karena dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَدْ يُعَبَّرُ عَنِ الِاثْنَيْنِ بِلَفْظِ الْجَمْعِ

Salah satunya adalah bahwa terkadang dua hal dapat diungkapkan dengan lafaz jamak.

وَالثَّانِي أَنَّهُمَا أَقْرَبُ إِلَى الْجَمْعِ مِنَ الْوَاحِدِ وَلَيْسَ فِي قَوْلِهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا التحريم 4 دَلِيلٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْجَسَدِ إِلَّا قَلْبٌ وَاحِدٌ فَعَلِمْنَا أَنَّهُ تَرَكَ الظَّاهِرَ وَهَذَا انْفِصَالٌ ويدل عليه حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” إِذَا سَرَقَ السَّارِقُ فَاقْطَعُوا يَدَهُ فَإِنْ عَادَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ فَإِنْ عَادَ فَاقْطَعُوا يَدَهُ فَإِنْ عَادَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ وَهَذَا نَصٌّ

Kedua, bahwa keduanya (dua orang) lebih dekat kepada makna jamak daripada satu orang, dan dalam firman-Nya “maka sungguh telah condong hati kalian berdua” (at-Tahrim: 4) tidak terdapat dalil; karena dalam tubuh hanya ada satu hati, maka kita mengetahui bahwa makna lahiriah telah ditinggalkan, dan ini merupakan pemisahan. Hal ini juga didukung oleh hadis Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika pencuri mencuri, maka potonglah tangannya; jika ia mengulangi, maka potonglah kakinya; jika ia mengulangi lagi, maka potonglah tangannya; jika ia mengulangi lagi, maka potonglah kakinya.” Dan ini adalah nash (teks yang jelas).

وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِسَارِقٍ فَقَطَعَ يَدَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ وَقَدْ سَرَقَ فَقَطَعَ رِجْلَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ وَقَدْ سَرَقَ فَقَطَعَ يَدَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ وَقَدْ سَرَقَ فَقَطَعَ رِجْلَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ وَقَدْ سَرَقَ فَأَمَرَ بِهِ فَقُتِلَ فَإِنْ قِيلَ فَفِيهِ الْقَتْلُ فِي الْخَامِسَةِ وَهُوَ مَنْسُوخٌ فَلَمْ يَصِحَّ الاجتماع بِهِ قِيلَ نَسْخُ بَعْضِ الْحَدِيثِ لَا يَقْتَضِي نسخ باقيه

Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan dari Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata: Aku membawa seorang pencuri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memotong tangannya. Kemudian ia dibawa lagi dalam keadaan telah mencuri, maka beliau memotong kakinya. Lalu ia dibawa lagi dalam keadaan telah mencuri, maka beliau memotong tangannya. Kemudian ia dibawa lagi dalam keadaan telah mencuri, maka beliau memotong kakinya. Lalu ia dibawa lagi dalam keadaan telah mencuri, maka beliau memerintahkan agar ia dibunuh. Jika dikatakan: “Maka di dalamnya terdapat hukuman mati pada pencurian yang kelima, dan itu telah mansukh, sehingga tidak sah berpegang pada ijmā‘ dengannya,” maka dijawab: “Dinasakh-nya sebagian hadis tidak mengharuskan dinasakh-nya seluruh hadis.”

وروى أيوب عن نافع أَنَّ أَقْطَعَ الْيَدِ وَالرِّجْلِ نَزَلَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَسَرَقَ فَقَطَعَ يَدَهُ

Ayub meriwayatkan dari Nafi‘ bahwa seseorang yang terpotong tangan dan kakinya pernah datang kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, lalu orang itu mencuri, maka Abu Bakar memotong tangannya.

وَرَوَى عِكْرِمَةُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَطَعَ بعد يد ورجل يداً وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّ كُلَّ يَدٍ جَازَ قَطْعُهَا قَوَدًا جَازَ قَطْعُهَا حَدًّا كَالْيُمْنَى وَكُلَّ رِجْلٍ قُطِعَتْ قَوَدًا جَازَ قَطْعُهَا حَدًّا كَالْيُسْرَى وَلِأَنَّ الْإِمَامَ لَوْ أَخْطَأَ فَقَطَعَ الْيَدَ الْيُسْرَى فِي السَّرِقَةِ سَقَطَ بِهَا قَطْعُ الْيُمْنَى فَتَقُولُ مَا سَقَطَ الْحَدُّ بِقَطْعِهِ جَازَ أَنْ يَكُونَ قَطْعُهُ مُسْتَحَقًّا كَالْيُمْنَى

Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku menyaksikan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memotong (tangan) setelah tangan dan kaki, yaitu tangan. Dan menurut qiyās, setiap tangan yang boleh dipotong sebagai qishāsh, maka boleh pula dipotong sebagai hudud, seperti tangan kanan. Dan setiap kaki yang dipotong sebagai qishāsh, maka boleh pula dipotong sebagai hudud, seperti kaki kiri. Dan karena jika imam keliru lalu memotong tangan kiri dalam kasus pencurian, maka dengan itu gugurlah pemotongan tangan kanan. Maka dikatakan: Apa yang tidak gugur hudud dengan pemotongannya, boleh jadi pemotongannya memang berhak dilakukan, seperti tangan kanan.

وَلِأَنَّ كُلَّ حُكْمٍ ثَبَتَ لِلْيَدِ الْيُمْنَى وَالرِّجْلِ الْيُسْرَى ثَبَتَ لِلْيَدِ الْيُسْرَى وَالرِّجْلِ الْيُمْنَى

Dan karena setiap hukum yang berlaku bagi tangan kanan dan kaki kiri juga berlaku bagi tangan kiri dan kaki kanan.

أَصْلُهُ الدِّيَةُ وَالْقَوَدُ وَالطَّهَارَةُ

Asalnya adalah diyat, qawad, dan thaharah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَدْ عَارَضَهُ فِعْلُ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

Adapun jawaban terhadap hadis Ali ‘alaihis salam, maka hadis tersebut telah ditentang oleh perbuatan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى اللِّسَانِ وَالْأَنْفِ مَعَ فَسَادِ مَوْضُوعِهِ فَهُوَ أَنَّهُ لو قطع لم يسقط به الحد ولم يَجُزْ قَطْعُهُ فِي الْحَدِّ بِخِلَافِ الْيَدِ

Adapun jawaban atas qiyās yang disamakan dengan lidah dan hidung, di samping rusaknya objek qiyās tersebut, adalah bahwa jika lidah atau hidung dipotong, maka tidak gugur hudud karenanya dan tidak boleh dipotong dalam pelaksanaan hudud, berbeda halnya dengan tangan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ بِمَا فِيهِ مِنَ اسْتِيفَاءِ مَنْفَعَةِ الْجِنْسِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan apa yang di dalamnya terdapat pemanfaatan secara penuh dari jenisnya, maka ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمْ يُمْنَعْ ذَلِكَ فِي الْقَوَدِ فَلَمْ يُمْنَعْ فِي الْحَدِّ

Salah satunya adalah bahwa hal itu tidak dilarang dalam qawad, maka tidak pula dilarang dalam hudud.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ ذَلِكَ مِنْ القتل كان أولى أن لا يمنع ما دُونَ الْقَتْلِ

Dan yang kedua, karena hal itu tidak mencegah dari hukuman mati, maka lebih utama lagi untuk tidak mencegah dari hukuman yang di bawah hukuman mati.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّهَا فِي الثَّانِيَةِ أَقْرَبُ وَإِذَا تَكَرَّرَتِ السَّرِقَةُ خَفَّتْ فَهُوَ إِثْبَاتُ اعْتِبَارِ الثَّانِيَةِ بِالْقَطْعِ فِي الْحِرَابَةِ من خلاف فكان ذلك اعتلالا يدفع عنه هذا التعليل كذلك السرقة وادعاؤهم خفة السرقة إذا تكررت فغير مُسَلَّمٍ؛ لِأَنَّ قَطْعَ الرِّجْلِ فِي الثَّانِيَةِ أَغْلَظُ مِنْ قَطْعِ الْيَدِ فِي الْأُولَى؛ لِأَنَّهَا أَغْلَظُ مِفْصَلًا وَأَكْثَرُ زَمَانَةً

Adapun jawaban terhadap pernyataan mereka bahwa pada kali kedua (hukuman) lebih dekat, dan jika pencurian berulang maka (hukuman) menjadi lebih ringan, maka itu adalah penetapan pertimbangan pada kali kedua dengan pemotongan (anggota tubuh) dalam kasus hirabah secara berbeda, sehingga hal itu menjadi alasan yang menolak alasan ini; demikian pula pada kasus pencurian. Klaim mereka bahwa pencurian menjadi lebih ringan jika berulang juga tidak dapat diterima, karena pemotongan kaki pada kali kedua lebih berat daripada pemotongan tangan pada kali pertama, sebab kaki adalah persendian yang lebih berat dan menyebabkan kecacatan yang lebih besar.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا سَرَقَ مِرَارًا قَبْلَ الْقَطْعِ قُطِعَ لِجَمِيعِهَا قَطْعًا وَاحِدًا وَتَدَاخَلَ بَعْضُ الْقَطْعِ فِي بَعْضٍ كَالزَّانِي إِذَا لَمْ يُحَدَّ حَتَّى تَكَرَّرَ ذَلِكَ مِنْهُ حُدَّ فِي جميعه حداً واحداً؛ لأن الحدود لإدرائها بالشبهة يتداخل بعضها في بعض والله أعلم

Jika seseorang mencuri berulang kali sebelum dipotong tangannya, maka ia dipotong untuk seluruh pencurian itu dengan satu kali potong saja, dan hukuman potong tersebut saling masuk satu sama lain, seperti halnya pezina yang belum dijatuhi had hingga perbuatan itu terulang darinya, maka ia dijatuhi satu had saja untuk seluruh perbuatannya; karena hudud, karena dapat digugurkan dengan adanya syubhat, maka sebagian hukumannya saling masuk satu sama lain. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيُقْطَعُ بِأَخَفِّ مُؤْنَةٍ وَأَقْرَبِ سَلَامَةٍ

Imam Syafi‘i berkata, “Pemotongan dilakukan dengan cara yang paling ringan bebannya dan paling dekat kepada keselamatan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ؛ إِذَا أَرَادَ الْإِمَامُ قَطْعَ يَدِ السَّارِقِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُسَاقَ إِلَى مَوْضِعِ الْقَطْعِ سوقاً رقيقاً لَا يُعَنَّفُ بِهِ وَلَا يُقَابَلُ بِسَبٍّ وَلَا شَتْمٍ وَلَا تَعْيِيرٍ وَلَا يُقْطَعُ قَائِمًا حَتَّى يَجْلِسَ وَيُمْسَكُ عِنْدَ الْقَطْعِ حَتَّى لَا يَضْطَرِبَ وتمد يده بحبل حتى يتبين مَفْصِلُهَا وَيَتَوَلَّى قَطْعَهُ مَأْمُونٌ عَارِفٌ بِالْقَطْعِ بِأَحَدِّ سكين وامضاها ولا يضربها بالسكين فربما يخطئ مَوْضِعِ الْمِفْصَلِ وَلَكِنْ يَضَعُ السِّكِّينَ عَلَيْهَا وَيَعْتَمِدُ جَذْبَهَا بِقُوَّتِهِ حَتَّى تَنْفَصِلَ بِجَذْبَةٍ وَاحِدَةٍ لَا يُكَرِّرُهَا فَإِنْ لَمْ تَنْفَصِلْ بِجَذْبَةٍ وَاحِدَةٍ أَعَادَهَا حَتَّى تَنْفَصِلَ وَلَا يَدُقُّ السِّكِّينَ بِحَجَرٍ فَإِذَا انْفَصَلَتْ حَسَمَ مَوْضِعَ الْقَطْعِ مِنْ يَدِهِ فَإِنْ كان بدوياً حسم بالنار؛ لأنها عَادَتُهُمْ وَإِنْ كَانَ حَضَرِيًّا أُغْلِيَ لَهَا الزَّيْتُ وَحُسِمَتْ فِيهِ؛ لِأَنَّ حَسْمَهَا بِالنَّارِ وَالزَّيْتِ يَسُدُّ أَفْوَاهَ الْعُرُوقِ فَتَنْقَطِعُ مَجَارِي الدَّمِ فَيَقِلُّ الْخَوْفُ عَلَى نَفْسِهِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar; jika imam hendak memotong tangan pencuri, maka sebaiknya ia dibawa ke tempat pemotongan dengan perlakuan yang lembut, tidak diperlakukan kasar, tidak dicaci, tidak dihina, dan tidak dicela. Ia tidak dipotong dalam keadaan berdiri sampai ia duduk, dan ia dipegang saat pemotongan agar tidak bergerak. Tangannya diulur dengan tali hingga terlihat jelas persendiannya. Pemotongan dilakukan oleh orang yang terpercaya dan ahli dalam pemotongan, dengan pisau yang sangat tajam dan benar-benar tajam. Tidak boleh memukul tangan dengan pisau, karena bisa saja salah mengenai sendi, tetapi pisau diletakkan di atasnya lalu ditarik dengan kuat hingga terputus dengan satu tarikan tanpa diulang-ulang. Jika tidak terputus dengan satu tarikan, maka diulangi sampai terputus. Tidak boleh memukul pisau dengan batu. Jika sudah terputus, maka tempat pemotongan pada tangannya dibakar. Jika ia seorang badui, maka dibakar dengan api karena itu kebiasaan mereka. Jika ia seorang penduduk kota, maka minyak dipanaskan lalu tangannya dicelupkan ke dalamnya, karena membakar dengan api atau minyak panas dapat menutup ujung-ujung pembuluh darah sehingga aliran darah terhenti dan risiko terhadap jiwanya menjadi lebih kecil.”

وَقَدْ رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أُتِيَ بِسَارِقٍ سَرَقَ شَمْلَةً فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَا أَخَالُهُ سَرَقَ فَقَالَ السَّارِقُ بَلَى يَا رَسُولُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أذهبوا به فاقطعوه ثم احسموه ثم ائتوني به فقطع وأتي به فقال ” تبت إِلَى اللَّهِ فَقَالَ قَدْ تُبْتُ إِلَى اللَّهِ قال ” تَابَ اللَّهُ عَلَيْكَ

Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ didatangkan seorang pencuri yang telah mencuri sebuah selimut. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku kira dia tidak mencuri.” Lalu si pencuri berkata, “Benar, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Bawa dia, lalu potonglah (tangannya), kemudian hentikanlah (pendarahannya), lalu bawalah dia kepadaku.” Maka dipotonglah (tangannya) dan dibawa kepadanya. Ia berkata, “Aku bertobat kepada Allah.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Engkau telah bertobat kepada Allah.” Beliau berkata, “Semoga Allah menerima tobatmu.”

فَإِنِ امْتَنَعَ الْمَقْطُوعُ مِنْ حَسْمِ يَدِهِ فَإِنْ كَانَ قَطْعُهَا فِي قِصَاصٍ لم يجبر على حسمها لخروجه عن حُدُودِ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ قَطْعُهَا فِي سَرِقَةٍ فَفِي إِجْبَارِهِ عَلَى حَسْمِهَا وَجْهَانِ

Jika orang yang dipotong tangannya menolak untuk membalut (menghentikan pendarahan) tangannya, maka jika pemotongan itu karena qishāsh, ia tidak dipaksa untuk membalutnya karena telah keluar dari batas-batas Allah. Namun jika pemotongan itu karena pencurian, maka dalam hal memaksanya untuk membalut tangannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُجْبَرُ عَلَى حَسْمِهَا؛ لِأَنَّهُ مِنْ تَمَامِ حَدِّ اللَّهِ تعالى فِيهِ

Salah satunya dipaksa untuk memotongnya, karena itu merupakan bagian dari penyempurnaan hudud Allah Ta‘ala padanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُجْبَرُ؛ لِأَنَّهُ يَجْرِي مجرى التداوي عن مرض وكما لا يجوز فِي الْقِصَاصِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْبَسَ بَعْدَ قَطْعِهِ وَلَا يُشَهَّرُ فِي النَّاسِ؛ لِأَنَّ قَطْعَهُ شُهْرَةٌ كَافِيَةٌ وَيُطْلَقُ لِوَقْتِهِ وَمِنَ السُّنَّةِ أَنْ يُشَدَّ كَفُّهُ الْمَقْطُوعَةُ فِي عُنُقِهِ عِنْدَ إِطْلَاقِهِ روى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَيْرِيزٍ قَالَ سَأَلْنَا فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ عَنْ تَعْلِيقِ يَدِ السَّارِقِ فِي عنقه أمن السنة هو قَالَ أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِسَارِقٍ فَقُطِعَتْ يَدُهُ ثُمَّ أُمِرَ بِهَا فَعُلِّقَتْ في عنقه

Pendapat kedua, tidak dipaksa; karena hal itu sejalan dengan pengobatan dari penyakit, dan sebagaimana tidak diperbolehkan dalam qishāsh, maka tidak boleh pula ditahan setelah dipotong, dan tidak boleh dipermalukan di tengah masyarakat; karena pemotongan itu sendiri sudah merupakan bentuk pemasyhuran yang cukup, dan ia segera dibebaskan. Termasuk sunnah adalah mengikatkan tangan yang terpotong di lehernya saat ia dibebaskan. Abdurrahman bin Muhairiz meriwayatkan, ia berkata: Kami bertanya kepada Fadhalah bin Ubaid tentang menggantungkan tangan pencuri di lehernya, apakah itu termasuk sunnah? Ia menjawab: Pernah didatangkan seorang pencuri kepada Nabi ﷺ, lalu dipotong tangannya, kemudian diperintahkan agar tangannya itu digantungkan di lehernya.

فصل

Bab

وأما أجرة القاطع وثمن الزيت لحسم يده ففي بَيْتِ الْمَالِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ عُمُومِ الْمَصَالِحِ فَإِنْ كَانَ الْقَطْعُ يَكْثُرُ جَعَلَ لِلْقَاطِعِ وَالْجَلَّادِ رزق وَإِنْ كَانَ يَقِلُّ أُعْطِيَ أُجْرَتَهُ كُلَّمَا قَطَعَ أَوْ جَلَدَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي بَيْتِ الْمَالِ مَالٌ لَمْ يُؤْخَذْ بِثَمَنِ الزَّيْتِ؛ لِأَنَّهُ كَالدَّوَاءِ الَّذِي لَا يُجْبَرُ عَلَى ثَمَنِهِ وَأُخِذَ بِأُجْرَةِ الْقَاطِعِ مِنْ مَالِهِ؛ لِأَنَّ عَلَيْهِ تَسْلِيمَ حد اللَّهِ تَعَالَى مِنْ نَفْسِهِ فَإِنْ قَالَ أَنَا أَتَوَلَّى قَطْعَ يَدَيَّ بِنَفْسِي فَفِي تَمْكِينِهِ مِنْهُ وَجْهَانِ

Adapun upah bagi algojo dan harga minyak untuk menghentikan pendarahan tangannya, maka diambil dari baitul mal; karena hal itu termasuk kemaslahatan umum. Jika pemotongan (hukuman potong tangan) sering terjadi, maka ditetapkan tunjangan untuk algojo dan pelaksana cambuk. Namun jika jarang terjadi, maka diberikan upah setiap kali ia memotong atau mencambuk. Jika di baitul mal tidak ada dana, maka harga minyak tidak diambil darinya; karena minyak itu seperti obat yang tidak diwajibkan membayar harganya. Adapun upah algojo diambil dari hartanya (pelaku), karena ia wajib menyerahkan pelaksanaan hudud Allah Ta‘ala dari dirinya sendiri. Jika ia berkata, “Saya sendiri yang akan memotong tangan saya,” maka dalam membolehkannya ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يُمَكَّنُ كَمَا لَا يُمَكَّنُ من قطعهما قصاصاً

Salah satunya tidak boleh dilakukan, sebagaimana tidak boleh dilakukan pemotongan keduanya sebagai qishāsh.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُمَكَّنُ مِنْ قَطْعِهَا فِي السَّرِقَةِ وَإِنْ لَمْ يُمَكَّنْ مَنْ قَطَعِهَا قِصَاصًا لِأَنَّ قَطْعَ السَّرِقَةِ مَوْضُوعٌ لِلزَّجْرِ وَهُوَ حَاصِلٌ إِذَا تَوَلَّاهُ بِنَفْسِهِ وَقَطْعُ الْقِصَاصِ مَوْضُوعٌ لِلتَّشَفِّي فَكَانَ مُسْتَحِقُّ التَّشَفِّي أَوْلَى بِهِ

Pendapat kedua, ia dibolehkan untuk memotong tangan dalam kasus pencurian meskipun tidak dibolehkan memotongnya dalam kasus qishāsh, karena pemotongan dalam kasus pencurian ditetapkan untuk tujuan pencegahan, dan hal itu tercapai jika ia melakukannya sendiri. Sedangkan pemotongan dalam kasus qishāsh ditetapkan untuk tujuan pembalasan, maka orang yang berhak mendapatkan pembalasan lebih utama untuk melakukannya.

فَصْلٌ

Bagian

وَلَا يُقْطَعُ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ وَلَا بَرْدٍ شَدِيدٍ خَوْفًا مِنْ تَلَفِهِ فِيهِ كَمَا لَا يُحَدُّ الزَّانِي فِي شِدَّةِ حَرٍّ وَلَا بَرْدٍ وَكَذَلِكَ لَا يُقْطَعُ فِي مَرَضٍ يُرْجَى زَوَالُهُ؛ لِأَنَّ الْقَطْعَ فِيهِ أَشَدُّ خَوْفًا وَكَذَلِكَ الْحَامِلُ لَا تُقْطَعُ فِي حَمْلِهَا خَوْفًا عَلَيْهَا وَعَلَى حَمْلِهَا وَلَا في نفاسها خوفاً عليها؛ لئلا لا يجتمع دم النفاس ودم القطع فيفضي إلى تلفها قد مَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ قَطْعِ جَارِيَةٍ نُفَسَاءَ حَتَّى يَنْقَطِعَ دَمُهَا

Tidak boleh dilakukan pemotongan (hudud) pada saat cuaca sangat panas atau sangat dingin karena dikhawatirkan akan membahayakan jiwa pelakunya, sebagaimana pezina juga tidak dijatuhi hukuman hudud pada saat panas atau dingin yang sangat. Demikian pula, tidak boleh dilakukan pemotongan pada orang yang sedang sakit yang masih ada harapan sembuh, karena pemotongan dalam kondisi tersebut lebih dikhawatirkan membahayakan. Begitu juga, wanita hamil tidak boleh dipotong (dijatuhkan hudud) selama masa kehamilannya karena dikhawatirkan membahayakan dirinya dan janinnya, dan tidak pula pada masa nifasnya karena dikhawatirkan membahayakan dirinya; agar darah nifas tidak bercampur dengan darah akibat pemotongan sehingga menyebabkan kematiannya. Rasulullah ﷺ telah melarang memotong tangan seorang budak perempuan yang sedang nifas hingga darahnya berhenti.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وإن سَرَقَ الْخَامِسَةَ عُزِّرَ وَحُبِسَ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang mencuri untuk yang kelima kalinya, maka ia dikenai hukuman ta‘zīr dan dipenjara.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لَا يُتَجَاوَزُ بِالسَّارِقِ قَطْعُ أَطْرَافِهِ الْأَرْبَعِةِ فِي أَرْبَعِ سَرِقَاتٍ فَإِنْ سَرَقَ فِي الْخَامِسَةِ عُزِّرَ وَلَمْ يُقْتَلْ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ وحكي عن عثمان بن عفان وعطاء وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّهُ يُقْتَلُ فِي الْخَامِسَةِ؛ لِرِوَايَةِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِسَارِقٍ فَقَطَعَ يَدَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ قَدْ سَرَقَ فَقَطَعَ رِجْلَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ قَدْ سَرَقَ فَقَطَعَ يَدَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ قَدْ سَرَقَ فَقَطَعَ رِجْلَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ قَدْ سَرَقَ فَأَمَرَ بِهِ فَقُتِلَ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, tidak boleh melebihi pemotongan keempat anggota tubuh pencuri dalam empat kali pencurian. Jika ia mencuri untuk kelima kalinya, maka ia dikenai ta‘zīr dan tidak dibunuh. Ini adalah pendapat jumhur fuqahā’. Diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan, ‘Aṭā’, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Āṣ, dan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz bahwa ia dibunuh pada pencurian kelima, berdasarkan riwayat Jabir bin ‘Abdullah yang berkata: Aku mendatangi Rasulullah ﷺ dengan membawa seorang pencuri, lalu beliau memotong tangannya. Kemudian ia dibawa lagi dalam keadaan telah mencuri, maka beliau memotong kakinya. Kemudian ia dibawa lagi dalam keadaan telah mencuri, maka beliau memotong tangannya. Kemudian ia dibawa lagi dalam keadaan telah mencuri, maka beliau memotong kakinya. Kemudian ia dibawa lagi dalam keadaan telah mencuri, maka beliau memerintahkan agar ia dibunuh.”

وَدَلِيلُنَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” إِذَا سَرَقَ السَّارِقُ فَاقْطَعُوا يَدَهُ فَإِنْ عَادَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ فَإِنْ عَادَ فَاقْطَعُوا يَدَهُ فَإِنْ عَادَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ وَهَذَا قَوْلٌ قَصَدَ به صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْبَيَانِ وَلَوْ وَجَبَ قَتْلُهُ فِي الْخَامِسَةِ لَأَبَانَهُ كَمَا أَبَانَ قَطْعَهُ فِي الْأَرْبَعِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُمْسِكَ عَنْ بَعْضِ الْبَيَانِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُمْسِكَ عَنْ جَمِيعِهِ وَهُوَ أَوْلَى مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ؛ لِأَنَّهَا قَضِيَّةٌ فِي عين يجوز أن تحتمل وجوها

Dan dalil kami adalah apa yang telah kami kemukakan dari riwayat Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika seorang pencuri mencuri, maka potonglah tangannya. Jika ia mengulangi, maka potonglah kakinya. Jika ia mengulangi lagi, maka potonglah tangannya. Jika ia mengulangi lagi, maka potonglah kakinya.” Ini adalah sabda yang dimaksudkan oleh Nabi ﷺ sebagai penjelasan. Seandainya memang wajib membunuhnya pada kali kelima, tentu beliau akan menjelaskannya sebagaimana beliau telah menjelaskan pemotongan pada empat kali; karena tidak boleh menahan sebagian penjelasan sebagaimana tidak boleh menahan seluruhnya. Dan ini lebih utama daripada hadis Jabir, karena itu adalah kasus tertentu yang mungkin mengandung beberapa kemungkinan.

وَقَدْ رَوَى الزُّهْرِيُّ أَنَّ الْقَتْلَ مَنْسُوخٌ؛ لِأَنَّهُ رُفِعَ إِلَيْهِ فِي الْخَامِسَةِ فَلَمْ يَقْتُلْهُ وَعَلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ بَعْدَهُ أَجْمَعُوا عَلَى تَرْكِ الْقَتْلِ فَدَلَّ عَلَى تَقَدُّمِ نَسْخِهِ وَإِنْ لَمْ يَنْقُلُوهُ وَلِأَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ أَوْجَبَتْ حَدًّا لَمْ يَكُنْ تَكْرَارُهَا مُوجِبًا لِلْقَتْلِ كَالزِّنَا وَالْقَذْفِ

Az-Zuhri meriwayatkan bahwa hukuman mati telah di-nasakh, karena pada kasus kelima yang diajukan kepada Nabi, beliau tidak membunuhnya. Selain itu, para sahabat setelah beliau telah berijmā‘ untuk meninggalkan hukuman mati tersebut, sehingga hal ini menunjukkan bahwa nasakh-nya telah lebih dahulu terjadi, meskipun mereka tidak meriwayatkannya. Sebab, setiap maksiat yang mewajibkan hukuman hadd, pengulangannya tidak menyebabkan hukuman mati, seperti zina dan qadzaf.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي ” وَلَا يُقْطَعُ الْحَرْبِيُّ إِذَا دَخَلَ إِلَيْنَا بِأَمَانٍ ويضمن السرقة

Imam Syafi‘i berkata, “Orang harbi tidak dipotong tangannya jika ia masuk ke wilayah kita dengan jaminan keamanan, namun ia tetap wajib mengganti kerugian atas pencurian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ الْمُقِيمِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ مُسْلِمٍ وَذِمِّيٍّ وَمُسْتَأْمَنٍ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan secara ringkas, keadaan seseorang yang tinggal di wilayah Islam tidak lepas dari tiga golongan: muslim, dzimmi, dan musta’man.”

فَأَمَّا الْقسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ الْمُسْلِمُ فَيَلْزَمُ الْإِمَامَ في حقه ثلاثة أحكام

Adapun bagian pertama, yaitu muslim, maka imam wajib menetapkan tiga hukum terkait dirinya.

أحدها الذب عن ماله ونفسه مِنْ كُلِّ مُتَعَدٍّ عَلَيْهِ سَوَاءٌ كَانَ فِي طَاعَةِ الْإِمَامِ وَتَحْتَ قُدْرَتِهِ كَالْمُسْلِمِينَ وَأَهْلِ الذِّمَّةِ أَوْ لَمْ يَكُنْ فِي طَاعَتِهِ وَلَا دَاخِلًا تَحْتَ قُدْرَتِهِ كَالْبُغَاةِ وَالْمُرْتَدِّينَ وَأَهْلِ الْحَرْبِ لِقَوْلِ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ وَيَسْعَى بِذَّمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ

Salah satunya adalah membela harta dan dirinya dari setiap orang yang melampaui batas terhadapnya, baik ia berada dalam ketaatan kepada imam dan di bawah kekuasaannya seperti kaum Muslimin dan ahludz-dzimmah, maupun tidak berada dalam ketaatannya dan tidak di bawah kekuasaannya seperti para bughāt, murtaddin, dan ahlul-harb, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Darah kaum Muslimin itu setara, mereka bersatu melawan selain mereka, dan perlindungan yang diberikan oleh yang paling rendah di antara mereka berlaku bagi semuanya.”

وَالثَّانِي اسْتِيفَاءُ الْحُقُوقِ لَهُ إِذَا عَجَزَ عَنِ اسْتِيفَائِهَا بِنَفْسِهِ سَوَاءً كانت في مال كالدين أَوْ عَلَى بَدَنٍ كَالْقِصَاصِ وَحَدُّ الْقَذْفِ عَلَى مُسْلِمٍ كَانَتْ أَوْ غَيْرِ مُسْلِمٍ

Yang kedua adalah menunaikan hak-haknya apabila ia tidak mampu menunaikannya sendiri, baik hak tersebut berkaitan dengan harta seperti utang, maupun berkaitan dengan badan seperti qishāsh dan had qazaf, baik terhadap seorang Muslim maupun non-Muslim.

وَالثَّالِثُ اسْتِيفَاءُ الْحُقُوقِ مِنْهُ سَوَاءٌ كَانَتْ فِي مَالٍ أَوْ بدن في حق الله تعالى أو للآدميين لِمُسْلِمٍ كَانَتْ أَوْ غَيْرِ مُسْلِمٍ

Ketiga adalah menunaikan hak-hak darinya, baik berupa harta maupun badan, baik itu hak Allah Ta‘ala atau hak manusia, baik untuk seorang Muslim maupun non-Muslim.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا القسم الثاني وهو الذمي فيلزم الْإِمَامَ فِي حَقِّهِ الْأَحْكَامُ الثَّلَاثَةُ كَالْمُسْلِمِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي تَفْصِيلِهَا

Adapun bagian kedua, yaitu dzimmi, maka wajib bagi imam untuk menerapkan tiga hukum atasnya sebagaimana terhadap muslim, meskipun terdapat perbedaan dalam perinciannya.

أَحَدُهَا أَنْ يَذُبَّ عَنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ مِنْ كُلِّ مُتَعَدٍّ عَلَيْهِ سَوَاءٌ كَانَ فِي الطَّاعَةِ أَوْ خَارِجًا عَنْهَا كَمَا يَذُبُّ عَنِ الْمُسْلِمِينَ؛ لِأَنَّهُمْ قَدْ صَارُوا بِالذِّمَّةِ تَبَعًا لِلْمُسْلِمِينَ

Salah satunya adalah bahwa seseorang boleh membela diri dan hartanya dari setiap orang yang melanggar haknya, baik ketika ia sedang menjalankan ketaatan maupun di luar ketaatan, sebagaimana ia membela kaum Muslimin; karena mereka (non-Muslim yang mendapat perlindungan) telah menjadi bagian dari kaum Muslimin dengan adanya perjanjian perlindungan (dzimmah).

وَالثَّانِي اسْتِيفَاءُ الْحُقُوقِ لَهُمْ إِنْ كَانَتْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى أَهْلِ ذِمَّتِهِمْ فَضَرْبَانِ

Kedua, pemenuhan hak-hak mereka jika hak tersebut ada atas kaum Muslimin. Dan jika hak tersebut ada atas ahludz-dzimmah mereka, maka terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ عَنْ عُدْوَانٍ كَالْغُصُوبِ فَيَسْتَوْفِيهَا مِنْ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ؛ لِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ تَمْنَعُ مِنَ التَّغَالُبِ

Salah satunya adalah jika terjadi karena permusuhan, seperti perampasan, sehingga seseorang mengambil haknya dari sebagian mereka untuk diberikan kepada yang lain; karena Dar al-Islam mencegah terjadinya saling menguasai secara zalim.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ عَنْ مُعَامَلَاتٍ فَإِنْ لَمْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الإمام أو حاكمه لم يعترض لِبَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ وَإِنْ تَحَاكَمُوا إِلَيْهِ أَوْ إِلَى حَاكِمِهِ كَفَّهُمْ عَنِ التَّظَالُمِ وَفِي وُجُوبِ حُكْمِهِ عَلَيْهِمْ قَوْلَانِ مَضَيَا

Jenis yang kedua adalah berkaitan dengan muamalah. Jika mereka tidak mengadukan perkara kepada imam atau hakimnya, maka sebagian mereka tidak akan menggugat sebagian yang lain. Namun jika mereka mengadukan perkara kepada imam atau hakimnya, maka ia akan mencegah mereka dari saling menzalimi. Mengenai kewajiban imam atau hakim untuk memutuskan perkara di antara mereka, terdapat dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.

وَالثَّالِثُ اسْتِيفَاءُ الْحُقُوقِ منهم وهو عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Ketiga adalah menunaikan hak-hak dari mereka, dan hal ini terbagi menjadi tiga jenis.

أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ مِنْ حقوق الآدميين المحضة

Salah satunya adalah bahwa hal itu termasuk dalam hak-hak murni manusia.

والثاني أن تكون من حقوق الله تعالى المحضة

Kedua, bahwa hal itu termasuk hak-hak Allah Ta‘ala yang murni.

وَالثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْحُقُوقِ الْمُشْتَرَكَةِ

Dan yang ketiga adalah bahwa (perkara tersebut) termasuk dalam hak-hak yang bersifat bersama.

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ تَكُونَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الْمَحْضَةِ فَلَا يَخْلُو مُسْتَحِقُّهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا أَوْ ذِمِّيًّا أَوْ مُعَاهَدًا فَإِنْ كَانَ مُسْلِمًا اسْتُوفِيَتْ حُقُوقُهُ مِنْهُمْ سَوَاءٌ كَانَتْ فِي بَدَنٍ كَالْقِصَاصِ وَحَدِّ الْقَذْفِ أَوْ فِي مَالٍ كَالدُّيُونِ والْغُصُوبِ وَإِنْ كَانَ مُسْتَحِقُّهَا ذِمِّيًّا مِنْهُمْ نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ عَنْ غَيْرِ مُرَاضَاةٍ كَالْقِصَاصِ فِي الْجِنَايَةِ وَالْغُصُوبِ فِي الْأَمْوَالِ لَزِمَ اسْتِيفَاؤُهَا مِنْهُمْ؛ لِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ تَمْنَعُ مِنَ التَّعَدِّي وَالتَّغَالُبِ

Adapun jenis yang pertama, yaitu hak-hak murni milik manusia, maka pihak yang berhak atasnya tidak lepas dari kemungkinan ia adalah seorang Muslim, dzimmi, atau mu‘āhad. Jika ia seorang Muslim, maka hak-haknya diambil dari mereka, baik berupa hak atas tubuh seperti qishāsh dan had qazaf, maupun hak atas harta seperti utang dan barang rampasan. Jika yang berhak atasnya adalah seorang dzimmi dari mereka, maka dilihat kembali: jika hak itu bukan atas dasar kerelaan, seperti qishāsh dalam tindak pidana dan perampasan harta, maka wajib dipenuhi hak tersebut dari mereka; karena wilayah Islam mencegah terjadinya pelanggaran dan saling menguasai secara zalim.

وَإِنْ كَانَتْ عَنْ مُرَاضَاةٍ كَدُيُونِ الْمُعَامَلَاتِ فَإِنْ لَمْ يَتَحَاكَمُوا فِيهِ إِلَيْنَا تُرِكُوا وَإِنْ تَحَاكَمُوا إِلَيْنَا فَفِي وُجُوبِ اسْتِيفَائِهَا مِنْهُمْ وَلَهُمْ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى

Dan jika (hak) itu berdasarkan kerelaan, seperti utang-utang dalam transaksi, maka jika mereka tidak mengadukan perkara tersebut kepada kita, mereka dibiarkan; namun jika mereka mengadukannya kepada kita, maka mengenai kewajiban menagihnya dari mereka dan untuk mereka, terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

وَإِنْ كَانَ مستحقها معاهداً فإن كانت في بدن القصاص وَجَبَ اسْتِيفَاؤُهَا مِنْهُمْ؛ لِأَنَّ حِفْظَ نُفُوسِ أَهْلِ الْعَهْدِ وَاجِبٌ عَلَيْنَا وَإِنْ كَانَتْ فِي مَالٍ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ لِأَمْوَالِهِمْ أَمَانٌ عَلَيْنَا وَجَبَ استيفاؤها لهم وإن لم يجب لِأَمْوَالِهِمْ أَمَانٌ لَمْ يَجِبِ اسْتِيفَاؤُهَا لَهُمْ وَاسْتَرْجَعَهَا الْإِمَامُ مِمَّنْ أَخَذَهَا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لِبَيْتِ الْمَالِ؛ لِأَنَّ مَا دَخَلَ دَارَ الْإِسْلَامِ مِنَ الغنائم مستحق للمسلمين دون أهل الذمة

Jika yang berhak menerimanya adalah seorang mu‘āhad (non-Muslim yang memiliki perjanjian damai), maka jika berkaitan dengan badan dalam kasus qishāsh, wajib menunaikannya kepada mereka; karena menjaga jiwa orang-orang yang memiliki perjanjian adalah kewajiban kita. Namun jika berkaitan dengan harta, maka dilihat dahulu: jika harta mereka berada dalam jaminan keamanan dari kita, maka wajib menunaikannya untuk mereka. Jika harta mereka tidak berada dalam jaminan keamanan, maka tidak wajib menunaikannya untuk mereka, dan imam mengambilnya kembali dari orang yang telah mengambilnya dari ahludz-dzimmah untuk dimasukkan ke Baitul Māl; karena apa yang masuk ke wilayah Islam dari harta rampasan perang adalah hak kaum Muslimin, bukan hak ahludz-dzimmah.

والضرب الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الْمَحْضَةِ فَهِيَ حَقَّانِ قَتْلٌ بِرِدَّةٍ وَحَدٌّ فِي زِنًا

Jenis yang kedua adalah hak-hak Allah Ta‘ala semata, yaitu ada dua: hukuman mati karena riddah (murtad) dan hudud dalam kasus zina.

فَأَمَّا الرِّدَّةُ فَمَنِ ارْتَدَّ مِنْهُمْ إِلَى مَا لَا يُقَرُّ عَلَيْهِمْ مِنَ الْأَدْيَانِ اسْتُتِيبَ فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ كَالْمُسْلِمِ وَلَا يَلْزَمُ أَنْ يَبْلُغَ مَأْمَنَهُ؛ لِأَنَّ إِبْلَاغَ الْمَأْمَنِ يَلْزَمُ بِانْتِقَاضِ الذِّمَّةِ وَلَيْسَ هَذَا مِنْهُ نَقْضًا لِذِمَّتِهِ

Adapun riddah, maka siapa saja di antara mereka yang murtad kepada agama yang tidak diakui atas mereka, maka ia diminta untuk bertobat; jika ia bertobat, maka diterima, dan jika tidak, maka ia dibunuh seperti halnya seorang muslim. Tidak wajib untuk mengantarkannya sampai ke tempat amannya, karena kewajiban mengantarkan ke tempat aman itu berlaku jika terjadi pembatalan dzimmah, sedangkan yang ini bukan termasuk pembatalan dzimmah.

وَأَمَّا الزِّنَا فَإِنْ كَانَ بِمُسْلِمَةٍ حُدَّ إِنْ كَانَ مُحْصَنًا بِالرَّجْمِ وَإِنْ كَانَ بِكْرًا بِالْجَلْدِ وَكَانَ نَقْضًا لِذِمَّتِهِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ شُرُوطِ ذِمَّتِهِ فَيَبْلُغُ مَأْمَنَهُ ثُمَّ يَكُونُ حَرْبًا وَإِنْ زَنَا بِذِمِّيَّةٍ فَفِي وُجُوبِ حَدِّهِمَا قَوْلَانِ مِنْ نُفُوذِ أَحْكَامِنَا عَلَيْهِمْ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ نَقْضًا لِذِمَّتِهِمْ لَكِنْ لَا يُقَرُّونَ عَلَى ارْتِكَابِ الزِّنَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ؛ لِأَنَّهَا تَمْنَعُ مِنَ ارْتِكَابِ الْفَوَاحِشِ فَيُسْتَتَابُونَ مِنْهُ فَإِنْ تَابُوا وَإِلَّا نُبِذَ إِلَيْهِمْ عَهْدُهُمْ ثُمَّ كَانُوا بَعْدَ بُلُوغِ مَأْمَنِهِمْ حَرْبًا

Adapun zina, jika dilakukan dengan seorang perempuan Muslimah, maka pelakunya dikenai hudud; jika ia sudah muhshan, maka dirajam, dan jika masih bujang, maka dicambuk. Perbuatan itu juga dianggap sebagai pembatalan dzimmah-nya, karena menjaga dzimmah merupakan salah satu syaratnya. Maka ia dikembalikan ke tempat amannya, kemudian setelah itu ia dianggap sebagai musuh. Jika ia berzina dengan seorang perempuan dzimmi, maka dalam hal wajib tidaknya hudud atas keduanya terdapat dua pendapat, berdasarkan berlaku tidaknya hukum-hukum kita atas mereka. Namun, perbuatan itu tidak dianggap sebagai pembatalan dzimmah mereka, tetapi mereka tidak dibiarkan melakukan zina di Darul Islam, karena negeri tersebut mencegah perbuatan keji. Maka mereka diminta untuk bertobat darinya; jika mereka bertobat, maka selesai, dan jika tidak, maka perjanjian mereka dibatalkan, lalu setelah mereka sampai ke tempat amannya, mereka dianggap sebagai musuh.

فَأَمَّا إِنْ نَاكَحُوا ذَوَاتِ مَحَارِمِهِمْ فَإِنْ كَانُوا لَا يَعْتَقِدُونَ إِبَاحَتَهُ فِي دِينِهِمْ كَالْيَهُودِ لَمْ يُقَرُّوا عَلَيْهِ وَصَارَ مِنْهُمْ كَالزِّنَا وَإِنِ اعْتَقَدُوا إِبَاحَتَهُ كَالْمَجُوسِ أُقِرُّوا عَلَيْهِ

Adapun jika mereka menikahi perempuan yang termasuk mahram mereka, maka jika mereka tidak meyakini kebolehannya dalam agama mereka, seperti orang-orang Yahudi, maka mereka tidak dibiarkan melakukannya dan perbuatan itu dianggap sebagai zina di antara mereka. Namun jika mereka meyakini kebolehannya, seperti kaum Majusi, maka mereka dibiarkan melakukannya.

فَأَمَّا شُرْبُ الْخُمُورِ فَيُمْنَعُونَ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ بِهَا وَلَا يُمْنَعُونَ مِنْ شربها لاستباحتهم لها في دينهم فلا حَدَّ عَلَيْهِمْ

Adapun meminum khamar, mereka dilarang melakukannya secara terang-terangan, namun tidak dilarang meminumnya karena mereka menghalalkannya dalam agama mereka, sehingga tidak dikenakan hadd atas mereka.

فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا حَدَدْتُمُوهُمْ وَإِنِ اسْتَبَاحُوهَا كَمَا تَحُدُّونَ الْمُسْلِمَ فِي شُرْبِ النَّبِيذِ وإن عَلَى رَأْيِ أَبِي حَنِيفَةَ

Jika ada yang bertanya, “Mengapa kalian tidak menjatuhkan had kepada mereka jika mereka menghalalkan (minuman keras) sebagaimana kalian menjatuhkan had kepada seorang Muslim yang meminum nabidz, bahkan menurut pendapat Abu Hanifah?”

قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الذِّمِّيَّ مُقَرٌّ عَلَى ما خالفنا فِيهِ مِنْ دِينِهِ فَلَمْ يُنَفَّذْ حُكْمُ الْإِمَامِ عليه والمسلم مأخوذ بحقوق الدين نفذ حكم الإمام عليه

Dikatakan bahwa perbedaan antara keduanya adalah bahwa dzimmi diakui atas apa yang berbeda dengan kita dari agamanya, sehingga hukum imam tidak diberlakukan atasnya, sedangkan seorang Muslim terikat dengan hak-hak agama sehingga hukum imam diberlakukan atasnya.

وأما الضرب الثالث فهو أن يكون مِنَ الْحُقُوقِ الْمُشْتَرَكَةِ بَيْنَ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وحقوق الآدميين فهو السرقة ولا تخلو سرقته أن تكون من مسلم أو من ذمي أو من معاهد فإن سرق من مسلم غرم وقطع كالمسلم وإن سرق من ذمي أغرم لأنه عن تغالب تمنع دار الإسلام منه وفي قطعه قولان من نفوذ أحكامنا عليهم وإن كان معاهداً فإن كان لماله أمان أغرم للمعاهد وقطع في سرقته وإن لم يكن لماله أمان أغرم لبيت المال ولم يقطع فيه

Adapun jenis ketiga adalah hak-hak yang merupakan gabungan antara hak Allah Ta‘ala dan hak-hak manusia, yaitu pencurian. Pencurian ini tidak lepas dari kemungkinan dilakukan terhadap seorang Muslim, dzimmi, atau mu‘āhad. Jika ia mencuri dari seorang Muslim, maka ia wajib mengganti kerugian dan dipotong tangannya sebagaimana hukuman bagi Muslim. Jika ia mencuri dari seorang dzimmi, ia juga wajib mengganti kerugian karena adanya perlindungan yang diberikan oleh Darul Islam kepadanya, dan mengenai pemotongan tangan terdapat dua pendapat, tergantung pada berlaku tidaknya hukum-hukum kita atas mereka. Jika ia mencuri dari seorang mu‘āhad, maka jika hartanya mendapat jaminan keamanan, ia wajib mengganti kerugian kepada mu‘āhad tersebut dan dipotong tangannya karena pencurian itu. Namun jika hartanya tidak mendapat jaminan keamanan, ia wajib mengganti kerugian kepada Baitul Mal dan tidak dipotong tangannya.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ الْمُسْتَأْمَنُ الْمُعَاهَدُ فالمعاهدون وفي هَذِهِ الْأَحْكَامِ مُخَالِفُونَ لِلْمُسْلِمِينَ وَأَهْلِ الذِّمَّةِ

Adapun golongan ketiga, yaitu musta’man mu‘āhad, maka para mu‘āhad dalam hukum-hukum ini berbeda dengan kaum Muslimin dan ahludz-dzimmah.

فَأَمَّا الْحُكْمُ الْأَوَّلُ فِي الذَّبِّ عَنْهُمْ فَيَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يَمْنَعَ عَنْهُمْ مَنْ كَانَ فِي طَاعَتِهِ وَتَحْتَ قُدْرَتِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَهْلِ الذِّمَّةِ؛ لأن الأمان يقتضيه فلا يلزمه أَنْ يَمْنَعَ عَنْهُمْ مَنْ لَمْ يَكُنْ فِي طَاعَتِهِ وَتَحْتَ قُدْرَتِهِ مَنْ أَهْلِ الْحَرْبِ؛ لِأَنَّ أَمَانَهُمْ يُوجِبُ الْكَفَّ عَنْهُمْ وَلَا يُوجِبُ نُصْرَتَهُمْ وأما إذا تعدى بعضهم على بعض لم يجب نُصْرَتُهُمْ وَلَمْ يُقَرُّوا عَلَى التَّعَدِّي؛ لِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ تُوجِبُ التَّنَاصُفَ وَتَمْنَعُ مِنَ التَّغَالُبِ وَالتَّظَالُمِ وَقِيلَ لَهُمْ إِنْ تَنَاصَفْتُمْ وَإِلَّا نَبَذْنَا إِلَيْكُمْ عَهْدَكُمْ ثُمَّ صِرْتُمْ بَعْدَ بُلُوغِ مَأْمَنِكُمْ حَرْبًا

Adapun hukum pertama dalam membela mereka, maka wajib bagi imam untuk melindungi mereka dari siapa pun yang berada dalam ketaatannya dan di bawah kekuasaannya, baik dari kalangan Muslim maupun ahludz-dzimmah; karena jaminan keamanan menuntut hal itu. Maka tidak wajib baginya untuk melindungi mereka dari orang-orang yang tidak berada dalam ketaatannya dan di bawah kekuasaannya, yaitu dari kalangan ahlul-harb; karena jaminan keamanan mereka hanya mewajibkan untuk menahan diri dari menyakiti mereka dan tidak mewajibkan untuk menolong mereka. Adapun jika sebagian dari mereka melanggar terhadap sebagian yang lain, maka tidak wajib menolong mereka dan mereka tidak dibiarkan dalam pelanggaran tersebut; karena Darul Islam mewajibkan keadilan dan mencegah saling mengalahkan dan saling menzalimi. Dikatakan kepada mereka: Jika kalian saling berbuat adil, maka tidak masalah; jika tidak, maka kami batalkan perjanjian kalian, kemudian setelah kalian sampai ke tempat aman kalian, kalian menjadi musuh.

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّانِي وَهُوَ اسْتِيفَاءُ الْحُقُوقِ لَهُمْ فَإِنْ كَانَتْ مَعَ غَيْرِ الْمُسْلِمِينَ وَأَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَلْزَمِ اسْتِيفَاؤُهَا لَهُمْ؛ سَوَاءً كَانَتْ فِي نَفْسٍ أَوْ مَالٍ كَمَا لَا يَلْزَمُ نُصْرَتُهُمْ مِنْهُمْ وَإِنْ كَانَتْ مَعَ الْمُسْلِمِينَ وَأَهْلِ الذِّمَّةِ نُظِرَ فِيهَا فَإِنْ كَانَتْ مُتَقَدِّمَةً عَلَى أَمَانِهِمْ لَمْ يَلْزَمِ اسْتِيفَاؤُهَا لَهُمْ لِوُجُودِهَا فِي حَالٍ لَا يُوجِبُ الْكَفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ حَدَثَتْ بَعْدَ أَمَانِهِمْ فَهِيَ نَوْعَانِ حُقُوقُ أَبْدَانٍ وَحُقُوقُ أَمْوَالٍ

Adapun hukum yang kedua, yaitu pemenuhan hak-hak mereka, maka jika hak tersebut berkaitan dengan selain kaum Muslimin dan ahludz-dzimmah, tidak wajib dipenuhi untuk mereka, baik berkaitan dengan jiwa maupun harta, sebagaimana tidak wajib menolong mereka dari pihak tersebut. Namun jika berkaitan dengan kaum Muslimin dan ahludz-dzimmah, maka perlu dilihat: jika hak tersebut muncul sebelum adanya jaminan keamanan bagi mereka, maka tidak wajib dipenuhi untuk mereka karena hak itu muncul dalam keadaan yang tidak mengharuskan menahan diri dari mereka. Namun jika hak tersebut muncul setelah adanya jaminan keamanan bagi mereka, maka hak itu terbagi menjadi dua jenis: hak-hak yang berkaitan dengan badan dan hak-hak yang berkaitan dengan harta.

فَأَمَّا حُقُوقُ الْأَبْدَانِ كَالْقِصَاصِ فِي الْجِنَايَاتِ فَيَلْزَمُ اسْتِيفَاؤُهَا لَهُمْ لِمَا يَلْزَمُ مِنْ حِرَاسَةِ أَبْدَانِهِمْ وإن كَانَتْ عَلَى مُسْلِمٍ اسْتَحَقُّوا بِهَا الدِّيَةَ وَإِنْ كانت على ذمي استحقوا بها القود

 

فأما حُقُوقُ الْأَمْوَالِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِأَمْوَالِهِمْ أَمَانٌ لم يلزم استيفاؤها لهم واسترجعت الذِّمِّيِّ لِبَيْتِ الْمَالِ وَأُقِرَّتْ عَلَى الْمُسْلِمِ إِنْ أَخَذَهَا قَهْرًا بَعْدَ أَخْذِ خُمُسِهَا مِنْهُ؛ لِأَنَّهَا غَنِيمَةٌ وَإِنْ أَخَذَهَا اخْتِلَاسًا انْتُزِعَتْ مِنْهُ لِبَيْتِ المال؛ لأنها فيء به وَإِنْ كَانَ لِأَمْوَالِهِمْ أَمَانٌ وَجَبَ اسْتِيفَاؤُهَا لَهُمْ كما وجب استيفاء حقوقهم من أَبْدَانِهِمْ لِاشْتِمَالِ أَمَانِهِمْ عَلَى أَبْدَانِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ فَتُسْتَوْفَى مِنَ الْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ فَإِنْ سُرِقَتِ الْأَمْوَالُ مِنْهُمْ قُطِعَ سَارِقُهَا مُسْلِمًا كَانَ أَوْ ذِمِّيًّا لِأَنَّهُ لَا شُبْهَةَ فِي أَمْوَالِهِمْ بَعْدَ الْأَمَانِ لِمُسْلِمٍ ولا ذمي

Adapun hak-hak harta, jika harta mereka tidak memiliki jaminan keamanan, maka tidak wajib dipenuhi untuk mereka dan harta dzimmi dikembalikan ke Baitul Mal, serta tetap berada pada tangan muslim jika ia mengambilnya secara paksa setelah diambil seperlimanya darinya; karena itu dianggap sebagai ghanimah. Jika ia mengambilnya secara sembunyi-sembunyi, maka harta itu diambil darinya untuk Baitul Mal; karena itu dianggap sebagai fai’. Namun jika harta mereka memiliki jaminan keamanan, maka wajib dipenuhi untuk mereka sebagaimana wajibnya pemenuhan hak-hak mereka atas badan mereka, karena jaminan keamanan mereka mencakup badan dan harta mereka. Maka hak-hak itu dipenuhi dari muslim maupun dzimmi. Jika harta mereka dicuri, maka pencurinya dipotong tangannya, baik ia seorang muslim maupun dzimmi, karena tidak ada syubhat dalam harta mereka setelah adanya jaminan keamanan, baik bagi muslim maupun dzimmi.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا أَقْطَعُهُ اسْتِحْسَانًا

Abu Hanifah berkata, “Aku tidak memotongnya berdasarkan istihsan.”

وَدَلِيلُنَا مع عموم الظواهر أَنَّ مَنْ ضُمِنَ مَالُهُ جَازَ أَنْ يُقْطَعَ سَارِقُهُ قِيَاسًا عَلَى مَالِ الذِّمِّيِّ وَلِأَنَّ مَا وجب بسرقة مال الذمي وجب سرقة مَالِ الْمُسْتَأْمَنِ كَالضَّمَانِ

Dan dalil kami, bersama dengan keumuman zhahir-zhahir (teks-teks yang jelas), adalah bahwa siapa saja yang hartanya dijamin, maka boleh dipotong tangan pencurinya dengan qiyās atas harta dzimmi. Karena apa yang wajib akibat pencurian harta dzimmi juga wajib akibat pencurian harta musta’man, seperti kewajiban jaminan.

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّالِثُ فِي اسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ مِنْهُمْ فَيُنْظَرُ فَإِنْ تَقَدَّمَتْ عَلَى أَمَانِهِمْ لَمْ يَلْزَمِ اسْتِيفَاؤُهَا مِنْهُمْ سَوَاءٌ كَانَتْ لِمُسْلِمٍ أَوْ ذِمِّيٍّ كَمَا لَا يَلْزَمُ اسْتِيفَاؤُهَا مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ إِذَا أَسْلَمُوا وَإِنْ لَزِمَتْهُمْ بَعْدَ أَمَانِهِمْ لَمْ يَخْلُ مَا لَزِمَهُمْ مِنَ الْحُقُوقِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Adapun hukum ketiga terkait penagihan hak-hak dari mereka, maka diperhatikan: jika hak-hak tersebut muncul sebelum mereka mendapatkan amān, maka tidak wajib menagihnya dari mereka, baik hak itu milik seorang Muslim maupun dzimmī, sebagaimana tidak wajib menagihnya dari ahl al-harb jika mereka telah masuk Islam. Namun, jika hak-hak itu menjadi kewajiban mereka setelah mendapatkan amān, maka hak-hak yang menjadi kewajiban mereka itu tidak lepas dari tiga macam.

أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ حقوق الآدميين المحضة

Salah satunya adalah hak-hak manusia murni.

والثاني أن تكون حقوق الله تعالى المحضة

Kedua, yaitu hak-hak Allah Ta‘ala yang murni.

والثالث أن تكون من الحقوق المشتركة

Dan yang ketiga adalah termasuk hak-hak yang bersifat bersama.

فَإِنْ كَانَتْ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ الْمَحْضَةِ نُظِرَ مُسْتَحِقُّهَا فَإِنْ كَانَ مِنْهُمْ لَمْ يَلْزَمِ اسْتِيفَاؤُهَا لَهُ سَوَاءٌ كَانَتْ فِي مَالٍ أَوْ بَدَنٍ وَقِيلَ لَهُمْ إِنْ تَنَاصَفْتُمْ وَإِلَّا نَبَذْنَا إِلَيْكُمْ عَهْدَكُمْ ثُمَّ صِرْتُمْ بَعْدَ بُلُوغِ مَأْمَنِكُمْ حَرْبًا لِمَا تُوجِبُهُ دَارُ الْإِسْلَامِ مِنَ التَّنَاصُفِ وَإِنْ كَانَ مُسْتَحِقُّهَا مُسْلِمًا أَوْ ذِمِّيًّا وَجَبَ أَنْ يُسْتَوْفَى لَهُ حَقُّهُ مِنْهُمْ سَوَاءٌ كَانَ الْحَقُّ في بدن كالقصاص أو في مال كالديون والْغُصُوبِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ بِالْأَمَانِ أَنْ نُؤَمِّنَهُمْ وجب أن نأمنهم بما يُوجِبُهُ الْأَمَانُ مِنْ تَسَاوِي الْجِهَتَيْنِ فِيهِ

Jika hak tersebut murni merupakan hak-hak manusia, maka dilihat siapa yang berhak menerimanya. Jika yang berhak adalah salah satu dari mereka, maka tidak wajib untuk memenuhinya baginya, baik hak itu berkaitan dengan harta maupun badan. Kepada mereka dikatakan: “Jika kalian mau saling membagi secara adil, silakan; jika tidak, maka kami akan mengembalikan perjanjian kalian kepada kalian, lalu setelah kalian sampai di tempat aman, kalian menjadi musuh, sesuai dengan apa yang dituntut oleh Dār al-Islām dalam hal keadilan.” Namun, jika yang berhak menerima adalah seorang Muslim atau dzimmi, maka wajib dipenuhi haknya dari mereka, baik hak itu berkaitan dengan badan seperti qishāsh, atau berkaitan dengan harta seperti utang dan barang rampasan; karena ketika keamanan telah mewajibkan kita untuk memberikan perlindungan kepada mereka, maka wajib pula bagi kita untuk memberikan perlindungan sesuai dengan apa yang dituntut oleh keamanan, yaitu kesetaraan kedua belah pihak di dalamnya.

وَأَمَّا حقوق الله المحضة فقتل بردة وحد فِي زِنًا فَأَمَّا الْقَتْلُ بِالرِّدَّةِ فَيَسْقُطُ عَنْهُمْ وَلَا يُسْتَوْفَى مِنْهُمْ؛ لِأَنَّ عَهْدَهُمْ يَعُمُّ مَنْ يُقَرُّ عَلَى دِينِهِ وَمَنْ لَا يُقَرُّ بِخِلَافِ الذِّمَّةِ الَّتِي لَا تَسْتَقِرُّ إِلَّا فِيمَنْ يُقَرُّ على دينه ويكونون بَعْدَ الرِّدَّةِ عَلَى عَهْدِهِمْ إِلَى انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ

Adapun hak-hak Allah semata seperti hukuman mati karena riddah dan had dalam zina, maka hukuman mati karena riddah gugur dari mereka dan tidak dilaksanakan atas mereka; karena perjanjian mereka mencakup orang yang diakui tetap dalam agamanya dan orang yang tidak diakui, berbeda dengan perjanjian dzimmah yang hanya berlaku bagi orang yang diakui tetap dalam agamanya, dan mereka setelah murtad tetap berada dalam perjanjian mereka hingga masa perjanjiannya berakhir.

وَأَمَّا حَدُّ الزِّنَا فَيَسْقُطُ عَنْهُمْ كَالْقَتْلِ بِالرِّدَّةِ لَكِنْ يُنْظَرُ فِي الْمَزْنِيِّ بِهَا فَإِنَّهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا مُعَاهَدَةٌ أَوْ ذِمِّيَّةٌ وَإِمَّا مُسْلِمَةٌ فإن كانت معاهدة لم يلزم استنابة الزاني وَقِيلَ لَهُمْ دَارُ الْإِسْلَامِ تَمْنَعُ مِنَ ارْتِكَابِ الْفَوَاحِشِ فَإِنْ كَفَفْتُمْ عَنْهَا وَإِلَّا مُنِعْتُمْ مِنَ الْمُقَامِ فِيهَا وَإِنْ كَانَ الْمَزْنِيُّ بِهَا ذِمِّيَّةً وَجَبَ أَنْ يُسْتَتَابُوا مِنْ هَذَا الزِّنَا بِمِثْلِهَا وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ نَقْضًا لِأَمَانِهِمْ فَإِنْ تَابُوا وَإِلَّا نَبَذْنَا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ لِيَبْلُغُوا مَأْمَنَهُمْ ثُمَّ يَصِيرُوا حَرْبًا وَإِنْ كَانَ الْمَزْنِيُّ بِهَا مُسْلِمَةً كَانَ الزِّنَا نَقْضًا لِأَمَانِهِمْ إِنْ شُرِطَ ذَلِكَ فِي عَهْدِهِمْ وَبَلَغُوا مَأْمَنَهُمْ وَصَارُوا حَرْبًا وَإِنْ لم يشترط ذلك عليهم في عهدهم استتيبوا منه فإن تابوا وإلا نبذن إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ حَتَّى يَبْلُغُوا مَأْمَنَهُمْ ثُمَّ يَصِيرُوا حَرْبًا

Adapun hukuman zina, maka gugur dari mereka sebagaimana hukuman pembunuhan karena riddah, namun perlu diperhatikan terhadap orang yang dizinai, karena ia salah satu dari tiga golongan: bisa jadi ia adalah mu‘āhadah, atau dzimmiyyah, atau muslimah. Jika yang dizinai adalah mu‘āhadah, maka tidak wajib meminta pertobatan dari pezina, dan dikatakan kepada mereka bahwa Dār al-Islām melarang perbuatan keji; jika kalian berhenti darinya maka baik, jika tidak, kalian dilarang tinggal di sana. Jika yang dizinai adalah dzimmiyyah, maka wajib meminta mereka bertobat dari zina dengan sesama dzimmiyyah, dan hal itu tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap jaminan keamanan mereka. Jika mereka bertobat, maka selesai; jika tidak, maka perjanjian mereka dibatalkan agar mereka dapat mencapai tempat aman mereka, kemudian mereka menjadi musuh. Jika yang dizinai adalah muslimah, maka zina dianggap sebagai pelanggaran terhadap jaminan keamanan mereka jika hal itu disyaratkan dalam perjanjian mereka, dan mereka dibiarkan mencapai tempat aman mereka lalu menjadi musuh. Namun jika hal itu tidak disyaratkan dalam perjanjian mereka, maka mereka diminta bertobat; jika bertobat, maka selesai; jika tidak, maka perjanjian mereka dibatalkan hingga mereka mencapai tempat aman mereka, kemudian mereka menjadi musuh.

وَأَمَّا الْحُقُوقِ الْمُشْتَرَكَةِ بَيْنَ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَحَقِّ الآدميين فهي السرقة وهي المسألة الْكِتَابِ وَإِنَّمَا فَرَّعْنَا مَا قَدَّمْنَاهُ عَلَيْهَا لِارْتِبَاطِ بعضه ببعض اشتمل عَلَى تَقْسِيمِ مَا اتَّصَلَ بِهِ مِنَ الْأَحْكَامِ فَإِذَا سَرَقَ الْمُعَاهَدُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ مَالًا فَإِنْ كَانَ مِنْ مُعَاهَدٍ لم يلزمه أن يأخذه بِغُرْمٍ وَلَا قَطْعٍ لَكِنْ يُقَالُ لَهُمْ دَارُ الإسلام توجب التناصف وتمنع التَّغَالُبِ فَإِنْ تَنَاصَفْتُمْ وَإِلَّا نَبَذْنَا إِلَيْكُمْ عَهْدَكُمْ وَإِنْ سَرَقَ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ ذِمِّيٍّ وَجَبَ أَنْ يُؤْخَذَ بِغُرْمِ مَا سَرَقَ وَفِي وُجُوبِ قطعه قولان أحدهما وهو المنصوص عليه ها هنا وَفِي كِتَابِ ” الْأُمِّ وَنَقَلَهُ الْحَارِثُ بْنُ سُرَيْجٍ النَّقَّالُ أَنَّهُ لَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الله تعالى وأشبه حَدَّ الزِّنَا

Adapun hak-hak yang bersifat gabungan antara hak Allah Ta‘ala dan hak manusia adalah seperti pencurian, yang merupakan permasalahan dalam kitab ini. Kami mengaitkan pembahasan sebelumnya dengan masalah ini karena adanya keterkaitan antara sebagian hukum dengan yang lain, yang mencakup pembagian hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Maka, jika seorang mu‘āhad (non-Muslim yang terikat perjanjian) mencuri harta di wilayah Islam, jika harta itu milik sesama mu‘āhad, maka ia tidak wajib membayar ganti rugi maupun dikenai hukuman potong tangan. Namun, dikatakan kepada mereka: “Wilayah Islam mewajibkan keadilan dan mencegah saling menzalimi. Jika kalian saling berbuat adil, maka tidak masalah. Jika tidak, maka kami akan membatalkan perjanjian kalian.” Jika ia mencuri dari seorang Muslim atau dzimmī, maka wajib baginya membayar ganti rugi atas apa yang ia curi. Adapun mengenai kewajiban potong tangan, terdapat dua pendapat; salah satunya, yang menjadi pendapat utama di sini dan dalam Kitab al-Umm serta dinukil oleh al-Harits bin Surayj an-Naqqāl, adalah bahwa ia tidak dipotong tangannya, karena hal itu termasuk hak Allah Ta‘ala dan menyerupai hukuman zina.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُقْطَعُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَزِمَهُ الْقِصَاصُ حِفْظًا لِلنُّفُوسِ وَلَزِمَهُ حَدُّ الْقَذْفِ حِفْظًا لِلْأَعْرَاضِ لَزِمَهُ قَطْعُ السَّرِقَةِ حِفْظًا لِلْأَمْوَالِ لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” ألا إن دماءكم وأموالكم وأعرضكم حَرَامٌ عَلَيْكُمْ فَجَمَعَ بَيْنَ الدِّمَاءِ وَالْأَمْوَالِ وَالْأَعْرَاضِ فِي التَّحْرِيمِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ جَمِيعُهَا فِي الاستيفاء فصار تَحْرِيرُ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ قَطْعِ السَّرِقَةِ أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا سَرَقَ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ مُعَاهَدٍ غَرِمَ وَقُطِعَ وَالذِّمِّيَّ إِذَا سَرَقَ مِنْ مُسْلِمٍ أو معاهد أغرم وقطع وإذا سَرَقَ مِنْ ذِمِّيٍّ غُرِّمَ وَفِي قَطْعِهِ قَوْلَانِ وَالْمُعَاهَدُ إِذَا سَرَقَ مِنْ مُعَاهَدٍ لَمْ يُغَرَّمْ وَلَمْ يُقْطَعْ وَإِذَا سَرَقَ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ ذمي غرم وَفِي قَطْعِهِ قَوْلَانِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa pelaku dipotong tangannya; karena ketika ia wajib dikenai qishāsh demi menjaga jiwa, dan wajib dikenai had qazaf demi menjaga kehormatan, maka ia juga wajib dikenai hukuman potong tangan atas pencurian demi menjaga harta, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Ketahuilah, sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian.” Maka Nabi mengumpulkan darah, harta, dan kehormatan dalam keharaman, sehingga wajib disamakan semuanya dalam penegakan hukuman. Maka penjelasan dari apa yang telah kami sebutkan tentang hukuman potong tangan atas pencurian adalah bahwa seorang muslim jika mencuri dari muslim atau mu‘āhad, ia wajib mengganti dan dipotong tangannya. Seorang dzimmi jika mencuri dari muslim atau mu‘āhad, ia juga wajib mengganti dan dipotong tangannya. Namun jika ia mencuri dari dzimmi, ia wajib mengganti dan dalam hal pemotongan tangannya terdapat dua pendapat. Adapun mu‘āhad jika mencuri dari mu‘āhad, ia tidak wajib mengganti dan tidak dipotong tangannya. Jika ia mencuri dari muslim atau dzimmi, ia wajib mengganti dan dalam hal pemotongan tangannya terdapat dua pendapat.

فَصْلٌ

Fasal

إِذَا قُطِعَ فِي سَرِقَةِ مَالٍ ثُمَّ سَرَقَهُ ثَانِيَةً قُطِعَ وَكَذَلِكَ ثَالِثَةً وَرَابِعَةً سَوَاءً كَانَ مِنْ مَالِ وَاحِدٍ أَوْ جَمَاعَةٍ

Jika seseorang dipotong tangannya karena mencuri harta, kemudian ia mencuri lagi untuk kedua kalinya, maka dipotong lagi; demikian juga untuk ketiga dan keempat kalinya, baik harta itu milik satu orang maupun milik sekelompok orang.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِذَا قُطِعَ فِي مَالٍ لَمْ يُقْطَعْ فِيهِ ثَانِيَةً إِلَّا أَنْ يَتَغَيَّرَ عَنْ حَالِهِ كَالْغَزْلِ إِذَا نُسِجَ وَالطَّعَامِ إِذَا طُحِنَ احْتِجَاجًا بِأَنَّ الْقَطْعَ يَتَعَلَّقُ بِعَيْنٍ وَفِعْلٍ فَلَمَّا كَانَ الْفِعْلُ الْوَاحِدُ فِي عَيْنَيْنِ يُوجِبُ قَطْعًا وَاحِدًا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْفِعْلَانِ فِي عَيْنٍ وَاحِدَةٍ يُوجِبُ قَطْعًا وَاحِدًا ولأن قطع السرقة في حراسة الْأَمْوَالِ مُقَابِلٌ لِحَدِّ الْقَذْفِ فِي صِيَانَةِ الْأَعْرَاضِ ثُمَّ لَمَّا لَمْ يَتَكَرَّرْ حَدُّ الْقَذْفِ فِي الرَّجُلِ الْوَاحِدِ وَجَبَ أَنْ لَا يَتَكَرَّرَ قَطْعُ السَّرِقَةِ فِي الْمَالِ الْوَاحِدِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa jika seseorang telah dipotong tangannya karena mencuri suatu harta, maka ia tidak dipotong lagi untuk harta yang sama, kecuali jika harta tersebut telah berubah dari keadaannya semula, seperti benang yang telah ditenun atau makanan yang telah digiling. Ia beralasan bahwa hukuman potong tangan berkaitan dengan benda tertentu dan perbuatan tertentu. Maka, ketika satu perbuatan pada dua benda mewajibkan satu kali pemotongan, seharusnya dua perbuatan pada satu benda juga mewajibkan satu kali pemotongan. Selain itu, hukuman potong tangan dalam kasus pencurian untuk menjaga harta sebanding dengan hukuman had qazaf untuk menjaga kehormatan. Maka, sebagaimana hukuman had qazaf tidak diulang pada satu orang, demikian pula hukuman potong tangan karena pencurian tidak diulang pada satu harta yang sama.

وَتَحْرِيرُهُ أَنَّهُ حَدٌّ يَقِفُ اسْتِيفَاؤُهُ عَلَى مُطَالَبَةِ آدَمِيٍّ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَكَرَّرَ فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ كَالْقَذْفِ

Penjelasannya adalah bahwa ia merupakan hudud yang pelaksanaannya bergantung pada tuntutan dari seorang manusia, sehingga wajib untuk tidak diulang pada satu orang, seperti dalam kasus qadzaf (tuduhan zina).

وَدَلِيلُنَا مَعَ عُمُومِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ هُوَ أَنَّهُ فِعْلٌ يُوجِبُ الْحَدَّ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ تَكَرُّرُهُ فِي الْعَيْنِ الْوَاحِدَةِ كَتَكَرُّرِهِ فِي الْأَعْيَانِ الْمُخْتَلِفَةِ كَالزِّنَا يُحَدُّ إِذَا تَكَرَّرَ فِي الْوَاحِدِ كَمَا يُحَدُّ إِذَا تَكَرَّرَ فِي الْجَمَاعَةِ

Dan dalil kami, selain keumuman al-Qur’an dan sunnah, adalah bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang mewajibkan hukuman hadd, maka wajib hukuman itu dijatuhkan atas pengulangan perbuatan pada orang yang sama sebagaimana dijatuhkan atas pengulangan pada orang-orang yang berbeda, seperti zina yang dikenakan hukuman hadd jika diulangi pada satu orang, sebagaimana dikenakan jika diulangi pada beberapa orang.

فَإِنْ قِيلَ مَحَلُّ الْحَدِّ فِي الزِّنَا مَوْجُودٌ فَجَازَ أَنْ يَتَكَرَّرَ وَمَحَلُّ الْقَطْعِ مَفْقُودٌ فَلَمْ يَتَكَرَّرْ

Jika dikatakan bahwa tempat pelaksanaan hadd pada zina itu ada, sehingga memungkinkan untuk diulang, sedangkan tempat pelaksanaan pemotongan (tangan) tidak ada, maka tidak dapat diulang.

قِيلَ هَذَا تَعْلِيلٌ يَبْطُلُ فِي الزِّنَا بِحَدِّ الْقَذْفِ؛ لِأَنَّ مَحَلَّهُ مَوْجُودٌ وَلَا يَتَكَرَّرُ وَيَبْطُلُ فِي السَّرِقَةِ بِالْقَطْعِ فِي الْغَزْلِ إِذَا نُسِجَ فَإِنَّ مَحَلَّهُ مَفْقُودٌ وَقَطْعُهُ يَتَكَرَّرُ

Dikatakan bahwa ini adalah alasan (‘illat) yang batal dalam kasus zina dengan hukuman had qadzaf; karena tempat penerapannya ada dan tidak berulang. Dan batal pula dalam kasus pencurian dengan hukuman potong tangan pada benang yang telah ditenun, karena tempat penerapannya tidak ada dan pemotongannya dapat berulang.

ثُمَّ يُقَالُ؛ مَحَلُّ الْقَطْعِ فِي الثَّانِيَةِ بَاقٍ؛ لِأَنَّ الْأَطْرَافَ الْأَرْبَعَةَ مَحَلٌّ لَهُ فَلَمْ يَسْلَمِ التَّعْلِيلُ بِمَا قَدَّمْنَاهُ وَلَا وَضَحَ الْفَرْقُ بِمَا بَيَّنَّاهُ

Kemudian dikatakan; tempat pemotongan pada yang kedua masih tetap, karena keempat anggota itu merupakan tempat (pemotongan) baginya, sehingga alasan yang telah kami kemukakan sebelumnya tidak dapat diterima, dan perbedaan yang telah kami jelaskan pun tidak menjadi jelas.

وَلِأَنَّ كُلَّ عَيْنٍ إِذَا سَرَقَهَا غَيْرُ سارقها قطع فوجب إذا سرقها أَنْ يُقْطَعَ كَالْغَزْلِ إِذَا نُسِجَ

Dan karena setiap barang jika dicuri oleh selain pencurinya maka pelaku dipotong tangannya, maka wajib pula jika pencurinya sendiri yang mencurinya untuk dipotong, seperti benang jika sudah ditenun.

فَإِنْ قِيلَ لأن الثَّوْبَ الْمَنْسُوجَ لَا يُسَمَّى غَزْلًا فَجَازَ أَنْ يُقْطَعَ فِيهِ ثَانِيًا انْتَقَضَ عَلَى أَصْلِهِ بِالْجَدْيِ إِذَا قُطِعَ فِيهِ ثُمَّ سَرَقَهُ وَقَدْ صَارَ تَيْسًا لَمْ يُقْطَعْ عِنْدَهُ وَإِنْ لَمْ يُسَمَّ جَدْيًا فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِأَنَّ الْفِعْلَ كَالْعَيْنِ مَعَ انْتِقَاضِهِ بِالْغَزْلِ إِذَا نُسِجَ فَهُوَ أَنَّ الْفِعْلَ الْوَاحِدَ فِي الْعَيْنَيْنِ سَرِقَةٌ وَاحِدَةٌ فَلِذَلِكَ قُطِعَ فِيهَا قَطْعًا وَاحِدًا وَالْفِعْلَانِ فِي الْعَيْنِ الْوَاحِدَةِ سَرِقَتَانِ فَلِذَلِكَ قُطِعَ فِيهَا قَطْعَانِ ويدل عليها الأيمان

Jika dikatakan: Karena kain yang sudah ditenun tidak lagi disebut benang pintalan, maka boleh saja dipotong (tangan) untuk kedua kalinya dalam kasus itu, maka pendapat ini terbantahkan menurut pendapat asalnya sendiri dengan kasus anak kambing; jika seseorang mencuri anak kambing lalu mencurinya lagi setelah kambing itu menjadi kambing dewasa, maka menurutnya tidak dipotong (tangannya), meskipun sudah tidak lagi disebut anak kambing. Adapun jawaban terhadap argumentasinya bahwa perbuatan itu seperti benda (yang dicuri), meskipun telah terbantahkan dengan kasus benang pintalan yang telah ditenun, adalah bahwa satu perbuatan pada dua benda adalah satu pencurian, maka karena itu dipotong satu kali saja; sedangkan dua perbuatan pada satu benda adalah dua pencurian, maka karena itu dipotong dua kali. Hal ini juga ditunjukkan oleh sumpah-sumpah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْقَذْفِ مَعَ انْتِقَاضِهِ بِالْغَزْلِ إِذَا نُسِجَ فَهُوَ أَنَّ حَدَّهُ فِي الْقَذْفِ قَدْ أَثْبَتَ كَذِبَهُ فَلَمْ يُحَدَّ فِي الثَّانِي مَعَ ثُبُوتِ كَذِبِهِ كَمَا لَوْ قَالَ لِصَغِيرَيْنِ لَا يُجَامِعُ مِثْلُهُمَا قَدْ زَنَيْتُمَا لَمْ يُحَدَّ لَهُمَا وَلَيْسَ كَذَلِكَ قَطْعُ السَّرِقَةِ؛ لِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ لِصِيَانَةِ الْمَالِ وَحِرَاسَتِهِ فَكَانَ مَعْنَى الْقَطْعِ فِي الْأَوَّلِ مَوْجُودًا فِي السَّرِقَةِ الثَّانِيَةِ فَقُطِعَ فِيهَا ثَانِيَةً وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Adapun jawaban atas qiyās yang disamakan dengan kasus qadzaf, meskipun telah dibantah dengan perumpamaan benang yang telah ditenun, adalah bahwa had dalam kasus qadzaf telah menetapkan kebohongannya, sehingga tidak dikenakan had pada yang kedua meskipun kebohongannya telah terbukti, sebagaimana jika seseorang berkata kepada dua anak kecil yang belum mungkin melakukan hubungan suami istri, “Kalian berdua telah berzina,” maka tidak dikenakan had kepada mereka. Tidak demikian halnya dengan pemotongan tangan pencuri; karena hukuman itu ditetapkan untuk menjaga dan melindungi harta, maka makna pemotongan tangan pada pencurian pertama juga terdapat pada pencurian kedua, sehingga dipotong pula pada pencurian kedua. Allah Maha Mengetahui.

باب الإقرار بالسرقة والشهادة عليها

Bab Pengakuan atas Pencurian dan Persaksian terhadapnya

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَا يُقَامُ عَلَى سَارِقٍ حَدٌّ إِلَّا بِأَنْ يَثْبُتَ عَلَى إِقْرَارِهِ حَتَّى يُقَامَ عَلَيْهِ الْحَدُّ أو بعدلين يقولان إِنَّ هَذَا بِعَيْنِهِ سَرَقَ مَتَاعًا لِهَذَا مِنْ حرزه بصفاته يُسَاوِي رُبُعَ دِينَارٍ وَيُحْضَرُ الْمَسْرُوقُ مِنْهُ وَيَدَّعِي شَهَادَتَهُمَا

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tidak ditegakkan hudud atas seorang pencuri kecuali jika ia tetap pada pengakuannya hingga hudud ditegakkan atasnya, atau dengan kesaksian dua orang yang adil yang mengatakan bahwa orang ini secara langsung telah mencuri barang milik orang ini dari tempat penyimpanannya dengan sifat-sifat barang tersebut yang senilai seperempat dinar, dan orang yang kehilangan barang tersebut dihadirkan serta mengakui kesaksian keduanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَخْلُو ثُبُوتُ السَّرِقَةَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ketahuilah bahwa penetapan terjadinya pencurian tidak lepas dari salah satu dari dua perkara.”

إِمَّا أَنْ تكون عن دعوى المالك أو يغير دَعْوَاهُ فَإِنْ كَانَ عَنْ دَعْوَى الْمَالِكِ فَثُبُوتُهَا على السارق ويكون إِمَّا بِإِقْرَارٍ أَوْ بَيِّنَةٍ فَإِنْ كَانَ بِإِقْرَارٍ حُكِمَ عَلَيْهِ بِالسَّرِقَةِ بِإِقْرَارِ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَإِنْ خَالَفَا فِي الزِّنَا فَلَمْ يَحُدَّاهُ إِلَّا بِإِقْرَارِهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ اعْتِبَارًا بِعَدَدِ الشَّهَادَةِ فِيهِ وَوَافَقَا فِي السَّرِقَةِ أنها تلزمه بإقرار مَرَّةً وَاحِدَةً وَلَا يُعْتَبَرُ عَدَدُ الشَّهَادَةِ فِيهِ

Hal itu bisa terjadi karena adanya tuntutan dari pemilik atau karena ia mengubah tuntutannya. Jika berasal dari tuntutan pemilik, maka pembuktiannya atas pencuri dapat dilakukan dengan pengakuan atau dengan bukti (bayyinah). Jika dengan pengakuan, maka dijatuhkan hukuman atasnya karena pencurian dengan satu kali pengakuan saja. Inilah pendapat Malik dan Abu Hanifah, meskipun keduanya berbeda pendapat dalam kasus zina, di mana mereka tidak menetapkan hukuman kecuali dengan pengakuan sebanyak empat kali, mengikuti jumlah saksi dalam kasus tersebut. Namun, keduanya sepakat dalam kasus pencurian bahwa cukup dengan satu kali pengakuan saja, dan jumlah saksi tidak menjadi pertimbangan di dalamnya.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى وَابْنُ شُبْرُمَةَ وَأَبُو يُوسُفَ وَزُفَرُ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ لَا تَثْبُتُ السَّرِقَةُ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يُقِرَّ بِهَا مَرَّتَيْنِ اعْتِبَارًا بِعَدَدِ الشَّهَادَةِ فِيهِ كَالزِّنَا؛ لِأَنَّهَا حَدٌّ لِلَّهِ تعالى واحتجاجاً بأن سارقاً أقر عند علي عليه السلام بالسرقة فانتهره فأقر ثانية فقال الآن أَقْرَرْتَ مَرَّتَيْنِ وَقَطَعَهُ

Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, Zufar, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa pencurian tidak dapat ditetapkan atas seseorang kecuali jika ia mengakuinya dua kali, dengan pertimbangan jumlah saksi dalam perkara ini seperti dalam kasus zina; karena hal itu merupakan hudud bagi Allah Ta‘ala. Mereka juga berdalil dengan kisah seorang pencuri yang mengaku di hadapan Ali ‘alaihis salam atas perbuatan mencuri, lalu Ali menegurnya, kemudian ia mengaku lagi untuk kedua kalinya. Maka Ali berkata, “Sekarang engkau telah mengaku dua kali,” lalu beliau memotong tangannya.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” من أتى من هذه القاذروات شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ حَدَّ اللَّهِ عَلَيْهِ وَلِأَنَّهُ حَقٌّ يَثْبُتُ بِالْإِقْرَارِ فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى التَّكْرَارِ كسائر الحقوق

Dan dalil kami adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa melakukan salah satu dari perbuatan keji ini, hendaklah ia menutupi dirinya dengan perlindungan Allah. Karena siapa yang menampakkan dirinya kepada kami, maka kami akan menegakkan hudud Allah atasnya.” Dan karena ini adalah hak yang dapat ditetapkan dengan pengakuan, maka tidak memerlukan pengulangan, sebagaimana hak-hak lainnya.

فأما انتهار علي المقر فَالظَّاهِرُ مِنْهُ التَّنْبِيهُ عَلَى رُجُوعِهِ مِنْهُ فَلَمْ يجز أن يعدل به عن ظاهره

Adapun membentak orang yang mengaku, maka yang tampak darinya adalah sebagai peringatan agar ia menarik kembali pengakuannya, sehingga tidak boleh dialihkan dari makna zahirnya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ رَجَعَ عَنْ إِقْرَارِهِ لَمْ يُقْبَلْ رُجُوعُهُ فِي الْغُرْمِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَفِي قَبُولِ رُجُوعِهِ فِي سُقُوطِ الْقَطَعِ قَوْلَانِ

Jika ia menarik kembali pengakuannya, maka penarikannya tidak diterima dalam hal kewajiban membayar ganti rugi, karena itu termasuk hak-hak manusia. Adapun mengenai diterimanya penarikan kembali pengakuan tersebut dalam menggugurkan hukuman potong (tangan), terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ يُقْبَلُ رُجُوعُهُ وَيَسْقُطُ عَنْهُ الْقَطْعُ كَالزِّنَا

Salah satu pendapat, yang merupakan makna lahir dari perkataannya di tempat ini, adalah bahwa rujukannya diterima dan hukuman qath‘ gugur darinya, seperti pada kasus zina.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ رُجُوعُهُ وَيُقْطَعُ كَمَا لَا يُقْبَلُ رُجُوعُهُ عَنِ الْقَذْفِ فِي سُقُوطِ الْحَدِّ وَلِأَنَّ السَّرِقَةَ يَتَعَلَّقُ بِهَا حَقُّ آدَمِيٍّ لَا يُقْبَلُ رُجُوعُهُ فِيهِ فَكَانَ حَقُّ الله تعالى فِي الْقَطْعِ تَبَعًا لَهُ بِخِلَافِ الزِّنَا الْمُخْتَصِّ بِحَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَحْدَهُ فَإِنْ رَجَعَ عَنِ الْإِقْرَارِ بِشُرْبِ الْخَمْرِ سَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ قَوْلًا واحداً كالزنا؛ لاختصاصه بحق الله تعالى وَحْدَهُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa pencabutan pengakuan tidak diterima dan pelaku tetap dipotong tangannya, sebagaimana pencabutan pengakuan atas tuduhan qazaf tidak diterima dalam menggugurkan had. Hal ini karena pencurian berkaitan dengan hak manusia, sehingga pencabutan pengakuan tidak diterima di dalamnya. Maka, hak Allah Ta‘ala dalam pemotongan tangan mengikuti hak manusia tersebut, berbeda dengan zina yang khusus merupakan hak Allah Ta‘ala semata. Jika seseorang mencabut pengakuan atas perbuatan minum khamar, maka had gugur darinya menurut satu pendapat, sebagaimana pada kasus zina, karena keduanya khusus merupakan hak Allah Ta‘ala semata.

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ

Maka apabila telah dijelaskan argumentasi dari kedua pendapat tersebut.

فَإِنْ قِيلَ بِأَنَّ رُجُوعَهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ قُطِعَ فَإِنْ هَرَبَ لَمْ يُطْلَبْ

Jika dikatakan bahwa pencabutannya (dari pengakuan) tidak diterima secara pasti, maka jika ia melarikan diri, ia tidak dicari.

رَوَى عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ مَيْسَرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ وَأُمُّهُ إِلَى عَلِيٍّ عليه السلام فقالت الأم إن ابني هذا قَتَلَ زَوْجِي فَقَالَ الِابْنُ إِنَّ عَبْدِي وَقَعَ عَلَى أُمِّي فَقَالَ عَلِيٌّ إِنْ تَكُونِي صَادِقَةً يُقْتَلُ ابْنُكِ وَإِنْ يَكُنِ ابْنُكِ صَادِقًا نَرْجُمُكِ ثم قام علي عليه السلام لِلصَّلَاةِ فَقَالَ الْغُلَامُ لِأُمِّهِ مَا تَنْتَظِرِينَ أَنْ يقتلني أو يرجمك فانصرفا فلما صلى سَأَلَ عَنْهُمَا فَقِيلَ انْطَلَقَا فَلَمْ يَطْلُبْهُمَا وَإِنْ قِيلَ إِنَّ رُجُوعَهُ مَقْبُولٌ لَمْ يَخْلُ السَّارِقُ عِنْدَ رُجُوعِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ

Atha’ bin as-Sa’ib meriwayatkan dari Maisarah, ia berkata: Seorang laki-laki dan ibunya datang kepada Ali ‘alaihis salam. Sang ibu berkata, “Anak laki-lakiku ini telah membunuh suamiku.” Lalu sang anak berkata, “Budakku telah meniduri ibuku.” Maka Ali berkata, “Jika engkau (wahai ibu) benar, anakmu akan dibunuh. Dan jika anakmu benar, kami akan merajammu.” Kemudian Ali ‘alaihis salam berdiri untuk melaksanakan shalat. Maka sang anak berkata kepada ibunya, “Apa yang kau tunggu? Apakah engkau menunggu aku dibunuh atau engkau dirajam?” Maka keduanya pun pergi. Setelah Ali selesai shalat, ia bertanya tentang mereka berdua, lalu dikatakan kepadanya bahwa mereka telah pergi, maka ia tidak mencarinya. Dan jika dikatakan bahwa rujuknya diterima, maka tidak lepas dari tiga keadaan bagi pencuri ketika ia rujuk.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ قَدْ قُطِعَ فَلَا يَكُونُ لِرُجُوعِهِ تَأْثِيرٌ

Salah satunya adalah jika telah diputuskan, maka kembalinya tidak berpengaruh.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ سَلِيمًا لَمْ يُقْطَعْ فَسَقَطَ الْقَطْعُ عَنْهُ فَإِنْ قُطِعَ بَعْدَ ذَلِكَ كَانَتْ جِنَايَةً مِنْ قَاطِعِهِ يُؤْخَذُ بِحُكْمِ جِنَايَتِهِ

Keadaan kedua adalah apabila (anggota tubuh) itu masih utuh dan belum dipotong, maka hukuman potong tidak berlaku atasnya. Jika kemudian dipotong setelah itu, maka pemotongan tersebut dianggap sebagai tindak kejahatan dari orang yang memotongnya, dan ia dikenai hukum atas tindak kejahatannya itu.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِي الْقَطْعِ وَحَزِّ السِّكِّينِ فِي يَدِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Keadaan ketiga adalah setelah dimulainya pemotongan dan pisau telah melukai tangannya, maka dalam hal ini terdapat dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يُمْكِنَ بَقَاؤُهَا عَلَى زَنْدِهِ بعد عمل السكين فيها فالواجب أن تستبقا وَلَا تُفْصَلَ مِنْ زَنْدِهِ سَوَاءٌ انْتَفَعَ بِهَا أَوْ لَمْ يَنْتَفِعْ إِذَا لَمْ يَسْتَضِرَّ بِهَا

Salah satunya adalah bahwa kulit itu masih mungkin tetap berada pada pergelangan tangannya setelah disembelih dengan pisau, maka wajib untuk membiarkannya tetap menempel dan tidak memisahkannya dari pergelangan tangannya, baik kulit itu dimanfaatkan maupun tidak, selama tidak menimbulkan mudarat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يُمْكِنَ بَقَاؤُهَا عَلَى زنده لانفصال أكثرها فلا تلزم إِبَانَتُهَا فِي حَقِّ السَّرِقَةِ لِسُقُوطِهِ عَنْهُ وَقِيلَ لَهُ إِنْ شِئْتَ أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّ نَفْسِكَ وَمَصْلَحَةِ جَسَدِكَ فَافْعَلْ وَإِنْ تَرَكْتَهَا عَلَى حَالِهَا لَمْ تُمْنَعْ

Jenis yang kedua adalah apabila tidak mungkin anggota itu tetap berada pada lengan karena sebagian besarnya telah terlepas, maka tidak wajib memotongnya dalam kasus pencurian karena hukumnya telah gugur darinya. Dan dikatakan kepadanya: Jika engkau ingin melakukan itu demi dirimu sendiri dan demi kemaslahatan tubuhmu, maka lakukanlah. Namun jika engkau membiarkannya dalam keadaannya, maka tidak dilarang.

فَإِنْ أَقَرَّ بِالسَّرِقَةِ نَفْسَانِ عَنِ اشْتِرَاكٍ فِيهَا ثُمَّ رَجَعَ عَنْهَا أَحَدُهُمَا دُونَ الْآخَرِ سَقَطَ الْقَطْعُ عَنِ الرَّاجِعِ مِنْهُمَا دُونَ الْآخَرِ؛ لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمَ نَفْسِهِ وَإِنِ اشْتَرَكَا

Jika dua orang mengakui telah melakukan pencurian bersama-sama, kemudian salah satu dari mereka menarik kembali pengakuannya sementara yang lain tetap pada pengakuannya, maka hukuman potong tangan gugur dari orang yang menarik kembali pengakuannya, tetapi tetap berlaku bagi yang tidak menarik kembali. Sebab, masing-masing dari mereka memiliki hukum tersendiri, meskipun mereka bersekutu dalam perbuatan tersebut.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا أَتَى مَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ إِلَّا بِإِقْرَارِهِ فَلَا يَخْلُو الْحَدُّ مِنْ أَنْ يَكُونَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَإِنْ كَانَ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ كَالْقِصَاصِ وحد القذف لزمه الإقرار به ولم يصح كتمه؛ لِأَنَّهُ لَا يَسْقُطُ بِالتَّوْبَةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى كَحَدِّ الزِّنَا وَقَطْعِ السَّرِقَةِ وَجَلْدِ الْخَمْرِ فَقَدْ قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ إِنْ لَمْ يَتَكَرَّرْ ذَلِكَ مِنْهُ وَلَا كَانَ مَشْهُورًا بِهِ فَالْمُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يَكْتُمَهُ على نفسه ولا يقر به فإن تَكَرَّرَ مِنْهُ وَكَانَ مَشْهُورًا بِهِ فَالْمُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُقِرَّ بِهِ وَلَا يَكْتُمَهُ وَلَيْسَ لِهَذَا الْفَرْقِ وَجْهٌ وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنْ يَنْظُرَ فَإِنْ تاب منه فأستحب لَهُ أَنْ يَكْتُمَهُ وَلَا يُقِرَّ بِهِ؛ لِقَوْلِ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ أَتَى مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ حَدَّ اللَّهِ عَلَيْهِ

Apabila seseorang melakukan perbuatan yang mewajibkan hukuman hadd dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali melalui pengakuannya sendiri, maka hukuman hadd tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa termasuk hak Allah Ta‘ala atau hak manusia. Jika termasuk hak manusia, seperti qishāsh dan hadd qadzaf (tuduhan zina), maka ia wajib mengakuinya dan tidak sah menyembunyikannya, karena hukuman tersebut tidak gugur dengan taubat. Namun jika termasuk hak Allah Ta‘ala, seperti hadd zina, potong tangan karena mencuri, dan cambuk karena minum khamr, maka menurut Abu Hamid al-Isfara’ini, jika perbuatan itu tidak berulang dan pelakunya tidak dikenal dengan perbuatan tersebut, maka yang dianjurkan baginya adalah menyembunyikannya dan tidak mengakuinya. Tetapi jika perbuatan itu berulang dan pelakunya dikenal dengan perbuatan tersebut, maka yang dianjurkan baginya adalah mengakuinya dan tidak menyembunyikannya. Namun, pembedaan ini tidak memiliki dasar yang kuat. Pendapat yang benar menurutku adalah: hendaknya dilihat, jika ia telah bertaubat dari perbuatan itu, maka yang dianjurkan baginya adalah menyembunyikannya dan tidak mengakuinya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa melakukan salah satu dari perbuatan keji ini, hendaklah ia menutupi dirinya dengan perlindungan Allah, karena siapa yang menampakkan perbuatannya kepada kami, maka kami akan menegakkan hadd Allah atasnya.”

وَإِنْ لَمْ يَتُبْ فَالْأَوْلَى أَنْ يُقِرَّ بِهِ؛ لِأَنَّ فِي إِقَامَةِ الْحُدُودِ تَكْفِيرًا وَتَطْهِيرًا

Dan jika ia tidak bertobat, maka yang utama adalah ia mengakuinya; karena dalam pelaksanaan hudud terdapat penebusan dosa dan pensucian.

رَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عن الزهرية عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيِّ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في مجلس فقال ” تبايعون عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَقَرَأَ عَلَيْنَا الْآيَةَ وَقَالَ ” فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنِ اخْتَانَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

Syafi‘i meriwayatkan dari Sufyan, dari az-Zuhri, dari Abu Idris al-Khaulani, dari ‘Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: Kami bersama Rasulullah saw. dalam suatu majelis, lalu beliau bersabda, “Kalian berbaiat kepadaku untuk tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun,” lalu beliau membacakan ayat kepada kami dan bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang menunaikannya, maka pahalanya atas tanggungan Allah. Barang siapa yang berkhianat dalam hal itu lalu ia dihukum, maka hukuman itu menjadi kafarat baginya. Dan barang siapa yang melakukan sesuatu dari hal itu lalu Allah menutupinya, maka urusannya terserah Allah; jika Dia menghendaki, Dia mengampuninya, dan jika Dia menghendaki, Dia mengazabnya.”

قَالَ الشَّافِعِيُّ لَمْ أَسْمَعْ فِي الْحُدُودِ حَدِيثًا أَبْيَنَ مِنْ هَذَا

Syafi‘i berkata, “Aku tidak pernah mendengar hadis tentang hudud yang lebih jelas daripada ini.”

وَرَوَى خُزَيْمَةُ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ أَصَابَ ذَنْبًا فَأُقِيمَ عَلَيْهِ حَدُّ ذَلِكَ الذَّنْبِ فَهُوَ كَفَّارَتُهُ

Khuzaymah bin Tsabit meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa melakukan suatu dosa, lalu ditegakkan atasnya hudud karena dosa tersebut, maka itu adalah kafarat baginya.”

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا إِذَا حَضَرَ عِنْدَ الْإِمَامِ لِيُقِرَّ بِهِ فَالسُّنَّةُ أَنْ يَعْرِضَ لَهُ الْإِمَامُ بِالْإِنْكَارِ إِذَا رَأَى مِنْهُ آثَارَ النَّدَمِ وَأَمَارَاتِ الِاسْتِرْسَالِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِمَاعِزٍ حِينَ أَقَرَّ عِنْدَهُ بِالزِّنَا ” لَعَلَّكَ قبلت لعلك لمست

Adapun jika seseorang datang kepada imam untuk mengakui perbuatannya, maka sunnah bagi imam untuk menyarankan agar ia mengingkari jika melihat tanda-tanda penyesalan dan isyarat ingin menarik pengakuan; karena Nabi ﷺ berkata kepada Ma‘iz ketika ia mengakui perzinaan di hadapan beliau, “Barangkali engkau hanya mencium, barangkali engkau hanya menyentuh.”

واتى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِسَارِقٍ مُعْتَرِفٍ فَقَالَ لَهُ ” مَا إِخَالُكَ سَرَقْتَ فَقَالَ بَلَى فَأَعَادَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا وَهُوَ يَعْتَرِفُ فَقَطَعَهُ ثُمَّ قَالَ ” اسْتَغْفِرِ اللَّهَ وتب فَقَالَ أَنَا أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَالَ ” اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ وَاغْفِرْ لَهُ فَهَذَا حُكْمُ السَّارِقِ فِي إِقْرَارِهِ بِالسَّرِقَةِ

Rasulullah ﷺ didatangkan seorang pencuri yang mengakui perbuatannya, lalu beliau bersabda kepadanya, “Aku kira kamu tidak mencuri.” Ia menjawab, “Benar, saya mencuri.” Beliau mengulangi pertanyaan itu dua atau tiga kali, dan ia tetap mengakui, maka beliau memotong tangannya. Kemudian beliau bersabda, “Mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah.” Ia berkata, “Saya memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya.” Maka beliau berdoa, “Ya Allah, terimalah tobatnya dan ampunilah dosanya.” Inilah hukum bagi pencuri yang mengakui perbuatannya mencuri.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا إِذَا أَنْكَرَ السَّرِقَةَ بَعْدَ دَعْوَاهَا عليه فلا يخلو أن يكون لمدعيها بَيِّنَةٌ أَوْ لَا يَكُونَ فَإِنْ كَانَتْ لَهُ بَيِّنَةٌ سَمِعْنَاهَا وَالْبَيِّنَةُ بَيِّنَتَانِ عَامَّةٌ وَخَاصَّةٌ فَالْعَامَّةُ مَا أَوْجَبَتِ الْقَطْعَ وَالْغُرْمَ وَالْخَاصَّةُ مَا أَوْجَبَتِ الْغُرْمَ وَلَمْ تُوجِبِ الْقَطْعَ

Adapun jika ia mengingkari pencurian setelah adanya tuduhan terhadapnya, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: pelapor memiliki bayyinah (bukti yang sah) atau tidak. Jika ia memiliki bayyinah, maka kita mendengarkannya. Bayyinah itu ada dua macam: umum dan khusus. Bayyinah umum adalah yang mewajibkan hukuman potong tangan dan ganti rugi, sedangkan bayyinah khusus adalah yang hanya mewajibkan ganti rugi dan tidak mewajibkan hukuman potong tangan.

فَأَمَّا الْعَامَّةُ الْجَامِعَةُ للأمرين فهي شاهدان عدلان وكمال شهادتهما معتبر بخمسة شروط

Adapun syahadah umum yang mencakup kedua perkara tersebut adalah dua orang saksi yang adil, dan kesempurnaan kesaksian mereka dipertimbangkan dengan lima syarat.

أحدهما ذِكْرُ السَّارِقِ

Salah satunya adalah menyebutkan pencuri.

وَالثَّانِي ذِكْرُ // الْمَسْرُوقِ مِنْهُ

Dan yang kedua adalah menyebutkan pihak yang kehilangan barang (yang dicuri darinya).

وَالثَّالِثُ ذِكْرُ الْحِرْزِ

Dan yang ketiga adalah menyebutkan tempat penyimpanan (ḥirz).

وَالرَّابِعُ ذِكْرُ الْمَالِ

Keempat, menyebutkan harta.

وَالْخَامِسُ صِفَةُ السرقة

Kelima adalah sifat pencurian.

لأن الْحُكْمَ فِيهَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ هَذِهِ الْخَمْسَةِ فَلَزِمَ اعْتِبَارُهَا فِي الشَّهَادَةِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يخل حَالُ الْأَعْيَانِ مِنْ هَذِهِ الْخَمْسَةِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ

Karena hukum pada perkara-perkara tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan lima hal ini, maka wajib mempertimbangkannya dalam persaksian. Jika demikian, maka keadaan benda-benda tidak lepas dari lima hal ini dalam tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ حَاضِرَةً وَالثَّانِي أَنْ تَكُونَ غَائِبَةً

Salah satunya adalah ia hadir, dan yang kedua adalah ia tidak hadir.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ بَعْضُهَا حَاضِرًا وَبَعْضُهَا غَائِبًا

Ketiga, sebagian dari barang tersebut hadir dan sebagian lainnya tidak hadir.

فَإِنْ كَانَتْ حَاضِرَةً فَعَلَى الشَّاهِدَيْنِ أَنْ يُعَيِّنَا الشَّهَادَةَ بِالْإِشَارَةِ فَيَقُولَانِ نَشْهَدُ أَنَّ هَذَا الرَّجُلَ بِعَيْنِهِ سَرَقَ مِنْ مَالِ هَذَا الرَّجُلِ بِعَيْنِهِ مِنْ هَذَا الْحِرْزِ بِعَيْنِهِ هَذَا الْمَالَ بِعَيْنِهِ ثُمَّ يَصِفَانِ السَّرِقَةَ؛ لِأَنَّهَا فِعْلٌ ماض لا تمكن الإشارة إليه فيه فيقولان؛ نقب الحرز ودخله وأخرج من هَذِهِ السَّرِقَةِ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ كُلُّهُ غَائِبًا فَعَلَى الشَّاهِدَيْنِ أَنْ يَصِفَا مِنْ ذَلِكَ مَا يَقُومُ مَقَامَ التَّعْيِينِ بِالْإِشَارَةِ فَيَقُولَانِ نَشْهَدُ أَنَّ فلان ابن فلان الفلاني سرق من مال فلان ابن فُلَانٍ الْفُلَانِيِّ مِنْ حِرْزٍ يَصِفَانِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُطْلِقَاهُ لِاخْتِلَافِ الْفُقَهَاءِ فِي الْحِرْزِ الَّذِي يقطع منه وَيَصِفَا الْمَالَ بِمَا تَزُولُ عَنْهُ الْجَهَالَةُ فَإِنْ كَانَ ذَا مِثْلٍ لَمْ يَحْتَاجَا فِيهِ إِلَى ذِكْرِ الْقِيمَةِ فِي الشَّهَادَةِ لَكِنْ يَعْتَبِرُهَا الْحَاكِمُ في القطع فإن لَمْ يَكُنْ ذَا مِثْلٍ ذَكَرَا قِيمَتَهُ فَإِنْ شَهِدَا بِسَرِقَةِ نِصَابٍ لَمْ تُسْمَعْ لِاخْتِلَافِ الْفُقَهَاءِ فِي نِصَابِ السَّرِقَةِ ثُمَّ يَصِفَانِ السَّرِقَةَ لِمَا فِيهَا مِنَ الِاخْتِلَافِ فَإِذَا اسْتَكْمَلَا الشَّهَادَةَ عَلَى ما بيناه حُكِمَ بِشَهَادَتِهِمَا فِي وُجُوبِ الْقَطْعِ وَالْغُرْمِ وَإِنْ كَانَ بَعْضُ ذَلِكَ حَاضِرًا وَبَعْضُهُ غَائِبًا اعْتُبِرَ فِي الْحَاضِرِ الْإِشَارَةُ وَفِي الْغَائِبِ الصِّفَةُ فَإِنِ اخْتَلَفَ الشَّاهِدَانِ فِي صِفَةِ الْمَسْرُوقِ فَشَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ سَرَقَ ثَوْبًا مَرْوِيًّا وَشَهِدَ الْآخَرُ أَنَّهُ سَرَقَ ثَوْبًا هَرَوِيًّا لَمْ تَكْمُلْ هَذِهِ الشَّهَادَةُ وَكَانَ اخْتِلَافُهُمَا فِي الصِّفَةِ كَاخْتِلَافِهِمَا فِي الْجِنْسِ

Jika barang yang dicuri itu hadir, maka kedua saksi harus menentukan kesaksian dengan isyarat, sehingga mereka berkata: “Kami bersaksi bahwa laki-laki ini secara pasti telah mencuri dari harta laki-laki ini secara pasti, dari tempat penyimpanan ini secara pasti, harta ini secara pasti,” kemudian mereka menjelaskan tentang pencurian tersebut; karena pencurian adalah perbuatan yang telah lampau sehingga tidak mungkin ditunjukkan dengan isyarat padanya, maka mereka berkata: “Ia membobol tempat penyimpanan, masuk ke dalamnya, dan mengeluarkan barang curian ini.” Jika semua itu tidak hadir, maka kedua saksi harus menjelaskan hal-hal yang dapat menggantikan penentuan dengan isyarat, sehingga mereka berkata: “Kami bersaksi bahwa Fulan bin Fulan telah mencuri dari harta Fulan bin Fulan dari tempat penyimpanan yang mereka jelaskan,” dan tidak boleh mereka mengatakannya secara umum karena perbedaan para fuqaha mengenai tempat penyimpanan yang menyebabkan hukuman potong tangan, dan mereka harus menjelaskan harta tersebut dengan keterangan yang menghilangkan ketidakjelasan. Jika harta itu berupa barang yang sejenis, maka mereka tidak perlu menyebutkan nilainya dalam kesaksian, tetapi hakim tetap mempertimbangkan nilainya dalam menetapkan hukuman potong tangan. Jika bukan barang sejenis, maka mereka harus menyebutkan nilainya. Jika mereka bersaksi atas pencurian sejumlah nishab, maka kesaksian itu tidak diterima karena perbedaan para fuqaha dalam menentukan nishab pencurian, kemudian mereka harus menjelaskan pencurian tersebut karena di dalamnya terdapat perbedaan. Jika mereka telah menyempurnakan kesaksian sebagaimana yang telah dijelaskan, maka diputuskan dengan kesaksian mereka tentang wajibnya hukuman potong tangan dan ganti rugi. Jika sebagian dari hal itu hadir dan sebagian lagi tidak hadir, maka pada yang hadir digunakan isyarat dan pada yang tidak hadir digunakan penjelasan sifat. Jika kedua saksi berbeda dalam sifat barang yang dicuri, misalnya salah satunya bersaksi bahwa yang dicuri adalah kain Marwi dan yang lain bersaksi bahwa yang dicuri adalah kain Harawi, maka kesaksian ini tidak sempurna, dan perbedaan mereka dalam sifat sama dengan perbedaan mereka dalam jenis.

وقال أبو حنيفة هذه الشهادة كَامِلَةٌ يَجِبُ بِهَا الْقَطْعُ لِاتِّفَاقِهِمَا عَلَى الْجِنْسِ فَلَمْ يُؤَثِّرِ اخْتِلَافُهُمَا فِي الصِّفَةِ وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمَا فِي الصِّفَةِ يَمْنَعُ مِنَ اتِّفَاقِهِمَا عَلَى الْعَيْنِ فَصَارَ كَاخْتِلَافِهِمَا فِي الْجِنْسِ الْمَانِعِ مِنَ الِاتِّفَاقِ عَلَى الْعَيْنِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْقَطْعُ فِيهِمَا سَاقِطًا

Abu Hanifah berkata, “Kesaksian ini sempurna dan wajib diterapkan hukum potong tangan karena keduanya sepakat pada jenisnya, sehingga perbedaan pada sifatnya tidak berpengaruh.” Namun, pendapat ini tidak benar; karena perbedaan pada sifat mencegah terjadinya kesepakatan pada objek yang sama, sehingga keadaannya menjadi seperti perbedaan pada jenis yang juga mencegah kesepakatan pada objek yang sama. Oleh karena itu, wajib hukuman potong tangan pada keduanya menjadi gugur.

وَأَمَّا الْبَيِّنَةُ الْخَاصَّةُ الْمُوجِبَةُ للغرم دون القطع فهي شاهد وامرأتان وشاهد وَيَمِينٌ؛ لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ تُوجِبُ الْمَالَ وَلَا تُوجِبُ الحد وفي السرقة مال وحد فإن ثبت بَيِّنَةُ الْحُدُودِ جُمِعَ بَيْنَ الْغُرْمِ وَالْقَطْعِ وَإِنْ قام بَيِّنَةُ الْأَمْوَالِ وَجَبَ الْغُرْمُ دُونَ الْقَطْعِ وَلَا يَلْزَمُ فِي هَذِهِ الشَّهَادَةِ ذِكْرُ الْحِرْزِ وَصِفَةُ السَّرِقَةِ؛ لِأَنَّهُمَا شَرْطَانِ فِي الْقَطْعِ دُونَ الْغُرْمِ وَإِنْ عَدِمَ الْمُدَّعِي الْبَيِّنَةَ فَلَمْ يُقِمْهَا عَلَى حَدٍّ وَلَا مَالٍ أُحْلِفَ السَّارِقُ عَلَى إِنْكَارِهِ وَسَقَطَ عَنْهُ إِذَا حَلَفَ الْغُرْمُ وَالْقَطْعُ فَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ رُدَّتْ عَلَى الْمُدَّعِي فَإِذَا حَلَفَ حُكِمَ لَهُ بِالْغُرْمِ فَأَمَّا الْقَطْعُ فَلَا يجب لأنه من حدود الله تعالى الْمَحْضَةِ الَّتِي لَا تَدْخُلُهَا الْأَيْمَانُ فِي إِثْبَاتٍ وَلَا إِنْكَارٍ فَصَارَتِ الْيَمِينُ فِيهِ مَقْصُورَةً عَلَى الْغُرْمِ دُونَ الْقَطْعِ

Adapun bayyinah khusus yang mewajibkan ganti rugi tanpa hukuman potong tangan adalah satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau satu orang saksi dan sumpah; karena ini adalah bayyinah yang mewajibkan pembayaran harta dan tidak mewajibkan hudud. Dalam kasus pencurian terdapat unsur harta dan hudud. Jika terbukti dengan bayyinah hudud, maka digabungkan antara ganti rugi dan potong tangan. Namun jika yang ada adalah bayyinah harta, maka yang wajib hanya ganti rugi tanpa potong tangan. Dalam kesaksian ini tidak disyaratkan penyebutan tempat penyimpanan (ḥirz) dan sifat pencurian, karena keduanya adalah syarat untuk potong tangan, bukan untuk ganti rugi. Jika penggugat tidak memiliki bayyinah sehingga tidak dapat menegakkannya baik untuk hudud maupun harta, maka pencuri diminta bersumpah atas pengingkarannya, dan jika ia bersumpah, gugurlah kewajiban ganti rugi dan potong tangan darinya. Namun jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada penggugat. Jika penggugat bersumpah, maka diputuskan baginya hak ganti rugi. Adapun potong tangan, tidak wajib karena itu termasuk hudud Allah yang murni, yang tidak dapat ditetapkan atau diingkari dengan sumpah. Maka sumpah dalam hal ini hanya terbatas pada ganti rugi, tidak pada potong tangan.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ إِذَا لَمْ يَحْضُرْ مُدَّعِي السَّرِقَةِ وَكَانَ غَائِبًا عَنْهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّارِقِ إِقْرَارٌ وَلَا قَامَتْ بِهَا بَيِّنَةٌ لَمْ يُعْتَرَضْ فِيهَا لِلسَّارِقِ بِقَطْعٍ وَلَا غُرْمٍ وَلَا يُؤْخَذُ بِالتُّهْمَةِ فِي الْحُكْمِ إِلَّا بِمَا يَقُومُ بِهِ أصحاب الريب مِنْ زَوَاجِرِ التَّأْدِيبِ الَّذِي يَتَوَلَّاهُ وُلَاةُ الْمُعَاوِنِ دون الحكام وإن ثبتت السَّرِقَةُ فَلِثُبُوتِهَا وَجْهَانِ بَيِّنَةٌ وَإِقْرَارٌ فَإِنْ ثَبَتَتْ بِبَيِّنَةٌ شَهِدَتْ عَلَيْهِ بِالسَّرِقَةِ فَالَّذِي نُصَّ عَلَيْهِ فِي السَّرِقَةِ أَنَّهُ لَا يُقْطَعُ حَتَّى يَحْضُرَ الْغَائِبُ فَيَدَّعِيَهَا وَقَالَ فِي الْأُمِّ إِذَا قَامَتْ عَلَى رَجُلٍ الْبَيِّنَةُ أَنَّهُ زَنَا بِهَا وَسَيِّدُهَا غَائِبٌ أَنَّهُ يُحَدُّ وَلَا يُوقَفُ عَلَى حُضُورِ سَيِّدِهَا فَخَالَفَ بَيْنَ قَطْعِ السَّرِقَةِ وَحَدِّ الزِّنَا في الأمة فاختلف أصحابنا باختلاف هَذَيْنِ النَّصَّيْنِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ

Adapun jenis yang kedua, yaitu apabila pelapor pencurian tidak hadir dan ia sedang tidak berada di tempat kejadian, maka jika tidak ada pengakuan dari pencuri dan tidak ada bukti yang menegaskannya, maka tidak boleh dikenakan hukuman potong tangan atau ganti rugi kepada pencuri, dan tidak boleh dihukum hanya berdasarkan tuduhan, kecuali dengan tindakan pencegahan dan ta’dib yang dilakukan oleh para pejabat pembantu, bukan oleh hakim. Jika pencurian itu terbukti, maka ada dua cara pembuktiannya: dengan bukti (bayyinah) dan dengan pengakuan. Jika terbukti dengan bayyinah yang menyaksikan bahwa ia telah mencuri, maka yang ditegaskan dalam kasus pencurian adalah bahwa tidak boleh dipotong tangannya sampai orang yang tidak hadir itu datang dan mengajukan tuntutannya. Dalam kitab al-Umm disebutkan: jika ada bayyinah yang menegaskan bahwa seorang laki-laki telah berzina dengan seorang budak perempuan, sementara tuannya sedang tidak hadir, maka laki-laki itu tetap dijatuhi had dan tidak menunggu kehadiran tuannya. Maka, Imam Syafi’i membedakan antara hukuman potong tangan dalam pencurian dan hukuman had zina pada budak perempuan. Para ulama kami pun berbeda pendapat berdasarkan dua nash ini menjadi tiga mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ الْجَوَابَ فِي قَطْعِ السَّرِقَةِ وَحَدِّ الزِّنَا وَاحِدٌ يُوقَفَانِ مَعًا عَلَى حُضُورِ الْمَسْرُوقِ مِنْهُ وَحُضُورِ سَيِّدِ الْأَمَةِ فَإِنِ ادَّعَيَا ذَلِكَ قُطِعَ السَّارِقُ وَحُدَّ الزَّانِي وَإِنْ أَنْكَرَاهُ أَوْ ذَكَرَا شُبْهَةً لَهُ فِي الْمِلْكِ أو الْفِعْلِ لَمْ يُقْطَعِ السَّارِقُ وَلَمْ يُحَدَّ الزَّانِي وَزَعَمَ قَائِلُ هَذَا الْوَجْهِ أَنَّ الْمَنْقُولَ عَنِ الشَّافِعِيِّ فِي حَدِّ الزَّانِي بِالْأَمَةِ سَهْوٌ مِنْ نَاقِلِهِ؛ لِأَنَّ الْحُدُودَ تُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa jawaban dalam masalah potong tangan pencuri dan hukuman zina adalah sama, yaitu keduanya ditangguhkan sampai hadirnya orang yang kehilangan barang (korban pencurian) dan hadirnya tuan dari budak perempuan. Jika keduanya mengakui hal tersebut, maka pencuri dipotong tangannya dan pezina dijatuhi had. Namun jika keduanya mengingkari atau menyebutkan adanya syubhat dalam kepemilikan atau perbuatan, maka pencuri tidak dipotong tangannya dan pezina tidak dijatuhi had. Orang yang berpendapat demikian mengklaim bahwa riwayat dari asy-Syafi‘i mengenai had zina dengan budak perempuan adalah kekeliruan dari perawinya, karena hudud itu digugurkan dengan adanya syubhat.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي هو قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ الْجَوَابَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَنْقُولٌ إِلَى الْآخَرِ وَيَكُونَانِ على قولان

Mazhab kedua adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa jawaban dalam masing-masing dari keduanya dipindahkan kepada yang lain, dan keduanya berada pada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقْطَعُ السَّارِقُ وَيُحَدُّ الزَّانِي عَلَى مَا نص عليه في حد الزنا لما فيها من حقوق الله تعالى الَّتِي لَا يَجُوزُ إِضَاعَتُهَا

Salah satunya adalah dipotongnya tangan pencuri dan dijatuhkannya had bagi pezina sebagaimana yang telah ditegaskan dalam hukum had zina, karena di dalamnya terdapat hak-hak Allah Ta‘ala yang tidak boleh disia-siakan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا يُقْطَعُ السَّارِقُ وَلَا يُحَدُّ الزَّانِي عَلَى مَا نص عليه في قطع السارق لما تحملهما من الشبهة التي يدرأ بِهَا الْحُدُودُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa pencuri tidak dipotong tangannya dan pezina tidak dikenai had, sebagaimana telah dinyatakan dalam masalah pemotongan tangan pencuri, karena keduanya mengandung syubhat yang dengannya hudud dapat digugurkan.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الطِّيِّبِ بْنِ سَلَمَةَ وَأَبِي حَفْصِ بْنِ الْوَكِيلِ أن الجواب على ظاهر نصه فيه فَيُحَدُّ الزَّانِي قَبْلَ حُضُورِ السَّيِّدِ وَلَا يُقْطَعُ السَّارِقُ قَبْلَ حُضُورِ الْمَسْرُوقِ مِنْهُ

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu Thayyib bin Salamah dan Abu Hafsh bin al-Wakil, menyatakan bahwa jawaban atas permasalahan ini sesuai dengan zahir nashnya, yaitu pezina dijatuhi had sebelum kehadiran tuannya, sedangkan pencuri tidak dipotong tangannya sebelum kehadiran orang yang barangnya dicuri.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Perbedaan antara keduanya terdapat pada dua aspek.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمَالَ يُسْتَبَاحُ بِالْإِبَاحَةِ والوطء لا يستباح وكانت الشُّبْهَةُ فِي السَّرِقَةِ أَقْوَى

Salah satunya adalah bahwa harta dapat dihalalkan dengan izin, sedangkan hubungan seksual tidak dapat dihalalkan demikian, dan syubhat dalam pencurian lebih kuat.

وَالثَّانِي أَنَّ الْقَطْعَ فِي السَّرِقَةِ تَابِعٌ لِحَقِّ الْآدَمِيِّ فَكَانَ مَوْقُوفًا على حضوره وحق الزِّنَا خَالِصٌ لِلَّهِ تَعَالَى فَلَمْ يُوقَفْ بَعْدَ ثُبُوتِهِ عَلَى حُضُورِ مَنْ لَا حَقَّ لَهُ فِيهِ وَإِنْ ثَبَتَتِ السَّرِقَةُ وَالزِّنَا بِإِقْرَارِ السَّارِقِ وَالزَّانِي فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Kedua, bahwa hukuman potong tangan dalam kasus pencurian berkaitan dengan hak manusia, sehingga pelaksanaannya bergantung pada kehadiran pemilik hak tersebut. Adapun hak dalam kasus zina adalah murni milik Allah Ta‘ala, sehingga setelah terbukti, pelaksanaannya tidak bergantung pada kehadiran orang yang tidak memiliki hak di dalamnya. Jika pencurian dan zina terbukti dengan pengakuan pencuri dan pezina, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ أَنَّهُ كَثُبُوتِهِ بِالشَّهَادَةِ فَيَكُونُ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْمَذَاهِبِ الثلاثة؛ لأن الحدود تستوفى بكل وَاحِدٍ مِنْهَا

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, bahwa hal itu seperti penetapan dengan kesaksian, sehingga mengikuti tiga mazhab yang telah disebutkan sebelumnya; karena hudud dapat ditegakkan dengan masing-masing dari ketiganya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنَّهُمَا يُسْتَوْفَيَانِ فَيُقْطَعُ السَّارِقُ وَيُحَدُّ الزَّانِي وَجْهًا وَاحِدًا ولا يوقف عَلَى حُضُورِ السَّيِّدِ وَالْمَسْرُوقِ مِنْهُ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, dan menurutku yang benar adalah bahwa kedua hukuman tersebut dilaksanakan, sehingga tangan pencuri dipotong dan pezina dijatuhi had, keduanya dalam satu waktu, dan tidak disyaratkan kehadiran tuan atau orang yang kehilangan barang.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْبَيِّنَةِ وَالْإِقْرَارِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Perbedaan antara al-bayyinah dan al-iqrar terdapat pada dua aspek.

أَحَدُهُمَا قُوَّةُ الشُّبْهَةِ فِي الشَّهَادَةِ وَضَعْفُهَا فِي الْإِقْرَارِ

Salah satunya adalah kuatnya syubhat dalam kesaksian dan lemahnya dalam pengakuan.

وَالثَّانِي أَنَّ إِقْرَارَهُ عَلَى نَفْسِهِ أَقْوَى مِنْ شَهَادَةِ غَيْرِهِ عَلَيْهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Yang kedua, bahwa pengakuan seseorang atas dirinya sendiri lebih kuat daripada kesaksian orang lain terhadapnya. Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ شَرْحِ الْمَذْهَبِ فِي قَطْعِ السَّارِقِ قَبْلَ حُضُورِ الْغَائِبِ فَإِنْ قُلْنَا يُعَجَّلُ قَطْعُهُ وَلَا يُؤَخَّرُ انْتُزِعَتْ مِنْهُ السَّرِقَةُ إِنْ كَانَتْ عَيْنًا؛ وَأُغْرِمَ قِيمَتَهَا إِنْ كَانَتْ مُسْتَهْلَكَةً وَوُقِفَتْ عَلَى حُضُورِ الْغَائِبِ وإن ادعاها سلمت إليه وإن أنكر نُظِرَ فَإِنْ كَانَ ثُبُوتُهَا بِشَهَادَةٍ رُدَّتْ عَلَيْهِ السَّرِقَةُ وَإِنْ كَانَ ثُبُوتُهَا بِإِقْرَارٍ لَمْ تُرَدَّ وكانت في بيت المال حتى يثبت بها مُسْتَحِقٌّ؛ لِأَنَّهُ فِي الْإِقْرَارِ مُنْكِرٌ لِاسْتِحْقَاقِهَا وَفِي الشَّهَادَةِ غَيْرُ مُنْكِرٍ لِاسْتِحْقَاقِهَا وَلَوْ أَقَرَّ رَجُلٌ بَدَيْنٌ لِغَائِبٍ تُرِكَ عَلَيْهِ وَلَمْ يُؤْخَذْ مِنْهُ بِخِلَافِ السَّرِقَةِ؛ لِأَنَّ صَاحِبَ الدَّيْنِ رَاضٍ بِذِمَّتِهِ وَصَاحِبَ السَّرِقَةِ غَيْرُ رَاضٍ بِهَا

Jika telah dipastikan penjelasan mazhab yang kami sebutkan mengenai pemotongan tangan pencuri sebelum kehadiran orang yang tidak ada, maka jika kita mengatakan bahwa pemotongan tangannya dipercepat dan tidak ditunda, maka barang curian diambil darinya jika berupa barang berwujud; dan ia diwajibkan mengganti nilainya jika barang tersebut telah habis, lalu barang itu ditahan hingga orang yang tidak hadir datang. Jika ia mengakuinya, maka barang itu diserahkan kepadanya, dan jika ia mengingkari, maka dilihat lagi: jika penetapannya berdasarkan kesaksian, maka barang curian dikembalikan kepadanya; dan jika penetapannya berdasarkan pengakuan, maka tidak dikembalikan, melainkan disimpan di baitul mal hingga ada yang berhak membuktikannya. Sebab, dalam pengakuan, ia mengingkari hak kepemilikan, sedangkan dalam kesaksian, ia tidak mengingkari hak kepemilikan. Jika seseorang mengakui adanya utang kepada orang yang tidak hadir, maka utang itu tetap menjadi tanggungannya dan tidak diambil darinya, berbeda dengan kasus pencurian; karena pemilik utang rela dengan tanggungan utangnya, sedangkan pemilik barang curian tidak rela dengan pencurian tersebut.

وَإِنْ قُلْنَا يُؤَخَّرُ قَطْعُهُ وَلَا يُعَجَّلُ لَمْ تَخْلُ السَّرِقَةُ مِنْ أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً أَوْ مُسْتَهْلَكَةً فَإِنْ كَانَتِ مُسْتَهْلَكَةً اسْتَقَرَّ غُرْمُهَا فِي ذِمَّتِهِ وَلَمْ تقبض مِنْهُ لِتَكُونَ ذِمَّتُهُ مُرْتَهَنَةً بِهَا وَيُحْبَسَ عَلَى حضور الغائب بحقه وحق الله تعالى فِي قَطْعِهِ وَإِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً فِي يَدِهِ حجر عليه فيها حفظاً لها ولم تنتزع مِنْهُ لِتَكُونَ بَاقِيَةً فِي ضَمَانِهِ وَهَلْ يُحْبَسُ عَلَى حُضُورِ الْغَائِبِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Jika kita mengatakan bahwa pelaksanaan pemotongan (tangan) ditunda dan tidak disegerakan, maka pencurian itu tidak lepas dari dua kemungkinan: barang curian masih ada atau sudah habis. Jika barang curian sudah habis, maka kewajiban menggantinya tetap menjadi tanggungannya dan tidak diambil darinya agar tanggungannya tetap terikat dengannya, dan ia ditahan sampai orang yang berhak (atas barang tersebut) yang sedang tidak hadir datang, demi menjaga haknya dan hak Allah Ta‘ala dalam pelaksanaan pemotongan. Jika barang curian masih ada di tangannya, maka ia dicegah untuk menggunakannya demi menjaga barang tersebut, dan tidak diambil darinya agar tetap berada dalam jaminannya. Apakah ia ditahan sampai orang yang berhak yang tidak hadir datang atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا لَا يُحْبَسُ لِبَقَاءِ الْعَيْنِ الْمَسْرُوقَةِ

Salah satunya adalah tidak dipenjara karena keberadaan barang curian yang masih ada.

وَالْوَجْهُ الثاني أنه يحبس لحق الله تعالى في قطعه والله أعلم

Pendapat kedua adalah bahwa ia dipenjara karena hak Allah Ta‘ala dalam pelaksanaan pemotongan, dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فَإِنِ ادَّعَى أَنَّ هَذَا مَتَاعُهُ غَلَبَهُ عَلَيْهِ وابتاعه مِنْهُ أَوْ أَذِنَ لَهُ فِي أَخْذِهِ لَمْ أقطعه لأني أجعله خَصْمًا لَوْ نَكَلَ صَاحِبُهُ أَحْلَفْتُ الْمَشْهُودَ عَلَيْهِ وَدَفَعْتُهُ إِلَيْهِ

Syafi‘i berkata, “Jika ia mengaku bahwa barang ini adalah miliknya, lalu orang lain telah menguasainya dan membelinya darinya, atau ia mengizinkannya untuk mengambilnya, maka aku tidak memotong (tangannya), karena aku menganggapnya sebagai pihak lawan. Jika pemilik barang enggan bersumpah, aku akan meminta orang yang dituduh bersumpah, lalu aku serahkan barang itu kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا أَنْ يَشْهَدَ شَاهِدَانِ عَلَى رَجُلٍ بِسَرِقَةِ مَالٍ مِنْ حِرْزٍ بَعْدَ الدَّعْوَى عَلَيْهِ فَإِنْ أَكْذَبَ الشَّاهِدَيْنِ لَمْ يَكُنْ لِإِكْذَابِهِ تَأْثِيرٌ لِمَا فِي إِكْذَابِهِ مَنْ جَرْحِ مَنْ ثَبَتَتْ عَدَالَتُهُ وَحُكِمَ عَلَيْهِ بِالْغُرْمِ وَالْقَطْعِ فَإِنْ سَأَلَ إِحْلَافَ الْمُدَّعِي بَعْدَ الشَّهَادَةِ لَمْ يَحْلِفْ لِمَا فِي يَمِينِهِ مِنْ جَرْحِ الشُّهُودِ وَإِنْ لَمْ يُكَذِّبْهُمَا وَادَّعَى أَنَّ الْمَالَ الذي أخذه من حرزه هو ماله غصب عَلَيْهِ صَاحِبُ الْحِرْزِ أَوْ كَانَ وَدِيعَةً لَهُ عنده أو عارية أو وهبة لَهُ وَأُذِنَ لَهُ فِي قَبْضِهِ فَقَبَضَهُ مِنَ الْحِرْزِ عَنْ إِذْنِهِ فَهَذِهِ الدَّعْوَى مِنْهُ مُجَوَّزَةٌ وَلَيْسَ فِيهَا قَدْحٌ فِي الشَّهَادَةِ؛ لِأَنَّ شَهَادَةَ الشَّاهِدَيْنِ عَلَى ظَاهِرِ فِعْلِهِ وَهَذَا بَاطِنٌ مُحْتَمَلٌ فَصَارَ كَشَاهِدَيْنِ شَهِدَا عَلَى رَجُلٍ بِدَيْنٍ فَادَّعَى دَفْعَهُ سُمِعَتْ دَعْوَاهُ وَلَمْ يُقْدَحْ فِي الشَّهَادَةِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ سُئِلَ الْمَسْرُوقُ مِنْهُ عَمَّا ادَّعَاهُ السَّارِقُ فَإِنْ صَدَّقَهُ عَلَيْهِ سَقَطَ عَنْهُ الْغُرْمُ وَالْقَطْعُ وَإِنْ أَكْذَبَهُ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ لِلسَّارِقِ بَيِّنَةٌ حُكِمَ بِهَا وَبَيِّنَتُهُ شَاهِدَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ؛ لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ لِإِثْبَاتِ مَالٍ مَحْضٍ وَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ وَلَا قَطْعَ وَمَا بِيَدِهِ مِلْكٌ لَهُ بِبَيِّنَتِهِ وَإِنْ عَدِمَ الْبَيِّنَةَ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمَسْرُوقِ مِنْهُ مَعَ يَمِينِهِ لِثُبُوتِ يَدِهِ عَلَى الْمَالِ الْمَسْرُوقِ فَإِنْ حَلَفَ اسْتَحَقَّ الْمَالَ فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا انْتَزَعَهُ وَإِنْ كَانَ تَالِفًا رَجَعَ بِغُرْمِهِ

Al-Mawardi berkata, “Gambaran kasusnya adalah dua orang saksi bersaksi atas seorang laki-laki yang mencuri harta dari tempat penyimpanan setelah ada gugatan terhadapnya. Jika terdakwa mendustakan kedua saksi tersebut, pendustaannya tidak berpengaruh karena dalam pendustaannya itu terdapat upaya mencela orang yang telah terbukti keadilannya, sehingga ia diputuskan untuk membayar ganti rugi dan dikenai hukuman potong tangan. Jika setelah adanya kesaksian, ia meminta agar penggugat disumpah, maka sumpah tersebut tidak dilakukan karena dalam sumpah itu terdapat unsur mencela para saksi. Namun, jika ia tidak mendustakan keduanya dan mengaku bahwa harta yang diambil dari tempat penyimpanan itu adalah hartanya sendiri yang digelapkan oleh pemilik tempat penyimpanan, atau merupakan titipan miliknya di sana, atau barang pinjaman, atau pemberian yang telah diizinkan untuk diambil, lalu ia mengambilnya dari tempat penyimpanan dengan izin, maka pengakuan ini dapat diterima dan tidak mencederai kesaksian; karena kesaksian kedua saksi itu atas perbuatan lahiriah, sedangkan ini adalah kemungkinan batiniah. Maka, hal ini seperti dua orang saksi yang bersaksi atas seseorang mengenai utang, lalu ia mengaku telah melunasinya; pengakuannya didengar dan tidak mencederai kesaksian. Jika demikian, maka orang yang kehilangan harta ditanya tentang pengakuan pencuri. Jika ia membenarkannya, gugur darinya kewajiban ganti rugi dan hukuman potong tangan. Jika ia mendustakannya, dan pencuri memiliki bukti, maka diputuskan berdasarkan bukti tersebut, dan buktinya bisa berupa dua orang saksi, atau satu saksi dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah; karena itu adalah bukti untuk menetapkan hak milik harta semata, sehingga tidak ada ganti rugi dan tidak ada potong tangan, dan apa yang ada di tangannya menjadi miliknya dengan bukti tersebut. Jika tidak ada bukti, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan orang yang kehilangan harta dengan sumpahnya, karena kepemilikannya atas harta yang dicuri telah terbukti. Jika ia bersumpah, maka ia berhak atas harta itu; jika harta tersebut masih ada, maka diambil kembali, dan jika telah rusak, maka ia menuntut ganti ruginya.”

وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ أَنَّهُ لَا يُقْطَعُ السَّارِقُ لِأَنَّهَا شُبْهَةٌ لَهُ مِنْ وَجْهَيْنِ

Pendapat mazhab Syafi‘i yang ditegaskan adalah bahwa pencuri tidak dikenai hukuman potong tangan, karena terdapat syubhat baginya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا لِاحْتِمَالِ صدقه فيها

Salah satunya adalah karena kemungkinan ia benar dalam hal itu.

والثاني أنه لو تلف بَعْدَ نُكُولِ الْمَسْرُوقِ مِنْهُ حُكِمَ لَهُ بِمِلْكِهَا وَالْحُدُودُ تُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ اخْتَارَهُ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ أَنَّهُ يُقْطَعُ وَلَا تَكُونُ هَذِهِ الدَّعْوَى شُبْهَةً فِي سُقُوطِ الْقَطْعِ؛ لِأَنَّهَا تُفْضِي إِلَى أَنْ لَا يُقْطَعَ مَعَهَا سَارِقٌ فتفضي إلى إسقاط حدود الله تعالى وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Kedua, jika barang tersebut rusak setelah orang yang kehilangan barang mengingkarinya, maka diputuskan bahwa barang itu menjadi miliknya, dan hudud dapat gugur karena adanya syubhat. Namun, ada pendapat lain yang dipilih oleh Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa pelaku tetap dipotong tangannya dan pengakuan tersebut tidak dianggap sebagai syubhat yang menggugurkan hukuman potong tangan; karena jika pengakuan itu dianggap syubhat, maka tidak akan ada pencuri yang dipotong tangannya bersamanya, sehingga hal itu akan berujung pada pengguguran hudud Allah Ta‘ala, dan ini rusak dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ إِثْبَاتُ حَدٍّ بِشُبْهَةٍ وَالْحُدُودُ تُسْقَطُ بِالشُّبْهَةِ وَلَا تُثْبَتُ بها

Salah satunya adalah bahwa hal itu merupakan penetapan hudud dengan syubhat, padahal hudud gugur karena adanya syubhat dan tidak dapat ditetapkan dengannya.

والثاني اتفاقهم أنه لو ثبت عليه الزنا فادعى زوجته الْمَزْنِيِّ بِهَا سَقَطَ الْحَدُّ وَإِنْ لَمْ تَثْبُتْ دَعْوَاهُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ لَا يَسْقُطُ الْحَدُّ بِهَذِهِ الدَّعْوَى؛ لِأَنَّهَا تُفْضِي إِلَى إِسْقَاطِ الحدود وكذلك الْقَطْعُ فِي السَّرِقَةِ فَأَمَّا إِذَا نَكَلَ الْمَسْرُوقُ مِنْهُ عَنِ الْيَمِينِ فِي دَعْوَى السَّارِقِ رُدَّتِ الْيَمِينُ عَلَى السَّارِقِ فَإِذَا حلف حكم له بملك ما سرق ولم يجب عليه قطعه كالزوج القاذف إذا لاعن سقط الحد عنه بإبهامه وَلَوْ كَانَا سَارِقَيْنِ فَادَّعَى أَحَدُهُمَا أَنَّهَا مِلْكُهُ دُونَ الْآخَرِ سَقَطَ الْقَطْعُ عَنْ مُدَّعِيهَا وَلَمْ تسقط عَنِ الْآخَرِ سَوَاءٌ تَصَادَقَ السَّارِقَانِ عَلَيْهَا أَوْ تَكَاذَبَا؛ لِأَنَّ شُبْهَةَ أَحَدِهِمَا لَا تَقِفُ عَلَى شبهة الآخر

Kedua, mereka sepakat bahwa jika seseorang terbukti melakukan zina lalu ia mengaku bahwa perempuan yang dizinai itu adalah istrinya, maka hudud gugur, meskipun pengakuannya itu tidak dapat dibuktikan. Tidak boleh dikatakan bahwa hudud tidak gugur dengan pengakuan ini, karena hal itu akan menyebabkan pengguguran seluruh hudud. Demikian pula hukum potong tangan dalam kasus pencurian. Adapun jika orang yang kehilangan barang enggan bersumpah dalam gugatan pencuri, maka sumpah dikembalikan kepada pencuri. Jika pencuri bersumpah, maka diputuskan bahwa barang yang dicuri itu menjadi miliknya dan ia tidak wajib dipotong tangannya, seperti halnya seorang suami yang menuduh istrinya berzina, jika ia melakukan li‘ān maka hudud gugur darinya karena adanya unsur ketidakjelasan. Jika keduanya adalah pencuri lalu salah satunya mengaku bahwa barang itu miliknya dan bukan milik yang lain, maka hukuman potong tangan gugur dari orang yang mengaku, tetapi tidak gugur dari yang lainnya, baik kedua pencuri itu saling membenarkan maupun saling mendustakan, karena syubhat salah satu dari mereka tidak berlaku bagi syubhat yang lain.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَإِنْ لَمْ يَحْضُرْ رَبُّ الْمَتَاعِ حُبِسَ السَّارِقُ حَتَّى يَحْضُرَ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika pemilik barang tidak hadir, maka pencuri ditahan sampai pemiliknya hadir.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي حَبْسِ السَّارِقِ إِذَا كَانَ الْمَسْرُوقُ منه غائباً لم يعجل قطعه وهو مذهب الشافعي فإنه يُحْبَسُ مَا لَمْ تَطُلْ غَيْبَةُ رَبِّهَا إِذَا كَانَتِ السَّرِقَةُ مُسْتَهْلَكَةً وَفِي حَبْسِهِ إِذَا كَانَتْ بَاقِيَةً وَجْهَانِ فَإِنْ كَانَتْ غَيْبَةُ رَبِّهَا بَعِيدَةً لم يحبس لأنه لا تعلم عودته ثم ينظر فَإِنْ كَانَ الْحَبْسُ مُسْتَحَقًّا لِغُرْمِ السَّرِقَةِ طُولِبَ بِكَفِيلٍ وَأُطْلِقَ وَإِنْ كَانَ لِأَجْلِ الْقَطْعِ لِأَنَّ الْعَيْنَ قَائِمَةٌ وُضِعَتِ السَّرِقَةُ فِي يَدِ أَمِينٍ ولم يطالب بكفيل؛ لأن حدود الله تعالى لا تصح فيها الكفالات فلو امتنع رب السَّرِقَةِ مِنْ إِقَامَةِ كَفِيلٍ حُبِسَ عَلَى إِقَامَةِ الْكَفِيلِ لَا عَلَى قُدُومِ الْغَائِبِ فَإِنْ بَذَلَ غرم السرقة لم يحبس ولا يُكْفَلْ؛ لِأَنَّ بَذْلَ الْغُرْمِ أَقْوَى مِنَ الْكَفَالَةِ وَأُطْلِقَ وَوُضِعَ الْغُرْمُ عَلَى يَدِ أَمِينٍ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan dalam pembahasan tentang penahanan pencuri apabila pemilik barang yang dicuri sedang tidak ada, maka tidak segera dilakukan pemotongan (tangan), dan ini adalah mazhab Syafi‘i. Maka, pencuri ditahan selama ketidakhadiran pemilik barang tidak terlalu lama, jika barang curian telah habis (tidak tersisa). Adapun jika barang curian masih ada, terdapat dua pendapat mengenai penahanannya. Jika ketidakhadiran pemilik barang sangat lama, maka pencuri tidak ditahan karena tidak diketahui kapan ia akan kembali. Kemudian dilihat lagi, jika penahanan itu karena kewajiban membayar ganti rugi atas pencurian, maka pencuri diminta menyediakan penjamin dan dibebaskan. Namun jika penahanan itu untuk pelaksanaan hudud (pemotongan tangan) karena barang curian masih ada, maka barang curian diletakkan di tangan orang yang terpercaya dan tidak diminta penjamin, karena hudud Allah tidak sah dengan jaminan. Jika pemilik barang curian menolak menyediakan penjamin, maka ia ditahan karena tidak menyediakan penjamin, bukan karena menunggu kedatangan orang yang sedang tidak ada. Jika ia membayar ganti rugi atas pencurian, maka ia tidak ditahan dan tidak perlu penjamin, karena pembayaran ganti rugi lebih kuat daripada jaminan, lalu ia dibebaskan dan ganti rugi diletakkan di tangan orang yang terpercaya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَلَوْ شَهِدَ رَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ عَلَى سَرِقَةٍ أَوْجَبْتُ الْغُرْمَ فِي الْمَالِ وَلَمْ أوجبه في الْحَدَّ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Jika ada seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau satu saksi dan sumpah, memberikan kesaksian atas pencurian, maka aku mewajibkan pembayaran ganti rugi pada harta, namun aku tidak mewajibkannya pada ḥadd.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ الصَّحِيحُ؛ لِأَنَّ فِي السَّرِقَةِ حَقَّيْنِ

Al-Mawardi berkata, dan inilah pendapat yang benar; karena dalam pencurian terdapat dua hak.

أَحَدُهُمَا لِآدَمِيٍّ وَهُوَ الْمَالُ

Salah satunya adalah milik manusia, yaitu harta.

وَالثَّانِي لِلَّهِ تَعَالَى وَهُوَ الْقَطْعُ

Dan yang kedua adalah milik Allah Ta‘ala, yaitu kepastian.

وَالْأَمْوَالُ تُسْتَحَقُّ بِشَاهِدٍ وامرأتين وشاهد وَيَمِينٍ وَالْحَدُّ لَا يَجِبُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ فَإِذَا شهد على السارق شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ وَجَبَ الْغُرْمُ وَلَمْ يَجِبِ الْقَطْعُ

Harta dapat ditetapkan kepemilikannya dengan satu saksi dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah. Sedangkan hudud tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dua orang saksi. Maka jika ada satu saksi dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah, yang bersaksi atas pencuri, maka wajib ganti rugi, tetapi tidak wajib potong tangan.

فَإِنْ قِيلَ فَقَتْلُ الْعَمْدِ يوجب القود والدية فهلا إذا شهد به رجل وامرأتان يحكم عليه بالدية لأنها مال ولا يحكم بالقود لأنه حد

Jika dikatakan: Pembunuhan sengaja mewajibkan qishāsh dan diyat, maka mengapa apabila disaksikan oleh satu laki-laki dan dua perempuan diputuskan atasnya diyat karena itu adalah harta, dan tidak diputuskan qishāsh karena itu adalah hudud?

قيل لا يحكم ذلك إلا في قتل العمد لوقوع الفرق بينهما؛ لأن الدِّيَةَ بَدَلٌ مِنَ الْقَوَدِ؛ لِأَنَّهُمَا لَا يَجْتَمِعَانِ فَلَمْ تَثْبُتِ الدِّيَةُ إِلَّا بِثُبُوتِ الْقَوَدِ وَلَيْسَ الْغُرْمُ بَدَلًا مِنَ الْقَطْعِ؛ لِأَنَّهُمَا يَجْتَمِعَانِ فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ الْغُرْمُ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتِ الْقَطْعُ

Dikatakan bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku dalam kasus pembunuhan sengaja karena terdapat perbedaan antara keduanya; sebab diyat merupakan pengganti dari qishāsh, karena keduanya tidak dapat berkumpul sehingga diyat tidak ditetapkan kecuali jika qishāsh juga ditetapkan. Sedangkan ganti rugi bukanlah pengganti dari pemotongan (anggota tubuh), karena keduanya dapat berkumpul, sehingga boleh saja ganti rugi ditetapkan meskipun pemotongan tidak ditetapkan.

فَإِنْ قِيلَ فَالْهَاشِمَةُ فِيهَا قِصَاصٌ فِي مُوضِحَتِهَا وَدِيَةٌ فِي هَشْمِهَا أَفَتَحْكُمُونَ بِدِيَةِ الْهَشْمِ إِذَا شهد به رجل وامرأتان

Jika dikatakan: “Pada luka hāshimah terdapat qishāsh pada bagian mudhīhah-nya dan diyat pada bagian hāshm-nya. Apakah kalian memutuskan dengan diyat hāshm jika disaksikan oleh satu laki-laki dan dua perempuan?”

قيل لا تحكم ذَلِكَ

Dikatakan: Hal itu tidak dapat dijadikan hukum.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ حُكْمَ الْهَاشِمَةِ اسْتِحْقَاقُ الْقِصَاصِ فِي مُوضِحَتِهَا وَالدِّيَةِ فِي هَشْمِهَا وَلَا يَنْفَرِدُ اسْتِحْقَاقُ أَحَدِهِمَا عَنِ الْآخَرِ فَإِذَا امْتَنَعَ اسْتِحْقَاقُ الْقَوَدِ امْتَنَعَ اسْتِحْقَاقُ الدِّيَةِ وَلِذَلِكَ قُلْنَا إِقْرَارُ بَعْضِ الْوَرَثَةِ بِوَارِثٍ إِذَا مَنَعَ مِنْ ثبوت النسب منع اسْتِحْقَاقَ الْمِيرَاثِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُسْتَحَقُّ إِلَّا بِثُبُوتِهِ وَلَيْسَتِ السَّرِقَةُ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْغُرْمَ فِيهَا قَدْ يُسْتَحَقُّ وَإِنْ لَمْ يُسْتَحَقَّ فِيهَا الْقَطْعُ كَالْوَالِدِ إِذَا سَرَقَ مِنْ وَلَدِهِ فَجَازَ أَنْ يَثْبُتَ الغرم بها ولا يثبت به القطع وكذلك قُلْنَا فِيمَنْ حَلَفَ بِالطَّلَاقِ أَنَّهُ لَا دَيْنَ عليه فيشهد عَلَيْهِ بِالدَّيْنِ رَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ حَكَمْنَا عَلَيْهِ بِاسْتِحْقَاقِ الدَّيْنِ؛ لِأَنَّهُ يَثْبُتُ بِرَجُلِ وَامْرَأَتَيْنِ وَلَمْ نَحْكُمْ عَلَيْهِ بِالطَّلَاقِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ وَلَوْ شَهِدَ بِالدَّيْنِ شَاهِدَانِ حَكَمْنَا عَلَيْهِ بِالدَّيْنِ والطلاق هذا أصلا مستمراً

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa hukum al-hāshimah adalah berhak mendapat qishāsh pada bagian yang menyebabkan luka yang menampakkan tulang, dan berhak mendapat diyat pada bagian yang menyebabkan hancurnya tulang, dan tidak mungkin salah satu dari keduanya berhak tanpa yang lain. Maka jika gugur hak untuk mendapat qishāsh, gugur pula hak untuk mendapat diyat. Oleh karena itu kami katakan, pengakuan sebagian ahli waris terhadap adanya ahli waris lain, jika menghalangi penetapan nasab, maka menghalangi pula hak untuk mendapat warisan; karena warisan tidak berhak didapatkan kecuali dengan penetapan nasab. Pencurian tidaklah demikian; karena dalam pencurian, ganti rugi bisa saja berhak didapatkan meskipun hukuman potong tangan tidak berhak dijatuhkan, seperti orang tua yang mencuri dari anaknya, maka boleh jadi ganti rugi ditetapkan namun potong tangan tidak ditetapkan. Demikian pula kami katakan tentang orang yang bersumpah dengan talak bahwa ia tidak memiliki utang, lalu ada seorang laki-laki dan dua perempuan yang bersaksi atas utang tersebut, maka kami tetapkan ia berhak atas utang itu; karena utang dapat ditetapkan dengan kesaksian seorang laki-laki dan dua perempuan, namun kami tidak menetapkan talak atasnya; karena talak tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dua orang saksi laki-laki. Jika dua orang saksi laki-laki bersaksi atas utang, maka kami tetapkan ia berhak atas utang dan talak, dan ini adalah kaidah yang terus berlaku.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَفِي إِقْرَارِ الْعَبْدِ بِالسَّرِقَةِ شَيْئَانِ أَحَدُهُمَا لِلَّهِ فِي بَدَنِهِ فَأَقْطَعُهُ وَالْآخَرُ فِي مَالِهِ وَهُوَ لَا يَمْلِكُ مَالًا فَإِذَا أُعْتِقَ وَمَلَكَ أَغْرَمْتُهُ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Dalam pengakuan seorang budak atas pencurian terdapat dua hal: salah satunya adalah hak Allah pada tubuhnya, maka aku memotong tangannya; dan yang lainnya adalah hak pada hartanya, sedangkan ia tidak memiliki harta. Maka jika ia dimerdekakan dan kemudian memiliki harta, aku mewajibkan ia membayar ganti rugi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ قَدْ مَضَتْ وَأَصْلُهَا أَنَّ إِقْرَارَ الْعَبْدِ فِيمَا اخْتَصَّ بِبَدَنِهِ مَقْبُولٌ وَفِيمَا اخْتَصَّ بِالْمَالِ غَيْرُ مَقْبُولٍ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya, dan pokok permasalahannya adalah bahwa pengakuan seorang budak dalam hal yang berkaitan dengan tubuhnya sendiri diterima, sedangkan dalam hal yang berkaitan dengan harta tidak diterima.

وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو يُوسُفَ وَدَاوُدُ لَا يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ فِي البدن ولا في المال وهذا فاسد لأمرين

Malik, Abu Yusuf, dan Dawud berpendapat bahwa pengakuannya tidak diterima baik dalam hal badan maupun dalam hal harta, dan pendapat ini rusak karena dua alasan.

أحدهما أن إقراره أنه لَمْ يُصَلِّ وَلَمْ يَصُمْ نَافِذٌ فِيمَا يُؤْمَرُ بِهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ حَتَّى لَوِ امْتَنَعَ من الصلاة قتل بإقراره أنه لَمْ يُصَلِّ فَكَذَلِكَ فِيمَا عَدَاهُ

Pertama, pengakuannya bahwa ia tidak salat dan tidak berpuasa berlaku dalam hal-hal yang ia diperintahkan untuk melakukannya, seperti salat dan puasa. Sehingga, jika ia menolak salat, maka ia dapat dihukum mati berdasarkan pengakuannya bahwa ia tidak salat. Demikian pula halnya dalam perkara-perkara selain itu.

وَالثَّانِي وَهُوَ فَرْقٌ بَيْنَ الْمَالِ وَالْبَدَنِ بِأَنَّ التُّهْمَةَ مُرْتَفِعَةٌ عنه فيما تعلق ببدنه ومتوجهة إليه فيما تعلق بِالْمَالِ فَقُبِلَ إِقْرَارُهُ فِي بَدَنِهِ وَلَمْ يُقْبَلْ فِي الْمَالِ فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَأَقَرَّ بِسَرِقَةٍ قُطِعَ بِإِقْرَارِهِ

Yang kedua adalah adanya perbedaan antara harta dan badan, yaitu bahwa tuduhan (adanya motif tersembunyi) tidak ada pada perkara yang berkaitan dengan badannya, namun tuduhan itu ada pada perkara yang berkaitan dengan harta. Oleh karena itu, pengakuannya diterima dalam hal yang berkaitan dengan badannya, dan tidak diterima dalam hal yang berkaitan dengan harta. Maka jika hal ini telah tetap, dan seseorang mengakui telah melakukan pencurian, maka ia dipotong tangannya berdasarkan pengakuannya.

وَأَمَّا الْمَالُ فَلِلشَّافِعِيِّ فِيهِ قَوْلَانِ فاختلف أصحابنا في محلها عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun mengenai harta, menurut Imam Syafi‘i terdapat dua pendapat, sehingga para ulama kami berbeda pendapat mengenai tempat penerapannya menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّ الْقَوْلَيْنِ فِي الْمَالِ إِذَا كَانَ بَاقِيًا فِي يَدِهِ هَلْ يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ فِيهِ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa terdapat dua pendapat mengenai harta apabila masih berada di tangannya: apakah pengakuannya terhadap harta tersebut diterima atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا لَا يُقْبَلُ لِتَوَجُّهِ التُّهْمَةِ إِلَيْهِ

Salah satunya tidak diterima karena adanya tuduhan yang diarahkan kepadanya.

وَالثَّانِي يُقْبَلُ لِاتِّصَالِهِ بِالْقَطْعِ الَّذِي لَا يُتَّهَمُ فِيهِ فَأَمَّا مَعَ استهلاك المال فلا يقبل في تعلقه بِرَقَبَتِهِ قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِأَنَّ لِغُرْمِهِ مَحَلًّا يَثْبُتُ فيه ويفرد منه لِيُؤَدِّيَهُ بَعْدَ عِتْقِهِ

Yang kedua diterima karena berhubungan dengan hal yang pasti yang tidak dicurigai di dalamnya. Adapun jika harta telah habis, maka tidak diterima keterkaitannya dengan dirinya menurut satu pendapat; karena bagi para krediturnya terdapat tempat yang dapat ditetapkan dan dipisahkan darinya agar dapat dibayarkan setelah ia merdeka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ وَجُمْهُورِ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّ الْقَوْلَيْنِ فِي الْمَالِ إِذَا كَانَ تَالِفًا هَلْ يَتَعَلَّقُ برقبته فيباع فيه أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمَالُ بَاقِيًا فَلَا يُقْبَلُ إِقْرَارُهُ فِيهِ؛ لِأَنَّ يده يد السيد فصار كإقراره بسرقته مَا فِي يَدِهِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hamid al-Marwazi dan mayoritas ulama Basrah, menyatakan bahwa terdapat dua pendapat mengenai harta apabila harta tersebut telah rusak: apakah harta itu menjadi tanggungan lehernya sehingga ia dijual untuk menutupi harta tersebut atau tidak, ada dua pendapat dalam hal ini. Adapun jika harta itu masih ada, maka pengakuannya tidak diterima atas harta tersebut, karena tangannya adalah tangan tuannya, sehingga pengakuannya seperti pengakuan bahwa ia mencuri apa yang ada di tangannya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ الْقَوْلَيْنِ عَلَى الْعُمُومِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ مَعًا سَوَاءٌ كَانَ الْمَالُ بَاقِيًا فِي يَدِهِ أَوْ تَالِفًا هَلْ يَنْفُذُ إِقْرَارُهُ فِيهِ عَلَى قَوْلَيْنِ؛ لِأَنَّ رَقَبَتَهُ وَمَا فِي يَدِهِ جَمِيعًا فِي حُكْمِ مَا فِي يَدِ سَيِّدِهِ فَإِنْ نَفَذَ إِقْرَارُهُ فِي أحدهما نفذ في الآخر وليس للفرق بينهما وجه والله أعلم

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, bahwa dua pendapat itu berlaku umum pada kedua keadaan, baik harta tersebut masih ada di tangannya maupun telah rusak, apakah pengakuannya sah atau tidak, terdapat dua pendapat; karena dirinya dan apa yang ada di tangannya seluruhnya berada dalam hukum apa yang ada di tangan tuannya. Jika pengakuannya sah pada salah satunya, maka sah pula pada yang lainnya, dan tidak ada alasan untuk membedakan antara keduanya. Allah lebih mengetahui.

باب غرم السارق ما سرق

Bab Kewajiban Ganti Rugi atas Barang yang Dicuri oleh Pencuri

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” أُغَرِّمُ السَّارِقَ مَا سَرَقَ قُطِعَ أَوْ لَمْ يقطع وكذلك قاطع الطريق والحد لله فلا يُسْقَطُ حَدُّ اللَّهِ غُرْمَ مَا أُتْلِفَ لِلْعِبَادِ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Aku mewajibkan ganti rugi atas pencuri sebesar apa yang ia curi, baik ia dipotong tangannya atau tidak. Demikian pula bagi perampok di jalanan. Hudud adalah hak Allah, maka hudud Allah tidak menggugurkan kewajiban ganti rugi atas harta yang telah dirusak milik para hamba.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا كَانَتِ السَّرِقَةُ بَاقِيَةً فَإِنَّهَا تُرَدُّ عَلَى مَالِكِهَا وَيُقْطَعُ سَارِقُهَا وَهُوَ إِجْمَاعٌ وَإِنْ كَانَتْ تَالِفَةً فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي حُكْمِهَا عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ

Al-Mawardi berkata: Jika barang curian masih ada, maka barang itu dikembalikan kepada pemiliknya dan pencurinya dipotong tangannya, dan ini adalah ijmā‘. Namun jika barang itu telah rusak, maka para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya menjadi tiga mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يَغْرَمُهَا السَّارِقُ وَيُقْطَعُ سَوَاءٌ تَقَدَّمَ الْغُرْمُ عَلَى الْقَطْعِ أَوْ تَأَخَّرَ عَنْهُ وَسَوَاءٌ كَانَ مُوسِرًا أَوْ مُعْسِرًا

Salah satunya, yaitu mazhab Syafi‘i, berpendapat bahwa pencuri wajib mengganti kerugian dan tetap dikenai hukuman potong tangan, baik penggantian kerugian itu dilakukan sebelum atau sesudah pemotongan, dan baik pencuri itu mampu maupun tidak mampu.

وَبِهِ قَالَ مِنَ التَّابِعِينَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَالزُّهْرِيُّ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ الْأَوْزَاعِيُّ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَابْنُ شُبْرُمَةَ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ

Pendapat ini juga dipegang oleh para tabi‘in seperti Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha‘i, dan az-Zuhri, serta di kalangan fuqaha seperti al-Awza‘i, al-Laits bin Sa‘d, Ibnu Syubrumah, dan Ahmad bin Hanbal.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ لَا يُجْمَعُ عَلَيْهِ بَيْنَ الْغُرْمِ وَالْقَطْعِ فَإِنْ قُطِعَ لَمْ يُغَرَّمْ وَإِنْ أُغْرِمَ لَمْ يُقْطَعْ وَرَبُّهَا قَبْلَ الْغُرْمِ وَالْقَطْعِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُطَالِبَ بِالْغُرْمِ فَلَا يُقْطَعُ وبين أن يمسك عَنْهُ فَيُقْطَعُ وَلَوْ قُطِعَ وَالسَّرِقَةُ بَاقِيَةٌ فَأَتْلَفَهَا أجنبي لم يضمنها للسارق؛ لأنه غير مالك ولا لربها؛ لأن لا يُجْمَعَ بَيْنَ الْقَطْعِ وَالْغُرْمِ وَقَالَ لَوْ سَرَقَ حَدِيدًا فَضَرَبَهُ كُوزًا فَقُطِعَ لَمْ يَرُدَّ الْكُوزَ لِأَنَّهُ صَارَ كَالْعَيْنِ الْأُخْرَى وَلَوْ سَرَقَ ثَوْبًا فَصَبَغَهُ أَسْوَدَ لَمْ يَرُدَّهُ إِذَا قُطِعَ؛ لِأَنَّهُ صار بالسواد كالمستهلك ولو صبغه أحمر رده لا يجعله كَالْمُسْتَهْلَكِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hanifah, menyatakan bahwa tidak boleh digabungkan antara kewajiban membayar ganti rugi (ghurm) dan hukuman potong tangan (qat‘) dalam kasus pencurian. Jika pelaku sudah dipotong tangannya, maka ia tidak diwajibkan membayar ganti rugi; dan jika ia sudah membayar ganti rugi, maka tidak dipotong tangannya. Pemilik barang sebelum pelaksanaan ganti rugi dan potong tangan memiliki pilihan antara menuntut ganti rugi sehingga pelaku tidak dipotong, atau membiarkan tuntutan sehingga pelaku dipotong. Jika pelaku sudah dipotong tangannya sementara barang curian masih ada, lalu barang itu dirusak oleh orang lain, maka orang tersebut tidak menanggung ganti rugi kepada pencuri karena ia bukan pemilik, dan juga tidak kepada pemilik barang karena tidak boleh digabungkan antara potong tangan dan ganti rugi. Abu Hanifah juga berkata: Jika seseorang mencuri besi lalu membentuknya menjadi kendi, kemudian ia dipotong tangannya, maka kendi itu tidak dikembalikan karena sudah menjadi seperti barang lain. Jika seseorang mencuri kain lalu mewarnainya menjadi hitam, maka kain itu tidak dikembalikan jika pelaku sudah dipotong tangannya, karena dengan warna hitam kain itu dianggap telah musnah. Namun jika kain itu diwarnai merah, maka kain itu harus dikembalikan karena tidak dianggap musnah.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ أَنَّهُ إِنْ كَانَ مُوسِرًا قُطِعَ وَأُغْرِمَ كَقَوْلِنَا وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا قُطِعَ وَلَمْ يُغْرَمْ إِذَا أَيْسَرَ كقول أبي حنيفة واحتج من منع الْجَمْعِ بَيْنَ الْغُرْمِ وَالْقَطْعِ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا المائدة 38 فَجُعِلَ جَزَاءَ سَرِقَتِهِ الْقَطْعُ دُونَ الْغُرْمِ وَبِحَدِيثِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” إِذَا قُطِعَ السَّارِقُ فَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ وهذا نص

Madzhab ketiga, yaitu pendapat Malik, menyatakan bahwa jika pelaku mampu, maka dipotong tangannya dan ia diwajibkan mengganti kerugian, sebagaimana pendapat kami. Namun jika pelaku tidak mampu, maka dipotong tangannya dan tidak diwajibkan mengganti kerugian, dan jika kemudian ia menjadi mampu, maka seperti pendapat Abu Hanifah. Orang yang melarang penggabungan antara kewajiban mengganti kerugian (ghurm) dan pemotongan tangan (qat‘) berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan” (al-Mā’idah: 38), sehingga balasan atas pencurian itu adalah pemotongan tangan tanpa kewajiban mengganti kerugian. Juga dengan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jika tangan pencuri telah dipotong, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya.” Dan ini adalah nash.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ فِعْلٌ يَتَعَلَّقُ بِهِ وُجُوبُ الْحَدِّ فَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ وُجُوبُ الْمَالِ كَالزِّنَا بِمُطَاوَعَةٍ لَا يُجْمَعُ فِيهِ بَيْنَ الْحَدِّ وَالْمَهْرِ وَلِأَنَّهُ فِعْلٌ يَتَعَلَّقُ بِهِ وُجُوبُ الْغُرْمِ وَالْقَطْعِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا كَجِنَايَةِ الْعَمْدِ لا يجمع بَيْنَ الْقِصَاصِ وَالدِّيَةِ وَلِأَنَّ اسْتِهْلَاكَ الْمَالِ يَمْنَعُ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَ الْغُرْمِ وَالْقَطْعِ كَالْغَصْبِ

Dan di antara qiyās adalah bahwa perbuatan yang berkaitan dengannya wajib dikenakan had, maka tidak wajib dikenakan kewajiban harta atasnya, seperti zina dengan kerelaan, di mana tidak dikumpulkan antara had dan mahar. Dan karena itu adalah perbuatan yang berkaitan dengannya wajib dikenakan ganti rugi dan pemotongan (anggota badan), maka tidak boleh dikumpulkan keduanya, seperti dalam kasus jinayah ‘amdan (kejahatan sengaja), tidak dikumpulkan antara qishāsh dan diyat. Dan karena penghilangan harta mencegah penggabungan antara ganti rugi dan pemotongan, seperti dalam kasus ghashb (perampasan).

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا المائدة 38 فَاقْتَضَى الظَّاهِرُ قَطْعَهُ وَإِنْ أُغْرِمَ وَأَبُو حَنِيفَةَ يَمْنَعُ مِنْ قَطْعِهِ إِذَا أُغْرِمَ وَيَجْعَلُهُ مُخَيَّرًا وقد جعله الله تعالى حتماً وقوله جزاء بما كسبا يَعُودُ إِلَى الْفِعْلِ دُونَ الْمَالِ؛ لِأَنَّ الْمَالَ لا يدخل في كسبهما وَلِأَنَّ مَنْ غَصَبَ جَارِيَةً فَزَنَا بِهَا وَجَبَ عليه الحد ويردها إِنْ كَانَتْ بَاقِيَةً وَيَرُدُّ قِيمَتَهَا إِنْ كَانَتْ تَالِفَةً فَيُجْمَعُ عَلَيْهِ بَيْنَ الْحَدِّ وَالْغُرْمِ كَذَلِكَ فِي السَّرِقَةِ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (Al-Mā’idah: 38). Maka, zahir ayat ini menuntut agar dipotong tangannya meskipun ia harus mengganti kerugian. Abu Hanifah melarang pemotongan tangan jika pelaku mengganti kerugian dan menjadikannya sebagai pilihan, padahal Allah Ta‘ala telah menjadikannya sebagai ketetapan. Firman-Nya: “Sebagai balasan atas apa yang mereka usahakan” kembali kepada perbuatan, bukan kepada harta; karena harta tidak termasuk dalam usaha mereka. Dan karena siapa saja yang merampas seorang budak perempuan lalu berzina dengannya, maka wajib atasnya hukuman had dan mengembalikan budak itu jika masih ada, atau mengembalikan nilainya jika sudah tidak ada. Maka, dijatuhkan atasnya hukuman had dan kewajiban mengganti kerugian sekaligus. Demikian pula dalam kasus pencurian.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّ حُدُودَ اللَّهِ تعالى لَا تُوجِبُ سُقُوطَ الْغُرْمِ كَالزِّنَا بِالْجَارِيَةِ الْمَغْصُوبَةِ وَلِأَنَّ كُلَّ عَيْنٍ وَجَبَ الْقَطْعُ مَعَ رَدِّهَا الْقَطْعُ مَعَ رَدِّ بَدَلِهَا كَمَا لَوْ بَاعَهَا السَّارِقُ وَاسْتَهْلَكَ ثَمَنَهَا قُطِعَ مَعَ رَدِّ بَدَلِ الثمن كما يقطع مع رد الثمن كَذَلِكَ فِي حَقِّ الْمِلْكِ وَلِأَنَّ الْقَطْعَ وَجَبَ بِإِخْرَاجِهَا مِنَ الْحِرْزِ وَالْغُرْمُ وَجَبَ بِاسْتِهْلَاكِهَا وَكُلُّ حَقَّيْنِ وَجَبَا بِسَبَبَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ جَازَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا كَقَتْلِ الصَّيْدِ الْمَمْلُوكِ يُجْمَعُ فِيهِ بَيْنَ الْجَزَاءِ وَالْقِيمَةِ

Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa hudud Allah Ta‘ala tidak menyebabkan gugurnya kewajiban ganti rugi, seperti dalam kasus zina dengan budak perempuan yang digasak. Setiap barang yang mewajibkan hukuman potong tangan bersamaan dengan pengembaliannya, maka potong tangan juga berlaku bersamaan dengan penggantian nilainya, seperti jika pencuri menjual barang curian lalu menghabiskan uang hasil penjualannya, maka ia tetap dipotong tangannya dan wajib mengganti nilai uang tersebut, sebagaimana ia dipotong tangan jika mengembalikan uangnya. Demikian pula dalam hak kepemilikan. Sebab, hukuman potong tangan diwajibkan karena mengeluarkan barang dari tempat penyimpanan, sedangkan kewajiban ganti rugi diwajibkan karena menghabiskan barang tersebut. Setiap dua hak yang diwajibkan karena dua sebab yang berbeda, maka boleh digabungkan keduanya, seperti dalam kasus membunuh hewan buruan milik orang lain, di mana digabungkan antara denda dan pembayaran nilai hewan tersebut.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ مَا اسْتَدْلَلْنَا بِهِ مِنْهَا

Adapun jawaban terhadap ayat tersebut adalah apa yang telah kami jadikan sebagai dalil darinya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ فهو أنه ضعيف ذكر الساجي أَنَّهُ لَمْ يُثْبِتْهُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ النَّقْلِ وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ مَحْمُولًا عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap hadis tersebut adalah bahwa hadis itu lemah; as-Saji menyebutkan bahwa tidak ada seorang pun dari ahli periwayatan yang menetapkannya. Dan seandainya hadis itu sahih, maka harus dipahami dalam salah satu dari dua kemungkinan.

إما أنه لا غرم عليه لأجرة قَاطِعِهِ؛ لِأَنَّهَا فِي بَيْتِ الْمَالِ

Atau tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya untuk upah orang yang memotongnya, karena upah tersebut berasal dari baitul mal.

وَالثَّانِي أَنَّ الْعُقُوبَاتِ قَبْلَ الْحُدُودِ كَانَتْ بِالْغَرَامَاتِ فَلَمَّا فُرِضَتِ الْحُدُودُ سَقَطَ الْغُرْمُ فَكَانَ قَوْلُهُ ” إِذَا قُطِعَ السارق فلا غرم عليه إشارة إلى إِلَى الْغُرْمِ الَّذِي كَانَ حَدًّا

Kedua, bahwa hukuman-hukuman sebelum adanya hudud adalah dengan denda, maka ketika hudud diwajibkan, denda itu dihapuskan. Maka ucapan beliau, “Jika tangan pencuri telah dipotong maka tidak ada denda atasnya,” merupakan isyarat kepada denda yang dahulu menjadi hukuman.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الزِّنَا بِالْمُطَاوَعَةِ فَهُوَ أَنَّهَا بَذَلَتْ نَفْسَهَا وَأَسْقَطَتْ مَهْرَهَا وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْجِنَايَاتِ فَهُوَ أَنَّهُمَا وَجَبَا بِسَبَبٍ وَاحِدٍ لِمُسْتَحِقٍّ وَاحِدٍ فَلَمْ يَجْتَمِعَا وَالْقَطْعُ وَالْغُرْمُ وَجَبَا بِسَبَبَيْنِ لِمُسْتَحِقَّيْنِ فَجَازَ أَنْ يَجْتَمِعَا كَمَا يَجْتَمِعُ فِي قَتْلِ الْعَبْدِ الْمَمْلُوكِ الْقِيمَةُ وَالْكَفَّارَةُ فَأَمَّا مَالِكٌ فَمَدْخُولُ الْقَوْلِ؛ لِأَنَّ الْغُرْمَ إِنْ وجب لم يَسْقُطَ عَنْهُ بِالْإِعْسَارِ إِذَا أَيْسَرَ وَإِنْ لَمْ يجب لم يستحق عليه بوجود الْيَسَارِ فَلَمْ يَكُنْ لِقَوْلِهِ وَجْهٌ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ

Adapun jawaban terhadap qiyās yang menyamakan (kasus ini) dengan zina yang dilakukan atas dasar suka sama suka adalah bahwa perempuan itu telah menyerahkan dirinya dan menggugurkan maharnya. Sedangkan jawaban terhadap qiyās yang menyamakannya dengan jināyāt (tindak pidana) adalah bahwa keduanya (hukuman) wajib karena satu sebab untuk satu pihak yang berhak, sehingga tidak dapat digabungkan. Sementara hukuman potong tangan dan ganti rugi wajib karena dua sebab untuk dua pihak yang berhak, sehingga boleh digabungkan, sebagaimana dalam kasus membunuh budak milik orang lain, di mana wajib membayar nilai budak dan juga kafārah. Adapun pendapat Mālik, maka terdapat kelemahan, karena jika ganti rugi itu wajib, maka tidak gugur dari pelakunya karena kefakiran apabila ia kemudian mampu; dan jika tidak wajib, maka tidak berhak dituntut darinya meskipun ia mampu. Maka pendapatnya tidak memiliki dasar. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

باب ما لا قطع فيه

Bab tentang hal-hal yang tidak dikenakan hukuman potong tangan

قال الشافعي رحمه الله ” ولا قَطْعَ عَلَى مَنْ سَرَقَ مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ وَلَا فِي خِلْسَةٍ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tidak ada hukuman potong tangan bagi orang yang mencuri dari selain tempat penyimpanan yang aman, dan tidak pula pada pencurian secara kilat (khilsa).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ وُجُوبَ الْقَطْعِ فِي النِّصَابِ مُعْتَبَرٌ بِشَرْطَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, karena kewajiban pemotongan pada nisab dipertimbangkan dengan dua syarat.”

أَحَدُهُمَا الْحِرْزُ فَإِنْ سَرَقَ مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ لَمْ يُقْطَعْ

Salah satunya adalah tempat penyimpanan yang aman (ḥirz); maka jika seseorang mencuri dari selain ḥirz, tidak dikenakan hukuman potong tangan.

وَقَالَ دَاوُدُ يُقْطَعُ

Dan Dawud berkata, “Dipotong.”

وَالشَّرْطُ الثَّانِي الاستخفاء بأخذه فإن أخذه نهباً أو جناية لَمْ يُقْطَعْ

Syarat kedua adalah pengambilan secara sembunyi-sembunyi; maka jika ia mengambilnya dengan cara merampas atau melakukan kejahatan secara terang-terangan, tidak dikenakan hukuman potong tangan.

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يُقْطَعُ فَأَمَّا الْمُخْتَلِسُ فَإِنْ سَرَقَ مَا اخْتَلَسَهُ مِنْ حِرْزٍ قُطِعَ وَإِنِ اخْتَلَسَهُ مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ لَمْ يُقْطَعْ

Ahmad bin Hanbal berkata, “Dipotong (tangannya). Adapun orang yang melakukan ikhtilās, jika ia mencuri apa yang diambilnya itu dari tempat yang terjaga (hirz), maka dipotong (tangannya). Namun jika ia mengambilnya dari selain tempat yang terjaga, maka tidak dipotong (tangannya).”

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِمَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ حديث أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” ليس على الجاني ولا على المختلس ولا على الْمُنْتَهِبِ قَطْعٌ وَهَذَا نَصٌّ

Dan dalil atas keduanya adalah apa yang telah kami kemukakan dari hadis Abu Zubair dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hukuman potong tangan atas pelaku jinayah, pencuri tersembunyi, dan perampas.” Dan ini adalah nash.

وَلِأَنَّ السَّرِقَةَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْمُسَارَقَةِ الَّتِي لَا يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُهَا وَيُمْكِنُ استدراك

Dan karena kata “sariqah” (pencurian) diambil dari “musāraqah” (mengambil secara sembunyi-sembunyi) yang tidak mungkin dapat dicegah, sedangkan ada yang masih mungkin dapat dicegah.

المنتهب والجاني بِاسْتِنْفَارِ النَّاسِ عَلَى الْمُنْتَهِبِ وَإِقَامَةِ الْحُجَّةِ عَلَى الجاني

Orang yang melakukan perampasan dan pelaku kejahatan ditangani dengan mengerahkan masyarakat untuk menghadapi perampas dan menegakkan hujjah terhadap pelaku kejahatan.

فإن قيل فقاطع الطريق مجاهر ويقطع قِيلَ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُ مَا أَخَذَهُ لِعَدَمِ مَنْ يُسْتَنْفَرُ عَلَيْهِ وَيُسْتَعَانُ بِهِ

Jika dikatakan: “Mengapa perampok jalanan yang melakukannya secara terang-terangan tetap dipotong tangannya?” Maka dijawab: Karena tidak mungkin mengembalikan apa yang telah diambilnya, disebabkan tidak adanya orang yang dapat dimintai bantuan untuk mengejarnya dan meminta pertolongan kepadanya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا عَلَى عَبْدٍ سَرَقَ مِنْ مَتَاعِ سَيِّدِهِ

Imam Syafi‘i berkata, “Tidak dikenakan (hukuman potong tangan) atas seorang budak yang mencuri dari harta milik tuannya.”

قال الماوردي وأما إذا سرق العبد من مال غير سَيِّدِهِ فَإِنَّهُ يُقْطَعُ آبِقًا وَغَيْرَ آبِقٍ

Al-Mawardi berkata, “Adapun jika seorang budak mencuri dari harta selain tuannya, maka ia tetap dipotong tangannya, baik dalam keadaan melarikan diri (ābiq) maupun tidak.”

وَقَالَ مَالِكٌ لَا يُقْطَعُ إِنْ كَانَ آبِقًا وَقَدْ مضى الكلام مَعَهُ فَأَمَّا إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ سَيِّدِهِ فَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ وَإِنْ هَتَكَ بِهِ حِرْزًا

Malik berkata, “Tidak dipotong (tangan) jika ia adalah budak yang melarikan diri, dan telah dijelaskan pembicaraan mengenai hal ini bersamanya. Adapun jika ia mencuri dari harta tuannya, maka tidak ada hukuman potong tangan atasnya, meskipun ia membobol tempat penyimpanan (harta) dengannya.”

وَقَالَ دَاوُدُ يُقْطَعُ احْتِجَاجًا بِعُمُومِ الْآيَةِ وَكَمَا يُحَدُّ إِذَا زَنَا بِأَمَةِ سَيِّدِهِ كَمَا يُحَدُّ إذا زنا بأمة غيره وخالف الْفُقَهَاءُ فِيهِ احْتِجَاجًا بِرِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قَالَ إِذَا سَرَقَ الْمَمْلُوكُ فَبِعْهُ وَلَوْ بِنَشٍّ وَالَنَّشُّ نِصْفُ أُوقِيَّةٍ عِشْرُونَ دِرْهَمًا فَأَمَرَ بِبَيْعِهِ وَلَمْ يَأْمُرْ بِقَطْعِهِ

Dawud berpendapat bahwa (tangan budak) dipotong berdasarkan keumuman ayat, dan sebagaimana ia dikenai had jika berzina dengan budak perempuan milik tuannya, sebagaimana ia dikenai had jika berzina dengan budak perempuan milik orang lain. Namun para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini dengan berdalil pada riwayat Abu Hurairah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Jika seorang budak mencuri, maka juallah dia, meskipun hanya seharga seutas tali.” Dan tali itu setengah uqiyah, yaitu dua puluh dirham. Maka beliau memerintahkan untuk menjualnya dan tidak memerintahkan untuk memotong tangannya.

وَرَوَى السَّائِبُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو الْحَضْرَمِيِّ أَنَّهُ جَاءَ بِغُلَامٍ لَهُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ اقْطَعْ هَذَا فَإِنَّهُ سَرَقَ فَقَالَ مَا الَّذِي سَرَقَ فَقَالَ مِرْآةً لِامْرَأَتِي ثَمَنُهَا سِتُّونَ دِرْهَمًا فَقَالَ أَرْسِلْهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَطْعٌ خَادِمُكُمْ سَرَقَ مَتَاعَكُمْ

Sā’ib bin Yazid meriwayatkan dari Abdullah bin Amr al-Hadhrami bahwa ia datang membawa seorang budaknya kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, lalu ia berkata, “Potonglah tangan budak ini, karena ia telah mencuri.” Umar bertanya, “Apa yang ia curi?” Ia menjawab, “Cermin milik istriku yang harganya enam puluh dirham.” Umar berkata, “Lepaskan dia, tidak ada hukuman potong tangan atasnya. Pelayan kalian mencuri barang milik kalian sendiri.”

وَرُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُمَا مَنَعَا مِنْ قَطْعِ عَبْدٍ سَرَقَ مِنْ مَالِ سَيِّدِهِ وَقَالَا مَالُكُمْ سَرَقَ مَالَكُمْ فَصَارَ إِجْمَاعًا؛ لِأَنَّهُ لَا مُخَالِفَ لَهُمْ

Diriwayatkan hal yang serupa dari Abdullah bin Mas‘ud dan Abdullah bin ‘Umar, bahwa keduanya melarang pemotongan tangan seorang budak yang mencuri dari harta tuannya, dan keduanya berkata: “Harta kalian mencuri harta kalian sendiri.” Maka hal ini menjadi ijmā‘, karena tidak ada yang menyelisihi mereka.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ خَالَفَهُمْ سَيِّدُ الْعَبْدِ حِينَ سَأَلَ قَطْعَهُ

Jika dikatakan, “Tetapi tuan dari seorang budak telah menyelisihi mereka ketika ia meminta agar budaknya dipotong.”

قِيلَ إِنَّمَا يُؤَثِّرُ خِلَافُ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ وَلَمْ يَكُنْ سَيِّدُهُ مِنْهُمْ فَلَمْ يَعُدْ قَوْلُهُ خِلَافًا

Dikatakan bahwa perbedaan pendapat hanya berpengaruh jika berasal dari kalangan ahli ijtihad, dan jika gurunya bukan termasuk dari mereka, maka pendapatnya tidak lagi dianggap sebagai perbedaan pendapat.

وَلِأَنَّ نَفَقَةَ العبد لما كانت مستحقة في مَالِ سَيِّدِهِ كَانَتْ شُبْهَةً لَهُ فِي سُقُوطِ قَطْعِهِ كَالْوَالِدِ فِي مَالِ الْوَلَدِ

Dan karena nafkah budak, ketika menjadi kewajiban yang ditanggung dari harta tuannya, maka hal itu menjadi syubhat (keraguan) baginya dalam menggugurkan hukuman potong tangan, sebagaimana (nafkah) orang tua dari harta anaknya.

وَلِأَنَّ يَدَ الْعَبْدِ يَدٌ لِسَيِّدِهِ فَصَارَ مَا سَرَقَهُ غَيْرَ خَارِجٍ مِنْ يَدِهِ فَلَمْ يُقْطَعْ

Dan karena tangan seorang budak adalah tangan tuannya, maka apa yang dicuri oleh budak itu dianggap tidak keluar dari kepemilikan tuannya, sehingga tidak dikenakan hukuman potong tangan.

وَلِأَنَّ قَطْعَ السَّارِقِ لِحِفْظِ مَالِ الْمَالِكِ وَفِي قَطْعِ عَبْدِهِ في ماله استهلاك لماله فأما زناؤه بِأَمَةِ سَيِّدِهِ فَلَا يَسْقُطُ فِيهِ الْحَدُّ؛ لِأَنَّ الْحِرْزَ فِيهِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ وَثُبُوتُ الْيَدِ فِيهِ غَيْرُ مُؤَثِّرٍ فَخَالَفَ بِذَلِكَ قَطْعَ السَّرِقَةِ

Karena pemotongan tangan pencuri bertujuan untuk menjaga harta pemilik, sedangkan memotong tangan budaknya karena mencuri harta tuannya berarti menghabiskan hartanya sendiri. Adapun jika ia berzina dengan budak perempuan milik tuannya, maka hudud tidak gugur dalam hal ini; karena penjagaan (ḥirz) dalam kasus ini tidak dianggap, dan kepemilikan tangan (tsubut al-yad) di sini tidak berpengaruh, sehingga berbeda dengan pemotongan tangan karena pencurian.

فَصْلٌ

Fashl (Bagian)

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْعَبْدِ والمدبر والمكاتب وَأُمِّ الْوَلَدِ وَمَنْ فِيهِ جُزْءٌ مِنَ الرِّقِّ وَإِنْ قَلَّ وَكَذَلِكَ عَبْدُ الْمُكَاتَبِ وَعَبْدُ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ فِي سُقُوطِ الْقَطْعِ عَنْ جميعهم لثبوت رقه عليهم

Maka apabila hal ini telah tetap, tidak ada perbedaan antara budak, mudabbar, mukatab, umm al-walad, dan siapa saja yang masih memiliki bagian dari status perbudakan, meskipun sedikit. Demikian pula budak milik mukatab dan budak yang diizinkan berdagang, semuanya tidak dikenai hukuman potong tangan karena status perbudakan masih melekat pada mereka.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ولا عَلَى زَوْجٍ سَرَقَ مِنْ مَتَاعِ زَوْجَتِهِ وَلَا عَلَى امْرَأَةٍ سَرَقَتْ مِنْ مَتَاعِ زَوْجِهَا وَلَا على عبد واحد منهما سرق من متاع صاحبه للأثر والشبهة ولخلطة كل واحدة مِنْهُمَا بِصَاحِبِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حنيفة والأوزاعي إذا سَرَقَتْ مِنْ مَالِ زَوْجِهَا الَّذِي لَمْ يَأْتَمِنْهَا عليه وفي حرز منها قطعت قال المزني رحمه الله هذا أقيس عندي

Imam Syafi‘i berkata, “Tidak dikenakan hukuman (potong tangan) atas seorang suami yang mencuri dari harta istrinya, dan tidak pula atas seorang istri yang mencuri dari harta suaminya, serta tidak pula atas budak salah satu dari keduanya yang mencuri dari harta tuannya, karena adanya atsar, syubhat, dan adanya percampuran kepemilikan antara masing-masing dari mereka dengan pasangannya.” Dan beliau berkata dalam kitab Ikhtilāf Abī Hanīfah wa al-Awzā‘ī, “Jika seorang istri mencuri dari harta suaminya yang tidak dipercayakan kepadanya dan berada dalam penjagaan khusus, maka ia dipotong tangannya.” Al-Muzani rahimahullah berkata, “Menurutku, pendapat ini lebih sesuai dengan qiyās.”

قال الماوردي وكان وَجُمْلَتُهُ أَنَّ أَحَدَ الزَّوْجَيْنِ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ صَاحِبِهِ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Kesimpulannya adalah bahwa salah satu dari suami istri jika mencuri dari harta pasangannya, maka terdapat dua keadaan.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مِنْ حِرْزٍ قَدِ اشْتَرَكَا فِي سُكْنَاهُ فَلَا قطع على واحد منهما إذا سرق من الآخر سَوَاءٌ كَانَ السَّارِقُ الزَّوْجَ أَوِ الزَّوْجَةَ لِأَنَّ الْحِرْزَ إِذَا اشْتَرَكَا فِيهِ كَانَ حِرْزًا مِنْ غَيْرِهِمَا وَلَمْ يَكُنْ حِرْزًا مِنْهُمَا فَصَارَ سَارِقًا لِمَالٍ مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ فَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْقَطْعُ وَلَوْ سَرَقَهُ غَيْرُهُ قُطِعَ؛ لِأَنَّهُ سَارِقٌ لَهُ مِنْ حِرْزٍ

Salah satu contohnya adalah jika barang itu berada dalam tempat penyimpanan (hirz) yang keduanya (misal: suami istri) sama-sama menempatinya, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan kepada salah satu dari mereka jika mencuri dari yang lain, baik yang mencuri itu suami maupun istri. Sebab, jika keduanya sama-sama memiliki tempat penyimpanan itu, maka tempat tersebut menjadi hirz dari orang lain, bukan dari mereka berdua. Dengan demikian, ia dianggap mencuri harta dari tempat yang bukan hirz, sehingga tidak wajib atasnya hukuman potong tangan. Namun, jika yang mencuri adalah orang lain, maka ia dipotong tangannya, karena ia mencuri dari hirz.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ المال من حِرْزٍ لَمْ يَشْتَرِكَا فِي سُكْنَاهُ فَفِي قَطْعِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِذَا سَرَقَ مِنْ صَاحِبِهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ

Jenis yang kedua adalah apabila harta berada di tempat yang terjaga (ḥirz) yang keduanya tidak tinggal bersama di dalamnya, maka mengenai pemotongan tangan masing-masing dari mereka apabila mencuri dari temannya, terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا وَهُوَ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ ها هنا أَنَّهُ لَا قَطْعَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِذَا سرق من مال صَاحِبِهِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ

Salah satu pendapat, yaitu yang dinukil oleh al-Muzani di sini, adalah bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan kepada salah satu dari keduanya jika mencuri dari harta milik temannya, dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ والْأَوْزَاعِيِّ أَنَّهُ يُقْطَعُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ صَاحِبِهِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ

Pendapat kedua, yang dinyatakan oleh asy-Syafi‘i dalam perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan al-Awza‘i, adalah bahwa masing-masing dari keduanya dipotong tangannya jika mencuri dari harta milik temannya. Pendapat ini juga dikatakan oleh Malik dan merupakan pilihan al-Muzani.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ حَكَاهُ الْحَارِثُ بْنُ سُرَيْجٍ النَّقَّالُ أَنَّهُ يُقْطَعُ الزَّوْجُ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ زَوْجَتِهِ وَلَا تُقْطَعُ الزَّوْجَةُ إِذَا سَرَقَتْ مِنْ مَالِ زَوْجِهَا فَإِذَا قِيلَ بالأول لأنه لَا قَطْعَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَوَجْهُهُ شَيْئَانِ

Pendapat ketiga, yang diriwayatkan oleh al-Harits bin Surayj an-Naqqāl, adalah bahwa suami dipotong tangannya jika mencuri dari harta istrinya, sedangkan istri tidak dipotong tangannya jika mencuri dari harta suaminya. Jika dikatakan menurut pendapat pertama bahwa tidak ada hukuman potong tangan bagi salah satu dari keduanya, maka alasannya ada dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنْ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَتَصَرَّفُ غَالِبًا فِي مَالِ صَاحِبِهِ فَحَقُّهَا فِي مَالِهِ وُجُوبُ النَّفَقَةِ وَلِذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِهِنْدِ بِنْتِ عُتْبَةَ حِينَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ سِرًّا فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ شَيْءٌ فَقَالَ ” خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ فَأَمَّا حَقُّهُ فِي مَالِهَا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَقَالَ الْبَغْدَادِيُّونَ هُوَ مَا قَالَهُ مَالِكٌ وَفُقَهَاءُ الْمَدِينَةِ أَنَّ لَهُ الْحَجْرَ عليها في مالها ومنعها عن التَّصَرُّفِ فِيهِ إِلَّا عَنْ إِذْنِهِ فَصَارَ هَذَا الاختلاف شُبْهَةً لَهُ فِي مَالِهَا

Salah satunya adalah bahwa masing-masing dari keduanya biasanya berhak menggunakan harta pasangannya, sehingga hak istri atas harta suami adalah wajibnya nafkah. Karena itu, Nabi ﷺ bersabda kepada Hindun binti ‘Utbah ketika ia berkata, “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, ia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anakku kecuali apa yang aku ambil dari hartanya secara diam-diam. Apakah aku berdosa karena itu?” Maka beliau bersabda, “Ambillah secukupnya untukmu dan anakmu dengan cara yang baik.” Adapun hak suami atas harta istrinya, para ulama kami berbeda pendapat tentangnya. Ulama Baghdad berpendapat sebagaimana yang dikatakan oleh Malik dan para fuqaha Madinah, yaitu bahwa suami berhak membatasi istrinya dalam mengelola hartanya dan melarangnya untuk bertindak atas harta itu kecuali dengan izinnya. Maka perbedaan pendapat ini menjadi syubhat (keraguan) bagi suami terhadap harta istrinya.

وَقَالَ الْبَصْرِيُّونَ هُوَ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنْ مَنْعِهَا مِنَ الْخُرُوجِ لِإِحْرَازِ مالها فصار الحرز معه واهياً وَإِذَا قِيلَ بِالثَّانِي أَنَّهُ يُقْطَعُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَوَجْهُهُ شَيْئَانِ

Para ulama Basrah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hak yang ia miliki untuk melarangnya keluar demi menjaga hartanya, sehingga tempat penyimpanan harta itu menjadi lemah bersamanya. Dan jika dikatakan menurut pendapat kedua bahwa masing-masing dari keduanya harus dipotong (tangannya), maka alasannya ada dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُمَا إِلَّا عَقْدٌ وَالْعَقْدُ لَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْقَطْعِ كَالْإِجَارَةِ

Salah satunya adalah bahwa antara keduanya hanya terdapat akad, dan akad tidak menghalangi kewajiban pemotongan, seperti pada akad ijarah.

وَالثَّانِي أَنَّ نَفَقَتَهَا مُعَاوَضَةٌ كَالْأَثْمَانِ وَدُيُونُ الْمُعَاوَضَاتِ لَا تُوجِبُ سُقُوطَ الْقَطْعِ كَسَائِرِ الديون وخالفت نفقات الوالدين والمولدين لِخُرُوجِهَا عَنْ حُكْمِ الْمُعَاوَضَةِ وَإِذَا قِيلَ بِالثَّالِثِ أَنَّهُ يُقْطَعُ الزَّوْجُ وَلَا تُقْطَعُ الزَّوْجَةُ فَوَجْهُهُ شيئان

Kedua, bahwa nafkah istri merupakan bentuk mu‘āwadah (timbal balik) seperti harga-harga dan utang-utang mu‘āwadah lainnya, yang tidak menyebabkan gugurnya hukuman potong tangan, sebagaimana utang-utang lainnya. Hal ini berbeda dengan nafkah orang tua dan anak, karena nafkah tersebut tidak termasuk dalam hukum mu‘āwadah. Jika dikatakan pendapat ketiga, yaitu bahwa suami dipotong tangannya sedangkan istri tidak, maka alasannya ada dua hal.

أحدهما أن نفقة الزوجية تستحقها الزوجة عَلَى الزَّوْجِ فَصَارَتْ شُبْهَةً لِلزَّوْجَةِ دُونَ الزَّوْجِ

Pertama, nafkah pernikahan menjadi hak istri atas suami, sehingga hal itu menjadi syubhat (alasan yang dapat diterima) bagi istri, bukan bagi suami.

وَالثَّانِي أَنَّهَا فِي قَبْضَةِ الزَّوْجِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ النساء 34 فَصَارَ مَا في يدها مِنْ سَرِقَةِ الزَّوْجِ كَالْبَاقِي فِي يَدِ الزَّوْجِ فَلَمْ تُقْطَعْ فِيهِ وَقُطِعَ فِي مَالِهَا؛ لِأَنَّهُ فِيهِ بِخِلَافِهَا

Yang kedua, bahwa harta tersebut berada dalam kekuasaan suami; berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan” (an-Nisā’ 34). Maka, apa yang ada di tangan istri berupa pencurian dari harta suami, hukumnya seperti harta lain yang ada di tangan suami, sehingga tidak dikenakan potong tangan padanya. Namun, jika suami mencuri dari harta istri, maka dikenakan potong tangan, karena harta itu berada dalam kekuasaan istri, berbeda dengan suami.

فَصْلٌ

Fashl (Bagian)

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا في قطعهما من الْأَقَاوِيلِ الثَّلَاثَةِ فَإِذَا سَرَقَ عَبْدُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ مَالِ صَاحِبِهِ كَانَ وُجُوبُ قَطْعِهِ فِيهِ خَارِجًا عَلَى الْأَقَاوِيلِ الثَّلَاثَةِ

Setelah apa yang telah kami jelaskan mengenai tiga pendapat tentang pemotongan tangan mereka, maka apabila budak masing-masing dari keduanya mencuri harta milik tuannya, kewajiban pemotongan tangannya dalam hal ini keluar dari tiga pendapat tersebut.

أَحَدُهَا أَنَّهُ لَا يُقْطَعُ عَبْدُ الزَّوْجِ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ الزَّوْجَةِ وَلَا يُقْطَعُ عَبْدُ الزَّوْجَةِ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ الزَّوْجِ وَهَذَا عَلَى الْقَوْلِ الَّذِي لَا تُقْطَعُ الزَّوْجَةُ فِي مَالِ الزَّوْجِ وَلَا يُقْطَعُ الزَّوْجُ فِي مَالِ الزَّوْجَةِ؛ لِأَنَّ يد العبد كيد سيده ولذلك لم يُقْطَعُ فِي سَرِقَةِ مَالِهِ

Salah satunya adalah bahwa budak milik suami tidak dipotong tangannya jika mencuri dari harta istri, dan budak milik istri juga tidak dipotong tangannya jika mencuri dari harta suami. Hal ini berdasarkan pendapat yang menyatakan bahwa istri tidak dipotong tangannya karena mencuri dari harta suami, dan suami juga tidak dipotong tangannya karena mencuri dari harta istri; karena tangan budak dianggap seperti tangan tuannya, oleh sebab itu tidak dipotong tangannya jika mencuri dari harta tuannya sendiri.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُقْطَعُ عَبْدُ الزَّوْجِ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ الزَّوْجَةِ وَيُقْطَعُ عَبْدُ الزَّوْجَةِ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ الزوج

Pendapat kedua menyatakan bahwa budak milik suami dipotong tangannya jika ia mencuri dari harta istri, dan budak milik istri dipotong tangannya jika ia mencuri dari harta suami.

والوجه الثَّانِي يُقْطَعُ عَبْدُ الزَّوْجِ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ الزَّوْجَةِ وَلَا يُقْطَعُ عَبْدُ الزَّوْجَةِ إِذَا سرق من مال الزوج

Pendapat kedua menyatakan bahwa budak milik suami dipotong tangannya jika ia mencuri dari harta istri, sedangkan budak milik istri tidak dipotong tangannya jika mencuri dari harta suami.

والوجه الثَّالِثُ أَنَّهُ يُقْطَعُ عَبْدُ الزَّوْجِ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ الزَّوْجَةِ وَلَا يُقْطَعُ عَبْدُ الزَّوْجَةِ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ الزَّوْجِ إِذَا قِيلَ يقطع الزَّوْجِ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ الزَّوْجَةِ وَلَا تقطع الزوجة إذا سرق من مال الزوج وهكذا إذا سرقت والد كل واحد منهما أو ولده مِنْ مَالِ صَاحِبِهِ كَانَ وُجُوبُ قَطْعِهِمَا مِثْلَهُمَا على الأقاويل الثلاثة والله أعلم

Alasan ketiga adalah bahwa budak suami dipotong tangannya jika ia mencuri dari harta istri, sedangkan budak istri tidak dipotong tangannya jika ia mencuri dari harta suami. Jika dikatakan bahwa suami dipotong tangannya jika ia mencuri dari harta istri, dan istri tidak dipotong tangannya jika ia mencuri dari harta suami, demikian pula jika ayah atau anak masing-masing dari keduanya mencuri dari harta pasangannya, maka kewajiban pemotongan tangan mereka berlaku sama menurut tiga pendapat, dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُقْطَعُ مَنْ سَرَقَ مِنْ مَالِ وَلَدِهِ وَوَلَدِ وَلَدِهِ أَوْ أَبِيهِ أَوْ أُمِّهِ أَوْ أَجْدَادِهِ مِنْ قِبَلِ أَيِّهِمَا كَانَ

Syafi‘i berkata, “Tidak dipotong tangan orang yang mencuri dari harta anaknya, cucunya, ayahnya, ibunya, atau kakek-neneknya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا قَطْعَ عَلَى مَنْ سرق من مال أحد والديه وإن علو مِنَ الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ وَالْأَجْدَادِ وَالْجَدَّاتِ وَلَا مِنْ مَالِ أَحَدٍ مِنْ مَوْلُودِيهِ وَإِنْ سَفَلُوا مِنَ الْبَنِينَ وَالْبَنَاتِ وَبَنِي الْبَنِينِ وَبَنِي الْبَنَاتِ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ دَاوُدُ يُقْطَعُ الْأَبُ فِي مَالِ ابْنِهِ وَالِابْنُ فِي مَالِ أبيه تمسكاً بعموم الظاهر وَقَالَ قَوْمٌ يُقْطَعُ الِابْنُ فِي مَالِ أَبِيهِ كَمَا يُقْتَلُ بِهِ وَيُحَدُّ بِقَذْفِهِ وَلَا يُقْطَعُ الْأَبُ فِي مَالِ ابْنِهِ كَمَا لَا يُقْتَلُ بِهِ وَلَا يُحَدُّ بِقَذْفِهِ

Al-Mawardi berkata, “Dan hal ini sebagaimana yang dikatakan, tidak ada hukuman potong tangan bagi siapa pun yang mencuri dari harta salah satu orang tuanya, baik dari ayah, ibu, kakek, maupun nenek, dan juga tidak dari harta salah satu anak keturunannya, meskipun mereka berada di bawah, seperti anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, maupun cucu laki-laki dari anak perempuan. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha. Sedangkan Dawud berpendapat bahwa ayah dipotong tangannya jika mencuri harta anaknya, dan anak dipotong tangannya jika mencuri harta ayahnya, berpegang pada keumuman makna lahiriah. Ada juga sekelompok ulama yang berpendapat bahwa anak dipotong tangannya jika mencuri harta ayahnya, sebagaimana ia bisa dihukum mati karenanya dan dikenai had karena menuduhnya, sedangkan ayah tidak dipotong tangannya jika mencuri harta anaknya, sebagaimana ia tidak dihukum mati karenanya dan tidak dikenai had karena menuduhnya.”

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تعالى ولا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا الإسراء 23 فَكَانَ بالقطع أَغْلَظَ وَبِالنَّهْي أَحَقَّ

Dalil kami adalah firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau mengatakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah engkau membentak mereka berdua” (QS. Al-Isra’ 23), maka secara pasti (membentak) itu lebih keras, dan larangan terhadapnya lebih berhak (untuk dipatuhi).

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” أَوْلَادُكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ فَكُلُوا مِنْ طيبات كَسْبِكُمْ

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Anak-anak kalian adalah hasil usaha kalian, maka makanlah dari hasil usaha kalian yang baik-baik.”

وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَمَعَهُ ابْنٌ لَهُ فَقَالَ الِابْنُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا أَبِي يَأْخُذُ مَالِي فَيُتْلِفُهُ بِغَيْرِ إذني فقال الرجل سله يا رسول الله هَلْ أُنْفِقُهُ إِلَّا عَلَى إِحْدَى عَمَّاتِهِ أَوْ خالاته ثم هبط جبريل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ سَلْهُ عَنْ شِعْرِهِ الَّذِي لَمْ تَسْمَعْهُ أُذُنَاهُ فَسَأَلَهُ عَنْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ والله ما سمعته أذناي وإن الله ليزيد نابك بياناً ثم أنشده شعره في ابنه فقال

Muhammad bin al-Munkadir meriwayatkan dari Jabir bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ bersama anaknya. Maka sang anak berkata, “Wahai Rasulullah, ini ayahku mengambil hartaku dan menghabiskannya tanpa izinku.” Lalu sang ayah berkata, “Tanyakanlah kepadanya, wahai Rasulullah, apakah aku menggunakannya kecuali untuk salah satu dari bibinya atau bibinya dari pihak ibu?” Kemudian turunlah Jibril ﷺ dan berkata, “Tanyakanlah kepadanya tentang syairnya yang belum pernah didengar oleh telinganya.” Maka Nabi ﷺ menanyakannya, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, telingaku belum pernah mendengarnya, dan sungguh Allah menambah kefasihan pada gigimu.” Kemudian ia membacakan syairnya tentang anaknya.

عذوتك مولوداً وعلنتك يافعا تعل بما أدني عليك وتنهل

Aku merawatmu sejak engkau masih bayi, dan membesarkanmu hingga dewasa, dengan penuh kasih sayang, memberimu ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat bagimu.

إذا ليلة نابتك بالشَكْوِ لَمْ أَبِتْ لِشَكْوَاكَ إِلَّا سَاهِرًا أَتَمَلْمَلُ

Jika suatu malam engkau ditimpa keluh kesah, aku pun tidak akan tidur karena keluhanmu, kecuali terjaga dan gelisah.

كَأَنِّي أَنَا الْمَطْرُوقُ دُونَكَ بِالَّذِي طُرِقْتَ بِهِ دوني وعيني تهمل

Seakan-akan akulah yang ditimpa musibah itu, bukan engkau, dengan apa yang menimpamu, bukan menimpaku, dan air mataku pun berlinang.

تخاف الردى نفسي عليك وإنها لَتَعْلَمُ أَنَّ الْمَوْتَ حَتْمٌ مُؤَجَّلُ

Jiwaku takut kematian menimpamu, padahal ia tahu bahwa maut itu pasti dan telah ditetapkan waktunya.

فَلَمَّا بَلَغْتَ السِّنَّ وَالْغَايَةَ الَّتِي إِلَيْهَا مَدَى مَا كُنْتُ فيك أؤمل

Maka ketika engkau telah mencapai usia dan tujuan yang selama ini aku harapkan darimu.

جعلت جزائي منك جبها وغلظة كَأَنَّكَ أَنْتَ الْمُنْعِمُ الْمُتَفَضِّلُ

Aku jadikan balasanku kepadamu berupa keengganan dan kekasaran, seolah-olah engkaulah yang memberi nikmat dan keutamaan.

فَلَيْتَكَ إِذْ لَمْ تَرْعَ حَقَّ أُبُوَّتِي فَعَلْتَ كَمَا الْجَارُ الْمُجَاوِرُ يَفْعَلُ

Maka andai saja engkau, ketika tidak menjaga hak kebapakan terhadapku, berbuat seperti yang dilakukan oleh tetangga yang berdekatan.

قَالَ فَعَلَّقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِتَلَابِيبِ الْغُلَامِ وَقَالَ ” أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ وَهَذَا يَمْنَعُ مِنَ الْقَطْعِ وَلِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْوَالِدِ وَالْوَلَدِ شُبْهَةً فِي مَالِ الْآخَرِ لِوُجُوبِ نَفَقَتِهِ فِيهِ وَلِوِلَايَةِ الْأَبِ عَلَى مَالِ وَلَدِهِ فسقط القطع بينهما ولأن بوجود البعضية بينهما يجري مَجْرَى نَفْسِهِ فَلَمْ يُقْطَعْ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَلِأَنَّ الْقَطْعَ فِي الْمَالِ يَجِبُ عِنْدَ الْأَخْذِ لَهُ وَالْمَأْخُوذِ مِنْهُ وَوَلَدُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ وَأَعَزُّ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ فَعَدَمَ فِيهِ مَعْنَى الْقَطْعِ فَسَقَطَ عَنْهُ

Maka Rasulullah ﷺ memegang kerah baju anak laki-laki itu dan bersabda, “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” Hal ini mencegah diterapkannya hukuman potong tangan, karena masing-masing dari orang tua dan anak memiliki syubhat (keraguan hukum) terhadap harta yang lain, disebabkan kewajiban nafkah yang ada padanya dan karena ayah memiliki wewenang atas harta anaknya, maka gugurlah hukuman potong tangan di antara keduanya. Selain itu, karena adanya hubungan sebagian (baina al-bu‘ḍiyyah) di antara keduanya, maka kedudukannya seperti diri sendiri, sehingga tidak diterapkan potong tangan atas dirinya sendiri. Juga karena hukuman potong tangan atas harta hanya wajib ketika seseorang mengambil harta orang lain, sedangkan anaknya lebih ia cintai dan lebih berharga baginya daripada hartanya sendiri, sehingga tidak terdapat makna hukuman potong tangan dalam hal ini, maka gugurlah hukuman tersebut darinya.

فَأَمَّا الِاقْتِصَاصُ مِنَ الْوَلَدِ بِالْوَالِدِ وَلَا يُقْطَعُ فِي مَالِ الْوَالِدِ

Adapun qishāsh tidak diterapkan kepada anak terhadap orang tua, dan tidak dikenakan hukuman potong tangan dalam kasus pencurian harta orang tua.

فَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ وُجُوبَ النَّفَقَةِ شُبْهَةٌ فِي الْقَطْعِ وَلَيْسَ بوجوبها شُبْهَةً فِي الْقِصَاصِ فَافْتَرَقَا وَإِنَّمَا لَمْ يُقْتَصَّ مِنَ الْوَالِدِ بِالْوَلَدِ لِانْتِفَاءِ التُّهْمَةِ عَنْهُ وَاقْتُصَّ مِنَ الْوَلَدِ بِالْوَالِدِ لِوُجُودِ التُّهْمَةِ فِيهِ وَإِذَا لَمْ يُقْطَعْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا فِي مَالِ الْآخَرِ لَمْ يُقْطَعْ عَبْدٌ وَاحِدٌ مِنْهُمَا إِذَا سَرَقَ مال الآخر كما ذَكَرْنَا مِنْ أَنَّ يَدَ عَبْدِهِ كَيَدِهِ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa kewajiban nafkah masih mengandung syubhat dalam penetapannya secara pasti, sedangkan dalam kewajiban qishāsh tidak terdapat syubhat seperti itu, sehingga keduanya berbeda. Adapun orang tua tidak dikenai qishāsh karena membunuh anaknya karena tidak adanya tuduhan (niat jahat) pada dirinya, sedangkan anak dikenai qishāsh karena membunuh orang tuanya karena adanya tuduhan (niat jahat) pada dirinya. Dan apabila salah satu dari keduanya tidak dipotong tangannya karena mencuri harta milik yang lain, maka demikian pula seorang budak dari keduanya tidak dipotong tangannya jika ia mencuri harta milik yang lain, sebagaimana telah kami sebutkan bahwa tangan budaknya seperti tangan tuannya.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا مَنْ عَدَا الْوَالِدِينَ وَالْمَوْلُودِينَ مِنْ ذَوِي الْأَنْسَابِ كَالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ وَبَنِيهِمْ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَبَنِيهِمْ فَيُقْطَعُونَ إِذَا سَرَقَ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ سَوَاءٌ تَوَارَثُوا أَوْ كَانُوا مَحَارِمَ أَوْ لَمْ يَكُونُوا كَالْأَجَانِبِ

Adapun selain orang tua dan anak, dari kalangan kerabat nasab seperti saudara laki-laki dan perempuan serta anak-anak mereka, paman dan bibi serta anak-anak mereka, maka mereka tetap dikenai hukuman potong tangan jika sebagian dari mereka mencuri dari yang lain, baik mereka saling mewarisi atau merupakan mahram ataupun bukan, sebagaimana orang-orang asing.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ إِذَا كان ذا رحم حرم احتجاجاً بأنها قرابة تتعلق بِهَا تَحْرِيمُ النِّكَاحِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ الْقَطْعُ بِهَا كَالْأُبُوَّةِ وَالْبُنُوَّةِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan jika pelakunya adalah kerabat mahram, dengan alasan bahwa hubungan kekerabatan tersebut menyebabkan haramnya pernikahan, sehingga wajib gugur hukuman potong tangan karena hubungan itu, sebagaimana pada hubungan ayah dan anak.

وَدَلِيلُنَا أَنَّهَا قَرَابَةٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا رَدُّ الشَّهَادَةِ فَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا سُقُوطُ الْقَطْعِ كَغَيْرِ الْمَحَارِمِ مِنَ الْأَقَارِبِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Dalil kami adalah bahwa hubungan kekerabatan tersebut tidak menyebabkan tertolaknya kesaksian, maka tidak pula menyebabkan gugurnya hukum potong tangan, sebagaimana kerabat selain mahram dari keluarga. Adapun jawaban terhadap qiyās mereka adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا فَسَادُهُ بِتَحْرِيمِ الرَّضَاعِ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ تَحْرِيمِ النَّسَبِ فِي حَظْرِ النِّكَاحِ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْقَطْعِ

Salah satunya adalah bahwa keharaman karena hubungan persusuan berlaku atasnya hukum keharaman nasab dalam larangan menikah, namun tidak mencegah dari kewajiban hudud potong tangan.

وَالثَّانِي أَنَّ فِي الْأُبُوَّةِ وَالْبُنُوَّةِ بَعْضِيَّةً فارقت ما عداهما من الأنساب فافترقا في د حكم القطع كما افترقا في رد الشهادة وافترقا فِي الْقِصَاصِ وَافْتَرَقَا فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ عِنْدَنَا عَلَى الْعُمُومِ مَعَ اتِّفَاقِ الدِّينِ وَاخْتِلَافِهِ وَعِنْدَهُمْ يفترقان مع اختلاف الدين فإنهم أوجبوا نفقة الآباء وَالْأَبْنَاءِ مَعَ اتِّفَاقِ الدِّينِ وَمَعَ اخْتِلَافِهِ وَلَمْ يُوجِبُوا نَفَقَةَ مَنْ عَدَاهُمَا مِنْ مَحَارِمِ الْأَقَارِبِ إِلَّا مَعَ اتِّفَاقِ الدِّينِ وَأَسْقَطُوهَا مَعَ اخْتِلَافِهِ فَكَانَ هَذَا الْفَرْقُ فِي النَّفَقَةِ وَالْقِصَاصِ وَرَدِّ الشَّهَادَةِ مَانِعًا مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا فِي سُقُوطِ الْقَطْعِ

Kedua, bahwa dalam hubungan ayah-anak terdapat unsur kebersatuan yang membedakannya dari hubungan nasab lainnya, sehingga keduanya berbeda dalam hukum pembebasan dari potong tangan, sebagaimana keduanya juga berbeda dalam penolakan kesaksian, berbeda dalam qishāsh, dan berbeda dalam kewajiban nafkah menurut kami secara umum baik seagama maupun berbeda agama. Sedangkan menurut mereka, keduanya berbeda hanya jika berbeda agama. Mereka mewajibkan nafkah kepada ayah dan anak baik seagama maupun berbeda agama, dan tidak mewajibkan nafkah kepada selain keduanya dari kalangan mahram kerabat kecuali jika seagama, dan menggugurkannya jika berbeda agama. Maka perbedaan ini dalam nafkah, qishāsh, dan penolakan kesaksian menjadi penghalang untuk menggabungkan keduanya dalam pembebasan dari potong tangan.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا الشَّرِيكُ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ شَرِيكِهِ فَضَرْبَانِ

Adapun seorang syarik (rekan) apabila mencuri dari harta syariknya, maka terdapat dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَسْرِقَ مِنَ الْمَالِ الْمُشْتَرَكِ بَيْنَهُمَا فَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُ فِيهِ شُبْهَةٌ لَهُ سَوَاءٌ كَانَ حِرْزُهُ مُشْتَرَكًا بَيْنَهُمَا أَوْ مُخْتَصًّا بِالْمَسْرُوقِ مِنْهُ

Salah satunya adalah jika seseorang mencuri dari harta yang dimiliki bersama antara keduanya, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan atasnya; karena ia memiliki syubhat hak di dalamnya, baik tempat penyimpanannya itu milik bersama di antara keduanya maupun khusus milik orang yang diambil hartanya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَسْرِقَ مِنْ مَالٍ غَيْرِ مُشْتَرَكٍ يَخْتَصُّ بِالشَّرِيكِ دُونَهُ فَيُنْظَرُ فِيهِ فَإِنْ كَانَ فِي حِرْزٍ مُشْتَرِكٍ بَيْنَهُمَا فَلَا قَطْعَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُحْرَزٍ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ فِي حرز مفرد يختص به مالكه قُطِعَ فِيهِ الشَّرِيكُ لِعَدَمِ الشُّبْهَةِ فِيهِ وَإِنْ وجدت الشبهة في غيره

Jenis kedua adalah apabila seseorang mencuri dari harta yang bukan milik bersama, yang khusus dimiliki oleh salah satu dari dua orang yang berserikat, maka hal ini perlu diperhatikan: jika harta tersebut berada dalam tempat penyimpanan bersama di antara keduanya, maka tidak ada hukuman potong tangan atasnya, karena harta itu tidak terlindungi darinya. Namun, jika harta tersebut berada dalam tempat penyimpanan khusus yang hanya dimiliki oleh pemiliknya, maka partnernya dikenai hukuman potong tangan, karena tidak ada syubhat (keraguan) di dalamnya, meskipun syubhat itu ada pada selainnya.

فصل

Bab

فأما الْأَجِيرُ إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ مُسْتَأْجِرِهِ فَضَرْبَانِ

Adapun pekerja upahan, jika ia mencuri dari harta orang yang mempekerjakannya, maka ada dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَسْرِقَ مِنَ الْمَالِ الَّذِي اسْتُؤْجِرَ فيه أو من مال غير محرز فَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ

Salah satunya adalah mencuri dari harta yang digunakan untuk upah atau dari harta yang tidak dijaga, maka tidak dikenakan hukuman potong tangan atasnya.

وَالثَّانِي أَنْ يَسْرِقَ مِنْ مَالٍ لَا يَدَ لَهُ فِيهِ وَهُوَ فِي حِرْزٍ مِنْهُ فَيُقْطَعُ وَلَا تَكُونُ الْإِجَارَةُ شُبْهَةً

Kedua, yaitu seseorang mencuri dari harta yang tidak ada hak kepemilikan baginya di dalamnya, dan harta itu berada dalam penjagaan darinya, maka ia dikenai hukuman potong tangan, dan akad ijarah tidak dianggap sebagai syubhat.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ بَيْتِ الْمَالِ المعد لوجوه المصالح لم يقطعوا لِمَا رُوِيَ أَنَّ عَامِلًا لِعُمَرَ بْنِ الْخُطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَيْهِ فِي رَجُلٍ سَرَقَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فَقَالَ أَرْسِلْهُ وَلَا تقطعه فلا أَحَدٌ إِلَّا وَلَهُ فِي هَذَا الْمَالِ حَقٌّ

Dan apabila seseorang mencuri dari harta Baitul Mal yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, maka mereka tidak dipotong tangannya, karena telah diriwayatkan bahwa seorang pejabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepadanya tentang seorang laki-laki yang mencuri dari Baitul Mal. Maka Umar berkata, “Lepaskan dia dan jangan potong tangannya, karena tidak ada seorang pun kecuali ia memiliki hak dalam harta itu.”

وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِنِ رجلاً سرق من خُمْسَ الْخُمْسِ فَلَمْ يَقْطَعْهُ وَلَا مُخَالِفَ لَهُمَا فَكَانَ إِجْمَاعًا

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihissalam bahwa seorang laki-laki mencuri dari khumus al-khumus, maka beliau tidak memotong tangannya, dan tidak ada yang menyelisihi keduanya, sehingga hal itu menjadi ijmā‘.

وَلِأَنَّ الْحُقُوقَ فِي بَيْتِ الْمَالِ عَامَّةٌ فَدَخَلَ السَّارِقُ فِيهَا فَسَقَطَ الْقَطْعُ فِيهَا

Karena hak-hak di Baitul Mal bersifat umum, maka pencuri termasuk di dalamnya, sehingga hukuman potong tangan tidak diterapkan padanya.

وأما إِذَا سَرَقَ مِنْ مَالِ الْغَنِيمَةِ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ مِنْ ذِي سَهْمٍ أَوْ رَضْخٍ لَمْ يُقْطَعْ وَكَذَلِكَ لَوْ شَهِدَهَا أَحَدٌ مِنْ وَالِدِيهِ أَوْ مَوْلُودِيهِ لَمْ يُقْطَعْ لِلشُّبْهَةِ فيه وإن لم يشهدوا ولا أحد من أنسابه الَّذِينَ لَا يُقْطَعُ فِي أَمْوَالِهِمْ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْخُمْسُ بَاقِيًا فِي الْغَنِيمَةِ لَمْ يُقْطَعْ لشبهته في خمس الخمس فإن أَخْرَجَ الْخُمْسَ مِنْهُ قُطِعَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ مِلْكٌ لِمُعَيَّنِينَ لَا شُبْهَةَ لَهُ فِيهِ وَإِنْ سَرَقَ مِنْ مَالِ الزَّكَاةِ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِهَا لَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِهَا فَفِي قَطْعِهِ وَجْهَانِ

Adapun jika seseorang mencuri dari harta ghanīmah, maka jika ia termasuk orang yang hadir dalam pertempuran, baik yang mendapat bagian atau sekadar mendapat hadiah, maka tidak dipotong tangannya. Demikian pula, jika salah satu dari kedua orang tuanya atau anak-anaknya hadir dalam pertempuran tersebut, maka tidak dipotong tangannya karena adanya syubhat. Namun, jika mereka tidak hadir dan tidak ada seorang pun dari kerabatnya yang harta mereka tidak dipotong jika dicuri, maka dilihat lagi: jika seperlima (khumus) masih tersisa dalam ghanīmah, maka tidak dipotong tangannya karena adanya syubhat pada seperlima dari seperlima tersebut. Namun, jika seperlima itu sudah dikeluarkan, maka dipotong tangannya, karena harta itu telah menjadi milik orang-orang tertentu tanpa ada syubhat di dalamnya. Jika ia mencuri dari harta zakat, maka jika ia termasuk mustahiq-nya, tidak dipotong tangannya. Namun jika bukan termasuk mustahiq, maka ada dua pendapat mengenai pemotongan tangannya.

أَحَدُهُمَا يُقْطَعُ كَالْغَنِيمَةِ

Salah satunya dibagi seperti ghanīmah.

وَالثَّانِي لا يقطع بخلاف الغنيمة للفرق بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Dan yang kedua tidak dipastikan (hukumnya), berbeda dengan ghanīmah, karena terdapat perbedaan antara keduanya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ مِلْكَ الْغَنِيمَةِ لِمُعَيَّنِينَ وَمِلْكُ الزَّكَاةِ لِغَيْرِ مُعَيَّنِينَ

Salah satunya adalah bahwa kepemilikan harta rampasan perang (ghanimah) ditujukan kepada orang-orang tertentu, sedangkan kepemilikan zakat ditujukan kepada orang-orang yang tidak tertentu.

وَالثَّانِي أَنَّهُ يجوز أن يصير من مستحقي تلك الزَّكَاةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَصِيرَ مِنْ مُسْتَحِقِّي تلك الغنيمة

Dan yang kedua, boleh jadi ia menjadi salah satu yang berhak menerima zakat tersebut, namun tidak boleh menjadi salah satu yang berhak menerima ghanimah tersebut.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُقْطَعُ فِي طُنْبُورٍ وَلَا مِزْمَارٍ وَلَا خمر ولا خنزير

Imam Syafi‘i berkata, “Tidak dipotong (tangan) karena (mencuri) alat musik thunbur, mizmar, khamar, maupun babi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيرُ وَالْخَمْرُ فَلَا قِيمَةَ عَلَى مُتْلِفِهِ وَلَا قَطْعَ عَلَى سَارِقِهِ؛ وَلِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَحَرَّمَ ثَمَنَهُ وَحَرَّمَ الْكَلْبَ وَحَرَّمَ ثَمَنَهُ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ شَيْئًا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثمنه

Al-Mawardi berkata: Adapun anjing, babi, dan khamar, maka tidak ada nilai (ganti rugi) atas orang yang merusaknya dan tidak ada hukuman potong tangan atas pencurinya; karena telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan babi dan mengharamkan harganya, mengharamkan anjing dan mengharamkan harganya, dan sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu atas suatu kaum, maka Dia juga mengharamkan harga (jual belinya) atas mereka.”

فَأَمَّا الطُّنْبُورُ وَالْمِزْمَارُ وَسَائِرُ الْمَلَاهِي فَاسْتِعْمَالُهَا مَحْظُورٌ وكذلك اقتناؤها فإن سرقها مِنْ حِرْزٍ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ أَنْ تكون مفصلة أو غير مفصلة فإن كان مُفَصَّلَةً قَدْ زَالَ عَنْهَا اسْمُ الْمَلَاهِي وَبَطَلَ اسْتِعْمَالُهَا فِي اللَّهْوِ فَيُقْطَعُ سَارِقُهَا إِذَا بَلَغَ قِيمَتُهَا نِصَابًا

Adapun alat musik seperti tunbur, mizmar, dan berbagai alat hiburan lainnya, penggunaannya adalah terlarang, demikian pula kepemilikannya. Jika seseorang mencurinya dari tempat penyimpanan yang aman, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah alat itu terpisah-pisah atau tidak terpisah-pisah. Jika alat itu terpisah-pisah sehingga nama alat hiburan sudah hilang darinya dan tidak bisa lagi digunakan untuk hiburan, maka pencurinya dipotong tangannya jika nilainya mencapai nisab.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ؛ لأنها آلة لما قَطْعَ فِيهِ وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ مَا زَالَتْ عَنْهُ الْمَعْصِيَةُ زَالَ عَنْهُ حُكْمُهَا كَالْخَمْرِ إِذَا صَارَ خَلًّا وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُفَصَّلَةٍ وَهِيَ على حال ما يستعمل في اللهو من سائر الملاهي ولم يخل أن يكون عليه ذَهَبٌ وَفِضَّةٌ أَمْ لَا فَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا ذَهَبٌ وَفِضَّةٌ قُطِعَ سَارِقُهَا؛ لِأَنَّ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ زِينَةٌ لِلْمَلَاهِي فَصَارَ مَقْصُودًا وَمَتْبُوعًا

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dipotong (tangan pencurinya); karena itu adalah alat untuk sesuatu yang tidak dikenai hukum potong tangan. Namun, pendapat ini tidak benar; sebab sesuatu yang telah hilang unsur maksiatnya, maka hilang pula hukumnya, seperti khamr yang telah berubah menjadi cuka. Meskipun alat tersebut tidak terpisah dan masih dalam keadaan yang biasa digunakan untuk hiburan dari berbagai alat hiburan lainnya, tetap saja ada kemungkinan terdapat emas dan perak padanya atau tidak. Jika pada alat tersebut terdapat emas dan perak, maka pencurinya dipotong tangannya; karena emas dan perak adalah perhiasan bagi alat hiburan, sehingga menjadi sesuatu yang dimaksudkan dan diikuti.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُقْطَعُ فِيهِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي سَرِقَةِ مَا يُوجِبُ الْقَطْعَ إِذَا ضُمَّ إليه مالاً يجب فيه القطع سقط الْقَطْعُ فِي الْجَمِيعِ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي هَذَا الْأَصْلِ إِذَا سَرَقَ إِنَاءً مِنْ ذَهَبٍ فِيهِ خَمْرٌ قُطِعَ عِنْدَنَا وَلَمْ يُقْطَعْ عِنْدَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى الْمَلَاهِي ذَهَبٌ ولا فضة فضربان

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak dikenakan hukuman potong tangan dalam kasus ini, berdasarkan prinsip dasarnya dalam pencurian barang yang mewajibkan hukuman potong tangan, yaitu apabila barang tersebut dicampur dengan harta lain yang tidak mewajibkan potong tangan, maka gugurlah hukuman potong tangan untuk semuanya. Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan dengannya mengenai prinsip ini, yaitu apabila seseorang mencuri sebuah wadah dari emas yang di dalamnya terdapat khamar, maka menurut kami pelaku dikenakan potong tangan, sedangkan menurut Abu Hanifah tidak dikenakan potong tangan. Jika pada alat-alat hiburan itu tidak terdapat emas maupun perak, maka hukumnya terbagi menjadi dua.

أحدهما أن لا يصلح به بَعْدَ تَفْصِيلِهِ لِغَيْرِ الْمَلَاهِي فَلَا قِيمَةَ عَلَى مُتْلِفِهِ وَلَا قَطْعَ عَلَى سَارِقِهِ

Pertama, jika setelah dirinci tidak dapat digunakan untuk selain alat-alat hiburan, maka tidak ada kewajiban membayar ganti rugi bagi orang yang merusaknya dan tidak dikenakan hukuman potong tangan bagi pencurinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَصْلُحَ بَعْدَ التَّفْصِيلِ لِغَيْرِ الْمَلَاهِي فَعَلَى مُتْلِفِهِ قِيمَتُهُ مُفَصَّلًا وَفِي وُجُوبِ قَطْعِ سَارِقِهِ وَجْهَانِ

Jenis kedua adalah sesuatu yang setelah dirinci dapat digunakan untuk selain alat-alat hiburan, maka orang yang merusaknya wajib mengganti nilainya secara terperinci, dan dalam hal kewajiban memotong tangan pencurinya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا قَطْعَ فِيهِ؛ لِأَنَّ التَّوَصُّلَ إِلَى إِزَالَةِ الْمَعْصِيَةِ مِنْهُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ فَصَارَ شُبْهَةً فِي سُقُوطِ الْقَطْعِ فِيهِ

Salah satunya adalah pendapat yang dipilih oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu tidak ada hukuman potong tangan padanya; karena upaya untuk menghilangkan kemaksiatan darinya adalah sesuatu yang dianjurkan, sehingga hal itu menjadi syubhat dalam menggugurkan hukuman potong tangan padanya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ يَجِبُ فِيهِ القطع اعتباراً بقيمته بعد التفصيل والله أعلم

Pendapat kedua, yang merupakan pilihan Abu Hamid al-Isfara’ini, wajib dilakukan pemotongan dengan mempertimbangkan nilainya setelah perincian. Allah Maha Mengetahui.

باب قطاع الطريق

Bab Perampok Jalanan

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قُطَّاعِ الطَّرِيقِ إِذَا قَتَلُوا وَأَخَذُوا الْمَالَ قُتِّلُوا وَصُلِّبُوا وَإِذَا قَتَلُوا وَلَمْ يَأْخُذُوا الْمَالَ قُتِّلُوا وَلَمْ يُصَلَّبُوا وَإِذَا أَخَذُوا الْمَالَ وَلَمْ يَقْتُلُوا قُطِعَتْ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ وَنَفْيُهُمْ إِذَا هَرَبُوا أَنْ يُطْلَبُوا حَتَّى يُؤْخَذُوا فَيُقَامَ عَلَيْهِمُ الْحَدُّ قَالَ الشَّافِعِيُّ فبهذا أقول

Syafi‘i berkata, “Dari Ibnu ‘Abbas tentang para perampok di jalanan: jika mereka membunuh dan mengambil harta, maka mereka dibunuh dan disalib; jika mereka membunuh tetapi tidak mengambil harta, maka mereka dibunuh namun tidak disalib; jika mereka mengambil harta tetapi tidak membunuh, maka tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang; dan pengusiran mereka jika mereka melarikan diri adalah dengan dikejar hingga tertangkap, lalu ditegakkan hadd atas mereka.” Syafi‘i berkata, “Inilah pendapatku.”

قال الماوردي والأصل في الحرابة وقطاع الطرق مُجَاهَرَةً قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ المائدة 33

Al-Mawardi berkata, dasar hukum tentang hirabah dan para perampok jalanan secara terang-terangan adalah firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang, atau diasingkan dari bumi. Yang demikian itu adalah kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.” (Al-Ma’idah: 33)

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيمَنْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ وَأُرِيدَ بِهَا عَلَى أربعة أقاويل

Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud dalam ayat ini dan kepada siapa ayat ini diturunkan, terdapat empat pendapat mengenai hal tersebut.

أحدها نَزَلَتْ فِي قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ كَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيَّنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَهْدٌ فَنَقَضُوهُ وَأَفْسَدُوا فِي الْأَرْضِ فَحَكَمَ اللَّهُ تَعَالَى بِذَلِكَ فِيهِمْ فَيَكُونُ حُكْمُهَا مَقْصُورًا عَلَى نَاقِضِي الْعَهْدِ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ

Salah satunya adalah ayat ini turun berkenaan dengan suatu kaum dari Ahlul Kitab yang memiliki perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengingkarinya dan berbuat kerusakan di muka bumi. Maka Allah Ta‘ala menetapkan hukum tersebut atas mereka. Dengan demikian, hukumnya terbatas hanya pada para pelanggar perjanjian dari kalangan Ahlul Kitab. Inilah pendapat Ibnu ‘Abbas.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهَا نَزَلَتْ فِي الْعُرَنِيِّينَ ارْتَدُّوا عَنِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ أَخْرَجَهُمْ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى لِقَاحٍ لَهُ عِنْدَ اجْتِوَائِهِمُ الْمَدِينَةَ لِيَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَلَمَّا شَرِبُوا وَصَحُّوا قَتَلُوا رَاعِيَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَاسْتَاقُوا إِبِلَهُ فَحَكَمَ اللَّهُ بِذَلِكَ فِيهِمْ فَيَكُونُ حُكْمُهَا مَقْصُورًا عَلَى الْمُرْتَدِّينَ عَنِ الْإِسْلَامِ إِذَا أَفْسَدُوا وَهَذَا قَوْلُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَقَتَادَةَ

Pendapat kedua menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan kaum ‘Urayniyyin yang murtad dari Islam. Rasulullah saw. telah mengeluarkan mereka ke tempat unta perah miliknya ketika mereka merasa tidak betah di Madinah, agar mereka meminum air kencing dan susu unta tersebut. Setelah mereka meminumnya dan menjadi sehat, mereka membunuh penggembala unta Rasulullah saw. dan menggiring unta-untanya. Maka Allah menetapkan hukum tersebut atas mereka. Dengan demikian, hukumnya terbatas pada orang-orang yang murtad dari Islam apabila mereka berbuat kerusakan. Inilah pendapat Anas bin Malik dan Qatadah.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ إِنَّهَا نَزَلَتْ فِي الْمُحَارِبِينَ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ حَكَمَ اللَّهُ فِيهِمْ عِنْدَ الظَّفَرِ بِهِمْ بِمَا ذَكَرَهُ فِي هَذِهِ الْآيَةِ مِنْ عُقُوبَتِهِمْ فَيَكُونُ حُكْمُهَا مَقْصُورًا عَلَى أَهْلِ الْحَرْبِ وهو قَوْلُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَإِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ وَابْنِ عُلَيَّةَ

Pendapat ketiga menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan para muharibīn dari kalangan ahl al-ḥarb, di mana Allah menetapkan hukum terhadap mereka ketika berhasil mengalahkan mereka, sebagaimana disebutkan dalam ayat ini mengenai hukuman bagi mereka. Maka, hukumnya terbatas hanya pada ahl al-ḥarb. Ini adalah pendapat al-Hasan al-Bashri, Ibrahim al-Nakha‘i, dan Ibn ‘Ulayyah.

وَالْقَوْلُ الرَّابِعُ إِنَّهَا نَزَلَتْ إِخْبَارًا مِنَ اللَّهِ تعالى بحكم من حارب الله ورسوله وسعى فِي الْأَرْضِ فَسَادًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَغَيْرِهِمْ وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَهُوَ الصَّحِيحُ الَّذِي عَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ بَيَّنَ حُكْمَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُرْتَدِّينَ وَأَهْلِ الْحَرْبِ فِي غَيْرِ هَذِهِ الْآيَةِ فَاقْتَضَى أَنْ تَكُونَ هَذِهِ الْآيَةُ فِي غَيْرِهِمْ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ يقدروا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ المائدة 34 وهذا من حُكْمِ الْمُسْلِمِينَ دُونَ غَيْرِهِمْ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ ففي قوله إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ المائدة 33 ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Pendapat keempat menyatakan bahwa ayat ini turun sebagai pemberitahuan dari Allah Ta‘ala tentang hukum bagi siapa saja yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta berbuat kerusakan di muka bumi, baik dari kalangan Muslim maupun selain mereka. Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama) dan merupakan pendapat yang benar yang dipegang oleh para fuqaha; karena Allah Ta‘ala telah menjelaskan hukum Ahli Kitab, orang-orang murtad, dan orang-orang kafir harbi di ayat lain, sehingga ayat ini berlaku untuk selain mereka. Sebab Allah Ta‘ala berfirman dalam rangkaian ayat tersebut: “kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menangkap mereka, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-Ma’idah: 34), dan ini adalah hukum bagi kaum Muslimin, bukan selain mereka. Jika demikian, maka dalam firman-Nya: “Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya” (Al-Ma’idah: 33) terdapat tiga kemungkinan.

أَحَدُهَا مَعْنَاهُ يُعَادُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَهَذَا قَوْلُ جُوَيْبِرٍ

Salah satunya maknanya adalah mereka memusuhi Allah dan Rasul-Nya, dan ini adalah pendapat Juwaibir.

وَالثَّانِي يُخَالِفُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَهُوَ مُحْتَمَلٌ

Dan yang kedua adalah mereka yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan hal itu mungkin terjadi.

وَالثَّالِثُ يُحَارِبُونَ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

Dan yang ketiga adalah mereka memerangi para wali Allah dan Rasul-Nya.

وَفِي قَوْلِهِ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا المائدة 33 قولان

Dalam firman-Nya “dan mereka berusaha membuat kerusakan di muka bumi” (al-Mā’idah: 33) terdapat dua pendapat.

أحدهما أن هذا الفساد فِعْلُ الْمَعَاصِي الَّذِي يَتَعَدَّى ضَرَرُهَا إِلَى غَيْرِ فاعلها كالزنا والقتل والسرقة هذا قَوْلُ مُجَاهِدٍ

Salah satunya adalah bahwa kerusakan ini adalah perbuatan maksiat yang dampak buruknya meluas kepada selain pelakunya, seperti zina, pembunuhan, dan pencurian. Ini adalah pendapat Mujahid.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ هَذَا الْفَسَادَ خَاصٌّ فِي قَطْعِ الطَّرِيقِ وَإِخَافَةِ السَّبِيلِ وَهُوَ الصَّحِيحُ وَعَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ؛ لِأَنَّ حُكْمَ تِلْكَ الْمَعَاصِي مُبَيَّنٌ فِي غَيْرِ هَذِهِ الْآيَةِ فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي غَيْرِهَا مِنَ الْمَعَاصِي

Pendapat kedua menyatakan bahwa kerusakan (fasād) yang dimaksud khusus berkaitan dengan perampokan di jalan dan menakut-nakuti para musafir, dan inilah pendapat yang benar serta dianut oleh para fuqahā’; karena hukum maksiat-maksiat tersebut telah dijelaskan dalam ayat lain, sehingga ayat ini membahas maksiat yang berbeda dari maksiat-maksiat tersebut.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ مُخْتَصَّةٌ بِالْمُحَارِبِينَ مِنْ قطاع الطريق ومخيفي السبل الذين يَعْتَرِضُونَ السَّابِلَةَ مُجَاهَرَةً وَمُحَارَبَةً فَيَأْخُذُونَ أَمْوَالَهُمْ وَيَقْتُلُونَ نُفُوسَهُمْ فَقَدْ حَكَمَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِمْ بِأَرْبَعَةِ أَحْكَامٍ ذَكَرَهَا فِي الْآيَةِ فَقَالَ أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ المائدة 33 فَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي هَذِهِ الْأَحْكَامِ الْأَرْبَعَةِ التيِ جَعَلَهَا اللَّهُ تَعَالَى عُقُوبَةً لَهُمْ هَلْ وَجَبَتْ عَلَى طَرِيقِ التَّخْيِيرِ فِي أَنْ يَفْعَلَ الْإِمَامُ مِنْهَا ما رآه صَلَاحًا أَوْ وَجَبَتْ عَلَى طَرِيقِ التَّرْتِيبِ فَتَكُونُ كُلُّ عُقُوبَةٍ مِنْهَا فِي مُقَابَلَةِ ذَنْبٍ لَا يَتَعَدَّاهُ إِلَى غَيْرِهِ اخْتَلَفَ فِيهِ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى قَوْلَيْنِ

Jika telah dipastikan bahwa ayat ini khusus berkaitan dengan para muḥāribīn, yaitu para perampok jalanan dan orang-orang yang menakut-nakuti di jalan, yang menghadang para musafir secara terang-terangan dan dengan permusuhan, lalu mereka merampas harta mereka dan membunuh jiwa mereka, maka Allah Ta‘ala telah menetapkan terhadap mereka empat hukum yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu: mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang, atau diasingkan dari bumi (QS al-Mā’idah: 33). Para fuqahā’ berbeda pendapat mengenai empat hukuman yang Allah Ta‘ala jadikan sebagai sanksi bagi mereka ini: apakah hukuman-hukuman tersebut bersifat opsional sehingga imam boleh memilih di antara hukuman-hukuman itu sesuai yang dipandang maslahat, ataukah hukuman-hukuman itu bersifat berurutan sehingga setiap hukuman diterapkan sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan dan tidak melampaui kepada selainnya. Dalam hal ini, para ahli ilmu berbeda pendapat menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا قَالَهُ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ ومجاهد وعطاء والنخعي ومالك وداود في أَهْلِ الظَّاهِرِ إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى طَرِيقِ التَّخْيِيرِ فِي أَنْ يَفْعَلَ الْإِمَامُ مِنْهَا مَا شَاءَ لِقَوْلِهِ أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا المائدة 33 وَ ” أَوْ تَدْخُلُ فِي الْكَلَامِ لِلتَّخْيِيرِ فِي الْأَوَامِرِ وَالشَّكِّ فِي الْأَخْبَارِ وَهَذَا أَمْرٌ فَكَانَتْ لِلتَّخْيِيرِ كهي في كفارة الْيَمِينِ

Salah satu pendapat dikemukakan oleh Sa‘id bin al-Musayyab, Mujahid, ‘Atha’, an-Nakha‘i, Malik, dan Dawud dari kalangan Ahl azh-Zhahir, bahwa hukuman tersebut diwajibkan dengan cara takhyir, yaitu imam boleh memilih salah satu hukuman yang dikehendakinya, berdasarkan firman Allah: “dibunuh atau disalib” (al-Ma’idah: 33), dan kata “atau” dalam kalimat digunakan untuk memberikan pilihan dalam perintah dan untuk keraguan dalam berita, dan ini adalah perintah, maka “atau” di sini bermakna takhyir, sebagaimana dalam kafarat sumpah.

وَالثَّانِي قَالَهُ الشَّافِعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ إِنَّهَا وَجَبَتْ عَلَى طَرِيقِ التَّرْتِيبِ لِثَلَاثَةِ أُمُورٍ

Pendapat kedua dikemukakan oleh asy-Syafi‘i dan Abu Hanifah, bahwa zakat itu wajib dilakukan secara berurutan karena tiga hal.

أَحَدُهَا أن اختلاف العقوبات توجب اخْتِلَافَ أَسْبَابِهَا

Salah satunya adalah bahwa perbedaan hukuman mengharuskan adanya perbedaan sebab-sebabnya.

وَالثَّانِي أَنَّ التَّخْيِيرَ مُفْضٍ إِلَى أَنْ يُعَاقَبَ مَنْ قَلَّ جُرْمُهُ بِأَغْلَظِ الْعُقُوبَاتِ وَمَنْ كَثُرَ جُرْمُهُ بِأَخَفِّ الْعُقُوبَاتِ وَالتَّرْتِيبُ يَمْنَعُ من هذا التناقض؛ لأنه يعاقب في أقل الْجُرْمِ بِأَخَفِّ الْعُقُوبَاتِ وَفِي كَثْرَةِ الْجُرْمِ بِأَغْلَظِهَا فكان أولى

Kedua, bahwa takhyīr dapat menyebabkan seseorang yang kesalahannya kecil dihukum dengan hukuman yang lebih berat, dan seseorang yang kesalahannya besar dihukum dengan hukuman yang lebih ringan. Sedangkan tartīb mencegah terjadinya kontradiksi semacam ini; karena dengan tartīb, pelaku kesalahan kecil dihukum dengan hukuman yang lebih ringan, dan pelaku kesalahan besar dihukum dengan hukuman yang lebih berat, sehingga hal ini lebih utama.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَمَّا بُدِئَ فِيهَا بِالْأَغْلَظِ وَجَبَ أن يكون على ترتيب مِثْلَ كَفَّارَةِ الْقَتْلِ وَالظِّهَارِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التخيير لبدئ فيها بالأخف من كَفَّارَةِ الْيَمِينِ

Ketiga, karena dalam hal ini dimulai dengan yang paling berat, maka wajib urutannya seperti pada kafārah pembunuhan dan zhihār. Jika kafārah ini bersifat pilihan, tentu akan dimulai dengan yang paling ringan seperti pada kafārah sumpah.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهَا عَلَى التَّرْتِيبِ دُونَ التَّخْيِيرِ فَقَدِ اخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِتَرْتِيبِهَا فِي صِفَةِ التَّرْتِيبِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ

Maka apabila telah tetap bahwa urutannya adalah secara berurutan dan bukan dengan pilihan, maka para ulama yang berpendapat tentang keharusan urutan tersebut berbeda pendapat mengenai sifat urutannya menjadi tiga mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ إِذَا قتل قتل وإن أَخَذَ الْمَالَ قُطِعَتْ يَدُهُ وَرِجْلُهُ مِنْ خِلَافٍ وإذا قتل وأخذ المال قتل وقطع وَنَفْيُهُمْ أَنْ يُحْبَسُوا فِي بَلَدِهِمْ

Salah satunya, yaitu mazhab Abu Hanifah, bahwa jika seseorang membunuh maka ia dibunuh; jika ia mengambil harta maka dipotong tangan dan kakinya secara bersilang; jika ia membunuh dan mengambil harta maka ia dibunuh dan dipotong; dan pengasingan mereka adalah dengan dipenjara di negeri mereka.

وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ أَنَّهُ يُقْتَلُ إِذَا كَانَ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ وَالتَّدْبِيرِ دُونَ الْبَطْشِ وَالْقِتَالِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُكَفُّ عَنِ التَّدْبِيرِ إِلَّا بِالْقَتْلِ وَتُقْطَعُ يَدُهُ وَرِجْلُهُ مِنْ خِلَافٍ إِذَا كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبَطْشِ وَالْقِتَالِ دُونَ الرَّأْيِ وَالتَّدْبِيرِ؛ لأنه يتعطل وإن كان مكثراً لَا تَدْبِيرَ فِيهِ وَلَا قِتَالَ نُفِيَ وَنَفْيُهُ أَنْ يُخْرَجَ إِلَى بَلَدٍ آخَرَ يُحْبَسُ فِيهِ فَاعْتَبَرَ الْحَدَّ بِصِفَةِ الْفَاعِلِ وَلَمْ يَعْتَبِرْهُ بِصِفَةِ الْفِعْلِ وَهُوَ ضِدُّ مَا وُضِعَتْ لَهُ الْحُدُودُ؛ لِأَنَّهُ يُقْتَلُ مَنْ لَمْ يَقْتُلْ وَلَا يُقْتَلُ مَنْ قَتَلَ

Mazhab kedua, yaitu mazhab Malik, berpendapat bahwa seseorang dibunuh jika ia termasuk golongan ahli ra’yu (pemikir) dan perencana, tanpa terlibat langsung dalam aksi kekerasan dan pertempuran; karena ia tidak dapat dihentikan dari perencanaan kecuali dengan hukuman mati. Sedangkan jika ia termasuk golongan pelaku kekerasan dan pertempuran tanpa peran dalam pemikiran dan perencanaan, maka dipotong tangan dan kakinya secara bersilang; karena tindakannya akan terhenti, meskipun ia banyak berbuat, selama tidak ada perencanaan dan pertempuran, maka ia diasingkan. Pengasingan itu maksudnya adalah ia dipindahkan ke negeri lain untuk dipenjara di sana. Maka, Malik mempertimbangkan penetapan hudud berdasarkan sifat pelaku, bukan berdasarkan sifat perbuatan. Ini bertentangan dengan tujuan diberlakukannya hudud; karena bisa saja dibunuh orang yang tidak membunuh, dan tidak dibunuh orang yang membunuh.

وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَبِهِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ أَنَّهُ إِنْ قَتَلَ وَلَمْ يَأْخُذِ الْمَالَ قُتِلَ وَلَمْ يُصْلَبْ وَإِنْ قَتَلَ وَأَخَذَ الْمَالَ قُتِلَ وَصُلِبَ وَلَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ أَخَذَ الْمَالَ وَلَمْ يَقْتِلْ قُطِعَتْ يَدُهُ وَرِجْلُهُ مِنْ خِلَافٍ وَإِنْ لَمْ يَقْتُلْ وَلَمْ يَأْخُذِ الْمَالَ عُزِّرَ وَنَفْيُهُمْ أَنْ يُطْلَبُوا لِإِقَامَةِ الْحُدُودِ عَلَيْهِمْ فَيَهْرُبُوا

Mazhab ketiga, yaitu mazhab Syafi‘i, dan pendapat ini juga dikatakan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahwa jika seseorang membunuh namun tidak mengambil harta, maka ia dibunuh namun tidak disalib. Jika ia membunuh dan mengambil harta, maka ia dibunuh dan disalib, namun tidak dipotong (tangannya). Jika ia hanya mengambil harta tanpa membunuh, maka dipotong tangan dan kakinya secara bersilang. Jika ia tidak membunuh dan tidak mengambil harta, maka ia dikenai ta‘zīr. Adapun pengasingan mereka adalah agar mereka dicari untuk ditegakkan hudud atas mereka, sehingga mereka melarikan diri.

فَأَمَّا أَبُو حنيفة فمخالف فِيهِ إِذَا جَمَعَ بَيْنَ الْقَتْلِ وَأَخْذِ الْمَالِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ نَقْتُلُهُ بِالْقَتْلِ وَيَكُونُ الْإِمَامُ فِي أَخْذِ الْمَالِ مُخَيَّرًا بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ بين أن يقطع يده ورجله ولا يصلب وَبَيْنَ أَنْ يَصْلِبَهُ وَلَا يَقْطَعَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَبَيْنَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَيَقْطَعُ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَيَصْلِبَهُ وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَا يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْقَتْلِ وَالْقَطْعِ

Adapun Abu Hanifah, beliau berbeda pendapat dalam hal ini. Jika seseorang melakukan pembunuhan sekaligus perampasan harta, Abu Hanifah berpendapat bahwa pelaku dihukum mati karena pembunuhan, dan imam (penguasa) diberi pilihan dalam hal perampasan harta antara tiga hal: memotong tangan dan kakinya tanpa menyalibnya, atau menyalibnya tanpa memotong tangan dan kakinya, atau menggabungkan keduanya yaitu memotong tangan dan kakinya serta menyalibnya. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i, tidak boleh menggabungkan antara hukuman mati dan pemotongan anggota badan.

وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى جَوَازِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الْحُدُودَ إِذَا اخْتَلَفَتْ بِاخْتِلَافِ أَسْبَابِهَا جَازَ الْجَمْعُ بَيْنَ جَمِيعِهَا كَالزِّنَا والسرقة يجمع فيه بين الحد وَالْقَطْعِ

Abu Hanifah berdalil tentang bolehnya menggabungkan kedua hukuman tersebut dengan alasan bahwa hudud, jika berbeda sebabnya, maka boleh digabungkan seluruhnya, seperti pada kasus zina dan pencurian, di mana digabungkan antara hukuman had dan potong tangan.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ كَتَبَ إِلَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَسْأَلُهُ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ فَكَتَبَ إِلَيْهِ أَنْسٌ يخبره أن هذه الآية نزلت في أولئك الْعُرَنِيِّينَ وَهُمْ مِنْ بَجِيلَةَ فَسَأَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جِبْرِيلَ عَنِ الْقِصَاصِ فِيمَنْ حَارَبَ فَقَالَ مَنْ سَرَقَ وَأَخَافَ السَّبِيلَ فَاقْطَعْ يَدَهُ لِسَرِقَتِهِ وَرِجْلَهُ لِإِخَافَتِهِ وَمَنْ قَتَلَ فَاقْتُلْهُ وَمَنْ قَتَلَ وَأَخَافَ السَّبِيلَ وَاسْتَحَلَّ الْفَرْجَ الْحَرَامَ فَاصْلُبْهُ

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi‘ah dari Yazid bin Abi Habib bahwa Abdul Malik bin Marwan menulis surat kepada Anas bin Malik menanyakan tentang ayat ini. Maka Anas menulis surat kepadanya, memberitahukan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang ‘Uraniyyin, mereka berasal dari Bajilah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Jibril tentang qishāsh terhadap orang yang melakukan hirabah. Jibril menjawab: “Barang siapa mencuri dan menakut-nakuti di jalan, maka potonglah tangannya karena pencuriannya dan kakinya karena menakut-nakutinya. Barang siapa membunuh, maka bunuhlah dia. Barang siapa membunuh, menakut-nakuti di jalan, dan menghalalkan kemaluan yang haram, maka saliblah dia.”

وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ وَادَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَبَا بُرْدَةَ الْأَسْلَمِيَّ فَجَاءَ نَاسٌ يُرِيدُونَ الْإِسْلَامَ فقطع عليهم أصحابه فَنَزَلَ جِبْرِيلُ بِالْحَدِّ فِيهِمْ أَنَّ مَنْ قَتَلَ وَأَخَذَ الْمَالَ قُتِلَ وَصُلِبَ وَمَنْ قَتَلَ وَلَمْ يَأْخُذِ الْمَالَ قُتِلَ وَمَنْ أَخَذَ المال ولم يقتل قطعت يده ورجله من خِلَافٍ وَهَذَا بِمَنْزِلَةِ الْمُسْنَدِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ؛ لِأَنَّ مَا نَزَلْ بِهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ لا يعلم إلا منه وقد روي عن الشَّافِعِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ فِي قُطَّاعِ الطَّرِيقِ إِذَا قَتَلُوا وَأَخَذُوا الْمَالَ قُتِّلُوا وَصُلِّبُوا وَإِذَا قَتَلُوا وَلَمْ يَأْخُذُوا الْمَالَ قُتِّلُوا وَلَمْ يُصَلَّبُوا وَإِذَا أَخَذُوا الْمَالَ وَلَمْ يَقْتُلُوا قُطِعَتْ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ وَنَفْيُهُمْ إِذَا هربوا أن يطلبوا حتى يوجدوا فيقام عليهم الحد ولم يروا عنه نزول جبريل وَهُوَ حُجَّةٌ أَيْضًا لِأَنَّهُ قَوْلُ صَحَابِيٍّ لَمْ يَظْهَرْ خِلَافُهُ فَكَانَ حُجَّةً وَابْنُ عَبَّاسٍ تُرْجُمَانُ التَّنْزِيلِ وَحَبْرُ التَّأْوِيلِ وَلِأَنَّ مَا أَمَرَ اللَّهُ تعالى بِهِ مِنَ الصَّلْبِ لَا يَخْلُو مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ

Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Rasulullah saw. pernah mengadakan perjanjian damai dengan Abu Burdah al-Aslami, lalu datanglah sekelompok orang yang ingin masuk Islam, namun para sahabat Nabi menghalangi mereka. Maka turunlah Jibril membawa ketentuan hukum hudud bagi mereka, yaitu: barang siapa membunuh dan mengambil harta, maka ia dibunuh dan disalib; barang siapa membunuh tetapi tidak mengambil harta, maka ia dibunuh; barang siapa mengambil harta tetapi tidak membunuh, maka dipotong tangan dan kakinya secara bersilang. Riwayat ini setara dengan hadis musnad dari Rasulullah saw., karena apa yang dibawa Jibril as. tidak diketahui kecuali dari beliau. Diriwayatkan pula dari asy-Syafi‘i dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata tentang para perampok jalanan: jika mereka membunuh dan mengambil harta, maka mereka dibunuh dan disalib; jika mereka membunuh tetapi tidak mengambil harta, maka mereka dibunuh dan tidak disalib; jika mereka mengambil harta tetapi tidak membunuh, maka dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang, dan mereka diasingkan jika melarikan diri, yaitu dikejar hingga ditemukan lalu ditegakkan hudud atas mereka. Tidak diriwayatkan dari beliau bahwa Jibril turun (membawa hukum ini), namun pendapat ini juga merupakan hujjah karena merupakan perkataan sahabat yang tidak diketahui ada yang menyelisihinya, sehingga menjadi hujjah. Ibnu Abbas adalah penerjemah al-Qur’an dan ulama tafsir. Adapun perintah Allah Ta‘ala tentang penyaliban tidak lepas dari tiga keadaan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ لِلْقَتْلِ وَحْدَهُ وَهُوَ مَدْفُوعٌ بِوِفَاقِهِ

Bisa jadi hukumnya hanya berlaku untuk pembunuhan saja, namun hal ini tertolak berdasarkan kesepakatannya.

أَوْ يَكُونَ لِأَخْذِ الْمَالِ وَحْدَهُ وهو مدفوع بوفاقه

Atau bertujuan untuk mengambil harta semata, sedangkan ia ditolak karena kesepakatan (ijmā‘).

أو يكون بهما جَمِيعًا وَهُوَ مُسَلَّمٌ بِوِفَاقِهِ وَإِذَا كَانَ مُسْتَحَقًّا فِيهِمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ مُخَيَّرًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ غَيْرِهِ لِأَمْرَيْنِ

Atau bisa juga dengan keduanya sekaligus, dan hal itu diterima jika ada kesepakatan. Jika sesuatu itu memang menjadi hak pada keduanya, maka tidak boleh seseorang diberi pilihan antara hal itu dan selainnya karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا مَا دَلَّلْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُقُوطِ التَّخْيِيرِ فِي هَذِهِ الْآيَةِ

Salah satunya adalah apa yang telah kami tunjukkan tentang gugurnya pilihan (takhyīr) dalam ayat ini.

وَالثَّانِي أَنَّهُ حَدٌّ وَاحِدٌ وَالتَّخْيِيرُ فِيهِ يُخْرِجُهُ عَنِ الحدود الواجبة

Yang kedua, bahwa ia adalah satu jenis hadd, dan adanya pilihan di dalamnya akan mengeluarkannya dari kategori hudud yang wajib.

فأما الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِأَنَّ اجْتِمَاعَ الْحُدُودِ الْمُخْتَلِفَةِ لَا يُوجِبُ تَدَاخُلَهَا فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas argumentasinya bahwa berkumpulnya hudud yang berbeda tidak menyebabkan tumpang tindih di antara hukuman-hukuman tersebut adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَقُولُ فِي الزَّانِي الثَّيِّبِ إِذَا سَرَقَ رُجِمَ وَلَمْ يُقْطَعْ فَبَطَلَ بِهِ اسْتِدْلَالُهُ

Salah satunya adalah bahwa ia berpendapat, jika pezina muhshan mencuri, maka ia dirajam dan tidak dipotong tangannya, sehingga dengan pendapat ini batal-lah istidlal-nya.

وَالثَّانِي أَنَّ مَا لَا يَتَدَاخَلُ لَا يَكُونُ فِيهِ تَخْيِيرٌ وقد أثبت التخيير ها هنا فَبَطَلَ بِهِ اسْتِدْلَالُهُ

Kedua, bahwa sesuatu yang tidak saling beririsan tidak terdapat di dalamnya pilihan, padahal di sini telah ditetapkan adanya pilihan, maka dengan demikian batal-lah argumentasinya.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا النَّفْيُ الْمُرَادُ بقول تعالى أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ المائدة 33 فَقَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ

Adapun pengertian “pengusiran” yang dimaksud dalam firman Allah Ta‘ala: “atau mereka diusir dari bumi” (Al-Mā’idah: 33), maka para ulama berbeda pendapat tentangnya menjadi empat mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ قَوْلُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّ نَفْيَهُمْ إِبْعَادُهُمْ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ إِلَى بِلَادِ الشِّرْكِ

Salah satunya adalah pendapat Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri bahwa pengasingan mereka adalah menjauhkan mereka dari negeri-negeri Islam ke negeri-negeri syirik.

وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ أَنَّهُ إِخْرَاجُهُمْ مِنْ مَدِينَةٍ إِلَى أُخْرَى

Dan pendapat kedua, yaitu pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Sa‘id bin Jubair, bahwa yang dimaksud adalah mengeluarkan mereka dari satu kota ke kota lain.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابِهِ أَنَّهُ حَبْسُ مَنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ حَدٌّ

Dan yang ketiga adalah pendapat Abu Hanifah dan para sahabatnya, yaitu bahwa ta‘zīr adalah penahanan terhadap orang yang tidak wajib dikenai hudud.

وَالرَّابِعُ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالشَّافِعِيِّ أنه طلبهم لإقامة الحدود عليهم فيبعدوا وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى أَنَّ نَفْيَهُمْ هُوَ الحبس بأمرين

Keempat, yaitu pendapat Ibnu ‘Abbas dan asy-Syafi‘i, bahwa mereka dicari untuk ditegakkan hudud atas mereka, lalu mereka dijauhkan. Abu Hanifah berdalil bahwa pengasingan mereka adalah penahanan (penjara) dengan dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ كَفُّهُمْ عَنِ الْأَذَى وَإِبْعَادُهُمْ لَا يَكُفُّهُمْ عَنِ الْأَذَى وَالْحَبْسُ يَكُفُّهُمْ عَنْهُ فَكَانَ هُوَ الْمُرَادَ بِهِ

Salah satunya adalah bahwa yang dimaksud dengannya adalah menahan mereka dari melakukan gangguan dan menjauhkan mereka; larangan tidak dapat menahan mereka dari gangguan, sedangkan penahanan dapat menahan mereka darinya, maka itulah yang dimaksud dengannya.

حَكَى مَكْحُولٌ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَوَّلُ مَنْ حَبَسَ فِي السُّجُونِ وَقَالَ أَحْبِسُهُ حَتَّى أَعْلَمَ مِنْهُ التَّوْبَةَ وَلَا أَنْفِيهِ إِلَى بَلَدٍ فَيُؤْذِيهِمْ

Makḥūl meriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb adalah orang pertama yang memenjarakan di penjara, dan ia berkata, “Aku akan menahannya sampai aku mengetahui taubatnya, dan aku tidak akan mengusirnya ke negeri lain sehingga ia menyakiti penduduknya.”

وَالثَّانِي أَنَّهُ جَعَلَ النَّفْيَ حَدًّا فَاقْتَضَى أَنْ يَتَوَجَّهَ إِلَى غَيْرِ أَصْحَابِ الْحُدُودِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَالشَّافِعِيُّ جَعَلَهُ مُتَوَجِّهًا إِلَيْهِمْ فَخَالَفَ الظَّاهِرَ وَاسْتَدَلَّ لَهُ ابْنُ قتيبة بأن العرب تجعل الحبس نفياً لقول بَعْضِ الْمَسْجُونِينَ مِنْ شُعَرَاءِ الْعَرَبِ

Kedua, ia menjadikan pengasingan (an-nafy) sebagai hukuman had, sehingga hal itu menuntut agar hukuman tersebut diterapkan kepada selain pelaku pelanggaran had yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan asy-Syafi‘i menjadikannya diterapkan kepada mereka, sehingga bertentangan dengan makna lahiriah. Ibn Qutaybah memberikan dalil untuk pendapat asy-Syafi‘i bahwa orang Arab menganggap penjara sebagai bentuk pengasingan, sebagaimana ucapan sebagian penyair Arab yang dipenjara.

خَرَجْنَا مِنَ الدنيا ونحن من أهلها فلسنا من الأحياء فيها ولا الموتى

Kami telah keluar dari dunia ini sementara kami masih termasuk penghuninya, sehingga kami bukanlah termasuk orang-orang yang hidup di dalamnya, dan bukan pula orang-orang yang telah mati.

إِذَا جَاءَنَا السَّجَّانُ يَوْمًا لِحَاجَةٍ عَجِبْنَا وَقُلْنَا جَاءَ هَذَا مِنَ الدُّنْيَا

Jika suatu hari sipir penjara datang kepada kami untuk suatu keperluan, kami pun heran dan berkata, “Orang ini datang dari dunia luar.”

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تعالى أو ينفوا من الأرض فَاقْتَضَى الظَّاهِرُ أَنْ يَكُونَ النَّفْيُ رَاجِعًا إِلَى جَمِيعِهِمْ وَلَا يَكُونُ رَاجِعًا إِلَى جَمِيعِهِمْ إِلَّا عَلَى قَوْلِنَا أَنْ يُطْلَبُوا لِإِقَامَةِ الْحُدُودِ عَلَيْهِمْ فَيَهْرُبُوا وَهُوَ عَلَى قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ رَاجِعٌ إِلَى بَعْضِهِمْ

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “atau mereka diasingkan dari bumi,” maka makna zahirnya menunjukkan bahwa pengasingan itu berlaku untuk seluruh mereka. Dan tidaklah pengasingan itu berlaku untuk seluruh mereka kecuali menurut pendapat kami, yaitu mereka dicari untuk ditegakkan hudud atas mereka lalu mereka melarikan diri. Adapun menurut pendapat Abu Hanifah, pengasingan itu hanya berlaku untuk sebagian dari mereka.

فَإِنْ قِيلَ فَاللَّهُ تَعَالَى قَدْ أمر بِنَفْيِهِمْ وَمَذْهَبُكُمْ يَبْعَثُ عَلَى أَنْ يَنْفُوا أَنْفُسَهُمْ

Jika dikatakan, “Allah Ta‘ala telah memerintahkan untuk menafikan mereka, sedangkan mazhab kalian mendorong agar mereka menafikan diri mereka sendiri.”

قِيلَ إِذَا نَفَوْا أَنْفُسَهُمْ لِطَلَبِ الْإِمَامِ لَهُمْ صَارَ الْإِمَامُ هُوَ الَّذِي نَفَاهُمْ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَإِنْ هَرَبَ فَذَلِكَ نَفْيُهُ وقوله مع عدم المخالف حُجَّةٌ؛ وَلِأَنَّ الْحَبْسَ لَا يُسَمَّى نَفْيًا؛ لِأَنَّهُ إِمْسَاكٌ وَالنَّفْيُ إِبْعَادٌ فَصَارَا ضِدَّيْنِ

Dikatakan: Jika mereka mengasingkan diri sendiri untuk mencari imam bagi mereka, maka imamlah yang telah mengasingkan mereka. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan Ibnu ‘Abbas: “Jika ia melarikan diri, maka itulah pengasingannya.” Dan perkataannya, selama tidak ada yang menentang, adalah hujjah; karena penjara tidak disebut sebagai pengasingan, sebab penjara adalah penahanan, sedangkan pengasingan adalah menjauhkan, sehingga keduanya menjadi dua hal yang berlawanan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ بأن الْمَقْصُودَ بِالنَّفْيِ الْكَفُّ وَالْحَبْسُ كَفٌّ قُلْنَا الطَّلَبُ لإقامة الحد أبلغ من الكف وأما الجواب عن قولهم إنه حد فوجب حمله على مَا تَقَدَّمَ فَهُوَ أَنَّهُ حَدٌّ فِي غَيْرِ مَا تَقَدَّمَ؛ لِأَنَّ الْمُتَقَدِّمَ حَدٌّ فِي الْمَقْدُورِ عَلَيْهِ وَهَذَا حَدٌّ فِي غَيْرِ الْمَقْدُورِ عَلَيْهِ وَأَمَّا الشِّعْرُ فَلَا دَلِيلَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ جَعَلَ الْحَبْسَ نَفْيًا مِنَ الدُّنْيَا وَلُحُوقًا بِالْمَوْتَى وَهُوَ بخلاف ما قال فبطل الاستدلال

Adapun jawaban bahwa yang dimaksud dengan penafian adalah penahanan dan pengekangan, kami katakan bahwa tuntutan untuk menegakkan hudud lebih kuat daripada sekadar pengekangan. Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa itu adalah hudud sehingga harus dibawa kepada apa yang telah disebutkan sebelumnya, maka sesungguhnya itu adalah hudud dalam perkara yang berbeda dari yang telah disebutkan sebelumnya; karena yang terdahulu adalah hudud bagi yang mampu dijangkau, sedangkan ini adalah hudud bagi yang tidak mampu dijangkau. Adapun syair, maka tidak ada dalil di dalamnya; karena ia menjadikan penahanan sebagai penafian dari dunia dan penyamaan dengan orang-orang yang telah mati, dan itu berbeda dengan apa yang dikatakan, sehingga batal pula istidlal tersebut.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ تَرْتِيبِ الأحكام المختلفة على ما بيناه مِنَ الْأَفْعَالِ الْمُخْتَلِفَةِ فَشَرْحُ الْمَذْهَبِ فِي كُلِّ فعل وحكمه أن يعتبر ما فَعَلَهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْمُحَارَبَةِ فَمَنْ قَتَلَ مِنْهُمْ وَلَمْ يَأْخُذِ الْمَالَ رُوعِيَ حَالُ المقتول فإن كان مكافئاً للقاتل قتل به القاتل وكان قتله منحتما لَا يَقِفُ عَلَى خِيَارِ الْوَلِيِّ وَلَا يَصِحُّ الْعَفْوُ عَنْهُ فَيَتَغَلَّظُ فِي الْحِرَابَةِ بِانْحِتَامِهِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَتَحَتَّمُ قَتْلُهُ وَيَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى خِيَارِ الْوَلِيِّ فِي أَنْ يَقْتَصَّ أَوْ يعفو أو يأخذ الدِّيَةَ أَوْ يَعْفُوَ عَنْهَا إِلَّا أَنْ يَنْضَمَّ إلى القتل أخذ المال فينحتم قتله ولا يقف وعلى خِيَارِ الْوَلِيِّ؛ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَقَدْ جَعَلْنَا لوليه سلطان الإسراء 33 وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” فمن قتل بعده قَتِيلًا فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إِنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ

Jika telah ditetapkan apa yang telah kami jelaskan mengenai pengurutan hukum-hukum yang berbeda atas apa yang telah kami uraikan dari perbuatan-perbuatan yang berbeda, maka penjelasan mazhab dalam setiap perbuatan dan hukumnya adalah dengan mempertimbangkan apa yang dilakukan oleh masing-masing pelaku dari kalangan orang-orang yang melakukan hirabah. Maka, siapa di antara mereka yang membunuh tetapi tidak mengambil harta, maka keadaan korban diperhatikan; jika korban sebanding dengan pembunuh, maka pembunuh tersebut dibunuh sebagai qisas, dan pembunuhannya menjadi wajib, tidak bergantung pada pilihan wali, dan tidak sah pemaafan atasnya. Maka, hukuman dalam hirabah menjadi lebih berat dengan kewajiban ini. Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuhannya tidak menjadi wajib, melainkan bergantung pada pilihan wali, apakah ia ingin melakukan qisas, memaafkan, mengambil diyat, atau memaafkan diyat tersebut, kecuali jika pembunuhan disertai dengan pengambilan harta, maka pembunuhannya menjadi wajib dan tidak bergantung pada pilihan wali; berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya” (QS. Al-Isra’: 33), dan sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa setelah itu membunuh seseorang, maka keluarganya berhak memilih dua pilihan: jika mereka suka, mereka membunuh (sebagai qisas), dan jika mereka suka, mereka mengambil diyat.”

ودليلنا قَوْله تَعَالَى إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا المائدة 33 فَكَانَ ظَاهِرُهُ الْوُجُوبُ؛ لِأَنَّهُ أَمْرٌ مُقَيَّدٌ بِشَرْطٍ وَلِأَنَّ كُلَّ جُرْمٍ أَوْجَبَ عُقُوبَةً فِي غَيْرِ الْمُحَارَبَةِ تَغَلَّظَتْ عُقُوبَتُهُ فِي المحاربة كالمال تغلظت عقوبته في المحاربة كالأمر بقطع الرجل فاقتضى أن تتغلظ عُقُوبَةُ الْقَتْلِ بِانْحِتَامِهِ فَصَارَ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ من الظاهر مخصوصاً وَإِنْ كَانَ الْمَقْتُولُ فَيَ الْحِرَابَةِ غَيْرَ مُكَافِئٍ لِلْقَاتِلِ؛ لِأَنَّهُ حُرٌّ قَتَلَ عَبْدًا أَوْ مُسْلِمٌ قَتَلَ مُعَاهَدًا أَوْ وَالِدٌ قَتَلَ وَلَدًا فَفِيهِ قولان

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh atau disalib…” (al-Mā’idah: 33). Maka, zahir ayat ini menunjukkan kewajiban, karena ini adalah perintah yang dibatasi dengan syarat. Dan karena setiap kejahatan yang mewajibkan hukuman di luar kasus muḥārabah, maka hukumannya menjadi lebih berat dalam kasus muḥārabah, seperti harta yang hukumannya diperberat dalam muḥārabah, misalnya perintah untuk memotong tangan. Maka, hal ini menuntut agar hukuman pembunuhan juga diperberat dengan keharusan pelaksanaannya. Dengan demikian, dalil yang digunakan dari zahir ayat menjadi khusus. Dan jika orang yang dibunuh dalam kasus ḥirābah tidak setara dengan pembunuhnya—misalnya seorang merdeka membunuh seorang budak, atau seorang Muslim membunuh seorang mu‘āhad, atau seorang ayah membunuh anaknya—maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أحدهما أن التكافؤ معتبر في غير الْحِرَابَةِ فَلَا يُقْتَلُ بِهِ الْقَاتِلُ إِذَا لَمْ يَكُنْ كُفْؤًا

Pertama, bahwa kesetaraan (takāfu’) diperhitungkan dalam selain kasus ḥirābah, sehingga pembunuh tidak dibunuh dengannya jika tidak setara.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ التَّكَافُؤَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ وَيُقْتَلُ بِهِ الْقَاتِلُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ كُفْؤًا لِأَنَّهُ لَمَّا سَقَطَ فِي قَتْلِ الْحِرَابَةِ خيار الولي سقط فيما كفاه الْمَقْتُولِ فَعَلَى هَذَا لَوْ كَانَ الْمَقْتُولُ مُرْتَدًّا فَإِنْ لَمْ يَعْلَمِ الْقَاتِلُ بِرِدَّتِهِ قُتِلَ بِهِ اعْتِبَارًا بِقَصْدِهِ وَإِنْ عَلِمَ بِرِدَّتِهِ لَمْ يُقْتَلْ به؛ لأن دمه مُبَاحٌ

Pendapat kedua menyatakan bahwa kesetaraan (takāfu’) tidak dianggap, dan pembunuh tetap dihukum qisas meskipun tidak setara, karena ketika hak memilih bagi wali gugur dalam kasus pembunuhan karena hirābah, maka hak itu juga gugur dalam kasus yang cukup bagi korban. Berdasarkan hal ini, jika korban adalah seorang murtad, maka jika pembunuh tidak mengetahui kemurtadannya, ia tetap dihukum qisas karena mempertimbangkan niatnya. Namun, jika ia mengetahui kemurtadannya, maka ia tidak dihukum qisas, karena darahnya telah menjadi halal.

فَصْلٌ

Fasal

وَمَنْ قَتَلَ وَأَخَذَ الْمَالَ قُتِلَ وَصُلِبَ فَكَانَ الْقَتْلُ بِالْقَتْلِ وَالصَّلْبُ بِأَخْذِ الْمَالِ وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ جَوَّزَ الْجَمْعَ بَيْنَ الْقَطْعِ وَالْقَتْلِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ

Barang siapa yang membunuh dan mengambil harta, maka ia dibunuh dan disalib; pembunuhan sebagai balasan atas pembunuhan, dan penyaliban sebagai balasan atas pengambilan harta. Telah kami sebutkan bahwa Abu Hanifah membolehkan penggabungan antara pemotongan (tangan) dan pembunuhan, dan pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ الصَّلْبَ حَدًّا وَجَمَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقَتْلِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا فِي جُرْمَيْنِ مَقْصُودَيْنِ بِالْمُحَارَبَةِ وَلَا يُقْصَدُ في الأغلب بهما إِلَّا الْمَالُ وَالْقَتْلُ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ الْجَمْعُ بَيْنَ هَاتَيْنِ الْعُقُوبَتَيْنِ مَقْصُودَ الْحِرَابَةِ مِنْ هَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يُقْتَلُ وَيُصْلَبُ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُصْلَبُ بَعْدَ قَتْلِهِ

Dan karena Allah Ta‘ala telah menjadikan penyaliban sebagai hudud dan menggabungkannya dengan hukuman mati, maka hal itu menunjukkan bahwa penggabungan keduanya berlaku pada dua tindak pidana yang menjadi tujuan utama dalam hirabah, yang pada umumnya tidak dimaksudkan kecuali untuk merampas harta dan melakukan pembunuhan. Maka, penggabungan dua hukuman ini menjadi tujuan utama dari hirabah terhadap dua hal tersebut. Jika telah tetap bahwa pelaku dibunuh dan disalib, maka menurut mazhab Syafi‘i, ia disalib setelah dibunuh.

وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو يُوسُفَ يُصْلَبُ حَيًّا ثُمَّ يُبْعَجُ بَطْنُهُ بالرماح أو يرمى بالسهام حَتَّى يُقْتَلَ وَحَكَاهُ الْكَرْخِيُّ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ؛ لِأَنَّ الصَّلْبَ إِذَا كَانَ حَدًّا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ فِي الْحَيَاةِ؛ لِأَنَّ الْحُدُودَ لَا تُقَامُ عَلَى مَيِّتٍ وَلِأَجْلِ هَذَا التَّعْلِيلِ ذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِلَى أَنَّهُ يُصْلَبُ حَيًّا وَيُتْرَكُ عَلَى حاله مصلوباً حتى يموت وليس هذا صحيحاً لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْذِيبِ نَفْسِهِ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ الْإِحْسَانَ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ

Malik dan Abu Yusuf berpendapat bahwa pelaku disalib dalam keadaan hidup, kemudian perutnya dibelah dengan tombak atau dilempari dengan panah hingga ia terbunuh. Al-Karkhi meriwayatkan pendapat ini dari Abu Hanifah; karena penyaliban jika merupakan hudud, maka harus dilakukan saat pelaku masih hidup, sebab hudud tidak ditegakkan atas orang yang sudah mati. Berdasarkan alasan ini, sebagian ulama kami berpendapat bahwa pelaku disalib dalam keadaan hidup dan dibiarkan tetap tergantung sampai ia mati. Namun, pendapat ini tidak benar karena di dalamnya terdapat penyiksaan terhadap jiwa, padahal Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu. Maka jika kalian membunuh, lakukanlah pembunuhan dengan cara yang baik.”

وَرُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه نهى أن يجعل الروح غرضاً

Diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau melarang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran.

وَقَوْلُهُمْ إِنَّهُ حَدٌّ لَا يُقَامُ عَلَى مَيِّتٍ فيقال لهم هو وإن كان حداً فَالْمَقْصُودُ بِهِ رَدْعُ غَيْرِهِ؛ لِأَنَّ الْمَقْتُولَ لَا يردع وإنما ردع بِهِ الْأَحْيَاءُ وَالرَّدْعُ بِالصَّلْبِ مَوْجُودٌ فِي الْأَحْيَاءِ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْقَتْلِ فَإِذَا صُلِبَ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُصْلَبُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ لَا يُزَادُ عَلَيْهَا إِلَّا أَنْ يَتَغَيَّرَ قَبْلَهَا فَيُحَطُّ

Dan pernyataan mereka bahwa itu adalah hudud yang tidak ditegakkan atas mayit, maka dikatakan kepada mereka: Meskipun itu adalah hudud, tujuan utamanya adalah untuk mencegah (kejahatan) dari orang lain; karena orang yang telah dibunuh tidak dapat dicegah lagi, namun dengan hukuman itu, orang-orang yang masih hidup dapat dicegah. Pencegahan dengan penyaliban tetap berlaku bagi orang yang hidup, meskipun dilakukan setelah pembunuhan. Maka apabila telah disalib, menurut mazhab Syafi‘i, ia disalib selama tiga hari dan tidak boleh lebih dari itu, kecuali jika tubuhnya berubah (membusuk) sebelum tiga hari, maka ia harus segera diturunkan.

وَحُكِيَ عَنْ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ مُدَّةَ صَلْبِهِ مُعْتَبَرَةٌ بِأَنْ يَسِيلَ صَدِيدُهُ وَلَا يَتَقَدَّرُ بِزَمَانٍ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ قَتْلَهُ وَصَلْبَهُ لا يوجب سقوط حرمته وغسله وَتَكْفِينِهِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَدَفْنِهِ لِحُرْمَةِ إِسْلَامِهِ وَانْتِهَاؤُهُ إلى سَيَلَانِ صَدِيدِهِ يَمْنَعُ مِنْ هَذِهِ الْحُقُوقِ فَلَمْ تُعْتَبَرْ فَلَوْ مَاتَ هَذَا الْمُحَارِبُ حَتْفَ أَنْفِهِ لَمْ يُصْلَبْ بَعْدَ مَوْتِهِ وَإِنْ صُلِبَ بَعْدَ قَتْلِهِ نَقَلَهُ الْحَارِثُ بْنُ سُرَيْجٍ عَنِ الشَّافِعِيِّ نصاً

Diriwayatkan dari Abu ‘Ali bin Abi Hurairah bahwa lamanya penyaliban itu diukur dengan keluarnya nanah dari tubuhnya dan tidak ditentukan dengan waktu tertentu. Namun, pendapat ini dianggap tidak benar, karena membunuh dan menyalibnya tidak menyebabkan hilangnya kehormatan jenazahnya, sehingga ia tetap harus dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan karena kehormatan keislamannya. Jika penyaliban itu berakhir sampai keluarnya nanah dari tubuhnya, maka hal itu akan menghalangi hak-hak tersebut, sehingga pendapat itu tidak dianggap. Maka jika seorang muharib (pelaku kejahatan berat) mati dengan sendirinya, ia tidak boleh disalib setelah kematiannya. Dan jika ia disalib setelah dibunuh, maka Al-Harits bin Surayj telah menukil dari Imam Syafi‘i secara nash.

والفرق بينهما أن قتله حد مستوفى فَيَكْمُلُ بِصَلْبِهِ وَمَوْتُهُ مُسْقِطٌ لِحَدِّهِ فَسَقَطَ تَأْثِيرُهُ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pembunuhan sebagai hudud telah terpenuhi sehingga disempurnakan dengan penyaliban, sedangkan kematiannya menggugurkan hudud atasnya sehingga pengaruhnya pun hilang.

فَصْلٌ

Fasal

وَمَنْ أَخَذَ الْمَالَ وَلَمْ يَقْتُلْ قُطِعَتْ يده اليمنى ورجله اليسرى لقول الله تعالى أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ المائدة 33 وَقَدْ ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَطَعَ يَمِينَ السَّارِقِ فَلِذَلِكَ قَطَعَ فِي الحرابة يمين يديه ويسرى رجليه فإن فقدتا منه معاً وكانت يمنى يديه ويسرى رجليه معاً قد ذَهَبَتَا عَدَلْنَا إِلَى قَطْعِ يَدِهِ الْيُسْرَى وَرِجْلِهِ الْيُمْنَى كَالسَّارِقِ إِذَا عَدِمْنَا يُمْنَى يَدَيْهِ عَدَلْنَا إِلَى يُسْرَى رِجْلَيْهِ وَلَوْ فَقَدَ هَذَا الْمُحَارِبُ يَدَهُ الْيُمْنَى وَبَقِيَتْ رِجْلُهُ الْيُسْرَى أَوْ فَقَدَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَبَقِيَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى فَفِيهِ وَجْهَانِ

Barang siapa mengambil harta dan tidak membunuh, maka dipotong tangan kanannya dan kaki kirinya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang” (Al-Ma’idah: 33). Dan telah tetap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memotong tangan kanan pencuri, maka karena itu dalam kasus hirabah dipotong tangan kanannya dan kaki kirinya. Jika keduanya telah hilang bersamaan, yaitu tangan kanan dan kaki kiri, maka kita beralih kepada pemotongan tangan kirinya dan kaki kanannya, sebagaimana pada pencuri jika tangan kanannya tidak ada maka kita beralih kepada kaki kirinya. Jika pelaku hirabah ini kehilangan tangan kanannya dan yang tersisa hanya kaki kirinya, atau kehilangan kaki kirinya dan yang tersisa hanya tangan kanannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ يُؤْخَذُ العضو الباقي وحده ويكون المفقود لبقاء هذا الْمَأْخُوذِ كَمَا لَوْ ذَهَبَ مِنْ يَدَيِ السَّارِقِ بَعْضُ أَصَابِعِهِ قُطِعَ الْبَاقِي وَكَانَ الذَّاهِبُ مِنْهَا تَبَعًا لَهَا

Salah satunya adalah pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, yaitu bahwa anggota tubuh yang masih tersisa saja yang diambil (dihukum), sedangkan yang hilang dianggap mengikuti yang masih ada tersebut. Sebagaimana jika dari tangan pencuri ada sebagian jarinya yang hilang, maka yang tersisa tetap dipotong, dan yang telah hilang dianggap mengikuti yang tersisa itu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ عِنْدِي أَشْبَهُ أَنَّهُ يَكُونُ الْمَوْجُودُ تَبَعًا لِلْمَفْقُودِ وَيَصِيرَانِ مَعًا كَالْمَفْقُودَيْنِ فَيَعْدِلُ إِلَى يَدِهِ الْيُسْرَى وَرِجْلِهِ الْيُمْنَى؛ لأن قطع كل طرف منهما مَقْصُودٌ فِي نَفْسِهِ وَلَيْسَ أَحَدُهُمَا فِي أَصْلِ الخلقة مِنَ الْآخَرِ بِخِلَافِ الْأَصَابِعِ الَّتِي هِيَ مِنْ خلقة الكف فَافْتَرَقَا ثُمَّ يُقْطَعَانِ مَعًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَا يُتَوَقَّفُ عَنِ الثَّانِي حَتَّى يَنْدَمِلَ الْأَوَّلُ؛ لِأَنَّهُمَا حَدٌّ وَاحِدٌ وَالْحَدُّ الْوَاحِدُ لَا يُفَرَّقُ ويستوفي جميعه في وقت واحد لكن يُنْظَرُ فِي حَسْمِهَا بِالنَّارِ فَإِنْ خِيفَ عَلَى نَفْسِهِ مِنَ الْقَطْعِ الْأَوَّلِ إِنْ لَمْ تُحْسَمْ حُسِمَتْ قَبْلَ الْقَطْعِ الثَّانِي وَإِنْ أَمِنَ ذَلِكَ قُطِعَ الثَّانِي ثُمَّ حُسِمَا مَعًا

Pendapat kedua, yang menurut saya lebih mendekati kebenaran, adalah bahwa anggota tubuh yang masih ada mengikuti status anggota tubuh yang hilang, sehingga keduanya diperlakukan seperti dua anggota tubuh yang hilang. Maka, hukuman dipindahkan ke tangan kirinya dan kaki kanannya; karena pemotongan setiap anggota tubuh tersebut memang dimaksudkan secara tersendiri, dan tidak ada salah satu dari keduanya yang secara asal penciptaannya merupakan bagian dari yang lain, berbeda dengan jari-jari yang merupakan bagian dari penciptaan telapak tangan, sehingga keduanya berbeda. Kemudian, kedua anggota tubuh itu dipotong secara bersamaan dalam satu waktu, dan tidak perlu menunggu hingga yang pertama sembuh untuk memotong yang kedua; karena keduanya merupakan satu had, dan satu had tidak boleh dipisah-pisah, melainkan harus dilaksanakan seluruhnya dalam satu waktu. Namun, perlu diperhatikan dalam hal pembakaran luka dengan api, jika dikhawatirkan akan membahayakan jiwa akibat pemotongan pertama jika tidak dibakar, maka luka dibakar sebelum pemotongan kedua. Jika tidak dikhawatirkan demikian, maka anggota tubuh kedua dipotong lalu keduanya dibakar bersama.

وَأَمَّا اعْتِبَارُ نِصَابِ السَّرِقَةِ فِي هَذَا الْقَطْعِ فَالظَّاهِرُ مِنْ مذهب الشافعي رضي الله عنه وَقَدْ نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ فِي مُخْتَصَرِهِ عَنْهُ أَنَّهُ مُعْتَبَرٌ فَلَا يُقْطَعُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْرُ الْمَالِ الَّذِي أَخَذَهُ رُبُعَ دِينَارٍ فَصَاعِدًا وَحَكَى أَبُو عَلِيِّ بْنُ خَيْرَانَ قَوْلًا ثَانِيًا أَنَّهُ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ وَيُقْطَعُ فِي قَلِيلِ الْمَالِ وَكَثِيرِهِ فَخَرَجَ ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ كَمَا كَانَ اعْتِبَارُ التَّكَافُؤِ فِي قَتْلِ الْحِرَابَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَوَجَدْتُ لِأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ كَلَامًا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ النِّصَابَ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ وَأَنَّهُ يُقْطَعُ فِي قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ كَمَا كَانَ الِاسْتِحْقَاقُ بِأَخْذِهِ غَيْرَ مُعْتَبَرٍ فِي الْحِرَابَةِ وَإِنْ كَانَ مُعْتَبَرًا فِي السَّرِقَةِ

Adapun mengenai pertimbangan nisab pencurian dalam penerapan hukuman potong tangan ini, pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i—sebagaimana yang dinukil oleh al-Muzani dalam Mukhtasharnya dari beliau—adalah bahwa nisab itu dianggap, sehingga tidak dipotong tangan kecuali jika jumlah harta yang diambil mencapai seperempat dinar atau lebih. Abu ‘Ali bin Khairan meriwayatkan pendapat kedua, yaitu bahwa nisab tidak dianggap, sehingga hukuman potong tangan diterapkan baik pada harta yang sedikit maupun yang banyak. Maka, masalah ini keluar menjadi dua pendapat, sebagaimana pertimbangan kesetaraan dalam pembunuhan pada kasus hirabah juga terdapat dua pendapat. Aku juga menemukan pernyataan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah yang menunjukkan bahwa nisab tidak dianggap, dan hukuman potong tangan diterapkan baik pada harta yang sedikit maupun yang banyak, sebagaimana hak kepemilikan atas harta yang diambil tidak dianggap dalam hirabah, meskipun dianggap dalam pencurian.

وَعِنْدِي أَنَّ النِّصَابَ فِي الْمَالِ مُعْتَبَرٌ إِذَا انْفَرَدَ الْمُحَارِبُ بِأَخْذِهِ فَلَا يُقْطَعُ حَتَّى يَأْخُذَ رُبُعَ دِينَارٍ ولا يعتبر إذا اقترن بالقتل والصلب فإن أَخَذَ أَقَلَّ مِنْ رُبُعِ دِينَارٍ؛ لِأَنَّهُ إِذَا انْفَرَدَ بِأَخْذِ الْمَالِ صَارَ مَقْصُودًا فَاعْتُبِرَ فِيهِ شَرْطُ الْقَطْعِ مِنْ أَخْذِ النِّصَابِ وَإِذَا اقْتَرَنَ بِالْقَتْلِ صَارَ تَبَعًا فَلَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ أَخْذُ فيه النصاب؛ لأنه لا يستحق في القطع ولأن القطع في الحرابة قد يغلظ بزيادة الرجل فلم يتغلظ بإسقاط النصاب فلم يتغلظ مع القتل بمثله فتغلظ بِإِسْقَاطِ النِّصَابِ

Menurut pendapat saya, nisab pada harta itu diperhitungkan apabila pelaku hirabah (perampokan) mengambilnya sendirian, maka tidak dipotong tangannya hingga ia mengambil seperempat dinar. Namun, nisab tidak diperhitungkan apabila disertai dengan pembunuhan dan penyaliban. Jika ia mengambil kurang dari seperempat dinar, karena apabila ia hanya mengambil harta saja, maka harta itu menjadi tujuan utama sehingga disyaratkan adanya nisab untuk dikenai hukuman potong tangan. Namun, apabila disertai dengan pembunuhan, maka pengambilan harta menjadi sekadar ikutannya sehingga tidak disyaratkan adanya nisab dalam pengambilan harta tersebut; karena dalam hal ini tidak berhak dikenai hukuman potong tangan. Selain itu, hukuman potong tangan dalam hirabah dapat diperberat dengan bertambahnya jumlah pelaku, maka tidak diperberat dengan menghapus syarat nisab, dan juga tidak diperberat dengan pembunuhan dengan cara yang sama, sehingga diperberat dengan menghapus syarat nisab.

فَأَمَّا اعْتِبَارُ الْحِرْزِ فَإِنْ كَانَ الْمَالُ مَعَ مَالِكِهِ أَوْ بِحَيْثُ يَرَاهُ الْمَالِكُ وَيَقْدِرُ عَلَى دَفْعِ مَنْ لَيْسَ بِمُكَابِرٍ وَلَا مغالب كان في حكم المحرز فيه وجرى عَلَيْهِ فِي الْحِرَابَةِ حُكْمُ الصَّلْبِ إِذَا انْضَمَّ إِلَى الْقَتْلِ وَفِي جَرَيَانِ حُكْمِ الْقَطْعِ عَلَيْهِ إِذَا انْفَرَدَ عَنِ الْقَتْلِ وَجْهَانِ

Adapun mengenai pertimbangan tentang tempat penyimpanan (ḥirz), jika harta itu bersama pemiliknya atau berada di tempat yang dapat dilihat oleh pemiliknya dan ia mampu mencegah orang yang bukan perampok atau bukan penyerang, maka harta tersebut dianggap berada dalam perlindungan (ḥirz). Dalam kasus ḥirābah, berlaku hukum penyaliban jika disertai dengan pembunuhan, dan mengenai penerapan hukum potong tangan jika tidak disertai pembunuhan terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقْطَعُ وَلَا يُعْتَبَرُ فِيهِ الْحِرْزُ؛ لِأَنَّ الْأَحْرَازَ لَا تُؤَثِّرُ مَعَ الْقَاهِرِ الْمُغَالِبِ

Salah satunya dipotong dan tidak dipertimbangkan adanya ḥirz, karena ḥirz tidak berpengaruh terhadap orang yang memaksa dan mengalahkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يقطع ولا يعتبر فِيهِ الْحِرْزُ؛ لِأَنَّ غَيْرَ الْمُحْرَزِ مَبْذُولٌ وَلِأَنَّ قَطْعَ الْحِرَابَةِ قَدْ تَغَلَّظَ مِنْ وَجْهٍ فَلَمْ تغلظ بِغَيْرِهِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak dipotong tangan dan tidak dianggap adanya ḥirz (tempat penyimpanan yang aman); karena sesuatu yang tidak berada dalam ḥirz adalah sesuatu yang terbuka, dan karena hukuman potong tangan dalam ḥirābah telah diperberat dari satu sisi, maka tidak diperberat dari sisi lainnya.

فَصْلٌ

Fasal

وَمَنْ لَمْ يَقْتُلْ وَلَمْ يَأْخُذِ الْمَالَ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ حَدٌّ وَعُزِّرَ لِخُرُوجِهِ فِي الْحِرَابَةِ كَمَا يُعَزَّرُ الْمُتَعَرِّضُ لِلزِّنَا بِالْقُبْلَةِ وَالْمُلَامَسَةِ وَالْمُتَعَرِّضُ لِلسَّرِقَةِ بِفَتْحِ الْبَابِ وَهَتْكِ الْحِرْزِ وَهَلْ يَتَعَيَّنُ جِنْسُ تَعْزِيرِهِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Barangsiapa yang tidak membunuh dan tidak mengambil harta, maka tidak wajib atasnya hudud, namun ia dikenai ta‘zīr karena keluar dalam perbuatan hirābah, sebagaimana orang yang melakukan percobaan zina dengan mencium dan menyentuh, serta orang yang melakukan percobaan pencurian dengan membuka pintu dan merusak tempat penyimpanan. Apakah jenis ta‘zīr yang dijatuhkan harus tertentu atau tidak, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَتَعَيَّنُ ويعزر الْإِمَامُ بِمَا يَرَاهُ مِنْ ضَرْبٍ أَوْ حَبْسٍ أَوْ نَفْيٍ كَسَائِرِ مَا يَقْتَضِي التَّعْزِيرَ وَعَلَى هذا رَأَى الْإِمَامُ تَرْكَ تَعْزِيرِهِ وَالْعَفْوَ عَنْهُ جَازَ

Salah satunya tidak ditentukan, dan imam dapat memberikan ta‘zīr sesuai yang dipandangnya, baik berupa pemukulan, penahanan, atau pengasingan, sebagaimana bentuk-bentuk ta‘zīr lainnya. Berdasarkan hal ini, jika imam memandang untuk tidak menjatuhkan ta‘zīr dan memaafkannya, maka hal itu diperbolehkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ تَعْزِيرَهُ مُتَعَيَّنٌ بِالْحَبْسِ لِأَنَّهُ أَكُفُّ لَهُ عَنْ أَذِيَّةِ النَّاسِ اقْتِدَاءً بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَعَلَى هَذَا لَوْ رَأَى الْإِمَامُ تَرْكَ تَعْزِيرِهِ لَمْ يَجُزْ إلا أن تظهر توبته واختلف من قال بهذا من أصحابا هل يحبس في بلده أو غيره بلده عَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua adalah bahwa ta‘zīr terhadapnya harus dilakukan dengan penjara, karena itu lebih menahan dirinya dari menyakiti orang lain, mengikuti teladan ‘Umar bin al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu. Berdasarkan hal ini, jika imam memandang untuk tidak menjatuhkan ta‘zīr kepadanya, maka itu tidak boleh kecuali jika tampak tobatnya. Di antara para ulama yang berpendapat demikian terdapat perbedaan, apakah ia dipenjara di negerinya sendiri atau di negeri lain, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا يُحْبَسُ فِي بَلَدِهِ؛ لِأَنَّ الْحَبْسَ مَانِعٌ وَهَذَا مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ

Salah satunya adalah ditahan di negerinya; karena penahanan merupakan penghalang, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ يُحْبَسُ فِي غَيْرِ بَلَدِهِ؛ لِأَنَّ النَّفْيَ فِي الْحِرَابَةِ مَنْصُوصٌ عَلَيْهِ وَهُوَ زِيَادَةٌ فِي حَدِّ الزِّنَا لِمَا فِيهِ مِنْ ذُلِّ الْغُرْبَةِ بِالْبُعْدِ عن أهله وَالْوَطَنِ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ مَذْهَبَ مَالِكٍ وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِالْحَبْسِ فِي تَقْدِيرِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas bin Surayj, adalah bahwa pelaku dipenjara di luar negerinya; karena pengasingan dalam kasus hirabah telah disebutkan secara tegas, dan hal itu merupakan tambahan dalam hudud zina karena mengandung kehinaan akibat keterasingan, yaitu terpisah dari keluarga dan tanah airnya. Pendapat ini mirip dengan mazhab Malik. Para ulama yang berpendapat dengan hukuman penjara berbeda pendapat dalam menentukan lamanya, dengan dua pendapat.

أحدهما أنه غير مقدر بمدة ويعتبر فِيهِ الْإِنَابَةُ وَظُهُورُ التَّوْبَةِ

Pertama, bahwa hal itu tidak ditentukan dengan batas waktu tertentu dan yang menjadi pertimbangan di dalamnya adalah adanya penggantian (al-inābah) dan tampaknya tanda-tanda tobat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ مُقَدَّرٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أُقِيمَ فِي الْحِرَابَةِ مَقَامَ الْحَدِّ وَاخْتَلَفَ الْقَائِلُونَ بِذَلِكَ فِي مِقْدَارِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua adalah bahwa hal itu ditentukan kadarnya; karena dalam kasus hirābah, hal tersebut ditempatkan sebagai pengganti hadd, dan para ulama yang berpendapat demikian berbeda pendapat mengenai kadarnya menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ بن الزُّبَيْرِيِّ أَنَّهُ مُقَدَّرٌ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ لَا يُنْقَصُ منها ولا يزاد عليها؛ لئلا لا يَزِيدَ عَلَى تَغْرِيبِ الزِّنَا فِي حَدِّ الْعَبْدِ

Salah satunya, yaitu pendapat Abu Abdillah bin Zubairi, bahwa masa tersebut ditetapkan selama enam bulan, tidak boleh dikurangi maupun ditambah; agar tidak melebihi masa pengasingan (taghrīb) dalam hukuman zina pada budak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ مُقَدَّرٌ بِسَنَةٍ يُنْقَصُ فيها وَلَا يُزَادُ عَلَيْهَا لِئَلَّا يَزِيدَ عَلَى تَغْرِيبِ الحد فِي حَدِّ الزِّنَا وَيُنْقَصُ مِنْهُ وَلَوْ بِيَوْمٍ؛ لِئَلَّا يَبْلُغَ بِمَا لَيْسَ بِحَدٍّ حَدًّا كَمَا لَا يَبْلُغُ بِالضَّرْبِ فِي التَّعْزِيرِ أَدْنَى الْحُدُودِ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang tampak dari Abu al-‘Abbas bin Surayj, adalah bahwa hukuman tersebut ditetapkan selama satu tahun, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh ditambah, agar tidak melebihi masa pengasingan dalam had untuk zina. Hukuman itu boleh dikurangi, meskipun hanya satu hari, agar sesuatu yang bukan had tidak mencapai kadar had, sebagaimana hukuman cambuk dalam ta‘zir tidak boleh mencapai batas minimum had.

فصل

Bab

ومن فعل الْحِرَابَةِ مِنَ الْمَعَاصِي مَا سِوَى الْقَتْلِ وَأَخْذِ الْمَالِ كَالزِّنَا وَشُرْبِ الْخَمْرِ فَحَدُّهُ فِي الْحِرَابَةِ كَحَدِّهِ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ وَلَا يَتَغَلَّظُ حَدُّهُ في الحرابة بخلاف القتل حين يغلظ في الحرابة بانحتامه وأخذ المال حين يغلظ بِزِيَادَةِ قَطْعِ الرِّجْلِ

Barang siapa melakukan perbuatan hirābah dari maksiat selain pembunuhan dan perampasan harta, seperti zina dan minum khamar, maka hukumannya dalam hirābah sama dengan hukumannya di luar hirābah, dan hukumannya tidak diperberat dalam hirābah. Berbeda halnya dengan pembunuhan, di mana hukumannya diperberat dalam hirābah dengan kewajiban pelaksanaannya, dan perampasan harta, di mana hukumannya diperberat dengan tambahan pemotongan kaki.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ مَقْصُودَ الْحِرَابَةِ هُوَ الْقَتْلُ وَأَخْذُ الْمَالِ دُونَ مَا عداهما من سائر المعاصي فتغلظ فيها ما كان مقصوداً بها ولم يتغلظ منها ما لم يكن مقصوداً بها والله أعلم

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa tujuan utama dari hirābah adalah pembunuhan dan pengambilan harta, bukan selain keduanya dari berbagai maksiat lainnya. Maka, hukuman diperberat pada apa yang menjadi tujuannya, dan tidak diperberat pada apa yang bukan menjadi tujuannya. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وقطاع الطريق هم الذين يعترضون بالسلام القوم حَتَّى يَغْصِبُوهُمُ الْمَالَ فِي الصَّحَارِي مُجَاهَرَةً وَأَرَاهُمْ فِي الْمِصْرِ إِنْ لَمْ يَكُونُوا أَعْظَمَ ذَنْبًا فحدودهم واحدة

Imam Syafi‘i berkata, “Para perampok jalanan adalah orang-orang yang menghadang suatu kaum di jalan dengan kekerasan hingga mereka merampas harta mereka di padang pasir secara terang-terangan. Dan aku memandang bahwa mereka yang melakukan hal serupa di dalam kota, jika tidak lebih besar dosanya, maka hukuman hudud mereka sama.”

قال الماوردي قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمُحَارِبِينَ مِنْ قُطَّاعِ الطَّرِيقِ هُمُ الَّذِينَ يَعْتَرِضُونَ النَّاسَ بِالسِّلَاحِ جَهْرًا وَيَأْخُذُونَ أموالهم مغالبة وقهراً وسواء كانوا في صحراء أو مصر يجري عليه فِي الْمَوْضِعَيْنِ حُكْمُ الْحِرَابَةِ

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa para muharibin dari kelompok perampok jalanan adalah mereka yang menghadang orang-orang dengan senjata secara terang-terangan dan mengambil harta mereka dengan kekerasan dan paksaan. Baik mereka melakukannya di padang pasir maupun di kota, pada kedua tempat tersebut berlaku hukum hirabah.

وَقَالَ مَالِكٌ لَا يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ الْحِرَابَةِ إِلَّا أَنْ يَكُونُوا خَارِجَ الْمِصْرِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ فَصَاعِدًا

Malik berkata, hukum hirābah tidak berlaku atas mereka kecuali jika mereka berada di luar kota sejauh tiga mil atau lebih.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ الْحِرَابَةِ فِي الْمِصْرِ وَلَا فِيمَا قَارَبَهُ مِنْ خَارِجِ المصر إذا كانا بِحَيْثُ يُدْرِكُهُمْ فِي الْوَقْتِ غَوْثُ أَهْلِ الْمِصْرِ وَيَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُهَا إِذَا كَانُوا فِي صَحْرَاءَ لَا يُدْرِكُهُمْ غَوْثُ الْمِصْرِ؛ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ إِدْرَاكَ الْغَوْثِ يَنْفِي حُكْمَ الْحِرَابَةِ كَمَنْ كَبَسَ دَارًا فِي الْمِصْرِ فَنَهَبَهَا

Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum hirabah tidak berlaku atas mereka di dalam kota maupun di daerah sekitar kota jika masih memungkinkan pertolongan dari penduduk kota tersebut datang kepada mereka pada waktunya. Namun, hukum hirabah berlaku atas mereka jika mereka berada di padang pasir yang tidak memungkinkan datangnya pertolongan dari kota. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa kemungkinan datangnya pertolongan meniadakan hukum hirabah, seperti halnya seseorang yang menyerang sebuah rumah di dalam kota lalu menjarahnya.

وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا المائدة 33 وَلَمْ يَخُصَّ وَلِأَنَّ كُلَّ سَبَبٍ وَجَبَ بِهِ الْحَدُّ فِي غَيْرِ الْمِصْرِ وَجَبَ بِهِ ذَلِكَ الْحَدُّ فِي الْمِصْرِ كَالزِّنَا وَالْقَذْفِ وشرب الخمر ولأنهم في المصر أغلظ جُرْمًا مِنَ الصَّحْرَاءِ لِثَلَاثَةِ أُمُورٍ

Dan dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi…” (al-Mā’idah: 33), dan tidak ada pengecualian. Karena setiap sebab yang mewajibkan had di luar kota, maka sebab itu juga mewajibkan had di dalam kota, seperti zina, qadzaf, dan minum khamar. Selain itu, karena mereka yang melakukannya di dalam kota lebih besar dosanya daripada di padang pasir, karena tiga hal.

أَحَدُهَا أَنَّ الْأَغْلَبَ أَمْنُ الْمِصْرِ وَخَوْفُ الصَّحْرَاءِ

Salah satunya adalah bahwa yang lebih dominan adalah keamanan di kota dan rasa takut di padang pasir.

وَالثَّانِي أَنَّ الْمِصْرَ فِي قَبْضَةِ السُّلْطَانِ دُونَ الصَّحْرَاءِ

Yang kedua, bahwa kota berada dalam kekuasaan penguasa, tidak seperti padang pasir.

وَالثَّالِثُ أَنَّ الْمِصْرَ يَجْمَعُ فِي الْأَغْلَبِ مُلْكَ الْإِنْسَانِ وَلَا تَجْمَعُهُ الصَّحْرَاءُ فَكَانَ أَحْسَنَ أَحْوَالِهِمْ أَنْ يَكُونُوا فِي أَغْلَظِ الْأَمْرَيْنِ كَأَخَفِّهِمَا

Ketiga, bahwa sebuah kota pada umumnya mencakup kepemilikan manusia, sedangkan padang pasir tidak demikian. Maka, keadaan terbaik mereka adalah memperlakukan kondisi yang lebih berat di antara dua perkara itu seperti yang lebih ringan di antaranya.

فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بكبس الدار في المصر فسنذكر من حُكْمِ الْمِصْرِ مَا يَكُونُ انْفِصَالًا عَنْهُ

Adapun beristidlal dengan mengunci rumah di dalam kota, maka kami akan menyebutkan hukum kota yang merupakan bagian terpisah darinya.

فَصْلٌ

Fasal

أما الصَّحْرَاءُ فَلَا فَرْقَ فِيهَا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ بَيْنَ مَا قَرُبَ مِنَ الْمِصْرِ أَوْ بَعُدَ عَنْهُ وَأَمَّا الْقُرَى الَّتِي يَقِلُّ جَمْعُهَا فَهِيَ كَالصَّحْرَاءِ فِي ثُبُوتِ حُكْمِ الْحِرَابَةِ فِيهَا وَأَمَّا الْأَمْصَارُ الْكِبَارُ الَّتِي لَا يُقَاوِمُونَ جَمِيعَ أَهْلِهَا فَيَجْرِي عَلَيْهِمْ فِي أَطْرَافِهَا حُكْمُ الْحِرَابَةِ كَالْقُرَى وَأَمَّا وَسَطُ الْمَصْرِ فِي الْمَوَاضِعِ الَّتِي يَتَكَاثَرُ النَّاسُ فِيهَا مِنْ أَسْوَاقِهِمْ وَدُورِهِمْ إِذَا كَبَسُوا سُوقًا مِنْهَا فَنَهَبُوهَا أَوْ دَارًا فَأَخَذُوا مَا فِيهَا فَفِي جَرَيَانِ حُكْمِ الْحِرَابَةِ عَلَيْهِمْ وَجْهَانِ

Adapun padang pasir, menurut Imam Syafi‘i, tidak ada perbedaan antara yang dekat dengan kota atau yang jauh darinya. Adapun desa-desa yang penduduknya sedikit, maka hukumnya seperti padang pasir dalam penetapan hukum ḥirābah di dalamnya. Adapun kota-kota besar yang seluruh penduduknya tidak mampu dilawan, maka di pinggiran kota tersebut berlaku hukum ḥirābah seperti pada desa-desa. Adapun bagian tengah kota, yaitu di tempat-tempat yang penduduknya banyak seperti pasar-pasar dan rumah-rumah mereka, jika mereka menyerbu salah satu pasar lalu menjarahnya, atau menyerbu sebuah rumah lalu mengambil isinya, maka dalam penerapan hukum ḥirābah atas mereka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حكم الحرابة؛ لأنهم يعلنوا بالسلاح جهراً كَالصَّحْرَاءِ وَحَدُّ الْحِرَابَةِ أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى دَفْعِ الْمُحَارِبِ وَهَذَا مَوْجُودٌ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat mayoritas ulama mazhab kami, adalah bahwa terhadap mereka diberlakukan hukum hirabah, karena mereka menampakkan senjata secara terang-terangan seperti di padang pasir. Batasan hirabah adalah ketika tidak mampu menolak penyerang, dan hal ini terdapat pada kasus tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قول الأقلين واختيار أبي حامد الإسفراييني أنه لا تجري عَلَيْهِمْ حُكْمُ الْحِرَابَةِ لِوُجُودِ الْغَوْثِ فِيهِ غَالِبًا فسقط حكم نادره

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat sebagian kecil ulama dan pilihan Abu Hamid al-Isfara’ini, adalah bahwa hukum hirabah tidak berlaku atas mereka karena biasanya terdapat pertolongan di dalamnya, sehingga hukum untuk kasus yang jarang terjadi menjadi gugur.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُقْطَعُ مِنْهُمْ إِلَّا مَنْ أَخَذَ رُبُعَ دِينَارٍ فَصَاعِدًا قِيَاسًا عَلَى السُّنَّةِ فِي السَّارِقِ

Imam Syafi‘i berkata, “Tidak dipotong tangan mereka kecuali bagi yang mengambil seperempat dinar atau lebih, berdasarkan qiyās terhadap sunnah dalam kasus pencuri.”

قال الماوردي قد ذكرنا اعْتِبَارَ النِّصَابِ فِي قَطْعِ الْحِرَابَةِ كَاعْتِبَارِهِ فِي قَطْعِ السَّرِقَةِ وَقِيمَةُ الْمَأْخُوذِ مُعْتَبَرَةٌ فِي زَمَانِ الْأَخْذِ وَفِي مَكَانِهِ إِنْ كَانَ مَوْضِعًا جَرَتِ الْعَادَةُ فِيهِ بِبَيْعٍ وَشِرَاءٍ وَيُوجَدُ فِيهِ مَنْ يَبِيعُ وَيَشْتَرِي وَإِنْ كَانَ لَا يُوجَدُ ذَلِكَ فِيهِ اعْتُبِرَتْ قِيمَتُهُ فِي أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ الَّتِي يوجد فيها بيع ذلك وشراؤه من القيم لا يعرف إِلَّا بِوُجُودِ مُشْتَرِيهِ وَلَا تُعْتَبَرُ قِيمَةُ ذَلِكَ عِنْدَ اسْتِسْلَامِ النَّاسِ لِأَخْذِ أَمْوَالِهِمْ بِالْقَهْرِ وَالْغَلَبَةِ لأمرين

Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan bahwa penetapan nisab dalam penerapan hukuman hirabah sama seperti penetapannya dalam hukuman pencurian. Nilai barang yang diambil diperhitungkan pada waktu dan tempat pengambilan, jika tempat tersebut memang biasa terjadi jual beli dan terdapat orang yang menjual dan membeli di sana. Namun, jika tidak ada hal tersebut di tempat itu, maka nilainya diperhitungkan di tempat terdekat di mana barang itu biasa dijual dan dibeli, karena nilai suatu barang hanya dapat diketahui dengan adanya pembeli. Nilai barang tersebut tidak diperhitungkan pada saat orang-orang menyerahkan harta mereka karena dipaksa dan dikalahkan, karena dua hal.

أحدهما أنه لا قيمة لمال فِي تِلْكَ الْحَالِ الْمُتْلِفَةِ لِلْأَمْوَالِ

Pertama, bahwa tidak ada nilai harta pada keadaan yang merusak harta tersebut.

والثاني أنه نقض حدث وتجدد لمعصيتهم فلم يتحقق بِهِ غُرْمُهُمْ وَتُعْتَبَرُ قِيمَتُهُ فِي الْأَغْلَبِ مِنْ أَحْوَالِ السَّلَامَةِ وَهَذِهِ صِفَةُ الْقِيمَةِ فِي اعْتِبَارِ النصاب وفي غرم المستهلك

Kedua, bahwa itu adalah hadats yang membatalkan dan terjadi kembali karena kemaksiatan mereka, sehingga tidak terwujud tanggungan kerugian atas mereka. Nilainya dipertimbangkan pada kebanyakan keadaan ketika dalam kondisi selamat, dan inilah sifat nilai dalam pertimbangan nisab dan dalam kerugian atas barang yang dikonsumsi.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيُحَدُّ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ بِقَدْرِ فِعْلِهِ فَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَتْلُ وَالصَّلْبُ قَتَلَهُ قَبْلَ صَلْبِهِ كَرَاهِيَةَ تَعْذِيبِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِ قَتْلِ الْعَمْدِ يصلب ثلاثا ثم يترك

Imam Syafi‘i berkata, “Setiap laki-laki di antara mereka dihukum sesuai dengan perbuatannya. Barang siapa yang wajib dibunuh dan disalib, maka ia dibunuh terlebih dahulu sebelum disalib, karena tidak disukai menyiksanya. Dan beliau berkata dalam Kitab Qatl al-‘Amd, ‘Disalib selama tiga hari kemudian dibiarkan.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي أَحْكَامِ الْمُقَدِّمَةِ وَذَكَرْنَا أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ المحاربين يعاقب بحسب دينه وَلَا يَجِبُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ إِلَّا بِإِقْرَارِهِمْ طَوْعًا أَوْ قِيَامِ بَيِّنَةٍ عَلَيْهِمْ بِشَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ كَمَا بَيَّنَّا فِي قَطْعِ السَّرِقَةِ فَإِنْ شَهِدَ بِذَلِكَ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَجَبَ الْغُرْمُ دُونَ الْحَدِّ فَأَمَّا الْمَوْضِعُ الَّذِي يُقَامُ فِيهِ الْحُدُودُ عَلَيْهِمْ مِنْ قَتْلٍ وَصَلْبٍ فَهُوَ الْمَوْضِعُ الَّذِي حَارَبُوا فِيهِ وَقَتَلُوا إِذَا شَاهَدَهُمْ فِيهِ مَنْ يَرْتَدِعُ بِهِمْ من غواة الناس فإن كَانَتْ حِرَابَتُهُمْ فِي مَفَازَةٍ نُقِلُوا إِلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ بِهَا مِنَ الْأَمْصَارِ الَّتِي يَكْثُرُ فِيهَا أَهْلُ الْفَسَادِ وَلَا يُؤَخَّرُ قَتْلُهُمْ إِلَّا قَدْرَ استبراء أحوالهم

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas dalam hukum-hukum pendahuluan, dan kami telah menyebutkan bahwa setiap orang dari para pemberontak dihukum sesuai dengan agamanya, dan hal itu tidak wajib atas mereka kecuali dengan pengakuan mereka secara sukarela atau adanya bukti yang sah atas mereka dengan dua orang saksi yang adil, sebagaimana telah kami jelaskan dalam hukum potong tangan pencuri. Jika yang bersaksi adalah satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, maka wajib dikenakan ganti rugi tanpa hukuman had. Adapun tempat pelaksanaan hukuman had atas mereka, seperti hukuman mati dan penyaliban, adalah tempat di mana mereka melakukan pemberontakan dan pembunuhan, jika di sana ada orang yang dapat mengambil pelajaran dari hukuman tersebut di antara para pelaku kejahatan. Jika pemberontakan mereka terjadi di padang pasir, maka mereka dipindahkan ke kota terdekat dari daerah yang banyak penduduknya yang rusak, dan pelaksanaan hukuman mati atas mereka tidak boleh ditunda kecuali sekadar memastikan keadaan mereka.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَتْلُ دُونَ الصَّلْبِ قُتِلَ وَدُفِعَ إِلَى أَهْلِهِ يُكَفِّنُونَهُ

Imam Syafi‘i berkata, “Barang siapa yang wajib dihukum mati tanpa disalib, maka ia dibunuh dan diserahkan kepada keluarganya untuk dikafani.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لَا يُسْقِطُ قَتْلُهُمْ فِي الْحِرَابَةِ فَرْضَ الله فيهم في غُسْلِهِمْ وَتَكْفِينِهِمْ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ وَدَفْنِهِمْ؛ لِأَنَّهَا حُقُوقٌ وجبت لحرمه إسلامهم فإن التمسوهم أَهْلُهُمْ سُلِّمُوا إِلَيْهِمْ لِيَقُومُوا بِذَلِكَ فِيهِمْ وَإِنْ بقوا ضيعة قام بهم الإمام من بيت المال وكان له لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِمْ وَكَرِهَ لَهُ مَالِكٌ أَنْ يَتَوَلَّى الصَّلَاةَ عَلَيْهِمْ بِنَفْسِهِ بَعْدَ قِيَامِهِ بِقَتْلِهِمْ وَلَيْسَ هَذَا بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ إِقَامَةَ الْحُدُودِ لا تسقط الحقوق ولأن يتولى الْأَمْرَيْنِ أَوْلَى مِنْ تَرْكِ أَحَدِهِمَا

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, pembunuhan mereka dalam kasus hirabah tidak menggugurkan kewajiban Allah atas mereka berupa memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan mereka; karena itu adalah hak-hak yang wajib untuk menjaga kehormatan keislaman mereka. Jika keluarga mereka meminta jenazahnya, maka jenazah itu diserahkan kepada mereka agar mereka dapat melaksanakan kewajiban tersebut. Jika jenazah mereka tetap tidak terurus, maka imam bertanggung jawab atas mereka dari baitul mal, dan imam boleh menshalatkan mereka. Malik memakruhkan imam untuk menshalatkan mereka sendiri setelah melaksanakan hukuman mati terhadap mereka, namun pendapat ini tidak benar; karena pelaksanaan hudud tidak menggugurkan hak-hak tersebut, dan mengurus kedua urusan itu lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.”

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي ” وَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَطْعُ دُونَ الْقَتْلِ قُطِعَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى ثُمَّ حُسِمَتْ بِالنَّارِ ثُمَّ رِجْلُهُ الْيُسْرَى ثُمَّ حُسِمَتْ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ ثُمَّ خلي

Imam Syafi‘i berkata, “Barang siapa yang wajib dikenai hukuman potong (anggota badan) tanpa hukuman mati, maka dipotong tangan kanannya, kemudian diseterika dengan api, lalu dipotong kaki kirinya, kemudian diseterika di tempat yang sama, lalu dilepaskan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا فِي أَحْكَامِ الْأَقْسَامِ حُكْمَ الْقَطْعِ فِي أَخْذِ الْمَالِ وَحْدَهُ وَأَنَّهُ يُجْمَعُ بَيْنَ قَطْعِ يَدِهِ الْيُمْنَى وَرِجْلِهِ الْيُسْرَى لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ المائدة 33 فإن قطع متولي الْأَمْرِ يُمْنَى يَدَيْهِ وَيُمْنَى رِجْلَيْهِ تَعَدَّى وَلَزِمَهُ الْقَوَدُ فِي يُمْنَى رِجْلَيْهِ إِنْ عَمَدَ وَدِيَتُهَا إن أخطأ ولم يسقط بذلك قطع رِجْلُهُ الْيُسْرَى وَلَوْ قَطَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى وَرِجْلَهُ الْيُمْنَى أَسَاءَ وَلَمْ يَضْمَنْ وَوَقَعَ ذَلِكَ مَوْقِعَ الْإِجْزَاءِ

Al-Mawardi berkata: Kami telah menjelaskan dalam bab hukum sumpah tentang hukum pemotongan (anggota tubuh) dalam kasus pencurian harta saja, dan bahwa yang dilakukan adalah memotong tangan kanannya dan kaki kirinya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang” (Al-Ma’idah: 33). Maka jika penguasa memotong kedua tangan kanan dan kaki kanan seseorang, ia telah melampaui batas dan wajib dikenakan qishāsh pada kaki kanannya jika sengaja, dan membayar diyat jika keliru, dan pemotongan kaki kirinya tidak gugur karenanya. Jika ia memotong tangan kiri dan kaki kanan, maka ia telah berbuat salah, namun tidak wajib mengganti, dan hal itu dianggap cukup (sebagai pelaksanaan hukuman).

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ قَطْعَهُمَا مِنْ خِلَافٍ نص يوجب مُخَالَفِهِ الضَّمَانَ وَتَقْدِيمُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فِي الحرابة اجتهاد فسقط لمخالفه الضَّمَانُ وَإِذَا قَطَعَ حُسِمَ بِالزَّيْتِ الْمَغْلِيِّ أَوْ بِالنَّارِ بِحَسَبِ الْعُرْفِ فِيهِمَا فَإِنْ أَحَبَّ الْمَقْطُوعُ أن يترك حسمه بالنار أو بالزيت فَفِيهِ وَجْهَانِ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pemotongan keduanya secara bersilang merupakan nash yang mewajibkan bagi pelanggarnya untuk menanggung ganti rugi, sedangkan mendahulukan tangan kanan atas tangan kiri dalam kasus hirabah adalah hasil ijtihad, sehingga gugur kewajiban ganti rugi bagi yang melanggarnya. Jika telah dipotong, maka luka tersebut dibakar dengan minyak panas atau dengan api sesuai kebiasaan yang berlaku pada keduanya. Jika orang yang dipotong anggota tubuhnya ingin meninggalkan pembakaran dengan api atau minyak, maka ada dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يُجَابُ إِلَى ذَلِكَ وَلَا يُحْسَمُ؛ لِأَنَّهُ عِلَاجٌ لَا يُجْبَرُ عَلَيْهِ كَالدَّوَاءِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa permintaan itu dikabulkan namun tidak dilakukan pemotongan; karena hal itu merupakan bentuk pengobatan yang tidak diwajibkan, seperti halnya obat-obatan.

وَالثَّانِي لَا يُجَابُ إِلَيْهِ وَيُحْسَمُ جَبْرًا حِرَاسَةً لِنَفْسِهِ وَإِنَّ فِعْلَهُ غَيْرُ مَوْقُوفٍ عَلَى إِذْنِهِ لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِهِ وَلَا يُشَهَّرُ بَعْدَ قَطْعِهِ؛ لِأَنَّهُ زِيَادَةُ نَكَالٍ بَعْدَ اسْتِيفَاءِ الْحَدِّ إِلَّا أَنْ يَرَى الإمام أن قطعه لم يشتهر فِي أَهْلِ الْفَسَادِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُشَهِّرَ قدر ما يشتهر فيهم حاله ويخليه ليتصرف لنفسه أَيْنَ شَاءَ

Adapun yang kedua, tidak dikabulkan permintaannya dan dipotong secara paksa demi menjaga keselamatan dirinya. Pelaksanaan hukuman ini tidak bergantung pada izinnya karena perintah Rasulullah saw. tentang hal itu. Setelah dipotong, ia tidak dipermalukan di muka umum, karena itu merupakan tambahan hukuman setelah pelaksanaan had, kecuali jika imam melihat bahwa pemotongan tersebut belum diketahui oleh para pelaku kejahatan, maka tidak mengapa untuk mempermalukannya sekadar agar keadaannya diketahui di kalangan mereka, kemudian ia dibiarkan untuk mengurus dirinya sendiri ke mana pun ia mau.

فَأَمَّا الْمَقْطُوعُ مِنْ أَطْرَافِهِ فَيُدْفَنُ وَلَا يُسْتَبْقَى إِلَّا أَنْ يَرَى الْإِمَامُ إِشْهَارَ أطرافه لِيَرْتَدِعَ بِهَا النَّاسُ فَلَا بَأْسَ بِهِ فَإِنِ الْتَمَسَ الْمَقْطُوعُ أَطْرَافَ نَفْسِهِ كَانَ أَحَقَّ بِهَا ليتولى دفنها فإن أراد استبقائها لِتُدْفَنَ مَعَهُ إِذَا مَاتَ مُنِعَ

Adapun anggota tubuh yang terpotong, maka harus dikuburkan dan tidak boleh disimpan, kecuali jika imam memandang perlu untuk menampakkan anggota tubuh tersebut agar orang-orang jera, maka hal itu tidak mengapa. Jika orang yang terpotong anggota tubuhnya meminta anggota tubuhnya sendiri, maka ia lebih berhak atasnya untuk menguburkannya sendiri. Namun, jika ia ingin menyimpannya agar dikuburkan bersamanya ketika ia meninggal, maka hal itu tidak diperbolehkan.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي ” وَمَنْ حَضَرَ مِنْهُمْ وَكَثُرَ أَوْ هِيبَ أَوْ كَانَ رِدْءًا عُزِّرَ وَحُبِسَ

Imam Syafi‘i berkata, “Siapa saja dari mereka yang hadir dan jumlahnya banyak, atau menimbulkan rasa takut, atau menjadi pendukung, maka ia dikenai ta‘zir dan dipenjara.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صحيح حدود الله تعالى عَلَى مَنْ بَاشَرَهَا دُونَ الرِّدْءِ الْمُعَاوِنِ عَلَيْهَا تيكيثر أو تهييب أَوْ نُصْرَةٍ

Al-Mawardi berkata: “Dan ini benar, bahwa hudud Allah Ta‘ala diberlakukan atas orang yang langsung melakukannya, bukan atas orang yang membantu, mendukung, menakut-nakuti, atau menolong dalam pelaksanaannya.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ الرِّدْءُ الْمُكْثِرُ فِيهَا وَالْمُهِيبُ كَالْمُبَاشِرِ فِي إِقَامَةِ الْحَدِّ عَلَيْهِ وَإِنْ قُتِلَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ قُتِلُوا وَإِنْ أَخَذَ وَاحِدٌ مِنْهُمُ الْمَالَ قُطِعُوا؛ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ في الأرض فساداً المائدة 33 الآية فعم ولم يخص

Abu Hanifah berkata: Orang yang membantu secara banyak dalam perbuatan itu dan yang menakut-nakuti, hukumnya seperti pelaku langsung dalam penegakan hudud atasnya. Jika salah satu dari mereka membunuh, maka mereka semua dibunuh; dan jika salah satu dari mereka mengambil harta, maka mereka semua dipotong tangannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi…” (Al-Ma’idah: 33), maka ayat ini bersifat umum dan tidak dikhususkan.

وَبِرِوَايَةِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ طَهْمَانَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا يَحِلُّ قَتْلُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا فِي ثلاث خصال زان محصن فيرجم ورجل قتل مُتَعَمِّدًا فَيُقْتَلُ بِهِ وَرَجُلٌ خَرَجَ عَلَى الْإِمَامِ فحارب اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَيُقْتَلُ أَوْ يُصْلَبُ أَوْ يُنْفَى مِنَ الْأَرْضِ فَعَمَّ فِي الْمُحَارِبِ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ مُبَاشِرٍ وَمُكْثِرٍ

Dalam riwayat Ibrahim bin Tahman dari Abdul Aziz bin Rufai‘ dari Ubaid bin Umair dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal darah seorang Muslim ditumpahkan kecuali karena tiga hal: pezina muhshan, maka ia dirajam; seseorang yang membunuh dengan sengaja, maka ia dibunuh sebagai qisas; dan seseorang yang memberontak terhadap imam, memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka ia dibunuh, atau disalib, atau diasingkan dari bumi.” Maka dalam hal muharib (pemberontak), beliau menggeneralisasi dan tidak membedakan antara pelaku langsung dan yang memperbanyak (ikut serta).

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ حُكْمٌ يَتَعَلَّقُ بِالْمُحَارَبَةِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ الرِّدْءُ والمباشر كَالْغَنِيمَةِ الَّتِي يَشْتَرِكُ فِي اسْتِحْقَاقِهَا الْمُقَاتِلُ وَالْحَاضِرُ؛ لأنها ترغيب كذلك الحدود في المحاربة لأنها ترهيب وَلِأَنَّ الْمُبَاشِرَ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْأَخْذِ إِلَّا بدفع الردء المكثر فصار الأخذ مضافاً إليه فَوَجَبَ أَنْ يُقَامَ الْحَدُّ عَلَيْهِمَا

Dan menurut qiyās, hukumnya berkaitan dengan peperangan, maka wajib disamakan antara pelaku utama dan pendukung, seperti harta rampasan perang yang hak memperolehnya dimiliki oleh para pejuang dan orang yang hadir; karena hal itu merupakan dorongan, demikian pula hudud dalam kasus peperangan karena ia merupakan pencegahan. Selain itu, pelaku utama tidak akan mampu mengambil (harta) kecuali dengan bantuan pendukung yang memperbanyak jumlah, sehingga pengambilan itu dinisbatkan juga kepadanya, maka wajib ditegakkan hudud atas keduanya.

وَدَلِيلُنَا رِوَايَةُ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ وَعَبْدِ الله بن عامر بن ربيعة قال كنا مع عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ مَحْصُورٌ فِي الدَّارِ فَسَمِعَ النَّاسَ فَتَغَيَّرَ لونه وقال إنهم ليتواعدوني بالقتل فقلنا يكفيهم الله يا أمير المؤمنين قال وبم يَقْتُلُونِي وَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ ” لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثلاث رجل كفر بعد إسلامه أو زنا بعد إحصانه أو قتل نفسا بِغَيْرِ نَفْسٍ وَوَاللَّهِ مَا زَنَيْتُ فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلَا إِسْلَامٍ قَطُّ وَلَا قَتَلْتُ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ وَلَا أَحْبَبُتُ أَنَّ لِي بِدِينِي بَدَلًا منذ هداني الله له فَبِمَ يَقْتُلُونَنِي

Dan dalil kami adalah riwayat dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunayf dan Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah. Mereka berkata: Kami bersama Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu ketika beliau terkepung di dalam rumah. Lalu beliau mendengar suara orang-orang, maka wajahnya berubah dan beliau berkata, “Sesungguhnya mereka mengancamku dengan pembunuhan.” Kami pun berkata, “Cukuplah Allah bagi mereka, wahai Amirul Mukminin.” Beliau berkata, “Dengan alasan apa mereka akan membunuhku, padahal aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: seseorang yang kafir setelah Islam, atau berzina setelah menikah, atau membunuh jiwa tanpa hak.’ Demi Allah, aku tidak pernah berzina baik di masa jahiliah maupun dalam Islam sama sekali, aku tidak pernah membunuh jiwa tanpa hak, dan aku tidak pernah menginginkan agama lain sebagai pengganti agamaku sejak Allah memberiku petunjuk kepadanya. Maka dengan alasan apa mereka akan membunuhku?”

وَرَوَى مَسْرُوقٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ ” قام رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَقَامِي هَذَا فَقَالَ وَالَذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَرَجُلٌ قَتَلَ فَأُقِيدَ وَالتَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ الْمُفَارِقُ لِلْإِسْلَامِ

Masruq meriwayatkan dari Abdullah bin Mas‘ud bahwa ia berkata, “Rasulullah ﷺ berdiri di tempatku ini lalu bersabda, ‘Demi Dzat yang tidak ada tuhan selain-Nya, tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: pezina muhshan, seseorang yang membunuh lalu dibalas (qishash), dan orang yang meninggalkan jamaah serta memisahkan diri dari Islam.’”

فَدَلَّ هَذَانِ الْحَدِيثَانِ على أن الردء لا يحل قبله؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ مِنْهُ إِحْدَى هَذِهِ الْخِصَالِ الثلاث

Maka kedua hadis ini menunjukkan bahwa pendamping (dalam pencurian) tidak boleh dihukum sebelum pelaku utama; karena pada dirinya tidak terdapat salah satu dari tiga sifat ini.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ حَدٌّ يَجِبُ بِارْتِكَابِ مَعْصِيَةٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ عَلَى الْمُعِينِ عَلَيْهَا كحد الزنا والقذف والسرقة وَلِأَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ يَقُولُ إِنَّ الرِّدْءَ لَا يُقْتَلُ إِذَا كَانَ الْمُبَاشِرُ امْرَأَةً فَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ رَجُلًا وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّ مَنْ لَمْ يُبَاشِرِ الْقَتْلَ وَالْأَخْذَ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ حَدُّهُمَا كَالْمَرْأَةِ إِذَا بَاشَرَتْ فَإِنْ قَالَ الْمَرْأَةُ لَا يجري عليها حكم الحرابة

Dan menurut qiyās, hukuman hudud itu wajib karena melakukan maksiat, maka seharusnya tidak wajib atas orang tertentu yang membantunya, seperti hudud zina, qadzaf, dan pencurian. Dan karena Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang membantu (dalam kejahatan) tidak dibunuh jika pelaku utamanya adalah seorang wanita, maka demikian pula jika pelaku utamanya adalah seorang laki-laki. Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa siapa saja yang tidak langsung melakukan pembunuhan atau perampasan, maka tidak wajib atasnya hukuman hudud tersebut, seperti halnya wanita jika ia yang melakukannya. Jika dikatakan bahwa wanita tidak berlaku atasnya hukum hirabah (perampokan bersenjata)…

قلنا تجري عَلَيْهَا عِنْدَنَا حُكْمُ الْحِرَابَةِ وَلِأَنَّ السَّبَبَ وَالْمُبَاشَرَةَ إذا اجتمعا وتعلق الضمان بالمباشرة سقط حُكْمُ السَّبَبِ كَالْمُمْسِكِ وَالذَّابِحِ وَحَافِرِ الْبِئْرِ وَالدَّافِعِ يَجِبُ الضَّمَانُ عَلَى الذَّابِحِ دُونَ الْمُمْسِكِ وَعَلَى الدَّافِعِ فِي الْبِئْرِ دُونَ الْحَافِرِ كَذَلِكَ اجْتِمَاعُ

Kami katakan bahwa atasnya berlaku hukum hirābah menurut kami, karena apabila sebab dan pelaku langsung berkumpul, dan tanggungan (jaminan) dibebankan kepada pelaku langsung, maka gugurlah hukum sebab, seperti kasus orang yang memegang dan yang menyembelih, serta orang yang menggali sumur dan yang mendorong ke dalamnya; kewajiban jaminan dibebankan kepada penyembelih, bukan kepada yang memegang, dan kepada yang mendorong ke dalam sumur, bukan kepada yang menggali. Demikian pula jika keduanya berkumpul.

الرِّدْءِ وَالْمُبَاشِرِ فِي الْحِرَابَةِ

Peran pendukung dan pelaku langsung dalam tindak pidana ḥirābah

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ أَنَّ الْقَتْلَ وَأَخْذَ الْمَالِ مُضْمَرَانِ فِيهَا فَكَأَنَّهُ قَالَ أَنْ يَقْتُلُوا إِنْ قَتَلُوا فإن قيل فيكون المضمر فيها أو قتل بعضهم لَمْ يَصِحَّ ذَلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap ayat tersebut adalah bahwa pembunuhan dan pengambilan harta tersirat di dalamnya, seakan-akan Allah berfirman: “agar mereka membunuh jika mereka membunuh.” Jika dikatakan: “Maka yang tersirat di dalamnya adalah membunuh sebagian dari mereka,” hal itu tidak sah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ زِيَادَةُ إِضْمَارٍ لَا يَفْتَقِرُ إِلَيْهَا الْكَلَامُ

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan tambahan penyisipan yang tidak diperlukan oleh kalimat.

وَالثَّانِي أَنَّ إِضْمَارَ مَا اتُّفِقَ عَلَيْهِ أَوْلَى مِنْ إِضْمَارِ مَا اخْتُلِفَ فِيهِ

Yang kedua, bahwa menganggap tersirat sesuatu yang telah disepakati lebih utama daripada menganggap tersirat sesuatu yang diperselisihkan.

وأما الجواب عن استدلاله بحديث عائشة رضي الله عنها فمن وجهين

Adapun jawaban atas argumentasinya dengan hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah dari dua sisi.

أحدهما أنه رَاوِيِهِ إِبْرَاهِيمَ بْنَ طَهْمَانَ وَقَدْ حَكَى الدَّارَقُطْنِيُّ عَنْ أَبِي بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيِّ قَالَ قُلْتُ لِمُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ يُحْتَجُّ بِحَدِيثِهِ قَالَ لَا

Salah satunya adalah bahwa perawinya adalah Ibrahim bin Tahman, dan Ad-Daraquthni telah meriwayatkan dari Abu Bakar An-Naisaburi yang berkata: Aku berkata kepada Muhammad bin Yahya, “Apakah hadis Ibrahim bin Tahman dapat dijadikan hujjah?” Ia menjawab, “Tidak.”

وَالثَّانِي أَنَّ الْقَتْلَ فِي الْحِرَابَةِ مُضْمَرٌ فِي الْخَبَرِ كَمَا كَانَ مُضْمَرًا فِي الآية

Kedua, bahwa hukuman mati dalam kasus hirābah tersirat dalam hadis sebagaimana juga tersirat dalam ayat.

وأما الجواب عن قياسهم على الْغَنِيمَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas qiyās mereka terhadap ghanīmah adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّا لَا نُسَلِّمُ لهم أن القتل والقطع يَجِبُ بِالْمُحَارَبَةِ وَإِنَّمَا يَجِبُ الْقَتْلُ بِالْقَتْلِ وَيَجِبُ الْقَطْعُ بِأَخْذِ الْمَالِ

Salah satunya adalah bahwa kami tidak menerima dari mereka bahwa hukuman mati dan pemotongan tangan wajib karena perbuatan hirabah, melainkan hukuman mati itu wajib karena pembunuhan, dan pemotongan tangan itu wajib karena pengambilan harta.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا شَارَكَ فِي الْغَنِيمَةِ مَنْ لَمْ يَشْهَدِ الْوَقْعَةَ مِنْ أَهْلِ الْخُمُسِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُشَارِكَ فِيهَا مَنْ شَهِدَهَا وَالْحِرَابَةُ لَا يُشَارِكُ فِيهَا مَنْ لَمْ يَشْهَدْهَا فَلَمْ يُشَارِكْ فِيهَا مَنْ لَمْ يُبَاشِرْهَا

Kedua, ketika dalam pembagian ghanimah (harta rampasan perang) terdapat pihak yang tidak ikut serta dalam pertempuran namun tetap mendapatkan bagian dari kalangan ahl al-khums, maka lebih utama lagi bagi mereka yang benar-benar hadir dalam pertempuran untuk mendapat bagian. Adapun dalam kasus hirabah (perampokan bersenjata), tidak ada pihak yang tidak hadir yang ikut serta di dalamnya, sehingga tidaklah mendapat bagian siapa pun yang tidak secara langsung terlibat.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِتَأْثِيرِ النُّصْرَةِ والتكثير فهو فاسد بِالْمُمْسِكِ وَالذَّابِحِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنْ لَا حَدَّ عَلَى الرِّدْءِ الْمُكْثِرِ وَالْمُهِيبِ فَعَلَيْهِمُ التَّعْزِيرُ أَدَبًا وَحَبْسًا وَقَدْ جَمَعَ الشَّافِعِيُّ بَيْنَهُمَا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَقَدْ ذَكَرْنَا مَذَاهِبَ أَصْحَابِهِ فِيهِ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan pengaruh pertolongan dan memperbanyak jumlah, maka itu batal dengan perbandingan kepada yang menahan dan yang menyembelih. Maka apabila telah tetap bahwa tidak ada had atas orang yang membantu memperbanyak dan menakut-nakuti, maka atas mereka dikenakan ta‘zīr berupa pendidikan dan penahanan. Imam Syafi‘i telah menggabungkan keduanya dalam masalah ini, dan kami telah menyebutkan mazhab para pengikut beliau di dalamnya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَمَنْ قَتَلَ وَجَرَحَ أُقِصَّ لِصَاحِبِ الْجَرْحِ ثُمَّ قطع لا يمنع حق الله حتى الآدميين في الجراح وغيرها

Imam Syafi‘i berkata, “Barang siapa membunuh dan melukai, maka pelaku qishash terhadap pemilik luka tersebut, kemudian pelaksanaan potong (hukuman had) tidak menghalangi hak Allah, bahkan terhadap sesama manusia dalam hal luka dan selainnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا جَرَحَ الْمُحَارِبُ فِي الْحِرَابَةِ رَجُلًا وَجَبَ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى والجروح قصاص المائدة 45 وفي انحتامه كالقتل قَوْلَانِ

Al-Mawardi berkata: Jika seorang pelaku hirabah melukai seseorang, maka wajib atasnya qishash, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “dan luka-luka pun ada qishash-nya” (Al-Ma’idah: 45). Adapun jika luka tersebut menyebabkan kematian, maka hukumnya seperti pembunuhan, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَشْهَرُ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ أَنَّهُ لَا يَنْحَتِمُ بِخِلَافِ الْقَتْلِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تعالى أغفل الْجِرَاحَ فِي آيَةِ الْحِرَابَةِ فَكَانَ بَاقِيًا عَلَى حُكْمِ أَصْلِهِ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْمَجْرُوحُ بِالْخِيَارِ فِي الْقِصَاصِ أَوْ أَخْذِ الدِّيَةِ أَوِ الْعَفْوِ عَنْهَا

Salah satu pendapat, dan ini yang lebih masyhur sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Muzani, adalah bahwa hukuman tidak menjadi pasti, berbeda dengan kasus pembunuhan; karena Allah Ta‘ala tidak menyebutkan luka-luka dalam ayat tentang hirabah, maka hukumnya tetap mengikuti hukum asalnya di luar kasus hirabah. Dengan demikian, orang yang terluka memiliki pilihan antara menuntut qishāsh, mengambil diyat, atau memaafkannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الْقِصَاصَ فِي الْجِرَاحِ مُنْحَتِمٌ كَانْحِتَامِهِ فِي الْقَتْلِ؛ لأنها وجميع الْأَطْرَافِ تَابِعَةٌ لِلنَّفْسِ فِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ وَسُقُوطِهِ فَكَانَتْ تَابِعَةً لَهَا فِي انْحِتَامِهِ فَعَلَى هَذَا يستوفيه الإمام حتما ولا تخيير فيه للمجروح

Pendapat kedua menyatakan bahwa qishāsh dalam kasus luka-luka adalah wajib, sebagaimana kewajibannya dalam kasus pembunuhan; karena luka-luka dan seluruh anggota tubuh merupakan bagian yang mengikuti jiwa dalam kewajiban qishāsh dan gugurnya, sehingga ia pun mengikutinya dalam kewajiban tersebut. Berdasarkan hal ini, imam wajib menegakkannya dan tidak ada pilihan bagi orang yang terluka.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ قَتَلَ الْمُحَارِبُ وَجَرَحَ كَانَ مَأْخُوذًا بِهِمَا فَيُجْمَعُ عَلَيْهِ بَيْنَ الْقَتْلِ وَالْجَرْحِ وَيَكُونُ الْقَتْلُ مُنْحَتِمًا

Jika seorang muḥārib membunuh dan melukai, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keduanya, sehingga dijatuhkan padanya hukuman gabungan antara pembunuhan dan luka, dan hukuman mati menjadi suatu keharusan.

وَفِي انْحِتَامِ الْجِرَاحِ قَوْلَانِ وَلَا تدخل الجراح في النفس سواء انحتم الجراح أَوْ لَمْ يَنْحَتِمْ

Dalam hal sembuhnya luka, terdapat dua pendapat. Luka-luka tidak termasuk dalam diyat jiwa, baik luka tersebut telah sembuh maupun belum sembuh.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَدْخُلُ الْجِرَاحُ فِي النَّفْسِ إِذَا اجْتَمَعَا فَيُقْتَلُ وَلَا يجرح استدلالا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ويسعون المائدة 33 الآية إلى أن قال أو ينفوا من الأرض المائدة 33 فاقتصر بحدوده عَلَى مَا تَضَمَّنَتْهُ الْآيَةُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُزَادَ عَلَيْهَا قَالَ وَلِأَنَّ الْحُدُودَ فِي الْحِرَابَةِ من حقوق الله تعالى الْمَحْضَةِ وَلَيْسَتْ قِصَاصًا لِانْحِتَامِهَا وَسُقُوطِ الْخِيَارِ فِيهَا متداخل الْأَقَلُّ فِي الْأَكْثَرِ مِنْ جِنْسِهِ كَمَنْ زَنَا بِكْرًا ثُمَّ زَنَا ثَيِّبًا دَخَلَ جَلْدُهُ فِي رَجْمِهِ وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِمَا يُسْتَوْفَى عَلَى الْمُحَارِبِ مِنْ جَرْحٍ وَقَطْعٍ الزَّجْرُ وَالرَّدْعُ وَمَعَ اسْتِحْقَاقِ الْقَتْلِ يَزُولُ مَقْصُودُ الرَّدْعِ بِغَيْرِهِ فَسَقَطَ

Abu Hanifah berpendapat bahwa luka-luka termasuk dalam hukuman terhadap jiwa apabila keduanya berkumpul, maka pelaku dibunuh dan tidak dikenakan hukuman luka, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi…” (Al-Ma’idah: 33) hingga firman-Nya: “atau diasingkan dari bumi…” (Al-Ma’idah: 33). Maka, ia membatasi hukuman hanya pada apa yang terkandung dalam ayat tersebut, sehingga tidak boleh ditambah atasnya. Ia juga berkata bahwa hudud dalam kasus hirabah adalah hak Allah Ta‘ala semata dan bukan qishash, karena sifatnya yang pasti dan tidak adanya pilihan di dalamnya, serta adanya keterkaitan antara yang lebih sedikit dengan yang lebih banyak dari jenisnya, seperti seseorang yang berzina dengan gadis lalu berzina dengan wanita yang sudah menikah, maka hukuman cambuknya masuk dalam hukuman rajamnya. Dan karena tujuan dari hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku hirabah berupa luka dan potong anggota tubuh adalah sebagai pencegahan dan penjeraan, maka apabila pelaku sudah berhak dibunuh, tujuan penjeraan dengan selain hukuman mati menjadi gugur, sehingga tidak berlaku.

وَدَلِيلُنَا قول الله تعالى الجروح قِصَاصٌ المائدة 45 فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْمُحَارِبِ وغيره؛ ولأن كُلَّ عُقُوبَةٍ وَجَبَتْ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ لَمْ تَسْقُطْ فِي الْحِرَابَةِ كَالْقَتْلِ؛ وَلِأَنَّهُ أَحَدُ نَوْعَيِ الْقِصَاصِ فَجَازَ أَنْ يَجِبَ فِي الْحِرَابَةِ كَالْقَتْلِ؛ وَلِأَنَّهُمَا نَوْعَا قِصَاصٍ فَجَازَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا قِيَاسًا عَلَى غَيْرِ الْحِرَابَةِ؛ وَلِأَنَّ عُقُوبَاتِ الْحِرَابَةِ أَغْلَظُ لِانْحِتَامِ الْقَتْلِ وَزِيَادَةِ الْقَطْعِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْقُطَ فِيهَا مَا يَجِبُ فِي غَيْرِهَا

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Luka-luka itu (dibalas) dengan qishāsh” (Al-Mā’idah: 45), maka ayat ini berlaku umum baik pada kasus muḥārib maupun selainnya; dan karena setiap hukuman yang wajib pada selain ḥirābah tidak gugur pada ḥirābah, seperti hukuman qatl (pembunuhan); dan karena ini adalah salah satu dari dua jenis qishāsh, maka boleh saja diwajibkan pada ḥirābah sebagaimana qatl; dan karena keduanya adalah dua jenis qishāsh, maka boleh digabungkan antara keduanya berdasarkan qiyās dengan selain ḥirābah; dan karena hukuman-hukuman ḥirābah itu lebih berat karena mengandung unsur qatl dan tambahan pemotongan (anggota tubuh), maka tidak boleh gugur di dalamnya apa yang wajib pada selainnya.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْآيَةِ فَهُوَ أَنَّهَا تَضَمَّنَتْ مِنَ العقوبة المظهرة ما تضمنتها من الأسباب المضمرة ولم تضمر فيها الجراح فلم يظهر فيها حكمه

Adapun jawaban terhadap ayat tersebut adalah bahwa ayat itu memuat hukuman yang tampak sebagaimana ia juga memuat sebab-sebab yang tersembunyi, dan tidak disembunyikan di dalamnya hukum tentang luka-luka, sehingga hukumnya pun tidak tampak di dalamnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ حُدُودَ الْحِرَابَةِ من حقوق الله تعالى فَهُوَ أَنَّ الْقَتْلَ فِيهِ هُوَ قِصَاصٌ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَإِنْ تَعَلَّقَ بِهِ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى كَالْعِدَّةِ بِدَلِيلِ أَنَّ الْمُحَارِبَ لَوْ تَابَ قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ سَقَطَتْ عَنْهُ حُقُوقُ اللَّهِ تَعَالَى وَلَمْ يَسْقُطْ مِنَ الْقَتْلِ إِلَّا انْحِتَامُهُ وَكَانَ مَوْقُوفًا عَلَى خِيَارِ الْوَلِيِّ فِي اسْتِيفَائِهِ فَلَمْ يَسْلَمِ الدَّلِيلُ

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa hudud hirabah termasuk hak-hak Allah Ta‘ala adalah bahwa hukuman mati di dalamnya merupakan qishash yang termasuk hak-hak manusia, meskipun di dalamnya juga terdapat hak Allah Ta‘ala, seperti halnya ‘iddah. Buktinya adalah jika seorang pelaku hirabah bertaubat sebelum tertangkap, maka gugurlah hak-hak Allah Ta‘ala darinya, namun hukuman mati tidak gugur kecuali pelaksanaannya saja yang tertunda, dan pelaksanaannya bergantung pada pilihan wali dalam menuntutnya. Maka dalil tersebut tidaklah sah.

وَقَوْلُهُمْ إِنَّهُ رَدْعٌ فَسَقَطَ بِالْقَتْلِ يَبْطُلُ بِقَطْعِ السَّرِقَةِ وَالْقَتْلُ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا وَإِنْ كَانَ الْقَطْعُ رَدْعًا

Pernyataan mereka bahwa hukuman itu merupakan pencegahan sehingga gugur dengan hukuman mati, terbantahkan dengan hukuman potong tangan bagi pencuri, dan hukuman mati dalam kasus selain hirabah yang keduanya dapat digabungkan, meskipun pemotongan tangan itu juga merupakan pencegahan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْجَرْحِ مِنْ أَنْ يَكُونَ فِيهِ قِصَاصٌ أَوْ لَا يَكُونَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ قِصَاصٌ كَالْجَائِفَةِ وَجَبَ أَرْشُهَا لِلْمَجْرُوحِ وَكَانَ حُكْمُهَا فِي الْحِرَابَةِ كَحُكْمِهَا فِي غَيْرِهَا وَإِنْ كَانَ فِيهَا قِصَاصٌ كالْمُوضِحَةِ

Apabila telah tetap adanya penggabungan antara keduanya, maka keadaan luka tidak lepas dari dua kemungkinan: ada qishāsh di dalamnya atau tidak ada. Jika tidak ada qishāsh seperti pada luka yang menembus rongga (jā’ifah), maka wajib diberikan diyat luka tersebut kepada orang yang terluka, dan hukumnya dalam kasus hirābah sama dengan hukumnya pada selainnya. Namun jika di dalamnya terdapat qishāsh seperti pada luka yang menampakkan tulang (mudhīhah)…

فَإِنْ قِيلَ بِانْحِتَامِهِ قُدِّمَ الْقِصَاصُ مِنْهَا عَلَى الْقَتْلِ وَإِنْ تَأَخَّرَ عَنْهُ

Jika dikatakan bahwa hukumannya telah ditetapkan, maka qishāsh didahulukan atas hukuman mati, meskipun qishāsh itu terjadi setelahnya.

وَإِنْ قِيلَ لَيْسَ بِمُنْحَتِمٍ وُقِفَ عَلَى خِيَارِ الْوَلِيِّ فَإِنْ أَرَادَ الْقِصَاصَ قُدِّمَ عَلَى الْقَتْلِ وَإِنْ عَفَا عَنْهُ إِلَى الْمَالِ طُولِبَ بِهِ المحارب قبل قتله فإذا أداه وعرف وَجْهَهُ قُتِلَ وَإِنْ لَمْ يُؤَدِّهِ وَلَا عَرَّفَ وَجْهَهُ اسْتُبْقِيَ حَتَّى يُسْتَكْشَفَ عَنْ مَالِهِ وَكَذَلِكَ غُرْمُ مَا اسْتَهْلَكَهُ مِنَ الْمَالِ ثُمَّ قُتِلَ إِنْ ظَهَرَ مَالٌ أَوْ وَقَعَ الْإِيَاسُ مِنْهُ

Jika dikatakan bahwa hal itu tidak wajib, maka keputusan dikembalikan kepada pilihan wali. Jika wali menghendaki qishāsh, maka qishāsh didahulukan atas pembunuhan. Jika ia memaafkan pelaku dengan mengambil harta, maka pelaku muḥārabah dituntut untuk membayar harta tersebut sebelum dibunuh. Jika ia telah membayarnya dan diketahui sumber hartanya, maka ia dibunuh. Jika ia tidak membayar dan tidak diketahui sumber hartanya, maka ia ditahan hingga dapat diketahui hartanya. Begitu pula dengan ganti rugi atas harta yang telah ia rusak, kemudian ia dibunuh jika ditemukan hartanya atau telah putus harapan dari mendapatkannya.

فَصْلٌ

 

وَإِذَا جَمَعَ الْمُحَارِبُ فِي الْحِرَابَةِ بَيْنَ أَخْذِ الْمَالِ وَبَيْنَ قَطْعِ طَرَفٍ بِجِنَايَةٍ جُمِعَ عَلَيْهِ بَيْنَ قَطْعِهِ فِي الْمَالِ وَقَطْعِهِ فِي القصاص ومنع أبو حنيفة من الجمع بينهما وَقَالَ إِذَا قُطِعَ بِجِنَايَةٍ يُسْرَى يَدٍ وَأَخَذَ الْمَالَ سَقَطَ عَنْهُ الْقِصَاصُ فِي يَدِهِ الْيُسْرَى وَقُطِعَتْ يُمْنَاهُ فِي الْمَالِ مَعَ رِجْلِهِ الْيُسْرَى بِنَاءً عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ خِلَافِهِ فِي الجراح ونحن نجمع عليه بينهما فتقطع يسرى يديه قصاصاً ثم تقطع يُمْنَى يَدَيْهِ مَعَ رِجْلِهِ الْيُسْرَى؛ لِأَخْذِ الْمَالِ ولا يوالي بين القطعين؛ لأنهما حدان ويمهل بَعْدَ قَطْعِ يُسْرَاهُ قَوَدًا حَتَّى تَنْدَمِلَ ثُمَّ تقطع يُمْنَاهُ فِي الْمَالِ وَيُقَدَّمُ قَطْعُهُ فِي الْقِصَاصِ عَلَى قَطْعِهِ فِي الْمَالِ سَوَاءٌ تَقَدَّمَ أَوْ تَأَخَّرَ؛ لِأَنَّهُ مِنَ الْحُقُوقِ الْمُشْتَرَكَةِ بَيْنَ اللَّهِ وعباده إِنْ قِيلَ بِانْحِتَامِهِ أَوْ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ إِنْ قِيلَ إِنَّهُ غَيْرُ مُنْحَتِمٍ

Apabila seorang pelaku hirabah (perampokan bersenjata) dalam tindakannya menggabungkan antara mengambil harta dan memotong anggota tubuh (melukai) dengan suatu tindak pidana, maka dijatuhkan hukuman gabungan atasnya, yaitu dipotong anggota tubuhnya karena mengambil harta dan dipotong anggota tubuhnya karena qishash. Abu Hanifah melarang penggabungan hukuman tersebut dan berkata: Jika tangan kirinya dipotong karena tindak pidana, lalu ia mengambil harta, maka gugurlah qishash atas tangan kirinya dan dipotong tangan kanannya karena mengambil harta, bersama kaki kirinya, berdasarkan pendapat beliau yang telah disebutkan sebelumnya dalam masalah luka. Sedangkan menurut kami, dijatuhkan hukuman gabungan atasnya, yaitu dipotong tangan kirinya karena qishash, kemudian dipotong tangan kanannya bersama kaki kirinya karena mengambil harta. Tidak boleh dilakukan pemotongan secara berturut-turut, karena keduanya merupakan dua had, sehingga diberi jeda setelah pemotongan tangan kirinya karena qishash hingga lukanya sembuh, kemudian dipotong tangan kanannya karena mengambil harta. Pemotongan karena qishash didahulukan atas pemotongan karena harta, baik qishash itu lebih dulu terjadi maupun belakangan, karena qishash termasuk hak bersama antara Allah dan hamba-Nya jika dikatakan hukumnya pasti, atau termasuk hak manusia jika dikatakan hukumnya tidak pasti.

وَحُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ في الدنيا مقدمة على حقوق الله تعالى فِيهَا كَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَتْلُ بِرِدَّةٍ وَقِصَاصٍ أَوْ قَطْعِ يَدٍ بِسَرِقَةٍ وَقِصَاصٍ قُدِّمَ الْقِصَاصُ والقطع على حق الله تعالى فيها فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ اجْتِمَاعُهُمَا فِي الدِّمَاءِ كَاجْتِمَاعِهِمَا فِي الْمَالِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ

Hak-hak manusia di dunia didahulukan atas hak-hak Allah Ta‘ala di dalamnya, seperti seseorang yang wajib dijatuhi hukuman mati karena riddah dan qishāsh, atau dipotong tangannya karena mencuri dan qishāsh, maka didahulukan pelaksanaan qishāsh dan pemotongan atas hak Allah Ta‘ala dalam hal tersebut. Jika ada yang bertanya: Mengapa tidak disamakan penggabungan keduanya dalam perkara darah dengan penggabungan keduanya dalam perkara harta menurut tiga pendapat?

أَحَدُهَا يُقَدَّمُ فِي الْمَالِ حَقُّ الْآدَمِيِّينَ عَلَى حَقِّ الله تعالى كالدماء

Salah satunya adalah dalam hal harta, hak manusia didahulukan atas hak Allah Ta‘ala, seperti dalam kasus darah.

والثاني يقدم حق الله تعالى عَلَى حَقِّ الْآدَمِيِّينَ بِخِلَافِ الدِّمَاءِ

Kedua, hak Allah Ta‘ala didahulukan atas hak manusia, berbeda halnya dengan perkara darah.

وَالثَّالِثُ يُشْتَرَكُ بينهما قيل لأن الْمَقْصُودَ بِحَقِّ اللَّهِ فِي الدِّمَاءِ يُوجَدُ فِي اسْتِيفَائِهِ لِلْآدَمِيِّينَ وَهُوَ الرَّدْعُ وَالزَّجْرُ وَالْمَقْصُودُ بِحَقِّ الله تعالى فِي الْأَمْوَالِ لَا يُوجَدُ فِي اسْتِيفَائِهِ لِلْآدَمِيِّينَ وهو وصوله إلى الفقراء المساكين فَافْتَرَقَا

Dan yang ketiga adalah sesuatu yang menjadi hak bersama antara keduanya. Ada yang berpendapat bahwa maksud dari hak Allah dalam perkara darah dapat ditemukan dalam pelaksanaannya untuk manusia, yaitu sebagai pencegah dan penjera. Sedangkan maksud dari hak Allah dalam perkara harta tidak dapat ditemukan dalam pelaksanaannya untuk manusia, yaitu sampainya harta tersebut kepada fakir miskin. Maka keduanya pun berbeda.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا تَمَاثَلَ قَطْعُ الْقِصَاصِ وَقَطْعُ الْحِرَابَةِ فِي الْأَطْرَافِ فَقُطِعَ الْمُحَارِبُ الْيَدَ الْيُمْنَى وَالرِّجْلَ الْيُسْرَى وَأَخَذَ الْمَالَ فَوَجَبَ بِهِ قَطْعُ يَدِهِ الْيُمْنَى وَرِجْلِهِ الْيُسْرَى

Apabila pemotongan anggota badan dalam qishāsh dan pemotongan dalam hirābah sama pada anggota tubuh, lalu seorang pelaku hirābah memotong tangan kanan dan kaki kiri serta mengambil harta, maka wajib atasnya dipotong tangan kanannya dan kaki kirinya.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّ قَطْعَهُ فِي الْقِصَاصِ مُنْحَتِمٌ رُوعِيَ أَسْبَقُ الْأَمْرَيْنِ فَإِنْ تَقَدَّمَ قَطْعُ الْمَالِ عَلَى قَطْعِ الْقِصَاصِ قطع قصاصاً وسقط قطع المال لتقدم حَقِّ الْآدَمِيِّ فِي الدَّمِ عَلَى حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فِيهِ وَإِنْ تَقَدَّمَ قَطْعُ الْقِصَاصِ عَلَى قطع المال فقطع قصاصاً ولم يسقط قطع المال فلم يُعْدَلُ فِيهِ إِلَى قَطْعِ يَدِهِ الْيُسْرَى وَرِجْلِهِ الْيُمْنَى كَمَنْ أَخَذَ الْمَالَ وَلَيْسَ لَهُ يَدٌ يمنى ولا رجل يسرى؛ لأن اسْتِحْقَاقُ قَطْعِهِمَا لِلْمَالِ لَمْ يُعْدَلْ فِيهِ إِلَى فَعَدَلَ فِي قَطْعِ الْمَالِ إِلَى غَيْرِهِمَا وَلَوْ تقدم استحقاق القصاص فيها حَتْمٌ فَصَارَ كَعَدَمِهِمَا فَعَدَلَ فِي قَطْعِ الْمَالِ إِلَى غَيْرِهِمَا وَلَوْ تَقَدَّمَ اسْتِحْقَاقُ قَطْعِهِمَا لِلْمَالِ لم يعدل فيه إلى غيرهما؛ لأن مَا وَجَبَ ابْتِدَاءً إِلَّا فِيهِمَا وَإِنْ قِيلَ إِنَّ قَطْعَ الْقِصَاصِ غَيْرُ مُنْحَتِمٍ خُيِّرَ وَلِيُّهُ بَيْنَ الْقِصَاصِ وَالْعَفْوِ فَإِنْ عَفَا عَنْهُ قُطِعَ لِلْمَالِ وَإِنْ لَمْ يَعْفُ عَنْهُ قُطِعَ قِصَاصًا وَسَقَطَ قَطْعُ الْمَالِ سَوَاءٌ تَقَدَّمَ اسْتِحْقَاقُهُ أَوْ تَأَخَّرَ؛ لِأَنَّ قَطْعَ الْمَالِ وَرَدَ عَلَى طَرَفٍ يَجُوزُ أَنْ يُقْطَعَ فِيهِ إِذَا لَمْ يَنْحَتِمْ أَخْذُهُ فِي غَيْرِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ فِيهِ إِلَى غَيْرِهِ وَإِذَا انْحَتَمَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْطَعَ فِيهِ فَجَازَ الْعُدُولُ إِلَى غَيْرِهِ وَلَوْ قُطِعَ الْمُحَارِبُ الْيَدَ الْيُمْنَى ثُمَّ أَخَذَ الْمَالَ قُطِعَتْ يُمْنَاهُ قِصَاصًا وَصَارَ بَعْدَ قَطْعِهَا فيه كمن ذهبت يمناه بأكله فهل يجزئ فِي قَطْعِ الْمَالِ أَنْ يُقْتَصَرَ عَلَى قَطْعِ رِجْلِهِ الْيُسْرَى أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ مَضَيَا

Jika dikatakan bahwa pemotongan (anggota tubuh) dalam qishāsh itu wajib, maka yang diperhatikan adalah mana yang lebih dahulu di antara kedua perkara tersebut. Jika pemotongan karena harta lebih dahulu daripada pemotongan qishāsh, maka dipotong karena qishāsh dan gugur pemotongan karena harta, karena hak manusia dalam darah lebih didahulukan daripada hak Allah Ta‘ala dalam hal itu. Namun jika pemotongan qishāsh lebih dahulu daripada pemotongan karena harta, maka dipotong karena qishāsh dan tidak gugur pemotongan karena harta. Maka tidak dialihkan dalam hal ini kepada pemotongan tangan kiri dan kaki kanan, seperti orang yang mengambil harta sedangkan ia tidak memiliki tangan kanan dan kaki kiri; karena hak pemotongan keduanya karena harta tidak dialihkan kepada selain keduanya. Jika hak qishāsh lebih dahulu, maka hukumnya seperti tidak adanya kedua anggota tersebut, sehingga dialihkan dalam pemotongan karena harta kepada selain keduanya. Namun jika hak pemotongan keduanya karena harta lebih dahulu, maka tidak dialihkan kepada selain keduanya, karena yang wajib pada awalnya hanyalah pada kedua anggota itu. Jika dikatakan bahwa pemotongan qishāsh tidak wajib, maka wali korban diberi pilihan antara qishāsh dan memaafkan. Jika ia memaafkan, maka dipotong karena harta. Jika ia tidak memaafkan, maka dipotong karena qishāsh dan gugur pemotongan karena harta, baik hak itu lebih dahulu maupun belakangan; karena pemotongan karena harta berlaku pada anggota yang boleh dipotong jika tidak wajib diambil pada selainnya, maka tidak boleh dialihkan kepada selainnya. Jika sudah wajib, maka tidak boleh dipotong pada anggota itu, sehingga boleh dialihkan kepada selainnya. Jika seorang muḥārib telah dipotong tangan kanannya, lalu ia mengambil harta, maka tangan kanannya dipotong karena qishāsh, dan setelah pemotongan itu, keadaannya seperti orang yang tangan kanannya hilang karena dimakan binatang, maka apakah cukup dalam pemotongan karena harta hanya dengan memotong kaki kirinya atau tidak, ada dua pendapat yang telah lalu.

أحدهما وهو قول أبي حامد الإسفراييني يجزئ أن يقتصر عليهما وَحْدَهَا

Salah satunya adalah pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, yaitu cukup dengan membatasi hanya pada keduanya saja.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّهُ لَا يجزئ وَيُعْدَلُ عَنْهَا إِلَى قَطْعِ يَدِهِ الْيُسْرَى وَرِجْلِهِ اليمنى كمن ذهب يده اليمنى ورجله اليسرى والله أعلم

Pendapat kedua, yang lebih kuat, adalah bahwa hal itu tidak mencukupi, dan dialihkan darinya kepada pemotongan tangan kirinya dan kaki kanannya, sebagaimana orang yang tangan kanannya dan kaki kirinya telah hilang. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَنْ عَفَا الْجِرَاحَ كَانَ لَهُ وَمَنْ عَفَا النَّفْسَ لَمْ يُحْقَنْ بِذَلِكَ دَمُهُ وَكَانَ عَلَى الْإِمَامِ قَتْلُهُ إِذَا بَلَغَتْ جِنَايَتُهُ الْقَتْلَ

Syafi‘i berkata, “Barang siapa memaafkan luka, maka itu menjadi haknya; dan barang siapa memaafkan pembunuhan jiwa, dengan itu tidak lantas darah si pembunuh menjadi terjaga, dan tetap menjadi kewajiban imam untuk membunuhnya jika kejahatannya telah mencapai tingkat pembunuhan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْقِصَاصَ فِي قَتْلِ الْحِرَابَةِ مُنْحَتِمٌ وَفِي انْحِتَامِهِ فِي جِرَاحِ الْحِرَابَةِ قَوْلَانِ

Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan bahwa qishāsh dalam pembunuhan karena hirābah adalah wajib, dan mengenai kewajiban qishāsh dalam luka-luka akibat hirābah terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَنْحَتِمُ فَعَلَى هَذَا هَلْ يراعى فيه المكافأة من الْمَجْرُوحِ لِلْجَارِحِ فَإِنْ كَافَأَهُ اقْتَصَّ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يُكَافِئْهُ تَفَرَّدَ بِأَخْذِ الْأَرْشِ

Salah satunya tidak bersifat pasti. Berdasarkan hal ini, apakah perlu diperhatikan adanya pembalasan dari pihak yang terluka kepada pihak yang melukai? Jika ia membalasnya, maka dilakukan qishāsh terhadapnya, dan jika ia tidak membalasnya, maka ia sendiri yang berhak mengambil diyat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إنه منحتم فعلى هذا هل تراعى فِيهِ الْكَفَاءَةُ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ كَالْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa itu adalah hak yang diberikan, maka dalam hal ini apakah dipertimbangkan adanya kafa’ah atau tidak, terdapat dua pendapat sebagaimana dalam qishash pada jiwa.

أَحَدُهُمَا لَا يُرَاعَى وَيَكُونُ الْقِصَاصُ فيه عَلَى انْحِتَامِهِ

Salah satunya tidak diperhatikan dan qishāsh berlaku atas hilangnya (bagian tersebut).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُرَاعَى فِيهِ الْكَفَاءَةُ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَافَأَهُ انْحَتَمَ الْقِصَاصُ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يُكَافِئْهُ سَقَطَ الْقِصَاصُ وَوَجَبَ الْأَرْشُ للجروح وَصَارَ مَوْقُوفًا عَلَى خِيَارِهِ فِي اسْتِيفَائِهِ وَعَفْوِهِ؛ لأنه يصير سقوط الْقِصَاصِ جَارِيًا مَجْرَى الْأَمْوَالِ فَلَوْ كَانَ الْجُرْحُ مِمَّا يَجِبُ الْقِصَاصُ فِي بَعْضِهِ وَلَا يَجِبُ فِي جَمِيعِهِ كَالْهَاشِمَةِ

Pendapat kedua mempertimbangkan adanya kafa’ah (kesetaraan). Maka, berdasarkan pendapat ini, jika terdapat kafa’ah, maka qishash menjadi wajib dalam kasus tersebut. Namun jika tidak terdapat kafa’ah, maka qishash gugur dan wajib membayar arsy (diyat luka) atas luka tersebut, dan hal itu menjadi tergantung pada pilihan korban, apakah ingin menuntutnya atau memaafkannya; karena gugurnya qishash dianggap seperti harta. Jika luka tersebut termasuk luka yang qishash wajib pada sebagian bagiannya namun tidak wajib pada seluruhnya, seperti luka hasyimah (yang meremukkan tulang)…

فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْقِصَاصَ في الجراح غير منحتمة كَانَ الْمَجْرُوحُ مُخَيَّرًا بَيْنَ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ؛ بَيْنَ أن يقتص من الْإِيضَاحِ وَيَأْخُذَ أَرْشَ الْهَشْمِ خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ

Jika dikatakan bahwa qishāsh dalam luka-luka tidaklah mutlak, maka orang yang terluka diberi pilihan di antara tiga hal: antara melakukan qishāsh pada idhāh dan mengambil diyat hishm sebanyak lima ekor unta.

وَبَيْنَ أَنْ يَعْفُوَ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى الْأَرْشِ فَيَأْخُذَ دِيَةَ الْهَاشِمَةِ عَشْرًا مِنَ الْإِبِلِ

Dan antara memaafkan dari qishāsh menuju arsy, lalu ia mengambil diyat untuk tulang yang patah (hāshimah) sebanyak sepuluh ekor unta.

وَبَيْنَ أن يعفو عن الأمرين فإن قِيلَ إِنَّ الْقِصَاصَ فِي الْجِرَاحِ مُنْحَتِمٌ انْحَتَمَ الْقِصَاصُ فِي إِيضَاحِ الْهَاشِمَةِ فِي حَقِّ اللَّهِ تعالى وحتى الْمَجْرُوحِ وَكَانَ أَرْشُ هَشْمِهَا خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ مُسْتَحَقًّا لِلْمَجْرُوحِ لِسُقُوطِ الْقِصَاصِ فِيهِ فَلَمْ يُهْدِرْ بغير قصاص ولا أرش

Dan antara memaafkan kedua perkara itu, jika dikatakan bahwa qishāsh dalam luka-luka adalah wajib, maka qishāsh juga wajib dalam menjelaskan tentang tulang yang retak (hāshimah) dalam hak Allah Ta‘ala dan juga bagi orang yang terluka. Dan diyat (ganti rugi) untuk retaknya tulang tersebut adalah lima ekor unta yang menjadi hak orang yang terluka, karena gugurnya qishāsh padanya. Maka tidaklah gugur tanpa qishāsh dan tanpa diyat.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ومن تاب منهم من قَبْلِ أَنْ يُقْدَرَ عَلَيْهِ سَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ ولا تسقط حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَسْقُطَ كُلُّ حَقٍّ لِلَّهِ بِالتَّوْبَةِ وَقَالَ فِي كِتَابِ الْحُدُودِ وَبِهِ أقول

Syafi‘i berkata, “Barang siapa di antara mereka yang bertobat sebelum ditangkap, maka hudud gugur darinya, namun hak-hak manusia tidak gugur. Ada kemungkinan bahwa setiap hak Allah gugur dengan tobat. Dan beliau berkata dalam Kitab al-Hudud, dan dengan pendapat itu aku berpegang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَصْلُ هَذَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى إلا الذين تابوا من قبل أن يقدروا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ المائدة 34 فَعَطَفَ بِهَذَا الِاسْتِثْنَاءِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ حُدُودِ الْمُحَارَبَةِ فَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْمُرَادِ بِهَذِهِ التَّوْبَةِ فَحُكِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَالْحَسَنِ وَمُجَاهِدٍ وَقَتَادَةَ أَنَّهَا الْإِسْلَامُ وَهُوَ قَوْلُ مَنْ زَعَمَ أَنَّ حُدُودَ الْحِرَابَةِ وَرَدَتْ فِي الْمُشْرِكِينَ وَيَكُونُ مَعْنَى الْآيَةِ إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ شِرْكِهِمْ وَسَعْيِهِمْ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا بِإِسْلَامِهِمْ فَأَمَّا الْمُسْلِمُونَ فَلَا تُسْقِطُ التَّوْبَةُ عَنْهُمْ حَدًّا وَجَبَ عَلَيْهِمْ

Al-Mawardi berkata: Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta‘ala, “Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ma’idah: 34). Dengan ayat ini, Allah mengaitkan pengecualian terhadap hukum-hukum sebelumnya tentang hudud bagi pelaku hirabah. Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari tobat yang disebutkan dalam ayat ini. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah bahwa yang dimaksud adalah masuk Islam. Ini adalah pendapat orang yang beranggapan bahwa hukum-hukum hirabah turun berkaitan dengan orang-orang musyrik, sehingga makna ayat ini adalah kecuali orang-orang yang bertobat dari kemusyrikan dan perbuatan mereka membuat kerusakan di muka bumi dengan masuk Islam. Adapun bagi kaum Muslimin, maka tobat tidak menggugurkan hudud yang telah wajib atas mereka.

وَذَهَبَ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعِلْمِ الْقَائِلُونَ بِأَنَّ حُدُودَ الْحِرَابَةِ وَرَدَتْ فِي الْمُسْلِمِينَ إلى أنها التوبة من قصاص الْحُدُودِ وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا فِي أَمَانِ الْإِمَامِ لَهُمْ هَلْ يَكُونُ شَرْطًا فِي قَبُولِ تَوْبَتِهِمْ فَحُكِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَالشَّعْبِيِّ وَطَائِفَةٍ أَنَّ أَمَانَ الْإِمَامِ شَرْطٌ فِيهَا وَمَنْ لَمْ يُؤَمِّنْهُ الْإِمَامُ لَمْ تُسْقِطِ التَّوْبَةُ عَنْهُ حَدًّا وَذَهَبَ جُمْهُورُهُمْ إِلَى أَنَّ أَمَانَ الْإِمَامِ غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فِيهَا وَالِاعْتِبَارُ بِتَأْثِيرِهَا فِي الحدود أن يكون قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِمْ

Mayoritas ulama yang berpendapat bahwa hukum-hukum hudud hirabah berlaku pada kaum Muslimin, berpendapat bahwa tobat dapat menggugurkan qishash dan hudud. Namun, di antara mereka yang berpendapat demikian, terdapat perbedaan pendapat mengenai jaminan keamanan dari imam bagi pelaku, apakah hal itu menjadi syarat diterimanya tobat mereka. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, asy-Sya‘bi, dan sekelompok ulama bahwa jaminan keamanan dari imam merupakan syarat dalam hal ini, sehingga siapa yang tidak diberi jaminan keamanan oleh imam, maka tobatnya tidak menggugurkan hudud darinya. Namun mayoritas mereka berpendapat bahwa jaminan keamanan dari imam tidak dianggap dalam hal ini, dan yang menjadi pertimbangan dalam pengaruh tobat terhadap hudud adalah jika tobat itu dilakukan sebelum pelaku berada dalam kekuasaan (penegak hukum).

وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا من صِفَةِ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِمْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ

Orang-orang yang berpendapat demikian berbeda pendapat mengenai sifat kemampuan terhadap mereka menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ لُحُوقِهِمْ بِدَارِ الْحَرْبِ وَإِنْ كَانُوا مُسْلِمِينَ ثُمَّ عَوْدِهِمْ مِنْهَا تَائِبِينَ قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِمْ فَإِنْ لَمْ يُلْحَقُوا بِدَارِ الْحَرْبِ لَمْ تُؤَثِّرِ التَّوْبَةُ فِي إِسْقَاطِ الْحُدُودِ عَنْهُمْ وَهَذَا قَوْلُ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ

Salah satunya adalah jika mereka telah sampai di wilayah musuh, meskipun sebelumnya mereka adalah Muslim, kemudian mereka kembali dari sana dalam keadaan bertobat sebelum ada kemampuan (pemerintah) atas mereka. Namun, jika mereka belum sampai ke wilayah musuh, maka tobat tidak berpengaruh dalam menggugurkan hudud dari mereka. Ini adalah pendapat ‘Urwah bin az-Zubair.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ لَهُمْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فِئَةٌ يَلْجَأُونَ إِلَيْهَا وَيَمْتَنِعُونَ بِهَا فَإِنْ لَمْ يَمْتَنِعُوا بِفِئَةٍ لَمْ تُؤَثِّرْ تَوْبَتُهُمْ فِي سُقُوطِ الْحُدُودِ عَنْهُمْ وهذا قول عبد الله بن عمر وعمرو بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ والحكم بن عيينة

Yang kedua adalah bahwa mereka harus memiliki kelompok di Darul Islam yang dapat mereka jadikan tempat berlindung dan mereka dapat mempertahankan diri dengannya. Jika mereka tidak dapat mempertahankan diri dengan kelompok tersebut, maka tobat mereka tidak berpengaruh dalam menggugurkan hudud dari mereka. Ini adalah pendapat Abdullah bin Umar, Amr bin Abi Rabi‘ah bin Abi Abdurrahman, dan Al-Hakam bin ‘Uyainah.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ أَنْ لَا تَمْتَدَّ إِلَيْهِمْ يَدُ الْإِمَامِ بِهَرَبٍ أَوِ اسْتِخْفَاءٍ أَوِ امْتِنَاعٍ فَيَخْرُجُوا عَنِ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِمْ فَتُؤَثِّرُ توبتهم فيما سقط عَنْهُمْ وَمَنِ امْتَدَّتْ إِلَيْهِ يَدُ الْإِمَامِ فَهُوَ تحت القدرة عليه واختلف من قال هذا فِي رَفْعِهِ إِلَى الْإِمَامِ هَلْ يَكُونُ شَرْطًا فِي الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ عَلَى قَوْلَيْنِ

Pendapat ketiga, yang merupakan pendapat jumhur fuqaha, adalah bahwa tangan imam tidak dapat menjangkau mereka karena melarikan diri, bersembunyi, atau menolak, sehingga mereka keluar dari kemampuan untuk dijangkau; maka tobat mereka berpengaruh terhadap apa yang gugur dari mereka. Adapun siapa yang telah dijangkau oleh tangan imam, maka ia berada dalam kekuasaan atasnya. Para ulama yang berpendapat demikian berbeda pendapat dalam hal mengangkat perkara tersebut kepada imam, apakah hal itu menjadi syarat dalam kemampuan atasnya, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَكُونُ شَرْطًا لِأَنَّهُ فِي الْحَالَيْنِ قَادِرٌ عَلَيْهِ

Salah satunya tidak menjadi syarat karena dalam kedua keadaan ia mampu melakukannya.

وَالثَّانِي يَكُونُ شَرْطًا فِي الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي سَارِقِ رِدَاءِ صَفْوَانَ ” هَلَّا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ لَا عَفَا اللَّهُ عَنِّي إن عفوت واختلفوا فيما يسقط التَّوْبَةُ عَنْهُمْ مِنَ الْحُقُوقِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ

Yang kedua menjadi syarat dalam kemampuan atasnya; karena Nabi ﷺ bersabda tentang pencuri selendang Shafwan: “Mengapa tidak sebelum engkau membawanya kepadaku? Semoga Allah tidak memaafkanku jika aku memaafkan.” Para ulama berbeda pendapat mengenai hak-hak yang gugur dari mereka karena tobat, menjadi tiga mazhab.

أحدها وهو قول علي عليه السلام أنها تسقط عنهم جميع الحقوق لله عز وجل وَلِلْآدَمِيِّينَ مِنَ الْحُدُودِ وَالدِّمَاءِ وَالْأَمْوَالِ رُوِيَ أَنَّ حارثة بن زيد خَرَجَ مُحَارِبًا فَأَخَافَ السَّبِيلَ وَسَفَكَ الدِّمَاءَ وَأَخَذَ الْأَمْوَالَ وَجَاءَ تَائِبًا قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ فَقَبِلَ علي عليه السلام تَوْبَتَهُ وَجَعَلَ لَهُ أَمَانًا مَنْشُورًا عَلَى مَا كَانَ أَصَابَ مِنْ دَمٍ وَمَالٍ

Pendapat pertama, yaitu pendapat Ali radhiyallahu ‘anhu, menyatakan bahwa semua hak Allah Azza wa Jalla dan hak manusia berupa hudud, darah, dan harta gugur dari mereka. Diriwayatkan bahwa Haritsah bin Zaid keluar memerangi (pemerintah), menakut-nakuti di jalan, menumpahkan darah, dan mengambil harta, lalu ia datang bertaubat sebelum ia tertangkap. Maka Ali radhiyallahu ‘anhu menerima taubatnya dan memberinya jaminan keamanan yang diumumkan atas apa yang telah ia lakukan berupa darah dan harta.

وَالثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّهَا تُسْقِطُ عَنْهُمْ جَمِيعَ الْحُدُودِ وَالْحُقُوقِ إِلَّا الدِّمَاءَ لِتَغْلِيظِهَا عَلَى مَا سِوَاهَا

Pendapat kedua, yaitu mazhab Malik bin Anas, menyatakan bahwa taubat menggugurkan dari mereka semua hudud dan hak-hak, kecuali perkara darah karena beratnya perkara tersebut dibandingkan yang lainnya.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهَا تُسْقِطُ عَنْهُمْ حُدُودَ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا تُسْقِطُ عَنْهُمْ حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ مِنَ الدِّمَاءِ وَالْأَمْوَالِ لِاخْتِصَاصِ التَّوْبَةِ بِتَكْفِيرِ الْإِمَامِ دُونَ حُقُوقِ الْعِبَادِ

Pendapat ketiga, yaitu mazhab Syafi‘i dan Abu Hanifah, menyatakan bahwa tobat menggugurkan hukuman-hukuman Allah Ta‘ala dari mereka, namun tidak menggugurkan hak-hak manusia berupa darah dan harta, karena tobat hanya khusus untuk menghapus dosa di sisi Allah, bukan hak-hak para hamba.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا الْحُدُودُ الْمُسْتَحَقَّةُ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي سُقُوطِهَا بِالتَّوْبَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ

Adapun hudud yang wajib ditegakkan selain dalam kasus hirabah, maka pendapat Imam Syafi’i berbeda mengenai gugurnya hudud tersebut karena taubat, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا لَا تَسْقُطُ بِالتَّوْبَةِ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ لِعُمُومِ الظَّوَاهِرِ فِيهَا وَلِأَنَّ تَوْبَةَ الْمُحَارِبِ أَبْلَغُ فِي خُلُوصِ الطَّاعَةِ لِخُرُوجِهِ عَنِ الْقُدْرَةِ فَقَوِيَ حُكْمُهَا فِي إِسْقَاطِ الْحُدُودِ عَنْهُ وَتَوْبَةَ غَيْرِ الْمُحَارِبِ تَضْعُفُ عَنْ هذه الحال؛ لِأَنَّ ظَاهِرَهَا أَنَّهَا عَنْ خَوْفٍ فَضَعُفَ حُكْمُهَا فِي إِسْقَاطِ الْحُدُودِ عَنْهُ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa hukuman hudud tidak gugur dengan taubat, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah, karena keumuman dalil-dalil zhahir dalam masalah ini. Selain itu, taubat seorang muharib (perampok/pemberontak) lebih kuat dalam kemurnian ketaatan karena ia telah keluar dari kemampuan (untuk berbuat kejahatan), sehingga hukum taubatnya lebih kuat dalam menggugurkan hudud darinya. Adapun taubat selain muharib, keadaannya lebih lemah dari ini, karena secara lahiriah taubat tersebut dilakukan karena rasa takut, sehingga hukum taubatnya lebih lemah dalam menggugurkan hudud darinya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّهَا تَسْقُطُ بِالتَّوْبَةِ كَالْحِرَابَةِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فِي الزِّنَا وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فإن تابا وأصلحا فأعرضوا عنهما النساء 16 وفي قطع السَّرِقَةِ فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رحيم ولقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” التَّوْبَةُ تَجُبُّ مَا قَبْلَهَا وَلِأَنَّ حُدُودَ الْحِرَابَةِ أَغْلَظُ مِنْ حُدُودِ غَيْرِ الْحِرَابَةِ فَلَمَّا سَقَطَ بِالتَّوْبَةِ أَغْلَظُهُمَا كَانَ أَوْلَى أَنْ يَسْقُطَ أَخَفُّهُمَا وَلِأَنَّ الْحُدُودَ مَوْضُوعَةٌ لِلنَّكَالِ وَالرَّدْعِ وَالتَّائِبُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَيْهَا فَسَقَطَ عَنْهُ مُوجِبُهَا

Pendapat kedua, yang lebih kuat, adalah bahwa hukuman hudud gugur dengan taubat, sebagaimana pada kasus hirabah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala tentang zina: “Dan dua orang yang melakukan perbuatan itu di antara kalian, maka sakiti keduanya. Namun jika mereka bertaubat dan memperbaiki diri, maka berpalinglah dari keduanya” (an-Nisā’ ayat 16). Dan dalam masalah potong tangan karena pencurian: “Barang siapa bertaubat setelah melakukan kezaliman dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Serta berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Taubat menghapus apa yang sebelumnya.” Karena hukuman hudud pada hirabah lebih berat daripada hudud selain hirabah, maka ketika yang paling berat saja gugur dengan taubat, maka yang lebih ringan tentu lebih utama untuk gugur pula. Selain itu, hudud ditetapkan untuk memberikan efek jera dan pencegahan, sedangkan orang yang telah bertaubat tidak lagi membutuhkan hal itu, sehingga sebab yang mewajibkannya pun gugur darinya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِلتَّوْبَةِ تَأْثِيرًا فِي إِسْقَاطِ الْحُدُودِ فِي الْحِرَابَةِ وَغَيْرِ الْحِرَابَةِ فَالتَّوْبَةُ مُخْتَلِفَةٌ فِيهَا فتكون في الحرابة بإظهارها قولاً حتى يقترن بها الْكَفّ وَإِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِهَا إِصْلَاحُ الْعَمَلِ وَلَا تَكُونُ التَّوْبَةُ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ بِإِظْهَارِهَا قَوْلًا حَتَّى يَقْتَرِنَ بِهَا إِصْلَاحُ الْعَمَلِ فِي زَمَانٍ يُوثَقُ بِصَلَاحِهِ فِيهِ

Jika telah tetap bahwa tobat memiliki pengaruh dalam menggugurkan hudud pada kasus hirabah maupun selain hirabah, maka tobat itu berbeda-beda padanya. Tobat pada kasus hirabah cukup dengan menampakkannya secara lisan, meskipun tidak disertai dengan perbaikan amal, selama diiringi dengan penghentian perbuatan. Sedangkan tobat pada selain hirabah tidak cukup hanya dengan menampakkannya secara lisan, hingga disertai dengan perbaikan amal dalam kurun waktu yang dapat dipercaya kebaikannya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وجهين

Perbedaan antara keduanya ada pada dua aspek.

أحدهما نص

Salah satunya adalah nash.

والثاني معنى

Dan yang kedua adalah makna.

فأما النَّصّ فَقَوْلُهُ فِي الْحِرَابَةِ إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ المائدة 34 وَلَمْ يُشْتَرَطِ الْإِصْلَاحُ فِيهَا وَقَالَ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ فِي آيَةِ السَّرِقَةِ فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ المائدة 39 وَفِي آيَةِ الزِّنَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا النساء 16 بشرط الإصلاح فيها

Adapun nash, firman-Nya tentang hirabah: “Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-Ma’idah: 34), dan tidak disyaratkan adanya perbaikan (ishlah) di dalamnya. Sedangkan dalam selain hirabah, pada ayat tentang pencurian: “Barang siapa bertobat setelah melakukan kezaliman dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya” (Al-Ma’idah: 39), dan pada ayat tentang zina: “Jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka berdua” (An-Nisa’: 16), dengan syarat adanya perbaikan (ishlah) di dalamnya.

وَأَمَّا الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي الْمَعْنَى فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun perbedaan antara keduanya dalam makna adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُحَارِبَ مُجَاهِرٌ فَقَوِيَتْ تَوْبَتُهُ وَغَيْرُ المحارب مساير فَضَعُفَتْ تَوْبَتُهُ

Salah satunya adalah bahwa muharib (pelaku kejahatan perang) melakukannya secara terang-terangan sehingga tobatnya menjadi kuat, sedangkan selain muharib melakukannya secara sembunyi-sembunyi sehingga tobatnya menjadi lemah.

وَالثَّانِي أَنَّ التَّقِيَّةَ مُنْتَفِيَةٌ عَنْ تَوْبَةِ الْمُحَارِبِ لِخُرُوجِهِ عَنِ الْقُدْرَةِ فَزَالَتِ التُّهْمَةُ عنه إن تظاهر بها بخوف وحذر والتقية متوجه إِلَى غَيْرِ الْمُحَارِبِ لِدُخُولِهِ تَحْتَ الْقُدْرَةِ فَلَحِقَتْهُ التهمة في الظاهر بِهَا مِنْ خَوْفٍ وَحَذَرٍ حَتَّى يَقْتَرِنَ بِهَا مِنْ إِصْلَاحِ الْعَمَلِ مَا تَزُولُ بِهِ التُّهْمَةُ

Kedua, bahwa takiyah tidak berlaku pada tobatnya seorang muharib karena ia telah keluar dari kekuasaan, sehingga tuduhan pun hilang darinya jika ia menampakkan tobat karena rasa takut dan kewaspadaan. Adapun takiyah berlaku pada selain muharib karena mereka masih berada di bawah kekuasaan, sehingga tuduhan tetap melekat secara lahiriah ketika mereka menampakkan tobat karena rasa takut dan kewaspadaan, sampai disertai dengan perbaikan amal yang dapat menghilangkan tuduhan tersebut.

فصل

Bab

فإذا تقرر ما ذكرنا من فرق ما بَيْنَ الْحِرَابَةِ وَغَيْرِ الْحِرَابَةِ فِي شُرُوطِ التَّوْبَةِ وسقوط الحدود بها في الحالين وجب تفصيلها وشرح الحكم فيها

Jika telah ditetapkan apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan antara hirabah dan selain hirabah dalam syarat-syarat tobat serta gugurnya hudud karenanya pada kedua keadaan tersebut, maka wajib merincinya dan menjelaskan hukum di dalamnya.

فَنَقُولُ أَمَّا التَّوْبَةُ بَعْدَ الْقُدْرَةِ فَلَا تَأْثِيرَ لها فيها فِي إِسْقَاطِ حَدٍّ وَلَا حَقٍّ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَهَا مَشْرُوطَةً بِعَدَمِ الْقُدْرَةِ عَلَى أَهْلِهَا بقوله تَعَالَى إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ المائدة 34 فَلَمْ يَثْبُتْ حُكْمُهَا مَعَ وُجُودِ الْقُدْرَةِ وَعَدَمِ الشَّرْطِ وَأَمَّا التَّوْبَةُ قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِمْ فَهِيَ الْمُؤَثِّرَةُ فِي سُقُوطِ حُدُودِ الْحِرَابَةِ وَفِي إِسْقَاطِهَا لِحُدُودِ غَيْرِ الْحِرَابَةِ قَوْلَانِ فَأَمَّا حُدُودُ الْحِرَابَةِ فَتَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Maka kami katakan, adapun tobat setelah adanya kemampuan (untuk menangkap pelaku) maka tidak berpengaruh dalam menggugurkan hudud maupun hak; karena Allah Ta‘ala mensyaratkannya dengan tidak adanya kemampuan atas pelakunya, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: “kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menangkap mereka” (Al-Ma’idah: 34). Maka, hukum tobat tidak berlaku jika kemampuan telah ada dan syaratnya tidak terpenuhi. Adapun tobat sebelum adanya kemampuan atas mereka, maka itulah yang berpengaruh dalam menggugurkan hudud hirabah. Sedangkan mengenai pengguguran hudud selain hirabah, terdapat dua pendapat. Adapun hudud hirabah, maka terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا مَا اخْتَصَّ بِالْحِرَابَةِ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ انْحِتَامُ الْقَتْلِ وَالصَّلْبِ وَقَطْعُ الرِّجْلِ فَيَسْقُطُ بِالتَّوْبَةِ انْحِتَامُ قَتْلِهِ وَيَصِيرُ مَوْقُوفًا عَلَى خِيَارِ الْوَلِيِّ وَيَسْقُطُ صَلْبُهُ وَقَطْعُ رِجْلِهِ فِي أَخْذِ الْمَالِ

Salah satunya adalah hal-hal yang khusus berkaitan dengan hirābah, yaitu tiga perkara: gugurnya hukuman mati, penyaliban, dan pemotongan kaki. Dengan taubat, gugur hukuman matinya dan menjadi tergantung pada pilihan wali, serta gugur hukuman penyaliban dan pemotongan kakinya dalam kasus pengambilan harta.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا لَا يَخْتَصُّ بِالْحِرَابَةِ فَيَكُونُ حُكْمُهُ فِيهَا وَفِي غَيْرِهَا سَوَاءً وَهُوَ حَدُّ الزِّنَا وشرب الخمر وقطع السرقة ففي سقوطه بِالتَّوْبَةِ فِي الْحَالَيْنِ قَوْلَانِ

Bagian kedua adalah yang tidak khusus berkaitan dengan hirābah, sehingga hukumnya dalam kasus hirābah maupun selainnya sama, yaitu hudud untuk zina, minum khamar, dan potong tangan karena pencurian. Dalam hal gugurnya hukuman tersebut karena tobat pada kedua keadaan itu terdapat dua pendapat.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا اختلف فيه وهو قطع اليد وأخذ الْمَالِ فِي الْحِرَابَةِ فِيهِ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah perkara yang diperselisihkan, yaitu pemotongan tangan dan pengambilan harta dalam kasus ḥirābah, dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ غَيْرُ مُخْتَصٍّ بِالْحِرَابَةِ؛ لِأَنَّهَا تَقْطَعُ بِأَخْذِ الْمَالِ فِي غَيْرِهَا

Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi bahwa hukum tersebut tidak khusus berlaku pada hirābah; karena hukuman potong tangan juga diterapkan atas pengambilan harta pada kasus selain hirābah.

فعلى هذا يعتبر فِيهَا التَّوْبَةُ الْمَشْرُوطَةُ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ وَفِي سُقُوطِهِ بِهَا قَوْلَانِ

Dengan demikian, dalam hal ini berlaku tobat yang disyaratkan pada selain kasus hirabah, dan mengenai gugurnya hukuman dengan tobat tersebut terdapat dua pendapat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ قَطْعَهَا مُخْتَصٌّ بِحُدُودِ الْحِرَابَةِ؛ لِأَنَّهَا لِلْمُجَاهَرَةِ بِأَخْذِ الْمَالِ وتقطع في غير المحاربة للإسرار بأخذ المال فاختلف موجبهما فعلى هذا يعتبر فِيهَا تَوْبَةُ الْحِرَابَةِ وَيَسْقُطُ قَطْعُهَا قَوْلًا وَاحِدًا كَمَا يَسْقُطُ بِهَا قَطْعُ الرِّجْلِ فَأَمَّا حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ مِنَ الدِّمَاءِ وَالْأَمْوَالِ وَحَدِّ الْقَذْفِ فَلَا يسقط بِالتَّوْبَةِ فِي الْحَالَيْنِ وَوَهِمَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فَأَسْقَطَ بِهَا حَدَّ الْقَذْفِ لِأَنَّهُ لَا يَرْجِعُ إِلَى بَدَلٍ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ تَتَنَوَّعُ وَجَمِيعُهَا فِي الِاسْتِحْقَاقِ مُتَمَاثِلٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa pemotongan tangan itu khusus untuk hudud hirabah, karena hukuman tersebut untuk kejahatan terang-terangan dalam mengambil harta. Sedangkan pemotongan tangan dalam kasus selain hirabah adalah untuk kejahatan tersembunyi dalam mengambil harta, sehingga sebab keduanya berbeda. Berdasarkan hal ini, dalam kasus hirabah, taubat harus dipertimbangkan, dan pemotongan tangan gugur secara mutlak, sebagaimana gugur pula pemotongan kaki karena taubat. Adapun hak-hak manusia berupa darah, harta, dan had qazaf, maka tidak gugur dengan taubat dalam kedua keadaan tersebut. Sebagian ulama kami keliru dengan menggugurkan had qazaf karena taubat, dengan alasan bahwa had tersebut tidak kembali kepada pengganti (harta), dan ini adalah kesalahan, karena hak-hak manusia itu beragam, namun semuanya setara dalam hal kelayakan untuk ditegakkan. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ولو شهد شاهدان من الرفقة أن هؤلاء عرضوا لنا فنالونا وَأَخَذُوا مَتَاعَنَا لَمْ تَجُزْ شَهَادَتُهُمَا لِأَنَّهُمَا خَصْمَانِ وَيَسَعُهُمَا أَنْ يَشْهَدَا أَنَّ هَؤُلَاءِ عَرَضُوا لِهَؤُلَاءِ فَفَعَلُوا بِهِمْ كَذَا وَكَذَا وَأَخَذُوا مِنْهُمْ كَذَا وَكَذَا وَنَحْنُ نَنْظُرُ وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ أَنْ يَكْشِفَهُمَا عن غيره ذلك ” قال الماوردي وهذا صحيح إذا اخبر جماعة ادعوا عَلَى قَوْمٍ أَحْضَرُوهُمْ أَنَّهُمْ قَطَعُوا عَلَيْهِمُ الطَّرِيقَ وَأَخَذُوا مِنْهُمْ أَمْوَالًا وَقَتَلُوا مِنْهُمْ رِجَالًا فَإِنِ اعترفوا لهم طوعاً بما ادعوا أُخِذُوا بِإِقْرَارِهِمْ فِي النُّفُوسِ وَالْأَمْوَالِ وَإِنْ أَنْكَرُوهُمْ أحلفوهم إِنْ عَدِمُوا الْبَيِّنَةَ عَلَيْهِمْ وَإِنِ اعْتَرَفَ بَعْضُهُمْ وأنكر بعضهم حد الْمُعْتَرِفُ مِنْهُمْ بِإِقْرَارِهِ وَأُحْلِفَ الْمُنْكِرُ وَلَمْ تُسْمَعْ شَهَادَةُ الْمُعْتَرِفِ عَلَى الْمُنْكِرِ لِفِسْقِهِ بِقَطْعِ الطَّرِيقِ فإن شهد للمدعين شَاهِدَانِ فَقَالُوا نَشْهَدُ أَنَّ هَؤُلَاءِ قَطَعُوا عَلَيْنَا الطَّرِيقَ وَأَخَذُوا أَمْوَالَنَا وَقَتَلُوا مِنَّا نُفُوسًا لَمْ تقبل شهادتهم؛ لِأَمْرَيْنِ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika ada dua orang saksi dari rombongan yang bersaksi bahwa orang-orang ini telah menghadang kami, menyerang kami, dan mengambil harta kami, maka kesaksian mereka berdua tidak sah karena mereka adalah pihak yang bersengketa. Namun, mereka boleh bersaksi bahwa orang-orang ini menghadang rombongan tersebut, lalu melakukan begini dan begitu terhadap mereka, serta mengambil begini dan begitu dari mereka, sementara kami menyaksikan. Imam tidak boleh memaksa mereka untuk bersaksi terhadap selain itu.” Al-Mawardi berkata, “Ini benar, jika sekelompok orang mengadukan suatu kaum yang mereka hadirkan, bahwa kaum itu telah menghadang mereka di jalan, mengambil harta mereka, dan membunuh sebagian laki-laki mereka, maka jika para terdakwa mengakui secara sukarela atas apa yang dituduhkan, mereka dihukum berdasarkan pengakuan mereka dalam hal jiwa dan harta. Jika mereka mengingkari, maka mereka diminta bersumpah jika tidak ada bukti atas mereka. Jika sebagian dari mereka mengakui dan sebagian lagi mengingkari, maka yang mengakui dikenai hukuman berdasarkan pengakuannya, dan yang mengingkari diminta bersumpah. Kesaksian yang mengakui tidak diterima atas yang mengingkari karena kefasikan mereka akibat perbuatan merampok di jalan. Jika ada dua orang saksi yang bersaksi untuk para penggugat dengan mengatakan, ‘Kami bersaksi bahwa orang-orang ini telah menghadang kami di jalan, mengambil harta kami, dan membunuh sebagian dari kami,’ maka kesaksian mereka tidak diterima karena dua alasan.”

أَحَدُهُمَا لِأَنَّهُمَا قَدْ صَارَا خَصْمَيْنِ مِنْ جملة المدعين لم يَتَمَيَّزُوا عَنْهُمْ فِي الشَّهَادَةِ لَهُمْ وَلِأَنْفُسِهِمْ وَشَهَادَةُ الْإِنْسَانِ لِنَفْسِهِ دَعْوَى تُرَدُّ وَلَا تُقْبَلُ مِنْهُمَا فِي حَقِّهِمَا وَلَا فِي حَقِّ غَيْرِهِمَا

Salah satu alasannya adalah karena keduanya telah menjadi dua pihak yang berselisih dari kelompok para penggugat, sehingga mereka tidak dapat dibedakan dari yang lain dalam memberikan kesaksian untuk mereka dan untuk diri mereka sendiri. Kesaksian seseorang untuk dirinya sendiri dianggap sebagai klaim yang ditolak dan tidak diterima, baik untuk kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.

وَالثَّانِي أَنَّهُمَا قَدْ صَارَا بِهَذَا الْقَوْلِ عَدُوَّيْنِ لِلْمَشْهُودِ عَلَيْهِمْ وَشَهَادَةُ الْعَدُوِّ عَلَى عَدُوِّهِ مَرْدُودَةٌ

Kedua, bahwa dengan pernyataan ini, keduanya telah menjadi musuh bagi orang yang dipersaksikan, dan kesaksian seorang musuh terhadap musuhnya adalah tertolak.

وَلَوْ شَهِدَ شَاهِدَانِ عَلَى رَجُلٍ أَنَّهُ قَذَفَ أُمَّهُمَا وَقَذَفَ زَيْدًا رُدَّتْ شَهَادَتُهُمَا فِي قَذْفِ أُمِّهِمَا وَهَلْ تُرَدُّ فِي قَذْفِ زَيْدٍ أَمْ لَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Jika dua orang saksi memberikan kesaksian bahwa seorang laki-laki telah menuduh ibu mereka berzina dan juga menuduh Zaid berzina, maka kesaksian mereka ditolak dalam perkara tuduhan terhadap ibu mereka. Adapun apakah kesaksian mereka juga ditolak dalam perkara tuduhan terhadap Zaid atau tidak, terdapat dua pendapat.

فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ فِي الشهادة على قطاع الطريق تُرَدّ فِي حَقِّ أَنْفُسِهِمَا وَتَكُونُ فِي حُقُوقِ غيرهما على قولين

Jika ada yang bertanya: Mengapa dalam kesaksian terhadap para perampok jalanan, kesaksian itu tidak diterima dalam perkara yang menyangkut diri mereka sendiri, namun diterima dalam perkara yang menyangkut hak orang lain menurut dua pendapat?

قيل إذا استعملت الشَّهَادَةُ عَلَى أَمْرَيْنِ تُرَدُّ فِي أَحَدِهِمَا وَلَا تُرَدُّ فِي الْآخَرِ لَمْ يَخْلُ حَالُهَا فِيمَا رُدَّتْ فِيهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Dikatakan, apabila kesaksian digunakan untuk dua perkara, lalu ditolak pada salah satunya dan tidak ditolak pada yang lainnya, maka keadaannya dalam perkara yang ditolak tidak lepas dari salah satu dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ تُرَدَّ بِعَدَاوَةٍ أَوْ تُهْمَةٍ فَإِنْ رُدَّتْ لِعَدَاوَةٍ لَمْ تُسْمَعْ فِي الْآخَرِ وَإِنْ رُدَّتْ لِتُهْمَةٍ سُمِعَتْ فِي الْآخَرِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ

Jika ditolak karena permusuhan atau tuduhan, maka jika ditolak karena permusuhan, tidak akan didengarkan pada perkara berikutnya. Namun jika ditolak karena tuduhan, maka pada perkara berikutnya akan didengarkan menurut salah satu dari dua pendapat.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْعَدَاوَةَ مَوْجُودَةٌ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَحَقِّ غَيْرِهِ وَالتُّهْمَةُ تُوجَدُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَلَا تُوجَدُ فِي حَقِّ غَيْرِهِ؛ فَلِذَلِكَ رُدَّتْ فِي قَطْعِ الطَّرِيقِ وَجَازَ أَنْ تُقْبَلَ فِي الْقَذْفِ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa permusuhan terdapat pada hak dirinya sendiri maupun hak orang lain, sedangkan tuduhan hanya terdapat pada hak dirinya sendiri dan tidak terdapat pada hak orang lain; oleh karena itu, tuduhan ditolak dalam kasus perampokan di jalan, namun boleh diterima dalam kasus qadzaf (tuduhan zina).

فَصْلٌ

Fasal

وَلَوِ ابْتَدَأَ الشَّاهِدَانِ عَلَى قُطَّاعِ الطَّرِيقِ فَقَالَا نَشْهَدُ أَنَّ هَؤُلَاءِ قَطَعُوا عَلَى هَؤُلَاءِ الطَّرِيقَ وَأَخَذُوا مِنَ الْأَمْوَالِ كَذَا وَقَتَلُوا مِنَ النُّفُوسِ كَذَا قُبِلَتْ شَهَادَتُهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا قَدْ يكونان بمعزل على المدعين فيشاهدوا قطع الطريق وَلَا يَسْأَلُهُمُ الْحَاكِمُ هَلْ كَانَا مَعَهُمْ أَمْ لا وقال بعض العراقيين لا يحكم بشاهدتهما حَتَّى يَسْأَلَهُمَا هَلْ كَانَا مَعَ الْقَوْمِ أَمْ لَا فَإِنْ قَالَا لَا حُكِمَ لَهَا وَإِنْ قَالَا نَعَمْ لَمْ يُحْكَمْ؛ لِأَنَّ مَا احْتَمَلَ الْقَبُولَ وَالرَّدَّ لَمْ يُحْكَمْ بِهِ مَعَ الِاحْتِمَالِ وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ لِأَنَّ ظَاهِرَ الْعَدَالَةِ تَصْرِفُ الشَّهَادَةَ إِلَى الصِّحَّةِ دُونَ الْفَسَادِ كَمَا أَنَّ الظَّاهِرَ صِدْقُهُمَا وَإِنْ جَازَ كَذِبُهُمَا فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ الِاحْتِمَالُ طَرِيقًا إِلَى رَدِّهَا إِذَا أوجب الظاهر قبولهما

Jika dua orang saksi memulai kesaksiannya terhadap para perampok di jalan dengan berkata, “Kami bersaksi bahwa mereka ini telah merampok jalan terhadap orang-orang ini, mengambil harta sebanyak ini, dan membunuh jiwa sebanyak ini,” maka kesaksian mereka diterima; karena bisa jadi mereka berada jauh dari para penggugat namun menyaksikan perampokan tersebut, dan hakim tidak bertanya kepada mereka apakah mereka bersama para korban atau tidak. Namun sebagian ulama Irak berpendapat bahwa tidak boleh memutuskan dengan kesaksian mereka sampai hakim bertanya kepada keduanya apakah mereka bersama rombongan tersebut atau tidak. Jika mereka menjawab tidak, maka diputuskan untuk mereka; dan jika mereka menjawab ya, maka tidak diputuskan; karena sesuatu yang masih mengandung kemungkinan diterima atau ditolak, tidak boleh diputuskan dengannya selama masih ada kemungkinan. Namun pendapat ini tidak benar; karena secara lahiriah, keadilan mengarahkan kesaksian kepada kebenaran, bukan kepada kebatilan, sebagaimana secara lahiriah keduanya dianggap jujur meskipun mungkin saja keduanya berbohong. Maka tidak boleh menjadikan kemungkinan sebagai alasan untuk menolak kesaksian jika secara lahiriah ada alasan untuk menerimanya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وإذا اجتمعت على رجل حدود وقذف بُدِئَ بِحَدِّ الْقَذْفِ ثَمَانِينَ جَلْدَةً ثُمَّ حُبِسَ فإذا برأ حد في الزنا مائة جلدة فإذا برأ قُطِعَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى وَرِجْلُهُ الْيُسْرَى مِنْ خِلَافٍ لِقَطْعِ الطَّرِيقِ وَكَانَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى لِلسَّرِقَةِ وَقَطْعِ الطريق معاً ورجله لِقَطْعِ الطَّرِيقِ مَعَ يَدِهِ ثُمَّ قُتِلَ قَوَدًا

Imam Syafi‘i berkata, “Apabila pada seseorang berkumpul beberapa hudud dan ia melakukan qadzaf, maka dimulai dengan hukuman had qadzaf sebanyak delapan puluh cambukan, kemudian ia dipenjara. Jika telah sembuh, maka dikenakan had zina seratus cambukan. Jika telah sembuh, dipotong tangan kanannya dan kaki kirinya secara bersilang karena jarīmah qaṭ‘uṭ-ṭarīq, dan tangan kanannya juga untuk hukuman pencurian dan qaṭ‘uṭ-ṭarīq sekaligus, sedangkan kakinya untuk qaṭ‘uṭ-ṭarīq bersama dengan tangannya. Setelah itu, ia dibunuh sebagai qishāsh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا اجْتَمَعَ عَلَى رَجُلٍ حُدُودٌ مِنْ جَلْدٍ وَقَطْعٍ وَقَتْلٍ بُدِئَ بِالْجَلْدِ ثُمَّ بالقطع ثم يالقتل ولا يسقط بالقتل ما عداه

Al-Mawardi berkata: Jika pada seseorang berkumpul beberapa hudud berupa cambuk, potong, dan bunuh, maka dimulai dengan cambuk, kemudian potong, lalu bunuh, dan hukuman selain bunuh tidak gugur karena hukuman bunuh.

وقال أبة حَنِيفَةَ إِذَا اجْتَمَعَ مَعَهَا قَتْلٌ سَقَطَ بِالْقَتْلِ مَا عَدَاهُ وَإِنْ لَمْ يَجْتَمِعْ مَعَهَا قَتْلٌ كَانَ الْإِمَامُ مُخَيَّرًا فِي الْبِدَايَةِ بِمَا شَاءَ مِنَ الْجَلْدِ أَوِ الْقَطْعِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْقَتْلَ أَعَمُّ فَيَدْخُلُ فِيهِ مَا دُونَهُ وَيَتَسَاوَى مَا عداه فلم يتعين تقديم بَعْضِهِ عَلَى بَعْضٍ

Abu Hanifah berkata, apabila hukuman mati berkumpul dengan hukuman lain, maka dengan adanya hukuman mati gugurlah hukuman selainnya. Namun jika hukuman mati tidak berkumpul dengannya, maka imam (penguasa) diberi pilihan pada awalnya untuk menetapkan hukuman cambuk atau potong tangan sesuai yang ia kehendaki, dengan alasan bahwa hukuman mati lebih umum sehingga mencakup hukuman di bawahnya, dan hukuman selainnya setara, sehingga tidak wajib mendahulukan sebagian atas sebagian yang lain.

وَدَلِيلُنَا عُمُومُ الظَّوَاهِرِ فِي الْحُدُودِ الْمُوجِبِ لِاسْتِيفَائِهَا وَلِأَنَّهَا حُدُودٌ لَا تَتَدَاخَلُ فِي غَيْرِ الْقَتْلِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَتَدَاخَلَ فِي الْقَتْلِ كَحَدِّ الْقَذْفِ وَهُوَ انْفِصَالٌ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ فَأَمَّا تَقْدِيمُ الْجَلْدِ عَلَى الْقَطْعِ فَلِأَنَّهُ أَخَفُّ وَأَسْلَمُ مِنَ الْقَطْعِ الَّذِي فِيهِ إِرَاقَةُ دم واستهلاك؛ فَلِأَجْلِ ذَلِكَ قُدِّمَ عَلَيْهِ

Dalil kami adalah keumuman zhahir dalam hudud yang mewajibkan pelaksanaannya, dan karena hudud itu tidak saling tumpang tindih kecuali dalam kasus pembunuhan, maka wajib pula untuk tidak saling tumpang tindih dalam kasus pembunuhan, seperti pada had qazaf. Ini merupakan pemisahan dari dalil yang mereka gunakan. Adapun mendahulukan hukuman cambuk atas hukuman potong tangan, karena cambuk itu lebih ringan dan lebih selamat dibandingkan potong tangan yang di dalamnya terdapat penumpahan darah dan penghilangan anggota tubuh; oleh karena itu, hukuman cambuk didahulukan atas hukuman potong tangan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ ما وصفنا مِنْ سُقُوطِ التَّدَاخُلِ وَوُجُوبِ الْبِدَايَةِ بِالْأَخَفِّ فَالْحُدُودُ إِذَا اجْتَمَعَتْ تَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ جَلْدٌ وَقَطْعٌ وَقَتْلٌ فَيُقَدَّمُ الْجَلْدُ عَلَى الْقَطْعِ وَالْقَتْلِ؛ لمَا ذكرنا والجلد يستحق بِأَرْبَعَةِ أَسْبَابٍ تَعْزِيرٍ وَقَذْفٍ وَشُرْبِ خَمْرٍ وَزِنَا بِكْرٍ فَإِذَا اجْتَمَعَتْ قُدِّمَ التَّعْزِيرُ عَلَى جَمِيعِهَا لِأَمْرَيْنِ

Jika telah tetap apa yang kami jelaskan tentang gugurnya tumpang tindih dan wajib memulai dengan hukuman yang lebih ringan, maka hudud jika berkumpul terbagi menjadi tiga bagian: cambuk, potong, dan bunuh. Maka didahulukan cambuk atas potong dan bunuh, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Cambuk dijatuhkan karena empat sebab: ta‘zīr, qadzaf, minum khamar, dan zina bagi yang belum menikah. Jika semuanya berkumpul, maka ta‘zīr didahulukan atas semuanya karena dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَخَفُّ

Salah satunya adalah bahwa hal itu lebih ringan.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فِي الْأَغْلَبِ ثُمَّ فِيمَا يُبْدَأُ به بَعْد التَّعْزِيرِ وَجْهَانِ

Kedua, bahwa hal itu pada umumnya termasuk hak-hak manusia, kemudian dalam hal mana yang didahulukan setelah ta‘zīr terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يُقَدَّمُ حَدُّ الْقَذْفِ عَلَى شُرْبِ الْخَمْرِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ

Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu bahwa hukuman had untuk qadzaf didahulukan atas hukuman minum khamar, karena qadzaf termasuk hak-hak manusia.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة يُقَدَّمُ حَدُّ الْخَمْرِ عَلَى حَدِّ الْقَذْفِ؛ لأنه أخف ثم حد الزنا آخرها؛ لأنه أغلظ جلد في حق الله تعالى فَصَارَ آخِرَهَا وَيُمْهَلُ بَيْنَ كُلِّ حَدَّيْنِ حَتَّى يَبْرَأَ إِذَا كَانَ الْقَتْلُ غَيْرَ مُنْحَتِمٍ كَالْقَتْلِ في غير الحرابة؛ لأن لا يُوَالى عَلَيْهِ بَيْنَ الْحُدُودِ فَيَتْلَفَ قَبْلَ اسْتِيفَاءِ جَمِيعِهَا فَإِنْ كَانَ الْقَتْلُ مُنْحَتِمًا كَالْقَتْلِ فِي الْحِرَابَةِ وَالرَّجْمِ فِي الزِّنَا فَفِي الْمُوَالَاةِ عَلَيْهِ بَيْنَ الْحُدُودِ وَجْهَانِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, adalah bahwa hukuman had khamr didahulukan atas had qadzaf, karena had khamr lebih ringan, kemudian had zina diletakkan paling akhir karena ia adalah cambukan yang paling berat sebagai hak Allah Ta‘ala, sehingga menjadi yang terakhir. Antara setiap dua had diberi jeda hingga sembuh, jika hukuman mati tidak wajib, seperti hukuman mati selain karena hirabah, agar tidak dilakukan secara berurutan antara had-had tersebut sehingga orang yang dihukum bisa binasa sebelum seluruh hukuman selesai dijalankan. Namun, jika hukuman mati wajib, seperti hukuman mati dalam kasus hirabah dan rajam dalam kasus zina, maka dalam hal pelaksanaan berurutan antara had-had tersebut terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُوَالَى؛ لِأَنَّ تَأْخِيرَهَا لِلْبُرْءِ مَعَ انْحِتَامِ الْقَتْلِ غَيْرُ مُفِيدٍ وَالْوَجْهُ الثاني يهمل بَيْنَ الْحَدَّيْنِ حَتَّى يَبْرَأَ كَمَا لَوْ كَانَ الْقَتْلُ غَيْرَ مُنْحَتِمٍ لِجَوَازِ أَنْ يَتْلَفَ بِالْمُوَالَاةِ قَبْلَ اسْتِيفَائِهَا

Salah satu pendapat menyatakan bahwa hukuman dilaksanakan secara berurutan, karena menunda pelaksanaannya sampai sembuh, sementara hukuman mati sudah pasti, tidak memberikan manfaat. Pendapat kedua menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman diabaikan di antara dua hukuman sampai sembuh, sebagaimana jika hukuman mati belum pasti, karena dimungkinkan orang tersebut binasa jika hukuman dilaksanakan secara berurutan sebelum seluruh hukuman terpenuhi.

فَصْلٌ

Fasal

ثُمَّ يُعْدَلُ بَعْدَ اسْتِيفَاءِ الْجَلْدِ إِلَى قَطْعِ مَا دُونَ النَّفْسِ وَيُقَدِّمُهُ عَلَى الْقَتْلِ وَمَا دُونَ النَّفْسِ مُسْتَحَقٌّ مِنْ ثَلَاثِ جِهَاتٍ قَوَدٌ فِي جِنَايَةٍ وَقَطْعُ يَدٍ فِي سَرِقَةٍ وَقَطْعُ يَدٍ وَرِجْلٍ فِي حِرَابَةٍ فَيَكُونُ قَوَدُ الْجِنَايَةِ مَوْقُوفًا عَلَى خِيَارِ مُسْتَحِقِّهِ عَلَى أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ فَإِنِ اخْتَارَ الْعَفْوَ عَنْهُ إِلَى مَالٍ سَقَطَ حُكْمُهُ وَقُطِعَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى لسرقته وحرابته وَرِجْلُهُ الْيُسْرَى لِحِرَابَتِهِ وَجُمِعَ بَيْنَ قَطْعِهِمَا؛ لِأَنَّهُمَا حَدٌّ وَاحِدٌ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَتْلُهُ مُسْتَحَقًّا فِي الْحِرَابَةِ فَلَا تُقْطَعُ رِجْلُهُ الْيُسْرَى؛ لِأَنَّ حَدَّهُ الصَّلْبُ بَعْدَ الْقَتْلِ وَإِنِ اخْتَارَ مُسْتَحِقُّ الْقَوَدِ الْقِصَاصَ قَدَّمَهُ عَلَى قَطْعِ السَّرِقَةِ وَالْحِرَابَةِ لأن مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ ثَمَّ رِجْلُهُ فَإِنْ كَانَ مُسْتَحَقًّا فِي غَيْرِ أَعْضَاءِ السَّرِقَةِ وَالْحِرَابَةِ كَالْمُوضِحَةِ في الرأس واللسان والذكر ويسرى اليد ويمنى الرجل أمهل بعد القصاص حتى يبرأ مما قطع بالسرقة وَالْحِرَابَةِ وَإِنْ كَانَ مُسْتَحَقًّا فِي أَعْضَاءِ السَّرِقَةِ وَالْحِرَابَةِ كَالْيَدِ الْيُمْنَى وَالرِّجْلِ الْيُسْرَى قُطِعَتْ قِصَاصًا فإن كان اليد اليمنى دخل في الاقتصاص مِنْهَا قَطْعُ السَّرِقَةِ وَقَطْعُ الْحِرَابَةِ وَقُطِعَتِ الرِّجْلُ الْيُسْرَى لِلْحِرَابَةِ وَإِنْ كَانَ قَطْعُ الْقِصَاصِ فِي الرِّجْلِ الْيُسْرَى دَخَلَ فِيهَا قَطْعُ الْحِرَابَةِ وَقُطِعَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى لِلسَّرِقَةِ وَالْحِرَابَةِ وَإِنْ كَانَ قَطْعُ الْقِصَاصِ فِي الْيَدِ الْيُمْنَى وَالرِّجْلِ الْيُسْرَى دَخَلَ فيها قَطْعُ السَّرِقَةِ وَقَطْعُ الْحِرَابَةِ

Kemudian setelah pelaksanaan hukuman cambuk selesai, beralih kepada pemotongan anggota tubuh selain jiwa, dan ini didahulukan atas hukuman mati. Hukuman pemotongan anggota tubuh selain jiwa dapat terjadi karena tiga sebab: qawad (qishash) dalam tindak pidana, pemotongan tangan karena pencurian, dan pemotongan tangan dan kaki karena hirabah (perampokan bersenjata). Maka qawad dalam tindak pidana ditangguhkan atas pilihan pihak yang berhak menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat. Jika ia memilih memaafkan dengan ganti rugi (diyat), maka gugurlah hukumnya, dan dipotonglah tangan kanannya karena pencurian dan hirabah, serta kaki kirinya karena hirabah, dan kedua pemotongan itu digabungkan karena keduanya merupakan satu had, kecuali jika hukuman mati menjadi hak dalam hirabah, maka tidak dipotong kaki kirinya karena hukumannya adalah disalib setelah dibunuh. Jika pihak yang berhak atas qawad memilih qishash, maka qishash didahulukan atas pemotongan karena pencurian dan hirabah, karena itu termasuk hak-hak manusia. Jika anggota tubuh yang menjadi hak qishash bukan anggota yang dipotong karena pencurian dan hirabah, seperti tulang kepala (mudhihah), lidah, kemaluan, tangan kiri, dan kaki kanan, maka setelah pelaksanaan qishash, pelaku diberi waktu sampai sembuh dari pemotongan karena pencurian dan hirabah. Jika anggota tubuh yang menjadi hak qishash adalah anggota yang juga dipotong karena pencurian dan hirabah, seperti tangan kanan dan kaki kiri, maka dipotong karena qishash. Jika tangan kanan, maka pemotongan karena pencurian dan hirabah sudah termasuk di dalamnya, dan kaki kiri dipotong karena hirabah. Jika pemotongan qishash pada kaki kiri, maka pemotongan karena hirabah sudah termasuk di dalamnya, dan tangan kanannya dipotong karena pencurian dan hirabah. Jika pemotongan qishash pada tangan kanan dan kaki kiri, maka pemotongan karena pencurian dan hirabah sudah termasuk di dalamnya.

فَصْلٌ

Fasal

ثُمَّ يُعْدَلُ بَعْدَ الْقَطْعِ إِلَى الْقَتْلِ وَلَا يُمْهَلُ إِلَى الِانْدِمَالِ وَالْقَتْلُ مُسْتَحَقٌّ عَلَيْهِ مِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ قَوَدٌ مُنْحَتِمٌ وَهُوَ الْقَتْلُ فِي الْحِرَابَةِ وَقَوَدٌ غَيْرُ مُنْحَتِمٍ وَهُوَ الْقَتْلُ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ وَرَجْمٌ فِي زِنَا ثَيِّبٍ وَقَتْلٌ بِرِدَّةٍ أَوْ تَرْكُ صَلَاةٍ فَيُقَدَّمُ قَتْلُ الْقَوَدِ فِي الْحِرَابَةِ وَغَيْرِ الْحِرَابَةِ عَلَى الرَّجْمِ فِي الزِّنَا وَالْقَتْلِ بالردة سواء تقدم أو تأخر؛ لما تضمنهما مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي قَتْلِ القود في الحرابة والقود في غير الحرابة أيهما يقدم فإن قَتْلُ الْحِرَابَةِ انْحَتَمَ قَتْلُهُ قَوَدًا فِي الْحِرَابَةِ وصلب وبعد قَتْلِهِ إِنْ أَخَذَ الْمَالَ فِي الْحِرَابَةِ وَكَانَ لِوَلِيِّ الْقَوَدِ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ أَنْ يَرْجِعَ بِالدِّيَةِ وَيَسْقُطُ رَجْمُ الزِّنَا وَقَتْلُ الرِّدَّةِ وَإِنْ تَقَدَّمَ الْقَتْلُ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ على الْقَتْلِ فِي الْحِرَابَةِ قُدِّمَ الْقَوَدُ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ لتقدمه على القود في الحرابة لتأخره وَكَانَ مَوْقُوفًا عَلَى خِيَارِ وَلِيِّهِ فَإِنْ عَدَلَ عَنْهُ إِلَى الْمَالِ حُكِمَ بِهِ فِي مَالِ الْمُحَارِبِ وَقُتِلَ لِلْحِرَابَةِ قَوَدًا مُسْتَحَقًّا وَإِنْ طَلَبَ الولي الْقَوَدَ اقْتَصَّ مِنْهُ وَلَمْ يُصْلَبْ بَعْدَ قَتْلِهِ وَإِنْ أَخَذَ الْمَالَ؛ لِأَنَّ قَتْلَهُ لَمْ يَكُنْ من حدود الحرابة فيسقط حُكْمُ صَلْبِهِ كَمَا لَوْ مَاتَ وَكَانَ لِوَلِيِّ الْمَقْتُولِ فِي الْحِرَابَةِ الدِّيَةُ وَإِنْ كَانَ الْقِصَاصُ فِي حَقِّهِ مُنْحَتِمًا؛ لِأَنَّ فَوَاتَ الْقِصَاصِ يَسْقُطُ بِهِ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى فِي انْحِتَامِ الْقَتْلِ ولا يسقط حَقُّ الْآدَمِيِّ فِي وُجُوبِ الدِّيَةِ وَلَوِ اجْتَمَعَ رجم الزنا وقتل الردة رجم للزنا وَدَخَلَ فِيهِ قَتْلُ الرِّدَّةِ؛ لِأَنَّ الرَّجْمَ أَزْيَدُ نكالاً فدخل فيه الأقل مسألة

Kemudian setelah pemotongan (tangan) dialihkan kepada hukuman mati dan tidak ditunda sampai sembuh. Hukuman mati wajib dijatuhkan kepadanya dari empat sisi: qishāsh yang pasti, yaitu hukuman mati dalam kasus hirabah; qishāsh yang tidak pasti, yaitu hukuman mati dalam kasus selain hirabah; rajam dalam zina muhsan; dan hukuman mati karena riddah atau meninggalkan salat. Maka didahulukan hukuman mati qishāsh dalam hirabah dan selain hirabah atas rajam dalam zina dan hukuman mati karena riddah, baik didahulukan maupun diakhirkan, karena keduanya mengandung hak-hak manusia. Kemudian dilihat dalam hukuman mati qishāsh antara hirabah dan selain hirabah, mana yang didahulukan. Jika hukuman mati hirabah telah pasti, maka ia dibunuh dengan qishāsh dalam hirabah dan disalib. Setelah dibunuh, jika ia mengambil harta dalam hirabah, maka wali qishāsh dalam selain hirabah boleh mengambil diyat, dan gugurlah rajam zina dan hukuman mati karena riddah. Jika hukuman mati dalam selain hirabah didahulukan atas hukuman mati dalam hirabah, maka didahulukan qishāsh dalam selain hirabah karena mendahului qishāsh dalam hirabah yang datang belakangan, dan hal itu tergantung pada pilihan walinya. Jika ia beralih kepada harta, maka diputuskan dengan harta pelaku hirabah, dan ia dibunuh karena hirabah sebagai qishāsh yang wajib. Jika wali menuntut qishāsh, maka ia diqishāsh dan tidak disalib setelah dibunuh, meskipun ia mengambil harta, karena pembunuhannya bukan termasuk hudud hirabah sehingga gugur hukum penyalibannya, sebagaimana jika ia mati. Dan wali korban dalam hirabah berhak atas diyat, meskipun qishāsh atasnya wajib, karena hilangnya qishāsh menggugurkan hak Allah Ta‘ala dalam wajibnya hukuman mati, namun tidak menggugurkan hak manusia dalam kewajiban diyat. Jika berkumpul antara rajam zina dan hukuman mati karena riddah, maka dirajam karena zina dan termasuk di dalamnya hukuman mati karena riddah, karena rajam lebih berat sebagai hukuman, sehingga yang lebih ringan masuk di dalamnya.

قال الشافعي ” فإن مَاتَ فِي الْحَدِّ الْأَوَّلِ سَقَطَتْ عَنْهُ الْحُدُودُ كلها وفي مَالِهِ دِيَةُ النَّفْسِ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang meninggal pada pelaksanaan had yang pertama, maka seluruh had lainnya gugur darinya, dan dari hartanya wajib dibayarkan diyat jiwa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا مَاتَ فِي الْحَدِّ الْأَوَّلِ صَارَ فِي الْبَاقِي مِنَ الْحُدُودِ كَالْمَيِّتِ قَبْلَ اسْتِيفَاءِ شَيْءٍ من الحدود فينظر فِي الْبَاقِي مِنَ الْحُدُودِ فَإِنْ كَانَتْ لِلَّهِ تَعَالَى كَحَدِّ الزِّنَا وَقَتْلِ الرِّدَّةِ سَقَطَتْ عَنْهُ فِي تَبِعَاتِ الدُّنْيَا وَكَانَ مَوْكُولًا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي الْآخِرَةِ وَإِنْ كَانَتْ لِلْآدَمِيِّينَ فَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ إِلَى بَدَلٍ كَحَدِّ الْقَذْفِ سَقَطَ حُكْمُهُ وَإِنْ رَجَعَ إِلَى بَدَلٍ كَالْقَتْلِ وَالْجِرَاحِ رَجَعَ مُسْتَحِقُّهُ بِدِيَتِهِ فِي مَالِ الْمُحَارِبِ وَلَمْ يَسْقُطْ بِمَوْتِهِ كَمَا لَا يَسْقُطُ عَنْهُ غُرْمُ مَا اسْتَهْلَكَ مِنَ الْأَمْوَالِ

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika seseorang mati saat menjalani hukuman pertama, maka dalam sisa hudud yang lain, ia diperlakukan seperti orang yang mati sebelum pelaksanaan salah satu hudud. Maka dilihat pada sisa hudud tersebut: jika hudud itu hak Allah Ta‘ala seperti hudud zina dan hukuman mati karena riddah, maka gugur darinya dalam urusan dunia dan diserahkan kepada Allah Ta‘ala di akhirat. Jika hudud itu hak manusia, maka jika tidak dapat diganti dengan sesuatu yang lain seperti hudud qadzaf, maka hukumnya gugur. Namun jika dapat diganti dengan sesuatu yang lain seperti pembunuhan dan luka, maka yang berhak mendapatkannya beralih kepada diyat dari harta orang yang melakukan kejahatan, dan tidak gugur karena kematiannya, sebagaimana tidak gugur pula kewajiban mengganti harta yang telah ia rusak.

فَصْلٌ

Bab

إِذَا كَانَ في قطاع الطريق امرأة أقيم عليها الحدود في الحرابة كالرجل في قطعها وصلبها

Jika di antara para perampok terdapat seorang wanita, maka hudud juga ditegakkan atasnya dalam kasus hirabah sebagaimana terhadap laki-laki, baik dalam hal pemotongan maupun penyaliban.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَسْقُطُ عَنْهَا حُدُودُ الْحِرَابَةِ وتقتل قوداً لا تنحتم وتغرم المال ولا تصلب احتجاجاً بأن امرأة لَيْسَتْ مِنْ أَهْلِ الْمُحَارَبَةِ فَسَقَطَتْ عَنْهَا حُدُودُ الحرابة كالصبي والمجنون

Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman hudud hirabah gugur dari perempuan, dan ia dibunuh sebagai qishash, bukan hukuman yang pasti, serta ia wajib membayar ganti rugi harta, dan tidak disalib. Alasannya adalah karena perempuan bukan termasuk golongan yang layak dikenai hukuman hirabah, sehingga hudud hirabah gugur darinya sebagaimana pada anak kecil dan orang gila.

ودليلنا عُمُوم الْآيَةِ فِي الْحِرَابَةِ مِنْ طَرِيقِ الْقِيَاسِ أن من وجب عليه الحد في غير الحرابة وجب عليه حد الحرابة كالرجل وَلِأَنَّ كُلَّ حَدٍّ وَجَبَ عَلَى الرَّجُلِ جَازَ أَنْ يَجِبَ عَلَى الْمَرْأَةِ كَالْحَدِّ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ

Dalil kami adalah keumuman ayat tentang hirābah melalui metode qiyās, yaitu bahwa siapa pun yang wajib dikenai hudud selain dalam kasus hirābah, maka ia juga wajib dikenai hudud hirābah, seperti halnya laki-laki. Selain itu, setiap hudud yang wajib atas laki-laki, boleh jadi juga wajib atas perempuan, sebagaimana hudud selain dalam kasus hirābah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الصَّبِيِّ والمجنون فالمعنى فيها سُقُوطُ الْحَدِّ عَنْهُمَا فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ؛ لِعَدَمِ التَّكْلِيفِ فَسَقَطَ فِي الْحِرَابَةِ بِهَذَا الْمَعْنَى وَالْمَرْأَةُ يَجِبُ عَلَيْهَا الْحَدُّ فِي غَيْرِ الْحِرَابَةِ لِوُجُودِ التَّكْلِيفِ فَوَجَبَ فِي الْحِرَابَةِ لِوُجُودِ هَذَا الْمَعْنَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Adapun jawaban atas qiyās yang disamakan dengan anak kecil dan orang gila adalah bahwa makna dalam keduanya adalah gugurnya had atas mereka dalam selain kasus hirābah karena tidak adanya taklīf, maka gugur pula dalam hirābah dengan alasan ini. Sedangkan perempuan, wajib atasnya had dalam selain hirābah karena adanya taklīf, maka wajib pula dalam hirābah karena adanya alasan ini. Allah lebih mengetahui mana yang benar.

Kitab tentang minuman dan hukum hudud yang berkaitan dengannya.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Setiap minuman yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَصْلُ الْمُسْكِرَاتِ كلها الْخَمْرُ وَمَا سِوَاهُ مِنَ الْأَنْبِذَةِ الْمُسْكِرَةِ تَابِعٌ لَهُ وَمُسْتَنْبَطٌ مِنْهُ

Al-Mawardi berkata, “Asal dari seluruh minuman memabukkan adalah khamr, dan selainnya dari anbiżah yang memabukkan mengikuti khamr dan diistinbatkan darinya.”

وَالْخَمْرُ هُوَ عَصِيرُ الْعِنَبِ إذا صار مسكراً بحدوث الشدة المطرية فِيهِ فَيَصِيرُ خَمْرًا بِشَرْطَيْنِ الشِّدَّةُ والسُّكْرُ

Khamr adalah perasan anggur apabila telah menjadi memabukkan dengan timbulnya rasa keras di dalamnya, maka ia menjadi khamr dengan dua syarat: adanya rasa keras dan memabukkan.

وَقَالَ أبو حنيفة لا يصير خمراً بها حَتَّى يَنْضَمَّ إِلَيْهِمَا شَرْطٌ ثَالِثٌ وَهُوَ أَنْ يقذف زبده

Abu Hanifah berkata: Tidak menjadi khamar dengan keduanya sampai terpenuhi syarat ketiga, yaitu muncul buihnya.

وَلَيْسَ قَذْفُ الزَّبَدِ عِنْدَنَا شَرْطًا؛ لِأَنَّهُ لَا تَأْثِيرَ لَهُ فِي شُرْبِهَا

Dan keluarnya buih menurut kami bukanlah syarat, karena tidak ada pengaruhnya terhadap hukum meminum (minuman tersebut).

وَفِي تَسْمِيَتِهَا خَمْرًا تَأْوِيلَانِ

Dalam penamaannya sebagai khamr, terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لِأَنَّهُ يُخَمَّرُ عَصِيرُهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَصِيرَ خَمْرًا أَيْ يغطّى وَلَوْ لَمْ يُغَطَّ لَمْ يَصِرْ خَمْرًا وَالتَّخْمِيرُ التَّغْطِيَةُ وَمِنْهُ سُمِّيَ خِمَارُ الْمَرْأَةِ؛ لِأَنَّهُ يُغَطِّيهَا وَيَسْتُرُهَا

Salah satunya adalah karena air perasannya difermentasi dalam wadah hingga menjadi khamr, yaitu ditutup. Jika tidak ditutup, maka tidak akan menjadi khamr. Kata takhmīr berarti menutup, dan dari kata ini pula disebut khimār wanita, karena ia menutupi dan melindunginya.

وَالثَّانِي لِأَنَّهُ يُخَامِرُ الْعَقْلَ بِالسُّكْرِ أَيْ يُغَطِّيهِ وَيُخْفِيهِ

Dan alasan kedua adalah karena ia mencampuri akal dengan menyebabkan mabuk, yaitu menutupi dan menyembunyikannya.

وَقَدْ كَانَ الْخَمْرُ فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ يَشْرَبُهَا الْمُسْلِمُونَ وَلَا يَتَنَاكَرُونَهَا وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اسْتِبَاحَتِهِمْ لِشُرْبِهَا هَلْ كَانَ اسْتِصْحَابًا لِحَالِهِمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَوْ بِشَرْعٍ وَرَدَ فِي إِبَاحَتِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Pada masa awal Islam, khamar (minuman keras) masih diminum oleh kaum Muslimin dan mereka tidak saling mengingkarinya. Para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai kebolehan mereka meminumnya: apakah itu merupakan kelanjutan dari kebiasaan mereka di masa jahiliah, ataukah ada syariat yang datang membolehkannya; terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أحدهما انهم استصحبوا إباحتها في الجاهلية؛ لأنه لا تقدم منع منها ولا تحريم لها هذا أَشْبَهُ الْوَجْهَيْنِ

Pertama, mereka tetap menganggapnya boleh seperti pada masa jahiliah, karena sebelumnya tidak ada larangan atau pengharaman terhadapnya; inilah pendapat yang lebih mendekati kebenaran di antara dua pendapat tersebut.

وَالثَّانِي أَنَّهُمُ اسْتَبَاحُوا شُرْبَهَا بِشَرْعٍ وَرَدَ فِيهَا وَهُوَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حسناً النحل 67

Kedua, mereka menghalalkan meminumnya berdasarkan syariat yang datang mengenainya, yaitu firman Allah Ta‘ala: “Dan dari buah kurma dan anggur, kalian membuat darinya minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik.” (an-Nahl: 67).

وفيه ثلاث تَأْوِيلَاتٍ

Di dalamnya terdapat tiga penafsiran.

أَحَدُهَا أَنَّ السَّكَرَ مَا أَسْكَرَ مِنَ الخمر والنبيذ والرزق الحسن وهو مَا أَثْمَرَ مِنَ التَّمْرِ وَالزَّبِيبِ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ قَبْلَ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ ثُمَّ حُرِّمَتِ الْخَمْرُ مِنْ بَعْدُ وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَمُجَاهِدٍ وَقَتَادَةَ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَشَاهِدُهُ مِنَ اللُّغَةِ قَوْلُ الْأَخْطَلِ

Salah satunya adalah bahwa sakar (minuman memabukkan) adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dari khamr, nabidz, maupun rezeki yang baik, yaitu apa yang dihasilkan dari kurma dan anggur. Ayat ini turun sebelum pengharaman khamr, kemudian khamr diharamkan setelah itu. Inilah pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, dan Sa‘id bin Jubair. Dalilnya dari segi bahasa adalah perkataan Al-Akhtal.

بِئْسَ الصحاة وَبِئْسَ الشُّرْبُ شُرْبُهُمُ إِذَا جَرَى فِيهِمُ الْمُزَّاءُ وَالسَّكَرُ

Sungguh buruk wadah minum itu, dan sungguh buruk minuman mereka, apabila di dalamnya mengalir minuman keras dan arak.

وَالسَّكَرُ الْخَمْرُ وَالْمُزَّاءُ نَوْعٌ مِنَ النَّبِيذِ الْمُسْكِرِ وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي أَنَّ السَّكَرَ الْخَلُّ بِلُغَةِ الحبشة

Sakar adalah khamr, dan muzza’ adalah sejenis nabidz yang memabukkan. Tafsir kedua menyatakan bahwa sakar adalah cuka dalam bahasa Habasyah.

وقيل بلغة أزدعمان

Dan dikatakan (teks ini) dalam bahasa Azd ‘Aman.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّالِثُ أَنَّ السَّكَرَ الطَّعَامُ وَالرِّزْقُ الْحَسَنُ الاثنان وَهَذَا قَوْلُ الْأَخْفَشِ وَشَاهِدُهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ

Penafsiran yang ketiga adalah bahwa sakar berarti makanan dan rizki yang baik, keduanya, dan ini adalah pendapat Al-Akhfasy. Dalilnya adalah perkataan seorang penyair.

وَجَعَلْتَ عَيْبَ الْأَكْرَمِينَ سَكَرًا

Dan Engkau jadikan cela orang-orang mulia sebagai sesuatu yang memabukkan.

أَيْ طَعَامًا حَلَالًا ثُمَّ نزلت تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَاخْتَلَفَ النَّاسُ فِي سَبَبِهِ عَلَى خَمْسَةِ أَقَاوِيلَ

Yaitu makanan yang halal, kemudian turunlah larangan khamar, dan manusia pun berbeda pendapat mengenai sebabnya menjadi lima pendapat.

أَحَدُهَا مَا حَكَاهُ ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ قَبِيلَتَيْنِ مِنَ الْأَنْصَارِ ثَمِلُوا مِنَ الشَّرَابِ فَعَبَثَ بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ فَنَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ

Salah satunya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, bahwa dua kabilah dari kaum Anshar mabuk karena minuman keras, lalu sebagian mereka mempermainkan sebagian yang lain, maka turunlah larangan terhadap khamr.

وَالثَّانِي مَا حَكَاهُ مُصْعَبُ بْنُ سَعْدٍ أَنَّ أَبَاهُ سعد بن أبي وقاص لاحا رَجُلًا عَلَى شَرَابٍ فَضَرَبَهُ الرَّجُلُ بِلِحَى جَمَلٍ ففرز أَنْفَهُ قَالَ السُّدِّيُّ وَكَانَ سَعْدٌ قَدْ صَنَعَ طَعَامًا وَدَعَا نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَشَوَى لَهُمْ رَأْسَ بَعِيرٍ وَفِيهِمْ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فَغَضِبَ مِنْ شَيْءٍ تَكَلَّمَ بِهِ سَعْدٌ فَكَسَرَ أَنْفَهُ بَلِحَى الْبَعِيرِ فَنَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ

Kisah kedua adalah yang diriwayatkan oleh Mush‘ab bin Sa‘d bahwa ayahnya, Sa‘d bin Abi Waqqash, berselisih dengan seorang laki-laki karena minuman, lalu laki-laki itu memukul hidung Sa‘d dengan tulang rahang unta hingga hidungnya terluka. As-Suddi berkata, Sa‘d pernah membuat makanan dan mengundang beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia memanggang kepala unta untuk mereka. Di antara mereka ada seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Ia marah karena sesuatu yang dikatakan oleh Sa‘d, lalu ia memukul hidung Sa‘d dengan tulang rahang unta hingga hidungnya patah. Maka turunlah ayat pengharaman khamr.

والثالث ما رواه عوف عن أبي القلوص أَنَّ رَجُلًا سَكِرَ مِنَ الْخَمْرِ فَجَعَلَ يَنُوحُ على قتلى بدر ويقول

Dan yang ketiga adalah apa yang diriwayatkan oleh ‘Auf dari Abu al-Qalus, bahwa ada seorang laki-laki yang mabuk karena khamr, lalu ia mulai meratapi para korban Perang Badar dan berkata.

تحيى بالسلامة أم بكر وهل لي بَعْدَ رهْطِكِ مِنْ سَلَامِ

Semoga engkau sehat, wahai Ummu Bakr, dan adakah bagiku setelah kaummu keselamatan?

ذَرِينِي أَصْطَبِحْ بكْرًا فإني رأيت الموت نبث عن هشام

Biarkan aku minum di pagi hari, karena sungguh aku melihat kematian telah mengintai Hasyam.

ووديني الْمُغِيرَة لَوْ فَدَوْهُ بِأَلْفٍ مِنْ رِجَالٍ أَوْ سوام

Dan al-Mughīrah sangat berharap seandainya mereka bisa menebusnya dengan seribu orang laki-laki atau ternak.

وكائن بالطوي طوي بدر من الشيزى تكلل بالسنام

Dan ada di Thuway, Thuway Badr, dari pohon syizā, yang dihiasi dengan puncak bukit.

وكائن بالطوي طوي بدر من القينات والحلل الكرام

Dan betapa banyak di Thuwa, Thuwa Badr, terdapat para penyanyi wanita dan pakaian-pakaian indah nan mulia.

فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فغضب وأقبل الرَّجُلُ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ شيئاً كان معه بِيَدِهِ لِيَضْرِبَهُ فَقَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهِ لَا أَطْعَمُهَا أَبَدًا فَنَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَالرَّابِعُ مَا رَوَاهُ عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَبِيبٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ صَنَعَ طَعَامًا وَشَرَابًا وَدَعَا نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَكَلُوا وَشَرِبُوا حَتَّى ثَمِلُوا فَقَدَّمُوا رَجُلًا مِنْهُمْ فصلى بِهِمُ الْمَغْرِبَ فَقَرَأَ ” قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَأَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَأَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ ديني فنسي قول اللَّهُ تَعَالَى لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا ما تقولون سورة النساء 43 ثم حرمت

Berita itu pun sampai kepada Rasulullah saw., lalu beliau marah. Kemudian laki-laki itu datang, maka Rasulullah saw. mengambil sesuatu yang ada di tangannya untuk memukulnya. Laki-laki itu berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari murka Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak akan meminumnya lagi selamanya.” Maka turunlah larangan terhadap khamr. Kejadian keempat adalah apa yang diriwayatkan oleh ‘Aṭā’ bin as-Sā’ib dari ‘Abdullah bin Ḥabīb, bahwa ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf pernah membuat makanan dan minuman, lalu mengundang beberapa orang dari sahabat Rasulullah saw. Mereka pun makan dan minum hingga mabuk. Kemudian mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk mengimami salat Magrib. Ia pun membaca, “Katakanlah: Wahai orang-orang kafir, aku menyembah apa yang kalian sembah, dan kalian adalah penyembah apa yang aku sembah, dan aku adalah penyembah apa yang kalian sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” Ia lupa firman Allah Ta‘ala, “Janganlah kalian mendekati salat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan.” (Surah an-Nisā’ ayat 43). Setelah itu, khamr diharamkan.

والخامس ما رواه محمد بن إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي مَيْسَرَةَ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ” اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بياناً شافياً فنزل في سورة البقرة قوله تَعَالَى يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا البقرة 219 الْآيَةَ فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا فنزل في سورة النساء قَوْله تَعَالَى لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا ما تقولون النساء 43 فدعى عمر فقرئت عليه فقال اللهم من لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا فَنَزَلَ فِي سُورَةِ الْمَائِدَةِ قَوْله تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ والبغضاء الآية إلى قوله فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ المائدة 90 فَحِينَ سَمِعَهَا عُمَرُ قَالَ انْتَهَيْنَا انْتَهَيْنَا

Kelima, adalah riwayat yang disampaikan oleh Muhammad bin Ishaq dari Abu Maisarah, ia berkata: Umar bin al-Khattab berkata, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang memuaskan.” Maka turunlah dalam Surah al-Baqarah firman Allah Ta‘ala: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (al-Baqarah: 219). Lalu Umar dipanggil dan ayat itu dibacakan kepadanya, maka ia berkata, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang memuaskan.” Maka turunlah dalam Surah an-Nisa’ firman Allah Ta‘ala: “Janganlah kalian mendekati salat sedang kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan.” (an-Nisa’: 43). Lalu Umar dipanggil dan ayat itu dibacakan kepadanya, maka ia berkata, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang memuaskan.” Maka turunlah dalam Surah al-Ma’idah firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah najis, termasuk perbuatan setan, maka jauhilah agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui khamr dan judi…” hingga firman-Nya: “Maka berhentilah kalian.” (al-Ma’idah: 90). Ketika Umar mendengarnya, ia berkata, “Kami berhenti, kami berhenti.”

فَهَذِهِ ثَلَاثُ آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْخَمْرِ وَنَزَلَتْ فِيهِ آيَةٌ رَابِعَةٌ فَيَ سورة الأعراف وهي قوله تعالى قل إنما حرم ربي الفواحش ما ظهر منا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ الأعراف 33

Maka, inilah tiga ayat yang turun mengenai khamar, dan turun pula satu ayat keempat tentangnya dalam Surah Al-A‘raf, yaitu firman Allah Ta‘ala: “Katakanlah, sesungguhnya Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dosa, dan perbuatan melampaui batas tanpa alasan yang benar.” (Al-A‘raf: 33)

والإثم ها هنا الخمر في قول الأكثر لِقَوْلِ الشَّاعِرِ

Dan yang dimaksud dengan dosa di sini adalah khamar menurut pendapat mayoritas, berdasarkan perkataan seorang penyair.

شَرِبْتُ الْإِثْمَ حَتَّى ضَلَّ عَقْلِي كَذَاكَ الْإِثْمُ يَذْهَبُ بِالْعُقُولِ فَهَذِهِ أَرْبَعُ آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي شَأْنِ الْخَمْرِ نَحْنُ نَبْدَأُ بِتَفْسِيرِ كُلِّ آيَةٍ مِنْهَا وَنَذْكُرُ مَا قَالَهُ الْعُلَمَاءُ فِيمَا حُرِّمَتْ بِهِ الْخَمْرُ فيها

Aku telah meminum dosa hingga akalku tersesat, demikianlah dosa itu dapat menghilangkan akal. Inilah empat ayat yang turun berkaitan dengan masalah khamr. Kita akan mulai dengan menafsirkan masing-masing ayat tersebut dan menyebutkan pendapat para ulama mengenai sebab-sebab diharamkannya khamr di dalamnya.

أَمَّا الْآيَةُ الْأُولَى فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَهِيَ قَوْله تَعَالَى يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ البقرة 219 فَقَدْ قَالَ مُقَاتِلٌ إِنَّ الَّذِي سَأَلَ عَنْهَا حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ

Adapun ayat pertama dalam Surah Al-Baqarah, yaitu firman Allah Ta‘ala: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan maysir” (Al-Baqarah: 219), maka Muqatil berkata bahwa yang menanyakan tentang hal itu adalah Hamzah bin Abdul Muththalib dan Mu‘adz bin Jabal.

وَقَالَ عَطَاءٌ هُوَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ حِينَ قَالَ فِي الْخَمْرِ مَا قَالَ وَاسْمُ الْخَمْرِ يَنْطَلِقُ حَقِيقَةً عَلَى عَصِيرِ الْعِنَبِ

Atha’ berkata: Yang dimaksud adalah Umar bin Khattab ketika ia berkata tentang khamr apa yang telah ia katakan, dan nama khamr secara hakiki berlaku untuk perasan anggur.

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي انْطِلَاقِهِ حَقِيقَةً عَلَى مَا عَدَاهُ مِنَ الْأَنْبِذَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Para ulama mazhab kami berbeda pendapat tentang berlakunya hukum ini secara hakiki terhadap selainnya dari berbagai jenis nabidz, dengan dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أنه يطلق اسْمُ الْخَمْرِ عَلَى سَائِرِ الْأَنْبِذَةِ حَقِيقَةً؛ لِأَنَّ الِاشْتِرَاكَ فِي الصِّفَةِ يَقْتَضِي الِاشْتِرَاكَ فِي الِاسْمِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ibrahim al-Muzani dan Abu Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa nama khamr berlaku secara hakiki pada seluruh jenis nabidz, karena kesamaan dalam sifat menuntut kesamaan dalam penamaan.

والوجه الثاني أنه يطلق اسْمُ الْخَمْرِ عَلَى سَائِرِ الْأَنْبِذَةِ مَجَازًا لَا حَقِيقَةً وَأَنَّ حَقِيقَةَ اسْمِ الْخَمْرِ مُخْتَصٌّ بِعَصِيرِ الْعِنَبِ؛ لِأَنَّهُمَا يَتَّفِقَانِ فِي صِفَةٍ وَيَخْتَلِفَانِ فِي أُخْرَى وَيَشْتَرِكَانِ فِي الْحُكْمِ مِنْ وَجْهٍ وَيَخْتَلِفَانِ فِيهِ مِنْ وَجْهٍ فَافْتَرَقَا فِي الِاسْمِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي بَعْضِ الصِّفَاتِ وَبَعْضِ الْأَحْكَامِ

Pendapat kedua adalah bahwa nama khamr digunakan untuk semua jenis minuman yang memabukkan secara majazi (kiasan), bukan secara hakiki, dan bahwa hakikat nama khamr itu khusus untuk perasan anggur; karena keduanya (khamr dan minuman memabukkan lainnya) memiliki kesamaan dalam satu sifat dan berbeda dalam sifat lainnya, serta keduanya memiliki persamaan dalam hukum dari satu sisi dan berbeda dari sisi lain. Maka, keduanya berbeda dalam penamaan karena perbedaan dalam sebagian sifat dan sebagian hukum.

وَأَمَّا الْمَيْسِرُ فَهُوَ الْقِمَارُ وَفِي تَسْمِيَتِهِ بِالْمَيْسِرِ وَجْهَانِ

Adapun al-maysir, maka itu adalah perjudian, dan dalam penamaannya sebagai al-maysir terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ أَهْلَ الْيَسَارِ وَالثَّرْوَةِ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ

Salah satunya adalah bahwa orang-orang yang berkecukupan dan kaya biasa melakukannya.

وَالثَّانِي لأنه موضوع على ما ينزله مِنْ غُنْمٍ أَوْ غُرْمٍ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ البقرة 219 فِيهِ وَجْهَانِ

Yang kedua, karena ia ditetapkan atas apa yang diturunkan darinya, baik berupa keuntungan maupun kerugian. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar.” (Al-Baqarah: 219). Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ إِثْمَ الْخَمْرِ أَنَّ شَارِبَهُ يُؤْذِي النَّاسَ إِذَا سَكِرَ واسم الميسر أن صاحبه يظلم الناس إذا عومل وهذا قول السدي

Salah satunya adalah bahwa dosa khamr adalah peminumnya akan menyakiti orang lain ketika ia mabuk, dan dosa maisir adalah pelakunya akan menzalimi orang lain ketika bertransaksi. Ini adalah pendapat as-Suddi.

والثاني أن اسم الْخَمْرِ أَنْ يَزُولَ عَقْلُ شَارِبِهِ فَتَغْرُبُ عَنْهُ معرفة خالقه واسم الميسر أن يوقع العداوة والبغضاء ويصدر عن ذكر الله والصلاة وهذا قول ابن عباس ومنافع الناس وَفِي مَنَافِعِ الْخَمْرِ وَجْهَانِ

Kedua, bahwa makna khamr adalah hilangnya akal orang yang meminumnya sehingga ia lupa mengenal Penciptanya, dan makna maisir adalah menimbulkan permusuhan dan kebencian serta menyebabkan lalai dari mengingat Allah dan shalat. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas. Adapun manfaat bagi manusia, dalam manfaat khamr terdapat dua sisi.

أَحَدُهُمَا وُفُورُ ثَمَنِهَا وربح تجارها

Salah satunya adalah tingginya harga barang tersebut dan keuntungan para pedagangnya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَذَّةُ شُرْبِهَا وَمَا يَحْصُلُ فِي النفس من الطرب كَمَا قَالَ حَسَّانُ بْنُ ثَابِتٍ

Yang kedua adalah kenikmatan meminumnya dan apa yang timbul dalam jiwa berupa kegembiraan, sebagaimana yang dikatakan oleh Hassan bin Tsabit.

وَنَشْرَبُهَا فَتَتْرُكُنَا مُلُوكًا وَأُسْدًا مَا يُنَهنِهُنَا اللِّقَاءُ

Dan kami meminumnya, lalu ia menjadikan kami raja-raja dan singa-singa yang tidak gentar menghadapi pertemuan (pertempuran).

وكقول آخر

Dan seperti pendapat yang lain.

وَإِذَا شَرِبْتُ فَإِنَّنِي رَبُّ الْخَوَرْنَقِ وَالسَّدِيرِ

Dan apabila aku minum, maka sesungguhnya akulah penguasa Khawarnaq dan Saddir.

وَإِذَا صَحَوْتُ فَإِنَّنِي رَبُّ الشُّوَيْهَةِ وَالْبَعِيرِ

Dan apabila aku sadar, maka sesungguhnya aku hanyalah pemilik seekor domba kecil dan unta.

وَفِي مَنَافِعِ الْمَيْسِرِ وَجْهَانِ

Dalam hal manfaat dari maisir, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا اكْتِسَابُ الْمَالِ مِنْ غَيْرِ حل

Salah satunya adalah memperoleh harta dengan cara yang tidak halal.

والثاني ما يحصل الحاضر به مِنْ نَصِيبِ الْقَامِرِ

Dan yang kedua adalah apa yang didapatkan oleh orang yang hadir dari bagian orang yang tidak hadir.

وَذَكَرَ بَعْضُ الْمُفَسِّرِينَ وَجْهًا ثالثاً وهو أن منفعة الخمر والميسر بشأن اجتنابهما ثم قال تعالى وإثمهما أكبر من نفعهما فيه وجهان

Sebagian mufassir menyebutkan pendapat ketiga, yaitu bahwa manfaat khamar dan maysir berkaitan dengan menjauhi keduanya. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya,” dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أحدهما أن الإثم الحادث عنه أكثر من النفع العائد منها قَالَهُ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ

Salah satunya adalah bahwa dosa yang ditimbulkan darinya lebih banyak daripada manfaat yang diperoleh darinya, sebagaimana dikatakan oleh Sa‘id bin Jubair.

وَالثَّانِي أَنَّ إِثْمَهُمَا بَعْدَ التَّحْرِيمِ أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا قَبْلَ التَّحْرِيمِ قاله ابن عباس ويسألونك ماذا ينفقون فِيهِ وَجْهَانِ

Yang kedua, bahwa dosa keduanya setelah diharamkan lebih besar daripada manfaatnya sebelum diharamkan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas. Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang harus mereka infakkan; dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا فِي الْجِهَادِ

Salah satunya adalah dalam jihad.

وَالثَّانِي فِي الصدقات قل العفو فيه أربعة أوجه

Dan yang kedua, dalam zakat, sedikitnya ‘afw (kelebihan) di dalamnya terdapat empat pendapat.

أحدها ما طالبت به النفس عفواً ولم يسأل عليها قاله طاوس

Salah satunya adalah apa yang diinginkan oleh jiwa secara spontan tanpa diminta pertanggungjawaban atasnya, sebagaimana dikatakan oleh Thawus.

والثاني أنهما لا طرف فِيهِ وَلَا تَقْصِيرَ قَالَهُ الْحَسَنُ

Yang kedua, bahwa pada keduanya tidak ada batasan dan tidak ada pengurangan; demikian dikatakan oleh al-Hasan.

وَالثَّالِثُ أنَّهُ ما فضل عن الأهل والعيال قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ

Yang ketiga adalah apa yang melebihi kebutuhan keluarga dan tanggungan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas.

وَالرَّابِعُ أنَّهُ الْحَلَالُ الطَّيِّبُ كذلك يبين الله لكم الآيات فِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Keempat, bahwa yang dimaksud adalah yang halal lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kalian; di dalamnya terdapat tiga makna.

أَحَدُهَا الصَّدَقَاتُ

Salah satunya adalah zakat.

وَالثَّانِي الْأَحْكَامُ

Dan yang kedua adalah hukum-hukum.

والثالث الدلائل والحجج لعلكم تتفكرون في الدنيا والآخرة فيه وجهان

Ketiga, dalil-dalil dan hujjah-hujjah agar kalian berpikir tentang dunia dan akhirat; di dalamnya terdapat dua sisi.

أحدهما تتفكرون في الدنيا أنها دار فناء فتزهدون فيها وفي الآخرة أنها دار بقاء فتعملون لها

Salah satunya adalah kalian merenungkan bahwa dunia adalah tempat kefanaan sehingga kalian bersikap zuhud terhadapnya, dan bahwa akhirat adalah tempat yang kekal sehingga kalian beramal untuknya.

والثاني تتفكرون في أوامر الله ونواهيه فتستذكرون طَاعَةَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا وَثَوَابَهُ فِي الْآخِرَةِ

Dan yang kedua, kalian merenungkan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, sehingga kalian mengingat ketaatan kepada Allah di dunia dan ganjaran-Nya di akhirat.

وَأَمَّا الْآيَةُ الثَّانِيَةُ فِي سُورَةِ النِّسَاءِ وَهِيَ قَوْله تَعَالَى لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ النساء 43 فَفِي قَوْلِهِ لا تقربوا الصلاة وَجْهَانِ

Adapun ayat kedua terdapat dalam Surah an-Nisā’, yaitu firman-Nya Ta‘ālā: “Janganlah kalian mendekati shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan” (an-Nisā’ 43). Dalam firman-Nya “janganlah kalian mendekati shalat” terdapat dua sisi makna.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ نَهى عَنِ الصَّلَاةِ فِي حالة سكر

Salah satunya adalah bahwa ia melarang shalat dalam keadaan mabuk.

وَالثَّانِي أَنَّهُ نَهى عَنِ الشُّرْبِ فِي وَقْتِ الصلاة وفي قوله تعالى وأنتم سكارى وَجْهَانِ

Yang kedua, bahwa Allah melarang minum (khamar) pada waktu salat, dan dalam firman-Nya Ta‘ala “sedangkan kalian dalam keadaan mabuk” terdapat dua sisi makna.

أَحَدُهُمَا مِنَ الشَّرَابِ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ

Salah satunya berasal dari minuman, dan inilah pendapat jumhur.

وَالثَّانِي مِنَ النَّوْمِ قَالَهُ الضَّحَّاكُ

Dan yang kedua adalah tidur, sebagaimana dikatakan oleh adh-Dhahhak.

وَأَصْلُ السُّكْرِ مِنَ الشَّرَابِ مَأْخُوذٌ مِنْ سُكْرِ الْمَاءِ؛ لِأَنَّهُ يسد مجرى الماء فالسكر مِنَ الشَّرَابِ أَنْ يَسُدَّ طَرِيقَ الْعَقْلِ وَفِي قوله تعالى حتى تعلموا ما تقولون وَجْهَانِ

Asal-usul kata “sakar” (mabuk) dari minuman diambil dari “sakar” (penutup) air, karena ia menutup aliran air; maka sakar dari minuman adalah menutup jalan akal. Dalam firman Allah Ta’ala “hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan” terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا حَتَّى تُمَيِّزُوا مَا تَقُولُونَ مِنَ الْكَلَامِ

Salah satunya adalah sampai kalian dapat membedakan apa yang kalian ucapkan dari perkataan.

وَالثَّانِي حَتَّى تَحْفَظُوا مَا تَتْلُونَ مِنَ القرآن لأجل ما كان فيمن أُمِرَ بِالصَّلَاةِ فِي سُكْرِهِ فَلَمْ يَقُمْ بِسُورَةِ قل يا أيها الكافرون فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى إِبَاحَةِ الْخَمْرِ فِي غَيْرِ زَمَانِ الصَّلَاةِ وَتَحْرِيمِهَا فِي زَمَانِ الصَّلَاةِ وَفِيهِ قَوْلَانِ

Yang kedua, agar kalian menjaga apa yang kalian baca dari Al-Qur’an, karena pernah terjadi pada seseorang yang diperintahkan shalat dalam keadaan mabuk, lalu ia tidak mampu membaca surah “Qul ya ayyuhal kafirun” dengan benar. Maka ayat ini menunjukkan kebolehan khamr di luar waktu shalat dan keharamannya pada waktu shalat. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مُعْتَبَرٌ بِفِعْلِ الصلاة إذا حضر فعلها فإذا صلى صلت له وإن كان وقتها باقياً

Salah satunya adalah bahwa ia dianggap mengikuti pelaksanaan shalat jika ia hadir pada pelaksanaannya; maka jika ia shalat, shalat itu berlaku baginya meskipun waktunya masih tersisa.

روى ابن إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي مَيْسَرَةَ قَالَ كَانَ مُنَادِيَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ يُنَادِي ” لَا يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ سكران

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abu Maisarah, ia berkata: Adzan Rasulullah saw. apabila waktu salat telah tiba, penyeru beliau berseru, “Janganlah mendekati salat dalam keadaan mabuk.”

والثاني أنه معتبر بوقت الصلاة يحرم فِيهِ عَلَى مَنْ صَلَّى وَمَنْ لَمْ يُصَلِّ وفيما توجيه التَّحْرِيمِ إِلَيْهِ قَوْلَانِ

Kedua, bahwa waktu tersebut dianggap sebagai waktu salat yang diharamkan bagi orang yang telah salat maupun yang belum salat. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat mengenai alasan pengharamannya.

أَحَدُهُمَا إِلَى السُّكْرِ دُونَ الشُّرْبِ وَهُوَ ظَاهِرُ الْآيَةِ

Salah satunya adalah sampai pada keadaan mabuk tanpa harus meminum, dan inilah makna lahiriah dari ayat tersebut.

وَالثَّانِي إِلَى الشُّرْبِ وَالسُّكْرِ جَمِيعًا

Dan yang kedua adalah kepada minum dan mabuk sekaligus.

رَوَى أَسْبَاطٌ عَنِ السُّدِّيِّ أَنَّهُ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ كَانَتِ الْخَمْرُ حلالاً لهم يشربونها من صلاة الغداء حَتَّى يَنْتَصِفَ النَّهَارُ فَيَقُومُونَ إِلَى صَلَاةِ الظُّهْرِ وهم مصحون ثُمَّ لَا يَشْرَبُونَهَا حَتَّى يُصَلُّوا الْعَصْرَ ثُمَّ يَشْرَبُونَهَا حَتَّى يَنْتَصِفَ اللَّيْلُ وَيَنَامُونَ ثُمَّ يَقُومُونَ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُمْ مُصِحُّونَ

Aspath meriwayatkan dari as-Suddi bahwa ia berkata: Ketika ayat ini turun, khamar masih halal bagi mereka; mereka meminumnya dari waktu salat Dhuha hingga tengah hari, lalu mereka berdiri untuk salat Zuhur dalam keadaan sadar. Setelah itu, mereka tidak meminumnya hingga selesai salat Asar, kemudian mereka meminumnya lagi hingga tengah malam dan tidur. Lalu mereka bangun untuk salat Subuh dalam keadaan sadar.

وَأَمَّا الْآيَةُ الثَّالِثَةُ فِي سُورَةِ الْمَائِدَةِ وَهِيَ قَوْله تَعَالَى إنما الخمر والميسر وقد مضى الكلام فيها والأنصاب والأزلام فيها قَوْلَانِ

Adapun ayat ketiga dalam Surah Al-Mā’idah, yaitu firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya khamar dan maisir…” telah dijelaskan pembahasannya, dan mengenai anṣāb dan azlām terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْأَنْصَابَ الْأَصْنَامُ الَّتِي تُعْبَدُ وَالْأَزْلَامَ قِدَاحٌ مِنْ خَشَبٍ يُسْتَقْسَمُ بِهَا

Salah satunya adalah bahwa anṣāb adalah berhala-berhala yang disembah, sedangkan azlām adalah anak panah dari kayu yang digunakan untuk melakukan istiqsām.

وَالثَّانِي الْأَنْصَاب حِجَارَةٌ حَوْلَ الْكَعْبَةِ كَانُوا يَذْبَحُونَ عَلَيْهَا وَالْأَزْلَام تِسْعُ قِدَاحٍ ذَوَاتُ أَسْمَاءٍ حَكَاهَا الْكَلْبِيُّ يستقسمون بها في أمورهم ويجعلون لكل واحد منهما حكما ثم قال؛ رجس من عمل الشيطان وفيها أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ

Kedua, an-nashab adalah batu-batu yang diletakkan di sekitar Ka’bah, yang dahulu mereka gunakan untuk menyembelih hewan kurban di atasnya. Sedangkan al-azlām adalah sembilan batang anak panah yang memiliki nama-nama tertentu sebagaimana disebutkan oleh al-Kalbi; mereka menggunakannya untuk mengundi keputusan dalam urusan-urusan mereka, dan menetapkan hukum untuk masing-masing dari keduanya. Kemudian Allah berfirman: “Itu adalah najis dari perbuatan setan.” Dalam hal ini terdapat empat pendapat.

أَحَدُهَا سُخْطٌ

Salah satunya adalah kemurkaan.

وَالثَّانِي شَرٌّ

Dan yang kedua adalah keburukan.

وَالثَّالِثُ إِثْمٌ

Dan yang ketiga adalah dosa.

وَالرَّابِعُ حرام من عمل الشيطان أَيْ مِمَّا يَدْعُو إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ وَيَأْمُرُ بِهِ لِأَنَّهُ لَا يَأْمُرُ إِلَّا بِالْمَعَاصِي وَلَا يَنْهَى إلا عن الطاعات وأصل الرجس المستقذر الممنوع مِنْهُ فَعَبَّرَ بِهِ عَنْ ذَلِكَ لِكَوْنِهِ مَمْنُوعًا منه ثم قال فاجتنبوه يَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ

Keempat, haram karena termasuk perbuatan setan, yaitu sesuatu yang didorong dan diperintahkan oleh setan, karena setan tidak memerintahkan kecuali kepada maksiat dan tidak melarang kecuali dari ketaatan. Asal kata “rijs” adalah sesuatu yang kotor dan terlarang, maka digunakan istilah itu untuk hal tersebut karena memang dilarang darinya. Kemudian Allah berfirman, “Maka jauhilah itu,” yang mengandung dua kemungkinan makna.

أَحَدُهُمَا فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ أَنْ تَفْعَلُوهُ

Salah satunya adalah: maka jauhilah kekotoran itu agar kalian tidak melakukannya.

وَالثَّانِي فَاجْتَنِبُوا الشَّيْطَانَ أَنْ تُطِيعُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ فِيهِ وَجْهَانِ

Dan yang kedua: jauhilah setan, yaitu janganlah kalian menaatinya, agar kalian beruntung. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تَهْتَدُونَ

Salah satunya adalah kalian mendapat petunjuk.

وَالثَّانِي تَسْلَمُونَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ والبغضاء في الخمر والميسر بِحُصُولِ الشَرِّ وَالتَنَافُرِ لِحُدُوثِ السُّكْرِ وَغَلَبَةِ الْقِمَارِ ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلاة فِيهِ وَجْهَانِ

Yang kedua, kalian akan selamat. Kemudian dia berkata: Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui khamar dan judi, dengan terjadinya keburukan dan saling menjauh akibat timbulnya mabuk dan dominasi perjudian, serta menghalangi kalian dari mengingat Allah dan dari salat. Dalam hal ini terdapat dua sisi penafsiran.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الشَّيْطَانَ يَصُدُّكُمْ عَنْهُ

Salah satunya adalah bahwa setan menghalangi kalian darinya.

وَالثَّانِي أَنَّ سُكْرَ الْخَمْرِ يَصُدُّكُمْ عَنْ مَعْرِفَةِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ وَطَلَبُ الْغَلَبَةِ فِي الْقِمَارِ يَشْغَلُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ انتم منتهون فِيهِ وَجْهَانِ

Yang kedua, sesungguhnya mabuk karena khamr menghalangi kalian dari mengenal Allah dan dari salat, dan keinginan untuk menang dalam perjudian menyibukkan dari ketaatan kepada Allah dan dari salat. Maka, apakah kalian akan berhenti? Dalam hal ini terdapat dua sisi.

أَحَدُهُمَا مُنْتَهُونَ عَمَّا نهى عَنْهُ من الخمر والميسر والأنصاب والأزلام وأخرجه مخرج الاستفهام وعيداً وتغليظاً الأعراف 33

Salah satunya adalah mereka yang menjauhi apa yang telah dilarang olehnya berupa khamar, judi, berhala, dan azlam, dan Dia mengungkapkannya dalam bentuk pertanyaan sebagai ancaman dan penegasan yang keras (al-A‘rāf: 33).

وَالثَّانِي فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ عَنْ طَاعَةِ الشَّيْطَانِ فِيمَا زَيَّنَهُ لَكُمْ مِنَ ارْتِكَابِ هَذِهِ الْمَعَاصِي وأما الآية الرابعة في سورة الأعراف وفي قَوْله تَعَالَى قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وما بطن فيه وجهان

Yang kedua, maka apakah kalian akan berhenti menaati setan dalam hal yang telah ia hiasi bagi kalian berupa melakukan maksiat-maksiat ini? Adapun ayat keempat dalam Surah Al-A‘raf, yaitu firman Allah Ta‘ala: “Katakanlah, sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi,” di dalamnya terdapat dua sisi makna.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْفَوَاحِشَ الزِّنَا خَاصَّةً وَمَا ظَهَرَ منها الأنكحة الْفَاسِدَةُ وَمَا بَطَنَ السِّفَاحُ الصَّرِيحُ

Salah satunya adalah bahwa perbuatan keji, khususnya zina, dan yang tampak darinya adalah pernikahan-pernikahan fasid, sedangkan yang tersembunyi adalah hubungan gelap yang nyata.

وَالثَّانِي أَنَّ الْفَوَاحِشَ جَمِيعُ الْمَعَاصِي وَمَا ظَهَرَ مِنْهَا أَفْعَالُ الْجَوَارِحِ وَمَا بَطَنَ اعْتِقَادُ الْقُلُوبِ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بغير الحق فِيهِ وَجْهَانِ

Kedua, bahwa al-fawāḥisy mencakup seluruh maksiat; yang tampak darinya adalah perbuatan anggota badan, dan yang tersembunyi adalah keyakinan hati, serta dosa dan kezhaliman tanpa hak, di dalamnya terdapat dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْإِثْمَ الْجِنَايَةُ فِي الْأَمْوَالِ وَالْبَغْيَ التَّعَدِّي عَلَى النُّفُوسِ

Salah satunya adalah bahwa dosa merupakan pelanggaran terhadap harta, dan kezhaliman adalah tindakan melampaui batas terhadap jiwa.

وَالثَّانِي أَنَّ الْإِثْمَ الْخَمْرُ وَالْبَغْيَ السُّكْرُ وَقَدْ ذَكَرْنَا شَاهِدَهُمَا فَسَمَّاهُمَا بِمَا يَحْدُثُ عَنْهُمَا

Yang kedua adalah bahwa “al-itsm” berarti khamar dan “al-baghy” berarti mabuk, dan kami telah menyebutkan dalil keduanya, maka keduanya dinamai dengan akibat yang ditimbulkan oleh keduanya.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تَفْسِيرِ الْآيَاتِ الْأَرْبَعِ فِي الخمر فقد اختلف أهل العلم بأيهما وقع التحريم على ثلاثة أقاويل

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan mengenai tafsir empat ayat tentang khamr, para ulama berbeda pendapat mengenai ayat mana yang menjadi dasar pengharaman, dengan tiga pendapat.

أحدهما وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّ تَحْرِيمَ الْخَمْرِ كان بالآية الأولى في سورة البقرة في قوله تَعَالَى يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كبير البقرة 219 وقرأ حمزة والكسائي كثير لأنه ما كثر إثمه لم يجز اسْتِبَاحَتُهُ فَوَقَعَ بِهَا التَّحْرِيمُ وَكَانَ مَا بَعْدَهَا مُؤَكِّدًا

Salah satu pendapat, yaitu pendapat al-Hasan al-Bashri, menyatakan bahwa pengharaman khamr telah terjadi melalui ayat pertama dalam Surah al-Baqarah, yaitu firman Allah Ta‘ala: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar…” (al-Baqarah: 219). Hamzah dan al-Kisā’ī membaca “kabīr” (besar) sebagai “katsīr” (banyak), karena sesuatu yang dosanya banyak tidak boleh dihalalkan, sehingga dengan ayat itu telah terjadi pengharaman, dan ayat-ayat setelahnya hanya sebagai penegasan.

وَالثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّ تَحْرِيمَ الْخَمْرِ اسْتَقَرَّ بِالْآيَةِ الَّتِي فِي سُورَةِ الأعراف من قَوْله تَعَالَى قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ لِمَا فِيهَا مِنْ صَرِيحِ التَّحْرِيمِ وَفِي غَيْرِهَا مِنْ طَرِيقِ الِاحْتِمَالِ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat sebagian ulama muta’akhkhirīn, menyatakan bahwa pengharaman khamr telah ditetapkan melalui ayat yang terdapat dalam Surah al-A‘rāf, yaitu firman Allah Ta‘ala: “Katakanlah: Sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dosa, dan kedurhakaan,” karena dalam ayat tersebut terdapat larangan yang jelas, sedangkan dalam ayat-ayat lain masih bersifat kemungkinan.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ قَوْلُ قَتَادَةَ وعليه اكثر العلماء أن تحريم الخمر استقر بآية المائدة من قَوْله تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الخمر والميسر والأنصاب والأزلام إلى قوله فهل انتم منتهون

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Qatadah—dan inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama—bahwa pengharaman khamar telah ditetapkan dengan ayat dalam Surah Al-Mā’idah, dari firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maysir, ansab, dan azlam…” hingga firman-Nya: “Maka apakah kalian akan berhenti?”

روى عبد الوهاب عن عوف بن أبي القموص عن زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى في الخمر ثلاث مرات فأول ما أنزل يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ البقرة 219 فَشَرِبَهَا قَوْمٌ وَامْتَنَعَ عنها قَوْمٌ

Abdul Wahhab meriwayatkan dari ‘Auf bin Abi al-Qamus dari Zaid bin ‘Ali, ia berkata: Allah Ta‘ala menurunkan ayat tentang khamr sebanyak tiga kali. Pertama kali yang diturunkan adalah firman-Nya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia.” (al-Baqarah: 219). Maka ada sekelompok orang yang tetap meminumnya dan ada pula sekelompok orang yang menjauhinya.

ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ النساء 43 فامتنعوا عنها فِي وَقْتِ الصَّلَاةِ وَشَرِبُوهَا فِي غَيْرِ وَقْتِ الصلاة ثم أنزل إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وعن الصلاة فهل أنتم منتهون فَقَالَ عُمَرُ انْتَهَيْنَا انْتَهَيْنَا فَاسْتَقَرَّ بِهَا التَّحْرِيمُ فَرُوِيَ أَنَّ الْمُسْلِمِينَ قَالُوا عِنْدَ تَحْرِيمِهَا بِهَذِهِ الْآيَةِ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ بِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ شربوها وماتوا قبل تحريمها فأنزل الله تَعَالَى لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا المائدة 93 فِيهِ قَوْلَانِ

Kemudian Allah Ta‘ala menurunkan (ayat): “Janganlah kalian mendekati shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan” (an-Nisā’ 43). Maka mereka pun menahan diri dari (minum khamr) pada waktu shalat dan meminumnya di luar waktu shalat. Lalu Allah menurunkan (ayat): “Sesungguhnya khamr, maysir, anshāb, dan azlām adalah najis, termasuk perbuatan setan, maka jauhilah itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan di antara kalian melalui khamr dan maysir, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan dari shalat. Maka tidakkah kalian mau berhenti?” Maka ‘Umar berkata, “Kami berhenti, kami berhenti.” Maka dengan itu, penetapan keharamannya menjadi tetap. Diriwayatkan bahwa kaum Muslimin berkata ketika khamr diharamkan dengan ayat ini, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan saudara-saudara kami yang telah meminumnya dan meninggal sebelum keharamannya?” Maka Allah Ta‘ala menurunkan (ayat): “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih terhadap apa yang telah mereka makan (minum)” (al-Mā’idah 93). Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا مِنَ الْمُبَاحَاتِ غَيْرِ الْمُحَرَّمَاتِ

Salah satunya adalah dari perkara-perkara yang mubah, bukan dari hal-hal yang diharamkan.

وَالثَّانِي مِنَ الْخَمْرِ قَبْلَ التَّحْرِيمِ إِذَا مَا اتَّقَوْا فِيهِ وَجْهَانِ

Dan yang kedua adalah tentang khamr sebelum diharamkan; jika mereka bertakwa di dalamnya, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا فِي تَلَقِّي أَمْرِ اللَّهِ بالقبول

Salah satunya adalah dalam menerima perintah Allah dengan penuh penerimaan.

والثاني في أداء الفرائض وآمنوا يعني بالله ورسوله وعملوا الصالحات يعني البر والمعروف ثم اتقوا وآمنوا فِي هَذِهِ التَّقْوَى الثَّانِيَةِ وَجْهَانِ

Dan yang kedua dalam menunaikan kewajiban-kewajiban, serta mereka beriman, yaitu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka beramal saleh, yaitu melakukan kebajikan dan kebaikan. Kemudian mereka bertakwa dan beriman; dalam takwa yang kedua ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُخَاطَبَ بِهَا غَيْرُ مَنْ خُوطِبَ بِالتَّقْوَى فِي الْأُولَى وَأَنَّ الْأُولَى لِمَنْ شَرِبَهَا قَبْلَ التَّحْرِيمِ وَالثَّانِيَةَ لِمَنْ شَرِبَهَا بَعْدَ التَّحْرِيمِ؛ فَلِذَلِكَ تَكَرَّرَ ذكرها لاختلاف المخاطب بها

Salah satu pendapat menyatakan bahwa pihak yang dituju dalam ayat tersebut berbeda dengan pihak yang diperintahkan bertakwa pada ayat pertama, dan bahwa ayat pertama ditujukan bagi mereka yang meminumnya sebelum diharamkan, sedangkan ayat kedua bagi mereka yang meminumnya setelah diharamkan; oleh karena itu penyebutannya diulang karena perbedaan pihak yang dituju.

والوجه الثاني أَنَّ الْمُخَاطَبَ بِهَا وَاحِدٌ وَإِنَّمَا تَكَرَّرَ ذِكْرُهَا لاختلاف المراد بها فعلى هذا في الْمُرَادِ بِهَا وَجْهَانِ

 

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُرَادَ بِالْأُولَى فعل الطاعات

Salah satunya adalah bahwa yang dimaksud dengan yang pertama adalah melakukan ketaatan.

والثانية اجْتِنَابُ الْمَعَاصِي

Dan yang kedua adalah menjauhi maksiat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْمُرَادَ بِالْأُولَى عَمَلُ الْفَرَائِضِ وَبِالثَّانِيَةِ عَمَلُ النَّوَافِلِ ثُمَّ اتَّقَوْا وأحسنوا فِي هَذِهِ التَّقْوَى الثَّالِثَةِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Adapun pendapat kedua, yang dimaksud dengan yang pertama adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan yang kedua adalah melaksanakan amalan-amalan sunnah. Kemudian mereka bertakwa dan berbuat ihsan; dalam ketakwaan yang ketiga ini terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا أَنَّهَا الْإِقَامَةُ عَلَى التَّقْوَى

Salah satunya adalah bahwa ia merupakan keteguhan dalam ketakwaan.

وَالثَّانِي أَنَّهَا تَقْوَى الشبهات

Dan yang kedua adalah bahwa hal itu memperkuat syubhat-syubhat.

والثالث أنها إثابة المحسن والعفو عن المسيئ

Yang ketiga adalah memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan memaafkan orang yang berbuat buruk.

وَحُكِيَ عَنْ قُدَامَةَ بْنِ مَظْعُونٍ أَنَّهُ اسْتَبَاحَ الخمر بهذه الآية المائدة 93 وَقَالَ قَدِ اتَّقَيْنَا وَآمَنَّا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْنَا فيما طعمنا وأن عمرو بن معد كرب استباحها؛ لأن الله تعالى قال فهل انتم منتهون ثُمَّ سَكَتَ وَسَكَتْنَا فَرَدَّ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِمَا لِفَسَادِ تَأْوِيلِهِمَا فَرَجَعَا وَلَمْ يَكُنْ لِخِلَافِهِمَا تَأْثِيرٌ فَصَارَ الْإِجْمَاعُ مُنْعَقِدًا عَلَى تَحْرِيمِهَا بِنَصِّ الْكِتَابِ ثُمَّ أكده نص السنة

Diriwayatkan dari Qudāmah bin Maẓ‘ūn bahwa ia menghalalkan khamar dengan ayat (Al-Mā’idah: 93) dan berkata, “Kami telah bertakwa dan beriman, maka tidak ada dosa atas kami terhadap apa yang kami makan.” Dan ‘Amr bin Ma‘dī Karib juga menghalalkannya karena Allah Ta‘ala berfirman, “Maka apakah kalian akan berhenti?” Lalu Allah diam dan kami pun diam. Maka kaum Muslimin membantah keduanya karena penafsiran mereka yang rusak, sehingga keduanya pun kembali (dari pendapat itu) dan perbedaan pendapat mereka tidak berpengaruh. Maka ijmā‘ pun terwujud atas keharamannya berdasarkan nash Al-Qur’an, kemudian dikuatkan lagi oleh nash sunnah.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عن البتع فقال ” كل شراب أسكر فهو حَرَامٌ وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ عَبْدِ الْمَجِيدِ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ “

Syafi‘i meriwayatkan dari Malik, dari az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang al-bita‘, lalu beliau bersabda, “Setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram.” Dan Syafi‘i meriwayatkan dari ‘Abd al-Majid, dari Ibnu Juraij, dari Ayyub, dari Nafi‘, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Setiap yang memabukkan itu haram.”

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قال ” شرب الخمر أم الخبائث وَإِنَّ خَطِيئَةَ شُرْبِهَا لَتَعْلُو الْخَطَايَا كَمَا أَنَّ شجرها يعلوا الشجر

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Minum khamr adalah induk segala keburukan, dan sungguh dosa meminumnya akan mengungguli dosa-dosa lain sebagaimana pohonnya mengungguli pohon-pohon lain.”

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا وَشَارِبَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Allah melaknat khamr, orang yang memerasnya, yang meminta diperas, yang menjualnya, yang membelinya, yang membawanya, yang dibawakan kepadanya, yang menuangkannya, yang meminumnya, dan yang memakan hasil penjualannya.”

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ بِنَصِّ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَيَحْرُمُ قَلِيلُهَا وَكَثِيرُهَا مَعًا صِرْفًا وَمَمْزُوجَةً

Maka apabila telah tetap keharaman khamar berdasarkan nash Al-Qur’an dan Sunnah, maka haram pula sedikit maupun banyaknya, baik dalam keadaan murni maupun tercampur.

وَحُكِيَ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَطَائِفَةٍ مِنَ الْمُتَكَلِّمِينَ أَنَّهَا تَحْرُمُ إِذَا كَانَتْ صِرْفًا وَلَا تَحْرُمُ إِذَا مُزِجَتْ بِغَيْرِهَا

Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan sekelompok mutakallim bahwa khamr hukumnya haram jika murni, dan tidak haram jika telah dicampur dengan selainnya.

لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” حُرِّمَتِ الْخَمْرُ بِعَيْنِهَا وَالسُّكْرُ مِنْ كل شراب

Karena telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Khamr diharamkan zatnya, dan mabuk diharamkan dari setiap minuman.”

قالوا وليست الممزوجة بِعَيْنِهَا فَلَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهَا التَّحْرِيمُ وَهَذَا تَأْوِيلٌ فَاسِدٌ وَذَلِكَ ظَاهِرٌ لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ عُمُومِ النَّصِّ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَلَوْ حَلَّتْ بِالْمَزْجِ لَبَطَلَ مَقْصُودُ التَّحْرِيمِ وَلَجَازَ إِذَا أُلْقِيَ فِيهَا حصاة أو عود أن تحل ولتوصل إِلَى مُرَادِ شُرْبِهَا إِلَى الِاسْتِبَاحَةِ وَلَمْ يَكُنْ للنصوص فيها تأثير وسنذكر معنى الْحَدِيثِ مِنْ بَعْدُ

Mereka berkata, “Zat yang bercampur itu bukanlah zat aslinya, maka larangan tidak berlaku padanya.” Namun, ini adalah takwil yang rusak, dan hal itu jelas sebagaimana telah kami sebutkan tentang keumuman nash dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Seandainya zat itu menjadi halal karena percampuran, tentu tujuan pelarangan akan batal, dan akan dibolehkan jika dilemparkan ke dalamnya sebuah kerikil atau sebatang kayu, maka ia menjadi halal, dan keinginan untuk meminum zat tersebut akan sampai pada kebolehan, sehingga nash tidak lagi berpengaruh padanya. Kami akan menyebutkan makna hadits tersebut setelah ini.

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا لَمْ يَخْلُ حَالُ شَارِبِهَا مِنْ أَنْ يَسْتَحِلَّ شُرْبَهَا أولا

Maka apabila hal ini telah dijelaskan, tidaklah keadaan orang yang meminumnya lepas dari kemungkinan bahwa ia menghalalkan meminumnya atau tidak.

فَإِنْ شَرِبَهَا مُسْتَحِلًّا كَانَ كَافِرًا بِاسْتِحْلَالِهَا؛ لِأَنَّهُ اسْتَحَلَّ مَا حَرَّمَهُ النَّصُّ فَيَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ المرتد في الْقِتَالِ إِنْ لَمْ يَتُبْ

Jika seseorang meminumnya dengan meyakini kehalalannya, maka ia menjadi kafir karena menghalalkannya; sebab ia telah menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan oleh nash, sehingga berlaku atasnya hukum murtad dalam hal diperangi jika ia tidak bertobat.

وَإِنْ شَرِبَهَا غَيْرَ مُسْتَحِلٍّ لَمْ يَكْفُرْ

Dan jika seseorang meminumnya tanpa menghalalkannya, maka ia tidak kafir.

وَتَعَلَّقَ بِشُرْبِهَا ثَلَاثَةُ أَحْكَامٍ

Terkait dengan meminumnya terdapat tiga hukum.

أَحَدُهَا مَأْثَمُ التَّحْرِيمِ

Salah satunya adalah dosa karena keharaman.

وَالثَّانِي الْفِسْقُ بِالْخُرُوجِ مِنَ الْعَدَالَةِ

Yang kedua adalah fasiq, yaitu keluar dari sifat ‘adālah (keadilan).

وَالثَّالِثُ وُجُوبُ الْحَدِّ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ وَسَوَاءٌ سَكِرَ مِنْ شُرْبِهَا أَوْ لَمْ يَسْكَرْ وزعم قوم أن الحد فيها تعزير ويجوز أَنْ يُقَامَ عَلَيْهِ وَيَجُوزُ أَنْ يُعْفَى عَنْهُ وَلَيْسَ كَمَا زَعَمُوا بَلْ هُوَ حَدٌّ رَوَى شعبة عن قتادة عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” جَلَدَ فِي الْخَمْرِ أَرْبَعِينَ

Ketiga, wajibnya hukuman hadd atas apa yang akan kami sebutkan, baik seseorang mabuk karena meminumnya atau tidak mabuk. Sebagian kelompok berpendapat bahwa hukuman atasnya adalah ta‘zīr, sehingga boleh ditegakkan atasnya dan boleh juga dimaafkan darinya. Namun, pendapat mereka itu tidak benar, melainkan hukuman tersebut adalah hadd. Syubah meriwayatkan dari Qatadah dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencambuk dalam kasus khamr sebanyak empat puluh kali.

فَإِنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ الشُّرْبُ قَبْلَ الْحَدِّ أُقِيمَ عَلَيْهِ حَدٌ وَاحِدٌ فإن تَكَرَّرَ مِنْهُ الشُّرْبُ بَعْدَ الْحَدِّ كُرِّرَ عَلَيْهِ الحد ولم يقتل

Jika ia mengulangi perbuatan minum (khamar) sebelum dijatuhi had, maka hanya dikenakan satu had atasnya. Namun jika ia mengulangi perbuatan minum setelah dijatuhi had, maka had diulang atasnya dan ia tidak dibunuh.

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ قبيصة بن ذؤيب يرفعه إلى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قَالَ ” إِنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ ثُمِّ إن شرب فَاجْلِدُوهُ ثُمِّ إِنْ شَرِبَ فَاجْلِدُوهُ ثُمَّ إِنْ شرب فاقتلوه قالوا فَأُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ ثُمَّ أتي به الثانية فجلده ثم أتي به الثَّالِثَةَ فَجَلَدَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ الرَّابِعَةَ فَجَلَدَهُ وَوضعَ الْقَتْل فَكَانَتْ رُخْصَةٌ

Syafi‘i meriwayatkan dari Sufyan, dari az-Zuhri, dari Qabishah bin Dzu’aib yang menyandarkannya kepada Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jika seseorang minum khamr, maka deralah dia. Kemudian jika dia minum lagi, deralah dia. Kemudian jika dia minum lagi, deralah dia. Kemudian jika dia minum lagi, maka bunuhlah dia.” Mereka berkata: Lalu didatangkan seorang laki-laki yang telah minum khamr, maka beliau menderanya. Kemudian didatangkan lagi untuk kedua kalinya, maka beliau menderanya. Kemudian didatangkan lagi untuk ketiga kalinya, maka beliau menderanya. Kemudian didatangkan lagi untuk keempat kalinya, maka beliau menderanya dan tidak membunuhnya, sehingga hal itu menjadi keringanan.

ثُمَّ قَالَ الزُّهْرِيُّ لِمَنْصُورِ بْنِ الْمُعْتَمِرِ وَمِخْوَلِ بْنِ رَاشِدٍ كُونَا وَافِدَيِ الْعِرَاقَ بِهَذَا الْحَدِيثِ وَغَيْرِهِ

Kemudian az-Zuhri berkata kepada Manshur bin al-Mu‘tamir dan Mikhwal bin Rasyid, “Jadilah kalian berdua utusan Irak dengan hadits ini dan hadits-hadits lainnya.”

قَالَ الشَّافِعِيُّ فَالْقَتْلُ مَنْسُوخٌ بِهَذَا الْحَدِيثِ وَغَيْرِهِ وَإِنَّمَا قَالَ وَغَيْرِهِ؛ لِأَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ مُرْسَلٌ وَالْمَرَاسِيلُ عِنْدَهُ لَيْسَتْ بِحُجَّةٍ وَاخْتُلِفَ فِيمَا أَرَادَهُ بِغَيْرِهِ عَلَى وجهين

Imam Syafi‘i berkata, “Hukuman mati telah di-nasakh dengan hadis ini dan selainnya.” Ia mengatakan “dan selainnya” karena hadis ini adalah mursal, sedangkan hadis-hadis mursal menurut beliau bukanlah hujah. Terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang beliau maksud dengan “selainnya” dalam dua pendapat.

أحدهما حديث عثمان بن عفان رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٍ بَعْدَ إِيمَانٍ وَزِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ وَقَتْلِ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ

Salah satunya adalah hadis Utsman bin ‘Affan radhiyallāhu ‘anhu dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: kekufuran setelah beriman, zina setelah menikah, dan membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan.”

وَقَدْ أَشَارَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْأُمِّ

Dan hal ini telah disinggung oleh asy-Syafi‘i dalam kitab al-Umm.

وَالثَّانِي أَرَادَ مَا رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ ثُمَّ إِنْ شرب فَاجْلِدُوهُ ثُمِّ إِنْ شَرِبَ فَاجْلِدُوهُ ثُمَّ إِنْ شرب فَاقْتُلُوهُ فَأُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ ثم أتي به الثانية فجلده ثم أتي بِهِ الثَّالِثَةَ فَجَلَدَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ الرَّابِعَةَ فجلده ووضع القتل

Dan yang kedua, maksudnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa minum khamr maka cambuklah dia, kemudian jika ia minum lagi maka cambuklah dia, kemudian jika ia minum lagi maka cambuklah dia, kemudian jika ia minum lagi maka bunuhlah dia.” Lalu didatangkan seorang laki-laki yang telah minum khamr, maka beliau mencambuknya, kemudian didatangkan lagi untuk kedua kalinya maka beliau mencambuknya, kemudian didatangkan lagi untuk ketiga kalinya maka beliau mencambuknya, kemudian didatangkan lagi untuk keempat kalinya maka beliau mencambuknya dan meninggalkan hukuman bunuh.

وقد روى ذكريا الساجي هذا الحديث وسمى الرجل بنعمان

Zakariya as-Saji telah meriwayatkan hadis ini dan menyebutkan nama laki-laki tersebut sebagai Nu‘man.

وَهَذَا الْحَدِيثُ مُسْنَدٌ وَلَمْ يَرْوِهِ الشَّافِعِيُّ وَإِنْ أَشَارَ إِلَيْهِ فَثَبَتَ أَنَّ الْقَتْلَ مَنْسُوخٌ فَهَذَا حُكْمُ الْخَمْرِ

Hadis ini bersanad, namun tidak diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i meskipun beliau pernah menyinggungnya. Maka telah tetap bahwa hukuman bunuh telah di-nasakh, dan inilah hukum khamr.

فَصْلٌ

Bab

فَأَمَّا الْأَنْبِذَةُ الْمُسْكِرَةُ سِوَى الْخَمْرِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي إِجْرَاءِ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ عَلَيْهَا فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَفُقَهَاءُ الْحَرَمَيْنِ إِلَى أَنَّ مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ مِنْ جَمِيعِ الأنبذة قليله حَرَامٌ وَيَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْخَمْرِ فِي التَّحْرِيمِ والنجاسة والحد سواء كان نيئاً أَوْ مَطْبُوخًا وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الصَّحَابَةِ

Adapun minuman nabīdh yang memabukkan selain khamr, para fuqahā’ berbeda pendapat tentang penerapan hukum pengharaman khamr atasnya. Asy-Syāfi‘ī, Mālik, dan para fuqahā’ dari dua tanah suci berpendapat bahwa segala jenis nabīdh yang jika diminum banyak dapat memabukkan, maka sedikitnya pun haram dan berlaku atasnya hukum khamr dalam hal keharaman, kenajisan, dan hukuman had, baik masih mentah maupun sudah dimasak. Ini adalah pendapat mayoritas sahabat.

وَذَهَبَ كَثِيرٌ مِنْ فُقَهَاءِ الْعِرَاقِ إِلَى إِبَاحَتِهِ فَأَبَاحَ بَعْضُهُمْ جَمِيعَ الْأَنْبِذَةِ مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ

Banyak fuqaha Irak berpendapat membolehkannya, sehingga sebagian dari mereka membolehkan seluruh jenis nabidz tanpa perincian.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ أَمَّا عَصِيرُ الْعِنَبِ إِذَا لَمْ يمسه طبخ فَهُوَ الْخَمْرُ الَّذِي يَحْرُمُ قَلِيلُهُ وَكَثِيرُهُ وَيُحْكَمُ بِنَجَاسَتِهِ وَوُجُوبِ الْحَدِّ فِي شُرْبِهِ فَإِنْ طُبِخَ فذهب ثلثاه حل ولا حَدَّ فِيهِ حَتَّى يُسْكِرَ وَإِنْ ذَهَبَ أَقَلُّ من ثلثه فَهُوَ حَرَامٌ وَلَا حَدَّ فِيهِ حَتَّى يُسْكِرَ وَمَا عُمِلَ مِنَ التَّمْرِ وَالزَّبِيبِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ فَجَمِيعُهُ حَلَالٌ طُبِخَ أَوْ لَمْ يُطْبَخْ أَسْكَرَ أَوْ لَمْ يُسْكِرْ وَلَا حَدَّ فِيهِ حَتَّى يُسْكِرَ وَيَحْرُمُ مِنْهُ الْقَدَحُ الْمُسْكِرُ وَجَمِيعُ الْأَنْبِذَةِ عِنْدَهُ طَاهِرَةٌ وَإِنْ حَرُمَتْ سِوَى الْخَمْرِ وَلَا يَنْطَلِقُ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا اسْمُ الْخَمْرِ وَلَا يُعَلَّلُ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ فَصَارَ الْخِلَافُ معه مشتملاً على خمسة فصول

Abu Hanifah berkata, adapun perasan anggur jika belum terkena proses memasak, maka itulah khamr yang haram baik sedikit maupun banyaknya, dihukumi najis dan wajib dijatuhi had bagi peminumnya. Jika dimasak hingga dua pertiganya menguap, maka hukumnya halal dan tidak ada had padanya kecuali jika memabukkan. Namun jika yang menguap kurang dari sepertiganya, maka tetap haram dan tidak ada had kecuali jika memabukkan. Segala minuman yang dibuat dari kurma, kismis, madu, gandum, jelai, dan jagung, semuanya halal baik dimasak maupun tidak, memabukkan ataupun tidak, dan tidak ada had kecuali jika memabukkan. Yang haram darinya hanyalah kadar yang memabukkan. Semua jenis nabidz menurut beliau adalah suci, meskipun haram selain khamr, dan tidak ada satu pun dari minuman tersebut yang disebut khamr. Pengharaman khamr tidak di-qiyās-kan. Maka perbedaan pendapat dengannya mencakup lima pembahasan.

أحدهما هَلْ يَنْطَلِقُ عَلَى الْأَنْبِذَةِ الْمُسْكِرَةِ اسْمُ الْخَمْرِ

Salah satunya adalah apakah nama khamr dapat diterapkan pada anbiżah yang memabukkan.

عِنْدَنَا يَنْطَلِقُ وَعِنْدَهُ لَا يَنْطَلِقُ

Menurut kami, hal itu berlaku, sedangkan menurutnya, hal itu tidak berlaku.

وَالثَّانِي هَلْ يَحْرُمُ قَلِيلُهَا وَكَثِيرُهَا عِنْدَنَا يَحْرُمُ وَعِنْدَهُ لَا يحرم

Yang kedua, apakah sedikit atau banyaknya (zat tersebut) hukumnya haram? Menurut kami, hukumnya haram, sedangkan menurutnya tidak haram.

والثالث هل تنجس كالخمر عندنا تنجس وعنده لا تنجس

Dan yang ketiga, apakah ia menjadi najis seperti khamar? Menurut kami, ia menjadi najis, sedangkan menurutnya, ia tidak menjadi najis.

وَالرَّابِعُ هَلْ يَتَعَلَّقُ وُجُوبُ الْحَدِّ بِالشُّرْبِ أَوْ بِالسُّكْرِ عِنْدَنَا بالشُّرْبِ وَعِنْدَهُ بِالسُّكْرِ

Keempat, apakah kewajiban hudud terkait dengan perbuatan minum atau dengan keadaan mabuk? Menurut kami, hudud terkait dengan perbuatan minum, sedangkan menurutnya terkait dengan keadaan mabuk.

وَالْخَامِسُ هَلْ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ مُعَلَّلٌ أَوْ غَيْرُ مُعَلَّلٍ عِنْدَنَا مُعَلَّلٌ وَعِنْدَهُ غَيْرُ مُعَلَّلٍ

Kelima, apakah pengharaman khamr itu memiliki ‘illat (alasan hukum) atau tidak? Menurut kami, pengharaman khamr itu memiliki ‘illat, sedangkan menurutnya tidak memiliki ‘illat.

وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى إِبَاحَةِ النَّبِيذِ فِي الْجُمْلَةِ وَإِنْ كَانَ مَذْهَبُهُ فِيهِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ التَّفْصِيلِ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا النحل 67

Abu Hanifah berdalil atas kebolehan nabidz secara umum—meskipun pendapat mazhab beliau dalam hal ini telah kami sebutkan secara rinci sebelumnya—dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat darinya minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik.” (an-Nahl: 67).

والسَّكَرُ هُوَ الْمُسْكِرُ فِي قَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَمُجَاهِدٍ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَقَتَادَةَ فَدَلَّتِ الْآيَةُ عَلَى إِبَاحَتِهِ

Sakar adalah minuman memabukkan menurut pendapat Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa‘id bin Jubair, dan Qatadah, sehingga ayat tersebut menunjukkan kebolehannya.

وَبِمَا رَوَى أَبُو عَوْنٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” حُرِّمَتِ الْخَمْرُ بِعَيْنِهَا وَالسُّكْرُ مِنْ كُلِّ شَرَابٍ فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى ثَلَاثَةِ أحكام

Dan berdasarkan riwayat Abu ‘Aun dari ‘Abdullah bin Syaddad dari ‘Abdullah bin ‘Abbas dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Khamr diharamkan zatnya, dan segala minuman yang memabukkan juga diharamkan.” Hadis ini menunjukkan tiga hukum.

إِبَاحَةُ النَّبِيذِ؛ لِأَنَّهُ حَرَّمَ السُّكْرَ دُونَ الْمُسْكِرِ ولأنه لا ينطلق عليه اسم الخمر وأن تحريم الخمر غير معلل؛ ولأنه حَرَّمَهَا بِعَيْنِهَا لَا لِعِلَّةٍ وَاسْتَدَلَّ بِرِوَايَةِ مَنْصُورٍ عن مخلد عن سَعْدٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ عَطِشَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وهو يطوف بالبيت فاستسقى فأوتي بنبيذ من السقاية فشمه وقطب وجهه ودعا بذنوب من ماء زمزم فصب عليه وشرب منه وقال ” إذا غلت عَلَيْكُمْ هَذِهِ الْأَشْرِبَةُ فَاكْسِرُوهَا بِالْمَاءِ

Dibolehkannya nabidz; karena Nabi mengharamkan sesuatu yang memabukkan, bukan sekadar yang mengandung unsur memabukkan, dan karena nabidz tidak disebut sebagai khamr, serta pengharaman khamr tidak disertai alasan (‘illat); juga karena khamr diharamkan secara spesifik, bukan karena suatu sebab tertentu. Dalilnya adalah riwayat dari Manshur, dari Mukhlad, dari Sa‘d, dari Abu Mas‘ud al-Badri al-Anshari, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa haus saat thawaf di Ka‘bah, lalu beliau meminta minum, maka dibawakan nabidz dari tempat air, beliau menciumnya, mengernyitkan wajahnya, lalu meminta air zamzam, kemudian menuangkannya ke dalam nabidz itu dan meminumnya. Beliau bersabda, “Jika minuman-minuman ini terasa keras bagi kalian, maka campurlah dengan air.”

وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ يُنْبَذُ لِرَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ النبيذ فيشربه اليوم والغد وَبَعْدَ الْغَدِ إِلَى مَسَاءِ الثَّالِثَةِ ثُمَّ يَأْمُرُ به فيستقى الْخَدَمُ أَوْ يُهْرَاقَ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا سَقَاهُ الْخَدَمَ

Abdullah bin Abbas meriwayatkan: Dahulu dibuatkan nabidz untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau meminumnya pada hari itu, esok harinya, dan lusa hingga sore hari ketiga. Setelah itu beliau memerintahkan agar nabidz tersebut diberikan kepada para pelayan atau dibuang. Seandainya nabidz itu haram, tentu beliau tidak akan memberikannya kepada para pelayan.

وَرَوَى أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ يُنْبَذُ لَهُ فِي سِقَاءٍ فَإِنْ لَمْ يكن فثور مِنْ حِجَارَةٍ

Abu az-Zubair meriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa dibuatkan nabidz untuk beliau dalam wadah dari kulit, dan jika tidak ada, maka dalam bejana dari batu.

وَرَوَى أَبُو مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سئل عن النبيذ أحلال أَمْ حَرَامٌ

 

فَقَالَ ” حَلَالٌ

Maka beliau berkata, “Halal.”

وَهَذَانِ الْحَدِيثَانِ نَصٌ وَفِعْلٌ فِي إِبَاحَةِ النَّبِيذِ

Kedua hadis ini merupakan nash dan perbuatan yang menunjukkan kebolehan nabidz.

وَاسْتَدَلَّ بِمَا رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لَنَا أَعْنَابًا فما نَصْنَعُ بِهَا فَقَالَ ” زَبِّبُوهَا فَقُلْنَا مَا نَصْنَعُ بِالزَّبِيبِ قَالَ أَنْبِذُوهُ عَلَى عَشَائِكُمْ وَاشْرَبُوهُ عَلَى غَدَائِكُمْ وَأَنْبِذُوهُ عَلَى غَدَائِكُمْ وَاشْرَبُوهُ عَلَى عَشَائِكُمْ وانبذوه في الشنان يريد الجلد ولا تنبذوا في القلل فإنه إن تَأَخَّرَ عَنْ عَصْرِهِ صَارَ خَلًّا

Ia berdalil dengan riwayat yang dibawakan oleh Abdullah bin Daylami dari ayahnya, ia berkata: Kami datang kepada Rasulullah ﷺ lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami memiliki anggur, apa yang harus kami lakukan dengannya?” Beliau bersabda, “Jadikanlah anggur itu menjadi kismis.” Kami bertanya, “Apa yang harus kami lakukan dengan kismis itu?” Beliau bersabda, “Rendamkanlah kismis itu untuk makan malam kalian dan minumlah pada waktu sarapan kalian, dan rendamkanlah untuk sarapan kalian dan minumlah pada waktu makan malam kalian. Rendamkanlah di dalam wadah dari kulit, janganlah kalian rendam di dalam kendi, karena jika dibiarkan lebih lama dari waktunya, ia akan menjadi cuka.”

وَاسْتَدَلَّ بِمَا روي عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” الظُّرُوفُ لَا تُحَرِّمُ شَيْئًا فَاشْرَبُوا ولا تسكروا

Dan dijadikan dalil dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Wadah-wadah tidak mengharamkan sesuatu, maka minumlah dan janganlah kalian mabuk.”

وَرَوَى عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” انظروا هذه الأسقية إذا اعتلمت عَلَيْكُمْ فَاقْطَعُوا مُتُونَهَا بِالْمَاءِ

Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Perhatikanlah kantong-kantong air ini, apabila telah berlumut pada kalian maka potonglah bagian atasnya dengan air.”

وَاسْتَدَلَّ بِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بنشوان فقال له ” أشربت خمراً فقال له لا وَاللَّهِ مَا شَرِبْتُهَا مُنْذُ حَرَّمَهَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ قَالَ ” فَمَاذَا شَرِبْتَ قَالَ الْخَلِيطَيْنِ

Ia berdalil dengan hadis Abu Sa‘id al-Khudri, ia berkata: Aku mendatangi Rasulullah ﷺ dalam keadaan mabuk, lalu beliau bersabda kepadaku, “Apakah engkau telah meminum khamr?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak pernah meminumnya sejak Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya.” Beliau bertanya, “Lalu apa yang engkau minum?” Aku menjawab, “Dua campuran (minuman).”

فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَنْطَلِقُ عَلَى النَّبِيذِ اسْمُ الْخَمْرِ وَلَا يَحْرُمُ بِخِلَافِ الْخَمْرِ

Maka hal ini menunjukkan bahwa nama khamr tidak berlaku pada nabidz dan nabidz tidak diharamkan, berbeda dengan khamr.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ لِوَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ ” اشْرَبُوا وَلَا تَسْكَرُوا فَإِنِ اشْتَدَّ عَلَيْكُمْ فَاكْسِرُوهُ بِالْمَاءِ وَاسْتَدَلَّ بِمَا رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ ” شَهِدْتُ تَحْرِيمَ النَّبِيذِ كَمَا شَهِدْتُمْ ثُمَّ شهدت تحليله فحفظت ونسيتم

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau berkata kepada delegasi ‘Abd al-Qais: “Minumlah, tetapi jangan sampai mabuk. Jika terasa berat bagimu, campurlah dengan air.” Dan dijadikan dalil dengan apa yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas‘ud bahwa ia berkata: “Aku menyaksikan pengharaman nabidz sebagaimana kalian menyaksikannya, kemudian aku juga menyaksikan penghalalannya, maka aku mengingatnya sementara kalian melupakannya.”

فمن ذلك ما روى قيس بن أبي حَازِمٍ عَنْ عُتْبَةَ بْنِ فَرْقَدٍ أَنَّهُ قَدِمَ على عمر بن الخطاب فدعا بعشر مِنْ نَبِيذٍ شَدِيدٍ فَقَالَ اشْرَبْ فَأَخَذْتُهُ فَشَرِبْتُ فما كدت أسبقه ثُمَّ أَخَذَ فَشَرِبَ ثُمَّ قَالَ يَا عُتْبَةُ إننا ننحر كل يوم جزوراً ودكها وأطايبها فلمن حضر من آفاق المسلمين عُنُقُهَا فَلِآلِ عُمَرَ نَأْكُلُ هَذَا اللَّحْمَ الْغَلِيظَ وَنَشْرَبُ هَذَا النَّبِيذَ الشَّدِيدَ يَقْطَعُهُ فِي بُطُونِنَا أن يؤذيننا وَهَذَا فِعْلٌ مُنْتَشِرٌ لَمْ يُنْكِرْهُ عَلَيْهِ أَحَدٌ فَصَارَ كَالْإِجْمَاعِ

Di antara hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Qais bin Abi Hazim dari Utbah bin Farqad, bahwa ia datang kepada Umar bin Khattab, lalu Umar memintakan sepuluh (wadah) nabidz yang kuat, kemudian berkata, “Minumlah!” Maka aku mengambilnya dan meminumnya, hampir saja aku tidak mampu mendahuluinya. Lalu Umar mengambil dan meminumnya, kemudian berkata, “Wahai Utbah, setiap hari kami menyembelih seekor unta, lemak dan bagian terbaiknya diberikan kepada siapa saja dari kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru, sedangkan untuk keluarga Umar, kami makan daging yang keras ini dan meminum nabidz yang kuat ini agar dapat mencernanya di perut kami sehingga tidak menyakiti kami.” Dan perbuatan ini telah tersebar luas, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya, sehingga hal itu menjadi seperti ijmā‘.

وَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ بِرَجُلٍ سَكْرَانَ فَجَلَدَهُ فَقَالَ إِنَّمَا شَرِبْتُ من ادواتك فَقَالَ إِنَّمَا أَضْرِبُكَ عَلَى السُّكْرِ مِنْهَا وَلَا أَضْرِبُكَ عَلَى الشُّرْبِ فَدَلَّ عَلَى تَحْرِيمِ السُّكْرِ دُونَ الشُّرْبِ

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu didatangkan seorang laki-laki yang sedang mabuk, lalu beliau mencambuknya. Orang itu berkata, “Aku hanya meminum dari peralatanmu.” Umar berkata, “Aku hanya mencambukmu karena mabuknya, bukan karena minumnya.” Hal ini menunjukkan haramnya mabuk, bukan haramnya minum.

وَرُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَضَافَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى وَسَقَاهُ نَبِيذًا فَلَمَّا دَخَلَ اللَّيْلُ وَأَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ دَفَعَهُ إِلَى خَادِمِهِ قَنْبَرٍ وَمَعَهُ مِزْهَرٌ ليهديه إلى بيته والمزهر السراج وقال لَهُ أهْدِهِ يَعْنِي إِلَى مَنْزِلِهِ لِسُكْرِهِ

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib menjamu Abdurrahman bin Abi Laila dan memberinya minuman nabidz. Ketika malam tiba dan Abdurrahman hendak pulang, Ali menyerahkannya kepada pelayannya, Qanbar, bersama sebuah mizhar untuk menemaninya pulang ke rumahnya—mizhar di sini adalah lampu penerang—dan Ali berkata kepadanya, “Antarkan dia,” maksudnya ke rumahnya, karena ia sedang mabuk.

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ مَا مِنْ جَمَاعَةٍ يَجْلِسُونَ عَلَى شَرَابٍ إِلَّا وَيَنْصَرِفُونَ عَنْهُ وَقَدْ حَرُمَ عَلَيْهِمْ يَعْنِي أَنَّهُمْ لَا يَقْتَصِرُونَ عَلَى مَا لَا يُسْكِرُ حَتَّى يَتَجَاوَزُوهُ إِلَى مَا يُسْكِرُ

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas‘ud bahwa ia berkata: “Tidaklah sekelompok orang duduk-duduk untuk minum-minuman kecuali mereka akan beranjak dari situ dalam keadaan minuman itu telah menjadi haram bagi mereka.” Maksudnya, mereka tidak akan berhenti pada sesuatu yang tidak memabukkan, melainkan akan melampauinya hingga sampai pada sesuatu yang memabukkan.

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ إِنْ شَرِبَ أَحَدُكُمْ تِسْعَةَ أَقْدَاحٍ فَلَمْ يَسْكَرْ فَهُوَ حَلَالٌ وَإِنْ شَرِبَ الْعَاشِرَ فَسَكِرَ فهو حرام فهذا ما عاضد السُّنَّةَ مِنْ آثَارِ الصَّحَابَةِ وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُمْ كَثِيرًا

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ia berkata: Jika salah seorang dari kalian minum sembilan gelas dan tidak mabuk, maka itu halal. Namun jika ia minum gelas yang kesepuluh lalu mabuk, maka itu haram. Inilah yang menguatkan sunnah dari atsar para sahabat, meskipun menurut mereka jumlahnya banyak.

فَأَمَّا مَا اسْتَدَلُّوا بِهِ مِنَ الْمَعَانِي فَمِنْ وُجُوهٍ مِنْهَا أَنَّ اسْمَ الْخَمْرِ لَا يَنْطَلِقُ عَلَى مَا عَدَاهُ مِنَ الْأَنْبِذَةِ لِأَمْرَيْنِ لُغَةً وَشَرْعًا

Adapun dalil yang mereka gunakan berupa makna-makna, maka terdapat beberapa sisi. Di antaranya adalah bahwa nama khamr tidak berlaku untuk selainnya dari anbiżah, baik dari segi bahasa maupun syariat, karena dua hal.

أَحَدُهُمَا اخْتِصَاصُ كُلِّ وَاحِدٍ بِاسْمٍ يَنْتَفِي عَنِ الْآخَرِ فَيُقَالُ لِعَصِيرِ الْعِنَبِ خَمْرٌ وَلَيْسَ بِنَبِيذٍ وَيُقَالُ لِغَيْرِهِ مِنَ الْأَشْرِبَةِ نَبِيذٌ وَلَيْسَ بِخَمْرٍ وَقَدْ قَالَ أَبُو الْأَسْوَدِ الدُّؤَلِيُّ فِي شِعْرِهِ

Salah satunya adalah kekhususan setiap istilah dengan nama yang meniadakan dari yang lain; maka untuk perasan anggur disebut khamr dan bukan nabidz, dan untuk minuman selainnya disebut nabidz dan bukan khamr. Abu al-Aswad ad-Du’ali telah mengatakan dalam syairnya:

دَعِ الْخَمْرَ يَشْرَبْهَا الْغُوَاةُ فَإِنَّنِي رَأَيْتُ أَخَاهَا مُجْزِيًا لِمَكَانِهَا

Biarkanlah khamar diminum oleh orang-orang yang sesat, karena sesungguhnya aku telah melihat saudaranya yang cukup menggantikan posisinya.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْهَا أَوْ تَكُنْهُ فَإِنَّهُ أَخُوهَا غَذَتْهُ أُمُّهُ بِلِبَانِهَا

Jika bukan dia atau dia bukan (anaknya), maka sesungguhnya ia adalah saudaranya yang disusui oleh ibunya dengan air susunya.

فَأَخْبَرَ أَنَّ النَّبِيذَ غَيْرُ الْخَمْرِ وَهُوَ مِنْ فصحاء العرب المحتج بقوله فِي اللُّغَةِ

Maka ia memberitakan bahwa nabidz berbeda dengan khamr, dan ia termasuk dari para fasih Arab yang dijadikan hujjah ucapannya dalam bahasa.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا انْتَفَى حُكْمُ الْخَمْرِ فِي النَّبِيذِ مِنْ تَكْفِيرِ مُسْتَحِلِّهِ وَتَفْسِيقِ شَارِبِهِ انْتَفَى عَنْهُ اسْمُ الْخَمْرِ؛ لِأَنَّ مَا علق بالاسم من حكم لم يزل مع موجود الِاسْمِ كَمَا أَنَّ الْحُكْمَ إِذَا عَلِقَ بِعِلَّةٍ لَمْ يَزَلْ مَعَ وُجُودِ الْعِلَّةِ

Kedua, ketika hukum khamar tidak berlaku pada nabidz, baik dalam hal mengkafirkan orang yang menghalalkannya maupun dalam hal memfasikkan orang yang meminumnya, maka nama khamar pun tidak disematkan padanya. Sebab, hukum yang terkait dengan suatu nama tidak akan hilang selama nama itu masih ada, sebagaimana hukum yang terkait dengan suatu ‘illat tidak akan hilang selama ‘illat itu masih ada.

وَمِنْهَا أَنَّ تحريم الأنبذة ما يعم بِهِ الْبَلْوَى وَمَا عَمَّ بِهِ الْبَلْوَى وَجَبَ أن يكون ثباته عاماً وما لم يكن ثباته كَانَ نَقْلُهُ مُتَوَاتِرًا وَلَيْسَ فِيهِ تَوَاتُرٌ فَلَمْ يَثْبُتْ بِهِ التَّحْرِيمُ

Di antaranya adalah bahwa pengharaman minuman nabidz termasuk perkara yang banyak terjadi di masyarakat, dan perkara yang banyak terjadi di masyarakat haruslah penetapannya bersifat umum. Jika penetapannya tidak bersifat umum, maka penyampaiannya harus mutawatir, sedangkan dalam hal ini tidak terdapat riwayat mutawatir, sehingga pengharaman tersebut tidak dapat ditetapkan.

وَمِنْهَا أَنَّ جَمِيعَ الْأَشْرِبَةِ قَدْ كَانَتْ حَلَالًا وَتَحْرِيمُهَا نُسِخَ وَالنَّسْخُ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِالنَّصِّ والنَّصُّ مُخْتَصٌّ بِالْخَمْرِ دُونَ النَّبِيذِ فَدَلَّ عَلَى تَحْرِيمِ الْخَمْرِ وَإِبَاحَةِ النَّبِيذِ

Di antaranya adalah bahwa semua minuman dahulunya halal, lalu pengharamannya telah di-naskh, dan naskh tidak dapat ditetapkan kecuali dengan nash, sedangkan nash itu khusus mengenai khamr dan tidak mencakup nabidz. Maka hal ini menunjukkan keharaman khamr dan kebolehan nabidz.

وَمِنْهَا أَنَّ النَّبِيذَ بِالْمَدِينَةِ عَامٌّ وَالْخَمْرُ فِيهَا نَادِرٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيذَ يُعْمَلُ مِنْ ثِمَارِهَا وَالْخَمْرُ يُجْلَبُ إِلَيْهَا مِنَ الشَّامِ وَالطَّائِفِ وَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ حُرِّمَتِ الْخَمْرُ وَلَيْسَ بِالْمَدِينَةِ مِنْهَا شَيْءٌ

Di antara hal tersebut adalah bahwa nabidz di Madinah bersifat umum, sedangkan khamr di sana jarang ditemukan; karena nabidz dibuat dari buah-buahan yang ada di Madinah, sedangkan khamr didatangkan ke sana dari Syam dan Thaif. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia berkata, “Khamr diharamkan, padahal di Madinah tidak ada sedikit pun darinya.”

فَلَوِ اسْتَوَيَا فِي التَّحْرِيمِ لَكَانَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ إِلَى بَيَانِ تَحْرِيمِ النَّبِيذِ نَصًّا أَحْوَجَ مِنْهُمْ إِلَى بَيَانِ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ فَلَمَّا عَدَلَ بِالنَّصِّ عَنِ النَّبِيذِ إِلَى الْخَمْرِ دَلَّ عَلَى اخْتِصَاصِهَا بِالتَّحْرِيمِ دُونَ النَّبِيذِ

Maka jika keduanya sama-sama haram, tentu penduduk Madinah lebih membutuhkan penjelasan pengharaman nabidz secara nash daripada penjelasan pengharaman khamr. Maka ketika nash dialihkan dari nabidz kepada khamr, hal itu menunjukkan kekhususan khamr dalam keharaman, tidak berlaku untuk nabidz.

وَمِنْهَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى مَا حَرَّمَ شَيْئًا إِلَّا وَأَغْنَى عَنْهُ بِمُبَاحٍ مِنْ جِنْسِهِ فَإِنَّهُ حَرَّمَ الزِّنَا وَأَبَاحَ النِّكَاحَ وَحَرَّمَ لَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَأَبَاحَ لَحْمَ الْجَمَلِ وَحَرَّمَ الْحَرِيرَ وَأَبَاحَ الْقُطْنَ وَالْكِتَّانَ وَحَرَّمَ الْغَارَةَ وَأَبَاحَ الْغَنِيمَةَ وَحَرَّمَ التَّعَدِّيَ وَالْغَلَبَةَ وَأَبَاحَ الْجِهَادَ وَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ الْخَمْرَ فَوَجَبَ أَنْ يُغْنِيَ عَنْهَا بِمُبَاحٍ مِنْ جِنْسِهَا وَلَيْسَ مِنْ جِنْسِهَا مَا يُغْنِي عَنْهَا سِوَى النَّبِيذِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مُبَاحًا اعتباراً بِسَائِرِ الْمُحَرَّمَاتِ وَمِنْهَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ وَعَدَنَا بِالْخَمْرِ فِي الْجَنَّةِ وَرَغَّبَ فِيهَا أَهْلَ الطَّاعَةِ وَمَا لَا تُعْرَفُ لَذَّتُهُ لَا يَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ التَّرْغِيبُ فِيهِ فَاقْتَضَى أَنْ يَسْتَبِيحُوا مَا تستدل بِهِ عَلَى لَذَّتِهَا وَلَيْسَ ذَلِكَ فِي غَيْرِ النبيذ فاقتضى أن يحل له النَّبِيذُ اعْتِبَارًا بِسَائِرِ التَّرْغِيبَاتِ فَهَذِهِ دَلَائِلُ مَنْ أَبَاحَ النَّبِيذَ مِنْ نُصُوصٍ وَمَعَانٍ

Di antaranya adalah bahwa Allah Ta‘ala tidak mengharamkan sesuatu kecuali Dia telah mencukupkan dengan sesuatu yang halal dari jenisnya. Maka, Dia mengharamkan zina dan membolehkan nikah, mengharamkan daging babi dan membolehkan daging unta, mengharamkan sutra dan membolehkan kapas serta linen, mengharamkan perampasan dan membolehkan ghanimah, mengharamkan penyerangan dan penguasaan secara zalim dan membolehkan jihad. Allah juga telah mengharamkan khamr, maka wajib ada pengganti yang halal dari jenisnya, dan tidak ada yang sejenis dengannya yang dapat menggantikan kecuali nabidz, maka wajib ia menjadi halal sebagaimana pada seluruh hal yang diharamkan. Di antaranya juga, Allah Ta‘ala telah menjanjikan khamr di surga dan menganjurkan orang-orang taat untuk menginginkannya, dan sesuatu yang kenikmatannya tidak diketahui tidak mungkin dianjurkan untuk diinginkan, maka diperlukan agar mereka membolehkan sesuatu yang dapat menunjukkan kenikmatannya, dan itu tidak ada kecuali pada nabidz, sehingga hal itu menuntut agar nabidz halal bagi mereka sebagaimana pada seluruh anjuran lainnya. Inilah dalil-dalil orang yang membolehkan nabidz, baik dari nash maupun makna.

فَصْلٌ

Bagian

وَالدَّلِيلُ عَلَى تَحْرِيمِهِ؛ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى فِي تَحْرِيمِ الْخَمْرِ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ المائدة 91 وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي النَّبِيذِ كَوُجُودِهِ فِي الْخَمْرِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي التَّحْرِيمِ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي التَّعْلِيلِ

Dan dalil atas keharamannya adalah firman Allah Ta‘ala tentang pengharaman khamar: “Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui (minuman) khamar dan judi, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan dari salat. Maka tidakkah kalian mau berhenti?” (Al-Mā’idah: 91). Makna ini juga terdapat pada nabidz sebagaimana terdapat pada khamar, maka wajib keduanya disamakan dalam keharaman karena keduanya sama dalam alasan (‘illat) pengharamannya.

وَمِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ أَيُّوبُ وَمُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قال ” كل مسكر خمر وكل خمر حَرَامٌ فَدَلَّ عَلَى تَسْمِيَةِ النَّبِيذِ خَمْرًا وَعَلَى تَحْرِيمِهِ كَالْخَمْرِ

Dan di antara sunnah adalah apa yang diriwayatkan oleh Ayyub dan Musa bin ‘Uqbah dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr itu haram.” Maka hal ini menunjukkan bahwa nabidz dinamakan khamr dan hukumnya haram seperti khamr.

وَرَوَى طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” كل خمر حرام وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

Tawus meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap khamr itu haram dan setiap yang memabukkan itu haram.”

فَإِنْ قِيلَ قَدْ رَوَى عَبَّاسٌ الدُّورِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ مَعِينٍ أَنَّهُ قَالَ ثَلَاثَةُ أَحَادِيثَ لَا تَصِحُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ ” وَلَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ ” ومن مس ذكره فليتوضأ ففيه ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ

Jika dikatakan: Abbas ad-Duri meriwayatkan dari Yahya bin Ma’in bahwa ia berkata, “Tiga hadis tidak sahih dari Nabi ﷺ: ‘Setiap yang memabukkan adalah khamar’, ‘Tidak ada nikah kecuali dengan wali’, dan ‘Barang siapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudu’,” maka terdapat tiga jawaban atas hal ini.

أَحَدُهَا أَنَّ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ أَثْبَتُ وَأَعْلَمُ بِطَرِيقِ الْحَدِيثِ وَصِحَّتِهِ مِنْ يَحْيَى وَقَدْ أَثْبَتَ هَذَا الْحَدِيثَ وَرَوَاهُ فِي كِتَابِ الْأَشْرِبَةِ

Salah satunya adalah bahwa Ahmad bin Hanbal lebih kuat hafalannya dan lebih mengetahui jalur hadis serta keshahihannya dibandingkan Yahya, dan ia telah menetapkan keabsahan hadis ini serta meriwayatkannya dalam Kitab al-Asyribah.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ إِنْكَارُ هَذَا الْحَدِيثِ إِذَا رَوَاهُ الثِّقَةُ حَتَّى يُبَيِّنَ وجه فساده وقد رواه من ذكرنا

Dan yang kedua, tidak diterima darinya penolakan terhadap hadis ini apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang tepercaya, kecuali jika ia menjelaskan alasan kerusakannya, dan hadis ini telah diriwayatkan oleh orang-orang yang telah kami sebutkan.

وَالثَّالِثُ أَنَّ الْأَخْذَ بِهِ وَالْعَمَلَ عَلَيْهِ قَدْ سبق يحيى فلم يكن حدوث قدحه مؤشراً فَإِنْ قِيلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لا يعلمنا الأسماء وإنما يعلمنا الأحكام لأنه أَهْلَ اللُّغَةِ قَدْ شَارَكُوهُ فِي مَعْرِفَتِهَا لِتَقَدُّمِ اللسان العربي على مجيء الشرع ففيه جَوَابَانِ

Ketiga, bahwa penerimaan dan pengamalan terhadapnya telah didahului oleh Yahya, sehingga kemunculan cacat padanya bukanlah suatu indikasi. Jika dikatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan kita nama-nama, melainkan mengajarkan kita hukum-hukum, karena para ahli bahasa telah turut serta dalam pengetahuannya sebab bahasa Arab telah ada sebelum datangnya syariat, maka ada dua jawaban atas hal ini.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ تُؤْخَذَ عَنْهُ الأسماء شرعاً إذا تعلقت عليها أحكام كما تؤخذ الأَحْكَام؛ لِأَنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ فِي اللُّغَةِ الدُّعَاءَ فَنَقَلَهَا الشَّرْعُ إِلَى أَفْعَالِهَا وَكَذَلِكَ الزَّكَاةُ وَالصِّيَامُ فَلَمْ يَمْتَنِعْ أَنْ يَنْقُلَ اسْمَ النَّبِيذِ إِلَى الْخَمْرِ

Salah satunya adalah bahwa boleh secara syar‘i mengambil nama-nama darinya jika ada hukum-hukum yang terkait dengannya, sebagaimana hukum-hukum itu sendiri diambil; karena shalat dalam bahasa berarti doa, lalu syariat memindahkannya kepada perbuatan-perbuatannya. Demikian pula zakat dan puasa, maka tidak mustahil jika nama nabidz dipindahkan kepada khamr.

وَالثَّانِي أَنَّ النَّبِيذَ نَوْعٌ من الخمر واسم الخمر أعم ودخل فِي اسْمِ الْأَعَمِّ وَهُوَ الْخَمْرُ عُمُومًا وَانْفَرَدَ بِاسْمِ النَّبِيذِ خُصُوصًا فَبَيَّنَهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لمن خفي عليه وقد روى عَبِيدُ بْنُ الْأَبْرَصِ وَهُوَ شَاعِرٌ جَاهِلِيٌّ سَبَقَ ورود الشرع

Kedua, bahwa nabidz adalah salah satu jenis khamr, dan nama khamr lebih umum, sehingga nabidz termasuk dalam nama yang lebih umum, yaitu khamr secara keseluruhan, namun ia memiliki nama khusus, yaitu nabidz. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya bagi orang yang belum memahaminya. Telah diriwayatkan oleh ‘Ubaid bin Al-Abras, seorang penyair Jahiliyah yang hidup sebelum datangnya syariat.

وقالوا هي الخمر تكنى الطلا كما الذئب يكنى أبا جعدة

Mereka berkata, khamr itu disebut juga dengan istilah “ṭilā’”, sebagaimana serigala dijuluki “Abu Ja‘dah”.

والطلاء اسم نوع منه يختص بالمطبوخ دون النيء

Dan “thalā’” adalah nama untuk jenis tertentu darinya yang khusus untuk yang telah dimasak, bukan yang mentah.

روى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ عَنِ ابْنِ مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ ” لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بغير اسمها

Abdurrahman bin Ghanm meriwayatkan dari Ibnu Malik al-Asy’ari, ia berkata: Aku mendengar Nabi Allah ﷺ bersabda, “Sungguh, akan ada sekelompok orang dari umatku yang meminum khamr dan mereka menamakannya dengan nama selain nama aslinya.”

وسنذكر ما أَنْوَاعِ أَسْمَائِهَا مَا يَدْخُلُ فِي عُمُومِ الْخَمْرِ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ ” سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عن البتع فقال كل شراب أسكر فهو حَرَامٌ

Kami akan menyebutkan jenis-jenis namanya yang termasuk dalam cakupan umum khamr, dan hal ini ditunjukkan oleh riwayat yang disampaikan oleh asy-Syafi‘i dari Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang al-bita‘, maka beliau bersabda: Setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram.”

فَإِنْ قِيلَ الَّذِي أَسْكَرَ هُوَ الْقَدَحُ الْأَخِيرُ الَّذِي ظَهَرَ بِهِ السُّكْرُ وَهُوَ حَرَامٌ وما قبله غير مسكر فكان حلالاً ففيه سِتَّةُ أَجْوِبَةٍ

Jika dikatakan bahwa yang memabukkan adalah gelas terakhir yang dengannya tampak kemabukan, dan itu haram, sedangkan yang sebelumnya tidak memabukkan sehingga halal, maka terhadap hal ini terdapat enam jawaban.

أَحَدُهَا أَنَّ الْمُرَادَ بِالسُّكْرِ صِفَةُ جنسه فانطلق عَلَى قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ كَمَا يُقَالُ فِي الطَّعَامِ

Salah satunya adalah bahwa yang dimaksud dengan “sukr” (mabuk) adalah sifat jenisnya, sehingga berlaku untuk sedikit maupun banyaknya, sebagaimana dikatakan pada makanan.

وَالثَّانِي أَنَّ تَعْلِيقَ التَّحْرِيمِ بِالْأَخِيرِ يُوجِبُ تَعْلِيقَهُ بِالْأَوَّلِ وَالْأَخِيرِ؛ لِأَنَّ أَوَّلَ الْأَخِيرِ لَا يُسْكِرُ كَأَوَّلِ الْأَوَّلِ ثُمَّ كَانَ أَوَّلُ الْأَخِيرِ حَرَامًا كَآخِرِهِ فَكَذَلِكَ الْأَوَّلُ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ حَرَامًا كَالْأَخِيرِ

Yang kedua, bahwa mengaitkan keharaman pada bagian terakhir mengharuskan juga mengaitkannya pada bagian pertama dan terakhir sekaligus; karena permulaan dari bagian terakhir tidak memabukkan, sebagaimana permulaan dari bagian pertama, kemudian jika permulaan dari bagian terakhir dihukumi haram seperti akhirnya, maka demikian pula bagian pertama harus dihukumi haram seperti bagian terakhir.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَيْسَ جُزْءًا مِنْ أَجْزَاءِ الخمر الأول وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ هُوَ الْأَخِيرَ الْمُحَرَّمَ وَهُوَ غَيْرُ مُتَمَيِّزٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْكُلُّ حَرَامًا

Ketiga, bahwa ia bukanlah bagian dari unsur-unsur khamr yang pertama, dan boleh jadi ia adalah bagian terakhir yang diharamkan, namun ia tidak dapat dibedakan, maka wajib hukumnya seluruhnya menjadi haram.

وَالرَّابِعُ أَنَّ كُلَّ مِقْدَارٍ مِنَ الْخَمْرِ يَجُوزُ أن يسكر؛ لأن الصغير يسكر بقليله كما يسكر الكبير بِكَثِيرِهِ وَمِنَ النَّاسِ مِنْ يَسْكَرُ بِقَلِيلِهِ وَمِنْهُمْ مِنْ لَا يَسْكَرُ بِكَثِيرِهِ فَصَارَ كُلُّ شَيْءٍ مِنْهُ مُسْكِرًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَرَامًا

Keempat, bahwa setiap takaran dari khamr mungkin saja memabukkan; karena orang yang lemah bisa mabuk dengan sedikit, sebagaimana orang yang kuat bisa mabuk dengan banyak. Di antara manusia ada yang mabuk dengan sedikit, dan ada pula yang tidak mabuk meskipun banyak. Maka, setiap bagian dari khamr itu bersifat memabukkan, sehingga wajib hukumnya untuk diharamkan.

وَالْخَامِسُ أَنَّ لِكُلِّ جُزْءٍ مِنَ الْخَمْرِ تَأْثِيرًا فِي السكر والقدح الأول مبدأه وَالْقَدَحُ الْأَخِيرُ مُنْتَهَاهُ فَصَارَ قَلِيلُهُ وَكَثِيرُهُ مُسْكِرًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ حَرَامًا كَالضَّرْبِ الْقَاتِلِ يَكُونُ بالسوط الأول مبدأ الْأَلَمِ وَالْأَخِيرِ غَايَتُهُ وَالْجَمِيعُ قَاتِلٌ

Kelima, bahwa setiap bagian dari khamr memiliki pengaruh dalam memabukkan; gelas pertama adalah permulaannya dan gelas terakhir adalah akhirnya. Maka, sedikit maupun banyaknya sama-sama memabukkan, sehingga wajib hukumnya menjadi haram, seperti halnya pukulan yang mematikan: dengan cambukan pertama adalah permulaan rasa sakit dan yang terakhir adalah puncaknya, dan semuanya bersifat mematikan.

وَالسَّادِسُ أَنَّ الْأَخِيرَ الَّذِي يُسْكِرُ لَا يُعْلَمُ أَنَّهُ مُسْكِرٌ إِلَّا بَعْدَ شُرْبِهِ فَلَمْ يَصِحَّ تعليق التحريم به وقد روى هاشم بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ أَوَّلُهُ وَآخِرُهُ

Keenam, bahwa yang terakhir yang memabukkan itu tidak diketahui sebagai memabukkan kecuali setelah diminum, maka tidak sah mengaitkan keharaman dengannya. Dan telah meriwayatkan Hasyim bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Setiap yang memabukkan itu haram, baik yang pertama maupun yang terakhir.”

وَرَوَى الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عنها وقالت سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يقول ” ما أسكر الفرق منه فاللحسة مِنْهُ حَرَامٌ

Al-Qasim bin Muhammad meriwayatkan dari ‘Aisyah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang memabukkan dalam jumlah satu farq, maka setetes darinya pun haram.”

وَالْفَرْقُ أَحَدُ مَكَايِيلِ الْعَرَبِ وَهُوَ سِتَّةَ عَشَرَ رَطْلًا لِأَنَّ لَهُمْ أَرْبَعَةُ مَكَايِيلَ

Al-faraq adalah salah satu takaran orang Arab dan ukurannya enam belas rithl, karena mereka memiliki empat macam takaran.

الْمُدُّ وَهُوَ رِطْلٌ وَثُلُثٌ

Satu mud adalah satu rithl dan sepertiga.

وَالْقِسْطُ وَهُوَ ضِعْفُ الْمُدِّ رِطْلَانِ وَثُلُثَانِ

Qisth adalah dua kali lipat mud, yaitu dua rithl dan sepertiga.

وَالصَّاعُ وَهُوَ ضِعْفُ الْقِسْطِ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلُثٌ

Satu sha‘, yaitu dua kali lipat qisth, adalah lima rithl dan sepertiga.

وَالْفَرْقُ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَضْعَافِ الصَّاعِ سِتَّةَ عَشَرَ رِطْلًا فَدَلَّ هَذَا عَلَى تَحْرِيمِ الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ

Perbedaan itu adalah tiga kali lipat dari satu sha‘, yaitu enam belas rithl. Maka hal ini menunjukkan keharaman baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.

وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا رَوَاهُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَعَلَى بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بِأَسَانِيدَ ثَابِتَةٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ وَرَوَى سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَخَبَّابُ بْنِ الْأَرَتِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” أَنْهَاكُمْ عَنْ قَلِيلِ مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ

Hal ini didukung oleh riwayat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, Abdullah bin Umar, dan Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma dengan sanad yang sahih, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apa yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram.” Dan diriwayatkan pula oleh Sa’d bin Abi Waqqash dan Khabbab bin al-Aratt bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku melarang kalian dari sedikit sesuatu yang banyaknya memabukkan.”

فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا أَرَادَ بِتَحْرِيمِ قَلِيلِهِ الْأَخِيرَ الَّذِي يَظْهَرُ بِهِ السُّكْرُ فَصَارَ هُوَ الْمُحَرَّمَ دُونَ مَا تَقَدَّمَهُ مِنَ الْكَثِيرِ الَّذِي لَمْ يسكر ففيه ثلاثة أجوبة

Jika dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pengharaman sedikit darinya adalah bagian terakhir yang dengannya tampak mabuk, sehingga itulah yang diharamkan, bukan bagian sebelumnya dari jumlah banyak yang belum menimbulkan mabuk, maka terhadap hal ini terdapat tiga jawaban.

أحدهما أَنَّ هَذَا تَكَلُّفُ تَأْوِيلٍ يُخَالِفُ الظَّاهِرَ فَكَانَ مُطَّرَحًا

Pertama, bahwa ini adalah upaya penafsiran yang dipaksakan dan bertentangan dengan makna lahiriah, sehingga harus ditinggalkan.

وَالثَّانِي أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ يَعُمُّ الْخَمْرَ وَالنَّبِيذَ فَلَمَّا لَمْ يُحْمَلْ عَلَى هَذَا التَّأْوِيلِ فِي الْخَمْرِ لَمْ يَجُزْ حَمْلُهُ عَلَيْهِ فِي النبيذ

Kedua, bahwa hadis ini mencakup khamr dan nabidz. Maka ketika hadis ini tidak ditafsirkan demikian pada khamr, tidak boleh pula ditafsirkan demikian pada nabidz.

والثالث أنه إذا حرم القليل كالتحريم الْكَثِيرِ أَغْلَظَ كَالْخَمْرِ إِذَا حُرِّمَتْ بِغَيْرِ سُكْرٍ كان تحريمها بالسكر أغلظ

Yang ketiga adalah bahwa jika yang sedikit diharamkan, maka pengharamannya terhadap yang banyak lebih berat, seperti khamr; jika khamr diharamkan tanpa sebab memabukkan, maka pengharamannya karena memabukkan lebih berat.

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ شَرِبَ خَمْرًا لَا تُقْبَلُ لَهُ صَلَاةٌ سَبْعَة أَيَّامٍ وَمَنْ سكر منها لم تقبل صلاته أَرْبَعِينَ يَوْمًا

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa meminum khamr, tidak akan diterima salatnya selama tujuh hari. Dan barang siapa mabuk karena khamr, tidak akan diterima salatnya selama empat puluh hari.”

وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مَا رَوَى الشَّافِعِيُّ عن أبي سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنْتُ قَائِمًا عَلَى عُمُومَةٍ لِي مِنَ الْأَنْصَارِ أَسْقِيهِمْ فَضِيخًا لَهُمْ فَأَتَى رَجُلٌ مِنْ قِبَلِ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَهُوَ مَذْعُورٌ فَقُلْنَا مَا وَرَاءَكَ فَقَالَ حُرِّمَتِ الخمر فقالوا لي أكفها فكفأتها قال وَهُوَ كَانَ خَمْرَهُمْ يَوْمَئِذٍ

Hal ini didukung oleh riwayat yang dibawakan oleh asy-Syafi‘i dari Abu Sulaiman at-Taimi dari Anas bin Malik, ia berkata: Aku sedang berdiri melayani paman-pamanku dari kalangan Anshar, aku menuangkan fadikh untuk mereka. Lalu datang seorang laki-laki dari arah Nabi ﷺ dalam keadaan ketakutan. Kami bertanya, “Apa yang terjadi padamu?” Ia menjawab, “Khamr telah diharamkan.” Mereka pun berkata kepadaku, “Tumpahkanlah!” Maka aku menumpahkannya. Anas berkata, “Itulah khamr mereka pada waktu itu.”

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنْتُ أَسْقِي عُمُومَتِي أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجِرَّاحِ وَأَبَا طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيَّ وَأُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ شَرَابًا لهم مِنْ فَضِيخٍ وَتَمْرٍ فَجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ يَا أَنَسُ قُمْ إِلَى هَذِهِ الْجِرَارِ فَاكْسِرْهَا قَالَ فَقُمْتُ إِلَى مِهْرَاسٍ لَنَا فَضَرَبْتُهَا بِأَسْفَلِهِ حَتَّى تَكَسَّرَتْ وَالْفَضِيخُ مِنَ الْبُسْرِ فَجَعَلُوهُ خَمْرًا مُحَرَّمًا وَالْمِهْرَاسُ الْفَأْسُ

Syafi‘i meriwayatkan dari Malik, dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Malik, ia berkata: Aku pernah menuangkan minuman untuk paman-pamanku, yaitu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Abu Thalhah Al-Anshari, dan Ubay bin Ka‘b, berupa minuman mereka dari fadikh dan kurma. Lalu datang seseorang kepada mereka dan berkata, “Sesungguhnya khamr telah diharamkan.” Maka Abu Thalhah berkata, “Wahai Anas, berdirilah menuju kendi-kendi ini dan pecahkanlah!” Maka aku pun pergi ke sebuah mihras milik kami, lalu aku memukulkannya ke bagian bawah kendi-kendi itu hingga pecah. Fadikh adalah minuman dari buah busr (kurma muda) yang mereka jadikan sebagai khamr yang diharamkan, dan mihras adalah kapak.

وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ بِإِسْنَادِهِ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عن شراب من العسل فقال ” ذلك البتع قلت وينبذون من الشعير والذرة فقال ” ذلك المذر ثُمَّ قَالَ أَخْبِرْ قَوْمَكَ أَنَّ كُلَّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya dengan sanadnya dari Abu Musa al-Asy‘ari bahwa ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang minuman dari madu, beliau bersabda, “Itu adalah al-bita‘.” Aku berkata, “Dan mereka membuat nabidz dari gandum dan jagung,” beliau bersabda, “Itu adalah al-mizr.” Kemudian beliau bersabda, “Beritahukanlah kepada kaummu bahwa setiap yang memabukkan adalah haram.”

وَرَوَى إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنا ومعاذ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ” بَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَيَسِّرَا ولا تعسرا وتطاوعا ولا تعاصيا فقال معاذاً يا رسول الله إنك تبعثنا إِلَى بِلَادٍ كَثِيرٍ شَرَابُ أَهْلِهَا فَمَا نَشْرَبُ قَالَ اشْرَبُوا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا

Isra’il meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Abu Burdah, dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah saw. mengutusku bersama Mu’adz ke Yaman, lalu beliau bersabda, “Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari, mudahkanlah dan jangan mempersulit, saling bekerjasamalah dan jangan berselisih.” Mu’adz lalu berkata, “Wahai Rasulullah, engkau mengutus kami ke negeri yang penduduknya banyak meminum minuman, lalu apa yang harus kami minum?” Beliau bersabda, “Minumlah, tetapi jangan minum yang memabukkan.”

وَرَوَى أَحْمَدُ بن حنبل والحميدي في كِتَابِهِمَا فِي الْأَشْرِبَةِ عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْيَزَنِيِّ عَنْ دَيْلَمٍ الْحِمْيَرِيِّ قَالَ ” سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فقلت؛ يا رسول الله إنا بأرض بارة نُعَالِجُ بِهَا عَمَلًا شَدِيدًا وَإِنَّا نَتَّخِذُ شَرَابًا من هذا الفضيخ فنقوى بِهِ عَلَى أَعْمَالِنَا وَعَلَى بَرْدِ بِلَادِنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ هل يسكر قلت نعم قال فاجتنبوه فَقُلْتُ إِنَّ النَّاسَ غَيْرُ تَارِكِيهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَتْرُكُوهُ فَاقْتُلُوهُمْ

Ahmad bin Hanbal dan al-Humaidi meriwayatkan dalam kitab mereka tentang minuman-minuman dari Marthad bin ‘Abdillah al-Yazani dari Daylam al-Himyari, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku berkata: Wahai Rasulullah, kami berada di negeri yang subur dan kami melakukan pekerjaan yang berat di sana, dan kami membuat minuman dari fadhikh sehingga kami kuat untuk melakukan pekerjaan kami dan menghadapi dinginnya negeri kami. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Apakah minuman itu memabukkan?’ Aku menjawab: Ya. Beliau bersabda: ‘Maka jauhilah itu.’ Aku berkata: ‘Sesungguhnya orang-orang tidak akan meninggalkannya.’ Beliau bersabda: ‘Jika mereka tidak meninggalkannya, maka bunuhlah mereka.’”

وَرَوَى الْحُمَيْدِيُّ فِي كِتَابِهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ نَفَرًا مِنْ حُبْشَانِ أَهْلِ اليمن قالوا يا رسول الله إن أرضنا أرض بَارِدَةٌ وَإِنَّا نَعْمَلُ بِأَنْفُسِنَا وَلَيْسَ لَنَا منْ ممتهن دُونَ أَنْفُسِنَا وَلَنَا شَرَابٌ نَشْرَبُهُ بِأَرْضِنَا يُقَالُ له المذر فَإِذَا شَرِبْنَاهُ نَفَى عَنَّا الْبَرْدَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَمُسْكِرٌ هُوَ قَالُوا نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّ كُلَّ مَنْ شَرِبَ مُسْكِرًا أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ قَالَ عَرَقُ أَهْلِ النَّارِ أَوْ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ

Al-Humaidi meriwayatkan dalam kitabnya dari Jabir bin Abdullah bahwa sekelompok orang Habsyi dari penduduk Yaman berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya negeri kami adalah negeri yang dingin dan kami bekerja dengan tenaga kami sendiri, dan kami tidak memiliki pelayan selain diri kami sendiri. Kami memiliki minuman yang kami minum di negeri kami yang disebut al-mizr. Jika kami meminumnya, ia menghilangkan rasa dingin dari kami.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka, “Apakah itu memabukkan?” Mereka menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah haram. Dan sesungguhnya Allah Ta‘ala telah berwasiat kepadaku bahwa setiap orang yang meminum minuman memabukkan, niscaya Allah akan memberinya minum dari tanah liat khabal.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu tanah liat khabal?” Beliau menjawab, “Keringat penghuni neraka atau perasan penghuni neraka.”

رَوَى أَبُو سعيد السحيتي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قال ” الخمر مِنْ هَاتَيْنِ الشَّجَرَتَيْنِ النَّخْلَةِ وَالْعِنَبَةِ فَإِنْ قَالُوا يُسَمَّى مَا يُعْمَلُ مِنَ النَّخْلَةِ خَمْرًا عَلَى طريق المجاز لا يصح هذا لأنه جمع بين العنبة والنخلة وَهُوَ مِنَ الْعِنَبِ خَمْرٌ عَلَى الْحَقِيقَةِ فَكَذَلِكَ من النخلة فَإِنْ قِيلَ فَنَحْمِلُهُ فِي الْعِنَبِ عَلَى الْحَقِيقَةِ وَفِي النَّخْلِ عَلَى الْمَجَازِ قِيلَ لَا يَصِحُّ هَذَا عَلَى أَصْلِ أَبِي حَنِيفَةَ لِأَنَّ اللَّفْظَةَ الْوَاحِدَةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُرَادَ بِهَا الْحَقِيقَةُ والمجاز على قوله فلم يجز تأويله عليه عَلَى أَنَّ الْمَجَازَ إِذَا وَافَقَهُ عُرْفُ الشَّرْعِ صار حقيقة تقدم على حقيقة اللغة إذا خالفها

Abu Sa‘id al-Suhaiti meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Khamr itu berasal dari dua pohon ini, yaitu pohon kurma dan anggur.” Jika mereka berkata, “Apa yang dibuat dari pohon kurma dinamakan khamr secara majaz (kiasan),” maka ini tidak sah, karena beliau menggabungkan antara anggur dan kurma, dan dari anggur itu khamr secara hakiki, maka demikian pula dari kurma. Jika dikatakan, “Maka kita pahami dari anggur secara hakiki dan dari kurma secara majaz,” maka dikatakan, “Ini tidak sah menurut pendapat Abu Hanifah, karena satu lafaz tidak boleh dimaksudkan untuk makna hakiki dan majaz secara bersamaan menurut pendapatnya, sehingga tidak boleh dita’wil demikian menurutnya.” Selain itu, jika makna majaz sesuai dengan ‘urf syar‘i, maka ia menjadi hakikat yang didahulukan atas hakikat bahasa jika bertentangan dengannya.

وَقَدْ رَوَى الْأَعْمَشُ عَنْ مُحَارِبٍ عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” الزَّبِيبُ وَالتَّمْرُ هِيَ الْخَمْرُ وَهَذَا نَصٌّ فِي حَقِيقَةِ الِاسْمِ دُونَ مَجَازِهِ

Al-A‘mash meriwayatkan dari Muhārib, dari Jābir, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Zabib dan kurma adalah khamr.” Dan ini adalah nash tentang hakikat nama tersebut, bukan maknanya secara majazi.

وَرَوَى الشَّعْبِيُّ عَنْ نُعْمَانَ بْنِ بَشِيرٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” إِنَّ مِنَ الْعِنَبِ خَمْرًا وَإِنَّ مِنَ التَّمْرِ خَمْرًا وَإِنَّ مِنَ الْعَسَلِ خَمْرًا وإن من البسر خَمْرًا وَإِنَّ مِنَ الشَّعِيرِ خَمْرًا

Asy-Sya‘bi meriwayatkan dari Nu‘man bin Basyir, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya dari anggur ada khamr, dari kurma ada khamr, dari madu ada khamr, dari buah busr (kurma muda) ada khamr, dan dari gandum juga ada khamr.”

وَهَذَا نَصٌّ لَا يَعْتَرِضُهُ تَأْوِيلٌ فَهَذِهِ نُصُوصُ السُّنَّةِ

Ini adalah nash yang tidak dapat ditentang oleh takwil, maka inilah nash-nash sunnah.

وَقَدْ رُوِيَ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَا يُعَاضِدُهَا فَمِنْ ذَلِكَ مَا رَوَى الشَّعْبِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ يَوْمَ نَزَلَ وَهِيَ مِنْ خَمْسَة من العنب والتمر والعسل والحنظة وَالشَّعِيرِ وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ

Telah diriwayatkan dari para sahabat radhiyallāhu ‘anhum sesuatu yang menguatkannya. Di antaranya adalah riwayat dari asy-Sya‘bi dari ‘Abdullāh bin ‘Umar dari ‘Umar bin al-Khaththāb radhiyallāhu ‘anhu bahwa ia berkata: “Larangan khamr turun pada hari diturunkannya, dan khamr itu berasal dari lima macam: anggur, kurma, madu, gandum, dan jelai. Dan khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan akal.”

فَدَلَّ عَلَى أَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا إِطْلَاقُ اسْمِ الْخَمْرِ على النبيذ والثاني تعليل الخمر لأنه مَا خَامَرَ الْعَقْلَ وَمِثْلُ ذَلِكَ فِي الِاسْمِ ما رواه صَفْوَانُ بْنُ مُحْرِزٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ وَهُوَ يَخْطُبُ النَّاسَ عَلَى مِنْبَرِ الْبَصْرَةِ وَهُوَ يَقُولُ أَلَا إِنَّ خَمْرَ الْمَدِينَةِ الْبُسْرُ وَالتَّمْرُ وَخَمْرُ أَهْلِ فَارِسَ الْعِنَبُ وَخَمْرُ أَهْلِ الْيَمَنِ الْبِتْعُ وَخَمْرُ الْحَبَشَةِ السُّكْرُكَةُ وَهِيَ الْأُرْزُ

Maka hal ini menunjukkan dua hal: pertama, penggunaan istilah khamr untuk nabidz; kedua, penjelasan bahwa khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan akal. Hal serupa dalam penggunaan istilah juga terdapat dalam riwayat dari Shafwan bin Muharriz, ia berkata: Aku mendengar Abu Musa al-Asy‘ari ketika berkhutbah di hadapan orang-orang di mimbar Bashrah, beliau berkata: Ketahuilah, khamr penduduk Madinah adalah busr dan tamr (kurma muda dan matang), khamr penduduk Persia adalah anggur, khamr penduduk Yaman adalah bit‘ (minuman dari madu), dan khamr penduduk Habasyah adalah sukrukah, yaitu (minuman dari) beras.

وَمِنْ ذَلِكَ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عن السائب بن زيد أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَرَجَ يُصَلِّي عَلَى جِنَازَةٍ فَشَمَّ مِنَ ابْنِهِ عبيد الله رائحة شارب فسأله فقال إني شربت الطلا فَقَالَ إِنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ ابْنِي شَرِبَ شَرَابًا وَإِنِّي سَائِلٌ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ مُسْكِرًا حَدَدْتُهُ فَسَأَلَ عَنْهُ فَكَانَ مُسْكِرًا فَحَدَّهُ

Di antara riwayat tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Sufyan, dari az-Zuhri, dari as-Sa’ib bin Zaid, bahwa Umar bin al-Khattab ra. keluar untuk menyalatkan jenazah, lalu ia mencium bau minuman keras dari putranya, Ubaidullah. Ia pun bertanya kepadanya, dan Ubaidullah menjawab, “Aku telah meminum thila.” Maka Umar berkata, “Sesungguhnya Ubaidullah, putraku, telah meminum suatu minuman, dan aku akan menanyakannya. Jika itu memabukkan, aku akan menjatuhkan had kepadanya.” Lalu ia menanyakannya, dan ternyata minuman itu memabukkan, maka Umar menjatuhkan had kepadanya.

وَرُوِيَ أَنَّهُ لما سأل عنه أنشد قول أبي عبيدة بن الأبرص

Diriwayatkan bahwa ketika ia ditanya tentang hal itu, ia membacakan syair Abu ‘Ubaidah bin al-Abras.

هي الخمر لا شك تكنى الطِّلَا كَمَا الذِّئْبُ يُكْنَى أَبَا جَعْدَةِ

Khamr itu, tidak diragukan lagi, disebut juga sebagai tila, sebagaimana serigala dijuluki Abu Ja‘dah.

وَمِنْ ذَلِكَ مَا رَوَاهُ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَالَ لَا أُوتَى بِأَحَدٍ شَرِبَ خَمْرًا أَوْ نَبِيذًا مُسْكِرًا إِلَّا حَدَدْتُهُ

Di antara hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Ja‘far bin Muhammad dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa ia berkata: “Tidaklah seseorang yang dibawa kepadaku karena meminum khamar atau nabidz yang memabukkan, kecuali pasti aku akan menjatuhkan had kepadanya.”

وَمِنْ ذَلِكَ مَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ ” خَمْرُ الْبِتْعِ مِنَ الْعَسَلِ وَخَمْرُ المذر مِنَ الذُّرَةِ

Di antara hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Khamr al-bita‘ terbuat dari madu, dan khamr al-mizr terbuat dari jagung.”

وَمِنْ ذَلِكَ مَا رَوَاهُ مُجَاهِدٌ عن ابن عمر ورجل سأله عن الفضيخ فقال وما الفضيخ قال بُسْرٌ وَتَمْرٌ قَالَ ذَاكَ الْفَضُوخُ لَقَدْ حُرِّمَتِ الْخَمْرُ وَهِيَ شَرَابُنَا

Di antara hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Mujahid dari Ibnu Umar, ketika seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang al-fadikh. Ia berkata, “Apa itu al-fadikh?” Orang itu menjawab, “(Minuman dari) buah kurma basah dan kurma kering.” Ibnu Umar berkata, “Itulah al-fadikh. Sungguh khamr telah diharamkan, padahal itu adalah minuman kami.”

وَمِنْ ذَلِكَ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا الْجُوَيْرِيَةِ الْجَرْمِيَّ يَقُولُ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ وَهُوَ مُسْنِدٌ ظَهْرَهُ إِلَى الْكَعْبَةِ وَأَنَا وَاللَّهِ أَوَّلُ الْعَرَبِ سألته عن الباذق فقال سبق محمد الباذق فما أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ

Di antara hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Sufyan, ia berkata: Aku mendengar Abu al-Juwairiyah al-Jarmi berkata: Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, saat itu ia sedang menyandarkan punggungnya ke Ka‘bah, dan demi Allah, aku adalah orang Arab pertama yang menanyakannya tentang al-badziq. Ia menjawab: Muhammad telah mendahului dalam menetapkan hukum al-badziq, maka segala sesuatu yang memabukkan adalah haram.

والْبَاذِقُ الْمَطْبُوخُ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ هِيَ كَلِمَةٌ فَارِسِيَّةٌ عُرِّبَتْ

Bādziq yang dimasak, menurut Ibnu ‘Abbās, adalah sebuah kata dari bahasa Persia yang telah diarabkan.

فَهَذَا قَوْلُ من ذكرنا من الصحابة وغيرهم وليس له مُخَالِفٌ فَكَانَ إِجْمَاعًا ثُمَّ نُتْبِعُ مَا ذَكَرْنَا مِنَ السُّنَنِ وَالْآثَارِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ من النهي عن أوانيها

Inilah pendapat para sahabat yang telah kami sebutkan dan selain mereka, dan tidak ada yang menyelisihinya, maka itu menjadi ijmā‘. Kemudian kami mengikuti apa yang telah kami sebutkan dari sunah dan atsar dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ tentang larangan menggunakan bejana-bejana tersebut.

وذلك ما روى الشَّافِعِيُّ عَنِ ابْنِ عُلَيَّةَ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ شريك عن معاذ عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” عَنِ الدُّبَّاءِ وَالْمُزَفَّتِ وَالْحَنْتَمِ وَالنَّقِيرِ وَتَفْسِيرُ هَذِهِ الْأَوَانِي مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ الثَّقَفِيِّ قَالَ أَمَّا الدُّبَّاءُ فَإِنَّا مَعَاشِرَ ثَقِيفٍ كُنَّا بِالطَّائِفِ نَأْخُذُ الدُّبَّاءَ يَعْنِي الْيَقْطِينَةَ مِنَ الْقَرْعِ فَنَخْرُطُ فِيهَا عَنَاقِيدَ الْعِنَبِ ثُمَّ نَدْفِنُهَا حَتَّى تَهْدِرَ ثُمَّ تَمُوتَ وَأَمَّا النَّقِيرُ فَإِنَّ أَهْلَ الْيَمَامَةِ كانوا ينقرون أصل النخلة ثم يشرفون فيها الرطب أو البسر حتى تهدر أو تموت وأما المزفت فالأوعية التي تُطْلَى بِالزِّفْتِ

Itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Ibnu ‘Ulayyah, dari Ishaq bin Syarik, dari Mu‘adz, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (menggunakan) ad-dubba’, al-muzaffat, al-hantam, dan an-naqir. Penjelasan tentang wadah-wadah ini dinukil dari Abu Bakrah ats-Tsaqafi, ia berkata: Adapun ad-dubba’, maka kami, kaum Tsaqif di Tha’if, biasa mengambil ad-dubba’—yaitu labu dari jenis qara‘—lalu kami memasukkan ke dalamnya untaian anggur, kemudian kami kubur hingga menggelegak lalu mati (fermentasi berhenti). Adapun an-naqir, maka penduduk Yamamah biasa melubangi pangkal pohon kurma lalu memasukkan ke dalamnya kurma basah atau yang hampir matang hingga menggelegak atau mati. Adapun al-muzaffat adalah wadah-wadah yang dilapisi dengan ter.

وَأَمَّا الْحَنْتَمُ فَجِرَارٌ حُمْرٌ كَانَتْ تحمل إلينا فيها الخمر

Adapun al-hantam adalah kendi-kendi berwarna merah yang dahulu digunakan untuk membawa khamar kepada kami.

وقال الْأَصْمَعِيُّ هِيَ الْجِرَارُ الْخُضْرُ خَاصَّةً وَقَالَ آخَرُونَ كُلُّ نَوْعٍ مِنَ الْجِرَارِ حَنْتَمٌ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ ألوانها

Al-Ashma‘i berkata, “Yang dimaksud adalah kendi-kendi yang berwarna hijau secara khusus.” Sedangkan yang lain mengatakan, “Setiap jenis kendi disebut hantam, meskipun berbeda-beda warnanya.”

وهو الأصح لِرِوَايَةِ الشَّافِعِيِّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنِ ابْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” عن نبيذ الجر الْأَخْضَرِ وَالْأَبْيَضِ وَالْأَحْمَرِ ؛ وَفِي نَهْيِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنِ الِانْتِبَاذِ فِي هَذِهِ الْأَوَانِي وَإِنْ كَانَ حكم جميعها واحد تَأْوِيلَانِ

Dan inilah pendapat yang paling sahih berdasarkan riwayat asy-Syafi‘i dari Sufyan, dari Abu Ishaq asy-Syaibani, dari Ibnu Abi Aufa, ia berkata: Rasulullah ﷺ melarang dari nabidz yang dibuat dalam kendi hijau, putih, dan merah; dan dalam larangan beliau ﷺ dari membuat nabidz dalam bejana-bejana ini, meskipun hukumnya sama untuk semuanya, terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ فَجُعِلَ النَّهْيُ عَنْ هَذِهِ الْأَوَانِي مُقَدَّمَةً ينوطون بِهَا عَلَى مَا يَرِدُ بَعْدَهَا مِنْ تَحْرِيمِ الخمر؛ لأنهم قد كانوا ألغوها فواطأهم لِتَحْرِيمِهَا

Salah satu pendapat adalah bahwa hal itu terjadi sebelum diharamkannya khamr, sehingga larangan terhadap bejana-bejana ini dijadikan sebagai pendahuluan yang dihubungkan dengannya terhadap apa yang akan datang setelahnya berupa pengharaman khamr; karena mereka telah meninggalkannya, maka beliau pun menyepakati mereka dalam pengharamannya.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي أَنَّهُ كَانَ ذَلِكَ بَعْدَ التحريم؛ لأنه حرم عليهم المسكر وأباحهم غير المسكر وهذه الأواني يتعجل إسكار شاربها فَنَهَى عَنْهَا لِيَطُولَ مُكْثُ مَا لَا يُسْكِرُ فِي غَيْرِهَا؛ وَلِذَلِكَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِإِرَاقَةِ مَا نَشَّ مِنَ الشَرَابِ وَأُتِيَ بِشَرَابٍ قَدْ نَشَّ فَضَرَبَ بِهِ عُرْضَ الْحَائِطِ وَقَالَ ” إِنَّمَا يَشْرَبُ هَذَا مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ

Penafsiran kedua adalah bahwa hal itu terjadi setelah adanya pengharaman; karena minuman memabukkan diharamkan atas mereka dan selain yang memabukkan dibolehkan bagi mereka, sedangkan wadah-wadah ini mempercepat terjadinya kemabukan bagi peminumnya, maka Nabi melarangnya agar minuman yang tidak memabukkan dapat bertahan lebih lama dalam wadah lain; oleh karena itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk membuang minuman yang telah mengalami fermentasi, dan ketika didatangkan minuman yang telah mengalami fermentasi, beliau melemparkannya ke dinding dan bersabda, “Sesungguhnya yang meminum ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian (kebaikan).”

وَمِنْ ذَلِكَ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ عَبْدِ الْمَجِيدِ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لا تجمعوا بين الرطب والبسر وبين الزَّبِيبِ وَالتَّمْرِ نَبِيذًا وَفِي نَهْيِهِ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا مَا ذَكَرْنَا مِنَ التَّأْوِيلَيْنِ وَإِنْ كَانَ حُكْمُهَا فِي الِانْفِرَادِ وَالْجَمْعِ سَوَاءً

Di antara hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari ‘Abdul Majid, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, ia berkata: Aku mendengar Jabir bin ‘Abdullah berkata, Nabi ﷺ bersabda, “Janganlah kalian mencampur antara ruthab dan busr, serta antara zabib dan tamr sebagai nabidz.” Larangan beliau untuk mencampur keduanya mengandung dua penafsiran yang telah kami sebutkan, meskipun hukumnya dalam keadaan terpisah maupun dicampur adalah sama.

أَحَدُ التَّأْوِيلَيْنِ أَنَّ ذَلِكَ قَبْلَ التَّحْرِيمِ تَوْطِئَةً لَهُمْ فِي التحريم؛ لأنهم كانوا يجمعون بينها لقوة شدتها وكثرة لذتها وَيُسَمُّونَهُ نَبِيذَ الْخَلِيطَيْنِ

Salah satu dari dua penafsiran adalah bahwa hal itu terjadi sebelum adanya pengharaman, sebagai pengantar bagi mereka menuju pengharaman; karena mereka dahulu mencampurnya disebabkan kuatnya rasa dan banyaknya kenikmatan, dan mereka menyebutnya sebagai nabīdz al-khalītain.

وَالثَّانِي أَنَّهُ بَعْدَ التَّحْرِيمِ؛ لِأَنَّ جَمْعَهَا يُعَجِّلُ حُدُوثَ السُّكْرِ مِنْهَا لِيَدُومَ عليهم مكث ما لا يسكر إن انْفَرَدَ وَلَا يُتَعَجَّلُ إِسْكَارُهُ إِذَا اجْتَمَعَ

Yang kedua adalah bahwa hal itu terjadi setelah pengharaman; karena mencampurkannya akan mempercepat timbulnya efek memabukkan dari keduanya, sehingga mereka akan tetap berada dalam keadaan yang tidak memabukkan jika dikonsumsi sendiri-sendiri, dan efek memabukkannya tidak akan segera terjadi jika dikonsumsi secara bersamaan.

فَهَذِهِ دَلَائِلُ النُّصُوصِ وَالظَّوَاهِرِ مِنَ السُّنَنِ وَالْآثَارِ فَأَمَّا دَلَائِلُ مَا يُوجِبُهُ الِاعْتِبَارُ مِنَ الْمَعَانِي وَالْعِلَلِ فَمِنْ وُجُوهٍ

Inilah dalil-dalil dari nash dan zhahir dari sunnah serta atsar. Adapun dalil-dalil yang ditunjukkan oleh pertimbangan makna dan ‘illah, maka hal itu berasal dari beberapa sisi.

مِنْهَا الِاشْتِقَاقُ وَهُوَ أَنَّ الْخَمْرَ سُمِّيَ خَمْرًا لِأَحَدِ وَجْهَيْنِ

Di antaranya adalah isytiqāq, yaitu bahwa khamr dinamakan khamr karena salah satu dari dua alasan.

إِمَّا لِأَنَّهُ خَامَرَ العقل أي غطاه وهو قول عمر

Hal itu karena ia menutupi akal, yaitu menutupi akal, dan ini adalah pendapat Umar.

أو لِأَنَّهُ يُخَمّرُ أَيْ يُغَطّى وَمِنْ أَيِّهِمَا اشْتُقَّ فهو فِي النَّبِيذِ كَوُجُودِهِ فِي الْخَمْرِ فَوَجَبَ أَنْ يشترك فِي الِاسْمِ؛ وَلِذَلِكَ قَالُوا لِمَنْ بَقِيَتْ فِيهِ نَشْوَةُ السُّكْرِ مَخْمُورًا اشْتِقَاقًا مِنَ اسْمِ الْخَمْرِ سَوَاءٌ كَانَ سُكْرُهُ مِنْ نَبِيذٍ أَوْ خَمْرٍ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ وَلَوِ افْتَرَقَا فِي الِاسْمِ لافترقا في الصفة فقيل له في نشوة النبيذ منبوذاً كما قيل له في نشوة الخمر مخموراً

Atau karena ia menutupi, yaitu menutupi (sesuatu), dan dari mana pun kata itu diambil, maka pada nabidz keberadaannya seperti pada khamr, sehingga wajib disatukan dalam penamaan; oleh karena itu, mereka menyebut orang yang masih merasakan efek mabuk sebagai “makhmūr” yang diambil dari nama khamr, baik mabuknya itu berasal dari nabidz maupun dari khamr, tanpa ada perbedaan. Seandainya keduanya berbeda dalam penamaan, tentu akan berbeda pula dalam sifatnya, sehingga orang yang mabuk karena nabidz disebut “manbūdz” sebagaimana orang yang mabuk karena khamr disebut “makhmūr”.

فَإِنْ قِيلَ فَهَذَا مُعَارَضٌ بِمِثْلِهِ لِأَنَّهُمْ قَالُوا فِي خَلِّ الْعِنَبِ خَلَّ الْخَمْرِ وَلَمْ يَقُولُوا فِي خَلِّ التَّمْرَ خَلَّ الْخَمْرِ فَإِنْ دَلَّ مَا نُصَّ عَلَى اشْتِرَاكِهِمَا فِي الِاسْمِ دَلَّ هَذَا عَلَى افْتِرَاقِهِمَا فِيهِ

Jika dikatakan, “Ini bertentangan dengan hal yang serupa, karena mereka mengatakan pada cuka anggur: ‘cuka khamr’, namun mereka tidak mengatakan pada cuka kurma: ‘cuka khamr’. Jika apa yang dinyatakan menunjukkan kesamaan keduanya dalam penamaan, maka hal ini juga menunjukkan perbedaan keduanya dalam hal tersebut.”

قِيلَ هَذِهِ التَّسْمِيَةُ مَجَازٌ وَلَيْسَتْ بِحَقِيقَةٍ يَسْتَمِرُّ فِيهَا قِيَاسٌ وَيَصِحُّ فيها اشتقاق؛ ولأن خَلَّ الْعِنَبِ لَا يُسَمَّى خَمْرًا وَإِنْ حَدَثَ عن العنب كما لا يسمى التَّمْرُ نَبِيذًا وَإِنْ حَدَثَ عَنِ التَّمْرِ وَلَوْ كان لهذه العلة سمي خمر الْعِنَبِ خَلَّ الْخَمْرِ لَوَجَبَ بِهَذِهِ الْعِلَّةِ أَنْ يُسَمَّى خَلُّ التَّمْرِ خَلَّ النَّبِيذِ وَفِي فَسَادِ هَذَا التَّعْلِيلِ بُطْلَانُ هَذَا التَّعَارُضِ

Dikatakan bahwa penamaan ini adalah majaz (kiasan) dan bukan hakikat yang di dalamnya berlaku qiyās dan sah dilakukan isytiqāq; karena cuka anggur tidak disebut khamr meskipun berasal dari anggur, sebagaimana kurma tidak disebut nabīdz meskipun berasal dari kurma. Jika penamaan itu karena sebab ini, maka khamr anggur yang menjadi cuka harusnya disebut cuka khamr, dan dengan sebab ini pula cuka kurma harus disebut cuka nabīdz. Dengan rusaknya alasan ini, maka batal pula pertentangan tersebut.

وَمِنْهَا الْمَعْنَى وَهُوَ أَنَّ الْخَمْرَ مُخْتَصٌّ بِمَعْنَيَيْنِ صِفَةٍ بِخَلِّهِ وَهِيَ الشِّدَّةُ الْمُطْرِبَةُ وَتَأْثِيرٍ يَحْدُثُ عَنْهُ وَهُوَ السكر يثبت بها اسم الخمر وتحريمه ويزول بارتفاعها اسْمُ الْخَمْرِ وَتَحْرِيمُهُ؛ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ عَصِيرًا لَيْسَ فِيهِ شِدَّةٌ وَلَا يَحْدُثُ عَنْهُ إِسْكَارٌ ولم يَنْطَلِقْ عَلَيْهِ اسْمُ الْخَمْرِ وَلَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ حُكْمُهُ فِي التَّحْرِيمِ وَإِذَا حَدَثَتْ فِيهِ الشِّدَّةُ الْمُطْرِبَةُ وَصَارَ مُسْكِرًا انْطَلَقَ عَلَيْهِ اسْمُ الْخَمْرِ وجرى عليه حكمه في التحريم

Di antaranya adalah makna, yaitu bahwa khamr memiliki dua makna khusus: sifat yang melekat padanya, yaitu kekuatan yang memabukkan, dan pengaruh yang ditimbulkannya, yaitu menyebabkan mabuk. Dengan kedua hal ini, nama khamr dan keharamannya ditetapkan. Jika kedua hal ini hilang, maka nama khamr dan keharamannya pun hilang. Sebab, jika masih berupa perasan anggur yang tidak memiliki kekuatan dan tidak menimbulkan kemabukan, maka tidak dinamakan khamr dan tidak berlaku hukum keharamannya. Namun, jika telah muncul kekuatan yang memabukkan dan menjadi memabukkan, maka ia dinamakan khamr dan berlaku hukum keharamannya.

فإذا ارْتَفَعَتِ الشِّدَّةُ وَزَالَ عَنْهُ الْإِسْكَارُ ارْتَفَعَ عَنْهُ اسْمُ الْخَمْرِ وَزَالَ عَنْهُ حُكْمُ التَّحْرِيمِ فَدَلَّ عَلَى تَعَلُّقِ الِاسْمِ وَالْحُكْمِ بِالصِّفَةِ وَالتَّأْثِيرِ دُونَ الْجِنْسِ وَقَدْ وُجِدَتْ صِفَةُ الشِّدَّةِ وَتَأْثِيرُ السُّكْرِ فِي النَّبِيذِ فَوَجَبَ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ اسْمُ الْخَمْرِ وَحُكْمُهُ فِي التَّحْرِيمِ؛ وَلِأَنَّ مَا زَالَتْ عَنْهُ الشِّدَّةُ لَمْ يَخْتَلِفْ بِاخْتِلَافِ أَجْنَاسِهِ كَذَلِكَ ما جلبته الشِّدَّةُ لَمْ يَخْتَلِفْ بِاخْتِلَافِ أَجْنَاسِهِ

Maka apabila kadar kerasnya telah hilang dan sifat memabukkannya telah lenyap, maka nama khamr pun hilang darinya dan hukum keharamannya pun tidak lagi berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa penamaan dan hukum itu terkait dengan sifat dan pengaruhnya, bukan pada jenisnya. Sifat keras dan pengaruh memabukkan telah ditemukan pada nabidz, maka wajiblah nama khamr dan hukumnya dalam keharaman juga berlaku padanya. Karena sesuatu yang telah hilang kadar kerasnya tidak berbeda-beda menurut perbedaan jenisnya, demikian pula sesuatu yang ditimbulkan oleh kadar keras itu tidak berbeda-beda menurut perbedaan jenisnya.

فَإِنْ قِيلَ فَلَوْ كَانَ كَذَلِكَ لَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ كُلُّ حَامِضٍ خَلًّا؛ لِأَنَّا نَرَاهُ خَلَّا إِذَا حَدَثَتْ فِيهِ الْحُمُوضَةُ وَغَيْرَ خَلٍّ إِذَا ارتفعت عنه الحموضة

Jika dikatakan: Kalau memang demikian, maka seharusnya setiap zat yang asam itu adalah cuka; karena kita melihatnya menjadi cuka ketika muncul keasaman padanya, dan bukan cuka ketika keasaman itu hilang darinya.

فإن لَمْ يَكُنْ كُلُّ حَامِضٍ خَلًّا لَمْ يَكُنْ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرًا قِيلَ صِحَّةُ التَّعْلِيلِ مَوْقُوفٌ عَلَى اطِّرَادِهِ وَهُوَ فِي الْخَمْرِ مُطَّرِدٌ فَصَحَّ وَفِي الْخَلِّ غَيْرُ مُطَّرِدٍ فَبَطَلَ

Jika tidak setiap yang asam itu adalah cuka, maka tidak setiap yang memabukkan itu adalah khamar. Dikatakan bahwa keabsahan ta‘līl tergantung pada konsistensinya, dan pada kasus khamar, hal itu konsisten sehingga sah, sedangkan pada cuka tidak konsisten sehingga batal.

وَمِنْهَا أَنَّهُ لَمَّا كَانَ قَلِيلُ الْخَمْرِ مِثْلَ كَثِيرِهِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَلِيلُ النَّبِيذِ مِثْلَ كَثِيرِهِ؛ لِأَنَّهُمَا قد اجتمعا فِي حُكْمِ الْكَثِيرِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي حُكْمِ الْقَلِيلِ

Di antaranya adalah bahwa ketika sedikit khamr (minuman keras) hukumnya sama dengan banyaknya, maka wajib hukumnya sedikit nabidz (minuman yang difermentasi) juga sama dengan banyaknya; karena keduanya telah disamakan dalam hukum banyaknya, maka wajib pula disamakan dalam hukum sedikitnya.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ شَرَابٌ مُسْكِرٌ فوجب أن يستوي حكم قليله وكثيره كَالْخَمْرِ

Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa ia merupakan minuman yang memabukkan, maka wajib hukumnya untuk menyamakan hukum antara sedikit dan banyaknya, sebagaimana khamr.

فَإِنْ قِيلَ لَا يَصِحُّ اعْتِبَارُ الْقَلِيلِ بِالْكَثِيرِ فِي التَّحْرِيمِ؛ لِأَنَّ كَثِيرَ السَّقَمُونِيَا وَمَا أَشْبَهَهُ مِنَ الْأَدْوِيَةِ حَرَامٌ وَقَلِيلُهُ غَيْرُ حَرَامٍ

Jika dikatakan bahwa tidak sah mempertimbangkan yang sedikit dengan yang banyak dalam hal pengharaman; karena banyaknya sakmunia dan obat-obatan sejenisnya hukumnya haram, sedangkan sedikitnya tidak haram.

قيل لأن تحريم السقمونيا لضرر هو مَوْجُودٌ فِي الْكَثِيرِ دُونَ الْقَلِيلِ وَتَحْرِيمَ الْخَمْرِ لِشِدَّتِهِ وَهِيَ مَوْجُودَةٌ فِي الْكَثِيرِ وَالْقَلِيلِ فَإِنْ مَنَعُوا مِنَ التَّعْلِيلِ فَقَدْ تَقَدَّمَ الدَّلِيلُ ثُمَّ يقال لما لم يمنع هذا مِنَ التَّسْوِيَةِ بَيْنَ قَلِيلِ الْخَمْرِ وَكَثِيرِهِ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ التَّسْوِيَةِ بَيْنَ قَلِيلِ النَّبِيذِ وَكَثِيرِهِ

Dikatakan bahwa pengharaman scammony karena bahayanya terdapat pada jumlah yang banyak, tidak pada jumlah yang sedikit, sedangkan pengharaman khamr karena kerasnya, dan hal itu terdapat pada jumlah yang banyak maupun sedikit. Jika mereka menolak alasan tersebut, maka dalil telah disebutkan sebelumnya. Kemudian dikatakan, ketika hal ini tidak menghalangi untuk menyamakan antara sedikit dan banyaknya khamr, maka hal itu juga tidak menghalangi untuk menyamakan antara sedikit dan banyaknya nabidz.

وَمِنْهَا أَنَّ دَوَاعِيَ الْحَرَامِ يَتَعَلَّقُ بِهَا حُكْمُ التَّحْرِيمِ لِأَنَّ تَحْرِيمَ الْمُسَبَّبِ يُوجِبُ تَحْرِيمَ السَّبَبِ وَشُرْبَ الْمُسْكِرِ يَدْعُو إِلَى السُّكْرِ وَشُرْبُ الْقَلِيلِ يدعو إلى شرب الكثر فَوَجَبَ أَنْ يُحَرَّمَ الْمُسْكِرُ لِتَحْرِيمِ السُّكْرِ وَيُحَرَّمَ الْقَلِيلُ لِتَحْرِيمِ الْكَثِيرِ

Di antaranya adalah bahwa segala sesuatu yang mendorong kepada yang haram juga dikenakan hukum keharaman, karena mengharamkan akibat menuntut untuk mengharamkan sebab. Minum minuman memabukkan mendorong kepada mabuk, dan meminum sedikit mendorong kepada meminum banyak, maka wajib diharamkan minuman memabukkan karena keharaman mabuk, dan diharamkan yang sedikit karena keharaman yang banyak.

فَإِنْ مَنَعُوا مِنْ هَذَا بِقُبْلَةِ الصَّائِمِ تَدْعُو إِلَى الْوَطْءِ وَلَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ لِتَحْرِيمِ الْوَطْءِ

Jika mereka melarang hal ini karena ciuman orang yang berpuasa yang dapat mengantarkan kepada hubungan suami istri, padahal hubungan tersebut tidak diharamkan baginya hanya karena diharamkannya hubungan suami istri.

قِيلَ إِذَا دَعَتْ إِلَى الْوَطْءِ حَرُمَتْ

Dikatakan: Jika ia mengajak untuk melakukan hubungan seksual, maka menjadi haram.

وَإِنَّمَا يُبَاحُ مِنْهَا مَا لَمْ يَدْعُ إِلَى الْوَطْءِ

Dan yang dibolehkan darinya hanyalah yang tidak mengajak kepada hubungan seksual.

وَمِنْهَا أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ عَلَّقَ عَلَى طَبْخِ الْأَشْرِبَةِ حُكْمَيْنِ مُتَضَادَّيْنِ فَجَعَلَهُ مُحِلًّا لِلْحَرَامِ وَمُحَرِّمًا لِلْحَلَالِ لِأَنَّهُ يَقُولُ إِذَا طُبِخَ الْخَمْرُ حَلَّ وَإِذَا طُبِخَ النَّبِيذُ حَرُمَ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Di antaranya adalah bahwa Abu Hanifah menggantungkan pada proses memasak minuman dua hukum yang saling bertentangan: ia menjadikannya sebagai sesuatu yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sebab, ia berpendapat bahwa jika khamr dimasak maka menjadi halal, dan jika nabidz dimasak maka menjadi haram. Ini adalah pendapat yang rusak dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ عَلَّقَ عَلَيْهِ حُكْمَيْنِ مُتَضَادَّيْنِ

Salah satunya adalah bahwa ia menggantungkan padanya dua hukum yang saling bertentangan.

وَالثَّانِي أَنَّهُ جَعَلَ لَهُ تَأْثِيرًا فِي التَّحْلِيلِ وَالتَّحْرِيمِ وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَا حَلَّ مِنْ لَحْمِ الْجَمَلِ لَمْ يَحْرُمْ بِالطَّبْخِ وَمَا حَرُمَ مِنْ لَحْمِ الْخِنْزِيرِ لَمْ يَحِلَّ بِالطَّبْخِ فَوَجَبَ إِسْقَاطُ تَأْثِيرِهِ

Kedua, bahwa ia (qiyās) memberikan pengaruh dalam hal menghalalkan dan mengharamkan. Padahal sudah diketahui bahwa daging unta yang halal tidak menjadi haram karena dimasak, dan daging babi yang haram tidak menjadi halal karena dimasak. Maka wajib meniadakan pengaruhnya (qiyās) dalam hal ini.

وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ نيء الْخَمْرِ حَرَامٌ فَكَذَلِكَ مَطْبُوخُهُ وَأَنَّ مَطْبُوخَ النَّبِيذِ حَرَامٌ فَكَذَلِكَ نَيِّئُهُ

Telah tetap bahwa khamr yang mentah itu haram, maka demikian pula yang telah dimasak; dan bahwa nabidz yang telah dimasak itu haram, maka demikian pula yang mentahnya.

وَمِنْهَا أَنَّ تَأْثِيرَ الشَّمْسِ فِي الْأَشْرِبَةِ كَتَأْثِيرِ الطَّبْخِ وَإِنْ كَانَتْ أَبْطَأَ ثُمَّ ثَبَتَ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِالشَّمْسِ حُدُوثُ الشِّدَّةِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الِاعْتِبَارُ بِالطَّبْخِ حُدُوثَ الشِّدَّةِ لِأَنَّهُمَا لَمَّا اسْتَوَيَا فِي التَّأْثِيرِ وَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَا فِي الْحُكْمِ

Di antaranya adalah bahwa pengaruh matahari terhadap minuman seperti pengaruh memasak, meskipun pengaruh matahari lebih lambat. Kemudian telah ditetapkan bahwa yang menjadi pertimbangan pada matahari adalah terjadinya kekuatan (pada minuman), maka wajib pula pertimbangan pada memasak adalah terjadinya kekuatan, karena keduanya sama dalam hal pengaruh, maka wajib pula keduanya disamakan dalam hukum.

وَمِنْهَا مَا احْتَجَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ عَلَيْهِمْ فِي كِتَابِ الْأَشْرِبَةِ مِنَ ” الْأُمِّ فَقَالَ لَهُمْ مَا تَقُولُونَ إِذَا شَرِبَ أَقْدَاحًا فَلَمْ يَسْكَرْ قَالُوا حَلَالٌ قَالَ فَإِنْ خَرَجَ إِلَى الْهَوَاءِ فَضَرَبَتْهُ الرِّيحُ فَسَكِرَ قَالُوا يَكُونُ حَرَامًا قَالَ يَا عجبا ينزل الشراب إلى جوفه حلالاً ويصير بالريح حراماً

Di antaranya adalah apa yang dijadikan hujjah oleh Imam Syafi‘i terhadap mereka dalam Kitab al-Asyribah dari kitab al-Umm. Beliau berkata kepada mereka: “Apa pendapat kalian jika seseorang minum beberapa gelas namun tidak mabuk?” Mereka menjawab, “Itu halal.” Beliau berkata, “Lalu bagaimana jika ia keluar ke udara terbuka, lalu terkena angin sehingga ia menjadi mabuk?” Mereka menjawab, “Itu menjadi haram.” Beliau berkata, “Sungguh menakjubkan, minuman itu masuk ke dalam perutnya dalam keadaan halal, lalu menjadi haram hanya karena angin.”

قالوا يكون التحريم مراعاً قِيلَ لَهُمْ إِنَّمَا يَكُونُ مُرَاعًى مَعَ بَقَائِهِ لأن المراعى موقوف والمقوف مَمْنُوعٌ وَالْمَمْنُوعُ مُحَرَّمٌ وَإِنَّ مَا رَاعَيْتُمُوهُ بَعْدَ شُرْبِهِ أَبَحْتُمُوهُ مَشْكُوكًا فِيهِ وَالشَّكُّ يَمْنَعُ مِنَ الْإِبَاحَةِ وَغُرِّرْتُمْ بِهِ فِي إِبَاحَةِ مَا تُحَرِّمُونَهُ عَلَيْهِ وَمَا أَفْضَى إِلَى هَذَا كَانَ حَرَامًا

Mereka berkata bahwa keharaman itu diperhatikan; dikatakan kepada mereka: sesungguhnya keharaman itu hanya diperhatikan selama masih ada, karena sesuatu yang diperhatikan itu tertunda, dan sesuatu yang tertunda itu terlarang, dan sesuatu yang terlarang itu haram. Apa yang kalian perhatikan setelah diminum, kalian halalkan dalam keadaan masih diragukan, dan keraguan itu mencegah dari kehalalan, dan kalian telah tertipu dalam menghalalkan sesuatu yang kalian haramkan atasnya, dan apa yang mengantarkan kepada hal ini maka hukumnya haram.

وَمِنْهَا مَا احْتَجَّ بِهِ الْمُزَنِيُّ عَلَيْهِمْ أَنَّ جَمِيعَ الْأَشْرِبَةِ إِذَا كَانَتْ حُلْوَةً فَهِيَ حَلَالٌ وَلَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهَا بِاخْتِلَافِ أَجْنَاسِهَا فَإِذَا حَمُضَتْ وَصَارَتْ خَلَّا فَهِيَ حَلَالٌ وَلَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهَا بِاخْتِلَافِ أَجْنَاسِهَا وَجَبَ إِذَا اشْتَدَّتْ وَأَسْكَرَتْ أَنْ يَكُونَ حُكْمُهَا وَاحِدًا وَلَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهَا بِاخْتِلَافِ أَجْنَاسِهَا فَلَمَّا لَمْ يَحِلَّ جَمِيعُهَا وَجَبَ أَنْ يَحْرُمَ جَمِيعُهَا وَلَمَّا لَمْ يُحِلَّ قَلِيلُهَا وكَثِيرَهَا وَجَبَ أَنْ يَحْرُمَ قَلِيلُهَا وَكَثِيرُهَا

Di antara dalil yang digunakan oleh al-Muzani terhadap mereka adalah bahwa semua minuman, jika masih manis, hukumnya halal dan tidak berbeda hukumnya meskipun berbeda jenisnya. Jika telah menjadi asam dan berubah menjadi cuka, maka hukumnya juga halal dan tidak berbeda hukumnya meskipun berbeda jenisnya. Maka, apabila minuman itu telah memabukkan dan menguatkan (kadar alkoholnya), wajib hukumnya menjadi satu, dan tidak berbeda hukumnya meskipun berbeda jenisnya. Maka, ketika seluruhnya tidak halal, wajib seluruhnya menjadi haram. Dan ketika sedikit maupun banyaknya tidak dihalalkan, maka wajib sedikit maupun banyaknya menjadi haram.

وَمِنْهَا أَنَّ الْخَمْرَ قَدِ اخْتَلَفَتْ أَسْمَاؤُهَا وَلَمْ يَخْتَلِفْ حُكْمُهَا وَالنَّبِيذُ قَدِ اخْتَلَفَتْ أَسْمَاؤُهُ وَلَمْ يَخْتَلِفْ حُكْمُهُ فَمِنْ أَسْمَاءِ الْخَمْرِ الْعُقَارُ سُمِّيَتْ بِهِ؛ لِأَنَّهَا تُعَاقِرُ الْإِنَاءَ أَيْ تُقِيمُ فِيهِ

Di antaranya adalah bahwa khamr memiliki berbagai nama, namun hukumnya tidak berbeda, dan nabidz juga memiliki berbagai nama, namun hukumnya tidak berbeda. Di antara nama-nama khamr adalah ‘uqār, dinamakan demikian karena ia menetap di dalam wadah, yaitu tetap berada di dalamnya.

وَمِنْ أَسْمَائِهَا الْمُدَامُ؛ لِأَنَّهَا تَدُومُ فِي الْإِنَاءِ

Dan di antara nama-namanya adalah al-mudām, karena ia tetap berada di dalam wadah.

وَمِنْ أَسْمَائِهَا القهوة وسميت به؛ لأنها تقهي عن الطعام أي يقطع شَهْوَتُهُ

Di antara nama-namanya adalah “al-qahwah”, dan dinamakan demikian karena ia menghalangi dari makanan, yaitu memutuskan selera makannya.

وَمِنْ أَسْمَائِهَا السُّلَافُ وَهُوَ الَّذِي يَخْرُجُ من عينه بغير اعتصار ولها خير ذَلِكَ مِنَ الْأَسْمَاءِ

Di antara nama-namanya adalah as-sulāf, yaitu yang keluar dari matanya tanpa diperas, dan itu adalah nama terbaik baginya.

وَمِنْ أَسْمَاءِ النَّبِيذِ السَّكَرُ سُمِّيَ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ يُسْكِرُ وَهُوَ الَّذِي لَمْ يطبخ

Di antara nama lain dari nabidz adalah “sakar”, dinamakan demikian karena dapat memabukkan, yaitu minuman yang belum dimasak.

ومن أسمائه البازق وَهُوَ الْمَطْبُوخُ

Dan di antara namanya adalah al-bāziq, yaitu yang dimasak.

وَمِنْ أَسْمَائِهِ الْفَضِيخُ وَهُوَ مِنَ البسر سمي بذلك؛ لافتضاخ البسر منه

Di antara namanya adalah al-fadhīkh, yaitu minuman yang terbuat dari buah kurma yang masih muda (busr), dinamakan demikian karena buah kurma muda tersebut dihancurkan untuk membuatnya.

ويسميه أهل البصرة العري

Dan penduduk Basrah menyebutnya dengan istilah al-‘urī.

ومنه البتع مِنَ الْعَسَلِ لِأَهْلِ الْيَمَنِ وَمِنْهُ الْمِزْرُ وَهُوَ مِنَ الذُّرَةِ لِأَهْلِ الْحَبَشَةِ

Di antaranya adalah al-bita‘ yang terbuat dari madu bagi penduduk Yaman, dan di antaranya adalah al-mizr yang terbuat dari jagung bagi penduduk Habasyah.

ومنه المزاء وهو من أشربة أهل الشَّامِ وَمِنْهُ السَّكَرُ وَهُوَ نَقِيعُ التَّمْرِ الَّذِي لَمْ تَمَسَّهُ النَّارُ وَمِنْهُ السُّكْرُكَةُ وَهُوَ مِنَ الْأُرْزِ لِأَهْلِ الْحَبَشَةِ

Di antaranya adalah al-maza’, yaitu salah satu minuman penduduk Syam; di antaranya juga as-sakar, yaitu rendaman kurma yang tidak terkena api; dan di antaranya as-sukrakah, yaitu minuman dari beras yang biasa dikonsumsi oleh penduduk Habasyah.

وَمِنْهُ الْجِعَةُ وَهُوَ مِنَ الشعير ومنه الضعف وهو من عنب شرخ كَالْفَضِيخِ مِنَ الْبُسْرِ يُتْرَكُ فِي أَوْعِيَتِهِ حَتَّى يَغْلِيَ

Di antaranya adalah al-ji‘ah, yaitu minuman dari jelai, dan di antaranya juga adalah ad-du‘f, yaitu dari anggur yang masih muda seperti al-fadhīkh dari buah kurma basah, yang dibiarkan dalam wadahnya hingga mendidih.

وَمِنْهُ الْخَلِيطَانِ وَهُوَ مَا جُمِعَ فِيهِ بَيْنَ بُسْرٍ وَعِنَبٍ أَوْ بَيْنَ تَمْرٍ وَزَبِيبٍ

Di antaranya adalah campuran, yaitu sesuatu yang di dalamnya terdapat gabungan antara busr dan anggur, atau antara kurma dan kismis.

ومنه المغذي اسْتُخْرِجَ لِعَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ بِالشَّامِ مِنْ ماء الرمان وماء العنب

Di antara yang bersifat menguatkan, telah diekstrak untuk ‘Abd al-Malik bin Marwan di Syam dari air delima dan air anggur.

وَمِنْهُ مَا يَتَغَيَّرُ بِالطَّبْخِ فَمِنْهُ الْمُنَصَّفُ وَهُوَ مَا ذَهَبَ بِالنَّارِ نِصْفُهُ وَبَقِيَ نِصْفُهُ وَمِنْهُ الْمُثَلَّثُ وَهُوَ مَا ذَهَبَ ثُلُثُهُ وَبَقِيَ ثُلُثَاهُ ومنه الكلا وَهُوَ مَا ذَهَبَ ثُلُثَاهُ وَبَقِيَ ثُلُثُهُ وَمِنْهُ الْجَهْوَرِيُّ وَهُوَ مَا يَجْمُدُ فَإِذَا أُرِيدَ شُرْبُهُ حل بالماء والنار وعليه يسميه أهل فارس البحتح إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْمَاءِ الَّتِي لَا تحصى فلما اختلفت أسماء الخمر واتفقت أحكامها لِلِاشْتِرَاكِ فِي مَعْنَى الشِّدَّةَ وَاخْتَلَفَتْ أَسْمَاءُ النَّبِيذِ وَاتَّفَقَتْ أَحْكَامُهُ مَعَ الشِّدَّةِ وَجَبَ إِذَا اخْتَلَفَ اسم الخمر والنبيذ أن تتفق أحكامها لأجل الشدة وهذا الاستدلال فِي سَائِرِ اخْتِلَافِ الْأَسْمَاءِ وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَتَأْثِيرُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ أَطْلَقَ عَلَى النَّبِيذِ اسْمَ الْخَمْرِ حَرَّمَهُ بِالنَّصِّ وَمَنْ لَمْ يُطْلِقْ عَلَيْهِ اسْمَ الْخَمْرِ حَرَّمَهُ بِالْقِيَاسِ

Di antara jenis minuman yang berubah karena dimasak adalah munashshaf, yaitu minuman yang separuhnya menguap karena api dan separuhnya masih tersisa; dan ada juga muthallats, yaitu yang sepertiganya menguap dan dua pertiganya masih tersisa; dan ada juga kalla, yaitu yang dua pertiganya menguap dan sepertiganya masih tersisa; serta ada juga al-jahwari, yaitu minuman yang membeku, lalu jika ingin diminum, dicairkan dengan air dan api, dan oleh orang Persia disebut dengan istilah bahtah, serta berbagai nama lain yang tak terhitung jumlahnya. Ketika nama-nama khamr berbeda-beda namun hukumnya sama karena sama-sama memiliki unsur kekuatan (memabukkan), dan nama-nama nabidz juga berbeda-beda namun hukumnya sama jika mengandung unsur kekuatan (memabukkan), maka apabila nama khamr dan nabidz berbeda, hukumnya harus disamakan karena unsur kekuatan tersebut. Inilah bentuk istidlal dalam seluruh perbedaan nama, dan ini adalah pendapat sekelompok ulama Syafi‘iyah. Pengaruh dari hal ini adalah bahwa siapa yang menyebut nabidz dengan nama khamr, maka ia mengharamkannya berdasarkan nash, dan siapa yang tidak menyebutnya dengan nama khamr, maka ia mengharamkannya berdasarkan qiyās.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا النحل 67 فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ala: “kalian menjadikannya sebagai minuman memabukkan dan rezeki yang baik” (an-Nahl: 67), maka ada tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّ اخْتِلَافَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي تَأْوِيلِ السَكَرِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ يَمْنَعُ مِنَ الِاحْتِجَاجِ بِبَعْضِهِ لِأَنَّ فِيهِ سَبْعَةَ أَقَاوِيلَ

Salah satunya adalah bahwa perbedaan para ahli ilmu dalam menafsirkan makna sakar, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, mencegah untuk menjadikan sebagian pendapat sebagai hujjah, karena di dalamnya terdapat tujuh pendapat.

أَحَدُهَا أَنَّهُ الْخَمْرُ قَالَهُ الْحَسَنُ وَعَطَاءٌ

Salah satunya adalah bahwa yang dimaksud adalah khamr; pendapat ini dikemukakan oleh al-Hasan dan ‘Aṭā’.

وَالثَّانِي أَنَّهُ النَّبِيذُ قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ

Dan yang kedua adalah bahwa itu adalah nabidz, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ مَا طَابَ وَلَمْ يُسْكِرْ قَالَهُ مُجَاهِدٌ

Ketiga, yaitu sesuatu yang baik dan tidak memabukkan; demikian dikatakan oleh Mujāhid.

وَالرَّابِعُ أَنَّهُ الْمُسْكِرُ وَهُوَ الظَّاهِرُ

Keempat, bahwa yang dimaksud adalah sesuatu yang memabukkan, dan inilah pendapat yang paling jelas.

وَالْخَامِسُ أَنَّهُ الْحَرَامُ قَالَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ

Kelima, bahwa itu adalah haram, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qutaibah.

وَالسَّادِسُ أَنَّهُ الطَّعَامُ قَالَهُ أبو عبيدة

Keenam, bahwa itu adalah makanan, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Ubaidah.

والسابع أنه الخل

Ketujuh, yaitu cuka.

ومع اختلاف هذا التأويل لن يَصِحَّ فِي أَحَدِهَا دَلِيلٌ وَيَجُوزُ أَنْ يُحْمَلَ عَلَى الْعُمُومِ فِي أَسْمَاءِ السُّكْرِ الْمَذْكُورَةِ؛ لِأَنَّ أَصْحَابَنَا قَدِ اخْتَلَفُوا فِي الِاسْمِ الْمُشْتَرِكِ

Meskipun terdapat perbedaan dalam penafsiran ini, tidak ada satu pun di antaranya yang memiliki dalil yang sahih, dan boleh jadi makna tersebut dibawa kepada keumuman pada nama-nama minuman memabukkan yang disebutkan; karena para ulama kami telah berbeda pendapat mengenai nama yang musytarak (memiliki makna ganda).

إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ مَا يَدُلُّ عَلَى أحدهم هَلْ يَجُوزُ حَمْلُهُ عَلَى عُمُومِهَا فَذَهَبَ أَكْثَرُهُمْ إِلَى جَوَازِ حَمْلِهِ عَلَى عُمُومِ الْأَعْيَانِ الْمُشْتَرِكَةِ فِي اسْمِ اللَّوْنِ وَالْعَيْنِ كَمَا يَجُوزُ حَمْلُهُ على عموم الأجناس المتماثلة في قوله تَعَالَى الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي النور 2 وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ المائدة 38 فِي حَمْلِهِ عَلَى كُلِّ زَانٍ وَسَارِقٍ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا يَجُوزُ حَمْلُهُ عَلَى عُمُومِ الْأَعْيَانِ وَإِنْ جَازَ حَمْلُهُ عَلَى عُمُومِ الْأَجْنَاسِ؛ لِتَغَايُرِ الْأَعْيَانِ وَتَمَاثُلِ الْأَجْنَاسِ

Jika tidak disertai dengan sesuatu yang menunjukkan salah satu dari mereka, apakah boleh memaknainya secara umum? Mayoritas ulama berpendapat bahwa boleh memaknainya secara umum pada semua individu yang memiliki kesamaan dalam nama warna dan bentuk, sebagaimana boleh juga memaknainya secara umum pada semua jenis yang serupa, seperti dalam firman Allah Ta‘ala: “Perempuan pezina dan laki-laki pezina” (an-Nur: 2) dan “Laki-laki pencuri dan perempuan pencuri” (al-Ma’idah: 38), yaitu dengan memaknainya pada setiap pezina dan pencuri. Namun sebagian ulama berpendapat tidak boleh memaknainya secara umum pada semua individu, meskipun boleh pada semua jenis, karena perbedaan individu dan kesamaan jenis.

وقَالَ آخَرُونَ مِنْهُمْ يَجُوزُ حَمْلُهُ عَلَى عُمُومِ الْأَعْيَانِ وَالْأَجْنَاسِ إِذَا دَخَلَهُمَا الْأَلِفُ وَاللَّامُ فِي الْعَيْنِ وَاللَّوْنِ وَفِي الزَّانِي والسارق لا يجوز حملها عَلَى الْعُمُومِ مَعَ حَذْفِ الْأَلِفِ وَاللَّامِ إِذَا قيل اقطع سارقاً واجلد زانياً فهذا واجب

Dan sebagian lain dari mereka berpendapat bahwa boleh membawa (memahami) lafaz tersebut kepada makna umum dari individu-individu dan jenis-jenis jika terdapat alif dan lam pada kata benda dan warna, serta pada (lafaz) pezina dan pencuri. Tidak boleh memahaminya sebagai makna umum jika alif dan lam dihilangkan, seperti jika dikatakan: “potonglah tangan seorang pencuri” dan “deralah seorang pezina”, maka ini bersifat wajib (hanya pada individu tersebut).

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَا قَبْلَ التَّحْرِيمِ استعمالاً للنصيين فيه

Yang kedua, bahwa hal itu dimaknai pada masa sebelum adanya pengharaman, dengan menggunakan kedua nash tersebut dalam hal ini.

والثالث أنها إِخْبَارٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى عَنِ اتِّخَاذِهِ دُونَ إِبَاحَتِهِ لِأَنَّهُ قَالَ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حسناً فَكَأَنَّهُ قَالَ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا

Yang ketiga adalah bahwa itu merupakan pemberitahuan dari Allah Ta‘ala tentang tindakan mereka menjadikannya (anggur) sebagai sesuatu, bukan sebagai pembolehan dari-Nya, karena Dia berfirman: “Kalian menjadikannya sebagai minuman memabukkan dan rezeki yang baik,” seakan-akan Dia berfirman: “Kalian menjadikannya sebagai sesuatu yang haram dan yang halal.”

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ ” حُرِّمَتِ الْخَمْرُ بِعَيْنِهَا وَالسُّكْرُ مِنْ كُلِّ شَرَابٍ فَمِنْ خَمْسَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban terhadap hadis Ibnu Abbas, “Diharamkan khamar itu zatnya, dan diharamkan mabuk dari setiap minuman,” maka jawabannya ada lima sisi.

أَحَدُهَا أَنَّ رَاوِيَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادٍ وَلَمْ يَلْقَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَكَانَ مُنْقَطِعًا لَا يُلْزَمُ الْعَمَلُ بِهِ

Salah satunya adalah bahwa perawinya, Abdullah bin Syaddad, tidak pernah bertemu dengan Ibnu Abbas, sehingga sanadnya terputus dan tidak wajib diamalkan.

وَالثَّانِي أَنَّهُ رَوَاهُ موقوفاً على ابن عباس غير مسند عن الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ حُجَّةٌ

Dan yang kedua, bahwa ia meriwayatkannya secara mauqūf kepada Ibnu Abbas, tidak disandarkan kepada Rasulullah ﷺ, sehingga di dalamnya tidak terdapat hujjah.

وَالثَّالِثُ أَنَّ الرِّوَايَةَ ” والمسكر من كل شراب فمنها الراوي فأسقط المسكر منها فَرُوي ” وَالسُّكْرُ مِنْ كُلِّ شَرَابٍ

Ketiga, bahwa riwayat “dan yang memabukkan dari setiap minuman” di antaranya ada perawi yang menghilangkan kata “yang memabukkan” darinya, sehingga diriwayatkan “dan mabuk dari setiap minuman”.

وَالرَّابِعُ أَنَّهُ لَوْ كَانَتِ الرِّوَايَةُ السُّكْرُ لَكَانَ الْمُرَادُ بِهِ الْمُسْكِرَ لَأَنَّ السُّكْرَ لَيْسَ مِنْ فِعْلِ الشَّارِبِ فينهي عنه وإنما شرب المسكر فعله فصار النهي متوجهاً إليه

Keempat, jika yang diriwayatkan adalah “sukr” (mabuk), maka yang dimaksud adalah zat yang memabukkan, karena mabuk itu sendiri bukanlah perbuatan peminum sehingga dapat dilarang darinya, melainkan yang dilakukan oleh peminum adalah meminum zat yang memabukkan, sehingga larangan itu diarahkan kepadanya.

الخامس أَنَّ تَحْرِيمَ السُّكْرِ فِي هَذَا الْخَبَرِ لَا يَمْنَعُ مِنْ تَحْرِيمِ الْمُسْكِرِ فِيمَا رَوَيْنَاهُ مِنَ الْأَخْبَارِ فَيَحْرُمُ السُّكْرُ وَالْمُسْكِرُ جَمِيعًا وَتَكُونُ أَخْبَارُنَا أَوْلَى مِنْ وَجْهَيْنِ

Kelima, bahwa pengharaman sukr dalam hadis ini tidak menghalangi pengharaman muskir sebagaimana yang kami riwayatkan dari hadis-hadis lain. Maka, sukr dan muskir keduanya diharamkan, dan hadis-hadis kami lebih utama dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا أَعَمُّ حُكْمًا؛ لِأَنَّ تَحْرِيمَ الْمُسْكِرِ يُوجِبُ تَحْرِيمَ السُّكْرِ وَتَحْرِيمُ السُّكْرِ لَا يُوجِبُ تَحْرِيمَ الْمُسْكِرِ

Salah satunya adalah bahwa ia lebih umum dalam hukum; karena pengharaman al-muskir (zat memabukkan) mewajibkan pengharaman as-sukr (keadaan mabuk), sedangkan pengharaman as-sukr tidak mewajibkan pengharaman al-muskir.

وَالثَّانِي أَنَّ السكر محرم بالعقل؛ لاستقباحه فيه والمسكر محرم بالشر؛ لِزِيَادَتِهِ عَلَى مُقْتَضَى الْعَقْلِ

Yang kedua, bahwa gula diharamkan oleh akal karena dianggap buruk menurut akal, sedangkan minuman memabukkan diharamkan oleh syariat karena larangannya melebihi ketentuan akal.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ شَرِبَ فِي طَوَافِهِ مِنَ السِّقَايَةِ نَبِيذًا فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban mengenai hadis Abu Mas‘ud al-Badri bahwa Nabi ﷺ minum nabīdh dari tempat minum saat thawaf, maka ada tiga sisi (penjelasan).

أَحَدُهَا أَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ تَفَرَّدَ بِرِوَايَتِهِ يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَلَمْ يُتَابِعْهُ عَلَيْهِ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ سُفْيَانَ وقد سئل سفيان عن المذر فَقَالَ ذَلِكَ شَرَابُ الْفَاسِقِينَ

Salah satunya adalah bahwa hadis tersebut adalah hadis dha‘if yang hanya diriwayatkan secara tunggal oleh Yahya bin Yaman dari Sufyan ats-Tsauri, dan tidak ada seorang pun dari para sahabat Sufyan yang mengikutinya dalam hal ini. Sufyan pernah ditanya tentang al-mudzir, lalu ia berkata, “Itu adalah minuman para fasik.”

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” يَسْتَحِلُّ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Akan ada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan khamar dengan menamakannya bukan dengan nama aslinya.”

وَالثَّانِي أَنَّ نَبِيذَ السِّقَايَةِ كَانَ غَيْرَ مُسْكِرٍ؛ لِأَنَّهُ كَانَ يُصْنَعُ لِلْحُجَّاجِ إِذَا صَدَرُوا مِنْ مِنًى لِطَوَافِ الْإِفَاضَةِ لِيَسْتَطِيبُوا به شرب ماء زمزم وكان ثقيلاً لا يستسقى أَكْثَرَ مِنْ يَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ وَذَلِكَ غَيْرُ مُسْكِرٍ

Yang kedua, bahwa nabīz as-siqāyah itu tidak memabukkan; karena ia dibuat untuk para haji ketika mereka kembali dari Mina untuk melakukan thawaf ifādhah, agar mereka dapat menikmati minum air Zamzam dengannya. Nabīz itu kental dan tidak dapat diminum lebih dari dua atau tiga hari, dan dalam keadaan seperti itu tidak memabukkan.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ قَطَّبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حين شربه فدعى بِمَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ نبيذاً مشتداً قيل الجواب يجوز أن يكون قد قطب لحموضته وصب عليه الماء لغلظته

Jika ada yang berkata, “Rasulullah saw. pernah mengernyitkan dahi ketika meminumnya, lalu beliau meminta air dan menuangkannya ke atas minuman itu, maka hal ini menunjukkan bahwa minuman itu adalah nabidz yang telah memabukkan,” maka jawabannya adalah: boleh jadi beliau mengernyitkan dahi karena rasa asamnya dan menuangkan air ke atasnya karena kekentalannya.

وأما الجواب الثالث أن نبيذ السقاية كان نقع الزَّبِيبِ غَيْرَ مَطْبُوخٍ وَهُوَ إِذَا أَسْكَرَ حَرُمَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ فَلَمْ يَصِحَّ لَهُ حَمْلُهُ عليه وبطل اسْتِدْلَالُهُ بِهِ

Adapun jawaban yang ketiga, bahwa nabidz as-saqayah adalah rendaman kismis yang tidak dimasak, dan jika memabukkan maka hukumnya haram menurut Abu Hanifah. Maka tidak sah baginya untuk membawakan (dalil) atasnya, dan batal pula istidlal (pengambilan dalil) dengannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كان ينبذ لَهُ إِلَى ثَلَاثٍ فَيَشْرَبُهُ ثُمَّ يَسْقِيهِ الْخَدَمَ ثم يهراق هو أَنَّهُ كَانَ يَشْرَبُهُ وَيَسْقِيهِ الْخَدَمَ إِذَا لِمَ يَشْتَدَّ ثُمَّ يُهْرَاقُ إِذَا اشْتَدَّ؛ لِأَنَّ النَّبِيذَ لَا يَشْتَدُّ لِثَلَاثٍ حَتَّى تَطُولَ مُدَّتُهُ وَلِذَلِكَ كان يأمر بإراقة ما نش

Adapun jawaban terhadap hadis Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ dibuatkan nabidz untuk beliau hingga tiga hari, lalu beliau meminumnya, kemudian memberikannya kepada para pelayan, lalu sisanya ditumpahkan, maka maksudnya adalah beliau meminumnya dan memberikannya kepada para pelayan selama belum menjadi keras (memabukkan), kemudian ditumpahkan jika sudah menjadi keras; karena nabidz tidak akan menjadi keras dalam tiga hari kecuali jika waktunya lama, dan karena itu beliau memerintahkan untuk menumpahkan apa yang telah berubah.

كذلك الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أباح النبيذ مَعَ ضَعْفِهِ عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ

Demikian pula jawaban mengenai hadis Abu Mas‘ud al-Badri bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan nabidz, dengan catatan hadis tersebut lemah menurut para ahli hadis.

وَكَذَلِكَ الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الدَّيْلَمِيِّ أَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” أَنْبِذُوهُ عَلَى عَشَائِكُمْ وَاشْرَبُوهُ عَلَى غَدَائِكُمْ

Demikian pula jawaban atas hadis Abdullah bin Daylami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Buatlah nabidz untuk kalian pada waktu malam, dan minumlah pada waktu pagi kalian.”

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” اشْرَبُوا وَلَا تَسْكَرُوا فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas ucapannya “Minumlah, tetapi jangan sampai mabuk,” maka ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ تَفَرَّدَ به أبو الأحوص ووهن فِيهِ وَقَدْ رُوِيَ فِي الصَّحِيحَيْنِ ” اشْرَبُوا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا

Salah satunya adalah bahwa hadis tersebut adalah hadis dha‘if yang hanya diriwayatkan oleh Abu al-Ahwas dan di dalamnya terdapat kelemahan. Padahal telah diriwayatkan dalam Shahihain: “Minumlah, tetapi janganlah kalian minum sesuatu yang memabukkan.”

وَالثَّانِي أَنَّ السُّكْرَ لَيْسَ مِنْ فِعْلِ الشَّارِبِ فَيَتَوَجَّهُ النَّهْيُ إِلَيْهِ فَلَمْ يَجُزْ حمله عليه وأما الجواب عن حديث عمر ” إذا اغتلصت عَلَيْكُمْ فَاقْطَعُوا مُتُونَهَا بِالْمَاءِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Kedua, bahwa mabuk bukanlah perbuatan dari orang yang meminum, sehingga larangan tidak dapat diarahkan kepadanya, maka tidak boleh memaknainya demikian. Adapun jawaban terhadap hadis Umar, “Jika sesuatu samar bagimu, maka potonglah punggungnya dengan air,” maka ada dua sisi penjelasan.

أَحَدُهُمَا أنه ضعيف؛ لأن رواية عبد الملك ابن أَخِي الْقَعْقَاعِ وَهُوَ ضَعِيفٌ

Salah satunya adalah bahwa ia lemah; karena riwayat ‘Abd al-Malik bin Akhi al-Qa‘qa‘, dan ia adalah perawi yang lemah.

وَالثَّانِي أَنَّ اغْتِلَامَهَا هُوَ تَغَيُّرُهَا إِمَّا إِلَى حموضة أو قوة وليس في واحد منها سُكْرٌ وَلِذَلِكَ كُسِرَتْ بِالْمَاءِ لِتَزُولَ حُمُوضَتُهَا أَوْ قُوَّتُهَا

Yang kedua, bahwa fermentasinya menyebabkan perubahannya, baik menjadi masam atau menjadi kuat, dan tidak ada sedikit pun unsur memabukkan di dalamnya. Oleh karena itu, ia dicampur dengan air agar keasamannya atau kekuatannya hilang.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَأَلَ السَّكْرَانَ أَشَرِبْتَ خَمْرًا قَالَ لَا شَرِبْتُ الْخَلِيطَيْنِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban atas hadis Abu Sa‘id al-Khudri bahwa Nabi ﷺ bertanya kepada orang yang mabuk, “Apakah kamu minum khamr?” Ia menjawab, “Tidak, aku hanya minum dua campuran,” maka jawabannya ada tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ لَا يُعُرَفُ إِسْنَادُهُ وَلَا يُحْفَظُ لَفْظُهُ فَلَمْ يَثْبُتْ بِهِ حُكْمٌ

Salah satunya adalah bahwa hadis tersebut adalah hadis dha‘if yang tidak diketahui sanadnya dan tidak terjaga lafaznya, sehingga tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum.

والثَّانِي أَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِيهِ جَوَابٌ مِنْ إِبَاحَةٍ وَلَا حَظْرٍ

Yang kedua, tidak terdapat riwayat dari Rasulullah ﷺ mengenai masalah ini, baik berupa jawaban yang membolehkan maupun yang melarang.

وَالثَّالِثُ أَنَّ الْإِمْسَاكَ مِنْهُ لَا يَمْنَعُ مِنَ اسْتِعْمَالِ قَوْلِهِ ” كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

Ketiga, bahwa menahan diri darinya tidak menghalangi untuk menggunakan sabda beliau, “Setiap yang memabukkan adalah haram.”

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ ” شَهِدْتُ تَحْرِيمَ النَّبِيذِ كَمَا شَهِدْتُمْ ثُمَّ شَهِدْتُ تَحْلِيلَهُ فَحَفِظْتُ وَنَسِيتُمْ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap hadis Abdullah bin Mas‘ud, “Aku menyaksikan pengharaman nabidz sebagaimana kalian menyaksikannya, kemudian aku juga menyaksikan penghalalannya, maka aku mengingatnya sementara kalian melupakannya,” adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ مَنْ أَحَلَّ النَّبِيذَ لَمْ يَعْتَرِفْ بِتَحْرِيمِهِ قَبْلَهُ وَمَنْ حَرَّمَهُ لَمْ يَدَعْ إِحْلَالَهُ بَعْدَهُ فَلَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ

Salah satunya adalah bahwa orang yang menghalalkan nabidz tidak mengakui keharamannya sebelumnya, dan orang yang mengharamkannya tidak meninggalkan penghalalannya setelahnya, maka tidak terdapat dalil di dalamnya.

وَالثَّانِي أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ النَّهْيُ عَنِ الأوعية قد رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” نهى عن الأوعية إلا وعاء بوكاء

Dan yang kedua, bahwa yang dimaksud adalah larangan terhadap wadah-wadah. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menggunakan wadah kecuali wadah yang memiliki penutup.

وَمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ النَّهْيِ عَنِ الدُّبَّاءِ وَالْحَنْتَمِ والنقير وَالْمُزَّفَتِ وَأَبَاحَ مَا يُوكَأُ مِنْ أَوْعِيَةِ الْأَدِيمِ ثم اختلف أصحابه عن النهي في هَذِهِ الظُّرُوفِ بَعْدَ تَحْرِيمِ الْمُسْكِرِ هَلْ نُسِخَ أم لا فذهب عمر بن الخطاب رضي الله عنه وَعَائِشَةُ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ إِلَى بَقَائِهَا عَلَى التَّحْرِيمِ فِيمَا لَمْ يُسْكِرْ وقال عُمَرُ لَأَنْ تَخْتَلِفَ الْأَسِنَّةُ فِي جَوْفِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَشْرَبَ نَبِيذَ الْجَرِّ

Apa yang telah kami sampaikan tentang larangan menggunakan wadah ad-dubbā’, al-hantam, an-naqīr, dan al-muzzaffat, serta diperbolehkannya wadah kulit yang diikat, kemudian para sahabat berbeda pendapat mengenai larangan pada wadah-wadah ini setelah diharamkannya minuman memabukkan, apakah larangan itu telah di-naskh atau tidak. Umar bin Khattab ra., Aisyah, Abdullah bin Umar, dan Abu Hurairah berpendapat bahwa larangan tersebut tetap berlaku pada apa yang tidak memabukkan. Umar berkata, “Lebih aku sukai jika tombak-tombak saling bersilang di perutku daripada aku meminum nabidz dari wadah ger.”

وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ ” اجْتَنِبُوا الْحَنَاتِمَ وَالنَّقِيرَ وَقَالَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها أشرب في سقا ثلاث على خمسة أَيْ يُشَدُّ وَذَهَبَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَجُمْهُورُ الصَّحَابَةِ إِلَى إِبَاحَتِهَا فِيمَا لَمْ يُسْكِرْ وَنَسْخِ تَحْرِيمِهَا وَهُوَ الصَّحِيحُ؛ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” إِن الظُّرُوفَ لَا تُحَرِّمُ شَيْئًا فَاشْرَبُوا فِي كُلِّ وِعَاءٍ وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا

Abu Hurairah berkata, “Jauhilah hanātim dan naqīr.” Aisyah ra. berkata, “Aku minum dari wadah yang diikat tiga atau lima kali.” Abdullah bin Mas‘ud dan mayoritas sahabat berpendapat bahwa hal itu dibolehkan selama tidak memabukkan, dan bahwa larangan sebelumnya telah di-naskh, dan inilah pendapat yang benar; karena diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya wadah tidak mengharamkan sesuatu, maka minumlah dari setiap wadah dan janganlah kalian minum sesuatu yang memabukkan.”

وقد روى محارب بن دثار عن أبي بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلَاثٍ وَأَنَا آمُرُكُمْ بِهِنَّ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ زِيَارَتَهَا تَذْكِرَةٌ وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ الْأَشْرِبَةِ أَنْ تَشْرَبُوا إِلَّا فِي ظَرْفِ الْأَدَمِ فَاشْرَبُوا فِي كُلِّ وِعَاءٍ غير ألا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِي أَنْ تَأْكُلُوهَا بَعْدَ ثَلَاثٍ فَكُلُوا وَاسْتَمْتِعُوا

Telah diriwayatkan oleh Muhārib bin Dithār dari Abū Buraydah dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku dahulu melarang kalian dari tiga hal, dan sekarang aku memerintahkan kalian untuk melakukannya: Aku dahulu melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka sekarang ziarahilah kubur, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan (kematian); aku dahulu melarang kalian dari minuman kecuali yang diminum dalam wadah kulit, maka sekarang minumlah dari semua wadah, kecuali janganlah kalian meminum minuman yang memabukkan; dan aku dahulu melarang kalian memakan daging kurban setelah tiga hari, maka sekarang makanlah dan nikmatilah.”

وَتَأْثِيرُ نَسْخِ الشُّرْبِ فِي هَذِهِ الْأَوْعِيَةِ فِي الكراهة دون التحريم فمن ذهب إلى أنها مَنْسُوخَة كَرِهَ أَنْ يُشْرَبَ مِنْهَا إِلَّا مَا يُسْكِرُ وَمَنْ قَالَ هِيَ مَنْسُوخَةٌ لَمْ يَكْرَهْ شُرْبَ مَا لَا يُسْكِرُ مِنْهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ وَالْأَوَّلُ مَذْهَبُهُ فِي الْقَدِيمِ

Pengaruh nasakh larangan minum dari wadah-wadah ini adalah pada hukum makruh, bukan pada keharaman. Maka, siapa yang berpendapat bahwa larangan tersebut telah dinasakh, ia memakruhkan minum darinya kecuali untuk sesuatu yang memabukkan. Dan siapa yang berpendapat bahwa larangan tersebut telah dinasakh, ia tidak memakruhkan minum dari wadah tersebut selama tidak memabukkan. Inilah mazhab Syafi‘i dalam pendapat barunya, sedangkan pendapat pertama adalah mazhab beliau dalam pendapat lamanya.

وأما الجواب عن آثار الصحابة رضي الله عنهم فَقَدْ رَوَيْنَا عَنْهُمْ مَا يُخَالِفُهُ وَهُوَ أَصَحُّ إِسْنَادًا وَأَشْبَهُ بِأَفْعَالِهِمْ وَتَشَدُّدِهِمْ فِي دِينِ اللَّهِ وَاجْتِنَابِ مَحْظُورَاتِهِ وَشَرِبَ عُمَرُ مِنْ إِدَاوَةٍ حَدَّ شَارِبَهَا فَلِأَنَّ عُمَرَ شَرِبَ قَبْلَ إِسْكَارِهَا وَشَرِبَ الرَّجُلُ بَعْدَ إِسْكَارِهَا وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ شُرْبِ ابن أبي ليلى عند علي فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْكَى مِثْلُهُ

Adapun jawaban terhadap atsar para sahabat radhiyallāhu ‘anhum, maka kami telah meriwayatkan dari mereka sesuatu yang bertentangan dengannya, yang sanadnya lebih sahih dan lebih sesuai dengan perbuatan mereka, serta ketegasan mereka dalam agama Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya. Umar pernah minum dari sebuah wadah, lalu ia menjatuhkan hukuman had kepada orang yang meminum darinya, karena Umar minum sebelum minuman itu memabukkan, sedangkan orang tersebut minum setelah minuman itu memabukkan. Adapun apa yang disebutkan tentang minumnya Ibnu Abi Laila di hadapan Ali, maka tidak boleh meriwayatkan hal seperti itu.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عن استدلالهم بالمعاني بِأَنَّهُ لَمَّا انْتَفَى عَنِ النَّبِيذِ حُكْمُ الْخَمْرِ فِي تَكْفِيرِ مُسْتَحِلِّهِ انْتَفَى عَنْهُ حُكْمُ الْخَمْرِ فِي الِاسْمِ وَالتَّحْرِيمِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban terhadap argumentasi mereka dengan makna bahwa ketika hukum khamr dalam mengkafirkan orang yang menghalalkannya tidak berlaku pada nabidz, maka hukum khamr dalam penamaan dan pengharamannya pun tidak berlaku padanya, adalah dari tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّهُ لَيْسَ الْمُرَادُ إِذَا افْتَرَقَا فِي حُكْمٍ يَجِبُ أَنْ يَفْتَرِقَا فِي كُلِّ حُكْمٍ أَلَا تَرَى أَنَّهُمَا قَدِ اسْتَوَيَا فِي تَحْرِيمِ الْكَثِيرِ وَافْتَرَقَا عِنْدَهُ فِي تَحْرِيمِ الْيَسِيرِ وَلَمْ يَكُنِ الفرق في الْيَسِيرِ مَانِعًا مِنَ التَّسَاوِي فِي الْكَثِيرِ كَذَلِكَ لَا يَكُونُ افْتِرَاقُهُمَا فِي التَّكْفِيرِ مُوجِبًا لِافْتِرَاقِهِمَا فِي التَّحْرِيمِ

Salah satunya adalah bahwa yang dimaksud bukanlah jika keduanya berbeda dalam satu hukum maka harus berbeda pula dalam setiap hukum. Bukankah engkau melihat bahwa keduanya telah sama dalam pengharaman yang banyak, namun berbeda menurutnya dalam pengharaman yang sedikit, dan perbedaan dalam hal yang sedikit itu tidak menghalangi persamaan dalam hal yang banyak. Demikian pula, perbedaan keduanya dalam takfīr tidaklah menyebabkan keduanya harus berbeda dalam pengharaman.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يَقَعَ التَّسَاوِي فِي التَّحْرِيمِ مَعَ الِافْتِرَاقِ فِي التَّكْفِيرِ أَلَا تَرَى أَنَّ الْكَبَائِرَ وَالصَّغَائِرَ يَسْتَوِيَانِ فِي التَّحْرِيمِ وَيَفْتَرِقَانِ فِي التَّكْفِيرِ فَيُكَفَّرُ بِاسْتِحْلَالِ الْكَبَائِرِ وَلَا يُكَفَّرُ بِاسْتِحْلَالِ الصَّغَائِرِ كَذَلِكَ الْخَمْرُ والنبيذ لا يمنع افتراقهما في التكفير استواءهما فِي التَّحْرِيمِ

Kedua, tidak mustahil terjadi persamaan dalam hal keharaman meskipun terdapat perbedaan dalam hal pengkafiran. Tidakkah engkau melihat bahwa dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil sama-sama haram, namun berbeda dalam hal pengkafiran? Seseorang dikafirkan jika menghalalkan dosa besar, tetapi tidak dikafirkan jika menghalalkan dosa kecil. Demikian pula, khamr dan nabidz, meskipun sama-sama haram, tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan dalam hal pengkafiran.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَيْسَ التَّكْفِيرُ عِلَّةَ التَّحْرِيمِ حَتَّى يُسْتَدَلَّ بِزَوَالِ التَّكْفِيرِ فِي اسْتِحْلَالِ النَّبِيذِ عَلَى إِبَاحَتِهِ كَمَا دَلَّ التَّكْفِيرُ فِي اسْتِبَاحَةِ الْخَمْرِ عَلَى تَحْرِيمِهِ وَإِنَّمَا الْعِلَّةُ فِي التَّكْفِيرِ ارْتِفَاعُ الشُّبْهَةِ عَمَّا اسْتُحِلَّ مِنَ الْحَرَامِ وهذا موجود في الخمر معدوم فِي النَّبِيذِ كَمَا يَقُولُ أَبُو حَنِيفَةَ إِنَّ النبيذ النيء محرم ولا يكفر مستحلة

Ketiga, sesungguhnya takfir (pengkafiran) bukanlah sebab keharaman sehingga dapat dijadikan dalil dengan hilangnya takfir dalam menghalalkan nabidz atas kebolehannya, sebagaimana takfir dalam menghalalkan khamr menunjukkan keharamannya. Adapun sebab dalam takfir adalah hilangnya syubhat dari sesuatu yang dihalalkan dari yang haram, dan hal ini terdapat pada khamr namun tidak terdapat pada nabidz, sebagaimana yang dikatakan Abu Hanifah bahwa nabidz mentah itu haram namun orang yang menghalalkannya tidak dikafirkan.

والجواب على أن مَا عَمَّتْ بِهِ الْبَلْوَى يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مُسْتَفِيضًا فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Jawaban terhadap anggapan bahwa sesuatu yang telah menjadi kebutuhan umum (ma ‘ammat bihi al-balwa) haruslah tersebar luas, adalah dari tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّ الِاسْتِفَاضَةَ يَجِبُ أَنْ تَكُونَ فِي الْبَيَانِ لَا فِي النَّقْلِ وَقَدِ اسْتَفَاضَ الْبَيَانُ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَمَرَ مُنَادِيَهُ فَنَادَى بِهِ وَقَدْ أَخْبَرَ أَبُو طلحة بالنداء وهو على شراب فَأَمَرَ أَنَسًا بِإِرَاقَتِهِ

Salah satunya adalah bahwa istifādah harus terjadi dalam penjelasan, bukan dalam periwayatan. Penjelasan tersebut telah tersebar luas karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan muadzin beliau untuk mengumumkannya, dan Abu Thalhah telah memberitakan tentang pengumuman itu saat ia sedang minum, lalu beliau memerintahkan Anas untuk membuangnya.

وَالثَّانِي أَنَّ النَّقْلَ وَالْبَيَانَ مَعًا مُسْتَفِيضَانِ وَإِنَّمَا وَقَعَ الْخِلَافُ فِي التَّأْوِيلِ فِي الْبَيَانِ

Kedua, bahwa naql dan bayan keduanya tersebar luas, dan sesungguhnya perbedaan pendapat hanya terjadi pada ta’wil dalam bayan.

وَالثَّالِثُ أَنَّ بَيَانَهُ مَأْخُوذٌ مِنْ نص الكتاب في قَوْله تَعَالَى إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ فأخر بَيَانُ الْكِتَابِ عَنِ الِاسْتِفَاضَةِ فِي بَيَانِ السُّنَّةِ

Ketiga, penjelasannya diambil dari nash Al-Qur’an dalam firman-Nya: “Sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan anak panah undian adalah najis termasuk perbuatan setan, maka jauhilah agar kalian beruntung.” Maka penjelasan Al-Qur’an datang setelah penjelasan yang meluas dalam sunnah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ تَحْرِيمَ مَا ثَبَتَ تَحْلِيلُهُ نَسْخٌ وَالنَّسْخُ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِالنَّصِّ الْمُسْتَفِيضِ الْمُتَوَاتِرِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa pengharaman sesuatu yang telah tetap kehalalannya merupakan nasakh, dan nasakh tidak sah kecuali dengan nash yang jelas dan mutawatir, maka jawabannya ada tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّ تَحْرِيمَ النَّبِيذِ ابْتِدَاء شَرْع وَلَيْسَ بِنَسْخٍ لأنهم كانوا في صدر الإسلام مستدرجين لِاسْتِبَاحَتِهَا مِنْ قَبْلُ فَجَاءَ الشَّرْعُ بِتَحْرِيمِهَا وَمَا هذه سبيله يَجُوزُ إِثْبَاتُ حُكْمِهِ بِأَخْبَارِ الْآحَادِ كَمَا نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَكُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ وَيَجُوزُ إِثْبَاتُهُ بِالْقِيَاسِ كَمَا جَازَ إِثْبَاتُ الرِّبَا فِي الْأُرْزِ قِيَاسًا عَلَى الْبُرِّ

Salah satunya adalah bahwa pengharaman nabidz sejak awal merupakan syariat, bukan nasakh, karena mereka pada masa awal Islam secara bertahap masih membolehkannya sebelumnya, lalu datanglah syariat yang mengharamkannya. Hukum yang seperti ini boleh ditetapkan dengan khabar al-ahad, sebagaimana larangan memakan setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar. Hukum tersebut juga boleh ditetapkan dengan qiyās, sebagaimana dibolehkannya penetapan riba pada beras dengan qiyās kepada gandum.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ كَانَ نَسْخًا لَكَانَ مَأْخُوذًا مِنْ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ فِي الْقُرْآنِ وَهُوَ نَصٌّ مُسْتَفِيضٌ

Yang kedua, jika hal itu merupakan nasakh, tentu diambil dari pengharaman khamar dalam Al-Qur’an, padahal itu adalah nash yang masyhur.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ فِي آيَةِ الْخَمْرِ أَنْ يُنْسَخَ بِمَا يَسْتَفِيضُ بَيَانُهُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَفِضْ نَقْلُهُ كَمَا حُوِّلَتِ الْقِبْلَةُ إِلَى الْكَعْبَةِ وَأَهْلُ قُبَاءَ فِي الصَّلَاةِ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَأَتَاهُمْ مَنْ أَخْبَرَهُمْ بِنَسْخِهَا وَتَحْوِيلِهَا إِلَى الْكَعْبَةِ فاستداروا إليها وعملوا على قوله وَاحِد

Ketiga, bahwa tidaklah mustahil, meskipun tidak termasuk dalam ayat tentang khamr, suatu hukum dapat di-nasakh dengan penjelasan yang tersebar luas, meskipun periwayatannya tidak tersebar luas, sebagaimana kiblat dipindahkan ke Ka’bah sementara penduduk Quba’ sedang shalat menghadap Baitul Maqdis, lalu datang seseorang yang memberitahukan kepada mereka tentang nasakh dan pemindahan kiblat ke Ka’bah, maka mereka pun segera berbalik menghadap ke sana dan mengikuti perkataannya secara langsung.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ مَا عَمَّتْ بِهِ الْبَلْوَى يَجِبُ أَنْ يَعُمَّ بَيَانُهُ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa sesuatu yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat wajib penjelasannya bersifat umum, maka jawabannya ada tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّ هَذَا أَصْلٌ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَلَا نُسَلِّمُهُ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بَيَانُ مَا يَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى خاصاً مِنْ أَخْبَارِ الْآحَادِ كَمَا أَنَّ تَحْرِيمَ الْكَلَامِ في الصلاة ما يعم بِهِ الْبَلْوَى وَهُوَ مِنْ أَخْبَارِ الْآحَادِ

Salah satunya adalah bahwa ini merupakan dasar yang diperselisihkan, sehingga kami tidak menerimanya. Dan boleh jadi penjelasan mengenai perkara yang umum terjadi (ya‘ummu bihi al-balwā) bersifat khusus berasal dari khabar al-āḥād, sebagaimana larangan berbicara dalam salat merupakan perkara yang umum terjadi, namun ia berasal dari khabar al-āḥād.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا كَانَ مُلْحَقًا بِالْخَمْرِ صَارَ إِمَّا دَاخِلًا فِي اسْمِهِ فَهُوَ نَصٌّ وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مُشَارِكًا لَهُ فِي الْمَعْنَى فَهُوَ فَرْعٌ لِأَصْلٍ عَمَّ بَيَانُهُ فَصَارَ بَيَانُ الْفَرْعِ عَامًّا كأصله

Kedua, karena ia disamakan dengan khamr, maka ia bisa jadi termasuk dalam namanya sehingga menjadi nash, atau bisa juga ia memiliki kesamaan makna dengannya sehingga menjadi cabang dari suatu asal yang penjelasannya bersifat umum, maka penjelasan tentang cabang itu pun menjadi umum seperti asalnya.

والثالث أنه لما كان يمنع هذا من تحريم النبيذ التي عِنْدَهُ لَمْ يَمْنَعْ مِنْ تَحْرِيمِ الْمَطْبُوخِ عِنْدَنَا

Dan yang ketiga, ketika hal itu mencegah pengharaman nabidz menurut pendapatnya, hal itu tidak mencegah pengharaman minuman yang dimasak menurut pendapat kami.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِ بِأَنَّ النَّبِيذَ بِالْمَدِينَةِ أكثر وهم إِلَى بَيَانِ تَحْرِيمِهِ أَحْوَجُ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban terhadap argumentasinya bahwa nabidz di Madinah lebih banyak dan mereka lebih membutuhkan penjelasan tentang keharamannya, maka jawabannya ada tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّ مَنْ جَعَلَ النَّبِيذَ دَاخِلًا فِي اسْمِ الْخَمْرِ فَقَدْ جَعَلَ الْعُمُومَ مُشْتَمِلًا عَلَيْهِمَا وَهُوَ أَصَحُّ وَجْهَيْ أَصْحَابِنَا فَزَالَ بِهِ الِاسْتِدْلَالُ

Salah satunya adalah bahwa siapa saja yang memasukkan nabidz ke dalam pengertian khamr, maka ia telah menjadikan keumuman mencakup keduanya, dan ini adalah pendapat yang paling sahih menurut ulama kami, sehingga dengan demikian hilanglah dasar pengambilan dalil tersebut.

وَالثَّانِي أَنَّ بَيَانَ تَحْرِيمِهَا لَمْ يَكُنْ مَقْصُورًا عَلَى أَهْلِ الْمَدِينَةِ بَلْ هُوَ لِجَمِيعِ الْخَلْقِ وَلَئِنْ كَانَ النَّبِيذُ بِالْمَدِينَةِ أَكْثَرَ مِنَ الْخَمْرِ فَإِنَّ الْخَمْرَ بِالشَّامِ وَفَارِسَ أَكْثَرُ مِنَ النَّبِيذِ وَالْبَعِيدُ أَحْوَجُ إِلَى عُمُومِ الْبَيَانِ مِنَ الْقَرِيبِ

Kedua, penjelasan tentang keharamannya tidak terbatas hanya untuk penduduk Madinah, melainkan untuk seluruh manusia. Meskipun nabidz di Madinah lebih banyak daripada khamr, namun khamr di Syam dan Persia lebih banyak daripada nabidz. Dan yang jauh lebih membutuhkan penjelasan yang bersifat umum daripada yang dekat.

وَالثَّالِثُ أَنَّ فِي تَحْرِيمِ الْقَلِيلِ تَنْبِيهًا عَلَى الْكَثِيرِ فَجَازِ الِاقْتِصَارُ عَلَيْهِ

Yang ketiga, bahwa dalam pengharaman yang sedikit terdapat isyarat terhadap yang banyak, maka boleh hanya menyebutkan yang sedikit saja.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يُحَرِّمْ شَيْئًا إِلَّا وَأَغْنَى عَنْهُ بِمُبَاحٍ مِنْ جِنْسِهِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa Allah Ta‘ala tidak mengharamkan sesuatu kecuali Dia telah mencukupkan dengan sesuatu yang mubah dari jenisnya, maka jawabannya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا حَرَّمَ السُّكْرَ وَإِنْ لَمْ يُغْنِ عَنْهُ بِمُبَاحٍ مِنْ جِنْسِهِ جَازَ أَنْ يُحَرِّمَ الْمُسْكِرَ وَإِنْ لَمْ يُغْنِ عَنْهُ بِمُبَاحٍ مِنْ جِنْسِهِ

Salah satunya adalah bahwa ketika Allah mengharamkan mabuk, meskipun tidak ada pengganti yang halal dari jenisnya, maka boleh saja mengharamkan sesuatu yang memabukkan meskipun tidak ada pengganti yang halal dari jenisnya.

وَالثَّانِي أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَبَاحَ مِنْ جِنْسِهِ مَا لَا يُسْكِرُ فَأَغْنَى عَنِ الْمُسْكِرِ

Yang kedua, bahwa Allah Ta‘ala telah membolehkan dari jenisnya sesuatu yang tidak memabukkan, sehingga mencukupi dari yang memabukkan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ استدلالهم بالترغيب بها فِي الْجَنَّةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas dalil mereka dengan anjuran terhadapnya di surga adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ قَدْ عرفوا لذتها قَبْلَ التَّحْرِيمِ فَاسْتَغْنَوْا بِهَا عَنِ الْمَعْرِفَةِ بَعْدَ التَّحْرِيمِ

Salah satunya adalah bahwa mereka telah mengetahui kenikmatannya sebelum diharamkan, sehingga mereka merasa cukup dengan pengetahuan itu tanpa perlu mengetahuinya lagi setelah diharamkan.

وَالثَّانِي أَنَّ خَمْرَ الْجَنَّةِ غَيْرُ مُسْكِرٍ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ وَصَفَهَا بِأَنْ لَا غَوْلَ فِيهَا وَلَا تَأْثِيمَ أَيْ لَا تَغْتَالُ عقولهم بالسكر ولا يأثمون بارتكاب الحظر والله أعلم

Yang kedua, bahwa khamr di surga tidak memabukkan; karena Allah Ta‘ala telah menggambarkannya bahwa di dalamnya tidak ada ghawl dan tidak ada dosa, artinya tidak merusak akal mereka dengan mabuk dan mereka tidak berdosa karena melakukan hal yang terlarang. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رضي الله عنه ” وَفِيهِ الْحَدُّ قِيَاسًا عَلَى الْخَمْرِ

Imam Syafi‘i raḥimahullāh berkata, “Padanya terdapat hukuman ḥadd berdasarkan qiyās atas khamr.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا شَارِبُ الْخَمْرِ فَعَلَيْهِ الْحَدُّ سَكِرَ مِنْهُ أَوْ لَمْ يَسْكَرْ وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَيْهِ وَأَمَّا شَارِبُ النَّبِيذِ فَإِنْ سَكِرَ مِنْهُ حُدَّ فِي قَوْلِ الْجَمِيعِ وَإِنْ لَمْ يَسْكَرْ مِنْهُ حُدَّ فِي قَوْلِ مَنْ حَرَّمَهُ وَلَمْ يُحَدَّ فِي قَوْلِ مَنْ أَحَلَّهُ وَقَدْ دَلَّلْنَا عَلَى تَحْرِيمِهِ فَوَجَبَ فِيهِ الْحَدُّ كَالْخَمْرِ وَهُمَا فِي الْحَدِّ سَوَاءٌ وَإِنْ كَانَ الْخَمْرُ أَغْلَظَ مَأْثَمًا كَمَا أَنَّ الْحَد فِي الْخَمْرِ يَسْتَوِي فِيهِ مَنْ سَكِرَ مِنْهُ وَمَنْ لَمْ يَسْكَرْ وَإِنْ كَانَ السُّكْرُ أَغْلَظَ مَأْثَمًا فَهَذَا حُكْمُ الْحَدِّ فَأَمَّا التَّكْفِيرُ فَلَا يَكْفُرُ مُسْتَحِلُّ النَّبِيذِ وَيَكْفُرُ مُسْتَحِلُّ الْخَمْرِ

Al-Mawardi berkata: Adapun peminum khamr, maka atasnya dikenakan had, baik ia mabuk karenanya maupun tidak, dan kami telah menjelaskan hal itu. Adapun peminum nabidz, jika ia mabuk karenanya maka dikenakan had menurut pendapat seluruh ulama, dan jika tidak mabuk karenanya maka dikenakan had menurut pendapat yang mengharamkannya, dan tidak dikenakan had menurut pendapat yang menghalalkannya. Kami telah menjelaskan tentang pengharamannya, maka wajib baginya dikenakan had seperti halnya khamr, dan keduanya dalam hal had adalah sama, meskipun khamr lebih berat dosanya. Sebagaimana had pada khamr berlaku sama bagi yang mabuk maupun yang tidak mabuk, meskipun mabuk itu lebih berat dosanya. Inilah hukum had. Adapun takfir, maka orang yang menghalalkan nabidz tidak kafir, sedangkan orang yang menghalalkan khamr adalah kafir.

وَقَدْ مَضَى وَجْهُ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا وَأَمَّا التَّفْسِيقُ فَيَفْسُقُ شَارِبُ الْخَمْرِ فِي قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا وَأَمَّا شَاربُ النَّبِيذِ فَيَفْسُقُ فِي كَثِيرهِ الْمُسْكِرِ والتفسيق في قليله معتبر بحال شاربه فإن تأوله فِي شُرْبِهِ إِمَّا بِاجْتِهَادِ نَفْسِهِ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ أَوْ بِفُتْيَا فَقِيهٍ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ لَمْ يَفْسُقْ وَإِنْ حُدَّ

Telah dijelaskan perbedaan antara keduanya. Adapun tafsiq, maka peminum khamr dianggap fasiq baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Sedangkan peminum nabidz, ia dianggap fasiq jika meminum dalam jumlah banyak yang memabukkan, dan tafsiq pada jumlah sedikitnya tergantung pada keadaan peminumnya. Jika ia menakwilkan perbuatannya dalam meminum, baik dengan ijtihad pribadinya jika ia termasuk ahli ijtihad, atau berdasarkan fatwa seorang faqih dari kalangan ahli ijtihad, maka ia tidak dianggap fasiq meskipun tetap dikenai had.

وَإِنْ شَرِبَهُ غَيْرَ مُتَأَوِّلٍ فُسِّقَ وَحُدَّ فَاسْتَوَى حَدُّهُ فِي الْحَالَيْنِ وَإِنِ افْتَرَقَ بِفِسْقِهِ فِيهِمَا

Dan jika seseorang meminumnya tanpa adanya alasan takwil, maka ia menjadi fasiq dan dikenai had, sehingga hukuman had-nya sama dalam kedua keadaan tersebut, meskipun berbeda dalam hal kefasiqannya pada keduanya.

وَقَالَ مَالِكٌ يَفْسُقُ فِي الْحَالَيْنِ كَمَا يُحَدُّ فِيهِمَا ولا تبقى مَعَ وُجُوبِ حَدِّهِ عَدَالَةٌ

Malik berkata, “Seseorang menjadi fasiq dalam kedua keadaan tersebut, sebagaimana ia dijatuhi had dalam keduanya, dan tidak tersisa keadilan pada dirinya selama ia wajib dikenai had.”

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ شُرْبَ مَا اخْتُلِفَ فِيهِ لَا يُوجِبُ الْفِسْقَ إِذَا تَأَوَّلَهُ كَشَارِبِ لَبَنِ الْأُتُنِ؛ وَلِأَنَّ الْعَدَالَةَ لَا تَمْنَعُ مِنْ وُجُوبِ الْحَدِّ إِذَا تَابَ بَعْدَ شُرْبِهِ وَقَبْلَ حَدِّهِ فَإِنَّهُ يُحَدُّ وَهُوَ عَدْلٌ كَذَلِكَ لَا يَمْتَنِعُ أن يجب الحد عليه وهو عدل؛ لتسوية بَيْنَ حَالِ الِابْتِدَاءِ وَالِانْتِهَاءِ

Dalil kami adalah bahwa meminum sesuatu yang diperselisihkan hukumnya tidak menyebabkan kefasikan jika ia menakwilkannya, seperti orang yang meminum susu keledai; dan karena keadilan tidak menghalangi kewajiban menjalankan had jika ia bertobat setelah meminumnya dan sebelum had ditegakkan atasnya, maka ia tetap dikenai had sementara ia masih dianggap adil. Demikian pula, tidak mustahil had tetap wajib atasnya sementara ia masih adil, karena adanya persamaan antara keadaan awal dan akhir.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْحَدِّ والتفسيق في التأويل لأن الْحَدَّ مَوْضُوعٌ لِلزَّجْرِ فَاسْتَوَى فِيهِ حَالُ الْمُتَأَوِّلِ وَغَيْرِ الْمُتَأَوِّلِ وَالتَّفْسِيقُ مُخْتَصٌّ بِالْحَظْرِ فَافْتَرَقَ فِيهِ حكم المتأول وغير المتأول

Perbedaan antara hadd dan tafsiq terletak pada penafsiran, karena hadd ditetapkan untuk memberikan efek jera sehingga keadaan orang yang menafsirkan (muta’awwil) dan yang tidak menafsirkan (ghair muta’awwil) sama saja di dalamnya. Adapun tafsiq khusus berkaitan dengan larangan, sehingga hukum antara orang yang menafsirkan dan yang tidak menafsirkan berbeda dalam hal ini.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُحَدُّ إِلَّا بِأَنْ يَقُولَ شَرِبْتُ الْخَمْرَ أَوْ يُشْهَدَ عَلَيْهِ بِهِ أَوْ يَقُولَ شَرِبْتُ ما يسكر أو يشرب من إناء هُوَ وَنَفَرٌ فَيَسْكَرُ بَعْضُهُمْ فَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ الشَّرَابَ مُسْكِرٌ وَاحْتُجَّ بِأَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ قَالَ لَا أُوتَى بِأَحَدٍ شَرِبَ خَمْرًا أو نبيذا مسكراً إلا جلدته الجد

Syafi‘i berkata, “Seseorang tidak dijatuhi had kecuali jika ia mengaku, ‘Aku telah meminum khamr,’ atau ada saksi yang memberikan kesaksian atasnya, atau ia berkata, ‘Aku telah meminum sesuatu yang memabukkan,’ atau ia meminum dari satu wadah bersama sekelompok orang lalu sebagian dari mereka menjadi mabuk, sehingga hal itu menunjukkan bahwa minuman tersebut memang memabukkan. Dalilnya adalah bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Tidaklah aku didatangi oleh seseorang yang meminum khamr atau nabidz yang memabukkan kecuali pasti aku cambuk dia dengan had.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْحَدِّ فِي شُرْبِ كُلِّ مُسْكِرٍ مِنْ خَمْرٍ أَوْ نَبِيذٍ فَثُبُوتُ شُرْبِهِ لِلْمُسْكِرِ يَكُونُ بِأَرْبَعَةِ أوجه ذكرها الشافعي ها هنا

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila telah tetap kewajiban hudud atas setiap orang yang meminum minuman memabukkan, baik khamar maupun nabidz, maka penetapan seseorang meminum minuman memabukkan itu dapat dilakukan dengan empat cara yang disebutkan oleh asy-Syafi‘i di sini.”

أَحَدُهَا أَنْ يَعْتَرِفَ بِشُرْبِ الْمُسْكِرِ فَيَلْزَمُهُ حُكْمُ اعترافه

Salah satunya adalah seseorang mengakui telah meminum minuman memabukkan, maka ia wajib menerima hukum atas pengakuannya itu.

والثاني يشهد عليه شاهدان أنه شرب الْمُسْكِرَ فَيُحْكَمُ عَلَيْهِ بِالشَّهَادَةِ وَلَا يَلْزَمُ سُؤَالُ الشاهدين عن وصفهما للشهادة فِي شُرْبِ الْمُسْكِرِ وَإِنْ لَزِمَ شُهُودَ الزِّنَا سؤالهم عن صفة الزنا للفرق بينهما بأن الزِّنَا يَنْطَلِقُ عَلَى مَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَمَا لا يوجبه والشرب المسكر لا ينطلق على ما لا يُوجِبُ الْحَدَّ

Yang kedua, ada dua orang saksi yang bersaksi bahwa seseorang meminum minuman memabukkan, maka diputuskan hukuman atasnya berdasarkan kesaksian tersebut. Tidak wajib menanyakan kepada kedua saksi tentang rincian kesaksian mereka dalam perkara meminum minuman memabukkan, meskipun dalam kasus kesaksian zina wajib menanyakan kepada para saksi tentang rincian perbuatan zina. Hal ini karena ada perbedaan antara keduanya: zina dapat mencakup perbuatan yang mewajibkan had maupun yang tidak mewajibkannya, sedangkan meminum minuman memabukkan tidak mencakup perbuatan yang tidak mewajibkan had.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَشْرَبَ شَرَابًا يَسْكَرُ مِنْهُ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ شَرِبَ مُسْكِرًا

Ketiga, seseorang meminum minuman yang memabukkan sehingga diketahui bahwa ia telah meminum sesuatu yang memabukkan.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَشْرَبَ هُوَ وَجَمَاعَةٌ مِنْ شَرَابٍ يَسْكَرُ مِنْهُ بَعْضُهُمْ فَيُعْلَمُ بِسُكْرِ بَعْضِهِمْ أَنَّ جَمِيعَهُمْ شَرِبَ مُسْكِرًا فَإِذَا ثَبَتَ شُرْبُهُ لِلْمُسْكِرِ بِأَحَدِ هَذِهِ الْوُجُوهِ الْأَرْبَعَةِ كَانَ وُجُوبُ حَدِّهِ بَعْدَ شُرْبِهِ مُعْتَبَرًا بِأَرْبَعَةِ شُرُوطٍ

Keempat, apabila ia minum bersama sekelompok orang dari minuman yang sebagian dari mereka menjadi mabuk karenanya, maka dengan diketahuinya kemabukan sebagian dari mereka, dapat dipastikan bahwa seluruhnya telah meminum minuman yang memabukkan. Maka apabila telah terbukti bahwa ia meminum minuman memabukkan dengan salah satu dari empat cara ini, maka kewajiban penjatuhan had atasnya setelah meminum itu bergantung pada empat syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الشَّرَابَ مُسْكِرٌ فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ

Salah satunya adalah bahwa seseorang mengetahui bahwa minuman tersebut memabukkan. Jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada hudud atasnya.

وَالثَّانِي أَنْ يَشْرَبَهُ مُخْتَارًا فَإِنْ أُكْرِهَ عَلَى شُرْبِهِ فَلَا حدَّ عَلَيْهِ

Yang kedua adalah meminumnya secara sadar; maka jika seseorang dipaksa untuk meminumnya, maka tidak ada hudud atasnya.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِتَحْرِيمِ الْمُسْكِرِ فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِهِ لْقُرْبِ عَهْدِهِ بِالْإِسْلَامِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ

Ketiga, seseorang harus mengetahui keharaman minuman memabukkan. Jika ia tidak mengetahuinya karena baru saja masuk Islam, maka tidak dikenakan hudud atasnya.

والرابع ألا تَدْعُوَهُ ضَرُورَةٌ إِلَى شُرْبِهِ فَإِنِ اضْطُرَّ إِلَيْهِ لشدة عطش أو تداوي مرض لا يوجد الطِّبُّ مِنْ شُرْبِهِ بُدًّا فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ شُرْبُهُ فِي هَاتَيْنِ الْحَالَتَيْنِ مُخْتَلَفًا فِيهِ فَإِذَا اسْتُكْمِلَتْ فِيهِ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَدُّ

Keempat, tidak ada keadaan darurat yang memaksanya untuk meminumnya. Jika ia terpaksa meminumnya karena sangat kehausan atau untuk mengobati penyakit yang tidak ada pengobatan lain selain meminumnya, maka tidak ada hudud atasnya, meskipun meminumnya dalam dua keadaan ini masih diperselisihkan. Jika keempat syarat ini telah terpenuhi, maka wajib atasnya dikenakan hudud.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَا يُحَدُّ بِرَائِحَةِ الْمُسْكِرِ مِنْ فَمِهِ وَلَا إِذَا تَقَيَّأَ مُسْكِرًا

Dan tidak dijatuhi hukuman had hanya karena tercium bau minuman memabukkan dari mulutnya, maupun jika ia muntah minuman memabukkan.

وَقَالَ مَالِكٌ أَحُدُّهُ بِرَائِحَةِ الْمُسْكِرِ وَبِقَيْءِ الْمُسْكِرِ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي مَاعِزٍ اسَتَنْكِهُوهُ فَجَعَلَ لِلرَّائِحَةِ حُكْمًا وَلِأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ حَدَّ ابْنَهُ عُبَيْدَ الله بالرائحة

Malik berkata, “Aku menetapkan hukuman had karena bau minuman memabukkan dan muntahan minuman memabukkan,” dengan berdalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Ma’iz, “Ciumlah baunya,” sehingga beliau menjadikan bau sebagai dasar hukum. Selain itu, Umar bin al-Khattab juga menetapkan hukuman had atas putranya, Ubaidullah, karena bau tersebut.

وَلِأَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّ الْوَلِيدَ بْنَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ فِي الْخَمْرِ بِشَاهِدَيْنِ شَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ شَرِبَهَا وَشَهِدَ الْآخَرُ أَنَّهُ تَقَيَّأَهَا فَقَالَ عُثْمَانُ مَا تَقَيَّأَهَا حَتَّى شَرِبَهَا

Dan karena Utsman bin Affan ra. menjatuhkan hukuman had kepada al-Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu‘ayth atas kasus khamr dengan dua orang saksi; salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ia meminumnya, dan yang lainnya bersaksi bahwa ia memuntahkannya. Maka Utsman berkata, “Ia tidak akan memuntahkannya kecuali setelah meminumnya.”

وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يستدرك بِرَائِحَةِ الْخَمْرِ عِنْدَ مُشَاهَدَتِهَا فَيُعْلَمُ بِالرَّائِحَةِ أَنَّهَا خمر جاز أن تستدرك بالرائحة بعد شربها

Dan karena ketika diperbolehkan untuk memastikan dengan bau khamar saat melihatnya, sehingga dapat diketahui dari baunya bahwa itu adalah khamar, maka diperbolehkan pula memastikan dengan bau tersebut setelah meminumnya.

ودليلنا قول الله تَعَالَى وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ الإسراء 34 وَلَيْسَ لَهُ بِالرَّائِحَةِ عِلْمٌ مُتَحَقِّقٌ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَحْكُمَ بِهِ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya” (QS. Al-Isra’ 34). Seseorang tidak memiliki ilmu yang pasti tentang bau tersebut, maka tidak boleh baginya memutuskan hukum berdasarkan hal itu.

وَلِأَنَّهُ يَجُوزُ أن يكون قد تَمَضْمَضَ بِالْخَمْرِ ثُمَّ مَجَّهَا وَلَمْ يَشْرَبْهَا فَلَمْ تدرك رَائِحَتُهَا مِنْ فَمِهِ عَلَى شُرْبِهَا وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا أُكْرِهَ عَلَى شُرْبِهَا وَلِأَنَّ رَائِحَةَ الْخَمْرِ مُشْتَرَكَةٌ يجوز أن يوجد مِثْلُهَا فِي أَكْلِ النَّبْقِ وَبَعْضِ الْفَوَاكِهِ فَلَمْ يُقْطَعْ بِهِ عَلَيْهَا وَلِأَنَّ رَائِحَةَ الْخَمْرِ قَدْ تُوجَدُ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَشْرِبَةِ الْمُبَاحَةِ كَشَرَابِ التُّفَّاحِ وَالسَّفَرْجَلِ وَرُبُوبِ الْفَوَاكِهِ

Karena bisa jadi seseorang telah berkumur dengan khamr lalu meludahkannya dan tidak meminumnya, sehingga bau khamr yang tercium dari mulutnya bukan karena ia meminumnya. Juga karena bisa jadi seseorang dipaksa untuk meminumnya. Selain itu, bau khamr adalah sesuatu yang umum, bisa saja bau serupa ditemukan pada orang yang memakan buah nabq dan sebagian buah-buahan lainnya, sehingga tidak bisa dipastikan bahwa bau tersebut berasal dari khamr. Dan bau khamr juga bisa ditemukan pada banyak minuman yang halal, seperti minuman apel, quince, dan sari buah-buahan lainnya.

فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يقطع بالرائحة عليها إذا شُوهِدَتْ لِأَنَّ مُشَاهَدَةَ جِسْمِهَا يَنْفِي عَنْهَا ظُنُونَ الِاشْتِبَاهِ وَفِي هَذَا دَلِيلٌ وَانْفِصَالٌ

Maka tidak boleh menetapkan (hukum) hanya berdasarkan bau ketika telah terlihat secara langsung, karena melihat wujudnya secara langsung meniadakan segala dugaan keraguan, dan dalam hal ini terdapat dalil dan penjelasan.

فَأَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِاسْتِنْكَاهِ مَاعِزٍ فَلِأَنَّهُ رَآهُ ثَائِرَ الشَّعْرِ مُتَغَيِّرَ اللون مقراً بالزنا فاشتبهت عليه حالته فِي ثَبَاتِ عَقْلِهِ أَوْ زَوَالِهِ فَأَرَادَ اخْتِبَارَ حَالِهِ بِاسْتِنْكَاهِهِ وَلَمْ يُعَلِّقْ بِالِاسْتِنْكَاهِ حُكْمًا وَأَمَّا عمر رضي الله عنه فَإِنَّهُ سَأَلَ ابْنَهُ حِينَ شَمِّ مِنْهُ الرَّائِحَةَ فاعترف بشرب الطلا فحده باعترافه

Adapun perintah Rasulullah saw. untuk mencium bau mulut Ma‘iz, itu karena beliau melihatnya dengan rambut yang acak-acakan, warna wajah yang berubah, dan ia mengakui perbuatan zina, sehingga keadaan Ma‘iz menjadi samar bagi beliau apakah akalnya tetap atau hilang. Maka beliau ingin menguji keadaannya dengan mencium bau mulutnya, dan beliau tidak menggantungkan suatu hukum pada penciuman bau mulut tersebut. Adapun Umar r.a., ia bertanya kepada putranya ketika mencium bau (minuman) darinya, lalu putranya mengakui telah meminum minuman keras, maka Umar menjatuhkan had atasnya berdasarkan pengakuannya.

وأما عثمان فلأنه لَمَّا اقْتَرَنَ بِشَهَادَةِ الْقَيْءِ شَهَادَةُ الشُّرْبِ جَازَ أَنْ يَعْمَلَ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا

Adapun ‘Utsman, karena ketika kesaksian muntah disertai dengan kesaksian minum, maka boleh untuk beramal berdasarkan keduanya meskipun kesaksian tersebut lemah.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَا يُحَدُّ السَّكْرَانُ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ سُكْرِهِ فَيَعْتَرِفَ بِشُرْبِ مَا يُوجِبُ الْحَدَّ وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَحُدُّهُ بِالسُّكْرِ إِلَّا أَنْ يَدَّعِيَ مَا يُسْقِطُ الْحَدَّ وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْمُسْكِرَ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَمْرَيْنِ

Orang yang mabuk tidak dijatuhi hukuman had sampai ia ditanya tentang kemabukannya, lalu ia mengakui telah meminum sesuatu yang mewajibkan hukuman had. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata, “Aku menjatuhkan hukuman had atasnya karena kemabukannya, kecuali jika ia mengaku sesuatu yang menggugurkan hukuman had.” Namun, pendapat ini keliru, karena zat memabukkan itu masih berada dalam dua kemungkinan.

أَحَدُهُمَا مُوجِبٌ لِلْحَدِّ وَهُوَ أَنْ يَشْرَبَ الْخَمْرَ مُخْتَارًا مَعَ الْعِلْمِ بِهَا

Salah satunya mewajibkan hudud, yaitu seseorang meminum khamar secara sadar dan dengan pengetahuan tentangnya.

وَالثَّانِي غَيْرُ مُوجِبٍ لِلْحَدِّ وهو أن يشربها غير عالم بها أو مكرهاً عليها فَكَانَ إِدْرَاءُ الْحَدِّ عَنْهُ بِالشُّبْهَةِ أَوْلَى مِنْ إِثْبَاتِهِ بِهَا

Yang kedua tidak mewajibkan hudud, yaitu apabila seseorang meminumnya tanpa mengetahui bahwa itu adalah khamar atau karena dipaksa untuk meminumnya, maka menggugurkan hudud darinya karena adanya syubhat lebih utama daripada menetapkannya.

لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” ادرؤوا الحدود بالشبهة والله أعلم

Karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hindarilah hudud karena adanya syubhat, dan Allah lebih mengetahui.”

بَابُ عَدَدِ حَدِّ الْخَمْرِ

Bab Jumlah Hukuman (Had) untuk Khamr

وَمَنْ يَمُوتُ مِنْ ضرب الإمام وخطأ السلطان

Dan barang siapa yang meninggal karena pukulan imam atau kesalahan penguasa.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنِ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَزْهَرَ قَالَ أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِشَارِبٍ فَقَالَ ” اضْرِبُوهُ فَضَرَبُوهُ بِالْأَيْدِي وَالنِّعَالِ وَأَطْرَافِ الثياب وحثوا عليه التراب ثم قال ” نكبوه فنكبوه ثُمَّ أَرْسَلَهُ قَالَ فَلَمَّا كَانَ أَبُو بَكْرٍ سَأَلَ مَنْ حَضَرَ ذَلِكَ الضَّرْبَ فَقَوَّمَهُ أَرْبَعِينَ فَضَرَبَ أَبُو بَكْرٍ فِي الْخَمْرِ أَرْبَعِينَ حَيَاتَهُ ثم عمر ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ فِي الْخَمْرِ فَاسْتَشَارَ فَضَرَبَ ثمانين وَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ استشار فقال علي نرى أن يجلد ثَمَانِينَ لِأَنَّهُ إِذَا شَرِبَ سَكِرَ وَإِذَا سَكِرَ هَذَى وإذا هذي افترى أو كما قال فجلده عمر ثمانين في الخمر وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ ليس أحد نقيم عليه حدا فيموت فأجد في نفسي شيئاً الحق قتله إلا حد الخمر فإنه شيء رأيناه بعد النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فمن مات منه فديته إما قال في بيت المال وإما قال على عاقلة الإمام ” الشك من الشافعي

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tepercaya dari Ma‘mar, dari az-Zuhri, dari ‘Abdurrahman bin Azhar, ia berkata: Didatangkan kepada Nabi ﷺ seseorang yang meminum khamar, maka beliau bersabda, ‘Pukullah dia!’ Lalu mereka memukulnya dengan tangan, sandal, ujung-ujung pakaian, dan mereka menaburkan tanah kepadanya. Kemudian beliau bersabda, ‘Jungkirkan dia!’ Maka mereka menjungkirkan dia, lalu beliau melepaskannya. Ia berkata: Ketika masa Abu Bakar, beliau bertanya kepada orang-orang yang hadir pada pemukulan itu, lalu mereka menilainya sebanyak empat puluh (pukulan), maka Abu Bakar menetapkan hukuman khamar sebanyak empat puluh (pukulan) sepanjang hidupnya, kemudian Umar pun demikian. Lalu orang-orang semakin banyak meminum khamar, maka Umar bermusyawarah, lalu menetapkan hukuman delapan puluh (pukulan). Diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu bermusyawarah, lalu Ali berkata, ‘Menurut kami, hendaknya dicambuk delapan puluh kali, karena jika seseorang minum (khamar) ia akan mabuk, jika ia mabuk ia akan mengigau, dan jika ia mengigau ia akan berbuat dusta (qadzaf),’ atau sebagaimana yang ia katakan. Maka Umar mencambuk delapan puluh kali bagi peminum khamar. Diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, ‘Tidak ada seorang pun yang kami tegakkan atasnya hudud lalu ia mati, kemudian aku merasa bersalah dan menganggapnya berhak dibunuh, kecuali hudud khamar, karena itu adalah sesuatu yang kami tetapkan setelah Nabi ﷺ wafat. Maka siapa yang mati karenanya, diyatnya (tebusannya) diambilkan dari Baitul Mal atau dari ‘aqilah imam.’ (Keraguan ini dari Syafi‘i).

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا وُجُوبَ الْحَدِّ فِي شُرْبِ الْخَمْرِ وَشُرْبِ كُلِّ مُسْكِرٍ سَكِرَ الشَّارِبُ مِنْهُ أَوْ لَمْ يَسْكَرْ

Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan wajibnya hukuman had bagi peminum khamar dan setiap minuman memabukkan, baik peminumnya menjadi mabuk karenanya maupun tidak.

فَأَمَّا صِفَةُ الْحَدِّ فَأَصْلُهُ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ بِإِسْنَادِهِ عِنْ عَبْدِ الرحمن بن أزهر قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سأل عَنْ رَحْلِ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ فَجَرَيْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ أَسْأَلُ عَنْ رَحْلِ خَالِدٍ حَتَّى أَتَاهُ وقد خرج فأتي النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِشَارِبٍ فَقَالَ ” اضْرِبُوهُ فَضَرَبُوهُ بِالْأَيْدِي وَالنِّعَالِ وَأَطْرَافِ الثِّيَابِ وَحَثَوْا عَلَيْهِ التُّرَابَ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” نكبوه فنكبوه ثُمَّ أَرْسَلَهُ قَالَ فَلَمَّا كَانَ أَبُو بَكْرٍ سَأَلَ مَنْ حَضَرَ ذَلِكَ الضَّرْبَ فَقَوَّمَهُ أَرْبَعِينَ

Adapun tata cara pelaksanaan hudud, dasarnya adalah apa yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Azhar, ia berkata: Aku melihat Rasulullah ﷺ bertanya tentang pelana milik Khalid bin al-Walid, maka aku berjalan di depan beliau menanyakan tentang pelana Khalid hingga aku menemukannya, dan ternyata ia telah keluar. Kemudian didatangkan kepada Nabi ﷺ seorang peminum (khamar), lalu beliau bersabda, “Pukullah dia!” Maka mereka memukulnya dengan tangan, sandal, ujung-ujung pakaian, dan menaburkan tanah kepadanya. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, “Hinakanlah dia,” maka mereka pun menghinakannya, lalu beliau melepaskannya. Abdurrahman berkata: Ketika masa Abu Bakar, beliau bertanya kepada orang-orang yang hadir pada pemukulan itu, lalu beliau menetapkan hukumannya sebanyak empat puluh kali.

فَضَرَبَ أَبُو بَكْرٍ فِي الْخَمْرِ أَرْبَعِينَ حَيَاتَهُ ثم عمر رضي الله عنه ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ فِي الْخَمْرِ فَاسْتَشَارَ فَضَرَبَ ثمانين وروي أن عمر لما اسْتَشَارَ الصَّحَابَةَ فِي حَدِّ الْخَمْرِ فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ إِنَّهُ إِذَا شَرِبَ سَكِرَ وَإِذَا سَكِرَ هَذَى وَإِذَا هَذَى افْتَرَى وَحَدُّ

Abu Bakar menetapkan hukuman cambuk empat puluh kali bagi peminum khamar sepanjang hidupnya, kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu juga demikian. Lalu orang-orang semakin banyak yang meminum khamar, maka Umar bermusyawarah dan menetapkan hukuman delapan puluh kali cambuk. Diriwayatkan bahwa ketika Umar bermusyawarah dengan para sahabat mengenai hudud khamar, Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya jika seseorang meminumnya, ia akan mabuk; jika ia mabuk, ia akan mengigau; dan jika ia mengigau, ia akan berbuat dusta; dan hudud…”

الْمُفْتَرِي ثَمَانُونَ

Orang yang menuduh zina (qadzaf) dikenai delapan puluh (cambukan).

وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَخَفُّ الْحُدُودِ ثَمَانُونَ فَأَخَذَ بِهَا عُمَرُ وَجَلَدَ فِي بَقِيَّةِ أَيَّامِهِ ثمانين وجلد عثمان في أيامه أربعين وثمانين وجلد عثمان ثمانين فروى سُفْيَانُ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ عُمَيْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ مَا كُنْتُ لِأُقِيمَ حَدًّا عَلَى إِنْسَانٍ فَيَمُوتُ صَاحِبُهُ فَأَجِدَ فِي نفسي منه شيئاً إلا الخمر فإني كانت أَدِيهِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لم يسنه فكان عُمَرُ أَوَّلَ مَنْ حَدَّ فِي الْخَمْرِ ثَمَانِينَ وَأَوَّلُ مَنْ حَدَّهُ عُمَرُ فِي الْخَمْرِ ثَمَانِينَ قُدَامَةُ بْنُ مَظْعُونٍ الْجُمَحِيُّ ثُمَّ حَدَّ عُمَرُ بَعْدَهُ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ فِي الْخَمْرِ ثَمَانِينَ وَحَدَّ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ الْوَلِيدَ بْنَ عقبة في الخمر وقد صلى بالناس بالكوفة فَقَالَ أَزِيدُكُمْ فَاخْتُلِفَ فِي مِقْدَارِ حَدِّهِ فَرَوَى عَنْهُ قَوْمٌ أَنَّهُ حَدَّهُ أَرْبَعِينَ

Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Hadd yang paling ringan adalah delapan puluh (cambukan),” maka Umar mengambil pendapat itu dan menjatuhkan hukuman cambuk delapan puluh kali selama sisa masa hidupnya. Sementara Utsman pada masa pemerintahannya pernah menjatuhkan hukuman cambuk empat puluh dan delapan puluh kali, dan Utsman juga pernah menjatuhkan hukuman cambuk delapan puluh kali. Sufyan meriwayatkan dari Abu Hushain dari Umair bin Sa‘id dari Ali, ia berkata, “Aku tidak pernah menegakkan hadd kepada seseorang lalu orang itu meninggal, kemudian aku merasa bersalah karenanya, kecuali dalam kasus khamr. Karena aku sendiri yang menegakkannya, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menetapkannya secara khusus. Maka Umar adalah orang pertama yang menetapkan hadd khamr sebanyak delapan puluh kali, dan orang pertama yang dijatuhi hadd khamr delapan puluh kali oleh Umar adalah Qudamah bin Mazh‘un al-Jumahi. Kemudian setelah itu, Umar juga menjatuhkan hadd khamr delapan puluh kali kepada Amr bin Umayyah adl-Dhamri. Utsman bin ‘Affan juga menjatuhkan hadd kepada al-Walid bin ‘Uqbah dalam kasus khamr, karena ia pernah mengimami shalat di Kufah lalu berkata, ‘Apakah kalian ingin aku tambahkan (rakaatnya)?’ Maka terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah hadd yang dijatuhkan kepadanya. Sebagian orang meriwayatkan bahwa Utsman menjatuhkan hadd kepadanya sebanyak empat puluh kali.

وَرَوَى آخَرُونَ أَنَّهُ حَدَّهُ ثَمَانِينَ وَحَدَّ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طالب النجاشي الحادي بالكوفة وقد شرب الخمر في رَمَضَانَ فَحَدَّهُ ثَمَانِينَ ثُمَّ عِشْرِينَ فَقَالَ النَّجَاشِيُّ أما الثمانون قد عرفتها فما هذه العلاوة فقال على تجرئك عَلَى اللَّهِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

Diriwayatkan oleh yang lain bahwa ia menetapkan hukumannya sebanyak delapan puluh cambukan, dan Ali bin Abi Thalib menjatuhkan hukuman kepada an-Najasyi, seorang penyair di Kufah, yang telah meminum khamar di bulan Ramadan. Maka Ali menghukumnya dengan delapan puluh cambukan, kemudian menambah dua puluh lagi. Lalu an-Najasyi berkata, “Adapun delapan puluh cambukan aku sudah mengetahuinya, lalu apa tambahan ini?” Ali menjawab, “Karena engkau telah berani terhadap Allah di bulan Ramadan.”

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي مِقْدَارِ حَدِّهِ

Maka apabila telah jelas apa yang telah kami sebutkan, para fuqaha pun berbeda pendapat mengenai kadar hadd-nya.

فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ حَدَّ الْخَمْرِ أَربَعُونَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُنْقَصَ مِنْهَا وَمَا زَادَ عَلَيْهَا إِلَى الثَّمَانِينَ تَعْزِيرٌ يَقِفُ عَلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ لَا يَزِيدُ عَلَيْهَا وَيَجُوزُ أَنْ يَنْقُصَ مِنْهَا

Syafi‘i berpendapat bahwa had untuk khamr adalah empat puluh, tidak boleh dikurangi dari jumlah itu. Adapun tambahan atasnya hingga delapan puluh adalah ta‘zīr yang bergantung pada ijtihad imam, tidak boleh melebihi jumlah itu dan boleh dikurangi darinya.

وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وسفيان الثوري حد الخمر ثمانون كالقذف ولا يجوز الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا وَلَا النُّقْصَانُ مِنْهَا اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ سعيد عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِجَرِيدَتَيْنِ نَحْوَ الْأَرْبَعِينَ وَفَعَلَهُ أَبُو بَكْرٍ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اسْتَشَارَ النَّاسَ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَخَفُّ الْحُدُودِ ثَمَانُونَ فَأَخَذَ بِهَا عُمَرُ فصار اجتهاد الصحابة موافقاً لِفِعْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ؛ لِأَنَّ الْأَرْبَعِينَ بِالْجَرِيدَتَيْنِ ثَمَانُونَ

Malik, Abu Hanifah, dan Sufyan ats-Tsauri berpendapat bahwa had (hukuman) bagi peminum khamr adalah delapan puluh cambukan seperti hukuman bagi qadzaf (menuduh zina), dan tidak boleh ditambah atau dikurangi dari jumlah itu. Mereka berdalil dengan riwayat Sa‘id dari Qatadah dari Anas bahwa Rasulullah saw. didatangkan seorang laki-laki yang telah meminum khamr, lalu beliau mencambuknya dengan dua pelepah kurma sekitar empat puluh kali, dan hal itu juga dilakukan oleh Abu Bakar. Ketika masa Umar, beliau bermusyawarah dengan para sahabat, lalu Abdurrahman bin Auf berkata, “Hukuman yang paling ringan adalah delapan puluh cambukan.” Maka Umar pun mengambil pendapat itu. Dengan demikian, ijtihad para sahabat menjadi sesuai dengan perbuatan Rasulullah saw., karena empat puluh kali dengan dua pelepah kurma sama dengan delapan puluh.

وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جلد في الخمر بنعلين أربعين فَلَمَّا كَانَ زَمَنُ عُمَرَ جَلَدَ بَدَلَ كُلِّ نَعْلٍ سَوْطًا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ اجْتِهَادَ الصَّحَابَةِ كَانَ فِي صِفَةِ الْحَدِّ لَا فِي عَدَدِهِ

Abu Sa‘id al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah mencambuk (pelaku) minum khamar dengan dua sandal sebanyak empat puluh kali. Ketika masa Umar, beliau mengganti setiap sandal dengan satu cambuk. Hal ini menunjukkan bahwa ijtihad para sahabat terjadi pada bentuk pelaksanaan had, bukan pada jumlahnya.

وَقَدْ رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جَلَدَ شَارِبَ الْخَمْرِ ثَمَانِينَ وَهَذَا نَصٌّ

Muhammad bin Ali bin al-Husain meriwayatkan dari ayahnya bahwa Nabi ﷺ mencambuk peminum khamr sebanyak delapan puluh kali, dan ini adalah nash.

ومن الاعتبار أنه حد يجب على الحر فلم يتقدر بالأربعين كالقذف ولأن حَدَّ الْقَذْفِ أَخَفُّ وَحَدَّ الشُّرْبِ أَغْلَظُ لِمَا في النفوس من الداعي إِلَيْهِ وَغَلَبَةِ الشَّهْوَةِ عَلَيْهِ فَكَانَ إِنْ لَمْ يزد عليه فأولى أن لا ينقص عنه وَلِأَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى الْأَرْبَعِينَ لَوْ كَانَتْ تَعْزِيرًا لَمْ يَجُزْ أَنْ تَبْلُغَ أَرْبَعِينَ لَأَنَّ التَّعْزِيرَ لا يجوز أن يكون مساوياً للحد

Perlu diperhatikan bahwa ini adalah hudud yang wajib atas orang merdeka, sehingga tidak ditetapkan sebanyak empat puluh seperti pada kasus qadzaf. Sebab, had qadzaf lebih ringan, sedangkan had minum (khamr) lebih berat karena adanya dorongan dalam jiwa untuk melakukannya dan kuatnya syahwat terhadapnya. Maka, jika tidak ditambah atasnya, lebih utama untuk tidak dikurangi darinya. Selain itu, jika penambahan atas empat puluh itu dianggap sebagai ta‘zīr, maka tidak boleh mencapai empat puluh, karena ta‘zīr tidak boleh sama dengan hudud.

وَدَلِيلُنَا مَعَ مَا قَدَّمْنَاهُ فِي صَدْرِ الْبَابِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَزْهَرَ مَا رَوَاهُ حُصَيْنُ بْنُ الْمُنْذِرِ أَبُو سَاسَانَ الرَّقَاشِيُّ قَالَ شَهِدْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَقَدْ أُتِيَ بِالْوَلِيدِ بْنِ عُقْبَةَ فَشَهِدَ عَلَيْهِ حُمْرَانُ وَرَجُلٌ آخَرُ شَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ شَرِبَ الْخَمْرَ وَشَهِدَ الْآخَرُ أَنَّهُ تَقَيَّأَهَا فَقَالَ عُثْمَانُ مَا تَقَيَّأَهَا حَتَّى شَرِبَهَا فَقَالَ لَعَلِيٍّ أَقِمْ عَلَيْهِ الْحَدَّ

Dan dalil kami, selain apa yang telah kami kemukakan di awal bab dari hadis Abdurrahman bin Azhar, adalah apa yang diriwayatkan oleh Husain bin al-Mundzir Abu Sasan ar-Raqasyi. Ia berkata: Aku menyaksikan Utsman bin Affan ketika didatangkan al-Walid bin Uqbah, lalu Humran dan seorang laki-laki lain bersaksi atasnya; salah satu dari mereka bersaksi bahwa ia telah meminum khamr, dan yang lainnya bersaksi bahwa ia telah memuntahkannya. Maka Utsman berkata: “Ia tidak akan memuntahkannya kecuali setelah meminumnya.” Lalu Utsman berkata kepada Ali: “Tegakkanlah had atasnya.”

فقال علي للحسن أقم عليه فقال الحسن ولي حارها من تولى قارها أي ولي صَعْبَهَا مَنْ تَوَلَّى سَهْلَهَا

Lalu Ali berkata kepada Hasan, “Tegakkanlah hukuman atasnya.” Maka Hasan berkata, “Yang menanggung kesulitannya adalah siapa yang telah menerima kemudahannya.”

فَقَالَ عَلِيٌّ لِعَبْدِ الله بن جعفر أقم عليه الحد فجلده عَبْدُ اللَّهِ بِالسَّوْطِ وَعَلِيٌّ يَعُدُّ فَلَمَّا بَلَغَ أَرْبَعِينَ قَالَ حَسْبُكَ جَلَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ عُمَرُ ثمانين وكل سنة أَحَبُّ إِلَيَّ وَهَذَا نَصٌّ مِنْ وَجْهَيْنِ

Lalu Ali berkata kepada Abdullah bin Ja’far, “Tegakkanlah hudud atasnya.” Maka Abdullah mencambuknya dengan cambuk, sementara Ali menghitung. Ketika telah mencapai empat puluh kali, Ali berkata, “Cukup. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencambuk empat puluh kali, Abu Bakar mencambuk empat puluh kali, dan Umar mencambuk delapan puluh kali. Setiap sunnah lebih aku sukai.” Dan ini adalah nash dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا مَا أَخْبَرَ بِهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنَ اقْتِصَارِهِ عَلَى الْأَرْبَعِينَ

Salah satunya adalah apa yang diberitakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang beliau yang membatasi pada empat puluh.

وَالثَّانِي إِخْبَارُهُ بِأَنَّ كِلَا الْعَدَدَيْنِ سُنَّةٌ يُعْمَلُ بِهَا وَيَصِحُّ التَّخْيِيرُ فِيهَا

Yang kedua adalah penjelasannya bahwa kedua jumlah tersebut merupakan sunnah yang dapat diamalkan, dan sah untuk memilih di antara keduanya.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ سَبَبٌ يُوجِبُ الْحَدَّ فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ بِعَدَدٍ لَا يُشَارِكُهُ غَيْرُهُ كالزنا والقذف

Dan termasuk dalam qiyās adalah bahwa ia merupakan sebab yang mewajibkan had, maka wajib baginya memiliki jumlah tertentu yang tidak diserupakan dengan selainnya, seperti zina dan qadzaf.

فإن قيل فوجب ألا يُقَدَّرَ بِأَرْبَعِينَ كَالزِّنَا وَالْقَذْفِ قِيلَ الْحُدُودُ مَوْضُوعَةٌ عَلَى الِاخْتِلَافِ فِي الْمِقْدَارِ لِاخْتِلَافِهَا فِي الْأَسْبَابِ فَجَازَ لَنَا اعْتِبَارُ بَعْضِهَا بِبَعْضٍ فِي التَّفَاضُلِ ولم يجز اعْتِبَارُ بَعْضِهَا بِبَعْضٍ فِي التَّمَاثُلِ

Jika dikatakan, “Maka seharusnya tidak ditetapkan dengan empat puluh (cambukan) seperti pada kasus zina dan qadzaf,” maka dijawab: Hudud memang ditetapkan dengan perbedaan jumlah (hukuman) karena perbedaan sebabnya. Maka, boleh bagi kita mempertimbangkan sebagian hudud dengan sebagian yang lain dalam hal keutamaan (tingkatan), namun tidak boleh mempertimbangkan sebagian dengan sebagian yang lain dalam hal kesamaan.

وَلِأَنَّ الْحُدُودَ تَتَرَتَّبُ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ الْأجْرَامِ فَمَا كَانَ جُرْمُهُ أغلظ كان حده أكثر

Dan karena hudud ditetapkan sesuai dengan perbedaan tingkat kejahatan, maka semakin berat kejahatannya, semakin besar pula hukumannya.

ولأن الزِّنَا لَمَّا غَلُظَ جُرْمُهُ لِلِاشْتِرَاكِ فِيهِ غَلُظَ حده

Karena zina merupakan kejahatan yang berat akibat adanya keterlibatan bersama di dalamnya, maka hukumannya pun menjadi berat.

والقذف لما اختص كان حده اكثر بِالتَّعَدِّي إِلَى وَاحِدٍ كَانَ أَخَفَّ مِنَ الزِّنَا

Karena qazaf (menuduh zina) merupakan pelanggaran yang khusus, maka hukumannya lebih ringan dibandingkan zina, sebab pelanggarannya hanya ditujukan kepada satu orang.

وَالْخَمْرُ لَمَّا اخْتَصَّ بِوَاحِدٍ لَمْ يَتَعَدَّ عَنْهُ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ أَخَفَّ مِنَ الْقَذْفِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثَيْ أَنَسٍ وَأَبِي سَعِيدٍ فَمِنْ وجهين

Adapun khamr, karena ia dikhususkan dengan satu (hukuman) dan tidak melebihi dari itu, maka wajib hukumnya bahwa (hukuman) tersebut lebih ringan daripada (hukuman) qadzaf. Adapun jawaban terhadap dua hadis Anas dan Abu Sa‘id, maka ada dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا اضْطِرَابُ الْحَدِيثَيْنِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ فِي حَدِّ الْخَمْرِ نَصٌّ مَا اجْتَهَدَ فِيهِ الصَّحَابَةُ ولعملوا فيه على الثقل

Salah satunya adalah kontradiksi antara dua hadis, karena jika memang terdapat nash yang jelas tentang hudud khamar, niscaya para sahabat tidak akan berijtihad dalam masalah itu dan mereka akan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan yang pasti.

والثاني تحمل الرواية بجريدتين والنعلين عَلَى أَنَّ إِحْدَاهُمَا بَعْدَ الْأُخْرَى؛ لِأَنَّ الْأُولَى تَقَطَّعَتْ فَأَخَذَ الثَّانِيَةَ

Yang kedua, memaknai riwayat tentang dua batang pelepah dan dua sandal adalah bahwa salah satunya setelah yang lain; karena yang pertama telah rusak, maka ia mengambil yang kedua.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ فَهُوَ مُرْسَلٌ لَا يَلْزَمُ وَفِيهِ نَصٌّ لَمْ يُعْمَلْ بِهِ لِاجْتِهَادِ الصَّحَابَةِ فِيهِ فَصَارَ الْإِجْمَاعُ مَانِعًا مِنَ الْعَمَلِ بِهِ

Adapun jawaban terhadap hadis Ali bin Husain, maka hadis itu adalah mursal sehingga tidak wajib dipegangi, dan di dalamnya terdapat nash yang tidak diamalkan karena ijtihad para sahabat di dalamnya, sehingga ijmā‘ menjadi penghalang untuk mengamalkannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ أَضْعَفُ فَهُوَ أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ أَغْلَظُ مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa had qazaf lebih ringan, maka sesungguhnya had qazaf lebih berat dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَذْفَ مُتَعَدٍّ وَالشُّرْبَ غَيْرُ مُتَعَدٍّ

Salah satunya adalah bahwa qadzaf bersifat merugikan orang lain, sedangkan minum (khamr) tidak merugikan orang lain.

وَالثَّانِي أَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ مِنْ حُقُوقِ الْعِبَادِ وَحَدَّ الشُّرْبِ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَا تَعَلَّقَ بِالْعِبَادِ أَغْلَظُ

Yang kedua, bahwa hadd qadzaf termasuk hak-hak manusia, sedangkan hadd minum (khamr) termasuk hak-hak Allah Ta‘ala, dan perkara yang berkaitan dengan hak-hak manusia lebih berat (hukumannya).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ لَوْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ عَلَى الْأَرْبَعِينَ تَعْزِيرًا ما جاز أن يساوي حَدًّا فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas pernyataan mereka: “Jika tambahan atas empat puluh itu adalah ta‘zīr, maka tidak boleh menyamai suatu had,” maka jawabannya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَا يُبْلَغُ بالتعزير إِذَا كَانَ سَبَبُهُ وَاحِدًا فَأَمَّا إِذَا كَانَتِ الأسباب مختلفة جاز؛ لأن لكل حُكْمًا وَتَعْزِيرُهُ فِي الْخَمْرِ لِأَسْبَابٍ؛ لِأَنَّهُ إِذَا شَرِبَ سَكِرَ وَإِذَا سَكِرَ هَذَى وَإِذَا هَذَى افترى

Salah satunya adalah bahwa hukuman ta‘zīr tidak boleh mencapai batas maksimal jika sebabnya satu, namun jika sebab-sebabnya berbeda maka diperbolehkan; karena masing-masing memiliki hukum tersendiri. Hukuman ta‘zīr dalam kasus khamr memiliki beberapa sebab; karena jika seseorang meminumnya, ia akan mabuk, jika ia mabuk, ia akan mengigau, dan jika ia mengigau, ia akan berbuat dusta.

والثاني أن هذا تعزير بعقد إِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ عَلَيْهِ فِي الْأَرْبَعِينَ فَصَارَ مَخْصُوصًا من غَيْرِهِ

Yang kedua, bahwa ini adalah bentuk ta‘zīr berdasarkan ijmā‘ para sahabat atas penetapan hukuman empat puluh, sehingga menjadi pengecualian dari selainnya.

ثُمَّ يُقَالُ لِأَبِي حَنِيفَةَ أَلَسْتَ تَقُولُ إِنَّ أَكْثَرَ التَّعْزِيرِ تِسْعَةٌ وَثَلَاثُونَ وَلَا يَجُوزُ إن يبلغ به الأربعين؛ لأنه لا يساوي أقل الحدود فلذلك وجب أَنْ تَكُونَ الْأَرْبَعُونَ حَدًّا

Kemudian dikatakan kepada Abu Hanifah: Bukankah engkau berpendapat bahwa jumlah maksimal ta‘zīr adalah tiga puluh sembilan dan tidak boleh mencapai empat puluh? Karena (jika sampai empat puluh) maka ia akan sama dengan batas minimal hudūd, oleh karena itu wajib bahwa empat puluh itu adalah hudūd.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ ما وصفنا من أن الثمانين في الخمر حَدٌّ وَتَعْزِيرٌ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْقُصَ مِنَ الْأَرْبَعِينَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَزِيدَ عَلَى الثَّمَانِينَ ويجوز أن يقتصر على الأربعين وهو بما زَادَ عَلَيْهَا إِلَى الثَّمَانِينَ مَوْقُوفٌ عَلَى اجْتِهَادِ الإمام فإن رآه عمل به وَإِنْ لَمْ يَرَهُ كَفَّ عَنْهُ

Maka apabila telah tetap seperti yang kami jelaskan bahwa delapan puluh cambukan dalam kasus khamar adalah hudud dan ta‘zir, maka tidak boleh dikurangi dari empat puluh, dan tidak boleh melebihi delapan puluh. Boleh juga hanya menetapkan empat puluh, sedangkan tambahan dari jumlah itu hingga delapan puluh tergantung pada ijtihad imam; jika imam memandang perlu, maka ia melaksanakannya, dan jika tidak, maka ia cukup dengan yang ada.

فَأَمَّا صِفَةُ حَدِّهِ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ حَدَّهُ بِالثِّيَابِ وَالنِّعَالِ وَأَمَرَ بِتَبْكِيتِهِ وَحَثْوِ التُّرَابِ عَلَيْهِ وَرُوِيَ عَنِ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ حَدُّوهُ بِالسِّيَاطِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي حَدِّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بالثياب والنعال هل كان بعذر أو شرع عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun tata cara pelaksanaan hadd-nya, telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau menegakkan hadd dengan (menggunakan) pakaian dan sandal, serta memerintahkan untuk mencelanya dan menaburkan tanah kepadanya. Juga telah diriwayatkan dari para sahabat bahwa mereka menegakkan hadd dengan cambuk. Maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai hadd Nabi ﷺ dengan pakaian dan sandal, apakah itu karena uzur atau memang sebagai syariat; terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ كَانَ لعذر في الشارب مِنْ مَرَضٍ أَوْ لِأَنَّهُ كَانَ نِضْوًا كَمَا حَدَّ مُقْعَدًا بَأَثْكَالِ النَّخْلِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ حد الصحابة بالسياط نصاً في غير المعذور لأنه جنس ما يستوفى بِهِ الْحُدُودُ فَيُحَدُّ بِالسِّيَاطِ وَيَكُونُ حَدُّ الْخَمْرِ مُخَفَّفًا مِنْ وَجْهٍ وَاحِدٍ وَهُوَ مِقْدَارُ الْعَدَدِ دُونَ صِفَةِ الْحَدِّ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu al-‘Abbas Ibn Surayj dan Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa (hukuman) itu karena ada uzur pada orang yang meminum khamr, seperti karena sakit atau karena ia sangat kurus, sebagaimana Nabi menetapkan hukuman bagi orang lumpuh dengan pelepah kurma. Maka menurut pendapat ini, hukuman para sahabat dengan cambuk adalah nash untuk selain orang yang memiliki uzur, karena cambuk adalah jenis alat yang digunakan untuk menegakkan hudud. Maka hukuman dijatuhkan dengan cambuk, dan hukuman khamr menjadi lebih ringan dari satu sisi, yaitu dari segi jumlah (cambukan), bukan dari sifat hukumannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ أَنَّ حَدَّهُ بِالثِّيَابِ وَالنِّعَالِ كَانَ شَرْعًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خَفَّفَ بِهِ حَدَّ الْخَمْرِ كَمَا خَفَّفَهُ فِي الْعَدَدِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عُدُولُ الصَّحَابَةِ عَنْهُ إِلَى السِّيَاطِ عَنِ اجْتِهَادٍ مِنْهُمْ فِيهِ حِينَ تهافتوا فِي الْخَمْرِ وَاسْتَهَانُوا بِحَدِّهِ كَمَا اجْتَهَدُوا فِي زِيَادَةِ الْعَدَدِ إِلَى الثَّمَانِينَ وَيَكُونُ حَدُّ الْخَمْرِ مُخَفَّفًا مِنْ وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur, menyatakan bahwa penetapan hukuman dengan pakaian dan sandal adalah syariat dari Rasulullah ﷺ yang meringankan hukuman had khamr, sebagaimana beliau juga meringankan dalam jumlah cambukan. Maka, menurut pendapat ini, para sahabat beralih dari hukuman tersebut kepada cambukan dengan ijtihad mereka ketika orang-orang mulai berani dan meremehkan had khamr, sebagaimana mereka juga berijtihad dalam menambah jumlah cambukan menjadi delapan puluh. Dengan demikian, had khamr menjadi ringan dari dua sisi.

فِي مِقْدَارِ الْعَدَدِ وَصِفَةِ الْحَدِّ وَيَكُونُ الْعُدُولُ إِلَى السِّيَاطِ اجْتِهَادًا كَمَا كَانَتِ الزِّيَادَةُ إِلَى الثَّمَانِينَ اجْتِهَادًا فَأَمَّا التَّبْكِيتُ وَحَثْوُ التُّرَابِ فَزِيَادَةٌ فِي التَّعْزِيرِ وَلَيْسَ بِشَرْطٍ فِي الْحَدِّ وَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ فِي فِعْلِهِ وَتَرْكِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Dalam hal jumlah, sifat hukuman had, dan penggunaan cambuk merupakan hasil ijtihad, sebagaimana penambahan hingga delapan puluh juga merupakan hasil ijtihad. Adapun celaan dan menaburkan tanah adalah tambahan dalam ta‘zīr dan bukan merupakan syarat dalam had. Hal itu bergantung pada ijtihad imam dalam melakukannya atau meninggalkannya. Allah lebih mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي ” وَإِذَا ضَرَبَ الْإِمَامُ فِي خَمْرٍ أَوْ مَا يسكر من شراب بِنَعْلَيْنِ أَوْ طَرَفِ ثَوْبٍ أَوْ رِدَاءٍ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ ضَرْبًا يُحِيطُ الْعِلْمُ أَنَّهُ لَمْ يُجَاوِزْ أَرْبَعِينَ فَمَاتَ مِنْ ذَلِكَ فَالْحَقُّ قَتَلَهُ

Imam Syafi’i berkata, “Jika imam menjatuhkan hukuman cambuk atas khamar atau minuman memabukkan dengan dua sandal, ujung kain, selendang, atau yang semisalnya, dengan jumlah pukulan yang secara pasti diketahui tidak melebihi empat puluh kali, lalu orang tersebut meninggal karenanya, maka pada hakikatnya imam telah membunuhnya.”

قال الماوردي إِذَا جَلَدَ الْإِمَامُ فِي الْخَمْرِ أَرْبَعِينَ اقْتِصَارًا على الحدود دُونَ التَّعْزِيرِ فَمَاتَ الْمَحْدُودُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Jika imam menjatuhkan hukuman cambuk atas pelaku minum khamar sebanyak empat puluh kali, terbatas pada hudud tanpa tambahan ta‘zīr, lalu orang yang dihukum itu meninggal dunia, maka kasusnya terbagi menjadi dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ ضَرْبُهُ بِالنِّعَالِ وَأَطْرَافِ الثِّيَابِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الْإِمَامِ فِي مَوْتِهِ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمَّا أَمَرَ بِجَلْدِ ابْنِهِ فِي الشَّرَابِ قال له ابنه با أَبَتِي قَتَلْتَنِي فَقَالَ لَهُ الْحَقُّ قَتَلَكَ وَمَعْلُومٌ أن قتل الْحَقِّ غَيْرُ مَضْمُونٍ

Salah satunya adalah jika pukulan itu menggunakan sandal atau ujung-ujung pakaian, maka tidak ada tanggungan (dhamān) atas imam jika orang tersebut meninggal karenanya, berdasarkan riwayat dari ‘Umar bin al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu bahwa ketika ia memerintahkan untuk mencambuk anaknya karena minum khamar, anaknya berkata kepadanya, “Wahai ayahku, engkau telah membunuhku.” Maka ia menjawab, “Kebenaranlah yang telah membunuhmu.” Dan sudah diketahui bahwa pembunuhan karena kebenaran tidak ada tanggungan (dhamān) atasnya.

وَلِأَنَّ حُدُوثَ التَّلَفِ عَنِ الحدود الواجبة هدر لا تضمن كَجَلْدِ الزَّانِي وَحَدِّ الْقَاذِفِ

Dan karena terjadinya kerusakan akibat hudud yang wajib adalah tidak ada tanggungan (tidak ada ganti rugi), seperti cambuk bagi pezina dan hudud bagi penuduh zina.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَحُدَّهُ الْأَرْبَعِينَ بِالسِّيَاطِ فَيَمُوتُ فَفِي ضَمَانِهِ وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي حَدِّهِ بِالنِّعَالِ وَالثِّيَابِ قيل هل كان لعذر أو شرع

Jenis kedua adalah jika ia dihukum had empat puluh kali dengan cambuk lalu meninggal, maka dalam hal jaminannya terdapat dua pendapat, sebagaimana perbedaan dua pendapat dalam hukuman had dengan sandal dan pakaian; dikatakan, apakah itu karena uzur atau syariat.

أَحَدُهُمَا لَا يَضْمَنُ وَتَكُونُ نَفْسُهُ هَدْرًا إِذَا قيل إن حده بالثياب كان شرعا وإن السياط فيه اجْتِهَادٌ فَعَلَى هَذَا فِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ وَجْهَانِ

Salah satunya tidak menanggung (ganti rugi) dan jiwanya dianggap sia-sia jika dikatakan bahwa batasan (hukuman) dengan pakaian adalah secara syariat, sedangkan penggunaan cambuk di dalamnya merupakan hasil ijtihad. Berdasarkan hal ini, dalam hal kadar yang harus ditanggung, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا جَمِيعُ دِيَتِهِ وَلَا يَضْمَنُ بَعْضَهَا؛ لِأَنَّ الْعُدُولَ عَنْ جِنْسِ الْحَدِّ إِلَى غَيْرِهِ يَجْعَلُ الْكُلَّ غَيْرَ مُسْتَحَقٍّ

Salah satunya adalah seluruh diyatnya dan tidak menanggung sebagian darinya; karena berpindah dari jenis hudud kepada selainnya menjadikan semuanya tidak berhak didapatkan.

وَالثَّانِي يَضْمَنُ نِصْفَ دِيَتِهِ لِتَلَفِهِ مِنْ وَاجِبٍ وَمَحْظُورٍ

Dan yang kedua, ia wajib menanggung setengah diyatnya karena kerusakannya berasal dari sesuatu yang wajib dan sesuatu yang terlarang.

مسألة

Masalah

قال الشافعي وإن ضرب أكثر من أربعين بالنعال وغير ذَلِكَ فَمَاتَ فَدِيَتُهُ عَلَى عَاقِلَةِ الْإِمَامِ دُونَ بيت المال لأن عمر أرسل إلى امرأة ففزعت فأجهضت ذا بطنها فاستشار عليا فأشار عليه أن يديه فأمر عمر علياً فقال عمر عزمت عليك لتقسمنها على قومك قال المزني رحمه الله هذا غلط في قوله إذا ضرب أكثر من أربعين فمات فلم يَمُتْ مِنَ الزِّيَادَةِ وَحْدَهَا وَإِنَّمَا مَاتَ مِنَ الْأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا فَكَيْفَ تَكُونُ الدِّيَةُ عَلَى الْإِمَامِ كلها وإنما مات المضروب من مباح وغير مباح ألا ترى أن الشافعي يقول لو ضرب الإمام رجلا في القذف إحدى وثمانين فمات أن فيها قولين أحدهما أن عليه نصف الدية والآخر أن عليه جزءاً من أحد وثمانين جزءاً من الدية قال المزني ألا ترى أنه يقول لو جرح رجلاً جرحاً فخاطه المجروح فمات فإن كان خاطه في لحم حي فعلى الجارح نصف الدية لأنه مات من جرحه والجرح الذي أحدثه في نفسه فكل هذا يدلك إذا مات المضروب من أكثر من أربعين فمات أنه بهما مات فلا تكون الدية كلها على الإمام لأنه لم يقتله بالزيادة وحدها حتى كان معها مباح ألا ترى أنه يقول فيمن جرح مرتداً ثم اسلم ثم جرح جرحاً آخر فمات أن عليه نصف الدية لأنه مات من مباح وغير مباح قال المزني رحمه الله وكذلك إن مات المضروب بأكثر من أربعين من مباح وغير مباح

Syafi’i berkata: Jika seseorang dipukul lebih dari empat puluh kali dengan sandal atau selainnya lalu ia meninggal, maka diyatnya menjadi tanggungan ‘āqilah imam, bukan dari baitul mal. Sebab Umar pernah memanggil seorang wanita hingga ia ketakutan lalu keguguran kandungannya. Umar meminta pendapat Ali, dan Ali menyarankan agar diyat dibebankan. Umar pun memerintahkan Ali, lalu berkata, “Aku bersumpah atasmu, bagilah diyat itu kepada kaummu.” Al-Muzani rahimahullah berkata: Ini keliru dalam ucapannya, jika dipukul lebih dari empat puluh kali lalu meninggal, maka kematiannya bukan semata-mata karena tambahan pukulan itu saja, melainkan karena empat puluh pukulan dan selebihnya. Bagaimana mungkin seluruh diyat dibebankan kepada imam, padahal yang dipukul meninggal karena sebab yang mubah dan yang tidak mubah sekaligus? Tidakkah engkau melihat bahwa Syafi’i berkata: Jika imam memukul seseorang karena menuduh zina sebanyak delapan puluh satu kali lalu ia meninggal, ada dua pendapat: salah satunya, imam menanggung setengah diyat; yang lain, imam menanggung satu bagian dari delapan puluh satu bagian diyat. Al-Muzani berkata: Tidakkah engkau melihat bahwa ia berkata: Jika seseorang melukai orang lain lalu yang terluka menjahit lukanya sendiri, kemudian meninggal, jika jahitan itu pada daging yang masih hidup, maka pelaku luka menanggung setengah diyat, karena kematiannya disebabkan oleh lukanya dan luka yang dibuatnya sendiri. Semua ini menunjukkan bahwa jika seseorang meninggal karena dipukul lebih dari empat puluh kali, maka kematiannya disebabkan oleh keduanya, sehingga diyat tidak seluruhnya dibebankan kepada imam, karena kematiannya bukan hanya karena tambahan pukulan saja, melainkan bersama dengan yang mubah. Tidakkah engkau melihat bahwa ia berkata tentang seseorang yang melukai seorang murtad, lalu murtad itu masuk Islam, kemudian ia terluka lagi dan meninggal, maka pelaku menanggung setengah diyat, karena kematiannya disebabkan oleh sebab yang mubah dan yang tidak mubah. Al-Muzani rahimahullah berkata: Demikian pula jika seseorang meninggal karena dipukul lebih dari empat puluh kali, baik sebab yang mubah maupun yang tidak mubah.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الْإِمَامَ إِذَا جَلَدَ فِي الْخَمْرِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ فَمَاتَ الْمَحْدُودُ لم تخل حَالُهُ فِيهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: Secara keseluruhan, apabila imam menjatuhkan hukuman cambuk dalam kasus khamr (minuman keras) lebih dari empat puluh kali, lalu orang yang dijatuhi had tersebut meninggal dunia, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَسْتَكْمِلَ فِيهِ الْحَدَّ وَالتَّعْزِيرَ فَيَجْلِدُهُ ثَمَانِينَ لَا يَزِيدُ عَلَيْهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْهَا فَيَضْمَنُ نِصْفَ دِيَتِهِ؛ لِأَنَّهُ مات من حد واجب وتعزير مباح يسقط مِنْ دِيَتِهِ النِّصْفُ؛ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ الْحَدِّ الواجب ولزم من ديته النصف؛ لأنه من مُقَابَلَةِ التَّعْزِيرِ الْمُبَاحِ

Salah satunya adalah dengan menyempurnakan dalam hal ini antara hudud dan ta‘zir, yaitu dengan mencambuknya sebanyak delapan puluh kali, tidak lebih dan tidak kurang, maka ia wajib membayar setengah diyatnya; karena ia meninggal akibat hudud yang wajib dan ta‘zir yang diperbolehkan, sehingga setengah diyatnya gugur; karena itu sebagai ganti dari hudud yang wajib, dan setengah diyat tetap wajib; karena itu sebagai ganti dari ta‘zir yang diperbolehkan.

فَإِنْ قِيلَ لِمَ ضَمِنَ مَا قَابَلَ التَّعْزِيرَ مَعَ إِبَاحَتِهِ قِيلَ لِأَنَّ الْمُبَاحَ مِنْهُ مَا لَمْ يُفْضِ إِلَى التَّلَفِ فَإِذَا أَفْضَى إِلَيْهِ صَارَ غَيْرَ مُبَاحٍ فَضَرْبُ الزَّوْجِ امْرَأَتَهُ مُبَاحٌ لَهُ مَا لَمْ يُفْضِ الضَّرْبُ إِلَى تَلَفِهَا فَإِنْ أَتْلَفَهَا ضَمِنَهَا كَذَلِكَ ضَرْبُ التَّعْزِيرِ

Jika ada yang bertanya, “Mengapa seseorang harus menanggung ganti rugi atas sesuatu yang merupakan kebalikan dari ta‘zīr padahal hal itu dibolehkan?” Maka dijawab: Karena yang dibolehkan darinya adalah selama tidak mengakibatkan kerusakan. Jika sampai menyebabkan kerusakan, maka menjadi tidak dibolehkan. Maka memukul istri oleh suami dibolehkan selama pukulan itu tidak menyebabkan kerusakan pada dirinya. Jika sampai membinasakannya, maka ia wajib menanggung ganti rugi. Begitu pula halnya dengan pukulan dalam ta‘zīr.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَسْتَكْمِلَ الْحَدَّ وَبَعْضَ التَّعْزِيرِ فَيَجْلِدُهُ فَوْقَ الْأَرْبَعِينَ وَدُونَ الثَّمَانِينَ فإن جَلَدَهُ خَمْسِينَ فَمَاتَ فَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ مِنْ دِيَتِهِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا يَضْمَنُ نِصْفَ دِيَتِهِ اعتباراً بالنوع لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ وَاجِبٍ وَغَيْرِ وَاجِبٍ وَلَمْ يُعْتَبَرِ الْعَدَدُ كَمَا لَا يُعْتَبَرُ فِي الْجِرَاحِ فَإِنَّ رَجُلًا لَوْ جَرَحَ رَجُلًا جُرْحًا وَجَرَحَهُ الآخر عشراً كان في الدية سواء ولا يقسط على أعداد الْجِرَاحِ اعْتِبَارًا بِعَدَدِ الْجُنَاةِ كَذَلِكَ فِي الضَّرْبِ

Bagian kedua adalah jika hukuman hadd telah dipenuhi dan sebagian ta‘zīr juga dijalankan, maka ia mencambuknya lebih dari empat puluh kali dan kurang dari delapan puluh kali. Jika ia mencambuknya lima puluh kali lalu orang itu meninggal, maka dalam hal berapa besar diyat yang harus ditanggung terdapat dua pendapat: salah satunya adalah ia menanggung setengah dari diyat, dengan pertimbangan jenis hukuman, karena kematiannya disebabkan oleh hukuman yang wajib dan yang tidak wajib, dan jumlah cambukan tidak diperhitungkan, sebagaimana dalam kasus luka-luka; jika seseorang melukai orang lain satu kali dan orang lain melukainya sepuluh kali, maka diyatnya tetap sama dan tidak dibagi berdasarkan jumlah luka, melainkan berdasarkan jumlah pelaku. Demikian pula dalam kasus pemukulan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَضْمَنُ خُمْسَ دِيَتِهِ اعْتِبَارًا بِعَدَدِ الضَّرْبِ لِتَعَلُّقِ الضَّمَانِ بِعَشَرَةٍ مِنْ خَمْسِينَ لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَدَدِ تَأْثِيرًا فِي تَلَفِهِ والضرب متشابه فسقطت الدِّيَةُ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ تَتَقَسَّطْ عَلَى عَدَدِ الجراح؛ لأن للجراح موراً في اللحم يختلف ولا يتشابه ولذلك ما جَازَ أَنْ يَمُوتَ مِنْ جِرَاحِة وَيَعِيشَ مِنْ عشرة وليس للضرب موراً في اللحم فصار متشابها وامتنع أن يموت من سوط ويعيش من عشرة فافترق لذلك ضمان الضرب وضمان الجراح فَعَلَى هَذَا لَوْ ضَرَبَهُ سِتِّينَ فَمَاتَ ضَمِنَ نِصْفَ دِيَتِهِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ إِذَا قِيلَ بِاعْتِبَارِ النَّوْعِ وَضَمِنَ ثُلُثَ دِيَتِهِ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي إِذَا قِيلَ بِاعْتِبَارِ الْعَدَدِ وَعَلَى هَذَا القياس في السبعين إذا مات الثمانين ضَمِنَ نِصْفِ دِيَتِهِ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ وَثَلَاثَةَ أسباعها على القول الثاني أما إِذَا مَاتَ مِنَ الثَّمَانِينَ فَيَضْمَنُ نِصْفَ دِيَتِهِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا لِأَنَّهُ قَدْ تَسَاوَى فِيهِ ضمان النوع وضمان العدد

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia wajib membayar seperlima diyatnya, dengan mempertimbangkan jumlah pukulan, karena tanggungan diyat berkaitan dengan sepuluh dari lima puluh, sebab masing-masing dari jumlah tersebut memiliki pengaruh dalam menyebabkan kematian. Pukulan-pukulan itu serupa, sehingga diyat dibebankan kepadanya, meskipun tidak dibagi berdasarkan jumlah luka, karena luka memiliki pengaruh pada daging yang berbeda-beda dan tidak serupa. Oleh karena itu, bisa saja seseorang meninggal karena satu luka, namun tetap hidup meskipun mendapat sepuluh luka. Sedangkan pukulan tidak memiliki pengaruh pada daging, sehingga menjadi serupa, dan tidak mungkin seseorang meninggal karena satu cambukan namun tetap hidup setelah sepuluh cambukan. Oleh sebab itu, berbeda antara tanggungan atas pukulan dan tanggungan atas luka. Berdasarkan hal ini, jika seseorang memukul orang lain sebanyak enam puluh kali lalu orang itu meninggal, maka ia wajib membayar setengah diyat menurut salah satu pendapat jika didasarkan pada jenisnya, dan wajib membayar sepertiga diyat menurut pendapat kedua jika didasarkan pada jumlahnya. Demikian pula qiyās pada tujuh puluh pukulan; jika meninggal setelah delapan puluh pukulan, maka ia wajib membayar setengah diyat menurut pendapat pertama dan tiga per tujuh diyat menurut pendapat kedua. Adapun jika meninggal setelah delapan puluh pukulan, maka ia wajib membayar setengah diyat menurut kedua pendapat, karena dalam hal ini tanggungan berdasarkan jenis dan berdasarkan jumlah menjadi sama.

القسم الثالث أن يزيد في جلده على الاستكمال للحد وَالتَّعْزِيرِ فَيَجْلِدُهُ تِسْعِينَ فَيَمُوتُ فَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ مِنْ دِيَتِهِ قَوْلَانِ

Bagian ketiga adalah menambah jumlah cambukan setelah sempurnanya hukuman had dan ta‘zir, lalu ia mencambuknya sebanyak sembilan puluh kali sehingga orang itu meninggal. Maka dalam hal berapa kadar diyat yang harus ia tanggung, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَضْمَنُ نِصْفَ دِيَتِهِ اعْتِبَارًا بِعَدَدِ النَّوْعِ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ وَاجِبٍ وَغَيْرِ وَاجِبٍ وَلَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ بَيْنَ ما أبيح من ضَرْبِ التَّعْزِيرِ وَمَا لَمْ يبح مِنَ الزِّيَادَةِ عليه

Salah satu dari keduanya menanggung setengah diyatnya berdasarkan jumlah jenisnya; karena ia meninggal akibat sebab yang wajib dan yang tidak wajib, dan tidak ada perbedaan antara pukulan ta‘zīr yang dibolehkan dan tambahan di atasnya yang tidak dibolehkan.

القول الثَّانِي أنَّهُ يَضْمَنُ خَمْسَةَ أَتْسَاعِ دِيَتِهِ اعْتِبَارًا بعدد الضرب ثم على هذا المصير فِي الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ وَلَا يَضْمَنُ فِي الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ جَمِيعَ دِيَتِهِ عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia wajib menanggung lima per sembilan dari diyatnya, dengan mempertimbangkan jumlah pukulan, kemudian berdasarkan pendapat ini dalam hal penambahan dan pengurangan, dan ia tidak wajib menanggung seluruh diyatnya pada tiga bagian menurut kedua pendapat tersebut.

فَأَمَّا الْمُزَنِيُّ فَإِنَّهُ لَمَّا قَالَ الشَّافِعِيُّ فَدِيَتُهُ عَلَى عَاقِلَةِ الْإِمَامِ تَوَهَّمَ أَنَّهُ أَرَادَ جَمِيعَ الدِّيَةِ فَقَالَ لَمْ يَمُتْ مِنَ الزِّيَادَةِ وَحْدَهَا وَإِنَّمَا مَاتَ مِنَ الْأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا فَكَيْفَ تَكُونُ الدِّيَةُ على الإمام كلها

Adapun al-Muzani, ketika asy-Syafi‘i berkata, “Diatnya ditanggung oleh ‘āqilah imam,” ia mengira bahwa yang dimaksud adalah seluruh diyat. Maka ia berkata, “Ia (korban) tidak mati hanya karena tambahan itu saja, melainkan ia mati karena (hukuman) empat puluh cambukan dan selainnya. Maka bagaimana mungkin seluruh diyat menjadi tanggungan imam?”

فصل

Bab

وَهَذَا مِنَ الْمُزَنِيِّ صَحِيحٌ فِي الْحُكْمِ وَخَطَأٌ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي التَّأْوِيلِ لِأَنَّهُ لَمْ يُرِدْ جميع الدية إنما أراد القدر الذي يوفي وَأَطْلَقَهُ اكْتِفَاءً بِمَا أَوْضَحَهُ مِنْ مَذْهَبِهِ وَقَدَّمَهُ مِنْ أُصُولِهِ وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ الشَّافِعِيُّ أَرَادَ جَمِيعَ الدِّيَةِ إِذَا عَدَلَ عَنْ ضَرْبِهِ بِالثِّيَابِ إِلَى السِّيَاطِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِهِ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ

Pendapat al-Muzani ini benar dalam hal hukum, namun keliru dalam menafsirkan pendapat asy-Syafi‘i, karena asy-Syafi‘i tidak bermaksud seluruh diyat, melainkan hanya kadar yang mencukupi, dan ia mengungkapkannya secara umum karena sudah cukup jelas dengan apa yang telah ia terangkan dari mazhabnya dan ia dahulukan dari ushulnya. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata, mungkin saja asy-Syafi‘i memang bermaksud seluruh diyat jika ia berpindah dari hukuman dengan kain ke cambuk dalam salah satu dari dua pendapat, dan inilah yang tampak dari mazhabnya sebagaimana yang ia isyaratkan dalam kitab al-Umm.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ قَدْرِ الْمَضْمُونِ مِنَ الدِّيَةِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الزِّيَادَةِ الَّتِي تَعَلَّقَ الضَّمَانُ بِهَا من ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan mengenai kadar yang dijamin dari diyat, maka keadaan tambahan yang berkaitan dengan tanggungan itu tidak lepas dari tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ قَدْ أَمَرَ بِهَا فَيَكُونُ الضَّمَانُ عَلَى الْإِمَامِ دُونَ الْجَلَّادِ وأين يكون ضمانه على قولين أحدهما يكون ضمانه على عاقلته؛ لأنه من خطئه قد أمر عمر علياً رضي الله عنهما في التي أجهضت بإرهابها جنينها أن يقسم دِيَةَ جَنِينِهَا عَلَى قَوْمِهِ مِنْ قُرَيْشٍ؛ لِأَنَّهُمْ عَاقِلَةُ عُمَرَ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ؛ لِأَنَّ الْعَاقِلَةَ لَا تَحْمِلُ الْكَفَّارَةَ وَإِنْ حملت الدية

Salah satunya adalah apabila imam telah memerintahkannya, maka tanggungan (ganti rugi) menjadi kewajiban imam, bukan algojo. Dan di mana letak tanggungannya terdapat dua pendapat: salah satunya, tanggungannya dibebankan kepada ‘āqilah-nya, karena itu merupakan kesalahannya. Umar pernah memerintahkan Ali radhiyallahu ‘anhuma dalam kasus wanita yang menyebabkan keguguran janinnya karena menakut-nakutinya, agar membagikan diyat janinnya kepada kaumnya dari Quraisy, karena mereka adalah ‘āqilah Umar. Berdasarkan hal ini, kafārah menjadi kewajiban dari hartanya sendiri, karena ‘āqilah tidak menanggung kafārah meskipun mereka menanggung diyat.

القول الثَّانِي أَنَّ مَا لَزِمَهُ مِنَ الدِّيَةِ يَكُونُ فِي بَيْتِ الْمَالِ؛ لِأَنَّهُ نَائِبٌ عَنْ كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ ضَمَانُهُ فِي بَيْتِ مَالِهِمْ كَالْوَكِيلِ الَّذِي يُضْمَنُ مَا فَعَلَهُ عَنْ مُوَكِّلِهِ فِي مَالِ مُوَكِّلِهِ وَإِنَّمَا ضَمِنَ عُمَرُ جَنِينَ الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهِ؛ لِأَنَّهُ أَرْهَبَهَا فِي تُهْمَةٍ لَمْ تَتَحَقَّقْ عِنْدَهُ فَعَدَلَ بِالضَّمَانِ لِأَجْلِ ذَلِكَ عَنْ بَيْتِ الْمَالِ إِلَى عَاقِلَتِهِ فَعَلَى هَذَا فِي الْكَفَّارَةِ وَجْهَانِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa kewajiban membayar diyat yang dibebankan kepadanya ditanggung oleh Baitul Mal, karena ia adalah wakil dari seluruh kaum Muslimin. Maka, sudah sepatutnya penjaminannya berasal dari harta mereka, sebagaimana seorang wakil yang perbuatannya dijamin dari harta orang yang diwakilinya. Adapun Umar menanggung diyat janin perempuan atas ‘āqilah-nya karena ia telah menakut-nakuti perempuan itu dalam suatu tuduhan yang belum terbukti kebenarannya di sisinya, sehingga ia memindahkan penjaminan dari Baitul Mal kepada ‘āqilah-nya karena alasan tersebut. Berdasarkan hal ini, dalam masalah kafarat terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا فِي بَيْتِ المال تعليلا بما ذكرنا

Salah satunya berada di Baitul Mal dengan alasan sebagaimana yang telah kami sebutkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي فِي مَالِهِ؛ لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ لَا تحتمل وَكَذَلِكَ إِذَا تَحَمَّلَتِ الْعَاقِلَةُ الدِّيَةَ لَمْ تَتَحَمَّلِ الْكَفَّارَةَ وَقَدْ حَكَى ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا فِي ضَمَانِ الْإِمَامِ وَجْهًا ثَالِثًا أنه يضمن فِيمَا يَعُودُ نَفْعُهُ عَلَى الْمَضْمُونِ كَتَعْزِيرِ مَنْ عَزَّرَ نَفْسَهُ أَوْ قَدَحَ فِي عِرْضِهِ فَدِيَتُهُ عَلَى عَاقِلَةِ الْإِمَامِ دُونَ بَيْتِ الْمَالِ

Pendapat kedua adalah dari hartanya; karena kafārah tidak dapat ditanggung, demikian pula jika ‘āqilah menanggung diyat maka mereka tidak menanggung kafārah. Ibnu Abī Hurairah meriwayatkan dari sebagian ulama kami mengenai tanggungan imam, ada pendapat ketiga bahwa imam menanggung dalam hal-hal yang manfaatnya kembali kepada yang ditanggung, seperti ta‘zīr terhadap orang yang men-ta‘zīr dirinya sendiri atau mencela kehormatannya, maka diyatnya ditanggung oleh ‘āqilah imam, bukan oleh Baitul Māl.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مِنْ فِعْلِ الْجَلَّادِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Bagian kedua adalah apabila tambahan itu berasal dari perbuatan algojo, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ قَدْ فَوَّضَهُ إِلَى رَأْيِهِ وَوَكَّلَهُ إِلَى اجْتِهَادِهِ فَيَكُونُ خَطَؤُهُ فِيهِ كَخَطَأِ الْإِمَامِ فَيَكُونُ فِيمَا يَلْزَمُهُ مِنَ الدِّيَةِ قَوْلَانِ

Salah satunya adalah apabila imam telah menyerahkan perkara itu kepada pendapatnya dan mempercayakannya kepada ijtihadnya, maka kesalahannya dalam hal itu seperti kesalahan imam. Maka dalam hal kewajiban membayar diyat, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا عَلَى عَاقِلَتِهِ

Salah satunya adalah atas ‘āqilah-nya.

وَالثَّانِي فِي بَيْتِ الْمَالِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِالتَّفْوِيضِ فِي حُكْمِ الْإِمَامِ

Dan yang kedua berada di Baitul Mal karena dengan pendelegasian itu, ia telah berada dalam kewenangan imam.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يكون الإمام قد أمره بالحد وحدده فَزَادَ الْجَلَّادُ عَلَيْهِ فَيَضْمَنُهُ الْجَلَّادُ عَلَى عَاقِلَتِهِ قَوْلًا وَاحِدًا لِحُدُوثِهَا عَنْ تَعَدِّيهِ

Jenis yang kedua adalah apabila imam telah memerintahkan pelaksanaan hudud dan telah menentukan jumlahnya, lalu algojo menambahkannya, maka algojo wajib menanggungnya atas tanggungan ‘āqilah-nya menurut satu pendapat, karena hal itu terjadi akibat pelanggarannya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ الزِّيَادَةُ مشتركة بين الإمام والجلاد كأن أمره بأن يَحُدَّهُ ثَمَانِينَ فَحَدَّهُ مِائَةً فَمَاتَ فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الضَّمَانَ مُقَسَّطٌ عَلَى أَعْدَادِ الضَّرْبِ ضَمِنَ الإمام خمس الدِّيَةِ؛ لِأَنَّ ضَمَانَ الْإِمَامِ تَعَلَّقَ بِأَرْبَعِينَ مِنْ جُمْلَةِ مِائَةٍ وَضَمِنَ الْجَلَّادُ خُمُسَ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّ ضمانه بعشرين من مائة فإن قِيلَ إِنَّ الضَّمَانَ مُقَسَّطٌ عَلَى النَّوْعِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي زِيَادَةِ الْإِمَامِ وَالْجَلَّادِ هَلْ تَتَنَوَّعُ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Bagian ketiga adalah apabila penambahan (hukuman) itu dilakukan bersama-sama oleh imam dan algojo, seperti ketika imam memerintahkan untuk mencambuknya delapan puluh kali, lalu algojo mencambuknya seratus kali hingga ia meninggal. Jika dikatakan bahwa tanggungan (diyat) dibagi berdasarkan jumlah pukulan, maka imam menanggung seperlima diyat, karena tanggungan imam terkait dengan empat puluh dari seratus pukulan, dan algojo menanggung seperlima diyat juga, karena tanggungannya atas dua puluh dari seratus pukulan. Jika dikatakan bahwa tanggungan dibagi berdasarkan jenis (perbuatan), maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai tambahan yang dilakukan oleh imam dan algojo, apakah itu dianggap sebagai jenis yang berbeda atau tidak, dan terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا تَتَنَوَّعُ فَيَكُونُ الْحَدُّ نَوْعًا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ ضَمَانٌ وَزِيَادَةُ الْإِمَامِ نَوْعًا يَتَعَلَّقُ بِهِ الضَّمَانُ وَزِيَادَةُ الجلاد نوعاً يتعلق به الضمان فتسقط ثُلُثَ الدِّيَةِ وَيَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ ثُلُثُهَا وَعَلَى الْجَلَّادِ ثُلُثُهَا لِاخْتِلَافِ الْإِمَامِ وَالْجَلَّادِ

Salah satunya adalah bahwa hukuman hudud itu beragam: ada jenis yang tidak berkaitan dengan tanggung jawab ganti rugi (dhamān), ada jenis penambahan oleh imam yang berkaitan dengan tanggung jawab ganti rugi, dan ada jenis penambahan oleh algojo yang juga berkaitan dengan tanggung jawab ganti rugi. Maka gugurlah sepertiga diyat, dan wajib atas imam sepertiganya, serta atas algojo sepertiganya, karena perbedaan antara imam dan algojo.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لا تتنوع الزيادة وإن اختلف فاعلها لِتَسَاوِيهَا فِي تَعَلُّقِ الضَّمَانِ بِهَا فَتُسْقِطُ نِصْفُ الدية ويضمن الإمام ربعها والجلاد ربعها والله أعلم

Pendapat kedua menyatakan bahwa tambahan (hukuman) tidak beragam meskipun pelakunya berbeda, karena semuanya sama dalam hal keterkaitan tanggungan (dhamān) padanya. Maka, setengah diyat gugur, imam menanggung seperempatnya, dan algojo menanggung seperempatnya. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ ضَرَبَ امْرَأَةً حَدًّا فَأُجْهِضَتْ لَمْ يَضْمَنْهَا وَضَمِنَ مَا فِي بَطْنِهَا لِأَنَّهُ قَتَلَهُ

Syafi‘i berkata, “Jika seseorang menjatuhkan hukuman had kepada seorang wanita lalu ia mengalami keguguran, maka ia tidak wajib menanggung (diyat) atas wanita tersebut, tetapi ia wajib menanggung (diyat) atas janin yang ada dalam kandungannya, karena ia telah membunuhnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا وَجَبَ الْحَدُّ عَلَى حَامِلٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ تُحَدَّ حَتَّى تَضَعَ حَمْلَهَا وَيَسْكُنَ أَلَمُ نِفَاسِهَا؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِلْغَامِدِيَّةِ حِينَ أَقَرَّتْ عِنْدَهُ بِالزِّنَا وَكَانَتْ حَامِلًا ” اذْهَبِي حَتَّى تَضَعِي حَمْلَكِ ؛ وَلِأَنَّهُ إِذَا حَدَّهَا فِي حَالِ الْحَمْلِ أَفْضَى إِلَى تَلَفِهَا وَإِجْهَاضِ حَمْلِهَا وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ مَحْظُورٌ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, yaitu apabila had wajib dijatuhkan kepada seorang wanita hamil, maka tidak boleh dilaksanakan had tersebut sampai ia melahirkan kandungannya dan rasa sakit nifasnya reda; karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita Ghamidiyah ketika ia mengakui perbuatan zina di hadapan beliau dan ia sedang hamil: ‘Pergilah sampai engkau melahirkan kandunganmu’; dan karena jika had dilaksanakan saat ia hamil, hal itu dapat menyebabkan kematiannya dan keguguran kandungannya, dan kedua hal tersebut terlarang.”

وَالْإِجْهَاضُ أَنْ تلقى جنينها مَيْتًا فَإِنْ أَلْقَتْهُ حَيًّا لَمْ يُسَمَّ إِجْهَاضًا فَإِنْ حَدَّهَا فِي حَمْلِهَا فَلَهَا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ

Ijhāḍ adalah ketika seorang wanita menggugurkan janinnya dalam keadaan mati. Jika ia melahirkan janinnya dalam keadaan hidup, maka itu tidak disebut ijhāḍ. Jika ia dijatuhi had saat sedang hamil, maka ada empat keadaan baginya.

أحدها أَنْ تَبْقَى عَلَى حَالِ السَّلَامَةِ فِي نَفْسِهَا وَحَمْلِهَا فَلَا شَيْءَ عَلَى الْإِمَامِ فِي حَدِّهَا وهو مسيء إن علم بحملها وغيره مسيئ إن لم يعلم

Pertama, jika perempuan tersebut tetap dalam keadaan selamat, baik dirinya maupun kandungannya, maka tidak ada kewajiban apa pun atas imam dalam pelaksanaan hudud terhadapnya. Namun, ia dianggap berbuat buruk jika mengetahui bahwa perempuan itu sedang hamil, dan selainnya juga dianggap berbuat buruk jika tidak mengetahui.

والحال الثانية أن يجهض مَا فِي بَطْنِهَا وَتَسْلَمَ مِنَ التَّلَفِ فَيَضْمَنُ جنينها بغرة عبداً أَوْ أَمَةٍ لِأَنَّ عُمَرَ ضَمِنَ جَنِينَ الْمَرْأَةِ الَّتِي أَرْهَبَهَا فَإِنْ عَلِمَ بِحَمْلِهَا ضَمِنَ جَنِينَهَا فِي مَالِهِ لِأَنَّهُ مِنْ عَمْدِهِ وَإِنْ لَمْ يعمل بِحَمْلِهَا فَهُوَ مِنْ خَطَئِهِ وَفِي دِيَةِ جَنِينِهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا عَلَى عَاقِلَتِهِ

Keadaan kedua adalah apabila kandungan wanita tersebut gugur dan ia sendiri selamat dari bahaya, maka ia wajib menanggung ganti rugi janinnya dengan membayar diyat berupa seorang budak laki-laki atau perempuan. Hal ini karena Umar pernah menetapkan ganti rugi atas janin seorang wanita yang ditakut-takuti olehnya. Jika ia mengetahui bahwa wanita itu sedang hamil, maka ia wajib menanggung ganti rugi janinnya dari hartanya sendiri karena perbuatannya disengaja. Namun, jika ia tidak mengetahui kehamilannya, maka itu termasuk kesalahan (tidak sengaja). Dalam hal diyat janinnya terdapat dua pendapat; salah satunya adalah diyat tersebut dibebankan kepada ‘āqilah-nya.

وَالثَّانِي فِي بَيْتِ الْمَالِ

Dan yang kedua berada di Baitul Mal.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ تَمُوتَ مِنْ غَيْرِ إِجْهَاضٍ فَيُنْظَرُ فِي سَبَبِ مَوْتِهَا فَإِنْ كَانَ من إقامة الحد عليها لَوْ لَمْ تَكُنْ حَامِلًا لَمْ يَضْمَنْهَا وَإِنْ كان من الحمل الذي يتلف به الحدود ضَمِنَ دِيَتَهَا كَمَا يَضْمَنُهَا إِذَا جَلَدَهَا فِي شِدَّةِ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ ثُمَّ إِنْ عَلِمَ بِحَمْلِهَا فَدِيَتُهَا عَلَى عَاقِلَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ فَعَلَى قَوْلَيْنِ

Keadaan ketiga adalah jika ia meninggal tanpa keguguran, maka dilihat sebab kematiannya. Jika kematiannya disebabkan oleh pelaksanaan hudud atas dirinya, dan seandainya ia tidak hamil pun tetap akan dilaksanakan, maka tidak ada tanggungan diyat atasnya. Namun jika kematiannya disebabkan oleh kehamilan yang dapat membatalkan pelaksanaan hudud, maka wajib membayar diyatnya, sebagaimana wajib membayar diyat jika ia dicambuk pada saat cuaca sangat panas atau sangat dingin. Kemudian, jika diketahui bahwa ia sedang hamil, maka diyatnya menjadi tanggungan ‘āqilah pelaku. Jika tidak diketahui, maka ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا عَلَى عَاقِلَتِهِ

Salah satunya menjadi tanggungan ‘āqilah-nya.

وَالثَّانِي فِي بيت المال

Dan yang kedua berada di Baitul Mal.

والحال الرابعة أن يجهض جنينها وتموت فيضمن دية جنينها فأما دية نفسها فمعتبر بسبب موتها فإنه لا يخلو من ثلاث أَحْوَالٍ

Keadaan keempat adalah ketika ia mengalami keguguran janinnya lalu ia pun meninggal, maka wajib membayar diyat janinnya. Adapun diyat untuk dirinya sendiri, maka ditetapkan berdasarkan sebab kematiannya, karena tidak lepas dari tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ لِأَجْلِ الْحَدِّ فَلَا يَضْمَنُ دِيَتَهَا؛ لِحُدُوثِ تَلَفِهَا عَنْ وَاجِبٍ عَلَيْهَا

Salah satunya adalah jika karena hudud, maka tidak wajib membayar diyatnya; karena kerusakannya terjadi akibat kewajiban yang harus dijalankan atasnya.

الحال الثانية أن يكون مِنْ إِجْهَاضِهَا فَيَضْمَنُ دِيَتَهَا؛ لِأَنَّهُ مِنْ عُدْوَانٍ عليها

Keadaan kedua adalah jika janin tersebut digugurkan, maka pelakunya wajib membayar diyatnya; karena hal itu merupakan tindakan agresi terhadapnya.

الحال الثَّالِثَةُ أَنْ يَكُونَ مَوْتُهَا مِنَ الْحَدِّ وَالْإِجْهَاضِ مَعًا فَيَضْمَنُ نِصْفَ دِيَتِهَا لِحُدُوثِ التَّلَفِ عَنْ سَبَبَيْنِ

Keadaan ketiga adalah apabila kematiannya disebabkan oleh had dan keguguran sekaligus, maka wajib membayar setengah diyatnya karena kerusakan terjadi akibat dua sebab.

أَحَدُهُمَا وَاجِبٌ وَالْآخَرُ عُدْوَانٌ

Salah satunya adalah wajib, sedangkan yang lainnya adalah tindakan melampaui batas.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا ذُكِرَتِ امْرَأَةٌ عِنْدَ الْإِمَامِ بِسُوءٍ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فأرهبها فأجهضت ذا بطنها فمن دِيَةِ جَنِينِهَا وَلَوْ مَاتَتْ هِيَ لَمْ يَضْمَنْهَا لِأَنَّ الْإِرْهَابَ مُؤَثِّرٌ فِي إِجْهَاضِهَا وَغَيْرُ مُؤَثِّرٍ فِي تَلَفِهَا وَلَوْ أَرْهَبَهَا الرَّسُولُ بِغَيْرِ أَمْرِ الْإِمَامِ كَانَ الرَّسُولُ ضَامِنًا دُونَ الْإِمَامِ

Apabila seorang perempuan disebutkan keburukannya di hadapan imam, lalu imam mengutus seseorang kepadanya dan orang itu menakut-nakutinya sehingga ia mengalami keguguran janin yang dikandungnya, maka wajib membayar diyat janinnya. Namun, jika perempuan itu sendiri meninggal, maka tidak ada tanggungan diyat atas imam, karena tindakan menakut-nakuti berpengaruh pada keguguran janin, tetapi tidak berpengaruh pada kematian ibunya. Jika yang menakut-nakuti itu adalah utusan tanpa perintah imam, maka utusan tersebutlah yang menanggung diyat, bukan imam.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ حَدَّهُ بِشَهَادَةِ عَبْدَيْنِ أَوْ غَيْرِ عَدْلَيْنِ فِي أَنْفُسِهِمَا فَمَاتَ ضَمِنَتْهُ عَاقِلَتُهُ لِأَنَّ كُلَّ هَذَا خَطَأٌ مِنْهُ فِي الْحُكْمِ وَلَيْسَ عَلَى الجاني شَيْءٌ

Syafi‘i berkata, “Jika ia menjatuhkan had berdasarkan kesaksian dua budak atau selain dua orang yang adil pada dirinya, lalu orang yang dijatuhi had itu meninggal, maka diyatnya menjadi tanggungan ‘āqilah-nya, karena semua ini merupakan kesalahan dalam putusan hukum, dan tidak ada tanggungan apa pun atas pelaku kejahatan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أَقَامَ الْإِمَامُ حَدًّا بِشَهَادَةِ عَبْدَيْنِ أَوْ فَاسِقَيْنِ أَوْ كَافِرَيْنِ فَمَاتَ الْمَحْدُودُ ضَمِنَ الْإِمَامُ دِيَتَهُ دُونَ الشُّهُودِ وَلَوْ شَهِدَ عَدْلَانِ بِزُورٍ ضَمِنَ الشَّاهِدَانِ دِيَتَهُ دُونَ الْإِمَامِ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, yaitu apabila imam menegakkan hudud berdasarkan kesaksian dua budak, atau dua fasik, atau dua kafir, lalu orang yang dikenai hudud itu meninggal, maka imam wajib menanggung diyat-nya, bukan para saksi. Namun, jika dua orang adil bersaksi palsu, maka kedua saksi itulah yang wajib menanggung diyat-nya, bukan imam. Perbedaan antara keduanya ada pada dua sisi.”

أَحَدُهُمَا أَنَّ كَشْفَ الْعَدَالَةِ عَلَى الْإِمَامِ دُونَ الشُّهُودِ فَصَارَ الْإِمَامُ ضَامِنًا لِتَقْصِيرِهِ وَالصِّدْقُ فِي الشَّهَادَةِ عَلَى الشُّهُودِ دُونَ الْإِمَامِ فَضَمِنَ الشُّهُودَ لِكَذِبِهِمْ

Salah satunya adalah bahwa penyingkapan keadilan berada pada imam, bukan pada para saksi, sehingga imam menjadi penanggung jawab atas kelalaiannya; sedangkan kebenaran dalam kesaksian berada pada para saksi, bukan pada imam, sehingga para saksi bertanggung jawab atas kebohongan mereka.

وَالثَّانِي أَنَّ غَيْرَ الْعَدْلِ لَيْسَ بِمُعْتَرِفٍ بِالتَّعَدِّي فَلَمْ يَضْمَنْ وَشَاهِدَ الزُّورِ مُعْتَرِفٌ بِالتَّعَدِّي فضمن فأما الجالد فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ سَوَاءٌ عَلِمَ بِرِقِّ الشَّاهِدَيْنِ أَوْ فِسْقِهِمَا أَوْ لَمْ يَعْلَمْ؛ لِأَنَّهُ مَأْمُورٌ بحكم الإمام والإمام آمره

Yang kedua, bahwa selain orang yang adil tidak mengakui adanya pelanggaran, maka ia tidak menanggung ganti rugi. Sedangkan saksi palsu mengakui adanya pelanggaran, maka ia menanggung ganti rugi. Adapun pelaksana cambuk, maka tidak ada tanggungan ganti rugi atasnya, baik ia mengetahui status budak kedua saksi atau kefasikan mereka, maupun tidak mengetahuinya; karena ia melaksanakan perintah imam, dan imamlah yang memerintahkannya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ولو قال الإمام للجالد إنما أضرب هذا ظلما ضمن الجالد والإمام مَعًا

Syafi‘i berkata, “Jika imam berkata kepada algojo, ‘Aku memerintahkanmu untuk mencambuk orang ini secara zalim,’ maka algojo dan imam sama-sama bertanggung jawab.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ قَدِ اسْتُوفِيَتْ في كتاب الجنايات فإذا أمر الإمام بِضَرْبِ رَجُلٍ أَوْ بِقَتْلِهِ ظُلْمًا فَعَلَى ثَلَاثَةِ أقسام

Al-Mawardi berkata: “Masalah ini telah dibahas secara tuntas dalam kitab al-jinayat. Jika imam memerintahkan untuk memukul atau membunuh seseorang secara zalim, maka hal itu terbagi menjadi tiga bagian.”

أحدها ألا يعلم الجلاد بظلم الإمام أو يعتقد فِيهِ أَنَّهُ بِحَقٍّ لِأَنَّ الْإِمَامَ الْعَادِلَ لَا يُقْدِمُ عَلَى الْقَتْلِ إِلَّا بِحَقٍّ فَالضَّمَانُ عَلَى الْإِمَامِ دُونَ الْجَلَّادِ لِأَنَّهُ مُلْتَزِمٌ لِلطَّاعَةِ فَقَامَ أَمْرُهُ مَقَامَ فِعْلِهِ لِنُفُوذِهِ

Pertama, jika algojo tidak mengetahui adanya kezaliman dari imam atau meyakini bahwa hal itu memang benar, karena imam yang adil tidak akan melakukan pembunuhan kecuali dengan alasan yang benar, maka tanggung jawab (dhamān) ada pada imam, bukan pada algojo. Sebab, algojo terikat untuk taat, sehingga perintah imam dianggap seperti perbuatannya sendiri karena perintah tersebut berlaku.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَعْلَمَ الْجَلَّادُ بِظُلْمِ الْإِمَامِ إِمَّا بِأَنْ يَقُولَ له الإمام أن اضرب هذا ظلماً بغير حد أَوْ يَعْلَمَ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ الْإِمَامِ وَلَا يكون من الإمام إكراه للجلاد فالضمان هنا عَلَى الْجَلَّادِ دُونَ الْإِمَامِ فِي الْقَوَدِ وَالدِّيَةِ لأنه مختار

Bagian kedua adalah ketika algojo mengetahui adanya kezaliman dari imam, baik karena imam berkata kepadanya, “Pukullah orang ini secara zalim tanpa ada hudud,” atau ia mengetahuinya bukan dari imam, dan tidak ada paksaan dari imam kepada algojo. Maka dalam hal ini, tanggung jawab (dalam hal qishāsh dan diyat) ada pada algojo, bukan pada imam, karena ia melakukannya atas pilihannya sendiri.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَعْلَمَ الْجَلَّادُ بِظُلْمِ الْإِمَامِ والإمام مكره له عليه فلا قود على الإمام إلا من وَاجِبٌ وَفِي وُجُوبِهِ عَلَى الْجَلَّادِ الْمُبَاشِرِ قَوْلَانِ فَإِنْ سَقَطَ الْقَوَدُ فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ لَوْ وجب كان عليه مع سقوط القود عنهما

Bagian ketiga adalah ketika algojo mengetahui adanya kezaliman dari imam, dan imam dipaksa untuk melakukannya, maka tidak ada qishash atas imam kecuali dari yang wajib. Terkait kewajiban qishash atas algojo yang langsung melaksanakan, terdapat dua pendapat. Jika qishash gugur, maka jika dikatakan bahwa seandainya qishash itu wajib, maka itu menjadi kewajiban atasnya meskipun qishash telah gugur dari keduanya.

وإن قيل لَوْ وَجَبَ كَانَ عَلَى الْإِمَامِ دُونَ الْجَلَّادِ فَفِي الدِّيَةِ وَجْهَانِ

Jika dikatakan, “Seandainya itu wajib, maka kewajiban tersebut ada pada imam, bukan pada algojo,” maka dalam hal diyat terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا عَلَى الْإِمَامِ وَحْدَهُ اعتباراً بالقود

Salah satunya menjadi wewenang imam saja, sebagaimana dalam kasus qisas.

والوجه الثاني أنها عليهما نصفين وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عَنِ الْجَلَّادِ بِأَيِّ عِلَّةٍ سَقَطَ فَعَلَى تعليل البغداديين أن سقوط القود لشبهة الْإِكْرَاهِ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الدِّيَةُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَعَلَى تَعْلِيلِ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّ سُقُوطَ الْقَوَدِ لِأَنَّ الْإِكْرَاهَ نَقْلُ حُكْمِ الْفِعْلِ إِلَى الْمُكْرَهِ فَعَلَى هَذَا تَكُونُ الدِّيَةُ كُلُّهَا عَلَى الْإِمَامِ

Adapun pendapat kedua adalah bahwa diyat dibagi dua antara keduanya. Kedua pendapat ini merupakan perbedaan di antara para ulama mazhab kami mengenai sebab gugurnya qisas dari algojo. Menurut penjelasan ulama Baghdad, gugurnya qisas disebabkan adanya syubhat (keraguan) karena paksaan, sehingga dalam hal ini diyat dibagi dua antara keduanya. Sedangkan menurut penjelasan ulama Basrah, gugurnya qisas karena paksaan memindahkan hukum perbuatan kepada orang yang dipaksa, sehingga dalam hal ini seluruh diyat menjadi tanggungan imam.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” ولو قال الجالد قد ضَرَبْتُهُ وَأَنَا أَرَى الْإِمَامَ مُخْطِئًا وَعَلِمْتُ أَنَّ ذَلِكَ رَأْيُ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ ضَمِنَ إِلَّا مَا غاب عَنْهُ بِسَبَبِ ضَرْبِهِ

Syafi‘i berkata, “Jika algojo berkata, ‘Aku telah mencambuknya sementara aku melihat imam keliru dan aku mengetahui bahwa itu adalah pendapat sebagian fuqaha’, maka ia tetap wajib menanggung (denda), kecuali terhadap sesuatu yang luput darinya karena cambukannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الْإِمَامَ إِذَا أَمَرَ الْجَلَّادَ بِقَتْلٍ أَوْ جَلْدٍ مُخْتَلَفٍ فِيهِ كَقَتْلِ الْمُسْلِمِ بِالْكَافِرِ وَالْحُرِّ بِالْعَبْدِ وحد الزنا بشهادة الراويان وَحَدِّ الْقَذْفِ فِي التَّعْرِيضِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمَا فيه من أربعة أقسام

Al-Mawardi berkata, secara ringkasnya, apabila imam memerintahkan algojo untuk melakukan pembunuhan atau cambuk dalam perkara yang diperselisihkan, seperti membunuh seorang muslim karena kafir, atau orang merdeka karena budak, atau hukuman zina dengan kesaksian dua orang saksi, dan hukuman qadzaf (tuduhan zina) dalam bentuk sindiran, maka keadaan keduanya (imam dan algojo) dalam hal ini tidak lepas dari empat bagian.

أحدهما أَنْ يَعْتَقِدَ الْإِمَامُ وَالْجَلَّادُ وُجُوبَهُ فَلَا ضَمَانَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَوَدًا وَلَا دِيَةً وَلَا تكون مخالفة غيرها مَانِعًا مِنْ نُفُوذِ الْحُكْمِ بِالِاجْتِهَادِ

Pertama, apabila imam dan algojo meyakini wajibnya (hukuman tersebut), maka tidak ada tanggungan atas salah satu dari keduanya, baik berupa qishāsh maupun diyat, dan perbedaan pendapat selainnya tidak menjadi penghalang bagi berlakunya putusan berdasarkan ijtihad.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَعْتَقِدَاهُ غَيْرَ وَاجِبٍ فَالضَّمَانُ فِيهِ وَاجِبٌ ولا تكون مخالفة غيرها مُسْقِطَةٌ لِلضَّمَانِ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ لِأَنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُقْدِمَ عَلَى قَتْلٍ يَعْتَقِدُ حَظْرَهُ لِأَنَّ غَيْرَهُ أَبَاحَهُ وَإِذَا وَجَبَ الضَّمَانُ فَإِنْ كَانَ الْجَلَّادُ غَيْرَ مُكْرَهٍ فَالضَّمَانُ عَلَى الْجَلَّادِ دُونَ الْإِمَامِ وَإِنْ كَانَ مُكْرَهًا فَالضَّمَانُ عَلَيْهِمَا عَلَى التَّفْصِيلِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ وَإِذَا وَجَبَ الضَّمَانُ لَمْ يَخْلُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ مِنْ أَنْ يَكُونَ فِيهِ نَصٌّ أَوْ لَا نَصَّ فِيهِ فَإِنْ لم يكن فيه نص كحد الزنا بشهادة الراويان وَحَدِّ الْقَذْفِ بِالتَّعْرِيضِ فَالضَّمَانُ مُتَوَجِّهٌ إِلَى الدِّيَةِ دُونَ الْقَوَدِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ نَصٌّ كَقَتْلِ الْمُسْلِمِ بِالْكَافِرِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Bagian kedua adalah apabila keduanya meyakini bahwa hal itu tidak wajib, maka kewajiban ganti rugi tetap berlaku, dan pelanggaran pendapat lain tidak menggugurkan kewajiban ganti rugi. Inilah permasalahan yang dibahas dalam kitab, karena tidak boleh seseorang melakukan pembunuhan yang diyakininya terlarang hanya karena orang lain membolehkannya. Jika kewajiban ganti rugi telah ditetapkan, maka jika algojo tidak dipaksa, kewajiban ganti rugi ada pada algojo, bukan pada imam. Namun jika algojo dipaksa, maka kewajiban ganti rugi ada pada keduanya, sesuai dengan rincian yang telah kami sebutkan sebelumnya. Jika kewajiban ganti rugi telah ditetapkan, maka perkara yang diperselisihkan tidak lepas dari dua kemungkinan: ada nash (teks syariat) atau tidak ada nash. Jika tidak ada nash, seperti hukuman zina berdasarkan kesaksian dua orang, atau hukuman qadzaf (tuduhan zina) dengan sindiran, maka kewajiban ganti rugi diarahkan pada pembayaran diyat, bukan qishāsh. Namun jika ada nash, seperti pembunuhan seorang Muslim oleh seorang kafir, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang kewajiban qishāsh dalam hal ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إنَّ الْقَوَدَ فِيهِ وَاجِبٌ لِأَجْلِ النَّصِّ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa qawad wajib diterapkan dalam hal ini karena adanya nash.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا قَوَدَ فِيهِ؛ لِشُبْهَةِ الِاخْتِلَافِ

Adapun alasan yang kedua, tidak ada qishāsh di dalamnya karena adanya syubhat perbedaan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَعْتَقِدَ الْإِمَامُ وُجُوبَهُ وَيَعْتَقِدَ الْجَلَّادُ حَظْرَهُ فَإِنْ أُكْرِهَ الْجَلَّادُ عَلَى اسْتِيفَائِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الْإِمَامِ لِاجْتِهَادِهِ وَلَا ضَمَانَ عَلَى الْجَلَّادِ لِإِكْرَاهِهِ وَإِنْ لَمْ يُكْرَهِ الْجَلَّادُ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الإمام وفي ضمانه عَلَى الْجَلَّادِ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah apabila imam meyakini kewajibannya, sedangkan algojo meyakini keharamannya. Jika algojo dipaksa untuk melaksanakannya, maka tidak ada tanggungan (dosa atau ganti rugi) atas imam karena ijtihadnya, dan tidak ada tanggungan atas algojo karena ia dipaksa. Namun jika algojo tidak dipaksa, maka tidak ada tanggungan atas imam, dan dalam hal tanggungan atas algojo terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مُنَفِّذٌ لِحُكْمٍ نَفَذَ بِاجْتِهَادٍ

Salah satunya tidak wajib membayar ganti rugi, karena ia melaksanakan putusan yang telah dijalankan berdasarkan ijtihad.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي عَلَيْهِ الضَّمَانُ لِإِقْدَامِهِ مُخْتَارًا عَلَى اسْتِهْلَاكِ مَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَ ضَمَانِهِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia wajib menanggung ganti rugi karena ia dengan sengaja dan secara sukarela melakukan tindakan menghabiskan sesuatu yang ia yakini wajib diganti rugi.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَعْتَقِدَ الْإِمَامُ حَظْرَهُ وَيَعْتَقِدَ الْجَلَّادُ وُجُوبَهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Bagian keempat adalah apabila imam meyakini pelarangan suatu perkara, sedangkan algojo meyakini kewajibannya. Maka, hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَرُدَّهُ الْإِمَامُ إِلَى اجْتِهَادِ الْجَلَّادِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَمَّا الْإِمَامُ فَلِعَدَمِ فِعْلِهِ وَأَمَّا الْجَلَّادُ فَلِنُفُوذِ اجْتِهَادِهِ

Salah satu pendapat adalah bahwa imam menyerahkan perkara tersebut kepada ijtihad algojo, maka tidak ada tanggungan atas keduanya; adapun imam, karena ia tidak melakukan perbuatan itu, dan adapun algojo, karena ijtihadnya berlaku.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَأْمُرَ الْإِمَامُ بِهِ وَلَا يَرُدَّهُ إِلَى اجْتِهَادِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى الْجَلَّادِ سَوَاءٌ كَانَ مُكْرَهًا أَوْ غَيْرَ مُكْرَهٍ؛ لِأَنَّهُ اسْتَوْفَاهُ بِإِذْنٍ مُطَاعٍ مَا يَرَاهُ مُسَوَّغًا فِي الِاجْتِهَادِ فَأَمَّا الْإِمَامُ فَإِنْ لَمْ يُكْرِهِ الْجَلَّادَ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ أَكْرَهَهُ ضَمِنَ لِأَنَّهُ اتجاه إِلَى مَا لَا يُسَوَّغُ فِي اجْتِهَادِهِ وَاللَّهُ أعلم

Jenis kedua adalah ketika imam memerintahkan hal itu dan tidak mengembalikannya kepada ijtihad algojo, maka tidak ada tanggungan atas algojo, baik ia dipaksa maupun tidak; karena ia melaksanakannya dengan izin dari pihak yang ditaati yang memandangnya sebagai sesuatu yang dibenarkan dalam ijtihad. Adapun imam, jika ia tidak memaksa algojo, maka tidak ada tanggungan atasnya. Namun jika ia memaksanya, maka ia bertanggung jawab, karena ia telah mengarahkan kepada sesuatu yang tidak dibenarkan dalam ijtihadnya. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي وَلَوْ قَالَ اضْرِبْهُ ثَمَانِينَ فَزَادَ سَوْطًا فَمَاتَ فَلَا يَجُوزُ فِيهِ إِلَّا وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا أن عليهما نصفين كَمَا لَوْ جَنَى رَجُلَانِ عَلَيْهِ أَحَدُهُمَا بِضَرْبَه وَالْآخَرُ بِثَمَانِينَ ضَمِنَا الدِّيَةَ نِصْفَيْنِ أَوْ سَهْمًا مِنْ وَاحِدٍ وَثَمَانِينَ سَهْمًا

Syafi‘i berkata: Jika seseorang berkata, “Pukullah dia delapan puluh kali,” lalu ditambah satu cambukan sehingga ia mati, maka dalam hal ini tidak boleh kecuali salah satu dari dua pendapat: salah satunya adalah bahwa keduanya (yang memerintah dan yang melaksanakan) menanggung setengah-setengah, sebagaimana jika dua orang melakukan kejahatan terhadapnya, salah satunya dengan memukul dan yang lainnya dengan delapan puluh kali, maka kami menanggung diyat setengah-setengah, atau satu bagian dari satu dan delapan puluh bagian.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي نَظَائِرِهَا وَهُوَ أَنْ يَأْمُرَ الْإِمَامُ فِي حَدِّ الْقَذْفِ وَهُوَ ثَمَانُونَ فيضربه الجلاد أحداً وَثَمَانِينَ فَيَمُوتُ فَهَذَا مُوجِبٌ لِلضَّمَانِ وَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُ قَوْلَانِ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas dalam kasus-kasus serupa, yaitu apabila imam memerintahkan pelaksanaan hukuman had qadzaf, yaitu delapan puluh cambukan, lalu algojo mencambuknya sebanyak delapan puluh kali dan ia pun meninggal dunia, maka hal ini mewajibkan adanya kewajiban ganti rugi (dhamān). Mengenai kadar ganti rugi yang harus dibayarkan, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا نِصْفُ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهُ مات من نوعي إِبَاحَةٍ وَحَظْرٍ وَقَدْ شَبَّهَهُ الشَّافِعِيُّ بِالْجِنَايَاتِ

Salah satunya adalah setengah diyat; karena ia meninggal akibat dua hal, yaitu kebolehan dan larangan, dan Syafi‘i telah menyerupakannya dengan jinayat.

وَالْقَوْلُ الثاني أن يَضْمَنَ جُزْءًا مِنْ وَاحِدٍ وَثَمَانِينَ جُزْءًا مِنَ الدِّيَةِ اعْتِبَارًا بِعَدَدِ الضَّرْبِ وَإِذَا وَجَبَ الضَّمَانُ بِهَذِهِ الزِّيَادَةِ لَمْ يخل حالها من ثلاثة أقسام

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia wajib menanggung satu bagian dari delapan puluh satu bagian dari diyat, dengan mempertimbangkan jumlah pukulan. Jika kewajiban menanggung dengan tambahan ini telah ditetapkan, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.

القسم الأول أَنْ يَكُونَ عَنْ أَمْرِ الْإِمَامِ فَالضَّمَانُ عَلَيْهِ دُونَ الْجَلَّادِ

Bagian pertama adalah apabila (hukuman) itu atas perintah imam, maka tanggung jawab (diyat/ganti rugi) ada pada imam, bukan pada algojo.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِنْ فِعْلِ الْجَلَّادِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَالضَّمَانُ عَلَيْهِ دون الإمام

Bagian kedua adalah apabila berasal dari perbuatan algojo, baik sengaja maupun tidak sengaja, maka tanggung jawab (dhamān) ada pada dirinya, bukan pada imam.

والقسم الثالث أن يضرب الجلاد وَالْإِمَامُ يَعُدُّ فَأَخْطَأَ الْإِمَامُ فِي عَدَدِهِ فَالضَّمَانُ عَلَى الْإِمَامِ دُونَ الْجَلَّادِ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ مَنْسُوبَةٌ إلى العدد فصار الضَّمَانُ عَلَى الْعَادِّ دُونَ الْجَلَّادِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Bagian ketiga adalah ketika algojo memukul sementara imam menghitung, lalu imam salah dalam menghitung jumlahnya, maka tanggungan (ganti rugi) ada pada imam, bukan pada algojo, karena kelebihan (hukuman) itu dikaitkan dengan jumlah (yang dihitung), sehingga tanggungan ada pada yang menghitung, bukan pada algojo. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِذَا خَافَ رَجُلٌ نُشُوزَ امْرَأَتِهِ فَضَرَبَهَا فَمَاتَتْ فَالْعَقْلُ عَلَى الْعَاقِلَةِ لِأَنَّ ذَلِكَ إِبَاحَةٌ وَلَيْسَ بِفَرْضٍ

Syafi‘i berkata, “Jika seorang laki-laki khawatir istrinya akan berbuat nusyuz lalu ia memukulnya hingga istrinya meninggal dunia, maka diyat (denda pembunuhan) menjadi tanggungan ‘āqilah, karena hal itu merupakan sesuatu yang dibolehkan (ibāhah) dan bukan suatu kewajiban (fardhu).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ إِذَا خَافَ نُشُوزَ امْرَأَتِهِ أَنْ يَضْرِبَهَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي المضاجع واضربوهن

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, diperbolehkan bagi seorang laki-laki jika ia khawatir istrinya akan melakukan nusyūz, untuk memukulnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyūz-nya, maka nasehatilah mereka, jauhilah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka.’”

وَهَذَا الضَّرْبُ مُبَاحٌ عَلَى وَجْهِ التَّأْدِيبِ وَالِاسْتِصْلَاحِ لَمْ يَرِدِ الشَّرْعُ بِتَقْدِيرِهِ وَلَمْ يُجِزْ أَنْ يَبْلُغَ بِهِ أَدْنَى الْحَدِّ فَصَارَ أَكْثَرُهُ تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ كَالتَّعْزِيرِ فَأَمَّا جِنْسُ مَا يُضْرَبُ بِهِ فَهُوَ الثَّوْبُ وَالنَّعْلُ وَأَكْثَرُهُ الْعَصَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِالسَّوْطِ؛ لِخُرُوجِهِ عَنِ الْعُرْفِ وَلِنَقْصِهِ عَنْ أَحْكَامِ الْحُدُودِ فَإِنْ ضَرْبَهَا فَأَفْضَى الضَّرْبُ إِلَى تَلَفِهَا رُوعِيَ الضَّرْبُ فَإِنْ كَانَ خَارِجًا عَنِ الْعُرْفِ مُتْلِفًا مِثْلُهُ فِي الْغَالِبِ فَالْقَوَدُ عَلَيْهِ وَاجِبٌ وَإِنْ كَانَ جَارِيًا عَلَى الْعُرْفِ غَيْرَ مُتْلِفٍ فِي الْغَالِبِ كَانَتْ عَلَيْهِ الدِّيَةُ تتحملها عنه الْعَاقِلَةُ؛ لِأَنَّهُ ضَرْبٌ أُبِيحَ عَلَى وَجْهِ الِاسْتِصْلَاحِ يُتَوَصَّلُ إِلَيْهِ بِالِاجْتِهَادِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ التَّلَفُ به مضموناً كما ضمن عمر جنين المجهضة؛ لأن الاستصلاح يَكُونُ مَعَ بَقَاءِ النَّفْسِ فَإِذَا صَارَ مُتْلِفًا لم يكن استصلاحاً

Jenis pemukulan ini diperbolehkan dalam rangka mendidik dan memperbaiki, tanpa ada ketentuan khusus dari syariat mengenai jumlahnya, dan tidak boleh sampai mencapai batas minimum hudud. Maka jumlah terbanyaknya adalah tiga puluh sembilan kali, seperti dalam ta‘zīr. Adapun alat yang digunakan untuk memukul adalah kain, sandal, dan yang paling banyak digunakan adalah tongkat, dan tidak boleh menggunakan cambuk karena itu keluar dari kebiasaan dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum hudud. Jika ia memukulnya lalu pukulan itu menyebabkan kematian, maka dilihat cara memukulnya; jika cara memukulnya di luar kebiasaan dan biasanya menyebabkan kematian, maka qishāsh wajib diterapkan. Namun jika sesuai kebiasaan dan umumnya tidak menyebabkan kematian, maka diwajibkan diyat yang ditanggung oleh ‘āqilah, karena pemukulan ini diperbolehkan dalam rangka perbaikan yang dicapai melalui ijtihād, sehingga jika terjadi kematian, wajib ada jaminan diyat sebagaimana ‘Umar menjamin diyat janin yang gugur. Sebab, perbaikan itu dilakukan dengan tetap menjaga jiwa, maka jika sampai menyebabkan kematian, itu tidak lagi disebut perbaikan.

فإن قيل فيقتصر عَلَى اعْتِبَارِ هَذَا التَّعْلِيلِ أَنْ يَكُونَ الرَّامِي لِمَنِ اطَّلَعَ عَلَيْهِ مِنْ شِقَّ بَابٍ فَقَلَعَ عَيْنَهُ أَنْ يَضْمَنَهَا؛ لِأَنَّهُ اسْتَبَاحَ الرَّمْيَ اسْتِصْلَاحًا قِيلَ لَا يَضْمَنُ عَيْنَهُ؛ لِأَنَّ مَحَلَّ الرَّمْيِ قَدْ تَعَيَّنَ فِي الْعَيْنِ فَلَمْ يَضْمَنْهَا وَلَيْسَ كَالضَّرْبِ الَّذِي لَا يَتَعَيَّنُ فِي مَوْضِعٍ مِنَ الْبَدَنِ

Jika dikatakan bahwa cukup dengan mempertimbangkan alasan ini, yaitu orang yang melempar kepada seseorang yang mengintip dari celah pintu lalu mengenai matanya hingga mencabutnya, maka ia wajib menggantinya; karena ia membolehkan pelemparan demi kemaslahatan, maka dijawab: ia tidak wajib mengganti matanya, karena sasaran lemparan telah ditentukan pada mata, sehingga ia tidak wajib menggantinya, dan hal ini tidak sama dengan pemukulan yang tidak ditentukan pada satu bagian tubuh tertentu.

فَإِنْ قِيلَ عَلَى اعْتِبَارِ هَذَا التَّعْلِيلِ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ مَنْ دَفَعَ رَجُلًا عَنْ نَفْسِهِ بِضَرْبٍ أَفْضَى إِلَى تَلَفِهِ أَنْ يَكُونَ ضامناً لنفسه لأن ضربه يَتَعَيَّنُ فِي مَوْضِعٍ مِنْ بَدَنِهِ قِيلَ لَا يَضْمَنُهُ؛ لِأَنَّ قَتْلَهُ مُبَاحٌ لَهُ إِذَا كَانَ لَا يَنْدَفِعُ عَنْهُ إِلَّا بِالْقَتْلِ فَلَمْ يَكُنْ كَغَيْرِهِ مِنْ ضَرْبِ التَّأْدِيبِ الْمَقْصُورِ عَلَى الِاسْتِصْلَاحِ وهكذا ضرب المعلم والأب للصبي؛ لأن الْمَقْصُودَ بِهِ الِاسْتِصْلَاحُ وَالتَّأْدِيبُ فَإِذَا أَفْضَى إِلَى التَّلَفِ كَانَ مَضْمُونًا بِالدِّيَةِ

Jika dikatakan bahwa berdasarkan pertimbangan ‘illat ini, seharusnya seseorang yang menghalau orang lain dari dirinya dengan memukul hingga menyebabkan kematian, maka ia wajib menanggung (denda) atas dirinya karena pukulannya pasti mengenai bagian tertentu dari tubuhnya, maka dijawab: Ia tidak menanggungnya, karena membunuh dalam kondisi seperti itu dibolehkan baginya jika tidak ada cara lain untuk menolak kecuali dengan membunuh. Maka hal itu tidak sama dengan pukulan dalam rangka ta’dib (pendisiplinan) yang tujuannya hanya untuk perbaikan. Demikian pula pukulan guru atau ayah kepada anak, karena tujuannya adalah perbaikan dan pendidikan. Jika pukulan tersebut menyebabkan kematian, maka wajib membayar diyat.

فَإِنْ قِيلَ فَيَقْتَضِي عَلَى اعْتِبَارِ هَذَا التَّعْلِيلِ أَنْ يَكُونَ ضَرْبُ الضارب إِذَا أَفْضَى إِلَى تَلَفِ الدَّابَّةِ أَنْ يَضْمَنَهَا قِيلَ لَا يَضْمَنُهَا لِأَنَّهُ لَا يسْتَغْني عَنْ ضَرْبِهَا بِغَيْرِهِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ زَجْرٍ وَقَدْ يُسْتَغْنَى عَنْ ضَرْبِ الصَّبِيِّ بِالْقَوْلِ وَالزَّجْرِ فَتَعَيَّنَ ضَرْبُ الدَّابَّةِ فَلَمْ يَضْمَنْهَا وَلَمْ يَتَعَيَّنْ ضَرْبُ الصبي فضمنه

Jika dikatakan: Berdasarkan pertimbangan ‘illat ini, maka memukul hewan tunggangan yang berujung pada kematiannya mengharuskan pelakunya untuk menanggung ganti rugi, maka dijawab: Ia tidak menanggungnya, karena tidak mungkin mengendalikan hewan tersebut selain dengan memukulnya, berbeda dengan anak kecil yang masih bisa diarahkan dengan ucapan atau teguran. Maka, memukul hewan tunggangan menjadi satu-satunya pilihan sehingga pelakunya tidak menanggung ganti rugi, sedangkan memukul anak kecil bukan satu-satunya pilihan sehingga pelakunya wajib menanggung ganti rugi.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ عَزَّرَ الْإِمَامُ رَجُلًا فَمَاتَ فَالدِّيَةُ عَلَى عَاقِلَتِهِ وَالْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seorang imam menjatuhkan hukuman ta‘zīr kepada seseorang lalu orang itu meninggal dunia, maka diyat menjadi tanggungan ‘āqilah-nya dan kafārah diambil dari hartanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا التعزير فتأديب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود وَالْكَلَامُ فِيهِ مُشْتَمِلٌ عَلَى فَصْلَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Adapun ta‘zīr adalah pemberian sanksi sebagai bentuk pendidikan atas dosa-dosa yang tidak ditetapkan hudūd untuknya, dan pembahasan tentangnya mencakup dua bagian.

أَحَدُهُمَا فِي صِفَتِهِ

Salah satunya adalah dalam sifatnya.

وَالثَّانِي فِي حُكْمِهِ

Dan yang kedua dalam ketentuannya.

فَأَمَّا صِفَتُهُ فَتَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الذَّنْبِ وَاخْتِلَافِ فَاعِلِهِ فَيُوَافِقُ الْحُدُودَ فِي اخْتِلَافِهِ بِاخْتِلَافِ الذُّنُوبِ وَيُخَالِفُ الْحُدُودَ فِي الْفَاعِلِ فَيَخْتَلِفُ التَّعْزِيرُ بِاخْتِلَافِ الْفَاعِلِ فَيَكُونُ تَعْزِيرُ ذِي الْهَيْئَةِ أَخَفَّ مِنْ تَعْزِيرِ ذِي السَّفَاهَةِ

Adapun sifatnya, maka ta‘zīr berbeda-beda sesuai dengan perbedaan dosa dan perbedaan pelakunya. Ta‘zīr sejalan dengan hudūd dalam hal perbedaan berdasarkan perbedaan dosa, namun berbeda dengan hudūd dalam hal pelaku, sehingga ta‘zīr berbeda-beda sesuai dengan perbedaan pelaku. Maka ta‘zīr terhadap orang yang terhormat lebih ringan daripada ta‘zīr terhadap orang yang rendah akhlaknya.

وَيَسْتَوِي فِي الْحُدُودِ ذُو الْهَيْئَةِ وَذُو السَّفَاهَةِ لِأَنَّ الْحُدُودَ نُصُوصٌ فَاسْتَوَى الْكَافَّةُ فِيهَا وَالتَّعْزِيرُ اجْتِهَادٌ فِي الِاسْتِصْلَاحِ فَاخْتَلَفَ الناس فيه باختلاف أحوالهم

Dalam perkara hudud, orang yang terhormat maupun orang yang bodoh diperlakukan sama, karena hudud merupakan nash yang berlaku umum bagi semua orang. Adapun ta‘zir merupakan hasil ijtihad dalam rangka kemaslahatan, sehingga manusia berbeda-beda di dalamnya sesuai dengan keadaan mereka masing-masing.

رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّه قَالَ ” تَجَافَوْا لِذَوِي الْهَيْئَاتِ عَنْ عَثَرَاتِهِمْ

Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berlapang dadalah terhadap orang-orang yang terhormat atas kesalahan-kesalahan mereka.”

وإذا كان كذلك نزل التَّعْزِيرُ بِاخْتِلَافِ الذُّنُوبِ وَاخْتِلَافِ فَاعِلِيهَا عَلَى أَرْبَعِ مراتب

Jika demikian, maka ta‘zīr ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan dosa dan perbedaan pelakunya, yang terbagi menjadi empat tingkatan.

فالمرتبة الأولى التعزير بالكلام

Tingkatan pertama adalah ta‘zīr dengan ucapan.

والمرتبة الثانية التعزير بالحبس

Tingkatan kedua adalah ta‘zīr dengan hukuman penjara.

والمرتبة الثالثة التعزير بالنفي

Tingkatan ketiga adalah ta‘zīr dengan pengasingan.

ثم المرتبة الرَّابِعَةُ التَّعْزِيرُ بِالضَّرْبِ يَنْدَرِجُ ذَلِكَ فِي النَّاسِ حَسَبَ مَنَازِلِهِمْ فَيَكُونُ تَعْزِيرُ مَنْ جَلَّ قَدْرُهُ بالإعراض عنه وتعزير من دونه بالتعنيف له وتعزير من دُونَهُ بِزَوَاجِرِ الْكَلَامِ وَغَايَتُهُ الِاسْتِخْفَافُ الَّذِي لَا قَذْفَ فِيهِ وَلَا سَبَّ ثُمَّ يَعْدِلُ عَنْ ذلك إلى المرتبة الثانية وهو الْحَبْسُ يُنْزَلُونَ فِيهِ عَلَى حَسَبِ مَنَازِلِهِمْ وَبِحَسَبِ ذُنُوبِهِمْ فَمِنْهُمْ مَنْ يُحْبَسُ يَوْمًا وَمِنْهُمْ مَنْ يُحْبَسُ أَكْثَرَ مِنْهُ إِلَى غَايَةٍ غَيْرِ مُقَدَّرَةٍ بقدر ما يؤدي الاجتهاد إليها ويرى الْمَصْلَحَةَ فِيهَا

Kemudian tingkatan keempat adalah ta‘zīr dengan pukulan, yang hal itu berbeda-beda pada manusia sesuai dengan kedudukan mereka. Maka ta‘zīr bagi orang yang tinggi derajatnya adalah dengan berpaling darinya, ta‘zīr bagi yang di bawahnya dengan menegurnya dengan keras, dan ta‘zīr bagi yang lebih rendah lagi dengan kata-kata yang bersifat mencegah, dan batas akhirnya adalah meremehkan yang tidak mengandung tuduhan zina maupun celaan. Kemudian beralih dari itu ke tingkatan kedua, yaitu penahanan (penjara), yang juga diterapkan sesuai dengan kedudukan mereka dan sesuai dengan dosa mereka. Di antara mereka ada yang ditahan satu hari, dan ada yang ditahan lebih lama dari itu hingga batas yang tidak ditentukan, sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh ijtihad dan dipandang ada kemaslahatan di dalamnya.

وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ يَتَقَدَّرُ غَايَتُهُ بِشَهْرٍ لِلِاسْتِبْرَاءِ وَالْكَشْفِ وَبِسِتَّةِ أَشْهُرٍ لِلتَّأْدِيبِ وَالتَّقْوِيمِ ثُمَّ يَعْدِلُ بمن دون ذَلِكَ إِلَى الرُّتْبَةِ الثَّالِثَةِ وَهِيَ النَّفْيُ وَالْإِبْعَادُ وَهَذَا وَالْحَبْسُ فِيمَنْ تَعَدَّتْ ذُنُوبُهُ إِلَى اجْتِذَابِ غَيْرِهِ إِلَيْهَا وَاسْتِضْرَارِهِ بِهَا وَاخْتُلِفَ فِي غَايَةِ نَفْيِهِ وَإِبْعَادِهِ

Abu Abdillah az-Zubairi, salah satu ulama Syafi‘i, berkata: Batas maksimalnya ditentukan satu bulan untuk tujuan istibra’ (memastikan bebas dari kehamilan) dan pemeriksaan, serta enam bulan untuk tujuan ta’dib (pendidikan) dan taqwim (perbaikan). Setelah itu, bagi yang tidak sampai pada batas tersebut, dialihkan ke tingkatan ketiga, yaitu an-nafy (pengasingan) dan al-ib‘ad (penjauhan). Hal ini, bersama dengan hukuman penjara, diberlakukan bagi mereka yang dosanya telah melampaui batas hingga menarik orang lain kepadanya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain. Terdapat perbedaan pendapat mengenai batas akhir dari pengasingan dan penjauhan tersebut.

فَظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُقَدَّرُ الْأَكْثَرُ بِمَا دُونَ السَّنَةِ وَلَوْ بِيَوْمٍ؛ لِئَلَّا يَصِيرَ مُسَاوِيًا لِتَغْرِيبِ السَّنَةِ فِي الزِّنَا

Menurut pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i, batasan “yang lebih banyak” itu adalah kurang dari satu tahun, meskipun hanya kurang satu hari, agar tidak menjadi sama dengan hukuman pengasingan selama satu tahun dalam kasus zina.

وَظَاهِرُ مَذْهَبِ مَالِكٍ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُزَادَ فِيهِ على السنة بما يرى أسباب الاستقامة ثم يعدل عن دُونِ ذَلِكَ إِلَى الضَّرْبِ يَنْزِلُونَ فِيهِ عَلَى حَسَبِ ذُنُوبِهِمْ

Pendapat yang tampak dari mazhab Malik adalah bahwa boleh menambahkan hukuman di atas yang telah ditetapkan oleh sunnah sesuai dengan apa yang dipandang sebagai sebab-sebab untuk menegakkan kebaikan, kemudian boleh juga beralih dari hukuman yang lebih ringan kepada hukuman cambuk, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kadar dosa mereka.

وَاخْتُلِفَ فِي أَكْثَرِ مَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ ضَرْبُ التَّعْزِيرِ

Terjadi perbedaan pendapat mengenai batas maksimal jumlah pukulan dalam hukuman ta‘zīr.

فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ أَكْثَرَهُ فِي الْحُرِّ تِسْعَةٌ وَثَلَاثُونَ وَفِي الْعَبْدِ تِسْعَةَ عشرة ينتقص لِيَنْقُصَ عَنْ أَقَلِّ الْحُدُودِ فِي الْخَمْرِ وَهُوَ أَرْبَعُونَ فِي الْحُرِّ وَعِشْرُونَ فِي الْعَبْدِ

Maka mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa jumlah maksimalnya bagi orang merdeka adalah tiga puluh sembilan, dan bagi budak adalah sembilan belas, agar jumlahnya kurang dari batas minimum hudud untuk kasus khamr, yaitu empat puluh bagi orang merdeka dan dua puluh bagi budak.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ أَكْثَرُهُ تِسْعَةٌ وَثَلَاثُونَ فِي الْحُرِّ وَالْعَبْدِ

Abu Hanifah berkata: Jumlah terbanyaknya adalah tiga puluh sembilan, baik bagi orang merdeka maupun bagi budak.

وَقَالَ مَالِكٌ لَا حَدَّ لِأَكْثَرِهِ وَيَجُوزُ أَنْ يَزِيدَ عَلَى أَكْثَرِ الْحُدُودِ

Malik berkata, “Tidak ada batas maksimalnya, dan boleh melebihi jumlah batasan maksimal (hukuman) yang telah ditetapkan.”

وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ تَعْزِيرُ كُلِّ ذَنْبٍ مُسْتَنْبَطٌ من الْمَشْرُوعِ فِي جِنْسِهِ فَأَعْلَاهُ فِيمَنْ تَعَرَّضَ لِشُرْبِ الْخَمْرِ تِسْعَةٌ وَثَلَاثُونَ؛ لِأَنَّ حَدَّ الْخَمْرِ أَرْبَعُونَ وأعلاه فيمن يعرض بِالزِّنَا خَمْسَةٌ وَسَبْعُونَ؛ لِأَنَّ حَدَّ الْقَذْفِ ثَمَانُونَ ثُمَّ جَعَلَهُ مُعْتَبَرًا بِاخْتِلَافِ الْأَسْبَابِ فِي التَّعْرِيضِ بِالزِّنَا فَإِنْ وَجَدَهُ يَنَالُ مِنْهَا مَا دُونَ الفرج ضربه أكثر للتعزير وَهُوَ خَمْسَةٌ وَسَبْعُونَ سَوْطًا وَإِنْ وُجِدَا عُرْيَانَيْنِ في إزار قد تضاما أنهما لا حَائِلَ بَيْنَهُمَا ضُرِبَا سِتِّينَ سَوْطًا

Abu Abdillah az-Zubairi berkata, “Ta‘zir untuk setiap dosa diambil dari hukum yang telah disyariatkan pada jenisnya. Maka, hukuman tertinggi bagi orang yang melakukan perbuatan yang mengarah pada minum khamar adalah tiga puluh sembilan cambukan, karena had untuk khamar adalah empat puluh. Hukuman tertinggi bagi orang yang melakukan perbuatan yang mengarah pada zina adalah tujuh puluh lima cambukan, karena had untuk qadzaf adalah delapan puluh. Kemudian, ia menjadikannya bergantung pada perbedaan sebab dalam perbuatan yang mengarah pada zina. Jika didapati seseorang melakukan sesuatu yang tidak sampai pada hubungan kelamin, maka ia dipukul lebih banyak sebagai ta‘zir, yaitu tujuh puluh lima cambukan. Jika didapati dua orang dalam keadaan telanjang hanya mengenakan satu kain sarung dan saling menempel sehingga tidak ada penghalang di antara keduanya, maka keduanya dipukul enam puluh cambukan.”

فَإِنْ وُجِدَا عُرْيَانَيْنِ فِي إِزَارٍ غَيْرَ مُتَضَامَّيْنِ؛ ضُرِبَا خَمْسِينَ سَوْطًا وَإِنْ وُجِدَا فِي بَيْتٍ مُبْتَذَلَيْنِ قَدْ كشفا سؤاتهما ضُرِبَا أَرْبَعِينَ سَوْطًا وَإِنْ وُجِدَا فِيهِ مَسْتُورَيِ السَّوْءَةِ ضُرِبَا ثَلَاثِينَ سَوْطًا وَإِنْ وُجِدَا فِي طريق متحادثين بِفُجُورِهِمَا ضُرِبَا عِشْرِينَ سَوْطًا وَإِنْ وُجِدَا فِيهِ يُشِيرُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَى الْآخَرِ بِالرِّيبَةِ ضُرِبَا عَشَرَةَ أَسْوَاطٍ

Jika keduanya ditemukan telanjang dalam satu kain tanpa saling berdekatan, maka masing-masing dihukum cambuk lima puluh kali. Jika keduanya ditemukan di dalam rumah dalam keadaan tidak sopan dan telah menyingkap auratnya, maka masing-masing dihukum cambuk empat puluh kali. Jika keduanya ditemukan di dalam rumah dengan aurat yang tertutup, maka masing-masing dihukum cambuk tiga puluh kali. Jika keduanya ditemukan di jalan sedang berbicara dengan perilaku keji, maka masing-masing dihukum cambuk dua puluh kali. Jika keduanya ditemukan di jalan dan masing-masing memberi isyarat mencurigakan kepada yang lain, maka masing-masing dihukum cambuk sepuluh kali.

وَإِنْ وُجِدَا فِيهِ وَكُلُّ واحد منهما يتبع صاحبه ضربا خفقات عَلَى غَيْرِ هَذَا فِيمَا عَدَاهُ

Dan jika keduanya ditemukan di dalamnya dan masing-masing dari keduanya mengikuti yang lain dengan pukulan-pukulan ringan, maka selain dari hal ini, dalam perkara selainnya.

وقال أبو يوسف اكثر التعزير خمسة وسبعون من غير تفصيل ولا استنباط مِنْ ذُنُوبِ الْحُدُودِ

Abu Yusuf berkata, jumlah maksimal ta‘zīr adalah tujuh puluh lima, tanpa perincian dan tanpa mengambil istinbāṭ dari dosa-dosa yang terkena ḥudūd.

وَمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ أَظْهَرُ لِأَمْرَيْنِ

Apa yang dikatakan oleh asy-Syafi‘i lebih jelas karena dua hal.

أَحَدُهُمَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ بَلَغَ بِمَا لَيْسَ بِحَدٍّ حَدًّا فَهُوَ مِنَ الْمُعْتَدِينَ

Salah satunya adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Barang siapa menjatuhkan hukuman had terhadap sesuatu yang bukan had, maka ia termasuk golongan orang-orang yang melampaui batas.”

وَالثَّانِي أَنَّهُ أَقَلُّ مَا قِيلَ فِيهِ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” جَنْبُ الْمُؤْمِنِ حِمًى

Yang kedua adalah bahwa itu merupakan pendapat paling ringan yang dikatakan mengenai hal ini, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sisi tubuh seorang mukmin adalah wilayah terlarang.”

وَأَمَّا إِشْهَارُ الْمُعَزَّرِ فِي الناس فجائز إذا أدى الاجتهاد إليه ليكون زيادة في نكال التَّعْزِيرِ وَأَنْ يُجَرَّدَ مِنْ ثِيَابِهِ إِلَّا قَدْرَ ما يستر عَوْرَتَهُ وَيُنَادَى عَلَيْهِ بِذَنْبِهِ إِذَا تَكَرَّرَ مِنْهُ وَلَمْ يُقْلِعْ عَنْهُ وَيَجُوزُ أَنْ يُحْلَقَ شَعْرُ رَأْسِهِ وَلَا يَجُوزَ أَنْ يُحْلَقَ شَعْرُ لِحْيَتِهِ وَاخْتُلِفَ فِي جَوَازِ تَسْوِيدِ وَجْهِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun mempermalukan orang yang dikenai ta‘zīr di hadapan masyarakat, maka hal itu diperbolehkan jika hasil ijtihad mengarah ke sana, agar menjadi tambahan efek jera dari ta‘zīr. Boleh juga ia dilucuti pakaiannya kecuali sebatas yang menutupi auratnya, dan diumumkan dosanya jika perbuatannya itu berulang dan ia tidak berhenti darinya. Diperbolehkan juga mencukur rambut kepalanya, namun tidak boleh mencukur rambut jenggotnya. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kebolehan menghitamkan wajahnya, ada dua pendapat dalam hal ini.

يجوز أَحَدُهُمَا وَيُمْنَعُ مِنْهُ فِي الْآخَرِ وَيَجُوزُ أَنْ يصلب في التعزير حياً؛ قد صَلَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رجلاً على جبل يقال له أبو ناب وَلَا يُمْنَعُ إِذَا صُلِبَ مِنْ طَعَامٍ وَشَرَابٍ وَلَا يُمْنَعُ مِنَ الْوُضُوءِ لِلصَّلَاةِ وَيُصَلِّي مُومِئًا وَيُعِيدُ إِذَا أَرْسَلَ وَلَا يَتَجَاوَزُ صَلْبُهُ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ

Boleh salah satunya dan dilarang pada yang lainnya, dan boleh menyalib dalam hukuman ta‘zīr terhadap seseorang yang masih hidup; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyalib seorang laki-laki di sebuah gunung yang disebut Abu Nab. Tidak boleh dilarang dari makanan dan minuman, juga tidak boleh dilarang dari berwudu untuk salat, dan ia salat dengan isyarat, lalu mengulangi salatnya jika telah dilepaskan. Penyaliban tidak boleh melebihi tiga hari.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا حُكْمُ التَّعْزِيرِ فَهُوَ مُخَالِفٌ لِحُكْمِ الْحُدُودِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun hukum ta‘zīr, maka ia berbeda dengan hukum hudūd dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا فِي الْوُجُوبِ وَالْإِبَاحَةِ

Salah satunya berkaitan dengan kewajiban dan kebolehan.

وَالثَّانِي فِي حُدُوثِ التَّلَفِ عَنْهُ

Dan yang kedua adalah dalam hal terjadinya kerusakan yang berasal darinya.

فَأَمَّا الْحُكْمُ الْأَوَّلُ فِي الْوُجُوبِ وَالْإِبَاحَةِ فَالتَّعْزِيرُ مُبَاحٌ يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ وَالْحُدُودُ وَاجِبَةٌ لَا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهَا

Adapun hukum pertama terkait kewajiban dan kebolehan, maka ta‘zīr itu mubah (boleh), sehingga boleh dimaafkan darinya, sedangkan ḥudūd itu wajib, sehingga tidak boleh dimaafkan darinya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ كَانَ لَا يَرْتَدِعُ بِغَيْرِ التَّعْزِيرِ وَجَبَ تَعْزِيرُهُ وَلَمْ يَجُزِ الْعَفْوُ عَنْهُ وَإِنْ كَانَ يَرْتَدِعُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَى خِيَارِ الْإِمَامِ فِي تَعْزِيرِهِ وَالْعَفْوِ عَنْهُ

Abu Hanifah berkata, “Jika seseorang tidak dapat jera kecuali dengan ta‘zīr, maka wajib dijatuhi ta‘zīr dan tidak boleh dimaafkan. Namun jika ia dapat jera tanpa ta‘zīr, maka keputusan untuk menjatuhkan ta‘zīr atau memaafkannya menjadi pilihan imam.”

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اعْدِلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ ” لْقَدْ شَقِيتَ إِنْ لَمْ أَعْدِلْ وَلَمْ يُعَزِّرْهُ وَإِنْ كَانَ مَا قَالَهُ يَقْتَضِيهِ وَحَكَمَ بَيْنَ الزُّبَيْرِ وَرَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ فِي شِرْبٍ بَيْنَهُمَا فَقَالَ لِلزُّبَيْرِ اسق أنت ثم أرسل الماء إليه فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إنه ابن عمتك أي قدمته لقرابته لا بحقه فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَقَالَ لِلزُّبَيْرِ ” احْبِسِ الْمَاءَ فِي أَرْضِكَ إِلَى الكعبين

Dan dalil kami adalah riwayat bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bersikap adillah, wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Sungguh celaka engkau jika aku tidak adil,” dan beliau tidak menjatuhkan ta‘zīr kepadanya, padahal apa yang dikatakannya itu menuntut adanya ta‘zīr. Dan beliau pernah memutuskan perkara antara az-Zubair dan seorang laki-laki dari Anshar mengenai pengairan di antara keduanya. Beliau berkata kepada az-Zubair, “Siramlah (tanahmu) terlebih dahulu, kemudian alirkan air itu kepadanya.” Maka orang Anshar itu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dia adalah anak bibimu, maksudnya engkau mendahulukannya karena hubungan kerabat, bukan karena haknya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah dan berkata kepada az-Zubair, “Tahanlah air itu di tanahmu sampai mencapai mata kaki.”

وَفِيهِ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا النساء 65 وَلَمْ يُعَزِّرْهُ وَإِنْ كَانَ مَا قَالَهُ يَقْتَضِيهِ

Dan tentang hal itu Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisā’ 65). Ia tidak mencelanya, meskipun apa yang dikatakannya memang menuntut demikian.

وَلِأَنَّ التَّعْزِيرَ تَأْدِيبٌ فَأَشْبَهَ تَأْدِيبَ الْأَبِ وَالْمُعَلِّمِ وَلِذَلِكَ قَالَ عُثْمَانُ وَعَبْدُ الرحمن لعمر رضي الله عنهم فِي إِجْهَاضِ الْمَرْأَةِ لَا شَيْءَ عَلَيْكَ إِنَّمَا أنت معلم

Karena ta‘zīr adalah bentuk pendisiplinan, maka ia serupa dengan pendisiplinan yang dilakukan oleh seorang ayah dan guru. Oleh karena itu, ‘Utsmān dan ‘Abdurrahman berkata kepada ‘Umar radhiyallāhu ‘anhum mengenai kasus keguguran seorang wanita: “Tidak ada apa-apa atasmu, sesungguhnya engkau hanyalah seorang guru.”

فَإِذَا صَحَّ جَوَازُ الْعَفْوِ عَنْهُ فَهُوَ ضَرْبَانِ

Maka apabila telah sah kebolehan memaafkannya, maka hal itu terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا مَا تَعَلَّقَ بِحَقِّ اللَّهِ تَعَالَى

Salah satunya adalah yang berkaitan dengan hak Allah Ta‘ala.

وَالثَّانِي مَا تَعَلَّقَ بِحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ

Yang kedua adalah hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak manusia.

فَأَمَّا الْمُتَعَلِّقُ بِحُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى فَكَالتَّعْزِيرِ بِأَسْبَابِ الزِّنَا وَالسَّرِقَةِ وَشُرْبِ الْخَمْرِ فَلِلْإِمَامِ أَنْ يَنْفَرِدَ بِالْعَفْوِ عَنْهُ إِذَا رَأَى ذَلِكَ صَلَاحًا لَهُ وَلَهُ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ وَيَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى خِيَارِهِ فِي الصُّلْحِ

Adapun yang berkaitan dengan hak-hak Allah Ta‘ala, seperti ta‘zīr karena sebab zina, pencurian, dan minum khamar, maka imam berhak secara mandiri memberikan pengampunan atasnya jika ia memandang hal itu sebagai kemaslahatan baginya, dan imam juga berhak menegakkannya, sehingga pelaksanaannya bergantung pada pilihannya dalam melakukan ishlāh (perdamaian).

وَأَمَّا الْمُتَعَلِّقُ بِحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَكَالْمُوَاثَبَةِ وَالْمُشَاتَمَةِ فَفِيهِ حَقٌّ للمشتوم والمضروب وحق الإمام فِي التَّقْوِيمِ وَالتَّهْذِيبِ فَلَا يَصِحُّ الْعَفْوُ عَنِ التَّعْزِيرِ فِيهِ إِلَّا بِاجْتِمَاعِهِمَا عَلَيْهِ فَإِنْ عَفَا الْإِمَامُ عَنْهُ لَمْ يَسْقُطْ حَقُّ الْمَضْرُوبِ مِنْهُ وَكَانَ لَهُ الْمُطَالَبَةُ بِهِ وَإِنْ عَفَا عَنْهُ الْمَضْرُوبُ وَالْمَشْتُومُ نُظِرَ فِي عَفْوِهِ فَإِنْ كَانَ بَعْدَ التَّرَافُعِ إِلَى الْإِمَامِ لَمْ يَسْقُطْ حَقُّ الإمام فيه وإن كان لَهُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِتَعْزِيرِهِ إلَّا أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُ

Adapun yang berkaitan dengan hak-hak manusia, seperti perkelahian dan saling mencaci, maka di dalamnya terdapat hak bagi orang yang dicaci dan dipukul, serta hak imam dalam menegakkan dan memperbaiki (masyarakat). Maka tidak sah penghapusan hukuman ta‘zīr di dalamnya kecuali dengan kesepakatan keduanya. Jika imam memaafkannya, maka hak orang yang dipukul tidak gugur darinya, dan ia tetap berhak menuntutnya. Jika orang yang dipukul dan dicaci memaafkannya, maka dilihat pada pemaafannya itu: jika setelah perkara tersebut diajukan kepada imam, maka hak imam tidak gugur di dalamnya, meskipun imam berhak untuk sendiri menjatuhkan ta‘zīr kecuali jika ia memaafkannya.

وَإِنْ كَانَ قَبْلَ التَّرَافُعِ إِلَى الْإِمَامِ فَفِي سُقُوطِ حَقِّ الْإِمَامِ مِنْهُ وَجْهَانِ

Jika hal itu terjadi sebelum perkara diajukan kepada imam, maka mengenai gugurnya hak imam darinya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وهو قول أبي عبيد اللَّهِ الزُّبَيْرِيِّ قَدْ سَقَطَ حَقُّهُ مِنْهُ وَلَيْسَ لَهُ التَّعْزِيرُ فِيهِ كَالْعَفْوِ عَنْ حَدِّ الْقَذْفِ يَمْنَعُ الْإِمَامَ مِنَ اسْتِيفَائِهِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ubaidillah az-Zubairi, menyatakan bahwa haknya telah gugur darinya dan ia tidak berhak mendapatkan ta‘zir dalam hal ini, sebagaimana pemaafan terhadap had qadzaf yang mencegah imam untuk menegakkannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَظْهَرُ لَا يَسْقُطُ حَقُّ الْإِمَامِ مِنْهُ؛ لِأَنَّ التقويم فيه من حقوق المصالح العامة فلو تشاتما وَتَوَاثَبَ وَالِدٌ مَعَ وَلَدِهِ سَقَطَ تَعْزِيرُ الْوَالِدِ فِي حَقِّ وَلَدِهِ وَلَمْ يَسْقُطْ تَعْزِيرُ الْوَلَدِ فِي حَقِّ وَالِدِهِ؛ لِأَنَّ الْوَالِدَ لَا يُحَدُّ لِوَلَدِهِ وَيُحَدُّ الْوَلَدُ لِوَالِدِهِ وَلَا يَسْقُطُ حَقُّ الْإِمَامِ فِي تَعْزِيرِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَيَكُونُ تعزير الوالد مختصاً بالإمام مُشْتَرَكًا بَيْنَ الْوَالِدِ وَالْإِمَامِ

Pendapat kedua, yang lebih kuat, adalah bahwa hak imam tidak gugur darinya; karena penegakan hukuman di dalamnya termasuk hak-hak kemaslahatan umum. Maka jika terjadi saling mencaci maki dan saling menyerang antara seorang ayah dan anaknya, hukuman ta‘zīr bagi ayah terhadap anaknya gugur, namun hukuman ta‘zīr bagi anak terhadap ayahnya tidak gugur; karena ayah tidak dikenai had oleh anaknya, sedangkan anak dikenai had oleh ayahnya. Hak imam dalam menjatuhkan ta‘zīr kepada masing-masing dari keduanya tidak gugur, sehingga hukuman ta‘zīr bagi ayah menjadi khusus bagi imam, dan menjadi hak bersama antara ayah dan imam.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّانِي فِي حُدُوثِ التَّلَفِ عَنْهُ فَهُوَ مَضْمُونٌ عَلَى الْإِمَامِ سَوَاءٌ اسْتَوْفَاهُ فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ فِي حُقُوقِ الْعِبَادِ

Adapun hukum kedua terkait terjadinya kerusakan yang disebabkan olehnya, maka hal itu menjadi tanggungan imam, baik ia melaksanakannya dalam hak-hak Allah Ta‘ala maupun dalam hak-hak hamba.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَضْمَنُهُ فِي الْحَالَيْنِ سَوَاءٌ أَوْجَبَهُ أَوْ أَبَاحَهُ كَالْحُدُودِ؛ لِحُدُوثِهِ عَنْ تَأْدِيبٍ مُسْتَحَقٍّ ودليلنا قضية عمر رضي الله عنه فِي إِجْهَاضِ الْمَرْأَةِ جَنِينَهَا حِينَ بَعَثَ إِلَيْهَا رسولا أَرْهَبَهَا فَشَاوَرَ عُثْمَانَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ فَقَالَا لَا شَيْءَ عَلَيْكَ إِنَّمَا أَنْتَ مُعَلِّمٌ فَشَاوَرَ عَلِيًّا عليه السلام وقال إِنْ كَانَ صَاحِبَاكَ مَا اجْتَهَدَا فَقَدْ غَشَّا وإن كان قَدِ اجْتَهَدَا فَقَدْ أَخْطَآ عَلَيْكَ الدِّيَةُ فَقَالَ عمر لعلي عزمت عليك ألا تَبْرَحَ حَتَّى تَضْرِبَهَا عَلَى قَوْمِكَ فَكَانَ سُكُوتُ عُثْمَانَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ الْجَوَابِ رُجُوعًا مِنْهُمَا إِلَى قَوْلِ عَلِيٍّ فَصَارَ ذَلِكَ إِجْمَاعًا مِنْ جَمِيعِهِمْ

Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban membayar ganti rugi dalam kedua keadaan, baik perbuatan itu diwajibkan maupun dibolehkan, seperti dalam kasus hudud; karena peristiwa itu terjadi sebagai bentuk ta’dib (pendidikan) yang memang berhak dilakukan. Dalil kami adalah kasus Umar radhiyallahu ‘anhu mengenai perempuan yang mengalami keguguran janinnya ketika beliau mengirim utusan kepadanya yang membuatnya takut. Lalu Umar bermusyawarah dengan Utsman dan Abdurrahman, keduanya berkata, “Tidak ada apa-apa atasmu, engkau hanyalah seorang pengajar.” Kemudian Umar bermusyawarah dengan Ali ‘alaihis salam, dan Ali berkata, “Jika kedua sahabatmu itu tidak berijtihad, maka mereka telah menipumu. Namun jika mereka telah berijtihad, maka mereka telah keliru. Atasmu ada diyat.” Maka Umar berkata kepada Ali, “Aku bersumpah atasmu agar engkau tidak pergi sebelum menetapkan diyat itu kepada kaummu.” Diamnya Utsman dan Abdurrahman dari menjawab merupakan rujuknya mereka kepada pendapat Ali, sehingga hal itu menjadi ijma‘ dari mereka semua.

وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ مَا أَحَدٌ يَمُوتُ فِي حَدٍّ يُقَامُ عليه فأجد فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا إِلَّا شَارِبَ الْخَمْرِ فَإِنَّهُ شَيْءٌ رَأَيْنَاهُ فَإِنْ مَاتَ فَدِيَتُهُ في بيت مال المسلمين أَوْ قَالَ عَلَى عَاقِلَةِ الْإِمَامِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ التَّعْزِيرَ مَضْمُونٌ؛ وَلِأَنَّ التَّعْزِيرَ لَمَّا نَقَصَ عَنْ قَدْرِ الْحُدُودِ خَالَفَ حُكْمَهَا فِي الضَّمَانِ كَضَرْبِ الْأَبِ وَالْمُعَلِّمِ فَإِذَا ضَمِنَ الْإِمَامُ دِيَةَ التَّالِفِ بِالتَّعْزِيرِ فَقَدْ ذَكَرْنَا فِي مَحَلِّهَا قَوْلَيْنِ

Hal ini ditunjukkan oleh perkataan Ali bin Abi Thalib: “Tidak ada seorang pun yang mati karena hukuman had yang ditegakkan atasnya, lalu aku merasa berat dalam hatiku terhadap hal itu, kecuali peminum khamr, karena itu adalah sesuatu yang kami saksikan sendiri. Jika ia mati, maka diyatnya diambil dari Baitul Mal kaum Muslimin atau ia berkata: atas ‘aqilah imam.” Ini menunjukkan bahwa ta‘zir itu mengandung jaminan; dan karena ta‘zir, ketika kadarnya lebih ringan daripada had, maka hukumnya berbeda dalam hal jaminan, seperti pukulan ayah dan guru. Maka jika imam menanggung diyat orang yang binasa karena ta‘zir, kami telah menyebutkan dalam tempatnya dua pendapat.

أَحَدُهُمَا عَلَى عَاقِلَةِ الْإِمَامِ وَتَكُونُ الْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ

Salah satunya ditanggung oleh ‘āqilah imam, dan kafaratnya diambil dari hartanya.

وَالثَّانِي فِي بَيْتِ الْمَالِ وَفِي الْكَفَّارَةِ وَجْهَانِ

Yang kedua, dalam masalah baitul mal dan dalam kafarat terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا فِي مَالِهِ

Salah satunya adalah pada hartanya.

وَالثَّانِي فِي بَيْتِ المال

Dan yang kedua adalah di Baitul Mal.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِذَا كَانَتْ بِرَجُلٍ سِلْعَةٌ فَأَمَرَ السُّلْطَانُ بِقَطْعِهَا أَوْ أَكَلَةٌ فَأَمَرَ بِقَطْعِ عُضْوٍ مِنْهُ فَمَاتَ فَعَلَى السُّلْطَانِ الْقَوَدُ فِي الْمُكْرَهِ وَقَدْ قِيلَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي الَّذِي لَا يَعْقِلُ وَقِيلَ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي الَّذِي لَا يَعْقِلُ وَعَلَيْهِ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ وَأَمَّا غَيْرُ السُّلْطَانِ يَفْعَلُ هَذَا فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang memiliki penyakit (seperti tumor) lalu penguasa memerintahkan untuk memotongnya, atau memiliki penyakit yang mengharuskan pemotongan anggota tubuh lalu penguasa memerintahkan pemotongan anggota tubuh tersebut, kemudian orang itu meninggal, maka atas penguasa berlaku qishāsh dalam kasus orang yang dipaksa. Ada yang berpendapat bahwa atas penguasa berlaku qishāsh dalam kasus orang yang tidak berakal, dan ada pula yang berpendapat tidak ada qishāsh atas penguasa dalam kasus orang yang tidak berakal, tetapi wajib membayar diyat dari hartanya. Adapun selain penguasa yang melakukan hal ini, maka atasnya berlaku qishāsh.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا السِّلْعَةُ بِكَسْرِ السِّينِ فَهِيَ الْعُقْدَةُ الْبَارِزَةُ مِنَ الْبَدَنِ وَأَمَّا السَّلْعَةُ بِفَتْحِ السِّينِ فَهِيَ الشَّجَّةُ الدَّاخِلَةُ فِي الرَّأْسِ وَصُورَةُ الْمَسْأَلَةِ فِي إِنْسَانٍ بِهِ سِلْعَةٌ أَوْ أَكَلَةٌ فَقُطِعَتْ مِنْهُ السِّلْعَةُ أَوْ عُضْوُ الْأَكَلَةِ فَمَاتَ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Adapun ‘sil‘ah’ dengan kasrah pada huruf sin, maka itu adalah benjolan yang menonjol dari tubuh. Sedangkan ‘sal‘ah’ dengan fathah pada huruf sin, maka itu adalah luka yang masuk ke dalam kepala. Gambaran masalahnya adalah pada seseorang yang memiliki sil‘ah atau akalah, lalu sil‘ah atau anggota tubuh yang terkena akalah itu dipotong darinya, kemudian ia meninggal dunia. Maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan.”

إِمَّا أَنْ يَكُونَ جَائِزَ الْأَمْرِ أَوْ مُوَلًّى عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ جَائِزَ الأمر بالبلوغ والعقل لم يخل أن تقطع بِإِذْنِهِ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَإِنْ قُطِعَتْ بِإِذْنِهِ فَلَا قَوَدَ عَلَى قَاطِعِهَا سَوَاءٌ كَانَ قَطْعُهَا مُخَوِّفًا أَوْ غَيْرَ مُخَوِّفٍ؛ لِأَنَّ فِي الْإِذْنِ إِبْرَاءً

Seseorang itu bisa jadi adalah orang yang berwenang atas urusannya sendiri atau berada di bawah perwalian. Jika ia adalah orang yang berwenang atas urusannya sendiri karena telah baligh dan berakal, maka pemotongan (anggota tubuhnya) bisa terjadi dengan izinnya atau tanpa izinnya. Jika dipotong dengan izinnya, maka tidak ada qishāsh atas orang yang memotongnya, baik pemotongan itu menimbulkan kekhawatiran atau tidak; karena izin tersebut merupakan bentuk pelepasan hak.

وَفِي وُجُوبِ الدِّيَةِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي دِيَةِ الْقَتِيلِ هَلْ تَجِبُ لَهُ فِي آخِرِ حَيَاتِهِ أَوْ تَجِبُ ابْتِدَاءً لِلْوَرَثَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ

Terdapat dua pendapat mengenai kewajiban diyat atasnya, yang didasarkan pada perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang diyat bagi orang yang terbunuh: apakah diyat itu wajib baginya di akhir hayatnya, ataukah diyat itu sejak awal menjadi hak ahli warisnya setelah kematiannya.

فَإِنْ قِيلَ تجب فِي آخِرِ حَيَاتِهِ فَلَا دِيَةَ عَلَى الْقَاطِعِ لِإِبْرَائِهِ مِنْهَا بِالْإِذْنِ

Jika dikatakan bahwa kewajiban itu ada pada akhir hidupnya, maka tidak ada diyat atas orang yang memotongnya karena ia telah dibebaskan darinya dengan izin.

وَإِنْ قِيلَ تَجِبُ لِوَرَثَتِهِ بعد موته فعلى القاطع الدية لأن المستبرئ منها غير الْمُسْتَحِقِّ لَهَا وَإِنْ قَطَعَهَا بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ سَوَاءٌ كَانَ الْقَاطِعُ لَهَا سُلْطَانًا أَوْ نَائِبًا كَانَ فِي قَطْعِهَا صَلَاحٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ؛ لِأَنَّ جَوَازَ أَمْرِهِ يَمْنَعُ مِنَ الْوِلَايَةِ عَلَى بَدَنِهِ وَهُوَ أَحَقُّ بِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مِنْ غَيْرِهِ فَصَارَ قَطْعُهَا مِنْهُ تَعَدِّيًا عَلَيْهِ فَإِنْ عَفَا عَنِ الْقَوَدِ كَانَتِ الدِّيَةُ حَالَّةً في مال القاطع؛ لأنها دية عند محصن

Dan jika dikatakan bahwa hak itu wajib bagi ahli warisnya setelah kematiannya, maka bagi pelaku pemotongan wajib membayar diyat, karena orang yang membebaskan diri darinya bukanlah orang yang berhak atasnya. Jika ia memotongnya tanpa izin, maka wajib atasnya qishāsh, baik yang memotong itu seorang penguasa atau wakil, baik dalam pemotongan itu terdapat kemaslahatan atau tidak; karena kebolehan perintahnya mencegah adanya kewenangan atas tubuhnya, dan ia lebih berhak atas kemaslahatan dirinya daripada orang lain. Maka pemotongan itu darinya dianggap sebagai tindakan melampaui batas terhadapnya. Jika ia memaafkan dari qishāsh, maka diyat menjadi wajib secara tunai atas harta pelaku pemotongan; karena itu adalah diyat pada orang yang muḥṣan.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا كَانَ الْمَقْطُوعُ مُوَلًّى عَلَيْهِ بِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ فَلَا اعْتِبَارَ بِإِذْنِهِ؛ لِارْتِفَاعِ حُكْمِهِ وَلِلْقَاطِعِ حَالَتَانِ

Jika orang yang dipotong (walinya) berada di bawah perwalian karena masih kecil atau gila, maka izinnya tidak dianggap; karena hilangnya kekuatan hukumnya. Adapun bagi orang yang memotong, terdapat dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ لَا وِلَايَةَ عَلَيْهِ بِنَسَبٍ وَلَا حُكْمٍ فَالْقَوَدُ عَلَيْهِ واجب لتعديه سواء كانت في قطعها صلاح أو لم يكن وإن عَفَا عَنِ الْقَوَدِ كَانَتِ الدِّيَةُ حَالَّةً فِي ماله

Salah satunya adalah jika pelaku bukanlah orang yang memiliki hubungan perwalian baik karena nasab maupun hukum, maka qishāsh wajib dilaksanakan atasnya karena ia telah melampaui batas, baik pemotongan itu membawa maslahat atau tidak. Jika dimaafkan dari qishāsh, maka diyat menjadi wajib dan harus dibayarkan dari hartanya secara langsung.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ لِلْقَاطِعِ وِلَايَةٌ عَلَيْهِ فلا يخلوا حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Keadaan kedua adalah apabila orang yang memutuskan memiliki kekuasaan (wilāyah) atasnya, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ وِلَايَتُهُ بِسَلْطَنَةٍ

Salah satunya adalah bahwa kekuasaannya didasarkan pada kekuasaan (sulṭānah).

وَالثَّانِي أَنْ تَكُونَ وِلَايَتُهُ بِنَسَبٍ

Yang kedua adalah bahwa kekuasaannya berdasarkan nasab.

والثالث بِاسْتِنَابَةٍ

Dan yang ketiga adalah dengan perwakilan.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الوالي سُلْطَانًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Adapun bagian pertama, yaitu apabila wali adalah seorang sulṭān, maka terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ قَطْعُهَا أَخْوَفَ مِنْ تَرْكِهَا فَالْقَوَدُ فِيهَا عَلَى السُّلْطَانِ وَاجِبٌ؛ لِأَنَّهَا جِنَايَةٌ مِنْهُ

Salah satunya adalah jika pemotongan itu lebih dikhawatirkan daripada meninggalkannya, maka qishāsh dalam hal ini wajib atas penguasa, karena itu merupakan tindak kejahatan darinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ تَرْكُهَا أَخْوَفَ مِنْ قَطْعِهَا فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ

Jenis kedua adalah apabila membiarkannya lebih dikhawatirkan daripada memotongnya, maka dalam kewajiban qishāsh atasnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا قَوَدَ عَلَيْهِ؛ لأنها من مصالحه وعليه الدية؛ لأنها من خطئه

Salah satunya tidak dikenakan qishāsh atasnya, karena hal itu demi kemaslahatannya, dan ia wajib membayar diyat, karena itu merupakan kesalahannya.

والقول الثَّانِي عَلَيْهِ الْقَوَدُ؛ لِأَنَّهُ عَجَّلَ مِنْ تَلَفِهِ ما كان مؤخراً فَهَذَا حُكْمُ السُّلْطَانِ إِنْ لَمْ يَكُنْ إِمَامًا كالأمير والقاضي وإن كَانَ إِمَامًا فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ كغيره من أمير وقاض؛ لِعُمُومِ وِلَايَةِ جَمِيعِهِمْ

Pendapat kedua menyatakan bahwa atasnya berlaku qisas, karena ia telah mempercepat kematian yang seharusnya terjadi belakangan. Inilah hukum bagi penguasa jika ia bukan seorang imam, seperti amir atau qadhi. Namun, jika ia adalah seorang imam, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat. Salah satunya adalah bahwa wajib atasnya qisas sebagaimana atas selainnya, seperti amir dan qadhi, karena keumuman wilayah kekuasaan mereka semua.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَأَشَارَ إِلَيْهِ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ أَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ بِخِلَافِ غَيْرِهِ لِأَمْرَيْنِ

Pendapat kedua, yang telah disinggung oleh Abu Ishaq al-Marwazi, adalah bahwa tidak ada qishāsh atasnya, berbeda dengan selainnya, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مِنَ التُّهْمَةِ أبعد

Salah satunya adalah karena hal itu lebih jauh dari tuduhan.

والثاني أن ولايته أعم

Yang kedua, bahwa wilayahnya lebih umum.

وَإِذَا وَجَبَتِ الدِّيَةُ فَإِنْ قِيلَ بِاسْتِحْقَاقِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ كَانَتْ دِيَةَ عَمْدٍ تَجِبُ فِي مَالِهِ حَالَّةً وَلَا تَكُونُ عَلَى عَاقِلَتِهِ وَلَا فِي بَيْتِ الْمَالِ

Dan apabila diyat telah menjadi wajib, maka jika dikatakan bahwa pelaku berhak dikenai qishāsh, maka diyat ‘amdan (diyat karena pembunuhan sengaja) wajib dibayarkan dari hartanya secara tunai, dan tidak dibebankan kepada ‘āqilah-nya maupun dari baitul mal.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْقَوَدَ لَا يستحق كان دِيَةَ عَمْدٍ شِبْهَ الْخَطَأِ؛ لِأَنَّهُ عَامِدٌ فِي فِعْلِهِ مُخْطِئٌ فِي قَصْدِهِ وَأَيْنَ تَكُونُ الدِّيَةُ عَلَى قَوْلَيْنِ

Dan jika dikatakan bahwa qawad (pembalasan setimpal) tidak berhak dilakukan, maka yang berlaku adalah diyat ‘amdi syibh al-khatha’ (diyat pembunuhan sengaja yang mirip dengan kesalahan); karena pelaku sengaja dalam perbuatannya namun keliru dalam maksudnya, dan mengenai di mana diyat itu dibebankan terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا عَلَى عَاقِلَتِهِ

Salah satunya menjadi tanggungan ‘āqilah-nya.

وَالثَّانِي فِي بيت المال

Dan yang kedua berada di Baitul Mal.

وأما القسم الثاني أن يكون الوالي عَلَيْهِ مُنَاسِبًا لَهُ كَالْأَبِ وَالْجَدِّ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُقَادُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ وَيُنْظَرُ فِي قَطْعِهَا فَإِنْ كَانَ تَرْكُهَا أَخْوَفَ مِنْ قَطْعِهَا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ بِخِلَافِ السُّلْطَانِ لِأَمْرَيْنِ

Adapun bagian kedua, yaitu apabila wali terhadapnya adalah orang yang memiliki hubungan yang sesuai seperti ayah atau kakek, maka tidak ada qishāsh atasnya; karena seorang orang tua tidak dikenai qishāsh karena anaknya. Dalam hal pemotongan (anggota tubuh), maka dilihat: jika membiarkannya lebih dikhawatirkan daripada memotongnya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, berbeda dengan sultan karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مِنَ التُّهْمَةِ أَبْعَدُ

Salah satunya adalah karena hal itu lebih jauh dari tuduhan.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لمصالحه أَخَصُّ

Dan yang kedua, bahwa (hukum itu) lebih khusus untuk kemaslahatannya.

وَإِنْ كَانَ قَطْعُهَا أَخْوَفَ مِنْ تَرْكِهَا ففي ضمانه للدية وجهان

Dan jika memotongnya (anggota tubuh) lebih dikhawatirkan daripada membiarkannya, maka dalam hal kewajiban membayar diyat terdapat dua pendapat.

أحدهما يَضْمَنُهَا لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْأَمْرَيْنِ

Salah satunya wajib menanggungnya karena dua hal yang telah kami sebutkan.

وَالثَّانِي يَضْمَنُهَا لِظُهُورِ الْمَصْلَحَةِ فِي تَرْكِهَا

Yang kedua, ia wajib menggantinya karena tampak adanya kemaslahatan dalam meninggalkannya.

وَهَلْ تَكُونُ دِيَةَ عَمْدٍ تُتَعَجَّلُ فِي مَالِهِ أَوْ دِيَةَ خَطَأٍ شِبْهِ الْعَمْدِ تُؤَجَّلُ عَلَى عَاقِلَتِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Apakah diyat pembunuhan sengaja harus segera dibayarkan dari hartanya, ataukah diyat pembunuhan karena kesalahan yang mirip dengan sengaja yang ditangguhkan pembayarannya oleh ‘āqilah-nya? Terdapat dua pendapat dalam hal ini.

وأما القسم الثالث أن يكون الوالي عَلَيْهِ مُسْتَنَابًا وَهُمْ صِنْفَانِ وَصِيُّ أَبٍ وَأَمِينُ حَاكِمٍ وَفِيهِمَا وَجْهَانِ

Adapun bagian ketiga adalah apabila wali atasnya merupakan orang yang diangkat sebagai pengganti, dan mereka terbagi menjadi dua golongan: washi (wali) dari ayah dan amin (kepercayaan) dari hakim, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَوَدَ عَلَيْهِمَا فِي الْأَحْوَالِ وَاجِبٌ لِاخْتِصَاصِ وِلَايَتِهِمَا بِمَالِهِ دُونَ بدنه

Salah satunya adalah bahwa qawad atas keduanya dalam beberapa keadaan adalah wajib karena kekhususan wewenang mereka hanya pada hartanya, bukan pada badannya.

والوجه الثاني أنه يجري عليه حُكْمُ مَنِ اسْتَنَابَهُمَا لِقِيَامِهِمَا بِالِاسْتِنَابَةِ مَقَامَهُ فَإِنْ كَانَ وَصِيَّ أَبٍ أُجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْأَبِ إِذَا قَطَعَهَا وَإِنْ كَانَ أَمِينَ حَاكِمٍ أُجْرِي عليه حكم الحاكم إذا قطعها

Adapun sisi yang kedua adalah bahwa berlaku atasnya hukum orang yang mewakilkan kepada keduanya, karena keduanya menjalankan perwakilan sebagai pengganti dirinya. Jika ia adalah washi (wali) dari seorang ayah, maka berlaku atasnya hukum ayah apabila ia memutuskan perkara tersebut. Dan jika ia adalah amīn (pengelola) yang ditunjuk oleh hakim, maka berlaku atasnya hukum hakim apabila ia memutuskan perkara tersebut.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ كَانَ رَجُلٌ أَغْلَفُ أَوِ امْرَأَةٌ لَمْ تخفض فأمر السلطان فعزرا فماتا لَمْ يَضْمَنِ السُّلْطَانُ لِأَنَّهُ كَانَ عَلَيْهِمَا أَنْ يفعلا إلا أن يعزرهما في حر أَوْ بَرْدٍ مُفْرِطٍ الْأَغْلَبُ أَنَّهُ لَا يَسْلَمُ مَنْ عُزِّرَ فِي مِثْلِهِ فَيَضْمَنُ عَاقِلَتُهُ الدِّيَةَ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika ada seorang laki-laki yang belum disunat atau seorang perempuan yang belum dikhitan, lalu penguasa memerintahkan agar mereka dihukum ta‘zīr, kemudian mereka meninggal dunia, maka penguasa tidak menanggung diyat, karena memang seharusnya mereka menjalani hukuman itu. Kecuali jika penguasa menjatuhkan hukuman ta‘zīr pada saat panas atau dingin yang sangat, yang umumnya orang tidak selamat jika dihukum dalam kondisi seperti itu, maka ‘āqilah penguasa wajib membayar diyat.”

قال الماوردي أما الختان فرض وَاجِبٌ فِي الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ

Al-Mawardi berkata, “Adapun khitan adalah fardhu yang wajib bagi laki-laki dan perempuan.”

وقال أبو حنيفة هو سنة يأثم عَلَى قَوْلِ الْعِرَاقِيِّينَ مِنْ أَصْحَابِهِ

Abu Hanifah berkata bahwa itu adalah sunnah, dan menurut pendapat para ulama Irak dari kalangan pengikutnya, seseorang berdosa jika meninggalkannya.

وَقَالَ الْخُرَاسَانِيُّونَ مِنْهُمْ هُوَ وَاجِبٌ وَلَيْسَ بِفَرْضٍ كَمَا قَالُوهُ فِي الْوِتْرِ وَالْأُضْحِيَّةِ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِمْ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالْوَاجِبِ وَاسْتِدْلَالًا بِمَا رَوَى قَتَادَةُ عَنْ أَبِي الْمُلَيْحِ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ الْمَضْمَضَةُ وَالِاسْتِنْشَاقُ وَالسِّوَاكُ وَإِحْفَاءُ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَقَلْمُ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَالْخِتَانُ فَلَمَّا جعله من الفطرة والظاهر من الفطرة أنه السنة وَقَرَنَهُ بِمَا لَيْسَ بِوَاجِبٍ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ غير واجب قال ولأنه قطع الشيء مِنَ الْجَسَدِ يُقْصَدُ بِهِ التَّنْظِيفُ فَوَجَبَ أَنْ يكون مستحباً كتقليم الأظفار وحلق الشعر

Dan para ulama Khurasan dari kalangan mereka berpendapat bahwa hukum khitan adalah wajib, namun bukan fardhu, sebagaimana yang mereka katakan tentang witir dan udhiyah, berdasarkan prinsip mereka dalam membedakan antara fardhu dan wajib. Mereka juga berdalil dengan riwayat Qatadah dari Abu al-Malih dari ayahnya, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Sepuluh perkara dari fitrah: berkumur, menghirup air ke hidung, bersiwak, mencukur kumis, memelihara jenggot, memotong kuku, membasuh ruas-ruas jari, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, dan khitan.” Maka ketika khitan dijadikan bagian dari fitrah, dan yang tampak dari fitrah adalah sunnah, serta Nabi mengaitkannya dengan perkara-perkara yang bukan wajib, hal itu menunjukkan bahwa khitan bukanlah wajib. Mereka juga berkata, karena khitan adalah memotong sesuatu dari tubuh yang tujuannya untuk membersihkan, maka hukumnya seharusnya mustahab (dianjurkan), seperti memotong kuku dan mencukur rambut.

وقال وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْخِتَانِ إِزَالَةُ الْقُلْفَةِ الَّتِي تَغْشَى الْحَشَفَةَ لِيُمْكِنَ إِزَالَةُ الْبَوْلِ عَنْهَا وَهُوَ مَعْفُوٌّ عَنْهُ عِنْدَهُمْ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ

Dan karena tujuan dari khitan adalah menghilangkan kulup yang menutupi kepala zakar agar memungkinkan membersihkan air kencing darinya, sedangkan hal itu dimaafkan menurut mereka, maka hal ini menunjukkan bahwa khitan bukanlah suatu kewajiban.

ودليلنا قول الله عز وجل ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا النحل 123 وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ أَوَّلَ مَنِ اخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ رُوِيَ مُخَفَّفًا وَمُشَدَّدًا فَمَنْ رَوَاهُ مُخَفَّفًا جَعَلَهُ اسْمَ الْمَكَانِ الَّذِي اخْتَتَنَ فِيهِ وَمَنْ رواه مشدداً جعله اسم الفأس الذي اختتن به

Dan dalil kami adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu: Ikutilah millah Ibrahim yang hanif.” (an-Nahl: 123). Dan Ibrahim adalah orang pertama yang berkhitan dengan al-qadūm; ada yang meriwayatkannya dengan bacaan ringan dan ada pula yang dengan bacaan berat. Barang siapa yang meriwayatkannya dengan bacaan ringan, maka ia menjadikannya sebagai nama tempat di mana Ibrahim berkhitan. Sedangkan yang meriwayatkannya dengan bacaan berat, maka ia menjadikannya sebagai nama kapak yang digunakan untuk berkhitan.

وقيل اخْتَتَنَ وَهُوَ ابْنُ سَبْعِينَ سَنَةً

Dan dikatakan bahwa ia berkhitan ketika berumur tujuh puluh tahun.

وَقِيلَ ثَمَانِينَ سنة ولا يفعل ذلك بهذه السِّنِّ إِلَّا عَنْ أَمْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَوَحْيِهِ

Dan dikatakan delapan puluh tahun, dan tidaklah seseorang melakukan hal itu pada usia setua ini kecuali atas perintah Allah Ta‘ala dan wahyu-Nya.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ لِرَجُلٍ أَسْلَمَ ” أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الكفر واختتن فهذا أَمْرٌ يَقْتَضِي الْوُجُوبَ

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau berkata kepada seorang laki-laki yang masuk Islam, “Buanglah rambut kekufuran darimu dan berkhitanlah.” Ini adalah perintah yang menunjukkan kewajiban.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” أَيُّمَا رَجُلٍ حَجَّ قَبْلَ أَنْ يَخْتَتِنَ لَمْ يُقْبَلْ حَجُّهُ قَالَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْمُبَالَغَةِ تَأْكِيدًا لِإِيجَابِهِ

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Siapa saja laki-laki yang menunaikan haji sebelum dikhitan, maka hajinya tidak diterima.” Hal itu dikatakan dalam bentuk penegasan yang sangat kuat untuk menekankan kewajibannya.

وَمِنَ الِاعْتِبَارِ أَنَّهُ قَطْعُ تَعَبُّدٍ مِنْ جَسَدِهِ مَا لَا يُسْتَخْلَفُ بَعْدَ قَطْعِهِ؛ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ فَرْضًا كَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ

Dan termasuk pertimbangan adalah bahwa itu merupakan pemotongan bagian tubuh sebagai bentuk pengabdian yang tidak dapat tergantikan setelah dipotong; maka wajib hukumnya sebagaimana pemotongan (tangan) dalam kasus pencurian.

وَقَوْلُنَا تَعَبُّدًا احترازاً عن قطع الأكل من الجسد فَإِنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ

Dan ucapan kami “sebagai bentuk penghambaan” adalah untuk membedakan dari larangan memotong makanan dari tubuh, karena hal itu tidak wajib.

وَقَوْلُنَا مَا لَا يُسْتَخْلَفُ احْتِرَازًا مِنَ الشَّعْرِ وَالْأَظْفَارِ؛ وَلِأَنَّ فِي الْخِتَانِ قَطْعَ عُضْوٍ وَإِدْخَالَ أَلَمٍ عَلَى النَّفْسِ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ إِلَّا فِي وَاحِدٍ مِنْ ثَلَاثَةٍ إما المصلحة أَوْ عُقُوبَةٌ أَوْ وَاجِبٌ فَلَمَّا لَمْ يَكُنْ فِي الْخِتَانِ مَصْلَحَةٌ وَلَا عُقُوبَةٌ دَلَّ عَلَى أنه واجب

Dan pernyataan kami “yang tidak dapat tumbuh kembali” dimaksudkan untuk mengecualikan rambut dan kuku; karena dalam khitan terdapat pemotongan anggota tubuh dan menimbulkan rasa sakit pada diri, dan hal itu tidak diperbolehkan kecuali dalam salah satu dari tiga hal: adanya maslahat, hukuman, atau kewajiban. Maka ketika dalam khitan tidak terdapat maslahat maupun hukuman, hal itu menunjukkan bahwa khitan adalah wajib.

وأما الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ الْخِتَانُ سُنَّةٌ مَعَ ضَعْفِ طَرِيقِهِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas ucapannya bahwa khitan adalah sunnah, padahal jalur periwayatannya lemah, maka ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ السُّنَّةَ هِيَ الطريقة المتبعة قد يَكُونُ ذَلِكَ وَاجِبًا وَمُسْتَحَبًّا وَلِذَلِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي

Salah satunya adalah bahwa sunnah merupakan cara yang diikuti, yang bisa berupa sesuatu yang wajib maupun yang mustahab. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk setelahku.”

وَالثَّانِي أَنَّهُ أَشَارَ بِالسُّنَّةِ إِلَى مَا قَبْلَ الْبُلُوغِ؛ لِأَنَّ وُجُوبَهُ يَكُونُ بَعْدَ الْبُلُوغِ

Yang kedua, bahwa ia menunjukkan dengan sunah kepada masa sebelum baligh; karena kewajibannya berlaku setelah baligh.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ فَهُوَ أن الفطرة الدين قال الله تعالى فطرة اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا الروم 30 يَعْنِي دينهم الَّذِي فَطَرَهُمْ عَلَيْهِ

Adapun jawaban atas ucapannya “sepuluh perkara dari fitrah” adalah bahwa fitrah itu adalah agama. Allah Ta’ala berfirman: “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” (QS. Ar-Rum: 30), maksudnya adalah agama mereka yang Allah telah menciptakan mereka di atasnya.

وَمَا قَرَنَ بِهِ مِنْ غَيْرِ الْوَاجِبَاتِ لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ فِي حكمها؛ لأنه قد يقترن الواجب بغير واجب كَمَا قَالَ تَعَالَى كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ الأنعام 141

Apa yang disandingkan dengannya dari selain kewajiban tidak menunjukkan bahwa ia memiliki hukum yang sama; karena bisa saja sesuatu yang wajib disandingkan dengan sesuatu yang tidak wajib, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Makanlah dari buahnya bila ia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya.” (Al-An‘am: 141).

وَأَمَّا الجواب عن قياسهم عن الْحَلْقِ وَالتَّقْلِيمِ فَمِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka mengenai mencukur dan memotong kuku adalah dari tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّ قَوْلَهُمْ يُقْصَدُ بِهِ التَّنْظِيفَ غَيْرَ مُسَلَّمٍ؛ لِأَنَّهُ يُقْصَدُ بِهِ تَأْدِيَةُ الْفَرْضِ دُونَ التَّنْظِيفِ؛ لِأَنَّ مقصود التَّنْظِيفِ بِالْمَاءِ دُونَ غَيْرِهِ وَلِأَنَّهُ يُمْكِنُ غَسْلُ الْبَوْلِ مَعَ بَقَائِهِ

Salah satunya adalah bahwa pernyataan mereka yang dimaksudkan untuk membersihkan tidak dapat diterima; karena yang dimaksud adalah menunaikan kewajiban, bukan membersihkan; sebab tujuan membersihkan adalah dengan air, bukan dengan selainnya, dan karena mungkin saja air seni dicuci namun masih tersisa.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ وَإِنْ قَصَدَ بِهِ التَّنْظِيفَ أَنْ يَكُونَ فَرْضًا كَالْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ

Dan yang kedua, bahwa hal itu tidak terlarang, meskipun diniatkan untuk membersihkan diri, untuk menjadi suatu kewajiban seperti wudu dan mandi janabah.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَأْثَمْ بِتَرْكِ الشَّعْرِ وَأَثِمَ بِتَرْكِ الْخِتَانِ دَلَّ عَلَى افْتِرَاقِهِمَا فِي حُكْمِ الْوُجُوبِ وَفِي هذا جواب اسْتِدْلَالِهِمْ

Ketiga, bahwa ketika seseorang tidak berdosa karena meninggalkan rambut, tetapi berdosa karena meninggalkan khitan, hal itu menunjukkan perbedaan keduanya dalam hukum kewajiban. Dan dalam hal ini terdapat jawaban atas dalil yang mereka ajukan.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْخِتَانِ فِي الرجال والنساء فهو من الرِّجَالِ يُسَمَّى إعْذَارًا وَفِي النِّسَاءِ يُسَمَّى خَفْضًا وَيُسَمَّى غَيْرُ الْمَعْذُورِ مِنَ الرِّجَالِ أَغْلَفَ وَأَقْلَفَ وَإِعْذَارُ الرَّجُلِ هُوَ قَطْعُ الْقُلْفَةِ الَّتِي تَغْشَى الْحَشَفَةَ وَالسُّنَّةُ أَنْ تستوعب من أصلها وأقل ما يجزي فيه ألا يتغير بِهَا شَيْءٌ مِنَ الْحَشَفَةِ

Apabila telah tetap kewajiban khitan bagi laki-laki dan perempuan, maka pada laki-laki disebut i‘dzār dan pada perempuan disebut khafdh. Laki-laki yang belum dikhitan disebut ghayru al-ma‘dzūr, aghlaf, atau aqlaf. I‘dzār pada laki-laki adalah memotong kulup yang menutupi kepala zakar, dan sunnahnya adalah memotong dari pangkalnya secara menyeluruh. Batas minimal yang dianggap cukup adalah tidak ada bagian kepala zakar yang berubah karenanya.

وَأَمَّا خَفْضُ الْمَرْأَةِ فَهُوَ قَطْعُ جِلْدَةٍ تَكُونُ فِي الْفَرْجِ فَوْقَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ وَمَخْرَجِ الْبَوْلِ عَلَى أَصْلٍ كَالنَّوَاةِ تؤخذ منه الْجِلْدَةُ الْمُسْتَعْلِيَةُ دُونَ أَصْلِهَا رَوَى ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” يَا أُمَّ عَطِيَّةَ إِذَا خَفَضْتِ فَأَشِمِّي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلْوَجْهِ وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ

Adapun khitan perempuan adalah memotong kulit yang berada di kemaluan, di atas tempat masuknya penis dan keluarnya air kencing, pada bagian dasar yang menyerupai biji, diambil darinya kulit yang menonjol tanpa mengambil dasarnya. Tsabit meriwayatkan dari Anas bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Wahai Ummu ‘Athiyyah, jika engkau mengkhitan, maka tipiskanlah dan jangan berlebihan, karena itu lebih mencerahkan wajah dan lebih disenangi oleh suami.”

وَقَوْلُهُ ” أَشِمِّي أَيْ لَا تُبَالِغِي

Dan ucapannya “Asyimmi” maksudnya adalah janganlah berlebihan.

وَفِي قوله ” أسرى للوجه وأحظى عند الزوج تأويلان

Dalam pernyataannya “lebih menutupi wajah dan lebih menyenangkan bagi suami” terdapat dua penafsiran.

أحدهما أصفى للون

Salah satunya lebih jernih warnanya.

وَالثَّانِي مَا يَحْصُلُ لَهَا فِي نَفْسِ الزَّوْجِ من الحظوة بها

Yang kedua adalah apa yang didapatkan olehnya di dalam diri suami berupa kehormatan karena memilikinya.

وَلِلْخِتَانِ وَقْتَانِ وَقْتُ اسْتِحْبَابٍ وَوَقْتُ وُجُوبٍ فَأَمَّا وقت الاستحباب فما قبل البلوغ

Khitan memiliki dua waktu, yaitu waktu anjuran dan waktu kewajiban. Adapun waktu anjuran adalah sebelum baligh.

والأختتان أن يختتن فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سن اختتان الْمَوْلُودِ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ وَفِيهِ يَعِقُّ عَنْهُ وختن الحسن والحسين عليهما السلام فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَحْتَسِبُ فيها يوم الْوِلَادَةِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Disunnahkan untuk melakukan khitan pada hari ketujuh, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan sunnah khitan bagi bayi pada hari ketujuh, dan pada hari itu pula dilakukan aqiqah untuknya. Hasan dan Husain ‘alaihimas salam juga dikhitan pada hari ketujuh. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah hari kelahiran dihitung sebagai hari pertama atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَحْتَسِبُ يوم الولادة ويختتن في السَّابِعِ مِنْهُ

Salah satunya adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu hari kelahiran dihitung dan khitan dilakukan pada hari ketujuh darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ لا يحتسب به ويختتن في السابع بعد يوم الولادة

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat mayoritas ulama, adalah tidak dihitung dengannya dan disunnahkan khitan pada hari ketujuh setelah kelahiran.

وهكذا روي ختان الحسن والحسين أنه كان فِي اليوم السَّابِعِ بَعْدَ يَوْمِ الْوِلَادَةِ فَإِنِ اختتن قَبْلَ السَّابِعِ كَرِهْنَاهُ وَإِنْ أَجْزَأَ لِضَعْفِ الْمَوْلُودِ عن احتماله سواء فِي ذَلِكَ الْغُلَامُ أَوِ الْجَارِيَةُ

Demikian pula diriwayatkan bahwa khitan Hasan dan Husain dilakukan pada hari ketujuh setelah hari kelahiran. Jika khitan dilakukan sebelum hari ketujuh, kami memakruhkannya, meskipun tetap sah, karena lemahnya bayi untuk menanggungnya, baik itu bayi laki-laki maupun perempuan.

فَإِنْ أَخَّرَ عن اليوم السابع المستحب بعده أن يختتن فِي الْأَرْبَعِينَ يَوْمًا؛ لِأَنَّ فِيهِ أَثَرًا فَإِنْ أخر عنه فالمستحب بعده أن يختتن فِي السَّنَةِ السَّابِعَةِ؛ لِأَنَّهُ الْوَقْتُ الَّذِي يُؤْمَرُ فيه بالطهارة والصلاة ويميز بَيْنَ أَبَوَيْهِ فَإِنْ لَمْ يَخْتَتِنْ حَتَّى بَلَغَ صَارَ وَقْتُ الْخِتَانِ

Jika seseorang menunda khitan dari hari ketujuh yang dianjurkan, maka setelahnya yang disunnahkan adalah berkhitan pada hari keempat puluh, karena terdapat atsar tentang hal itu. Jika masih menundanya lagi, maka yang disunnahkan setelahnya adalah berkhitan pada tahun ketujuh, karena itu adalah waktu di mana anak diperintahkan untuk bersuci dan shalat serta dapat membedakan antara kedua orang tuanya. Jika belum juga berkhitan hingga baligh, maka saat itulah waktu khitan.

فَرْضًا يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ فِعْلُهُ فِي نَفْسِهِ وَيُؤْخَذُ بِهِ جَبْرًا فِي أَوَّلِ أوقات إمكانه

Kewajiban yang harus dilakukan oleh dirinya sendiri dan dipaksakan untuk dilaksanakan pada awal waktu kemungkinannya.

وَلَا يُؤَخِّرُ عَمَّا ذَكَرْنَاهُ مِنْ وَقْتِ الِاسْتِحْبَابِ أَوْ وَقْتِ الْإِيجَابِ إِلَّا لِعُذْرٍ فِي الزَّمَانِ مِنْ شِدَّةِ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ أَوْ لِعُذْرٍ في بدنه من شدة مرض يخاف عَلَى نَفْسِهِ إِنْ خُتِنَ فَيُؤَخِّرُ إِلَى زَوَالِ العذر فلو كان نضو الخلق وعلم مِنْ حَالِهِ أَنَّهُ إِنْ خُتِنَ تَلِفَ سَقَطَ فَرْضُ الْخِتَانِ عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَا تَعَبُّدَ فِيمَا أَفْضَى إِلَى التَّلَفِ؛ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا البقرة 286 وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّى خِتَانَ الْمَوْلُودِ إِلَّا مَنْ كَانَ ذَا وِلَايَةٍ عَلَيْهِ بِأُبُوَّةٍ أَوْ وَصِيَّةٍ أَوْ حُكْمٍ فَإِنْ خَتَنَهُ مَنْ لَا وِلَايَةَ عَلَيْهِ فَأَفْضَى إِلَى تَلَفِهِ ضَمِنَ نَفْسَهُ وَإِنْ خَتَنَهُ ذُو وِلَايَةٍ عَلَيْهِ كَالْأَبِ أَوِ الْوَصِيِّ أَوِ السُّلْطَانِ فَتَلِفَ نُظِرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ فِي زَمَانِ عُذْرٍ لَمْ يَضْمَنْ نَفْسَهُ؛ لِأَنَّهُ تَلِفَ مِنْ فِعْلٍ وَاجِبٍ

Dan tidak boleh menunda (khitan) dari waktu yang telah kami sebutkan, baik waktu yang disunnahkan maupun waktu yang diwajibkan, kecuali karena uzur pada waktu, seperti panas atau dingin yang sangat, atau karena uzur pada tubuhnya, seperti sakit berat yang dikhawatirkan akan membahayakan dirinya jika dikhitan, maka penundaan dilakukan hingga uzur tersebut hilang. Jika seseorang sangat lemah fisiknya dan diketahui bahwa jika dikhitan ia akan binasa, maka kewajiban khitan gugur darinya; karena tidak ada kewajiban dalam hal yang menyebabkan kebinasaan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya” (al-Baqarah: 286). Tidak boleh yang melakukan khitan terhadap anak kecuali orang yang memiliki wewenang atasnya, baik karena hubungan ayah, wasiat, atau kekuasaan. Jika yang melakukan khitan bukan orang yang memiliki wewenang atasnya lalu menyebabkan kebinasaan, maka ia wajib menanggung akibatnya. Namun jika yang melakukan khitan adalah orang yang memiliki wewenang atasnya, seperti ayah, wali, atau penguasa, lalu terjadi kebinasaan, maka dilihat dulu: jika itu tidak terjadi pada waktu adanya uzur, maka ia tidak menanggung akibatnya, karena kebinasaan itu terjadi akibat perbuatan yang wajib.

وَإِنْ كَانَ فِي زَمَانِ عُذْرٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ شَدَّةِ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ قَالَ الشَّافِعِيُّ ضَمِنَ نَفْسَهُ

Dan jika hal itu terjadi pada masa adanya uzur seperti sakit atau cuaca yang sangat panas atau sangat dingin, Imam Syafi‘i berkata: ia tetap bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

وَقَالَ فِي الْمَحْدُودِ فِي حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ أَوْ مَرَضٍ إِنَّهُ إِذَا مَاتَ لَمْ يَضْمَنْهُ

Dan ia berkata tentang orang yang dikenai had dalam keadaan panas, dingin, atau sakit, bahwa jika ia mati maka tidak ada kewajiban menanggungnya.

اختلف أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى طَرِيقَتَيْنِ

Para ulama kami berbeda pendapat mengenai hal ini dalam dua metode.

إِحْدَاهُمَا الْجَمْعُ بَيْنَ الجوابين في الموضعين ونخرجهما عَلَى قَوْلَيْنِ أَحَدُهُمَا يُضْمَنُ فِي الْمَحْدُودِ وَالْمَخْتُونِ على ما نص عليه في المختون للتقدير بِالزَّمَانِ

Salah satu cara adalah menggabungkan kedua jawaban pada kedua tempat tersebut dan menjadikannya dalam dua pendapat; salah satunya adalah dikenakan tanggungan pada orang yang dikenai had dan orang yang dikhitan, sebagaimana yang dinashkan dalam kasus orang yang dikhitan, karena adanya taksiran dengan waktu.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا ضَمَانَ فِي الْمَخْتُونِ وَالْمَحْدُودِ عَلَى مَا نُصَّ عَلَيْهِ فِي الْمَحْدُودِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada kewajiban ganti rugi pada kasus orang yang dikhitan dan orang yang dikenai had, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam perkara orang yang dikenai had.

والطريقة الثَّانِيَةُ أَنَّ الْجَوَابَ عَلَى ظَاهِرِ نَصِّهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ فَيُضْمَنُ الْمَخْتُونُ وَلَا يُضْمَنُ الْمَحْدُودُ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Cara yang kedua adalah bahwa jawaban diberikan sesuai dengan makna lahiriah dari nash pada kedua tempat tersebut, sehingga orang yang dikhitan wajib membayar ganti rugi, sedangkan orang yang dikenai had tidak wajib membayar ganti rugi. Perbedaan antara keduanya ada pada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْخِتَانَ أَخْوَفُ لِمَا فِيهِ مِنْ قَطْعِ عُضْوٍ وَإِرَاقَةِ دَمٍ

Salah satunya adalah bahwa khitan lebih menakutkan karena di dalamnya terdapat pemotongan anggota tubuh dan penumpahan darah.

وَالثَّانِي أَنَّ وَقْتَ الْخِتَانِ مُتَّسِعٌ وَوَقْتَ الْحَدِّ يضيق

Yang kedua, bahwa waktu pelaksanaan khitan itu luas, sedangkan waktu pelaksanaan hudud itu sempit.

فَإِذَا وَجَبَ الضَّمَانُ فَفِي قَدْرِ مَا يَضْمَنُهُ وَجْهَانِ

Maka apabila kewajiban ganti rugi telah ditetapkan, terdapat dua pendapat mengenai kadar yang harus diganti.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يَضْمَنُ جَمِيعَ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهَا جِنَايَةٌ مِنْهُ

Salah satu pendapat, dan ini adalah pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i, adalah bahwa ia wajib menanggung seluruh diyat, karena hal itu merupakan tindak pidana yang berasal darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي حَكَاهُ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ يَضْمَنُ نِصْفَ الدِّيَةِ؛ لِحُدُوثِ التَّلَفِ عَنْ وَاجِبٍ وَمَحْظُورٍ فَإِنْ ضَمِنَ ذَلِكَ غَيْرُ السُّلْطَانِ كَانَ عَلَى عَاقِلَتِهِ وإن ضمن السُّلْطَانُ فَعَلَى قَوْلَيْنِ

Pendapat kedua yang diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini adalah bahwa ia wajib membayar setengah diyat, karena terjadinya kerusakan akibat suatu kewajiban dan larangan. Jika yang menanggung hal itu adalah selain penguasa, maka menjadi tanggungan ‘āqilah-nya. Namun jika yang menanggung adalah penguasa, maka ada dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا عَلَى عَاقِلَتِهِ

Salah satunya ditanggung oleh ‘āqilah-nya.

وَالثَّانِي فِي بَيْتِ الْمَالِ وَتَلْزَمُهُ الْكَفَّارَةُ سَوَاءٌ ضَمِنَ جَمِيعَ الدِّيَةِ أَوْ نِصْفَهَا؛ لِأَنَّهُ ضَمِنَ تَلَفَ نفس وإن تبعضت فيه الدية والله أعلم

Yang kedua adalah pada Baitul Mal, dan ia wajib membayar kafarat, baik ia menjamin seluruh diyat maupun setengahnya; karena ia telah menjamin kerusakan jiwa meskipun diyatnya terbagi, dan Allah lebih mengetahui.

باب صفة السوط

Bab Sifat Cambuk

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” يُضْرَبُ الْمَحْدُودُ بِسَوْطٍ بَيْنَ السَّوْطَيْنِ لَا جَدِيدٍ وَلَا خَلَقٍ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Orang yang dijatuhi had dicambuk dengan cambuk yang berada di antara dua jenis cambuk: tidak baru dan tidak pula usang.”

قَالَ الماوردي وأما الضرب المشروع فيستحق من وجهين

Al-Mawardi berkata, “Adapun pemukulan yang disyariatkan, maka itu berhak dilakukan dari dua sisi.”

حد وتعزير

Hudud dan ta‘zir

فأما الْحَدُّ الْمَشْرُوعُ فَثَلَاثَةُ حُدُودٍ حَدُّ الزِّنَا مِائَةُ جَلْدَةٍ وَحَدُّ الْقَذْفِ ثَمَانُونَ جَلْدَةً وَحَدُّ الْخَمْرِ أربعون

Adapun hudud yang disyariatkan ada tiga: hudud zina sebanyak seratus cambukan, hudud qadzaf sebanyak delapan puluh cambukan, dan hudud khamr sebanyak empat puluh cambukan.

وأما حد الزنا والقذف فيستوفى بِالسَّوْطِ وَبِهِ وَرَدَ الشَّرْعُ

Adapun hadd zina dan qadzaf dilaksanakan dengan cambuk, dan dengan itulah syariat ditetapkan.

وَأَمَّا حَدُّ الْخَمْرِ فَقَدْ ذَكَرْنَا فِيهِ وَجْهَيْنِ

Adapun hadd untuk khamr, kami telah menyebutkan di dalamnya dua pendapat.

أَحَدُهُمَا بِالسَّوْطِ

Salah satunya dengan cambuk.

وَالثَّانِي بالثياب والنعال والأيدي

Dan yang kedua adalah dengan pakaian, sandal, dan tangan.

وأما ضَرْبُ التَّعْزِيرِ فَمَوْقُوفٌ عَلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ؛ لِأَنَّ تعزيره عن اجتهاد فيجوز أن يضرب بالثياب والنعال ويجوز أن يضرب بالسوط

Adapun hukuman cambuk dalam ta‘zīr, maka hal itu diserahkan kepada ijtihad imam; karena ta‘zīr didasarkan pada ijtihad, sehingga boleh dicambuk dengan kain atau sandal, dan boleh juga dicambuk dengan cambuk.

فأما صِفَةُ السَّوْطِ الَّذِي تُقَامُ بِهِ الْحُدُودُ فَهُوَ بَيْنَ السَّوْطَيْنِ لَا جَدِيدَ فَيُتْلِفُ وَلَا خَلَقَ لا يُؤْلِمُ لِمَا رُوِيَ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أُتِيَ بِزَانٍ فَدَعَا بالسَّوْطِ فَأُتِيَ بِسَوْطٍ جَدِيدٍ لَمْ تُكْسَرْ ثَمَرَتُهُ فَقَالَ دُونَ هَذَا فَأُتِيَ بِسَوْطٍ قَدْ لَانَ وَانْكَسَرَ فَقَالَ فَوْقَ هَذَا فَأُتِيَ بِسَوْطٍ بَيْنَ السَّوْطَيْنِ لَا جَدِيدَ وَلَا خَلَقَ فَحَدَّهُ بِهِ ثُمَّ قَالَ أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ آنَ لَكُمْ أَنْ تَنْتَهُوا عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَمَنْ أَتَى مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ؛ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ حد الله عليه

Adapun sifat cambuk yang digunakan untuk menegakkan hudud adalah di antara dua jenis cambuk: tidak baru sehingga dapat merusak, dan tidak pula usang sehingga tidak menimbulkan rasa sakit. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah ﷺ didatangkan seorang pezina, lalu beliau meminta dibawakan cambuk. Maka dibawakanlah cambuk yang baru, yang ujungnya belum patah, lalu beliau bersabda, “Bukan yang ini.” Kemudian dibawakan cambuk yang sudah lunak dan patah, lalu beliau bersabda, “Di atas yang ini.” Maka dibawakanlah cambuk yang berada di antara dua jenis cambuk tersebut, tidak baru dan tidak pula usang, lalu beliau menegakkan hudud dengan cambuk itu. Setelah itu beliau bersabda, “Wahai manusia, sudah saatnya kalian berhenti dari hal-hal yang diharamkan Allah. Barang siapa melakukan salah satu dari perbuatan keji ini, hendaklah ia menutupi dirinya dengan perlindungan Allah; karena siapa yang menampakkan dirinya kepada kami, maka kami akan menegakkan hudud Allah atasnya.”

رَوَى عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ ضَرْبٌ بَيْنَ ضَرْبَيْنِ وَسَوْطٌ بَيْنَ سَوْطَيْنِ

Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Pukulan di antara dua pukulan, dan cambukan di antara dua cambukan.”

فَأَمَّا صِفَةُ الضَّرْبِ فَلَا يَكُونُ شَدِيدًا قَاتِلًا وَلَا ضَعِيفًا لَا يَرْدَعُ فَلَا يَرْفَعُ بَاعَهُ فَيَنْزِلُ مِنْ عَلٍ وَلَا يَخْفِضُ ذِرَاعَهُ فَيَقَعُ من أسفل فَيَمُدُّ عَضُدَهُ وَيَرْفَعُ ذِرَاعَهُ؛ لِيَقَعَ الضَّرْبُ مُعْتَدِلًا

Adapun tata cara memukul, maka tidak boleh terlalu keras hingga membahayakan atau membunuh, dan juga tidak boleh terlalu lemah sehingga tidak memberikan efek jera. Maka tidak boleh mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu memukul dari atas, dan juga tidak boleh menurunkan lengannya sehingga memukul dari bawah. Hendaknya ia meluruskan lengan atasnya dan mengangkat lengannya agar pukulan itu berada dalam kadar yang sedang.

قال ابن مسعود لا يرفع ذراعه فِي الضَّرْبِ فَيُرَى بَيَاضُ إِبْطِهِ

Ibnu Mas‘ud berkata, “Janganlah mengangkat lengan saat memukul sehingga terlihat putih ketiaknya.”

فَأَمَّا السَّوْطُ فِي ضَرْبِ التَّعْزِيرِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ دُونَ سَوْطِ الْحَدِّ لَمْ يَكُنْ فَوْقَهُ

Adapun cambuk yang digunakan dalam hukuman ta‘zīr, jika tidak kurang dari cambuk untuk hukuman ḥadd, maka tidak boleh melebihi darinya.

وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ يَجُوزُ أَنْ يَضْرِبَ فِي التَّعْزِيرِ بِسَوْطٍ لَمْ تُكْسَرْ ثَمَرَتُهُ فَوْقَ سَوْطِ الحد ويكون صِفَةُ الضَّرْبِ فِيهِ أَعْلَى مِنْ صِفَتِهِ فِي الحد؛ لأن ذنوب التعزير مختلفة فجاز أن يكون الضرب مُخْتَلِفًا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْحُدُودَ أَغْلَظُ فَلَمَّا كَانَ التَّعْزِيرُ دُونَهَا فِي الْقَدْرِ لَمْ يَجُزْ أن يكون فوقها في الصفة

Abu Abdillah az-Zubairi berkata, “Boleh memukul dalam ta‘zir dengan cambuk yang belum patah ujungnya melebihi cambuk hudud, dan sifat pukulannya dalam ta‘zir boleh lebih keras daripada sifat pukulan dalam hudud; karena dosa-dosa yang dikenai ta‘zir itu beragam, maka boleh saja pukulannya berbeda-beda.” Namun, pendapat ini keliru, karena hudud itu lebih berat, sehingga ketika ta‘zir berada di bawahnya dalam kadar, tidak boleh sifatnya melebihi hudud.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيُضْرَبُ الرَّجُلُ فِي الْحَدِّ وَالتَّعْزِيرِ قَائِمًا وَتُتْرَكُ له يده يتقي بِهَا وَلَا يُرْبَطُ وَلَا يُمَدُّ وَالْمَرْأَةُ جَالِسَةً وَتُضَمُّ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا وَتُرْبَطُ لِئَلَّا تَنْكَشِفَ وَيَلِي ذَلِكَ مِنْهَا امْرَأَةٌ

Imam Syafi‘i berkata, “Laki-laki dijatuhi hukuman hadd dan ta‘zīr dalam keadaan berdiri, dan tangannya dibiarkan bebas agar bisa melindungi diri, tidak diikat dan tidak direntangkan. Adapun perempuan dijatuhi hukuman dalam keadaan duduk, pakaiannya dirapatkan padanya dan ia diikat agar tidak terbuka auratnya, serta yang melaksanakan hukuman itu adalah seorang perempuan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ فِي صِفَةِ السَّوْطِ وَالضَّرْبِ

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya pembahasan mengenai sifat cambuk dan cara memukul.

فَأَمَّا صِفَةُ المضروب فلا يخلوا إما أَنْ يَكُونَ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فَإِنْ كَانَ رَجُلًا ضُرِبَ قَائِمًا وَلَمْ يُصْرَعْ إِلَى الْأَرْضِ ووقف مُرْسَلًا غَيْرَ مَشْدُودٍ وَلَا مَرْبُوطٍ وَتُرْسَلُ يَدُهُ لِيَتَوَقَّى بِهَا أَلَمَ الضَّرْبِ إِنِ اشْتَدَّ بِهِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جَلَدَ مَنْ حَدَّهُ عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ

Adapun sifat orang yang dikenai hukuman cambuk, maka tidak lepas dari kemungkinan ia laki-laki atau perempuan. Jika ia laki-laki, maka ia dicambuk dalam keadaan berdiri dan tidak dijatuhkan ke tanah, serta berdiri dengan bebas tanpa diikat atau dibelenggu, dan tangannya dibiarkan bebas agar dapat menahan rasa sakit cambukan jika terasa berat baginya; karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencambuk orang yang dikenai had dengan sifat seperti ini.

فَأَمَّا ثِيَابُهُ فَلَا يُجَرَّدُ مِنْهَا وَتُتْرَكُ عَلَيْهِ؛ لِتُوَارِيَ جَسَدَهُ وَتَسْتُرَ عَوْرَتَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِيهَا ما يمنع من ألم الضرب كالفراء والجياب الحشوة فَتُنْزَعُ عَنْهُ وَيُتْرَكُ مَا عَدَاهَا مِمَّا لَا يَمْنَعُ أَلَمَ الضَّرْبِ

Adapun pakaiannya, maka tidak boleh ia dilucuti dan dibiarkan tetap dipakainya, agar menutupi tubuhnya dan menutupi auratnya, kecuali jika di dalamnya terdapat sesuatu yang dapat menghalangi rasa sakit dari pukulan, seperti mantel bulu atau pakaian yang berlapis tebal, maka pakaian tersebut harus dilepaskan darinya dan dibiarkan pakaian lainnya yang tidak menghalangi rasa sakit dari pukulan.

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ لَيْسَ فِي دِينِنَا مَدٌّ وَلَا قَيْدٌ وَلَا غَلٌّ وَلَا تَجْرِيدٌ

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas‘ud bahwa ia berkata, “Dalam agama kami tidak ada pemanjangan, tidak ada belenggu, tidak ada rantai, dan tidak ada penelanjangan.”

فَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَتُضْرَبُ جَالِسَةً؛ لِأَنَّهَا عَوْرَةٌ وَجُلُوسُهَا أَسْتَرُ لَهَا وَتُرْبَطُ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا؛ لِئَلَّا تَنْكَشِفَ فتبدوا عَوْرَتُهَا وَتَقِفُ عِنْدَهَا امْرَأَةٌ تَتَوَلَّى رَبْطَ ثِيَابِهَا وتستر مَا بَدَا ظُهُورُهُ مِنْ جَسَدِهَا وَيَتَوَلَّى الرِّجَالُ ضَرْبَهَا دُونَ النِّسَاءِ؛ لِأَنَّ فِي مُبَاشَرَةِ النِّسَاءِ له هتكه

Adapun perempuan, maka ia dihukum cambuk dalam keadaan duduk, karena ia adalah aurat dan duduk lebih menutupi dirinya. Pakaiannya diikatkan agar auratnya tidak tersingkap. Seorang perempuan berdiri di dekatnya untuk mengikat pakaiannya dan menutupi bagian tubuhnya yang tampak. Sementara itu, laki-laki yang melaksanakan hukuman cambuk tersebut, bukan perempuan, karena jika perempuan yang melakukannya, dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran kehormatan.

قد أَحْدَثَ الْمُتَقَدِّمُونَ مِنْ وُلَاةِ الْعِرَاقِ ضَرْبَ النِّسَاءِ في صفة مِنْ خُوصٍ أَوْ غِرَارَةٍ مِنْ شَعْرٍ لِيَسْتُرَهَا وذلك حسن والغرارة احب إلينا من الصفة لأن الصفة تدفع مِنْ أَلَمِ الضَّرْبِ مَا لَا تَدْفَعُهُ الْغِرَارَةُ فَلَوْ خَالَفَ الْجَلَّادُ مَا وَصَفْنَا وَضَرَبَ الرَّجُلَ جالساً أو مَبْطُوحًا وَضَرَبَ الْمَرْأَةَ قَائِمَةً أَوْ نَائِمَةً أَسَاءَ وَأَجْزَأَهُ الضَّرْبُ وَلَا يَضْمَنُهُ وَإِنْ أَفْضَى إِلَى التَّلَفِ؛ لِأَنَّهَا تَغْيِيرُ حَالٍ لَا زِيَادَةُ ضَرْبٍ

Para pendahulu dari para penguasa Irak telah membuat kebiasaan memukul perempuan dengan menggunakan anyaman dari serat atau kain tipis dari rambut untuk menutupinya, dan itu adalah hal yang baik. Kain tipis (ghirārah) lebih kami sukai daripada anyaman (ṣifah), karena anyaman dapat meredam rasa sakit pukulan lebih dari kain tipis. Jika algojo menyelisihi apa yang telah kami jelaskan, lalu memukul laki-laki dalam keadaan duduk atau telentang, dan memukul perempuan dalam keadaan berdiri atau berbaring, maka itu adalah perbuatan yang buruk, namun pukulannya tetap sah dan ia tidak menanggung ganti rugi, meskipun sampai menyebabkan kerusakan, karena itu hanya perubahan keadaan, bukan penambahan pukulan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ولا يبلغ في الحد أن ينهر الدم لأنه سبب التلف وإنما يراد بالحد النكال أو الكفارة

Imam Syafi‘i berkata, “Hadd tidak boleh dilakukan hingga meneteskan darah, karena hal itu dapat menyebabkan kematian, sedangkan tujuan dari hadd adalah sebagai efek jera atau sebagai kafarat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar karena dua hal.”

أَحَدُهُمَا أَنَّ في العدول به عن الحديد إِلَى السَّوْطِ تَنْبِيهًا عَلَى الْمَنْعِ مِنْ أَثَرِ الحديد

Salah satunya adalah bahwa dalam pengalihan dari besi kepada cambuk terdapat isyarat larangan terhadap bekas yang ditimbulkan oleh besi.

وَالثَّانِي أَنَّ الْمَقْصُودَ بِضَرْبِهِ أَلَمُهُ الَّذِي يَرْتَدِعُ بِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَزِيدَ عَلَى أَلَمِهِ بِإِنْهَارِ دَمِهِ الْمُفْضِي إِلَى تَلَفِهِ فَإِنْ أَنْهَرَ دَمَهُ بِالضَّرْبِ فَلَمْ يَتْلَفْ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ أَنْهَرَ دَمَهُ فَتَلِفَ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ

Kedua, maksud dari memukulnya adalah untuk memberikan rasa sakit yang dapat membuatnya jera, maka tidak boleh melebihi rasa sakit tersebut dengan menumpahkan darahnya yang dapat menyebabkan kematiannya. Jika ia menumpahkan darahnya dengan pukulan namun tidak menyebabkan kematian, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Namun jika ia menumpahkan darahnya lalu menyebabkan kematian, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَضْرِبَهُ بَعْدَ إِنْهَارِ دَمِهِ لِاسْتِكْمَالِ حَدِّهِ قَبْلَ إِنْهَارِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ إِنْهَارَ دَمِهِ قَدْ يَكُونُ مِنْ رِقَّةِ لَحْمِهِ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ شِدَّةِ ضَرْبِهِ فَلَمْ يَتَعَيَّنْ مِنْهُمَا مَا يُوجِبُ الضَّمَانَ

Salah satunya adalah tidak memukulnya setelah darahnya mengalir untuk menyempurnakan had sebelum darahnya mengalir, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya; karena mengalirnya darah itu bisa saja disebabkan oleh tipisnya dagingnya, dan bisa juga karena kerasnya pukulan, sehingga tidak dapat dipastikan dari keduanya mana yang mewajibkan adanya ganti rugi.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَضْرِبَهُ بَعْدَ إِنْهَارِ دَمِهِ اسْتِكْمَالًا لِحَدِّهِ فَإِنْ ضَرَبَهُ فِي غَيْرِ مَوْضِعِ إِنْهَارِهِ لَمْ يَضْمَنْ؛ لِأَنَّ مُوَالَاةَ الْحَدِّ مُسْتَحَقَّةٌ

Jenis kedua adalah memukulnya setelah darahnya mengalir sebagai penyempurnaan pelaksanaan hadd. Jika ia memukulnya pada selain tempat mengalirnya darah, maka ia tidak wajib menanggung (diyat), karena kesinambungan pelaksanaan hadd adalah sesuatu yang memang harus dilakukan.

وَإِنْ ضَرَبَهُ فِي موضع إنهاره ففي ضمانه وجهان

Jika ia memukulnya pada bagian yang menyebabkan kematiannya, maka dalam hal jaminannya terdapat dua pendapat.

أحدهما يضمن؛ لأن إنهاره من غير واجب

Salah satunya wajib mengganti kerugian, karena ia merobohkannya tanpa alasan yang dibenarkan.

ثانيهما يَضْمَنُ لِتَعَدِّيهِ بِإِعَادَةِ الضَّرْبِ فِيهِ فَعَلَى هَذَا في قدر ضمانه وَجْهَانِ

Kedua, ia wajib menanggung (ganti rugi) karena telah melampaui batas dengan mengulangi pemukulan padanya. Maka, dalam hal besarnya tanggungan ganti ruginya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا جَمِيعُ الدِّيَةِ

Salah satunya adalah seluruh diyat.

وَالثَّانِي نِصْفُهَا عَلَى مَا مَضَى فِي ضَمَانِ الْمَخْتُونِ

Yang kedua, setengahnya sebagaimana telah dijelaskan dalam penjaminan terhadap orang yang dikhitan.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَيَتَّقِي الْجَلَّادُ الْوَجْهَ وَالْفَرْجَ وروي ذلك عن علي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Algojo harus menghindari (memukul) wajah dan kemaluan.” Hal ini juga diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ يَجِبُ فِي جَلْدِ الْحُدُودِ أَنْ يُفَرِّقَ الضَّرْبُ فِي جَمِيعِ الْبَدَنِ؛ لِيَأْخُذَ كُلُّ عُضْوٍ حَظَّهُ مِنَ الْأَلَمِ وَلَا يَجْمَعُهُ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ فيفضي إلى تلفه إلا في موضعين عَلَيْهِ أَنْ يَتَّقِيَ ضَرْبَهُمَا

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, wajib dalam pelaksanaan hukuman cambuk hudud untuk menyebarkan pukulan ke seluruh tubuh, agar setiap anggota tubuh mendapatkan bagian dari rasa sakit, dan tidak mengumpulkannya pada satu tempat saja sehingga dapat menyebabkan kerusakan, kecuali pada dua tempat yang harus dihindari untuk dipukul.”

أَحَدُهُمَا الْمَوَاضِعُ الْقَاتِلَةُ كالرأس والخاصرة والقواد وَالنَّحْرِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ

Salah satunya adalah bagian-bagian tubuh yang mematikan seperti kepala, pinggang, kemaluan, leher, zakar, dan kedua buah zakar.

وَالثَّانِي مَا شَأنَهُ الضَّرْبُ وَقَبَّحَهُ كَالْوَجْهِ لِرِوَايَةِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” إِذَا جَلَدَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ وَالْفَرْجَ

Yang kedua adalah anggota tubuh yang biasanya dipukul dan dipandang buruk, seperti wajah, berdasarkan riwayat Abu Sa‘id al-Khudri dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jika salah seorang dari kalian mencambuk saudaranya, maka hendaklah ia menghindari wajah dan kemaluan.”

وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِلْجَلَّادِ اضْرِبْ وَأَوْجِعْ وَاتَّقِ الرَّأْسَ وَالْفَرْجَ

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepada algojo, “Pukullah dan berilah rasa sakit, tetapi hindarilah kepala dan kemaluan.”

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَقْبِيحِ الْوَجْهِ وَعَنْ ضَرْبِهِ وعن الوشم فِيهِ

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang mencela wajah, memukulnya, dan membuat tato di atasnya.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَمِعَ رَجُلًا يَسُبُّ رَجُلًا وَهُوَ يَقُولُ قَبَّحَ اللَّهُ وَجْهَكَ وَوَجْهَ مَنْ أَشْبَهَكَ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا تَسُبُّوا الْوَجْهَ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ يَعْنِي عَلَى صُورَةِ هَذَا الرَّجُلِ فَلَمَّا نَهَى عَنْ سَبِّ الْوَجْهِ كَانَ النَّهْيُ عَنْ ضَرْبِهِ أَوْلَى

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mendengar seorang laki-laki mencela laki-laki lain dengan berkata, “Semoga Allah memburukkan wajahmu dan wajah orang yang menyerupaimu.” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Janganlah kalian mencela wajah, karena Allah Ta‘ala menciptakan Adam menurut rupanya,” yaitu menurut rupa laki-laki tersebut. Ketika beliau melarang mencela wajah, maka larangan memukulnya tentu lebih utama.

فَأَمَّا ضَرْبُ التَّعْزِيرِ فَالْمَذْهَبُ أَنَّهُ يُفَرَّقُ فِي جَمِيعِ الْجَسَدِ كَالْجَلدِ

Adapun hukuman dera (ta‘zīr) menurut mazhab adalah dilakukan dengan memukul yang disebar di seluruh tubuh, seperti halnya cambuk.

وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ يَجُوزُ أَنْ يَجْمَعَهُ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ مِنَ الْجَسَدِ وَفَرَّقَ بينه وبين الجلد بأنه لما يَجُزِ الْعَفْوُ عَنِ الْحَدِّ لَمْ يَجُزِ الْعَفْوُ عن بَعْضِ الْجَسَدِ وَلَمَّا جَازَ الْعَفْوُ عَنِ التَّعْزِيرِ جَازَ الْعَفْوُ عَنْ ضَرْبِ بَعْضِ الْجَسَدِ وَهَذَا ليس بصحيح؛ لأن جميع الضَّرْبِ مُفْضٍ إِلَى التَّلَفِ فَلَمَّا مَنَعَ مِنْهُ فِي الْحُدُودِ الْوَاجِبَةِ كَانَ الْمَنْعُ مِنْهُ فِي التعزير المباح أولى

Abu Abdillah az-Zubairi berkata, “Boleh mengumpulkan (pukulan) pada satu tempat di tubuh.” Ia membedakan antara hal ini dengan (pukulan pada) kulit, karena ketika tidak boleh memberi maaf atas hudud, maka tidak boleh pula memberi maaf pada sebagian anggota tubuh. Dan ketika boleh memberi maaf atas ta‘zir, maka boleh pula memberi maaf atas pukulan pada sebagian anggota tubuh. Namun, pendapat ini tidak benar; karena seluruh pukulan yang terkumpul dapat menyebabkan kerusakan (pada tubuh), maka ketika hal itu dilarang dalam hudud yang wajib, maka larangan tersebut dalam ta‘zir yang mubah lebih utama.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله ” ولا يبلغ بعقوبة أربعين تقصيراً عن مساواة عقوبة الله تعالى في حدوده

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Dan tidak boleh hukuman itu mencapai empat puluh sebagai bentuk pengurangan dari menyamakan hukuman Allah Ta‘ala dalam hudud-Nya.”

قال الماوردي فقد ذَكَرْنَا أَنَّ التَّعْزِيرَ مُبَاحٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ وَأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُبْلَغَ بِأَكْثَرِهِ أَدْنَى الْحُدُودِ وَغَايَتُهُ تِسْعَةٌ وَثَلَاثُونَ؛ لِأَنَّ أَدْنَى الْحُدُودِ حَدُّ الْخَمْرِ وَهُوَ أَرْبَعُونَ

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa ta‘zīr itu diperbolehkan dan tidak wajib, serta tidak boleh hukuman ta‘zīr melebihi batas terendah dari hudūd, dan batas maksimalnya adalah tiga puluh sembilan, karena batas terendah dari hudūd adalah had khamr, yaitu empat puluh.

رَوَى النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ ضَرَبَ حَدًّا فِي غَيْرِ حَدٍّ فَهُوَ مِنَ الْمُعْتَدِينَ

Nu‘mān bin Bashīr meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Barang siapa menjatuhkan hudud bukan pada tempatnya, maka ia termasuk orang-orang yang melampaui batas.”

فَإِنْ قَالَ أَصْحَابُ مَالِكٍ فِي تَجْوِيزِهِمُ الزِّيَادَةَ فِي ضَرْبِ التَّعْزِيرِ عَلَى أكثر الحدود ليس مع هذا الخبر من مساواة التعزير في الحدود

Jika para pengikut Malik berkata dalam membolehkan penambahan hukuman ta‘zir melebihi sebagian besar hudud, maka tidak ada bersama hadis ini persamaan antara ta‘zir dan hudud.

روى أبو بُردَةَ بن نيار عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قال ” لا جلد فوقع عشر جلدات إلا في حدود الله فهلا منعكم هذا الْخَبَرُ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَى الْعَشَرَةِ فِي التَّعْزِيرِ وأنتم لا تَمْنَعُونَ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهَا مَعَ مَا رُوِيَ فِيهَا

Abu Burdah bin Niyar meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Tidak ada hukuman cambuk yang mencapai sepuluh kali cambukan kecuali dalam hudud Allah.” Maka, mengapa hadis ini tidak mencegah kalian untuk menambah jumlah cambukan dalam ta‘zīr melebihi sepuluh, padahal kalian tidak mencegah penambahan atasnya meskipun telah ada riwayat tentang hal itu?

قِيلَ هَذَا الْحَدِيثُ لَمْ يَثْبُتْ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ مِنْ وَجْهٍ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهِ فَإِنْ صَحَّ وَثَبَتَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وُجُوبِ الْعَمَلِ عَلَيْهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Dikatakan bahwa hadis ini tidak tetap (tidak sah) menurut asy-Syafi‘i dari sisi yang mewajibkan untuk diamalkan. Jika hadis tersebut benar dan sah, maka para sahabat kami telah berbeda pendapat mengenai kewajiban mengamalkannya menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ أَنَّ الْعَمَلَ بِهِ وَاجِبٌ وَلَا تَجُوزُ الزِّيَادَةُ فِي ضَرْبِ التَّعْزِيرِ عَلَى عَشْرِ جَلْدَاتٍ وَيَكُونُ هَذَا مَذْهَبًا لِلشَّافِعِيِّ لِأَنَّ مِنْ مَذْهَبِهِ أَنَّ كُلَّ مَا قَالَهُ وَثَبَتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خِلَافُهُ فَهُوَ أَوَّلُ رَاجِعٍ عَنْهُ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang tampak dari Abu al-‘Abbas Ibn Surayj, adalah bahwa mengamalkannya wajib dan tidak boleh menambah hukuman ta‘zir lebih dari sepuluh cambukan. Ini menjadi mazhab Syafi‘i, karena termasuk dari mazhab beliau bahwa setiap perkara yang beliau katakan dan telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kebalikannya, maka beliau adalah orang pertama yang kembali dari pendapatnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وهو قول كثير من أصحابه أنه لا يجوز الْعَمَلُ بِهِ وَإِنْ صَحَّ لِجَوَازِ أَنْ يَرِدَ فِي ذَنْبٍ بِعَيْنِهِ أَوْ فِي رَجُلٍ بِعَيْنِهِ فلا يجب حمله في عُمُومِ الذُّنُوبِ وَلَا عَلَى عُمُومِ النَّاسِ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat banyak dari para sahabatnya, adalah bahwa tidak boleh beramal dengannya meskipun hadis tersebut sahih, karena dimungkinkan bahwa hadis itu turun berkaitan dengan dosa tertentu atau pada seseorang tertentu, sehingga tidak wajib untuk memaknainya secara umum pada seluruh dosa maupun pada seluruh manusia.

فَصْلٌ

Bagian

لا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ الْعَفْوُ عَنِ الْحُدُودِ إِذَا وَجَبَتْ وَلَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَشْفَعَ إِلَى الْإِمَامِ فِيهَا وَإِنْ جَازَ الْعَفْوُ عَنِ التَّعْزِيرِ وَجَازَتِ الشَّفَاعَةُ فِيهِ

Tidak boleh bagi imam untuk memaafkan hudud apabila telah wajib, dan tidak halal bagi siapa pun untuk memberi syafaat kepada imam dalam perkara itu. Adapun dalam perkara ta‘zīr, boleh untuk memaafkan dan boleh pula memberi syafaat di dalamnya.

رَوَى ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” تَعَافَوْا عَنِ الْحُدُودِ فِيمَا بَيْنَكُمْ فَمَا بَلَغَنِي من حد فقد وجب

Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maafkanlah (tidak menegakkan) hudud di antara kalian, maka apa yang sampai kepadaku dari hudud, maka itu wajib (ditegakkan).”

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قال ” لعن الله الشافع والمشفع

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Allah melaknat orang yang menjadi perantara dan orang yang dimintai perantara.”

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رَوَى سَعِيدُ بْنُ أَبِي هِلَالٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جلد رجلاً في شراب فقال شعراً

Jika ada yang berkata, “Sungguh telah meriwayatkan Sa‘īd bin Abī Hilāl dari Zaid bin Aslam bahwa Nabi ﷺ pernah mencambuk seorang laki-laki karena minuman keras, lalu beliau mengucapkan syair.”

أَلَا أَبْلِغْ رَسُولَ اللَّهِ أَنِّي بِحَقٍّ مَا سرقت ولا زنيت

Sampaikanlah kepada Rasulullah bahwa sungguh, demi kebenaran, aku tidak pernah mencuri dan tidak berzina.

شربت شربة لَا عِرْضَ أَبْقَتْ وَلَا مَا لَذَّةٌ فِيهَا قَضَيْتُ

Aku telah meminum satu tegukan yang tak menyisakan kehormatan, dan tak ada kenikmatan di dalamnya yang aku dapatkan.

فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” لَوْ بَلَغَنِي قَبْلَ أَنْ أَجْلِدَهُ لَمْ أَجْلِدْهُ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ الْعَفْوِ عَنِ الْحُدُودِ

Lalu hal itu sampai kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda, “Seandainya hal itu sampai kepadaku sebelum aku mencambuknya, niscaya aku tidak akan mencambuknya.” Ini menunjukkan bolehnya memaafkan pelaksanaan hudud.

قِيلَ هَذَا حَدِيثٌ مُرْسَلٌ لَا يُعَارَضُ بِهِ ما كان متصلاً ثابتاً وَلَوْ ثَبَتَ وَصَحَّ لَجَازَ أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ

Dikatakan bahwa ini adalah hadis mursal yang tidak dapat dijadikan dalil untuk menentang hadis yang sanadnya bersambung dan sahih. Dan seandainya hadis ini tetap dan sahih, maka boleh jadi ia dapat ditakwilkan pada salah satu dari dua kemungkinan.

إِمَّا لِأَنَّهُ اسْتَدَلَّ بِشِعْرِهِ على تقدم توبته

Entah karena ia menggunakan syairnya sebagai dalil atas lebih dahulu terjadinya taubatnya.

وإما أن حَدَّ الْخَمْرِ لَمْ يَكُنْ مُسْتَقِرًّا وَكَانَ تَعْزِيرًا يَجُوزُ الْعَفْوُ عَنْهُ

Atau bisa juga bahwa hadd untuk khamr belum tetap dan masih berupa ta‘zīr yang boleh dimaafkan.

ثم استقر حده من بعده فَلَمْ يَجُزِ الْعَفْوُ عَنْهُ

Kemudian hukumannya menjadi tetap setelah itu, sehingga tidak boleh lagi dimaafkan.

فَصْلٌ

Fasal

رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّه قَالَ ” تَجَافَوْا لِذَوِي الْهَيْئَاتِ عَنْ عَثَرَاتِهِمْ

Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Berlapang dadalah terhadap orang-orang yang terhormat atas kesalahan-kesalahan mereka.”

وَرُوِيَ ” أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ

Diriwayatkan: “Berilah maaf kepada orang-orang yang terhormat atas kesalahan-kesalahan mereka.”

وَفِي ذَوِي الهيئات ها هنا وَجْهَانِ

Dalam hal orang-orang yang memiliki kedudukan terhormat di sini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الصَّغَائِرِ دُونَ الْكَبَائِرِ

Salah satunya adalah bahwa mereka adalah pelaku dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar.

وَالثَّانِي أَنَّهُمُ الَّذِينَ إِذَا أَلَمُّوا بِالذَّنْبِ نَدِمُوا عليه وتابوا منه

Dan yang kedua, mereka adalah orang-orang yang apabila melakukan dosa, mereka menyesalinya dan bertobat darinya.

وفي عثراتهم ها هنا وَجْهَانِ

Dalam kesalahan-kesalahan mereka di sini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا صَغَائِرُ الذُّنُوبِ الَّتِي لَا توجب الحدود

Salah satunya adalah bahwa dosa-dosa tersebut merupakan dosa-dosa kecil yang tidak mewajibkan hukuman hudud.

والثاني أنها أول معصية ذل فيها مطيع فأما قول الله تعالى والذين يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلا اللَّمَمَ النجم 32

Yang kedua, bahwa itu adalah maksiat pertama yang membuat seorang yang taat menjadi hina. Adapun firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji kecuali dosa kecil (al-lamam)” (an-Najm: 32).

ففي كبائر الإثم ثلاث تأويلات

Dalam dosa-dosa besar terdapat tiga penafsiran.

أحدها أنها الشرك بالله

Salah satunya adalah bahwa hal itu merupakan syirik kepada Allah.

وَالثَّانِي مَا لَا يُكَفَّرُ إِلَّا بِالتَّوْبَةِ

Dan yang kedua adalah dosa yang tidak dapat dihapuskan kecuali dengan tobat.

وَالثَّالِثُ مَا زَجَرَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ بِالْحَدِّ

Ketiga adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta‘ala dengan menetapkan hudud atasnya.

وَفِي الفواحش ها هنا تَأْوِيلَانِ أَحَدُهُمَا الزِّنَا خَاصَّةً

Dan dalam hal perbuatan keji di sini terdapat dua tafsiran; yang pertama adalah zina secara khusus.

وَالثَّانِي جَمِيعُ الْمَعَاصِي

Dan yang kedua adalah semua maksiat.

وَفِي اللَّمَمِ الْمُسْتَثْنَى مِنْ ذَلِكَ خَمْسَةُ تَأْوِيلَاتٍ

Adapun mengenai al-lamam yang dikecualikan dari hal tersebut, terdapat lima penafsiran.

أَحَدُهَا أَنَّهُ مَا هَمَّ بِهِ وَلَمْ يَفْعَلْهُ

Salah satunya adalah ketika seseorang berniat melakukan sesuatu, namun tidak melakukannya.

والثاني أنه ما يأت مِنْهُ وَلَمْ يُعَاوِدْهُ

Yang kedua adalah sesuatu yang datang darinya dan tidak kembali lagi kepadanya.

وَالثَّالِثُ أَنَّهَا الصَّغَائِرُ مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي لَا تُوجِبُ حَدًّا وَلَا وَعِيدًا

Dan yang ketiga adalah bahwa dosa-dosa kecil adalah dosa-dosa yang tidak mewajibkan hukuman had dan tidak pula ancaman.

وَالرَّابِعُ أَنَّهَا النَّظْرَةُ الْأُولَى دُونَ الثَّانِيَةِ

Keempat, bahwa itu adalah pandangan pertama, bukan yang kedua.

وَالْخَامِسُ أنه النكاح

Kelima, yaitu bahwa pernikahan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا تُقَامُ الْحُدُودُ فِي الْمَسَاجِدِ

Imam Syafi‘i berkata, “Hudud tidak ditegakkan di dalam masjid.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِقَوْلِ اللَّهُ تَعَالَى فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فيها اسمه النور 36 يريد بالبيوت المساجد

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Di rumah-rumah yang Allah izinkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya’ (an-Nur: 36), yang dimaksud dengan rumah-rumah di sini adalah masjid-masjid.”

في قوله تعالى أذن الله أن ترفع وَجْهَانِ

Dalam firman Allah Ta‘ala: “Allah telah mengizinkan untuk ditinggikan,” terdapat dua makna.

أَحَدُهُمَا تُعَظَّمَ

Salah satunya diagungkan.

وَالثَّانِي تُصَانَ وَفِي قَوْلِهِ ” ويذكر فيها اسمه وَجْهَانِ

Dan yang kedua, dijaga. Dalam ucapannya, “dan disebutkan di dalamnya nama-Nya,” terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ التَّعَبُّدُ لَهُ بِالصَّلَاةِ فِيهَا

Salah satunya adalah bahwa di dalamnya terdapat bentuk penghambaan kepada Allah melalui pelaksanaan shalat.

وَالثَّانِي طَاعَتُهُ بِتِلَاوَةِ كِتَابِهِ وَالْعَمَلِ بِهِ فَنَبَّهَ بِذَلِكَ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ إِقَامَةِ الْحُدُودِ فِيهَا

Kedua, menaati-Nya dengan membaca Kitab-Nya dan mengamalkannya. Dengan hal itu, Ia memberi isyarat tentang larangan menegakkan hudūd di dalamnya.

وَقَدْ وَرَدَ فِيهِ مِنَ السُّنَّةِ نَصٌّ لِرِوَايَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” لَا تُقَامُ الْحُدُودُ فِي الْمَسَاجِدِ وَلَا يقتل بِالْوَلَدِ الْوَالِدُ

Telah datang dalam sunnah nash berdasarkan riwayat Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hudud tidak ditegakkan di masjid, dan seorang ayah tidak dibunuh karena membunuh anaknya.”

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَمِعَ رَجُلًا يُنْشِدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ ” يا أيها الناشد غيرك الواجد إِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا إِنَّمَا بُنِيَتْ لذكر الله وللصلاة

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mendengar seorang laki-laki mencari barang hilang di masjid, maka beliau bersabda, “Wahai pencari, selain engkau yang menemukan! Sesungguhnya masjid-masjid tidak dibangun untuk hal ini. Masjid-masjid itu dibangun hanya untuk mengingat Allah dan untuk shalat.”

وَرَوَى حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ نهى أن يستقاد في المساجد وأن تنشد فِيهَا الْأَشْعَارُ وَأَنْ تُقَامَ فِيهَا الْحُدُودُ

Hakim bin Hizam meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ melarang melakukan qishāsh di dalam masjid, melarang melantunkan syair di dalamnya, dan melarang menegakkan hudud di dalamnya.

وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ بِالْأَشْعَارِ مَا كَانَ هِجَاءً أَوْ عزلا أو مدحاً كاذباً؛ لِأَنَّ الشِّعْرَ قَلَّ مَا يَخْلُو مِنْهُ

Dan mungkin yang dimaksud dengan syair adalah syair yang berisi satir, sindiran, atau pujian yang dusta; karena syair jarang sekali terbebas dari hal-hal tersebut.

فَأَمَّا مَا تَجَرَّدَ عَنْ ذَلِكَ مِنَ الْأَشْعَارِ فَغَيْرُ ممنوع من إنشادها فيه

Adapun syair yang tidak mengandung hal-hal tersebut, maka tidak dilarang untuk melantunkannya di dalamnya.

وقد أَنْشَدَ كَعْبُ بْنُ زُهَيْرٍ قَصِيدَتَهُ الَّتِي مَدَحَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في المسجد فلم ينكر عليه وَكَذَلِكَ حَسَّانُ بْنُ ثَابِتٍ

K‘ab bin Zuhair telah membacakan qasidahnya yang memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, dan beliau tidak mengingkarinya. Demikian pula Hassan bin Tsabit.

وَلِأَنَّ إِقَامَةَ الْحُدُودِ فِي الْمَسَاجِدِ مُؤْذٍ لِلْمُصَلِّينَ فِيهَا؛ وَلِأَنَّ الْمَحْدُودَ ربما نجس المسجد بدمه أو حدثه

Karena pelaksanaan hudud di masjid dapat mengganggu orang-orang yang shalat di dalamnya; dan karena orang yang dikenai hudud mungkin saja menajisi masjid dengan darahnya atau hadasnya.

فإن ثَبَتَ أَنَّ الْحُدُودَ تُقَامُ فِي غَيْرِ الْمَسَاجِدِ نُظِرَ فِي الْمَحْدُودِ فَإِنْ كَانَ مُتَهَافِتًا فِي ارْتِكَابِ الْمَعَاصِي أُظْهِرَ حَدُّهُ فِي مَجَامِعِ النَّاسِ وَمَحَافِلِهِمْ؛ لِيَزْدَادَ بِهِ نَكَالًا وَارْتِدَاعًا وَإِنْ كَانَ مِنْ ذَوِي الْهَيْئَاتِ حُدَّ فِي الْخَلَوَاتِ حِفْظًا لصيانته وبالله التوفيق

Jika telah tetap bahwa hudud ditegakkan di luar masjid, maka dilihat keadaan orang yang dijatuhi hudud. Jika ia dikenal sering melakukan maksiat, maka hududnya dilaksanakan di tengah-tengah keramaian dan perkumpulan manusia agar hukuman itu semakin memberikan efek jera dan pencegahan. Namun jika ia termasuk orang yang terhormat, maka hudud dilaksanakan di tempat yang sepi demi menjaga kehormatannya. Dan hanya kepada Allah-lah taufik diberikan.

باب قِتَالِ أَهْلِ الرِّدَّةِ وَمَا أُصِيبَ فِي أَيْدِيهِمْ من متاع المسلمين

Bab tentang memerangi orang-orang murtad dan harta milik kaum Muslimin yang berada di tangan mereka.

من كتاب قتل الخطأ

Dari Kitab Pembunuhan karena Kesalahan

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَإِذَا أَسْلَمَ الْقَوْمُ ثُمَّ ارْتَدُّوا عَنِ الْإِسْلَامِ إِلَى أَيِّ كُفْرٍ كَانَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ دَارِ الْحَرْبِ وَهُمْ مَقْهُورُونَ أَوْ قَاهِرُونَ فِي مَوْضِعِهِمُ الَّذِي ارتدوا فيه فعلى المسلمين أن يبدؤوا بِجِهَادِهِمْ قَبْلَ جِهَادِ أَهْلِ الْحَرْبِ الَّذِينَ لَمْ يسلموا قط

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika suatu kaum telah memeluk Islam kemudian murtad dari Islam kepada kekufuran apa pun, baik mereka berada di wilayah Islam maupun di wilayah perang, dalam keadaan mereka dikuasai atau menguasai di tempat mereka murtad, maka kaum Muslimin wajib memulai jihad terhadap mereka sebelum berjihad melawan orang-orang kafir yang belum pernah masuk Islam sama sekali.”

قال الماوردي قد ذَكَرْنَا أَنَّ الْمُرْتَدَّ عَنِ الْإِسْلَامِ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْأَدْيَانِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَرَّ عَلَى دِينِهِ سَوَاءٌ وُلِدَ عَلَى الْإِسْلَامِ ثُمَّ ارْتَدَّ أَوْ أَسَلَمَ عَنْ كُفْرٍ ثُمَّ ارْتَدَّ وَسَوَاءٌ ارتد إلى دين يقر عليه أهله أَمْ لَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ آل عمران 85 وقال تعالى ومن يرتد مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ البقرة 217

Al-Mawardi berkata: Telah kami sebutkan bahwa orang yang murtad dari Islam ke agama lain tidak boleh dibiarkan tetap pada agamanya, baik ia dilahirkan dalam keadaan Islam lalu murtad, maupun ia masuk Islam dari kekafiran lalu murtad kembali. Demikian pula, baik ia murtad ke agama yang para penganutnya diakui keberadaannya maupun tidak. Allah Ta‘ala berfirman: “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya.” (Ali Imran: 85). Dan Allah Ta‘ala juga berfirman: “Barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya lalu mati dalam keadaan kafir, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya.” (Al-Baqarah: 217).

وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لَمَّا بَلَغَ ابن عباس أن علياً عليه السلام أَحْرَقَ الْمُرْتَدِّينَ قَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ وَلَقَتَلْتُهُمْ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُعَذِّبَ بِعَذَابِ اللَّهِ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَى رِدَّتِهِ فلا يخلو حاله من أحد أمرين إنا أَنْ يَكُونَ وَاحِدًا مَقْهُورًا فَقَدْ مَضَى حُكْمُهُ في وجوب قتله إن لم يتب

Syafi’i meriwayatkan dari Sufyan, dari Ayyub, dari Ikrimah, ia berkata: Ketika Ibnu Abbas mendengar bahwa Ali—‘alaihis salam—telah membakar orang-orang murtad, ia berkata, “Seandainya aku, aku tidak akan membakar mereka, tetapi aku akan membunuh mereka; karena sabda Nabi ﷺ: ‘Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia,’ dan karena sabda Nabi ﷺ: ‘Tidak sepantasnya bagi siapa pun untuk menyiksa dengan siksaan Allah.’ Maka apabila telah tetap bahwa ia tidak dibiarkan dalam kemurtadannya, maka keadaannya tidak lepas dari dua hal: yaitu, jika ia seorang diri dan telah dikalahkan, maka telah berlaku hukum wajib membunuhnya jika ia tidak bertobat.”

وإما أن يكونوا جماعة قاهرين فالواجب أَنْ يَبْدَأَ بِقِتَالِهِمْ قَبْلَ قِتَالِ أَهْلِ الْحَرْبِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ التوبة 123 فَكَانَ مَنْ عَدَلَ عَنْ دِينِنَا أَقْرَبَ إِلَيْنَا وَلِأَنَّ الصَّحَابَةَ أَجْمَعُوا عَلَى الِابْتِدَاءِ بقتالهم حين ارتدوا بِمَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَنِ ارْتَدَّ وَكَانَ قَدْ جَهَّزَ جَيْشَ أُسَامَةَ بن زيد إلى الروم فَقَالَ لَهُ الصَّحَابَةُ لَوْ صَرَفْتَ الْجَيْشَ إِلَى قتال أهل الردة فقال والله لو انثالت المدينة سباعاً علي مَا رَدَدْتُ جَيْشًا جَهَّزَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَدَلَّ احْتِجَاجُ أَبِي بَكْرٍ عَلَيْهِمْ بِأَنَّهُ لَمْ يَرُدَّهُمْ؛ لِأَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جهزهم على إجماعهم أَنَّ الْبِدَايَةَ بِالْمُرْتَدِّينَ أَوْلَى وَلِأَنَّ الرِّدَّةَ عَنِ الْإِسْلَامِ أَغْلَظُ مِنَ الْكُفْرِ الْأَصْلِيِّ لِثَلَاثَةِ مَعَانٍ

Atau mereka adalah sekelompok orang yang berkuasa, maka wajib memulai memerangi mereka sebelum memerangi ahl al-harb, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Perangilah orang-orang kafir yang terdekat dengan kalian” (at-Taubah: 123), sehingga orang yang berpaling dari agama kita lebih dekat kepada kita. Selain itu, para sahabat telah berijmā‘ untuk memulai memerangi mereka ketika mereka murtad setelah wafat Rasulullah ﷺ. Ketika itu Rasulullah ﷺ telah mempersiapkan pasukan Usamah bin Zaid ke Romawi, lalu para sahabat berkata kepadanya, “Seandainya engkau mengarahkan pasukan itu untuk memerangi ahl ar-riddah.” Maka ia berkata, “Demi Allah, seandainya binatang buas menyerbu Madinah kepadaku, aku tidak akan menarik kembali pasukan yang telah dipersiapkan Rasulullah ﷺ.” Maka, hujjah Abu Bakar kepada mereka bahwa ia tidak menarik pasukan itu, karena Rasulullah ﷺ yang telah mempersiapkan mereka, menunjukkan adanya ijmā‘ mereka bahwa memulai dengan memerangi orang-orang murtad lebih utama. Sebab, riddah dari Islam lebih berat daripada kufr ashli karena tiga alasan.

أَحَدُهَا أَنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَى رِدَّتِهِ وَإِنْ أقر الكافر على كفره

Salah satunya adalah bahwa ia tidak dibiarkan tetap dalam keadaan riddah, meskipun orang kafir dibiarkan tetap dalam kekafirannya.

والثاني أنه يتقدم إِسْلَامِهِ قَدْ أَقَرَّ بِبُطْلَانِ الدِّينِ الَّذِي ارْتَدَّ إِلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ مِنَ الْكَافِرِ إِقْرَارٌ بِبُطْلَانِهِ

Kedua, sebelum ia masuk Islam, ia telah mengakui kebatilan agama yang ia murtad kepadanya, sedangkan dari orang kafir tidak terdapat pengakuan akan kebatilannya.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ يُفْسِدُ قُلُوبَ ضُعَفَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَيُقَوِّي نُفُوسَ الْمُشْرِكِينَ فَوَجَبَ لِغِلَظِ حَالِهِ أَنْ يُبْدَأَ بِقِتَالِ أَهْلِهِ فَإِذَا أَرَادَ قِتَالَهُمْ لَمْ يَبْدَأْ بِهِ إِلَّا بَعْدَ إِنْذَارِهِمْ وَسُؤَالِهِمْ عَنْ سَبَبِ رِدَّتِهِمْ فَإِنْ ذَكَرُوا شُبْهَةً أَزَالَهَا وَإِنْ ذَكَرُوا مَظْلَمَةً رَفَعَهَا فَإِنْ أَصَرُّوا بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى الرِّدَّةِ قَاتَلَهُمْ وَأَجْرَى عَلَى قِتَالِهِمْ حُكْمَ قِتَالِ أَهْلِ الْحَرْبِ مِنْ وَجْهٍ وَحُكْمَ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ مِنْ وَجْهٍ

Ketiga, bahwa hal itu merusak hati kaum Muslimin yang lemah dan menguatkan jiwa orang-orang musyrik, sehingga karena beratnya keadaan ini, wajib untuk memulai memerangi mereka. Namun, jika ingin memerangi mereka, tidak boleh memulainya kecuali setelah memberi peringatan kepada mereka dan menanyakan sebab kemurtadan mereka. Jika mereka menyebutkan adanya syubhat, maka syubhat itu dihilangkan; jika mereka menyebutkan adanya kezaliman, maka kezaliman itu diangkat. Jika setelah itu mereka tetap bersikeras dalam kemurtadan, maka diperangi, dan dalam memerangi mereka diterapkan hukum memerangi ahl al-harb dari satu sisi dan hukum memerangi ahl al-baghy dari sisi yang lain.

فَأَمَّا مَا يُسَاوُونَ فِيهِ أَهْلَ الْحَرْبِ مِنْ أَحْكَامِ قِتَالِهِمْ وَيُخَالِفُونَ فِيهِ أَهْلَ الْبَغْيِ فَمِنْ أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ

Adapun hal-hal yang mereka (ahl al-baghy) disamakan dengan ahl al-harb dalam hukum-hukum peperangan terhadap mereka, namun berbeda dengan ahl al-baghy, maka terdapat pada empat aspek.

أَحَدُهَا أَنَّهُ يجوز أن يقاتلوا مدبرين ومقبلين وَلَا يُقَاتَلُ أَهْلُ الْبَغْيِ إِلَّا مُقْبِلِينَ

Salah satunya adalah bahwa mereka boleh diperangi baik ketika mundur maupun maju, sedangkan ahl al-baghy tidak boleh diperangi kecuali ketika mereka maju menyerang.

وَالثَّانِي يجوز أن يوضع عليهم البيان والتحريق ويرموا بالقرادة وَالْمَنْجَنِيقِ وَلَا يَجُوزَ ذَلِكَ فِي أَهْلِ الْبَغْيِ

Yang kedua, boleh dilakukan penjelasan dan pembakaran terhadap mereka, serta dilempari dengan kalajengking dan manjaniq, namun hal itu tidak boleh dilakukan terhadap ahl al-baghy.

وَالثَّالِثُ إِبَاحَةُ دِمَائِهِمْ أَسْرَى وَمُمْتَنِعِينَ وَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ فِي أَهْلِ الْبَغْيِ

Ketiga, dibolehkannya darah mereka—baik yang menjadi tawanan maupun yang menolak—dan hal itu tidak diperbolehkan terhadap ahl al-baghy.

وَالرَّابِعُ مَصِيرُ أَمْوَالِهِمْ فَيْئًا لِكَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ فِي أَمْوَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ

Keempat, harta mereka menjadi fai’ bagi seluruh kaum Muslimin, dan hal itu tidak berlaku pada harta ahl al-baghy.

وَأَمَّا مَا يُوَافِقُونَ فِيهِ أَهْلَ الْبَغْيِ وَيُخَالِفُونَ فِيهِ أَهْلَ الْحَرْبِ فَمِنْ أربعة أوجه

Adapun hal-hal di mana mereka (Ahlul Baghy) sependapat dengan Ahlul Baghy dan berbeda pendapat dengan Ahlul Harb, maka hal itu ada dalam empat aspek.

أحدها انهم لا يهادنوا عَلَى الْمُوَادَعَةِ إِقْرَارًا عَلَى الرِّدَّةِ وَإِنْ جَازَ مُهَادَنَةُ أَهْلِ الْحَرْبِ

Salah satunya adalah bahwa mereka tidak boleh melakukan perjanjian damai dengan dasar membiarkan kemurtadan, meskipun diperbolehkan melakukan perjanjian damai dengan ahl al-harb.

وَالثَّانِي أنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ تُؤْخَذَ مِنْهُمُ الْجِزْيَةُ وَلَا أَنْ يُصَالَحُوا على مال يقروا بِهِ عَلَى الرِّدَّةِ وَإِنْ جَازَ ذَلِكَ فِي أَهْلِ الْحَرْبِ

Kedua, tidak boleh diambil jizyah dari mereka dan tidak boleh diadakan perjanjian damai dengan mereka atas pembayaran harta yang membuat mereka tetap berada dalam keadaan riddah, meskipun hal itu dibolehkan terhadap ahl al-harb.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَرَقُّوا وَإِنْ جَازَ اسْتِرْقَاقُ أَهْلِ الْحَرْبِ

Ketiga, bahwa tidak boleh mereka dijadikan budak, meskipun diperbolehkan memperbudak orang-orang kafir harbi.

وَالرَّابِعُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ تُسْبَى ذَرَارِيُّهُمْ وَلَا تُغْنَمَ أَمْوَالُهُمْ وَإِنْ جَازَ ذَلِكَ فِي أَهْلِ الحرب والله أعلم

Keempat, tidak boleh anak-anak mereka dijadikan tawanan dan harta mereka dirampas, meskipun hal itu dibolehkan terhadap ahl al-harb. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فَإِذَا ظَفِرُوا بِهِمُ اسْتَتَابُوهُمْ فَمَنْ تَابَ حُقِنَ دَمُهُ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika mereka (kaum murtad) berhasil ditangkap, maka mereka diminta untuk bertobat. Barang siapa yang bertobat, darahnya dilindungi, dan barang siapa yang tidak bertobat, maka ia dibunuh karena riddah (kemurtadan).”

قَالَ الْمَاوَرْدِي وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ظُفِرَ بِأَهْلِ الرِّدَّةِ لَمْ يَجُزْ تَعْجِيلُ قَتْلِهِمْ قَبْلَ اسْتِتَابَتِهِمْ فإن تابوا حقنوا دمائهم بِالتَّوْبَةِ وَوَجَبَ تَخْلِيَةُ سَبِيلِهِمْ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ قَبُولِ تَوْبَةِ الْمُرْتَدِّ وَإِنْ لَمْ يَتُوبُوا وَجَبَ قَتْلُهُمْ بِالسَّيْفِ صَبْرًا؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” من بدل دينه فاقتلوه وفي الثاني بِهِمْ ثَلَاثا قَوْلَانِ مَضَيَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَرُّوا عَلَى الرِّدَّةِ بِجِزْيَةٍ وَلَا بِعَهْدٍ وَإِنْ جَازَ أَنْ يُقَرَّ أَهْلُ الْحَرْبِ عَلَى دِينِهِمْ بِجِزْيَةٍ وَعَهْدٍ؛ لِأَنَّ الْمُرْتَدَّ قَدْ تَقَدَّمَ إِقْرَارُهُ فِي حَالِ إِسْلَامِهِ بِبُطْلَانِ مَا ارْتَدَّ إِلَيْهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَرَّ عَلَيْهِ وَلَمْ يَتَقَدَّمْ إِقْرَارُ الْحَرْبِيِّ بِبُطْلَانِ دِينِهِ فَجَازَ أَنْ يُقَرَّ عَلَيْهِ

Al-Mawardi berkata: Ini benar, apabila orang-orang murtad telah tertangkap maka tidak boleh segera membunuh mereka sebelum menawarkan istitabah (permintaan untuk bertobat). Jika mereka bertobat, maka darah mereka terlindungi dengan taubat tersebut dan wajib membebaskan mereka sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya tentang diterimanya taubat orang murtad. Namun jika mereka tidak bertobat, maka wajib membunuh mereka dengan pedang secara sabar, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” Dalam hal memberi waktu tiga hari kepada mereka, terdapat dua pendapat yang telah lalu. Tidak boleh membiarkan mereka tetap dalam kemurtadan dengan membayar jizyah atau dengan perjanjian, meskipun boleh membiarkan ahl al-harb tetap pada agama mereka dengan jizyah dan perjanjian. Sebab, orang murtad sebelumnya telah mengakui kebatilan agama yang ia murtad kepadanya ketika masih dalam keadaan Islam, sehingga tidak boleh dibiarkan tetap atas agama itu. Sedangkan ahl al-harb belum pernah mengakui kebatilan agamanya, sehingga boleh dibiarkan tetap atas agamanya.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا أَمْوَالُ الْمُرْتَدِّ فَإِنْ كَانَ مُنْفَرِدًا مَقْهُورًا حُجِرَ عَلَيْهِ فِيهَا وَمُنِعَ مِنَ التصرف فيها ما كان حياً ولم يملك عَلَيْهِ فِي حَيَاتِهِ فَإِنْ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ أَوْ مَاتَ عَلَيْهَا صَارَتْ فَيْئًا لِأَهْلِ الْفَيْءِ لَا حق فيها لورثته وقد قدمت ذِكْرَ الْخِلَافِ فِيهِ وَالدَّلَالَةِ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَةً مُمْتَنِعِينَ وَظَفِرَ الْمُسْلِمُونَ فِي مُحَارَبَتِهِمْ بِأَمْوَالِهِمْ لم يجز أن يمتلكها الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِمْ مَا بَقُوا أَحْيَاءً عَلَى رِدَّتِهِمْ؛ لِجَوَازِ اسْتِحْقَاقِهِمْ لَهَا إِنْ أَسْلَمُوا وَكَانَتْ مَوْقُوفَةً عَلَيْهِمْ فَإِنْ مَاتُوا عَلَى رِدَّتِهِمْ صَارَتْ أَمْوَالُهُمْ فَيْئًا فَإِنْ طَلَبَهُ الْغَانِمُونَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَسَّمَ فِيهِمْ مَا مَلَكَهُ الْمُرْتَدُّونَ قَبْلَ رِدَّتِهِمْ وَفِي قَسْمِ مَا مَلَكُوهُ بَعْدَ الرِّدَّةِ وَجْهَانِ مخرجان من اختلاف القولين في استرقاق المولدين مِنْ ذَرَارِيِّهِمْ بَعْدَ الرِّدَّةِ

Adapun harta orang murtad, jika ia seorang diri dan dalam keadaan terpaksa, maka ia dicegah dari mengelola hartanya dan dilarang melakukan transaksi atasnya selama ia masih hidup, dan ia tidak kehilangan kepemilikan atas hartanya selama hidupnya. Jika ia dibunuh karena murtad atau mati dalam keadaan murtad, maka hartanya menjadi fai’ bagi orang-orang yang berhak menerima fai’, dan ahli warisnya tidak memiliki hak atasnya. Telah disebutkan sebelumnya perbedaan pendapat dalam hal ini beserta dalilnya. Jika mereka adalah sekelompok orang yang membangkang dan kaum Muslimin berhasil mengalahkan mereka dalam peperangan serta mendapatkan harta mereka, maka kaum Muslimin tidak boleh memiliki harta tersebut selama mereka masih hidup dalam kemurtadan; karena masih dimungkinkan mereka berhak atas harta itu jika mereka masuk Islam, sehingga harta itu tetap ditangguhkan atas mereka. Jika mereka mati dalam keadaan murtad, maka harta mereka menjadi fai’. Jika para penakluk menuntut bagian dari harta itu, maka tidak boleh dibagikan kepada mereka harta yang dimiliki oleh orang-orang murtad sebelum mereka murtad. Adapun dalam pembagian harta yang mereka miliki setelah murtad, terdapat dua pendapat yang berasal dari perbedaan pendapat tentang perbudakan anak-anak keturunan mereka setelah murtad.

فَصْلٌ

Bab

فَأَمَّا أَوْلَادُ الْمُرْتَدِّينَ فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ بَالِغًا وَقْتَ الرِّدَّةِ لَمْ يَصِرْ مُرْتَدًّا بِرِدَّةِ أَبِيهِ كَمَا لَا يَصِيرُ مُسْلِمًا بِإِسْلَامِهِ وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ غَيْرَ بَالِغٍ نُظِرَ فِي أُمِّهِ فَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً كَانَ الْوَلَدُ مُسْلِمًا؛ لِإِجْرَاءِ حُكْمِ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِ بِإِسْلَامِ أَحَدِ أَبَوَيْهِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى وَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ مُرْتَدَّةً كَأَبِيه جَرَى عَلَى الْوَلَدِ حُكْمُ الرِّدَّةِ؛ لِأَنَّ غَيْرَ الْبَالِغِ مُلْحَقٌ بِأَبَوَيْهِ فِي الْإِسْلَامِ وَالْكُفْرِ

Adapun anak-anak dari orang yang murtad, maka siapa di antara mereka yang sudah baligh pada saat kemurtadan, tidak menjadi murtad karena kemurtadan ayahnya, sebagaimana ia juga tidak menjadi Muslim karena keislaman ayahnya. Dan siapa di antara mereka yang belum baligh, maka dilihat pada ibunya; jika ibunya Muslimah, maka anak tersebut dihukumi Muslim, karena hukum Islam berlaku padanya dengan keislaman salah satu dari kedua orang tuanya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” Namun jika ibunya juga murtad seperti ayahnya, maka berlaku atas anak tersebut hukum murtad; karena anak yang belum baligh mengikuti kedua orang tuanya dalam hal Islam maupun kekufuran.

فَأَمَّا اسْتِرْقَاقُهُ فَإِنْ وُلِدَ فِي حَالِ إِسْلَامِهِمَا أَوْ إِسْلَامِ أَحَدِهِمَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَرَقَّ كَمَا لَمْ يَجُزِ اسْتِرْقَاقُ أَبَوَيْهِ؛ لِمَا ثَبَتَ لَهُمَا مِنْ حُرْمَةِ الْإِسْلَامِ الْمُتَقَدِّمِ وَإِنْ وُلِدَ بَعْدَ رِدَّتِهِمَا فَفِي جَوَازِ اسْتِرْقَاقِهِ قَوْلَانِ

Adapun perihal diperbudaknya anak tersebut, jika ia lahir ketika kedua orang tuanya dalam keadaan Islam atau salah satu dari keduanya dalam keadaan Islam, maka tidak boleh ia diperbudak, sebagaimana tidak boleh memperbudak kedua orang tuanya; karena keduanya telah memiliki kehormatan Islam yang telah ada sebelumnya. Namun jika ia lahir setelah kedua orang tuanya murtad, maka terdapat dua pendapat mengenai bolehnya anak tersebut diperbudak.

أحدهما يجوز استرقاقه؛ لأنه كافر وولده كافر كالحربي

Salah satunya boleh diperbudak, karena ia adalah kafir dan anaknya juga kafir seperti orang harbi.

والقول الثاني لا يجوز استرقاقهما لِأَنَّ الْوَلَدَ تَبَعٌ لِأَبَوَيْهِ وَلَا يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُهُمَا فَلَمْ يَجُزِ اسْتِرْقَاقُهُ وَلَا فَرْقَ فِي الْقَوْلَيْنِ بَيْنَ وِلَادَتِهِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَدَارِ الْحَرْبِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak boleh memperbudak keduanya, karena anak mengikuti status kedua orang tuanya, dan tidak boleh memperbudak kedua orang tuanya, maka tidak boleh pula memperbudak anaknya. Tidak ada perbedaan dalam kedua pendapat tersebut antara kelahiran di negeri Islam maupun di negeri perang.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُهُ إِذَا وُلِدَ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَا يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُهُ إِذَا وُلِدَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الدَّارِ جَارٍ عَلَى أَهْلِهَا لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنَعَتْ دَارُ الْإِسْلَامِ مَا فِيهَا وَأَبَاحَتْ دَارُ الشرك مَا فِيهَا وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الدَّارَ لَا تُبِيحُ مَحْظُورًا وَلَا تَحْظُرُ مُبَاحًا؛ لِأَنَّ مُسْلِمًا لَوْ دَخَلَ دَارَ الْحَرْبِ لَمْ يُسْتَبَحِ اسْتِرْقَاقُهُ وقتله ولو دخل حربي دار الإسلام لم يحرم اسْتِرْقَاقُهُ وَقَتْلُهُ فَنَقُولُ كُلُّ مَنْ جَازَ اسْتِرْقَاقُهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ جَازَ اسْتِرْقَاقُهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ كَالْحَرْبِيِّ وَكُلُّ مَنْ حَرُمَ اسْتِرْقَاقُهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ حَرُمَ اسْتِرْقَاقُهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَالْمُسْلِمِ فَيَدُلُّ الْقِيَاسُ الْأَوَّلُ عَلَى جَوَازِ اسْتِرْقَاقِهِ فِي الدَّارَيْنِ وَيَدُلُّ الْقِيَاسُ الثَّانِي عَلَى الْمَنْعِ مِنَ اسْتِرْقَاقِهِ فِي الدَّارَيْنِ وَبَطَلَ بِهِمَا فُرْقَةُ بين الدارين

Abu Hanifah berpendapat bahwa boleh memperbudak seseorang jika ia lahir di Dar al-Harb, dan tidak boleh memperbudaknya jika ia lahir di Dar al-Islam; karena hukum suatu wilayah berlaku atas penduduknya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dar al-Islam melindungi apa yang ada di dalamnya dan Dar al-Syirk membolehkan apa yang ada di dalamnya.” Dalil kami adalah bahwa suatu wilayah tidak menghalalkan sesuatu yang terlarang dan tidak mengharamkan sesuatu yang mubah; sebab jika seorang Muslim masuk ke Dar al-Harb, tidak halal diperbudak dan dibunuh, dan jika seorang harbi masuk ke Dar al-Islam, tidak haram diperbudak dan dibunuh. Maka kami katakan, setiap orang yang boleh diperbudak di Dar al-Harb, boleh pula diperbudak di Dar al-Islam seperti orang harbi, dan setiap orang yang haram diperbudak di Dar al-Islam, haram pula diperbudak di Dar al-Harb seperti seorang Muslim. Maka qiyās pertama menunjukkan bolehnya memperbudak di kedua wilayah, dan qiyās kedua menunjukkan larangan memperbudak di kedua wilayah, sehingga dengan keduanya batal perbedaan antara kedua wilayah tersebut.

فصل

Bab

ويجبر ولد المرتدة عَلَى الْإِسْلَامِ وَلَا يُقَرُّ عَلَى الْكُفْرِ غُلَامًا كَانَ أَوْ جَارِيَةً وَكَذَلِكَ وَلَدُ وَلَدِهِ وَإِنْ سَفَلَ

Anak dari perempuan murtad dipaksa untuk masuk Islam dan tidak dibiarkan tetap dalam kekafiran, baik ia laki-laki maupun perempuan, demikian pula anak dari anaknya, meskipun keturunannya jauh.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يُجْبَرُ الْغُلَامُ عَلَى الْإِسْلَامِ دُونَ الْجَارِيَةِ وَيُجْبَرُ الْوَلَدُ عَلَى الْإِسْلَامِ دُونَ وَلَدِ الْوَلَدِ إِلَّا أَنْ يُولَدَ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَلَا يُجْبَرُ الْوَلَدُ وَلَا وَلَدُ الولد غلاماً كان أو جارية وفرق بَيْنَ الْغُلَامِ وَالْجَارِيَةِ بِأَنَّ الْجَارِيَةَ يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُهَا وَالْغُلَامَ لَا يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُهُ وَبَنَاهُ عَلَى أَصْلِهِ في عبدة الأوثان وفرق بين الولد وولد الولد بأن الولد تبع أَبَاهُ فِي الْإِسْلَامِ وَوَلَدُ الْوَلَدِ لَا يَتْبَعُ جَدَّهُ فِي الْإِسْلَامِ عِنْدَهُ وَفَرَّقَ بَيْنَ دَارِ الْحَرْبِ وَدَارِ الْإِسْلَامِ بِأَنَّ دَارَ الْحَرْبِ مُبِيحَةٌ ودار الإسلام حاظرة وكل هذا الْفُرُوقِ بَنَاهَا عَلَى أُصُولٍ يُخَالَفُ فِيهَا وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي بَعْضِهَا وَيَأْتِي الْكَلَامُ في باقيها

Abu Hanifah berpendapat bahwa anak laki-laki dipaksa masuk Islam, sedangkan anak perempuan tidak; dan anak (langsung) dipaksa masuk Islam, sedangkan cucu tidak, kecuali jika ia lahir di wilayah perang, maka baik anak maupun cucu, baik laki-laki maupun perempuan, tidak dipaksa. Ia membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan dengan alasan bahwa anak perempuan boleh dijadikan budak, sedangkan anak laki-laki tidak boleh dijadikan budak, dan ia mendasarkan pendapat ini pada prinsipnya dalam masalah penyembah berhala. Ia juga membedakan antara anak dan cucu dengan alasan bahwa anak mengikuti ayahnya dalam Islam, sedangkan cucu tidak mengikuti kakeknya dalam Islam menurut pendapatnya. Ia membedakan antara wilayah perang dan wilayah Islam dengan alasan bahwa wilayah perang membolehkan (pemaksaan), sedangkan wilayah Islam melarangnya. Semua perbedaan ini ia dasarkan pada prinsip-prinsip yang diperselisihkan, dan sebagian telah dibahas sebelumnya bersamanya, dan pembahasan tentang sisanya akan datang.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ

Imam Syafi‘i berkata, “Dalam hal itu, laki-laki dan perempuan sama saja.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَأَرَادَ بِذَلِكَ اسْتِوَاءَ الْمُرْتَدِّ وَالْمُرْتَدَّةِ فِي أَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar,” dan yang dimaksudkannya dengan hal itu adalah persamaan antara laki-laki murtad dan perempuan murtad dalam dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمَرْأَةَ تُقْتَلُ بِالرِّدَّةِ كَالرَّجُلِ

Salah satunya adalah bahwa perempuan dihukum mati karena riddah sebagaimana laki-laki.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا تُقْتَلُ الْمَرْأَةُ بالردة وقد مضى الكلام فِيهِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan tidak dihukum mati karena riddah (murtad), dan pembahasan mengenai hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

وَالثَّانِي أَنَّ الْمَرْأَةَ لَا يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُهَا بِالرِّدَّةِ وَتُؤْخَذُ بِالْإِسْلَامِ جَبْرًا سَوَاءٌ أَقَامَتْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ لَحِقَتْ بِدَارِ الْحَرْبِ

Kedua, bahwa perempuan tidak boleh diperbudak karena riddah, dan ia dipaksa untuk kembali kepada Islam, baik ia tetap tinggal di wilayah Islam maupun pergi ke wilayah perang.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُهَا إِذَا لَحِقَتْ بِدَارِ الْحَرْبِ وَلَا تُجْبَرُ عَلَى الْإِسْلَامِ بَعْدَ الِاسْتِرْقَاقِ وَهَذَا فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يَجُزِ اسْتِرْقَاقُهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لَمْ يَجُزِ اسْتِرْقَاقُهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَالْمُسْلِمِ طَرْدًا وَالْحَرْبِيِّ عَكْسًا ولأن مَنْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ حَرُمَ اسْتِرْقَاقُهُ بالردة كالرجل

Abu Hanifah berpendapat bahwa boleh memperbudak (istirraq) seseorang jika ia melarikan diri ke wilayah perang (dār al-ḥarb), dan ia tidak dipaksa masuk Islam setelah diperbudak. Namun, pendapat ini dianggap rusak (fāsid); karena siapa pun yang tidak boleh diperbudak di wilayah Islam (dār al-islām), maka tidak boleh pula diperbudak di wilayah perang, seperti halnya seorang Muslim secara konsisten, dan orang harbi sebaliknya. Selain itu, siapa pun yang telah berlaku atasnya hukum Islam, maka haram diperbudak karena murtad, sebagaimana laki-laki.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَا أَصَابَ أَهْلُ الرِّدَّةِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِي حَالِ الرِّدَّةِ وَبَعْدَ إِظْهَارِ التَّوْبَةِ فِي قِتَالٍ وهم ممتنعون أو غير قتال أو على نائرة أو غيرها سواء والحكم عَلَيْهِمْ كَالْحُكْمِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ لَا يَخْتَلِفُ فِي الْقَوَدِ وَالْعَقْلِ وَضَمَانِ مَا يُصِيبُونَ قَالَ الْمُزَنِيُّ هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ فِي بَابِ قِتَالِ أَهْلِ البغي قال الشافعي فإن قيل فما صنع أبو بكر في أهل الردة قيل قال لقوم جاؤوه تائبين تَدُونَ قَتْلَانَا وَلَا نَدِي قَتْلَاكُمْ فَقَالَ عُمَرُ لا نأخذ لقتلانا دية فإن قيل فما قوله تدون قيل إن كانوا يصيبون غير متعمدين ودوا وإذا ضمنوا الدية في قتل غير عمد كان عليهم القصاص في قتلهم متعمدين وهذا خلاف حكم أهل الحرب عند أبي بكر الصديق رضي الله عنه فإن قيل فلا نعلم منهم أحداً أقيد بأحد قيل ولا يثبت عليه قتل أحد بشهادة ولو ثبت لم نعلم حاكماً أبطل لولي دما طلبه والردة لا تدفع عنهم قوداً ولا عقلا ولا تزيدهم خيراً إن لم تزدهم شراً قال المزني هذا عندي أقيس من قوله في كتاب قتال أهل البغي يطرح ذلك كله لأن حكم أهل الردة أن نردهم إلى حكم الإسلام ولا يرقون ولا يغنمون كأهل الحرب فكذلك يقاد منهم ويضمنون

Imam Syafi‘i berkata, “Apa yang dilakukan oleh orang-orang murtad dari kalangan Muslimin, baik pada masa kemurtadan maupun setelah mereka menampakkan tobat, baik dalam peperangan ketika mereka masih menolak atau tidak dalam peperangan, atau karena permusuhan atau sebab lainnya, hukumnya sama saja. Hukum atas mereka sama seperti hukum atas kaum Muslimin, tidak ada perbedaan dalam hal qawad (qisas), ‘aql (diyat), dan jaminan atas apa yang mereka lakukan.” Al-Muzani berkata, “Ini berbeda dengan pendapat beliau dalam bab peperangan melawan ahl al-baghy.” Imam Syafi‘i berkata, “Jika ada yang bertanya, ‘Apa yang dilakukan Abu Bakar terhadap orang-orang murtad?’ Maka dijawab, ‘Beliau berkata kepada suatu kaum yang datang kepadanya dalam keadaan bertobat: Kalian membayar diyat untuk korban kami, dan kami tidak membayar diyat untuk korban kalian.’ Umar berkata, ‘Kami tidak mengambil diyat untuk korban kami.’ Jika ada yang bertanya, ‘Apa maksud ucapan beliau membayar diyat?’ Maka dijawab, ‘Jika mereka membunuh tanpa sengaja, mereka membayar diyat. Jika mereka menanggung diyat untuk pembunuhan yang tidak disengaja, maka atas mereka berlaku qisas jika membunuh dengan sengaja.’ Ini berbeda dengan hukum ahl al-harb menurut Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Jika ada yang bertanya, ‘Kami tidak mengetahui ada seorang pun dari mereka yang dibalas dengan qisas,’ maka dijawab, ‘Tidak ada yang terbukti membunuh seseorang dengan kesaksian. Dan seandainya terbukti, kami tidak mengetahui ada hakim yang membatalkan hak wali darah yang menuntutnya. Kemurtadan tidak menggugurkan dari mereka qawad, ‘aql, dan tidak menambah kebaikan bagi mereka jika tidak menambah keburukan.’ Al-Muzani berkata, ‘Menurutku, ini lebih sesuai dengan qiyās daripada pendapat beliau dalam kitab Qitāl Ahl al-Baghy. Semua itu ditinggalkan, karena hukum orang-orang murtad adalah kita kembalikan mereka kepada hukum Islam. Mereka tidak diperbudak dan tidak boleh diambil ghanimah dari mereka seperti ahl al-harb. Maka demikian pula, mereka dikenai qisas dan diwajibkan membayar diyat.’”

قال الماوردي أما مَا أَتْلَفَهُ الْمُرْتَدُّونَ وَأَهْلُ الْبَغْيِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ مِنْ دَمٍ وَمَالٍ وَهُمْ فِي غَيْرِ مَنَعَةٍ فَمَضْمُونٌ عَلَيْهِمْ بِالْقَوَدِ فِي الدِّمَاءِ وَالْغُرْمِ فِي الْأَمْوَالِ وَمَا أَتْلَفُوهُ وَهُمْ فِي مَنَعَةٍ وَالْمَنَعَةُ أن لا يقدر الإمام عليه حَتَّى يَسْتَعِدَّ لِقِتَالِهِمْ فَفِي ضَمَانِهِ عَلَى أَهْلِ الْبَغْيِ قَوْلَانِ مَضَيَا فِي قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ

Al-Mawardi berkata: Adapun kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang murtad dan kelompok bughat terhadap kaum muslimin, baik berupa darah maupun harta, ketika mereka tidak berada dalam perlindungan (kekuatan), maka mereka wajib menanggungnya, yaitu dengan qishāsh dalam hal darah dan ganti rugi dalam hal harta. Namun, jika mereka melakukan kerusakan tersebut ketika berada dalam perlindungan (kekuatan)—dan yang dimaksud dengan perlindungan adalah ketika imam tidak mampu menguasai mereka hingga harus mempersiapkan diri untuk memerangi mereka—maka mengenai jaminan atas kerusakan tersebut oleh kelompok bughat terdapat dua pendapat yang telah disebutkan dalam pembahasan tentang peperangan melawan kelompok bughat.

فَأَمَّا ضَمَانُهُ عَلَى أَهْلِ الرِّدَّةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun tanggungan (kewajiban mengganti kerugian) atas harta orang-orang murtad, para ulama kami berbeda pendapat mengenai hal ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ وَأَكْثَرِ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّ فِي وُجُوبِ ضَمَانِهِ عليهم قولين كأهل البغي سواء

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, Abu Hamid al-Isfarayini, dan mayoritas ulama Baghdad, menyatakan bahwa dalam kewajiban menanggung ganti rugi atas mereka terdapat dua pendapat, sebagaimana halnya dengan ahl al-baghy.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيِّ وَأَكْثَرِ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهُ مَضْمُونٌ عليه قَوْلًا وَاحِدًا وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَاخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ وَإِنْ كَانَ ضَمَانُ أَهْلِ الْبَغْيِ عَلَى قولين الفرق بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hamid al-Marwazi, Abu al-Qasim al-Saimari, dan mayoritas ulama Basrah, bahwa ia wajib menanggung (tanggung jawab) secara ijma‘, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah serta pilihan al-Muzani. Meskipun tanggungan (tanggung jawab) bagi ahl al-baghy terdapat dua pendapat, perbedaan di antara keduanya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ لِأَهْلِ الْبَغْيِ تأويلاً محتملاً وليس لأهل الردة تأويلاً مُحْتَمِلٌ

Salah satunya adalah bahwa kelompok bughat memiliki takwil yang masih mungkin diterima, sedangkan kelompok murtad tidak memiliki takwil yang dapat diterima.

وَالثَّانِي أَنَّ لِأَهْلِ الْبَغْيِ إِمَامًا تُنَفَّذُ أَحْكَامُهُ وَلَيْسَ لِأَهْلِ الرِّدَّةِ إِمَامٌ تُنَفَّذُ أَحْكَامُهُ

Kedua, bahwa kelompok bughat memiliki seorang imam yang hukum-hukumnya dijalankan, sedangkan kelompok murtad tidak memiliki imam yang hukum-hukumnya dijalankan.

فَإِنْ قِيلَ بِسُقُوطِ ضَمَانِهِ عَنْهُمْ وَهُوَ مَحْكِيٌّ عن الشافعي في سير الأوزاعي فوجهه قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَهْلِ الرِّدَّةِ تَدُونَ قَتْلَانَا وَلَا نَدِي قَتْلَاكُمْ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَا نَأْخُذُ لِقَتْلَانَا دِيَةً فَسَكَتَ أَبُو بَكْرٍ رِضًا بِقَوْلِهِ وَرُجُوعًا إِلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ عَمِلَ عَلَيْهِ وَلِأَنَّ طُلَيْحَةَ قَتَلَ فِي رِدَّتِهِ عُكَّاشَةَ بْنَ مِحْصَنٍ وَثَابِتَ بْنَ أَقْرَمَ وَفِيهِمَا يَقُولُ طُلَيْحَةُ الْأَسَدِيُّ حِينَ قَتَلَهُمَا

Jika dikatakan bahwa jaminan (diyat) gugur dari mereka, sebagaimana yang dinukil dari asy-Syafi‘i dalam Sirah al-Awza‘i, maka alasannya adalah perkataan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. kepada kaum murtad: “Orang-orang yang terbunuh dari pihak kami tidak dibayar diyatnya, dan kami pun tidak membayar diyat untuk orang-orang yang terbunuh dari pihak kalian.” Maka Umar bin al-Khaththab ra. berkata: “Kita tidak mengambil diyat untuk orang-orang yang terbunuh dari pihak kita.” Lalu Abu Bakar pun diam, menyetujui perkataannya dan kembali kepada pendapat Umar, karena beliau beramal berdasarkan hal itu. Juga karena Thulaihah telah membunuh dalam kemurtadannya ‘Ukkasyah bin Mihshan dan Tsabit bin Aqram, dan tentang keduanya Thulaihah al-Asadi berkata ketika membunuh mereka berdua…

عشية غادرت ابن اقرم ثاوياً وعكاشة الغنمي تحت مجال

Pada sore hari ketika aku meninggalkan Ibnu Aqram yang sedang menetap, dan ‘Ukkāsyah al-Ghanamī berada di bawah naungan.

أقمت له صدر الجمالة إنها معودة قبل الكماة نزال

Aku siapkan untuknya dada keindahan, sungguh ia telah terbiasa bertarung sebelum para kesatria lainnya.

فيوم نراها في الجلال مصونة ويوم تراها في ظلال عوال

Suatu hari kita melihatnya terjaga dalam keagungan, dan di hari lain kita melihatnya berada dalam naungan yang tinggi.

ثُمَّ أَسْلَمَ فَلَمْ يُؤْخَذْ بِدَمِ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ولأنه إسلام عَنْ كُفْرٍ فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ ضَمَانُ مَا اسْتَهْلَكَ فِي الْكُفْرِ كَأَهْلِ الْحَرْبِ وَلِأَنَّ فِي تَضْمِينِهِمْ مَا اسْتَهْلَكُوهُ تَنْفِيرًا لَهُمْ عَنِ الْإِسْلَامِ وهم مرغبون فيه فوجب أن لا يؤخذوا بِمَا يَمْنَعُهُمْ مِنَ الدُّخُولِ فِيهِ وَإِذَا قِيلَ بِوُجُوبِ الضَّمَانِ عَلَيْهِمْ وَهُوَ الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ في أكثر الكتب فوجهه قول أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَهْلِ الرِّدَّةِ تَدُونَ قَتْلَانَا وَلَا نَدِي قَتْلَاكُمْ

Kemudian ia masuk Islam, maka tidak diambil diyat dari salah satu dari keduanya. Karena ini adalah keislaman setelah kekufuran, maka wajib untuk mencegah penjaminan atas apa yang telah mereka habiskan dalam kekufuran, seperti halnya ahl al-harb. Dan karena dalam mewajibkan mereka menanggung apa yang telah mereka habiskan terdapat unsur menakut-nakuti mereka dari Islam, padahal mereka sedang didorong untuk masuk Islam, maka wajib untuk tidak membebani mereka dengan sesuatu yang dapat menghalangi mereka dari masuk Islam. Namun, jika dikatakan bahwa wajib atas mereka untuk menanggungnya, dan ini adalah pendapat yang benar yang dinyatakan dalam kebanyakan kitab, maka dasarnya adalah perkataan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kepada ahl ar-riddah: “Harta kami yang hilang tidak diganti, dan kami tidak membayar diyat untuk orang-orang kalian yang terbunuh.”

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ عَارَضَهُ عُمَرُ فَقَالَ لَا نَأْخُذُ لِقَتْلَانَا دِيَةً قِيلَ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ عمر رضي الله عنه قَالَ ذَلِكَ تَفَضُّلًا عَلَيْهِمْ كَعَفْوِ الْأَوْلِيَاءِ فَلَمْ يكن فيه مخالفاً لِحُكْمِ أَبِي بَكْرٍ

Jika dikatakan bahwa Umar telah menentangnya dengan berkata, “Kita tidak mengambil diyat untuk orang-orang yang terbunuh dari pihak kita,” maka dijawab bahwa bisa jadi Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan hal itu sebagai bentuk kemurahan hati kepada mereka, seperti pemaafan dari para wali, sehingga tidak bertentangan dengan hukum Abu Bakar.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ عَمِلَ بِقَوْلِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَقْتَصَّ مِنْهُمْ وَلَمْ يُغَرِّمْهُمْ

Jika dikatakan, “Ia telah beramal dengan pendapatnya, karena ia tidak melakukan qishāsh terhadap mereka dan tidak membebankan denda kepada mereka.”

قِيلَ الْقِصَاصُ وَالْغُرْمُ حَقٌّ لِغَيْرِهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مُطَالِبٌ بِحَقِّهِ مِنْهُ فَمَنَعَهُ فَلَمْ يَكُنْ فِي الشرك إِسْقَاطٌ لِلْوُجُوبِ وَمِنَ الِاعْتِبَارِ أَنَّ كُلَّ مَنْ ضَمِنَ مَا أَتْلَفَهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي مَنَعَةٍ ضَمِنَ وَإِنْ كَانَ فِي مَنَعَةٍ كَالْمُسْلِمِ طَرْدًا وَالْحَرْبِيِّ عَكْسًا وَلِأَنَّ الرِّدَّةَ إِنْ لَمْ تَزِدْهُ شَرًّا لَمْ تُفِدْهُ خَيْرًا وَهُوَ يَضْمَنُ قَبْلَ الرِّدَّةِ فَكَانَ ضَمَانُهُ بَعْدَهَا أَوْلَى

Dikatakan bahwa qishāsh dan ganti rugi adalah hak milik orang lain, dan jika tidak ada yang menuntut haknya darinya lalu ia menolaknya, maka tidak ada dalam syirk (kemusyrikan) pengguguran kewajiban tersebut. Dan dari pertimbangan bahwa setiap orang yang menjamin apa yang telah dirusaknya, jika ia tidak berada dalam perlindungan, maka ia wajib menanggungnya; dan jika ia berada dalam perlindungan seperti seorang muslim, maka berlaku sebaliknya, sedangkan untuk orang harbi berlaku sebaliknya pula. Dan karena riddah (kemurtadan), jika tidak menambah keburukan baginya, maka tidak pula memberi kebaikan baginya; dan ia tetap wajib menanggung sebelum riddah, maka kewajiban menanggung setelahnya lebih utama.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَإِذَا قَامَتْ لِمُرْتَدٍّ بَيِّنَةٌ أَنَّهُ أَظْهَرَ الْقَوْلَ بِالْإِيمَانِ ثُمَّ قَتَلَهُ رَجُلٌ يَعْلَمُ تَوْبَتَهُ أَوْ لَا يَعْلَمُهَا فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Apabila telah tegak bukti terhadap seorang murtad bahwa ia telah menampakkan ucapan keimanan, kemudian ada seseorang yang membunuhnya, baik ia mengetahui tobatnya atau tidak mengetahuinya, maka atasnya berlaku hukum qisas.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْمُرْتَدُّ إِذَا كَانَ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَقْتُلَهُ إِلَّا الْإِمَامُ؛ لِأَنَّ قَتْلَهُ حَدٌّ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْحُدُودِ التي تختص الْأَئِمَّةُ بِإِقَامَتِهَا وَإِنْ كَانَ الْمُرْتَدُّ مُحَارِبًا فِي مَنَعَةٍ جَازَ أَنْ يَقْتُلَهُ كُلُّ مَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ وَلَمْ يَخْتَصَّ الْإِمَامُ بِقَتْلِهِ كَمَا يَجُوزُ قَتْلُ أَهْلِ الْحَرْبِ

Al-Mawardi berkata, “Adapun seorang murtad, jika ia tidak dalam keadaan membangkang, maka tidak seorang pun berhak membunuhnya kecuali imam; karena pembunuhannya merupakan hudud, sehingga serupa dengan hudud lainnya yang pelaksanaannya khusus bagi para imam. Namun jika murtad tersebut adalah seorang yang memerangi dalam keadaan memiliki kekuatan, maka siapa pun yang mampu boleh membunuhnya, dan tidak khusus bagi imam saja, sebagaimana diperbolehkan membunuh orang-orang kafir harbi.”

فَإِذَا قَتَلَ مُسْلِمٌ مُرْتَدًّا فادعى وليه أنه قد كان أسلم وأنكر القاتل إسلامه فإن لم يكن لِوَلِيِّهِ بَيِّنَةٌ عَلَى إِسْلَامِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَاتِلِ فِي بَقَاءِ رِدَّتِهِ وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِي قَتْلِهِ سَوَاءٌ كَانَ فِي مَنَعَةٍ أَوْ غَيْرِ مَنَعَةٍ فَإِنْ أَقَامَ وَلِيُّهُ الْبَيِّنَةَ عَلَى إِسْلَامِهِ فَإِنْ عَلِمَ الْقَاتِلُ بِإِسْلَامِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ بإسلامه قال الشافعي ها هنا؛ وَفِي كِتَابِ ” الْأُمِّ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَوَدَ وَقَالَ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي اخْتِلَافِ ذَلِكَ عَلَى وَجْهَيْنِ

Jika seorang Muslim membunuh seorang murtad, lalu wali dari murtad tersebut mengklaim bahwa yang dibunuh telah masuk Islam, sementara si pembunuh mengingkari keislamannya, maka jika wali tidak memiliki bukti atas keislaman korban, perkataan yang dipegang adalah perkataan si pembunuh tentang tetapnya status riddah (kemurtadan) korban, dan tidak ada kewajiban ganti rugi atas pembunuhan itu, baik korban berada dalam perlindungan (kekuatan) atau tidak. Namun, jika wali dapat menghadirkan bukti atas keislaman korban, lalu diketahui bahwa si pembunuh mengetahui keislaman korban, maka wajib atasnya qishāsh. Jika tidak diketahui bahwa si pembunuh mengetahui keislaman korban, menurut pendapat asy-Syafi‘i di sini dan dalam kitab “al-Umm”, maka atasnya qishāsh, namun dalam sebagian kitabnya beliau berkata tidak ada qishāsh atasnya. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam perbedaan ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ اخْتِلَافَ نَصِّهِ مُوجِبٌ لِاخْتِلَافِ قَوْلِهِ فَيَكُونُ وُجُوبُ الْقَوَدِ عَلَى قَوْلَيْنِ

Salah satunya adalah bahwa perbedaan dalam nash menyebabkan perbedaan pendapatnya, sehingga kewajiban qawad (qisas) menjadi ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا قَوْدَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ تَقَدُّمَ الرِّدَّةِ شُبْهَةٌ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ فَأَشْبَهَ الْحَرْبِيَّ إِذَا أَسْلَمَ وَقَتَلَهُ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ بِإِسْلَامِهِ سَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ وَضَمِنَهُ بِالدِّيَةِ كَذَلِكَ إِسْلَامُ الْمُرْتَدِّ

Salah satunya tidak dikenai qishāsh; karena terjadinya riddah sebelumnya merupakan syubhat dalam menggugurkan qishāsh, sehingga ia serupa dengan orang harbi yang masuk Islam, lalu dibunuh oleh seseorang yang tidak mengetahui keislamannya, maka gugur darinya qishāsh dan ia wajib membayar diyat. Demikian pula halnya dengan keislaman orang murtad.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ؛ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ؛ لِأَنَّ نَفْسَهُ فِي الطَّرَفَيْنِ مَحْظُورَةٌ وَإِبَاحَتُهَا مَخْصُوصَةٌ فَاقْتَضَى عُمُومُ الْحَظْرِ وُجُوبَ الْقَوَدِ وَلَا يَسْقُطُ بِخُصُوصِ الْإِبَاحَةِ وَبِذَلِكَ خَالَفَ حُكْمَ الْحَرْبِيِّ الَّذِي هُوَ عَلَى عُمُومِ الْإِبَاحَةِ

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, adalah bahwa qisas wajib atasnya; karena jiwa seseorang pada kedua belah pihak adalah terlarang, dan kebolehan atasnya bersifat khusus, maka keumuman larangan menuntut wajibnya qisas dan tidak gugur dengan kekhususan kebolehan tersebut. Dengan demikian, hal ini berbeda dengan hukum orang harbi yang berada dalam keumuman kebolehan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ اخْتِلَافَ نَصِّهِ مَحْمُولٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ وَمَنْ قَالَ بِهَذَا اخْتَلَفُوا فِيهَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua adalah bahwa perbedaan redaksi nash tersebut ditafsirkan sebagai perbedaan dua keadaan, dan orang-orang yang berpendapat demikian pun berbeda pendapat mengenai dua bentuk keadaan tersebut.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ الْمَوْضِعَ الَّذِي أَسْقَطَ فِيهِ الْقَوَدَ إِذَا كَانَتْ آثَارُ الرِّدَّةِ عَلَيْهِ بَاقِيَةً مِنْ قَيْدٍ أَوْ حَبْسٍ وَالْمَوْضِعُ الَّذِي أَوْجَبَ فِيهِ الْقَوَدَ إِذَا زَالَتْ عَنْهُ آثَارُ الرِّدَّةِ فَلَمْ يبق فيه قيد ولا حبس ولا اعتبار بِشَاهِدِ حَالِهِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa tempat yang menggugurkan qawad adalah ketika bekas-bekas riddah masih ada padanya, seperti borgol atau penahanan. Adapun tempat yang mewajibkan qawad adalah ketika bekas-bekas riddah itu telah hilang darinya, sehingga tidak ada lagi borgol maupun penahanan, dan tidak dipertimbangkan keadaan lahiriahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدِي أن الموضع الذي أسقط فيه القود إذا كَانَ فِي مَنَعَةٍ وَالْمَوْضِعَ الَّذِي أُوجِبَ فِيهِ الْقَوَدُ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي مَنَعَةٍ؛ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ قَتْلِ غَيْرِ الْمُمْتَنِعِ وَغَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْ قَتْلِ الْمُمْتَنِعِ فَأجْرى عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ تَمْكِينٍ وَمَنْعٍ

Pendapat kedua, dan inilah yang menurutku benar, adalah bahwa tempat di mana qishāsh digugurkan itu jika berada dalam perlindungan, dan tempat di mana qishāsh diwajibkan itu jika tidak berada dalam perlindungan; karena seseorang dilarang membunuh orang yang tidak terlindungi dan tidak dilarang membunuh orang yang terlindungi, maka masing-masing dari keduanya diberlakukan hukum sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya tentang adanya kemudahan dan pencegahan.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا إِذَا قَتَلَ مُسْلِمٌ ذِمِّيًّا قَدْ أَسْلَمَ وَلَمْ يَعْلَمْ بِإِسْلَامِهِ أَوْ قَتَلَ حُرٌّ عَبْدًا قَدْ أُعْتِقَ وَلَمْ يَعْلَمْ بِعِتْقِهِ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ وَجْهَانِ

Adapun jika seorang Muslim membunuh seorang dzimmi yang telah masuk Islam dan ia tidak mengetahui keislamannya, atau seorang merdeka membunuh seorang budak yang telah dimerdekakan dan ia tidak mengetahui kemerdekaannya, maka dalam kewajiban qishash terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَسْقُطُ الْقَوَدُ بِالشُّبْهَةِ وتكمل الدِّيَةُ حَالَّةً

Salah satunya adalah gugurnya qishāsh karena adanya syubhat, dan diyat tetap harus dibayarkan secara tunai.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجِبُ الْقَوَدُ لِمُصَادَفَةِ الْقَتْلِ الْمَحْظُورِ شُرُوطَ الْقَوَدِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa qisas wajib dilakukan karena pembunuhan yang dilarang tersebut telah memenuhi syarat-syarat qisas.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا أُكْرِهَ الْمُسْلِمُ عَلَى كَلِمَةِ الْكُفْرِ لَمْ يَصِرْ بِهَا كَافِرًا وَكَانَ عَلَى إِسْلَامِهِ بَاقِيًا وَلَمْ تَبِنْ زَوْجَتُهُ وَوَافَقَ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى بَقَائِهِ عَلَى الْإِسْلَامِ وَخَالَفَ فِي نِكَاحِ زَوْجَتِهِ فَأَبْطَلَهُ اسْتِحْسَانًا لَا قِيَاسًا

Apabila seorang Muslim dipaksa untuk mengucapkan kata-kata kekufuran, ia tidak menjadi kafir karenanya dan tetap berada dalam keislamannya, serta istrinya tidak menjadi terpisah darinya. Abu Hanifah sependapat bahwa ia tetap dalam Islam, namun berbeda pendapat dalam status pernikahan istrinya; beliau membatalkan pernikahan itu berdasarkan istihsān, bukan berdasarkan qiyās.

وَالدَّلِيلُ عَلَى بَقَائِهِ عَلَى إِسْلَامِهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا النحل 106 الآية وفي الآية تقديم وتأخير فترتيبها مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ وَشَرَحَ بالكفر صدره فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان فاستثناء الْمُكْرَهِ عَلَى الْكُفْرِ مِنْ جُمْلَةِ مَنْ حُكِمَ عَلَيْهِ بِالْكُفْرِ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ عَلَى إِيمَانِهِ

Dan dalil bahwa ia tetap berada dalam keislamannya adalah firman Allah Ta‘ala: “Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah beriman, kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan, tetapi barang siapa yang lapang dadanya untuk kekufuran…” (an-Nahl: 106). Dalam ayat ini terdapat susunan yang didahulukan dan diakhirkan, sehingga urutannya adalah: “Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah beriman dan melapangkan dadanya untuk kekufuran, maka mereka mendapat kemurkaan dari Allah dan bagi mereka azab yang besar, kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan.” Maka pengecualian terhadap orang yang dipaksa untuk kufur dari kelompok orang yang dihukumi kafir menunjukkan bahwa ia tetap berada dalam keimanannya.

وَقِيلَ إِنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ حِينَ أَكْرَهَتْهُ قُرَيْشٌ بِمَكَّةَ مَعَ أبويه على الكفر فامتنع أبواه فقتلا وأجاب إليه عمار فأطلق والدليل على بقاء نكاحه على الصِّحَّةِ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُؤَثِّرِ الْإِكْرَاهُ فِي إِيمَانِهِ وَهُوَ أَصْلٌ فَأَوْلَى أَنْ لَا يُؤَثِّرَ فِي نِكَاحِهِ وَهُوَ فَرْعٌ فَأَمَّا إِذَا أَظْهَرَ المسلم كلمة الكفر ولم يعلم إكراهه عليها ولا اعتقاده لها فَإِنْ كَانَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ حُكِمَ بِكُفْرِهِ وَرِدَّتِهِ؛ لِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ لَا إِكْرَاهَ فِيهَا وَإِنْ كَانَ فِي دَارِ الْحَرْبِ رُوعِيَتْ حَالُهُ فَإِنْ تَلَفَّظَ بِهَا وَهُوَ عَلَى صِفَةِ الْإِكْرَاهِ فِي قَيْدٍ أَوْ حَبْسٍ فَالظَّاهِرُ مِنْ حَالِهِ أَنَّهُ تَلَفَّظَ بِكَلِمَةِ الْكُفْرِ مُكْرَهًا فَلَا يُحْكَمُ بِرِدَّتِهِ إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ اعْتِقَادُهُ لِلْكُفْرِ وَإِنْ كَانَ عَلَى صِفَةِ الِاخْتِيَارِ مُخْلَى السَّبِيلِ فَالظَّاهِرُ مِنْ حَالِهِ أَنَّهُ تَلَفَّظَ بِكَلِمَةِ الْكُفْرِ مُخْتَارًا فَيُحْكَمُ بِرِدَّتِهِ إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ أَنَّهُ قَالَهَا مُكْرَهًا

Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Ammar bin Yasir ketika Quraisy memaksanya bersama kedua orang tuanya di Mekah untuk kafir. Kedua orang tuanya menolak sehingga keduanya dibunuh, sedangkan ‘Ammar menuruti mereka sehingga ia dilepaskan. Dalil bahwa pernikahannya tetap sah adalah karena paksaan tidak berpengaruh pada keimanannya, padahal iman adalah pokok, maka lebih utama lagi paksaan tidak berpengaruh pada pernikahannya yang merupakan cabang. Adapun jika seorang Muslim menampakkan ucapan kekufuran dan tidak diketahui bahwa ia dipaksa mengucapkannya atau meyakininya, maka jika ia berada di wilayah Islam, dihukumi kafir dan murtad; karena di wilayah Islam tidak ada paksaan. Namun jika ia berada di wilayah perang, maka keadaannya diperhatikan; jika ia mengucapkannya dalam keadaan terpaksa, seperti dalam keadaan terbelenggu atau dipenjara, maka yang tampak dari keadaannya adalah ia mengucapkan kata-kata kufur karena dipaksa, sehingga tidak dihukumi murtad kecuali diketahui ia meyakini kekufuran itu. Namun jika ia dalam keadaan bebas memilih, tidak dalam tekanan, maka yang tampak dari keadaannya adalah ia mengucapkan kata-kata kufur dengan pilihan sendiri, sehingga dihukumi murtad kecuali diketahui bahwa ia mengucapkannya karena dipaksa.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا أُكْرِهَ الْكَافِرُ عَلَى الْإِسْلَامِ فَتَلَفَّظَ بِالشَّهَادَتَيْنِ مُكْرَهًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Dan apabila seorang kafir dipaksa untuk memeluk Islam lalu ia mengucapkan dua kalimat syahadat dalam keadaan terpaksa, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ عَلَى الْإِسْلَامِ لِغَيْرِ اسْتِحْقَاقٍ وَذَلِكَ فِيمَنْ يَجُوزُ إِقْرَارُهُ عَلَى كُفْرِهِ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَأَصْحَابِ الْعَهْدِ فَلَا يَصِيرُ بِالْإِكْرَاهِ مُسْلِمًا لِمَا تَضَمَّنَهُ مِنَ التَّعَدِّي بِهِ

Salah satunya adalah seseorang berada dalam Islam tanpa hak, yaitu pada orang yang boleh dibiarkan tetap dalam kekafirannya dari kalangan ahludz-dzimmah dan para pemilik perjanjian, maka ia tidak menjadi Muslim karena paksaan, karena hal itu mengandung unsur pelanggaran terhadapnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْإِكْرَاهُ عَلَيْهِ بِاسْتِحْقَاقٍ كَإِكْرَاهِ الْمُرْتَدِّ وَإِكْرَاهِ مَنْ جَازَ قَتْلُهُ مِنْ أَسْرَى أَهْلِ الْحَرْبِ فَيَصِيرُ بِالْإِكْرَاهِ مُسْلِمًا لِخُرُوجِهِ عَنِ التَّعَدِّي

Jenis kedua adalah apabila pemaksaan itu dilakukan dengan hak, seperti pemaksaan terhadap orang murtad dan pemaksaan terhadap orang yang boleh dibunuh dari tawanan perang, maka dengan pemaksaan itu ia menjadi seorang Muslim karena ia telah keluar dari tindakan melampaui batas.

وَمِثَالُهُ الْإِكْرَاهُ على الطلاق وإن كَانَ بِغَيْرِ اسْتِحْقَاقٍ لَمْ يَقَعِ الطَّلَاقُ وَإِنْ كان باستحقاق في المولى وقع الطلاق والله أعلم

Contohnya adalah paksaan untuk melakukan talak; jika paksaan itu tanpa hak, maka talak tidak terjadi. Namun jika paksaan itu dengan hak pada kasus orang yang melakukan ila’, maka talak terjadi. Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا ارْتَدَّ الْمُسْلِمُ ثُمَّ تَابَ ثُمَّ ارْتَدَّ ثُمَّ تَابَ وَكَثُرَ ذَلِكَ مِنْهُ قُبِلَتْ تَوْبَتُهُ وَلَوِ ارْتَدَّ مِائَةَ مَرَّةٍ وَهُوَ قَوْلُ الْجَمَاعَةِ

Jika seorang Muslim murtad lalu bertobat, kemudian murtad lagi lalu bertobat lagi, dan hal itu sering terjadi padanya, maka tobatnya tetap diterima, meskipun ia murtad seratus kali. Inilah pendapat jumhur ulama.

وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ لَا أَقْبَلُ تَوْبَتَهُ فِي الثَّالِثَةِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ كفروا ثم ازدادو كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ النساء 137 وَقَوْلُهُ ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا النساء 137 يُرِيدُ بِهَ الكفر الثالث

Isḥāq bin Rāhuwaih berkata, “Aku tidak menerima tobatnya pada yang ketiga kali, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian kafir, kemudian beriman lagi, kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka’ (an-Nisā’ 137). Dan firman-Nya: ‘kemudian bertambah kekafirannya’ (an-Nisā’ 137), yang dimaksud adalah kekafiran yang ketiga.”

ودليلنا قَوْله تَعَالَى قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ الأنفال 38 فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir, jika mereka berhenti (dari kekafiran), niscaya akan diampuni bagi mereka apa yang telah lalu.” (Al-Anfal: 38), maka ayat ini berlaku secara umum.

وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْإِسْلَامُ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ وَلِأَنَّهُ مَأْمُورٌ بِالْإِسْلَامِ وَإِنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ الْكُفْرُ فَوَجَبَ أَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ مَا أَقَرَّ بِهِ كَقَبُولِهِ مِنْ غَيْرِهِ فأما الآية فهي فيمن أراد كُفْرًا وَلَمْ يُحْدِثْ إِيمَانًا فَلَمْ يَكُنْ فِيهَا دَلِيلٌ فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ إِسْلَامَهُ مَقْبُولٌ وَإِنْ تَكَرَّرَتْ رِدَّتُهُ فَإِنَّهُ يُعَزَّرُ بَعْدَ الرِّدَّةِ الثَّانِيَةِ وَمَا يَلِيهَا مِنْ كُلِّ رِدَّةٍ وَلَا يُحْبَسُ

Dan sabda Nabi ﷺ: “Islam menghapus apa yang sebelumnya.” Karena ia diperintahkan untuk memeluk Islam, dan meskipun kekufuran terulang darinya, maka wajib diterima darinya apa yang ia akui, sebagaimana diterima dari selainnya. Adapun ayat tersebut adalah mengenai orang yang menginginkan kekufuran dan tidak menghadirkan iman, maka tidak terdapat dalil di dalamnya. Maka jika telah tetap bahwa keislamannya diterima meskipun murtadnya berulang, maka ia dikenai ta‘zīr setelah murtad yang kedua dan setiap murtad berikutnya, namun tidak dipenjara.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا أُعَزِّرُهُ فِي الثَّانِيَةِ وَأَحْبِسُهُ فِي الثَّالِثَةِ وَمَا بَعْدَهَا وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ لَا وَجْهَ لَهُ لِأَنَّ الْحَبْسَ لَا يَكُفُّهُ عَنِ الرِّدَّةِ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ تَأْثِيرٌ وَهُوَ فِي الثَّانِيَةِ مُتَهَاوِنٌ بِالدِّينِ كَهُوَ فِي الثالثة فاقتضى التعزير فيها كما يعزر في الثالثة والله أعلم

Abu Hanifah berkata, “Aku tidak menjatuhkan ta‘zir pada pelanggaran kedua, tetapi aku memenjarakannya pada pelanggaran ketiga dan seterusnya.” Namun, pendapat yang beliau sampaikan ini tidak memiliki dasar, karena penjara tidak dapat mencegahnya dari riddah, sehingga tidak memiliki pengaruh. Pada pelanggaran kedua, ia telah meremehkan agama sebagaimana pada pelanggaran ketiga, sehingga ta‘zir tetap diberlakukan padanya sebagaimana ta‘zir juga dijatuhkan pada pelanggaran ketiga. Allah Maha Mengetahui.

Kitab Shoul al-Fahl

بَابُ دَفْعِ الرَّجُلِ عَنْ نفسه وحريمه ومن يتطلع في بيته

Bab tentang membela diri seorang laki-laki dari ancaman terhadap dirinya, keluarganya, dan orang yang mengintip ke dalam rumahnya.

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” إِذَا طَلَبَ الْفَحْلُ رجلاً ولم يقدر على دفعه إلا بقتله فقتله لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ غُرْمٌ كَمَا لَوْ حَمَلَ عليه مسلم بالسيف فلم يَقْدِرْ عَلَى دَفْعِهِ إِلَّا بِضَرْبِهِ فَقَتَلَهُ بِالضَّرْبِ أنه هدر قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ فَإِذَا سَقَطَ عَنْهُ الْأَكْثَرُ لِأَنَّهُ دَفَعَهُ عَنْ نَفْسِهِ بما يَجُوزُ لَهُ كَانَ الْأَقَلُّ أَسْقَطَ

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seseorang dikejar oleh seorang laki-laki yang ingin melakukan perbuatan keji kepadanya, dan ia tidak mampu menolaknya kecuali dengan membunuhnya, lalu ia membunuhnya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, sebagaimana jika seorang Muslim menyerangnya dengan pedang dan ia tidak mampu menolaknya kecuali dengan memukulnya, lalu ia membunuhnya dengan pukulan tersebut, maka darahnya sia-sia (tidak ada diyat). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barang siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia adalah syahid.’ Maka jika gugur darinya (kewajiban) yang lebih besar karena ia membela dirinya dengan cara yang dibolehkan baginya, maka yang lebih kecil tentu lebih gugur lagi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا خَافَ الإنسان عل نفسه من طالب لقتله أو قاطع لطرقه أَوْ جَارِحٍ لِبَدَنِهِ أَوْ خَافَهُ عَلَى وَلَدِهِ أَوْ زَوْجَتِهِ فَلَهُ دَفْعُ الطَّالِبِ عَلَى مَا سَنَصِفُهُ وَإِنْ أَفْضَى الدَّفْعُ إِلَى قَتْلِهِ سَوَاءٌ كَانَ الطَّالِبُ آدَمِيًّا مُكَلَّفًا كَالْبَالِغِ الْعَاقِلِ أَوْ كَانَ غَيْرَ مُكَلَّفٍ كَالصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ أَوْ كَانَ بَهِيمَةً كَالْفَحْلِ الصَّائِلِ وَالْبَعِيرِ الْهَائِجِ لِمَا هُوَ مَأْمُورٌ بِهِ مِنْ إِحْيَاءِ نَفْسِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ النساء 29 وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مِنَ الْمُسْلِمِ مَالَهُ وَدَمَهُ

Al-Mawardi berkata, “Ini sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu apabila seseorang khawatir terhadap dirinya dari orang yang mengancam akan membunuhnya, atau perampok di jalannya, atau orang yang akan melukai tubuhnya, atau ia khawatir terhadap anaknya atau istrinya, maka ia berhak menolak penyerang tersebut sebagaimana akan kami jelaskan. Jika penolakan itu berujung pada terbunuhnya penyerang, maka hukumnya sama saja, baik penyerang itu manusia mukallaf seperti orang dewasa yang berakal, atau bukan mukallaf seperti anak kecil dan orang gila, atau berupa hewan seperti binatang jantan yang menyerang atau unta yang mengamuk. Hal ini karena ia diperintahkan untuk menjaga kehidupannya sendiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri’ (an-Nisa: 29), dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan atas seorang Muslim harta dan darahnya.’”

وَلِمَا رُوِيَ أَنَّ جَارِيَةً خَرَجَتْ مِنَ الْمَدِينَةِ تَحْتَطِبُ فَتَبِعَهَا رَجُلٌ فَرَاوَدَهَا عَنْ نَفْسِهَا فَرَمَتْهُ بفهر فقتلته فَرُفِعَ ذَلِكَ إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فقال هذا قتيل الله والله لا يؤدي أبداً ومعنى ” قَتِيلُ اللَّهِ أَيْ أَبَاحَ اللَّهُ قَتْلَهُ وَفِي قوله ” والله لا يؤدي أَبَدًا تَأْوِيلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ خَارِجٌ مَخْرَجَ الْقَسَمِ بالله أنه لا يغرم دِيَتَهُ

Dan karena telah diriwayatkan bahwa seorang budak perempuan keluar dari Madinah untuk mengumpulkan kayu bakar, lalu seorang laki-laki mengikutinya dan berusaha memaksanya berbuat zina, maka budak perempuan itu melemparnya dengan batu hingga membunuhnya. Perkara ini kemudian dibawa kepada ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, lalu beliau berkata, “Ini adalah orang yang dibunuh oleh Allah, demi Allah, diyat-nya tidak akan pernah dibayar.” Makna “orang yang dibunuh oleh Allah” adalah Allah membolehkan untuk membunuhnya. Dan dalam ucapannya, “demi Allah, diyat-nya tidak akan pernah dibayar,” terdapat dua penafsiran: salah satunya adalah bahwa ucapan itu bermakna sumpah dengan nama Allah bahwa diyat-nya tidak wajib dibayar.

وَالثَّانِي أَنَّهُ إِخْبَارٌ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى أن من أباح قتله لم يغرم دِيَتُهُ وَلِأَنَّ الطَّلَبَ جِنَايَةٌ وَعُقُوبَةُ الْجَانِي مُبَاحَةٌ

Kedua, bahwa hal itu merupakan pemberitahuan dari Allah Ta‘ala bahwa siapa pun yang dihalalkan untuk dibunuh, maka tidak wajib membayar diyatnya. Karena menuntut adalah suatu tindak pidana, dan hukuman bagi pelaku kejahatan itu diperbolehkan.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ دَفْعِهِ بِالْقَتْلِ وَهُوَ متفق عليه كانت نفسه هدراً مُكَلَّفًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مُكَلَّفٍ

Maka apabila telah tetap bolehnya menolaknya dengan membunuh, dan hal itu telah disepakati, maka jiwanya menjadi sia-sia, baik ia mukallaf maupun bukan mukallaf.

وقال أبو حنيفة إن كان آدمياً كَالْبَالِغِ الْعَاقِلِ كَانَتْ نَفْسُهُ هَدَرًا حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُكَلَّفٍ كَالصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ أَوْ كَانَ بَهِيمَةً كَالْفَحْلِ الصَّائِلِ كَانَتْ نفسه مع إباحة قتله مضمونة بدية الأذى وَقِيمَةِ الْبَهِيمَةِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نفس منه

Abu Hanifah berkata, jika ia adalah seorang manusia seperti orang dewasa yang berakal, maka jiwanya menjadi sia-sia, baik ia seorang yang merdeka maupun seorang budak. Namun jika ia bukan mukallaf seperti anak kecil dan orang gila, atau jika ia adalah hewan seperti hewan jantan yang menyerang, maka jiwanya, meskipun diperbolehkan untuk dibunuh, tetap dijamin dengan diyat atas gangguan dan nilai hewan tersebut, berdasarkan dalil dari sabda Nabi ﷺ: “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya.”

وهذا المال مستهلك على مالكه بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ مضموناً على مستهلكة قال ولأنه استهلك ملك غَيْرِهِ لِإِحْيَاءِ نَفْسِهِ فَوَجَبَ إِذَا كَانَ بِغَيْرِ إِذْنِ مَالِكِهِ أَنْ يَكُونَ مُلْتَزِمًا لِضَمَانِهِ كَالْمُضْطَرِّ إِلَى طَعَامِ غَيْرِهِ وَهَذَا أَوْلَى بِالضَّمَانِ؛ لِأَنَّهُ عَلَى يَقِينٍ مِنْ إِحْيَاءِ نَفْسِهِ بِأَكْلِ الطَّعَامِ وَعَلَى غَيْرِ يَقِينٍ مِنْ إِحْيَاءِ نَفْسِهِ بِهَذَا الْقَتْلِ؛ لِجَوَازِ أَنْ يَنْدَفِعَ عَنْهُ بِغَيْرِ قَتْلٍ فَلَمَّا ضَمِنَ مَا يَتَيَقَّنُ بِهِ الْحَيَاةَ كَانَ أولى أن يضمن مالا يَتَيَقَّنُ بِهِ الْحَيَاةَ قَالَ وَلِأَنَّ الْبَهِيمَةَ لَا قَصْدَ لَهَا؛ لِأَنَّهَا لَوْ أَتْلَفَتْ شَيْئًا وَلَيْسَ صاحبها معها كَانَ هَدَرًا لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” جَرْحُ الْعَجْمَاءِ جُبَارٌ فَإِذَا بَطَلَ قَصْدُهَا سَقَطَ حكم الصول فَصَارَ كَالْقَاتِلِ لَهَا بِغَيْرِ صَوْلٍ فَوَجَبَ عَلَيْهِ الضَّمَانُ

Harta ini telah digunakan habis oleh pemiliknya tanpa kerelaan dari dirinya, maka hal itu menuntut agar harta tersebut menjadi tanggungan bagi orang yang menggunakannya. Ia juga berkata: Karena ia telah menghabiskan milik orang lain demi menyelamatkan jiwanya, maka wajib baginya—jika tanpa izin pemiliknya—untuk bertanggung jawab atas ganti rugi, seperti orang yang terpaksa memakan makanan milik orang lain. Dan ini lebih utama untuk dikenakan tanggungan, karena ia yakin dapat menyelamatkan dirinya dengan memakan makanan, sedangkan ia tidak yakin dapat menyelamatkan dirinya dengan pembunuhan ini; sebab bisa jadi ia dapat selamat tanpa harus membunuh. Maka, ketika ia diwajibkan menanggung ganti rugi atas sesuatu yang diyakini dapat menyelamatkan hidupnya, maka lebih utama lagi ia menanggung ganti rugi atas sesuatu yang tidak diyakini dapat menyelamatkan hidupnya. Ia juga berkata: Karena hewan tidak memiliki niat; sebab jika ia merusak sesuatu dan pemiliknya tidak bersamanya, maka itu dianggap sia-sia, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Luka yang disebabkan oleh hewan tidak ada ganti rugi.” Maka, ketika niat hewan itu tidak dianggap, gugurlah hukum penyerangan, sehingga menjadi seperti orang yang membunuh hewan tanpa adanya penyerangan, maka wajib baginya membayar ganti rugi.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ التوبة 91 وَهَذَا بِالدَّفْعِ عَنْ نَفْسِهِ مُحْسِنٌ فَوَجَبَ أَنْ لا يكون عليه سبيل في الغرم وَقَالَ تَعَالَى وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ الشورى 41

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Tidak ada jalan (untuk menyalahkan) atas orang-orang yang berbuat baik; dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (at-Taubah: 91). Dalam hal ini, orang yang membela diri termasuk berbuat baik, maka wajib tidak ada jalan baginya dalam menanggung ganti rugi. Dan Allah Ta‘ala berfirman: “Dan barangsiapa membela diri setelah didzalimi, maka mereka itu tidak ada jalan (untuk menyalahkan) atas mereka.” (asy-Syura: 41).

فَإِنْ قِيلَ لَا يُنْسَبُ إِلَى غَيْرِ الْمُكَلَّفِ ظُلْمٌ

Jika dikatakan, “Tidak dinisbatkan kezhaliman kepada selain mukallaf,”

قِيلَ الظُّلْمُ وَضْعُ الشَّيْءِ فِي غَيْرِ مَوْضِعِهِ فَصَارَ الدَّافِعُ مَظْلُومًا وَإِنْ لَمْ يُنْسَبْ إِلَى الْمَدْفُوعِ يرفع الْقَلَمِ عَنْهُ ظُلِمَ وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قال ” لا يحل ما امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ فَاقْتَضَى ظَاهِرُهُ أَنْ لَا يُؤْخَذَ مِنْهُ غُرْمٌ مَا لَمْ تَطِبْ نَفْسُهُ بِهِ

Dikatakan bahwa kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, sehingga orang yang membayar menjadi orang yang dizalimi, meskipun tidak dinisbatkan kepada pihak yang menerima pembayaran, maka diangkatlah pena (tidak dicatat dosa) darinya karena ia telah dizalimi. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya,” maka zahir (makna lahiriah) hadis ini menunjukkan bahwa tidak boleh diambil darinya suatu kewajiban (ganti rugi) kecuali jika ia rela terhadapnya.

وَمِنَ الِاعْتِبَارِ أَنَّهُ إِتْلَافٌ بِدَفْعٍ مُبَاحٍ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ فِيهِ الضَّمَانُ قِيَاسًا عَلَى قَتْلِ الْبَالِغِ الْعَاقِلِ الْمُكَلَّفِ

Dan termasuk pertimbangan adalah bahwa hal itu merupakan perusakan yang dilakukan dengan tindakan yang dibolehkan, maka wajib gugur tanggungan (ganti rugi) di dalamnya berdasarkan qiyās terhadap pembunuhan orang dewasa yang berakal dan mukallaf.

فَإِنْ قِيلَ الْمَعْنَى فِي الْمُكَلَّفِ أَنَّهُ قَدْ أَبَاحَ قَتْلَ نَفْسِهِ بِالطَّلَبِ وَلَا يَصِحُّ مِنْ غَيْرِ الْمُكَلَّفِ إِبَاحَةُ نَفْسِهِ بِالطَّلَبِ؛ لِأَنَّهُ لَا حكم لقصده

Jika dikatakan bahwa maksud pada mukallaf adalah bahwa ia telah membolehkan dirinya untuk dibunuh karena tuntutan, dan tidak sah bagi selain mukallaf untuk membolehkan dirinya dibunuh karena tuntutan; karena tidak ada hukum bagi maksudnya.

قِيلَ افْتِرَاقُهُمَا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ مِنْ اسْتِوَائِهِمَا فِي إِبَاحَةِ الْقَتْلِ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ اسْتِوَائِهِمَا فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ وَلِأَنَّهُ قتل مباح بسبب كان من الصول فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ هَدْرًا كَالْقَتْلِ بِالرِّدَّةِ وَالزِّنَا وَلِأَنَّ مَا سَقَطَ بِهِ ضَمَانُ الْآدَمِيِّ سَقَطَ بِهِ ضَمَانُ الْبَهِيمَةِ قِيَاسًا عَلَى قَتْلِ الصَّيْدِ إِذَا صَالَ عَلَى مُحْرِمٍ لَمْ يُضْمَنْ بِالْجَزَاءِ كَذَلِكَ الْبَهِيمَةُ الْمَمْلُوكَةُ لَا تُضْمَنُ بِالْقِيمَةِ

Dikatakan bahwa perbedaan keduanya dari sisi ini, ketika tidak menghalangi kesamaan keduanya dalam kebolehan membunuh, maka tidak pula menghalangi kesamaan keduanya dalam gugurnya kewajiban ganti rugi. Karena pembunuhan yang dibolehkan karena suatu sebab, yaitu adanya penyerangan, maka wajib hukumnya dianggap sia-sia (tidak ada ganti rugi), seperti pembunuhan karena riddah (murtad) dan zina. Dan karena apa yang menyebabkan gugurnya kewajiban ganti rugi terhadap manusia, maka gugur pula kewajiban ganti rugi terhadap hewan, dengan qiyās kepada pembunuhan hewan buruan jika menyerang orang yang sedang ihram, maka tidak wajib membayar denda. Demikian pula hewan milik orang lain tidak wajib diganti dengan nilai harganya.

فَإِنْ قِيلَ فَقَتْلُ الصَّيْدِ فِي الْإِحْرَامِ مَضْمُونٌ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فَكَانَ أَخَفَّ حُكْمًا مِنَ الْمَضْمُونِ فِي حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ

Jika dikatakan bahwa membunuh hewan buruan saat ihram merupakan sesuatu yang dijamin (tanggungannya) dalam hak Allah Ta‘ala, maka hukumnya lebih ringan dibandingkan dengan sesuatu yang dijamin dalam hak-hak manusia.

قِيلَ لَمَّا لَمْ يَمْنَعْ هَذَا مِنَ اسْتِوَائِهِمَا فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ إذا اضطر إلى إتلافها لِشِدَّةِ جُوعِهِ لَمْ يَمْنَعْ مِنَ اسْتِوَائِهِمَا فِي سقوط الضمان إذا قتلها لِلدَّفْعِ عَنْ نَفْسِهِ وَلِأَنَّ حُرْمَةَ الْآدَمِيِّ أَغْلَظُ مِنْ حُرْمَةِ الْبَهِيمَةِ لِضَمَانِ نَفْسِهِ بِالْكَفَّارَةِ وَالدِّيَةِ وَانْفِرَادِ ضَمَانِ الْبَهِيمَةِ بِالْقِيمَةِ فَلَمَّا سَقَطَ بِالدَّفْعِ ضَمَانُ الْأَغْلَظِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يَسْقُطَ بِهِ ضَمَانُ الْأَخَفِّ

Dikatakan: Ketika hal ini tidak mencegah persamaan keduanya dalam kewajiban membayar ganti rugi jika seseorang terpaksa membinasakannya karena sangat lapar, maka hal itu juga tidak mencegah persamaan keduanya dalam gugurnya kewajiban ganti rugi jika membunuhnya untuk membela diri. Karena kehormatan manusia lebih berat daripada kehormatan hewan, sebab jiwa manusia dijamin dengan kaffārah dan diyat, sedangkan jaminan hewan hanya dengan nilai (harga)nya. Maka ketika dengan pembelaan diri gugur kewajiban ganti rugi yang lebih berat, maka lebih utama lagi gugur kewajiban ganti rugi yang lebih ringan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى أكل المضطر فمن وجهين

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan makan dalam keadaan darurat adalah dari dua sisi.

أحدهما انتفاضه بالعبد إذا قتله دفاعاً عَنْ نَفْسِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَحْيَا نَفْسَهُ بِقَتْلِ مَالِ غَيْرِهِ وَلَا يَضْمَنُهُ

Pertama, gugurnya tanggungan atas budak jika ia membunuhnya dalam rangka membela diri; karena ia telah menyelamatkan dirinya dengan membunuh milik orang lain dan ia tidak menanggung ganti rugi atasnya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ سلم من هذا النقص لكان لهذا الْمَعْنَى فِي الطَّعَامِ أَنَّهُ أَتْلَفَهُ لِمَعْنًى فِي نَفْسِهِ وَهُوَ ضَرُورَةُ جُوعِهِ

Dan yang kedua, bahwa jika ia terbebas dari kekurangan ini, maka makna ini dalam makanan adalah bahwa ia telah menghabiskannya karena suatu alasan pada dirinya sendiri, yaitu karena kebutuhan mendesak akibat rasa laparnya.

وَالْمَعْنَى فِي صَوْلِ الْفَحْلِ أَنَّهُ قَتَلَهُ لِمَعْنًى فِي الْفَحْلِ وَهُوَ مخافة صوله فافترقا في المعنى من هذا الوجه فوجب افْتِرَاقهُمَا فِي الضَّمَانِ كَالْعَبْدِ إِذَا قَتَلَهُ لِلْجُوعِ ضَمِنَهُ وَلَوْ قَتَلَهُ لِلدَّفْعِ لَمْ يَضْمَنْهُ وَكَالصَّيْدِ إِذَا قَتَلَهُ الْمُحْرِمُ لِجُوعِهِ ضَمِنَهُ وَلَوْ قَتَلَهُ لِلدَّفْعِ عَنْ نَفْسِهِ لَمْ يَضْمَنْهُ

Makna dari serangan hewan jantan adalah bahwa ia membunuhnya karena suatu alasan yang ada pada hewan jantan tersebut, yaitu karena takut akan serangannya. Maka, keduanya berbeda dalam makna dari sisi ini, sehingga wajib dibedakan dalam hal tanggungan (dhamān), seperti halnya seorang budak jika membunuhnya karena lapar maka ia wajib menanggungnya, namun jika membunuhnya untuk membela diri maka ia tidak wajib menanggungnya. Demikian pula, jika seorang muhrim membunuh hewan buruan karena lapar maka ia wajib menanggungnya, namun jika membunuhnya untuk membela diri maka ia tidak wajib menanggungnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ قَصْدَ الْبَهِيمَةِ لَا حُكْمَ له فمن وجهين

Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa maksud (niat) hewan tidak memiliki hukum, maka ada dua sisi.

أحدهما انتفاضة بِصَوْلِ الصَّيْدِ عَلَى الْمُحْرِمِ يَسْقُطُ بِهِ الْجَزَاءُ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ لَوْ لَمْ يَصُلْ

Pertama, jika hewan buruan menyerang orang yang sedang ihram, maka kewajiban membayar fidyah gugur karenanya, dan tidak gugur jika hewan tersebut tidak menyerang.

وَالثَّانِي أنه لما حل قتله بصوله وَلَمْ يَحِلَّ إِذَا لَمْ يَصُلْ دَلَّ عَلَى سقوط الضمان بصوله إِذَا لَمْ يَصُلْ

Kedua, bahwa ketika halal membunuhnya karena ia menyerang, dan tidak halal jika ia tidak menyerang, maka hal itu menunjukkan gugurnya tanggungan (dhamān) karena serangannya, jika ia tidak menyerang.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ سُقُوطُ الضمان في تلف المدفوع من آدمي وبهيمة فَالْكَلَامُ فِيهِ يَشْتَمِلُ عَلَى بَيَانِ أَرْبَعَةِ أَحْكَامٍ

Maka apabila telah tetap gugurnya kewajiban ganti rugi atas barang yang diberikan baik dari manusia maupun hewan, maka pembahasan di sini mencakup penjelasan tentang empat hukum.

أحدها صفة الحال التي يجوز فيها الدفع وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الطَّالِبُ قَادِرًا عَلَى المطلوب يصل إليه إذا أراده فأما أن كَانَ عَاجِزًا عَنْهُ فَلَيْسَ لِلْمَطْلُوبِ أَنْ يَدْفَعَ؛ لِأَنَّهُ لَا تَأْثِيرَ لِلطَّلَبِ وَالْعَجْزُ يَكُونُ مِنْ وَجْهَيْنِ

Pertama, sifat keadaan yang membolehkan adanya penolakan adalah ketika pihak yang menuntut mampu untuk mendapatkan apa yang dituntutnya dan dapat mencapainya jika ia menghendaki. Adapun jika ia tidak mampu, maka pihak yang dituntut tidak berhak menolak, karena tuntutan tersebut tidak berpengaruh, dan ketidakmampuan itu bisa terjadi dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا خَوْفُ السُّلْطَانِ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ بِالطَّلَبِ فَيَسْتَخْفِي تَوَقُّعًا لِاخْتِلَاسِهِ فَلَيْسَ لِلْمَطْلُوبِ الدَّفْعُ وَيَكِلُهُ إِلَى السُّلْطَانِ فِيمَا يَخَافُهُ مِنَ اخْتِلَاسِهِ

Salah satunya adalah rasa takut penguasa terhadap permintaan yang dilakukan secara terang-terangan, sehingga ia menyembunyikannya karena khawatir akan dirampas. Maka, orang yang diminta tidak wajib membayar, dan ia menyerahkan urusan tersebut kepada penguasa terkait apa yang ia khawatirkan dari perampasan itu.

وَالثَّانِي أَنْ يَعْجَزَ عَنْهُ لِامْتِنَاعِهِ مِنْهُ بِحِصْنٍ يَأْوِي إِلَيْهِ أَوْ جَبَلٍ يَرْقَاهُ أَوْ عَشِيرَةٍ يَنْضَمُّ إِلَيْهَا فَلَيْسَ لَهُ الدَّفْعُ؛ لِأَنَّهُ مَدْفُوعٌ عَنْهُ فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا نَهْرٌ مَانِعٌ نُظِرَ فِيهِ فإن كان واسعاً لاتصل إِلَيْهِ سِهَامُهُ إِلَّا بِالْعُبُورِ إِلَيْهِ كَدِجْلَةَ وَالْفُرَاتِ لَمْ يَتَعَرَّضْ لِدَفْعِهِ مَا لَمْ يَعْبُرْ إِلَيْهِ إِذَا لَمْ يَقْدِرِ الْمَطْلُوبُ أَنْ يَبْعُدَ عَنْ سهام الطالب فإن قدر على البعد منها مِنْ غَيْرِ مَشَقَّةٍ كَفَّ عَنْهُ وَبَعُدَ مِنْهُ

Kedua, jika ia tidak mampu melawannya karena terhalang oleh benteng yang menjadi tempat berlindungnya, atau gunung yang didakinya, atau kelompok yang ia bergabung dengannya, maka tidak ada hak baginya untuk melakukan penyerangan; karena ia telah terlindungi dari serangan. Jika di antara keduanya terdapat sungai yang menjadi penghalang, maka hal itu perlu diteliti: jika sungai itu lebar sehingga panahnya tidak dapat menjangkaunya kecuali dengan menyeberang, seperti Sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Eufrat), maka tidak boleh melakukan penyerangan selama belum menyeberang kepadanya, apabila pihak yang dicari tidak mampu menjauh dari panah pihak penyerang. Namun jika ia mampu menjauh dari panah tersebut tanpa kesulitan, maka ia harus menahan diri dan menjauh darinya.

فَصْلٌ

Fasal

وَالْحُكْمُ الثَّانِي فِي الَّذِي يَجُوزُ أَنْ يَدْفَعَهُ عَنْهُ وَهُوَ أَنْ يَدْفَعَهُ إِذَا أَرَادَ نَفْسَهُ أَوْ وَلَدَهُ أَوْ زَوْجَتَهُ لِقَتْلٍ أَوْ فَاحِشَةٍ أَوْ أَذًى أَوْ أَرَادَ مَالَهُ أَوْ حَرِيمَهُ أَوْ مَا هُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْهُ فيكون حُكْمُ دَفْعِهِ عَنْ غَيْرِهِ مِنْ أَهْلِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَحُكْمِ دَفْعِهِ عَنْ نَفْسِهِ وَحُكْمُ دَفْعِهِ عَنِ الْمَالِ وَالْحَرِيمِ كَحُكْمِ دَفْعِهِ عَنِ النُّفُوسِ؛ لِرِوَايَةِ سَعِيدِ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Hukum kedua berkaitan dengan orang yang boleh membela diri darinya, yaitu bahwa seseorang boleh membela diri jika ada yang hendak mencelakainya, anaknya, istrinya, baik berupa pembunuhan, perbuatan keji, gangguan, atau hendak mengambil hartanya, melanggar kehormatannya, atau sesuatu yang lebih berhak ia miliki daripada orang tersebut. Maka hukum membela diri untuk orang lain dari keluarganya dan keturunannya sama dengan hukum membela diri untuk dirinya sendiri. Hukum membela diri untuk harta dan kehormatan juga sama dengan hukum membela diri untuk jiwa, berdasarkan riwayat dari Sa‘id bin Zaid bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia adalah syahid.”

والشهيد من كان له القتال وقال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَلَا إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فَجَمَعَ بَيْنَ الدَّمِ وَالْمَالِ وَالْعِرْضِ فَدَلَّ عَلَى اشْتِرَاكِهِمْ فِي حُكْمِ الدَّفْعِ فَإِنْ كَانَ الطَّالِبُ يَقْصِدُهُ بِالْقَذْفِ وَالسَّبِّ وَلَا يَتَعَدَّاهُ إِلَى نَفْسٍ وَلَا مَالٍ فَلَيْسَ لَهُ دَفْعُهُ بجرح ولا ضرب ولا مقاتلته عَلَيْهِ بِقَذْفٍ وَلَا سَبٍّ؛ لِأَنَّهُ مَدْفُوعٌ عَنِ الْقَذْفِ بِالْحَدِّ وَعَنِ السَّبِّ بِالتَّعْزِيرِ وَكِلَاهُمَا مِمَّا يَقُومُ السُّلْطَانُ بِهِمَا فَإِنْ بَعُدَا عَنِ السُّلْطَانِ فِي بَادِيَةٍ نَائِيَةٍ فَقَدَرَ عَلَى اسْتِيفَاءِ الْحَدِّ وَالتَّعْزِيرِ بِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ مُجَاوَزَةٍ فِيهِ جَازَ لِأَنَّهُ حَقٌّ لَهُ فَصَارَ كَالدَّيْنِ الَّذِي يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَوَصَّلَ إِلَى أَخْذِهِ إِذَا مُنِعَ مِنْهُ

Syahid adalah orang yang berhak untuk berperang. Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, seperti haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini.” Beliau mengumpulkan antara darah, harta, dan kehormatan, sehingga menunjukkan bahwa ketiganya memiliki hukum yang sama dalam hal pembelaan. Jika seseorang yang menyerang hanya bermaksud mencaci atau memaki, dan tidak melampaui itu kepada jiwa atau harta, maka tidak boleh baginya membela diri dengan melukai, memukul, atau memerangi penyerang tersebut karena cacian atau makian; sebab perlindungan dari pencemaran nama baik dilakukan dengan had, dan dari makian dengan ta‘zīr, dan keduanya merupakan perkara yang menjadi wewenang penguasa. Jika keduanya jauh dari penguasa, di suatu pedalaman yang terpencil, lalu ia mampu menegakkan had dan ta‘zīr sendiri tanpa berlebihan, maka hal itu diperbolehkan karena itu adalah haknya, sehingga keadaannya seperti utang yang boleh diupayakan sendiri untuk mengambilnya jika ia dihalangi darinya.

فَصْلٌ

Bagian

وَالْحُكْمُ الثَّالِثُ فِي صِفَةِ الدَّفْعِ وَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِأَقَلِّ مَا يَنْدَفِعُ بِهِ وَأَقَلُّهُ الْكَلَامُ فَإِنْ كَانَ يَنْدَفِعُ بِالْكَلَامِ بِالنَّهْيِ وَالْوَعِيدِ ولم يَتَجَاوَزْهُ إِلَى ضَرْبٍ وَلَا جِرَاحٍ فَإِنْ تَجَاوَزَهُ كَانَ مَأْخُوذًا بِهِ وَإِنْ لَمْ يَنْدَفِعْ بِالْكَلَامِ فإن له أن يتجاوزه إِلَى الضَّرْبِ دُونَ الْجِرَاحِ وَيُعْتَبَرُ مِنْ عَدَدِ الضَّرْبِ وَصِفَتِهِ قَدْرُ مَا يَنْدَفِعُ بِهِ فَإِنْ تجاوزه إلى زيادة أو الجراح بِالْحَدِيدِ وَيُعْتَبَرُ فِيهِ قَدْرُ مَا يَنْدَفِعُ بِهِ فَإِنْ تَجَاوَزَهُ إِلَى زِيَادَةٍ فِي الْجِرَاحِ أَوْ إِلَى الْقَتْلِ كَانَ مَأْخُوذًا بِهِ وَإِنْ كَانَ لَا يَنْدَفِعُ إِلَّا بِالْقَتْلِ كَانَ لَهُ قَتْلُهُ وَإِنْ كَانَ يَنْدَفِعُ عَنْهُ بِجِرَاحَةٍ وَاحِدَةٍ فَجَرَحَهُ جراحتين فمات منها فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي النَّفْسِ وَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ جِرَاحَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا مُبَاحَةٌ لَا تُضْمَنُ وَالثَّانِيَةُ مَحْظُورَةٌ تُضْمَنُ وَكَذَلِكَ لَوِ انْدَفَعَ بِجِرَاحِة فَجَرَحَهُ ثَلَاثَ جِرَاحَاتٍ ضَمِنَ نِصْفَ الدِّيَةِ وَكَذَلِكَ لَوِ انْدَفَعَ بِجِرَاحَتَيْنِ فَجَرَحَهُ ثَلَاثًا ضَمِنَ نِصْفَ الدِّيَةِ وَلَا تَتَقَسَّطُ الدِّيَةُ عَلَى أعداد الجراح إنما تَتَقَسَّطُ عَلَى أَحْكَامِهَا فِي الْحَظْرِ وَالْإِبَاحَةِ كَالْمُرْتَدِّ إِذَا جُرِحَ فِي حَالِ الرِّدَّةِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ وَكَالشَّرِيكَيْنِ فِي الْجِرَاحِ إِذَا جُرِحَ أَحَدُهُمَا جِرَاحَةً وَجُرِحَ الْآخَرُ عَشْرًا كَانَا فِي الدِّيَةِ سَوَاءً وَهَكَذَا لَوِ انْدَفَعَ بِقَطْعِ إِحْدَى يَدَيْهِ فَعَادَ بعد قطعهما وَقَطَعَ الْيَدَ الْأُخْرَى ضَمِنَهَا فَإِنْ سَرَى الْقَطْعُ إِلَى نَفْسِهِ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي النَّفْسِ وَعَلَيْهِ نِصْفُ الدِّيَةِ وإن انْدَمَلَ الْقَطْعُ كَانَ عَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي الْيَدِ الثَّانِيَةِ أَوْ دِيَتُهَا وَلَا يَجُوزُ إِذَا وَلَّى الطَّالِبُ مُدْبِرًا أَنْ يُتْبَعَ بِجِرَاحٍ وَلَا قَتْلٍ ويكون ما فعله المطلوب بعد إدلائه عَنْهُ الطَّالِبَ مِنْ جِرَاحٍ وَقَتْلٍ مَضْمُونًا عَلَيْهِ كَالْمُحَارِبِينَ إِذَا وَلَّوْا عَنْ قَطْعِ الطَّرِيقِ وَالْبُغَاةِ إِذَا أَدْبَرُوا عَنِ الْقِتَالِ

Hukum ketiga berkaitan dengan cara melakukan penolakan, yaitu harus diperhatikan dengan ukuran paling minimal yang dapat menolak (bahaya tersebut), dan yang paling minimal adalah dengan ucapan. Jika dapat ditolak dengan ucapan berupa larangan dan ancaman, dan tidak melampaui itu kepada pemukulan atau melukai, maka jika ia melampauinya, ia bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun jika tidak dapat ditolak dengan ucapan, maka ia boleh melanjutkan dengan pemukulan tanpa melukai. Jumlah dan cara pemukulan juga harus sesuai dengan kadar yang dapat menolak (bahaya tersebut). Jika ia melampaui hingga menambah atau sampai melukai dengan senjata tajam, maka juga harus sesuai dengan kadar yang dapat menolak (bahaya tersebut). Jika ia melampaui hingga menambah luka atau sampai membunuh, maka ia bertanggung jawab atas perbuatannya. Jika tidak dapat ditolak kecuali dengan membunuh, maka ia boleh membunuhnya. Jika dapat ditolak dengan satu luka, lalu ia melukainya dua kali hingga orang itu mati karenanya, maka tidak ada qishash atas dirinya dalam hal jiwa, namun ia wajib membayar setengah diyat, karena kematian terjadi akibat dua luka, salah satunya dibolehkan dan tidak dijamin, sedangkan yang kedua terlarang dan dijamin. Begitu pula jika dapat ditolak dengan satu luka, lalu ia melukainya tiga kali, maka ia wajib membayar setengah diyat. Demikian juga jika dapat ditolak dengan dua luka, lalu ia melukainya tiga kali, maka ia wajib membayar setengah diyat. Diyat tidak dibagi berdasarkan jumlah luka, tetapi dibagi berdasarkan hukumnya dalam hal larangan dan kebolehan, seperti murtad yang dilukai dalam keadaan murtad setelah masuk Islam, dan seperti dua orang yang saling melukai, jika salah satunya melukai satu luka dan yang lain melukai sepuluh luka, maka keduanya sama dalam diyat. Demikian juga jika dapat ditolak dengan memotong salah satu tangannya, lalu setelah memotong keduanya ia kembali dan memotong tangan yang lain, maka ia wajib menanggungnya. Jika potongan itu berlanjut hingga menyebabkan kematian, maka tidak ada qishash atas dirinya dalam hal jiwa, namun ia wajib membayar setengah diyat. Jika potongan itu sembuh, maka ia wajib qishash pada tangan kedua atau membayar diyatnya. Tidak boleh jika orang yang menuntut telah berpaling, lalu diikuti dengan melukai atau membunuh. Apa yang dilakukan oleh orang yang dituntut setelah penuntut berpaling darinya, berupa luka atau pembunuhan, maka ia wajib menanggungnya, seperti para perampok jalanan jika mereka telah berpaling dari memutus jalan, dan seperti para bughat jika mereka mundur dari peperangan.

فَصْلٌ

Fasal

وَالْحُكْمُ الرَّابِعُ فِي جَوَازِ الدَّفْعِ وَوُجُوبِهِ وَهُوَ يَخْتَلِفُ عَلَى اخْتِلَافِ الْمَطْلُوبِ وَيَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Hukum keempat berkaitan dengan kebolehan dan kewajiban melakukan penolakan, dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan hal yang dimaksud, serta terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا مَا جَازَ وَلَمْ يَجِبْ وَهُوَ طَلَبُ الْمَالِ فَالْمَطْلُوبُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَدْفَعَ عَنْ مَالِهِ وَبَيْنَ أَنْ يُمَكَّنَ مِنْهُ وَلَا يَدْفَعَ عَنْهُ؛ لِأَنَّ بَذْلَ الْمَالِ مُبَاحٌ

Salah satunya adalah sesuatu yang boleh namun tidak wajib, yaitu permintaan harta. Maka orang yang diminta memiliki pilihan antara membayar untuk melindungi hartanya atau membiarkan hartanya diambil dan tidak melindunginya; karena memberikan harta itu hukumnya mubah.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا وَجَبَ الدَّفْعُ عَنْهُ وَهُوَ مَنْ أُرِيدَ مِنْهُ قَتْلُ غَيْرِهِ مِنْ وَلَدٍ أَوْ زَوْجَةٍ أَوْ أُرِيدَ مِنْ أَحَدِهِمُ الْفَاحِشَةُ فَالدَّفْعُ عَنْهُ وَاجِبٌ وَفِي الْإِمْسَاكِ عَنْهُ مَأْثَمٌ؛ لِأَنَّ إِبَاحَةَ ذَلِكَ مَحْظُورٌ

Bagian kedua adalah apa yang wajib untuk dibela, yaitu seseorang yang hendak dibunuh orang lain, seperti anak atau istri, atau seseorang di antara mereka yang hendak diperlakukan secara keji (fāḥisyah). Maka membela mereka adalah wajib, dan menahan diri dari membela mereka adalah berdosa, karena membiarkan hal tersebut adalah sesuatu yang terlarang.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا اخْتُلِفَ فِي وُجُوبِهِ وَجَوَازِهِ وَهُوَ إِذَا أُرِيدَتْ نَفْسُهُ وَهَذَا مُعْتَبَرٌ بِالطَّالِبِ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَيْسَ لَهُ زَاجِرٌ مِنْ نَفْسِهِ كَالْبَهِيمَةِ وَالْمَجْنُونِ فَوَاجِبٌ عَلَى الْمَطْلُوبِ أَنْ يَدْفَعَ عَنْ نَفْسِهِ وَيَكُونُ فِي الْكَفِّ كَالْإذُنِ في قتل نفسه وإن كان الطالب من يَزْجُرُهُ عَنِ الْقَتْلِ عَقْلٌ وَدِينٌ كَالْمُكَلَّفِ مِنَ الْآدَمِيِّينَ فَفِي وُجُوبِ الدَّفْعِ عَنْ نَفْسِهِ وَجْهَانِ ذَكَرْنَاهُمَا فِي كِتَابِ الْجِنَايَاتِ

Bagian ketiga adalah perkara yang diperselisihkan tentang kewajiban dan kebolehannya, yaitu jika yang dimaksud adalah dirinya sendiri. Hal ini tergantung pada si penuntut. Jika penuntutnya adalah orang yang tidak memiliki penghalang dari dirinya sendiri, seperti hewan atau orang gila, maka wajib bagi yang diminta untuk membela dirinya, dan menahan diri dalam hal ini seperti memberi izin untuk membunuh dirinya sendiri. Namun jika penuntutnya adalah orang yang memiliki penghalang berupa akal dan agama, seperti mukallaf dari kalangan manusia, maka dalam kewajiban membela diri terdapat dua pendapat yang telah kami sebutkan dalam Kitab Jinayat.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ عَلَيْهِ الدَّفْعُ عَنْ نَفْسِهِ وَيَكُونُ آثِمًا بِالْكَفِّ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ النساء 29 وَلِأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ قَتْلُ نَفْسِهِ وَإِبَاحَةُ قَتْلِهِ

Salah satunya adalah ia wajib membela diri, dan ia berdosa jika menahan diri (tidak membela diri), berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” (an-Nisā’ ayat 29), dan karena diharamkan baginya membunuh dirinya sendiri serta menghalalkan pembunuhan atas dirinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجُوزُ لَهُ الدَّفْعُ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَفَّ لَمْ يَأْثَمْ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فِي ابْنَيْ آدَمَ لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ الله رب العالمين المائدة 28 ولأن للطالب زاجر مِنْ نَفْسِهِ وَلِذَلِكَ امْتَنَعَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رضي الله عنه من الدفع عن نفسه والله أعلم

Pendapat kedua, ia boleh melakukan pembelaan diri, namun tidak wajib baginya, dan jika ia menahan diri (tidak membela diri), ia tidak berdosa, berdasarkan firman Allah Ta‘ala tentang kedua putra Adam: “Jika engkau mengulurkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan mengulurkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sungguh, aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (Al-Mā’idah: 28). Karena pada diri pelaku sudah terdapat pencegah dari dirinya sendiri, dan karena itulah ‘Utsmān bin ‘Affān radhiyallāhu ‘anhu menahan diri untuk tidak membela dirinya. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ عَضَّ يَدَهُ رَجُلٌ فَانْتَزَعَ يَدَهُ فَنَدَرَتْ ثنيتا العاض كان ذلك هدرا وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” أيدع يده في فيك تقضهما كأنها في في فحل وأهدر ثنيته

Syafi‘i berkata, “Jika seorang laki-laki menggigit tangan orang lain, lalu orang yang digigit menarik tangannya sehingga dua gigi seri si penggigit tanggal, maka itu tidak ada ganti rugi. Ia berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: ‘Apakah ia membiarkan tangannya di mulutmu hingga engkau mengunyahnya seperti mulut seekor unta jantan?’ Maka Nabi ﷺ menggugurkan hak atas dua gigi serinya.”

قال الماوردي وهذا صحيح وحكم الدَّفْعِ عَنِ الْأَطْرَافِ كَحُكْمِ الدَّفْعِ عَنِ النَّفْسِ فَإِذَا عَضَّ يَدَهُ فَلَهُ أَنْ يَنْتَزِعَهَا مِنْ فيه وإن سَقَطَ بِنَزْعِهَا أَسْنَانُ الْعَاضِّ كَانَتْ هَدَرًا وَلَا يَلْزَمُهُ زَجْرُهُ بِالْقَوْلِ قَبْلَ النَّزْعِ فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى خَلَاصِهَا بِالنَّزْعِ تَجَاوَزَهُ إِلَى أَقَلِّ ما يمكن ولا يتجاوزه مِنَ الْأَقَلِّ إِلَى الْأَكْثَرِ وَتَنْهَدِرُ بِالْجَذْبِ فِي الْأَحْوَالِ كُلِّهَا أَسْنَانُ الْعَاضِّ وَيُقَالُ لِلْعَضِّ بِالْأَسْنَانِ الْقَضْمُ وَلِلْعَضِّ بِالْأَضْرَاسِ الْخَضْمُ وَمِنْهُ قَوْلُ الْحَسَنِ البصري يا ابن آدم تخضم وتقضم والحساب في البيدر

Al-Mawardi berkata: Ini benar, dan hukum membela anggota tubuh sama dengan hukum membela diri. Jika seseorang menggigit tangannya, maka ia berhak menarik tangannya dari mulut orang yang menggigit itu, dan jika gigi orang yang menggigit itu tanggal karena tarikan tersebut, maka itu dianggap sia-sia (tidak ada ganti rugi). Ia juga tidak wajib menegur dengan ucapan sebelum menarik tangannya. Jika ia tidak mampu melepaskan tangannya dengan cara menarik, maka ia boleh melampaui itu dengan cara seminimal mungkin dan tidak boleh melampaui dari yang paling ringan ke yang lebih berat. Gigi orang yang menggigit akan dianggap sia-sia dalam semua keadaan jika tanggal karena tarikan. Menggigit dengan gigi disebut al-qadmu, sedangkan menggigit dengan geraham disebut al-khadmu. Dari sinilah perkataan Al-Hasan Al-Bashri: “Wahai anak Adam, engkau menggigit dengan geraham dan menggigit dengan gigi, sementara perhitungan ada di tempat penggilingan.”

فإن سَقَطَتْ أَسْنَانُ الْعَاضِّ سَقَطَ ضَمَانُهَا عَنِ الْمَعْضُوضِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ

Jika gigi orang yang menggigit tanggal, maka gugurlah hak jaminan (ganti rugi) bagi orang yang digigit, dan pendapat ini dikatakan oleh Abu Hanifah.

وَقَالَ مَالِكٌ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى يَضْمَنُهَا الْمَعْضُوضُ وَإِنْ لَمْ يَضْمَنِ النَّفْسَ

Malik dan Ibnu Abi Laila berpendapat bahwa orang yang menggigit bertanggung jawab atas kerusakan (yang ditimbulkan oleh gigitannya), meskipun ia tidak bertanggung jawab atas jiwa (korban).

وَالدَّلِيلُ عَلَى سُقُوطِ الضَّمَانِ فِي الْأَسْنَانِ وَالْأَطْرَافِ كَسُقُوطِهِ فِي النَّفْسِ مَا رَوَاهُ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَفْوَانَ عن عميه يعلى بن أمية وسلمة بْنِ أُمَيَّةَ قَالَا خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ وَمَعَنَا صَاحِبٌ لَنَا فَقَاتَلَ رَجُلًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَعَضَّ الرَّجُلُ ذِرَاعَهُ فَجَذَبَهَا مِنْ فِيهِ فَطَرَحَ ثَنِيَّتَهُ فَأَتَى الرَّجُلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يلتمس العقل فقال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” ينطلق أحدكم لأخيه فيعضه عضيض الفحل ثم يأتي يطب الْعَقْلَ لَا عَقْلَ لَهُ فَأَبْطَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَلِأَنَّ حُرْمَةَ النَّفْسِ أَغْلَظُ وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ لَوْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْخَلَاصِ مِنْهُ إِلَّا بِالْقَتْلِ لَمْ يَضْمَنْ فَكَانَ بِأَنْ لَا يَضْمَنَ مَا دُونَهَا أَجْدَرُ وَلِأَنَّ تَرْكَ يَدِهِ فِي فِيهِ حَتَّى يَزْجُرَهُ بِالْقَوْلِ اسْتِصْحَابُ أَلَمٍ وَزِيَادَةُ ضَرَرٍ فَلَمْ يَلْزَمِ الصَّبْرُ عَلَيْهِ رِفْقًا بِالْعَاضِّ في زجره ووعظه

Dalil tentang gugurnya kewajiban ganti rugi pada gigi dan anggota tubuh sebagaimana gugurnya pada jiwa adalah riwayat dari ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ dari Ṣafwān bin ‘Abdullāh bin Ṣafwān dari dua pamannya, Ya‘lā bin Umayyah dan Salamah bin Umayyah. Keduanya berkata: Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ dalam Perang Tabuk, dan bersama kami ada seorang sahabat. Ia bertengkar dengan seorang laki-laki dari kaum Muslimin, lalu laki-laki itu menggigit lengannya. Maka ia menarik lengannya dari mulut laki-laki itu sehingga gigi serinya terlepas. Laki-laki itu kemudian datang kepada Nabi ﷺ untuk meminta diyat. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Salah seorang dari kalian mendatangi saudaranya lalu menggigitnya seperti gigitan unta jantan, kemudian ia datang meminta diyat? Tidak ada diyat baginya.” Maka Rasulullah ﷺ membatalkan tuntutannya. Selain itu, karena kehormatan jiwa lebih besar, dan telah tetap bahwa jika seseorang tidak mampu melepaskan diri kecuali dengan membunuh, maka ia tidak menanggung ganti rugi. Maka lebih utama lagi jika ia tidak menanggung ganti rugi atas sesuatu yang lebih ringan dari itu. Selain itu, membiarkan tangannya tetap dalam mulut orang yang menggigit hingga ia menegurnya dengan ucapan berarti menanggung rasa sakit dan menambah bahaya, sehingga tidak wajib bersabar atasnya demi kelembutan kepada si penggigit dalam menegur dan menasihatinya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ عَضَّهُ كَانَ لَهُ فَكُّ لَحْيَيْهِ بِيَدِهِ الأخرى فإن عض قفاه فلم تنله يداه كان له أن ينزع رَأْسَهُ مِنْ فِيهِ فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ فَلَهُ التحامل عليه برأسه إلى ورائه ومصعداً ومنحدراً وإن غلبه ضبطاً بِفِيهِ كَانَ لَهُ ضَرْبُ فِيهِ بِيَدِهِ حَتَّى يُرْسِلَهُ فَإِنْ بَعَجَ بَطْنَهُ بِسِكِّينٍ أَوْ فَقَأَ عَيْنَهُ بِيَدِهِ أَوْ ضَرَبَهُ فِي بَعْضِ جَسَدِهِ ضمن ورفع إِلَى عُمَرَ بْنِ الخطاب رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَارِيَةٌ كَانَتْ تَحْتَطِبُ فَاتَّبَعَهَا رَجُلٌ فَرَاوَدَهَا عَنْ نَفْسِهَا فَرَمَتْهُ بِفِهْرٍ أَوْ صخر فَقَتَلَتْهُ فَقَالَ عُمَرُ هَذَا قَتِيلُ اللَّهِ وَاللَّهِ لا يودي أبداً

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang digigit, maka ia boleh melepaskan rahang orang yang menggigit itu dengan tangan lainnya. Jika ia digigit di tengkuknya sehingga kedua tangannya tidak dapat menjangkau, maka ia boleh menarik kepalanya dari mulut orang itu. Jika ia tidak mampu, maka ia boleh menekan dengan kepalanya ke belakang, ke atas, atau ke bawah. Jika ia tetap tidak bisa melepaskan diri karena gigitan yang kuat, maka ia boleh memukul mulut orang itu dengan tangannya sampai dilepaskan. Namun, jika ia sampai membelah perutnya dengan pisau, atau mencungkil matanya dengan tangan, atau memukul bagian tubuh lainnya, maka ia wajib menanggung akibatnya. Pernah diadukan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tentang seorang budak perempuan yang sedang mengumpulkan kayu bakar, lalu diikuti oleh seorang laki-laki yang berusaha mengganggunya. Budak perempuan itu melemparnya dengan batu atau batu besar hingga laki-laki itu tewas. Maka Umar berkata, ‘Ini adalah orang yang dibunuh karena Allah. Demi Allah, dia tidak akan dikenakan diyat selamanya.’”

قال الماوردي وهذا صَحِيحٌ إِذَا عَضَّ قَفَاهُ فَلَهُ أَنْ يَتَوَصَّلَ إِلَى خَلَاصِهِ مِنْهُ بِمَا قَدَرَ عَلَيْهِ كَمَا وصفه الشافعي في الترتيب أن يبدأ ببدنه فِي فَكِّ لَحْيَيْهِ فَإِنْ تَخَلَّص بِذَلِكَ لَمْ يَتَجَاوَزْهُ إِلَى غَيْرِهِ فَإِنْ تَجَاوَزَهُ ضَمِنَ فَإِنْ لَمْ يَتَخَلَّصْ مِنْهُ بِيَدِهِ فَلَهُ التَّحَامُلُ عَلَيْهِ بِرَأْسِهِ مِنْ وَرَائِهِ فَإِنْ تَخَلَّصَ مِنْهُ لَمْ يتجاوزه فإن تجاوز ضمن فإن لم يتخلص منه نتر قفاه ولم يضمن أسنانه إن ذهبت فإن تجاوزه ضمن وإن لَمْ يَتَخَلَّصْ مِنْهُ فَلَهُ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى أَقْرَبِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ بَعْجِ بَطْنِهِ أَوْ فَقْءِ عَيْنِهِ وَلَا يَضْمَنُ أَقْرَبَهُمَا وَيَضْمَنُ أَبْعَدَهُمَا إِلَّا أَنْ لَا يَتَخَلَّصَ مِنْهُ إِلَّا بِأَبْعَدِهِمَا وَأَغْلَظِهِمَا فَلَا يَضْمَنُ فَإِنْ لَمْ يَتَخَلَّصْ مِنْهُ إِلَّا بِقَتْلِهِ لَمْ يَضْمَنْ قَتْلَهُ وَالَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ ها هنا أنه إن بعج بطنه أو فقء عَيْنَهُ ضَمِنَ مَحْمُولٌ عَلَى مَا وَصَفْنَا مِنَ الترتيب في القدرة على خلاصة بغير فقء ولا بعج فَأَمَّا إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْخَلَاصِ إِلَّا بِالْبَعْجِ وَالْفَقْءِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَهَذَا أَصْلٌ مستمر فلو قتله واختلف ولي القاتل والمقتول فَقَالَ الْقَاتِلُ قَتَلْتُهُ دَفْعًا عَنِّي لِأَنِّي لَمْ أَقْدِرْ عَلَى الْخَلَاصِ مِنْهُ إِلَّا بِالْقَتْلِ وَقَالَ وَلِيُّهُ بَلْ كُنْتَ قَادِرًا عَلَى الْخَلَاصِ مِنْهُ بِغَيْرِ الْقَتْلِ فَتَعَدَّيْتَ بِقَتْلِهِ فَإِنْ كَانَ لِلْقَاتِلِ بَيِّنَةٌ تَشْهَدُ بِمَا ادَّعَاهُ سُمِعَتْ وَلَمْ يَضْمَنِ النَّفْسَ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ بَيِّنَةٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الولي والقاتل ضامن للنفس وكذلك الرَّجُلُ إِذَا رَاوَدَ جَارِيَةً عَلَى نَفْسِهَا أَوْ راود غلاما على نفسه فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى دَفْعِهِ إِلَّا بِقَتْلِهِ لَمْ يَضْمَنَاهُ لِحَدِيثِ عُمَرَ وَلَوْ قَدَرَا عَلَى دَفْعِهِ بِغَيْرِ قَتْلٍ ضَمِنَاهُ عَلَى الْأَصْلِ الَّذِي بَيَّنَّاهُ

Al-Mawardi berkata: Ini benar, jika seseorang digigit pada tengkuknya, maka ia berhak berupaya melepaskan diri darinya dengan cara apa pun yang ia mampu, sebagaimana dijelaskan oleh asy-Syafi‘i dalam urutannya, yaitu dimulai dengan tubuhnya untuk melepaskan kedua rahangnya. Jika ia dapat melepaskan diri dengan cara itu, maka tidak boleh melampaui cara tersebut ke cara lain. Jika ia melampaui, maka ia wajib menanggung (ganti rugi). Jika ia tidak dapat melepaskan diri dengan tangannya, maka ia boleh menekan kepalanya dari belakang. Jika ia berhasil melepaskan diri, maka tidak boleh melampaui; jika melampaui, ia wajib menanggung. Jika ia belum juga bisa melepaskan diri, maka ia boleh menarik tengkuknya dan tidak menanggung ganti rugi atas gigi yang tanggal. Jika ia melampaui, maka ia wajib menanggung. Jika ia tidak dapat melepaskan diri kecuali dengan salah satu dari dua cara, yaitu membelah perutnya atau mencolok matanya, maka ia tidak menanggung ganti rugi atas cara yang lebih dekat, tetapi menanggung atas cara yang lebih berat, kecuali jika ia tidak bisa melepaskan diri kecuali dengan cara yang paling berat dan paling keras, maka ia tidak menanggung. Jika ia tidak dapat melepaskan diri kecuali dengan membunuhnya, maka ia tidak menanggung atas pembunuhan itu. Adapun yang dinukil oleh al-Muzani di sini, bahwa jika ia membelah perutnya atau mencolok matanya maka ia wajib menanggung, itu dibawa pada penjelasan yang telah kami sebutkan tentang urutan kemampuan melepaskan diri tanpa mencolok atau membelah. Adapun jika ia tidak mampu melepaskan diri kecuali dengan membelah atau mencolok, maka tidak ada kewajiban menanggung baginya. Ini adalah kaidah yang berkesinambungan. Jika ia membunuhnya dan terjadi perselisihan antara wali pembunuh dan wali korban, lalu si pembunuh berkata, “Aku membunuhnya untuk membela diriku karena aku tidak mampu melepaskan diri darinya kecuali dengan membunuh,” dan wali korban berkata, “Bahkan kamu mampu melepaskan diri darinya tanpa membunuh, sehingga kamu telah melampaui batas dengan membunuhnya,” maka jika si pembunuh memiliki bukti yang mendukung pengakuannya, maka bukti itu diterima dan ia tidak menanggung jiwa. Jika ia tidak memiliki bukti, maka perkataan wali yang diterima dan pembunuh wajib menanggung jiwa. Demikian pula jika seorang laki-laki merayu seorang budak perempuan untuk berbuat zina, atau merayu seorang anak laki-laki untuk berbuat zina, lalu mereka tidak mampu menolaknya kecuali dengan membunuhnya, maka mereka tidak menanggungnya, berdasarkan hadis Umar. Namun jika mereka mampu menolaknya tanpa membunuh, maka mereka wajib menanggungnya, sesuai kaidah yang telah kami jelaskan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ قَتَلَ رَجُلٌ رَجُلًا فَقَالَ وَجَدْتُهُ عَلَى امرأتي فقد أقر بالقود وادعى فَإِنْ لَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً قُتِلَ قَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَجَدْتُ مَعَ امْرَأَتِي رَجُلًا أُمْهِلُهُ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فقال عليه الصلاة والسلام ” نعم وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه إِنْ لَمْ يَأْتِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَلْيُعْطَ بِرُمَّتِهِ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seorang laki-laki membunuh laki-laki lain lalu berkata, ‘Aku mendapatkannya bersama istriku,’ maka ia telah mengakui qishāsh dan mengajukan klaim. Jika ia tidak dapat menghadirkan bukti, maka ia dihukum mati.” Sa‘d berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku mendapati seorang laki-laki bersama istriku, apakah aku harus menunggunya sampai aku mendatangkan empat orang saksi?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya.” Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jika ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka ia harus menerima hukuman sepenuhnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا إِذَا وَجَدَ الرَّجُلُ مَعَ امرأته رجلاً يزني بها أو مع بنته أَوْ أُخْتِهِ أَوْ مَعَ ابْنِهِ يَلُوطُ بِهِ فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ أَنْ يَدْفَعَهُ عَنْهُ وَيَمْنَعَهُ مِنْهُ

Al-Mawardi berkata: Adapun jika seorang laki-laki mendapati seorang pria sedang berzina dengan istrinya, atau dengan putrinya, atau dengan saudarinya, atau mendapati seseorang melakukan liwath dengan putranya, maka wajib baginya untuk mencegah dan melindungi dari perbuatan itu.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ لَعَنَ الرَّكَانَةَ وَهُوَ الَّذِي لَا يَغَارُ عَلَى أَهْلِهِ

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau melaknat ar-ruḳānah, yaitu orang yang tidak memiliki rasa cemburu terhadap keluarganya.

وَرُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَغَارُ لِلْمُسْلِمِ فليغر

Diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta‘ala cemburu demi seorang Muslim, maka hendaklah ia juga cemburu.”

وَلِأَنَّ مَنْعَهُ مِنَ الْفَاحِشَةِ حَقٌّ مِنْ حُقُوقِ الله تعالى وحق نفسه في أهله وحق امْرَأَتِهِ إِنْ كَانَتْ مُكْرَهَةً فَلَمْ يَسَعْهُ إِضَاعَةُ هذه الحقوق بالكف والإمساك فأما إن كان وَجَدَهُ يَزْنِي بِأَجْنَبِيَّةٍ لَيْسَتْ مِنْ أَهْلِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَمْنَعَهُ مِنْهَا وَيَكُفَّهُ عَنْهَا فَإِنْ كَانَتْ مُكْرَهَةً تَفَرَّدَ الْمَنْعُ بِهِ دُونَهَا وَإِنْ كَانَتْ مطاوعة توجه المنع إليهما وَالْإِنْكَارُ عَلَيْهِمَا؛ لِمَا يَلْزَمُ مِنْ صِيَانَةِ مَحَارِمِ الله تعالى وَحِفْظِ حُقُوقِهِ وَالْكَفِّ عَنْ مَعَاصِيهِ

Karena mencegahnya dari perbuatan keji adalah hak dari hak-hak Allah Ta‘ala, hak dirinya atas keluarganya, dan hak istrinya jika ia dipaksa, maka tidak boleh baginya menyia-nyiakan hak-hak ini dengan diam dan menahan diri. Adapun jika ia mendapati seseorang berzina dengan perempuan asing yang bukan keluarganya, maka ia wajib mencegahnya dan menahannya dari perbuatan itu. Jika perempuan itu dipaksa, maka pencegahan hanya ditujukan kepada pelaku laki-laki saja, tidak kepada perempuan itu. Namun jika perempuan itu melakukannya dengan suka rela, maka pencegahan dan pengingkaran ditujukan kepada keduanya, karena hal itu merupakan kewajiban dalam menjaga kehormatan yang diharamkan Allah Ta‘ala, menjaga hak-hak-Nya, dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَرَى ذَلِكَ فِي أَهْلِهِ وَبَيْنَ أَنْ يَرَاهُ فِي غَيْرِ أَهْلِهِ أَنَّ فَرْضَهُ فِي أَهْلِهِ مُتَعَيِّنٌ عَلَيْهِ وَفِي غَيْرِ أَهْلِهِ عَلَى الْكِفَايَةِ

Perbedaan antara melihat hal itu pada keluarganya sendiri dan melihatnya pada selain keluarganya adalah bahwa kewajiban atas dirinya terhadap keluarganya bersifat mu‘ayyan (khusus dan pasti), sedangkan terhadap selain keluarganya bersifat kifāyah (cukup jika sudah dilakukan sebagian orang).

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ وُجُوبِ الدفع نظر حال الرجل الزَّانِي فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قد أَوْلَجَ فَعَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَدْفَعَهُ بِمَا قَدَرَ عَلَيْهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْتَهِيَ إِلَى الْقَتْلِ إِلَّا أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى دَفْعِهِ بِغَيْرِ الْقَتْلِ كَمَا قُلْنَا فِي دَفْعِهِ عَنْ طَلَبِ النَّفْسِ وَالْمَالِ وينظر فإن لم يكن قد وقع عليهما فَفِي الدَّفْعِ أَنَاةٌ وَإِنْ وَقَعَ عَلَيْهَا تَعَجَّلَ الدَّفْعُ وَتَغَلَّظَ وَإِنْ كَانَ قَدْ أَوْلَجَ جَازَ أن يبدأ في دفعه بالقتل ولا يترتب عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ؛ لِأَنَّهُ فِي كُلِّ لَحْظَةٍ تَمُرُّ عَلَيْهِ مُوَاقِعًا لَهُ بِالزِّنَا لَا يَسْتَدْرِكُ بالأناة فجاز لأجلها أن يعجل القتل

Apabila telah ditetapkan apa yang telah kami sebutkan tentang kewajiban mencegah (perbuatan zina), maka dilihat keadaan laki-laki pezina tersebut. Jika ia belum melakukan penetrasi, maka suami wajib mencegahnya semampunya dan tidak boleh sampai pada tindakan membunuh, kecuali jika tidak mampu mencegahnya selain dengan membunuh, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam mencegah (pelaku) dari ancaman terhadap jiwa dan harta. Kemudian dilihat lagi, jika perbuatan zina belum terjadi pada keduanya, maka dalam mencegahnya ada kelonggaran. Namun jika perbuatan zina telah terjadi padanya, maka pencegahan harus segera dilakukan dan dengan cara yang lebih keras. Jika telah terjadi penetrasi, maka boleh memulai pencegahan dengan membunuh, dan tidak berlaku apa yang telah kami sebutkan sebelumnya; karena setiap saat yang berlalu ia terus melakukan zina, dan tidak dapat dicegah dengan kelonggaran, maka demi alasan itu boleh segera membunuhnya.

روي أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ إنني وَجَدْتُ مَعَ امْرَأَتِي رَجُلًا فَلَمْ أَقْتُلْهُ فَقَالَ عَلِيٌّ أَمَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ لَقَتَلْتُهُ يَعْنِي الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ فَدَلَّ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِ عَلَى وُجُوبِ قَتْلِهِ وَفِي هَذَا الْقَتْلِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, “Sesungguhnya aku mendapati seorang laki-laki bersama istriku, namun aku tidak membunuhnya.” Maka Ali berkata, “Ketahuilah, seandainya itu adalah Abu Abdillah, niscaya aku akan membunuhnya,” yang dimaksud adalah Zubair bin Awwam. Hal ini menunjukkan dari perkataannya tentang wajibnya membunuh (laki-laki tersebut), dan dalam pembunuhan ini terdapat dua pendapat yang mungkin.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَتْلُ دَفْعٍ فَعَلَى هَذَا يَخْتَصُّ بِالرَّجُلِ دُونَ الْمَرْأَةِ وَيَسْتَوِي فِيهِ الْبِكْرُ وَالثَّيِّبُ

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan pembunuhan untuk membela diri, sehingga dalam hal ini khusus bagi laki-laki dan tidak berlaku bagi perempuan, serta berlaku sama bagi yang masih perawan maupun yang sudah menikah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ قَتْلُ حَدٍّ يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهِ دُونَ السُّلْطَانِ لِأَمْرَيْنِ

Pendapat kedua adalah bahwa ini merupakan pembunuhan hudud yang boleh dilakukan secara mandiri tanpa harus oleh penguasa, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا لِتَفَرُّدِهِ بِالْمُشَاهَدَةِ الَّتِي لَا تَتَعَدَّاهُ

Salah satunya adalah karena ia bersifat khusus pada pengalaman langsung yang tidak melampaui dirinya sendiri.

وَالثَّانِي لِاخْتِصَاصِهِ فِيهِ بِحَقِّ نَفْسِهِ فِي إِفْسَادِ فِرَاشِهِ عَلَيْهِ فِي الزِّنَا بِزَوْجَتِهِ

Dan yang kedua, karena ia memiliki kekhususan dalam hal ini berupa hak atas dirinya sendiri dalam merusak tempat tidurnya, yaitu dalam kasus zina dengan istrinya.

فَعَلَى هذا يجوز فِيهِ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ إِنْ كَانَتْ مُطَاوِعَةً إِلَّا أَنَّ الْمَرْأَةَ يُفَرَّقُ فِيهَا بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ فَتُقْتَلُ إِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا وَتُجْلَدُ إِنْ كَانَتْ بِكْرًا

Maka berdasarkan hal ini, hukuman tersebut berlaku antara laki-laki dan perempuan jika perempuan itu melakukannya dengan sukarela, hanya saja pada perempuan dibedakan antara yang masih perawan (bikr) dan yang sudah menikah (tsayyib): ia dihukum mati jika sudah menikah (tsayyib), dan dicambuk jika masih perawan (bikr).

وَأَمَّا الرَّجُلُ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Adapun laki-laki, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يُفَرَّقُ فِيهِ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ؛ لِأَنَّهُ حد زنا كَالْمَرْأَةِ

Salah satunya adalah bahwa dalam hal ini dibedakan antara perempuan yang masih perawan dan yang sudah tidak perawan; karena ini adalah hudud zina sebagaimana pada perempuan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يُفَرَّقُ فِيهِ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ وَيُقْتَلُ فِي الْحَالَيْنِ لِأَمْرَيْنِ

Pendapat kedua, yang lebih kuat, adalah bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini antara perempuan yang masih perawan dan yang sudah pernah menikah, dan keduanya dihukum mati dalam kedua keadaan tersebut karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ قَتْلَهُ حَدًّا أَغْلَظُ مِنْ قَتْلِهِ دَفْعًا وَيَجُوزُ لِتَغْلِيظِ حَالِهِ أَنْ يُقْتَلَ دَفْعًا فَجَازَ أَنْ يُقْتَلَ حَدًّا

Salah satunya adalah bahwa membunuhnya sebagai hudud lebih berat daripada membunuhnya sebagai pencegahan, dan diperbolehkan karena beratnya keadaannya untuk dibunuh sebagai pencegahan, maka boleh juga dibunuh sebagai hudud.

وَالثَّانِي أَنَّ السُّنَّةَ لَمْ تُفَرِّقْ فِي إِبَاحَتِهِ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ لِتَغْلِيظِ حُكْمِهِ فِي حَقِّ الْمُسْتَوْفِي

Yang kedua, sunnah tidak membedakan dalam kebolehannya antara perempuan perawan dan janda, karena penegasan hukum ini berlaku tegas bagi pihak yang melaksanakannya.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا وَادَّعَى الْقَاتِلُ أَنَّهُ قَتَلَهُ لِأَنَّهُ وَجَدَهُ عَلَى امْرَأَتِهِ وأنكر وليه ذلك وادعى قتله لغير سَبَبٍ وَجَبَ عَلَى الْقَاتِلِ إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَى مَا ادَّعَاهُ مِنْ وُجُودِهِ عَلَى امْرَأَتِهِ فَإِنْ أَقَامَهَا بَرِئَ وَإِنْ لَمْ يُقِمْهَا أُحْلِفَ الْوَلِيُّ وأقيد من القاتل؛ لأنه مقر بالقتل ومدع سقوط القود

Apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan, lalu si pembunuh mengaku bahwa ia membunuhnya karena mendapati korban bersama istrinya, sedangkan wali korban mengingkari hal itu dan mengklaim bahwa pembunuhan terjadi tanpa sebab, maka wajib bagi si pembunuh untuk mendatangkan bukti atas apa yang ia klaim, yaitu bahwa ia mendapati korban bersama istrinya. Jika ia dapat mendatangkan bukti, maka ia bebas dari hukuman. Namun jika ia tidak dapat mendatangkan bukti, maka wali korban diminta bersumpah, dan qishāsh ditegakkan atas si pembunuh; karena ia telah mengakui perbuatan membunuh dan mengklaim gugurnya qishāsh.

وروي أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ وَجَدْتُ مَعَ امْرَأَتِي رَجُلًا أَقْتُلُهُ أو لَا حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ قَالَ ” لَا حَتَّى تَأْتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ كَفَى بِالسَّيْفِ شَا يَعْنِي شَاهِدًا عَلَيْكَ وَمَعْنَى هَذَا السُّؤَالِ أَنَّهُ سَأَلَ عَنْ سُقُوطِ الْقَوَدِ

Diriwayatkan bahwa Sa‘d bin ‘Ubādah berkata, “Wahai Rasulullah, jika aku mendapati seorang laki-laki bersama istriku, apakah aku boleh membunuhnya atau tidak sampai aku mendatangkan empat orang saksi?” Beliau bersabda, “Tidak, sampai engkau mendatangkan empat orang saksi. Cukuplah pedang itu menjadi saksi atasmu.” Maksud dari pertanyaan ini adalah ia bertanya tentang gugurnya qawad (hukuman balasan).

وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الشَّامِ يُقَالُ له ابن خيري وجد مع امرأته رجلاً فقتله وقتلها فَرُفِعَ إِلَى مُعَاوِيَةَ فَأُشْكِلَ عَلَيْهِ فَكَتَبَ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ لِيَسْأَلَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنِ ذَلِكَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لَيْسَ هَذَا بِأَرْضِنَا عَزَمْتُ عَلَيْكَ لَتُخْبِرْنِي فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ عَلِىٌّ يَرْضَوْنَ بِحُكْمِنَا وَيَنْقِمُونَ عَلَيْنَا إِنْ لم ما يَأْتِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَلْيُعْطَ بِرُمَّتِهِ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Said bin Al-Musayyab meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Syam yang bernama Ibnu Khairi mendapati seorang laki-laki bersama istrinya, lalu ia membunuh laki-laki itu dan membunuh istrinya. Kasus ini diajukan kepada Muawiyah, namun ia merasa bingung, lalu ia menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari untuk menanyakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam. Maka Abu Musa pun bertanya kepada Ali, lalu Ali berkata, “Ini bukan di negeri kita. Aku bersumpah atasmu agar engkau memberitahuku.” Maka Abu Musa pun memberitahunya. Ali berkata, “Mereka rela dengan hukum kita, tetapi mencela kita. Jika ia tidak mendatangkan empat saksi, maka ia harus diserahkan seluruhnya (untuk dihukum).” Dalam kasus ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا مَعْنَاهُ فَلْيُضْرَبْ عَلَى رُمَّتِهِ قَوَدًا

Salah satunya maksudnya adalah hendaklah dipukul pada persendiannya sebagai qishāsh.

وَالثَّانِي مَعْنَاهُ فَلْتُبْذَلْ رُمَّتُهُ لِلْقَوَدِ اسْتِسْلَامًا

Dan yang kedua maksudnya adalah hendaklah seluruh dirinya diserahkan untuk qishāsh sebagai bentuk penyerahan diri.

فَإِنْ قِيلَ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يُكَلِّفْ فِي مِثْلِ هَذَا الْبَيِّنَةِ وَأَهْدَرَ الدَّمَ بِشَاهِدِ الْحَالِ فِيمَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا خرج في الجهاد وَخَلَفَ زَوْجَتَهُ وَأَخَاهُ وَكَانَ لَهُ جَارٌ يَهُودِيٌّ فَمَرَّ الْأَخُ بِبَابِ أَخِيهِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَسَمِعَ منها كلام اليهودي وهو ينشد

Jika dikatakan: Sesungguhnya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak mensyaratkan adanya bukti dalam kasus seperti ini dan mengabaikan darah (tidak menuntut qisas) hanya berdasarkan syahid al-hal (indikasi situasi), sebagaimana yang diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang pergi berjihad dan meninggalkan istrinya serta saudaranya, dan ia memiliki seorang tetangga Yahudi. Suatu malam, saudaranya melewati pintu rumah saudaranya itu, lalu ia mendengar suara orang Yahudi tersebut sedang melantunkan syair.

وأشعث الْإِسْلَامُ مِنِّي خَلَوْتُ بِعِرْسِهِ لَيْلَ التَّمَامِ

Dan Islam tampak kusut karena aku; aku menyendiri bersama pernikahannya pada malam purnama.

أَبِيتُ على ترائبها وتمسي على جرداء لاحقة الخزام

Aku bermalam di atas dadanya, sementara ia bermalam di atas kuda jantan yang cepat seperti angin.

كَأَنَّ مَوَاضِعَ الرَّبَلَاتِ مِنْهَا فِئَامٌ يَنْهَضُونَ إِلَى فئام

Seolah-olah tempat-tempat para janda di antara mereka adalah kelompok-kelompok yang bangkit menuju kelompok-kelompok lainnya.

فدخل الدار فوجده معها فَقَتَلَهُ فَرُفِعَ إِلَى عُمَرَ فَأَهْدَرَ دَمَهُ مِنْ غَيْرِ بَيِّنَةٍ فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Lalu ia masuk ke rumah dan mendapati laki-laki itu bersamanya, maka ia membunuhnya. Kasus ini diajukan kepada Umar, lalu Umar membebaskan darahnya tanpa adanya bukti. Dalam hal ini terdapat dua jawaban.

أَحَدُهُمَا أَنَّ اشْتِهَارَ الْحَالِ بِالِاسْتِفَاضَةِ أَغْنَى عَنِ الْبَيِّنَةِ الْخَاصَّةِ

Salah satunya adalah bahwa ketenaran suatu keadaan melalui penyebaran yang luas dapat menggantikan kebutuhan akan bukti khusus.

وَالثَّانِي أَنَّ إِقَامَةَ الْبَيِّنَةِ مَوْقُوفٌ عَلَى طَلَبِ الْوَلِيِّ فَإِذَا لَمْ يَطْلُبْ سَقَطَ لُزُومُهَا

Yang kedua, bahwa penegakan bukti (bayyinah) tergantung pada permintaan wali; maka jika wali tidak memintanya, kewajiban untuk menegakkannya menjadi gugur.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ تَطَلَّعَ إِلَيْهِ رَجُلٌ مِنْ ثُقْبٍ فَطَعَنَهُ بِعُودٍ أَوْ رَمَاهُ بِحَصَاةٍ أَوْ مَا أَشْبَهَهَا فذهبت عينه فهي هدر وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ نَظَرَ إِلَى رَجُلٍ يَنْظُرُ إِلَى بَيْتِهِ مِنْ جحر وبيده مدرى يحك به رأسه فقال عليه الصلاة والسلام ” لَوْ أَعْلَمُ أَنَّكَ تَنْظُرُ لِي أَوْ تَنْظُرُنِي لطعنت به في عينك إنما جعل الاستئذان من أجل الْبَصَرِ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika ada seorang laki-laki mengintip ke dalam rumah seseorang melalui lubang, lalu pemilik rumah itu menusuk matanya dengan kayu atau melemparnya dengan batu kecil atau benda sejenisnya hingga matanya buta, maka itu tidak ada diyat (tidak ada ganti rugi). Ia berdalil dengan hadis bahwa Nabi ﷺ melihat seorang laki-laki mengintip ke rumah beliau dari lubang, sedangkan di tangan beliau ada alat untuk menggaruk kepala. Maka beliau ﷺ bersabda, ‘Jika aku tahu bahwa engkau mengintip kepadaku atau melihatku, niscaya aku akan menusukkan alat ini ke matamu. Sesungguhnya diadakannya izin itu demi menjaga pandangan.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ الْمَنَازِلَ سَاتِرَةٌ لعورات أهلها يحرم انتهاكها بالنظر إلى من فيها فإذا تطلع رجل على مَنْزِلِ رَجُلٍ لَمْ يَخْلُ حَالُ مَا تَطَلَّعَ مِنْهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa rumah-rumah adalah pelindung aurat para penghuninya, sehingga haram melanggar kehormatannya dengan melihat kepada orang yang ada di dalamnya. Maka jika seseorang mengintip ke rumah orang lain, tidak lepas keadaan tempat yang dijadikan tempat mengintip itu dari salah satu dari dua hal.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ سَاتِرًا لِأَبْصَارِ الْمَارَّةِ أَوْ غَيْرَ سَاتِرٍ لَهَا فَإِنْ كَانَ سَاتِرًا لِأَبْصَارِ الْمَارَّةِ كَالْمُتَطَلِّعِ مِنْ ثُقْبٍ فِي بَابٍ أَوْ كُوَّةٍ صَغِيرَةٍ فِي حَائِطٍ أَوْ شُبَّاكٍ ضَيِّقِ الْأَعْيُنِ فَلِصَاحِبِ الدَّارِ أَنْ يَرْمِيَ عَيْنَ الْمُتَطَلِّعِ بِمَا يَجُوزُ أَنْ يُفْضِيَ إِلَى فَقْءِ عَيْنِهِ وَلَا يُفْضِيَ إِلَى تَلَفِ نَفْسِهِ كَالْحَصَاةِ وَالْعُودِ اللَّطِيفِ وَالْمِدْرَى وَإِنْ كَانَ مِنْ حَدِيدٍ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرْمِيَهُ بِسَهْمٍ وَلَا أَنْ يَطْعَنَهُ بِرُمْحٍ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَصِلُ إِلَى الدِّمَاغِ فَتَتْلَفُ بِهِ النَّفْسُ وَالْمَقْصُودُ كف العين من النَّظَرِ وَلَيْسَ الْمَقْصُودُ تَلَفَ النَّفْسِ فَإِنْ فَعَلَ ذلك ضمن نفسه ولا يضمن بإفقاء عَيْنه وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلِ اسْتَبَاحَ فَقْءَ عَيْنِهِ بِابْتِدَاءِ التَّطَلُّعِ أَوْ بَعْدَ زَجْرِهِ بِالْكَلَامِ إِذَا لَمْ يَمْتَنِعْ عَلَى وَجْهَيْنِ

Bisa jadi ia menutupi pandangan orang yang lewat atau tidak menutupinya. Jika ia menutupi pandangan orang yang lewat, seperti orang yang mengintip dari lubang di pintu, atau celah kecil di dinding, atau jendela dengan lubang yang sempit, maka pemilik rumah boleh melempar mata orang yang mengintip itu dengan sesuatu yang boleh menyebabkan matanya rusak, namun tidak menyebabkan kematian dirinya, seperti kerikil, ranting kecil, atau alat kecil, meskipun terbuat dari besi. Namun tidak boleh melemparnya dengan anak panah atau menusuknya dengan tombak, karena hal itu bisa sampai ke otak sehingga menyebabkan kematian, sedangkan yang dimaksud adalah mencegah mata dari melihat, bukan membinasakan jiwa. Jika ia melakukan hal itu hingga menyebabkan kematian, maka ia wajib menanggung akibatnya, namun ia tidak menanggung akibat jika hanya merusak matanya. Para ulama kami berbeda pendapat, apakah diperbolehkan merusak matanya sejak awal mengintip atau setelah diperingatkan dengan ucapan namun tidak juga berhenti, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ وَجُمْهُورِ البصريين أن يَسْتَبِيحَهُ بَعْدَ زَجْرِهِ بِالْكَلَامِ فَإِنِ امْتَنَعَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَتَعَدَّاهُ وَإِنِ ابْتَدَأَ بِفَقْءِ عَيْنِهِ ضَمِنَ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مُوَافِقًا لِلْأُصُولِ فِي صَوْلِ الْفَحْلِ وَطَلَبِ النَّفْسِ وَالْمَالِ فِي تَرْتِيبِ الدَّفْعِ حَالًا بَعْدَ حَالٍ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Hamid al-Marwazi, Abu Hamid al-Isfara’ini, dan mayoritas ulama Basrah, adalah bahwa seseorang boleh membela diri setelah memberikan peringatan secara lisan; jika orang yang mengancam itu menahan diri dengan peringatan tersebut, maka tidak boleh melampaui peringatan itu. Namun, jika ia langsung memulai dengan melukai mata, maka ia wajib menanggung ganti rugi. Berdasarkan pendapat ini, hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ushul dalam menghadapi serangan hewan jantan, serta dalam menjaga jiwa dan harta, yaitu dengan melakukan pembelaan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan pada setiap keadaan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هُرَيْرَةَ وَأَكْثَرِ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّهُ يَسْتَبِيحُ فَقْءَ عَيْنِهِ بِابْتِدَاءِ التَّطَلُّعِ وَلَا يَلْزَمُهُ تَقْدِيمُ زَجْرِهِ بِالْكَلَامِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مُخَالِفًا لِلْأُصُولِ فِي صَوْلِ الْفَحْلِ وَطَلَبِ الْمَالِ وَالنَّفْسِ وَمُوَافِقًا لِنَزْعِ الْيَدِ الْمَعْضُوضَةِ إِذَا سَقَطَ بِهَا أَسْنَانُ الْعَاضِّ ابْتِدَاءً واختلف في مذهب أبي حنيفة من الْوَجْهَيْنِ فَحَكَى عَنْهُ أَبُو بَكْرٍ الرَّازِيُّ الْوَجْهَ الأول أنه لا يجوز أن يبدأ بفقء إِلَّا بَعْدَ زَجْرِهِ بِالْكَلَامِ وَهُوَ ضَامِنٌ إِنِ ابْتَدَأَ بِهِ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ احْتِجَاجًا بِأَنَّ دخول الدار أَغْلَظُ مِنَ التَّطَلُّعِ عَلَيْهِ فِي دَارِهِ فَلَوْ دَخَلَهَا لَمْ يَسْتَبِحْ أَنْ يَبْتَدِئَ بِفَقْءِ عَيْنِهِ فكان بأن لا يستبيحه بالتطلع أولى وحكى عنه الطحاوي

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dan mayoritas ulama Baghdad, menyatakan bahwa seseorang boleh memecahkan mata (menghukum dengan keras) orang yang mengintip sejak awal tanpa harus mendahuluinya dengan peringatan secara lisan. Berdasarkan pendapat ini, hal tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip (al-uṣūl) dalam kasus serangan hewan jantan, perampasan harta, dan ancaman jiwa, namun sejalan dengan pencabutan tangan yang menggigit jika dengan itu gigi si penggigit copot sejak awal. Dalam mazhab Abu Hanifah terdapat dua pendapat dalam masalah ini. Abu Bakr ar-Razi meriwayatkan pendapat pertama darinya, yaitu tidak boleh langsung memecahkan mata kecuali setelah memperingatkannya dengan lisan, dan jika langsung melakukannya maka ia wajib menanggung ganti rugi. Ini juga merupakan pendapat Malik, dengan alasan bahwa memasuki rumah lebih berat dosanya daripada sekadar mengintip ke dalamnya. Jika seseorang masuk ke dalam rumah, ia tidak boleh langsung memecahkan matanya, maka lebih utama lagi tidak boleh melakukannya hanya karena mengintip. Pendapat ini juga dinukil dari Abu Hanifah oleh ath-Thahawi.

والوجه الثَّانِي أَنَّهُ يَسْتَبِيحُ بِالتَّطَلُّعِ أَنْ يَبْتَدِئَهُ بِفَقْءِ العين وَلَا يَلْزَمُهُ ضَمَانُهَا وَهُوَ الَّذِي يَنْصُرُهُ الْبَغْدَادِيُّونَ مِنْ أَصْحَابِنَا وَيَجْعَلُونَهُ خِلَافًا مَعَ أَبي حَنِيفَةَ احْتِجَاجًا بِالْخَبَرِ الْمُتَقَدِّمِ فِي الْمُتَطَلِّعِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وقوله للرجل ” لو أعلم أنك تنظرني لطعنت بها فِي عَيْنِكَ إِنَّمَا جُعِلَ الِاسْتِئْذَانُ لِأَجْلِ الْبَصَرِ فَاحْتَمَلَ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِ أَنْ يَكُونَ لِتَغْلِيظِ حرمته صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى حُرْمَةِ سَائِرِ أُمَّتِهِ وَاحْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لِشَرْعٍ يَعُمُّ جَمِيعَ الْأُمَّةِ وَهُوَ أَشْبَهُ بتعليله كقوله ” إِنَّمَا جُعِلَ الِاسْتِئْذَانُ لِأَجْلِ الْبَصَرِ وَقَدْ رُوِيَ بِمَا هُوَ عَامُّ الْحُكْمِ لَا يَدْخُلُهُ احْتِمَالٌ وَهُوَ مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قال لو أن امرءاً اطَّلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذْنِكَ فَحَذَفْتَهُ بِحَصَاةٍ فَفَقَأْتَ عَيْنَهُ فَلَيْسَ عَلَيْكَ جُنَاحٌ وَهَذَا نَصٌّ فَإِنْ قيل فهذا خبر واحد مخالف الْأُصُولَ فَلَمْ يُعْمَلْ عَلَيْهِ

Pendapat kedua adalah bahwa seseorang dibolehkan, karena ada orang yang mengintip, untuk memulai dengan memecahkan matanya, dan ia tidak wajib menanggung ganti rugi atasnya. Inilah pendapat yang didukung oleh para ulama Baghdad dari kalangan kami, dan mereka menjadikannya sebagai perbedaan pendapat dengan Abu Hanifah, dengan berdalil pada hadis yang telah disebutkan sebelumnya tentang orang yang mengintip kepada Rasulullah ﷺ, dan sabda beliau kepada seorang laki-laki: “Seandainya aku tahu engkau mengintipku, niscaya aku akan menusukkan ini ke matamu. Sesungguhnya izin itu disyariatkan demi menjaga pandangan.” Maka, dari sabda beliau itu, bisa jadi maksudnya adalah untuk menegaskan kehormatan beliau ﷺ yang lebih besar dibandingkan kehormatan umatnya yang lain, dan bisa juga maksudnya adalah sebagai syariat yang berlaku umum bagi seluruh umat, dan ini lebih mendekati makna illatnya, sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya izin itu disyariatkan demi menjaga pandangan.” Telah diriwayatkan pula dengan redaksi yang hukumnya bersifat umum, tidak mengandung kemungkinan lain, yaitu sebagaimana yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Malik, dari Abu az-Zinad, dari al-A‘raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Jika seseorang mengintipmu tanpa izinmu, lalu engkau lempar dia dengan kerikil hingga matanya pecah, maka tidak ada dosa atasmu.” Ini adalah nash. Jika dikatakan: “Ini adalah hadis ahad yang bertentangan dengan ushul, maka tidak diamalkan.”

قِيلَ الْأُصُولُ مَأْخُوذَةٌ مِنَ النُّصُوصِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُدْفَعَ بِهَا النَّصُّ عَلَى أَنَّهُ قَدْ يُلْحَقُ بِأَصْلٍ فِي هَدْرِ أَسْنَانِ الْعَاضِّ بِابْتِدَاءِ نَزْعِ الْيَدِ مِنْ فِيهِ وَقَدْ رُوِيَ فِي خَبَرٍ آخَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال ” من اطلع من صيرة بَابٍ فَفُقِئَتْ عَيْنُهُ فَهِيَ هَدَرٌ

Dikatakan bahwa ushul diambil dari nash, maka tidak boleh menolak nash dengan ushul. Namun, terkadang suatu perkara dapat disamakan dengan suatu ushul, seperti dalam kasus hilangnya gigi orang yang menggigit karena tangan dicabut dari mulutnya. Dan telah diriwayatkan dalam hadis lain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mengintip dari lubang pintu lalu matanya dicongkel, maka itu sia-sia (tidak ada diyat).”

قَالَ أَبُو عبيد الصير الشق

Abu Ubaid berkata:

فأما توجيه الْأَوَّلِ بِأَنَّ دَاخِلَ الدَّارِ لَا يُبْتَدَأُ بِفَقْءِ عَيْنِهِ فَقَدْ حَكَى ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي جَوَازِ الِابْتِدَاءِ بِفَقْئِهَا وَجْهَيْنِ

Adapun penjelasan pendapat pertama bahwa orang yang berada di dalam rumah tidak boleh langsung dimulai dengan melukai matanya, maka Ibnu Abi Hurairah telah meriwayatkan dua pendapat mengenai kebolehan memulai dengan melukai matanya.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ أَغْلَظُ حَالًا مِنَ الْمُتَطَلِّعِ

Salah satunya diperbolehkan, karena keadaannya lebih berat daripada orang yang hanya berharap-harap.

وَالثَّانِي لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ إِذَا دَخَلَ بِجَمِيعِ بَدَنِهِ سَقَطَ الْحُكْمُ في تفضيل الأعضاء كالجنايات يلزم فيها دية لأعضاء إذا فضلت وَلَا يَلْزَمُ فِي الْقَتْلِ دِيَاتُهَا وَإِنْ بَطَلَتْ

Dan yang kedua tidak diperbolehkan; karena jika seluruh tubuh telah masuk, maka gugurlah hukum dalam mengutamakan anggota-anggota tubuh, sebagaimana dalam kasus jinayah (tindak pidana), di mana diwajibkan diyat (denda) untuk anggota tubuh jika ada keutamaan, namun dalam kasus pembunuhan tidak diwajibkan diyat untuk anggota-anggota tersebut meskipun keutamaannya hilang.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِنِ اطَّلَعَ عَلَيْهِ مِمَّا لَا يَسْتُرُ أَبْصَارَ الْمَارَّةِ كَالْبَابِ الْمَفْتُوحِ وَالْكُوَّةِ الْوَاسِعَةِ وَالشُّبَّاكِ الْوَاسِعِ الْأَعْيُنِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Dan jika ia melihatnya melalui sesuatu yang tidak menghalangi pandangan orang yang lewat, seperti pintu yang terbuka, lubang yang lebar, atau jendela yang besar dan jelas, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ وَهُوَ عَلَى اجْتِيَازِهِ مَارًّا لَا يقف عليه فلا إنكار عليه وَلَوْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنْهُ كَانَ أَوْلَى؛ لِأَنَّ صَاحِبَ الدَّارِ لَوْ أَرَادَ الِاسْتِتَارَ عَنِ الْأَبْصَارِ لغلق بَابَهُ وَسَدَّ كُوَّتَهُ

Salah satunya adalah seseorang melihat ke dalam rumah itu ketika ia sedang lewat tanpa berhenti di situ, maka tidak ada pengingkaran atasnya. Namun, jika ia menundukkan pandangannya darinya, itu lebih utama; karena jika pemilik rumah ingin menutupi dirinya dari pandangan orang, tentu ia akan menutup pintunya dan menutup celah-celahnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقِفَ الْمُتَطَلِّعُ عَلَيْهِ وَيَسْتَدِيمَ النَّظَرَ إِلَيْهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Jenis yang kedua adalah seseorang yang memperhatikan dan terus-menerus memandangnya; dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ لَهُ رَمْيُهُ وَفَقْءُ عَيْنِهِ كَالْمُتَطَلِّعِ مِمَّا يَسْتُرُ أَبْصَارَ الْمَارَّةِ لِلتَّعَدِّي بِهِمَا

Salah satunya adalah pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, yaitu bahwa ia boleh melempar dan memecahkan matanya, seperti orang yang mengintip dari balik sesuatu yang menutupi pandangan orang yang lewat, karena adanya pelanggaran dengan kedua perbuatan tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيِّ لَيْسَ لَهُ رَمْيُهُ وَلَا فَقْءُ عَيْنِهِ وَهُوَ ضَامِنٌ إِنْ فَعَلَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَبَاحَ النَّظَرَ إِلَيْهِ بِفَتْحِ بَابِهِ وَلَوْ أراد أن يستتر لغلقه وَيَصِيرُ كَالْوَاقِفِ عَلَيْهِ فِي طَرِيقٍ ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ وَقَفَ الْمُتَطَلِّعُ فِي حَرِيمِ الدَّارِ كَانَ لِصَاحِبِهَا مَنْعُهُ مِنَ الْوُقُوفِ عَلَيْهِ وَإِنْ وَقَفَ في باحة الطَّرِيقِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُهُ مِنَ الْوُقُوفِ ويمنعه من النظر وباحة الطريق وسطه وفي حيث أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ لَيْسَ لِلنِّسَاءِ بَاحَةُ الطَّرِيقِ وَلَكِنْ لَهُنَّ حُجْرَتَاهُ وَبَاحَتُهُ وَسَطُهُ وَحُجْرَتَاهُ جَانِبَاهُ

Pendapat kedua adalah pendapat Abu al-Qasim al-Shaymari, yaitu tidak boleh melemparnya atau memecahkan matanya, dan jika melakukannya maka ia wajib mengganti rugi; karena ia telah membolehkan orang lain untuk melihat ke dalam rumahnya dengan membuka pintunya, dan jika ia ingin menutupi dirinya, tentu ia akan menutup pintunya. Maka ia menjadi seperti orang yang berdiri di jalan, lalu orang lain melihatnya. Jika orang yang mengintip itu berdiri di area khusus rumah, maka pemilik rumah berhak melarangnya untuk berdiri di sana. Namun jika ia berdiri di halaman jalan, maka pemilik rumah tidak berhak melarangnya untuk berdiri di sana, tetapi boleh melarangnya untuk melihat. Halaman jalan adalah bagian tengahnya. Dalam riwayat dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Bagi wanita tidak ada bagian di halaman jalan, tetapi bagi mereka adalah kedua pinggirannya.” Halaman jalan adalah bagian tengahnya, sedangkan kedua pinggirannya adalah sisi-sisinya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ فِي حَظْرِ التَّطَلُّعِ وَرَمْيِ الْمُتَطَلِّعِ فَالْحَظْرُ عَامٌّ وَالرَّمْيُ خَاصٌّ فَيَحْرُمُ التطلع على المناسبين مِنَ الْآبَاءِ وَالْأَبْنَاءِ كَمَا يَحْرُمُ عَلَى الْأَجَانِبِ؛ لِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ مَكْشُوفَ الْعَوْرَةِ أَوْ كَانَ مَعَ حُرْمَتِهِ عَلَى حَلَالِهِ فَلَا يَحِلُّ لِذِي بَصَرٍ أَنْ يَرَاهُ وَأَمَّا الرَّمْيُ فَخَاصٌّ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ حَالِ الْمُتَطَلِّعِ وَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثلاثة أقسام

Maka apabila telah dipahami penjelasan ini mengenai larangan mengintip dan hukum terhadap orang yang mengintip, maka larangannya bersifat umum dan hukum terhadap pelaku bersifat khusus. Maka haram hukumnya mengintip kepada orang-orang yang memiliki hubungan mahram seperti ayah dan anak, sebagaimana haram pula bagi orang asing; karena bisa jadi orang yang diintip sedang dalam keadaan aurat terbuka, atau meskipun tidak, tetap saja haram bagi yang halal sekalipun. Maka tidak halal bagi siapa pun yang melihatnya. Adapun hukum terhadap pelaku (pengintip) bersifat khusus, berbeda-beda sesuai keadaan orang yang mengintip, dan keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.

أحدهما أَنْ يَكُونَ مِنْ وَالِدَيْهِ الَّذَيْن لَا يَثْبُتُ لَهُ عَلَيْهِمْ قِصَاصٌ فِي جِنَايَةٍ وَلَا حَدٌّ فِي قَذْفٍ فَلَا يَجُوزُ لَهُ رَمْيُهُمْ وَلَا فقؤهم لأنه نوع حد فسقط عنه كَالْقَذْفِ فَإِنْ رَمَاهُمْ وَفَقَأَهُمْ ضَمِنَ وَهَلْ يَكُونُ ذَلِكَ شُبْهَةً فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ أَمْ لَا مُعْتَبَرًا بِحَالِهِ فَإِنْ كَانَ عِنْدَ التَّطَلُّعِ عَلَيْهِ مَسْتُورَ الْعَوْرَةِ فَلَا شُبْهَةَ لَهُ وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ وَإِنْ كَانَ مَكْشُوفَ الْعَوْرَةِ فَهِيَ شُبْهَةٌ لَهُ فِي سُقُوطِ الْقَوَدِ عَنْهُ وَيَضْمَنُ الدِّيَةَ

Pertama, jika yang dimaksud adalah kedua orang tuanya, di mana tidak berlaku atasnya qishāsh dalam tindak pidana maupun hudud dalam kasus qadzaf, maka tidak boleh baginya menuduh atau melukai mereka, karena hal itu termasuk jenis hudud, sehingga gugur darinya sebagaimana qadzaf. Jika ia menuduh atau melukai mereka, maka ia wajib menanggung ganti rugi. Apakah hal itu menjadi syubhat dalam gugurnya qishāsh atau tidak, maka hal itu tergantung pada keadaannya. Jika saat melakukan perbuatan itu, aurat mereka tertutup, maka tidak ada syubhat baginya dan ia wajib qishāsh. Namun jika aurat mereka terbuka, maka itu menjadi syubhat baginya dalam gugurnya qishāsh atasnya, dan ia wajib membayar diyat.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْمُتَطَلِّعُ أَجْنَبِيًّا أَوْ مِنْ مناسبية وَذَوِي رَحِمِهِ الَّذِينَ لَيْسُوا مِنْ ذَوِي مَحَارِمِهِ كَبَنِي الْأَعْمَامِ وَبَنِي الْأَخْوَالِ فَهُمْ فِي حَظْرِ التطلع كَالْأَجَانِبِ فِي إِبَاحَةِ رَمْيِهِمْ وَفَقْءِ أَعْيُنِهِمْ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي تَحْرِيمِ النَّظَرِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْمُتَطَلِّعُ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ فِي الدَّارِ رَجُلٌ أَوِ امْرَأَةٌ فِي تَحْرِيمِ التَّطَلُّعِ وَرَمْيِ الْمُتَطَلِّعِ وَإِنْ كَانَ تَطَلُّعُ الرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ وَتَطَلُّعُ الْمَرْأَةِ عَلَى الْمَرْأَةِ أَخَفَّ حَظْرًا مِنْ تَطَلُّعِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَرْأَةِ وَتَطَلُّعِ الْمَرْأَةِ عَلَى الرَّجُلِ وَلَكِنْ لو كان التَّطَلُّعُ عَلَى دَارٍ لَا سَاكِنَ فِيهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُرْمَى الْمُتَطَلِّعُ سَوَاءٌ كَانَ فِيهَا مَتَاعٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لِارْتِفَاعِ الْعَوْرَةِ فَإِنْ رُمِيَ الْمُتَطَلِّعُ ضَمِنَهُ رَامِيهِ وَهَكَذَا الْأَعْمَى لَا يَجُوزُ أَنْ يُرْمَى إِذَا تَطَلَّعَ عَلَى الْمَنَازِلِ المسكونة لأنه لا ينهتك بِتَطَلُّعِهِ عَوْرَةٌ فَإِنْ رُمِيَ ضَمِنَهُ الرَّامِي

Bagian kedua adalah apabila orang yang mengintip itu adalah orang asing atau kerabat yang bukan mahram, seperti anak-anak paman dari pihak ayah atau anak-anak paman dari pihak ibu. Maka mereka dalam larangan mengintip sama seperti orang asing, dalam hal diperbolehkannya melempar mereka dan mencederai mata mereka, karena mereka sama-sama diharamkan untuk melihat. Tidak ada perbedaan apakah yang mengintip itu laki-laki atau perempuan, dan tidak ada perbedaan apakah yang ada di dalam rumah itu laki-laki atau perempuan, dalam hal keharaman mengintip dan melempar orang yang mengintip. Meskipun mengintipnya laki-laki terhadap laki-laki, atau perempuan terhadap perempuan, lebih ringan larangannya dibandingkan mengintipnya laki-laki terhadap perempuan atau perempuan terhadap laki-laki. Namun, jika mengintip itu dilakukan terhadap rumah yang tidak berpenghuni, maka tidak boleh melempar orang yang mengintip, baik di dalamnya ada barang-barang atau tidak, karena tidak ada aurat yang terungkap. Jika orang yang mengintip dilempar, maka pelemparnya wajib menanggung ganti rugi. Demikian pula orang buta, tidak boleh dilempar jika ia mengintip ke rumah yang berpenghuni, karena dengan pengintipannya tidak ada aurat yang terungkap. Jika ia dilempar, maka pelemparnya wajib menanggung ganti rugi.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْمُتَطَلِّعُ مِنْ ذَوِي الْمَحَارِمِ الذين يجري بينهم الْقِصَاصُ فِي الْجِنَايَةِ وَالْحَدُّ فِي الْقَذْفِ كَالْأَبْنَاءِ وَالْبَنَاتِ وَالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ فَفِي جَوَازِ رَمْيِهِمْ وَفَقْءِ أَعْيُنِهِمْ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah apabila orang yang mengintip itu termasuk mahram, yaitu mereka yang berlaku di antara mereka hukum qishāsh dalam tindak pidana dan hukum had dalam kasus qadzaf, seperti anak laki-laki, anak perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dari pihak ayah, bibi dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu. Maka, mengenai kebolehan melempari mereka dan mencolok mata mereka, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ قَوْلِ أَبِي حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيِّ لَهُ رَمْيُهُمْ كَالْأَجَانِبِ لِجَرَيَانِ الْقِصَاصِ وَالْحُدُودِ بَيْنَهُمْ

Salah satu pendapat, dan inilah yang tampak dari pendapat Abu Hamid al-Isfara’ini, adalah bahwa ia boleh melempari mereka seperti orang-orang asing, karena berlaku hukum qishāsh dan hudūd di antara mereka.

روَى صَفْوَانُ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَسْتَأْذِنُ عَلَى أُمِّي قَالَ نَعَمْ قَالَ إِنِّي أَخْدُمُهَا قَالَ اسْتَأْذِنْ عَلَيْهَا فَعَاوَدَهُ ثَلَاثًا فَقَالَ أَتُحِبُّ أَنْ تَرَاهَا عُرْيَانَةً قَالَ لَا قَالَ فَاسْتَأْذِنْ عَلَيْهَا

Safwan meriwayatkan dari ‘Atha’ bin Yasar bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi ﷺ, “Bolehkah aku meminta izin ketika masuk kepada ibuku?” Beliau menjawab, “Ya.” Laki-laki itu berkata, “Padahal aku melayaninya.” Beliau bersabda, “Mintalah izin kepadanya.” Laki-laki itu mengulanginya sampai tiga kali, lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu suka melihatnya dalam keadaan telanjang?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Maka mintalah izin kepadanya.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ لَيْسَ لَهُ رَمْيُهُمْ ويضمن إن رماهم كالآباء لقول الله تَعَالَى وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ النور 31 الْآيَةَ فَشَرَكَ بَيْنَ جَمِيعِهِمْ فِي إِبَاحَةِ النَّظَرِ إِلَى الزِّينَةِ الباطنة؛ لأن الزينة الظاهرة لا تحرم عَلَى الْأَجَانِبِ فَسَوَّى بَيْنَ الزَّوْجِ وَبَيْنَ ذَوِي الْمَحَارِمِ فِيهَا وَإِنْ خَالَفَهُمْ فِي التَّلَذُّذِ بِهَا دونهم

Pendapat kedua adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu tidak boleh melempari mereka dan ia wajib mengganti jika melempari mereka, seperti halnya terhadap ayah-ayah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka…” (an-Nur: 31). Ayat ini menyamakan mereka semua dalam kebolehan melihat perhiasan batin, karena perhiasan lahir tidak diharamkan atas orang-orang asing. Maka Allah menyamakan antara suami dan para mahram dalam hal ini, meskipun suami berbeda dengan mereka dalam hal menikmati perhiasan tersebut secara khusus.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ دَخَلَ بَيْتَهُ فَأَمَرَهُ بِالْخُرُوجِ فَلَمْ يَخْرُجْ فَلَهُ ضَرْبُهُ وَإِنْ أَتَى عَلَى نَفْسِهِ قَالَ المزني رحمه الله الَّذِي عُضَّ رَأْسُهُ فَلَمْ يَقْدِرْ أَنْ يَتَخَلَّصَ مِنَ الْعَاضِّ أَوْلَى بِضَرْبِهِ وَدَفْعِهِ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنْ أَتَى ذَلِكَ عَلَى نَفْسِهِ

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang masuk ke rumahnya, lalu ia memerintahkannya untuk keluar namun ia tidak mau keluar, maka ia boleh memukulnya, meskipun hal itu sampai menyebabkan kematiannya.” Al-Muzani rahimahullah berkata, “Orang yang kepalanya digigit lalu ia tidak mampu melepaskan diri dari orang yang menggigitnya, lebih utama untuk memukul dan menyingkirkannya demi membela dirinya, meskipun hal itu sampai menyebabkan kematian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ الْمَسَاكِنَ حِمَى سَاكِنِيهَا سَوَاءٌ مَلَكُوهَا أَوِ اسْتَأْجَرُوهَا وَلَهُمْ مَنْعُ غَيْرِهِمْ مِنْ دُخُولِهَا إِلَّا بِإِذْنِهِمْ لِأَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ketahuilah bahwa rumah-rumah adalah wilayah khusus bagi para penghuninya, baik mereka memilikinya maupun menyewanya, dan mereka berhak mencegah orang lain masuk ke dalamnya kecuali dengan izin mereka, karena dua alasan.”

أَحَدُهُمَا لِاخْتِصَاصِهِمْ بِالتَّصَرُّفِ فِيهَا

Salah satunya adalah karena mereka memiliki kekhususan dalam mengelola hal itu.

وَالثَّانِي لِأَنَّهَا سَاتِرَةٌ لِعَوْرَاتِهِمْ وَلِحُرَمِهِمْ

Dan yang kedua, karena ia menutupi aurat mereka dan menjaga kehormatan mereka.

فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَهَا أَجْنَبِيٌّ أَوْ مُنَاسِبٌ لَيْسَ بِذِي مَحْرَمٍ لَمْ يَجُزْ إِلَّا بِإِذْنٍ صَرِيحٍ سَوَاءٌ كَانَ الْبَابُ مُغْلَقًا أَوْ مَفْتُوحًا؛ لِقَوْلِ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا النور 27 وَقَرَأَ ابْنُ عَبَّاسٍ ” حَتَّى تَسْتَأْذِنُوا فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَهَا ذُو رَحِمٍ مَحْرَمٍ فَلَهُ حَالَتَانِ

Jika seorang laki-laki asing atau kerabat yang bukan mahram ingin masuk ke dalam rumah tersebut, maka tidak diperbolehkan kecuali dengan izin yang jelas, baik pintu rumah itu tertutup maupun terbuka; berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya” (an-Nur: 27). Ibnu ‘Abbas membaca: “sebelum kalian meminta izin.” Jika yang ingin masuk adalah kerabat yang merupakan mahram, maka ada dua keadaan baginya.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ سَاكِنًا فِيهَا مَعَ مَالِكِهَا فَلَا يَلْزَمُهُ الاستئذان ولكن عليه إذا أَرَادَ الدُّخُولَ أَنْ يُشْعِرَ بِدُخُولِهِ بِالنَّحْنَحَةِ وَشِدَّةِ الوطئ وَتَثْقِيلِ الْخُطُوَاتِ لِيَسْتَتِرَ الْعُرْيَانُ وَيَفْتَرِقَ الْمُجْتَمِعَانِ

Salah satunya adalah jika ia tinggal di dalamnya bersama pemiliknya, maka ia tidak wajib meminta izin, tetapi ketika hendak masuk, ia harus memberi tanda akan masuknya dengan berdeham, melangkah dengan suara keras, dan memperberat langkah-langkahnya, agar orang yang sedang telanjang dapat menutupi dirinya dan dua orang yang sedang berkumpul dapat berpisah.

وَالْحَال الثَّانِيَةُ أَنْ لَا يَكُونَ ذُو الْمَحْرَمِ سَاكِنًا فِيهَا فَيَنْظُرُ فِي الْبَابِ فَإِنْ كَانَ مُغَلَّقًا لَمْ يَجُزِ الدُّخُولُ إِلَّا بِإِذْنٍ وَإِنْ كَانَ مَفْتُوحًا فَفِي وُجُوبِ الِاسْتِئْذَانِ وَانْتِظَارِ الْإِذْنِ وَجْهَانِ

Keadaan kedua adalah apabila tidak ada mahram yang tinggal di dalamnya, maka perlu diperhatikan pintunya. Jika pintu itu tertutup rapat, maka tidak boleh masuk kecuali dengan izin. Namun, jika pintunya terbuka, maka dalam hal kewajiban meminta izin dan menunggu izin terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ عَلَيْهِمُ الِاسْتِئْذَانُ وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمُ الدُّخُولُ بِغَيْرِ إِذنٍ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ رَبُّ الدَّارِ عَلَى عَوْرَةٍ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّمَا جُعِلَ الِاسْتِئْذَانُ لِأَجْلِ الْبَصَرِ

Salah satu dari keduanya wajib meminta izin, dan haram bagi mereka masuk tanpa izin, karena boleh jadi pemilik rumah sedang dalam keadaan aurat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya diadakannya permintaan izin itu demi menjaga pandangan.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لا يلتزم الِاسْتِئْذَانُ وَيَلْزَمُ الْإِشْعَارُ بِالدُّخُولِ بِالنَّحْنَحَةِ وَالْحَرَكَةِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا من بيوتكم أو بيوت آبائكم أو بيت أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أو بيوت أعمامكم أو بيوت عماتكم النور 61 الآية ففرق الله تعالى بَيْنَ ذَوِي الْمَحَارِمِ وَغَيْرِهِمْ فِي الْإِبَاحَةِ

Pendapat kedua adalah tidak diwajibkan meminta izin, namun wajib memberi tanda akan masuk dengan berdehem atau membuat gerakan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Tidak ada dosa bagi kalian makan di rumah kalian sendiri, atau rumah ayah-ayah kalian, atau rumah ibu-ibu kalian, atau rumah saudara-saudara laki-laki kalian, atau rumah saudara-saudara perempuan kalian, atau rumah paman-paman kalian, atau rumah bibi-bibi kalian…” (an-Nur: 61). Maka Allah Ta‘ala membedakan antara kerabat mahram dan selain mereka dalam hal kebolehan.

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ حُكْمِ الدُّخُولِ بِإِذْنٍ وَغَيْرِ إِذْنٍ فَدَخَلَهَا مَنْ هُوَ مَمْنُوعٌ مِنَ الدُّخُولِ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَلَا يَخْتَلِفُ أَصْحَابُنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَهُ بِالْقَتْلِ وَاخْتَلَفُوا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَهُ بِفَقْءِ الْعَيْنِ أَمْ لَا عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ وَيَسْتَحِقُّ إِخْرَاجُهُ مِنْهَا بِالْقَوْلِ وَلَا يَتَجَاوَزُهُ إِنْ خَرَجَ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ بِالْقَوْلِ تَجَاوَزَهُ إِلَى الدَّفْعِ وَالْجَرِّ فَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ تَجَاوَزَهُ إِلَى الضَّرْبِ بِالْعَصَا فَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ تَجَاوَزَهُ إِلَى الْجَرْحِ بِالسَّيْفِ فَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ إِلَّا بِالْقَتْلِ فَقَتَلَهُ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ كَطَالِبِ النَّفْسِ وَالْمَالِ يَتَرَتَّبُ الْأَمْرُ فِيهِمَا بِأَقْرَبِ ما يمكن إلى أن تنتهي غايته إلى القتل فإن وُجِدَ هَذَا الدَّاخِلُ قَتِيلًا فِي الدَّارِ فَادَّعَى صَاحِبُهَا أَنَّهُ قَتَلَهُ دَفْعًا عَنْ دَارِهِ وَتَوَصُلًا إِلَى إِخْرَاجِهِ وَادَّعَى وَلِيُّهُ أَنَّهُ قَتَلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ مَعَ يَمِينِهِ وَعَلَى الْقَاتِلِ الْقَوَدُ كَمَنْ قَتَلَ رَجُلًا وَادَّعَى أَنَّهُ وجده مع امْرَأَتِهِ لَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ وأُقِيدَ مِنْهُ فَلَوْ أقام صاحب الدار بينته أنه دخل عليه بسيف مشهور أو قوس موتور أو رهب مَخْرُوط نُظِرَ فِي الْبَيِّنَةِ فَإِنْ أُكْمِلَتِ الشَّهَادَةُ بِأَنْ قَالُوا وَأَرَادَهُ بِذَلِكَ سَقَطَ عَنْهُ الْقَوَدُ وإن لم يقولوا له ذَلِكَ فَقَدْ ذَكَرَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ أَنَّهُ تُقْبَلُ مِنْهُ هَذِهِ الدَّعْوَى وَيَسْقُطُ عَنْهُ الْقَوَدُ والدية؛ لأن الظاهر من هذه الحال تشهد بِصِدْقِ الْمُدَّعِي فَقُبِلَ بِهَا قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَعِنْدِي أَنَّ هَذِهِ الشَّهَادَةَ تُوجِبُ سُقُوطَ الْقَوَدِ؛ لِأَنَّهَا شُبْهَةٌ فِيهِ وَلَا تُوجِبُ سُقُوطَ الدِّيَةِ لِاحْتِمَالِ دُخُولِهِ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ أَنْ يَكُونَ لِهَرَبٍ مِنْ طَلَبٍ وَلَكِنْ لَوْ شَهِدَتِ الْبَيِّنَةُ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَيْهِ بِسَيْفٍ غَيْرِ مَشْهُورٍ وَقَوْسٍ غَيْرِ مَوْتُورٍ لَمْ يسقط بها قود ولا دية والله أعلم

Apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan mengenai hukum masuk dengan izin dan tanpa izin, maka jika seseorang yang dilarang masuk masuk tanpa izin, para ulama kami sepakat bahwa tidak boleh langsung membunuhnya. Mereka berbeda pendapat apakah boleh langsung melukai matanya atau tidak, sebagaimana telah kami sebutkan dua pendapat sebelumnya. Ia berhak dikeluarkan dari tempat itu dengan ucapan, dan tidak boleh melampaui batas jika ia keluar dengan ucapan. Jika ia tidak mau keluar dengan ucapan, maka boleh berlanjut dengan tindakan mendorong dan menarik. Jika masih tidak mau keluar, boleh dilanjutkan dengan memukul menggunakan tongkat. Jika tetap tidak mau keluar, boleh dilanjutkan dengan melukai menggunakan pedang. Jika ia tidak mau keluar kecuali dengan dibunuh, lalu ia dibunuh, maka tidak ada tanggungan (diyat) atas pelakunya, seperti halnya orang yang menuntut jiwa atau harta; urutannya mengikuti sedekat mungkin hingga akhirnya sampai pada pembunuhan. Jika orang yang masuk itu ditemukan tewas di dalam rumah, lalu pemilik rumah mengaku bahwa ia membunuhnya untuk mempertahankan rumahnya dan berusaha mengusirnya, sedangkan wali korban mengaku bahwa ia membunuhnya bukan karena itu, maka yang dipegang adalah ucapan wali korban dengan sumpahnya, dan atas pembunuh dikenakan qishāsh, seperti seseorang yang membunuh orang lain lalu mengaku bahwa ia menemukannya bersama istrinya; pengakuannya tidak diterima dan ia dikenakan qishāsh. Namun, jika pemilik rumah mendatangkan bukti bahwa orang itu masuk ke rumahnya dengan pedang terhunus atau busur yang terpasang atau tombak yang terhunus, maka bukti itu diperiksa. Jika kesaksian itu sempurna dengan mengatakan bahwa ia memang bermaksud demikian, maka gugur darinya qishāsh. Jika mereka tidak mengatakan demikian, maka menurut Abu Hamid al-Isfara’ini, pengakuan itu diterima darinya dan gugur darinya qishāsh dan diyat, karena keadaan yang tampak menunjukkan kebenaran pengakuan tersebut, sehingga diterima ucapannya dengan sumpahnya. Menurut saya, kesaksian ini menyebabkan gugurnya qishāsh karena ada syubhat di dalamnya, namun tidak menggugurkan diyat karena ada kemungkinan ia masuk dalam keadaan itu untuk melarikan diri dari kejaran. Namun, jika bukti menunjukkan bahwa ia masuk dengan pedang yang tidak terhunus atau busur yang tidak terpasang, maka tidak gugur qishāsh maupun diyat. Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا الْتَقَى رَجُلَانِ أَوْ زَحِفَانِ فَتَقَاتَلَا ظُلْمًا عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَطَلَبَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نفس الآخر وماله فَكُلُّ قَاتِلٍ مِنْهُمَا ظَالِمٌ وَكُلُّ مَقْتُولٍ مِنْهُمَا مَظْلُومٌ يُقَادُ مِنْ قَاتِلِهِ وَيَكُونَانِ مُتَسَاوِيَيْنِ فِي الظُّلْمِ قَبْلَ الْقَتْلِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي التَّعَدِّي بِالْقِتَالِ وَمُخْتَلِفَيْنِ بَعْدَ الْقَتْلِ فَيَصِيرُ الْقَاتِلُ ظَالِمًا وَالْمَقْتُولُ مَظْلُومًا؛ لِأَنَّ التَّعَدِّيَ صَارَ بِالْقَتْلِ مُتَعَيِّنًا فِي الْقَاتِلِ دُونَ الْمَقْتُولِ وَعَلَى هَذَا الْمَعْنَى يُحْمَلُ قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إذا التقى المسلمان بسيفهما فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ يَعْنِي لِظُلْمِهِمَا بِالْقِتَالِ ثُمَّ صَارَ الْقَاتِلُ أَكْثَرَ ظُلْمًا بَالْقَتْلِ فَصَارَ وَعِيدُهُ أَغْلَظَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Apabila dua orang laki-laki atau dua kelompok saling berhadapan lalu saling berperang secara zalim karena fanatisme golongan, dan masing-masing dari mereka menginginkan jiwa dan harta yang lain, maka setiap pembunuh di antara mereka adalah orang yang zalim dan setiap yang terbunuh di antara mereka adalah orang yang terzalimi, sehingga qishāsh diberlakukan kepada pembunuhnya. Keduanya sama-sama zalim sebelum terjadinya pembunuhan karena keduanya sama-sama melampaui batas dengan berperang, namun setelah pembunuhan keduanya menjadi berbeda: pembunuh menjadi zalim dan yang terbunuh menjadi terzalimi, karena pelanggaran telah menjadi pasti pada pembunuh, bukan pada yang terbunuh. Makna inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila dua orang Muslim saling berhadapan dengan pedang mereka, maka pembunuh dan yang terbunuh sama-sama di neraka,” maksudnya karena kezaliman mereka dalam berperang. Kemudian pembunuh menjadi lebih zalim dengan melakukan pembunuhan, sehingga ancaman baginya menjadi lebih berat. Dan Allah Maha Mengetahui.

فَأَمَّا كَلَامُ الْمُزَنِيِّ فَقَدْ أَصَابَ فِي جَوَابِهِ وَوَهِمَ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي تَأْوِيلِهِ وَالْحُكْمُ فِيهِ عَلَى مَا مَضَى وبالله التوفيق

Adapun pendapat al-Muzani, ia benar dalam jawabannya, namun keliru terhadap asy-Syafi‘i dalam penafsirannya. Hukum dalam hal ini mengikuti apa yang telah lalu, dan hanya kepada Allah-lah taufik.

باب الضمان على البهائم

Bab Tanggung Jawab atas Hewan Ternak

قال الشافعي ” أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ حَرَامِ بْنِ سعد بن محيصة أن ناقة للبراء دخلت حائطاً فأفسدت فيه فقضى عليه السلام أَنَّ عَلَى أَهْلِ الْأَمْوَالِ حِفْظَهَا بِالنَّهَارِ وَمَا افسدت المواشي بالليل فهو ضامن على أهلها قال الشافعي رحمه الله والضمان عَلَى الْبَهَائِمِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا مَا أَفْسَدَتْ مِنَ الزَّرْعِ بِاللَّيْلِ ضَمِنَهُ أَهْلُهَا وَمَا أَفْسَدَتْ بِالنَّهَارِ لَمْ يَضْمَنُوهُ

Syafi‘i berkata, “Malik telah memberitakan kepada kami dari az-Zuhri dari Haram bin Sa‘d bin Muḥyiṣah bahwa unta milik al-Barā’ masuk ke kebun lalu merusak di dalamnya. Maka Rasulullah ﷺ memutuskan bahwa para pemilik harta wajib menjaga hewan-hewan mereka di siang hari, dan apa yang dirusak oleh hewan ternak pada malam hari maka tanggungannya atas pemiliknya.” Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tanggungan (jaminan) atas hewan ternak ada dua sisi: salah satunya, apa yang dirusak oleh hewan ternak dari tanaman pada malam hari maka pemiliknya wajib menanggungnya, dan apa yang dirusak pada siang hari maka mereka tidak menanggungnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ هَذَا الْبَابُ مَقْصُورٌ على جنايات البهائم المضمونة على أربابها بعد ما تَقَدَّمَ مِنْ جِنَايَاتِ الْآدَمِيِّينَ الْمَضْمُونَةِ عَلَيْهِمْ وَهِيَ ضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata: Bab ini khusus membahas tentang tindak pidana hewan yang menjadi tanggungan pemiliknya, setelah sebelumnya membahas tindak pidana manusia yang menjadi tanggungan mereka. Tindak pidana tersebut terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ سَارِحَةً فِي مَرَاعِيهَا وهي مسألة الكتاب فتعدل من مراعيها إلى زروع ترعاها وأشجار تفسدها أو تفسد ثمرها فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Salah satunya adalah hewan ternak yang dilepas di padang rumputnya, yaitu permasalahan yang disebutkan dalam kitab, kemudian ia berpindah dari padang rumputnya ke ladang-ladang untuk memakannya atau ke pohon-pohon sehingga merusaknya atau merusak buahnya. Dalam hal ini terdapat dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مَعَهَا أَرْبَابُهَا فَيَضْمَنُوا مَا أَفْسَدَتْهُ لَيْلًا وَنَهَارًا؛ لِأَنَّ فِعْلَ الْبَهِيمَةِ إِذَا كَانَتْ مَعَ صَاحِبِهَا مَنْسُوبٌ إليه وإذا لم يكن معها منصوب إِلَيْهَا كَالْكَلْبِ إِذَا أَرْسَلَهُ صَاحِبُهُ أَكَلَ مَا صَادَهُ وَإِذَا اسْتُرْسِلَ بِنَفْسِهِ لَمْ يُؤْكَلْ

Salah satunya adalah jika bersama hewan itu ada pemiliknya, maka mereka wajib menanggung ganti rugi atas apa yang dirusaknya baik siang maupun malam; karena perbuatan hewan jika ia bersama pemiliknya dinisbatkan kepadanya, dan jika tidak bersamanya maka dinisbatkan kepada hewan itu sendiri, seperti anjing jika dilepaskan oleh pemiliknya lalu menangkap buruan, maka buruan itu boleh dimakan, dan jika anjing itu berburu sendiri tanpa dilepaskan, maka buruannya tidak boleh dimakan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَنْفَرِدَ الْبَهَائِمُ عَنْ أَرْبَابِهَا وَلَا يَكُونُوا مَعَهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يُنْسَبَ أَرْبَابُهَا إِلَى التَّفْرِيطِ لِإِرْسَالِهِمْ لَهَا فِيمَا لَا يَسْتَبِيحُونَ رَعْيَهُ أَوْ فِيمَا يَضِيقُ عَنْ كفاياتهم كحريم الأنهار وطرق الضباع فَعَلَيْهِمْ ضَمَانُ مَا أَفْسَدَتْهُ لَيْلًا وَنَهَارًا؛ لِأَنَّ التَّفْرِيطَ عُدْوَانٌ يُوجِبُ الضَّمَانَ

Jenis kedua adalah ketika hewan ternak terpisah dari pemiliknya dan mereka tidak bersama hewan tersebut. Ini terbagi menjadi dua keadaan: salah satunya adalah jika pemiliknya dianggap lalai karena melepaskan hewan tersebut ke tempat yang tidak halal mereka gembalakan, atau ke tempat yang sempit dan tidak cukup untuk kebutuhan mereka, seperti kawasan larangan di sekitar sungai atau jalan umum. Maka, mereka wajib menanggung ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan itu, baik pada malam maupun siang hari, karena kelalaian merupakan bentuk pelanggaran yang mewajibkan adanya tanggungan ganti rugi.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يُنْسَبَ أَرْبَابُهَا إِلَى التَّفْرِيطِ لِإِرْسَالِهِمْ لَهَا نَهَارًا فِي مَوَاتٍ يَتَّسِعُ لَهَا وَحَبْسِهَا لَيْلًا في مراحها وعطنها فذهب الشافعي أنه لا ضمان عليهم في مارعته نَهَارًا وَعَلَيْهِمْ ضَمَانُ مَا رَعَتْهُ لَيْلًا وَفَرَّقَ بَيْنَ رَعْيِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ بِالسُّنَّةِ وَالِاعْتِبَارِ

Jenis yang kedua adalah bahwa para pemiliknya tidak dianggap lalai karena melepaskan hewan-hewan mereka pada siang hari di tanah kosong yang luas bagi mereka, dan menahan hewan-hewan itu pada malam hari di kandang dan tempat minumnya. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa tidak ada kewajiban ganti rugi atas mereka atas apa yang dimakan hewan-hewan itu pada siang hari, tetapi mereka wajib mengganti rugi atas apa yang dimakan hewan-hewan itu pada malam hari. Ia membedakan antara penggembalaan pada malam dan siang hari berdasarkan sunnah dan pertimbangan (‘itibār).

وَسَوَّى أَبُو حَنِيفَةَ بَيْنَ رَعْيِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَهُمَا وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُهُ فِي مَذْهَبِهِ الَّذِي سَوَّى فِيهِ بَيْنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ فَحَكَى الْبَغْدَادِيُّونَ مِنْهُمْ عَنْهُ سُقُوطَ الضَّمَانِ فِي الزَّمَانَيْنِ وَحَكَى الْخُرَاسَانِيُّونَ عَنْهُ وُجُوبَ الضَّمَانِ فِي الزَّمَانَيْنِ

Abu Hanifah menyamakan antara menggembala di malam hari dan siang hari, dan tidak membedakan antara keduanya. Para sahabatnya berbeda pendapat mengenai mazhab beliau yang menyamakan antara malam dan siang; kalangan Baghdad di antara mereka meriwayatkan darinya bahwa tidak ada kewajiban ganti rugi pada kedua waktu tersebut, sedangkan kalangan Khurasan meriwayatkan darinya adanya kewajiban ganti rugi pada kedua waktu tersebut.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ ذَهَبَ إِلَى سُقُوطِ الضَّمَانِ فِيهِمَا بقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْعَجْمَاءُ جُبَارٌ

Orang yang berpendapat bahwa tidak ada kewajiban ganti rugi dalam kedua kasus tersebut berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Al-‘ajmā’ (hewan yang tidak bertanduk) tidak ada tanggungan (ganti rugi) atasnya.”

وَرُوِيَ ” جَرْحُ الْعَجْمَاءِ جُبَارٌ

Diriwayatkan bahwa “luka yang disebabkan oleh hewan ternak adalah jubar (tidak ada tanggungan ganti rugi).”

وَالْعَجْمَاءُ الْبَهِيمَةُ وَالْجُبَارُ الْهَدَرُ الَّذِي لَا يُضْمَنُ وَلِأَنَّ مَا سَقَطَ ضَمَانُهُ نَهَارًا سَقَطَ ضَمَانُهُ لَيْلًا كَالْوَدَائِعِ طَرْدًا وَالْغُصُوبِ عَكْسًا

Al-‘ajmā’ adalah hewan ternak, sedangkan al-jubār adalah kerugian yang sia-sia yang tidak ada tanggungan ganti rugi atasnya. Karena sesuatu yang gugur tanggung jawabnya pada siang hari, maka gugur pula tanggung jawabnya pada malam hari, seperti pada barang titipan (wadā’i‘) secara langsung, dan pada barang rampasan (ghushūb) secara kebalikan.

وَاسْتَدَلَّ مَنْ ذَهَبَ إِلَى وُجُوبِ الضَّمَانِ فِي الزَّمَانَيْنِ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ وَلِأَنَّ مَا وَجَبَ ضَمَانُهُ لَيْلًا وَجَبَ ضَمَانُهُ نَهَارًا كالْغُصُوبِ طَرْدًا وَالْوَدَائِعِ عَكْسًا

Orang yang berpendapat wajibnya tanggungan (dhamān) pada kedua waktu (malam dan siang) berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya,” dan karena apa yang wajib ditanggung pada malam hari juga wajib ditanggung pada siang hari, seperti barang rampasan (ghushūb) secara langsung, dan barang titipan (wadā’i‘) sebaliknya.

وَدَلِيلُنَا عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الزَّمَانَيْنِ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ لَيْلًا وَسُقُوطِهِ نَهَارًا سُنَّةُ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ مَا وَرَدَ بِهِ التَّنْزِيلُ فِي قِصَّةِ دَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شاهدين فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا الأنبياء 78 79 وَفِي الْحَرْثِ الَّذِي حَكَمَا فِيهِ قَوْلَانِ

Dalil kami tentang perbedaan antara dua waktu dalam kewajiban membayar ganti rugi pada malam hari dan gugurnya kewajiban itu pada siang hari adalah sunnah Rasulullah saw. setelah turunnya wahyu dalam kisah Dawud dan Sulaiman. Allah Ta‘ala berfirman: “Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, ketika kambing-kambing kaum itu masuk ke dalamnya pada malam hari, dan Kami menyaksikan keputusan mereka itu. Maka Kami memberikan pemahaman kepada Sulaiman (tentang hukum itu), dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.” (al-Anbiya’ 78-79). Dalam perkara ladang yang mereka berdua putuskan itu terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أنه زرع وقعت فيه الغنم ليلاً قَالَهُ قَتَادَةُ وَهُوَ الْأَشْبَهُ بِلَفْظِ الْحَرْثِ

Salah satunya adalah tanaman yang dimasuki oleh kambing pada malam hari; hal ini dikatakan oleh Qatadah dan ini yang lebih sesuai dengan lafaz al-harth.

وَالثَّانِي أنه كرم وقعت فيه الْغَنَمُ قَالَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ وَهُوَ أَشْهَرُ فِي النقل إذا نفشت فيه غنم القوم الأنبياء 78 والنفش رَعْيُ اللَّيْلِ وَالْهَمْلُ رَعْيُ النَّهَارِ قَالَهُ قَتَادَةُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْقَضَاءَ كَانَ فِي رَعْيِ اللَّيْلِ دُونَ النَّهَارِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ الأنبياء 78 يَعْنِي حُكْمَ دَاوُدَ وَحُكْمَ سُلَيْمَانَ وَالَّذِي حَكَمَ به داود على ما ورد به النَّقْلُ وَإِنْ لَمْ يَدُلَّ الْقُرْآنُ عَلَيْهِ أَنَّهُ جَعَلَ الْغَنَمَ مِلْكًا لِصَاحِبِ الْحَرْثِ عِوَضًا عَنْ فساده وكان سليمان عليه السلام حاضر الحكمة فَقَالَ أَرَى أَنْ تُدْفَعَ الْغَنَمُ إِلَى صَاحِبِ الْكَرْمِ؛ لِيَنْتَفِعَ بِهَا وَيُدْفَعَ الْكَرْمُ إِلَى صَاحِبِ الْغَنَمِ لِيُعَمِّرَهُ فَإِذَا عَادَ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ؛ رَدَّهُ عَلَى صَاحِبِهِ وَاسْتَرْجَعَ غَنَمَهُ فَصَوَّبَ الله تعالى حُكْمَ سُلَيْمَانَ وَبَيَّنَ خَطَأَ دَاوُدَ فَقَالَ فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ الأنبياء 79 فَرَدَّ دَاوُدُ حُكْمَهُ وَأَمْضَى حُكْمَ سُلَيْمَانَ ثُمَّ قَالَ تَعَالَى وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا الأنبياء 79 يَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ

Kedua, bahwa yang dimaksud adalah kebun anggur yang dimasuki oleh kambing-kambing. Ini dikatakan oleh Ibnu Mas‘ud dan lebih masyhur dalam riwayat, ketika kambing-kambing kaum itu masuk ke dalam kebun pada malam hari—sebagaimana disebutkan dalam surah al-Anbiyā’ ayat 78. Kata “an-nafsy” berarti penggembalaan di malam hari, sedangkan “al-haml” adalah penggembalaan di siang hari, sebagaimana dikatakan oleh Qatadah. Ini menunjukkan bahwa keputusan hukum itu berlaku untuk penggembalaan di malam hari, bukan di siang hari. Firman Allah, “Dan Kami menjadi saksi atas hukum mereka” (al-Anbiyā’ 78), maksudnya adalah hukum Dawud dan hukum Sulaiman. Adapun hukum yang diputuskan oleh Dawud, sebagaimana disebutkan dalam riwayat meskipun tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an, adalah bahwa beliau menjadikan kambing-kambing itu sebagai milik pemilik kebun sebagai ganti kerusakan yang terjadi. Sementara Sulaiman ‘alaihis salam yang juga hadir saat itu, berkata, “Menurutku, kambing-kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun agar ia dapat mengambil manfaat darinya, dan kebun itu diserahkan kepada pemilik kambing agar ia memperbaikinya. Jika kebun itu telah kembali seperti semula, maka dikembalikan kepada pemiliknya dan kambing-kambing itu diambil kembali oleh pemiliknya.” Maka Allah Ta‘ala membenarkan hukum Sulaiman dan menjelaskan kekeliruan Dawud, sebagaimana firman-Nya, “Maka Kami fahamkan kepada Sulaiman” (al-Anbiyā’ 79). Dawud pun mencabut keputusannya dan menetapkan keputusan Sulaiman. Kemudian Allah Ta‘ala berfirman, “Dan masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu” (al-Anbiyā’ 79), yang mengandung dua kemungkinan makna.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ آتَى كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمًا وَعِلْمًا فِي وُجُوبِ ذلك الضمان لَيْلًا وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي صِفَتِهِ لِأَنَّهُمَا اتَّفَقَا عَلَى وُجُوبِ الضَّمَانِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الصِّفَةِ

Salah satu alasannya adalah bahwa masing-masing dari keduanya telah diberikan pengetahuan dan pemahaman tentang wajibnya tanggungan itu secara pasti, meskipun mereka berbeda dalam sifatnya, karena keduanya sepakat atas kewajiban tanggungan tersebut meskipun berbeda dalam sifatnya.

والثاني معناه إن خَصَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِعِلْمٍ أَفْرَدَهُ بِهِ دُونَ الْآخَرِ فَصَارَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ أُوتِيَ حُكْمًا وَعِلْمًا

Dan makna yang kedua adalah jika masing-masing dari keduanya dikhususkan dengan ilmu tertentu yang tidak diberikan kepada yang lain, maka masing-masing dari mereka telah dianugerahi hukum dan ilmu.

فَإِنْ قِيلَ فَكَيْفَ نَقَضَ دَاوُدُ حُكْمَهُ بِاجْتِهَادِ غَيْرِهِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Jika ada yang bertanya, “Lalu bagaimana Daud membatalkan putusannya dengan ijtihad orang lain?” Maka ada dua jawaban untuk hal itu.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ ذَكَرَ الْحُكْمَ وَلَمْ يُمْضِهِ حَتَّى بَانَ لَهُ صَوَابُ مَا حَكَمَ بِهِ سُلَيْمَانُ فَعَدَلَ إِلَيْهِ وَحَكَمَ بِهِ وَهَذَا جَائِزٌ

Salah satunya adalah bahwa ia menyebutkan hukum, namun belum menetapkannya sampai jelas baginya kebenaran dari apa yang diputuskan oleh Sulaiman, lalu ia beralih kepada keputusan itu dan menetapkannya, dan hal ini diperbolehkan.

وَالثَّانِي أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى صَوَّبَ قَضَاءَ سُلَيْمَانَ فَصَارَ نَصًّا وَحُكْمُ مَا خَالَفَ النَّصَّ مَرْدُودٌ

Yang kedua, bahwa Allah Ta‘ala membenarkan keputusan Sulaiman sehingga menjadi nash, dan hukum yang bertentangan dengan nash adalah tertolak.

وَالدَّلِيلُ مِنْ هَذِهِ الْآيَةِ عَلَى مَنْ سَوَّى بَيْنَ اللَّيْلِ والنهار وفي سُقُوطِ الضَّمَانِ نَصٌّ صَرِيحٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَوْجَبَهُ فِي رَعْيِ الْغَنَمِ فِي اللَّيْلِ وَعَلَى مَنْ سَوَّى بَيْنَهُمَا فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ مِنْ طَرِيقِ التَّنْبِيهِ لِأَنَّهُ حُكْمٌ عَلَى صِفَةٍ تقتضي انتفاء عِنْدَ عَدَمِهَا ثُمَّ جَاءَتِ السُّنَّةُ بِنَصٍّ صَرِيحٍ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُوَ الْحَدِيثُ المتقدم في صدر الكتاب رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ حَرَامِ بْنِ سَعْدِ بْنِ مُحَيِّصَةَ أَنَّ نَاقَةً للبراء بن عازب دخلت حائطاً فأفسدت فَإِنْ قِيلَ حَرَامُ بْنُ سَعْدٍ لَا صُحْبَةَ لَهُ فَكَانَ مُرْسَلًا

Dan dalil dari ayat ini bagi orang yang menyamakan antara malam dan siang dalam gugurnya tanggungan (dhaman) adalah nash yang jelas, karena Allah Ta‘ala telah mewajibkannya pada penggembalaan kambing di malam hari. Bagi siapa yang menyamakan keduanya dalam kewajiban tanggungan, hal itu didasarkan pada isyarat, karena itu adalah hukum yang terkait dengan suatu sifat yang menuntut tiadanya hukum tersebut ketika sifat itu tidak ada. Kemudian datanglah sunnah dengan nash yang jelas tentang perbedaan antara malam dan siang, yaitu hadits yang telah disebutkan di awal kitab, yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Malik dari az-Zuhri dari Haram bin Sa‘d bin Muḥaiṣah bahwa unta milik al-Barā’ bin ‘Āzib masuk ke kebun lalu merusak. Jika dikatakan bahwa Haram bin Sa‘d tidak memiliki shahabat, maka hadits itu berstatus mursal.

قِيلَ قَدْ رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ مُسْنَدًا عَنْ أَيُّوبَ بْنِ سُوَيْدٍ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ حَرَامِ بْنِ سَعْدِ بْنِ مُحَيِّصَةَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّهُ كَانَتْ لَهُ نَاقَةٌ ضَارِيَةٌ دَخَلَتْ حَائِطَ قَوْمٍ فَأَفْسَدَتْ فيه فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّ عَلَى أَهْلِ الْأَمْوَالِ حِفْظَهَا بِالنَّهَارِ وَمَا أفسدت المواشي بالليل فهو ضمان على أهلها ” فَقَدْ رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ مُرْسَلًا وَرَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَيُّوبَ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ عَنِ الزُّهْرِيِّ مُسْنَدًا فَتَأَكَّدَ وَهُوَ نَصٌّ صَرِيحٌ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ بِاللَّيْلِ وَسُقُوطِهِ بِالنَّهَارِ لَا تأويل فيه بصرفه عَنْ ظَاهِرِ نَصِّهِ ثُمَّ الْفَرْقُ بَيْنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى مِنْ وَجْهَيْنِ

Dikatakan bahwa hadis ini telah diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i secara musnad dari Ayyub bin Suwaid, dari al-Auza‘i, dari az-Zuhri, dari Haram bin Sa‘d bin Muhayyishah, dari al-Bara’ bin ‘Azib, bahwa ia memiliki seekor unta liar yang masuk ke kebun milik suatu kaum lalu merusaknya. Maka Rasulullah ﷺ memutuskan bahwa para pemilik harta wajib menjaga hartanya di siang hari, dan apa yang dirusak oleh hewan ternak di malam hari menjadi tanggungan pemiliknya. Asy-Syafi‘i telah meriwayatkan hadis ini dari Malik, dari az-Zuhri secara mursal, dan meriwayatkannya juga dari Ayyub, dari al-Auza‘i, dari az-Zuhri secara musnad, sehingga hadis ini semakin kuat. Ini adalah nash yang jelas tentang wajibnya tanggungan (dhaman) di malam hari dan gugurnya tanggungan itu di siang hari, tanpa ada takwil yang memalingkan dari makna zahir nash tersebut. Kemudian, perbedaan antara malam dan siang dari segi makna dapat dijelaskan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمَوَاشِيَ وَالزُّرُوعَ مَرْصَدَانِ لِطَلَبِ الْفَضْلِ فِيهِمَا وَاسْتِمْدَادِ الرِّزْقِ مِنْهُمَا وَالْفَضْلُ فِي الْمَوَاشِي بِإِرْسَالِهَا نَهَارًا فِي مَرَاعِيهَا فَسَقَطَ حِفْظُهَا فِيهِ وَالْفَضْلُ فِي الزُّرُوعِ بِعَمَلِ أَهْلِهَا نَهَارًا فِيهَا فَوَجَبَ عَلَيْهِمْ حِفْظُهَا فِيهِ

Salah satunya adalah bahwa hewan ternak dan tanaman merupakan sarana untuk mencari keutamaan pada keduanya dan memperoleh rezeki darinya. Keutamaan pada hewan ternak didapatkan dengan melepaskannya di padang rumput pada siang hari, sehingga kewajiban menjaganya gugur pada waktu itu. Sedangkan keutamaan pada tanaman didapatkan dengan usaha para pemiliknya pada siang hari, sehingga mereka wajib menjaganya pada waktu tersebut.

وَالثَّانِي أَنَّ اللَّيْلَ زَمَانُ النَّوْمِ وَالدَّعَةِ فَلَزِمَ أَرْبَابَ الْمَوَاشِي فِيهِ حِفْظُهَا فِي أَفْنِيَتِهِمْ وَمَسَاكِنِهِمْ وَسَقَطَ فِيهِ عَنْ أَرْبَابِ الزروع حفظها لا يوائهما فِيهِ إِلَى مَسَاكِنِهِمْ فَثَبَتَ بِهَذَيْنِ حِفْظُ الزُّرُوعِ عَلَى أَهْلِهَا فِي النَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ وَحِفْظُ الْمَوَاشِي عَلَى أَهْلِهَا بِاللَّيْلِ دُونَ النَّهَارِ فَلِذَلِكَ صَارَ رَعْيُ النَّهَارِ هَدَرًا لِوُجُوبِ الْحِفْظِ فِيهِ عَلَى أَرْبَابِ الزُّرُوعِ ورعي الليل مضموناً بالوجوب للحفظ فِيهِ عَلَى أَرْبَابِ الْمَوَاشِي

Kedua, malam adalah waktu untuk tidur dan beristirahat, sehingga para pemilik hewan ternak wajib menjaga hewan-hewan mereka di halaman dan tempat tinggal mereka pada waktu malam. Sedangkan kewajiban menjaga tanaman dari para pemilik tanaman gugur pada malam hari, karena tidak mungkin mereka membawa tanaman mereka ke tempat tinggal mereka. Dengan demikian, berdasarkan dua hal ini, kewajiban menjaga tanaman tetap berlaku bagi pemiliknya pada siang hari, bukan pada malam hari, dan kewajiban menjaga hewan ternak tetap berlaku bagi pemiliknya pada malam hari, bukan pada siang hari. Oleh karena itu, kerusakan tanaman pada siang hari tidak mendapat ganti rugi karena kewajiban menjaga ada pada pemilik tanaman, sedangkan kerusakan pada malam hari menjadi tanggungan pemilik hewan ternak karena kewajiban menjaga ada pada mereka.

وَالدَّلِيلُ مِنَ الْقِيَاسِ عَلَى مَنْ سَوَّى بَيْنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ أَنَّ النَّهَارَ زَمَانٌ لَا يُنْسَبُ أرباب المواشي فيه إِلَى التَّفْرِيطِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ عَنْهُمْ ضَمَانُ ما أفسدته قياساً على غير الزروع

Dan dalil dari qiyās atas orang yang menyamakan antara malam dan siang dalam kewajiban ganti rugi adalah bahwa siang hari merupakan waktu di mana para pemilik hewan ternak tidak dianggap lalai, maka wajiblah gugur dari mereka kewajiban ganti rugi atas apa yang dirusak oleh hewan ternak mereka, dengan qiyās terhadap selain tanaman.

وَالدَّلِيلُ عَلَى مَنْ سَوَّى بَيْنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ فِي سُقُوطِ الضَّمَانِ أَنَّ اللَّيْلَ زَمَانٌ يُنْسَبُ أرباب المواشي فيه إلى التفريط؛ فوجب أن يلزمهم الضمان مَا أَفْسَدَتْ قِيَاسًا عَلَى غَيْرِ الزُّرُوعِ

Dan dalil bagi orang yang menyamakan antara malam dan siang dalam gugurnya tanggungan adalah bahwa malam merupakan waktu di mana para pemilik hewan ternak dianggap lalai; maka wajib bagi mereka menanggung ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan, berdasarkan qiyās dengan selain tanaman.

وَالدَّلِيلُ مِنَ الْقِيَاسِ عَلَى الْفَرِيقَيْنِ أَنَّهَا بَهَائِمُ أَفْسَدَتْ مَالًا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ الضَّمَانُ مُعْتَبَرًا بِجِهَةِ التَّفْرِيطِ قِيَاسًا عَلَى غَيْرِ الزُّرُوعِ مِنْ سَائِرِ الْأَمْوَالِ

Dalil dari qiyās untuk kedua kelompok adalah bahwa hewan-hewan itu telah merusak harta, maka wajib agar penjaminan (dhamān) dipertimbangkan dari sisi kelalaian, sebagaimana qiyās terhadap selain tanaman dari harta-harta yang lain.

فَأَمَّا جَوَابُ مَنْ أَسْقَطَ الضَّمَانَ لِقَوْلِهِ ” الْعَجْمَاءُ جُبَارٌ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap orang yang menggugurkan kewajiban ganti rugi dengan dalil sabda Nabi “al-‘ajmā’ jubār”, maka ada dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الرِّوَايَةَ ” جرح العجماء وَالْجَرْحُ لَا يَكُونُ فِي رَعْيِ الزُّرُوعِ

Salah satunya adalah bahwa riwayat “luka yang disebabkan oleh hewan ternak” dan luka itu tidak terjadi pada penggembalaan tanaman.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى رَعْيِ النَّهَارِ

Dan yang kedua, bahwa hal itu dimaknai sebagai menggembala di siang hari.

وَالْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى رَعْيِ النَّهَارِ فَالْمَعْنَى فِي النَّهَارِ عَدَمُ التَّفْرِيطِ وَفِي اللَّيْلِ وُجُودُ التَّفْرِيطِ فَافْتَرَقَا وأما جواب من أوجب الضمان لقوله ” لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ فَهُوَ أَنَّهُ لَيْسَ اسْتِعْمَالُهُ فِي حِفْظِ أَمْوَالِ أَرْبَابِ الزُّرُوعِ بِأَوْلَى مِنَ اسْتِعْمَالِهِ فِي حِفْظِ أَمْوَالِ أَرْبَابِ الْمَوَاشِي فَسَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ لِتَكَافُؤِ الْأَمْرَيْنِ فِيهِ

Jawaban terhadap qiyās mereka dengan penggembalaan di siang hari adalah bahwa makna (illat) pada siang hari adalah tidak adanya kelalaian, sedangkan pada malam hari terdapat kelalaian, sehingga keduanya berbeda. Adapun jawaban terhadap orang yang mewajibkan tanggungan (dhamān) dengan dalil sabda Nabi “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya,” maka sesungguhnya penggunaan dalil tersebut dalam menjaga harta para pemilik tanaman tidak lebih utama daripada penggunaannya dalam menjaga harta para pemilik hewan ternak, sehingga istidlāl (pengambilan dalil) dengan hadis tersebut gugur karena kedua perkara itu setara di dalamnya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى رَعْيِ اللَّيْلِ فَالْمَعْنَى فِي اللَّيْلِ وُجُودُ التَّفْرِيطِ وَفِي النَّهَارِ عَدَمُهُ

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan penggembalaan di malam hari adalah bahwa makna (illat) pada malam hari terdapat unsur kelalaian, sedangkan pada siang hari tidak ada kelalaian tersebut.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذكرنَا مِنْ سُقُوطِ الضَّمَانِ فِي النَّهَارِ وَوُجُوبِهِ فِي اللَّيْلِ فَتَكَاثَرَتِ الْمَوَاشِي بِالنَّهَارِ حَتَّى عَجَزَ أَرْبَابُ الزُّرُوعِ عَنْ حِفْظِهَا فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ وَجْهَانِ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan tentang gugurnya kewajiban ganti rugi pada siang hari dan wajibnya pada malam hari, kemudian ternak menjadi sangat banyak pada siang hari hingga para pemilik tanaman tidak mampu menjaganya, maka dalam kewajiban ganti rugi terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَرْبَابِ الزُّرُوعِ تَقْصِيرٌ فِي الْحِفْظِ

Salah satunya wajib; karena tidak ada kelalaian dalam penjagaan dari para pemilik tanaman.

وَالثَّانِي لَا يَجِبُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَرْبَابِ الْمَوَاشِي؛ تَفْرِيطٌ فِي الْحِفْظِ

Dan yang kedua tidak wajib; karena ia bukan termasuk pemilik hewan ternak; melainkan kelalaian dalam penjagaan.

وَعَلَى هَذَا لو أحرز أرباب المواشي مواشيهم في الليل فَغَلَبَتْهُمْ وَنَفَرَتْ فَرَعَتْ فِي اللَّيْلِ زَرْعًا فَفِي وجوب الضمان وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ

Berdasarkan hal ini, jika para pemilik hewan ternak telah mengamankan hewan-hewan mereka pada malam hari, lalu hewan-hewan itu lepas dari kendali mereka dan lari sehingga memakan tanaman pada malam hari, maka dalam hal kewajiban ganti rugi terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Hurairah.

أَحَدُهُمَا لَا يَجِبُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَرْبَابِ الْمَوَاشِي تَفْرِيطٌ

Salah satunya tidak wajib, karena tidak ada kelalaian dari pemilik hewan ternak.

وَالثَّانِي يَجِبُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ أرباب الزروع تقصير

Dan yang kedua wajib; karena tidak ada kelalaian dari para pemilik tanaman.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا كَانَ لِرَجُلٍ هِرٌّ فَأَكَلَتْ حَمَامَ قَوْمٍ أَوْ أَفْسَدَتْ طَعَامَهُمْ أَوْ كَانَ لَهُ كَلْبٌ فَفَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ بِهِمْ فَهَذَا عَلَى ضربين

Jika seseorang memiliki seekor kucing, lalu kucing itu memakan burung merpati milik suatu kaum atau merusak makanan mereka, atau jika ia memiliki seekor anjing lalu anjing itu melakukan hal serupa terhadap mereka, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.

أحدهما أن يكون الكلب والهر ضَعِيفَيْنِ غَيْرَ ضَارِيَيْنِ فَلَا يَلْزَمُ أَرْبَابَهُمَا حِفْظُهُمَا ليلاً ولا نهاراً فلا يجب عليهم ضَمَانُ مَا أَفْسَدَاهُ فِي لَيْلٍ وَلَا نَهَارٍ

Pertama, jika anjing dan kucing itu lemah dan tidak buas, maka pemiliknya tidak wajib menjaga mereka baik pada malam maupun siang hari, sehingga mereka tidak wajib menanggung ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan oleh keduanya, baik pada malam maupun siang hari.

والضرب الثاني أن يكون الهر قوياً ضارباً وَالْكَلْبُ شَدِيدًا عَقُورًا فَعَلَى أَرْبَابِهِمَا حِفْظُهُمَا فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَيَجِبُ عَلَيْهِمْ ضَمَانُ مَا أَفْسَدَاهُ لَيْلًا وَنَهَارًا فَيَسْتَوِي فِيهِمَا حُكْمُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ فِي وُجُوبِ الضَّمَانِ وَسُقُوطِهِ وَإِنِ اخْتَلَفَ حُكْمُ الْمَوَاشِي فِي ضَمَانِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Jenis kedua adalah apabila kucing itu kuat dan suka menyerang, dan anjing itu ganas dan suka menggigit, maka para pemilik keduanya wajib menjaga mereka baik di malam maupun siang hari. Mereka juga wajib menanggung ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan oleh keduanya, baik pada malam maupun siang hari. Maka, hukum malam dan siang dalam kewajiban ganti rugi dan gugurnya kewajiban tersebut adalah sama bagi keduanya, meskipun hukum hewan ternak berbeda dalam hal kewajiban ganti rugi pada malam dan siang hari, karena terdapat perbedaan antara keduanya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا السُّنَّةُ الَّتِي فَرَّقَتْ فِي الْمَوَاشِي بَيْنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَطْلَقَتْ فِي غَيْرِ الْمَوَاشِي حُكْمَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

Salah satunya adalah sunnah yang membedakan antara malam dan siang dalam hal hewan ternak, dan membebaskan hukum malam dan siang pada selain hewan ternak.

وَالثَّانِي الْعُرْفُ وَالْعَادَةُ فِي رَعْيِ الْمَوَاشِي بِالنَّهَارِ وَحَبْسِهَا فِي اللَّيْلِ وَالتَّسْوِيَةُ فِي الْهِرِّ وَالْكَلْبِ بَيْنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ والله أعلم

Yang kedua adalah ‘urf dan kebiasaan dalam menggembalakan hewan ternak pada siang hari dan mengurungnya pada malam hari, serta penyamaan antara kucing dan anjing baik pada malam maupun siang hari. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنْ كَانَ الرَّجُلُ رَاكِبًا فَمَا أَصَابَتْ بِيَدِهَا أَوْ رِجْلِهَا أَوْ فِيهَا أَوْ ذَنَبِهَا مِنْ نَفْسٍ أَوْ جُرْحٍ فَهُوَ ضَامِنٌ له لأن عليه منعها في تلك الحال من كل ما أتلفت به أحداً وكذلك إن كان سائقا أو قائداً وكذلك الإبل المقطورة بالبعير الذي هو عليه لأنه قائد لها وكذلك الإبل يسوقها ولا يجوز إلا ضمان ما أصابت الدابة تحت الرجل ولا يضمن إلا ما حملها عليه فوطئته فأما من ضمن عن يدها ولم يضمن عن رجلها فهذا تحكم وأما مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ من أن ” الرجل جبار فهو خطأ لأن الحفاظ لم يحفظوه هكذا

Imam Syafi‘i berkata, “Adapun pendapat kedua, jika seseorang sedang menunggangi hewan, maka apa pun yang mengenai seseorang atau melukai seseorang dengan tangan, kaki, mulut, atau ekornya, baik menyebabkan kematian maupun luka, maka ia wajib menanggung ganti rugi atasnya, karena ia berkewajiban mencegah hewan itu dalam keadaan tersebut dari membahayakan siapa pun. Demikian pula jika ia menggiring atau menuntun hewan itu, begitu juga unta yang diikatkan pada unta yang sedang ia tunggangi, karena ia adalah penuntunnya. Begitu pula unta-unta yang ia giring. Tidak wajib menanggung ganti rugi kecuali atas apa yang dilakukan hewan di bawah kendali penunggangnya, dan ia tidak menanggung kecuali atas apa yang ia sebabkan hewan itu melakukannya, sehingga hewan itu menginjak seseorang. Adapun orang yang mewajibkan ganti rugi atas apa yang dilakukan tangan hewan tetapi tidak atas apa yang dilakukan kakinya, maka ini adalah keputusan yang sewenang-wenang. Adapun riwayat dari Nabi ﷺ bahwa ‘kerugian akibat hewan adalah sia-sia (tidak ada ganti rugi)’, maka itu adalah keliru, karena para perawi yang terpercaya tidak meriwayatkannya demikian.”

قال الماوردي وهذا صَحِيحٌ وَهُوَ الضَّرْبُ الثَّانِي مِنْ ضَمَانِ الْبَهَائِمِ أَنْ تَكُونَ سَائِرَةً وَلَا تَكُونُ رَاعِيَةً وَلَهَا حَالَتَانِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan ini adalah jenis kedua dari tanggung jawab atas hewan ternak, yaitu ketika hewan tersebut berjalan dan bukan sedang digembalakan, dan dalam hal ini terdapat dua keadaan.”

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ مَعَهَا صَاحِبُهَا

Salah satunya adalah apabila ia bersama pasangannya.

وَالثَّانِيَةُ أَنْ لَا يَكُونَ مَعَهَا

Dan yang kedua adalah tidak ada bersamanya.

فَإِنْ كَانَ مَعَهَا صاحبها ضمن جميع ما أتلفته برأسها ويدها ورجلها وذنبها سَوَاءٌ كَانَ رَاكِبًا أَوْ قَائِدًا أَوْ سَائِقًا

Jika hewan itu disertai pemiliknya, maka pemiliknya wajib menanggung seluruh kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan tersebut, baik dengan kepala, tangan, kaki, maupun ekornya, baik pemiliknya sedang menunggangi, menuntun, atau menggiringnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ كَانَ سَائِقًا ضَمِنَ جميع ذلك كله كَقَوْلِنَا وَإِنْ كَانَ قَائِدًا أَوْ رَاكِبًا ضَمِنَ ما أتلفته برأسها ويدها ولم يضمن ما أتلفته برجلها وذنبها اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” الرِّجْلُ جُبَارٌ وَلِأَنَّهُ إِذَا كَانَ رَاكِبًا أَوْ قَائِدًا لَمْ يُمْكِنْهُ أَنْ يَحْفَظَ مِنْهَا إلا رأسها ويدها فضمن مَا تَلِفَ بِهِمَا وَلَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَحْفَظَ مِنْهَا رِجْلَهَا وَذَنَبَهَا فَلَمْ يَضْمَنْ مَا تَلِفَ بِهِمَا وَيُمْكِنُ السَّائِقُ حِفْظَ جَمِيعِهِ فَضَمِنَ مَا تَلِفَ بِجَمِيعِهِ وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهَا بَهِيمَةٌ مَعَهَا صَاحِبُهَا فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ ضَامِنًا لِجِنَايَتِهَا كَالسَّائِقِ؛ وَلِأَنَّهَا جِنَايَةٌ يَضْمَنُهَا سَائِقُهَا فَوَجَبَ أَنْ يَضْمَنَهَا راكبها وقائدها كالجناية برأسها ويده

Abu Hanifah berkata: Jika seseorang adalah penuntun (sā’iq), maka ia bertanggung jawab atas seluruh kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan itu, sebagaimana pendapat kami. Namun jika ia adalah pengendali (qā’id) atau penunggang (rākib), maka ia hanya bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan oleh kepala dan tangan hewan itu, dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan oleh kaki dan ekornya. Hal ini didasarkan pada riwayat az-Zuhri dari Sa‘id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaki itu tidak ada tanggungan (jubar).” Karena jika seseorang adalah penunggang atau pengendali, ia tidak mungkin dapat menjaga selain kepala dan tangan hewan itu, maka ia bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan oleh keduanya. Ia tidak mungkin dapat menjaga kaki dan ekornya, maka ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan oleh keduanya. Sedangkan penuntun (sā’iq) dapat menjaga seluruh bagian hewan itu, maka ia bertanggung jawab atas seluruh kerusakan yang ditimbulkan. Dalil kami adalah bahwa hewan itu bersama pemiliknya, maka wajib baginya untuk bertanggung jawab atas tindakannya, sebagaimana penuntun (sā’iq). Karena ini adalah tindak pidana (jināyah) yang ditanggung oleh penuntunnya, maka wajib juga ditanggung oleh penunggang dan pengendalinya, sebagaimana jināyah yang dilakukan oleh kepala dan tangannya.

فأما الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” الرِّجْلُ جُبَارٌ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas ucapannya “kaki adalah jubar”, maka dari dua sisi.

أحدهما أنه ضعيف عنه أصحاب الحديث قد أَنْكَرَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ

Pertama, hadis tersebut lemah menurut para ahli hadis; hadis itu telah diingkari oleh ad-Daraquthni dan yang lainnya.

وَالثَّانِي أَنْ يُحْمَلَ قَوْلُهُ ” الرِّجْلُ جُبَارٌ عَلَى مَعْنَى ” ذِي الرِّجْلِ جُبَارٌ كما قال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا سَبْقَ إِلَّا فِي نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ مَعْنَاهُ فِي ذِي خُفٍّ وَذِي حَافِرٍ وَيَكُونُ مُوَافِقًا لِقَوْلِهِ ” الْعَجْمَاءُ جُرْحُهَا جُبَارٌ وَهُوَ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهَا صَاحِبُهَا

Kedua, bahwa ucapan beliau “al-rijlu jubār” dimaknai sebagai “dzī al-rijli jubār” sebagaimana sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada perlombaan kecuali pada panah, unta, atau kuda,” maksudnya pada pemilik unta dan pemilik kuda. Dan ini sejalan dengan sabda beliau, “Al-‘ajmā’ (hewan yang tidak berakal), jika melukai, maka itu jubār,” yaitu apabila tidak ada pemiliknya bersamanya.

وَأَمَّا الجواب عن قولهم إن راكبها وقائدها لا يقدر على حفظ يدها وَذَنَبِهَا فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban atas pernyataan mereka bahwa orang yang menungganginya atau yang menuntunnya tidak mampu menjaga tangannya dan ekornya, maka ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ رَاكِبَهَا وَقَائِدَهَا أضبط بها وَأَقْدَرُ عَلَى تَصَرُّفِهَا بِاخْتِيَارٍ مِنْ سَائِقِهَا؛ فَكَانَ أَوْلَى بِالضَّمَانِ مِنْهُ

Salah satunya adalah bahwa orang yang menungganginya dan yang menuntunnya lebih mampu mengendalikannya dan lebih mampu bertindak atas kehendaknya dibandingkan dengan orang yang menggiringnya; maka ia lebih utama untuk menanggung jaminan daripada orang yang menggiringnya.

وَالثَّانِي أَنَّ رَأْسَهَا وَيَدَهَا فِي حَقِّ سَائِقِهَا كَرِجْلِهَا وَذَنَبِهَا فِي حَقِّ قَائِدِهَا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَا فِي الْحُكْمِ سَوَاءً

Yang kedua, bahwa kepala dan tangan hewan itu bagi penuntunnya sama kedudukannya dengan kaki dan ekornya bagi pengendaranya, sehingga hal ini menuntut agar keduanya memiliki status hukum yang sama.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهَا صَاحِبُهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Adapun keadaan kedua, yaitu apabila tidak bersama wanita tersebut mahramnya, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ قَدْ أَرْسَلَهَا صَاحِبُهَا بِاخْتِيَارِهِ أَوْ فَرَّطَ فِي رَبْطِهَا وَحِفْظِهَا فَاسْتَرْسَلَتْ فَيَكُونُ ضَامِنًا لِمَا أَتَلَفَتْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا لِأَنَّ مَا حَدَثَ بِتَفْرِيطِهِ مَضْمُونٌ عَلَيْهِ

Salah satunya adalah apabila pemiliknya telah melepaskannya dengan pilihannya sendiri atau telah lalai dalam mengikat dan menjaganya sehingga hewan itu lepas, maka ia bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan, meskipun ia tidak bersama hewan tersebut, karena segala sesuatu yang terjadi akibat kelalaiannya menjadi tanggung jawabnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يقصر صاحبها بعد ربطها وضبطها ويسترسل فتتلف مالاً أو إنساناً فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ وَجْهَانِ

Jenis kedua adalah jika pemiliknya mengendorkan setelah mengikat dan mengendalikan hewan tersebut, lalu hewan itu lepas dan merusak harta atau mencelakai seseorang, maka dalam hal kewajiban ganti rugi terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَصَحُّ أَنْ لَا ضَمَانَ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” جَرْحُ الْعَجْمَاءِ جُبَارٌ وَلِأَنَّهُ غَيْرُ مُفَرِّطٍ فِي الْحِفْظِ فَكَانَ كَرَعْيِ الْمَوَاشِي بِالنَّهَارِ

Salah satu pendapat, dan ini yang lebih shahih, adalah tidak ada kewajiban ganti rugi berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Luka yang disebabkan oleh hewan ternak adalah tanpa ganti rugi.” Karena pemiliknya tidak lalai dalam menjaga, maka hukumnya seperti menggembalakan ternak di siang hari.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي عَلَيْهِ الضَّمَانُ؛ لِأَنَّهُ قَلَّ مَا يَكُونُ ذَلِكَ إِلَّا مِنْ تَفْرِيطٍ خَفِيٍّ وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مُخَرَّجَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي اصْطِدَامِ السَّفِينَتَيْنِ إِذَا كَانَ مِنْ غَيْرِ تَفْرِيطٍ فَفِي وجوب الضمان قولان

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia wajib menanggung ganti rugi; karena jarang sekali hal itu terjadi kecuali karena kelalaian tersembunyi. Kedua pendapat ini diambil dari perbedaan dua pendapat beliau mengenai tabrakan dua kapal apabila terjadi tanpa adanya kelalaian, maka dalam hal kewajiban menanggung ganti rugi terdapat dua pendapat.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ولو أنه اوقفها فِي مَوْضِعٍ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَقِفَهَا فِيهِ ضَمِنَ وَلَوْ وَقَفَهَا فِي مِلْكِهِ لَمْ يَضْمَنْ

Syafi‘i berkata, “Jika seseorang menahan hewan itu di tempat yang tidak berhak ia menahannya, maka ia wajib menanggung ganti rugi. Namun jika ia menahannya di tanah miliknya sendiri, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ؛ لِأَنَّ وُقُوفَ الدَّابَّةِ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ فِي مِلْكِهِ أَوْ غَيْرِ مِلْكِهِ فَإِنْ وَقَفَهَا فِي مِلْكِهِ لَمْ يَضْمَنْ مَا أَتْلَفَتْهُ مِنْ نَفْسٍ وَمَالٍ لِخُرُوجِهِ عَنْ حُكْمِ التَّعَدِّي وَإِنْ وَقَفَهَا فِي غَيْرِ مِلْكِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar; karena berhentinya hewan tunggangan tidak lepas dari dua kemungkinan: berada di atas miliknya sendiri atau bukan miliknya. Jika ia menghentikannya di atas miliknya sendiri, maka ia tidak menanggung kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan itu, baik terhadap jiwa maupun harta, karena hal itu keluar dari hukum pelanggaran. Namun jika ia menghentikannya di atas milik orang lain, maka ada dua keadaan.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَقِفَهَا فِي مِلْكِ غَيْرِهِ فَيَضْمَنُ مَا أَتْلَفَتْ لِتَعَدِّيهِ بِوَقْفِهَا فِيهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَنْ إِذَنِ الْمَالِكِ فَلَا يَضْمَنُ كَمَا لَا يَضْمَنُ إِذَا وَقَفَهَا فِي مِلْكِهِ

Salah satunya adalah jika ia menahan hewan tersebut di tanah milik orang lain, maka ia wajib menanggung ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan karena ia telah melampaui batas dengan menahan hewan itu di sana, kecuali jika dilakukan dengan izin pemilik tanah, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi, sebagaimana ia juga tidak wajib menanggung ganti rugi jika menahan hewan itu di tanah miliknya sendiri.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقِفَهَا فِي طَرِيقٍ سَابِلٍ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis yang kedua adalah menahan hewan di jalan umum, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يُنْسَبَ إِلَى التَّفْرِيطِ وَذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ إِمَّا أَنْ تَكُونَ الطَّرِيقُ ضَيِّقَةً

Salah satunya adalah dinisbatkan kepada kelalaian, dan hal itu dapat terjadi dari beberapa sisi: bisa jadi karena jalannya sempit.

وَإِمَّا أَنْ تَكُونَ الدَّابَّةُ شَغِبَةً

Atau bisa juga hewan tunggangan itu liar.

وَإِمَّا أَنْ يَقِفَهَا فِي وَسَطِ طَرِيقٍ فَسِيحَةٍ فَيَكُونُ ضَامِنًا لِمَا أَتْلَفَتْ لِتَعَدِّيهِ

Atau jika ia menghentikannya di tengah jalan yang luas, maka ia bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkannya karena perbuatannya yang melampaui batas.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يُنْسَبَ إِلَى تَفْرِيطٍ؛ لِأَنَّهُ وَقَفَهَا بِفِنَاءِ دَارِهِ فِي طَرِيقٍ وَاسِعَةٍ وَالدَّابَّةُ غَيْرُ شَغِبَةٍ فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ وَجْهَانِ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلِهِ فِي حَفْرِ الْبِئْرِ بِفِنَاءِ داره هل يضمن ما تلف بِهَا عَلَى قَوْلَيْنِ فَلَوْ مَرَّ بِهَذِهِ الدَّابَّةِ الواقفة من تحتها وبعج بطنها حتى نفرت وأتلفت ضمن الذي بعجها مَا أَتْلَفَتْهُ وَجْهًا وَاحِدًا وَلَمْ يَضْمَنْهُ وَاقِفُهَا؛ لِأَنَّهُ تَعَدٍّ بِمُبَاشَرَةٍ يَسْقُطُ بِهِ حُكْمُ السَّبَبِ

Jenis kedua adalah ketika tidak dinisbatkan kepada kelalaian; karena ia menambatkan hewan itu di halaman rumahnya di jalan yang luas dan hewannya bukan hewan yang liar. Maka dalam hal kewajiban ganti rugi terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat tentang orang yang menggali sumur di halaman rumahnya, apakah ia wajib mengganti kerusakan yang terjadi karenanya menurut dua pendapat. Jika ada seseorang yang melewati hewan yang sedang berdiri tersebut dari bawahnya, lalu menusuk perutnya hingga hewan itu terkejut dan merusak sesuatu, maka orang yang menusuk hewan itu wajib mengganti kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan tersebut menurut satu pendapat, dan orang yang menambatkan hewan itu tidak wajib mengganti kerusakan tersebut; karena perbuatan tersebut merupakan pelanggaran secara langsung yang menggugurkan hukum sebab.

فَصْلٌ

Bab

وَإِذَا مَرَّتْ بَهِيمَةٌ لِرَجُلٍ بِجَوْهَرَةٍ لِآخَرَ فَابْتَلَعَتْهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Dan apabila seekor hewan milik seseorang melewati permata milik orang lain lalu menelannya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مَعَ الْبَهِيمَةِ صَاحِبُهَا فَيَضْمَنُ الْجَوْهَرَةَ لِأَنَّ فِعْلَ البهيمة مَنْسُوبٌ إِلَيْهِ وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْبَهِيمَةُ شَاةً أَوْ بَعِيرًا

Salah satunya adalah apabila bersama hewan itu ada pemiliknya, maka ia wajib mengganti barang berharga tersebut, karena perbuatan hewan itu dinisbatkan kepadanya, baik hewan itu seekor kambing maupun unta.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنْ كَانَتِ الْبَهِيمَةُ شاة يَضْمَنُ الْجَوْهَرَةَ وَإِنْ كَانَتْ بَعِيرًا ضَمِنَهَا؛ لِأَنَّ العادة في البعير أن تضبط وَفِي الشَّاةِ أَنْ تُرْسَلَ وَهَذَا فَرْقٌ فَاسِدٌ لِاسْتِوَائِهِمَا فِي ضَمَانِ الزَّرْعِ وَسُقُوطِهِ

Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: Jika hewan itu adalah kambing, maka ia wajib mengganti permata tersebut, dan jika hewan itu unta, maka ia wajib menggantinya; karena kebiasaan pada unta adalah dijaga, sedangkan pada kambing dibiarkan. Namun, perbedaan ini tidak sahih, karena keduanya sama-sama wajib mengganti tanaman dan sama-sama tidak wajib menggantinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَكُونَ مَعَ الْبَهِيمَةِ صَاحِبُهَا فَقَدْ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا يَضْمَنُ الْجَوْهَرَةَ إِنْ كَانَ ذَلِكَ نَهَارًا ويضمنها أن كان ليلاً كالزروع وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّهُ يَضْمَنُهَا لَيْلًا وَنَهَارًا بِخِلَافِ الزَّرْعِ

Jenis yang kedua adalah apabila hewan tersebut tidak bersama pemiliknya. Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: Tidak wajib menanggung ganti rugi atas permata itu jika kejadian tersebut terjadi pada siang hari, dan wajib menanggungnya jika terjadi pada malam hari, sebagaimana pada tanaman. Namun menurut pendapat yang saya lihat, wajib menanggungnya baik pada malam maupun siang hari, berbeda dengan tanaman.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ رَعْيَ الزَّرْعِ مَأْلُوفٌ فَلَزِمَ حِفْظُهُ مِنْهَا وَابْتِلَاعَ الْجَوْهَرَةِ غَيْرُ مَأْلُوفٍ فَلَمْ يَلْزَمْ حِفْظُهَا مِنْهَا فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ ضامنها؛ فَإِنْ طَلَبَ صَاحِبُ الْجَوْهَرَةِ ذَبْحَ الْبَهِيمَةِ لِيَسْتَرْجِعَ جَوْهَرَتَهُ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْبَهِيمَةِ مِنْ أَنْ تَكُونَ مَأْكُولَةً أَوْ غَيْرَ مَأْكُولَةٍ فَإِنْ كَانَتْ غير مأكولة؛ لم تذبح وغرم صَاحِبُهَا قِيمَةَ الْجَوْهَرَةِ فَإِنْ دُفِعَتِ الْقِيمَةُ ثُمَّ مَاتْتِ الْبَهِيمَةُ وَأُخْرِجَتِ الْجَوْهَرَةُ مِنْ جَوْفِهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa menjaga tanaman sudah lazim sehingga wajib melindunginya dari hewan, sedangkan menelan permata bukanlah hal yang lazim sehingga tidak wajib melindunginya dari hewan. Jika telah tetap bahwa ia wajib mengganti permata tersebut, maka jika pemilik permata meminta agar hewan itu disembelih untuk mengambil kembali permatanya, keadaan hewan itu tidak lepas dari dua kemungkinan: hewan itu termasuk hewan yang boleh dimakan atau tidak boleh dimakan. Jika hewan itu tidak boleh dimakan, maka tidak boleh disembelih dan pemilik hewan wajib mengganti nilai permata tersebut. Jika nilai permata telah dibayarkan, kemudian hewan itu mati dan permata itu dikeluarkan dari perutnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَمْلِكُهَا صَاحِبُ الْبَهِيمَةِ بِدَفْعِ الْقِيمَةِ وَلَا يَلْزَمُهُ رَدُّهَا

Salah satunya adalah pemilik hewan dapat memilikinya dengan membayar nilai (ganti rugi), dan ia tidak wajib mengembalikannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي تُعَادُ إِلَى صاحبها وتسترجع قيمة البهمية لِأَنَّهَا عَيْنُ مَالِهِ فَإِنْ نَقَصَتْ قِيمَتُهَا بِالِابْتِلَاعِ ضمن صاحب البهيمة قدر نقصها فإن كَانَتِ الْبَهِيمَةُ مَأْكُولَةً فَفِي ذَبْحِهَا لِاسْتِرْجَاعِ الْجَوْهَرَةِ وَجْهَانِ

Pendapat kedua, barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya dan nilai hewan dikembalikan, karena itu adalah harta miliknya. Jika nilainya berkurang akibat tertelan, maka pemilik hewan wajib menanggung besarnya kekurangan tersebut. Jika hewan itu termasuk hewan yang halal dimakan, maka dalam hal menyembelihnya untuk mengambil kembali barang berharga yang tertelan, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تُذْبَحُ لِأَجْلِ الرَّدِّ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُتَوَصَّلُ إِلَى رَدِّهَا بِوَجْهٍ مُبَاحٍ

Salah satunya disembelih untuk tujuan pengembalian; karena bisa jadi pengembaliannya dapat dilakukan dengan cara yang dibolehkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا تُذْبَحُ وَتَكُونُ كَغَيْرِ الْمَأْكُولَةِ لِنَهْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ ذَبْحِ الْبَهَائِمِ إِلَّا لِمَأْكَلَةٍ

Pendapat kedua menyatakan bahwa hewan tersebut tidak disembelih dan hukumnya seperti hewan yang tidak boleh dimakan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyembelih hewan kecuali untuk dimakan.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا أَدْخَلَتِ الْبَهِيمَةُ رَأْسَهَا فِي إِنَاءٍ لِرَجُلٍ وَلَمْ يُمْكِنْ خَلَاصُهَا إِلَّا بِذَبْحِهَا أَوْ كَسْرِ الْإِنَاءِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ

Jika seekor hewan memasukkan kepalanya ke dalam bejana milik seseorang, dan tidak mungkin mengeluarkannya kecuali dengan menyembelih hewan itu atau memecahkan bejana tersebut, maka keadaan keduanya tidak lepas dari empat bagian.

أَحَدُهَا أن يكون صاحب البهيمة غير متعد لوضعها في حقه وصاحب الإناء متعد لوضعه فِي غَيْرِ حَقِّهِ فَالْإِنَاءُ غَيْرُ مَضْمُونٍ لِتَعَدِّي صَاحِبِهِ؛ فَيُكْسَرُ لِخَلَاصِ الْبَهِيمَةِ وَيَكُونُ مَا لَا يُمْكِنُ خَلَاصُ الْبَهِيمَةِ إِلَّا بِكَسْرِهِ فَكَسْرُهُ هَدَرٌ وَمَا زَادَ عَلَيْهِ مَضْمُونًا

Salah satunya adalah apabila pemilik hewan tidak bersalah dalam meletakkan hewannya pada tempat yang menjadi haknya, sedangkan pemilik wadah bersalah karena meletakkannya bukan pada tempat yang semestinya. Maka wadah tersebut tidak mendapatkan jaminan karena kesalahan pemiliknya; sehingga wadah itu boleh dipecahkan demi menyelamatkan hewan, dan bagian yang tidak mungkin menyelamatkan hewan kecuali dengan memecahkannya, maka pemecahannya dianggap sia-sia (tidak ada ganti rugi), sedangkan kerusakan yang melebihi dari itu tetap menjadi tanggungan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ صَاحِبُ الْبَهِيمَةِ مُتَعَدِّيًا وَصَاحِبُ الْإِنَاءِ غَيْرَ مُتَعَدٍّ؛ فَيَكُونُ الْإِنَاءُ مَضْمُونًا عَلَى صَاحِبِ الْبَهِيمَةِ لِتَعَدِّيهِ بِهَا وَيُنْظَرُ فِي الْبَهِيمَةِ فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَأْكُولَةٍ كُسِرَ الْإِنَاءُ لِاسْتِخْلَاصِهَا وَضَمِنَهُ صَاحِبُهَا وَإِنْ كَانَتْ مَأْكُولَةً فَعَلَى وَجْهَيْنِ

Bagian kedua adalah apabila pemilik hewan melampaui batas, sedangkan pemilik wadah tidak melampaui batas; maka wadah tersebut menjadi tanggungan atas pemilik hewan karena ia telah melampaui batas dengan hewannya. Adapun mengenai hewan tersebut, jika hewan itu bukan hewan yang boleh dimakan, maka wadah itu dipecahkan untuk mengeluarkannya dan pemiliknya menanggung ganti rugi. Namun jika hewan itu adalah hewan yang boleh dimakan, maka ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تُذْبَحُ الْبَهِيمَةُ وَيُسْتَخْلَصُ الْإِنَاءُ

Salah satunya adalah hewan disembelih dan wadahnya diambil.

وَالثَّانِي يُكْسَرُ الْإِنَاءُ وَيُضْمَنُ لِصَاحِبِهِ كَغَيْرِ الْمَأْكُولَةِ

Yang kedua, wadahnya dipecahkan dan diganti rugi kepada pemiliknya, sebagaimana pada benda yang tidak dapat dimakan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُتَعَدِّيًا فَيَكُونُ الضَّمَانُ بِصَاحِبِ البهيمة أخص؛ لأن لها فعلاً اختص بزيادة التعدي فيكون كَمَا لَوْ تَعَدَّى صَاحِبُ الْبَهِيمَةِ وَلَمْ يَتَعَدَّ صَاحِبُ الْإِنَاءِ

Bagian ketiga adalah apabila masing-masing dari keduanya (pemilik hewan dan pemilik wadah) sama-sama melakukan tindakan melampaui batas (ta‘addi), maka tanggung jawab (dhamān) lebih khusus dibebankan kepada pemilik hewan; karena hewan tersebut melakukan perbuatan yang secara khusus menambah pelanggaran, sehingga keadaannya seperti jika pemilik hewan melampaui batas sementara pemilik wadah tidak melampaui batas.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا غَيْرَ مُتَعَدٍّ فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أضرب

Bagian keempat adalah apabila masing-masing dari keduanya tidak melampaui batas, maka hal ini terbagi menjadi empat macam.

أَحَدُهَا أَنْ يَعْلَمَ صَاحِبُ الْإِنَاءِ بِالْبَهِيمَةِ وَلَا يَعْلَمَ صَاحِبُ الْبَهِيمَةِ بِالْإِنَاءِ فَيَخْتَصُّ الْحِفْظُ بِصَاحِبِ الْإِنَاءِ وَيَكُونُ إِنَاؤُهُ هَدَرًا كَالْقِسْمِ الْأَوَّلِ

Salah satunya adalah ketika pemilik wadah mengetahui tentang hewan, sedangkan pemilik hewan tidak mengetahui tentang wadah. Maka, hak penjagaan khusus bagi pemilik wadah, dan wadahnya menjadi sia-sia seperti pada bagian pertama.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَعْلَمَ صَاحِبُ الْبَهِيمَةِ بِالْإِنَاءِ وَلَا يَعْلَمَ صَاحِبُ الْإِنَاءِ بِالْبَهِيمَةِ فَيَخْتَصُّ الْحِفْظُ بِصَاحِبِ الْبَهِيمَةِ وَيَكُونُ الْإِنَاءُ مَضْمُونًا كَالْقِسْمِ الثَّانِي

 

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ يَعْلَمَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِذَلِكَ؛ فَيَصِيرُ الْحِفْظُ عَلَيْهِمَا وَيَكُونُ الضَّمَانُ بِصَاحِبِ الْبَهِيمَةِ أَخَصَّ لِزِيَادَةِ فِعْلِهَا كَالْقِسْمِ الثَّالِثِ

Jenis yang ketiga adalah apabila masing-masing dari keduanya mengetahui hal itu; maka penjagaan menjadi tanggung jawab mereka berdua, dan tanggungan (ganti rugi) lebih khusus dibebankan kepada pemilik hewan karena adanya tambahan perbuatan dari hewan tersebut, sebagaimana pada bagian ketiga.

وَالضَّرْبُ الرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا غَيْرَ عَالِمٍ بِالْآخَرِ فَفِي ضَمَانِ الْإِنَاءِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اختلاف الوجهين من ضمان البهيمة إذا وقفت بفناء داره فأتلفت

Golongan keempat adalah apabila masing-masing dari keduanya tidak mengetahui keberadaan yang lain. Dalam hal jaminan atas bejana, terdapat dua pendapat, yang didasarkan pada perbedaan dua pendapat mengenai jaminan atas hewan apabila ia berhenti di halaman rumah seseorang lalu merusaknya.

أحد الوجهين أَنَّ الْإِنَاءَ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى صَاحِبِ الْبَهِيمَةِ فَيَكُونُ كَالْقِسْمِ الْأَوَّلِ فِي كَسْرِهِ لِخَلَاصِ الْبَهِيمَةِ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa wadah tersebut tidak menjadi tanggungan atas pemilik hewan, sehingga hukumnya seperti bagian pertama dalam hal memecahkannya untuk membebaskan hewan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَضْمُونًا عَلَى صَاحِبِ الْبَهِيمَةِ فَيَكُونُ كَالْقِسْمِ الثَّانِي فِي اعْتِبَارِ حَالِ الْبَهِيمَةِ فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَأْكُولَةٍ؛ لَمْ تُذْبَحْ وَكُسِرَ الْإِنَاءُ لِخَلَاصِهَا وَضُمِنَ وَإِنْ كَانَتْ مَأْكُولَةً فَفِي ذَبْحِهَا وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى مَا مَضَى

Adapun pendapat kedua adalah bahwa hewan tersebut menjadi tanggungan pemiliknya, sehingga keadaannya seperti pada bagian kedua dalam mempertimbangkan kondisi hewan. Jika hewan itu bukan hewan yang boleh dimakan, maka ia tidak disembelih dan wadahnya dipecahkan untuk menyelamatkannya, lalu wajib mengganti kerugian. Namun jika hewan itu termasuk hewan yang boleh dimakan, maka dalam hal penyembelihannya terdapat dua pendapat, berdasarkan penjelasan yang telah lalu.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ولو جعل في داره كلبا عقوراً أو حبالة فَدَخَلَ إِنْسَانٌ فَقَتَلَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ شَيْءٌ قال المزني وسواء عندي أذن له في الدخول أو لم يأذن له

Imam Syafi’i berkata, “Jika seseorang menaruh anjing galak atau jebakan di rumahnya, lalu ada orang yang masuk dan terbunuh karenanya, maka tidak ada tanggungan apa pun atasnya.” Al-Muzani berkata, “Menurutku, sama saja apakah ia mengizinkan orang itu masuk atau tidak.”

قال الماوردي فقد مضت مثل هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي حَفْرِ الْبِئْرِ فِي دَارِهِ فَإِذَا رَبَطَ فِي دَارِهِ سَبُعًا أَوْ كَلْبًا عَقُورًا أَوْ نَصَبَ فِيهَا أُحْبُولَةً أَوْ شَرَكًا فَدَخَلَ إِلَيْهَا مَنْ هَلَكَ بِهَا فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

Al-Mawardi berkata: Telah disebutkan masalah serupa dalam hal menggali sumur di rumahnya. Maka jika seseorang mengikat binatang buas atau anjing galak di rumahnya, atau memasang perangkap atau jerat di dalamnya, lalu ada orang yang masuk ke rumah itu dan celaka karenanya, maka ada tiga keadaan baginya.

أَحَدُهَا أَنْ يَدْخُلَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ مَالِكِهَا فَنَفْسُهُ هَدَرٌ لِتَعَدِّيهِ بِالدُّخُولِ

Salah satunya adalah jika seseorang masuk ke dalamnya tanpa izin pemiliknya, maka jiwanya menjadi sia-sia karena ia telah melampaui batas dengan masuk tanpa izin.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يكرهه رب الدار على الدخول فيها فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Keadaan yang kedua adalah apabila pemilik rumah memaksanya untuk masuk ke dalam rumah tersebut, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَّصِلَ الْإِكْرَاهُ بِالتَّلَفِ فَيَكُونُ مَضْمُونًا بِالدِّيَةِ عَلَى الْمُكْرِهِ؛ لِتَعَدِّيهِ بِالْإِكْرَاهِ

Salah satunya adalah apabila pemaksaan itu berhubungan langsung dengan kerusakan (atau hilangnya nyawa/harta), maka hal tersebut menjadi tanggungan diyat atas orang yang memaksa, karena ia telah melampaui batas dengan melakukan pemaksaan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَتَّصِلَ الْإِكْرَاهُ بِالتَّلَفِ فَفِي اسْتِصْحَابِ حُكْمِهِ وَجْهَانِ

Jenis yang kedua adalah apabila ikrah tidak berhubungan langsung dengan kerusakan, maka dalam mempertahankan hukumnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مستصحب الحكم إلى التَّلَفِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ مَضْمُونًا عَلَى الْمُكْرِهِ

Salah satunya adalah bahwa hukum tetap berlaku hingga barang tersebut rusak, maka dalam hal ini barang tersebut menjadi tanggungan atas orang yang memaksa.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي قَدْ زَالَ حُكْمُهُ بِانْقِطَاعِهِ فَيَكُونُ كَغَيْرِ الْمُكْرَهِ

Pendapat kedua, hukumnya telah hilang karena telah terputus, sehingga ia menjadi seperti orang yang tidak dipaksa.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَأْذَنَ وَلَا يكره فإن علم الدَّاخِلُ بِالْحَالِ أَوْ كَانَ الْمَوْضِعُ مُضِيئًا وَالدَّاخِلُ بصيراً أو كان التَّحَرُّزُ مِنْ ذَلِكَ مُمْكِنًا فَلَا ضَمَانَ فِيهِ ونفس الداخل هدر وإن لم يعلمه بالحال وكان الموضع مظلماً أو كانت الدَّاخِلُ ضَرِيرًا فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ قَوْلَانِ

Keadaan ketiga adalah ketika seseorang mengizinkan masuk tanpa membenci. Jika orang yang masuk mengetahui keadaan tersebut, atau tempatnya terang dan orang yang masuk dapat melihat, atau menjaga diri dari hal itu memungkinkan, maka tidak ada tanggungan (dhamān) atasnya dan jiwa orang yang masuk dianggap sia-sia. Namun, jika ia tidak mengetahui keadaannya, atau tempatnya gelap, atau orang yang masuk buta, maka dalam kewajiban adanya tanggungan (dhamān) terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ بِالسَّبَبِ وَلَا مُبَاشِرٍ لِلتَّلَفِ

Salah satunya, yaitu yang dinyatakan secara eksplisit dalam masalah ini, tidak wajib menanggung ganti rugi; karena ia tidak melampaui batas melalui sebab dan juga tidak secara langsung menyebabkan kerusakan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي عَلَيْهِ الضَّمَانُ فَخَرَجَ مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِيمَنْ سَمَّ طَعَامًا وَأُذِنَ فِي أَكْلِهِ لِأَنَّهُ مُتَسَبِّبٌ؛ لِمَا يَخْفَى تَلَفُهُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia wajib mengganti kerugian, sehingga keluar dari perbedaan dua pendapatnya mengenai orang yang menyebutkan makanan tertentu dan diizinkan untuk memakannya, karena ia dianggap sebagai pihak yang menyebabkan kerugian; sebab kerusakannya tidak tampak secara jelas.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا أَوْقَدَ نَارًا فِي دَارِهِ أَوْ سَجَّرَ بِهَا تَنُّورًا فَطَارَ مِنْ شَرَرِ النَّارِ مَا أَتْلَفَ وَأَحْرَقَ فَلَا ضَمَانَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ غير متعد وَقَدْ رَوَى مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَنَّهُ قَالَ ” النَّارُ جُبَارٌ وَفِي تَأْوِيلِهِ وَجْهَانِ

Dan apabila seseorang menyalakan api di rumahnya atau memanaskan tungku dengannya, lalu percikan api itu terbang dan menyebabkan kerusakan atau kebakaran, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya; karena hal itu bukan termasuk perbuatan melampaui batas. Telah diriwayatkan oleh Ma‘mar dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Api itu jubar (tidak ada tanggungan ganti rugi),” dan dalam penafsirannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ إِبَاحَةُ النَّارِ وَأَنَّ مَنِ اقْتَبَسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ صَاحِبِهَا لَمْ يَلْزَمْهُ له قِيمَةٌ

Salah satunya adalah bahwa yang dimaksud dengannya adalah kebolehan mengambil api, dan bahwa siapa pun yang mengambilnya tanpa izin pemiliknya, maka ia tidak wajib membayar nilai apapun kepadanya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّ مَنْ أَوْقَدَهَا فِي حَقِّهِ فَتَعَدَّتْ إِلَى غَيْرِهِ لَمْ يَغْرَمْ مُوقِدُهَا مَا أَتْلَفَتْهُ وَأَمَّا إِذَا أَحْرَقَ بِهَا حَشِيشًا فِي أَرْضِهِ فَتَعَدَّتِ النَّارُ إِلَى زَرْعِ جَارِهِ فَأَحْرَقَتْهُ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ زَرْعُ الْجَارِ غَيْرَ مُتَّصِلٍ بِحَشِيشِ صَاحِبِ النَّارِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ كَمَا لَا يَضْمَنُ صَاحِبُ التَّنُّورِ مَا أَطَارَتْهُ الرِّيحُ مِنْ شَرَرِ نَارِهِ

Kedua, maksudnya adalah bahwa jika seseorang menyalakan api di tempat yang menjadi haknya, lalu api itu merambat ke tempat lain, maka orang yang menyalakan api tersebut tidak menanggung ganti rugi atas apa yang dibakar oleh api itu. Adapun jika ia membakar rumput di tanahnya, lalu api itu merambat ke tanaman tetangganya dan membakarnya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan. Pertama, jika tanaman tetangganya tidak bersambung dengan rumput milik pemilik api, maka ia tidak wajib mengganti rugi, sebagaimana pemilik tungku tidak menanggung ganti rugi atas bara api yang diterbangkan angin dari apinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الزَّرْعُ النَّابِتُ مُتَّصِلًا بِالْحَشِيشِ الْمَحْرُوقِ فَيَنْظُرُ فِي صِفَةِ الرِّيحِ وَقْتَ إِلْقَاءِ النَّارِ فَإِنْ كَانَتْ مَصْرُوفَةً عَنْ جِهَةِ الزَّرْعِ بِهُبُوبِهَا إِلَى غَيْرِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى صَاحِبِ النَّارِ وَإِنْ كَانَ هُبُوبُهَا إِلَى جِهَةِ الزَّرْعِ فَفِي الضَّمَانِ وَجْهَانِ

Jenis kedua adalah apabila tanaman yang tumbuh itu bersambung dengan rerumputan yang terbakar, maka dilihat keadaan angin pada saat api dilemparkan. Jika angin berhembus menjauh dari arah tanaman menuju ke arah lain, maka tidak ada tanggungan atas pemilik api. Namun jika angin berhembus ke arah tanaman, maka dalam hal tanggungan terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يجب؛ لأن من طبع النار أن تسري إِلَى جِهَةِ الرِّيحِ

Salah satunya wajib; karena sudah menjadi tabiat api untuk merambat ke arah angin.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجِبُ؛ لِأَنَّ هُبُوبَ الرِّيحِ لَيْسَ مِنْ فِعْلِهِ

Pendapat kedua menyatakan tidak wajib, karena bertiupnya angin bukan berasal dari perbuatannya.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا أَرْسَلَ الْمَاءَ فِي أَرْضِهِ فَخَرَجَ إِلَى أَرْضِ غَيْرِهِ فَأَفْسَدَهَا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Dan apabila seseorang mengalirkan air di tanahnya lalu air itu keluar ke tanah orang lain sehingga merusaknya, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مَا أَرْسَلَهُ فِيهَا مِنَ الْمَاءِ بِقَدْرِ حَاجَتِهَا فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِيمَا خَرَجَ مِنْهُ

Salah satunya adalah jika air yang ia alirkan ke dalamnya sesuai dengan kebutuhannya, maka tidak ada tanggungan atasnya terhadap apa yang keluar darinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ أَكْثَرَ مِنْ قَدْرِ الْحَاجَةِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis kedua adalah apabila melebihi kadar kebutuhan, maka ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَعْجَزَ عَنْ حَبْسِ الزِّيَادَةِ لِطُغْيَانِ الْمَاءِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِعَدَمِ تَعَدِّيهِ

Salah satunya adalah ketika seseorang tidak mampu menahan kelebihan air karena meluapnya air, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya karena ia tidak melakukan pelanggaran.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقْدِرَ عَلَى حَبْسِهِ فَفِي وُجُوبِ الضَّمَانِ وَجْهَانِ

Jenis yang kedua adalah jika ia mampu menahannya, maka dalam hal kewajiban ganti rugi terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ؛ لِأَنَّ مِنْ طَبْعِ الْمَاءِ أَنْ يَجْرِيَ وَيَفِيضَ وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجِبُ؛ لِأَنَّ الْجَارَ قَدْ كَانَ يَقْدِرُ عَلَى الِاحْتِرَازِ مِنْهُ بحظيرة تصد عنه والله أعلم بالصواب

Salah satu pendapat mengatakan wajib, karena sifat air adalah mengalir dan meluap. Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak wajib, karena tetangga sebenarnya mampu melindungi dirinya dari air tersebut dengan membuat pagar yang menghalanginya. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.